"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 25 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR

Ajian Sesat Pendekar Slebor

 

AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam episode

Ajian Scsat Peodekar Slebor


1


Hari datang dan pergi. Waktu seperti tak pernah

singgah di mana pun. Semuanya berlalu begitu saja, seolah

tak pernah terjadi apa-apa.

Kemarau panjang yang selama beberapa bulan

terakhir merongrong tanah Jawa, hari ini tampaknya mulai

berakhir dengan berduyun-duyunnya awan kelabu gelap di

langit. Meski mendung tak terlalu pekat, namun memberi

sedikit harapan akan datangnya hujan.

Dan ujian kekeringan untuk tanah Jawa nan subur

akhirnya berakhir. Butiran air jatuh juga tipis-tipis. Tanah

kering tertimpa gerimis. Debu halus sesaat mengapung di

udara. Selanjutnya, mereka tak bisa lagi bertebaran

seenaknya. Bumi basah, menyebar bau tanah. Rahmat

telah datang rupanya. Setitik air seperti limpahan berkah

tak terkira.

Di tengah-tengah gerimis, seseorang berjalan

terhuyung-huyung Iimbung. Langkahnya terseret. di tanah

basah. Geraknya tersuruk. Seorang pemuda berpakaian

hijau pupus dengan selempang kain ber-corak catur di

bahunya. Keadaannya begitu kacau. Rambut sebatas

bahunya raulai kuyup. Wajahnya pucat pasi, di antara

lelehan keringat bercampur air hujan.

Sebentar dia berhenti. Ditengadahkannya kepala,

serta dibukanya mulut. Rasa kering kerontang di

kerongkongan memaksa dia untuk mencoba menampung

Iangsung butiran-butiran air dan Iangit. Tenggorokannya

kemudian terlihat bergerak meneguk dengan susah-payah.

Tak lama, dia mulai beringsut kembali.

Tak jauh melangkah. Hanya sanggup memindahkan

kaki tujuh-delapan tindak, Ielaki muda itu tak kuasa Iagi

mempertahankan posisi tubuhnya. Dia terhuyung tajam

dan tersungkur.

Bumi menjadi gulita di matanya.

Pemuda Iusuh tadi merasakan dirinya terangkat

tinggi, Ialu dijerumuskan ke dalam ruang gelap gulita yang

menjulur terlampau dalam tiada dasar. Yang aneh, dirinya

justru tak merasa sedang dalam keadaan meluncur jatuh.

Sebaliknya, dirasakan dirinya meIayang deras dalam Iiang

panjang gulita tadi.

Tak ada angin melintasi permukaan kulit

sebagaimana layaknya scorang dalam kcadaan bergerak.

Itu pun ganjil nilainya. Jangankan merasakan angin di

permukaan kulit, tubuhnya scndiri tak Iagi dirasakannya.

Apakah saat itu dia masih mcmiliki tubuh?

Pertanyaan itu dirasa tak perlu dipersoalkan. Sebab,

add keganjilan lain yang sama sckali menyedot

perhatiannya. Di atas sana, tepat di Iubang Iiang panjang

gelap gulita, dilihatnya seberkas cahaya. Dia ibarat seorang

yang sedang terjatuh dalam sumur dalam dan melihat ke

mulut sumur. Di mulut lubang yang memendarkan cahaya

itu, disaksikan sendiri jeIas-jelas tubuhnya terkapar di

tanah basah. Butiran gerimis masih menggerayang di

sekujur tubuh itu. Disaksikan tubuhnya demikian

menyedihkan, terlen-tang tanpa gemik. Sementara dirinya

yang melayang deras ke bawah terus menatapi nanar ke

tubuh kembarnya di atas sana.

Semuanya kemudian berubah kembali. Seperti

panorama mimpi yang mendadak berganti. Mulut lubang

bercahaya yang memperlihatkan tubuh kembarnya

memudar dan menghilang. Kegelapan terenyahkan oleh

kekuatan tak terjelaskan. Gulita tiada. Digantikan secara

mendadak oleh selaksa benang-benang kabut dalam tata

warna mempesona. Merah, jingga, ungu, biru, hijau, dan

sekian warna yang saling menindih dalam gerak gemulai.

Meliuk berirama. Menggapai seakan sayap-sayap samar

iring-iringan bidadarL

Dirinya telah terkepung benang-benang kabut

bcrwarna-warni. Sesakkah dia? Tak ada rasa itu. Satu-

satunya perasaan yang menyeruak adalah perasaan

damai. Demikian pekat damai itu. Demikian kental. Jika dia

bisa bertanya, akan diutarakan pertanyaan; mungkinkah

ada rasa damai yang Iebih damai dari yang kini dialami?

Selanjutnya. seluruh benang-benang kabut warna-

warni tanpa ujung tanpa pangkal itu memisahkan diri di

satu bagian. Terbentuklah celah. Dari balik ceIah, perlahan

tampak wujud seorang tua berwajah teduh. Dagunya

ditumbuhi janggut sewarna Iembutnya salju sepanjang

Iehernya. Sinar matanya saja bahkan sanggup

menyejukkan perasaan si pemuda. Di keningnya terpancar

cahaya amat terang, namun tak menyilaukan. Dalam

pakaian yang sulit ditentukan warnanya karena tersamar

pendar cahaya benang-benang kabut, orang tua itu

menjulurkan sebelah tangan.

Entah bagaimana, pemuda itu menjemput begitu saja

uluran tangan si orang tua. Digenggamnya jemari itu.

Terasa ada kedamaian pula di sana. Lalu, orang tua tadi

menghelanya Iembut untuk masuk ke dalam celah.

Ketika pemuda itu makin dekat, orang tua tadi

mendadak merangkulnya. Kesejukan serta kedamaian

terasa Iagi. Lantas, telinga si pemuda dibisikinya;

"Dirimu adalah muara. Di sana sebelumnya

berkumpul, datang dan pergi Dirimu adalah dermaga,

semuanya merapat dan ingin memastikan tempat. Namun,

dirimu adalah milikmu. Muara dan dermaga itu pun

milikmu, Cuma kau yang harus menentukan apa yang

harus mengalir di muara dan apa yang harus merapat di

dermaga itu. Jangan pemah kehilangan muaramu, atau

dermagamu..."

***

"Aku jadi tidak mengerti, sebenarnya ke mana anak

muda sial itu pergi?" Terdengar cacian seorang perempuan

tua dari sebuah gubuk reyot yang diba-ngun tak jauh dari

Pantai Laut Selatan. Menyusul makian scbal tadi, terdengar

bunyi riuh rendah benda-benda yang dilemparkan di dalam

gubuk.

"Perabotan di tempat ini kenapa tidak ada yang

benar? Semuanya bau cecurut!" sambung suara

perempuan tua tadi.

"Kau sebenarnya sedang kesal sama siapa, atau

sama apa?" terdengar suara seorang lelaki tua menimpali.

"Semuanya! Termasuk kau!"

"Apa salahku fcingga kau begitu kesal padaku?"

"Karena kau... ah, sudahlah!"

Di dalam gubuk, sepasang nenek-kakek

memeributkan pepesan kosong. Sebutlah mereka tua.

Namun, semangat keduanya tampak menggebu-gebu

melebihi orang muda. Terlihat sekali dari cara mereka

bicara. Juga dari cara mereka berdiri meski keadaan punuk

mereka sudah sama-sama melengkung.

Di dekat dinding sebelah kanan pintu, tcrdapat balai

dari bilah-bilah bambu berwarna coklat matang. Di atasnya,

telentang seorang dara cantik. Matanya terpejam. Bukan

sedang tertidur. Melainkan sedang dalam keadaan tak

sadarkan diri.

Tiga-empat tindakdari balai, seorang tua berkepala

setengah botak berperut buncit duduk menekuk lutut di

atas kendil (semacam kuali) tanah liat besar yang

lertelungkup. Kepalanya terangguk-angguk memerangi

kantuk. Sebentar terdengar dengkurnya, sebentar

kemudian terdengar gumamannya. Suara ribut

pertengkaran perempuan dan lelaki tua di tempat yang

sama, seperti tak pemah mengusiknya.

Dua manusia jompo yang seru-serunya meributkan

sesuatu siapa Iagi kalau bukan Nyai Silili-lilu dan Ki

Saptacakra. Kakak beradik bangkotan, sepasang

dedengkot dunia persilatan beradat 'angot-angotan'.

Mudah diduga siapa lelaki tua Iain yang terkantuk-

kantuk di sudut ruang gubuk. Petaruh Sakti Perut Buncit

tentu saja. Sedangkan perempuan cantik yang telentang

diam di atas balai adalah Dewi Kecubung. Murid

perempuan murtad itu dalam keadaan mengkhawatirkan.

Ada pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi telah melukai

tubuh bagian dalamnya. Nyai Silili-lilu (meskipun mulut

ccrewetnya seperti kaleng rombeng dan tengiknya seperti

biang setan) berniat mengobati luka dalam perempuan itu.

(Untuk mengetahui kejadian tersebut lebih jelas, bacalah

episode sebelumnya; "Perserikatan Setan").

Sebelumnya, tubuh Dewi Kecubung telah disaIurkan

bawa murni selama beberapa saat. Satu perjuangan yang

memakan waktu agak lama mengingat pukulan tenaga

dalam tingkat tinggi yang bersarang di tubuh Dewi

Kecubung. Tenggang waktu selama penyaluran hawa mumi

itu dimanfaatkan si orang tua berperut gentong untuk

mencuri-curi tidur. Dasar kerbau!

Selesai menyalurkan hawa mumi. Nyai Silili-lilu

menyuruh Ki Saptacakra, adik kandungnya untuk mencari

beberapa tumbuhan obat-obatan. Selama Ki Saptacakra

mencari, Nyai Silili-lilu mempersiapkan alat-alatnya.

Sampai Ki Saptacakra pulang kembali, nenek bangkotan

itu belum juga menemukan pera-botan yang

dibutuhkannya. Mau cari perabotan untuk membuat

ramuan, atau mencari perabotan Ienong?

Itu pula awal pertengkaran tanpa juntrungan mereka.

"Kau jangan diam terus seperti sapi kekenyangan!

Bantu aku, Iler SIompret!"sembur Nyai Silili-lilu mendapati

Ki Saptacakra malah bersidekap di depan jidatnya.

"Tadi sudah aku tanya, kau sedang mencari apa. Tapi

mulut cerewetmu malah memakiku! Kalau aku tidak tahu

apa yang mesti kucari, bagaimana aku bisa membantu?!"

balas Ki Saptacakra sengit.

"Jadi apa maksudmu?!" Nyai Silili-lilu tampaknya tidak

mendengarkan omongan Ki Saptacakra. Masa' sudah

bicara sejelas itu masih bertanya; jadi apa maksudmu?

"Bangkotan slompret," rutuk Ki Saptacakra dongkol.

Giliran dimaki seperti itu, Nyai Silili-lilu justru bisa

nyambung.

"Kau jangan kurang ajar, ya!" bentaknya dengan mata

mendeliki adik kandungnya.

"Aku tadi tanya kau, apa yang sedang kau cari? Biar

aku bisa bantu!" tukas Ki Saptacakra.

Nyai Silili-lilu diam terbungkuk-bungkuk. Jarinya

didekatkan ke kening. Mata kelabunya menyipit.

"Iya juga ya.... Sebenarnya, dari tadi itu aku sedang

cari apa?" gumamnya, membuat Ki Saptacakra tambah

dongkol. "Ooo, anu!" sambungnya mendadak. "Aku mencari

alat untuk menggodok ramuan!"

Wajah Ki Saptacakra bersungut-sungut. Kalau cuma

itu yang dicari, sudah dari tadi dia tahu tempatnya.

Matanya segera melirik ke s udut ruangan, tepat ke arah si

orang tua buncit terkantuk-kantuk. Rupanya dia duduk

tepat di atas kendil tanah liat yang biasa digunakan untuk

menggodok ramuan obat-obatan.

Nyai Silili-lilu mengikuti gerakan mata adiknya.Ketika

tahu kendil ada di bawah pantat 'kakanda'nya, kontan

saja....

"Buncit! Bangun kau, manusia kerbau!"

Petaruh Sakti Perut Buncit terjengkang kaget.

Tubuhnya jatuh terguling ke kolong balai, dan dengkulnya

bercumbu mesra dengan kaki balai. Dia pun melintir-Iintir

seperti gasing ajaib.

***

Empat kali waktu penanakan nasi berlalu. Nyai Silili-

lilu telah selesai menggodok ramuan obat untuk Dewi

Kecubung. Setelah dingin, ramuan itu pun sudah

dibalurkan ke bagian tubuh Dewi Kecubung yang terkena

pukulan tenaga dalam. Sekarang tinggal menunggu dia

sadar. Setelah itu, baru menyuruhnya untuk meminum

ramuan lain.

Sementara menunggu, ketiga bangkotan sakti itu

duduk-duduk di anak tangga gubuk. Tempat itu (yang bau

cecurut, kata Nyai Silili-lilu) milik Petaruh Sakti Perut Buncit

Di sanalah dia selama ini mengasingkan diri. Di tempat itu

pula dia mendidik tiga orang murid. Sayang pada akhirnya,

ketiga murid itu malah mendurhakainya.

Malam hampir menutup usia. Di kejauhan, merayap

rembang fajar dengan warna merah keemasan. Di

kejauhan terbangun paduan suara satwa yang riang

menyambut datangnya hari baru. Ditingkahi debur lamat

ombak Pantai Laut Selatan. Gubuk Petaruh Sakti Perut

Buncit memang tak terlalu jauh dari bibir pantai.

Kekeringan telah dituntaskan oleh hujan sehari kemarin.

Satwa memuja-muja untuk rahmat itu.

Dengan hari ini, telah tiga malam dua hari Pendekar

Slebor tak kembali. Terakhir, anak muda sakti dari Lembah

Kutukan itu diperintah Ki Saptacakra untuk mengurus

mayat Katak Merah dan Mata Dewa Kematian secara

layak. Hanya untuk urusan mengubur jenazah saja, tentu

tidak mungkin memakan waktu selama itu. Itu sebabnya,

Nyai Silili-lilu mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Beda Nyai Silili-lilu, beda pula Ki Saptacakra

menanggapi peristiwa itu. Dia kenal buyutnya. Rasanya

seperti mengenal satu bagian dirinya. Seperti mengenal

tangan sendiri misalnya. Asal jangan seperti mengenal

bokongnya saja! Pemuda itu bukan Iagi anak ingusan yang

perlu terlalu dikhawatirkan. Bekal ilmu kanuragan dan

kedigdayaannya bisa diandalkan. Apalagi kalau mengingat

betapa cerdiknya dia Selagi mengingat keenceran otak cicit

buyutnya, Ki Saptacakra mendongakkan dagu. Dia merasa

bangga keturunannya tidak memiliki otak udang. Setidak-

tidaknya, dia bangga kecerdikan dirinya diturunkan kepada

Andika, di samping kesaktiannya.

Namun, bukan dengan begitu Ki Saptacakra tak

menjadi cemas. Sesungguhnya dia pun mulai merasakan

adanya ketidak beresan pada malam yang sama ketika

Nyai Silili-lilu bermimpi. Tingkat makrifat dalam diri orang

tua itu membuat hati kecilnya demikian peka. Dia

merasakan bahaya tengah dihadapi cicit buyutnya. Tapi,

sebagai seorang sesepuh dunia persilatan, dia sudah

dapat mengukur kemampuan cicitnya dalam menghadapi

bahaya itu. Hatinya tetap yakin, si anak muda dapat

mengatasinya.

"Ke mana anak muda itu, ya?" Nyai Silili-lilu

bergumam. Selama mengobati luka dalam Dewi Kecubung,

selalu saja dia menyebut-nyebut perihal Andika terus. (Dua

malam satu hari menyebut-nyebut terus nama cicit

kemenakannya, apa tidak gila?) Sebenarnya patut diakui

kalau hati perempuan tua itu tetap Iembut. Cuma karena

sifatnya memang agak edan-edanan, kelembutan hatinya

terkadang jadi tak kentara.

Tanpa mengatakan pada adik kandungnya secara

langsung, Nyai Silili-lilu kemarin malam sempat bermimpi

ketika dia tertidur kelelahan sehabis menyalurkan hawa

murni ke tubuh Dewi Kecubung. Dalam mimpi, disaksikan

cicit kemenakannya menggapai-gapai lemah. Rintihannya

memelas. Itu yang menyebabkan pikirannya terusik terus.

"Aku juga sebenarnya sedang memikirkan hal itu,"

timpal Petaruh Sakti Perut Buncit sambil mengelus-ngelus

perutnya penuh perasaan. Jangan percaya kalau dia benar-

benar sedang memikirkan Pendekar Slebor. Itu kan cuma

akalnya untuk menyenangkan hati Nyai Silili-lilu. Tangannya

itu menjadi tanda kalau dia sebenarnya justru sedang

membayangkan sepotong ayam hutan bakar!

"Kau terlalu mencemaskan dia, Ni," timpal Ki

Saptacakra. "Toh, dia bukan anak kemarin sore Iagi...."

"Bagiku, dia tetap anak kemarin sore!" bantah Nyai

Silili-lilu.

"Iya. Kemarin sore...," sambung Petaruh Sakti Perut

Buncit sambil membayangkan makanan yang 'kemarin

sore' di makannya.

Sebelum ribut-ribut dua adik-kakak dedengkot dunia

persilatan itu pecah Iagi, ketiganya melihat seseorang

datang terseok-seok. Orang itu pemuda yang ditunggu-

tunggu mereka, Pendekar Slebor!

Nyai Silili-lilu menubruk tubuh Iusuh, Iemah dan Ietih

cicit kemenakannya. Dirangkulnya pemuda itu erat-erat.

Bersemangat. Meski ocehannya saat itu menjengkelkan

sama sekali siapa pun yang mendengarnya. Tetap, tak bisa

disangkal ada kesan mengharukan. Terutama ketika mata

kelabu itu menahan genangan air mata yang

menggelantung. Sekali Iagi menjadi jelas, hati seorang

wanita Nyai Silili-lilu memang tak bisa dibunuh oleh masa.

Tak pula sifat 'minta ampunnya'.

"Buju busrut! Apa yang terjadi dengan dirimu, Anak

Muda Slompret! Kenapa kau bau sekali?! Maksudku,

kenapa kau demikian berantakan?" cecar wanita tua

bangka itu penuh semangat dan kehangatan.

Andika tak menjawab. Wajahnya pasi, seolah

darahnya telah terperah. Bibirnya yang terpecah-pecah

ingin mengatakan sesuatu, tapi pita di tenggorokannya

seperti terikat ketat. Setelah itu, dua bola matanya tergulir

ke atas. Dia terkulai pingsan. Nyai Silili-lilu kerepotan

menahan tubuh kekar pemuda itu.

"Eee!" Nyai Silili-lilu berteriak-teriak kelimpungan.

"Kenapa baru bertemu, kau sudah mau merepotkanku,

Slompret!" maki si perempuan uzur seraya terbungkuk-

bungkuk menahan tubuh cicit kemenakannya.

Ki Saptcakra segera membantu. Dipapahnya Andika

masuk dalam gubuk. Lelaki tua itu sudah bisa membaca

cicit buyutnya terluka dalam yang parah. Dia harus segera

dirawat, pikirnya. Pekerjaan baru untuk Nyai Silili-lilu

tentunya!

***

2


Pagi mengendap-endap munc uL Matahari telah

beranjak naik. Smarnya tak begitu lancang. Malah terasa

hangat bersahabat. Tanah basah karena hujan seharian

kemarin, mengepulkan uap tipis ketika disiram sinar

matahari muda.

Ayam-ayam sudah malas berkokok. Tapi, ombak tak

letih-Ietih mendaki pasir pantai. Sinar matahari merayapi

gelombang demi gelombang di seluruh permukaan laut,

mengantarnya menuju tepian.

Pendekar Slebor tersadar. Yang mula-mula di-

saksikannya adalah (naas) perut Petaruh Sakti Perut

Buncit. Benda apa itu? Apa aku telah mati dan yang

kusaksikan sekarang adalah batu besar dari neraka?

Mungkin begitu pikirnya.

Sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan memegangi

kepalanya yang masih terus berdenyut-denyut, Andika

berusaha bangkit. Dia baru sadar kalau Petaruh Sakti Perut

Buncit tengah duduk menunggu di sisinya ketika orang tua

berperut boros itu membantunya bangkit.

"Kau sadar juga, Anak Muda!" seru Petaruh Sakti

Perut Buncit. "Apa yang telah terjadi pada dirimu

sesungguhnya?" susulnya.

Seperti tak mendengar pertanyaan menggebu-gebu

lelaki tua buncit itu, Andika malah menyipitkan mata

karena silau oleh cahaya matahari yang mengintip masuk

dari sela-sela dinding kayu.

"Di mana aku?" desahnya, balik bertanya.

"Kau di tempatku."

"Apa yang terjadi?"

"Eih, mana aku tahu?!" lengak Petaruh Sakti Perut

Buncit.

"Mana Ki Buyut dan Uwak Silili?"

"Auk... Katanya mereka harus pergi segera setelah

mereka mengobati Iuka-Iuka dalammu. Ada hal penting,

kata mereka. Hal penting tai kucinglah! Masa' aku disuruh

menungguimu di sini?"

Andika tak mau mendengarkan gerutuan Petaruh

Sakti Perut Buncit. Dia segera bangkit dari tikar pandan

tempatnya tergeletak sebelumnya. Di satu sudut ruangan

di atas balai, Dewi Kecubung belum juga sadarkan diri.

Andika melihatnya sekilas. Hanya karena pikirannya masih

diusik oleh kejadian yang menimpanya belakangan, anak

muda itu jadi tidak begitu memperhatikan.

Dengan berdiri masih Iimbung, diingat-ingatnya

kejadian yang telah menimpanya. Semua kejadian Ialu

kembali dalam benaknya. Dia ingat, terakhir dia bertarung

dengan Amitha. Amitha yang berubah menjadi hewan

jejadian menakutkan telah menyorot matanya dengan

bersit cahaya. Lalu semuanya hanya terasa seperti siksaan

maha hebat yang dipadatkan ke dalam dirinya. Setelah itu,

Andika tak ingat apa-apa.

Entah berapa lama dia pingsan. Sewaktu sadar,

dirasakan tubuhnya seperti Iuluh-Iantak dari dalam. Andika

berusaha susah-payah kembali ke Pantai Laut Selatan. Di

tengah perjalanan, dia kembali tak sadarkan diri. Saat

itulah dia mengalami kejadian gaib. Di mana dia merasa

rohnya telah keluar dari jasad dan melanglang ke tempat

yang belum pemah dipijaknya seumur hidup.

Anak muda berhati baja itu sadar kembali ketika

orang tua gaib yang ditemuinya selesai membisikkan

kalimat-kalimat tak dimengerti. Untuk memikirkan seluruh

alur kejadian tersebut, dia masih belum mampu. Tubuhnya

masih begitu lemah. Hanya ada satu yang terpikir dalam

benaknya saat itu. Kembali ke tempat Petaruh Sakti Perut

Buncit. Dia berharap Nyai Silili-lilu bisa memberi

pertolongan memulihkan keadaan tubuhnya kembali.

"Aneh...," bisik Pendekar Slebor manakala teringat

pada kejadian gaib yang dialami.

"Siapa yang aneh?" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit

di belakangnya.

Kepala si anak muda menggeleng.

"Tidak apa-apa," hindarnya. Masih ada keraguan

dalam dirinya untuk menceritakan kejadian itu pada

Petaruh Sakti Perut Buncit. Bisa saja orang tua berperut

gentong itu hanya menganggap kejadian tersebut sekadar

pengaruh luka dalam Andika. Masih lebih baik begitu.

Bagaimana nanti Andika malah dianggap kurang waras?

Tapi, ada semacam dorongan dalam diri Pendekar

Slebor untuk mengungkapkan hal itu. Tidak pada Petaruh

Sakti Perut Buncit. Tidak bisa. Buyutnya, Ki Saptcakra

mungkin bisa. Tapi, ke mana orang tua itu?

"Mereka tak bilang ke mana hendak pergi?" tanya

Andika seraya menoleh perlahan pada orang tua buncit di

belakangnya.

"Sudah kubilang, mereka 'ngeloyor' begitu saja seperti

dua gumpalan kentut! Aku jadi sebal!"

"Kau bilang tadi mereka mengatakan tentang sesuatu

yang penting, Pak Tua Buncit?"

"Ho-oh, tuh!"

"Penting'bagaimana?"

"Auk, tuh!"

"Pergi ke mana mereka? Dan hal penting apa?"

gumam Pendekar Slebor seraya mengurut kening yang

masih saja berdenyut-denyut.

"Auk, tuh!" jawab Petaruh Sakti Perut Buncit, padahal

Andika tidak bertarrya padanya.

"Bagaimana dengan perempuan itu?" sus ul Pendekar

Slebor, ketika dia menyaksikan Dewi Kecubung di atas

balai. Untuk kedua kalinya.

Lagi-lagi jawaban yang keluar dari mulut Petaruh Sakti

Perut Buncit sama dengan sebelumnya...

"Auk, tuh!"

Benar-benar brengsek!

Pendekar Slebor hendak memeriksa keadaan Dewi

Kecubung. Petaruh Sakti Perut Buncit tanpa perasaan

berkata, "Sudah tak perlu dikutak-kutik perempuan itu. Dia

sudah diurus Silili-lilu. Kau tak perlu 'melakukan' apa-apa

Iagi!"

Andika mendengus mangkel. Kepalanya jadi

berdenyut-denyut Iagi. Sialan! Hatinya memaki.

Petaruh Sakti Perut Buncit mendekati pintu keluar.

"Mereka tampaknya sudah tiba," katanya santai.

Andika melirik orang tua itu. Dia sama sekali tak

mendengar langkah orang datang. Tapi, tua bangka itu

tampaknya tidak keliru. Sebab tak lama berselang,

terdengar s uara kaleng rombeng Nyai Silili-lilu. Telinga

orang tua ini hebat juga, puji Pendekar Slebor dalam hati.

Gedubrak!

Andika terperanjat. Pintu gubuk dihempas seseorang

dari Iuar tanpa tedeng aling-aling. Setan mana yang sedang

mengamuk? Pikirnya.

Nyai Silili-lilu masuk bersama semprotan mulut 'sakti'-

nya.

"Dasar anak muda tolol, dungu, otak udang, otak

jangkrik, otak-otak!" makinya di depan hidung sang cicit

kemenakan. Orang yang mendapat semprotan ternganga-

nganga tak mengerti. Mengedip pun tidak.

Apa-apaan ini? Rutuk Pendekar Slebor. Dia tak

mengerti kenapa tak ada angin tak ada hujan perempuan

tua itu memarahinya? Seingat Andika, sewaktu dia tiba di

tempat ini, Nyai Silili-lilu menyambut dan memeluknya

sedemikian rupa. Sekarang, kenapa dia dimaki-maki?

Membingungkan.

"Kenapa...."

"Diam!" bentak Nyai Silili-lilu. baru saja Pendekar

Slebor hendak bertanya. "Percuma saja se'gambreng' orang

persilatan menjulukimu dengan nama besar. Menjaga

benda kecil saja kau tidak sanggup! Tidak sanggup... gup...

gup!" gempur nenek sewot itu Iagi. Ludahnya sampai

bertebaran ke segenap penjuru.

"Benda apa maksudmu?" Andika tak bisa terima. Dia

tak sudi diomeli seperti bocah ingusan salah beIanja.

Biarpun yang mengomel saudara kandung buyutnya

sendiri, dia tetap tak bisa terima. Ini namanya semena-

mena, protesnya.

"Benda apa?" Mata Nyai Silili-lilu membesar. Besar

sekali. Dipelototinya Andika persis di depan wajah pemuda

itu. Meski untuk itu dia harus bersusah payah meluruskan

punuk melengkungnya.

"Kau pakai tanya benda apa padaku?!" Urat leher

kendor perempuan tua itu pun makin tertarik-ulur, macam

benang layangan.

Ki Saptacakra mcnyusul masuk gubuk.

"Biar aku yang tanyakan anak ini!" selanya. Lain

disambarnya pangkal lengan Andika. Anak muda itu

diseretnya keluar. Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut

Buncit mengekori di belakang. Padahal, Ki Saptacakra

bermaksud menanyakan secara empat mata pada

buyutnya. Sebab, kalau amukan mulut Nyai Silili-lilu

dibiarkan terus, persoalannya jadi lam-bah ruwet.

"Katakan padaku, apakah kau masih menyimpan

kalung milik salah seorang murid si Buncit?" tanya Ki

Saptacakra setibanya di luar gubuk. Andika menyipitkan

mata karena terjangan sinar matahari ke ma-tanya. Dia

masih belum bisa cukup jelas melihat mimik wajah Ki

Saptacakra. Namun, dari nada bicaranya yang lurus dan

bertekanan tampak sekali orang tua sesepuh dunia

persilatan itu sedang bersungguh-sungguh.

Di belakang Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu berdiri tak

bisa diam. Kepalanya terayun ke kanan dan ke kiri seperti

seekor burung Kakatua. Dia masih belum puas memaki-

maki Andika. Untung wajah sangar Ki Saptacakra saat itu

membuatnya masih bisa sedikit menahan mulut.

Andika cepat memeriksa balik baju di bagian ikat

pinggangnya. Wajahnya mengeras, ketika tangannya tak

menemukan apa-apa.

"Ke mana kalung itu?" desisnya.

"Jadi selama ini kau membawa kalung itu?"

Pendekar Slebor mengangguk, membenarkan.

"Kini benda itu tak ada Iagi padamu. Artrnya, kalung

itu hilang," tandas Ki Saptacakra menyimpulkan.

Sekarang, Pendekar Slebor baru mengerti kenapa dua

orangtua kakak-beradik itu pergi untuk satu urusan

penting. Mereka tentu telah memeriksa pakaian Pendekar

Slebor ketika anak muda itu pingsan. Karena tak

menemukan benda yang dicari, mereka mengira kalung itu

terjatuh. Lalu mereka pun mencoba mencarinya.

Sementara itu, Nyai Silili-lilu terus mendengus-dengus.

Karena tak juga mendapat kesempatan memaki-maki

Andika Iagi, dia jadi kesal sendiri. Tubuhnya berbalik

dengan wajah berlipat. Dia Iebih baik masuk ke dalam

gubuk dan melabrak perabotan bau cecurut milik Petaruh

Sakti Perut Buncit. Untuk pelampiasan!

"Ki Buyut telah mencarinya?" serbu Andika, merasa

bersalah. Dia pun berpikir kalung itu mungkin terjatuh.

"Ya," jawab Ki Saptacakra singkat. Dari wajah nya,

Pendekar Slebor bisa menilai bahwa lelaki tua itu tak

pernah menganggap remeh hilangnya kalung tersebut.

Sebab, tak biasanya dia bersikap begitu kaku.

"Tidak kami temukan. Meski seluruh tempat

sepanjang perjalananmu ke sini telah kami telusuri,"

tambah Ki Saptacakra.

Tiba-tiba Pendekar Slebor menjadi demikian masygul.

"Tentu telah ada yang mencurinya dari balik

pakaianku ketika aku tak sadarkan diri di tempat

pertarungan dengan lelaki India itu...," gumamnya geram,

nyaris tak kentara. Tentulah orang yang telah mencuri

kesempatan dalam kesempitan itu adalah orang yang telah

merampas kalung milik Dewi Kecubung dan Mata Dewa

Kematian pula!

"Kutu kuprel slompret! Kita kecolongan!" teriak Nyai

Silili-lilu dari arah belakang, mengagetkan Pendekar Slebor.

Andika menoleh cepat. Begitu juga Ki Saptacakra. Di

depan pintu gubuk, Nyai Silili-lilu sedang mencak-mencak

sampai rambutnya kacau-balau. "Perempuan itu sudah tak

ada Iagi di balai! Kampret-kampret-kampret! Khoek...

cueh!"

***

3


Tak pelak Iagi, kalung di tangan Pendekar Slebor telah

dicuri oleh Tiga Datuk Karang, simpul Ki Saptacakra. Bagi

orang tua berjuluk Pendekar Lembah Kutukan itu, tak ada

yang lebih mengkhawatirkannya sampai saat ini kecuali

dikuasainya kembali tiga kalung milik ketiga murid murtad

Petaruh Sakti Perut Buncit. Apa pasalnya?

Ketiga benda itu ternyata adalah kunci tempat

penyimpanan rahasia benda-benda pusaka milik Petaruh

Sakti Perut Buncit. Untuk membuka tempat rahasia dalam

lubang di bawah karang Pantai Laut Selatan, ketiga benda

itu harus disalukan. Jika ketiganya telah menjadi satu,

maka fungsinya pun berubah. Tidak sekedar kalung

semata, melainkan telah menjadi kunci pembuka tempat

rahasia penyimpanan benda-benda pusaka hasil taruhan

Petaruh Sakti Perut Buncit.

Di antara benda-benda pusaka di dalam sana,

beberapa di antaranya adalah kitab-kitab kanuragan.Tiga

kitab telah dicuri oleh tiga murid murtad. Sementara di

antara sisa kitab tersebut terdapat Kitab Pamungkas Ilmu

Karang. Di situ letak seluruh kekhawatiran Ki Saptacakra.

Seperti telah diketahui, Kitab Pamungkas Ilmu Karang

sebenarnya milik tiga musuh besar Pendekar Lembah

Kutukan beberapa puluh tahun silam. Mereka Tiga Datuk

Karang. Karena khawatir ketiganya akan menjadi ancaman

amat berbahaya bagi dunia persilatan jika sempat

mempclajari kitab tersebut, Ki Saptacakra merencanakan

siasat cerdik. Bersekutu dengan Petaruh Sakti Perut Buncit

yang kala itu menjadi kekasih kakaknya, Ki Saptacakra

menantang ketiga tokoh sesat itu untuk bertanding adu

kesaktian dengan mempertaruhkan kitab sakti.

Pendekar Lembah Kutukan dan Petaruh Sakti Perut

Buncit berhasil memenangkan pertarungan. Keduanya

dengan begitu berhasil mendapalkan Kitab Pamungkas

Ilmu Karang.

Setelah menghilang selama puluhan tahun, Tiga

Datuk Karang muncul kembali. Mereka memenuhi

undangan tiga murid murtad yang merencanakan

pembentukan perserikatan tokoh-tokoh sesat. Rupanya

rencana itu dilihat Tiga Datuk Karang sebagai satu

kesempatan untuk mendapatkan kitab pusaka mereka

kembali. Jika hanya mereka bertiga mencoba merebul,

kembali kitab pusaka tersebut dari tangan Pendekar

Lembah Kutukan, dan Petaruh Sakti Perut Buncit, hal itu

tidak akan tercapai. Mereka akan dikalahkan kembali

seperti kejadian puluhan tahun lalu. Namun, jika ada

beberapa tokoh sesat Iain yang bergabung dan hernial

mengenyahkan keluarga besar Pendekar Lembah Kutukan,

maka kesempatan Tiga Datuk Karang untuk mendapatkan

kembali kitab pamungkas mereka akan terbuka lebar-

lebar!

Semua itu dijelaskan secara gamblang dan singkat

pada cicit buyutnya, Pendekar Slebor.

Kini, Pendekar Slebor dan tiga orang tua sakti tiba di

bukil karang besar yang menjorok ke Pantai Laut Selatan.

Setelah mengetahui kalau Pendekar Slebor benar-benar

kehilangan kalung yang dipegang-nya, Ki Saptacakra

segera memutuskan untuk memeriksa tempat

penyimpanan rahasia di sana.

Meski tidak ada tawaran atau permintaan untuk ikut

dari Pendekar Lembah Kutukan, si anak muda sakti cicit

buyutnya mengikuti dari belakang. Biar bagaimanapun,

Andika merasa bertanggung jawab atas hilangnya kalung.

Itu berarti pula, dia pun merasa bertanggung jawab alas

kcamanun tempal penyimpanan rahasia.

Kalau sampai Kitab Pamungkas Ilmu Karang benar-

benar raib dari tempatnya, apa jadinya? Bisik Pendekar

Slebor di hati. Tentunya buyutnya akan marah besar

padanya. Sebab, menurut keterangan Ki Saptacakra

sebelumnya, kitab tersebut menjadi kunci penentu

kemenangan mereka lerhadap Pendekar Lembah Kutukan.

Siapa tahu Andika akan dijadikan perkedel oleh orang tua

sakti itu. Apalagi kalau ingat Nyai Silili-lilu. Kemarahan

perempuan bangkotan itu bagi Andika lebih menyeramkan

dari gempa bumi ditambah angin topan, ditambah

kebakaran, dan segala macam!

Anak muda itu jadi meringis-ringis sendiri mem-

bayangkannya.

Selain Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut buncit

dan Nyai Silili-lilu tak ketinggalan ikut bergegas menuju

tempat penyimpanan rahasia. Tak ikut adalah keanehan

yang paling aneh bagi mereka. Petaruh Sakti Perut Buncit

tentu saja berkepentingan dalam hal itu. Nyai Silili-lilu? Tak

peduli berkepentingan atau tidak! Tak peduli dia cuma jadi

sumber kebisingan atau bukan! Dia harus ikut. Meski bagi

Pendekar Slebor, keikut sertaan perempuan tua bangka itu

bisa menjadi kiamat!

Keempat orang yang berlari cepat beriringan seperti

pernah terjadi sebelumnya itu sampai di tujuan. Ki

Saptacakra tiba paling dahulu. Tak seperti sifat biasa Ki

Saptacakra yang dikenal Andika selama ini. orang tua itu

tak berkata sepatah pun. Tak ada omongan usil dan

makian penyebab telinga Pendekar Slebor menjadi merah

matang. Wajahnya bahkan terus saja mengeras. Sikapnya

seolah gunung merapi tenang. Di balik ketenangan itu,,

sctiap saat bisa termuntah lahar panas!

Untuk kedua kalinya, Andika terpaksa turut Ki

Saptacakra untuk masuk ke mulut lubang berliang panjang

di bawah kaki bukit karang yang bagian atasnya menjorok

ke laut. Liang di dalamnya sempit, rendah dan pengap.

Sungguh tempat yang benar-benar tak ingin dikunjungi

untuk kedua kali kalau tidak terpaksa.

Biasa, Nyai Silili-lilu dan 'sang kekasih'nya cukup

menanti di luar. Nyai Silili-lilu memang lebili suka mengatur

dengan 'kiwir-kiwir' bibir sekendor gombalnya. Kalau

urusan yang agak sedikit memayahkan. dia cuma bisa

mencibir.

Setelah merayapi lorong Hang panjang, Ki Saptacakra

dan Pendekar Slebor akhirnya sampai di ruang lapang

berbcntuk kubah gelap gulita.

Ki Saptacakra mendekati satu lantai ruang. Di sana

tcrdapat pintu penyimpanan rahasia.

"Pintu ini telah terbuka," desisnya meninggi, entah

pada siapa.

Andika tak bisa bilang apa-apa. Dia hanya menelan

ludah ngeri-ngeri. Gawal, pikirnya. Sebentar Iagi, tentu

orang tua itu akan habis-habisan mengamukinya!

"Aku harus memastikan apakah Kitab Pamungkas

Ilmu Karang itu masih ada," ucap Ki Saptacakra kembali.

Sekali ini, Andika memberanikan diri untuk

mengajukan pendapat.

"Tapi, Ki Buyut. Bagaimana kau bisa memastikan,

sementara keadaan di sini begitu gelap?"

Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Ki

Saptacakra malah menyuruh pemuda itu menggantikan

tempatnya. Sementara hatinya bertanya-tanya tak

mengerti, Andika menuruti perintah kakek buyutnya.

Dan belum-belum, mulut ceriwisnya tak bisa ditahan.

"Biarpun aku menggantikanmu, aku tetap tak bisa

melihat apa-apa seperti kau juga, Ki. Jadi buat apa kita

bertukar tempat?" cetus Andika Iagi.

Tak ada jawaban. Andika curiga. Apa ada yang tidak

beres?

"Ki?"

Tetap tak ada suara apa-apa. Bahkan napas orang tua

itu tak didengamya.

Andika hendak mulai memanggil Iagi, tapi niatnya

terpancung. Dia terperangah oleh sinar merah terang yang

mendadak memancar dari satu tempat.

"Apa itu?" bisiknya tanpa berkedip. Lalu perlahan-

lahan, matanya mulai bisa menangkap lebih jelas cahaya

merah terang tadi. Andika dibuat terkagum-kagum

karenanya. Ternyala cahaya merah terang itu berasal dari

dua telapak tangan Ki Saptacakra yang menyatu di depan

wajahnya. Orang tua itu sendiri duduk bersila dengan mata

terpejam.

Hebat, puji Andika. Sekarang ruangan seukuran lebih

kecil dari pendapa itu menjadi cukup terang. Entah ajian

apa yang telah dikerahkan sesepuh dunia persilatan itu

hingga telapak tangannya mampu bercahaya merah

terang.

Tentu saja Andika tahu apa maksud Ki Saptacakra

melakukan itu. Andika tentu diminta untuk melihat ke

dalam tempat penyimpanan benda pusaka selama cahaya

dari tangannya menerangi ruangan. Itu sebabnya tadi Ki

Saptacakra meminta mereka bertukar tempat.

Cepat-cepat Pendekar Slebor melihat lubang persegi

yang pintunya terbuat dari lempengan baja mumi setebal

(tak langgung-tanggung!) dua jengkal setengah! Beratnya

mungkin tak kurang dari bobot seekor kerbau jantan.

Di dalam bawah pintu baja yang terkuak, dilihatnya

lubang berbentuk peti besar. Di dalamnya terdapat

beberapa kitab-kitab tua, senjata pusaka dan... beberapa

piring kayu? Andika meringis. Buat apa si tua Buncit itu

melelakkan piring-piring kayu dekil di tempat rahasia

seperti itu? Ah, pasti manusia rakus itu beberapa kali

meletakkan benda-benda pusaka sambil makan!

Andika mulai memeriksa lima-enam kitab kuno yang

masih ada di sana. Ah, timbut masalah baru sekarang.

Bagaimana dia tahu yang mana Kitab Pamungkas Ilmu

Karang? Sementara semua sampul pada kitab itu ditulis

dalam huruf-huruf kuno 'ngejelimet'? Tapi, Andika tak

kehilangan akal. Segera dikerahkannya kemampuan

otaknya untuk mengamati ciri-ciri kelima kitab kuno itu.

Kalau nanti Ki Saptacakra bertanya, dia tinggal

memaparkan ciri-ciri kelima kitab itu. Kalau di antara

kelima kitab tak ada yang menciri-cirikan Kitab Pamungkas

Ilmu Karang, berarti kitab itu memang sudah tak ada.

Setelah selesai merekam seluruh ciri-ciri kelima kitab

itu, Andika meletakkan kembali.

"Ki sudah, Ki!" tukas Andika pada Ki Saptacakra.

Orang tua sakti itu menyudahi semedinya. Ruangan gelap

kembali seketika.

"Bagaimana?" tanya Ki Saptacakra. "Ada atau tidak?"

"Tidak tahu."

"Anak muda tolol! Kenapa tidak tahu? Bukankah kau

sudah melihatnya tadi?"

"Tapi kau lupa mengatakan kepadaku bagaimana

rupa kitab itu!" sergah Andika, tak mau disalah-kan.

"Jadi aku harus mengulang semadiku, begitu?" gerutu

Ki Saptacakra.

"Tak perlu. Aku s udah menghapal ciri-ciri semua kitab

di dalam sana!"

"Bagus! Sebutkan padaku!" Pendekar Slebor

memaparkan dengan lengkap tanpa kehilangan satu detil

pun dari ciri-ciri kitab yang telah dilihatnya.

"Hhh...," terdengar desah berat napas Pendekar

Lembah Kutukan.

Andika bisa menyimpulkan kenapa Ki Saptacakra

begitu. Tampaknya kitab Pamungkas Ilmu Karang telah

hilang!

Hutan karet di wilayah Banyumas Timur adalah

tempat di mana Pendekar Slebor dan Amitha bersa-bung

nyawa. Daerah yang berbukil-bukit kecil itu ki-ni dalam

keadaan senyap. Tepat di tanah yang lebih rendah dari

tempat pertarungan keduanya, masih tergeletak dua

bangkai Katak Merah dan Mata Dewa Kematian. Keduanya

mulai membusuk. Bau menyengat menebar ke mana-

mana, mengundang lalat-lalat hutan untuk datang

berkerumun. Meski sudah menebar bau busuk, tubuh

mayat keduanya terbilang masih utuh. Hanya saja, sudah

agak membengkak karena pengaruh udara yang mulai

melembab oleh hujan. Warna kulitnya pun sudah membiru

legara. Selama dua hari, tampaknya tak ada binatang buas

kebetulan menemukan bangkai keduanya.

Ratusan, bahkan mungkin ribuan Ialat-Ialat hutan

terus berpesta-pora. Sampai akhirnya kerumunan yang

nyaris menutupi seluruh bagian tubuh dua mayat itu tiba-

tiba berhamburan. Liar menebar. Suasana berubah

menjadi padat oleh dengungan hewan-hewan kecil

menjijikkan itu.

Apa yang membuat mereka terusik? Tak ada manusia

yang datang. Tak juga hewan pemangsa. Mereka terusik

karena dengan amat ganjil salah satu tangan bangkai tiba-

tiba tersentak seperti terkena kejutan listrik!

Lalu bangkai tadi tak bergemik kembali.

Lalat-Ialat mulai memberanikan diri untuk mendekat.

Untuk kedua kalinya, terlihat sentakan cepat. Sekali ini

pada bagian dada bangkai Mata Dewa Kematian. Lalat-

Ialat yang bersikeras untuk hinggap terbang serabutan

kembali. Mereka merasakan ancaman tadi.

Dasarnya mereka adalah binatang yang keras kepala,

setelah berputar-putar sebentar, mereka mencoba hinggap

Iagi. Untuk kali ini, mereka benar-benar dibuat

berhamburan lebih jauh dalam gerak kacau ketakutan.

Karena entah bagaimana, bangkai Mata Dewa Kematian

tersentak-semak dalam irama yang cepat dan berubah-

ubah nyalang. Tak lama kemudian, mayat itu mengejang.

Bagian telapak tangan yang semula terbuka mengeras

membentuk genggaman amat kuat.

Menyusul kejadian yang tak kalah ganjil. Kelopak

mata yang mulai berlendir menjijikkan itu perlahan-Iahan

terbuka. Lalu tiba-tiba mendelik. Biji mata setengah

membusuknya mencorong ke atas seperti menatap

sesuatu yang mengerikan.

***

4


Pantai di mana Petaruh Sakti Perut Buncit tinggal

berada di sekitar wilayah Karang bolong. Sementara itu,

jauh dari tempat tersebut tepatnya di hutan kaki Gunung

Slamet, terdapat rumah besar yang dibangun di atas bahu

empat pohon jati raksasa.

Rumah itu baru beberapa hari saja dibangun oleh

orang-orang Perserikatan Setan. Mereka sengaja

berpindah dari tempat sebelumnya ke tempat baru di

sekitar hutan kaki Gunung Slamet.

Di tempat sebelumnya, mereka merasa sudah tak

aman. Ada kec urigaan kalau mus uh-musuh besar mereka

telah mengendusi tempat tersebut. Biar bagaimanapun,

mereka masih perlu berpikir seratus kali" jika Pendekar

Lembah Kutukan, Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu dan

Petaruh Sakti Perut Buncit menggerebek tempat mereka

pada saat mereka belum c ukup siap. Nama-nama tadi tak

beda dengan momok bagi kalangan sesat. Tak terkecuali

tokoh-tokoh sesat kalangan atas!

Dalam dunia kezaliman, manusia pun ternyata bisa

saling membantu. Itu terlihat pada sikap orang orang

Persekutuan Setan. Kelakutan pada ancaman tangan

penegak keadilan membuat mereka merasa saling terikat

satu dengan yang laia Mereka hanya merasa mampu

menyelamatkan diri dari para pendekar besar itu jika

mereka bergabung menjadi satu. Sikap yang sungguh

menyedihkan, terutama bagi orang-orang kelas atas seperti

mereka. Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang

berusaha ditutup-tutupi serapat mungkin satu dengan yang

lain. Mana ada di antara mereka ingin dianggap pengecut?

Empat hari sebelum Pangeran Neraka merencanakan

tipu daya terhadap Pendekar Slebor, mereka bergerilya ke

wilayah hutan kaki Gunung Slamet. Se-tibanya di sana,

mereka segera membangun markas baru. Kesaktian

masing-masing memungkinkan pembangunan rumah

besar di atas pohon berjalan singkat. Tak ada tiga hari

mereka bekerja, pekerjaan pun selesai. Markas sangar

mereka berdiri kokoh di atas empat pohon jati raksasa.

Markas di atas pohon berusia kurang dari satu

minggu itu tampak belum berpenghuni. Beberapa tokoh

anggota perserikatan sedang sibuk dengan urusan masing-

masmg. Terutama untuk mempersiapkan rencana besar

dari otak licik Pangeran Neraka yang telah mereka sepakati

bersama. Hingga saat itu, hanya mereka yang tahu

bagaimana rencana itu sebenarnya.

Siang itu, sebentuk bayangan berkelebal cepat

menuju markas baru Perserikatan Setan. Bayangan tadi

melenting-Ienting dari satu batang pohon ke batang pohon

lain. Terkadang malah pucuk pohon beranting amat tipis

dijadikan jejakan. Geraknya demikian memukau. Ringan,

lincah, dan gesit.

Kelebatan bayangan itu adalah gerakan si Gila

Petualang. Dia membopong seorang perempuan bertubuh

sekal. Perempuan itu dalam keadaan tak sadarkan diri.

Beberapa waktu lalu, orang tua sesat ini telah

mencemari sebuah sungai dengan racun. Ada satu

maksudnya melakukan itu. Dia hendak melumpuhkan

seorang yang dekat dengan Nyai Silili-lilu, Mayangseruni

alias Ratu Lebah. (Baca episode sebelumnya; "Perserikatan

Setan")!

Wanita yang telah diincarnya selama beberapa lama

kebetulan hendak meminum air s ungai yang dilewatinya.

Saat itulah si Gila Petualang cepat menebar racun

pelumpuh yang didapat ketika dia bertualang ke Tibet.

Dalam beberapa hal, orang tua penuh dendam sesat itu

memang tak suka bersusah-payah. Dia lebih sering

mengandalkan akal liciknya untuk memperdayai lawan.

Seperti halnya Pangeran Neraka.

Penculikan Mayangseruni adalah bagian dari rencana

besar yang telah dipersiapkan orang-orang Perserikalan

Setan untuk menyingkirkan Pendekar Lembah Kutukan

dan keluarganya. Sebenarnya si Gila Petualang muak

melaksanakan penculikan yang direncanakan Pangeran

Neraka. Dia merasa telah diperintah oleh orang yang lebih

muda dari usianya. Hanya karena dia menganggap rencana

itu cukup menarik baginya, si Gila Petualang pun akhirnya

setuju untuk menjalani.

Setelah mendapatkan Mayangseruni, si Gila

Petualang pun langsung membawa 'hasil tangkapan'-nya

ke markas Perserikatan Setan.

Tiba di dalam markas, si Gila Petualang menjatuhkan

begitu saja tubuh Mayangseruni dengan kasar. Sampai

terdengar bunyi berdebum cukup keras ketika tubuh sintal

perempuan ayu itu meninju Iantai kayu.

"Tunggulah kau disini, Anak Manis," kata si Gila

Petualang, dingin. Lalu diloloskannya kain pengikat

pinggang. Panjang kain itu cukup untuk mengikat tangan

dan kaki Mayangseruni ke tiang di tengah ruangan.

Ikatan selesai. Si Gila Petualang lalu menotok tiga

jalan darah di tubuh perempuan itu.

"Kau akan sadar dalam beberapa hari. Dengan

totokanku, kau tak akan bisa memutuskan ikatan itu,"

gumamnya seperti berkata pada diri sendiri.

Selesai itu, orang tua ahli berbagai racun dan

bermacam ramuan dari penjuru dunia melangkah keluar.

Beberapa hari Iagi, dia akan kembali. Saat di mana seluruh

anggota Perserikatan Setan akan berkumpul di tempat

yang sama.

***

Malam datang Iagi.

Tiga Datuk Karang berdiri membentuk lingkaran.

Wajah mereka memancarkan kepuasan. Jelas terlihat

sudut bibir mereka terungkit naik. Di tangan salah seorang

dari mereka, Datuk Kening Perak, terdapat sebuah kitab

tua. Kitab itulah yang telah berhasil mereka curi dari

tempat rahasia penyimpanan benda-benda pusaka milik

Petaruh Sakti Perut Buncit.

Bagi mereka, mencuri kitab pamungkas ilmu Karang

tak lebih dari usaha merebut kembali kitab yang telah

lepas dari tangan mereka karena sebuah taruhan konyol.

Puluhan tahun, telah puluhan tahun Tiga Datuk

Karang menanti saat seperti ini. Saat di mana mereka

mendapatkan kembali kitab inti dari kesaktian mereka.

Waktu selama itu bukanlah waktu yang singkat. Selama

puluhan tahun, mereka seperti disiksa dalam keterasingan

serta dikungkung oleh rasa kekalahan.

Kini, Kitab Pamungkas Ilmu Karang telah kembali.

Waktunya bagi mereka untuk menyelesaikan beberapa

ajian puncak dari kesaktian mereka yang belum sempurna.

"Kapan kita akan mulai mempelajari kitab itu?" tanya

Datuk Kening Ungu. Dari binar matanya, tampak sekali

kalau lelaki tua itu demikian berhasrat.

"Secepatnya. Sebaiknya, kita laksanakan malam ini

juga," jawab Datuk Kening Perak.

"Bagaimana dengan rencana Pangeran Neraka?

Bukankah dia hendak menantang tanding keluarga besar

Pendekar Lembah Kutukan purnama mendatang? Apakah

kita bisa menyelesaikan penyempurnaan ilmu Karang kita?

Sebab tanpa menyelesaikan kitab itu, kesempatan kita

mengungguli kesaktian keluarga Pendekar Lembah

Kutukan akan sangat kecil," tukas Datuk Kening Merah.

"Kalian tak perlu khawatir," kata Datuk Kening Perak,

orang paling berpengaruh di antara mereka seraya

mengangkat kitab di tangannya.'Kita tak akan

membutuhkan waktu lama untuk mempelajari kitab

pamungkas ini," tambahnya.

"Bagaimana mungkin? Bukankah Eyang Guru telah

mengatakan pada kita bahwa kitab itu butuh waktu tiga

ratus purnama untuk mempelajarinya!" ujar Datuk Kening

Ungu.

"Itu karena Eyang Guru mengatakan pada kita ketika

kita masih berusia muda....."

"Aku belum mengerti!" sela Datuk Kening Merah.

"Eyang Guru memang tidak pernah mengutarakan

rahasia ini kepada kalian, kecuahpada aku murid tertua."

"Itu tidak adil!"

"Tapi, sekarang kalian akan mendengarnya dariku!"

"Katakanlah!" desak Datuk Kening Ungu, orang tua

paling muda di antara mereka.

"Kitab ini tak akan bisa dipelajari oleh seorang berusia

di bawah lima puluh tahun. Ketika guru berbicara pada kita

tentang lamanya masa mempelajari kitab, kita masih

berusia rata-rata dua puluh limaan, bukan...?" Seperti

sengaja memancing rasa penasaran kedua saudara

seperguruannya, Datuk Kening Perak menghentikan

ucapan.

"Lalu? J angan bicara setengah-setengah seperti itu!"

sentak Datuk Kening Merah, gusar.

"Tiga ratus purnama berarti waktu dua puluh lima

tahun. Guru tidak ingin mengatakan kita membutuhkan

waktu dua puluh lima tahun untuk mempelajari kitab ini.

Tapi, kita butuh tambahan usia dua puluh lima tahun Iagi

untuk bisa mulai mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu

Karang!"

Dua datuk lain mengangguk-angguk. Kini mereka

mengerti.

"Kini usia kita telah jauh melampaui syarat lima puluh

tahun. Kita bahkan telah melampaui lima puluh tahun

kedua. Asal kalian tahu, salah satu rahasia ilmu Karang

adalah, setiap penganutnya bertambah usia lima puluh

tahun, maka ilmu itu makin mendarah daging. Sementara,

kita telah melampaui lima puluh tahun ketiga. Itu artinya

ilmu Karang yang kita pelajari akan semakin menyatu

dengan diri kita. Jika demikian, Pamungkasnya pun akan

mudah kita pelajari!"

"Hua ha ha ha...!" Mendadak Datuk Kening Ungu

tertawa terbahak-bahak. "Jadi, selama ini kita sama saja

telah menitipkan kitab sakti itu untuk diperam di tempat si

Buncit itu!" Iedeknya di antara gelak tawa.

Datuk Kening Merah mengekori tawa Datuk Kening

Ungu. Disusul Datuk Kening Perak. Lalu ketiganya benar-

benar tenggelam dalam gelak tawa meriah, mendongkel

langit malam.

***

5


Satu pekan berlalu sejak Tiga Datuk Karang bertemu.

Selama itu, ketiganya tak pemah terlihat batang hidungnya.

Entah ke mana mereka. Yang jelas, ketiga dedengkot

golongan hitam itu sedang memperdalam ilmu 'Karang'

mereka. Tentu saja untuk menyelesaikan penyempurnaan

ilmu sesat yang telah tertunda selama puluhan tahun.

Setelah menghilang bagai ditelan bumi, hari ini

mereka muncul kembali. Ketiganya berkumpul di tempat

yang sama seperti terakhir mereka lakukan.

Tiga Datuk Karang duduk bersila di atas sebatang lidi

di bawah tubuh masing-masing. Tangan ketiganya terlipat

di depan dada. Mereka seperti sedang memamerkan

kesaktian pada langit dan bumi. Kalau seminggu lalu Datuk

Kening Merah memegang Kitab Pamungkas Ilmu Karang,

kini tidak Iagi. Kitab tersebut telah ditinggalkan mereka di

tempat tersembunyi. Tempat yang sama yang mereka

gunakan untuk menyempurnakan ilmu Karang.

Artinya, dibanding serninggu lalu kini mereka jauh

lebih digdaya. Kesaktian mereka jauh melampaui waktu

sebelumnya. Dan pamer kehebatan kali ini bukanlah apa-

apa dibanding tambahan kesaktian yang baru mereka

dapatkan. Kalau hanya duduk pada sebatang lidi, sebelum

mempelajari Kitab Pamungkas Ilmu Karang pun mereka

dapat melakukannya. Satu alasan kenapa mereka

melakukan itu adalah karena untuk seminggu lamanya,

mereka berpantang untuk menyentuh bumi. Hari ini adalah

hari terakhir pantangan tersebut, tepatnya ketika matahari

menanjak naik di atas ubun-ubun.

Di sanalah letak kekhawatiran Ki Saptacakra, sesepuh

golongan lurus yang kesohor dengan julukan Pendekar

Lembah Kutukan. Kekhawatiran itu bukan menjalar di

benaknya belakangan ini saja. Puluhan tahun lalu,

kekhawatiran serupa pun pernah tumbuh. Karena Ki

Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit berhasil

mendapatkan Kitab Pamungkas Ilmu Karang, untuk

sementara kekhawatiran itu pupus.

Kini. kekhawatiran Pendekar Lembah Kutukan

menjangkit Iagi. Tentu saja bukan tanpa alasan. Kesaktian

Tiga Datuk Karang jika telah mendalami Ilmu Karang

Pamungkas, bisa dipastikan akan merepotkan Pendekar

Lembah Kutukan. Ki Saptacakra yakin, kesaktian

sempurnaan Tiga Datuk Karang akan terdongkel naik

beberapa tingkat di atas kesaktiannya.

"Hanya seminggu, hanya seminggu kita telah

menyelesaikan kitab itu. Bukankah itu luar biasa?" ucap

Datuk Kening Ungu, membuka pembicaraan.

"Ya," timpal Datuk Kening Merah.

"Jadi, kita dapat menjalankan rencana Bureksa untuk

memaksa si keparat Saptacakra berhadapan dengan kita

dalam waktu dekat. Saat rencana itu tiba, kita telah benar-

benar siap untuk merencah Saptacakra!" Datuk Kening

Perak menambahkan. Disebutnya Pangeran Neraka

dengan nama aslinya, Bureksa. Untuk usia, Pangeran

Neraka memang berada jauh di bawah mereka.

Ketiganya tergelak dengan kepala terdongak-dongak.

Tertawa, Datuk Kening Merah memulai pembicaraan

kembali.

Tepat tengah hari nanti, kita telah menyelesaikan

penyempurnaan Ilmu Karang Pamungkas kita. Apakah

sekarang tak sebaiknya kita menjajal kembali?" usulnya.

Tak muncul jawaban secepatnya dari dua datuk yang

lain. Datuk Kening Perak malah menatap adiknya itu

dengan sinar mata tajam menyorot. Sampai tiba-tiba saja

dia berseru lantang.

"Sambutlah!"

Tangannya menyentak ke depan. Kedua telapaknya

terbuka lebar-lebar. Ketika itu pula, terlepas pukulan

Pamungkas Ilmu Karang dari telapak tangannya. Tak ada

sedikit pun desiran angin, atau sambaran tenaga seperti

pukulan-pukulan biasa. IImu Karang Pamungkas benar-

benar memiliki satu andalan, yakni pukulan tanpa wujud.

Banyak lawan dapat terpedaya karenanya.

Mengetahui orang tertua di antara mereka

melepaskan ajian pamungkas tadi, Datuk Kening Merah

dengan ketangkasan yang sedikit pun tak kalah dengan

orang-orang muda, segera saja melakukan hal yang sama.

Disentakkannya tangan dengan telapak terbuka lebar.

Pukulan Karang tanpa wujud pun lahir dari kedua belah

telapak tangan Datuk Kening Merah.

Sekejapan berikutnya, terjadi ledakan amat

membuncah s uasana di antara kedua tokoh dedengkot

kalangan sesat itu. Ledakan yang mungkin lebih kuat dari

satu pedati mesiu. Lebih menggelegar dari seratus

halilintar yang menyalak bersamaan! Bertolak belakang

dengan gelegar dan ledakan yang demikian hebat, tak

terlihat sedikit pun bentuk ledakan tadi. Bahkan asap tipis

sekalipun. Seolah-olah ledakan barusan berasal dari balik

alam lain. Hanya saja, tanah kering berbatu kerikil di

bawah ledakan menjadi bersemburan ke segenap penjuru.

Kecepatan hamburan kerikil-kerikilnya sanggup melubangi

batang-batang pohon! Sebagian kerikil yang tersasarke

arah Tiga Datuk Karang dengan amat mengagumkan

dijentiki jari ketiganya. Gerakan mereka secepat terjangan

seluruh kerikil. Sampai tak ada satu pun yang sempat

menyentuh kulit mereka.

Bumi seperti digoyang gempa. Pepohonan di sekitar

mereka bergetar. Sisa-sisa daun kering akibat kemarau

berguguran dari rantingnya. Sebagian pohon yang akarnya

tak cukup sanggup bertahan, kala itu juga rebah kasar di

tanah. Membangun gemuruh tambahan dengan

debumnya.

Sementara, di pusat ledakan tercipta Iiang besar

sedalam setengah badan manusia. Lebar lingkarnya dua

kali roda pedati!

Sesaat Datuk Kening Perak dan Datuk Kening Merah

memandang lubang di tengah-tengah tempat mereka yang

berjarak sekitar delapan tombak. Selanjutnya kedua lelaki

tua itu terbahak-bahak, puas menyaksikan hasil pukulan

dahsyat tadi.

Selagi keduanya menikmati tawa riuh rendah, Datuk

Kening Ungu diam-diam menyiapkan pukulan 'Karang

Pamungkas'-nya pula. Tangannya menyen-tak ke depan

dengan telapak terbuka, seperti dilakukan dua datuk

sebelumnya.

"Waspada!" serunya.

Daya perusak tanpa wujud dari dua telapak tangannya

pun menerkam ke arah dua datuk lain. Tawa Datuk Kening

Merah dan Perak terpancung. Wajah mereka mengeras.

Mata mereka melirik siaga dalam gerakan amat cepat.

Secepatnya kedua lelaki tua itu menyambut serangan

gelap tadi.

"Hiaaah!"

Keduanya berseru bersama terlepasnya pukulan

tanpa wujud dari telapak tangan mereka.

Kejadian sebelumnya pun ierulang kembali. Sekali ini

terjadi ledakan dari dua tempat berbeda. Satu berada di

tengah jarak Datuk Kening Ungu dengan Datuk Kening

Perak. Yang lain berada di tengah antara Datuk Kening

Ungu dengan Datuk Kening Merah.

Kalau satu ledakan sebelumnya saja berakibat

demikian hebat. Dua ledakan kali ini tentu saja jauh lebih

dahsyat. Bumi langsung terasa bergetar, pepohonan

tumbang, dedaunan berguguran. Kala bersamaan, hujan

tanah bercampur kerikil tercipta. Lubang baru pun

bertambah menjadi tiga.

Begitu hingar-bingar susut dari udara, tawa Tiga Datuk

Karang membahana.

Tawa ketiganya baru terhenti ketika sebentuk suara

serak berlendir menghardik mereka.

"Pamer kesaktian yang dungu! Kenapa kalian tak

menghemat tenaga untuk menghadapi musuh kalian?!"

Tiga Datuk Karang menoleh cepat ke asal suara.

Menyaksikan siapa yang berdiri di sana, mata berkerut

mereka menyempit keterlaluan. Dari paras ketiganya

terKhat kalau mereka tak bisa mempercayai penglihatan

sendirl Sebaliknya, kerut di antara alis mata putih ketiga

lelaki tua itu menunjukkan keter peranjatan penuh.

Inilah yang disebut kemustahilan bagi tiga dedengkot

kaum sesat itu. Bolehlah mereka mengaku sebagai orang

berusia teramat lanjut yang telah banyak menelan asam

garam persilatan. Tak sedikit mereka menyaksikan

keanehan-keanehan dunia. Tapi pemandangan yang

disaksikan kali ini, sungguh tak bisa diterima. Mereka ingin

menolaknya dan menganggap telah salah melihat. Sayang,

kenyataan memang telah terbentang di depan mata.

Orang yang mereka saksikan tak lain Mata Dewa

Kematian! Bagi Tiga Datuk Karang, Mata Dewa Kematian

sudah dipastikan telah kehilangan nyawa. Sewaktu terakhir

kali mereka meninggalkan mayatnya, mereka telah mulai

mencium bau bangkai. Pembus ukan mayat saat itu telah

terjadi. Kalau kini mereka menyaksikan Mata Dewa

Kematian kembali, bukankah itu kemustahilan?

Sebagai dedengkot yang banyak tahu tentang

kesaktian-kesaktian di dunia persilatan, tentu saja mereka

mengetahui ada ilmu-ilmu yang menyebabkan seseorang

dapat hidup kembali dari kematian tak wajar. Seperti Rawe

Rontek. (Kisah tentang ilmu Rawe Rontek bisa dibaca

dalam episode: "Darah Pembangkit Mayat" dan "Bangkitnya

Ki Rawe Rontek"). Namun, mereka tahu benar Mata Dewa

Kematian bukan salah seorang penganut ilmu sesat itu.

Lagi pula, sudah sekian lama ilmu itu terkubur bumi tanpa

ada yang bisa mempelajari. Dan ilmu itu pun tidak

membuat mayat penganutnya menjadi membusuk!

Jadi siapa yang tengah mereka saksikan kini? Apa

benar-benar Mata Dewa Kematian yang nyawanya telah

mereka lempar ke neraka? Timbul dugaan dalam benak

Tiga Datuk Karang kalau orangyang dilihat mereka

kemungkinan besar adalah kembaran Mata Dewa

Kematian. Siapa tahu lelaki itu memang memiliki saudara

kembar yang tak pernah diceritakan. Atau ada seorang ahli

menyamar yang hendak memperdayai?

"Siapa kau?!" tegur Datuk Kening Perak, penasaran.

"Kau lupa?" jawab lelaki yang datang. Wajahnya sudah

membiru. Darahnya seakan telah menjadi beku dan tak

pernah mengalir kembali. Bau busuk menebar ke mana-

mana. Itu sebabnya, tubuhnya selalu dikerubungi lalat-

lalat." Kelopak matanya berlendir. Sedang kedua biji

matanya berbercak-bercak kehijauan.

"Jangan bermain-main dengan kami!" hardik Datuk

Kening Ungu, galau.

"Aku adalah orang yang telah kalian bunuh," ujar lelaki

pendatang kembali. Kalau mendengar suara serak

berlendirnya, tentu ada kebusukan di pita suara di

tenggorokan lelaki itu.

"Mata Dewa Kematian? Tak mungkin," desis Datuk

Kening Perak, menolak.

Mendengar ucapan tak sadar Datuk Kening Perak,

lelaki pendatang yang mengaku sebagai Mata Dewa

Kematian tertawa tercekat-cekat. Suara tawanya terburai-

burai berantakan. Sekaligus menggidikkan.

"Aku tak percaya! Mata Dewa Kematian telah mati!

Kami sudah memastikan itu! Jadi, katakan pada kami

siapa sebenarnya kau? Jangan jajal kesabaran kami!"

sambar Datuk Kening Merah meledak-ledak.

"Matamu jeli, Kening Merah. Aku sesungguhnya

memang bukan Mata Dewa Kematian," ucap lelaki

pendatang. Caranya menyebut nama Datuk Kening Merah

menunjukkan kalau dia tak terlalu menganggap kebesaran

nama Tiga Datuk Karang.

"Aku hanya meminjam jasadnya yang hampir

membusuk!"

Tiga Datuk Karang seperti disengat seribu lebah

mendengar ucapan lelaki pendatang. Mereka rasanya sulit

mempercayai. Tapi, kalau melihat keadaan tubuh orang itu,

mau tidak mau mereka harus meragukan kembali ketidak

percayaan mereka.

Dan seperti pendapat banyak orang, terkadang

perasaan menutup pikiran sehat seseorang. Itu pun terjadi

pada Tiga Datuk Karang. Biarpun mereka sulit untuk

menolak kenyataan yang mereka saksikan dengan mata

kepala sendiri, tapi keangkuhan mereka selaku dedengkot

dunia persilatan menyebabkan ketiganya merasa sedang

dipermainkan.

"Keparat! Kau pikir aku akan percaya begitu saja

isapan jempolmu!" geram Datuk Kening Perak.

Kemarahannya mendorong lekaki tua itu untuk melepas

pukulan pamungkas yang belum cukup lama didapat.

"Heaaa!"

***

6


Tengah hari. Sekawanan kerbau liar memasuki

perbatasan wilayah Karangbolong, selatan tanah Jawa.

Mereka berlari dalam kelompok besar. Ada tak kurang dari

lima puluh ekor. Arah lari mereka lurus terus menuju

sebuah desa nelayan. Sepanjang arah lari binatang-

binatang liar itu, debu mengepul Bergulung-gulung serta

membumbung.

Selagi berlari, mereka memperdengarkan suara-suara

hiruk-pikuk. Bukan cuma dihasilkan oleh hentakan kaki

kaki mereka. Namun juga suara dari mulut. Suara yang

lebih kentara sebagai cetusan amukan. Hidung kerbau-

kerbau itu mendengus-dengus, menghembuskan napas

beruap panas. Sesekali kepala mereka melakukan gerakan

menanduk dengan tanduk yang rata-rata panjang dan

seruncing mata belati.

Siang makin nyalang. Panas makin garang. Hari

seperti hanya akan mendukung puluhan ekor kerbau liar

yang siap meledakkan amukan hebat.

Memasuki tanah berpasir, mendekati wilayah pantai,

kelompok kerbau gelap mata yang datang entah dari mana

itu makin tak terkendah. Mereka makin kalap pada

sesuatu yang tak jelas. Apa pun diterjang mereka. Tak

peduh pohon kelapa berada di depan mereka,

diterjangnya.

Tak jauh dari posisi mereka kini, ada sebuah desa

nelayan kecil. Siang itu beberapa penduduk masih tampak

di sekitar. Kaum lelaki yang belum berangkat ke tengah

laut tampak sedang mempersiapkan jala di gubuk-gubuk

mereka. Kaum wanitanya sedang menyiapkan makan siang

untuk keluarga. Sedangkan anak-anak mereka sedang

bermain-main di luar. Beberapa bocah berusia di bawah

belasan sedang bermain bentengan.

Suara riuh-rendah di kejauhan luput dari perhatian

anak-anak itu. Mereka terus bermain dengan wajah cerah.

Mereka berteriak-teriak, terengah-engah. Berlari berhenti,

lalu berlari Iagi.

Sementara itu, kawanan kerbau liar telah memasuki

mulut desa. Satu ekor di antaranya berlari terhuyung-

huyung kehilangan keseimbangan setelah sebelumnya

mencoba menanduk kuat-kuat pohon kelapa.

Dari lendir yang mengalir di antara mulut kawanan

hewan itu, tampak jelas mereka makin mata gelap. Ada

yang menjadi penyebab mereka mengamuk, pasti. Entah

apa.

Satu gubuk tua tak berpenghuni di mulut desa

menjadi korban amukan. Dindingnya dijebol. Tiang-tiangnya

dipelantingkan oleh kekuatan tandukan mereka. Atap dan

dedaunan kelapa kering beterbangan. Tak memakan waktu

lanuCgubuk itu sudah tak berbentuk Iagi. Mereka seperti

tak puas dengan melampiaskan hanya pada gubuk tadi.

Kerbau-kerbau itu berlari kembali. Sampai akhirnya

mereka tiba di tempat bocah-bocah bermain.

Demi menyaksikan ada sekawanan kerbau siap

mengamuk, anak-anak yang sedang bermain ber-teriak

sejadi-jadinya. Mereka berhamburan ketakutan, berusaha

menyelamatkan diri.

"Kerbau ngamuk! Kerbau ngamuk!" teriak mereka,

berbenturan dengan suara amukan kawanan kerbau.

Mendengar teriakan melengking para bocah-bocah,

kaum ibu bergegas keluar. Wajah mereka berubah pucat

menyaksikan anaknya berlari keta-kutan. Di belakang

sana, ada kawanan kerbau gila mengejar. Mereka cepat

keluar, turun dari rumah panggung, menyambar cepat-

cepat anak mereka, lalu segera naik kembali.

Para nelayan lelaki tersentak dari keasyikan kerja

mereka. Ditinggalkannya pekerjaan tcrgesa-gesa. Mereka

berlarian ke tengah desa. Di sana, mereka malah disambut

oleh puluhan binatang mengamuk.

Tanpa ilmu bela diri, mereka merasa tak berguna

menghadapi amukan puluhan binatang berbadan lebih

besar dari mereka. Satu ekor saja yang mengamuk, belum

tentu bisa mereka tundukkan dengan mudah. Apalagi

puluhan?

Kontan saja mereka lari tunggang-langgang. Banyak di

antara mereka yang cepat-cepat menyergap pohon kelapa.

Lalu segera dipanjatnya. Sementara mereka meringkuk di

atas, di bawahnya menunggu dua-tiga ekor kerbau dengan

kepala menanduk-nanduki pohon.

Sebagian kerbau liar mencoba menaiki tangga rumah

panggung. Teriakan-teriakan para wanita pun bersahut-

sahutan tak beraturan. Kerbau-kerbau makin berangasan.

Yang berhasil menaiki tangga rumah segera menerjang

pintu.

Para suami yang menyaksikan tangga rumahnya

dinaiki kerbau gila, menjadi nekat. Mereka segera

mengambil dayung lalu melompat dari belakang rumah.

Dengan dayung itu, mereka berusaha menghalau kerbau

untuk turun kembali. Ada pula beberapa orang yang

menggunakan senjata. Tapi itu malah mendongkel

kekalapan kerbau menjadi lebih parah.

Sampai....

"Waaaa!"

Seorang tertanduk. Perutnya robek. Tak puas hanya

menghujamkan tanduk ke perut kobannya, kerbau terluka

itu menyentak kepala kuat-kuat ke atas. Tubuh si nelayan

malang pun terlempar ke atas lalu menimpa punggung

kerbau. Ketika jatuh ke anak tangga, kerbau luka tadi

berbalik. Ditandukinya Iagi korbannya hingga terguling-

guling ke bawah.

Menyaksikan seorang warga desa menjadi korban,

para wanita dan anak-anak makin panik. Suara tangisan

bocah dan lengkingan ngeri para perempuan bertumbukan

menjadi satu.

Ada seorang bocah berusia sekitar tujuh tahun

merengket ketakutan, sendiri di balik sebatang pohon

kelapa. Untuk menangis dia tak berani, takut kalau ada

seekor kerbau yang mendengarnya. Tidak menangis,

tubuhnya malah menjadi bergetaran hebat.

Ketakutan yang memuncak membuat dia tak bisa


menahan perasaan takut Iagi. Dilampiaskannya perasaan

takut itu dengan menangis sesegukan.

Di salah satu gubuk, seorang nelayan berteriak-teriak

pada nelayan lain.

"Anakmu, Karta! Anakmu!" serunya sambil menunjuk

ke arah bocah yang bersembunyi di balik pohon kelapa.

Nelayan yang dipanggil Karta tercengang sebentar

menyadari anaknya merengket sendiri di sana, sebelum

akhirnya dia berteriak serak sejadi-jadinya, memanggil

nama anak itu. Dengan keberanian yang tak Iagi

terpikirkan, Karta keluar dari gubuk. Istrinya menjerit-jerit,

hanya berani berlari hingga mulut pintu. Karta berlari

sekuat-kuatnya. Sementara beberapa ekor kerbau melihat.

Diburunya nelayan itu.

Karta benar-benar harus berlomba dengan kecepatan

lari lima ekor kerbau jantan mengamuk agar bisa

menjangkau tempat anaknya. Jika, tidak dia akan bernasib

sama dengan penduduk sebelumnya!

Tapi, usaha Karta bukanlah apa-apa dibanding tenaga

lari kelima kerbau yang memburunya. Hanya

membutuhkan waktu beberapa tarikan napas, kerbau-

kerbau itu sudah begitu dekat di belakang Karta.

"Tolooong!"

Akhimya, goyah juga kenekatan Karta. Tak terpikir Iagi

bagaimana dia harus menyelamatkan anaknya. Saat itu,

yang paling membayangi benaknya adalah gambaran

tanduk tajam kelima kerbau!

Sementara itu dua ekor kerbau akhirnya mengetahui

juga keberadaan seorang bocah di bawah pohon kelapa.

Mendengus-dengus mereka memainkan satu kaki depan di

atas pasir. Kepala mereka mengangguk-angguk kuat. Lalu

dengan kecepatan penuh keduanya seperti berlomba

untuk lebih cepat melempar tubuh kurus si bocah.

Sebelum Karta menjadi korban berikutnya, dan

sebelum dua kerbau tadi melontarkan semena-mena tubuh

si bocah....

Wss! Prak-prak-prak!

Serangan geram Datuk Kening Perak meluruk deras

ke arah lelaki pendatang. Jangan tanya bagaimana

keadaan tubuh orang itu jika terkena. Setidaknya bagian-

bagian tubuhnya akan bertebaran ke mana-mana. Lebih

mengerikan Iagi, mungkin dagingnya akan menjadi

rencahan-rencahan kecil berserakan!

Bayangan seperti itu pun terbetik dalam benak Datuk

Kening Perak. Tentu dia sangat yakin bagaimana

keampuhan ilmu Karang Pamungkas yang baru saja

didapatnya. Keyakinan itu tak sesuai dengan kenyataan

yang terjadi kemudian.

Begitu pukulan tanpa wujudnyamenghantam sasaran,

seperti sebelumnya tercipta ledakan besar amat santer.

Amat mengguntur. Debu, pasirdan kerikil pun kembali

beterbangan. Namun ketika debu, pasir, dan kerikil telah

bersatu kembali dengan bumi( Datuk Kening Perak dan

dua datuk lain menjadi tercengang-cengang.

Lelaki pendatang, mayat Mata Dewa Kematian yang

bangkit kembali, ternyata masih utuh sama sekali. Bahkan,

tubuhnya tergeser pun tidak. Meski dalam ukuran jari!

Tak ada yang lucu dari keterperangahan di wajah Tiga

Datuk Karang. Biarpun begitu, si lelaki pendatang malah

tertawa dengan suara serak berlendirnya.

"Kalian pikir, Ilmu Karang Pamungkas kalian cukup

hebat untuk menghadapiku?" cemooh lelaki pendatang,

yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai mayat

berjalan itu.

"Kalau kalian hendak menjajalnya, cobalah pada

seekor katak! Jangan padaku!" lanjutnya, makin

meremehkan ilmu andalan Tiga Datuk Karang yang

rencananya mereka persiapkan untuk menghadapi

Pendekar Lembah Kutukan.

"Celaka! Siapa orang ini? Kenapa Pukulan Karang

Pamungkas tidak sanggup melantakkan tubuhnya?" rutuk

Datuk Kening Merah. Kalau begitu, sia-sia saja mereka

mempelajari Kitab Karang Pamungkas setelah mereka

menanti puluhan tahun lamanya, pikirnya gundah.

"Siapa kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Datuk

Kening Perak. Dia kini sadar sesadar-sadarnya, kalau

lawan bukanlah manusia sembarangan. Mereka saja, yang

jelas-jelas sebagai dedengkot golongan sesat dunia

persilatan hanya dianggap sedemikian remeh olehnya. Dan

itu bukan semata sesumbar. Bukan cuma pepesan kosong

tanpa isi. Ucapannya telah dibuktikan sebelumnya dengan

menaklukkan kehebatan pukulan tanpa wujud Karang

Pamungkas.

"Aku...?" kata lelaki pendatang, menanggapi

pertanyaan Datuk Kening Perak. Setelah itu, dia tak

melanjutkan kalimatnya. Malah ditatapnya Tiga Datuk

Karang satu persatu dengan tatapan amat menusuk tiga

orang tua itu Tatapannya seperti memancarkan daya

tenung demikian kuat. Mengerikan. Terasa dada Tiga

Datuk Karang seperti dirasuki sesuatu dengan paksa.

"Kalau kalian menganggap Mata Dewa Kematian

telah mati, kalian tidak keliru. Nyawa lelaki itu memang

telah terlempar ke dasar neraka. Lalu, aku memakai

bangkainya. Entah kenapa aku demikian suka memakai

bangkai busuk lelaki jelek ini. Padahal banyak tubuh yang

lebih bagus!"

"Kau belum menjelaskan padaku, siapa kau

sebenarnya?" ulang Datuk Kening Perak, ingin keje-lasan.

"Aku," sebelum melanjutkan, manusia bangkai itu

tertawa menyeramkan Iagi. "Aku dulu dikenal dengan

julukan Manusia Dari Pusat Bumi. Akulah satu-satunya

musuh utama Pendekar Slebor. Aku kembali ke alam nyata

untuk membayar kekalahanku dulu. Dan aku akan

membuat perserikatan kalian mencapai cita-cita utama

kalian, menyingkirkan Pendekar Slebor dan seluruh

keluarganya!" sambung si manusia bangkai. Sebagaimana

pengakuannya, dia adalah Manusia Dari Pusat Bumi. Roh

gentayangan tokoh setengah siluman yang begitu

memusuhi Pendekar Slebor. Sepertinya takdir telah

menentukan bahwa dua manusia yang berbeda

kepribadian sama sekali itu akan menjadi seteru satu

dengan yang lain. Alam kegelapan memang telah

mengutus Manusia Dari Pusat Bumi untuk menaklukkan

Pendekar Slebor. Sampai saat ini, tujuan busuk itu tak

pernah tercapai. (Untuk mengetahui kisah manusia sesat

ini, bacalah episode "Manusia Dari Pusat Bumi" dan

"Pengadilan Perut Bumi")!

Cahaya yang berkelebatan dari Iangit dan suara

seseorang yang menggelegar ketika sembilan tokoh sesat

dunia persilatan sedang bertemu waktu itu pun sebenarnya

adalah pekerjaan roh Manusia Dari Pusat Bumi. (Baca

dalam serial Pendekar Slebor dalam episode sebelumnya:

"Macan Kepala Ular")!

***

7


Pendekar Slebor menjejakkan kaki dengan mantap di

punggung salah seekor kerbau yang mengamuk di desa

sekitar wilayah Karangbolong. Tiga ekor kerbau

sebelumnya dibuat modar. Kepala ketiga binatang itu

pecah. Isi tempurung kepalanya berantakan keluar.

Pendekar Slebor telah melcmparinya dengan tiga belahan

buah kelapa. Tentu saja kepala sekeras kerbau tak akan

pecah begitu saja jika lemparan itu tak disalurkan tenaga

dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan.

Dengan begitu, nyawa si bocah di balik pohon kelapa

dan lelaki nelayan ayah si bocah punluput dari

cengkeraman maut.

Ketika kawanan kerbau itu mulai memasuki daerah

pesisir pantai di mana Pendekar Slebor sedang berjalan-

jalan, mencari angin segar. Selama ini dia begitu penat.

Tetap tinggal di gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, seperti

tinggal dalam lubang siluman. Sudah pengap, bau pula!

Tentu saja anak muda itu jadi tidak betah.

Sejak mengetahui kalau Kitab Pamungkas Ilmu

Karang mcnghilang dari tempat penyimpanannya, Andika

meminta izin buyutnya untuk membantu mencari. Tapi, si

perempuan uzur nan cerewet Nyai Silili-lilu malah

menceramahinya setengah harian. Menurut NyaiSilili-lilu,

cicit kemenakannya itu harus beristirahat selama beberapa

hari. Itu dibutuhkan karena Andika baru saja menjalani

pengobatan akibat luka dalam yang dideritanya ketika

bertarung dengan Amitha. (Baca episode sebelumnya:

"Perserikatan Setan")!

Andika bisa ngotot menolak. Sebagai ksatria, tak ada

istilah menyerah baginya. Apalagi berleha-Ieha hanya

karena luka dalam. Tapi, dia mau berbuat apa Iagi kalau

'titah' itu jatuh dari mulut Nyai Silili-lilu. Perempuan

bangkotan kepala batu itu paling benci kalau dirinya

dibantah. Apalagi oleh cicit kemenakan sendiri. Dia bisa

mengamuk seperti topan bercampur kentut!

Buyutnya sendiri tak bisa memberikan dukungan. Biar

bagaimana, Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya. Dia

sebenarnya lebih suka Andika membantunya melakukan

pencarian kitab. Toh, sebagai kakek buyut, dia tak ingin

mendidik keturunannya menjadi orang-orang pecundang.

Tapi, lagi-lagi Pendekar Lembah Kutukan yang memiliki

nama besar diseantero dunia persilatan pun tak bisa

membantah Nyai Silili-lilu. Di situ hebatnya manusia betina

jompo satu itu!

Nyai Silili-lilu bukan tak punya alasan menahan untuk

sementara cicit kemenakannya. Meski mata kepalanya

sudah soak karena usia yang demikian lanjut, tapi mata

batinnya sendiri melihat ada sesuatu yang tidak beres

dalam diri Andika. Sampai saat itu, Nyai Silili-lilu belum

jelas benar. Sebagai seorang tabib wanita, Nyai Silili-lilu

mencoba menahan Andika agar dia dapat mengamati

keadaan menggidikkan yang tengah merayap dalam diri

cicit kemenakannya. Dia berharap secepatnya dapat

menyingkirkan sesuatu dalam diri Andika dengan

pengetahuan ketabibannya.

Dan keadaan Andika tersebut dapat dirasakan oleh Ki

Saptacakra pula. Namun karena mereka semua tidak bisa

mencurahkan perhatian hanya pada Andika, Ki Saptacakra

memutuskan untuk melakukan hal genting lain.

Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit sendiri

telah keluar selama beberapa hari terakhir untuk mencari

Tiga Datuk Karang.Mereka harusse-gera mendapatkan

kitab itu sebelum tiga musuh lama mereka sempat

mempelajarinya. Sampai sekarang mereka belum juga

terdengar beritanya.

Karena tak diizinkan, Andika akhimya merasa

terkekang. Pikirannya sendiri terus-menerus terpuruk pada

kejadian-kejadian yang telah dialami. Niatnya untuk segera

terjun kembali menempuri kebatilan makin membukit.

Karena tak betah terus-menerus seperti orang pesakitan,

Pendekar Slebor keluar dari 'sarang' manusia-manusia

langka berperilaku setengah sinting itu. Dengan diam-diam,

Andika meloloskan diri dari pengawasan ketat Nyai Silili-

lilu.

Ketika sedang berjalan-jalan. Timbul keinginannya

untuk meneguk air kelapa segar. Sisa-sisa kelapa yang

sempat tumbuh di musim panas terakhir memancing

dahaganya. Dia segera melenting naik ke atas pohon

kelapa.

Sedang asyik-asyiknya meneguk air kelapa,

didengarnya keributan di kejauhan. Dari ketinggian, tentu

saja Pendekar Slebor dengan mudah melihat kejadian yang

berlangsung. Dia segera turun, berlari dengan

mengerahkan peringan tubuh penuh dan akhirnya sampai

di tempat kejadian. Buah kelapa yang masih berada di

tangannya di belah tiga dengan sabet-an kain pusaka.

Sekaligus dikebutkannya kain pusaka itu ke arah tiga

potongan kelapa. Itu yang menyebabkan kepala tiga ekor

kerbau yang mengancam si bocah dan ayahnya pecah

seketika.

Kerja jelas belum selesai. Masih ada puluhan ekor

lain. Mereka masih terus mengamuk, menerjang apa saja

yang bisa diterjang. Puluhan ekor bukan kerja yang mudah,

meski bagi seorang pendekar muda besar seperti dirinya

Apa yang bisa dilakukannya? Itu pertanyaan yang

secepatnya harus dijawab sekarang. Satu per-satu

merobohkan binatang-binatang mata gelap itu akan

membutuhkan waktu lama. Sementara mungkin saja,

korban malah akan bertambah. Dia tidak boleh kehilangan

waktu sedikit pun. Penduduk desa harus secepatnya

diselamatkan dari ancaman kawanan kerbau liar itu.

Harus ada tindakan yang bisa menuntaskan sekaligus

amukan binatang-binatang kalap itu. Apa akalnya?

Tanpa banyak berpikir, Pendekar Slebor bertindak

sekenanya. Dia berteriak-teriak dengan mengerahkan

sedikit tenaga sakti warisan buyutnya. Sambil berteriak-

teriak, dia pun melompat-lompat tak karuan. Tangannya

melambai-lambai. Tingkahnya sudah dekat-dekat tingkah

monyet kegirangan. Ributnya minta tobat. Kegaduhan

orang sepasar ditewaskannya. Kalau kebetulan ada yang

menganggapnya sinting, dia tak ambil pusing.

"Wuoiii! Wouiii! Hua-hua! Huoiii!"

Hiruk-pikuk yang dibuat secara gila-gilaan oleh

Pendekar Slebor berhasil memancing perhatian kawanan

kerbau. Seperti dikomando, secara serempak mereka

mengalihkan pandangan ke arah si pemuda.

Satu persatu mereka mulai menuju Pendekar Slebor.

Tingkah Pendekar Slebor dalam pandangan binatang-

binatang itu seperti letlckan yang membuat kekalapan

mereka makin merangas. Dengan napas tetap mendengus-

dengus, binatang-binantang itu secara serempak akhimya

memburu Andika. Tanduk-tanduk runcing mereka meluruk

ke satu arah.

Menyadari pancingannya berhasil, Pendekar Slebor

jadi makin gila. Dia berteriak-teriak lebih kacau sambil

menepuk-nepuk pantat yang sengaja di 'todongkan' ke

arah kawanan kerbau.

"Lari yang cepat. anak anak! Siapa cepat, dia yang

dapat!"

Begitu beberapa pasang tanduk kerbau sudah nyaris

membolongi pantatnya, tentu saja Andika langsung ngacir.

Dia berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh

seraya terus memperdengarkan sorak-sorak. Dengan cara

itu, digiringnya seluruh kawanan kerbau untuk menjauhi

desa.

Sctibanya di tempat yang cukup terpencil, Andi¬ka

segera menghentak tubuh, hendak meninggalkan semua

binatang kalap tadi. Sewaktu dia melenting-lenting cepat di

atas punggung-punggung kerbau. tanpa sengaja mata

Pendekar Slebor tertumbuk pada salah seekor kerbau liar

yang menarik perhatiannya. Di sebelah tanduk binatang itu

terikat bahan dari kulit binatang.

Rasa penasaran mendorong Pendekar Slebor untuk

bergerak cepat. Dengan melakukan lentingan berputar di

udara, disambarnya benda tadi. Kini, bisa disaksikan

dengan jelas benda tersebut. Secarik surat terbuat dari

samakan kulit ular.

Pendekar Slebor membukanya. Lalu dibaca.

Salah seorang kelurunanmu berada dalam

genggaman kekuasan kami, Saptacakra. Dia lebih dikenal

di dunia persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Jika kau

ingin perempuan cantik itu tetap hidup, datanglah ke

puncak Gunung Slamet pada hari kelima purnama ini!

Pendekar Slebor selesai mcmbaca. Tak ada satu

tanda pengenal dari si pengirim surat. Meski begitu, Andika

yakin Ki Saptacakta pasti bisa menduga siapa orangnya.

Diremasnya samakan kulit ular itu geram-geram.

"Mayangseruni..," bisiknya tersamar deru angin,

menyebut nama asli Ratu Lebah. Pandangannya me-

nerawang, membayangkan wajah seorang dara elok

rupawan murid tunggal Nyai Silili-lilu. Dulu, ada benih cinta

tertanam dalam diri Mayangseruni alias Ratu Lebah

terhadap diri si pendekar muda tampan. Lalu semuanya

dikacaukan oleh kelicikan seorang tokoh sesat.

Mayangseruni pergi meninggalkan Andika, membawa luka

di hati hanya karena terjebak oleh tipu daya Pangeran

Neraka. (Baca kisahnya dalam episode: "Sepasang

Bidadari Merah")!

"Kita akan bertemu Iagi, Mayang. Aku berjanji, kau tak

akan dilukai oleh siapa pun. Tidak juga hatimu...," bisiknya

kembali, terdengar lamat.

Rupanya ada dalang di balik amukan kawanan kerbau

fiar ini, simpul Andika setelah bayangan Mayangseruni

ditepisnya Dan kerbau-kerbau itu sebenarnya hendak

diarahkan ke tempat Petaruh Sakti Perut Buncit untuk

menyampaikan pesan. Sebab, isi surat yang terikat di salah

satu tanduk kerbau ditujukan untuk Pendekar Lembah

Kutukan. Si pengirim surat yang sekaligus dalang amukan

kawanan kerbau liar itu tentu mengira Ki Saptacakra masih

berada di tempat Petaruh Sakti Perut Buncit.

Masalahnya sekarang, siapa orang itu?

Kalau ingat pada amukan kawanan kerbau

sebelumnya. dia jadi ingat pula pada peristiwa lama ketika

melanglang ke negeri para Pharoh, Mesir. Perahu yang

ditumpanginya diserang kawanan binatang liar pula. Kalau

sekarang dia menghadapi kawanan kerbau, dulu kawanan

kuda nil.

Dan orang yang berada di balik peristiwa amukan

kawanan kuda nil itu adalah si Gila Petualang. Mungkinkah

kejadian sekarang adalah ulahnya juga?

"Ah, sebaiknya aku kembali dulu ke desa tadi. Aku

harus memastikan apakah mereka masih membutuhkan

pertolonganku," putus Pendekar Slebor, setelah teringat

pada nasib penduduk desa nelayan.

Sementara itu, keadaan desa kembali tenang.

Penduduk desa nelayan tersebut mulai berani me-

nampakkan diri. Satu persatu mereka keluar dari rumah.

Tibanya Andika kembali menjadi pusat perhatian mereka.

Mata mereka menatapi si pemuda berambut gondrong

dengan bersit mata terkagum-kagum.

Ditatapi orang banyak seperti itu, anak muda sakti

dari Lembah Kutukan jadi salah tingkah. Dia cengar-cengir

sendiri. Cengirannya makin jelek dan serba salah saja

ketika menyaksikan beberapa perawan desa yang

melempar senyum manis dari jendela rumah panggung

mereka.

Wuuuh! Hembus napas Pendekar Slebor diam-diam.

Tak kukira desa kecil ini menyimpan banyak 'barang-

barang bagus', ceracaunya dalam hati. Dasar kadal asli!

Padahal, belum lama dia sibuk membayangi kecantikan

Mayangseruni.

Yakin tak ada Iagi yang perlu dilakukan, dengan agak

malas-malasan, anak muda itu meninggalkan desa.

Sesekali dia masih menoleh ke salah seorang gadis bertahi

lalat di dagu.

"Tidak mampir dulu, Kang?" seru si gadis, sebagai

ungkapan terima kasih tak langsung pada sang pahlawan

muda.

Hati Andika langsung kembang-kempis. Senyumnya

terpasang lebar.

'Terimakasih, Ni! Lain kali saja!" sahutnya. Di mulut

dia menolak, tapi di hati dia berkicau lain Iagi. Andai saja

aku menjadi tahi lalat itu, pikirnya. Sampai akhirnya dia

bergerak cepat mengerahkan ilmu peringan tubuh.

Dia harus segera menyampaikan pesan berbahaya itu

pada Ki Saptacakra. Jika orang tua itu tidak ditemukannya,

Andika bertekad untuk mendatangi sendiri puncak Gunung

Slamet!

***

"Buju buneng! Belum lama aku tinggal anak slompret

itu! Sekarang, baunya pun sudah tak ada Iagi!" Nyai Silili-

lilu mengomel sepanjang gerbong kereta tebu ketika tak

menemukan Pendekar Slebor di gubuk milik Petaruh Sakti

Perut Buncit.

Nenek tua itu jadi ngadat. Dicari-carinya Andika di

sctiap sela, di segenap pojok gubuk, sampai ke kolong-

kolong gubuk. (Masih bagus tak dicari juga di sela-sela

ketiaknya!) Perabotan dalam rumah jadi porak-poranda.

Bunyi gedumprangan meraja. Entah apa yang baru

dipecahkan. Dan 'benda-benda terbang' pun melayang

keluar.

"Sembunyi di mana kau, anak muda sial! Jangan coba-

coba mempermainkan aku!" sewot Nyai Silili-lilu sambil

melongok ke kolong balai. Memangnya dia mencari Andika

atau sedang mencari cecurut?

"Di sini juga tidak ada! Di sana tidak ada. Di mana-

mana tidak ada. Jadi dimana dia?" gerutunya soak. Bibir

kendornya manyun ke depan. "Tolol juga aku. Kalau aku

tahu, tentu aku tak akan bertanya...."

Nyai Silili-lilu bangkit dengan menyanggahkan tangan

pada dengkul mancungnya. Terbungkuk-bungkuk, dia

berjalan mondar-mandir. Berkali-kali. Sambil mondar-

mandir kalang-kabut, mulutnya terus mengulur gerutuan.

Akhimya dia pusing sendiri. Matanya berkunang-kunang.

"Sialan.... aku jadi mabuk sendiri kalau terus di sini.

Sebaiknya aku cari dia! Kalau kutemukan, akan kugantung

dia di pohon toge!"

Nyai Silili-lilu bergegas pergi.

Tak lama sepeninggalan perempuan setengah edan

itu, Pendekar Slebor yang dicari-carinya kembali.

"Uwak? Uwak? Apakah kau sudah kembali?!" seru

Pendekar Slebor sewaktu membuka pintu reyot gubuk.

Yang didapatinya malah keadaan ruangan yang porak-

poranda. Pecahan barang di mana-mana. Balai bambu

sudah terjengkang tak karuan. Ada setan ngamuk

rupanya? Gumam Andika, geli sendiri membayangkan Nyai

Silili-lilu mengobrak-abrik tempat itu karena kehilangan

dirinya.

"Sekarang, kira-kira ke mana perempuan tua itu?"

bisik Andika. Dia melangkah masuk. Dibenarkannya letak

balai. Rasa letih dan penat membuatnya mencoba sedikit

beristirahat. Dia duduk di tepi balai.

Sebentar kemudian, dia merasakan kantuk yang tak

biasa. Aneh, pikirnya. Tak biasanya dia merasakan

keletihan seperti itu. Tidak biasa pula dia begitu cepat

dikalahkan oleh rasa mengantuk. Makin lama

dipertanyakan pada diri sendiri keanehan itu, makin

memberat kelopak mata si anak muda. Rasanya ada

ribuan kati beban mengganduli matanya. Dia berusaha

melawan. Semakin dilawan, semakin terlempar dia ke

dalam kantuk luar biasa.

Tanpa sadar, Pendekar Slebor merebahkan diri.

Belum lama tubuhnya terebah, dia pun tertidur. Lelap.

Lama.

Dalam tidumya, pendekar muda tanah Jawa itu

didatangi mimpi yang kejadiannya benar-benar serupa

seperti dialaminya saat tak sadarkan diri setelah

pertarungan maut dengan Amitha. Cuma sekali ini orang

tua berselimut cahaya mengatakan sesuatu yang berbeda.

"Dalam hari kelima setiap purnama, kau harus

berhati-hati Saat itulah, kau diuji untuk menjaga 'muara'mu

atau 'dermaga'mu dari sergapan kegelapan di atas

kegelapan...."

Di akhir kalimat tersebut. Pendekar Slebor terjaga.

Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Wajahnya sepasi mayat.

Napasnya terpacu, terengah-engah. Seolah dia baru saja

berlari selama berhari-hari.

"Hari kelima setiap purnama." desisnya terseret,

mengulangi salah satu bagian perkataan orang tua dalam

mimpinya. "Apa maksudnya?" sambungnya, bertanya pada

diri sendiri. Sampai tarikan napas terakhir pun, tak pernah

dimengertinya maksud seluruh ucapan orang tua itu. Baik

ketika dia tak sadarkan diri, atau dalam mimpi barusan.

Namun, hati kecilnya seperti memperingati akan

suatu ancaman yang sulit dijelaskan. Ancaman dengan

keadaan terlalu gelap untuk ditembus. Seperti kalimat

terakhir orangtua dalam mimpi; 'kegelapan di atas

kegelapan'.

Andika merasakan bulu kuduknya seketika

meremang.

***

8


Hari kelima purnama berselang hanya sepuluh hari

setelah Pendekar Slebor mendapatkan surat kaleng dari

orang tak dikenal. Sampai saat itu, si anak muda sakti

tanah Jawa tak sempat bertemu dengan Pendekar Lembah

Kutukan, Petaruh Sakti Perut Buncit, ataupun Nyai Silili-lilu.

Sejak meninggalkan gubuk di dekat Pesisir Pantai

Laut Selatan, entah ke mana perempuan tua itu. Tentu dia

sedang berusaha mencari Pendekar Slebor. Sementara

anak muda yang dicari justru sudah berada kembali di

tempat semula.

Dua hari berselang. Purnama hari kelima pun tinggal

delapan hari Iagi. Pendekar Slebor memutuskan untuk

segera mendatangi puncak Gunung Slamet. Dari

tempatnya, jarak yang mesti ditempuh cukup jauh. Bisa

memakan waktu selama kurang lebih seminggu berkuda.

Kalau dia tak segera berangkat, maka nyawa

Mayangseruni dipertaruhkan. Betapa anak muda itu yakin,

musuh yang menyampaikan pesan pada tanduk salah

seekor kerbau liar tidak pernah main-main. Untuk

beberapa hal, dunia persilatan seringkali sulit diduga. Tapi

hal-hal lain, semuanya berjalan seperti kepastian air

mengalir ke tanah yang rendah. Khususnya untuk ancaman

tokoh golongan hitam. Jika mereka mengancam akan

membunuh, maka niat itu akan dilaksanakan tanpa ragu-

ragu.

Untuk Andika, Mayangseruni bukan cuma seorang

murid buyutnya. Dia juga seorang perempuan yang tak

cuma rupawan tapi memiliki hati pualam. Kalaupun dulu

dia terjerumus dalam dunia hitam, penyebabnya karena

dia dipengaruhi racun milik Pangeran Neraka. Racun itu

membuat pikirannya jadi terganggu. Tetapi kemudian

Andika berhasil membantu Nyai Silili-lilu menyembuhkan

Mayangseruni, Andika pun bisa menyaksikan pribadi

sesungguhnya gadis itu. (Baca episode: "Pendekar Wanita

Tanah Buangan").

Tidak segera mendatangi puncak Gunung Slamet,

sama artinya Pendekar Slebor membiarkan seorang

perempuan sebaik Mayangseruni menjadi korban

kezaliman orang-orangsesat. Andika tak sudi itu.

Pada waktu hendak berangkat, Pendekar Slebor

merasakan satu gejala aneh yang kian hari kian terasa

menguat dalam dirinya. Entah kenapa ada perasaan-

perasaan menakutkan menjalar demikian rupa. Gempuran

perasaan yang menyebabkan seluruh bulu halusnya

meremang itu sesekali membuat pandangan matanya

menjadi gelap. Lalu kesadarannya seperti dilarikan

sekawanan siluman, meski dia sendiri tak jatuh pingsan

karenanya.

Karena berpikir itu hanya akibat luka dalam yang

dideritanya ketika bertarung dengan Amitha, Andika tak

begitu mempedulikan, Iagi pula, kalaupun tubuhnya masih

dalam keadaan luka dalam pun dia akan tetap mendatangi

puncak Gunung Slamet. Nyawanya sendiri bahkan sudi

dipertaruhkan untuk Mayangseruni.

Dengan berkuda, hari itu juga Pendekar Slebor

menuju batas wilayah Kabupaten Purbalingga dengan

Brebes, daerah di mana Gunung Slamet berdiri kokoh.

Tanpa diketahui oleh anak muda dari Lembah

Kutukan, sepasang mata terus mengintainya. Sejak dari

gubuk Petaruh Sakti Perut Buncit, hingga sepanjang

perjalanannya menuju puncak Gunung Slamet. Dengan

mempergunakan kuda, si pengintai mengikuti Pendekar

Slebor dari jarak yang cukup aman dari jangkauan

orangyang dikuntit.

***

Puncak Gunung Slamet berdiri tegar. Angkuh adalah

kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan

keadaannya. Selain itu, keangkeran menyelimuti. Terutama

karena gunung tersebut adalah salah satu gunung merapi

di Jawa dan merupakan salah satu dari beberapa gunung

berpuncak tertinggi. Kabut merayap di sebagian

puncaknya. Memperkental kesan yang telah menyelimuti

selama ini.

Pendekar Slebor tiba di kaki Gunung Slamet pada hari

kelima setelah memac u kuda sepanjang perjalanan,

diselingi beberapa kali istirahat. Untuk sampai ke

puncaknya, menunggang kuda sudah tidak me-

mungkinkan Iagi. Terlalu riskan. Lagi pula, tak mungkin

kuda mampu melakukan perjalanan menanjak. Karena itu,

Pendekar Slebor memutuskan untuk melepas kuda

tunggangannya.

"Pergilah ke mana pun kau suka. Kau bebas

sekarang!" seru Andika seraya menepuk punggung

kudanya. Hewan itu pun lari bersama ringkikannya, menuju

alam bebas.

Pendekar Slebor mengalihkan pandangan ke puncak

gunung. Lama dia melakukan itu. Beberapa kali dadanya

menghela napas dalam-dalam. Dia menikmati suasana di

sana. Menyaksikan keagungan sekaligus keangkeran

Gunung Slamet, Andika seperti dihadapkan pada satu bukit

kecil kekuasaan Sang Pencipta.

Kini, di puncak gunung itu, telah menanti ancaman

maut baginya. Tokoh-tokoh sesat yang mencutik

Mayangseruni memanfaatkan untuk kebatilan gunung yang

tak mungkin bisa memprotes itu. Dalam pandangan

Andika, keagungan dan kesuciannya seperti hendak

dinodai oleh mereka. Seperti halnya bumi seringkali

diperkosa oleh kebejatan manusia. Sementara, Tuhan

sendiri tak pernah menciptakan sesuatu dengan batil,

desahnya.

Diawali tarikan nafas teramat dalam terakhir, Andika

memantapkan tekad. Dia pun memulai pendakian ke

puncak yang tentu saja tak akan mudah.

Menjelang setengah hari pendakian, Pendekar Slebor

akhirnya tiba di puncak Gunung Slamet Untuk tiba di

puncaknya, beberapa kali anak muda itu tergelincir jatuh.

Kalau sempat dia kehilangan keseimbangan, kemungkinan

paling buruk bisa saja terjadi. Nyawanya bisa melayang di

atas batu besar atau jurang curam. Untunglah kemampuan

peringan tubuhnya telah cukup teruji dalam belantara

dunia persilatan selama ini. Dia mampu melakukan

semacam akrobatik darurat beberapa kali untuk

menyelamatkan diri. Meski itu dilakukan dengan jantung

nyaris ambrol karena kengerian.

Sebelum mencapai puncak, Pendekar Slebor sempat

menikmati tenggelamnya surya di ufuk barat. Sinar jingga

keemasan yang memancar demikian lem-bui, bertolak

belakang dengan keadaan yang akan di-jalaninya nanti.

Nanti, tentu semuanya akan begitu garang dan haus darah.

Dengan satu lompatan mengandalkan separo

83

kemampuan tubuhnya, akhimya Pendekar Slebor

ti¬ba juga di puncak Gunung Slamet. Matahari di sana

makin kepayahan. Sinarnya melamat dan terus mela-mat

Pendekar Slebor kini menyaksikan tiga lelaki tua yang

nyaris serupa satu dengan yang lain. Hanya war¬na kening

mereka yang membedakan. Satu orang berkening ungu.

Yang lain merah dan perak. Mereka tentu saja Tiga Datuk

Karang. Ketiganya tampak agak kecewa ketika mengetahui

Pendekar Slebor yang datang. Sebab, sebenarnya mereka

menujukan surat ancaman itu kepada Ki Saptacakra alias

Pen¬dekar Lembah Kutukan. Yang muncul kini justru anak

muda berambut gondrong, bertampang ningrat, tapi

berpenampilan mengenaskan. Dan belum-be-lum, dia

sudah cengar sini cengir sana.

"Kaliankah yang telah mengirim s urat ancaman itu?"

tanya Andika, memulai.

Sebelum membuka suara, Datuk Kening Perak

menatap anak muda yang berdiri sekitar sepuluh de-pa di

depannya dengan tatapan menghujam. Tanpa kedip.

"Siapa kau?" Bukannya memberikan jawaban atas

pertanyaan Pendekar Slebor, Datuk Kening Pe¬rak malah

balik bertanya.

Andika menyipitkan mata. "Kalian yang telah mengirim

surat ancaman itu?" ulangnya, ngotot.

84

"Ya. Sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau

sebenarnya?!" Kalimat-kalimat Datuk Kening Perak mulai

menanjak naik.

"Aku cicit buyut dari Pendekar Lembah Kutukan, kalau

kalian sudi percaya." Di dalam benaknya, Pendekar Slebor

berkata-kata sendiri. Kukira amukan kawanan kerbau liar

beberapa hari lalu adalah perbuatan si Gila Petualang.

Mungkinkah mereka memiliki liubungan dengan lelaki tua

sesat itu?

"Kenapa dengan buyutmu, Anak Muda? Kenapa dia

malah mengirim anak bau kencur sepertimu ke sini?

Apakah dia takut menghadapi kami setelah kami

menguasai ilmu Karang Pamungkas?" kata Datuk Kening

Perak, terdengar mengejek.

Pendekar Slebor menaikkan sudut bibirnya.

"Kalian saja yang salah mengalamatkan surat

ancaman itu...," jawabnya enteng. "Ngomong-ngomong,

siapa kalian sebenarnya?"

"Kami Tiga Datuk Karang!" sambar Datuk Kening

Ungu.

"Ooo," Bibir si pendekar urakan memancung

berlebihan. "Buyutku pernah cerita tentang kalian.

Bukankah kalian adalah tiga orang yang berhasil dibuat

'keok' olehnya beberapa puluh tahun silam?"

"Itu tak akan terjadi Iagi!" tandas Datuk Kening Perak,

memastikan.

"Ah, itu bisa-bisa kau saja!" Pendekar Slebor terkekeh.

"Aku muak dengan anak muda ini. Tingkahnya tak

beda dengan Saptacakra keparat itu!" Datuk Kening Ungu

berbisik pada saudara tuanya.

"Terang saja, aku buyutnya!" sergah Pendekar Slebor,

mendengar bisik-bisik tadi.

"Sebaiknya kau kembali dan menyampaikan pesan

kami pada Saptacakra. Kami menantangnya bertarung di

sini! Katakan, kami akan mengulur waktu untuknya hingga

sepuluh hari dari sekarang. Kalau tidak...."

Ucapan Datuk Kening Merah yang tak mau banyak

bertele-tele, dipancung oleh Andika. "Kalau tidak kalian

akan membunuh perempuan itu?"

Terlihat anggukan samar ketiga orang tua sesat.

Pendekar Slebor mencibir. "Beh, bisa-bisanya kalian

berkata hendak menantang buyutku mengadu kesaktian.

Sementara tindakan kalian sendiri tak lebih dari tindakan

penjahat-penjahat kampungan tengik!"

"Hati-hati bicara, Anak Muda!"

Pendekar Slebor masa bodo. Dia tak peduli.

"Menurutku, kalian masih belum pantas untuk

menghadapi kebesaran nama Pendekar Lembah Kutukan!

Kenapa kalian tak menantang sandal bakiak Memerah

wajah Tiga Datuk Karang mendengar kata-kata pedas

Pendekar Slebor.

"Mulutmu benar-benar selancang Saptacakra," geram

Datuk Kening Ungu.

"Kalau kalian sudi ingin tahu, sebenarnya bukan

mulutku saja yang selancang dia. Banyak kemiripan yang

telah diturunkan si tua itu padaku. Kerutan di ketiakku pun

serupa dengan ketiaknya. Mau kalian buktikan?"

"Bedebah!"

"Tai kucing! Kalianlah yang sesungguhnya bedebah.

Betapa memalukan tindakan kalian menculik perempuan

itu untuk memaksa buyutku datang mememuhi tantangan

kalian!" balas Pendekar Slebor membentak-bentak sampai

wajahnya jadi kacau-balau layaknya orang kerasukan.

"Kau rupanya minta diberi pelajaran!" desis Datuk

Kening Perak, benar-benar sudah meluap darahnya hingga

terasa hendak membobol tengkorak kepalanya sendiri.

"Kalian mau menghajar aku?" Anak muda urakan

berperangai 'angot-angotan' itu membusungkan dada.

"Pilih bagian mana yang kalian suka!"

Rahang ketiga orang tua di depannya mengeras

teramat sangat. Belum pernah mereka dihina seperti

itu. Kecuali oleh Pendekar Lembah Kutukan.

Mendapat seluruh semprotan pedas Pendekar Slebor,

mereka seperti dilempar kembali ke masa puluhan tahun

lalu ketika mereka berhadapan dengan Ki Saptacakra

yangsama-sama muda. Tanpa disadari, mereka mulai

beranggapan bahwa mereka telah berhadapan langsung

dengan musuh lama mereka. Itulah pengaruh dendam

yang telah berkarat dalam benak ketiga datuk sesat itu.

Dalam keadaan seperti saat itu, mendadak saja mata hati

mereka menjadi teramat bu-ta dari sebelumnya.

"Kau akan mampus, Saptacakra!" bentak Datuk

Kening Merah.

Pendekar Slebor melotot. Sejak kapan namanya

diganti? Kalau sampai si tua bangka buyutnya tahu, tanpa

ragu Iagi tentu dia akan digantung!

Kegeraman Datuk Kening Merah terhadap Pendekar

Slebor akhimya terwujud ke dalam serangan. Tubuhnya

melompat ke depan. Tiba di dekat Pendekar Slebor,

dilancarkannya tinju ke arah kepala.

Deb!

Pendekar Slebor mengelak. Meski dapat menghindar

dari pukulan langsung, tak luput anak muda itu merasakan

angin pukulan yang kuat menyentak bagian lehernya.

Padahal posisinya sudah termas uk jauh dari pukulan tadi.

Ini membuktikan kalau tenaga dalam lawan telah

mencapai tingkat kesempurnaan.

Karena tahu dia tak sedang menghadapi lawan

sembarangan, Pendekar Slebor langsung saja membalas.

Masih dengan kepala tertunduk, dibabatkannya tangan ke

dada lawan dengan mengerahkan tenaga dalam warisan

Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesembilan. Dengan

mengerahkan tenaga dalam pada tingkat itu, Pendekar

Slebor ingin sedikit menguji lawan.

Wukh!

Sambaran deras punggung tangan Pendekar Slebor

dimentahkan Datuk Kening Merah dengan menyurutkan

badan sigap ke belakang. Namun karena Pendekar Slebor

telah mengerahkan setengah dari kemampuan tenaga

dalam warisan buyutnya, angin pukulannya pun sanggup

menyentak keras-keras tubuh lawan.

Datuk Kening Merah terjajar ke belakang. Sebelah

tangannya mendekap bagian perut yang terasa nyeri

berdenyar. Wajahnya menampakkan keterkejutan.

"Kenapa kaget?" cemooh Pendekar Slebor. "Apa kau

pikir kau sedang menghadapi cecurut yang tak memiliki

pukulan tenaga dalam sekuat milikmu?"

"Jangan sesumbar! Kau salah menduga kalau kau

mengira aku telah cukup mengerahkan tenaga dalamku!"

baias Datuk Kening Merah, dengan rona wajah yang kini

menjadi sewarna dengan keningnya.

Selesai meluapkan kegeramannya melalui ucapan

tadi. salah seorang dari Tiga Datuk Karang itu

menggerakkan dua tangannya dua kali putaran. Pada saat

itu terdengar suara deruan. Padahal kalau diperhatikan

sekilas, gerakan tangan Datuk Kening Merah perlahan

saja. Menyusul direntangkannya kedua tangan tadi.

Telapak tangannya yang semula mengepal kini membuka

cepat, kemudian mengepal Iagi. Naga-naganya, dia sedang

mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi!

"Mulai unjuk gigi dia rupanya," bisik Pendekar Slebor,

sambil terus memperhatikan lawan dengan seksama. Tapi

ketika ingat lawannya sudah sangat tua, ocehannya jadi

bertambah.

"Iya, itu pun kalau dia masih punya gigi" bibirnya pun

cengar-cengir sendiri.

"Terimalah ini!" seru Datuk Kening Merah kemudian.

Kembali diterjangnya lawan berbeda usia yang siap

menanti serangan maut, meski wajah pemuda itu sendiri

memperlihatkan keacuhan Atau barangkali lebih mirip

wajah orang tak punya otak? Bisa jadi begitu.

Terjangan Datuk Kening Merah kali ini dipusatkan

pada kedua kakinya. Setelah melompat maju, kakinya

melakukan sapuan menyamping ke leher lawan. Angin

sambaran tendangannya lebih kuat dari serangan

sebelumnya.

Pendekar Slebor tentu saja sudah menduga. Dalam

perhitungannya, jika sebelumnya saja angin pukulan lawan

sudah terasa membuat linu lehernya, dengan

meningkatkan pengerahan tenaga dalam ke tingkat jauh

lebih tinggi tentunya sekarang dia bisa terjengkang hanya

karena tersambar angin tendangan.

"Huiiih!"

Bersama teriakan melengking yang nyaris terdengar

seperti dengking keledai, Pendekar Slebor melempar kuat-

kuat tubuhnya ke belakang. Dengan kedua tangannya, dia

menahan tubuh di tanah. Lalu secepatnya dihentak Iagi

tubuhnya hingga menciptakan gerak berputar beberapa

kali di atas tanah. Dengan cara cerdik itu, dia bisa

membiarkan angin tendangan lawan terlewat begitu saja

bersama gerak tubuhnya.

Pendekar Slebor kini sudah berdiri dengan kuda-kuda

kokoh Iagi. Jaraknya dengan lawan terulur lebih jauh dari

sebelumnya. Ada sekitar dua betas langkah.

Sementara tepat di belakang kakinya, terbentang

jurang, yang bukan cuma curam namun juga teramat

dalam. Kalau seandainya Pendekar Slebor salah

memperhitungkan gerak jumpalitan tubuhnya, niscaya dia

akan jatuh ke sana!

"Wuiih...," Pendekar Slebor mengempos napas dengan

bibir agak menyorong ke depan. Diliriknya jurang di

belakang. Sejengkal Iagi ters urut ke belakang, bakal jadi

empuk tubuhku di bawah sana, gumamnya setengah

meringis.

Tapi kesempatan tak banyak dimiliki. Datuk Kening

Merah sudah melanjutkan gempurannya. Berkawal

teriakan serak memekakkan telinga, orang tua itu

memutar-mutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu

kaki. Sedang kaki yang lain dibentangkan seperti juga

kedua tangannya. Putaran tubuh orang tua sesat itu

meluruk mengancam Pendekar Slebor.

Wukh-wukh...!

Dengan cara yang terbilang cerdik, Datuk Kening

Merah rupanya hendak mendesak lawan ke dalam jurang.

Jika putaran tubuhnya disertai dengan penyaluran tenaga

dalam tingkat tinggi pada kedua tangan dan kaki, tentunya

akan timbul angin putaran yang amat kuat. Semakin dekat

jaraknya ke tempat lawan, maka akan semakin kuat

tenaga dorongan. Dengan cara itu pula, Datuk Kening

Merah menutup jalan untuk lawan. Cuma ada dua pilihan

bagi lawan agar terhindar dari kekuatan sambaran angin

putaran yang mungkin bisa berakibat fatal itu. Pertama,

masuk ke jurang. Kedua, melewati atas putaran lawan.

"Sialan. Kenapa malah jadi main gasing-gasingan!"

maki si pendekar muda urakan jengkel.

Pendekar Slebor bukan anak kemarin sore. Dia tak

bisa tertipu dengan mudah. Ksatria muda berakal cerdik itu

tahu, jika dia berusaha melewati putaran tubuh lawan

dengan cara melompat di atas tubuh lawan, maka lawan

dengan cepat akan melepas pukulan jarak jauh. Akan

sangat sulit baginya untuk meng-hindar pada saat

tubuhnya sedang melayang seperti itu.

Pendekar Slebor tak kehilangan akal. Timbul pikiran

sintingnya ketika dia mendengar ucapan sendiri.

Bagaimana kalau aku pun melakukan hal yang sama?

Cetus pikiran senewennya.

Tapi, begitulah Pendekar Slebor. Dia terkadang tak

terlalu memusingkan apakah cara bertarungnya terbilang

aneh atau tidak, terbilang lucu atau tidak, terbilang ini atau

itu. Jadi tak terlalu heran kalau julukannya pun seperti itu.

Sambil berteriak sejadi-jadinya, Pendekar Slebor

benar-benar melakukan hal yang sama!

Wukh-wukh...!

Orang Iain mungkin akan menganggap dia melakukan

kesintingan. Sedikitnya dia telah melakukan kekonyolan

berbau maut. Bagi Pendekar Slebor sendiri tidak demikian.

Dia melakukan tindakan itu dengan perhitungan cepat

yang matang di saat-saat terjepit. Itulah salah satu

kehebatan yang patut dibanggakan pada diri anak muda

itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tingkat

puncaknya, dia akan menjajal lebih jauh tingkat tenaga

dalam lawan. Sejauh itu, Andika yakin tenaga dalam

warisan buyutnya tak kalah tangguh dengan tenaga dalam

lawan. Bukankah kejadian puluhan tahun silam telah

membuktikannya dengan keberhasilan Pendekar Lembah

Kutukan mengalahkan Tiga Datuk Karang?

Dan untuk mementahkan angin putaran teramat kuat

yang bisa melukai tubuhnya, Pendekar Slebor sengaja

membuat putaran ke arah yang sama. Dengan cara itu,

arus hantaman angin putaran yang di-ciptakan lawan akan

segera diteruskan ke sampmg tubuhnya.

Demi menyaksikan lawannya melakukan hal yang

sama, bukan main terperanjat ny a Datuk Kening Merah.

Dua datuk lain yang menyaksikan pertarungan itu pun tak

kalah terperanjat. Tindakan itu tak akan terpikirkan oleh

sembarang pendekar, pikir keduanya. Tindakan itu mereka

nilai amat cerdik. Terselip kekaguman dalam diri masing-

masing.

Seluruh perhitungan cerdik Pendekar Slebor terbukti

tepat. Hantaman angin putaran tubuh lawan malah

berlarian serampangan ke satu sisi. Sementara itu, putaran

tubuh keduanya semakin dekat. Sampai...........

Dash!

Tercipta suara keras akibat benturan putaran

keduanya. Dalam setiap benturan apa pun, akan terjadi

gaya tolak-menolak. Semakin kuat benturan, akan semakin

kuat pula gaya tolakan yang terjadi.

Hal seperti itu akan sangat berbahaya bagi posisi

Pendekar Slebor. Jika hentakan ke belakang tubuhnya

terlalu kuat, maka jurang akan menelannya. Tapi, itu pun

rupanya sudah masuk dalam perhitungan otak seencer

bubur orang jompo si pendekar muda. Dengan jarak ke

depan yang dapat dicurinya saat tubuhnya berputar, dia

masih bisa melakukan salto ke belakang untuk menahan

laju tubuhnya agar tidak jatuh ke dalam jurang!

Teph!

Lagi-Iagi perhitungannya tak meleset Dia menapakkan

kaki tak begitu jauh dari bibir jurang. Meski dengan begitu,

dia mengalami luka dalam yang cukup berarti. Darah

mengalir keluar dari kedua sudut bibirnya.

Di Iain pihak, Datuk Kening Merah mengalami hal

serupa. Tubuhnya terpental cukup deras ke belakang. Dia

pun mengalami luka dalam. Karena tak menyangka lawan

mudanya mampu membuat dirinya terluka demikian rupa,

orang tua sesat itu jadi lengah. Tangannya tanpa sadar

memeriksa sudut bibir yang terasa anyir. Kemudian

ditatapinya darah yang membasahi tangannya itu dengan

sinar mata tak percaya.

Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor untuk

mencari posisi. Cepat dan gesit dia melompat beberapa

putaran ke depan, menjauhi bibir jurang Walaupun untuk

melakukan itu dia harus sedikit memaksakan diri akibat

luka dalam yang diderita

***

Rasa malu hanya pantas dimiliki oleh manusia. Tidak

untuk hewan. Namun ada manusia membiarkan dirinya tak

lebih baik dari hewan dengan mem-biarkan rasa malu

menjadi gersang dalam dirinya. Bagi orang sesat, sulit

untuk menemukan rasa malu dalam diri mereka. Kalaupun

ada, cuma keangkuhan semata.

Seperti halnya Tiga Datuk Karang, mereka tak Iagi

merasa malu ketika ketiganya memutuskan untuk

mengeroyok pendekar muda yang berusia dan

berpengalaman jauh di bawah mereka.

Sejak menyadari bagaimana tangguh dan cerdiknya

Pendekar Slebor menghadapi Datuk Kening Merah, dua

datuk Iain mulai memperhitungkan kemungkinan untuk

menang. Pada awalnya, mereka segan untuk berurusan

dengan anak muda yang mereka anggap bau kencur itu.

Satu-satunya kepentingan mereka cuma dengan Pendekar

Lembah Kutukan. Namun ketika pertarungan akhimya

meletus, mereka tak bisa Iagi menghindar. Tak mungkin

bagi mereka untuk menyingkir. Apa kata dunia persilatan

jika tiga datuk kenamaan harus lari dari seorang pendekar

muda?

Di pihak Pendekar Slebor, anak muda itu tak akan

sudi turun dari puncak Gunung Slamet sebelum

mendapatkan Mayangseruni dalam keadaan tanpa kurang

suatu apa. Tiga Datuk Karang tak akan memenuhi

tuntutannya. Jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor

adalah memaksa ketiga dedengkot golongan sesat itu.

Berarti pertarungan memang tak mungkin Iagi dihindari.

Setelah menelan waktu hingga malam turun dan

bulan menggelantung di angkasa, pertarungan tak imbang

itu tetap berjalan alot. Meski dikeroyok, Pendekar Slebor

mampu memperlihatkan kedigdayaannya selaku pendekar

muda dunia persilatan yang disegani.

Biar bagaimanapun, tak bisa diingkari Pendekar

Slebor bukanlah tandingan ketiga datuk seangkatan

buyutnya itu. Terlebih karena mereka menggempur

bersamaan. Terlebih Iagi, mereka telah berhasil

menyempurnakan ilmu 'Karang' mereka beberapa waktu

belakangan.

Maka, selama pertarungan berlangsung, si ksatria

muda dari Lembah Kutukan tak lebih menjadi bulan-

bulanan para lawannya. Dia terdesak dan terdesak.

Pengerahan kekuatan sakti warisan Pendekar

Lembah Kutukan yang seringkali mampu mengatasi

keadaan paling genting ternyata tak banyak berguna.

Padahal pengerahan puncak tenaga sakti itu telah

membentuk benteng tenaga bercahaya yang hanya muncul

pada saat-saat dia terdesak.

'Tenaga Inti Petir' sebagai kekuatan pamungkas milik

Pendekar Slebor juga tak banyak membantu. Gempuran-

gempuran pukulan tanpa wujud Karang Pamungkas terlalu

bertubi-tubi mencecar. Meski Tenaga Inti Petir membantu

berkali-kali untuk menahan pukulan itu, lama-kelamaan

keampuhannya kikis juga. Layaknya karang yang terkikis

oleh gempuran ombak terus-menerus.

Pendekar Slebor menyadari posisi gentingnya.

Sebagai pendekar yang ditempa dengan kekerasan sejak

kecil, dia tak akan sudi begitu saja menyerah. Tujuannya

hanya satu mendapatkan kembali Mayangseruni dalam

keadaan hidup, atau dia mati di puncak Gunung Slamet!

"Menyerah sajalah kau, Anak Muda!" seru Datuk

Kening Perak, ketika satu pukulan tanpa wujudnya untuk

kesekian kali mengikis kekuatan benteng 'Inti Petir'

Pendekar Slebor.

Dengan darah terus mengalir dari hidung dan

mulutnya, anak muda pantang menyerah itu mendengus.

"Kematian bagiku cuma jalan termudah untuk

menyelesaikan persoalan. Namun, aku harus memastikan

bahwa kematianku tidak sia-sia. Aku tidak ingin mati

sebagai pengec ut atau pecundang!" tandasnya, tegar.

Biarpun setiap kata yang diucapkan harus memenggal-

menggal napasnya yang sudah terputus-putus.

Datuk Kening Perak menyeringai. "Bagus! Keras

kepalamu pun tak beda dengan Saptacakra keparat itu,

membuatku semakin berhas-rat untuk menyingkirkan

nyawamu!"

"Kalau begitu, kenapa kau tak lakukan saja? Kenapa

kau harus memintaku menyerah? Kentut monyetlah kalian

semua!" maki Pendekar Slebor, mulut pedasnya masih juga

bisa melontarkan makian kelewatan. Bibirnya pun

memperlihatkan cengiran terpaksa. Lepas dari penderitaan

yang dirasakannya, cengiran itu tetap saja menjengkelkan.

Semenjengkelkan cengiran keledai!

"Lempar saja dia ke neraka!" teriak Datuk Kening

Merah. Betapa mengkelapnya orang tua sesat itu

mendengar kekeraskepalaan yang terlahir melalui mulut

cicit buyut musuh besarnya. Apalagi kalau dia

mengiangkan kembali makian yang keterlaluan itu.

Kepalanya seperti diinjak-injak langsung oleh telapak kaki

berlumpur... dan bau pula!

Tak berselang jauh dari teriakan mengkelapnya,

Datuk Kening Merah mengirim satu pukulan tanpa wujud

ke arah dada si pendekar muda tanah Jawa kembali.

Duar!

Benteng bercahaya 'Inti Petir' di seputar tubuh

Pendekar Slebor sebentar meredup ketika dihantam

pukulan tanpa wujud yang berkekuatan lebih dari mesiu

satu pedati itu. Tubuhnya terjajar deras ke belakang. Kuda-

kuda yang berusaha dipertahankan menciptakan jejak

panjang seperti saluran dangkal.

Malangnya, pukulan kali ini melemparkan dia tepat ke

mulut jurang. Kakinya yang goyah pun tergelincir Wajah

Pendekar Slebor menegang. Dia amat tercekat. Sebelum

dia sempat memikirkan tindakan untukmenyelamatkan

dirinya, tubuhnya sudah terlebih dahulu terjungkal.

Saat itu, kesigapan terlatihnya menyelamatkan

dirinya. Dengan cepat, tangannya menyambar bibir jurang.

Crep!

Kekuatan tenaga sakti yang telah terkuras

menyebabkan jari-jari di kedua belah tangannya sanggup

menembus dinding keras puncak gunung.

Kini tubuh pendekar muda berhati baja itu

tergelantung-gelantung di bibir jurang. Hanya sepuluh jari

yang menembus tepian puncak menjadi penahan

tubuhnya. Kakinya tak mendapatkan pijakan sama sekali.

Sedangkan tubuhnya terasa amat lemah untuk membuat

satu hentakan yang bisa mengembalikan dirinya ke atas.

Di atas kepalanya, Tiga Datuk Karang berdiri dengan

keangkuhan masing-masing. Mereka menatapi si anak

muda dengan sinar mata mencemooh.

"Nyawamu tinggal di ujung tenggorokan, Anak Muda,"

kata Datuk Kening Perak. "Kalau kau ingin memohon

ampun pada kami, tentu kau akan selamat...."

Bibir Pendekar Slebor bergetaran, menahan kekuatan

jarinya yang semakin goyah. Tubuhnya terasa semakin

melemah. Terutama karena dia telah banyak kehilangan

darah. Juga karena telah berkali-kali dia menerima

hantaman pukulan tanpa wujud yang memberondong

benteng tenaga saktinya.

Entah bagaimana bibir pemuda itu malah

memperlihatkan senyum menjengkelkannya kembali.

Sungguh di luar harapan Tiga Datuk Karang!

"Bisa kau contohkan bagaimana caranya aku

memohon ampun pada kalian? Untuk mencontohkannya,

bagaimana kalau kalian menggantikan tempatku sekarang

dan aku menggantikan tempat kalian di atas?" celotehnya,

masih sempat bergurau. Tujuannya tentu untuk meledek.

"Benar-benar keparat," desis Datuk Kening Ungu

dengan mata membesar. Bagaimana mungkin manusia

yang sudah dekal ajal masih bisa berpikir untuk melawak?

Pikirnya.

Ketiga datuk sesat itu saling berpandangan satu

dengan yang lain. Mereka seperti sedang memungut suara

untuk menentukan apakah pemuda di bawah mereka akan

dihabisi saat itu juga.

Saat itulah, ada sesuatu yang terjadi dalam diri

Pendekar Slebor. Ketika itu bertepatan dengan bulan

membulat penuh di angkasa, dan menempati tepat puncak

cakrawala malam nan kelam.

Pendekar Slebor merasakan ada perasaan-perasaan

menakutkan menjalar demikian rupa. Bergeliat di suatu

tempat dalam dirinya, kemudian mengem-bang ke sekujur

bagian tubuhnya. Gempuran perasaan yang menyebabkan

seluruh bulu halusnya meremang itu, sesekali membuat

pandangan matanya menjadi gelap. Persis seperti pernah

dialami hari-hari sebelumnya. Cuma kali ini lebih hebat.

Lebih kuat. Lebih terasa ganas mengerikan.

"Sang Penguasa Segenap Jiwa, apa yang terjadi pada

diriku?" bisiknya amat tak kentara. Pertahanan jari-jarinya

semakin kehilangan kekuatan. Dia merasa hidupnya akan

segera berakhir.

Semuanya menjadi tak terkendali Iagi. Pandangannya

menjadi pekat. Dia masih sadar. Tapi, anehnya dia seperti

tak bisa menguasai setiap jengkal bagian tubuhnya.

Lalu, hal yang ditakuti pun terjadi. Cengkeraman jari-

jemari Pendekar Slebor benar-benar terlepas dari bibir

jurang. Andika meluncur jatuh. Pada saat yang sama,

terjadi hal yang sesungguhnya lebih menakutkan.

Saat meluncur deras ke bawah, perlahan tapi pasti

tubuh Pendekar Slebor berubah wujud. Perlahan, tumbuh

bulu-bulu kasar di seluruh pori-pori kulitnya. Kulitnya pun

mengeras. Lalu beberapa bagian tubuhnya menyusut ke

bentuk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh

dirinya sendiri. Dan pada saatnya, Pendekar Slebor

berubah sempurna menjadi seekor macan berkepala

puluhan ular! Wujud menyeramkan yang pernah dihadapi

dulu, kini malah terjelma dari dirinya! Dan semua itu sama

sekali tak disadari si anak muda sakti.

"Nggungg!"

Berkelindanlah suara dengung berat meninggi

menakutkan, memenuhi celah jurang hingga ke dasarnya.

Di atas sana, Tiga Datuk Karang terlonjak. Benak masing-

masing bertanya-tanya keheranan. Suara apa itu?

Ketiganya terpancing untuk menjulurkan kepala ke

dalam jurang. Dengan mata kepala sendiri, mereka

menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka lihat selama

hidup. Nyaris saja ketiga dedengkot golongan sesat itu

tersurut mundur dari bibir jurang.

Bagaimana mereka tak dibuat terkejut kalau

ketiganya menyaksikan ada seekor macan berkepala

puluhan ular tengah memanjati dinding jurang. Setiap kali

beringsut ke atas, cakarnya terhujam ke dinding jurang

yang kekerasannya tidak diragukan.

"Kau melihat itu?" tanya Datuk Kening Merah,

takyakin dengan penglihatannya sendiri.

Dua datuk lain malah saling pandang. Mereka sendiri

ragu apakah mereka tadi tak salah lihat? Mimik wajah

ketiganya kini tak beda dengan tiga orang bodoh.

"Binatang apa itu?" tanya Datuk Kening Merah Iagi.

Sampai detik itu, matanya jadi lupa berkedip.

"Mana aku tahu, binatang laknat macam apa yang

baoi saja kita lihat!" timpal Datuk Kening Perak, sama

bingungnya.

Kebingungan yang berkecamuk dalam benak Tiga

Datuk Karang membuat mereka tanpa sadar menjulurkan

kepala untuk kedua kalinya ke bibir jurang.

Dan....

Zzzznngg!

Wush! Crash!

"Keparat!" mak: Datuk Kening Merah serak. Cepat

tangannya mendekap bahu kiri. Tepat ketika tubuhnya

menyorong ke bibir jurang, sekelebatan bayangan bergerak

cepat ke atas. Satu sambaran tak terhindarkan dan terlalu

cepat untuk disadari telah mengoyak kulit di bahu kirinya.

Koyakan itu cukup dalam. Bahkan merobek pula

dagingnya. Darah tersembur. Bajunya cepat dibasahi

darah. Sebagian terpercik ke tempat berpijak mereka.

Serempak, Tiga Datuk Karang berbalik mengikuti

gerakan kilat bayangan tadi. Mereka pun menyaksikan

secara lebih jelas sosok mengerikan tadi. Binatang jejadian

itu berdiri dengan sehimpun ancaman yang terpancar dari

berpasang-pasang mata nlar di bagian kepalanya.

Tiga Datuk Karang menelan ludah tak sadar. Selama

ini, mereka memang belum pernah mengeta-hui

kehebohan yang berlangsung di dunia persilatan ketika

Amitha mernbantai warga persilatan dengan wujud

makhluk jejadian. Kini ilmu sesat itu telah berpindah ke

dalam diri PendekarSlebor. Kalaupun Tiga Datuk Karang

mengetahui kehebohan itu, bisakah mereka mempercayai

kalau Pendekar Slebor telah berubah menjadi makhluk

haus darah seperti itu?

"Makhluk macam apa kau sebenarnya?!" desis Datuk

Kening Perak bergidik. Sebutlah mereka sebagai

dedengkot dunia persilatan golongan sesat Sebutlah

mereka sebagai tokoh yang telah banyak menelan asam-

garam. Lepas dari semua itu, mereka tetap tak bisa

memungkiri kalaudiri merekasaat itu tercekam teramat

sangat

***

Petaruh Sakti Perut Buncit tertidur di bawah sebuah

pohon beringin besar. Pulasnya jangan ditanya. Mimpinya

pun pasti sudah segerobak penuh. Kalau dilihat dari air liur

yang melimpah di sekitar dagunya, tentu dia sedang

bermimpi tentang makanan lezat.

Padahal belum lama dia baru menyantap panggangan

anak rusa. Satu ekor dilahapnya sendiri. Benar-benar rakus

tulen dia. Jangan-jangan dua ekor kalau ada bisa masuk

juga ke perutnya!

Api unggun tempatnya membakar pangganggan masih

menyisakan bara. Asap tipisnya mengambang lamat.

Sebagian melayapi wajah Petaruh Sakti Perut Buncit. Tapi,

tak pernah cukup untuk mengusik kepulasan tidur manusia

satu itu.

Soal tidur, orang tua berperut besar ini jagornya. Siang

saja dia masih sulit menahan kantuk, apalagi malam

seperti saat itu. Ditambah lagi udara dingin. Ditambah lagi

dengan perut yang kekenyangan, ditambah lagi dengan

rasa letih setelah menempuh perjalanan. Jadi. sempurna

sudah alasannya untuk tidur dan memburu mimpi. Mau

enaknya saja!

Beberapa hari lalu, dia diajak oleh Ki Saptacakra

untuk memburu Tiga Datuk Karang. Di tengah perjalanan,

entah dengan alasan apa, si tua berjuluk Pendekar

Lembah Kutukan itu memisahkan diri.

Selama tidak dengan Ki Saptacakra, Petaruh Sakti

Perut Buncit seperti anak ayam kehilangan induk. Dia

bingung untuk meneruskan pencarian ke mana. Sementara

otaknya lebih sering buntu jika diajak berpikir. Orang

bilang, otaknya memang sudah pindah ke udel! Lelaki tua

itu akhirnya malah berdiam diri di tempatnya kini tertidur.

Sedang pulas-pulasnya, sebentuk bayangan

menendap-endap dari arah selatan. Caranya bergerak

demikian ringan. Bahkan lebih ringan dari hinggapan

seekor kupu-kupu di putik bunga.

Bayangan tadi kian dekat ke arah Petaruh Sakti Perut

Buncit. Makin dekat, si pendatang makin memperlambat

langkahnya. Tepat di depan Petaruh Sakti Perut Buncit

yang mendengkur santer, orang itu melayangkan sebelah

kakinya ke kepala Petaruh Sakti Perut Buncit.

Jedug!

Kepala setengah gundul Petaruh Sakti Perut Buncit

langsung terbentur batang pohon beringin. Depan belakang

kepalanya berdenyut-denyut. Herannya, itu tidak

membuatnya terjaga. Benar-benar 'kebluk'!

Sekali Iagi si pendatang melayangkan sebelah

kakinya. Kali mi lebih keras dari sebelumnya. Jedug!

"Wait! Wait! Wait!"

Sontak saja Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit seraya

mencak-mencak memperlihatkan jurus tak ada juntrungan.

"Apa kau cuma bisa tidur saja, Buncit!" maki orang

yang baru datang.

Petaruh Sakti Perut Buncit mengerjap-kerjapkan mata

seperti biang komodo kekenyangan. Karena pandangannya

tak juga menjadi jelas akibat setumpuk tahi mata

mendekam, tangan lelaki itu pun mengusap-usap mata.

"Silili...," gumamnya setelah mengetahui dengan jelas

siapa orang yang telah membangunkannya dengan cara

semena-mena.

"Kau kira siapa, hah? Dedemit bunting penunggu

hutan?!" maki Nyai Silili-lilu, dongkol setengah edan.

"Aku kira siapa...." lanjut Petaruh Sakti Perut Buncit

seperti tak pernah mendengar makian 'adinda'nya barusan.

Dengan perasaan tak bersalah, dia hendak merebahkan

diri kembali. Tentu saja Nyai Silili-lilu jadi tambah scwot.

"Eee, mau apa Iagi kau?!" bentaknya.

"Tanggung, Sayang.... Aku tadi bermimpi makan satu

meja hidangan makanan dari surga. Tinggal satu piling

tersisa yang belum kuhabiskan. Biar aku tidur sebentar

saja, supaya sisa sepiring itu dapat kuhabiskan...," kata

Petaruh Sakti Perut Buncit mendayu-dayu.

"Makanan surga tai kucing! Kenapa tak kau makan

saja bara itu!" semprot Nyai Silili-lilu Iagi seraya menunjuk

pada bara sisa api unggun di depan Petaruh Sakti Perut

Buncit.

Kepala orang tua buncit tadi menggeleng-ge-leng.

"Bara itu tentu tak enak, Sayang. Lagipula, tak akan

pantas dijadikan makanan...," ucapnya bersung-guh-

sungguh. Sepertinya dia tak paham kalau Nyai Silili-Iilu

cuma ingin menyindirnya. Pasti otak orang berperut boros

itu belum siuman benar dari mimpinya.

Pikir punya pikir, Nyai Silili-Iilu memutuskan untuk

menambahkan sedikit 'jedug' lagi di kepala Petaruh Sakti

Perut Buncit. Biar dia benar-benar siuman dari mimpinya.

Sekali ini, harus lebih keras. Nyai Silili-Iilu bersumpah biar

disambar petit pelan-pelan, untuk melakukan itu.

Lalu....

Jedug! Bruk!

"Buncit?! Buncit?!" panggil Nyai Silili-Iilu seraya

memperhatikan kekasih tercintanya ambruk telentang tak

bergerak dengan mata mendelik dan mulut menganga

lebar.

Pingsan, pikir Nyai Silili-Iilu enteng seolah tak punya

dosa. Apa akalnya untuk menyadarkan manusia berperut

gentong satu itu? Tidurnya saja sudah 'kebluk', apalagi

pingsannya, pikir Nyai Silili-Iilu ngaco.

Sebentar perempuan berumur alot itu berpikir dengan

jari telunjuk ditekan ke dengkulnya. Sepertinya dia sudah

lupa kalau otaknya berada di kepala, bukan di dengkul!

Menurut pengetahuan ketabibannya, orang pingsan akan

cepat sadar kalau indra penciumannya menangkap

bebauan yang kuat. Minyak wangi misalnya. Sebab, pusat

indera penciuman di otak berhubungan langsung dengan

pusat kesadaran.

Nyai SiliH-lilu mengangguk-angguk. Sekarang dia

punya 'sedikit' akal untuk menyadarkan Petaruh Sakti Perut

Buncit. Dengan mengendap-endap seperti macan betina

ompong mengintai mangsa, didekatinya kepala lelaki tua

buncit itu.

Persis di depan wajahnya, disorongkannya dekat-

dekat pantat teposnya. Yang terjadi selanjutnya, tentu

gampang diduga. Jelasnya, tersebarlah ke segenap penjuru

bau yang menyengat hidung. Jangankan hidung manusia,

hidung siluman pun mungkin dibuat mengembang-kempis.

Tak lama, kontan mata Petaruh Sakti Perut Buncit

yang sudah mendelik jadi bertambah mendelik. Dia

tersentak bangun seraya mendekap perutnya. Bayangkan,

betapa 'sakti'nya bebauan yang dihasilkan Nyai Silili-Iilu.

Bagaimana tidak? Begitu sadar, Petaruh Sakti Perut Buncit

langsung muntah di tempat!

"Sekarang, jelaskan padaku ke mana Saptacakra Iler

pergi?!" serobot Nyai Silili-Iilu cepat, belum lagi rasa pusing

dua belas keliling Petaruh Sakti Perut Buncit hilang. Aku

harus memberitahu dia tentang ini...," lanjutnya seraya

memperlihatkan surat dari samakan kulit ular yang

ditinggal Andika di dalam gubuk.

***


10


Puncak Gunung Slamet kali ini tidak cuma dihuni oleh

Tiga Datuk Karang dan seekor makhluk jejadian

mengerikan, jelmaan Pendekar Slebor. Telah datang pula

tokoh lain. Manusia Dari Pusat Bumi. Entah bagaimana

caranya, tanpa diketahui oleh tiga datuk sesat, roh

manusia durjana yang menempati bangkai itu tahu-tahu

saja sudah berdiri di salah satu sisi puncak gunung.

"Bodoh! Kenapa kalian terdiam seperti itu?!"

sentaknya pada Tiga Datuk Karang.

Tiga Datuk Karang menoleh berbarengan. Mereka

sempat dibuat terheran-heran juga ketika menyadari sang

manusia bangkai telah hadir pula di sana. Padahal suara

hinggapan seekor belalang pada daun saja tak luput dari

ketajaman pendengaran mereka. Hanya karena mereka

sudah dalam kungkungan ketercekaman menyaksikan

makhluk jejadian, mereka tak begitu peduli pada hal itu.

"Apa maksudmu, Manusia Bangkai?!" tanya Datuk

Kening Perak, gusar. Matanya berkilat sekelebatan pada

Manusia Dari Pusat Bumi. Sekelebatan kemudian, beralih

kembali ke arah makhluk jelmaan Pendekar Slebor.

Terdengar dengusan berat seperti terganjal di

tenggorokan Manusia Dari Pusat Bumi.

"Kalian pikir, makhluk di depan kalian sebangsa

dedemit penunggu Gunung Slamet?! Kalau itu dugaan

kalian, kalian memang pantas disebut bodoh!" makinya

kembali.

"Jangan coba sebut kami bodoh lagi. Manusia

Bangkai! Kenapa tak kau sebutkan saja apa yang hendak

kau katakan sebenarnya?!" sergah Datuk Kening Ungu.

"Binatang jejadian itu adalah jelmaan Pendekar

Slebor!"

'Tak mungkin...," desis Tiga Datuk Karang, nyaris

bersamaan mendengar pemberitahuan Manusia Dari Pusat

Bumi barusan. Bagaimana mereka bisa percaya kalau cicit

buyut musuh bebuyutan mereka yang amat mereka kenal

dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu?

Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau

penyebabnya adalah ilmu sesat. Di lain sisi, baik Pendekar

Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia persilatan

sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu

kenyataan yang bertolak belakang sama sekali?

Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela

dengung ribuan ekor lalat yang mengerubunginya. Di lain

posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengung-

dengung kian santer mengancam.

"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki

oleh ilmu sesat tanpa disengaja. Kejadiannya berlangsung

ketika dia bertarung dengan seorang lelaki India penganut

ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar

Manusia Dari Pusat Bumi menerangkan. "Artinya, kini kita

bukan cuma menghadapi kesaktian warisan dari Pendekar

Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam

dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!"

tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.

Ucapan sang manusia bangkai menusukkan

ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.

Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang

ditakuti oleh ketiganya selaku datuk sesat rimba

persilatan.

"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal

itu? Apa nama besar kalian telah luntur?" cemooh Manusia

Dari Pusat Bumi serak.

"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening

Merah. Rahangnya jadi mengeras teramat sangat. Setapa

ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak

kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.

Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.

Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak

berdaya menghadapi kekuatan alam kegelapan milik

Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah

terpicu juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat

bertindak.

dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu?

Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau

penyebabnya adalah ilmu sesat. Di lain sisi, baik Pendekar

Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia persilatan

sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu

kenyataan yang bertolak belakang sama sekali?

Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela

dengung ribuan ekor lalat yang mengerubunginya. Di lain

posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengung-

dengung kian santer mengancam.

"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki

oleh ilmu sesat tanpa disengaja. Kejadiannya berlangsung

ketika dia bertarung dengan seorang lelaki India penganut

ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar

Manusia Dari Pusat Bumi menerangkan. "Artinya, kini kita

bukan cuma menghadapi kesaktian warisan dari Pendekar

Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam

dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!"

tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.

Ucapan sang manusia bangkai menusukkan

ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.

Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang

ditakuti oleh ketiganya selaku datuk sesat rimba

persilatan.

"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal

itu? Apa nama besar kalian telah luntur?" cemooh Manusia

Dari Pusat Bumi serak.

"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening

Merah. Rahangnya jadi mengeras teramat sangat. Setapa

ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak

kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.

Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.

Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak

berdaya menghadapi kekuatan alam kegelapan milik

Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah

terpicu juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat

bertindak.

Wsss!

Makhluk jejadian yang sebelumnya merayap tak beda

cecak di dinding jurang puncak Gunung Slamet, kini

menerkam ke arah Tiga Datuk Karang. Padahal ketiga

lelaki bangkotan sesat itu masih dalam beleng-gu

keterperanjatan terhadap serangan tiba-tiba yang

menimpa seorang dari mereka sebelumnya.

Meski belum siap, mereka tetaplah para datuk yang

naluri tarungnya demikian tinggi.

"Menyingkir!" seru Datuk Kening Perak. Bertepatan

dengan teriakan tadi, didorongnya dua datuk lain ke

sampmg. Dia sendiri cepat membuang tubuh ke depan.

Seperti kelebatan bayangan, makhluk jelmaan

Pendekar Slebor merangsak lagL Datuk Kening Perak

masih bergulingan di tanah. Dia belum cukup siap

menerima terkaman susulan. Kalau saja lelaki tua itu

bukanlah datuksesat dunia persilatan, tentudadanya akan

terkoyak saat itu juga.

Crash!

Bertepatan dengan suara batu tersambar cakar,

tubuh Datuk Kening Merah melenting ringan hanya dengan

mengandalkan sentakan otot perut! Tepat di tempatnya

terbaring sebelumnya, telah tercipta lubang besar

memanjang sekitar setengah lengan. Dari kedalaman

lubang sekitar hampir dua-tiga jengkal, tampak jelas

bagaimana dahsyatnya tenaga cakaran tadi.

Datuk Kening Perak kemudian memberi isyarat pada

dua datuk lain dengan gerakkan tangan. Datuk Kening

Merah dan Ungu berlompatan gesit bagai terbang ke

arahnya. Mereka hinggap ringan nyaris tanpa suara tepat

di samping Datuk Kening Perak.

"Karang Pamungkas!" teriaknya kemudian, sebagai

pertanda bagi dua datuk lain untuk segera memadukan

kekuatan tenaga pukulan tanpa wujud tingkat teratas

mereka. Satu inti ilmu Karang yang belum lama mereka

sempurnakan!

Ketiga tokoh sesat itu cepat menyatukan telapak

tangan satu dengan yang lain, hingga membentuk

lingkaran tertutup. Menyaksikan hal itu manusia bangkai

malah menertawakan mereka keras-keras.

Tanpa mempedulikan apa maksud Manusia Dari

Pusat Bumi menertawakan ketegangan yang sama sekali

tak lucu itu, tubuh Tiga Datuk Karang tiba-tiba mencelat

berbarengan dari tempat berpijak. Mereka meluncur kaku

ke atas seperti anak panah. Telapak tangan mereka sendiri

masih melekat satu dengan yang lain, seakan ada lenaga

sembrani maha kuat merekatkan mereka satu dengan

yang lain.

Setelah meluncur sampai tujuh tombak ke atas, tubuh

mereka berpisah dengan tiba-tiba pula. Ketiganya

berpencaran dalam kecepatan yang tak kalah cepat dari

gerak meluncur ke atas sebelumnya.

Anehnya, posisi tubuh mereka sendiri masih tetap

tegak. Layaknya tiga tonggak kaku terpancang di udara.

Tenaga hentakan demikian kuat pada telapak tangan

masing-masing tak membuat posisi tubuh mereka

bergeming.

Hal itu memancing makhluk jelmaan Pendekar Slebor

untuk menerkam salah seorang di antara mereka di udara.

Seperti sebelumnya. dalam sekali hentakan kaki belakang,

binatang jejadian itu sudah meluncur ke udara. Sasarannya

adalah tubuh Datuk Kening Ungu yang mencelat lurus ke

arah utara.

Rupanya, itulah saat yang dinanti-nanti oleh Tiga

Datuk Karang sendiri.

Menyusul terkaman ke udara si makhluk jelmaan

Pendekar Slebor, masih dengan tubuh sama-sama di

udara, telapak Tiga Datuk Karang berbarengan melepas

pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas'!

"Hiaaah!"

Wusshhh!

Sulit untuk menentukan bagaimana sesungguhnya

keadaan si makhluk jelmaan Pendekar Slebor menerima

serangan balasan tak terduga itu. Di samping tak terduga,

serangan gabungan itu bukan sembarangan. Sebelum

penyempurnaan ilmu Karang saja, Tiga Datuk Karang

sanggup melebur satu bukit karang dengan pukulan

berbarengan mereka. Bagaimana pula halnya jika mereka

menggabungkan pukulan setelah mereka menuntaskan

inti ilmu Karang?

Yang terlihat pada makhluk jejadian, cuma kilatan-

kilatan berpasang bola mata ular yang tetap mengancam

meski keadaannya sendiri sedang terancam. Dalam setiap

kilat bola mata itu, seperti tersimpan limpahan hawa

membunuh. Desis puluhan ular yang bercokol di seputar

leher macan tanpa kepala itu memadati udara,

bertumbukan dengan deru pukulan tanpa wujud 'Karang

Pamungkas' dari tiga penjuru mata angin.

Jledar!

Memang sudah tak mungkin lagi bagi binatang ganjil

jelmaan Pendekar Slebor untuk menghindar dari terjangan

ketiga lawannya. Tubuhnya pun terhajar. Sekejapan terlihat

mengejang dikawal kepulan asap bergulung berbaur

kilatan cahaya merah mera-ngasi angkasa.

Sekian kejap kemudian, tubuh makhluk jejadian itu

tertelan warna hitam yang lahir setelah kilatan cahaya

merah. Selanjutnya terlihat sosoknya menukik tajam ke

bawah. Di bawah, bibir jurang bermata tajam siap

menembus tubuhnya!

Begh!

Ajaib! Punggung binatang ganjilyang semestinya telak-

telak menghantam bibir jurang, ternyata sama sekali tak

tersentuh. Ada satu selubung tenaga tak tampak telah

membentengi sekitar tubuhnya. Sehingga, belum lagi

kulitnya menyentuh permukaan bibir jurang, tubuh

makhluk itu terpantul ke atas. Dan akhirnya jatuh tanpa

tertembus bibir jurang!

Tiga DatukKarang menjejakkan kaki pula hanya

sepersekian kejap dari jatuhnya si makhluk jejadian.

"Makhluk gila," rutuk Datuk Kening Perak

menyaksikan bagaimana lawan mereka perlahan-lahan

bangkit kembali. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Bahkan

hanya sekedar goresan kecil sekalipun!

***

Menjadi jelas sudah siapa sesungguhnya yang

dihadapi Tiga Datuk Karang. Mata mereka terbuka lebar-

Iebar. Benak ketiganya bagai dikoyak kenya-taan.

Kesaktian sempurnaan mereka yang dikira menjadi kunci

kemenangan besar atas Pendekar Lembah Kutukan

ternyata tak cukup berarti bagi makhluk jelmaan cicit

buyutnya sendiri.

"Kesaktian apa yang sesungguhnya dimiliki oleh

pemuda ini?" bisik Datuk Kening Ungu, waswas.

"Sementara kakek buyutnya sendiri tak akan mungkin

berdaya menghadapi ilmu Karang Pamungkas kami. Ini

sungguh-sungguh tak bisa kupercaya......"

Sementara ketiga datuk sesat itu ternganga-nganga,

makhluk jelmaan Pendekar Slebor mulai memperlihatkan

hawa membunuhnya. Puluhan ular di leher macan tak

berkepala itu bergerak-gerak liar. Sesekali saling lilit,

seakan hendak kusut. Desisannya makin kuat, menebar

ancaman.

Bukan hanya itu. Dari sekujur tubuhnya kini

memancar keluar cahaya berkabut keperakan. Bentuknya

seperti selubung tembus pandang. Pada saat bulan hanya

sepotong di langit, selubung cahaya itu jadi demikian jelas.

Itulah satu pertanda kalau tenaga 'Inti Petir' dalam diri

Pendekar Slebor telah juga terkerahkan tanpa disadari.

Keadaan amat terdesak ketika dirinya yang terasuki

kekuatan sesat menyebabkan terpompanya kekuatan 'Inti

Petir'. Terutama ketika pukulan 'Karang Pamungkas' Tiga

Datuk Karang merejam se-jadijadinya di tubuh makhluk

jelmaan Pendekar Slebor di udara.

Itu pula sebabnya kenapa tubuhnya luput dari

ancaman maut bibir tebing runcing. Selubung kekuatan

'Inti Petir' justru membuat tubuhnya terpantul kembali,tanpa mengalami luka apalagi tertembus bibir jurang

runcing.

"Apa Iagi ini?" desis Datuk Kening Perak. Dari nadanya

tersembul sebetik keluhan yang tak pernah pantas

mengalir keluar dari kerongkongan tokoh sesat sekelas dia.

Pada saat yang sama, kebimbangan meruyak dalam

diri masing-masing anggota Tiga Datuk Karang tersebut

Satu pertanyaan besar melintas dalam benak mereka.

Mestikah mereka lari sebagai pecundang kalau kesaktian

andalan mereka sudah tak Iagi berguna?

Tanpa ada kesempatan untuk menjawab apalagi

menuntaskan kebimbangan tadi, Tiga Datuk Karang

dipaksa untuk berpencaran cepat ketiga penjuru berbeda.

Lawan nan ganjil mereka untuk kesekian kalinya

menerkam. Arahnya lurus. Persis melewati sekaligus

tempat berdiri tiga datuk sesat itu.

Cepat tak ubahnya bayangan dedemit, makhluk

jelmaan Pendekar Slebor mencoba menggorok leher Datuk

Kening Ungu dengan cakarnya terlebih dahulu. Kalau

hanya kecepatan, tentu saja orang sekelas Datuk Kening

Ungu tak akan kerepotan meski serangan lawan demikian

cepat. Lain Iagi masalahnya jika dia sendiri belum siap

menghadapi serangan tersebut. Datuk Kening Ungu

terkesiap sekedipan mata. Saat yang tak jauh berselang,

kelebatan lawan sudah teramat dekat ke arahnya.

Dengan nekat, Datuk Kening Ungu mengerahkan

puncak pukulan tanpa wujudnya di telapak tangan kanan.

Dia cepat melompat ke samping seraya melepas pukulan

bertenaga dalam tingkat tingginya. Harapannya cuma satu.

kalau beruntung tentu cakar lawan akan tertahan

pukulannya dan tubuhnya sela-mat dari sambaran cakar

maut itu. Harapannya terkabul. Desh!

Terdengar dentum kecil akibat benturan tenaga

pukulan tanpa wujud dengan cakar makhluk jejadian di

udara.

Kalau menilai bagaimana hebatnya Datuk Kening

Ungu mengerahkan puncak tenaga pukulan tanpa

wujudnya, tentu tubuh makhluk jelmaan Pendekar Slebor

di udara akan terpental. Setidaknya terkamannya akan

tertahan seketika.

Kenyataan yang terjadi justru tak bisa diterima akal

sehat Datuk Kening Ungu. Terkaman si makhluk jejadian

malah makin melesat. Entah bagaimana caranya, tenaga

hantaman pukulan tanpa wujud Datuk Kening Ungu telah

dimanfaatkan untuk menambah kecepatan terkamannya

ke sasaran lain.

Sasaran berikutnya adalah Datuk Kening Perak.

Jaraknya sekitar lima-enam tombak dari posisi Datuk

Kening Ungu sebelumnya Jarak sejauh itu bagi ukuran

datuk golongan atas tentu dapat dimanfaatkan dengan

baik untuk menghindari terkaman lawan.

Namun lagi-lagi semuanya diluar perhitungan Tiga

Datuk Karang sama sekali. Kecepatan terkaman tambahan

akibat pukulan Datuk Kening Ungu sebelumnya, memaksa

Datuk Kening Perak pun bertindak sama.

Dia tak mungkin hanya bisa menghindar, sebab lawan

demikian cepat datang. Sementara sekilasan, mata tajam

tokoh tua sesat itu menangkap kelebatan cakar lawan

mengarah ke tempurung kepalanya. Jalan untuk selamat

satu-satunya adalah menghindar sambil melepas

hantaman papakan. Persis seperti dilakukan Datuk Kening

Ungu sebelumnya! Desh!

Sekali lagi, tenaga papakan lawan dimanfaatkan

dengan cara sulit dimengerti oleh ketiga lawannya untuk

menambah kecepatan terkaman. Yang sial adalah sasaran

terakhir, Datuk Kening Merah. Kelebatan gerak lawan di

udara demikian tajam mengarah dirinya. Terlalu sulit

baginya untuk menghindar. Juga tak mungkin lagi baginya

untuk melepas hantaman balasan.

Crash!

"Akh!" Hanya suara tertahan itu yang terdengar dari

mulut Datuk Kening Merah. Kesialan kedua setelah

robeknya sebelah bahunya telab menyebabkan tokoh tua

itu mengejang di tempat. Matanya mendelik. Kedua bola

mata kelabunya seperti hendak melejit keluar dari ceruk

cekung itu. Ada garis-garis menggidikkan tergambar pada

mimik wajah si tua sakti go-longan sesat itu. Gambaran

mimik orang yang merangkaki detik-detik terakhir

nyawanya!

Tak lama setelah mengejang tegang, tubuh Datuk

Kening Merah ambruk ke tanah. Ketika meninju tanah,

terbelahlah tempurung kepala lelaki sesaat itu menjadi tiga

bagian. Seluruh isi kepalanya berhamburan bersama

cipratan darah!

Dua datuk lain seperti tertenung di tempat. Mereka

terbelalak sebesar-besarnya. (Kalau ingin kentut,

barangkali tak bisa keluar juga)!

Saat-saat lengah seperti itu, datang lagi kelebatan

cepat dari makhluk jelmaan Pendekar Slebor. Meluruk,

laksana ketergesaan sambaran halilintar pada pucuk

kelapa.

Kepala keduanya menoleh berbarengan begitu

mendengar dengung khas menggempur nyali. Untuk

menghindar, mereka tak punya kesempatan lagi. Sampai....

Crash crash!

Tanpa sepenggal teriakan pun. leher keduanya

terbabat habis. Mereka cuma laksana ilalang tertebas

parang. Anehnya, tubuh dua datuk tersebut tak segera

menukik ke bawah. Keduanya beberapa saat mematung

seperti tinggal mengucurkan darah. Baru dalam beberapa

helaan napas kemudian, tubuh tanpa kepala dua datuk

sesat itu mencium bumi.

Malam kian lelah. Dini hari muncul diam-diam.

Di puncak Gunung Slamet, sesosok tubuh tampak

berubah perlahan-lahan. Dari wujud seekor hewan tak

masuk akal, kembali ke bentuk asalnya, se-rang pemuda

yang lampak demikian letih dan kacau-balau. Menyusul

sempurnanya wujud pemuda itu kembali Pendekar Slebor

tersungkur ke bumi. Wajahnya tampak kosong melompong.

Matanya terhujam lengang ke bulan sepenggalan di

angkasa malam.

Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut

Buncit tiba menjelang pagi. Ki Saptacakra membopong

tubuh lunglai Mayangseruni di bahunya. Mereka datang

ketika ksatria muda tanah Jawa masih tergugu.

"Kerjaan siapa ini?" gumam Ki Saptacakra terpana-

pana menyaksikan tiga bangkai Tiga Datuk Karang yang

sesungguhnya sudah teramat sulit untuk ditandinginya

karena telah menyempurnakan kesaktian.

Sedangkan si perempuan uzur setengah edan malah

sibuk melambai-lambaikan telapak tangannya di depan

wajah Andika yang masih terpaku. "Kau baru kena sawan,

Anak Muda Slompret?" bisiknya sem-barangan.

Sementara, manusia bangkai tumpangan roh Manusia

Dari Pusat Bumi telah tak ada Iagi di tempatnya....


                SELESAI


PENDEKAR SLEBOR

Segera terbit!

SERIGALA-SERIGALA LAPAR








Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive