RAHASIA SANG GEISHA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan peitama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:
Rahasia Sang Geisha
128 hal
1
Satu pepatah lama menyebutkan musuh jangan
dicari. Tapi kalau musuh menghampiri, jangan sekali lari.
Sikap seperti itu telah diterapkan keluarga keturunan
murid bungsu Sensei* Pedang Ekor Naga.
Salah seorang dari mereka adalah Hiroto. ksatria
sejati yang mengambil jalan para bushido* di negeri
Sakura. Hari boleh saja berganti, bulan boleh berlalu. Atau
tahun serta abad boleh terus berubah. Tapi jalan hidupnya
tidak. Dia memegang teguh apa yang diyakininya dengan
kehormatan atau nyawa sekali pun.
Kalau keluarganya kini ada yang memus uhi, demi
kehormatan, dia tak akan menyingkir. Akan dihadapinya
semua ancaman dengan keberanian seorang samurai
sejati. Tidak lari seperti pecundang.
Seichi Onigawa, salah seorang perwira shogun yang
berkuasa kini adalah musuh besarnya. Dia adalah
keturunan dari murid sulung Sensei Pedang Ekor Naga.
Saat ini, Seichi Onigawa telah menyandera anak satu-
satunya. Dan itu bagi Hirolo adalah sangkakala perang
yang harus dihadapi. Bukan dihindari. Meski pada
dasarnya. Hiroto sendiri membenci permusuhan yang terus
saja berkobar turun-temurun itu.
Ke Kuil Malahari, Hiroto memburu. Di sana dia
berharap dapat menghadapi Seichi Onigawa yang telah
menyandera Akimoto anaknya. Hiroto amat tahu apa yang
dikehendaki Seichi Onigawa. Lelaki berjiwa binatang
namun bersosok manusia itu sebenarnya tak c uma
menginginkan Pedang Ekor Naga warisan Sensei Pedang
Ekor Naga. Seichi Onigawa menyimpan kebencian
mendalam pada seluruh keluarga keturunan murid bungsu.
Dan kebencian itu kian lama kian menjadi karat busuk
yang memicu nafsu membantainya!
Senja jatuh juga. Matahari bertekuk lutut kuyu pada di
kaki langit timur. Di pekarangan Kuil Matahari di wilayah
Yamashiro, seorang lelaki berdiri mematung. Ilalang tinggi
lebat diam seperti diamnya lelaki itu, di bawah cahaya
kuning tembaga matahari. Lelaki itu Hiroto. Dia telah
memutuskan untuk memasuki juga Kuil Matahari.
Ada baiknya dia mengikuti ucapan si kakek tua
bungkuk yang mengatakan padanya bahwa Seichi Onigawa
musuh besarnya, telah menunggu di dalam bangunan kuno
itu (Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal ini, bacalah
episode sebelumnya; "Geisha"!)
Dari pintu besar yang telah hancur oleh ledakan
peledak milik Delapan Samurai Merah, Hiroto masuk.
Langkahnya teratur, penuh kesiagaan. Matanya nyalang
mewaspadai segenap penjuru.
Memasukiruang besar tempat pemujaan, Hiroto
menajamkan pandangan. Ruangan di sana cukup gelap.
Tak ada lampu sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu,
musuh tentunya lebih leluasa mengintai dari kegelapan.
Sementara sosok Hiroto sendiri jelas terlihat akibat sinar
matahari sore yang bertandang dari mulut pintu.
Hiroto meningkatkan kesiagaan. Kakinya melangkah
satu-satu pada lantai berbatu pualam kotor. Dengan
melangkah menyamping, Hiroto berusaha sckaligus
membentuk pertahanan selagi berjalan.
Ditengah ruang besar itu, telinganya menangkap
suara halus di satu sudut. Hiroto menegang.
"Seichi! Kaukah itu?!" bentak Hiroto. Melepas
lantangannya.
Tak ada tanggapan apa-apa. Tapi suara halus tadi
masih tertangkap telinga Hiroto.
"Seichi! Kalau itu memang benar kau, keluarlah!
Hadapi aku sebagai seorang ksatria! Kalau kau merasa
perlu untuk memerintah orang-orang bayaranmu untuk
rnenghadapku karena kau begitu pengecut, maka
perintahkan mereka! Jangan hanya main kucing-kucingan
seperti ini?!" cecar Hiroto agak mengkelap.
Tetap tak ada apa-apa.
Menguap sudah kesabaran lelaki berjiwa ksatria itu.
Dengan melangkah tetap menyamping dihampirinya sudut
ruangan besar yang dicurigainya. Lebih mendekat ke
sebuah patung besar, telinga Hiroto makin jelas
mendengar suara halus. Topi telinga lelaki itu mulai ragu
ketika suara itu kian jelas. "Apa iya aku mendengar suara
mendengkur?" bisiknya dalam hati.
Tetap dengan kewaspadaan penuh, Hiroto melompat
kebalik punggung patung besar. Kelopak matanya
mengkerut, seperti juga keningnya.
"Kau...," desis Hiroto.
Dilihatnya lelaki berwajah merah telah ada di sana.
Bukan cuma itu. Si jelek berpakaian dekil telah pula
terpulas diiringi dengkur tak sedapnya. Tak lama
kemudian, mulutnya mulai menguap lebar-lebar.
"Huaaaahhh...."
"Tototo San*," tegur Hiroto pelan. Biar sejelek apa pun
orang itu, Hiroto tetap berhutang budi padanya. ketika
lelaki bernama aneh itu menyelamatkannya dari ancaman
maut Delapan Samurai Merah.
"Hm. nyam nyam nyam...." Mulut Tototo malah
mengecap-ngecap matanya tetap terpejam. Hiroto baru
saja bertemu dengarnya belum lama dari sepeminum teh.
Tapi orang aneh satu ini tampaknya sudah bermimpi
sampai ke surga.
"Tototo San," ulang Hiroto lagi.
"Ya ya!" Tototo tersentak. Dia bangun mencelat seraya
memasang kuda-kuda.
"Oi, rupanya kau?! Sedang apa kau di sini?!" sapanya
ketika menyaksikan Hiroto berdiri di depan.
"Aku mencari...." Hiroto terdiam. Dia jadi tak enak hati
dengan Tototo. Bukankah lelaki itu sudah mengatakan
kalau Seichi Onigawa memang tidak ada di dalam
bangunan ini?
"Bukankah sudah kubilang Seichi Onigawa tidak ada
di sini?! Kenapa kau keras kepala sekali, heh?!" rutuk
Tototo. Sesudah itu, dia menggeloso kembali seperti ular
sanca besar kekenyangan.
"Sudah sana keluar!" hardiknya seraya menepiskan
tungan di udara. Matanya terpejam.
"Tapi...."
Hiroto tak meneruskan kalimal. Tototo sudah
mendengkur kembali. Percuma dia bilang apa pun! Dengan
masih dikerubungi tanda tanya dalam hati, akhirnya Hiroto
meninggalkan Kuil Matahari. Ke mana lagi dia akan
memburu Seichi Onigawa yang telah menyandera anaknya.
Ke Suruga? Hiroto tak begitu yakin. Suruga memang
tempat Seichi Onigawa dan keturunan murid bungsu lain.
Namun daerah itu terlalu jauh. Belum tentu Akimoto
dibawa ke sana. Bukankah Seichi Onigawa tak akan bodoh
membawa 'anak macan' ke tempat tinggalnya sendiri? Itu
sama artinya mengundang 'induk macan' untuk datang.
Tapi, Seichi Onigawa bukan orang sembarangan.
Kalaupun Hiroto menyantroni tempatnya, belum tentu
Hiroto bisa unggul menghadapi kehebatan lelaki itu. Jadi,
mestikah aku menyusul ke Suruga? batin Hiroto bertanya
bimbang kembali.
"Sebaiknya kau tunggu saja kabar dari lelaki keparat
itu!" Terdengar suara serak Tototo dari dalam kuil. "Kalau
tak salah. dia menginginkan sesuatu darimu. bukan?"
lanjutnya. "Tentu dia akan mengajukan persyaratan untuk
menukar anakmu dengan benda yang diinginkan itu!
Kenapa kau jadi terburu nafsu seperti itu?! Jangan terbawa
nafsu, akal sehatmu bisa tak berjalan!"
Mendengar ucapan Tototo, baru Hiroto sadar. Lelaki
aneh itu benar. Betapa bodohnya dia mengikuti hawa nafsu
sendiri. Bukankah lebih baik dia menunggu kabar dari
musuhnya. Selama Pedang Ekor Naga tetap di tangannya,
Seichi Onigawa tak akan berani melakukan apa-apa
terhadap Akimoto anaknya.
"Terima kasih, Tototo San!" seru Hiroto. Dia segera
beranjak. Baru empat langkah, dia berhenti lagi.
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Seichi Onigawa
menginginkan sesuatu dariku?" bisiknya keheranan.
***
Andika alias Pendekar Slebor membuka penya-
marannya segera setelah Hiroto meninggalkan Kuil
Matahari. Ya, lelaki berwajah merah dan jelek itu memang
si pemuda urakan. Setelah Andika tahu dari samurai bekas
bawahan Hiroto bahwa Hiroto menuju kuil tua di
Yamashiro, anak muda sakti dari tanah Jawa itu pun
langsung menyusul. (Baca episode sebelumnya : "Geisha"!)
Di perjalanan, tanpa kesulitan otak seencer bu-bur bayinya
menemukan akal terang untuk membantu Hiroto tanpa
membuat harga diri ksatria Nippon itu terusik. Dia
menyamar! Ilmu menyamar yang pemah diturunkan oleh
Raja Penyamar padanya pun dipakai. (Tentang kisah tokoh
satu ini, bacalah episode : "Manusia Dari Pusat Bumi",
"Pengadilan Perut Bumi" dan "Cermin Alam Gaib"!)
Dengan mencari bahan-bahan penyamaran selama di
perjalanan, Pendekar Slebor akhirnya sampai dengan
penampilan lain di Kuil Matahari. Tepat saat Hiroto dalam
keadaan di ujung landuk.
Kalau si lelaki berwajah merah adalah Andika, lantas
siapa orang tua bungkuk bertoya. Sampai saat itu, Andika
sendiri tak sempat bertemu dengannya. Dia tiba setelah si
orang tua bungkuk sudah menghilang dari pekarangan
berilalang lebat Kuil Matahari.
Yang jelas. orang tua itu tidak membohongi Hiroto.
Memang benar pada saat Hiroto baru sampai di Kuil
Matahari. Seichi Onigawa, Delapan Samurai Merah, dan
orang-orang Imada-Tong lain sedang mengintainya di
dalam bangunan kuno tersebut.
Dan ketika Hiroto berlarung dengan Delapan Samurai
Merah, Seichi Onigawa kcluar melalui bagian belakang
bangunan. Rupanya ada rencana lain yang hendak
dijalankannya. Akimoto sendiri tidak terlihat dengan
mereka. Entah disembunyikan di mana bocah kecil itu.
Sepergian Hiroto, Andika mencoba memeriksa seluruh
bangunan Kuil Matahari. Keheningan mengungkung di
dalam sana. Hawa dingin merata di segenap penjuru
ruangan. Dengan menajamkan pan-dangan, anak muda itu
mencari-cari petunjuk di seluruh bagian gedung. Teliti dia
meneliti. Dan usaha itu akhirnya membawa hasil.
Andika menemukan secarik kain, tergeletak nyaris
tersamar oleh gelapnya sudut pedupaan kuil. Ia
mengenalinya sebagai sobekan pakaian Akimoto.
Kepala anak muda itu mengangguk-angguk. Hmm,
anak itu rupanya pernah dibawa ke sini," Gumamnya,
menyimpulkan.
Tangan Andika lalu meremas sobekan kain itu. Pada
telapak tangannya, terasa kelembapan pada kain.
"Ruangan ini tak tergolong lembab pada musim semi
seperti ini," bisik si anak muda dari tanah Jawa kembali.
Andika mencoba meyakinkan dugaannya. Dicipinya
rasa sobekan kain itu. Rasanya asin. Andika vakin kain itu
basah karena keringat Akimoto. Dengan belum keringnya
sobekan kain, otak encernya berkesimpulan cepat.
"Jadi tampaknya Akimoto belum lama dibawa pergi
lagi oleh Seichi Onigawa keparat itu dari tempat ini.
Masalahnya sekarang, kemana anak itu di bawa pergi?"
Rahang Andika mengeras, memperlihatkan garis-garis
kegeraman.
"Sial! Sobekan kain ini tetap tak memberi petunjuk ke
mana aku harus melacak manusia sial itu pergi!" rutuknya
merambat.
Pada saat itu. tiba-tiba saja mata setajam pandangan
elang si pendekar muda menangkap kelebatan bayangan
seseorang dari mulut lorong kuil sebelah timur.
Andika sigap menoleh siaga.
Sudah tak terlihat siapa pun lagi di sana. Tapi, Andika
tetap yakin, penglihatannya tak keliru. Dia jelas
menangkap kelebatan cepat melintas mulut lorong. Tak
bisa dia terus berdebat dengan diri sendiri. Dia harus
membuktikan.
Andika cepat memburu ke mulut lorong yang
dicurigainya. "Siapa pun orang itu, aku harus dapat me
ringkusnya lebih dahulu!" tekadnya.
***
2
Andika sampai di ujung lorong yang menyambungkan
ruang utama Kuil Matahari dengan ruang yang tampaknya
pernah digunakan sebagai kamar bagi para biksu. Dari
satu pintu yang sudah tak memiliki daun pintu lagi, Andika
masuk.
Ruang itu berantakan. Sama dengan bagian gedung
lain, sarang laba-laba merangas sembarangan. Dindingnya
sudah gompal di sana-sini. Ruangan berlantai batu dan
bertiang utama kayu ek itu menjadi ujung lorong. Mestinya
Andika mencmukan orang yang diburunya. Kenyataan yang
kini didapati justru bertolak belakang. Tak ada satu
manusia pun ditemuinya. Bahkan sekadar anak cecak
kesasar sekali pun... .
"Slompret! Ke mana orang tadi? Apa kelebatan
bayangan yang kulihat tadi cuma perasaan was-wasku
saja?" gerutu Andika scraya mcnghentak tangan ke dinding
kcsal.
Mulai menyembul keraguannya. Dia merasa dibodohi
oleh pandangannya sendiri. Andika hendak buru-buru pergi
dari tempat itu. "Apa gunanya lebih lama kalau yang
dilihatku tadi sekadar bayangan di kepalaku?" pikirnya.
Di lain sisi, kesadarannya mengingatkan. Ada
kemungkinan dia memang telah salah lihat. Tapi tetap tak
menutup kemungkinan bayangan yang dilihatnya memang
benar-benar seseorang.
Satu-satunya cara untuk menuntaskan keraguan itu,
Andika harus meneliti ruangan. Kalau benar
penglihatannya, tak mungkin orang bisa begitu saja
menghilang seperti dedemit kesiangan.
Andika mengurungkan niat untuk pergi Dimas ukinya
ruangan perlahan. Kewaspadaan tetap harus
dipertahankannya sebaik mungkin. Dia sama sekali tak
mau kecolongan.
Sambil terus melangkah satu-satu, matanya meneliti
petak demi petak lantai batu. Di tengah ruangan, matanya
menemukan keganjilan pada satu petak batu. Rongga
petaknya lebih lebar dari petak lain.
Bibir pemuda itu lantas menyeringai. Dia berjongkok.
Sebelumnya Pedang Pusaka Langit dilolos-kan terlebih
dahulu. Ruangan yang sebelumnya cukup gelap karena
jendela besarnya terganjal kayu lebar besar, kini menjadi
terang oleh jamahan sinar merah bara Pedang Pusaka
Langit. Dengan ujung pedang itu. Andika mendongkel petak
batu tadi.
Tanpa kesulitan, petak batu bulat persegi banyak
selebar tiga kaki itu terangkat Di bawahnya, Andika
menemukan lubang beranak tangga batu. Tepat di bawah
tanah gedung ini, rupanya ada ruangan lain. pasti dulunya
dijadikan ruang rahasia untuk tujuan tertentu. pikir Andika.
"Kubilang juga apa..." gumamnya, bangga pada
kejelian sendiri.
Setelah memasukkan Pedang Pusaka Langit kembali
ke sarungnya, Andika memasuki lubang itu. Sekitar
delapan puluh anak tangga melingkar dilalui anak muda
itu. Dan ditemukannya ruangan besar terang benderang
oleh lampion-lampion* yang tergantung di sepanjang
dinding. Atapnya tinggi, hingga memungkinkan ruangan itu
tetap sejuk. Sementara di beberapa bagian atas dinding
terdapat lubang-lubang keluar-masuk udara.
Berbeda dengan ruangan-ruangan di atas, tempat ini
justru begitu terpelihara. Lantai pualam nya saja bahkan
begitu bersih, seolah selalu basah oleh genangan air. Di
tcngah-tengah ruangan, Andika melihat seorang lelaki tua
bungkuk. Orang itu duduk bersila bersemedi. Di depan
kakinya tergeletak toya panjang.
Dari wajah orang tua itu, anak muda sakti tanah lawa
itu mendapati ketenangan penuh. Bertolak belakang
dengan parasnya, di kedua sudut bibir berkeriput itu
Andika malah menyaksikan rembesan darah kehitaman.
Andika cepat menyimpulkan. Lelaki tua bungkuk itu
yang telah dilihatnya melintas sekilas. Dan dia sedang
terluka dalam. Semedinya kini mungkin untuk memulihkan
tubuhnya kembali.
Andika tak mau mengusik. Sengaja dia menurunkan
tubuh ke sudut dinding. Dia duduk di sana, memeluk lutut.
Ditatapinya terus lelaki tua itu. Memang menurut
pengamatannya, tak ada kesan keji pada wajah si tua.
Biarpun begitu, tak ada salahnya dia tetap menjaga
kewaspadaan.
Lewat sepeminum teh kemudian, si kakek bungkuk
mendadak bergerak. Tubuhnya mencelat ke atas
bersicepat dengan sambaran langannya pada toya. Di
udara dia berputar beberapa kali menuju Pendekar Slebor.
Andika tersentak. Dia menangkap kecepatan gerak
luar biasa si kakek bungkuk. Karenanya dia cepat bangkit.
Sekerdip berikutnya, dia harus menahan hantaman toya
kakek bungkuk tadi dengan lecutan kain pusakanya.
Cletar! Tak!
Andika memperhitungkan toya penyerangnya akan
lerpenggal menjadi dua dengan tenaga dalam yang telah
disalurkannya melalui kain pusaka bercorak catur.
Perhitungannya ternyata tak c ukup jitu. Bukannya terpatah
dua, toya itu justru menyentak balik kain pusaka Pendekar
Slebor. Tak hanya itu. Tangan Andika pun mendapat
sentakan seketika. Nyeri berdenyar, seperti baru saja
disengat sesuatu. Wukh!
Kekagetan Pendekar Slebor dibayangi oleh kelebatan
susulan. Kakek bungkuk berpakaian seorang samurai
tempo dulu telah mengayunkan ujung toya yang lain ke
kaki Pendekar Slebor.
Andika melompat, menyelamatkan tulang kakinya dari
hantaman toya lawan. Di udara, dia dikejar lagi oleh
putaran cepat toya tadi.
Wukh wukh!
Pada saat seperti itu, Pendekar Slebor sudah tak bisa
lagi membuat gerakan menghindar ke mana-mana.
Kalaupun masih mungkin, tetap saja bahunya akan
tersambar ujung toya si samurai tua.
Pendekar Slebor tak ingin terjepit dalam gebrakan
awal. Dengan lincah. dibentangkannya kain pusaka dengan
sepasang tangan, tepat di depan arah gerak toya lawan.
Tak!
"Wou!"
Untuk pertahanan yang terpaksa itu, Pendekar Slebor
harus sudi menerima akibatnya. Dorongan tenaga toya
lawan terlalu kuat untuk dijegal dalam kea-daan terjepit.
Apalagi saat itu Pendekar Slebor tak memiliki pertahanan
untuk jejakan kuda-kudanya
Tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang.
Tembok tiga tombak di belakang langsung terhantam
punggungnya. Meski begitu, Pendekar Slebor terny-ta
punya kejutan juga untuk lawan. Sewaktu toyanya beradu
dengan kain pusaka, dengan kecepatan kilat gerak tangan.
dililitkannya kain itu di ujung toya.
Begitu kuatnya belitan itu. hingga ketika tubuh
Pendekar Slebor terlempar ke belakang toya itu pun ikut
terbawa. Dengan sedikit menambahkan sentakan pada
kain pusaka, Andika berhasil merebut toya tadi dari tangan
pemiliknya!
"Ufh, jangan salah paham, Kakek Galak! Tentu saja
aku bukan pencuri toya!" tukas Andika dengan senyum
maha lebar. Sakit sedikit di bagian punggung akibat
benturan pada dinding. tak sudi dirasakannya. Yang
penting, dia sudah berhasil mendapatkan toya lawan.
Si orang tua bungkuk tampak demikian gusar. Mata
kelabunya yang berkelopak sempil makin menyempit saja.
Terdengar geramnya. Setelah itu, dia malah terbatuk-batuk.
Dari mulutnya tersembur da-rah hitam kekentalan.
Tentu saja pcngerahan tenaga dalam saat menycrang
Pendekar Slebor mcnyebabkan luka dalamnya kambuh
kembali. Mungkin sekali ini akan lebih parah kalau dia
terus ngotot menyerang Pendekar Slebor.
"Sudahlah, Kck! Kenapa kau memaksakan diri! Aku
pun sebenarnya tak berniat memusuhimu.... Kenapa kau
begitu ngotot ingin menghajarku?" kata Andika, mencoba
menyabarkan si orang tua bungkuk ketika orang tua itu
mulai hendak menggebrak lagi.
"Kau tampaknya orang asing. Mau apa kau ke tempat
ini? Apa kau salah seorang antek-antek Seichi Onigawa?"
Andika cepat menggeleng. Disodorkannya toya di
tangan. Si kakek bungkuk sejenak ragu menerima „
tawaran persahabatan itu. Namun diambil juga akhirnya.
"Aku datang dari jauh. Anak sahabat yang kukunjungi
di negeri ini telah diculik oleh orang yang namanya baru
kau sebutkan tadi," Andika menjelas-kan.
"Maksudmu Seichi Onigawa?" Kakek bungkuk
kelihatan terperanjat.
"Yak, lelaki itu penculiknya!"
"Tunggu dulu." tahan kakek bungkuk seraya
mendekap dadanya. Mungkin dia mcrasakan nyeri yang
mulai menyerang kembali.
"Apakah kau orang asing yang diributkan mereka?"
tanyanya seperti bertanya pada diri sendiri.
Andika mcmbcrengut. Dia tak jelas menangkap
maksud perkalaan orang tua di depannya.
"Apa maksudmu, Kek?"
"Delapan Samurai Merah, para ketua Imada-Tong,
mereka mencarimu! Bukankah kau sahabat Hiroto?!"
Sekali ini Andika terkejut. "Hei, bagaimana Kakek bisa
kenal dengan Hiroto?" sergahnya dengan paras tak
mengerti.
Kakek bungkuk tak segera menjawab. Itu
menyuburkan rasa penasaran Andika. Anak muda dari
negeri jauh itu ingin mendesaknya. Tapi urung dilakukan
ketika orang tua tadi terbatuk-batuk mengeluarkan darah
kehitaman kembali.
"Ah, kau tentu terluka dalam, Kek! Biar aku bantu!"
pinta Andika.
Kakek bungkuk mengibas tangan di udara. Wajahnya
tetap mencerminkan kekerasan untuk tidak mengharapkan
pertolongan siapa pun.
"Aku bisa mengobati luka dalamku sendiri," tolaknya
dengan wajah masam. "Aku tak akan jadi begini kalau kau
tak muncul!" gerutunya, menambah-an.
Pendekar Slebor angkat bahu. Mana bisa dia
disalahkan begitu saja. Sudah jelas kakek bungkuk itu
telah menyerangnya terlebih dahulu. Dengan mengerahkan
tenaga pada saat pemulihan, tentu mengakibatkan
kekambuhan. Biar tak merasa bersalah, tetap Andika
menganggap tak ada gunanya mendebat orang tua itu.
Mungkin sifat keras kepalanya lebih keras dari sifat Andika
sendiri.
"Baik kalau memang itu maumu. Tapi, mungkin kau
mau mengatakan padaku, lelaki sial mana yang telah
membuatnya seperti itu?" Andika sengaja mengucapkan
kata 'lelaki sial' dengan wajah yang dipasang segeram
mungkin. Supaya simpati si kakek tua terpancing. Dengan
begitu, tentu dengan suka rela si kakek bungknk keras
kepala akan mengatakan siapa yang telah melukainya.
Pancingan Andika mendapat hasil. Berkawal geraman
serak, kakek bungkuk menyebutkan nama seseorang yang
telah melukainya.
"Seichi Onigawa! Pecundang laknat itu yang
inembuatku begini!"
"Hm, sudah kuduga," bisik Andika dalam hati. Sampai
di situ, Andika dipaksa tertawa tertahan. Masalahnya, bibir
kakek bungkuk menjadi manyun. Begitu bencinya dia
dengan Seichi Onigawa tampaknya.
Lalu kakek bungkuk tertatih kembali ke batu di lengah
ruangan. Baru melangkah tiga tindak, tubuhnya terhuyung.
Dia hampir saja jatuh.
Jangan bilang itu tak mengganggu perasaan Andika.
Tentu saja pemuda kepala batu namun tetap berhati
bening itu bergegas mendekati. Hendak dipapahnya kakek
bungkuk. Belum lagi tangannya sampai, si kakek bertoya
sudah menggebrak lantai dengan senjatanya.
'Tak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!" hardiknya
pada Andika dengan mata mendelik.
Andika meringis. “Jompo slompret!” Cibirnya dalam
hati, dongkol setengah mati.
***
Pekerjaan apa yang lebih menjenuhkan dari
menunggu? Andika tampaknya tak bisa menghindar dari
hal itu. Lebih dari empat jam anak muda itu menunggu
orang tua yang belum lagi diketahui namanya.
Tanpa bisa menyumpal mulutnya untuk tidak
menggerutu, Andika dudukbersandardi dinding. Tepat di
bawah satu lampion besar. Satu kakinya dijulurkan begitu
saja. Sementara kaki yang lain dilipat untuk tumpangan
tangan. Sesekali dia mengetuk-ngetuk lantai, mencoba
mengenyahkan kejenuhan.
Lewat empat jam, barulah kakek bungkuk tadi mulai
bergemik dari semadi khusuknya. Andika lega. Rasanya dia
baru saja terbebas dari rantai sebesar telapak anak
dedemit yang membelitnya.
"Bagaimana, Kek?" tanya Andika setelah berge¬gas
mendekati lelaki tua bungkuk itu.
"Bagaimana apa?" sungut kakek bungkuk.
Tolong terangkan padaku, ke mana Seichi Onigawa
membawa Akimoto?"
Kakek bungkuk mencibir. "Kau pikir aku tahu?"
ucapnya tak sedap.
"Aku yakin kau tahu. Bukankah kau mendengar setiap
pembicaraan mereka ketika semuanya masih ada di kuil
ini?" desak Andika. Dia berusaha menahan kesabaran,
meski jakunnya sudah turun-naik menahan dongkol.
"Dari mana kau tahu aku bisa mendengarkan
pembicaran mereka dari tempat ini?" Kakek bungkuk
makin berbelit-belit.
"Bukankah kau juga yang bilang tadi kalau kau
mendengar percakapan Delapan Samurai Merah yang
penasaran ingin menjajal ilmu bela diriku?"
"O, iya aku lupa. Maklum saja aku sudah tua." "Kalau
begitu kau tentu dengar mereka mengatakan satu tempat
yang mungkin ke sana Akimoto dilarikan."
Kakek bungkuk terdiam. Wajahnya terlipat ketat,
makin membuat tebal kerut wajahnya. Dia sedang
mengingat-ingat sesuatu.
"Rasanya aku ingat sekarang...."
"Bagus! Tolong katakan padaku ke mana Akimoto
dilarikan?" tegas Andika.
"Tapi, apa kau tak mau tahu kenapa aku bisa terluka
oleh Seichi Pecundang itu?" Kakek bungkuk kembali
mementahkan jawaban yang begitu Andika harapkan.
Andika geleng-geleng kepala. Semalam saja aku
bersama orang tua ini, bisa rontok seluruh rambutku
karena jengkel! Serapahnya membatin.
"Tapi yang kubutuhkan adalah keterangan ke mana
Akimoto dilarikan," Andika mulai sengit. Nada suaranya
agak menanjak.
"Jadi kau marah padaku, ya?!" Dengan tak kalah
sengit. kakek bungkuk mendongak. dipelototinya Andika
dengan susah payah. Bagaimana tidak susah payah kalau
kelopak matanya saja sudah begitu sempit.
Baik-baik!" putus Andika tetap dibayangi kedongkolan
meletup-letup. Terpaksa dia menuruti kemauan orang tua
itu.
Kakek bungkuk menimang-nimang toyanya. Andika
menunggu dengan wajah terlipat. Kakinya tak bisa diajak
diam. Anak muda itu terus mondar-mandir di depan kakek
bungkuk.
"Asal kau tahu. aku bukannya gampang dikalahkan
oleh si Pecundang Seichi," mulai kakek bungkuk akhirnya.
"Tapi tampaknya Kojiro sudah berhasil menyempurnakan
kesaktian yang didapatnya dari ne-geri asing...." •
"Siapa Kojiro? Kenapa sepertinya kau malah jadi
ngawur, Kek?" potong Andika sambil menghentikan
langkah gelisahnya.
Kakek bungkuk memelototinya lagi. Andika diam. Dia
memang harus diam kalau ingin mendapatkan keterangan
yang diinginkan. Memang agak apes nasibnya hari ini!
"Kojiro adalah kakek si Pencundang Seichi. Sewaktu
mudanya dia menuntut ilmu di negeri orang, entah di
negeri mana. Ilmu itu tergolong ilmu sesat. Dipelajarinya
juga ilmu itu sekadar untuk memerangi keluargaku."
"Ah, kau makin ngawur saja, Kek! Sekarang, apa
hubungannya bocah yang hendak kuselamatkan dengan
dirimu? Dan apa gunanya aku mendengarnya? Ini sama
artinya melakukan hal yang sia-sia!" potong Andika sekali
lagi. Wajahnya sudah mematang dibakar kekesalan. Ingin
rasanya dia meruntunkan sumpah serapah pada orang tua
bungkuk itu. Tapi, kalau Andika takut kalau dia salah ucap
orang tua itu tak mau mengatakan ke mana Akimoto di
bawa. Wuh, serba salah...
***
3
Saat itu di sebuah wilayah di dekat perbatasan antara
propinsi Kyoto dengan Yamashiro, seorang memacu
kudanya dalam kecepatan menggila. Di depannya ada
tubuh kecil terjuntai yang terikat ke pelana.
Orang itu demikian bernafsu melecut binatang
kendaraannya, seolah ada sesuatu yang diburu. Kuda
tunggangan hitam mendengus-dengus menghempas
kepulan uap dari moncongnya. Sesekali kuda itu meringkik
terkena lecutan tali kendali.
Dalam jarak lima belas to.jibak dari lari kuda, debu
terbangun tinggi. Mengapung beberapa lama di udara, lalu
perlahan turun kembali.
Penunggangnya adalah seorang lelaki berpakaian
seorang samurai. Rompi panjangnya berwarna hijau tua
sedang dalamannya berwarna merah. Rambutnya tak
begitu panjang. Bagian belakangnya dikuncir. Sedangkan
rambut pada bagian kening dipangkas tinggi hingga licin.
Wajahnya terlalu beringas. Dengan sudut bibir yang terus
saja terungkit ke atas, seakan tak henti menyeringai.
Hidungnya agak melengkung seperti paruh burung. Sedang
matanya diliputi kekejaman, apalagi dengan alis mata yang
nyaris tersambung satu dengan yang lain.
Lelaki inilah Seichi Onigawa. lawan besar Hiroto yang
menginginkan Pedang Ekor Naga diserahkan padanya
sebagai satu kebanggaan sekaligus simbol kehormatan
keluarga besar keturunan Murid Sulung Sensei Pedang
Ekor Naga. Bagi Seichi Onigawa, darah boleh ditumpahkan
sampai terkuras, nyawa boleh terlepas, asal pedang
pusaka itu bisa didapatkan.
Sementara kenyataannya, Seichi Onigawa tidak hanya
bernafsu memiliki Pedang Ekor Naga. Ada nafsu lain yang
lebih jahat terselip di dalam hatinya. Nafsu untuk
menghabisi setiap keturunan Murid Bungsu!
Nafsu itu tak bisa dipadamkan andai dia telah
mendapatkan pedang pusaka yang diinginkan. Dan selera
keji untuk membunuh si bocah kecil, Akimoto pun
menjalari benaknya.
Sebuah rencana telah disusunnya agar bisa
mendapatkan Pedang Ekor Naga, sekaligus menyingkirkan
Hiroto dan anak satu-satunya. Rencana rahasia yang bukan
cuma begitu malang direncanakan. Tapi juga butuh waktu
bertahun-tahun untuk menjalankannya!
Rencana apa gerangan?
Kuda Seichi Onigawa terus terpacu jalang, melintasi
daerah kering. Sampai satu tepian lembah yang banyak
ditumbuhi Sakura, seseorang menjegat lari kudanya.
"Berhenti kau Seichi Onigawa!!" Seichi Onigawa
menyaksikan seorang berpakaian ninja berdiri menantang,
sembilah depa dari tempat kudanya berhenti. Kedua
tangannya bertolak pinggang. Seichi menyangka orang itu
adalah salah satu anggota Imada-Tong, orang-orang
bayarannya.
"Ada apa?! Apa markas kita telah berhasil diketahui
musuh?" tanyanya tegang terburu.
Si penghadang tertawa. Suaranya terdengar lebam
terhalang topeng kain hitam.
"Aku bukan jenis orang-orang yang mengabdikan diri
pada uang, Manusia Laknat!" benta ksi penghadang-
Nadanya menanjak, menohokkan kebencian.
Barulah Seichi Onigawa menyadan orang di depan
bukan berada di pihaknya. Pakaian ninja yang dikenakan
mungkin cuma untuk menutupi jati dirinya. Siapa dia?
Kenapa harus mengenakan pakaian tertutup itu? Tanya
hati Seichi Onigawa.
"Menyingkir dari jalanku!" berang Seichi Onigawa.
Orang berpenutup wajah menggeleng tegas. "Kau
hanya akan kuizinkan lewal jika kau menyerahkan anak itu
padaku!" tandasnya mantap.
Mata Seichi Onigawa menajam. Seperti ada garis
sembilu di sepasang bola mata lelaki bengis itu.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuatanmu,
kukatakan sekali lagi..., menyingkir dari jalanku!!"
bentaknya lebih mirip menggeram.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuataanmu,
kukatakan sekali lagi..., serahkan anak itu padaku!" tiru
orang berpakaian hitam, mengejek.
"Keparat! Heaaa...!"
Mendadak Seichi Onigawa menghentak kuda
tunggangannya. Kuda jantan gagah itu meringkik teramat
keras. Sentakan kaki Seichi Onigawa pada per utnya terlalu
mengejutkan. Dia menjadi binal. Dua kaki depannya
terangkat tinggi siap menendang apa pun di depannya.
"Hieeiii...!"
Seichi Onigawa tampaknya mahir dalam keahlian
menunggang kuda. Kepanikan kudanya tak membuat lelaki
itu terlempar jatuh. Justru dengan begitu dia hendak
memanfaatkan keadaan.
Cukup dengan sekali gebahan lagi, kuda yang
hcrubah liar itu melaju ke depan. Memburu, mendengus-
dengus dan mengancam. Siap menginjak-injak
penghadang di depan!
Orang berpakaian hitam tak ingin melakukan
kebodohan. Tak dibiarkannya kuda perkasa itu
menginjaknya. Dengan tangkas dia melempar tubuh
kesamping. Tepat ketika kuda melewatinya, satu tangan
orang itu meloloskan pedang pendek dari kaki. Untuk
melakukan hal itu, diperlukan ketrampilan permainan
pedang pendek yang trampil. Di samping karena
keadaannya tidak menguntungkan, juga karena di depan
Seichi Onigawa ada tubuh seorang bocah. Salah-salah,
justru bocah itu yang tersayat. Tapi, orang berpakaian
hitam tak tampak kesulitan melakukannya. Sat!
Satu tebasan dibuatnya ke arah lambung Seichi
Onigawa. Pada saat yang bersamaan. Seichi Onigawa pun
punya pikiran untuk membabat lawan dengan samurai
yang sebelumnya diloloskan.
Trang!
Terjadi benturan keras dua senjata masing-masing.
Bunga api terpercik, lalu tersamar di bawah hujanan sinar
matahari siang.
Kuda tunggangan Seichi Onigawa dihentikan tuannya.
Sememara orang berpakaian hitam sudah bangkit tangkas.
Matanya menatap siaga ke arah lawan, menyiagakan
serangan berikutnya.
"Aku bukannya takut mcnghadapimu. Bukan ke-
biasaanku melarikan diri. Asal kau tahu, suatu saat nanti
kau akan berhadapan denganku lagi. Saat itu, kau akan
kchilangan nvawa di tanganku. Kupastikan itu!" ancam
Seichi Onigawa. Setelah itu dia menggcbah kudanya
tergesa. "Hushaaa!"
Apa pun alasan lawan, orang berpakaian hitam tak
sudi membiarkan lawan menyingkir begitu saja. Tahu kalau
Seichi Onigawa hendak menyingkir, tangannya masuk ke
dalam bagian dalam pakaian, bersicepat dengan setiap
langkah kuda. "Hih!" Sing..!
Empat-lima pisau kecil sepanjang jari tangan
berterbangan ganas ke udara. Lima bagian tubuh berbeda
Seichi Onigawa hendak dijadikan sasaran. Benda-benda
tajam dari logam itu seperti memiliki mata sendiri.
Kalau menilik keadaan Seichi Onigawa saat itu yang
sedang sibuk menggebah kuda tunggangannya, sepertinya
dia akan kesulitan untuk mengenyahkan serangan senjata
rahasia tadi. Seichi Onigawa tidak demikian. Padat kesan
meremehkan, diputarnya samurai di belakang tubuh dari
atas kepalanya. Itu dilakukan tanpa menoleh pula. Trang!
Trang! Traaang!
Hasilnya, seluruh senjata rahasia yang siap
mcngganyang rontok saat itu juga.Tinggal orang
berpakaian hitam mendengus geram ketika kuda Seichi
Onigawa terus menjauh meninggalkannya.
***
"Hei, bangun kau?!"
Andika tersentak bangun. Matanya yang belum lagi
siap menerima cahaya ditusuk oleh terang-benderang
lampion-lampion dalam ruangan. Dia mengerjap-ngerjap
sebentar, mencoba mencari tahu di mana dia kini. Setelah
itu si anak muda dari Lembah Kutukan menyadari kalau
dirinya masih di dalam ruang rahasia bawah tanah Kuil
Matahari.
Tolol, kenapa kau jadi ketiduran?!" maki kakek
bungkuk, sudah bertolak pinggang di depan hidung Andika.
Tertidur. Ya, Andika ingat sekarang. Dia telah tertidur
selagi menunggu kakek bungkuk bersemedi. Rasa letih
yang merongrongnya setelah perjalanan jauh membuatnya
matanya tak bisa diajak berdamai lagi. Ditambah lagi
dengan hawa sejuk yang terus saja mendayu-dayu dalam
ruangan.
Andika terburu bangkil.
"Kau sudah selesai bersemedi, Kek?" tanya An¬dika
berbasa-basi. Sebenarnya, dia jadi agak malu hati.
"Kalau saja kau salah seorang muridku, akan
kupanc ung saat ini juga kau!" sembur kakek bungkuk
sengit. "Apa kau tahu, dalam keadaan teraman sekali pun,
kau tak boleh kehilangan kewaspadaan!"
Mendapat semburan sepedas sambal janda kembang
itu, wajah Andika memerah bukan main. Apa-apaan dia
mengomeliku begitu rupa? Muridnya bukan, cucunya
bukan! Rutuknya dalam hati.
Andika baru hendak menyengiti kembali makian itu.
Sebelum mulut ceriwisnya 'menyanyi', kakek bungkuk
malah menyodorkan sesuatu padanya. "Ini...."
"Apa ini?" tanya Andika bingung. Diterimanya juga
benda sejenis kertas gulungan itu.
"Bukankah kau tadi mau tahu markas Seichi
Pecundang itu!"
"Ooo," Andika menyorongkan mulut bulat-bulat. Kalau
ada ikan mujair besar, bisa-bisa dia dianggap pawangnya.
Sekarang dia mengerti apa yang diberikan kakek bungkuk.
Pasti semacam peta, duga-nya yakin.
"Ini peta, bukan?" tanya Andika, ingin meyakinkan diri.
"Kalau sudah tahu, kenapa kau tak segera menyingkir
dari tempat ini!"
"Baik! Baik!" Andika runyam. "Lagi pula, siapa yang
mau lebih lama bersama orang tua sesial kau!" rutuknya
sebal tak alang kepalang.
Setelah menjura segan-segan, Andika meninggalkan
ruang bawah tanah Kuil Matahari itu.
"Terima kasih untuk keterangannya!" ucapnya di anak
tangga tanpa menoleh. Kalau bisa dia malah mau tak
mengucapkan terima kasih.
Di balik dinding tangga melingkar, tubuh tegap anak
muda itu menghilang. Belum lama kepalanya muncul lagi.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu, Kek?" tanyanya
sambil merunduk menjulurkan kepala. Senyumnya
sekarang mengembang. Biarpun terlihat belum begitu
ikhlas, tapi masih terbilang lebih ramah ketimbang ringisan
kerbau.
Kakek Bungkuk mendengus.
"Apa perlunya kau mengetahui namaku?!" cibir-nya
menyebalkan Andika.
"Kalau suatu hari kita bertemu, aku toh tak perlu
memanggil kau dengan 'hei kakek bungkuk'! Atau 'hei
orang tua besar adat'! Atau...."
"Ah. cukup!" penggal kakek bungkuk. Tahu dirinya
bakal jadi bulan-bulanan bibir ceriwis pemuda asing itu, dia
cepat-cepat menyebutkan namanya.
"Yoshioka!" teriaknya.
"Apa itu?" Andika berpura-pura. Juluran kepalanya
makin memanjang. Wajahnya dibuat kebodoh-bodohan.
Sepantasnya aku membalas perlakuan menyebalkan
kakek slompret ini, geli Andika dalam hati.
"Namaku, tolol!"
"O, jadi Yoshioka aku harus memanggilmu. KaIau
begitu aku pamit dulu...," Andika melambaikan tangan.
Kepalanya menghilang di balik dinding anak tangga
kembali.
"Sampai berjumpa lagi 'orangtua besar adat'!"
lerdengar teriakannya bergema ke segenap ruangan.
Diikuti gelak tawanya yang tersedak-sedak.
Kakek Yoshioka mendengus, dan mendengus dan
mendengus lagi....
***
Andika tiba di satu daerah yang masih termasuk
piopinsi Yamashiro. Tepatnya di pinggiran sebuah hutan
bambu kuning yang memanjang di sebelah lenggara.
Menurut peta yang didapat dari Kakek Yashioka. di tengah
hutan bambu kuning itulah berdiri markas Seichi Onigawa.
Sejauh mata memandang, yang Andika lihat cuma
bilah-bilah batang bambu. Menjulur liar bagai sehimpun
tangan-tangan asing berwarna kuning. Kalau diperhatikan
memang c ukup memikat. Warna kuning bambu yang
batangnya tipis agak mengkilat ditempa sinar mentari,
berpadu dengan kehijauan daunnya. Tapi, ketika Andika
mulai masuk ke dalam dan lebih ke dalam, mulai meruyak
kesan keangkerannya. Ibarat seorang peri cantik yang
menyimpan kekejaman pada kecantikannya!
Sekitar sejam perjalanan, Andika sampai di dekat satu
air terjun kecil yang bersambung dengan sungai bening
dangkal berbatu. Air terjun berasal dari semacam bukit
batu kecil yang nyaris dipenuhi pepohonan rambat.
Lebarnya lebih dari empat tombak.
Di tempat itu, tepian sungai tidak lagi ditumbuhi
bambu kuning. Ada beberapa jenis pepohonan semak
tumbuh di sana. Semula Andika tak begitu tertarik dengan
tetumbuhan di tepi sungai itu. Matanya justru meneliti ke
bagian lain.
Ketika matanya menemukan ada bagian yang
mencurigakan, barulah Andika mulai tertarik. Pada satu
bagian sesemakan di sisi sungai terlihat tumbuh tak wajar.
Batang-batangnya rebah ke tanah. Dedaunannya sebagian
mati. Andika mendekat ke bagian itu.
"Hm, bagian ini tampaknya sering dijadikan jalan
setapak," nilainya jeli.
Andika mencoba mengikuti jejak jalan setapak yang
tampaknya berumur belum begitu lama itu. Anak muda itu
yakin benar, jalan setapak itu dibuat oleh orang-orang
Seichi Onigawa.
Pemuda dari tanah Jawa itu mengikuti jalan setapak
yang mengikuti pinggiran sungai. Semakin diikuti, Andika
dibawa kian dekat ke arah air terjun. Tepat di depan
luncuran air sungai dari semacam bukit itu, jejak yang
ditelurusinya buntu. Jalan setapak itu terhadang oleh bukit
batu amat curam berlumut. kecuramannya tegak lurus.
Sementara lumut yang lumbuh di sana membuatnya begitu
licin. Hampir tak mungkin dinding batu itu untuk didaki.
Andika dipaksa garuk-garuk jidat.
Ke mana perginya orang-orang yang telah membuat
jalan setapak ini? Apa mereka sejenis dedemit hutan
bambu yang bisa menelusup ke dalam dinding batu?
"Tak mungkin...," cibir Andika. "Jadi ke mana. ya?
Slompret sekali!"
Andika mencoba memutar otaknya. Sambil memutar-
mutar otak, matanya jelalatan ke sekitar. kalau mereka ke
kiri dinding batu, tentunya mereka tetap akan
meninggalkan jejak karena di bagian itu semak masih
tumbuh. Sementara di bagian kanan dinding batu hanya
ada badan sungai.
"Ei. tunggu dulu!" Andika berdesis. Rasanya dia mulai
menemui titik terang di benaknya.
Matanya lalu tertuju pada sungai. Sungai itu cukup
dangkal untuk dilalui, meski aimya deras. Untuk
menyebcranginya, scseorang tak memcrlukan perahu atau
rakil. Sudah pasti mereka melalui sungai. Itu sebabnya
jejak di semak menjadi buntu!
Tapi apa mungkin mereka hanya ingin menyeberangi
sungai'.' Bukankah kalau hanya ingin menyeberang mereka
bisa melakukannya jauh sebelumnya? Tanpa perlu
membuang waktu melintasi pinggiran sungai sampai ke
depan air terjun?
Air terjun! Hati Andika seperti melonjak. Dia makin
4
Di sini rupanya sarang begundal-begundal sial itu!
Kepalan tangan Andika mengeras. Sudah saatnya dia
sedikit melemaskan otot-ototnya. Setidaknya buat
mengggebuki orang-orang Imada-Tong nanti. Termasuk
juga Seichi Onigawa.
"Tunggu saja kalian!" ancamnya membatin. Sudah tak
sabar rasanya anak muda itu membuat ubun-ubun mereka
benjut, atau membuat pipi mereka bonyok. Masalahnya,
Andika paling benci pada setiap tindak pengecut. Seperti
penculikan seorang anak tak berdosa untuk mencapai
tujuan.
Krak! Krak!
Andika meletakkan jari-jemarinya. Dia siap
menggenjot badan ke air terjun. Niat tersebut urung begitu
telinganya menangkap desiran halus namun ramai dari
ubun-ubun bukit batu berair terjun.
Wrrr!
Gesit anak muda sakti itu mendongak. Di atasnya,
sebentang jala lebar dari baja siap meringkus! Pemuda
bersandang nama besar Pendekar Slebor itu lak
kehilangan kesempatan untuk meloloskan diri.
Memang luncuran jaring baja di atas sana cepat. Tapi
lesatan tubuh Pendekar Slebor jauh lebih cepat. Pyrrr!
Jaring lebar dari baja berbandul baja pula tak berhasil
memperdayai Pendekar Slebor. Benda itu ambruk begitu
saja di pinggiran sungai.
"Kutu kontet! Apa dikiranya aku anak kemarin sore
apa?!" rutuk Pendekar Slebor, sudah berdiri di tengah-
tengah sungai pada sebuah batu yang mencuat di atas
permukaan sungai. Tangannya bertolak-pinggang, seolah
negeri Nippon itu mbahnya yang punya.
Baru sempat menarik napas dua tarikan, datang lagi
serangan susulan. Sekali ini bukan cuma hendak
melumpuhkan Pendekar slebor. Lebih dari itu, tamu tak
diundang dari negeri luar itu hendak dilempar ke neraka!
Andika menyaksikan bagaimana dinding bukit batu
berair terjun yang menjulang di depannnya memuntahkan
puluhan bahkan ratusan senjata dalam bentuk beragam.
Setidaknya ada dua puluh lembing, tiga puluh pisau
terbang, dan lebih dari lima puluh anak panah tiba-tiba
mencelat dari lubang di dinding bukit batu. Scmuanya
menyerbu membawa suara riuh rendah. menyumpal
seluruh ruang gerak Andika hingga sejauh belasan depa!
Dengan mata agak membelalak ngeri. Andika sekelebatan
menyaksikan ratusan benda lajam itu bagai binatang-
binatang mengerikan memenuhi udara. Dan kelebatan
berikutnya, dia harus bersicepat mengerahkan segenap
kemampuan peringan tubuhnya.... "Hhiaaa...!"
Beriring teriakan menggetarkan permukaan sungai
dan bukit batu, tubuh pemuda buyut pendekar Besar -
Pendekar Lembah Kutukan itu memburu ke belakang.
Hanya arah itu satu-satunya pilihan tepat untuk
menyelamatkan diri. Itu pun kalau dia mampu lebih cepat
dari hujanan benda-benda tajam di belakangnya.
Sebenarnya, bisa saja Andika tak beranjak dari lempat
semula. Cukup dia meloloskan kain pusaka dan Pedang
Pusaka Langit sekaligus lalu memutar keduanya
bersamaan. Bermodal tenaga dalam, tindakan itu bisa
membentangkan benteng tak tertem-bus di depannya.
Kalau sekarang anak muda itu melakukan tindakan
yang agak merepotkan, sudah pasti ada satu rencana licin
di balik batok kepalanya itu....
Apa benar begitu?
Sulit untuk dipercaya, ketika tiba-tiba saja teriakan
berikutnya meledak dari kerongkongan Pendekar Slebor.
Teriakan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Lolongan itu
seperti suara orang meregang nyawa.
"Wuaaa!"
Selanjutnya tubuh yang sedang meluncur tadi
terjerembab di permukaan sungai. Setelah terseret arus
sebentar. tubuh pemuda itu terjegat oleh bongkahan batu
besar di tengah sungai. Pada bagian punggung pemuda itu,
menancap tiga batang anak panah!
Cukup lama arus sungai mempermainkan tubuh tak
bergerak Pendekar Slebor. Sampai akhirnya dua belas
lelaki berpakaian hitam-hitam muncul dari ubun-ubun bukit
batu. Selincah kera mereka menuruni dinding bukit yang
tegak lurus dengan meng-gunakan tali-temali.
Tiba di tanah, mereka berjajar membentuk barisan
teratur. Sebagian berdiri di sungai. Ada kesan mereka
hendak membentuk pagar betis. Masih dengan berbaris,
mereka lalu melangkah menuju tubuh Pendekar Slebor
terkulai. Kentara jelas bagaimana mereka dididik untuk
tetap hati-hati meski lawan diperkirakan sudah tak
bernyawa lagi.
Di dekat tubuh Pendekar Slebor, barisan mereka
berubah. Kedua belas lelaki berpakaian ninja itu kini
membentuk kurungan di sungai, mengelilingi tubuh
Pendekar Slebor yang tertelungkup di sisi batu besar.
Semuanya mengawasi waspada. Tak perlu memakan
waktu lama mereka melakukan itu. Sebab mereka
langsung menemukan ada satu ketidak beresan.B
agaimana mungkin orang yang tertembus anak panah
tidak mengeluarkan darah? Masing-masing
mcnggumamkan kecurigaan dalam hati.
"Menyingkir! Kita telah ditipu!" seru salah seorang dari
mereka seketika. Menyadari kalau mereka kini berganti
masuk perangkap yang dibuat si tamu tak diundang.
Sayang semuanya sudah terlambat bagi kedua belas
anggota Imaga-Tong itu. Begitu mereka menyebar,
Pendekar Slebor kontan bangkit lebih cepat dari gerak
menerkam seekor singa lapar.
"Hiahuhuuu...!" teriak anak muda itu seperti bocah
gendeng baru dapat jajan. Kimono pemberian Hiroto
menebarkan percikan air ke mana-mana, membuatnya
lebih mirip sebagai makhluk pemakan manusia dari dasar
sungai! Di tangannya tergenggam tiga batang anak panah.
Rupanya punggungnya tak pernah tertembus benda-benda
tajam itu.
Sewaktu dia bergerak cepat ke belakang, tanpa
lerlihat tangannya bergerak merebut tiga batang anak
panah di udara yang kebetulan meluncur satu arah
dengannya. Lalu ketiga benda itu dipegangnya di atas
punggung sehingga terlihat seperti mcngenai sasaran.
Dan....
Swut!
Andika mengebutkan tangan. Ketiga anak panah tadi
terlepas dan mclesat cepat.
Jrep! Jrep! Jrep! "Waaa...!"
Tiga teriakan menyayat dari tiga kerongkongan
berbeda terlempar ke udara. Tiga orang dari kedua belas
lelaki tadi langsung ambruk tanpa nyawa, termakan mala
anak panah!
"Maaf, tak sengaja!" koar Pendekar Slebor lagi. Lalu
dia berjingkatan dari atas satu batu ke batu lain, memburu
sisa lawan.
"Pegang! Pegang!" serunya makin urakan.
Sembilan anggota Imada-Tong yang tersisa tak sudi
menjadi buruan Pendekar Slebor. Mereka berbalik tangkas
seraya meloloskan fejiono* masing-masing.
"Wo, mau marah rupanya?!" tukas Pendekar Slebor
seraya mengerem jingkat-jingkatnya. Srang!
Bunyi setiap katana yang terangkum menjadi satu
menandai kesiapan mereka menghadapi lawan. Mereka
pun siap mati. Tapi tak sampai sejauh itu, suatu isyarat
menahan mereka.
Suit!
Mengekori suitan meninggi tadi, dari balik air terjun
mcncelat Delapan sosok tubuh yang rata-rata tinggi besar
berkimono merah. Sama dengan orang sebelumnya, wajah
kedelapan lelaki ini pun ditutupi kain. Warnanya sama
dengan pakaian mereka. Kedelapan orang itu hinggap di
batuan sungai. tak jauh dari tempat berdiri Pendekar
Slebor.
"A, Delapan Samurai Merah!" Pendekar Slebor malah
memekik girang. Wajahnya seperti menyambut kedatangan
tamu terhormat. Pantas saja banyak di antara anggota
Imada-Tong menganggapnya sinting!
"Tapi jujur-jujur saja..., aku sebenarnya tidak punya
urusan dengan kalian. Kalau kalian mau berbaik hati,
sudikah kalian memberitahu aku di mana Seichi Onigawa?"
mulai Pendekar Slebor lagi sok ramah.
Delapan Samurai Merah menjawabnya dengan bunyi
senjata mereka masing-masing.
"Wah, kalian ini...," tukas Pendekar Slebor. "Nanti
kalian menyesal.... Pasti kalian akan menangis dan
meraung-raung di depan dengkul ibu kalian masing-masing
kalau kepala kalian kujitaki satu persatu. Jadi, sebaiknya
kalian cari main saja di tempat yang agak jauh...," cibirnya
lagi, kelewatan.
"Sudah lama kami menunggumu orang asing! Orang-
orang kami membesar-besarkan kehebatanmu. Kami ingin
membuktikannya!" seru salah seorang dari Delapan
Samurai Merah. Di Kuil Matahari waktu itu mereka punya
kesempatan untuk menjajal kesaktian Pendekar Slebor.
Karena Pendekar Slebor sendiri sedang menyamar,
mereka malah meluputkan kesempatan itu. Kini, mereka
mengganggap sudah tepat saatnya mereka membuktikan
seberapa hebat orang asing yang banyak dibicarakan anak
buah mereka.
Sementara lelaki yang menjadi pemimpin berbicara,
yang lain membentuk kepungan di sekeliling Pendekar
Slebor. Orang yang dikurung masih tetap santai. Kepalanya
menolehi setiap anggota Delapan Samurai Merah dengan
tatapan orang cacingan.
Ketika kepungan terbentuk scmpurna, tanpa banyak
komando, kedelapan lelaki itu melabrak Pendekar Slebor
berbarengan dengan senjata khas masing-masing.
"Heaa!!"
Dari delapan penjuru berbeda Pendekar Slebor
dilabrak. Lawan sudah bergerak menggiring hawa maut
pada teriakan garang mereka. Pendekar Slebor justru
merengut-rengut kesal.
"Kalian pasti tak pernah diajarkan ibu kalian untuk
menghargai nasihat orang lain," gerutunya. Dan ketika
delapan mata senjata nyaris tiba di tubuhnya....
Wut! Trang!
Mendadak berkelebat cahaya merah terang yang
melingkari tubuh Pendekar Slebor. Cahaya merah terang
yang melengkung panjang itu memapas semua senjata
lawan. Kejap berikutnya, terlihat tubuh Pendekar Slebor
mencelat tinggi ke atas, melepaskan diri dari kepungan
kedelapan lawannya.
"Pikir-pikir lagi jika kalian benar-benar hendak
menghadapiku!" bentak Pendekar Slebor dengan wajah
sematang-matangnya. Anak muda yang mulai dongkol itu
sudah berdiri jauh di tepi sungai yang lebih tinggi.
Tangannya menggenggam Pedang Pusaka Iangit. Senjata
itu menebar sinar merah bara menyilaukan mata setiap
lawan. Cahayanya terpantul di antara riyakan arus sungai.
Para lawan tidak hanya dibuat terpesona dengan
pedang langka itu. Mereka juga dipaksa takjub dengan
hasil yang dilakukan Pendekar Slebor hanya dalam
segebrakan. Ya, hanya dalam segebrakan, seluruh senjata
Delapan Samurai Merah telah tak sempurna lagi
bentuknyal
Sembilan orang anggota Imada-Tong berpakaian
hitam yang mula-mula muncul terdiam bagai jajaran
patung. Mereka seperti baru saja menyaksikan
pertunjukan sihir. Mereka tak percaya kalau delapan
pemimpin mereka diperlakukan begitu rupa dengan cara
begitu remeh. Padahal dari ujung propinsi Tajima sampai
sudut propinsi Kojuke, Delapan Samurai Merah memiliki
nama besar!
Andika memang sengaja melakukan itu. Semestinya,
dia hanya ingin mempergunakan Pedang Pusaka Langit
dalam keadaan yang benar-benar genting. Sekarang dia
mempergunakannya juga. Itu bukan berarti dia dalam
keadaan amat terdesak. Dia cuma tak ingin membuang-
buang waktu dengan melayani Delapan Samurai Merah.
Gertakan pcrtama tadi diharap cukup untuk membuat
mereka mempertimbangkan kembali untuk berhadapan
dengannya.
Ah, mestinya Andika bisa belajar banyak selama
berurusan dengan para Imada-Tong. Mereka bukan sejenis
manusia yang gampang digertak. Dalam setiap
pertarungan, mati adalah salah satu pilihan mereka
Buktinya, Delapan Samurai Merah yang sempat dibuat
takjub tak menggubris gertakannya. Mereka malah
mengeluarkan senjata lain.
"Sial benar!" maki Andika kesal. Jakunnya sampai
melompat-lompat.
"Biar orang asing ini aku yang hadapi!" seru se-
seorang, mencegat serbuan Delapan Samurai Merah lebih
jauh.
Seseorang muncul lagi dari balik air terjun. Menilik
penampilan dan wajahnya, jelas kalau lelaki ini adalah
Seichi Onigawa.
Andika meliriknya acuh tak acuh. Bibimya mencibir
meremehkan. Kalau tak risau dianggap benar-benar
sinting, dia malah ingin menguap lebar-lebar dan bergeliat
semaunya.
"Kalau tak salah, kau tentu Seichi Onigawa. Dan kalau
'tak benar'. kurasa kau siluman monyet bau pesing!"
celotehnya dalam bahasa Nippon yang ngelantur.
"Kau yang bemama Andika?"
Andika meringis.
"Kau yang menjadi tamu Hiroto?" tanya Seichi
Onigawa lagi. Wajahnya tak berubah. Tetap kaku mcski
pemuda di depannya sudah cengar sana cengir sini.
Andika meringis lagi.
"Kau tentu orang asing yang hebat itu, heh?!"
Mendengar kata 'hebat' disebutkan calon lawannya,
Pendekar Slebor kontan membusungkan dada.
'Hail Hai" sergahnya sengak.
"Bagus! Sekarang kau akan tahu, apakah kau sudah
cukup hebat menghadapi Seichi Onigawa!" tandas Seichi
Onigawa tak ragu. Tanpa perlu menepuk dada atau
bertingkah tengik seperti Pendekar Slebor, mata lelaki itu
memperlihatkan keangkuhan kental.
"Sebagai tamu yang baik, tentu saja aku akan
melayani semua keinginan tuan rumah." Andika mulai mau
ngoceh lagi. "Selama masih punya tangan, aku akan
menggebukmu jika kau minta. Di bagian mana yang kau
suka? Pilih saja! Biasanya bagian yang paling empuk dari
sapi adalah daging pahanya, kalau tidak salah. Tapi, bukan
berarti aku menganggap kau sapi. Hanya wajahmu
memang nyerempet-nyerempet sedikit.... Terutama
moncongmu. Wah, aku suka itu!" Pendekar Slebor makin
ngalor-ngiduL
Seichi Onigawa memperdengarkan dengus
mengancam.
"Kau hanya membuang waktu, Orang Asing! Huph...."
Tak seperti samurai lain, Seichi Onigawa tidak segera
meloloskan katananya. Seichi Onigawa justru memejamkan
mata. Dia tampak memusatkan pikiran sebentar.
Kemudian dihirupnya udara dalam-dalam dengan tangan
mengejang kaki di kedua sisi pinggangnya. Terus dan terus.
sampai dadanya membesar seperti seekor katak!
Dari cengengesan, wajah Pendekar Slebor berubah
mengkerut. Ilmu apa ini'? Tanyanya takjup juga. Tentu anak
muda sakti itu terheran-heran. Bagaimana mungkin dada
manusia bisa menggelembung seperti bantalan karet
begitu?
Tanpa bisa menuntaskan keheranan, Pendekar Slebor
harus menyingkir dari batu tempat bertenggernya. Lawan
mulai melabrak. Bagai orang kesetanan. lelaki yang
dadanya menggelembung itu berlari di sungai dangkal
menuju Pendekar Slebor. Kedua tangannya membentuk
cakar di muka.
Wukh!
Satu cakaran menyambar tajam ke wajah Pendekar
Slebor, tepat pada saat tubuh anak muda itu sudah melejit
lebih dahulu ke belakang.
Seichi Onigawa tidak berlari lagi. Dia ikut melejit
memburu tubuh Pendekar Slebor di udara. Wukh! Wukh!
Wukh! Des!
Dengan sekali sampokan bertenaga, Pendekar Slebor
mengenyahkan cakaran bertubi-tubi Seichi Onigawa yang
menyusulnya. Betapa terkesiapnya Pendekar Slebor ketika
itu. Tangannya terasa panas luar biasa. Sepertinya dia baru
saja memapaki gulungan bara!
Pada satu bongkahan batu meruncing yang tak lebih
besar dari kepalan tangan, Pendekar slebor hinggap amat
ringan. Meski sebelumnya tangannya terasa terbakar,
meski dia baru saja melompat dengan kekuatan penuh, tak
sedikit pun tampak pemuda ksatria itu kehilangan
keseimbangan.
Di lain pihak, Seichi Onigawa s udah hinggap pula di
sebuah batu tak lebih dari tiga tombak di depan Pendekar
Slebot.
"Bujubuneng! Buntalan kentut ini hebat juga rupanya!"
rutuk Pendekar Slebor. Bergegas disalurkannya hawa
murni ke kedua tangan, mencoba mengusir rasa panas
yang mengendap.
"Sekarang kau baru sadar kau kini sedang
berhadapan dengan siapa, heh?" cemooh Seic hi Onigawa
dalam. Suaranya terpendam seperti suara orang yang
berbicara dari balik tembok.
Andika tak bisa meremehkan ucapan lawan sekarang.
Seichi Onigawa telah memperlihatkan bukti. kalau dia
bukan lawan enteng bagi Pendekar Slebor!
Sampai saat itu, Pendekar Slebor mendapat kesulitan
untuk mengetahui kesaktian apa yang dimiliki Seichi
Onigawa. Seumur hidup, baru kali itu dia menyaksikan ilmu
yang demikian aneh. Dada dapat menggelembung seperti
bantalan karet? Bagaimana tidak aneh?
Dalam beberapa petualangan menegakkan keadilan,
anak muda itu memang tak jarang berhadapan dengan
lawan yang memiliki kesaktian di luar akal manusia.
Pernah dia menghadapi lawan yang sanggup menyatukan
kepalanya kembali meski sudah terpenggal dan mampu
menghilang (Baca dua episode: "Darah Pembangkit Mayat"
dan "Bangkitnya Ki Rawe Rontek"!). Atau seorang tokoh
yang sanggup menciptakan angin puting beliung, api,
halilintar (Baca episode: "Permainan Tiga Dewa"!). Juga
sederet tokoh-tokoh lain. Termasuk mereka yang
mendukung perjuangannya.
Tapi yang satu ini benar-benar lain dari semua yang
pernah diketahuinya. Lagi pula, dari mana Seichi Onigawa
mendapat kesaktian aneh itu? Sepanjang pengetahuan
Pendekar Slebor, di negeri ini kesaktian-kesaktian macam
itu tidak pernah ada. Kalaupun ada, mungkin terlalu sulit
ditemui. Kebanyakan para jawaranya mengandalkan
kecepatan, kejelian, ketangkasan, dan kegesitan.
"Kenapa terdiam, Orang Asing?!" tukas Seichi Onigawa
dengan suaranya yang berubah berat dan dalam.
Kecamuk rasa heran Pendekar Slebor jadi terpancung
karenanya. Karena tak mau kehilangan muka, anak muda
itu cepat berkelit.
"Ah, aku cuma kasihan melihat rupamu...," tukas
Pendekar Slebor sekenanya. Boleh-boleh saja dia terkejut.
Tapi, tak akan sudi dia memperlihatkan perasaan itu
terhadap lawan!
"Jadi, apa kita akan lanjutkan permainan ini? Kurasa
kalau kita hendak melanjutkan, sebaiknya kita bertaruh.
Kalau kau dapat menepuk pantatku sekali saja, maka aku
akan bertekuk lutut di balik ketiakmu!" sambung Pendekar
Slebor jumawa. Tantangannya dibarengi oleh cibiran
meremehkan. Selalu dia begitu dalam menghadapi lawan.
Biar lawan terpancing kemarahannya, dan dia dapat
memanfaatkan keadaan itu. Taktik licin yang seringkali
membawa hasil memuaskan. Meski dengan begitu tak
jarang dia dianggap sableng.
Seichi Onigawa tak mau menanggapi ocehan lawan.
Dia cepat menghempas napas seperti sebelumnya.
"Huph!"
Tangannya mulai membuat gerakan kaku ke
beberapa arah. Tak beda dengan gerak batang pohon
bambu tersapu angin kencang. Dan gerak tangannya
terlahir suara-suara yang juga ganjil. Mau dibilang seperti
suara derak tulang, tapi terlalu meninggi. Mau dikata
seperti bunyi deru angin, tapi terlalu berat.
Dretak! Dretaak! Dretak!
"Ck, ck, ck!" Pendekar Slebor berdecak-decak.
Kepalanya menggeleng-geleng.
"Untuk menghadapi ilmumu itu, kurasa aku pun harus
mengeluarkan kesaktian puncakku," perangah anak muda
itu. Matanya membesar. Kemudian, dia bermaksud
membuktikan ucapannya.
"Hiaah!"
Pemuda dari tanah Jawa itu mulai menghempas
napas juga. Kedua tangannya disorongkan ke muka
dengan wajah amat tegang. Sebentar kemudian....
Tak! Bletak! Bretak!
Pendekar Slebor pun mengeluarkan bunyi yang
hampir mirip dengan milik lawan sebelumnya. Cuma bunyi
ini tercipta karena pendekar kelewat urakan ilu baru saja
mcnggcliatkan tulang-tulang punggung-nya.
"He he he, baru menyaksikan kesaktianmu saja.
badanku sudah pcgal-pegal...," ocehnya dengan bibir
cengar-cengir badak! "Heuahhhh!"
Seichi Onigawa mulai menerjang. Tangannya yang
menghasilkan bunyi ganjil tadi teracung lurus-lurus ke dada
Pendekar Slebor seakan ada baja teramat keras menjadi
rangkanya. Sesaat kedua tangan lelaki berparas bengis itu
tergetar hebal. Otot-ototnya bersembulan seperti ditarik
satu kekuatan dari dalam. Sekejapan berikutnya, Pendekar
Slebor sekelebatan menyaksikan udara pukulan yang
terbentuk amat kuat. Wukh!
Meski sudah mengerahkan kecepatan saat me-
nyorongkan badan rendah-rendah ke belakang, Pendekar
Slebor tak urung merasakan dadanya terhantam sesuatu.
Desh!
"Akh!"
Terlampau kuat hantaman itu sampai tubuh si
pemuda dari tanah Jawa terseret di permukaan air sungai
sejauh delapan depa! Air bcrhamburan seperti percikan
kembang api tanpa cahaya.
Selagi berkutat melawan sesak yang mengunci
napasnya, Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
Dia mclihat jelas, tadi tangan lawan tak menyentuhnya
samasekali. Tapi kenapa merasa hantaman itu begitu
telak? Padahal angin pukulan tak akan berakibat seperti
itu. Sudah sering Pendekar Slebor mcnemui lawan
bertenaga dalam tingkat tinggi, tapi tetap angin pukulannya
tak seperti yang kini dia terima.
"Khuih!"
Wukh!
Berbarengan, sepasang tangan kejang Seichi Onigawa
hendak mengepruk kepala Pendekar Slebor yang mencoba
bangkit terhuyung.
"Kunyuk! Pantas saja Kakek Yoshioka bisa
dipecundanginya!" serapah Pendekar Slebor mendesis
seraya menangkis cepat kedua tangan lawan. Tak pelak
lagi anak muda itu meyakini lawan memiliki semacam ilmu
kanuragan hitam. Entah didapatnya dari mana kesaktian
itu, Pendekar Slebor tak lagi peduli. Yang dia tahu saat itu.
dia harus mengerahkan kecepatan untuk mengimbangi
serbuan dua tangan Seichi Onigawa bertenaga luar biasa!
Dua tangan lawan mendcsak Pendekar Slebor habis-
habisan, selalu dari dua sudut berbeda. Itu sungguh
merepotkannya. Selama ini, Pendekar Slebor tak pernah
menghadapi lawan yang begitu menguasai ruang gerak
dengan leluasa. Lawan-lawan sebelumnya tak ada yang
bisa bergerak diruang yang terlalu sempit.
Berbeda dengan lawannya kini. Tangannya bisa
menelusup dan meliuk seenaknya, memanfaatkan ruang-
ruang sempit yang menjadi kelemahan benteng
pertahanan jurus-jurus Pendekar Slebor. Seolah sepasang
tangan Seichi Onigawa menjelma menjadi dua ekor ular
sanca bengis, sanggup mencari sendiri kelemahan
pertahanan Pendekar Slebor. Di situ repotnya.'
Hingga si pemuda berkimono pinjaman itu pun
dipaksa serabutan kian kemari. Menangkis, berkelit,
melompat berguling tanpa bisa meyakini apa yang harus
dihajarnya.
Belum lagi terhitung terkaman dan terjangan kedua
tangan itu begitu kuat. Tenaga tiga ekor banteng saja
masih belum apa-apa. Setiap tandukan kepalanya terasa
oleh Andika seperti hantaman batu gunung sebesar
padepokan! Untuk menangkisnya pun, Pendekar Slebor
harus mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan hingga nyaris terkuras.
Sayang, itu tak terlalu berguna. Lawan memiliki
kehebatan lain. Jika tenaga sakti Pendekar Slebor
menghantami seluruh bagian mana pun badan Seichi
Onigawa, dengan tenaga sekeras apa pun, saat itu juga
Pendekar Slebor merasakan tenaganya terpantul. Dia
seperti menghantami buntalan karet kenyal. Sesaat, hanya
untuk sesaat, Seichi Onigawa akan terjajar. Setelah itu dia
akan kembali menyerbu dengan segenap ancamannva!
Suatu ketika Pendekar Slebor mencoba menghantam
dada menggelembung lawan.
"Fheih!"
Deb!
Pendekar Slebor berhasil menembus dengan mudah.
Semula anak muda itu heran juga. Bagaimana mungkin
pukulannya mencuri begitu saja di bagian yang biasanya
memiliki pertahanan paling ketat. Manakala kepalan
bertenaga saktinya sampai, barulah anak muda dari negeri
seberang itu tahu apa maksud lawan....
Blep! Des!
Dengan segenap keterperanjatan memuncak,
Pendekar Slebor tersentak ke belakang. Dadanya megap-
megap Kalau saja kuda-kudanya tidak cukup kokoh, dia
bisa terseret lagi di permukaan sungai. Apa yang terjadi?
Andika sungguh dipaksa terperangah. Tenaga pukulannya
telah memantul balik ke diri sendiri!
Kontan meluap seribu satu makian dongkol setengah
mampus dari mulut lincah si pemuda urakan.
"Cacing buduk, kunyuk benjol, dedemit bau pesing,
slompret sial kau...!"
***
5
Dalam semua urusan. tidak ada manusia yang mutlak
berkuasa selamanya. Selalu saja ada saat di mana
kekalahan dan keruntuhan menghampiri. Ibarat seorang
raja yang tak selamanya berkuasa, pendekar muda dari
tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor pun tak bisa
mengaku dirinya tak tertandingi siapa pun.
Hari ini, anak muda sakti itu menelan pengalaman
pahit dari rentang perjalanan panjangnya menempuri
kebatilan. Memang bukanlah pengalaman pahit pertama.
Namun tetap membuktikan bahwa biar bagaimanapun
tinggi ilmu kesaktiannya, tetap satu saat harus mengalami
kekalahan. Di atas langit masih ada langit!
Saat itu, Pendekar Slebor sedang terdesak habis-
habisan. Seichi Onigawa rupanya tak hanya memiliki
kehebatan kanuragan yang baru pertama disaksikan
Pendekar Slebor. Lelaki dari negeri para shogun itu
sanggup pula melepas satu ajian Pelumpuh Ninja Hitam.
Satu ajian yang diperdalam dalam ninjitsu tingkat tinggi.
Kalangan di luar ninja menyebutnya dengan Sihir Ninja.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil sampai ke
tingkat ini. Seichi Onigawa, meski tergolong tak terlalu tua,
dia telah mampu menguasainya.
Ajian Pelumpuh Ninja Hitam dapat membuat otot-otot
lawan menjadi kaku. Lawan kehilangan kelincahan dalam
pertarungan. Bagai seekor rubah terjerat jaring.
"Heuih!"
Deb! Deb!
Telah berkali-kali kepalan berhawa maut Seichi
Onigawa berhasil merangsak benteng pertahanan
Pendekar Slebor. Dada Pendekar Slebor terhantam telak.
Akibatnya, hidung dan mulut pemuda itu dibasahi darah.
Andika sekadar jadi bulan-bulanan. Jurus 'Gun-tur
Slaksa' atau 'Mengubak Petir Membabibuta' seakan
terkunci dalam dirinya. Kalau pun dia berbekal dengan
Pedang Pusaka Langit, tetap tak berguna. Jangankan untuk
memainkannya, untuk meloloskan dari sarungnya saja
sudah tak bisa. Maka segala kekuatan sakti di dalam
benda pusaka itu pun tak bisa di-manfaatkan.
Des! Des! Untuk ke sekian kalinya, dada si pendekar
muda tanah Jawa digempur. Tubuhnya tersentak-sentak.
Darah semakin banyak terscmbur keluar dari mulutnya.
Yang hanya bisa dilakukan saat itu cuma bcrusaha terus
bertahan agar tidak tersungkur.
Tapi, tak ada manusia yang bisa terus bertahan
menerima gempuran terus-menerus. Pada akhirnya, tubuh
Pendekar Slebor terhuyung limbung ke belakang, lalu
tumbang.
Antara sadar dan tidak, lelaki muda itu mengelinjang-
gelinjang di atas tanah. Betapa amat tersik-sanya dia.
Kimono pinjaman bagian depannya nyaris kuyup oleh
darah dan keringat.
"Menyesal kau harus mati tidak di negerimu sendiri,
Orang Asing," seringai Seichi Onigawa. Kakinya berdiri tepat
di sisi kepala Pendekar Slebor. Dengan sikap seperti itu,
seakan dia hendak menyanjung kehebatan sendiri.
Dua kepalan Seichi Onigawa pun teracung tinggi.
Seluruh ototnya mengejang di antara aliran keringat. Akan
diakhiri pertarungan itu dengan satu tinju maut terakhir
yang bisa memastikan kepala Pendekar Slebor remuk
seketika.
"Huph! Heih!"
Wuhs! Dash!
Tanpa sempat mendaratkan tinju mautnya, Seichi
Onigawa tiba-tiba terjajar ke depan. Nyaris saja dia
terjatuh. Ada seseorang yang campur tangan. Orang itu
pula yang membokongkan tendangan keras.
"Jangan pernah bermimpi kau akan membunuh lelaki
itu, Manusia Busuk!" maki si pembokong, ter dengar
geram.
Seichi Onigawa cepat menoleh. Bola matanya
menyudut bengis. Bibirnya terungkit kejam.
"Kau...," desisnya. Dilihatnya seorang bertopeng kain
serta berpakaian serba hitam. Kalau hanya melihat
pakaian, Seichi Onigawa bisa malah menyangka orang itu
anggota Imada-Tong. Hanya garis mata orang itu yang
langsung dikenalinya. Dialah yang telah menghadang
beberapa waktu lalu, ketika Seichi Onigawa hendak
membawa Akimoto.
"Terkejut?" tukas orang yang baru datang.
Seichi Onigawa menggeram.
"Kau akan menerima nasib serupa dengan oran asing
itu!" ancamnya bergejolak bagai lahar mendi-dih.
Ditudingnya tubuh Pendekar Slebor yang sudah tak
bergerak.
"Sudah kubilang, kau jangan bermimpi! Kau bisa saja
membuatnya seperti itu. Kau tahu sebabnya? Karena lelaki
asing itu tak mengetahui rahasia kelemahan kesaktian
Ninja Hitammu, Busuk!"
Suara berat berdebam Seichi Onigawa terdengar lagi.
"Kau pandai menggertak rupanya?" cibirnya. Sedikit
beranjak dari tempat semula, orang berpakaian hitam
bertolak pinggang.
"Kau bisa buktikan. Seranglah aku!" tantangnya,
menepis cemoohan Seichi Onigawa.
Seichi Onigawa diam. Dia ragu. Tampak sekali kalau
benaknya sedang mempertimbangkan untuk menyerang
pembokongnya atau tidak. Kalau cuma menggertak,
kenapa orang itu begitu yakin melepas tantangan?
Bimbang hatinya.
Lepas dari benar tidaknya orang berpakaian hitam
mengetahui kunci kelemahan kesaktian Seichi Onigawa,
pada dasarnya Seichi Onigawa telah masuk perangkap
yang dipasangnya.
"Heh...," dengus orang berpakaian hitam, ganti
mencibir.
"Lihatlah dirimu itu. Seichi," sambungnya padat kesan
mengejek. Entah dari mana dia mengetahui nama Seichi
Onigawa.
Seichi Onigawa sendiri dibingungkan dengan
kenyataan itu. "Bagaimana dia bisa tahu namaku?"
bisiknya membatin. "Mungkinkah dia orang yang telah
begitu lama mengenalku? Kalau namaku saja dikenalnya,
apa tidak mustahil dia pun benar-benar mengetahui kunci
kelemahan kesaktianku?"
Mendapati keterdiaman Seichi Onigawa, lelaki
berpakaian hitam makin merasa mendapat angin untuk
terus mencemooh. Diteruskannya kalimat yang terpotong
tadi. Bercerminlah Seichi! Biar kau tahu kalau
scsungguhnya kau sekadar lelaki pengecut. Kau tak
pernah merangkul jalan bushido. Kau terlalu takut untuk
itu. Pantas saja Yoshioka Tua selalu menyebutmu
pecundang!" cecar orang bertopeng kain hitam.
Untuk kedua kalinya, Seichi Onigawa dikejutkan
perkataan calon lawannya. Tak lagi diperhatikannya
kalimat menghina orang itu. Biarpun perkataan itu telah
menginjak harga dirinya sekali pun. Yang cuma menjadi
perhatiannya cuma nama Yoshioka Tua yang disebutkan
barusan.
Seichi Onigawa kembali bertanya-tanya dalam diri.
Siapa sesungguhnya orang ini? Dia mengenal pula
Yoshioka..., orang tua yang selama ini selalu saja menjadi
duri dalam daging bagi Seichi Onigawa. Orang tua bungkuk
itulah yang paling mengetahui siapa dan. bagaimana Seichi
Onigawa.
"Ah, buang-buang waktu aku terus di sini. Apa aku
harus menunggumu terdiam di situ sampai kiamat?" leceh
orang berpakaian hitam.
Kemudian, dihampirinya tubuh Pendekar Slebor.
Diangkatnya ke bahu, lalu dengan santai dibawanya
tubuh pendekar muda itu pergi.
Orang-orang Imada-Tong bergerak hendak meringkus.
Seichi Onigawa mcnahan mereka.
"Biarkan," katanya dengan kilat mata licik. "Kita masih
memiliki Akimoto Kecil," tambahnya mendesis.
"Andika San.... Andika San.... Kau sudah sadar?"
Lamat-lamat Andika mendengar suara halus seorang
wanita di sisinya. Kelopak matanya membuka perlahan.
Dari mengabur, pandangannya mulai menjadi jelas. Yang
pertama-tama ditemui adalah wajah jelita si janda Akemi.
"Akemi? Di mana aku?" keluh Pendekar Slebor. Dari
rebahnya, anak muda itu berusaha bangkit. Pening luar
biasa di kepala ditambah rasa sesak di dada membuatnya
urung bangkit.
"Andika San berada di rumah rahasia Kak Hiroto,"
kata Akemi, memberitahukan.
Alis Andika mengerut. Antara mimik wajah menahan
sakit dan mimik bertanya.
"Bagaimana aku bisa sampai di sini? Siapa yang telah
menyelamatkanku dari...," Andika memutus kalimatnya.
Belum waktunya dia mengatakan kalau dia pergi menemui
Seichi Onigawa. Sewaktu hendak pergi dari tempat itu,
Andika mengatakan tujuan lain. Dia harus merahasiakan
rencananya. Takut-takut nanti diketahui Hiroto. Andika
hanya tak ingin kawannya itu menganggapnya telah
lancang mencampuri urusan keluarga.
"Kissumi menemukan Andika San ditepi hutan batas
propinsi Yamashiro. Katanya, Tuan tergeletak bermandi
darah. Lalu Kissumi membawa Andika San ke sini dengan
kereta kuda...," papar Akemi.
"Kissumi?" terbetik kecurigaan di benak Andika.
Sedang apa perempuan geisha* itu di hutan batas propinsi
Yamashiro? Andika teringat pada pakaian hitam-hitam yang
disembunyikan di depan rumah pengasingan rahasia
Hiroto. Dengan ditemukannya pakaian itu, terpicu
kecurigaan Andika bahwa di dalam keluarga Hiroto ada
seorang yang menggunting dalam lipatan. Seorang
penghianat! Mungkinkah Kissumi adalah penghianat itu?
"Mana Kissumi?" tanya Andika pada Akemi. Akemi
belum sempat menjawab ketika Andika berkata lagi.
"Maukah kau memanggilkan Kissumi?" Akemi
mengangguk. Perempuan beranak satu tapi tetap memiliki
tubuh molek itu bangkit. Dari kamar dia keluar. Tak begitu
lama, Akemi telah kembali. Kissumi mengekor di
belakangnya.
"Andika San memanggil saya?" tanya Kissumi di dekat
Andika. Kedua wanita itu sudah duduk bersimpuh di sisi
Andika.
Andika bergerak hendak bangkit. Menyaksikan itu,
Akemi dan Kissumi bersicepat hendak memapah bahu si
anak muda. Wajah keduanya bersemu merah ketika
menyadari mereka seperti dua gadis kecil memperebutkan
boneka.
Sialnya, Andika jadi urung dibantu. Dengan bibir
meringis-ringis menahan sakit, terpaksa anak muda itu
bangkit sendiri. Apes sekali.
"Kissumi, Akemi bilang padaku, kau pergi ke hutan
batas propinsi Yamashiro." mulai Andika lagi dalam posisi
duduk menjulur kaki
Kissumi menyahuti dengan anggukkan kecil yang
terlihat khidmat.
"Apa tujuanmu ke sana?" tanya Andika kembali.
Sclintas ada garis kecurigaan di wajahnya. Begitu juga
dengan tatapannya.
"Aku membeli perbekalan yang tak ada di Kyoto ke
Yamashiro...," jawab Kissumi. "Perbekalan kita untuk di
tempat ini sudah habis," tambahnya.
Tentu saja penuturan Kissumi terlalu dibuat-buat bagi
Pendekar Slebor. Bagaimana mungkin pada saat keluarga
Hiroto digempur oleh musuhnya, Kissumi justru pergi ke
Yamashiro seorang diri. Tapi, Andika belum lag] mencari
kejelasan seluruhnya. Bukankah dia belum menanyakan
apakah Kissumi pergi sendiri atau ditemani.
"Kau pergi sendiri?" susul Andika.
"Aku ditemani oleh...."
Kalimat Kissumi urung terselesaikan. Pintu geser
kamar terdengar dibuka seseorang.
"Aku yang mengantarnya, Andika San. Kissumi tak
mungkin kubiarkan pergi sendiri pada saat genting seperti
ini...," sela orang yang membuka pintu. Dia adalah Fujimoto
bekas anak buah kepercayaan Hiroto.
Tiga hari tiga malam Andika tidak bisa berbuat apa-
apa. Luka dalam yang dideritanya tak bisa disebut ringan.
Selama itu, hanya semadi yang bisa dilakukan. Dengan
semadi, Andika mencoba memulihkan keadaan tubuhnya
kembali. Meski sudah begitu, pemulihan keadaan
tubuhnya berjalan amat lambat. Akibat pukulan Seichi
Onigawa tampaknya terlalu kuat untuk dilumpuhkan secara
cepat.
Sementara itu, Akemi dengan sabar membantu
merawatnya. Dia yang membawakan Andika makanan
Memberikan pemuda itu obat-obatan tradisonal, juga tak
jarang menggadanginya malam hari. Beberapa kali, ketika
Andika menyudahi sementara semadinya, Andika
memergoki Akemi sedang terkantuk-kantuk di sisi pintu
kamar. Wanita itu berusaha untuk tidak tidur, walau
matanya sendiri sudah bagai digelantungi bandul.
Beberapa kali Andika meminta Akemi agar tigak
terlalu memaksakan diri. Anak muda itu berusaha
meyakinkan Akemi keadaannya tidaklah terlalu
mengkhawatirkan seperti yang terlihat. Permintaan Andika
sia-sia. Akemi tetap bersikeras untuk membantu merawat
pemuda itu.
Ada apa sebenarnya pada diri Akemi? Andika sering
bertanya begitu dalam hati. Apa ada sesuatu di balik
perhatiannya yang besar terhadapku? Atau hanya sikapnya
selaku salah seorang tuan rumah yang hendak
memulihkan tamu?
Kalau sudah mesti bersemadi kembali. mau tak mau
Andika membuang dulu segala pikiran tadi. Yang
terpenting, dia harus kembali sehat. Urusan genting
dengan Seichi Onigawa belum lagi beres, pikirnya.
Pada hari keempat, tubuh Andika belum bisa berbuat
banyak. Berdiri saja dia terkadang masih terhuyung-
huyung. Akemi sering terpekik kaget dan memapah
tubuhnya lergesa ketika perempuan itu mendapati tubuh
Andika nyaris tersungkur.
Sementara itu, Hiroto yang telah pulang sebelum
Andika kembali, tak kunjung jua mendapat kabar dari
Seichi Onigawa mengenai Akimoto, anaknya. Karena
pikiran Hiroto terlalu dikecamuk akan nasib anaknya, dia
jadi tak begitu mempcrhatikan keadaan Andika.
Hiroto beberapa kali menjadi tak sabar. Kalau saja
Andika tak segera mencegahnya, tentu samurai sejati itu
bakal mulai lagi mencari tempat Seichi Onigawa yang
menyembunyikan Akimoto.
"Kita harus bisa bersabar. Jangan terlalu terburu
nafsu. Bisa-bisa itu akan mencelakakan diri kita sendiri,"
cegah Andika satu kali.
"Jangan membuang-buang tenaga sia-sia. Kita butuh
segenap tenaga untuk menghadapi lelaki keparat itu. Tapi,
pada saatnya nanti," begitu Andika menahan Hiroto. Dan
Hiroto menyadari juga kebenaran pendapat Pendekar
Slebor, meski cukup sulit baginya untuk itu.
Di lain keadaan, seencer apa pun otak pendekar
muda tanah Jawa itu belum bisa memecahkan teka-leki
pakaian hitam yang ditemuinya di bawah tebing depan
rumah pengasingan rahasia Hiroto. Jika menilik bagaimana
para Imaga-Tong dapat mengetahui rumah yang
dirahasiakan itu, Andika jelas jadi berkesimpulan ada
seorang pengkhianat mendekam di keluarga Hiroto.
Masalahnya kini. siapa pengkhianat itu? Apakah pakaian
itu ada hubungannya dengan si pengkhianat?
Selain Hiroto, ada tiga orang lain di rumah itu. Mereka
adalah Akemi, Kissumi, dan Fujimoto. Andika sudah
mengorek keterangan dari Fujimoto waktu itu. Lelaki yang
pernah menjadi bawahan kepercayaan Hiroto itu diyakini
Andika tidak berkhianat.
Jadi, kalau Fujimoto mengaku telah mengantar
Kissumi ke hutan perbatasan propinsi Yamashiro, itu
artinya Kissumi pun tidak bisa lagi dicurigai sebagai
pengkhianat.
Yang tersisa hanya Akemi. Tapi Andika mana mungkin
mencurigai janda itu sebagai pengkhianat? Jelas-jelas
Akemi adalah ipar Hiroto, wanita yang menikah dan
memberi seorang anak pada adik kandung Hiroto.
Kalau begitu kecurigaan si anak muda sakti Lembah
Kutukan menemui jalan buntu. Tak ada lagi orang yang
patut dicurigai. Bagaimana dengan Hiroto sendiri? Ah, tak
mungkin tepis Andika. Semua kekacauan ini justru
bertujuan hendak menghancurkannya. Bagaimana bisa dia
hendak menghancurkan diri sendiri dan keluarganya?!
"Pasti ada 'satu mata rantai yang putus!" tandas
Andika dalam hati. Mata rantai yang bisa
menghubungkannya dengan si pengkhianat. Sebab, biar
bagaimanapun Andika tetap yakin keberadaan
pengkhianat itu di tengah-tengah keluarga Hiroto. Untuk
mengetahui mata rantai yang terputus itu, dia harus
menyelidiki lebih dalam, lebih teliti sekaligus hati-hati!
***
Malam ke sekian dari musim semi beranjak datang.
Senja baru saja memudar. Di pelupuk langit sebelah timur,
sisa cahaya kemerahan masih berjuang untuk bertahan
dari terkaman segala malam.
Andika berdiri di beranda rumah pcngasingan rahasia
Hiroto. Menikmati memudarnya cahaya matahari di
belahan langit timur membuat hatinya damai. Lantak
sejenak segala pikiran-pikiran runyam yang menggerayang
di benaknya.
Sampai Akemi datang di belakangnya. Janda itu
berdehem kecil, mencoba menegur secara tak lang-sung.
Andika menoleh.
"Akemi," sapanya dengan sebaris senyum
mengembang.
"Sedang apa, Andika San?" tanya Akemi seraya
melangkah ke samping pemuda tanah Jawa itu. Seperti
Andika, perempuan beranak satu itu pun menyanggahkan
tangan pada pagar bambu yang membentang panjang di
sisi beranda.
Andika mengedikkan bahu.
"Entah," katanya mendesah. "Mungkin hanya ingin
melupakan sejenak seluruh kekacauan dunia ini...."
Akemi diam sebentar. Warna merah tembaga sisa
sinar mentari bertandang di kulit wajahnya. Membentuk
bayang mempesona yang baru kali itu disaksikan Andika
pada wajah Akemi. Andika takjub. Inginnya dia terus
menatap. Tapi lama-kelamaan dia jadi risih sendiri. "Cantik
benar dia," bisik hati Andika memuji. Slompret sekali!
"Suatu saat kita memang harus memiliki tempat
pelarian," gumam Akemi, tak kentara.
"Apa?" Andika tergagap. Bodoh sekali dia. Kare-na
terlalu getol mencuri pandang, dia jadi tak begitu
memperhatikan ucapan wanita menawan di sebelah-nya.
Akemi menarik napas. Dalam sarat.
"Setujukah Andika San kalau kukatakan, kita suatu
saat butuh tempat pelarian?" ulang Akemi.
Anak muda yang mengenakan kimono coklat muda itu
mcnimbang sejenak. Matanya bergerak-gerak, memikirkan.
"Setuju," tukasnya.
"Kau hendak mengatakan bahwa aku berdiri di
tempat ini pun sudah menjadi satu pelarian, bukan?"
sambung Andika.
Akemi menatap Andika. Mencoba mencari sesuatu di
mata pemuda gagah itu.
"Andika San tidak tersinggung?" ajunya.
Andika tertawa kecil.
"Kenapa harus tersinggung?" tukasnya. Lalu mata
setajam tatapan elang itu menerawang.
"Kita tak selamanya bisa bertahan dalam kekacauan
dunia. Kita harus lari satu saat. Kalau tidak, kita bisa
menjadi gila. Banyak cara untuk lari. Tapi bagiku, salah
satu yang terbaik untuk itu adalah mendekat pada alam.
Dekat pada alam, kita pun dekat pada Penciptanya...,"
tutur Andika panjang dan tajam.
Andika menghirup dalam-dalam udara senja yang kian
tua. Lalu dihembuskannya lagi perlahan. Ditarik,
dihembuskan. Seperti dia tak akan pernah terpuaskan
untuk terus melakukan itu.
Keduanya kemudian diam. Sama-sama menikmati
cahaya yang hampir mati jauh di timur sana.
"Kau menangis Akemi?" usik Andika ketika mendapati
pipi wanita itu telah basah. Ada genangan bening kecil
terus mengalir lamat menuju leher jenjang halusnya.
Akemi membiarkan airmata itu. Toh Andika sudah
telanjur melihatnya.
"Andai aku bisa lari...," desah Akemi.
"Apa maksudmu?" tanya Andika. Ucapan Akemi tak
jelas ditangkap maksudnya oleh pemuda itu. "Ada sesuatu
yang terus mengganggu pikiranmu?" susul-nya.
Entah karena pertanyaan terakhir Andika, Akemi
terisak. Dia menangis. Didekapnya wajah jelita yang diusik
tangis itu. Tak ada jawaban atas pertanyaan si pendekar
tampan barusan.
Andika kontan gelagapan. Kalau soal musuh selicik
serigala dan setangguh gajah bengkak, akan dihadapinya
dengan senyum mengembang. Tapi kalau tangis wanita?
Wah, dia paling ngeri! Bukan apa-apa. Dia bisa dibuat
serba salah karenanya.
"Sudahlah, Akemi...," bujuk Andika. Tangannya serba
salah menyentuh bahu Akemi. Andika menduga wanita itu
sedang menyesali kematian Jotaro, suaminya.
Bukannya terputus, tangis Akemi malah kian
mendalam. Tubuhnya terguncang-guncang kecil.
Wah, makin gelagapan Andika. Apa yang mesti
diperbuatnya? Kalau gadis kecil, dia bisa membelikan
boneka. Tapi kalau 'gadis besar' yang jelita di depannya ini?
Bola mata anak muda itu bergerak bingung ke sana
kemari.
Sampai Akemi menghambur ke dada bidang pemuda
itu. Ditumpahkan segalanya di sana. Dan Andika pun
akhirnya tahu apa yang mestinya dilakukan. Dirangkulnya
tubuh Akemi. Dipeluknya, membagi kehangatan.
Malam akhirnya Iuruh juga. Sejak siang tadi, juga dua
hari sebelumnya Andika tak bertemu dengan Hiroto.
Menurut Akemi, samurai sejati itu tak pernah
meninggalkan dojo*. Dia terus berlatih keras, menajamkan
jurus-jurus kendonya untuk menghadapi Seichi Onigawa
nanti.
Tangis Akemi telah tertumpah semua. Tinggal tersisa
isak kecilnya saja. Kepala wanita itu sudah sejak tadi
beranjak dari dada Andika. Dari wajahnya, Andika bisa
menyaksikan rasa malu tersembul samar di antara sisa
tangisnya.
"Maafkan kelancanganku, Andika San," hatur Akemi,
karena dianggap dirinya telah lancang.
"Maaf untuk apa? Kau tidak melakukan apa-apa
padaku," tukas Andika. "Lagi pula he he he.., aku senang,
kok!"
Andika memperlihatkan cengiran tololnya.
Akemi tak bisa menahan senyum kecil yang biar
bagaimanapun masih terlihat rapuh.
"Sebaiknya kau masuk ke dalam, Akemi. Tentu
bayimu belum kau susukan malam ini, bukan?" saran
Andika. Angin memang sudah menjadi dingin.
Akemi mengangguk. Sebentar ditatapnya Andika.
Setelah itu dia beranjak meninggalkan beranda, dikawal
tatapan lembut pemuda berambut gondrong di
belakangnya.
***
7
Seseorang menyelinap malam. Berlari ringan di luar
rumah pengasingan rahasia Hiroto. Pakaian hitam yang
menutupi hampir seluruh tubuhnya tersamar warna
malam. Dengan mengendap setengah merunduk,
dimasukinya rumah Hiroto melalui jendela samping.
Di lorong menuju kamar, penyelinap itu merapatkan
tubuh ke dinding yang luput tersiram cahaya lampion.
Rupanya datang seseorang dari ruang lain. Kissumi orang
itu. Sedang membawa baki air hangat untuk Andika.
Mata di antara penulup kain hitam penyelinap tadi
menyusut gusar menyaksikan kedatangan Kissumi. Jemari
tangannya mengepal geram. Kalau dia tak sedang
menjalani perintah lain dari atasannya, sudah dilemparnya
pisau kecil untuk menyingkirkan Kissumi. Kalau tindakan
itu tidak dilakukan, itu semata karena sang ninja tidak
ingin mengalami resiko. Sedikit saja suara mencurigakan
yang timbul jika dia mencoba membunuh Kissumi, maka
tugas utamanya bisa berantakan.
Kepalan si penyelinap makin merapat manakala
Kissumi menghentikan langkah. Wanita itu seperti
merasakan sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dalam
rumah. Untuk memastikannya dia mengawasi sekeliling.
Untunglah tempat lelaki tadi terlalu gelap untuk mata
Kissumi. Karena tak menemukan apa-apa, Kissumi
melanjutkan langkah. Dia hendak menuju dojo. Andika di
sana. Sebelumnya pemuda itu hendak menemui Hiroto.
Ternyata Hiroto sudah tidak ada lagi dalam dojo. Sedang
bersemadi di kamarnya, begitu kata Kissumi pada Andika.
Kebetulan atau bukan. lelaki berpakaian gelap tadi
pun melangkah diam-diam ke dojo. Di belakang Kissumi,
dia mengekor hati-hati.
"Ini air hangatnya. Andika San," ucap Kissumi
setibanya di dojo.
Andika yang sedang mengatur jalan darah dengan
seni pernapasan segera menghentikan kegiat-annya.
Kepalanya menoleh.
"Letakkan dulu di sana, Kissumi," pinta Andika seraya
menunjukkan sudut dojo. Air hangat itu berguna untuk
membanlunya melacarkan peredaran darah. Jika jalan
darahnya bisa semakin lancar, maka pemulihan keadaan
tubuhnya pun akan meningkat.
Kissumi menuju sudut yang dimaksudkan Andika.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Andika San?" tanya
gadis geisah itu.
'Tidak, terima kasih Kissumi...," jawab Andika.
Didapatinya mata gadis itu berbinar seperti pernah
disaksikannya ketika.... Ah, Andika cepat menepis
bayangan kemolekan serta kepadatan tubuh halus Kissumi
yang dilihatnya dulu.
Kissumi keluar. Ada kekecewaan terbawa di parasnya.
Sepeninggalan gadis geisha tadi, lelaki berpa-kaian
hitam mengendap-endap di dekat dinding ka-mar latihan
bela diri. Tangannya sudah menggenggam sebilah belati
yang gagangnya terbungkus semacam kertas.
Dinding bersekat kertas yang membatasi dojo dengan
tempat lelaki itu menyemburatkan cahaya lampion dari
dalam. Bayangan Andika pun terlihat jelas dari luar.
Dengan mata waspada, ninja penyelinap mengawasi
bayangan di sekat kertas dinding.
Sesaat berikutnya....
Tras! Wesss!
Didahului bunyi sekat kertas terkoyak, sebilah belati
melesat, menembus dinding. Arahnya tepat menuju
Pendekar Slebor di dalam dojo!
Pendekar Slebor bukan main tersentak. Tanpa
mencaritahu apa yang terjadi dengan dinding dojo sebelah
barat, anak muda itu berguling ke depan. Hanya naluri
terlatihnya yang diandalkan saat itu. Baki air hangat yang
diletakkan Kissumi cepat diraihnya. Bletak!
Baki tembikar di tangan Pendekar Slebor saat itu juga
retak. Tengahnya tertembus belati yang dilempar si
pembokong. Air hangat di dalamnya sekarang sudah
berhamburan di lantai dojo.
Sadar kalau seseorang baru saja hendak
membunuhnya, Pendekar Slebor dengan mata nyalang
men-cari. Sekelebatan dilihatnya sesosok tubuh berlari di
luar dojo. Lincah bagai seekor rubah mengejar buruannya.
Rahang pemuda dari tanah Jawa itu mengeras.
Geram, dihempasnya langkah, seperti dia menghempas
baki dari tangannya. Baru mencoba berlari lima-enam
langkah, Andika merasakan dadanya sesak luar biasa.
Pengerahan ilmu peringan tubuh yang dipaksakan
membuat luka dalamnya kambuh seketika.
Di dekat dinding dojo anak muda itu menyanggahkan
tubuh ke tempat senjata. Tangannya mendekap dada.
Sementara wajahnya memucat teramat sangat.
"Luka dalam sial! Kenapa harus kambuh saat penting
seperti ini!" rutuknya diselingi keluhan.
Sifat keras kepala si pendekar muda dari Lembah
Kutukan itu memang sulit diragukan. Baru dada sesak dan
napas Senin-Kamis seperti itu saja tidak akan digubris.
Terhuyung-huyung seperti bocah baru belajar melangkah,
dia ngotot juga mengejar pem-bokongnya tadi.
Andika merasa nyaris mampus ketika tiba di luar.
Napasnya bukan cuma s ulit ditarik, tapi juga seperti
disumbat dari dalam. Lepas dari semua itu, ada hal yang
benar-benar membuatnya ingin mampus di tempat.
Kissumi yang selama ini dikenalnya sebagai geisha lemah-
lembut, sedang menggempur ninja pembokong Andika
habis-habisan!
Anak muda itu terpana. Sempat-sempatnya dia
melompong saat napasnya tersengal-sengal. Karena
merasa salah melihat, Andika mengerjap-ngerjapkan
mata. Ini pasti akibat luka dalamku, pikirnya. Tapi sudah
berkali-kali dia mengerjap, wanita yang dilihatnya tetap
Kissumi.
Dari jalannya pertarungan, bisa terlihat Kissumi
berada jauh di atas angin. Dengan tangan kosong, gadis itu
bisa mendesak lawan berkatana.
"Heaaah!"
Deb!
Seperti tidak mengalami kesulitan, Kissumi berhasil
menyarangkan totokan bertenaga ke perut lawan. Saat
lelaki berpakaian hitam merunduk menahan sakit,
tangannya yang memegang pedang disepak kaki Kissumi
keras-keras.
Katana berputar di udara. Kissumi melenting lincah,
memburu putaran pedang. Tep! Tras!
Hanya dengan satu tebasan, kepala lelaki berpakaian
hitam menggelinding di tanah. terkena tebasan Kissumi.
***
Hiroto dan Akemi datang ketika Andika dipapah
masuk oleh Kissumi. Fujimoto menyusul di belakang
mereka. Ketiganya terkejut mendengar ribut-ribut di luar.
"Ada apa, Andika San?" tanya Hiroto. Wajahnya ketat,
menampakkan ketegangan.
Andika hendak membuka mulut, tapi Kissumi cepat
menyela.
"Tidak ada apa-apa, Hiroto San," sergah gadis itu
bergegas. Ada suatu hal yang hendak disembunyikan.
Andika tahu soal itu ketika Kissumi memintanya
merahasiakan kejadian yang terjadi sebelum Hiroto, Akemi
dan Fujimoto keluar. Kissumi juga telah menyingkirkan
mayat si ninja ke semak-semak.
"Andika San hanya terjatuh," sambung Kissumi seraya
membungkukkan badan. Tubuh pemuda yang masih
dipapahnya jadi ikut terunduk. Andika cuma bisa cengar-
cengir saja.
"Sebaiknya kau beristirahat Andika San," nasihat
Hiroto demi menyaksikan temannya dari negeri seberang
itu kepayahan.
"Ada ular masuk tadi. Aku berusaha mengusir nya. Tak
kusangka aku akan sepayah ini. Brengsek!" kibul Andika,
mencoba membantu Kissumi. Biarpun kecurigaannya tetap
ada pada diri Kissumi, Andika tetap tak bisa menuduhnya
begitu sebagai pengkhianat. Setidak-tidaknya dia mau
mendengarkan penjelasan Kissumi. Apalagi gadis geisha
itu berkata akan menjelaskan duduk persoalannya.
Hiroto dan Akemi akhirnya masuk kembali. Hanya
Fujimoto tetap berdiri di tempatnya.
"Kau pun boleh masuk," tukas Andika pada lelaki itu.
Andika berharap Fujimoto masuk agar dia bisa cepat
mengetahui segala sesuatu yang dirahasiakan Kissumi.
Termasuk mengetahui kenapa selama ini dia berpura-pura
lemah. Yang dilakukan Fujimoto justru bertolak-belakang
dengan harapan Andika, lelaki itu merundukkan badan.
Apa perlunya kau merunduk seperti itu?" rutuk Andika.
Jengkel juga dia. "Aku mau kau masuk, kau mengerti?"
sambungnya.
Lagi-lagi Fujimoto membungkukkan badan.
"Eee, kau sial sekali rupanya...." maki Andika.
Tidak apa-apa, Andika San," cegah Kissumi.
Andika merengut. "Tidak apa-apa'.'" gumamnya heran.
Kissumi mengangguk. Diliriknya Fujimoto. "Fujimoto tahu
mengenai diriku..," Kissumi menjelaskan.
"Ooo!"
Andika menjentikan tangan. Dilangkahkan kaki,
melepaskan papahan Kissumi.
"Jadi kalian bersekongkol rupanya," cibir pemuda
tanah Jawa itu.
"Semacam itu Andika San," sela Fujimoto. Untuk
ketiga kalinya lelaki itu menundukkan badan. Membuat
Andika merasa jakunnya hendak melompat karena kelewat
sebal.
"Sebaiknya, kami tak menjelaskan di sini, Andika San.
Tak boleh ada orang lain yang mendengar rahasia ini
sementara waktu," kata Kissumi lagi.
"O. jadi di mana? Di kuburan? Agar kalian bisa
membunuhku sekaligus menguburku tanpa harus repot-
repot menggotong-gotong mayatku?"
"Ikuti aku, Andika San?" ujar Fujimoto cepat. Tak
tahan juga dia mendengar cerocosan pendekar satu ini.
Dia cepat melangkah. Andika dan Kissumi mengikuti.
Ketiganya akhirnya sampai ke tempat yang di-
maksud.
"Sekarang kalian jelaskan padaku apa sesungguhnya
yang kalian sembunyikan. Semuanya! Dan jangan coba
macam-macam. Sebutlah aku sedang lemah karena luka
dalamku! Tapi untuk mengepruk kepala kalian berdua, aku
masih bisa melakukannya! semprot Andika seperti kakek-
kakek kebakaran jenggot.
Kissumi dan Fujimoto mengajaknya ke tempat yang
aman untuk menceritakan segala sesuatunya Mereka
masih tetap tak ingin ada orang lain mendengarnya.
Karena itu mereka mendatangi tempat yang paling
memungkinkan untuk itu. Tepatnya di ruang bawah lanah
yang dijadikan gudang penyimpanan.
"Asal kalian tahu, selama ini aku mencurigai di
keluarga Hiroto ada seorang pengkhianat. Dengan begini,
kecurigaanku itu akan jatuh pada kalian! Apa benar kalian
pengkhianat? Benar?! Slompret kalau benar!" cerocos
Andika lagi. Sulit juga untuknya menganggap kedua orang
itu sebagai pengkhianat Kalau mereka adalah orang-orang
Seichi Onigawa kenapa tidak langsung saja
menyingkirkannya pada saat sedang payah seperti ini?
Sementara Seichi Oni gawa sendiri sudah menang satu
langkah dengan menawan Akimoto kecil.
"Sabar Andika San. Berilah kesempatan Nona Kissumi
mengambil napas...," mohon Fujimoto.
"Mcngambil napas?" Andika mendengus. "Kalau kalian
lebih lama diam, aku yang akan mengambil napas kalian!
Kalian mengerti?!"
Lalu si pemuda yang uring-uringan itu mulai mondar-
mandir dalam ruangan sumpek penuh barang-barang. Tak
dipedulikannya dada yang masih terasa sesak.
"Asal kau tahu Andika, aku sebenarnya bukanlah
geisha Hiroto San," mulai Kissumi. Perempuan molek itu
duduk di atas tumpukan karung gandum.
"Teruskan!" bentak Andika, sok galak. Dihajarnya peti
yang tertumpuk tinggi. Padahal tanpa disadarinya dia
meninju peti penyimpan telur.
Prak!
Andika langsung mencak-mencak seperti tak ingin
berhenti sampai kiamat menjelang ketika, wajahnya
dilanda tumpahan pecahan telur.
Fujimoto dan Kissumi berusaha sebisanya menahan
geli. Mereka ingin tertawa, tapi takut kalau pendekar muda
dari negeri asing itu mengamuk.
'Teruskan! Teruskan!" bentak Andika. Tangannya sibuk
membersihkan cairan kental di sekujur mukanya.
"Nenekku adalah geisha kakeknya Hiroto San,
Yoshioka...," mulai Kissumi lagi.
"Kau menyebut siapa?" wajah Andika jadi sungguh-
sungguh. Tangannya berhenti menyingkirkan bekas
pecahan telur. Seingat Andika, dia pernah mendengar
nama itu.
"Yoshioka," ulang Kissumi.
"Yoshioka? Orangtua bungkuk itu?" Andika ingin
mendapatkan kejelasan.
"Andika San sudah mengenalnya?" sekali ini justru
Kissumi yang melengak.
"Kakek yang selalu membawa toya itu?" Andika masih
penasaran. Bola matanya membesar.
"Benar," sahut Kissumi pasti.
"Bagaimana bisa dia adalah kakek Hiroto?" Andika
mengajukan pertanyaan membingungkan. Kissumi tak bisa
menjawabnya. Pertanyaan macam apa itu? Apa terlalu
aneh seorang lelaki tua menjadi kakek Hiroto? Lain lagi
kalau Yoshioka itu perempuan peot atau bocah belasan
tahun....
"Apa maksud Andika San dengan pertanyaan itu?"
Fujimoto jadi ikut-ikutan ngawur. Jelas pertanyaan Andika
barusan tak perlu ditanggapi. Anak muda tanah Jawa itu
cuma tak percaya kalau Yoshioka tua adalah kakek Hiroto.
Itu saja. Andika menepak kening keras-keras. "Aku heran,
bagaimana Hiroto yang begitu berwibawa punya kakek se
sinting dia...," gumam Andika tak kentara.
"Kenapa, Andika San?" Kissumi bertanya.
"Tidak. tidak apa-apa," kelit Andika. "Teruskan saja
ceritamu!"
Lalu, Kissumi pun melanjutkan ceritanya.
Seperti dikatakannya belum lama, dia adalah cucu
dari geisha Yoshioka. Karena begitu dekat dengan
Yoshioka, nenek Kissumi mengabdi sepenuhnya pada
Yoshioka. Ketika istri Yoshioka meninggal dunia, nenek
Kissumi pun dijadikan istri oleh Yoshioka. Dari istri
pertama, Yoshioka memiliki anak lelaki yang bakal menjadi
ayah Hiroto. Sementara perkawinan kedua Yoshioka
dengan geishanya menghasilkan se¬orang anak
perempuan yang nantinya menjadi ibu Kissumoi.
"Artinya, kau mau hubungan darah dengan Hiroto?"
Kissumi mengangguk, membenarkan.
"Karena tahu Hiroto dalam ancaman Seichi Oni-gawa.
Kakek Yoshioka meminta aku berpura-pura menjadi
seorang geisha. Dengan begitu, sewaktu-waktu aku bisa
membantu kesulitan Hiroto. Sekaligus dapat terus
mengabari Kakek Yoshioka tentang sepak terjang Seichi
Onigawa terhadap Hiroto. Kakek Yos hioka ingin membayar
perhatiannya yang dulu tak pernah didapat Hiroto darinya."
"Kenapa begitu?" potong Andika. Kissumi
melanjutkan. "Anak lelaki Kakek Yoshioka terpisahselama
berpuluh-puluh tahun karena satu kejadian. Ketika
bertemu kembali, anak laki lakinya sudah menjelang ajal di
tangan mus uh keluarga mereka dan meninggalkan seorang
anak yang beranjak dewasa. Dialah Hiroto," sambung
Kissumi.
Dengan begitu, pantas Hiroto tak mengenalinya ketika
bertemu dengan Yoshioka tua di Kuil Matahari. Orang tua
bungkuk bertoya itu diam-diam rupanya terus mengawasi
keselamatan cucu lelakinya. Semua tindak-tanduk Hiroto
didapatnya dari Kissumi. Ketika Hiroto hendak mengejar
Seichi Onigawa yang membawa lari anaknya. Kissumi pun
memberitahukan Yoshioka tua. Karena itu Yoshioka bisa
berada di sana terlebih dahulu.
Kissumi menuntaskan paparannya.
"Bagaimana dengan kau, Fujimoto.'" tanya Andika,
mengalihkan persoalan pada lelaki itu.
"Bagaimana apanya'.'" tanya Fujimoto tak mengerti.
"Slompret kau! Ya, tentu saja aku mau tahu kenapa
kau bisa mengetahui siapa Kissumi sesungguhnya!" hardik
Andika kesal.
"Suatu kali, aku memergoki Kissumi sedang menemui
Yoshioka," ucap Fujimoto singkat.
"Begitu saja?" susul Andika, belum puas.
Fujimoto baru hendak menjawab. Andika sudah cepat
mengibaskan tangan.
"Tak perlu dijelaskan. Aku tahu kesimpulannya.
Kissumi lalu membuka rahasianya padamu. Karena kau
adalah salah seorang bawahan setia Hiroto, kau pun
bekerja sama untuk melindungi keluarga Hiroto secara
diam-diam bersama Kissumi. Apa aku betul atau betul?"
"Betul?" Fujimoto mcnanggapi kesimpulan Andika
dengan mengacungkan ibu jari.
Tuntas mendengar semua rahasia yang selama ini
tersembunyi, timbul lagi pertanyaan lain yang perlu butuh
jawaban. Pendekar Slebor menyandarkan tangan pada
dinding. Wajahnya mengetat. Anak muda itu sedang
mengingat sesuatu.
"Aku menemukan pakaian hitam-hitam di tebing
depan rumah ini. Apa kalian tahu milik siapa itu?" aju
Andika lagi. Baru dia teringat pada masalah itu.
"Itu milikku," Fijimoto mengaku.
"Pada malam penculikan Akimoto, aku berusaha
menolong Akimoto. Karena ingin tetap merahasiakan
penyamaranku, kugunakan pakaian hitam itu dan pengikat
wajah ungu. Sayang, usahaku tak berhasil.
Andika tak cepat percaya. Pada dasarnya, dia masih
ingin membuktikan kebenaran ucapan Fujimoto.
"Kau bisa membuktikan?" selirik pemuda tanah Jawa
itu.
Fujimoto tanpa segan-segan membuka sebagian
pakaian atasnya. Di salah satu bahunya terlihat bekas luka
akibat lemparan senjata rahasia berbentuk bintang milik
seorang anggota Imada-Tong.
Andika benar-benar percaya kini.
"Kalau kalian berada di pihak Hiroto, lalu siapa yang
telah berkhianat?" bisik Andika kemudian dengan kening
berkerut.
"Akemi?" ungkap Kissumi ragu.
Andika menatap Kissumi dan Fujimoto bergantian.
Sama dengan Kissumi. Anak muda itu pun ragu, apakah
Akemi benar-benar musuh dalam selimut.
"Bagaimana menurutmu, Kissumi?" tanya Andika.
Gadis itu terdiam. Sulit baginya untuk membuat
kesimpulan yang menyangkut Akemi. Bukankah Akemi
adalah ipar Hiroto sendiri?
"Mungkinkah orang Seichi Onigawa sudi menikah
dengan salah satu keluarga musuh?" gumam Andika.
"Kenapa tidak?" tukas Fujimoto menyela. "Andika San
harus ingat. Di negeri ini, orang bahkan rela mengorbankan
nyawa untuk tujuannya...."
Andika bergidik. Benar kata Fujimoto.
***
8
Andika mengajak Kissumi dan Fujimoto cepat-cepat
ke dojo. Ketika di gudang bawah tanah, mendadak saja
anak muda itu teringat sesuatu. Belati yang dilemparkan
kepadanya sekilas dilihatnya terbungkus sesuatu.
Tak lama ketiganya sampai.
Pecahan baki dan belati masili tergolek serampangan
di lantai dojo. Pengelihatan sekilas Andika sebelumnya
tidak meleset. Tepat di gagang belati, mereka menemukan
semacam gulungan kertas.
Andika mengambilnyaa.
"Sehelai surat," ucap Andika begitu menemukan
tulisan kanji* di atas carikan tersebut. Diserahkannya surat
itu pada Kissumi. Andika hanya mempelajari bahasa
Nippon. Tidak termasuk cara membaca tulisannya.
Sejenak Kissumi menekuni. "Dari Seic hi Onigawa,"
tukasnya usai membaca surat tadi.
"Lelaki itu mengajukan penukaran Pedang Ekor Naga
dengan Akimoto. Tempatnya di danau besar propinsi
Obani...," Kissumi memberitahukan inti pesan dalam surat.
"Bagus! Akhirnya lelaki sial itu mengabari juga apa
maunya!" geram Andika.
Otaknya yang selalu berjalan dalam keadaan
bagaimanapun segera mengambil kesimpulan-kesimpulan.
Dia tahu, tentunya anggota Imada-Tong yang telah dibunuh
Kissumi menyangka dirinya adalah Hiroto. Bukankah
selama dua hari belakangan Hiroto terus di dalam dojo?
Tentu saja musuh dalam selimut di keluarga Hiroto
yang telah memberitahukan lawan kebiasan Hiroto di dojo
hari-hari belakangan!
Andika mengepalkan tinju. Teka-teki kini maki jelas.
Hanya tinggal mencari tahu, apakah Akemi benar-benar
seorang pengkhianat. Sebabselain dia, tak ada lagi orang
yang bisa dicurigai.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Andika San?" Fujimoto,
samurai setia yang pernah menjadi bawahan Hiroto saat
shogun sebelumnya, tak sabar ingin mengetahui tindakan
yang harus mereka lakukan.
"Sebaiknya kau memberitahu pada Hiroto tentang
surat ini," putus Andika cepat.
"Bagaimana dengan aku?" Kissumi tak ingin
dilupakan bagiannya.
"Kau teruskan penyamaranmu. Selidiki Akemi!" alur
Andika lagi. "Aku sendiri...."
Kissumi dan Fujimoto menunggu.
"Aku punya rencana sendiri," tandas Andika
Kissumi hendak bertanya. Terlihat jelas dari sinar
keingintahuan di matanya.
"Rahasia!" elak Andika seraya mengedipkan sebelah
mata.
Pendekar muda pemilik nama besar itu ditahan oleh
Kissumi baru ketika hendak beranjak.
"Apa Andika San, sudah tahu cara menghadapi Seichi
Onigawa?" aju Kissumi hati-hati. Sepertinya dia tak ingin
menyinggung harga diri Andika.
Andika berbalik. Ditatapnya Kissumi lekat-lekat.
"Maksudmu apa?"
"Beberapa hari lalu, aku mengetahui Andika San
terlibat pertarungan dengan lelaki itu."
"Kau tahu?" Andika melengak.
"Bukankah Andika berhasil dikalahkan? Maaf, Andika
San...," tanya Kissumi tanpa mengatakan kalau dirinya
yang telah menolong Andika waktu itu. Di samping Kissumi
adalah orang berpakaian hitam yang berusaha
menggagalkan penculikan Akimoto. Kissumi jugalah orang
yang mencoba menghadang Seichi Onigawa saat
membawa Akimoto dengan kuda. Dia pula yang menolong
Andika saat nyawanya terancam tinju maut Seichi Onigawa
beberapa waktu
Andika meringis.
"Ya, aku maafkan. Tapi, jangan sekali lagi menyebut
soal itu," hindar Andika, mau enak sendiri. Dasarnya
memang dia sudah dipecundangi Seichi Onigawa, masih
juga dia mau memungkiri.
"Apa Andika San sudah tahu bagaimana
menghadapinya?" dua kali sudah Kissumi menanyakan
pertanyaan itu.
"Kau mengulang pertanyaan yang sama, Kissumi!"
tukas Andika. "Jelaskan saja secara singkat apa
maksudmu...." Bolehnya Andika sewot.
"Seichi Onigawa memiliki kesaktian simpanan. Andika
San."
"Yang itu aku sudah tahu. Ah, kau ini!"
"Aku tahu rahasia kelemahan kesaktiannya...,” aku
Kissumi.
"Kau tahu?" Andika mclengak lagi.
"Bagaimana?" kejarnya bernafsu sekali. Di benak
anak muda itu. terbayang dia membalas kekalahannya
tempo hari. Terbayang bagaimana dia akan membuat
Seichi Onigawa pontang-panting, mencium dengkulnya,
atau terbengek-bengek seperti dialaminya.
"Kakek Yoshioka membcrilahukan aku tentang kunci
kelemahan kesaktian Seichi Onigawa...."
"Tunggu! Tunggu! Aku bukan menanyakan bagairnana
kau bisa mengetahui kunci kesaktian manusia sial itu!
Yang aku tanyakan, bagaimana aku dapat
mengalahkannya," potong Andika seenaknya.
"Seichi Onigawa dapat...."
"Tunggu! Tunggu!" Andika menahan kalimat Kissumi
lagi. Aku rasa, cerita tentang Kakek Yoshioka brengsek itu
menarik juga. Bagaimana kalau kau menceritakan itu
dulu? Bagaimana dia bisa sampai tahu rahasia kelemahan
Seichi Onigawa....
Fujimoto di dekat Kissumi geleng-geleng kepala.
Susah juga menghadapi pendekar muda yang dibesar-
bcsarkan Hiroto San ini, gumamnya membatin.
Sesabar-sabarnya Kissumi, gadis itu mulai dongkol
juga dengan kebrengsekan Andika. Wajahnya jadi masam
tak bersahabat. Merajuk dia.
"Kenapa kau jadi diam?"
"Aku ingin yakin dulu. kau mau kuberitahu yang
mana," landus Kissumi sedikit ketus.
"Bukankah sudah kubilang aku ingin tahu soal Kakek
Yoshioka brengsek itu!"
"Dia kakekku, Andika San. Jangan sembarangan
menyebut namanya seperti itu!"
"O, bisa kualat.' Durhaka? Dosa besar? Waduh,
ampuni aku, Kakek Yoshioka...," cibir Andika.
"Ya, kau kuampuni! Tapi setelah kepalamu kubuat
bengkak dengan loya ini!" Seseorang tahu-tahu sudah
duduk di palang langit-langit dojo. Tahu-tahu pula dia turut
campur dalam pembicaraan Andika dengan Kissumi.
Andika, Kissumi dan Fujimoto mendongak. Semuanya
cukup terkejut mengetahui siapa yang berada di atas sana.
Tapi yang paling terkejut adalah Andika. Wajah pendekar
muda itu lantas merengut. Dilihatnya Kakek Yoshioka
sedang menjuntai-juntai kaki di sana.
"Orangtua besar adat...," rutuknya sebaL
Bletak!
Andika meringis. Tangannya mendekap kepala. Kakek
Yoshioka baru saja menghadiahkan satu timpukan kerikil
ke jidatnya.
"Sekali lagi kau mengatakan aku macam-macam,
bukan cuma kerikil yang kulempar ke jidatmu! Tapi ini!"
ancam Kakek Yoshioka sanibil mengacungkan loyanya.
Andika ngeri. Dia meringis parah.
Kakek Yoshioka melayang turun. Hinggap di dekat
Andika yang cepat-cepat menjauh. Ngeri kalau toya si
orang tua bungkuk itu mampir di jidatnya.
"Jadi ini anak muda yang sering dibicarakan orang-
orang Imada-Tong itu?" leceh Kakek Yoshioka pada Andika.
"Kata mereka kesaktianmu jempolan. Huh mana
buktinya? Belum lama saja kau dibuat mati kutu oleh
Seichi Pencundang itu!" sembur Kakek Yoshioka tak puas.
Andika sewot dibegitukan. "Jangan c uma bisa
menuding orang Iain, Orang Tua! Kenapa kau jadi lupa
kalau kau pun belum lama dibuat keok oleh lelaki sial itu!
Oh, iya aku lupa kau sudah pikun, bukan?" cemooh balik
Andika.
"Kapan aku pernah dikalahkan si pec undang itu?"
elak Kakek Yoshioka. Dia sungguh-sungguh menimpali
cemoohan Pendekar Slebor barusan. Seperti juga Andika
menimpali lecehannya. Mereka jadi mirip sepasang bocah
berebut pepesan
"Alah, jujur saja orang tua besar adat! Waktu aku
datang ke ruang bawah tanah Kuil Matahari, kau sedang
berusaha menyembuhkan luka dalammu, bukan? Kau
dapat dari mana kalau bukan dari Seichi Onigawa? Apa
tahu-tahu kau temukan luka dalam itu di lobang tikus?"
olok-olok Andika, makin menjadi.
Kakek Yoshioka kontan mendengus sehebat de-
ngusan kerbau ngamuk. Dia merasa didodori oleh anak
muda asing satu ini.
"Mulut tak tahu adat! Biar kusodok tenggorokanmu
dengan toyaku!"
Kissumi tak tahan lagi melihat tingkah tengik dua
lelaki bertaut usia itu. Dilerainya mereka. "Kapan persoalan
bisa selesai kalau kalian terus main olok-olokan seperti ini?
San...." Dengan tetap memperlahankan kesopanan pada
kakeknya, Kissumi mengingatkan.
"Coba kau tanya dia!" bentak Andika dan Kakek
Yoshioka berbarengan. Keduanya saling tuding satu
dengan yang lain.
Ampun....
***
Jika kau ingin anakmu selamat, datanglah ke danau
besar Obani, tepat pekan ke tiga musim ini. Bawa Pedang
Ekor Naga ke sana. Anakmu akan selamat jika pedang itu
kau serahkan padaku. Bila tidak, kau akan kehilangan
anakmu selamanya. Kujamin itu!
Seichi Onigawa
Hiroto menghajar lantai kayu dengan tinjunya ketika
selesai membaca surat dari Seichi Onigawa. Wajahnya
mematang secepatnya, memendam bara kemarahan.
Ketika sedang bersemadi di kamarnya, Fujimoto
datang mengantarkan surat itu. Kini Fujimoto duduk di
sebelahnya, menanti titah apa pun yang akan dibebankan
ke pundaknya.
"Selembar saja rambut anakku saja diusiknya, akan
kubelah kepalanya." geram Hiroto, bergeletar kemurkaan.
Ayah mana yang tak begitu jika anaknya terancam. Seekor
induk monyet dungu saja akan siap mencabik-cabik dalam
keadaan seperti itu. Apalagi Hiroto?
"Ada sesuatu yang bisa aku lakukan, Hiroto San?"
tanya Fujimoto hati-hati.
Hiroto melirik orang kepercayaannya itu. Mata merah
padamnya membuat Fujimoto bergidik.
"Terimakasih, Fujimoto. Aku tahu. kau siap mati demi
kesetiaanmu. Tapi aku meminta kau tak turut campur
dalam masalah ini...." tolak Hiroto. Dalam golak nada
bicaranya, dia tetap berusaha menjaga harga diri Fujimoto.
"Tapi...."
Hiroto mengangkal tangan. mcnahan ucapan
Fujimoto.
"Aku tahu. Aku hanya ingin kau tahu. Urusan ini
adalah urusan antara aku dengan Seichi Onigawa ke-parat
itu. Biar aku yang menyelesaikan sebagai seorang samurai
sejati sekaligus sebagai seorang ayah sejati yang
bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan
anaknya...."
Kalau sudah begitu, Fujimoto bisa bilang apa lagi?
"Apakah Andika San tahu soal ini?" tanya Hiroto.
Fujimoto agak ragu menjawab, "Tidak, Hiroto San...."
Lelaki itu dengan terpaksa berdusta. Andika atau
Kissumi memintanya untuk berdusta jika Hiroto
menanyakan perihal surat Seichi Onigawa. Sebab menurut
pertimbangan mereka berdua, Hiroto akan tersinggung jika
mereka mencoba membantu. Sebaiknya bergerak diam-
diam, begitu pikir mereka.
Hiroto mengangguk. Jawaban Fujimoto
memuaskannya. Mata merahnya menerawang jauh. Ada
selingkup kerinduan menyelinap di mata sipit itu. Tentu
saja pada anak tercinta yang sudah lama tak ditemuinya.
Ada kecemasan, ada pula kegeraman. Semuanya berbaur
menjadi satu.
"Pekan ke tiga musim ini jatuh besok hari. Besok,
tolong siapkan kudaku pagi-pagi sekali. Fujimoto...,''
desahnya.
Fujimoto membungkuk. "Baik," sahutnya.
***
9
"Kau hanya akan dapat mengalahkan Seichi Onigawa
dengan cara berlawanan...," tutur Kakek Yoshioka pada
Andika. Saat itu dua lelaki bertaut usia itu sedang
merembukkan sesuatu di bawah tebing depan rumah
rahasia Hiroto. Tempat itu mereka anggap aman, tanpa
diketahui Hiroto atau lawan yang mungkin saja menyelinap.
"Tapi aku tetap tak mengerti kenapa kau bisa di-
kalahkan manusia sial itu. Kalau kau tahu kunci ke-
lemahannya, mestinya dia telah kau buat bertekuk-lulut.
Bukan malah kau...." cibir Andika. Pertengkaran di gudang
kemarin tak membuat anak muda itu penasaran.
Kedongkolannya dengan orang tua bungkuk itu sudah
lunas. Cuma dia hanya ingin tahu sesuatu. Andika ingin
memastikan kenapa Seichi Onigawa bisa mengalahkan
Kakek Yoshioka. Tentu ada hal yang bisa dipelajarinya.
Karena orang tua ini termasuk makhluk langka yang
sulit diajak berdamai. mau tak mau Andika harus punya
satu cara agar dia mau bercerita tentang kekalahannya
tanpa merasa harga dirinya terusik. Kakek Yoshioka
menaikkan pangkal hidungnya, seperti seekor serigala mau
mengamuk.
"Kau benar-benar anak muda banyak mulut! Kenapa
kau tak diam dan mendengarkan apa kataku saja!"
"Karena aku tak mau dikibuli!" debat Andika.
"Sial! Aku tak mengibulimu!"
"Tak mengibuli? Heh!" Andika mencibir. "Seorang yang
mengaku tahu cara buang hajat tapi tak pernah buang
hajat, apa itu tidak ngibul?" sindirnya.
"Tapi aku tak ingin menjelaskan soal buang hajat
padamu!" gertak Kakek Yoshioka, terpancing.
"Rasanya kau memang mau menjelaskan itu!"
Dari silanya, Kakek Yoshioka bangkit mendengus-
dengus. Napas tuanya terseret-seret, menahan kegusaran.
"Kau mau membalas kekalahanmu pada Seichi
Pecundang itu atau tidak'.'!"
Andika ikut berdiri. Dadanya dibusungkan tepat di
depan wajah Kakek Yoshioka yang bertubuh lebih pcndek.
"Kau bisa menyebut dia 'pecundang', ya? Hebat
sekali.... Bukankah kau semestinya yang disebut
pecundang?"
Gigi tinggal beberapa butir milik Kakek Yoshioka
bergemeletuk.
"Khauuu mhauu mengalahkhan dia apa thidaakh!"
bentaknya mulai tak jelas, saking dadanya ditanduki
kedongkolan minta ampun.
"Aku tetap akan membalas kekalahanku," sesumbar si
anak muda. Makin kalap Kakek Yoshioka, makin senang
dia. Biasalah, sifat kurang ajarnya lagi kumat.
"Ya. kau akan dibuat kembang-kempis! Lebih sial lagi,
kau mungkin akan dilempar ke liang lahat!"
"Tak bisa..., tak bisa...," Andika mendongak-dongakan
dagu.
Kakek Yoshioka makin berantakan. Dia berdiri serba
salah. Berjalan hilir-mudik serba salah. Juga menatap
pemuda di depannya serba salah.
"Kalau kau bukan pemuda yang kuharapkan bisa
menolong cucuku, Hiroto, akan kulabrak kepalamu
sekarang juga!" geramnya.
"A ha, kau akhirnya punya rasa rendah hati juga!"
sentak Andika. Wajahnya berseri. "Sebetulnya, itu yang
amat kurindukan darimu sejak kita berjumpa, Orang Tua!"
Lalu Andika mendekap tubuh melengkung Kakek
Yoshioka. Dirangkulnya ketat-ketat tubuh keropos itu,
diurak-uraknya, diputar-putarnya....
"Sinting! Turunkan aku!" hardik Kakek Yoshioka.
nyaris putus napasnya.
Andika menurunkan lelaki tua itu. Ditepuk-tepuknya
pakaian Kakek Yoshioka untuk meratakan kerutan.
"Sekarang, aku tahu kau masih memiliki rasa rendah
hati. Biarpun sudah bangkotan, hatimu tidak benar-benar
membatu. Sekarang pasti kau sudi menjelaskan padaku
kenapa kau sampai bisa dikalahkan Seichi Onigawa?" rayu
Andika, berbalik seratus delapan puluh derajal dari sikap
sebelumnya.
Masih dengan agak merajuk dan wajah terlipat, Kakek
Yoshioka masuk perangkap si pemuda berotak encer. Dia
mulai 'rela' menceritakan muasal kekalahannya atas Seichi
Onigawa.
"Sebetulnya, dia itu memiliki satu hal di luar kesaktian
andalannya...," mulai Kakek Yoshioka, masih agak malas-
malasan. Andika tersenyum.
"Terus? Terus? Wah, makin nyata saja kau benar-
benar rendah hati.... Kau seorang tua yang mulia, Orang
Tua!" puji Andika, mencoba terus mendongkel-dongkel.
Sementara, dalam hati dia terus terkikik-kikik.
"Dia itu licik! Dasar pecundang!"
"Licik bagaimana?" kejar Andika.
"Ah, sudahlah!" putus Kakek Yoshioka. Penuh
kekesalan, dihantamnya tepi tebing dengan loya.
Andika tahu, Pasti si congkak tua ini tak sudi disebut
tua bangka yang bodoh, mau diliciki oleh anak kemarin
sore seperti Seichi Onigawa.
"O, jelas tidak! Jelas kau tidak bisa dikibuli oleh Seichi
Onigawa sial itu. Kecuali hanya karena kau belum
beruntung saat itu, bukan?" sergah Andika bergegas. Takut
orang tua bungkuk itu ngadat lagi.
Kakek Yoshioka seperti dikipasi. Wajahnya jadi agak
nyaman kembali.
"Asal kau tahu, dalam segala hal dia amat licik.
Jangan tertipu oleh tindakannya! Yang paling penting kau
mesti yakin pada tindakanmu! Jelas?!" ujar Kakek
Yoshioka, angkuh.
"Jelas! Jelas!"
"Nah. sekarang mari kujelaskan soal kunci kelemahan
kesaktian Seichi Pencundang itu!" Sebentar Kakek
Yoshioka mondar-mandir, menyeret-nyeret langkah di
permukaan batu tebing.
"Seichi Onigawa memiliki Ninjitsu Hitam tingkat tinggi.
Hanya segelintir orang yang bisa mencapai taraf itu. Si
Pecundang itu tampaknya beruntung. Kesaktian itu
didapatnya dari mendiang kakeknya, yang juga
musuhku...."
"Jelaskan saja langsung ke intinya!" potong Andika, lak
sahar. Lagi pula buat apa dia mendengar cerita usang yang
sama sekali tak diperlukan? Yoshioka mulai jengkel lagi.
"Bagaimana kalau kau menjelaskan cara aku
menghadapi kesaktian yang membuat tubuhku sulit
bergerak?" tawar Andika dengan seulas senyum merayu.
Susah bicara dengan makhluk langka keras kepala seperti
dia, rutuknya dalam hati. Lalu anak muda itu mendekati
Kakek Yoshioka. Mau membujuk-bujuknya lagi.
"Jangan dekat...," tukas Kakek Yoshioka.
Andika mengurungkan langkah.
"Baik, aku tak akan mendekatimu...," ujarnya seraya
mengedikkan bahu.
"Tolol! Yang kumaksud bukan itu!" hardik Kakek
Yoshioka. Biji mata kelabunya mencorong.
"Kau tak boleh mendekati Seichi Onigawa saat
bertarung. Bila kau masuk dua tombak saja dari sekeliling
tubuhnya. maka otot-ototmu akan terkunci. Paham?!"
"Ooo...:
"Soal tinju mautnya...," Kakek Yoshioka hendak
memulai lagi. Tapi Andika langsung menukas.
"Soal itu, aku tak ada masalah!"
"Ei! Pemuda tak tahu diuntung! Mestinya kau
menghargai aku karena mau mengungkap semua rahasia
kelemahan kesaktian Seichi Pecundang itu. Biarkan aku
bicara sampai selesai dulu dan...."
Bibir kcriput Kakek Yoshioka terus menyerocos. Diam-
diam. Andika berjingkat-jingkat di belakangnya.
Ditinggalkannya orang tua itu sendiri. "Kalau maumu aku
membiarkan kau bicara sampai selesai, baik!" gerutu
Andika disisipi rasa geli. Dan Kakek Yoshioka terus saja
menyerocos.
***
Hari terlampaui. Matahari mencoba usaha
pertamanya melepas sinar lamat berwarna jingga. Ufuk
timur ramah. Angin bertiup, seramah pelengkap suasana
pagi muda yang Iain.
Pagi-pagi seperti itu, Hiroto sudah menggebah kuda
hitamnya. Pekan ketiga musim semi jatuh pada hari itu. Di
mana Seichi Onigawa memerintah Hiroto untuk datang ke
danau besar Obani.. propinsi yang berscbelahan dengan
Kyoto.
Di punggung lelaki itu berlengger katana yang biasa
disebut Pedang Ekor Naga. Pedang itu sesungguhnya biasa
saja. Tak beda dengan pedang-pedang lain, tanpa
keistimcwaan apa-apa. Hanya seni pembuatannya memang
tergolong tinggi. Gagang pedangnya dilapisi kulit seekor
ular jenis langka. Sementara sarung pedang dibuat dari
kayu yang juga langka. Batang pedangnya terbentuk dari
tiga jenis logam berbeda. Di bagian batangnya ada
semacam gambar timbul berbentuk ekor naga.
Dan kalau Seichi Onigawa begitu bernafsu ingin
memiliki Pedang Ekor Naga, itu semata karena dia
menganggap pedang itu sebagai lambang dari kehormatan
buyutnya, murid tertua Sensei Ekor Naga. Tak ada lain
alasan.
Di lain pihak. Hiroto bersikeras mempertahankannya
pun dengan alasan serupa. Dia juga menganggap pedang
itu adalah lambang kehormatan garis keturunan buyutnya,
murid bungsu Sensei Ekor Naga.
Dilepas oleh bekas samurai setianya, Fujimoto, lelaki
itu berangkat dari rumah pengasingan rahasia. Akemi,
Kissumi, dan Andika tak terlihat. Mereka tak perlu
diberitahu, begitu pesan Hiroto pada Fujimoto. Seperti niat
sebelumnya, Hiroto memang tak ingin melibatkan siapa
pun dalam hal ini. Baginya perkara Seichi Onigawa adalah
urusan pribadi yang mesti di-selesaikan sendiri.
Sebelum Hiroto benar-benar melarikan kudanya
dalam kobaran semangat membakar. Fujimoto
menahannya.
Dengan menahan tali kekang kuda, Hiroto bertanya.
"Ada apa?"
"Bagaimana jika Hiroto San tak berhasil membawa
pulang Akimoto?" tanya Fujimoto. "Apa sebaiknya aku
memberitahukan Andika San dalam jangka waktu tertentu?
Seperti kepergian Hiroto San sebelumnya?"
"Kau boleh memberitahukan Andika San. jika dalam
dua pekan aku tak kembali. Katakan padanya aku
memohon pertolongan untuk menyelamatkan Akimoto!"
pesan Hiroto. Seperti tak ingin kehilangan waktu
sedetikpun, dia berseru sementara kudanya sudah berlari
kencang.
Sepergian Hiroto, Andika dan Kissumi keluar.
"Bagaimana?" tegur Andika.
Fujimoto tanpa menoleh menjawab.
"Tampaknya dia tetap tak ingin seorang pun dari kita
membantunya."
Kissumi mengeluh.
"Jadi bagaimana cara kita membantu dia? Kalau kita
terang-terangan, pasti dia akan marah besar. Kalau kita
memakai topeng kain, nanti dia mengira kita anggota
Imada-Tong."
"Tenang Kissumi," tukas Andika. Bibirnya tersenyum
seperti meremehkan persoalan.
"Kau punya cara menolong Hiroto San tanpa
membyatnya marah?" Kissumi ingin tahu apa yang ada di
benak pemuda slebor itu.
Andika cengengesan.
"Itu rahasiaku!" kelit Andika. Dikerdipkannya sebelah
mata pada Kissumi. Fujimoto pun kebagian.
Cuma lelaki itu jadi agak melongo. Sejak kapan
pendekar muda yang dikagumi bekas atasannya punya
penyakit genit dengan kaum sejenis? Perangah hatinya.
***
10
Danau besar Obani. Hiroto sampai di sana. Tak ada
tanda sehimpun kemarahan padanya. Wajah dan sikap
samurai muda itu sarat ketenangan. Juga dingin.
Sementara tatapannya begitu beku.
Sekitar seratus tombak dari danau, seseorang telah
menunggunya. Orang itu tak lain Seichi Onigawa. Hiroto
membawa kudanya ke dekat lawan. Tinggal berjarak
sepuluh depa, dia berhenti. Turun dari kuda, dan berdiri
menantang Seichi Onigawa.
"Mana anakku, Seichi?!" Hiroto membuka pertanyaan.
Tanpa berniat cepat-cepat menjawab, Seicih Onigawa
tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya matanya hanya
tertuju pada gagang pedang di punggung Hiroto.
"Ha ha ha! Akhirnya kau bawa juga Pedang Ekor Naga
yang telah kau simpan bertahun-tahun itu!"
"Mana anakku?!" ulang Hiroto, lebih mengguntur.
"Sabar! Sabar! Anakmu dalam keadaan baik-baik saja.
selama kau masih berniat memberikan pedang itu
padaku...," ujar Seichi, mengulur-ngulur waktu.
Hiroto tanpa banyak cakap melepas ikatan Pedang
Ekor Naga dan punggungnya. Digenggamnya pedang itu di
tangan kanan.
"Ini pedang yang kau mau! Sekarang mana anakku'.'!"
Seichi Onigawa mengangguk-angguk. Dia bersuit.
"Suittt!"
Dari sebuah perahu yang tertambat di tepi danau
muncul seorang anggota Imada-Tong. Di sampingnya
seorang anak telah berdiri.
"Akimoto...," desis Hiroto.
"Ayah!" teriak Akimoto di kejauhan. Anak itu hendak
berontak. Ninja di sebelahnya menahan gerak anak kecil
itu dengan cengkeraman tangan.
Dengan wajah tak berubah. Hiroto mengirim isyarat
pada anaknya untuk tenang. Sengaja lelaki itu melempar
senyum, agar hati si anak lebih merasa aman.
"Jadi, bagaimana aturan mainnya?" aju Hiroto pada
Seichi Onigawa.
"Mudah saja!" Seichi Onigawa menanggapi.
"Kau harus meletakkan pedang itu di bawah pohon
itu!" Seichi Onigawa berseru seraya menunjuk sebatang
pohon besar yang tak jauh dari tempat berdiri nya.
Hiroto menatap tajam-tajam mata lawannya.
"Aku akan menyerahkan pedang ini kalau kau telah
melepaskan Akimoto!" desisnya tegas, tandas.
Seichi Onigawa terbahak lagi.
"Apa kau kira aku akan tertipu dengan muslihat busuk
macam itu, Hiroto? Kau jangan bodoh! Tak ada yang mesti
kau perbuat kecuali mengikuti aturan mainku!" ancam
Seichi Onigawa. Dengan menjentikan jari, dia melepas
isyarat pada ninja di dekat Akimoto.
Ninja tadi beranjak dari atas perahu. Naik ke darat
bcrsama Akimoto di dekatnya. Di darat, pedang pendeknya
diloloskan. Senjata itu lalu dihunuskan di dekat leher si
bocah kecil.
"Kau lihat,"leceh Seichi Onigawa, merasa berada di
atas angin.
"Kepala anak lelaki kesayanganmu akan terpisah dari
badannya kalau kau tak segera meletakkan Pedang Ekor
Naga di bawah pohon itu!" tegas Seichi Onigawa lagi.
Bibir Hiroto menyeringai. Ancaman lawan seperti
bukan apa-apa buatnya.
"Kau memang punya anakku. Tapi kau pun tahu, aku
punya pedang ini...."
Seichi Onigawa mcnautkan alis. Apa dia tak salah
mendengar ucapan lawan? Tampaknya Hiroto sedang
bertaruh dengan nyawa anaknya sendiri. Itu sama sekali
tak pernah diperhitungkan Seichi Onigawa.
"Kau mau ikuti aturanku, atau kau tak dapatkan
pedang yang kau idam-idamkan ini?" terabas Hiroto lagi.
"Kau akan menyaksikan kepala anakmu
menggelinding segera!" geram Seic hi Onigawa. Hendak
dicobanya menggentarkan hati seorang ayah terhadap
nasib anaknya.
"Kuhitung sampai tiga! Bila kau tak segera me-
letakkan pedang itu maka jangan harap anakmu selamat,"
lanjut Seichi Onigawa beringas. Dan dia pun mulai
menghitung.
"Satu...!"
Hiroto tak bergemik. Wajahnya tetap beku, tanpa
bersit kegentaran. Matanya tepat menembus manik mata
Akimoto, seakan berkata-kata tanpa terucap.
"Dua...!"
Hiroto tetap berdiri kaku.
"Kau benar-benar akan menyesal, Hiroto! Dia adalah
anak satu-satunya yang diberikan mendiang istrimu
tercinta, bukan?" Masih saja Seic hi Onigawa mencoba
meruntuhkan jiwa Hiroto dari dalam.
Tapi, usahanya sia-sia. Hiroto seperti telah siap
mengorbankan segala sesuatu yang paling dicintainya.
Termasuk Akimoto!
Seichi Onigawa mendengus, gusar tak alang kepalang.
Rupanya dia telah salah perhitungan pada musuh
bebuyutannya kali ini.
"Baik!" tandasnya, akhirnya. Seichi Onigawa me-
nyerah pada aturan yang diajukan Hiroto. meski wajahnya
sama sekali tak mengakui itu.
Hiroto tersenyum tipis. Seperti juga Kakek Yoshioka,
Hiroto pun amat tahu bagaimana sifat Seic hi Onigawa
sesungguhnya. Dia adalah lelaki berotak licik dan culas.
Tapi, dia tak memiliki pendirian kokoh. Pribadinya gampang
terhuyung.
"Tapi, bagaimana aku bisa percaya kalau pedang itu
adalah pedang asli?!" lontar Seichi Onigawa lagi, sebelum
dia memutuskan untuk melepaskan Aki¬moto.
"Aku bukan seperti dirimu, Seichi! Aku menganut
bushido. Bagiku, perkataanku adalah harga diriku. Pantang
untukku menjilat ludah yang telah kubuang!" tandas Hiroto.
Sejenak Seichi Onigawa menimbang. Tangannya
memainkan dagu. Selanjutnya dia menjentikkan tangan
lagi pada ninja di belakangnya, mernerintahkan orang itu
melepas Akimoto.
"Jangan clilepas Seichi!" cegah suara perempuan, tiba
tiba. Suaranya datang dari arah yang sama dengan arah
kedaiangan Hiroto.
Hiroto tak cepat menoleh. Benaknya disibuki oleh
pertanyaan yang mendadak menyeruak. Dia me-ngenal
suara itu. Apakah dia salah dengar?.
Hiroto hendak memastikan. Dia menoleh.
Betapa terkesiapnya dia kala itu juga mendapati
wanita yang baru hadir.
"Akemi...?" bisik Hiroto, nyaris lak dipercayai sama
sekali penglihatan sendiri.
Akemi berdiri angkuh. Bertolak-belakang sekali
dengan sifat yang dikenal Hiroto selama ini.
"Jangan sekali-kali kau berikan anak itu pada dia,
Seichi!" seru Akemi lagi. Setelah mengucapkan itu, Akemi
melangkah mendekati ninja yang menahan Akimoto. Tepat
di samping anggota Imada-Tong tadi, wanita itu berdiri.
"Apa yang kau ketahui Akemi?" tanya Seic hi Onigawa.
Lelaki berjiwa busuk ini tampak sudah demikian mengenal
Akemi. Tampak jelas dari garis wajah dan sikapnya.
"Aku menyaksikan dia membawa pedang pals u. Dia
tak sungguh-sungguh ingin menyerahkan Pedang Ekor
Naga padamu. Dia datang ke sini hanya untuk
menyelamatkan anaknya, dengan cara menipumu!" tutur
Akemi meledak-ledak. Parasnya jadi demikian bengis.
Ledakan tawa Seichi Onigawa merangsak angkasa.
"Hiroto.... Hiroto.... Kau mimpi kalau hendak mengadu
kelicikan denganku!" cemooh Seichi Oni-gawa. Lelaki itu
bertolak-pinggang, menyombongkan siapa dirinya.
"Kau terkejut melihat Akemi? Sekaranglah saatnya
kau mengetahui, bahwa Akemi adalah sepupuku. Dia yang
kukirim dua sekitar tiga tahun lalu untuk menelusup ke
dalam keluargamu. Aku memang punya rencana matang
yang butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
Kuperintahkan dia agar bisa menjadi istri adikmu. Dan dia
sudi berkorban demi kehormatan keluarga kami. Demi
Pedang Ekor Naga. Dia pun tak keberatan mengandung
anak adikmu, selama rencana kami bisa berjalan dengan
mulus! Hahaha!!
Di lain sisi, wajah Hiroto berubah. Semula dia tampak
tenang, kini ada kekacaunan di parasnya. Tangannya
menggenggam sarung pedang keras-keras seperti hendak
menghancurkannya.
Menyaksikan itu, Seichi Onigawa terbahak lagi.
Hiroto hendak berkata, tapi Seichi sudah memancung
tawa dan menyela.
"Sekarang ikuti aturanku, Hiroto! Kembali ke
tempatmu dan ambil pedang yang asli! " ancamnya
mendengus.
"Ya, kalau kau tak mengikuti perkataannya, aku akan
menebas batang leher anak ini!" Akemi menimpali.
Digenggamnya gagang pedang yang tergantung di
pinggangnya. Sementara ninja yang memegang Akimoto
menundukkan anak itu. Kepalanya siap dipenggal!
Hiroto makin disudutkan. Dia tak tahu lagi apa yang
masih bisa dilakukan kecuali menuruti kemauan Seichi
Onigawa dengan sedikit harapan yang begitu tipis. Dia tak
mungkin berharap Seichi Onigawa akan bersikap ksatria.
Dia cuma anjing culas tak punya harga din!
Meski begitu. Hiroto tak langsung pergi. Dia seperti
tertahan oleh kecamuk sesuatu dalam benaknya. Dia tak
percaya kalau Akemi selama ini adalah seorang
pengkhianat. Tapi dia pun tak percaya kalau Akemi
mengatakan pedang yang dibawanya adalah pedang pals u.
Padahal, Hiroto tak sedikit pun berniat menyerahkan
pedang pals u pada Seichi Onigawa. Yang digenggamnya
sekarang ini justru pedang asli!
Hal itu benar-benar membingungkan Hiroto.
Hiroto bagai disentak sengatan lidah petir ketika
dengan tiba-tiba Akemi meloloskan pedangnya. Pasti
vvanita itu mengira dia tak menggubris ancaman
Seichi Onigawa! Pekik Hiroto dalam hati. Dia seperti
hendak berteriak menahan. Sayang terlambat.
Wukh!
Crash!
Sepotong kepala saat itu juga mcnggelinding di tanah!
Darah memercik ke mana-mana.
Hiroto berdiri kaku. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa
digerakkan lagi. Tak ada yang lebih pantas dibandingkan
dengannya saat itu selain dengan mayat hidup. Pucat.
beku dan kaku.
Namun, bukan c uma Hiroto saja yang terperanjat
menyaksikan perbuatan Akemi. Seichi Onigawa pun tak
kalah terperanjat. Matanya membesar terpaksa di balik
kelopak sipilnya. Dia tak percaya yang dilihatnya! Tak
percaya!
Apa terjadi?
Akemi kini merangkul Akimoto. dibopongnya lalu
dibawanya bocah itu menyingkir dari dekat Seichi Onigawa
yang masih terkaku. Kepala yang menggelinding barusan
adalah kepala anggota Imada-Tong yang menahan
Akimoto!
Disebelah tangannya, tergcnggam pedang
mempesona berwarna merah bara. Warnanya terang
menyilaukan. Itulah Pedang Pusaka Langit! Pedang milik
Pendekar Slebor yang dihadiahkan seorang sahabatnya
dari kerajaan Cina! Hanya dengan membungkus gagangnya
dengan sejenis kulit, pedang itu jadi terlihat lain jika tidak
diloloskan.
Akemi kah yang memegangnya?
Bukan! Pedang itu tak bisa sembarang dipercayakan
kepada orang lain. Perempuan itu bukanlah wanita
sesungguhnya. Dia adalah Pendekar Slebor!
Setelah kecurigaannya hanya tertuju pada Akemi
seorang, Andika mencoba menjalankan rencana untung-
untungan. Dia memang belum sempat memastikan apakah
Akemi benar-benar pengkhianat.
Usaha untung-untungnya itu membawa hasil
Pendekar Slebor dapat menyelamatkan Akimoto sekaligus
menyelamatkan Pedang Ekor Naga. Karena menurut
Kissumi, jika pedang itu berhasil dimiliki Seichi Onigawa,
Hiroto akan melakukan seppuku. Pasti Hiroto sudah
menganggap dirinya berkhianat pada buyutnya karena
telah menyerahkan pedang kehormatan itu pada Seichi
Onigawa. Andika tentu tak ingin kehilangan Hiroto, seperti
juga tak ingin kehilangan Akimoto!
Lalu anak muda itu pun mempreteli topeng halus yang
dibuat dari campuran getah tanaman khusus. Juga kimono
yangdikenakan.
Kini terlihat penampilan sesungguhnya. Anak muda
berpakaian hijau-hijau, dengan selendang bercorak catur di
bahunya.
Seraya memaju-majukan bibir tak setiap, anak muda
konyol itu meledek Seichi Onigawa, seperti sebelumnya
Seichi mengejek Hiroto.
"Seichi... Seichi... Kau mimpi jika hendak mengadu
kelicikan denganku! He he he!"
"Kau..., rupanya kau belum jera!" dengus Seichi
Onigawa berat tersedat, dijejali kemurkaan tak terhingga.
Biar tahu rasa dia, pikir Pendekar Slebor.
"Jera? Terus terang saja, aku ini termasuk orang keras
kepala. Jera itu jadi sesuatu yang lucu di benakku. Seperti
lucunya tampangmu ketika terkejut tadi!" ledek Pendekar
Slebor.
"Kali ini, kau tak akan kuberi kesempatan hidup!"
Andika melirik Akimoto. Dikerlingkan matanya pada
anak itu.
"Kau dengar kera berkumis itu bicara?" katanya pada
Akimoto. "Dia pikir aku masih bisa dibuat bertekuk-lutut!"
Akimoto nyengir, memperlihatkan gigi ompongnya,
menyaksikan tampang ketolol-tololan yang diperlihatkan
Andika.
"Jadi, apa Paman bisa membuat 'kera berkumis' itu
yang bertekuk-lutut pada Paman?" tukas si bocah dengan
suara melengking girang. Senang bukan main
dia bisa menyebut musuh ayahnya dengan sebutan
'kcra berkumis'. Asal dia tidak sudah ketularan penyakit
sableng pemuda itu saja!
"Kau mau kubuat jadi apa 'kera berkumis' itu? Jadi
bubur. tahu. atau tulangnya kita jadikan mainanmu?"
"Bangsat!" Seichi Onigawa menggertak. Dia hendak
melabrak dengan tinju geledeknya. Srang!
Melihat gejala itu, Hiroto langsung melepas Pedang
Ekor Naga di tangannya.
"Pedang Ekor Naga...," desis Seichi Onigawa gusar
bukan main. Betapa dia telah dikibuli demikian rupa oleh
pemuda asing sial itu.
"Sekarang aku siap mengadu jiwa denganmu Seichi!"
geram Hiroto padat ancaman.
"Tak perlu!" sergah Andika.
Hiroto terheran.
"Aku tahu dia akan menyingkir dari sini. Dia tak cukup
punya nyali untuk menghadapi kita berdua. Jangankan
untuk menghadapi kita, menghadapi aku saja kali ini
mungkin dia tak punya kesempatan menang. Kakek
Yoshioka sudah cerita banyak soal 'isi perut' kera berkumis
ini...," leceh Andika. Disebutnya kelemahan kesaktian
Seichi Onigawa dengan sebutan 'isi perut'. "Ayosana lari.
Sana! Hus-hus!"
Seichi Onigawa bimbang sejenak. Meski napasnya
sudah tersengal-sengal terus ditanduki kegusaran, sifat
pengecutnya mulai berkecambah lagi saat itu juga. Apalagi
ketika Andika menyebut-nyebul soal Kakek Yoshioka.
"Kau pemuda asing! Tunggu pembalasanku! Satu saat
aku akan menjadi mimpi burukmu, meski kau telah
kembali ke negerimu! Dan kau, Hiroto! Jangan harap aku
berhenti untuk memiliki Pedang Ekor Naga. atau berhenti
untuk menumpas seluruh keluargamu!" ancam Seichi
Onigawa.
Sesudah itu Seichi Onigawa benar-benar melarikan
diri.
"Dasar pecundang!" maki Andika, mengekori gaya
Kakek Yoshioka menyebut Seichi Onigawa.
"Dasar pecundang!" Akimoto ikut-ikutan.
Hiroto yang hcndak mengejar Seichi Onigawa ditahan
Andika.
"Biarkan dia pergi, Hiroto!" sergah Andika. "Selama
ada Akimoto bersama kita, terlalu berbahaya bertarung
dengannya. Sebaiknya kita pulang...," lanjutnya.
Hiroto terdiam. Dimasukkannya Pedang Ekor Naga
yang selama ini terus menjadi silang sengketa ke dalam
sarungnya. Ditatapnya lama-lama benda itu.
"Pedang ini yang menjadi sebab seluruh
kekacauan...," gumamnya samar.
Lalu dilemparkannya pedang itu jauh-jauh ke tengah
danau dingin Obani.
"Hei, bukankah pedang itu berarti harga dirimu?!" seru
Andika tak mengerti.
"Ya. Selama aku tak menyerahkan pada Seichi, aku
tetap bisa menjalankan amanat dari Sensei Ekor Naga.
Sekarang, sudah waktunya alam yang menjaga...," gumam
Hiroto lagi.
"Sekarang mari kita pulang, Andika San. Ada yang
harus kita selesaikan dengan Akemi...."
"Ya," keluh Andika dalam hati. Bagaimana mereka
harus memperlakukan wanita itu nanti. Mudah-mudahan,
bayi yang dilahirkannya buah dari perkawinan dengan
Jotaro menyadarkan dia untuk selamanya. Andika berharap
dalam hati.
SELESAI
Segera menyusul serial Pendekar Slebor selanjutnya:
ISTANA SEMBILAN IBLIS
0 comments:
Posting Komentar