..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 05 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG

Tumpahan Darah Di Supit Urang

 

TUMPAHAN DARAH  DI SUPIT URANG

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Tumpahan Darah Di Supit Urang

128 hal.



SATU


SANG mentari telah sejak tadi menampak-

kan diri di angkasa. Dan sekarang bola raksasa 

itu telah hampir mencapai titik tengahnya. Di ba-

wah sinar sang Mentari yang garangnya bagai 

hendak melelehkan bumi, seorang wanita menge-

nakan pakaian ketat berwarna gelap berlari ter-

huyung-huyung memasuki sebuah hutan kecil.

Dia adalah seorang perempuan berparas 

cantik, berusia kurang lebih dua puluh lima ta-

hun. Rambutnya panjang tergerai dan berombak. 

Sepasang matanya bulat besar dan berwarna ke-

biruan. Hidungnya mancung. Bibirnya bagus. 

Dadanya kencang membusung dengan pinggul 

besar.

Perempuan berpakaian gelap ini hentikan 

larinya ketika telah memasuki hutan kecil itu! 

Pantatnya dihempaskan ke tanah, sedangkan 

punggungnya disandarkan pada batang pohon 

yang cukup besar.

Perempuan bermata kebiruan ini menye-

ringai. Dengan hati-hati tangan kirinya diangkat. 

Tapi, seringai kesakitan semakin menghiasi wa-

jahnya.

"Bangsat...! Terkutuk...! Dewi Kayangan 

keparat...! Kau telah membuatku cacat! Aku tak 

akan mati meram jika belum bisa membalaskan 

sakit hati ini!"

Perempuan berpakaian gelap ini kelihatan

sangat geram. Rahangnya menggembung besar. 

Tangannya mengepal kencang. Sepasang matanya 

memancarkan kebencian besar! 

"Gongging Baladewa! Kau pun tak akan 

kubiarkan hidup tenang! Tunggu saja pembala-

sanku! Asal kalian tahu saja, Ratu Pulau Merah 

tak bisa dihina begitu saja!"

Perempuan bermata kebiruan yang ternya-

ta adalah Ratu Pulau Merah ini, wajahnya terlihat 

mengelam didera dendam!

Namun, mendadak Ratu Pulau Merah 

arahkan sepasang matanya ke sekeliling.

"Aku merasa diawasi seseorang! Sialan be-

tul! Padahal, aku telah memilih tempat yang 

sunyi. Bahkan jalan-jalan yang kupilih pun yang 

jarang dilalui orang pula! Apa boleh buat, aku ha-

rus mencari tempat yang lebih aman. Keadaanku 

tengah tak memungkinkan untuk bertarung."

Ratu Pulau Merah bergerak untuk bangkit

dan tinggalkan tempat itu. Tapi, baru saja tubuh-

nya tegak, sekonyong-konyong semak belukar 

yang berjarak lima tombak di sebelah kanannya, 

menguak! Sesosok bayangan berkelebat seraya 

memperdengarkan dengusan keras!

Sepasang mata Ratu Pulau Merah membe-

liak. Untuk beberapa jurus lamanya, perempuan 

ini memperhatikan sang Pendatang. Dahinya 

mengernyit seakan mengingat-ingat sesuatu. Da-

lam hati dia berucap.

"Hm.... Jika tak salah manusia ini adalah 

orang yang tergeletak sewaktu aku hendak mere-

but Arca Dewi Bumi dari tangan Pendekar Mata

Keranjang.... Bahkan, kalau aku tak salah den-

gar, dia memanggil guru pada Kakang Dadung 

Rantak. Mungkin dia murid tua bangka itu."

Si pendatang yang menjadi pusat perhatian 

Ratu Pulau Merah adalah seorang perempuan 

yang tidak muda lagi. Ini terlihat dari kerutan 

yang menghiasi kulit wajahnya. Dia mengenakan 

pakaian panjang berwarna hitam yang dilapis 

dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya 

yang panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi 

sebagian punggung dan wajahnya. Sepasang ma-

tanya bulat besar dan tajam. Hidungnya man-

cung! Pada lubang hidung di sebelah hidungnya, 

melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning!

"Masih ingat padaku?!" tanya perempuan 

berjubah putih, setengah mengejek.

"Tentu! Tentu aku masih ingat...!" jawab 

Ratu Pulau Merah, seraya tetap memandang tak 

berkesip. "Kau yang memanggil guru pada Da-

dung Rantak bukan?!"

"Hm.... Bagus kau masih ingat! Aku me-

mang murid tua bangka itu. Aku, Dayang Naga 

Puspa!" tandas perempuan berjubah putih seraya 

angkat kepalanya.

"Kalau begitu kau terhitung muridku juga 

karena Dadung Rantak adalah kekasihku."

Diam-diam di dalam hatinya, Ratu Pulau 

Merah berkata.

"Kalau aku tak sedang terluka sudah kuki-

rim kau ke neraka! Pula, siapa kesudian mempu-

nyai kekasih tua bangka itu?!"

"Bagiku itu bukan masalah!" tandas

Dayang Naga Puspa keras. "Kau telah melakukan 

satu kesalahan padaku! Kesalahan yang amat be-

sar! Dan, aku tak bisa membiarkannya!"

"Keparat...! Kalau aku tak tengah begini, 

kurobek-robek mulutmu dan kucincang tubuh-

mu!" maki-maki Ratu Pulau Merah dalam hati.

Perempuan berpakaian gelap ini menun-

dukkan kepala untuk menyembunyikan kemara-

han yang membayang di wajah. Ketika kepalanya 

diangkat kembali, wajah itu telah berubah kem-

bali seperti semula, bahkan terhias senyum.

"Seingatku..., kita hanya bertemu sekali, 

Dayang Naga Puspa."

"Betul!"

"Kalau begitu, kapan aku membuat kesala-

han terhadapmu?!"

"Saat itu juga, Ratu Keparat!" dengus 

Dayang Naga Puspa dengan mata membeliak ka-

rena marah besar. "Kau telah membawa kabur 

senjataku. Tombak Naga Puspa dan Keris Papak 

Geni! Sayang, saat itu aku tengah tak berdaya ka-

rena totokan Dewi Kayangan sialan itu! Kalau ti-

dak, saat itu juga kau telah kukirim ke lubang 

kubur! Ratu keparat! Kau tahu, begitu berhasil 

bebas dari totokan, aku mencari-carimu! Tapi, ba-

ru kali ini usahaku membuahkan hasil! Hm.... 

Kau telah membuatku susah besar! Untuk kesa-

lahan itu nyawamu pun belum cukup untuk pe-

nebusnya!"

"Meskipun aku... mempunyai hubungan 

dekat dengan gurumu?!" pancing Ratu Pulau Merah

"Jangankan hanya kekasih guruku, sekali-

pun tua bangka itu sendiri yang mengambilnya, 

akan kucopot nyawanya! Sekarang, cepat serah-

kan kembali milikku itu! Bila itu kau lakukan, 

dengan mengingat adanya kemungkinan kau tak 

tahu kalau senjata itu milikku, dan mengingat 

hubunganmu dengan Eyang Dadung Rantak, kau 

boleh tinggalkan tempat ini!"

Di mulut Dayang Naga Puspa berkata se-

perti itu, tapi hatinya berbicara pula, menyam-

bung ucapannya.

"Kau boleh tinggalkan tempat ini tapi sete-

lah terlebih dulu melepas nyawa!"

Ratu Pulau Merah menampakkan paras 

penuh penyesalan.

"Sayang sekali, Dayang Naga Puspa. Senja-

ta-senjata itu telah tidak ada padaku lagi diram-

pas orang! Kau lihat keadaan diriku?! Ini terjadi 

karena mencoba mempertahankan senjata itu. 

Kalau saja tak dirampas orang, dengan senang 

hati akan kuberikan padamu."

"Benar akan kuberikan padamu, tapi sete-

lah kau jadi mayat di tanganku, Perempuan Sun-

dal!" sambung perempuan berpakaian gelap ini 

dalam batin.

"Ratu Keparat!" bentak Dayang Naga Puspa 

dengan rahang menggembung karena marah be-

sar mendengar jawaban yang didapatnya. "Aku 

tak punya banyak waktu untuk main-main. Cepat 

serahkan senjata-senjataku! Atau..., kau ingin 

nyawamu kucopot?!"

"Bangsat! Budak perempuan ini benar

benar keterlaluan! Aku tak rela mati bila belum 

membalas hinaan ini!" rutuk Ratu Pulau Merah 

dalam hati, tapi segera berkata.

"Aku tidak main-main, Dayang Naga Puspa! 

Senjata-senjata itu memang tak ada padaku lagi! 

Telah dirampas oleh Gongging Baladewa dan Dewi 

Kayangan. Bahkan kipas hitamku pun telah di-

rampasnya! Kalau kau tidak percaya, silakan ge-

ledah!"

Dayang Naga Puspa mendengus. Sepasang 

matanya masih membeliak besar.

"Gongging Baladewa dan Dewi Kayangan. 

Bagaimana mungkin aku dapat merampasnya 

kembali?! Baru Gongging Baladewa seorang saja, 

tak mampu kutanggulangi," kata Dayang Naga 

Puspa dalam hati. "Semua ini akibat ulah si ratu 

keparat ini!"

"Kalau begitu, kau harus menggantinya 

dengan nyawamu, Ratu Keparat!" bentak Dayang 

Naga Puspa seraya sentakkan tangan kirinya!

Wuttt!

Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-

luar dari tangan kiri Dayang Naga Puspa.

Ratu Pulau Merah terkejut. Dia segera re-

bahkan tubuh sejajar tanah seraya bergulingan. 

Hingga serangan Dayang Naga Puspa menerabas 

di atas tubuhnya.

Dayang Naga Puspa tak sia-siakan kesem-

patan. Sepasang kakinya segera saja disapukan 

menyusur sejengkal di atas tanah! Sementara ke-

dua tangannya berkelebat menunggu di atas!

Ratu Pulau Merah tahu dirinya terkurung

dari bawah dan atas, cepat menambah tenaga, 

sehingga gulingan tubuhnya semakin cepat. Wa-

jah perempuan berpakaian gelap ini menyeringai 

karena tangan kirinya yang sakit beberapa kali 

terhimpit tubuhnya. Tapi, demi menyelamatkan 

selembar nyawa, hal itu tak dipedulikannya.

Rupanya nasib kurang bagus berpihak pa-

da Ratu Pulau Merah, karena saat itu gulingan 

tubuhnya mendekati sebatang pohon. Di lain pi-

hak, Dayang Naga Puspa yang tak mau kehilan-

gan buruan, terus melayang mengikuti gulingan 

tubuh Ratu Pulau Merah.

"Sial!" batin Ratu Pulau Merah, mengetahui 

adanya hambatan itu. "Kalau tidak bertindak ce-

pat, nyawaku bisa melayang."

Perempuan bermata kebiruan ini semakin 

mempercepat gulingannya, dan begitu tubuhnya 

mentok pada batang pohon, serta merta dia jejak-

kan kakinya di tanah.

Desss!

Terdengar suara tertahan dari mulut Ratu 

Pulau Merah tatkala tangan kiri Dayang Naga 

Puspa menghantam dada kanannya! Seketika tu-

buh perempuan ini melayang dan terbanting ke-

ras di tanah! Gerakan Ratu Pulau Merah untuk 

selamatkan diri sedikit terlambat. Dan sekarang 

tubuh perempuan berpakaian gelap ini rebah di 

tanah.

"Alam kubur telah menunggumu, Ratu Ke-

parat!"

Berbareng lenyap seruannya, Dayang Naga 

Puspa lepas tawa berderai seraya dongakkan kepala. Dan ketika kepala itu dikembalikan ke tem-

pat semula, tangan kanannya dijulurkan ke arah 

Ratu Pulau Merah. Perempuan bermata kebiruan 

ini sadar akan adanya ancaman maut, berusaha 

kerahkan tenaga dalam untuk bangkit. Namun, 

yang dapat dilakukannya hanya mengangkat tu-

buh bagian atasnya, dan hanya sebentar. Hingga 

tanpa ampun lagi tubuhnya terkapar di atas ta-

nah.

"Pergilah ke neraka, Ratu Keparat!" maki 

Dayang Naga Puspa. Dia serta-merta sentakkan 

kedua tangannya.

Serangkum angin deras menggebrak ke 

arah Ratu Pulau Merah. Paras wajah Ratu Pulau 

Merah pias. Dia membatin.

"Celaka...! Rupanya nyawaku harus lepas 

di tangan budak perempuan sundal itu! Sial be-

tul...! Padahal, aku masih belum puas menikmati 

hidup!"

Bersamaan dengan melesatnya serangan 

jarak jauh Dayang Naga Puspa, serangkum angin 

dahsyat yang tak keluarkan suara menyambar, 

memapaki dari arah yang berlawanan.

Blaaarrr...!

Terdengar suara ledakan dahsyat ketika 

dua pukulan jarak jauh itu bertemu. Tanah di 

bawah tempat bertemunya dua pukulan dahsyat 

itu terbongkar. Bongkahannya berpentalan ke sa-

na kemari. Tubuh Dayang Naga Puspa terseret 

sampai beberapa langkah ke belakang. Tapi, pe-

rempuan ini cepat kerahkan tenaga untuk mema-

tahkan daya luncuran itu, hingga tidak terjengkang dan terbanting di atas tanah.

Dayang Naga Puspa terperangah kaget ke-

tika kedua kakinya telah menjejak tanah. Diam-

diam perempuan berjubah putih ini segera mak-

lum jika orang yang menghalangi tindakannya 

adalah orang yang tidak bisa dipandang sebelah 

mata.

Belum hilang rasa kaget Dayang Naga Pus-

pa, dari sebelah depannya melesat dua sosok 

bayangan hitam dan putih. Si bayangan hitam 

berkelebat terus melewati tubuh Ratu Pulau Me-

rah dan menjejakkan kaki berjarak dua tombak 

dari Dayang Naga Puspa. Sedangkan bayangan 

putih berdiri di belakang Ratu Pulau Merah.

Sepasang mata Dayang Naga Puspa mem-

beliak mengawasi dua orang pendatang baru. Da-

hinya berkerut seakan-akan mengingat. Namun, 

dia tak bisa mengenali dua sosok bayangan itu.

Si bayangan hitam, yang berdiri di depan 

Dayang Naga Puspa, memunggungi Ratu Pulau 

Merah adalah seorang pemuda bertubuh tinggi 

tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-

hangnya kokoh. Rambutnya panjang dan lebat. 

Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-

gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak 

sebuah lukisan pintu gerbang.

Sementara si bayangan putih yang berdiri 

di dekat Ratu Pulau Merah adalah seorang gadis 

muda berparas jelita. Rambutnya panjang dan di-

biarkan jatuh bergerai di punggungnya. Sepasang 

matanya bulat serta tajam. Mengenakan pakaian 

warna putih tipis dan ketat, hingga dadanya yang

membusung kencang tampak menonjol, apalagi 

karena pakaiannya dibuat agak rendah di bagian 

dada hingga buah dadanya yang putih kencang 

itu tersembul sebagian.

"Siapa kedua orang itu? Apa hubungannya 

dengan Ratu Pulau Merah? Tapi, siapa pun 

adanya, dia telah mencampuri urusanku! Aku ha-

rus usir dia! Kalau perlu kubunuh!" batin Dayang 

Naga Puspa seraya memperhatikan si pemuda 

dan si gadis

.

DUA


HE...! Siapa kau?! Dan apa hubunganmu 

dengan wanita sundal itu?!" bentak Dayang Naga 

Puspa, keras. Dibentak demikian, sang pemuda 

tengadahkan kepala, lalu berkata tak kalah keras.

"Pasang telingamu baik-baik! Aku adalah 

Dewa Maut! Dan aku tak mempunyai hubungan 

dengan wanita itu. Aku akan pergi dari sini apabi-

la kau dapat menunjukkan padaku di mana 

adanya orang yang kucari!"

Entah karena merasa gentar menyadari 

orang di hadapannya berilmu tinggi - mengingat 

dalam benturan tadi dibuat terpental - atau kare-

na ingin si pemuda segera pergi, agar dia dapat 

membunuh Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Pus-

pa segera angkat bicara.

"Siapa yang kau cari, Dewa Maut?!"

Si pemuda yang bukan lain dari Dewa 

Maut, keluarkan tawa panjang. Tapi, secara mendadak tawanya putus seperti direnggut setan. Ke-

palanya didongakkan.

"Katakan padaku, di mana dapat kutemu-

kan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Ber-

darah Biru!"

Paras wajah Dayang Naga Puspa berubah. 

Dia memandang tajam ke arah Dewa Maut den-

gan dahi mengernyit dalam. Hati perempuan ini 

berucap.

"Hm.... Jadi pemuda ini yang baru muncul 

dan menurut berita yang tersiar memiliki kepan-

daian tinggi.... Mengapa dia mencari Pendekar 

Mata Keranjang. Apakah ada silang sengketa an-

tara mereka?!"

"Dewa Maut! Aku memang pernah dengar 

bahkan pernah beberapa kali bertemu dengan 

Pendekar Mata Keranjang. Katakan, mengapa kau 

mencarinya?!" tanya Dayang Naga Puspa seraya 

menyambung pernyataan itu dalam hatinya. "Ma-

lah aku telah beberapa kali bertempur dengan 

pemuda tolol itu. Pendekar Mata Keranjang ada-

lah musuh besarku! Tapi, ini tak mungkin kuka-

takan padamu, Dewa Goblok! Karena aku belum 

tahu di pihak mana kau berdiri. Barangkali saja 

kau merupakan sahabat Pendekar Mata Keran-

jang!"

"Itu urusanku! Dan, kau tak perlu tahu!" 

tandas Dewa Maut, tak senang.

"Kalau begitu aku pun tak bisa memberita-

hukan jawabannya," Dayang Naga Puspa ikut 

berkeras.

Paras wajah Dewa Maut mengelam. Ra

hangnya menggembung besar. Dia marah men-

dengar tanggapan yang tak diharapkannya itu.

"Bangsat! Kalau tak mengingat keteran-

gannya kuperlukan, kuhancurkan mulut wanita 

sundal ini...!" maki Dewa Maut dalam hati.

"Aku ingin mengambil nyawanya!" tandas 

Dewa Maut sambil mengepalkan kedua tangan-

nya.

"Kalau begitu kita segolongan. Aku pun 

mempunyai silang sengketa dengan pemuda itu. 

Dan karena mempunyai musuh yang sama, ba-

gaimana kalau kita bergabung, agar lebih besar 

kemungkinannya untuk bisa melenyapkan Pen-

dekar Mata Keranjang?!" lanjut Dayang Naga Pus-

pa, mengajukan diri.

"Dewa Maut tak perlu bantuan! Dewa Maut 

sanggup mengirim siapa pun ke akhirat tanpa 

campur tangan orang lain! Sekarang, katakan di 

mana adanya Pendekar Mata Keranjang?!"

"Dan Malaikat Berdarah Biru?!" Dayang 

Naga Puspa menyambung seraya mengingatkan.

Dewa Maut anggukkan kepalanya.

"Itu lebih baik lagi kalau kau mengeta-

huinya juga! Tapi ingat, jika kau tak dapat mem-

berikan jawaban yang memuaskan, saat ini ada-

lah terakhir kalinya kau melihat matahari!"

Dayang Naga Puspa kertakkan gigi. Dia 

marah besar. Perempuan berjubah ini tak kuasa 

sabar lagi. Sikap Dewa Maut yang terus-menerus 

menekannya tanpa memandang sebelah mata 

sama sekali, membuat kemarahannya tak bisa dibendung.

"Kaulah yang akan pergi ke neraka, Dewa 

Maut!. Dayang Naga Puspa bukan orang yang 

mudah kau hina!"

Dewa Maut berkacak pinggang seraya don-

gakkan kepala memperdengarkan tawa berderai. 

Di lain pihak, Dayang Naga Puspa kontan komat-

kamit. Sepasang matanya terpejam. Dan dengan 

didahului bentakan keras, perempuan berjubah 

putih ini melesat ke arah Dewa Maut. Tapi, bebe-

rapa langkah lagi tiba di sasaran, dia berbelok, 

kemudian berputar-putar mengelilingi Dewa Maut 

yang tetap tak bergeming!

Tubuh Dayang Naga Puspa lenyap terganti 

dengan bayang-bayang yang berputaran cepat. 

Sejurus kemudian, angin kencang bergemuruh, 

mengurung tubuh Dewa Maut. Malah, perlahan-

lahan tubuh pemuda itu terangkat naik!

Mendadak, seberkas sinar hitam menyam-

bar ke arah dada Dewa Maut! Saat itu baru Dewa 

Maut sentakkan tangan kanannya. 

Bummm!

Dayang Naga Puspa terpekik. Tubuhnya 

melayang ke udara. Setelah bersalto beberapa kali 

di udara, akhirnya perempuan ini berhasil menje-

jak tanah dengan kedua kakinya. Sementara, De-

wa Maut tetap diam di tempatnya, seakan tak ter-

pengaruh sama sekali!

Dayang Naga Puspa maklum jika dirinya 

belum mampu untuk menandingi lawan. Hingga 

saat itu juga dia memutuskan untuk menyudahi 

pertarungan.

"Tahan...!" teriak Dayang Naga Puspa keti

ka melihat Dewa Maut hendak bergerak melan-

carkan serangan.

Dewa Maut hentikan gerakan. Dia dongak-

kan kepala sambil tertawa. Nadanya jelas mere-

mehkan.

"Kalau kau masih tak mau jawab tanyaku, 

akan kukirim kau ke lubang kubur sebelum Pen-

dekar Mata Keranjang dan Malaikat Berdarah Bi-

ru!"

"Dewa Maut keparat! Kali ini kau boleh ter-

tawa. Tapi, kelak kau akan menangis di bawah 

kakiku!" maki Dayang Naga Puspa dalam hati, 

penuh rasa dendam.

"Dewa Maut! Aku akan jawab tanyamu. 

Tapi, aku ingin tahu mengapa kau mencari Ma-

laikat Berdarah Biru?"

"Kurasa tak ada salahnya wanita sundal ini 

tahu. Barangkali saja, itu akan membuat usaha-

ku lebih mudah." batin Dewa Maut. Setelah ber-

pikir sejenak dia buka mulut.

"Sebenarnya aku tak punya silang sengketa 

dengannya! Kenal pun tidak! Dia menjadi burua-

nku karena di tangannyalah kipas hitam buatan 

Empu Jaladara!"

Dayang Naga Puspa dan Ratu Pulau Merah 

terperangah. Kedua perempuan itu sama-sama 

terkejut. Malah gadis berpakaian hitam ketat, 

ikut-ikutan terkejut.

"Rasa-rasanya aku pernah melihat kipas 

hitam yang dimaksud Dewa Maut keparat ini! 

Hm... benar! Bukankah sewaktu perebutan Arca 

Dewi Bumi?! Aku ingat sekarang. Kipas hitam itu

ada di tangan Ratu Pulau Merah! Tapi, kalau ku-

beritahukan, dan Dewa Maut mendapatkannya, 

bukankah aku rugi sendiri?! Eh..., bukankah ki-

pas itu katanya telah dirampas oleh Gongging Ba-

ladewa?! Ini merupakan jalan yang baik bagiku 

untuk dapat merampas kembali senjata-senjata

milikku. Dengan bantuan Dewa Maut, kemungki-

nan merampasnya senjata-senjata itu jauh lebih 

besar! Setelah itu, tinggal pikirkan jalan untuk 

singkirkan Dewa Maut!" batin Dayang Naga Puspa 

berbicara.

"Melihat sikap dan perubahan wajahnya, 

aku yakin wanita sundal ini mengetahui sesuatu. 

Kalau, jawabannya tak memuaskan hatiku, akan 

kubunuh dia!" kata hati Dewa Maut. Lalu dia 

membentak.

"Mengapa malah tercenung?! Atau..., kau 

tak ingin jawab tanyaku?!"

"Aku bukannya tercenung, Dewa Maut, tapi 

aku kaget mendengar alasanmu mencari Malaikat 

Berdarah Biru!" jawab Dayang Naga Puspa. "Kau 

tahu, kipas hitam itu telah dirampas lagi dari 

tangan Malaikat Berdarah Biru oleh Pendekar Ma-

ta Keranjang. Pendekar Mata Keranjang memberi-

kannya lagi pada gurunya, Wong Agung dari Ka-

rang Langit."

"Jadi..., kipas dan bumbung itu berada di 

Karang Langit?!" geram Dewa Maut.

Pertanyaan Dewa Maut membuat Ratu Pu-

lau Merah tegang. Dia berharap Dayang Naga 

Puspa anggukkan kepala. Tapi, harapannya kan-

das, ketika dilihatnya Dayang Naga Puspa mengerling ke arahnya seraya sunggingkan senyum 

mengejek. Kemudian, perempuan berjubah putih 

ini angkat bicara.

"Semula memang demikian, Dewa Maut. 

Tapi, seseorang telah mencurinya dari Karang 

Langit."

"Keparat! Katakan siapa pencuri keparat 

itu! Dia akan berhadapan dengan Dewa Maut!" 

desak pemuda berjubah hitam, tak sabaran. Ra-

hangnya sampai menggembung besar.

"Ratu keparat itulah yang mencurinya!" ja-

wab Dayang Naga Puspa dengan suara lebih dike-

raskan seraya menuding Ratu Pulau Merah. "Ki-

pas dan bumbung yang kau cari ada di tangan-

nya!"

Dewa Maut arahkan pandangan pada Ratu 

Pulau Merah. Kemudian, alihkan lagi pada gadis 

berpakaian hitam.

"Dewiku.... Minta kipas dan bumbung itu. 

Kalau tidak diberikan, siksa dia!" Dewa Maut ber-

kata pada si gadis yang bukan lain dari Anting 

Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam.

Dewi Tengkorak Hitam memandang Ratu 

Pulau Merah yang juga menatapnya. Setelah ter-

senyum sinis, gadis cantik ini buka mulutnya.

"Kau telah dengar apa yang dikatakan oleh 

kekasihku, bukan?! Cepat serahkan kipas hitam 

dan bumbung sebelum kau lebih menderita lagi 

karenanya."

"Bangsat terkutuk! Dayang Naga Puspa ke-

parat! Kau akan kubuat menyesal hidup ke du-

nia!" maki Ratu Pulau Merah dalam hati seraya

arahkan sepasang matanya pada Dayang Naga 

Puspa. Si perempuan berjubah malah tersenyum 

mengejek. Ratu Pulau Merah semakin geram. Dia 

alihkan pandangannya pada Dewa Maut dan Dewi 

Tengkorak Hitam.

"Kipas dan bumbung itu memang ada pa-

daku. Tapi, telah dirampas oleh Gongging Bala-

dewa dan Dewi Kayangan. Malah, aku dilukainya. 

Kalau masih ada padaku, dengan senang hati 

akan kuserahkan!" beritahu Ratu Pulau Merah 

sejujurnya, kendati hatinya ingin memberikan ja-

waban berbeda. Tapi, perempuan bermata kebi-

ruan ini khawatir berbohong terhadap Dewa Maut 

yang pemarah.

"Keparat!" Dewa Maut membanting kaki 

kanannya hingga amblas ke dalam tanah sampai 

mata kaki. Rahangnya menggembung besar. Pe-

muda ini marah bukan main, mengetahui urusan 

demikian berbelit-belit. "Katakan di mana adanya 

Gongging Baladewa! Kalau tidak, kalian berdua 

akan mati tak meram!"

"Kukira tak ada gunanya mencari Gongging 

Baladewa, Dewa Maut," kali ini Dewi Tengkorak 

Hitam yang bicara. "Tokoh itu tak mempunyai 

tempat tinggal tetap. Senantiasa berkelana."

"Dewiku..., jadi kau ingin aku hentikan 

pencarian terhadap kipas hitam dan bumbung 

itu?!"

"Tidak, Dewa Maut," Dewi Tengkorak Hitam 

gelengkan kepalanya. "Kalau ada cara yang mu-

dah mengapa mencari cara yang sukar?!"

"Dewiku, jangan berteka-teki lagi. Katakan

saja terus terang," Dewa Maut mulai tak sabar.

Dewi Tengkorak Hitam melangkah maju 

kemudian lingkarkan tangannya pada pinggang 

Dewa Maut, dan rapatkan dadanya pada pung-

gung si pemuda.

"Beberapa hari lagi pertemuan di Lembah 

Supit Urang tiba. Aku yakin, orang-orang yang 

kau cari, Gongging Baladewa dan Pendekar Mata 

Keranjang, serta Dewi Kayangan, akan hadir di 

sana. Nah! Bukankah itu lebih mudah daripada 

mencari-cari ke sana kemari tanpa tujuan?!"

Dewa Maut dongakkan kepala seraya per-

dengarkan tawa berderai.

"Dewiku.... Saranmu itu tepat sekali! Se-

perti yang kukatakan pada Manusia Titisan Dewa 

dan Iblis Gelang Kematian, aku akan hadir di sa-

na. Aku akan menjadi raja di raja rimba persila-

tan. Mereka semua akan menjadi laskarku! Dan, 

orang-orang golongan putih, terutama Pendekar 

Mata Keranjang, Wong Agung, Dewi Kayangan, 

dan Gongging Baladewa akan kulenyapkan! Da-

rah mereka akan tertumpah di Supit Urang! 

Tumpahan darah mereka membasahi Lembah 

Supit Urang! Ha ha ha...! Dewiku.... Mari kita per-

gi!"

Tanpa mempedulikan Dayang Naga Puspa 

dan Ratu Pulau Merah lagi, Dewa Maut menyam-

bar tangan Dewi Tengkorak Hitam dan memba-

wanya melesat meninggalkan tempat itu. Di lain 

kejap, yang tinggal hanya Dayang Naga Puspa dan 

Ratu Pulau Merah. Kedua perempuan ini sama-

sama tercenung. Dalam hati, masing-masing berkata.

"Pertemuan di Lembah Supit Urang? Ki-

ranya berita itu bukan hanya kabar burung bela-

ka."

"Ada baiknya aku pergi ke sana juga, meli-

hat lihat apa yang terjadi pada pertemuan itu. 

Toh, dari sini ke tempat itu tidak terlalu jauh lagi. 

Tapi, terlebih dulu, ratu keparat ini akan kube-

reskan!" Dayang Naga Puspa membatin. Lalu, pe-

rempuan berjubah ini ayunkan kakinya mendeka-

ti tempat Ratu Pulau Merah tergolek.

"Pertemuan di Lembah Supit Urang.... 

Hm.... Kalau saja bisa selamat dari tangan wanita 

sundal ini, aku akan pergi ke sana," kata wanita 

berpakaian gelap ini dalam hati.

Tapi, Ratu Pulau Merah sadar, kecil ke-

mungkinannya untuk selamat. Dia lihat paras 

wajah dan sinar mata Dayang Naga Puspa yang 

tertuju padanya penuh dengan hawa maut.

Selagi Ratu Pulau Merah tengah menunggu 

takdirnya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. 

Begitu cepatnya kelebat sosok ini, hingga tahu-

tahu telah berdiri di sebelah Ratu Pulau Merah.

"Kakang...!" seru Ratu Pulau Merah begitu 

berpaling dan mengenali siapa adanya orang yang 

baru datang.

Sementara Dayang Naga Puspa luruskan 

kepala dan kerutkan dahi. Sepasang matanya 

menyipit.

"Eyang Guru Dadung Rantak! Bangsat! 

Mengapa tua bangka bau tanah ini bisa berada di 

sini?! Celaka! Kalau ratu keparat itu bisa mempengaruhinya, keadaanku bisa runyam!" rutuk 

perempuan berjubah putih ini seraya mundur se-

langkah karena kaget.

Di hadapan Dayang Naga Puspa, di samp-

ing Ratu Pulau Merah berdiri seorang laki-laki be-

rusia amat lanjut. Rambutnya awut-awutan serta 

berwarna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia 

bertelanjang dada, hanya mengenakan celana 

pendek agak gombrang dan terlihat kumal. Sepa-

sang mata serta wajahnya tidak begitu jelas terli-

hat karena tertutup oleh rambut dan jenggotnya.

Laki-laki bertelanjang dada yang bukan 

lain dari Dadung Rantak, palingkan wajahnya pa-

da Ratu Pulau Merah. Kemudian angkat bicara.

"Kinanti...."

"Kang...," ujar Ratu Pulau Merah agak dili-

rihkan suaranya, mengunjukkan seakan-akan 

keadaannya parah sekali. Diam-diam di dalam 

hatinya, wanita bermata kebiruan ini merutuk. 

"Sekaranglah saatnya membalas sakit hati terha-

dap Dayang Naga Puspa, dengan mengandalkan 

rasa cinta tua bangka bau tanah ini terhadapku! 

Rasakan pembalasanku, Wanita Sundal!"

Dadung Rantak menyipitkan sepasang ma-

tanya untuk memperhatikan lebih jelas keadaan 

Ratu Pulau Merah. Rebahnya tubuh wanita ber-

pakaian gelap itu, dan lirihnya suara yang dikelu-

arkan membuatnya merasa heran.

"Apa yang terjadi terhadap dirimu, Kinan-

ti?" Dadung Rantak ajukan tanya.

"Wanita itu, Kang! Wanita sundal itulah 

yang membuatku seperti ini! Malah dia ingin

membunuhku! Padahal, sudah kukatakan kalau 

diriku adalah kekasihmu. Dia marah ketika kuka-

takan, bahwa aku akan tinggal di Rawa Buntek 

bersama dirimu," beri tahu Ratu Pulau Merah, 

berdusta.

Dayang Naga Puspa terperangah. Perem-

puan berjubah ini melangkah mundur satu tin-

dak.

"Sialan betul! Kalau tua bangka itu terpen-

garuh ucapan ratu keparat itu, aku bisa celaka!" 

batin Dayang Naga Puspa, cemas.

Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-

rah tajam-tajam. Lalu, berpaling pada Dayang 

Naga Puspa. Tanpa sadar Dayang Naga Puspa 

mundur lagi selangkah. Sempat dilihatnya Ratu 

Pulau Merah tersenyum mengejek. Perempuan 

berjubah ini geram bukan kepalang. Dia ingin 

buka mulut. Tapi, ditahannya lagi ketika dilihat-

nya Dadung Rantak, alihkan pandangan pada Ra-

tu Pulau Merah.

"Kau tidak berdusta lagi, Kinanti?"

"Tidak, Kang. Aku ingin tinggal bersamamu 

di Rawa Buntek. Tapi, kau harus balaskan sakit 

hatiku dulu pada wanita sundal itu...!" tuding Ra-

tu Pulau Merah dengan tangan yang dibuatnya 

gemetar.

"Asal kau mau tinggal bersamaku di Rawa 

Buntek, jangankan hanya satu wanita sundal ini. 

Sekalipun ada seribu pun, semuanya akan kubu-

nuh! Tapi, jika berdusta, kau tahu apa akibat-

nya?! Ingat, Kinanti. Ini adalah kesempatan te-

rakhir yang kuberikan padamu. Tak ada lagi syarat atau alasan lainnya!" tandas Dadung Rantak, 

tegas.

Ratu Pulau Merah tersenyum dan men-

gangguk, tapi batinnya memaki.

"Tua bangka keparat! Siapa yang kesudian 

tinggal denganmu di tempat yang buruk itu?! 

Kaulah yang akan mampus di tanganku, Tua 

Bangka tak tahu diri!"


TIGA


DAYANG Naga Puspa melangkah mundur-

mundur ketika Dadung Rantak menatapnya le-

kat-lekat.

"Kekhawatiranku beralasan. Tua bangka 

yang dimabuk cinta ini kena dirayu oleh si ratu 

keparat! Celaka! Sialan betul!" rutuk perempuan 

berjubah putih ini, dalam hati. Lalu, dia berkata.

"Eyang Guru.... Kau kena ditipu oleh ratu 

keparat itu! Dia akan meninggalkanmu lagi seper-

ti sebelumnya," Dayang Naga Puspa mencoba 

mengingatkan.

"Sarpakenaka. Tutup mulutmu...! Antara 

kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. In-

gat ucapanku?! Urusanmu urusanmu, urusanku 

urusanku!" sergah Dadung Rantak seraya ayun-

kan kakinya mendekati Dayang Naga Puspa.

"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa 

dalam kecemasan hati yang mendera.

"Terimalah kematianmu, Sarpakenaka...!"

Dayang Naga Puspa tak bisa lagi mene

ruskan kata hatinya, karena saat itu juga Dadung 

Rantak dorongkan kedua tangannya ke depan.

Wuttt!

Tak ada sambaran angin yang keluar, 

ataupun suara yang terdengar. Tapi, sekitar tem-

pat itu bergetar hebat. Pohon-pohon berguncang, 

menggugurkan daunnya. Sejurus kemudian, ha-

wa panas menyengat melingkupi tempat itu. 

Hingga daun-daun berguguran ke tanah dalam 

keadaan hangus.

Bersamaan dengan mendorongnya kedua 

tangan Dadung Rantak, Dayang Naga Puspa 

membentak nyaring. Perempuan berjubah putih 

ini melempar tubuhnya ke samping kiri dan ber-

gulingan menjauh.

Ternyata Dadung Rantak benar-benar ber-

keinginan membunuh muridnya. Dia melesat 

mengejar seraya hantamkan tangannya ke arah 

kepala.

Dayang Naga Puspa cepat rundukkan ke-

palanya. Kaki kanannya diangkat dan dihantam-

kan ke arah lambung Dadung Rantak.

Bukkk!

Kaki perempuan berjubah ini mental balik 

ketika mengenai sasaran. Seakan-akan yang di-

hantamnya adalah segundukan karet keras dan 

kenyal. Dayang Naga Puspa terhuyung-huyung 

terbawa ayunan kakinya.

Dadung Rantak tak memberi kesempatan. 

Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Dayang 

Naga Puspa, laki-laki ini ulurkan tangan.

Tappp!

Dayang Naga Puspa terpekik ketika perge-

langan kakinya tercekal. Perempuan berjubah pu-

tih ini sadar akan bahaya yang tengah mengan-

camnya. Maka, buru-buru hentakkan tangan ki-

rinya.

Wuttt!

Serangkum angin dahsyat menggebrak ke-

luar dan meluncur cepat ke arah Dadung Rantak!

Karena tak ada kesempatan lagi untuk 

menghindari serangan Dayang Naga Puspa, Da-

dung Rantak mundur setindak seraya lepaskan 

cekalannya. Kemudian tangan kanannya dido-

rongkan!

Bummm!

Dua pukulan yang sama-sama bertenaga 

dalam kuat bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga 

Puspa terhuyung-huyung. Namun, setelah kerah-

kan tenaga dalam untuk menahan huyungan tu-

buhnya, perempuan berjubah putih itu segera te-

gak kembali dengan kokohnya.

Dadung Rantak sendiri tersurut satu tin-

dak ke belakang. Dan, laki-laki tua ini punya ke-

sempatan untuk melancarkan desakan saat 

Dayang Naga Puspa terhuyung. Tapi, itu tak di-

pergunakannya. Dadung Rantak sengaja memberi 

Dayang Naga Puspa kelonggaran.

"Aku ingin tahu sampai di mana kemajuan 

dicapai Dayang Naga Puspa," Dadung Rantak 

membatin.

Sementara Dayang Naga Puspa langsung 

menerjang setelah berhasil menguasai diri! Perta-

rungan kembali berlangsung!

Dayang Naga Puspa kerahkan seluruh ke-

mampuan yang dimilikinya. Perempuan ini tahu 

kalau pertarungan kali ini adalah pertarungan 

antara hidup dan mati. Tapi, setelah belasan ju-

rus berlangsung, Dayang Naga Puspa mulai ter-

desak. Dan, hanya bisa bertarung sambil mun-

dur-mundur!

Bukkk!

Terdengar seruan tertahan dari mulut

Dayang Naga Puspa ketika gedoran tangan kanan 

Dadung Rantak menghantam dadanya secara te-

lak. Tubuh perempuan yang berusia tidak muda 

lagi ini terjengkang dan jatuh terduduk di atas 

tanah di dekat Ratu Pulau Merah.

Kesempatan ini memang yang ditunggu-

tunggu Ratu Pulau Merah! Perempuan berpakaian 

gelap ini hantamkan pukulan dengan posisi jari 

dalam jurus ‘Macan Tutul'. Ratu Pulau Merah ta-

hu tenaganya telah berkurang jauh, maka yang 

diserang adalah bagian yang mematikan! Ubun-

ubun! 

Tukkk!

Dayang Naga Puspa memekik ngeri ketika 

ubun-ubunnya pecah berantakan. Cairan merah 

bercampur putih kental pun muncrat-muncrat. 

Tubuh perempuan berjubah putih ini mengejang. 

Di lain kejap, terkulai lemas, tak bergerak-gerak 

lagi. Sepasang matanya membeliak besar, penuh 

perasaan penasaran!

Dadung Rantak agak terkejut melihat tin-

dakan Ratu Pulau Merah. Tapi, dia tak bicara 

apa-apa. Paras wajah laki-laki bertelanjang dada

ini tak unjukkan guratan perasaan apa pun, 

meski di hatinya ada rasa menyesal, mengapa 

Dayang Naga Puspa harus mati akibat tangannya.

"Persetan! Kalau punya kesempatan dan 

kemampuan pun, wanita sundal itu akan mem-

bunuhku! Jadi, ada baiknya dia mati!" cetus Da-

dung Rantak dalam hati, setengah menghibur di-

ri. Kemudian, setelah berpikir sebentar, dia buka 

mulut.

"Bagaimana, Kinanti?!" Dadung Rantak 

ajukan tanya, setengah menekan.

Ratu Pulau Merah ukir seulas senyum ma-

nis. Senyum penuh rasa puas!

"Kau telah penuhi janjimu, Kang. Maka, 

aku pun akan penuhi janjiku," jawab Ratu Pulau 

Merah meski dalam hatinya berkata. "Terpaksa 

aku mengikuti kehendakmu, Tua Bangka. Kea-

daan tak memungkinkan bagiku untuk mengam-

bil pilihan lainnya! Tapi, kelak kau pun akan ku-

buat mengalami nasib serupa dengan bekas mu-

ridmu!"

"Kalau begitu, mari kita pergi, Kinanti," 

ajak Dadung Rantak, tak sabar. Dia melesat ke 

arah Ratu Pulau Merah dan bersiap membawanya 

kabur!

"Tapi, Kang.... Aku tak mampu berdiri. 

Apalagi untuk berlari."

Dadung Rantak menghela napas berat, ke-

cewa. Dengan agak segan diperiksanya keadaan 

Ratu Pulau Merah.

"Gila! Luka-lukanya parah juga. Sebelah 

tangannya tak bisa dipergunakan lagi. Aliran tenaganya pun tak beraturan. Kacau. Bagaimana 

ini bisa terjadi. Mungkinkah oleh Dayang Naga 

Puspa?! Tapi.... Rasa-rasanya kepandaian Ratu 

Pulau Merah masih di atas Dayang Naga Puspa. 

Aneh! Jadi, jelas, Ratu Pulau Merah menipuku! 

Tapi..., biarlah! Yang penting dia mau tinggal ber-

samaku di Rawa Buntek!'' Dadung Rantak mem-

batin, setelah memeriksa keadaan Ratu Pulau 

Merah sejurus lamanya.

"Apa yang terjadi, Kinanti? Apakah ini se-

mua karena Dayang Naga Puspa?!" tanya Dadung 

Rantak seraya arahkan pandangannya pada se-

pasang mata Ratu Pulau Merah.

Ratu Pulau Merah bukan orang bodoh. Dia 

tahu kalau Dadung Rantak mulai curiga terha-

dapnya. Di hatinya, perempuan bermata kebiruan 

ini berkata.

"Tua bangka ini rupanya telah bisa mengi-

ra-ngira kejanggalan ceritaku. Apa boleh buat, 

terpaksa kuberitahukan hal yang agak-

sebenarnya...."

"Aku terluka oleh Gongging Baladewa dan 

Dewi Kayangan, Kang. Tapi, aku berhasil selamat 

hingga tiba di tempat ini. Sialnya aku bertemu 

muridmu itu! Dan, dia hendak membunuhku! En-

tah karena apa! Kalau kau datang terlambat, 

mungkin tak akan bisa bertemu denganku lagi...."

Dadung Rantak tak memberikan sambu-

tan. Tapi, laki-laki ini berbicara dalam hati.

"Ada kejanggalan dalam ceritanya. Musta-

hil tanpa alasan Dayang Naga Puspa hendak 

membunuhnya! Tapi, masa bodoh. Itu bukan

urusanku! Yang penting, dia mau ikut tinggal 

bersamaku di Rawa Buntek."

Melihat Dadung Rantak diam, Ratu Pulau 

Merah ceritakan secara singkat tapi jelas kejadian 

yang membuatnya terluka.

"Aku tak bisa hidup tenang sebelum bisa 

membalaskan sakit hatiku pada Gongging Bala-

dewa dan Dewi Kayangan, Kang," Ratu Pulau Me-

rah mengakhiri ceritanya sambil kertakkan gigi, 

memperlihatkan rasa dendamnya.

Dadung Rantak dongakkan kepalanya. 

Kemudian berdehem beberapa kali untuk mene-

nangkan hati.

"Dewi Kayangan dan Gongging Baladewa?! 

Tokoh-tokoh itu memiliki kepandaian luar biasa! 

Rasanya sulit bagiku untuk mengalahkan seorang 

saja di antara mereka.... Kinanti.... Orang-orang 

yang kau sebutkan itu berkepandaian tinggi...."

"Jadi.... Kakang gentar terhadap mereka?! 

Sama sekali tak kusangka!" selak Ratu Pulau Me-

rah setengah tak percaya.

Dadung Rantak dongakkan kepalanya. Ma-

tanya berkilat-kilat karena merasa tersinggung 

mendengar ucapan perempuan berpakaian gelap 

itu.

"Kinanti.... Aku tak gentar pada Dewi 

Kayangan, Gongging Baladewa, atau siapa pun! 

Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya!" 

tandas Dadung Rantak dengan suara agak dike-

raskan. "Bukankah mereka berkepandaian ting-

gi?! Gongging Baladewa terkenal sebagai tokoh 

tua yang luar biasa sakti. Sedangkan Dewi

Kayangan sendiri telah kurasakan kelihaiannya!"

"Hm.... Jadi kau tak ingin membalaskan 

sakit hatiku pada mereka, Kang?! Kau ingin aku 

hidup di Rawa Buntek dengan memendam sakit 

hati terhadap mereka?!" Ratu Pulau Merah ajukan 

desakan, meminta penegasan. Sikap penasaran-

nya terlihat jelas.

Paras wajah Dadung Rantak seketika be-

rubah. Dia batuk-batuk kecil untuk menyembu-

nyikan rasa kecewa, tak suka, dan tersinggung-

nya. Laki-laki bertelanjang dada ini merasa dite-

kan. Dadung Rantak memaki-maki, tapi hanya di 

dalam hati. "Keparat! Urusan keparat ini akan 

membuat kepulangan ke Rawa Buntek terhambat. 

Sialan betul!"

"Kinanti.... Bukannya aku takut atau tak 

ingin membalaskan sakit hatimu. Tapi, aku tak 

ingin gegabah! Untuk apa tergesa-gesa mencari 

dan berusaha membalas dendam kalau hanya be-

rakhir dengan kegagalan?! Bukan hanya kekua-

tan saja yang merupakan hal penting. Ada yang 

lebih penting lagi, Kinanti. Bahkan paling pent-

ing!" beri tahu Dadung Rantak, panjang lebar 

bernada menggurui.

"Apa itu, Kang?!" tanya Ratu Pulau Merah, 

ingin tahu. Di dalam hatinya dia bertanya. "Baru 

pertama kali kudengar, tua bangka ini memperhi-

tungkan kekuatan lawan. Biasanya dia langsung 

melabrak. Dan, aku yakin, tokoh semacam Dewi 

Kayangan akan dapat dikalahkannya. Apa yang 

membuatnya memperhitungkan tindakannya itu?! 

Jahanam! Jangan-jangan, ini hanya merupakan

siasatnya. Barangkali dia sudah tak sabar ingin 

mengajakku ke tempat tinggalnya yang busuk itu! 

Hm.... Aku harus berkeras!"

"Otak!" 

"Otak, Kang?!" Ratu Pulau Merah meminta 

kepastian.

"Benar, Kinanti. Otak yang terpenting!" 

tandas Dadung Rantak dengan nada suara lebih 

meninggi. 

"Untuk menghadapi orang semacam Dewi 

Kayangan mempergunakan otak pula?! Labrak sa-

ja! Apa yang perlu ditakuti?!"

Dadung Rantak menatap Ratu Pulau Me-

rah lekat-lekat. Seringai buruk menghiasi wajah-

nya. Seringai yang mengisyaratkan orang yang le-

bih mengetahui suatu persoalan daripada lawan 

bicaranya. Kemudian, mulutnya membuka.

"Kinanti.... Melabrak Dewi Kayangan me-

mang tak memerlukan otak! Tinggal gebrak saja! 

Aku yakin akan mampu mengalahkannya! Tapi, 

kau harus tahu, Kinanti.... Tempat di mana wani-

ta itu tinggal, tidak hanya didiami olehnya sendiri. 

Ada saudara-saudaranya. Dewi Bayang-bayang 

dan Dewi Bunga Iblis! Bahkan mungkin Gongging 

Baladewa! Karena menurut berita yang kusirap, 

Dewi Bayang-bayang telah akur kembali dengan 

Gongging Baladewa!"

Ratu Pulau Merah terdiam mendengar per-

kataan Dadung Rantak. Dia memandang laki-laki 

di hadapannya lekat-lekat. Akal sehatnya dapat 

merasakan kebenaran ucapan pemilik Rawa Buntek itu.

"Lalu… apa yang akan kau lakukan, 

Kang?!"

Dadung Rantak menarik napas lega menge-

tahui alasan yang diberikannya diterima Ratu Pu-

lau Merah.

"Kinanti! Beberapa hari lagi, tepat pada 

malam purnama di Lembah Supit Urang akan ada 

pertemuan untuk menentukan siapa yang patut 

menjadi raja di raja rimba persilatan, sekaligus 

menyusun kekuatan untuk melenyapkan Pende-

kar 108 dan tokoh-tokoh golongan putih. Jadi, 

aku akan terjun untuk merebut kedudukan jago 

nomor satu, agar dapat membalaskan sakit hati-

mu! Dengan tokoh-tokoh jajaran atas dunia hitam 

lainnya yang membantu, kurasa tak sulit untuk 

menggulung Gongging Baladewa, Dewi Kayangan, 

dan Dewi Bayang-bayang, kalau perlu Dewi Bun-

ga Iblis!"

"Pertemuan di Lembah Supit Urang, 

Kang?!" tanya Ratu Pulau Merah, ingin tahu ka-

rena dalam beda waktu sekejap telah dua kali 

mendengar orang meributkan tentang itu. "Aku 

pun mendengar kabar angin mengenai pertemuan 

itu. Tapi, aku masih belum jelas. Tampaknya kau 

tahu persis, Kang. Ceritakanlah padaku...! Dan, 

siapa-siapa sajakah yang akan ke sana?!"

Dadung Rantak kernyitkan dahi seperti 

tengah berpikir. Kemudian, buka mulutnya.

"Menurut pendapatku akan banyak tokoh 

yang hadir, baik dari golongan hitam maupun pu-

tih karena berita itu disebarluaskan. Tapi, kalau 

yang kutahu, tokoh-tokoh yang pasti datang ada

lah Iblis Gelang Kematian dan Dewa Maut! Kare-

na, kudengar sendiri dari mulut mereka mengenai 

kesediaan untuk menghadiri pertemuan itu."

"Dewa Maut...! Tokoh yang tadi mencari-

cari Malaikat Berdarah Biru dan Pendekar Mata 

Keranjang! Kepandaiannya tinggi sekali! Mampu-

kah Kakang Dadung Rantak merebut kedudukan 

jago nomor satu?!" Ratu Pulau Merah membatin.

"Kurasa perbincangan kita sudah cukup 

panjang, Kinanti. Nanti bisa kita lanjutkan dalam 

perjalanan menuju ke Lembah Supit Urang. Yang 

paling penting sekarang adalah mengobati luka 

dalammu. Sayang, untuk sementara tangan kiri-

mu tak bisa kau gunakan," ujar Dadung Rantak 

bernada keluh.

"Dewi Kayangan keparat! Kau akan men-

dapat ganjaran atas perbuatanmu ini!" maki Ratu 

Pulau Merah, geram.

Dadung Rantak tak berikan sambutan. Dia 

duduk bersila di dekat perempuan bermata kebi-

ruan itu, bersiap untuk mengobati luka dalam 

Ratu Pulau Merah dengan pengerahan hawa 

murni. Kedua tangannya dijulurkan, tapi terhenti 

di tengah jalan, dan berkata.

"Sebenarnya..., sewaktu bertemu dengan-

mu, keinginan yang menggebu-gebu untuk men-

datangi Lembah Supit Urang itu telah pupus, Ki-

nanti. Aku ingin hidup tenang bersamamu di Ra-

wa Buntek. Sayang, kau tak bisa melupakan sakit 

hatimu. Tak ada jalan lain kecuali menghadiri 

pertemuan itu agar kau bisa tenang tinggal bersamaku."

"Tua bangka tak tahu diri! Sekalipun den-

damku telah terbalaskan aku tak akan sudi un-

tuk tinggal di tempat busuk itu! Apalagi bersama 

dengan tua bangka seperti kau!" batin Ratu Pulau 

Merah mengutuk, tapi mulutnya yang berbentuk 

indah membuka dan keluarkan kata.

"Kalau kau tega membiarkanku tersiksa 

diamuk dendam dan sakit hati, tak apa, Kang," 

Ratu Pulau Merah merajuk, jengkel karena telah 

memiringkan tubuh, Dadung Rantak tak juga 

menempelkan tangan untuk menyembuhkan luka 

dalamnya, tapi malah bicara. "Tapi, mungkin per-

lu kuingatkan sedikit, Kang. Kau sendiri telah ta-

hu bagaimana tidak enaknya mendendam sakit 

hati. Bukankah kau pun sampai bercapai lelah 

mendatangi Wong Agung di Karang Langit untuk 

membalaskan sakit hati karena adik kandungmu 

tewas di tangannya?!"

Dadung Rantak terdiam. Mulutnya terka-

tup. Tanpa bicara apa pun ditempelkan kedua 

tangannya yang terbuka ke punggung Ratu Pulau 

Merah.


EMPAT



SEORANG pemuda berwajah tampan ber-

pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian dalam 

berwarna kuning lengan panjang, tampak melangkah perlahan. Dia berambut panjang dan di-

kuncir ekor kuda. Wajah serta lehernya dibasahi 

peluh. Pakaiannya pun demikian. Ini menjadi pertanda kalau pemuda ini telah melakukan perjala-

nan jauh. Sambil berjalan pelan, si pemuda 

menggerak-gerakkan kipas lipat berwarna ungu 

yang berada di tangan, pulang balik di depan wa-

jahnya.

"Lembah Supit Urang. Hm.... Apa pun yang 

terjadi aku harus sampai di tempat itu. Tapi, aku 

yakin akan bisa berada di sana sebelum bulan 

purnama. Hhh...! Apa pun yang terjadi, aku harus 

berada di tempat Itu, agar tahu rencana yang 

akan mereka lakukan!" si pemuda membatin.

Saat itu, terasa deru angin berkesiur di be-

lakangnya. Pemuda berpakaian hijau ini segera 

berpaling ke belakang seraya membalikkan tu-

buh. Dan, sekitar lima langkah di hadapannya 

tampak seorang pemuda berdiri tegak meman-

dang ke arahnya sambil tersenyum. Wajahnya 

sangat tampan, malah lebih mendekati jelita. So-

rot sepasang matanya yang bentuknya bundar 

itu, sayu. Rambutnya panjang dan dikepang dua. 

Bibirnya yang berbentuk bagus itu diberi pemerah 

yang menyolok. Tubuhnya semampai dan ter-

bungkus oleh pakaian seorang perempuan!

"Setan Pesolek...!" gumam pemuda berpa-

kaian hijau tanpa bisa menyembunyikan kegem-

biraan dalam suara dan sikapnya.

Yang ditegur, dan bukan lain dari Setan 

Pesolek, tertawa pelan. Kemudian sibakkan ram-

butnya di tengkuk dengan menarik sedikit kepa-

lanya ke belakang.

"Aku tahu kau gembira bertemu denganku, 

Pendekar 108," kata Setan Pesolek seraya keluarkan tawa panjang. Tangan kanannya bergerak 

pulang balik dengan gemulai. Setelah meliukkan 

bahu dan pinggulnya serta mengedipkan mata ki-

rinya, dia berkata. Suaranya mirip seorang pe-

rempuan. Tapi, menilik keberadaan jakun di le-

hernya, orang ini adalah laki-laki.

Pemuda berpakaian hijau yang memang 

bukan lain dari Aji alias Pendekar Mata Keran-

jang, usap-usap hidungnya seraya sunggingkan 

senyum di bibir.

"Manusia satu ini sepertinya selalu tahu 

saja urusan orang. Dia mampu menebak pera-

saanku. Malah, dulu beberapa kali ucapannya tak 

meleset. Tapi, aku ingin tahu sampai di mana 

manusia banci ini tahu urusanku!" kata hati Aji, 

lalu setelah berpikir sejenak, dia ajukan tanya.

"Tentu saja aku gembira, Setan Pesolek. 

Siapa orangnya yang tidak gembira bertemu den-

gan sahabat lama?!"

Setan Pesolek kembali keluarkan tawa ce-

kikikan. Seraya terus menggerak-gerakkan tan-

gannya secara lemah gemulai, dia berucap.

"Pendekar Mata Keranjang! Mungkin apa 

yang kau katakan itu benar. Tapi, aku lebih con-

dong menduga kalau kegembiraanmu bertemu 

denganku, bukan hanya karena itu."

"Benar dugaanku, manusia banci ini seper-

ti bisa membaca isi hati orang. Tapi, aku masih 

belum yakin kalau dia belum memberikan jawa-

ban yang tepat!" batin Pendekar 108 belum puas. 

Setan Pesolek sendiri, seperti tak mempedulikan 

perasaan Aji. Dia keluarkan batu cerminnya dan

berkaca sambil rapikan rambut dan polesan me-

rah di bibirnya. Tapi, saat Aji buka mulut, dan be-

lum sempat keluarkan suara, Setan Pesolek telah 

lebih dulu berkata.

"Kau gembira bertemu denganku karena 

memang kau tengah mencari kawan-kawan seha-

luan guna menghadapi tokoh-tokoh dari haluan 

lain."

Aji terperangah mendengar jawaban yang 

tepat itu. Di dalam hatinya dia berkata.

"Manusia satu ini benar-benar menge-

jutkan! Dia tahu apa yang hendak kulakukan!"

"Sebenarnya tak baik mengatakan apa 

yang belum terjadi," Setan Pesolek lanjutkan uca-

pannya. "Tapi, kuusulkan lebih baik kau urung-

kan niatmu untuk mencegah terjadinya perte-

muan di Lembah Supit Urang."

Pendekar Mata Keranjang undur selangkah 

karena kaget. Air mukanya berubah hebat.

"Si banci ini memang bukan manusia! Dia 

mampu menebak dengan tepat tindakan yang 

akan kulakukan! Apakah dia mampu meramal?!" 

kata hati pemuda berpakaian hijau ini. Beberapa 

jurus Aji terdiam. Baru setelah dapat menguasai 

perasaan, dan berpikir sebentar, pemuda ini ang-

kat bicara.

"Aku tak tahu bagaimana kau bisa mene-

bak dengan demikian tepat tindakan yang akan 

kulakukan, Setan Pesolek. Tapi, aku tak bisa me-

nerima usulmu. Apa pun yang terjadi terhadap di-

riku aku tetap akan ke sana! Dan, perlu kau ke-

tahui, aku telah memperhitungkannya cukup masak. Oleh karena itu, dengan sisa waktu yang ma-

sih kumiliki, kuputuskan untuk mencari kawan-

kawan sehaluan untuk membantuku mencegah 

terjadinya pertemuan itu!" tandas Pendekar 108 

berapi-api, penuh semangat.

Setan Pesolek tertawa pelan seraya ang-

guk-anggukkan kepala seperti memaklumi jawa-

ban yang diberikan Aji.

"Tapi, waktu telah demikian mendesak. 

Beberapa hari lagi pertemuan di Supit Urang itu 

akan berlangsung. Kalau kau tetap teruskan te-

kad untuk mencari kawan-kawan sehaluan, kau 

akan terlambat untuk mengikuti pertemuan itu!"

"Kalau memang demikian halnya, apa bo-

leh buat?! Tapi, aku akan tetap pergi ke sana! Apa 

pun yang akan terjadi! Dan perlu kau ingat, Setan 

Pesolek! Meski kau telah beberapa kali membuat 

jasa padaku, tidak berarti bahwa aku akan menu-

ruti saranmu. Bahkan, kalau kau bersikeras un-

tuk menahan, aku tak segan-segan untuk mela-

brakmu!"

"Pendekar Mata Keranjang!" kata Setan Pe-

solek dengan suara agak dikeraskan. "Kau juga 

perlu tahu, aku tak pernah mengingat-ingat akan 

jasaku terhadapmu. Pula, aku tak mengharapkan 

imbalan apa-apa darimu! Hanya kusarankan, se-

belum bertindak itu lebih dulu berpikir! Sebagai 

tambahan, perlu kuberitahukan karena kau telah 

salah menafsirkan ucapanku! Pendekar Mata Ke-

ranjang! Dengar baik-baik, aku tak mencegah 

atau menghalangimu ke Lembah Supit Urang!"

Aji kernyitkan dahi. Bingung.

"Apa maksudmu sebenarnya, Setan Peso-

lek?!" Pemuda berpakaian hijau itu ajukan tanya 

setelah memikirkan ucapan si banci, tapi tetap 

tak paham. "Kau katakan aku salah menafsirkan 

ucapanmu?!"

Setan Pesolek anggukkan kepala. Lalu, 

sambil gerak-gerakkan tangan secara lemah-

gemulai, dia buka mulut.

"Pendekar Mata Keranjang. Kau boleh in-

gat-ingat ucapanku. Adakah yang berisi larangan 

bagimu untuk pergi ke sana?! Tidak bukan?! Aku 

hanya katakan, agar kau hentikan usahamu un-

tuk mencegah terjadinya pertemuan itu! Bukan 

melarangmu pergi ke sana! Tapi, melarangmu 

mencegah pertemuan itu! Dengar baik-baik, Pen-

dekar Mata Keranjang. Tidak semua urusan dapat 

diselesaikan dengan kekuatan! Terkadang, otak 

mampu membereskannya dengan hasil yang jauh 

lebih baik!"

Pendekar 108 terdiam. Tapi, di dalam ha-

tinya dia berkata.

"Sialan betul! Manusia banci ini benar. Aku 

yang salah mengartikan ucapannya. Tapi.... Ba-

gaimana aku bisa menghadiri pertemuan itu?! 

Bukankah sebagian besar di antara mereka telah 

mengenaliku?!"

"Pendekar Mata Keranjang. Perlu kuberita-

hukan padamu, aku tak bisa hadir di pertemuan 

itu. Aku mempunyai urusan lain yang lebih pent-

ing. Jadi, aku tak bisa menemanimu ke sana. Aku 

tak bisa menyumbangkan tenaga. Tapi, aku bisa 

menyumbangkan pikiran."

Laki-laki banci ini kemudian ayunkan kaki 

beberapa tindak, dekati Pendekar 108. Si pemuda 

telah bisa menduga kalau Setan Pesolek hendak 

beritahukan sesuatu. Tapi, sifat konyol Aji timbul. 

Begitu Setan Pesolek maju, dia malah mundur.

"Pendekar Mata Keranjang! Bukan saatnya 

sekarang untuk bercanda. Setiap kesempatan 

yang ada harus dimanfaatkan. Bukan tak mung-

kin di lain kejap akan muncul gangguan yang 

membuat kita tak bisa bicara panjang lebar!" sen-

tak Setan Pesolek, dengan nada suara lebih keras 

daripada sebelumnya.

Aji hentikan langkah. Senyum tersungging 

di bibirnya. Hidungnya pun diusap-usap. Agak 

puas hatinya setelah dapat mempermainkan Se-

tan Pesolek meski hanya sebentar. Tapi, di lain 

kejap laki-laki banci itu telah berada di dekatnya 

dan dengan bisik-bisik beritahukan rencananya.

Air muka Aji berubah. Berseri-seri.

"Mengapa aku tidak berpikir seperti itu?! 

Bukankah aku pernah mencobanya?!" batin pe-

muda berpakaian hijau ini. Tapi, yang keluar dari 

mulutnya perkataan lainnya.

"Kalau hanya sumbangan pikiran seperti 

ini, aku pun merencanakannya. Bahkan aku te-

lah pernah mempraktekkannya. Malah beberapa 

kali!"

Setan Pesolek tertawa cekikikan. Kemudian 

seraya gerak-gerakkan tangannya secara lemah-

gemulai, dia keluarkan suara.

"Kau memang telah mencobanya beberapa 

kali. Tapi, untuk pertemuan ini, kau tak terpikir

untuk menggunakannya. Yahhh...! Sudahlah, se-

lamat tinggal, Pendekar Mata Keranjang!" 

Habis berkata begitu, laki-laki banci ini ra-

pikan rambutnya. Lalu, dia ayunkan langkah me-

ninggalkan tempat itu. Aji pandangi kepergiannya 

sambil membatin.

"Banci! Kendati wujudmu aneh, kau mem-

punyai keistimewaan luar biasa! Kau seperti tahu 

semua urusan orang! Bahkan, apa yang bergolak 

di batin!"

Setelah Setan Pesolek tak terlihat lagi, Pen-

dekar 108 pun melesat meninggalkan tempat itu.


LIMA


DUA ekor kuda berlari congklang melalui 

hamparan tanah berdebu yang luas membentang. 

Demikian luasnya, sehingga sejauh mata meman-

dang yang terlihat hanya hamparan tanah coklat 

kemerahan.

Penunggang kuda di sebelah kanan adalah 

seorang gadis cantik berambut panjang berkulit 

putih. Sepasang matanya bulat dan tajam. Pa-

kaian yang dikenakannya berwarna kuning dan 

ketat, sehingga dadanya yang kencang membu-

sung tampak jelas.

Sedangkan penunggang kuda satunya lagi 

adalah seorang laki-laki bertubuh tegap dan be-

sar. Rambutnya kaku dan panjang tergerai. Sepa-

sang matanya tajam. Sesekali bibirnya sungging

kan seringai buruk. Dan, kendati parasnya keli-

hatan angker, tampak jelas kalau laki-laki ini be-

rusia sangat muda! Masih anak-anak!

Kedua penunggang kuda ini terlihat tak 

tergesa-gesa. Malah seperti ada yang mereka cari 

atau tunggu. Beberapa kali si gadis mengedarkan 

pandangan ke sekeliling dengan sinar mata penuh 

harap. Tapi, sorot matanya berbalur kekecewaan 

ketika hanya menjumpai hamparan tanah luas 

membentang. Dalam batinnya, gadis ini berkata.

"Sialan betul! Sejak tadi tak kutemukan sa-

tu orang pun! Hm.... Benar-benar sial! Padahal, 

aku ingin tanyakan kebenaran tentang pertemuan 

tokoh-tokoh persilatan di Lembah Supit Urang. 

Aku yakin, orang yang kucari akan berada di sa-

na! Tapi, tentu saja jika dia masih hidup!"

"Kau kelihatan resah sekali. Ada apa?!" Si 

anak laki-laki, ajukan tanya.

Gadis berpakaian kuning palingkan wajah 

ke arah anak laki-laki, dan menatapnya lekat-

lekat beberapa jurus. Kemudian, dia tarik napas 

dalam-dalam lalu berkata.

"Aku tengah mencari-cari, barangkali dapat 

bertemu paling tidak seorang tokoh persilatan di 

sini. Aku ingin tanyakan mengenai pertemuan di 

Lembah Supit Urang!"

"Jadi.... Kau berniat pergi ke sana dan me-

nunda pencarian terhadap Malaikat Berdarah Bi-

ru?!" Si anak laki-laki ajukan tanya dengan nada 

suara tak sembunyikan rasa kecewa dan tak sukanya.

Gadis berpakaian kuning tarik napas da

lam-dalam, lalu sunggingkan senyum manis. La-

lu, dengan suara lembut dan hati-hati dia buka 

mulut.

"Abilowo.... Aku tak pernah menunda pen-

carian terhadap ayahmu, si Malaikat Berdarah Bi-

ru itu. Malah, tujuanku mencari kebenaran men-

genai pertemuan di Lembah Supit Urang adalah 

dalam usaha untuk menemukannya."

"Bagaimana bisa begitu?!" Abilowo mende-

sak tanpa menyembunyikan rasa penasaran ha-

tinya.

"Abilowo.... Jika pertemuan di Lembah Su-

pit Urang bukan kabar burung, Malaikat Berda-

rah Biru pasti akan datang ke tempat itu. Ayah-

mu itu sangat berhasrat sekali untuk menjadi ra-

ja di raja rimba persilatan! Dan, pertemuan di 

Supit Urang dapat digunakannya untuk mengga-

pai tujuan itu. Jadi..., sekarang kau bisa mengerti 

mengapa aku hendak mencari tahu mengenai be-

nar tidaknya pertemuan itu!"

Abilowo anggukkan kepala seraya buka 

mulut.

"Sekarang aku mengerti. Setidak-tidaknya 

dengan cara seperti itu kita mempunyai tujuan 

pencarian. Tidak seperti sekarang, mencari secara 

ngawur."

"Syukur kalau kau mengerti," timpal si ga-

dis yang bukan lain dari Putri Tunjung Kuning, 

ibu dari Abilowo, seraya menarik napas lega. Dia 

sunggingkan seulas senyum manis untuk pu-

tranya.

Abilowo tak memberikan sambutan sama

sekali. Malah, anak laki-laki ini alihkan pandan-

gannya ke depan seraya mempermainkan ram-

butnya! Tanpa bicara apa pun, Putri Tunjung 

Kuning arahkan pandangan ke sana.

"Ada orang di depan!" anak laki-laki itu 

angkat bicara.

"Aku tak melihat apa pun di depan. Mung-

kinkah Abilowo salah lihat?! Tapi, bukan tak 

mungkin pula dia benar. Kepandaiannya memang 

tinggi. Malah jauh di atasku!" Putri Tunjung Kun-

ing membatin. Setelah berpikir sebentar, dia alih-

kan pandangan pada Abilowo.

"Apakah kau tak salah lihat, Abilowo?!" Pu-

tri Tunjung Kuning meminta kepastian.

"Aku tidak akan pernah salah lihat!" tandas 

Abilowo setengah merutuk. Nada suaranya jauh 

lebih keras daripada sebelumnya, menunjukkan 

rasa tak sukanya dengan ucapan ibunya.

"Watak kurang baik anak ini masih belum 

hilang! Aku harus sabar menghadapinya. Toh, 

memang sejak lahir hingga umurnya beberapa 

puluh hari, aku tak pernah dapat kesempatan 

untuk mengurusnya. Tapi, memang ada untung-

nya juga. Bukankah, tua bangka itu katakan Ab-

ilowo tak akan jadi sakti bila tersentuh tangan 

orang lain? Tak terkecuali ibunya," kata hati Putri 

Tunjung Kuning (Untuk jelasnya mengenai Abilo-

wo dan pengalamannya serta tua bangka yang 

dimaksud Putri Tunjung Kuning, silakan baca ep-

isode : "Titisan Darah Terkutuk" dan "Misteri Hu-

tan Larangan").

"Kalau begitu, kita harus segera susul dia.

Aku yakin orang itu tahu mengenai pertemuan di 

Supit Urang," Putri Tunjung Kuning angkat bicara 

seraya tarik tali kekang kudanya.

Abilowo menyeringai, lalu ikut melakukan 

hal yang sama. Di kejap lain, binatang-binatang 

tunggangan itu pun melesat menimbulkan bunyi 

gemuruh dan meninggalkan kepulan debu tebal 

di belakangnya.

Tak lama kemudian, Putri Tunjung Kuning 

dapat membuktikan kebenaran ucapan Abilowo. 

Di kejauhan, dilihatnya tiga ekor kuda tengah 

berpacu cepat ke arah yang sama dengannya.

Putri Tunjung Kuning dan Abilowo semakin 

perkeras usaha mereka untuk memacu tunggan-

gannya secepat mungkin. Tali kekang mereka ke-

prakkan. Tak ketinggalan, pecut pun mereka han-

tamkan pada bagian belakang tubuh tunggangan 

mereka agar binatang itu berlari lebih cepat lagi.

Sekitar beberapa tombak lagi menyusul, ti-

ga penunggang kuda mengetahui kedatangan Pu-

tri Tunjung Kuning dan Abilowo. Laju tunggangan 

mereka perlambat seraya tolehkan kepala ke be-

lakang!

Saat itu, mereka melihat dua ekor kuda 

coklat bercak-bercak putih dipacu cepat ke arah 

mereka. Di kejap lain, binatang-binatang itu telah 

melampaui mereka, dan dihentikan secara men-

dadak tepat di depan mereka!

Seketika kepulan debu pun menghambur 

ke arah tiga orang itu! Mereka pun kelabakan 

menggerakkan tangan untuk menutup wajah dari 

sergapan debu.

"Setan Belang! Siapa berani main gila ter-

hadap Lelawa Ijo?!" bentak penunggang kuda ter-

depan, keras penuh kemarahan.

Dia adalah seorang lelaki setengah baya 

berpakaian serba hitam. Tubuhnya kekar dan be-

rotot. Raut wajahnya hanya terlihat sebagian ka-

rena tertutup oleh kumis, jenggot, dan cambang 

bauk lebat yang tidak terurus! Lelaki ini menung-

gang kuda yang terlihat paling besar dan perkasa 

daripada dua ekor kuda yang ditunggangi oleh 

orang-orang di kanan kirinya.

Laki-laki bercambang bauk yang menye-

butkan dirinya Lelawa Ijo gerak-gerakkan tangan 

kirinya. Angin keras menggebrak. Sejurus kemu-

dian, debu-debu yang menghalangi pandangan 

pun terusir pergi

Lelawa Ijo dan dua orang bertampang ga-

rang di kanan kirinya, terperangah ketika melihat 

orang-orang yang berani bertindak demikian ku-

rang ajar! Tapi, pandang mata mereka segera ter-

tuju pada Putri Tunjung Kuning! Abilowo hanya 

dilihat sekelebatan saja. Dan, pandang mata tiga 

orang itu terhadap ibunya Abilowo liar, penuh 

nafsu berahi!

Tiga pasang mata memandang tak berke-

dip, lalu geleng-geleng kepala dengan mulut ber-

decak-decak. Sikap mereka seperti sekawanan 

harimau lapar melihat seekor kambing gemuk. 

Putri Tunjung Kuning merasa muak melihatnya, 

karena mengingatkannya akan nasib yang diteri-

manya dari Malaikat Berdarah Biru.

"Binatang-binatang semacam inilah yang

hutan-hutan yang ada di Jawa Barat?!"

Meski di lubuk hatinya melecehkan, Putri 

Tunjung Kuning ukir senyum yang menawan. Se-

dangkan di sebelahnya, Abilowo bersikap tak pe-

duli. Dia sibuk mainkan rambutnya. Anak lelaki 

ini mempunyai watak aneh. Dia tak akan turun 

tangan, bila belum diperintahkan oleh ibunya.

"Aku pun pernah dengar. Namamu meng-

getarkan rimba persilatan. Tapi, sepengetahua-

nku, tempatmu cukup jauh dari sini. Atau..., jan-

gan-jangan kau adalah orang yang memalsu se-

bagai Lelawa Ijo yang amat terkenal itu?!" Putri 

Tunjung Kuning ajukan pancingan.

Paras wajah Lelawa Ijo mengelam. Tapi, 

hanya sebentar, lalu kembali cerah. Malah, dia 

umbar tawa terkekeh.

"Bidadariku.... Kalau saja ucapan itu ke-

luar bukan dari mulutmu yang berbentuk bagus 

itu, saat ini juga pemiliknya telah menjadi bang-

kai! Merupakan pantangan besar bagi Lelawa Ijo 

untuk dicurigai. Tapi, Kau merupakan kekecua-

lian. Bahkan, kau pun akan mendapatkan jawa-

ban bagi keherananmu itu," Lelawa Ijo terdiam 

sebentar seperti tengah berpikir, sebelum buka 

mulutnya kembali untuk bicara. "Memang tempat 

tinggalku jauh dari sini. Tapi, perlu kau ketahui 

itu memang kusengaja. Aku tengah dalam perja-

lanan untuk menjadi raja di raja rimba persilatan. 

Oleh karena itu aku melakukan perjalanan ke 

Lembah Supit Urang untuk mengikuti pertemuan 

tokoh-tokoh persilatan."

"Ahhh...!" Putri Tunjung Kuning pura-pura

terkejut. "Jadi..., berita tentang pertemuan di 

Lembah Supit Urang itu bukan hanya isapan 

jempol belaka?!"

"Tentu saja bukan!" tandas Lelawa Ijo, 

mantap. "Kalau tidak, untuk apa aku bercapai le-

lah meninggalkan tempat kediamanku yang nya-

man?"

"Begitukah?!" Putri Tunjung Kuning sung-

gingkan senyum sinis. Parasnya pun berubah 

bengis. "Sayangnya, perjalananmu sia-sia, Bina-

tang! Kau akan terkapar tanpa makam di tempat 

ini!"

Perubahan sikap gadis berpakaian kuning 

itu membuat Lelawa Ijo terkejut. Dialihkan pan-

dangannya pada dua anak buahnya. Mereka pun 

angkat bahu dengan sorot mata bingung.

"Bidadariku.... Apa maksud ucapanmu?! 

Aku masih belum mengerti! Atau.... kau tengah 

mengajakku bercanda sebelum bercumbu?!" Le-

lawa Ijo ajukan pertanyaan untuk mendapatkan 

kepastian.

"Binatang bermulut kotor!" hardik Putri 

Tunjung Kuning, bengis. "Orang sepertimu, dan 

juga gerombolanmu memang harus dilenyapkan 

dari muka bumi! Kalau tidak, hanya akan me-

nimbulkan borok-borok di dunia ini!"

"Keparat! Perempuan sundal! Rupanya kau 

lebih suka diperlakukan kasar, heh?!" Lelawa Ijo 

tak kalah keras berteriak. Amarahnya bangkit 

dan tak terkendali, melihat sikap dan ucapan Pu-

tri Tunjung Kuning tetap kasar. "Semula, aku 

akan menggaulimu dengan baik-baik! Tapi sekarang, kau akan kuperkosa sampai mati! Dengar! 

Sampai mati!"

Sekujur tubuh Putri Tunjung Kuning 

menggigil keras. Tapi, bukan karena takut, me-

lainkan marah besar. Ancaman Lelawa Ijo men-

gingatkannya akan perlakuan yang diterimanya 

dari Malaikat Berdarah Biru.

"Binatang bermulut kotor! Ambrol dada-

mu...!" teriak Putri Tunjung Kuning seraya me-

lompat ke depan dan hantamkan kedua tangan-

nya. Saat itu juga berlarik-larik sinar kuning me-

lesat ke arah Lelawa Ijo.

Lelawa Ijo segera sadar kalau gadis berpa-

kaian kuning itu bukan orang sembarangan. Dia 

pun lompat dari punggung kudanya pula, dan 

pukulkan kedua tangan untuk memapak seran-

gan. Laki-laki bercambang lebat ini tak segan-

segan lagi kerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Bummm!

Ledakan dahsyat membahana ketika dua 

pukulan jarak jauh itu bertemu di udara. Tempat 

itu berguncang. Debu mengepul tinggi ke udara. 

Dua anak buah Lelawa Ijo yang berada di tempat 

itu terjengkang dan terguling seraya keluarkan 

keluhan tertahan.

Putri Tunjung Kuning dan Lelawa Ijo ter-

jengkang ke belakang. Gadis berpakaian kuning 

itu salurkan hawa murni ke dada untuk mengu-

rangi rasa nyeri yang mendera. Di lain pihak, Le-

lawa Ijo hanya merasakan nyeri pada kedua tan-

gannya.

Putri Tunjung Kuning sadar kalau nama

besar Lelawa Ijo bukan hanya berita burung. La-

ki-laki berpakaian hitam itu benar-benar tangguh. 

Gadis ini segera takupkan kedua tangan sejajar 

dada, seraya memejamkan mata. Putri Tunjung 

Kuning hendak mengirimkan serangan andalan.

Tapi, sebelum gadis berpakaian kuning ini 

melancarkan serangan, Abilowo telah lompat ke 

depan dan langsung kirimkan pukulan bertubi-

tubi ke arah dada dan leher Lelawa Ijo! Angin ke-

ras telah menggebrak mendahului sebelum seran-

gan itu sendiri tiba di sasaran.

"Gila! Serangan anak yang masih netek pa-

da ibunya ini kiranya jauh lebih dahsyat!" Lelawa 

Ijo membatin dengan sepasang mata membeliak 

besar karena keterkejutan yang melanda.

Plakkk!

Dua tinju beradu keras di udara ketika Le-

lawa Ijo pukulkan kedua tangan untuk menang-

kis. Lelaki bercambang bauk lebat ini terhuyung-

huyung ke belakang seraya kernyitkan dahi. Se-

ringai kesakitan menghias wajahnya, ketika me-

rasakan ngilu dan nyeri mendera kedua tangan-

nya yang baru saja berbenturan. Di lain pihak, 

Abilowo sama sekali tak bergeming.

"Setan belang! Ini anak manusia atau anak 

jin?! Tenaga dalamnya sangat kuat. Pula, dia se-

pertinya tak merasa sakit akibat benturan itu. 

Padahal, tanganku ngilu dan nyeri-nyeri. Malah, 

dadaku pun terasa sesak! Gila! Bagaimana 

mungkin, anak kecil mampu mempunyai tenaga 

dalam demikian kuat?!" kata hati Lelawa Ijo, se-

raya cabut golok yang terselip di pinggang kanan

nya. Sebatang golok yang mempunyai gagang 

berbentuk kelelawar hijau. Dan, karena goloknya 

itulah pemiliknya memperkenalkan diri dengan 

nama Lelawa Ijo!

Lelawa Ijo bolang-balingkan goloknya di 

depan dada. Gerakannya cepat bukan main, se-

hingga bentuk senjatanya lenyap. Yang terlihat 

hanya kelebatan sinar yang menyilaukan mata 

dalam bentuk tak jelas. Lalu, dengan diawali te-

riakan menggeledek, lelaki bercambang bauk le-

bat ini menerjang maju.

Sing, sing, sing...!

Bunyi yang menyakitkan telinga dan mem-

buat giris hati mengiringi meluncurnya golok yang 

kelihatan tajam mengkilap itu ke arah Abilowo. 

Tapi, anak lelaki itu sama sekali tak bergeming 

dari tempatnya. Bahkan mengerjapkan mata pun 

tidak!

"Mampuslah kau, Anak Setan!" Lelawa Ijo 

membatin penuh rasa gembira di dalam hatinya. 

Sudah terbayang di benaknya kalau Abilowo akan 

menggelepar di tanah dengan darah berhamburan 

keluar.

Cras, cras, crasss!

Bertubi-tubi golok berhulu kelelawar hijau 

itu menghantam sekujur tubuh Abilowo. Tapi, si 

bocah tak bergeming sedikit pun. Lelawa Ijo dan 

bahkan rekan-rekannya hampir tak percaya akan 

apa yang mereka saksikan. Abilowo sama sekali 

tak terluka. Tak ada kulit yang terobek, atau da-

rah yang mengalir.

"Iblisss...!" desis Lelawa Ijo seraya mundur

mundur tanpa mampu menyembunyikan keterke-

jutannya. Sepasang matanya yang membeliak be-

sar memperlihatkan ketidakpercayaan akan apa 

yang disaksikannya.

Di depan Lelawa Ijo, Abilowo komat-kamit. 

Kedua tangannya dikepalkan, lalu dihentakkan 

seraya memutar tubuh. 

Wuttt! Wuttt! 

Lelawa Ijo menjerit keras, kaget campur 

ngeri karena dari dorongan tangan Abilowo me-

nyembur gelombang dahsyat berhawa panas me-

nyengat! Lelaki ini berusaha sedapat mungkin un-

tuk mengelak. Tapi, terlambat. Pukulan jarak 

jauh putra tidak sah Malaikat Berdarah Biru itu 

telah lebih dulu menghantamnya. Di kejap lain 

tubuh Lelawa Ijo terjengkang jauh ke belakang. 

Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur da-

rah segar. Lelaki ini tewas seketika itu juga den-

gan kulit tubuh hangus!

Dua orang anak buah Lelawa Ijo terkejut 

ketika melihat kejadian yang menimpa pemimpin

mereka. Seperti telah disepakati sebelumnya, ke-

duanya membalikkan tubuh dan berlari mening-

galkan tempat itu.

Tapi, baru beberapa tindak, sesosok 

bayangan kuning berkelebat mendahului. Ayunan 

kaki dua orang bertampang sangar ini pun ter-

henti. Paras mereka pucat, bagaikan tak berda-

rah, ketika melihat keberadaan Putri Tunjung 

Kuning yang menghadang.

"Sudah kukatakan tadi..., orang semacam 

kalian tak pantas dibiarkan berlama-lama hidup

di dunia," dengus gadis berpakaian kuning itu. 

Lalu, melesat ke arah anak buah Lelawa Ijo.

Dua lelaki bertampang seram ini tak mau 

menyerahkan nyawa begitu saja. Golok yang ter-

selip di pinggang, segera dicabut. Tapi, sebelum 

sempat digunakan, Putri Tunjung Kuning telah 

lebih dulu menyarangkan serangan. Kaki gadis 

berpakaian kuning ini menendang leher kedua-

nya. Masing-masing sekali, namun telah cukup 

untuk mengirim nyawa mereka ke akhirat saat itu 

juga.

Putri Tunjung Kuning tersenyum penuh 

rasa puas. Kemudian pandangannya dialihkan

pada Abilowo.

"Abilowo.... Aku yakin pencarian kita tak 

akan sia-sia lagi. Malaikat Berdarah Biru akan ki-

ta temukan di Lembah Supit Urang. Mari kita 

bergegas, biar tak ketinggalan...!" Putri Tunjung

Kuning berkata sambil melompat ke arah pung-

gung kudanya.

Tanpa banyak cakap, Abilowo mengikuti 

tindakannya. Beberapa jurus kemudian, ibu dan 

anak ini telah memacu kudanya meninggalkan 

tempat itu. Arah yang mereka tuju sudah jelas, 

Lembah Supit Urang!


ENAM



ALAM telah larut. Sinar sang Dewi Malam 

yang lemah hanya mampu membuat keadaan di 

persada remang-remang. Dalam suasana seperti

itu, sesosok bayangan berkelebat. Gerakannya 

cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya 

sekilas bayangan dalam bentuk yang tak Jelas. 

Kecepatannya tak mengendur kendati melalui ke-

rimbunan semak-semak dan pepohonan yang le-

bat.

Ketika berada di hamparan tanah luas 

yang ditumbuhi rumput-rumput setinggi mata 

kaki, si bayangan terlihat cukup jelas. Ternyata 

dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap. Sinar 

matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu dan 

dibiarkan menjuntai. Wajahnya tampan. Menge-

nakan pakaian warna putih. Di pakaian bagian 

dada tampak sekuntum bunga berwarna hitam.

Si pemuda mengarahkan pandangan ke 

depan. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan. Hitam 

pekat.

"Bandar Lor masih cukup jauh. Hm.... Ra-

sanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera 

sampai dan memberitahukan semuanya pada 

guru. Aku yakin, dengan adanya guru, kekuatan 

akan jadi lebih besar. Mudah-mudahan saja be-

liau ada karena banyak lawan tangguh yang ha-

rus kuhadapi. Terutama sekali Malaikat Berdarah 

Biru. Bangsat itu memiliki kepandaian luar bi-

asa!" pemuda berpakaian putih membatin seraya 

mengusap peluh yang membasahi dahinya den-

gan punggung tangan. Kemudian, dia melesat 

kembali.

Pemuda berpakaian putih berlari tanpa 

henti. Kelihatan tergesa-gesa sekali. Tak diperha-

tikannya malam yang menginjak dini hari. Bias

kemerahan pun mulai muncul di ufuk timur. Su-

asana mulai terang. Seraya mengayunkan kaki, 

hatinya berkata.

"Mudah-mudahan saja guru tidak pergi ke 

mana-mana. Kalau tidak sia-sia saja usahaku. 

Susah-payah dan capai lelah kutempuh untuk 

menuju ke Bandar Lor, untuk memberitahukan 

masalah penting ini."

Selagi pemuda berpakaian putih itu berlari, 

tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berderak. 

Dialihkan pandangannya ke asal suara. Dan ha-

tinya tercekat ketika melihat sebatang pohon be-

sar yang berada di sebelah kirinya tumbang ke 

arahnya.

"Keparat! Rupanya ada manusia usilan 

yang sudah tak sabar ingin menemui malaikat 

maut?!" dengus si pemuda di dalam hatinya, se-

raya hentakkan tangan kanannya. Di kejap lain, 

segundukan angin keras menggebrak.

Blarrr!

Batang pohon yang besarnya sekitar dua 

pelukan orang dewasa itu hancur berantakan ke-

tika terhantam pukulan jarak jauh pemuda ber-

pakaian putih. Serpihannya berpentalan ke sana 

kemari, tak tentu arah.

Sesosok bayangan berkelebat tanpa mem-

pedulikan debu-debu hancuran pohon yang ma-

sih menutupi pandangan. Pemuda berpakaian pu-

tih tak berani ambil risiko. Dia hentakkan kedua 

tangannya menyambuti. 

Wusss!

Serangkum angin keras menggebrak! Sosok

yang belum terlihat jelas oleh si pemuda sentak-

kan tangan, memapak!

Blarrr!

Terdengar ledakan dahsyat ketika dua pu-

kulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan di 

tengah jalan. Sekitar tempat itu bergetar. Bahkan 

tanah terbongkar dan membubung ke udara me-

nambah pekatnya pemandangan.

Tubuh si pemuda terjengkang ke belakang 

dengan tangan terasa ngilu dan dada sesak. Sang 

penyerangnya pun terhuyung-huyung ke bela-

kang.

"Gila! Siapa gerangan bangsat usilan ini?! 

Tenaga dalamnya kuat sekali!" maki pemuda ber-

pakaian putih dalam hati, seraya patahkan daya 

yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dia 

segera mengatur napas untuk berjaga-jaga terha-

dap serangan susulan lawannya yang misterius.

Meski debu-debu tanah dan kotoran serpi-

han pepohonan masih menghalangi pandangan si 

pemuda, tapi bisa dilihatnya kalau sang penye-

rang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya. 

Pemuda berpakaian putih kertakkan gigi. Bersiap 

siaga.

Tapi, kewaspadaannya terlalu berlebihan. 

Si penyerang itu ternyata bukan melancarkan se-

rangan, melainkan mengusir debu yang mengha-

langi pandangan. Di kejap lain, kedua belah pihak 

telah dapat melihat satu sama lainnya.

"Guru...!" seru pemuda berpakaian putih, 

kaget bercampur gembira.

Sosok yang dipanggil guru ternyata adalah

seorang perempuan yang tingginya tak lebih dari 

setengah tombak. Kulit wajahnya tak jelas war-

nanya karena tertutup oleh bedak putih tebal. Bi-

birnya tebal sebelah atas dan berwarna merah 

menyala. Rambutnya panjang mencapai pung-

gung, namun bagian samping dan atas dipotong 

begitu pendek.

"Pandu.... Hendak ke mana kau?" Perem-

puan bertubuh pendek ajukan tanya.

"Tua bangka dungu! Seharusnya kau su-

dah bisa menduga ke mana tujuanku. Bukankah 

tempat ini telah dekat dengan Bandar Lor?!" Si 

pemuda yang ternyata adalah Pandu alias Gem-

bong Raja Muda membatin. Lalu, dia buka mulut.

"Tentu saja hendak ke Bandar Lor, Guru. 

Aku mempunyai berita yang amat penting!"

Si perempuan bertubuh pendek yang bu-

kan lain dari Bawuk Raga Ginting, keluarkan ta-

wa mengekeh panjang.

"Berita penting yang bagaimana, Pandu?! 

Menyenangkan atau menyedihkan?!"

"Tentu saja menyenangkan. Guru!" tandas 

Gembong Raja Muda, yakin.

"Apakah tentang Pendekar Mata Keran-

jang?! Kau telah berhasil membunuhnya?!"

Wajah si pemuda langsung berubah merah 

padam. Rahangnya menggembung, dan pelipisnya 

bergerak-gerak. Dia tatap gurunya sejenak sebe-

lum gelengkan kepala.

"Bukan, Guru. Aku belum berhasil mem-

bunuh pemuda keparat itu! Tapi, aku yakin kali 

ini akan berhasil! Gurunya pun akan kuhabisi

pula!"

Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak hing-

ga bedak tebal di wajahnya rontok. Dalam hati dia 

berkata.

"Keinginan anak ini untuk membunuh 

Pendekar Mata Keranjang ternyata tak kunjung 

pudar."

"Aku senang mendengar tekadmu, Pandu. 

Tapi, mengapa kau yakin kalau kali ini usahamu 

untuk membunuh Pendekar Mata Keranjang akan 

berhasil!?" perempuan pendek itu ajukan tanya.

"Tua bangka tak tahu diri! Kalau saja kau 

tak menyelak ceritaku, kau tak perlu bercapai le-

lah untuk bertanya, karena saat ini mungkin kau 

telah mengerti!" rutuk Gembong Raja Muda dalam 

hati. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya ber-

kata.

"Itu ada hubungannya dengan berita pent-

ing yang ingin kusampaikan padamu, Guru. Kau 

tahu, di Lembah Supit Urang, pada malam bulan 

purnama nanti akan ada pertemuan tokoh-tokoh 

hitam untuk menyusun kekuatan guna menghan-

curkan Pendekar 108 dan tokoh-tokoh putih lain-

nya. Di tempat itu pula akan ditentukan siapa 

yang akan menjadi raja di raja rimba persilatan!"

"Benarkah apa yang dikatakan bocah ini? 

Kalau benar, pertemuan ini benar-benar tak boleh 

kulewatkan. Apabila berhasil menjadi raja di raja 

rimba persilatan, akan lebih mudah bagiku untuk 

membalas sakit hati. Hm.... Aku yakin kedatan-

gan bocah ini kemari untuk membuat kedudu-

kannya lebih kuat. Dia pasti membutuhkan bantuanku!" pikir Bawuk Raga Ginting, lalu angkat 

bicara.

"Kau yakin berita itu bukan hanya sekadar 

kabar burung belaka?! Apakah kau tahu siapa 

yang menjadi penggerak pertemuan itu?!" 

"Iblis Gelang Kematian, Guru!"

"Iblis Gelang Kematian?!" ulang Bawuk Ra-

ga Ginting seraya kernyitkan dahi. Di dalam ha-

tinya dia berpikir. "Kalau tua bangka itu yang 

mencetuskan pertemuan ini, berarti bukan hal 

yang remeh lagi. Tapi, aku yakin dia mempunyai 

maksud lainnya? Bukan tak mungkin dia akan 

mengambil kedudukan tertinggi dengan cara yang 

licik!"

"Benar, Guru. Dan, seorang tokoh yang 

berjuluk Malaikat Berdarah Biru, telah menyang-

gupi untuk datang di pertemuan itu. Dia memiliki 

kepandaian tinggi. Guru. Malah, aku yakin lebih 

tinggi daripadaku. Kalau Iblis Gelang Kematian 

tak segera muncul, mungkin aku celaka." Kemu-

dian secara singkat tapi jelas, Gembong Raja Mu-

da menceritakan semua kejadian yang diala-

minya. Bawuk Raga Ginting sendiri mendengar-

kannya secara sambil lalu, seperti orang yang ku-

rang tertarik. Padahal, dia menyimak dengan pe-

nuh minat, dan membatin di dalam hati.

"Kalau benar apa yang dikatakan Pandu, 

berarti Malaikat Berdarah Biru merupakan lawan 

yang luar biasa berat. Benarkah dia tak bisa dilu-

kai?!"

"Lalu..., apa maksud kedatanganmu me-

nemuiku?!" Bawuk Raga Ginting berpura-pura

tak mengerti. Hal ini membuat Gembong Raja 

Muda merasa geram.

"Bangsat tua! Aku tahu kau berpura-pura! 

Kalau saja tak benar-benar membutuhkan ban-

tuan, kau sudah kutinggal pergi! Tapi, apa boleh 

buat!" Setelah berpikir demikian, dengan suara

agak dikeraskan, Gembong Raja Muda berikan 

penjelasan.

"Aku menemuimu untuk mengajakmu per-

gi ke sana, Guru. Dengan berdua, kedudukan kita 

akan menjadi lebih kuat, dan bukan tak mungkin 

gelar raja di raja rimba persilatan akan dapat kita 

genggam!"

Bawuk Raga Ginting tertawa bergelak. Mu-

lutnya membuka lebar, sehingga lagi-lagi bedak 

tebal yang menghias wajahnya rontok. Tapi, pe-

rempuan pendek ini tak mempedulikannya. Gem-

bong Raja Muda sendiri, setelah melihat gurunya 

tertawa, ikut tertawa. Tapi tawanya langsung pu-

tus seperti direnggut hantu, ketika sang Guru 

hentikan tawa secara tiba-tiba, dan menatapnya 

dengan sorot penuh teguran.

Selebar wajah si pemuda mengelam karena 

rasa tak senang yang mendera. Dia mengutuk si 

perempuan pendek itu dalam hati.

"Tua bangka keparat! Kau yang lebih dulu 

tertawa. Tapi, begitu kudukung tawamu kau ma-

lah tutup mulutmu! Kelak, akan kututup mulut-

mu selamanya!"

"Cita-citamu memang bagus. Keinginanmu 

tak berlebihan. Tapi, kau harus ingat, Pandu. 

Yang mempunyai keinginan untuk menjadi raja di

raja rimba persilatan bukan hanya kau! Semua 

tokoh persilatan pun memimpikannya. Dan mere-

ka, pasti akan mempergunakan segala macam ca-

ra untuk bisa menggenggam dunia persilatan. Ja-

di, bukan hanya kekuatan saja yang penting. Ta-

pi, juga otak. Itu yang harus kau ingat, Pandu!" 

beri tahu Bawuk Raga Ginting panjang lebar.

"Aku sudah memperhitungkan hal itu. 

Guru! Dan, aku yakin akan bisa menjadi raja di 

raja rimba persilatan dalam pertemuan di Lembah 

Supit Urang!" tandas Gembong Raja Muda, yakin. 

Padahal di dalam hatinya, pemuda ini tercekat. 

"Tua bangka cerewet! Kau pikir aku anak kecil 

yang tak mengerti apa-apa?! Tapi, sarannya itu 

memang masuk akal. Aku harus lebih hati-hati."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Pandu?! 

Mari kita ke Supit Urang, dan menetapkan diri 

menjadi raja di raja rimba persilatan!" kata Ba-

wuk Raga Ginting seraya melesat mendahului di-

ikuti oleh Gembong Raja Muda dibelakangnya


TUJUH



SANG mentari baru saja kembali ke pera-

duannya. Bias sinarnya yang berwarna kemera-

han masih tampak menerangi langit bagian barat. 

Tapi, secara perlahan-lahan bias-bias itu mere-

dup dan lenyap sama sekali. Kini gelap telah 

membungkus bumi. Namun, tak lama kemudian, 

sang Dewi Malam muncul di angkasa. Bentuknya

bulat sempurna! Bulan purnama! Kemunculan 

sang Dewi Malam ini membuat keadaan di persa-

da agak remang-remang.

Saat suasana demikian, tampak berkeleba-

tan beberapa sosok dari berbagai arah menuju ke 

satu tempat. Sebagian besar sosok itu melesat 

berbarengan. Berdua. Tapi, ada juga yang berke-

lebat sendirian.

Sementara itu di tanah lapang luas yang 

terhampar di Lembah Supit Urang, berdiri dua 

sosok. Padahal, biasanya tempat yang kering dan 

gersang itu sepi seakan-akan mati! Hampir tak 

pernah ada orang yang singgah ke situ.

"Guru! Mereka telah berdatangan...! Apa-

kah kau yakin semua rencana berjalan seperti 

yang kita harapkan?!" tanya salah satu dari dua 

sosok hampir berbisik, nadanya khawatir.

Dia adalah seorang berwajah tampan, ber-

dagu kokoh, dan bermata tajam, serta bertubuh 

tinggi tegap. Rambutnya lebat dan panjang seba-

hu. Terlihat gagah. Dan, kegagahannya semakin 

menonjol karena dia mengenakan jubah besar 

berwarna hitam bergaris-garis putih.

"Manding! Kau tak usah cemas! Tenanglah! 

Jangan sampai mereka curiga! Aku yakin rencana 

ini akan berjalan lancar. Dan, kau akan menjadi 

raja di raja rimba persilatan! Sekarang, jangan 

banyak ribut. Tutup saja mulutmu!" sahut sosok 

yang dipanggil guru, bernada yakin.

Sosok itu adalah seorang nenek berambut 

putih panjang hingga ke betis. Dia mengenakan 

pakaian atas berupa baju panjang dari sutera

berwarna hitam. Bawahannya hitam berkembang-

kembang putih. Sepasang matanya besar. Hi-

dungnya mancung. Bibirnya merah tanpa pole-

san. Pada kedua tangannya melingkar beberapa 

gelang berwarna kuning.

Pemuda berjubah hitam bergaris putih 

yang dipanggil Manding, bernama lengkap Mand-

ing Jayalodra alias Penyair Berdarah ini terdiam. 

Tapi, dia sempatkan diri untuk mengerling ke 

arah sang Guru yang berdiri di sebelahnya. Yang 

dikerling, dan bukan lain adalah Iblis Gelang Ke-

matian, tetap arahkan pandangan ke depan. Ne-

nek ini tak tahu kalau Penyair Berdarah memaki-

maki di dalam hatinya.

"Setan alas! Tua bangka sialan! Kelak, bila 

cita-citaku kesampaian, dan kau masih berani bi-

cara seperti itu, kurobek mulutmu!"

Tapi, pemuda ini terpaksa arahkan tatapan 

ke depan yang merupakan jalan satu-satunya 

yang paling mudah untuk menuju Lembah Supit 

Urang. Dilihatnya beberapa titik hitam di kejau-

han. Dan, di kejap lain, Penyair Berdarah telah 

dapat melihat secara jelas orangnya.

"Dewa Maut...!" sebut Penyair Berdarah da-

lam hati ketika mengenali salah seorang di anta-

ranya.

"Tapi, siapa perempuan cantik yang ber-

samanya itu?!"

"Dewa Maut dan Dewi Tengkorak Hitam...!" 

Iblis Gelang Kematian membatin. Memang berbe-

da dengan Manding Jayalodra, nenek ini telah 

pernah berjumpa dengan Dewi Tengkorak Hitam.

Sejurus kemudian, Dewa Maut dan Dewi 

Tengkorak Hitam telah berjarak beberapa tombak 

dari Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berdarah 

yang berdiri bersebelahan. Dewa Maut sendiri, 

menghentikan ayunan kakinya ketika telah berja-

rak beberapa langkah dari Penyair Berdarah dan 

Iblis Gelang Kematian. Dewi Tengkorak Hitam 

ikut-ikutan hentikan lari.

"Selamat datang, Dewa Maut, Dewi Tengko-

rak Hitam," sambut Iblis Gelang Kematian dengan 

sunggingkan senyum seraya menatap pendatang-

pendatang baru itu bergantian sebelum akhirnya 

dihentikan pada Dewa Maut. "Dewa Maut! Ternya-

ta kau benar-benar bukan seorang pengecut!"

Dewa Maut menyeringai. Tatapannya ditu-

jukan pada Iblis Gelang Kematian. Tak sedikit 

pun dia menoleh pada Penyair Berdarah. Kemu-

dian sambil berkacak pinggang, dia berkata.

"Iblis Gelang Kematian! Dewa Maut bukan 

seorang pengecut! Malah, Dewa Maut yang akan 

menjadi raja di raja rimba persilatan! Kau dan 

semua tokoh-tokoh persilatan lainnya akan men-

jadi laskarku! Ha ha ha...!"

"Kau mimpi, Dewa Maut!" Penyair Berdarah 

yang menyambuti ucapan Dewa Maut. Pemuda ini 

memang sudah merasa geram bukan main ketika 

Dewa Maut tak mempedulikannya.

Dewa Maut dongakkan kepala seraya lepas 

tawa berderai, tanpa menoleh sedikit pun pada 

Penyair Berdarah!

"Dewa Maut tak mau bicara dengan seo-

rang pengecut!"

"Setan!" maki Penyair Berdarah seraya 

ayunkan kaki dua tindak. Pemuda ini kelihatan 

marah besar. Rahangnya menggembung, dan dia 

tatap Dewa Maut dengan mata membeliak besar. 

Dan nada suaranya penuh ancaman ketika berbi-

cara dengan suara yang lebih keras. "Siapa yang 

kau katakan pengecut itu?!"

"Siapa lagi kalau bukan kau?!" tandas De-

wa Maut, tak kalah keras bicara, tanpa merasa 

takut sedikit pun. "Beberapa waktu lalu sewaktu 

kuajukan tantangan, kau janjikan pertemuan hari 

ini di sini! Tapi, apa yang kutemui?! Kau ditemani 

oleh tua bangka ini! Rupanya kau takut bertarung 

menghadapiku sendirian! Kau ingin mengeroyok-

ku?!"

"Jahanam!" Suara Penyair Berdarah sema-

kin keras. Rahangnya pun menggembung sema-

kin besar. Tampak kalau Pemuda berjubah hitam 

bergaris putih ini hampir tak kuasa menahan 

amarahnya. "Di sini memang aku berdua. Tapi, 

tengok dirimu! Kau pun tak datang sendirian! Aku 

curiga, jangan-jangan kau yang mempunyai niat 

untuk mengeroyokku!"

"Tutup mulutmu! Dewa Maut bukan pen-

gecut! Orang yang bersamaku ini adalah kekasih-

ku! Dan, dia tak akan ikut campur urusan kita!"

"Begitu pula aku!" Penyair Berdarah tak 

mau kalah. "Orang yang berada di sebelahku ini 

adalah guruku! Dan, beliau tak akan mau tahu 

urusanku denganmu! Jadi, aku bukan pengecut 

seperti dugaanmu!"

"Setan! Kalau begitu, kita selesaikan uru

san ini sekarang!" Dewa Maut ajukan tantangan.

"Baik!" sambut Penyair Berdarah tak mau 

kalah. "Kita selesaikan saat ini juga!"

"Dewiku.... Cepat menjauh dari sini...!" beri 

tahu Dewa Maut, pada Dewi Tengkorak Hitam. 

Yang diperintahkan, buru-buru menghindar. Ta-

pi, baru beberapa langkah terdengar bentakan ke-

ras.

"Tahan!"

Dewa Maut dan Penyair Berdarah arahkan 

pandangan pada si pemilik bentakan. Orang itu 

adalah Iblis Gelang Kematian.

"Dewa Maut! Sekarang bukan saatnya un-

tuk bertarung. Aku tahu, kau hendak mengun-

jukkan kesaktianmu! Tapi, apa artinya bila dila-

kukan sekarang?! Menang atau kalah pun tak ada 

yang menyaksikan! Kalau kau mau lebih bersabar 

sebentar, pertarungan ini akan disaksikan oleh 

banyak mata! Bagaimana?!"

Dewa Maut tatap Iblis Gelang Kematian le-

kat-lekat seraya kernyitkan dahi. Pemuda ini ber-

pikir.

"Apa yang dikatakan tua bangka bau tanah 

ini memang tak keliru! Tak ada salahnya kalau 

aku menunggu sebentar lagi. Akan lebih nikmat 

rasanya kemenangan yang kugapai, bila banyak 

mata yang menyaksikan! Tapi, tantangan telah 

kuajukan. Dan, Penyair Berdarah keparat itu te-

lah menerima. Kalau sekarang kubatalkan, pe-

muda itu akan mengira aku takut padanya! Ini 

akan membuatnya besar kepala!"

"Iblis Gelang Kematian! Tantangan telah

kuajukan! Dan muridmu telah menerima, bila 

aku mundur, sama artinya dengan mengaku ta-

kut!" Dewa Maut keluarkan ganjalan hatinya.

Penyair Berdarah buka mulut. Tapi, sebe-

lum ucapan keluar dari mulutnya, Iblis Gelang 

Kematian telah lebih dulu membentaknya.

"Manding! Hentikan kekonyolanmu! Atau..., 

kau ingin kulempar dari sini?!"

Penyair Berdarah katupkan mulutnya 

kembali. Paras wajahnya mengelam, memperli-

hatkan kemarahan. Tapi, tidak ada suara yang 

keluar dari mulutnya, kendati di dalam hati pe-

muda itu telah bertumpuk makian yang menun-

tut dikeluarkan.

Di lain pihak, Iblis Gelang Kematian bagai 

tak tahu pergolakan yang ada di batin Manding 

Jayalodra. Perempuan tua ini menatap muridnya 

tajam-tajam, kemudian berdesis menyeramkan.

"Berikan jawaban yang benar terhadap tan-

tangan Dewa Maut, Manding!"

Penyair Berdarah mendengus untuk seka-

dar melampiaskan gejolak amarah yang mendera. 

Kemudian, dengan suara dan sikap kaku, Pemu-

da berjubah hitam bergaris putih ini angkat bica-

ra.

"Sebenarnya aku ingin menghadapimu se-

karang, Dewa Maut. Tapi sayang, aku lebih suka 

bertarung dengan disaksikan banyak orang. Tan-

tanganmu kuterima, tapi bila tokoh-tokoh persila-

tan lainnya telah hadir pula."

Iblis Gelang Kematian sunggingkan se-

nyum. Dewa Maut dongakkan kepala dan keluarkan tawa bergelak. Sementara Penyair Berdarah 

hanya dapat memaki-maki di dalam hati. Mengu-

tuki Dewa Maut dan juga Iblis Gelang Kematian!

* * *

Gelak tawa Dewa Maut terhenti, ketika ter-

dengar dengusan keras. Dengusan yang menurut 

patutnya tak tercipta oleh seorang manusia! Tapi, 

hebatnya gelak tawa Dewa Maut tertindih. Rasa 

kaget yang mendera, membuat Dewa Maut meng-

hentikan tawanya.

Pada saat yang bersamaan dengan lenyap-

nya tawa Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, Pe-

nyair Berdarah, dan Iblis Gelang Kematian arah-

kan sepasang mata ke arah asal dengusan. Dewa 

Maut merupakan orang terakhir yang bertindak 

demikian.

Dari sebelah kanan Iblis Gelang Kematian 

melesat sesosok bayangan biru. Sejurus kemu-

dian, setelah berjarak tujuh tindak di sebelah ka-

nan Iblis Gelang Kematian dan sebelah kiri Dewa 

Maut, sosok itu hentikan lesatannya.

Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi 

kurus mengenakan jubah besar warna biru gelap. 

Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam 

cekungan rongga yang menjorok dalam. Bibirnya 

sangat tebal. Sebaliknya, kulit wajahnya amat ti-

pis hampir tak kelihatan. Di atas kepalanya ber-

tengger sebuah caping lebar dari kulit berwarna 

hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka, se-

hingga rambutnya yang jarang dan jabrik mencuat ke atas. Anehnya, meski terlihat berdiri te-

gak, namun telapak kakinya tak menjejak tanah!

"Manusia Titisan Dewa.... Kukira kau tak 

datang," ejek Iblis Gelang Kematian.

"Iblis Gelang Kematian! Urusan di antara 

kita belum selesai, bagaimana mungkin kubiar-

kan kau hidup tenang?!" sergah kakek berpakaian 

biru yang bukan lain dari Manusia Titisan Dewa. 

Kemudian palingkan wajahnya pada Dewa Maut. 

"Kau juga telah datang, Anak Muda?! Rupanya 

kau sudah tak sabar lagi untuk mati muda!"

"Tutup mulutmu, Tua Bangka!" Dewa Maut 

memaki. "Aku Dewa Maut! Kau dengar?! Panggil 

aku Dewa Maut!"

Paras Manusia Titisan Dewa mengelam 

mendengar bentakan itu. Dia merasa tersinggung. 

Dan perasaan itu langsung dilontarkan lewat mu-

lutnya.

"Anak Muda! Kau tak usah mengajariku 

cara menyapa seseorang!"

"Keparat!" Dewa Maut kertakkan gigi. "Se-

bentar lagi, mau tak mau kau akan menerima 

pengajaranku, Tua Bangka!"

Manusia Titisan Dewa buka mulut untuk 

memberikan sambutan. Tapi, dibatalkannya ka-

rena mendengar suara tawa keras menggelegar. 

Beberapa jurus kemudian, melesat sesosok 

bayangan merah. Hampir tanpa ada perbedaan 

waktu, melesat beberapa sosok bayangan lainnya. 

Hanya dalam sekejapan, setelah kedatangan Ma-

nusia Titisan Dewa, enam sosok telah berada di 

tempat itu!

Iblis Gelang Kematian, Penyair Berdarah, 

Dewa Maut, Dewi Tengkorak Hitam, dan Manusia 

Titisan Dewa arahkan tatapan pada para penda-

tang baru.

Sosok pertama adalah seorang pemuda 

berwajah tampan namun keras karena rahangnya 

yang kokoh membatu. Rambutnya panjang lebat 

dan dibiarkan tergerai di bahunya. Di telinga ki-

rinya tampak anting-anting dari tembaga. Se-

dangkan tubuhnya yang tinggi tegap dibungkus 

oleh jubah toga warna merah menyala!

Sosok kedua adalah seorang pemuda yang 

juga berwajah tampan. Tubuhnya pun tinggi te-

gap. Pandangannya tajam. Dagunya kokoh. Dia 

mengenakan pakaian putih dengan bunga hitam 

di dada. Pemuda ini saling tatap penuh sorot ma-

ta permusuhan dengan pemuda bertoga warna 

merah.

"Malaikat Berdarah Biru...!" Pemuda ber-

pakaian putih membatin. "Tak lama lagi akan ku-

balaskan kekalahanku tempo hari. Kau akan ku-

kirim ke neraka! Kalau tidak, aku tak akan puas!"

Sebaliknya pemuda bertoga merah yang 

memang Malaikat Berdarah Biru adanya, berkata 

pula di dalam hatinya.

"Gembong Raja Muda. Tempo hari kau 

berhasil lolos dari tangan mautku! Tapi, jangan 

harap kali ini keberuntunganmu akan terulang!"

Kedua pemuda ini hanya saling kerling se-

bentar. Kemudian, edarkan tatapan untuk perha-

tikan tokoh-tokoh yang berada di sekitar mereka. 

Sedangkan Iblis Gelang Kematian dan yang lain

lainnya, masih memperhatikan para pendatang 

baru.

Orang ketiga adalah seorang perempuan 

bertubuh pendek, tak lebih dari setengah tombak. 

Kaki dan tangannya mungil. Rambutnya panjang 

sepunggung, namun bagian samping dan atas di-

potong pendek. Wajahnya sukar dikenali karena 

tertutup oleh bedak putih yang tebal. Perempuan 

ini berdiri di sebelah kanan Gembong Raja Muda, 

karena dia adalah guru pemuda berpakaian putih 

itu. Bawuk Raga Ginting!

Orang keempat adalah seorang kakek ber-

tubuh kurus kering. Itu terlihat jelas karena dia 

tak mengenakan baju. Rambut dan kumisnya 

yang panjang serta awut-awutan, berwarna putih!

Di sebelah kakek bertelanjang dada ini, 

berdiri seorang perempuan cantik berpakaian ge-

lap. Dia mengenakan pakaian yang pada bagian 

dadanya dibuat rendah, sehingga bukit-bukit 

payudaranya terlihat jelas.

Sedangkan orang keenam adalah seorang 

kakek berkepala botak bertubuh bongkok. Demi-

kian bongkoknya hingga wajahnya tak terlihat. 

Yang dapat terlihat langsung oleh orang adalah 

bagian atas kepalanya. Gundul! Dia mengenakan 

pakaian kumal dan penuh tambalan.


DELAPAN


KURASA sekarang saatnya untuk mulai

menentukan siapa yang berhak untuk menyan-

dang gelar sebagai raja di raja rimba persilatan!" 

Yang memecahkan keheningan itu adalah Iblis 

Gelang Kematian, karena memang perempuan tua 

ini yang mempunyai usul. Iblis Gelang Kematian 

pula yang sibuk mengundang tokoh-tokoh persi-

latan agar datang ke Lembah Supit Urang.

"Iblis Gelang Kematian! Bagaimana caranya 

menentukan siapa yang berhak menjadi raja di

raja rimba persilatan, dengan sekian banyaknya 

kita?!" Kakek bertelanjang dada ajukan tanya se-

raya kernyitkan dahi.

"Benar, Iblis Gelang Kematian!" Manusia 

Titisan Dewa Ikut-ikutan buka suara. "Apakah se-

tiap orang yang berada di sini, harus bertarung 

menghadapi semuanya?!"

Iblis Gelang Kematian arahkan pandangan 

pada kakek bertelanjang dada dan Manusia Titi-

san Dewa sebentar. Kemudian, alihkan pandan-

gannya pada setiap orang yang berada di situ. 

Dengan tertawa pelan dia berkata.

"Dadung Rantak! Manusia Titisan Dewa! 

Kurasa tidak perlu setiap orang menghadapi se-

mua orang yang berada di sini! Cara itu terlalu 

bodoh, karena akan memakan waktu yang lama! 

Mungkin tak perlu kuberitahukan panjang lebar 

pun, kalian semua telah mengerti! Kalau setiap 

orang harus bertarung dengan semua orang yang 

berada di sini, berarti setiap orang akan berta-

rung puluhan kali! Kapan akan berakhir?!"

Kakek bertelanjang dada yang ternyata 

adalah Dadung Rantak, dan Manusia Titisan Dewa keluarkan dengus tak senang mendengar 

uraian Iblis Gelang Kematian yang membodoh-

bodohkan mereka. Tapi, kedua kakek ini tak buka 

suara. Mereka bisa menyadari kebenaran ucapan 

Iblis Gelang Kematian.

"Aku punya cara yang kuyakini tepat," Iblis 

Gelang Kematian lanjutkan ucapan. "Tapi, aku 

memberikan kesempatan pada kalian semua un-

tuk mengajukan usul. Barangkali saja ada saran 

yang lebih tepat, sekalipun kuyakini tak akan ada 

yang lebih tepat daripada cara yang akan kute-

rapkan!"

"Aku punya usul bagus!" seru Malaikat 

Berdarah Biru lantang seraya busungkan dada.

Berpasang-pasang mata tertuju pada pe-

muda bertoga merah. Mereka ingin tahu, usul 

Malaikat Berdarah Biru.

"Itukah orang yang kau puji-puji itu?!" 

tanya Bawuk Raga Ginting dengan suara berbisik 

seraya arahkan tatapan pada Gembong Raja Mu-

da. Yang ditanya anggukkan kepala dengan ra-

hang menggembung dan tangan mengepal.

"Malaikat Berdarah Biru! Silakan utarakan 

usulmu!" Iblis Gelang Kematian berikan kesempa-

tan.

Sebagian tokoh-tokoh persilatan yang be-

lum mengenal siapa adanya pemuda bertoga me-

rah itu, terperanjat ketika mendengar sapaan Iblis 

Gelang Kematian. Terutama sekali Dewa-Maut.

"Malaikat Berdarah Biru! Hm.... Jadi, ini 

orangnya yang semula memegang kipas hitam. 

Sungguh kebetulan sekali, hingga aku bisa mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya!" 

Dewa Maut membatin dengan pandangan tertuju 

pada Malaikat Berdarah Biru.

"Sebelum kukatakan usulku yang amat ba-

gus dan tepat ini, lebih dulu kuajukan tanya," 

ujar Malaikat Berdarah Biru seraya dongakkan 

kepala. "Dan, pertanyaanku ini harus terjawab."

"Tergantung pada siapa kau bertanya!" 

timpal Gembong Raja Muda, cepat dan keras. "Bi-

la kau tujukan padaku, yang akan kau terima 

adalah tinjuku!"

Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-

bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda. 

Dia usap-usap dadanya sambil berkata. Nada dan 

sikapnya pongah.

"Rupanya kau masih belum kapok, Gem-

bong! Ingat baik-baik! Kalau saja tidak muncul Ib-

lis Gelang Kematian, nyawamu telah kukirim ke 

akhirat! Tapi, tak mengapa. Toh, sebentar lagi 

kau akan tewas di tanganku!"

"Binatang! Kau yang akan menggeletak 

tanpa nyawa di tanganku, Malaikat Berdarah Bi-

ru!" sambut Gembong Raja Muda tak mau kalah. 

"Pendekar Mata Keranjang memang terlalu bodoh, 

sehingga tak mampu mengirimmu ke lubang ku-

bur. Tapi, aku tak sebodoh Pendekar Mata Keran-

jang!"

"Kau memang tak sebodoh Pendekar Mata 

Keranjang! Tapi, kerbau yang paling goblok masih 

lebih cerdik dari padamu!" sentak Malaikat Berdarah Biru.

"Keparat!"

"Cukup!" Iblis Gelang Kematian buru-buru 

menengahi keadaan yang mulai memanas itu. 

"Kapan penentuan raja di raja rimba persilatan 

akan dilaksanakan kalau kalian ribut-ribut melu-

lu! Malaikat Berdarah Biru cepat katakan apa 

yang ingin kau tanyakan!"

"Tua bangka keparat! Kau akan mendapat 

ganjaran yang setimpal karena berani mencegah 

Malaikat Berdarah Biru! Kau akan kubuat berna-

sib seperti Gembong Raja Muda!" ancam Malaikat 

Berdarah Biru dalam hati sambil menatap perem-

puan tua itu tajam-tajam, sebelum akhirnya buka 

mulut.

"Aku hanya ingin tahu, apakah setiap 

orang yang berada di sini ikut bertarung?!"

Iblis Gelang Kematian ikut edarkan pan-

dangan berkeliling ketika melihat Malaikat Berda-

rah Biru tatap satu persatu tokoh-tokoh yang be-

rada di situ. Tapi, tak ada seorang pun yang 

memberikan jawaban.

"Keparat! Binatang-binatang sombong ini 

akan menerima akibat tingkah mereka yang bera-

ni meremehkan Malaikat Berdarah Biru!" Pemuda 

bertoga merah itu membatin dengan rahang 

menggembung. Kemudian, dengan suara bergetar 

karena dorongan amarah, dia keluarkan seruan 

menggelegar.

"Kalian semua boleh diam! Hanya saja, ka-

lau tak ingin kuanggap pengecut, yang ingin ikut 

memperebutkan gelar raja di raja rimba persila-

tan, buka suara! Atau, aku yang akan mengang-

kat diriku sendiri sebagai raja di raja rimba persilatan, karena kalian semua adalah pengecut-

pengecut yang hanya besar mulut tapi kecil hati!"

"Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru!" 

Dewa Maut yang lebih dulu memberikan sambu-

tan dengan sepasang tangan terkacak di ping-

gang. "Dewa Maut bukan seorang pengecut! Dan, 

akan kau saksikan sendiri nanti kalau Dewa 

Maut-lah yang akan menjadi raja di raja rimba 

persilatan!"

"Omong kosong!" Gembong Raja Muda tak 

mau kalah. "Akulah yang akan menjadi pemimpin 

kalian semua! Dengar baik-baik! Gembong Raja 

Muda-lah yang akan menjadi raja di raja rimba 

persilatan!"

bicara memang mudah karena lidah tak ber-

tulang 

tapi membuktikan ucapan itu yang sukar

karena untuk menggapainya butuh keringat 

dan darah

Penyair Berdarah yang tak mau kalah ger-

tak segera lantunkan tembang seraya dongakkan 

kepala dan busungkan dada. Dan, setelah usai 

menembang, dia pentang bacot.

"Kalian semua keliru! Aku, Penyair Berda-

rah, yang akan menjadi raja di raja rimba persila-

tan!"

"Orang-orang muda!" Manusia Titisan De-

wa ikut keluarkan ucapan. "Kalian semua adalah 

pengkhayal-pengkhayal yang luar biasa! Masih 

bau susu kalian sudah bercita-cita seperti itu!

Akulah yang akan menjadi raja di raja rimba per-

silatan! Aku! Manusia Titisan Dewa!"

Berturut-turut, malah hampir berebut, 

masing-masing tokoh menyombongkan diri. Ma-

laikat Berdarah Biru menghitung jumlah mereka. 

Delapan, karena Dewi Tengkorak Hitam, kakek 

bongkok, dan perempuan berpakaian gelap di se-

belah Dadung Rantak yang bukan lain dari Ratu 

Pulau Merah, tak ajukan diri. 

"Aku telah terlalu tua untuk menjadi pe-

mimpin. Bagiku, siapa pun yang akan menjadi 

orang nomor satu aku tak peduli. Aku hanya 

akan turun tangan apabila kalian berniat untuk 

menyerang Setan Arak. Si peminum arak itu telah 

membunuh muridku. Dan, aku tak akan bisa me-

ram bila belum dapat membalaskan kematian-

nya," Kakek bongkok ajukan alasan. 

"Kebetulan sekali!" Malaikat Berdarah Biru 

lontarkan seruan gembira. "Jumlah kita tepat. 

Empat tokoh tua dan empat tokoh muda. Jadi, 

dalam waktu bersamaan, dapat dilangsungkan 

semua pertarungan. Pemenang dari masing-

masing pertarungan akan berlaga. Sedangkan 

yang kalah tak mempunyai kesempatan untuk 

bertarung kembali!"

"Malaikat Berdarah Biru! Itu caraku! Kau 

mencurinya!" seru Iblis Gelang Kematian, keras.

"Iblis Gelang Kematian! Kau memang licik! 

Kau tak keluarkan usul, tapi begitu kulontarkan 

usul yang bagus, kau akui sebagai usulmu! Ba-

gaimana, caraku bagus dan tepat bukan?!"

Tak ada seorang pun yang anggukkan ke

pala. Tapi, di batin masing-masing menyeruak 

perkataan.

"Malaikat Berdarah Biru sungguh cerdik! 

Usul yang diajukannya benar-benar tepat. Den-

gan mempertarungkan tokoh-tokoh yang menang, 

di akhir pertarungan, hanya akan ada satu orang 

pemenang. Dan, dia yang akan bergelar sebagai 

raja di raja rimba persilatan!"

"Tunggu sebentar...!" seru Manusia Titisan 

Dewa, buru-buru karena khawatir pertarungan 

lebih dulu berlangsung. Dia arahkan tatapannya 

pada Iblis Gelang Kematian. "Bagaimana menen-

tukan tokoh-tokoh yang harus bertarung?! Mak-

sudku..., siapa yang akan menentukannya?!"

"Mengapa mesti repot-repot?!" tukas Malai-

kat Berdarah Biru dengan sunggingan senyum 

mengejek menghias bibir. "Serang saja siapa yang 

kau inginkan!"

"Tentu saja, Bocah! Dan kupilih Iblis Ge-

lang Kematian!" tandas Manusia Titisan Dewa 

dengan tulang wajah bergerak-gerak karena rasu-

kan hawa kemarahan yang melanda. Sepasang 

matanya pun membeliak besar. "Iblis Gelang Ke-

matian! Sekali lagi katakan di mana adanya Sa-

kawuni, muridku!" (Untuk jelasnya mengenai na-

sib Sakawuni dan keributan antara Manusia Titi-

san Dewa dan Iblis Gelang Kematian silakan baca 

episode : "Tembang Maut Alam Kematian" dan 

"Laskar Dewa").

Iblis Gelang Kematian keluarkan tawa ter-

kekeh. Dan, dengan tawa yang belum putus, nenek ini keluarkan ucapan.

"Manusia Titisan Dewa. Kau tak usah kha-

watir. Bukankah sudah kukatakan kalau urusan 

muridmu akan kita bicarakan setelah pertemuan 

di Supit Urang?! Nah, dengar baik-baik! Sakawuni 

memang ada padaku. Tapi, kau tak perlu khawa-

tir, setelah urusan ini selesai dan aku menjadi ra-

ja di raja rimba persilatan, muridmu akan kuse-

rahkan!"

"Iblis Gelang Kematian! Jika itu yang kau 

inginkan, kuterima!" hardik Manusia Titisan De-

wa. Bersamaan dengan itu, sepasang tangannya 

direntangkan, lalu dihentakkan ke depan.

Wuuuttt!

Tak ada suara yang terdengar atau pun 

sambaran angin yang terlihat. Tapi, mendadak 

udara panas menyengat, dan Iblis Gelang Kema-

tian terasa terdorong ke belakang.

Iblis Gelang Kematian tak membiarkan tu-

buhnya terseret lebih jauh. Buru-buru kemudian 

dihantamkan kedua tangannya ke arah Manusia 

Titisan Dewa.

Wusss! 

Angin dahsyat meluruk dari kedua tangan 

Iblis Gelang Kematian. 

Blaaarrr!

Pertemuan dua pukulan jarak jauh itu 

membuat sekitar tempat itu bergetar keras bak 

diguncang gempa. Tubuh Iblis Gelang Kematian 

dan Manusia Titisan Dewa sama-sama ter-

huyung-huyung ke belakang. Hanya saja Iblis Ge-

lang Kematian terhuyung dua langkah lebih jauh. 

Dadanya pun dirasakan sesak.

Iblis Gelang Kematian menyadari akan 

keunggulan lawannya. Maka, begitu berhasil 

menguasai diri, dikibaskan kedua tangannya. Se-

ketika itu pula, dua buah gelang di tangannya 

meluncur ke arah Manusia Titisan Dewa.

Manusia Titisan Dewa tak mau kalah ger-

tak. Begitu melihat meluncurnya dua cahaya ke-

kuningan ke arahnya, dia segera tahu kalau Iblis 

Gelang Kematian telah menggunakan senjata an-

dalan. Oleh karena itu, kakek ini hentakkan ke-

dua tangannya untuk memukul jatuh gelang-

gelang lawannya. Seketika itu pula, seberkas si-

nar pelangi menggebrak ke depan.

Tapi, Manusia Titisan Dewa kecelik. Ge-

lang-gelang itu bagaikan makhluk hidup. Sebe-

lum tersambar angin pukulannya, benda-benda 

melingkar berwarna kekuningan itu meliuk. Di 

lain kejap kembali meluncur ke arah Manusia Ti-

tisan Dewa, seraya perdengarkan bunyi menggi-

dikkan!

Manusia Titisan Dewa perdengarkan kelu-

han kaget, kemudian lempar tubuh ke samping 

untuk menghindar. Tapi, gelang-gelang yang tak 

ubahnya makhluk hidup itu terus memburunya. 

Malah, jumlahnya semakin bertambah ketika Iblis 

Gelang Kematian, kembali kibaskan sepasang 

tangannya, melontarkan gelang-gelang lain di 

pergelangan tangannya,

Sementara itu, pada saat yang bersamaan 

dengan serangan perdana Manusia Titisan Dewa, 

tokoh-tokoh yang berkeinginan untuk menjadi ra-

ja di raja rimba persilatan, telah saling gebrak.

Gembong Raja Muda segera menerjang Malaikat 

Berdarah Biru. Dewa Maut tak punya pilihan lain 

kecuali bertarung dengan Penyair Berdarah. Begi-

tu pula dengan Dadung Rantak. Kakek bertelan-

jang dada ini mau tak mau harus berhadapan 

dengan Bawuk Raga Ginting.



SEMBILAN


PERGILAH menghadap malaikat maut, Ma-

laikat Berdarah Biru!" teriak Gembong Raja Muda 

seraya kirimkan jotosan dengan kedua tangan-

nya. Angin dahsyat yang memekakkan telinga ke-

luar dari kedua tangannya dan meluruk ke arah 

Malaikat Berdarah Biru.

Tapi Malaikat Berdarah Biru yang telah 

mengetahui kalau dirinya kebal pukulan, tak 

membuat gerakan menangkis atau menghindar. 

Gembong Raja Muda tak merasa heran melihat 

tingkah lawannya. Pemuda berpakaian putih ini 

telah tahu kalau Malaikat Berdarah Biru kebal 

pukulan. Namun, rasa penasaran yang mendera 

membuatnya berkeinginan untuk memastikannya 

sekali lagi. 

Desss!

Tak terdengar jeritan kesakitan dari mulut 

Malaikat Berdarah Biru ketika pukulan itu meng-

hajarnya. Bahkan keluhan pun, tidak! Hanya sa-

ja, tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Tapi, pemuda bertoga merah itu mampu 

menjejak tanah dengan kedua kaki! Malaikat Ber-

darah Biru tatap lawannya dengan kepala didon-

gakkan!

"Setan alas! Pemuda ini ternyata benar-

benar kebal pukulan! Tak ada jalan lain, aku ha-

rus gunakan jurus Sapu Bumi. Apakah dia akan 

sanggup menahannya pula?!" Gembong Raja Mu-

da membatin, setelah yakin kalau Malaikat Ber-

darah Biru benar-benar kebal pukulan.

"Gembong! Aku sengaja memberikan kau 

kesempatan untuk menyerang, agar nanti kau tak 

mati penasaran! Setidak-tidaknya, rohmu akan 

tenteram karena telah berhasil menyarangkan se-

rangan, dan membuatku terlempar! Ha ha ha...!"

Mendadak Malaikat Berdarah Biru henti-

kan tawanya. Begitu tiba-tiba bagaikan direnggut 

hantu. Kemudian dia tatap Gembong Raja Muda 

tajam-tajam. Bibirnya sunggingkan senyum pe-

nuh ejekan. Kemudian, dia melesat menerjang 

Gembong Raja Muda. Pemuda berpakaian putih 

itu menyambutinya. Pertarungan pun berlang-

sung. Tak kalah seru dengan pertarungan antara 

Iblis Gelang Kematian menghadapi Manusia Titi-

san Dewa.

Tak jauh dari tempat itu, Dewa Maut dan 

Penyair Berdarah telah saling labrak pula. Begi-

tupun Dadung Rantak dan Bawuk Raga Ginting. 

Tempat yang semula sunyi senyap jadi riuh ren-

dah! Kakek bongkok, Dewi Tengkorak Hitam, dan 

Ratu Pulau Merah menyingkir lebih jauh agar lo-

los dari serangan nyasar! Pandangan tiga orang

ini beralih dari satu pertarungan ke pertarungan 

lain.

"Gembong! Bersiaplah untuk menghadap 

malaikat maut!" seru Malaikat Berdarah Biru, ke-

tika pertarungan telah berlangsung belasan jurus. 

Pemuda bertoga merah dorongkan kedua tangan-

nya ke depan, lancarkan serangan dengan jurus 

'Bayu Sukma'!

Wuttt!

Sinar hitam melesat dengan keluarkan 

bunyi gaduh. Keadaan di sekitar tempat itu men-

dadak pekat dan berhawa panas menyengat. Be-

berapa kilatan menakutkan, tampak!

Gembong Raja Muda menyadari akan 

adanya bahaya maut. Sejurus sebelum sinar hi-

tam dan kilatan-kilatan itu bersarang di tubuh-

nya, disentakkan kedua tangannya, memapak. Di 

saat yang sama, pemuda berpakaian putih ini me-

lompat ke samping untuk menghindar!

Di kejap lain terdengar bunyi keras meng-

gelegar! Sekitar tempat itu berguncang keras. Ta-

nah terbongkar dan berhamburan sehingga me-

nambah pekatnya pemandangan. Pada saat yang 

bersamaan, tubuh Gembong Raja Muda melayang 

dan terbanting keras di tanah. Sedangkan, Malai-

kat Berdarah Biru hanya bergoyang-goyang tu-

buhnya, tapi kakinya tak tergeser sama sekali!

Malaikat Berdarah Biru perdengarkan tawa 

bergelak bernada kemenangan. Dadanya dibu-

sungkan ketika kakinya diayunkan menghampiri 

Gembong Raja Muda. Di lain pihak, Gembong Ra-

ja Muda bergegas bangkit sambil usap darah yang

keluar dari mulutnya.

"Gembong! Saat untuk menemui malaikat 

maut telah tiba! Bersiaplah!" seru Malaikat Berda-

rah Biru di sela-sela tawa bergelaknya. Pemuda 

bertoga merah ini angkat tangan kanannya untuk 

lancarkan serangan. Malaikat Berdarah Biru sen-

gaja melakukannya lambat-lambat untuk me-

nyiksa perasaan Gembong Raja Muda.

Paras wajah Gembong Raja Muda pucat 

pasi. Bulu tengkuknya berdiri. Dia tahu kalau, 

saat-saat akhir bagi hidupnya akan segera tiba. 

Kendati demikian, pemuda ini masih alirkan hawa 

murni ke seluruh tubuhnya yang terasa panas. 

Jantung Gembong Raja Muda berdetak jauh lebih 

cepat dari pada sebelumnya, karena perasaan te-

gang menyadari usahanya mengusir pengaruh 

akibat serangan Malaikat Berdarah Biru, tak akan 

tuntas karena serangan Malaikat Berdarah Biru 

pasti akan lebih dulu menerpanya!

Di saat tangan Malaikat Berdarah Biru te-

lah terangkat tinggi-tinggi, Gembong Raja Muda 

buka mulut.

"Malaikat Berdarah Biru! Tahan serangan!" 

seru Gembong Raja Muda, tanpa malu-malu lagi, 

karena masih ingin hidup.

Malaikat Berdarah Biru menatap Gembong 

Raja Muda dengan sorot mata dingin. Tangan ka-

nannya tetap terangkat tinggi-tinggi. Bahaya 

maut masih mengancam pemuda berpakaian pu-

tih itu.

"Malaikat Berdarah Biru!" Gembong Raja 

Muda lanjutkan ucapannya. "Hanya para pengecut hina saja yang mau melukai, apalagi membu-

nuh lawan yang tak berdaya! Dan, aku yakin kau 

bukan terhitung pengecut! Tapi, kalau kau me-

mang tergolong pengecut, silakan lukai atau bu-

nuh aku!"

Air muka Malaikat Berdarah Biru menge-

lam. Sorot pembunuhan kembali terpancar pada 

sepasang matanya. Rahangnya pun menggem-

bung keras. Kedua tangannya yang terangkat ber-

getar keras. Ucapan Gembong Raja Muda yang 

bernada penekanan membuatnya marah besar. 

Tapi, diusahakannya untuk menanggulangi rasu-

kan amarah itu. Kemudian Malaikat Berdarah Bi-

ru berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk 

memancing amarah Gembong Raja Muda, agar 

dia mempunyai alasan untuk membunuhnya!

"Gembong! Kau memang licik! Kau guna-

kan kata-kata itu untuk menyelamatkan diri!" te-

riak pemuda bertoga merah dengan suara berge-

tar karena menahan kemarahan. "Tapi, setelah 

kupikir-pikir, orang seperti kau tak ada harganya! 

Membunuh manusia sepertimu hanya akan 

membuang-buang tenagaku saja! Pula, orang se-

pertimu mampu berbuat apa terhadapku! Jan-

gankan hanya seorang, sekalipun ada seratus 

pun, tak ada artinya! Gembong! Lebih baik kau 

ganti julukanmu! Tak pantas kau pergunakan ju-

lukan Gembong Raja Muda, seharusnya Gembong 

Kantong Nasi! Menyingkirlah, Gembong Kantong 

Nasi! Ha ha ha...!"

Wajah Gembong Raja Muda membesi. Dia 

marah besar karena hinaan Malaikat Berdarah

Biru yang telah melampaui batas. Tapi, dia sadar

tak akan mampu berbuat apa pun terhadap pe-

muda bertoga merah yang memiliki kepandaian 

mukjizat itu. Maka, setelah melempar tatapan 

yang sarat dengan kebencian, dia balikkan tubuh 

dan menyingkir dari tempat itu. Tawa bergelak 

Malaikat Berdarah Biru mengiringi ayunan langkah Gembong Raja Muda.


SEPULUH


HIH!" Seruan keras itu keluar dari mulut 

Manusia Titisan Dewa. Kakek ini sejak puluhan 

jurus yang lalu, memang telah dibuat kelabakan 

oleh serangan-serangan gelang yang tak ubahnya 

makhluk hidup itu. Dan sekarang, dia berdiri te-

gak dengan kedua tangan menakup di depan da-

da!

Hampir berbareng dengan seruan keras-

nya, Manusia Titisan Dewa julurkan kedua tan-

gan ke depan. Iblis Gelang Kematian beliakkan 

sepasang matanya, kaget karena gelang-gelang 

yang semula meluncur dari segenap arah menuju 

berbagai bagian tubuh Manusia Titisan Dewa kini 

berbelok. Semuanya menuju ke arah tangan si 

kakek!

Belum sempat keterkejutan Iblis Gelang 

Kematian sirna, Manusia Titisan Dewa telah ki-

baskan tangan. Di lain kejap, benda-benda kun-

ing itu meluncur ke arah Iblis Gelang Kematian!

Hampir tanpa selisih waktu, Manusia Titi-

san Dewa melompat menerjang lawannya. Hal ini 

membuat Iblis Gelang Kematian terperanjat. Dia 

tahu akan berbahayanya serangan beruntun ini. 

Maka, Iblis Gelang Kematian berusaha sedapat 

mungkin untuk mengelakkan serangan beruntun 

itu. Tapi, nenek ini kalah cepat. Serangan gelang-

gelang memang berhasil dielakkannya. Tapi, ge-

doran Manusia Titisan Dewa tetap mendarat di 

dada kirinya! 

Desss!

Tubuh Iblis Gelang Kematian terpental dan 

jatuh terguling-guling! Cairan merah kental men-

galir dari sudut mulut perempuan tua itu. Dia ter-

luka dalam!

Belum sempat Iblis Gelang Kematian berdi-

ri tegak, Manusia Titisan Dewa berkelebat dan 

berhenti beberapa kaki di depannya.

"Iblis Gelang Kematian! Kuberi kau kesem-

patan sekali lagi! Bila kau tak memanfaatkannya, 

aku tak segan-segan untuk mengambil nyawa-

mu!" dengus Manusia Titisan Dewa, penuh anca-

man.

"Manusia Titisan Dewa keparat! Tak lama 

lagi kau akan tahu siapa yang menjadi pihak yang 

menekan!" batin Iblis Gelang Kematian. Lalu, dia 

terkekeh pelan. "Manusia Titisan Dewa! Kali ini 

kau menang. Tapi, itu tak berarti kalau kau bisa 

menekanku!"

"Jangan kau tunggu kesabaranku habis! 

Katakan di mana adanya Sakawuni!"

Iblis Gelang Kematian benar-benar berhati

tabah. Meski Manusia Titisan Dewa telah marah 

besar, dan tak main-main dengan ancamannya, 

dia tetap mampu bersikap tenang. Malah, perem-

puan tua ini masih sempat edarkan pandangan 

memperhatikan jalannya pertarungan antara Pe-

nyair Berdarah dan Dewa Maut. Lalu, dia berkata.

"Sebelum pertarungan dimulai sudah ku-

katakan, jika urusan di Supit Urang ini selesai, 

muridmu akan kuserahkan. Bukankah begitu?!"

"Tidak salah!" tandas Manusia Titisan De-

wa. "Nah! Kalau begitu mengapa kau sekarang 

memaksaku menyerahkannya?! Urusan di Supit 

Urang belum selesai. Pertarungan masih berlang-

sung! Bagaimana mungkin muridmu bisa kuse-

rahkan?!" tangkis Iblis Gelang Kematian, penuh 

nada menang.

Manusia Titisan Dewa terperangah. Diam. 

Tak bicara sepatah kata pun kendati di batinnya, 

menyeruak kata-kata.

"Iblis Gelang Kematian! Manusia licik! Kau 

telah berhasil menipuku! Kau membuatku tak bi-

sa memaksamu! Tapi, tak apa! Tak lama lagi pun, 

urusan di Supit Urang ini akan beres!"

Seperti mendukung kata hati Manusia Titi-

san Dewa, terdengar pekik kesakitan, disusul 

dengan terjengkangnya tubuh Penyair Berdarah. 

Tapi, pemuda berjubah hitam garis-garis putih ini 

mampu berdiri, kendati agak terbungkuk. Dari 

sudut-sudut mulutnya, mengalir darah segar.

Dewa Maut tak menyia-nyiakan kesempa-

tan itu, sambil berseru keras pemuda ini segera 

lompat memburu, siap jatuhkan serangan mematikan.

"Dewa Maut! Tahan! Muridku sudah ka-

lah...! Kau tak lebih dari seorang pengecut besar, 

jika lanjutkan seranganmu!" Iblis Gelang Kema-

tian yang mengkhawatirkan keselamatan Penyair 

Berdarah, berteriak lantang.

Seruan Iblis Gelang Kematian berhasil me-

nyelamatkan nyawa Penyair Berdarah yang telah 

kritis. Dewa Maut yang paling pantang dianggap 

pengecut, lentingkan tubuh ke belakang, berjum-

palitan beberapa kali di udara sebelum akhirnya 

jejakkan kaki secara mantap, lalu berseru lantang 

dengan sorot mata menghunjam Iblis Gelang Ke-

matian.

"Dewa Maut bukan seorang pengecut! Ka-

lau memang muridmu mengaku kalah, akan 

kuampuni nyawanya! Toh, kepandaiannya tak 

mengecewakan untuk menjadi anak buahku!"

Penyair Berdarah kertakkan gigi. Sepasang 

matanya membeliak besar penuh kemarahan dan 

ditujukan pada Dewa Maut. Pemuda berjubah hi-

tam garis-garis putih yang memiliki watak som-

bong dan tinggi hati ini tak bisa menerima kenya-

taan kalau dirinya dikalahkan oleh Dewa Maut! 

Mulutnya sudah membuka siap lontarkan kata-

kata tantangan. Tapi, maksud itu diurungkannya. 

Penyair Berdarah katupkan kembali mulutnya 

tanpa keluarkan suara.

"Kau boleh senang-senang, Dewa Maut. 

Tapi, sebentar lagi kau akan tahu siapa yang 

menjadi pemimpin dan siapa yang menjadi anak 

buah!" kata hati Penyair Berdarah. Lalu, pemuda

berjubah hitam garis-garis putih ini ayunkan kaki 

tinggalkan kancah pertarungan.

Baru saja Penyair Berdarah meninggalkan 

kancah pertarungan, terdengar teriakan kesaki-

tan. Hampir tanpa selang waktu, Bawuk Raga 

Ginting terjengkang dan terguling-guling di tanah 

ketika telapak tangan Dadung Rantak menghajar 

dada kirinya secara telak!

Perempuan bertubuh pendek ini masih 

bersikeras bangkit. Tapi, ternyata tak mampu. 

Tubuhnya rebah kembali ke tanah, seraya sem-

burkan darah.

Dadung Rantak tahu kalau Bawuk Raga 

Ginting tak akan sanggup melanjutkan pertarun-

gan. Oleh karena itu, dia berdiam diri menunggu. 

Tapi, itu tak bisa lama dilakukannya. Malaikat 

Berdarah Biru telah lebih dulu menerjangnya! Di 

lain kejap, kedua tokoh ini terlibat dalam perta-

rungan sengit!

Bukan hanya Dadung Rantak yang terlibat 

pertarungan. Manusia Titisan Dewa pun demi-

kian. Kakek ini diserang oleh Dewa Maut! Perta-

rungan sengit pun berlangsung! Bunyi gaduh me-

nyemaraki jalannya pertarungan!

Tapi, hukum alam rupanya berlaku pada 

tokoh-tokoh yang bertarung itu. Rupanya sudah 

menjadi suratan kalau tokoh-tokoh tua harus ter-

singkir, terganti dengan tokoh-tokoh muda. Kare-

na, baik Dadung Rantak maupun Manusia Titisan 

Dewa, terdesak oleh lawannya. Kendati demikian, 

tokoh-tokoh muda itu tetap mengalami kesulitan 

untuk merobohkan lawannya!

Puluhan jurus berlalu. Dan, napas Dadung 

Rantak maupun Manusia Titisan Dewa telah 

menderu-deru karena pengerahan tenaga yang 

terlalu dipaksakan. Padahal, usia tua menjadi 

kendala. Otot-otot anggota-anggota tubuh lainnya 

tak seperkasa orang-orang yang mereka hadapi. 

Mendekati jurus ke seratus, hampir berbarengan, 

Dadung Rantak dan Manusia Titisan Dewa ter-

jengkang ke belakang seraya semburkan darah 

segar dari mulutnya.

Setelah melayang-layang sejauh beberapa 

tombak, tubuh kedua tokoh itu terbanting keras 

di tanah. Kekerasan hati membuat mereka me-

maksakan diri untuk bangkit, tapi kemampuan 

mereka telah tak mendukung lagi. Baik Manusia 

Titisan Dewa maupun Dadung Rantak rebah 

kembali ke tanah. Malah keadaan Dadung Rantak 

lebih parah lagi. Kakek ini menggelepar-gelepar 

seperti binatang disembelih, kemudian diam tak 

bergerak untuk selamanya.

Hampir semua tokoh yang berada di situ 

terkejut melihat kematian Dadung Rantak! Hanya 

Ratu Pulau Merah, seorang yang meski kaget tapi 

bercampur gembira.

"Syukurlah tua bangka itu tewas! Dengan 

demikian aku terbebas dari ajakannya!" kata hati 

perempuan berpakaian gelap itu.

Lima pasang mata tokoh yang telah ter-

singkir dari kemungkinan untuk terpilih sebagai 

raja diraja rimba persilatan, tertuju pada dua so-

sok di kancah pertarungan. Malaikat Berdarah 

Biru dan Dewa Maut!

Malaikat Berdarah Biru dan Dewa Maut ti-

dak langsung saling gebrak. Kedua belah pihak 

saling tatap seperti hendak mengukur kekuatan 

lawan lewat sorot mata. Baik Malaikat Berdarah 

Biru maupun Dewa Maut hunjamkan tatapan se-

raya dongakkan dagu, mengunjukkan kesombon-

gan dan kepercayaan diri yang kuat akan ke-

mampuannya.

"Mampukah aku mengalahkan Malaikat 

Berdarah Biru?! Dia mempunyai ilmu mukjizat 

yang membuatnya tak bisa dibunuh atau dilukai! 

Tadi pun, beberapa kali kulihat dia terhantam se-

rangan lawannya, tapi semua itu tak berpengaruh 

sama sekali," batin Dewa Maut.

Bukan hanya Dewa Maut saja yang merasa 

ragu dapat mengalahkan Malaikat Berdarah Biru. 

Malah, sebagian besar tokoh yang tersingkir dari 

arena pertarungan, menjagoi Malaikat Berdarah 

Biru. Mereka yakin pemuda bertoga merah itu 

akan keluar sebagai pemenang.

"Dewa Maut! Kau hanya akan melelahkan 

diri sendiri jika bertarung melawanku! Kurasa 

kau telah lihat sendiri kalau aku tak bisa dibu-

nuh atau pun dilukai! Jadi, bagaimana mungkin 

kau akan bisa mengalahkanku? Lebih baik kau 

menyerah!"

"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut tak 

suka berdebat! Tapi, akan kau buktikan sendiri 

kalau Dewa Maut-lah yang akan menjadi raja di-

raja rimba persilatan!" teriak Dewa Maut. Di lain 

kejap, dia menerjang ke depan dengan bacokan 

sisi tangan ke arah leher!

Malaikat Berdarah Biru mendengus. Di-

angkat tangan kiri untuk mementahkan serangan 

Dewa Maut. Pada saat yang sama dikirimkannya 

jotosan tangan kanan ke arah dada.

Dukkk! Plakkk!

Dua benturan keras terdengar ketika Dewa 

Maut memapak serangan Malaikat Berdarah Biru 

dengan jari-jari tangan terkepal. Bentrok dua tin-

ju itu hanya berselisih waktu sedikit saja dengan 

benturan yang terjadi akibat tangkisan Malaikat 

Berdarah Biru pada serangan Dewa Maut! Tubuh 

Dewa Maut dan Malaikat Berdarah Biru sama-

sama terhuyung ke belakang. Seringai kesakitan 

menghias wajah masing-masing, karena rasa nye-

ri pada anggota tubuh yang berbenturan.

Tapi, dua tokoh ini, tak pedulikan rasa 

nyeri yang melanda. Malah, baik Malaikat Berda-

rah Biru mau pun Dewa Maut seperti saling ber-

lomba untuk melancarkan serangan. Sekejap ke-

mudian, keduanya telah terlibat dalam pertarun-

gan yang sengit!

Hanya dalam waktu sebentar, pertarungan 

telah berlangsung belasan jurus. Dan, selama itu 

jalannya pertarungan tetap berimbang. Belum ter-

lihat adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar 

sebagai pemenang, karena kelincahan dan kekua-

tan tenaga dalam mereka berimbang!

"Dewa Maut memang luar biasa! Kabar 

yang tersiar mengenai kesaktiannya tak berlebi-

han. Kalau tak mengandalkan kekebalanku, bu-

kan tak mungkin bisa roboh di tangannya. Pula, 

kurasa sudah cukup menjajagi kepandaiannya.

Dia harus merasakan kehebatan ilmu yang kumi-

liki! Kendati demikian, aku harus memperguna-

kan pada waktu yang tepat, sehingga tak bercapai 

lelah lagi untuk merobohkan Dewa Maut!" kata 

hati Malaikat Berdarah Biru, bersiasat.

Beberapa jurus kembali berlalu, tapi pe-

muda bertoga merah masih belum memperguna-

kan kemampuannya yang menakjubkan. Tinda-

kan Malaikat Berdarah Biru ini membuat Dewa 

Maut heran.

"Mengapa Malaikat Berdarah Biru belum 

mempergunakan ilmunya yang mukjizat?! Aku 

harus hati-hati. Jangan-jangan dia tengah meren-

canakan sebuah siasat! Ataukah ada sesuatu tak 

terduga yang membuatnya mengalami kesulitan 

untuk melakukannya. Tapi, meskipun demikian, 

aku harus hati-hati," Dewa Maut membatin, tan-

pa mengendurkan serangannya. Bahkan, teka-

nan-tekanan yang dilancarkan terhadap lawannya 

semakin menjadi-jadi.

"Uh...!"

Malaikat Berdarah Biru mengeluh tertahan 

ketika sapuan kaki kanan Dewa Maut menghan-

tam betisnya. Keras, hingga pemuda bertoga me-

rah ini terpelanting. Melihat kesempatan baik ini, 

Dewa Maut tak menyia-nyiakannya. Dilihatnya 

sendiri, Malaikat Berdarah Biru menyeringai ke-

sakitan ketika kakinya terkena serangannya.

"Tepat dugaanku! Ada sesuatu yang mem-

buat pemuda ini tak bisa menggunakan ilmunya 

yang hebat itu! Aku harus cekatan agar tak mem-

buang waktu lebih lama lagi untuk merobohkan

nya!" Dewa Maut membatin dalam hati. Lalu, tan-

pa berpikir lebih lama lagi, dia melesat menerjang 

Malaikat Berdarah Biru.

Wuttt!

Deru angin yang luar biasa keras mengirin-

gi sampokan tangan Dewa Maut ke arah kepala 

Malaikat Berdarah Biru. Serangan maut! Karena, 

jangankan kepala manusia, batu karang yang pal-

ing keras pun akan pecah berantakan bila terke-

na hantaman tangan bertenaga dalam luar biasa 

kuat itu! Dan Dewa Maut yakin, serangannya ini 

akan berhasil mendarat di sasaran. Dilihatnya 

sendiri, saat itu Malaikat Berdarah Biru berada 

dalam kedudukan yang tak menguntungkan!

Beberapa jari sebelum telapak tangan De-

wa Maut menghantam pelipis, Malaikat Berdarah 

Biru melayangkan tendangan ke arah perut. Dewa 

Maut terperangah. Dia tak menyangka kalau da-

lam keadaan seperti itu, pemuda bertoga merah 

mampu melancarkan serangan.

"Setan! Jangan-jangan semua ini sudah di-

rencanakan oleh pemuda ini!" rutuk Dewa Maut, 

dalam hati. Kalau saja masih mempunyai kesem-

patan, Dewa Maut lebih suka membatalkan se-

rangannya dan menghindari serangan. Jika, saat 

ini serangannya diurungkan pun percuma, kare-

na serangan Malaikat Berdarah Biru tak akan 

mungkin bisa dielakkannya. Dewa Maut tak 

punya pilihan lagi kecuali menantikan hasil mas-

ing-masing serangan! 

Plakkk! Bukkk!

Hampir berbareng tangan Dewa Maut dan

kaki Malaikat Berdarah Biru bersarang pada sa-

saran yang dituju. Di kejap lain, tubuh masing-

masing pihak terlontar. Namun, berkat kelihaian 

kedua tokoh sakti itu, mereka mampu menjejak 

tanah dengan kedua kaki.

Dewa Maut berusaha menegakkan tubuh. 

Tapi, tak mampu. Dia memang mampu berdiri, 

tapi dengan tubuh membungkuk. Perutnya terasa 

mual bukan main. Isi perutnya bagaikan diaduk-

aduk. Dengan punggung tangan, diusapnya darah 

yang mengalir dari sela-sela bibirnya. Dewa Maut 

telah terluka dalam.

Di seberang sana, Malaikat Berdarah Biru 

berdiri tegak. Kepalanya didongakkan. Kedua tan-

gannya terkacak di pinggang. Sorot sepasang ma-

tanya menghunjam pada Dewa Maut. Mulutnya 

menyunggingkan senyum kemenangan sekaligus 

seringai ejekan! Serangan Dewa Maut tak berpen-

garuh sedikit pun padanya, kendati telak meng-

hantam!

Paras muka Dewa Maut pias melihat kek-

hawatirannya terbukti. Dia sadar tak akan mung-

kin menang menghadapi Malaikat Berdarah Biru. 

Pemuda ini hanya bisa menyumpah-nyumpah di 

dalam hati.

"Keparat! Mengapa aku demikian bodoh! 

Keparat licik itu pasti telah merencanakannya! 

Dia berhasil mengecohku! Mengapa aku bisa diti-

pu?! Bodoh! Aku kena dipancing!"

Malaikat Berdarah Biru ayunkan kaki 

menghampiri Dewa Maut. Pelan-pelan. Tidak ter-

gesa-gesa, mengunjukkan orang yang telah yakin

akan kemenangannya! Setiap langkah pemuda 

bertoga merah ini membuat detakan jantung De-

wa Maut bertambah cepat.


SEBELAS


Di saat kritis bagi keselamatan Dewa Maut, 

berkelebat sesosok bayangan putih. Di kejap lain, 

Dewi Tengkorak Hitam telah berdiri tegak, mem-

belakangi Dewa Maut.

"Malaikat Berdarah Biru! Dewa Maut telah 

kalah! Kaulah yang berhak menjadi raja di raja 

rimba persilatan!" teriak Dewi Tengkorak Hitam 

ketika Malaikat Berdarah Biru telah bersiap un-

tuk menjatuhkan pukulan mautnya!

Terdengar bunyi gemeretak dari belakang 

Dewi Tengkorak Hitam. Bunyi itu berasal dari 

Dewa Maut. Dewa Maut tak sudi mengaku kalah. 

Pemuda berjubah hitam ini mempunyai harga diri 

tinggi. Dia lebih suka mati daripada mengaku ka-

lah! Mulutnya telah membuka, siap lontarkan 

tantangan terhadap Malaikat Berdarah Biru. Pa-

dahal, Dewa Maut sudah tak berdaya! Tapi, Dewi 

Tengkorak Hitam, telah lebih dulu mendekatinya 

dan berbisik.

"Dewa Maut.... Waktu masih panjang. Saat 

ini mungkin maksudmu untuk menjadi raja di ra-

ja rimba persilatan tak kesampaian. Tapi, itu bu-

kan berarti tak mungkin. Tak mengapa saat ini 

kau kalah, kelak kau bisa menebusnya setelah

menemukan kelemahan ilmu iblisnya!"

Rahang Dewa Maut menggembung besar. 

Pelipisnya bergerak-gerak. Dia murka bukan main 

melihat sikap dan mendengar ucapan Dewi Teng-

korak Hitam. Dia tak suka dinasihati. Maki-

makian telah siap terlontar dari mulutnya. Tapi, 

ketika kata-kata itu telah berada di ujung lidah, 

siap untuk dilontarkan, akal sehat Dewa Maut 

bekerja.

"Apa yang dikatakan Dewi Tengkorak Hi-

tam memang masuk akal. Kalau saat ini aku ber-

keras untuk bertarung. Sudah pasti aku akan te-

was di tangan si keparat Malaikat Berdarah Biru 

ini! Jika itu terjadi, dendam leluhurku tak akan 

tuntas! Biarlah kali ini aku mengalah!"

Dewa Maut memang mengalah. Tapi, tak 

sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dengan 

wajah mengelam, dia mundur dari kancah perta-

rungan, diikuti oleh Dewi Tengkorak Hitam!

Malaikat Berdarah Biru edarkan pandan-

gan ke sekitarnya, menatap satu persatu wajah-

wajah tokoh persilatan yang sejak tadi menyaksi-

kan jalannya pertarungan. Kemudian, kepalanya 

didongakkan seraya perdengarkan tawa berderai 

dengan kedua tangan terkacak di pinggang.

"Ha ha ha...! Sekarang, akulah raja di raja 

rimba persilatan! Aku pemimpin kalian! Dan, ka-

lian tak akan kubuat kecewa! Di bawah pimpi-

nanku, akan kita hancurkan tokoh-tokoh golon-

gan putih! Terutama sekali Pendekar Mata Keran-

jang! Ha ha ha...!"

Malaikat Berdarah Biru tertawa keras. Ta

pi, secara mendadak tawanya terhenti seperti di-

renggut setan. Lalu dengan kedua tangan masih 

terkacak di pinggang, diedarkan pandangannya.

"Kalian semua! Dengarkan baik-baik uca-

panku ini! Beberapa hari lagi, setelah keadaan ka-

lian semua pulih seperti sedia kala, aku akan mu-

lai membagi-bagi perintah. Kalian semua akan 

mendapat tugas dariku untuk menemukan orang-

orang yang kucari."

Malaikat Berdarah Biru hentikan ucapan-

nya sejenak untuk melihat tanggapan tokoh-

tokoh tingkat atas golongan hitam yang sekarang 

mau tidak mau telah menjadi anak buahnya. Ta-

pi, sebagian besar dari mereka bersikap dingin. 

Hanya Iblis Gelang Kematian dan Penyair Berda-

rah yang kelihatan bersikap tenang. Meskipun 

begitu, Malaikat Berdarah Biru tak peduli. Ba-

ginya tak masalah, mereka senang atau tidak! 

Yang penting mereka melaksanakan perintahnya!

"Orang-orang yang kucari itu adalah Setan 

Arak, Dewi Bunga Iblis, dan Pendekar Mata Ke-

ranjang. Ketiga orang itu telah kutetapkan untuk 

menjadi calon korbanku! Sayang, aku belum da-

pat mengetahui di mana adanya mereka!"

Iblis Gelang Kematian kernyitkan dahi. He-

ran. Diam-diam di dalam hatinya, nenek ini ber-

kata.

"Sepengetahuanku, Malaikat Berdarah Biru 

hanya mempunyai urusan dengan Pendekar Mata 

Keranjang. Karena Pendekar Mata Keranjanglah 

yang hampir menamatkan riwayatnya! Entah, apa 

silang sengketa pemuda ini dengan Setan Arak

dan Dewi Bunga Iblis!"

Iblis Gelang Kematian bahkan juga semua 

tokoh di situ tak akan pernah tahu. Karena me-

mang Malaikat Berdarah Biru tak mempunyai si-

lang sengketa dengan Dewi Bunga Iblis serta Se-

tan Arak. Orang yang menjadi guru pemuda ber-

toga merah itu yang mempunyai silang sengketa 

dengan Dewi Bunga Iblis serta Setan Arak (Untuk 

jelasnya, silakan baca episode : "Laskar Dewa"). 

"Malaikat Berdarah Biru!" Penyair Berdarah 

buka suara. Lantang.

Seketika, semua pasang mata terutama se-

kali milik Malaikat Berdarah Biru, tertuju pada 

Penyair Berdarah. Mereka semua merasakan 

adanya nada penentangan dalam ucapan pemuda 

berjubah hitam garis-garis putih itu. Dan, hal ini 

menimbulkan keheranan.

"Apa yang ingin dilakukan Penyair Berda-

rah?! Apakah dia sudah bosan hidup?! Sikap dan 

tindakannya akan memancing kemarahan Malai-

kat Berdarah Biru, dan berakibat nyawanya bisa 

lepas dari badan!" pikir semua tokoh, agak bin-

gung.

Penyair Berdarah tak gugup kendati men-

jadi pusat perhatian. Dia tahu, orang yang berada 

di situ hendak mendengar kelanjutan ucapannya 

yang terputus di tengah jalan. Tapi, Penyair Ber-

darah malah berpura-pura tak tahu kalau ucapan 

lanjutannya tengah ditunggu-tunggu! Dia bersi-

kap tak peduli. Malah arahkan perhatian pada 

gurunya!

Tapi kali ini Iblis Gelang Kematian tak bi

cara ataupun menghardiknya. Nenek ini malah 

senyum-senyum dan bersikap tak peduli, men-

gunjukkan sikap yang menyerahkan seluruh ke-

putusan pada Penyair Berdarah.

Malaikat Berdarah Biru yang sudah merasa 

tersinggung dengan sikap yang ditunjukkan Pe-

nyair Berdarah, semakin meluap amarahnya me-

lihat tingkah Penyair Berdarah. Dengan kedua 

tangan terkepal kencang, dan sepasang mata se-

perti menyinarkan api, dia berteriak. Suaranya 

keras menggelegar. Malah, sekitar tempat itu ter-

getar hebat seperti dilanda gempa.

"Penyair Berdarah! Kalau kau masih mem-

bisu, akan kubuat kau bisu selama-lamanya!" ge-

ram Malaikat Berdarah Biru.

Penyair Berdarah tertawa bergelak. Anca-

man Malaikat Berdarah Biru yang terlihat bukan 

main-main itu ternyata tak membuatnya gentar! 

Bahkan, dengan berani pemuda berjubah hitam 

garis-garis putih ini menentang pandang mata 

Malaikat Berdarah Biru, seraya keluarkan ucapan 

keras dan lantang yang disertai dengan senyum 

sinis yang menghias mulutnya.

"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba-

nyak lagak! Keberhasilanmu keluar sebagai pe-

menang tunggal dalam pertemuan ini hanya seca-

ra kebetulan saja! Nasib baik! Tapi, perlu kau ke-

tahui. Itu tak berarti kau menjadi raja di raja 

rimba persilatan! Apalagi berani memerintahku 

untuk mencari orang yang kau inginkan! Kau 

mimpi terlalu jauh!"

"Keparat! Setan! Penyair Berdarah! Je

laskan maksud ucapanmu, atau kujadikan kau 

mayat tak berkubur!" Malaikat Berdarah Biru be-

nar-benar hampir tak kuasa menahan kemara-

hannya lagi. Pelipisnya bergerak-gerak keras. Ra-

hangnya menggembung karena amarah yang 

mendera. Dan, pemuda bertoga merah ini telah 

bertekad di hatinya.

"Apabila si keparat Penyair Berdarah masih 

mengajak berteka-teki lagi, akan kukirim nya-

wanya ke neraka!" 

Penyair Berdarah tahu kalau Malaikat Ber-

darah Biru telah marah besar. Tapi, dia tetap tak 

peduli. Senyum sinis masih tersungging di bibir-

nya. Tapi, senyum itu langsung lenyap ketika ter-

dengar teguran dari sebelahnya.

"Manding! Kau benar-benar bodoh! Tak ta-

hu kapan tetap main, dan kapan harus berhenti! 

Cepat katakan yang ingin kau utarakan!" Iblis Ge-

lang Kematian yang seperti mengetahui tekad Ma-

laikat Berdarah Biru, membentak muridnya. Yang 

dibentak tampakkan paras tak senang. Bahkan 

memaki-maki, tapi hanya di dalam hati.

"Tua bangka sialan! Kesalahanmu telah 

bertumpuk-tumpuk! Kau perlakukan aku seperti 

sampah! Nyawa tuamu tak cukup untuk menutu-

pi semua kesalahanmu terhadapku! Kau layak 

mati berkali-kali di tanganku!"

Dengan batin yang melontarkan sumpah 

serapah, mulut Manding Jayalondra keluarkan 

ucapan. Nadanya kaku, penuh rasa tak senang, 

dan menunjukkan keterpaksaan.

"Malaikat Berdarah Biru! Kau tak usah ba

nyak tingkah! Karena nyawamu ada di tanganku! 

Bahkan bukan hanya kau! Tapi juga semua orang 

yang berada di sini!"

Iblis Gelang Kematian tertawa terkekeh-

kekeh, ketika muridnya selesai berbicara dengan 

penuh tekanan untuk menguatkan maksud uca-

pannya. Dengan mulut sunggingkan seringai ke-

menangan, nenek ini angkat bicara.

"Manding! Calon-calon pengikut kita ru-

panya masih belum paham. Utarakan yang lebih 

jelas!"

Memang, semua tokoh persilatan yang ada 

di situ, tak menampakkan tanggapan yang diha-

rapkan Iblis Gelang Kematian dan muridnya. Se-

mula murid dan guru ini menyangka akan meli-

hat keterkejutan dan kepanikan membayang di 

wajah tokoh-tokoh itu. Tapi, harapannya kandas. 

Wajah-wajah mereka tak beriak sama sekali! Te-

tap kaku! Malaikat Berdarah Biru sendiri, malah 

keluarkan tawa bergelak bernada mengejek. Pe-

muda bertoga merah yang sebelumnya telah ma-

rah besar, malah merasa geli mendengar ucapan 

Penyair Berdarah. Seakan-akan seorang dewasa 

yang mendapat ancaman dari anak kecil!

"Rupanya kau telah menjadi gila karena 

keinginan yang gagal, Penyair Berdarah!" dengus 

Malaikat Berdarah Biru di tengah-tengah gelak 

tawanya.

"Tutup mulutmu, Malaikat Berdarah Biru! 

Sekarang kau boleh menganggapku gila. Tapi, se-

telah kau dengar ucapanku, ingin kutahu apakah 

kau masih beranggapan demikian?!"

"Bicaralah, Penyair Berdarah! Kau akan 

kuberikan kesempatan seluas-luasnya untuk 

mengeluarkan semua ganjalan di hatimu. Ini ku-

lakukan karena kasihan padamu. Aku tahu, kau 

sangat menggilai kedudukan raja di raja rimba 

persilatan. Sayang, kemampuan yang kau miliki 

hanya sebatas mata kaki! Bicaralah! Mudah-

mudahan kau menjadi terhibur karenanya!"

Meski merasa tersinggung bukan main, ta-

pi perasaan gembira yang melanda, membayang-

kan keterkejutan yang akan dialami oleh Malaikat 

Berdarah Biru, membuat Penyair Berdarah tetap 

mampu tersenyum. Senyum mengejek bernada 

kemenangan.

"Malaikat Berdarah Biru! Dan juga semua 

orang yang berada di sini! Dengar baik-baik! Ka-

lian semua telah terkena racun yang amat ganas! 

Racun yang mematikan dan berdaya kerja cepat! 

Hanya dalam waktu tiga hari, bila tak menda-

patkan pemunahnya, kalian semua akan mati!"

Suasana di tempat itu langsung hening ke-

tika Penyair Berdarah menyelesaikan ucapannya. 

Andaikata, ada daun yang jatuh pun pasti akan 

terdengar, saking sunyinya suasana. Penyair Ber-

darah dan Iblis Gelang Kematian edarkan pan-

dangan untuk meneliti wajah-wajah di sekitarnya. 

Mereka gembira ketika melihat keterkejutan yang 

membayang di sana. Pada masing-masing batin 

mereka bergayut pernyataan yang tak terlontar-

kan.

"Benarkah ucapan Penyair Berdarah?! Ra-

sanya memang masuk akal, karena sejak tadi

guru dan murid ini bersikap tenang, menunjuk-

kan orang yang mempunyai andalan. Ataukah..., 

ini hanya gertakan belaka?!"

Malaikat Berdarah Biru-lah yang merupa-

kan orang pertama yang memecahkan kehenin-

gan yang mencekik leher. Pemuda bertoga merah 

ini mendengus keras seraya perdengarkan tawa 

mengejek.

"Penyair Berdarah! Kau keliru besar bila 

mengira bisa menipuku dengan gertakan kosong 

itu! Malaikat Berdarah Biru tak bisa ditipu atau 

digertak! Kau dengar?! Sekarang, bersiaplah un-

tuk menerima kematian, Penyair Berdarah! Kau 

telah terlalu banyak membuatku jengkel, dan aku 

tak akan puas sebelum berhasil mengirimmu ke 

akhirat!"

Malaikat Berdarah Biru langsung bersiap 

untuk membuktikan ucapannya. Tapi, terpaksa 

diurungkan ketika mendengar ucapan Penyair 

Berdarah yang bernada mengejek dan merendah-

kan.

"Rupanya kau takut mendengar ucapanku 

selanjutnya, Malaikat Berdarah Biru! Maka, kau 

buru-buru menyerangku, agar aku tak sempat bi-

cara lagi!"

"Penyair Berdarah! Malaikat Berdarah Biru 

tak pernah takut pada siapa pun! Apalagi pada 

orang sepertimu! Bicaralah sampai kau merasa 

puas! Karena setelah itu kau tak akan pernah bi-

sa bicara lagi untuk selama-lamanya!"

"Dengar baik-baik! Tadi, sewaktu terlibat 

pertarungan, aku dan guruku telah sebarkan serbuk yang amat beracun, tapi tidak berbau atau 

berwarna. Kalian semua telah menghirup serbuk 

itu tanpa kalian sadari! Perlu kalian ketahui, te-

rutama sekali kau, Malaikat Berdarah Biru, racun 

yang terkandung dalam serbuk itu berbeda den-

gan racun lainnya, dan tak akan bisa dilenyapkan 

dengan penawar racun biasa."

Malaikat Berdarah Biru mendengus. Ge-

ram. Diam-diam di dalam hatinya, pemuda berto-

ga merah ini berkata. Perkataan yang sama ter-

kandung dalam hati semua tokoh yang berada di 

situ.

"Benarkah apa yang dikatakan oleh Penyair 

Berdarah?!"

"Kalau kalian tak percaya," kali ini Iblis Ge-

lang Kematian yang bicara. "Kalian bisa tunggu 

sebentar lagi. Aku yakin, racun itu akan menun-

jukkan akibatnya. Tanda-tanda pertama adalah 

rasa gatal yang amat sangat, mendera. Muncul-

nya tanda-tanda ini tidak sama, tergantung keku-

atan tenaga dalam orang yang keracunan itu! Se-

makin kuat tenaga dalamnya, semakin lambat 

timbulnya gatal itu."

Iblis Gelang Kematian hentikan penjela-

sannya sebentar. Kemudian edarkan pandangan 

berkeliling, untuk melihat tanggapan orang-orang 

yang diajaknya bicara. Tapi, tak satu pun yang 

buka mulut. Pandang mata mereka semua seperti 

tertuju pada mulut Iblis Gelang Kematian. Me-

nunggu mulut itu membuka dan keluarkan ucapan.

"Rasa gatal itu tak tertahankan! Dan, te

rus-menerus terasa. Rasa itu bahkan mampu 

membuat seorang tokoh sakti seperti kehilangan 

kesaktiannya. Yang menjadi keinginan adalah 

agar gatal itu lenyap. Lewat satu hari, nyawa 

akan melayang!"

Seperti mendukung ucapan Iblis Gelang 

Kematian, terdengar keluhan tertahan. Seketika, 

semua pasang mata tertuju ke arah asal suara. 

Tampak Gembong Raja Muda meringis-ringis, 

kemudian menggeliat.

"Pandu! Hentikan kekonyolanmu sebelum 

kesabaranku hilang!" bentak Bawuk Raga Gint-

ing, keras. Perempuan pendek ini memang tengah 

tak senang hati karena kegagalannya menjadi raja 

di raja rimba persilatan. Maka, tingkah muridnya 

membuatnya marah.

Tapi, yang diancam seperti tidak menden-

gar, dan tetap saja meneruskan tingkahnya. Me-

ringis dan menggeliat. Malah, di kejap lain, ber-

tambah dengan menggaruk. Mula-mula hanya 

tangan kiri yang digaruk. Sesaat kemudian, tan-

gan yang digaruk ikut-ikutan menggaruk tangan 

kanan. Selanjutnya, kedua tangan itu menggaruk 

hampir sekujur tubuh.

Penyair Berdarah keluarkan tawa bergelak. 

Kemudian sambil dongakkan kepala dia berseru 

lantang.

"Baru satu orang yang membuktikan kebe-

naran ucapanku. Tak lama lagi akan bertambah 

banyak, sampai akhirnya kalian semua kegatalan! 

Ha ha ha...!" 

Bawuk Raga Ginting kertakkan gigi. Ge

ram. Di dalam hatinya, dia membatin.

"Apa yang kukhawatirkan ternyata tidak 

keliru. Iblis Gelang Kematian merencanakan se-

suatu. Sama sekali tak kusangka kalau renca-

nanya benar-benar menakjubkan! Kalau misalkan 

terpaksa, apa boleh buat?! Demi menyelamatkan 

nyawa, tak ada ruginya kalau aku menakluk."

Sementara itu keadaan Gembong Raja Mu-

da semakin mengenaskan. Garukan yang dilaku-

kannya semakin menggila. Tubuhnya sampai 

menggelepar ke sana kemari seperti binatang dis-

embelih. Garukan jari-jari tangannya telah mem-

buat kulitnya mengelupas. Darah pun mulai 

mengalir.

Semua tokoh persilatan yang berada di situ 

terperangah. Bulu kuduk mereka merinding. Hati 

masing-masing tokoh berseru galau.

"Kalau hal itu berlangsung terus, bukan 

hanya kulit Gembong Raja Muda saja yang terku-

pas, dagingnya pun akan habis! Benar-benar ra-

cun yang amat ganas!"

Di antara semua yang menyaksikan keja-

dian itu, hanya Bawuk Raga Ginting yang di 

samping merasa kaget dan ngeri juga disergap ra-

sa khawatir. Dia tak ingin murid yang dididiknya 

susah-payah itu menemui ajal secara mengeri-

kan. Pandangannya segera dialihkan pada Iblis 

Gelang Kematian.

"Iblis Gelang Kematian! Hentikan kekeja-

man itu! Aku bersedia menjadi anak buahmu! Ta-

pi, sembuhkan dulu muridku...!" teriak perem-

puan bertubuh pendek ini, keras.

Iblis Gelang Kematian keluarkan kekeh ter-

tahan, sebelum akhirnya berkata.

"Obat penawar racun itu akan kuberikan 

belakangan apabila kau dan muridmu telah 

membuktikan janji. Tapi, karena kau telah me-

mutuskan demikian, kau dan muridmu kuberi-

kan obat untuk menyembuhkan rasa gatal itu!"

Di akhir ucapannya itu, Iblis Gelang Kema-

tian lemparkan dua buah kendi sebesar ibu jari 

kaki. Dengan sigap Bawuk Raga Ginting menang-

kapnya.

"Habiskan isinya...!" seru Iblis Gelang Ke-

matian, singkat.

Tanpa banyak pikir lagi, Bawuk Raga Gint-

ing segera menghampiri Gembong Raja Muda 

yang masih menggelepar-gelepar. Kemudian, diju-

lurkan jari-jari tangannya mengirimkan totokan 

ke tubuh pemuda berpakaian putih itu. Di kejap 

lain, tubuh Gembong Raja Muda terkulai lemas, 

sehingga leluasa Bawuk Raga Ginting menua-

ngkan isi kendi itu ke dalam mulutnya.

Selagi Bawuk Raga Ginting meminumkan 

isi kendi, Iblis Gelang Kematian perhatikan seki-

las, kemudian kembali berkata dengan nada pe-

nuh kemenangan.

"Sebelum rasa gatal itu muncul, pada tu-

buh kalian, tepatnya pada pergelangan tangan 

akan muncul bercak merah sebesar ibu jari!"


DUA BELAS


MALAIKAT Berdarah Biru termasuk salah 

satu dari sekian banyaknya tokoh-tokoh persila-

tan yang memperhatikan lengannya. Pemuda ber-

toga merah mendengar seruan-seruan ke-

terkejutan dari mulut-mulut tokoh persilatan 

yang ada di situ. Seruan keterkejutan yang ber-

campur dengan kengerian, ketika melihat tanda 

yang dimaksud Iblis Gelang Kematian!

Tapi, Malaikat Berdarah Biru tak melihat 

tanda apa pun di lengannya. Jangankan bercak 

sebesar ibu jari, sebesar kutu pun tak terlihat! 

Semula dia merasa heran, dan menyangka Iblis 

Gelang Kematian dan Penyair Berdarah hanya 

menggertak belaka. Tapi, dia teringat akan uca-

pan gurunya.

"Apa yang dikatakan tua bangka itu ternya-

ta tak salah! Aku tak hanya kebal pukulan, tapi 

juga racun!" kata Penyair Berdarah dalam hati.

Kenyataan ini membuat Malaikat Berdarah 

Biru sangat gembira. Didongakkan kepala dan di-

kacakkan kedua tangannya di pinggang, seraya 

lontarkan ucapan keras bernada sombong!

"Iblis Gelang Kematian! Penyair Berdarah! 

Kalian dengar baik-baik! Segala macam racun tak 

ada artinya bagiku! Aku tak bisa mati! Justru ka-

lianlah yang akan mati karena berani berbuat li-

cik padaku!" Malaikat Berdarah Biru menghenti-

kan ucapannya berbarengan dengan terjangan ke 

arah Penyair Berdarah! Pemuda bertoga merah ini

langsung kirimkan serangan maut! Penyair Ber-

darah yang melihat kejadian tak disangka-sangka 

itu, terperanjat. Tapi, dia masih sempat untuk 

melempar tubuh ke belakang, dan bergulingan 

menjauh.

Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru be-

nar-benar telah bertekad untuk membinasakan 

Penyair Berdarah. Dia melesat memburu, siap un-

tuk kirimkan serangan maut! Melihat hal ini wa-

jah Penyair Berdarah berubah pias. Lesatan Ma-

laikat Berdarah Biru terlalu cepat, dan kecil ke-

mungkinannya untuk dapat lolos!

Iblis Gelang Kematian sendiri, saking ka-

getnya melesat untuk menyelamatkan nyawa mu-

ridnya. Tapi, saat tubuh Iblis Gelang Kematian 

tengah melayang, sesosok bayangan telah lebih 

dulu melesat memapaki serangan Malaikat Berda-

rah Biru!

Blarrr...!

Diawali benturan keras yang membuat se-

kitar tempat itu bergetar, tubuh Malaikat Berda-

rah Biru dan sang penyelamat Penyair Berdarah 

sama-sama terjengkang ke belakang. Namun, ke-

duanya mampu mematahkan daya luncuran dan 

menjejak tanah secara mantap!

Seketika berpasang-pasang mata tertuju 

pada sang Pendatang Baru ini. Dia adalah seo-

rang lelaki bertubuh tegap besar, dan berambut 

panjang tergerai. Meski demikian, terlihat kalau 

lelaki ini masih berusia sangat muda!

Dari sekian banyaknya yang menatap, 

hanya dua pasang mata yang menyiratkan keterkejutan, mata Dewa Maut dan mata kakek bong-

kok!

"Kiranya si anak ajaib itu! Hm.... Pertarun-

gan yang seru akan tercipta. Entah bagaimana 

akhirnya, karena kedua belah pihak sama-sama 

kebal pukulan," Dewa Maut membatin, dengan 

pandangan mata hampir tak berkedip. Kekalahan 

yang diderita dari Malaikat Berdarah Biru yang 

tak pernah disangka-sangkanya, membuat Dewa 

Maut terpukul dan kehilangan kegarangannya. 

Dia masih sangat terpukul! 

"Abilowo...! Mengapa bocah ini bisa berada 

di sini?! Berarti, Putri Tunjung Kuning pun ada di 

sekitar sini," kakek bongkok yang berada tak jauh 

dari Dewa Maut, berkata pula dalam hati seraya 

edarkan pandangan berkeliling. Tapi, tak terlihat 

seorang pun di tempat itu. Maka, perhatiannya 

diarahkan kembali pada Malaikat Berdarah Biru 

yang telah berhadapan dengan Abilowo.

Kakek bongkok ini tak tahu kalau dugaan-

nya tak keliru. Putri Tunjung Kuning memang be-

rada di sekitar tempat itu. Di salah satu gua yang 

tersembunyi, yang dari luar hanya terlihat pekat 

dan kelam! Perasaan perempuan ini tak sanggup 

untuk bertemu dengan Malaikat Berdarah Biru. 

Apalagi mengungkapkan dirinya menjadi korban 

perkosaan kepada sekian banyak orang! Putri 

Tunjung Kuning mewakilkan Abilowo. Dia sendiri 

menyaksikannya dari kejauhan!

"Sialan betul!" kakek bongkok kembali me-

lanjutkan kata hatinya. "Kedatangan Abilowo bisa 

merubah rencana. Aku tak mungkin bisa membiarkan bocah ini celaka. Hhh.... Keadaan jadi 

serba salah dan runyam!"

Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru 

memperhatikan Abilowo lekat-lekat. Orang yang 

diperhatikan, ikut lakukan hal yang sama.

"Kau orang yang berjuluk Malaikat Berda-

rah Biru...?!" Abilowo ajukan tanya dengan nada 

penuh ancaman.

"Tak salah. Aku orang yang berjuluk Ma-

laikat Berdarah Biru! Kau siapa, Bocah?!" Malai-

kat Berdarah Biru balik bertanya.

Abilowo mendengus keras.

"Kenalkah kau dengan perempuan yang 

bernama Putri Tunjung Kuning?" Abilowo malah 

balas bertanya, bukannya memberikan jawaban.

"Keparat! Anak sialan! Ditanya malah balas 

bertanya! Tapi, dari mana dia tahu tentang pe-

rempuan itu?!" Malaikat Berdarah Biru memba-

tin. Kemudian setelah berpikir sejenak, kepalanya 

dianggukkan. "Apa hubunganmu dengannya?!"

"Namaku Abilowo. Aku adalah putra dari 

Putri Tunjung Kuning. Dan, ayahku yang ingin 

kubunuh, karena telah menyengsarakan ibuku 

itu, berjuluk Malaikat Berdarah Biru! Kaulah 

orangnya! Terimalah kematianmu, Malaikat Ber-

darah Biru!"

Abilowo menutup ucapannya dengan se-

buah terjangan ke arah Malaikat Berdarah Biru 

yang tak pernah disangka-sangkanya itu, Malai-

kat Berdarah Biru terpaksa melesat menghindar. 

Pemuda bertoga merah ini tak menangkis seran-

gan karena masih didera perasaan kaget.

"Putraku...?! Mana mungkin?! Andaikata 

benar Putri Tunjung Kuning melahirkan anak ka-

rena perbuatanku pun, mana mungkin bisa sebe-

sar ini?!" pikir Malaikat Berdarah Biru, bingung.

Kalau Malaikat Berdarah Biru merasa bin-

gung, tak demikian halnya dengan kakek bong-

kok. Meski mulutnya tak keluarkan suara, tapi di 

dalam hatinya dia berkata.

"Sekarang masalahnya telah menjadi jelas. 

Abilowo benar anak dari Putri Tunjung Kuning. 

Tapi, sama sekali tak kusangka kalau ayahnya 

adalah Malaikat Berdarah Biru...."

Kakek bongkok dan semua tokoh persila-

tan yang berada di situ, terutama sekali Dewa 

Maut, memperhatikan jalannya pertarungan den-

gan penuh minat. Pertarungan yang seru. Kedua 

belah pihak sama-sama memiliki kekuatan tenaga 

dalam, dan kelincahan setingkat. Jalannya perta-

rungan pun berimbang. Beberapa kali ketika ter-

jadi benturan tangan atau kaki, Malaikat Berda-

rah Biru meringis karena merasakan nyeri dan 

sakit-sakit. Tapi, rasa kaget mendengar dirinya 

mempunyai keturunan, membuat Malaikat Berda-

rah Biru tak teringat akan hal aneh ini. Biasanya, 

jangankan hanya berbenturan, terkena pukulan 

yang mematikan pun, pemuda bertoga merah ini 

tak merasakan sakit.

"Gila! Bocah ini ternyata benar-benar luar 

biasa! Persetan! Anakku atau bukan, kalau akan 

menjadi penghalang di kemudian hari, lebih baik 

kusingkirkan!" kata hati Malaikat Berdarah Biru, 

seraya menunggu-nunggu kesempatan yang baik.

Malaikat Berdarah Biru tak menunggu la-

ma. Karena sekejap kemudian, Abilowo kirimkan 

jotosan ke arah dada kirinya. Pemuda bertoga me-

rah ini sengaja bergerak lambat, membiarkan se-

rangan itu mendekat. Ketika beberapa jari lagi 

menghantam sasaran, dia kirimkan tendangan ke

arah perut Abilowo!

Desss! Desss!

Hampir berbarengan, serangan masing-

masing pihak mengenai sasarannya. Baik Malai-

kat Berdarah Biru maupun Abilowo sama-sama 

terjengkang ke belakang. Tapi, dari mulut Malai-

kat Berdarah Biru keluar teriakan menyayat hati. 

Teriakan kesakitan. Bahkan dari mulutnya keluar 

darah segar!

Malaikat Berdarah Biru terbanting keras di 

tanah. Namun, pemuda bertoga merah ini beru-

saha bangkit, karena dilihatnya Abilowo telah 

berhasil menguasai diri dan siap untuk melan-

carkan serangan. Sepasang mata Malaikat Berda-

rah Biru membeliak besar penuh keterkejutan ke-

tika melihat Abilowo terlihat tak terpengaruh aki-

bat serangannya.

Semua tokoh persilatan yang menyaksikan 

terperangah, tak terkecuali kakek bongkok! Mere-

ka sama sekali tak menyangka kalau Malaikat 

Berdarah Biru yang semula memiliki tubuh demi-

kian kuat, dan tak bisa dilukai, kini sekarat!

Malaikat Berdarah Biru sendiri begitu ber-

hasil tegak, teringat akan ucapan gurunya. Kata 

demi kata gurunya itu, terngiang kembali di telinganya.

"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai 

oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri! 

Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"

Malaikat Berdarah Biru merasakan kerin-

gat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Hatinya 

memekik penuh rasa putus asa.

"Abilowo adalah anakku. Dan, sekarang 

bulan purnama nampak di langit! Akankah ini be-

rarti ajalku akan tiba?!"

Pemuda bertoga merah ini masih belum 

mampu berdiri tegak ketika Abilowo hentakkan 

kedua tangannya. Di kejap lain, bunyi bergemu-

ruh terdengar, mengiringi menyerbunya angin ke-

ras ke arah Malaikat Berdarah Biru. Seketika itu 

pula paras pemuda bertoga merah pucat pasi. 

Dengan sisa-sisa kemampuan yang dimiliki, dia 

berusaha untuk mengelak. Pada saat bersamaan, 

berpasang-pasang mata memperhatikan kejadian 

ini dengan penuh minat. Memperhatikan saat-

saat yang menentukan itu. Pada semua benak, 

bergayut sederetan kata-kata. 

"Tewaskah Malaikat Berdarah Biru?!"

Jawaban bagi pertanyaan itu tak membu-

tuhkan waktu lama. Sesaat kemudian, terdengar 

jeritan menyayat hati dari mulut Malaikat Berda-

rah Biru ketika pukulan jarak jauh Abilowo, me-

labraknya. Keadaan pemuda bertoga merah yang 

sudah payah, membuat gerakan menghindarnya 

terlalu lambat! Tubuh Malaikat Berdarah Biru 

pun melayang-layang jauh, terbanting keras di 

tanah!

Semua pasang mata tertuju pada Malaikat

Berdarah Biru yang tergolek, melihat perkemban-

gan. Tapi, tak terlihat adanya gerakan sedikit pun 

dari pemuda bertoga merah. Sedangkan Abilowo, 

begitu berhasil menyarangkan pukulan, segera 

melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tak seo-

rang pun tokoh persilatan yang menahan tinda-

kannya. Mereka masih terpaku melihat Malaikat 

Berdarah Biru yang demikian menggiriskan hati, 

menemui ajalnya!

"Syukurlah Abilowo segera pergi. Kalau ti-

dak, dan terjadi pertempuran dengan tokoh-tokoh 

yang ada di sini, aku bisa terlibat! Dan, itu berarti 

mereka akan segera tahu siapa adanya diriku, se-

belum kutahu rencana mereka," kakek bongkok 

bergumam dalam hati.

Keadaan di sekitar tempat itu menjadi hen-

ing. Sepi. Semua pasang mata masih tertuju pada 

tubuh Malaikat Berdarah Biru. Iblis Gelang Ke-

matlanlah yang menjadi orang pertama yang me-

mecahkan keheningan itu.

"Rekan-rekan segolongan! Mungkin perlu 

kutegaskan sekali lagi. Tujuan utama berkumpul 

di tempat ini adalah agar kita dapat bergabung 

melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih. Agar 

masa kejayaan golongan hitam kembali muncul."

"Kalau begitu..., mengapa kau mempergu-

nakan kecurangan?! Kau racuni kami?!" sentak 

Dewa Maut, keras.

Semangatnya mulai agak timbul ketika me-

lihat Malaikat Berdarah Biru telah tewas. Tapi, 

kesombongannya belum sepenuhnya pulih, men-

gingat adanya racun ganas yang bersemayam di

dirinya.

Iblis Gelang Kematian terkekeh pelan sebe-

lum keluarkan ucapan.

"Hanya sekadar berjaga-jaga. Kalian boleh 

percaya atau tidak, terserah. Yang jelas, aku ber-

maksud baik. Bahkan aku tak ingin memaksakan 

kehendak. Tidak seperti Malaikat Berdarah Biru 

tadi. Aku memberi kebebasan pada kalian untuk 

mengajukan saran, tentang tokoh golongan putih 

mana yang harus lebih dulu kita lenyapkan!"

Tak seorang pun keluarkan ucapan. Kea-

daan menjadi sunyi. Hal ini membuat Iblis Gelang 

Kematian kembali berbicara. Lantang.

"Perlu kalian ketahui, bila kalian setuju ki-

ta bersatu, saat ini juga kuberikan obat penghi-

lang gatal itu. Kemudian, kita serbu tokoh-tokoh 

golongan putih!"

* * *

"Celaka...! Aku harus bergegas tinggalkan 

tempat ini! Harus kuberitahukan pada Dewi 

Kayangan kabar yang berbahaya ini!" kakek 

bongkok berkata dalam hati, setelah mendengar 

keputusan yang disetujui oleh tokoh-tokoh hitam 

itu.

Memang, karena kepandaian Iblis Gelang 

Kematian bersilat lidah, tokoh-tokoh golongan hi-

tam itu setuju untuk bergabung. Manusia Titisan 

Dewa termasuk di antara yang setuju. Kakek ini, 

untuk sementara bersedia melupakan masalah 

Sakawuni!

Saat, tokoh-tokoh hitam itu sibuk dengan 

urusan penyerbuan itu, dengan diam-diam si ka-

kek bongkok meninggalkan tempat itu. Nasib baik 

berpihak padanya. Karena, tak seorang pun yang 

melihat kepergiannya. Di lain kejap, kakek ini 

menyelinap ke balik batu besar. Sebentar kemu-

dian, ketika keluar lagi, si kakek telah berganti 

menjadi seorang pemuda berwajah tampan. Dia 

mengenakan pakaian hijau yang melapis baju 

kuning tangan panjang. Rambutnya dikuncir ekor 

kuda. Sedangkan tangan kanannya menggenggam 

kipas ungu, dan dikipaskan pulang balik di depan 

wajahnya. Kakek bongkok itu ternyata adalah 

Pendekar Mata Keranjang 108, yang bernama asli 

Aji Saputra!

Aji segera perhatikan pergelangan tangan-

nya sekali lagi. Tapi, tetap saja tak terlihat bercak 

merah seperti yang dimaksud oleh Iblis Gelang 

Kematian. Pemuda ini jadi bingung.

"Apakah aku tak terkena racun?! Tapi, 

mengapa?! Apakah.... Jangan-jangan mutiara biru 

yang dulu kutelan yang membuatku bebas dari 

racun. Atau..., ah.... Mengapa harus pusing-

pusing kupikirkan hal aneh ini?! Lebih baik aku 

segera memberitahukan Dewi Kayangan...!"

Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Ma-

ta Keranjang melesat meninggalkan tempat itu. 

Pada saat yang bersamaan, di tempat yang diting-

galkan Aji, terjadi kegegeran, setelah mengetahui 

si kakek bongkok, tak berada di situ.

"Iblis Gelang Kematian! Sebenarnya.... Sia-

pa kakek bongkok itu?!" Bawuk Raga Ginting ajukan tanya.

Iblis Gelang Kematian gelengkan kepala.

"Aku tak tahu. Tadi pun, ingin kutanyakan, 

karena aku tak merasa mengundangnya. Tapi, 

aku lupa, karena ribut mulut dengan Manusia Ti-

tisan Dewa," Jawab perempuan tua itu, bernada 

menyela.

"Jangan-jangan dia mata-mata golongan 

putih! Dan bukan tak mungkin Pendekar Mata 

Keranjang!" Penyair Berdarah ajukan dugaan.

"Pendekar Mata Keranjang?!" Dewa Maut 

yang menyambuti. "Mengapa aku lupa?! Benar! 

Kakek itu pasti Pendekar Mata Keranjang! Bu-

kankah pendekar keparat itu berpakaian hijau?

Tadi, ketika pakaian tambalannya tersibak, kuli-

hat pakaian hijau yang berada di baliknya! 

Sayang, aku lupa kalau pemuda itu mengenakan 

pakaian hijau! Dan aku baru teringat ketika Pe-

nyair Berdarah ajukan dugaannya!"

"Kalau begitu, rencana harus kita rubah! 

Kalau tidak, kita akan menghadapi hambatan 

yang besar. Pemberitahuan Pendekar 108 akan 

membuat sasaran kita segera pergi atau malah 

mengumpulkan kekuatan!"

"Kurasa kita tak perlu khawatir!" sambut 

Iblis Gelang Kematian setelah tercenung sejenak. 

"Andaikata benar kakek itu Pendekar Mata Keran-

jang. Dan pendekar keparat itu memberitahukan 

rencana kita, tetap akan terlambat karena perbe-

daan waktu yang terlalu singkat. Kita akan lebih 

dulu datang sebelum keparat-keparat itu pergi 

atau mengumpulkan kekuatan!"

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?! Kita harus 

bertindak cepat!" Ratu Pulau Merah dan Dewa 

Maut, hampir berbareng berbicara!

Iblis Gelang Kematian anggukkan kepala 

seraya perdengarkan tawa terkekeh.

* * *

Sang Surya hampir saja mencapai titik ten-

gahnya ketika beberapa bayangan berkelebatan 

cepat memasuki sebuah hutan kecil di Dusun 

Kepatihan. Suasana yang terang benderang, 

membuat sosok-sosok itu terlihat jelas. Ternyata 

mereka adalah Iblis Gelang Kematian dan rom-

bongannya.

"Sebentar lagi rombonganku akan tiba di 

sasaran. Tua bangka-tua bangka pelindung Pen-

dekar Mata Keranjang itu akan segera menghadap 

malaikat maut! Dan, setelah semua tokoh golon-

gan putih lenyap, kacung-kacungku ini pun akan 

menyusul pula. Hi! hi hi...!" Iblis Gelang Kematian

membatin, lalu keluarkan kata.

"Sebentar lagi kita akan tiba. Aku yakin, 

Pendekar Mata Keranjang pun baru tiba pula. 

Dan, mereka tak akan sempat berbuat apa pun. 

Dengan jumlah kita yang jauh lebih banyak, pi-

hak lawan akan dapat kita gulung!"

"Dan.... Kipas, tombak, serta, kerisku pun 

akan kembali!" lanjut Ratu Pulau Merah, dalam 

hati.

"Bila itu terjadi, kipas dan bumbung bam-

bu peninggalan Empu Jaladara akan dapat kumusnahkan!" Dewa Maut, menyambung ucapan 

Iblis Gelang Kematian, tapi tanpa suara, hanya 

dalam batinnya.

"Hik... hik... hik...! Tak kusangka istanaku 

akan didatangi oleh rombongan tikus busuk. Ru-

panya, binatang-binatang ini minta digebuk!"

Seruan bernada ejekan yang mengiringi 

tawa cekikikan, membuat rombongan Iblis Gelang 

Kematian terperanjat. Sebagian di antara mereka, 

telah mengetahui siapa pemilik suara itu.

"Kalau aku tak salah duga, Dewi Kayan-

ganlah pemilik suara itu...," Ratu Pulau Merah 

angkat bicara.

"Bila benar demikian, perempuan jelek itu 

minta dikirim ke neraka sekarang!" geram Iblis 

Gelang Kematian. "Kita harus lebih bergegas. Aku 

tak sabar lagi untuk memuntir lehernya!" 

"Hik... hik... hik...! Tak usah terburu-buru, 

Tikus Tua! Sebentar lagi pun maksud hatimu 

akan kesampaian...!"

Apa yang dikatakan pemilik suara tanpa 

wujud itu ternyata tak salah. Tak sampai sepuluh 

tombak, begitu keluar dari hutan kecil, di lapan-

gan tanah yang luas membentang, sekitar sepu-

luh tombak di depan mereka, telah berdiri berja-

jar beberapa sosok. Menilik dari sikap rombongan 

itu, Iblis Gelang Kematian dan kelompoknya sege-

ra tahu kalau rombongan di depan sengaja meng-

hadang. Dan, di antara rombongan penghadang 

itu tampak Pendekar 108!

"Gila! Sama sekali tak kusangka kalau se-

muanya jadi berantakan begini! Mungkinkah dalam waktu yang demikian singkat, Pendekar Mata 

Keranjang berhasil mengumpulkan begitu banyak 

orang untuk menghadang perjalanan kita?!" rutuk 

Iblis Gelang Kematian, kesal.

Iblis Gelang Kematian tak pernah tahu, ka-

lau dugaannya itu keliru! Tepat seperti yang telah 

diperkirakannya, Pendekar Mata Keranjang baru 

saja tiba di tempat itu. Dan, ketika tiba pun, pe-

muda itu telah bertemu dengan sosok-sosok yang 

berdiri berjajar.

Semula Pendekar 108 merasa heran ketika 

melihat sosok-sosok yang dijumpainya di tempat 

itu. Karena, diduganya, yang berada di tempat itu 

hanya Dewi Kayangan, dan Dewi Bayang-bayang. 

Keberadaan Gongging Baladewa masih merupa-

kan teka-teki, meski sebelumnya pemuda ini telah 

mempunyai sedikit dugaan, karena telah melihat 

sendiri kalau Dewi Bayang-bayang dan Gongging 

Baladewa bersatu lagi (Untuk jelasnya silakan ba-

ca episode : "Dayang Naga Puspa").

Pendekar Mata Keranjang sempat kaget be-

sar ketika melihat tak hanya Gongging Baladewa. 

Tapi juga Setan Arak, Ratu Sekar Langit, Putri Ki-

pas, dan Setan Pesolek! Belakangan, pemuda ini 

baru tahu kalau mereka semua bisa berkumpul di 

situ berkat Setan Pesolek. Laki-laki banci itu den-

gan ilmu meramalnya, telah bisa mengetahui ka-

lau hasil dari pertemuan di Supit Urang adalah 

penyerbuan ke tempat tinggal Dewi Kayangan.

Pertemuan dengan Ratu Sekar Langit kem-

bali, dipergunakan Aji untuk menanyakan bagai-

mana kekasihnya bisa lolos dari tahanan Bawuk

Raga Ginting. Dari mulut Ratu Sekar Langit, Pen-

dekar Mata Keranjang tahu kalau sang Penyela-

mat itu adalah Setan Arak. Bahkan, gadis itu te-

lah menjadi murid Setan Arak!

Sayang, kedatangan rombongan Iblis Ge-

lang Kematian membuat Aji tak bisa berbincang-

bincang lebih lama lagi. Apalagi setelah rombon-

gan penyerbu itu langsung menyerang. Pendekar 

108 hampir tak percaya ketika melihat Dewi 

Tengkorak Hitam ikut-ikutan menyerbu. Seka-

rang, pemuda ini baru paham maksud peringatan 

Setan Pesolek dan Setan Arak.

Serbuan rombongan Iblis Gelang Kematian 

segera mendapatkan sambutan! Masing-masing 

pihak seperti telah tahu lawan masing-masing. 

Manusia Titisan Dewa menerjang Dewi Bayang-

bayang. Iblis Gelang Kematian menyerang Setan 

Pesolek. Sedangkan Dewi Kayangan diterjang oleh 

Bawuk Raga Ginting.

Pada saat yang bersamaan, Gongging Bala-

dewa diserang berbareng oleh Penyair Berdarah 

dan Gembong Raja Muda. Ratu Sekar Langit ber-

hadapan dengan Ratu Pulau Merah, Putri Kipas 

bertarung dengan Dewi Tengkorak Hitam. Se-

dangkan Pendekar Mata Keranjang sendiri diser-

bu oleh Dewa Maut. Hanya Setan Arak yang enak-

enakan menenggak araknya. Kakek ini tak keba-

gian lawan!

Pertarungan besar-besaran pun terjadi. 

Masing-masing tokoh yang bersenjata, segera 

menggunakannya. Yang tak bersenjata, seperti 

Dewa Maut, menyergap lawannya dengan tangan

kosong. Pemuda pengemban tugas dendam dari 

leluhurnya itu langsung pukulkan kedua tangan-

nya, lepaskan pukulan sakti 'Dewi Membakar 

Bumi'!

Asap merah membara keluar dari kedua 

tangan Dewa Maut, dan menggebrak ke arah Pen-

dekar Mata Keranjang.

Pendekar 108 tak berani bertindak main-

main. Dengan sebelah tangan tetap menggenggam 

kipas yang terlipat, dikerahkan tenaga dalamnya 

ke kedua tangan. Di kejap lain, warna kedua tan-

gannya jadi biru berkilau. Secepat kilat Pendekar 

Mata Keranjang dorongkan ke depan. Pelan.

Wuttt! Wuttt!

Dua berkas sinar biru melesat cepat, lalu 

mengembang dan melabrak asap merah! Bentu-

ran dahsyat segera terjadi, dan tubuh kedua be-

lah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. 

Namun, keduanya segera bangkit kembali dan 

saling gebrak. Pertarungan pun berlangsung sen-

git.

Bukan hanya pertarungan Pendekar Mata 

Keranjang 108 dan Dewa Maut yang berlangsung 

sengit. Kancah lainnya pun demikian. Sebagian 

besar pertarungan berjalan seimbang. Tapi, hal 

itu hanya berlangsung belasan jurus. Lewat dua 

puluh jurus, rombongan Dewi Kayangan mulai 

dapat mendesak.

Ratu Pulau Merah dan Gembong Raja Mu-

da yang pertama kali terpental dari kancah perta-

rungan! Tubuh kedua orang ini terpental dan ter-

guling-guling. Namun, Ratu Pulau Merah dan

Gembong Raja Muda ternyata keras hati. Begitu 

gulingan berakhir, keduanya berusaha untuk 

bangkit. Sayang, mereka tak mampu. Bahkan ma-

lah darah yang keluar dari mulut mereka!

Hanya berbeda waktu sebentar, berturut-

turut rombongan Iblis Gelang Kematian berpenta-

lan dari kancah pertarungan. Memang, mereka 

tak mati, tapi tak mampu melanjutkan pertarun-

gan kembali. Dan, yang tinggal hanya pertarun-

gan antara Pendekar Mata Keranjang menghadapi 

Dewa Maut, dan antara Dewi Bayang-bayang me-

lawan Manusia Titisan Dewa.

"Haaat...!" Dewa Maut membentak keras 

seraya melompat ke depan, kedua tangannya di-

hentakkan. Pendekar 108 tak mau kalah. Kipas-

nya dilipat dan diselipkan ke balik baju. Pemuda 

ini ikut lompat dan menyentakkan kedua tangan-

nya. Pendekar Mata Keranjang nekat mengadu 

keras lawan keras.

Blarrr! 

Benturan keras yang terdengar mengawali 

terpentalnya tubuh Dewa Maut dan Pendekar Ma-

ta Keranjang ke belakang. Melayang-layang se-

jauh beberapa tombak dan terbanting keras di ta-

nah. Baik Dewa Maut maupun Pendekar 108 ber-

keras untuk bangkit. Akibatnya, dari mulut kedu-

anya menggelogok darah segar. Mau tak mau, 

pemuda-pemuda sakti ini mengurungkan niatnya 

untuk bertarung kembali.

Pada saat yang bersamaan dengan keluar-

nya darah dari mulut Dewa Maut dan Pendekar 

Mata Keranjang, terdengar dua teriakan keras

yang hampir berbarengan. Sesaat kemudian, Ma-

nusia Titisan Dewa dan Dewi Bayang-bayang sa-

ma-sama terhuyung ke belakang, dan jatuh ter-

duduk. Tapi, Dewi Bayang-bayang mampu bang-

kit kendati dengan susah-payah. Sedangkan, Ma-

nusia Titisan Dewa malah menggelepar-gelepar, 

kemudian diam tak bergerak untuk selamanya.

Dengan penuh khawatir, Gongging Balade-

wa segera melesat ke arah Dewi Bayang-bayang. 

Sedangkan, Ratu Sekar Langit segera mengham-

bur ke arah Aji. Kekhawatiran tergambar jelas di 

wajah yang jelita itu.

"Hi hi hi...! Tikus-tikus busuk! Sayang se-

kali istanaku tak sudi menerima kedatangan ka-

lian. Mumpung masih ada kesempatan, cepat 

tinggalkan tempat ini! Atau kalian ingin kuma-

sukkan ke dalam lubang kubur?! Hi hi hi...!" Dewi 

Kayangan buka mulut.

"Keparat! Sakit hati ini akan kubalas! Se-

karang aku memang kalah. Tapi, lain kali..., akan 

tiba waktunya bagiku untuk mengecap kemenan-

gan...!" kata hati masing-masing orang di rom-

bongan Iblis Gelang Kematian.

Setelah melempar pandangan penuh den-

dam dan sakit hati, Iblis Gelang Kematian dan 

rombongannya dengan tertatih-tatih meninggal-

kan tempat itu. Segunduk dendam berbaur di da-

lam hati. Tapi, mereka pun menyadari, membu-

tuhkan waktu yang lama untuk membalaskan-

nya. Karena, luka yang mereka derita terlalu pa-

rah. Akan membutuhkan waktu yang lama untuk 

menyembuhkannya. Berbulan-bulan! Malah,

mungkin bertahun-tahun.


                          SELESAI



Segera terbit:

BUKIT SILUMAN



























Share:

0 comments:

Posting Komentar