SATU
Di sebelah utara kota Yingtienfu, (lebih dikenal
dengan nama 'Nanking') dua lelaki muda berperawakan
gagah sedang berjalan beriringan, menelusuri hamparan
pailang rumput. Mereka melangkah mantap tanpa
banyak cakap. Sepertinya, mereka sangat tergesa untuk
sampai di tcmpat tujuan.
Rambut dua lelaki muda yang sama-sama
panjang itu berkibaran diusik angin. Sementara di atas
sana, matahari memperlihatkan ketidak ramahannya,
tanpa sedikit pun awan menghalangi.
Tidak hanya sama-sama gagah. Kedua anak
muda itu pun memiliki wajah tampan. Rasanya, sulit bagi
para wanita untuk menentukan pilihan di antara mereka
berdua. Wajah masing-masing memang memiliki
kelebihan yang tak dimiliki satu sama lain.
Pemuda yang berjalan di sebelah kiri berwajah
ramah. Bibirnya selalu dihiasi senyum. Di atas matanya
yang tajam, sepasang alisnya legam menukik
melengkapi. Di samping terlihat ramah, dia juga terlihat
acuh. Ini terlihat dari tataan rambutnya yang tak teratur.
Pakaiannya hijau-hijau, dengan kain bercorak catur
tersampir dj bahunya. Kain itu berkibaran mengiringi
gerakan rambutnya, ketika angin mengusik.
Sementara pemuda yang berjalan di sebelah
kanan berwajah dingin. Bibir tipisnya begitu kaku.
Matanya memang juga memiliki sinar tajam, seperti
pemuda di sisinya. Namun, tampak lebih sipit. Dan jika
pemuda teman sepcrjalanannya memiliki kulit agak
kecoklatan maka pemuda bermata sipit itu berkulit putih
kekuningan. Penampilannya pun jauh berbeda. Dengan
rambut panjang lurus diikat di atas kepala, dia tampak
lebih rapi Apalagi, jika menilik dari pakaiannya yang
merah memanjang hingga batas lutut. Bahannya dari
sutera yang tergolong mahal saat itu. Di ujung lengan
pakaiannya terdapat sulaman benang emas. Sedangkan
celananya yang juga terbuat dari sutera, dibatasi ikatan
sepatu hingga ke betis.
"Berapa lama lagi kita akan tiba di tempat tujuan,
Chin Liong?" tanya pemuda di sebelah kiri, memecah
kebisuan.
"Tak lama lagi," jawab kawannya, singkat.
"Apakah di sana ada kedai makan?" usik pemuda
yang ternyata Andika, yang lebih dikenal dengan
sebutan Pendekar Slebor.
"Kau mulai lapar?" Pemuda bermata sipit yang
dipanggil Chin Liong malah balik bertanya.
Andika tersenyum. Tapi senyumnya lebih mirip
ringisan.
"Apa kau belum merasa kalau cacing-cacing
dalam perutmu ramai bergunjing?" gurau pemuda
urakan itu acuh.
Chin Liong yang ada di sisinya hanya mengangkat
bahu. Sedikit pun tak tersembul senyum di bibir. Dia
memang bukan termasuk orang yang memiliki selera
berguyon.
"Kau tidak paham maksudku?" cetus pemuda
berpakaian hijau itu manakala mendengar tanggapan
lawan bicaranya. "Sejak berperahu menelusuri Sungai
Kuning dini hari tadi, kita belum sempat mengisi perut,
kan?"
"Aku tahu," jawab Chin liong, singkat.
"Nah! Apa kau tak lapar?"
"Baru setengah hari ini saja kita belum bertemu
makanan. Aku rasa, kita masih mampu bertahan."
"Tapi, kemarin kita hanya makan daun pepohonan
rambat yang tumbuh di pinggiran sungai!" rungut
Andika.
"Apa di negerimu kau tidak biasa makan seperti
itu?" tanya Chin Liong agak mengejek.
"Rupanya kau termasuk pemuda manja, ya?"
"Kata siapa aku tak pernah makan sedikit? Di
negeriku, aku juga biasa makan daun singkong. Tapi,
daun satu kebun," kata Andika, setengah menggerutu di
belakang pemuda sipit yang terus melangkah.
Akhirnya, mereka kini tiba di sebuah dataran
luas ditumbuhi banyak pohon lamtoro. Tampak
sebongkah batu besar tergolek bisu di sana, tepat di
bawah naungan sebatang pohon.
"Kita telah sampai," kata Chin Liong. "Di sini kita
akan menunggu seorang penghubung untuk bertemu
Putri Ying-lien."
"Seorang putri Cina?" tanya Andika setengah ber-
piimam. Bibirnya tersenyum penuh arti. "Tentunya dia
cantik, bukan?"
Ucapannya itu sempat terdengar Chin Liong,
pemuda kawan seperjalanannya.
"Jangan coba macam-macam. Dia seorang putri
Raja," kata pemuda bermata sipit, setengah
mengancam.
"Boleh saja aku tidak macam-macam. Tapi,
bagaimana kalau dia tahu-tahu jatuh hati padaku?"
"Jangan terlalu yakin."
"Bagaimana tidak yakin? Aku kan cukup tampan
untuk menjatuhkan hati seorang anak raja... he he he."
Selesai berolok-olok, pemuda acuh berjuluk
Pendekar Slebor itu menghampiri batu besar dan duduk
san- tai di atasnya. Bibirnya memperdengarkan siulan
riang, seakan sedang menunggu seorang kekasih yang
hendak dikencani. Entah kenapa, rasa lapar yang
semula diributkan kini hilang begitu saja. Sementara
kawannya yang bermata sipit hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala melihat tingkahnya.
***
Waktu terus bergulir. Entah, sudah berapa lama
Pendekar Slebor dan Chin Liong menunggu. Sampai
saat itu, orang yang dimaksud pemuda Tiongkokbelum
juga mcnampakkan batang hidung. 'Sementara, Andika
yang bertingkah aneh malah masih asyik menepuk-
nepuk dengkul sambil menyenandungkan siulan.
Sedangkan Chin Liong mulai tampak gelisah. Mata
sipitnya melirik kian kemari, mencari-cari orang yang
ditunggu.
“Rasanya ada yang tidak beres.” gumam Chin
Liong, seraya memutar tubuh. Kau bias menunggu dulu
disini kan?”
Pendekar Slebor yang diajak bicara menoleh.
“Kau sendiri mau kemana?”
“Aku hendak menyelidiki daerah sekitar. Aku
khawatir ada sesuatu yang menimpa si Penghubung.”
“Ya, pergilah sana. Hus! Hus! Hus! Ujar Andika
acuh sambil mengibasngiliaskan tangan. "O, iya. Kalau
kembali, jangan lupa bawa nasi rames!"
Pemuda bermata sipit itu terus mengayun
langkah, seperti tak peduli.
Setelah Chin Liong menghilang, Pendekar Slebor
tercenung sendiri.
"Ngomong-ngomong, apa ada nasi rames di
negeri ini? Hua ha ha...!" Andika jadi tergelak sendiri.
Baru saja tawanya terhenti, sepasang telinga
tajam Pendekar Slebor menangkap suara aneh dari sisi
kiri. Suara itu terdengar bagai gemuruh. Bukan gempa,
dan bukan pula derap kaki kuda. Untuk memastikannya,
Andika menoleh ke asal suara.
Memang yang dilihat Pendekar Slebor hal yang
tak kalah.aneh. Tampak sesosok tubuh kecil dan buntal
sedang bergulingan ke arahnya. Perutnya yang buncit
memudahkannya menggelinding seperti bola. Seluruh
pakaian yang dikenakan telah dipenuhi debu. Demikian
juga sekitar tubuhnya
"Ini pasti orang sinting buatan Tiongkok," gumam
Andika.
Alis Iegam Pendekar^Slebor bertaut rapat-rapat.
merasa bingung dengan perbuatan tamu tak diundang
itu.
Penampilan lelaki pendek bertubuh gemuk itu kini
lebih jelas terlihat, manakala sudah berdiri tak jauh dari
batu tempat Andika duduk. Kepalanya yang kecil, tak
memiliki rambut sehelai pun. Wajahnya terlihat bulat
lucu, dengan pipi tebal serta kumis memanjang hingga
ke bawah bibir. Seperti orang Tiongkok lain, mata lelaki
itu pun sipit. Hidungnya yang kecil seperti hendak
tertelan timbunan lemak di pipinya yang merah.
"Sebutkan namamu!" bentak orang itu tiba-tiba
pada Andika dalam bahasa Tiongkok.
"Eit?! Kau bikin aku kaget saja, Pak," balas Andika
dengan ucapan terpatah-patah dan logat Tiongkok yang
kaku. "Apa kau tidak biasa berbasa-basi?"
"Sebutkan namamu!" bentak lelaki pendek itu
sekali lagi.
Pendekar Slebor jadi meringis. Benar-benar orang
tua keras kepala, gerutunya dalam hati.
"Baik, baik.... Namaku, Andika," jawab Pendekar
Slebor tetap berusaha ramah.
"Andika! Bukan 'haiya'," sergah Pendekar Slebor.
Sejak peristiwa di Desa Dukuh, di mana Pendekaij
Slebor bertarung bertaruh nyawa melawan Chin Liong
hingga mengakibatkan pemuda Tiongkok itu mengalami
luka, Andika bertekad untuk mengejar lelaki aneh yang
telah mempermainkannya habis-habisan.
Setelah Chin Liong dlrawat, Pendekar Slebor pun
mendapat satu keterangan darinya kalau musuh yang
selama ini mempermainkannya adalah saudara kembar
Chin Liong sendiri. Setelah itu, mereka pun melakukan
pengejaran ke negeri Tiongkok (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang kisah Pendekar Slebor sebelumnya,
bacalah episode: "Pusaka Langit"). Dan dari dia pula,
Andika sempat belajar bahasa Tiongkok sebelum
berangkat
"Jadi, namamu Andika?"
"Yaaa benar!" seru Andika seraya menuding.
"Heh?! Aku tak kenal Andika!"
Pendekar Slebor jadi menaikkan pangkal hidung
dan ujung bibirnya.
“Tentu saja kau tidak kenal. Kita kan baru pertama
kali ini bertemu,” bisik Andika, menggerutu.
“Kau sendiri siapa. Pak?”
“Kau bukan penduduk sini, ya?”
Bukannya menjawab pertanyaan Andika barusan,
lelaki berperut buncit itu malah balik bertanya. Dan ini
membuat tenggorokan Andika terasa bengkak karena
dongkol.
“Benar, Pak. Aku berasal dari…”
“Apa maumu ke tempat ini?” potong laki-laki bulat
itu."
Padahal berhubung usia lelaki itu jauh lebih tua,
Andika terpaksa menyahuti juga. Belum juga sempat
kalimat Andika tuntas, orang itu sudah memenggalnya.
Sehingga, Andika jadi memajukan bibirnya.
Kejengkelannya mulai tak bisa ditahan. Maka tak
dijawabnya pertanyaan terakhir itu.
"Kau tuli? Apa maumu ke tempat ini?!" ulang lelaki
pendek itu lebih keras.
Pendekar Slebor tidak juga menyahuti. Dia malah
meneruskan siulannya, seraya melempar pandangan ke
tempat lain."
Tentu saja hal ini amat memancing kegusaran
lelaki pendek gemuk itu. Sambil menggeram, rahangnya
mengeras. Sehingga, terdengarlah suara gemeletuk
giginya. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap
Andika.
"Anak muda! Apakah kau tahu kalau telah
menghina Cebol Bermuka Merah?!" sentak laki-laki yang
berjuluk Cebol Bermuka Merah penuh ancaman.
"Apa aku mengejekmu?" sangkal Andika, tanpa
melirik sedikitpun. Apa kukatakan, kalau perutmu terlah
buncit untuk ukuran tumbuhmu yang kecil? Apa ku
katakan kalau pipimu seperti bantal?"
"Grrr! Kau memang harus diberi pelajaran, Anak
Muda!"
"Dan..., apa kukatakan kalau kepalamuyang tak
berambut terlalu mengkilap seperti dengkul bidadari?"
lanjut Andika tanpa mempedulikan kegeraman Cebol
Bermuka Merah.
Sampai di situ, Cebol Bermuka Merah tak bisa lagi
membendung amarahnya yang telah meluap hingga,
ubun-ubun.
"Khiaaagh!"
Dengan satu teriakan bagai erangan, diterjangnya
Pcndekar Slebor.
Serangkai jurus aneh ditampilkan Cebol Bermuka
Merah. Setelah menyatukan tangan tinggi-tinggi ke atas
kepala, lelaki gemuk pendek itu melempar tubuh ke
depan, bagai seorang perenangyang terjun ke air.
Seketika perutnya yang sebesar tong itu menciptakan
debum keras kala meninju tanah. Bersamaan dengan
itu, debu berwarna coklat mengotori udara di sekitarnya.
Pertunjukan yang terjadi di depan biji mata,
membuat Andika terpana tanpa bcrkedip. Dia sendiri
memiliki jurus aneh. Tapi, jurus lawannya kali ini kelewat
aneh. Bisa jadi orang ini sudah gila, karena terlalu hebat.
Atau mungkin juga, orang bodoh yang otaknya di perut.
Kini, Cebol Bermuka Merah mulai bergulingan
kembali, seperti saat pertama muncul. Saat bergulir
kearah Andika, sepasang tangannya meraup debu
berkali-kali. Kemudian dihempaskannya ke wajah
Andika berkali-kali.
Untunglah Pendekar Slebor tidak lengah walau
sempat terpana.Dengan serangkaian gerak lompatan
ing lincah, dihindarinya setiap serbuan debu ke
wajahnya
Sebenarnya, Cebol Bermuka Merah berniat
melumpuhkan Pendekar Slebor secepatnya, dengan
melancarkan serangan licik. Namun karena siasatnya
dapat dimentahkan, mau tak mau dia hanya bisa
memanfaatkan kerepotan Pendekar Slebor dalam
menghindari terpaan debu.
Saat Pendekar Slebor berkelit ke kiri, kaki pendek
Cebol Bermuka Merah mengejarnya dengan sampuan
bertenaga dalam penuh. Kembali debu berwarna coklat
berterbangan ke udara. Sementara Andika sendiri sudah
bersalto kebelakang.
Delapan tombak dari tempat lawan, pendekar
muda ini berdiri tenang. Kedua tangannya terlipat di
depan dada, seolah menantang untuk diserang kembali.
Seraya menggeleng-gelengkan kepala, diejeknya Cebol
Bermuka Merah.
"Heiii?! Apa kau saudara sepupu ayam betina?
Mereka |uga suka mandi dengan debu sepertimu...."
Tidak lucu, Orang Asing!" hardik Cebol Bermuka Merah
yang telah bangkit kembali.
Tidak lucu? Kalau tidak lucu, kenapa bisa
tertawa? Nah Sekarang lihatlah aku tertawa. Hua ha
ha...!" cecar Andlika.
Pipi lelaki cebol yang merah semakin merah,
mendengar cemooh Andika. Dan itu sudah cukup untuk
mendorong keinginannya untuk mengerahkan jurus
yang lebih hebat.
"Terimalah jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntun
Bunga'! Hiaaah!"
Cebol Bermuka Merah meluruk ke arah Pendeka
Slebor. Kakinya tidak dipergunakan untuk berlari, tapi
digantikan tangannya.
Lagi-lagi Andika dibuat terpana oleh keanehan
jurus Cebol Bermuka Merah. Tak disangkanya kalau d
negeri orang-orang bermata sipit itu, akan menemui
lawan yang memiliki jurus ganjil dan lucu. Selucu bentuk
tubuh pemiliknya. Namun demikian tampak sekali ke
ganasan serangan dari jurus tersebut.
Andika bisa menilai seperti itu, saat Cebol
Bermuka Merah sudah tiba di dekatnya sambil
meruntuhkan ter jangan-terjangan kelima bagian tubuh
yang mematikan. Jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntum
Bunga' memang memusatkan sasaran serangan pada
lima titik mematikan di tubuh lawan. Hal itu bisa
diketahui Pendekar Slebor dari serangan lawan yang
selalu mengarah ke bagian selangkangan, jantung, buah
pinggang, dan tenggorokan.
Sepasang tangan Cebol Bermuka Merah yang dija
dikan kaki memusatkan serangan pada bagian bawah
Dengan menghentakkannya, tubuh lelaki cebol itu
terangkat. Maka selang waktu yang demikian singkat
kedua tangannya serempak menohok ke bagian
pinggang Pendekar Slebor. Bagi seorang pendekar
kelas atas di negerinya, serangan seperti itu tak
terlalusulit dikan daskan. Dengan menurunkan kedua
langan bersamaan Andika sudah mampu menepis
tusukan jari-jari Cebol Bermuka Merah yang hendak
memecahkan sepasang buah pinggangnya.
Tapi serangan laki-laki cebol itu tidak berhenti
begitu saja. Kakinya yang masih melayang, langsung
mengarah ke kerongkongan dan dada Pendekar Slebor.
Kecepatan gerak dua kaki yang menuju dua sasaran,
sempat membuat Andika terperangah
Sayang, Cebol Bermuka Merah tidak pernah
mengira kalau lawan yang dihadapinya adalah ksatria
tangguh tanah Jawa Dwipa yang memiliki kecepatan
sulit dipercaya. Begitu ujung kedua kaki itu nyaris
hendak menjebol kerongkongan dan dada kiri, sepasang
tangan Andika tiba-tibasaja sudah mencengkeram
pergelangan kaki.
Wajah Cebol Bermuka Merah yang berada di
bawah, terperangah tak tanggung-tanggung menerima
kenyataan itu. Bagaimana mungkin tangan lawan bisa
berpindah begitu cepat. Bahkan lebih cepat dari
kerdipan matanya? Dan sebelum rasa herannya
terjawab, tubuhnya terasa terayun ke atas.
"Hih!"
Terdengar hentakan napas Andika. Rupanya,
Pendekar Slebor mencoba melempar lawan ke udara.
Maka seketika tubuh buntal Cebol Bermuka Merah pun
melayang. Sesaat kemudian, luncuran tubuhnya terhenti
tiba tiba. Karena, ikat pinggang kain miliknya tetap
dicengkeram Pendekar Slebor kuat-kuat.
"Hekh!"
Mulut lelaki botak itu melepas keluhan tertahan.
Mill mya yang sipit terbelalak tanpa bisa membesar.
Perutnya terasa sedang dijepit keras oleh ikat
pinggangnya sendiri. Bahkan disusul rasa sakit yang
menyerang hingga ke rongga tenggorokan ketika Andika
menohok pusarnya sedalam satu jari.
"Masuk! Hua ha ha...!" teriak Pendekar Slebor
kegirangan.
Cebol Bermuka Merah sendiri menjulurkan lidah
nya keluar, menahan rasa mual yang tak
terhingga.
***
DUA
"Andika, tahan!"
Tiba-tiba sebuah suara mencegah terdengar jauh
di lu-lakang Pendekar Slebor. Seketika Andika langsung
bisa menyimpulkan kalau teriakan tadi milik Chin Liong.
Entah kcnapa, kawannya itu menahan pertarungan. Tapi
yang pasti, tubuh cebol lawannya langsung dilempar
seperti karung beras ke atas tanah.
"Kenapa kau begitu usil menghentikan aku meni
mang-nimang bayi ajaib itu?" gerutu Andika, ketika Chin
Liong berlari tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Dan kenapa kau begitu ceroboh bertindak?!"
bentak Chin Liong, agak kesal. Wajahnya
memperlihatkan kesungguhan yang dalam. "Dialah
orang yang kumaksud sebagai penghubung kita kepada
Putri Ying-lien!"
"Tanya pada si Botak itu! Siapa yang ceroboh
bertindak?! Aku sendiri sudah berusaha ramah. Tapi dia
malah memperlakukanku seperti kucing buduk yang
mcncuri daging Bahkan membentak-bentak seenak
nya," sergah Andika, membela diri.
Saat bicara, mata Pendekar Slebor membelalak-
belalak dongkol. Dia ingat pada sikap Cebol Bermuka
Merah yang begitu angkuh.
"Baik, baik. Mungkin salah paham," tutur Chin
Liong Akhirnya. Dia memang berusaha mengalah pada
Pendekar keras kepala itu. "Kini mari kuperkenalkan
pada Chia-ceng, si Cebol Bermuka Merah adalah
julukannya."
Dihampirinya Chia-ceng yang sedang sibuk
menepuk-nepuk debu yang mengotori pakaian.
"Aku sudah tahu julukannya!" sungut Andika
"Yang belum kutahu, adalah namanya. Siapa namanya
tadi? Bonceng?"
"Chia-ceng," ulang Chin Liong.
"Ooo. Nama bagus.... Nama bagus. Tapi,
menurutku lebih bagus Bonceng."
Andika segera menyusul Chin Liong mendekati
Chia-ceng. Setelah dekat, tangannya disodorkan, untuk
mengajak salaman.
"Aku Andika," Pendekar Slebor memperkenalkan
diri.
Selaku ksatria sejati, tidak ada rasa dendam
sedikit pun di hati Andika. Padahal, dia sempat dibuat
kesal oleh lelaki itu.
Chia-ceng menyambut juluran tangan Andika. Kini
kedua orang itu bersalaman. Sementara Pendekar
Slebor melepas senyum sebagai salam perkenalan, si
Cebol Bermuka Merah malah menyeringai. Bukan
karena masih gusar, tapi karena perutnya masih terasa
mulas tertotok jari Andika.
Usai perkenalan, Chin Liong segera mengajak
Chia ceng agar segera mengantar mereka menemui
Putri Ying-lien.
***
Di tepi selatan kota Yingtienfu, terdapat kuil
terbengkalai berusia sekitar tujuh ratus tahun. Karena
begitu lama tak dipergunakan, hingga nyaris
dilupakan orang. Apalagi, letaknya juga amat
tersembunyi, di antara himpitan pepohonan hutan lebat.
Tak banyak orang tahu nama kuil itu. Demikian
juga Ietaknya yang pasti. Segelintir orang yang tak
sengaja menemukannya, menyebutnya Kuil Peraduan
Bulan. Disebut begitu, karena setiap kali bulan purnama
hadir mengisi cakrawala, selalu saja menghilang di balik
bukit itu.
Dari kejauhan, kubah Kuil Peraduan Bulan me
nyembul di antara pucuk pepohonan. Letak tanahnya
memang lebih tinggi daripada yang lain. Bentuk
kubahnya bcrsusun dua. Dan yang paling puncak,
berupa limas yang pada masing-masing ujungnya
meruncing ke atas seperti tanduk.
Andika bersama Chin Liong dan Chia-ceng tiba di
sana, tcpat ketika malam baru menjelang. Lembayung
yang tersaput warna jingga, kian pupus di ujung kaki
langit.
"Kita telah tiba," jelas Chia ceng, ketika mereka
sudah berdiri di depan gerbang kuil yang dipenuhi
gerombolan alang-alang setinggi paha.
Pendekar Slebor langsung menyapukan
pandangan ke beberapa tempat. Tapi yang ditemuinya
hanya suasana yang tidak nyaman. Tembok gembur
yang sudah dilimuti lumut. Papan nama kuil yang sudah
tak jelas lagi tulisannya. Juga, bangunan kuil yang
terlihat kusam.
"Katamu, kita akan bertemu seorang putri. Kupikir,
kita akan menemuinya di istana. Tapi, kenapa malah
dating ke kandang dedemit?"rungut Andika pada Chin
Liong.
"Ini bukan istana Putri Ying-lien, tapi tempat
persembunyiannya," sahut Chin Liong datar.
"Kenapa mesti bersembunyi?" tanya Andika,
penasaran.
"Nanti akan kujelaskan," ujar Chin Liong lagi.
"Kenapa tak sekarang saja?" desak Andika, saat
mu lai memasuki pelataran kuil.
"Kenapa mulutmu jadi seperti perempuan?" selak
Chia-ceng, kesal mendengar kecerewetan pemuda yang
baru dikenalnya.
Dikatakan seperti itu, Andika hanya cengar-cengir.
Sebelah alisnya diungkit-ungkit ke arah Chia-ceng.
Mereka terus memasuki bangunan tua yang
terasa lembab ini. Kini, mereka tiba di ruang besar yang
dulu nya dipakai sebagai tempat pemujaan.
Di tengah ruangan berlantai pualam kusam,
tampak memancar cahaya kemerahan dari sebuah api
unggun. Di satu sisi api unggun, terlihat seorang wanita
cantik duduk melipat lutut. Tak seperti orang Tiongkok
umum nya, matanya tidak tampak sipit. Tapi, itu
mungkin karena kelopak matanya dilengkapi bulu yang
lentik dan hitam. Hidungnya yang mancung membelah
kedua pipi yang halus. Di pangkal hidungnya terdapat
alis melancip pada ujung-ujungnya. Dengan bibir merah
merekah, semakin sempurna saja wajah wanita ini.
Sementara, sapuan cahaya merah api unggun
menciptakan kesan kesayuan di kulit halus wajahnya.
Dialah Putri Ying lien.
Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, penam
pilan Putri Ying lien amat bersahaja. Rambut
panjangnya hanya diikat buntut kuda, tanpa pernik-
pernik yang biasa dipakai para wanita pembesar
Tiongkok. Demikian pula pakaiannya, yang hanya
berupa jubah panjang warna hijau berhias lukisan bunga
teratai. Sedang pakaian lapisan dalamnya berwarna
kuning gading, memanjang dari pangkal lengan hingga
ke ujungnya.
"Salam hormat kami, Tuan Putri," hatur Chin
Liong, ketika telah berada sekitar tiga-empat tombak dari
wanita anggun itu.
Chia-ceng juga memberi hormat. Kini kedua lelaki
ini tampak menyatukan kedua tangan di bawah wajah
dengan mata terpuruk ke lantai. Sementara, Andika
hanya berdiri santai sambil memperhatikan kedua lelaki
itu.
Dan ketika Chin Liong melirik Andika, diberinya
isyarat dengan lirikan. Itu dilakukan agar Pendekar
Slebor juga ikut menghaturkan hormat. Tapi sungguh
keterlaluan, nyatanya Andika malah ikut melirik ke
arahnya.
"Bagaimana tugasmu, Chin Liong?" tanya Putri
Ying lien, membuat Chin Liong tidak mempedulikan
sikap masa bodoh Andika.
"Sebelumnya aku mohon maaf, Putri. Aku telah
berusaha semampuku, namun nyatanya tetap gagal,"
Chin Liong memulai laporannya.
"Kau tidak berhasil mendapatkan benda Iangit,
gagang pedang pusaka, dan kain pusaka itu. Kini,
semua nya berada di tangan saudara kembarmu," tutur
Putri Ying lien, amat tenang tanpa sedikit pun kegusaran
di wajahnya.
Ching Liong tersentak, langsung mengangkat
wajah. Hatinya agak terkejut, karena Putri Ying lien telah
mengetahuinya. Padahal, dia belum lagi menceritakan.
Bahkan pada Chia-ceng sekali pun.
"Aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu,
karena beberapa orang kita melaporkan, bahwa telah
melihatmu beberapa waktu lalu. Tapi aku menduga,
lelaki yang dilihat mereka adalah Chin Chung, saudara
kembarmu!. Apalagi, saat itu kau belum juga datang
memberi laporan. Dan waktu kau mengatakan gagal
tadi, aku bisa langsung mengetahui kalau Chin Chung
telah mendahuluimu, membawa benda-benda pusaka
itu," jabar Putri Ying-lien, seperti tahu keheranan Chin
Liong.
"Memang benar begitu, Putri," aku Chin Liong
dengan segumpal rasa bersalah menggelayuti benak
"Untuk itu, aku bersedia menerima hukuman apa saja.'
Putri Ying lien menggelengkan kepala, seraya
menebar sebaris senyum menawan. Dan ini membuat
Andika tak sempat berkedip, karena terpesona.
"Kau tak melakukan kesalahan apa-apa, Chin
Liong. Bukankah kau telah berusaha sebaik-baiknya?
Kegagalan bisa terjadi pada siapa saja. Dan itu bukan
selalu berarti kesalahan," kata Putri Ying lien, bijak.
Kali ini, Andika terpesona oleh keindahan yang
terpancar dari jiwa Putri Ying lien. Sungguh wanita yang
nyaris sempurna!
"Sekarang, maukah kau perkenalkan pemuda
yang bersamamu?" tanya Putri Ying lien, pada Chin
Liong.
"Lelaki yang hersamaku ini adalah seorang
pendekar ternama di tanah Jawa Dwipa, Putri.
Namanya, Andika. Di negerinya, dia amat tersohor
dengan julukan Pendekar Slebor," tutur Chin Liong,
memperkenalkan Andika.
Mendengar julukan Pendekar Slebor disebutkan,
Putri Ying lien mengembangkan senyum lebar.
"Pendekar Slebor?" tanya wanita anggun itu agak
geIi. Kelihatannya merasa lucu mendengar julukan
seorang pendekar seperti itu.
Lalu, Chin Liong menceritakan keterlibatan Andika
dengan peristiwa Pusaka Langit. Sampai akhirnya,
mereka bertemu dalam satu pertarungan maut akibat
fitnahan Chin Chung.
"Kini dia bersedia mengulurkan tangan untuk kita,
Putri," kata Chin Liong, mengakhiri ceritanya.
"Tuan Andika," sebut Putri Ying lien, setelah
mengangguk sesaat. "Sungguh suatu hal yang amat
kami yukuri pada Thian* karena Tuan sudi membantu
kami. Bagi kami sendiri, itu menjadi sebuah kehormatan
besar….”
Sementara Putri Ying lien menyambung kalimat
demi kalimat dalam berbasa-basi. Andika terus menatap
wajah Putri Ying-lien lekat-lekat. Manik matanya seperti
terpaku tak bergerak di wajah jelita itu. Saat
memperhatikan begitu, Andika menemukan suatu
kejanggalan. Mata indah wanita itu tampak begitu kaku,
dan jarang sekali bergerak. Manik matanya seperti tetap
tertuju pada satu titik. Kenapa dengan matanya? Tanya
hati Andika.
"Namun begitu," lanjut Putri Ying-lien. "Chin
Chung adalah lelaki sesat yang memiliki kesaktian tak
tertandingi di penjuru kota Yingtienfu. Bahkan, dia
termasuk tokoh jajaran atas di negeri ini. Bukan kami
merendahkan kemampuan Tuan. Tapi, kami tak ingin
Tuan hanya menjadi korban sia-sia kebiadabannya."
"Chin Chung telah melakukan kejahatan keji di
negeriku, Putri Ying-lien. Diperlukan atau tidak, aku
tetap akan menuntut tanggung jawabnya atas
kebiadaban yang telah dilakukannya," putus Andika
tegas.
Sebenarnya ada tekanan aneh ketika Putri Ying
lien menyebut nama Chin Chung. Malah dia seperti
terpaku. Dan seketika, ingatannya kembali ke masa-
masa pahit yang pernah dialaminya.
***
Beberapa tahu lalu, setelah berhasil menyelamat
kan putri junjungannya, Chia-ceng langsung membawa
Putri Ying-lien ke Soochow untuk dititipkan pada Rahib
Mata Elang yang berasal dari tepi kota Soochow. Kota
itu terletak di kawasan tenggara negeri tirai bambu.
Sejak saat itu, Putri Ying-lien menjadi murid Rahib
Mata Elang. Sebagai anak yang pandai dan berbakat
Putri Ying lien muda begitu pesat menyerap ilmu-ilmu
yang diberikan Rahib Mata Elang. Baik ilmu bela diri
kesaktian, maupun ilmu-ilmu rohani.
Tiga tahun berselang, mendadak seorang anak
lelaki muncul di tempat latihan Putri Ying-lien di sebuah
pelataran di tengah Hutan Bambu Kuning. Anak itu
begitu kumuh dan kotor, seperti telah tersesat berhari-
hari.
Anak kecil yang ternyata bernama Chin Liong itu
keluarganya telah dibantai gerombolan pemberontak
Saat itu, Chin Liong bersama saudara kembarnya,
melarikan diri dan tiba di Hutan Bambu Kuning. Di sana
mereka diburu sekawanan serigala, hingga terpaksa
terpisah. Lalu Chin Liong akhirnya tiba di tempat latihan
Putri Ying-lien dan Rahib Mata Elang yang kemudian
diangkat murid.
Menginjak usia tujuh belas tahun, Putri Ying lien
telah begitu baik mengenal Chin Liong. Keakraban
keduanya membangun ikatan kasih sayang satu sama
lain, sampai-sampai, Putri Ying lien sudah menganggap
Chin Liong adiknya sendiri. Tapi, lain bagi Chin Liong.
Justru dia menyayangi kakak seperguruannya, karena
benih cinta pertama yang bersemi di hati.
Dan suatu hari seusai latihan, mereka bersantai
berdua di sebuah lembah di tepi Hutan Bambu Kuning.
"Apa kau merasa hidup ini terlalu kejam, Chin
Liong?" tanya Putri Ying Lien. "Apa maksudmu?" Chin
Liong balik bertanya.
Pemuda itu segera mendekati kakak seperguruan
nya yang duduk pada sebuah kursi kayu dari batang
pohon. Dia tahu, Putri Ying lien hendak membicarakan
sesuatu yang sungguh-sungguh. Itu terlihat dari bias
wajahnya.
"Dalam usia muda, aku mesti kehilangan seluruh
orang-orang yang kucintai. Ibuku, ayahku, saudaraku.
Mereka mati saat aku benar-benar membutuhkan
kehadiran dan kasih sayang mereka," papar Putri Ying
Lien murung.
Chin Liong menarik napas berat dan sarat.
"Bukan hanya kau yang mengalami nasib seperti
itu. Aku juga demikian," kata Chin Liong perlahan. "Tapi,
Aku sama sekali tak ingin menyalahkan hidup ini. Justru
yang kusalahkan adalah para pelakon hidup itu sendiri
Merekalah yang telah merampas kebahagiaanku
dengan membunuh keluargaku...."
Putri Ying Lien melirik Chin Liong yang kini duduk
di sisinya.
"Kau tak mau menyalahkan hidup, karena kau
takut menyalahkan Thian tanya gadis itu, sedikit ingin
tahu alasan adik seperguruannya.
"Apa kau bisa memisahkan hidup dan Thian. Bui
kankah hidup dan kehidupan adalah perwujudan Nya
Maksudku, Dia lah yang memiliki hidup. Bagiku,
menyalahkan hidup berarti menyalahkan Dia," jelas Chin
Liong.
"Mungkin kau benar," ucap Putri Ying lien lagi.
"Tapi, di mana keadilan hidup? Di mana keadilan-Nya,
kallau kita harus menderita seperti itu?"
"Kau tahu, seseorang yang hendak mencapai
tingkat ilmu tertentu, harus lebih dahulu menjalani ujian.
Bukankah guru kita pun memperlakukan kita seperti
itu?”
Putri Ying lien menatap Chin Liong lekat-lekat
dengan sepasang bola mata menawan, yang jarang
dimiliki gadis Tiongkok lain.
"Maksudmu, Dia ingin memberi kita sesuatu yang
besar. Dan agar siap menerima pemberian yang besar,
kita lebih dahulu diujinya?"
"Aku rasa begitu. Dan aku yakin begitu," jawab
Chin Liong, singkat.
Putri Ying lien terdiam dengan kepala tertunduk
dalam. Barangkali dia sedang merenungi perkataan
bijak adik seperguruannya.
"Tapi, aku tak tahan hidup tanpa orang-orang
yang kucintai," keluh gadis itu seperti tak ditujukan pada
Chin Liong.
Chin Liong tersenyum tipis.
"Kau ingin tahu keadilan Nya?" tanya Chin Liong.
Putri Ying lien tak menjawab. Hanya ditatapnya
wajah Chin Liong penuh harap.
"Dia pun menggantikan orang-orang yang kita
cintai Kini, kau memiliki guru dan aku...," kata Chin
Liong!”, sebelum gadis itu berkata-kata.
Putri Ying lien mengangguk lamat. Dalam hati, dia
merutuk, betapa bodohnya karena begitu lambat
menyadarinya. Disumpahinya diri sendiri. Benar kata
Chin Liong. Bukankah dia kini memiliki orang-orang
yang dicintai dan mencintainya, seperti keluarga sendiri?
Saat itulah matanya menampakkan sebaris garis bening
memanjang.
"Kau sunggu-sungguh menyayangiku?" bisik Putri
Ying lien haru.
Chin Liong tak bisa menjawab secepatnya.
Seketika dadanya diusik debur berguruh. Ada yang ingin
diungkapnya saat itu juga.
"Aku..., aku bahkan mencintaimu, Putri Ying
lien...," aku Chin liong terbata.
"Apa maksudmu?" tanya Putri Ying lien tak
mengerti.
"Aku mencintaimu, Putri Ying lien. Apa kau tak
mengerti dan tak merasakannya?"
Putri Ying lien menggeleng-geleng perlahan,
setelah lama memperhatikan wajah terpana.
"Tidak, Chin Liong. Itu tidak boleh terjadi. Kau
harus menjadi adikku. Bukan kekasihku," tolak gadis itu
halus
"kenapa? Apa aku salah bila mencintaimu lebih
dari sekedar adik? Apa itu suatu dosa?" sergah Chin
Liong, tak dapat menerima ucapan terakhir Putri Ying
lien.
"Bukan itu."
"Lalu apa?" desak Chin Liong.
"Entahlah. Aku hanya ingin menganggapmu
sebagai adik," jawab Putri Ying lien, tak memuaskan hati
Chin Liong sedikit pun.
Dengan kecewa, Chin Liong bangkit dari
duduknya Dengan gontai, dia berjalan meninggalkan
Putri Ying lien sendiri. Kepalanya merunduk dalam
seolah telah menerima kekalahan yang menyakitkan.
Setelah Chin Liong lenyap ditelah kerimbunan
rumpun bambu, Putri Ying lien terpaku lama. Seluruh
kata di mulutnya terkunci meski hatinya terus berujar
gelisah. Dia takut telah menyayatkan luka di hati
pemuda itu.
Keterpakuannya berakhir, ketika seseorang
terdengar menyeruak rumpun bambu di belakangnya.
"Ah, Chin Liong! Kupikir siapa," sapa gadis itu.
"Kau tak sakit hati dengan kata-kataku tadi, kan?"
Secara tidak langsung Putri Ying lien mencoba
meminta maaf pada adik seperguruannya.
Pemuda yang baru saja menginjak usia cinta itu
malah menatapnya lama dengan sinar mata yang sulit
dimengerti Putri Ying lien. Matanya memang menyimpan
keterpesonaan, layaknya orang jatuh cinta. Tapi, disana
juga menyembul sinar jalangyang luput dari pengamatan
Putri Ying lien
"Maafkan aku," ucap Putii Ying lien pelan, sambil
memutar tubuhnya kembali Diselingi tarikan napas berat
dia hendak menyambungnya. Tapi, tiba-tiba saja
pemuda belia di belakangnya menyergap kasar.
Tindakan itu benar-benar di luar dugaan Putri
Ying-lien. Sehingga meski ilmu bela diri sudah cukup
baik yang dikuasainya, tetap tak bisa menghindari atau
melepaskan diri dari sergapan itu.
Menyadari dirinya dalam keadaan bahaya,
sementara dalam hati dia amat bingung terhadap sikap
Chin Liong yang tiba-tiba berubah tak sopan, Putri Ying-
lien berusaha melepaskan diri dari sergapannya. Sekuat
tenaga dia berontak. Namun, pemuda di belakangnya
ternyata jauh lebih kuat.
Rasa bingung membuat Putri Ying-lien
memutuskan untuk segera melakukan perlawanan.
Dengan untung-untungan, diinjaknya kaki pemuda itu.
Kakinya memang berhasil mengenai jari kaki pemuda
yang dianggapnya Chin Liong. Tapi, untuk itu dia harus
menerima dorongan kasar dari belakang.
Bruk!
Putri Ying-lien terjatuh. Seketika kepalanya
membentur batu besar di tanah. Dan karena benturan
amat keras menghajar belakang kepalanya, maka saat
itu pula kesadarannya hilang.
Ketika sadar, Putri Ying-lien merasakan seluruh
tubuhnya sakit. Bukan hanya pada kepalanya, tapi juga
bagian kegadisannya. Segera saja disadari kalau
saudara Seperguruannya telah menodainya. Itu benar-
benar menyakitkan. Terlebih, dengan kebutaan yang
dialaminya akibat benturan terlalu keras di belakang
kepala.
Dengan terseok-seok serta meraba-raba, Putri
Ying lien pulang ke pondok gurunya. Padahal, saat itu
Rahib Mata Elang sedang pergi ke ibu kota untuk suatu
urusan.
Setibanya di pondok, gadis itu menerjang pintu ma
suk. Pintu kain berbingkai bambu dijadikan sasaran
kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berbaur
menjadi satu. Di dalam pondok, dia berteriak-teriak
beringas.
"Chin Liong! Di mana kau! Jangan sembunyi,
Pengecut! Akan kucabik-cabik tubuh busukmu!"
Sementara, orang yang dicari memandangnya
penuh keheranan dan keterkejutan. Hati-hati sekali di
bangkit dari semadinya. Lalu, dengan hati-hati pula di
hampirinya Putri Ying-lien.
"Kenapa kau, Putri Ying-lien," tanya Chin Lionj
tanpa berani mendekat pada gadis yang sedang diamuk
amarah ini. "Ke... kenapa penglihatanmu. Dan... dan
kenapa kau berjalan tertatih-tatih seperti itu?"
Bersama isak tertahan, Putri Ying-lien menggigit
bibirnya sendiri. Cuping hidungnya memerah dan
bergerak-gerak karena menahan tangis.
"Bajingan kau! Kau sudah berbuat laknat padaku
tapi kini bertanya kenapa?!"
"Aku sungguh tak mengerti maksudmu, Putri Ying
lien," sangkal Chin Liong. Tangannya terangkat-angkat
di depan tubuh, memperlihatkan kebingungan.
"Bajingan!" maki Putri Ying-lien lagi. Seketika
tangan kanannya menyampok ke depan tepat mengenai
wajah Chin Liong.
Plak!
"Ah! Apa-apaan kau ini Putri Ying-lien! Apa kau
tak bisa menjelaskan dulu duduk persoalannya dengan
kepala dingin padaku? Kalau aku punya salah.
Katakanlah. Setelah itu, ceritakan kenapa kau bisa jadi
begitu!" bentak Chin Liong. Kemarahannya ikut
terpancing setelah merasakan pedas di pipinya.
"Masih juga berpura-pura! Kau telah
menodaiku,Chin Liong! Aku saja! Dan akibat
perbuatanmu, kini mataku tidak bisa melihat lagi...!"
Di batas itu, benteng kewanitaan Putri Ying lien
tak bisa membendung tangisnya.
"Kau kejam, Chin Liong! Tidakkah kau bisa
menerima jiwa besar kalau aku tidak bisa
mencintaimu?" kata Putri Ying lien bergetar.
"Aku?" tanya Chin Liong, nyaris bergumam.
"Siapa lagi?!"
Chin Liong terpaku. Pikirannya kini terlempar pada
suatu hal. Ingatannya seketika bergeliat. Dia ingat pada
saudara kembarnya yang terpisah di Hutan Bambu
Kuning beberapa tahun lalu.
"Jadi Chin Chung belum mati...," bisik Chin Liong.
Sctelah itu, Chin Liong membujuk Putri Ying-lien untuk
lebih tenang. Agak susah payah, akhirnya gadis malang
itu bisa ditenangkan juga. Lalu pemuda itu menceritakan
tentang saudara kembarnya yang selama ini tak pernah
diceritakannya pada Putri Ying-lien. Bahkan pada
gurunya sendiri, Rahib Mata Elang. Alasannya, karena
Chin Chung dianggap sudah mati. Dia tak ingin
kesedihannya timbul jika mengingat Chin Chung.
***
"Sebenarnya kami amat membutuhkan seorang
yang sanggup menandingi kesaktian Chin Chung.
Apalagi, kini dia telah menguasai Pusaka Langit
yang mampu melipat gandakan kekuatannya. Sebelum
memiliki benda langit itu, tingkat kesaktiannya setaraf
denganku. Setelah benda itu dimiliki, maka bisa jadi
kepandaiannya berada tiga belas tingkat di atasku," kata
Putri Ying-lien, setelah lama terdiam dengan ingatannya
kembali ke masa lalu.
Bagi telinga Andika, ucapan terakhir Putri Ying lien
terdengar seperti sebuah pengajuan uji tanding.
"Jadi maksud, Putri?" tanya Andika ingin langsun
ke inti permasalahan.
'Maaf sebelumnya, Tuan. Aku terpaksa mengujimu
dulu," kata Putri Ying-lien, menuntaskan maksudnya.
Andika melirik Chin Liong, seakan meminta meir
pertimbangan.
"Maaf, Putri. Kurasa tidak perlu. Aku amat tahu
tentang pendekar kita ini. Di negerinya, orang-orang
persilatan mengakui kalau kesaktiannya sulit tertandingi.
Kecepatannya bagai hantu. Dan kekuatannya bagai
naga langit. Setelah Chin Chung menguasai Pusaka
Langit, harapan kita mungkin hanya pada dirinya, selak
Chin Liong.
Selaku orang yang langsung memohon bantuan
pada Andika dia merasa tak enak hati kalau kemampuan
pendekar muda itu diragukan.
"Namun begitu, aku belum yakin kalau belum
dibuktikan, Chin Liong," putus Putri Ying-lien tegas.
Andika akhirnya hanya bisa mengangkat bahu.
Didahului helaan napas, matanya menatap tajam Putri
Ying-lien.
'Baiklah. . Aku menerima keputusanmu."
Putri Ying-lien mengembangkan senyum. Matanya
tetap tak bergeming.
"Apa aturan mainnya?" tanya Andika.
"Kalau kau mampu mengalahkanku dalam
sepuluh jurus aku akan terima," aju Putri Ying-lien.
"Kenapa tak lima jurus saja?" tantang Andika.
Sementara, Cebol Bermuka Merah di sisi kiri
Pendekar Slebor mendadak terperangah. Tak pernah
dinyana kalau pemuda yang tergolong hijau usianya,
begitu berani menantang seorang pendekar wanita
Tiongkok yang disegani, hanya dalam lima jurus.
Apakah pemuda ini mungkin sudah gila?
Sesaat wanita jelita yang masih duduk menekuk
lutut di sisi perapian itu terdiam.
"Apa kau yakin?" ungkap Putri Ying-lien
kemudian.
"Yap," jawab Andika mantap, seraya
mengangguk.
***
TIGA
Andika dan Putri Ying-lien naik ke satu altar
pemujaan yang berupa panggung di salah satu sudut
ruangan. Altar batu itu sebenarnya tidak cukup lebar
untuk satu pertandingan. Dalam lima jurus sesuai
kesepaktan, siapa yang terlempar dari tempat itu
dianggap sebagai pihak yang kalah.
Kini mereka saling berhadapan dalam jarak tiga
tombak. Dan sampai saat ini, Andika masih saja
menyangsikan bola mata Putri Ying-lien yang jarang
sekali bergerak seperti orang lain. Timbul kecurigaan
dalam dada Andika. Apalagi ketika menggerakkan
tangan perlahan ke depan.
“Tunggu.. tunggu!, Aku tak mungkin menghadapi
wanita buta! Dimana wajahku akan kutaruh?!”
Sementara Putri Ying Lien di depannya malah
tertawa.
"Jangan khawatir. Mataku memang buta. Tapi,bisa
sehebat orang-orang yang melek," kata wanita cantik itu
ringan.
Kalimat Putri Ying-lien tadi seperti menggiring
ingatan Andika, saat pertama kali masuk ke ruang ini.
Saat itu Putri Ying lien tahu kalau dia berdiri di sisi Chin
Liong. Padahal, Chin Liong sendiri sama sekali belum
memperkenalkan pada Putri Ying-lien. Lalu, bagaimana
caranya dapat mengetahui?
Jadi, bagaimana?" lontar Putri Ying-lien,
membuyarkan ingatan di benak Andika.
“Aku tetap tak akan tega melayani wanita buta
sepertimu," sahut Andika, bersikeras.
Bagi Pendekar Slebor, bukan hal yang ksatria jika
mesti berhadapan dengan orang cacat. Apalagi seorang
wanita.
Sementara Putri Ying-lien di depannya malah i.
"Anak muda cerewet! Kau tak perlu banyak mulut!
Jangan dipikir akan bisa mengalahkan Bidadari Buta
Bersayap Naga!" bentak Chia ceng. Laki-laki ini
memang sudah amat dongkol dengan bawelnya mulut
Andika.
Jadi, julukan Bidadari Buta Bersayap Naga, Putri
Ying Lien?” tanya Andika. ,
“Ya!” jawab Putri Ying-lien singkat "Kebutaanku ini
justru membuat namaku ditakuti. Apa kau juga takut
mendengar julukanku?”
Andika mengungkit sudut bibirnya. wanita ini
ternyata cukup keras kepala juga.
"Baik kalau itu maumu,” ucap Andika seraya
menaikkan bahu, "Baik kalau itu maumu," ucap Andika,
seraya menaikan bahu. "Tapi jangan salahkan, kalau
lutut halusmu mencium lantai."
"Coba saja," tanggap Putri Ying-lien, menantang.
"Kau boleh menyerangku lebih dahulu," ucap
Andika lagi, menimpali tantangan Putri Ying-lien.
Putri Ying-lien tak mengulur waktu lebih lama lagi.
langsung diterjangnya Andika yang masih berdiri santai.
Tanpa ragu-ragu, dibukanya jurus yang menurutnya
bisa diandalkan. Jemarinya membentang dalam gerakan
tangan gemulai, bagai irama ombak. Di balik
kegemulaian itu tersimpan tenaga dalam tingkat tinggi,
yang mampu membelah dada seseorang dalam satu
sapuan.
Tangan lentik Putri Ying-lien yang mengandung
maut, menyerbu lurus ke dada Andika. Siapa pun akan
dibuat kewalahan oleh kecepatan gelombang tangan
yang mulai menampakkan bayangan, saking cepatnya
Tapi, tidak bagi Pendekar Slebor!
Sekali melengos ringan ke sisi kanan saja,
Pendekar Slebor sudah membuat sapuan jemari lawan
memakan angin.
"Kau ini pendekar wanita atau penari?" cemooh
Andika, sambil memajukan bibir ke telinga Putri Ying
lien.
Putri Ying-lien yang mengandalkan ketajaman
telinga saat bertempur, segera mengibaskan satu
tangan samping. Punggung tangannya bergerak deras,
hendak menghajar wajah Andika.
Kali ini, Andika tidak berniat menghindar.
Pendekar Slebor ingin mengetahui, sampai di mana
tingkat tenaga dalam wanita itu. Untuk itu, dihadangnya
tangan indah ini dengan tangannya pula.
Des!
Punggung tangan langsung Putri Ying-lien,
membentur pergelangan tangan Andika. Seketika timbul
bunyi cukup keras, pertanda dua kekuatan tangguh
telapak bertemu.
Andika mengira lawannya akan mengeluh
kesakitan. Apalagi sebagian tenaga sakti warisan
Pendeki Lembah Kutukan sudah dikerahkan. Namun
kenyataan yang didapati jauh dari dugaan. Tak ada satu
erangan pun terlepas dari mulut indah Putri Ying-lien.
Dengan begitu, Andika bisa mengambil
kesimpulan kalau lawannya memang pantas memiliki
nama besar seperti dikatakan si Cebol Bermuka Merah.
Dalam hati, Andika mau tidak mau memuji juga
kehebatan Putri Ying lien, meski sebelumnya
meragukan kepandaiannya.
Dalam uji tanding ini, Putri Ying-lien rupanya
mengambil kendali serangan. Sejak awal, Pendekar
Slebor tak diberi kesempatan untuk balik menyerang.
Tapi, bukannya Andika tak bisa balas menyerang.
Sebagai pendekar kawakan berkesaktian tinggi, bisa
saja kesempatan sekecil apa pun dimanfaatkan. Hanya
saja, dia tak ingin melakukannya. Entah bagaimana, dia
jadi khawatir Putri Ying-lien akan mengalami cedera jika
mesti menerima hantamannya. Wanita itu ibarat karya
seni bernilai tinggi bagi Pendekar Slebor. Sedikit saja tak
boleh lecet, karena akan berkurang kecantikannya.
Putri Ying-lien rupanya menyadarinya. Maka dia
pun berusaha memanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan
ketangkasan seekor kijang betina, kembali Andika
digempurnya.
"Hih!"
Sebuah sapuan kaki yang manis sekaligus
berbahaya dikirim Putri Ying-lien ke rusuk Pendekar
Slebor. Belum lagi tendangan itu mendarat pada
sasaran, sepasang tangannya yang membentang,
bergerak lurus ke satu titik. Dua sisi telinga Pendekar
Slebor tampak hendak ditumbuknya.
Deb! Wet!
"Iyauo!"
Sambil berteriak kebodoh-bodohan, Andika
melempar tubuhnya ke belakang. Dia bersalto sekali,
untuk mematahkan tendangan Bidadari Buta Bersayap
Naga, sekaligus tumbukan kedua telapak tangannya.
Putri Ying-lien yang berjuluk Bidadari Buta
Bersayap Naga tak membiarkan Pendekar Slebor lolos
begitu saja. Selagi tubuh pemuda itu melayang lurus di
udara, kedua kakinya segera dihentakkan. Tubuh
Andika segera disusul dengan satu sergapan. Lalu
secepatnya kaki Pendekar Slebor disergap.
Andika terkesiap, menyadari kakinya kini dicengke
ram tangan Putri Ying-lien. Cengkeraman itu berusaha
dilepaskan dengan menghentakkan kuat-kuat. Dan
usahanya tampaknya sudah terlambat. Lawan
wanitanya ternyata sudah lebih dulu mempererat
cengkeraman.
Alhasil, keduanya melayang di udara seperti dua
mata rantai yang terhubung satu sama lain. Dan ketika
Pendekar Slebor menjejakkan tangan ke lantai altar,
Bidadari Buta Bersayap Naga justru meneruskan
luncuran tubuhnya dengan melempar kaki ke depan.
Sampai saat ini, Andika baru menyadari kalau
terlalu meremehkan wanita buta itu.
Sesaat berikutnya, Pendekar Slebor menyesali
keterlambatan sikapnya. Karena kini, dengan mudah
Putri Ying-lien memutar kaki kirinya satu lingkaran ke
bawah, menuju dada Andika.
Bukh! "Egkh!"
Andika mengeluh tertahan. Ulu hatinya kontan
terasa mual, tak tertolong. Tak hanya itu. Tubuhnya pun
terlempar bagai karung kering tak berarti keluar arena
pertandingan.
Bruk!
Satu debam cukup keras, tercipta manaka tubuh
Pendekar Slebor disambut lantai di luar altar. Kalau tadi
Andika bisa meledek lutut Putri Ying-lien mencium lantai,
kini justru lututnya yang mencumbu batu pualam ku-
sam itu. Bahkan lebih mesra.
"Hanya tiga setengah jurus!" seru Putri Ying-lien,
seperti meledek sesumbar Andika sebelumnya.
"Bagaimana mungkin pemuda seperti ini akan mampu
mengalahkan Chin Chung? Aku yakin, dia hanya
mencari borok jauh-jauh ke negeri ini...."
'Tunggu dulu!" sergah Andika.
Pendekar Slebor segera bangkit terseok-seok,
sambil mengelus-elus dengkulnya yang berdenyut-
denyut.
"Aku minta uji tanding ulang!" usul Andika ngotot
"Terus terang saja, tadi aku belum begitu sungguh-
sungguh."
Putri Ying lien memamerkan barisan giginya yang
memikat.
"Ah! Tidak ada aturan seperti itu! Kau kira
pertandingan tadi semacam permainan anak ingusan
yang bisa diulang?"
Mata Andika melotot sebesar jengkol, mendapat
tolakan itu. Dongkolnya bukan main mendengar
keputusan Putri Ying-lien. Dengan bersungut-sungut, dia
kembali ke atas altar.
"Ini tidak bisa kuterima! Kita harus bertanding
ulang!" rutuk Pendekar Slebor, benar-benar ngotot kali
ini. Sampai-sampai urat-urat di lehernya menonjol
keluar.
'Tidak bisa." Putri Ying-lien menggeleng. Kakinya
melangkah enang ke anak tanggang altar.
"Tak perlu lima jurus. Tiga jurus saja.'Aku pasti
bias menundukkanmu!" cecar Andika lagi.
Tidak bisa."
"Dua jurus?" desak Andika, tak mau menyerah.
Putri Ying-lien tetap menggeleng.
"Kalau begitu, berilah aku satu jurus saja untuk
mengalahkanmu...," ratap Pendekar Slebor mulai
memelas. Mirip bocah tolol meminta jatah ketupat.
Permintaan Andika tak dipedulikan Putri Ying lien.
Kakinya terus melangkah lambat ke anak tangga.
Kemudian dituruninya satu persatu dengan rabaan tumit
kaki.
"Chin Liong! Ajak pemuda pecundang itu keluar.
Aku bukannya menghina. Tapi kenyataannya, dia
memang tidak dibutuhkan," ujar Putri Ying-lien,
setibanya di dekat Chin Liong.
Pedas telinga Andika mendengar perkataan Putri
Ying-lien. Didekatinya wanita jelita itu dengan langkah
terbanting-banting.
"Jangan sesombong itu, Ying-lien!" bentak
Pendekar Slebor tanpa embel-embel 'putri' lagi seperti
saat sebelumnya.
"Chin Liong!" seru Putri Ying-lien.
Dengan agak terpaksa, Ching Liong merengkuh
tangan Andika. Lalu, digiringnya pemuda keras kepala
itu keluar kuil.
"Satu jurus saja, Ying-lien!" teriak Andika sebelum
benar-benar diseret keluar oleh Chin Liong.
***
Malam kini bertandang ke angkasa kota
Yingtienfu. Di atas sana, bulan membulat peniih. Tak
ada arakan awan kelabu berarti yang mengusik
singgasana sang Dewi Malam. Sementara barisan
bintang-bintang mengawal penampilannya.
Malam ini adalah hari kelima belas, bertepatan
dengan pesta lentera Cap Go Meh. Di jalan, kerumunan
orang terlihat. Masing-masing membawa lampu kertas
yang digantung pada sebatang bambu berhias.
Pesta rakyat yang cukup meriah ini tidak
mengusik keasyikan dua pemuda gagah di dalam satu
kedai makan. Mereka adalah Pendekar Slebor dan Chin
Liong. Setelah lelah seharian tadi melakukan perjalanan
untuk menemui Putri Ying-lien, mereka memutuskan
untuk mengisi perut sambil beristirahat sekadarnya.
Di salah satu sudut kedai makan, keduanya duduk
menikmati hidangan di atas meja. Saat itu, suasana
kedai bisa dibilang sepi. Hanya ada dua orang selain
mereka yang duduk di dekat pintu masuk. Maklum saja.
Keramaian Cap Go Meh menyedot para pengunjung
yang biasanya masih menyempatkan diri untuk
berbincang- bincang di sana.
Saat ini wajah Andika masih tampak kesal. Tentu
saja karena peristiwa siang tadi,saat dicundangi seorang
wanita buta! Bayangkan, Wanita buta! Bagaimana
hatinya tidak mendongkol setengah edan?”\
Kau masih ingin tahu, kenapa anak Raja seperti
Putri Ying Lien bersembunyi ditempat seperti itu?” tanya
Chin Liong, membuka percakapan.
Acuh tak acuhAndika menjumput sayuran matang
dengan sumpit. Setelah memasukkannya ke dalam
mulut, ditanggapinya dengan masa bodoh pertanyaan
Chin Liong.
"Terserah kau."
"Sebenarnya dia adalah salah seorang keturunan
petapa sakti yang menemukan batu Pusaka Langit
pertama kali. Ayahnya, raja negeri ini dan merupakan
keturunan ketujuh dari sang Pertapa. Sewaktu Putri Ying
lien masih berumur lima belas tahun, terjadi perang
saudara untuk merebut kekuasaan dari tangan ayahnya.
Para pengkhianat berhasil membunuh keluarga
kerajaan. Dan yang tersisa hanya Putri Ying lien, setelah
diselamatkan Chia-ceng yang hingga kini menjadi
pengasuh sekaligus pengawalnya...."
Chin Liong menghentikan cerita sesaat. Diteguk
nya arak dari cangkir keramik. Setelah menyeka sisa
arak di bibir dengan ujung lengan baju, dia siap-siap me
lanjutkan cerita.
"Kursi kekuasaan sampai saat ini masih diperebut
kan oleh pihakyang masih setia dengan kerajaan,
melawan para pengkhianat. Bergulirnya waktu hingga
lima belas tahun berlalu, tak mengubah keadaan itu.
Perang dan pertempuran masih sering terjadi di
beberapa tempat yang diperebutkan...."
"Lalu, kau hadir di pihak kerajaan. Sedangkan,
saudara kembarmu hadir di pihak Iawan?" selak Andika,
menduga.
"Ya," desah Chin Liong amat berbeban. "Berat
sekali jika harus berhadapan dengan saudara sedarah
sendiri. "Tapi, aku tak bisa menolak panggilan negara."
Andika mengangguk-angguk. Bisa dirasakan
keprihatinan Chin Liong terhadap sikap saudara
kembarnya yang memihak para pengkhianat. Saat
seperti itulah
Pendekar Slebor harus bersikap selaku seorang
sahabat yang sudi berbagi rasa dengannya. Ditatapnya
mata Chin liong lekat-lekat, seolah siap menerima cerita
dan keluh kesah pemuda Tiongkok itu.
Karena Chin Liong hanya diam sambi] mengetuk-
ngetuk meja dengan jari, akhirnya Andika mencoba ber
tanya.
"Lalu, apa kaitannya Pusaka Langit dengan huru hara di negeri ini?" tanya Pendekar Slebor seolah-olah
tak mengerti.
Padahal Andika cukup paham arti penting benda
sakti itu untuk mendukung kemenangan pihak kerajaan.
Itu dilakukan untuk mengenyahkan kesedihan Chin
Liong.
"Ah! Kau pasti sudah tahu Andika. Kau hanya
ingin coba agar aku tak berkecil hati dengan sikap Chin
Chung, bukan?"
Andika tertawa renyah. Ditepuk-tepuknya
punggung tangan pemuda Tiongkok itu.
"Ya... ya," kata Pendekar Slebor.
"Tentu saja benda itu amat berarti bagi perjuangan
kami " jelas Chin Liong, "Jika batu langit itu sudah
dijadikan mata pedang dan disatukan dengan gagang
pusaka, maka akan menjadi lambang kejayaan kerajaan
kami. Lebih dan itu, benda itu tentunya amat berperan
banyak dalam menentukan kemenangan perjuangan
kami. Jika Thian mengizinkan...."
"Ya! Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan," timpal
Andika dalam hati.
Sementara itu, tanpa ada yang tahu dua pasang
mata sedang menatap mereka tajam-tajam. Kedua
mata-mata itu terus menguping pembicaraan Andika dan
Chin Liong hati-hati. Mereka adalah dua lelaki yang
duduk di meja dekat pintu masuk.
***
EMPAT
"Bagaimana menurutmu keputusan Putri Ying-lien
kemarin?" tanya Andika pada Chin Liong.
Saat itu keduanya tengah melangkah ke arah
tenggara. Mereka berjalan bersisian di suatu lembah
yang banyak ditumbuhi pepohonan. Memang, ada
seseorang yang mesti ditemui.
"Mengenai penolakannya terhadap uluran
tanganmu?" balik Chin Liong, ingin memperjelas arah
pertanyaan kawannya.
Andika mengangguk.
"Tak perlu kau tanggapi. Kalau sikapku tetap
sebagai abdinya, tentu kau sudah kusuruh kembali ke
negerimu. Tapi aku amat tahu, siapa kau. Dan,
bagaimana kemampuanmu. Jika kupikir ada baiknya
tidak kuturuti dulu perintah Putri Ying-lien...."
"Ahaaa! Apa aku tak salah dengar?"selak
seseorang tiba-tiba dengan suara lantang menggelegar.
"Chin Liong, Pendekar Bermuka Dingin yang setia pada
kerajaan, ternyata masih menyimpan sifat
membangkang juga!"
Seketika langkah Andika dan Chin Liong lantas
terhenti, Mereka berdiri tegak tanpa gerak. Hanya wajah
mereka menampakkan kesiagaan penuh.
"Aku kenal suara itu," bisik Chin Liong.
"Kurasa aku tidak kenal," timpal Andika agak
dungu. Bagaimana dia bisa mengenali suara yang baru
kali ini didengarnya?
"Si Pembawa Badai...," desis Chin Liong kembali,
menyebulkan satu julukanseseorang. Wajahnya tampak
memerah, menampakkan ketegangan memuncak dalam
dada.
"Apa? Kau tadi bilang apa?" tanya Andika, tak
mengerti.
"Orang itu adalah Si Pembawa Badai, salah
seorang 'datuk sesat yang tergabung dalam Empat
Penguasa Penjuru Angin. Mereka berempat pemegang
kendali napas dunia kaum sesat," tutur Chin Liong
penuh getaran. Tampaknya, nama yang baru saja
disebut tadi benar-benar nama besar yang menakutkan.
"Kau takut?" usik Andika.
"Aku bukan pengecut," tandas Chin Liong. "Aku
tahu, mereka memiliki kepandaianyang melebihi diriku
jika bergabung menjadi satu. Itu sebabnya, perasaan
gentar selaku manusia tetap ada dalam diriku. Tapi
kukatakan sekali lagi, aku bukan pengecut!"
Tak berapa lama kemudian, mereka melihat
seseorang muncul dengan cara memukau. Mula-mula
berhembus angin kuat dari arah munculnya orang yang
berjuluk Si Pembawa Badai. Begitu kencangnya tiupan
angin itu, membuat debu berhamburan dan dedaunan di
ranting-ranting pohon tersapu tanpa daya. Saat berikut
nya, angin makin menggila. Bisa saja Andika dan Chin
Liong terhempas berbarengan. Untung mereka segera
mengokohkan kuda-kuda.
Tak lama, muncul Si Pembawa Badai yang
meluncur di permukaan tanah dengan kedua kakinya.
Bagaimana dia melakukannya, Andika sendiri tidak
mengerti. Kedua kakinya tak terlihat bergerak sama
sekali. Seolah-olah, lelaki itu sedang berdiri pada
sebuah papan luncur tak terlihat.
Si Pembawa Badai adalah lelaki tua berusia lebih
dari seratus tahun. Tak hanya namanya yang
menghantui negeri itu selama tiga turunan.
Penampilannya pun demikian menakutkan. Rambutnya
yang putih merata dan kaku, memanjang hingga
kebahu. Malah, sampai menutupi sebagian wajahnya.
Wajahnya pucat yang bagai mayat, tampak sudah
mengeriput. Matanya sudah begitu kelabu, tapi tetap
memiliki sinar keji. Tubuhnya yang kurus dan agak
membungkuk, terlihat tersengal- sengal menyeret
napas. Kekurusannya terlihat jelas karena mengenakan
jubah hitam kelam.
Orang yang baru pertama kali melihatnya, tentu
tak akan menyangka lelaki tua yang tampak tak berdaya
itu memiliki ilmu hitam yang sanggup mengarak topan
badai dari kutub bumi.
Angin kencang baru berhenti bertiup, ketika Si
Pembawa Badai telah berdiri sekitar empat belas
tombak dari tempat Andika dan Chin Liong. Dia berdiri
kaku laksana nisan pekuburan.
"Kau tahu, Chin Liong. Saudara kembarmu
memintaku menghabisi nyawamu," ancam Si Pembawa
Badai dengan suara serak. "Entah bagaimana, dia bisa
begitu membencimu. Tapi aku senang, ternyata Chin
Chung memiliki kebencian padamu. Karena, aku sendiri
amat muak melihat orang sepertimu."
Chin Liong mendengus, mendengar ucapan Si
Pembawa Badai.
"Kau boleh menjadi momok negeri ini. Tapi, tidak
bagiku," tegas Chin Liong, penuh tantangan. "Kalau pun
kau bergabung menjadi satu dengan kelompokmu, aku
tak akan lari!"
"Huak hak hak...! Aku suka sikapmu. Sayang, kau
ternasuk orang tolol yang tak sejalan denganku," leceh
Si Pembawa Badai disertai tawa keras, namun dengan
mimik wajah dingin.
"Hey, Tiang Jemuran! Kau terlalu banyak bacot!"
hardik Andika menyela.
Pendekar Slebor betul-betul amat muak melihat
gaya bicara lelaki tua itu. Angkuh dan terlalu
memandang remeh orang lain.
Mendengar hardikan barusan, alis putih Si
Pembawa Badai terangkat sebelah. Selama ini, tak ada
seorang pun di negerinya yang begitu bernyali
menyebutnya 'tiang jemuran'. Dan hari ini, tiba-tiba saja
ada pemuda asing yang enak saja membuka mulut
selancang tadi. Diliriknya Andika dengan air wajah tak
berubah. Tetap dingin menggidikkan!
"Sebutkan namamu, Bocah. Aku akan senang
sekali bila mengetahui nama orang yang akan
kupenggal sebagai tumbal kesaktianku," ujar Si
Pembawa Badai, datar.
"Huahakhak...!"
Kali ini Andika yang tertawa. Ditirunya gaya Si
Pembawa Badai yang bermaksud mengolok-oloknya.
"Gampang sekali kau memenggal kepala orang,"
Iedek Andika lagi.
Lalu Pendekar Slebor mendekatkan mulutnya ke
telinga Chin Liong. Seolah-olah, keberadaan lelaki tua
itu sekadar kentut baginya.
"Dipikir nyaliku akan kempis dengan berkata
seperti itu padaku? Ah! Maaf-maaf saja...," bisik Andika.
Telinga Si Pembawa Badai langsung terasa
terbakar. Di samping gusar, hatinya juga mulai
meragukan apakah pemuda yang berbicara padanya
memang benar- benar waras. Sewaras-warasnya
pemuda negeri ini, tak ada yang punya nyali untuk
melecehkannya. Bahkan di belakangnya sekali pun.
Sedangkan pemuda itu seakan gampang saja buang
kotoran di wajahnya.
Sementara, Chin Liong sendiri yang cukup lama
mengenal Andika sempat pula terperangah-perangah.
Dia tak habis pikir, apakah otak kawannya ini ada di
pantat? Padahal, yang dihadapi kini bukan tokoh biasa.
Si Pembawa Badai adalah satu tokoh terkenal yang
sudah menjadi cerita menakutkan bagi setiap warga
negeri ini. Kesaktiannya bahkan sempat disejajarkan
dengan Lo Pan, manusia terkutuk yang memiliki
kesaktian iblis dalam cerita rakyat Tiongkok. Biarpun
Chin Liong bisa berkata tidak takut, tapi dia lebih suka
menghindari pertemuannya dengan laki-laki itu.
Menghadapinya saja, sudah bisa dipastikan berarti mati.
Apalagi jika sudah bergabung dengan tiga rekannya.
Mereka akan menjadi lawan tak terkalahkan!
Chin Liong masih sibuk dengan keterpanaannya
terhadap sikap masa bodoh Andika. Di lain pihak,
Andika malah sudah beranjak dari tempatnya. Kakinya
ma ju beberapa langkah ke arah Si Pembawa Badai
dengan sikap acuh.
"Htiy! Apa yang kau tunggu lagi? Kau bilang tadi,
kau ingin memenggal kepalaku? Ayo lakukanlah!" ujar
Pendekar Slebor, setelah menaikkan kedua alisnya.
Mendengar tantangan ini, Si Pembawa Badai
terpancing kemarahannya. Terdengar geramannya yang
berat, sebagai ungkapan kemurkaannya yang
membludak. Tapi Andika juga tak mau kalah. Dia ikut
menggeram seperti kucing lapar.
"Khrrraaagkh!"
Di antara serbuan debu mendadak dihempas
angin, geraman berat dan gerakdari lelaki tua itu
mengangkasa seakan siap membelah langit. Tubuhnya
bergetar. Sedangkan mata kelabunya mulai berpijar
kemerahan. Pertanda tenaga hitamnya sedang
dikerahkan.
"Andika, hati-hati! Dia hendak mengeluarkan ilmu
hitamnya!" seru Chin Liong, memperingati kawannya.
Sayang! Peringatan itu terlambat. Si Pembawa
Badai nyatanya lebih dahulu mengangkat telapak tangan
kanannya ke muka, sebelum Andika benar-benar
menyadari kekuatan hitam yang siap mengganyangnya.
Wusssh!
Seketika tiupan angin amat besar dan kuat
tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak
gerakan angin membentuk pusaran seperti puting
beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa Badai, angin
yang tercipta terus berputar kian besar ke arah
Pendekar Slebor dengan ce pat.
Tak ada sekejapan mata, angin puting beliung itu
sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga
kalau serangan yang datang berbentuk demikian.
Seketika tubuhnya terangkat di udara, lalu berputar
tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh
Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru.
Dia merasa bagai ditenggelamkan ke dalam dasar laut
ratusan tombak dari permukaan. Dadanya mendadak
menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah
pemuda itu tidak bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di
matanya hanya garis-garis kabur tak teratur.
"Huak hak hak. Kau hanya anak lalat tak berarti!
Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan
apa-apa bagi Si Pembawa Badai!"
Di antara suara bising seperti dengung jutaan
lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap
suara Si Pembawa Badai mencemoohnya.
Chin Liongyang melihat kejadian ini terpaksa
harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar
bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat
celaka.
"Hiaaa!"
Sambil berteriak keras-keras, dengan nekat Chin
Liong menerjang lelaki tua itu. Langsung dilepaskannya
satu tendangan terbang.
Kaki kanan Chin Liong menegang lurus ke arah
kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan
tengkoraknya. Tapi, apa mau dikata? Ternyata tokoh
sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi
perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja,
luncuran tubuh Chin Liong dapat ditahan. Lalu secepat
sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut
Chin Liong.
Debb!!
“Aaaakkhh”!
Dibanding ranting kering mungkin tubuh Chin
Liong lebih terlihat ringan melayang di udara begitu
perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai.
Entah tenaga dalam apa yang disalurkan orang tua itu.
Yang pasti pemuda Tiongkok itu terlempar sejauh dua
puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut.
Tanpa sempat berteriak, tubuh Chin Liong jatuh di
tanah dan langsung bergulingan beberapa saat.
Kesadarannya memang tak hilang saat tubuhnya
berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi
lawan kembali.
Chin Liong ternyata hanya dapat berdiri
sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya
menatap nanar ke arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya
dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang berat tubuh
dengan kedua kakinya.
"Khiaaa...!"
Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar
lengkingan tinggi dan dahsyat menyeruak putaran angin
puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat
mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan
makin nyaring mengguncang pusaran angin ciptaan Si
Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut bergetar.
Saat berikutnya, pusaran angin itu mulai menjadi tak
terarah lagi.
"Khiaaa!"
Lengkingan itu kini berubah menjadi teriakan
seseorang yang meluncur keluar dari pusaran angin
yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar
Slebor. Saat berada di perut angin puting beliung tadi,
Andika merasa telah dipermainkan seseorang yang baru
saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di
sekujur dirinya. Dan ini membuat kemarahannya
meledak.
Kemurkaan bagi Pendekar Slebor, berarti
terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang
mampu membuat pertahanan terhadap serbuan lidah
petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau
ternyata pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si
Pembawa Badai mampu didobraknya.
Kini, Pendekar Slebor berdiri dengan seluruh
kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai.
Penampilannya sudah kusut-masai. Rambutnya yang
memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara,
pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh
hanya kain pusaka bercorak papan catur di bahunya.
Dari semua itu, yang amat mengerikan bagi Si
Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar
matanya begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk.
Bahkan gelegak kemurkaan yang terpancar dari mata
Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mala lawan.
"Chiaaa...!"
Dan tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak
kembali. Serangkai gerakan aneh yang kecepatannya
nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan
Andika. Sementara satu selubung cahaya perlahan
terlihat bagai sinar tipis berkabut.
Sementara itu Si Pembawa Badai tersekat. Tanpa
sadar dia menahan napas.
"Tidak mungkin," bisik orang tua itu, tak percaya.
Selaku tokoh yang hidup selama lebih dari seratus
tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur.
Malah, juga amat tahu ilmu yang kini diperlihatkan
pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya
karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama
beberapa turunan di negerinya. Ilmu Timur yang tak
sembarang orang bisa memilikinya itu kini benar-benar
diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang
pemuda belia....
"Pergilah kau ke neraka, Manusia Busuk!" teriak
Andika begitu menggelegar. Lalu....
Srash!
Seketika tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua te-
lapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian
deras, bersama desis halus namun tajam.
Desh!
"Aakhg!"
Seperti Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga
mengalami nasib serupa. Tubuh kurusnya kontan mela
yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada
selembar daun kering yang ditampar angin. Bahkan
mulut nya pun menyemburkan darah kehitam-hitaman.
Setelah melayang hampir dua puluh lima tombak
dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si
Pembawa Badai. Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua
aliran sesat itu masih mampu mengembalikan
keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga
kedua kakinya saat menjejak tanah.
Tarikan napas orang tua itu lerdengar berat
tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya,
lalu menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.
"Chin Liong! Kau tak apa?!" tanya Andika dengan
berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah menghilang.
"Chin Liong menoleh.
"Tidak," sahut Chin Liong. "Kejarlah dia! Mungkin
kita bisa mengorek sedikit keterangan."
Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa
Badai. Lalu, matanya beralih ke arah Chin Liong
kembali.
"Biar aku meneruskanperjalanan sendiri untuk
menemui seorang mata-mata pihak kerajaan. Nanti, kita
bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu!" kata
Chin Liong.
Andika mengangguk tanda setuju. Seketika,
dikejarnya Si Pembawa Badai.
***
LIMA
Pengejaran Andika ternyata tak perlu memakan
banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum
teh, pendekar muda itu sudah dapat melihat kembali Si
Pembawa Badai.
Tapi kini, datuk sesat itu tidak sendiri. Ternyata
ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku,
bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran
kering kerontang. Angin siang yang berlari di atas tanah
tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke
udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri
berjajar.
Si Pembawa Badai berdiri paling kiri. Di sisi
kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang
lelaki" sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk,
ditumbuhi benjolan-benjolan kecil berwarna merah.
Sehingga hidungnya nyaris tidak berbentuk. Apalagi
bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah
buruknya, dia lebih banyak merunduk. Sehingga,
rambutnya yang memanjang ke depan bisa menutupi.
Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali
sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung
logam tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa
libatan kain berwarna merah, hingga pangkal lengan.
Sementara punggungnya dibebani buntalan besar
melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya
tidak pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai.
Tapi orang lebih mengenalnya sebagai Hantu Bisu Kaki
Baja.
Sedangkan di sebelah Hantu Bisu Kaki Baja
adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena
pribadinya begilu membingungkan. Suatu saat dia bisa
menjadi seorang wanita manja. Di saat lain, dia berubah
menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam,
periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa
sekejam serigala betina haus darah, urakan, acuh, dan
tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam
pribadinya yang aneh.
Dewi Seribu Diri berwajah cantik. Menurut Andika,
wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien.
Rias wajahnya begitu berlebihan. Dan tataan rambutnya
kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan hiasan
bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para
wanita bangsawan Tiongkok, panjang hingga menutupi
mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga berwarna-
warni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera
merah jambu.
Orang terakhir adalah lelaki berusia sekitar
setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si
Pembawa Badai. Sebagai anak, wajahnya pun hampir
serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah
penampilan. Rambutnya tak terlalu berubah. Badannya
tetap terlihat kekar meski usianya sudah cukup lanjut.
Pakaiannya kumal, warna merah. Sayang, tubuh
kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua
tangannya tampak cacat dengan jari mengejang kaku di
sisi dadanya. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang
dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang
bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia
dikenal sebagai Pencuri Jantung!
“Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul"
duga Andika saat teringat ucapan Chin Liong tentang
mereka.
Keempat orang itu menyambut dingin kata-kata
Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat
mengumbar senyum pada pemuda tampan itu. Sesekali
tangannya yang berjari lentik dan berkuku panjang,
menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah,
hendak memamerkan kecantikannya pada Andika.
"Apa kalian tidak punya kerja lain, sehingga masih
punya waktu untuk menghadangku seperti ini?" kata
Andika kembali.
Selangkah demi selangkah Pendekar Slebor
mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak
tampak tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi
momok menakutkan negeri itu, seakan-akan sedang
menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap
menghiburnya.
"He he he...! Ini benar-benar negeri
menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba
di sini. Ng..., dan mungkin kalian juga tahu ada empat
badut yang mencoba menjengkelkan aku? Empat, kalian
tahu itu?" ledek Andika seraya mengacungkan empat
jarinya di depan hidung Si Pembawa Badai.
Kemudian Andika menatap lelaki tua yang bar u
saja melarikan diri barusan.
"Dan kau tahu. Satu badut telah membuat pakai-
anku jadi seperti gembel!" kata Pendekar Slebor.
Matanya terbelalak besar sekali.
"Kau sudah terlalu jauh berurusan denganku,
Pemuda Asing," kata Si Pembawa Badai, lebih mirip
menggeram. "Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir
sebelum berurusan dengan Empat Penguasa Penjuru
Angin."
"Empat Penjuru Angin? Kalian penguasanya? O,
o, o....."
Andika kembali terbelalak seperti orang ketakutan.
Sambil tetap berucap, kakinya melangkah mundur.
Badannya membungkuk-bungkuk meledek.
"Tapi, apa kalian tahu?" lagi-lagi Andika mengaju
kan pertanyaan sama. "Aku tidak peduli dengan nama
itu! Peduli setan bunting dengan julukan kalian!"
Sampai di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi
pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap. Cuping
hidungnya tampak bergeletar menahan marah.
"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!" se
ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga
kawannya untuk membentuk barisan tempur.
Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung lang
sung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai.
Ketiganya siap membentuk barisan tempur. Tapi, lain
halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap
Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.
"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!"
ulang Si Pembawa Badai gusar.
Kini, wanita cantik itu terperangah.
"Kita akan mengeroyok anak tampan ini?" tanya
Dewi Seribu Diri, kurang setuju. "Apa kau meletakkan
otakmu diperut? Bukankah begitu menggemaskan?
Bagaimana kalau dia mati? Bagaimana kalau wajahnya
yang cakep itu terluka? Ba...."
"Diam!" bentak Si Pembawa Badai. "Empat
Tonggak Bumi Menghantam Gunung!"
Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan
seluruh wajahnya menjadi matang.
Sambil menggerutu tak jelas, akhirnya wanita
sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain.
Kini, mereka membentuk belah ketupat. Si Pembawa
Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan
Dewi Seribu Diri berdiri paling belakang.
Sesudah barisan tempat terbentuk, secepatnya
mereka memainkan jurus masing-masing. Meski
berbeda satu sama lain, namun gerakan mereka
masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau
lawan terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak
akan mempunyai ruang gerak lagi.
Itulah salah satu kehebatan Empat Penguasa
Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum
ada satu tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup
menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap lawan yang
pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa.
Meski, dia termasuk tokoh jajaran atas di negeri
Tiongkok.
Kini, keempatnya mulai meluruk bersama ke arah
Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa
Badai berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat
debu berhambur, pemuda itu sudah berada di udara,
karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki
lawan.
Dan sebenarnya tindakan Pendekar Slebor
memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar
pendekar itu masuk ke tengah-tengah barisan tempur.
Untuk itu, Si Pembawa Badai harus melancarkan
serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di
udara, lalu meruntunkan tinju menggelegak.
Deb! Deb! Deb
Andika masih sempat memapak dua pukulan yang
mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga harus
dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah.
Dengan pukulannya, Si Pembawa Badai yakin
kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya
sebagai tumpuan untuk melompat ke belakangnya, di
mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa
Andika melakukannya, Si Pembawa Badai menyusuli
dengan sapuan kembali.
Mengetahui kaki Si Pembawa Badai mengancam
dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan
lawan sebagai tumpuan untuk lompatan berikutnya.
Tapi, Pendekar Slebor tidak melompat ke belakang, dan
di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si
Pembawa Badai.
"Hap!"
Tentu saja tindakan Pendekar Slebor amat
mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah
menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar
Slebor dengan tinjunya ke atas, bisa saja pemuda itu
mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu,
sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan
meremukkan kepala belakangnya.
Untunglah, pada saat terjepit dua kawannya yang
lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap
Andika yang masih di atas tubuhnya.
Pendekar Slebor menyadari kalau sergapan
kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan.
Maut bisa saja mengintai dari sergapan yang terlihat tak
berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang.
Setelah bersalto di udara beberapa kali, kakinya
menjejak tanah kembali.
Bagi Andika pribadi, barisan tempur lawan masih
belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa
disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat
lawannya, serta betapa mantapnya setiap pertukaran
gerak serang mereka.
Meski sulit menjajalya, dan sadar kalau lawan-
lawan yang dihadapi setiap saat bisa melempar
nyawanya, Pendekar Slebor tetap tak kehilangan sifat
urakannya.
Sembilan langkah di depan mereka, Andika
mengumbar senyum mengejek. Lebih menjengkelkan
lagi kedua alisnya juga dikedik-kedikkan.
"Kau sudah terlalu lamban untuk menghadapiku,
Tuan Tua," ledek Pendekar Slebor.
Dan baru saja Andika hendak membuka mulutnya
kembali, terdengar langkah lari ringan di belakang.
Seketika dengan sigap tubuhnya berbalik. Ternyata
yang datang lelaki yang amat dikenalnya.
"Chin Liong...," ujar Pendekar Slebor saat melihat
siapa yang datang. "Kenapa kau tak melanjutkan
perjalananmu?"
"Aku hanya khawatir, si Tua Licik itu
menjebakmu," sahut Chin Liong.
"Nyatanya memang begitu," timpal Andika. Lalu,
diliriknya empat orang lawannya.
"Itulah mereka."
"Mereka mengeroyokmu?"
"Begitulah. Kebiasaanyang tak baik, bukan?"
Dengan mata tetap mengawasi gerak-gerik Empat
Penguasa Penjuru Angin, pemuda Tiongkok itu
mendekatkan kepalanya ke wajah Andika.
"Apa kau perlu bantuan untuk menghadapi
mereka? Mereka memiliki ilmu yang sulit terukur. Apa
kau yakin bisa menghadapi?" tanya Chin Liong.
Andika menyeringai.
"Sebenarnya aku tidak perlu bantuan," ucap
Pendekar Slebor agak menyombong. "Tapi kalau kau
memang ingin ambil bagian dalam pesta kecil ini, ya
silakan!"
"Bagus! Biarpun bantuanku mungkin tak begitu
berarti."
"Mau dimulai sekarang, atau setelah tahun monyet
nanti?"
Pemuda Tiongkok di sampingnya tak menyahut.
Keputusan melanjutkan pertarungan berada di tangan
Andika. Itu sebabnya, dia hanya menjawab dengan
lirikan saja.
"Kupikir lebih bagus sekarang," tandas Andika.
Lalu.... "Hiaaa!"
Andika berteriak keras-keras. Begitu kerasnya,
seolah hendak memutuskan urat lehernya sendiri.
Berbareng dengan teriakannya, langsung dibtikanya
jurus 'Memapak Petir Membabi buta' sambil berlari ke
arah lawan-lawannya.
"Yiaaa!" Chin Liong menyusul di belakang
bersama teriakan yang tak kalah menggelegar.
Maka pertempuran terdahsyat sepanjang satu
abad terakhir pun akan segera pecah kembali di negeri
itu.
Sampai saat ini, Si Pembawa Badai sempat pula
kagum pada lawannya. Masih tergolong muda, tapi
sudah memiliki tingkat kesaktian begitu luar biasa. Dan
kini, kekagumannya bertambah tatkala disaksikan
sendiri, bagaimana menakjubkan jurus Pendekar Slebor.
Jurus 'Memapak Petir Membabi buta' adalah jurus
ciptaan Andika ketika menjalani penyempurnaan ke-
saktian di Lembah Kutukan (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode: "Lembah Kutukan"). Setiap
gerakan tubuhnya tampak seperti orang kelimpungan
tak karuan. Tapi mata tokoh persilatan yang banyak
makan asam garam seperti Si Pembawa Badai, gerakan
kacau balau Pendekar Slebor justru dianggap sebagai
serangan yang amat sulit dimentahkan. Bagaimana
tidak? Nyatanya pukulan atau tendangan pendekar
muda itu tiba- tiba bisa melenceng dari sasaran semula
dengan kecepatan sulit ditangkap mata!
Sadar akan hal ini, Si Pembawa Badai segera
menggenjot tubuh jauh-jauh untuk mengatur jarak.
Barisan Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung
mesti dihadirkan kembali, pikirnya. Hanya itu satu-
satunya cara yang bisa diandalkan unttik menghadapi
Pendekar Slebor.
Di lain Sisi, Andika mulai menggempur tiga
lawannya yang lain, tanpa peduli pada Dewi Seribu Diri
masih juga mencoba tersenyum-senyum tak karuan.
Lalu apa yang dilakukan Chin Liong di
belakangnya? Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor,
pemuda Tiongkok itu mengangkat tangan tinggi-tinggi
sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Nyatanya kepala Andika siap dihantam dengan satu tinju
geledek!
***
Jika tinju maut yang dilancarkan pemuda Tiongkok
itu lebih cepat sekejapan saja, sudah bisa dipastikan
kepala Pendekar Slebor akan remuk. Untunglah pada
waktu yang nyaris bersamaan, dia membuat gerakan tak
terduga. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke depan
untuk menyarangkan tendangan ganda ke arah Pencuri
Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Tindakan Pendekar Slebor mengakibatkan
bokongan dari belakang luput, sehingga menghasilkan
de sir angin cukup keras yang masih sempat tertangkap
telinga.
Wesss!
Menangkap suara mencurigakan itu, Andika jadi
terperanjat. Niatnya untuk membabatkan kaki ke arah
kedua lawannya di depan diurungkan. Di udara,
tubuhnya segera digenjot lagi dengan membuat satu
putaran. Setelah itu, kakinya mendarat enam langkah di
belakang Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Di tengah-tengah kepungan kelima orang itu, kini
Andika menatap tak mengerti pada pemuda Tiongkok
yang semula dikira Chin Liong. Matanya menyipit dan
benaknya mereka terhadap pemuda Tiongkok itu.
"Kau bukan Chin Liong.... Kau pasti, Chin Chung,"
desis Pendekar Slebor pasti.
Orang yang ditatap, saat itu pula mengumbar tawa
keras.
Hua ha ha...! Aku memang Chin Chung! Kau
kaget, Pendekar Bodoh? Sekali lagi, kau tertipu
permainanku, bukan? Hua ha ha...!" cemooh pemuda
yang benar-benar mirip Chin Liong, tapi ternyata Chin
Chung.
"Kentut basi!" serapah Andika.
Bukan main geramnya Pendekar Slebor melihat
Chin Chung. Selama ini, dia bukan hanya telah
dipermainkan begitu rupa oleh lawannya. Tapi, Andika
juga mempunyai piutang nyawa atas kematian Ratna.
Kegeramannya makin menggelegak manakala teringat
beberapa pembantaian yang dilakukan Chin Chung dan
pasukannya di tanah Jawa Dwipa. (Baca kisah
Pendekar Slebor dalam episode:
pusaka Langit"!).
"Kau harus membayar semua perbuatanmu di
negeriku, Chin Chung!"
"Aku? Jangan menjadi lebih bodoh! Kau tak akan
mungkin melakukannya, karena hari ini nyawamu akan
lepas dari raga!" sergah Chin Chung. Mimik wajahnya
begitu mengancam. "Untuk menghadapi kawan-
kawanku yang bergelar Empat Penguasa Penjuru Angin,
kau tentu harus menguras seluruh kemampuan. Kau
bisa saja menjadi tokoh nomor satu di negerimu. Tapi,
ingat. Mereka juga tokoh-tokoh puncak di negeri kami.
Meskipun aku tak begitu yakin kau akan lebih unggul.
Tapi aku yakin, dengan bantuanku, kau akan mudah
disingkirkan!"
"Jangan terlalu yakin!" hardik Andika.
"Ya! Jangan terlalu yakin, Pengkhianat Busuk!"
Tiba-tiba terdengar sahutan seseorang, dua puluh
lima langkah dari tempat tersebut. Suara itu berasal dari
mulut seorang wanita. Dan Andika merasa pernah
mendengarnya.
Bergegas Pendekar Slebor menoleh, berbarengan
dengan kelima lawannya.
"Ying-lien...," gumam Andika setelah melihat
wanita yang menyela hardikannya. Ya! Ying-lien atau
Bidadari Buta Bersayap Naga telah tiba pula di tempat
ini bersama Chia-ceng.
Kemudian dengan satu hentakan saja, tubuh
wanita buta itu melayang seperti camar di udara untuk
selanjutnya mendarat di samping kiri Andika. Kemudian,
menyusul Chia-ceng si Cebol Bermuka Merah. Orang
tua berbadan pendek gemuk itu menempati sisi kanan
Pendekar Slebor.
"Tampaknya kau mulai sudi bersikap bersahabat
denganku, Putri," sapa Andika. Kembali dia memanggil
Ying-lien dengan sebutan 'putri'. Sebelumnya, dia
memanggil gadis itu dengan namanya saja, karena
jengkel.
"Aku tidak pernah meragukan Chin Liong," balas
Putri Ying-lien tanpa menoleh. Mata batin inderanya
waspada pada calon lawan-lawan mereka.
"Apa maksudmu?" tanya Andika tak mengerti
"Bukankah dia percaya kalau kau mampu
menolong kami."
"Dengan begitu, kau juga mempercayaiku?
Mempercayai kemampuanku menolong negerimu dari
rongrongan para pengkhianat?" ucap Andika, menduga
ucapan Putri Ying-lien selanjutnya.
"Tepat," jawab Putri Ying-lien cepat. "Kini, tak
perlu lagi banyak tanya kalau tak ingin kecolongan oleh
mereka."
"Tapi kenapa kau bersikap menolakku pada
mulanya?" tanya Andika lagi. Tak dipedulikannya
peringatan Putri Ying-lien tadi.
Wanita berparas jelita itu menghempas napas
kesal menghadapi sikap keras kepala Andika yang mulai
terlihat lagi.
"Karena aku ingin menguji kesungguhanmu. Itu
saja," jawab Putri Ying-lien agak jengkel.
"Itu saja?"
"Hey? Apa mulutmu tak bisa dikunci untuk
sementara?" bentak wanita itu kesal.
"He he he...," Andika malah terkekeh.
Mendadak sontak Chin Chung mengeluarkan
sepasang cakram selebar piring makan dari balik
bajunya.
"Heaaa...!"
Dengan senjata itu, Chin Chung melabrak
Pendekar Slebor yang dianggap sedang lengah.
Sedangkan Pencuri Jantung segera mengeluarkan
batang bambu tipisnya. Sementara Dewi Seribu Diri
telah meloloskan selendang suteranya pula dari
pinggangnya.
Karena merasa tak sanggup melawan Empat Pe-
nguasa Penjuru Angin, Putri Ying-lien mempercayakan
Andika untuk menghadapi mereka. Sedang dia sendiri
menghadang serangan Chin Chung. Wanita itu merasa
harus berhadapan langsung dengan saudara kembar
Chin Liong itu. Ada satu hutang yang harus dibayar Chin
Chung pada dirinya. Dan itu harus dibayar dengan
nyawa sekarang juga. Maka pertarungan pun tak
terelakkan lagi. Seketika terdengar teriakan-teriakan
membahana, menyemaraki pertarungan.
***
ENAM
Kancah pertarungan nyawa dalam pertukaran
jurus demi jurus maut telah berlangsung hingga
matahari rebah di kaki langit sebelah barat.
Hingga hampir jurus keseratus tak ada seorang
pun yang tumbang. Andika yang mendapat dukungan
Cebol rmuka Merah atas perintah Putri Ying-lien, dapat
mengimbangi setiap barisan tempur yang selama ini tak
terkalahkan milik Empat Penguasa Penjuru Angin.
Wilayah sekitar kancah pertarungan sudah hampir
tersapu angin topan. Demikian porak-poranda! Banyak
pepohonan yang besarnya tak terpeluk tangan tumbang.
Memang, pertarungan tanpa terasa kini berpindah ke
sebuah kaki bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan
raksasa.
Dua medan pertarungan yang terjadi, terpisah
sekitar empat puluh depa. Putri Ying-lien yang
berhadapan melawan orang yang paling dibencinya,
Chin Chung, berada di sebelah barat daya. Sedangkan
pertempuran Andika dan Chia-ceng melawan empat
datuk sesat Tiongkok itu berlangsung di sebelah timur
laut.
Sampai suatu ketika....
"Berhenti kau Pendekar Slebor!"
Terdengar Chin Chung meneriakkan perintah
kasar pada Andika dan Chia-ceng. Padahal, saat itu
Pendekar Slebor sudah berhasil membuat anak Si
Pembawa Badai memuntahkan darah segar. Bahkan
senjata Pencuri Jantung yang terbuat dari bambu langka
telah dipatahkannya pula.
Dengan serta merta, Pendekar Slebor
menghentikan cecarannya pada Pencuri Jantung. Dia
melompat mundur beberapa tombak untuk mencari
tempat aman. Kemudian, secepatnya kepalanya
menoleh ke arah suara Chin Chung. Begitu juga Chia
ceng.
Tampak Chin Chung kini sedang menggapit leher
Putri Ying-lien yang nampaknya telah terluka dalam.
Dan itu bisa dipastikan karena hidung dan sudut bibir
Putri Ying-lien mengeluarkan darah. Sementara satu
tangan Chin Chung menempelkan cakram ke leher Putri
Ying-lien.
"Putri...," ujar Chia-ceng, khawatir.
"Apa yang kau inginkan Chin Chung?" tanya
Andika, dengan sedikit hati-hati. Pendekar Slebor tak
mau leher wanita jelita itu jadi santapan empuk senjata
cakram Chin Chung.
"Apa keinginanku? Hua ha ha...! Aku ingin agar
kau menyingkir dari urusan kami! Kau dengar itu?!"
Chia-ceng melirik Andika untuk meminta
pertimbangan.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya orang tua
gendut itu.
"Lebih baik turuti saja kemauannya. Aku khawatir,
dia mencelakakan Putri Ying-lien," sarah Andika tanpa
menoleh. Matanya tetap terhujam tajam pada Chin
Chung di kejauhan.
"Aku pikir juga begitu," timpal Chia-ceng, setuju.
"Baik! Kalau memang itu maumu, Chin Chung!
Tapi sebelum aku menyingkir, kuberitahukan dulu
sesuatu padamu. Jika wanita itu diusik selembar rambut
saja, kau akan kuhabisi!" teriak Andika akhirnya.
Andika lalu mengajak Chia-ceng pergi dari tempat
itu. Sebelum keduanya benar-benar menghilang, Chin
Chung sempat memperingati pendekar muda tanah
Jawa Dwipa itu.
"Ingat, Pendekar Slebor! Sekali lagi kau terlihat
olehku, maka wanita ini akan segera kubunuh!"
***
Di Kuil Peraduan Bulan Bisu. Malam gelap,
terselimuti hawa dingin menggigil. Keluh kesah hewan
malam terdengar seperti tak sudi menyambut arakan
mendung tebal melayang di atas daerah itu.
Di dalam kuil, tiga orang lelaki sedang duduk
mengelilingi api unggun. Cahaya perapian tampak
menjilati wajah masing-masing yang tampak gelisah.
Kehangatannya tak lagi bisa dinikmati, karena benak
masing-masing sedang diusik kekhawatiran. Mereka
adalah Andika, Chin Liong, dan Chia-ceng.
Dua hari setelah pertarungan, Chin Liong kembali
ke tempat yang telah disepakati bersama Andika. Tapi,
di sana Pendekar Slebor tak ditemukannya. Maka
diputuskannya untuk langsung pergi ke Kuil Peraduan
Bulan.
"Maaf, Chin Liong. Aku tidak bisa menepati janji
untuk bertemu denganmu di tempat yang kita sepakati.
Aku khawatir, Chin Chung memergokiku. Dan itu bisa
berakibat fatal bagi Putri Ying-lien," kata Andika, setelah
menceritakan tentang kabar buruk yang dialami Putri
Ying-lien.
"Ya, aku tahu," sahut Chin Liong, bernada
murung.
"Bagaimana tindakan kita selanjutnya?" sela Chia-
ceng.
Andika menggeleng.
"Kita belum bisa berbuat apa-apa, selama Putri
Ying-lien masih di tangan Chin Chung."
Dalam beberapa helaan napas, mata Andika
hanya tertuju pada geliat api di depannya.
"Bagaimana dengan mata-mata yang kau
hubungi, Chin Liong? Apa ada satu berita yang bisa
dimanfaatkan?" tanya Andika. Pandangannya kini
beralih ke pemuda Tiongkok yang tampak terpaku
kosong.
"Buntu. Orang itu rupanya telah diringkus para
pemberontak. Bahkan mungkin sudah tewas," jawab
Chin Liong, putus asa.
Pendekar Slebor menghempas napas kesal.
Persoalan kini semakin terpuruk pada lorong buntu.
Selama menangani peristiwa demi peristiwa, dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan, sudah cukup
banyak kerumitan yang mampu diatasi. Dan kali ini pun,
dia tak merasa menghadapi suatu yang pelik atau rumit.
Masalahnya sebenarnya sederhana. Yang menjadikan
masalah ini berat, hanya akibat yang bakal menimpa
Putri Ying lien bila salah bertindak.
"Aku tak habis pikir, kenapa Putri bisa dikalahkan
Chin Chung begitu mudah," cetus Chin Liong, seperti
bergumam sendiri. "Padahal tingkat kepandaiannya
setaraf."
"Apa kau tak ingat ucapan Putri, sewaktu kau baru
tiba dengan Andika?" Chia-ceng ikut bicara. "Dia
mengatakan, Chin Chung akan memiliki kekuatan tiga
belas kali daripada sebelumnya, jika memegang Pusaka
Langit...."
"Tapi kalau saat itu dia memegang Pusaka Langit,
tentu tak perlu bertarung lebih dari seratus jurus
melawan Putri, bukan?" Kini giliran Andika ambil bagian.
Setelah itu, mereka kembali membisu. Sayang,
tak seorang pun yang tahu kalau Putri Ying-lien saat itu
terlalu teringat kembali pada kejadian menyakitkan yang
dialami akibat perbuatan Chin Chung dulu. Dan itu me-
nyebabkan kewaspadaannya terganggu. Dan mungkin
hanya Chin Liong yang mulai bisa meraba ke arah sana.
Tapi, itu hanya ada dalam hatinya.
Tiba-tiba wajah Andika seperti tersentak.
"Hey? Kalau ternyata Chin Chung tak membawa
Pusaka Langit pada saat pertempuran, kira-kira di mana
disembunyikannya? Dan kenapa pula tak dibawa kalau
benda itu amat penting?" ujar Andika bertanya-tanya.
Mendengar ucapan Andika barusan, Chin Liong
ikut tersentak.
"Bodoh!" umpat pemuda itu. Entah, ditujukan pada
siapa. "Kenapa aku tak memikirkan ke arah itu!"
"Kenapa, Chin Liong? Apa kau teringat sesuatu?"
tanya Andika bersemangat.
"Bukankah Pusaka Langit harus disatukan, antara
pedang dengan gagang pusakanya?" lanjut Chin Liong
lagi. "Tentu Chin Chung tak akan begitu bodoh
meletakkan begitu saja Pusaka Langit dan gagang
pedang pusaka di tempat yang tersembunyi. Pasti,
benda itu telah diserahkannya pada seorang pandai besi
untuk dijadikan pedang!"
"Dan hanya ada satu pandai besi yang mampu
melebur Pusaka Langit untuk dijadikan pedang," tambah
Chia-ceng. "Tua Bangka Tangan Api...."
"Bagus! Kalau itu benar, kita harus merebutnya
dari tangan si Pandai Besi. Tentu Chin Chung akan sudi,
bahkan amat sudi menukarnya dengan Putri Ying-lien,"
tandas Andika.
Mereka seketika menampakkan wajah berharap.
Meski tak tampak senyum di bibir. Tapi biar
bagaimanapun, semua itu baru rencana.
Kini ketiganya melanjutkan penyusunan rencana
yang akan dijalankan.
***
Ketika matahari naik ke puncaknya Andika dan
Chin Liong sudah berada di depan Goa Lintah Sejuta. Di
goa itulah Tua Bangka Tangan Api tinggal, sekaligus
dijadikan tempat untuk membuat senjata-senjata pusaka
pesanan para tokoh kelas atas.
Sesuai rencana Andika, Chin Liong akan berpura-
pura menjadi Chin Chung. Dengan begitu, mereka tak
perlu banyak buang tenaga.
Saat ini Goa Lintah Sejuta tampak lengang.
Letaknya memang cukup terpencil, di sebuah lereng
jurang. Di bawahnya, batu cadas meruncing siap
menghujam siapa saja yang ceroboh. Bagi Andika dan
Chin Liong sendiri, kesulitan macam itu tidak terlalu
menghalangi.
"Agar Tua Bangka Tangan Api tidak curiga,
sebaiknya kau masuk sendiri ke dalam. Aku akan
menunggumu di sini," bisik Andika.
"Baik," sahut Chin Liong mantap.
Pemuda Tiongkok itu pun melanjutkan langkah
memasuki lorong goa yang lembab dan gelap. Di bagian
yang agak menjorok ke bawah, Chin Liong merasakan
dingin pada kakinya. Rupanya, ada aliran sungai bawah
tanah yang menembus goa itu.
Semakin ke dalam, air menjadi tinggi. Dan ketika
aliran sungai kecil itu sudah mencapai pinggang, Chin
Liong dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak-gerak
halus di beberapa bagian kakinya. Rasa keingin
tahuannya, terbetik. Perlahan-lahan diturunkannya obor
ke depan pinggang. Dan mendadak, matanya menyipit
jijik. Tampak gerombolan lintah mencoba mengisap
darahnya.
Chin Liong segera mengerahkan hawa murni di tu
buhnya, untuk menimbulkan panas yang bisa mengusir
binatang-binatang melata menjijikkan itu. Dan ternyata
usahanya berhasil. Lintah-lintah itu mulai menyingkir
satu persatu. Di antaranya, bahkan ada yang mati.
Chin Liong mulai melanjutkan penelusurannya
yang sedikit terhambat tadi. Makin masuk ke dalam,
perjalanan agaknya kian berat. Dan kini tiba di semacam
persimpangan yang memiliki banyak cabang lorong. Di
sekitar tempat itu banyak terpasang lampu yang
menyala dari gas alam. Chin Liong tak lagi memerlukan
obornya, dan langsung menghempaskannya ke bawah.
Untuk sampai pada tempat kediaman Tua Bangka
Tangan Api, pemuda itu harus menentukan satu lorong
yang harus dilalui. Sementara, ada tujuh lorong yang
mesti dipilihnya. Ya! Pada setiap lorong itulah bahaya
siap menanti.
Dengan dada berdebar-debar, Chin Liong
mencoba memasuki satu lorong yang terdapat plang
kayu berwarna merah muda di atasnya. Selangkah demi
selangkah, kakinya melangkah ke dalam lorong. Sungai
kecil sudah tidak mengalir ke sana, membuat gesekan
langkahnya terdengar jelas bagai desis ular berbisa.
Pada langkah kedua puluh, pemuda itu terhenti.
Lorong itu ternyata buntu, dan ini membuatnya agak
kesal. Dia mendengus. Hanya itu yang bisa
diperbuatnya.
Baru saja pemuda Tiongkok itu hendak berbalik ke
persimpangan lorong semula, tiba-tiba saja dari
beberapa lubang di dinding goa menyembur lidah api
besar.
Wrrr!
Chin Liong amat terperangah. Untunglah dia
cukup sigap. Dengan sekali genjot ke belakang,
tubuhnya berputaran di atas untuk menghidari sambaran
puluhan lidah api. Kalau saja terlambat, pasti tubuhnya
hangus jadi arang.
Sekali lagi Chin Liong menghembuskan napas
sesaat, setelah kakinya hinggap di lantai goa lagi. Kali
ini, tentu saja bukan karena jengkel, melainkan lega.
Sifatnya yang memang cukup dingin, membuatnya tidak
banyak menggerutu atau mencaci maki.
Lolos dari satu bahaya tadi, kini pemuda itu
kembali ke persimpangan lorong. Akan dicobanya
memasuki lorong berikut, yang memiliki plang kayu
warna biru.
Sama dengan lorong berplang merah, ternyata
lorong ini pun terdapat jebakan maut. Di tengah jalan,
mendadak saja lantai goa yang dipijaknya terbuka lebar.
Grrr!
Karena begitu cepatnya lantai goa terkuak, Chin
Liong tak sempat lagi menghindar. Tubuhnya kontan
terjerumus ke dalam lubang jebakan. Bagai ditarik
kekuatan tak terlihat, tubuhnya meluncur cepat menuju
dasar lubang seperti sumur. Sementara, bawahnya siap
menanti sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan pemakan
daging, serta ular air yang bisanya amat ganas.
Tentu saja Chin Liong taksudi menjadi umpan
binatang-binatang buas itu. Dalam keadaan gawat,
tenaga dalamnya dikerahkan ke kedua telapak tangan.
Tanpa memakan waktu lama, tenaga yang terkumpul di
telapak tangannya dilepas ke dinding lubang.
Wesss! Drak!
Seketika lantakan batu berhamburan, ketika
pukulan jarak jauh Chin Liong menghantam dinding goa.
Manfaat yang bisa didapat adalah, hentakan batik
tubuhnya ke belakang. Dengan dorong itu, tubuhnya
berputaran hingga menghadap dinding lubang di
belakangnya. Lalu dengan satu gerak tangan yang
masih menyimpan tenaga dalam, jarinya yang
membentuk cakar dihantamkan ke dinding lubang.
Creb!
Dinding lubang terbuat dari cadas keras pun
kontan tertembus. Hasilnya, sungguh seperti yang
diharapkan. Tubuh Chin Liong kini tidak lagi meluncur ke
dasar lubang, melainkan menggelantung di dindingnya.
Selanjutnya, dia mulai merangkak perlahan. Satu
gerakan ke atas dilakukan dengan menghantamkan
cakarnya pada dinding lubang. Sampai akhirnya,
tangannya berhasil menggapai bibir lubang.
"Fhuuuh!"
Chin Liong menghembuskan napas lega setelah
tiba kembali di atas. Lalu tanpa ingin membuat waktu
lebih lama, dia kembali ke persimpangan lorong. Seperti
lorong sebelumnya, sudah pasti lorong itu pun buntu.
Tak lama kemudian, pemuda tampan bermata
sipit itu sudah terlihat memasuki lorong berplang kayu
warna merah darah.
"Kejutan apa lagi yang discdiakan untukku.
Seakan, dia mencoba bergurau untuk menenangkan
diri," kata Chin Liong, sebelum memasuki lorong di
depannya.
Sambil tetap berharap dalam hati kalau lorong
yang dimasuki kali ini benar-benar lorong tepat untuk
tiba di tempat Tua Bangka Tangan Api, Chin Liong
menyusur dengan langkah lebih hati-hati.
Tindakannya, ternyata beralasan. Bahaya ternyata
memang belum sudi menyingkir darinya. Memasuki
bagian yang menyempit, tiba-tiba pula pemuda itu
diserbu puluhan tonggak runcing yang melesat dari
seluruh bagian dinding lorong.
Sungsang-sumbel Chin Liong bergulingan, dikejar
tonggak-tonggak runcing yang mengancam secara
bersusulan. Sampai akhirnya, tangan-tangan maut itu
tak lagi memburu.
Sekali lagi, pemuda itu kembali ke persimpangan
lorong. Tinggal empat pintu lagi yang belum
dimasukinya. Satu pintu kuning, hitam, putih, dan hijau.
"Pantas saja para pelanggan Tua Bangka Tangan
Api yang memesan senjata pusaka, rata-rata adalah
para tokoh kelas atas," gumam Chin Liong. "Karena tak
mungkin bagi orang berkepandaian tanggung, bisa lolos
dari jebakan yang dibuatnya. Tapi, aku heran. Ke mana
mayat-mayat orang naas yang menjadi korban jebakan?
Aku tak melihatnya...."
Usai menimbang-nimbang beberapa saat. Chin
Liong memuluskan untuk memasuki pintu lorong
berplang kayu warna hijau. Menurutnya, warna itu
mencerminkan kcadaan tenang dan damai. laksana
warna dedaunan pohon rindang. Mungkin dengan
pencerminan warna itu, lorong yang dimasuki tak lagi
berbau darah dan maut. Lalu dia bisa bertemu orang tua
aneh di dalamnya.
Perkiraan Chin Liong agaknya tidak meleset.
Makin ke dalam, dia memang menemukan susana
berbeda dari sebelumnya. Di sisi-sisi jalan, tampak
tanaman-tanaman hias langka yang ditatap asri.
Keadaannya pun lebih terang dari tempat lain. Karena,
pada dinding lorong dipasang lebih banyak lampu gas
alam.
Chin Liong makin yakin telah memasuki jalan yang
tepat. Maka, langkahnya pun dipercepat.
Setelah melalui dua kelokan, akhirnya Chin Liong
tiba di satu ruang besar yang terang benderang,
berbentuk kubah. Di beberapa bagian dindingnya,
terpajang senjata dengan bentuk beragam. Mulai dari
belati bermata dua, sampai kapak besar berukir naga.
Tepat di tengah-tengah ruangan, tampak satu
perapian besar sebagai tempat melebur logam. Di
samping karena lampu-lampu gas alam, tampaknya
keadaan terang benderang ruangan diperoleh pula dari
perapian besar itu.
Di sini, Chin Liong juga menemukan tumpukan
kerangka manusia yang disusun berbentuk satu menara.
Hatinya bergidik juga sesaat. Barangkali, mereka adalah
para korban yang tak berhasil lolos dari jebakan maut,
yang kemudian dikumpulkan seperti satu benda seni.
Tua Bangka Tangan Api benar-benar lelaki tua aneh!
"Hm...! Ke mana si Tua Bangka Tangan Api itu?"
tanya Chin Liong membatin. Tak dilihatnya seorang pun
di ruang besar ini.
Rasa penasaran, mendorong Chin Liong
memasuki ruangan. Belum lagi setengah ruangan
dijelajahi, ditemukannya sesosok tubuh terkulai di balik
tungku perapian. Kelihatannya, usia lelaki itu sudah
cukup lanjut. Rambutnya putih, ditutupi topi kain
berwarna merah api. Badannya yang tertelungkup
terlihat bungkuk.
Chin Liong bergegas meraih tubuh lelaki tua itu.
Dia yakin yang ditemuinya adalah Tua Bangka Tangan
Api. Ketika tubuh lunglai itu dibalikkan, terlihatlah satu
sayatan dalam yang memanjang dari atas wajah hingga
ke lehernya.
Sayatan yang tak sempat mengenai bagian dalam
tempurung kepala Tua Bangka Tangan Api,
membuatnya masih sempat memberinya kesempatan
hidup walau hanya sebentar.
"Pedang itu.... Pedang itu...," kata orang tua itu
lirih.
"Pedang apa yang kau maksud?" tanya Chin
Liong.
"Pedang yang baru saja kuselesaikan...."
"Pedang apa?" desak Chin Liong.
"Pedang itu...," ulang Tua Bangka Tangan Api
makin mengabur.
"Katakan padaku, pedang apa? Apa Pedang
Pusaka Langit?" duga Chin liong, tetap mencoba
mendesak orang tua sekarat itu.
"Telah dibawa pergi.., olehhh...."
Belum tuntas kalimat yang hendak dikeluarkan,
Tua Bangka Tangan Api terburu tewas, akibat terlalu
banyak kehilangan darah.
"Seseorang mendahuluiku," desis Chin Liong
perlahan.
Siapa yang telah mengambilnya? Tapi pertanyaan
tadi dianggap bukanlah hal yang mendesak. Yang paling
penting, sekarang Chin Liong harus segera mengejar
orang culas yang mendahuluinya.
Hati-hati, Chin liong meletakkan mayat orang tua
itu sebagai sikap hormatnya.
"Maaf, Orang Tua. Aku tidak bisa memakamkan
jasadmu dengan layak," ucap pemuda itu perlahan.
Selesai berkata demikian, Chin Liong segera
berlari ke persimpangan. Di sana, diambilnya kembali
obor di lantai. Setelah menghidupkan obor itu, dia
segera memasuki lorong keluar.
Cukup lama setengah berlari, kembali Chin Liong
bertemu jalan yang dilalui anak sungai tadi.
Pemuda itu pun melanjutkan perjalanan kembali.
Namun baru enam langkah Chin Liong berhenti.
Matanya seketika melihat sesuatu yang mengusik di
kejauhan. Suatu sinar terang yang dipancarkan benda
sepanjang lengan, yang tegak mengarah langit-langit
goa. Cahaya berwarna merah bagai bara api.
Alis Chin Liong berkernyit. Terlebih, ketika benda
itu bergerak terus ke arah dirinya. Apa itu? Dan ketika
benda itu sudah demikian dekat, sekitar tiga tombak lagi
di depannya.
"Sayang! Rupanya kau terlambat datang, Chin
Liong...."
Terdengar suara seseorang. Kemudian satu wajah
tampak, tatkala sinar merah bara itu menerangi makin
mendekat.
"Kau...," desis Chin Liong.
"Ya! Aku saudara kembarmu," sahut orang itu.
Ternyata orang itu Chin Chung. Pada tangannya
tampak tergenggam pedang bersinar sebagai pengganti
obor.
"Kau tentu hendak mengambil senjata pusaka ini,
bukan? Sayang sekali. Aku telah mendahuluimu. Entah
kenapa, aku merasa kau akan mencoba mengambil
benda ini dari Tua Bangka Tangan Api. Kau tentu ingin
mengelabuinya dengan berpura-pura menjadi diriku,
bukan?" tutur Chin Chung, bermaksud meledek.
Chin Liong tak berkata apa pun. Matanya
berkilatan menahan kegusaran pada saudara
kembarnya yang masih berpakaian seperti dirinya.
"Rupanya si Pandai Besi Tua itu cekatan juga.
Pesananku diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari.
Kupikir, itu karena bayaran yang kuberikan padanya.
Tapi, nyatanya tidak. Dia ingin cepat-cepat
menyelesaikan,. karena juga ingin menguasai benda ini.
Aku tak suka pada pengkhianat sepertinya. Maka
langsung tamatlah riwayatnya dengan pedang ini.
Hitung-hitung, sebagai uji coba. Hua ha ha...!" oceh Chin
Chung, puas.
"Kenapa kau tak penggal juga kepalamu?!" sentak
Chin Liong.
"Hey! Apa maksudmu, Saudaraku?" tanya Chin
Chung, penuh lagak menyebalkan.
"Bukankah kau juga seorang pengkhianat?" sindir
Chin Liong, tajam.
Seringai di bibir lelaki di depannya menyusut.
Kata- kata pedas Chin Liong tadi, tampaknya mengena
tepat di inti harga dirinya. Wajahnya tiba-tiba berubah
bengis.
"Kalakan padaku, Chin Chung! Kenapa kau
menghina diri sendiri dengan menyalahi kebenaran?"
ucap Chin Liong melembut.
Biar bagaimanapun, Chin Liong tidak bisa
menyingkirkan ikatan batin dengan Chin Chung. Betapa
sakit perasaannya jika saudara kembarnya menjadi
manusia durjana. Seakan, dia juga turut menanggung
dosa.
"Jangan coba pengaruhi aku, Chin Liong! Jalan
yang kita tempuh memang berbeda. Dan perbedaan itu
mengharuskan kita berhadapan sabagai lawan. Namun
bila kau memang masih mengakuiku sebagai saudara,
lebih baik mengalahlah. Menyingkirlah dari urusan ini
Aku tak mau mengadu jiwa dengan saudaraku sendiri.
Tapi kalau kau tetap memaksa, aku tak bisa mengalah."
Bibir Chin Liong kini memperlihatkan senyum
pedih. Kepalanya menggeleng perlahan. Seketika
berkecamuk dalam benaknya. Antara kebenaran yang
harus tetap dijunjung dengan ikatan batin dirinya dengan
Chin Chung. Bahkan kini dia teringat pada masa kecil
mereka dulu.
"Keras kepalamu rupanya tak juga lenyap," ucap
Chin Liong lemah.
Kalimat itu diucapkan Chin Liong dari dasar hati
terdalam. Dia sendiri tidak tahu, apakah itu sebuah
bentuk cetusan kerinduan dalam gurauan yang hambar,
atau sekadar sindiran.
"Sudah kukatakan, jangan coba pengaruhi aku,
Chin Liong," tepis Chin Chung, tak lagi sekeras
sebelumnya.
Dalam hati, dia tidak bisa memungkiri kalau
dirinya pun rindu pada saudara kembarnya
"Kenapa kita tak rukun lagi seperti dulu saja, Chin
Chung? Sadarlah. Dan, kembalilah kepada kebenaran.
Aku akan memintakan ampunan pada Putri Ying-lien,
agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki
kesalahanmu," bujuk Chin Liong halus.
Chin Chung menggeleng lembut.
"Tidak bisa, Chin Liong," sanggah Chin Chung,
bergetar. "Aku sudah telanjur basah. Aku tidak bisa lagi
mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa
Badai yang telah memelihara dan mendidikku. Kini,
diriku adalah bagian dari mereka."
"Cobalah, Chin Chung. Demi aku! Demi kita...,"
bujuk Chin Liong, lebih halus. Suaranya pun kini ikut
bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang kini
bagai begitu jauh.
"Jangan paksa aku, Chin Liong!" bentak Chin
Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat.
"MenyingkirIah dari jalanku!"
Chin Liong menggeleng tegas.
"Menyingkir kataku, Chin Liong!" ulang Chin
Chung.
Saudara kembarnya itu tetap menggeleng.
"Baik! Jangan salahkan aku jika di antara kita ada
yang terbunuh," ucap Chin Chung, nyaris terdengar
seperti terisak. "Maafkan aku, Saudaraku."
Setelah itu Chin Chung mengayunkan pedang
pusaka di tangannya ke depan. Dan....
"Hiaaa!"
***
TUJUH
Pertarungan antara dua saudara kembar memang
sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang
terlalu keras kepala untuk mengalah, apalagi menyadari
kesalahannya. Sedangkan Chin Liong tidak akan sudi
membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya,
meski dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri.
Kini terputuslah jalinan darah satu sama lain
dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka
bertukar jurus untuk mempertahankan sikap masing-
masing dengan taruhan nyawa.
Chin Liong yang memiliki ketangguhan
sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan
kelebihan ilmu 'Ginkang'nya. Sebuah ilmu yang
mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh.
Sementara, Chin Chung di satu pihak mengerahkan
seluruh kemampuan 'Kun Twa'nya yang mengandalkan
kekuatan totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai
yang digabungkan dengan permainan pedang.
Telah empat puluh tiga jurus dilalui, namun sejauh
itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih
sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba
berada di atas angin.
"Haih!"
Zeb! Zeb!
Pada satu kesempatan, jari kiri Chin Chung
mencoba menembus tenggorokan Chin Liongyang saat
ini berada dalam keadaan tak menguntungkan.
Rasanya, ia tak mungkin bisa memapak tusukan jari
lawan.
Di daratan Tiongkok, ilmu 'Kun Taw' terkenal
mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun.
Memapakinya, berarti membiarkan tangan tercedera
berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.
Untungnya, kemampuan 'Ginkang' Chin Liong
cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat
itu. Terbukti, dia mampu melompat ke samping dengan
kecepatan luar biasa!
Krsk!
Maka dinding Goa Sejuta Lintah pun menjadi
sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang
tombak baja menembus batang pohon pisang.
Untuk membayar serangan, Chin Liong
melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.
"Hih!"
Deb! Deb!
Di tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus
segera dihentikan. Jika tidak, tangannya tentu akan
terputus sebatas siku, karena pada saat yang
bersamaan, Chin Chung dengan sigap membabatkan
Pedang Pusaka Langit ke bawah.
Wut!
Babatan ke bawah tadi, diteruskan Chin Chung
dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk
memenggal leher Chin Liong.
"Heaaa!"
Sing!
Kali ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh
kemampuan "Ginkang'nya Tubuhnya langsung
dihentakkan sepenuh lenaga ke belakang, untuk
mematahkan babatan pedang lawan. Pada saat rawan
seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap satu
bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang
bernafsu tadi, membuat saudara kembarnya luput
membentengi dadanya yang terbuka.
Begitu tubuhnya dilempar ke belakang, kaki Chin
Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat
tipis itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk
mendepak dada Chin Chung.
Bukh!
"Akh!"
Kontan saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas,
kemudian meluncur deras ke belakang. Rasa sesakdi
dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara
kembar Chin Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu
erangan pendek tertahan.
Byur!
Begitu tubuhnya terjerembab, air sebatas lutut di
bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah. Sesaat
tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat
berikutnya, dia bangkit dengan seluruh badan basah
kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang
terbawa tetesan air dari wajahnya.
"Aku belum kalah, Chin Liong," kata Chin Chung
seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada
Chin Liong.
"Sudahlah, Chin Chung.... Sadarlah," bujuk Chin
Liong sekali lagi.
"Tidak! Kita harus menuntaskan urusan ini,"
tandas Chin Chung, sungguh-sungguh.
Begitu selesai kata-katanya, Chin Chung mulai
mengatur napas. Tangannya bergerak teratur.
Tampaknya, dia mulai menantang Chin Liong untuk
bertanding te naga dalam.
Sementara itu, Chin Liong menyipit. Seluruh saraf
di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat
dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam
penuh, kekuatan Pedang Pusaka Langit bisa membantu
Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas
kali lebih kuat!
***
Sementara di luar seorang pemuda berpakaian
serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa
Sejuta Lintah. Menunggu seperti saat ini membuat
pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu
gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan
pada diri Chin Liong di dalam sana. Untuk menyusul,
Andika' mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia malah
merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah
selama ini Chin Chung tak pernah terlihat bersama
orang asing seperti dirinya? Sedangkan Chin Liong
justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara
kembarnya. Kalau Tua Bangka Tangan Api curiga,
semuanya bisa kacau!
Akhirnya, Andika hanya bisa duduk gelisah di atas
tonjolan besar batu cadas.
"Sialan! Kenapa aku tadi tak memikirkan kapan
waktunya untuk masuk ke sana," gerutu Andika pada diri
sendiri, menyesali keteledoran.
Sementara di atasnya, burung-burung walet
tampak bcrkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai.
Sambil mengulum-ngulum rumput, Andika
memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik
itu. Sekadar untuk melepas rasa bosan dan gelisah.
Tak lama kemudian terdengar senandungnya.
O, walet kecil di atas sana.
Kau bawa ceria di angkasa
Tak mau tahu pada dunia,
yang kerap begitu durjana
O, walet kecil K
Kau bawa kehangatan pada alam
Kau bawa kehangatan pada mayapada
Kau bawa kehangatan pada....
Dan tiba-tibasaja...
Prot!
Sesuatuyang lembek dan hangat tahu-tahu
menimpa kening Andika dengan telak.
"Sial! Kau boleh bawa banyak kehangatan! Tapi,
jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku!" maki
pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa
rejeki nomplok.
"Andika...."
Sedang seru-serunya pendekar urakan itu
mencak- mencak dengan kepala menengadah,
terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat
melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatih-
tatih dari bibir goa. Di tangannya, tergenggam Pedang
Pusaka Langit.
"Kau mendapatkannya, Chin Liong?!" sambut
Andika gembira.
"Ya," jawab Chin Liong tersendat.
Lelaki bermata sipit itu terlihat begitu lemah dan
lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka
memar serta noda-noda darah. Demikian juga di
mulutnya.
"Kenapa kau?" tanya Andika, tergesa-gesa meng
hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada
dinding goa segera dipapahnya. "Apa ada rintangan dari
si Pandai Besi itu?"
Chin Liong menggeleng berat.
"Chin Chung," desak Chin Liong.
"Chin Chung?"
"Ya! Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu
memaksa aku melakukannya. Padahal..., padahal aku
tetap menyayanginya," keluh Chin Liong lirih. Kepalanya
tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang
menyesaki dada.
"Aku turut menyesal," tutur Andika. "Tapi kebe-
naran memang tidak mengenal ikatan darah. Kau tak
perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan
pilihannya sendiri."
Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti
lereng berliku.
Belum begitu lama kedua orang itu pergi, tahu-
tahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah.
Keadaannya sungguh mengenaskan. Tubuhnya
bermandikan darah dan rupanya sudah tak karuan.
Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti
wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur
hitam.
Laki-Iaki itu berusaha menyeret tubuhnya, untuk
keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir goa,
terdengar dia memanggil-manggil seseorang.
Dua kali dia memanggil, kemudian matanya
menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya
pun roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap.
Seluruh kesadarannya lerbang.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak
seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok
yang kini berjalan bersama Andika jauh di sana.
***
Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun
Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat
Pedang Pusaka Langit, dia dan Chin Liong bermaksud
akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara
kota Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan
mengenai pertukaran Putri Ying-lien dengan Pedang
Pusaka Langit pada Chin Chung.
Tapi kini, hal itu tidak perlu lagi dilaksanakan.
Karena setahu Andika, Chin Chung selaku orang yang
menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin
Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.
Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang sedang
berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon
besar di pekarangan Kuil Peraduan Bulan. Dari
wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras. Tak
dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian morat-
marit yang belum diganti sejak bertempur dengan Si
Pembawa Badai.
Sementara itu, Chia-ceng tengah pergi dengan
Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari
keperluan sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap
tinggal di Kuil Peraduan Bulan, khususnya Andika. Ini
terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum
lagi diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa
Penjuru Angin yang begitu dekat dengan Chin Chung,
tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka
bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk
menghabisi Putri Ying-lien.
Sedang keras-kerasnya Andika berpikir, tiba-tiba
Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri
keringat dan napasnya memburu.
"Ada apa, Chin Liong?" tanya Andika cepat.
"Chia-ceng...."
"Kenapa dengan dia?"
"Seseorang telah membunuhnya!" lapor Chin
liong.
Andika terkesiap. Wajahnya mengeras.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pendekar
Slebor gusar.
Usai mengatur napas, Chin Liong mulai bercerita.
"Di pusat kota, aku dan Chia-ceng berpisah dalam
mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk
bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat
yang telah disepakati, ternyata Chia-ceng tak kunjung
muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera kucari ke
sekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orang-
orang berkerumun. Ternyata, mereka mengerumuni
tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat."
Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah
geram. Tak cuma lelaki Tiongkok tampan itu. Andika
•pun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng
pengikut setia kerajaan.
"Menurut beberapa orang saksi mati,
pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja
runcing," sambung Chin Liong menambahkan.
"Hantu Bisu Kaki Baja," simpul Andika berdesis.
"Ya! Aku pikir juga begitu," timpal Chin Liong.
"Tampaknya, anak buah Si Pembawa Badai itu
ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung,"
gumam Andika.
"Tapi, bagaimana dia bisa tahu kalau Chin Chung
sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat
tersembunyi?" tanya Chin Liong, heran.
"Mungkin saja Chin Chung telah bercerita
sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke
Goa Sejuta Lintah," duga Andika.
"Tak mungkin," kata Chin Liong, setengah
bergumam.
"Kenapa tak mungkin?"
"Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang
begitu bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa
Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan benda pusaka
itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan
sudi menyerahkan benda yang begitu berharga itu,"
papar Chin Liong datar.
"Lalu, apa mungkin Chin Chung masih hidup?
Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk
melaporkan tentang perbuatanmu padanya?"
"Entahlah. Tapi, aku yakin dia telah mati. Karena
jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ke
tubuhnya."
"Kau benar-benar yakin? Apa kau telah
memeriksa mayatnya?" tanya Andika, sedikit
menyudutkan.
Chin Liong menggeleng ragu.
"Entahlah," desah pemuda Tiongkok itu.
***
DELAPAN
Seseorang tampak masih terbaring tak sadarkan
diri di bibir Goa Sejuta Lintah. Di tengah pingsannya,
muncul seorang wanita. Dilihat dari penampilannya,
usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik tanpa
tata rias. Pakaiannya sederhana dengan baju kuning
berompi kulit domba. Kesederhanaan juga terlihat pada
tataan rambutnya. Meski hanya digelung, rambut
panjang hitamnya tetap tampak menawan.
Pribadi gadis itu tampak tegar. Itu terlihat dari
caranya menghadapi orang yang bermandi darah. Bagi
banyak wanita, pemandangan itu bisa membuat amat
gugup. Tapi, tidak bagi si Gadis. Dia malah tenang
berjongkok di dekat tubuh itu. Mimik wajahnya hanya
berubah. sedikit, manakala nadi leher pemuda yang
masih tak sadarkan diri diperiksanya.
Yakin kalau orang itu belum menjadi mayat,
wanita ini segera membopongnya. Tanpa kesulitan,
diangkatnya tubuh itu ke bahu, lalu dimasukinya mulut
goa dengan langkah ringan.
***
Tiga hari waktu telah berlalu. Dan kini, Chin Liong
tersadar. Matanya tampak mengerjap-ngerjap sesaat.
Setelah pandangannya tidak lagi mengabur, tampaklah
sebuah pemandanganyang tak asing lagi. Apalagi,
ketika kepalanya berusaha menoleh ke satu arah.
Didapatinya cahaya terang yang datang dari satu tungku
raksasa.
"Kenapa aku masih berada di ruangan milik Tua
Bangka Tangan Api ini?" bisik pemuda itu, bertanya
pada diri sendiri.
"Kau kutemukan sedang pingsan di bibir goa,"
sahut seseorang di dekat kepalanya.
Sambil memegangi kepala yang masih berat,
pemuda itu mendongak ke arah suara tadi. Sekarang,
didapatinya gadis yang menolongnya di bibir Goa Sejuta
Lintah tempo hari.
"Siapa kau?" tanya pemuda itu.
Bergegas, dia berusaha bangkit. Namun niatnya
tertahan ketika di bagian perutnya terasa nyeri. Dengan
seketika tangannya pun berpindah ke bagian perut. Kini,
tangannya dapat merasakan kehalusan pembalut yang
menutup luka tusuk di perutnya.
"Kaukah yang telah merawatku?" tanya pemuda
itu.
"Kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"
Gadis yang diajak bicara mendekatinya.
Tangannya tampak membawa mangkuk keramik kecil.
Setelah berada di sisi kirinya, tangan kanannya
membalutkan sesuatu dari mangkuk ke wajah Chin
Liong.
"Tak apa-apa. Ini hanya ramuan untuk mengobati
memar-memar diwajahmu," kata wanita itu lembut ketika
tangan pemuda ini berusaha menahan.
Pemuda bermata sipit itu akhirnya membiarkan
saja wajahnya dijamah tangan berlumur ramuan gadis
manis.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak,"
tegur pemuda itu beberapa saat kemudian.
"Pertanyaanyang mana? Kau begitu banyak
mengajukan padaku?" balas si Gadis seraya tersenyum
ramah.
Pemuda itu menyeringai, menyadari
kebodohannya.
"Siapa namamu?" ulang pemuda itu lagi.
"Apa itu perlu?"
"Aku rasa, ya."
"Tapi, aku rasa tidak."
"Nisanak..., tolonglah. Aku tak ingin memanggil
orang yang telah berjasa padaku dengan sebutan
seenaknya," desak pemuda itu.
"Baik, kalau kau memang memaksa. Aku Mei-jen,"
aku si Gadis, akhirnya.
"Aku Chin Liong," balas pemuda yang ternyata
Chin Liong sambil mengulurkan tangan kanan untuk
mengajak berjabatan.
Benarkah dia Chin Liong? Lalu, siapa yang
meninggalkan Goa Sejuta Lintah bersama Pendekar
Slebor?
Pemuda yang tengah dirawat oleh wanita yang
mengaku bernama Mei-jen memang Chin Liong! Dan
memang, sesungguhnya semua terjadi berada di luar
perkiraan Pendekar Slebor. Amat keliru jika orang yang
jalan bersamanya dianggap Chin Liong, orang yang
selama ini dikenalnya. Lelaki Tiongkok yang diduga Chin
Liong, sebenarnya justru Chin Chung!
Kemiripan wajah yang sukar dibedakan, dan
kelihatan Chin Chung bersandiwara, telah mampu
mengecoh Andika. Berarti, sudah telah tiga kali Chin
Chung memperdayainya begitu rupa. Dan sampai
sejauh itu Pendekar Slebor tak juga menyadari.
Bisa ditebak, kematian Chia-ceng memang
sebenarnya dibunuh oleh Chin Chung pula. Lelaki cebol
itu dibokong secara licik, saat mereka melintasi hutan
menuju pusat kota.
Tampaknya, pendekar muda tanah Jawa Dwipa
yang amat terkenal keenceran otaknya, benar-benar
hendak dijadikan boneka bulan-bulanan Chin Chung.
Kercerdikan si Pendekar Slebor ternyata telah
terombang-ambing kelicikan lawan.
Chin Chung memang memiliki rencana, setelah
merasa yakin telah menghabisi saudara kembarnya
sendiri. Dengan rencana liciknya, dia hendak mencari
kepuasan mempermainkan Andika. Pendekar asing itu
hendak dibunuhnya, persis di hadapan Putri Ying-lien!
Begitu niatnya. Di samping akan menemukan kepuasan
tersendiri, sekaligus akan ditemukan kepuasan lain,
manakala Putri Ying-lien terperangah mendapati
pendekar asing andalannya mati di depan mata.
***
"Terima kasih kau menyebutkan namamu..., meski
belum kutanyakan," sentil Mei-jen.
Dan ini membuat lelaki muda di depannya kembali
menyeringai malu. Tapi tangan Chin Liong disambutnya.
"Ah, maaf. Aku lupa kalau tanganku masih penuh
ramuan ini," tutur Mei-jen, menyadari telah mengotori
tangan Chin Liong. Segera ditariknya tangan halus nan
lembut itu.
"Tak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong...," Chin
Liong mencium tangannya yang terkena ramuan dengan
wajah agak meringis.".... Ramuan apa yang kau berikan
padaku? Kenapa baunya seperti kotoran kcrbau?"
"Memangnya kau pikir ramuan apa?"
"Jadi, benar dari kotoran kerbau?" Mata Chin
Liong lerbelalak jijik.
"Aku tak bilang begitu," jawab Mei-jen tenang.
Kaki gadis itu segera melangkah ke tempatnya
berdiri semula, untuk meletakkan mangkuk ke satu rak
obat-obatan.
"Ah... sykurlah," gumam Chin Liong lega. "Ng....
Boleh aku bertanya lagi padamu?"
Dengan agak susah payah, Chin Liong berusaha
bangkit.
"Untuk seorang yang sudah ditolong, kau
termasuk terlalu banyak tanya. Tapi, tak mengapa,"
sahut Mei-jen jadi menoleh. Tangannya masih sibuk
mengatur kendi- kendi obat.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku Mei-jen."
"Maksudku, julukanmu. Dan kenapa kau bisa
berada di tempat terpencil ini?"
"Ini memang tempat tinggalku," sahut Mei-jen,
ringan.
Chin Liong menggelengkan kepala.
"Jangan berbohong! Apa kau kira aku tak tahu
kalau ini tempat Tua Bangka Tangan Api?"
"Lantas, kau pikir aku ini siapa?" Mei-jen malah
balik menyudutkan Chin Liong. Dia pun berbalik mengha
dap pemuda itu.
Chin Liong mengangkat bahu. Tampak wajah
berkerut.
"Ya! Siapa kau?" tanya pemuda itu tak mengerti.
"Kau boleh percaya atau tidak. Akulah si Tua
Bangka Tangan Api yang disebut-sebut orang itu."
Kerut di wajah Chin liong tampak makin dalam.
"Kau bisa main-main juga rupanya...," leceh Chin
Liong tak percaya. "Yang kutahu, Tua Bangka Tangan
Api adalah lelaki tua yang telah kutemukan hampir mati
di sini."
"Dia pembantuku. Kasihan sekali. Padahal, dia
begitu setia padaku."
"Aku masih belum mengerti?"
"Memang, aku tak menyalahkan orang-orang yang
telah menyebutku seperti itu. Mungkin mereka mengira
pembantuku itulah yang telah membuat senjata pusaka
pesanan tokoh-tokoh persilatan," papar gadis itu enteng.
"Selama ini, aku memang tidak mau tahu pada orang-
orang yang memesan senjata padaku. Aku hanya
membuatnya. Sedang urusan pemesanan, kuserahkan
pada pembantuku."
"Lalu kenapa...."
"Kenapa dia diberi embel-embel nama Tangan
Api?" potong Mei-jen. "Ah, itu hanya ibarat. Karena
logam-logam langka terkeras, dapat dibuat mudah.
Maka julukan itu pun bertambah. Dan karena mereka
menyangka pembantuku yang membuat, mereka pun
menambahkan embel-embel itu pada namanya."
"Apa benar kau...."
Tiba-tiba ucapan Chin Liong terputus. Bicara
tentang lelaki tua itu, dia jadi teringat pada kejadian yang
menimpanya.
Astaga! Kenapa aku jadi melupakan Chin Chung!
Dia bisa amat berbahaya bersama pedang itu," desis
Chin Liong dalam.
Segera pemuda itu berusaha berdiri tergesa dari
pcinharingan kayu.
"Mau ke mana?" tanya Mei-jen. "Kau belum pulih
benar. Tiga hari ini kau tak sadarkan diri. Baru saja
siuman, kau sudah ingin pergi?"
"Aku harus mencegah saudara kembarku. Tentu
dia memiliki rencana jahat pada Putri Ying-lien dan
Andika...."
"Tidak! Tak perlu kau khawatirkan dengan pedang
pusaka itu," tegas gadis yang sebenarnya dialah si
Tangan Api sambil menekan bahu Chin Liong kembali
berbaring.
"Apa kau gila?! Pedang pusaka itu mampu
membuatnya amat sakti dan lebih sinting!" Chin Liong
bersikeras.
"Pedang itu masih ada padaku," jegal Met jen.
"Apa?!"
"Apa kau pikir aku tak tahu riwayat benda langit
itu? Aku juga tahu keampuhannya. Apalagi, jika telah
dibentuk sebuah pedang. Lima ratus tahun yang lalu,
buyutku pun pernah membentuk benda langit itu menjadi
pedang pusaka yang gagangnya kini dipakai lagi. Dari
beliau, cerita itu turun hingga ke aku. Dan, apa kau pikir
aku akan membiarkan benda sakti itu jatuh ke tangan
orang lalim?" tutur Mei-jen.
"Jadi?"
"Aku telah membuat tiruannya," aku Mei-jen. "Dan
tiruannya itu yang telah dirampas seseorang yang kau
sebut tadi, ketika aku pergi keluar. "Aslinya tetap
kusimpan, sampai ada orang yang berhak
mendapatkannya."
Chin Liong terlolong tanpa kata, antara terkejut
dan gembira. Pantas, waktu bertarung melawan Chin
Chung, dia tidak merasakan adanya kekuatan berlipat
pada saudara kembarnya. Kalau pun dia kalah, mungkin
hanya soal keberuntungan ada di pihak Chin Chung!
***
Sore telah menjelang. Cahaya meredup dalam
lembayung jingga. Di langit, gumpalan-gumpalan awan
kecil berpilin masih terlihat. Saat bumi teduh dan angin
me- nyapukan rasa damai, Chin Liong tampak telah
berjalan menuju Kuil Peraduan Bulan.
Di tangannya tergenggam Pedang Pusaka Langit,
terbungkus dalam kain berwarna keemasan. Masih
dengan jalan agak limbung, kakinya terus melangkah.
Sehari setelah siuman, dia sudah tidak bisa bersabar
lagi untuk segera keluar dari Goa Sejuta Lintah. Hal ini
karena dorongan tanggung jawabnya pada nasib Putri
Ying-lien dan sahabatnya, Andika.
Sementara si Tangan Api yang bernama asli Mei-
jen tak bisa mencegah kehendak Chin Liong. Pemuda
itu terlalu bersikeras untuk dicegah. Dan ketika Mei-jen
yakin kalau Chin Liong benar-benar utusan kerajaan
untuk mengamankan Pedang Pusaka Langit, senjata itu
pun diserahkan pada pemuda itu.
Chin Liong masih ingat saat terakhir berpisah
dengan gadis manis itu. Entah kenapa, kala itu mata
Mei- jen ditatapnya lekat-lekat. Dia yakin, sikap itu bukan
sekadar ungkapan rasa terima kasihnya. Dan tindakan
itu, membuat Mei-jen mengembangkan senyum malu
dengan wajah bersemu merah. Dan sebagai wanita
berkepribadian tegar, sifat-sifat kewanitaannya tak
pernah pudar. Dan dia masih mampu untuk tak tersipu-
sipu.
"Sebelum pergi, boleh aku bertanya padamu?"
ungkap Chin Liong waktu sebelum pergi. "Kenapa gadis
secantikmu menyepi sendiri di tempat terpencil ini?"
"Ceritanya panjang dan menyakitkan untuk
diingat," jawab Mei-jen datar.
"Kalau aku selesai menunaikan tugas dan
selamat, boleh kudengar ceritamu. Aku ingin berbagi
rasa denganmu?" ucap Chin Liong.
Mei-jen tak menyahut, juga tak menggeleng atau
mengangguk. Dibalasnya tatapan Chin Liong dengan
sepasang mata yang bagai dua penggal bulan itu.
"Kau ingin melakukan itu, karena aku telah berjasa
padamu?" sindir gadis itu halus.
"Tidak, bukan itu. Dan aku juga tak tahu, kenapa.
Hanya aku ingin mengenalmu lebih dekat," sahut Chin
Liong.
"Terima kasih.... Kau ternyata seorang yang
penuh perhatian," puji Mei-jen tulus.
"Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi,
bukan?" desak Chin Liong.
Mei-jen terdiam. Ditatapnya lagi pemuda tampan
di depannya.
"Jika keinginanmu tulus, rasanya aku tidak bisa
menolak," tutur Mei-jen akhirnya.
Chin Liong tersenyum tipis. Senyum yang jarang
sekali tersembul di bibirnya.
'Tapi, berjanjilah padaku. Kau harus selamat dari
tugas berat ini," pinta Mei-jen, membuat relung hati Chin
Liong tersentuh.
Chin Liong mendekati Mei-jen. Digenggamnya ke-
dua tangan gadis itu.
"Aku berjanji. Doakanlah aku," pinta Chin Liong
kembali.
Sampai Chin Liong hampir tiba di Kuil Peraduan
Bulan, wajah dan pribadi Mei-jen tetap mengusik
benaknya. Selama itu pula, dia merasakan getaran lama
yang kembali hadir, setelah sekian lama terkubur.
Getaran yang pernah ada ketika begitu akrab dengan
Ying- lien.
Kini kaki pemuda itu telah memasuki pelataran
kuil. Senja saat ini makin terjatuh di tepi langit. Gelap
mulai menyapu alam. Namun, masih ada sisa cahaya
yang terjaga. Dan baru saja hendak memasuki pintu
besar kuil, telinganya menangkap gerak langkah dua
orang yang datang.
Chin Liong cepat mengurungkan niat untuk
masuk. Dia bergerak sigap, untuk mencari tempat
sembunyi di balik semak-semak pelataran.
Kedua orangyang datang ternyata sosok-sosok
yang amat dikenalnya. Mereka adalah Chin Chung dan
Andika.
Tubuh Chin Liong kontan menegang. Ingin
rasanya saat itu Chin Chung dihadangnya. Karena
dikira, dia akan melakukan niat jahat pada Andika atau
Chia-ceng! Tapi keinginannya segera ditekan, manakala
melihat bagaimana Chin Chung berjalan demikian
santai.
"Hm.... Tampaknya dia tak begitu khawatir
kehadirannya diketahui. Lalu, kenapa dia datang?" bisik
hati Chin Liong bcrtanya-tanya sendiri. "Apakah dia
mulai bermain-main kucing-kucingan lagi? Ya! Pasti dia
hendak mempcrmainkan Andika kembali, seperti saat di
tanah Jawa Dwipa dulu!"
Chin Liong terus memperhatikan Chin Chung dan
Andika yang terus melangkah tenang.
"Baik akan kuikuti dulu permainannya! Mungkin
aku bisa mengikutinya hingga ke tempat Putri Ying-lien
disembunyikan," putus Chin Liong akhirnya.
SEMBILAN
Malam itu dua sosok bayangan mengendap-
endap dalam gelap. Hanya temaram cahaya rembulan
yang membantu kedua bayangan orang itu menerabas
onak pohon-pohon di kaki Bukit Naga sebelah timur kota
Yingtienfu.
Mereka terus mendekati ke arah sebuah
bangunan besar yang tersembunyi dalam lingkaran lebat
pepohonan randu, tepat di balik bukit itu. Tak tampak
adanya kesukaran pada perjalanan mereka. Jalan
menanjak penuh semak dan tak jarangbatang pohon
tumbang, dapat mudah dilalui. Keduanya seakan
sepasang rase. Lincah dan gesit.
Sesekali dua sosok bayangan itu terlihat
melompat ringan untuk melewati mulut jurang dalam dan
lebar. Tanpa menghasilkan suara sedikit pun, kaki
mereka menjejak mantap di bibir jurang, lalu
melanjutkan langkah dengan berlari-lari kecil.
Setelah tiba di puncak Bukit Naga, mereka mulai
menuruni semacam tebing berbatu. Sekitar dua ratus
depa dari puncak bukit itulah terlihat bangunan besar
yang berdiri pada kemiringan tebing.
Dari kejauhan, bangunan yang hendak disantroni
itu tampak menjulang angker ke angkasa. Dilihat dari
bentuknya, bangunan itu seperti sebuah benteng kuno
yang tak digunakan lagi. Dindingnyayang hitam kehijau-
hijauan karena berlumut, terbuat dari susunan batu-batu
cadas persegi. Pada dua sisi bangunan terdapat menara
yang seakan hendak menggapai langit. Di sekitar
dinding batu sepanjang kurang lebih tiga puluh tombak,
tak satu jendela pun, kecuali satu pintu gerbang besar.
Di masing-masing menara pada sisi benteng,
tampak dua orang sedang berjaga penuh siaga. Yang
terlihat hanya setengah tubuh mereka, karena berdiri di
mulut jendela pengintai, seukuran manusia yang
terdapat di sisi utara dan selatan. Sementara dua
jendela di menara yang lain menghadap arah timur dan
barat.
Para penjaga itu berseragam prajurit kerajaan,
berwarna merah dengan tutup kepala dari kain berwarna
merah pula. Memang, sebelumnya mereka adalah para
prajurit kerajaan. Tapi kini mereka telah membelot
Tangan mereka masing-masing tampak memegang
tombak panjang di depan dada.
Rupanya penjaga itu tak mampu memergoki dua
penyelusup tadi yang kelihatannya berkepandaian tinggi.
Layaknya hantu, kedua penyusup itu tiba-tiba saja telah
sampai di salah satu atap menara, setelah sebelumnya
merayap tanpa suara bagai cicak pada susunan dinding
cadas bangunan tinggi ini. Seorang dari mereka
kemudian bergerak lincah ke arah jendela, secara
bergelayut di tonjolan dinding menara. Bersamaan
dengan gerak ayunan tubuhnya menuju jendela,
ditendangnya satu penjaga.
Bruk!
Berikutnya, satu totokan cepat membungkam
penjaga naas itu sebelum mulutnya sempat membikin
keributan. Sementara, penjaga yang seorang lagi pun
menyusul menerima jatah totokan. Seperti tak pernah
terjadi apa-apa, tubuh kedua penjaga yang telah kaku itu
ditegakkan di ambang jendela oleh si Penyelusup.
Kini, kedua penyusup itu mulai menuruni tangga
menara yang berliku, bersambung dengan ruang bawah
tanah benteng kuno. Beberapa ratus tahun silam ruang
bawah tanah ini pernah digunakan sebagai tempat para
tahanan meringkuk.
Memang, kedua penyusup adalah Andika dan
Chin Chung yang menyamar sebagai Chin Liong.
Sebagai bagian dari rencana liciknya, dia pun membuat
satu laporan palsu pada Andika dua hari yang lalu.
Dikatakannya, ada seorang pemberontak yang
membelot membocorkan rahasia tempat penahanan
Putri Ying-lien, dan memberitahukan padanya letak
tempat itu. Andika memang termakan pancingan Chin
Chung. Makanya pemuda itu segera memutuskan untuk
mengadakan penyusupan.
Rencana lelaki licik itu tampaknya berjalan lancar.
Tapi tanpa sepengetahuan Chin Chung, ternyata ada
seseorang siap membongkar kedoknya mentah-mentah.
Tentu saja, saudara kembarnya sendiri. Chin Liong!
Sejak Andika dan Chin Chung berangkat menuju
benteng kuno, Chin Liong menguntit terus di kejauhan.
Pada saat yang menurutnya paling tepat, dia akan
memperingatkan Andika, siapa sebenarnya lelaki yang
kini bersamanya.
Sayang! Ketika baru saja hendak merayap ke atas
menara yang digunakan Andika dan Chin Chung
sebagai jalan masuk.
"Berhenti!"
Terdengar suara menggelegar yang mengejutkan.
ternyata ada beberapa orang yang memergoki Chin
Liong. Mereka bukan para penjaga yang baginya tak
begitu berarti untuk disingkirkan, tapi justru halangan
terberat yang mesti dihadapi! Empat Penguasa Penjuru
Angin!
Orang yang berteriak adalah Si Pembawa Badai,
salah satu dari orang-orang yang melihat Chin Liong
lebih dulu. Sungguh sial bagi Chin Liong! Sungguh tak
biasanya keempat tokoh sesat kalangan atas Tiongkok
itu mengadakan pengawasan ke sekitar benteng kuno,
markas mereka Padahal hari-hari sebelumnya, mereka
menyerahkan pekerjaan itu pada para anak buah.
Tanpa banyak cakap, Chin Liong melompat turun
dari dinding benteng. Pedang Pusaka Langit yang masih
tersimpan dalam warangka di pinggang, digenggam
gagangnya erat-erat, siap menghadapi keadaan lebih
buruk.
"Hey, siapa kau?! Wajahmu mirip Chin Chung.
Tapi, pasti kau bukan dia! Ooo, aku ingat! Kau pasti
saudara kembar Chin Chung yang tak sejalan
dengannya. Bukan begitu?" sambut lelaki tua bertubuh
kurus kering itu.
Chin Liong tak berniat menyahuti. Dia hanya
mendehem kecil. Wajahnya tetap dingin, diwarnai kilat
mata penuh siaga.
"Hm.... Tampaknya kau hendak membebaskan
junjunganmu, Putri Ying-lien nan cantik jelita itu. Huak
hak hak...!" Si Pembawa Badai mengalunkan tawa
serak, diikuti Dewi Seribu Diri di sampingnya.
Sementara, dua langkah di belakang mereka
tampak Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja
berdiri dingin tanpa memperdengarkan tawa. Bahkan
sekadar seringai.
Chin Liong sadar, keadaan bahaya akan
mengancam Andika setiap saat di dalam sana. Karena,
pendekar tanah Jawa Dwipa itu tidak tahu kalau sedang
masuk perangkap. Maka Chin Liong tak ingin banyak
cincong lagi. Dalam sekali gerak, tangannya sudah
melepas Pedang Pusaka Langit dari sarungnya.
Sring...!
"Kalian tentu tak akan sudi menyingkir begitu saja.
Sedangkan aku, tak punya waktu banyak untuk
meladeni mulut kalian. Karena itu, sebaiknya
pertarungan dipercepat!" tantang Chin Liong tanpa
perubahan air muka.
Kini Pedang Pusaka Langit teracung tepat di
depan dada Chin Liong. Sinarnya yang merah membara,
menyapu wajah dingin Chin Liong. Sehingga, membuat
wajah lelaki muda itu tampak begitu angker.
Sementara itu keempat calon lawan Chin Liong
mendadak terpesona, menyaksikan keindahan pedang
di tangan Chin Liong. Tak hanya cahaya merah bara
memukau yang tak dimiliki pedang lain. Bentuknya pun
demikian memancing decak kagum. Gagangnya
berbentuk naga terbang, perlambang kekuatan dan
kekuasaan. Sepuhannya dari emas, mengesankan
keagungan. Sedangkan bentuk batangnya memiliki
beberapa lekukan di ujungnya bagai ekor naga.
"Apakah aku tak salah lihat? Bukankah itu Pedang
Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan lima
ratus tahun yang lalu?" desis Si Pembawa Badai, tak
percaya. Mimik mukanya seperti seorang yang
menyaksikan taman firdaus di depan mata.
Sementara itu, lain lagi sikap yang diperlihatkan
Dewi Seribu Diri. Tiba-tiba saja, dia sesegukan bercu-
curan air mata. Sambil menyapu air mata dengan
punggung tangan, dia berbicara seperti nenek tua yang
terharu karena diberi sirih.
"Ooo, indah nian pedang itu. Alangkah
bahagianya jika aku memilikmya."
Tampaknya, penyakit bawaan wanita itu mulai
kambuh kembali.
"Pedang ini memang Pedang Pusaka Langit," ujar
Chin Liong. "Kalian tentu tahu pula dari cerita rakyat,
kalau pedang ini akan meningkatkan kemampuan
seseorang berlipat ganda. Kini pedang ini ditanganku.
Maka kuperingatkan pada kalian, agar segera
menyingkir dari sini!"
Mendadak saja, tiada angin tiada hujan, Dewi
Seribu Diri cekikikan meski wajahnya masih dibasahi air
mata.
"Hik hik hik...! Apa kau sudah pikun, kalau kau
sedang berhadapan dengan Empat Penguasa Penjuru
Angin? Mana mungkin kami mau begitu saja diusir
seperti anjing buduk!" umpat wanita itu dengan wajah
keji.
"Kalau begitu, kalian harus kusingkirkan
secepatnya!" tandas Chin Liong, tak ingin lebih banyak
buang waktu.
Lalu dengan keyakinan dan sedikit kenekatan,
pemuda itu meluruk ke arah keempat tokoh sesat itu.
Padahal selama ini, dia tidak pernah sekalipun ingin
bermimpi untuk menghadapi. Ya, bahkan sekadar
mimpi!
"Heaaa!"
Zing...!
Di lain tempat, tepatnya di ruang bawah tanah
benteng kuno, Andika dan Chin Chung yang mengaku
sebagai Chin Liong, dengan mudah memberesi lima
penjaga penjara tua tempat Putri Ying-lien disekap.
Setelah mendapat kunci, Pendekar Slebor
bergegas membuka jeruji baja penjaga. Di situ, putri
mahkota kerajaan itu ditemukan dalam keadaan
menyedihkan. Wajah, tubuh, dan pakaiannya kumal.
Wajahnya yang cantik tampak memucat. Tangannya
yang terentang ke atas, terbelenggu rantai baja. Seluruh
tubuhnya tampak lemah tak berdaya. Andika yakin,
wanita itu dalam pe- ngaruh totokan.
"Putri! Kau tak apa-apa?" tanya Andika khawatir,
sesaat setelah melewati pintu penjara. Didekatinya Putri
Ying-lien untuk membebaskan tangannya dari belenggu
baja.
"K.. kaukah, Andika?" tanya Putri Ying-lien, lirih.
"Ya! Ini aku," jawab Andika seraya berusaha
memapah tubuh Putri Ying-lien yang hendak terjatuh
ketika belenggunya terbuka.
Di belakangnya, Chin Chung yang mengendap-
endap halus, melepas pedang yang dikira Pedang
Pusaka Langit dari belakang punggung Andika.
Gerakannya begitu hati-hati. Sehingga telinga seorang
pendekar yang terlatih seperti Andika, tak mau
menangkapnya.
Agaknya, siap menjemput si Pendekar Slebor.
Jarak yang demikian dekat, membuat Andika tak akan
mungkin sempat lagi menghindar, jika pedang itu
lerayun cepat.
Mungkinkah nyawa Pendekar Slebor telah tiba di
ambang maut? Ternyata di luar perhitungan Chin Chung
sama sekali. sepasang telinga Putri Ying-lien yang
sudah menjadi pengganti matanya, masih mampu
menangkap desing amat halus.
"Andika! Awas di belakangmu!" sentak Putri Ying-
lien, memperingatkan.
Pada saat yang bersamaan, Chin Chung
mengayunkan senjatanya tepat ke tengkuk Andika.
Kalau saja yang diserang bukan Pendekar Slebor,
seorang jago tanah Jawa Dwipa yang memiliki
kecepatan siluman, sudah tentu pedang haus darah itu
akan segera menemui sasaran.
Zing...!
Sekejapan sebelum mata pedang sampai di
tubuhnya, Andika telah lebih dahulu melesat ke
belakang. Langsung dilewatinya tubuh Chin Chung
sambil membopong Putri Ying-lien sekaligus.
"Kau...," geram Andika, begitu kakinya mendarat.
Kini baru disadari kalau dirinya telah termakan tipu daya
Chin Chung.
"Hua ha ha...! Kau terkejut, Pendekar Bodoh?!
Sekali lagi kau terkecoh, bukan? Aku memang Chin
Chung. Terpaksa saudara kembarku kubunuh di Goa
Sejuta Lintah karena terlalu memaksaku," sesumbar
Chin Chung pongah.
Pendekar Slebor segera meletakkan tubuh wanita
yang dibopongnya ke sudut penjara. Dia harus bersiap
menerima serangan lawan, karena gelagatnya sudah
makin memburuk.
"Dan kau lihat ini, Tuan Pendekar Dungu!" Chin
Chung mengacungkan pedang tinggi-tinggi. "Inilah
Pedang Pusaka Langit! Berdoalah untuk mati! Karena
dengan pedang mi, aku mungkin bisa lebih cepat
mengirimu ke dasar neraka!"
Pendekar Slebor mengepalkan kedua tangannya
dalam geram tak terhingga. Berbareng dengan itu,
rahangnya mengejang dan matanya berkilat murka. Dia
pernah merasakan, bagaimana kehebatan tenaga lawan
yang telah diperkuat kesaktian Pusaka Langit di Danau
Panca Warna dulu (Baca kisah Pendekar Slebor ber-
judul: "Pusaka Langit"). Kini Pendekar Slebor tak mau
gegabah menghadapinya. Tanpa perlu menimbang lebih
lama, segera kain pusaka yang selama ini hanya
tersampir di pundaknya dilepas.
"Percayalah, Manusia Kentut. Kau akan
membayar semua nyawa orang-orang yang dekat
denganku," serapah Andika seperti menggeram. Sudut
bibirnya terangkat, menandakan dirinya sedang berada
di tepi batas kemarahan.
"Mimpi! Kau hanya bermimpi, Andika! Kau tak
akan mungkin mengalahkanku. Hua ha ha... Apa kau
pi...."
"Diam!" bentak Andika menggelegar.
Seketika Chin Chung tersentak kaget, hingga
kata- katanya terputus. "
Kenapa kau tak langsung membuktikannya? Apa
kau takut dengansenjataku? He he he...," kata Andika
sambil menyeringai. "Asal kau tahu saja. Kain ku ini, biar
butut bisa dipakai membuntal manusia kentut macam
kau! Kau boleh menyebutnya buntalan kentut, tapi akan
membuatmu terkentut-kentut. Ya! Meski pun kau
berusaha takkentut. Tapi, kau pastiakan kentut...
Kentut!"
Wajah Chin Chung merah padam. Tak ada
manusia waras yang sanggup menerima celaan
keterlaluan Pendekar Slebor. Dialah kini yang justru
nyaris meledak murka.
"Mampus kau, Pendekar Dungu!"
Berbarengan dengan umpatan, disambarnya
Pendekar Slebor dengan sapuan pendang ke batang
leher.
Zing...!
"Wait! Hia-haaa! Kau mau membabat setan
bingung?" ejek Pendekar Slebor, setelah mampu
menghindari tebasan dengan menggeser kaki dua
langkah. "Aku di sini, nih!"
"Haiiih!"
Chin Chung kembali menggempur telengas.
Serangkai sabetan beruntunnya diarahkan ke beberapa
bagian tubuh Pendekar Slebor.
Seperti tak sudi diserang terus, Andika mulai
melakukan elakan yang diimbangi serangan balasan.
Sewaktu pedang itu menusuk lurus ke ulu hatinya,
tangan kanan yang memegang kain pusaka bergerak,
membuat satu lecutan ke depan.
Cret! Trang!
Saat itu juga, pedang yang dikira Pedang Pusaka
Langit terpatah menjadi tiga bagian, tertampar kain
Pusaka Pendekar Slebor. Tak diragukan lagi. Andika
telah menyalurkan sebagian inti kekuatan warisan
Pendekar Lembah Kutukan pada senjata yang jarang
digunakannya. Terbukti, seketika tercipta percikan
bunga api, manakala kain pusakanya menghancurkan
senjata lawan.
Chin Chung bukan main terperangah mendapati
pedang di tangannya tak utuh lagi. Mana mungkin bisa?
Bukankah yang digenggamnya sekarang adalah pedang
pusaka terbuat dari batu langit yang keampuhannya tak
diragukan?
Dan yang terkejut ternyata bukan hanya dia.
Andika pun sampai terbelalak tak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Mulutnya bahkan terbuka lebar
kebodoh-bodohan. Sesaat kemudian, baru disadari
kalau pedang di tangan lawan bukanlah Pedang Pusaka
Langit.
"Hia hik hik..," Andika terkikik geli ingin mengejek.
"Kau salah culik pedang Chin Chung!"
Pendekar Slebor sampai memegangi perutnya
karena-menahan tawa.
"Melihat cahaya merah baranya tadi, aku sempat
yakin, lho! Tapi nyatanya... huaaa ha ha... nguk!" Andika
memajukan bibirnya. "Pedangmu hanya dari tulang
monyet! Nang, ning, ning, nang, ning, kung...."
Andika makin urakan. Tangannya malah
melenggak-lenggok seperti menari ketoprak.
"Apa?! Kau akan berkicau kalau bisa
membunuhku dengan senjata bohongan itu?" lanjut
Pendekar Slebor.
Napas Chin Chung turun naik memburu.
Benaknya terasa menjadi kacau balau tak karuan.
Terbang sudah harapannya dapat menghabisi lawan
setangguh Pendekar Slebor!
"Sudah...! Lebih baik, lari saja sana. Hus! Hus!
Hus!" leceh Andika.
"Aku bukan pengecut!" bentak Chin Chung gusar.
Dibantingnya gagang pedang dari tangan. "Telanjur ba-
sah! Aku akan tetap mengadu jiwa denganmu!"
Setelah itu, Chin Chung menggenjot tubuhnya
untuk keluar dari tempat ini.
"Lho-lho-lho? Katanya mau mengadu jiwa?"
"Aku tunggu di luar!" teriak Chin Chung, membuat
keputusan. Disadari, bertempur dengan pendekar ka-
wakan tanah Jawa Dwipa seperti Andika di ruang sempit
seperti itu, sungguh amat tak menguntungkan.
Sementara itu, Andika segera menjemput tubuh
Putri Ying-lien. Selanjutnya disuruhnya Chin Chung
keluar.
***
Sementara di tempat lain, Chin Liong tengah
berada di titik tergawat menghadapi Empat Penguasa
Penjuru Angin. Sebagai orang persilatan, Chin Liong
masih tergolong hijau. Sehingga kepandaiannya masih
jauh tertinggal dalam pengalaman bertarung. Meski di
tangannya kini tergenggam senjata sakti yang mampu
melipatgandakan kekuatan dan kecepatan seperti
keperkasaan seratus gajah dan kelincah walet muda,
tetap saja Chin Liong terdesak.
Dalam empat puluh jurus saja, pemuda itu mulai
tertekan oleh barisan tempur tak terkalahkan milik
Empat Penguasa Penjuru Angin.
Sampai suatu ketika, sebuah sapuan angin puting
beliung dari kesaktian pamungkas Si Pembawa Badai,
meruntuhkan benteng pertahanan Chin Liong. Tubuhnya
jadi terhuyung limbung ke sisi kanan. Tepat pada saat
itu, Dewi Seribu Diri menyabetkan selendangnya yang
disusul oleh hantaman buntalan Hantu Bisu Kaki Baja
yang demikian cepat.
Cletar!
Bugkh!
"Akh!"
Dua deraan senjata lawan pada bahu kanan dan
punggung, membuat Chin Liong terlempar ke tanah
beberapa tombak disertai muntahan darah segar. Lebih
dari itu, Pedang Pusaka Langit yang jadi andalannya
terlempar tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, Chin Chung tiba.
Tubuhnya langsung melayang tinggi, menyambar
pedang sakti itu.
Tep!
"Hua ha ha...! Inilah pedang yang kudambakan!"
seru Chin Chung dengan kegembiraan membludak,
setelah kakinya menjejak tanah. "Sebelum mampus, kau
boleh berkoar sepuas-puasmu, Pendekar Slebor!"
Sementara itu Andika yang baru saja meletakkan
tubuh Putri Ying-lien di tempat aman, menatap tajam ke
arah Chin Chung.
"Kau harus memastikan kalau pemuda asing itu
mati, Chin Chung! Karena, kami akan membantumu!"
timpal Si Pembawa Badai yang berdiri lima langkah di
sampingnya. "Aku ingin, kita menumpas semua
penghalang yang mencoba usil terhadap rencana kita
menguasai negeri ini!"
Tubuh Andika seketika menegang hebat. Bukan
saja harus berhadapan dengan orang yang memiliki
Pedang Pusaka Langit, tapi Pendekar Slebor juga harus
berhadapan dengan empat tokoh sesat tersakti di
daratan Tiongkok. Ini benar-benar sebuah pertarungan
habis-habisan!
"Andika.... Jangan menyerah! Bantulah kami.
Hanya kau satu-satunya yang kami harapkan!" seru
Chin Liong terbata-bata sambil memegangi dadanya.
Ksatria Tiongkok itu tampak berusaha merangkak ke
arah An¬dika.
"Kau masih hidup, Chin Liong?" tanya Andika
gembira mengetahui kawannya ternyata masih
bernyawa. "Apa kau baik-baik saja?"
"Jangan pikirkan aku, Andika Hadapi saja
mereka!"
Baru saja Chin Liong menyelesaikan kalimatnya,
Hantu Bisu Kaki Baja melepaskan senjata rahasia
berbentuk kepingan uang logam yang diambil dari
buntalannya.
Wes, wes, wes...!
Bles, bles, bles. J
"Aaakh!" Chin Liong menjerit sekuat-kuatnya. Di
telinga siapa pun, jeritan tadi tertangkap laksana
dentang kematian.
Mata Andika kontan terbelalak melihat nasib yang
diterima Chin Liong. Giginya bergemelutuk keras.
Wajahnya mendadak terbakar matang. Seluruh
tubuhnya bergetar hebat. Kemarahan benar-benar telah
tiba di puncaknya. Di depan mata kepala sendiri,
sahabatnya telah dihabisi secara keji!
"Chin Liong...," teriak Pendekar Slebor sejadi-
jadinya, bersama seluruh otot di tubuhnya yang
meregang. "Akan kuhabisi kalian semuaaa!"
Amukan Pendekar Slebor tak terbendung lagi.
Lalu....
"Hiaaah!"
Pendekar Slebor langsung meluruk, melabrak
Hantu Bisu Kaki Baja sebagai orang yang mula-mula
akan dimusnahkannya. Seluruh kesaktian yang
terpendam dalam tubuhnya kini membuncah keluar,
membentuk cahaya keperakan menyelimuti tubuh.
Seketika jurus pamungkasnya langsung dikerahkan.
Suatu jurus yang pernah diciptakan di Lembah Kutukan,
'MemapakPetir Membabibuta'.
Melihat gelagat yang tak baik, empat tokoh sesat
yang tergabung dalam Empat Penguasa Penjuru Angin
cepat membentuk barisan tempur andalan. Dengan
barisan ini, mereka memang masih bisa menyelamatkan
nyawa Hantu Bisu Kaki Baja. Begitu Pendekar Slebor
mendekat, kawan-kawan Hantu Bisu Kaki Baja langsung
menyambar tubuhnya. Kemudian, mereka segera
mengurung Andika yang telah mendarat kembali di
tanah setelah berputaran beberapa kali.
Namun begitu, tak luput senjata lelaki buntung itu
terhajar tinju maut Andika. Buntalan berisi pasir baja
yang langka itu berhamburan, bagai semburan gunung
api. Puncak kekuatan Pendekar Slebor rupanya telah
membuat butir-butir pasir itu menjadi panas membara.
"Chin Chung, bantu kami!"
Tindakan Andika sungguh membuat terperangah
semua orang. Kenyataan itulah yang mendesak Si
Pembawa Badai untuk berteriak pada Chin Chung.
"Hiaaa...!"
Dengan satu teriakan membanaha, Chin Chung
melompat ke tengah pertempuran. Pedang Pusaka
Langit langsung dibabatkan ke tubuh Pendekar Slebor.
Kesaktian yang terkandung dalam senjata itu
menyebabkan pedang di tangannya memancarkan
cahaya merah bara yang lebih terang dari sebelumnya.
Dan gesekan pedang dengan udara, menghasilkan
bunga api yang terpercik ke segala arah.
Zing...!
Sayang yang dirangsek Chin Chung bukan anak
kemarin sore. Apalagi seluruh kesaktian Pendekar
Slebor keluar sampai pada puncaknya. Satu geseran
kecil tubuhnya saja, telah cukup menyelamatkan Andika
dari tebasan kejam Chin Chung.
Melihat serangannya gagal, Chin Chung langsung
mencecar Pendekar Slebor dengan gempuran beruntun.
"Hiah!"
Zing... wesss... zing... zing!
Berlipat gandanya kecepatan lelaki Tiongkok itu,
memaksa Pendekar Slebor berkelit semampunya. Andai
saja Chin Chung tak memegang Pedang Pusaka Langit,
gempuran seperti itu sudah pasti dapat dimentahkan
kecepatan sakti warisan Lembah Kutukan milik
Pendekar Slebor. Tapi, persoalan jadi lain jika ada
pedang itu masih di tangannya.
Empat sabetan membentuk putaran ke bawah di
sekujur tubuh dapat dihindari Andika. Namun pada
sabetan kelima yang begitu tipis jaraknya, tak bisa lagi
die- lakkan. Sehingga...
Sret!
"Aaakh...!"
Bahu kiri Pendekar Slebor jadi terkoyak dalam
diiringi keluhan tertahan. Tampak bagian kulit luarnya
menghangus. Rasa sakit yang dideritanya lebih hebat
daripada sambaran petir yang pernah menggores
kulitnya, kala menjalani penyempurnaan di Lembah
Kutukan. Dan ini sangat mengganggu pusat
perhatiannya.
Pada saat yang tak menguntungkan, mendadak
Pencuri Jantung memanfaatkannya. Satu sambaran jari
meluncur ke dada kiri Pendekar Slebor. Seperti
julukannya, tampaknya jantung Andika hendak
didongkel keluar.
Bes!
Kalau saja selubung tenaga sakti di sekitar tubuh
Pendekar Slebor tidak lebih kuat daripada tohokan jari
Pencuri Jantung, entah bagaimana nasib yang akan
dialaminya. Tapi, bukan berarti Andika tak mengalami
luka. Tulang rusuk di dada kirinya saat itu terasa bagai
diremukkan dari dalam.
"Huaaa!"
Pendekar muda itu menjerit keras-keras, sehingga
bumi bagai bergetar. Lalu tubuhnya terpuruk menimpa
bumi, menimbulkan suara berdebam.
Selagi Pendekar Slebor bergulingan kesakitan di
tanah, Dewi Seribu Diri melepas sapuan selendangnya
ke perut Andika.
Cletar!
Tubuh Pendekar Slebor kontan makin menggila
bergulingan di tanah. Kalau saja kekerasan hatinya
untuk membantu nasib negeri Tiongkok tidak ada, sudah
semenjak tadi kesadarannya hilang.
Sementara itu, langit di atas kancah pertarungan
mulai menebal. Arakan awan hitam bergerombol,
memekati angkasa. Musim memang baru saja berganti.
Hujan per lama akan segera membasahi bumi. Itu
sudah dapat dipastikan, karena tak lama kemudian
salakan guntur terdengar mengekori kerjap kilat di
udara. Dan kini rintik-rintik air pun mulai berlomba jatuh.
Di antara serbuan bulir-bulir air hujan, Pendekar
Slebor menerima serbuan yang lain. Suatu serbuan
telengas yang hendak merancah tubuhnya. Bagai
kawanan serigala lapar tak memiliki belas kasihan,
kelima lawannya melancarkan hantaman demi
hantaman secara bergantian.
Andika terpaksa berjuang di batas hidup dan mati
dalam gelombang rasa sakit luar biasa. Penderitaan itu
menyedot kesadarannya sampai pada titik paling bawah.
Nyaris Pendekar Slebor tak sadarkan diri, sampai suatu
ketika....
Jlegarrr!
Mendadak satu kilatan lidah petir menyergap
tubuh Pendekar Slebor. Tenaga geledek raksasa itu
demikian menyilaukan, memaksa kelima lawannya
terhenyak beberapa tindak ke belakang, seraya
menghindari terpaan cahaya petir yang kuat, ke mata
masing-masing.
Saat itu, mereka semua sudah mengira kalau
Pendekar Slebor, penghalang terberat ini telah tutup
usia. Mana ada manusia yang bisa bertahan hidup
diganyang petir? Nyatanya mereka salah duka, karena
memang sama sekali tak pernah tahu kalau dalam
seluruh jaringan tubuh Andika tersimpan kekuatan
mukjizat dari buah langka yang pernah dimakannya di
Lembah Kutukan. Mukjizat buah itu mampu menyerap
berjuta-juta kekuatan tenaga geledek.
Jauh di luar keyakinan mereka, tubuh pendekar
muda itu tiba-tiba meregang bersama sinar menyilaukan
di sekujur tubuhnya. Dari rebahannya, Andika segera
bangkit bagai hendak meledak.
Seketika, Empat Penguasa Penjuru Angin takjub
luar biasa, menyaksikan peristiwa yang di luar
jangkauan akal itu. Maka keempatnya terbelalak lebar-
lebar. Seluruh keberingasan mereka mendadak terbang
entah ke mana.
Tubuh Pendekar Slebor kini makin bergetar hebat.
Ketika serangkum petir menyambar tubuhnya kembali,
terdengar erangan tinggi, seakan hendak membelah
langit. Kemudian....
Crash!
Dari kedua telapak tangan Pendekar Slebor
mendadak membersit larikan menyilaukan sebagai
pelepas tenaga petir yang telah terkumpul di tubuhnya.
Tak ada sekerdipan mata, Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung tersambar cahaya yang tak sempat
dielakkan itu. Tubuh mereka langsung membersit sinar
terang. Setelah sinar itu menghilang, tubuh mereka pun
tak berbentuk lagi. Kecuali, tumpukan abu hitam yang
berhamburan tertimpa rintik hujan.
Sedangkan Chin Chung hanya bisa menahan
napas. Kerongkongannya mendadak tersedak. Begitu
pula Dewi Seribu Diri dan Si Pembawa Badai.
Bagaimana mungkin lawan bisa melakukannya?
Sebelum benak mereka mampu menjawab
kejadian aneh yang baru seumur hidup disaksikan, dua
larik sinar kembali membersit dari telapak tangan
Pendekar Slebor. Kini, giliran dua anggota Empat
Penguasa Penjuru Angin yang termakan kekuatan alam
itu.
Jlegar! Jlcgar!
' Aaa.... Aaakh...!"
Terdengar dua jeritan menyayat, begitu sinar putih
menghantam jubah Si Pembawa Badai dan Dewi Seribu
Diri. Kedua tokoh sesat itu kontan terjengkang dengan
tubuh hangus jadi arang.
Chin Chung makin membelalak. Seluruh tubuhnya
jadi kaku. Dia benar-bena terbelenggu keterpesonaan
dan kebingungan yang berbaur menjadi satu.
Glarrr...!
Sekali lagi petir menyalak. Kini tubuh Andika
kembali menjadi sasaran.
Glar.... Glarrr...!
Sekejapan saja terlepas kembali dua larik sinar
dari telapak tangan Pendekar Slebor. Sasarannya kini
tubuh Chin Chung.
Untung saja Chin Chung memegang Pedang
Pusaka Langit di depan tubuhnya. Karena secara
kebetulan, larikan sinar tadi pun menghantam pedang di
tangannya. Seketika satu kerjapan cahaya menyilaukan
tergipta, membuat tubuh Chin Chung terguncang hebat.
Mendapati dirinya masih dalam keadaan utuh,
Chin Chung segera menyadari kalau pedang di
tangannya telah mampu menyedot kekuatan cahaya
yang hendak menghanguskan. Merasa mendapat
harapan baru, cepat Pedang Pusaka Langit diputar ke
sekitar tubuhnya.
Glarrr.... Glarrr...!
Baru satu putaran, tangan Pendekar Slebor
kembali melepas dua larik sinar. Begitu cepatnya,
sehingga langsung melabrak Chin Chung.
"Aaa...!"
Naas bagi Chin Chung. Rupanya, gerakannya
telah menjadi satu kesalahan paling parah. Pada saat
pedang itu berada di bawah, sinar petir telah lebih dulu
sampai di bagian atas tubuhnya. Maka tubuhnya pun,
seperti rekan-rekannya yang lain, hangus menjadi debu
hitam yang tercabik.
Bumi menjadi tenang, kecuali deru angin dan
tangisan hujan mengisi alam. Pendekar Slebor berdiri
bagai patung tak bernyawa, dengan pandangan
menyapu ke arah mayat lawan-lawannya. Seluruh
pakaiannya sudah tak berbentuk lagi. Sementara, air
hujan meluncur perlahan di kulit wajahnya.
Bumi makin bisu. Hujan makin menyapu basah
seluruh permukaan tanah, ketika Andika menghampiri
tubuh Putri Ying-lien.
Terdengar keluh panjang wanita cantik itu, ma
nakala Andika membebaskan totokannya. Agar
tubuhnya lebih segar, pendekar muda ahli waris
Pendekar Lembah Kutukan ini menyalurkan sisa hawa
murni ke bagian punggung Putri Ying-lien.
"Bagaimana keadaan Chin Liong?" tanya Putri
Ying-lien khawatir, setelah mendapat penyaluran hawa
murni.
Di depannya Andika menggeleng lamban. "Dia tak
tertolong lagi...," jawab Pendekar Slebor putus asa.
"Kau yakin?"
Andika menatap manik-manik mata Putri Ying-
lien. Jelas sekali kalau wanita itu meminta secara tak
langsung untuk meyakinkan keadaan Chin Liong.
Memang. Sampai saat ini, Andika belum sempat
memeriksa keadaan Chin Liong. Dia hanya berpikir,
pemuda ksatria itu telah kehilangan nyawa.
Sebelum Andika bergegas bangkit untuk
menghampiri Chin Liong, sepuluh depa di belakangnya
terdengar erangan. Ternyata erangan itu keluar dari
mulut penuh darah Chin Liong. Pemuda gagah itu
berjalan menyeret langkah, tak mau menyerah dengan
keadaan dirinya yang sudah begitu memprihatinkan. Di
tangannya kini tergenggam lemah Pedang Pusaka
Langit.
"Chin Liong...," sebut Putri Ying-lien, seraya
menghambur ke arahnya. Dipapahnya lelaki
kepercayaan yang pernah mencintainya.
"Tuan Putri. Kuserahkan Pedang Pusaka Langit ini
kepadamu," kata Chin Liong terseret-seret.
"Sekarang, tugasku telah selesai, bukan?"
Putri Ying-lien menerima pedang pusaka itu.
Bibirnya terukir sebaris senyum lega.
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya wanita itu.
"Karena aku ingin menepati janji dengan
seseorang...," jelas Chin Liong.
"Seorang wanita?" tukas wanita ini, menggoda.
"Masa' nenek-nenek!" sela Andika.
Kata-kata Pendekar Slebor membuat Putri Ying-
lien tertawa renyah. Sedangkan Chin Liong hanya bisa
menyeringai kecil.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar