AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode
Ajian Scsat Peodekar Slebor
1
Hari datang dan pergi. Waktu seperti tak pernah
singgah di mana pun. Semuanya berlalu begitu saja, seolah
tak pernah terjadi apa-apa.
Kemarau panjang yang selama beberapa bulan
terakhir merongrong tanah Jawa, hari ini tampaknya mulai
berakhir dengan berduyun-duyunnya awan kelabu gelap di
langit. Meski mendung tak terlalu pekat, namun memberi
sedikit harapan akan datangnya hujan.
Dan ujian kekeringan untuk tanah Jawa nan subur
akhirnya berakhir. Butiran air jatuh juga tipis-tipis. Tanah
kering tertimpa gerimis. Debu halus sesaat mengapung di
udara. Selanjutnya, mereka tak bisa lagi bertebaran
seenaknya. Bumi basah, menyebar bau tanah. Rahmat
telah datang rupanya. Setitik air seperti limpahan berkah
tak terkira.
Di tengah-tengah gerimis, seseorang berjalan
terhuyung-huyung Iimbung. Langkahnya terseret. di tanah
basah. Geraknya tersuruk. Seorang pemuda berpakaian
hijau pupus dengan selempang kain ber-corak catur di
bahunya. Keadaannya begitu kacau. Rambut sebatas
bahunya raulai kuyup. Wajahnya pucat pasi, di antara
lelehan keringat bercampur air hujan.
Sebentar dia berhenti. Ditengadahkannya kepala,
serta dibukanya mulut. Rasa kering kerontang di
kerongkongan memaksa dia untuk mencoba menampung
Iangsung butiran-butiran air dan Iangit. Tenggorokannya
kemudian terlihat bergerak meneguk dengan susah-payah.
Tak lama, dia mulai beringsut kembali.
Tak jauh melangkah. Hanya sanggup memindahkan
kaki tujuh-delapan tindak, Ielaki muda itu tak kuasa Iagi
mempertahankan posisi tubuhnya. Dia terhuyung tajam
dan tersungkur.
Bumi menjadi gulita di matanya.
Pemuda Iusuh tadi merasakan dirinya terangkat
tinggi, Ialu dijerumuskan ke dalam ruang gelap gulita yang
menjulur terlampau dalam tiada dasar. Yang aneh, dirinya
justru tak merasa sedang dalam keadaan meluncur jatuh.
Sebaliknya, dirasakan dirinya meIayang deras dalam Iiang
panjang gulita tadi.
Tak ada angin melintasi permukaan kulit
sebagaimana layaknya scorang dalam kcadaan bergerak.
Itu pun ganjil nilainya. Jangankan merasakan angin di
permukaan kulit, tubuhnya scndiri tak Iagi dirasakannya.
Apakah saat itu dia masih mcmiliki tubuh?
Pertanyaan itu dirasa tak perlu dipersoalkan. Sebab,
add keganjilan lain yang sama sckali menyedot
perhatiannya. Di atas sana, tepat di Iubang Iiang panjang
gelap gulita, dilihatnya seberkas cahaya. Dia ibarat seorang
yang sedang terjatuh dalam sumur dalam dan melihat ke
mulut sumur. Di mulut lubang yang memendarkan cahaya
itu, disaksikan sendiri jeIas-jelas tubuhnya terkapar di
tanah basah. Butiran gerimis masih menggerayang di
sekujur tubuh itu. Disaksikan tubuhnya demikian
menyedihkan, terlen-tang tanpa gemik. Sementara dirinya
yang melayang deras ke bawah terus menatapi nanar ke
tubuh kembarnya di atas sana.
Semuanya kemudian berubah kembali. Seperti
panorama mimpi yang mendadak berganti. Mulut lubang
bercahaya yang memperlihatkan tubuh kembarnya
memudar dan menghilang. Kegelapan terenyahkan oleh
kekuatan tak terjelaskan. Gulita tiada. Digantikan secara
mendadak oleh selaksa benang-benang kabut dalam tata
warna mempesona. Merah, jingga, ungu, biru, hijau, dan
sekian warna yang saling menindih dalam gerak gemulai.
Meliuk berirama. Menggapai seakan sayap-sayap samar
iring-iringan bidadarL
Dirinya telah terkepung benang-benang kabut
bcrwarna-warni. Sesakkah dia? Tak ada rasa itu. Satu-
satunya perasaan yang menyeruak adalah perasaan
damai. Demikian pekat damai itu. Demikian kental. Jika dia
bisa bertanya, akan diutarakan pertanyaan; mungkinkah
ada rasa damai yang Iebih damai dari yang kini dialami?
Selanjutnya. seluruh benang-benang kabut warna-
warni tanpa ujung tanpa pangkal itu memisahkan diri di
satu bagian. Terbentuklah celah. Dari balik ceIah, perlahan
tampak wujud seorang tua berwajah teduh. Dagunya
ditumbuhi janggut sewarna Iembutnya salju sepanjang
Iehernya. Sinar matanya saja bahkan sanggup
menyejukkan perasaan si pemuda. Di keningnya terpancar
cahaya amat terang, namun tak menyilaukan. Dalam
pakaian yang sulit ditentukan warnanya karena tersamar
pendar cahaya benang-benang kabut, orang tua itu
menjulurkan sebelah tangan.
Entah bagaimana, pemuda itu menjemput begitu saja
uluran tangan si orang tua. Digenggamnya jemari itu.
Terasa ada kedamaian pula di sana. Lalu, orang tua tadi
menghelanya Iembut untuk masuk ke dalam celah.
Ketika pemuda itu makin dekat, orang tua tadi
mendadak merangkulnya. Kesejukan serta kedamaian
terasa Iagi. Lantas, telinga si pemuda dibisikinya;
"Dirimu adalah muara. Di sana sebelumnya
berkumpul, datang dan pergi Dirimu adalah dermaga,
semuanya merapat dan ingin memastikan tempat. Namun,
dirimu adalah milikmu. Muara dan dermaga itu pun
milikmu, Cuma kau yang harus menentukan apa yang
harus mengalir di muara dan apa yang harus merapat di
dermaga itu. Jangan pemah kehilangan muaramu, atau
dermagamu..."
***
"Aku jadi tidak mengerti, sebenarnya ke mana anak
muda sial itu pergi?" Terdengar cacian seorang perempuan
tua dari sebuah gubuk reyot yang diba-ngun tak jauh dari
Pantai Laut Selatan. Menyusul makian scbal tadi, terdengar
bunyi riuh rendah benda-benda yang dilemparkan di dalam
gubuk.
"Perabotan di tempat ini kenapa tidak ada yang
benar? Semuanya bau cecurut!" sambung suara
perempuan tua tadi.
"Kau sebenarnya sedang kesal sama siapa, atau
sama apa?" terdengar suara seorang lelaki tua menimpali.
"Semuanya! Termasuk kau!"
"Apa salahku fcingga kau begitu kesal padaku?"
"Karena kau... ah, sudahlah!"
Di dalam gubuk, sepasang nenek-kakek
memeributkan pepesan kosong. Sebutlah mereka tua.
Namun, semangat keduanya tampak menggebu-gebu
melebihi orang muda. Terlihat sekali dari cara mereka
bicara. Juga dari cara mereka berdiri meski keadaan punuk
mereka sudah sama-sama melengkung.
Di dekat dinding sebelah kanan pintu, tcrdapat balai
dari bilah-bilah bambu berwarna coklat matang. Di atasnya,
telentang seorang dara cantik. Matanya terpejam. Bukan
sedang tertidur. Melainkan sedang dalam keadaan tak
sadarkan diri.
Tiga-empat tindakdari balai, seorang tua berkepala
setengah botak berperut buncit duduk menekuk lutut di
atas kendil (semacam kuali) tanah liat besar yang
lertelungkup. Kepalanya terangguk-angguk memerangi
kantuk. Sebentar terdengar dengkurnya, sebentar
kemudian terdengar gumamannya. Suara ribut
pertengkaran perempuan dan lelaki tua di tempat yang
sama, seperti tak pemah mengusiknya.
Dua manusia jompo yang seru-serunya meributkan
sesuatu siapa Iagi kalau bukan Nyai Silili-lilu dan Ki
Saptacakra. Kakak beradik bangkotan, sepasang
dedengkot dunia persilatan beradat 'angot-angotan'.
Mudah diduga siapa lelaki tua Iain yang terkantuk-
kantuk di sudut ruang gubuk. Petaruh Sakti Perut Buncit
tentu saja. Sedangkan perempuan cantik yang telentang
diam di atas balai adalah Dewi Kecubung. Murid
perempuan murtad itu dalam keadaan mengkhawatirkan.
Ada pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi telah melukai
tubuh bagian dalamnya. Nyai Silili-lilu (meskipun mulut
ccrewetnya seperti kaleng rombeng dan tengiknya seperti
biang setan) berniat mengobati luka dalam perempuan itu.
(Untuk mengetahui kejadian tersebut lebih jelas, bacalah
episode sebelumnya; "Perserikatan Setan").
Sebelumnya, tubuh Dewi Kecubung telah disaIurkan
bawa murni selama beberapa saat. Satu perjuangan yang
memakan waktu agak lama mengingat pukulan tenaga
dalam tingkat tinggi yang bersarang di tubuh Dewi
Kecubung. Tenggang waktu selama penyaluran hawa mumi
itu dimanfaatkan si orang tua berperut gentong untuk
mencuri-curi tidur. Dasar kerbau!
Selesai menyalurkan hawa mumi. Nyai Silili-lilu
menyuruh Ki Saptacakra, adik kandungnya untuk mencari
beberapa tumbuhan obat-obatan. Selama Ki Saptacakra
mencari, Nyai Silili-lilu mempersiapkan alat-alatnya.
Sampai Ki Saptacakra pulang kembali, nenek bangkotan
itu belum juga menemukan pera-botan yang
dibutuhkannya. Mau cari perabotan untuk membuat
ramuan, atau mencari perabotan Ienong?
Itu pula awal pertengkaran tanpa juntrungan mereka.
"Kau jangan diam terus seperti sapi kekenyangan!
Bantu aku, Iler SIompret!"sembur Nyai Silili-lilu mendapati
Ki Saptacakra malah bersidekap di depan jidatnya.
"Tadi sudah aku tanya, kau sedang mencari apa. Tapi
mulut cerewetmu malah memakiku! Kalau aku tidak tahu
apa yang mesti kucari, bagaimana aku bisa membantu?!"
balas Ki Saptacakra sengit.
"Jadi apa maksudmu?!" Nyai Silili-lilu tampaknya tidak
mendengarkan omongan Ki Saptacakra. Masa' sudah
bicara sejelas itu masih bertanya; jadi apa maksudmu?
"Bangkotan slompret," rutuk Ki Saptacakra dongkol.
Giliran dimaki seperti itu, Nyai Silili-lilu justru bisa
nyambung.
"Kau jangan kurang ajar, ya!" bentaknya dengan mata
mendeliki adik kandungnya.
"Aku tadi tanya kau, apa yang sedang kau cari? Biar
aku bisa bantu!" tukas Ki Saptacakra.
Nyai Silili-lilu diam terbungkuk-bungkuk. Jarinya
didekatkan ke kening. Mata kelabunya menyipit.
"Iya juga ya.... Sebenarnya, dari tadi itu aku sedang
cari apa?" gumamnya, membuat Ki Saptacakra tambah
dongkol. "Ooo, anu!" sambungnya mendadak. "Aku mencari
alat untuk menggodok ramuan!"
Wajah Ki Saptacakra bersungut-sungut. Kalau cuma
itu yang dicari, sudah dari tadi dia tahu tempatnya.
Matanya segera melirik ke s udut ruangan, tepat ke arah si
orang tua buncit terkantuk-kantuk. Rupanya dia duduk
tepat di atas kendil tanah liat yang biasa digunakan untuk
menggodok ramuan obat-obatan.
Nyai Silili-lilu mengikuti gerakan mata adiknya.Ketika
tahu kendil ada di bawah pantat 'kakanda'nya, kontan
saja....
"Buncit! Bangun kau, manusia kerbau!"
Petaruh Sakti Perut Buncit terjengkang kaget.
Tubuhnya jatuh terguling ke kolong balai, dan dengkulnya
bercumbu mesra dengan kaki balai. Dia pun melintir-Iintir
seperti gasing ajaib.
***
Empat kali waktu penanakan nasi berlalu. Nyai Silili-
lilu telah selesai menggodok ramuan obat untuk Dewi
Kecubung. Setelah dingin, ramuan itu pun sudah
dibalurkan ke bagian tubuh Dewi Kecubung yang terkena
pukulan tenaga dalam. Sekarang tinggal menunggu dia
sadar. Setelah itu, baru menyuruhnya untuk meminum
ramuan lain.
Sementara menunggu, ketiga bangkotan sakti itu
duduk-duduk di anak tangga gubuk. Tempat itu (yang bau
cecurut, kata Nyai Silili-lilu) milik Petaruh Sakti Perut Buncit
Di sanalah dia selama ini mengasingkan diri. Di tempat itu
pula dia mendidik tiga orang murid. Sayang pada akhirnya,
ketiga murid itu malah mendurhakainya.
Malam hampir menutup usia. Di kejauhan, merayap
rembang fajar dengan warna merah keemasan. Di
kejauhan terbangun paduan suara satwa yang riang
menyambut datangnya hari baru. Ditingkahi debur lamat
ombak Pantai Laut Selatan. Gubuk Petaruh Sakti Perut
Buncit memang tak terlalu jauh dari bibir pantai.
Kekeringan telah dituntaskan oleh hujan sehari kemarin.
Satwa memuja-muja untuk rahmat itu.
Dengan hari ini, telah tiga malam dua hari Pendekar
Slebor tak kembali. Terakhir, anak muda sakti dari Lembah
Kutukan itu diperintah Ki Saptacakra untuk mengurus
mayat Katak Merah dan Mata Dewa Kematian secara
layak. Hanya untuk urusan mengubur jenazah saja, tentu
tidak mungkin memakan waktu selama itu. Itu sebabnya,
Nyai Silili-lilu mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Beda Nyai Silili-lilu, beda pula Ki Saptacakra
menanggapi peristiwa itu. Dia kenal buyutnya. Rasanya
seperti mengenal satu bagian dirinya. Seperti mengenal
tangan sendiri misalnya. Asal jangan seperti mengenal
bokongnya saja! Pemuda itu bukan Iagi anak ingusan yang
perlu terlalu dikhawatirkan. Bekal ilmu kanuragan dan
kedigdayaannya bisa diandalkan. Apalagi kalau mengingat
betapa cerdiknya dia Selagi mengingat keenceran otak cicit
buyutnya, Ki Saptacakra mendongakkan dagu. Dia merasa
bangga keturunannya tidak memiliki otak udang. Setidak-
tidaknya, dia bangga kecerdikan dirinya diturunkan kepada
Andika, di samping kesaktiannya.
Namun, bukan dengan begitu Ki Saptacakra tak
menjadi cemas. Sesungguhnya dia pun mulai merasakan
adanya ketidak beresan pada malam yang sama ketika
Nyai Silili-lilu bermimpi. Tingkat makrifat dalam diri orang
tua itu membuat hati kecilnya demikian peka. Dia
merasakan bahaya tengah dihadapi cicit buyutnya. Tapi,
sebagai seorang sesepuh dunia persilatan, dia sudah
dapat mengukur kemampuan cicitnya dalam menghadapi
bahaya itu. Hatinya tetap yakin, si anak muda dapat
mengatasinya.
"Ke mana anak muda itu, ya?" Nyai Silili-lilu
bergumam. Selama mengobati luka dalam Dewi Kecubung,
selalu saja dia menyebut-nyebut perihal Andika terus. (Dua
malam satu hari menyebut-nyebut terus nama cicit
kemenakannya, apa tidak gila?) Sebenarnya patut diakui
kalau hati perempuan tua itu tetap Iembut. Cuma karena
sifatnya memang agak edan-edanan, kelembutan hatinya
terkadang jadi tak kentara.
Tanpa mengatakan pada adik kandungnya secara
langsung, Nyai Silili-lilu kemarin malam sempat bermimpi
ketika dia tertidur kelelahan sehabis menyalurkan hawa
murni ke tubuh Dewi Kecubung. Dalam mimpi, disaksikan
cicit kemenakannya menggapai-gapai lemah. Rintihannya
memelas. Itu yang menyebabkan pikirannya terusik terus.
"Aku juga sebenarnya sedang memikirkan hal itu,"
timpal Petaruh Sakti Perut Buncit sambil mengelus-ngelus
perutnya penuh perasaan. Jangan percaya kalau dia benar-
benar sedang memikirkan Pendekar Slebor. Itu kan cuma
akalnya untuk menyenangkan hati Nyai Silili-lilu. Tangannya
itu menjadi tanda kalau dia sebenarnya justru sedang
membayangkan sepotong ayam hutan bakar!
"Kau terlalu mencemaskan dia, Ni," timpal Ki
Saptacakra. "Toh, dia bukan anak kemarin sore Iagi...."
"Bagiku, dia tetap anak kemarin sore!" bantah Nyai
Silili-lilu.
"Iya. Kemarin sore...," sambung Petaruh Sakti Perut
Buncit sambil membayangkan makanan yang 'kemarin
sore' di makannya.
Sebelum ribut-ribut dua adik-kakak dedengkot dunia
persilatan itu pecah Iagi, ketiganya melihat seseorang
datang terseok-seok. Orang itu pemuda yang ditunggu-
tunggu mereka, Pendekar Slebor!
Nyai Silili-lilu menubruk tubuh Iusuh, Iemah dan Ietih
cicit kemenakannya. Dirangkulnya pemuda itu erat-erat.
Bersemangat. Meski ocehannya saat itu menjengkelkan
sama sekali siapa pun yang mendengarnya. Tetap, tak bisa
disangkal ada kesan mengharukan. Terutama ketika mata
kelabu itu menahan genangan air mata yang
menggelantung. Sekali Iagi menjadi jelas, hati seorang
wanita Nyai Silili-lilu memang tak bisa dibunuh oleh masa.
Tak pula sifat 'minta ampunnya'.
"Buju busrut! Apa yang terjadi dengan dirimu, Anak
Muda Slompret! Kenapa kau bau sekali?! Maksudku,
kenapa kau demikian berantakan?" cecar wanita tua
bangka itu penuh semangat dan kehangatan.
Andika tak menjawab. Wajahnya pasi, seolah
darahnya telah terperah. Bibirnya yang terpecah-pecah
ingin mengatakan sesuatu, tapi pita di tenggorokannya
seperti terikat ketat. Setelah itu, dua bola matanya tergulir
ke atas. Dia terkulai pingsan. Nyai Silili-lilu kerepotan
menahan tubuh kekar pemuda itu.
"Eee!" Nyai Silili-lilu berteriak-teriak kelimpungan.
"Kenapa baru bertemu, kau sudah mau merepotkanku,
Slompret!" maki si perempuan uzur seraya terbungkuk-
bungkuk menahan tubuh cicit kemenakannya.
Ki Saptcakra segera membantu. Dipapahnya Andika
masuk dalam gubuk. Lelaki tua itu sudah bisa membaca
cicit buyutnya terluka dalam yang parah. Dia harus segera
dirawat, pikirnya. Pekerjaan baru untuk Nyai Silili-lilu
tentunya!
***
2
Pagi mengendap-endap munc uL Matahari telah
beranjak naik. Smarnya tak begitu lancang. Malah terasa
hangat bersahabat. Tanah basah karena hujan seharian
kemarin, mengepulkan uap tipis ketika disiram sinar
matahari muda.
Ayam-ayam sudah malas berkokok. Tapi, ombak tak
letih-Ietih mendaki pasir pantai. Sinar matahari merayapi
gelombang demi gelombang di seluruh permukaan laut,
mengantarnya menuju tepian.
Pendekar Slebor tersadar. Yang mula-mula di-
saksikannya adalah (naas) perut Petaruh Sakti Perut
Buncit. Benda apa itu? Apa aku telah mati dan yang
kusaksikan sekarang adalah batu besar dari neraka?
Mungkin begitu pikirnya.
Sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan memegangi
kepalanya yang masih terus berdenyut-denyut, Andika
berusaha bangkit. Dia baru sadar kalau Petaruh Sakti Perut
Buncit tengah duduk menunggu di sisinya ketika orang tua
berperut boros itu membantunya bangkit.
"Kau sadar juga, Anak Muda!" seru Petaruh Sakti
Perut Buncit. "Apa yang telah terjadi pada dirimu
sesungguhnya?" susulnya.
Seperti tak mendengar pertanyaan menggebu-gebu
lelaki tua buncit itu, Andika malah menyipitkan mata
karena silau oleh cahaya matahari yang mengintip masuk
dari sela-sela dinding kayu.
"Di mana aku?" desahnya, balik bertanya.
"Kau di tempatku."
"Apa yang terjadi?"
"Eih, mana aku tahu?!" lengak Petaruh Sakti Perut
Buncit.
"Mana Ki Buyut dan Uwak Silili?"
"Auk... Katanya mereka harus pergi segera setelah
mereka mengobati Iuka-Iuka dalammu. Ada hal penting,
kata mereka. Hal penting tai kucinglah! Masa' aku disuruh
menungguimu di sini?"
Andika tak mau mendengarkan gerutuan Petaruh
Sakti Perut Buncit. Dia segera bangkit dari tikar pandan
tempatnya tergeletak sebelumnya. Di satu sudut ruangan
di atas balai, Dewi Kecubung belum juga sadarkan diri.
Andika melihatnya sekilas. Hanya karena pikirannya masih
diusik oleh kejadian yang menimpanya belakangan, anak
muda itu jadi tidak begitu memperhatikan.
Dengan berdiri masih Iimbung, diingat-ingatnya
kejadian yang telah menimpanya. Semua kejadian Ialu
kembali dalam benaknya. Dia ingat, terakhir dia bertarung
dengan Amitha. Amitha yang berubah menjadi hewan
jejadian menakutkan telah menyorot matanya dengan
bersit cahaya. Lalu semuanya hanya terasa seperti siksaan
maha hebat yang dipadatkan ke dalam dirinya. Setelah itu,
Andika tak ingat apa-apa.
Entah berapa lama dia pingsan. Sewaktu sadar,
dirasakan tubuhnya seperti Iuluh-Iantak dari dalam. Andika
berusaha susah-payah kembali ke Pantai Laut Selatan. Di
tengah perjalanan, dia kembali tak sadarkan diri. Saat
itulah dia mengalami kejadian gaib. Di mana dia merasa
rohnya telah keluar dari jasad dan melanglang ke tempat
yang belum pemah dipijaknya seumur hidup.
Anak muda berhati baja itu sadar kembali ketika
orang tua gaib yang ditemuinya selesai membisikkan
kalimat-kalimat tak dimengerti. Untuk memikirkan seluruh
alur kejadian tersebut, dia masih belum mampu. Tubuhnya
masih begitu lemah. Hanya ada satu yang terpikir dalam
benaknya saat itu. Kembali ke tempat Petaruh Sakti Perut
Buncit. Dia berharap Nyai Silili-lilu bisa memberi
pertolongan memulihkan keadaan tubuhnya kembali.
"Aneh...," bisik Pendekar Slebor manakala teringat
pada kejadian gaib yang dialami.
"Siapa yang aneh?" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit
di belakangnya.
Kepala si anak muda menggeleng.
"Tidak apa-apa," hindarnya. Masih ada keraguan
dalam dirinya untuk menceritakan kejadian itu pada
Petaruh Sakti Perut Buncit. Bisa saja orang tua berperut
gentong itu hanya menganggap kejadian tersebut sekadar
pengaruh luka dalam Andika. Masih lebih baik begitu.
Bagaimana nanti Andika malah dianggap kurang waras?
Tapi, ada semacam dorongan dalam diri Pendekar
Slebor untuk mengungkapkan hal itu. Tidak pada Petaruh
Sakti Perut Buncit. Tidak bisa. Buyutnya, Ki Saptcakra
mungkin bisa. Tapi, ke mana orang tua itu?
"Mereka tak bilang ke mana hendak pergi?" tanya
Andika seraya menoleh perlahan pada orang tua buncit di
belakangnya.
"Sudah kubilang, mereka 'ngeloyor' begitu saja seperti
dua gumpalan kentut! Aku jadi sebal!"
"Kau bilang tadi mereka mengatakan tentang sesuatu
yang penting, Pak Tua Buncit?"
"Ho-oh, tuh!"
"Penting'bagaimana?"
"Auk, tuh!"
"Pergi ke mana mereka? Dan hal penting apa?"
gumam Pendekar Slebor seraya mengurut kening yang
masih saja berdenyut-denyut.
"Auk, tuh!" jawab Petaruh Sakti Perut Buncit, padahal
Andika tidak bertarrya padanya.
"Bagaimana dengan perempuan itu?" sus ul Pendekar
Slebor, ketika dia menyaksikan Dewi Kecubung di atas
balai. Untuk kedua kalinya.
Lagi-lagi jawaban yang keluar dari mulut Petaruh Sakti
Perut Buncit sama dengan sebelumnya...
"Auk, tuh!"
Benar-benar brengsek!
Pendekar Slebor hendak memeriksa keadaan Dewi
Kecubung. Petaruh Sakti Perut Buncit tanpa perasaan
berkata, "Sudah tak perlu dikutak-kutik perempuan itu. Dia
sudah diurus Silili-lilu. Kau tak perlu 'melakukan' apa-apa
Iagi!"
Andika mendengus mangkel. Kepalanya jadi
berdenyut-denyut Iagi. Sialan! Hatinya memaki.
Petaruh Sakti Perut Buncit mendekati pintu keluar.
"Mereka tampaknya sudah tiba," katanya santai.
Andika melirik orang tua itu. Dia sama sekali tak
mendengar langkah orang datang. Tapi, tua bangka itu
tampaknya tidak keliru. Sebab tak lama berselang,
terdengar s uara kaleng rombeng Nyai Silili-lilu. Telinga
orang tua ini hebat juga, puji Pendekar Slebor dalam hati.
Gedubrak!
Andika terperanjat. Pintu gubuk dihempas seseorang
dari Iuar tanpa tedeng aling-aling. Setan mana yang sedang
mengamuk? Pikirnya.
Nyai Silili-lilu masuk bersama semprotan mulut 'sakti'-
nya.
"Dasar anak muda tolol, dungu, otak udang, otak
jangkrik, otak-otak!" makinya di depan hidung sang cicit
kemenakan. Orang yang mendapat semprotan ternganga-
nganga tak mengerti. Mengedip pun tidak.
Apa-apaan ini? Rutuk Pendekar Slebor. Dia tak
mengerti kenapa tak ada angin tak ada hujan perempuan
tua itu memarahinya? Seingat Andika, sewaktu dia tiba di
tempat ini, Nyai Silili-lilu menyambut dan memeluknya
sedemikian rupa. Sekarang, kenapa dia dimaki-maki?
Membingungkan.
"Kenapa...."
"Diam!" bentak Nyai Silili-lilu. baru saja Pendekar
Slebor hendak bertanya. "Percuma saja se'gambreng' orang
persilatan menjulukimu dengan nama besar. Menjaga
benda kecil saja kau tidak sanggup! Tidak sanggup... gup...
gup!" gempur nenek sewot itu Iagi. Ludahnya sampai
bertebaran ke segenap penjuru.
"Benda apa maksudmu?" Andika tak bisa terima. Dia
tak sudi diomeli seperti bocah ingusan salah beIanja.
Biarpun yang mengomel saudara kandung buyutnya
sendiri, dia tetap tak bisa terima. Ini namanya semena-
mena, protesnya.
"Benda apa?" Mata Nyai Silili-lilu membesar. Besar
sekali. Dipelototinya Andika persis di depan wajah pemuda
itu. Meski untuk itu dia harus bersusah payah meluruskan
punuk melengkungnya.
"Kau pakai tanya benda apa padaku?!" Urat leher
kendor perempuan tua itu pun makin tertarik-ulur, macam
benang layangan.
Ki Saptacakra mcnyusul masuk gubuk.
"Biar aku yang tanyakan anak ini!" selanya. Lain
disambarnya pangkal lengan Andika. Anak muda itu
diseretnya keluar. Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut
Buncit mengekori di belakang. Padahal, Ki Saptacakra
bermaksud menanyakan secara empat mata pada
buyutnya. Sebab, kalau amukan mulut Nyai Silili-lilu
dibiarkan terus, persoalannya jadi lam-bah ruwet.
"Katakan padaku, apakah kau masih menyimpan
kalung milik salah seorang murid si Buncit?" tanya Ki
Saptacakra setibanya di luar gubuk. Andika menyipitkan
mata karena terjangan sinar matahari ke ma-tanya. Dia
masih belum bisa cukup jelas melihat mimik wajah Ki
Saptacakra. Namun, dari nada bicaranya yang lurus dan
bertekanan tampak sekali orang tua sesepuh dunia
persilatan itu sedang bersungguh-sungguh.
Di belakang Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu berdiri tak
bisa diam. Kepalanya terayun ke kanan dan ke kiri seperti
seekor burung Kakatua. Dia masih belum puas memaki-
maki Andika. Untung wajah sangar Ki Saptacakra saat itu
membuatnya masih bisa sedikit menahan mulut.
Andika cepat memeriksa balik baju di bagian ikat
pinggangnya. Wajahnya mengeras, ketika tangannya tak
menemukan apa-apa.
"Ke mana kalung itu?" desisnya.
"Jadi selama ini kau membawa kalung itu?"
Pendekar Slebor mengangguk, membenarkan.
"Kini benda itu tak ada Iagi padamu. Artrnya, kalung
itu hilang," tandas Ki Saptacakra menyimpulkan.
Sekarang, Pendekar Slebor baru mengerti kenapa dua
orangtua kakak-beradik itu pergi untuk satu urusan
penting. Mereka tentu telah memeriksa pakaian Pendekar
Slebor ketika anak muda itu pingsan. Karena tak
menemukan benda yang dicari, mereka mengira kalung itu
terjatuh. Lalu mereka pun mencoba mencarinya.
Sementara itu, Nyai Silili-lilu terus mendengus-dengus.
Karena tak juga mendapat kesempatan memaki-maki
Andika Iagi, dia jadi kesal sendiri. Tubuhnya berbalik
dengan wajah berlipat. Dia Iebih baik masuk ke dalam
gubuk dan melabrak perabotan bau cecurut milik Petaruh
Sakti Perut Buncit. Untuk pelampiasan!
"Ki Buyut telah mencarinya?" serbu Andika, merasa
bersalah. Dia pun berpikir kalung itu mungkin terjatuh.
"Ya," jawab Ki Saptacakra singkat. Dari wajah nya,
Pendekar Slebor bisa menilai bahwa lelaki tua itu tak
pernah menganggap remeh hilangnya kalung tersebut.
Sebab, tak biasanya dia bersikap begitu kaku.
"Tidak kami temukan. Meski seluruh tempat
sepanjang perjalananmu ke sini telah kami telusuri,"
tambah Ki Saptacakra.
Tiba-tiba Pendekar Slebor menjadi demikian masygul.
"Tentu telah ada yang mencurinya dari balik
pakaianku ketika aku tak sadarkan diri di tempat
pertarungan dengan lelaki India itu...," gumamnya geram,
nyaris tak kentara. Tentulah orang yang telah mencuri
kesempatan dalam kesempitan itu adalah orang yang telah
merampas kalung milik Dewi Kecubung dan Mata Dewa
Kematian pula!
"Kutu kuprel slompret! Kita kecolongan!" teriak Nyai
Silili-lilu dari arah belakang, mengagetkan Pendekar Slebor.
Andika menoleh cepat. Begitu juga Ki Saptacakra. Di
depan pintu gubuk, Nyai Silili-lilu sedang mencak-mencak
sampai rambutnya kacau-balau. "Perempuan itu sudah tak
ada Iagi di balai! Kampret-kampret-kampret! Khoek...
cueh!"
***
3
Tak pelak Iagi, kalung di tangan Pendekar Slebor telah
dicuri oleh Tiga Datuk Karang, simpul Ki Saptacakra. Bagi
orang tua berjuluk Pendekar Lembah Kutukan itu, tak ada
yang lebih mengkhawatirkannya sampai saat ini kecuali
dikuasainya kembali tiga kalung milik ketiga murid murtad
Petaruh Sakti Perut Buncit. Apa pasalnya?
Ketiga benda itu ternyata adalah kunci tempat
penyimpanan rahasia benda-benda pusaka milik Petaruh
Sakti Perut Buncit. Untuk membuka tempat rahasia dalam
lubang di bawah karang Pantai Laut Selatan, ketiga benda
itu harus disalukan. Jika ketiganya telah menjadi satu,
maka fungsinya pun berubah. Tidak sekedar kalung
semata, melainkan telah menjadi kunci pembuka tempat
rahasia penyimpanan benda-benda pusaka hasil taruhan
Petaruh Sakti Perut Buncit.
Di antara benda-benda pusaka di dalam sana,
beberapa di antaranya adalah kitab-kitab kanuragan.Tiga
kitab telah dicuri oleh tiga murid murtad. Sementara di
antara sisa kitab tersebut terdapat Kitab Pamungkas Ilmu
Karang. Di situ letak seluruh kekhawatiran Ki Saptacakra.
Seperti telah diketahui, Kitab Pamungkas Ilmu Karang
sebenarnya milik tiga musuh besar Pendekar Lembah
Kutukan beberapa puluh tahun silam. Mereka Tiga Datuk
Karang. Karena khawatir ketiganya akan menjadi ancaman
amat berbahaya bagi dunia persilatan jika sempat
mempclajari kitab tersebut, Ki Saptacakra merencanakan
siasat cerdik. Bersekutu dengan Petaruh Sakti Perut Buncit
yang kala itu menjadi kekasih kakaknya, Ki Saptacakra
menantang ketiga tokoh sesat itu untuk bertanding adu
kesaktian dengan mempertaruhkan kitab sakti.
Pendekar Lembah Kutukan dan Petaruh Sakti Perut
Buncit berhasil memenangkan pertarungan. Keduanya
dengan begitu berhasil mendapalkan Kitab Pamungkas
Ilmu Karang.
Setelah menghilang selama puluhan tahun, Tiga
Datuk Karang muncul kembali. Mereka memenuhi
undangan tiga murid murtad yang merencanakan
pembentukan perserikatan tokoh-tokoh sesat. Rupanya
rencana itu dilihat Tiga Datuk Karang sebagai satu
kesempatan untuk mendapatkan kitab pusaka mereka
kembali. Jika hanya mereka bertiga mencoba merebul,
kembali kitab pusaka tersebut dari tangan Pendekar
Lembah Kutukan, dan Petaruh Sakti Perut Buncit, hal itu
tidak akan tercapai. Mereka akan dikalahkan kembali
seperti kejadian puluhan tahun lalu. Namun, jika ada
beberapa tokoh sesat Iain yang bergabung dan hernial
mengenyahkan keluarga besar Pendekar Lembah Kutukan,
maka kesempatan Tiga Datuk Karang untuk mendapatkan
kembali kitab pamungkas mereka akan terbuka lebar-
lebar!
Semua itu dijelaskan secara gamblang dan singkat
pada cicit buyutnya, Pendekar Slebor.
Kini, Pendekar Slebor dan tiga orang tua sakti tiba di
bukil karang besar yang menjorok ke Pantai Laut Selatan.
Setelah mengetahui kalau Pendekar Slebor benar-benar
kehilangan kalung yang dipegang-nya, Ki Saptacakra
segera memutuskan untuk memeriksa tempat
penyimpanan rahasia di sana.
Meski tidak ada tawaran atau permintaan untuk ikut
dari Pendekar Lembah Kutukan, si anak muda sakti cicit
buyutnya mengikuti dari belakang. Biar bagaimanapun,
Andika merasa bertanggung jawab atas hilangnya kalung.
Itu berarti pula, dia pun merasa bertanggung jawab alas
kcamanun tempal penyimpanan rahasia.
Kalau sampai Kitab Pamungkas Ilmu Karang benar-
benar raib dari tempatnya, apa jadinya? Bisik Pendekar
Slebor di hati. Tentunya buyutnya akan marah besar
padanya. Sebab, menurut keterangan Ki Saptacakra
sebelumnya, kitab tersebut menjadi kunci penentu
kemenangan mereka lerhadap Pendekar Lembah Kutukan.
Siapa tahu Andika akan dijadikan perkedel oleh orang tua
sakti itu. Apalagi kalau ingat Nyai Silili-lilu. Kemarahan
perempuan bangkotan itu bagi Andika lebih menyeramkan
dari gempa bumi ditambah angin topan, ditambah
kebakaran, dan segala macam!
Anak muda itu jadi meringis-ringis sendiri mem-
bayangkannya.
Selain Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut buncit
dan Nyai Silili-lilu tak ketinggalan ikut bergegas menuju
tempat penyimpanan rahasia. Tak ikut adalah keanehan
yang paling aneh bagi mereka. Petaruh Sakti Perut Buncit
tentu saja berkepentingan dalam hal itu. Nyai Silili-lilu? Tak
peduli berkepentingan atau tidak! Tak peduli dia cuma jadi
sumber kebisingan atau bukan! Dia harus ikut. Meski bagi
Pendekar Slebor, keikut sertaan perempuan tua bangka itu
bisa menjadi kiamat!
Keempat orang yang berlari cepat beriringan seperti
pernah terjadi sebelumnya itu sampai di tujuan. Ki
Saptacakra tiba paling dahulu. Tak seperti sifat biasa Ki
Saptacakra yang dikenal Andika selama ini. orang tua itu
tak berkata sepatah pun. Tak ada omongan usil dan
makian penyebab telinga Pendekar Slebor menjadi merah
matang. Wajahnya bahkan terus saja mengeras. Sikapnya
seolah gunung merapi tenang. Di balik ketenangan itu,,
sctiap saat bisa termuntah lahar panas!
Untuk kedua kalinya, Andika terpaksa turut Ki
Saptacakra untuk masuk ke mulut lubang berliang panjang
di bawah kaki bukit karang yang bagian atasnya menjorok
ke laut. Liang di dalamnya sempit, rendah dan pengap.
Sungguh tempat yang benar-benar tak ingin dikunjungi
untuk kedua kali kalau tidak terpaksa.
Biasa, Nyai Silili-lilu dan 'sang kekasih'nya cukup
menanti di luar. Nyai Silili-lilu memang lebili suka mengatur
dengan 'kiwir-kiwir' bibir sekendor gombalnya. Kalau
urusan yang agak sedikit memayahkan. dia cuma bisa
mencibir.
Setelah merayapi lorong Hang panjang, Ki Saptacakra
dan Pendekar Slebor akhirnya sampai di ruang lapang
berbcntuk kubah gelap gulita.
Ki Saptacakra mendekati satu lantai ruang. Di sana
tcrdapat pintu penyimpanan rahasia.
"Pintu ini telah terbuka," desisnya meninggi, entah
pada siapa.
Andika tak bisa bilang apa-apa. Dia hanya menelan
ludah ngeri-ngeri. Gawal, pikirnya. Sebentar Iagi, tentu
orang tua itu akan habis-habisan mengamukinya!
"Aku harus memastikan apakah Kitab Pamungkas
Ilmu Karang itu masih ada," ucap Ki Saptacakra kembali.
Sekali ini, Andika memberanikan diri untuk
mengajukan pendapat.
"Tapi, Ki Buyut. Bagaimana kau bisa memastikan,
sementara keadaan di sini begitu gelap?"
Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Ki
Saptacakra malah menyuruh pemuda itu menggantikan
tempatnya. Sementara hatinya bertanya-tanya tak
mengerti, Andika menuruti perintah kakek buyutnya.
Dan belum-belum, mulut ceriwisnya tak bisa ditahan.
"Biarpun aku menggantikanmu, aku tetap tak bisa
melihat apa-apa seperti kau juga, Ki. Jadi buat apa kita
bertukar tempat?" cetus Andika Iagi.
Tak ada jawaban. Andika curiga. Apa ada yang tidak
beres?
"Ki?"
Tetap tak ada suara apa-apa. Bahkan napas orang tua
itu tak didengamya.
Andika hendak mulai memanggil Iagi, tapi niatnya
terpancung. Dia terperangah oleh sinar merah terang yang
mendadak memancar dari satu tempat.
"Apa itu?" bisiknya tanpa berkedip. Lalu perlahan-
lahan, matanya mulai bisa menangkap lebih jelas cahaya
merah terang tadi. Andika dibuat terkagum-kagum
karenanya. Ternyala cahaya merah terang itu berasal dari
dua telapak tangan Ki Saptacakra yang menyatu di depan
wajahnya. Orang tua itu sendiri duduk bersila dengan mata
terpejam.
Hebat, puji Andika. Sekarang ruangan seukuran lebih
kecil dari pendapa itu menjadi cukup terang. Entah ajian
apa yang telah dikerahkan sesepuh dunia persilatan itu
hingga telapak tangannya mampu bercahaya merah
terang.
Tentu saja Andika tahu apa maksud Ki Saptacakra
melakukan itu. Andika tentu diminta untuk melihat ke
dalam tempat penyimpanan benda pusaka selama cahaya
dari tangannya menerangi ruangan. Itu sebabnya tadi Ki
Saptacakra meminta mereka bertukar tempat.
Cepat-cepat Pendekar Slebor melihat lubang persegi
yang pintunya terbuat dari lempengan baja mumi setebal
(tak langgung-tanggung!) dua jengkal setengah! Beratnya
mungkin tak kurang dari bobot seekor kerbau jantan.
Di dalam bawah pintu baja yang terkuak, dilihatnya
lubang berbentuk peti besar. Di dalamnya terdapat
beberapa kitab-kitab tua, senjata pusaka dan... beberapa
piring kayu? Andika meringis. Buat apa si tua Buncit itu
melelakkan piring-piring kayu dekil di tempat rahasia
seperti itu? Ah, pasti manusia rakus itu beberapa kali
meletakkan benda-benda pusaka sambil makan!
Andika mulai memeriksa lima-enam kitab kuno yang
masih ada di sana. Ah, timbut masalah baru sekarang.
Bagaimana dia tahu yang mana Kitab Pamungkas Ilmu
Karang? Sementara semua sampul pada kitab itu ditulis
dalam huruf-huruf kuno 'ngejelimet'? Tapi, Andika tak
kehilangan akal. Segera dikerahkannya kemampuan
otaknya untuk mengamati ciri-ciri kelima kitab kuno itu.
Kalau nanti Ki Saptacakra bertanya, dia tinggal
memaparkan ciri-ciri kelima kitab itu. Kalau di antara
kelima kitab tak ada yang menciri-cirikan Kitab Pamungkas
Ilmu Karang, berarti kitab itu memang sudah tak ada.
Setelah selesai merekam seluruh ciri-ciri kelima kitab
itu, Andika meletakkan kembali.
"Ki sudah, Ki!" tukas Andika pada Ki Saptacakra.
Orang tua sakti itu menyudahi semedinya. Ruangan gelap
kembali seketika.
"Bagaimana?" tanya Ki Saptacakra. "Ada atau tidak?"
"Tidak tahu."
"Anak muda tolol! Kenapa tidak tahu? Bukankah kau
sudah melihatnya tadi?"
"Tapi kau lupa mengatakan kepadaku bagaimana
rupa kitab itu!" sergah Andika, tak mau disalah-kan.
"Jadi aku harus mengulang semadiku, begitu?" gerutu
Ki Saptacakra.
"Tak perlu. Aku s udah menghapal ciri-ciri semua kitab
di dalam sana!"
"Bagus! Sebutkan padaku!" Pendekar Slebor
memaparkan dengan lengkap tanpa kehilangan satu detil
pun dari ciri-ciri kitab yang telah dilihatnya.
"Hhh...," terdengar desah berat napas Pendekar
Lembah Kutukan.
Andika bisa menyimpulkan kenapa Ki Saptacakra
begitu. Tampaknya kitab Pamungkas Ilmu Karang telah
hilang!
Hutan karet di wilayah Banyumas Timur adalah
tempat di mana Pendekar Slebor dan Amitha bersa-bung
nyawa. Daerah yang berbukil-bukit kecil itu ki-ni dalam
keadaan senyap. Tepat di tanah yang lebih rendah dari
tempat pertarungan keduanya, masih tergeletak dua
bangkai Katak Merah dan Mata Dewa Kematian. Keduanya
mulai membusuk. Bau menyengat menebar ke mana-
mana, mengundang lalat-lalat hutan untuk datang
berkerumun. Meski sudah menebar bau busuk, tubuh
mayat keduanya terbilang masih utuh. Hanya saja, sudah
agak membengkak karena pengaruh udara yang mulai
melembab oleh hujan. Warna kulitnya pun sudah membiru
legara. Selama dua hari, tampaknya tak ada binatang buas
kebetulan menemukan bangkai keduanya.
Ratusan, bahkan mungkin ribuan Ialat-Ialat hutan
terus berpesta-pora. Sampai akhirnya kerumunan yang
nyaris menutupi seluruh bagian tubuh dua mayat itu tiba-
tiba berhamburan. Liar menebar. Suasana berubah
menjadi padat oleh dengungan hewan-hewan kecil
menjijikkan itu.
Apa yang membuat mereka terusik? Tak ada manusia
yang datang. Tak juga hewan pemangsa. Mereka terusik
karena dengan amat ganjil salah satu tangan bangkai tiba-
tiba tersentak seperti terkena kejutan listrik!
Lalu bangkai tadi tak bergemik kembali.
Lalat-Ialat mulai memberanikan diri untuk mendekat.
Untuk kedua kalinya, terlihat sentakan cepat. Sekali ini
pada bagian dada bangkai Mata Dewa Kematian. Lalat-
Ialat yang bersikeras untuk hinggap terbang serabutan
kembali. Mereka merasakan ancaman tadi.
Dasarnya mereka adalah binatang yang keras kepala,
setelah berputar-putar sebentar, mereka mencoba hinggap
Iagi. Untuk kali ini, mereka benar-benar dibuat
berhamburan lebih jauh dalam gerak kacau ketakutan.
Karena entah bagaimana, bangkai Mata Dewa Kematian
tersentak-semak dalam irama yang cepat dan berubah-
ubah nyalang. Tak lama kemudian, mayat itu mengejang.
Bagian telapak tangan yang semula terbuka mengeras
membentuk genggaman amat kuat.
Menyusul kejadian yang tak kalah ganjil. Kelopak
mata yang mulai berlendir menjijikkan itu perlahan-Iahan
terbuka. Lalu tiba-tiba mendelik. Biji mata setengah
membusuknya mencorong ke atas seperti menatap
sesuatu yang mengerikan.
***
4
Pantai di mana Petaruh Sakti Perut Buncit tinggal
berada di sekitar wilayah Karang bolong. Sementara itu,
jauh dari tempat tersebut tepatnya di hutan kaki Gunung
Slamet, terdapat rumah besar yang dibangun di atas bahu
empat pohon jati raksasa.
Rumah itu baru beberapa hari saja dibangun oleh
orang-orang Perserikatan Setan. Mereka sengaja
berpindah dari tempat sebelumnya ke tempat baru di
sekitar hutan kaki Gunung Slamet.
Di tempat sebelumnya, mereka merasa sudah tak
aman. Ada kec urigaan kalau mus uh-musuh besar mereka
telah mengendusi tempat tersebut. Biar bagaimanapun,
mereka masih perlu berpikir seratus kali" jika Pendekar
Lembah Kutukan, Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu dan
Petaruh Sakti Perut Buncit menggerebek tempat mereka
pada saat mereka belum c ukup siap. Nama-nama tadi tak
beda dengan momok bagi kalangan sesat. Tak terkecuali
tokoh-tokoh sesat kalangan atas!
Dalam dunia kezaliman, manusia pun ternyata bisa
saling membantu. Itu terlihat pada sikap orang orang
Persekutuan Setan. Kelakutan pada ancaman tangan
penegak keadilan membuat mereka merasa saling terikat
satu dengan yang laia Mereka hanya merasa mampu
menyelamatkan diri dari para pendekar besar itu jika
mereka bergabung menjadi satu. Sikap yang sungguh
menyedihkan, terutama bagi orang-orang kelas atas seperti
mereka. Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang
berusaha ditutup-tutupi serapat mungkin satu dengan yang
lain. Mana ada di antara mereka ingin dianggap pengecut?
Empat hari sebelum Pangeran Neraka merencanakan
tipu daya terhadap Pendekar Slebor, mereka bergerilya ke
wilayah hutan kaki Gunung Slamet. Se-tibanya di sana,
mereka segera membangun markas baru. Kesaktian
masing-masing memungkinkan pembangunan rumah
besar di atas pohon berjalan singkat. Tak ada tiga hari
mereka bekerja, pekerjaan pun selesai. Markas sangar
mereka berdiri kokoh di atas empat pohon jati raksasa.
Markas di atas pohon berusia kurang dari satu
minggu itu tampak belum berpenghuni. Beberapa tokoh
anggota perserikatan sedang sibuk dengan urusan masing-
masmg. Terutama untuk mempersiapkan rencana besar
dari otak licik Pangeran Neraka yang telah mereka sepakati
bersama. Hingga saat itu, hanya mereka yang tahu
bagaimana rencana itu sebenarnya.
Siang itu, sebentuk bayangan berkelebal cepat
menuju markas baru Perserikatan Setan. Bayangan tadi
melenting-Ienting dari satu batang pohon ke batang pohon
lain. Terkadang malah pucuk pohon beranting amat tipis
dijadikan jejakan. Geraknya demikian memukau. Ringan,
lincah, dan gesit.
Kelebatan bayangan itu adalah gerakan si Gila
Petualang. Dia membopong seorang perempuan bertubuh
sekal. Perempuan itu dalam keadaan tak sadarkan diri.
Beberapa waktu lalu, orang tua sesat ini telah
mencemari sebuah sungai dengan racun. Ada satu
maksudnya melakukan itu. Dia hendak melumpuhkan
seorang yang dekat dengan Nyai Silili-lilu, Mayangseruni
alias Ratu Lebah. (Baca episode sebelumnya; "Perserikatan
Setan")!
Wanita yang telah diincarnya selama beberapa lama
kebetulan hendak meminum air s ungai yang dilewatinya.
Saat itulah si Gila Petualang cepat menebar racun
pelumpuh yang didapat ketika dia bertualang ke Tibet.
Dalam beberapa hal, orang tua penuh dendam sesat itu
memang tak suka bersusah-payah. Dia lebih sering
mengandalkan akal liciknya untuk memperdayai lawan.
Seperti halnya Pangeran Neraka.
Penculikan Mayangseruni adalah bagian dari rencana
besar yang telah dipersiapkan orang-orang Perserikalan
Setan untuk menyingkirkan Pendekar Lembah Kutukan
dan keluarganya. Sebenarnya si Gila Petualang muak
melaksanakan penculikan yang direncanakan Pangeran
Neraka. Dia merasa telah diperintah oleh orang yang lebih
muda dari usianya. Hanya karena dia menganggap rencana
itu cukup menarik baginya, si Gila Petualang pun akhirnya
setuju untuk menjalani.
Setelah mendapatkan Mayangseruni, si Gila
Petualang pun langsung membawa 'hasil tangkapan'-nya
ke markas Perserikatan Setan.
Tiba di dalam markas, si Gila Petualang menjatuhkan
begitu saja tubuh Mayangseruni dengan kasar. Sampai
terdengar bunyi berdebum cukup keras ketika tubuh sintal
perempuan ayu itu meninju Iantai kayu.
"Tunggulah kau disini, Anak Manis," kata si Gila
Petualang, dingin. Lalu diloloskannya kain pengikat
pinggang. Panjang kain itu cukup untuk mengikat tangan
dan kaki Mayangseruni ke tiang di tengah ruangan.
Ikatan selesai. Si Gila Petualang lalu menotok tiga
jalan darah di tubuh perempuan itu.
"Kau akan sadar dalam beberapa hari. Dengan
totokanku, kau tak akan bisa memutuskan ikatan itu,"
gumamnya seperti berkata pada diri sendiri.
Selesai itu, orang tua ahli berbagai racun dan
bermacam ramuan dari penjuru dunia melangkah keluar.
Beberapa hari Iagi, dia akan kembali. Saat di mana seluruh
anggota Perserikatan Setan akan berkumpul di tempat
yang sama.
***
Malam datang Iagi.
Tiga Datuk Karang berdiri membentuk lingkaran.
Wajah mereka memancarkan kepuasan. Jelas terlihat
sudut bibir mereka terungkit naik. Di tangan salah seorang
dari mereka, Datuk Kening Perak, terdapat sebuah kitab
tua. Kitab itulah yang telah berhasil mereka curi dari
tempat rahasia penyimpanan benda-benda pusaka milik
Petaruh Sakti Perut Buncit.
Bagi mereka, mencuri kitab pamungkas ilmu Karang
tak lebih dari usaha merebut kembali kitab yang telah
lepas dari tangan mereka karena sebuah taruhan konyol.
Puluhan tahun, telah puluhan tahun Tiga Datuk
Karang menanti saat seperti ini. Saat di mana mereka
mendapatkan kembali kitab inti dari kesaktian mereka.
Waktu selama itu bukanlah waktu yang singkat. Selama
puluhan tahun, mereka seperti disiksa dalam keterasingan
serta dikungkung oleh rasa kekalahan.
Kini, Kitab Pamungkas Ilmu Karang telah kembali.
Waktunya bagi mereka untuk menyelesaikan beberapa
ajian puncak dari kesaktian mereka yang belum sempurna.
"Kapan kita akan mulai mempelajari kitab itu?" tanya
Datuk Kening Ungu. Dari binar matanya, tampak sekali
kalau lelaki tua itu demikian berhasrat.
"Secepatnya. Sebaiknya, kita laksanakan malam ini
juga," jawab Datuk Kening Perak.
"Bagaimana dengan rencana Pangeran Neraka?
Bukankah dia hendak menantang tanding keluarga besar
Pendekar Lembah Kutukan purnama mendatang? Apakah
kita bisa menyelesaikan penyempurnaan ilmu Karang kita?
Sebab tanpa menyelesaikan kitab itu, kesempatan kita
mengungguli kesaktian keluarga Pendekar Lembah
Kutukan akan sangat kecil," tukas Datuk Kening Merah.
"Kalian tak perlu khawatir," kata Datuk Kening Perak,
orang paling berpengaruh di antara mereka seraya
mengangkat kitab di tangannya.'Kita tak akan
membutuhkan waktu lama untuk mempelajari kitab
pamungkas ini," tambahnya.
"Bagaimana mungkin? Bukankah Eyang Guru telah
mengatakan pada kita bahwa kitab itu butuh waktu tiga
ratus purnama untuk mempelajarinya!" ujar Datuk Kening
Ungu.
"Itu karena Eyang Guru mengatakan pada kita ketika
kita masih berusia muda....."
"Aku belum mengerti!" sela Datuk Kening Merah.
"Eyang Guru memang tidak pernah mengutarakan
rahasia ini kepada kalian, kecuahpada aku murid tertua."
"Itu tidak adil!"
"Tapi, sekarang kalian akan mendengarnya dariku!"
"Katakanlah!" desak Datuk Kening Ungu, orang tua
paling muda di antara mereka.
"Kitab ini tak akan bisa dipelajari oleh seorang berusia
di bawah lima puluh tahun. Ketika guru berbicara pada kita
tentang lamanya masa mempelajari kitab, kita masih
berusia rata-rata dua puluh limaan, bukan...?" Seperti
sengaja memancing rasa penasaran kedua saudara
seperguruannya, Datuk Kening Perak menghentikan
ucapan.
"Lalu? J angan bicara setengah-setengah seperti itu!"
sentak Datuk Kening Merah, gusar.
"Tiga ratus purnama berarti waktu dua puluh lima
tahun. Guru tidak ingin mengatakan kita membutuhkan
waktu dua puluh lima tahun untuk mempelajari kitab ini.
Tapi, kita butuh tambahan usia dua puluh lima tahun Iagi
untuk bisa mulai mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu
Karang!"
Dua datuk lain mengangguk-angguk. Kini mereka
mengerti.
"Kini usia kita telah jauh melampaui syarat lima puluh
tahun. Kita bahkan telah melampaui lima puluh tahun
kedua. Asal kalian tahu, salah satu rahasia ilmu Karang
adalah, setiap penganutnya bertambah usia lima puluh
tahun, maka ilmu itu makin mendarah daging. Sementara,
kita telah melampaui lima puluh tahun ketiga. Itu artinya
ilmu Karang yang kita pelajari akan semakin menyatu
dengan diri kita. Jika demikian, Pamungkasnya pun akan
mudah kita pelajari!"
"Hua ha ha ha...!" Mendadak Datuk Kening Ungu
tertawa terbahak-bahak. "Jadi, selama ini kita sama saja
telah menitipkan kitab sakti itu untuk diperam di tempat si
Buncit itu!" Iedeknya di antara gelak tawa.
Datuk Kening Merah mengekori tawa Datuk Kening
Ungu. Disusul Datuk Kening Perak. Lalu ketiganya benar-
benar tenggelam dalam gelak tawa meriah, mendongkel
langit malam.
***
5
Satu pekan berlalu sejak Tiga Datuk Karang bertemu.
Selama itu, ketiganya tak pemah terlihat batang hidungnya.
Entah ke mana mereka. Yang jelas, ketiga dedengkot
golongan hitam itu sedang memperdalam ilmu 'Karang'
mereka. Tentu saja untuk menyelesaikan penyempurnaan
ilmu sesat yang telah tertunda selama puluhan tahun.
Setelah menghilang bagai ditelan bumi, hari ini
mereka muncul kembali. Ketiganya berkumpul di tempat
yang sama seperti terakhir mereka lakukan.
Tiga Datuk Karang duduk bersila di atas sebatang lidi
di bawah tubuh masing-masing. Tangan ketiganya terlipat
di depan dada. Mereka seperti sedang memamerkan
kesaktian pada langit dan bumi. Kalau seminggu lalu Datuk
Kening Merah memegang Kitab Pamungkas Ilmu Karang,
kini tidak Iagi. Kitab tersebut telah ditinggalkan mereka di
tempat tersembunyi. Tempat yang sama yang mereka
gunakan untuk menyempurnakan ilmu Karang.
Artinya, dibanding serninggu lalu kini mereka jauh
lebih digdaya. Kesaktian mereka jauh melampaui waktu
sebelumnya. Dan pamer kehebatan kali ini bukanlah apa-
apa dibanding tambahan kesaktian yang baru mereka
dapatkan. Kalau hanya duduk pada sebatang lidi, sebelum
mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu Karang pun mereka
dapat melakukannya. Satu alasan kenapa mereka
melakukan itu adalah karena untuk seminggu lamanya,
mereka berpantang untuk menyentuh bumi. Hari ini adalah
hari terakhir pantangan tersebut, tepatnya ketika matahari
menanjak naik di atas ubun-ubun.
Di sanalah letak kekhawatiran Ki Saptacakra, sesepuh
golongan lurus yang kesohor dengan julukan Pendekar
Lembah Kutukan. Kekhawatiran itu bukan menjalar di
benaknya belakangan ini saja. Puluhan tahun lalu,
kekhawatiran serupa pun pernah tumbuh. Karena Ki
Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit berhasil
mendapatkan Kitab Pamungkas Ilmu Karang, untuk
sementara kekhawatiran itu pupus.
Kini. kekhawatiran Pendekar Lembah Kutukan
menjangkit Iagi. Tentu saja bukan tanpa alasan. Kesaktian
Tiga Datuk Karang jika telah mendalami Ilmu Karang
Pamungkas, bisa dipastikan akan merepotkan Pendekar
Lembah Kutukan. Ki Saptacakra yakin, kesaktian
sempurnaan Tiga Datuk Karang akan terdongkel naik
beberapa tingkat di atas kesaktiannya.
"Hanya seminggu, hanya seminggu kita telah
menyelesaikan kitab itu. Bukankah itu luar biasa?" ucap
Datuk Kening Ungu, membuka pembicaraan.
"Ya," timpal Datuk Kening Merah.
"Jadi, kita dapat menjalankan rencana Bureksa untuk
memaksa si keparat Saptacakra berhadapan dengan kita
dalam waktu dekat. Saat rencana itu tiba, kita telah benar-
benar siap untuk merencah Saptacakra!" Datuk Kening
Perak menambahkan. Disebutnya Pangeran Neraka
dengan nama aslinya, Bureksa. Untuk usia, Pangeran
Neraka memang berada jauh di bawah mereka.
Ketiganya tergelak dengan kepala terdongak-dongak.
Tertawa, Datuk Kening Merah memulai pembicaraan
kembali.
Tepat tengah hari nanti, kita telah menyelesaikan
penyempurnaan Ilmu Karang Pamungkas kita. Apakah
sekarang tak sebaiknya kita menjajal kembali?" usulnya.
Tak muncul jawaban secepatnya dari dua datuk yang
lain. Datuk Kening Perak malah menatap adiknya itu
dengan sinar mata tajam menyorot. Sampai tiba-tiba saja
dia berseru lantang.
"Sambutlah!"
Tangannya menyentak ke depan. Kedua telapaknya
terbuka lebar-lebar. Ketika itu pula, terlepas pukulan
Pamungkas Ilmu Karang dari telapak tangannya. Tak ada
sedikit pun desiran angin, atau sambaran tenaga seperti
pukulan-pukulan biasa. IImu Karang Pamungkas benar-
benar memiliki satu andalan, yakni pukulan tanpa wujud.
Banyak lawan dapat terpedaya karenanya.
Mengetahui orang tertua di antara mereka
melepaskan ajian pamungkas tadi, Datuk Kening Merah
dengan ketangkasan yang sedikit pun tak kalah dengan
orang-orang muda, segera saja melakukan hal yang sama.
Disentakkannya tangan dengan telapak terbuka lebar.
Pukulan Karang tanpa wujud pun lahir dari kedua belah
telapak tangan Datuk Kening Merah.
Sekejapan berikutnya, terjadi ledakan amat
membuncah s uasana di antara kedua tokoh dedengkot
kalangan sesat itu. Ledakan yang mungkin lebih kuat dari
satu pedati mesiu. Lebih menggelegar dari seratus
halilintar yang menyalak bersamaan! Bertolak belakang
dengan gelegar dan ledakan yang demikian hebat, tak
terlihat sedikit pun bentuk ledakan tadi. Bahkan asap tipis
sekalipun. Seolah-olah ledakan barusan berasal dari balik
alam lain. Hanya saja, tanah kering berbatu kerikil di
bawah ledakan menjadi bersemburan ke segenap penjuru.
Kecepatan hamburan kerikil-kerikilnya sanggup melubangi
batang-batang pohon! Sebagian kerikil yang tersasarke
arah Tiga Datuk Karang dengan amat mengagumkan
dijentiki jari ketiganya. Gerakan mereka secepat terjangan
seluruh kerikil. Sampai tak ada satu pun yang sempat
menyentuh kulit mereka.
Bumi seperti digoyang gempa. Pepohonan di sekitar
mereka bergetar. Sisa-sisa daun kering akibat kemarau
berguguran dari rantingnya. Sebagian pohon yang akarnya
tak cukup sanggup bertahan, kala itu juga rebah kasar di
tanah. Membangun gemuruh tambahan dengan
debumnya.
Sementara, di pusat ledakan tercipta Iiang besar
sedalam setengah badan manusia. Lebar lingkarnya dua
kali roda pedati!
Sesaat Datuk Kening Perak dan Datuk Kening Merah
memandang lubang di tengah-tengah tempat mereka yang
berjarak sekitar delapan tombak. Selanjutnya kedua lelaki
tua itu terbahak-bahak, puas menyaksikan hasil pukulan
dahsyat tadi.
Selagi keduanya menikmati tawa riuh rendah, Datuk
Kening Ungu diam-diam menyiapkan pukulan 'Karang
Pamungkas'-nya pula. Tangannya menyen-tak ke depan
dengan telapak terbuka, seperti dilakukan dua datuk
sebelumnya.
"Waspada!" serunya.
Daya perusak tanpa wujud dari dua telapak tangannya
pun menerkam ke arah dua datuk lain. Tawa Datuk Kening
Merah dan Perak terpancung. Wajah mereka mengeras.
Mata mereka melirik siaga dalam gerakan amat cepat.
Secepatnya kedua lelaki tua itu menyambut serangan
gelap tadi.
"Hiaaah!"
Keduanya berseru bersama terlepasnya pukulan
tanpa wujud dari telapak tangan mereka.
Kejadian sebelumnya pun ierulang kembali. Sekali ini
terjadi ledakan dari dua tempat berbeda. Satu berada di
tengah jarak Datuk Kening Ungu dengan Datuk Kening
Perak. Yang lain berada di tengah antara Datuk Kening
Ungu dengan Datuk Kening Merah.
Kalau satu ledakan sebelumnya saja berakibat
demikian hebat. Dua ledakan kali ini tentu saja jauh lebih
dahsyat. Bumi langsung terasa bergetar, pepohonan
tumbang, dedaunan berguguran. Kala bersamaan, hujan
tanah bercampur kerikil tercipta. Lubang baru pun
bertambah menjadi tiga.
Begitu hingar-bingar susut dari udara, tawa Tiga Datuk
Karang membahana.
Tawa ketiganya baru terhenti ketika sebentuk suara
serak berlendir menghardik mereka.
"Pamer kesaktian yang dungu! Kenapa kalian tak
menghemat tenaga untuk menghadapi musuh kalian?!"
Tiga Datuk Karang menoleh cepat ke asal suara.
Menyaksikan siapa yang berdiri di sana, mata berkerut
mereka menyempit keterlaluan. Dari paras ketiganya
terKhat kalau mereka tak bisa mempercayai penglihatan
sendirl Sebaliknya, kerut di antara alis mata putih ketiga
lelaki tua itu menunjukkan keter peranjatan penuh.
Inilah yang disebut kemustahilan bagi tiga dedengkot
kaum sesat itu. Bolehlah mereka mengaku sebagai orang
berusia teramat lanjut yang telah banyak menelan asam
garam persilatan. Tak sedikit mereka menyaksikan
keanehan-keanehan dunia. Tapi pemandangan yang
disaksikan kali ini, sungguh tak bisa diterima. Mereka ingin
menolaknya dan menganggap telah salah melihat. Sayang,
kenyataan memang telah terbentang di depan mata.
Orang yang mereka saksikan tak lain Mata Dewa
Kematian! Bagi Tiga Datuk Karang, Mata Dewa Kematian
sudah dipastikan telah kehilangan nyawa. Sewaktu terakhir
kali mereka meninggalkan mayatnya, mereka telah mulai
mencium bau bangkai. Pembus ukan mayat saat itu telah
terjadi. Kalau kini mereka menyaksikan Mata Dewa
Kematian kembali, bukankah itu kemustahilan?
Sebagai dedengkot yang banyak tahu tentang
kesaktian-kesaktian di dunia persilatan, tentu saja mereka
mengetahui ada ilmu-ilmu yang menyebabkan seseorang
dapat hidup kembali dari kematian tak wajar. Seperti Rawe
Rontek. (Kisah tentang ilmu Rawe Rontek bisa dibaca
dalam episode: "Darah Pembangkit Mayat" dan "Bangkitnya
Ki Rawe Rontek"). Namun, mereka tahu benar Mata Dewa
Kematian bukan salah seorang penganut ilmu sesat itu.
Lagi pula, sudah sekian lama ilmu itu terkubur bumi tanpa
ada yang bisa mempelajari. Dan ilmu itu pun tidak
membuat mayat penganutnya menjadi membusuk!
Jadi siapa yang tengah mereka saksikan kini? Apa
benar-benar Mata Dewa Kematian yang nyawanya telah
mereka lempar ke neraka? Timbul dugaan dalam benak
Tiga Datuk Karang kalau orangyang dilihat mereka
kemungkinan besar adalah kembaran Mata Dewa
Kematian. Siapa tahu lelaki itu memang memiliki saudara
kembar yang tak pernah diceritakan. Atau ada seorang ahli
menyamar yang hendak memperdayai?
"Siapa kau?!" tegur Datuk Kening Perak, penasaran.
"Kau lupa?" jawab lelaki yang datang. Wajahnya sudah
membiru. Darahnya seakan telah menjadi beku dan tak
pernah mengalir kembali. Bau busuk menebar ke mana-
mana. Itu sebabnya, tubuhnya selalu dikerubungi lalat-
lalat." Kelopak matanya berlendir. Sedang kedua biji
matanya berbercak-bercak kehijauan.
"Jangan bermain-main dengan kami!" hardik Datuk
Kening Ungu, galau.
"Aku adalah orang yang telah kalian bunuh," ujar lelaki
pendatang kembali. Kalau mendengar suara serak
berlendirnya, tentu ada kebusukan di pita suara di
tenggorokan lelaki itu.
"Mata Dewa Kematian? Tak mungkin," desis Datuk
Kening Perak, menolak.
Mendengar ucapan tak sadar Datuk Kening Perak,
lelaki pendatang yang mengaku sebagai Mata Dewa
Kematian tertawa tercekat-cekat. Suara tawanya terburai-
burai berantakan. Sekaligus menggidikkan.
"Aku tak percaya! Mata Dewa Kematian telah mati!
Kami sudah memastikan itu! Jadi, katakan pada kami
siapa sebenarnya kau? Jangan jajal kesabaran kami!"
sambar Datuk Kening Merah meledak-ledak.
"Matamu jeli, Kening Merah. Aku sesungguhnya
memang bukan Mata Dewa Kematian," ucap lelaki
pendatang. Caranya menyebut nama Datuk Kening Merah
menunjukkan kalau dia tak terlalu menganggap kebesaran
nama Tiga Datuk Karang.
"Aku hanya meminjam jasadnya yang hampir
membusuk!"
Tiga Datuk Karang seperti disengat seribu lebah
mendengar ucapan lelaki pendatang. Mereka rasanya sulit
mempercayai. Tapi, kalau melihat keadaan tubuh orang itu,
mau tidak mau mereka harus meragukan kembali ketidak
percayaan mereka.
Dan seperti pendapat banyak orang, terkadang
perasaan menutup pikiran sehat seseorang. Itu pun terjadi
pada Tiga Datuk Karang. Biarpun mereka sulit untuk
menolak kenyataan yang mereka saksikan dengan mata
kepala sendiri, tapi keangkuhan mereka selaku dedengkot
dunia persilatan menyebabkan ketiganya merasa sedang
dipermainkan.
"Keparat! Kau pikir aku akan percaya begitu saja
isapan jempolmu!" geram Datuk Kening Perak.
Kemarahannya mendorong lekaki tua itu untuk melepas
pukulan pamungkas yang belum cukup lama didapat.
"Heaaa!"
***
6
Tengah hari. Sekawanan kerbau liar memasuki
perbatasan wilayah Karangbolong, selatan tanah Jawa.
Mereka berlari dalam kelompok besar. Ada tak kurang dari
lima puluh ekor. Arah lari mereka lurus terus menuju
sebuah desa nelayan. Sepanjang arah lari binatang-
binatang liar itu, debu mengepul Bergulung-gulung serta
membumbung.
Selagi berlari, mereka memperdengarkan suara-suara
hiruk-pikuk. Bukan cuma dihasilkan oleh hentakan kaki
kaki mereka. Namun juga suara dari mulut. Suara yang
lebih kentara sebagai cetusan amukan. Hidung kerbau-
kerbau itu mendengus-dengus, menghembuskan napas
beruap panas. Sesekali kepala mereka melakukan gerakan
menanduk dengan tanduk yang rata-rata panjang dan
seruncing mata belati.
Siang makin nyalang. Panas makin garang. Hari
seperti hanya akan mendukung puluhan ekor kerbau liar
yang siap meledakkan amukan hebat.
Memasuki tanah berpasir, mendekati wilayah pantai,
kelompok kerbau gelap mata yang datang entah dari mana
itu makin tak terkendah. Mereka makin kalap pada
sesuatu yang tak jelas. Apa pun diterjang mereka. Tak
peduh pohon kelapa berada di depan mereka,
diterjangnya.
Tak jauh dari posisi mereka kini, ada sebuah desa
nelayan kecil. Siang itu beberapa penduduk masih tampak
di sekitar. Kaum lelaki yang belum berangkat ke tengah
laut tampak sedang mempersiapkan jala di gubuk-gubuk
mereka. Kaum wanitanya sedang menyiapkan makan siang
untuk keluarga. Sedangkan anak-anak mereka sedang
bermain-main di luar. Beberapa bocah berusia di bawah
belasan sedang bermain bentengan.
Suara riuh-rendah di kejauhan luput dari perhatian
anak-anak itu. Mereka terus bermain dengan wajah cerah.
Mereka berteriak-teriak, terengah-engah. Berlari berhenti,
lalu berlari Iagi.
Sementara itu, kawanan kerbau liar telah memasuki
mulut desa. Satu ekor di antaranya berlari terhuyung-
huyung kehilangan keseimbangan setelah sebelumnya
mencoba menanduk kuat-kuat pohon kelapa.
Dari lendir yang mengalir di antara mulut kawanan
hewan itu, tampak jelas mereka makin mata gelap. Ada
yang menjadi penyebab mereka mengamuk, pasti. Entah
apa.
Satu gubuk tua tak berpenghuni di mulut desa
menjadi korban amukan. Dindingnya dijebol. Tiang-tiangnya
dipelantingkan oleh kekuatan tandukan mereka. Atap dan
dedaunan kelapa kering beterbangan. Tak memakan waktu
lanuCgubuk itu sudah tak berbentuk Iagi. Mereka seperti
tak puas dengan melampiaskan hanya pada gubuk tadi.
Kerbau-kerbau itu berlari kembali. Sampai akhirnya
mereka tiba di tempat bocah-bocah bermain.
Demi menyaksikan ada sekawanan kerbau siap
mengamuk, anak-anak yang sedang bermain ber-teriak
sejadi-jadinya. Mereka berhamburan ketakutan, berusaha
menyelamatkan diri.
"Kerbau ngamuk! Kerbau ngamuk!" teriak mereka,
berbenturan dengan suara amukan kawanan kerbau.
Mendengar teriakan melengking para bocah-bocah,
kaum ibu bergegas keluar. Wajah mereka berubah pucat
menyaksikan anaknya berlari keta-kutan. Di belakang
sana, ada kawanan kerbau gila mengejar. Mereka cepat
keluar, turun dari rumah panggung, menyambar cepat-
cepat anak mereka, lalu segera naik kembali.
Para nelayan lelaki tersentak dari keasyikan kerja
mereka. Ditinggalkannya pekerjaan tcrgesa-gesa. Mereka
berlarian ke tengah desa. Di sana, mereka malah disambut
oleh puluhan binatang mengamuk.
Tanpa ilmu bela diri, mereka merasa tak berguna
menghadapi amukan puluhan binatang berbadan lebih
besar dari mereka. Satu ekor saja yang mengamuk, belum
tentu bisa mereka tundukkan dengan mudah. Apalagi
puluhan?
Kontan saja mereka lari tunggang-langgang. Banyak di
antara mereka yang cepat-cepat menyergap pohon kelapa.
Lalu segera dipanjatnya. Sementara mereka meringkuk di
atas, di bawahnya menunggu dua-tiga ekor kerbau dengan
kepala menanduk-nanduki pohon.
Sebagian kerbau liar mencoba menaiki tangga rumah
panggung. Teriakan-teriakan para wanita pun bersahut-
sahutan tak beraturan. Kerbau-kerbau makin berangasan.
Yang berhasil menaiki tangga rumah segera menerjang
pintu.
Para suami yang menyaksikan tangga rumahnya
dinaiki kerbau gila, menjadi nekat. Mereka segera
mengambil dayung lalu melompat dari belakang rumah.
Dengan dayung itu, mereka berusaha menghalau kerbau
untuk turun kembali. Ada pula beberapa orang yang
menggunakan senjata. Tapi itu malah mendongkel
kekalapan kerbau menjadi lebih parah.
Sampai....
"Waaaa!"
Seorang tertanduk. Perutnya robek. Tak puas hanya
menghujamkan tanduk ke perut kobannya, kerbau terluka
itu menyentak kepala kuat-kuat ke atas. Tubuh si nelayan
malang pun terlempar ke atas lalu menimpa punggung
kerbau. Ketika jatuh ke anak tangga, kerbau luka tadi
berbalik. Ditandukinya Iagi korbannya hingga terguling-
guling ke bawah.
Menyaksikan seorang warga desa menjadi korban,
para wanita dan anak-anak makin panik. Suara tangisan
bocah dan lengkingan ngeri para perempuan bertumbukan
menjadi satu.
Ada seorang bocah berusia sekitar tujuh tahun
merengket ketakutan, sendiri di balik sebatang pohon
kelapa. Untuk menangis dia tak berani, takut kalau ada
seekor kerbau yang mendengarnya. Tidak menangis,
tubuhnya malah menjadi bergetaran hebat.
Ketakutan yang memuncak membuat dia tak bisa
menahan perasaan takut Iagi. Dilampiaskannya perasaan
takut itu dengan menangis sesegukan.
Di salah satu gubuk, seorang nelayan berteriak-teriak
pada nelayan lain.
"Anakmu, Karta! Anakmu!" serunya sambil menunjuk
ke arah bocah yang bersembunyi di balik pohon kelapa.
Nelayan yang dipanggil Karta tercengang sebentar
menyadari anaknya merengket sendiri di sana, sebelum
akhirnya dia berteriak serak sejadi-jadinya, memanggil
nama anak itu. Dengan keberanian yang tak Iagi
terpikirkan, Karta keluar dari gubuk. Istrinya menjerit-jerit,
hanya berani berlari hingga mulut pintu. Karta berlari
sekuat-kuatnya. Sementara beberapa ekor kerbau melihat.
Diburunya nelayan itu.
Karta benar-benar harus berlomba dengan kecepatan
lari lima ekor kerbau jantan mengamuk agar bisa
menjangkau tempat anaknya. Jika, tidak dia akan bernasib
sama dengan penduduk sebelumnya!
Tapi, usaha Karta bukanlah apa-apa dibanding tenaga
lari kelima kerbau yang memburunya. Hanya
membutuhkan waktu beberapa tarikan napas, kerbau-
kerbau itu sudah begitu dekat di belakang Karta.
"Tolooong!"
Akhimya, goyah juga kenekatan Karta. Tak terpikir Iagi
bagaimana dia harus menyelamatkan anaknya. Saat itu,
yang paling membayangi benaknya adalah gambaran
tanduk tajam kelima kerbau!
Sementara itu dua ekor kerbau akhirnya mengetahui
juga keberadaan seorang bocah di bawah pohon kelapa.
Mendengus-dengus mereka memainkan satu kaki depan di
atas pasir. Kepala mereka mengangguk-angguk kuat. Lalu
dengan kecepatan penuh keduanya seperti berlomba
untuk lebih cepat melempar tubuh kurus si bocah.
Sebelum Karta menjadi korban berikutnya, dan
sebelum dua kerbau tadi melontarkan semena-mena tubuh
si bocah....
Wss! Prak-prak-prak!
Serangan geram Datuk Kening Perak meluruk deras
ke arah lelaki pendatang. Jangan tanya bagaimana
keadaan tubuh orang itu jika terkena. Setidaknya bagian-
bagian tubuhnya akan bertebaran ke mana-mana. Lebih
mengerikan Iagi, mungkin dagingnya akan menjadi
rencahan-rencahan kecil berserakan!
Bayangan seperti itu pun terbetik dalam benak Datuk
Kening Perak. Tentu dia sangat yakin bagaimana
keampuhan ilmu Karang Pamungkas yang baru saja
didapatnya. Keyakinan itu tak sesuai dengan kenyataan
yang terjadi kemudian.
Begitu pukulan tanpa wujudnyamenghantam sasaran,
seperti sebelumnya tercipta ledakan besar amat santer.
Amat mengguntur. Debu, pasirdan kerikil pun kembali
beterbangan. Namun ketika debu, pasir, dan kerikil telah
bersatu kembali dengan bumi( Datuk Kening Perak dan
dua datuk lain menjadi tercengang-cengang.
Lelaki pendatang, mayat Mata Dewa Kematian yang
bangkit kembali, ternyata masih utuh sama sekali. Bahkan,
tubuhnya tergeser pun tidak. Meski dalam ukuran jari!
Tak ada yang lucu dari keterperangahan di wajah Tiga
Datuk Karang. Biarpun begitu, si lelaki pendatang malah
tertawa dengan suara serak berlendirnya.
"Kalian pikir, Ilmu Karang Pamungkas kalian cukup
hebat untuk menghadapiku?" cemooh lelaki pendatang,
yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai mayat
berjalan itu.
"Kalau kalian hendak menjajalnya, cobalah pada
seekor katak! Jangan padaku!" lanjutnya, makin
meremehkan ilmu andalan Tiga Datuk Karang yang
rencananya mereka persiapkan untuk menghadapi
Pendekar Lembah Kutukan.
"Celaka! Siapa orang ini? Kenapa Pukulan Karang
Pamungkas tidak sanggup melantakkan tubuhnya?" rutuk
Datuk Kening Merah. Kalau begitu, sia-sia saja mereka
mempelajari Kitab Karang Pamungkas setelah mereka
menanti puluhan tahun lamanya, pikirnya gundah.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Datuk
Kening Perak. Dia kini sadar sesadar-sadarnya, kalau
lawan bukanlah manusia sembarangan. Mereka saja, yang
jelas-jelas sebagai dedengkot golongan sesat dunia
persilatan hanya dianggap sedemikian remeh olehnya. Dan
itu bukan semata sesumbar. Bukan cuma pepesan kosong
tanpa isi. Ucapannya telah dibuktikan sebelumnya dengan
menaklukkan kehebatan pukulan tanpa wujud Karang
Pamungkas.
"Aku...?" kata lelaki pendatang, menanggapi
pertanyaan Datuk Kening Perak. Setelah itu, dia tak
melanjutkan kalimatnya. Malah ditatapnya Tiga Datuk
Karang satu persatu dengan tatapan amat menusuk tiga
orang tua itu Tatapannya seperti memancarkan daya
tenung demikian kuat. Mengerikan. Terasa dada Tiga
Datuk Karang seperti dirasuki sesuatu dengan paksa.
"Kalau kalian menganggap Mata Dewa Kematian
telah mati, kalian tidak keliru. Nyawa lelaki itu memang
telah terlempar ke dasar neraka. Lalu, aku memakai
bangkainya. Entah kenapa aku demikian suka memakai
bangkai busuk lelaki jelek ini. Padahal banyak tubuh yang
lebih bagus!"
"Kau belum menjelaskan padaku, siapa kau
sebenarnya?" ulang Datuk Kening Perak, ingin keje-lasan.
"Aku," sebelum melanjutkan, manusia bangkai itu
tertawa menyeramkan Iagi. "Aku dulu dikenal dengan
julukan Manusia Dari Pusat Bumi. Akulah satu-satunya
musuh utama Pendekar Slebor. Aku kembali ke alam nyata
untuk membayar kekalahanku dulu. Dan aku akan
membuat perserikatan kalian mencapai cita-cita utama
kalian, menyingkirkan Pendekar Slebor dan seluruh
keluarganya!" sambung si manusia bangkai. Sebagaimana
pengakuannya, dia adalah Manusia Dari Pusat Bumi. Roh
gentayangan tokoh setengah siluman yang begitu
memusuhi Pendekar Slebor. Sepertinya takdir telah
menentukan bahwa dua manusia yang berbeda
kepribadian sama sekali itu akan menjadi seteru satu
dengan yang lain. Alam kegelapan memang telah
mengutus Manusia Dari Pusat Bumi untuk menaklukkan
Pendekar Slebor. Sampai saat ini, tujuan busuk itu tak
pernah tercapai. (Untuk mengetahui kisah manusia sesat
ini, bacalah episode "Manusia Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi")!
Cahaya yang berkelebatan dari Iangit dan suara
seseorang yang menggelegar ketika sembilan tokoh sesat
dunia persilatan sedang bertemu waktu itu pun sebenarnya
adalah pekerjaan roh Manusia Dari Pusat Bumi. (Baca
dalam serial Pendekar Slebor dalam episode sebelumnya:
"Macan Kepala Ular")!
***
7
Pendekar Slebor menjejakkan kaki dengan mantap di
punggung salah seekor kerbau yang mengamuk di desa
sekitar wilayah Karangbolong. Tiga ekor kerbau
sebelumnya dibuat modar. Kepala ketiga binatang itu
pecah. Isi tempurung kepalanya berantakan keluar.
Pendekar Slebor telah melcmparinya dengan tiga belahan
buah kelapa. Tentu saja kepala sekeras kerbau tak akan
pecah begitu saja jika lemparan itu tak disalurkan tenaga
dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Dengan begitu, nyawa si bocah di balik pohon kelapa
dan lelaki nelayan ayah si bocah punluput dari
cengkeraman maut.
Ketika kawanan kerbau itu mulai memasuki daerah
pesisir pantai di mana Pendekar Slebor sedang berjalan-
jalan, mencari angin segar. Selama ini dia begitu penat.
Tetap tinggal di gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, seperti
tinggal dalam lubang siluman. Sudah pengap, bau pula!
Tentu saja anak muda itu jadi tidak betah.
Sejak mengetahui kalau Kitab Pamungkas Ilmu
Karang mcnghilang dari tempat penyimpanannya, Andika
meminta izin buyutnya untuk membantu mencari. Tapi, si
perempuan uzur nan cerewet Nyai Silili-lilu malah
menceramahinya setengah harian. Menurut NyaiSilili-lilu,
cicit kemenakannya itu harus beristirahat selama beberapa
hari. Itu dibutuhkan karena Andika baru saja menjalani
pengobatan akibat luka dalam yang dideritanya ketika
bertarung dengan Amitha. (Baca episode sebelumnya:
"Perserikatan Setan")!
Andika bisa ngotot menolak. Sebagai ksatria, tak ada
istilah menyerah baginya. Apalagi berleha-Ieha hanya
karena luka dalam. Tapi, dia mau berbuat apa Iagi kalau
'titah' itu jatuh dari mulut Nyai Silili-lilu. Perempuan
bangkotan kepala batu itu paling benci kalau dirinya
dibantah. Apalagi oleh cicit kemenakan sendiri. Dia bisa
mengamuk seperti topan bercampur kentut!
Buyutnya sendiri tak bisa memberikan dukungan. Biar
bagaimana, Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya. Dia
sebenarnya lebih suka Andika membantunya melakukan
pencarian kitab. Toh, sebagai kakek buyut, dia tak ingin
mendidik keturunannya menjadi orang-orang pecundang.
Tapi, lagi-lagi Pendekar Lembah Kutukan yang memiliki
nama besar diseantero dunia persilatan pun tak bisa
membantah Nyai Silili-lilu. Di situ hebatnya manusia betina
jompo satu itu!
Nyai Silili-lilu bukan tak punya alasan menahan untuk
sementara cicit kemenakannya. Meski mata kepalanya
sudah soak karena usia yang demikian lanjut, tapi mata
batinnya sendiri melihat ada sesuatu yang tidak beres
dalam diri Andika. Sampai saat itu, Nyai Silili-lilu belum
jelas benar. Sebagai seorang tabib wanita, Nyai Silili-lilu
mencoba menahan Andika agar dia dapat mengamati
keadaan menggidikkan yang tengah merayap dalam diri
cicit kemenakannya. Dia berharap secepatnya dapat
menyingkirkan sesuatu dalam diri Andika dengan
pengetahuan ketabibannya.
Dan keadaan Andika tersebut dapat dirasakan oleh Ki
Saptacakra pula. Namun karena mereka semua tidak bisa
mencurahkan perhatian hanya pada Andika, Ki Saptacakra
memutuskan untuk melakukan hal genting lain.
Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit sendiri
telah keluar selama beberapa hari terakhir untuk mencari
Tiga Datuk Karang.Mereka harusse-gera mendapatkan
kitab itu sebelum tiga musuh lama mereka sempat
mempelajarinya. Sampai sekarang mereka belum juga
terdengar beritanya.
Karena tak diizinkan, Andika akhimya merasa
terkekang. Pikirannya sendiri terus-menerus terpuruk pada
kejadian-kejadian yang telah dialami. Niatnya untuk segera
terjun kembali menempuri kebatilan makin membukit.
Karena tak betah terus-menerus seperti orang pesakitan,
Pendekar Slebor keluar dari 'sarang' manusia-manusia
langka berperilaku setengah sinting itu. Dengan diam-diam,
Andika meloloskan diri dari pengawasan ketat Nyai Silili-
lilu.
Ketika sedang berjalan-jalan. Timbul keinginannya
untuk meneguk air kelapa segar. Sisa-sisa kelapa yang
sempat tumbuh di musim panas terakhir memancing
dahaganya. Dia segera melenting naik ke atas pohon
kelapa.
Sedang asyik-asyiknya meneguk air kelapa,
didengarnya keributan di kejauhan. Dari ketinggian, tentu
saja Pendekar Slebor dengan mudah melihat kejadian yang
berlangsung. Dia segera turun, berlari dengan
mengerahkan peringan tubuh penuh dan akhirnya sampai
di tempat kejadian. Buah kelapa yang masih berada di
tangannya di belah tiga dengan sabet-an kain pusaka.
Sekaligus dikebutkannya kain pusaka itu ke arah tiga
potongan kelapa. Itu yang menyebabkan kepala tiga ekor
kerbau yang mengancam si bocah dan ayahnya pecah
seketika.
Kerja jelas belum selesai. Masih ada puluhan ekor
lain. Mereka masih terus mengamuk, menerjang apa saja
yang bisa diterjang. Puluhan ekor bukan kerja yang mudah,
meski bagi seorang pendekar muda besar seperti dirinya
Apa yang bisa dilakukannya? Itu pertanyaan yang
secepatnya harus dijawab sekarang. Satu per-satu
merobohkan binatang-binatang mata gelap itu akan
membutuhkan waktu lama. Sementara mungkin saja,
korban malah akan bertambah. Dia tidak boleh kehilangan
waktu sedikit pun. Penduduk desa harus secepatnya
diselamatkan dari ancaman kawanan kerbau liar itu.
Harus ada tindakan yang bisa menuntaskan sekaligus
amukan binatang-binatang kalap itu. Apa akalnya?
Tanpa banyak berpikir, Pendekar Slebor bertindak
sekenanya. Dia berteriak-teriak dengan mengerahkan
sedikit tenaga sakti warisan buyutnya. Sambil berteriak-
teriak, dia pun melompat-lompat tak karuan. Tangannya
melambai-lambai. Tingkahnya sudah dekat-dekat tingkah
monyet kegirangan. Ributnya minta tobat. Kegaduhan
orang sepasar ditewaskannya. Kalau kebetulan ada yang
menganggapnya sinting, dia tak ambil pusing.
"Wuoiii! Wouiii! Hua-hua! Huoiii!"
Hiruk-pikuk yang dibuat secara gila-gilaan oleh
Pendekar Slebor berhasil memancing perhatian kawanan
kerbau. Seperti dikomando, secara serempak mereka
mengalihkan pandangan ke arah si pemuda.
Satu persatu mereka mulai menuju Pendekar Slebor.
Tingkah Pendekar Slebor dalam pandangan binatang-
binatang itu seperti letlckan yang membuat kekalapan
mereka makin merangas. Dengan napas tetap mendengus-
dengus, binatang-binantang itu secara serempak akhimya
memburu Andika. Tanduk-tanduk runcing mereka meluruk
ke satu arah.
Menyadari pancingannya berhasil, Pendekar Slebor
jadi makin gila. Dia berteriak-teriak lebih kacau sambil
menepuk-nepuk pantat yang sengaja di 'todongkan' ke
arah kawanan kerbau.
"Lari yang cepat. anak anak! Siapa cepat, dia yang
dapat!"
Begitu beberapa pasang tanduk kerbau sudah nyaris
membolongi pantatnya, tentu saja Andika langsung ngacir.
Dia berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh
seraya terus memperdengarkan sorak-sorak. Dengan cara
itu, digiringnya seluruh kawanan kerbau untuk menjauhi
desa.
Sctibanya di tempat yang cukup terpencil, Andi¬ka
segera menghentak tubuh, hendak meninggalkan semua
binatang kalap tadi. Sewaktu dia melenting-lenting cepat di
atas punggung-punggung kerbau. tanpa sengaja mata
Pendekar Slebor tertumbuk pada salah seekor kerbau liar
yang menarik perhatiannya. Di sebelah tanduk binatang itu
terikat bahan dari kulit binatang.
Rasa penasaran mendorong Pendekar Slebor untuk
bergerak cepat. Dengan melakukan lentingan berputar di
udara, disambarnya benda tadi. Kini, bisa disaksikan
dengan jelas benda tersebut. Secarik surat terbuat dari
samakan kulit ular.
Pendekar Slebor membukanya. Lalu dibaca.
Salah seorang kelurunanmu berada dalam
genggaman kekuasan kami, Saptacakra. Dia lebih dikenal
di dunia persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Jika kau
ingin perempuan cantik itu tetap hidup, datanglah ke
puncak Gunung Slamet pada hari kelima purnama ini!
Pendekar Slebor selesai mcmbaca. Tak ada satu
tanda pengenal dari si pengirim surat. Meski begitu, Andika
yakin Ki Saptacakta pasti bisa menduga siapa orangnya.
Diremasnya samakan kulit ular itu geram-geram.
"Mayangseruni..," bisiknya tersamar deru angin,
menyebut nama asli Ratu Lebah. Pandangannya me-
nerawang, membayangkan wajah seorang dara elok
rupawan murid tunggal Nyai Silili-lilu. Dulu, ada benih cinta
tertanam dalam diri Mayangseruni alias Ratu Lebah
terhadap diri si pendekar muda tampan. Lalu semuanya
dikacaukan oleh kelicikan seorang tokoh sesat.
Mayangseruni pergi meninggalkan Andika, membawa luka
di hati hanya karena terjebak oleh tipu daya Pangeran
Neraka. (Baca kisahnya dalam episode: "Sepasang
Bidadari Merah")!
"Kita akan bertemu Iagi, Mayang. Aku berjanji, kau tak
akan dilukai oleh siapa pun. Tidak juga hatimu...," bisiknya
kembali, terdengar lamat.
Rupanya ada dalang di balik amukan kawanan kerbau
fiar ini, simpul Andika setelah bayangan Mayangseruni
ditepisnya Dan kerbau-kerbau itu sebenarnya hendak
diarahkan ke tempat Petaruh Sakti Perut Buncit untuk
menyampaikan pesan. Sebab, isi surat yang terikat di salah
satu tanduk kerbau ditujukan untuk Pendekar Lembah
Kutukan. Si pengirim surat yang sekaligus dalang amukan
kawanan kerbau liar itu tentu mengira Ki Saptacakra masih
berada di tempat Petaruh Sakti Perut Buncit.
Masalahnya sekarang, siapa orang itu?
Kalau ingat pada amukan kawanan kerbau
sebelumnya. dia jadi ingat pula pada peristiwa lama ketika
melanglang ke negeri para Pharoh, Mesir. Perahu yang
ditumpanginya diserang kawanan binatang liar pula. Kalau
sekarang dia menghadapi kawanan kerbau, dulu kawanan
kuda nil.
Dan orang yang berada di balik peristiwa amukan
kawanan kuda nil itu adalah si Gila Petualang. Mungkinkah
kejadian sekarang adalah ulahnya juga?
"Ah, sebaiknya aku kembali dulu ke desa tadi. Aku
harus memastikan apakah mereka masih membutuhkan
pertolonganku," putus Pendekar Slebor, setelah teringat
pada nasib penduduk desa nelayan.
Sementara itu, keadaan desa kembali tenang.
Penduduk desa nelayan tersebut mulai berani me-
nampakkan diri. Satu persatu mereka keluar dari rumah.
Tibanya Andika kembali menjadi pusat perhatian mereka.
Mata mereka menatapi si pemuda berambut gondrong
dengan bersit mata terkagum-kagum.
Ditatapi orang banyak seperti itu, anak muda sakti
dari Lembah Kutukan jadi salah tingkah. Dia cengar-cengir
sendiri. Cengirannya makin jelek dan serba salah saja
ketika menyaksikan beberapa perawan desa yang
melempar senyum manis dari jendela rumah panggung
mereka.
Wuuuh! Hembus napas Pendekar Slebor diam-diam.
Tak kukira desa kecil ini menyimpan banyak 'barang-
barang bagus', ceracaunya dalam hati. Dasar kadal asli!
Padahal, belum lama dia sibuk membayangi kecantikan
Mayangseruni.
Yakin tak ada Iagi yang perlu dilakukan, dengan agak
malas-malasan, anak muda itu meninggalkan desa.
Sesekali dia masih menoleh ke salah seorang gadis bertahi
lalat di dagu.
"Tidak mampir dulu, Kang?" seru si gadis, sebagai
ungkapan terima kasih tak langsung pada sang pahlawan
muda.
Hati Andika langsung kembang-kempis. Senyumnya
terpasang lebar.
'Terimakasih, Ni! Lain kali saja!" sahutnya. Di mulut
dia menolak, tapi di hati dia berkicau lain Iagi. Andai saja
aku menjadi tahi lalat itu, pikirnya. Sampai akhirnya dia
bergerak cepat mengerahkan ilmu peringan tubuh.
Dia harus segera menyampaikan pesan berbahaya itu
pada Ki Saptacakra. Jika orang tua itu tidak ditemukannya,
Andika bertekad untuk mendatangi sendiri puncak Gunung
Slamet!
***
"Buju buneng! Belum lama aku tinggal anak slompret
itu! Sekarang, baunya pun sudah tak ada Iagi!" Nyai Silili-
lilu mengomel sepanjang gerbong kereta tebu ketika tak
menemukan Pendekar Slebor di gubuk milik Petaruh Sakti
Perut Buncit.
Nenek tua itu jadi ngadat. Dicari-carinya Andika di
sctiap sela, di segenap pojok gubuk, sampai ke kolong-
kolong gubuk. (Masih bagus tak dicari juga di sela-sela
ketiaknya!) Perabotan dalam rumah jadi porak-poranda.
Bunyi gedumprangan meraja. Entah apa yang baru
dipecahkan. Dan 'benda-benda terbang' pun melayang
keluar.
"Sembunyi di mana kau, anak muda sial! Jangan coba-
coba mempermainkan aku!" sewot Nyai Silili-lilu sambil
melongok ke kolong balai. Memangnya dia mencari Andika
atau sedang mencari cecurut?
"Di sini juga tidak ada! Di sana tidak ada. Di mana-
mana tidak ada. Jadi dimana dia?" gerutunya soak. Bibir
kendornya manyun ke depan. "Tolol juga aku. Kalau aku
tahu, tentu aku tak akan bertanya...."
Nyai Silili-lilu bangkit dengan menyanggahkan tangan
pada dengkul mancungnya. Terbungkuk-bungkuk, dia
berjalan mondar-mandir. Berkali-kali. Sambil mondar-
mandir kalang-kabut, mulutnya terus mengulur gerutuan.
Akhimya dia pusing sendiri. Matanya berkunang-kunang.
"Sialan.... aku jadi mabuk sendiri kalau terus di sini.
Sebaiknya aku cari dia! Kalau kutemukan, akan kugantung
dia di pohon toge!"
Nyai Silili-lilu bergegas pergi.
Tak lama sepeninggalan perempuan setengah edan
itu, Pendekar Slebor yang dicari-carinya kembali.
"Uwak? Uwak? Apakah kau sudah kembali?!" seru
Pendekar Slebor sewaktu membuka pintu reyot gubuk.
Yang didapatinya malah keadaan ruangan yang porak-
poranda. Pecahan barang di mana-mana. Balai bambu
sudah terjengkang tak karuan. Ada setan ngamuk
rupanya? Gumam Andika, geli sendiri membayangkan Nyai
Silili-lilu mengobrak-abrik tempat itu karena kehilangan
dirinya.
"Sekarang, kira-kira ke mana perempuan tua itu?"
bisik Andika. Dia melangkah masuk. Dibenarkannya letak
balai. Rasa letih dan penat membuatnya mencoba sedikit
beristirahat. Dia duduk di tepi balai.
Sebentar kemudian, dia merasakan kantuk yang tak
biasa. Aneh, pikirnya. Tak biasanya dia merasakan
keletihan seperti itu. Tidak biasa pula dia begitu cepat
dikalahkan oleh rasa mengantuk. Makin lama
dipertanyakan pada diri sendiri keanehan itu, makin
memberat kelopak mata si anak muda. Rasanya ada
ribuan kati beban mengganduli matanya. Dia berusaha
melawan. Semakin dilawan, semakin terlempar dia ke
dalam kantuk luar biasa.
Tanpa sadar, Pendekar Slebor merebahkan diri.
Belum lama tubuhnya terebah, dia pun tertidur. Lelap.
Lama.
Dalam tidumya, pendekar muda tanah Jawa itu
didatangi mimpi yang kejadiannya benar-benar serupa
seperti dialaminya saat tak sadarkan diri setelah
pertarungan maut dengan Amitha. Cuma sekali ini orang
tua berselimut cahaya mengatakan sesuatu yang berbeda.
"Dalam hari kelima setiap purnama, kau harus
berhati-hati Saat itulah, kau diuji untuk menjaga 'muara'mu
atau 'dermaga'mu dari sergapan kegelapan di atas
kegelapan...."
Di akhir kalimat tersebut. Pendekar Slebor terjaga.
Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Wajahnya sepasi mayat.
Napasnya terpacu, terengah-engah. Seolah dia baru saja
berlari selama berhari-hari.
"Hari kelima setiap purnama." desisnya terseret,
mengulangi salah satu bagian perkataan orang tua dalam
mimpinya. "Apa maksudnya?" sambungnya, bertanya pada
diri sendiri. Sampai tarikan napas terakhir pun, tak pernah
dimengertinya maksud seluruh ucapan orang tua itu. Baik
ketika dia tak sadarkan diri, atau dalam mimpi barusan.
Namun, hati kecilnya seperti memperingati akan
suatu ancaman yang sulit dijelaskan. Ancaman dengan
keadaan terlalu gelap untuk ditembus. Seperti kalimat
terakhir orangtua dalam mimpi; 'kegelapan di atas
kegelapan'.
Andika merasakan bulu kuduknya seketika
meremang.
***
8
Hari kelima purnama berselang hanya sepuluh hari
setelah Pendekar Slebor mendapatkan surat kaleng dari
orang tak dikenal. Sampai saat itu, si anak muda sakti
tanah Jawa tak sempat bertemu dengan Pendekar Lembah
Kutukan, Petaruh Sakti Perut Buncit, ataupun Nyai Silili-lilu.
Sejak meninggalkan gubuk di dekat Pesisir Pantai
Laut Selatan, entah ke mana perempuan tua itu. Tentu dia
sedang berusaha mencari Pendekar Slebor. Sementara
anak muda yang dicari justru sudah berada kembali di
tempat semula.
Dua hari berselang. Purnama hari kelima pun tinggal
delapan hari Iagi. Pendekar Slebor memutuskan untuk
segera mendatangi puncak Gunung Slamet. Dari
tempatnya, jarak yang mesti ditempuh cukup jauh. Bisa
memakan waktu selama kurang lebih seminggu berkuda.
Kalau dia tak segera berangkat, maka nyawa
Mayangseruni dipertaruhkan. Betapa anak muda itu yakin,
musuh yang menyampaikan pesan pada tanduk salah
seekor kerbau liar tidak pernah main-main. Untuk
beberapa hal, dunia persilatan seringkali sulit diduga. Tapi
hal-hal lain, semuanya berjalan seperti kepastian air
mengalir ke tanah yang rendah. Khususnya untuk ancaman
tokoh golongan hitam. Jika mereka mengancam akan
membunuh, maka niat itu akan dilaksanakan tanpa ragu-
ragu.
Untuk Andika, Mayangseruni bukan cuma seorang
murid buyutnya. Dia juga seorang perempuan yang tak
cuma rupawan tapi memiliki hati pualam. Kalaupun dulu
dia terjerumus dalam dunia hitam, penyebabnya karena
dia dipengaruhi racun milik Pangeran Neraka. Racun itu
membuat pikirannya jadi terganggu. Tetapi kemudian
Andika berhasil membantu Nyai Silili-lilu menyembuhkan
Mayangseruni, Andika pun bisa menyaksikan pribadi
sesungguhnya gadis itu. (Baca episode: "Pendekar Wanita
Tanah Buangan").
Tidak segera mendatangi puncak Gunung Slamet,
sama artinya Pendekar Slebor membiarkan seorang
perempuan sebaik Mayangseruni menjadi korban
kezaliman orang-orangsesat. Andika tak sudi itu.
Pada waktu hendak berangkat, Pendekar Slebor
merasakan satu gejala aneh yang kian hari kian terasa
menguat dalam dirinya. Entah kenapa ada perasaan-
perasaan menakutkan menjalar demikian rupa. Gempuran
perasaan yang menyebabkan seluruh bulu halusnya
meremang itu sesekali membuat pandangan matanya
menjadi gelap. Lalu kesadarannya seperti dilarikan
sekawanan siluman, meski dia sendiri tak jatuh pingsan
karenanya.
Karena berpikir itu hanya akibat luka dalam yang
dideritanya ketika bertarung dengan Amitha, Andika tak
begitu mempedulikan, Iagi pula, kalaupun tubuhnya masih
dalam keadaan luka dalam pun dia akan tetap mendatangi
puncak Gunung Slamet. Nyawanya sendiri bahkan sudi
dipertaruhkan untuk Mayangseruni.
Dengan berkuda, hari itu juga Pendekar Slebor
menuju batas wilayah Kabupaten Purbalingga dengan
Brebes, daerah di mana Gunung Slamet berdiri kokoh.
Tanpa diketahui oleh anak muda dari Lembah
Kutukan, sepasang mata terus mengintainya. Sejak dari
gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, hingga sepanjang
perjalanannya menuju puncak Gunung Slamet. Dengan
mempergunakan kuda, si pengintai mengikuti Pendekar
Slebor dari jarak yang cukup aman dari jangkauan
orangyang dikuntit.
***
Puncak Gunung Slamet berdiri tegar. Angkuh adalah
kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan
keadaannya. Selain itu, keangkeran menyelimuti. Terutama
karena gunung tersebut adalah salah satu gunung merapi
di Jawa dan merupakan salah satu dari beberapa gunung
berpuncak tertinggi. Kabut merayap di sebagian
puncaknya. Memperkental kesan yang telah menyelimuti
selama ini.
Pendekar Slebor tiba di kaki Gunung Slamet pada hari
kelima setelah memac u kuda sepanjang perjalanan,
diselingi beberapa kali istirahat. Untuk sampai ke
puncaknya, menunggang kuda sudah tidak me-
mungkinkan Iagi. Terlalu riskan. Lagi pula, tak mungkin
kuda mampu melakukan perjalanan menanjak. Karena itu,
Pendekar Slebor memutuskan untuk melepas kuda
tunggangannya.
"Pergilah ke mana pun kau suka. Kau bebas
sekarang!" seru Andika seraya menepuk punggung
kudanya. Hewan itu pun lari bersama ringkikannya, menuju
alam bebas.
Pendekar Slebor mengalihkan pandangan ke puncak
gunung. Lama dia melakukan itu. Beberapa kali dadanya
menghela napas dalam-dalam. Dia menikmati suasana di
sana. Menyaksikan keagungan sekaligus keangkeran
Gunung Slamet, Andika seperti dihadapkan pada satu bukit
kecil kekuasaan Sang Pencipta.
Kini, di puncak gunung itu, telah menanti ancaman
maut baginya. Tokoh-tokoh sesat yang mencutik
Mayangseruni memanfaatkan untuk kebatilan gunung yang
tak mungkin bisa memprotes itu. Dalam pandangan
Andika, keagungan dan kesuciannya seperti hendak
dinodai oleh mereka. Seperti halnya bumi seringkali
diperkosa oleh kebejatan manusia. Sementara, Tuhan
sendiri tak pernah menciptakan sesuatu dengan batil,
desahnya.
Diawali tarikan nafas teramat dalam terakhir, Andika
memantapkan tekad. Dia pun memulai pendakian ke
puncak yang tentu saja tak akan mudah.
Menjelang setengah hari pendakian, Pendekar Slebor
akhirnya tiba di puncak Gunung Slamet Untuk tiba di
puncaknya, beberapa kali anak muda itu tergelincir jatuh.
Kalau sempat dia kehilangan keseimbangan, kemungkinan
paling buruk bisa saja terjadi. Nyawanya bisa melayang di
atas batu besar atau jurang curam. Untunglah kemampuan
peringan tubuhnya telah cukup teruji dalam belantara
dunia persilatan selama ini. Dia mampu melakukan
semacam akrobatik darurat beberapa kali untuk
menyelamatkan diri. Meski itu dilakukan dengan jantung
nyaris ambrol karena kengerian.
Sebelum mencapai puncak, Pendekar Slebor sempat
menikmati tenggelamnya surya di ufuk barat. Sinar jingga
keemasan yang memancar demikian lem-bui, bertolak
belakang dengan keadaan yang akan di-jalaninya nanti.
Nanti, tentu semuanya akan begitu garang dan haus darah.
Dengan satu lompatan mengandalkan separo
83
kemampuan tubuhnya, akhimya Pendekar Slebor
ti¬ba juga di puncak Gunung Slamet. Matahari di sana
makin kepayahan. Sinarnya melamat dan terus mela-mat
Pendekar Slebor kini menyaksikan tiga lelaki tua yang
nyaris serupa satu dengan yang lain. Hanya war¬na kening
mereka yang membedakan. Satu orang berkening ungu.
Yang lain merah dan perak. Mereka tentu saja Tiga Datuk
Karang. Ketiganya tampak agak kecewa ketika mengetahui
Pendekar Slebor yang datang. Sebab, sebenarnya mereka
menujukan surat ancaman itu kepada Ki Saptacakra alias
Pen¬dekar Lembah Kutukan. Yang muncul kini justru anak
muda berambut gondrong, bertampang ningrat, tapi
berpenampilan mengenaskan. Dan belum-be-lum, dia
sudah cengar sini cengir sana.
"Kaliankah yang telah mengirim s urat ancaman itu?"
tanya Andika, memulai.
Sebelum membuka suara, Datuk Kening Perak
menatap anak muda yang berdiri sekitar sepuluh de-pa di
depannya dengan tatapan menghujam. Tanpa kedip.
"Siapa kau?" Bukannya memberikan jawaban atas
pertanyaan Pendekar Slebor, Datuk Kening Pe¬rak malah
balik bertanya.
Andika menyipitkan mata. "Kalian yang telah mengirim
surat ancaman itu?" ulangnya, ngotot.
84
"Ya. Sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau
sebenarnya?!" Kalimat-kalimat Datuk Kening Perak mulai
menanjak naik.
"Aku cicit buyut dari Pendekar Lembah Kutukan, kalau
kalian sudi percaya." Di dalam benaknya, Pendekar Slebor
berkata-kata sendiri. Kukira amukan kawanan kerbau liar
beberapa hari lalu adalah perbuatan si Gila Petualang.
Mungkinkah mereka memiliki liubungan dengan lelaki tua
sesat itu?
"Kenapa dengan buyutmu, Anak Muda? Kenapa dia
malah mengirim anak bau kencur sepertimu ke sini?
Apakah dia takut menghadapi kami setelah kami
menguasai ilmu Karang Pamungkas?" kata Datuk Kening
Perak, terdengar mengejek.
Pendekar Slebor menaikkan sudut bibirnya.
"Kalian saja yang salah mengalamatkan surat
ancaman itu...," jawabnya enteng. "Ngomong-ngomong,
siapa kalian sebenarnya?"
"Kami Tiga Datuk Karang!" sambar Datuk Kening
Ungu.
"Ooo," Bibir si pendekar urakan memancung
berlebihan. "Buyutku pernah cerita tentang kalian.
Bukankah kalian adalah tiga orang yang berhasil dibuat
'keok' olehnya beberapa puluh tahun silam?"
"Itu tak akan terjadi Iagi!" tandas Datuk Kening Perak,
memastikan.
"Ah, itu bisa-bisa kau saja!" Pendekar Slebor terkekeh.
"Aku muak dengan anak muda ini. Tingkahnya tak
beda dengan Saptacakra keparat itu!" Datuk Kening Ungu
berbisik pada saudara tuanya.
"Terang saja, aku buyutnya!" sergah Pendekar Slebor,
mendengar bisik-bisik tadi.
"Sebaiknya kau kembali dan menyampaikan pesan
kami pada Saptacakra. Kami menantangnya bertarung di
sini! Katakan, kami akan mengulur waktu untuknya hingga
sepuluh hari dari sekarang. Kalau tidak...."
Ucapan Datuk Kening Merah yang tak mau banyak
bertele-tele, dipancung oleh Andika. "Kalau tidak kalian
akan membunuh perempuan itu?"
Terlihat anggukan samar ketiga orang tua sesat.
Pendekar Slebor mencibir. "Beh, bisa-bisanya kalian
berkata hendak menantang buyutku mengadu kesaktian.
Sementara tindakan kalian sendiri tak lebih dari tindakan
penjahat-penjahat kampungan tengik!"
"Hati-hati bicara, Anak Muda!"
Pendekar Slebor masa bodo. Dia tak peduli.
"Menurutku, kalian masih belum pantas untuk
menghadapi kebesaran nama Pendekar Lembah Kutukan!
Kenapa kalian tak menantang sandal bakiak Memerah
wajah Tiga Datuk Karang mendengar kata-kata pedas
Pendekar Slebor.
"Mulutmu benar-benar selancang Saptacakra," geram
Datuk Kening Ungu.
"Kalau kalian sudi ingin tahu, sebenarnya bukan
mulutku saja yang selancang dia. Banyak kemiripan yang
telah diturunkan si tua itu padaku. Kerutan di ketiakku pun
serupa dengan ketiaknya. Mau kalian buktikan?"
"Bedebah!"
"Tai kucing! Kalianlah yang sesungguhnya bedebah.
Betapa memalukan tindakan kalian menculik perempuan
itu untuk memaksa buyutku datang mememuhi tantangan
kalian!" balas Pendekar Slebor membentak-bentak sampai
wajahnya jadi kacau-balau layaknya orang kerasukan.
"Kau rupanya minta diberi pelajaran!" desis Datuk
Kening Perak, benar-benar sudah meluap darahnya hingga
terasa hendak membobol tengkorak kepalanya sendiri.
"Kalian mau menghajar aku?" Anak muda urakan
berperangai 'angot-angotan' itu membusungkan dada.
"Pilih bagian mana yang kalian suka!"
Rahang ketiga orang tua di depannya mengeras
teramat sangat. Belum pernah mereka dihina seperti
itu. Kecuali oleh Pendekar Lembah Kutukan.
Mendapat seluruh semprotan pedas Pendekar Slebor,
mereka seperti dilempar kembali ke masa puluhan tahun
lalu ketika mereka berhadapan dengan Ki Saptacakra
yangsama-sama muda. Tanpa disadari, mereka mulai
beranggapan bahwa mereka telah berhadapan langsung
dengan musuh lama mereka. Itulah pengaruh dendam
yang telah berkarat dalam benak ketiga datuk sesat itu.
Dalam keadaan seperti saat itu, mendadak saja mata hati
mereka menjadi teramat bu-ta dari sebelumnya.
"Kau akan mampus, Saptacakra!" bentak Datuk
Kening Merah.
Pendekar Slebor melotot. Sejak kapan namanya
diganti? Kalau sampai si tua bangka buyutnya tahu, tanpa
ragu Iagi tentu dia akan digantung!
Kegeraman Datuk Kening Merah terhadap Pendekar
Slebor akhimya terwujud ke dalam serangan. Tubuhnya
melompat ke depan. Tiba di dekat Pendekar Slebor,
dilancarkannya tinju ke arah kepala.
Deb!
Pendekar Slebor mengelak. Meski dapat menghindar
dari pukulan langsung, tak luput anak muda itu merasakan
angin pukulan yang kuat menyentak bagian lehernya.
Padahal posisinya sudah termas uk jauh dari pukulan tadi.
Ini membuktikan kalau tenaga dalam lawan telah
mencapai tingkat kesempurnaan.
Karena tahu dia tak sedang menghadapi lawan
sembarangan, Pendekar Slebor langsung saja membalas.
Masih dengan kepala tertunduk, dibabatkannya tangan ke
dada lawan dengan mengerahkan tenaga dalam warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesembilan. Dengan
mengerahkan tenaga dalam pada tingkat itu, Pendekar
Slebor ingin sedikit menguji lawan.
Wukh!
Sambaran deras punggung tangan Pendekar Slebor
dimentahkan Datuk Kening Merah dengan menyurutkan
badan sigap ke belakang. Namun karena Pendekar Slebor
telah mengerahkan setengah dari kemampuan tenaga
dalam warisan buyutnya, angin pukulannya pun sanggup
menyentak keras-keras tubuh lawan.
Datuk Kening Merah terjajar ke belakang. Sebelah
tangannya mendekap bagian perut yang terasa nyeri
berdenyar. Wajahnya menampakkan keterkejutan.
"Kenapa kaget?" cemooh Pendekar Slebor. "Apa kau
pikir kau sedang menghadapi cecurut yang tak memiliki
pukulan tenaga dalam sekuat milikmu?"
"Jangan sesumbar! Kau salah menduga kalau kau
mengira aku telah cukup mengerahkan tenaga dalamku!"
baias Datuk Kening Merah, dengan rona wajah yang kini
menjadi sewarna dengan keningnya.
Selesai meluapkan kegeramannya melalui ucapan
tadi. salah seorang dari Tiga Datuk Karang itu
menggerakkan dua tangannya dua kali putaran. Pada saat
itu terdengar suara deruan. Padahal kalau diperhatikan
sekilas, gerakan tangan Datuk Kening Merah perlahan
saja. Menyusul direntangkannya kedua tangan tadi.
Telapak tangannya yang semula mengepal kini membuka
cepat, kemudian mengepal Iagi. Naga-naganya, dia sedang
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi!
"Mulai unjuk gigi dia rupanya," bisik Pendekar Slebor,
sambil terus memperhatikan lawan dengan seksama. Tapi
ketika ingat lawannya sudah sangat tua, ocehannya jadi
bertambah.
"Iya, itu pun kalau dia masih punya gigi" bibirnya pun
cengar-cengir sendiri.
"Terimalah ini!" seru Datuk Kening Merah kemudian.
Kembali diterjangnya lawan berbeda usia yang siap
menanti serangan maut, meski wajah pemuda itu sendiri
memperlihatkan keacuhan Atau barangkali lebih mirip
wajah orang tak punya otak? Bisa jadi begitu.
Terjangan Datuk Kening Merah kali ini dipusatkan
pada kedua kakinya. Setelah melompat maju, kakinya
melakukan sapuan menyamping ke leher lawan. Angin
sambaran tendangannya lebih kuat dari serangan
sebelumnya.
Pendekar Slebor tentu saja sudah menduga. Dalam
perhitungannya, jika sebelumnya saja angin pukulan lawan
sudah terasa membuat linu lehernya, dengan
meningkatkan pengerahan tenaga dalam ke tingkat jauh
lebih tinggi tentunya sekarang dia bisa terjengkang hanya
karena tersambar angin tendangan.
"Huiiih!"
Bersama teriakan melengking yang nyaris terdengar
seperti dengking keledai, Pendekar Slebor melempar kuat-
kuat tubuhnya ke belakang. Dengan kedua tangannya, dia
menahan tubuh di tanah. Lalu secepatnya dihentak Iagi
tubuhnya hingga menciptakan gerak berputar beberapa
kali di atas tanah. Dengan cara cerdik itu, dia bisa
membiarkan angin tendangan lawan terlewat begitu saja
bersama gerak tubuhnya.
Pendekar Slebor kini sudah berdiri dengan kuda-kuda
kokoh Iagi. Jaraknya dengan lawan terulur lebih jauh dari
sebelumnya. Ada sekitar dua betas langkah.
Sementara tepat di belakang kakinya, terbentang
jurang, yang bukan cuma curam namun juga teramat
dalam. Kalau seandainya Pendekar Slebor salah
memperhitungkan gerak jumpalitan tubuhnya, niscaya dia
akan jatuh ke sana!
"Wuiih...," Pendekar Slebor mengempos napas dengan
bibir agak menyorong ke depan. Diliriknya jurang di
belakang. Sejengkal Iagi ters urut ke belakang, bakal jadi
empuk tubuhku di bawah sana, gumamnya setengah
meringis.
Tapi kesempatan tak banyak dimiliki. Datuk Kening
Merah sudah melanjutkan gempurannya. Berkawal
teriakan serak memekakkan telinga, orang tua itu
memutar-mutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu
kaki. Sedang kaki yang lain dibentangkan seperti juga
kedua tangannya. Putaran tubuh orang tua sesat itu
meluruk mengancam Pendekar Slebor.
Wukh-wukh...!
Dengan cara yang terbilang cerdik, Datuk Kening
Merah rupanya hendak mendesak lawan ke dalam jurang.
Jika putaran tubuhnya disertai dengan penyaluran tenaga
dalam tingkat tinggi pada kedua tangan dan kaki, tentunya
akan timbul angin putaran yang amat kuat. Semakin dekat
jaraknya ke tempat lawan, maka akan semakin kuat
tenaga dorongan. Dengan cara itu pula, Datuk Kening
Merah menutup jalan untuk lawan. Cuma ada dua pilihan
bagi lawan agar terhindar dari kekuatan sambaran angin
putaran yang mungkin bisa berakibat fatal itu. Pertama,
masuk ke jurang. Kedua, melewati atas putaran lawan.
"Sialan. Kenapa malah jadi main gasing-gasingan!"
maki si pendekar muda urakan jengkel.
Pendekar Slebor bukan anak kemarin sore. Dia tak
bisa tertipu dengan mudah. Ksatria muda berakal cerdik itu
tahu, jika dia berusaha melewati putaran tubuh lawan
dengan cara melompat di atas tubuh lawan, maka lawan
dengan cepat akan melepas pukulan jarak jauh. Akan
sangat sulit baginya untuk meng-hindar pada saat
tubuhnya sedang melayang seperti itu.
Pendekar Slebor tak kehilangan akal. Timbul pikiran
sintingnya ketika dia mendengar ucapan sendiri.
Bagaimana kalau aku pun melakukan hal yang sama?
Cetus pikiran senewennya.
Tapi, begitulah Pendekar Slebor. Dia terkadang tak
terlalu memusingkan apakah cara bertarungnya terbilang
aneh atau tidak, terbilang lucu atau tidak, terbilang ini atau
itu. Jadi tak terlalu heran kalau julukannya pun seperti itu.
Sambil berteriak sejadi-jadinya, Pendekar Slebor
benar-benar melakukan hal yang sama!
Wukh-wukh...!
Orang Iain mungkin akan menganggap dia melakukan
kesintingan. Sedikitnya dia telah melakukan kekonyolan
berbau maut. Bagi Pendekar Slebor sendiri tidak demikian.
Dia melakukan tindakan itu dengan perhitungan cepat
yang matang di saat-saat terjepit. Itulah salah satu
kehebatan yang patut dibanggakan pada diri anak muda
itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tingkat
puncaknya, dia akan menjajal lebih jauh tingkat tenaga
dalam lawan. Sejauh itu, Andika yakin tenaga dalam
warisan buyutnya tak kalah tangguh dengan tenaga dalam
lawan. Bukankah kejadian puluhan tahun silam telah
membuktikannya dengan keberhasilan Pendekar Lembah
Kutukan mengalahkan Tiga Datuk Karang?
Dan untuk mementahkan angin putaran teramat kuat
yang bisa melukai tubuhnya, Pendekar Slebor sengaja
membuat putaran ke arah yang sama. Dengan cara itu,
arus hantaman angin putaran yang di-ciptakan lawan akan
segera diteruskan ke sampmg tubuhnya.
Demi menyaksikan lawannya melakukan hal yang
sama, bukan main terperanjat ny a Datuk Kening Merah.
Dua datuk lain yang menyaksikan pertarungan itu pun tak
kalah terperanjat. Tindakan itu tak akan terpikirkan oleh
sembarang pendekar, pikir keduanya. Tindakan itu mereka
nilai amat cerdik. Terselip kekaguman dalam diri masing-
masing.
Seluruh perhitungan cerdik Pendekar Slebor terbukti
tepat. Hantaman angin putaran tubuh lawan malah
berlarian serampangan ke satu sisi. Sementara itu, putaran
tubuh keduanya semakin dekat. Sampai...........
Dash!
Tercipta suara keras akibat benturan putaran
keduanya. Dalam setiap benturan apa pun, akan terjadi
gaya tolak-menolak. Semakin kuat benturan, akan semakin
kuat pula gaya tolakan yang terjadi.
Hal seperti itu akan sangat berbahaya bagi posisi
Pendekar Slebor. Jika hentakan ke belakang tubuhnya
terlalu kuat, maka jurang akan menelannya. Tapi, itu pun
rupanya sudah masuk dalam perhitungan otak seencer
bubur orang jompo si pendekar muda. Dengan jarak ke
depan yang dapat dicurinya saat tubuhnya berputar, dia
masih bisa melakukan salto ke belakang untuk menahan
laju tubuhnya agar tidak jatuh ke dalam jurang!
Teph!
Lagi-Iagi perhitungannya tak meleset Dia menapakkan
kaki tak begitu jauh dari bibir jurang. Meski dengan begitu,
dia mengalami luka dalam yang cukup berarti. Darah
mengalir keluar dari kedua sudut bibirnya.
Di Iain pihak, Datuk Kening Merah mengalami hal
serupa. Tubuhnya terpental cukup deras ke belakang. Dia
pun mengalami luka dalam. Karena tak menyangka lawan
mudanya mampu membuat dirinya terluka demikian rupa,
orang tua sesat itu jadi lengah. Tangannya tanpa sadar
memeriksa sudut bibir yang terasa anyir. Kemudian
ditatapinya darah yang membasahi tangannya itu dengan
sinar mata tak percaya.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor untuk
mencari posisi. Cepat dan gesit dia melompat beberapa
putaran ke depan, menjauhi bibir jurang Walaupun untuk
melakukan itu dia harus sedikit memaksakan diri akibat
luka dalam yang diderita
***
Rasa malu hanya pantas dimiliki oleh manusia. Tidak
untuk hewan. Namun ada manusia membiarkan dirinya tak
lebih baik dari hewan dengan mem-biarkan rasa malu
menjadi gersang dalam dirinya. Bagi orang sesat, sulit
untuk menemukan rasa malu dalam diri mereka. Kalaupun
ada, cuma keangkuhan semata.
Seperti halnya Tiga Datuk Karang, mereka tak Iagi
merasa malu ketika ketiganya memutuskan untuk
mengeroyok pendekar muda yang berusia dan
berpengalaman jauh di bawah mereka.
Sejak menyadari bagaimana tangguh dan cerdiknya
Pendekar Slebor menghadapi Datuk Kening Merah, dua
datuk Iain mulai memperhitungkan kemungkinan untuk
menang. Pada awalnya, mereka segan untuk berurusan
dengan anak muda yang mereka anggap bau kencur itu.
Satu-satunya kepentingan mereka cuma dengan Pendekar
Lembah Kutukan. Namun ketika pertarungan akhimya
meletus, mereka tak bisa Iagi menghindar. Tak mungkin
bagi mereka untuk menyingkir. Apa kata dunia persilatan
jika tiga datuk kenamaan harus lari dari seorang pendekar
muda?
Di pihak Pendekar Slebor, anak muda itu tak akan
sudi turun dari puncak Gunung Slamet sebelum
mendapatkan Mayangseruni dalam keadaan tanpa kurang
suatu apa. Tiga Datuk Karang tak akan memenuhi
tuntutannya. Jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor
adalah memaksa ketiga dedengkot golongan sesat itu.
Berarti pertarungan memang tak mungkin Iagi dihindari.
Setelah menelan waktu hingga malam turun dan
bulan menggelantung di angkasa, pertarungan tak imbang
itu tetap berjalan alot. Meski dikeroyok, Pendekar Slebor
mampu memperlihatkan kedigdayaannya selaku pendekar
muda dunia persilatan yang disegani.
Biar bagaimanapun, tak bisa diingkari Pendekar
Slebor bukanlah tandingan ketiga datuk seangkatan
buyutnya itu. Terlebih karena mereka menggempur
bersamaan. Terlebih Iagi, mereka telah berhasil
menyempurnakan ilmu 'Karang' mereka beberapa waktu
belakangan.
Maka, selama pertarungan berlangsung, si ksatria
muda dari Lembah Kutukan tak lebih menjadi bulan-
bulanan para lawannya. Dia terdesak dan terdesak.
Pengerahan kekuatan sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan yang seringkali mampu mengatasi
keadaan paling genting ternyata tak banyak berguna.
Padahal pengerahan puncak tenaga sakti itu telah
membentuk benteng tenaga bercahaya yang hanya muncul
pada saat-saat dia terdesak.
'Tenaga Inti Petir' sebagai kekuatan pamungkas milik
Pendekar Slebor juga tak banyak membantu. Gempuran-
gempuran pukulan tanpa wujud Karang Pamungkas terlalu
bertubi-tubi mencecar. Meski Tenaga Inti Petir membantu
berkali-kali untuk menahan pukulan itu, lama-kelamaan
keampuhannya kikis juga. Layaknya karang yang terkikis
oleh gempuran ombak terus-menerus.
Pendekar Slebor menyadari posisi gentingnya.
Sebagai pendekar yang ditempa dengan kekerasan sejak
kecil, dia tak akan sudi begitu saja menyerah. Tujuannya
hanya satu mendapatkan kembali Mayangseruni dalam
keadaan hidup, atau dia mati di puncak Gunung Slamet!
"Menyerah sajalah kau, Anak Muda!" seru Datuk
Kening Perak, ketika satu pukulan tanpa wujudnya untuk
kesekian kali mengikis kekuatan benteng 'Inti Petir'
Pendekar Slebor.
Dengan darah terus mengalir dari hidung dan
mulutnya, anak muda pantang menyerah itu mendengus.
"Kematian bagiku cuma jalan termudah untuk
menyelesaikan persoalan. Namun, aku harus memastikan
bahwa kematianku tidak sia-sia. Aku tidak ingin mati
sebagai pengec ut atau pecundang!" tandasnya, tegar.
Biarpun setiap kata yang diucapkan harus memenggal-
menggal napasnya yang sudah terputus-putus.
Datuk Kening Perak menyeringai. "Bagus! Keras
kepalamu pun tak beda dengan Saptacakra keparat itu,
membuatku semakin berhas-rat untuk menyingkirkan
nyawamu!"
"Kalau begitu, kenapa kau tak lakukan saja? Kenapa
kau harus memintaku menyerah? Kentut monyetlah kalian
semua!" maki Pendekar Slebor, mulut pedasnya masih juga
bisa melontarkan makian kelewatan. Bibirnya pun
memperlihatkan cengiran terpaksa. Lepas dari penderitaan
yang dirasakannya, cengiran itu tetap saja menjengkelkan.
Semenjengkelkan cengiran keledai!
"Lempar saja dia ke neraka!" teriak Datuk Kening
Merah. Betapa mengkelapnya orang tua sesat itu
mendengar kekeraskepalaan yang terlahir melalui mulut
cicit buyut musuh besarnya. Apalagi kalau dia
mengiangkan kembali makian yang keterlaluan itu.
Kepalanya seperti diinjak-injak langsung oleh telapak kaki
berlumpur... dan bau pula!
Tak berselang jauh dari teriakan mengkelapnya,
Datuk Kening Merah mengirim satu pukulan tanpa wujud
ke arah dada si pendekar muda tanah Jawa kembali.
Duar!
Benteng bercahaya 'Inti Petir' di seputar tubuh
Pendekar Slebor sebentar meredup ketika dihantam
pukulan tanpa wujud yang berkekuatan lebih dari mesiu
satu pedati itu. Tubuhnya terjajar deras ke belakang. Kuda-
kuda yang berusaha dipertahankan menciptakan jejak
panjang seperti saluran dangkal.
Malangnya, pukulan kali ini melemparkan dia tepat ke
mulut jurang. Kakinya yang goyah pun tergelincir Wajah
Pendekar Slebor menegang. Dia amat tercekat. Sebelum
dia sempat memikirkan tindakan untukmenyelamatkan
dirinya, tubuhnya sudah terlebih dahulu terjungkal.
Saat itu, kesigapan terlatihnya menyelamatkan
dirinya. Dengan cepat, tangannya menyambar bibir jurang.
Crep!
Kekuatan tenaga sakti yang telah terkuras
menyebabkan jari-jari di kedua belah tangannya sanggup
menembus dinding keras puncak gunung.
Kini tubuh pendekar muda berhati baja itu
tergelantung-gelantung di bibir jurang. Hanya sepuluh jari
yang menembus tepian puncak menjadi penahan
tubuhnya. Kakinya tak mendapatkan pijakan sama sekali.
Sedangkan tubuhnya terasa amat lemah untuk membuat
satu hentakan yang bisa mengembalikan dirinya ke atas.
Di atas kepalanya, Tiga Datuk Karang berdiri dengan
keangkuhan masing-masing. Mereka menatapi si anak
muda dengan sinar mata mencemooh.
"Nyawamu tinggal di ujung tenggorokan, Anak Muda,"
kata Datuk Kening Perak. "Kalau kau ingin memohon
ampun pada kami, tentu kau akan selamat...."
Bibir Pendekar Slebor bergetaran, menahan kekuatan
jarinya yang semakin goyah. Tubuhnya terasa semakin
melemah. Terutama karena dia telah banyak kehilangan
darah. Juga karena telah berkali-kali dia menerima
hantaman pukulan tanpa wujud yang memberondong
benteng tenaga saktinya.
Entah bagaimana bibir pemuda itu malah
memperlihatkan senyum menjengkelkannya kembali.
Sungguh di luar harapan Tiga Datuk Karang!
"Bisa kau contohkan bagaimana caranya aku
memohon ampun pada kalian? Untuk mencontohkannya,
bagaimana kalau kalian menggantikan tempatku sekarang
dan aku menggantikan tempat kalian di atas?" celotehnya,
masih sempat bergurau. Tujuannya tentu untuk meledek.
"Benar-benar keparat," desis Datuk Kening Ungu
dengan mata membesar. Bagaimana mungkin manusia
yang sudah dekal ajal masih bisa berpikir untuk melawak?
Pikirnya.
Ketiga datuk sesat itu saling berpandangan satu
dengan yang lain. Mereka seperti sedang memungut suara
untuk menentukan apakah pemuda di bawah mereka akan
dihabisi saat itu juga.
Saat itulah, ada sesuatu yang terjadi dalam diri
Pendekar Slebor. Ketika itu bertepatan dengan bulan
membulat penuh di angkasa, dan menempati tepat puncak
cakrawala malam nan kelam.
Pendekar Slebor merasakan ada perasaan-perasaan
menakutkan menjalar demikian rupa. Bergeliat di suatu
tempat dalam dirinya, kemudian mengem-bang ke sekujur
bagian tubuhnya. Gempuran perasaan yang menyebabkan
seluruh bulu halusnya meremang itu, sesekali membuat
pandangan matanya menjadi gelap. Persis seperti pernah
dialami hari-hari sebelumnya. Cuma kali ini lebih hebat.
Lebih kuat. Lebih terasa ganas mengerikan.
"Sang Penguasa Segenap Jiwa, apa yang terjadi pada
diriku?" bisiknya amat tak kentara. Pertahanan jari-jarinya
semakin kehilangan kekuatan. Dia merasa hidupnya akan
segera berakhir.
Semuanya menjadi tak terkendali Iagi. Pandangannya
menjadi pekat. Dia masih sadar. Tapi, anehnya dia seperti
tak bisa menguasai setiap jengkal bagian tubuhnya.
Lalu, hal yang ditakuti pun terjadi. Cengkeraman jari-
jemari Pendekar Slebor benar-benar terlepas dari bibir
jurang. Andika meluncur jatuh. Pada saat yang sama,
terjadi hal yang sesungguhnya lebih menakutkan.
Saat meluncur deras ke bawah, perlahan tapi pasti
tubuh Pendekar Slebor berubah wujud. Perlahan, tumbuh
bulu-bulu kasar di seluruh pori-pori kulitnya. Kulitnya pun
mengeras. Lalu beberapa bagian tubuhnya menyusut ke
bentuk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh
dirinya sendiri. Dan pada saatnya, Pendekar Slebor
berubah sempurna menjadi seekor macan berkepala
puluhan ular! Wujud menyeramkan yang pernah dihadapi
dulu, kini malah terjelma dari dirinya! Dan semua itu sama
sekali tak disadari si anak muda sakti.
"Nggungg!"
Berkelindanlah suara dengung berat meninggi
menakutkan, memenuhi celah jurang hingga ke dasarnya.
Di atas sana, Tiga Datuk Karang terlonjak. Benak masing-
masing bertanya-tanya keheranan. Suara apa itu?
Ketiganya terpancing untuk menjulurkan kepala ke
dalam jurang. Dengan mata kepala sendiri, mereka
menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka lihat selama
hidup. Nyaris saja ketiga dedengkot golongan sesat itu
tersurut mundur dari bibir jurang.
Bagaimana mereka tak dibuat terkejut kalau
ketiganya menyaksikan ada seekor macan berkepala
puluhan ular tengah memanjati dinding jurang. Setiap kali
beringsut ke atas, cakarnya terhujam ke dinding jurang
yang kekerasannya tidak diragukan.
"Kau melihat itu?" tanya Datuk Kening Merah,
takyakin dengan penglihatannya sendiri.
Dua datuk lain malah saling pandang. Mereka sendiri
ragu apakah mereka tadi tak salah lihat? Mimik wajah
ketiganya kini tak beda dengan tiga orang bodoh.
"Binatang apa itu?" tanya Datuk Kening Merah Iagi.
Sampai detik itu, matanya jadi lupa berkedip.
"Mana aku tahu, binatang laknat macam apa yang
baoi saja kita lihat!" timpal Datuk Kening Perak, sama
bingungnya.
Kebingungan yang berkecamuk dalam benak Tiga
Datuk Karang membuat mereka tanpa sadar menjulurkan
kepala untuk kedua kalinya ke bibir jurang.
Dan....
Zzzznngg!
Wush! Crash!
"Keparat!" mak: Datuk Kening Merah serak. Cepat
tangannya mendekap bahu kiri. Tepat ketika tubuhnya
menyorong ke bibir jurang, sekelebatan bayangan bergerak
cepat ke atas. Satu sambaran tak terhindarkan dan terlalu
cepat untuk disadari telah mengoyak kulit di bahu kirinya.
Koyakan itu cukup dalam. Bahkan merobek pula
dagingnya. Darah tersembur. Bajunya cepat dibasahi
darah. Sebagian terpercik ke tempat berpijak mereka.
Serempak, Tiga Datuk Karang berbalik mengikuti
gerakan kilat bayangan tadi. Mereka pun menyaksikan
secara lebih jelas sosok mengerikan tadi. Binatang jejadian
itu berdiri dengan sehimpun ancaman yang terpancar dari
berpasang-pasang mata nlar di bagian kepalanya.
Tiga Datuk Karang menelan ludah tak sadar. Selama
ini, mereka memang belum pernah mengeta-hui
kehebohan yang berlangsung di dunia persilatan ketika
Amitha mernbantai warga persilatan dengan wujud
makhluk jejadian. Kini ilmu sesat itu telah berpindah ke
dalam diri PendekarSlebor. Kalaupun Tiga Datuk Karang
mengetahui kehebohan itu, bisakah mereka mempercayai
kalau Pendekar Slebor telah berubah menjadi makhluk
haus darah seperti itu?
"Makhluk macam apa kau sebenarnya?!" desis Datuk
Kening Perak bergidik. Sebutlah mereka sebagai
dedengkot dunia persilatan golongan sesat Sebutlah
mereka sebagai tokoh yang telah banyak menelan asam-
garam. Lepas dari semua itu, mereka tetap tak bisa
memungkiri kalaudiri merekasaat itu tercekam teramat
sangat
***
Petaruh Sakti Perut Buncit tertidur di bawah sebuah
pohon beringin besar. Pulasnya jangan ditanya. Mimpinya
pun pasti sudah segerobak penuh. Kalau dilihat dari air liur
yang melimpah di sekitar dagunya, tentu dia sedang
bermimpi tentang makanan lezat.
Padahal belum lama dia baru menyantap panggangan
anak rusa. Satu ekor dilahapnya sendiri. Benar-benar rakus
tulen dia. Jangan-jangan dua ekor kalau ada bisa masuk
juga ke perutnya!
Api unggun tempatnya membakar pangganggan masih
menyisakan bara. Asap tipisnya mengambang lamat.
Sebagian melayapi wajah Petaruh Sakti Perut Buncit. Tapi,
tak pernah cukup untuk mengusik kepulasan tidur manusia
satu itu.
Soal tidur, orang tua berperut besar ini jagornya. Siang
saja dia masih sulit menahan kantuk, apalagi malam
seperti saat itu. Ditambah lagi udara dingin. Ditambah lagi
dengan perut yang kekenyangan, ditambah lagi dengan
rasa letih setelah menempuh perjalanan. Jadi. sempurna
sudah alasannya untuk tidur dan memburu mimpi. Mau
enaknya saja!
Beberapa hari lalu, dia diajak oleh Ki Saptacakra
untuk memburu Tiga Datuk Karang. Di tengah perjalanan,
entah dengan alasan apa, si tua berjuluk Pendekar
Lembah Kutukan itu memisahkan diri.
Selama tidak dengan Ki Saptacakra, Petaruh Sakti
Perut Buncit seperti anak ayam kehilangan induk. Dia
bingung untuk meneruskan pencarian ke mana. Sementara
otaknya lebih sering buntu jika diajak berpikir. Orang
bilang, otaknya memang sudah pindah ke udel! Lelaki tua
itu akhirnya malah berdiam diri di tempatnya kini tertidur.
Sedang pulas-pulasnya, sebentuk bayangan
menendap-endap dari arah selatan. Caranya bergerak
demikian ringan. Bahkan lebih ringan dari hinggapan
seekor kupu-kupu di putik bunga.
Bayangan tadi kian dekat ke arah Petaruh Sakti Perut
Buncit. Makin dekat, si pendatang makin memperlambat
langkahnya. Tepat di depan Petaruh Sakti Perut Buncit
yang mendengkur santer, orang itu melayangkan sebelah
kakinya ke kepala Petaruh Sakti Perut Buncit.
Jedug!
Kepala setengah gundul Petaruh Sakti Perut Buncit
langsung terbentur batang pohon beringin. Depan belakang
kepalanya berdenyut-denyut. Herannya, itu tidak
membuatnya terjaga. Benar-benar 'kebluk'!
Sekali Iagi si pendatang melayangkan sebelah
kakinya. Kali mi lebih keras dari sebelumnya. Jedug!
"Wait! Wait! Wait!"
Sontak saja Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit seraya
mencak-mencak memperlihatkan jurus tak ada juntrungan.
"Apa kau cuma bisa tidur saja, Buncit!" maki orang
yang baru datang.
Petaruh Sakti Perut Buncit mengerjap-kerjapkan mata
seperti biang komodo kekenyangan. Karena pandangannya
tak juga menjadi jelas akibat setumpuk tahi mata
mendekam, tangan lelaki itu pun mengusap-usap mata.
"Silili...," gumamnya setelah mengetahui dengan jelas
siapa orang yang telah membangunkannya dengan cara
semena-mena.
"Kau kira siapa, hah? Dedemit bunting penunggu
hutan?!" maki Nyai Silili-lilu, dongkol setengah edan.
"Aku kira siapa...." lanjut Petaruh Sakti Perut Buncit
seperti tak pernah mendengar makian 'adinda'nya barusan.
Dengan perasaan tak bersalah, dia hendak merebahkan
diri kembali. Tentu saja Nyai Silili-lilu jadi tambah scwot.
"Eee, mau apa Iagi kau?!" bentaknya.
"Tanggung, Sayang.... Aku tadi bermimpi makan satu
meja hidangan makanan dari surga. Tinggal satu piling
tersisa yang belum kuhabiskan. Biar aku tidur sebentar
saja, supaya sisa sepiring itu dapat kuhabiskan...," kata
Petaruh Sakti Perut Buncit mendayu-dayu.
"Makanan surga tai kucing! Kenapa tak kau makan
saja bara itu!" semprot Nyai Silili-lilu Iagi seraya menunjuk
pada bara sisa api unggun di depan Petaruh Sakti Perut
Buncit.
Kepala orang tua buncit tadi menggeleng-ge-leng.
"Bara itu tentu tak enak, Sayang. Lagipula, tak akan
pantas dijadikan makanan...," ucapnya bersung-guh-
sungguh. Sepertinya dia tak paham kalau Nyai Silili-Iilu
cuma ingin menyindirnya. Pasti otak orang berperut boros
itu belum siuman benar dari mimpinya.
Pikir punya pikir, Nyai Silili-Iilu memutuskan untuk
menambahkan sedikit 'jedug' lagi di kepala Petaruh Sakti
Perut Buncit. Biar dia benar-benar siuman dari mimpinya.
Sekali ini, harus lebih keras. Nyai Silili-Iilu bersumpah biar
disambar petit pelan-pelan, untuk melakukan itu.
Lalu....
Jedug! Bruk!
"Buncit?! Buncit?!" panggil Nyai Silili-Iilu seraya
memperhatikan kekasih tercintanya ambruk telentang tak
bergerak dengan mata mendelik dan mulut menganga
lebar.
Pingsan, pikir Nyai Silili-Iilu enteng seolah tak punya
dosa. Apa akalnya untuk menyadarkan manusia berperut
gentong satu itu? Tidurnya saja sudah 'kebluk', apalagi
pingsannya, pikir Nyai Silili-Iilu ngaco.
Sebentar perempuan berumur alot itu berpikir dengan
jari telunjuk ditekan ke dengkulnya. Sepertinya dia sudah
lupa kalau otaknya berada di kepala, bukan di dengkul!
Menurut pengetahuan ketabibannya, orang pingsan akan
cepat sadar kalau indra penciumannya menangkap
bebauan yang kuat. Minyak wangi misalnya. Sebab, pusat
indera penciuman di otak berhubungan langsung dengan
pusat kesadaran.
Nyai SiliH-lilu mengangguk-angguk. Sekarang dia
punya 'sedikit' akal untuk menyadarkan Petaruh Sakti Perut
Buncit. Dengan mengendap-endap seperti macan betina
ompong mengintai mangsa, didekatinya kepala lelaki tua
buncit itu.
Persis di depan wajahnya, disorongkannya dekat-
dekat pantat teposnya. Yang terjadi selanjutnya, tentu
gampang diduga. Jelasnya, tersebarlah ke segenap penjuru
bau yang menyengat hidung. Jangankan hidung manusia,
hidung siluman pun mungkin dibuat mengembang-kempis.
Tak lama, kontan mata Petaruh Sakti Perut Buncit
yang sudah mendelik jadi bertambah mendelik. Dia
tersentak bangun seraya mendekap perutnya. Bayangkan,
betapa 'sakti'nya bebauan yang dihasilkan Nyai Silili-Iilu.
Bagaimana tidak? Begitu sadar, Petaruh Sakti Perut Buncit
langsung muntah di tempat!
"Sekarang, jelaskan padaku ke mana Saptacakra Iler
pergi?!" serobot Nyai Silili-Iilu cepat, belum lagi rasa pusing
dua belas keliling Petaruh Sakti Perut Buncit hilang. Aku
harus memberitahu dia tentang ini...," lanjutnya seraya
memperlihatkan surat dari samakan kulit ular yang
ditinggal Andika di dalam gubuk.
***
10
Puncak Gunung Slamet kali ini tidak cuma dihuni oleh
Tiga Datuk Karang dan seekor makhluk jejadian
mengerikan, jelmaan Pendekar Slebor. Telah datang pula
tokoh lain. Manusia Dari Pusat Bumi. Entah bagaimana
caranya, tanpa diketahui oleh tiga datuk sesat, roh
manusia durjana yang menempati bangkai itu tahu-tahu
saja sudah berdiri di salah satu sisi puncak gunung.
"Bodoh! Kenapa kalian terdiam seperti itu?!"
sentaknya pada Tiga Datuk Karang.
Tiga Datuk Karang menoleh berbarengan. Mereka
sempat dibuat terheran-heran juga ketika menyadari sang
manusia bangkai telah hadir pula di sana. Padahal suara
hinggapan seekor belalang pada daun saja tak luput dari
ketajaman pendengaran mereka. Hanya karena mereka
sudah dalam kungkungan ketercekaman menyaksikan
makhluk jejadian, mereka tak begitu peduli pada hal itu.
"Apa maksudmu, Manusia Bangkai?!" tanya Datuk
Kening Perak, gusar. Matanya berkilat sekelebatan pada
Manusia Dari Pusat Bumi. Sekelebatan kemudian, beralih
kembali ke arah makhluk jelmaan Pendekar Slebor.
Terdengar dengusan berat seperti terganjal di
tenggorokan Manusia Dari Pusat Bumi.
"Kalian pikir, makhluk di depan kalian sebangsa
dedemit penunggu Gunung Slamet?! Kalau itu dugaan
kalian, kalian memang pantas disebut bodoh!" makinya
kembali.
"Jangan coba sebut kami bodoh lagi. Manusia
Bangkai! Kenapa tak kau sebutkan saja apa yang hendak
kau katakan sebenarnya?!" sergah Datuk Kening Ungu.
"Binatang jejadian itu adalah jelmaan Pendekar
Slebor!"
'Tak mungkin...," desis Tiga Datuk Karang, nyaris
bersamaan mendengar pemberitahuan Manusia Dari Pusat
Bumi barusan. Bagaimana mereka bisa percaya kalau cicit
buyut musuh bebuyutan mereka yang amat mereka kenal
dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu?
Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau
penyebabnya adalah ilmu sesat. Di lain sisi, baik Pendekar
Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia persilatan
sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu
kenyataan yang bertolak belakang sama sekali?
Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela
dengung ribuan ekor lalat yang mengerubunginya. Di lain
posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengung-
dengung kian santer mengancam.
"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki
oleh ilmu sesat tanpa disengaja. Kejadiannya berlangsung
ketika dia bertarung dengan seorang lelaki India penganut
ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar
Manusia Dari Pusat Bumi menerangkan. "Artinya, kini kita
bukan cuma menghadapi kesaktian warisan dari Pendekar
Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam
dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!"
tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.
Ucapan sang manusia bangkai menusukkan
ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.
Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang
ditakuti oleh ketiganya selaku datuk sesat rimba
persilatan.
"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal
itu? Apa nama besar kalian telah luntur?" cemooh Manusia
Dari Pusat Bumi serak.
"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening
Merah. Rahangnya jadi mengeras teramat sangat. Setapa
ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak
kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.
Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.
Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak
berdaya menghadapi kekuatan alam kegelapan milik
Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah
terpicu juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat
bertindak.
dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu?
Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau
penyebabnya adalah ilmu sesat. Di lain sisi, baik Pendekar
Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia persilatan
sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu
kenyataan yang bertolak belakang sama sekali?
Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela
dengung ribuan ekor lalat yang mengerubunginya. Di lain
posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengung-
dengung kian santer mengancam.
"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki
oleh ilmu sesat tanpa disengaja. Kejadiannya berlangsung
ketika dia bertarung dengan seorang lelaki India penganut
ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar
Manusia Dari Pusat Bumi menerangkan. "Artinya, kini kita
bukan cuma menghadapi kesaktian warisan dari Pendekar
Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam
dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!"
tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.
Ucapan sang manusia bangkai menusukkan
ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.
Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang
ditakuti oleh ketiganya selaku datuk sesat rimba
persilatan.
"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal
itu? Apa nama besar kalian telah luntur?" cemooh Manusia
Dari Pusat Bumi serak.
"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening
Merah. Rahangnya jadi mengeras teramat sangat. Setapa
ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak
kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.
Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.
Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak
berdaya menghadapi kekuatan alam kegelapan milik
Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah
terpicu juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat
bertindak.
Wsss!
Makhluk jejadian yang sebelumnya merayap tak beda
cecak di dinding jurang puncak Gunung Slamet, kini
menerkam ke arah Tiga Datuk Karang. Padahal ketiga
lelaki bangkotan sesat itu masih dalam beleng-gu
keterperanjatan terhadap serangan tiba-tiba yang
menimpa seorang dari mereka sebelumnya.
Meski belum siap, mereka tetaplah para datuk yang
naluri tarungnya demikian tinggi.
"Menyingkir!" seru Datuk Kening Perak. Bertepatan
dengan teriakan tadi, didorongnya dua datuk lain ke
sampmg. Dia sendiri cepat membuang tubuh ke depan.
Seperti kelebatan bayangan, makhluk jelmaan
Pendekar Slebor merangsak lagL Datuk Kening Perak
masih bergulingan di tanah. Dia belum cukup siap
menerima terkaman susulan. Kalau saja lelaki tua itu
bukanlah datuksesat dunia persilatan, tentudadanya akan
terkoyak saat itu juga.
Crash!
Bertepatan dengan suara batu tersambar cakar,
tubuh Datuk Kening Merah melenting ringan hanya dengan
mengandalkan sentakan otot perut! Tepat di tempatnya
terbaring sebelumnya, telah tercipta lubang besar
memanjang sekitar setengah lengan. Dari kedalaman
lubang sekitar hampir dua-tiga jengkal, tampak jelas
bagaimana dahsyatnya tenaga cakaran tadi.
Datuk Kening Perak kemudian memberi isyarat pada
dua datuk lain dengan gerakkan tangan. Datuk Kening
Merah dan Ungu berlompatan gesit bagai terbang ke
arahnya. Mereka hinggap ringan nyaris tanpa suara tepat
di samping Datuk Kening Perak.
"Karang Pamungkas!" teriaknya kemudian, sebagai
pertanda bagi dua datuk lain untuk segera memadukan
kekuatan tenaga pukulan tanpa wujud tingkat teratas
mereka. Satu inti ilmu Karang yang belum lama mereka
sempurnakan!
Ketiga tokoh sesat itu cepat menyatukan telapak
tangan satu dengan yang lain, hingga membentuk
lingkaran tertutup. Menyaksikan hal itu manusia bangkai
malah menertawakan mereka keras-keras.
Tanpa mempedulikan apa maksud Manusia Dari
Pusat Bumi menertawakan ketegangan yang sama sekali
tak lucu itu, tubuh Tiga Datuk Karang tiba-tiba mencelat
berbarengan dari tempat berpijak. Mereka meluncur kaku
ke atas seperti anak panah. Telapak tangan mereka sendiri
masih melekat satu dengan yang lain, seakan ada lenaga
sembrani maha kuat merekatkan mereka satu dengan
yang lain.
Setelah meluncur sampai tujuh tombak ke atas, tubuh
mereka berpisah dengan tiba-tiba pula. Ketiganya
berpencaran dalam kecepatan yang tak kalah cepat dari
gerak meluncur ke atas sebelumnya.
Anehnya, posisi tubuh mereka sendiri masih tetap
tegak. Layaknya tiga tonggak kaku terpancang di udara.
Tenaga hentakan demikian kuat pada telapak tangan
masing-masing tak membuat posisi tubuh mereka
bergeming.
Hal itu memancing makhluk jelmaan Pendekar Slebor
untuk menerkam salah seorang di antara mereka di udara.
Seperti sebelumnya. dalam sekali hentakan kaki belakang,
binatang jejadian itu sudah meluncur ke udara. Sasarannya
adalah tubuh Datuk Kening Ungu yang mencelat lurus ke
arah utara.
Rupanya, itulah saat yang dinanti-nanti oleh Tiga
Datuk Karang sendiri.
Menyusul terkaman ke udara si makhluk jelmaan
Pendekar Slebor, masih dengan tubuh sama-sama di
udara, telapak Tiga Datuk Karang berbarengan melepas
pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas'!
"Hiaaah!"
Wusshhh!
Sulit untuk menentukan bagaimana sesungguhnya
keadaan si makhluk jelmaan Pendekar Slebor menerima
serangan balasan tak terduga itu. Di samping tak terduga,
serangan gabungan itu bukan sembarangan. Sebelum
penyempurnaan ilmu Karang saja, Tiga Datuk Karang
sanggup melebur satu bukit karang dengan pukulan
berbarengan mereka. Bagaimana pula halnya jika mereka
menggabungkan pukulan setelah mereka menuntaskan
inti ilmu Karang?
Yang terlihat pada makhluk jejadian, cuma kilatan-
kilatan berpasang bola mata ular yang tetap mengancam
meski keadaannya sendiri sedang terancam. Dalam setiap
kilat bola mata itu, seperti tersimpan limpahan hawa
membunuh. Desis puluhan ular yang bercokol di seputar
leher macan tanpa kepala itu memadati udara,
bertumbukan dengan deru pukulan tanpa wujud 'Karang
Pamungkas' dari tiga penjuru mata angin.
Jledar!
Memang sudah tak mungkin lagi bagi binatang ganjil
jelmaan Pendekar Slebor untuk menghindar dari terjangan
ketiga lawannya. Tubuhnya pun terhajar. Sekejapan terlihat
mengejang dikawal kepulan asap bergulung berbaur
kilatan cahaya merah mera-ngasi angkasa.
Sekian kejap kemudian, tubuh makhluk jejadian itu
tertelan warna hitam yang lahir setelah kilatan cahaya
merah. Selanjutnya terlihat sosoknya menukik tajam ke
bawah. Di bawah, bibir jurang bermata tajam siap
menembus tubuhnya!
Begh!
Ajaib! Punggung binatang ganjilyang semestinya telak-
telak menghantam bibir jurang, ternyata sama sekali tak
tersentuh. Ada satu selubung tenaga tak tampak telah
membentengi sekitar tubuhnya. Sehingga, belum lagi
kulitnya menyentuh permukaan bibir jurang, tubuh
makhluk itu terpantul ke atas. Dan akhirnya jatuh tanpa
tertembus bibir jurang!
Tiga DatukKarang menjejakkan kaki pula hanya
sepersekian kejap dari jatuhnya si makhluk jejadian.
"Makhluk gila," rutuk Datuk Kening Perak
menyaksikan bagaimana lawan mereka perlahan-lahan
bangkit kembali. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Bahkan
hanya sekedar goresan kecil sekalipun!
***
Menjadi jelas sudah siapa sesungguhnya yang
dihadapi Tiga Datuk Karang. Mata mereka terbuka lebar-
Iebar. Benak ketiganya bagai dikoyak kenya-taan.
Kesaktian sempurnaan mereka yang dikira menjadi kunci
kemenangan besar atas Pendekar Lembah Kutukan
ternyata tak cukup berarti bagi makhluk jelmaan cicit
buyutnya sendiri.
"Kesaktian apa yang sesungguhnya dimiliki oleh
pemuda ini?" bisik Datuk Kening Ungu, waswas.
"Sementara kakek buyutnya sendiri tak akan mungkin
berdaya menghadapi ilmu Karang Pamungkas kami. Ini
sungguh-sungguh tak bisa kupercaya......"
Sementara ketiga datuk sesat itu ternganga-nganga,
makhluk jelmaan Pendekar Slebor mulai memperlihatkan
hawa membunuhnya. Puluhan ular di leher macan tak
berkepala itu bergerak-gerak liar. Sesekali saling lilit,
seakan hendak kusut. Desisannya makin kuat, menebar
ancaman.
Bukan hanya itu. Dari sekujur tubuhnya kini
memancar keluar cahaya berkabut keperakan. Bentuknya
seperti selubung tembus pandang. Pada saat bulan hanya
sepotong di langit, selubung cahaya itu jadi demikian jelas.
Itulah satu pertanda kalau tenaga 'Inti Petir' dalam diri
Pendekar Slebor telah juga terkerahkan tanpa disadari.
Keadaan amat terdesak ketika dirinya yang terasuki
kekuatan sesat menyebabkan terpompanya kekuatan 'Inti
Petir'. Terutama ketika pukulan 'Karang Pamungkas' Tiga
Datuk Karang merejam se-jadijadinya di tubuh makhluk
jelmaan Pendekar Slebor di udara.
Itu pula sebabnya kenapa tubuhnya luput dari
ancaman maut bibir tebing runcing. Selubung kekuatan
'Inti Petir' justru membuat tubuhnya terpantul kembali,tanpa mengalami luka apalagi tertembus bibir jurang
runcing.
"Apa Iagi ini?" desis Datuk Kening Perak. Dari nadanya
tersembul sebetik keluhan yang tak pernah pantas
mengalir keluar dari kerongkongan tokoh sesat sekelas dia.
Pada saat yang sama, kebimbangan meruyak dalam
diri masing-masing anggota Tiga Datuk Karang tersebut
Satu pertanyaan besar melintas dalam benak mereka.
Mestikah mereka lari sebagai pecundang kalau kesaktian
andalan mereka sudah tak Iagi berguna?
Tanpa ada kesempatan untuk menjawab apalagi
menuntaskan kebimbangan tadi, Tiga Datuk Karang
dipaksa untuk berpencaran cepat ketiga penjuru berbeda.
Lawan nan ganjil mereka untuk kesekian kalinya
menerkam. Arahnya lurus. Persis melewati sekaligus
tempat berdiri tiga datuk sesat itu.
Cepat tak ubahnya bayangan dedemit, makhluk
jelmaan Pendekar Slebor mencoba menggorok leher Datuk
Kening Ungu dengan cakarnya terlebih dahulu. Kalau
hanya kecepatan, tentu saja orang sekelas Datuk Kening
Ungu tak akan kerepotan meski serangan lawan demikian
cepat. Lain Iagi masalahnya jika dia sendiri belum siap
menghadapi serangan tersebut. Datuk Kening Ungu
terkesiap sekedipan mata. Saat yang tak jauh berselang,
kelebatan lawan sudah teramat dekat ke arahnya.
Dengan nekat, Datuk Kening Ungu mengerahkan
puncak pukulan tanpa wujudnya di telapak tangan kanan.
Dia cepat melompat ke samping seraya melepas pukulan
bertenaga dalam tingkat tingginya. Harapannya cuma satu.
kalau beruntung tentu cakar lawan akan tertahan
pukulannya dan tubuhnya sela-mat dari sambaran cakar
maut itu. Harapannya terkabul. Desh!
Terdengar dentum kecil akibat benturan tenaga
pukulan tanpa wujud dengan cakar makhluk jejadian di
udara.
Kalau menilai bagaimana hebatnya Datuk Kening
Ungu mengerahkan puncak tenaga pukulan tanpa
wujudnya, tentu tubuh makhluk jelmaan Pendekar Slebor
di udara akan terpental. Setidaknya terkamannya akan
tertahan seketika.
Kenyataan yang terjadi justru tak bisa diterima akal
sehat Datuk Kening Ungu. Terkaman si makhluk jejadian
malah makin melesat. Entah bagaimana caranya, tenaga
hantaman pukulan tanpa wujud Datuk Kening Ungu telah
dimanfaatkan untuk menambah kecepatan terkamannya
ke sasaran lain.
Sasaran berikutnya adalah Datuk Kening Perak.
Jaraknya sekitar lima-enam tombak dari posisi Datuk
Kening Ungu sebelumnya Jarak sejauh itu bagi ukuran
datuk golongan atas tentu dapat dimanfaatkan dengan
baik untuk menghindari terkaman lawan.
Namun lagi-lagi semuanya diluar perhitungan Tiga
Datuk Karang sama sekali. Kecepatan terkaman tambahan
akibat pukulan Datuk Kening Ungu sebelumnya, memaksa
Datuk Kening Perak pun bertindak sama.
Dia tak mungkin hanya bisa menghindar, sebab lawan
demikian cepat datang. Sementara sekilasan, mata tajam
tokoh tua sesat itu menangkap kelebatan cakar lawan
mengarah ke tempurung kepalanya. Jalan untuk selamat
satu-satunya adalah menghindar sambil melepas
hantaman papakan. Persis seperti dilakukan Datuk Kening
Ungu sebelumnya! Desh!
Sekali lagi, tenaga papakan lawan dimanfaatkan
dengan cara sulit dimengerti oleh ketiga lawannya untuk
menambah kecepatan terkaman. Yang sial adalah sasaran
terakhir, Datuk Kening Merah. Kelebatan gerak lawan di
udara demikian tajam mengarah dirinya. Terlalu sulit
baginya untuk menghindar. Juga tak mungkin lagi baginya
untuk melepas hantaman balasan.
Crash!
"Akh!" Hanya suara tertahan itu yang terdengar dari
mulut Datuk Kening Merah. Kesialan kedua setelah
robeknya sebelah bahunya telab menyebabkan tokoh tua
itu mengejang di tempat. Matanya mendelik. Kedua bola
mata kelabunya seperti hendak melejit keluar dari ceruk
cekung itu. Ada garis-garis menggidikkan tergambar pada
mimik wajah si tua sakti go-longan sesat itu. Gambaran
mimik orang yang merangkaki detik-detik terakhir
nyawanya!
Tak lama setelah mengejang tegang, tubuh Datuk
Kening Merah ambruk ke tanah. Ketika meninju tanah,
terbelahlah tempurung kepala lelaki sesaat itu menjadi tiga
bagian. Seluruh isi kepalanya berhamburan bersama
cipratan darah!
Dua datuk lain seperti tertenung di tempat. Mereka
terbelalak sebesar-besarnya. (Kalau ingin kentut,
barangkali tak bisa keluar juga)!
Saat-saat lengah seperti itu, datang lagi kelebatan
cepat dari makhluk jelmaan Pendekar Slebor. Meluruk,
laksana ketergesaan sambaran halilintar pada pucuk
kelapa.
Kepala keduanya menoleh berbarengan begitu
mendengar dengung khas menggempur nyali. Untuk
menghindar, mereka tak punya kesempatan lagi. Sampai....
Crash crash!
Tanpa sepenggal teriakan pun. leher keduanya
terbabat habis. Mereka cuma laksana ilalang tertebas
parang. Anehnya, tubuh dua datuk tersebut tak segera
menukik ke bawah. Keduanya beberapa saat mematung
seperti tinggal mengucurkan darah. Baru dalam beberapa
helaan napas kemudian, tubuh tanpa kepala dua datuk
sesat itu mencium bumi.
Malam kian lelah. Dini hari muncul diam-diam.
Di puncak Gunung Slamet, sesosok tubuh tampak
berubah perlahan-lahan. Dari wujud seekor hewan tak
masuk akal, kembali ke bentuk asalnya, se-rang pemuda
yang lampak demikian letih dan kacau-balau. Menyusul
sempurnanya wujud pemuda itu kembali Pendekar Slebor
tersungkur ke bumi. Wajahnya tampak kosong melompong.
Matanya terhujam lengang ke bulan sepenggalan di
angkasa malam.
Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut
Buncit tiba menjelang pagi. Ki Saptacakra membopong
tubuh lunglai Mayangseruni di bahunya. Mereka datang
ketika ksatria muda tanah Jawa masih tergugu.
"Kerjaan siapa ini?" gumam Ki Saptacakra terpana-
pana menyaksikan tiga bangkai Tiga Datuk Karang yang
sesungguhnya sudah teramat sulit untuk ditandinginya
karena telah menyempurnakan kesaktian.
Sedangkan si perempuan uzur setengah edan malah
sibuk melambai-lambaikan telapak tangannya di depan
wajah Andika yang masih terpaku. "Kau baru kena sawan,
Anak Muda Slompret?" bisiknya sem-barangan.
Sementara, manusia bangkai tumpangan roh Manusia
Dari Pusat Bumi telah tak ada Iagi di tempatnya....
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera terbit!
SERIGALA-SERIGALA LAPAR
0 comments:
Posting Komentar