"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 15 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RAHASIA SANG GEISHA

Rahasia Sang Geisha

 

RAHASIA SANG GEISHA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan peitama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:

Rahasia Sang Geisha

128 hal


1


Satu pepatah lama menyebutkan musuh jangan

dicari. Tapi kalau musuh menghampiri, jangan sekali lari.

Sikap seperti itu telah diterapkan keluarga keturunan

murid bungsu Sensei* Pedang Ekor Naga.

Salah seorang dari mereka adalah Hiroto. ksatria

sejati yang mengambil jalan para bushido* di negeri

Sakura. Hari boleh saja berganti, bulan boleh berlalu. Atau

tahun serta abad boleh terus berubah. Tapi jalan hidupnya

tidak. Dia memegang teguh apa yang diyakininya dengan

kehormatan atau nyawa sekali pun.

Kalau keluarganya kini ada yang memus uhi, demi

kehormatan, dia tak akan menyingkir. Akan dihadapinya

semua ancaman dengan keberanian seorang samurai

sejati. Tidak lari seperti pecundang.

Seichi Onigawa, salah seorang perwira shogun yang

berkuasa kini adalah musuh besarnya. Dia adalah

keturunan dari murid sulung Sensei Pedang Ekor Naga.

Saat ini, Seichi Onigawa telah menyandera anak satu-

satunya. Dan itu bagi Hirolo adalah sangkakala perang

yang harus dihadapi. Bukan dihindari. Meski pada

dasarnya. Hiroto sendiri membenci permusuhan yang terus

saja berkobar turun-temurun itu.

Ke Kuil Malahari, Hiroto memburu. Di sana dia

berharap dapat menghadapi Seichi Onigawa yang telah

menyandera Akimoto anaknya. Hiroto amat tahu apa yang

dikehendaki Seichi Onigawa. Lelaki berjiwa binatang

namun bersosok manusia itu sebenarnya tak c uma

menginginkan Pedang Ekor Naga warisan Sensei Pedang

Ekor Naga. Seichi Onigawa menyimpan kebencian

mendalam pada seluruh keluarga keturunan murid bungsu.

Dan kebencian itu kian lama kian menjadi karat busuk

yang memicu nafsu membantainya!

Senja jatuh juga. Matahari bertekuk lutut kuyu pada di

kaki langit timur. Di pekarangan Kuil Matahari di wilayah

Yamashiro, seorang lelaki berdiri mematung. Ilalang tinggi

lebat diam seperti diamnya lelaki itu, di bawah cahaya

kuning tembaga matahari. Lelaki itu Hiroto. Dia telah

memutuskan untuk memasuki juga Kuil Matahari.

Ada baiknya dia mengikuti ucapan si kakek tua

bungkuk yang mengatakan padanya bahwa Seichi Onigawa

musuh besarnya, telah menunggu di dalam bangunan kuno

itu (Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal ini, bacalah

episode sebelumnya; "Geisha"!)

Dari pintu besar yang telah hancur oleh ledakan

peledak milik Delapan Samurai Merah, Hiroto masuk.

Langkahnya teratur, penuh kesiagaan. Matanya nyalang

mewaspadai segenap penjuru.

Memasukiruang besar tempat pemujaan, Hiroto

menajamkan pandangan. Ruangan di sana cukup gelap.

Tak ada lampu sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu,

musuh tentunya lebih leluasa mengintai dari kegelapan.

Sementara sosok Hiroto sendiri jelas terlihat akibat sinar

matahari sore yang bertandang dari mulut pintu.

Hiroto meningkatkan kesiagaan. Kakinya melangkah

satu-satu pada lantai berbatu pualam kotor. Dengan

melangkah menyamping, Hiroto berusaha sckaligus

membentuk pertahanan selagi berjalan.

Ditengah ruang besar itu, telinganya menangkap

suara halus di satu sudut. Hiroto menegang.

"Seichi! Kaukah itu?!" bentak Hiroto. Melepas

lantangannya.

Tak ada tanggapan apa-apa. Tapi suara halus tadi

masih tertangkap telinga Hiroto.

"Seichi! Kalau itu memang benar kau, keluarlah!

Hadapi aku sebagai seorang ksatria! Kalau kau merasa

perlu untuk memerintah orang-orang bayaranmu untuk

rnenghadapku karena kau begitu pengecut, maka

perintahkan mereka! Jangan hanya main kucing-kucingan

seperti ini?!" cecar Hiroto agak mengkelap.

Tetap tak ada apa-apa.

Menguap sudah kesabaran lelaki berjiwa ksatria itu.

Dengan melangkah tetap menyamping dihampirinya sudut

ruangan besar yang dicurigainya. Lebih mendekat ke

sebuah patung besar, telinga Hiroto makin jelas

mendengar suara halus. Topi telinga lelaki itu mulai ragu

ketika suara itu kian jelas. "Apa iya aku mendengar suara

mendengkur?" bisiknya dalam hati.

Tetap dengan kewaspadaan penuh, Hiroto melompat

kebalik punggung patung besar. Kelopak matanya

mengkerut, seperti juga keningnya.

"Kau...," desis Hiroto.

Dilihatnya lelaki berwajah merah telah ada di sana.

Bukan cuma itu. Si jelek berpakaian dekil telah pula

terpulas diiringi dengkur tak sedapnya. Tak lama

kemudian, mulutnya mulai menguap lebar-lebar.

"Huaaaahhh...."

"Tototo San*," tegur Hiroto pelan. Biar sejelek apa pun

orang itu, Hiroto tetap berhutang budi padanya. ketika

lelaki bernama aneh itu menyelamatkannya dari ancaman

maut Delapan Samurai Merah.

"Hm. nyam nyam nyam...." Mulut Tototo malah

mengecap-ngecap matanya tetap terpejam. Hiroto baru

saja bertemu dengarnya belum lama dari sepeminum teh.

Tapi orang aneh satu ini tampaknya sudah bermimpi

sampai ke surga.

"Tototo San," ulang Hiroto lagi.

"Ya ya!" Tototo tersentak. Dia bangun mencelat seraya

memasang kuda-kuda.

"Oi, rupanya kau?! Sedang apa kau di sini?!" sapanya

ketika menyaksikan Hiroto berdiri di depan.

"Aku mencari...." Hiroto terdiam. Dia jadi tak enak hati

dengan Tototo. Bukankah lelaki itu sudah mengatakan

kalau Seichi Onigawa memang tidak ada di dalam

bangunan ini?

"Bukankah sudah kubilang Seichi Onigawa tidak ada

di sini?! Kenapa kau keras kepala sekali, heh?!" rutuk

Tototo. Sesudah itu, dia menggeloso kembali seperti ular

sanca besar kekenyangan.

"Sudah sana keluar!" hardiknya seraya menepiskan

tungan di udara. Matanya terpejam.

"Tapi...."

Hiroto tak meneruskan kalimal. Tototo sudah

mendengkur kembali. Percuma dia bilang apa pun! Dengan

masih dikerubungi tanda tanya dalam hati, akhirnya Hiroto

meninggalkan Kuil Matahari. Ke mana lagi dia akan

memburu Seichi Onigawa yang telah menyandera anaknya.

Ke Suruga? Hiroto tak begitu yakin. Suruga memang

tempat Seichi Onigawa dan keturunan murid bungsu lain.

Namun daerah itu terlalu jauh. Belum tentu Akimoto

dibawa ke sana. Bukankah Seichi Onigawa tak akan bodoh

membawa 'anak macan' ke tempat tinggalnya sendiri? Itu

sama artinya mengundang 'induk macan' untuk datang.

Tapi, Seichi Onigawa bukan orang sembarangan.

Kalaupun Hiroto menyantroni tempatnya, belum tentu

Hiroto bisa unggul menghadapi kehebatan lelaki itu. Jadi,

mestikah aku menyusul ke Suruga? batin Hiroto bertanya

bimbang kembali.

"Sebaiknya kau tunggu saja kabar dari lelaki keparat

itu!" Terdengar suara serak Tototo dari dalam kuil. "Kalau

tak salah. dia menginginkan sesuatu darimu. bukan?"

lanjutnya. "Tentu dia akan mengajukan persyaratan untuk

menukar anakmu dengan benda yang diinginkan itu!

Kenapa kau jadi terburu nafsu seperti itu?! Jangan terbawa

nafsu, akal sehatmu bisa tak berjalan!"

Mendengar ucapan Tototo, baru Hiroto sadar. Lelaki

aneh itu benar. Betapa bodohnya dia mengikuti hawa nafsu

sendiri. Bukankah lebih baik dia menunggu kabar dari

musuhnya. Selama Pedang Ekor Naga tetap di tangannya,

Seichi Onigawa tak akan berani melakukan apa-apa

terhadap Akimoto anaknya.

"Terima kasih, Tototo San!" seru Hiroto. Dia segera

beranjak. Baru empat langkah, dia berhenti lagi.

"Bagaimana dia bisa tahu kalau Seichi Onigawa

menginginkan sesuatu dariku?" bisiknya keheranan.

***

Andika alias Pendekar Slebor membuka penya-

marannya segera setelah Hiroto meninggalkan Kuil

Matahari. Ya, lelaki berwajah merah dan jelek itu memang

si pemuda urakan. Setelah Andika tahu dari samurai bekas

bawahan Hiroto bahwa Hiroto menuju kuil tua di

Yamashiro, anak muda sakti dari tanah Jawa itu pun

langsung menyusul. (Baca episode sebelumnya : "Geisha"!)

Di perjalanan, tanpa kesulitan otak seencer bu-bur bayinya

menemukan akal terang untuk membantu Hiroto tanpa

membuat harga diri ksatria Nippon itu terusik. Dia

menyamar! Ilmu menyamar yang pemah diturunkan oleh

Raja Penyamar padanya pun dipakai. (Tentang kisah tokoh

satu ini, bacalah episode : "Manusia Dari Pusat Bumi",

"Pengadilan Perut Bumi" dan "Cermin Alam Gaib"!)

Dengan mencari bahan-bahan penyamaran selama di

perjalanan, Pendekar Slebor akhirnya sampai dengan

penampilan lain di Kuil Matahari. Tepat saat Hiroto dalam

keadaan di ujung landuk.

Kalau si lelaki berwajah merah adalah Andika, lantas

siapa orang tua bungkuk bertoya. Sampai saat itu, Andika

sendiri tak sempat bertemu dengannya. Dia tiba setelah si

orang tua bungkuk sudah menghilang dari pekarangan

berilalang lebat Kuil Matahari.

Yang jelas. orang tua itu tidak membohongi Hiroto.

Memang benar pada saat Hiroto baru sampai di Kuil

Matahari. Seichi Onigawa, Delapan Samurai Merah, dan

orang-orang Imada-Tong lain sedang mengintainya di

dalam bangunan kuno tersebut.

Dan ketika Hiroto berlarung dengan Delapan Samurai

Merah, Seichi Onigawa kcluar melalui bagian belakang

bangunan. Rupanya ada rencana lain yang hendak

dijalankannya. Akimoto sendiri tidak terlihat dengan

mereka. Entah disembunyikan di mana bocah kecil itu.

Sepergian Hiroto, Andika mencoba memeriksa seluruh

bangunan Kuil Matahari. Keheningan mengungkung di

dalam sana. Hawa dingin merata di segenap penjuru

ruangan. Dengan menajamkan pan-dangan, anak muda itu

mencari-cari petunjuk di seluruh bagian gedung. Teliti dia

meneliti. Dan usaha itu akhirnya membawa hasil.

Andika menemukan secarik kain, tergeletak nyaris

tersamar oleh gelapnya sudut pedupaan kuil. Ia

mengenalinya sebagai sobekan pakaian Akimoto.

Kepala anak muda itu mengangguk-angguk. Hmm,

anak itu rupanya pernah dibawa ke sini," Gumamnya,

menyimpulkan.

Tangan Andika lalu meremas sobekan kain itu. Pada

telapak tangannya, terasa kelembapan pada kain.

"Ruangan ini tak tergolong lembab pada musim semi

seperti ini," bisik si anak muda dari tanah Jawa kembali.

Andika mencoba meyakinkan dugaannya. Dicipinya

rasa sobekan kain itu. Rasanya asin. Andika vakin kain itu

basah karena keringat Akimoto. Dengan belum keringnya

sobekan kain, otak encernya berkesimpulan cepat.

"Jadi tampaknya Akimoto belum lama dibawa pergi

lagi oleh Seichi Onigawa keparat itu dari tempat ini.

Masalahnya sekarang, kemana anak itu di bawa pergi?"

Rahang Andika mengeras, memperlihatkan garis-garis

kegeraman.

"Sial! Sobekan kain ini tetap tak memberi petunjuk ke

mana aku harus melacak manusia sial itu pergi!" rutuknya

merambat.

Pada saat itu. tiba-tiba saja mata setajam pandangan

elang si pendekar muda menangkap kelebatan bayangan

seseorang dari mulut lorong kuil sebelah timur.

Andika sigap menoleh siaga.

Sudah tak terlihat siapa pun lagi di sana. Tapi, Andika

tetap yakin, penglihatannya tak keliru. Dia jelas

menangkap kelebatan cepat melintas mulut lorong. Tak

bisa dia terus berdebat dengan diri sendiri. Dia harus

membuktikan.

Andika cepat memburu ke mulut lorong yang

dicurigainya. "Siapa pun orang itu, aku harus dapat me

ringkusnya lebih dahulu!" tekadnya.

***

2


Andika sampai di ujung lorong yang menyambungkan

ruang utama Kuil Matahari dengan ruang yang tampaknya

pernah digunakan sebagai kamar bagi para biksu. Dari

satu pintu yang sudah tak memiliki daun pintu lagi, Andika

masuk.

Ruang itu berantakan. Sama dengan bagian gedung

lain, sarang laba-laba merangas sembarangan. Dindingnya

sudah gompal di sana-sini. Ruangan berlantai batu dan

bertiang utama kayu ek itu menjadi ujung lorong. Mestinya

Andika mencmukan orang yang diburunya. Kenyataan yang

kini didapati justru bertolak belakang. Tak ada satu

manusia pun ditemuinya. Bahkan sekadar anak cecak

kesasar sekali pun... .

"Slompret! Ke mana orang tadi? Apa kelebatan

bayangan yang kulihat tadi cuma perasaan was-wasku

saja?" gerutu Andika scraya mcnghentak tangan ke dinding

kcsal.

Mulai menyembul keraguannya. Dia merasa dibodohi

oleh pandangannya sendiri. Andika hendak buru-buru pergi

dari tempat itu. "Apa gunanya lebih lama kalau yang

dilihatku tadi sekadar bayangan di kepalaku?" pikirnya.

Di lain sisi, kesadarannya mengingatkan. Ada

kemungkinan dia memang telah salah lihat. Tapi tetap tak

menutup kemungkinan bayangan yang dilihatnya memang

benar-benar seseorang.

Satu-satunya cara untuk menuntaskan keraguan itu,

Andika harus meneliti ruangan. Kalau benar

penglihatannya, tak mungkin orang bisa begitu saja

menghilang seperti dedemit kesiangan.

Andika mengurungkan niat untuk pergi Dimas ukinya

ruangan perlahan. Kewaspadaan tetap harus

dipertahankannya sebaik mungkin. Dia sama sekali tak

mau kecolongan.

Sambil terus melangkah satu-satu, matanya meneliti

petak demi petak lantai batu. Di tengah ruangan, matanya

menemukan keganjilan pada satu petak batu. Rongga

petaknya lebih lebar dari petak lain.

Bibir pemuda itu lantas menyeringai. Dia berjongkok.

Sebelumnya Pedang Pusaka Langit dilolos-kan terlebih

dahulu. Ruangan yang sebelumnya cukup gelap karena

jendela besarnya terganjal kayu lebar besar, kini menjadi

terang oleh jamahan sinar merah bara Pedang Pusaka

Langit. Dengan ujung pedang itu. Andika mendongkel petak

batu tadi.

Tanpa kesulitan, petak batu bulat persegi banyak

selebar tiga kaki itu terangkat Di bawahnya, Andika

menemukan lubang beranak tangga batu. Tepat di bawah

tanah gedung ini, rupanya ada ruangan lain. pasti dulunya

dijadikan ruang rahasia untuk tujuan tertentu. pikir Andika.

"Kubilang juga apa..." gumamnya, bangga pada

kejelian sendiri.

Setelah memasukkan Pedang Pusaka Langit kembali

ke sarungnya, Andika memasuki lubang itu. Sekitar

delapan puluh anak tangga melingkar dilalui anak muda

itu. Dan ditemukannya ruangan besar terang benderang

oleh lampion-lampion* yang tergantung di sepanjang

dinding. Atapnya tinggi, hingga memungkinkan ruangan itu

tetap sejuk. Sementara di beberapa bagian atas dinding

terdapat lubang-lubang keluar-masuk udara.

Berbeda dengan ruangan-ruangan di atas, tempat ini

justru begitu terpelihara. Lantai pualam nya saja bahkan

begitu bersih, seolah selalu basah oleh genangan air. Di

tcngah-tengah ruangan, Andika melihat seorang lelaki tua

bungkuk. Orang itu duduk bersila bersemedi. Di depan

kakinya tergeletak toya panjang.

Dari wajah orang tua itu, anak muda sakti tanah lawa

itu mendapati ketenangan penuh. Bertolak belakang

dengan parasnya, di kedua sudut bibir berkeriput itu

Andika malah menyaksikan rembesan darah kehitaman.

Andika cepat menyimpulkan. Lelaki tua bungkuk itu

yang telah dilihatnya melintas sekilas. Dan dia sedang

terluka dalam. Semedinya kini mungkin untuk memulihkan

tubuhnya kembali.

Andika tak mau mengusik. Sengaja dia menurunkan

tubuh ke sudut dinding. Dia duduk di sana, memeluk lutut.

Ditatapinya terus lelaki tua itu. Memang menurut

pengamatannya, tak ada kesan keji pada wajah si tua.

Biarpun begitu, tak ada salahnya dia tetap menjaga

kewaspadaan.

Lewat sepeminum teh kemudian, si kakek bungkuk

mendadak bergerak. Tubuhnya mencelat ke atas

bersicepat dengan sambaran langannya pada toya. Di

udara dia berputar beberapa kali menuju Pendekar Slebor.

Andika tersentak. Dia menangkap kecepatan gerak

luar biasa si kakek bungkuk. Karenanya dia cepat bangkit.

Sekerdip berikutnya, dia harus menahan hantaman toya

kakek bungkuk tadi dengan lecutan kain pusakanya.

Cletar! Tak!

Andika memperhitungkan toya penyerangnya akan

lerpenggal menjadi dua dengan tenaga dalam yang telah

disalurkannya melalui kain pusaka bercorak catur.

Perhitungannya ternyata tak c ukup jitu. Bukannya terpatah

dua, toya itu justru menyentak balik kain pusaka Pendekar

Slebor. Tak hanya itu. Tangan Andika pun mendapat

sentakan seketika. Nyeri berdenyar, seperti baru saja

disengat sesuatu. Wukh!

Kekagetan Pendekar Slebor dibayangi oleh kelebatan

susulan. Kakek bungkuk berpakaian seorang samurai

tempo dulu telah mengayunkan ujung toya yang lain ke

kaki Pendekar Slebor.

Andika melompat, menyelamatkan tulang kakinya dari

hantaman toya lawan. Di udara, dia dikejar lagi oleh

putaran cepat toya tadi.

Wukh wukh!

Pada saat seperti itu, Pendekar Slebor sudah tak bisa

lagi membuat gerakan menghindar ke mana-mana.

Kalaupun masih mungkin, tetap saja bahunya akan

tersambar ujung toya si samurai tua.

Pendekar Slebor tak ingin terjepit dalam gebrakan

awal. Dengan lincah. dibentangkannya kain pusaka dengan

sepasang tangan, tepat di depan arah gerak toya lawan.

Tak!

"Wou!"

Untuk pertahanan yang terpaksa itu, Pendekar Slebor

harus sudi menerima akibatnya. Dorongan tenaga toya

lawan terlalu kuat untuk dijegal dalam kea-daan terjepit.

Apalagi saat itu Pendekar Slebor tak memiliki pertahanan

untuk jejakan kuda-kudanya

Tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang.

Tembok tiga tombak di belakang langsung terhantam

punggungnya. Meski begitu, Pendekar Slebor terny-ta

punya kejutan juga untuk lawan. Sewaktu toyanya beradu

dengan kain pusaka, dengan kecepatan kilat gerak tangan.

dililitkannya kain itu di ujung toya.

Begitu kuatnya belitan itu. hingga ketika tubuh

Pendekar Slebor terlempar ke belakang toya itu pun ikut

terbawa. Dengan sedikit menambahkan sentakan pada

kain pusaka, Andika berhasil merebut toya tadi dari tangan

pemiliknya!

"Ufh, jangan salah paham, Kakek Galak! Tentu saja

aku bukan pencuri toya!" tukas Andika dengan senyum

maha lebar. Sakit sedikit di bagian punggung akibat

benturan pada dinding. tak sudi dirasakannya. Yang

penting, dia sudah berhasil mendapatkan toya lawan.

Si orang tua bungkuk tampak demikian gusar. Mata

kelabunya yang berkelopak sempil makin menyempit saja.

Terdengar geramnya. Setelah itu, dia malah terbatuk-batuk.

Dari mulutnya tersembur da-rah hitam kekentalan.

Tentu saja pcngerahan tenaga dalam saat menycrang

Pendekar Slebor mcnyebabkan luka dalamnya kambuh

kembali. Mungkin sekali ini akan lebih parah kalau dia

terus ngotot menyerang Pendekar Slebor.

"Sudahlah, Kck! Kenapa kau memaksakan diri! Aku

pun sebenarnya tak berniat memusuhimu.... Kenapa kau

begitu ngotot ingin menghajarku?" kata Andika, mencoba

menyabarkan si orang tua bungkuk ketika orang tua itu

mulai hendak menggebrak lagi.

"Kau tampaknya orang asing. Mau apa kau ke tempat

ini? Apa kau salah seorang antek-antek Seichi Onigawa?"

Andika cepat menggeleng. Disodorkannya toya di

tangan. Si kakek bungkuk sejenak ragu menerima „

tawaran persahabatan itu. Namun diambil juga akhirnya.

"Aku datang dari jauh. Anak sahabat yang kukunjungi

di negeri ini telah diculik oleh orang yang namanya baru

kau sebutkan tadi," Andika menjelas-kan.

"Maksudmu Seichi Onigawa?" Kakek bungkuk

kelihatan terperanjat.

"Yak, lelaki itu penculiknya!"

"Tunggu dulu." tahan kakek bungkuk seraya

mendekap dadanya. Mungkin dia mcrasakan nyeri yang

mulai menyerang kembali.

"Apakah kau orang asing yang diributkan mereka?"

tanyanya seperti bertanya pada diri sendiri.

Andika mcmbcrengut. Dia tak jelas menangkap

maksud perkalaan orang tua di depannya.

"Apa maksudmu, Kek?"

"Delapan Samurai Merah, para ketua Imada-Tong,

mereka mencarimu! Bukankah kau sahabat Hiroto?!"

Sekali ini Andika terkejut. "Hei, bagaimana Kakek bisa

kenal dengan Hiroto?" sergahnya dengan paras tak

mengerti.

Kakek bungkuk tak segera menjawab. Itu

menyuburkan rasa penasaran Andika. Anak muda dari

negeri jauh itu ingin mendesaknya. Tapi urung dilakukan

ketika orang tua tadi terbatuk-batuk mengeluarkan darah

kehitaman kembali.

"Ah, kau tentu terluka dalam, Kek! Biar aku bantu!"

pinta Andika.

Kakek bungkuk mengibas tangan di udara. Wajahnya

tetap mencerminkan kekerasan untuk tidak mengharapkan

pertolongan siapa pun.

"Aku bisa mengobati luka dalamku sendiri," tolaknya

dengan wajah masam. "Aku tak akan jadi begini kalau kau

tak muncul!" gerutunya, menambah-an.

Pendekar Slebor angkat bahu. Mana bisa dia

disalahkan begitu saja. Sudah jelas kakek bungkuk itu

telah menyerangnya terlebih dahulu. Dengan mengerahkan

tenaga pada saat pemulihan, tentu mengakibatkan

kekambuhan. Biar tak merasa bersalah, tetap Andika

menganggap tak ada gunanya mendebat orang tua itu.

Mungkin sifat keras kepalanya lebih keras dari sifat Andika

sendiri.

"Baik kalau memang itu maumu. Tapi, mungkin kau

mau mengatakan padaku, lelaki sial mana yang telah

membuatnya seperti itu?" Andika sengaja mengucapkan

kata 'lelaki sial' dengan wajah yang dipasang segeram

mungkin. Supaya simpati si kakek tua terpancing. Dengan

begitu, tentu dengan suka rela si kakek bungknk keras

kepala akan mengatakan siapa yang telah melukainya.

Pancingan Andika mendapat hasil. Berkawal geraman

serak, kakek bungkuk menyebutkan nama seseorang yang

telah melukainya.

"Seichi Onigawa! Pecundang laknat itu yang

inembuatku begini!"

"Hm, sudah kuduga," bisik Andika dalam hati. Sampai

di situ, Andika dipaksa tertawa tertahan. Masalahnya, bibir

kakek bungkuk menjadi manyun. Begitu bencinya dia

dengan Seichi Onigawa tampaknya.

Lalu kakek bungkuk tertatih kembali ke batu di lengah

ruangan. Baru melangkah tiga tindak, tubuhnya terhuyung.

Dia hampir saja jatuh.

Jangan bilang itu tak mengganggu perasaan Andika.

Tentu saja pemuda kepala batu namun tetap berhati

bening itu bergegas mendekati. Hendak dipapahnya kakek

bungkuk. Belum lagi tangannya sampai, si kakek bertoya

sudah menggebrak lantai dengan senjatanya.

'Tak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!" hardiknya

pada Andika dengan mata mendelik.

Andika meringis. “Jompo slompret!” Cibirnya dalam

hati, dongkol setengah mati.

***

Pekerjaan apa yang lebih menjenuhkan dari

menunggu? Andika tampaknya tak bisa menghindar dari

hal itu. Lebih dari empat jam anak muda itu menunggu

orang tua yang belum lagi diketahui namanya.

Tanpa bisa menyumpal mulutnya untuk tidak

menggerutu, Andika dudukbersandardi dinding. Tepat di

bawah satu lampion besar. Satu kakinya dijulurkan begitu

saja. Sementara kaki yang lain dilipat untuk tumpangan

tangan. Sesekali dia mengetuk-ngetuk lantai, mencoba

mengenyahkan kejenuhan.

Lewat empat jam, barulah kakek bungkuk tadi mulai

bergemik dari semadi khusuknya. Andika lega. Rasanya dia

baru saja terbebas dari rantai sebesar telapak anak

dedemit yang membelitnya.

"Bagaimana, Kek?" tanya Andika setelah berge¬gas

mendekati lelaki tua bungkuk itu.

"Bagaimana apa?" sungut kakek bungkuk.

Tolong terangkan padaku, ke mana Seichi Onigawa

membawa Akimoto?"

Kakek bungkuk mencibir. "Kau pikir aku tahu?"

ucapnya tak sedap.

"Aku yakin kau tahu. Bukankah kau mendengar setiap

pembicaraan mereka ketika semuanya masih ada di kuil

ini?" desak Andika. Dia berusaha menahan kesabaran,

meski jakunnya sudah turun-naik menahan dongkol.

"Dari mana kau tahu aku bisa mendengarkan

pembicaran mereka dari tempat ini?" Kakek bungkuk

makin berbelit-belit.

"Bukankah kau juga yang bilang tadi kalau kau

mendengar percakapan Delapan Samurai Merah yang

penasaran ingin menjajal ilmu bela diriku?"

"O, iya aku lupa. Maklum saja aku sudah tua." "Kalau

begitu kau tentu dengar mereka mengatakan satu tempat

yang mungkin ke sana Akimoto dilarikan."

Kakek bungkuk terdiam. Wajahnya terlipat ketat,

makin membuat tebal kerut wajahnya. Dia sedang

mengingat-ingat sesuatu.

"Rasanya aku ingat sekarang...."

"Bagus! Tolong katakan padaku ke mana Akimoto

dilarikan?" tegas Andika.

"Tapi, apa kau tak mau tahu kenapa aku bisa terluka

oleh Seichi Pecundang itu?" Kakek bungkuk kembali

mementahkan jawaban yang begitu Andika harapkan.

Andika geleng-geleng kepala. Semalam saja aku

bersama orang tua ini, bisa rontok seluruh rambutku

karena jengkel! Serapahnya membatin.

"Tapi yang kubutuhkan adalah keterangan ke mana

Akimoto dilarikan," Andika mulai sengit. Nada suaranya

agak menanjak.

"Jadi kau marah padaku, ya?!" Dengan tak kalah

sengit. kakek bungkuk mendongak. dipelototinya Andika

dengan susah payah. Bagaimana tidak susah payah kalau

kelopak matanya saja sudah begitu sempit.

Baik-baik!" putus Andika tetap dibayangi kedongkolan

meletup-letup. Terpaksa dia menuruti kemauan orang tua

itu.

Kakek bungkuk menimang-nimang toyanya. Andika

menunggu dengan wajah terlipat. Kakinya tak bisa diajak

diam. Anak muda itu terus mondar-mandir di depan kakek

bungkuk.

"Asal kau tahu. aku bukannya gampang dikalahkan

oleh si Pecundang Seichi," mulai kakek bungkuk akhirnya.

"Tapi tampaknya Kojiro sudah berhasil menyempurnakan

kesaktian yang didapatnya dari ne-geri asing...." •

"Siapa Kojiro? Kenapa sepertinya kau malah jadi

ngawur, Kek?" potong Andika sambil menghentikan

langkah gelisahnya.

Kakek bungkuk memelototinya lagi. Andika diam. Dia

memang harus diam kalau ingin mendapatkan keterangan

yang diinginkan. Memang agak apes nasibnya hari ini!

"Kojiro adalah kakek si Pencundang Seichi. Sewaktu

mudanya dia menuntut ilmu di negeri orang, entah di

negeri mana. Ilmu itu tergolong ilmu sesat. Dipelajarinya

juga ilmu itu sekadar untuk memerangi keluargaku."

"Ah, kau makin ngawur saja, Kek! Sekarang, apa

hubungannya bocah yang hendak kuselamatkan dengan

dirimu? Dan apa gunanya aku mendengarnya? Ini sama

artinya melakukan hal yang sia-sia!" potong Andika sekali

lagi. Wajahnya sudah mematang dibakar kekesalan. Ingin

rasanya dia meruntunkan sumpah serapah pada orang tua

bungkuk itu. Tapi, kalau Andika takut kalau dia salah ucap

orang tua itu tak mau mengatakan ke mana Akimoto di

bawa. Wuh, serba salah...

***

3


Saat itu di sebuah wilayah di dekat perbatasan antara

propinsi Kyoto dengan Yamashiro, seorang memacu

kudanya dalam kecepatan menggila. Di depannya ada

tubuh kecil terjuntai yang terikat ke pelana.

Orang itu demikian bernafsu melecut binatang

kendaraannya, seolah ada sesuatu yang diburu. Kuda

tunggangan hitam mendengus-dengus menghempas

kepulan uap dari moncongnya. Sesekali kuda itu meringkik

terkena lecutan tali kendali.

Dalam jarak lima belas to.jibak dari lari kuda, debu

terbangun tinggi. Mengapung beberapa lama di udara, lalu

perlahan turun kembali.

Penunggangnya adalah seorang lelaki berpakaian

seorang samurai. Rompi panjangnya berwarna hijau tua

sedang dalamannya berwarna merah. Rambutnya tak

begitu panjang. Bagian belakangnya dikuncir. Sedangkan

rambut pada bagian kening dipangkas tinggi hingga licin.

Wajahnya terlalu beringas. Dengan sudut bibir yang terus

saja terungkit ke atas, seakan tak henti menyeringai.

Hidungnya agak melengkung seperti paruh burung. Sedang

matanya diliputi kekejaman, apalagi dengan alis mata yang

nyaris tersambung satu dengan yang lain.

Lelaki inilah Seichi Onigawa. lawan besar Hiroto yang

menginginkan Pedang Ekor Naga diserahkan padanya

sebagai satu kebanggaan sekaligus simbol kehormatan

keluarga besar keturunan Murid Sulung Sensei Pedang

Ekor Naga. Bagi Seichi Onigawa, darah boleh ditumpahkan

sampai terkuras, nyawa boleh terlepas, asal pedang

pusaka itu bisa didapatkan.

Sementara kenyataannya, Seichi Onigawa tidak hanya

bernafsu memiliki Pedang Ekor Naga. Ada nafsu lain yang

lebih jahat terselip di dalam hatinya. Nafsu untuk

menghabisi setiap keturunan Murid Bungsu!

Nafsu itu tak bisa dipadamkan andai dia telah

mendapatkan pedang pusaka yang diinginkan. Dan selera

keji untuk membunuh si bocah kecil, Akimoto pun

menjalari benaknya.

Sebuah rencana telah disusunnya agar bisa

mendapatkan Pedang Ekor Naga, sekaligus menyingkirkan

Hiroto dan anak satu-satunya. Rencana rahasia yang bukan

cuma begitu malang direncanakan. Tapi juga butuh waktu

bertahun-tahun untuk menjalankannya!

Rencana apa gerangan?

Kuda Seichi Onigawa terus terpacu jalang, melintasi

daerah kering. Sampai satu tepian lembah yang banyak

ditumbuhi Sakura, seseorang menjegat lari kudanya.

"Berhenti kau Seichi Onigawa!!" Seichi Onigawa

menyaksikan seorang berpakaian ninja berdiri menantang,

sembilah depa dari tempat kudanya berhenti. Kedua

tangannya bertolak pinggang. Seichi menyangka orang itu

adalah salah satu anggota Imada-Tong, orang-orang

bayarannya.

"Ada apa?! Apa markas kita telah berhasil diketahui

musuh?" tanyanya tegang terburu.

Si penghadang tertawa. Suaranya terdengar lebam

terhalang topeng kain hitam.

"Aku bukan jenis orang-orang yang mengabdikan diri

pada uang, Manusia Laknat!" benta ksi penghadang-

Nadanya menanjak, menohokkan kebencian.

Barulah Seichi Onigawa menyadan orang di depan

bukan berada di pihaknya. Pakaian ninja yang dikenakan

mungkin cuma untuk menutupi jati dirinya. Siapa dia?

Kenapa harus mengenakan pakaian tertutup itu? Tanya

hati Seichi Onigawa.

"Menyingkir dari jalanku!" berang Seichi Onigawa.

Orang berpenutup wajah menggeleng tegas. "Kau

hanya akan kuizinkan lewal jika kau menyerahkan anak itu

padaku!" tandasnya mantap.

Mata Seichi Onigawa menajam. Seperti ada garis

sembilu di sepasang bola mata lelaki bengis itu.

"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuatanmu,

kukatakan sekali lagi..., menyingkir dari jalanku!!"

bentaknya lebih mirip menggeram.

"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuataanmu,

kukatakan sekali lagi..., serahkan anak itu padaku!" tiru

orang berpakaian hitam, mengejek.

"Keparat! Heaaa...!"

Mendadak Seichi Onigawa menghentak kuda

tunggangannya. Kuda jantan gagah itu meringkik teramat

keras. Sentakan kaki Seichi Onigawa pada per utnya terlalu

mengejutkan. Dia menjadi binal. Dua kaki depannya

terangkat tinggi siap menendang apa pun di depannya.

"Hieeiii...!"

Seichi Onigawa tampaknya mahir dalam keahlian

menunggang kuda. Kepanikan kudanya tak membuat lelaki

itu terlempar jatuh. Justru dengan begitu dia hendak

memanfaatkan keadaan.

Cukup dengan sekali gebahan lagi, kuda yang

hcrubah liar itu melaju ke depan. Memburu, mendengus-

dengus dan mengancam. Siap menginjak-injak

penghadang di depan!

Orang berpakaian hitam tak ingin melakukan

kebodohan. Tak dibiarkannya kuda perkasa itu

menginjaknya. Dengan tangkas dia melempar tubuh

kesamping. Tepat ketika kuda melewatinya, satu tangan

orang itu meloloskan pedang pendek dari kaki. Untuk

melakukan hal itu, diperlukan ketrampilan permainan

pedang pendek yang trampil. Di samping karena

keadaannya tidak menguntungkan, juga karena di depan

Seichi Onigawa ada tubuh seorang bocah. Salah-salah,

justru bocah itu yang tersayat. Tapi, orang berpakaian

hitam tak tampak kesulitan melakukannya. Sat!

Satu tebasan dibuatnya ke arah lambung Seichi

Onigawa. Pada saat yang bersamaan. Seichi Onigawa pun

punya pikiran untuk membabat lawan dengan samurai

yang sebelumnya diloloskan.

Trang!

Terjadi benturan keras dua senjata masing-masing.

Bunga api terpercik, lalu tersamar di bawah hujanan sinar

matahari siang.

Kuda tunggangan Seichi Onigawa dihentikan tuannya.

Sememara orang berpakaian hitam sudah bangkit tangkas.

Matanya menatap siaga ke arah lawan, menyiagakan

serangan berikutnya.

"Aku bukannya takut mcnghadapimu. Bukan ke-

biasaanku melarikan diri. Asal kau tahu, suatu saat nanti

kau akan berhadapan denganku lagi. Saat itu, kau akan

kchilangan nvawa di tanganku. Kupastikan itu!" ancam

Seichi Onigawa. Setelah itu dia menggcbah kudanya

tergesa. "Hushaaa!"

Apa pun alasan lawan, orang berpakaian hitam tak

sudi membiarkan lawan menyingkir begitu saja. Tahu kalau

Seichi Onigawa hendak menyingkir, tangannya masuk ke

dalam bagian dalam pakaian, bersicepat dengan setiap

langkah kuda. "Hih!" Sing..!

Empat-lima pisau kecil sepanjang jari tangan

berterbangan ganas ke udara. Lima bagian tubuh berbeda

Seichi Onigawa hendak dijadikan sasaran. Benda-benda

tajam dari logam itu seperti memiliki mata sendiri.

Kalau menilik keadaan Seichi Onigawa saat itu yang

sedang sibuk menggebah kuda tunggangannya, sepertinya

dia akan kesulitan untuk mengenyahkan serangan senjata

rahasia tadi. Seichi Onigawa tidak demikian. Padat kesan

meremehkan, diputarnya samurai di belakang tubuh dari

atas kepalanya. Itu dilakukan tanpa menoleh pula. Trang!

Trang! Traaang!

Hasilnya, seluruh senjata rahasia yang siap

mcngganyang rontok saat itu juga.Tinggal orang

berpakaian hitam mendengus geram ketika kuda Seichi

Onigawa terus menjauh meninggalkannya.

***

"Hei, bangun kau?!"

Andika tersentak bangun. Matanya yang belum lagi

siap menerima cahaya ditusuk oleh terang-benderang

lampion-lampion dalam ruangan. Dia mengerjap-ngerjap

sebentar, mencoba mencari tahu di mana dia kini. Setelah

itu si anak muda dari Lembah Kutukan menyadari kalau

dirinya masih di dalam ruang rahasia bawah tanah Kuil

Matahari.

Tolol, kenapa kau jadi ketiduran?!" maki kakek

bungkuk, sudah bertolak pinggang di depan hidung Andika.

Tertidur. Ya, Andika ingat sekarang. Dia telah tertidur

selagi menunggu kakek bungkuk bersemedi. Rasa letih

yang merongrongnya setelah perjalanan jauh membuatnya

matanya tak bisa diajak berdamai lagi. Ditambah lagi

dengan hawa sejuk yang terus saja mendayu-dayu dalam

ruangan.

Andika terburu bangkil.

"Kau sudah selesai bersemedi, Kek?" tanya An¬dika

berbasa-basi. Sebenarnya, dia jadi agak malu hati.

"Kalau saja kau salah seorang muridku, akan

kupanc ung saat ini juga kau!" sembur kakek bungkuk

sengit. "Apa kau tahu, dalam keadaan teraman sekali pun,

kau tak boleh kehilangan kewaspadaan!"

Mendapat semburan sepedas sambal janda kembang

itu, wajah Andika memerah bukan main. Apa-apaan dia

mengomeliku begitu rupa? Muridnya bukan, cucunya

bukan! Rutuknya dalam hati.

Andika baru hendak menyengiti kembali makian itu.

Sebelum mulut ceriwisnya 'menyanyi', kakek bungkuk

malah menyodorkan sesuatu padanya. "Ini...."

"Apa ini?" tanya Andika bingung. Diterimanya juga

benda sejenis kertas gulungan itu.

"Bukankah kau tadi mau tahu markas Seichi

Pecundang itu!"

"Ooo," Andika menyorongkan mulut bulat-bulat. Kalau

ada ikan mujair besar, bisa-bisa dia dianggap pawangnya.

Sekarang dia mengerti apa yang diberikan kakek bungkuk.

Pasti semacam peta, duga-nya yakin.

"Ini peta, bukan?" tanya Andika, ingin meyakinkan diri.

"Kalau sudah tahu, kenapa kau tak segera menyingkir

dari tempat ini!"

"Baik! Baik!" Andika runyam. "Lagi pula, siapa yang

mau lebih lama bersama orang tua sesial kau!" rutuknya

sebal tak alang kepalang.

Setelah menjura segan-segan, Andika meninggalkan

ruang bawah tanah Kuil Matahari itu.

"Terima kasih untuk keterangannya!" ucapnya di anak

tangga tanpa menoleh. Kalau bisa dia malah mau tak

mengucapkan terima kasih.

Di balik dinding tangga melingkar, tubuh tegap anak

muda itu menghilang. Belum lama kepalanya muncul lagi.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu, Kek?" tanyanya

sambil merunduk menjulurkan kepala. Senyumnya

sekarang mengembang. Biarpun terlihat belum begitu

ikhlas, tapi masih terbilang lebih ramah ketimbang ringisan

kerbau.

Kakek Bungkuk mendengus.

"Apa perlunya kau mengetahui namaku?!" cibir-nya

menyebalkan Andika.

"Kalau suatu hari kita bertemu, aku toh tak perlu

memanggil kau dengan 'hei kakek bungkuk'! Atau 'hei

orang tua besar adat'! Atau...."

"Ah. cukup!" penggal kakek bungkuk. Tahu dirinya

bakal jadi bulan-bulanan bibir ceriwis pemuda asing itu, dia

cepat-cepat menyebutkan namanya.

"Yoshioka!" teriaknya.

"Apa itu?" Andika berpura-pura. Juluran kepalanya

makin memanjang. Wajahnya dibuat kebodoh-bodohan.

Sepantasnya aku membalas perlakuan menyebalkan

kakek slompret ini, geli Andika dalam hati.

"Namaku, tolol!"

"O, jadi Yoshioka aku harus memanggilmu. KaIau

begitu aku pamit dulu...," Andika melambaikan tangan.

Kepalanya menghilang di balik dinding anak tangga

kembali.

"Sampai berjumpa lagi 'orangtua besar adat'!"

lerdengar teriakannya bergema ke segenap ruangan.

Diikuti gelak tawanya yang tersedak-sedak.

Kakek Yoshioka mendengus, dan mendengus dan

mendengus lagi....

***

Andika tiba di satu daerah yang masih termasuk

piopinsi Yamashiro. Tepatnya di pinggiran sebuah hutan

bambu kuning yang memanjang di sebelah lenggara.

Menurut peta yang didapat dari Kakek Yashioka. di tengah

hutan bambu kuning itulah berdiri markas Seichi Onigawa.

Sejauh mata memandang, yang Andika lihat cuma

bilah-bilah batang bambu. Menjulur liar bagai sehimpun

tangan-tangan asing berwarna kuning. Kalau diperhatikan

memang c ukup memikat. Warna kuning bambu yang

batangnya tipis agak mengkilat ditempa sinar mentari,

berpadu dengan kehijauan daunnya. Tapi, ketika Andika

mulai masuk ke dalam dan lebih ke dalam, mulai meruyak

kesan keangkerannya. Ibarat seorang peri cantik yang

menyimpan kekejaman pada kecantikannya!

Sekitar sejam perjalanan, Andika sampai di dekat satu

air terjun kecil yang bersambung dengan sungai bening

dangkal berbatu. Air terjun berasal dari semacam bukit

batu kecil yang nyaris dipenuhi pepohonan rambat.

Lebarnya lebih dari empat tombak.

Di tempat itu, tepian sungai tidak lagi ditumbuhi

bambu kuning. Ada beberapa jenis pepohonan semak

tumbuh di sana. Semula Andika tak begitu tertarik dengan

tetumbuhan di tepi sungai itu. Matanya justru meneliti ke

bagian lain.

Ketika matanya menemukan ada bagian yang

mencurigakan, barulah Andika mulai tertarik. Pada satu

bagian sesemakan di sisi sungai terlihat tumbuh tak wajar.

Batang-batangnya rebah ke tanah. Dedaunannya sebagian

mati. Andika mendekat ke bagian itu.

"Hm, bagian ini tampaknya sering dijadikan jalan

setapak," nilainya jeli.

Andika mencoba mengikuti jejak jalan setapak yang

tampaknya berumur belum begitu lama itu. Anak muda itu

yakin benar, jalan setapak itu dibuat oleh orang-orang

Seichi Onigawa.

Pemuda dari tanah Jawa itu mengikuti jalan setapak

yang mengikuti pinggiran sungai. Semakin diikuti, Andika

dibawa kian dekat ke arah air terjun. Tepat di depan

luncuran air sungai dari semacam bukit itu, jejak yang

ditelurusinya buntu. Jalan setapak itu terhadang oleh bukit

batu amat curam berlumut. kecuramannya tegak lurus.

Sementara lumut yang lumbuh di sana membuatnya begitu

licin. Hampir tak mungkin dinding batu itu untuk didaki.

Andika dipaksa garuk-garuk jidat.

Ke mana perginya orang-orang yang telah membuat

jalan setapak ini? Apa mereka sejenis dedemit hutan

bambu yang bisa menelusup ke dalam dinding batu?

"Tak mungkin...," cibir Andika. "Jadi ke mana. ya?

Slompret sekali!"

Andika mencoba memutar otaknya. Sambil memutar-

mutar otak, matanya jelalatan ke sekitar. kalau mereka ke

kiri dinding batu, tentunya mereka tetap akan

meninggalkan jejak karena di bagian itu semak masih

tumbuh. Sementara di bagian kanan dinding batu hanya

ada badan sungai.

"Ei. tunggu dulu!" Andika berdesis. Rasanya dia mulai

menemui titik terang di benaknya.

Matanya lalu tertuju pada sungai. Sungai itu cukup

dangkal untuk dilalui, meski aimya deras. Untuk

menyebcranginya, scseorang tak memcrlukan perahu atau

rakil. Sudah pasti mereka melalui sungai. Itu sebabnya

jejak di semak menjadi buntu!

Tapi apa mungkin mereka hanya ingin menyeberangi

sungai'.' Bukankah kalau hanya ingin menyeberang mereka

bisa melakukannya jauh sebelumnya? Tanpa perlu

membuang waktu melintasi pinggiran sungai sampai ke

depan air terjun?

Air terjun! Hati Andika seperti melonjak. Dia makin


4


Di sini rupanya sarang begundal-begundal sial itu!

Kepalan tangan Andika mengeras. Sudah saatnya dia

sedikit melemaskan otot-ototnya. Setidaknya buat

mengggebuki orang-orang Imada-Tong nanti. Termasuk

juga Seichi Onigawa.

"Tunggu saja kalian!" ancamnya membatin. Sudah tak

sabar rasanya anak muda itu membuat ubun-ubun mereka

benjut, atau membuat pipi mereka bonyok. Masalahnya,

Andika paling benci pada setiap tindak pengecut. Seperti

penculikan seorang anak tak berdosa untuk mencapai

tujuan.

Krak! Krak!

Andika meletakkan jari-jemarinya. Dia siap

menggenjot badan ke air terjun. Niat tersebut urung begitu

telinganya menangkap desiran halus namun ramai dari

ubun-ubun bukit batu berair terjun.

Wrrr!

Gesit anak muda sakti itu mendongak. Di atasnya,

sebentang jala lebar dari baja siap meringkus! Pemuda

bersandang nama besar Pendekar Slebor itu lak

kehilangan kesempatan untuk meloloskan diri.

Memang luncuran jaring baja di atas sana cepat. Tapi

lesatan tubuh Pendekar Slebor jauh lebih cepat. Pyrrr!

Jaring lebar dari baja berbandul baja pula tak berhasil

memperdayai Pendekar Slebor. Benda itu ambruk begitu

saja di pinggiran sungai.

"Kutu kontet! Apa dikiranya aku anak kemarin sore

apa?!" rutuk Pendekar Slebor, sudah berdiri di tengah-

tengah sungai pada sebuah batu yang mencuat di atas

permukaan sungai. Tangannya bertolak-pinggang, seolah

negeri Nippon itu mbahnya yang punya.

Baru sempat menarik napas dua tarikan, datang lagi

serangan susulan. Sekali ini bukan cuma hendak

melumpuhkan Pendekar slebor. Lebih dari itu, tamu tak

diundang dari negeri luar itu hendak dilempar ke neraka!

Andika menyaksikan bagaimana dinding bukit batu

berair terjun yang menjulang di depannnya memuntahkan

puluhan bahkan ratusan senjata dalam bentuk beragam.

Setidaknya ada dua puluh lembing, tiga puluh pisau

terbang, dan lebih dari lima puluh anak panah tiba-tiba

mencelat dari lubang di dinding bukit batu. Scmuanya

menyerbu membawa suara riuh rendah. menyumpal

seluruh ruang gerak Andika hingga sejauh belasan depa!

Dengan mata agak membelalak ngeri. Andika sekelebatan

menyaksikan ratusan benda lajam itu bagai binatang-

binatang mengerikan memenuhi udara. Dan kelebatan

berikutnya, dia harus bersicepat mengerahkan segenap

kemampuan peringan tubuhnya.... "Hhiaaa...!"

Beriring teriakan menggetarkan permukaan sungai

dan bukit batu, tubuh pemuda buyut pendekar Besar -

Pendekar Lembah Kutukan itu memburu ke belakang.

Hanya arah itu satu-satunya pilihan tepat untuk

menyelamatkan diri. Itu pun kalau dia mampu lebih cepat

dari hujanan benda-benda tajam di belakangnya.

Sebenarnya, bisa saja Andika tak beranjak dari lempat

semula. Cukup dia meloloskan kain pusaka dan Pedang

Pusaka Langit sekaligus lalu memutar keduanya

bersamaan. Bermodal tenaga dalam, tindakan itu bisa

membentangkan benteng tak tertem-bus di depannya.

Kalau sekarang anak muda itu melakukan tindakan

yang agak merepotkan, sudah pasti ada satu rencana licin

di balik batok kepalanya itu....

Apa benar begitu?

Sulit untuk dipercaya, ketika tiba-tiba saja teriakan

berikutnya meledak dari kerongkongan Pendekar Slebor.

Teriakan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Lolongan itu

seperti suara orang meregang nyawa.

"Wuaaa!"

Selanjutnya tubuh yang sedang meluncur tadi

terjerembab di permukaan sungai. Setelah terseret arus

sebentar. tubuh pemuda itu terjegat oleh bongkahan batu

besar di tengah sungai. Pada bagian punggung pemuda itu,

menancap tiga batang anak panah!

Cukup lama arus sungai mempermainkan tubuh tak

bergerak Pendekar Slebor. Sampai akhirnya dua belas

lelaki berpakaian hitam-hitam muncul dari ubun-ubun bukit

batu. Selincah kera mereka menuruni dinding bukit yang

tegak lurus dengan meng-gunakan tali-temali.

Tiba di tanah, mereka berjajar membentuk barisan

teratur. Sebagian berdiri di sungai. Ada kesan mereka

hendak membentuk pagar betis. Masih dengan berbaris,

mereka lalu melangkah menuju tubuh Pendekar Slebor

terkulai. Kentara jelas bagaimana mereka dididik untuk

tetap hati-hati meski lawan diperkirakan sudah tak

bernyawa lagi.

Di dekat tubuh Pendekar Slebor, barisan mereka

berubah. Kedua belas lelaki berpakaian ninja itu kini

membentuk kurungan di sungai, mengelilingi tubuh

Pendekar Slebor yang tertelungkup di sisi batu besar.

Semuanya mengawasi waspada. Tak perlu memakan

waktu lama mereka melakukan itu. Sebab mereka

langsung menemukan ada satu ketidak beresan.B

agaimana mungkin orang yang tertembus anak panah

tidak mengeluarkan darah? Masing-masing

mcnggumamkan kecurigaan dalam hati.

"Menyingkir! Kita telah ditipu!" seru salah seorang dari

mereka seketika. Menyadari kalau mereka kini berganti

masuk perangkap yang dibuat si tamu tak diundang.

Sayang semuanya sudah terlambat bagi kedua belas

anggota Imaga-Tong itu. Begitu mereka menyebar,

Pendekar Slebor kontan bangkit lebih cepat dari gerak

menerkam seekor singa lapar.

"Hiahuhuuu...!" teriak anak muda itu seperti bocah

gendeng baru dapat jajan. Kimono pemberian Hiroto

menebarkan percikan air ke mana-mana, membuatnya

lebih mirip sebagai makhluk pemakan manusia dari dasar

sungai! Di tangannya tergenggam tiga batang anak panah.

Rupanya punggungnya tak pernah tertembus benda-benda

tajam itu.

Sewaktu dia bergerak cepat ke belakang, tanpa

lerlihat tangannya bergerak merebut tiga batang anak

panah di udara yang kebetulan meluncur satu arah

dengannya. Lalu ketiga benda itu dipegangnya di atas

punggung sehingga terlihat seperti mcngenai sasaran.

Dan....

Swut!

Andika mengebutkan tangan. Ketiga anak panah tadi

terlepas dan mclesat cepat.

Jrep! Jrep! Jrep! "Waaa...!"

Tiga teriakan menyayat dari tiga kerongkongan

berbeda terlempar ke udara. Tiga orang dari kedua belas

lelaki tadi langsung ambruk tanpa nyawa, termakan mala

anak panah!

"Maaf, tak sengaja!" koar Pendekar Slebor lagi. Lalu

dia berjingkatan dari atas satu batu ke batu lain, memburu

sisa lawan.

"Pegang! Pegang!" serunya makin urakan.

Sembilan anggota Imada-Tong yang tersisa tak sudi

menjadi buruan Pendekar Slebor. Mereka berbalik tangkas

seraya meloloskan fejiono* masing-masing.

"Wo, mau marah rupanya?!" tukas Pendekar Slebor

seraya mengerem jingkat-jingkatnya. Srang!

Bunyi setiap katana yang terangkum menjadi satu

menandai kesiapan mereka menghadapi lawan. Mereka

pun siap mati. Tapi tak sampai sejauh itu, suatu isyarat

menahan mereka.

Suit!

Mengekori suitan meninggi tadi, dari balik air terjun

mcncelat Delapan sosok tubuh yang rata-rata tinggi besar

berkimono merah. Sama dengan orang sebelumnya, wajah

kedelapan lelaki ini pun ditutupi kain. Warnanya sama

dengan pakaian mereka. Kedelapan orang itu hinggap di

batuan sungai. tak jauh dari tempat berdiri Pendekar

Slebor.

"A, Delapan Samurai Merah!" Pendekar Slebor malah

memekik girang. Wajahnya seperti menyambut kedatangan

tamu terhormat. Pantas saja banyak di antara anggota

Imada-Tong menganggapnya sinting!

"Tapi jujur-jujur saja..., aku sebenarnya tidak punya

urusan dengan kalian. Kalau kalian mau berbaik hati,

sudikah kalian memberitahu aku di mana Seichi Onigawa?"

mulai Pendekar Slebor lagi sok ramah.

Delapan Samurai Merah menjawabnya dengan bunyi

senjata mereka masing-masing.

"Wah, kalian ini...," tukas Pendekar Slebor. "Nanti

kalian menyesal.... Pasti kalian akan menangis dan

meraung-raung di depan dengkul ibu kalian masing-masing

kalau kepala kalian kujitaki satu persatu. Jadi, sebaiknya

kalian cari main saja di tempat yang agak jauh...," cibirnya

lagi, kelewatan.

"Sudah lama kami menunggumu orang asing! Orang-

orang kami membesar-besarkan kehebatanmu. Kami ingin

membuktikannya!" seru salah seorang dari Delapan

Samurai Merah. Di Kuil Matahari waktu itu mereka punya

kesempatan untuk menjajal kesaktian Pendekar Slebor.

Karena Pendekar Slebor sendiri sedang menyamar,

mereka malah meluputkan kesempatan itu. Kini, mereka

mengganggap sudah tepat saatnya mereka membuktikan

seberapa hebat orang asing yang banyak dibicarakan anak

buah mereka.

Sementara lelaki yang menjadi pemimpin berbicara,

yang lain membentuk kepungan di sekeliling Pendekar

Slebor. Orang yang dikurung masih tetap santai. Kepalanya

menolehi setiap anggota Delapan Samurai Merah dengan

tatapan orang cacingan.

Ketika kepungan terbentuk scmpurna, tanpa banyak

komando, kedelapan lelaki itu melabrak Pendekar Slebor

berbarengan dengan senjata khas masing-masing.

"Heaa!!"

Dari delapan penjuru berbeda Pendekar Slebor

dilabrak. Lawan sudah bergerak menggiring hawa maut

pada teriakan garang mereka. Pendekar Slebor justru

merengut-rengut kesal.

"Kalian pasti tak pernah diajarkan ibu kalian untuk

menghargai nasihat orang lain," gerutunya. Dan ketika

delapan mata senjata nyaris tiba di tubuhnya....

Wut! Trang!

Mendadak berkelebat cahaya merah terang yang

melingkari tubuh Pendekar Slebor. Cahaya merah terang

yang melengkung panjang itu memapas semua senjata

lawan. Kejap berikutnya, terlihat tubuh Pendekar Slebor

mencelat tinggi ke atas, melepaskan diri dari kepungan

kedelapan lawannya.

"Pikir-pikir lagi jika kalian benar-benar hendak

menghadapiku!" bentak Pendekar Slebor dengan wajah

sematang-matangnya. Anak muda yang mulai dongkol itu

sudah berdiri jauh di tepi sungai yang lebih tinggi.

Tangannya menggenggam Pedang Pusaka Iangit. Senjata

itu menebar sinar merah bara menyilaukan mata setiap

lawan. Cahayanya terpantul di antara riyakan arus sungai.

Para lawan tidak hanya dibuat terpesona dengan

pedang langka itu. Mereka juga dipaksa takjub dengan

hasil yang dilakukan Pendekar Slebor hanya dalam

segebrakan. Ya, hanya dalam segebrakan, seluruh senjata

Delapan Samurai Merah telah tak sempurna lagi

bentuknyal

Sembilan orang anggota Imada-Tong berpakaian

hitam yang mula-mula muncul terdiam bagai jajaran

patung. Mereka seperti baru saja menyaksikan

pertunjukan sihir. Mereka tak percaya kalau delapan

pemimpin mereka diperlakukan begitu rupa dengan cara

begitu remeh. Padahal dari ujung propinsi Tajima sampai

sudut propinsi Kojuke, Delapan Samurai Merah memiliki

nama besar!

Andika memang sengaja melakukan itu. Semestinya,

dia hanya ingin mempergunakan Pedang Pusaka Langit

dalam keadaan yang benar-benar genting. Sekarang dia

mempergunakannya juga. Itu bukan berarti dia dalam

keadaan amat terdesak. Dia cuma tak ingin membuang-

buang waktu dengan melayani Delapan Samurai Merah.

Gertakan pcrtama tadi diharap cukup untuk membuat

mereka mempertimbangkan kembali untuk berhadapan

dengannya.

Ah, mestinya Andika bisa belajar banyak selama

berurusan dengan para Imada-Tong. Mereka bukan sejenis

manusia yang gampang digertak. Dalam setiap

pertarungan, mati adalah salah satu pilihan mereka

Buktinya, Delapan Samurai Merah yang sempat dibuat

takjub tak menggubris gertakannya. Mereka malah

mengeluarkan senjata lain.

"Sial benar!" maki Andika kesal. Jakunnya sampai

melompat-lompat.

"Biar orang asing ini aku yang hadapi!" seru se-

seorang, mencegat serbuan Delapan Samurai Merah lebih

jauh.

Seseorang muncul lagi dari balik air terjun. Menilik

penampilan dan wajahnya, jelas kalau lelaki ini adalah

Seichi Onigawa.

Andika meliriknya acuh tak acuh. Bibimya mencibir

meremehkan. Kalau tak risau dianggap benar-benar

sinting, dia malah ingin menguap lebar-lebar dan bergeliat

semaunya.

"Kalau tak salah, kau tentu Seichi Onigawa. Dan kalau

'tak benar'. kurasa kau siluman monyet bau pesing!"

celotehnya dalam bahasa Nippon yang ngelantur.

"Kau yang bemama Andika?"

Andika meringis.

"Kau yang menjadi tamu Hiroto?" tanya Seichi

Onigawa lagi. Wajahnya tak berubah. Tetap kaku mcski

pemuda di depannya sudah cengar sana cengir sini.

Andika meringis lagi.

"Kau tentu orang asing yang hebat itu, heh?!"

Mendengar kata 'hebat' disebutkan calon lawannya,

Pendekar Slebor kontan membusungkan dada.

'Hail Hai" sergahnya sengak.

"Bagus! Sekarang kau akan tahu, apakah kau sudah

cukup hebat menghadapi Seichi Onigawa!" tandas Seichi

Onigawa tak ragu. Tanpa perlu menepuk dada atau

bertingkah tengik seperti Pendekar Slebor, mata lelaki itu

memperlihatkan keangkuhan kental.

"Sebagai tamu yang baik, tentu saja aku akan

melayani semua keinginan tuan rumah." Andika mulai mau

ngoceh lagi. "Selama masih punya tangan, aku akan

menggebukmu jika kau minta. Di bagian mana yang kau

suka? Pilih saja! Biasanya bagian yang paling empuk dari

sapi adalah daging pahanya, kalau tidak salah. Tapi, bukan

berarti aku menganggap kau sapi. Hanya wajahmu

memang nyerempet-nyerempet sedikit.... Terutama

moncongmu. Wah, aku suka itu!" Pendekar Slebor makin

ngalor-ngiduL

Seichi Onigawa memperdengarkan dengus

mengancam.

"Kau hanya membuang waktu, Orang Asing! Huph...."

Tak seperti samurai lain, Seichi Onigawa tidak segera

meloloskan katananya. Seichi Onigawa justru memejamkan

mata. Dia tampak memusatkan pikiran sebentar.

Kemudian dihirupnya udara dalam-dalam dengan tangan

mengejang kaki di kedua sisi pinggangnya. Terus dan terus.

sampai dadanya membesar seperti seekor katak!

Dari cengengesan, wajah Pendekar Slebor berubah

mengkerut. Ilmu apa ini'? Tanyanya takjup juga. Tentu anak

muda sakti itu terheran-heran. Bagaimana mungkin dada

manusia bisa menggelembung seperti bantalan karet

begitu?

Tanpa bisa menuntaskan keheranan, Pendekar Slebor

harus menyingkir dari batu tempat bertenggernya. Lawan

mulai melabrak. Bagai orang kesetanan. lelaki yang

dadanya menggelembung itu berlari di sungai dangkal

menuju Pendekar Slebor. Kedua tangannya membentuk

cakar di muka.

Wukh!

Satu cakaran menyambar tajam ke wajah Pendekar

Slebor, tepat pada saat tubuh anak muda itu sudah melejit

lebih dahulu ke belakang.

Seichi Onigawa tidak berlari lagi. Dia ikut melejit

memburu tubuh Pendekar Slebor di udara. Wukh! Wukh!

Wukh! Des!

Dengan sekali sampokan bertenaga, Pendekar Slebor

mengenyahkan cakaran bertubi-tubi Seichi Onigawa yang

menyusulnya. Betapa terkesiapnya Pendekar Slebor ketika

itu. Tangannya terasa panas luar biasa. Sepertinya dia baru

saja memapaki gulungan bara!

Pada satu bongkahan batu meruncing yang tak lebih

besar dari kepalan tangan, Pendekar slebor hinggap amat

ringan. Meski sebelumnya tangannya terasa terbakar,

meski dia baru saja melompat dengan kekuatan penuh, tak

sedikit pun tampak pemuda ksatria itu kehilangan

keseimbangan.

Di lain pihak, Seichi Onigawa s udah hinggap pula di

sebuah batu tak lebih dari tiga tombak di depan Pendekar

Slebot.

"Bujubuneng! Buntalan kentut ini hebat juga rupanya!"

rutuk Pendekar Slebor. Bergegas disalurkannya hawa

murni ke kedua tangan, mencoba mengusir rasa panas

yang mengendap.

"Sekarang kau baru sadar kau kini sedang

berhadapan dengan siapa, heh?" cemooh Seic hi Onigawa

dalam. Suaranya terpendam seperti suara orang yang

berbicara dari balik tembok.

Andika tak bisa meremehkan ucapan lawan sekarang.

Seichi Onigawa telah memperlihatkan bukti. kalau dia

bukan lawan enteng bagi Pendekar Slebor!

Sampai saat itu, Pendekar Slebor mendapat kesulitan

untuk mengetahui kesaktian apa yang dimiliki Seichi

Onigawa. Seumur hidup, baru kali itu dia menyaksikan ilmu

yang demikian aneh. Dada dapat menggelembung seperti

bantalan karet? Bagaimana tidak aneh?

Dalam beberapa petualangan menegakkan keadilan,

anak muda itu memang tak jarang berhadapan dengan

lawan yang memiliki kesaktian di luar akal manusia.

Pernah dia menghadapi lawan yang sanggup menyatukan

kepalanya kembali meski sudah terpenggal dan mampu

menghilang (Baca dua episode: "Darah Pembangkit Mayat"

dan "Bangkitnya Ki Rawe Rontek"!). Atau seorang tokoh

yang sanggup menciptakan angin puting beliung, api,

halilintar (Baca episode: "Permainan Tiga Dewa"!). Juga

sederet tokoh-tokoh lain. Termasuk mereka yang

mendukung perjuangannya.

Tapi yang satu ini benar-benar lain dari semua yang

pernah diketahuinya. Lagi pula, dari mana Seichi Onigawa

mendapat kesaktian aneh itu? Sepanjang pengetahuan

Pendekar Slebor, di negeri ini kesaktian-kesaktian macam

itu tidak pernah ada. Kalaupun ada, mungkin terlalu sulit

ditemui. Kebanyakan para jawaranya mengandalkan

kecepatan, kejelian, ketangkasan, dan kegesitan.

"Kenapa terdiam, Orang Asing?!" tukas Seichi Onigawa

dengan suaranya yang berubah berat dan dalam.

Kecamuk rasa heran Pendekar Slebor jadi terpancung

karenanya. Karena tak mau kehilangan muka, anak muda

itu cepat berkelit.

"Ah, aku cuma kasihan melihat rupamu...," tukas

Pendekar Slebor sekenanya. Boleh-boleh saja dia terkejut.

Tapi, tak akan sudi dia memperlihatkan perasaan itu

terhadap lawan!

"Jadi, apa kita akan lanjutkan permainan ini? Kurasa

kalau kita hendak melanjutkan, sebaiknya kita bertaruh.

Kalau kau dapat menepuk pantatku sekali saja, maka aku

akan bertekuk lutut di balik ketiakmu!" sambung Pendekar

Slebor jumawa. Tantangannya dibarengi oleh cibiran

meremehkan. Selalu dia begitu dalam menghadapi lawan.

Biar lawan terpancing kemarahannya, dan dia dapat

memanfaatkan keadaan itu. Taktik licin yang seringkali

membawa hasil memuaskan. Meski dengan begitu tak

jarang dia dianggap sableng.

Seichi Onigawa tak mau menanggapi ocehan lawan.

Dia cepat menghempas napas seperti sebelumnya.

"Huph!"

Tangannya mulai membuat gerakan kaku ke

beberapa arah. Tak beda dengan gerak batang pohon

bambu tersapu angin kencang. Dan gerak tangannya

terlahir suara-suara yang juga ganjil. Mau dibilang seperti

suara derak tulang, tapi terlalu meninggi. Mau dikata

seperti bunyi deru angin, tapi terlalu berat.

Dretak! Dretaak! Dretak!

"Ck, ck, ck!" Pendekar Slebor berdecak-decak.

Kepalanya menggeleng-geleng.

"Untuk menghadapi ilmumu itu, kurasa aku pun harus

mengeluarkan kesaktian puncakku," perangah anak muda

itu. Matanya membesar. Kemudian, dia bermaksud

membuktikan ucapannya.

"Hiaah!"

Pemuda dari tanah Jawa itu mulai menghempas

napas juga. Kedua tangannya disorongkan ke muka

dengan wajah amat tegang. Sebentar kemudian....

Tak! Bletak! Bretak!

Pendekar Slebor pun mengeluarkan bunyi yang

hampir mirip dengan milik lawan sebelumnya. Cuma bunyi

ini tercipta karena pendekar kelewat urakan ilu baru saja

mcnggcliatkan tulang-tulang punggung-nya.

"He he he, baru menyaksikan kesaktianmu saja.

badanku sudah pcgal-pegal...," ocehnya dengan bibir

cengar-cengir badak! "Heuahhhh!"

Seichi Onigawa mulai menerjang. Tangannya yang

menghasilkan bunyi ganjil tadi teracung lurus-lurus ke dada

Pendekar Slebor seakan ada baja teramat keras menjadi

rangkanya. Sesaat kedua tangan lelaki berparas bengis itu

tergetar hebal. Otot-ototnya bersembulan seperti ditarik

satu kekuatan dari dalam. Sekejapan berikutnya, Pendekar

Slebor sekelebatan menyaksikan udara pukulan yang

terbentuk amat kuat. Wukh!

Meski sudah mengerahkan kecepatan saat me-

nyorongkan badan rendah-rendah ke belakang, Pendekar

Slebor tak urung merasakan dadanya terhantam sesuatu.

Desh!

"Akh!"

Terlampau kuat hantaman itu sampai tubuh si

pemuda dari tanah Jawa terseret di permukaan air sungai

sejauh delapan depa! Air bcrhamburan seperti percikan

kembang api tanpa cahaya.

Selagi berkutat melawan sesak yang mengunci

napasnya, Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.

Dia mclihat jelas, tadi tangan lawan tak menyentuhnya

samasekali. Tapi kenapa merasa hantaman itu begitu

telak? Padahal angin pukulan tak akan berakibat seperti

itu. Sudah sering Pendekar Slebor mcnemui lawan

bertenaga dalam tingkat tinggi, tapi tetap angin pukulannya

tak seperti yang kini dia terima.

"Khuih!"

Wukh!

Berbarengan, sepasang tangan kejang Seichi Onigawa

hendak mengepruk kepala Pendekar Slebor yang mencoba

bangkit terhuyung.

"Kunyuk! Pantas saja Kakek Yoshioka bisa

dipecundanginya!" serapah Pendekar Slebor mendesis

seraya menangkis cepat kedua tangan lawan. Tak pelak

lagi anak muda itu meyakini lawan memiliki semacam ilmu

kanuragan hitam. Entah didapatnya dari mana kesaktian

itu, Pendekar Slebor tak lagi peduli. Yang dia tahu saat itu.

dia harus mengerahkan kecepatan untuk mengimbangi

serbuan dua tangan Seichi Onigawa bertenaga luar biasa!

Dua tangan lawan mendcsak Pendekar Slebor habis-

habisan, selalu dari dua sudut berbeda. Itu sungguh

merepotkannya. Selama ini, Pendekar Slebor tak pernah

menghadapi lawan yang begitu menguasai ruang gerak

dengan leluasa. Lawan-lawan sebelumnya tak ada yang

bisa bergerak diruang yang terlalu sempit.

Berbeda dengan lawannya kini. Tangannya bisa

menelusup dan meliuk seenaknya, memanfaatkan ruang-

ruang sempit yang menjadi kelemahan benteng

pertahanan jurus-jurus Pendekar Slebor. Seolah sepasang

tangan Seichi Onigawa menjelma menjadi dua ekor ular

sanca bengis, sanggup mencari sendiri kelemahan

pertahanan Pendekar Slebor. Di situ repotnya.'

Hingga si pemuda berkimono pinjaman itu pun

dipaksa serabutan kian kemari. Menangkis, berkelit,

melompat berguling tanpa bisa meyakini apa yang harus

dihajarnya.

Belum lagi terhitung terkaman dan terjangan kedua

tangan itu begitu kuat. Tenaga tiga ekor banteng saja

masih belum apa-apa. Setiap tandukan kepalanya terasa

oleh Andika seperti hantaman batu gunung sebesar

padepokan! Untuk menangkisnya pun, Pendekar Slebor

harus mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar

Lembah Kutukan hingga nyaris terkuras.

Sayang, itu tak terlalu berguna. Lawan memiliki

kehebatan lain. Jika tenaga sakti Pendekar Slebor

menghantami seluruh bagian mana pun badan Seichi

Onigawa, dengan tenaga sekeras apa pun, saat itu juga

Pendekar Slebor merasakan tenaganya terpantul. Dia

seperti menghantami buntalan karet kenyal. Sesaat, hanya

untuk sesaat, Seichi Onigawa akan terjajar. Setelah itu dia

akan kembali menyerbu dengan segenap ancamannva!

Suatu ketika Pendekar Slebor mencoba menghantam

dada menggelembung lawan.

"Fheih!"

Deb!

Pendekar Slebor berhasil menembus dengan mudah.

Semula anak muda itu heran juga. Bagaimana mungkin

pukulannya mencuri begitu saja di bagian yang biasanya

memiliki pertahanan paling ketat. Manakala kepalan

bertenaga saktinya sampai, barulah anak muda dari negeri

seberang itu tahu apa maksud lawan....

Blep! Des!

Dengan segenap keterperanjatan memuncak,

Pendekar Slebor tersentak ke belakang. Dadanya megap-

megap Kalau saja kuda-kudanya tidak cukup kokoh, dia

bisa terseret lagi di permukaan sungai. Apa yang terjadi?

Andika sungguh dipaksa terperangah. Tenaga pukulannya

telah memantul balik ke diri sendiri!

Kontan meluap seribu satu makian dongkol setengah

mampus dari mulut lincah si pemuda urakan.

"Cacing buduk, kunyuk benjol, dedemit bau pesing,

slompret sial kau...!"

***

5


Dalam semua urusan. tidak ada manusia yang mutlak

berkuasa selamanya. Selalu saja ada saat di mana

kekalahan dan keruntuhan menghampiri. Ibarat seorang

raja yang tak selamanya berkuasa, pendekar muda dari

tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor pun tak bisa

mengaku dirinya tak tertandingi siapa pun.

Hari ini, anak muda sakti itu menelan pengalaman

pahit dari rentang perjalanan panjangnya menempuri

kebatilan. Memang bukanlah pengalaman pahit pertama.

Namun tetap membuktikan bahwa biar bagaimanapun

tinggi ilmu kesaktiannya, tetap satu saat harus mengalami

kekalahan. Di atas langit masih ada langit!

Saat itu, Pendekar Slebor sedang terdesak habis-

habisan. Seichi Onigawa rupanya tak hanya memiliki

kehebatan kanuragan yang baru pertama disaksikan

Pendekar Slebor. Lelaki dari negeri para shogun itu

sanggup pula melepas satu ajian Pelumpuh Ninja Hitam.

Satu ajian yang diperdalam dalam ninjitsu tingkat tinggi.

Kalangan di luar ninja menyebutnya dengan Sihir Ninja.

Hanya beberapa orang saja yang berhasil sampai ke

tingkat ini. Seichi Onigawa, meski tergolong tak terlalu tua,

dia telah mampu menguasainya.

Ajian Pelumpuh Ninja Hitam dapat membuat otot-otot

lawan menjadi kaku. Lawan kehilangan kelincahan dalam

pertarungan. Bagai seekor rubah terjerat jaring.

"Heuih!"

Deb! Deb!

Telah berkali-kali kepalan berhawa maut Seichi

Onigawa berhasil merangsak benteng pertahanan

Pendekar Slebor. Dada Pendekar Slebor terhantam telak.

Akibatnya, hidung dan mulut pemuda itu dibasahi darah.

Andika sekadar jadi bulan-bulanan. Jurus 'Gun-tur

Slaksa' atau 'Mengubak Petir Membabibuta' seakan

terkunci dalam dirinya. Kalau pun dia berbekal dengan

Pedang Pusaka Langit, tetap tak berguna. Jangankan untuk

memainkannya, untuk meloloskan dari sarungnya saja

sudah tak bisa. Maka segala kekuatan sakti di dalam

benda pusaka itu pun tak bisa di-manfaatkan.

Des! Des! Untuk ke sekian kalinya, dada si pendekar

muda tanah Jawa digempur. Tubuhnya tersentak-sentak.

Darah semakin banyak terscmbur keluar dari mulutnya.

Yang hanya bisa dilakukan saat itu cuma bcrusaha terus

bertahan agar tidak tersungkur.

Tapi, tak ada manusia yang bisa terus bertahan

menerima gempuran terus-menerus. Pada akhirnya, tubuh

Pendekar Slebor terhuyung limbung ke belakang, lalu

tumbang.

Antara sadar dan tidak, lelaki muda itu mengelinjang-

gelinjang di atas tanah. Betapa amat tersik-sanya dia.

Kimono pinjaman bagian depannya nyaris kuyup oleh

darah dan keringat.

"Menyesal kau harus mati tidak di negerimu sendiri,

Orang Asing," seringai Seichi Onigawa. Kakinya berdiri tepat

di sisi kepala Pendekar Slebor. Dengan sikap seperti itu,

seakan dia hendak menyanjung kehebatan sendiri.

Dua kepalan Seichi Onigawa pun teracung tinggi.

Seluruh ototnya mengejang di antara aliran keringat. Akan

diakhiri pertarungan itu dengan satu tinju maut terakhir

yang bisa memastikan kepala Pendekar Slebor remuk

seketika.

"Huph! Heih!"

Wuhs! Dash!

Tanpa sempat mendaratkan tinju mautnya, Seichi

Onigawa tiba-tiba terjajar ke depan. Nyaris saja dia

terjatuh. Ada seseorang yang campur tangan. Orang itu

pula yang membokongkan tendangan keras.

"Jangan pernah bermimpi kau akan membunuh lelaki

itu, Manusia Busuk!" maki si pembokong, ter dengar

geram.

Seichi Onigawa cepat menoleh. Bola matanya

menyudut bengis. Bibirnya terungkit kejam.

"Kau...," desisnya. Dilihatnya seorang bertopeng kain

serta berpakaian serba hitam. Kalau hanya melihat

pakaian, Seichi Onigawa bisa malah menyangka orang itu

anggota Imada-Tong. Hanya garis mata orang itu yang

langsung dikenalinya. Dialah yang telah menghadang

beberapa waktu lalu, ketika Seichi Onigawa hendak

membawa Akimoto.

"Terkejut?" tukas orang yang baru datang.

Seichi Onigawa menggeram.

"Kau akan menerima nasib serupa dengan oran asing

itu!" ancamnya bergejolak bagai lahar mendi-dih.

Ditudingnya tubuh Pendekar Slebor yang sudah tak

bergerak.

"Sudah kubilang, kau jangan bermimpi! Kau bisa saja

membuatnya seperti itu. Kau tahu sebabnya? Karena lelaki

asing itu tak mengetahui rahasia kelemahan kesaktian

Ninja Hitammu, Busuk!"

Suara berat berdebam Seichi Onigawa terdengar lagi.

"Kau pandai menggertak rupanya?" cibirnya. Sedikit

beranjak dari tempat semula, orang berpakaian hitam

bertolak pinggang.

"Kau bisa buktikan. Seranglah aku!" tantangnya,

menepis cemoohan Seichi Onigawa.

Seichi Onigawa diam. Dia ragu. Tampak sekali kalau

benaknya sedang mempertimbangkan untuk menyerang

pembokongnya atau tidak. Kalau cuma menggertak,

kenapa orang itu begitu yakin melepas tantangan?

Bimbang hatinya.

Lepas dari benar tidaknya orang berpakaian hitam

mengetahui kunci kelemahan kesaktian Seichi Onigawa,

pada dasarnya Seichi Onigawa telah masuk perangkap

yang dipasangnya.

"Heh...," dengus orang berpakaian hitam, ganti

mencibir.

"Lihatlah dirimu itu. Seichi," sambungnya padat kesan

mengejek. Entah dari mana dia mengetahui nama Seichi

Onigawa.

Seichi Onigawa sendiri dibingungkan dengan

kenyataan itu. "Bagaimana dia bisa tahu namaku?"

bisiknya membatin. "Mungkinkah dia orang yang telah

begitu lama mengenalku? Kalau namaku saja dikenalnya,

apa tidak mustahil dia pun benar-benar mengetahui kunci

kelemahan kesaktianku?"

Mendapati keterdiaman Seichi Onigawa, lelaki

berpakaian hitam makin merasa mendapat angin untuk

terus mencemooh. Diteruskannya kalimat yang terpotong

tadi. Bercerminlah Seichi! Biar kau tahu kalau

scsungguhnya kau sekadar lelaki pengecut. Kau tak

pernah merangkul jalan bushido. Kau terlalu takut untuk

itu. Pantas saja Yoshioka Tua selalu menyebutmu

pecundang!" cecar orang bertopeng kain hitam.

Untuk kedua kalinya, Seichi Onigawa dikejutkan

perkataan calon lawannya. Tak lagi diperhatikannya

kalimat menghina orang itu. Biarpun perkataan itu telah

menginjak harga dirinya sekali pun. Yang cuma menjadi

perhatiannya cuma nama Yoshioka Tua yang disebutkan

barusan.

Seichi Onigawa kembali bertanya-tanya dalam diri.

Siapa sesungguhnya orang ini? Dia mengenal pula

Yoshioka..., orang tua yang selama ini selalu saja menjadi

duri dalam daging bagi Seichi Onigawa. Orang tua bungkuk

itulah yang paling mengetahui siapa dan. bagaimana Seichi

Onigawa.

"Ah, buang-buang waktu aku terus di sini. Apa aku

harus menunggumu terdiam di situ sampai kiamat?" leceh

orang berpakaian hitam.

Kemudian, dihampirinya tubuh Pendekar Slebor.

Diangkatnya ke bahu, lalu dengan santai dibawanya

tubuh pendekar muda itu pergi.

Orang-orang Imada-Tong bergerak hendak meringkus.

Seichi Onigawa mcnahan mereka.

"Biarkan," katanya dengan kilat mata licik. "Kita masih

memiliki Akimoto Kecil," tambahnya mendesis.

"Andika San.... Andika San.... Kau sudah sadar?"

Lamat-lamat Andika mendengar suara halus seorang

wanita di sisinya. Kelopak matanya membuka perlahan.

Dari mengabur, pandangannya mulai menjadi jelas. Yang

pertama-tama ditemui adalah wajah jelita si janda Akemi.

"Akemi? Di mana aku?" keluh Pendekar Slebor. Dari

rebahnya, anak muda itu berusaha bangkit. Pening luar

biasa di kepala ditambah rasa sesak di dada membuatnya

urung bangkit.

"Andika San berada di rumah rahasia Kak Hiroto,"

kata Akemi, memberitahukan.

Alis Andika mengerut. Antara mimik wajah menahan

sakit dan mimik bertanya.

"Bagaimana aku bisa sampai di sini? Siapa yang telah

menyelamatkanku dari...," Andika memutus kalimatnya.

Belum waktunya dia mengatakan kalau dia pergi menemui

Seichi Onigawa. Sewaktu hendak pergi dari tempat itu,

Andika mengatakan tujuan lain. Dia harus merahasiakan

rencananya. Takut-takut nanti diketahui Hiroto. Andika

hanya tak ingin kawannya itu menganggapnya telah

lancang mencampuri urusan keluarga.

"Kissumi menemukan Andika San ditepi hutan batas

propinsi Yamashiro. Katanya, Tuan tergeletak bermandi

darah. Lalu Kissumi membawa Andika San ke sini dengan

kereta kuda...," papar Akemi.

"Kissumi?" terbetik kecurigaan di benak Andika.

Sedang apa perempuan geisha* itu di hutan batas propinsi

Yamashiro? Andika teringat pada pakaian hitam-hitam yang

disembunyikan di depan rumah pengasingan rahasia

Hiroto. Dengan ditemukannya pakaian itu, terpicu

kecurigaan Andika bahwa di dalam keluarga Hiroto ada

seorang yang menggunting dalam lipatan. Seorang

penghianat! Mungkinkah Kissumi adalah penghianat itu?

"Mana Kissumi?" tanya Andika pada Akemi. Akemi

belum sempat menjawab ketika Andika berkata lagi.

"Maukah kau memanggilkan Kissumi?" Akemi

mengangguk. Perempuan beranak satu tapi tetap memiliki

tubuh molek itu bangkit. Dari kamar dia keluar. Tak begitu

lama, Akemi telah kembali. Kissumi mengekor di

belakangnya.

"Andika San memanggil saya?" tanya Kissumi di dekat

Andika. Kedua wanita itu sudah duduk bersimpuh di sisi

Andika.

Andika bergerak hendak bangkit. Menyaksikan itu,

Akemi dan Kissumi bersicepat hendak memapah bahu si

anak muda. Wajah keduanya bersemu merah ketika

menyadari mereka seperti dua gadis kecil memperebutkan

boneka.

Sialnya, Andika jadi urung dibantu. Dengan bibir

meringis-ringis menahan sakit, terpaksa anak muda itu

bangkit sendiri. Apes sekali.

"Kissumi, Akemi bilang padaku, kau pergi ke hutan

batas propinsi Yamashiro." mulai Andika lagi dalam posisi

duduk menjulur kaki

Kissumi menyahuti dengan anggukkan kecil yang

terlihat khidmat.

"Apa tujuanmu ke sana?" tanya Andika kembali.

Sclintas ada garis kecurigaan di wajahnya. Begitu juga

dengan tatapannya.

"Aku membeli perbekalan yang tak ada di Kyoto ke

Yamashiro...," jawab Kissumi. "Perbekalan kita untuk di

tempat ini sudah habis," tambahnya.

Tentu saja penuturan Kissumi terlalu dibuat-buat bagi

Pendekar Slebor. Bagaimana mungkin pada saat keluarga

Hiroto digempur oleh musuhnya, Kissumi justru pergi ke

Yamashiro seorang diri. Tapi, Andika belum lag] mencari

kejelasan seluruhnya. Bukankah dia belum menanyakan

apakah Kissumi pergi sendiri atau ditemani.

"Kau pergi sendiri?" susul Andika.

"Aku ditemani oleh...."

Kalimat Kissumi urung terselesaikan. Pintu geser

kamar terdengar dibuka seseorang.

"Aku yang mengantarnya, Andika San. Kissumi tak

mungkin kubiarkan pergi sendiri pada saat genting seperti

ini...," sela orang yang membuka pintu. Dia adalah Fujimoto

bekas anak buah kepercayaan Hiroto.

Tiga hari tiga malam Andika tidak bisa berbuat apa-

apa. Luka dalam yang dideritanya tak bisa disebut ringan.

Selama itu, hanya semadi yang bisa dilakukan. Dengan

semadi, Andika mencoba memulihkan keadaan tubuhnya

kembali. Meski sudah begitu, pemulihan keadaan

tubuhnya berjalan amat lambat. Akibat pukulan Seichi

Onigawa tampaknya terlalu kuat untuk dilumpuhkan secara

cepat.

Sementara itu, Akemi dengan sabar membantu

merawatnya. Dia yang membawakan Andika makanan

Memberikan pemuda itu obat-obatan tradisonal, juga tak

jarang menggadanginya malam hari. Beberapa kali, ketika

Andika menyudahi sementara semadinya, Andika

memergoki Akemi sedang terkantuk-kantuk di sisi pintu

kamar. Wanita itu berusaha untuk tidak tidur, walau

matanya sendiri sudah bagai digelantungi bandul.

Beberapa kali Andika meminta Akemi agar tigak

terlalu memaksakan diri. Anak muda itu berusaha

meyakinkan Akemi keadaannya tidaklah terlalu

mengkhawatirkan seperti yang terlihat. Permintaan Andika

sia-sia. Akemi tetap bersikeras untuk membantu merawat

pemuda itu.

Ada apa sebenarnya pada diri Akemi? Andika sering

bertanya begitu dalam hati. Apa ada sesuatu di balik

perhatiannya yang besar terhadapku? Atau hanya sikapnya

selaku salah seorang tuan rumah yang hendak

memulihkan tamu?

Kalau sudah mesti bersemadi kembali. mau tak mau

Andika membuang dulu segala pikiran tadi. Yang

terpenting, dia harus kembali sehat. Urusan genting

dengan Seichi Onigawa belum lagi beres, pikirnya.

Pada hari keempat, tubuh Andika belum bisa berbuat

banyak. Berdiri saja dia terkadang masih terhuyung-

huyung. Akemi sering terpekik kaget dan memapah

tubuhnya lergesa ketika perempuan itu mendapati tubuh

Andika nyaris tersungkur.

Sementara itu, Hiroto yang telah pulang sebelum

Andika kembali, tak kunjung jua mendapat kabar dari

Seichi Onigawa mengenai Akimoto, anaknya. Karena

pikiran Hiroto terlalu dikecamuk akan nasib anaknya, dia

jadi tak begitu mempcrhatikan keadaan Andika.

Hiroto beberapa kali menjadi tak sabar. Kalau saja

Andika tak segera mencegahnya, tentu samurai sejati itu

bakal mulai lagi mencari tempat Seichi Onigawa yang

menyembunyikan Akimoto.

"Kita harus bisa bersabar. Jangan terlalu terburu

nafsu. Bisa-bisa itu akan mencelakakan diri kita sendiri,"

cegah Andika satu kali.

"Jangan membuang-buang tenaga sia-sia. Kita butuh

segenap tenaga untuk menghadapi lelaki keparat itu. Tapi,

pada saatnya nanti," begitu Andika menahan Hiroto. Dan

Hiroto menyadari juga kebenaran pendapat Pendekar

Slebor, meski cukup sulit baginya untuk itu.

Di lain keadaan, seencer apa pun otak pendekar

muda tanah Jawa itu belum bisa memecahkan teka-leki

pakaian hitam yang ditemuinya di bawah tebing depan

rumah pengasingan rahasia Hiroto. Jika menilik bagaimana

para Imaga-Tong dapat mengetahui rumah yang

dirahasiakan itu, Andika jelas jadi berkesimpulan ada

seorang pengkhianat mendekam di keluarga Hiroto.

Masalahnya kini. siapa pengkhianat itu? Apakah pakaian

itu ada hubungannya dengan si pengkhianat?

Selain Hiroto, ada tiga orang lain di rumah itu. Mereka

adalah Akemi, Kissumi, dan Fujimoto. Andika sudah

mengorek keterangan dari Fujimoto waktu itu. Lelaki yang

pernah menjadi bawahan kepercayaan Hiroto itu diyakini

Andika tidak berkhianat.

Jadi, kalau Fujimoto mengaku telah mengantar

Kissumi ke hutan perbatasan propinsi Yamashiro, itu

artinya Kissumi pun tidak bisa lagi dicurigai sebagai

pengkhianat.

Yang tersisa hanya Akemi. Tapi Andika mana mungkin

mencurigai janda itu sebagai pengkhianat? Jelas-jelas

Akemi adalah ipar Hiroto, wanita yang menikah dan

memberi seorang anak pada adik kandung Hiroto.

Kalau begitu kecurigaan si anak muda sakti Lembah

Kutukan menemui jalan buntu. Tak ada lagi orang yang

patut dicurigai. Bagaimana dengan Hiroto sendiri? Ah, tak

mungkin tepis Andika. Semua kekacauan ini justru

bertujuan hendak menghancurkannya. Bagaimana bisa dia

hendak menghancurkan diri sendiri dan keluarganya?!

"Pasti ada 'satu mata rantai yang putus!" tandas

Andika dalam hati. Mata rantai yang bisa

menghubungkannya dengan si pengkhianat. Sebab, biar

bagaimanapun Andika tetap yakin keberadaan

pengkhianat itu di tengah-tengah keluarga Hiroto. Untuk

mengetahui mata rantai yang terputus itu, dia harus

menyelidiki lebih dalam, lebih teliti sekaligus hati-hati!

***

Malam ke sekian dari musim semi beranjak datang.

Senja baru saja memudar. Di pelupuk langit sebelah timur,

sisa cahaya kemerahan masih berjuang untuk bertahan

dari terkaman segala malam.

Andika berdiri di beranda rumah pcngasingan rahasia

Hiroto. Menikmati memudarnya cahaya matahari di

belahan langit timur membuat hatinya damai. Lantak

sejenak segala pikiran-pikiran runyam yang menggerayang

di benaknya.

Sampai Akemi datang di belakangnya. Janda itu

berdehem kecil, mencoba menegur secara tak lang-sung.

Andika menoleh.

"Akemi," sapanya dengan sebaris senyum

mengembang.

"Sedang apa, Andika San?" tanya Akemi seraya

melangkah ke samping pemuda tanah Jawa itu. Seperti

Andika, perempuan beranak satu itu pun menyanggahkan

tangan pada pagar bambu yang membentang panjang di

sisi beranda.

Andika mengedikkan bahu.

"Entah," katanya mendesah. "Mungkin hanya ingin

melupakan sejenak seluruh kekacauan dunia ini...."

Akemi diam sebentar. Warna merah tembaga sisa

sinar mentari bertandang di kulit wajahnya. Membentuk

bayang mempesona yang baru kali itu disaksikan Andika

pada wajah Akemi. Andika takjub. Inginnya dia terus

menatap. Tapi lama-kelamaan dia jadi risih sendiri. "Cantik

benar dia," bisik hati Andika memuji. Slompret sekali!

"Suatu saat kita memang harus memiliki tempat

pelarian," gumam Akemi, tak kentara.

"Apa?" Andika tergagap. Bodoh sekali dia. Kare-na

terlalu getol mencuri pandang, dia jadi tak begitu

memperhatikan ucapan wanita menawan di sebelah-nya.

Akemi menarik napas. Dalam sarat.

"Setujukah Andika San kalau kukatakan, kita suatu

saat butuh tempat pelarian?" ulang Akemi.

Anak muda yang mengenakan kimono coklat muda itu

mcnimbang sejenak. Matanya bergerak-gerak, memikirkan.

"Setuju," tukasnya.

"Kau hendak mengatakan bahwa aku berdiri di

tempat ini pun sudah menjadi satu pelarian, bukan?"

sambung Andika.

Akemi menatap Andika. Mencoba mencari sesuatu di

mata pemuda gagah itu.

"Andika San tidak tersinggung?" ajunya.

Andika tertawa kecil.

"Kenapa harus tersinggung?" tukasnya. Lalu mata

setajam tatapan elang itu menerawang.

"Kita tak selamanya bisa bertahan dalam kekacauan

dunia. Kita harus lari satu saat. Kalau tidak, kita bisa

menjadi gila. Banyak cara untuk lari. Tapi bagiku, salah

satu yang terbaik untuk itu adalah mendekat pada alam.

Dekat pada alam, kita pun dekat pada Penciptanya...,"

tutur Andika panjang dan tajam.

Andika menghirup dalam-dalam udara senja yang kian

tua. Lalu dihembuskannya lagi perlahan. Ditarik,

dihembuskan. Seperti dia tak akan pernah terpuaskan

untuk terus melakukan itu.

Keduanya kemudian diam. Sama-sama menikmati

cahaya yang hampir mati jauh di timur sana.

"Kau menangis Akemi?" usik Andika ketika mendapati

pipi wanita itu telah basah. Ada genangan bening kecil

terus mengalir lamat menuju leher jenjang halusnya.

Akemi membiarkan airmata itu. Toh Andika sudah

telanjur melihatnya.

"Andai aku bisa lari...," desah Akemi.

"Apa maksudmu?" tanya Andika. Ucapan Akemi tak

jelas ditangkap maksudnya oleh pemuda itu. "Ada sesuatu

yang terus mengganggu pikiranmu?" susul-nya.

Entah karena pertanyaan terakhir Andika, Akemi

terisak. Dia menangis. Didekapnya wajah jelita yang diusik

tangis itu. Tak ada jawaban atas pertanyaan si pendekar

tampan barusan.

Andika kontan gelagapan. Kalau soal musuh selicik

serigala dan setangguh gajah bengkak, akan dihadapinya

dengan senyum mengembang. Tapi kalau tangis wanita?

Wah, dia paling ngeri! Bukan apa-apa. Dia bisa dibuat

serba salah karenanya.

"Sudahlah, Akemi...," bujuk Andika. Tangannya serba

salah menyentuh bahu Akemi. Andika menduga wanita itu

sedang menyesali kematian Jotaro, suaminya.

Bukannya terputus, tangis Akemi malah kian

mendalam. Tubuhnya terguncang-guncang kecil.

Wah, makin gelagapan Andika. Apa yang mesti

diperbuatnya? Kalau gadis kecil, dia bisa membelikan

boneka. Tapi kalau 'gadis besar' yang jelita di depannya ini?

Bola mata anak muda itu bergerak bingung ke sana

kemari.

Sampai Akemi menghambur ke dada bidang pemuda

itu. Ditumpahkan segalanya di sana. Dan Andika pun

akhirnya tahu apa yang mestinya dilakukan. Dirangkulnya

tubuh Akemi. Dipeluknya, membagi kehangatan.

Malam akhirnya Iuruh juga. Sejak siang tadi, juga dua

hari sebelumnya Andika tak bertemu dengan Hiroto.

Menurut Akemi, samurai sejati itu tak pernah

meninggalkan dojo*. Dia terus berlatih keras, menajamkan

jurus-jurus kendonya untuk menghadapi Seichi Onigawa

nanti.

Tangis Akemi telah tertumpah semua. Tinggal tersisa

isak kecilnya saja. Kepala wanita itu sudah sejak tadi

beranjak dari dada Andika. Dari wajahnya, Andika bisa

menyaksikan rasa malu tersembul samar di antara sisa

tangisnya.

"Maafkan kelancanganku, Andika San," hatur Akemi,

karena dianggap dirinya telah lancang.

"Maaf untuk apa? Kau tidak melakukan apa-apa

padaku," tukas Andika. "Lagi pula he he he.., aku senang,

kok!"

Andika memperlihatkan cengiran tololnya.

Akemi tak bisa menahan senyum kecil yang biar

bagaimanapun masih terlihat rapuh.

"Sebaiknya kau masuk ke dalam, Akemi. Tentu

bayimu belum kau susukan malam ini, bukan?" saran

Andika. Angin memang sudah menjadi dingin.

Akemi mengangguk. Sebentar ditatapnya Andika.

Setelah itu dia beranjak meninggalkan beranda, dikawal

tatapan lembut pemuda berambut gondrong di

belakangnya.

***

7


Seseorang menyelinap malam. Berlari ringan di luar

rumah pengasingan rahasia Hiroto. Pakaian hitam yang

menutupi hampir seluruh tubuhnya tersamar warna

malam. Dengan mengendap setengah merunduk,

dimasukinya rumah Hiroto melalui jendela samping.

Di lorong menuju kamar, penyelinap itu merapatkan

tubuh ke dinding yang luput tersiram cahaya lampion.

Rupanya datang seseorang dari ruang lain. Kissumi orang

itu. Sedang membawa baki air hangat untuk Andika.

Mata di antara penulup kain hitam penyelinap tadi

menyusut gusar menyaksikan kedatangan Kissumi. Jemari

tangannya mengepal geram. Kalau dia tak sedang

menjalani perintah lain dari atasannya, sudah dilemparnya

pisau kecil untuk menyingkirkan Kissumi. Kalau tindakan

itu tidak dilakukan, itu semata karena sang ninja tidak

ingin mengalami resiko. Sedikit saja suara mencurigakan

yang timbul jika dia mencoba membunuh Kissumi, maka

tugas utamanya bisa berantakan.

Kepalan si penyelinap makin merapat manakala

Kissumi menghentikan langkah. Wanita itu seperti

merasakan sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dalam

rumah. Untuk memastikannya dia mengawasi sekeliling.

Untunglah tempat lelaki tadi terlalu gelap untuk mata

Kissumi. Karena tak menemukan apa-apa, Kissumi

melanjutkan langkah. Dia hendak menuju dojo. Andika di

sana. Sebelumnya pemuda itu hendak menemui Hiroto.

Ternyata Hiroto sudah tidak ada lagi dalam dojo. Sedang

bersemadi di kamarnya, begitu kata Kissumi pada Andika.

Kebetulan atau bukan. lelaki berpakaian gelap tadi

pun melangkah diam-diam ke dojo. Di belakang Kissumi,

dia mengekor hati-hati.

"Ini air hangatnya. Andika San," ucap Kissumi

setibanya di dojo.

Andika yang sedang mengatur jalan darah dengan

seni pernapasan segera menghentikan kegiat-annya.

Kepalanya menoleh.

"Letakkan dulu di sana, Kissumi," pinta Andika seraya

menunjukkan sudut dojo. Air hangat itu berguna untuk

membanlunya melacarkan peredaran darah. Jika jalan

darahnya bisa semakin lancar, maka pemulihan keadaan

tubuhnya pun akan meningkat.

Kissumi menuju sudut yang dimaksudkan Andika.

"Ada lagi yang bisa saya bantu, Andika San?" tanya

gadis geisah itu.

'Tidak, terima kasih Kissumi...," jawab Andika.

Didapatinya mata gadis itu berbinar seperti pernah

disaksikannya ketika.... Ah, Andika cepat menepis

bayangan kemolekan serta kepadatan tubuh halus Kissumi

yang dilihatnya dulu.

Kissumi keluar. Ada kekecewaan terbawa di parasnya.

Sepeninggalan gadis geisha tadi, lelaki berpa-kaian

hitam mengendap-endap di dekat dinding ka-mar latihan

bela diri. Tangannya sudah menggenggam sebilah belati

yang gagangnya terbungkus semacam kertas.

Dinding bersekat kertas yang membatasi dojo dengan

tempat lelaki itu menyemburatkan cahaya lampion dari

dalam. Bayangan Andika pun terlihat jelas dari luar.

Dengan mata waspada, ninja penyelinap mengawasi

bayangan di sekat kertas dinding.

Sesaat berikutnya....

Tras! Wesss!

Didahului bunyi sekat kertas terkoyak, sebilah belati

melesat, menembus dinding. Arahnya tepat menuju

Pendekar Slebor di dalam dojo!

Pendekar Slebor bukan main tersentak. Tanpa

mencaritahu apa yang terjadi dengan dinding dojo sebelah

barat, anak muda itu berguling ke depan. Hanya naluri

terlatihnya yang diandalkan saat itu. Baki air hangat yang

diletakkan Kissumi cepat diraihnya. Bletak!

Baki tembikar di tangan Pendekar Slebor saat itu juga

retak. Tengahnya tertembus belati yang dilempar si

pembokong. Air hangat di dalamnya sekarang sudah

berhamburan di lantai dojo.

Sadar kalau seseorang baru saja hendak

membunuhnya, Pendekar Slebor dengan mata nyalang

men-cari. Sekelebatan dilihatnya sesosok tubuh berlari di

luar dojo. Lincah bagai seekor rubah mengejar buruannya.

Rahang pemuda dari tanah Jawa itu mengeras.

Geram, dihempasnya langkah, seperti dia menghempas

baki dari tangannya. Baru mencoba berlari lima-enam

langkah, Andika merasakan dadanya sesak luar biasa.

Pengerahan ilmu peringan tubuh yang dipaksakan

membuat luka dalamnya kambuh seketika.

Di dekat dinding dojo anak muda itu menyanggahkan

tubuh ke tempat senjata. Tangannya mendekap dada.

Sementara wajahnya memucat teramat sangat.

"Luka dalam sial! Kenapa harus kambuh saat penting

seperti ini!" rutuknya diselingi keluhan.

Sifat keras kepala si pendekar muda dari Lembah

Kutukan itu memang sulit diragukan. Baru dada sesak dan

napas Senin-Kamis seperti itu saja tidak akan digubris.

Terhuyung-huyung seperti bocah baru belajar melangkah,

dia ngotot juga mengejar pem-bokongnya tadi.

Andika merasa nyaris mampus ketika tiba di luar.

Napasnya bukan cuma s ulit ditarik, tapi juga seperti

disumbat dari dalam. Lepas dari semua itu, ada hal yang

benar-benar membuatnya ingin mampus di tempat.

Kissumi yang selama ini dikenalnya sebagai geisha lemah-

lembut, sedang menggempur ninja pembokong Andika

habis-habisan!

Anak muda itu terpana. Sempat-sempatnya dia

melompong saat napasnya tersengal-sengal. Karena

merasa salah melihat, Andika mengerjap-ngerjapkan

mata. Ini pasti akibat luka dalamku, pikirnya. Tapi sudah

berkali-kali dia mengerjap, wanita yang dilihatnya tetap

Kissumi.

Dari jalannya pertarungan, bisa terlihat Kissumi

berada jauh di atas angin. Dengan tangan kosong, gadis itu

bisa mendesak lawan berkatana.

"Heaaah!"

Deb!

Seperti tidak mengalami kesulitan, Kissumi berhasil

menyarangkan totokan bertenaga ke perut lawan. Saat

lelaki berpakaian hitam merunduk menahan sakit,

tangannya yang memegang pedang disepak kaki Kissumi

keras-keras.

Katana berputar di udara. Kissumi melenting lincah,

memburu putaran pedang. Tep! Tras!

Hanya dengan satu tebasan, kepala lelaki berpakaian

hitam menggelinding di tanah. terkena tebasan Kissumi.

***

Hiroto dan Akemi datang ketika Andika dipapah

masuk oleh Kissumi. Fujimoto menyusul di belakang

mereka. Ketiganya terkejut mendengar ribut-ribut di luar.

"Ada apa, Andika San?" tanya Hiroto. Wajahnya ketat,

menampakkan ketegangan.

Andika hendak membuka mulut, tapi Kissumi cepat

menyela.

"Tidak ada apa-apa, Hiroto San," sergah gadis itu

bergegas. Ada suatu hal yang hendak disembunyikan.

Andika tahu soal itu ketika Kissumi memintanya

merahasiakan kejadian yang terjadi sebelum Hiroto, Akemi

dan Fujimoto keluar. Kissumi juga telah menyingkirkan

mayat si ninja ke semak-semak.

"Andika San hanya terjatuh," sambung Kissumi seraya

membungkukkan badan. Tubuh pemuda yang masih

dipapahnya jadi ikut terunduk. Andika cuma bisa cengar-

cengir saja.

"Sebaiknya kau beristirahat Andika San," nasihat

Hiroto demi menyaksikan temannya dari negeri seberang

itu kepayahan.

"Ada ular masuk tadi. Aku berusaha mengusir nya. Tak

kusangka aku akan sepayah ini. Brengsek!" kibul Andika,

mencoba membantu Kissumi. Biarpun kecurigaannya tetap

ada pada diri Kissumi, Andika tetap tak bisa menuduhnya

begitu sebagai pengkhianat. Setidak-tidaknya dia mau

mendengarkan penjelasan Kissumi. Apalagi gadis geisha

itu berkata akan menjelaskan duduk persoalannya.

Hiroto dan Akemi akhirnya masuk kembali. Hanya

Fujimoto tetap berdiri di tempatnya.

"Kau pun boleh masuk," tukas Andika pada lelaki itu.

Andika berharap Fujimoto masuk agar dia bisa cepat

mengetahui segala sesuatu yang dirahasiakan Kissumi.

Termasuk mengetahui kenapa selama ini dia berpura-pura

lemah. Yang dilakukan Fujimoto justru bertolak-belakang

dengan harapan Andika, lelaki itu merundukkan badan.

Apa perlunya kau merunduk seperti itu?" rutuk Andika.

Jengkel juga dia. "Aku mau kau masuk, kau mengerti?"

sambungnya.

Lagi-lagi Fujimoto membungkukkan badan.

"Eee, kau sial sekali rupanya...." maki Andika.

Tidak apa-apa, Andika San," cegah Kissumi.

Andika merengut. "Tidak apa-apa'.'" gumamnya heran.

Kissumi mengangguk. Diliriknya Fujimoto. "Fujimoto tahu

mengenai diriku..," Kissumi menjelaskan.

"Ooo!"

Andika menjentikan tangan. Dilangkahkan kaki,

melepaskan papahan Kissumi.

"Jadi kalian bersekongkol rupanya," cibir pemuda

tanah Jawa itu.

"Semacam itu Andika San," sela Fujimoto. Untuk

ketiga kalinya lelaki itu menundukkan badan. Membuat

Andika merasa jakunnya hendak melompat karena kelewat

sebal.

"Sebaiknya, kami tak menjelaskan di sini, Andika San.

Tak boleh ada orang lain yang mendengar rahasia ini

sementara waktu," kata Kissumi lagi.

"O. jadi di mana? Di kuburan? Agar kalian bisa

membunuhku sekaligus menguburku tanpa harus repot-

repot menggotong-gotong mayatku?"

"Ikuti aku, Andika San?" ujar Fujimoto cepat. Tak

tahan juga dia mendengar cerocosan pendekar satu ini.

Dia cepat melangkah. Andika dan Kissumi mengikuti.

Ketiganya akhirnya sampai ke tempat yang di-

maksud.

"Sekarang kalian jelaskan padaku apa sesungguhnya

yang kalian sembunyikan. Semuanya! Dan jangan coba

macam-macam. Sebutlah aku sedang lemah karena luka

dalamku! Tapi untuk mengepruk kepala kalian berdua, aku

masih bisa melakukannya! semprot Andika seperti kakek-

kakek kebakaran jenggot.

Kissumi dan Fujimoto mengajaknya ke tempat yang

aman untuk menceritakan segala sesuatunya Mereka

masih tetap tak ingin ada orang lain mendengarnya.

Karena itu mereka mendatangi tempat yang paling

memungkinkan untuk itu. Tepatnya di ruang bawah lanah

yang dijadikan gudang penyimpanan.

"Asal kalian tahu, selama ini aku mencurigai di

keluarga Hiroto ada seorang pengkhianat. Dengan begini,

kecurigaanku itu akan jatuh pada kalian! Apa benar kalian

pengkhianat? Benar?! Slompret kalau benar!" cerocos

Andika lagi. Sulit juga untuknya menganggap kedua orang

itu sebagai pengkhianat Kalau mereka adalah orang-orang

Seichi Onigawa kenapa tidak langsung saja

menyingkirkannya pada saat sedang payah seperti ini?

Sementara Seichi Oni gawa sendiri sudah menang satu

langkah dengan menawan Akimoto kecil.

"Sabar Andika San. Berilah kesempatan Nona Kissumi

mengambil napas...," mohon Fujimoto.

"Mcngambil napas?" Andika mendengus. "Kalau kalian

lebih lama diam, aku yang akan mengambil napas kalian!

Kalian mengerti?!"

Lalu si pemuda yang uring-uringan itu mulai mondar-

mandir dalam ruangan sumpek penuh barang-barang. Tak

dipedulikannya dada yang masih terasa sesak.

"Asal kau tahu Andika, aku sebenarnya bukanlah

geisha Hiroto San," mulai Kissumi. Perempuan molek itu

duduk di atas tumpukan karung gandum.

"Teruskan!" bentak Andika, sok galak. Dihajarnya peti

yang tertumpuk tinggi. Padahal tanpa disadarinya dia

meninju peti penyimpan telur.

Prak!

Andika langsung mencak-mencak seperti tak ingin

berhenti sampai kiamat menjelang ketika, wajahnya

dilanda tumpahan pecahan telur.

Fujimoto dan Kissumi berusaha sebisanya menahan

geli. Mereka ingin tertawa, tapi takut kalau pendekar muda

dari negeri asing itu mengamuk.

'Teruskan! Teruskan!" bentak Andika. Tangannya sibuk

membersihkan cairan kental di sekujur mukanya.

"Nenekku adalah geisha kakeknya Hiroto San,

Yoshioka...," mulai Kissumi lagi.

"Kau menyebut siapa?" wajah Andika jadi sungguh-

sungguh. Tangannya berhenti menyingkirkan bekas

pecahan telur. Seingat Andika, dia pernah mendengar

nama itu.

"Yoshioka," ulang Kissumi.

"Yoshioka? Orangtua bungkuk itu?" Andika ingin

mendapatkan kejelasan.

"Andika San sudah mengenalnya?" sekali ini justru

Kissumi yang melengak.

"Kakek yang selalu membawa toya itu?" Andika masih

penasaran. Bola matanya membesar.

"Benar," sahut Kissumi pasti.

"Bagaimana bisa dia adalah kakek Hiroto?" Andika

mengajukan pertanyaan membingungkan. Kissumi tak bisa

menjawabnya. Pertanyaan macam apa itu? Apa terlalu

aneh seorang lelaki tua menjadi kakek Hiroto? Lain lagi

kalau Yoshioka itu perempuan peot atau bocah belasan

tahun....

"Apa maksud Andika San dengan pertanyaan itu?"

Fujimoto jadi ikut-ikutan ngawur. Jelas pertanyaan Andika

barusan tak perlu ditanggapi. Anak muda tanah Jawa itu

cuma tak percaya kalau Yoshioka tua adalah kakek Hiroto.

Itu saja. Andika menepak kening keras-keras. "Aku heran,

bagaimana Hiroto yang begitu berwibawa punya kakek se

sinting dia...," gumam Andika tak kentara.

"Kenapa, Andika San?" Kissumi bertanya.

"Tidak. tidak apa-apa," kelit Andika. "Teruskan saja

ceritamu!"

Lalu, Kissumi pun melanjutkan ceritanya.

Seperti dikatakannya belum lama, dia adalah cucu

dari geisha Yoshioka. Karena begitu dekat dengan

Yoshioka, nenek Kissumi mengabdi sepenuhnya pada

Yoshioka. Ketika istri Yoshioka meninggal dunia, nenek

Kissumi pun dijadikan istri oleh Yoshioka. Dari istri

pertama, Yoshioka memiliki anak lelaki yang bakal menjadi

ayah Hiroto. Sementara perkawinan kedua Yoshioka

dengan geishanya menghasilkan se¬orang anak

perempuan yang nantinya menjadi ibu Kissumoi.

"Artinya, kau mau hubungan darah dengan Hiroto?"

Kissumi mengangguk, membenarkan.

"Karena tahu Hiroto dalam ancaman Seichi Oni-gawa.

Kakek Yoshioka meminta aku berpura-pura menjadi

seorang geisha. Dengan begitu, sewaktu-waktu aku bisa

membantu kesulitan Hiroto. Sekaligus dapat terus

mengabari Kakek Yoshioka tentang sepak terjang Seichi

Onigawa terhadap Hiroto. Kakek Yos hioka ingin membayar

perhatiannya yang dulu tak pernah didapat Hiroto darinya."

"Kenapa begitu?" potong Andika. Kissumi

melanjutkan. "Anak lelaki Kakek Yoshioka terpisahselama

berpuluh-puluh tahun karena satu kejadian. Ketika

bertemu kembali, anak laki lakinya sudah menjelang ajal di

tangan mus uh keluarga mereka dan meninggalkan seorang

anak yang beranjak dewasa. Dialah Hiroto," sambung

Kissumi.

Dengan begitu, pantas Hiroto tak mengenalinya ketika

bertemu dengan Yoshioka tua di Kuil Matahari. Orang tua

bungkuk bertoya itu diam-diam rupanya terus mengawasi

keselamatan cucu lelakinya. Semua tindak-tanduk Hiroto

didapatnya dari Kissumi. Ketika Hiroto hendak mengejar

Seichi Onigawa yang membawa lari anaknya. Kissumi pun

memberitahukan Yoshioka tua. Karena itu Yoshioka bisa

berada di sana terlebih dahulu.

Kissumi menuntaskan paparannya.

"Bagaimana dengan kau, Fujimoto.'" tanya Andika,

mengalihkan persoalan pada lelaki itu.

"Bagaimana apanya'.'" tanya Fujimoto tak mengerti.

"Slompret kau! Ya, tentu saja aku mau tahu kenapa

kau bisa mengetahui siapa Kissumi sesungguhnya!" hardik

Andika kesal.

"Suatu kali, aku memergoki Kissumi sedang menemui

Yoshioka," ucap Fujimoto singkat.

"Begitu saja?" susul Andika, belum puas.

Fujimoto baru hendak menjawab. Andika sudah cepat

mengibaskan tangan.

"Tak perlu dijelaskan. Aku tahu kesimpulannya.

Kissumi lalu membuka rahasianya padamu. Karena kau

adalah salah seorang bawahan setia Hiroto, kau pun

bekerja sama untuk melindungi keluarga Hiroto secara

diam-diam bersama Kissumi. Apa aku betul atau betul?"

"Betul?" Fujimoto mcnanggapi kesimpulan Andika

dengan mengacungkan ibu jari.

Tuntas mendengar semua rahasia yang selama ini

tersembunyi, timbul lagi pertanyaan lain yang perlu butuh

jawaban. Pendekar Slebor menyandarkan tangan pada

dinding. Wajahnya mengetat. Anak muda itu sedang

mengingat sesuatu.

"Aku menemukan pakaian hitam-hitam di tebing

depan rumah ini. Apa kalian tahu milik siapa itu?" aju

Andika lagi. Baru dia teringat pada masalah itu.

"Itu milikku," Fijimoto mengaku.

"Pada malam penculikan Akimoto, aku berusaha

menolong Akimoto. Karena ingin tetap merahasiakan

penyamaranku, kugunakan pakaian hitam itu dan pengikat

wajah ungu. Sayang, usahaku tak berhasil.

Andika tak cepat percaya. Pada dasarnya, dia masih

ingin membuktikan kebenaran ucapan Fujimoto.

"Kau bisa membuktikan?" selirik pemuda tanah Jawa

itu.

Fujimoto tanpa segan-segan membuka sebagian

pakaian atasnya. Di salah satu bahunya terlihat bekas luka

akibat lemparan senjata rahasia berbentuk bintang milik

seorang anggota Imada-Tong.

Andika benar-benar percaya kini.

"Kalau kalian berada di pihak Hiroto, lalu siapa yang

telah berkhianat?" bisik Andika kemudian dengan kening

berkerut.

"Akemi?" ungkap Kissumi ragu.

Andika menatap Kissumi dan Fujimoto bergantian.

Sama dengan Kissumi. Anak muda itu pun ragu, apakah

Akemi benar-benar musuh dalam selimut.

"Bagaimana menurutmu, Kissumi?" tanya Andika.

Gadis itu terdiam. Sulit baginya untuk membuat

kesimpulan yang menyangkut Akemi. Bukankah Akemi

adalah ipar Hiroto sendiri?

"Mungkinkah orang Seichi Onigawa sudi menikah

dengan salah satu keluarga musuh?" gumam Andika.

"Kenapa tidak?" tukas Fujimoto menyela. "Andika San

harus ingat. Di negeri ini, orang bahkan rela mengorbankan

nyawa untuk tujuannya...."

Andika bergidik. Benar kata Fujimoto.

***

8


Andika mengajak Kissumi dan Fujimoto cepat-cepat

ke dojo. Ketika di gudang bawah tanah, mendadak saja

anak muda itu teringat sesuatu. Belati yang dilemparkan

kepadanya sekilas dilihatnya terbungkus sesuatu.

Tak lama ketiganya sampai.

Pecahan baki dan belati masili tergolek serampangan

di lantai dojo. Pengelihatan sekilas Andika sebelumnya

tidak meleset. Tepat di gagang belati, mereka menemukan

semacam gulungan kertas.

Andika mengambilnyaa.

"Sehelai surat," ucap Andika begitu menemukan

tulisan kanji* di atas carikan tersebut. Diserahkannya surat

itu pada Kissumi. Andika hanya mempelajari bahasa

Nippon. Tidak termasuk cara membaca tulisannya.

Sejenak Kissumi menekuni. "Dari Seic hi Onigawa,"

tukasnya usai membaca surat tadi.

"Lelaki itu mengajukan penukaran Pedang Ekor Naga

dengan Akimoto. Tempatnya di danau besar propinsi

Obani...," Kissumi memberitahukan inti pesan dalam surat.

"Bagus! Akhirnya lelaki sial itu mengabari juga apa

maunya!" geram Andika.

Otaknya yang selalu berjalan dalam keadaan

bagaimanapun segera mengambil kesimpulan-kesimpulan.

Dia tahu, tentunya anggota Imada-Tong yang telah dibunuh

Kissumi menyangka dirinya adalah Hiroto. Bukankah

selama dua hari belakangan Hiroto terus di dalam dojo?

Tentu saja musuh dalam selimut di keluarga Hiroto

yang telah memberitahukan lawan kebiasan Hiroto di dojo

hari-hari belakangan!

Andika mengepalkan tinju. Teka-teki kini maki jelas.

Hanya tinggal mencari tahu, apakah Akemi benar-benar

seorang pengkhianat. Sebabselain dia, tak ada lagi orang

yang bisa dicurigai.

"Jadi bagaimana selanjutnya, Andika San?" Fujimoto,

samurai setia yang pernah menjadi bawahan Hiroto saat

shogun sebelumnya, tak sabar ingin mengetahui tindakan

yang harus mereka lakukan.

"Sebaiknya kau memberitahu pada Hiroto tentang

surat ini," putus Andika cepat.

"Bagaimana dengan aku?" Kissumi tak ingin

dilupakan bagiannya.

"Kau teruskan penyamaranmu. Selidiki Akemi!" alur

Andika lagi. "Aku sendiri...."

Kissumi dan Fujimoto menunggu.

"Aku punya rencana sendiri," tandas Andika

Kissumi hendak bertanya. Terlihat jelas dari sinar

keingintahuan di matanya.

"Rahasia!" elak Andika seraya mengedipkan sebelah

mata.

Pendekar muda pemilik nama besar itu ditahan oleh

Kissumi baru ketika hendak beranjak.

"Apa Andika San, sudah tahu cara menghadapi Seichi

Onigawa?" aju Kissumi hati-hati. Sepertinya dia tak ingin

menyinggung harga diri Andika.

Andika berbalik. Ditatapnya Kissumi lekat-lekat.

"Maksudmu apa?"

"Beberapa hari lalu, aku mengetahui Andika San

terlibat pertarungan dengan lelaki itu."

"Kau tahu?" Andika melengak.

"Bukankah Andika berhasil dikalahkan? Maaf, Andika

San...," tanya Kissumi tanpa mengatakan kalau dirinya

yang telah menolong Andika waktu itu. Di samping Kissumi

adalah orang berpakaian hitam yang berusaha

menggagalkan penculikan Akimoto. Kissumi jugalah orang

yang mencoba menghadang Seichi Onigawa saat

membawa Akimoto dengan kuda. Dia pula yang menolong

Andika saat nyawanya terancam tinju maut Seichi Onigawa

beberapa waktu

Andika meringis.

"Ya, aku maafkan. Tapi, jangan sekali lagi menyebut

soal itu," hindar Andika, mau enak sendiri. Dasarnya

memang dia sudah dipecundangi Seichi Onigawa, masih

juga dia mau memungkiri.

"Apa Andika San sudah tahu bagaimana

menghadapinya?" dua kali sudah Kissumi menanyakan

pertanyaan itu.

"Kau mengulang pertanyaan yang sama, Kissumi!"

tukas Andika. "Jelaskan saja secara singkat apa

maksudmu...." Bolehnya Andika sewot.

"Seichi Onigawa memiliki kesaktian simpanan. Andika

San."

"Yang itu aku sudah tahu. Ah, kau ini!"

"Aku tahu rahasia kelemahan kesaktiannya...,” aku

Kissumi.

"Kau tahu?" Andika mclengak lagi.

"Bagaimana?" kejarnya bernafsu sekali. Di benak

anak muda itu. terbayang dia membalas kekalahannya

tempo hari. Terbayang bagaimana dia akan membuat

Seichi Onigawa pontang-panting, mencium dengkulnya,

atau terbengek-bengek seperti dialaminya.

"Kakek Yoshioka membcrilahukan aku tentang kunci

kelemahan kesaktian Seichi Onigawa...."

"Tunggu! Tunggu! Aku bukan menanyakan bagairnana

kau bisa mengetahui kunci kesaktian manusia sial itu!

Yang aku tanyakan, bagaimana aku dapat

mengalahkannya," potong Andika seenaknya.

"Seichi Onigawa dapat...."

"Tunggu! Tunggu!" Andika menahan kalimat Kissumi

lagi. Aku rasa, cerita tentang Kakek Yoshioka brengsek itu

menarik juga. Bagaimana kalau kau menceritakan itu

dulu? Bagaimana dia bisa sampai tahu rahasia kelemahan

Seichi Onigawa....

Fujimoto di dekat Kissumi geleng-geleng kepala.

Susah juga menghadapi pendekar muda yang dibesar-

bcsarkan Hiroto San ini, gumamnya membatin.

Sesabar-sabarnya Kissumi, gadis itu mulai dongkol

juga dengan kebrengsekan Andika. Wajahnya jadi masam

tak bersahabat. Merajuk dia.

"Kenapa kau jadi diam?"

"Aku ingin yakin dulu. kau mau kuberitahu yang

mana," landus Kissumi sedikit ketus.

"Bukankah sudah kubilang aku ingin tahu soal Kakek

Yoshioka brengsek itu!"

"Dia kakekku, Andika San. Jangan sembarangan

menyebut namanya seperti itu!"

"O, bisa kualat.' Durhaka? Dosa besar? Waduh,

ampuni aku, Kakek Yoshioka...," cibir Andika.

"Ya, kau kuampuni! Tapi setelah kepalamu kubuat

bengkak dengan loya ini!" Seseorang tahu-tahu sudah

duduk di palang langit-langit dojo. Tahu-tahu pula dia turut

campur dalam pembicaraan Andika dengan Kissumi.

Andika, Kissumi dan Fujimoto mendongak. Semuanya

cukup terkejut mengetahui siapa yang berada di atas sana.

Tapi yang paling terkejut adalah Andika. Wajah pendekar

muda itu lantas merengut. Dilihatnya Kakek Yoshioka

sedang menjuntai-juntai kaki di sana.

"Orangtua besar adat...," rutuknya sebaL

Bletak!

Andika meringis. Tangannya mendekap kepala. Kakek

Yoshioka baru saja menghadiahkan satu timpukan kerikil

ke jidatnya.

"Sekali lagi kau mengatakan aku macam-macam,

bukan cuma kerikil yang kulempar ke jidatmu! Tapi ini!"

ancam Kakek Yoshioka sanibil mengacungkan loyanya.

Andika ngeri. Dia meringis parah.

Kakek Yoshioka melayang turun. Hinggap di dekat

Andika yang cepat-cepat menjauh. Ngeri kalau toya si

orang tua bungkuk itu mampir di jidatnya.

"Jadi ini anak muda yang sering dibicarakan orang-

orang Imada-Tong itu?" leceh Kakek Yoshioka pada Andika.

"Kata mereka kesaktianmu jempolan. Huh mana

buktinya? Belum lama saja kau dibuat mati kutu oleh

Seichi Pencundang itu!" sembur Kakek Yoshioka tak puas.

Andika sewot dibegitukan. "Jangan c uma bisa

menuding orang Iain, Orang Tua! Kenapa kau jadi lupa

kalau kau pun belum lama dibuat keok oleh lelaki sial itu!

Oh, iya aku lupa kau sudah pikun, bukan?" cemooh balik

Andika.

"Kapan aku pernah dikalahkan si pec undang itu?"

elak Kakek Yoshioka. Dia sungguh-sungguh menimpali

cemoohan Pendekar Slebor barusan. Seperti juga Andika

menimpali lecehannya. Mereka jadi mirip sepasang bocah

berebut pepesan

"Alah, jujur saja orang tua besar adat! Waktu aku

datang ke ruang bawah tanah Kuil Matahari, kau sedang

berusaha menyembuhkan luka dalammu, bukan? Kau

dapat dari mana kalau bukan dari Seichi Onigawa? Apa

tahu-tahu kau temukan luka dalam itu di lobang tikus?"

olok-olok Andika, makin menjadi.

Kakek Yoshioka kontan mendengus sehebat de-

ngusan kerbau ngamuk. Dia merasa didodori oleh anak

muda asing satu ini.

"Mulut tak tahu adat! Biar kusodok tenggorokanmu

dengan toyaku!"

Kissumi tak tahan lagi melihat tingkah tengik dua

lelaki bertaut usia itu. Dilerainya mereka. "Kapan persoalan

bisa selesai kalau kalian terus main olok-olokan seperti ini?

San...." Dengan tetap memperlahankan kesopanan pada

kakeknya, Kissumi mengingatkan.

"Coba kau tanya dia!" bentak Andika dan Kakek

Yoshioka berbarengan. Keduanya saling tuding satu

dengan yang lain.

Ampun....

***

Jika kau ingin anakmu selamat, datanglah ke danau

besar Obani, tepat pekan ke tiga musim ini. Bawa Pedang

Ekor Naga ke sana. Anakmu akan selamat jika pedang itu

kau serahkan padaku. Bila tidak, kau akan kehilangan

anakmu selamanya. Kujamin itu!

Seichi Onigawa

Hiroto menghajar lantai kayu dengan tinjunya ketika

selesai membaca surat dari Seichi Onigawa. Wajahnya

mematang secepatnya, memendam bara kemarahan.

Ketika sedang bersemadi di kamarnya, Fujimoto

datang mengantarkan surat itu. Kini Fujimoto duduk di

sebelahnya, menanti titah apa pun yang akan dibebankan

ke pundaknya.

"Selembar saja rambut anakku saja diusiknya, akan

kubelah kepalanya." geram Hiroto, bergeletar kemurkaan.

Ayah mana yang tak begitu jika anaknya terancam. Seekor

induk monyet dungu saja akan siap mencabik-cabik dalam

keadaan seperti itu. Apalagi Hiroto?

"Ada sesuatu yang bisa aku lakukan, Hiroto San?"

tanya Fujimoto hati-hati.

Hiroto melirik orang kepercayaannya itu. Mata merah

padamnya membuat Fujimoto bergidik.

"Terimakasih, Fujimoto. Aku tahu. kau siap mati demi

kesetiaanmu. Tapi aku meminta kau tak turut campur

dalam masalah ini...." tolak Hiroto. Dalam golak nada

bicaranya, dia tetap berusaha menjaga harga diri Fujimoto.

"Tapi...."

Hiroto mengangkal tangan. mcnahan ucapan

Fujimoto.

"Aku tahu. Aku hanya ingin kau tahu. Urusan ini

adalah urusan antara aku dengan Seichi Onigawa ke-parat

itu. Biar aku yang menyelesaikan sebagai seorang samurai

sejati sekaligus sebagai seorang ayah sejati yang

bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan

anaknya...."

Kalau sudah begitu, Fujimoto bisa bilang apa lagi?

"Apakah Andika San tahu soal ini?" tanya Hiroto.

Fujimoto agak ragu menjawab, "Tidak, Hiroto San...."

Lelaki itu dengan terpaksa berdusta. Andika atau

Kissumi memintanya untuk berdusta jika Hiroto

menanyakan perihal surat Seichi Onigawa. Sebab menurut

pertimbangan mereka berdua, Hiroto akan tersinggung jika

mereka mencoba membantu. Sebaiknya bergerak diam-

diam, begitu pikir mereka.

Hiroto mengangguk. Jawaban Fujimoto

memuaskannya. Mata merahnya menerawang jauh. Ada

selingkup kerinduan menyelinap di mata sipit itu. Tentu

saja pada anak tercinta yang sudah lama tak ditemuinya.

Ada kecemasan, ada pula kegeraman. Semuanya berbaur

menjadi satu.

"Pekan ke tiga musim ini jatuh besok hari. Besok,

tolong siapkan kudaku pagi-pagi sekali. Fujimoto...,''

desahnya.

Fujimoto membungkuk. "Baik," sahutnya.

***

9


"Kau hanya akan dapat mengalahkan Seichi Onigawa

dengan cara berlawanan...," tutur Kakek Yoshioka pada

Andika. Saat itu dua lelaki bertaut usia itu sedang

merembukkan sesuatu di bawah tebing depan rumah

rahasia Hiroto. Tempat itu mereka anggap aman, tanpa

diketahui Hiroto atau lawan yang mungkin saja menyelinap.

"Tapi aku tetap tak mengerti kenapa kau bisa di-

kalahkan manusia sial itu. Kalau kau tahu kunci ke-

lemahannya, mestinya dia telah kau buat bertekuk-lulut.

Bukan malah kau...." cibir Andika. Pertengkaran di gudang

kemarin tak membuat anak muda itu penasaran.

Kedongkolannya dengan orang tua bungkuk itu sudah

lunas. Cuma dia hanya ingin tahu sesuatu. Andika ingin

memastikan kenapa Seichi Onigawa bisa mengalahkan

Kakek Yoshioka. Tentu ada hal yang bisa dipelajarinya.

Karena orang tua ini termasuk makhluk langka yang

sulit diajak berdamai. mau tak mau Andika harus punya

satu cara agar dia mau bercerita tentang kekalahannya

tanpa merasa harga dirinya terusik. Kakek Yoshioka

menaikkan pangkal hidungnya, seperti seekor serigala mau

mengamuk.

"Kau benar-benar anak muda banyak mulut! Kenapa

kau tak diam dan mendengarkan apa kataku saja!"

"Karena aku tak mau dikibuli!" debat Andika.

"Sial! Aku tak mengibulimu!"

"Tak mengibuli? Heh!" Andika mencibir. "Seorang yang

mengaku tahu cara buang hajat tapi tak pernah buang

hajat, apa itu tidak ngibul?" sindirnya.

"Tapi aku tak ingin menjelaskan soal buang hajat

padamu!" gertak Kakek Yoshioka, terpancing.

"Rasanya kau memang mau menjelaskan itu!"

Dari silanya, Kakek Yoshioka bangkit mendengus-

dengus. Napas tuanya terseret-seret, menahan kegusaran.

"Kau mau membalas kekalahanmu pada Seichi

Pecundang itu atau tidak'.'!"

Andika ikut berdiri. Dadanya dibusungkan tepat di

depan wajah Kakek Yoshioka yang bertubuh lebih pcndek.

"Kau bisa menyebut dia 'pecundang', ya? Hebat

sekali.... Bukankah kau semestinya yang disebut

pecundang?"

Gigi tinggal beberapa butir milik Kakek Yoshioka

bergemeletuk.

"Khauuu mhauu mengalahkhan dia apa thidaakh!"

bentaknya mulai tak jelas, saking dadanya ditanduki

kedongkolan minta ampun.

"Aku tetap akan membalas kekalahanku," sesumbar si

anak muda. Makin kalap Kakek Yoshioka, makin senang

dia. Biasalah, sifat kurang ajarnya lagi kumat.

"Ya. kau akan dibuat kembang-kempis! Lebih sial lagi,

kau mungkin akan dilempar ke liang lahat!"

"Tak bisa..., tak bisa...," Andika mendongak-dongakan

dagu.

Kakek Yoshioka makin berantakan. Dia berdiri serba

salah. Berjalan hilir-mudik serba salah. Juga menatap

pemuda di depannya serba salah.

"Kalau kau bukan pemuda yang kuharapkan bisa

menolong cucuku, Hiroto, akan kulabrak kepalamu

sekarang juga!" geramnya.

"A ha, kau akhirnya punya rasa rendah hati juga!"

sentak Andika. Wajahnya berseri. "Sebetulnya, itu yang

amat kurindukan darimu sejak kita berjumpa, Orang Tua!"

Lalu Andika mendekap tubuh melengkung Kakek

Yoshioka. Dirangkulnya ketat-ketat tubuh keropos itu,

diurak-uraknya, diputar-putarnya....

"Sinting! Turunkan aku!" hardik Kakek Yoshioka.

nyaris putus napasnya.

Andika menurunkan lelaki tua itu. Ditepuk-tepuknya

pakaian Kakek Yoshioka untuk meratakan kerutan.

"Sekarang, aku tahu kau masih memiliki rasa rendah

hati. Biarpun sudah bangkotan, hatimu tidak benar-benar

membatu. Sekarang pasti kau sudi menjelaskan padaku

kenapa kau sampai bisa dikalahkan Seichi Onigawa?" rayu

Andika, berbalik seratus delapan puluh derajal dari sikap

sebelumnya.

Masih dengan agak merajuk dan wajah terlipat, Kakek

Yoshioka masuk perangkap si pemuda berotak encer. Dia

mulai 'rela' menceritakan muasal kekalahannya atas Seichi

Onigawa.

"Sebetulnya, dia itu memiliki satu hal di luar kesaktian

andalannya...," mulai Kakek Yoshioka, masih agak malas-

malasan. Andika tersenyum.

"Terus? Terus? Wah, makin nyata saja kau benar-

benar rendah hati.... Kau seorang tua yang mulia, Orang

Tua!" puji Andika, mencoba terus mendongkel-dongkel.

Sementara, dalam hati dia terus terkikik-kikik.

"Dia itu licik! Dasar pecundang!"

"Licik bagaimana?" kejar Andika.

"Ah, sudahlah!" putus Kakek Yoshioka. Penuh

kekesalan, dihantamnya tepi tebing dengan loya.

Andika tahu, Pasti si congkak tua ini tak sudi disebut

tua bangka yang bodoh, mau diliciki oleh anak kemarin

sore seperti Seichi Onigawa.

"O, jelas tidak! Jelas kau tidak bisa dikibuli oleh Seichi

Onigawa sial itu. Kecuali hanya karena kau belum

beruntung saat itu, bukan?" sergah Andika bergegas. Takut

orang tua bungkuk itu ngadat lagi.

Kakek Yoshioka seperti dikipasi. Wajahnya jadi agak

nyaman kembali.

"Asal kau tahu, dalam segala hal dia amat licik.

Jangan tertipu oleh tindakannya! Yang paling penting kau

mesti yakin pada tindakanmu! Jelas?!" ujar Kakek

Yoshioka, angkuh.

"Jelas! Jelas!"

"Nah. sekarang mari kujelaskan soal kunci kelemahan

kesaktian Seichi Pencundang itu!" Sebentar Kakek

Yoshioka mondar-mandir, menyeret-nyeret langkah di

permukaan batu tebing.

"Seichi Onigawa memiliki Ninjitsu Hitam tingkat tinggi.

Hanya segelintir orang yang bisa mencapai taraf itu. Si

Pecundang itu tampaknya beruntung. Kesaktian itu

didapatnya dari mendiang kakeknya, yang juga

musuhku...."

"Jelaskan saja langsung ke intinya!" potong Andika, lak

sahar. Lagi pula buat apa dia mendengar cerita usang yang

sama sekali tak diperlukan? Yoshioka mulai jengkel lagi.

"Bagaimana kalau kau menjelaskan cara aku

menghadapi kesaktian yang membuat tubuhku sulit

bergerak?" tawar Andika dengan seulas senyum merayu.

Susah bicara dengan makhluk langka keras kepala seperti

dia, rutuknya dalam hati. Lalu anak muda itu mendekati

Kakek Yoshioka. Mau membujuk-bujuknya lagi.

"Jangan dekat...," tukas Kakek Yoshioka.

Andika mengurungkan langkah.

"Baik, aku tak akan mendekatimu...," ujarnya seraya

mengedikkan bahu.

"Tolol! Yang kumaksud bukan itu!" hardik Kakek

Yoshioka. Biji mata kelabunya mencorong.

"Kau tak boleh mendekati Seichi Onigawa saat

bertarung. Bila kau masuk dua tombak saja dari sekeliling

tubuhnya. maka otot-ototmu akan terkunci. Paham?!"

"Ooo...:

"Soal tinju mautnya...," Kakek Yoshioka hendak

memulai lagi. Tapi Andika langsung menukas.

"Soal itu, aku tak ada masalah!"

"Ei! Pemuda tak tahu diuntung! Mestinya kau

menghargai aku karena mau mengungkap semua rahasia

kelemahan kesaktian Seichi Pecundang itu. Biarkan aku

bicara sampai selesai dulu dan...."

Bibir kcriput Kakek Yoshioka terus menyerocos. Diam-

diam. Andika berjingkat-jingkat di belakangnya.

Ditinggalkannya orang tua itu sendiri. "Kalau maumu aku

membiarkan kau bicara sampai selesai, baik!" gerutu

Andika disisipi rasa geli. Dan Kakek Yoshioka terus saja

menyerocos.

***

Hari terlampaui. Matahari mencoba usaha

pertamanya melepas sinar lamat berwarna jingga. Ufuk

timur ramah. Angin bertiup, seramah pelengkap suasana

pagi muda yang Iain.

Pagi-pagi seperti itu, Hiroto sudah menggebah kuda

hitamnya. Pekan ketiga musim semi jatuh pada hari itu. Di

mana Seichi Onigawa memerintah Hiroto untuk datang ke

danau besar Obani.. propinsi yang berscbelahan dengan

Kyoto.

Di punggung lelaki itu berlengger katana yang biasa

disebut Pedang Ekor Naga. Pedang itu sesungguhnya biasa

saja. Tak beda dengan pedang-pedang lain, tanpa

keistimcwaan apa-apa. Hanya seni pembuatannya memang

tergolong tinggi. Gagang pedangnya dilapisi kulit seekor

ular jenis langka. Sementara sarung pedang dibuat dari

kayu yang juga langka. Batang pedangnya terbentuk dari

tiga jenis logam berbeda. Di bagian batangnya ada

semacam gambar timbul berbentuk ekor naga.

Dan kalau Seichi Onigawa begitu bernafsu ingin

memiliki Pedang Ekor Naga, itu semata karena dia

menganggap pedang itu sebagai lambang dari kehormatan

buyutnya, murid tertua Sensei Ekor Naga. Tak ada lain

alasan.

Di lain pihak. Hiroto bersikeras mempertahankannya

pun dengan alasan serupa. Dia juga menganggap pedang

itu adalah lambang kehormatan garis keturunan buyutnya,

murid bungsu Sensei Ekor Naga.

Dilepas oleh bekas samurai setianya, Fujimoto, lelaki

itu berangkat dari rumah pengasingan rahasia. Akemi,

Kissumi, dan Andika tak terlihat. Mereka tak perlu

diberitahu, begitu pesan Hiroto pada Fujimoto. Seperti niat

sebelumnya, Hiroto memang tak ingin melibatkan siapa

pun dalam hal ini. Baginya perkara Seichi Onigawa adalah

urusan pribadi yang mesti di-selesaikan sendiri.

Sebelum Hiroto benar-benar melarikan kudanya

dalam kobaran semangat membakar. Fujimoto

menahannya.

Dengan menahan tali kekang kuda, Hiroto bertanya.

"Ada apa?"

"Bagaimana jika Hiroto San tak berhasil membawa

pulang Akimoto?" tanya Fujimoto. "Apa sebaiknya aku

memberitahukan Andika San dalam jangka waktu tertentu?

Seperti kepergian Hiroto San sebelumnya?"

"Kau boleh memberitahukan Andika San. jika dalam

dua pekan aku tak kembali. Katakan padanya aku

memohon pertolongan untuk menyelamatkan Akimoto!"

pesan Hiroto. Seperti tak ingin kehilangan waktu

sedetikpun, dia berseru sementara kudanya sudah berlari

kencang.

Sepergian Hiroto, Andika dan Kissumi keluar.

"Bagaimana?" tegur Andika.

Fujimoto tanpa menoleh menjawab.

"Tampaknya dia tetap tak ingin seorang pun dari kita

membantunya."

Kissumi mengeluh.

"Jadi bagaimana cara kita membantu dia? Kalau kita

terang-terangan, pasti dia akan marah besar. Kalau kita

memakai topeng kain, nanti dia mengira kita anggota

Imada-Tong."

"Tenang Kissumi," tukas Andika. Bibirnya tersenyum

seperti meremehkan persoalan.

"Kau punya cara menolong Hiroto San tanpa

membyatnya marah?" Kissumi ingin tahu apa yang ada di

benak pemuda slebor itu.

Andika cengengesan.

"Itu rahasiaku!" kelit Andika. Dikerdipkannya sebelah

mata pada Kissumi. Fujimoto pun kebagian.

Cuma lelaki itu jadi agak melongo. Sejak kapan

pendekar muda yang dikagumi bekas atasannya punya

penyakit genit dengan kaum sejenis? Perangah hatinya.

***

10


Danau besar Obani. Hiroto sampai di sana. Tak ada

tanda sehimpun kemarahan padanya. Wajah dan sikap

samurai muda itu sarat ketenangan. Juga dingin.

Sementara tatapannya begitu beku.

Sekitar seratus tombak dari danau, seseorang telah

menunggunya. Orang itu tak lain Seichi Onigawa. Hiroto

membawa kudanya ke dekat lawan. Tinggal berjarak

sepuluh depa, dia berhenti. Turun dari kuda, dan berdiri

menantang Seichi Onigawa.

"Mana anakku, Seichi?!" Hiroto membuka pertanyaan.

Tanpa berniat cepat-cepat menjawab, Seicih Onigawa

tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya matanya hanya

tertuju pada gagang pedang di punggung Hiroto.

"Ha ha ha! Akhirnya kau bawa juga Pedang Ekor Naga

yang telah kau simpan bertahun-tahun itu!"

"Mana anakku?!" ulang Hiroto, lebih mengguntur.

"Sabar! Sabar! Anakmu dalam keadaan baik-baik saja.

selama kau masih berniat memberikan pedang itu

padaku...," ujar Seichi, mengulur-ngulur waktu.

Hiroto tanpa banyak cakap melepas ikatan Pedang

Ekor Naga dan punggungnya. Digenggamnya pedang itu di

tangan kanan.

"Ini pedang yang kau mau! Sekarang mana anakku'.'!"

Seichi Onigawa mengangguk-angguk. Dia bersuit.

"Suittt!"

Dari sebuah perahu yang tertambat di tepi danau

muncul seorang anggota Imada-Tong. Di sampingnya

seorang anak telah berdiri.

"Akimoto...," desis Hiroto.

"Ayah!" teriak Akimoto di kejauhan. Anak itu hendak

berontak. Ninja di sebelahnya menahan gerak anak kecil

itu dengan cengkeraman tangan.

Dengan wajah tak berubah. Hiroto mengirim isyarat

pada anaknya untuk tenang. Sengaja lelaki itu melempar

senyum, agar hati si anak lebih merasa aman.

"Jadi, bagaimana aturan mainnya?" aju Hiroto pada

Seichi Onigawa.

"Mudah saja!" Seichi Onigawa menanggapi.

"Kau harus meletakkan pedang itu di bawah pohon

itu!" Seichi Onigawa berseru seraya menunjuk sebatang

pohon besar yang tak jauh dari tempat berdiri nya.

Hiroto menatap tajam-tajam mata lawannya.

"Aku akan menyerahkan pedang ini kalau kau telah

melepaskan Akimoto!" desisnya tegas, tandas.

Seichi Onigawa terbahak lagi.

"Apa kau kira aku akan tertipu dengan muslihat busuk

macam itu, Hiroto? Kau jangan bodoh! Tak ada yang mesti

kau perbuat kecuali mengikuti aturan mainku!" ancam

Seichi Onigawa. Dengan menjentikan jari, dia melepas

isyarat pada ninja di dekat Akimoto.

Ninja tadi beranjak dari atas perahu. Naik ke darat

bcrsama Akimoto di dekatnya. Di darat, pedang pendeknya

diloloskan. Senjata itu lalu dihunuskan di dekat leher si

bocah kecil.

"Kau lihat,"leceh Seichi Onigawa, merasa berada di

atas angin.

"Kepala anak lelaki kesayanganmu akan terpisah dari

badannya kalau kau tak segera meletakkan Pedang Ekor

Naga di bawah pohon itu!" tegas Seichi Onigawa lagi.

Bibir Hiroto menyeringai. Ancaman lawan seperti

bukan apa-apa buatnya.

"Kau memang punya anakku. Tapi kau pun tahu, aku

punya pedang ini...."

Seichi Onigawa mcnautkan alis. Apa dia tak salah

mendengar ucapan lawan? Tampaknya Hiroto sedang

bertaruh dengan nyawa anaknya sendiri. Itu sama sekali

tak pernah diperhitungkan Seichi Onigawa.

"Kau mau ikuti aturanku, atau kau tak dapatkan

pedang yang kau idam-idamkan ini?" terabas Hiroto lagi.

"Kau akan menyaksikan kepala anakmu

menggelinding segera!" geram Seic hi Onigawa. Hendak

dicobanya menggentarkan hati seorang ayah terhadap

nasib anaknya.

"Kuhitung sampai tiga! Bila kau tak segera me-

letakkan pedang itu maka jangan harap anakmu selamat,"

lanjut Seichi Onigawa beringas. Dan dia pun mulai

menghitung.

"Satu...!"

Hiroto tak bergemik. Wajahnya tetap beku, tanpa

bersit kegentaran. Matanya tepat menembus manik mata

Akimoto, seakan berkata-kata tanpa terucap.

"Dua...!"

Hiroto tetap berdiri kaku.

"Kau benar-benar akan menyesal, Hiroto! Dia adalah

anak satu-satunya yang diberikan mendiang istrimu

tercinta, bukan?" Masih saja Seic hi Onigawa mencoba

meruntuhkan jiwa Hiroto dari dalam.

Tapi, usahanya sia-sia. Hiroto seperti telah siap

mengorbankan segala sesuatu yang paling dicintainya.

Termasuk Akimoto!

Seichi Onigawa mendengus, gusar tak alang kepalang.

Rupanya dia telah salah perhitungan pada musuh

bebuyutannya kali ini.

"Baik!" tandasnya, akhirnya. Seichi Onigawa me-

nyerah pada aturan yang diajukan Hiroto. meski wajahnya

sama sekali tak mengakui itu.

Hiroto tersenyum tipis. Seperti juga Kakek Yoshioka,

Hiroto pun amat tahu bagaimana sifat Seic hi Onigawa

sesungguhnya. Dia adalah lelaki berotak licik dan culas.

Tapi, dia tak memiliki pendirian kokoh. Pribadinya gampang

terhuyung.

"Tapi, bagaimana aku bisa percaya kalau pedang itu

adalah pedang asli?!" lontar Seichi Onigawa lagi, sebelum

dia memutuskan untuk melepaskan Aki¬moto.

"Aku bukan seperti dirimu, Seichi! Aku menganut

bushido. Bagiku, perkataanku adalah harga diriku. Pantang

untukku menjilat ludah yang telah kubuang!" tandas Hiroto.

Sejenak Seichi Onigawa menimbang. Tangannya

memainkan dagu. Selanjutnya dia menjentikkan tangan

lagi pada ninja di belakangnya, mernerintahkan orang itu

melepas Akimoto.

"Jangan clilepas Seichi!" cegah suara perempuan, tiba

tiba. Suaranya datang dari arah yang sama dengan arah

kedaiangan Hiroto.

Hiroto tak cepat menoleh. Benaknya disibuki oleh

pertanyaan yang mendadak menyeruak. Dia me-ngenal

suara itu. Apakah dia salah dengar?.

Hiroto hendak memastikan. Dia menoleh.

Betapa terkesiapnya dia kala itu juga mendapati

wanita yang baru hadir.

"Akemi...?" bisik Hiroto, nyaris lak dipercayai sama

sekali penglihatan sendiri.

Akemi berdiri angkuh. Bertolak-belakang sekali

dengan sifat yang dikenal Hiroto selama ini.

"Jangan sekali-kali kau berikan anak itu pada dia,

Seichi!" seru Akemi lagi. Setelah mengucapkan itu, Akemi

melangkah mendekati ninja yang menahan Akimoto. Tepat

di samping anggota Imada-Tong tadi, wanita itu berdiri.

"Apa yang kau ketahui Akemi?" tanya Seic hi Onigawa.

Lelaki berjiwa busuk ini tampak sudah demikian mengenal

Akemi. Tampak jelas dari garis wajah dan sikapnya.

"Aku menyaksikan dia membawa pedang pals u. Dia

tak sungguh-sungguh ingin menyerahkan Pedang Ekor

Naga padamu. Dia datang ke sini hanya untuk

menyelamatkan anaknya, dengan cara menipumu!" tutur

Akemi meledak-ledak. Parasnya jadi demikian bengis.

Ledakan tawa Seichi Onigawa merangsak angkasa.

"Hiroto.... Hiroto.... Kau mimpi kalau hendak mengadu

kelicikan denganku!" cemooh Seichi Oni-gawa. Lelaki itu

bertolak-pinggang, menyombongkan siapa dirinya.

"Kau terkejut melihat Akemi? Sekaranglah saatnya

kau mengetahui, bahwa Akemi adalah sepupuku. Dia yang

kukirim dua sekitar tiga tahun lalu untuk menelusup ke

dalam keluargamu. Aku memang punya rencana matang

yang butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.

Kuperintahkan dia agar bisa menjadi istri adikmu. Dan dia

sudi berkorban demi kehormatan keluarga kami. Demi

Pedang Ekor Naga. Dia pun tak keberatan mengandung

anak adikmu, selama rencana kami bisa berjalan dengan

mulus! Hahaha!!

Di lain sisi, wajah Hiroto berubah. Semula dia tampak

tenang, kini ada kekacaunan di parasnya. Tangannya

menggenggam sarung pedang keras-keras seperti hendak

menghancurkannya.

Menyaksikan itu, Seichi Onigawa terbahak lagi.

Hiroto hendak berkata, tapi Seichi sudah memancung

tawa dan menyela.

"Sekarang ikuti aturanku, Hiroto! Kembali ke

tempatmu dan ambil pedang yang asli! " ancamnya

mendengus.

"Ya, kalau kau tak mengikuti perkataannya, aku akan

menebas batang leher anak ini!" Akemi menimpali.

Digenggamnya gagang pedang yang tergantung di

pinggangnya. Sementara ninja yang memegang Akimoto

menundukkan anak itu. Kepalanya siap dipenggal!

Hiroto makin disudutkan. Dia tak tahu lagi apa yang

masih bisa dilakukan kecuali menuruti kemauan Seichi

Onigawa dengan sedikit harapan yang begitu tipis. Dia tak

mungkin berharap Seichi Onigawa akan bersikap ksatria.

Dia cuma anjing culas tak punya harga din!

Meski begitu. Hiroto tak langsung pergi. Dia seperti

tertahan oleh kecamuk sesuatu dalam benaknya. Dia tak

percaya kalau Akemi selama ini adalah seorang

pengkhianat. Tapi dia pun tak percaya kalau Akemi

mengatakan pedang yang dibawanya adalah pedang pals u.

Padahal, Hiroto tak sedikit pun berniat menyerahkan

pedang pals u pada Seichi Onigawa. Yang digenggamnya

sekarang ini justru pedang asli!

Hal itu benar-benar membingungkan Hiroto.

Hiroto bagai disentak sengatan lidah petir ketika

dengan tiba-tiba Akemi meloloskan pedangnya. Pasti

vvanita itu mengira dia tak menggubris ancaman

Seichi Onigawa! Pekik Hiroto dalam hati. Dia seperti

hendak berteriak menahan. Sayang terlambat.

Wukh!

Crash!

Sepotong kepala saat itu juga mcnggelinding di tanah!

Darah memercik ke mana-mana.

Hiroto berdiri kaku. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa

digerakkan lagi. Tak ada yang lebih pantas dibandingkan

dengannya saat itu selain dengan mayat hidup. Pucat.

beku dan kaku.

Namun, bukan c uma Hiroto saja yang terperanjat

menyaksikan perbuatan Akemi. Seichi Onigawa pun tak

kalah terperanjat. Matanya membesar terpaksa di balik

kelopak sipilnya. Dia tak percaya yang dilihatnya! Tak

percaya!

Apa terjadi?

Akemi kini merangkul Akimoto. dibopongnya lalu

dibawanya bocah itu menyingkir dari dekat Seichi Onigawa

yang masih terkaku. Kepala yang menggelinding barusan

adalah kepala anggota Imada-Tong yang menahan

Akimoto!

Disebelah tangannya, tergcnggam pedang

mempesona berwarna merah bara. Warnanya terang

menyilaukan. Itulah Pedang Pusaka Langit! Pedang milik

Pendekar Slebor yang dihadiahkan seorang sahabatnya

dari kerajaan Cina! Hanya dengan membungkus gagangnya

dengan sejenis kulit, pedang itu jadi terlihat lain jika tidak

diloloskan.

Akemi kah yang memegangnya?

Bukan! Pedang itu tak bisa sembarang dipercayakan

kepada orang lain. Perempuan itu bukanlah wanita

sesungguhnya. Dia adalah Pendekar Slebor!

Setelah kecurigaannya hanya tertuju pada Akemi

seorang, Andika mencoba menjalankan rencana untung-

untungan. Dia memang belum sempat memastikan apakah

Akemi benar-benar pengkhianat.

Usaha untung-untungnya itu membawa hasil

Pendekar Slebor dapat menyelamatkan Akimoto sekaligus

menyelamatkan Pedang Ekor Naga. Karena menurut

Kissumi, jika pedang itu berhasil dimiliki Seichi Onigawa,

Hiroto akan melakukan seppuku. Pasti Hiroto sudah

menganggap dirinya berkhianat pada buyutnya karena

telah menyerahkan pedang kehormatan itu pada Seichi

Onigawa. Andika tentu tak ingin kehilangan Hiroto, seperti

juga tak ingin kehilangan Akimoto!

Lalu anak muda itu pun mempreteli topeng halus yang

dibuat dari campuran getah tanaman khusus. Juga kimono

yangdikenakan.

Kini terlihat penampilan sesungguhnya. Anak muda

berpakaian hijau-hijau, dengan selendang bercorak catur di

bahunya.

Seraya memaju-majukan bibir tak setiap, anak muda

konyol itu meledek Seichi Onigawa, seperti sebelumnya

Seichi mengejek Hiroto.

"Seichi... Seichi... Kau mimpi jika hendak mengadu

kelicikan denganku! He he he!"

"Kau..., rupanya kau belum jera!" dengus Seichi

Onigawa berat tersedat, dijejali kemurkaan tak terhingga.

Biar tahu rasa dia, pikir Pendekar Slebor.

"Jera? Terus terang saja, aku ini termasuk orang keras

kepala. Jera itu jadi sesuatu yang lucu di benakku. Seperti

lucunya tampangmu ketika terkejut tadi!" ledek Pendekar

Slebor.

"Kali ini, kau tak akan kuberi kesempatan hidup!"

Andika melirik Akimoto. Dikerlingkan matanya pada

anak itu.

"Kau dengar kera berkumis itu bicara?" katanya pada

Akimoto. "Dia pikir aku masih bisa dibuat bertekuk-lutut!"

Akimoto nyengir, memperlihatkan gigi ompongnya,

menyaksikan tampang ketolol-tololan yang diperlihatkan

Andika.

"Jadi, apa Paman bisa membuat 'kera berkumis' itu

yang bertekuk-lutut pada Paman?" tukas si bocah dengan

suara melengking girang. Senang bukan main

dia bisa menyebut musuh ayahnya dengan sebutan

'kcra berkumis'. Asal dia tidak sudah ketularan penyakit

sableng pemuda itu saja!

"Kau mau kubuat jadi apa 'kera berkumis' itu? Jadi

bubur. tahu. atau tulangnya kita jadikan mainanmu?"

"Bangsat!" Seichi Onigawa menggertak. Dia hendak

melabrak dengan tinju geledeknya. Srang!

Melihat gejala itu, Hiroto langsung melepas Pedang

Ekor Naga di tangannya.

"Pedang Ekor Naga...," desis Seichi Onigawa gusar

bukan main. Betapa dia telah dikibuli demikian rupa oleh

pemuda asing sial itu.

"Sekarang aku siap mengadu jiwa denganmu Seichi!"

geram Hiroto padat ancaman.

"Tak perlu!" sergah Andika.

Hiroto terheran.

"Aku tahu dia akan menyingkir dari sini. Dia tak cukup

punya nyali untuk menghadapi kita berdua. Jangankan

untuk menghadapi kita, menghadapi aku saja kali ini

mungkin dia tak punya kesempatan menang. Kakek

Yoshioka sudah cerita banyak soal 'isi perut' kera berkumis

ini...," leceh Andika. Disebutnya kelemahan kesaktian

Seichi Onigawa dengan sebutan 'isi perut'. "Ayosana lari.

Sana! Hus-hus!"

Seichi Onigawa bimbang sejenak. Meski napasnya

sudah tersengal-sengal terus ditanduki kegusaran, sifat

pengecutnya mulai berkecambah lagi saat itu juga. Apalagi

ketika Andika menyebut-nyebul soal Kakek Yoshioka.

"Kau pemuda asing! Tunggu pembalasanku! Satu saat

aku akan menjadi mimpi burukmu, meski kau telah

kembali ke negerimu! Dan kau, Hiroto! Jangan harap aku

berhenti untuk memiliki Pedang Ekor Naga. atau berhenti

untuk menumpas seluruh keluargamu!" ancam Seichi

Onigawa.

Sesudah itu Seichi Onigawa benar-benar melarikan

diri.

"Dasar pecundang!" maki Andika, mengekori gaya

Kakek Yoshioka menyebut Seichi Onigawa.

"Dasar pecundang!" Akimoto ikut-ikutan.

Hiroto yang hcndak mengejar Seichi Onigawa ditahan

Andika.

"Biarkan dia pergi, Hiroto!" sergah Andika. "Selama

ada Akimoto bersama kita, terlalu berbahaya bertarung

dengannya. Sebaiknya kita pulang...," lanjutnya.

Hiroto terdiam. Dimasukkannya Pedang Ekor Naga

yang selama ini terus menjadi silang sengketa ke dalam

sarungnya. Ditatapnya lama-lama benda itu.

"Pedang ini yang menjadi sebab seluruh

kekacauan...," gumamnya samar.

Lalu dilemparkannya pedang itu jauh-jauh ke tengah

danau dingin Obani.

"Hei, bukankah pedang itu berarti harga dirimu?!" seru

Andika tak mengerti.

"Ya. Selama aku tak menyerahkan pada Seichi, aku

tetap bisa menjalankan amanat dari Sensei Ekor Naga.

Sekarang, sudah waktunya alam yang menjaga...," gumam

Hiroto lagi.

"Sekarang mari kita pulang, Andika San. Ada yang

harus kita selesaikan dengan Akemi...."

"Ya," keluh Andika dalam hati. Bagaimana mereka

harus memperlakukan wanita itu nanti. Mudah-mudahan,

bayi yang dilahirkannya buah dari perkawinan dengan

Jotaro menyadarkan dia untuk selamanya. Andika berharap

dalam hati.


                       SELESAI


Segera menyusul serial Pendekar Slebor selanjutnya:

ISTANA SEMBILAN IBLIS




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive