..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 05 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE LASKAR DEWA

Laskar Dewa

 

SATU


MALAM baru saja turun. Di sebuah hampa-

ran tanah terbuka yang ditumbuhi jajaran pohon-

pohon pinus terlihat sesosok tubuh duduk ber-

sandar pada sebuah pohon. Kedua lengannya di-

rangkapkan sejajar dada. Sepasang matanya terpe-

jam rapat dengan mulut bergerak komat-kamit 

tiada henti. Sekujur tubuh sosok ini tam-pak ba-

sah kuyup oleh keringat dari kaki hingga rambut.

Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki 

berusia amat lanjut. Rambut dan kumisnya yang 

panjang telah berwarna putih dan awut-awutan 

tak terawat. Sosoknya kurus kering hingga tulang-

tulang pada dada dan lambungnya yang tidak ter-

tutup sebuah baju terlihat menonjol dengan jelas.

Melihat sikapnya, berat dugaan jika kakek 

ini sedang memusatkan mata batinnya seraya ke-

rahkan tenaga dalam, karena meski dia diam tak 

bergerak namun keringat terus mengalir dari seku-

jur tubuhnya! Malah tak jarang dadanya terlihat 

bergetar keras dan sesekali tubuhnya berguncang!

Beberapa saat lamanya, tiba-tiba sepasang 

mata si kakek membuat gerakan membuka. Na-

pasnya yang tadi berhembus teratur berhenti. Ber-

samaan dengan itu kepalanya perlahan berpaling 

ke samping. Bola matanya ikut berputar liar me-

mandang kian kemari menembusi kegelapan ma-

lam. Mulutnya menggumam sesuatu yang tak je-

las.

Sesaat kemudian, kepalanya kembali lurus

ke depan.

"Seseorang melangkah menuju tempat ini!" 

dalam hati si kakek berucap. Lalu pejamkan sepa-

sang matanya kembali. Napasnya pun kembali 

berhembus teratur seperti semula.

Apa yang di batin si kakek tidak meleset. 

Dari kegelapan bayang-bayang pohon pinus mun-

cul sesosok tubuh dan melangkah ke arahnya.

Mungkin tidak menduga, lima langkah di

samping si kakek, orang yang baru muncul seren-

tak hentikan langkah. Malah kakinya tersurut 

kembali satu tindak ke belakang. Dahinya men-

gernyit dengan sepasang mata memperhatikan le-

kat-lekat.

Dia adalah seorang perempuan tua. Pakaian 

atas berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-

tam. Bawahannya berwarna hitam kembang-

kembang putih. Sepasang matanya besar, hidung-

nya mancung serta bibir merah tanpa polesan. Pa-

da kedua tangannya tampak melingkar beberapa 

gelang berwarna kuning. Rambutnya putih dan 

panjang sampai betis.

"Bertelanjang dada, rambut awut-awutan, 

celana kolor warna kusam. Hmm...." Sepasang bo-

la mata si nenek berputar. Kepalanya bergerak 

berpaling ke kanan kiri. Lalu kembali lurus mem-

perhatikan orang yang duduk bersandar.

"Tokoh rimba persilatan yang telah lama tak 

unjuk diri. Dadung Rantak! Kukira manusia ini te-

lah berkalang tanah. Hmm.... Sedang apa dia di 

sini?! Bersemadi? Atau menunggu seseorang?!"

Si nenek memperhatikan sekeliling sekali

lagi, lalu melangkah mendekat. Baru satu tindak, 

orang tua yang duduk bersandar dan bukan lain 

adalah Dadung Rantak buka kelopak matanya, 

memandang tajam pada orang yang mendekatinya. 

Kedua alis matanya naik sesaat, mulutnya berke-

mik.

"Walau telah lama tak jumpa, namun aku 

masih mengenalinya! Perempuan yang sejak dulu 

ingin merajai rimba belantara persilatan. Hmm.... 

Iblis Gelang Kematian! Apakah mimpi besarnya itu 

masih bercokol di benaknya?! "

Perempuan tua berambut panjang dan 

mengenakan beberapa gelang yang tidak lain me-

mang Iblis Gelang Kematian, seorang tokoh rimba 

persilatan dari jajaran atas golongan hitam yang 

juga adalah guru si Manding Jayalodra alias Pe-

nyair Berdarah, hentikan langkah dua tindak di 

depan Dadung Rantak.

Sesaat kedua orang ini saling pandang den-

gan mulut masing-masing terkancing rapat. Seje-

nak rasa tegang menguasai diri masing-masing 

orang. Namun tak lama kemudian Iblis Gelang 

Kematian buka mulut memecah keheningan.

"Rentang waktu telah membuat panca inde-

ra berkurang ketajamannya. Apakah benar saat ini 

aku berhadapan dengan sobat sealiran Dadung 

Rantak?!"

"Apa yang kau lihat benar adanya, Iblis Ge-

lang Kematian!" jawab Dadung Rantak masih den-

gan mata tak berkedip memperhatikan. Tanpa 

menggerakkan kedua tangannya yang merangkap 

di depan dada, kakek itu bergerak bangkit. Lalu

menyambung ucapannya.

"Berpuluh tahun kita tak bertemu. Kau 

baik-baik saja?! "

Iblis Gelang Kematian arahkan pandan-

gannya pada jurusan lain. Dengan tertawa pelan 

dia berkata.

"Seperti kenyataannya, aku tak kurang sua-

tu apa!" Sejenak nenek ini hentikan ucapannya, 

lantas melanjutkan. "Berpuluh-puluh tahun tak 

ada kabar beritanya. Tiba-tiba muncul dan duduk 

merenung sendiri. Apa gerangan yang mengusik-

mu sampai kau unjuk diri lagi? Dan sedang apa 

kau di sini?!"

Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia 

lepaskan rangkapan kedua tangannya, lalu men-

gusap wajahnya yang keringatan dengan tapak

tangan. Sepasang matanya mengerjap, lalu buka 

suara.

"Keadaan kadang-kadang membuat manu-

sia harus merubah jalan pikiran. Situasi seringkali 

mengharuskan manusia berbuat sesuatu! Itulah 

yang kualami sekarang! "

Iblis Gelang Kematian menoleh dengan dahi 

mengkerut.

"Apakah ucapanmu mengisyaratkan jika 

kau tidak segolongan dengan aku lagi?! "

Dadung Rantak tengadahkan kepalanya. 

Dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh 

panjang, membuat perutnya yang terbuka berge-

rak-gerak ke atas.

"Terserah bagaimana kau menangkap uca-

panku. Yang jelas, bagi orang seusiaku golongan

tidak penting lagi! Yang paling utama adalah tu-

juan dan langkah untuk mencapai tujuan itu!"

"Hmm.... Begitu? Boleh aku tahu apa tu-

juanmu sebenarnya?!"

Dadung Rantak terdiam. Diam-diam dalam 

hati kakek ini membatin.

"Perempuan ini dari dahulu tidak berubah. 

Selalu ingin tahu persoalan orang lain. Tapi.... Tak 

ada salahnya aku berterus terang padanya. Karena 

tujuanku mungkin masih membutuhkan bantuan 

orang lain seperti dia"

Berpikir begitu, Dadung Rantak lantas be-

rucap.

"Tak usah kukatakan panjang lebar ten-

tunya kau telah mendengar jika adikku dahulu te-

was di tangan Wong Agung dari Karang Langit. La-

lu kau pasti telah tahu pula tentang heboh Arca 

Dewi Bumi...! "

Iblis Gelang Kematian anggukkan kepalanya 

beberapa kali, lalu berkata.

"Apa yang kudengar darimu saat ini me-

mang telah kuketahui. Harap kau suka melan-

jutkan ucapanmu!"

"Sebenarnya aku telah memutuskan untuk 

tidak terjun lagi dalam kancah persilatan. Namun 

hatiku tidak bisa tenteram. Arwah adikku rasanya 

terus membayangi. Dia seakan menuntut padaku 

agar aku tak tinggal diam dengan kematiannya. 

Lagi pula aku malu dengan pandangan orang, diki-

ra mereka, aku tak ambil peduli dengan kematian 

adikku! Di pihak lain, kabar tentang kesaktian Ar-

ca Dewi Bumi membuatku penasaran.... "

"Hmm.... Jadi itukah yang membuatmu te-

rusik hingga muncul lagi?! Apakah kau telah me-

lakukan sesuatu selama ini?!" Iblis Gelang Kema-

tian ajukan tanya.

Dadung Rantak menghela napas dalam-

dalam. "Aku telah datangi tempat Wong Agung di 

Karang Langit. Tapi manusia keparat itu ternyata 

masih cukup tangguh untuk ditaklukkan! "

"Kau dikalahkannya?!" sahut Iblis Gelang 

Kematian dengan mimik terkejut. Karena dia tahu, 

bagaimana ketinggian ilmu Dadung Rantak yang 

sedari dulu membuatnya ditakuti kawan maupun 

lawan.

Mendengar pertanyaan blis Gelang Kema-

tian, Dadung Rantak mendongak memandang lan-

git yang banyak ditaburi bintang. Mulutnya per-

dengarkan suara tawa perlahan.

"Dalam hidup, aku punya prinsip. Tak akan 

pernah merasa kalah! Pada saat terjadi bentrok di 

Karang Langit, aku tidak kalah! Hanya karena se-

suatu hal maka pertarungan itu terpaksa kutun-

da!" (Tentang pertarungan antara Dadung Rantak 

dengan Wong Agung di Karang Langit silakan baca 

serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-

sode: 'Badai di Karang Langit").

Sejurus Dadung Rantak hentikan keteran-

gannya, lalu meneruskan.

"Tentang Arca Dewi Bumi, ini yang membu-

atku kecewa besar."

"Karena kau tak berhasil mendapatkannya. 

Begitu?!"

Dadung Rantak menyeringai. Lalu geleng

kan kepalanya.

"Aku terlambat datang! Seandainya aku ti-

dak terlambat, mungkin saja pusaka arca itu bisa 

jatuh ke tanganku!"

"Apakah benar berita yang kudengar arca 

itu berhasil dibawa kabur oleh pemuda murid 

Wong Agung yang bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108?!"

"Berita itu benar adanya!" timpal Dadung 

Rantak cepat. Parasnya mendadak berubah. Ra-

hangnya mengembung besar, sementara dadanya 

bergetar keras.

"Air mukamu berubah. Apakah kau juga 

sempat bentrok dengan murid Wong Agung itu?!"

Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia 

terlihat masih menguasai hawa kemarahan yang 

melanda hatinya. Setelah dapat menguasai diri, 

dia angkat bicara. Suaranya keras meledak-ledak.

"Tak perlu kujelaskan padamu. Yang pasti 

guru dan muridnya sekarang jadi musuh besarku!"

Iblis Gelang Kematian sunggingkan senyum 

dingin. Dalam hati nenek berpakaian mewah ini 

berkata. "Manusia yang sedang dilanda dendam

begini mudah untuk dikendalikan! Aku harus da-

pat pergunakan kesempatan ini! Ini akan memu-

luskan jalanku untuk merajai rimba persilatan 

yang telah lama kuidam-idamkan! Tapi aku harus 

berhati-hati dengan manusia ini. Dia orang peka 

dan tak mudah untuk diatur!"

Berpikir sampai di situ, nenek ini lantas 

berkata.

"Sobatku Dadung Rantak! Selain kabar tadi,

aku juga dengar jika pemuda murid Wong Agung 

itu kini selalu dibayang-bayangi oleh beberapa to-

koh tua seperti Dewi Bayang-Bayang, Dewi Kayan-

gan, Gongging Baladewa, dan yang pasti gurunya 

sendiri.... "

"Bukan hanya itu saja!" ujar Dadung Ran-

tak menyahut. "Namun akhir-akhir ini pemuda itu 

juga sering muncul bersama tokoh aneh bergelar 

Setan Arak dan manusia banci bergelar Setan Pe-

solek!"

"Hmm.... Jika itu betul, maka akan bertam-

bah sulit untuk memukul pemuda itu. Karena Se-

tan Arak dan Setan Pesolek bukanlah orang sem-

barangan! Apakah kau telah punya suatu renca-

na?!"

"Rencana? Rencana apa maksudmu?!" 

tanya Dadung Rantak ingin menyelidik.

Iblis Gelang Kematian kembali sunggingkan 

senyum. Dia melangkah mondar-mandir. Seraya 

usap wajahnya dia berkata pelan.

"Kau telah menganggap murid dan gurunya 

sebagai musuh besar. Tentunya kau ingin nyawa 

kedua orang itu! Padahal pemuda itu kini secara 

tak langsung dibantu oleh manusia-manusia yang 

belum jelas apa tujuannya namun berilmu amat 

tinggi. Apakah kau telah punya suatu gagasan un-

tuk melenyapkan pemuda itu?!"

"Untuk membunuh seseorang, bagiku tak 

perlu rencana atau gagasan! Lagi pula apa yang 

perlu ditakutkan?! Aku punya tangan dan kekua-

tan untuk melawan mereka!"

Mendengar ucapan Dadung Rantak, Iblis

Gelang Kematian tertawa mengekeh, membuat si 

kakek kernyitkan kening, namun kening itu tak 

membentuk kerutan, karena kulit wajah si kakek 

demikian tipis. Yang tampak adalah gerakan tu-

lang keningnya yang terangkat sedikit ke atas. Dari 

mulutnya lantas terdengar teguran.

"Apa yang membuatmu tertawa, Iblis Gelang 

Kematian?! "

"Kata-katamu!" tukas si nenek masih den-

gan tertawa.

"Kuakui, kau punya tangan dan kekuatan. 

Namun kau rupanya melupakan sesuatu. Dalam 

kancah rimba persilatan, kalau ingin menjadi ma-

nusia yang tidak tertandingi, atau ingin membalas 

dendam, tidak cukup hanya dengan mengandal-

kan tangan dan kekuatan! Otak, sekali lagi otak 

harus digunakan! Tanpa otak tangan dan kekua-

tan hanya akan menjadi bumerang!"

Dadung Rantak terdiam mendengar perka-

taan Iblis Gelang Kematian. Dia memandang pe-

rempuan tua di hadapannya lekat-lekat. Mungkin 

ada benarnya apa yang dikatakan si nenek, kakek 

bertelanjang dada ini ajukan pertanyaan.

"Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan?!"

Iblis Gelang Kematian menarik napas pan-

jang lega. Karena jebakan yang akan dilakukannya 

hampir mengena sasaran.

"Sobatku Dadung Rantak! Pemuda itu kini 

telah dikelilingi oleh beberapa orang berkepan-

daian tinggi yang kebanyakan dari golongan orang-

orang putih. Kita dari golongan hitam kenapa tidak 

bersatu saja lalu secara bersama-sama melawan

nya?! Kita punya banyak teman yang ilmunya juga 

tinggi. Jika kita bergabung, selain beban kita jadi 

ringan, tujuan kita akan segera tercapai!"

Dadung Rantak angguk-anggukkan kepa-

lanya. Namun dalam hati kakek ini berkata lain. 

"Aku tahu kau mengajak bergabung karena kau 

takut menghadapi orang-orang itu! Kau akan men-

gambil keuntungan tanpa keluarkan banyak tena-

ga. Hmm.... Jangan mimpi kau akan menyiasati 

diriku! Tapi aku akan berpura-pura mau, hal ini 

akan mempermudah bagiku menjajaki keberadaan 

musuhku!" kakek ini lantas berkata.

"Sobatku. Jika itu jalan yang terbaik untuk 

menyelesaikan masalah, kuharap kau segera me-

lakukan sesuatu!"

Iblis Gelang Kematian berpikiran sejenak. 

Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia beru-

cap.

"Dua puluh hari di muka, kita bertemu di 

Lembah Supit Urang! Aku akan menghubungi be-

berapa teman segolongan!"

'Aku akan datang pada saat yang ditentu-

kan!" sahut Dadung Rantak. Kakek ini lantas 

arahkan pandangannya jauh ke depan. Mulutnya 

hendak mengucapkan sesuatu, namun dia urung-

kan.

Iblis Gelang Kematian yang sekilas dapat 

membaca hal itu segera mendehem beberapa kali, 

membuat Dadung Rantak palingkan wajah. Sebe-

lum kakek ini bicara. Iblis Gelang Kematian telah 

mendahului.

"Agaknya masih ada yang ingin kau utara

kan. Katakan saja!"

"Akhir-akhir ini aku mendengar munculnya 

seorang pemuda berkepandaian tinggi bergelar 

Dewa Maut! Apa kau tahu, dia berada di pihak 

mana?!"

'Aku telah dengar tentang pemuda itu. Na-

mun aku belum dapat memastikan di mana dia 

berpihak. Perjalananku kali ini sebenarnya selain 

mencari muridku, juga untuk menyelidik tentang 

pemuda itu!"

Dadung Rantak sedikit terkejut mendengar 

ucapan Iblis Gelang Kematian.

"Hmm.... Jadi kau telah punya seorang mu-

rid. Kalau boleh tahu siapa nama muridmu itu?!"

"Sebenarnya aku tidak lagi menginginkan 

seorang murid. Namun karena usiaku telah me-

rangkak tua, dan aku masih membutuhkan tena-

ga, terpaksa untuk melanjutkan cita-citaku, aku 

mengangkat seorang murid. Dia bergelar Penyair 

Berdarah!"

"Hmm.... Nama bagus!" puji Dadung Ran-

tak.

"Kau juga bukankah dulu punya dua orang 

murid?!"

Dadung Rantak mengangguk.

"Keduanya telah kulepas. Dan di antara aku 

dengan mereka sudah tidak ada hubungan guru 

dan murid! Malah yang laki-laki telah tewas waktu 

kejadian di lereng Gunung Kembar! Sekarang ting-

gal yang perempuan. Dia sekarang bergelar 

Dayang Naga Puspa."

"Ingat perempuan. Aku jadi ingat perem

puan cantik bermata biru bergelar Ratu Pulau Me-

rah. Bukankah dia dulu sering bersamamu?!"

Serentak Dadung Rantak sentakkan kepa-

lanya menoleh pada Iblis Gelang Kematian. Ra-

hangnya menggegat keluarkan suara gemeretak. 

Jari-jari tangannya bergerak mengembang hingga 

memperdengarkan suara berkeretakan. Mulutnya 

komat-kamit namun tak mengeluarkan suara.

Mengetahui orang sedang diamuk amarah, 

Iblis Gelang Kematian terdiam. Malah sepasang 

matanya beralih pada jurusan lain. Dia menunggu 

orang bicara. Namun hingga agak lama, Dadung 

Rantak tidak keluarkan sepatah kata pun!

"Hmm... Rupanya telah terjadi sesuatu an-

tara manusia ini dengan perempuan cantik itu. 

Mungkin perempuan itu mengkhianatinya, 

atau...." Iblis Gelang Kematian tidak melanjutkan 

kata hatinya, karena bersamaan dengan itu Da-

dung Rantak telah keluarkan ucapan.

"Apa tidak ada hal lain yang masih ingin 

kau utarakan?! "

Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-

las. Seraya melangkah satu tindak ke depan dia 

berujar.

"Untuk sekarang mungkin cukup. Kalau 

ada hal lain bisa kita bicarakan nanti di Lembah 

Supit Urang. Sekarang aku harus pergi.... "

Dadung Rantak tidak menyambuti ucapan 

Iblis Gelang Kematian. Dia putar tubuhnya, lalu 

tanpa pedulikan tatapan si nenek, Dadung Rantak 

duduk bersandar lagi pada batang pohon pinus. 

Kedua tangannya bergerak merangkap dan diseja

jarkan dada. Sepasang matanya pun perlahan-

lahan terpejam rapat. Mulutnya berkemik-kemik. 

"Setan Alas! Kalau saja tidak memandang-

mu sebagai teman satu golongan, kupuntir tanggal 

kepalamu!" maki Iblis Gelang Kematian dalam hati. 

Lalu tanpa berpaling lagi, nenek berambut panjang 

ini berkelebat tinggalkan tempat itu.

Baru saja Iblis Gelang Kematian pergi, seso-

sok bayangan tiba-tiba berkelebat dan tahu-tahu 

telah berdiri di depan Dadung Rantak dengan se-

pasang mata memperhatikan tak berkedip!


DUA


UNTUK beberapa saat lamanya orang yang 

baru muncul mengawasi Dadung Rantak dari 

rambut sampai kaki. "Lagaknya seperti seorang 

pengemis. Namun melihat sikapnya yang tidak ke-

dinginan meski tak mengenakan baju, tentunya 

dia seorang yang memiliki ilmu! Hmm.... Dan rasa-

rasanya aku pernah bentrok dengan lelaki tua itu! 

Tapi sudahlah, dia bukan orang yang kucari!" bisik 

hatinya. Orang ini lantas memandang berkeliling. 

Lalu berujung lagi pada sosok sang kakek. Mulut-

nya bergerak membuka hendak mengucapkan se-

suatu, namun sesaat kemudian mulutnya terkatup 

kembali. Tanpa berpaling lagi, orang ini lantas me-

langkah hendak tinggalkan tempat itu.

Namun langkah orang ini tertahan ketika 

didengarnya Dadung Rantak keluarkan batuk-

batuk tiga kali. Orang yang berdiri serentak palingkan wajahnya. Bersamaan dengan itu Dadung 

Rantak buka kelopak matanya.

Sekejap sepasang mata Dadung Rantak 

membesar dan menyipit. Kira-kira delapan lang-

kah dari tempatnya duduk bersandar, si kakek 

melihat seorang berdiri tegak memandang ke 

arahnya.

Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi 

tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-

hangnya kokoh, rambutnya panjang dan lebat. 

Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-

gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak 

sebuah lukisan pintu gerbang.

"Hmm.... Aku pernah berselisih dengannya. 

Ketika itu aku sedang terluka dalam dan pemuda 

ini datang. Lalu bertempur beberapa jurus den-

gannya. Sebaliknya aku bertanya untuk meyakin-

kan!" kata hati Dadung Rantak.

"Orang muda! Siapa kau? Apakah kau men-

cari seseorang?!"

Orang yang ditanya tidak segera memberi 

jawaban. Hanya sepasang matanya yang terus 

memandang tak berkedip.

Dadung Rantak tengadahkan kepalanya. 

Matanya menatap tajam pertanda tak senang den-

gan sikap orang yang tidak menjawab pertanyaan-

nya.

"Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, 

cepat menyingkir dari hadapanku!" Dadung Ran-

tak keluarkan bentakan.

Mendengar bentakan orang, si pemuda bu-

kannya takut lalu menuruti kata-kata orang untuk

menyingkir. Sebaliknya pemuda ini mendongak 

sambil tertawa pelan. Nadanya jelas meremehkan!

"Orang tua! Sepertinya aku pernah meli-

hatmu. Dengar baik-baik! Aku adalah Dewa Maut! 

Kau sendiri siapa?!"

Air muka Dadung Rantak seketika berubah. 

Namun hal itu segera disembunyikannya dengan 

keluarkan batuk-batuk kecil. Dalam hati kakek ini 

berucap.

"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia me-

mang pernah hampir membunuhku!" (Baca Pen-

dekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Prahara 

Dendam Leluhur").

"Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap 

kau segera pula jawab tanyaku!' sang pemuda 

yang bukan lain memang Dewa Maut adanya balik 

keluarkan bentakan. Dewa Maut telah ingat kalau 

lelaki tua ini sudah mati sewaktu bertempur den-

gannya. Tapi mengapa sekarang masih berkelia-

ran? Pemuda itu memang tidak tahu kalau Da-

dung Rantak pura-pura mati kala itu.

Dadung Rantak luruskan kepalanya. Sepa-

sang matanya memandang tajam dengan terse-

nyum dingin,

"Aku Dadung Rantak!" serunya dengan se-

tengah berteriak. Setelah diam sejurus dia kembali 

melanjutkan ucapannya.

"Kau rupanya buru-buru. Apa kau mencari 

seseorang?!"

Dewa Maut lirikkan matanya. Bahunya di-

angkat sedikit. "Tahu apa manusia tua ini tentang 

orang yang kucari?! Tapi tak ada jeleknya aku

mengatakan padanya. Dengan tersebarnya berita 

ini, mungkin saja orang yang kucari penasaran, 

dan balik mencariku!"

"Aku memang sedang mencari seseorang!" 

ujar Dewa Maut sambil alihkan pandangannya ke 

jurusan lain.

"Hmm.... Siapa yang kau cari?!"

"Wong Agung!" jawab Dewa Maut tandas.

Dadung Rantak sedikit tercengang menden-

gar jawaban pemuda di hadapannya. Namun seke-

jap kemudian ketercengangannya berubah menjadi 

rasa geli. Hingga tak lama kemudian dari mulut-

nya terdengar suara tawanya mengekeh panjang.

"Orang tua! Kau berani menertawakanku. 

Katakan apa yang membuatmu tertawa ngakak. 

Hah...?!"

Dewa Maut cepat keluarkan bentakan ke-

ras. Paras wajahnya berubah merah padam. Ra-

hangnya terangkat. Menindih rasa geram menda-

pati ucapannya ditertawakan orang.

"Orang muda! Kau ini aneh. Wong Agung 

sudah sejak beberapa puluh tahun tak pernah lagi 

ikut campur dunia persilatan. Melihat perubahan 

pada wajahmu, aku dapat menduga kau punya 

masalah dengannya. Tapi mana mungkin? Wong 

Agung sudah tidak pernah lagi meninggalkan tem-

patnya! Kau jangan bercanda!"

"Jahanam! Siapa bercanda!" gertak Dewa 

Maut, membuat Dadung Rantak katupkan mulut-

nya rapat-rapat. Dipandanginya pemuda di hada-

pannya lekat-lekat, seakan ingin meyakinkan ucapan orang.

"Kalau kau tidak bercanda, katakan apa si-

lang sengketa antara kau dengan Wong Agung!"

"Itu urusanku! Dan kau tak layak untuk 

menanyakannya!" tukas Dewa Maut dengan se-

nyum mengejek.

"Hmm.... Begitu? Apakah kau sudah pa-

ham, siapa adanya orang yang kau cari itu?!" 

tanya Dadung Rantak dengan tawa perlahan, sea-

kan ingin balik mengejek orang.

"Bagiku tak penting siapa adanya orang itu! 

Yang pasti aku menginginkan jiwanya!"

"Hmm.... Selain dia, adakah orang lain yang 

kau cari?!"

"Orang tua!" ujar Dewa Maut tanpa meman-

dang. "Sepertinya kau hendak menyelidik. Siapa 

kau sebenarnya?!"

Dadung Rantak tertawa pendek. Lalu ge-

rakkan kepalanya menggeleng pelan ke kanan kiri.

"Seperti kukatakan tadi. Aku adalah Da-

dung Rantak! Tua bangka yang sudah bau tanah. 

Aku tidak menyelidik. Tak ada untungnya bagiku 

menyelidik urusan orang! Hanya...," Dadung Ran-

tak tak meneruskan kata-katanya.

"Hanya apa?!" tanya Dewa Maut cepat.

"Kusarankan padamu, untuk mengurung-

kan niat! Kau masih muda, masih banyak yang bi-

sa kau perbuat selain mencari penyakit dengan 

Wong Agung!"

Tubuh Dewa Maut terlihat terguncang. Ke-

dua tangannya mengepal hingga otot-otot tangan-

nya tampak menggurat jelas.

"Keparat! Dia rupanya belum tahu siapa di

riku!" maki Dewa Maut dalam hati. Lalu dia buka 

mulutnya. Suaranya terdengar bergetar, pertanda 

geram.

"Korban telah kutetapkan! Siapa pun tak 

akan dapat menghalangi langkahku! Atau kau me-

nyangsikan diriku?!"

Habis berkata begitu, Dewa Maut angkat 

kedua tangannya dan dihantamkan ke arah se-

buah pohon pinus besar yang berjarak dua puluh 

langkah dari tempatnya berdiri.

Wuuttt! Wuutttt! 

Asap merah yang disusul dengan mende-

runya angin berputar-putar aneh melesat ke de-

pan. Bersamaan dengan itu udara berubah panas 

menyengat laksana dipanggang!

Sekejap kemudian, batang pohon pinus di 

depan sana terdengar bergemeretakan. Di lain ke-

jap, batang pohon itu telah membumbung ke uda-

ra dan berputar-putar. Ketika kedua tangan Dewa 

Maut disentakkan ke bawah, batang pohon pinus 

menukik dan telah menjadi patah-patahan kecil! 

Serta hangus menghitam!

Meski diam-diam Dadung Rantak menga-

gumi pukulan sang pemuda, namun kakek ini tak 

mau mengatakan atau menunjukkan wajah kehe-

ranan. Malah dia tertawa pelan. Lalu bergerak 

bangkit dan berkata.

"Dengar Anak muda! Yang baru saja kau 

pukul adalah sebuah pohon. Bukan...."

"Mataku juga tidak buta! Namun Wong 

Agung akan kubuat seperti itu!" tukas Dewa Maut 

sebelum Dadung Rantak menyelesaikan ucapan

nya.

"Angan-angan seringkali di atas kenyataan, 

Anak muda!" gumam Dadung Rantak tanpa ber-

paling.

"Eh, mendengar ucapanmu rupanya kau 

kenal betul dengan Wong Agung!" ujar Dewa Maut 

dengan sedikit merendahkan suaranya.

"Hmm.... Nyata sekali jika manusia som-

bong ini masih belum mengenal satu persatu to-

koh rimba persilatan! Tapi bekal yang dibawanya 

cukup tinggi!"

"Makanya aku sarankan padamu untuk 

mengurungkan niat, karena aku telah tahu siapa 

adanya Wong Agung!"

"Apa hubunganmu dengan Wong Agung?!" 

tiba-tiba suara Dewa Maut mengeras lagi.

"Apa hubunganku dengan Wong Agung, itu 

bukan urusanmu!"

"Keparat! Jangan-jangan kau sahabatnya!

Betul?!"

Dadung Rantak tertawa mengekeh hingga 

bahunya berguncang keras. Namun suara tawanya 

tiba-tiba diputus. Sepasang matanya liar meman-

dang tajam pada Dewa Maut. Jari telunjuknya 

bergerak lurus ke arah wajah pemuda itu.

"Sekali lagi kau keluarkan makian, kupe-

cahkan mulutmu!"

Mendengar ancaman orang, Dewa Maut bu-

kannya tersurut mundur, sebaliknya pemuda ini 

ganti tertawa ngakak. Dengan kacak pinggang pe-

muda pengemban tugas dendam leluhurnya ini 

berkata.

"Dewa Maut tak suka diancam orang. Tun-

jukkan padaku bagaimana caranya memecahkan 

mulut Dewa Maut! Atau kau yang ingin mati dua 

kali!"

"Menuruti ucapanmu, sebenarnya aku tak 

keberatan. Tapi masih ada urusan lebih penting 

daripada sekadar main-main memecahkan mu-

lutmu. Tapi kalau kau ingin membuktikan pecah-

nya mulut, atau sekalian putusnya nyawa, ku-

tunggu kedatanganmu di Lembah Supit Urang dua 

puluh hari dari saat ini!"

Habis berkata begitu, Dadung Rantak ter-

tawa perlahan. Lalu berkelebat meninggalkan tem-

pat itu.

Dewa Maut kertakkan rahang. Namun pe-

muda ini tak berbuat sesuatu untuk mencegah 

kepergian si kakek.

"Sengaja kubiarkan dahulu tua bangka itu 

minggat. Aku menangkap sesuatu di balik undan-

gan nya itu...!" Lalu tak peduli si kakek telah pergi

jauh pemuda itu berteriak lantang.

"Dewa Maut bukan manusia penakut! Bu-

kan kau yang menunggu di sana. Tapi aku akan 

datang mendahuluimu!"

Bersamaan dengan lenyapnya gema suara 

teriakannya, Dewa Maut tak tampak lagi di tempat 

itu!


TIGA


ORANG tua bermata putih dan sangat sipit 

itu mendongak ke langit. Saat itu hari memasuki 

tanggal lima belas, hingga meski malam telah la-

rut, namun cuaca sangat terang karena sang rem-

bulan bulat penuh tidak sedikit pun disemaraki 

bongkahan awan. Angin berhembus semilir mem-

buat rambut orang tua yang panjang dan telah 

memutih itu melambai-lambai.

Sejenak kedua tangan si orang tua bergerak 

mengusap wajahnya yang keriput dimakan usia. 

Setelah menarik napas dalam dan tersenyum din-

gin, orang tua ini luruskan kepalanya. Yang terli-

hat oleh si kakek ini hanyalah pucuk dedaunan

yang berubah warna karena tertimpa cahaya sang 

rembulan, karena saat itu si kakek memang bera-

da pada sebuah puncak bukit.

"Hmm.... Ini adalah purnama yang kelima 

belas. Waktu terakhir bagi pemuda itu menyele-

saikan batu ujian. Kalau dia bertahan, nasibnya 

memang baik. Jika tidak, dia akan mampus!" Si 

orang tua bergumam sendiri. Kedua tangannya 

membetulkan jubahnya yang besar dan telah lu-

suh. Dia lalu melangkah pulang balik di puncak 

bukit yang sepi itu. Kepalanya lalu tengadah me-

mandang rembulan, lalu lurus kembali. Semua ge-

rak-gerik kakek ini mengisyaratkan bahwa dirinya 

saat itu sedang berada dalam keadaan gelisah. Se-

tidak-tidaknya ada yang membuatnya tidak sabar 

menunggu sesuatu.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba untuk yang 

kesekian kalinya si orang tua memandang tajam 

ke arah sang rembulan. Kali ini sambil tersenyum. 

Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk. Se-

telah menarik napas panjang dia melangkah ke 

samping kanan dua tindak. Lalu putar tubuhnya 

setengah lingkaran dan laksana kilat, tubuhnya 

berkelebat menuruni bukit.

Pada lamping bukit yang terhampar sebuah 

tanah lapang tanpa ditumbuhi pohon si kakek 

hentikan larinya. Sepasang matanya yang sipit dan 

berwarna putih memandang tak berkedip pada se-

buah lobang besar yang ada di tengah-tengah ta-

nah lapang.

Lobang itu lebarnya dua kali panjang tom-

bak dan berbentuk segi empat. Anehnya meski lo-

bang itu berada di tanah, namun dari dalamnya 

mencorong warna merah dan membiaskan hawa 

panas!

Setelah mengusap kening dan lehernya 

yang keringatan, si orang tua melangkah pelan 

mendekati lobang yang mencorong merah. Begitu 

berada di samping bibir lobang, sepasang matanya 

dibuka lebar-lebar.

Ternyata di dalam lobang itu terdapat tum-

pukan batang-batang kayu yang telah berubah jadi 

bara! Malah sesekali seberkas api tampak mencuat 

ke atas karena terhembus angin.

Si orang tua untuk beberapa jurus mem-

perhatikan. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak 

menyentak ke bawah, lalu diangkat pelan-pelan. 

Terjadilah sesuatu yang luar biasa. Tumpukan batangan kayu dl dalam lobang mencelat berhambu-

ran ke udara, lalu berserakan di atas lobang den-

gan keadaan padam!

Ketika tumpukan bara kayu di dalam lo-

bang tidak ada lagi, tampak melingkar sesosok tu-

buh yang hanya mengenakan sebuah celana kolor 

yang sudah hangus dan robek di sana-sini.

Di bawah cahaya sinar rembulan, sosok tu-

buh yang melingkar itu terlihat diam tak bergerak. 

Bahunya tidak menampakkan adanya guncangan 

yang menandakan napasnya masih berhembus. 

Kulit sekujur tubuhnya pun tampak berubah 

menghitam dan di beberapa bagian terlihat men-

gembung dan di bagian lainnya mengelupas!

"Malaikat Berdarah Biru! Kau masih men-

dengar kata-kataku?!" si orang tua berseru keras. 

Tak ada jawaban dari sosok tubuh di bawahnya 

yang dipanggil Anak Agung. Sosok itu pun tak ter-

lihat membuat gerakan.

Si orang tua bergerak jongkok di bibir lo-

bang. Sepasang matanya dipentangkan lebar-

lebar. Untuk kesekian lama dia memperhatikan 

sambil menunggu. Tapi karena sekian lama tak ju-

ga ada tanda-tanda jika sosok di dalam lobang 

hendak bergerak apalagi keluarkan suara untuk 

menjawab pertanyaan orang, si orang tua menghe-

la napas panjang.

"Hm.... Apa dia sudah tewas?!" gumamnya 

seraya gerakkan kepala tengadah. "Ujian ini me-

mang berat. Namun jika berhasil, maka dia kelak 

akan menjadi manusia tanpa tanding di jagat ini! 

Segala pukulan tak akan mampu menembus tubuhnya! Tapi jika dia gagal dalam ujian ini, dia 

akan tewas!"

Setelah menarik napas dalam-dalam, tanpa 

palingkan lagi wajahnya pada sosok di dalam lo-

bang, si orang tua kembali berteriak lantang.

"Malaikat Berdarah Biru! Kalau kau masih 

bernyawa, cepat bangkit!"

Lagi-lagi si orang tua tak mendapat jawa-

ban, membuat kepalanya berpaling ke bawah 

memperhatikan sekali lagi. Kepalanya lantas 

menggeleng perlahan.

"Nampaknya kau gagal, Bocah! Berarti na-

sibmu belum baik. Dan kau harus terkubur di 

situ!"

Si orang tua lantas bergerak bangkit. Kaki 

kanannya lalu menjejak tanah bibir lobang. Tanah 

itu langsung longsor berjatuhan di bawah, menim-

bun sosok di dalamnya. Si orang tua terus jejak-

kan kakinya ke tanah di sekitar lobang, hingga 

lambat laun sosok di dalam lobang tertimbun 

hampir tak kelihatan lagi.

Tiba-tiba si orang tua hentikan kakinya 

yang menjejak. Sepasang matanya yang sipit me-

mandang tajam ke dalam lobang. Kedua alis ma-

tanya yang putih dan sangat tipis naik sesaat. Mu-

lutnya bergerak komat-kamit.

Pada saat tanah telah menutup hampir se-

kujur tubuh sosok di dalam lubang, si orang tua 

melihat adanya gerakan. Lalu perlahan-lahan se-

buah tangan tampak menyeruak dari timbunan 

tanah. Kemudian disusul dengan tangan satunya 

lagi. Dan perlahan-lahan pula dari timbunan tanah itu muncul kepala dengan rambut panjang 

dan kempal serta jarang. Kulit wajahnya telah 

berwarna kecoklatan.

"Astaga! Ternyata dia berhasil melampui 

ujian ini!" gumam si orang tua dengan bibir men-

gulas senyum. Tubuhnya sedikit berguncang, se-

mentara sepasang matanya tak berkedip.

"Ahhh..,." Tiba-tiba sosok yang kini telah 

menampakkan kepala dan dadanya itu keluarkan 

suara erangan. Kepalanya lantas bergerak tenga-

dah. Sepasang matanya yang masih terpejam ber-

gerak-gerak hendak membuka, namun belum 

sampai mata itu membuka, dari mulutnya yang 

gosong keluar lagi erangan kesakitan. Bersamaan 

dengan itu, kepalanya lunglai dan tubuhnya hen-

dak luruh lagi.

Namun sebelum tubuh itu terbujur di atas 

tanah di dalam lobang, si orang tua telah banting-

kan kedua kakinya ke atas tanah. Tempat itu tiba-

tiba berguncang keras. Dan bersamaan dengan itu 

sosok yang di dalam lobang mencelat ke atas!

Si orang tua mengikuti gerakan sosok yang 

melayang, lalu dia berkelebat. Dan 'huuup', sosok 

yang menukik itu telah berada di pondongan si 

orang tua.

Tanpa meneliti lagi, si orang tua berkelebat 

menaiki puncak bukit dengan tawa mengekeh ter-

dengar dari mulutnya.

Sampai di puncak bukit, si orang tua mele-

takkan sosok yang dipondongnya di tanah. Sesaat 

dia memandangi, lalu bergerak bangkit dan berke-

lebat ke balik sebuah pohon besar yang di belakangnya tampak gundukan batu. Tak lama kemu-

dian dia telah keluar lagi dengan tangan kanan 

memegang sebuah kendi dari tanah.

Si orang tua melangkah dan berdiri tegak di 

samping sosok yang membujur tak bergerak. Ke-

pala si orang tua lalu tengadah pandangi bulan. 

Mulutnya komat-kamit perdengarkan suara yang 

tak jelas. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, mula-mula 

pelan, namun makin lama makin keras. Bersa-

maan dengan itu seraya terhuyung, dia melangkah

ke samping dua tindak. Kendi di tangan kanannya 

dimiringkan tepat di atas kepala sosok di bawah-

nya.

Dari mulut kendi mengucur cairan berwar-

na merah. Membasahi kepala sosok yang terbujur. 

Lalu si orang tua melangkah sambil mengucurkan 

cairan merah ke seluruh tubuh sosok di bawahnya 

hingga cairan itu tak tersisa lagi.

Si orang tua lalu meletakkan kendi di samp-

ing kepala sosok yang terbujur. Dia lantas duduk 

bersila. Sepasang matanya perlahan memejam. 

Kedua tangannya lalu disatukan di depan dada. 

Dari mulutnya terdengar ucapan-ucapan yang ti-

dak bisa dimengerti.

Terjadilah suatu hal yang hampir tak bisa 

dipercaya. Sekujur kulit sosok yang terbujur tiba-

tiba menggelembung, dan perlahan-lahan merekat 

lalu gelembungan itu pecah. Dan perlahan-lahan 

pula pecahan kulit itu terus merambat ke sekujur 

tubuh.

Beberapa saat berlalu. Ketika si orang tua 

membuka kembali sepasang matanya terlihat kulit

kecoklatan yang tadi membungkus sekujur tubuh 

di hadapannya telah mengelupas! Dan berserakan 

di sekitar tubuh yang terbujur. Pada sekujur tu-

buh sosok itu kini terlihat kulit yang berwarna 

kuning kemerahan!

Si orang tua lepaskan kedua tangannya 

yang menakup, lalu ditempelkan pada dada sosok 

yang terbujur. Si orang tua tak menunggu lama. 

Sesaat kemudian dada sosok itu bergerak-gerak la-

lu dari hidungnya berhembus napas. Dan bersa-

maan dengan itu dari mulutnya terdengar guma-

man. Si orang tua yang ternyata salurkan tenaga 

dalamnya itu lipat gandakan tenaga dalamnya.

Perlahan-lahan sosok itu buka kelopak ma-

tanya, memandang lurus ke atas. Lalu bola ma-

tanya berputar ke samping. Sejenak bola mata itu 

memandang lekat-lekat pada si orang tua. Tiba-

tiba dari mulutnya terdengar seruan pelan.

"Guru!"

Si orang tua anggukkan kepalanya, lalu 

tangannya ditarik dari dada sosok terbujur di ha-

dapannya.

"Bangkitlah!" seru si orang tua dengan bibir 

tersenyum puas.

Perlahan-lahan sosok yang terbujur yang 

kini kulitnya telah pulih seperti sediakala bergerak 

bangkit dan duduk. Ternyata dia adalah pemuda 

berparas tampan. Sepasang matanya tajam berki-

lat. Dagunya kokoh dengan perawakan tegap. Pada 

telinga kiri tampak sebuah anting-anting tembaga. 

Rambutnya yang tadi jarang dan tipis, sekarang 

sudah tumbuh kembali. Ini semua berkat cairan

merah yang diguyurkan si kakek.

Sejenak si pemuda memandang tajam pada 

kulit berserakan di kanan kirinya, lalu meneliti se-

kujur tubuhnya. Kepalanya lalu lurus memandang 

si orang tua. Mulutnya hendak berkata, namun si 

orang tua telah mendahului.

"Malaikat Berdarah Biru! Itu adalah kulit 

luar mu yang tadi terpanggang selama kau menja-

lani ujian!"

Masih diliputi rasa keheranan, pemuda 

yang dipanggil Anak Agung ajukan tanya. "Bagai-

mana ini bisa terjadi?!"

Si orang tua keluarkan tawa mengekeh pan-

jang.

"Darah ular cobra yang telah diawetkan 

berpuluh-puluh tahun. Itulah yang bisa membuat 

kulitmu mengelupas dan berganti dengan kulit ba-

ru. Selain itu, kini tubuhmu akan kebal terhadap 

segala jenis racun! "

"Terima kasih, Guru!" ujar Malaikat Berda-

rah Biru dengan hanya sedikit anggukkan kepa-

lanya. Itu pun dia lakukan dengan perasaan berat. 

Karena sebenarnya dia tak suka melakukan hal itu 

meski terhadap orang tua yang dipanggilnya Guru.

"Hmm.... Sifat angkuh anak ini memang te-

lah mendarah daging! Tapi apa hendak dikata. 

Semuanya seakan sudah diatur, dan aku menda-

patkan pemuda yang demikian. Tapi aku bangga, 

dia berhasil mengatasi ujian itu," kata hati si orang 

tua, lalu buka mulut.

"Malaikat Berdarah Biru! Seperti yang per-

nah kukatakan padamu dahulu, kalau kau telah

berhasil melewati ujian ini, maka kau akan beru-

bah menjadi manusia yang tahan terhadap segala 

jenis pukulan! Ditambah kau sekarang akan kebal 

terhadap segala jenis racun. Dan secara otomatis, 

pukulanmu yang telah kau pelajari dari guru-

gurumu terdahulu akan berlipat ganda kekuatan-

nya!"

Dengan senyum lebar dan busungkan dada, 

Anak Agung berkata.

"Jadi aku sekarang telah mendapatkan se-

mua itu?!"

Si orang tua anggukkan kepalanya. "Kau 

adalah manusia ketiga yang berhasil menjalani 

ujian berat itu! "

Dahi Malaikat Berdarah Biru langsung ber-

kerut mendengar keterangan si orang tua. Dengan 

hati gusar, dia ajukan tanya.

"Kalau aku adalah orang ketiga, berarti ada 

dua orang lagi. Siapakah mereka?!"

"Pertama adalah orang yang mencipta ilmu 

itu. Orang kedua adalah mendiang guruku sendi-

ri!" jawab si orang tua.

Malaikat Berdarah Biru menghela napas le-

ga. Sebenarnya pemuda ini merasa khawatir jika 

ada orang lain yang menguasai ilmu itu. Namun 

setelah mendapat keterangan demikian, yang be-

rarti kedua orang tersebut telah tiada, dia merasa 

senang. Karena hanya dia sendirilah kini yang 

menguasai ilmu itu.

"Malaikat Berdarah Biru!" kata si orang tua 

setelah agak lama di antara keduanya tidak ada 

yang keluarkan suara.

"Enam belas bulan kau berada di sini. Dan 

lima belas bulan lamanya kau habiskan di dalam 

lobang ujian itu. Sekarang apa yang kau inginkan 

telah tercapai. Dan mungkin dalam benakmu ingin 

segera meninggalkan tempat ini!"

"Keparat! Sudah tahu kenapa masih di-

ucapkan lagi?!" maki Anak Agung dalam hati. Dia 

segera menatap tajam orang tua di hadapannya 

dan berujar.

"Kalau memang sudah tidak ada lagi yang 

harus kulakukan, aku memang ingin segera me-

ninggalkan tempat ini. Seperti yang pernah kuceri-

takan padamu dahulu, aku punya urusan yang ti-

dak akan bisa membuat batinku tenang sebelum 

urusan itu selesai!"

"Maksudmu urusan dengan Pendekar Mata 

Keranjang 108?!"

Air muka Malaikat Berdarah Biru kontan 

berubah tatkala mendengar si orang tua menyebut 

Pendekar 108. Rahangnya yang kokoh terangkat 

dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak.

Meski mulutnya tidak keluarkan suara un-

tuk menjawab, mendapati perubahan wajah mu-

ridnya, si orang tua itu maklum. Seraya tertawa 

mengekeh si orang tua menyambung ucapannya.

"Sakit hati memang harus dibalas! Kapan 

kau akan meninggalkan tempat ini?!"

Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-

jawab. Dia masih meredakan gejolak amarah yang 

membakar dadanya. Setelah dadanya mereda, dia 

angkat bicara.

"Kalau guru memperbolehkan dan memang

sudah tidak ada yang harus kulakukan di sini, 

aku akan berangkat sekarang juga!"

Si orang tua angguk-anggukkan kepala. 

Tangannya bergerak mengusap-usap kumisnya 

yang telah memutih.

"Memang, sudah tidak ada lagi yang perlu 

kau lakukan. Hanya kalau kau benar-benar ingin 

segera berangkat, aku tak akan mencegahmu...," 

sejenak si orang tua hentikan ucapannya. Setelah 

menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan.

"Ada beberapa hal yang harus kau ketahui 

sebelum kau berangkat...."

"Hmm... Hal apakah itu, Guru?!" sahut Ma-

laikat Berdarah Biru dengan kening mengernyit.

"Turut apa yang kudengar, kali ini rimba 

persilatan telah diramaikan dengan munculnya to-

koh-tokoh tua yang ilmunya tak disangsikan lagi. 

Juga telah muncul beberapa pemuda yang il-

munya juga tak bisa dibilang sembarangan. Kalau 

hal itu memang benar, aku punya permintaan pa-

damu!" 

"Katakan saja. Guru!"

"Carilah seorang laki-laki tua bergelar Setan 

Arak! Cabut nyawanya untukku!" suara si orang 

tua mendadak berubah parau dan bergetar, mem-

buat Malaikat Berdarah Biru terkejut. Namun mu-

rid ini menyadari jika gurunya sedang marah. 

Hingga dia hanya diam tak menyahut ucapan gu-

runya meski dalam hati dia ingin mengatakan se-

suatu.

"Yang kedua, kau harus dapat membunuh 

orang yang bergelar Dewi Bunga Iblis!"

"Guru!" kata Malaikat Berdarah Biru. "Bisa 

kau katakan ada silang sengketa apakah antara 

kau dengan kedua orang yang kau sebut tadi?!"

Si orang tua tertawa pendek. Bibirnya ter-

senyum kecut. Senyum pertanda kegeraman dan 

kepedihan hati.

"Seperti halnya dirimu yang sakit hati dihi-

nakan dan dikalahkan pemuda bergelar Pendekar 

Mata Keranjang 108 itu, aku pun pernah dihina-

kan oleh kedua orang tadi! Dan sakit hati ini tak 

akan pupus sebelum keduanya mati di tanganku 

atau setidak-tidaknya di tangan muridku!"

"Hm.... Jika demikian, aku berjanji akan 

membawa kedua kepala orang itu ke hadapanmu 

sebagai balas budimu padaku!"

Si orang tua tertawa mengekeh panjang 

hingga bahunya berguncang dan air matanya ke-

luar.

"Ternyata aku memilih orang yang tidak sa-

lah! Kedatanganmu dengan penggalan kepala ke-

dua orang itu kutunggu!"

"Sekarang apakah aku bisa pergi, Guru?!"

Si orang tua terdiam sejenak. Dia sepertinya 

sedang memikir. Lalu berkata.

"Sebenarnya hal ini tak akan ku utarakan

padamu. Namun untuk jaga-jaga tak ada salahnya 

juga kau ketahui!"

Malaikat Berdarah Biru kembali kernyitkan 

dahi. Dia tak ucapkan sepatah kata pun! Dia diam 

menunggu.

"Ketahuilah! Kau memang telah menjadi 

orang hebat. Tak akan mempan senjata dan pukulan. Tak akan mempan segala jenis racun. Tapi se-

gala sesuatu harus kita sadari pasti punya kele-

mahan!"

"Maksudmu?!" tukas Malaikat Berdarah Bi-

ru cepat dengan dada bergetar.

"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai 

oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri! 

Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"

Malaikat Berdarah Biru tersentak. Namun 

cuma sesaat. Sekejap kemudian dia telah terse-

nyum. "Hmm.... Jika hanya itu pantangannya, aku 

bisa menghindari! Lagi pula aku belum punya 

anak...," batinnya.

"Maka dari itu, Muridku. Kusarankan pa-

damu agar kau bertindak hati-hati pada seorang 

perempuan. Karena itu akan menjadi petaka bagi 

dia kelak kemudian hari! Dan yang juga harus kau 

ingat, kalau kau tidak dapat menghindari dari hal 

yang pertama dan terpaksa punya seorang anak, 

jangan sampai kau bertarung dengannya saat bu-

lan purnama! Karena saat itulah ajalmu akan dat-

ing!" 

"Segala petunjukmu akan kuingat!" 

"Bagus! Sekarang kau bisa tinggalkan tem-

pat ini! "

Namun Malaikat Berdarah Biru tidak segera 

bangkit. Dia masih duduk bersila, membuat si 

orang tua melanjutkan ucapannya dengan nada 

bertanya.

"Ada sesuatu yang masih ingin kau tanya-

kan?! "

"Guru! Kau telah memberikan segala yang

terbaik padaku. Rasanya kurang enak jika kau 

masih tetap menyembunyikan siapa dirimu pada-

ku! Harap kau suka katakan siapa nama atau ge-

larmu! Lagi pula sewaktu-waktu kedua musuhmu 

itu bertanya, aku bisa menjawab! "

Si orang tua hanya menjawab dengan keke-

han tawanya. Setelah puas tertawa, dia keluarkan 

sesuatu dari balik Jubahnya. Ternyata sesuatu itu 

adalah sebuah cincin berwarna hitam berbentuk 

kepala burung.

"Tunjukkan benda itu pada kedua orang itu. 

Atau kepada siapa saja yang pernah malang melin-

tang dalam rimba persilatan pada masa lalu. Di 

sanalah kau akan mengetahui siapa diriku sebe-

narnya!" kata si orang tua seraya mengulurkan 

cincin itu pada Malaikat Berdarah Biru.

Pemuda itu segera menyambuti, lalu cincin 

itu dikenakannya.

"Kau ambillah pakaianmu di balik pohon 

itu!" perintah si orang tua.

Malaikat Berdarah Biru bergerak bangkit, 

lalu melangkah ke balik pohon. Ketika dia keluar 

lagi, dia terkejut. Si orang tua sudah tak ada lagi di 

tempatnya semula.

Sepasang mata Malaikat Berdarah Biru me-

nyapu berkeliling. Namun orang yang dicarinya tak 

ditemukan. Dia lalu berteriak memanggil dengan 

sebutan guru beberapa kali. Namun hanya hem-

busan angin yang menjawabnya.

"Keparat! Ke mana orang tua ini perginya? 

Ah, persetan! Yang penting aku telah mendapatkan 

sesuatu yang kuinginkan!" gumamnya dalam hati.

Malaikat Berdarah Biru lantas merapikan 

pakaiannya. Ternyata yang dikenakan adalah se-

buah jubah toga berwarna merah darah. Inilah pa-

kaian yang menunjukkan bahwa pemakainya ada-

lah pemuda yang dulu pernah menggegerkan du-

nia persilatan bernama asli Anak Agung yang per-

nah berguru pada seorang nenek sesat Bidadari 

Telapak Setan. Lalu pernah juga diambil murid 

oleh Bayangan Iblis. Pemuda yang dulu pernah 

menggenggam senjata kipas pusaka hitam ciptaan 

Empu Jaladara!

Seperti dituturkan dalam episode: "Geger 

Para iblis", Pendekar 108 berhasil membuat Malai-

kat Berdarah Biru cidera dalam, namun pemuda 

itu masih sempat meloloskan diri, karena Pende-

kar 108 terpaku melihat Putri Tunjung Kuning 

yang semula dikira sudah tewas ternyata masih 

hidup, hingga kelengahan itu dipergunakan untuk 

meloloskan diri oleh Malaikat Berdarah Biru.

Di tengah perjalanan, mungkin karena lu-

kanya cukup parah, Malaikat Berdarah Biru jatuh 

terduduk di atas tanah. Pemuda ini tampaknya 

amat khawatir jika Pendekar 108 mengejar, hingga 

meski masih merasakan sakit yang amat sangat, 

dia segera bergerak bangkit. Namun belum sampai 

tubuhnya benar-benar tegak, sosoknya telah jatuh 

lagi. Pemuda ini tak putus asa. Dia coba kerahkan 

tenaga dalam, namun karena tubuh bagian da-

lamnya telah terluka, pemuda ini gagal mengerah-

kan tenaga dalam.

Dalam keadaan bingung, takut dan putus 

asa, mendadak muncul seorang kakek bermata

putih. Entah karena terkejut mengira yang muncul 

adalah Pendekar 108, atau karena lukanya terlalu 

parah, belum sempat sang kakek berkata, Malai-

kat Berdarah Biru telah roboh pingsan.

Sang kakek akhirnya membawa Malaikat 

Berdarah Biru ke tempat tinggalnya. Begitu Malai-

kat Berdarah Biru sembuh, pemuda ini meminta 

agar sang kakek bersedia mengangkatnya sebagai 

murid. Rupanya keinginan Malaikat Berdarah Biru 

terkabul, karena sang kakek tak keberatan men-

gangkatnya sebagai murid.

Sejak saat itulah Malaikat Berdarah Biru 

menghilang. Mungkin karena tak satu pun yang 

mengetahui ke mana lenyapnya pemuda ini, apa-

lagi setelah dikalahkan oleh Pendekar 108, maka 

sebagian orang rimba persilatan menduga jika Ma-

laikat Berdarah Biru telah tewas!


EMPAT


SIANG itu panasnya bukan alang kepalang. 

Arak-arakan awan tak secuil pun yang menutupi 

langit, hingga sang mentari begitu leluasanya me-

mancarkan sinarnya yang menyengat.

Pada suatu tempat di ujung hutan kecil 

berbatasan dengan sebuah desa tampak seseorang 

melangkah terseok-seok. Malah sesekali tubuhnya 

doyong ke depan akan jatuh terjerembab, namun 

begitu tubuhnya hampir saja menyuruk tanah, 

orang ini cepat tarik tubuhnya kembali. Dia adalah 

seorang perempuan mengenakan pakaian gombrong besar dan panjang menjuntai tanah, hingga 

kedua tangan dan kaki perempuan ini tak terlihat. 

Wajahnya dibedaki pupur tebal. Sementara bibir-

nya dipoles merah dan belepotan sampai hidung. 

Kedua alis mata serta kelopak matanya diberi pe-

warna hitam. Rambutnya dikuncir ke atas dibagi 

dua, kanan dan kiri.

Seraya melangkah terseok-seok dari mulut-

nya terdengar suara nyanyian yang tak bisa di-

mengerti. Dan sesekali nyanyiannya diseling den-

gan siulan dan tepuk tangan.

Mungkin karena panas, tiba-tiba tangan si 

perempuan bergerak menyelinap ke balik pakaian-

nya. Sejenak kepalanya bergerak berputar ke sana 

kemari. Sepasang matanya menyapu berkeliling. 

Lalu dengan senandung kecil tangan kanannya di-

tarik dari batik pakaiannya. Di tangannya kini ter-

lihat sebuah kipas lipat. Setelah melirik kian ke-

mari, dia pentangkan kipasnya, lalu seraya ber-

sandar pada sebuah batu dia mulai gerakkan tan-

gannya pulang balik di depan wajah berkipas-

kipas. Sepasang matanya terpejam membuka seo-

lah menikmati semilirnya angin yang keluar dari 

gerakan kipasnya.

"Sungguh malang nasib orang sepertiku...." 

Tiba-tiba dari mulut si perempuan terdengar uca-

pan. "Panas-panas begini harus tertatih-tatih sen-

diri, tanpa teman tanpa kawan. Tujuan pun hanya 

menuruti ke mana kaki ingin mengajak. Apakah 

nasib seperti ini masih akan kualami selamanya? 

Hik... hik... hik.... Tapi, siapa tahu nanti ada orang 

yang mengajakku. Aku mau ikut saja asal tidak di

jadikan sebagai.... Huk... huk... huk...!" Tiba-tiba si 

perempuan ini takupkan tangan kirinya ke wajah. 

Bahunya berguncang-guncang seakan hendak 

mengatasi tangisnya. "Huk... huk... huk.... ini se-

mua gara-gara manusia yang namanya laki-laki! 

Seenaknya begitu saja meninggalkan perempuan 

jika sudah merasakan apa yang diinginkan! Seka-

rang harus ke mana aku mencarinya? Dan kalau 

tidak ketemu, siapa kelak yang akan bertanggung 

jawab atas perbuatannya? Huk... huk... huk...! Ka-

lau sampai ketemu, dan dia tak mau bertanggung 

jawab, akan kulumat polos tubuhnya! Dia telah 

memberiku malu besar. Busyet! Aku sampai salah 

omong! Hik... hik... hukkk...!"

Tiba-tiba si perempuan ini putuskan tan-

gisnya. Tangannya yang menutupi wajah diluruh-

kan. Sejenak sepasang matanya melirik kian ke-

mari. Dan secepat kilat tangan kanannya yang 

memegang kipas diselinapkan kembali ke balik 

pakaiannya. Lalu kedua tangannya menutupi wa-

jahnya. Dan tak lama kemudian terdengar lagi su-

ara serta sesenggukkannya.

Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan 

berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri sepuluh 

langkah di hadapan si perempuan.

Sepasang matanya segera memperhatikan 

dengan tatapan liar dari ujung rambut sampai 

ujung pakaian si perempuan yang berserakan di 

atas tanah. Dahinya mengernyit, sementara ra-

hangnya yang kokoh terangkat sedikit.

Sementara itu, si perempuan berpakaian 

gombrong segera keluarkan seruan terkejut. Sepasang matanya mengerjap. Wajah si perempuan ti-

ba-tiba berubah. Sepasang matanya dibeliakkan 

besar-besar. Mulutnya komat-kamit menggumam 

tak jelas. Dan perlahan-lahan pula dia bangkit. 

Kakinya serentak mundur ke belakang. Namun 

mungkin dia lupa kalau di belakangnya ada batu, 

hingga tubuhnya melabrak batu itu. Sejenak tu-

buhnya limbung ke samping. Namun sebentar ke-

mudian bergerak kembali ke atas.

Tiba-tiba tangan si perempuan sebelah ka-

nan bergerak mengangkat dan menunjuk pada 

orang di hadapannya.

"Kau! Laki-laki seperti kau yang membuat 

orang menderita begini rupa! Laki-laki seperti kau 

yang menebar kesengsaraan di mana-mana! Laki-

laki memang sudah selayaknya dimusnahkan dari 

muka bumi agar tidak membuat malapetaka! Ti-

dak menebar bibit yang tidak berguna! Huk... 

huk... huk...! Laki-laki seperti kau harus...."

"Jahanam! Diam!" teriak orang yang di ha-

dapan si perempuan dengan rahang mengembung 

besar dan mata merah. Dia adalah seorang pemu-

da berparas tampan namun keras. Rambutnya 

panjang lebat dan dibiarkan bergerak di bahunya. 

Sepasang matanya tajam berkilat. Rahangnya ko-

koh membatu. Sementara perawakannya tinggi te-

gap dengan jubah toga warna merah menyala! Di 

telinga kirinya tampak anting-anting dari tambang.

Namun seperti tak mengindahkan bentakan 

orang yang sedang marah, si perempuan terus ber-

kata-kata.

"Laki-laki! Marah-marah hanya untuk me

nutupi perbuatannya. Hik... hik... hik.... Kelicikan 

apa lagi yang hendak kau perlihatkan? Tapi... se-

mua ini juga kesalahan si perempuan. Kenapa ma-

sih percaya pada mulut laki-laki! Hik... hik... hik...! 

Kau...," si perempuan tidak melanjutkan kata-

katanya karena bersamaan dengan itu terdengar 

kembali bentakan disertai ancaman dari pemuda 

berjubah toga merah yang bukan lain adalah Ma-

laikat Berdarah Biru.

"Kalau kau tak bisa diam, kupatah-

patahkan tubuhmu!"

Mungkin merasa takut akan ancaman 

orang, si perempuan terdiam. Namun, sesaat ke-

mudian dari mulutnya terdengar gumaman tak je-

las. Sedangkan sepasang mata si perempuan 

memperhatikan pemuda di hadapannya lekat-lekat 

tanpa berkedip! Dari ujung kaki sampai ujung 

rambut.

Tiba-tiba si perempuan tunjukkan lagi jari 

telunjuknya pada sang pemuda. "Kau!" katanya 

dengan suara keserak-serakan. "Pasti sedang da-

lam perjalanan mencari sesorang!"

"Perempuan edan!" hardik Malaikat Berda-

rah Biru dengan mata melotot angker. "Tahu apa 

kau tentang orang. He...?!"

Si perempuan tengadahkan kepalanya 

sedikit. Kedua tangan dirangkapkan sejajar dada. 

Sesaat kemudian dari mulutnya terdengar suara 

tawa mengekeh panjang. Lantas dia berkata.

'Kau! Berjalan dengan membawa dendam 

dan sakit hati! Mencari seseorang yang tak dapat 

ditentukan tempatnya, karena dia tak punya tempat tinggal. Hik... hik... hik...!"

Malaikat Berdarah Biru tersentak dan su-

rutkan langkah satu tindak ke belakang. Sepasang 

matanya makin melotot mengawasi. Diam-diam 

dalam hati ia berbisik. "Siapa perempuan edan itu? 

Dan seakan tahu apa yang tengah kujalankan!

Hmm.... Mungkin hanya omong kosongnya yang 

secara kebetulan sama dengan tujuanku!"

"Perempuan edan!" Malaikat Berdarah Biru 

kembali keluarkan hardikan keras. "Siapa kau se-

benarnya?!"

Si perempuan yang dibentak tidak menja-

wab. Dia terus tertawa cekikikan yang sesekali 

diseling dengan sesenggukan.

"Kau! Menginginkan benda milikmu yang 

hilang kembali lagi! Menginginkan namamu ber-

kumandang lagi! Hik... hik... hik...!"

Malaikat Berdarah Biru kernyitkan dahi. 

Sekali lagi diperhatikannya sosok perempuan yang 

tegak di hadapannya.

"Siapa perempuan ini sebenarnya? Dia juga 

tahu apa yang ada diotakku! Keparat! Aku harus 

mengetahui siapa dirinya!"

"Hai perempuan edan! Kalau kau tak mau 

sebutkan siapa dirimu, ancamanku masih berlaku!

Akan kupatah-patahkan tubuhmu! Cepat kata-

kan!" kertak Malaikat Berdarah Biru seraya maju 

dua langkah.

"Kau tanya namaku? Hik... hik... hik...! Apa 

kau tertarik dengan diriku? Tapi.... Ah, aku tak 

mau dengan dirimu! Kau suka mempermainkan 

perempuan dan suka...."

"Bangsat sialan!" maki Malaikat Berdarah 

Biru tak bisa lagi menguasai amarahnya. "Kau ter-

nyata lebih suka kupatah-patahkan tubuhmu da-

ripada mengatakan siapa dirimu!"

Habis berteriak demikian, Malaikat Berda-

rah Biru melompat ke depan. Tangan kanannya 

bergerak melesat ke arah kepala si perempuan.

Bettt!

Si perempuan berteriak keras. Bersamaan 

dengan itu kepalanya disentakkan ke samping. 

Tubuhnya yang bungkuk ikut doyong ke samping 

hampir jatuh terjerembab. Namun dengan senta-

kan kembali kepalanya, tubuhnya lurus ke depan 

kembali.

"Kau! Laki-laki ternyata tidak hanya suka 

mempermainkan perempuan, tapi juga bersikap 

kasar pada perempuan. Siapa kau sebenarnya?!"

Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-

jawab. Tampaknya pemuda ini masih tertegun ber-

campur curiga dan geram. Dia sama sekali tidak 

menduga jika kelebatan tangannya bisa dengan 

mudah dielakkan si perempuan, meski gerakan si 

perempuan terlihat tak disengaja karena merasa 

takut. Namun sebagai orang yang pernah malang 

melintang dan sempat menggegerkan rimba persi-

latan, Malaikat Berdarah Biru sadar jika perem-

puan di hadapannya menyimpan sesuatu, setidak-

tidaknya mempunyai sedikit ilmu.

"Kau tidak mau sebutkan siapa namamu, 

mungkin kau laki-laki yang mempunyai niat jelek! 

Kuingatkan padamu. Kalau kau punya niatan je-

lek, pulanglah ke rumahmu! Karena niat jelek kadang-kadang berakhir jelek pula!"

"Hmm.... Perempuan ini sudah terlewat pin-

tar menggurui orang! Aku ingin tahu sampai di 

mana kehebatannya!"

"Perempuan edan! Dengar. Aku tidak akan 

mengulangi lagi ucapanku. Kalau kau tak mau se-

butkan siapa dirimu, aku tidak main-main lagi! 

Kau dengar?!"

"Kalau itu maumu. Baiklah! Aku akan kata-

kan siapa namaku, namun dengan syarat!" ujar si 

perempuan dengan melangkah ke samping.

"Jahanam! Mau beritahu nama saja dengan 

syarat. Kau kira sedang berhadapan dengan siapa 

saat ini? Hah...? Lekas katakan!"

Si perempuan tertawa mengekeh. Namun 

sesekali sepasang mata liar memperhatikan segala 

gerak-gerik pemuda di hadapannya. Setelah puas 

mengekeh, tanpa menghadap, dia berkata.

"Aku akan sebutkan namaku, tapi setelah 

itu kau juga harus sebutkan siapa dirimu! Bagai-

mana setuju?!"

Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab ju-

ga tidak anggukkan kepala. Hanya sepasang ma-

tanya tak berkedip menatap tajam. Sementara 

tangan kiri kanannya mengepal.

"Hmm.... Orang-orang tua berkata. Diam 

berarti setuju! Menuruti kata-kata orang-orang 

tua, aku menganggapmu menyetujui tawaranku. 

Sekarang akan kukatakan siapa diriku! Hik... 

hik... hik...! Namaku Nyi Mentul!"

"Siapa? Ulangi lagi!" seru Malaikat Berdarah 

Biru dengan tertawa pendek. Ketegangan di wajahnya sejenak mengendur demi mendengar si pe-

rempuan sebutkan siapa namanya.

"Kau tuli apa pura-pura tak dengar? Nama-

ku Nyi Mentul! Kau siapa?!" Si perempuan yang 

menyebut namanya Nyi Mentul balik bertanya.

Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-

bahak hingga bahunya berguncang-guncang.

"Dengar Mentul-Mentul!" ujar Malaikat Ber-

darah Biru di sela tawanya.

"Hai! Namaku Nyi Mentul. Bukan Mentul-

Mentul!" sahut Nyi Mentul membetulkan ucapan 

Malaikat Berdarah Biru.

"Dengar, Nyi Mentul! Dan buka matamu le-

bar-lebar. Kau saat ini sedang berhadapan dengan 

Malaikat Berdarah Biru!" kata si pemuda dengan 

busungkan dadanya.

Nyi Mentul surutkan langkah satu tindak ke 

belakang.

"Tak salah...!" gumamnya dengan mata 

membeliak besar.

"Hai! Apa yang tak salah?!" teriak Malaikat 

Berdarah Biru dengan dahi mengernyit.

Nyi Mentul gelengkan kepalanya. Dalam ha-

ti perempuan ini memaki dirinya sendiri. "Busyet. 

Hampir saja aku keceplosan omong! Aku harus ha-

ti-hati, pendengarannya amat tajam!"

"Hmm.... Perempuan ini lagaknya mencuri-

gakan. Jangan-jangan dia hanya mempermainkan 

aku! Tapi.... Apa perlunya melayani perempuan 

edan begini? Tapi ucapan-ucapannya tadi seakan-

akan dia telah mengetahui siapa diriku! Lebih-

lebih telah tahu apa yang hendak kulakukan!

Hmm.... Aku penasaran. Akan kupaksa dia untuk 

mengatakan siapa sesungguhnya dirinya! Aku mu-

lai yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu!"

Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru lan-

tas maju dua langkah, lalu keluarkan bentakan 

garang.

"Kau menutupi wajah dengan bedak tebal. 

Jangan-jangan aku mengenalmu. Coba kau ber-

sihkan mukamu!"

"Ah.... Bagaimana ini? Jangan-jangan dia 

memang masih mengenaliku? Atau aku harus se-

gera menyingkir saja daripada...," Nyi Mentul

membatin. Dia undurkan kaki dua tindak. Ma-

tanya melirik jelalatan memandang ke samping 

kanan dan kiri.

"Hmm.... Melihat tingkahmu, aku curiga 

kau mempermainkan diriku! Kalau tidak kenapa 

matamu jelalatan? He...?!"

Nyi Mentul tidak menyahut. Malah dia ber-

paling ke samping kanan dan kiri, lalu tengadah 

dengan mulut bergerak-gerak.

"Kau betul-betul membuatku habis kesaba-

ran. Kau akan menerima imbalannya!" hardik Ma-

laikat Berdarah Biru. Kedua tangannya disentak-

kan ke depan.

Wuuuttt!

Serangkum angin kencang melesat cepat ke

arah Nyi Mentul.

Di depan sana, Nyi Mentul berteriak tegang.

Dia segera putar tubuhnya lalu hendak menyingkir 

dengan melompat. Namun rangkuman angin yang 

datang lebih cepat. Hingga meski tubuhnya tidak

terhajar telak pukulan Malaikat Berdarah Biru 

namun tubuh bagian bawahnya tersambar, mem-

buat Nyi Mentul terhuyung-huyung lalu roboh ber-

gedebukan di atas tanah! Anehnya, dari mulutnya 

tidak terdengar suara erang kesakitan. Sebaliknya 

yang terdengar adalah suara tawa cekikikannya.

"Kau! Kenapa tega-teganya hendak membu-

nuhku?! Apa salahku?!"

"Heran. Kalau dia tak punya ilmu, tentu su-

dah mengaduh-aduh kesakitan! Hmm...," Malaikat 

Berdarah Biru membatin. Lalu mengangguk bebe-

rapa kali. Tiba-tiba saja kedua tangannya dihan-

tamkan sekali lagi ke arah Nyi Mentul. Kali ini Ma-

laikat Berdarah Biru tambah tenaga dalamnya, 

hingga saat itu juga selain gelombang dahsyat me-

lesat keluar dari tangannya, udara di tempat itu 

juga makin panas menyengat!

Melihat serangan, Nyi Mentul berseru terta-

han. Sosoknya yang masih duduk di atas tanah 

mengkerut dengan kedua tangan menutup wajah. 

Namun begitu setengah depa lagi hantaman tan-

gan kosong mengandung tenaga dalam Malaikat 

Berdarah Biru melabrak tubuhnya, dia berteriak 

nyaring. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat 

dan menyusup menyusur tanah!

Hantaman Malaikat Berdarah Biru terus 

melesat dan membentur batu yang tadi dibuat ber-

sandar Nyi Mentul. Batu itu langsung pecah be-

rantakan dan pecahannya berhamburan ke udara 

menjadi kerikil kecil-kecil!

"Jangkrik! Dia benar-benar hendak mence-

lakaiku! Aku harus segera menyingkir dahulu!"

gumam Nyi Mentul. Dia segera bangkit. Namun 

sebelum tubuhnya benar-benar berdiri tegak, Ma-

laikat Berdarah Biru telah berkelebat dan tahu-

tahu telah berada dua langkah di depannya.

"Mau lari ke mana kau, he...?! Dengar Nyi 

Mentul! Buruan Malaikat Berdarah Biru tidak 

akan pernah lolos! Ha ha ha...!"

Sambil tertawa, kedua tangannya bergerak 

menyergap dari samping kanan kiri kepala Nyi 

Mentul.

Sebagai seorang pemuda yang pernah me-

nyentak rimba persilatan, Malaikat Berdarah Biru

berlaku cerdik. Dia sengaja hantamkan tangan kiri 

kanan sekaligus dari dua arah wajah Nyi Mentul. 

Dengan demikian kalau Nyi Mentul tak bisa me-

nangkis, tentu bedak tebal di wajahnya akan ber-

guguran. Dengan demikian setidak-tidaknya Ma-

laikat Berdarah Biru bisa mengenali Nyi Mentul.

Karena mungkin tidak ada kesempatan lagi 

untuk menghindar, maka satu-satunya jalan bagi 

Nyi Mentul untuk selamatkan wajahnya adalah 

dengan menangkis menggunakan kedua tangan-

nya.

Praakkk!

Terdengar benturan keras tatkala dua pa-

sang tangan bentrok di udara. Malaikat Berdarah 

Biru cepat melompat mundur dengan wajah beru-

bah. Matanya berkilat. Memandang tajam ke arah 

Nyi Mentul yang meringis kesakitan seraya kibas-

kibaskan kedua tangannya.

"Hmm.... Dugaanku tidak meleset, perem-

puan ini benar-benar berilmu. Tapi.... Tampaknya

dia bukan...," Malaikat Berdarah Biru gelengkan 

kepalanya.

Mungkin merasa dipandangi orang, Nyi 

Mentul segera berpaling sedikit dengan dada ber-

debar keras, khawatir jika sang pemuda mengena-

linya namun ketika matanya melirik, dan melihat 

Malaikat Berdarah Biru gelengkan kepala, Nyi 

Mentul menarik napas lega.

"Hmm.... Nyatanya kita belum pernah kenal 

sebelumnya bukan?! Bagaimana sekarang?! Ah, 

melihat pandangan matamu jangan-jangan kau 

tertarik padaku. Tapi.... Sayang, aku sudah kapok 

berhubungan dengan laki-laki. Aku muak melihat 

laki-laki! Daripada aku nanti muntah melihat tam-

pang laki-laki, lebih baik aku pergi saja, mencari 

manusia laki-laki yang harus mempertanggungja-

wabkan perbuatannya padaku! Hik... huk... huk...! 

Aneh ya, mau muntah lihat laki-laki tapi aku ha-

rus pergi mencari laki-laki! Dunia.... Oh, dunia.... 

Hik... hik... hik...!"

"Hmm.... Dari bentrok tadi, aku makin ya-

kin jika manusia ini menyembunyikan sesuatu! 

Suaranya seperti disarukan. Lalu meski tangannya 

tak kelihatan namun aku merasakan jika tangan-

nya amat keras. Aku nyata-nyata dibuat mainan 

oleh manusia ini! Akan kutelanjangi dia! Aku men-

duga jika dia bukan seorang perempuan!" Setelah 

berkata begitu dalam hati, Malaikat Berdarah Biru 

cepat melompat menghadang di depan Nyi Mentul 

yang sudah mulai beranjak hendak meninggalkan 

tempat itu.

"Sudah kukatakan aku muak melihat tam

pang laki-laki! Cari saja perempuan lain!" seru Nyi 

Mentul begitu mengetahui Malaikat Berdarah Biru 

menghadang di depannya.

"Perempuan jelek! Siapa tertarik denganmu. 

Aku hanya ingin menelanjangimu! Ha ha ha...!"

Mendengar ucapan Malaikat Berdarah Biru, 

kedua kaki Nyi Mentul tersurut dua langkah kare-

na kaget. Air mukanya berubah seketika. Sepa-

sang matanya membeliak dengan mulut kemak-

kemik.

"Gawat! Kalau dia mengetahuinya.... Tapi 

kalau terpaksa apa mau dikata...," bisik Nyi 

Mentul dalam hati. Lalu dia menyembunyikan rasa 

terkejutnya dengan tertawa mengekeh.

"Kau tak tertarik dengan diriku, tapi ingin 

melihat tubuhku dengan cara menelanjangiku. 

Hik... hik... hik...! Apa itu namanya? Dasar laki-

laki! Mirip kucing. Ikan asin busuk pun disantap-

nya juga! Kalau kau benar-benar ingin melihat 

mulusnya tubuhku, aku tak keberatan...."

Habis berkata begitu, Nyi Mentul balikkan 

tubuh. Kedua tangannya ditarik ke belakang hen-

dak menyingkap pakaian gombrongannya yang 

menjulai ke tanah. Namun sepasang mata Nyi 

Mentul yang kini membelakangi Malaikat Berdarah 

Biru jelalatan kian kemari dan siap hendak berge-

rak berkelebat pergi.

Sementara itu di belakang Nyi Mentul, Ma-

laikat Berdarah Biru tegak menunggu dengan ma-

ta sedikit menyipit. Malah begitu kedua tangan Nyi 

Mentul mulai perlahan-lahan bergerak menying-

kap pakaian gombrangnya, pemuda ini palingkan

wajah.

Nyi Mentul menarik napas panjang dan da-

lam-dalam. Kedua tangannya mulai menyingkap 

pakaiannya, namun secara diam-diam dia kerah-

kan ilmu peringan tubuhnya dan siap hendak ber-

kelebat.

Namun sebelum Nyi Mentul berkelebat, dan 

saat Malaikat Berdarah Biru palingkan wajah, ter-

dengar suara orang tertawa bergelak-gelak.

Nyi Mentul urungkan niat untuk berkelebat 

dan kedua tangannya ditarik lagi ke depan, lalu 

berpaling ke arah datangnya suara tawa. Di bela-

kangnya, Malaikat Berdarah Biru cepat pula meno-

leh dengan keluarkan dengusan keras.


LIMA



NYI Mentul langsung undurkan kaki ke be-

lakang. Sepasang matanya membelalak, lalu me-

nyipit. Namun sesaat kemudian, entah untuk me-

nutupi rasa kagetnya perempuan berpakaian gom-

brong ini palingkan wajah memandang jurusan 

lain sambil tertawa panjang.

Di depannya, Malaikat Berdarah Biru tam-

pak tenang-tenang saja. Memandang tajam pada 

orang yang keluarkan tawa dengan seringai. Lalu 

palingkan muka dan meludah ke tanah!

Orang yang tadi keluarkan tawa dan kini 

tampak telah berdiri sepuluh langkah ke samping 

kanan Nyi Mentul mendongak ke langit. Lalu dari 

mulutnya kembali terdengar gelakan tawanya.

"Aneh. Masih ada saja laki-laki muda yang 

memaksa orang perempuan gila untuk buka-buka 

baju! Ha ha ha...!" ujar orang yang baru datang 

diselingi gelak tawanya.

Malaikat Berdarah Biru pelototkan sepa-

sang matanya. Dadanya bergetar. Rahangnya te-

rangkat.

"Keparat busuk! Siapa kau?! Dan apa hu-

bunganmu dengan perempuan itu?!" Malaikat Ber-

darah Biru keluarkan bentakan keras. 

"Betul! Apa hubunganmu denganku?!" Nyi 

Mentul ikut-ikutan tanya, membuat Malaikat Ber-

darah Biru berpaling padanya sambil pelototkan 

mata. Namun mungkin saja karena dia tersing-

gung dengan ucapan orang yang baru datang, dia 

tidak begitu menghiraukan ucapan Nyi Mentul. 

Sebaliknya dia menoleh lagi ke arah orang yang 

baru datang dengan rahang menggegat rapat hing-

ga mengeluarkan suara gemeretakan.

Orang yang ditanya tidak segera buka mu-

lut untuk menjawab. Dia tetap mendongak me-

mandang langit meski saat itu sinar matahari ber-

sinar sangat terik. Dia adalah seorang pemuda 

berbadan tinggi tegap. Rambutnya panjang dengan 

pandangan tajam. Dagunya kokoh dengan dada 

bidang. Mengenakan jubah besar berwarna hitam 

belang merah.

"Ah, kau rada-rada tuli ya? Ditanya orang 

tidak segera kasih jawaban. Apa kau tidak tahu, 

siapa adanya pemuda yang menanyaimu, he...?!" 

Nyi Mentul kembali berujar.

Mungkin merasa dapat sanjungan, Malaikat

Berdarah Biru busungkan dada dengan tertawa 

pendek bernada mengejek.

"Peduli setan siapa dia! Yang kutahu dia 

adalah laki-laki yang suka melihat tubuh perem-

puan tak waras seperti kau!" Pemuda berjubah hi-

tam merah berkata sambil melirik pada Malaikat 

Berdarah Biru.

"Betul! Betul katamu! Memang dia laki-laki 

begitu!" timpal Nyi Mentul lalu tertawa mengekeh. 

Sepasang matanya terpejam-pejam. Namun tak 

henti-hentinya melirik satu persatu pada pemuda 

di samping dan di hadapannya.

"Jahanam! Perempuan sundal, diam kau!" 

bentak Malaikat Berdarah Biru membuat Nyi Men-

tul putuskan tawanya dan tergagu sejenak.

"Ah, nasibku benar-benar malang. Di sini 

dibentak di sana dikatakan perempuan tak waras! 

Daripada hati ini tambah sakit, lebih baik...."

"Jangan kau berani bergerak dari 

tempatmu!" hardik Malaikat Berdarah Biru ketika 

mengetahui Nyi Mentul hendak meninggalkan 

tempat itu.

Nyi Mentul urungkan niat untuk beranjak. 

Tangan kanannya mengusap-usap pipinya lalu ge-

leng-geleng kepala.

"Kau tak segera jawab tanyaku, berarti kau 

cari urusan! Dan itu berarti maut bagimu!" kata 

Malaikat Berdarah Biru dengan kacak pinggang 

dan senyum seringai buas.

"Aduh biyung.... Masalah sepele begini saja 

mengapa sampai bilang maut-maut segala? Apa-

kah kau teman si maut itu?!" Nyi Mentul menyahut.

"Mentul! Sekali lagi kau keluarkan ucapan, 

kupecahkan batok kepalamu!" Malaikat Berdarah 

Biru menghardik tanpa memandang.

"Mentul! Apanya yang mentul-mentul? Ha... 

ha... ha...!" Pemuda berjubah hitam berbelang me-

rah menimpali seraya bergelak. "Apa kau rasanya 

memang mentul-mentul?"

"Hai! Kau menghina aku ya? Aku tahu. Kau 

menghina perempuan karena hatimu pernah dis-

akiti seorang perempuan! Betulkah? Kau mungkin 

pernah mencintai seorang gadis namun cintamu 

ditolak mentah-mentah. Hik... hik... hik...! Kasi-

han.... Apa hatimu masih pedih?!" tanya Nyi 

Mentul seraya palingkan wajah.

Paras muka si pemuda berjubah hitam ber-

belang merah langsung berubah. Malah karena 

kagetnya, dia surutkan langkah satu tindak ke be-

lakang. Sepasang matanya mendelik memperhati-

kan Nyi Mentul.

"Sialan! Siapa perempuan sinting ini? Dia 

seakan tahu apa yang pernah kualami! Dan, 

hmm.... Pemuda ini melihat ciri-cirinya seperti.... 

Tapi, bukankah dia telah dikabarkan tewas di tan-

gan pendekar keparat itu?!" Si pemuda berjubah 

hitam merah membatin.

"Hik... hik... hik...! Tampangmu berubah 

dan kau terlihat tercenung bodoh. Berarti ucapan-

ku benar adanya! Betulkah? Betulkah?!" seru Nyi 

Mentul seraya melirik tajam.

"Perempuan sinting! Siapa kau sebenar-

nya?!" si pemuda membentak dengan suara keras.

Melihat perubahan pada wajah sang pemu-

da, diam-diam Malaikat Berdarah Biru membatin. 

"Hmm.... Rupanya apa yang dikatakan si Mentul

benar adanya! Heran. Siapa sebenarnya perem-

puan ini. Dia seakan tahu semua urusan orang!"

Sementara itu mendapat bentakan keras 

dari si pemuda serta melihat perubahan dan ke-

terkejutannya, Nyi Mentul terdiam sejenak seakan 

berpikir keras.

"Hmm.... Memang dia! Aku harus lebih hati-

hati lagi. Sekarang banyak orang-orang muncul la-

gi! Urusan akan bertambah panjang, satu belum 

selesai, dua sudah muncul lagi! Hmm.... aku harus 

mengadu keduanya, lalu...," Nyi Mentul mengang-

guk-anggukkan kepalanya, lalu berkata.

"Hai! Kau telah sebut beberapa kali nama-

ku. Kenapa masih bertanya lagi?!"

"Kau jangan coba-coba mengalihkan uru-

san! Lekas jawab tanyaku!" Kali ini yang keluarkan 

bentakan adalah Malaikat Berdarah Biru.

Mungkin berpikir agar urusan dengan Ma-

laikat Berdarah Biru cepat selesai, lalu mengorek 

perempuan yang bernama Nyi Mentul, si pemuda 

berjubah hitam merah menjawab.

"Aku Gembong Raja Muda! Kau sendiri sia-

pa?!"

Mungkin karena selama ini tidak lagi turun 

ke arena rimba persilatan membuat Malaikat Ber-

darah Biru tak tahu siapa adanya manusia yang 

bergelar Gembong Raja Muda, hingga tatkala si 

pemuda menyebut siapa dirinya, Malaikat Berda-

rah Biru tak menunjukkan paras terperanjat. Sebaliknya dia tersenyum dingin bahkan tidak me-

mandang!

Di pihak lain, Nyi Mentul terlihat angguk-

kan kepalanya perlahan. Lalu keluarkan batuk-

batuk kecil beberapa kali.

Karena ditunggu agak lama Malaikat Berda-

rah Biru belum juga balik mengatakan siapa di-

rinya, Gembong Raja Muda, tokoh muda bekas 

murid Ageng Panangkaran yang lantas berguru 

pada Bawuk Raga Ginting dan mempunyai den-

dam kesumat dengan Pendekar Mata Keranjang 

108 karena gadis yang dicintainya menyukai Pen-

dekar murid Wong Agung, membentak lantang. 

(Tentang Gembong Raja Muda, silakan baca serial 

Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode: 

"Gembong Raja Muda').

"Kalau kau tak mau sebutkan siapa dirimu 

tak apa-apa! Tapi cepat kau tinggalkan tempat ini!"

Kedua tangan Malaikat Berdarah Biru tiba-

tiba mengembang keluarkan suara gemeretakan. 

Sepasang matanya merah berkilat-kilat. Rahang-

nya mengembung besar, pertanda hawa kemara-

han telah menguasai dirinya.

"Gembong! Dengarkan baik-baik. Kau saat 

ini sedang berhadapan dengan Malaikat Berdarah 

Biru!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan suara 

setengah berteriak.

Gembong Raja Muda sejenak coba mengua-

sai keterkejutannya. Dia menahan gerak kakinya 

yang hendak tersurut ke belakang. Namun demi-

kian dadanya tidak dapat menahan debarannya 

yang keras hingga saat itu juga tubuhnya sedikit

terguncang. Dia seakan hampir tak percaya den-

gan apa yang baru saja didengarnya.

"Hmm.... Jadi kabar tentang kematiannya 

selama ini hanya bohong belaka. Nyatanya manu-

sianya masih hidup! Aku akan waspada, menurut 

apa yang pernah kudengar, manusia ini kejam dan 

licik serta berilmu tinggi!" Gembong Raja Muda 

berkata dalam hati. Lalu sambil mendengus keras 

dia berkata.

"Aku gembira dapat bertemu dengan tokoh 

muda yang bernama besar! Dan sungguh tak dis-

angka, ternyata manusianya masih hidup!"

Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-

bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda. 

Seraya usap-usap dadanya dia berujar datar.

"Malaikat Berdarah Biru tak akan ditakdir-

kan tewas sebelum menguasai rimba persilatan! 

Malaikat Berdarah Biru tak akan berkalang tanah 

sebelum segala cita-citanya terlaksana! Kau den-

gar?!"

"Sombong benar manusia ini! Aku hanya 

dengar tentang kehebatan ilmunya dari mulut 

orang. Aku ingin tahu, sampai di mana kebenaran 

ucapan orang-orang itu!"

Gembong Raja Muda ikut-ikutan usap-usap 

dadanya. Mulutnya membuka hendak berkata, 

namun sebelum suaranya terdengar, Nyi Mentul

telah menyela.

"Hai! Kau bilang punya cita-cita. Boleh aku 

tahu apa cita-citamu?!"

Entah karena ingin menunjukkan pada 

orang, atau karena termakan kata-kata Nyi Mentul, Malaikat Berdarah Biru langsung menjawab.

"Malaikat Berdarah Biru akan menjadi raja 

di raja dunia persilatan. Akan menumbangkan 

siapa saja yang menghalangi langkahnya! "

"Kau!" ujar Nyi Mentul dengan hadapkan 

wajahnya pada Gembong Raja Muda. "Apakah juga 

punya cita-cita demikian?! Ingin menjadi raja rim-

ba persilatan seperti dia?!" Nyai Mentul arahkan 

wajahnya pada Malaikat Berdarah Biru.

"Lidah tidak bertulang. Siapa saja bisa 

ngomong ingin menguasai rimba persilatan. Na-

mun kalau hanya omong tanpa tunjukkan il-

munya, mana orang bisa percaya?!"

"Betul! Mana orang percaya kalau hanya di 

mulut saja. Jangan-jangan besar di mulut tapi ke-

cil di bawah perut! Astaga. Aku jadi salah ucap! 

Yang kumaksud...."

Nyi Mentul yang memanas-manasi Malaikat 

Berdarah Biru tak selesaikan ucapannya karena 

saat itu juga Malaikat Berdarah Biru telah menyela 

dengan hardikan keras.

"Akan kutunjukkan padamu bagaimana 

Malaikat Berdarah Biru kelak akan menumbang-

kan orang yang menghadang langkahnya!"

Belum selesai dengan ucapannya, tangan 

Malaikat Berdarah Biru telah bergerak menghan-

tam ke arah Gembong Raja Muda lepaskan puku-

lan tangan kosong jarak jauh bertenaga dalam. 

Wuuttt!

Serangkum angin dahsyat menggebrak den-

gan keluarkan suara menggemuruh laksana gelombang prahara.

Di depan sana, Gembong Raja Muda tam-

pak tenang. Pemuda ini telah dengar tentang Ma-

laikat Berdarah Biru, hingga dia tak berani gega-

bah. Maka begitu melihat Malaikat Berdarah Biru 

telah lepaskan pukulan, pemuda ini segera kerah-

kan tenaga dalam, lalu kedua tangannya disentak-

kan ke depan.

Wuuttt!

Gelombang angin bak hempasan ombak me-

lesat keluar dari tangan Gembong Raja Muda.

Blaaarrr!

Terdengar dentuman keras ketika dua pu-

kulan yang telah sama-sama dialiri tenaga dalam 

itu bertemu di udara. Tempat itu bergetar laksana 

dilanda gempa.

Tubuh Malaikat Berdarah Biru terlihat su-

rut satu langkah ke belakang. Wajahnya sedikit 

berubah dengan rahang makin mengembung. Pe-

muda bekas murid Bidadari Telapak Setan dan 

Bayangan Iblis ini maklum jika pemuda bergelar 

Gembong Raja Muda tidak bisa dianggap enteng, 

karena bersamaan dengan bentroknya pukulan, 

tangannya terasa kesemutan, dadanya sedikit se-

sak dan bergetar. Di lain pihak, Gembong Raja 

Muda mundur sampai dua langkah. Paras mu-

kanya pucat. Sepasang matanya membeliak. Pe-

muda ini mulai yakin jika kabar yang didengarnya 

selama ini benar adanya, jika Malaikat Berdarah 

Biru adalah manusia berkepandaian tinggi. Karena 

ketika terjadi bentrok tenaga dalam melalui puku-

lan tangan kosong tadi, kedua tangannya kontan 

terasa ngilu bukan main. Aliran darahnya terasa

seakan terhenti.

Sementara itu, begitu melihat kedua pemu-

da sudah saling keluarkan pukulan masing-

masing, Nyi Mentul menyingkir agak jauh seraya 

berteriak seakan ngeri.

"Hmm.... Jahanam ini rupanya punya bekal

juga! Ini saatnya bagiku mencoba ilmu yang baru 

saja kuperoleh!" gumam Malaikat Berdarah Biru 

dengan perlihatkan seringai garang, lalu berkata 

dengan pandangannya ke arah jurusan lain.

"Gembong Raja Muda! Kau menggelari diri 

dengan sebutan Gembong. Tentunya kau seorang 

pentolan! Coba tunjukkan padaku kehebatan yang 

kau miliki! Aku curiga jangan-jangan kau hanya 

gembongnya kecoa-kecoa tak berguna!"

"Aku setuju! Aku juga khawatir. Siapa tahu 

namanya itu hanya mengada-ada! Memakai nama 

seseorang yang memang pernah kesohor!" Nyi 

Mentul ikut-ikutan angkat bicara, membuat dada 

Gembong Raja Muda panas terbakar.

Didahului bentakan keras kontan saja 

Gembong Raja Muda sentakkan kedua tangannya. 

Kali ini dengan pengerahan tenaga hampir selu-

ruhnya. Hingga kejap itu juga dari kedua tangan-

nya menyambar keluar gelombang angin dahsyat 

keluarkan suara yang memekakkan gendang telin-

ga!

"Makan pukulanku ini!" teriak Gembong Ra-

ja Muda begitu mengetahui pukulannya menyam-

bar dan Malaikat Berdarah Biru tidak membuat 

gerakan untuk menangkis atau menghindar.

Di sebelah samping, Nyi Mentul tampak

membeliakkan sepasang matanya begitu mendapa-

ti Malaikat Berdarah Biru diam tak bergerak, pa-

dahal pukulan lawan telah menyergapnya!

"Gila! Apa dia memang ingin putus nya-

wanya?!" gumamnya seraya memperhatikan den-

gan dahi berkerut dan tarik-tarik kedua kuncir 

rambutnya.

Tiba-tiba Gembong Raja Muda keluarkan 

tawa panjang dan Nyi Mentul keluarkan seruan 

nyaring tatkala Malaikat Berdarah Biru benar-

benar tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan juga 

tidak membuat gerakan untuk menangkis! Hingga 

tanpa ampun lagi pukulan bertenaga dalam tinggi 

yang dilepas Gembong Raja Muda menghajar tu-

buhnya dengan telak!

Terdengar seruan pelan dari mulut Malaikat 

Berdarah Biru tatkala pukulan itu menghajarnya. 

Tubuhnya mencelat mental hingga beberapa tom-

bak ke belakang, lalu menghempas jatuh di atas 

tanah!

Gembong Raja Muda makin keras tertawa, 

sementara Nyi Mentul hanya bisa geleng-geleng 

kepala tak habis pikir.

Selagi kedua orang ini dilanda perasaan 

masing-masing, di seberang sana tiba-tiba tubuh 

Malaikat Berdarah Biru bergerak-gerak. Untuk se-

jurus pemuda ini meneliti tubuhnya. Merasa tidak 

ada yang cidera, bibirnya sunggingkan senyum. 

"Hmm.... Aku benar-benar kebal pukulan!" bisik-

nya pelan. Lalu dengan tengadahkan kepala dia 

bergerak bangkit! Membuat Gembong Raja Muda 

dan Nyi Mentul sama beliakkan mata masing

masing. Malah seolah tak percaya dengan pengli-

hatan matanya, Gembong Raja Muda usap-usap 

matanya. Sementara Nyi Mentul keluarkan guma-

man yang tak jelas, namun paras mukanya jelas 

tak bisa sembunyikan rasa kagetnya!

"Edan! Benar-benar edan! Bagaimana 

mungkin mendapat pukulan yang pasti bertenaga 

dalam kuat begitu masih bisa bangkit dan tidak 

cidera sama sekali? Ini harus segera dicari penye-

babnya. Jika terlambat, rimba persilatan akan 

guncang lagi! Belum lagi dengan munculnya ma-

nusia gila yang menyebut dirinya Dewa Maut! 

Hm.... Rimba persilatan benar-benar diambang 

bencana malapetaka...." Diam-diam Nyi Mentul

berkata sendiri sambil terus mengawasi Malaikat 

Berdarah Biru yang kini telah tegak berdiri kacak 

pinggang tanpa memandang Gembong Raja Muda.

Di seberang, Gembong Raja Muda meski di-

am-diam keringat dingin mulai membasahi leher 

dan tengkuknya, namun dia tidak begitu saja 

mundur.

"Dia tak mempan dengan pukulanku, apa-

kah dia akan sanggup menahan jurus 'Sapu Bu-

mi'?!" batin Gembong Raja Muda lalu kerahkan te-

naga dalam pada kedua kakinya hendak lancarkan 

jurus 'Sapu Bumi' yang berhasil dipelajarinya dari 

Bawuk Raga Ginting.

"Gembong! Ternyata kau cuma gembongnya 

tikus! Tak pantas kau menggunakan nama Gem-

bong Raja Muda kalau hanya jadi gembongnya ti-

kus! Ha...ha... ha...!"

Tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru hentikan

tawanya. Kepalanya lurus dengan sepasang mata 

menyengat tajam ke arah Gembong Raja Muda. 

Bibirnya sunggingkan senyum sinis. Lalu meludah 

ke tanah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya 

bergerak mendorong ke depan.

Wuuuttt!

Sinar hitam melesat dengan keluarkan sua-

ra gemuruh keras. Suasana mendadak pekat dan 

panas dan tampak beberapa kilatan-kilatan mena-

kutkan!

"'Bayu Sukma'!" seru Nyi Mentul mengenali 

pukulan yang dilepaskan Malaikat Berdarah Biru. 

Namun sekejap kemudian, perempuan berdandan 

menor ini takupkan tangannya pada mulutnya. 

Dia lalu memaki sendiri.

"Sialan! Kenapa aku bisa keceplosan omong. 

Kalau dia mendengar maka akan celaka aku! 

Hm.... Sebaiknya aku...," Nyi Mentul tidak mene-

ruskan makiannya. Dia memandang berkeliling 

seakan menembusi kepekatan yang diakibatkan 

pukulan Malaikat Berdarah Biru.

Mendapati serangan ganas, Gembong Raja 

Muda sempat terkesiap. Namun pemuda ini segera 

bertindak cepat. Sebelum sinar hitam dan kilatan-

kilatan itu menghajar tubuhnya, dia berseru keras. 

Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga dalamnya 

kedua tangannya dihantamkan ke depan. Bersa-

maan dengan itu tubuhnya melesat ke samping 

untuk menghindar.

Terdengar gelegar dahsyat. Tempat itu ber-

getar keras. Tanah tersibak, dan sebagian ber-

hamburan ke udara menambah pekatnya pemandangan.

Tubuh Gembong Raja Muda yang meski te-

lah menghindar dengan segera meloncat ke samp-

ing tak luput dari sambaran pukulan Malaikat 

Berdarah Biru. Hingga meski tidak terhajar telak, 

namun tubuhnya melayang mental dan jatuh ber-

gedebukan di atas tanah dengan mulut keluarkan 

darah segar!

Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru tak 

bergeming dari tempatnya semula! Pemuda ini 

hanya sempat goyah sebentar, namun segera da-

pat menguasai diri lagi.

Begitu udara terang kembali dan tanah te-

lah sirap luruh, sepasang mata Malaikat Berdarah 

Biru segera menyorot tajam dengan dada bergetar 

keras. Bukan karena mendapati Gembong Raja 

Muda masih bisa bangkit meski dengan tertatih-

tatih. Namun karena dia mendengar seruan Nyi 

Mentul yang menyebut pukulan yang dilepaskan-

nya!

"Jahanam! Perempuan itu benar-benar te-

lah menipuku! Karena hanya dua orang yang men-

getahui pukulanku! Guruku dan Pendekar Mata 

Keranjang! Jangan-jangan perempuan itu ada-

lah...."

Malaikat Berdarah Biru berkelebat ke arah 

mana tadi Nyi Mentul berada, namun pemuda ini 

segera saling pukulkan kedua tangannya yang su-

dah mengepal tatkala dia tak menemukan lagi Nyi 

Mentul meski sepasang matanya telah menyapu ke 

berbagai sudut di tempat itu!

"Keparat!" umpat Malaikat Berdarah Biru

seraya bantingkan kakinya. Tanah di bawahnya 

langsung terbongkar dan bergetar keras. Kini per-

hatiannya tertumpah pada Gembong Raja Muda 

yang telah bangkit berdiri sambil usap-usap darah 

yang keluar dari mulutnya.

"Gembong Jahanam! Kalau tidak muncul 

kau, tentu aku sudah bisa menelanjangi dan 

membuka kedok perempuan sinting tadi!"

Gembong Raja Muda hanya memandang 

tanpa ucapkan sepatah kata pun. Pemuda ini ma-

sih alirkan hawa murni ke dada dan sebagian tu-

buhnya yang peredaran darahnya terasa panas 

dan laksana tersumbat.

"Gembong Keparat! Karena kau telah buat 

kesalahan, maka tiada imbalan yang kupinta se-

lain selembar nyawamu!"

Selesai berkata, Malaikat Berdarah Biru me-

ludah ke tanah. Lalu kedua tangannya diangkat 

tinggi-tinggi hendak lepaskan pukulan.

"Tunggu!" tiba-tiba terdengar seruan mena-

han.

Baik Gembong Raja Muda yang telah me-

rinding maupun Malaikat Berdarah Biru yang se-

gera ingin melepaskan pukulan segera palingkan 

wajah masing-masing ke samping kanan dan kiri.



ENAM


KEDUA pemuda ini sama-sama melihat seo-

rang perempuan tua berambut panjang hingga be-

tis dan sudah memutih. Pakaian yang dikenakan-

nya berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-

tam. Pada kedua tangannya tampak melingkar be-

berapa gelang berwarna kuning.

Untuk beberapa saat lamanya Gembong Ra-

ja Muda dan Malaikat Berdarah Biru sama men-

duga-duga dalam hati siapa adanya nenek ini. 

Namun kedua pemuda ini gagal untuk mengena-

linya. Hingga tak lama kemudian Malaikat Berda-

rah Biru keluarkan teguran dengan suara keras.

"Siapa kau? Jangan coba-coba menghalangi 

tindakanku! Atau tubuhmu akan kuhancurkan 

sekalian!"

Nenek yang dibentak keluarkan tawa men-

gekeh hingga bahunya berguncang keras mengaki-

batkan gelang-gelang di tangannya bergerak-gerak 

beradu sama lain keluarkan suara gemerincing. 

Setelah tawanya berhenti, si nenek berpaling pada 

satu persatu pemuda di sampingnya. Kepalanya 

lantas berhenti lurus menatap Malaikat Berdarah 

Biru.

"Anak muda! Soal siapa diriku nanti pasti 

akan kuberitahukan padamu! Yang kuharap seka-

rang kau dan pemuda itu harus sudahi urusan 

sampai di sini saja!"

Malaikat Berdarah Biru keluarkan dengu-

san keras. Sepasang matanya balas memandang

ke arah si nenek dengan tatapan menyelidik.

"Setan Alas! Kau akan ikut campur urusan-

ku! Katakan, apa sangkut pautmu dengannya! 

Muridmu? Atau kau adalah perempuan simpa-

nannya? Hah...?!"

Si nenek bukannya marah mendengar uca-

pan Malaikat Berdarah Biru, sebaliknya dia kem-

bali keluarkan tawa panjang. Di lain pihak, Gem-

bong Raja Muda terlihat marah besar. Mulutnya 

terkancing rapat dengan dada bergetar keras. Peli-

pisnya bergerak-gerak dengan kedua tangan men-

gepal. Namun pemuda ini belum buka mulut. Dia 

menunggu karena saat itu juga si nenek terdengar 

angkat bicara lagi.

"Anak muda! Aku tak ada sangkut-paut 

apa-apa dengan pemuda itu!"

"Hmm.... Begitu? Jika demikian, lekas ang-

kat kaki dari sini!" sergah Malaikat Berdarah Biru.

Si nenek gelengkan kepalanya perlahan. Si 

nenek yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-

tian sebenarnya sudah agak lama di sekitar tempat 

itu. Dia sengaja mendekam bersembunyi seraya 

mencuri dengar perdebatan antara Malaikat Ber-

darah Biru, Gembong Raja Muda, serta Nyi Men-

tul. Dia pun sebenarnya amat terkejut tatkala ke-

luar dari persembunyiannya tidak lagi melihat 

orang yang namanya Nyi Mentul. Namun karena 

menganggap dua pemuda di hadapannya kini lebih 

penting, maka kepergian Nyi Mentul tidak lagi 

menjadi perhatiannya lagi.

"Anak muda! Tanpa kau suruh aku pun 

nanti akan pergi! Namun satu hal yang harus kalian ketahui, jika kalian teruskan urusan ini maka 

bukan hanya kecewa yang akan kalian alami, na-

mun rencana kalian masing-masing juga akan 

mengalami kegagalan!"

"Keparat! Tahu apa kau tentang rencanaku? 

He...?!" hardik Malaikat Berdarah Biru meski da-

lam hati bertanya-tanya dari mana si nenek tahu 

tentang apa yang direncanakannya.

Untuk kesekian kalinya Iblis Gelang Kema-

tian hanya tertawa meski didengarnya ucapan Ma-

laikat Berdarah Biru tidak enak di telinga.

"Hmm.... Dua pemuda ini kalau dilihat dari 

ucapan-ucapannya sama-sama berwatak som-

bong. Namun melihat pukulan yang telah dilan-

carkan, mereka punya ilmu tidak sembarangan.... 

Aku akan menggiring mereka untuk bertemu di 

Lembah Supit Urang!"

Memikir sampai di situ, Iblis Gelang Kema-

tian lantas berujar datar.

"Malaikat Berdarah Biru dan kau Gembong 

Raja Muda. Dengar baik-baik! Menjadi raja rimba 

persilatan adalah dambaan semua orang yang me-

rasa dirinya punya ilmu. Tapi untuk menuju ke 

sana, tidak cukup jika hanya berbekal ilmu!"

Baik Malaikat Berdarah Biru dan Gembong 

Raja Muda sama terkesiap mendapati si nenek ta-

hu nama masing-masing. Dahi masing-masing 

pemuda ini sama mengernyit, membuat Iblis Ge-

lang Kematian tunjukkan senyum seolah berada di 

atas angin.

"Orang tua! Kau tak usah memberi nasihat! 

Dan katakan siapa kau sebenarnya!" ujar Malaikat

Berdarah Biru dengan memperhatikan si nenek 

dari ujung rambut sampai kaki.

"Aku tak memberi nasihat! Aku hanya 

memberi tahu. Karena langkah-langkah kalian 

nanti banyak yang akan menghadangnya! Belum 

lagi jika kalian punya dendam pada seseorang 

yang harus kalian tuntaskan. Apalagi jika dendam 

itu pada orang yang berada di haluan lain!"

Mungkin merasa ucapan si nenek ada 

sangkut-pautnya dengan yang akan mereka hada-

pi, kedua orang ini tak menyambuti kata-kata Iblis 

Gelang Kematian. Mereka seolah memberi kesem-

patan pada si nenek untuk meneruskan ucapan-

nya. Si nenek pun tampaknya menangkap hal itu. 

Hingga tak lama kemudian si nenek lanjutkan 

ucapannya.

"Sebelum kuteruskan kata-kataku, boleh 

aku tahu. apakah di antara kalian ada yang men-

gemban tugas balas dendam pada seseorang?!"

"Itu bukan urusanmu!" sahut Malaikat Ber-

darah Biru.

"Benar! Itu bukan urusanku. Tapi sebagai 

orang satu golongan, tak ada ruginya kalian mem-

beritahu. Siapa tahu aku bisa membantu. Setidak-

tidaknya memberitahu di mana orang itu berada!"

"Orang tua! Aku memang punya dendam 

pada seseorang. Tapi tak usah kamu ketahui siapa 

orangnya! Untuk membunuhnya aku tak perlu 

bantuan orang lain! Katakan saja apa maksudmu 

sebenarnya! Aku tak punya banyak waktu!" Yang 

keluarkan kata-kata adalah Gembong Raja Muda.

"Hmm.... Bagus! Untuk kau, Malaikat Ber

darah Biru tak usah memberitahu, semua orang 

sudah mengerti jika kau punya urusan besar den-

gan pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 

108!"

Malaikat Berdarah Biru sunggingkan se-

nyum dingin.

"Perlu kukatakan pada kalian. Pada malam 

purnama depan, tepatnya hari keempat belas, de-

lapan belas hari di muka akan ada pertemuan an-

tara tokoh-tokoh sealiran kita di Lembah Supit 

Urang. Kalau di antara kalian ada yang sempat 

kuharap kalian mau datang ke sana!"

"Untuk merajai rimba persilatan, aku tak 

butuh segala macam pertemuan! Pertemuan hanya 

menunjukkan bahwa orang itu takut melangkah 

sendiri!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan alih-

kan pandangannya pada jurusan lain.

"Kau salah. Pertemuan itu untuk menyusun 

siasat bagaimana menaklukkan orang-orang go-

longan putih terutama Pendekar 108 yang kini di 

kelilingi beberapa tokoh aneh yang ilmunya tak di-

ragukan lagi!"

Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja 

Muda sama-sama terkejut mendengar keterangan 

Iblis Gelang Kematian. Dan sebelum rasa kejut 

masing-masing orang ini lenyap, si nenek telah 

lanjutkan keterangannya.

"Aku tahu. Kalian mempunyai ilmu tinggi. 

Namun dengan munculnya beberapa tokoh yang 

secara tak langsung membantu Pendekar 108, ku-

rasa terlalu berat menghadapi mereka dengan 

mengandalkan tangan sendiri! Dan menyebut diri

raja rimba persilatan hanya omong kosong belaka 

jika tidak lebih dahulu menyingkirkan Pendekar 

108 dan para pembantunya!"

Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja 

Muda sama terdiam. Mereka sama larut dalam pe-

rasaan masing-masing.

"Nah, itulah yang perlu kusampaikan pada 

kalian. Dan harap kalian sudahi urusan ini! Kalian 

bisa teruskan nanti di Lembah Supit Urang. Di 

mata beberapa tokoh nanti, kalian bisa tunjukkan 

siapa di antara kalian yang lebih jago!"

Habis berkata demikian, iblis Gelang Kema-

tian putar tubuhnya hendak tinggalkan tempat itu. 

Namun langkahnya tertahan ketika Malaikat Ber-

darah Biru keluarkan seruan keras.

"Tunggu! Sebutkan dulu siapa kau!"

Iblis Gelang Kematian tertawa pelan. Tanpa 

balikkan tubuhnya lagi dia berkata.

"Orang-orang memanggilku Iblis Gelang 

Kematian!" sejenak dia putuskan ucapannya. Se-

saat kemudian menyambung.

"Masih ada yang ingin kalian tanyakan?!"

Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja 

Muda tak ada yang buka mulut.

"Baik. Aku masih harus menghubungi te-

man yang lain. Sampai bertemu lagi di Lembah 

Supit Urang!" selesai berkata, Iblis Gelang Kema-

tian berkelebat tinggalkan tempat itu.

Saat mendengar si nenek sebutkan siapa di-

rinya, Gembong Raja Muda terlihat surutkan lang-

kah ke belakang dengan mata makin membeliak 

tanda terkejut. Dia memang telah pernah dengar

tentang tokoh itu. Sementara Malaikat Berdarah 

Biru mungkin karena belum pernah mendengar, 

hanya tenang-tenang saja meski dia yakin bahwa 

si nenek adalah seorang tokoh, karena banyak 

mengetahui seluk-beluk rimba persilatan.

"Hmm.... Undangan ini rasanya pantas di-

hadiri. Di sana akan kutunjukkan siapa Malaikat 

Berdarah Biru! Dengan demikian, tokoh-tokoh go-

longan hitam akan berada di bawah kekuasaanku! 

Dan itu akan memperlicin jalanku menggenggam 

rimba persilatan."

Kalau Malaikat Berdarah Biru membatin 

demikian, lain halnya apa yang ada di benak Gem-

bong Raja Muda.

"Sebenarnya aku tak tertarik dengan un-

dangan ini. Tapi tak ada ruginya datang ke sana. 

Selain tahu tentang keberadaan Pendekar 108, 

aku juga bisa mengerti siapa sebenarnya lawan 

dan mana yang kawan."

"Gembong!" tiba-tiba Malaikat Berdarah Bi-

ru berkata. "Sebenarnya aku ingin menyelesaikan 

kau saat ini juga, namun melihat robohnya tu-

buhmu di hadapan beberapa orang mungkin lebih 

enak dipandang! Kalau kau laki-laki tulen kutung-

gu kau di Lembah Supit Urang!"

Tanpa menunggu jawaban Gembong Raja 

Muda, Malaikat Berdarah Biru segera berkelebat 

meninggalkan tempat itu.

"Jahanam! Kita buktikan nanti siapa yang 

akan roboh di sana!" teriak Gembong Raja Muda 

lantang karena Malaikat Berdarah Biru sudah 

tinggalkan tempat itu, lalu pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tanah itu langsung muncrat lak-

sana air dan berhamburan ke udara!


TUJUH


DARI lobang galian tanah sedalam satu 

tombak, Nyi Mentul mengkerut dengan melingkar-

kan tubuhnya. Tanah di bibir lobang berhamburan 

jatuh menguruk tubuhnya bersamaan dengan ter-

dengarnya benturan dan bergetarnya tempat di 

mana dia berada.

Sebenarnya, ketika terjadi pertarungan an-

tara Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja 

Muda, saat mana Malaikat Berdarah Biru lepaskan 

pukulan sakti 'Bayu Sukma' dan suasana pekat, 

Nyi Mentul segera berkelebat. Mungkin takut ke-

pergiannya segera diketahui, maka tatkala sepa-

sang matanya melihat sebuah lobang tak jauh dari 

tempat itu, dia tanpa pikir panjang segera melesat 

dan masuk ke dalam lobang.

Ketika Malaikat Berdarah Biru berkelebat 

pergi meninggalkan tempat itu, ucapannya sempat 

membuat marah Gembong Raja Muda, hingga ber-

samaan dengan itu Gembong Raja Muda hantam-

kan kedua tangannya ke tanah, hingga tanah di 

sekitar tempat itu bergetar keras, membuat tanah 

di bibir lobang tempat Nyi Mentul luruh ke bawah 

dan menguruk tubuhnya.

Begitu luruhan tanah dari bibir lobang ter-

henti, sambil menggumam tak jelas, Nyi Mentul 

bergerak-gerak menyeruak dari urukan tanah. Setelah kepalanya nongol, dia menarik napas dalam-

dalam. Kepalanya yang mengenakan dua kuncir di 

atas disentakkan ke samping kanan kiri mengi-

baskan tanah yang meraupi kepalanya.

Untuk beberapa saat lamanya Nyi Mentul 

diam tak bergerak. Sepasang telinganya ditajam-

kan. Sementara kepalanya tengadah ke atas, sepa-

sang matanya jelalatan kian kemari memperhati-

kan keadaan di atas lobang.

"Hmm.... Mereka hendak mengadakan se-

buah pertemuan di Lembah Supit Urang. Gila! Ini 

pasti pertemuan besar jika yang mengundang ada-

lah Iblis Gelang Kematian! Rimba persilatan benar-

benar di ambang pintu yang membahayakan...," 

Nyi Mentul membatin dalam hati. Dia tak segera 

keluar dari dalam lobang. Dia tampaknya masih 

takut jika Gembong Raja Muda masih berada di 

tempat itu, hingga untuk beberapa saat lamanya 

dia hanya duduk dengan kepala nongol sementara 

tubuhnya teruruk tanah.

Setelah agak lama dan merasa tak ada lagi 

orang di tempat itu, Nyi Mentul bergerak bangkit. 

Dadanya masih berdebar, khawatir kalau masih 

ada orang.

Perlahan-lahan kepalanya nongol dari da-

lam lobang.

"Hmm.... Rupanya manusia-manusia itu te-

lah pergi...," bisiknya dengan senyum mengem-

bang. Namun baru saja lehernya terjulur dari da-

lam, terdengar suara tawa mengekeh panjang ber-

sahut-sahutan!

Laksana disambar petir di siang belong, Nyi

Mentul segera tarik kembali kepalanya ke bawah. 

Paras mukanya berubah pucat pasi. Dadanya ber-

detak makin keras.

"Busyet! Ternyata perkiraanku keliru. Mere-

ka rupanya telah menyiasati diriku. Pura-pura 

pergi padahal masih nongol di situ! Jelas sekali 

suara tawa tadi terdengar juga suara tawa perem-

puan. Ini pasti Iblis Gelang Kematian. Bagaimana 

sekarang? Celaka.... Celaka betul!"

Nyi Mentul lantas meraba ke balik pakaian-

nya. "Hmm.... Apa hendak dikata. Kalau memang 

mereka marah aku akan memberi alasan. Dan ka-

lau mereka hendak mengorek, terpaksa aku akan 

melawannya.... Sialan!"

Berpikir sampai di situ, perlahan-lahan pula 

Nyi Mentul bergerak lagi ke atas. Tubuhnya terli-

hat bergemetaran. Sementara suara tawa masih 

bersahut-sahutan di tempat itu, membuat Nyi 

Mentul semakin yakin jika mereka menertawainya 

dan mungkin akan segera menghantamnya. Diam-

diam, sambil bangkit dari dalam lobang, Nyi Men-

tul kerahkan tenaga dalam.

Ketika kepalanya menyeruak keluar, kepala 

itu disertai dua tangan yang melindungi seolah ta-

kut dihantam, membuat suara tawa semakin ber-

gerai-gerai. Namun Nyi Mentul menarik napas lega 

tatkala dia tidak merasakan angin yang menyam-

bar menyerang ke arahnya. Tapi hal itu belum 

membuat Nyi Mentul lepas dari rasa khawatir. 

Hingga meski lehernya telah berada di atas lobang, 

dia tetap melindungi kepalanya dari hantaman 

dengan kedua tangannya.

Mungkin merasa orang tidak akan meng-

hantam, maka untuk menghindari segala ke-

mungkinan, Nyi Mentul segera lesatkan tubuhnya 

ke atas. Dan dengan terhuyung-huyung seolah 

hendak jatuh terjerembab akhirnya dia mendarat. 

Perempuan berdandan menor ini tidak segera ber-

paling ke arah datangnya suara tawa. Sebaliknya 

dia duduk mengelosoh dengan kedua tangan di 

atas kepala seolah seperti orang minta dikasihani. 

Namun demikian, diam-diam perempuan ini siap 

siaga dengan segala kemungkinan yang akan me-

nimpa dirinya.

Tiba-tiba suara tawa panjang bersahut-

sahutan terhenti. Dada Nyi Mentul makin berde-

bar. Dia merasa akan segera mendapat bentakan 

dan hardikan, malah tidak mustahil sebuah puku-

lan!

Namun apa yang diduga Nyi Mentul tidak 

jadi kenyataan. Suasana di tempat itu sunyi sepi. 

Namun cuma sesaat. Saat berikutnya terdengar 

lagi suara tawa bergelak-gelak.

Mungkin merasa tak sabar, Nyi Mentul se-

gera berpaling ke arah datangnya suara. Sejenak 

sepasang mata Nyi Mentul membelalak. Darahnya 

seakan tersirap. Mulutnya komat-kamit. Dan tak 

lama kemudian dari mulutnya terdengar makian 

panjang pendek tak habis-habisnya, meski wajah-

nya seketika berubah cerah. 

"Sialan! Ternyata mereka!"

Lima belas langkah ke samping Nyi Mentul, 

tampak tertawa terbahak-bahak tiga orang. Sebe-

lah kanan adalah seorang kakek dengan selempang ikat pinggang besar yang diganduli beberapa 

bumbung bambu. Di sebelahnya tegak seorang ga-

dis muda berparas cantik mengenakan pakaian 

putih ketat, membayangkan lekukan tubuhnya 

yang membentuk bagus. Di lehernya melingkar 

untaian kalung dari bunga-bunga hitam. Sementa-

ra di depan kedua orang ini tampak seorang anak 

perempuan yang berdiri seraya berkipas-kipas. 

Rambutnya dikuncir beberapa buah dan diberi pi-

ta berwarna-warni. Mereka ini bukan lain adalah 

Setan Arak, Ratu Sekar Langit dan Putri Kipas.

"Mereka rupanya sengaja mengerjaiku. 

Awas, akan ganti kukerjai mereka!" gumam Nyi 

Mentul, lalu Nyi Mentul bangkit berdiri sambil 

menghardik dengan ucapan keras.

"Siapa kalian?! Kenapa tertawa-tawa? Apa 

yang lucu. Hah...?!"

Ketiga orang yang dibentak bukannya sege-

ra menjawab dengan kata-kata. Melainkan keti-

ganya sama-sama keluarkan tawa, membuat Nyi 

Mentul kembali keluarkan teguran keras.

"Kalau kalian tak segera jawab, jangan me-

nyesal jika kalian kumasukkan ke lobang itu! 

Mengerti?!"

"Sandiwara bagus! Dari mana kau belajar" 

Setan Arak ajukan tanya.

"Sandiwara?! Orang tua. Kau jangan main-

main. Aku tanya siapa kalian. Jangan alihkan 

pembicaraan! Cepat jawab!" Nyi Mentul kembali 

menghardik. Sepasang matanya melotot besar, 

memperhatikan ketiga orang di hadapannya.

Putri Kipas palingkan wajahnya pada Ratu

Sekar Langit. Seakan mengerti apa yang ada di be-

nak si anak perempuan, Ratu Sekar Langit geleng-

kan kepalanya perlahan. Sementara Setan Arak 

agak sipitkan matanya. Lalu menenggak bumbung 

bambu berisi arak yang ada di tangan kiri kanan-

nya.

Karena masih tak ada yang menjawab, ak-

hirnya Nyi Mentul maju selangkah. Kedua tangan-

nya diangkat tinggi-tinggi.

"Kalian telah menertawaiku. Berarti kalian 

menghinaku! Terimalah ini!"

Wuuutttt!

Nyi Mentul sentakkan kedua tangannya se-

kaligus ke depan. Namun tampaknya sengaja di-

buat agak ke atas, hingga meski kejap itu juga 

menyambar dua rangkum angin dahsyat yang ke-

luarkan suara menggemuruh keras, namun sam-

barannya tidak sampai membuat ketiga orang me-

nangkis. Namun hal ini telah menunjukkan bahwa 

orang ini mempunyai ilmu yang tidak bisa dipan-

dang sebelah mata.

"Kalian telah lihat! Kalau kalian masih 

bungkam, aku tak segan-segan mengarahkannya 

pada tubuh kalian masing-masing!" ancam Nyi 

Mentul.

Di seberang, ketiga orang ini saling pan-

dang.

"Rupanya memang bukan dia!" gumam Ratu 

Sekar Langit dengan wajah minta pertimbangan 

pada Setan Arak.

Setan Arak anggukkan kepalanya. Mulutnya 

yang mengembung terisi arak bergerak-gerak lalu

mengempis. "Memang bukan dia! Ayo kita pergi sa-

ja!" kata Setan Arak. Lalu menggaet tangan Putri 

Kipas dan diajaknya meninggalkan tempat itu.

Di seberang, Nyi Mentul tiba-tiba perden-

garkan suara tawa mengekeh panjang. "Jangan 

berharap bisa tinggalkan tempat ini sebelum 

memberitahu siapa adanya kalian, dan sebelum 

kalian satu persatu menerima hukuman karena te-

lah menghinaku!"

Ketiga orang ini urungkan niat masing-

masing.

"Lebih baik segera kita katakan apa yang 

dimintanya. Daripada mencari urusan dengan 

orang seperti dia!" usul Ratu Sekar Langit. Putri 

Kipas anggukkan kepalanya. Sementara Setan 

Arak hanya mendehem.

"Maafkan kami. Kami kira kau adalah saha-

bat kami. Ternyata dugaan kami keliru...," Ratu 

Sekar Langit membuka pembicaraan.

"Hm.... Begitu?! Teruskan ucapanmu!" Nyi 

Mentul menyahut agak ketus.

"Aku adalah Ratu Sekar Langit. Anak ini 

bernama Putri Kipas. Sedang kakek ini disebut 

orang Setan Arak...."

"Hmm.... Nama-nama bagus!" puji Nyi Men-

tul tanpa tersenyum. Tiba-tiba Nyi Mentul seseng-

gukkan. Dan tak lama kemudian kedua tangannya 

telah bergerak menutupi wajahnya, membuat Ratu 

Sekar Langit kernyitkan dahi. Sebelum gadis muda 

berparas cantik ini buka suara untuk bertanya, 

Nyi Mentul telah berujar di sela suara sesunggukannya.


"Malang.... Malang benar nasibku. Tidak se-

perti kalian. Hidup rukun bahagia. Pasangannya

serasi, punya anak mungil lagi.... Huk... huk... 

huk.... Seandainya saja aku seperti kalian...."

Sesaat Ratu Sekar Langit mendelik. Lalu tak 

lama kemudian bibirnya mengulas senyum, meski 

dalam hatinya memaki panjang pendek dikira me-

reka pasangan suami istri.

"Hai! Kau bicara apa?! Kau sendiri siapa?!" 

Ratu Sekar Langit menegur.

"Ah, kau. Cantik-cantik kurang pendenga-

ran. Aku bilang, kalian pasangan serasi...."

Ratu Sekar Langit meski tampak jengkel 

namun tersenyum, sementara Setan Arak seperti 

tak ambil peduli. Putri Kipas sesekali tersenyum 

seraya memandang silih berganti pada Ratu Sekar 

Langit dan Setan Arak.

"Kami bukan pasangan.... Tapi...."

"Bohong! Kalau bukan pasangan kenapa 

bersama dia? Atau barangkali kau adalah keka-

sihnya? Huk... huk... huk...!"

"Itu juga bukan!" sahut Ratu Sekar Langit 

datar. Gadis ini sejenak melirik pada Setan Arak. 

Yang dilirik sibuk dengan bumbung araknya.

"Kalau begitu kau belum punya kekasih! 

Aku punya teman, seorang pemuda gagah. Bagai-

mana kalau...," Nyi Mentul tidak lanjutkan uca-

pannya. Dia memikir sejenak.

"Puaaahhh! Rupanya kau juga pintar jadi 

mak comblang! Sayang.... Aku sudah tua. Jika ti-

dak, mau aku pesan padamu. Ha ha ha...!" Setan 

Arak menimpali, lalu sesaat kemudian sudah tenggelam lagi dalam gelegukan araknya.

"Kau setuju tawaranku?!" Tiba-tiba Nyi 

Mentul ajukan pertanyaan.

Ratu Sekar Langit gelengkan kepalanya per-

lahan.

"Aku sudah punya pilihan!" jawabnya sing-

kat. Lalu menggaet Putri Kipas dan diajaknya hen-

dak pergi.

"Siapa namanya?!" Nyi Mentul mengejar.

"Kau terlalu banyak ingin tahu! Itu urusan-

ku!" sahut Ratu Sekar Langit seraya terus melang-

kah dengan menggandeng tangan Putri Kipas.

"Ah, sayang. Padahal yang kutawarkan pa-

damu adalah seorang pemuda murid seorang to-

koh terkenal dari daerah yang namanya mirip den-

gan nama terakhirmu!" ucap Nyi Mentul seolah 

menyesal.

Ratu Sekar Langit tiba-tiba hentikan lang-

kahnya. Keningnya mengkerut.

"Namanya seperti nama terakhirku? Orang 

yang terkenal selama ini yang nama tempatnya mi-

rip dengan nama terakhirku hanyalah Karang 

Langit. Tempat Wong Agung. Guru...," gadis ini ti-

dak melanjutkan kata hatinya.

"Hai! Kau tercenung. Kau tertarik dengan 

tawaranku?!" Nyi Mentul segera ajukan tanya 

tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit terdiam.

Namun sesaat kemudian Ratu Sekar Langit 

telah melangkah kembali meski sebelumnya mena-

tap tajam ke arah Nyi Mentul dengan tatapan sulit 

diartikan. Dada gadis ini tiba-tiba berdebar. Sementara Nyi Mentul tampak tersenyum-senyum

dan usap-usap pipinya.

Empat langkahan kakinya, mendadak gadis 

ini gelisah. Dan dengan perasaan tak karuan, dia 

berpaling lagi ke belakang. Namun gadis cantik ini 

terkejut. Nyi Mentul sudah tidak ada di tempatnya 

semula! Sedangkan Setan Arak dan Putri Kipas te-

rus melangkah ke depan.

Ratu Sekar Langit putar kepalanya dengan 

sepasang mata mencari-cari. Namun dia tak dapat 

menemukan sosok perempuan berdandan menor 

tadi.

"Sial! Kenapa tak kutanyakan dulu siapa 

nama perempuan tadi? Ah...."

Selagi Ratu Sekar Langit mencari-cari ter-

dengar suara orang tertawa. Secepat kilat Ratu Se-

kar Langit berpaling. Dari balik sebuah batang po-

hon, Nyi Mentul melangkah terseok-seok sambil

tersenyum-senyum.

Sepasang mata Ratu Sekar Langit melotot 

besar. Dadanya bergetar keras. Bukan karena ma-

rah melihat kemunculan Nyi Mentul, namun kare-

na melihat sebuah kipas berwarna ungu bergurat 

angkat 108 di tangan kanan Nyi Mentul dan di-

buatnya berkipas-kipas. Sebuah kipas yang me-

nunjukkan bahwa pemegangnya bukan lain ada-

lah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108. Murid 

Wong Agung dari Karang Langit!



DELAPAN


MULUT Ratu Sekar Langit tampak memper-

dengarkan gumaman tak jelas. Wajahnya berubah 

merah padam. Dalam hati gadis ini memaki tak 

habis-habisnya. Sebenarnya gadis ini tadi sudah 

curiga jika perempuan berdandan menor itu ada-

lah Aji. Namun karena sikap yang ditunjukkan si 

perempuan lain, maka akhirnya dugaannya dia 

kesampingkan.

Nyi Mentul alias Pendekar Mata Keranjang 

terus melangkah mendekat. Sementara Ratu Sekar 

Langit tetap tegak diam seolah menunggu.

"Ratu...," panggil Aji setelah dekat begitu di-

lihatnya si gadis alihkan pandangannya pada juru-

san lain dengan wajah memberengut.

"Kenapa kau mempermainkan aku?!" tegur 

Ratu Sekar Langit. Suraranya agak keras dan ber-

nada ketus.

Aji tak segera menjawab. Diusap-usapnya 

hidungnya. Lalu mengelus-elus dua kuncir ram-

butnya.

"Wah, tampaknya dia marah...," bisiknya. 

Lalu murid Wong Agung ini melangkah ke depan, 

mendekati Ratu Sekar Langit.

"Ratu Sekar Langit.... Maafkan jika hal tadi 

membuatmu marah.... Aku hanya ingin menggoda 

kalian"

"Tapi godaanmu konyol! Tidak lucu!" sahut 

Ratu Sekar Langit cepat. Sebenarnya gadis ini me-

rasa malu pada Aji, karena ketika Aji menyamar

menjadi Nyi Mentul dan menggoda akan menjo-

dohkan dirinya dengan pemuda murid dari Karang 

Langit yang tak lain adalah Aji, Ratu Sekar Langit 

tampak berubah parasnya. Hal ini telah menun-

jukkan bagaimana perasaannya pada Aji.

"Hai! Kenapa kau berbuat konyol begini? 

He...?!" Ratu Sekar Langit kembali menegur tatkala 

Aji hanya diam, malah seraya cengengesan mem-

permainkan rambut dan pakaiannya yang gom-

brong kedodoran.

"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan. 

Ayo kita segera menemui Setan Arak. Aku harus 

segera berbuat sesuatu!" kata Pendekar 108. Lalu 

tanpa menunggu persetujuan dari Ratu Sekar 

Langit, tangan gadis itu digaetnya dan digandeng 

menyusul Setan Arak dan Putri Kipas.

"Kek! Tunggu!" seru Aji. Seraya lambaikan 

tangan kanan sementara tangan satunya meng-

gandeng tangan Ratu Sekar Langit. Meski hatinya 

masih jengkel, namun gadis ini tak menolak saat 

tangan Aji menggandeng tangannya

Setan Arak tak berpaling. Namun Putri Ki-

pas segera menoleh. Dan begitu melihat Ratu Se-

kar Langit melangkah bergandengan dengan pe-

rempuan berdandan menor, Putri Kipas segera ke-

luarkan tawa bergelak-gelak.

"Eyang.... Lihat. Kedua orang itu. Mereka 

sepertinya sahabat lama yang baru ketemu!"

"Ya, memang mereka sahabat lama. Jadi tak 

perlu heran!" jawab Setan Arak tanpa menoleh pa-

da Putri Kipas.

"Jadi, perempuan tadi memang Pendekar

Mata Keranjang 108?!"

"Apakah aku pernah berkata tak benar?!" 

Setan Arak balik bertanya pada Putri Kipas, mem-

buat gadis kecil itu manggut-manggut.

Putri Kipas lantas memandang ke depan. 

Tiba-tiba dia berseru.

"Eyang.... Itu ada sebuah gubuk. Kita istira-

hat di sana sambil menunggu mereka! Rupanya 

mereka melangkah pelan-pelan dan terus bergan-

dengan tangan."

"Sudahlah. Jangan banyak omong. Kalau 

kau ingin istirahat, ayo!" sahut Setan Arak. Lalu 

kedua orang ini melangkah menuju ke sebuah gu-

buk.

Tak lama kemudian Pendekar 108 dan Ratu 

Sekar Langit sampai pula di gubuk itu. Setan Arak 

sesaat memandang pada Ratu Sekar Langit, mem-

buat gadis ini segera sembunyikan parasnya yang 

bersemu merah dengan berpaling pada Putri Ki-

pas. Sementara Aji langsung duduk bersila di de-

pan Setan Arak yang duduk berselonjor sambil tak 

henti-hentinya menenggak bumbung bambu berisi 

arak di tangan kiri kanannya.

"Kek...!" seru Aji. "Di mana letak Lembah 

Supit Urang itu?!"

Setan Arak jauhkan bumbung bambu dari 

mulutnya. Sepasang matanya menatap tajam pada 

Aji.

"Kenapa kau tanya tempat itu?!"

"Selama aku menyelidik beberapa hari ini, 

aku mendapat petunjuk bahwa di tempat itu akan 

diadakan pertemuan para tokoh golongan sesat!"

jawab Aji lalu dia menceritakan tentang perte-

muannya dengan Malaikat Berdarah Biru juga 

dengan Gembong Raja Muda dan mengutarakan 

pula pembicaraan antara Malaikat Berdarah Biru, 

Gembong Raja Muda dengan Iblis Gelang Kema-

tian.

Ratu Sekar Langit tercengang kaget men-

dengar keterangan Pendekar 108, sementara Setan 

Arak meski terkejut namun cuma sesaat. Sekejap 

kemudian kakek ini telah ajukan tanya pada Aji.

"Jika demikian adanya, apa yang ada di be-

nakmu sekarang?!"

Murid Wong Agung tidak segera memberi 

jawaban. Dia tengadah sedikit seraya usap-usap 

ujung hidungnya.

"Kalau menurutmu, bagaimana Kek?!"

Mendengar pertanyaan balik, Setan Arak 

tertawa bergelak-gelak.

"Karena itu bukan urusanku, aku lebih su-

ka minum arak daripada pergi jauh-jauh ke Lem-

bah Supit Urang!"

"Sialan! Aku juga bodoh. Kenapa menanya-

kan hal itu?!" maki Aji dalam hati. Dia lalu diam 

tak memberi sambutan lagi atas kata-kata Setan 

Arak.

"Ng.... Bagaimana kalau kau menghubungi

beberapa tokoh yang kau kenal baik dan nyata-

nyata berada di pihak kita?!" Ratu Sekar Langit 

memberi usul.

"Hmm.... Itu bisa saja. Namun mencari dan 

menemukan tokoh-tokoh itu layaknya mencari ku-

tu di lapangan rambut! Belum tentu aku berhasil

menemukan satu orang dalam jangka waktu tiga 

purnama! Mereka adalah orang-orang yang tak 

dapat ditentukan di mana tempatnya!" ujar Aji 

dengan garuk-garuk lengannya, membuat Ratu 

Sekar Langit ikut-ikutan merasa bingung.

"Hmm.... Bagaimanapun juga aku harus se-

gera melakukan sesuatu! Mumpung waktunya ma-

sih agak jauh, untuk sementara aku akan coba 

menghubungi beberapa orang.... Kalau tidak ber-

hasil, apa boleh buat. Aku tetap akan ke Lembah 

Supit Urang sendirian! Aku harus dapat mencegah 

persekongkolan bahaya ini!" tekad Aji dalam hati. 

Lalu setelah berpikir sejenak, dia berkata.

"Kek! Aku harus pergi sekarang!"

"Hmm.... Begitu? Bagus! Bertindaklah apa 

yang menurutmu baik. Aku tak bisa membantu 

apa-apa dalam urusan ini!"

"Aku ikut!" tiba-tiba Ratu Sekar Langit ber-

seru.

Sejenak Aji berpaling pada gadis cantik ini. 

Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-

dang. Murid Wong Agung gelengkan kepalanya 

perlahan.

"Hmm.... Gadis ini sepertinya selalu 

mengkhawatirkan diriku. Sebenarnya aku senang 

bisa mengajaknya ikut serta. Namun perjalanan 

yang hendak kulakukan akan penuh dengan resi-

ko. Ah...."

"Ratu Sekar Langit.... Untuk sementara ini 

sebaiknya kau bersama Putri Kipas dan Setan 

Arak. Kelak jika urusan ini selesai, aku akan me-

nyusulmu!" kata Aji dengan suara pelan seakan

tercekat di tenggorokan.

"Kau menolak hanya karena kau meman-

dangku sebagai perempuan. Begitu bukan?!" ujar 

Ratu Sekar Langit dengan muka memberengut.

Murid Wong Agung gerakkan kepalanya ke 

kanan kiri.

"Bukan. Bukan itu sebabnya!"

"Lalu apa?!"

"Aku tak bisa mengatakannya, Ratu!" jawab 

Aji dengan suara serak.

"Ratu. Apa yang dikatakan Aji benar. Se-

baiknya untuk sementara ini kau bersama kami 

dahulu. Itu kalau kau mau! Karena terus terang 

saja mungkin dia takut kau akan mengalami cela-

ka. Masa' kau tak tahu bagaimana perasaannya 

padamu?! Dia itu sebenarnya...," Setan Arak tak 

meneruskan ucapannya, tapi mendekatkan bum-

bung arak ke mulutnya.

Mendengar kata-kata Setan Arak, Ratu Se-

kar Langit langsung merah mengelam. Dia melirik 

pada Pendekar 108. Aji hanya bisa usap-usap hi-

dungnya dan melirik juga pada Ratu Sekar Langit.

"Hai! Katanya mau segera pergi sekarang. 

Kenapa masih lirak-lirik?!" Setan Arak tiba-tiba ke-

luarkan kata-kata yang membuat Ratu Sekar Lan-

git dan murid Wong Agung sama-sama blingsatan.

"Hmm.... Aku pergi sekarang, Kek! Ratu Se-

kar Langit.... Putri Kipas," kata Aji lalu bergerak 

bangkit.

Setan Arak hanya mengangguk. Sementara 

Ratu Sekar Langit memandang lekat-lekat, malah 

sepasang matanya terlihat mulai berkaca-kaca,

membuat Aji makin trenyuh dan menghela napas

dalam-dalam.

"Aji. Perlu kau camkan. Menjadi seorang 

pendekar dituntut berkorban. Korban raga dan pe-

rasaan!" kata Setan Arak saat mengetahui ada rasa 

bimbang di hati Pendekar 108.

Murid Wong Agung mengangguk. Setelah 

memandang sekali lagi pada Ratu Sekar Langit 

dan anggukkan kepala sambil tersenyum, Aji ba-

likkan tubuh dan melangkah meninggalkan gu-

buk.

"Tunggu!" tiba-tiba Putri Kipas berseru me-

nahan langkah Aji.

Pendekar 108 balikkan tubuh. Ternyata Pu-

tri Kipas telah berada di hadapannya.

"Apakah kau akan melangkah dengan ma-

sih seperti ini?!" Putri Kipas ajukan tanya, mem-

buat Aji sejenak kernyitkan dahi tak mengerti.

"Apakah ada yang salah padaku?!"

Putri Kipas tidak menjawab. Perempuan ke-

cil ini hanya tertawa sambil pegang pita-pita di 

rambutnya, lalu mengusap-usap bibirnya.

"Astaga!" Pendekar 108 tersadar kalau di-

rinya kali ini masih mengenakan kuncir dua di ke-

palanya, dan bibirnya masih merah karena di-

poles, juga pakaiannya yang gombrong kedodoran. 

Secepat kilat murid Wong Agung ini tanggalkan 

pakaian gombrongnya. Lalu mukanya diseka den-

gan pakaian gombrong itu. Kedua kuncir rambut-

nya dilepas.

Sekejap kemudian, murid Wong Agung ini 

telah mengenakan pakaian di balik pakaian gombrong tadi. Yakni sebuah baju berwarna hijau den-

gan dilapis baju lengan panjang warna kuning. 

Rambutnya dikuncir ekor kuda.

"Bagaimana sekarang?!" ujar Aji seraya me-

ngerling pada Ratu Sekar Langit yang terus mem-

perhatikannya. Gadis muda ini tersenyum meski 

amat kecut. Sementara Putri Kipas acungkan jari 

jempolnya.

Aji mengulurkan tangan kanannya dan 

menggoyang-goyang kepala Putri Kipas. Lalu ba-

likkan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat 

itu.


SEMBILAN


CUACA saat itu amat dingin mencekam. 

Angin berhembus menusuk tulang. Di angkasa bu-

lan tertutup arakan awan putih, hingga cahayanya

tak mampu menembus untuk menerangi jagat 

raya.

Di atas puncak bukit yang hanya terdiri dari 

gundukan batu-batu padas seorang perempuan 

tua terlihat duduk bersila di depan perapian. Bias 

cahaya perapian meski terlihat samar-samar dapat 

menunjukkan jika perempuan tua itu mengenakan 

pakaian berwarna hitam dari bahan sutera. Pa-

kaian bawahnya berwarna hitam kembang-

kembang putih. Rambutnya putih dan panjang, 

hingga tatkala si nenek ini duduk bersila demikian 

rupa, rambutnya berserakan di atas tanah. Pada 

kedua tangan si nenek melingkar gelang berwarna

kuning. Dia bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-

tian yang dalam rimba persilatan namanya sudah 

tidak asing lagi.

Sejak tengah malam hingga hampir pagi ini, 

si nenek duduk bersila di depan perapian tanpa 

bergerak. Hanya sepasang matanya yang besar se-

sekali berputar liar ke sana kemari lalu menarik 

napas dalam-dalam.

"Hm... sebenarnya dia harus sudah datang 

malam ini! Apakah ada sesuatu hingga malam 

hampir pagi dia tak kunjung datang? Kalau dia tak 

datang, rencana ini akan...," si nenek tak lan-

jutkan kata hatinya. Kepalanya berputar. Tiba-tiba 

dia putar tubuhnya. Lalu sosoknya melesat dengan 

tangan kanan menyentak ke arah perapian. Nyala 

api seketika padam tanpa berpelantingannya kayu-

kayu yang dibuat untuk perapian! Dan kejap itu 

juga puncak bukit berbatu diselimuti kegelapan!

Bersamaan dengan padamnya perapian, se-

sosok bayangan hitam berkelebat. Dan tahu-tahu 

telah tegak berdiri di samping perapian yang telah 

padam. "Hm.... Aku yakin dia baru saja di sini! Bi-

as hawa panas perapian masih terasa!" Bayangan 

hitam nyalangkan sepasang matanya berkeliling. 

Tiba-tiba dia berseru tatkala samar-samar diseli-

muti kegelapan, dia dapat menangkap sosok hitam 

berambut putih panjang duduk di atas gundukan 

batu padas.

"Guru!"

Iblis Gelang Kematian tersenyum tipis. 

Orang yang baru muncul melangkah mendekat. 

Lalu anggukkan sedikit kepalanya sebelum akhir

nya duduk di hadapan Iblis Gelang Kematian.

"Hampir saja kau terlambat! Sesaat lagi kau 

tak datang, kau tak akan bisa menemuiku!" Iblis 

Gelang Kematian keluarkan suara.

Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya 

sepasang matanya yang tajam memandang lekat-

lekat pada wajah si nenek. Rahangnya yang kokoh 

tiba-tiba mengembung seakan marah mendengar 

ucapan si nenek. Sekejap kemudian mulutnya 

membuka dan berkata.

"Guru! Aku sudah datang! Harap kau suka 

mengatakan apa maksudmu memanggilku kema-

ri!"

Iblis Gelang Kematian tak segera menjawab 

pertanyaan orang yang memanggilnya guru. Dia 

menarik napas panjang seolah melepas rasa ke-

jengkelan karena lama menunggu. Namun tak la-

ma kemudian dia berkata.

"Manding! Waktu kita tidak banyak. Aku 

akan bicara langsung ke persoalan saja. Menjelang 

purnama depan, seluruh tokoh golongan kita akan 

berkumpul di Lembah Supit Urang. Mereka akan 

bersatu untuk melawan sekaligus menghancurkan 

orang-orang putih yang selama ini tampaknya ma-

kin merajalela!"

"Tapi apa tidak sebaiknya kita lakukan den-

gan diam-diam?!' sahut orang yang tadi memanggil 

Iblis Gelang Kematian dengan sebutan guru. Dia 

ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan 

dan keras. Sepasang matanya tajam menyengat. 

Berdagu kokoh dengan rambut panjang. Mengena-

kan jubah besar berwarna hitam bergaris-garis pu

tih. Dialah Mending Jayalodra yang lebih dikenal 

dengan gelar Penyair Berdarah, murid tunggal Iblis 

Gelang Kematian.

Mendengar ucapan muridnya, Iblis Gelang 

Kematian keluarkan tawa pendek. Lalu ajukan 

pertanyaan.

"Yang kau maksud dengan diam-diam itu 

bagaimana?!"

Sejenak Penyair Berdarah berpikir. Lalu 

berkata.

"Kita ambil satu persatu orang yang menya-

takan dirinya dari golongan putih! "

Iblis Gelang Kematian kembali keluarkan 

tawa pendek mendengar ucapan muridnya.

"Itu akan memakan waktu panjang dan 

menguras banyak tenaga, muridku! Karena di satu 

pihak kita harus mencari orang-orang itu, di pihak 

lain kita masih harus berjuang untuk menakluk-

kannya!"

"Lantas kalau diadakan pertemuan di lem-

bah Supit Urang apakah tidak usah mencari 

orang-orang golongan putih itu. Dan apakah juga 

kita tak perlu mengeluarkan tenaga untuk mem-

bungkamnya?! "

"Segala sesuatu butuh tenaga, Manding! 

Namun dengan pertemuan itu, tenaga kita tidak 

terlalu banyak keluar. Karena undangan ini tidak 

hanya untuk orang-orang golongan kita saja! 

Orang-orang golongan putih juga kita beri kabar. 

Dengan demikian, mereka akan datang juga ke sa-

na!"

"Kalau mereka tidak menyambuti undangan

itu?! "

Iblis Gelang Kematian tertawa bergelak-

gelak.

"Aku sudah berpuluh-puluh tahun malang 

melintang dalam persilatan. Orang-orang golongan 

putih tentu tidak akan tinggal diam jika mereka 

mendengar orang-orang golongan kita akan bersa-

tu menyusun kekuatan! Bahkan tanpa diundang, 

jika mereka mendengar, dapat dipastikan mereka 

akan datang! "

"Dengan demikian, apakah dapat dipastikan 

jika orang yang selama ini kucari akan datang?!"

"Yang kau maksud Pendekar Mata Keran-

jang?!"

Penyair Berdarah mengangguk perlahan.

"Pertemuan ini memang untuk memancing-

nya keluar. Dan kalau dia muncul, tentunya dia 

tak akan sendirian! Itulah yang diharapkan dari 

pertemuan itu! "

"Apakah semua tokoh golongan kita telah 

diberitahu?!" tanya Penyair berdarah.

"Sebagian sudah. Namun kabar berita ini 

akan disebar ke mana-mana. Jadi meski tanpa 

menemui satu persatu, mereka tentu akan hadir!"

Sesaat kemudian di antara kedua orang ini 

sama-sama diam. Tak berselang lama kemudian, 

Iblis Gelang Kematian goyang-goyangkan kepa-

lanya. Lalu menatap tajam pada muridnya, mem-

buat sang murid kernyitkan dahi. Sebelum si mu-

rid buka suara, sang guru telah berkata pelan.

"Manding. Lima hari sebelum purnama, 

yang berarti lima hari sebelum pertemuan itu ber

langsung, kau harus siapkan diri baik-baik. Kare-

na aku melihat beberapa tokoh muda yang il-

munya tak bisa diremehkan telah muncul lagi! 

Meski mereka berada di pihak kita, namun mereka 

juga bisa jadi penghalang di kelak kemudian hari. 

Maka dari itu kau harus berlatih lagi kalau kau 

tak ingin dikalahkan mereka pada suatu saat ke-

lak!"

Penyair Berdarah menyeringai lebar. Wa-

jahnya yang keras tampak membesi. "Guru! Apa-

kah kau menduga aku dapat dengan mudah dika-

lahkan mereka?!"

Iblis Gelang Kematian mendongak meman-

dangi langit yang masih tertutup awan. "Aku tidak 

mengatakan begitu. Namun setidak-tidaknya kau 

harus lebih waspada. Karena pemuda bergelar Ma-

laikat Berdarah Biru juga Gembong Raja Muda te-

lah muncul lagi!"

Sejenak Penyair Berdarah terkesiap men-

dengar ucapan gurunya. Sepasang matanya mem-

beliak lebar.

"Guru. Bukankah manusia bergelar Malai-

kat Berdarah Biru kabarnya telah mampus di tan-

gan Pendekar Mata Keranjang?! "

"Itulah. Kadang-kadang apa yang kita den-

gar lain dengan kenyataan! Aku pun semula men-

duga kabar tentang tewasnya pemuda itu benar. 

Namun setelah aku bertemu sendiri, aku katakan 

padamu, pemuda itu masih hidup!"

"Hm.... Hidup atau sudah tewas, tak ada 

pengaruhnya bagiku! Aku yakin bisa membuatnya 

roboh meski kabarnya dia memiliki ilmu tinggi!

Bahkan aku pun tak akan mundur jika berhada-

pan pemuda yang baru saja muncul dan sekarang 

mulai dibicarakan orang!"

Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-

las. "Kau mengatakan pemuda yang baru muncul 

dan kini banyak dibicarakan orang. Apakah yang 

kau maksud pemuda bergelar Dewa Maut?!"

Penyair Berdarah tersenyum dingin dengan 

anggukkan kepala.

"Muridku. Ini sungguh suatu kesempatan 

baik bagimu. Jika pemuda-pemuda itu bisa ber-

kumpul dan bersatu, maka tak akan kesulitan un-

tuk membekuk Pendekar Mata Keranjang!"

"Aku tak akan pernah mau bersatu dengan 

mereka! Aku ingin menggenggam rimba persilatan 

dengan tanganku sendiri!" ujar Penyair Berdarah 

dengan nada berapi-api.

"Itu adalah akhir dari tujuan, muridku! Un-

tuk menuju ke sana, kau harus terlebih dahulu 

merangkul mereka. Setelah lawan bisa dilumpuh-

kan, saatnya kau menendang mereka satu persa-

tu! Kau harus pergunakan siasat! Tanpa siasat, tu-

juanmu akan sukar tercapai!" tutur Iblis Gelang 

Kematian.

"Kita lupakan dulu mereka. Kita kembali bi-

cara soal pertemuan itu! Sekarang kau harus me-

nebar berita tentang pertemuan menjelang purna-

ma itu. Beritahukan kepada siapa saja! Dan lima 

hari menjelang pertemuan, kau kutunggu lagi di 

sini! Aku akan memberimu sesuatu yang kelak 

mungkin dapat berguna saat pertemuan itu berlangsung!"


Penyair Berdarah sejenak memandang lekat 

pada Iblis Gelang Kematian.

"Aku akan jalankan ucapanmu! Sekarang 

aku pamit dulu!" Penyair Berdarah bergerak bang-

kit. Lalu membungkuk sedikit dan tampak kaku 

karena sebenarnya pemuda ini enggan berbuat ba-

sa-basi seperti itu meski pada orang yang dipang-

gilnya guru.

"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu, apa 

yang hendak kau berikan padaku menjelang per-

temuan itu?" tanya Penyair Berdarah dengan 

memperhatikan gurunya.

Sang guru keluarkan tawa perlahan. Sete-

lah mendehem beberapa kali dia berkata datar.

"Hal itu tak dapat kukatakan sekarang! 

Namun yang pasti sesuatu itu sangat berguna ba-

gimu!"

"Setan alas!" maki Penyair Berdarah dalam 

hati. Lalu putar tubuhnya membalik dan tinggal-

kan puncak bukit itu.

Iblis Gelang Kematian pandangi kepergian 

muridnya.

"Kalau kukatakan sekarang, kau pasti tak 

akan jalankan ucapanku! Hik... hik... hik...!" Puas 

tertawa, nenek ini gerakkan tubuhnya berputar. 

Lalu sosoknya melesat menuruni bukit mengambil 

arah berlawanan dengan yang diambil muridnya.


SEPULUH


KEPALA berambut lebat itu agak lama ma-

suk menyelam dalam air sendang berair jernih dan 

sejuk di tengah hutan kecil yang di sekitarnya ba-

nyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang kerin-

dangan daunnya mampu menahan sinar terik 

sang matahari. Tak lama kemudian kepala itu 

muncul lagi dari dalam air, dan mungkin terasa 

segar, sesaat kemudian kepala itu telah lenyap 

masuk lagi. Ketika muncul lagi dan bergoyang-

goyang ke samping kiri kanan mengibaskan air 

yang membasahi rambutnya, tiba-tiba sepasang 

mata di kepala itu menangkap satu bayangan di 

balik pohon di sekitar sendang.

Orang yang mandi berendam dalam sen-

dang ini segera sentakkan kedua tangannya berke-

cipak dalam air. Bersamaan dengan itu tubuhnya 

melesat keluar dari dalam sendang, dan serta-

merta seraya melayang ke tempat di mana dia me-

letakkan pakaiannya, kedua tangannya kembali 

menyentak ke arah dia menangkap adanya bayan-

gan.

Serangkum angin dahsyat dengan suara 

bergemuruh menyambar dari tangan orang ini. 

Dan sekejap kemudian, ranggasan semak belukar 

yang berada di balik pohon di mana dia menang-

kap bayangan langsung terbongkar dengan akar 

tercerabut keluar dan langsung membumbung ke 

udara!

Dengan gerak cepat, orang ini segera men

genakan pakaiannya. Setelah berpakaian, tampak-

lah dengan jelas siapa adanya orang ini. Ternyata 

dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap besar, 

berambut panjang, bermata tajam, mengenakan 

jubah besar berwarna hitam yang dilapis dengan 

baju putih yang di bagian dadanya terdapat gam-

bar sebuah pintu gerbang.

Pemuda yang bukan lain adalah Dewa Maut 

ini segera berkelebat ke balik pohon yang semak 

belukarnya telah terambas rata. Dan tanpa banyak 

bicara lagi kedua tangannya kembali menghantam.

Wuttt!

Angin aneh membentuk lingkaran berputar-

putar segera melesat. Bersamaan dengan itu bebe-

rapa pohon di sekitar tempat itu tergulung dan tak 

lama kemudian membumbung ke udara terbong-

kar dari tempatnya! Ketika batangan itu melayang 

turun, telah berubah menjadi patahan kecil-kecil!

Ketika suasana sirap, sepasang mata Dewa 

Maut segera menyapu berkeliling. Namun meski 

keadaan di situ sudah rata karena pukulannya, 

namun pemuda ini tak menemukan seorang pun!

"Jahanam! Siapa pun kau, tunjukkan diri!" 

teriak Dewa Maut.

Pada saat itulah terdengar suara orang ter-

tawa. Dewa Maut cepat berpaling. Pemuda ini me-

lihat sesosok bayangan melayang turun dari se-

buah pohon tak jauh dari sampingnya yang sela-

mat dari hantaman tangannya.

Begitu sosok itu mendarat, Dewa Maut nya-

langkan sepasang matanya tak berkedip ke depan. 

Di hadapannya kini tegak berdiri seorang perempuan muda mengenakan pakaian putih. Pakaian 

bagian dadanya dibuat demikian rendah hingga 

sebagian buah dadanya yang membusung kencang 

tampak menyembul. Pakaian bawahnya tampak 

membelah tengah, menampakkan kedua paha 

yang putih mulus! Parasnya cantik jelita. Sepasang 

matanya bundar dengan rambut panjang.

Untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut 

hanya memandang seakan terpesona. Malah da-

danya terlihat bergetar, sementara napasnya 

memburu tanda pemuda ini mulai dirasuki gejolak 

nafsu.

Sementara gadis muda yang dipandangi 

seakan acuh dengan pandangan si pemuda meski 

matanya melirik tajam dan bibirnya menyungging 

senyum.

"Hm... pemuda berparas keras dan tampan. 

Tubuhnya tegap dengan otot-otot menonjol. Sein-

gatku pernah bertemu dengan pemuda ini. Apalagi 

melihat pukulan yang dilepaskannya tadi, dia pasti 

memiliki kepandaian tinggi...," bentak si gadis ber-

bisik.

"Hai!" si gadis berteriak membuyarkan rasa 

pesona Dewa Maut. "Rasa-rasanya kita pernah 

bertemu. Kau pernah pula sebutkan gelarmu. 

Sayang, aku lupa. Kalau tak keberatan, bisa se-

butkan gelarmu lagi?!"

Dewa Maut yang wajahnya telah berubah 

demi melihat siapa adanya orang, sunggingkan se-

nyum. Lalu melangkah tiga tindak ke depan. Se-

raya usap-usap dadanya dia berkata. Suaranya pe-

lan namun terdengar agak bergetar dan serak.

"Seperti kata-katamu, memang benar kita 

pernah bertemu dan kau kabur waktu itu. Aku 

adalah Dewa Maut! Kau siapa?!" Dewa Maut balik 

ajukan tanya.

Sejenak si gadis surutkan langkah satu 

langkah ke belakang dengan dada berdebar ken-

cang. Sepasang matanya yang bulat nanar me-

mandang ke arah Dewa Maut.

"Hm.... Jadi manusia yang akhir-akhir ini 

menjadi pembicaraan orang sesungguhnya pernah 

kukenal. Ilmunya memang tinggi. Tapi... aku lebih 

tertarik dengan tubuhnya. Hm.... "

Si gadis tengadahkan sedikit kepalanya seo-

lah ingin menampakkan kejenjangan lehernya. 

Bersamaan dengan itu dia menarik napas dalam-

dalam hingga dadanya bergerak-gerak. Dari mu-

lutnya yang merah dan membentuk bagus terden-

gar dia berucap.

"Orang-orang memanggilku dengan sebutan 

Dewi Tengkorak Hitam.... "

"Dewi Tengkorak Hitam. Hm... julukan ba-

gus. Sebagus orangnya!" gumam Dewa Maut me-

muji. Padahal dalam hati Dewa Maut sebenarnya 

tidak bisa menerima kalau orang yang berada di 

dekatnya, waktu itu minggat begitu saja. (Baca 

serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode: 

"Tahta Setan"). Tapi entah mengapa melihat sem-

bulan buah dada yang menantang milik Dewi 

Tengkorak Hitam, pikiran itu seketika hilang begi-

tu saja. Mata Dewa Maut malah makin membela-

lak, dadanya makin berdebar keras, sementara ja-

kunnya turun naik tak karuan.

"Namamu sudah kudengar. Dan nyatanya 

apa yang kudengar tidak berbeda dengan kenya-

taan. Hanya aku salah duga!" ujar Dewi Tengkorak 

Hitam dengan rapikan rambutnya.

"Salah duga?!" ulang Dewa Maut dengan 

kening berkerut, tak mengerti arah ucapan Dewi 

Tengkorak Hitam.

Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-

lanya perlahan. Seraya mengerling dia berkata.

"Aku menduga, orang yang bergelar Dewa 

Maut adalah seorang kakek berusia kira-kira lima 

puluh tahunan. Tak tahunya…" gadis cantik ini 

tak lanjutkan ucapannya, membuat Dewa Maut 

langsung menyahut.

"Tak tahunya apa...?!'

"Tak tahunya seorang berusia muda dan 

berwajah tampan yang pernah kukenal.... "

Hidung Dewa Maut kontan mengembang 

mendengar pujian Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda 

ini batuk-batuk kecil lalu tertawa terbahak-bahak.

"Aku bukan hanya membuatmu salah duga, 

tapi lebih dari itu. Aku akan membuat semua 

orang tercengang tak percaya!"

"Maksudmu?!" tanya Dewi Tengkorak Hitam 

dengan dahi berkerut.

Dewa Maut seakan tidak mendengar perta-

nyaan Dewi Tengkorak Hitam. Dia teruskan ta-

wanya. Setelah merasa puas tertawa dia berkata.

"Semua orang akan kubuat tak percaya jika 

manusia muda bergelar Dewa Maut akan merajai 

rimba persilatan! Ha... ha... ha...!"

"Manusia ini sombong. Apakah dia tak

mengerti, untuk menggapai cita-cita itu harus ber-

hadapan dahulu dengan beberapa tokoh yang na-

manya sudah tak asing lagi dalam percaturan rim-

ba persilatan. Apakah dia merasa yakin dapat 

menghadapi mereka-mereka itu? Ah, itu urusan-

nya. Yang kubutuhkan adalah dirinya! Hm... tu-

buhnya yang tegap tentu.... Ah...," Dewi Tengkorak 

Hitam mendesah panjang. Gadis ini lantas me-

langkah satu tindak ke depan.

"Melihat hantamanmu tadi, aku tak ragu la-

gi jika cita-citamu akan terlaksana! Dari mana kau 

peroleh ilmu yang demikian hebat itu?!" basa-basi 

Dewi Tengkorak Hitam ajukan tanya.

"Hal itu tak bisa kukatakan pada orang. 

Hanya saja dengan ilmu yang kumiliki selain ingin 

merajai rimba persilatan, aku juga punya tugas!"

"Tugas? Dari gurumu?! Tugas apa?!"

"Mencari manusia bergelar Pendekar Mata 

Keranjang 108 dan Malaikat Berdarah Biru! "

Air muka Dewi Tengkorak Hitam langsung 

berubah. Malah tak sadar kedua kakinya tersurut 

mundur satu langkah. Mulutnya membuka.

"Melihat perubahan wajahmu, aku percaya 

kau mengenal dua manusia tadi. Itulah manusia 

yang kucari dan sekaligus harus kumusnahkan 

dari muka bumi!" sambung Dewa Maut demi meli-

hat perubahan wajah Dewi Tengkorak Hitam, 

membuat gadis ini makin terkesiap.

Setelah dapat mengatasi rasa kejutnya, De-

wi Tengkorak Hitam ajukan tanya. "Boleh aku ta-

hu, silang sengketa apa hingga kau ditugaskan un-

tuk memusnahkan kedua orang itu?!"

Dewa Maut tertawa pendek sambil geleng-

kan kepala.

"Itu juga tak bisa kukatakan padamu! Apa-

kah kau memang mengenal mereka?! "

Dewi Tengkorak Hitam terdiam. Dia berpikir 

sejurus. Lalu berkata seraya gelengkan kepala.

"Aku hanya mengenal mereka lewat na-

manya saja. Sedangkan orang-orangnya aku be-

lum pernah bertemu! Kau sendiri, apa telah me-

nemukan mereka?!" seraya berkata begitu, Dewi 

Tengkorak Hitam alihkan pandangannya pada ju-

rusan lain. Perempuan itu sesungguhnya tahu ka-

lau Dewa Maut telah bertemu dengan Pendekar 

Mata Keranjang. Dan diam-diam dalam hatinya dia 

terus bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang telah 

terjadi hingga pemuda di hadapannya mengingin-

kan nyawa Pendekar Mata Keranjang. Seorang 

pemuda yang telah dikenalnya dengan baik, malah 

secara diam-diam dia menyukai pemuda itu meski 

dia tak bisa menghilangkan kesukaannya pada pa-

ra pemuda lain.

"Pendekar 108 telah dapat kutemukan. Na-

mun Malaikat Berdarah Biru sampai saat ini be-

lum kutemukan!"

"Kau telah temukan Pendekar 108 ketika 

keadaanku sedang tertotok bukan? Mengapa kau 

belum berhasil dengan tugasmu?!" tanya Dewi 

Tengkorak Hitam dengan palingkan wajah dan da-

da bergetar keras.

"Aku memang belum bisa selesaikan tugas 

itu. Ini karena ikut campurnya si keparat banci 

itu!" jawab Dewa Maut dengan rahang mengembung dan pelipis bergerak-gerak pertanda menin-

dih amarah.

Dewi Tengkorak Hitam sendiri terlihat me-

narik napas lega. Namun dia juga menahan marah 

demi mendengar Dewa Maut menyebut orang ban-

ci.

"Hm... tentu yang dimaksud adalah si jaha-

nam Setan Pesolek! Manusia keparat yang meru-

sak rencanaku bersama Pendekar 108!" Gadis ini 

lantas berujar dengan suara setengah berteriak.

"Kau menyebut orang banci. Pasti yang kau 

maksud adalah Setan Pesolek. Benar?! "

"Aku tak tahu siapa dia adanya! Yang pasti 

dia tak akan kuampuni lagi jika bertemu dengan-

ku! "

"Keparat!" Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam 

memaki, membuat Dewa Maut tersentak kaget, 

dan memandang Dewi Tengkorak Hitam penuh 

tanda tanya.

"Kau keluarkan makian, kau tampak bera-

pi-api. Apa kau punya urusan dengan orang itu?! "

"Setan Pesolek! Manusia itu memang tengah 

kucari-cari! Dan tak akan kubiarkan lolos jika ber-

temu!"

"Hm... begitu? Jika demikian, aku bersedia 

membantumu!" ucap Dewa Maut sambil melang-

kah mendekat. Dewi Tengkorak Hitam palingkan

lagi wajahnya dan pura-pura tak mengetahui jika 

dirinya dipandangi dengan tatapan aneh oleh De-

wa Maut.

"Terima kasih kau mau membantuku. Tapi 

kurasa aku bisa menyelesaikan sendiri manusia

itu...," ujar Dewi Tengkorak Hitam sambil menghe-

la napas dalam-dalam hingga buah dadanya ma-

kin terlihat membusung.

Dewa Maut hentikan langkah dua tindak di 

samping Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda ini tam-

pak ragu-ragu, membuat Dewi Tengkorak Hitam 

sunggingkan senyum tipis.

"Hm... dia tampaknya mulai tertarik padaku 

namun takut memulai.... Hik... hik... hik.... Dasar 

laki-laki! Tapi... kesempatan ini tak akan kusia-

siakan. Sudah beberapa lama aku tak merasakan 

hangatnya belaian kekar tangan seorang pemuda. 

Hm... aku akan memancingnya...," batin Dewi 

Tengkorak Hitam. Lalu menoleh pada Dewa Maut. 

Sejenak ditatapinya pemuda di hadapannya itu. 

Seraya tersenyum dia berbisik pelan.

"Sebenarnya aku tadi hendak membasuh 

tubuh di sendang itu. Tapi karena ada kau, ter-

paksa kubatalkan. Ng... bagaimana kalau aku 

akan membasuh tubuh sebentar? Kalau kau akan 

pergi, silakan saja. Tapi kalau masih ingin mengo-

brol lagi, tunggulah sampai aku selesai."

"Ah, aku memang masih ingin bersamamu. 

Akan kutunggu kau di sini!" kata Dewa Maut den-

gan suara bergetar parau, pertanda dirinya telah 

diamuk gejolak nafsu.

Dewi Tengkorak Hitam mengerling, lalu me-

langkah perlahan ke arah sendang. Jalannya sen-

gaja dibuat-buat hingga pinggulnya yang besar 

tampak bergoyang menggiurkan.

Begitu sampai di sendang, Dewi Tengkorak 

Hitam berpaling ke belakang. Dilihatnya Dewa

Maut tetap di tempatnya semula sambil terus me-

mandang ke arahnya tak berkedip.

Dewi Tengkorak Hitam menghela napas da-

lam-dalam, lalu tersenyum tipis. Dan tanpa mem-

pedulikan pandangan Dewa Maut, tangan kanan 

kirinya bergerak membuka kancing-kancing pa-

kaiannya.

Di tempatnya berdiri, dada Dewa Maut ma-

kin berdebar keras. Napasnya memburu, dengan 

mata membelalak. Betapa tidak, di depan sana 

Dewi Tengkorak Hitam tanpa malu-malu lagi 

membuka satu demi satu pakaiannya. Dan begitu 

pakaian terakhirnya terbuka, gadis ini langsung 

berkelebat masuk ke dalam air sendang.

"Busyet! Dia seakan mengharapkan..., " 

gumam Dewa Maut, namun dia masih belum be-

ranjak dari tempatnya berdiri. Dia hanya tetap 

memandangi bagian belakang tubuh Dewi Tengko-

rak Hitam yang muncul tenggelam di dalam sen-

dang.

Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling 

ke arah Dewa Maut. Sambil tersenyum gadis ini 

berteriak.

"Hai! Kau tak ingin mandi lagi?!" 

"Tapi...," Dewa Maut tak meneruskan uca-

pannya.

"Apakah kau merasa malu mandi bersama-

ku?!" sahut Dewi Tengkorak Hitam dengan ha-

dapkan tubuhnya pada Dewa Maut, seakan ingin 

memperlihatkan buah dadanya yang tak tertutup 

lagi dan tampak membusung bergerak-gerak.

Mungkin tak tahan lagi melihat pemandan

gan yang begitu membuat dadanya berdebar, pe-

muda ini langsung saja meloncat dan mencebur-

kan dirinya ke dalam sendang.

Begitu tubuhnya muncul, tubuh Dewi 

Tengkorak Hitam telah berada di rengkuhannya. 

Sejenak dua orang ini saling pandang. Bibir Dewi 

Tengkorak Hitam sunggingkan seulas senyum. 

Namun senyum itu segera pupus karena bibir De-

wa Maut telah menyergap dan memagutnya!



SEBELAS


PENUNGGANG kuda itu terus memacu ku-

da tunggangannya dengan cepat. Debu terlihat 

berhamburan ke udara menutupi pemandangan 

tatkala ladam kaki kuda itu menghentak di atas 

tanah. Sang penunggang tampaknya tidak ambil 

peduli, dia terus memacu kuda tunggangannya. 

Malah dia keluarkan makian panjang pendek ka-

rena dirasa kuda tunggangannya berlari amat 

lamban.

"Kuda jahanam! Apa kau tidak bisa berlari 

lebih kencang lagi?! Hiiya...!" Kedua tangan si pe-

nunggang dipukulkan pada leher kudanya. Kuda 

itu tersentak dan menghambur ke depan lebih ce-

pat lagi.

Ketika di depannya tampak sebuah kedai 

yang ramai pengunjung, baru si penunggang kuda 

memperlambat lari kudanya. Tepat di halaman ke-

dai, si penunggang hentikan kudanya.

Sepasang mata si penunggang sejenak me-

nyapu ke dalam kedai. Beberapa orang di dalam 

kedai yang sempat melihat ke arah si penunggang 

terlihat terkejut dan buru-buru alihkan pandan-

gan. Karena dari tampang si penunggang ini ru-

panya mereka tahu bahwa si penunggang kuda 

bukanlah orang ramah. Selain matanya yang besar 

dan masuk dalam rongga yang amat cekung, si 

penunggang mempunyai bibir yang amat tebal. So-

soknya kurus tinggi. Usianya lanjut. Di atas kepa-

lanya terlihat sebuah caping lebar berwarna hitam 

dari kulit. Potongan capingnya dibuat terbuka di 

bagian atas hingga rambutnya yang jarang serta 

jabrik terlihat. Mengenakan jubah besar berwarna 

biru gelap. Kulit wajahnya sangat tipis hingga yang 

tampak hanyalah tonjolan tulang-tulang wajahnya!

Entah karena tidak berselera makan, atau 

ingin segera sampai tujuannya, si penunggang pa-

lingkan wajah ke depan. Lalu tangan kanannya 

menepuk punggung kuda tunggangannya. Bebera-

pa orang di dalam kedai tampak menarik napas le-

ga dan mata mereka mengikuti berlalunya si pe-

nunggang. Tapi kali ini si penunggang tak lagi 

menghela kuda tunggangannya dengan cepat. Se-

baliknya ia memperlambat langkah kudanya den-

gan kepala sesekali berpaling ke samping kanan 

dan kiri serta mata nyalang.

Begitu sampai jalanan yang sepi dan tak 

ada lagi rumah penduduk, si penunggang kembali 

hentakkan tangannya pada punggung kudanya 

hingga saat itu juga binatang itu meringkih keras 

dan mulai berlari kencang. Namun baru saja dua

tombak, mendadak sebuah bayangan hitam me-

layang turun dari sebuah pohon dan langsung 

berdiri seakan menghadang. Si penunggang tarik 

hela kudanya. Binatang itu angkat kaki dan ber-

henti dengan ringkihan keras.

Sesaat si penunggang kuda lebarkan sepa-

sang matanya memperhatikan pada sosok tubuh 

yang kini berdiri dua belas langkah di hadapan-

nya. Tiba-tiba tulang-tulang wajah si penunggang 

bergerak-gerak. Mulutnya yang tebal bergerak ko-

mat-kamit. Kedua tangannya dikembangkan hing-

ga keluarkan suara bergemeretakan. Jelas jika si 

penunggang telah dirasuki hawa kemarahan.

Sementara orang yang di hadapannya, yang 

ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju 

panjang berwarna hitam dari sutera dengan kedua 

tangan dihiasi beberapa gelang berwarna kuning 

dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian, ter-

senyum lebar.

"Manusia Titisan Dewa! Perubahan yang 

kau tampakkan menunjukkan jika kau tak lupa 

padaku!" ujar Iblis Gelang Kematian masih dengan 

senyum.

Si penunggang kuda yang memang Manusia 

Titisan Dewa adanya tidak membuka mulut untuk 

menyambuti ucapan Iblis Gelang Kematian. Seba-

liknya laki-laki berusia lanjut ini palingkan wajah-

nya ke jurusan lain dengan tulang rahang terang-

kat. Sesaat kemudian dari bibirnya yang tebal ter-

dengar suara teguran keras.

"Iblis Gelang Kematian! Dicari ke mana-

mana tak ketemu. Tak tahunya datang menghadang sendiri hendak serahkan nyawa! Bersiaplah, 

Nenek Bangka!"

Selesai berkata begitu, Manusia Titisan De-

wa gerakkan tubuhnya. Sosoknya melesat seten-

gah tombak ke udara, lalu mendarat dengan sepa-

sang kaki sejengkal di atas tanah!

Meski paras Iblis Gelang Kematian tampak 

berubah mendengar ucapan Manusia Titisan De-

wa, namun nenek ini segera sembunyikan peruba-

han wajahnya dengan keluarkan geraian tawa pan-

jang.

"Tertawalah sepuasmu! Karena tawamu kali 

ini adalah kali terakhir kau bisa tertawa!" ujar Ma-

nusia Titisan Dewa seraya rangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada. Sepasang matanya tak ber-

kedip memperhatikan Iblis Gelang Kematian.

"Aneh. Kita lama tak bertemu, dan rasa-

rasanya di antara kita tak pernah ada sengketa. 

Kalau tiba-tiba saja kau muncul dan hendak men-

gakhiri tawaku itu adalah sebuah berita besar. 

Atau basa-basimu memang demikian?!"

"Tua Bangka! Kau Jangan berpura-pura! 

Aku mengadakan perjalanan ini memang sengaja 

mencarimu! "

"Aha.... Tentunya ada hal teramat penting 

sampai kau bersusah-susah mencariku!" sahut Ib-

lis Gelang Kematian merasa agak lega.

"Mencari sekaligus menguburmu!" sentak 

Manusia Titisan Dewa dengan suara keras, mem-

buat Iblis Gelang Kematian kembali tersentak ka-

get. Sepasang alis matanya terangkat dengan bola 

mata liar memperhatikan. Namun senyum nenek

ini kembali menyungging kembali.

"Manusia Titisan Dewa. Kau jangan mem-

buatku berdebar-debar dengan basa-basi guraua-

nmu. "

"Keparat!" maki Manusia Titisan Dewa. 

"Siapa bergurau?!"

"Hm... begitu?!" gumam Iblis Gelang Kema-

tian masih dengan sikap tenang meski dalam ha-

tinya bertanya-tanya. "Bisa kau katakan apa sa-

lahku padamu sampai kau bersusah payah men-

cariku sekaligus hendak menguburku?"

"Hm.... Kau manusia yang masih suka ber-

pura-pura. Tapi kalau kau ingin kukatakan apa 

salahmu, baiklah. Bukankah kau yang membawa 

seorang gadis muda bernama Sakawuni?! "

Iblis Gelang Kematian surutkan langkah sa-

tu tindak. "Hm... nyatanya soal gadis cantik itu. 

Apa hubungannya dengan tua bangka ini?!" batin 

Iblis Gelang Kematian, lalu nenek ini mengutara-

kan apa yang ada di benaknya.

"Apa hubunganmu dengan gadis itu?!" 

"Jadi benar jika nenek ini yang menyim-

pannya. Kurang ajar!" maki Manusia Titisan Dewa, 

lalu menjawab ucapan Iblis Gelang Kematian den-

gan bentakan garang. "Dia adalah muridku! Dan 

lekas serahkan dia padaku!"

"Ah...," Iblis Gelang Kematian keluarkan se-

ruan seakan terkejut.

"Manusia Titisan Dewa. Dengar baik-baik. 

Aku memang pernah bertemu dengan gadis itu. 

Malah seperti katamu, aku membawanya ke tem-

patku karena gadis itu dalam keadaan terluka parah. Namun setelah sembuh dia pergi tanpa me-

ninggalkan pesan!"

Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak 

hingga tubuhnya berguncang dan sosoknya naik 

turun.

"Siapa percaya dengan mulutmu, Nenek 

tua! Lekas antar aku menemuinya! Atau kau akan 

kubuat terkubur di tempat ini!"

"Manusia Titisan Dewa. Aku memang bukan 

orang baik-baik. Tapi soal menyimpan seorang ga-

dis apa untungnya bagiku?!"

"Itu bukan urusanku! Tapi siapa tahu kau 

menyukai sesama jenis?!"

"Jaga mulutmu, Manusia Titisan Dewa!" 

hardik iblis Gelang Kematian dengan suara mera-

dang. Pelipis nenek ini bergerak-gerak, dadanya 

bergetar keras, geram mendengar ucapan Manusia 

Titisan Dewa.

Mendapati dirinya dihardik, Manusia Titisan 

Dewa angkat kedua tangannya. Namun sebelum 

tangan itu lepaskan pukulan, Iblis Gelang Kema-

tian yang masih tampak tenang meski hatinya 

berdebar, berseru keras.

"Tunggu!"

Manusia Titisan Dewa turunkan kedua tan-

gannya dengan senyum dingin.

"Mari kita bicara baik-baik. Aku khawatir 

hal ini kau dengar dari orang yang menginginkan 

gagalnya pertemuan itu!"

Manusia Titisan Dewa keluarkan tawa pen-

dek penuh ejekan. Seraya rangkapkan kembali ke-

dua tangannya di depan dada, kakek guru Sakawuni ini berkata.

"Kuberi kesempatan kau untuk bicara. Wa-

lau aku tahu, mungkin bicaramu hanya mencari 

dalih!"

Meski dalam hati memaki tak habis-

habisnya, namun si nenek segera melangkah ke 

depan dan buka mulut.

"Soal muridmu, kalau kau masih tak per-

caya dan tetap menuduhku, aku siap melayanimu! 

Tapi harap kau menunggu sampai setelah purna-

ma depan! Silakan kau tentukan tempatnya di 

mana!"

"Aha.... Rupanya kau masih akan mengasah 

ilmu dulu. Atau kau mau cari bantuan? Ha... ha... 

ha...! Silakan. Silakan cari bantuan. Manusia Titi-

san Dewa tidak akan melangkah mundur!"

"Dengar, Manusia Titisan Dewa! Untuk 

menghadapimu aku sanggup dengan tanganku 

sendiri! Namun hal ini sengaja kutunda karena 

ada hal besar yang harus kuselesaikan daripada 

melayani tuduhan tak beralasan darimu! "

"Urusan besar?" ulang Manusia Titisan De-

wa dengan tertawa. "Urusan apa?! Kau tak usah 

malu-malu mengatakan jika hanya ingin mencari 

bala bantuan. Tapi ingat. Jika muridku nantinya 

sampai mengalami cidera, kau dan para pemban-

tumu akan mengalami kematian yang menge-

naskan! "

"Bicaralah sesuka hatimu! Hanya saja kalau 

kau memang seorang tokoh yang tak mau disebut 

pengecut, datanglah pada menjelang purnama de-

pan ke Lembah Supit Urang! "

"Setan alas! Berani kau mengulangi uca-

panmu yang menyebutku pengecut, nyawamu tak 

kutunda sampai setelah purnama!" bentak Manu-

sia Titisan Dewa dengan mata menyengat angker.

Iblis Gelang Kematian menjawab ucapan 

Manusia Titisan Dewa dengan tertawa mengekeh 

panjang. Walau dalam hatinya menyumpah habis-

habisan. "Tua bangka jahanam. Kau sepertinya 

manusia yang tiada tanding. Aku ingin tahu sam-

pai di mana kemajuan ilmumu!"

"Manusia Titisan Dewa! Bicaramu terlalu 

tinggi. Tapi itu semua tiada arti kalau kau menje-

lang purnama tidak berani datang ke lembah Supit 

Urang! Dengar! Sebelum urusan muridmu kita 

tuntaskan, kutunggu kedatanganmu di Lembah 

Supit Urang!"

"Kalau kau berani, kenapa harus menunggu 

di Lembah Supit Urang? Tentunya kau takut 

menghadapiku sendirian. Ha... ha... ha...!"

Batas kesabaran Iblis Gelang Kematian 

yang sejak tadi ditahan-tahan rupanya sudah tak 

bisa dibendung lagi.

"Tua keparat! Apa susahnya menghadapi-

mu!" 

"Bagus! Jadi kau minta urusan itu disele-

saikan di sini! "

"Terserah kau! Minta sekarang kulayani, 

minta ditunda kutunggu!"

"Jika demikian, aku minta nyawamu seka-

rang!" hardik Manusia Titisan Dewa. Bersamaan 

dengan itu kedua tangannya dipentangkan, dan 

serta-merta dihantamkan ke depan.

Wuttt!

Tiada deru angin yang terdengar, tiada 

sambaran angin yang terlihat! Namun bersamaan 

itu, udara mendadak panas menyengat, dan Iblis 

Gelang Kematian terasa terdorong ke belakang!

Sejurus Iblis Gelang Kematian terkesiap ka-

get. Sebelum tubuhnya terseret lebih jauh, nenek 

ini cepat berkelebat ke samping. Dari arah samp-

ing nenek ini sentakkan kedua tangannya ke arah 

Manusia Titisan Dewa.

Wesss!

Gelombang angin dahsyat laksana ombak 

segera melesat dari kedua tangan Iblis Gelang Ke-

matian.

Manusia Titisan Dewa tak tinggal diam. Ke-

dua tangannya kembali diangkat tinggi-tinggi, lalu 

dengan membentak garang kedua tangannya di-

hantamkan memapak serangan Iblis Gelang Kema-

tian.

Udara bertambah panas, dan bersamaan 

dengan itu seberkas sinar pelangi menggebrak ke 

depan.

Blarrr!

Terdengar ledakan dahsyat, membuat tem-

pat itu bergetar Keras. Tubuh Iblis Gelang Kema-

tian terlihat tersurut sampai empat langkah dan 

terhuyung-huyung, namun nenek ini cepat bisa 

menguasai diri, dan sekonyong-konyong si nenek 

ini hantamkan kembali kedua tangannya.

Di seberang sana, Manusia Titisan Dewa 

tampak tubuhnya bergetar keras, dan sebelum tu-

buhnya oleng, Kakek ini cepat meloncat ke samping, dan begitu melihat lawan lepaskan pukulan

lagi, dia pun segera hantamkan tangannya juga!

Wuttt!

Untuk kedua kalinya bentrok pukulan tak 

dapat dihindarkan lagi. Dan dikejap itu juga tubuh 

kedua orang ini sama-sama mental ke belakang. 

Iblis Gelang Kematian coba menahan tubuhnya 

dengan sentakan kedua tangannya ke bawah. Na-

mun gerakannya terlambat, karena bersamaan 

dengan itu tubuhnya telah terhuyung dan jatuh 

dengan kaki tertekuk. Di pihak lain, Manusia Titi-

san Dewa terlihat jatuh terduduk!

"Jahanam! Rupanya ilmunya maju cukup 

pesat juga manusia ini!" batin Iblis Gelang Kema-

tian, lalu si nenek salurkan tenaga dalam ke dada 

dan kedua tangannya yang terasa berdenyut nyeri 

dan kesemutan. Sesaat kemudian bergerak bang-

kit meski dengan meringis menahan sakit.

Kedua orang ini sejurus saling bentrok pan-

dangan. Dan serentak kedua orang ini sama-sama 

gerakkan tangan masing-masing untuk lepaskan 

serangan. Namun sebelum keduanya sempat le-

paskan pukulan, terdengar orang batuk-batuk. La-

lu disusul dengan suara tawa pendek bernada 

mengejek.

Manusia Titisan Dewa dan Iblis Gelang Ke-

matian urungkan niat masing-masing untuk le-

paskan pukulan. Serentak keduanya berpaling ke 

samping. Kedua orang ini sama-sama pelototkan 

mata masing-masing. Dahi keduanya mengernyit.


DUA BELAS


DARI arah samping kedua orang ini melihat 

dua orang melangkah ke arah mereka. Sebelah 

kanan adalah seorang pemuda berparas tampan 

dan keras. Mengenakan pakaian jubah warna hi-

tam besar yang dilapis dengan baju putih. Karena 

kancing jubah bagian atas sengaja dibuka, maka 

baik Manusia Titisan Dewa maupun Iblis Gelang 

Kematian dapat melihat jelas gambar sebuah luki-

san pintu gerbang di bagian dada baju putih si 

pemuda. Di samping si pemuda adalah seorang 

gadis muda berparas cantik Jelita. Mengenakan 

pakaian warna putih yang di bagian dada dibuat 

agak rendah, hingga sembulan buah dadanya ter-

lihat dengan jelas. Sementara pakaian bawahnya 

dibuat membelah di tengah, seolah memperli-

hatkan sepasang kulit pahanya yang mulus. Sepa-

sang mata si gadis bulat berbinar dengan rambut 

panjang.

"Siapa mereka? Kedatangannya tidak dapat 

kusiasati, hm... tentunya mereka mempunyai ilmu 

yang tidak bisa dianggap sepele...," membatin Ma-

nusia Titisan Dewa dengan memperhatikan lebih 

seksama.

"Hm... yang perempuan sepertinya pernah 

kukenal. Tapi... di mana? Si pemuda rasanya baru 

kali ini kujumpai...," Iblis Gelang Kematian berkata 

dalam hati dengan dahi terus berkerut.

Sepuluh langkah di samping Manusia Titi-

san Dewa dan Iblis Gelang Kematian si pemuda

dan si gadis yang bukan lain adalah Dewa Maut 

dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan langkah.

Kedua orang muda ini sejenak saling ber-

pandangan. Dewa Maut lantas tersenyum tipis dan 

berpaling pada Manusia Titisan Dewa. Sebelum 

pemuda ini buka mulut ajukan tanya, Manusia Ti-

tisan Dewa telah keluarkan teguran keras.

"Siapa kalian?!"

Teguran Manusia Titisan Dewa hanya dija-

wab dengan seringai oleh Dewa Maut. Dan tanpa 

mengacuhkan Manusia Titisan Dewa yang tampak 

marah, Dewa Maut berpaling pada Iblis Gelang 

Kematian. Iblis Gelang Kematian tidak keluarkan 

suara, malah sebaliknya Nenek ini alihkan pan-

dangan pada jurusan lain.

"Bila kalian tak mau mengatakan siapa 

adanya kalian juga apa tujuan kalian di sini, lekas-

lah angkat kaki sebelum kalian menyesal!"

Mendengar ucapan Manusia Titisan Dewa, 

Dewa Maut kembali berpaling ke arahnya. Sejurus 

dipandanginya kakek ini. Tiba-tiba Dewa Maut ke-

luarkan tawa bergelak.

Mendapati hal demikian Manusia Titisan 

Dewa rupanya tak dapat menahan sabar, dia sege-

ra melangkah maju. Namun baru satu langkah, 

Dewa Maut telah keluarkan bentakan keras.

"Siapa kami, nanti kekasihku yang akan je-

laskan! Tapi sekali lagi kau keluarkan ucapan 

mengancam, kau akan tewas sebelum mengetahui 

siapa kami. Kau dengar?!"

Habis berkata begitu, Dewa Maut palingkan 

wajah ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Sementara

Manusia Titisan Dewa terlihat makin geram, hing-

ga tulang rahangnya saling mengatup rapat-rapat 

keluarkan suara gemeletak.

"Dewiku.... Katakan pada mereka siapa 

adanya kita! " Dewa Maut berkata pada Dewi 

Tengkorak Hitam.

Dewi Tengkorak Hitam maju selangkah. 

Memandang satu persatu pada Manusia Titisan 

Dewa dan Iblis Gelang Kematian. Setelah terse-

nyum sinis gadis cantik buka mulutnya.

"Pemuda di hadapan kalian saat ini adalah 

manusia yang bergelar Dewa Maut! Sedangkan 

aku.... Dewi Tengkorak Hitam!"

Iblis Gelang Kematian langsung berubah 

parasnya. Dahinya mengkerut dengan mata me-

nyipit memandang ke arah Dewa Maut.

"Hm... melihat gerak-geriknya pemuda itu 

memang membekal ilmu. Tapi bagaimana mungkin 

dia bisa jatuh ke pelukan perempuan itu? Dewi 

Tengkorak Hitam... namanya memang pernah ku-

dengar. Kabarnya dia seorang perempuan yang se-

lain mempunyai ilmu tinggi juga doyan pada pe-

muda-pemuda! Pemuda ini perlu didatangkan ke 

lembah Supit Urang...."

Berpikir begitu, Iblis Gelang Kematian lalu 

maju selangkah seraya anggukkan kepala dengan 

bibir sunggingkan senyum.

"Gembira sekali hari ini aku bisa bertemu 

dengan orang muda yang namanya mulai dikenal 

orang-orang kalangan persilatan. Aku Iblis Gelang 

Kematian.... Terimalah perkenalanku.... "

Mendengar sedikit pujian, Dewa Maut bu

sungkan dadanya. Lalu berpaling pada Iblis Gelang 

Kematian tanpa anggukkan kepala atau ucapkan 

kata-kata. Dia hanya memandang lalu tersenyum 

sinis, membuat Iblis Gelang Kematian memaki 

panjang pendek dalam hati seraya mulut komat-

kamit.

Mendadak Dewa Maut menoleh pada Manu-

sia Titisan Dewa.

"Kau telah dengar siapa kami. Sekarang ka-

takan siapa kau!"

Sosok manusia Manusia Titisan Dewa terli-

hat berguncang karena menahan geram. Sementa-

ra Dewi Tengkorak Hitam dan Dewa Maut diam 

menunggu. Setelah menarik napas dalam-dalam, 

Manusia Titisan Dewa mendongak.

"Pasang telinga kalian baik-baik. Aku dige-

lari orang Manusia Titisan Dewa!"

Dewi Tengkorak Hitam ternganga, sedang-

kan Dewa Maut tetap tenang tak menunjukkan ra-

sa terkejut sama sekali. Hal ini bisa dimaklumi, 

karena Dewi Tengkorak Hitam yang telah lama ma-

lang melintang dalam rimba persilatan telah per-

nah mendengar tentang tokoh ini. Sementara De-

wa Maut yang baru saja menjejakkan kakinya ke 

arena rimba persilatan belum pernah mendengar 

siapa adanya tokoh yang kini ada di hadapannya 

itu.

"Sekarang katakan apa tujuan kalian bera-

da di sini. Apa kalian ada hubungannya dengan 

tua bangka itu?!" sambung Manusia Titisan Dewa 

masih dengan mendongak.

Dewa Maut keluarkan tawa dahulu sebelum

berkata.

"Kami tak ada sangkut-paut apa-apa den-

gan nenek itu! Kalau kau tanya tentang tujuanku, 

dengarkan baik-baik. Aku datang dengan tujuan 

ingin menjadi raja rimba persilatan! "

Serta-merta Manusia Titisan Dewa tertawa 

bergerai-gerai.

"Anak muda! Berapa umurmu sekarang?!"

"Umur bukan ukuran seseorang menjadi ra-

ja di rimba persilatan!" sahut Dewa Maut dengan 

suara keras bergetar.

"Hm... begitu? Tekadmu tampaknya besar, 

Anak muda! Siapa gurumu?!"

"Itu juga bukan ukuran seseorang untuk 

menggenggam rimba persilatan! "

"Hm... Jika begitu kau memang pantas di-

kasih tahu aturan rimba persilatan!" hardik Manu-

sia Titisan Dewa, kedua tangannya diangkat lalu 

ditarik sedikit ke belakang.

Tahu jika Manusia Titisan Dewa akan le-

paskan pukulan, Dewa Maut berbisik pada Dewi 

Tengkorak Hitam.

"Dewi.... Kau menyingkirlah! Tua bangka ini 

rupanya ingin tahu siapa yang dihadapinya saat 

ini!"

Dewi Tengkorak Hitam surutkan langkah ke 

samping. Sementara Dewa Maut maju satu tindak. 

Dia tidak membuat gerakan, hanya sepasang ma-

tanya menyorot tajam pada Manusia Titisan Dewa.

"Tunggu!" tiba-tiba Iblis Gelang Kematian 

berseru.

Manusia Titisan Dewa berpaling dengan li

rikkan matanya. Sementara Dewa Maut tak meno-

leh. "Kau mau bergabung dengannya?!" teriak Ma-

nusia Titisan Dewa.

Iblis Gelang Kematian menyeringai buruk.

"Sebaiknya kita akhiri urusan sepele ini 

sampai di sini saja! Karena ada hal yang lebih 

penting yang semestinya kita lakukan."

"Kita lakukan?!" ulang Manusia Titisan De-

wa dengan sinis. "Kau bukan kelompokku! Aku 

adalah aku! Jangan kau berani menyebut kita!"

"Jahanam! Seandainya aku tidak punya 

rencana besar di lembah Supit Urang, sudah ku-

sudahi hidupmu!" maki Iblis Gelang Kematian da-

lam hati. Nenek ini berpaling pada Dewa Maut, la-

lu berkata.

"Dewa Maut. Kau memang berhak bercita-

cita menjadi raja di raja rimba persilatan. Tapi un-

tuk mencapainya tentu kau harus buktikan dulu 

bahwa sudah tidak ada orang lagi yang dapat 

mengalahkan dirimu!"

"Hal itu akan kubuktikan sekarang! Dan tua 

bangka itu yang akan kujadikan barang bukti per-

tama kali!" sahut Dewa Maut dengan arahkan te-

lunjuk jarinya pada Manusia Titisan Dewa.

"Di sini, barang bukti sepuluh kali lipat tak 

akan ada artinya!"

"Apa maksudmu?!" tanya Dewa Maut masih 

tanpa berpaling.

"Kalau kau ingin membuktikan, datanglah 

pada menjelang purnama depan ke Lembah Supit 

Urang. Di sana nanti, kau bisa berhitung. Adakah 

kau pantas menyandang gelar raja di raja rimba

persilatan atau tidak!"

Habis berkata demikian, Iblis Gelang Kema-

tian melirik pada Manusia Titisan Dewa, lalu ber-

kata.

"Manusia Titisan Dewa. Urusan kita, kita 

selesaikan di lembah Supit Urang! Ingat! Jika ka-

lian tak datang, lebih baik kalian bunuh diri seka-

rang juga! Hik... hik... hik...!"

Iblis Gelang Kematian lantas balikkan tu-

buh, dan hendak pergi tinggalkan tempat itu. Na-

mun sebelum dia sempat berkelebat, Manusia Titi-

san Dewa telah sentakkan kedua tangan ke arah-

nya.

Wuttt!

Hawa panas yang kemudian berganti dingin 

menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu, 

seberkas sinar pelangi melesat cepat ke arah Iblis 

Gelang Kematian.

Mengetahui serangan berbahaya, Iblis Ge-

lang Kematian segera balikkan tubuhnya dan le-

paskan pukulan. Namun sebelum pukulannya 

sempat dilancarkan, Dewa Maut telah membentak 

garang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya 

menghantam memapak pukulan yang mengarah 

pada Iblis Gelang Kematian.

Wesss!

Asap merah menyambar keluar dari kedua 

tangan Dewa Maut, disusul kemudian dengan 

menggebraknya angin yang berputar-putar aneh.

Manusia Titisan Dewa tampak terkesiap ka-

get ketika melihat sinar pelangi pukulan saktinya 

'Menggiring Pelangi Menebar Hawa' masuk ke dalam angin yang berputar-putar aneh itu. Dan ka-

kek ini makin tak percaya tatkala angin yang ber-

putar-putar aneh itu kini melabrak ke arahnya!

Sambil berseru tegang, Manusia Titisan De-

wa melompat ke udara. Lalu hantamkan kedua 

tangannya ke arah angin yang berputar-putar dan 

menggulung serangannya tadi.

Blarrr!

Ledakan keras segera terdengar. Tanah ber-

muncratan ke udara menutupi pemandangan. So-

sok Manusia Titisan Dewa tampak membuat gera-

kan berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum 

akhirnya mendarat sejengkal di atas tanah!

Ketika keadaan terang kembali, Manusia Ti-

tisan Dewa tampak keluarkan makian tak karuan, 

karena sosok Iblis Gelang Kematian telah lenyap 

dari tempat itu!

"Pengecut jahanam! Kutunggu kau di tem-

pat yang kau sebutkan!" teriak Manusia Titisan 

Dewa. Lalu menatap pada Dewa Maut dan berkata.

"Kau juga, jangan kira urusan kita ini sele-

sai! Kita buktikan nanti di lembah Supit Urang, 

siapa yang berhak menyandang gelar raja di raja 

rimba persilatan!"

Manusia Titisan Dewa lantas menggoyang 

tubuhnya lalu berkelebat meninggalkan tempat 

itu.

"Kau biarkan tua-tua bangka itu pergi begi-

tu saja?!" ujar Dewi Tengkorak Hitam seraya me-

lingkarkan tangannya pada pinggang Dewa Maut 

dan merapatkan dadanya pada punggung si pemuda.


Tangan Dewa Maut bergerak mengelus tan-

gan Dewi Tengkorak Hitam.

"Sebenarnya aku ingin membunuh mereka. 

Tapi sengaja kuulur. Aku ingin manusia-manusia 

macam mereka menjadi kacung-kacung Dewa 

Maut. Ha... ha... ha...! Mereka akan kujadikan 

Laskar Dewa! Pembantu-pembantu setia Dewa 

Maut yang mengiringi ke mana tuannya melangkah! Ha... ha... ha...!"



                       SELESAI



Segera terbit:

TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG






























Share:

0 comments:

Posting Komentar