TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Tumpahan Darah Di Supit Urang
128 hal.
SATU
SANG mentari telah sejak tadi menampak-
kan diri di angkasa. Dan sekarang bola raksasa
itu telah hampir mencapai titik tengahnya. Di ba-
wah sinar sang Mentari yang garangnya bagai
hendak melelehkan bumi, seorang wanita menge-
nakan pakaian ketat berwarna gelap berlari ter-
huyung-huyung memasuki sebuah hutan kecil.
Dia adalah seorang perempuan berparas
cantik, berusia kurang lebih dua puluh lima ta-
hun. Rambutnya panjang tergerai dan berombak.
Sepasang matanya bulat besar dan berwarna ke-
biruan. Hidungnya mancung. Bibirnya bagus.
Dadanya kencang membusung dengan pinggul
besar.
Perempuan berpakaian gelap ini hentikan
larinya ketika telah memasuki hutan kecil itu!
Pantatnya dihempaskan ke tanah, sedangkan
punggungnya disandarkan pada batang pohon
yang cukup besar.
Perempuan bermata kebiruan ini menye-
ringai. Dengan hati-hati tangan kirinya diangkat.
Tapi, seringai kesakitan semakin menghiasi wa-
jahnya.
"Bangsat...! Terkutuk...! Dewi Kayangan
keparat...! Kau telah membuatku cacat! Aku tak
akan mati meram jika belum bisa membalaskan
sakit hati ini!"
Perempuan berpakaian gelap ini kelihatan
sangat geram. Rahangnya menggembung besar.
Tangannya mengepal kencang. Sepasang matanya
memancarkan kebencian besar!
"Gongging Baladewa! Kau pun tak akan
kubiarkan hidup tenang! Tunggu saja pembala-
sanku! Asal kalian tahu saja, Ratu Pulau Merah
tak bisa dihina begitu saja!"
Perempuan bermata kebiruan yang ternya-
ta adalah Ratu Pulau Merah ini, wajahnya terlihat
mengelam didera dendam!
Namun, mendadak Ratu Pulau Merah
arahkan sepasang matanya ke sekeliling.
"Aku merasa diawasi seseorang! Sialan be-
tul! Padahal, aku telah memilih tempat yang
sunyi. Bahkan jalan-jalan yang kupilih pun yang
jarang dilalui orang pula! Apa boleh buat, aku ha-
rus mencari tempat yang lebih aman. Keadaanku
tengah tak memungkinkan untuk bertarung."
Ratu Pulau Merah bergerak untuk bangkit
dan tinggalkan tempat itu. Tapi, baru saja tubuh-
nya tegak, sekonyong-konyong semak belukar
yang berjarak lima tombak di sebelah kanannya,
menguak! Sesosok bayangan berkelebat seraya
memperdengarkan dengusan keras!
Sepasang mata Ratu Pulau Merah membe-
liak. Untuk beberapa jurus lamanya, perempuan
ini memperhatikan sang Pendatang. Dahinya
mengernyit seakan mengingat-ingat sesuatu. Da-
lam hati dia berucap.
"Hm.... Jika tak salah manusia ini adalah
orang yang tergeletak sewaktu aku hendak mere-
but Arca Dewi Bumi dari tangan Pendekar Mata
Keranjang.... Bahkan, kalau aku tak salah den-
gar, dia memanggil guru pada Kakang Dadung
Rantak. Mungkin dia murid tua bangka itu."
Si pendatang yang menjadi pusat perhatian
Ratu Pulau Merah adalah seorang perempuan
yang tidak muda lagi. Ini terlihat dari kerutan
yang menghiasi kulit wajahnya. Dia mengenakan
pakaian panjang berwarna hitam yang dilapis
dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya
yang panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi
sebagian punggung dan wajahnya. Sepasang ma-
tanya bulat besar dan tajam. Hidungnya man-
cung! Pada lubang hidung di sebelah hidungnya,
melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning!
"Masih ingat padaku?!" tanya perempuan
berjubah putih, setengah mengejek.
"Tentu! Tentu aku masih ingat...!" jawab
Ratu Pulau Merah, seraya tetap memandang tak
berkesip. "Kau yang memanggil guru pada Da-
dung Rantak bukan?!"
"Hm.... Bagus kau masih ingat! Aku me-
mang murid tua bangka itu. Aku, Dayang Naga
Puspa!" tandas perempuan berjubah putih seraya
angkat kepalanya.
"Kalau begitu kau terhitung muridku juga
karena Dadung Rantak adalah kekasihku."
Diam-diam di dalam hatinya, Ratu Pulau
Merah berkata.
"Kalau aku tak sedang terluka sudah kuki-
rim kau ke neraka! Pula, siapa kesudian mempu-
nyai kekasih tua bangka itu?!"
"Bagiku itu bukan masalah!" tandas
Dayang Naga Puspa keras. "Kau telah melakukan
satu kesalahan padaku! Kesalahan yang amat be-
sar! Dan, aku tak bisa membiarkannya!"
"Keparat...! Kalau aku tak tengah begini,
kurobek-robek mulutmu dan kucincang tubuh-
mu!" maki-maki Ratu Pulau Merah dalam hati.
Perempuan berpakaian gelap ini menun-
dukkan kepala untuk menyembunyikan kemara-
han yang membayang di wajah. Ketika kepalanya
diangkat kembali, wajah itu telah berubah kem-
bali seperti semula, bahkan terhias senyum.
"Seingatku..., kita hanya bertemu sekali,
Dayang Naga Puspa."
"Betul!"
"Kalau begitu, kapan aku membuat kesala-
han terhadapmu?!"
"Saat itu juga, Ratu Keparat!" dengus
Dayang Naga Puspa dengan mata membeliak ka-
rena marah besar. "Kau telah membawa kabur
senjataku. Tombak Naga Puspa dan Keris Papak
Geni! Sayang, saat itu aku tengah tak berdaya ka-
rena totokan Dewi Kayangan sialan itu! Kalau ti-
dak, saat itu juga kau telah kukirim ke lubang
kubur! Ratu keparat! Kau tahu, begitu berhasil
bebas dari totokan, aku mencari-carimu! Tapi, ba-
ru kali ini usahaku membuahkan hasil! Hm....
Kau telah membuatku susah besar! Untuk kesa-
lahan itu nyawamu pun belum cukup untuk pe-
nebusnya!"
"Meskipun aku... mempunyai hubungan
dekat dengan gurumu?!" pancing Ratu Pulau Merah
"Jangankan hanya kekasih guruku, sekali-
pun tua bangka itu sendiri yang mengambilnya,
akan kucopot nyawanya! Sekarang, cepat serah-
kan kembali milikku itu! Bila itu kau lakukan,
dengan mengingat adanya kemungkinan kau tak
tahu kalau senjata itu milikku, dan mengingat
hubunganmu dengan Eyang Dadung Rantak, kau
boleh tinggalkan tempat ini!"
Di mulut Dayang Naga Puspa berkata se-
perti itu, tapi hatinya berbicara pula, menyam-
bung ucapannya.
"Kau boleh tinggalkan tempat ini tapi sete-
lah terlebih dulu melepas nyawa!"
Ratu Pulau Merah menampakkan paras
penuh penyesalan.
"Sayang sekali, Dayang Naga Puspa. Senja-
ta-senjata itu telah tidak ada padaku lagi diram-
pas orang! Kau lihat keadaan diriku?! Ini terjadi
karena mencoba mempertahankan senjata itu.
Kalau saja tak dirampas orang, dengan senang
hati akan kuberikan padamu."
"Benar akan kuberikan padamu, tapi sete-
lah kau jadi mayat di tanganku, Perempuan Sun-
dal!" sambung perempuan berpakaian gelap ini
dalam batin.
"Ratu Keparat!" bentak Dayang Naga Puspa
dengan rahang menggembung karena marah be-
sar mendengar jawaban yang didapatnya. "Aku
tak punya banyak waktu untuk main-main. Cepat
serahkan senjata-senjataku! Atau..., kau ingin
nyawamu kucopot?!"
"Bangsat! Budak perempuan ini benar
benar keterlaluan! Aku tak rela mati bila belum
membalas hinaan ini!" rutuk Ratu Pulau Merah
dalam hati, tapi segera berkata.
"Aku tidak main-main, Dayang Naga Puspa!
Senjata-senjata itu memang tak ada padaku lagi!
Telah dirampas oleh Gongging Baladewa dan Dewi
Kayangan. Bahkan kipas hitamku pun telah di-
rampasnya! Kalau kau tidak percaya, silakan ge-
ledah!"
Dayang Naga Puspa mendengus. Sepasang
matanya masih membeliak besar.
"Gongging Baladewa dan Dewi Kayangan.
Bagaimana mungkin aku dapat merampasnya
kembali?! Baru Gongging Baladewa seorang saja,
tak mampu kutanggulangi," kata Dayang Naga
Puspa dalam hati. "Semua ini akibat ulah si ratu
keparat ini!"
"Kalau begitu, kau harus menggantinya
dengan nyawamu, Ratu Keparat!" bentak Dayang
Naga Puspa seraya sentakkan tangan kirinya!
Wuttt!
Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-
luar dari tangan kiri Dayang Naga Puspa.
Ratu Pulau Merah terkejut. Dia segera re-
bahkan tubuh sejajar tanah seraya bergulingan.
Hingga serangan Dayang Naga Puspa menerabas
di atas tubuhnya.
Dayang Naga Puspa tak sia-siakan kesem-
patan. Sepasang kakinya segera saja disapukan
menyusur sejengkal di atas tanah! Sementara ke-
dua tangannya berkelebat menunggu di atas!
Ratu Pulau Merah tahu dirinya terkurung
dari bawah dan atas, cepat menambah tenaga,
sehingga gulingan tubuhnya semakin cepat. Wa-
jah perempuan berpakaian gelap ini menyeringai
karena tangan kirinya yang sakit beberapa kali
terhimpit tubuhnya. Tapi, demi menyelamatkan
selembar nyawa, hal itu tak dipedulikannya.
Rupanya nasib kurang bagus berpihak pa-
da Ratu Pulau Merah, karena saat itu gulingan
tubuhnya mendekati sebatang pohon. Di lain pi-
hak, Dayang Naga Puspa yang tak mau kehilan-
gan buruan, terus melayang mengikuti gulingan
tubuh Ratu Pulau Merah.
"Sial!" batin Ratu Pulau Merah, mengetahui
adanya hambatan itu. "Kalau tidak bertindak ce-
pat, nyawaku bisa melayang."
Perempuan bermata kebiruan ini semakin
mempercepat gulingannya, dan begitu tubuhnya
mentok pada batang pohon, serta merta dia jejak-
kan kakinya di tanah.
Desss!
Terdengar suara tertahan dari mulut Ratu
Pulau Merah tatkala tangan kiri Dayang Naga
Puspa menghantam dada kanannya! Seketika tu-
buh perempuan ini melayang dan terbanting ke-
ras di tanah! Gerakan Ratu Pulau Merah untuk
selamatkan diri sedikit terlambat. Dan sekarang
tubuh perempuan berpakaian gelap ini rebah di
tanah.
"Alam kubur telah menunggumu, Ratu Ke-
parat!"
Berbareng lenyap seruannya, Dayang Naga
Puspa lepas tawa berderai seraya dongakkan kepala. Dan ketika kepala itu dikembalikan ke tem-
pat semula, tangan kanannya dijulurkan ke arah
Ratu Pulau Merah. Perempuan bermata kebiruan
ini sadar akan adanya ancaman maut, berusaha
kerahkan tenaga dalam untuk bangkit. Namun,
yang dapat dilakukannya hanya mengangkat tu-
buh bagian atasnya, dan hanya sebentar. Hingga
tanpa ampun lagi tubuhnya terkapar di atas ta-
nah.
"Pergilah ke neraka, Ratu Keparat!" maki
Dayang Naga Puspa. Dia serta-merta sentakkan
kedua tangannya.
Serangkum angin deras menggebrak ke
arah Ratu Pulau Merah. Paras wajah Ratu Pulau
Merah pias. Dia membatin.
"Celaka...! Rupanya nyawaku harus lepas
di tangan budak perempuan sundal itu! Sial be-
tul...! Padahal, aku masih belum puas menikmati
hidup!"
Bersamaan dengan melesatnya serangan
jarak jauh Dayang Naga Puspa, serangkum angin
dahsyat yang tak keluarkan suara menyambar,
memapaki dari arah yang berlawanan.
Blaaarrr...!
Terdengar suara ledakan dahsyat ketika
dua pukulan jarak jauh itu bertemu. Tanah di
bawah tempat bertemunya dua pukulan dahsyat
itu terbongkar. Bongkahannya berpentalan ke sa-
na kemari. Tubuh Dayang Naga Puspa terseret
sampai beberapa langkah ke belakang. Tapi, pe-
rempuan ini cepat kerahkan tenaga untuk mema-
tahkan daya luncuran itu, hingga tidak terjengkang dan terbanting di atas tanah.
Dayang Naga Puspa terperangah kaget ke-
tika kedua kakinya telah menjejak tanah. Diam-
diam perempuan berjubah putih ini segera mak-
lum jika orang yang menghalangi tindakannya
adalah orang yang tidak bisa dipandang sebelah
mata.
Belum hilang rasa kaget Dayang Naga Pus-
pa, dari sebelah depannya melesat dua sosok
bayangan hitam dan putih. Si bayangan hitam
berkelebat terus melewati tubuh Ratu Pulau Me-
rah dan menjejakkan kaki berjarak dua tombak
dari Dayang Naga Puspa. Sedangkan bayangan
putih berdiri di belakang Ratu Pulau Merah.
Sepasang mata Dayang Naga Puspa mem-
beliak mengawasi dua orang pendatang baru. Da-
hinya berkerut seakan-akan mengingat. Namun,
dia tak bisa mengenali dua sosok bayangan itu.
Si bayangan hitam, yang berdiri di depan
Dayang Naga Puspa, memunggungi Ratu Pulau
Merah adalah seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-
hangnya kokoh. Rambutnya panjang dan lebat.
Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-
gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak
sebuah lukisan pintu gerbang.
Sementara si bayangan putih yang berdiri
di dekat Ratu Pulau Merah adalah seorang gadis
muda berparas jelita. Rambutnya panjang dan di-
biarkan jatuh bergerai di punggungnya. Sepasang
matanya bulat serta tajam. Mengenakan pakaian
warna putih tipis dan ketat, hingga dadanya yang
membusung kencang tampak menonjol, apalagi
karena pakaiannya dibuat agak rendah di bagian
dada hingga buah dadanya yang putih kencang
itu tersembul sebagian.
"Siapa kedua orang itu? Apa hubungannya
dengan Ratu Pulau Merah? Tapi, siapa pun
adanya, dia telah mencampuri urusanku! Aku ha-
rus usir dia! Kalau perlu kubunuh!" batin Dayang
Naga Puspa seraya memperhatikan si pemuda
dan si gadis
.
DUA
HE...! Siapa kau?! Dan apa hubunganmu
dengan wanita sundal itu?!" bentak Dayang Naga
Puspa, keras. Dibentak demikian, sang pemuda
tengadahkan kepala, lalu berkata tak kalah keras.
"Pasang telingamu baik-baik! Aku adalah
Dewa Maut! Dan aku tak mempunyai hubungan
dengan wanita itu. Aku akan pergi dari sini apabi-
la kau dapat menunjukkan padaku di mana
adanya orang yang kucari!"
Entah karena merasa gentar menyadari
orang di hadapannya berilmu tinggi - mengingat
dalam benturan tadi dibuat terpental - atau kare-
na ingin si pemuda segera pergi, agar dia dapat
membunuh Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Pus-
pa segera angkat bicara.
"Siapa yang kau cari, Dewa Maut?!"
Si pemuda yang bukan lain dari Dewa
Maut, keluarkan tawa panjang. Tapi, secara mendadak tawanya putus seperti direnggut setan. Ke-
palanya didongakkan.
"Katakan padaku, di mana dapat kutemu-
kan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Ber-
darah Biru!"
Paras wajah Dayang Naga Puspa berubah.
Dia memandang tajam ke arah Dewa Maut den-
gan dahi mengernyit dalam. Hati perempuan ini
berucap.
"Hm.... Jadi pemuda ini yang baru muncul
dan menurut berita yang tersiar memiliki kepan-
daian tinggi.... Mengapa dia mencari Pendekar
Mata Keranjang. Apakah ada silang sengketa an-
tara mereka?!"
"Dewa Maut! Aku memang pernah dengar
bahkan pernah beberapa kali bertemu dengan
Pendekar Mata Keranjang. Katakan, mengapa kau
mencarinya?!" tanya Dayang Naga Puspa seraya
menyambung pernyataan itu dalam hatinya. "Ma-
lah aku telah beberapa kali bertempur dengan
pemuda tolol itu. Pendekar Mata Keranjang ada-
lah musuh besarku! Tapi, ini tak mungkin kuka-
takan padamu, Dewa Goblok! Karena aku belum
tahu di pihak mana kau berdiri. Barangkali saja
kau merupakan sahabat Pendekar Mata Keran-
jang!"
"Itu urusanku! Dan, kau tak perlu tahu!"
tandas Dewa Maut, tak senang.
"Kalau begitu aku pun tak bisa memberita-
hukan jawabannya," Dayang Naga Puspa ikut
berkeras.
Paras wajah Dewa Maut mengelam. Ra
hangnya menggembung besar. Dia marah men-
dengar tanggapan yang tak diharapkannya itu.
"Bangsat! Kalau tak mengingat keteran-
gannya kuperlukan, kuhancurkan mulut wanita
sundal ini...!" maki Dewa Maut dalam hati.
"Aku ingin mengambil nyawanya!" tandas
Dewa Maut sambil mengepalkan kedua tangan-
nya.
"Kalau begitu kita segolongan. Aku pun
mempunyai silang sengketa dengan pemuda itu.
Dan karena mempunyai musuh yang sama, ba-
gaimana kalau kita bergabung, agar lebih besar
kemungkinannya untuk bisa melenyapkan Pen-
dekar Mata Keranjang?!" lanjut Dayang Naga Pus-
pa, mengajukan diri.
"Dewa Maut tak perlu bantuan! Dewa Maut
sanggup mengirim siapa pun ke akhirat tanpa
campur tangan orang lain! Sekarang, katakan di
mana adanya Pendekar Mata Keranjang?!"
"Dan Malaikat Berdarah Biru?!" Dayang
Naga Puspa menyambung seraya mengingatkan.
Dewa Maut anggukkan kepalanya.
"Itu lebih baik lagi kalau kau mengeta-
huinya juga! Tapi ingat, jika kau tak dapat mem-
berikan jawaban yang memuaskan, saat ini ada-
lah terakhir kalinya kau melihat matahari!"
Dayang Naga Puspa kertakkan gigi. Dia
marah besar. Perempuan berjubah ini tak kuasa
sabar lagi. Sikap Dewa Maut yang terus-menerus
menekannya tanpa memandang sebelah mata
sama sekali, membuat kemarahannya tak bisa dibendung.
"Kaulah yang akan pergi ke neraka, Dewa
Maut!. Dayang Naga Puspa bukan orang yang
mudah kau hina!"
Dewa Maut berkacak pinggang seraya don-
gakkan kepala memperdengarkan tawa berderai.
Di lain pihak, Dayang Naga Puspa kontan komat-
kamit. Sepasang matanya terpejam. Dan dengan
didahului bentakan keras, perempuan berjubah
putih ini melesat ke arah Dewa Maut. Tapi, bebe-
rapa langkah lagi tiba di sasaran, dia berbelok,
kemudian berputar-putar mengelilingi Dewa Maut
yang tetap tak bergeming!
Tubuh Dayang Naga Puspa lenyap terganti
dengan bayang-bayang yang berputaran cepat.
Sejurus kemudian, angin kencang bergemuruh,
mengurung tubuh Dewa Maut. Malah, perlahan-
lahan tubuh pemuda itu terangkat naik!
Mendadak, seberkas sinar hitam menyam-
bar ke arah dada Dewa Maut! Saat itu baru Dewa
Maut sentakkan tangan kanannya.
Bummm!
Dayang Naga Puspa terpekik. Tubuhnya
melayang ke udara. Setelah bersalto beberapa kali
di udara, akhirnya perempuan ini berhasil menje-
jak tanah dengan kedua kakinya. Sementara, De-
wa Maut tetap diam di tempatnya, seakan tak ter-
pengaruh sama sekali!
Dayang Naga Puspa maklum jika dirinya
belum mampu untuk menandingi lawan. Hingga
saat itu juga dia memutuskan untuk menyudahi
pertarungan.
"Tahan...!" teriak Dayang Naga Puspa keti
ka melihat Dewa Maut hendak bergerak melan-
carkan serangan.
Dewa Maut hentikan gerakan. Dia dongak-
kan kepala sambil tertawa. Nadanya jelas mere-
mehkan.
"Kalau kau masih tak mau jawab tanyaku,
akan kukirim kau ke lubang kubur sebelum Pen-
dekar Mata Keranjang dan Malaikat Berdarah Bi-
ru!"
"Dewa Maut keparat! Kali ini kau boleh ter-
tawa. Tapi, kelak kau akan menangis di bawah
kakiku!" maki Dayang Naga Puspa dalam hati,
penuh rasa dendam.
"Dewa Maut! Aku akan jawab tanyamu.
Tapi, aku ingin tahu mengapa kau mencari Ma-
laikat Berdarah Biru?"
"Kurasa tak ada salahnya wanita sundal ini
tahu. Barangkali saja, itu akan membuat usaha-
ku lebih mudah." batin Dewa Maut. Setelah ber-
pikir sejenak dia buka mulut.
"Sebenarnya aku tak punya silang sengketa
dengannya! Kenal pun tidak! Dia menjadi burua-
nku karena di tangannyalah kipas hitam buatan
Empu Jaladara!"
Dayang Naga Puspa dan Ratu Pulau Merah
terperangah. Kedua perempuan itu sama-sama
terkejut. Malah gadis berpakaian hitam ketat,
ikut-ikutan terkejut.
"Rasa-rasanya aku pernah melihat kipas
hitam yang dimaksud Dewa Maut keparat ini!
Hm... benar! Bukankah sewaktu perebutan Arca
Dewi Bumi?! Aku ingat sekarang. Kipas hitam itu
ada di tangan Ratu Pulau Merah! Tapi, kalau ku-
beritahukan, dan Dewa Maut mendapatkannya,
bukankah aku rugi sendiri?! Eh..., bukankah ki-
pas itu katanya telah dirampas oleh Gongging Ba-
ladewa?! Ini merupakan jalan yang baik bagiku
untuk dapat merampas kembali senjata-senjata
milikku. Dengan bantuan Dewa Maut, kemungki-
nan merampasnya senjata-senjata itu jauh lebih
besar! Setelah itu, tinggal pikirkan jalan untuk
singkirkan Dewa Maut!" batin Dayang Naga Puspa
berbicara.
"Melihat sikap dan perubahan wajahnya,
aku yakin wanita sundal ini mengetahui sesuatu.
Kalau, jawabannya tak memuaskan hatiku, akan
kubunuh dia!" kata hati Dewa Maut. Lalu dia
membentak.
"Mengapa malah tercenung?! Atau..., kau
tak ingin jawab tanyaku?!"
"Aku bukannya tercenung, Dewa Maut, tapi
aku kaget mendengar alasanmu mencari Malaikat
Berdarah Biru!" jawab Dayang Naga Puspa. "Kau
tahu, kipas hitam itu telah dirampas lagi dari
tangan Malaikat Berdarah Biru oleh Pendekar Ma-
ta Keranjang. Pendekar Mata Keranjang memberi-
kannya lagi pada gurunya, Wong Agung dari Ka-
rang Langit."
"Jadi..., kipas dan bumbung itu berada di
Karang Langit?!" geram Dewa Maut.
Pertanyaan Dewa Maut membuat Ratu Pu-
lau Merah tegang. Dia berharap Dayang Naga
Puspa anggukkan kepala. Tapi, harapannya kan-
das, ketika dilihatnya Dayang Naga Puspa mengerling ke arahnya seraya sunggingkan senyum
mengejek. Kemudian, perempuan berjubah putih
ini angkat bicara.
"Semula memang demikian, Dewa Maut.
Tapi, seseorang telah mencurinya dari Karang
Langit."
"Keparat! Katakan siapa pencuri keparat
itu! Dia akan berhadapan dengan Dewa Maut!"
desak pemuda berjubah hitam, tak sabaran. Ra-
hangnya sampai menggembung besar.
"Ratu keparat itulah yang mencurinya!" ja-
wab Dayang Naga Puspa dengan suara lebih dike-
raskan seraya menuding Ratu Pulau Merah. "Ki-
pas dan bumbung yang kau cari ada di tangan-
nya!"
Dewa Maut arahkan pandangan pada Ratu
Pulau Merah. Kemudian, alihkan lagi pada gadis
berpakaian hitam.
"Dewiku.... Minta kipas dan bumbung itu.
Kalau tidak diberikan, siksa dia!" Dewa Maut ber-
kata pada si gadis yang bukan lain dari Anting
Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam memandang Ratu
Pulau Merah yang juga menatapnya. Setelah ter-
senyum sinis, gadis cantik ini buka mulutnya.
"Kau telah dengar apa yang dikatakan oleh
kekasihku, bukan?! Cepat serahkan kipas hitam
dan bumbung sebelum kau lebih menderita lagi
karenanya."
"Bangsat terkutuk! Dayang Naga Puspa ke-
parat! Kau akan kubuat menyesal hidup ke du-
nia!" maki Ratu Pulau Merah dalam hati seraya
arahkan sepasang matanya pada Dayang Naga
Puspa. Si perempuan berjubah malah tersenyum
mengejek. Ratu Pulau Merah semakin geram. Dia
alihkan pandangannya pada Dewa Maut dan Dewi
Tengkorak Hitam.
"Kipas dan bumbung itu memang ada pa-
daku. Tapi, telah dirampas oleh Gongging Bala-
dewa dan Dewi Kayangan. Malah, aku dilukainya.
Kalau masih ada padaku, dengan senang hati
akan kuserahkan!" beritahu Ratu Pulau Merah
sejujurnya, kendati hatinya ingin memberikan ja-
waban berbeda. Tapi, perempuan bermata kebi-
ruan ini khawatir berbohong terhadap Dewa Maut
yang pemarah.
"Keparat!" Dewa Maut membanting kaki
kanannya hingga amblas ke dalam tanah sampai
mata kaki. Rahangnya menggembung besar. Pe-
muda ini marah bukan main, mengetahui urusan
demikian berbelit-belit. "Katakan di mana adanya
Gongging Baladewa! Kalau tidak, kalian berdua
akan mati tak meram!"
"Kukira tak ada gunanya mencari Gongging
Baladewa, Dewa Maut," kali ini Dewi Tengkorak
Hitam yang bicara. "Tokoh itu tak mempunyai
tempat tinggal tetap. Senantiasa berkelana."
"Dewiku..., jadi kau ingin aku hentikan
pencarian terhadap kipas hitam dan bumbung
itu?!"
"Tidak, Dewa Maut," Dewi Tengkorak Hitam
gelengkan kepalanya. "Kalau ada cara yang mu-
dah mengapa mencari cara yang sukar?!"
"Dewiku, jangan berteka-teki lagi. Katakan
saja terus terang," Dewa Maut mulai tak sabar.
Dewi Tengkorak Hitam melangkah maju
kemudian lingkarkan tangannya pada pinggang
Dewa Maut, dan rapatkan dadanya pada pung-
gung si pemuda.
"Beberapa hari lagi pertemuan di Lembah
Supit Urang tiba. Aku yakin, orang-orang yang
kau cari, Gongging Baladewa dan Pendekar Mata
Keranjang, serta Dewi Kayangan, akan hadir di
sana. Nah! Bukankah itu lebih mudah daripada
mencari-cari ke sana kemari tanpa tujuan?!"
Dewa Maut dongakkan kepala seraya per-
dengarkan tawa berderai.
"Dewiku.... Saranmu itu tepat sekali! Se-
perti yang kukatakan pada Manusia Titisan Dewa
dan Iblis Gelang Kematian, aku akan hadir di sa-
na. Aku akan menjadi raja di raja rimba persila-
tan. Mereka semua akan menjadi laskarku! Dan,
orang-orang golongan putih, terutama Pendekar
Mata Keranjang, Wong Agung, Dewi Kayangan,
dan Gongging Baladewa akan kulenyapkan! Da-
rah mereka akan tertumpah di Supit Urang!
Tumpahan darah mereka membasahi Lembah
Supit Urang! Ha ha ha...! Dewiku.... Mari kita per-
gi!"
Tanpa mempedulikan Dayang Naga Puspa
dan Ratu Pulau Merah lagi, Dewa Maut menyam-
bar tangan Dewi Tengkorak Hitam dan memba-
wanya melesat meninggalkan tempat itu. Di lain
kejap, yang tinggal hanya Dayang Naga Puspa dan
Ratu Pulau Merah. Kedua perempuan ini sama-
sama tercenung. Dalam hati, masing-masing berkata.
"Pertemuan di Lembah Supit Urang? Ki-
ranya berita itu bukan hanya kabar burung bela-
ka."
"Ada baiknya aku pergi ke sana juga, meli-
hat lihat apa yang terjadi pada pertemuan itu.
Toh, dari sini ke tempat itu tidak terlalu jauh lagi.
Tapi, terlebih dulu, ratu keparat ini akan kube-
reskan!" Dayang Naga Puspa membatin. Lalu, pe-
rempuan berjubah ini ayunkan kakinya mendeka-
ti tempat Ratu Pulau Merah tergolek.
"Pertemuan di Lembah Supit Urang....
Hm.... Kalau saja bisa selamat dari tangan wanita
sundal ini, aku akan pergi ke sana," kata wanita
berpakaian gelap ini dalam hati.
Tapi, Ratu Pulau Merah sadar, kecil ke-
mungkinannya untuk selamat. Dia lihat paras
wajah dan sinar mata Dayang Naga Puspa yang
tertuju padanya penuh dengan hawa maut.
Selagi Ratu Pulau Merah tengah menunggu
takdirnya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan.
Begitu cepatnya kelebat sosok ini, hingga tahu-
tahu telah berdiri di sebelah Ratu Pulau Merah.
"Kakang...!" seru Ratu Pulau Merah begitu
berpaling dan mengenali siapa adanya orang yang
baru datang.
Sementara Dayang Naga Puspa luruskan
kepala dan kerutkan dahi. Sepasang matanya
menyipit.
"Eyang Guru Dadung Rantak! Bangsat!
Mengapa tua bangka bau tanah ini bisa berada di
sini?! Celaka! Kalau ratu keparat itu bisa mempengaruhinya, keadaanku bisa runyam!" rutuk
perempuan berjubah putih ini seraya mundur se-
langkah karena kaget.
Di hadapan Dayang Naga Puspa, di samp-
ing Ratu Pulau Merah berdiri seorang laki-laki be-
rusia amat lanjut. Rambutnya awut-awutan serta
berwarna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia
bertelanjang dada, hanya mengenakan celana
pendek agak gombrang dan terlihat kumal. Sepa-
sang mata serta wajahnya tidak begitu jelas terli-
hat karena tertutup oleh rambut dan jenggotnya.
Laki-laki bertelanjang dada yang bukan
lain dari Dadung Rantak, palingkan wajahnya pa-
da Ratu Pulau Merah. Kemudian angkat bicara.
"Kinanti...."
"Kang...," ujar Ratu Pulau Merah agak dili-
rihkan suaranya, mengunjukkan seakan-akan
keadaannya parah sekali. Diam-diam di dalam
hatinya, wanita bermata kebiruan ini merutuk.
"Sekaranglah saatnya membalas sakit hati terha-
dap Dayang Naga Puspa, dengan mengandalkan
rasa cinta tua bangka bau tanah ini terhadapku!
Rasakan pembalasanku, Wanita Sundal!"
Dadung Rantak menyipitkan sepasang ma-
tanya untuk memperhatikan lebih jelas keadaan
Ratu Pulau Merah. Rebahnya tubuh wanita ber-
pakaian gelap itu, dan lirihnya suara yang dikelu-
arkan membuatnya merasa heran.
"Apa yang terjadi terhadap dirimu, Kinan-
ti?" Dadung Rantak ajukan tanya.
"Wanita itu, Kang! Wanita sundal itulah
yang membuatku seperti ini! Malah dia ingin
membunuhku! Padahal, sudah kukatakan kalau
diriku adalah kekasihmu. Dia marah ketika kuka-
takan, bahwa aku akan tinggal di Rawa Buntek
bersama dirimu," beri tahu Ratu Pulau Merah,
berdusta.
Dayang Naga Puspa terperangah. Perem-
puan berjubah ini melangkah mundur satu tin-
dak.
"Sialan betul! Kalau tua bangka itu terpen-
garuh ucapan ratu keparat itu, aku bisa celaka!"
batin Dayang Naga Puspa, cemas.
Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-
rah tajam-tajam. Lalu, berpaling pada Dayang
Naga Puspa. Tanpa sadar Dayang Naga Puspa
mundur lagi selangkah. Sempat dilihatnya Ratu
Pulau Merah tersenyum mengejek. Perempuan
berjubah ini geram bukan kepalang. Dia ingin
buka mulut. Tapi, ditahannya lagi ketika dilihat-
nya Dadung Rantak, alihkan pandangan pada Ra-
tu Pulau Merah.
"Kau tidak berdusta lagi, Kinanti?"
"Tidak, Kang. Aku ingin tinggal bersamamu
di Rawa Buntek. Tapi, kau harus balaskan sakit
hatiku dulu pada wanita sundal itu...!" tuding Ra-
tu Pulau Merah dengan tangan yang dibuatnya
gemetar.
"Asal kau mau tinggal bersamaku di Rawa
Buntek, jangankan hanya satu wanita sundal ini.
Sekalipun ada seribu pun, semuanya akan kubu-
nuh! Tapi, jika berdusta, kau tahu apa akibat-
nya?! Ingat, Kinanti. Ini adalah kesempatan te-
rakhir yang kuberikan padamu. Tak ada lagi syarat atau alasan lainnya!" tandas Dadung Rantak,
tegas.
Ratu Pulau Merah tersenyum dan men-
gangguk, tapi batinnya memaki.
"Tua bangka keparat! Siapa yang kesudian
tinggal denganmu di tempat yang buruk itu?!
Kaulah yang akan mampus di tanganku, Tua
Bangka tak tahu diri!"
TIGA
DAYANG Naga Puspa melangkah mundur-
mundur ketika Dadung Rantak menatapnya le-
kat-lekat.
"Kekhawatiranku beralasan. Tua bangka
yang dimabuk cinta ini kena dirayu oleh si ratu
keparat! Celaka! Sialan betul!" rutuk perempuan
berjubah putih ini, dalam hati. Lalu, dia berkata.
"Eyang Guru.... Kau kena ditipu oleh ratu
keparat itu! Dia akan meninggalkanmu lagi seper-
ti sebelumnya," Dayang Naga Puspa mencoba
mengingatkan.
"Sarpakenaka. Tutup mulutmu...! Antara
kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. In-
gat ucapanku?! Urusanmu urusanmu, urusanku
urusanku!" sergah Dadung Rantak seraya ayun-
kan kakinya mendekati Dayang Naga Puspa.
"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa
dalam kecemasan hati yang mendera.
"Terimalah kematianmu, Sarpakenaka...!"
Dayang Naga Puspa tak bisa lagi mene
ruskan kata hatinya, karena saat itu juga Dadung
Rantak dorongkan kedua tangannya ke depan.
Wuttt!
Tak ada sambaran angin yang keluar,
ataupun suara yang terdengar. Tapi, sekitar tem-
pat itu bergetar hebat. Pohon-pohon berguncang,
menggugurkan daunnya. Sejurus kemudian, ha-
wa panas menyengat melingkupi tempat itu.
Hingga daun-daun berguguran ke tanah dalam
keadaan hangus.
Bersamaan dengan mendorongnya kedua
tangan Dadung Rantak, Dayang Naga Puspa
membentak nyaring. Perempuan berjubah putih
ini melempar tubuhnya ke samping kiri dan ber-
gulingan menjauh.
Ternyata Dadung Rantak benar-benar ber-
keinginan membunuh muridnya. Dia melesat
mengejar seraya hantamkan tangannya ke arah
kepala.
Dayang Naga Puspa cepat rundukkan ke-
palanya. Kaki kanannya diangkat dan dihantam-
kan ke arah lambung Dadung Rantak.
Bukkk!
Kaki perempuan berjubah ini mental balik
ketika mengenai sasaran. Seakan-akan yang di-
hantamnya adalah segundukan karet keras dan
kenyal. Dayang Naga Puspa terhuyung-huyung
terbawa ayunan kakinya.
Dadung Rantak tak memberi kesempatan.
Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Dayang
Naga Puspa, laki-laki ini ulurkan tangan.
Tappp!
Dayang Naga Puspa terpekik ketika perge-
langan kakinya tercekal. Perempuan berjubah pu-
tih ini sadar akan bahaya yang tengah mengan-
camnya. Maka, buru-buru hentakkan tangan ki-
rinya.
Wuttt!
Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-
luar dan meluncur cepat ke arah Dadung Rantak!
Karena tak ada kesempatan lagi untuk
menghindari serangan Dayang Naga Puspa, Da-
dung Rantak mundur setindak seraya lepaskan
cekalannya. Kemudian tangan kanannya dido-
rongkan!
Bummm!
Dua pukulan yang sama-sama bertenaga
dalam kuat bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga
Puspa terhuyung-huyung. Namun, setelah kerah-
kan tenaga dalam untuk menahan huyungan tu-
buhnya, perempuan berjubah putih itu segera te-
gak kembali dengan kokohnya.
Dadung Rantak sendiri tersurut satu tin-
dak ke belakang. Dan, laki-laki tua ini punya ke-
sempatan untuk melancarkan desakan saat
Dayang Naga Puspa terhuyung. Tapi, itu tak di-
pergunakannya. Dadung Rantak sengaja memberi
Dayang Naga Puspa kelonggaran.
"Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan
dicapai Dayang Naga Puspa," Dadung Rantak
membatin.
Sementara Dayang Naga Puspa langsung
menerjang setelah berhasil menguasai diri! Perta-
rungan kembali berlangsung!
Dayang Naga Puspa kerahkan seluruh ke-
mampuan yang dimilikinya. Perempuan ini tahu
kalau pertarungan kali ini adalah pertarungan
antara hidup dan mati. Tapi, setelah belasan ju-
rus berlangsung, Dayang Naga Puspa mulai ter-
desak. Dan, hanya bisa bertarung sambil mun-
dur-mundur!
Bukkk!
Terdengar seruan tertahan dari mulut
Dayang Naga Puspa ketika gedoran tangan kanan
Dadung Rantak menghantam dadanya secara te-
lak. Tubuh perempuan yang berusia tidak muda
lagi ini terjengkang dan jatuh terduduk di atas
tanah di dekat Ratu Pulau Merah.
Kesempatan ini memang yang ditunggu-
tunggu Ratu Pulau Merah! Perempuan berpakaian
gelap ini hantamkan pukulan dengan posisi jari
dalam jurus ‘Macan Tutul'. Ratu Pulau Merah ta-
hu tenaganya telah berkurang jauh, maka yang
diserang adalah bagian yang mematikan! Ubun-
ubun!
Tukkk!
Dayang Naga Puspa memekik ngeri ketika
ubun-ubunnya pecah berantakan. Cairan merah
bercampur putih kental pun muncrat-muncrat.
Tubuh perempuan berjubah putih ini mengejang.
Di lain kejap, terkulai lemas, tak bergerak-gerak
lagi. Sepasang matanya membeliak besar, penuh
perasaan penasaran!
Dadung Rantak agak terkejut melihat tin-
dakan Ratu Pulau Merah. Tapi, dia tak bicara
apa-apa. Paras wajah laki-laki bertelanjang dada
ini tak unjukkan guratan perasaan apa pun,
meski di hatinya ada rasa menyesal, mengapa
Dayang Naga Puspa harus mati akibat tangannya.
"Persetan! Kalau punya kesempatan dan
kemampuan pun, wanita sundal itu akan mem-
bunuhku! Jadi, ada baiknya dia mati!" cetus Da-
dung Rantak dalam hati, setengah menghibur di-
ri. Kemudian, setelah berpikir sebentar, dia buka
mulut.
"Bagaimana, Kinanti?!" Dadung Rantak
ajukan tanya, setengah menekan.
Ratu Pulau Merah ukir seulas senyum ma-
nis. Senyum penuh rasa puas!
"Kau telah penuhi janjimu, Kang. Maka,
aku pun akan penuhi janjiku," jawab Ratu Pulau
Merah meski dalam hatinya berkata. "Terpaksa
aku mengikuti kehendakmu, Tua Bangka. Kea-
daan tak memungkinkan bagiku untuk mengam-
bil pilihan lainnya! Tapi, kelak kau pun akan ku-
buat mengalami nasib serupa dengan bekas mu-
ridmu!"
"Kalau begitu, mari kita pergi, Kinanti,"
ajak Dadung Rantak, tak sabar. Dia melesat ke
arah Ratu Pulau Merah dan bersiap membawanya
kabur!
"Tapi, Kang.... Aku tak mampu berdiri.
Apalagi untuk berlari."
Dadung Rantak menghela napas berat, ke-
cewa. Dengan agak segan diperiksanya keadaan
Ratu Pulau Merah.
"Gila! Luka-lukanya parah juga. Sebelah
tangannya tak bisa dipergunakan lagi. Aliran tenaganya pun tak beraturan. Kacau. Bagaimana
ini bisa terjadi. Mungkinkah oleh Dayang Naga
Puspa?! Tapi.... Rasa-rasanya kepandaian Ratu
Pulau Merah masih di atas Dayang Naga Puspa.
Aneh! Jadi, jelas, Ratu Pulau Merah menipuku!
Tapi..., biarlah! Yang penting dia mau tinggal ber-
samaku di Rawa Buntek!'' Dadung Rantak mem-
batin, setelah memeriksa keadaan Ratu Pulau
Merah sejurus lamanya.
"Apa yang terjadi, Kinanti? Apakah ini se-
mua karena Dayang Naga Puspa?!" tanya Dadung
Rantak seraya arahkan pandangannya pada se-
pasang mata Ratu Pulau Merah.
Ratu Pulau Merah bukan orang bodoh. Dia
tahu kalau Dadung Rantak mulai curiga terha-
dapnya. Di hatinya, perempuan bermata kebiruan
ini berkata.
"Tua bangka ini rupanya telah bisa mengi-
ra-ngira kejanggalan ceritaku. Apa boleh buat,
terpaksa kuberitahukan hal yang agak-
sebenarnya...."
"Aku terluka oleh Gongging Baladewa dan
Dewi Kayangan, Kang. Tapi, aku berhasil selamat
hingga tiba di tempat ini. Sialnya aku bertemu
muridmu itu! Dan, dia hendak membunuhku! En-
tah karena apa! Kalau kau datang terlambat,
mungkin tak akan bisa bertemu denganku lagi...."
Dadung Rantak tak memberikan sambu-
tan. Tapi, laki-laki ini berbicara dalam hati.
"Ada kejanggalan dalam ceritanya. Musta-
hil tanpa alasan Dayang Naga Puspa hendak
membunuhnya! Tapi, masa bodoh. Itu bukan
urusanku! Yang penting, dia mau ikut tinggal
bersamaku di Rawa Buntek."
Melihat Dadung Rantak diam, Ratu Pulau
Merah ceritakan secara singkat tapi jelas kejadian
yang membuatnya terluka.
"Aku tak bisa hidup tenang sebelum bisa
membalaskan sakit hatiku pada Gongging Bala-
dewa dan Dewi Kayangan, Kang," Ratu Pulau Me-
rah mengakhiri ceritanya sambil kertakkan gigi,
memperlihatkan rasa dendamnya.
Dadung Rantak dongakkan kepalanya.
Kemudian berdehem beberapa kali untuk mene-
nangkan hati.
"Dewi Kayangan dan Gongging Baladewa?!
Tokoh-tokoh itu memiliki kepandaian luar biasa!
Rasanya sulit bagiku untuk mengalahkan seorang
saja di antara mereka.... Kinanti.... Orang-orang
yang kau sebutkan itu berkepandaian tinggi...."
"Jadi.... Kakang gentar terhadap mereka?!
Sama sekali tak kusangka!" selak Ratu Pulau Me-
rah setengah tak percaya.
Dadung Rantak dongakkan kepalanya. Ma-
tanya berkilat-kilat karena merasa tersinggung
mendengar ucapan perempuan berpakaian gelap
itu.
"Kinanti.... Aku tak gentar pada Dewi
Kayangan, Gongging Baladewa, atau siapa pun!
Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya!"
tandas Dadung Rantak dengan suara agak dike-
raskan. "Bukankah mereka berkepandaian ting-
gi?! Gongging Baladewa terkenal sebagai tokoh
tua yang luar biasa sakti. Sedangkan Dewi
Kayangan sendiri telah kurasakan kelihaiannya!"
"Hm.... Jadi kau tak ingin membalaskan
sakit hatiku pada mereka, Kang?! Kau ingin aku
hidup di Rawa Buntek dengan memendam sakit
hati terhadap mereka?!" Ratu Pulau Merah ajukan
desakan, meminta penegasan. Sikap penasaran-
nya terlihat jelas.
Paras wajah Dadung Rantak seketika be-
rubah. Dia batuk-batuk kecil untuk menyembu-
nyikan rasa kecewa, tak suka, dan tersinggung-
nya. Laki-laki bertelanjang dada ini merasa dite-
kan. Dadung Rantak memaki-maki, tapi hanya di
dalam hati. "Keparat! Urusan keparat ini akan
membuat kepulangan ke Rawa Buntek terhambat.
Sialan betul!"
"Kinanti.... Bukannya aku takut atau tak
ingin membalaskan sakit hatimu. Tapi, aku tak
ingin gegabah! Untuk apa tergesa-gesa mencari
dan berusaha membalas dendam kalau hanya be-
rakhir dengan kegagalan?! Bukan hanya kekua-
tan saja yang merupakan hal penting. Ada yang
lebih penting lagi, Kinanti. Bahkan paling pent-
ing!" beri tahu Dadung Rantak, panjang lebar
bernada menggurui.
"Apa itu, Kang?!" tanya Ratu Pulau Merah,
ingin tahu. Di dalam hatinya dia bertanya. "Baru
pertama kali kudengar, tua bangka ini memperhi-
tungkan kekuatan lawan. Biasanya dia langsung
melabrak. Dan, aku yakin, tokoh semacam Dewi
Kayangan akan dapat dikalahkannya. Apa yang
membuatnya memperhitungkan tindakannya itu?!
Jahanam! Jangan-jangan, ini hanya merupakan
siasatnya. Barangkali dia sudah tak sabar ingin
mengajakku ke tempat tinggalnya yang busuk itu!
Hm.... Aku harus berkeras!"
"Otak!"
"Otak, Kang?!" Ratu Pulau Merah meminta
kepastian.
"Benar, Kinanti. Otak yang terpenting!"
tandas Dadung Rantak dengan nada suara lebih
meninggi.
"Untuk menghadapi orang semacam Dewi
Kayangan mempergunakan otak pula?! Labrak sa-
ja! Apa yang perlu ditakuti?!"
Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-
rah lekat-lekat. Seringai buruk menghiasi wajah-
nya. Seringai yang mengisyaratkan orang yang le-
bih mengetahui suatu persoalan daripada lawan
bicaranya. Kemudian, mulutnya membuka.
"Kinanti.... Melabrak Dewi Kayangan me-
mang tak memerlukan otak! Tinggal gebrak saja!
Aku yakin akan mampu mengalahkannya! Tapi,
kau harus tahu, Kinanti.... Tempat di mana wani-
ta itu tinggal, tidak hanya didiami olehnya sendiri.
Ada saudara-saudaranya. Dewi Bayang-bayang
dan Dewi Bunga Iblis! Bahkan mungkin Gongging
Baladewa! Karena menurut berita yang kusirap,
Dewi Bayang-bayang telah akur kembali dengan
Gongging Baladewa!"
Ratu Pulau Merah terdiam mendengar per-
kataan Dadung Rantak. Dia memandang laki-laki
di hadapannya lekat-lekat. Akal sehatnya dapat
merasakan kebenaran ucapan pemilik Rawa Buntek itu.
"Lalu… apa yang akan kau lakukan,
Kang?!"
Dadung Rantak menarik napas lega menge-
tahui alasan yang diberikannya diterima Ratu Pu-
lau Merah.
"Kinanti! Beberapa hari lagi, tepat pada
malam purnama di Lembah Supit Urang akan ada
pertemuan untuk menentukan siapa yang patut
menjadi raja di raja rimba persilatan, sekaligus
menyusun kekuatan untuk melenyapkan Pende-
kar 108 dan tokoh-tokoh golongan putih. Jadi,
aku akan terjun untuk merebut kedudukan jago
nomor satu, agar dapat membalaskan sakit hati-
mu! Dengan tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam
lainnya yang membantu, kurasa tak sulit untuk
menggulung Gongging Baladewa, Dewi Kayangan,
dan Dewi Bayang-bayang, kalau perlu Dewi Bun-
ga Iblis!"
"Pertemuan di Lembah Supit Urang,
Kang?!" tanya Ratu Pulau Merah, ingin tahu ka-
rena dalam beda waktu sekejap telah dua kali
mendengar orang meributkan tentang itu. "Aku
pun mendengar kabar angin mengenai pertemuan
itu. Tapi, aku masih belum jelas. Tampaknya kau
tahu persis, Kang. Ceritakanlah padaku...! Dan,
siapa-siapa sajakah yang akan ke sana?!"
Dadung Rantak kernyitkan dahi seperti
tengah berpikir. Kemudian, buka mulutnya.
"Menurut pendapatku akan banyak tokoh
yang hadir, baik dari golongan hitam maupun pu-
tih karena berita itu disebarluaskan. Tapi, kalau
yang kutahu, tokoh-tokoh yang pasti datang ada
lah Iblis Gelang Kematian dan Dewa Maut! Kare-
na, kudengar sendiri dari mulut mereka mengenai
kesediaan untuk menghadiri pertemuan itu."
"Dewa Maut...! Tokoh yang tadi mencari-
cari Malaikat Berdarah Biru dan Pendekar Mata
Keranjang! Kepandaiannya tinggi sekali! Mampu-
kah Kakang Dadung Rantak merebut kedudukan
jago nomor satu?!" Ratu Pulau Merah membatin.
"Kurasa perbincangan kita sudah cukup
panjang, Kinanti. Nanti bisa kita lanjutkan dalam
perjalanan menuju ke Lembah Supit Urang. Yang
paling penting sekarang adalah mengobati luka
dalammu. Sayang, untuk sementara tangan kiri-
mu tak bisa kau gunakan," ujar Dadung Rantak
bernada keluh.
"Dewi Kayangan keparat! Kau akan men-
dapat ganjaran atas perbuatanmu ini!" maki Ratu
Pulau Merah, geram.
Dadung Rantak tak berikan sambutan. Dia
duduk bersila di dekat perempuan bermata kebi-
ruan itu, bersiap untuk mengobati luka dalam
Ratu Pulau Merah dengan pengerahan hawa
murni. Kedua tangannya dijulurkan, tapi terhenti
di tengah jalan, dan berkata.
"Sebenarnya..., sewaktu bertemu dengan-
mu, keinginan yang menggebu-gebu untuk men-
datangi Lembah Supit Urang itu telah pupus, Ki-
nanti. Aku ingin hidup tenang bersamamu di Ra-
wa Buntek. Sayang, kau tak bisa melupakan sakit
hatimu. Tak ada jalan lain kecuali menghadiri
pertemuan itu agar kau bisa tenang tinggal bersamaku."
"Tua bangka tak tahu diri! Sekalipun den-
damku telah terbalaskan aku tak akan sudi un-
tuk tinggal di tempat busuk itu! Apalagi bersama
dengan tua bangka seperti kau!" batin Ratu Pulau
Merah mengutuk, tapi mulutnya yang berbentuk
indah membuka dan keluarkan kata.
"Kalau kau tega membiarkanku tersiksa
diamuk dendam dan sakit hati, tak apa, Kang,"
Ratu Pulau Merah merajuk, jengkel karena telah
memiringkan tubuh, Dadung Rantak tak juga
menempelkan tangan untuk menyembuhkan luka
dalamnya, tapi malah bicara. "Tapi, mungkin per-
lu kuingatkan sedikit, Kang. Kau sendiri telah ta-
hu bagaimana tidak enaknya mendendam sakit
hati. Bukankah kau pun sampai bercapai lelah
mendatangi Wong Agung di Karang Langit untuk
membalaskan sakit hati karena adik kandungmu
tewas di tangannya?!"
Dadung Rantak terdiam. Mulutnya terka-
tup. Tanpa bicara apa pun ditempelkan kedua
tangannya yang terbuka ke punggung Ratu Pulau
Merah.
EMPAT
SEORANG pemuda berwajah tampan ber-
pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian dalam
berwarna kuning lengan panjang, tampak melangkah perlahan. Dia berambut panjang dan di-
kuncir ekor kuda. Wajah serta lehernya dibasahi
peluh. Pakaiannya pun demikian. Ini menjadi pertanda kalau pemuda ini telah melakukan perjala-
nan jauh. Sambil berjalan pelan, si pemuda
menggerak-gerakkan kipas lipat berwarna ungu
yang berada di tangan, pulang balik di depan wa-
jahnya.
"Lembah Supit Urang. Hm.... Apa pun yang
terjadi aku harus sampai di tempat itu. Tapi, aku
yakin akan bisa berada di sana sebelum bulan
purnama. Hhh...! Apa pun yang terjadi, aku harus
berada di tempat Itu, agar tahu rencana yang
akan mereka lakukan!" si pemuda membatin.
Saat itu, terasa deru angin berkesiur di be-
lakangnya. Pemuda berpakaian hijau ini segera
berpaling ke belakang seraya membalikkan tu-
buh. Dan, sekitar lima langkah di hadapannya
tampak seorang pemuda berdiri tegak meman-
dang ke arahnya sambil tersenyum. Wajahnya
sangat tampan, malah lebih mendekati jelita. So-
rot sepasang matanya yang bentuknya bundar
itu, sayu. Rambutnya panjang dan dikepang dua.
Bibirnya yang berbentuk bagus itu diberi pemerah
yang menyolok. Tubuhnya semampai dan ter-
bungkus oleh pakaian seorang perempuan!
"Setan Pesolek...!" gumam pemuda berpa-
kaian hijau tanpa bisa menyembunyikan kegem-
biraan dalam suara dan sikapnya.
Yang ditegur, dan bukan lain dari Setan
Pesolek, tertawa pelan. Kemudian sibakkan ram-
butnya di tengkuk dengan menarik sedikit kepa-
lanya ke belakang.
"Aku tahu kau gembira bertemu denganku,
Pendekar 108," kata Setan Pesolek seraya keluarkan tawa panjang. Tangan kanannya bergerak
pulang balik dengan gemulai. Setelah meliukkan
bahu dan pinggulnya serta mengedipkan mata ki-
rinya, dia berkata. Suaranya mirip seorang pe-
rempuan. Tapi, menilik keberadaan jakun di le-
hernya, orang ini adalah laki-laki.
Pemuda berpakaian hijau yang memang
bukan lain dari Aji alias Pendekar Mata Keran-
jang, usap-usap hidungnya seraya sunggingkan
senyum di bibir.
"Manusia satu ini sepertinya selalu tahu
saja urusan orang. Dia mampu menebak pera-
saanku. Malah, dulu beberapa kali ucapannya tak
meleset. Tapi, aku ingin tahu sampai di mana
manusia banci ini tahu urusanku!" kata hati Aji,
lalu setelah berpikir sejenak, dia ajukan tanya.
"Tentu saja aku gembira, Setan Pesolek.
Siapa orangnya yang tidak gembira bertemu den-
gan sahabat lama?!"
Setan Pesolek kembali keluarkan tawa ce-
kikikan. Seraya terus menggerak-gerakkan tan-
gannya secara lemah gemulai, dia berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Mungkin apa
yang kau katakan itu benar. Tapi, aku lebih con-
dong menduga kalau kegembiraanmu bertemu
denganku, bukan hanya karena itu."
"Benar dugaanku, manusia banci ini seper-
ti bisa membaca isi hati orang. Tapi, aku masih
belum yakin kalau dia belum memberikan jawa-
ban yang tepat!" batin Pendekar 108 belum puas.
Setan Pesolek sendiri, seperti tak mempedulikan
perasaan Aji. Dia keluarkan batu cerminnya dan
berkaca sambil rapikan rambut dan polesan me-
rah di bibirnya. Tapi, saat Aji buka mulut, dan be-
lum sempat keluarkan suara, Setan Pesolek telah
lebih dulu berkata.
"Kau gembira bertemu denganku karena
memang kau tengah mencari kawan-kawan seha-
luan guna menghadapi tokoh-tokoh dari haluan
lain."
Aji terperangah mendengar jawaban yang
tepat itu. Di dalam hatinya dia berkata.
"Manusia satu ini benar-benar menge-
jutkan! Dia tahu apa yang hendak kulakukan!"
"Sebenarnya tak baik mengatakan apa
yang belum terjadi," Setan Pesolek lanjutkan uca-
pannya. "Tapi, kuusulkan lebih baik kau urung-
kan niatmu untuk mencegah terjadinya perte-
muan di Lembah Supit Urang."
Pendekar Mata Keranjang undur selangkah
karena kaget. Air mukanya berubah hebat.
"Si banci ini memang bukan manusia! Dia
mampu menebak dengan tepat tindakan yang
akan kulakukan! Apakah dia mampu meramal?!"
kata hati pemuda berpakaian hijau ini. Beberapa
jurus Aji terdiam. Baru setelah dapat menguasai
perasaan, dan berpikir sebentar, pemuda ini ang-
kat bicara.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa mene-
bak dengan demikian tepat tindakan yang akan
kulakukan, Setan Pesolek. Tapi, aku tak bisa me-
nerima usulmu. Apa pun yang terjadi terhadap di-
riku aku tetap akan ke sana! Dan, perlu kau ke-
tahui, aku telah memperhitungkannya cukup masak. Oleh karena itu, dengan sisa waktu yang ma-
sih kumiliki, kuputuskan untuk mencari kawan-
kawan sehaluan untuk membantuku mencegah
terjadinya pertemuan itu!" tandas Pendekar 108
berapi-api, penuh semangat.
Setan Pesolek tertawa pelan seraya ang-
guk-anggukkan kepala seperti memaklumi jawa-
ban yang diberikan Aji.
"Tapi, waktu telah demikian mendesak.
Beberapa hari lagi pertemuan di Supit Urang itu
akan berlangsung. Kalau kau tetap teruskan te-
kad untuk mencari kawan-kawan sehaluan, kau
akan terlambat untuk mengikuti pertemuan itu!"
"Kalau memang demikian halnya, apa bo-
leh buat?! Tapi, aku akan tetap pergi ke sana! Apa
pun yang akan terjadi! Dan perlu kau ingat, Setan
Pesolek! Meski kau telah beberapa kali membuat
jasa padaku, tidak berarti bahwa aku akan menu-
ruti saranmu. Bahkan, kalau kau bersikeras un-
tuk menahan, aku tak segan-segan untuk mela-
brakmu!"
"Pendekar Mata Keranjang!" kata Setan Pe-
solek dengan suara agak dikeraskan. "Kau juga
perlu tahu, aku tak pernah mengingat-ingat akan
jasaku terhadapmu. Pula, aku tak mengharapkan
imbalan apa-apa darimu! Hanya kusarankan, se-
belum bertindak itu lebih dulu berpikir! Sebagai
tambahan, perlu kuberitahukan karena kau telah
salah menafsirkan ucapanku! Pendekar Mata Ke-
ranjang! Dengar baik-baik, aku tak mencegah
atau menghalangimu ke Lembah Supit Urang!"
Aji kernyitkan dahi. Bingung.
"Apa maksudmu sebenarnya, Setan Peso-
lek?!" Pemuda berpakaian hijau itu ajukan tanya
setelah memikirkan ucapan si banci, tapi tetap
tak paham. "Kau katakan aku salah menafsirkan
ucapanmu?!"
Setan Pesolek anggukkan kepala. Lalu,
sambil gerak-gerakkan tangan secara lemah-
gemulai, dia buka mulut.
"Pendekar Mata Keranjang. Kau boleh in-
gat-ingat ucapanku. Adakah yang berisi larangan
bagimu untuk pergi ke sana?! Tidak bukan?! Aku
hanya katakan, agar kau hentikan usahamu un-
tuk mencegah terjadinya pertemuan itu! Bukan
melarangmu pergi ke sana! Tapi, melarangmu
mencegah pertemuan itu! Dengar baik-baik, Pen-
dekar Mata Keranjang. Tidak semua urusan dapat
diselesaikan dengan kekuatan! Terkadang, otak
mampu membereskannya dengan hasil yang jauh
lebih baik!"
Pendekar 108 terdiam. Tapi, di dalam ha-
tinya dia berkata.
"Sialan betul! Manusia banci ini benar. Aku
yang salah mengartikan ucapannya. Tapi.... Ba-
gaimana aku bisa menghadiri pertemuan itu?!
Bukankah sebagian besar di antara mereka telah
mengenaliku?!"
"Pendekar Mata Keranjang. Perlu kuberita-
hukan padamu, aku tak bisa hadir di pertemuan
itu. Aku mempunyai urusan lain yang lebih pent-
ing. Jadi, aku tak bisa menemanimu ke sana. Aku
tak bisa menyumbangkan tenaga. Tapi, aku bisa
menyumbangkan pikiran."
Laki-laki banci ini kemudian ayunkan kaki
beberapa tindak, dekati Pendekar 108. Si pemuda
telah bisa menduga kalau Setan Pesolek hendak
beritahukan sesuatu. Tapi, sifat konyol Aji timbul.
Begitu Setan Pesolek maju, dia malah mundur.
"Pendekar Mata Keranjang! Bukan saatnya
sekarang untuk bercanda. Setiap kesempatan
yang ada harus dimanfaatkan. Bukan tak mung-
kin di lain kejap akan muncul gangguan yang
membuat kita tak bisa bicara panjang lebar!" sen-
tak Setan Pesolek, dengan nada suara lebih keras
daripada sebelumnya.
Aji hentikan langkah. Senyum tersungging
di bibirnya. Hidungnya pun diusap-usap. Agak
puas hatinya setelah dapat mempermainkan Se-
tan Pesolek meski hanya sebentar. Tapi, di lain
kejap laki-laki banci itu telah berada di dekatnya
dan dengan bisik-bisik beritahukan rencananya.
Air muka Aji berubah. Berseri-seri.
"Mengapa aku tidak berpikir seperti itu?!
Bukankah aku pernah mencobanya?!" batin pe-
muda berpakaian hijau ini. Tapi, yang keluar dari
mulutnya perkataan lainnya.
"Kalau hanya sumbangan pikiran seperti
ini, aku pun merencanakannya. Bahkan aku te-
lah pernah mempraktekkannya. Malah beberapa
kali!"
Setan Pesolek tertawa cekikikan. Kemudian
seraya gerak-gerakkan tangannya secara lemah-
gemulai, dia keluarkan suara.
"Kau memang telah mencobanya beberapa
kali. Tapi, untuk pertemuan ini, kau tak terpikir
untuk menggunakannya. Yahhh...! Sudahlah, se-
lamat tinggal, Pendekar Mata Keranjang!"
Habis berkata begitu, laki-laki banci ini ra-
pikan rambutnya. Lalu, dia ayunkan langkah me-
ninggalkan tempat itu. Aji pandangi kepergiannya
sambil membatin.
"Banci! Kendati wujudmu aneh, kau mem-
punyai keistimewaan luar biasa! Kau seperti tahu
semua urusan orang! Bahkan, apa yang bergolak
di batin!"
Setelah Setan Pesolek tak terlihat lagi, Pen-
dekar 108 pun melesat meninggalkan tempat itu.
LIMA
DUA ekor kuda berlari congklang melalui
hamparan tanah berdebu yang luas membentang.
Demikian luasnya, sehingga sejauh mata meman-
dang yang terlihat hanya hamparan tanah coklat
kemerahan.
Penunggang kuda di sebelah kanan adalah
seorang gadis cantik berambut panjang berkulit
putih. Sepasang matanya bulat dan tajam. Pa-
kaian yang dikenakannya berwarna kuning dan
ketat, sehingga dadanya yang kencang membu-
sung tampak jelas.
Sedangkan penunggang kuda satunya lagi
adalah seorang laki-laki bertubuh tegap dan be-
sar. Rambutnya kaku dan panjang tergerai. Sepa-
sang matanya tajam. Sesekali bibirnya sungging
kan seringai buruk. Dan, kendati parasnya keli-
hatan angker, tampak jelas kalau laki-laki ini be-
rusia sangat muda! Masih anak-anak!
Kedua penunggang kuda ini terlihat tak
tergesa-gesa. Malah seperti ada yang mereka cari
atau tunggu. Beberapa kali si gadis mengedarkan
pandangan ke sekeliling dengan sinar mata penuh
harap. Tapi, sorot matanya berbalur kekecewaan
ketika hanya menjumpai hamparan tanah luas
membentang. Dalam batinnya, gadis ini berkata.
"Sialan betul! Sejak tadi tak kutemukan sa-
tu orang pun! Hm.... Benar-benar sial! Padahal,
aku ingin tanyakan kebenaran tentang pertemuan
tokoh-tokoh persilatan di Lembah Supit Urang.
Aku yakin, orang yang kucari akan berada di sa-
na! Tapi, tentu saja jika dia masih hidup!"
"Kau kelihatan resah sekali. Ada apa?!" Si
anak laki-laki, ajukan tanya.
Gadis berpakaian kuning palingkan wajah
ke arah anak laki-laki, dan menatapnya lekat-
lekat beberapa jurus. Kemudian, dia tarik napas
dalam-dalam lalu berkata.
"Aku tengah mencari-cari, barangkali dapat
bertemu paling tidak seorang tokoh persilatan di
sini. Aku ingin tanyakan mengenai pertemuan di
Lembah Supit Urang!"
"Jadi.... Kau berniat pergi ke sana dan me-
nunda pencarian terhadap Malaikat Berdarah Bi-
ru?!" Si anak laki-laki ajukan tanya dengan nada
suara tak sembunyikan rasa kecewa dan tak sukanya.
Gadis berpakaian kuning tarik napas da
lam-dalam, lalu sunggingkan senyum manis. La-
lu, dengan suara lembut dan hati-hati dia buka
mulut.
"Abilowo.... Aku tak pernah menunda pen-
carian terhadap ayahmu, si Malaikat Berdarah Bi-
ru itu. Malah, tujuanku mencari kebenaran men-
genai pertemuan di Lembah Supit Urang adalah
dalam usaha untuk menemukannya."
"Bagaimana bisa begitu?!" Abilowo mende-
sak tanpa menyembunyikan rasa penasaran ha-
tinya.
"Abilowo.... Jika pertemuan di Lembah Su-
pit Urang bukan kabar burung, Malaikat Berda-
rah Biru pasti akan datang ke tempat itu. Ayah-
mu itu sangat berhasrat sekali untuk menjadi ra-
ja di raja rimba persilatan! Dan, pertemuan di
Supit Urang dapat digunakannya untuk mengga-
pai tujuan itu. Jadi..., sekarang kau bisa mengerti
mengapa aku hendak mencari tahu mengenai be-
nar tidaknya pertemuan itu!"
Abilowo anggukkan kepala seraya buka
mulut.
"Sekarang aku mengerti. Setidak-tidaknya
dengan cara seperti itu kita mempunyai tujuan
pencarian. Tidak seperti sekarang, mencari secara
ngawur."
"Syukur kalau kau mengerti," timpal si ga-
dis yang bukan lain dari Putri Tunjung Kuning,
ibu dari Abilowo, seraya menarik napas lega. Dia
sunggingkan seulas senyum manis untuk pu-
tranya.
Abilowo tak memberikan sambutan sama
sekali. Malah, anak laki-laki ini alihkan pandan-
gannya ke depan seraya mempermainkan ram-
butnya! Tanpa bicara apa pun, Putri Tunjung
Kuning arahkan pandangan ke sana.
"Ada orang di depan!" anak laki-laki itu
angkat bicara.
"Aku tak melihat apa pun di depan. Mung-
kinkah Abilowo salah lihat?! Tapi, bukan tak
mungkin pula dia benar. Kepandaiannya memang
tinggi. Malah jauh di atasku!" Putri Tunjung Kun-
ing membatin. Setelah berpikir sebentar, dia alih-
kan pandangan pada Abilowo.
"Apakah kau tak salah lihat, Abilowo?!" Pu-
tri Tunjung Kuning meminta kepastian.
"Aku tidak akan pernah salah lihat!" tandas
Abilowo setengah merutuk. Nada suaranya jauh
lebih keras daripada sebelumnya, menunjukkan
rasa tak sukanya dengan ucapan ibunya.
"Watak kurang baik anak ini masih belum
hilang! Aku harus sabar menghadapinya. Toh,
memang sejak lahir hingga umurnya beberapa
puluh hari, aku tak pernah dapat kesempatan
untuk mengurusnya. Tapi, memang ada untung-
nya juga. Bukankah, tua bangka itu katakan Ab-
ilowo tak akan jadi sakti bila tersentuh tangan
orang lain? Tak terkecuali ibunya," kata hati Putri
Tunjung Kuning (Untuk jelasnya mengenai Abilo-
wo dan pengalamannya serta tua bangka yang
dimaksud Putri Tunjung Kuning, silakan baca ep-
isode : "Titisan Darah Terkutuk" dan "Misteri Hu-
tan Larangan").
"Kalau begitu, kita harus segera susul dia.
Aku yakin orang itu tahu mengenai pertemuan di
Supit Urang," Putri Tunjung Kuning angkat bicara
seraya tarik tali kekang kudanya.
Abilowo menyeringai, lalu ikut melakukan
hal yang sama. Di kejap lain, binatang-binatang
tunggangan itu pun melesat menimbulkan bunyi
gemuruh dan meninggalkan kepulan debu tebal
di belakangnya.
Tak lama kemudian, Putri Tunjung Kuning
dapat membuktikan kebenaran ucapan Abilowo.
Di kejauhan, dilihatnya tiga ekor kuda tengah
berpacu cepat ke arah yang sama dengannya.
Putri Tunjung Kuning dan Abilowo semakin
perkeras usaha mereka untuk memacu tunggan-
gannya secepat mungkin. Tali kekang mereka ke-
prakkan. Tak ketinggalan, pecut pun mereka han-
tamkan pada bagian belakang tubuh tunggangan
mereka agar binatang itu berlari lebih cepat lagi.
Sekitar beberapa tombak lagi menyusul, ti-
ga penunggang kuda mengetahui kedatangan Pu-
tri Tunjung Kuning dan Abilowo. Laju tunggangan
mereka perlambat seraya tolehkan kepala ke be-
lakang!
Saat itu, mereka melihat dua ekor kuda
coklat bercak-bercak putih dipacu cepat ke arah
mereka. Di kejap lain, binatang-binatang itu telah
melampaui mereka, dan dihentikan secara men-
dadak tepat di depan mereka!
Seketika kepulan debu pun menghambur
ke arah tiga orang itu! Mereka pun kelabakan
menggerakkan tangan untuk menutup wajah dari
sergapan debu.
"Setan Belang! Siapa berani main gila ter-
hadap Lelawa Ijo?!" bentak penunggang kuda ter-
depan, keras penuh kemarahan.
Dia adalah seorang lelaki setengah baya
berpakaian serba hitam. Tubuhnya kekar dan be-
rotot. Raut wajahnya hanya terlihat sebagian ka-
rena tertutup oleh kumis, jenggot, dan cambang
bauk lebat yang tidak terurus! Lelaki ini menung-
gang kuda yang terlihat paling besar dan perkasa
daripada dua ekor kuda yang ditunggangi oleh
orang-orang di kanan kirinya.
Laki-laki bercambang bauk yang menye-
butkan dirinya Lelawa Ijo gerak-gerakkan tangan
kirinya. Angin keras menggebrak. Sejurus kemu-
dian, debu-debu yang menghalangi pandangan
pun terusir pergi
Lelawa Ijo dan dua orang bertampang ga-
rang di kanan kirinya, terperangah ketika melihat
orang-orang yang berani bertindak demikian ku-
rang ajar! Tapi, pandang mata mereka segera ter-
tuju pada Putri Tunjung Kuning! Abilowo hanya
dilihat sekelebatan saja. Dan, pandang mata tiga
orang itu terhadap ibunya Abilowo liar, penuh
nafsu berahi!
Tiga pasang mata memandang tak berke-
dip, lalu geleng-geleng kepala dengan mulut ber-
decak-decak. Sikap mereka seperti sekawanan
harimau lapar melihat seekor kambing gemuk.
Putri Tunjung Kuning merasa muak melihatnya,
karena mengingatkannya akan nasib yang diteri-
manya dari Malaikat Berdarah Biru.
"Binatang-binatang semacam inilah yang
hutan-hutan yang ada di Jawa Barat?!"
Meski di lubuk hatinya melecehkan, Putri
Tunjung Kuning ukir senyum yang menawan. Se-
dangkan di sebelahnya, Abilowo bersikap tak pe-
duli. Dia sibuk mainkan rambutnya. Anak lelaki
ini mempunyai watak aneh. Dia tak akan turun
tangan, bila belum diperintahkan oleh ibunya.
"Aku pun pernah dengar. Namamu meng-
getarkan rimba persilatan. Tapi, sepengetahua-
nku, tempatmu cukup jauh dari sini. Atau..., jan-
gan-jangan kau adalah orang yang memalsu se-
bagai Lelawa Ijo yang amat terkenal itu?!" Putri
Tunjung Kuning ajukan pancingan.
Paras wajah Lelawa Ijo mengelam. Tapi,
hanya sebentar, lalu kembali cerah. Malah, dia
umbar tawa terkekeh.
"Bidadariku.... Kalau saja ucapan itu ke-
luar bukan dari mulutmu yang berbentuk bagus
itu, saat ini juga pemiliknya telah menjadi bang-
kai! Merupakan pantangan besar bagi Lelawa Ijo
untuk dicurigai. Tapi, Kau merupakan kekecua-
lian. Bahkan, kau pun akan mendapatkan jawa-
ban bagi keherananmu itu," Lelawa Ijo terdiam
sebentar seperti tengah berpikir, sebelum buka
mulutnya kembali untuk bicara. "Memang tempat
tinggalku jauh dari sini. Tapi, perlu kau ketahui
itu memang kusengaja. Aku tengah dalam perja-
lanan untuk menjadi raja di raja rimba persilatan.
Oleh karena itu aku melakukan perjalanan ke
Lembah Supit Urang untuk mengikuti pertemuan
tokoh-tokoh persilatan."
"Ahhh...!" Putri Tunjung Kuning pura-pura
terkejut. "Jadi..., berita tentang pertemuan di
Lembah Supit Urang itu bukan hanya isapan
jempol belaka?!"
"Tentu saja bukan!" tandas Lelawa Ijo,
mantap. "Kalau tidak, untuk apa aku bercapai le-
lah meninggalkan tempat kediamanku yang nya-
man?"
"Begitukah?!" Putri Tunjung Kuning sung-
gingkan senyum sinis. Parasnya pun berubah
bengis. "Sayangnya, perjalananmu sia-sia, Bina-
tang! Kau akan terkapar tanpa makam di tempat
ini!"
Perubahan sikap gadis berpakaian kuning
itu membuat Lelawa Ijo terkejut. Dialihkan pan-
dangannya pada dua anak buahnya. Mereka pun
angkat bahu dengan sorot mata bingung.
"Bidadariku.... Apa maksud ucapanmu?!
Aku masih belum mengerti! Atau.... kau tengah
mengajakku bercanda sebelum bercumbu?!" Le-
lawa Ijo ajukan pertanyaan untuk mendapatkan
kepastian.
"Binatang bermulut kotor!" hardik Putri
Tunjung Kuning, bengis. "Orang sepertimu, dan
juga gerombolanmu memang harus dilenyapkan
dari muka bumi! Kalau tidak, hanya akan me-
nimbulkan borok-borok di dunia ini!"
"Keparat! Perempuan sundal! Rupanya kau
lebih suka diperlakukan kasar, heh?!" Lelawa Ijo
tak kalah keras berteriak. Amarahnya bangkit
dan tak terkendali, melihat sikap dan ucapan Pu-
tri Tunjung Kuning tetap kasar. "Semula, aku
akan menggaulimu dengan baik-baik! Tapi sekarang, kau akan kuperkosa sampai mati! Dengar!
Sampai mati!"
Sekujur tubuh Putri Tunjung Kuning
menggigil keras. Tapi, bukan karena takut, me-
lainkan marah besar. Ancaman Lelawa Ijo men-
gingatkannya akan perlakuan yang diterimanya
dari Malaikat Berdarah Biru.
"Binatang bermulut kotor! Ambrol dada-
mu...!" teriak Putri Tunjung Kuning seraya me-
lompat ke depan dan hantamkan kedua tangan-
nya. Saat itu juga berlarik-larik sinar kuning me-
lesat ke arah Lelawa Ijo.
Lelawa Ijo segera sadar kalau gadis berpa-
kaian kuning itu bukan orang sembarangan. Dia
pun lompat dari punggung kudanya pula, dan
pukulkan kedua tangan untuk memapak seran-
gan. Laki-laki bercambang lebat ini tak segan-
segan lagi kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bummm!
Ledakan dahsyat membahana ketika dua
pukulan jarak jauh itu bertemu di udara. Tempat
itu berguncang. Debu mengepul tinggi ke udara.
Dua anak buah Lelawa Ijo yang berada di tempat
itu terjengkang dan terguling seraya keluarkan
keluhan tertahan.
Putri Tunjung Kuning dan Lelawa Ijo ter-
jengkang ke belakang. Gadis berpakaian kuning
itu salurkan hawa murni ke dada untuk mengu-
rangi rasa nyeri yang mendera. Di lain pihak, Le-
lawa Ijo hanya merasakan nyeri pada kedua tan-
gannya.
Putri Tunjung Kuning sadar kalau nama
besar Lelawa Ijo bukan hanya berita burung. La-
ki-laki berpakaian hitam itu benar-benar tangguh.
Gadis ini segera takupkan kedua tangan sejajar
dada, seraya memejamkan mata. Putri Tunjung
Kuning hendak mengirimkan serangan andalan.
Tapi, sebelum gadis berpakaian kuning ini
melancarkan serangan, Abilowo telah lompat ke
depan dan langsung kirimkan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada dan leher Lelawa Ijo! Angin ke-
ras telah menggebrak mendahului sebelum seran-
gan itu sendiri tiba di sasaran.
"Gila! Serangan anak yang masih netek pa-
da ibunya ini kiranya jauh lebih dahsyat!" Lelawa
Ijo membatin dengan sepasang mata membeliak
besar karena keterkejutan yang melanda.
Plakkk!
Dua tinju beradu keras di udara ketika Le-
lawa Ijo pukulkan kedua tangan untuk menang-
kis. Lelaki bercambang bauk lebat ini terhuyung-
huyung ke belakang seraya kernyitkan dahi. Se-
ringai kesakitan menghias wajahnya, ketika me-
rasakan ngilu dan nyeri mendera kedua tangan-
nya yang baru saja berbenturan. Di lain pihak,
Abilowo sama sekali tak bergeming.
"Setan belang! Ini anak manusia atau anak
jin?! Tenaga dalamnya sangat kuat. Pula, dia se-
pertinya tak merasa sakit akibat benturan itu.
Padahal, tanganku ngilu dan nyeri-nyeri. Malah,
dadaku pun terasa sesak! Gila! Bagaimana
mungkin, anak kecil mampu mempunyai tenaga
dalam demikian kuat?!" kata hati Lelawa Ijo, se-
raya cabut golok yang terselip di pinggang kanan
nya. Sebatang golok yang mempunyai gagang
berbentuk kelelawar hijau. Dan, karena goloknya
itulah pemiliknya memperkenalkan diri dengan
nama Lelawa Ijo!
Lelawa Ijo bolang-balingkan goloknya di
depan dada. Gerakannya cepat bukan main, se-
hingga bentuk senjatanya lenyap. Yang terlihat
hanya kelebatan sinar yang menyilaukan mata
dalam bentuk tak jelas. Lalu, dengan diawali te-
riakan menggeledek, lelaki bercambang bauk le-
bat ini menerjang maju.
Sing, sing, sing...!
Bunyi yang menyakitkan telinga dan mem-
buat giris hati mengiringi meluncurnya golok yang
kelihatan tajam mengkilap itu ke arah Abilowo.
Tapi, anak lelaki itu sama sekali tak bergeming
dari tempatnya. Bahkan mengerjapkan mata pun
tidak!
"Mampuslah kau, Anak Setan!" Lelawa Ijo
membatin penuh rasa gembira di dalam hatinya.
Sudah terbayang di benaknya kalau Abilowo akan
menggelepar di tanah dengan darah berhamburan
keluar.
Cras, cras, crasss!
Bertubi-tubi golok berhulu kelelawar hijau
itu menghantam sekujur tubuh Abilowo. Tapi, si
bocah tak bergeming sedikit pun. Lelawa Ijo dan
bahkan rekan-rekannya hampir tak percaya akan
apa yang mereka saksikan. Abilowo sama sekali
tak terluka. Tak ada kulit yang terobek, atau da-
rah yang mengalir.
"Iblisss...!" desis Lelawa Ijo seraya mundur
mundur tanpa mampu menyembunyikan keterke-
jutannya. Sepasang matanya yang membeliak be-
sar memperlihatkan ketidakpercayaan akan apa
yang disaksikannya.
Di depan Lelawa Ijo, Abilowo komat-kamit.
Kedua tangannya dikepalkan, lalu dihentakkan
seraya memutar tubuh.
Wuttt! Wuttt!
Lelawa Ijo menjerit keras, kaget campur
ngeri karena dari dorongan tangan Abilowo me-
nyembur gelombang dahsyat berhawa panas me-
nyengat! Lelaki ini berusaha sedapat mungkin un-
tuk mengelak. Tapi, terlambat. Pukulan jarak
jauh putra tidak sah Malaikat Berdarah Biru itu
telah lebih dulu menghantamnya. Di kejap lain
tubuh Lelawa Ijo terjengkang jauh ke belakang.
Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur da-
rah segar. Lelaki ini tewas seketika itu juga den-
gan kulit tubuh hangus!
Dua orang anak buah Lelawa Ijo terkejut
ketika melihat kejadian yang menimpa pemimpin
mereka. Seperti telah disepakati sebelumnya, ke-
duanya membalikkan tubuh dan berlari mening-
galkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa tindak, sesosok
bayangan kuning berkelebat mendahului. Ayunan
kaki dua orang bertampang sangar ini pun ter-
henti. Paras mereka pucat, bagaikan tak berda-
rah, ketika melihat keberadaan Putri Tunjung
Kuning yang menghadang.
"Sudah kukatakan tadi..., orang semacam
kalian tak pantas dibiarkan berlama-lama hidup
di dunia," dengus gadis berpakaian kuning itu.
Lalu, melesat ke arah anak buah Lelawa Ijo.
Dua lelaki bertampang seram ini tak mau
menyerahkan nyawa begitu saja. Golok yang ter-
selip di pinggang, segera dicabut. Tapi, sebelum
sempat digunakan, Putri Tunjung Kuning telah
lebih dulu menyarangkan serangan. Kaki gadis
berpakaian kuning ini menendang leher kedua-
nya. Masing-masing sekali, namun telah cukup
untuk mengirim nyawa mereka ke akhirat saat itu
juga.
Putri Tunjung Kuning tersenyum penuh
rasa puas. Kemudian pandangannya dialihkan
pada Abilowo.
"Abilowo.... Aku yakin pencarian kita tak
akan sia-sia lagi. Malaikat Berdarah Biru akan ki-
ta temukan di Lembah Supit Urang. Mari kita
bergegas, biar tak ketinggalan...!" Putri Tunjung
Kuning berkata sambil melompat ke arah pung-
gung kudanya.
Tanpa banyak cakap, Abilowo mengikuti
tindakannya. Beberapa jurus kemudian, ibu dan
anak ini telah memacu kudanya meninggalkan
tempat itu. Arah yang mereka tuju sudah jelas,
Lembah Supit Urang!
ENAM
ALAM telah larut. Sinar sang Dewi Malam
yang lemah hanya mampu membuat keadaan di
persada remang-remang. Dalam suasana seperti
itu, sesosok bayangan berkelebat. Gerakannya
cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya
sekilas bayangan dalam bentuk yang tak Jelas.
Kecepatannya tak mengendur kendati melalui ke-
rimbunan semak-semak dan pepohonan yang le-
bat.
Ketika berada di hamparan tanah luas
yang ditumbuhi rumput-rumput setinggi mata
kaki, si bayangan terlihat cukup jelas. Ternyata
dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap. Sinar
matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu dan
dibiarkan menjuntai. Wajahnya tampan. Menge-
nakan pakaian warna putih. Di pakaian bagian
dada tampak sekuntum bunga berwarna hitam.
Si pemuda mengarahkan pandangan ke
depan. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan. Hitam
pekat.
"Bandar Lor masih cukup jauh. Hm.... Ra-
sanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera
sampai dan memberitahukan semuanya pada
guru. Aku yakin, dengan adanya guru, kekuatan
akan jadi lebih besar. Mudah-mudahan saja be-
liau ada karena banyak lawan tangguh yang ha-
rus kuhadapi. Terutama sekali Malaikat Berdarah
Biru. Bangsat itu memiliki kepandaian luar bi-
asa!" pemuda berpakaian putih membatin seraya
mengusap peluh yang membasahi dahinya den-
gan punggung tangan. Kemudian, dia melesat
kembali.
Pemuda berpakaian putih berlari tanpa
henti. Kelihatan tergesa-gesa sekali. Tak diperha-
tikannya malam yang menginjak dini hari. Bias
kemerahan pun mulai muncul di ufuk timur. Su-
asana mulai terang. Seraya mengayunkan kaki,
hatinya berkata.
"Mudah-mudahan saja guru tidak pergi ke
mana-mana. Kalau tidak sia-sia saja usahaku.
Susah-payah dan capai lelah kutempuh untuk
menuju ke Bandar Lor, untuk memberitahukan
masalah penting ini."
Selagi pemuda berpakaian putih itu berlari,
tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berderak.
Dialihkan pandangannya ke asal suara. Dan ha-
tinya tercekat ketika melihat sebatang pohon be-
sar yang berada di sebelah kirinya tumbang ke
arahnya.
"Keparat! Rupanya ada manusia usilan
yang sudah tak sabar ingin menemui malaikat
maut?!" dengus si pemuda di dalam hatinya, se-
raya hentakkan tangan kanannya. Di kejap lain,
segundukan angin keras menggebrak.
Blarrr!
Batang pohon yang besarnya sekitar dua
pelukan orang dewasa itu hancur berantakan ke-
tika terhantam pukulan jarak jauh pemuda ber-
pakaian putih. Serpihannya berpentalan ke sana
kemari, tak tentu arah.
Sesosok bayangan berkelebat tanpa mem-
pedulikan debu-debu hancuran pohon yang ma-
sih menutupi pandangan. Pemuda berpakaian pu-
tih tak berani ambil risiko. Dia hentakkan kedua
tangannya menyambuti.
Wusss!
Serangkum angin keras menggebrak! Sosok
yang belum terlihat jelas oleh si pemuda sentak-
kan tangan, memapak!
Blarrr!
Terdengar ledakan dahsyat ketika dua pu-
kulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan di
tengah jalan. Sekitar tempat itu bergetar. Bahkan
tanah terbongkar dan membubung ke udara me-
nambah pekatnya pemandangan.
Tubuh si pemuda terjengkang ke belakang
dengan tangan terasa ngilu dan dada sesak. Sang
penyerangnya pun terhuyung-huyung ke bela-
kang.
"Gila! Siapa gerangan bangsat usilan ini?!
Tenaga dalamnya kuat sekali!" maki pemuda ber-
pakaian putih dalam hati, seraya patahkan daya
yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dia
segera mengatur napas untuk berjaga-jaga terha-
dap serangan susulan lawannya yang misterius.
Meski debu-debu tanah dan kotoran serpi-
han pepohonan masih menghalangi pandangan si
pemuda, tapi bisa dilihatnya kalau sang penye-
rang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Pemuda berpakaian putih kertakkan gigi. Bersiap
siaga.
Tapi, kewaspadaannya terlalu berlebihan.
Si penyerang itu ternyata bukan melancarkan se-
rangan, melainkan mengusir debu yang mengha-
langi pandangan. Di kejap lain, kedua belah pihak
telah dapat melihat satu sama lainnya.
"Guru...!" seru pemuda berpakaian putih,
kaget bercampur gembira.
Sosok yang dipanggil guru ternyata adalah
seorang perempuan yang tingginya tak lebih dari
setengah tombak. Kulit wajahnya tak jelas war-
nanya karena tertutup oleh bedak putih tebal. Bi-
birnya tebal sebelah atas dan berwarna merah
menyala. Rambutnya panjang mencapai pung-
gung, namun bagian samping dan atas dipotong
begitu pendek.
"Pandu.... Hendak ke mana kau?" Perem-
puan bertubuh pendek ajukan tanya.
"Tua bangka dungu! Seharusnya kau su-
dah bisa menduga ke mana tujuanku. Bukankah
tempat ini telah dekat dengan Bandar Lor?!" Si
pemuda yang ternyata adalah Pandu alias Gem-
bong Raja Muda membatin. Lalu, dia buka mulut.
"Tentu saja hendak ke Bandar Lor, Guru.
Aku mempunyai berita yang amat penting!"
Si perempuan bertubuh pendek yang bu-
kan lain dari Bawuk Raga Ginting, keluarkan ta-
wa mengekeh panjang.
"Berita penting yang bagaimana, Pandu?!
Menyenangkan atau menyedihkan?!"
"Tentu saja menyenangkan. Guru!" tandas
Gembong Raja Muda, yakin.
"Apakah tentang Pendekar Mata Keran-
jang?! Kau telah berhasil membunuhnya?!"
Wajah si pemuda langsung berubah merah
padam. Rahangnya menggembung, dan pelipisnya
bergerak-gerak. Dia tatap gurunya sejenak sebe-
lum gelengkan kepala.
"Bukan, Guru. Aku belum berhasil mem-
bunuh pemuda keparat itu! Tapi, aku yakin kali
ini akan berhasil! Gurunya pun akan kuhabisi
pula!"
Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak hing-
ga bedak tebal di wajahnya rontok. Dalam hati dia
berkata.
"Keinginan anak ini untuk membunuh
Pendekar Mata Keranjang ternyata tak kunjung
pudar."
"Aku senang mendengar tekadmu, Pandu.
Tapi, mengapa kau yakin kalau kali ini usahamu
untuk membunuh Pendekar Mata Keranjang akan
berhasil!?" perempuan pendek itu ajukan tanya.
"Tua bangka tak tahu diri! Kalau saja kau
tak menyelak ceritaku, kau tak perlu bercapai le-
lah untuk bertanya, karena saat ini mungkin kau
telah mengerti!" rutuk Gembong Raja Muda dalam
hati. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya ber-
kata.
"Itu ada hubungannya dengan berita pent-
ing yang ingin kusampaikan padamu, Guru. Kau
tahu, di Lembah Supit Urang, pada malam bulan
purnama nanti akan ada pertemuan tokoh-tokoh
hitam untuk menyusun kekuatan guna menghan-
curkan Pendekar 108 dan tokoh-tokoh putih lain-
nya. Di tempat itu pula akan ditentukan siapa
yang akan menjadi raja di raja rimba persilatan!"
"Benarkah apa yang dikatakan bocah ini?
Kalau benar, pertemuan ini benar-benar tak boleh
kulewatkan. Apabila berhasil menjadi raja di raja
rimba persilatan, akan lebih mudah bagiku untuk
membalas sakit hati. Hm.... Aku yakin kedatan-
gan bocah ini kemari untuk membuat kedudu-
kannya lebih kuat. Dia pasti membutuhkan bantuanku!" pikir Bawuk Raga Ginting, lalu angkat
bicara.
"Kau yakin berita itu bukan hanya sekadar
kabar burung belaka?! Apakah kau tahu siapa
yang menjadi penggerak pertemuan itu?!"
"Iblis Gelang Kematian, Guru!"
"Iblis Gelang Kematian?!" ulang Bawuk Ra-
ga Ginting seraya kernyitkan dahi. Di dalam ha-
tinya dia berpikir. "Kalau tua bangka itu yang
mencetuskan pertemuan ini, berarti bukan hal
yang remeh lagi. Tapi, aku yakin dia mempunyai
maksud lainnya? Bukan tak mungkin dia akan
mengambil kedudukan tertinggi dengan cara yang
licik!"
"Benar, Guru. Dan, seorang tokoh yang
berjuluk Malaikat Berdarah Biru, telah menyang-
gupi untuk datang di pertemuan itu. Dia memiliki
kepandaian tinggi. Guru. Malah, aku yakin lebih
tinggi daripadaku. Kalau Iblis Gelang Kematian
tak segera muncul, mungkin aku celaka." Kemu-
dian secara singkat tapi jelas, Gembong Raja Mu-
da menceritakan semua kejadian yang diala-
minya. Bawuk Raga Ginting sendiri mendengar-
kannya secara sambil lalu, seperti orang yang ku-
rang tertarik. Padahal, dia menyimak dengan pe-
nuh minat, dan membatin di dalam hati.
"Kalau benar apa yang dikatakan Pandu,
berarti Malaikat Berdarah Biru merupakan lawan
yang luar biasa berat. Benarkah dia tak bisa dilu-
kai?!"
"Lalu..., apa maksud kedatanganmu me-
nemuiku?!" Bawuk Raga Ginting berpura-pura
tak mengerti. Hal ini membuat Gembong Raja
Muda merasa geram.
"Bangsat tua! Aku tahu kau berpura-pura!
Kalau saja tak benar-benar membutuhkan ban-
tuan, kau sudah kutinggal pergi! Tapi, apa boleh
buat!" Setelah berpikir demikian, dengan suara
agak dikeraskan, Gembong Raja Muda berikan
penjelasan.
"Aku menemuimu untuk mengajakmu per-
gi ke sana, Guru. Dengan berdua, kedudukan kita
akan menjadi lebih kuat, dan bukan tak mungkin
gelar raja di raja rimba persilatan akan dapat kita
genggam!"
Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak. Mu-
lutnya membuka lebar, sehingga lagi-lagi bedak
tebal yang menghias wajahnya rontok. Tapi, pe-
rempuan pendek ini tak mempedulikannya. Gem-
bong Raja Muda sendiri, setelah melihat gurunya
tertawa, ikut tertawa. Tapi tawanya langsung pu-
tus seperti direnggut hantu, ketika sang Guru
hentikan tawa secara tiba-tiba, dan menatapnya
dengan sorot penuh teguran.
Selebar wajah si pemuda mengelam karena
rasa tak senang yang mendera. Dia mengutuk si
perempuan pendek itu dalam hati.
"Tua bangka keparat! Kau yang lebih dulu
tertawa. Tapi, begitu kudukung tawamu kau ma-
lah tutup mulutmu! Kelak, akan kututup mulut-
mu selamanya!"
"Cita-citamu memang bagus. Keinginanmu
tak berlebihan. Tapi, kau harus ingat, Pandu.
Yang mempunyai keinginan untuk menjadi raja di
raja rimba persilatan bukan hanya kau! Semua
tokoh persilatan pun memimpikannya. Dan mere-
ka, pasti akan mempergunakan segala macam ca-
ra untuk bisa menggenggam dunia persilatan. Ja-
di, bukan hanya kekuatan saja yang penting. Ta-
pi, juga otak. Itu yang harus kau ingat, Pandu!"
beri tahu Bawuk Raga Ginting panjang lebar.
"Aku sudah memperhitungkan hal itu.
Guru! Dan, aku yakin akan bisa menjadi raja di
raja rimba persilatan dalam pertemuan di Lembah
Supit Urang!" tandas Gembong Raja Muda, yakin.
Padahal di dalam hatinya, pemuda ini tercekat.
"Tua bangka cerewet! Kau pikir aku anak kecil
yang tak mengerti apa-apa?! Tapi, sarannya itu
memang masuk akal. Aku harus lebih hati-hati."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Pandu?!
Mari kita ke Supit Urang, dan menetapkan diri
menjadi raja di raja rimba persilatan!" kata Ba-
wuk Raga Ginting seraya melesat mendahului di-
ikuti oleh Gembong Raja Muda dibelakangnya
TUJUH
SANG mentari baru saja kembali ke pera-
duannya. Bias sinarnya yang berwarna kemera-
han masih tampak menerangi langit bagian barat.
Tapi, secara perlahan-lahan bias-bias itu mere-
dup dan lenyap sama sekali. Kini gelap telah
membungkus bumi. Namun, tak lama kemudian,
sang Dewi Malam muncul di angkasa. Bentuknya
bulat sempurna! Bulan purnama! Kemunculan
sang Dewi Malam ini membuat keadaan di persa-
da agak remang-remang.
Saat suasana demikian, tampak berkeleba-
tan beberapa sosok dari berbagai arah menuju ke
satu tempat. Sebagian besar sosok itu melesat
berbarengan. Berdua. Tapi, ada juga yang berke-
lebat sendirian.
Sementara itu di tanah lapang luas yang
terhampar di Lembah Supit Urang, berdiri dua
sosok. Padahal, biasanya tempat yang kering dan
gersang itu sepi seakan-akan mati! Hampir tak
pernah ada orang yang singgah ke situ.
"Guru! Mereka telah berdatangan...! Apa-
kah kau yakin semua rencana berjalan seperti
yang kita harapkan?!" tanya salah satu dari dua
sosok hampir berbisik, nadanya khawatir.
Dia adalah seorang berwajah tampan, ber-
dagu kokoh, dan bermata tajam, serta bertubuh
tinggi tegap. Rambutnya lebat dan panjang seba-
hu. Terlihat gagah. Dan, kegagahannya semakin
menonjol karena dia mengenakan jubah besar
berwarna hitam bergaris-garis putih.
"Manding! Kau tak usah cemas! Tenanglah!
Jangan sampai mereka curiga! Aku yakin rencana
ini akan berjalan lancar. Dan, kau akan menjadi
raja di raja rimba persilatan! Sekarang, jangan
banyak ribut. Tutup saja mulutmu!" sahut sosok
yang dipanggil guru, bernada yakin.
Sosok itu adalah seorang nenek berambut
putih panjang hingga ke betis. Dia mengenakan
pakaian atas berupa baju panjang dari sutera
berwarna hitam. Bawahannya hitam berkembang-
kembang putih. Sepasang matanya besar. Hi-
dungnya mancung. Bibirnya merah tanpa pole-
san. Pada kedua tangannya melingkar beberapa
gelang berwarna kuning.
Pemuda berjubah hitam bergaris putih
yang dipanggil Manding, bernama lengkap Mand-
ing Jayalodra alias Penyair Berdarah ini terdiam.
Tapi, dia sempatkan diri untuk mengerling ke
arah sang Guru yang berdiri di sebelahnya. Yang
dikerling, dan bukan lain adalah Iblis Gelang Ke-
matian, tetap arahkan pandangan ke depan. Ne-
nek ini tak tahu kalau Penyair Berdarah memaki-
maki di dalam hatinya.
"Setan alas! Tua bangka sialan! Kelak, bila
cita-citaku kesampaian, dan kau masih berani bi-
cara seperti itu, kurobek mulutmu!"
Tapi, pemuda ini terpaksa arahkan tatapan
ke depan yang merupakan jalan satu-satunya
yang paling mudah untuk menuju Lembah Supit
Urang. Dilihatnya beberapa titik hitam di kejau-
han. Dan, di kejap lain, Penyair Berdarah telah
dapat melihat secara jelas orangnya.
"Dewa Maut...!" sebut Penyair Berdarah da-
lam hati ketika mengenali salah seorang di anta-
ranya.
"Tapi, siapa perempuan cantik yang ber-
samanya itu?!"
"Dewa Maut dan Dewi Tengkorak Hitam...!"
Iblis Gelang Kematian membatin. Memang berbe-
da dengan Manding Jayalodra, nenek ini telah
pernah berjumpa dengan Dewi Tengkorak Hitam.
Sejurus kemudian, Dewa Maut dan Dewi
Tengkorak Hitam telah berjarak beberapa tombak
dari Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berdarah
yang berdiri bersebelahan. Dewa Maut sendiri,
menghentikan ayunan kakinya ketika telah berja-
rak beberapa langkah dari Penyair Berdarah dan
Iblis Gelang Kematian. Dewi Tengkorak Hitam
ikut-ikutan hentikan lari.
"Selamat datang, Dewa Maut, Dewi Tengko-
rak Hitam," sambut Iblis Gelang Kematian dengan
sunggingkan senyum seraya menatap pendatang-
pendatang baru itu bergantian sebelum akhirnya
dihentikan pada Dewa Maut. "Dewa Maut! Ternya-
ta kau benar-benar bukan seorang pengecut!"
Dewa Maut menyeringai. Tatapannya ditu-
jukan pada Iblis Gelang Kematian. Tak sedikit
pun dia menoleh pada Penyair Berdarah. Kemu-
dian sambil berkacak pinggang, dia berkata.
"Iblis Gelang Kematian! Dewa Maut bukan
seorang pengecut! Malah, Dewa Maut yang akan
menjadi raja di raja rimba persilatan! Kau dan
semua tokoh-tokoh persilatan lainnya akan men-
jadi laskarku! Ha ha ha...!"
"Kau mimpi, Dewa Maut!" Penyair Berdarah
yang menyambuti ucapan Dewa Maut. Pemuda ini
memang sudah merasa geram bukan main ketika
Dewa Maut tak mempedulikannya.
Dewa Maut dongakkan kepala seraya lepas
tawa berderai, tanpa menoleh sedikit pun pada
Penyair Berdarah!
"Dewa Maut tak mau bicara dengan seo-
rang pengecut!"
"Setan!" maki Penyair Berdarah seraya
ayunkan kaki dua tindak. Pemuda ini kelihatan
marah besar. Rahangnya menggembung, dan dia
tatap Dewa Maut dengan mata membeliak besar.
Dan nada suaranya penuh ancaman ketika berbi-
cara dengan suara yang lebih keras. "Siapa yang
kau katakan pengecut itu?!"
"Siapa lagi kalau bukan kau?!" tandas De-
wa Maut, tak kalah keras bicara, tanpa merasa
takut sedikit pun. "Beberapa waktu lalu sewaktu
kuajukan tantangan, kau janjikan pertemuan hari
ini di sini! Tapi, apa yang kutemui?! Kau ditemani
oleh tua bangka ini! Rupanya kau takut bertarung
menghadapiku sendirian! Kau ingin mengeroyok-
ku?!"
"Jahanam!" Suara Penyair Berdarah sema-
kin keras. Rahangnya pun menggembung sema-
kin besar. Tampak kalau Pemuda berjubah hitam
bergaris putih ini hampir tak kuasa menahan
amarahnya. "Di sini memang aku berdua. Tapi,
tengok dirimu! Kau pun tak datang sendirian! Aku
curiga, jangan-jangan kau yang mempunyai niat
untuk mengeroyokku!"
"Tutup mulutmu! Dewa Maut bukan pen-
gecut! Orang yang bersamaku ini adalah kekasih-
ku! Dan, dia tak akan ikut campur urusan kita!"
"Begitu pula aku!" Penyair Berdarah tak
mau kalah. "Orang yang berada di sebelahku ini
adalah guruku! Dan, beliau tak akan mau tahu
urusanku denganmu! Jadi, aku bukan pengecut
seperti dugaanmu!"
"Setan! Kalau begitu, kita selesaikan uru
san ini sekarang!" Dewa Maut ajukan tantangan.
"Baik!" sambut Penyair Berdarah tak mau
kalah. "Kita selesaikan saat ini juga!"
"Dewiku.... Cepat menjauh dari sini...!" beri
tahu Dewa Maut, pada Dewi Tengkorak Hitam.
Yang diperintahkan, buru-buru menghindar. Ta-
pi, baru beberapa langkah terdengar bentakan ke-
ras.
"Tahan!"
Dewa Maut dan Penyair Berdarah arahkan
pandangan pada si pemilik bentakan. Orang itu
adalah Iblis Gelang Kematian.
"Dewa Maut! Sekarang bukan saatnya un-
tuk bertarung. Aku tahu, kau hendak mengun-
jukkan kesaktianmu! Tapi, apa artinya bila dila-
kukan sekarang?! Menang atau kalah pun tak ada
yang menyaksikan! Kalau kau mau lebih bersabar
sebentar, pertarungan ini akan disaksikan oleh
banyak mata! Bagaimana?!"
Dewa Maut tatap Iblis Gelang Kematian le-
kat-lekat seraya kernyitkan dahi. Pemuda ini ber-
pikir.
"Apa yang dikatakan tua bangka bau tanah
ini memang tak keliru! Tak ada salahnya kalau
aku menunggu sebentar lagi. Akan lebih nikmat
rasanya kemenangan yang kugapai, bila banyak
mata yang menyaksikan! Tapi, tantangan telah
kuajukan. Dan, Penyair Berdarah keparat itu te-
lah menerima. Kalau sekarang kubatalkan, pe-
muda itu akan mengira aku takut padanya! Ini
akan membuatnya besar kepala!"
"Iblis Gelang Kematian! Tantangan telah
kuajukan! Dan muridmu telah menerima, bila
aku mundur, sama artinya dengan mengaku ta-
kut!" Dewa Maut keluarkan ganjalan hatinya.
Penyair Berdarah buka mulut. Tapi, sebe-
lum ucapan keluar dari mulutnya, Iblis Gelang
Kematian telah lebih dulu membentaknya.
"Manding! Hentikan kekonyolanmu! Atau...,
kau ingin kulempar dari sini?!"
Penyair Berdarah katupkan mulutnya
kembali. Paras wajahnya mengelam, memperli-
hatkan kemarahan. Tapi, tidak ada suara yang
keluar dari mulutnya, kendati di dalam hati pe-
muda itu telah bertumpuk makian yang menun-
tut dikeluarkan.
Di lain pihak, Iblis Gelang Kematian bagai
tak tahu pergolakan yang ada di batin Manding
Jayalodra. Perempuan tua ini menatap muridnya
tajam-tajam, kemudian berdesis menyeramkan.
"Berikan jawaban yang benar terhadap tan-
tangan Dewa Maut, Manding!"
Penyair Berdarah mendengus untuk seka-
dar melampiaskan gejolak amarah yang mendera.
Kemudian, dengan suara dan sikap kaku, Pemu-
da berjubah hitam bergaris putih ini angkat bica-
ra.
"Sebenarnya aku ingin menghadapimu se-
karang, Dewa Maut. Tapi sayang, aku lebih suka
bertarung dengan disaksikan banyak orang. Tan-
tanganmu kuterima, tapi bila tokoh-tokoh persila-
tan lainnya telah hadir pula."
Iblis Gelang Kematian sunggingkan se-
nyum. Dewa Maut dongakkan kepala dan keluarkan tawa bergelak. Sementara Penyair Berdarah
hanya dapat memaki-maki di dalam hati. Mengu-
tuki Dewa Maut dan juga Iblis Gelang Kematian!
* * *
Gelak tawa Dewa Maut terhenti, ketika ter-
dengar dengusan keras. Dengusan yang menurut
patutnya tak tercipta oleh seorang manusia! Tapi,
hebatnya gelak tawa Dewa Maut tertindih. Rasa
kaget yang mendera, membuat Dewa Maut meng-
hentikan tawanya.
Pada saat yang bersamaan dengan lenyap-
nya tawa Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, Pe-
nyair Berdarah, dan Iblis Gelang Kematian arah-
kan sepasang mata ke arah asal dengusan. Dewa
Maut merupakan orang terakhir yang bertindak
demikian.
Dari sebelah kanan Iblis Gelang Kematian
melesat sesosok bayangan biru. Sejurus kemu-
dian, setelah berjarak tujuh tindak di sebelah ka-
nan Iblis Gelang Kematian dan sebelah kiri Dewa
Maut, sosok itu hentikan lesatannya.
Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi
kurus mengenakan jubah besar warna biru gelap.
Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam
cekungan rongga yang menjorok dalam. Bibirnya
sangat tebal. Sebaliknya, kulit wajahnya amat ti-
pis hampir tak kelihatan. Di atas kepalanya ber-
tengger sebuah caping lebar dari kulit berwarna
hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka, se-
hingga rambutnya yang jarang dan jabrik mencuat ke atas. Anehnya, meski terlihat berdiri te-
gak, namun telapak kakinya tak menjejak tanah!
"Manusia Titisan Dewa.... Kukira kau tak
datang," ejek Iblis Gelang Kematian.
"Iblis Gelang Kematian! Urusan di antara
kita belum selesai, bagaimana mungkin kubiar-
kan kau hidup tenang?!" sergah kakek berpakaian
biru yang bukan lain dari Manusia Titisan Dewa.
Kemudian palingkan wajahnya pada Dewa Maut.
"Kau juga telah datang, Anak Muda?! Rupanya
kau sudah tak sabar lagi untuk mati muda!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!" Dewa Maut
memaki. "Aku Dewa Maut! Kau dengar?! Panggil
aku Dewa Maut!"
Paras Manusia Titisan Dewa mengelam
mendengar bentakan itu. Dia merasa tersinggung.
Dan perasaan itu langsung dilontarkan lewat mu-
lutnya.
"Anak Muda! Kau tak usah mengajariku
cara menyapa seseorang!"
"Keparat!" Dewa Maut kertakkan gigi. "Se-
bentar lagi, mau tak mau kau akan menerima
pengajaranku, Tua Bangka!"
Manusia Titisan Dewa buka mulut untuk
memberikan sambutan. Tapi, dibatalkannya ka-
rena mendengar suara tawa keras menggelegar.
Beberapa jurus kemudian, melesat sesosok
bayangan merah. Hampir tanpa ada perbedaan
waktu, melesat beberapa sosok bayangan lainnya.
Hanya dalam sekejapan, setelah kedatangan Ma-
nusia Titisan Dewa, enam sosok telah berada di
tempat itu!
Iblis Gelang Kematian, Penyair Berdarah,
Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, dan Manusia
Titisan Dewa arahkan tatapan pada para penda-
tang baru.
Sosok pertama adalah seorang pemuda
berwajah tampan namun keras karena rahangnya
yang kokoh membatu. Rambutnya panjang lebat
dan dibiarkan tergerai di bahunya. Di telinga ki-
rinya tampak anting-anting dari tembaga. Se-
dangkan tubuhnya yang tinggi tegap dibungkus
oleh jubah toga warna merah menyala!
Sosok kedua adalah seorang pemuda yang
juga berwajah tampan. Tubuhnya pun tinggi te-
gap. Pandangannya tajam. Dagunya kokoh. Dia
mengenakan pakaian putih dengan bunga hitam
di dada. Pemuda ini saling tatap penuh sorot ma-
ta permusuhan dengan pemuda bertoga warna
merah.
"Malaikat Berdarah Biru...!" Pemuda ber-
pakaian putih membatin. "Tak lama lagi akan ku-
balaskan kekalahanku tempo hari. Kau akan ku-
kirim ke neraka! Kalau tidak, aku tak akan puas!"
Sebaliknya pemuda bertoga merah yang
memang Malaikat Berdarah Biru adanya, berkata
pula di dalam hatinya.
"Gembong Raja Muda. Tempo hari kau
berhasil lolos dari tangan mautku! Tapi, jangan
harap kali ini keberuntunganmu akan terulang!"
Kedua pemuda ini hanya saling kerling se-
bentar. Kemudian, edarkan tatapan untuk perha-
tikan tokoh-tokoh yang berada di sekitar mereka.
Sedangkan Iblis Gelang Kematian dan yang lain
lainnya, masih memperhatikan para pendatang
baru.
Orang ketiga adalah seorang perempuan
bertubuh pendek, tak lebih dari setengah tombak.
Kaki dan tangannya mungil. Rambutnya panjang
sepunggung, namun bagian samping dan atas di-
potong pendek. Wajahnya sukar dikenali karena
tertutup oleh bedak putih yang tebal. Perempuan
ini berdiri di sebelah kanan Gembong Raja Muda,
karena dia adalah guru pemuda berpakaian putih
itu. Bawuk Raga Ginting!
Orang keempat adalah seorang kakek ber-
tubuh kurus kering. Itu terlihat jelas karena dia
tak mengenakan baju. Rambut dan kumisnya
yang panjang serta awut-awutan, berwarna putih!
Di sebelah kakek bertelanjang dada ini,
berdiri seorang perempuan cantik berpakaian ge-
lap. Dia mengenakan pakaian yang pada bagian
dadanya dibuat rendah, sehingga bukit-bukit
payudaranya terlihat jelas.
Sedangkan orang keenam adalah seorang
kakek berkepala botak bertubuh bongkok. Demi-
kian bongkoknya hingga wajahnya tak terlihat.
Yang dapat terlihat langsung oleh orang adalah
bagian atas kepalanya. Gundul! Dia mengenakan
pakaian kumal dan penuh tambalan.
DELAPAN
KURASA sekarang saatnya untuk mulai
menentukan siapa yang berhak untuk menyan-
dang gelar sebagai raja di raja rimba persilatan!"
Yang memecahkan keheningan itu adalah Iblis
Gelang Kematian, karena memang perempuan tua
ini yang mempunyai usul. Iblis Gelang Kematian
pula yang sibuk mengundang tokoh-tokoh persi-
latan agar datang ke Lembah Supit Urang.
"Iblis Gelang Kematian! Bagaimana caranya
menentukan siapa yang berhak menjadi raja di
raja rimba persilatan, dengan sekian banyaknya
kita?!" Kakek bertelanjang dada ajukan tanya se-
raya kernyitkan dahi.
"Benar, Iblis Gelang Kematian!" Manusia
Titisan Dewa Ikut-ikutan buka suara. "Apakah se-
tiap orang yang berada di sini, harus bertarung
menghadapi semuanya?!"
Iblis Gelang Kematian arahkan pandangan
pada kakek bertelanjang dada dan Manusia Titi-
san Dewa sebentar. Kemudian, alihkan pandan-
gannya pada setiap orang yang berada di situ.
Dengan tertawa pelan dia berkata.
"Dadung Rantak! Manusia Titisan Dewa!
Kurasa tidak perlu setiap orang menghadapi se-
mua orang yang berada di sini! Cara itu terlalu
bodoh, karena akan memakan waktu yang lama!
Mungkin tak perlu kuberitahukan panjang lebar
pun, kalian semua telah mengerti! Kalau setiap
orang harus bertarung dengan semua orang yang
berada di sini, berarti setiap orang akan berta-
rung puluhan kali! Kapan akan berakhir?!"
Kakek bertelanjang dada yang ternyata
adalah Dadung Rantak, dan Manusia Titisan Dewa keluarkan dengus tak senang mendengar
uraian Iblis Gelang Kematian yang membodoh-
bodohkan mereka. Tapi, kedua kakek ini tak buka
suara. Mereka bisa menyadari kebenaran ucapan
Iblis Gelang Kematian.
"Aku punya cara yang kuyakini tepat," Iblis
Gelang Kematian lanjutkan ucapan. "Tapi, aku
memberikan kesempatan pada kalian semua un-
tuk mengajukan usul. Barangkali saja ada saran
yang lebih tepat, sekalipun kuyakini tak akan ada
yang lebih tepat daripada cara yang akan kute-
rapkan!"
"Aku punya usul bagus!" seru Malaikat
Berdarah Biru lantang seraya busungkan dada.
Berpasang-pasang mata tertuju pada pe-
muda bertoga merah. Mereka ingin tahu, usul
Malaikat Berdarah Biru.
"Itukah orang yang kau puji-puji itu?!"
tanya Bawuk Raga Ginting dengan suara berbisik
seraya arahkan tatapan pada Gembong Raja Mu-
da. Yang ditanya anggukkan kepala dengan ra-
hang menggembung dan tangan mengepal.
"Malaikat Berdarah Biru! Silakan utarakan
usulmu!" Iblis Gelang Kematian berikan kesempa-
tan.
Sebagian tokoh-tokoh persilatan yang be-
lum mengenal siapa adanya pemuda bertoga me-
rah itu, terperanjat ketika mendengar sapaan Iblis
Gelang Kematian. Terutama sekali Dewa-Maut.
"Malaikat Berdarah Biru! Hm.... Jadi, ini
orangnya yang semula memegang kipas hitam.
Sungguh kebetulan sekali, hingga aku bisa mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya!"
Dewa Maut membatin dengan pandangan tertuju
pada Malaikat Berdarah Biru.
"Sebelum kukatakan usulku yang amat ba-
gus dan tepat ini, lebih dulu kuajukan tanya,"
ujar Malaikat Berdarah Biru seraya dongakkan
kepala. "Dan, pertanyaanku ini harus terjawab."
"Tergantung pada siapa kau bertanya!"
timpal Gembong Raja Muda, cepat dan keras. "Bi-
la kau tujukan padaku, yang akan kau terima
adalah tinjuku!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda.
Dia usap-usap dadanya sambil berkata. Nada dan
sikapnya pongah.
"Rupanya kau masih belum kapok, Gem-
bong! Ingat baik-baik! Kalau saja tidak muncul Ib-
lis Gelang Kematian, nyawamu telah kukirim ke
akhirat! Tapi, tak mengapa. Toh, sebentar lagi
kau akan tewas di tanganku!"
"Binatang! Kau yang akan menggeletak
tanpa nyawa di tanganku, Malaikat Berdarah Bi-
ru!" sambut Gembong Raja Muda tak mau kalah.
"Pendekar Mata Keranjang memang terlalu bodoh,
sehingga tak mampu mengirimmu ke lubang ku-
bur. Tapi, aku tak sebodoh Pendekar Mata Keran-
jang!"
"Kau memang tak sebodoh Pendekar Mata
Keranjang! Tapi, kerbau yang paling goblok masih
lebih cerdik dari padamu!" sentak Malaikat Berdarah Biru.
"Keparat!"
"Cukup!" Iblis Gelang Kematian buru-buru
menengahi keadaan yang mulai memanas itu.
"Kapan penentuan raja di raja rimba persilatan
akan dilaksanakan kalau kalian ribut-ribut melu-
lu! Malaikat Berdarah Biru cepat katakan apa
yang ingin kau tanyakan!"
"Tua bangka keparat! Kau akan mendapat
ganjaran yang setimpal karena berani mencegah
Malaikat Berdarah Biru! Kau akan kubuat berna-
sib seperti Gembong Raja Muda!" ancam Malaikat
Berdarah Biru dalam hati sambil menatap perem-
puan tua itu tajam-tajam, sebelum akhirnya buka
mulut.
"Aku hanya ingin tahu, apakah setiap
orang yang berada di sini ikut bertarung?!"
Iblis Gelang Kematian ikut edarkan pan-
dangan berkeliling ketika melihat Malaikat Berda-
rah Biru tatap satu persatu tokoh-tokoh yang be-
rada di situ. Tapi, tak ada seorang pun yang
memberikan jawaban.
"Keparat! Binatang-binatang sombong ini
akan menerima akibat tingkah mereka yang bera-
ni meremehkan Malaikat Berdarah Biru!" Pemuda
bertoga merah itu membatin dengan rahang
menggembung. Kemudian, dengan suara bergetar
karena dorongan amarah, dia keluarkan seruan
menggelegar.
"Kalian semua boleh diam! Hanya saja, ka-
lau tak ingin kuanggap pengecut, yang ingin ikut
memperebutkan gelar raja di raja rimba persila-
tan, buka suara! Atau, aku yang akan mengang-
kat diriku sendiri sebagai raja di raja rimba persilatan, karena kalian semua adalah pengecut-
pengecut yang hanya besar mulut tapi kecil hati!"
"Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru!"
Dewa Maut yang lebih dulu memberikan sambu-
tan dengan sepasang tangan terkacak di ping-
gang. "Dewa Maut bukan seorang pengecut! Dan,
akan kau saksikan sendiri nanti kalau Dewa
Maut-lah yang akan menjadi raja di raja rimba
persilatan!"
"Omong kosong!" Gembong Raja Muda tak
mau kalah. "Akulah yang akan menjadi pemimpin
kalian semua! Dengar baik-baik! Gembong Raja
Muda-lah yang akan menjadi raja di raja rimba
persilatan!"
bicara memang mudah karena lidah tak ber-
tulang
tapi membuktikan ucapan itu yang sukar
karena untuk menggapainya butuh keringat
dan darah
Penyair Berdarah yang tak mau kalah ger-
tak segera lantunkan tembang seraya dongakkan
kepala dan busungkan dada. Dan, setelah usai
menembang, dia pentang bacot.
"Kalian semua keliru! Aku, Penyair Berda-
rah, yang akan menjadi raja di raja rimba persila-
tan!"
"Orang-orang muda!" Manusia Titisan De-
wa ikut keluarkan ucapan. "Kalian semua adalah
pengkhayal-pengkhayal yang luar biasa! Masih
bau susu kalian sudah bercita-cita seperti itu!
Akulah yang akan menjadi raja di raja rimba per-
silatan! Aku! Manusia Titisan Dewa!"
Berturut-turut, malah hampir berebut,
masing-masing tokoh menyombongkan diri. Ma-
laikat Berdarah Biru menghitung jumlah mereka.
Delapan, karena Dewi Tengkorak Hitam, kakek
bongkok, dan perempuan berpakaian gelap di se-
belah Dadung Rantak yang bukan lain dari Ratu
Pulau Merah, tak ajukan diri.
"Aku telah terlalu tua untuk menjadi pe-
mimpin. Bagiku, siapa pun yang akan menjadi
orang nomor satu aku tak peduli. Aku hanya
akan turun tangan apabila kalian berniat untuk
menyerang Setan Arak. Si peminum arak itu telah
membunuh muridku. Dan, aku tak akan bisa me-
ram bila belum dapat membalaskan kematian-
nya," Kakek bongkok ajukan alasan.
"Kebetulan sekali!" Malaikat Berdarah Biru
lontarkan seruan gembira. "Jumlah kita tepat.
Empat tokoh tua dan empat tokoh muda. Jadi,
dalam waktu bersamaan, dapat dilangsungkan
semua pertarungan. Pemenang dari masing-
masing pertarungan akan berlaga. Sedangkan
yang kalah tak mempunyai kesempatan untuk
bertarung kembali!"
"Malaikat Berdarah Biru! Itu caraku! Kau
mencurinya!" seru Iblis Gelang Kematian, keras.
"Iblis Gelang Kematian! Kau memang licik!
Kau tak keluarkan usul, tapi begitu kulontarkan
usul yang bagus, kau akui sebagai usulmu! Ba-
gaimana, caraku bagus dan tepat bukan?!"
Tak ada seorang pun yang anggukkan ke
pala. Tapi, di batin masing-masing menyeruak
perkataan.
"Malaikat Berdarah Biru sungguh cerdik!
Usul yang diajukannya benar-benar tepat. Den-
gan mempertarungkan tokoh-tokoh yang menang,
di akhir pertarungan, hanya akan ada satu orang
pemenang. Dan, dia yang akan bergelar sebagai
raja di raja rimba persilatan!"
"Tunggu sebentar...!" seru Manusia Titisan
Dewa, buru-buru karena khawatir pertarungan
lebih dulu berlangsung. Dia arahkan tatapannya
pada Iblis Gelang Kematian. "Bagaimana menen-
tukan tokoh-tokoh yang harus bertarung?! Mak-
sudku..., siapa yang akan menentukannya?!"
"Mengapa mesti repot-repot?!" tukas Malai-
kat Berdarah Biru dengan sunggingan senyum
mengejek menghias bibir. "Serang saja siapa yang
kau inginkan!"
"Tentu saja, Bocah! Dan kupilih Iblis Ge-
lang Kematian!" tandas Manusia Titisan Dewa
dengan tulang wajah bergerak-gerak karena rasu-
kan hawa kemarahan yang melanda. Sepasang
matanya pun membeliak besar. "Iblis Gelang Ke-
matian! Sekali lagi katakan di mana adanya Sa-
kawuni, muridku!" (Untuk jelasnya mengenai na-
sib Sakawuni dan keributan antara Manusia Titi-
san Dewa dan Iblis Gelang Kematian silakan baca
episode : "Tembang Maut Alam Kematian" dan
"Laskar Dewa").
Iblis Gelang Kematian keluarkan tawa ter-
kekeh. Dan, dengan tawa yang belum putus, nenek ini keluarkan ucapan.
"Manusia Titisan Dewa. Kau tak usah kha-
watir. Bukankah sudah kukatakan kalau urusan
muridmu akan kita bicarakan setelah pertemuan
di Supit Urang?! Nah, dengar baik-baik! Sakawuni
memang ada padaku. Tapi, kau tak perlu khawa-
tir, setelah urusan ini selesai dan aku menjadi ra-
ja di raja rimba persilatan, muridmu akan kuse-
rahkan!"
"Iblis Gelang Kematian! Jika itu yang kau
inginkan, kuterima!" hardik Manusia Titisan De-
wa. Bersamaan dengan itu, sepasang tangannya
direntangkan, lalu dihentakkan ke depan.
Wuuuttt!
Tak ada suara yang terdengar atau pun
sambaran angin yang terlihat. Tapi, mendadak
udara panas menyengat, dan Iblis Gelang Kema-
tian terasa terdorong ke belakang.
Iblis Gelang Kematian tak membiarkan tu-
buhnya terseret lebih jauh. Buru-buru kemudian
dihantamkan kedua tangannya ke arah Manusia
Titisan Dewa.
Wusss!
Angin dahsyat meluruk dari kedua tangan
Iblis Gelang Kematian.
Blaaarrr!
Pertemuan dua pukulan jarak jauh itu
membuat sekitar tempat itu bergetar keras bak
diguncang gempa. Tubuh Iblis Gelang Kematian
dan Manusia Titisan Dewa sama-sama ter-
huyung-huyung ke belakang. Hanya saja Iblis Ge-
lang Kematian terhuyung dua langkah lebih jauh.
Dadanya pun dirasakan sesak.
Iblis Gelang Kematian menyadari akan
keunggulan lawannya. Maka, begitu berhasil
menguasai diri, dikibaskan kedua tangannya. Se-
ketika itu pula, dua buah gelang di tangannya
meluncur ke arah Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa tak mau kalah ger-
tak. Begitu melihat meluncurnya dua cahaya ke-
kuningan ke arahnya, dia segera tahu kalau Iblis
Gelang Kematian telah menggunakan senjata an-
dalan. Oleh karena itu, kakek ini hentakkan ke-
dua tangannya untuk memukul jatuh gelang-
gelang lawannya. Seketika itu pula, seberkas si-
nar pelangi menggebrak ke depan.
Tapi, Manusia Titisan Dewa kecelik. Ge-
lang-gelang itu bagaikan makhluk hidup. Sebe-
lum tersambar angin pukulannya, benda-benda
melingkar berwarna kekuningan itu meliuk. Di
lain kejap kembali meluncur ke arah Manusia Ti-
tisan Dewa, seraya perdengarkan bunyi menggi-
dikkan!
Manusia Titisan Dewa perdengarkan kelu-
han kaget, kemudian lempar tubuh ke samping
untuk menghindar. Tapi, gelang-gelang yang tak
ubahnya makhluk hidup itu terus memburunya.
Malah, jumlahnya semakin bertambah ketika Iblis
Gelang Kematian, kembali kibaskan sepasang
tangannya, melontarkan gelang-gelang lain di
pergelangan tangannya,
Sementara itu, pada saat yang bersamaan
dengan serangan perdana Manusia Titisan Dewa,
tokoh-tokoh yang berkeinginan untuk menjadi ra-
ja di raja rimba persilatan, telah saling gebrak.
Gembong Raja Muda segera menerjang Malaikat
Berdarah Biru. Dewa Maut tak punya pilihan lain
kecuali bertarung dengan Penyair Berdarah. Begi-
tu pula dengan Dadung Rantak. Kakek bertelan-
jang dada ini mau tak mau harus berhadapan
dengan Bawuk Raga Ginting.
SEMBILAN
PERGILAH menghadap malaikat maut, Ma-
laikat Berdarah Biru!" teriak Gembong Raja Muda
seraya kirimkan jotosan dengan kedua tangan-
nya. Angin dahsyat yang memekakkan telinga ke-
luar dari kedua tangannya dan meluruk ke arah
Malaikat Berdarah Biru.
Tapi Malaikat Berdarah Biru yang telah
mengetahui kalau dirinya kebal pukulan, tak
membuat gerakan menangkis atau menghindar.
Gembong Raja Muda tak merasa heran melihat
tingkah lawannya. Pemuda berpakaian putih ini
telah tahu kalau Malaikat Berdarah Biru kebal
pukulan. Namun, rasa penasaran yang mendera
membuatnya berkeinginan untuk memastikannya
sekali lagi.
Desss!
Tak terdengar jeritan kesakitan dari mulut
Malaikat Berdarah Biru ketika pukulan itu meng-
hajarnya. Bahkan keluhan pun, tidak! Hanya sa-
ja, tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Tapi, pemuda bertoga merah itu mampu
menjejak tanah dengan kedua kaki! Malaikat Ber-
darah Biru tatap lawannya dengan kepala didon-
gakkan!
"Setan alas! Pemuda ini ternyata benar-
benar kebal pukulan! Tak ada jalan lain, aku ha-
rus gunakan jurus Sapu Bumi. Apakah dia akan
sanggup menahannya pula?!" Gembong Raja Mu-
da membatin, setelah yakin kalau Malaikat Ber-
darah Biru benar-benar kebal pukulan.
"Gembong! Aku sengaja memberikan kau
kesempatan untuk menyerang, agar nanti kau tak
mati penasaran! Setidak-tidaknya, rohmu akan
tenteram karena telah berhasil menyarangkan se-
rangan, dan membuatku terlempar! Ha ha ha...!"
Mendadak Malaikat Berdarah Biru henti-
kan tawanya. Begitu tiba-tiba bagaikan direnggut
hantu. Kemudian dia tatap Gembong Raja Muda
tajam-tajam. Bibirnya sunggingkan senyum pe-
nuh ejekan. Kemudian, dia melesat menerjang
Gembong Raja Muda. Pemuda berpakaian putih
itu menyambutinya. Pertarungan pun berlang-
sung. Tak kalah seru dengan pertarungan antara
Iblis Gelang Kematian menghadapi Manusia Titi-
san Dewa.
Tak jauh dari tempat itu, Dewa Maut dan
Penyair Berdarah telah saling labrak pula. Begi-
tupun Dadung Rantak dan Bawuk Raga Ginting.
Tempat yang semula sunyi senyap jadi riuh ren-
dah! Kakek bongkok, Dewi Tengkorak Hitam, dan
Ratu Pulau Merah menyingkir lebih jauh agar lo-
los dari serangan nyasar! Pandangan tiga orang
ini beralih dari satu pertarungan ke pertarungan
lain.
"Gembong! Bersiaplah untuk menghadap
malaikat maut!" seru Malaikat Berdarah Biru, ke-
tika pertarungan telah berlangsung belasan jurus.
Pemuda bertoga merah dorongkan kedua tangan-
nya ke depan, lancarkan serangan dengan jurus
'Bayu Sukma'!
Wuttt!
Sinar hitam melesat dengan keluarkan
bunyi gaduh. Keadaan di sekitar tempat itu men-
dadak pekat dan berhawa panas menyengat. Be-
berapa kilatan menakutkan, tampak!
Gembong Raja Muda menyadari akan
adanya bahaya maut. Sejurus sebelum sinar hi-
tam dan kilatan-kilatan itu bersarang di tubuh-
nya, disentakkan kedua tangannya, memapak. Di
saat yang sama, pemuda berpakaian putih ini me-
lompat ke samping untuk menghindar!
Di kejap lain terdengar bunyi keras meng-
gelegar! Sekitar tempat itu berguncang keras. Ta-
nah terbongkar dan berhamburan sehingga me-
nambah pekatnya pemandangan. Pada saat yang
bersamaan, tubuh Gembong Raja Muda melayang
dan terbanting keras di tanah. Sedangkan, Malai-
kat Berdarah Biru hanya bergoyang-goyang tu-
buhnya, tapi kakinya tak tergeser sama sekali!
Malaikat Berdarah Biru perdengarkan tawa
bergelak bernada kemenangan. Dadanya dibu-
sungkan ketika kakinya diayunkan menghampiri
Gembong Raja Muda. Di lain pihak, Gembong Ra-
ja Muda bergegas bangkit sambil usap darah yang
keluar dari mulutnya.
"Gembong! Saat untuk menemui malaikat
maut telah tiba! Bersiaplah!" seru Malaikat Berda-
rah Biru di sela-sela tawa bergelaknya. Pemuda
bertoga merah ini angkat tangan kanannya untuk
lancarkan serangan. Malaikat Berdarah Biru sen-
gaja melakukannya lambat-lambat untuk me-
nyiksa perasaan Gembong Raja Muda.
Paras wajah Gembong Raja Muda pucat
pasi. Bulu tengkuknya berdiri. Dia tahu kalau,
saat-saat akhir bagi hidupnya akan segera tiba.
Kendati demikian, pemuda ini masih alirkan hawa
murni ke seluruh tubuhnya yang terasa panas.
Jantung Gembong Raja Muda berdetak jauh lebih
cepat dari pada sebelumnya, karena perasaan te-
gang menyadari usahanya mengusir pengaruh
akibat serangan Malaikat Berdarah Biru, tak akan
tuntas karena serangan Malaikat Berdarah Biru
pasti akan lebih dulu menerpanya!
Di saat tangan Malaikat Berdarah Biru te-
lah terangkat tinggi-tinggi, Gembong Raja Muda
buka mulut.
"Malaikat Berdarah Biru! Tahan serangan!"
seru Gembong Raja Muda, tanpa malu-malu lagi,
karena masih ingin hidup.
Malaikat Berdarah Biru menatap Gembong
Raja Muda dengan sorot mata dingin. Tangan ka-
nannya tetap terangkat tinggi-tinggi. Bahaya
maut masih mengancam pemuda berpakaian pu-
tih itu.
"Malaikat Berdarah Biru!" Gembong Raja
Muda lanjutkan ucapannya. "Hanya para pengecut hina saja yang mau melukai, apalagi membu-
nuh lawan yang tak berdaya! Dan, aku yakin kau
bukan terhitung pengecut! Tapi, kalau kau me-
mang tergolong pengecut, silakan lukai atau bu-
nuh aku!"
Air muka Malaikat Berdarah Biru menge-
lam. Sorot pembunuhan kembali terpancar pada
sepasang matanya. Rahangnya pun menggem-
bung keras. Kedua tangannya yang terangkat ber-
getar keras. Ucapan Gembong Raja Muda yang
bernada penekanan membuatnya marah besar.
Tapi, diusahakannya untuk menanggulangi rasu-
kan amarah itu. Kemudian Malaikat Berdarah Bi-
ru berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk
memancing amarah Gembong Raja Muda, agar
dia mempunyai alasan untuk membunuhnya!
"Gembong! Kau memang licik! Kau guna-
kan kata-kata itu untuk menyelamatkan diri!" te-
riak pemuda bertoga merah dengan suara berge-
tar karena menahan kemarahan. "Tapi, setelah
kupikir-pikir, orang seperti kau tak ada harganya!
Membunuh manusia sepertimu hanya akan
membuang-buang tenagaku saja! Pula, orang se-
pertimu mampu berbuat apa terhadapku! Jan-
gankan hanya seorang, sekalipun ada seratus
pun, tak ada artinya! Gembong! Lebih baik kau
ganti julukanmu! Tak pantas kau pergunakan ju-
lukan Gembong Raja Muda, seharusnya Gembong
Kantong Nasi! Menyingkirlah, Gembong Kantong
Nasi! Ha ha ha...!"
Wajah Gembong Raja Muda membesi. Dia
marah besar karena hinaan Malaikat Berdarah
Biru yang telah melampaui batas. Tapi, dia sadar
tak akan mampu berbuat apa pun terhadap pe-
muda bertoga merah yang memiliki kepandaian
mukjizat itu. Maka, setelah melempar tatapan
yang sarat dengan kebencian, dia balikkan tubuh
dan menyingkir dari tempat itu. Tawa bergelak
Malaikat Berdarah Biru mengiringi ayunan langkah Gembong Raja Muda.
SEPULUH
HIH!" Seruan keras itu keluar dari mulut
Manusia Titisan Dewa. Kakek ini sejak puluhan
jurus yang lalu, memang telah dibuat kelabakan
oleh serangan-serangan gelang yang tak ubahnya
makhluk hidup itu. Dan sekarang, dia berdiri te-
gak dengan kedua tangan menakup di depan da-
da!
Hampir berbareng dengan seruan keras-
nya, Manusia Titisan Dewa julurkan kedua tan-
gan ke depan. Iblis Gelang Kematian beliakkan
sepasang matanya, kaget karena gelang-gelang
yang semula meluncur dari segenap arah menuju
berbagai bagian tubuh Manusia Titisan Dewa kini
berbelok. Semuanya menuju ke arah tangan si
kakek!
Belum sempat keterkejutan Iblis Gelang
Kematian sirna, Manusia Titisan Dewa telah ki-
baskan tangan. Di lain kejap, benda-benda kun-
ing itu meluncur ke arah Iblis Gelang Kematian!
Hampir tanpa selisih waktu, Manusia Titi-
san Dewa melompat menerjang lawannya. Hal ini
membuat Iblis Gelang Kematian terperanjat. Dia
tahu akan berbahayanya serangan beruntun ini.
Maka, Iblis Gelang Kematian berusaha sedapat
mungkin untuk mengelakkan serangan beruntun
itu. Tapi, nenek ini kalah cepat. Serangan gelang-
gelang memang berhasil dielakkannya. Tapi, ge-
doran Manusia Titisan Dewa tetap mendarat di
dada kirinya!
Desss!
Tubuh Iblis Gelang Kematian terpental dan
jatuh terguling-guling! Cairan merah kental men-
galir dari sudut mulut perempuan tua itu. Dia ter-
luka dalam!
Belum sempat Iblis Gelang Kematian berdi-
ri tegak, Manusia Titisan Dewa berkelebat dan
berhenti beberapa kaki di depannya.
"Iblis Gelang Kematian! Kuberi kau kesem-
patan sekali lagi! Bila kau tak memanfaatkannya,
aku tak segan-segan untuk mengambil nyawa-
mu!" dengus Manusia Titisan Dewa, penuh anca-
man.
"Manusia Titisan Dewa keparat! Tak lama
lagi kau akan tahu siapa yang menjadi pihak yang
menekan!" batin Iblis Gelang Kematian. Lalu, dia
terkekeh pelan. "Manusia Titisan Dewa! Kali ini
kau menang. Tapi, itu tak berarti kalau kau bisa
menekanku!"
"Jangan kau tunggu kesabaranku habis!
Katakan di mana adanya Sakawuni!"
Iblis Gelang Kematian benar-benar berhati
tabah. Meski Manusia Titisan Dewa telah marah
besar, dan tak main-main dengan ancamannya,
dia tetap mampu bersikap tenang. Malah, perem-
puan tua ini masih sempat edarkan pandangan
memperhatikan jalannya pertarungan antara Pe-
nyair Berdarah dan Dewa Maut. Lalu, dia berkata.
"Sebelum pertarungan dimulai sudah ku-
katakan, jika urusan di Supit Urang ini selesai,
muridmu akan kuserahkan. Bukankah begitu?!"
"Tidak salah!" tandas Manusia Titisan De-
wa. "Nah! Kalau begitu mengapa kau sekarang
memaksaku menyerahkannya?! Urusan di Supit
Urang belum selesai. Pertarungan masih berlang-
sung! Bagaimana mungkin muridmu bisa kuse-
rahkan?!" tangkis Iblis Gelang Kematian, penuh
nada menang.
Manusia Titisan Dewa terperangah. Diam.
Tak bicara sepatah kata pun kendati di batinnya,
menyeruak kata-kata.
"Iblis Gelang Kematian! Manusia licik! Kau
telah berhasil menipuku! Kau membuatku tak bi-
sa memaksamu! Tapi, tak apa! Tak lama lagi pun,
urusan di Supit Urang ini akan beres!"
Seperti mendukung kata hati Manusia Titi-
san Dewa, terdengar pekik kesakitan, disusul
dengan terjengkangnya tubuh Penyair Berdarah.
Tapi, pemuda berjubah hitam garis-garis putih ini
mampu berdiri, kendati agak terbungkuk. Dari
sudut-sudut mulutnya, mengalir darah segar.
Dewa Maut tak menyia-nyiakan kesempa-
tan itu, sambil berseru keras pemuda ini segera
lompat memburu, siap jatuhkan serangan mematikan.
"Dewa Maut! Tahan! Muridku sudah ka-
lah...! Kau tak lebih dari seorang pengecut besar,
jika lanjutkan seranganmu!" Iblis Gelang Kema-
tian yang mengkhawatirkan keselamatan Penyair
Berdarah, berteriak lantang.
Seruan Iblis Gelang Kematian berhasil me-
nyelamatkan nyawa Penyair Berdarah yang telah
kritis. Dewa Maut yang paling pantang dianggap
pengecut, lentingkan tubuh ke belakang, berjum-
palitan beberapa kali di udara sebelum akhirnya
jejakkan kaki secara mantap, lalu berseru lantang
dengan sorot mata menghunjam Iblis Gelang Ke-
matian.
"Dewa Maut bukan seorang pengecut! Ka-
lau memang muridmu mengaku kalah, akan
kuampuni nyawanya! Toh, kepandaiannya tak
mengecewakan untuk menjadi anak buahku!"
Penyair Berdarah kertakkan gigi. Sepasang
matanya membeliak besar penuh kemarahan dan
ditujukan pada Dewa Maut. Pemuda berjubah hi-
tam garis-garis putih yang memiliki watak som-
bong dan tinggi hati ini tak bisa menerima kenya-
taan kalau dirinya dikalahkan oleh Dewa Maut!
Mulutnya sudah membuka siap lontarkan kata-
kata tantangan. Tapi, maksud itu diurungkannya.
Penyair Berdarah katupkan kembali mulutnya
tanpa keluarkan suara.
"Kau boleh senang-senang, Dewa Maut.
Tapi, sebentar lagi kau akan tahu siapa yang
menjadi pemimpin dan siapa yang menjadi anak
buah!" kata hati Penyair Berdarah. Lalu, pemuda
berjubah hitam garis-garis putih ini ayunkan kaki
tinggalkan kancah pertarungan.
Baru saja Penyair Berdarah meninggalkan
kancah pertarungan, terdengar teriakan kesaki-
tan. Hampir tanpa selang waktu, Bawuk Raga
Ginting terjengkang dan terguling-guling di tanah
ketika telapak tangan Dadung Rantak menghajar
dada kirinya secara telak!
Perempuan bertubuh pendek ini masih
bersikeras bangkit. Tapi, ternyata tak mampu.
Tubuhnya rebah kembali ke tanah, seraya sem-
burkan darah.
Dadung Rantak tahu kalau Bawuk Raga
Ginting tak akan sanggup melanjutkan pertarun-
gan. Oleh karena itu, dia berdiam diri menunggu.
Tapi, itu tak bisa lama dilakukannya. Malaikat
Berdarah Biru telah lebih dulu menerjangnya! Di
lain kejap, kedua tokoh ini terlibat dalam perta-
rungan sengit!
Bukan hanya Dadung Rantak yang terlibat
pertarungan. Manusia Titisan Dewa pun demi-
kian. Kakek ini diserang oleh Dewa Maut! Perta-
rungan sengit pun berlangsung! Bunyi gaduh me-
nyemaraki jalannya pertarungan!
Tapi, hukum alam rupanya berlaku pada
tokoh-tokoh yang bertarung itu. Rupanya sudah
menjadi suratan kalau tokoh-tokoh tua harus ter-
singkir, terganti dengan tokoh-tokoh muda. Kare-
na, baik Dadung Rantak maupun Manusia Titisan
Dewa, terdesak oleh lawannya. Kendati demikian,
tokoh-tokoh muda itu tetap mengalami kesulitan
untuk merobohkan lawannya!
Puluhan jurus berlalu. Dan, napas Dadung
Rantak maupun Manusia Titisan Dewa telah
menderu-deru karena pengerahan tenaga yang
terlalu dipaksakan. Padahal, usia tua menjadi
kendala. Otot-otot anggota-anggota tubuh lainnya
tak seperkasa orang-orang yang mereka hadapi.
Mendekati jurus ke seratus, hampir berbarengan,
Dadung Rantak dan Manusia Titisan Dewa ter-
jengkang ke belakang seraya semburkan darah
segar dari mulutnya.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa
tombak, tubuh kedua tokoh itu terbanting keras
di tanah. Kekerasan hati membuat mereka me-
maksakan diri untuk bangkit, tapi kemampuan
mereka telah tak mendukung lagi. Baik Manusia
Titisan Dewa maupun Dadung Rantak rebah
kembali ke tanah. Malah keadaan Dadung Rantak
lebih parah lagi. Kakek ini menggelepar-gelepar
seperti binatang disembelih, kemudian diam tak
bergerak untuk selamanya.
Hampir semua tokoh yang berada di situ
terkejut melihat kematian Dadung Rantak! Hanya
Ratu Pulau Merah, seorang yang meski kaget tapi
bercampur gembira.
"Syukurlah tua bangka itu tewas! Dengan
demikian aku terbebas dari ajakannya!" kata hati
perempuan berpakaian gelap itu.
Lima pasang mata tokoh yang telah ter-
singkir dari kemungkinan untuk terpilih sebagai
raja diraja rimba persilatan, tertuju pada dua so-
sok di kancah pertarungan. Malaikat Berdarah
Biru dan Dewa Maut!
Malaikat Berdarah Biru dan Dewa Maut ti-
dak langsung saling gebrak. Kedua belah pihak
saling tatap seperti hendak mengukur kekuatan
lawan lewat sorot mata. Baik Malaikat Berdarah
Biru maupun Dewa Maut hunjamkan tatapan se-
raya dongakkan dagu, mengunjukkan kesombon-
gan dan kepercayaan diri yang kuat akan ke-
mampuannya.
"Mampukah aku mengalahkan Malaikat
Berdarah Biru?! Dia mempunyai ilmu mukjizat
yang membuatnya tak bisa dibunuh atau dilukai!
Tadi pun, beberapa kali kulihat dia terhantam se-
rangan lawannya, tapi semua itu tak berpengaruh
sama sekali," batin Dewa Maut.
Bukan hanya Dewa Maut saja yang merasa
ragu dapat mengalahkan Malaikat Berdarah Biru.
Malah, sebagian besar tokoh yang tersingkir dari
arena pertarungan, menjagoi Malaikat Berdarah
Biru. Mereka yakin pemuda bertoga merah itu
akan keluar sebagai pemenang.
"Dewa Maut! Kau hanya akan melelahkan
diri sendiri jika bertarung melawanku! Kurasa
kau telah lihat sendiri kalau aku tak bisa dibu-
nuh atau pun dilukai! Jadi, bagaimana mungkin
kau akan bisa mengalahkanku? Lebih baik kau
menyerah!"
"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut tak
suka berdebat! Tapi, akan kau buktikan sendiri
kalau Dewa Maut-lah yang akan menjadi raja di-
raja rimba persilatan!" teriak Dewa Maut. Di lain
kejap, dia menerjang ke depan dengan bacokan
sisi tangan ke arah leher!
Malaikat Berdarah Biru mendengus. Di-
angkat tangan kiri untuk mementahkan serangan
Dewa Maut. Pada saat yang sama dikirimkannya
jotosan tangan kanan ke arah dada.
Dukkk! Plakkk!
Dua benturan keras terdengar ketika Dewa
Maut memapak serangan Malaikat Berdarah Biru
dengan jari-jari tangan terkepal. Bentrok dua tin-
ju itu hanya berselisih waktu sedikit saja dengan
benturan yang terjadi akibat tangkisan Malaikat
Berdarah Biru pada serangan Dewa Maut! Tubuh
Dewa Maut dan Malaikat Berdarah Biru sama-
sama terhuyung ke belakang. Seringai kesakitan
menghias wajah masing-masing, karena rasa nye-
ri pada anggota tubuh yang berbenturan.
Tapi, dua tokoh ini, tak pedulikan rasa
nyeri yang melanda. Malah, baik Malaikat Berda-
rah Biru mau pun Dewa Maut seperti saling ber-
lomba untuk melancarkan serangan. Sekejap ke-
mudian, keduanya telah terlibat dalam pertarun-
gan yang sengit!
Hanya dalam waktu sebentar, pertarungan
telah berlangsung belasan jurus. Dan, selama itu
jalannya pertarungan tetap berimbang. Belum ter-
lihat adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar
sebagai pemenang, karena kelincahan dan kekua-
tan tenaga dalam mereka berimbang!
"Dewa Maut memang luar biasa! Kabar
yang tersiar mengenai kesaktiannya tak berlebi-
han. Kalau tak mengandalkan kekebalanku, bu-
kan tak mungkin bisa roboh di tangannya. Pula,
kurasa sudah cukup menjajagi kepandaiannya.
Dia harus merasakan kehebatan ilmu yang kumi-
liki! Kendati demikian, aku harus memperguna-
kan pada waktu yang tepat, sehingga tak bercapai
lelah lagi untuk merobohkan Dewa Maut!" kata
hati Malaikat Berdarah Biru, bersiasat.
Beberapa jurus kembali berlalu, tapi pe-
muda bertoga merah masih belum memperguna-
kan kemampuannya yang menakjubkan. Tinda-
kan Malaikat Berdarah Biru ini membuat Dewa
Maut heran.
"Mengapa Malaikat Berdarah Biru belum
mempergunakan ilmunya yang mukjizat?! Aku
harus hati-hati. Jangan-jangan dia tengah meren-
canakan sebuah siasat! Ataukah ada sesuatu tak
terduga yang membuatnya mengalami kesulitan
untuk melakukannya. Tapi, meskipun demikian,
aku harus hati-hati," Dewa Maut membatin, tan-
pa mengendurkan serangannya. Bahkan, teka-
nan-tekanan yang dilancarkan terhadap lawannya
semakin menjadi-jadi.
"Uh...!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluh tertahan
ketika sapuan kaki kanan Dewa Maut menghan-
tam betisnya. Keras, hingga pemuda bertoga me-
rah ini terpelanting. Melihat kesempatan baik ini,
Dewa Maut tak menyia-nyiakannya. Dilihatnya
sendiri, Malaikat Berdarah Biru menyeringai ke-
sakitan ketika kakinya terkena serangannya.
"Tepat dugaanku! Ada sesuatu yang mem-
buat pemuda ini tak bisa menggunakan ilmunya
yang hebat itu! Aku harus cekatan agar tak mem-
buang waktu lebih lama lagi untuk merobohkan
nya!" Dewa Maut membatin dalam hati. Lalu, tan-
pa berpikir lebih lama lagi, dia melesat menerjang
Malaikat Berdarah Biru.
Wuttt!
Deru angin yang luar biasa keras mengirin-
gi sampokan tangan Dewa Maut ke arah kepala
Malaikat Berdarah Biru. Serangan maut! Karena,
jangankan kepala manusia, batu karang yang pal-
ing keras pun akan pecah berantakan bila terke-
na hantaman tangan bertenaga dalam luar biasa
kuat itu! Dan Dewa Maut yakin, serangannya ini
akan berhasil mendarat di sasaran. Dilihatnya
sendiri, saat itu Malaikat Berdarah Biru berada
dalam kedudukan yang tak menguntungkan!
Beberapa jari sebelum telapak tangan De-
wa Maut menghantam pelipis, Malaikat Berdarah
Biru melayangkan tendangan ke arah perut. Dewa
Maut terperangah. Dia tak menyangka kalau da-
lam keadaan seperti itu, pemuda bertoga merah
mampu melancarkan serangan.
"Setan! Jangan-jangan semua ini sudah di-
rencanakan oleh pemuda ini!" rutuk Dewa Maut,
dalam hati. Kalau saja masih mempunyai kesem-
patan, Dewa Maut lebih suka membatalkan se-
rangannya dan menghindari serangan. Jika, saat
ini serangannya diurungkan pun percuma, kare-
na serangan Malaikat Berdarah Biru tak akan
mungkin bisa dielakkannya. Dewa Maut tak
punya pilihan lagi kecuali menantikan hasil mas-
ing-masing serangan!
Plakkk! Bukkk!
Hampir berbareng tangan Dewa Maut dan
kaki Malaikat Berdarah Biru bersarang pada sa-
saran yang dituju. Di kejap lain, tubuh masing-
masing pihak terlontar. Namun, berkat kelihaian
kedua tokoh sakti itu, mereka mampu menjejak
tanah dengan kedua kaki.
Dewa Maut berusaha menegakkan tubuh.
Tapi, tak mampu. Dia memang mampu berdiri,
tapi dengan tubuh membungkuk. Perutnya terasa
mual bukan main. Isi perutnya bagaikan diaduk-
aduk. Dengan punggung tangan, diusapnya darah
yang mengalir dari sela-sela bibirnya. Dewa Maut
telah terluka dalam.
Di seberang sana, Malaikat Berdarah Biru
berdiri tegak. Kepalanya didongakkan. Kedua tan-
gannya terkacak di pinggang. Sorot sepasang ma-
tanya menghunjam pada Dewa Maut. Mulutnya
menyunggingkan senyum kemenangan sekaligus
seringai ejekan! Serangan Dewa Maut tak berpen-
garuh sedikit pun padanya, kendati telak meng-
hantam!
Paras muka Dewa Maut pias melihat kek-
hawatirannya terbukti. Dia sadar tak akan mung-
kin menang menghadapi Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini hanya bisa menyumpah-nyumpah di
dalam hati.
"Keparat! Mengapa aku demikian bodoh!
Keparat licik itu pasti telah merencanakannya!
Dia berhasil mengecohku! Mengapa aku bisa diti-
pu?! Bodoh! Aku kena dipancing!"
Malaikat Berdarah Biru ayunkan kaki
menghampiri Dewa Maut. Pelan-pelan. Tidak ter-
gesa-gesa, mengunjukkan orang yang telah yakin
akan kemenangannya! Setiap langkah pemuda
bertoga merah ini membuat detakan jantung De-
wa Maut bertambah cepat.
SEBELAS
Di saat kritis bagi keselamatan Dewa Maut,
berkelebat sesosok bayangan putih. Di kejap lain,
Dewi Tengkorak Hitam telah berdiri tegak, mem-
belakangi Dewa Maut.
"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut telah
kalah! Kaulah yang berhak menjadi raja di raja
rimba persilatan!" teriak Dewi Tengkorak Hitam
ketika Malaikat Berdarah Biru telah bersiap un-
tuk menjatuhkan pukulan mautnya!
Terdengar bunyi gemeretak dari belakang
Dewi Tengkorak Hitam. Bunyi itu berasal dari
Dewa Maut. Dewa Maut tak sudi mengaku kalah.
Pemuda berjubah hitam ini mempunyai harga diri
tinggi. Dia lebih suka mati daripada mengaku ka-
lah! Mulutnya telah membuka, siap lontarkan
tantangan terhadap Malaikat Berdarah Biru. Pa-
dahal, Dewa Maut sudah tak berdaya! Tapi, Dewi
Tengkorak Hitam, telah lebih dulu mendekatinya
dan berbisik.
"Dewa Maut.... Waktu masih panjang. Saat
ini mungkin maksudmu untuk menjadi raja di ra-
ja rimba persilatan tak kesampaian. Tapi, itu bu-
kan berarti tak mungkin. Tak mengapa saat ini
kau kalah, kelak kau bisa menebusnya setelah
menemukan kelemahan ilmu iblisnya!"
Rahang Dewa Maut menggembung besar.
Pelipisnya bergerak-gerak. Dia murka bukan main
melihat sikap dan mendengar ucapan Dewi Teng-
korak Hitam. Dia tak suka dinasihati. Maki-
makian telah siap terlontar dari mulutnya. Tapi,
ketika kata-kata itu telah berada di ujung lidah,
siap untuk dilontarkan, akal sehat Dewa Maut
bekerja.
"Apa yang dikatakan Dewi Tengkorak Hi-
tam memang masuk akal. Kalau saat ini aku ber-
keras untuk bertarung. Sudah pasti aku akan te-
was di tangan si keparat Malaikat Berdarah Biru
ini! Jika itu terjadi, dendam leluhurku tak akan
tuntas! Biarlah kali ini aku mengalah!"
Dewa Maut memang mengalah. Tapi, tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dengan
wajah mengelam, dia mundur dari kancah perta-
rungan, diikuti oleh Dewi Tengkorak Hitam!
Malaikat Berdarah Biru edarkan pandan-
gan ke sekitarnya, menatap satu persatu wajah-
wajah tokoh persilatan yang sejak tadi menyaksi-
kan jalannya pertarungan. Kemudian, kepalanya
didongakkan seraya perdengarkan tawa berderai
dengan kedua tangan terkacak di pinggang.
"Ha ha ha...! Sekarang, akulah raja di raja
rimba persilatan! Aku pemimpin kalian! Dan, ka-
lian tak akan kubuat kecewa! Di bawah pimpi-
nanku, akan kita hancurkan tokoh-tokoh golon-
gan putih! Terutama sekali Pendekar Mata Keran-
jang! Ha ha ha...!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa keras. Ta
pi, secara mendadak tawanya terhenti seperti di-
renggut setan. Lalu dengan kedua tangan masih
terkacak di pinggang, diedarkan pandangannya.
"Kalian semua! Dengarkan baik-baik uca-
panku ini! Beberapa hari lagi, setelah keadaan ka-
lian semua pulih seperti sedia kala, aku akan mu-
lai membagi-bagi perintah. Kalian semua akan
mendapat tugas dariku untuk menemukan orang-
orang yang kucari."
Malaikat Berdarah Biru hentikan ucapan-
nya sejenak untuk melihat tanggapan tokoh-
tokoh tingkat atas golongan hitam yang sekarang
mau tidak mau telah menjadi anak buahnya. Ta-
pi, sebagian besar dari mereka bersikap dingin.
Hanya Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berda-
rah yang kelihatan bersikap tenang. Meskipun
begitu, Malaikat Berdarah Biru tak peduli. Ba-
ginya tak masalah, mereka senang atau tidak!
Yang penting mereka melaksanakan perintahnya!
"Orang-orang yang kucari itu adalah Setan
Arak, Dewi Bunga Iblis, dan Pendekar Mata Ke-
ranjang. Ketiga orang itu telah kutetapkan untuk
menjadi calon korbanku! Sayang, aku belum da-
pat mengetahui di mana adanya mereka!"
Iblis Gelang Kematian kernyitkan dahi. He-
ran. Diam-diam di dalam hatinya, nenek ini ber-
kata.
"Sepengetahuanku, Malaikat Berdarah Biru
hanya mempunyai urusan dengan Pendekar Mata
Keranjang. Karena Pendekar Mata Keranjanglah
yang hampir menamatkan riwayatnya! Entah, apa
silang sengketa pemuda ini dengan Setan Arak
dan Dewi Bunga Iblis!"
Iblis Gelang Kematian bahkan juga semua
tokoh di situ tak akan pernah tahu. Karena me-
mang Malaikat Berdarah Biru tak mempunyai si-
lang sengketa dengan Dewi Bunga Iblis serta Se-
tan Arak. Orang yang menjadi guru pemuda ber-
toga merah itu yang mempunyai silang sengketa
dengan Dewi Bunga Iblis serta Setan Arak (Untuk
jelasnya, silakan baca episode : "Laskar Dewa").
"Malaikat Berdarah Biru!" Penyair Berdarah
buka suara. Lantang.
Seketika, semua pasang mata terutama se-
kali milik Malaikat Berdarah Biru, tertuju pada
Penyair Berdarah. Mereka semua merasakan
adanya nada penentangan dalam ucapan pemuda
berjubah hitam garis-garis putih itu. Dan, hal ini
menimbulkan keheranan.
"Apa yang ingin dilakukan Penyair Berda-
rah?! Apakah dia sudah bosan hidup?! Sikap dan
tindakannya akan memancing kemarahan Malai-
kat Berdarah Biru, dan berakibat nyawanya bisa
lepas dari badan!" pikir semua tokoh, agak bin-
gung.
Penyair Berdarah tak gugup kendati men-
jadi pusat perhatian. Dia tahu, orang yang berada
di situ hendak mendengar kelanjutan ucapannya
yang terputus di tengah jalan. Tapi, Penyair Ber-
darah malah berpura-pura tak tahu kalau ucapan
lanjutannya tengah ditunggu-tunggu! Dia bersi-
kap tak peduli. Malah arahkan perhatian pada
gurunya!
Tapi kali ini Iblis Gelang Kematian tak bi
cara ataupun menghardiknya. Nenek ini malah
senyum-senyum dan bersikap tak peduli, men-
gunjukkan sikap yang menyerahkan seluruh ke-
putusan pada Penyair Berdarah.
Malaikat Berdarah Biru yang sudah merasa
tersinggung dengan sikap yang ditunjukkan Pe-
nyair Berdarah, semakin meluap amarahnya me-
lihat tingkah Penyair Berdarah. Dengan kedua
tangan terkepal kencang, dan sepasang mata se-
perti menyinarkan api, dia berteriak. Suaranya
keras menggelegar. Malah, sekitar tempat itu ter-
getar hebat seperti dilanda gempa.
"Penyair Berdarah! Kalau kau masih mem-
bisu, akan kubuat kau bisu selama-lamanya!" ge-
ram Malaikat Berdarah Biru.
Penyair Berdarah tertawa bergelak. Anca-
man Malaikat Berdarah Biru yang terlihat bukan
main-main itu ternyata tak membuatnya gentar!
Bahkan, dengan berani pemuda berjubah hitam
garis-garis putih ini menentang pandang mata
Malaikat Berdarah Biru, seraya keluarkan ucapan
keras dan lantang yang disertai dengan senyum
sinis yang menghias mulutnya.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba-
nyak lagak! Keberhasilanmu keluar sebagai pe-
menang tunggal dalam pertemuan ini hanya seca-
ra kebetulan saja! Nasib baik! Tapi, perlu kau ke-
tahui. Itu tak berarti kau menjadi raja di raja
rimba persilatan! Apalagi berani memerintahku
untuk mencari orang yang kau inginkan! Kau
mimpi terlalu jauh!"
"Keparat! Setan! Penyair Berdarah! Je
laskan maksud ucapanmu, atau kujadikan kau
mayat tak berkubur!" Malaikat Berdarah Biru be-
nar-benar hampir tak kuasa menahan kemara-
hannya lagi. Pelipisnya bergerak-gerak keras. Ra-
hangnya menggembung karena amarah yang
mendera. Dan, pemuda bertoga merah ini telah
bertekad di hatinya.
"Apabila si keparat Penyair Berdarah masih
mengajak berteka-teki lagi, akan kukirim nya-
wanya ke neraka!"
Penyair Berdarah tahu kalau Malaikat Ber-
darah Biru telah marah besar. Tapi, dia tetap tak
peduli. Senyum sinis masih tersungging di bibir-
nya. Tapi, senyum itu langsung lenyap ketika ter-
dengar teguran dari sebelahnya.
"Manding! Kau benar-benar bodoh! Tak ta-
hu kapan tetap main, dan kapan harus berhenti!
Cepat katakan yang ingin kau utarakan!" Iblis Ge-
lang Kematian yang seperti mengetahui tekad Ma-
laikat Berdarah Biru, membentak muridnya. Yang
dibentak tampakkan paras tak senang. Bahkan
memaki-maki, tapi hanya di dalam hati.
"Tua bangka sialan! Kesalahanmu telah
bertumpuk-tumpuk! Kau perlakukan aku seperti
sampah! Nyawa tuamu tak cukup untuk menutu-
pi semua kesalahanmu terhadapku! Kau layak
mati berkali-kali di tanganku!"
Dengan batin yang melontarkan sumpah
serapah, mulut Manding Jayalondra keluarkan
ucapan. Nadanya kaku, penuh rasa tak senang,
dan menunjukkan keterpaksaan.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba
nyak tingkah! Karena nyawamu ada di tanganku!
Bahkan bukan hanya kau! Tapi juga semua orang
yang berada di sini!"
Iblis Gelang Kematian tertawa terkekeh-
kekeh, ketika muridnya selesai berbicara dengan
penuh tekanan untuk menguatkan maksud uca-
pannya. Dengan mulut sunggingkan seringai ke-
menangan, nenek ini angkat bicara.
"Manding! Calon-calon pengikut kita ru-
panya masih belum paham. Utarakan yang lebih
jelas!"
Memang, semua tokoh persilatan yang ada
di situ, tak menampakkan tanggapan yang diha-
rapkan Iblis Gelang Kematian dan muridnya. Se-
mula murid dan guru ini menyangka akan meli-
hat keterkejutan dan kepanikan membayang di
wajah tokoh-tokoh itu. Tapi, harapannya kandas.
Wajah-wajah mereka tak beriak sama sekali! Te-
tap kaku! Malaikat Berdarah Biru sendiri, malah
keluarkan tawa bergelak bernada mengejek. Pe-
muda bertoga merah yang sebelumnya telah ma-
rah besar, malah merasa geli mendengar ucapan
Penyair Berdarah. Seakan-akan seorang dewasa
yang mendapat ancaman dari anak kecil!
"Rupanya kau telah menjadi gila karena
keinginan yang gagal, Penyair Berdarah!" dengus
Malaikat Berdarah Biru di tengah-tengah gelak
tawanya.
"Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru!
Sekarang kau boleh menganggapku gila. Tapi, se-
telah kau dengar ucapanku, ingin kutahu apakah
kau masih beranggapan demikian?!"
"Bicaralah, Penyair Berdarah! Kau akan
kuberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
mengeluarkan semua ganjalan di hatimu. Ini ku-
lakukan karena kasihan padamu. Aku tahu, kau
sangat menggilai kedudukan raja di raja rimba
persilatan. Sayang, kemampuan yang kau miliki
hanya sebatas mata kaki! Bicaralah! Mudah-
mudahan kau menjadi terhibur karenanya!"
Meski merasa tersinggung bukan main, ta-
pi perasaan gembira yang melanda, membayang-
kan keterkejutan yang akan dialami oleh Malaikat
Berdarah Biru, membuat Penyair Berdarah tetap
mampu tersenyum. Senyum mengejek bernada
kemenangan.
"Malaikat Berdarah Biru! Dan juga semua
orang yang berada di sini! Dengar baik-baik! Ka-
lian semua telah terkena racun yang amat ganas!
Racun yang mematikan dan berdaya kerja cepat!
Hanya dalam waktu tiga hari, bila tak menda-
patkan pemunahnya, kalian semua akan mati!"
Suasana di tempat itu langsung hening ke-
tika Penyair Berdarah menyelesaikan ucapannya.
Andaikata, ada daun yang jatuh pun pasti akan
terdengar, saking sunyinya suasana. Penyair Ber-
darah dan Iblis Gelang Kematian edarkan pan-
dangan untuk meneliti wajah-wajah di sekitarnya.
Mereka gembira ketika melihat keterkejutan yang
membayang di sana. Pada masing-masing batin
mereka bergayut pernyataan yang tak terlontar-
kan.
"Benarkah ucapan Penyair Berdarah?! Ra-
sanya memang masuk akal, karena sejak tadi
guru dan murid ini bersikap tenang, menunjuk-
kan orang yang mempunyai andalan. Ataukah...,
ini hanya gertakan belaka?!"
Malaikat Berdarah Biru-lah yang merupa-
kan orang pertama yang memecahkan kehenin-
gan yang mencekik leher. Pemuda bertoga merah
ini mendengus keras seraya perdengarkan tawa
mengejek.
"Penyair Berdarah! Kau keliru besar bila
mengira bisa menipuku dengan gertakan kosong
itu! Malaikat Berdarah Biru tak bisa ditipu atau
digertak! Kau dengar?! Sekarang, bersiaplah un-
tuk menerima kematian, Penyair Berdarah! Kau
telah terlalu banyak membuatku jengkel, dan aku
tak akan puas sebelum berhasil mengirimmu ke
akhirat!"
Malaikat Berdarah Biru langsung bersiap
untuk membuktikan ucapannya. Tapi, terpaksa
diurungkan ketika mendengar ucapan Penyair
Berdarah yang bernada mengejek dan merendah-
kan.
"Rupanya kau takut mendengar ucapanku
selanjutnya, Malaikat Berdarah Biru! Maka, kau
buru-buru menyerangku, agar aku tak sempat bi-
cara lagi!"
"Penyair Berdarah! Malaikat Berdarah Biru
tak pernah takut pada siapa pun! Apalagi pada
orang sepertimu! Bicaralah sampai kau merasa
puas! Karena setelah itu kau tak akan pernah bi-
sa bicara lagi untuk selama-lamanya!"
"Dengar baik-baik! Tadi, sewaktu terlibat
pertarungan, aku dan guruku telah sebarkan serbuk yang amat beracun, tapi tidak berbau atau
berwarna. Kalian semua telah menghirup serbuk
itu tanpa kalian sadari! Perlu kalian ketahui, te-
rutama sekali kau, Malaikat Berdarah Biru, racun
yang terkandung dalam serbuk itu berbeda den-
gan racun lainnya, dan tak akan bisa dilenyapkan
dengan penawar racun biasa."
Malaikat Berdarah Biru mendengus. Ge-
ram. Diam-diam di dalam hatinya, pemuda berto-
ga merah ini berkata. Perkataan yang sama ter-
kandung dalam hati semua tokoh yang berada di
situ.
"Benarkah apa yang dikatakan oleh Penyair
Berdarah?!"
"Kalau kalian tak percaya," kali ini Iblis Ge-
lang Kematian yang bicara. "Kalian bisa tunggu
sebentar lagi. Aku yakin, racun itu akan menun-
jukkan akibatnya. Tanda-tanda pertama adalah
rasa gatal yang amat sangat, mendera. Muncul-
nya tanda-tanda ini tidak sama, tergantung keku-
atan tenaga dalam orang yang keracunan itu! Se-
makin kuat tenaga dalamnya, semakin lambat
timbulnya gatal itu."
Iblis Gelang Kematian hentikan penjela-
sannya sebentar. Kemudian edarkan pandangan
berkeliling, untuk melihat tanggapan orang-orang
yang diajaknya bicara. Tapi, tak satu pun yang
buka mulut. Pandang mata mereka semua seperti
tertuju pada mulut Iblis Gelang Kematian. Me-
nunggu mulut itu membuka dan keluarkan ucapan.
"Rasa gatal itu tak tertahankan! Dan, te
rus-menerus terasa. Rasa itu bahkan mampu
membuat seorang tokoh sakti seperti kehilangan
kesaktiannya. Yang menjadi keinginan adalah
agar gatal itu lenyap. Lewat satu hari, nyawa
akan melayang!"
Seperti mendukung ucapan Iblis Gelang
Kematian, terdengar keluhan tertahan. Seketika,
semua pasang mata tertuju ke arah asal suara.
Tampak Gembong Raja Muda meringis-ringis,
kemudian menggeliat.
"Pandu! Hentikan kekonyolanmu sebelum
kesabaranku hilang!" bentak Bawuk Raga Gint-
ing, keras. Perempuan pendek ini memang tengah
tak senang hati karena kegagalannya menjadi raja
di raja rimba persilatan. Maka, tingkah muridnya
membuatnya marah.
Tapi, yang diancam seperti tidak menden-
gar, dan tetap saja meneruskan tingkahnya. Me-
ringis dan menggeliat. Malah, di kejap lain, ber-
tambah dengan menggaruk. Mula-mula hanya
tangan kiri yang digaruk. Sesaat kemudian, tan-
gan yang digaruk ikut-ikutan menggaruk tangan
kanan. Selanjutnya, kedua tangan itu menggaruk
hampir sekujur tubuh.
Penyair Berdarah keluarkan tawa bergelak.
Kemudian sambil dongakkan kepala dia berseru
lantang.
"Baru satu orang yang membuktikan kebe-
naran ucapanku. Tak lama lagi akan bertambah
banyak, sampai akhirnya kalian semua kegatalan!
Ha ha ha...!"
Bawuk Raga Ginting kertakkan gigi. Ge
ram. Di dalam hatinya, dia membatin.
"Apa yang kukhawatirkan ternyata tidak
keliru. Iblis Gelang Kematian merencanakan se-
suatu. Sama sekali tak kusangka kalau renca-
nanya benar-benar menakjubkan! Kalau misalkan
terpaksa, apa boleh buat?! Demi menyelamatkan
nyawa, tak ada ruginya kalau aku menakluk."
Sementara itu keadaan Gembong Raja Mu-
da semakin mengenaskan. Garukan yang dilaku-
kannya semakin menggila. Tubuhnya sampai
menggelepar ke sana kemari seperti binatang dis-
embelih. Garukan jari-jari tangannya telah mem-
buat kulitnya mengelupas. Darah pun mulai
mengalir.
Semua tokoh persilatan yang berada di situ
terperangah. Bulu kuduk mereka merinding. Hati
masing-masing tokoh berseru galau.
"Kalau hal itu berlangsung terus, bukan
hanya kulit Gembong Raja Muda saja yang terku-
pas, dagingnya pun akan habis! Benar-benar ra-
cun yang amat ganas!"
Di antara semua yang menyaksikan keja-
dian itu, hanya Bawuk Raga Ginting yang di
samping merasa kaget dan ngeri juga disergap ra-
sa khawatir. Dia tak ingin murid yang dididiknya
susah-payah itu menemui ajal secara mengeri-
kan. Pandangannya segera dialihkan pada Iblis
Gelang Kematian.
"Iblis Gelang Kematian! Hentikan kekeja-
man itu! Aku bersedia menjadi anak buahmu! Ta-
pi, sembuhkan dulu muridku...!" teriak perem-
puan bertubuh pendek ini, keras.
Iblis Gelang Kematian keluarkan kekeh ter-
tahan, sebelum akhirnya berkata.
"Obat penawar racun itu akan kuberikan
belakangan apabila kau dan muridmu telah
membuktikan janji. Tapi, karena kau telah me-
mutuskan demikian, kau dan muridmu kuberi-
kan obat untuk menyembuhkan rasa gatal itu!"
Di akhir ucapannya itu, Iblis Gelang Kema-
tian lemparkan dua buah kendi sebesar ibu jari
kaki. Dengan sigap Bawuk Raga Ginting menang-
kapnya.
"Habiskan isinya...!" seru Iblis Gelang Ke-
matian, singkat.
Tanpa banyak pikir lagi, Bawuk Raga Gint-
ing segera menghampiri Gembong Raja Muda
yang masih menggelepar-gelepar. Kemudian, diju-
lurkan jari-jari tangannya mengirimkan totokan
ke tubuh pemuda berpakaian putih itu. Di kejap
lain, tubuh Gembong Raja Muda terkulai lemas,
sehingga leluasa Bawuk Raga Ginting menua-
ngkan isi kendi itu ke dalam mulutnya.
Selagi Bawuk Raga Ginting meminumkan
isi kendi, Iblis Gelang Kematian perhatikan seki-
las, kemudian kembali berkata dengan nada pe-
nuh kemenangan.
"Sebelum rasa gatal itu muncul, pada tu-
buh kalian, tepatnya pada pergelangan tangan
akan muncul bercak merah sebesar ibu jari!"
DUA BELAS
MALAIKAT Berdarah Biru termasuk salah
satu dari sekian banyaknya tokoh-tokoh persila-
tan yang memperhatikan lengannya. Pemuda ber-
toga merah mendengar seruan-seruan ke-
terkejutan dari mulut-mulut tokoh persilatan
yang ada di situ. Seruan keterkejutan yang ber-
campur dengan kengerian, ketika melihat tanda
yang dimaksud Iblis Gelang Kematian!
Tapi, Malaikat Berdarah Biru tak melihat
tanda apa pun di lengannya. Jangankan bercak
sebesar ibu jari, sebesar kutu pun tak terlihat!
Semula dia merasa heran, dan menyangka Iblis
Gelang Kematian dan Penyair Berdarah hanya
menggertak belaka. Tapi, dia teringat akan uca-
pan gurunya.
"Apa yang dikatakan tua bangka itu ternya-
ta tak salah! Aku tak hanya kebal pukulan, tapi
juga racun!" kata Penyair Berdarah dalam hati.
Kenyataan ini membuat Malaikat Berdarah
Biru sangat gembira. Didongakkan kepala dan di-
kacakkan kedua tangannya di pinggang, seraya
lontarkan ucapan keras bernada sombong!
"Iblis Gelang Kematian! Penyair Berdarah!
Kalian dengar baik-baik! Segala macam racun tak
ada artinya bagiku! Aku tak bisa mati! Justru ka-
lianlah yang akan mati karena berani berbuat li-
cik padaku!" Malaikat Berdarah Biru menghenti-
kan ucapannya berbarengan dengan terjangan ke
arah Penyair Berdarah! Pemuda bertoga merah ini
langsung kirimkan serangan maut! Penyair Ber-
darah yang melihat kejadian tak disangka-sangka
itu, terperanjat. Tapi, dia masih sempat untuk
melempar tubuh ke belakang, dan bergulingan
menjauh.
Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru be-
nar-benar telah bertekad untuk membinasakan
Penyair Berdarah. Dia melesat memburu, siap un-
tuk kirimkan serangan maut! Melihat hal ini wa-
jah Penyair Berdarah berubah pias. Lesatan Ma-
laikat Berdarah Biru terlalu cepat, dan kecil ke-
mungkinannya untuk dapat lolos!
Iblis Gelang Kematian sendiri, saking ka-
getnya melesat untuk menyelamatkan nyawa mu-
ridnya. Tapi, saat tubuh Iblis Gelang Kematian
tengah melayang, sesosok bayangan telah lebih
dulu melesat memapaki serangan Malaikat Berda-
rah Biru!
Blarrr...!
Diawali benturan keras yang membuat se-
kitar tempat itu bergetar, tubuh Malaikat Berda-
rah Biru dan sang penyelamat Penyair Berdarah
sama-sama terjengkang ke belakang. Namun, ke-
duanya mampu mematahkan daya luncuran dan
menjejak tanah secara mantap!
Seketika berpasang-pasang mata tertuju
pada sang Pendatang Baru ini. Dia adalah seo-
rang lelaki bertubuh tegap besar, dan berambut
panjang tergerai. Meski demikian, terlihat kalau
lelaki ini masih berusia sangat muda!
Dari sekian banyaknya yang menatap,
hanya dua pasang mata yang menyiratkan keterkejutan, mata Dewa Maut dan mata kakek bong-
kok!
"Kiranya si anak ajaib itu! Hm.... Pertarun-
gan yang seru akan tercipta. Entah bagaimana
akhirnya, karena kedua belah pihak sama-sama
kebal pukulan," Dewa Maut membatin, dengan
pandangan mata hampir tak berkedip. Kekalahan
yang diderita dari Malaikat Berdarah Biru yang
tak pernah disangka-sangkanya, membuat Dewa
Maut terpukul dan kehilangan kegarangannya.
Dia masih sangat terpukul!
"Abilowo...! Mengapa bocah ini bisa berada
di sini?! Berarti, Putri Tunjung Kuning pun ada di
sekitar sini," kakek bongkok yang berada tak jauh
dari Dewa Maut, berkata pula dalam hati seraya
edarkan pandangan berkeliling. Tapi, tak terlihat
seorang pun di tempat itu. Maka, perhatiannya
diarahkan kembali pada Malaikat Berdarah Biru
yang telah berhadapan dengan Abilowo.
Kakek bongkok ini tak tahu kalau dugaan-
nya tak keliru. Putri Tunjung Kuning memang be-
rada di sekitar tempat itu. Di salah satu gua yang
tersembunyi, yang dari luar hanya terlihat pekat
dan kelam! Perasaan perempuan ini tak sanggup
untuk bertemu dengan Malaikat Berdarah Biru.
Apalagi mengungkapkan dirinya menjadi korban
perkosaan kepada sekian banyak orang! Putri
Tunjung Kuning mewakilkan Abilowo. Dia sendiri
menyaksikannya dari kejauhan!
"Sialan betul!" kakek bongkok kembali me-
lanjutkan kata hatinya. "Kedatangan Abilowo bisa
merubah rencana. Aku tak mungkin bisa membiarkan bocah ini celaka. Hhh.... Keadaan jadi
serba salah dan runyam!"
Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru
memperhatikan Abilowo lekat-lekat. Orang yang
diperhatikan, ikut lakukan hal yang sama.
"Kau orang yang berjuluk Malaikat Berda-
rah Biru...?!" Abilowo ajukan tanya dengan nada
penuh ancaman.
"Tak salah. Aku orang yang berjuluk Ma-
laikat Berdarah Biru! Kau siapa, Bocah?!" Malai-
kat Berdarah Biru balik bertanya.
Abilowo mendengus keras.
"Kenalkah kau dengan perempuan yang
bernama Putri Tunjung Kuning?" Abilowo malah
balas bertanya, bukannya memberikan jawaban.
"Keparat! Anak sialan! Ditanya malah balas
bertanya! Tapi, dari mana dia tahu tentang pe-
rempuan itu?!" Malaikat Berdarah Biru memba-
tin. Kemudian setelah berpikir sejenak, kepalanya
dianggukkan. "Apa hubunganmu dengannya?!"
"Namaku Abilowo. Aku adalah putra dari
Putri Tunjung Kuning. Dan, ayahku yang ingin
kubunuh, karena telah menyengsarakan ibuku
itu, berjuluk Malaikat Berdarah Biru! Kaulah
orangnya! Terimalah kematianmu, Malaikat Ber-
darah Biru!"
Abilowo menutup ucapannya dengan se-
buah terjangan ke arah Malaikat Berdarah Biru
yang tak pernah disangka-sangkanya itu, Malai-
kat Berdarah Biru terpaksa melesat menghindar.
Pemuda bertoga merah ini tak menangkis seran-
gan karena masih didera perasaan kaget.
"Putraku...?! Mana mungkin?! Andaikata
benar Putri Tunjung Kuning melahirkan anak ka-
rena perbuatanku pun, mana mungkin bisa sebe-
sar ini?!" pikir Malaikat Berdarah Biru, bingung.
Kalau Malaikat Berdarah Biru merasa bin-
gung, tak demikian halnya dengan kakek bong-
kok. Meski mulutnya tak keluarkan suara, tapi di
dalam hatinya dia berkata.
"Sekarang masalahnya telah menjadi jelas.
Abilowo benar anak dari Putri Tunjung Kuning.
Tapi, sama sekali tak kusangka kalau ayahnya
adalah Malaikat Berdarah Biru...."
Kakek bongkok dan semua tokoh persila-
tan yang berada di situ, terutama sekali Dewa
Maut, memperhatikan jalannya pertarungan den-
gan penuh minat. Pertarungan yang seru. Kedua
belah pihak sama-sama memiliki kekuatan tenaga
dalam, dan kelincahan setingkat. Jalannya perta-
rungan pun berimbang. Beberapa kali ketika ter-
jadi benturan tangan atau kaki, Malaikat Berda-
rah Biru meringis karena merasakan nyeri dan
sakit-sakit. Tapi, rasa kaget mendengar dirinya
mempunyai keturunan, membuat Malaikat Berda-
rah Biru tak teringat akan hal aneh ini. Biasanya,
jangankan hanya berbenturan, terkena pukulan
yang mematikan pun, pemuda bertoga merah ini
tak merasakan sakit.
"Gila! Bocah ini ternyata benar-benar luar
biasa! Persetan! Anakku atau bukan, kalau akan
menjadi penghalang di kemudian hari, lebih baik
kusingkirkan!" kata hati Malaikat Berdarah Biru,
seraya menunggu-nunggu kesempatan yang baik.
Malaikat Berdarah Biru tak menunggu la-
ma. Karena sekejap kemudian, Abilowo kirimkan
jotosan ke arah dada kirinya. Pemuda bertoga me-
rah ini sengaja bergerak lambat, membiarkan se-
rangan itu mendekat. Ketika beberapa jari lagi
menghantam sasaran, dia kirimkan tendangan ke
arah perut Abilowo!
Desss! Desss!
Hampir berbarengan, serangan masing-
masing pihak mengenai sasarannya. Baik Malai-
kat Berdarah Biru maupun Abilowo sama-sama
terjengkang ke belakang. Tapi, dari mulut Malai-
kat Berdarah Biru keluar teriakan menyayat hati.
Teriakan kesakitan. Bahkan dari mulutnya keluar
darah segar!
Malaikat Berdarah Biru terbanting keras di
tanah. Namun, pemuda bertoga merah ini beru-
saha bangkit, karena dilihatnya Abilowo telah
berhasil menguasai diri dan siap untuk melan-
carkan serangan. Sepasang mata Malaikat Berda-
rah Biru membeliak besar penuh keterkejutan ke-
tika melihat Abilowo terlihat tak terpengaruh aki-
bat serangannya.
Semua tokoh persilatan yang menyaksikan
terperangah, tak terkecuali kakek bongkok! Mere-
ka sama sekali tak menyangka kalau Malaikat
Berdarah Biru yang semula memiliki tubuh demi-
kian kuat, dan tak bisa dilukai, kini sekarat!
Malaikat Berdarah Biru sendiri begitu ber-
hasil tegak, teringat akan ucapan gurunya. Kata
demi kata gurunya itu, terngiang kembali di telinganya.
"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai
oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri!
Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"
Malaikat Berdarah Biru merasakan kerin-
gat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Hatinya
memekik penuh rasa putus asa.
"Abilowo adalah anakku. Dan, sekarang
bulan purnama nampak di langit! Akankah ini be-
rarti ajalku akan tiba?!"
Pemuda bertoga merah ini masih belum
mampu berdiri tegak ketika Abilowo hentakkan
kedua tangannya. Di kejap lain, bunyi bergemu-
ruh terdengar, mengiringi menyerbunya angin ke-
ras ke arah Malaikat Berdarah Biru. Seketika itu
pula paras pemuda bertoga merah pucat pasi.
Dengan sisa-sisa kemampuan yang dimiliki, dia
berusaha untuk mengelak. Pada saat bersamaan,
berpasang-pasang mata memperhatikan kejadian
ini dengan penuh minat. Memperhatikan saat-
saat yang menentukan itu. Pada semua benak,
bergayut sederetan kata-kata.
"Tewaskah Malaikat Berdarah Biru?!"
Jawaban bagi pertanyaan itu tak membu-
tuhkan waktu lama. Sesaat kemudian, terdengar
jeritan menyayat hati dari mulut Malaikat Berda-
rah Biru ketika pukulan jarak jauh Abilowo, me-
labraknya. Keadaan pemuda bertoga merah yang
sudah payah, membuat gerakan menghindarnya
terlalu lambat! Tubuh Malaikat Berdarah Biru
pun melayang-layang jauh, terbanting keras di
tanah!
Semua pasang mata tertuju pada Malaikat
Berdarah Biru yang tergolek, melihat perkemban-
gan. Tapi, tak terlihat adanya gerakan sedikit pun
dari pemuda bertoga merah. Sedangkan Abilowo,
begitu berhasil menyarangkan pukulan, segera
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tak seo-
rang pun tokoh persilatan yang menahan tinda-
kannya. Mereka masih terpaku melihat Malaikat
Berdarah Biru yang demikian menggiriskan hati,
menemui ajalnya!
"Syukurlah Abilowo segera pergi. Kalau ti-
dak, dan terjadi pertempuran dengan tokoh-tokoh
yang ada di sini, aku bisa terlibat! Dan, itu berarti
mereka akan segera tahu siapa adanya diriku, se-
belum kutahu rencana mereka," kakek bongkok
bergumam dalam hati.
Keadaan di sekitar tempat itu menjadi hen-
ing. Sepi. Semua pasang mata masih tertuju pada
tubuh Malaikat Berdarah Biru. Iblis Gelang Ke-
matlanlah yang menjadi orang pertama yang me-
mecahkan keheningan itu.
"Rekan-rekan segolongan! Mungkin perlu
kutegaskan sekali lagi. Tujuan utama berkumpul
di tempat ini adalah agar kita dapat bergabung
melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih. Agar
masa kejayaan golongan hitam kembali muncul."
"Kalau begitu..., mengapa kau mempergu-
nakan kecurangan?! Kau racuni kami?!" sentak
Dewa Maut, keras.
Semangatnya mulai agak timbul ketika me-
lihat Malaikat Berdarah Biru telah tewas. Tapi,
kesombongannya belum sepenuhnya pulih, men-
gingat adanya racun ganas yang bersemayam di
dirinya.
Iblis Gelang Kematian terkekeh pelan sebe-
lum keluarkan ucapan.
"Hanya sekadar berjaga-jaga. Kalian boleh
percaya atau tidak, terserah. Yang jelas, aku ber-
maksud baik. Bahkan aku tak ingin memaksakan
kehendak. Tidak seperti Malaikat Berdarah Biru
tadi. Aku memberi kebebasan pada kalian untuk
mengajukan saran, tentang tokoh golongan putih
mana yang harus lebih dulu kita lenyapkan!"
Tak seorang pun keluarkan ucapan. Kea-
daan menjadi sunyi. Hal ini membuat Iblis Gelang
Kematian kembali berbicara. Lantang.
"Perlu kalian ketahui, bila kalian setuju ki-
ta bersatu, saat ini juga kuberikan obat penghi-
lang gatal itu. Kemudian, kita serbu tokoh-tokoh
golongan putih!"
* * *
"Celaka...! Aku harus bergegas tinggalkan
tempat ini! Harus kuberitahukan pada Dewi
Kayangan kabar yang berbahaya ini!" kakek
bongkok berkata dalam hati, setelah mendengar
keputusan yang disetujui oleh tokoh-tokoh hitam
itu.
Memang, karena kepandaian Iblis Gelang
Kematian bersilat lidah, tokoh-tokoh golongan hi-
tam itu setuju untuk bergabung. Manusia Titisan
Dewa termasuk di antara yang setuju. Kakek ini,
untuk sementara bersedia melupakan masalah
Sakawuni!
Saat, tokoh-tokoh hitam itu sibuk dengan
urusan penyerbuan itu, dengan diam-diam si ka-
kek bongkok meninggalkan tempat itu. Nasib baik
berpihak padanya. Karena, tak seorang pun yang
melihat kepergiannya. Di lain kejap, kakek ini
menyelinap ke balik batu besar. Sebentar kemu-
dian, ketika keluar lagi, si kakek telah berganti
menjadi seorang pemuda berwajah tampan. Dia
mengenakan pakaian hijau yang melapis baju
kuning tangan panjang. Rambutnya dikuncir ekor
kuda. Sedangkan tangan kanannya menggenggam
kipas ungu, dan dikipaskan pulang balik di depan
wajahnya. Kakek bongkok itu ternyata adalah
Pendekar Mata Keranjang 108, yang bernama asli
Aji Saputra!
Aji segera perhatikan pergelangan tangan-
nya sekali lagi. Tapi, tetap saja tak terlihat bercak
merah seperti yang dimaksud oleh Iblis Gelang
Kematian. Pemuda ini jadi bingung.
"Apakah aku tak terkena racun?! Tapi,
mengapa?! Apakah.... Jangan-jangan mutiara biru
yang dulu kutelan yang membuatku bebas dari
racun. Atau..., ah.... Mengapa harus pusing-
pusing kupikirkan hal aneh ini?! Lebih baik aku
segera memberitahukan Dewi Kayangan...!"
Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Ma-
ta Keranjang melesat meninggalkan tempat itu.
Pada saat yang bersamaan, di tempat yang diting-
galkan Aji, terjadi kegegeran, setelah mengetahui
si kakek bongkok, tak berada di situ.
"Iblis Gelang Kematian! Sebenarnya.... Sia-
pa kakek bongkok itu?!" Bawuk Raga Ginting ajukan tanya.
Iblis Gelang Kematian gelengkan kepala.
"Aku tak tahu. Tadi pun, ingin kutanyakan,
karena aku tak merasa mengundangnya. Tapi,
aku lupa, karena ribut mulut dengan Manusia Ti-
tisan Dewa," Jawab perempuan tua itu, bernada
menyela.
"Jangan-jangan dia mata-mata golongan
putih! Dan bukan tak mungkin Pendekar Mata
Keranjang!" Penyair Berdarah ajukan dugaan.
"Pendekar Mata Keranjang?!" Dewa Maut
yang menyambuti. "Mengapa aku lupa?! Benar!
Kakek itu pasti Pendekar Mata Keranjang! Bu-
kankah pendekar keparat itu berpakaian hijau?
Tadi, ketika pakaian tambalannya tersibak, kuli-
hat pakaian hijau yang berada di baliknya!
Sayang, aku lupa kalau pemuda itu mengenakan
pakaian hijau! Dan aku baru teringat ketika Pe-
nyair Berdarah ajukan dugaannya!"
"Kalau begitu, rencana harus kita rubah!
Kalau tidak, kita akan menghadapi hambatan
yang besar. Pemberitahuan Pendekar 108 akan
membuat sasaran kita segera pergi atau malah
mengumpulkan kekuatan!"
"Kurasa kita tak perlu khawatir!" sambut
Iblis Gelang Kematian setelah tercenung sejenak.
"Andaikata benar kakek itu Pendekar Mata Keran-
jang. Dan pendekar keparat itu memberitahukan
rencana kita, tetap akan terlambat karena perbe-
daan waktu yang terlalu singkat. Kita akan lebih
dulu datang sebelum keparat-keparat itu pergi
atau mengumpulkan kekuatan!"
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?! Kita harus
bertindak cepat!" Ratu Pulau Merah dan Dewa
Maut, hampir berbareng berbicara!
Iblis Gelang Kematian anggukkan kepala
seraya perdengarkan tawa terkekeh.
* * *
Sang Surya hampir saja mencapai titik ten-
gahnya ketika beberapa bayangan berkelebatan
cepat memasuki sebuah hutan kecil di Dusun
Kepatihan. Suasana yang terang benderang,
membuat sosok-sosok itu terlihat jelas. Ternyata
mereka adalah Iblis Gelang Kematian dan rom-
bongannya.
"Sebentar lagi rombonganku akan tiba di
sasaran. Tua bangka-tua bangka pelindung Pen-
dekar Mata Keranjang itu akan segera menghadap
malaikat maut! Dan, setelah semua tokoh golon-
gan putih lenyap, kacung-kacungku ini pun akan
menyusul pula. Hi! hi hi...!" Iblis Gelang Kematian
membatin, lalu keluarkan kata.
"Sebentar lagi kita akan tiba. Aku yakin,
Pendekar Mata Keranjang pun baru tiba pula.
Dan, mereka tak akan sempat berbuat apa pun.
Dengan jumlah kita yang jauh lebih banyak, pi-
hak lawan akan dapat kita gulung!"
"Dan.... Kipas, tombak, serta, kerisku pun
akan kembali!" lanjut Ratu Pulau Merah, dalam
hati.
"Bila itu terjadi, kipas dan bumbung bam-
bu peninggalan Empu Jaladara akan dapat kumusnahkan!" Dewa Maut, menyambung ucapan
Iblis Gelang Kematian, tapi tanpa suara, hanya
dalam batinnya.
"Hik... hik... hik...! Tak kusangka istanaku
akan didatangi oleh rombongan tikus busuk. Ru-
panya, binatang-binatang ini minta digebuk!"
Seruan bernada ejekan yang mengiringi
tawa cekikikan, membuat rombongan Iblis Gelang
Kematian terperanjat. Sebagian di antara mereka,
telah mengetahui siapa pemilik suara itu.
"Kalau aku tak salah duga, Dewi Kayan-
ganlah pemilik suara itu...," Ratu Pulau Merah
angkat bicara.
"Bila benar demikian, perempuan jelek itu
minta dikirim ke neraka sekarang!" geram Iblis
Gelang Kematian. "Kita harus lebih bergegas. Aku
tak sabar lagi untuk memuntir lehernya!"
"Hik... hik... hik...! Tak usah terburu-buru,
Tikus Tua! Sebentar lagi pun maksud hatimu
akan kesampaian...!"
Apa yang dikatakan pemilik suara tanpa
wujud itu ternyata tak salah. Tak sampai sepuluh
tombak, begitu keluar dari hutan kecil, di lapan-
gan tanah yang luas membentang, sekitar sepu-
luh tombak di depan mereka, telah berdiri berja-
jar beberapa sosok. Menilik dari sikap rombongan
itu, Iblis Gelang Kematian dan kelompoknya sege-
ra tahu kalau rombongan di depan sengaja meng-
hadang. Dan, di antara rombongan penghadang
itu tampak Pendekar 108!
"Gila! Sama sekali tak kusangka kalau se-
muanya jadi berantakan begini! Mungkinkah dalam waktu yang demikian singkat, Pendekar Mata
Keranjang berhasil mengumpulkan begitu banyak
orang untuk menghadang perjalanan kita?!" rutuk
Iblis Gelang Kematian, kesal.
Iblis Gelang Kematian tak pernah tahu, ka-
lau dugaannya itu keliru! Tepat seperti yang telah
diperkirakannya, Pendekar Mata Keranjang baru
saja tiba di tempat itu. Dan, ketika tiba pun, pe-
muda itu telah bertemu dengan sosok-sosok yang
berdiri berjajar.
Semula Pendekar 108 merasa heran ketika
melihat sosok-sosok yang dijumpainya di tempat
itu. Karena, diduganya, yang berada di tempat itu
hanya Dewi Kayangan, dan Dewi Bayang-bayang.
Keberadaan Gongging Baladewa masih merupa-
kan teka-teki, meski sebelumnya pemuda ini telah
mempunyai sedikit dugaan, karena telah melihat
sendiri kalau Dewi Bayang-bayang dan Gongging
Baladewa bersatu lagi (Untuk jelasnya silakan ba-
ca episode : "Dayang Naga Puspa").
Pendekar Mata Keranjang sempat kaget be-
sar ketika melihat tak hanya Gongging Baladewa.
Tapi juga Setan Arak, Ratu Sekar Langit, Putri Ki-
pas, dan Setan Pesolek! Belakangan, pemuda ini
baru tahu kalau mereka semua bisa berkumpul di
situ berkat Setan Pesolek. Laki-laki banci itu den-
gan ilmu meramalnya, telah bisa mengetahui ka-
lau hasil dari pertemuan di Supit Urang adalah
penyerbuan ke tempat tinggal Dewi Kayangan.
Pertemuan dengan Ratu Sekar Langit kem-
bali, dipergunakan Aji untuk menanyakan bagai-
mana kekasihnya bisa lolos dari tahanan Bawuk
Raga Ginting. Dari mulut Ratu Sekar Langit, Pen-
dekar Mata Keranjang tahu kalau sang Penyela-
mat itu adalah Setan Arak. Bahkan, gadis itu te-
lah menjadi murid Setan Arak!
Sayang, kedatangan rombongan Iblis Ge-
lang Kematian membuat Aji tak bisa berbincang-
bincang lebih lama lagi. Apalagi setelah rombon-
gan penyerbu itu langsung menyerang. Pendekar
108 hampir tak percaya ketika melihat Dewi
Tengkorak Hitam ikut-ikutan menyerbu. Seka-
rang, pemuda ini baru paham maksud peringatan
Setan Pesolek dan Setan Arak.
Serbuan rombongan Iblis Gelang Kematian
segera mendapatkan sambutan! Masing-masing
pihak seperti telah tahu lawan masing-masing.
Manusia Titisan Dewa menerjang Dewi Bayang-
bayang. Iblis Gelang Kematian menyerang Setan
Pesolek. Sedangkan Dewi Kayangan diterjang oleh
Bawuk Raga Ginting.
Pada saat yang bersamaan, Gongging Bala-
dewa diserang berbareng oleh Penyair Berdarah
dan Gembong Raja Muda. Ratu Sekar Langit ber-
hadapan dengan Ratu Pulau Merah, Putri Kipas
bertarung dengan Dewi Tengkorak Hitam. Se-
dangkan Pendekar Mata Keranjang sendiri diser-
bu oleh Dewa Maut. Hanya Setan Arak yang enak-
enakan menenggak araknya. Kakek ini tak keba-
gian lawan!
Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Masing-masing tokoh yang bersenjata, segera
menggunakannya. Yang tak bersenjata, seperti
Dewa Maut, menyergap lawannya dengan tangan
kosong. Pemuda pengemban tugas dendam dari
leluhurnya itu langsung pukulkan kedua tangan-
nya, lepaskan pukulan sakti 'Dewi Membakar
Bumi'!
Asap merah membara keluar dari kedua
tangan Dewa Maut, dan menggebrak ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang.
Pendekar 108 tak berani bertindak main-
main. Dengan sebelah tangan tetap menggenggam
kipas yang terlipat, dikerahkan tenaga dalamnya
ke kedua tangan. Di kejap lain, warna kedua tan-
gannya jadi biru berkilau. Secepat kilat Pendekar
Mata Keranjang dorongkan ke depan. Pelan.
Wuttt! Wuttt!
Dua berkas sinar biru melesat cepat, lalu
mengembang dan melabrak asap merah! Bentu-
ran dahsyat segera terjadi, dan tubuh kedua be-
lah pihak sama-sama terjengkang ke belakang.
Namun, keduanya segera bangkit kembali dan
saling gebrak. Pertarungan pun berlangsung sen-
git.
Bukan hanya pertarungan Pendekar Mata
Keranjang 108 dan Dewa Maut yang berlangsung
sengit. Kancah lainnya pun demikian. Sebagian
besar pertarungan berjalan seimbang. Tapi, hal
itu hanya berlangsung belasan jurus. Lewat dua
puluh jurus, rombongan Dewi Kayangan mulai
dapat mendesak.
Ratu Pulau Merah dan Gembong Raja Mu-
da yang pertama kali terpental dari kancah perta-
rungan! Tubuh kedua orang ini terpental dan ter-
guling-guling. Namun, Ratu Pulau Merah dan
Gembong Raja Muda ternyata keras hati. Begitu
gulingan berakhir, keduanya berusaha untuk
bangkit. Sayang, mereka tak mampu. Bahkan ma-
lah darah yang keluar dari mulut mereka!
Hanya berbeda waktu sebentar, berturut-
turut rombongan Iblis Gelang Kematian berpenta-
lan dari kancah pertarungan. Memang, mereka
tak mati, tapi tak mampu melanjutkan pertarun-
gan kembali. Dan, yang tinggal hanya pertarun-
gan antara Pendekar Mata Keranjang menghadapi
Dewa Maut, dan antara Dewi Bayang-bayang me-
lawan Manusia Titisan Dewa.
"Haaat...!" Dewa Maut membentak keras
seraya melompat ke depan, kedua tangannya di-
hentakkan. Pendekar 108 tak mau kalah. Kipas-
nya dilipat dan diselipkan ke balik baju. Pemuda
ini ikut lompat dan menyentakkan kedua tangan-
nya. Pendekar Mata Keranjang nekat mengadu
keras lawan keras.
Blarrr!
Benturan keras yang terdengar mengawali
terpentalnya tubuh Dewa Maut dan Pendekar Ma-
ta Keranjang ke belakang. Melayang-layang se-
jauh beberapa tombak dan terbanting keras di ta-
nah. Baik Dewa Maut maupun Pendekar 108 ber-
keras untuk bangkit. Akibatnya, dari mulut kedu-
anya menggelogok darah segar. Mau tak mau,
pemuda-pemuda sakti ini mengurungkan niatnya
untuk bertarung kembali.
Pada saat yang bersamaan dengan keluar-
nya darah dari mulut Dewa Maut dan Pendekar
Mata Keranjang, terdengar dua teriakan keras
yang hampir berbarengan. Sesaat kemudian, Ma-
nusia Titisan Dewa dan Dewi Bayang-bayang sa-
ma-sama terhuyung ke belakang, dan jatuh ter-
duduk. Tapi, Dewi Bayang-bayang mampu bang-
kit kendati dengan susah-payah. Sedangkan, Ma-
nusia Titisan Dewa malah menggelepar-gelepar,
kemudian diam tak bergerak untuk selamanya.
Dengan penuh khawatir, Gongging Balade-
wa segera melesat ke arah Dewi Bayang-bayang.
Sedangkan, Ratu Sekar Langit segera mengham-
bur ke arah Aji. Kekhawatiran tergambar jelas di
wajah yang jelita itu.
"Hi hi hi...! Tikus-tikus busuk! Sayang se-
kali istanaku tak sudi menerima kedatangan ka-
lian. Mumpung masih ada kesempatan, cepat
tinggalkan tempat ini! Atau kalian ingin kuma-
sukkan ke dalam lubang kubur?! Hi hi hi...!" Dewi
Kayangan buka mulut.
"Keparat! Sakit hati ini akan kubalas! Se-
karang aku memang kalah. Tapi, lain kali..., akan
tiba waktunya bagiku untuk mengecap kemenan-
gan...!" kata hati masing-masing orang di rom-
bongan Iblis Gelang Kematian.
Setelah melempar pandangan penuh den-
dam dan sakit hati, Iblis Gelang Kematian dan
rombongannya dengan tertatih-tatih meninggal-
kan tempat itu. Segunduk dendam berbaur di da-
lam hati. Tapi, mereka pun menyadari, membu-
tuhkan waktu yang lama untuk membalaskan-
nya. Karena, luka yang mereka derita terlalu pa-
rah. Akan membutuhkan waktu yang lama untuk
menyembuhkannya. Berbulan-bulan! Malah,
mungkin bertahun-tahun.
SELESAI
Segera terbit:
BUKIT SILUMAN
0 comments:
Posting Komentar