SATU
MALAM baru saja turun. Di sebuah hampa-
ran tanah terbuka yang ditumbuhi jajaran pohon-
pohon pinus terlihat sesosok tubuh duduk ber-
sandar pada sebuah pohon. Kedua lengannya di-
rangkapkan sejajar dada. Sepasang matanya terpe-
jam rapat dengan mulut bergerak komat-kamit
tiada henti. Sekujur tubuh sosok ini tam-pak ba-
sah kuyup oleh keringat dari kaki hingga rambut.
Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki
berusia amat lanjut. Rambut dan kumisnya yang
panjang telah berwarna putih dan awut-awutan
tak terawat. Sosoknya kurus kering hingga tulang-
tulang pada dada dan lambungnya yang tidak ter-
tutup sebuah baju terlihat menonjol dengan jelas.
Melihat sikapnya, berat dugaan jika kakek
ini sedang memusatkan mata batinnya seraya ke-
rahkan tenaga dalam, karena meski dia diam tak
bergerak namun keringat terus mengalir dari seku-
jur tubuhnya! Malah tak jarang dadanya terlihat
bergetar keras dan sesekali tubuhnya berguncang!
Beberapa saat lamanya, tiba-tiba sepasang
mata si kakek membuat gerakan membuka. Na-
pasnya yang tadi berhembus teratur berhenti. Ber-
samaan dengan itu kepalanya perlahan berpaling
ke samping. Bola matanya ikut berputar liar me-
mandang kian kemari menembusi kegelapan ma-
lam. Mulutnya menggumam sesuatu yang tak je-
las.
Sesaat kemudian, kepalanya kembali lurus
ke depan.
"Seseorang melangkah menuju tempat ini!"
dalam hati si kakek berucap. Lalu pejamkan sepa-
sang matanya kembali. Napasnya pun kembali
berhembus teratur seperti semula.
Apa yang di batin si kakek tidak meleset.
Dari kegelapan bayang-bayang pohon pinus mun-
cul sesosok tubuh dan melangkah ke arahnya.
Mungkin tidak menduga, lima langkah di
samping si kakek, orang yang baru muncul seren-
tak hentikan langkah. Malah kakinya tersurut
kembali satu tindak ke belakang. Dahinya men-
gernyit dengan sepasang mata memperhatikan le-
kat-lekat.
Dia adalah seorang perempuan tua. Pakaian
atas berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-
tam. Bawahannya berwarna hitam kembang-
kembang putih. Sepasang matanya besar, hidung-
nya mancung serta bibir merah tanpa polesan. Pa-
da kedua tangannya tampak melingkar beberapa
gelang berwarna kuning. Rambutnya putih dan
panjang sampai betis.
"Bertelanjang dada, rambut awut-awutan,
celana kolor warna kusam. Hmm...." Sepasang bo-
la mata si nenek berputar. Kepalanya bergerak
berpaling ke kanan kiri. Lalu kembali lurus mem-
perhatikan orang yang duduk bersandar.
"Tokoh rimba persilatan yang telah lama tak
unjuk diri. Dadung Rantak! Kukira manusia ini te-
lah berkalang tanah. Hmm.... Sedang apa dia di
sini?! Bersemadi? Atau menunggu seseorang?!"
Si nenek memperhatikan sekeliling sekali
lagi, lalu melangkah mendekat. Baru satu tindak,
orang tua yang duduk bersandar dan bukan lain
adalah Dadung Rantak buka kelopak matanya,
memandang tajam pada orang yang mendekatinya.
Kedua alis matanya naik sesaat, mulutnya berke-
mik.
"Walau telah lama tak jumpa, namun aku
masih mengenalinya! Perempuan yang sejak dulu
ingin merajai rimba belantara persilatan. Hmm....
Iblis Gelang Kematian! Apakah mimpi besarnya itu
masih bercokol di benaknya?! "
Perempuan tua berambut panjang dan
mengenakan beberapa gelang yang tidak lain me-
mang Iblis Gelang Kematian, seorang tokoh rimba
persilatan dari jajaran atas golongan hitam yang
juga adalah guru si Manding Jayalodra alias Pe-
nyair Berdarah, hentikan langkah dua tindak di
depan Dadung Rantak.
Sesaat kedua orang ini saling pandang den-
gan mulut masing-masing terkancing rapat. Seje-
nak rasa tegang menguasai diri masing-masing
orang. Namun tak lama kemudian Iblis Gelang
Kematian buka mulut memecah keheningan.
"Rentang waktu telah membuat panca inde-
ra berkurang ketajamannya. Apakah benar saat ini
aku berhadapan dengan sobat sealiran Dadung
Rantak?!"
"Apa yang kau lihat benar adanya, Iblis Ge-
lang Kematian!" jawab Dadung Rantak masih den-
gan mata tak berkedip memperhatikan. Tanpa
menggerakkan kedua tangannya yang merangkap
di depan dada, kakek itu bergerak bangkit. Lalu
menyambung ucapannya.
"Berpuluh tahun kita tak bertemu. Kau
baik-baik saja?! "
Iblis Gelang Kematian arahkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Dengan tertawa pelan
dia berkata.
"Seperti kenyataannya, aku tak kurang sua-
tu apa!" Sejenak nenek ini hentikan ucapannya,
lantas melanjutkan. "Berpuluh-puluh tahun tak
ada kabar beritanya. Tiba-tiba muncul dan duduk
merenung sendiri. Apa gerangan yang mengusik-
mu sampai kau unjuk diri lagi? Dan sedang apa
kau di sini?!"
Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia
lepaskan rangkapan kedua tangannya, lalu men-
gusap wajahnya yang keringatan dengan tapak
tangan. Sepasang matanya mengerjap, lalu buka
suara.
"Keadaan kadang-kadang membuat manu-
sia harus merubah jalan pikiran. Situasi seringkali
mengharuskan manusia berbuat sesuatu! Itulah
yang kualami sekarang! "
Iblis Gelang Kematian menoleh dengan dahi
mengkerut.
"Apakah ucapanmu mengisyaratkan jika
kau tidak segolongan dengan aku lagi?! "
Dadung Rantak tengadahkan kepalanya.
Dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh
panjang, membuat perutnya yang terbuka berge-
rak-gerak ke atas.
"Terserah bagaimana kau menangkap uca-
panku. Yang jelas, bagi orang seusiaku golongan
tidak penting lagi! Yang paling utama adalah tu-
juan dan langkah untuk mencapai tujuan itu!"
"Hmm.... Begitu? Boleh aku tahu apa tu-
juanmu sebenarnya?!"
Dadung Rantak terdiam. Diam-diam dalam
hati kakek ini membatin.
"Perempuan ini dari dahulu tidak berubah.
Selalu ingin tahu persoalan orang lain. Tapi.... Tak
ada salahnya aku berterus terang padanya. Karena
tujuanku mungkin masih membutuhkan bantuan
orang lain seperti dia"
Berpikir begitu, Dadung Rantak lantas be-
rucap.
"Tak usah kukatakan panjang lebar ten-
tunya kau telah mendengar jika adikku dahulu te-
was di tangan Wong Agung dari Karang Langit. La-
lu kau pasti telah tahu pula tentang heboh Arca
Dewi Bumi...! "
Iblis Gelang Kematian anggukkan kepalanya
beberapa kali, lalu berkata.
"Apa yang kudengar darimu saat ini me-
mang telah kuketahui. Harap kau suka melan-
jutkan ucapanmu!"
"Sebenarnya aku telah memutuskan untuk
tidak terjun lagi dalam kancah persilatan. Namun
hatiku tidak bisa tenteram. Arwah adikku rasanya
terus membayangi. Dia seakan menuntut padaku
agar aku tak tinggal diam dengan kematiannya.
Lagi pula aku malu dengan pandangan orang, diki-
ra mereka, aku tak ambil peduli dengan kematian
adikku! Di pihak lain, kabar tentang kesaktian Ar-
ca Dewi Bumi membuatku penasaran.... "
"Hmm.... Jadi itukah yang membuatmu te-
rusik hingga muncul lagi?! Apakah kau telah me-
lakukan sesuatu selama ini?!" Iblis Gelang Kema-
tian ajukan tanya.
Dadung Rantak menghela napas dalam-
dalam. "Aku telah datangi tempat Wong Agung di
Karang Langit. Tapi manusia keparat itu ternyata
masih cukup tangguh untuk ditaklukkan! "
"Kau dikalahkannya?!" sahut Iblis Gelang
Kematian dengan mimik terkejut. Karena dia tahu,
bagaimana ketinggian ilmu Dadung Rantak yang
sedari dulu membuatnya ditakuti kawan maupun
lawan.
Mendengar pertanyaan blis Gelang Kema-
tian, Dadung Rantak mendongak memandang lan-
git yang banyak ditaburi bintang. Mulutnya per-
dengarkan suara tawa perlahan.
"Dalam hidup, aku punya prinsip. Tak akan
pernah merasa kalah! Pada saat terjadi bentrok di
Karang Langit, aku tidak kalah! Hanya karena se-
suatu hal maka pertarungan itu terpaksa kutun-
da!" (Tentang pertarungan antara Dadung Rantak
dengan Wong Agung di Karang Langit silakan baca
serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-
sode: 'Badai di Karang Langit").
Sejurus Dadung Rantak hentikan keteran-
gannya, lalu meneruskan.
"Tentang Arca Dewi Bumi, ini yang membu-
atku kecewa besar."
"Karena kau tak berhasil mendapatkannya.
Begitu?!"
Dadung Rantak menyeringai. Lalu geleng
kan kepalanya.
"Aku terlambat datang! Seandainya aku ti-
dak terlambat, mungkin saja pusaka arca itu bisa
jatuh ke tanganku!"
"Apakah benar berita yang kudengar arca
itu berhasil dibawa kabur oleh pemuda murid
Wong Agung yang bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108?!"
"Berita itu benar adanya!" timpal Dadung
Rantak cepat. Parasnya mendadak berubah. Ra-
hangnya mengembung besar, sementara dadanya
bergetar keras.
"Air mukamu berubah. Apakah kau juga
sempat bentrok dengan murid Wong Agung itu?!"
Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia
terlihat masih menguasai hawa kemarahan yang
melanda hatinya. Setelah dapat menguasai diri,
dia angkat bicara. Suaranya keras meledak-ledak.
"Tak perlu kujelaskan padamu. Yang pasti
guru dan muridnya sekarang jadi musuh besarku!"
Iblis Gelang Kematian sunggingkan senyum
dingin. Dalam hati nenek berpakaian mewah ini
berkata. "Manusia yang sedang dilanda dendam
begini mudah untuk dikendalikan! Aku harus da-
pat pergunakan kesempatan ini! Ini akan memu-
luskan jalanku untuk merajai rimba persilatan
yang telah lama kuidam-idamkan! Tapi aku harus
berhati-hati dengan manusia ini. Dia orang peka
dan tak mudah untuk diatur!"
Berpikir sampai di situ, nenek ini lantas
berkata.
"Sobatku Dadung Rantak! Selain kabar tadi,
aku juga dengar jika pemuda murid Wong Agung
itu kini selalu dibayang-bayangi oleh beberapa to-
koh tua seperti Dewi Bayang-Bayang, Dewi Kayan-
gan, Gongging Baladewa, dan yang pasti gurunya
sendiri.... "
"Bukan hanya itu saja!" ujar Dadung Ran-
tak menyahut. "Namun akhir-akhir ini pemuda itu
juga sering muncul bersama tokoh aneh bergelar
Setan Arak dan manusia banci bergelar Setan Pe-
solek!"
"Hmm.... Jika itu betul, maka akan bertam-
bah sulit untuk memukul pemuda itu. Karena Se-
tan Arak dan Setan Pesolek bukanlah orang sem-
barangan! Apakah kau telah punya suatu renca-
na?!"
"Rencana? Rencana apa maksudmu?!"
tanya Dadung Rantak ingin menyelidik.
Iblis Gelang Kematian kembali sunggingkan
senyum. Dia melangkah mondar-mandir. Seraya
usap wajahnya dia berkata pelan.
"Kau telah menganggap murid dan gurunya
sebagai musuh besar. Tentunya kau ingin nyawa
kedua orang itu! Padahal pemuda itu kini secara
tak langsung dibantu oleh manusia-manusia yang
belum jelas apa tujuannya namun berilmu amat
tinggi. Apakah kau telah punya suatu gagasan un-
tuk melenyapkan pemuda itu?!"
"Untuk membunuh seseorang, bagiku tak
perlu rencana atau gagasan! Lagi pula apa yang
perlu ditakutkan?! Aku punya tangan dan kekua-
tan untuk melawan mereka!"
Mendengar ucapan Dadung Rantak, Iblis
Gelang Kematian tertawa mengekeh, membuat si
kakek kernyitkan kening, namun kening itu tak
membentuk kerutan, karena kulit wajah si kakek
demikian tipis. Yang tampak adalah gerakan tu-
lang keningnya yang terangkat sedikit ke atas. Dari
mulutnya lantas terdengar teguran.
"Apa yang membuatmu tertawa, Iblis Gelang
Kematian?! "
"Kata-katamu!" tukas si nenek masih den-
gan tertawa.
"Kuakui, kau punya tangan dan kekuatan.
Namun kau rupanya melupakan sesuatu. Dalam
kancah rimba persilatan, kalau ingin menjadi ma-
nusia yang tidak tertandingi, atau ingin membalas
dendam, tidak cukup hanya dengan mengandal-
kan tangan dan kekuatan! Otak, sekali lagi otak
harus digunakan! Tanpa otak tangan dan kekua-
tan hanya akan menjadi bumerang!"
Dadung Rantak terdiam mendengar perka-
taan Iblis Gelang Kematian. Dia memandang pe-
rempuan tua di hadapannya lekat-lekat. Mungkin
ada benarnya apa yang dikatakan si nenek, kakek
bertelanjang dada ini ajukan pertanyaan.
"Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan?!"
Iblis Gelang Kematian menarik napas pan-
jang lega. Karena jebakan yang akan dilakukannya
hampir mengena sasaran.
"Sobatku Dadung Rantak! Pemuda itu kini
telah dikelilingi oleh beberapa orang berkepan-
daian tinggi yang kebanyakan dari golongan orang-
orang putih. Kita dari golongan hitam kenapa tidak
bersatu saja lalu secara bersama-sama melawan
nya?! Kita punya banyak teman yang ilmunya juga
tinggi. Jika kita bergabung, selain beban kita jadi
ringan, tujuan kita akan segera tercapai!"
Dadung Rantak angguk-anggukkan kepa-
lanya. Namun dalam hati kakek ini berkata lain.
"Aku tahu kau mengajak bergabung karena kau
takut menghadapi orang-orang itu! Kau akan men-
gambil keuntungan tanpa keluarkan banyak tena-
ga. Hmm.... Jangan mimpi kau akan menyiasati
diriku! Tapi aku akan berpura-pura mau, hal ini
akan mempermudah bagiku menjajaki keberadaan
musuhku!" kakek ini lantas berkata.
"Sobatku. Jika itu jalan yang terbaik untuk
menyelesaikan masalah, kuharap kau segera me-
lakukan sesuatu!"
Iblis Gelang Kematian berpikiran sejenak.
Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia beru-
cap.
"Dua puluh hari di muka, kita bertemu di
Lembah Supit Urang! Aku akan menghubungi be-
berapa teman segolongan!"
'Aku akan datang pada saat yang ditentu-
kan!" sahut Dadung Rantak. Kakek ini lantas
arahkan pandangannya jauh ke depan. Mulutnya
hendak mengucapkan sesuatu, namun dia urung-
kan.
Iblis Gelang Kematian yang sekilas dapat
membaca hal itu segera mendehem beberapa kali,
membuat Dadung Rantak palingkan wajah. Sebe-
lum kakek ini bicara. Iblis Gelang Kematian telah
mendahului.
"Agaknya masih ada yang ingin kau utara
kan. Katakan saja!"
"Akhir-akhir ini aku mendengar munculnya
seorang pemuda berkepandaian tinggi bergelar
Dewa Maut! Apa kau tahu, dia berada di pihak
mana?!"
'Aku telah dengar tentang pemuda itu. Na-
mun aku belum dapat memastikan di mana dia
berpihak. Perjalananku kali ini sebenarnya selain
mencari muridku, juga untuk menyelidik tentang
pemuda itu!"
Dadung Rantak sedikit terkejut mendengar
ucapan Iblis Gelang Kematian.
"Hmm.... Jadi kau telah punya seorang mu-
rid. Kalau boleh tahu siapa nama muridmu itu?!"
"Sebenarnya aku tidak lagi menginginkan
seorang murid. Namun karena usiaku telah me-
rangkak tua, dan aku masih membutuhkan tena-
ga, terpaksa untuk melanjutkan cita-citaku, aku
mengangkat seorang murid. Dia bergelar Penyair
Berdarah!"
"Hmm.... Nama bagus!" puji Dadung Ran-
tak.
"Kau juga bukankah dulu punya dua orang
murid?!"
Dadung Rantak mengangguk.
"Keduanya telah kulepas. Dan di antara aku
dengan mereka sudah tidak ada hubungan guru
dan murid! Malah yang laki-laki telah tewas waktu
kejadian di lereng Gunung Kembar! Sekarang ting-
gal yang perempuan. Dia sekarang bergelar
Dayang Naga Puspa."
"Ingat perempuan. Aku jadi ingat perem
puan cantik bermata biru bergelar Ratu Pulau Me-
rah. Bukankah dia dulu sering bersamamu?!"
Serentak Dadung Rantak sentakkan kepa-
lanya menoleh pada Iblis Gelang Kematian. Ra-
hangnya menggegat keluarkan suara gemeretak.
Jari-jari tangannya bergerak mengembang hingga
memperdengarkan suara berkeretakan. Mulutnya
komat-kamit namun tak mengeluarkan suara.
Mengetahui orang sedang diamuk amarah,
Iblis Gelang Kematian terdiam. Malah sepasang
matanya beralih pada jurusan lain. Dia menunggu
orang bicara. Namun hingga agak lama, Dadung
Rantak tidak keluarkan sepatah kata pun!
"Hmm... Rupanya telah terjadi sesuatu an-
tara manusia ini dengan perempuan cantik itu.
Mungkin perempuan itu mengkhianatinya,
atau...." Iblis Gelang Kematian tidak melanjutkan
kata hatinya, karena bersamaan dengan itu Da-
dung Rantak telah keluarkan ucapan.
"Apa tidak ada hal lain yang masih ingin
kau utarakan?! "
Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-
las. Seraya melangkah satu tindak ke depan dia
berujar.
"Untuk sekarang mungkin cukup. Kalau
ada hal lain bisa kita bicarakan nanti di Lembah
Supit Urang. Sekarang aku harus pergi.... "
Dadung Rantak tidak menyambuti ucapan
Iblis Gelang Kematian. Dia putar tubuhnya, lalu
tanpa pedulikan tatapan si nenek, Dadung Rantak
duduk bersandar lagi pada batang pohon pinus.
Kedua tangannya bergerak merangkap dan diseja
jarkan dada. Sepasang matanya pun perlahan-
lahan terpejam rapat. Mulutnya berkemik-kemik.
"Setan Alas! Kalau saja tidak memandang-
mu sebagai teman satu golongan, kupuntir tanggal
kepalamu!" maki Iblis Gelang Kematian dalam hati.
Lalu tanpa berpaling lagi, nenek berambut panjang
ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
Baru saja Iblis Gelang Kematian pergi, seso-
sok bayangan tiba-tiba berkelebat dan tahu-tahu
telah berdiri di depan Dadung Rantak dengan se-
pasang mata memperhatikan tak berkedip!
DUA
UNTUK beberapa saat lamanya orang yang
baru muncul mengawasi Dadung Rantak dari
rambut sampai kaki. "Lagaknya seperti seorang
pengemis. Namun melihat sikapnya yang tidak ke-
dinginan meski tak mengenakan baju, tentunya
dia seorang yang memiliki ilmu! Hmm.... Dan rasa-
rasanya aku pernah bentrok dengan lelaki tua itu!
Tapi sudahlah, dia bukan orang yang kucari!" bisik
hatinya. Orang ini lantas memandang berkeliling.
Lalu berujung lagi pada sosok sang kakek. Mulut-
nya bergerak membuka hendak mengucapkan se-
suatu, namun sesaat kemudian mulutnya terkatup
kembali. Tanpa berpaling lagi, orang ini lantas me-
langkah hendak tinggalkan tempat itu.
Namun langkah orang ini tertahan ketika
didengarnya Dadung Rantak keluarkan batuk-
batuk tiga kali. Orang yang berdiri serentak palingkan wajahnya. Bersamaan dengan itu Dadung
Rantak buka kelopak matanya.
Sekejap sepasang mata Dadung Rantak
membesar dan menyipit. Kira-kira delapan lang-
kah dari tempatnya duduk bersandar, si kakek
melihat seorang berdiri tegak memandang ke
arahnya.
Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-
hangnya kokoh, rambutnya panjang dan lebat.
Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-
gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak
sebuah lukisan pintu gerbang.
"Hmm.... Aku pernah berselisih dengannya.
Ketika itu aku sedang terluka dalam dan pemuda
ini datang. Lalu bertempur beberapa jurus den-
gannya. Sebaliknya aku bertanya untuk meyakin-
kan!" kata hati Dadung Rantak.
"Orang muda! Siapa kau? Apakah kau men-
cari seseorang?!"
Orang yang ditanya tidak segera memberi
jawaban. Hanya sepasang matanya yang terus
memandang tak berkedip.
Dadung Rantak tengadahkan kepalanya.
Matanya menatap tajam pertanda tak senang den-
gan sikap orang yang tidak menjawab pertanyaan-
nya.
"Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku,
cepat menyingkir dari hadapanku!" Dadung Ran-
tak keluarkan bentakan.
Mendengar bentakan orang, si pemuda bu-
kannya takut lalu menuruti kata-kata orang untuk
menyingkir. Sebaliknya pemuda ini mendongak
sambil tertawa pelan. Nadanya jelas meremehkan!
"Orang tua! Sepertinya aku pernah meli-
hatmu. Dengar baik-baik! Aku adalah Dewa Maut!
Kau sendiri siapa?!"
Air muka Dadung Rantak seketika berubah.
Namun hal itu segera disembunyikannya dengan
keluarkan batuk-batuk kecil. Dalam hati kakek ini
berucap.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia me-
mang pernah hampir membunuhku!" (Baca Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Prahara
Dendam Leluhur").
"Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap
kau segera pula jawab tanyaku!' sang pemuda
yang bukan lain memang Dewa Maut adanya balik
keluarkan bentakan. Dewa Maut telah ingat kalau
lelaki tua ini sudah mati sewaktu bertempur den-
gannya. Tapi mengapa sekarang masih berkelia-
ran? Pemuda itu memang tidak tahu kalau Da-
dung Rantak pura-pura mati kala itu.
Dadung Rantak luruskan kepalanya. Sepa-
sang matanya memandang tajam dengan terse-
nyum dingin,
"Aku Dadung Rantak!" serunya dengan se-
tengah berteriak. Setelah diam sejurus dia kembali
melanjutkan ucapannya.
"Kau rupanya buru-buru. Apa kau mencari
seseorang?!"
Dewa Maut lirikkan matanya. Bahunya di-
angkat sedikit. "Tahu apa manusia tua ini tentang
orang yang kucari?! Tapi tak ada jeleknya aku
mengatakan padanya. Dengan tersebarnya berita
ini, mungkin saja orang yang kucari penasaran,
dan balik mencariku!"
"Aku memang sedang mencari seseorang!"
ujar Dewa Maut sambil alihkan pandangannya ke
jurusan lain.
"Hmm.... Siapa yang kau cari?!"
"Wong Agung!" jawab Dewa Maut tandas.
Dadung Rantak sedikit tercengang menden-
gar jawaban pemuda di hadapannya. Namun seke-
jap kemudian ketercengangannya berubah menjadi
rasa geli. Hingga tak lama kemudian dari mulut-
nya terdengar suara tawanya mengekeh panjang.
"Orang tua! Kau berani menertawakanku.
Katakan apa yang membuatmu tertawa ngakak.
Hah...?!"
Dewa Maut cepat keluarkan bentakan ke-
ras. Paras wajahnya berubah merah padam. Ra-
hangnya terangkat. Menindih rasa geram menda-
pati ucapannya ditertawakan orang.
"Orang muda! Kau ini aneh. Wong Agung
sudah sejak beberapa puluh tahun tak pernah lagi
ikut campur dunia persilatan. Melihat perubahan
pada wajahmu, aku dapat menduga kau punya
masalah dengannya. Tapi mana mungkin? Wong
Agung sudah tidak pernah lagi meninggalkan tem-
patnya! Kau jangan bercanda!"
"Jahanam! Siapa bercanda!" gertak Dewa
Maut, membuat Dadung Rantak katupkan mulut-
nya rapat-rapat. Dipandanginya pemuda di hada-
pannya lekat-lekat, seakan ingin meyakinkan ucapan orang.
"Kalau kau tidak bercanda, katakan apa si-
lang sengketa antara kau dengan Wong Agung!"
"Itu urusanku! Dan kau tak layak untuk
menanyakannya!" tukas Dewa Maut dengan se-
nyum mengejek.
"Hmm.... Begitu? Apakah kau sudah pa-
ham, siapa adanya orang yang kau cari itu?!"
tanya Dadung Rantak dengan tawa perlahan, sea-
kan ingin balik mengejek orang.
"Bagiku tak penting siapa adanya orang itu!
Yang pasti aku menginginkan jiwanya!"
"Hmm.... Selain dia, adakah orang lain yang
kau cari?!"
"Orang tua!" ujar Dewa Maut tanpa meman-
dang. "Sepertinya kau hendak menyelidik. Siapa
kau sebenarnya?!"
Dadung Rantak tertawa pendek. Lalu ge-
rakkan kepalanya menggeleng pelan ke kanan kiri.
"Seperti kukatakan tadi. Aku adalah Da-
dung Rantak! Tua bangka yang sudah bau tanah.
Aku tidak menyelidik. Tak ada untungnya bagiku
menyelidik urusan orang! Hanya...," Dadung Ran-
tak tak meneruskan kata-katanya.
"Hanya apa?!" tanya Dewa Maut cepat.
"Kusarankan padamu, untuk mengurung-
kan niat! Kau masih muda, masih banyak yang bi-
sa kau perbuat selain mencari penyakit dengan
Wong Agung!"
Tubuh Dewa Maut terlihat terguncang. Ke-
dua tangannya mengepal hingga otot-otot tangan-
nya tampak menggurat jelas.
"Keparat! Dia rupanya belum tahu siapa di
riku!" maki Dewa Maut dalam hati. Lalu dia buka
mulutnya. Suaranya terdengar bergetar, pertanda
geram.
"Korban telah kutetapkan! Siapa pun tak
akan dapat menghalangi langkahku! Atau kau me-
nyangsikan diriku?!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut angkat
kedua tangannya dan dihantamkan ke arah se-
buah pohon pinus besar yang berjarak dua puluh
langkah dari tempatnya berdiri.
Wuuttt! Wuutttt!
Asap merah yang disusul dengan mende-
runya angin berputar-putar aneh melesat ke de-
pan. Bersamaan dengan itu udara berubah panas
menyengat laksana dipanggang!
Sekejap kemudian, batang pohon pinus di
depan sana terdengar bergemeretakan. Di lain ke-
jap, batang pohon itu telah membumbung ke uda-
ra dan berputar-putar. Ketika kedua tangan Dewa
Maut disentakkan ke bawah, batang pohon pinus
menukik dan telah menjadi patah-patahan kecil!
Serta hangus menghitam!
Meski diam-diam Dadung Rantak menga-
gumi pukulan sang pemuda, namun kakek ini tak
mau mengatakan atau menunjukkan wajah kehe-
ranan. Malah dia tertawa pelan. Lalu bergerak
bangkit dan berkata.
"Dengar Anak muda! Yang baru saja kau
pukul adalah sebuah pohon. Bukan...."
"Mataku juga tidak buta! Namun Wong
Agung akan kubuat seperti itu!" tukas Dewa Maut
sebelum Dadung Rantak menyelesaikan ucapan
nya.
"Angan-angan seringkali di atas kenyataan,
Anak muda!" gumam Dadung Rantak tanpa ber-
paling.
"Eh, mendengar ucapanmu rupanya kau
kenal betul dengan Wong Agung!" ujar Dewa Maut
dengan sedikit merendahkan suaranya.
"Hmm.... Nyata sekali jika manusia som-
bong ini masih belum mengenal satu persatu to-
koh rimba persilatan! Tapi bekal yang dibawanya
cukup tinggi!"
"Makanya aku sarankan padamu untuk
mengurungkan niat, karena aku telah tahu siapa
adanya Wong Agung!"
"Apa hubunganmu dengan Wong Agung?!"
tiba-tiba suara Dewa Maut mengeras lagi.
"Apa hubunganku dengan Wong Agung, itu
bukan urusanmu!"
"Keparat! Jangan-jangan kau sahabatnya!
Betul?!"
Dadung Rantak tertawa mengekeh hingga
bahunya berguncang keras. Namun suara tawanya
tiba-tiba diputus. Sepasang matanya liar meman-
dang tajam pada Dewa Maut. Jari telunjuknya
bergerak lurus ke arah wajah pemuda itu.
"Sekali lagi kau keluarkan makian, kupe-
cahkan mulutmu!"
Mendengar ancaman orang, Dewa Maut bu-
kannya tersurut mundur, sebaliknya pemuda ini
ganti tertawa ngakak. Dengan kacak pinggang pe-
muda pengemban tugas dendam leluhurnya ini
berkata.
"Dewa Maut tak suka diancam orang. Tun-
jukkan padaku bagaimana caranya memecahkan
mulut Dewa Maut! Atau kau yang ingin mati dua
kali!"
"Menuruti ucapanmu, sebenarnya aku tak
keberatan. Tapi masih ada urusan lebih penting
daripada sekadar main-main memecahkan mu-
lutmu. Tapi kalau kau ingin membuktikan pecah-
nya mulut, atau sekalian putusnya nyawa, ku-
tunggu kedatanganmu di Lembah Supit Urang dua
puluh hari dari saat ini!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak ter-
tawa perlahan. Lalu berkelebat meninggalkan tem-
pat itu.
Dewa Maut kertakkan rahang. Namun pe-
muda ini tak berbuat sesuatu untuk mencegah
kepergian si kakek.
"Sengaja kubiarkan dahulu tua bangka itu
minggat. Aku menangkap sesuatu di balik undan-
gan nya itu...!" Lalu tak peduli si kakek telah pergi
jauh pemuda itu berteriak lantang.
"Dewa Maut bukan manusia penakut! Bu-
kan kau yang menunggu di sana. Tapi aku akan
datang mendahuluimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya gema suara
teriakannya, Dewa Maut tak tampak lagi di tempat
itu!
TIGA
ORANG tua bermata putih dan sangat sipit
itu mendongak ke langit. Saat itu hari memasuki
tanggal lima belas, hingga meski malam telah la-
rut, namun cuaca sangat terang karena sang rem-
bulan bulat penuh tidak sedikit pun disemaraki
bongkahan awan. Angin berhembus semilir mem-
buat rambut orang tua yang panjang dan telah
memutih itu melambai-lambai.
Sejenak kedua tangan si orang tua bergerak
mengusap wajahnya yang keriput dimakan usia.
Setelah menarik napas dalam dan tersenyum din-
gin, orang tua ini luruskan kepalanya. Yang terli-
hat oleh si kakek ini hanyalah pucuk dedaunan
yang berubah warna karena tertimpa cahaya sang
rembulan, karena saat itu si kakek memang bera-
da pada sebuah puncak bukit.
"Hmm.... Ini adalah purnama yang kelima
belas. Waktu terakhir bagi pemuda itu menyele-
saikan batu ujian. Kalau dia bertahan, nasibnya
memang baik. Jika tidak, dia akan mampus!" Si
orang tua bergumam sendiri. Kedua tangannya
membetulkan jubahnya yang besar dan telah lu-
suh. Dia lalu melangkah pulang balik di puncak
bukit yang sepi itu. Kepalanya lalu tengadah me-
mandang rembulan, lalu lurus kembali. Semua ge-
rak-gerik kakek ini mengisyaratkan bahwa dirinya
saat itu sedang berada dalam keadaan gelisah. Se-
tidak-tidaknya ada yang membuatnya tidak sabar
menunggu sesuatu.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba untuk yang
kesekian kalinya si orang tua memandang tajam
ke arah sang rembulan. Kali ini sambil tersenyum.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk. Se-
telah menarik napas panjang dia melangkah ke
samping kanan dua tindak. Lalu putar tubuhnya
setengah lingkaran dan laksana kilat, tubuhnya
berkelebat menuruni bukit.
Pada lamping bukit yang terhampar sebuah
tanah lapang tanpa ditumbuhi pohon si kakek
hentikan larinya. Sepasang matanya yang sipit dan
berwarna putih memandang tak berkedip pada se-
buah lobang besar yang ada di tengah-tengah ta-
nah lapang.
Lobang itu lebarnya dua kali panjang tom-
bak dan berbentuk segi empat. Anehnya meski lo-
bang itu berada di tanah, namun dari dalamnya
mencorong warna merah dan membiaskan hawa
panas!
Setelah mengusap kening dan lehernya
yang keringatan, si orang tua melangkah pelan
mendekati lobang yang mencorong merah. Begitu
berada di samping bibir lobang, sepasang matanya
dibuka lebar-lebar.
Ternyata di dalam lobang itu terdapat tum-
pukan batang-batang kayu yang telah berubah jadi
bara! Malah sesekali seberkas api tampak mencuat
ke atas karena terhembus angin.
Si orang tua untuk beberapa jurus mem-
perhatikan. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak
menyentak ke bawah, lalu diangkat pelan-pelan.
Terjadilah sesuatu yang luar biasa. Tumpukan batangan kayu dl dalam lobang mencelat berhambu-
ran ke udara, lalu berserakan di atas lobang den-
gan keadaan padam!
Ketika tumpukan bara kayu di dalam lo-
bang tidak ada lagi, tampak melingkar sesosok tu-
buh yang hanya mengenakan sebuah celana kolor
yang sudah hangus dan robek di sana-sini.
Di bawah cahaya sinar rembulan, sosok tu-
buh yang melingkar itu terlihat diam tak bergerak.
Bahunya tidak menampakkan adanya guncangan
yang menandakan napasnya masih berhembus.
Kulit sekujur tubuhnya pun tampak berubah
menghitam dan di beberapa bagian terlihat men-
gembung dan di bagian lainnya mengelupas!
"Malaikat Berdarah Biru! Kau masih men-
dengar kata-kataku?!" si orang tua berseru keras.
Tak ada jawaban dari sosok tubuh di bawahnya
yang dipanggil Anak Agung. Sosok itu pun tak ter-
lihat membuat gerakan.
Si orang tua bergerak jongkok di bibir lo-
bang. Sepasang matanya dipentangkan lebar-
lebar. Untuk kesekian lama dia memperhatikan
sambil menunggu. Tapi karena sekian lama tak ju-
ga ada tanda-tanda jika sosok di dalam lobang
hendak bergerak apalagi keluarkan suara untuk
menjawab pertanyaan orang, si orang tua menghe-
la napas panjang.
"Hm.... Apa dia sudah tewas?!" gumamnya
seraya gerakkan kepala tengadah. "Ujian ini me-
mang berat. Namun jika berhasil, maka dia kelak
akan menjadi manusia tanpa tanding di jagat ini!
Segala pukulan tak akan mampu menembus tubuhnya! Tapi jika dia gagal dalam ujian ini, dia
akan tewas!"
Setelah menarik napas dalam-dalam, tanpa
palingkan lagi wajahnya pada sosok di dalam lo-
bang, si orang tua kembali berteriak lantang.
"Malaikat Berdarah Biru! Kalau kau masih
bernyawa, cepat bangkit!"
Lagi-lagi si orang tua tak mendapat jawa-
ban, membuat kepalanya berpaling ke bawah
memperhatikan sekali lagi. Kepalanya lantas
menggeleng perlahan.
"Nampaknya kau gagal, Bocah! Berarti na-
sibmu belum baik. Dan kau harus terkubur di
situ!"
Si orang tua lantas bergerak bangkit. Kaki
kanannya lalu menjejak tanah bibir lobang. Tanah
itu langsung longsor berjatuhan di bawah, menim-
bun sosok di dalamnya. Si orang tua terus jejak-
kan kakinya ke tanah di sekitar lobang, hingga
lambat laun sosok di dalam lobang tertimbun
hampir tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba si orang tua hentikan kakinya
yang menjejak. Sepasang matanya yang sipit me-
mandang tajam ke dalam lobang. Kedua alis ma-
tanya yang putih dan sangat tipis naik sesaat. Mu-
lutnya bergerak komat-kamit.
Pada saat tanah telah menutup hampir se-
kujur tubuh sosok di dalam lubang, si orang tua
melihat adanya gerakan. Lalu perlahan-lahan se-
buah tangan tampak menyeruak dari timbunan
tanah. Kemudian disusul dengan tangan satunya
lagi. Dan perlahan-lahan pula dari timbunan tanah itu muncul kepala dengan rambut panjang
dan kempal serta jarang. Kulit wajahnya telah
berwarna kecoklatan.
"Astaga! Ternyata dia berhasil melampui
ujian ini!" gumam si orang tua dengan bibir men-
gulas senyum. Tubuhnya sedikit berguncang, se-
mentara sepasang matanya tak berkedip.
"Ahhh..,." Tiba-tiba sosok yang kini telah
menampakkan kepala dan dadanya itu keluarkan
suara erangan. Kepalanya lantas bergerak tenga-
dah. Sepasang matanya yang masih terpejam ber-
gerak-gerak hendak membuka, namun belum
sampai mata itu membuka, dari mulutnya yang
gosong keluar lagi erangan kesakitan. Bersamaan
dengan itu, kepalanya lunglai dan tubuhnya hen-
dak luruh lagi.
Namun sebelum tubuh itu terbujur di atas
tanah di dalam lobang, si orang tua telah banting-
kan kedua kakinya ke atas tanah. Tempat itu tiba-
tiba berguncang keras. Dan bersamaan dengan itu
sosok yang di dalam lobang mencelat ke atas!
Si orang tua mengikuti gerakan sosok yang
melayang, lalu dia berkelebat. Dan 'huuup', sosok
yang menukik itu telah berada di pondongan si
orang tua.
Tanpa meneliti lagi, si orang tua berkelebat
menaiki puncak bukit dengan tawa mengekeh ter-
dengar dari mulutnya.
Sampai di puncak bukit, si orang tua mele-
takkan sosok yang dipondongnya di tanah. Sesaat
dia memandangi, lalu bergerak bangkit dan berke-
lebat ke balik sebuah pohon besar yang di belakangnya tampak gundukan batu. Tak lama kemu-
dian dia telah keluar lagi dengan tangan kanan
memegang sebuah kendi dari tanah.
Si orang tua melangkah dan berdiri tegak di
samping sosok yang membujur tak bergerak. Ke-
pala si orang tua lalu tengadah pandangi bulan.
Mulutnya komat-kamit perdengarkan suara yang
tak jelas. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, mula-mula
pelan, namun makin lama makin keras. Bersa-
maan dengan itu seraya terhuyung, dia melangkah
ke samping dua tindak. Kendi di tangan kanannya
dimiringkan tepat di atas kepala sosok di bawah-
nya.
Dari mulut kendi mengucur cairan berwar-
na merah. Membasahi kepala sosok yang terbujur.
Lalu si orang tua melangkah sambil mengucurkan
cairan merah ke seluruh tubuh sosok di bawahnya
hingga cairan itu tak tersisa lagi.
Si orang tua lalu meletakkan kendi di samp-
ing kepala sosok yang terbujur. Dia lantas duduk
bersila. Sepasang matanya perlahan memejam.
Kedua tangannya lalu disatukan di depan dada.
Dari mulutnya terdengar ucapan-ucapan yang ti-
dak bisa dimengerti.
Terjadilah suatu hal yang hampir tak bisa
dipercaya. Sekujur kulit sosok yang terbujur tiba-
tiba menggelembung, dan perlahan-lahan merekat
lalu gelembungan itu pecah. Dan perlahan-lahan
pula pecahan kulit itu terus merambat ke sekujur
tubuh.
Beberapa saat berlalu. Ketika si orang tua
membuka kembali sepasang matanya terlihat kulit
kecoklatan yang tadi membungkus sekujur tubuh
di hadapannya telah mengelupas! Dan berserakan
di sekitar tubuh yang terbujur. Pada sekujur tu-
buh sosok itu kini terlihat kulit yang berwarna
kuning kemerahan!
Si orang tua lepaskan kedua tangannya
yang menakup, lalu ditempelkan pada dada sosok
yang terbujur. Si orang tua tak menunggu lama.
Sesaat kemudian dada sosok itu bergerak-gerak la-
lu dari hidungnya berhembus napas. Dan bersa-
maan dengan itu dari mulutnya terdengar guma-
man. Si orang tua yang ternyata salurkan tenaga
dalamnya itu lipat gandakan tenaga dalamnya.
Perlahan-lahan sosok itu buka kelopak ma-
tanya, memandang lurus ke atas. Lalu bola ma-
tanya berputar ke samping. Sejenak bola mata itu
memandang lekat-lekat pada si orang tua. Tiba-
tiba dari mulutnya terdengar seruan pelan.
"Guru!"
Si orang tua anggukkan kepalanya, lalu
tangannya ditarik dari dada sosok terbujur di ha-
dapannya.
"Bangkitlah!" seru si orang tua dengan bibir
tersenyum puas.
Perlahan-lahan sosok yang terbujur yang
kini kulitnya telah pulih seperti sediakala bergerak
bangkit dan duduk. Ternyata dia adalah pemuda
berparas tampan. Sepasang matanya tajam berki-
lat. Dagunya kokoh dengan perawakan tegap. Pada
telinga kiri tampak sebuah anting-anting tembaga.
Rambutnya yang tadi jarang dan tipis, sekarang
sudah tumbuh kembali. Ini semua berkat cairan
merah yang diguyurkan si kakek.
Sejenak si pemuda memandang tajam pada
kulit berserakan di kanan kirinya, lalu meneliti se-
kujur tubuhnya. Kepalanya lalu lurus memandang
si orang tua. Mulutnya hendak berkata, namun si
orang tua telah mendahului.
"Malaikat Berdarah Biru! Itu adalah kulit
luar mu yang tadi terpanggang selama kau menja-
lani ujian!"
Masih diliputi rasa keheranan, pemuda
yang dipanggil Anak Agung ajukan tanya. "Bagai-
mana ini bisa terjadi?!"
Si orang tua keluarkan tawa mengekeh pan-
jang.
"Darah ular cobra yang telah diawetkan
berpuluh-puluh tahun. Itulah yang bisa membuat
kulitmu mengelupas dan berganti dengan kulit ba-
ru. Selain itu, kini tubuhmu akan kebal terhadap
segala jenis racun! "
"Terima kasih, Guru!" ujar Malaikat Berda-
rah Biru dengan hanya sedikit anggukkan kepa-
lanya. Itu pun dia lakukan dengan perasaan berat.
Karena sebenarnya dia tak suka melakukan hal itu
meski terhadap orang tua yang dipanggilnya Guru.
"Hmm.... Sifat angkuh anak ini memang te-
lah mendarah daging! Tapi apa hendak dikata.
Semuanya seakan sudah diatur, dan aku menda-
patkan pemuda yang demikian. Tapi aku bangga,
dia berhasil mengatasi ujian itu," kata hati si orang
tua, lalu buka mulut.
"Malaikat Berdarah Biru! Seperti yang per-
nah kukatakan padamu dahulu, kalau kau telah
berhasil melewati ujian ini, maka kau akan beru-
bah menjadi manusia yang tahan terhadap segala
jenis pukulan! Ditambah kau sekarang akan kebal
terhadap segala jenis racun. Dan secara otomatis,
pukulanmu yang telah kau pelajari dari guru-
gurumu terdahulu akan berlipat ganda kekuatan-
nya!"
Dengan senyum lebar dan busungkan dada,
Anak Agung berkata.
"Jadi aku sekarang telah mendapatkan se-
mua itu?!"
Si orang tua anggukkan kepalanya. "Kau
adalah manusia ketiga yang berhasil menjalani
ujian berat itu! "
Dahi Malaikat Berdarah Biru langsung ber-
kerut mendengar keterangan si orang tua. Dengan
hati gusar, dia ajukan tanya.
"Kalau aku adalah orang ketiga, berarti ada
dua orang lagi. Siapakah mereka?!"
"Pertama adalah orang yang mencipta ilmu
itu. Orang kedua adalah mendiang guruku sendi-
ri!" jawab si orang tua.
Malaikat Berdarah Biru menghela napas le-
ga. Sebenarnya pemuda ini merasa khawatir jika
ada orang lain yang menguasai ilmu itu. Namun
setelah mendapat keterangan demikian, yang be-
rarti kedua orang tersebut telah tiada, dia merasa
senang. Karena hanya dia sendirilah kini yang
menguasai ilmu itu.
"Malaikat Berdarah Biru!" kata si orang tua
setelah agak lama di antara keduanya tidak ada
yang keluarkan suara.
"Enam belas bulan kau berada di sini. Dan
lima belas bulan lamanya kau habiskan di dalam
lobang ujian itu. Sekarang apa yang kau inginkan
telah tercapai. Dan mungkin dalam benakmu ingin
segera meninggalkan tempat ini!"
"Keparat! Sudah tahu kenapa masih di-
ucapkan lagi?!" maki Anak Agung dalam hati. Dia
segera menatap tajam orang tua di hadapannya
dan berujar.
"Kalau memang sudah tidak ada lagi yang
harus kulakukan, aku memang ingin segera me-
ninggalkan tempat ini. Seperti yang pernah kuceri-
takan padamu dahulu, aku punya urusan yang ti-
dak akan bisa membuat batinku tenang sebelum
urusan itu selesai!"
"Maksudmu urusan dengan Pendekar Mata
Keranjang 108?!"
Air muka Malaikat Berdarah Biru kontan
berubah tatkala mendengar si orang tua menyebut
Pendekar 108. Rahangnya yang kokoh terangkat
dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak.
Meski mulutnya tidak keluarkan suara un-
tuk menjawab, mendapati perubahan wajah mu-
ridnya, si orang tua itu maklum. Seraya tertawa
mengekeh si orang tua menyambung ucapannya.
"Sakit hati memang harus dibalas! Kapan
kau akan meninggalkan tempat ini?!"
Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-
jawab. Dia masih meredakan gejolak amarah yang
membakar dadanya. Setelah dadanya mereda, dia
angkat bicara.
"Kalau guru memperbolehkan dan memang
sudah tidak ada yang harus kulakukan di sini,
aku akan berangkat sekarang juga!"
Si orang tua angguk-anggukkan kepala.
Tangannya bergerak mengusap-usap kumisnya
yang telah memutih.
"Memang, sudah tidak ada lagi yang perlu
kau lakukan. Hanya kalau kau benar-benar ingin
segera berangkat, aku tak akan mencegahmu...,"
sejenak si orang tua hentikan ucapannya. Setelah
menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan.
"Ada beberapa hal yang harus kau ketahui
sebelum kau berangkat...."
"Hmm... Hal apakah itu, Guru?!" sahut Ma-
laikat Berdarah Biru dengan kening mengernyit.
"Turut apa yang kudengar, kali ini rimba
persilatan telah diramaikan dengan munculnya to-
koh-tokoh tua yang ilmunya tak disangsikan lagi.
Juga telah muncul beberapa pemuda yang il-
munya juga tak bisa dibilang sembarangan. Kalau
hal itu memang benar, aku punya permintaan pa-
damu!"
"Katakan saja. Guru!"
"Carilah seorang laki-laki tua bergelar Setan
Arak! Cabut nyawanya untukku!" suara si orang
tua mendadak berubah parau dan bergetar, mem-
buat Malaikat Berdarah Biru terkejut. Namun mu-
rid ini menyadari jika gurunya sedang marah.
Hingga dia hanya diam tak menyahut ucapan gu-
runya meski dalam hati dia ingin mengatakan se-
suatu.
"Yang kedua, kau harus dapat membunuh
orang yang bergelar Dewi Bunga Iblis!"
"Guru!" kata Malaikat Berdarah Biru. "Bisa
kau katakan ada silang sengketa apakah antara
kau dengan kedua orang yang kau sebut tadi?!"
Si orang tua tertawa pendek. Bibirnya ter-
senyum kecut. Senyum pertanda kegeraman dan
kepedihan hati.
"Seperti halnya dirimu yang sakit hati dihi-
nakan dan dikalahkan pemuda bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108 itu, aku pun pernah dihina-
kan oleh kedua orang tadi! Dan sakit hati ini tak
akan pupus sebelum keduanya mati di tanganku
atau setidak-tidaknya di tangan muridku!"
"Hm.... Jika demikian, aku berjanji akan
membawa kedua kepala orang itu ke hadapanmu
sebagai balas budimu padaku!"
Si orang tua tertawa mengekeh panjang
hingga bahunya berguncang dan air matanya ke-
luar.
"Ternyata aku memilih orang yang tidak sa-
lah! Kedatanganmu dengan penggalan kepala ke-
dua orang itu kutunggu!"
"Sekarang apakah aku bisa pergi, Guru?!"
Si orang tua terdiam sejenak. Dia sepertinya
sedang memikir. Lalu berkata.
"Sebenarnya hal ini tak akan ku utarakan
padamu. Namun untuk jaga-jaga tak ada salahnya
juga kau ketahui!"
Malaikat Berdarah Biru kembali kernyitkan
dahi. Dia tak ucapkan sepatah kata pun! Dia diam
menunggu.
"Ketahuilah! Kau memang telah menjadi
orang hebat. Tak akan mempan senjata dan pukulan. Tak akan mempan segala jenis racun. Tapi se-
gala sesuatu harus kita sadari pasti punya kele-
mahan!"
"Maksudmu?!" tukas Malaikat Berdarah Bi-
ru cepat dengan dada bergetar.
"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai
oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri!
Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"
Malaikat Berdarah Biru tersentak. Namun
cuma sesaat. Sekejap kemudian dia telah terse-
nyum. "Hmm.... Jika hanya itu pantangannya, aku
bisa menghindari! Lagi pula aku belum punya
anak...," batinnya.
"Maka dari itu, Muridku. Kusarankan pa-
damu agar kau bertindak hati-hati pada seorang
perempuan. Karena itu akan menjadi petaka bagi
dia kelak kemudian hari! Dan yang juga harus kau
ingat, kalau kau tidak dapat menghindari dari hal
yang pertama dan terpaksa punya seorang anak,
jangan sampai kau bertarung dengannya saat bu-
lan purnama! Karena saat itulah ajalmu akan dat-
ing!"
"Segala petunjukmu akan kuingat!"
"Bagus! Sekarang kau bisa tinggalkan tem-
pat ini! "
Namun Malaikat Berdarah Biru tidak segera
bangkit. Dia masih duduk bersila, membuat si
orang tua melanjutkan ucapannya dengan nada
bertanya.
"Ada sesuatu yang masih ingin kau tanya-
kan?! "
"Guru! Kau telah memberikan segala yang
terbaik padaku. Rasanya kurang enak jika kau
masih tetap menyembunyikan siapa dirimu pada-
ku! Harap kau suka katakan siapa nama atau ge-
larmu! Lagi pula sewaktu-waktu kedua musuhmu
itu bertanya, aku bisa menjawab! "
Si orang tua hanya menjawab dengan keke-
han tawanya. Setelah puas tertawa, dia keluarkan
sesuatu dari balik Jubahnya. Ternyata sesuatu itu
adalah sebuah cincin berwarna hitam berbentuk
kepala burung.
"Tunjukkan benda itu pada kedua orang itu.
Atau kepada siapa saja yang pernah malang melin-
tang dalam rimba persilatan pada masa lalu. Di
sanalah kau akan mengetahui siapa diriku sebe-
narnya!" kata si orang tua seraya mengulurkan
cincin itu pada Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda itu segera menyambuti, lalu cincin
itu dikenakannya.
"Kau ambillah pakaianmu di balik pohon
itu!" perintah si orang tua.
Malaikat Berdarah Biru bergerak bangkit,
lalu melangkah ke balik pohon. Ketika dia keluar
lagi, dia terkejut. Si orang tua sudah tak ada lagi di
tempatnya semula.
Sepasang mata Malaikat Berdarah Biru me-
nyapu berkeliling. Namun orang yang dicarinya tak
ditemukan. Dia lalu berteriak memanggil dengan
sebutan guru beberapa kali. Namun hanya hem-
busan angin yang menjawabnya.
"Keparat! Ke mana orang tua ini perginya?
Ah, persetan! Yang penting aku telah mendapatkan
sesuatu yang kuinginkan!" gumamnya dalam hati.
Malaikat Berdarah Biru lantas merapikan
pakaiannya. Ternyata yang dikenakan adalah se-
buah jubah toga berwarna merah darah. Inilah pa-
kaian yang menunjukkan bahwa pemakainya ada-
lah pemuda yang dulu pernah menggegerkan du-
nia persilatan bernama asli Anak Agung yang per-
nah berguru pada seorang nenek sesat Bidadari
Telapak Setan. Lalu pernah juga diambil murid
oleh Bayangan Iblis. Pemuda yang dulu pernah
menggenggam senjata kipas pusaka hitam ciptaan
Empu Jaladara!
Seperti dituturkan dalam episode: "Geger
Para iblis", Pendekar 108 berhasil membuat Malai-
kat Berdarah Biru cidera dalam, namun pemuda
itu masih sempat meloloskan diri, karena Pende-
kar 108 terpaku melihat Putri Tunjung Kuning
yang semula dikira sudah tewas ternyata masih
hidup, hingga kelengahan itu dipergunakan untuk
meloloskan diri oleh Malaikat Berdarah Biru.
Di tengah perjalanan, mungkin karena lu-
kanya cukup parah, Malaikat Berdarah Biru jatuh
terduduk di atas tanah. Pemuda ini tampaknya
amat khawatir jika Pendekar 108 mengejar, hingga
meski masih merasakan sakit yang amat sangat,
dia segera bergerak bangkit. Namun belum sampai
tubuhnya benar-benar tegak, sosoknya telah jatuh
lagi. Pemuda ini tak putus asa. Dia coba kerahkan
tenaga dalam, namun karena tubuh bagian da-
lamnya telah terluka, pemuda ini gagal mengerah-
kan tenaga dalam.
Dalam keadaan bingung, takut dan putus
asa, mendadak muncul seorang kakek bermata
putih. Entah karena terkejut mengira yang muncul
adalah Pendekar 108, atau karena lukanya terlalu
parah, belum sempat sang kakek berkata, Malai-
kat Berdarah Biru telah roboh pingsan.
Sang kakek akhirnya membawa Malaikat
Berdarah Biru ke tempat tinggalnya. Begitu Malai-
kat Berdarah Biru sembuh, pemuda ini meminta
agar sang kakek bersedia mengangkatnya sebagai
murid. Rupanya keinginan Malaikat Berdarah Biru
terkabul, karena sang kakek tak keberatan men-
gangkatnya sebagai murid.
Sejak saat itulah Malaikat Berdarah Biru
menghilang. Mungkin karena tak satu pun yang
mengetahui ke mana lenyapnya pemuda ini, apa-
lagi setelah dikalahkan oleh Pendekar 108, maka
sebagian orang rimba persilatan menduga jika Ma-
laikat Berdarah Biru telah tewas!
EMPAT
SIANG itu panasnya bukan alang kepalang.
Arak-arakan awan tak secuil pun yang menutupi
langit, hingga sang mentari begitu leluasanya me-
mancarkan sinarnya yang menyengat.
Pada suatu tempat di ujung hutan kecil
berbatasan dengan sebuah desa tampak seseorang
melangkah terseok-seok. Malah sesekali tubuhnya
doyong ke depan akan jatuh terjerembab, namun
begitu tubuhnya hampir saja menyuruk tanah,
orang ini cepat tarik tubuhnya kembali. Dia adalah
seorang perempuan mengenakan pakaian gombrong besar dan panjang menjuntai tanah, hingga
kedua tangan dan kaki perempuan ini tak terlihat.
Wajahnya dibedaki pupur tebal. Sementara bibir-
nya dipoles merah dan belepotan sampai hidung.
Kedua alis mata serta kelopak matanya diberi pe-
warna hitam. Rambutnya dikuncir ke atas dibagi
dua, kanan dan kiri.
Seraya melangkah terseok-seok dari mulut-
nya terdengar suara nyanyian yang tak bisa di-
mengerti. Dan sesekali nyanyiannya diseling den-
gan siulan dan tepuk tangan.
Mungkin karena panas, tiba-tiba tangan si
perempuan bergerak menyelinap ke balik pakaian-
nya. Sejenak kepalanya bergerak berputar ke sana
kemari. Sepasang matanya menyapu berkeliling.
Lalu dengan senandung kecil tangan kanannya di-
tarik dari batik pakaiannya. Di tangannya kini ter-
lihat sebuah kipas lipat. Setelah melirik kian ke-
mari, dia pentangkan kipasnya, lalu seraya ber-
sandar pada sebuah batu dia mulai gerakkan tan-
gannya pulang balik di depan wajah berkipas-
kipas. Sepasang matanya terpejam membuka seo-
lah menikmati semilirnya angin yang keluar dari
gerakan kipasnya.
"Sungguh malang nasib orang sepertiku...."
Tiba-tiba dari mulut si perempuan terdengar uca-
pan. "Panas-panas begini harus tertatih-tatih sen-
diri, tanpa teman tanpa kawan. Tujuan pun hanya
menuruti ke mana kaki ingin mengajak. Apakah
nasib seperti ini masih akan kualami selamanya?
Hik... hik... hik.... Tapi, siapa tahu nanti ada orang
yang mengajakku. Aku mau ikut saja asal tidak di
jadikan sebagai.... Huk... huk... huk...!" Tiba-tiba si
perempuan ini takupkan tangan kirinya ke wajah.
Bahunya berguncang-guncang seakan hendak
mengatasi tangisnya. "Huk... huk... huk.... ini se-
mua gara-gara manusia yang namanya laki-laki!
Seenaknya begitu saja meninggalkan perempuan
jika sudah merasakan apa yang diinginkan! Seka-
rang harus ke mana aku mencarinya? Dan kalau
tidak ketemu, siapa kelak yang akan bertanggung
jawab atas perbuatannya? Huk... huk... huk...! Ka-
lau sampai ketemu, dan dia tak mau bertanggung
jawab, akan kulumat polos tubuhnya! Dia telah
memberiku malu besar. Busyet! Aku sampai salah
omong! Hik... hik... hukkk...!"
Tiba-tiba si perempuan ini putuskan tan-
gisnya. Tangannya yang menutupi wajah diluruh-
kan. Sejenak sepasang matanya melirik kian ke-
mari. Dan secepat kilat tangan kanannya yang
memegang kipas diselinapkan kembali ke balik
pakaiannya. Lalu kedua tangannya menutupi wa-
jahnya. Dan tak lama kemudian terdengar lagi su-
ara serta sesenggukkannya.
Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan
berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri sepuluh
langkah di hadapan si perempuan.
Sepasang matanya segera memperhatikan
dengan tatapan liar dari ujung rambut sampai
ujung pakaian si perempuan yang berserakan di
atas tanah. Dahinya mengernyit, sementara ra-
hangnya yang kokoh terangkat sedikit.
Sementara itu, si perempuan berpakaian
gombrong segera keluarkan seruan terkejut. Sepasang matanya mengerjap. Wajah si perempuan ti-
ba-tiba berubah. Sepasang matanya dibeliakkan
besar-besar. Mulutnya komat-kamit menggumam
tak jelas. Dan perlahan-lahan pula dia bangkit.
Kakinya serentak mundur ke belakang. Namun
mungkin dia lupa kalau di belakangnya ada batu,
hingga tubuhnya melabrak batu itu. Sejenak tu-
buhnya limbung ke samping. Namun sebentar ke-
mudian bergerak kembali ke atas.
Tiba-tiba tangan si perempuan sebelah ka-
nan bergerak mengangkat dan menunjuk pada
orang di hadapannya.
"Kau! Laki-laki seperti kau yang membuat
orang menderita begini rupa! Laki-laki seperti kau
yang menebar kesengsaraan di mana-mana! Laki-
laki memang sudah selayaknya dimusnahkan dari
muka bumi agar tidak membuat malapetaka! Ti-
dak menebar bibit yang tidak berguna! Huk...
huk... huk...! Laki-laki seperti kau harus...."
"Jahanam! Diam!" teriak orang yang di ha-
dapan si perempuan dengan rahang mengembung
besar dan mata merah. Dia adalah seorang pemu-
da berparas tampan namun keras. Rambutnya
panjang lebat dan dibiarkan bergerak di bahunya.
Sepasang matanya tajam berkilat. Rahangnya ko-
koh membatu. Sementara perawakannya tinggi te-
gap dengan jubah toga warna merah menyala! Di
telinga kirinya tampak anting-anting dari tambang.
Namun seperti tak mengindahkan bentakan
orang yang sedang marah, si perempuan terus ber-
kata-kata.
"Laki-laki! Marah-marah hanya untuk me
nutupi perbuatannya. Hik... hik... hik.... Kelicikan
apa lagi yang hendak kau perlihatkan? Tapi... se-
mua ini juga kesalahan si perempuan. Kenapa ma-
sih percaya pada mulut laki-laki! Hik... hik... hik...!
Kau...," si perempuan tidak melanjutkan kata-
katanya karena bersamaan dengan itu terdengar
kembali bentakan disertai ancaman dari pemuda
berjubah toga merah yang bukan lain adalah Ma-
laikat Berdarah Biru.
"Kalau kau tak bisa diam, kupatah-
patahkan tubuhmu!"
Mungkin merasa takut akan ancaman
orang, si perempuan terdiam. Namun, sesaat ke-
mudian dari mulutnya terdengar gumaman tak je-
las. Sedangkan sepasang mata si perempuan
memperhatikan pemuda di hadapannya lekat-lekat
tanpa berkedip! Dari ujung kaki sampai ujung
rambut.
Tiba-tiba si perempuan tunjukkan lagi jari
telunjuknya pada sang pemuda. "Kau!" katanya
dengan suara keserak-serakan. "Pasti sedang da-
lam perjalanan mencari sesorang!"
"Perempuan edan!" hardik Malaikat Berda-
rah Biru dengan mata melotot angker. "Tahu apa
kau tentang orang. He...?!"
Si perempuan tengadahkan kepalanya
sedikit. Kedua tangan dirangkapkan sejajar dada.
Sesaat kemudian dari mulutnya terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Lantas dia berkata.
'Kau! Berjalan dengan membawa dendam
dan sakit hati! Mencari seseorang yang tak dapat
ditentukan tempatnya, karena dia tak punya tempat tinggal. Hik... hik... hik...!"
Malaikat Berdarah Biru tersentak dan su-
rutkan langkah satu tindak ke belakang. Sepasang
matanya makin melotot mengawasi. Diam-diam
dalam hati ia berbisik. "Siapa perempuan edan itu?
Dan seakan tahu apa yang tengah kujalankan!
Hmm.... Mungkin hanya omong kosongnya yang
secara kebetulan sama dengan tujuanku!"
"Perempuan edan!" Malaikat Berdarah Biru
kembali keluarkan hardikan keras. "Siapa kau se-
benarnya?!"
Si perempuan yang dibentak tidak menja-
wab. Dia terus tertawa cekikikan yang sesekali
diseling dengan sesenggukan.
"Kau! Menginginkan benda milikmu yang
hilang kembali lagi! Menginginkan namamu ber-
kumandang lagi! Hik... hik... hik...!"
Malaikat Berdarah Biru kernyitkan dahi.
Sekali lagi diperhatikannya sosok perempuan yang
tegak di hadapannya.
"Siapa perempuan ini sebenarnya? Dia juga
tahu apa yang ada diotakku! Keparat! Aku harus
mengetahui siapa dirinya!"
"Hai perempuan edan! Kalau kau tak mau
sebutkan siapa dirimu, ancamanku masih berlaku!
Akan kupatah-patahkan tubuhmu! Cepat kata-
kan!" kertak Malaikat Berdarah Biru seraya maju
dua langkah.
"Kau tanya namaku? Hik... hik... hik...! Apa
kau tertarik dengan diriku? Tapi.... Ah, aku tak
mau dengan dirimu! Kau suka mempermainkan
perempuan dan suka...."
"Bangsat sialan!" maki Malaikat Berdarah
Biru tak bisa lagi menguasai amarahnya. "Kau ter-
nyata lebih suka kupatah-patahkan tubuhmu da-
ripada mengatakan siapa dirimu!"
Habis berteriak demikian, Malaikat Berda-
rah Biru melompat ke depan. Tangan kanannya
bergerak melesat ke arah kepala si perempuan.
Bettt!
Si perempuan berteriak keras. Bersamaan
dengan itu kepalanya disentakkan ke samping.
Tubuhnya yang bungkuk ikut doyong ke samping
hampir jatuh terjerembab. Namun dengan senta-
kan kembali kepalanya, tubuhnya lurus ke depan
kembali.
"Kau! Laki-laki ternyata tidak hanya suka
mempermainkan perempuan, tapi juga bersikap
kasar pada perempuan. Siapa kau sebenarnya?!"
Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-
jawab. Tampaknya pemuda ini masih tertegun ber-
campur curiga dan geram. Dia sama sekali tidak
menduga jika kelebatan tangannya bisa dengan
mudah dielakkan si perempuan, meski gerakan si
perempuan terlihat tak disengaja karena merasa
takut. Namun sebagai orang yang pernah malang
melintang dan sempat menggegerkan rimba persi-
latan, Malaikat Berdarah Biru sadar jika perem-
puan di hadapannya menyimpan sesuatu, setidak-
tidaknya mempunyai sedikit ilmu.
"Kau tidak mau sebutkan siapa namamu,
mungkin kau laki-laki yang mempunyai niat jelek!
Kuingatkan padamu. Kalau kau punya niatan je-
lek, pulanglah ke rumahmu! Karena niat jelek kadang-kadang berakhir jelek pula!"
"Hmm.... Perempuan ini sudah terlewat pin-
tar menggurui orang! Aku ingin tahu sampai di
mana kehebatannya!"
"Perempuan edan! Dengar. Aku tidak akan
mengulangi lagi ucapanku. Kalau kau tak mau se-
butkan siapa dirimu, aku tidak main-main lagi!
Kau dengar?!"
"Kalau itu maumu. Baiklah! Aku akan kata-
kan siapa namaku, namun dengan syarat!" ujar si
perempuan dengan melangkah ke samping.
"Jahanam! Mau beritahu nama saja dengan
syarat. Kau kira sedang berhadapan dengan siapa
saat ini? Hah...? Lekas katakan!"
Si perempuan tertawa mengekeh. Namun
sesekali sepasang mata liar memperhatikan segala
gerak-gerik pemuda di hadapannya. Setelah puas
mengekeh, tanpa menghadap, dia berkata.
"Aku akan sebutkan namaku, tapi setelah
itu kau juga harus sebutkan siapa dirimu! Bagai-
mana setuju?!"
Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab ju-
ga tidak anggukkan kepala. Hanya sepasang ma-
tanya tak berkedip menatap tajam. Sementara
tangan kiri kanannya mengepal.
"Hmm.... Orang-orang tua berkata. Diam
berarti setuju! Menuruti kata-kata orang-orang
tua, aku menganggapmu menyetujui tawaranku.
Sekarang akan kukatakan siapa diriku! Hik...
hik... hik...! Namaku Nyi Mentul!"
"Siapa? Ulangi lagi!" seru Malaikat Berdarah
Biru dengan tertawa pendek. Ketegangan di wajahnya sejenak mengendur demi mendengar si pe-
rempuan sebutkan siapa namanya.
"Kau tuli apa pura-pura tak dengar? Nama-
ku Nyi Mentul! Kau siapa?!" Si perempuan yang
menyebut namanya Nyi Mentul balik bertanya.
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak hingga bahunya berguncang-guncang.
"Dengar Mentul-Mentul!" ujar Malaikat Ber-
darah Biru di sela tawanya.
"Hai! Namaku Nyi Mentul. Bukan Mentul-
Mentul!" sahut Nyi Mentul membetulkan ucapan
Malaikat Berdarah Biru.
"Dengar, Nyi Mentul! Dan buka matamu le-
bar-lebar. Kau saat ini sedang berhadapan dengan
Malaikat Berdarah Biru!" kata si pemuda dengan
busungkan dadanya.
Nyi Mentul surutkan langkah satu tindak ke
belakang.
"Tak salah...!" gumamnya dengan mata
membeliak besar.
"Hai! Apa yang tak salah?!" teriak Malaikat
Berdarah Biru dengan dahi mengernyit.
Nyi Mentul gelengkan kepalanya. Dalam ha-
ti perempuan ini memaki dirinya sendiri. "Busyet.
Hampir saja aku keceplosan omong! Aku harus ha-
ti-hati, pendengarannya amat tajam!"
"Hmm.... Perempuan ini lagaknya mencuri-
gakan. Jangan-jangan dia hanya mempermainkan
aku! Tapi.... Apa perlunya melayani perempuan
edan begini? Tapi ucapan-ucapannya tadi seakan-
akan dia telah mengetahui siapa diriku! Lebih-
lebih telah tahu apa yang hendak kulakukan!
Hmm.... Aku penasaran. Akan kupaksa dia untuk
mengatakan siapa sesungguhnya dirinya! Aku mu-
lai yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu!"
Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru lan-
tas maju dua langkah, lalu keluarkan bentakan
garang.
"Kau menutupi wajah dengan bedak tebal.
Jangan-jangan aku mengenalmu. Coba kau ber-
sihkan mukamu!"
"Ah.... Bagaimana ini? Jangan-jangan dia
memang masih mengenaliku? Atau aku harus se-
gera menyingkir saja daripada...," Nyi Mentul
membatin. Dia undurkan kaki dua tindak. Ma-
tanya melirik jelalatan memandang ke samping
kanan dan kiri.
"Hmm.... Melihat tingkahmu, aku curiga
kau mempermainkan diriku! Kalau tidak kenapa
matamu jelalatan? He...?!"
Nyi Mentul tidak menyahut. Malah dia ber-
paling ke samping kanan dan kiri, lalu tengadah
dengan mulut bergerak-gerak.
"Kau betul-betul membuatku habis kesaba-
ran. Kau akan menerima imbalannya!" hardik Ma-
laikat Berdarah Biru. Kedua tangannya disentak-
kan ke depan.
Wuuuttt!
Serangkum angin kencang melesat cepat ke
arah Nyi Mentul.
Di depan sana, Nyi Mentul berteriak tegang.
Dia segera putar tubuhnya lalu hendak menyingkir
dengan melompat. Namun rangkuman angin yang
datang lebih cepat. Hingga meski tubuhnya tidak
terhajar telak pukulan Malaikat Berdarah Biru
namun tubuh bagian bawahnya tersambar, mem-
buat Nyi Mentul terhuyung-huyung lalu roboh ber-
gedebukan di atas tanah! Anehnya, dari mulutnya
tidak terdengar suara erang kesakitan. Sebaliknya
yang terdengar adalah suara tawa cekikikannya.
"Kau! Kenapa tega-teganya hendak membu-
nuhku?! Apa salahku?!"
"Heran. Kalau dia tak punya ilmu, tentu su-
dah mengaduh-aduh kesakitan! Hmm...," Malaikat
Berdarah Biru membatin. Lalu mengangguk bebe-
rapa kali. Tiba-tiba saja kedua tangannya dihan-
tamkan sekali lagi ke arah Nyi Mentul. Kali ini Ma-
laikat Berdarah Biru tambah tenaga dalamnya,
hingga saat itu juga selain gelombang dahsyat me-
lesat keluar dari tangannya, udara di tempat itu
juga makin panas menyengat!
Melihat serangan, Nyi Mentul berseru terta-
han. Sosoknya yang masih duduk di atas tanah
mengkerut dengan kedua tangan menutup wajah.
Namun begitu setengah depa lagi hantaman tan-
gan kosong mengandung tenaga dalam Malaikat
Berdarah Biru melabrak tubuhnya, dia berteriak
nyaring. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat
dan menyusup menyusur tanah!
Hantaman Malaikat Berdarah Biru terus
melesat dan membentur batu yang tadi dibuat ber-
sandar Nyi Mentul. Batu itu langsung pecah be-
rantakan dan pecahannya berhamburan ke udara
menjadi kerikil kecil-kecil!
"Jangkrik! Dia benar-benar hendak mence-
lakaiku! Aku harus segera menyingkir dahulu!"
gumam Nyi Mentul. Dia segera bangkit. Namun
sebelum tubuhnya benar-benar berdiri tegak, Ma-
laikat Berdarah Biru telah berkelebat dan tahu-
tahu telah berada dua langkah di depannya.
"Mau lari ke mana kau, he...?! Dengar Nyi
Mentul! Buruan Malaikat Berdarah Biru tidak
akan pernah lolos! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa, kedua tangannya bergerak
menyergap dari samping kanan kiri kepala Nyi
Mentul.
Sebagai seorang pemuda yang pernah me-
nyentak rimba persilatan, Malaikat Berdarah Biru
berlaku cerdik. Dia sengaja hantamkan tangan kiri
kanan sekaligus dari dua arah wajah Nyi Mentul.
Dengan demikian kalau Nyi Mentul tak bisa me-
nangkis, tentu bedak tebal di wajahnya akan ber-
guguran. Dengan demikian setidak-tidaknya Ma-
laikat Berdarah Biru bisa mengenali Nyi Mentul.
Karena mungkin tidak ada kesempatan lagi
untuk menghindar, maka satu-satunya jalan bagi
Nyi Mentul untuk selamatkan wajahnya adalah
dengan menangkis menggunakan kedua tangan-
nya.
Praakkk!
Terdengar benturan keras tatkala dua pa-
sang tangan bentrok di udara. Malaikat Berdarah
Biru cepat melompat mundur dengan wajah beru-
bah. Matanya berkilat. Memandang tajam ke arah
Nyi Mentul yang meringis kesakitan seraya kibas-
kibaskan kedua tangannya.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset, perem-
puan ini benar-benar berilmu. Tapi.... Tampaknya
dia bukan...," Malaikat Berdarah Biru gelengkan
kepalanya.
Mungkin merasa dipandangi orang, Nyi
Mentul segera berpaling sedikit dengan dada ber-
debar keras, khawatir jika sang pemuda mengena-
linya namun ketika matanya melirik, dan melihat
Malaikat Berdarah Biru gelengkan kepala, Nyi
Mentul menarik napas lega.
"Hmm.... Nyatanya kita belum pernah kenal
sebelumnya bukan?! Bagaimana sekarang?! Ah,
melihat pandangan matamu jangan-jangan kau
tertarik padaku. Tapi.... Sayang, aku sudah kapok
berhubungan dengan laki-laki. Aku muak melihat
laki-laki! Daripada aku nanti muntah melihat tam-
pang laki-laki, lebih baik aku pergi saja, mencari
manusia laki-laki yang harus mempertanggungja-
wabkan perbuatannya padaku! Hik... huk... huk...!
Aneh ya, mau muntah lihat laki-laki tapi aku ha-
rus pergi mencari laki-laki! Dunia.... Oh, dunia....
Hik... hik... hik...!"
"Hmm.... Dari bentrok tadi, aku makin ya-
kin jika manusia ini menyembunyikan sesuatu!
Suaranya seperti disarukan. Lalu meski tangannya
tak kelihatan namun aku merasakan jika tangan-
nya amat keras. Aku nyata-nyata dibuat mainan
oleh manusia ini! Akan kutelanjangi dia! Aku men-
duga jika dia bukan seorang perempuan!" Setelah
berkata begitu dalam hati, Malaikat Berdarah Biru
cepat melompat menghadang di depan Nyi Mentul
yang sudah mulai beranjak hendak meninggalkan
tempat itu.
"Sudah kukatakan aku muak melihat tam
pang laki-laki! Cari saja perempuan lain!" seru Nyi
Mentul begitu mengetahui Malaikat Berdarah Biru
menghadang di depannya.
"Perempuan jelek! Siapa tertarik denganmu.
Aku hanya ingin menelanjangimu! Ha ha ha...!"
Mendengar ucapan Malaikat Berdarah Biru,
kedua kaki Nyi Mentul tersurut dua langkah kare-
na kaget. Air mukanya berubah seketika. Sepa-
sang matanya membeliak dengan mulut kemak-
kemik.
"Gawat! Kalau dia mengetahuinya.... Tapi
kalau terpaksa apa mau dikata...," bisik Nyi
Mentul dalam hati. Lalu dia menyembunyikan rasa
terkejutnya dengan tertawa mengekeh.
"Kau tak tertarik dengan diriku, tapi ingin
melihat tubuhku dengan cara menelanjangiku.
Hik... hik... hik...! Apa itu namanya? Dasar laki-
laki! Mirip kucing. Ikan asin busuk pun disantap-
nya juga! Kalau kau benar-benar ingin melihat
mulusnya tubuhku, aku tak keberatan...."
Habis berkata begitu, Nyi Mentul balikkan
tubuh. Kedua tangannya ditarik ke belakang hen-
dak menyingkap pakaian gombrongannya yang
menjulai ke tanah. Namun sepasang mata Nyi
Mentul yang kini membelakangi Malaikat Berdarah
Biru jelalatan kian kemari dan siap hendak berge-
rak berkelebat pergi.
Sementara itu di belakang Nyi Mentul, Ma-
laikat Berdarah Biru tegak menunggu dengan ma-
ta sedikit menyipit. Malah begitu kedua tangan Nyi
Mentul mulai perlahan-lahan bergerak menying-
kap pakaian gombrangnya, pemuda ini palingkan
wajah.
Nyi Mentul menarik napas panjang dan da-
lam-dalam. Kedua tangannya mulai menyingkap
pakaiannya, namun secara diam-diam dia kerah-
kan ilmu peringan tubuhnya dan siap hendak ber-
kelebat.
Namun sebelum Nyi Mentul berkelebat, dan
saat Malaikat Berdarah Biru palingkan wajah, ter-
dengar suara orang tertawa bergelak-gelak.
Nyi Mentul urungkan niat untuk berkelebat
dan kedua tangannya ditarik lagi ke depan, lalu
berpaling ke arah datangnya suara tawa. Di bela-
kangnya, Malaikat Berdarah Biru cepat pula meno-
leh dengan keluarkan dengusan keras.
LIMA
NYI Mentul langsung undurkan kaki ke be-
lakang. Sepasang matanya membelalak, lalu me-
nyipit. Namun sesaat kemudian, entah untuk me-
nutupi rasa kagetnya perempuan berpakaian gom-
brong ini palingkan wajah memandang jurusan
lain sambil tertawa panjang.
Di depannya, Malaikat Berdarah Biru tam-
pak tenang-tenang saja. Memandang tajam pada
orang yang keluarkan tawa dengan seringai. Lalu
palingkan muka dan meludah ke tanah!
Orang yang tadi keluarkan tawa dan kini
tampak telah berdiri sepuluh langkah ke samping
kanan Nyi Mentul mendongak ke langit. Lalu dari
mulutnya kembali terdengar gelakan tawanya.
"Aneh. Masih ada saja laki-laki muda yang
memaksa orang perempuan gila untuk buka-buka
baju! Ha ha ha...!" ujar orang yang baru datang
diselingi gelak tawanya.
Malaikat Berdarah Biru pelototkan sepa-
sang matanya. Dadanya bergetar. Rahangnya te-
rangkat.
"Keparat busuk! Siapa kau?! Dan apa hu-
bunganmu dengan perempuan itu?!" Malaikat Ber-
darah Biru keluarkan bentakan keras.
"Betul! Apa hubunganmu denganku?!" Nyi
Mentul ikut-ikutan tanya, membuat Malaikat Ber-
darah Biru berpaling padanya sambil pelototkan
mata. Namun mungkin saja karena dia tersing-
gung dengan ucapan orang yang baru datang, dia
tidak begitu menghiraukan ucapan Nyi Mentul.
Sebaliknya dia menoleh lagi ke arah orang yang
baru datang dengan rahang menggegat rapat hing-
ga mengeluarkan suara gemeretakan.
Orang yang ditanya tidak segera buka mu-
lut untuk menjawab. Dia tetap mendongak me-
mandang langit meski saat itu sinar matahari ber-
sinar sangat terik. Dia adalah seorang pemuda
berbadan tinggi tegap. Rambutnya panjang dengan
pandangan tajam. Dagunya kokoh dengan dada
bidang. Mengenakan jubah besar berwarna hitam
belang merah.
"Ah, kau rada-rada tuli ya? Ditanya orang
tidak segera kasih jawaban. Apa kau tidak tahu,
siapa adanya pemuda yang menanyaimu, he...?!"
Nyi Mentul kembali berujar.
Mungkin merasa dapat sanjungan, Malaikat
Berdarah Biru busungkan dada dengan tertawa
pendek bernada mengejek.
"Peduli setan siapa dia! Yang kutahu dia
adalah laki-laki yang suka melihat tubuh perem-
puan tak waras seperti kau!" Pemuda berjubah hi-
tam merah berkata sambil melirik pada Malaikat
Berdarah Biru.
"Betul! Betul katamu! Memang dia laki-laki
begitu!" timpal Nyi Mentul lalu tertawa mengekeh.
Sepasang matanya terpejam-pejam. Namun tak
henti-hentinya melirik satu persatu pada pemuda
di samping dan di hadapannya.
"Jahanam! Perempuan sundal, diam kau!"
bentak Malaikat Berdarah Biru membuat Nyi Men-
tul putuskan tawanya dan tergagu sejenak.
"Ah, nasibku benar-benar malang. Di sini
dibentak di sana dikatakan perempuan tak waras!
Daripada hati ini tambah sakit, lebih baik...."
"Jangan kau berani bergerak dari
tempatmu!" hardik Malaikat Berdarah Biru ketika
mengetahui Nyi Mentul hendak meninggalkan
tempat itu.
Nyi Mentul urungkan niat untuk beranjak.
Tangan kanannya mengusap-usap pipinya lalu ge-
leng-geleng kepala.
"Kau tak segera jawab tanyaku, berarti kau
cari urusan! Dan itu berarti maut bagimu!" kata
Malaikat Berdarah Biru dengan kacak pinggang
dan senyum seringai buas.
"Aduh biyung.... Masalah sepele begini saja
mengapa sampai bilang maut-maut segala? Apa-
kah kau teman si maut itu?!" Nyi Mentul menyahut.
"Mentul! Sekali lagi kau keluarkan ucapan,
kupecahkan batok kepalamu!" Malaikat Berdarah
Biru menghardik tanpa memandang.
"Mentul! Apanya yang mentul-mentul? Ha...
ha... ha...!" Pemuda berjubah hitam berbelang me-
rah menimpali seraya bergelak. "Apa kau rasanya
memang mentul-mentul?"
"Hai! Kau menghina aku ya? Aku tahu. Kau
menghina perempuan karena hatimu pernah dis-
akiti seorang perempuan! Betulkah? Kau mungkin
pernah mencintai seorang gadis namun cintamu
ditolak mentah-mentah. Hik... hik... hik...! Kasi-
han.... Apa hatimu masih pedih?!" tanya Nyi
Mentul seraya palingkan wajah.
Paras muka si pemuda berjubah hitam ber-
belang merah langsung berubah. Malah karena
kagetnya, dia surutkan langkah satu tindak ke be-
lakang. Sepasang matanya mendelik memperhati-
kan Nyi Mentul.
"Sialan! Siapa perempuan sinting ini? Dia
seakan tahu apa yang pernah kualami! Dan,
hmm.... Pemuda ini melihat ciri-cirinya seperti....
Tapi, bukankah dia telah dikabarkan tewas di tan-
gan pendekar keparat itu?!" Si pemuda berjubah
hitam merah membatin.
"Hik... hik... hik...! Tampangmu berubah
dan kau terlihat tercenung bodoh. Berarti ucapan-
ku benar adanya! Betulkah? Betulkah?!" seru Nyi
Mentul seraya melirik tajam.
"Perempuan sinting! Siapa kau sebenar-
nya?!" si pemuda membentak dengan suara keras.
Melihat perubahan pada wajah sang pemu-
da, diam-diam Malaikat Berdarah Biru membatin.
"Hmm.... Rupanya apa yang dikatakan si Mentul
benar adanya! Heran. Siapa sebenarnya perem-
puan ini. Dia seakan tahu semua urusan orang!"
Sementara itu mendapat bentakan keras
dari si pemuda serta melihat perubahan dan ke-
terkejutannya, Nyi Mentul terdiam sejenak seakan
berpikir keras.
"Hmm.... Memang dia! Aku harus lebih hati-
hati lagi. Sekarang banyak orang-orang muncul la-
gi! Urusan akan bertambah panjang, satu belum
selesai, dua sudah muncul lagi! Hmm.... aku harus
mengadu keduanya, lalu...," Nyi Mentul mengang-
guk-anggukkan kepalanya, lalu berkata.
"Hai! Kau telah sebut beberapa kali nama-
ku. Kenapa masih bertanya lagi?!"
"Kau jangan coba-coba mengalihkan uru-
san! Lekas jawab tanyaku!" Kali ini yang keluarkan
bentakan adalah Malaikat Berdarah Biru.
Mungkin berpikir agar urusan dengan Ma-
laikat Berdarah Biru cepat selesai, lalu mengorek
perempuan yang bernama Nyi Mentul, si pemuda
berjubah hitam merah menjawab.
"Aku Gembong Raja Muda! Kau sendiri sia-
pa?!"
Mungkin karena selama ini tidak lagi turun
ke arena rimba persilatan membuat Malaikat Ber-
darah Biru tak tahu siapa adanya manusia yang
bergelar Gembong Raja Muda, hingga tatkala si
pemuda menyebut siapa dirinya, Malaikat Berda-
rah Biru tak menunjukkan paras terperanjat. Sebaliknya dia tersenyum dingin bahkan tidak me-
mandang!
Di pihak lain, Nyi Mentul terlihat angguk-
kan kepalanya perlahan. Lalu keluarkan batuk-
batuk kecil beberapa kali.
Karena ditunggu agak lama Malaikat Berda-
rah Biru belum juga balik mengatakan siapa di-
rinya, Gembong Raja Muda, tokoh muda bekas
murid Ageng Panangkaran yang lantas berguru
pada Bawuk Raga Ginting dan mempunyai den-
dam kesumat dengan Pendekar Mata Keranjang
108 karena gadis yang dicintainya menyukai Pen-
dekar murid Wong Agung, membentak lantang.
(Tentang Gembong Raja Muda, silakan baca serial
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode:
"Gembong Raja Muda').
"Kalau kau tak mau sebutkan siapa dirimu
tak apa-apa! Tapi cepat kau tinggalkan tempat ini!"
Kedua tangan Malaikat Berdarah Biru tiba-
tiba mengembang keluarkan suara gemeretakan.
Sepasang matanya merah berkilat-kilat. Rahang-
nya mengembung besar, pertanda hawa kemara-
han telah menguasai dirinya.
"Gembong! Dengarkan baik-baik. Kau saat
ini sedang berhadapan dengan Malaikat Berdarah
Biru!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan suara
setengah berteriak.
Gembong Raja Muda sejenak coba mengua-
sai keterkejutannya. Dia menahan gerak kakinya
yang hendak tersurut ke belakang. Namun demi-
kian dadanya tidak dapat menahan debarannya
yang keras hingga saat itu juga tubuhnya sedikit
terguncang. Dia seakan hampir tak percaya den-
gan apa yang baru saja didengarnya.
"Hmm.... Jadi kabar tentang kematiannya
selama ini hanya bohong belaka. Nyatanya manu-
sianya masih hidup! Aku akan waspada, menurut
apa yang pernah kudengar, manusia ini kejam dan
licik serta berilmu tinggi!" Gembong Raja Muda
berkata dalam hati. Lalu sambil mendengus keras
dia berkata.
"Aku gembira dapat bertemu dengan tokoh
muda yang bernama besar! Dan sungguh tak dis-
angka, ternyata manusianya masih hidup!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda.
Seraya usap-usap dadanya dia berujar datar.
"Malaikat Berdarah Biru tak akan ditakdir-
kan tewas sebelum menguasai rimba persilatan!
Malaikat Berdarah Biru tak akan berkalang tanah
sebelum segala cita-citanya terlaksana! Kau den-
gar?!"
"Sombong benar manusia ini! Aku hanya
dengar tentang kehebatan ilmunya dari mulut
orang. Aku ingin tahu, sampai di mana kebenaran
ucapan orang-orang itu!"
Gembong Raja Muda ikut-ikutan usap-usap
dadanya. Mulutnya membuka hendak berkata,
namun sebelum suaranya terdengar, Nyi Mentul
telah menyela.
"Hai! Kau bilang punya cita-cita. Boleh aku
tahu apa cita-citamu?!"
Entah karena ingin menunjukkan pada
orang, atau karena termakan kata-kata Nyi Mentul, Malaikat Berdarah Biru langsung menjawab.
"Malaikat Berdarah Biru akan menjadi raja
di raja dunia persilatan. Akan menumbangkan
siapa saja yang menghalangi langkahnya! "
"Kau!" ujar Nyi Mentul dengan hadapkan
wajahnya pada Gembong Raja Muda. "Apakah juga
punya cita-cita demikian?! Ingin menjadi raja rim-
ba persilatan seperti dia?!" Nyai Mentul arahkan
wajahnya pada Malaikat Berdarah Biru.
"Lidah tidak bertulang. Siapa saja bisa
ngomong ingin menguasai rimba persilatan. Na-
mun kalau hanya omong tanpa tunjukkan il-
munya, mana orang bisa percaya?!"
"Betul! Mana orang percaya kalau hanya di
mulut saja. Jangan-jangan besar di mulut tapi ke-
cil di bawah perut! Astaga. Aku jadi salah ucap!
Yang kumaksud...."
Nyi Mentul yang memanas-manasi Malaikat
Berdarah Biru tak selesaikan ucapannya karena
saat itu juga Malaikat Berdarah Biru telah menyela
dengan hardikan keras.
"Akan kutunjukkan padamu bagaimana
Malaikat Berdarah Biru kelak akan menumbang-
kan orang yang menghadang langkahnya!"
Belum selesai dengan ucapannya, tangan
Malaikat Berdarah Biru telah bergerak menghan-
tam ke arah Gembong Raja Muda lepaskan puku-
lan tangan kosong jarak jauh bertenaga dalam.
Wuuttt!
Serangkum angin dahsyat menggebrak den-
gan keluarkan suara menggemuruh laksana gelombang prahara.
Di depan sana, Gembong Raja Muda tam-
pak tenang. Pemuda ini telah dengar tentang Ma-
laikat Berdarah Biru, hingga dia tak berani gega-
bah. Maka begitu melihat Malaikat Berdarah Biru
telah lepaskan pukulan, pemuda ini segera kerah-
kan tenaga dalam, lalu kedua tangannya disentak-
kan ke depan.
Wuuttt!
Gelombang angin bak hempasan ombak me-
lesat keluar dari tangan Gembong Raja Muda.
Blaaarrr!
Terdengar dentuman keras ketika dua pu-
kulan yang telah sama-sama dialiri tenaga dalam
itu bertemu di udara. Tempat itu bergetar laksana
dilanda gempa.
Tubuh Malaikat Berdarah Biru terlihat su-
rut satu langkah ke belakang. Wajahnya sedikit
berubah dengan rahang makin mengembung. Pe-
muda bekas murid Bidadari Telapak Setan dan
Bayangan Iblis ini maklum jika pemuda bergelar
Gembong Raja Muda tidak bisa dianggap enteng,
karena bersamaan dengan bentroknya pukulan,
tangannya terasa kesemutan, dadanya sedikit se-
sak dan bergetar. Di lain pihak, Gembong Raja
Muda mundur sampai dua langkah. Paras mu-
kanya pucat. Sepasang matanya membeliak. Pe-
muda ini mulai yakin jika kabar yang didengarnya
selama ini benar adanya, jika Malaikat Berdarah
Biru adalah manusia berkepandaian tinggi. Karena
ketika terjadi bentrok tenaga dalam melalui puku-
lan tangan kosong tadi, kedua tangannya kontan
terasa ngilu bukan main. Aliran darahnya terasa
seakan terhenti.
Sementara itu, begitu melihat kedua pemu-
da sudah saling keluarkan pukulan masing-
masing, Nyi Mentul menyingkir agak jauh seraya
berteriak seakan ngeri.
"Hmm.... Jahanam ini rupanya punya bekal
juga! Ini saatnya bagiku mencoba ilmu yang baru
saja kuperoleh!" gumam Malaikat Berdarah Biru
dengan perlihatkan seringai garang, lalu berkata
dengan pandangannya ke arah jurusan lain.
"Gembong Raja Muda! Kau menggelari diri
dengan sebutan Gembong. Tentunya kau seorang
pentolan! Coba tunjukkan padaku kehebatan yang
kau miliki! Aku curiga jangan-jangan kau hanya
gembongnya kecoa-kecoa tak berguna!"
"Aku setuju! Aku juga khawatir. Siapa tahu
namanya itu hanya mengada-ada! Memakai nama
seseorang yang memang pernah kesohor!" Nyi
Mentul ikut-ikutan angkat bicara, membuat dada
Gembong Raja Muda panas terbakar.
Didahului bentakan keras kontan saja
Gembong Raja Muda sentakkan kedua tangannya.
Kali ini dengan pengerahan tenaga hampir selu-
ruhnya. Hingga kejap itu juga dari kedua tangan-
nya menyambar keluar gelombang angin dahsyat
keluarkan suara yang memekakkan gendang telin-
ga!
"Makan pukulanku ini!" teriak Gembong Ra-
ja Muda begitu mengetahui pukulannya menyam-
bar dan Malaikat Berdarah Biru tidak membuat
gerakan untuk menangkis atau menghindar.
Di sebelah samping, Nyi Mentul tampak
membeliakkan sepasang matanya begitu mendapa-
ti Malaikat Berdarah Biru diam tak bergerak, pa-
dahal pukulan lawan telah menyergapnya!
"Gila! Apa dia memang ingin putus nya-
wanya?!" gumamnya seraya memperhatikan den-
gan dahi berkerut dan tarik-tarik kedua kuncir
rambutnya.
Tiba-tiba Gembong Raja Muda keluarkan
tawa panjang dan Nyi Mentul keluarkan seruan
nyaring tatkala Malaikat Berdarah Biru benar-
benar tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan juga
tidak membuat gerakan untuk menangkis! Hingga
tanpa ampun lagi pukulan bertenaga dalam tinggi
yang dilepas Gembong Raja Muda menghajar tu-
buhnya dengan telak!
Terdengar seruan pelan dari mulut Malaikat
Berdarah Biru tatkala pukulan itu menghajarnya.
Tubuhnya mencelat mental hingga beberapa tom-
bak ke belakang, lalu menghempas jatuh di atas
tanah!
Gembong Raja Muda makin keras tertawa,
sementara Nyi Mentul hanya bisa geleng-geleng
kepala tak habis pikir.
Selagi kedua orang ini dilanda perasaan
masing-masing, di seberang sana tiba-tiba tubuh
Malaikat Berdarah Biru bergerak-gerak. Untuk se-
jurus pemuda ini meneliti tubuhnya. Merasa tidak
ada yang cidera, bibirnya sunggingkan senyum.
"Hmm.... Aku benar-benar kebal pukulan!" bisik-
nya pelan. Lalu dengan tengadahkan kepala dia
bergerak bangkit! Membuat Gembong Raja Muda
dan Nyi Mentul sama beliakkan mata masing
masing. Malah seolah tak percaya dengan pengli-
hatan matanya, Gembong Raja Muda usap-usap
matanya. Sementara Nyi Mentul keluarkan guma-
man yang tak jelas, namun paras mukanya jelas
tak bisa sembunyikan rasa kagetnya!
"Edan! Benar-benar edan! Bagaimana
mungkin mendapat pukulan yang pasti bertenaga
dalam kuat begitu masih bisa bangkit dan tidak
cidera sama sekali? Ini harus segera dicari penye-
babnya. Jika terlambat, rimba persilatan akan
guncang lagi! Belum lagi dengan munculnya ma-
nusia gila yang menyebut dirinya Dewa Maut!
Hm.... Rimba persilatan benar-benar diambang
bencana malapetaka...." Diam-diam Nyi Mentul
berkata sendiri sambil terus mengawasi Malaikat
Berdarah Biru yang kini telah tegak berdiri kacak
pinggang tanpa memandang Gembong Raja Muda.
Di seberang, Gembong Raja Muda meski di-
am-diam keringat dingin mulai membasahi leher
dan tengkuknya, namun dia tidak begitu saja
mundur.
"Dia tak mempan dengan pukulanku, apa-
kah dia akan sanggup menahan jurus 'Sapu Bu-
mi'?!" batin Gembong Raja Muda lalu kerahkan te-
naga dalam pada kedua kakinya hendak lancarkan
jurus 'Sapu Bumi' yang berhasil dipelajarinya dari
Bawuk Raga Ginting.
"Gembong! Ternyata kau cuma gembongnya
tikus! Tak pantas kau menggunakan nama Gem-
bong Raja Muda kalau hanya jadi gembongnya ti-
kus! Ha...ha... ha...!"
Tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru hentikan
tawanya. Kepalanya lurus dengan sepasang mata
menyengat tajam ke arah Gembong Raja Muda.
Bibirnya sunggingkan senyum sinis. Lalu meludah
ke tanah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan.
Wuuuttt!
Sinar hitam melesat dengan keluarkan sua-
ra gemuruh keras. Suasana mendadak pekat dan
panas dan tampak beberapa kilatan-kilatan mena-
kutkan!
"'Bayu Sukma'!" seru Nyi Mentul mengenali
pukulan yang dilepaskan Malaikat Berdarah Biru.
Namun sekejap kemudian, perempuan berdandan
menor ini takupkan tangannya pada mulutnya.
Dia lalu memaki sendiri.
"Sialan! Kenapa aku bisa keceplosan omong.
Kalau dia mendengar maka akan celaka aku!
Hm.... Sebaiknya aku...," Nyi Mentul tidak mene-
ruskan makiannya. Dia memandang berkeliling
seakan menembusi kepekatan yang diakibatkan
pukulan Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati serangan ganas, Gembong Raja
Muda sempat terkesiap. Namun pemuda ini segera
bertindak cepat. Sebelum sinar hitam dan kilatan-
kilatan itu menghajar tubuhnya, dia berseru keras.
Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga dalamnya
kedua tangannya dihantamkan ke depan. Bersa-
maan dengan itu tubuhnya melesat ke samping
untuk menghindar.
Terdengar gelegar dahsyat. Tempat itu ber-
getar keras. Tanah tersibak, dan sebagian ber-
hamburan ke udara menambah pekatnya pemandangan.
Tubuh Gembong Raja Muda yang meski te-
lah menghindar dengan segera meloncat ke samp-
ing tak luput dari sambaran pukulan Malaikat
Berdarah Biru. Hingga meski tidak terhajar telak,
namun tubuhnya melayang mental dan jatuh ber-
gedebukan di atas tanah dengan mulut keluarkan
darah segar!
Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru tak
bergeming dari tempatnya semula! Pemuda ini
hanya sempat goyah sebentar, namun segera da-
pat menguasai diri lagi.
Begitu udara terang kembali dan tanah te-
lah sirap luruh, sepasang mata Malaikat Berdarah
Biru segera menyorot tajam dengan dada bergetar
keras. Bukan karena mendapati Gembong Raja
Muda masih bisa bangkit meski dengan tertatih-
tatih. Namun karena dia mendengar seruan Nyi
Mentul yang menyebut pukulan yang dilepaskan-
nya!
"Jahanam! Perempuan itu benar-benar te-
lah menipuku! Karena hanya dua orang yang men-
getahui pukulanku! Guruku dan Pendekar Mata
Keranjang! Jangan-jangan perempuan itu ada-
lah...."
Malaikat Berdarah Biru berkelebat ke arah
mana tadi Nyi Mentul berada, namun pemuda ini
segera saling pukulkan kedua tangannya yang su-
dah mengepal tatkala dia tak menemukan lagi Nyi
Mentul meski sepasang matanya telah menyapu ke
berbagai sudut di tempat itu!
"Keparat!" umpat Malaikat Berdarah Biru
seraya bantingkan kakinya. Tanah di bawahnya
langsung terbongkar dan bergetar keras. Kini per-
hatiannya tertumpah pada Gembong Raja Muda
yang telah bangkit berdiri sambil usap-usap darah
yang keluar dari mulutnya.
"Gembong Jahanam! Kalau tidak muncul
kau, tentu aku sudah bisa menelanjangi dan
membuka kedok perempuan sinting tadi!"
Gembong Raja Muda hanya memandang
tanpa ucapkan sepatah kata pun. Pemuda ini ma-
sih alirkan hawa murni ke dada dan sebagian tu-
buhnya yang peredaran darahnya terasa panas
dan laksana tersumbat.
"Gembong Keparat! Karena kau telah buat
kesalahan, maka tiada imbalan yang kupinta se-
lain selembar nyawamu!"
Selesai berkata, Malaikat Berdarah Biru me-
ludah ke tanah. Lalu kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi hendak lepaskan pukulan.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar seruan mena-
han.
Baik Gembong Raja Muda yang telah me-
rinding maupun Malaikat Berdarah Biru yang se-
gera ingin melepaskan pukulan segera palingkan
wajah masing-masing ke samping kanan dan kiri.
ENAM
KEDUA pemuda ini sama-sama melihat seo-
rang perempuan tua berambut panjang hingga be-
tis dan sudah memutih. Pakaian yang dikenakan-
nya berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-
tam. Pada kedua tangannya tampak melingkar be-
berapa gelang berwarna kuning.
Untuk beberapa saat lamanya Gembong Ra-
ja Muda dan Malaikat Berdarah Biru sama men-
duga-duga dalam hati siapa adanya nenek ini.
Namun kedua pemuda ini gagal untuk mengena-
linya. Hingga tak lama kemudian Malaikat Berda-
rah Biru keluarkan teguran dengan suara keras.
"Siapa kau? Jangan coba-coba menghalangi
tindakanku! Atau tubuhmu akan kuhancurkan
sekalian!"
Nenek yang dibentak keluarkan tawa men-
gekeh hingga bahunya berguncang keras mengaki-
batkan gelang-gelang di tangannya bergerak-gerak
beradu sama lain keluarkan suara gemerincing.
Setelah tawanya berhenti, si nenek berpaling pada
satu persatu pemuda di sampingnya. Kepalanya
lantas berhenti lurus menatap Malaikat Berdarah
Biru.
"Anak muda! Soal siapa diriku nanti pasti
akan kuberitahukan padamu! Yang kuharap seka-
rang kau dan pemuda itu harus sudahi urusan
sampai di sini saja!"
Malaikat Berdarah Biru keluarkan dengu-
san keras. Sepasang matanya balas memandang
ke arah si nenek dengan tatapan menyelidik.
"Setan Alas! Kau akan ikut campur urusan-
ku! Katakan, apa sangkut pautmu dengannya!
Muridmu? Atau kau adalah perempuan simpa-
nannya? Hah...?!"
Si nenek bukannya marah mendengar uca-
pan Malaikat Berdarah Biru, sebaliknya dia kem-
bali keluarkan tawa panjang. Di lain pihak, Gem-
bong Raja Muda terlihat marah besar. Mulutnya
terkancing rapat dengan dada bergetar keras. Peli-
pisnya bergerak-gerak dengan kedua tangan men-
gepal. Namun pemuda ini belum buka mulut. Dia
menunggu karena saat itu juga si nenek terdengar
angkat bicara lagi.
"Anak muda! Aku tak ada sangkut-paut
apa-apa dengan pemuda itu!"
"Hmm.... Begitu? Jika demikian, lekas ang-
kat kaki dari sini!" sergah Malaikat Berdarah Biru.
Si nenek gelengkan kepalanya perlahan. Si
nenek yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-
tian sebenarnya sudah agak lama di sekitar tempat
itu. Dia sengaja mendekam bersembunyi seraya
mencuri dengar perdebatan antara Malaikat Ber-
darah Biru, Gembong Raja Muda, serta Nyi Men-
tul. Dia pun sebenarnya amat terkejut tatkala ke-
luar dari persembunyiannya tidak lagi melihat
orang yang namanya Nyi Mentul. Namun karena
menganggap dua pemuda di hadapannya kini lebih
penting, maka kepergian Nyi Mentul tidak lagi
menjadi perhatiannya lagi.
"Anak muda! Tanpa kau suruh aku pun
nanti akan pergi! Namun satu hal yang harus kalian ketahui, jika kalian teruskan urusan ini maka
bukan hanya kecewa yang akan kalian alami, na-
mun rencana kalian masing-masing juga akan
mengalami kegagalan!"
"Keparat! Tahu apa kau tentang rencanaku?
He...?!" hardik Malaikat Berdarah Biru meski da-
lam hati bertanya-tanya dari mana si nenek tahu
tentang apa yang direncanakannya.
Untuk kesekian kalinya Iblis Gelang Kema-
tian hanya tertawa meski didengarnya ucapan Ma-
laikat Berdarah Biru tidak enak di telinga.
"Hmm.... Dua pemuda ini kalau dilihat dari
ucapan-ucapannya sama-sama berwatak som-
bong. Namun melihat pukulan yang telah dilan-
carkan, mereka punya ilmu tidak sembarangan....
Aku akan menggiring mereka untuk bertemu di
Lembah Supit Urang!"
Memikir sampai di situ, Iblis Gelang Kema-
tian lantas berujar datar.
"Malaikat Berdarah Biru dan kau Gembong
Raja Muda. Dengar baik-baik! Menjadi raja rimba
persilatan adalah dambaan semua orang yang me-
rasa dirinya punya ilmu. Tapi untuk menuju ke
sana, tidak cukup jika hanya berbekal ilmu!"
Baik Malaikat Berdarah Biru dan Gembong
Raja Muda sama terkesiap mendapati si nenek ta-
hu nama masing-masing. Dahi masing-masing
pemuda ini sama mengernyit, membuat Iblis Ge-
lang Kematian tunjukkan senyum seolah berada di
atas angin.
"Orang tua! Kau tak usah memberi nasihat!
Dan katakan siapa kau sebenarnya!" ujar Malaikat
Berdarah Biru dengan memperhatikan si nenek
dari ujung rambut sampai kaki.
"Aku tak memberi nasihat! Aku hanya
memberi tahu. Karena langkah-langkah kalian
nanti banyak yang akan menghadangnya! Belum
lagi jika kalian punya dendam pada seseorang
yang harus kalian tuntaskan. Apalagi jika dendam
itu pada orang yang berada di haluan lain!"
Mungkin merasa ucapan si nenek ada
sangkut-pautnya dengan yang akan mereka hada-
pi, kedua orang ini tak menyambuti kata-kata Iblis
Gelang Kematian. Mereka seolah memberi kesem-
patan pada si nenek untuk meneruskan ucapan-
nya. Si nenek pun tampaknya menangkap hal itu.
Hingga tak lama kemudian si nenek lanjutkan
ucapannya.
"Sebelum kuteruskan kata-kataku, boleh
aku tahu. apakah di antara kalian ada yang men-
gemban tugas balas dendam pada seseorang?!"
"Itu bukan urusanmu!" sahut Malaikat Ber-
darah Biru.
"Benar! Itu bukan urusanku. Tapi sebagai
orang satu golongan, tak ada ruginya kalian mem-
beritahu. Siapa tahu aku bisa membantu. Setidak-
tidaknya memberitahu di mana orang itu berada!"
"Orang tua! Aku memang punya dendam
pada seseorang. Tapi tak usah kamu ketahui siapa
orangnya! Untuk membunuhnya aku tak perlu
bantuan orang lain! Katakan saja apa maksudmu
sebenarnya! Aku tak punya banyak waktu!" Yang
keluarkan kata-kata adalah Gembong Raja Muda.
"Hmm.... Bagus! Untuk kau, Malaikat Ber
darah Biru tak usah memberitahu, semua orang
sudah mengerti jika kau punya urusan besar den-
gan pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang
108!"
Malaikat Berdarah Biru sunggingkan se-
nyum dingin.
"Perlu kukatakan pada kalian. Pada malam
purnama depan, tepatnya hari keempat belas, de-
lapan belas hari di muka akan ada pertemuan an-
tara tokoh-tokoh sealiran kita di Lembah Supit
Urang. Kalau di antara kalian ada yang sempat
kuharap kalian mau datang ke sana!"
"Untuk merajai rimba persilatan, aku tak
butuh segala macam pertemuan! Pertemuan hanya
menunjukkan bahwa orang itu takut melangkah
sendiri!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan alih-
kan pandangannya pada jurusan lain.
"Kau salah. Pertemuan itu untuk menyusun
siasat bagaimana menaklukkan orang-orang go-
longan putih terutama Pendekar 108 yang kini di
kelilingi beberapa tokoh aneh yang ilmunya tak di-
ragukan lagi!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda sama-sama terkejut mendengar keterangan
Iblis Gelang Kematian. Dan sebelum rasa kejut
masing-masing orang ini lenyap, si nenek telah
lanjutkan keterangannya.
"Aku tahu. Kalian mempunyai ilmu tinggi.
Namun dengan munculnya beberapa tokoh yang
secara tak langsung membantu Pendekar 108, ku-
rasa terlalu berat menghadapi mereka dengan
mengandalkan tangan sendiri! Dan menyebut diri
raja rimba persilatan hanya omong kosong belaka
jika tidak lebih dahulu menyingkirkan Pendekar
108 dan para pembantunya!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda sama terdiam. Mereka sama larut dalam pe-
rasaan masing-masing.
"Nah, itulah yang perlu kusampaikan pada
kalian. Dan harap kalian sudahi urusan ini! Kalian
bisa teruskan nanti di Lembah Supit Urang. Di
mata beberapa tokoh nanti, kalian bisa tunjukkan
siapa di antara kalian yang lebih jago!"
Habis berkata demikian, iblis Gelang Kema-
tian putar tubuhnya hendak tinggalkan tempat itu.
Namun langkahnya tertahan ketika Malaikat Ber-
darah Biru keluarkan seruan keras.
"Tunggu! Sebutkan dulu siapa kau!"
Iblis Gelang Kematian tertawa pelan. Tanpa
balikkan tubuhnya lagi dia berkata.
"Orang-orang memanggilku Iblis Gelang
Kematian!" sejenak dia putuskan ucapannya. Se-
saat kemudian menyambung.
"Masih ada yang ingin kalian tanyakan?!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda tak ada yang buka mulut.
"Baik. Aku masih harus menghubungi te-
man yang lain. Sampai bertemu lagi di Lembah
Supit Urang!" selesai berkata, Iblis Gelang Kema-
tian berkelebat tinggalkan tempat itu.
Saat mendengar si nenek sebutkan siapa di-
rinya, Gembong Raja Muda terlihat surutkan lang-
kah ke belakang dengan mata makin membeliak
tanda terkejut. Dia memang telah pernah dengar
tentang tokoh itu. Sementara Malaikat Berdarah
Biru mungkin karena belum pernah mendengar,
hanya tenang-tenang saja meski dia yakin bahwa
si nenek adalah seorang tokoh, karena banyak
mengetahui seluk-beluk rimba persilatan.
"Hmm.... Undangan ini rasanya pantas di-
hadiri. Di sana akan kutunjukkan siapa Malaikat
Berdarah Biru! Dengan demikian, tokoh-tokoh go-
longan hitam akan berada di bawah kekuasaanku!
Dan itu akan memperlicin jalanku menggenggam
rimba persilatan."
Kalau Malaikat Berdarah Biru membatin
demikian, lain halnya apa yang ada di benak Gem-
bong Raja Muda.
"Sebenarnya aku tak tertarik dengan un-
dangan ini. Tapi tak ada ruginya datang ke sana.
Selain tahu tentang keberadaan Pendekar 108,
aku juga bisa mengerti siapa sebenarnya lawan
dan mana yang kawan."
"Gembong!" tiba-tiba Malaikat Berdarah Bi-
ru berkata. "Sebenarnya aku ingin menyelesaikan
kau saat ini juga, namun melihat robohnya tu-
buhmu di hadapan beberapa orang mungkin lebih
enak dipandang! Kalau kau laki-laki tulen kutung-
gu kau di Lembah Supit Urang!"
Tanpa menunggu jawaban Gembong Raja
Muda, Malaikat Berdarah Biru segera berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Jahanam! Kita buktikan nanti siapa yang
akan roboh di sana!" teriak Gembong Raja Muda
lantang karena Malaikat Berdarah Biru sudah
tinggalkan tempat itu, lalu pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tanah itu langsung muncrat lak-
sana air dan berhamburan ke udara!
TUJUH
DARI lobang galian tanah sedalam satu
tombak, Nyi Mentul mengkerut dengan melingkar-
kan tubuhnya. Tanah di bibir lobang berhamburan
jatuh menguruk tubuhnya bersamaan dengan ter-
dengarnya benturan dan bergetarnya tempat di
mana dia berada.
Sebenarnya, ketika terjadi pertarungan an-
tara Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda, saat mana Malaikat Berdarah Biru lepaskan
pukulan sakti 'Bayu Sukma' dan suasana pekat,
Nyi Mentul segera berkelebat. Mungkin takut ke-
pergiannya segera diketahui, maka tatkala sepa-
sang matanya melihat sebuah lobang tak jauh dari
tempat itu, dia tanpa pikir panjang segera melesat
dan masuk ke dalam lobang.
Ketika Malaikat Berdarah Biru berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu, ucapannya sempat
membuat marah Gembong Raja Muda, hingga ber-
samaan dengan itu Gembong Raja Muda hantam-
kan kedua tangannya ke tanah, hingga tanah di
sekitar tempat itu bergetar keras, membuat tanah
di bibir lobang tempat Nyi Mentul luruh ke bawah
dan menguruk tubuhnya.
Begitu luruhan tanah dari bibir lobang ter-
henti, sambil menggumam tak jelas, Nyi Mentul
bergerak-gerak menyeruak dari urukan tanah. Setelah kepalanya nongol, dia menarik napas dalam-
dalam. Kepalanya yang mengenakan dua kuncir di
atas disentakkan ke samping kanan kiri mengi-
baskan tanah yang meraupi kepalanya.
Untuk beberapa saat lamanya Nyi Mentul
diam tak bergerak. Sepasang telinganya ditajam-
kan. Sementara kepalanya tengadah ke atas, sepa-
sang matanya jelalatan kian kemari memperhati-
kan keadaan di atas lobang.
"Hmm.... Mereka hendak mengadakan se-
buah pertemuan di Lembah Supit Urang. Gila! Ini
pasti pertemuan besar jika yang mengundang ada-
lah Iblis Gelang Kematian! Rimba persilatan benar-
benar di ambang pintu yang membahayakan...,"
Nyi Mentul membatin dalam hati. Dia tak segera
keluar dari dalam lobang. Dia tampaknya masih
takut jika Gembong Raja Muda masih berada di
tempat itu, hingga untuk beberapa saat lamanya
dia hanya duduk dengan kepala nongol sementara
tubuhnya teruruk tanah.
Setelah agak lama dan merasa tak ada lagi
orang di tempat itu, Nyi Mentul bergerak bangkit.
Dadanya masih berdebar, khawatir kalau masih
ada orang.
Perlahan-lahan kepalanya nongol dari da-
lam lobang.
"Hmm.... Rupanya manusia-manusia itu te-
lah pergi...," bisiknya dengan senyum mengem-
bang. Namun baru saja lehernya terjulur dari da-
lam, terdengar suara tawa mengekeh panjang ber-
sahut-sahutan!
Laksana disambar petir di siang belong, Nyi
Mentul segera tarik kembali kepalanya ke bawah.
Paras mukanya berubah pucat pasi. Dadanya ber-
detak makin keras.
"Busyet! Ternyata perkiraanku keliru. Mere-
ka rupanya telah menyiasati diriku. Pura-pura
pergi padahal masih nongol di situ! Jelas sekali
suara tawa tadi terdengar juga suara tawa perem-
puan. Ini pasti Iblis Gelang Kematian. Bagaimana
sekarang? Celaka.... Celaka betul!"
Nyi Mentul lantas meraba ke balik pakaian-
nya. "Hmm.... Apa hendak dikata. Kalau memang
mereka marah aku akan memberi alasan. Dan ka-
lau mereka hendak mengorek, terpaksa aku akan
melawannya.... Sialan!"
Berpikir sampai di situ, perlahan-lahan pula
Nyi Mentul bergerak lagi ke atas. Tubuhnya terli-
hat bergemetaran. Sementara suara tawa masih
bersahut-sahutan di tempat itu, membuat Nyi
Mentul semakin yakin jika mereka menertawainya
dan mungkin akan segera menghantamnya. Diam-
diam, sambil bangkit dari dalam lobang, Nyi Men-
tul kerahkan tenaga dalam.
Ketika kepalanya menyeruak keluar, kepala
itu disertai dua tangan yang melindungi seolah ta-
kut dihantam, membuat suara tawa semakin ber-
gerai-gerai. Namun Nyi Mentul menarik napas lega
tatkala dia tidak merasakan angin yang menyam-
bar menyerang ke arahnya. Tapi hal itu belum
membuat Nyi Mentul lepas dari rasa khawatir.
Hingga meski lehernya telah berada di atas lobang,
dia tetap melindungi kepalanya dari hantaman
dengan kedua tangannya.
Mungkin merasa orang tidak akan meng-
hantam, maka untuk menghindari segala ke-
mungkinan, Nyi Mentul segera lesatkan tubuhnya
ke atas. Dan dengan terhuyung-huyung seolah
hendak jatuh terjerembab akhirnya dia mendarat.
Perempuan berdandan menor ini tidak segera ber-
paling ke arah datangnya suara tawa. Sebaliknya
dia duduk mengelosoh dengan kedua tangan di
atas kepala seolah seperti orang minta dikasihani.
Namun demikian, diam-diam perempuan ini siap
siaga dengan segala kemungkinan yang akan me-
nimpa dirinya.
Tiba-tiba suara tawa panjang bersahut-
sahutan terhenti. Dada Nyi Mentul makin berde-
bar. Dia merasa akan segera mendapat bentakan
dan hardikan, malah tidak mustahil sebuah puku-
lan!
Namun apa yang diduga Nyi Mentul tidak
jadi kenyataan. Suasana di tempat itu sunyi sepi.
Namun cuma sesaat. Saat berikutnya terdengar
lagi suara tawa bergelak-gelak.
Mungkin merasa tak sabar, Nyi Mentul se-
gera berpaling ke arah datangnya suara. Sejenak
sepasang mata Nyi Mentul membelalak. Darahnya
seakan tersirap. Mulutnya komat-kamit. Dan tak
lama kemudian dari mulutnya terdengar makian
panjang pendek tak habis-habisnya, meski wajah-
nya seketika berubah cerah.
"Sialan! Ternyata mereka!"
Lima belas langkah ke samping Nyi Mentul,
tampak tertawa terbahak-bahak tiga orang. Sebe-
lah kanan adalah seorang kakek dengan selempang ikat pinggang besar yang diganduli beberapa
bumbung bambu. Di sebelahnya tegak seorang ga-
dis muda berparas cantik mengenakan pakaian
putih ketat, membayangkan lekukan tubuhnya
yang membentuk bagus. Di lehernya melingkar
untaian kalung dari bunga-bunga hitam. Sementa-
ra di depan kedua orang ini tampak seorang anak
perempuan yang berdiri seraya berkipas-kipas.
Rambutnya dikuncir beberapa buah dan diberi pi-
ta berwarna-warni. Mereka ini bukan lain adalah
Setan Arak, Ratu Sekar Langit dan Putri Kipas.
"Mereka rupanya sengaja mengerjaiku.
Awas, akan ganti kukerjai mereka!" gumam Nyi
Mentul, lalu Nyi Mentul bangkit berdiri sambil
menghardik dengan ucapan keras.
"Siapa kalian?! Kenapa tertawa-tawa? Apa
yang lucu. Hah...?!"
Ketiga orang yang dibentak bukannya sege-
ra menjawab dengan kata-kata. Melainkan keti-
ganya sama-sama keluarkan tawa, membuat Nyi
Mentul kembali keluarkan teguran keras.
"Kalau kalian tak segera jawab, jangan me-
nyesal jika kalian kumasukkan ke lobang itu!
Mengerti?!"
"Sandiwara bagus! Dari mana kau belajar"
Setan Arak ajukan tanya.
"Sandiwara?! Orang tua. Kau jangan main-
main. Aku tanya siapa kalian. Jangan alihkan
pembicaraan! Cepat jawab!" Nyi Mentul kembali
menghardik. Sepasang matanya melotot besar,
memperhatikan ketiga orang di hadapannya.
Putri Kipas palingkan wajahnya pada Ratu
Sekar Langit. Seakan mengerti apa yang ada di be-
nak si anak perempuan, Ratu Sekar Langit geleng-
kan kepalanya perlahan. Sementara Setan Arak
agak sipitkan matanya. Lalu menenggak bumbung
bambu berisi arak yang ada di tangan kiri kanan-
nya.
Karena masih tak ada yang menjawab, ak-
hirnya Nyi Mentul maju selangkah. Kedua tangan-
nya diangkat tinggi-tinggi.
"Kalian telah menertawaiku. Berarti kalian
menghinaku! Terimalah ini!"
Wuuutttt!
Nyi Mentul sentakkan kedua tangannya se-
kaligus ke depan. Namun tampaknya sengaja di-
buat agak ke atas, hingga meski kejap itu juga
menyambar dua rangkum angin dahsyat yang ke-
luarkan suara menggemuruh keras, namun sam-
barannya tidak sampai membuat ketiga orang me-
nangkis. Namun hal ini telah menunjukkan bahwa
orang ini mempunyai ilmu yang tidak bisa dipan-
dang sebelah mata.
"Kalian telah lihat! Kalau kalian masih
bungkam, aku tak segan-segan mengarahkannya
pada tubuh kalian masing-masing!" ancam Nyi
Mentul.
Di seberang, ketiga orang ini saling pan-
dang.
"Rupanya memang bukan dia!" gumam Ratu
Sekar Langit dengan wajah minta pertimbangan
pada Setan Arak.
Setan Arak anggukkan kepalanya. Mulutnya
yang mengembung terisi arak bergerak-gerak lalu
mengempis. "Memang bukan dia! Ayo kita pergi sa-
ja!" kata Setan Arak. Lalu menggaet tangan Putri
Kipas dan diajaknya meninggalkan tempat itu.
Di seberang, Nyi Mentul tiba-tiba perden-
garkan suara tawa mengekeh panjang. "Jangan
berharap bisa tinggalkan tempat ini sebelum
memberitahu siapa adanya kalian, dan sebelum
kalian satu persatu menerima hukuman karena te-
lah menghinaku!"
Ketiga orang ini urungkan niat masing-
masing.
"Lebih baik segera kita katakan apa yang
dimintanya. Daripada mencari urusan dengan
orang seperti dia!" usul Ratu Sekar Langit. Putri
Kipas anggukkan kepalanya. Sementara Setan
Arak hanya mendehem.
"Maafkan kami. Kami kira kau adalah saha-
bat kami. Ternyata dugaan kami keliru...," Ratu
Sekar Langit membuka pembicaraan.
"Hm.... Begitu?! Teruskan ucapanmu!" Nyi
Mentul menyahut agak ketus.
"Aku adalah Ratu Sekar Langit. Anak ini
bernama Putri Kipas. Sedang kakek ini disebut
orang Setan Arak...."
"Hmm.... Nama-nama bagus!" puji Nyi Men-
tul tanpa tersenyum. Tiba-tiba Nyi Mentul seseng-
gukkan. Dan tak lama kemudian kedua tangannya
telah bergerak menutupi wajahnya, membuat Ratu
Sekar Langit kernyitkan dahi. Sebelum gadis muda
berparas cantik ini buka suara untuk bertanya,
Nyi Mentul telah berujar di sela suara sesunggukannya.
"Malang.... Malang benar nasibku. Tidak se-
perti kalian. Hidup rukun bahagia. Pasangannya
serasi, punya anak mungil lagi.... Huk... huk...
huk.... Seandainya saja aku seperti kalian...."
Sesaat Ratu Sekar Langit mendelik. Lalu tak
lama kemudian bibirnya mengulas senyum, meski
dalam hatinya memaki panjang pendek dikira me-
reka pasangan suami istri.
"Hai! Kau bicara apa?! Kau sendiri siapa?!"
Ratu Sekar Langit menegur.
"Ah, kau. Cantik-cantik kurang pendenga-
ran. Aku bilang, kalian pasangan serasi...."
Ratu Sekar Langit meski tampak jengkel
namun tersenyum, sementara Setan Arak seperti
tak ambil peduli. Putri Kipas sesekali tersenyum
seraya memandang silih berganti pada Ratu Sekar
Langit dan Setan Arak.
"Kami bukan pasangan.... Tapi...."
"Bohong! Kalau bukan pasangan kenapa
bersama dia? Atau barangkali kau adalah keka-
sihnya? Huk... huk... huk...!"
"Itu juga bukan!" sahut Ratu Sekar Langit
datar. Gadis ini sejenak melirik pada Setan Arak.
Yang dilirik sibuk dengan bumbung araknya.
"Kalau begitu kau belum punya kekasih!
Aku punya teman, seorang pemuda gagah. Bagai-
mana kalau...," Nyi Mentul tidak lanjutkan uca-
pannya. Dia memikir sejenak.
"Puaaahhh! Rupanya kau juga pintar jadi
mak comblang! Sayang.... Aku sudah tua. Jika ti-
dak, mau aku pesan padamu. Ha ha ha...!" Setan
Arak menimpali, lalu sesaat kemudian sudah tenggelam lagi dalam gelegukan araknya.
"Kau setuju tawaranku?!" Tiba-tiba Nyi
Mentul ajukan pertanyaan.
Ratu Sekar Langit gelengkan kepalanya per-
lahan.
"Aku sudah punya pilihan!" jawabnya sing-
kat. Lalu menggaet Putri Kipas dan diajaknya hen-
dak pergi.
"Siapa namanya?!" Nyi Mentul mengejar.
"Kau terlalu banyak ingin tahu! Itu urusan-
ku!" sahut Ratu Sekar Langit seraya terus melang-
kah dengan menggandeng tangan Putri Kipas.
"Ah, sayang. Padahal yang kutawarkan pa-
damu adalah seorang pemuda murid seorang to-
koh terkenal dari daerah yang namanya mirip den-
gan nama terakhirmu!" ucap Nyi Mentul seolah
menyesal.
Ratu Sekar Langit tiba-tiba hentikan lang-
kahnya. Keningnya mengkerut.
"Namanya seperti nama terakhirku? Orang
yang terkenal selama ini yang nama tempatnya mi-
rip dengan nama terakhirku hanyalah Karang
Langit. Tempat Wong Agung. Guru...," gadis ini ti-
dak melanjutkan kata hatinya.
"Hai! Kau tercenung. Kau tertarik dengan
tawaranku?!" Nyi Mentul segera ajukan tanya
tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit terdiam.
Namun sesaat kemudian Ratu Sekar Langit
telah melangkah kembali meski sebelumnya mena-
tap tajam ke arah Nyi Mentul dengan tatapan sulit
diartikan. Dada gadis ini tiba-tiba berdebar. Sementara Nyi Mentul tampak tersenyum-senyum
dan usap-usap pipinya.
Empat langkahan kakinya, mendadak gadis
ini gelisah. Dan dengan perasaan tak karuan, dia
berpaling lagi ke belakang. Namun gadis cantik ini
terkejut. Nyi Mentul sudah tidak ada di tempatnya
semula! Sedangkan Setan Arak dan Putri Kipas te-
rus melangkah ke depan.
Ratu Sekar Langit putar kepalanya dengan
sepasang mata mencari-cari. Namun dia tak dapat
menemukan sosok perempuan berdandan menor
tadi.
"Sial! Kenapa tak kutanyakan dulu siapa
nama perempuan tadi? Ah...."
Selagi Ratu Sekar Langit mencari-cari ter-
dengar suara orang tertawa. Secepat kilat Ratu Se-
kar Langit berpaling. Dari balik sebuah batang po-
hon, Nyi Mentul melangkah terseok-seok sambil
tersenyum-senyum.
Sepasang mata Ratu Sekar Langit melotot
besar. Dadanya bergetar keras. Bukan karena ma-
rah melihat kemunculan Nyi Mentul, namun kare-
na melihat sebuah kipas berwarna ungu bergurat
angkat 108 di tangan kanan Nyi Mentul dan di-
buatnya berkipas-kipas. Sebuah kipas yang me-
nunjukkan bahwa pemegangnya bukan lain ada-
lah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108. Murid
Wong Agung dari Karang Langit!
DELAPAN
MULUT Ratu Sekar Langit tampak memper-
dengarkan gumaman tak jelas. Wajahnya berubah
merah padam. Dalam hati gadis ini memaki tak
habis-habisnya. Sebenarnya gadis ini tadi sudah
curiga jika perempuan berdandan menor itu ada-
lah Aji. Namun karena sikap yang ditunjukkan si
perempuan lain, maka akhirnya dugaannya dia
kesampingkan.
Nyi Mentul alias Pendekar Mata Keranjang
terus melangkah mendekat. Sementara Ratu Sekar
Langit tetap tegak diam seolah menunggu.
"Ratu...," panggil Aji setelah dekat begitu di-
lihatnya si gadis alihkan pandangannya pada juru-
san lain dengan wajah memberengut.
"Kenapa kau mempermainkan aku?!" tegur
Ratu Sekar Langit. Suraranya agak keras dan ber-
nada ketus.
Aji tak segera menjawab. Diusap-usapnya
hidungnya. Lalu mengelus-elus dua kuncir ram-
butnya.
"Wah, tampaknya dia marah...," bisiknya.
Lalu murid Wong Agung ini melangkah ke depan,
mendekati Ratu Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit.... Maafkan jika hal tadi
membuatmu marah.... Aku hanya ingin menggoda
kalian"
"Tapi godaanmu konyol! Tidak lucu!" sahut
Ratu Sekar Langit cepat. Sebenarnya gadis ini me-
rasa malu pada Aji, karena ketika Aji menyamar
menjadi Nyi Mentul dan menggoda akan menjo-
dohkan dirinya dengan pemuda murid dari Karang
Langit yang tak lain adalah Aji, Ratu Sekar Langit
tampak berubah parasnya. Hal ini telah menun-
jukkan bagaimana perasaannya pada Aji.
"Hai! Kenapa kau berbuat konyol begini?
He...?!" Ratu Sekar Langit kembali menegur tatkala
Aji hanya diam, malah seraya cengengesan mem-
permainkan rambut dan pakaiannya yang gom-
brong kedodoran.
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan.
Ayo kita segera menemui Setan Arak. Aku harus
segera berbuat sesuatu!" kata Pendekar 108. Lalu
tanpa menunggu persetujuan dari Ratu Sekar
Langit, tangan gadis itu digaetnya dan digandeng
menyusul Setan Arak dan Putri Kipas.
"Kek! Tunggu!" seru Aji. Seraya lambaikan
tangan kanan sementara tangan satunya meng-
gandeng tangan Ratu Sekar Langit. Meski hatinya
masih jengkel, namun gadis ini tak menolak saat
tangan Aji menggandeng tangannya
Setan Arak tak berpaling. Namun Putri Ki-
pas segera menoleh. Dan begitu melihat Ratu Se-
kar Langit melangkah bergandengan dengan pe-
rempuan berdandan menor, Putri Kipas segera ke-
luarkan tawa bergelak-gelak.
"Eyang.... Lihat. Kedua orang itu. Mereka
sepertinya sahabat lama yang baru ketemu!"
"Ya, memang mereka sahabat lama. Jadi tak
perlu heran!" jawab Setan Arak tanpa menoleh pa-
da Putri Kipas.
"Jadi, perempuan tadi memang Pendekar
Mata Keranjang 108?!"
"Apakah aku pernah berkata tak benar?!"
Setan Arak balik bertanya pada Putri Kipas, mem-
buat gadis kecil itu manggut-manggut.
Putri Kipas lantas memandang ke depan.
Tiba-tiba dia berseru.
"Eyang.... Itu ada sebuah gubuk. Kita istira-
hat di sana sambil menunggu mereka! Rupanya
mereka melangkah pelan-pelan dan terus bergan-
dengan tangan."
"Sudahlah. Jangan banyak omong. Kalau
kau ingin istirahat, ayo!" sahut Setan Arak. Lalu
kedua orang ini melangkah menuju ke sebuah gu-
buk.
Tak lama kemudian Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit sampai pula di gubuk itu. Setan Arak
sesaat memandang pada Ratu Sekar Langit, mem-
buat gadis ini segera sembunyikan parasnya yang
bersemu merah dengan berpaling pada Putri Ki-
pas. Sementara Aji langsung duduk bersila di de-
pan Setan Arak yang duduk berselonjor sambil tak
henti-hentinya menenggak bumbung bambu berisi
arak di tangan kiri kanannya.
"Kek...!" seru Aji. "Di mana letak Lembah
Supit Urang itu?!"
Setan Arak jauhkan bumbung bambu dari
mulutnya. Sepasang matanya menatap tajam pada
Aji.
"Kenapa kau tanya tempat itu?!"
"Selama aku menyelidik beberapa hari ini,
aku mendapat petunjuk bahwa di tempat itu akan
diadakan pertemuan para tokoh golongan sesat!"
jawab Aji lalu dia menceritakan tentang perte-
muannya dengan Malaikat Berdarah Biru juga
dengan Gembong Raja Muda dan mengutarakan
pula pembicaraan antara Malaikat Berdarah Biru,
Gembong Raja Muda dengan Iblis Gelang Kema-
tian.
Ratu Sekar Langit tercengang kaget men-
dengar keterangan Pendekar 108, sementara Setan
Arak meski terkejut namun cuma sesaat. Sekejap
kemudian kakek ini telah ajukan tanya pada Aji.
"Jika demikian adanya, apa yang ada di be-
nakmu sekarang?!"
Murid Wong Agung tidak segera memberi
jawaban. Dia tengadah sedikit seraya usap-usap
ujung hidungnya.
"Kalau menurutmu, bagaimana Kek?!"
Mendengar pertanyaan balik, Setan Arak
tertawa bergelak-gelak.
"Karena itu bukan urusanku, aku lebih su-
ka minum arak daripada pergi jauh-jauh ke Lem-
bah Supit Urang!"
"Sialan! Aku juga bodoh. Kenapa menanya-
kan hal itu?!" maki Aji dalam hati. Dia lalu diam
tak memberi sambutan lagi atas kata-kata Setan
Arak.
"Ng.... Bagaimana kalau kau menghubungi
beberapa tokoh yang kau kenal baik dan nyata-
nyata berada di pihak kita?!" Ratu Sekar Langit
memberi usul.
"Hmm.... Itu bisa saja. Namun mencari dan
menemukan tokoh-tokoh itu layaknya mencari ku-
tu di lapangan rambut! Belum tentu aku berhasil
menemukan satu orang dalam jangka waktu tiga
purnama! Mereka adalah orang-orang yang tak
dapat ditentukan di mana tempatnya!" ujar Aji
dengan garuk-garuk lengannya, membuat Ratu
Sekar Langit ikut-ikutan merasa bingung.
"Hmm.... Bagaimanapun juga aku harus se-
gera melakukan sesuatu! Mumpung waktunya ma-
sih agak jauh, untuk sementara aku akan coba
menghubungi beberapa orang.... Kalau tidak ber-
hasil, apa boleh buat. Aku tetap akan ke Lembah
Supit Urang sendirian! Aku harus dapat mencegah
persekongkolan bahaya ini!" tekad Aji dalam hati.
Lalu setelah berpikir sejenak, dia berkata.
"Kek! Aku harus pergi sekarang!"
"Hmm.... Begitu? Bagus! Bertindaklah apa
yang menurutmu baik. Aku tak bisa membantu
apa-apa dalam urusan ini!"
"Aku ikut!" tiba-tiba Ratu Sekar Langit ber-
seru.
Sejenak Aji berpaling pada gadis cantik ini.
Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-
dang. Murid Wong Agung gelengkan kepalanya
perlahan.
"Hmm.... Gadis ini sepertinya selalu
mengkhawatirkan diriku. Sebenarnya aku senang
bisa mengajaknya ikut serta. Namun perjalanan
yang hendak kulakukan akan penuh dengan resi-
ko. Ah...."
"Ratu Sekar Langit.... Untuk sementara ini
sebaiknya kau bersama Putri Kipas dan Setan
Arak. Kelak jika urusan ini selesai, aku akan me-
nyusulmu!" kata Aji dengan suara pelan seakan
tercekat di tenggorokan.
"Kau menolak hanya karena kau meman-
dangku sebagai perempuan. Begitu bukan?!" ujar
Ratu Sekar Langit dengan muka memberengut.
Murid Wong Agung gerakkan kepalanya ke
kanan kiri.
"Bukan. Bukan itu sebabnya!"
"Lalu apa?!"
"Aku tak bisa mengatakannya, Ratu!" jawab
Aji dengan suara serak.
"Ratu. Apa yang dikatakan Aji benar. Se-
baiknya untuk sementara ini kau bersama kami
dahulu. Itu kalau kau mau! Karena terus terang
saja mungkin dia takut kau akan mengalami cela-
ka. Masa' kau tak tahu bagaimana perasaannya
padamu?! Dia itu sebenarnya...," Setan Arak tak
meneruskan ucapannya, tapi mendekatkan bum-
bung arak ke mulutnya.
Mendengar kata-kata Setan Arak, Ratu Se-
kar Langit langsung merah mengelam. Dia melirik
pada Pendekar 108. Aji hanya bisa usap-usap hi-
dungnya dan melirik juga pada Ratu Sekar Langit.
"Hai! Katanya mau segera pergi sekarang.
Kenapa masih lirak-lirik?!" Setan Arak tiba-tiba ke-
luarkan kata-kata yang membuat Ratu Sekar Lan-
git dan murid Wong Agung sama-sama blingsatan.
"Hmm.... Aku pergi sekarang, Kek! Ratu Se-
kar Langit.... Putri Kipas," kata Aji lalu bergerak
bangkit.
Setan Arak hanya mengangguk. Sementara
Ratu Sekar Langit memandang lekat-lekat, malah
sepasang matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
membuat Aji makin trenyuh dan menghela napas
dalam-dalam.
"Aji. Perlu kau camkan. Menjadi seorang
pendekar dituntut berkorban. Korban raga dan pe-
rasaan!" kata Setan Arak saat mengetahui ada rasa
bimbang di hati Pendekar 108.
Murid Wong Agung mengangguk. Setelah
memandang sekali lagi pada Ratu Sekar Langit
dan anggukkan kepala sambil tersenyum, Aji ba-
likkan tubuh dan melangkah meninggalkan gu-
buk.
"Tunggu!" tiba-tiba Putri Kipas berseru me-
nahan langkah Aji.
Pendekar 108 balikkan tubuh. Ternyata Pu-
tri Kipas telah berada di hadapannya.
"Apakah kau akan melangkah dengan ma-
sih seperti ini?!" Putri Kipas ajukan tanya, mem-
buat Aji sejenak kernyitkan dahi tak mengerti.
"Apakah ada yang salah padaku?!"
Putri Kipas tidak menjawab. Perempuan ke-
cil ini hanya tertawa sambil pegang pita-pita di
rambutnya, lalu mengusap-usap bibirnya.
"Astaga!" Pendekar 108 tersadar kalau di-
rinya kali ini masih mengenakan kuncir dua di ke-
palanya, dan bibirnya masih merah karena di-
poles, juga pakaiannya yang gombrong kedodoran.
Secepat kilat murid Wong Agung ini tanggalkan
pakaian gombrongnya. Lalu mukanya diseka den-
gan pakaian gombrong itu. Kedua kuncir rambut-
nya dilepas.
Sekejap kemudian, murid Wong Agung ini
telah mengenakan pakaian di balik pakaian gombrong tadi. Yakni sebuah baju berwarna hijau den-
gan dilapis baju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya dikuncir ekor kuda.
"Bagaimana sekarang?!" ujar Aji seraya me-
ngerling pada Ratu Sekar Langit yang terus mem-
perhatikannya. Gadis muda ini tersenyum meski
amat kecut. Sementara Putri Kipas acungkan jari
jempolnya.
Aji mengulurkan tangan kanannya dan
menggoyang-goyang kepala Putri Kipas. Lalu ba-
likkan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu.
SEMBILAN
CUACA saat itu amat dingin mencekam.
Angin berhembus menusuk tulang. Di angkasa bu-
lan tertutup arakan awan putih, hingga cahayanya
tak mampu menembus untuk menerangi jagat
raya.
Di atas puncak bukit yang hanya terdiri dari
gundukan batu-batu padas seorang perempuan
tua terlihat duduk bersila di depan perapian. Bias
cahaya perapian meski terlihat samar-samar dapat
menunjukkan jika perempuan tua itu mengenakan
pakaian berwarna hitam dari bahan sutera. Pa-
kaian bawahnya berwarna hitam kembang-
kembang putih. Rambutnya putih dan panjang,
hingga tatkala si nenek ini duduk bersila demikian
rupa, rambutnya berserakan di atas tanah. Pada
kedua tangan si nenek melingkar gelang berwarna
kuning. Dia bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-
tian yang dalam rimba persilatan namanya sudah
tidak asing lagi.
Sejak tengah malam hingga hampir pagi ini,
si nenek duduk bersila di depan perapian tanpa
bergerak. Hanya sepasang matanya yang besar se-
sekali berputar liar ke sana kemari lalu menarik
napas dalam-dalam.
"Hm... sebenarnya dia harus sudah datang
malam ini! Apakah ada sesuatu hingga malam
hampir pagi dia tak kunjung datang? Kalau dia tak
datang, rencana ini akan...," si nenek tak lan-
jutkan kata hatinya. Kepalanya berputar. Tiba-tiba
dia putar tubuhnya. Lalu sosoknya melesat dengan
tangan kanan menyentak ke arah perapian. Nyala
api seketika padam tanpa berpelantingannya kayu-
kayu yang dibuat untuk perapian! Dan kejap itu
juga puncak bukit berbatu diselimuti kegelapan!
Bersamaan dengan padamnya perapian, se-
sosok bayangan hitam berkelebat. Dan tahu-tahu
telah tegak berdiri di samping perapian yang telah
padam. "Hm.... Aku yakin dia baru saja di sini! Bi-
as hawa panas perapian masih terasa!" Bayangan
hitam nyalangkan sepasang matanya berkeliling.
Tiba-tiba dia berseru tatkala samar-samar diseli-
muti kegelapan, dia dapat menangkap sosok hitam
berambut putih panjang duduk di atas gundukan
batu padas.
"Guru!"
Iblis Gelang Kematian tersenyum tipis.
Orang yang baru muncul melangkah mendekat.
Lalu anggukkan sedikit kepalanya sebelum akhir
nya duduk di hadapan Iblis Gelang Kematian.
"Hampir saja kau terlambat! Sesaat lagi kau
tak datang, kau tak akan bisa menemuiku!" Iblis
Gelang Kematian keluarkan suara.
Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya
sepasang matanya yang tajam memandang lekat-
lekat pada wajah si nenek. Rahangnya yang kokoh
tiba-tiba mengembung seakan marah mendengar
ucapan si nenek. Sekejap kemudian mulutnya
membuka dan berkata.
"Guru! Aku sudah datang! Harap kau suka
mengatakan apa maksudmu memanggilku kema-
ri!"
Iblis Gelang Kematian tak segera menjawab
pertanyaan orang yang memanggilnya guru. Dia
menarik napas panjang seolah melepas rasa ke-
jengkelan karena lama menunggu. Namun tak la-
ma kemudian dia berkata.
"Manding! Waktu kita tidak banyak. Aku
akan bicara langsung ke persoalan saja. Menjelang
purnama depan, seluruh tokoh golongan kita akan
berkumpul di Lembah Supit Urang. Mereka akan
bersatu untuk melawan sekaligus menghancurkan
orang-orang putih yang selama ini tampaknya ma-
kin merajalela!"
"Tapi apa tidak sebaiknya kita lakukan den-
gan diam-diam?!' sahut orang yang tadi memanggil
Iblis Gelang Kematian dengan sebutan guru. Dia
ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan
dan keras. Sepasang matanya tajam menyengat.
Berdagu kokoh dengan rambut panjang. Mengena-
kan jubah besar berwarna hitam bergaris-garis pu
tih. Dialah Mending Jayalodra yang lebih dikenal
dengan gelar Penyair Berdarah, murid tunggal Iblis
Gelang Kematian.
Mendengar ucapan muridnya, Iblis Gelang
Kematian keluarkan tawa pendek. Lalu ajukan
pertanyaan.
"Yang kau maksud dengan diam-diam itu
bagaimana?!"
Sejenak Penyair Berdarah berpikir. Lalu
berkata.
"Kita ambil satu persatu orang yang menya-
takan dirinya dari golongan putih! "
Iblis Gelang Kematian kembali keluarkan
tawa pendek mendengar ucapan muridnya.
"Itu akan memakan waktu panjang dan
menguras banyak tenaga, muridku! Karena di satu
pihak kita harus mencari orang-orang itu, di pihak
lain kita masih harus berjuang untuk menakluk-
kannya!"
"Lantas kalau diadakan pertemuan di lem-
bah Supit Urang apakah tidak usah mencari
orang-orang golongan putih itu. Dan apakah juga
kita tak perlu mengeluarkan tenaga untuk mem-
bungkamnya?! "
"Segala sesuatu butuh tenaga, Manding!
Namun dengan pertemuan itu, tenaga kita tidak
terlalu banyak keluar. Karena undangan ini tidak
hanya untuk orang-orang golongan kita saja!
Orang-orang golongan putih juga kita beri kabar.
Dengan demikian, mereka akan datang juga ke sa-
na!"
"Kalau mereka tidak menyambuti undangan
itu?! "
Iblis Gelang Kematian tertawa bergelak-
gelak.
"Aku sudah berpuluh-puluh tahun malang
melintang dalam persilatan. Orang-orang golongan
putih tentu tidak akan tinggal diam jika mereka
mendengar orang-orang golongan kita akan bersa-
tu menyusun kekuatan! Bahkan tanpa diundang,
jika mereka mendengar, dapat dipastikan mereka
akan datang! "
"Dengan demikian, apakah dapat dipastikan
jika orang yang selama ini kucari akan datang?!"
"Yang kau maksud Pendekar Mata Keran-
jang?!"
Penyair Berdarah mengangguk perlahan.
"Pertemuan ini memang untuk memancing-
nya keluar. Dan kalau dia muncul, tentunya dia
tak akan sendirian! Itulah yang diharapkan dari
pertemuan itu! "
"Apakah semua tokoh golongan kita telah
diberitahu?!" tanya Penyair berdarah.
"Sebagian sudah. Namun kabar berita ini
akan disebar ke mana-mana. Jadi meski tanpa
menemui satu persatu, mereka tentu akan hadir!"
Sesaat kemudian di antara kedua orang ini
sama-sama diam. Tak berselang lama kemudian,
Iblis Gelang Kematian goyang-goyangkan kepa-
lanya. Lalu menatap tajam pada muridnya, mem-
buat sang murid kernyitkan dahi. Sebelum si mu-
rid buka suara, sang guru telah berkata pelan.
"Manding. Lima hari sebelum purnama,
yang berarti lima hari sebelum pertemuan itu ber
langsung, kau harus siapkan diri baik-baik. Kare-
na aku melihat beberapa tokoh muda yang il-
munya tak bisa diremehkan telah muncul lagi!
Meski mereka berada di pihak kita, namun mereka
juga bisa jadi penghalang di kelak kemudian hari.
Maka dari itu kau harus berlatih lagi kalau kau
tak ingin dikalahkan mereka pada suatu saat ke-
lak!"
Penyair Berdarah menyeringai lebar. Wa-
jahnya yang keras tampak membesi. "Guru! Apa-
kah kau menduga aku dapat dengan mudah dika-
lahkan mereka?!"
Iblis Gelang Kematian mendongak meman-
dangi langit yang masih tertutup awan. "Aku tidak
mengatakan begitu. Namun setidak-tidaknya kau
harus lebih waspada. Karena pemuda bergelar Ma-
laikat Berdarah Biru juga Gembong Raja Muda te-
lah muncul lagi!"
Sejenak Penyair Berdarah terkesiap men-
dengar ucapan gurunya. Sepasang matanya mem-
beliak lebar.
"Guru. Bukankah manusia bergelar Malai-
kat Berdarah Biru kabarnya telah mampus di tan-
gan Pendekar Mata Keranjang?! "
"Itulah. Kadang-kadang apa yang kita den-
gar lain dengan kenyataan! Aku pun semula men-
duga kabar tentang tewasnya pemuda itu benar.
Namun setelah aku bertemu sendiri, aku katakan
padamu, pemuda itu masih hidup!"
"Hm.... Hidup atau sudah tewas, tak ada
pengaruhnya bagiku! Aku yakin bisa membuatnya
roboh meski kabarnya dia memiliki ilmu tinggi!
Bahkan aku pun tak akan mundur jika berhada-
pan pemuda yang baru saja muncul dan sekarang
mulai dibicarakan orang!"
Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-
las. "Kau mengatakan pemuda yang baru muncul
dan kini banyak dibicarakan orang. Apakah yang
kau maksud pemuda bergelar Dewa Maut?!"
Penyair Berdarah tersenyum dingin dengan
anggukkan kepala.
"Muridku. Ini sungguh suatu kesempatan
baik bagimu. Jika pemuda-pemuda itu bisa ber-
kumpul dan bersatu, maka tak akan kesulitan un-
tuk membekuk Pendekar Mata Keranjang!"
"Aku tak akan pernah mau bersatu dengan
mereka! Aku ingin menggenggam rimba persilatan
dengan tanganku sendiri!" ujar Penyair Berdarah
dengan nada berapi-api.
"Itu adalah akhir dari tujuan, muridku! Un-
tuk menuju ke sana, kau harus terlebih dahulu
merangkul mereka. Setelah lawan bisa dilumpuh-
kan, saatnya kau menendang mereka satu persa-
tu! Kau harus pergunakan siasat! Tanpa siasat, tu-
juanmu akan sukar tercapai!" tutur Iblis Gelang
Kematian.
"Kita lupakan dulu mereka. Kita kembali bi-
cara soal pertemuan itu! Sekarang kau harus me-
nebar berita tentang pertemuan menjelang purna-
ma itu. Beritahukan kepada siapa saja! Dan lima
hari menjelang pertemuan, kau kutunggu lagi di
sini! Aku akan memberimu sesuatu yang kelak
mungkin dapat berguna saat pertemuan itu berlangsung!"
Penyair Berdarah sejenak memandang lekat
pada Iblis Gelang Kematian.
"Aku akan jalankan ucapanmu! Sekarang
aku pamit dulu!" Penyair Berdarah bergerak bang-
kit. Lalu membungkuk sedikit dan tampak kaku
karena sebenarnya pemuda ini enggan berbuat ba-
sa-basi seperti itu meski pada orang yang dipang-
gilnya guru.
"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu, apa
yang hendak kau berikan padaku menjelang per-
temuan itu?" tanya Penyair Berdarah dengan
memperhatikan gurunya.
Sang guru keluarkan tawa perlahan. Sete-
lah mendehem beberapa kali dia berkata datar.
"Hal itu tak dapat kukatakan sekarang!
Namun yang pasti sesuatu itu sangat berguna ba-
gimu!"
"Setan alas!" maki Penyair Berdarah dalam
hati. Lalu putar tubuhnya membalik dan tinggal-
kan puncak bukit itu.
Iblis Gelang Kematian pandangi kepergian
muridnya.
"Kalau kukatakan sekarang, kau pasti tak
akan jalankan ucapanku! Hik... hik... hik...!" Puas
tertawa, nenek ini gerakkan tubuhnya berputar.
Lalu sosoknya melesat menuruni bukit mengambil
arah berlawanan dengan yang diambil muridnya.
SEPULUH
KEPALA berambut lebat itu agak lama ma-
suk menyelam dalam air sendang berair jernih dan
sejuk di tengah hutan kecil yang di sekitarnya ba-
nyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang kerin-
dangan daunnya mampu menahan sinar terik
sang matahari. Tak lama kemudian kepala itu
muncul lagi dari dalam air, dan mungkin terasa
segar, sesaat kemudian kepala itu telah lenyap
masuk lagi. Ketika muncul lagi dan bergoyang-
goyang ke samping kiri kanan mengibaskan air
yang membasahi rambutnya, tiba-tiba sepasang
mata di kepala itu menangkap satu bayangan di
balik pohon di sekitar sendang.
Orang yang mandi berendam dalam sen-
dang ini segera sentakkan kedua tangannya berke-
cipak dalam air. Bersamaan dengan itu tubuhnya
melesat keluar dari dalam sendang, dan serta-
merta seraya melayang ke tempat di mana dia me-
letakkan pakaiannya, kedua tangannya kembali
menyentak ke arah dia menangkap adanya bayan-
gan.
Serangkum angin dahsyat dengan suara
bergemuruh menyambar dari tangan orang ini.
Dan sekejap kemudian, ranggasan semak belukar
yang berada di balik pohon di mana dia menang-
kap bayangan langsung terbongkar dengan akar
tercerabut keluar dan langsung membumbung ke
udara!
Dengan gerak cepat, orang ini segera men
genakan pakaiannya. Setelah berpakaian, tampak-
lah dengan jelas siapa adanya orang ini. Ternyata
dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap besar,
berambut panjang, bermata tajam, mengenakan
jubah besar berwarna hitam yang dilapis dengan
baju putih yang di bagian dadanya terdapat gam-
bar sebuah pintu gerbang.
Pemuda yang bukan lain adalah Dewa Maut
ini segera berkelebat ke balik pohon yang semak
belukarnya telah terambas rata. Dan tanpa banyak
bicara lagi kedua tangannya kembali menghantam.
Wuttt!
Angin aneh membentuk lingkaran berputar-
putar segera melesat. Bersamaan dengan itu bebe-
rapa pohon di sekitar tempat itu tergulung dan tak
lama kemudian membumbung ke udara terbong-
kar dari tempatnya! Ketika batangan itu melayang
turun, telah berubah menjadi patahan kecil-kecil!
Ketika suasana sirap, sepasang mata Dewa
Maut segera menyapu berkeliling. Namun meski
keadaan di situ sudah rata karena pukulannya,
namun pemuda ini tak menemukan seorang pun!
"Jahanam! Siapa pun kau, tunjukkan diri!"
teriak Dewa Maut.
Pada saat itulah terdengar suara orang ter-
tawa. Dewa Maut cepat berpaling. Pemuda ini me-
lihat sesosok bayangan melayang turun dari se-
buah pohon tak jauh dari sampingnya yang sela-
mat dari hantaman tangannya.
Begitu sosok itu mendarat, Dewa Maut nya-
langkan sepasang matanya tak berkedip ke depan.
Di hadapannya kini tegak berdiri seorang perempuan muda mengenakan pakaian putih. Pakaian
bagian dadanya dibuat demikian rendah hingga
sebagian buah dadanya yang membusung kencang
tampak menyembul. Pakaian bawahnya tampak
membelah tengah, menampakkan kedua paha
yang putih mulus! Parasnya cantik jelita. Sepasang
matanya bundar dengan rambut panjang.
Untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut
hanya memandang seakan terpesona. Malah da-
danya terlihat bergetar, sementara napasnya
memburu tanda pemuda ini mulai dirasuki gejolak
nafsu.
Sementara gadis muda yang dipandangi
seakan acuh dengan pandangan si pemuda meski
matanya melirik tajam dan bibirnya menyungging
senyum.
"Hm... pemuda berparas keras dan tampan.
Tubuhnya tegap dengan otot-otot menonjol. Sein-
gatku pernah bertemu dengan pemuda ini. Apalagi
melihat pukulan yang dilepaskannya tadi, dia pasti
memiliki kepandaian tinggi...," bentak si gadis ber-
bisik.
"Hai!" si gadis berteriak membuyarkan rasa
pesona Dewa Maut. "Rasa-rasanya kita pernah
bertemu. Kau pernah pula sebutkan gelarmu.
Sayang, aku lupa. Kalau tak keberatan, bisa se-
butkan gelarmu lagi?!"
Dewa Maut yang wajahnya telah berubah
demi melihat siapa adanya orang, sunggingkan se-
nyum. Lalu melangkah tiga tindak ke depan. Se-
raya usap-usap dadanya dia berkata. Suaranya pe-
lan namun terdengar agak bergetar dan serak.
"Seperti kata-katamu, memang benar kita
pernah bertemu dan kau kabur waktu itu. Aku
adalah Dewa Maut! Kau siapa?!" Dewa Maut balik
ajukan tanya.
Sejenak si gadis surutkan langkah satu
langkah ke belakang dengan dada berdebar ken-
cang. Sepasang matanya yang bulat nanar me-
mandang ke arah Dewa Maut.
"Hm.... Jadi manusia yang akhir-akhir ini
menjadi pembicaraan orang sesungguhnya pernah
kukenal. Ilmunya memang tinggi. Tapi... aku lebih
tertarik dengan tubuhnya. Hm.... "
Si gadis tengadahkan sedikit kepalanya seo-
lah ingin menampakkan kejenjangan lehernya.
Bersamaan dengan itu dia menarik napas dalam-
dalam hingga dadanya bergerak-gerak. Dari mu-
lutnya yang merah dan membentuk bagus terden-
gar dia berucap.
"Orang-orang memanggilku dengan sebutan
Dewi Tengkorak Hitam.... "
"Dewi Tengkorak Hitam. Hm... julukan ba-
gus. Sebagus orangnya!" gumam Dewa Maut me-
muji. Padahal dalam hati Dewa Maut sebenarnya
tidak bisa menerima kalau orang yang berada di
dekatnya, waktu itu minggat begitu saja. (Baca
serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode:
"Tahta Setan"). Tapi entah mengapa melihat sem-
bulan buah dada yang menantang milik Dewi
Tengkorak Hitam, pikiran itu seketika hilang begi-
tu saja. Mata Dewa Maut malah makin membela-
lak, dadanya makin berdebar keras, sementara ja-
kunnya turun naik tak karuan.
"Namamu sudah kudengar. Dan nyatanya
apa yang kudengar tidak berbeda dengan kenya-
taan. Hanya aku salah duga!" ujar Dewi Tengkorak
Hitam dengan rapikan rambutnya.
"Salah duga?!" ulang Dewa Maut dengan
kening berkerut, tak mengerti arah ucapan Dewi
Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-
lanya perlahan. Seraya mengerling dia berkata.
"Aku menduga, orang yang bergelar Dewa
Maut adalah seorang kakek berusia kira-kira lima
puluh tahunan. Tak tahunya…" gadis cantik ini
tak lanjutkan ucapannya, membuat Dewa Maut
langsung menyahut.
"Tak tahunya apa...?!'
"Tak tahunya seorang berusia muda dan
berwajah tampan yang pernah kukenal.... "
Hidung Dewa Maut kontan mengembang
mendengar pujian Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda
ini batuk-batuk kecil lalu tertawa terbahak-bahak.
"Aku bukan hanya membuatmu salah duga,
tapi lebih dari itu. Aku akan membuat semua
orang tercengang tak percaya!"
"Maksudmu?!" tanya Dewi Tengkorak Hitam
dengan dahi berkerut.
Dewa Maut seakan tidak mendengar perta-
nyaan Dewi Tengkorak Hitam. Dia teruskan ta-
wanya. Setelah merasa puas tertawa dia berkata.
"Semua orang akan kubuat tak percaya jika
manusia muda bergelar Dewa Maut akan merajai
rimba persilatan! Ha... ha... ha...!"
"Manusia ini sombong. Apakah dia tak
mengerti, untuk menggapai cita-cita itu harus ber-
hadapan dahulu dengan beberapa tokoh yang na-
manya sudah tak asing lagi dalam percaturan rim-
ba persilatan. Apakah dia merasa yakin dapat
menghadapi mereka-mereka itu? Ah, itu urusan-
nya. Yang kubutuhkan adalah dirinya! Hm... tu-
buhnya yang tegap tentu.... Ah...," Dewi Tengkorak
Hitam mendesah panjang. Gadis ini lantas me-
langkah satu tindak ke depan.
"Melihat hantamanmu tadi, aku tak ragu la-
gi jika cita-citamu akan terlaksana! Dari mana kau
peroleh ilmu yang demikian hebat itu?!" basa-basi
Dewi Tengkorak Hitam ajukan tanya.
"Hal itu tak bisa kukatakan pada orang.
Hanya saja dengan ilmu yang kumiliki selain ingin
merajai rimba persilatan, aku juga punya tugas!"
"Tugas? Dari gurumu?! Tugas apa?!"
"Mencari manusia bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 dan Malaikat Berdarah Biru! "
Air muka Dewi Tengkorak Hitam langsung
berubah. Malah tak sadar kedua kakinya tersurut
mundur satu langkah. Mulutnya membuka.
"Melihat perubahan wajahmu, aku percaya
kau mengenal dua manusia tadi. Itulah manusia
yang kucari dan sekaligus harus kumusnahkan
dari muka bumi!" sambung Dewa Maut demi meli-
hat perubahan wajah Dewi Tengkorak Hitam,
membuat gadis ini makin terkesiap.
Setelah dapat mengatasi rasa kejutnya, De-
wi Tengkorak Hitam ajukan tanya. "Boleh aku ta-
hu, silang sengketa apa hingga kau ditugaskan un-
tuk memusnahkan kedua orang itu?!"
Dewa Maut tertawa pendek sambil geleng-
kan kepala.
"Itu juga tak bisa kukatakan padamu! Apa-
kah kau memang mengenal mereka?! "
Dewi Tengkorak Hitam terdiam. Dia berpikir
sejurus. Lalu berkata seraya gelengkan kepala.
"Aku hanya mengenal mereka lewat na-
manya saja. Sedangkan orang-orangnya aku be-
lum pernah bertemu! Kau sendiri, apa telah me-
nemukan mereka?!" seraya berkata begitu, Dewi
Tengkorak Hitam alihkan pandangannya pada ju-
rusan lain. Perempuan itu sesungguhnya tahu ka-
lau Dewa Maut telah bertemu dengan Pendekar
Mata Keranjang. Dan diam-diam dalam hatinya dia
terus bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang telah
terjadi hingga pemuda di hadapannya mengingin-
kan nyawa Pendekar Mata Keranjang. Seorang
pemuda yang telah dikenalnya dengan baik, malah
secara diam-diam dia menyukai pemuda itu meski
dia tak bisa menghilangkan kesukaannya pada pa-
ra pemuda lain.
"Pendekar 108 telah dapat kutemukan. Na-
mun Malaikat Berdarah Biru sampai saat ini be-
lum kutemukan!"
"Kau telah temukan Pendekar 108 ketika
keadaanku sedang tertotok bukan? Mengapa kau
belum berhasil dengan tugasmu?!" tanya Dewi
Tengkorak Hitam dengan palingkan wajah dan da-
da bergetar keras.
"Aku memang belum bisa selesaikan tugas
itu. Ini karena ikut campurnya si keparat banci
itu!" jawab Dewa Maut dengan rahang mengembung dan pelipis bergerak-gerak pertanda menin-
dih amarah.
Dewi Tengkorak Hitam sendiri terlihat me-
narik napas lega. Namun dia juga menahan marah
demi mendengar Dewa Maut menyebut orang ban-
ci.
"Hm... tentu yang dimaksud adalah si jaha-
nam Setan Pesolek! Manusia keparat yang meru-
sak rencanaku bersama Pendekar 108!" Gadis ini
lantas berujar dengan suara setengah berteriak.
"Kau menyebut orang banci. Pasti yang kau
maksud adalah Setan Pesolek. Benar?! "
"Aku tak tahu siapa dia adanya! Yang pasti
dia tak akan kuampuni lagi jika bertemu dengan-
ku! "
"Keparat!" Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam
memaki, membuat Dewa Maut tersentak kaget,
dan memandang Dewi Tengkorak Hitam penuh
tanda tanya.
"Kau keluarkan makian, kau tampak bera-
pi-api. Apa kau punya urusan dengan orang itu?! "
"Setan Pesolek! Manusia itu memang tengah
kucari-cari! Dan tak akan kubiarkan lolos jika ber-
temu!"
"Hm... begitu? Jika demikian, aku bersedia
membantumu!" ucap Dewa Maut sambil melang-
kah mendekat. Dewi Tengkorak Hitam palingkan
lagi wajahnya dan pura-pura tak mengetahui jika
dirinya dipandangi dengan tatapan aneh oleh De-
wa Maut.
"Terima kasih kau mau membantuku. Tapi
kurasa aku bisa menyelesaikan sendiri manusia
itu...," ujar Dewi Tengkorak Hitam sambil menghe-
la napas dalam-dalam hingga buah dadanya ma-
kin terlihat membusung.
Dewa Maut hentikan langkah dua tindak di
samping Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda ini tam-
pak ragu-ragu, membuat Dewi Tengkorak Hitam
sunggingkan senyum tipis.
"Hm... dia tampaknya mulai tertarik padaku
namun takut memulai.... Hik... hik... hik.... Dasar
laki-laki! Tapi... kesempatan ini tak akan kusia-
siakan. Sudah beberapa lama aku tak merasakan
hangatnya belaian kekar tangan seorang pemuda.
Hm... aku akan memancingnya...," batin Dewi
Tengkorak Hitam. Lalu menoleh pada Dewa Maut.
Sejenak ditatapinya pemuda di hadapannya itu.
Seraya tersenyum dia berbisik pelan.
"Sebenarnya aku tadi hendak membasuh
tubuh di sendang itu. Tapi karena ada kau, ter-
paksa kubatalkan. Ng... bagaimana kalau aku
akan membasuh tubuh sebentar? Kalau kau akan
pergi, silakan saja. Tapi kalau masih ingin mengo-
brol lagi, tunggulah sampai aku selesai."
"Ah, aku memang masih ingin bersamamu.
Akan kutunggu kau di sini!" kata Dewa Maut den-
gan suara bergetar parau, pertanda dirinya telah
diamuk gejolak nafsu.
Dewi Tengkorak Hitam mengerling, lalu me-
langkah perlahan ke arah sendang. Jalannya sen-
gaja dibuat-buat hingga pinggulnya yang besar
tampak bergoyang menggiurkan.
Begitu sampai di sendang, Dewi Tengkorak
Hitam berpaling ke belakang. Dilihatnya Dewa
Maut tetap di tempatnya semula sambil terus me-
mandang ke arahnya tak berkedip.
Dewi Tengkorak Hitam menghela napas da-
lam-dalam, lalu tersenyum tipis. Dan tanpa mem-
pedulikan pandangan Dewa Maut, tangan kanan
kirinya bergerak membuka kancing-kancing pa-
kaiannya.
Di tempatnya berdiri, dada Dewa Maut ma-
kin berdebar keras. Napasnya memburu, dengan
mata membelalak. Betapa tidak, di depan sana
Dewi Tengkorak Hitam tanpa malu-malu lagi
membuka satu demi satu pakaiannya. Dan begitu
pakaian terakhirnya terbuka, gadis ini langsung
berkelebat masuk ke dalam air sendang.
"Busyet! Dia seakan mengharapkan..., "
gumam Dewa Maut, namun dia masih belum be-
ranjak dari tempatnya berdiri. Dia hanya tetap
memandangi bagian belakang tubuh Dewi Tengko-
rak Hitam yang muncul tenggelam di dalam sen-
dang.
Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling
ke arah Dewa Maut. Sambil tersenyum gadis ini
berteriak.
"Hai! Kau tak ingin mandi lagi?!"
"Tapi...," Dewa Maut tak meneruskan uca-
pannya.
"Apakah kau merasa malu mandi bersama-
ku?!" sahut Dewi Tengkorak Hitam dengan ha-
dapkan tubuhnya pada Dewa Maut, seakan ingin
memperlihatkan buah dadanya yang tak tertutup
lagi dan tampak membusung bergerak-gerak.
Mungkin tak tahan lagi melihat pemandan
gan yang begitu membuat dadanya berdebar, pe-
muda ini langsung saja meloncat dan mencebur-
kan dirinya ke dalam sendang.
Begitu tubuhnya muncul, tubuh Dewi
Tengkorak Hitam telah berada di rengkuhannya.
Sejenak dua orang ini saling pandang. Bibir Dewi
Tengkorak Hitam sunggingkan seulas senyum.
Namun senyum itu segera pupus karena bibir De-
wa Maut telah menyergap dan memagutnya!
SEBELAS
PENUNGGANG kuda itu terus memacu ku-
da tunggangannya dengan cepat. Debu terlihat
berhamburan ke udara menutupi pemandangan
tatkala ladam kaki kuda itu menghentak di atas
tanah. Sang penunggang tampaknya tidak ambil
peduli, dia terus memacu kuda tunggangannya.
Malah dia keluarkan makian panjang pendek ka-
rena dirasa kuda tunggangannya berlari amat
lamban.
"Kuda jahanam! Apa kau tidak bisa berlari
lebih kencang lagi?! Hiiya...!" Kedua tangan si pe-
nunggang dipukulkan pada leher kudanya. Kuda
itu tersentak dan menghambur ke depan lebih ce-
pat lagi.
Ketika di depannya tampak sebuah kedai
yang ramai pengunjung, baru si penunggang kuda
memperlambat lari kudanya. Tepat di halaman ke-
dai, si penunggang hentikan kudanya.
Sepasang mata si penunggang sejenak me-
nyapu ke dalam kedai. Beberapa orang di dalam
kedai yang sempat melihat ke arah si penunggang
terlihat terkejut dan buru-buru alihkan pandan-
gan. Karena dari tampang si penunggang ini ru-
panya mereka tahu bahwa si penunggang kuda
bukanlah orang ramah. Selain matanya yang besar
dan masuk dalam rongga yang amat cekung, si
penunggang mempunyai bibir yang amat tebal. So-
soknya kurus tinggi. Usianya lanjut. Di atas kepa-
lanya terlihat sebuah caping lebar berwarna hitam
dari kulit. Potongan capingnya dibuat terbuka di
bagian atas hingga rambutnya yang jarang serta
jabrik terlihat. Mengenakan jubah besar berwarna
biru gelap. Kulit wajahnya sangat tipis hingga yang
tampak hanyalah tonjolan tulang-tulang wajahnya!
Entah karena tidak berselera makan, atau
ingin segera sampai tujuannya, si penunggang pa-
lingkan wajah ke depan. Lalu tangan kanannya
menepuk punggung kuda tunggangannya. Bebera-
pa orang di dalam kedai tampak menarik napas le-
ga dan mata mereka mengikuti berlalunya si pe-
nunggang. Tapi kali ini si penunggang tak lagi
menghela kuda tunggangannya dengan cepat. Se-
baliknya ia memperlambat langkah kudanya den-
gan kepala sesekali berpaling ke samping kanan
dan kiri serta mata nyalang.
Begitu sampai jalanan yang sepi dan tak
ada lagi rumah penduduk, si penunggang kembali
hentakkan tangannya pada punggung kudanya
hingga saat itu juga binatang itu meringkih keras
dan mulai berlari kencang. Namun baru saja dua
tombak, mendadak sebuah bayangan hitam me-
layang turun dari sebuah pohon dan langsung
berdiri seakan menghadang. Si penunggang tarik
hela kudanya. Binatang itu angkat kaki dan ber-
henti dengan ringkihan keras.
Sesaat si penunggang kuda lebarkan sepa-
sang matanya memperhatikan pada sosok tubuh
yang kini berdiri dua belas langkah di hadapan-
nya. Tiba-tiba tulang-tulang wajah si penunggang
bergerak-gerak. Mulutnya yang tebal bergerak ko-
mat-kamit. Kedua tangannya dikembangkan hing-
ga keluarkan suara bergemeretakan. Jelas jika si
penunggang telah dirasuki hawa kemarahan.
Sementara orang yang di hadapannya, yang
ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju
panjang berwarna hitam dari sutera dengan kedua
tangan dihiasi beberapa gelang berwarna kuning
dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian, ter-
senyum lebar.
"Manusia Titisan Dewa! Perubahan yang
kau tampakkan menunjukkan jika kau tak lupa
padaku!" ujar Iblis Gelang Kematian masih dengan
senyum.
Si penunggang kuda yang memang Manusia
Titisan Dewa adanya tidak membuka mulut untuk
menyambuti ucapan Iblis Gelang Kematian. Seba-
liknya laki-laki berusia lanjut ini palingkan wajah-
nya ke jurusan lain dengan tulang rahang terang-
kat. Sesaat kemudian dari bibirnya yang tebal ter-
dengar suara teguran keras.
"Iblis Gelang Kematian! Dicari ke mana-
mana tak ketemu. Tak tahunya datang menghadang sendiri hendak serahkan nyawa! Bersiaplah,
Nenek Bangka!"
Selesai berkata begitu, Manusia Titisan De-
wa gerakkan tubuhnya. Sosoknya melesat seten-
gah tombak ke udara, lalu mendarat dengan sepa-
sang kaki sejengkal di atas tanah!
Meski paras Iblis Gelang Kematian tampak
berubah mendengar ucapan Manusia Titisan De-
wa, namun nenek ini segera sembunyikan peruba-
han wajahnya dengan keluarkan geraian tawa pan-
jang.
"Tertawalah sepuasmu! Karena tawamu kali
ini adalah kali terakhir kau bisa tertawa!" ujar Ma-
nusia Titisan Dewa seraya rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Sepasang matanya tak ber-
kedip memperhatikan Iblis Gelang Kematian.
"Aneh. Kita lama tak bertemu, dan rasa-
rasanya di antara kita tak pernah ada sengketa.
Kalau tiba-tiba saja kau muncul dan hendak men-
gakhiri tawaku itu adalah sebuah berita besar.
Atau basa-basimu memang demikian?!"
"Tua Bangka! Kau Jangan berpura-pura!
Aku mengadakan perjalanan ini memang sengaja
mencarimu! "
"Aha.... Tentunya ada hal teramat penting
sampai kau bersusah-susah mencariku!" sahut Ib-
lis Gelang Kematian merasa agak lega.
"Mencari sekaligus menguburmu!" sentak
Manusia Titisan Dewa dengan suara keras, mem-
buat Iblis Gelang Kematian kembali tersentak ka-
get. Sepasang alis matanya terangkat dengan bola
mata liar memperhatikan. Namun senyum nenek
ini kembali menyungging kembali.
"Manusia Titisan Dewa. Kau jangan mem-
buatku berdebar-debar dengan basa-basi guraua-
nmu. "
"Keparat!" maki Manusia Titisan Dewa.
"Siapa bergurau?!"
"Hm... begitu?!" gumam Iblis Gelang Kema-
tian masih dengan sikap tenang meski dalam ha-
tinya bertanya-tanya. "Bisa kau katakan apa sa-
lahku padamu sampai kau bersusah payah men-
cariku sekaligus hendak menguburku?"
"Hm.... Kau manusia yang masih suka ber-
pura-pura. Tapi kalau kau ingin kukatakan apa
salahmu, baiklah. Bukankah kau yang membawa
seorang gadis muda bernama Sakawuni?! "
Iblis Gelang Kematian surutkan langkah sa-
tu tindak. "Hm... nyatanya soal gadis cantik itu.
Apa hubungannya dengan tua bangka ini?!" batin
Iblis Gelang Kematian, lalu nenek ini mengutara-
kan apa yang ada di benaknya.
"Apa hubunganmu dengan gadis itu?!"
"Jadi benar jika nenek ini yang menyim-
pannya. Kurang ajar!" maki Manusia Titisan Dewa,
lalu menjawab ucapan Iblis Gelang Kematian den-
gan bentakan garang. "Dia adalah muridku! Dan
lekas serahkan dia padaku!"
"Ah...," Iblis Gelang Kematian keluarkan se-
ruan seakan terkejut.
"Manusia Titisan Dewa. Dengar baik-baik.
Aku memang pernah bertemu dengan gadis itu.
Malah seperti katamu, aku membawanya ke tem-
patku karena gadis itu dalam keadaan terluka parah. Namun setelah sembuh dia pergi tanpa me-
ninggalkan pesan!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak
hingga tubuhnya berguncang dan sosoknya naik
turun.
"Siapa percaya dengan mulutmu, Nenek
tua! Lekas antar aku menemuinya! Atau kau akan
kubuat terkubur di tempat ini!"
"Manusia Titisan Dewa. Aku memang bukan
orang baik-baik. Tapi soal menyimpan seorang ga-
dis apa untungnya bagiku?!"
"Itu bukan urusanku! Tapi siapa tahu kau
menyukai sesama jenis?!"
"Jaga mulutmu, Manusia Titisan Dewa!"
hardik iblis Gelang Kematian dengan suara mera-
dang. Pelipis nenek ini bergerak-gerak, dadanya
bergetar keras, geram mendengar ucapan Manusia
Titisan Dewa.
Mendapati dirinya dihardik, Manusia Titisan
Dewa angkat kedua tangannya. Namun sebelum
tangan itu lepaskan pukulan, Iblis Gelang Kema-
tian yang masih tampak tenang meski hatinya
berdebar, berseru keras.
"Tunggu!"
Manusia Titisan Dewa turunkan kedua tan-
gannya dengan senyum dingin.
"Mari kita bicara baik-baik. Aku khawatir
hal ini kau dengar dari orang yang menginginkan
gagalnya pertemuan itu!"
Manusia Titisan Dewa keluarkan tawa pen-
dek penuh ejekan. Seraya rangkapkan kembali ke-
dua tangannya di depan dada, kakek guru Sakawuni ini berkata.
"Kuberi kesempatan kau untuk bicara. Wa-
lau aku tahu, mungkin bicaramu hanya mencari
dalih!"
Meski dalam hati memaki tak habis-
habisnya, namun si nenek segera melangkah ke
depan dan buka mulut.
"Soal muridmu, kalau kau masih tak per-
caya dan tetap menuduhku, aku siap melayanimu!
Tapi harap kau menunggu sampai setelah purna-
ma depan! Silakan kau tentukan tempatnya di
mana!"
"Aha.... Rupanya kau masih akan mengasah
ilmu dulu. Atau kau mau cari bantuan? Ha... ha...
ha...! Silakan. Silakan cari bantuan. Manusia Titi-
san Dewa tidak akan melangkah mundur!"
"Dengar, Manusia Titisan Dewa! Untuk
menghadapimu aku sanggup dengan tanganku
sendiri! Namun hal ini sengaja kutunda karena
ada hal besar yang harus kuselesaikan daripada
melayani tuduhan tak beralasan darimu! "
"Urusan besar?" ulang Manusia Titisan De-
wa dengan tertawa. "Urusan apa?! Kau tak usah
malu-malu mengatakan jika hanya ingin mencari
bala bantuan. Tapi ingat. Jika muridku nantinya
sampai mengalami cidera, kau dan para pemban-
tumu akan mengalami kematian yang menge-
naskan! "
"Bicaralah sesuka hatimu! Hanya saja kalau
kau memang seorang tokoh yang tak mau disebut
pengecut, datanglah pada menjelang purnama de-
pan ke Lembah Supit Urang! "
"Setan alas! Berani kau mengulangi uca-
panmu yang menyebutku pengecut, nyawamu tak
kutunda sampai setelah purnama!" bentak Manu-
sia Titisan Dewa dengan mata menyengat angker.
Iblis Gelang Kematian menjawab ucapan
Manusia Titisan Dewa dengan tertawa mengekeh
panjang. Walau dalam hatinya menyumpah habis-
habisan. "Tua bangka jahanam. Kau sepertinya
manusia yang tiada tanding. Aku ingin tahu sam-
pai di mana kemajuan ilmumu!"
"Manusia Titisan Dewa! Bicaramu terlalu
tinggi. Tapi itu semua tiada arti kalau kau menje-
lang purnama tidak berani datang ke lembah Supit
Urang! Dengar! Sebelum urusan muridmu kita
tuntaskan, kutunggu kedatanganmu di Lembah
Supit Urang!"
"Kalau kau berani, kenapa harus menunggu
di Lembah Supit Urang? Tentunya kau takut
menghadapiku sendirian. Ha... ha... ha...!"
Batas kesabaran Iblis Gelang Kematian
yang sejak tadi ditahan-tahan rupanya sudah tak
bisa dibendung lagi.
"Tua keparat! Apa susahnya menghadapi-
mu!"
"Bagus! Jadi kau minta urusan itu disele-
saikan di sini! "
"Terserah kau! Minta sekarang kulayani,
minta ditunda kutunggu!"
"Jika demikian, aku minta nyawamu seka-
rang!" hardik Manusia Titisan Dewa. Bersamaan
dengan itu kedua tangannya dipentangkan, dan
serta-merta dihantamkan ke depan.
Wuttt!
Tiada deru angin yang terdengar, tiada
sambaran angin yang terlihat! Namun bersamaan
itu, udara mendadak panas menyengat, dan Iblis
Gelang Kematian terasa terdorong ke belakang!
Sejurus Iblis Gelang Kematian terkesiap ka-
get. Sebelum tubuhnya terseret lebih jauh, nenek
ini cepat berkelebat ke samping. Dari arah samp-
ing nenek ini sentakkan kedua tangannya ke arah
Manusia Titisan Dewa.
Wesss!
Gelombang angin dahsyat laksana ombak
segera melesat dari kedua tangan Iblis Gelang Ke-
matian.
Manusia Titisan Dewa tak tinggal diam. Ke-
dua tangannya kembali diangkat tinggi-tinggi, lalu
dengan membentak garang kedua tangannya di-
hantamkan memapak serangan Iblis Gelang Kema-
tian.
Udara bertambah panas, dan bersamaan
dengan itu seberkas sinar pelangi menggebrak ke
depan.
Blarrr!
Terdengar ledakan dahsyat, membuat tem-
pat itu bergetar Keras. Tubuh Iblis Gelang Kema-
tian terlihat tersurut sampai empat langkah dan
terhuyung-huyung, namun nenek ini cepat bisa
menguasai diri, dan sekonyong-konyong si nenek
ini hantamkan kembali kedua tangannya.
Di seberang sana, Manusia Titisan Dewa
tampak tubuhnya bergetar keras, dan sebelum tu-
buhnya oleng, Kakek ini cepat meloncat ke samping, dan begitu melihat lawan lepaskan pukulan
lagi, dia pun segera hantamkan tangannya juga!
Wuttt!
Untuk kedua kalinya bentrok pukulan tak
dapat dihindarkan lagi. Dan dikejap itu juga tubuh
kedua orang ini sama-sama mental ke belakang.
Iblis Gelang Kematian coba menahan tubuhnya
dengan sentakan kedua tangannya ke bawah. Na-
mun gerakannya terlambat, karena bersamaan
dengan itu tubuhnya telah terhuyung dan jatuh
dengan kaki tertekuk. Di pihak lain, Manusia Titi-
san Dewa terlihat jatuh terduduk!
"Jahanam! Rupanya ilmunya maju cukup
pesat juga manusia ini!" batin Iblis Gelang Kema-
tian, lalu si nenek salurkan tenaga dalam ke dada
dan kedua tangannya yang terasa berdenyut nyeri
dan kesemutan. Sesaat kemudian bergerak bang-
kit meski dengan meringis menahan sakit.
Kedua orang ini sejurus saling bentrok pan-
dangan. Dan serentak kedua orang ini sama-sama
gerakkan tangan masing-masing untuk lepaskan
serangan. Namun sebelum keduanya sempat le-
paskan pukulan, terdengar orang batuk-batuk. La-
lu disusul dengan suara tawa pendek bernada
mengejek.
Manusia Titisan Dewa dan Iblis Gelang Ke-
matian urungkan niat masing-masing untuk le-
paskan pukulan. Serentak keduanya berpaling ke
samping. Kedua orang ini sama-sama pelototkan
mata masing-masing. Dahi keduanya mengernyit.
DUA BELAS
DARI arah samping kedua orang ini melihat
dua orang melangkah ke arah mereka. Sebelah
kanan adalah seorang pemuda berparas tampan
dan keras. Mengenakan pakaian jubah warna hi-
tam besar yang dilapis dengan baju putih. Karena
kancing jubah bagian atas sengaja dibuka, maka
baik Manusia Titisan Dewa maupun Iblis Gelang
Kematian dapat melihat jelas gambar sebuah luki-
san pintu gerbang di bagian dada baju putih si
pemuda. Di samping si pemuda adalah seorang
gadis muda berparas cantik Jelita. Mengenakan
pakaian warna putih yang di bagian dada dibuat
agak rendah, hingga sembulan buah dadanya ter-
lihat dengan jelas. Sementara pakaian bawahnya
dibuat membelah di tengah, seolah memperli-
hatkan sepasang kulit pahanya yang mulus. Sepa-
sang mata si gadis bulat berbinar dengan rambut
panjang.
"Siapa mereka? Kedatangannya tidak dapat
kusiasati, hm... tentunya mereka mempunyai ilmu
yang tidak bisa dianggap sepele...," membatin Ma-
nusia Titisan Dewa dengan memperhatikan lebih
seksama.
"Hm... yang perempuan sepertinya pernah
kukenal. Tapi... di mana? Si pemuda rasanya baru
kali ini kujumpai...," Iblis Gelang Kematian berkata
dalam hati dengan dahi terus berkerut.
Sepuluh langkah di samping Manusia Titi-
san Dewa dan Iblis Gelang Kematian si pemuda
dan si gadis yang bukan lain adalah Dewa Maut
dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan langkah.
Kedua orang muda ini sejenak saling ber-
pandangan. Dewa Maut lantas tersenyum tipis dan
berpaling pada Manusia Titisan Dewa. Sebelum
pemuda ini buka mulut ajukan tanya, Manusia Ti-
tisan Dewa telah keluarkan teguran keras.
"Siapa kalian?!"
Teguran Manusia Titisan Dewa hanya dija-
wab dengan seringai oleh Dewa Maut. Dan tanpa
mengacuhkan Manusia Titisan Dewa yang tampak
marah, Dewa Maut berpaling pada Iblis Gelang
Kematian. Iblis Gelang Kematian tidak keluarkan
suara, malah sebaliknya Nenek ini alihkan pan-
dangan pada jurusan lain.
"Bila kalian tak mau mengatakan siapa
adanya kalian juga apa tujuan kalian di sini, lekas-
lah angkat kaki sebelum kalian menyesal!"
Mendengar ucapan Manusia Titisan Dewa,
Dewa Maut kembali berpaling ke arahnya. Sejurus
dipandanginya kakek ini. Tiba-tiba Dewa Maut ke-
luarkan tawa bergelak.
Mendapati hal demikian Manusia Titisan
Dewa rupanya tak dapat menahan sabar, dia sege-
ra melangkah maju. Namun baru satu langkah,
Dewa Maut telah keluarkan bentakan keras.
"Siapa kami, nanti kekasihku yang akan je-
laskan! Tapi sekali lagi kau keluarkan ucapan
mengancam, kau akan tewas sebelum mengetahui
siapa kami. Kau dengar?!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut palingkan
wajah ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Sementara
Manusia Titisan Dewa terlihat makin geram, hing-
ga tulang rahangnya saling mengatup rapat-rapat
keluarkan suara gemeletak.
"Dewiku.... Katakan pada mereka siapa
adanya kita! " Dewa Maut berkata pada Dewi
Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam maju selangkah.
Memandang satu persatu pada Manusia Titisan
Dewa dan Iblis Gelang Kematian. Setelah terse-
nyum sinis gadis cantik buka mulutnya.
"Pemuda di hadapan kalian saat ini adalah
manusia yang bergelar Dewa Maut! Sedangkan
aku.... Dewi Tengkorak Hitam!"
Iblis Gelang Kematian langsung berubah
parasnya. Dahinya mengkerut dengan mata me-
nyipit memandang ke arah Dewa Maut.
"Hm... melihat gerak-geriknya pemuda itu
memang membekal ilmu. Tapi bagaimana mungkin
dia bisa jatuh ke pelukan perempuan itu? Dewi
Tengkorak Hitam... namanya memang pernah ku-
dengar. Kabarnya dia seorang perempuan yang se-
lain mempunyai ilmu tinggi juga doyan pada pe-
muda-pemuda! Pemuda ini perlu didatangkan ke
lembah Supit Urang...."
Berpikir begitu, Iblis Gelang Kematian lalu
maju selangkah seraya anggukkan kepala dengan
bibir sunggingkan senyum.
"Gembira sekali hari ini aku bisa bertemu
dengan orang muda yang namanya mulai dikenal
orang-orang kalangan persilatan. Aku Iblis Gelang
Kematian.... Terimalah perkenalanku.... "
Mendengar sedikit pujian, Dewa Maut bu
sungkan dadanya. Lalu berpaling pada Iblis Gelang
Kematian tanpa anggukkan kepala atau ucapkan
kata-kata. Dia hanya memandang lalu tersenyum
sinis, membuat Iblis Gelang Kematian memaki
panjang pendek dalam hati seraya mulut komat-
kamit.
Mendadak Dewa Maut menoleh pada Manu-
sia Titisan Dewa.
"Kau telah dengar siapa kami. Sekarang ka-
takan siapa kau!"
Sosok manusia Manusia Titisan Dewa terli-
hat berguncang karena menahan geram. Sementa-
ra Dewi Tengkorak Hitam dan Dewa Maut diam
menunggu. Setelah menarik napas dalam-dalam,
Manusia Titisan Dewa mendongak.
"Pasang telinga kalian baik-baik. Aku dige-
lari orang Manusia Titisan Dewa!"
Dewi Tengkorak Hitam ternganga, sedang-
kan Dewa Maut tetap tenang tak menunjukkan ra-
sa terkejut sama sekali. Hal ini bisa dimaklumi,
karena Dewi Tengkorak Hitam yang telah lama ma-
lang melintang dalam rimba persilatan telah per-
nah mendengar tentang tokoh ini. Sementara De-
wa Maut yang baru saja menjejakkan kakinya ke
arena rimba persilatan belum pernah mendengar
siapa adanya tokoh yang kini ada di hadapannya
itu.
"Sekarang katakan apa tujuan kalian bera-
da di sini. Apa kalian ada hubungannya dengan
tua bangka itu?!" sambung Manusia Titisan Dewa
masih dengan mendongak.
Dewa Maut keluarkan tawa dahulu sebelum
berkata.
"Kami tak ada sangkut-paut apa-apa den-
gan nenek itu! Kalau kau tanya tentang tujuanku,
dengarkan baik-baik. Aku datang dengan tujuan
ingin menjadi raja rimba persilatan! "
Serta-merta Manusia Titisan Dewa tertawa
bergerai-gerai.
"Anak muda! Berapa umurmu sekarang?!"
"Umur bukan ukuran seseorang menjadi ra-
ja di rimba persilatan!" sahut Dewa Maut dengan
suara keras bergetar.
"Hm... begitu? Tekadmu tampaknya besar,
Anak muda! Siapa gurumu?!"
"Itu juga bukan ukuran seseorang untuk
menggenggam rimba persilatan! "
"Hm... Jika begitu kau memang pantas di-
kasih tahu aturan rimba persilatan!" hardik Manu-
sia Titisan Dewa, kedua tangannya diangkat lalu
ditarik sedikit ke belakang.
Tahu jika Manusia Titisan Dewa akan le-
paskan pukulan, Dewa Maut berbisik pada Dewi
Tengkorak Hitam.
"Dewi.... Kau menyingkirlah! Tua bangka ini
rupanya ingin tahu siapa yang dihadapinya saat
ini!"
Dewi Tengkorak Hitam surutkan langkah ke
samping. Sementara Dewa Maut maju satu tindak.
Dia tidak membuat gerakan, hanya sepasang ma-
tanya menyorot tajam pada Manusia Titisan Dewa.
"Tunggu!" tiba-tiba Iblis Gelang Kematian
berseru.
Manusia Titisan Dewa berpaling dengan li
rikkan matanya. Sementara Dewa Maut tak meno-
leh. "Kau mau bergabung dengannya?!" teriak Ma-
nusia Titisan Dewa.
Iblis Gelang Kematian menyeringai buruk.
"Sebaiknya kita akhiri urusan sepele ini
sampai di sini saja! Karena ada hal yang lebih
penting yang semestinya kita lakukan."
"Kita lakukan?!" ulang Manusia Titisan De-
wa dengan sinis. "Kau bukan kelompokku! Aku
adalah aku! Jangan kau berani menyebut kita!"
"Jahanam! Seandainya aku tidak punya
rencana besar di lembah Supit Urang, sudah ku-
sudahi hidupmu!" maki Iblis Gelang Kematian da-
lam hati. Nenek ini berpaling pada Dewa Maut, la-
lu berkata.
"Dewa Maut. Kau memang berhak bercita-
cita menjadi raja di raja rimba persilatan. Tapi un-
tuk mencapainya tentu kau harus buktikan dulu
bahwa sudah tidak ada orang lagi yang dapat
mengalahkan dirimu!"
"Hal itu akan kubuktikan sekarang! Dan tua
bangka itu yang akan kujadikan barang bukti per-
tama kali!" sahut Dewa Maut dengan arahkan te-
lunjuk jarinya pada Manusia Titisan Dewa.
"Di sini, barang bukti sepuluh kali lipat tak
akan ada artinya!"
"Apa maksudmu?!" tanya Dewa Maut masih
tanpa berpaling.
"Kalau kau ingin membuktikan, datanglah
pada menjelang purnama depan ke Lembah Supit
Urang. Di sana nanti, kau bisa berhitung. Adakah
kau pantas menyandang gelar raja di raja rimba
persilatan atau tidak!"
Habis berkata demikian, Iblis Gelang Kema-
tian melirik pada Manusia Titisan Dewa, lalu ber-
kata.
"Manusia Titisan Dewa. Urusan kita, kita
selesaikan di lembah Supit Urang! Ingat! Jika ka-
lian tak datang, lebih baik kalian bunuh diri seka-
rang juga! Hik... hik... hik...!"
Iblis Gelang Kematian lantas balikkan tu-
buh, dan hendak pergi tinggalkan tempat itu. Na-
mun sebelum dia sempat berkelebat, Manusia Titi-
san Dewa telah sentakkan kedua tangan ke arah-
nya.
Wuttt!
Hawa panas yang kemudian berganti dingin
menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu,
seberkas sinar pelangi melesat cepat ke arah Iblis
Gelang Kematian.
Mengetahui serangan berbahaya, Iblis Ge-
lang Kematian segera balikkan tubuhnya dan le-
paskan pukulan. Namun sebelum pukulannya
sempat dilancarkan, Dewa Maut telah membentak
garang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
menghantam memapak pukulan yang mengarah
pada Iblis Gelang Kematian.
Wesss!
Asap merah menyambar keluar dari kedua
tangan Dewa Maut, disusul kemudian dengan
menggebraknya angin yang berputar-putar aneh.
Manusia Titisan Dewa tampak terkesiap ka-
get ketika melihat sinar pelangi pukulan saktinya
'Menggiring Pelangi Menebar Hawa' masuk ke dalam angin yang berputar-putar aneh itu. Dan ka-
kek ini makin tak percaya tatkala angin yang ber-
putar-putar aneh itu kini melabrak ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Manusia Titisan De-
wa melompat ke udara. Lalu hantamkan kedua
tangannya ke arah angin yang berputar-putar dan
menggulung serangannya tadi.
Blarrr!
Ledakan keras segera terdengar. Tanah ber-
muncratan ke udara menutupi pemandangan. So-
sok Manusia Titisan Dewa tampak membuat gera-
kan berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum
akhirnya mendarat sejengkal di atas tanah!
Ketika keadaan terang kembali, Manusia Ti-
tisan Dewa tampak keluarkan makian tak karuan,
karena sosok Iblis Gelang Kematian telah lenyap
dari tempat itu!
"Pengecut jahanam! Kutunggu kau di tem-
pat yang kau sebutkan!" teriak Manusia Titisan
Dewa. Lalu menatap pada Dewa Maut dan berkata.
"Kau juga, jangan kira urusan kita ini sele-
sai! Kita buktikan nanti di lembah Supit Urang,
siapa yang berhak menyandang gelar raja di raja
rimba persilatan!"
Manusia Titisan Dewa lantas menggoyang
tubuhnya lalu berkelebat meninggalkan tempat
itu.
"Kau biarkan tua-tua bangka itu pergi begi-
tu saja?!" ujar Dewi Tengkorak Hitam seraya me-
lingkarkan tangannya pada pinggang Dewa Maut
dan merapatkan dadanya pada punggung si pemuda.
Tangan Dewa Maut bergerak mengelus tan-
gan Dewi Tengkorak Hitam.
"Sebenarnya aku ingin membunuh mereka.
Tapi sengaja kuulur. Aku ingin manusia-manusia
macam mereka menjadi kacung-kacung Dewa
Maut. Ha... ha... ha...! Mereka akan kujadikan
Laskar Dewa! Pembantu-pembantu setia Dewa
Maut yang mengiringi ke mana tuannya melangkah! Ha... ha... ha...!"
SELESAI
Segera terbit:
TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG
0 comments:
Posting Komentar