..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 07 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PENGEJARAN KE CINA

Pengejaran Ke China

 

SATU


Di sebelah utara kota Yingtienfu, (lebih dikenal 

dengan nama 'Nanking') dua lelaki muda berperawakan 

gagah sedang berjalan beriringan, menelusuri hamparan 

pailang rumput. Mereka melangkah mantap tanpa 

banyak cakap. Sepertinya, mereka sangat tergesa untuk 

sampai di tcmpat tujuan.

Rambut dua lelaki muda yang sama-sama 

panjang itu berkibaran diusik angin. Sementara di atas 

sana, matahari memperlihatkan ketidak ramahannya, 

tanpa sedikit pun awan menghalangi.

Tidak hanya sama-sama gagah. Kedua anak 

muda itu pun memiliki wajah tampan. Rasanya, sulit bagi 

para wanita untuk menentukan pilihan di antara mereka 

berdua. Wajah masing-masing memang memiliki 

kelebihan yang tak dimiliki satu sama lain.

Pemuda yang berjalan di sebelah kiri berwajah 

ramah. Bibirnya selalu dihiasi senyum. Di atas matanya 

yang tajam, sepasang alisnya legam menukik 

melengkapi. Di samping terlihat ramah, dia juga terlihat 

acuh. Ini terlihat dari tataan rambutnya yang tak teratur. 

Pakaiannya hijau-hijau, dengan kain bercorak catur 

tersampir dj bahunya. Kain itu berkibaran mengiringi 

gerakan rambutnya, ketika angin mengusik.

Sementara pemuda yang berjalan di sebelah 

kanan berwajah dingin. Bibir tipisnya begitu kaku. 

Matanya memang juga memiliki sinar tajam, seperti 

pemuda di sisinya. Namun, tampak lebih sipit. Dan jika 

pemuda teman sepcrjalanannya memiliki kulit agak 

kecoklatan maka pemuda bermata sipit itu berkulit putih 

kekuningan. Penampilannya pun jauh berbeda. Dengan 

rambut panjang lurus diikat di atas kepala, dia tampak 

lebih rapi Apalagi, jika menilik dari pakaiannya yang 

merah memanjang hingga batas lutut. Bahannya dari 

sutera yang tergolong mahal saat itu. Di ujung lengan

pakaiannya terdapat sulaman benang emas. Sedangkan 

celananya yang juga terbuat dari sutera, dibatasi ikatan 

sepatu hingga ke betis.

"Berapa lama lagi kita akan tiba di tempat tujuan, 

Chin Liong?" tanya pemuda di sebelah kiri, memecah 

kebisuan.

"Tak lama lagi," jawab kawannya, singkat.

"Apakah di sana ada kedai makan?" usik pemuda 

yang ternyata Andika, yang lebih dikenal dengan 

sebutan Pendekar Slebor.

"Kau mulai lapar?" Pemuda bermata sipit yang 

dipanggil Chin Liong malah balik bertanya.

Andika tersenyum. Tapi senyumnya lebih mirip 

ringisan.

"Apa kau belum merasa kalau cacing-cacing 

dalam perutmu ramai bergunjing?" gurau pemuda 

urakan itu acuh.

Chin Liong yang ada di sisinya hanya mengangkat 

bahu. Sedikit pun tak tersembul senyum di bibir. Dia 

memang bukan termasuk orang yang memiliki selera 

berguyon. 

"Kau tidak paham maksudku?" cetus pemuda 

berpakaian hijau itu manakala mendengar tanggapan 

lawan bicaranya. "Sejak berperahu menelusuri Sungai 

Kuning dini hari tadi, kita belum sempat mengisi perut, 

kan?"

"Aku tahu," jawab Chin liong, singkat.

"Nah! Apa kau tak lapar?"

"Baru setengah hari ini saja kita belum bertemu 

makanan. Aku rasa, kita masih mampu bertahan."

"Tapi, kemarin kita hanya makan daun pepohonan 

rambat yang tumbuh di pinggiran sungai!" rungut 

Andika.

"Apa di negerimu kau tidak biasa makan seperti 

itu?" tanya Chin Liong agak mengejek. 

"Rupanya kau termasuk pemuda manja, ya?"

"Kata siapa aku tak pernah makan sedikit? Di 

negeriku, aku juga biasa makan daun singkong. Tapi, 

daun satu kebun," kata Andika, setengah menggerutu di 

belakang pemuda sipit yang terus melangkah.

Akhirnya, mereka kini tiba di sebuah dataran 

luas ditumbuhi banyak pohon lamtoro. Tampak 

sebongkah batu besar tergolek bisu di sana, tepat di 

bawah naungan sebatang pohon.

"Kita telah sampai," kata Chin Liong. "Di sini kita 

akan menunggu seorang penghubung untuk bertemu 

Putri Ying-lien."

"Seorang putri Cina?" tanya Andika setengah ber-

piimam. Bibirnya tersenyum penuh arti. "Tentunya dia 

cantik, bukan?"

Ucapannya itu sempat terdengar Chin Liong, 

pemuda kawan seperjalanannya.

"Jangan coba macam-macam. Dia seorang putri 

Raja," kata pemuda bermata sipit, setengah 

mengancam. 

"Boleh saja aku tidak macam-macam. Tapi, 

bagaimana kalau dia tahu-tahu jatuh hati padaku?"

"Jangan terlalu yakin."

"Bagaimana tidak yakin? Aku kan cukup tampan 

untuk menjatuhkan hati seorang anak raja... he he he."

Selesai berolok-olok, pemuda acuh berjuluk 

Pendekar Slebor itu menghampiri batu besar dan duduk 

san- tai di atasnya. Bibirnya memperdengarkan siulan 

riang, seakan sedang menunggu seorang kekasih yang 

hendak dikencani. Entah kenapa, rasa lapar yang 

semula diributkan kini hilang begitu saja. Sementara 

kawannya yang bermata sipit hanya bisa menggeleng-

gelengkan kepala melihat tingkahnya.

***

Waktu terus bergulir. Entah, sudah berapa lama

Pendekar Slebor dan Chin Liong menunggu. Sampai 

saat itu, orang yang dimaksud pemuda Tiongkokbelum 

juga mcnampakkan batang hidung. 'Sementara, Andika 

yang bertingkah aneh malah masih asyik menepuk-

nepuk dengkul sambil menyenandungkan siulan. 

Sedangkan Chin Liong mulai tampak gelisah. Mata 

sipitnya melirik kian kemari, mencari-cari orang yang 

ditunggu.

“Rasanya ada yang tidak beres.” gumam Chin 

Liong, seraya memutar tubuh. Kau bias menunggu dulu 

disini kan?”

Pendekar Slebor yang diajak bicara menoleh.

“Kau sendiri mau kemana?”

“Aku hendak menyelidiki daerah sekitar. Aku 

khawatir ada sesuatu yang menimpa si Penghubung.”

“Ya, pergilah sana. Hus! Hus! Hus! Ujar Andika 

acuh sambil mengibasngiliaskan tangan. "O, iya. Kalau

kembali, jangan lupa bawa nasi rames!"

Pemuda bermata sipit itu terus mengayun 

langkah, seperti tak peduli.

Setelah Chin Liong menghilang, Pendekar Slebor 

tercenung sendiri.

"Ngomong-ngomong, apa ada nasi rames di 

negeri ini? Hua ha ha...!" Andika jadi tergelak sendiri.

Baru saja tawanya terhenti, sepasang telinga 

tajam Pendekar Slebor menangkap suara aneh dari sisi 

kiri. Suara itu terdengar bagai gemuruh. Bukan gempa, 

dan bukan pula derap kaki kuda. Untuk memastikannya, 

Andika menoleh ke asal suara.

Memang yang dilihat Pendekar Slebor hal yang 

tak kalah.aneh. Tampak sesosok tubuh kecil dan buntal 

sedang bergulingan ke arahnya. Perutnya yang buncit 

memudahkannya menggelinding seperti bola. Seluruh 

pakaian yang dikenakan telah dipenuhi debu. Demikian 

juga sekitar tubuhnya

"Ini pasti orang sinting buatan Tiongkok," gumam

Andika.

Alis Iegam Pendekar^Slebor bertaut rapat-rapat. 

merasa bingung dengan perbuatan tamu tak diundang 

itu.

Penampilan lelaki pendek bertubuh gemuk itu kini 

lebih jelas terlihat, manakala sudah berdiri tak jauh dari 

batu tempat Andika duduk. Kepalanya yang kecil, tak 

memiliki rambut sehelai pun. Wajahnya terlihat bulat 

lucu, dengan pipi tebal serta kumis memanjang hingga 

ke bawah bibir. Seperti orang Tiongkok lain, mata lelaki 

itu pun sipit. Hidungnya yang kecil seperti hendak 

tertelan timbunan lemak di pipinya yang merah. 

"Sebutkan namamu!" bentak orang itu tiba-tiba 

pada Andika dalam bahasa Tiongkok.

"Eit?! Kau bikin aku kaget saja, Pak," balas Andika

dengan ucapan terpatah-patah dan logat Tiongkok yang

kaku. "Apa kau tidak biasa berbasa-basi?"

"Sebutkan namamu!" bentak lelaki pendek itu 

sekali lagi.

Pendekar Slebor jadi meringis. Benar-benar orang

tua keras kepala, gerutunya dalam hati.

"Baik, baik.... Namaku, Andika," jawab Pendekar

Slebor tetap berusaha ramah.

"Andika! Bukan 'haiya'," sergah Pendekar Slebor.

Sejak peristiwa di Desa Dukuh, di mana Pendekaij 

Slebor bertarung bertaruh nyawa melawan Chin Liong 

hingga mengakibatkan pemuda Tiongkok itu mengalami 

luka, Andika bertekad untuk mengejar lelaki aneh yang 

telah mempermainkannya habis-habisan.

Setelah Chin Liong dlrawat, Pendekar Slebor pun

mendapat satu keterangan darinya kalau musuh yang

selama ini mempermainkannya adalah saudara kembar 

Chin Liong sendiri. Setelah itu, mereka pun melakukan 

pengejaran ke negeri Tiongkok (Untuk mengetahui lebih 

jelas tentang kisah Pendekar Slebor sebelumnya, 

bacalah episode: "Pusaka Langit"). Dan dari dia pula,

Andika sempat belajar bahasa Tiongkok sebelum 

berangkat

"Jadi, namamu Andika?"

"Yaaa benar!" seru Andika seraya menuding.

"Heh?! Aku tak kenal Andika!"

Pendekar Slebor jadi menaikkan pangkal hidung

dan ujung bibirnya.

“Tentu saja kau tidak kenal. Kita kan baru pertama 

kali ini bertemu,” bisik Andika, menggerutu.

“Kau sendiri siapa. Pak?”

“Kau bukan penduduk sini, ya?”

Bukannya menjawab pertanyaan Andika barusan, 

lelaki berperut buncit itu malah balik bertanya. Dan ini 

membuat tenggorokan Andika terasa bengkak karena 

dongkol.

“Benar, Pak. Aku berasal dari…”

“Apa maumu ke tempat ini?” potong laki-laki bulat 

itu."

Padahal berhubung usia lelaki itu jauh lebih tua, 

Andika terpaksa menyahuti juga. Belum juga sempat 

kalimat Andika tuntas, orang itu sudah memenggalnya. 

Sehingga, Andika jadi memajukan bibirnya. 

Kejengkelannya mulai tak bisa ditahan. Maka tak 

dijawabnya pertanyaan terakhir itu.

"Kau tuli? Apa maumu ke tempat ini?!" ulang lelaki

pendek itu lebih keras.

Pendekar Slebor tidak juga menyahuti. Dia malah 

meneruskan siulannya, seraya melempar pandangan ke 

tempat lain."

Tentu saja hal ini amat memancing kegusaran 

lelaki pendek gemuk itu. Sambil menggeram, rahangnya 

mengeras. Sehingga, terdengarlah suara gemeletuk

giginya. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap 

Andika.

"Anak muda! Apakah kau tahu kalau telah 

menghina Cebol Bermuka Merah?!" sentak laki-laki yang

berjuluk Cebol Bermuka Merah penuh ancaman.

"Apa aku mengejekmu?" sangkal Andika, tanpa 

melirik sedikitpun. Apa kukatakan, kalau perutmu terlah 

buncit untuk ukuran tumbuhmu yang kecil? Apa ku 

katakan kalau pipimu seperti bantal?"

"Grrr! Kau memang harus diberi pelajaran, Anak

Muda!"

"Dan..., apa kukatakan kalau kepalamuyang tak

berambut terlalu mengkilap seperti dengkul bidadari?" 

lanjut Andika tanpa mempedulikan kegeraman Cebol

Bermuka Merah.

Sampai di situ, Cebol Bermuka Merah tak bisa lagi 

membendung amarahnya yang telah meluap hingga, 

ubun-ubun.

"Khiaaagh!"

Dengan satu teriakan bagai erangan, diterjangnya

Pcndekar Slebor.

Serangkai jurus aneh ditampilkan Cebol Bermuka 

Merah. Setelah menyatukan tangan tinggi-tinggi ke atas 

kepala, lelaki gemuk pendek itu melempar tubuh ke 

depan, bagai seorang perenangyang terjun ke air. 

Seketika perutnya yang sebesar tong itu menciptakan 

debum keras kala meninju tanah. Bersamaan dengan 

itu, debu berwarna coklat mengotori udara di sekitarnya.

Pertunjukan yang terjadi di depan biji mata, 

membuat Andika terpana tanpa bcrkedip. Dia sendiri 

memiliki jurus aneh. Tapi, jurus lawannya kali ini kelewat

aneh. Bisa jadi orang ini sudah gila, karena terlalu hebat. 

Atau mungkin juga, orang bodoh yang otaknya di perut.

Kini, Cebol Bermuka Merah mulai bergulingan 

kembali, seperti saat pertama muncul. Saat bergulir 

kearah Andika, sepasang tangannya meraup debu

berkali-kali. Kemudian dihempaskannya ke wajah 

Andika berkali-kali.

Untunglah Pendekar Slebor tidak lengah walau 

sempat terpana.Dengan serangkaian gerak lompatan

ing lincah, dihindarinya setiap serbuan debu ke 

wajahnya

Sebenarnya, Cebol Bermuka Merah berniat 

melumpuhkan Pendekar Slebor secepatnya, dengan 

melancarkan serangan licik. Namun karena siasatnya 

dapat dimentahkan, mau tak mau dia hanya bisa 

memanfaatkan kerepotan Pendekar Slebor dalam 

menghindari terpaan debu.

Saat Pendekar Slebor berkelit ke kiri, kaki pendek 

Cebol Bermuka Merah mengejarnya dengan sampuan 

bertenaga dalam penuh. Kembali debu berwarna coklat 

berterbangan ke udara. Sementara Andika sendiri sudah

bersalto kebelakang.

Delapan tombak dari tempat lawan, pendekar 

muda ini berdiri tenang. Kedua tangannya terlipat di 

depan dada, seolah menantang untuk diserang kembali. 

Seraya menggeleng-gelengkan kepala, diejeknya Cebol 

Bermuka Merah.

"Heiii?! Apa kau saudara sepupu ayam betina? 

Mereka |uga suka mandi dengan debu sepertimu...." 

Tidak lucu, Orang Asing!" hardik Cebol Bermuka Merah 

yang telah bangkit kembali.

Tidak lucu? Kalau tidak lucu, kenapa bisa 

tertawa? Nah Sekarang lihatlah aku tertawa. Hua ha 

ha...!" cecar Andlika.

Pipi lelaki cebol yang merah semakin merah, 

mendengar cemooh Andika. Dan itu sudah cukup untuk 

mendorong keinginannya untuk mengerahkan jurus

yang lebih hebat.

"Terimalah jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntun 

Bunga'! Hiaaah!"

Cebol Bermuka Merah meluruk ke arah Pendeka 

Slebor. Kakinya tidak dipergunakan untuk berlari, tapi 

digantikan tangannya.

Lagi-lagi Andika dibuat terpana oleh keanehan 

jurus Cebol Bermuka Merah. Tak disangkanya kalau d

negeri orang-orang bermata sipit itu, akan menemui 

lawan yang memiliki jurus ganjil dan lucu. Selucu bentuk

tubuh pemiliknya. Namun demikian tampak sekali ke 

ganasan serangan dari jurus tersebut.

Andika bisa menilai seperti itu, saat Cebol 

Bermuka Merah sudah tiba di dekatnya sambil 

meruntuhkan ter jangan-terjangan kelima bagian tubuh 

yang mematikan. Jurus 'Dewa Memetik Lima Kuntum 

Bunga' memang memusatkan sasaran serangan pada 

lima titik mematikan di tubuh lawan. Hal itu bisa 

diketahui Pendekar Slebor dari serangan lawan yang 

selalu mengarah ke bagian selangkangan, jantung, buah 

pinggang, dan tenggorokan.

Sepasang tangan Cebol Bermuka Merah yang dija 

dikan kaki memusatkan serangan pada bagian bawah 

Dengan menghentakkannya, tubuh lelaki cebol itu 

terangkat. Maka selang waktu yang demikian singkat 

kedua tangannya serempak menohok ke bagian 

pinggang Pendekar Slebor. Bagi seorang pendekar 

kelas atas di negerinya, serangan seperti itu tak 

terlalusulit dikan daskan. Dengan menurunkan kedua 

langan bersamaan Andika sudah mampu menepis 

tusukan jari-jari Cebol Bermuka Merah yang hendak 

memecahkan sepasang buah pinggangnya.

Tapi serangan laki-laki cebol itu tidak berhenti 

begitu saja. Kakinya yang masih melayang, langsung 

mengarah ke kerongkongan dan dada Pendekar Slebor. 

Kecepatan gerak dua kaki yang menuju dua sasaran, 

sempat membuat Andika terperangah

Sayang, Cebol Bermuka Merah tidak pernah 

mengira kalau lawan yang dihadapinya adalah ksatria 

tangguh tanah Jawa Dwipa yang memiliki kecepatan

sulit dipercaya. Begitu ujung kedua kaki itu nyaris 

hendak menjebol kerongkongan dan dada kiri, sepasang 

tangan Andika tiba-tibasaja sudah mencengkeram

pergelangan kaki.

Wajah Cebol Bermuka Merah yang berada di 

bawah, terperangah tak tanggung-tanggung menerima 

kenyataan itu. Bagaimana mungkin tangan lawan bisa 

berpindah begitu cepat. Bahkan lebih cepat dari 

kerdipan matanya? Dan sebelum rasa herannya 

terjawab, tubuhnya terasa terayun ke atas.

"Hih!"

Terdengar hentakan napas Andika. Rupanya, 

Pendekar Slebor mencoba melempar lawan ke udara. 

Maka seketika tubuh buntal Cebol Bermuka Merah pun 

melayang. Sesaat kemudian, luncuran tubuhnya terhenti 

tiba tiba. Karena, ikat pinggang kain miliknya tetap 

dicengkeram Pendekar Slebor kuat-kuat. 

"Hekh!"

Mulut lelaki botak itu melepas keluhan tertahan. 

Mill mya yang sipit terbelalak tanpa bisa membesar. 

Perutnya terasa sedang dijepit keras oleh ikat 

pinggangnya sendiri. Bahkan disusul rasa sakit yang

menyerang hingga ke rongga tenggorokan ketika Andika 

menohok pusarnya sedalam satu jari.

"Masuk! Hua ha ha...!" teriak Pendekar Slebor 

kegirangan.

Cebol Bermuka Merah sendiri menjulurkan lidah

nya keluar, menahan rasa mual yang tak 

terhingga.

***

DUA


"Andika, tahan!"

Tiba-tiba sebuah suara mencegah terdengar jauh 

di lu-lakang Pendekar Slebor. Seketika Andika langsung 

bisa menyimpulkan kalau teriakan tadi milik Chin Liong. 

Entah kcnapa, kawannya itu menahan pertarungan. Tapi 

yang pasti, tubuh cebol lawannya langsung dilempar 

seperti karung beras ke atas tanah.

"Kenapa kau begitu usil menghentikan aku meni 

mang-nimang bayi ajaib itu?" gerutu Andika, ketika Chin 

Liong berlari tergopoh-gopoh mendekatinya.

"Dan kenapa kau begitu ceroboh bertindak?!"

bentak Chin Liong, agak kesal. Wajahnya 

memperlihatkan kesungguhan yang dalam. "Dialah 

orang yang kumaksud sebagai penghubung kita kepada 

Putri Ying-lien!"

"Tanya pada si Botak itu! Siapa yang ceroboh 

bertindak?! Aku sendiri sudah berusaha ramah. Tapi dia

malah memperlakukanku seperti kucing buduk yang 

mcncuri daging Bahkan membentak-bentak seenak 

nya," sergah Andika, membela diri.

Saat bicara, mata Pendekar Slebor membelalak-

belalak dongkol. Dia ingat pada sikap Cebol Bermuka 

Merah yang begitu angkuh.

"Baik, baik. Mungkin salah paham," tutur Chin 

Liong Akhirnya. Dia memang berusaha mengalah pada 

Pendekar keras kepala itu. "Kini mari kuperkenalkan 

pada Chia-ceng, si Cebol Bermuka Merah adalah 

julukannya."

Dihampirinya Chia-ceng yang sedang sibuk 

menepuk-nepuk debu yang mengotori pakaian.

"Aku sudah tahu julukannya!" sungut Andika 

"Yang belum kutahu, adalah namanya. Siapa namanya 

tadi? Bonceng?"

"Chia-ceng," ulang Chin Liong.

"Ooo. Nama bagus.... Nama bagus. Tapi, 

menurutku lebih bagus Bonceng."

Andika segera menyusul Chin Liong mendekati 

Chia-ceng. Setelah dekat, tangannya disodorkan, untuk 

mengajak salaman.

"Aku Andika," Pendekar Slebor memperkenalkan

diri.

Selaku ksatria sejati, tidak ada rasa dendam 

sedikit pun di hati Andika. Padahal, dia sempat dibuat 

kesal oleh lelaki itu.

Chia-ceng menyambut juluran tangan Andika. Kini 

kedua orang itu bersalaman. Sementara Pendekar 

Slebor melepas senyum sebagai salam perkenalan, si 

Cebol Bermuka Merah malah menyeringai. Bukan 

karena masih gusar, tapi karena perutnya masih terasa 

mulas tertotok jari Andika.

Usai perkenalan, Chin Liong segera mengajak 

Chia ceng agar segera mengantar mereka menemui 

Putri Ying-lien.

***

Di tepi selatan kota Yingtienfu, terdapat kuil 

terbengkalai berusia sekitar tujuh ratus tahun. Karena 

begitu lama tak dipergunakan, hingga nyaris 

dilupakan orang. Apalagi, letaknya juga amat 

tersembunyi, di antara himpitan pepohonan hutan lebat.

Tak banyak orang tahu nama kuil itu. Demikian 

juga Ietaknya yang pasti. Segelintir orang yang tak 

sengaja menemukannya, menyebutnya Kuil Peraduan 

Bulan. Disebut begitu, karena setiap kali bulan purnama 

hadir mengisi cakrawala, selalu saja menghilang di balik 

bukit itu.

Dari kejauhan, kubah Kuil Peraduan Bulan me

nyembul di antara pucuk pepohonan. Letak tanahnya

memang lebih tinggi daripada yang lain. Bentuk 

kubahnya bcrsusun dua. Dan yang paling puncak, 

berupa limas yang pada masing-masing ujungnya 

meruncing ke atas seperti tanduk.

Andika bersama Chin Liong dan Chia-ceng tiba di 

sana, tcpat ketika malam baru menjelang. Lembayung 

yang tersaput warna jingga, kian pupus di ujung kaki

langit.

"Kita telah tiba," jelas Chia ceng, ketika mereka 

sudah berdiri di depan gerbang kuil yang dipenuhi 

gerombolan alang-alang setinggi paha.

Pendekar Slebor langsung menyapukan 

pandangan ke beberapa tempat. Tapi yang ditemuinya 

hanya suasana yang tidak nyaman. Tembok gembur

yang sudah dilimuti lumut. Papan nama kuil yang sudah 

tak jelas lagi tulisannya. Juga, bangunan kuil yang 

terlihat kusam.

 "Katamu, kita akan bertemu seorang putri. Kupikir, 

kita akan menemuinya di istana. Tapi, kenapa malah 

dating ke kandang dedemit?"rungut Andika pada Chin

Liong.

"Ini bukan istana Putri Ying-lien, tapi tempat 

persembunyiannya," sahut Chin Liong datar.

"Kenapa mesti bersembunyi?" tanya Andika,

penasaran.

"Nanti akan kujelaskan," ujar Chin Liong lagi.

"Kenapa tak sekarang saja?" desak Andika, saat 

mu lai memasuki pelataran kuil.

"Kenapa mulutmu jadi seperti perempuan?" selak 

Chia-ceng, kesal mendengar kecerewetan pemuda yang 

baru dikenalnya.

Dikatakan seperti itu, Andika hanya cengar-cengir. 

Sebelah alisnya diungkit-ungkit ke arah Chia-ceng.

Mereka terus memasuki bangunan tua yang 

terasa lembab ini. Kini, mereka tiba di ruang besar yang 

dulu nya dipakai sebagai tempat pemujaan.

Di tengah ruangan berlantai pualam kusam, 

tampak memancar cahaya kemerahan dari sebuah api 

unggun. Di satu sisi api unggun, terlihat seorang wanita 

cantik duduk melipat lutut. Tak seperti orang Tiongkok 

umum nya, matanya tidak tampak sipit. Tapi, itu 

mungkin karena kelopak matanya dilengkapi bulu yang 

lentik dan hitam. Hidungnya yang mancung membelah 

kedua pipi yang halus. Di pangkal hidungnya terdapat 

alis melancip pada ujung-ujungnya. Dengan bibir merah 

merekah, semakin sempurna saja wajah wanita ini. 

Sementara, sapuan cahaya merah api unggun 

menciptakan kesan kesayuan di kulit halus wajahnya. 

Dialah Putri Ying lien.

Tak seperti perkiraan Andika sebelumnya, penam 

pilan Putri Ying lien amat bersahaja. Rambut 

panjangnya hanya diikat buntut kuda, tanpa pernik-

pernik yang biasa dipakai para wanita pembesar 

Tiongkok. Demikian pula pakaiannya, yang hanya 

berupa jubah panjang warna hijau berhias lukisan bunga 

teratai. Sedang pakaian lapisan dalamnya berwarna 

kuning gading, memanjang dari pangkal lengan hingga 

ke ujungnya.

"Salam hormat kami, Tuan Putri," hatur Chin 

Liong, ketika telah berada sekitar tiga-empat tombak dari 

wanita anggun itu.

Chia-ceng juga memberi hormat. Kini kedua lelaki 

ini tampak menyatukan kedua tangan di bawah wajah 

dengan mata terpuruk ke lantai. Sementara, Andika 

hanya berdiri santai sambil memperhatikan kedua lelaki 

itu.

Dan ketika Chin Liong melirik Andika, diberinya 

isyarat dengan lirikan. Itu dilakukan agar Pendekar 

Slebor juga ikut menghaturkan hormat. Tapi sungguh 

keterlaluan, nyatanya Andika malah ikut melirik ke 

arahnya.

"Bagaimana tugasmu, Chin Liong?" tanya Putri

Ying lien, membuat Chin Liong tidak mempedulikan 

sikap masa bodoh Andika.

"Sebelumnya aku mohon maaf, Putri. Aku telah 

berusaha semampuku, namun nyatanya tetap gagal," 

Chin Liong memulai laporannya.

"Kau tidak berhasil mendapatkan benda Iangit, 

gagang pedang pusaka, dan kain pusaka itu. Kini, 

semua nya berada di tangan saudara kembarmu," tutur 

Putri Ying lien, amat tenang tanpa sedikit pun kegusaran 

di wajahnya.

Ching Liong tersentak, langsung mengangkat 

wajah. Hatinya agak terkejut, karena Putri Ying lien telah 

mengetahuinya. Padahal, dia belum lagi menceritakan. 

Bahkan pada Chia-ceng sekali pun.

"Aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu, 

karena beberapa orang kita melaporkan, bahwa telah 

melihatmu beberapa waktu lalu. Tapi aku menduga, 

lelaki yang dilihat mereka adalah Chin Chung, saudara 

kembarmu!. Apalagi, saat itu kau belum juga datang 

memberi laporan. Dan waktu kau mengatakan gagal 

tadi, aku bisa langsung mengetahui kalau Chin Chung 

telah mendahuluimu, membawa benda-benda pusaka 

itu," jabar Putri Ying-lien, seperti tahu keheranan Chin 

Liong.

"Memang benar begitu, Putri," aku Chin Liong 

dengan segumpal rasa bersalah menggelayuti benak 

"Untuk itu, aku bersedia menerima hukuman apa saja.'

Putri Ying lien menggelengkan kepala, seraya 

menebar sebaris senyum menawan. Dan ini membuat 

Andika tak sempat berkedip, karena terpesona.

"Kau tak melakukan kesalahan apa-apa, Chin 

Liong. Bukankah kau telah berusaha sebaik-baiknya? 

Kegagalan bisa terjadi pada siapa saja. Dan itu bukan 

selalu berarti kesalahan," kata Putri Ying lien, bijak.

Kali ini, Andika terpesona oleh keindahan yang 

terpancar dari jiwa Putri Ying lien. Sungguh wanita yang

nyaris sempurna!

"Sekarang, maukah kau perkenalkan pemuda 

yang bersamamu?" tanya Putri Ying lien, pada Chin 

Liong.

"Lelaki yang hersamaku ini adalah seorang 

pendekar ternama di tanah Jawa Dwipa, Putri. 

Namanya, Andika. Di negerinya, dia amat tersohor 

dengan julukan Pendekar Slebor," tutur Chin Liong, 

memperkenalkan Andika.

Mendengar julukan Pendekar Slebor disebutkan, 

Putri Ying lien mengembangkan senyum lebar.

"Pendekar Slebor?" tanya wanita anggun itu agak 

geIi. Kelihatannya merasa lucu mendengar julukan 

seorang pendekar seperti itu.

Lalu, Chin Liong menceritakan keterlibatan Andika 

dengan peristiwa Pusaka Langit. Sampai akhirnya, 

mereka bertemu dalam satu pertarungan maut akibat 

fitnahan Chin Chung.

"Kini dia bersedia mengulurkan tangan untuk kita, 

Putri," kata Chin Liong, mengakhiri ceritanya.

"Tuan Andika," sebut Putri Ying lien, setelah 

mengangguk sesaat. "Sungguh suatu hal yang amat 

kami yukuri pada Thian* karena Tuan sudi membantu 

kami. Bagi kami sendiri, itu menjadi sebuah kehormatan 

besar….”

Sementara Putri Ying lien menyambung kalimat 

demi kalimat dalam berbasa-basi. Andika terus menatap 

wajah Putri Ying-lien lekat-lekat. Manik matanya seperti 

terpaku tak bergerak di wajah jelita itu. Saat 

memperhatikan begitu, Andika menemukan suatu 

kejanggalan. Mata indah wanita itu tampak begitu kaku, 

dan jarang sekali bergerak. Manik matanya seperti tetap 

tertuju pada satu titik. Kenapa dengan matanya? Tanya 

hati Andika.

"Namun begitu," lanjut Putri Ying-lien. "Chin 

Chung adalah lelaki sesat yang memiliki kesaktian tak

tertandingi di penjuru kota Yingtienfu. Bahkan, dia 

termasuk tokoh jajaran atas di negeri ini. Bukan kami 

merendahkan kemampuan Tuan. Tapi, kami tak ingin 

Tuan hanya menjadi korban sia-sia kebiadabannya."

"Chin Chung telah melakukan kejahatan keji di 

negeriku, Putri Ying-lien. Diperlukan atau tidak, aku

tetap akan menuntut tanggung jawabnya atas 

kebiadaban yang telah dilakukannya," putus Andika 

tegas.

Sebenarnya ada tekanan aneh ketika Putri Ying

lien menyebut nama Chin Chung. Malah dia seperti

terpaku. Dan seketika, ingatannya kembali ke masa-

masa pahit yang pernah dialaminya.

***

Beberapa tahu lalu, setelah berhasil menyelamat 

kan putri junjungannya, Chia-ceng langsung membawa 

Putri Ying-lien ke Soochow untuk dititipkan pada Rahib 

Mata Elang yang berasal dari tepi kota Soochow. Kota

itu terletak di kawasan tenggara negeri tirai bambu.

Sejak saat itu, Putri Ying-lien menjadi murid Rahib

Mata Elang. Sebagai anak yang pandai dan berbakat 

Putri Ying lien muda begitu pesat menyerap ilmu-ilmu

yang diberikan Rahib Mata Elang. Baik ilmu bela diri 

kesaktian, maupun ilmu-ilmu rohani.

Tiga tahun berselang, mendadak seorang anak 

lelaki muncul di tempat latihan Putri Ying-lien di sebuah 

pelataran di tengah Hutan Bambu Kuning. Anak itu 

begitu kumuh dan kotor, seperti telah tersesat berhari-

hari.

Anak kecil yang ternyata bernama Chin Liong itu 

keluarganya telah dibantai gerombolan pemberontak 

Saat itu, Chin Liong bersama saudara kembarnya, 

melarikan diri dan tiba di Hutan Bambu Kuning. Di sana 

mereka diburu sekawanan serigala, hingga terpaksa

terpisah. Lalu Chin Liong akhirnya tiba di tempat latihan 

Putri Ying-lien dan Rahib Mata Elang yang kemudian 

diangkat murid.

Menginjak usia tujuh belas tahun, Putri Ying lien 

telah begitu baik mengenal Chin Liong. Keakraban 

keduanya membangun ikatan kasih sayang satu sama 

lain, sampai-sampai, Putri Ying lien sudah menganggap 

Chin Liong adiknya sendiri. Tapi, lain bagi Chin Liong. 

Justru dia menyayangi kakak seperguruannya, karena 

benih cinta pertama yang bersemi di hati.

Dan suatu hari seusai latihan, mereka bersantai 

berdua di sebuah lembah di tepi Hutan Bambu Kuning.

"Apa kau merasa hidup ini terlalu kejam, Chin 

Liong?" tanya Putri Ying Lien. "Apa maksudmu?" Chin 

Liong balik bertanya.

Pemuda itu segera mendekati kakak seperguruan 

nya yang duduk pada sebuah kursi kayu dari batang 

pohon. Dia tahu, Putri Ying lien hendak membicarakan 

sesuatu yang sungguh-sungguh. Itu terlihat dari bias 

wajahnya.

"Dalam usia muda, aku mesti kehilangan seluruh 

orang-orang yang kucintai. Ibuku, ayahku, saudaraku. 

Mereka mati saat aku benar-benar membutuhkan

kehadiran dan kasih sayang mereka," papar Putri Ying

Lien murung.

Chin Liong menarik napas berat dan sarat.

"Bukan hanya kau yang mengalami nasib seperti 

itu. Aku juga demikian," kata Chin Liong perlahan. "Tapi, 

Aku sama sekali tak ingin menyalahkan hidup ini. Justru 

yang kusalahkan adalah para pelakon hidup itu sendiri 

Merekalah yang telah merampas kebahagiaanku 

dengan membunuh keluargaku...."

Putri Ying Lien melirik Chin Liong yang kini duduk 

di sisinya.

"Kau tak mau menyalahkan hidup, karena kau 

takut menyalahkan Thian tanya gadis itu, sedikit ingin

tahu alasan adik seperguruannya.

"Apa kau bisa memisahkan hidup dan Thian. Bui 

kankah hidup dan kehidupan adalah perwujudan Nya

Maksudku, Dia lah yang memiliki hidup. Bagiku, 

menyalahkan hidup berarti menyalahkan Dia," jelas Chin 

Liong.

"Mungkin kau benar," ucap Putri Ying lien lagi. 

"Tapi, di mana keadilan hidup? Di mana keadilan-Nya, 

kallau kita harus menderita seperti itu?"

"Kau tahu, seseorang yang hendak mencapai 

tingkat ilmu tertentu, harus lebih dahulu menjalani ujian. 

Bukankah guru kita pun memperlakukan kita seperti 

itu?”

Putri Ying lien menatap Chin Liong lekat-lekat 

dengan sepasang bola mata menawan, yang jarang 

dimiliki gadis Tiongkok lain.

"Maksudmu, Dia ingin memberi kita sesuatu yang

besar. Dan agar siap menerima pemberian yang besar, 

kita lebih dahulu diujinya?"

"Aku rasa begitu. Dan aku yakin begitu," jawab 

Chin Liong, singkat.

Putri Ying lien terdiam dengan kepala tertunduk

dalam. Barangkali dia sedang merenungi perkataan 

bijak adik seperguruannya.

"Tapi, aku tak tahan hidup tanpa orang-orang 

yang kucintai," keluh gadis itu seperti tak ditujukan pada 

Chin Liong.

Chin Liong tersenyum tipis.

"Kau ingin tahu keadilan Nya?" tanya Chin Liong.

Putri Ying lien tak menjawab. Hanya ditatapnya 

wajah Chin Liong penuh harap.

"Dia pun menggantikan orang-orang yang kita 

cintai Kini, kau memiliki guru dan aku...," kata Chin 

Liong!”, sebelum gadis itu berkata-kata.

Putri Ying lien mengangguk lamat. Dalam hati, dia 

merutuk, betapa bodohnya karena begitu lambat

menyadarinya. Disumpahinya diri sendiri. Benar kata 

Chin Liong. Bukankah dia kini memiliki orang-orang 

yang dicintai dan mencintainya, seperti keluarga sendiri? 

Saat itulah matanya menampakkan sebaris garis bening 

memanjang.

"Kau sunggu-sungguh menyayangiku?" bisik Putri 

Ying lien haru.

Chin Liong tak bisa menjawab secepatnya. 

Seketika dadanya diusik debur berguruh. Ada yang ingin 

diungkapnya saat itu juga.

"Aku..., aku bahkan mencintaimu, Putri Ying

lien...," aku Chin liong terbata.

"Apa maksudmu?" tanya Putri Ying lien tak 

mengerti.

"Aku mencintaimu, Putri Ying lien. Apa kau tak 

mengerti dan tak merasakannya?"

Putri Ying lien menggeleng-geleng perlahan, 

setelah lama memperhatikan wajah terpana.

"Tidak, Chin Liong. Itu tidak boleh terjadi. Kau 

harus menjadi adikku. Bukan kekasihku," tolak gadis itu

halus

"kenapa? Apa aku salah bila mencintaimu lebih 

dari sekedar adik? Apa itu suatu dosa?" sergah Chin 

Liong, tak dapat menerima ucapan terakhir Putri Ying

lien.

"Bukan itu."

"Lalu apa?" desak Chin Liong.

"Entahlah. Aku hanya ingin menganggapmu 

sebagai adik," jawab Putri Ying lien, tak memuaskan hati

Chin Liong sedikit pun.

Dengan kecewa, Chin Liong bangkit dari 

duduknya Dengan gontai, dia berjalan meninggalkan 

Putri Ying lien sendiri. Kepalanya merunduk dalam 

seolah telah menerima kekalahan yang menyakitkan.

Setelah Chin Liong lenyap ditelah kerimbunan

rumpun bambu, Putri Ying lien terpaku lama. Seluruh

kata di mulutnya terkunci meski hatinya terus berujar

gelisah. Dia takut telah menyayatkan luka di hati 

pemuda itu.

Keterpakuannya berakhir, ketika seseorang 

terdengar menyeruak rumpun bambu di belakangnya.

"Ah, Chin Liong! Kupikir siapa," sapa gadis itu. 

"Kau tak sakit hati dengan kata-kataku tadi, kan?"

Secara tidak langsung Putri Ying lien mencoba 

meminta maaf pada adik seperguruannya.

Pemuda yang baru saja menginjak usia cinta itu 

malah menatapnya lama dengan sinar mata yang sulit 

dimengerti Putri Ying lien. Matanya memang menyimpan 

keterpesonaan, layaknya orang jatuh cinta. Tapi, disana 

juga menyembul sinar jalangyang luput dari pengamatan 

Putri Ying lien

"Maafkan aku," ucap Putii Ying lien pelan, sambil

memutar tubuhnya kembali Diselingi tarikan napas berat 

dia hendak menyambungnya. Tapi, tiba-tiba saja 

pemuda belia di belakangnya menyergap kasar.

Tindakan itu benar-benar di luar dugaan Putri 

Ying-lien. Sehingga meski ilmu bela diri sudah cukup 

baik yang dikuasainya, tetap tak bisa menghindari atau 

melepaskan diri dari sergapan itu.

Menyadari dirinya dalam keadaan bahaya, 

sementara dalam hati dia amat bingung terhadap sikap 

Chin Liong yang tiba-tiba berubah tak sopan, Putri Ying-

lien berusaha melepaskan diri dari sergapannya. Sekuat 

tenaga dia berontak. Namun, pemuda di belakangnya 

ternyata jauh lebih kuat.

Rasa bingung membuat Putri Ying-lien 

memutuskan untuk segera melakukan perlawanan. 

Dengan untung-untungan, diinjaknya kaki pemuda itu. 

Kakinya memang berhasil mengenai jari kaki pemuda 

yang dianggapnya Chin Liong. Tapi, untuk itu dia harus 

menerima dorongan kasar dari belakang.

Bruk!

Putri Ying-lien terjatuh. Seketika kepalanya 

membentur batu besar di tanah. Dan karena benturan 

amat keras menghajar belakang kepalanya, maka saat 

itu pula kesadarannya hilang.

Ketika sadar, Putri Ying-lien merasakan seluruh 

tubuhnya sakit. Bukan hanya pada kepalanya, tapi juga 

bagian kegadisannya. Segera saja disadari kalau 

saudara Seperguruannya telah menodainya. Itu benar-

benar menyakitkan. Terlebih, dengan kebutaan yang 

dialaminya akibat benturan terlalu keras di belakang 

kepala.

Dengan terseok-seok serta meraba-raba, Putri 

Ying lien pulang ke pondok gurunya. Padahal, saat itu

Rahib Mata Elang sedang pergi ke ibu kota untuk suatu 

urusan.

Setibanya di pondok, gadis itu menerjang pintu ma

suk. Pintu kain berbingkai bambu dijadikan sasaran 

kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berbaur

menjadi satu. Di dalam pondok, dia berteriak-teriak

beringas.

"Chin Liong! Di mana kau! Jangan sembunyi, 

Pengecut! Akan kucabik-cabik tubuh busukmu!"

Sementara, orang yang dicari memandangnya 

penuh keheranan dan keterkejutan. Hati-hati sekali di 

bangkit dari semadinya. Lalu, dengan hati-hati pula di

hampirinya Putri Ying-lien.

"Kenapa kau, Putri Ying-lien," tanya Chin Lionj 

tanpa berani mendekat pada gadis yang sedang diamuk

amarah ini. "Ke... kenapa penglihatanmu. Dan... dan 

kenapa kau berjalan tertatih-tatih seperti itu?"

Bersama isak tertahan, Putri Ying-lien menggigit 

bibirnya sendiri. Cuping hidungnya memerah dan 

bergerak-gerak karena menahan tangis.

"Bajingan kau! Kau sudah berbuat laknat padaku 

tapi kini bertanya kenapa?!"

"Aku sungguh tak mengerti maksudmu, Putri Ying

lien," sangkal Chin Liong. Tangannya terangkat-angkat

di depan tubuh, memperlihatkan kebingungan.

"Bajingan!" maki Putri Ying-lien lagi. Seketika 

tangan kanannya menyampok ke depan tepat mengenai

wajah Chin Liong.

Plak!

"Ah! Apa-apaan kau ini Putri Ying-lien! Apa kau

tak bisa menjelaskan dulu duduk persoalannya dengan

kepala dingin padaku? Kalau aku punya salah. 

Katakanlah. Setelah itu, ceritakan kenapa kau bisa jadi 

begitu!" bentak Chin Liong. Kemarahannya ikut 

terpancing setelah merasakan pedas di pipinya.

"Masih juga berpura-pura! Kau telah 

menodaiku,Chin Liong! Aku saja! Dan akibat 

perbuatanmu, kini mataku tidak bisa melihat lagi...!"

Di batas itu, benteng kewanitaan Putri Ying lien 

tak bisa membendung tangisnya.

"Kau kejam, Chin Liong! Tidakkah kau bisa 

menerima jiwa besar kalau aku tidak bisa 

mencintaimu?" kata Putri Ying lien bergetar.

"Aku?" tanya Chin Liong, nyaris bergumam. 

"Siapa lagi?!"

Chin Liong terpaku. Pikirannya kini terlempar pada 

suatu hal. Ingatannya seketika bergeliat. Dia ingat pada 

saudara kembarnya yang terpisah di Hutan Bambu 

Kuning beberapa tahun lalu.

"Jadi Chin Chung belum mati...," bisik Chin Liong. 

Sctelah itu, Chin Liong membujuk Putri Ying-lien untuk 

lebih tenang. Agak susah payah, akhirnya gadis malang 

itu bisa ditenangkan juga. Lalu pemuda itu menceritakan 

tentang saudara kembarnya yang selama ini tak pernah 

diceritakannya pada Putri Ying-lien. Bahkan pada

gurunya sendiri, Rahib Mata Elang. Alasannya, karena

Chin Chung dianggap sudah mati. Dia tak ingin

kesedihannya timbul jika mengingat Chin Chung.

***

"Sebenarnya kami amat membutuhkan seorang 

yang sanggup menandingi kesaktian Chin Chung. 

Apalagi, kini dia telah menguasai Pusaka Langit 

yang mampu melipat gandakan kekuatannya. Sebelum 

memiliki benda langit itu, tingkat kesaktiannya setaraf 

denganku. Setelah benda itu dimiliki, maka bisa jadi 

kepandaiannya berada tiga belas tingkat di atasku," kata

Putri Ying-lien, setelah lama terdiam dengan ingatannya

kembali ke masa lalu.

Bagi telinga Andika, ucapan terakhir Putri Ying lien 

terdengar seperti sebuah pengajuan uji tanding.

"Jadi maksud, Putri?" tanya Andika ingin langsun 

ke inti permasalahan.

'Maaf sebelumnya, Tuan. Aku terpaksa mengujimu

dulu," kata Putri Ying-lien, menuntaskan maksudnya.

Andika melirik Chin Liong, seakan meminta meir 

pertimbangan.

"Maaf, Putri. Kurasa tidak perlu. Aku amat tahu

tentang pendekar kita ini. Di negerinya, orang-orang

persilatan mengakui kalau kesaktiannya sulit tertandingi. 

Kecepatannya bagai hantu. Dan kekuatannya bagai 

naga langit. Setelah Chin Chung menguasai Pusaka 

Langit, harapan kita mungkin hanya pada dirinya, selak 

Chin Liong.

Selaku orang yang langsung memohon bantuan 

pada Andika dia merasa tak enak hati kalau kemampuan 

pendekar muda itu diragukan.

"Namun begitu, aku belum yakin kalau belum 

dibuktikan, Chin Liong," putus Putri Ying-lien tegas.

Andika akhirnya hanya bisa mengangkat bahu. 

Didahului helaan napas, matanya menatap tajam Putri 

Ying-lien.

'Baiklah. . Aku menerima keputusanmu." 

Putri Ying-lien mengembangkan senyum. Matanya 

tetap tak bergeming.

"Apa aturan mainnya?" tanya Andika.

"Kalau kau mampu mengalahkanku dalam 

sepuluh jurus aku akan terima," aju Putri Ying-lien.

"Kenapa tak lima jurus saja?" tantang Andika.

Sementara, Cebol Bermuka Merah di sisi kiri 

Pendekar Slebor mendadak terperangah. Tak pernah

dinyana kalau pemuda yang tergolong hijau usianya, 

begitu berani menantang seorang pendekar wanita 

Tiongkok yang disegani, hanya dalam lima jurus. 

Apakah pemuda ini mungkin sudah gila?

Sesaat wanita jelita yang masih duduk menekuk 

lutut di sisi perapian itu terdiam.

"Apa kau yakin?" ungkap Putri Ying-lien 

kemudian.

"Yap," jawab Andika mantap, seraya 

mengangguk.

***

TIGA


Andika dan Putri Ying-lien naik ke satu altar 

pemujaan yang berupa panggung di salah satu sudut 

ruangan. Altar batu itu sebenarnya tidak cukup lebar 

untuk satu pertandingan. Dalam lima jurus sesuai 

kesepaktan, siapa yang terlempar dari tempat itu 

dianggap sebagai pihak yang kalah.

Kini mereka saling berhadapan dalam jarak tiga 

tombak. Dan sampai saat ini, Andika masih saja 

menyangsikan bola mata Putri Ying-lien yang jarang 

sekali bergerak seperti orang lain. Timbul kecurigaan 

dalam dada Andika. Apalagi ketika menggerakkan 

tangan perlahan ke depan.

“Tunggu.. tunggu!, Aku tak mungkin menghadapi 

wanita buta! Dimana wajahku akan kutaruh?!”

Sementara Putri Ying Lien di depannya malah 

tertawa.

"Jangan khawatir. Mataku memang buta. Tapi,bisa 

sehebat orang-orang yang melek," kata wanita cantik itu 

ringan.

Kalimat Putri Ying-lien tadi seperti menggiring

ingatan Andika, saat pertama kali masuk ke ruang ini.

Saat itu Putri Ying lien tahu kalau dia berdiri di sisi Chin

Liong. Padahal, Chin Liong sendiri sama sekali belum

memperkenalkan pada Putri Ying-lien. Lalu, bagaimana

caranya dapat mengetahui?

Jadi, bagaimana?" lontar Putri Ying-lien, 

membuyarkan ingatan di benak Andika.

“Aku tetap tak akan tega melayani wanita buta 

sepertimu," sahut Andika, bersikeras. 

Bagi Pendekar Slebor, bukan hal yang ksatria jika 

mesti berhadapan dengan orang cacat. Apalagi seorang 

wanita.

Sementara Putri Ying-lien di depannya malah i.

"Anak muda cerewet! Kau tak perlu banyak mulut!

Jangan dipikir akan bisa mengalahkan Bidadari Buta 

Bersayap Naga!" bentak Chia ceng. Laki-laki ini 

memang sudah amat dongkol dengan bawelnya mulut 

Andika.

Jadi, julukan Bidadari Buta Bersayap Naga, Putri 

Ying Lien?” tanya Andika. ,

“Ya!” jawab Putri Ying-lien singkat "Kebutaanku ini 

justru membuat namaku ditakuti. Apa kau juga takut

mendengar julukanku?”

Andika mengungkit sudut bibirnya. wanita ini 

ternyata cukup keras kepala juga.

"Baik kalau itu maumu,” ucap Andika seraya 

menaikkan bahu, "Baik kalau itu maumu," ucap Andika, 

seraya menaikan bahu. "Tapi jangan salahkan, kalau 

lutut halusmu mencium lantai."

"Coba saja," tanggap Putri Ying-lien, menantang.

"Kau boleh menyerangku lebih dahulu," ucap 

Andika lagi, menimpali tantangan Putri Ying-lien.

Putri Ying-lien tak mengulur waktu lebih lama lagi. 

langsung diterjangnya Andika yang masih berdiri santai. 

Tanpa ragu-ragu, dibukanya jurus yang menurutnya 

bisa diandalkan. Jemarinya membentang dalam gerakan 

tangan gemulai, bagai irama ombak. Di balik 

kegemulaian itu tersimpan tenaga dalam tingkat tinggi, 

yang mampu membelah dada seseorang dalam satu 

sapuan.

Tangan lentik Putri Ying-lien yang mengandung

maut, menyerbu lurus ke dada Andika. Siapa pun akan

dibuat kewalahan oleh kecepatan gelombang tangan

yang mulai menampakkan bayangan, saking cepatnya

Tapi, tidak bagi Pendekar Slebor!

Sekali melengos ringan ke sisi kanan saja, 

Pendekar Slebor sudah membuat sapuan jemari lawan 

memakan angin.

"Kau ini pendekar wanita atau penari?" cemooh 

Andika, sambil memajukan bibir ke telinga Putri Ying

lien.

Putri Ying-lien yang mengandalkan ketajaman 

telinga saat bertempur, segera mengibaskan satu 

tangan samping. Punggung tangannya bergerak deras, 

hendak menghajar wajah Andika.

Kali ini, Andika tidak berniat menghindar. 

Pendekar Slebor ingin mengetahui, sampai di mana 

tingkat tenaga dalam wanita itu. Untuk itu, dihadangnya 

tangan indah ini dengan tangannya pula.

Des!

Punggung tangan langsung Putri Ying-lien, 

membentur pergelangan tangan Andika. Seketika timbul 

bunyi cukup keras, pertanda dua kekuatan tangguh 

telapak bertemu.

Andika mengira lawannya akan mengeluh 

kesakitan. Apalagi sebagian tenaga sakti warisan 

Pendeki Lembah Kutukan sudah dikerahkan. Namun 

kenyataan yang didapati jauh dari dugaan. Tak ada satu 

erangan pun terlepas dari mulut indah Putri Ying-lien.

Dengan begitu, Andika bisa mengambil 

kesimpulan kalau lawannya memang pantas memiliki 

nama besar seperti dikatakan si Cebol Bermuka Merah. 

Dalam hati, Andika mau tidak mau memuji juga 

kehebatan Putri Ying lien, meski sebelumnya 

meragukan kepandaiannya.

Dalam uji tanding ini, Putri Ying-lien rupanya 

mengambil kendali serangan. Sejak awal, Pendekar 

Slebor tak diberi kesempatan untuk balik menyerang. 

Tapi, bukannya Andika tak bisa balas menyerang. 

Sebagai pendekar kawakan berkesaktian tinggi, bisa 

saja kesempatan sekecil apa pun dimanfaatkan. Hanya 

saja, dia tak ingin melakukannya. Entah bagaimana, dia 

jadi khawatir Putri Ying-lien akan mengalami cedera jika 

mesti menerima hantamannya. Wanita itu ibarat karya 

seni bernilai tinggi bagi Pendekar Slebor. Sedikit saja tak 

boleh lecet, karena akan berkurang kecantikannya.

Putri Ying-lien rupanya menyadarinya. Maka dia 

pun berusaha memanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan 

ketangkasan seekor kijang betina, kembali Andika 

digempurnya.

"Hih!"

Sebuah sapuan kaki yang manis sekaligus 

berbahaya dikirim Putri Ying-lien ke rusuk Pendekar 

Slebor. Belum lagi tendangan itu mendarat pada 

sasaran, sepasang tangannya yang membentang, 

bergerak lurus ke satu titik. Dua sisi telinga Pendekar 

Slebor tampak hendak ditumbuknya.

Deb! Wet! 

"Iyauo!"

Sambil berteriak kebodoh-bodohan, Andika 

melempar tubuhnya ke belakang. Dia bersalto sekali, 

untuk mematahkan tendangan Bidadari Buta Bersayap 

Naga, sekaligus tumbukan kedua telapak tangannya.

Putri Ying-lien yang berjuluk Bidadari Buta 

Bersayap Naga tak membiarkan Pendekar Slebor lolos 

begitu saja. Selagi tubuh pemuda itu melayang lurus di 

udara, kedua kakinya segera dihentakkan. Tubuh 

Andika segera disusul dengan satu sergapan. Lalu 

secepatnya kaki Pendekar Slebor disergap.

Andika terkesiap, menyadari kakinya kini dicengke 

ram tangan Putri Ying-lien. Cengkeraman itu berusaha 

dilepaskan dengan menghentakkan kuat-kuat. Dan 

usahanya tampaknya sudah terlambat. Lawan 

wanitanya ternyata sudah lebih dulu mempererat 

cengkeraman.

Alhasil, keduanya melayang di udara seperti dua 

mata rantai yang terhubung satu sama lain. Dan ketika 

Pendekar Slebor menjejakkan tangan ke lantai altar, 

Bidadari Buta Bersayap Naga justru meneruskan 

luncuran tubuhnya dengan melempar kaki ke depan.

Sampai saat ini, Andika baru menyadari kalau 

terlalu meremehkan wanita buta itu.

Sesaat berikutnya, Pendekar Slebor menyesali 

keterlambatan sikapnya. Karena kini, dengan mudah 

Putri Ying-lien memutar kaki kirinya satu lingkaran ke 

bawah, menuju dada Andika.

Bukh! "Egkh!"

Andika mengeluh tertahan. Ulu hatinya kontan 

terasa mual, tak tertolong. Tak hanya itu. Tubuhnya pun 

terlempar bagai karung kering tak berarti keluar arena 

pertandingan.

Bruk!

Satu debam cukup keras, tercipta manaka tubuh

Pendekar Slebor disambut lantai di luar altar. Kalau tadi 

Andika bisa meledek lutut Putri Ying-lien mencium lantai, 

kini justru lututnya yang mencumbu batu pualam ku-

sam itu. Bahkan lebih mesra.

"Hanya tiga setengah jurus!" seru Putri Ying-lien, 

seperti meledek sesumbar Andika sebelumnya. 

"Bagaimana mungkin pemuda seperti ini akan mampu 

mengalahkan Chin Chung? Aku yakin, dia hanya 

mencari borok jauh-jauh ke negeri ini...."

'Tunggu dulu!" sergah Andika.

Pendekar Slebor segera bangkit terseok-seok, 

sambil mengelus-elus dengkulnya yang berdenyut-

denyut.

"Aku minta uji tanding ulang!" usul Andika ngotot 

"Terus terang saja, tadi aku belum begitu sungguh-

sungguh."

Putri Ying lien memamerkan barisan giginya yang 

memikat.

"Ah! Tidak ada aturan seperti itu! Kau kira 

pertandingan tadi semacam permainan anak ingusan 

yang bisa diulang?"

Mata Andika melotot sebesar jengkol, mendapat 

tolakan itu. Dongkolnya bukan main mendengar 

keputusan Putri Ying-lien. Dengan bersungut-sungut, dia 

kembali ke atas altar.

"Ini tidak bisa kuterima! Kita harus bertanding 

ulang!" rutuk Pendekar Slebor, benar-benar ngotot kali 

ini. Sampai-sampai urat-urat di lehernya menonjol 

keluar.

'Tidak bisa." Putri Ying-lien menggeleng. Kakinya 

melangkah enang ke anak tanggang altar.

"Tak perlu lima jurus. Tiga jurus saja.'Aku pasti 

bias menundukkanmu!" cecar Andika lagi.

Tidak bisa."

"Dua jurus?" desak Andika, tak mau menyerah.

Putri Ying-lien tetap menggeleng.

"Kalau begitu, berilah aku satu jurus saja untuk 

mengalahkanmu...," ratap Pendekar Slebor mulai 

memelas. Mirip bocah tolol meminta jatah ketupat.

Permintaan Andika tak dipedulikan Putri Ying lien. 

Kakinya terus melangkah lambat ke anak tangga. 

Kemudian dituruninya satu persatu dengan rabaan tumit 

kaki.

"Chin Liong! Ajak pemuda pecundang itu keluar. 

Aku bukannya menghina. Tapi kenyataannya, dia 

memang tidak dibutuhkan," ujar Putri Ying-lien, 

setibanya di dekat Chin Liong.

Pedas telinga Andika mendengar perkataan Putri 

Ying-lien. Didekatinya wanita jelita itu dengan langkah 

terbanting-banting.

"Jangan sesombong itu, Ying-lien!" bentak 

Pendekar Slebor tanpa embel-embel 'putri' lagi seperti 

saat sebelumnya.

"Chin Liong!" seru Putri Ying-lien.

Dengan agak terpaksa, Ching Liong merengkuh 

tangan Andika. Lalu, digiringnya pemuda keras kepala 

itu keluar kuil.

"Satu jurus saja, Ying-lien!" teriak Andika sebelum

benar-benar diseret keluar oleh Chin Liong.

***

Malam kini bertandang ke angkasa kota 

Yingtienfu. Di atas sana, bulan membulat peniih. Tak 

ada arakan awan kelabu berarti yang mengusik 

singgasana sang Dewi Malam. Sementara barisan 

bintang-bintang mengawal penampilannya.

Malam ini adalah hari kelima belas, bertepatan 

dengan pesta lentera Cap Go Meh. Di jalan, kerumunan 

orang terlihat. Masing-masing membawa lampu kertas 

yang digantung pada sebatang bambu berhias.

Pesta rakyat yang cukup meriah ini tidak 

mengusik keasyikan dua pemuda gagah di dalam satu 

kedai makan. Mereka adalah Pendekar Slebor dan Chin 

Liong. Setelah lelah seharian tadi melakukan perjalanan 

untuk menemui Putri Ying-lien, mereka memutuskan 

untuk mengisi perut sambil beristirahat sekadarnya.

Di salah satu sudut kedai makan, keduanya duduk 

menikmati hidangan di atas meja. Saat itu, suasana 

kedai bisa dibilang sepi. Hanya ada dua orang selain 

mereka yang duduk di dekat pintu masuk. Maklum saja. 

Keramaian Cap Go Meh menyedot para pengunjung 

yang biasanya masih menyempatkan diri untuk 

berbincang- bincang di sana.

Saat ini wajah Andika masih tampak kesal. Tentu 

saja karena peristiwa siang tadi,saat dicundangi seorang 

wanita buta! Bayangkan, Wanita buta! Bagaimana 

hatinya tidak mendongkol setengah edan?”\

Kau masih ingin tahu, kenapa anak Raja seperti 

Putri Ying Lien bersembunyi ditempat seperti itu?” tanya 

Chin Liong, membuka percakapan.

Acuh tak acuhAndika menjumput sayuran matang 

dengan sumpit. Setelah memasukkannya ke dalam 

mulut, ditanggapinya dengan masa bodoh pertanyaan 

Chin Liong.

"Terserah kau."

"Sebenarnya dia adalah salah seorang keturunan 

petapa sakti yang menemukan batu Pusaka Langit

pertama kali. Ayahnya, raja negeri ini dan merupakan 

keturunan ketujuh dari sang Pertapa. Sewaktu Putri Ying

lien masih berumur lima belas tahun, terjadi perang 

saudara untuk merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. 

Para pengkhianat berhasil membunuh keluarga 

kerajaan. Dan yang tersisa hanya Putri Ying lien, setelah 

diselamatkan Chia-ceng yang hingga kini menjadi 

pengasuh sekaligus pengawalnya...."

Chin Liong menghentikan cerita sesaat. Diteguk 

nya arak dari cangkir keramik. Setelah menyeka sisa 

arak di bibir dengan ujung lengan baju, dia siap-siap me 

lanjutkan cerita.

"Kursi kekuasaan sampai saat ini masih diperebut 

kan oleh pihakyang masih setia dengan kerajaan, 

melawan para pengkhianat. Bergulirnya waktu hingga 

lima belas tahun berlalu, tak mengubah keadaan itu. 

Perang dan pertempuran masih sering terjadi di 

beberapa tempat yang diperebutkan...."

"Lalu, kau hadir di pihak kerajaan. Sedangkan, 

saudara kembarmu hadir di pihak Iawan?" selak Andika, 

menduga.

"Ya," desah Chin Liong amat berbeban. "Berat 

sekali jika harus berhadapan dengan saudara sedarah 

sendiri. "Tapi, aku tak bisa menolak panggilan negara."

Andika mengangguk-angguk. Bisa dirasakan 

keprihatinan Chin Liong terhadap sikap saudara 

kembarnya yang memihak para pengkhianat. Saat

seperti itulah

Pendekar Slebor harus bersikap selaku seorang 

sahabat yang sudi berbagi rasa dengannya. Ditatapnya 

mata Chin liong lekat-lekat, seolah siap menerima cerita 

dan keluh kesah pemuda Tiongkok itu.

Karena Chin Liong hanya diam sambi] mengetuk-

ngetuk meja dengan jari, akhirnya Andika mencoba ber

tanya.

"Lalu, apa kaitannya Pusaka Langit dengan huru hara di negeri ini?" tanya Pendekar Slebor seolah-olah 

tak mengerti.

Padahal Andika cukup paham arti penting benda 

sakti itu untuk mendukung kemenangan pihak kerajaan. 

Itu dilakukan untuk mengenyahkan kesedihan Chin 

Liong.

"Ah! Kau pasti sudah tahu Andika. Kau hanya 

ingin coba agar aku tak berkecil hati dengan sikap Chin 

Chung, bukan?"

Andika tertawa renyah. Ditepuk-tepuknya 

punggung tangan pemuda Tiongkok itu.

"Ya... ya," kata Pendekar Slebor.

"Tentu saja benda itu amat berarti bagi perjuangan 

kami " jelas Chin Liong, "Jika batu langit itu sudah 

dijadikan mata pedang dan disatukan dengan gagang 

pusaka, maka akan menjadi lambang kejayaan kerajaan 

kami. Lebih dan itu, benda itu tentunya amat berperan 

banyak dalam menentukan kemenangan perjuangan 

kami. Jika Thian mengizinkan...."

"Ya! Jika Yang Maha Kuasa mengizinkan," timpal 

Andika dalam hati.

Sementara itu, tanpa ada yang tahu dua pasang 

mata sedang menatap mereka tajam-tajam. Kedua 

mata-mata itu terus menguping pembicaraan Andika dan 

Chin Liong hati-hati. Mereka adalah dua lelaki yang 

duduk di meja dekat pintu masuk.

***

EMPAT


"Bagaimana menurutmu keputusan Putri Ying-lien 

kemarin?" tanya Andika pada Chin Liong.

Saat itu keduanya tengah melangkah ke arah 

tenggara. Mereka berjalan bersisian di suatu lembah 

yang banyak ditumbuhi pepohonan. Memang, ada 

seseorang yang mesti ditemui.

"Mengenai penolakannya terhadap uluran 

tanganmu?" balik Chin Liong, ingin memperjelas arah 

pertanyaan kawannya.

Andika mengangguk.

"Tak perlu kau tanggapi. Kalau sikapku tetap 

sebagai abdinya, tentu kau sudah kusuruh kembali ke 

negerimu. Tapi aku amat tahu, siapa kau. Dan, 

bagaimana kemampuanmu. Jika kupikir ada baiknya 

tidak kuturuti dulu perintah Putri Ying-lien...."

"Ahaaa! Apa aku tak salah dengar?"selak

seseorang tiba-tiba dengan suara lantang menggelegar. 

"Chin Liong, Pendekar Bermuka Dingin yang setia pada 

kerajaan, ternyata masih menyimpan sifat 

membangkang juga!"

Seketika langkah Andika dan Chin Liong lantas 

terhenti, Mereka berdiri tegak tanpa gerak. Hanya wajah 

mereka menampakkan kesiagaan penuh.

"Aku kenal suara itu," bisik Chin Liong. 

"Kurasa aku tidak kenal," timpal Andika agak 

dungu. Bagaimana dia bisa mengenali suara yang baru 

kali ini didengarnya?

"Si Pembawa Badai...," desis Chin Liong kembali, 

menyebulkan satu julukanseseorang. Wajahnya tampak 

memerah, menampakkan ketegangan memuncak dalam 

dada.

"Apa? Kau tadi bilang apa?" tanya Andika, tak 

mengerti.

"Orang itu adalah Si Pembawa Badai, salah

seorang 'datuk sesat yang tergabung dalam Empat 

Penguasa Penjuru Angin. Mereka berempat pemegang 

kendali napas dunia kaum sesat," tutur Chin Liong 

penuh getaran. Tampaknya, nama yang baru saja 

disebut tadi benar-benar nama besar yang menakutkan.

"Kau takut?" usik Andika.

"Aku bukan pengecut," tandas Chin Liong. "Aku 

tahu, mereka memiliki kepandaianyang melebihi diriku 

jika bergabung menjadi satu. Itu sebabnya, perasaan 

gentar selaku manusia tetap ada dalam diriku. Tapi 

kukatakan sekali lagi, aku bukan pengecut!"

Tak berapa lama kemudian, mereka melihat 

seseorang muncul dengan cara memukau. Mula-mula 

berhembus angin kuat dari arah munculnya orang yang 

berjuluk Si Pembawa Badai. Begitu kencangnya tiupan 

angin itu, membuat debu berhamburan dan dedaunan di 

ranting-ranting pohon tersapu tanpa daya. Saat berikut 

nya, angin makin menggila. Bisa saja Andika dan Chin 

Liong terhempas berbarengan. Untung mereka segera 

mengokohkan kuda-kuda.

Tak lama, muncul Si Pembawa Badai yang 

meluncur di permukaan tanah dengan kedua kakinya. 

Bagaimana dia melakukannya, Andika sendiri tidak 

mengerti. Kedua kakinya tak terlihat bergerak sama 

sekali. Seolah-olah, lelaki itu sedang berdiri pada 

sebuah papan luncur tak terlihat.

Si Pembawa Badai adalah lelaki tua berusia lebih 

dari seratus tahun. Tak hanya namanya yang 

menghantui negeri itu selama tiga turunan. 

Penampilannya pun demikian menakutkan. Rambutnya 

yang putih merata dan kaku, memanjang hingga 

kebahu. Malah, sampai menutupi sebagian wajahnya. 

Wajahnya pucat yang bagai mayat, tampak sudah 

mengeriput. Matanya sudah begitu kelabu, tapi tetap 

memiliki sinar keji. Tubuhnya yang kurus dan agak 

membungkuk, terlihat tersengal- sengal menyeret

napas. Kekurusannya terlihat jelas karena mengenakan 

jubah hitam kelam.

Orang yang baru pertama kali melihatnya, tentu 

tak akan menyangka lelaki tua yang tampak tak berdaya 

itu memiliki ilmu hitam yang sanggup mengarak topan 

badai dari kutub bumi.

Angin kencang baru berhenti bertiup, ketika Si 

Pembawa Badai telah berdiri sekitar empat belas 

tombak dari tempat Andika dan Chin Liong. Dia berdiri 

kaku laksana nisan pekuburan.

"Kau tahu, Chin Liong. Saudara kembarmu 

memintaku menghabisi nyawamu," ancam Si Pembawa 

Badai dengan suara serak. "Entah bagaimana, dia bisa 

begitu membencimu. Tapi aku senang, ternyata Chin 

Chung memiliki kebencian padamu. Karena, aku sendiri 

amat muak melihat orang sepertimu."

Chin Liong mendengus, mendengar ucapan Si 

Pembawa Badai.

"Kau boleh menjadi momok negeri ini. Tapi, tidak 

bagiku," tegas Chin Liong, penuh tantangan. "Kalau pun 

kau bergabung menjadi satu dengan kelompokmu, aku 

tak akan lari!"

"Huak hak hak...! Aku suka sikapmu. Sayang, kau 

ternasuk orang tolol yang tak sejalan denganku," leceh 

Si Pembawa Badai disertai tawa keras, namun dengan 

mimik wajah dingin.

"Hey, Tiang Jemuran! Kau terlalu banyak bacot!" 

hardik Andika menyela.

Pendekar Slebor betul-betul amat muak melihat 

gaya bicara lelaki tua itu. Angkuh dan terlalu 

memandang remeh orang lain.

Mendengar hardikan barusan, alis putih Si 

Pembawa Badai terangkat sebelah. Selama ini, tak ada 

seorang pun di negerinya yang begitu bernyali 

menyebutnya 'tiang jemuran'. Dan hari ini, tiba-tiba saja 

ada pemuda asing yang enak saja membuka mulut

selancang tadi. Diliriknya Andika dengan air wajah tak 

berubah. Tetap dingin menggidikkan!

"Sebutkan namamu, Bocah. Aku akan senang 

sekali bila mengetahui nama orang yang akan 

kupenggal sebagai tumbal kesaktianku," ujar Si 

Pembawa Badai, datar.

"Huahakhak...!"

Kali ini Andika yang tertawa. Ditirunya gaya Si 

Pembawa Badai yang bermaksud mengolok-oloknya.

"Gampang sekali kau memenggal kepala orang," 

Iedek Andika lagi.

Lalu Pendekar Slebor mendekatkan mulutnya ke 

telinga Chin Liong. Seolah-olah, keberadaan lelaki tua

itu sekadar kentut baginya.

"Dipikir nyaliku akan kempis dengan berkata 

seperti itu padaku? Ah! Maaf-maaf saja...," bisik Andika.

Telinga Si Pembawa Badai langsung terasa 

terbakar. Di samping gusar, hatinya juga mulai 

meragukan apakah pemuda yang berbicara padanya 

memang benar- benar waras. Sewaras-warasnya 

pemuda negeri ini, tak ada yang punya nyali untuk 

melecehkannya. Bahkan di belakangnya sekali pun. 

Sedangkan pemuda itu seakan gampang saja buang 

kotoran di wajahnya.

Sementara, Chin Liong sendiri yang cukup lama 

mengenal Andika sempat pula terperangah-perangah. 

Dia tak habis pikir, apakah otak kawannya ini ada di 

pantat? Padahal, yang dihadapi kini bukan tokoh biasa. 

Si Pembawa Badai adalah satu tokoh terkenal yang 

sudah menjadi cerita menakutkan bagi setiap warga 

negeri ini. Kesaktiannya bahkan sempat disejajarkan 

dengan Lo Pan, manusia terkutuk yang memiliki 

kesaktian iblis dalam cerita rakyat Tiongkok. Biarpun 

Chin Liong bisa berkata tidak takut, tapi dia lebih suka 

menghindari pertemuannya dengan laki-laki itu. 

Menghadapinya saja, sudah bisa dipastikan berarti mati.

Apalagi jika sudah bergabung dengan tiga rekannya. 

Mereka akan menjadi lawan tak terkalahkan!

Chin Liong masih sibuk dengan keterpanaannya 

terhadap sikap masa bodoh Andika. Di lain pihak, 

Andika malah sudah beranjak dari tempatnya. Kakinya 

ma ju beberapa langkah ke arah Si Pembawa Badai 

dengan sikap acuh.

"Htiy! Apa yang kau tunggu lagi? Kau bilang tadi, 

kau ingin memenggal kepalaku? Ayo lakukanlah!" ujar

Pendekar Slebor, setelah menaikkan kedua alisnya.

Mendengar tantangan ini, Si Pembawa Badai 

terpancing kemarahannya. Terdengar geramannya yang 

berat, sebagai ungkapan kemurkaannya yang 

membludak. Tapi Andika juga tak mau kalah. Dia ikut 

menggeram seperti kucing lapar.

"Khrrraaagkh!"

Di antara serbuan debu mendadak dihempas 

angin, geraman berat dan gerakdari lelaki tua itu 

mengangkasa seakan siap membelah langit. Tubuhnya 

bergetar. Sedangkan mata kelabunya mulai berpijar 

kemerahan. Pertanda tenaga hitamnya sedang 

dikerahkan.

"Andika, hati-hati! Dia hendak mengeluarkan ilmu 

hitamnya!" seru Chin Liong, memperingati kawannya.

Sayang! Peringatan itu terlambat. Si Pembawa 

Badai nyatanya lebih dahulu mengangkat telapak tangan 

kanannya ke muka, sebelum Andika benar-benar 

menyadari kekuatan hitam yang siap mengganyangnya.

Wusssh!

Seketika tiupan angin amat besar dan kuat 

tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak 

gerakan angin membentuk pusaran seperti puting 

beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa Badai, angin 

yang tercipta terus berputar kian besar ke arah 

Pendekar Slebor dengan ce pat.

Tak ada sekejapan mata, angin puting beliung itu

sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga 

kalau serangan yang datang berbentuk demikian. 

Seketika tubuhnya terangkat di udara, lalu berputar 

tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh 

Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru. 

Dia merasa bagai ditenggelamkan ke dalam dasar laut 

ratusan tombak dari permukaan. Dadanya mendadak 

menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah 

pemuda itu tidak bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di 

matanya hanya garis-garis kabur tak teratur.

"Huak hak hak. Kau hanya anak lalat tak berarti! 

Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan 

apa-apa bagi Si Pembawa Badai!"

Di antara suara bising seperti dengung jutaan 

lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap 

suara Si Pembawa Badai mencemoohnya.

Chin Liongyang melihat kejadian ini terpaksa 

harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar 

bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat 

celaka.

"Hiaaa!"

Sambil berteriak keras-keras, dengan nekat Chin 

Liong menerjang lelaki tua itu. Langsung dilepaskannya 

satu tendangan terbang.

Kaki kanan Chin Liong menegang lurus ke arah 

kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan 

tengkoraknya. Tapi, apa mau dikata? Ternyata tokoh 

sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi 

perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja, 

luncuran tubuh Chin Liong dapat ditahan. Lalu secepat 

sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut 

Chin Liong.

Debb!!

“Aaaakkhh”!

Dibanding ranting kering mungkin tubuh Chin 

Liong lebih terlihat ringan melayang di udara begitu

perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai. 

Entah tenaga dalam apa yang disalurkan orang tua itu. 

Yang pasti pemuda Tiongkok itu terlempar sejauh dua 

puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut.

Tanpa sempat berteriak, tubuh Chin Liong jatuh di 

tanah dan langsung bergulingan beberapa saat. 

Kesadarannya memang tak hilang saat tubuhnya 

berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi 

lawan kembali.

Chin Liong ternyata hanya dapat berdiri 

sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya 

menatap nanar ke arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya 

dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang berat tubuh 

dengan kedua kakinya.

"Khiaaa...!"

Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar 

lengkingan tinggi dan dahsyat menyeruak putaran angin 

puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat 

mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan 

makin nyaring mengguncang pusaran angin ciptaan Si

Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut bergetar. 

Saat berikutnya, pusaran angin itu mulai menjadi tak 

terarah lagi.

"Khiaaa!"

Lengkingan itu kini berubah menjadi teriakan 

seseorang yang meluncur keluar dari pusaran angin 

yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar 

Slebor. Saat berada di perut angin puting beliung tadi, 

Andika merasa telah dipermainkan seseorang yang baru 

saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di 

sekujur dirinya. Dan ini membuat kemarahannya 

meledak.

Kemurkaan bagi Pendekar Slebor, berarti 

terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar

Lembah Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang 

mampu membuat pertahanan terhadap serbuan lidah

petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau 

ternyata pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si 

Pembawa Badai mampu didobraknya.

Kini, Pendekar Slebor berdiri dengan seluruh 

kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai. 

Penampilannya sudah kusut-masai. Rambutnya yang 

memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara, 

pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh 

hanya kain pusaka bercorak papan catur di bahunya.

Dari semua itu, yang amat mengerikan bagi Si 

Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar 

matanya begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk. 

Bahkan gelegak kemurkaan yang terpancar dari mata 

Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mala lawan.

"Chiaaa...!"

Dan tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak 

kembali. Serangkai gerakan aneh yang kecepatannya 

nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan 

Andika. Sementara satu selubung cahaya perlahan 

terlihat bagai sinar tipis berkabut.

Sementara itu Si Pembawa Badai tersekat. Tanpa 

sadar dia menahan napas.

"Tidak mungkin," bisik orang tua itu, tak percaya.

Selaku tokoh yang hidup selama lebih dari seratus 

tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur. 

Malah, juga amat tahu ilmu yang kini diperlihatkan 

pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya 

karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama 

beberapa turunan di negerinya. Ilmu Timur yang tak 

sembarang orang bisa memilikinya itu kini benar-benar 

diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang 

pemuda belia....

"Pergilah kau ke neraka, Manusia Busuk!" teriak 

Andika begitu menggelegar. Lalu....

Srash!

Seketika tenaga sakti warisan Pendekar Lembah

Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua te-

lapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian 

deras, bersama desis halus namun tajam.

Desh!

"Aakhg!"

Seperti Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga 

mengalami nasib serupa. Tubuh kurusnya kontan mela 

yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada 

selembar daun kering yang ditampar angin. Bahkan 

mulut nya pun menyemburkan darah kehitam-hitaman.

 Setelah melayang hampir dua puluh lima tombak 

dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si 

Pembawa Badai. Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua 

aliran sesat itu masih mampu mengembalikan 

keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga 

kedua kakinya saat menjejak tanah.

Tarikan napas orang tua itu lerdengar berat 

tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya, 

lalu menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.

"Chin Liong! Kau tak apa?!" tanya Andika dengan 

berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah menghilang.

"Chin Liong menoleh.

"Tidak," sahut Chin Liong. "Kejarlah dia! Mungkin 

kita bisa mengorek sedikit keterangan."

Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa 

Badai. Lalu, matanya beralih ke arah Chin Liong 

kembali.

"Biar aku meneruskanperjalanan sendiri untuk 

menemui seorang mata-mata pihak kerajaan. Nanti, kita 

bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu!" kata 

Chin Liong.

Andika mengangguk tanda setuju. Seketika, 

dikejarnya Si Pembawa Badai. 

***

LIMA


Pengejaran Andika ternyata tak perlu memakan 

banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum 

teh, pendekar muda itu sudah dapat melihat kembali Si 

Pembawa Badai.

Tapi kini, datuk sesat itu tidak sendiri. Ternyata 

ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku, 

bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran 

kering kerontang. Angin siang yang berlari di atas tanah 

tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke 

udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri 

berjajar.

Si Pembawa Badai berdiri paling kiri. Di sisi 

kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang 

lelaki" sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk, 

ditumbuhi benjolan-benjolan kecil berwarna merah. 

Sehingga hidungnya nyaris tidak berbentuk. Apalagi 

bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah 

buruknya, dia lebih banyak merunduk. Sehingga, 

rambutnya yang memanjang ke depan bisa menutupi. 

Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali 

sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung 

logam tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa 

libatan kain berwarna merah, hingga pangkal lengan. 

Sementara punggungnya dibebani buntalan besar 

melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya 

tidak pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai. 

Tapi orang lebih mengenalnya sebagai Hantu Bisu Kaki 

Baja.

Sedangkan di sebelah Hantu Bisu Kaki Baja 

adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena 

pribadinya begilu membingungkan. Suatu saat dia bisa 

menjadi seorang wanita manja. Di saat lain, dia berubah 

menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam, 

periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa

sekejam serigala betina haus darah, urakan, acuh, dan 

tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam 

pribadinya yang aneh.

Dewi Seribu Diri berwajah cantik. Menurut Andika, 

wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien. 

Rias wajahnya begitu berlebihan. Dan tataan rambutnya 

kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan hiasan 

bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para 

wanita bangsawan Tiongkok, panjang hingga menutupi 

mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga berwarna-

warni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera 

merah jambu.

Orang terakhir adalah lelaki berusia sekitar 

setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si 

Pembawa Badai. Sebagai anak, wajahnya pun hampir 

serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah 

penampilan. Rambutnya tak terlalu berubah. Badannya 

tetap terlihat kekar meski usianya sudah cukup lanjut. 

Pakaiannya kumal, warna merah. Sayang, tubuh 

kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua 

tangannya tampak cacat dengan jari mengejang kaku di 

sisi dadanya. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang 

dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang 

bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia 

dikenal sebagai Pencuri Jantung!

“Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul" 

duga Andika saat teringat ucapan Chin Liong tentang 

mereka.

Keempat orang itu menyambut dingin kata-kata 

Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat 

mengumbar senyum pada pemuda tampan itu. Sesekali 

tangannya yang berjari lentik dan berkuku panjang, 

menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah, 

hendak memamerkan kecantikannya pada Andika.

"Apa kalian tidak punya kerja lain, sehingga masih 

punya waktu untuk menghadangku seperti ini?" kata

Andika kembali.

Selangkah demi selangkah Pendekar Slebor 

mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak 

tampak tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi 

momok menakutkan negeri itu, seakan-akan sedang 

menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap 

menghiburnya.

"He he he...! Ini benar-benar negeri 

menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba 

di sini. Ng..., dan mungkin kalian juga tahu ada empat 

badut yang mencoba menjengkelkan aku? Empat, kalian 

tahu itu?" ledek Andika seraya mengacungkan empat 

jarinya di depan hidung Si Pembawa Badai.

Kemudian Andika menatap lelaki tua yang bar u 

saja melarikan diri barusan.

"Dan kau tahu. Satu badut telah membuat pakai-

anku jadi seperti gembel!" kata Pendekar Slebor. 

Matanya terbelalak besar sekali.

"Kau sudah terlalu jauh berurusan denganku, 

Pemuda Asing," kata Si Pembawa Badai, lebih mirip 

menggeram. "Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir 

sebelum berurusan dengan Empat Penguasa Penjuru 

Angin."

"Empat Penjuru Angin? Kalian penguasanya? O, 

o, o....."

Andika kembali terbelalak seperti orang ketakutan. 

Sambil tetap berucap, kakinya melangkah mundur. 

Badannya membungkuk-bungkuk meledek.

"Tapi, apa kalian tahu?" lagi-lagi Andika mengaju 

kan pertanyaan sama. "Aku tidak peduli dengan nama 

itu! Peduli setan bunting dengan julukan kalian!"

Sampai di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi 

pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap. Cuping 

hidungnya tampak bergeletar menahan marah.

"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!" se 

ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga

kawannya untuk membentuk barisan tempur.

Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung lang 

sung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai. 

Ketiganya siap membentuk barisan tempur. Tapi, lain 

halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap 

Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.

"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!" 

ulang Si Pembawa Badai gusar.

Kini, wanita cantik itu terperangah.

"Kita akan mengeroyok anak tampan ini?" tanya 

Dewi Seribu Diri, kurang setuju. "Apa kau meletakkan 

otakmu diperut? Bukankah begitu menggemaskan? 

Bagaimana kalau dia mati? Bagaimana kalau wajahnya 

yang cakep itu terluka? Ba...."

"Diam!" bentak Si Pembawa Badai. "Empat 

Tonggak Bumi Menghantam Gunung!"

Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan 

seluruh wajahnya menjadi matang.

Sambil menggerutu tak jelas, akhirnya wanita 

sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain. 

Kini, mereka membentuk belah ketupat. Si Pembawa 

Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan 

Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan 

Dewi Seribu Diri berdiri paling belakang.

Sesudah barisan tempat terbentuk, secepatnya 

mereka memainkan jurus masing-masing. Meski 

berbeda satu sama lain, namun gerakan mereka 

masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau 

lawan terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak 

akan mempunyai ruang gerak lagi.

Itulah salah satu kehebatan Empat Penguasa 

Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum 

ada satu tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup 

menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap lawan yang 

pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa. 

Meski, dia termasuk tokoh jajaran atas di negeri

Tiongkok.

Kini, keempatnya mulai meluruk bersama ke arah 

Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa 

Badai berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat 

debu berhambur, pemuda itu sudah berada di udara, 

karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki 

lawan.

Dan sebenarnya tindakan Pendekar Slebor 

memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar 

pendekar itu masuk ke tengah-tengah barisan tempur. 

Untuk itu, Si Pembawa Badai harus melancarkan 

serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di 

udara, lalu meruntunkan tinju menggelegak. 

Deb! Deb! Deb

Andika masih sempat memapak dua pukulan yang 

mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga harus 

dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah.

Dengan pukulannya, Si Pembawa Badai yakin 

kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya 

sebagai tumpuan untuk melompat ke belakangnya, di 

mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi 

Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa 

Andika melakukannya, Si Pembawa Badai menyusuli 

dengan sapuan kembali.

Mengetahui kaki Si Pembawa Badai mengancam 

dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan 

lawan sebagai tumpuan untuk lompatan berikutnya. 

Tapi, Pendekar Slebor tidak melompat ke belakang, dan 

di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si 

Pembawa Badai.

"Hap!"

Tentu saja tindakan Pendekar Slebor amat 

mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah 

menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar 

Slebor dengan tinjunya ke atas, bisa saja pemuda itu 

mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu,

sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan 

meremukkan kepala belakangnya.

Untunglah, pada saat terjepit dua kawannya yang 

lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap 

Andika yang masih di atas tubuhnya.

Pendekar Slebor menyadari kalau sergapan 

kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan. 

Maut bisa saja mengintai dari sergapan yang terlihat tak

berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang. 

Setelah bersalto di udara beberapa kali, kakinya 

menjejak tanah kembali.

Bagi Andika pribadi, barisan tempur lawan masih 

belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa 

disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat 

lawannya, serta betapa mantapnya setiap pertukaran 

gerak serang mereka.

Meski sulit menjajalya, dan sadar kalau lawan-

lawan yang dihadapi setiap saat bisa melempar 

nyawanya, Pendekar Slebor tetap tak kehilangan sifat 

urakannya.

Sembilan langkah di depan mereka, Andika 

mengumbar senyum mengejek. Lebih menjengkelkan 

lagi kedua alisnya juga dikedik-kedikkan.

"Kau sudah terlalu lamban untuk menghadapiku, 

Tuan Tua," ledek Pendekar Slebor.

Dan baru saja Andika hendak membuka mulutnya 

kembali, terdengar langkah lari ringan di belakang. 

Seketika dengan sigap tubuhnya berbalik. Ternyata 

yang datang lelaki yang amat dikenalnya.

"Chin Liong...," ujar Pendekar Slebor saat melihat 

siapa yang datang. "Kenapa kau tak melanjutkan 

perjalananmu?"

"Aku hanya khawatir, si Tua Licik itu 

menjebakmu," sahut Chin Liong.

"Nyatanya memang begitu," timpal Andika. Lalu, 

diliriknya empat orang lawannya.

"Itulah mereka."

"Mereka mengeroyokmu?"

"Begitulah. Kebiasaanyang tak baik, bukan?" 

Dengan mata tetap mengawasi gerak-gerik Empat 

Penguasa Penjuru Angin, pemuda Tiongkok itu 

mendekatkan kepalanya ke wajah Andika.

"Apa kau perlu bantuan untuk menghadapi 

mereka? Mereka memiliki ilmu yang sulit terukur. Apa 

kau yakin bisa menghadapi?" tanya Chin Liong.

Andika menyeringai.

"Sebenarnya aku tidak perlu bantuan," ucap 

Pendekar Slebor agak menyombong. "Tapi kalau kau 

memang ingin ambil bagian dalam pesta kecil ini, ya 

silakan!"

"Bagus! Biarpun bantuanku mungkin tak begitu 

berarti."

"Mau dimulai sekarang, atau setelah tahun monyet 

nanti?"

Pemuda Tiongkok di sampingnya tak menyahut. 

Keputusan melanjutkan pertarungan berada di tangan 

Andika. Itu sebabnya, dia hanya menjawab dengan 

lirikan saja.

"Kupikir lebih bagus sekarang," tandas Andika. 

Lalu.... "Hiaaa!"

Andika berteriak keras-keras. Begitu kerasnya, 

seolah hendak memutuskan urat lehernya sendiri. 

Berbareng dengan teriakannya, langsung dibtikanya 

jurus 'Memapak Petir Membabi buta' sambil berlari ke 

arah lawan-lawannya.

"Yiaaa!" Chin Liong menyusul di belakang 

bersama teriakan yang tak kalah menggelegar.

Maka pertempuran terdahsyat sepanjang satu 

abad terakhir pun akan segera pecah kembali di negeri 

itu.

Sampai saat ini, Si Pembawa Badai sempat pula 

kagum pada lawannya. Masih tergolong muda, tapi

sudah memiliki tingkat kesaktian begitu luar biasa. Dan

kini, kekagumannya bertambah tatkala disaksikan 

sendiri, bagaimana menakjubkan jurus Pendekar Slebor.

Jurus 'Memapak Petir Membabi buta' adalah jurus 

ciptaan Andika ketika menjalani penyempurnaan ke-

saktian di Lembah Kutukan (Baca serial Pendekar 

Slebor dalam episode: "Lembah Kutukan"). Setiap 

gerakan tubuhnya tampak seperti orang kelimpungan 

tak karuan. Tapi mata tokoh persilatan yang banyak 

makan asam garam seperti Si Pembawa Badai, gerakan 

kacau balau Pendekar Slebor justru dianggap sebagai 

serangan yang amat sulit dimentahkan. Bagaimana 

tidak? Nyatanya pukulan atau tendangan pendekar 

muda itu tiba- tiba bisa melenceng dari sasaran semula 

dengan kecepatan sulit ditangkap mata!

Sadar akan hal ini, Si Pembawa Badai segera 

menggenjot tubuh jauh-jauh untuk mengatur jarak. 

Barisan Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung 

mesti dihadirkan kembali, pikirnya. Hanya itu satu-

satunya cara yang bisa diandalkan unttik menghadapi 

Pendekar Slebor.

Di lain Sisi, Andika mulai menggempur tiga 

lawannya yang lain, tanpa peduli pada Dewi Seribu Diri 

masih juga mencoba tersenyum-senyum tak karuan.

Lalu apa yang dilakukan Chin Liong di 

belakangnya? Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor, 

pemuda Tiongkok itu mengangkat tangan tinggi-tinggi 

sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. 

Nyatanya kepala Andika siap dihantam dengan satu tinju 

geledek!

***

Jika tinju maut yang dilancarkan pemuda Tiongkok 

itu lebih cepat sekejapan saja, sudah bisa dipastikan 

kepala Pendekar Slebor akan remuk. Untunglah pada

waktu yang nyaris bersamaan, dia membuat gerakan tak 

terduga. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke depan 

untuk menyarangkan tendangan ganda ke arah Pencuri 

Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.

Tindakan Pendekar Slebor mengakibatkan 

bokongan dari belakang luput, sehingga menghasilkan 

de sir angin cukup keras yang masih sempat tertangkap 

telinga.

Wesss!

Menangkap suara mencurigakan itu, Andika jadi 

terperanjat. Niatnya untuk membabatkan kaki ke arah 

kedua lawannya di depan diurungkan. Di udara, 

tubuhnya segera digenjot lagi dengan membuat satu 

putaran. Setelah itu, kakinya mendarat enam langkah di 

belakang Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.

Di tengah-tengah kepungan kelima orang itu, kini 

Andika menatap tak mengerti pada pemuda Tiongkok 

yang semula dikira Chin Liong. Matanya menyipit dan 

benaknya mereka terhadap pemuda Tiongkok itu.

"Kau bukan Chin Liong.... Kau pasti, Chin Chung," 

desis Pendekar Slebor pasti.

Orang yang ditatap, saat itu pula mengumbar tawa 

keras.

Hua ha ha...! Aku memang Chin Chung! Kau 

kaget, Pendekar Bodoh? Sekali lagi, kau tertipu 

permainanku, bukan? Hua ha ha...!" cemooh pemuda 

yang benar-benar mirip Chin Liong, tapi ternyata Chin 

Chung. 

"Kentut basi!" serapah Andika.

Bukan main geramnya Pendekar Slebor melihat 

Chin Chung. Selama ini, dia bukan hanya telah 

dipermainkan begitu rupa oleh lawannya. Tapi, Andika 

juga mempunyai piutang nyawa atas kematian Ratna. 

Kegeramannya makin menggelegak manakala teringat 

beberapa pembantaian yang dilakukan Chin Chung dan 

pasukannya di tanah Jawa Dwipa. (Baca kisah

Pendekar Slebor dalam episode: 

pusaka Langit"!).

"Kau harus membayar semua perbuatanmu di 

negeriku, Chin Chung!"

"Aku? Jangan menjadi lebih bodoh! Kau tak akan 

mungkin melakukannya, karena hari ini nyawamu akan 

lepas dari raga!" sergah Chin Chung. Mimik wajahnya 

begitu mengancam. "Untuk menghadapi kawan-

kawanku yang bergelar Empat Penguasa Penjuru Angin, 

kau tentu harus menguras seluruh kemampuan. Kau 

bisa saja menjadi tokoh nomor satu di negerimu. Tapi, 

ingat. Mereka juga tokoh-tokoh puncak di negeri kami. 

Meskipun aku tak begitu yakin kau akan lebih unggul. 

Tapi aku yakin, dengan bantuanku, kau akan mudah 

disingkirkan!"

"Jangan terlalu yakin!" hardik Andika.

"Ya! Jangan terlalu yakin, Pengkhianat Busuk!"

Tiba-tiba terdengar sahutan seseorang, dua puluh 

lima langkah dari tempat tersebut. Suara itu berasal dari 

mulut seorang wanita. Dan Andika merasa pernah 

mendengarnya.

Bergegas Pendekar Slebor menoleh, berbarengan 

dengan kelima lawannya.

"Ying-lien...," gumam Andika setelah melihat 

wanita yang menyela hardikannya. Ya! Ying-lien atau 

Bidadari Buta Bersayap Naga telah tiba pula di tempat 

ini bersama Chia-ceng.

Kemudian dengan satu hentakan saja, tubuh 

wanita buta itu melayang seperti camar di udara untuk 

selanjutnya mendarat di samping kiri Andika. Kemudian, 

menyusul Chia-ceng si Cebol Bermuka Merah. Orang 

tua berbadan pendek gemuk itu menempati sisi kanan 

Pendekar Slebor.

"Tampaknya kau mulai sudi bersikap bersahabat 

denganku, Putri," sapa Andika. Kembali dia memanggil 

Ying-lien dengan sebutan 'putri'. Sebelumnya, dia

memanggil gadis itu dengan namanya saja, karena 

jengkel.

"Aku tidak pernah meragukan Chin Liong," balas 

Putri Ying-lien tanpa menoleh. Mata batin inderanya 

waspada pada calon lawan-lawan mereka.

"Apa maksudmu?" tanya Andika tak mengerti

"Bukankah dia percaya kalau kau mampu 

menolong kami."

"Dengan begitu, kau juga mempercayaiku? 

Mempercayai kemampuanku menolong negerimu dari 

rongrongan para pengkhianat?" ucap Andika, menduga 

ucapan Putri Ying-lien selanjutnya.

"Tepat," jawab Putri Ying-lien cepat. "Kini, tak 

perlu lagi banyak tanya kalau tak ingin kecolongan oleh 

mereka."

"Tapi kenapa kau bersikap menolakku pada 

mulanya?" tanya Andika lagi. Tak dipedulikannya 

peringatan Putri Ying-lien tadi.

Wanita berparas jelita itu menghempas napas 

kesal menghadapi sikap keras kepala Andika yang mulai

terlihat lagi.

"Karena aku ingin menguji kesungguhanmu. Itu 

saja," jawab Putri Ying-lien agak jengkel.

"Itu saja?"

"Hey? Apa mulutmu tak bisa dikunci untuk 

sementara?" bentak wanita itu kesal.

"He he he...," Andika malah terkekeh.

Mendadak sontak Chin Chung mengeluarkan 

sepasang cakram selebar piring makan dari balik 

bajunya.

"Heaaa...!"

Dengan senjata itu, Chin Chung melabrak 

Pendekar Slebor yang dianggap sedang lengah. 

Sedangkan Pencuri Jantung segera mengeluarkan 

batang bambu tipisnya. Sementara Dewi Seribu Diri 

telah meloloskan selendang suteranya pula dari

pinggangnya.

Karena merasa tak sanggup melawan Empat Pe-

nguasa Penjuru Angin, Putri Ying-lien mempercayakan 

Andika untuk menghadapi mereka. Sedang dia sendiri 

menghadang serangan Chin Chung. Wanita itu merasa 

harus berhadapan langsung dengan saudara kembar 

Chin Liong itu. Ada satu hutang yang harus dibayar Chin 

Chung pada dirinya. Dan itu harus dibayar dengan 

nyawa sekarang juga. Maka pertarungan pun tak 

terelakkan lagi. Seketika terdengar teriakan-teriakan 

membahana, menyemaraki pertarungan.

***

ENAM


Kancah pertarungan nyawa dalam pertukaran 

jurus demi jurus maut telah berlangsung hingga 

matahari rebah di kaki langit sebelah barat.

Hingga hampir jurus keseratus tak ada seorang 

pun yang tumbang. Andika yang mendapat dukungan 

Cebol rmuka Merah atas perintah Putri Ying-lien, dapat 

mengimbangi setiap barisan tempur yang selama ini tak 

terkalahkan milik Empat Penguasa Penjuru Angin.

Wilayah sekitar kancah pertarungan sudah hampir 

tersapu angin topan. Demikian porak-poranda! Banyak 

pepohonan yang besarnya tak terpeluk tangan tumbang. 

Memang, pertarungan tanpa terasa kini berpindah ke 

sebuah kaki bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan 

raksasa.

Dua medan pertarungan yang terjadi, terpisah 

sekitar empat puluh depa. Putri Ying-lien yang 

berhadapan melawan orang yang paling dibencinya, 

Chin Chung, berada di sebelah barat daya. Sedangkan 

pertempuran Andika dan Chia-ceng melawan empat 

datuk sesat Tiongkok itu berlangsung di sebelah timur 

laut.

Sampai suatu ketika....

"Berhenti kau Pendekar Slebor!"

Terdengar Chin Chung meneriakkan perintah 

kasar pada Andika dan Chia-ceng. Padahal, saat itu 

Pendekar Slebor sudah berhasil membuat anak Si 

Pembawa Badai memuntahkan darah segar. Bahkan 

senjata Pencuri Jantung yang terbuat dari bambu langka 

telah dipatahkannya pula.

Dengan serta merta, Pendekar Slebor 

menghentikan cecarannya pada Pencuri Jantung. Dia 

melompat mundur beberapa tombak untuk mencari 

tempat aman. Kemudian, secepatnya kepalanya 

menoleh ke arah suara Chin Chung. Begitu juga Chia

ceng.

Tampak Chin Chung kini sedang menggapit leher 

Putri Ying-lien yang nampaknya telah terluka dalam. 

Dan itu bisa dipastikan karena hidung dan sudut bibir 

Putri Ying-lien mengeluarkan darah. Sementara satu 

tangan Chin Chung menempelkan cakram ke leher Putri 

Ying-lien.

"Putri...," ujar Chia-ceng, khawatir.

"Apa yang kau inginkan Chin Chung?" tanya 

Andika, dengan sedikit hati-hati. Pendekar Slebor tak 

mau leher wanita jelita itu jadi santapan empuk senjata 

cakram Chin Chung.

"Apa keinginanku? Hua ha ha...! Aku ingin agar 

kau menyingkir dari urusan kami! Kau dengar itu?!"

Chia-ceng melirik Andika untuk meminta 

pertimbangan.

"Bagaimana, Anak Muda?" tanya orang tua 

gendut itu.

"Lebih baik turuti saja kemauannya. Aku khawatir, 

dia mencelakakan Putri Ying-lien," sarah Andika tanpa 

menoleh. Matanya tetap terhujam tajam pada Chin 

Chung di kejauhan.

"Aku pikir juga begitu," timpal Chia-ceng, setuju.

"Baik! Kalau memang itu maumu, Chin Chung!

Tapi sebelum aku menyingkir, kuberitahukan dulu 

sesuatu padamu. Jika wanita itu diusik selembar rambut

saja, kau akan kuhabisi!" teriak Andika akhirnya.

Andika lalu mengajak Chia-ceng pergi dari tempat 

itu. Sebelum keduanya benar-benar menghilang, Chin 

Chung sempat memperingati pendekar muda tanah 

Jawa Dwipa itu.

"Ingat, Pendekar Slebor! Sekali lagi kau terlihat

olehku, maka wanita ini akan segera kubunuh!"

***

Di Kuil Peraduan Bulan Bisu. Malam gelap, 

terselimuti hawa dingin menggigil. Keluh kesah hewan 

malam terdengar seperti tak sudi menyambut arakan 

mendung tebal melayang di atas daerah itu.

Di dalam kuil, tiga orang lelaki sedang duduk 

mengelilingi api unggun. Cahaya perapian tampak 

menjilati wajah masing-masing yang tampak gelisah. 

Kehangatannya tak lagi bisa dinikmati, karena benak 

masing-masing sedang diusik kekhawatiran. Mereka 

adalah Andika, Chin Liong, dan Chia-ceng.

Dua hari setelah pertarungan, Chin Liong kembali 

ke tempat yang telah disepakati bersama Andika. Tapi, 

di sana Pendekar Slebor tak ditemukannya. Maka 

diputuskannya untuk langsung pergi ke Kuil Peraduan 

Bulan. 

"Maaf, Chin Liong. Aku tidak bisa menepati janji 

untuk bertemu denganmu di tempat yang kita sepakati. 

Aku khawatir, Chin Chung memergokiku. Dan itu bisa 

berakibat fatal bagi Putri Ying-lien," kata Andika, setelah 

menceritakan tentang kabar buruk yang dialami Putri 

Ying-lien.

"Ya, aku tahu," sahut Chin Liong, bernada 

murung.

"Bagaimana tindakan kita selanjutnya?" sela Chia-

ceng.

Andika menggeleng.

"Kita belum bisa berbuat apa-apa, selama Putri 

Ying-lien masih di tangan Chin Chung."

Dalam beberapa helaan napas, mata Andika 

hanya tertuju pada geliat api di depannya.

"Bagaimana dengan mata-mata yang kau 

hubungi, Chin Liong? Apa ada satu berita yang bisa 

dimanfaatkan?" tanya Andika. Pandangannya kini 

beralih ke pemuda Tiongkok yang tampak terpaku 

kosong.

"Buntu. Orang itu rupanya telah diringkus para

pemberontak. Bahkan mungkin sudah tewas," jawab 

Chin Liong, putus asa.

Pendekar Slebor menghempas napas kesal. 

Persoalan kini semakin terpuruk pada lorong buntu. 

Selama menangani peristiwa demi peristiwa, dalam 

menegakkan kebenaran dan keadilan, sudah cukup 

banyak kerumitan yang mampu diatasi. Dan kali ini pun, 

dia tak merasa menghadapi suatu yang pelik atau rumit. 

Masalahnya sebenarnya sederhana. Yang menjadikan 

masalah ini berat, hanya akibat yang bakal menimpa 

Putri Ying lien bila salah bertindak.

"Aku tak habis pikir, kenapa Putri bisa dikalahkan 

Chin Chung begitu mudah," cetus Chin Liong, seperti 

bergumam sendiri. "Padahal tingkat kepandaiannya 

setaraf."

"Apa kau tak ingat ucapan Putri, sewaktu kau baru 

tiba dengan Andika?" Chia-ceng ikut bicara. "Dia 

mengatakan, Chin Chung akan memiliki kekuatan tiga 

belas kali daripada sebelumnya, jika memegang Pusaka 

Langit...."

"Tapi kalau saat itu dia memegang Pusaka Langit, 

tentu tak perlu bertarung lebih dari seratus jurus 

melawan Putri, bukan?" Kini giliran Andika ambil bagian.

Setelah itu, mereka kembali membisu. Sayang, 

tak seorang pun yang tahu kalau Putri Ying-lien saat itu 

terlalu teringat kembali pada kejadian menyakitkan yang 

dialami akibat perbuatan Chin Chung dulu. Dan itu me-

nyebabkan kewaspadaannya terganggu. Dan mungkin 

hanya Chin Liong yang mulai bisa meraba ke arah sana. 

Tapi, itu hanya ada dalam hatinya.

Tiba-tiba wajah Andika seperti tersentak.

"Hey? Kalau ternyata Chin Chung tak membawa 

Pusaka Langit pada saat pertempuran, kira-kira di mana 

disembunyikannya? Dan kenapa pula tak dibawa kalau 

benda itu amat penting?" ujar Andika bertanya-tanya.

Mendengar ucapan Andika barusan, Chin Liong

ikut tersentak.

"Bodoh!" umpat pemuda itu. Entah, ditujukan pada 

siapa. "Kenapa aku tak memikirkan ke arah itu!"

"Kenapa, Chin Liong? Apa kau teringat sesuatu?" 

tanya Andika bersemangat.

"Bukankah Pusaka Langit harus disatukan, antara 

pedang dengan gagang pusakanya?" lanjut Chin Liong 

lagi. "Tentu Chin Chung tak akan begitu bodoh 

meletakkan begitu saja Pusaka Langit dan gagang 

pedang pusaka di tempat yang tersembunyi. Pasti, 

benda itu telah diserahkannya pada seorang pandai besi 

untuk dijadikan pedang!"

"Dan hanya ada satu pandai besi yang mampu 

melebur Pusaka Langit untuk dijadikan pedang," tambah 

Chia-ceng. "Tua Bangka Tangan Api...."

"Bagus! Kalau itu benar, kita harus merebutnya 

dari tangan si Pandai Besi. Tentu Chin Chung akan sudi, 

bahkan amat sudi menukarnya dengan Putri Ying-lien," 

tandas Andika.

Mereka seketika menampakkan wajah berharap.

Meski tak tampak senyum di bibir. Tapi biar 

bagaimanapun, semua itu baru rencana.

Kini ketiganya melanjutkan penyusunan rencana 

yang akan dijalankan.

***

Ketika matahari naik ke puncaknya Andika dan 

Chin Liong sudah berada di depan Goa Lintah Sejuta. Di 

goa itulah Tua Bangka Tangan Api tinggal, sekaligus 

dijadikan tempat untuk membuat senjata-senjata pusaka 

pesanan para tokoh kelas atas.

Sesuai rencana Andika, Chin Liong akan berpura-

pura menjadi Chin Chung. Dengan begitu, mereka tak 

perlu banyak buang tenaga.

Saat ini Goa Lintah Sejuta tampak lengang.

Letaknya memang cukup terpencil, di sebuah lereng 

jurang. Di bawahnya, batu cadas meruncing siap 

menghujam siapa saja yang ceroboh. Bagi Andika dan 

Chin Liong sendiri, kesulitan macam itu tidak terlalu 

menghalangi.

"Agar Tua Bangka Tangan Api tidak curiga, 

sebaiknya kau masuk sendiri ke dalam. Aku akan 

menunggumu di sini," bisik Andika.

"Baik," sahut Chin Liong mantap.

Pemuda Tiongkok itu pun melanjutkan langkah 

memasuki lorong goa yang lembab dan gelap. Di bagian 

yang agak menjorok ke bawah, Chin Liong merasakan 

dingin pada kakinya. Rupanya, ada aliran sungai bawah 

tanah yang menembus goa itu.

Semakin ke dalam, air menjadi tinggi. Dan ketika 

aliran sungai kecil itu sudah mencapai pinggang, Chin 

Liong dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak-gerak 

halus di beberapa bagian kakinya. Rasa keingin

tahuannya, terbetik. Perlahan-lahan diturunkannya obor 

ke depan pinggang. Dan mendadak, matanya menyipit 

jijik. Tampak gerombolan lintah mencoba mengisap 

darahnya.

Chin Liong segera mengerahkan hawa murni di tu

buhnya, untuk menimbulkan panas yang bisa mengusir 

binatang-binatang melata menjijikkan itu. Dan ternyata 

usahanya berhasil. Lintah-lintah itu mulai menyingkir 

satu persatu. Di antaranya, bahkan ada yang mati.

Chin Liong mulai melanjutkan penelusurannya 

yang sedikit terhambat tadi. Makin masuk ke dalam, 

perjalanan agaknya kian berat. Dan kini tiba di semacam 

persimpangan yang memiliki banyak cabang lorong. Di 

sekitar tempat itu banyak terpasang lampu yang 

menyala dari gas alam. Chin Liong tak lagi memerlukan 

obornya, dan langsung menghempaskannya ke bawah.

Untuk sampai pada tempat kediaman Tua Bangka 

Tangan Api, pemuda itu harus menentukan satu lorong

yang harus dilalui. Sementara, ada tujuh lorong yang 

mesti dipilihnya. Ya! Pada setiap lorong itulah bahaya 

siap menanti.

Dengan dada berdebar-debar, Chin Liong 

mencoba memasuki satu lorong yang terdapat plang 

kayu berwarna merah muda di atasnya. Selangkah demi 

selangkah, kakinya melangkah ke dalam lorong. Sungai 

kecil sudah tidak mengalir ke sana, membuat gesekan 

langkahnya terdengar jelas bagai desis ular berbisa.

Pada langkah kedua puluh, pemuda itu terhenti. 

Lorong itu ternyata buntu, dan ini membuatnya agak

kesal. Dia mendengus. Hanya itu yang bisa 

diperbuatnya.

Baru saja pemuda Tiongkok itu hendak berbalik ke 

persimpangan lorong semula, tiba-tiba saja dari 

beberapa lubang di dinding goa menyembur lidah api 

besar.

Wrrr!

Chin Liong amat terperangah. Untunglah dia 

cukup sigap. Dengan sekali genjot ke belakang, 

tubuhnya berputaran di atas untuk menghidari sambaran 

puluhan lidah api. Kalau saja terlambat, pasti tubuhnya 

hangus jadi arang.

Sekali lagi Chin Liong menghembuskan napas 

sesaat, setelah kakinya hinggap di lantai goa lagi. Kali 

ini, tentu saja bukan karena jengkel, melainkan lega. 

Sifatnya yang memang cukup dingin, membuatnya tidak 

banyak menggerutu atau mencaci maki.

Lolos dari satu bahaya tadi, kini pemuda itu 

kembali ke persimpangan lorong. Akan dicobanya 

memasuki lorong berikut, yang memiliki plang kayu 

warna biru.

Sama dengan lorong berplang merah, ternyata 

lorong ini pun terdapat jebakan maut. Di tengah jalan, 

mendadak saja lantai goa yang dipijaknya terbuka lebar.

Grrr!

Karena begitu cepatnya lantai goa terkuak, Chin 

Liong tak sempat lagi menghindar. Tubuhnya kontan 

terjerumus ke dalam lubang jebakan. Bagai ditarik 

kekuatan tak terlihat, tubuhnya meluncur cepat menuju 

dasar lubang seperti sumur. Sementara, bawahnya siap 

menanti sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan pemakan 

daging, serta ular air yang bisanya amat ganas.

Tentu saja Chin Liong taksudi menjadi umpan 

binatang-binatang buas itu. Dalam keadaan gawat, 

tenaga dalamnya dikerahkan ke kedua telapak tangan. 

Tanpa memakan waktu lama, tenaga yang terkumpul di 

telapak tangannya dilepas ke dinding lubang.

Wesss! Drak!

Seketika lantakan batu berhamburan, ketika 

pukulan jarak jauh Chin Liong menghantam dinding goa. 

Manfaat yang bisa didapat adalah, hentakan batik 

tubuhnya ke belakang. Dengan dorong itu, tubuhnya 

berputaran hingga menghadap dinding lubang di 

belakangnya. Lalu dengan satu gerak tangan yang 

masih menyimpan tenaga dalam, jarinya yang 

membentuk cakar dihantamkan ke dinding lubang.

Creb!

Dinding lubang terbuat dari cadas keras pun 

kontan tertembus. Hasilnya, sungguh seperti yang 

diharapkan. Tubuh Chin Liong kini tidak lagi meluncur ke 

dasar lubang, melainkan menggelantung di dindingnya. 

Selanjutnya, dia mulai merangkak perlahan. Satu 

gerakan ke atas dilakukan dengan menghantamkan 

cakarnya pada dinding lubang. Sampai akhirnya, 

tangannya berhasil menggapai bibir lubang.

"Fhuuuh!" 

Chin Liong menghembuskan napas lega setelah 

tiba kembali di atas. Lalu tanpa ingin membuat waktu 

lebih lama, dia kembali ke persimpangan lorong. Seperti 

lorong sebelumnya, sudah pasti lorong itu pun buntu.

Tak lama kemudian, pemuda tampan bermata

sipit itu sudah terlihat memasuki lorong berplang kayu 

warna merah darah.

"Kejutan apa lagi yang discdiakan untukku. 

Seakan, dia mencoba bergurau untuk menenangkan 

diri," kata Chin Liong, sebelum memasuki lorong di 

depannya.

Sambil tetap berharap dalam hati kalau lorong 

yang dimasuki kali ini benar-benar lorong tepat untuk 

tiba di tempat Tua Bangka Tangan Api, Chin Liong 

menyusur dengan langkah lebih hati-hati.

Tindakannya, ternyata beralasan. Bahaya ternyata 

memang belum sudi menyingkir darinya. Memasuki 

bagian yang menyempit, tiba-tiba pula pemuda itu 

diserbu puluhan tonggak runcing yang melesat dari 

seluruh bagian dinding lorong.

Sungsang-sumbel Chin Liong bergulingan, dikejar 

tonggak-tonggak runcing yang mengancam secara 

bersusulan. Sampai akhirnya, tangan-tangan maut itu 

tak lagi memburu.

Sekali lagi, pemuda itu kembali ke persimpangan 

lorong. Tinggal empat pintu lagi yang belum 

dimasukinya. Satu pintu kuning, hitam, putih, dan hijau.

"Pantas saja para pelanggan Tua Bangka Tangan 

Api yang memesan senjata pusaka, rata-rata adalah 

para tokoh kelas atas," gumam Chin Liong. "Karena tak 

mungkin bagi orang berkepandaian tanggung, bisa lolos 

dari jebakan yang dibuatnya. Tapi, aku heran. Ke mana 

mayat-mayat orang naas yang menjadi korban jebakan? 

Aku tak melihatnya...."

Usai menimbang-nimbang beberapa saat. Chin

Liong memuluskan untuk memasuki pintu lorong 

berplang kayu warna hijau. Menurutnya, warna itu 

mencerminkan kcadaan tenang dan damai. laksana 

warna dedaunan pohon rindang. Mungkin dengan 

pencerminan warna itu, lorong yang dimasuki tak lagi 

berbau darah dan maut. Lalu dia bisa bertemu orang tua

aneh di dalamnya.

Perkiraan Chin Liong agaknya tidak meleset. 

Makin ke dalam, dia memang menemukan susana 

berbeda dari sebelumnya. Di sisi-sisi jalan, tampak 

tanaman-tanaman hias langka yang ditatap asri. 

Keadaannya pun lebih terang dari tempat lain. Karena, 

pada dinding lorong dipasang lebih banyak lampu gas 

alam.

Chin Liong makin yakin telah memasuki jalan yang 

tepat. Maka, langkahnya pun dipercepat.

Setelah melalui dua kelokan, akhirnya Chin Liong 

tiba di satu ruang besar yang terang benderang, 

berbentuk kubah. Di beberapa bagian dindingnya, 

terpajang senjata dengan bentuk beragam. Mulai dari 

belati bermata dua, sampai kapak besar berukir naga.

Tepat di tengah-tengah ruangan, tampak satu 

perapian besar sebagai tempat melebur logam. Di 

samping karena lampu-lampu gas alam, tampaknya 

keadaan terang benderang ruangan diperoleh pula dari 

perapian besar itu.

Di sini, Chin Liong juga menemukan tumpukan 

kerangka manusia yang disusun berbentuk satu menara. 

Hatinya bergidik juga sesaat. Barangkali, mereka adalah 

para korban yang tak berhasil lolos dari jebakan maut, 

yang kemudian dikumpulkan seperti satu benda seni. 

Tua Bangka Tangan Api benar-benar lelaki tua aneh! 

"Hm...! Ke mana si Tua Bangka Tangan Api itu?" 

tanya Chin Liong membatin. Tak dilihatnya seorang pun 

di ruang besar ini.

Rasa penasaran, mendorong Chin Liong 

memasuki ruangan. Belum lagi setengah ruangan 

dijelajahi, ditemukannya sesosok tubuh terkulai di balik 

tungku perapian. Kelihatannya, usia lelaki itu sudah 

cukup lanjut. Rambutnya putih, ditutupi topi kain 

berwarna merah api. Badannya yang tertelungkup 

terlihat bungkuk.

Chin Liong bergegas meraih tubuh lelaki tua itu. 

Dia yakin yang ditemuinya adalah Tua Bangka Tangan 

Api. Ketika tubuh lunglai itu dibalikkan, terlihatlah satu 

sayatan dalam yang memanjang dari atas wajah hingga 

ke lehernya.

Sayatan yang tak sempat mengenai bagian dalam 

tempurung kepala Tua Bangka Tangan Api, 

membuatnya masih sempat memberinya kesempatan 

hidup walau hanya sebentar.

"Pedang itu.... Pedang itu...," kata orang tua itu 

lirih.

"Pedang apa yang kau maksud?" tanya Chin 

Liong.

"Pedang yang baru saja kuselesaikan...."

"Pedang apa?" desak Chin Liong.

"Pedang itu...," ulang Tua Bangka Tangan Api 

makin mengabur.

"Katakan padaku, pedang apa? Apa Pedang 

Pusaka Langit?" duga Chin liong, tetap mencoba 

mendesak orang tua sekarat itu.

"Telah dibawa pergi.., olehhh...."

Belum tuntas kalimat yang hendak dikeluarkan, 

Tua Bangka Tangan Api terburu tewas, akibat terlalu 

banyak kehilangan darah.

"Seseorang mendahuluiku," desis Chin Liong 

perlahan.

Siapa yang telah mengambilnya? Tapi pertanyaan 

tadi dianggap bukanlah hal yang mendesak. Yang paling 

penting, sekarang Chin Liong harus segera mengejar 

orang culas yang mendahuluinya.

Hati-hati, Chin liong meletakkan mayat orang tua 

itu sebagai sikap hormatnya.

"Maaf, Orang Tua. Aku tidak bisa memakamkan 

jasadmu dengan layak," ucap pemuda itu perlahan.

Selesai berkata demikian, Chin Liong segera 

berlari ke persimpangan. Di sana, diambilnya kembali

obor di lantai. Setelah menghidupkan obor itu, dia 

segera memasuki lorong keluar.

Cukup lama setengah berlari, kembali Chin Liong 

bertemu jalan yang dilalui anak sungai tadi.

Pemuda itu pun melanjutkan perjalanan kembali. 

Namun baru enam langkah Chin Liong berhenti. 

Matanya seketika melihat sesuatu yang mengusik di 

kejauhan. Suatu sinar terang yang dipancarkan benda 

sepanjang lengan, yang tegak mengarah langit-langit 

goa. Cahaya berwarna merah bagai bara api.

Alis Chin Liong berkernyit. Terlebih, ketika benda 

itu bergerak terus ke arah dirinya. Apa itu? Dan ketika 

benda itu sudah demikian dekat, sekitar tiga tombak lagi 

di depannya.

"Sayang! Rupanya kau terlambat datang, Chin 

Liong...."

Terdengar suara seseorang. Kemudian satu wajah 

tampak, tatkala sinar merah bara itu menerangi makin 

mendekat.

"Kau...," desis Chin Liong.

"Ya! Aku saudara kembarmu," sahut orang itu.

Ternyata orang itu Chin Chung. Pada tangannya 

tampak tergenggam pedang bersinar sebagai pengganti 

obor.

"Kau tentu hendak mengambil senjata pusaka ini, 

bukan? Sayang sekali. Aku telah mendahuluimu. Entah 

kenapa, aku merasa kau akan mencoba mengambil 

benda ini dari Tua Bangka Tangan Api. Kau tentu ingin 

mengelabuinya dengan berpura-pura menjadi diriku, 

bukan?" tutur Chin Chung, bermaksud meledek.

Chin Liong tak berkata apa pun. Matanya 

berkilatan menahan kegusaran pada saudara 

kembarnya yang masih berpakaian seperti dirinya.

"Rupanya si Pandai Besi Tua itu cekatan juga. 

Pesananku diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari. 

Kupikir, itu karena bayaran yang kuberikan padanya.

Tapi, nyatanya tidak. Dia ingin cepat-cepat 

menyelesaikan,. karena juga ingin menguasai benda ini. 

Aku tak suka pada pengkhianat sepertinya. Maka 

langsung tamatlah riwayatnya dengan pedang ini. 

Hitung-hitung, sebagai uji coba. Hua ha ha...!" oceh Chin 

Chung, puas.

"Kenapa kau tak penggal juga kepalamu?!" sentak 

Chin Liong.

"Hey! Apa maksudmu, Saudaraku?" tanya Chin 

Chung, penuh lagak menyebalkan.

"Bukankah kau juga seorang pengkhianat?" sindir 

Chin Liong, tajam.

Seringai di bibir lelaki di depannya menyusut. 

Kata- kata pedas Chin Liong tadi, tampaknya mengena 

tepat di inti harga dirinya. Wajahnya tiba-tiba berubah 

bengis. 

"Kalakan padaku, Chin Chung! Kenapa kau

menghina diri sendiri dengan menyalahi kebenaran?" 

ucap Chin Liong melembut.

Biar bagaimanapun, Chin Liong tidak bisa 

menyingkirkan ikatan batin dengan Chin Chung. Betapa 

sakit perasaannya jika saudara kembarnya menjadi 

manusia durjana. Seakan, dia juga turut menanggung 

dosa.

"Jangan coba pengaruhi aku, Chin Liong! Jalan 

yang kita tempuh memang berbeda. Dan perbedaan itu 

mengharuskan kita berhadapan sabagai lawan. Namun 

bila kau memang masih mengakuiku sebagai saudara, 

lebih baik mengalahlah. Menyingkirlah dari urusan ini

Aku tak mau mengadu jiwa dengan saudaraku sendiri. 

Tapi kalau kau tetap memaksa, aku tak bisa mengalah."

Bibir Chin Liong kini memperlihatkan senyum 

pedih. Kepalanya menggeleng perlahan. Seketika 

berkecamuk dalam benaknya. Antara kebenaran yang 

harus tetap dijunjung dengan ikatan batin dirinya dengan 

Chin Chung. Bahkan kini dia teringat pada masa kecil

mereka dulu.

"Keras kepalamu rupanya tak juga lenyap," ucap 

Chin Liong lemah.

Kalimat itu diucapkan Chin Liong dari dasar hati 

terdalam. Dia sendiri tidak tahu, apakah itu sebuah 

bentuk cetusan kerinduan dalam gurauan yang hambar, 

atau sekadar sindiran.

"Sudah kukatakan, jangan coba pengaruhi aku, 

Chin Liong," tepis Chin Chung, tak lagi sekeras 

sebelumnya.

Dalam hati, dia tidak bisa memungkiri kalau 

dirinya pun rindu pada saudara kembarnya

"Kenapa kita tak rukun lagi seperti dulu saja, Chin 

Chung? Sadarlah. Dan, kembalilah kepada kebenaran. 

Aku akan memintakan ampunan pada Putri Ying-lien, 

agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki 

kesalahanmu," bujuk Chin Liong halus.

Chin Chung menggeleng lembut.

"Tidak bisa, Chin Liong," sanggah Chin Chung, 

bergetar. "Aku sudah telanjur basah. Aku tidak bisa lagi 

mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa 

Badai yang telah memelihara dan mendidikku. Kini, 

diriku adalah bagian dari mereka."

"Cobalah, Chin Chung. Demi aku! Demi kita...," 

bujuk Chin Liong, lebih halus. Suaranya pun kini ikut 

bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang kini 

bagai begitu jauh.

"Jangan paksa aku, Chin Liong!" bentak Chin 

Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat. 

"MenyingkirIah dari jalanku!"

Chin Liong menggeleng tegas.

"Menyingkir kataku, Chin Liong!" ulang Chin 

Chung.

Saudara kembarnya itu tetap menggeleng.

"Baik! Jangan salahkan aku jika di antara kita ada 

yang terbunuh," ucap Chin Chung, nyaris terdengar

seperti terisak. "Maafkan aku, Saudaraku."

Setelah itu Chin Chung mengayunkan pedang 

pusaka di tangannya ke depan. Dan....

"Hiaaa!"

***

TUJUH


Pertarungan antara dua saudara kembar memang 

sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang 

terlalu keras kepala untuk mengalah, apalagi menyadari 

kesalahannya. Sedangkan Chin Liong tidak akan sudi 

membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya, 

meski dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri.

Kini terputuslah jalinan darah satu sama lain 

dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka 

bertukar jurus untuk mempertahankan sikap masing-

masing dengan taruhan nyawa.

Chin Liong yang memiliki ketangguhan 

sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan 

kelebihan ilmu 'Ginkang'nya. Sebuah ilmu yang 

mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh. 

Sementara, Chin Chung di satu pihak mengerahkan 

seluruh kemampuan 'Kun Twa'nya yang mengandalkan 

kekuatan totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai 

yang digabungkan dengan permainan pedang.

Telah empat puluh tiga jurus dilalui, namun sejauh 

itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih 

sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba 

berada di atas angin.

"Haih!"

Zeb! Zeb! 

Pada satu kesempatan, jari kiri Chin Chung 

mencoba menembus tenggorokan Chin Liongyang saat 

ini berada dalam keadaan tak menguntungkan. 

Rasanya, ia tak mungkin bisa memapak tusukan jari 

lawan.

Di daratan Tiongkok, ilmu 'Kun Taw' terkenal 

mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun. 

Memapakinya, berarti membiarkan tangan tercedera 

berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.

Untungnya, kemampuan 'Ginkang' Chin Liong

cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat 

itu. Terbukti, dia mampu melompat ke samping dengan 

kecepatan luar biasa!

Krsk!

Maka dinding Goa Sejuta Lintah pun menjadi 

sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang 

tombak baja menembus batang pohon pisang.

Untuk membayar serangan, Chin Liong 

melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.

"Hih!"

Deb! Deb!

Di tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus 

segera dihentikan. Jika tidak, tangannya tentu akan 

terputus sebatas siku, karena pada saat yang 

bersamaan, Chin Chung dengan sigap membabatkan 

Pedang Pusaka Langit ke bawah.

Wut!

Babatan ke bawah tadi, diteruskan Chin Chung 

dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk 

memenggal leher Chin Liong.

"Heaaa!"

Sing!

Kali ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh 

kemampuan "Ginkang'nya Tubuhnya langsung 

dihentakkan sepenuh lenaga ke belakang, untuk 

mematahkan babatan pedang lawan. Pada saat rawan 

seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap satu 

bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang 

bernafsu tadi, membuat saudara kembarnya luput 

membentengi dadanya yang terbuka.

Begitu tubuhnya dilempar ke belakang, kaki Chin 

Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat 

tipis itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk 

mendepak dada Chin Chung.

Bukh!

"Akh!"

Kontan saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas, 

kemudian meluncur deras ke belakang. Rasa sesakdi 

dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara 

kembar Chin Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu 

erangan pendek tertahan.

Byur!

Begitu tubuhnya terjerembab, air sebatas lutut di 

bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah. Sesaat 

tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat 

berikutnya, dia bangkit dengan seluruh badan basah 

kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang 

terbawa tetesan air dari wajahnya.

"Aku belum kalah, Chin Liong," kata Chin Chung 

seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada 

Chin Liong.

"Sudahlah, Chin Chung.... Sadarlah," bujuk Chin 

Liong sekali lagi.

"Tidak! Kita harus menuntaskan urusan ini," 

tandas Chin Chung, sungguh-sungguh.

Begitu selesai kata-katanya, Chin Chung mulai 

mengatur napas. Tangannya bergerak teratur. 

Tampaknya, dia mulai menantang Chin Liong untuk 

bertanding te naga dalam.

Sementara itu, Chin Liong menyipit. Seluruh saraf 

di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat 

dikhawatirkannya. Dengan pengerahan tenaga dalam 

penuh, kekuatan Pedang Pusaka Langit bisa membantu 

Chin Chung melipat gandakan tenaga dalam, tiga belas

kali lebih kuat!

***

Sementara di luar seorang pemuda berpakaian 

serba hijau dengan perasaan tak menentu di luar Goa 

Sejuta Lintah. Menunggu seperti saat ini membuat 

pemuda yang tak lain Pendekar Slebor itu begitu

gelisah. Dia khawatir, terjadi hal-hal yang tak diharapkan 

pada diri Chin Liong di dalam sana. Untuk menyusul, 

Andika' mesti berpikir ulang. Bisa jadi, dia malah 

merusak rencana yang telah tersusun. Bukankah 

selama ini Chin Chung tak pernah terlihat bersama 

orang asing seperti dirinya? Sedangkan Chin Liong 

justru hendak menyamar sebagai Chin Chung, saudara 

kembarnya. Kalau Tua Bangka Tangan Api curiga, 

semuanya bisa kacau!

Akhirnya, Andika hanya bisa duduk gelisah di atas 

tonjolan besar batu cadas.

"Sialan! Kenapa aku tadi tak memikirkan kapan 

waktunya untuk masuk ke sana," gerutu Andika pada diri 

sendiri, menyesali keteledoran.

Sementara di atasnya, burung-burung walet 

tampak bcrkejaran. Sesekali cicitnya terdengar ramai. 

Sambil mengulum-ngulum rumput, Andika 

memperhatikan binatang-binatang mungil yang cantik 

itu. Sekadar untuk melepas rasa bosan dan gelisah.

Tak lama kemudian terdengar senandungnya.

O, walet kecil di atas sana. 

Kau bawa ceria di angkasa

Tak mau tahu pada dunia, 

yang kerap begitu durjana

O, walet kecil K

Kau bawa kehangatan pada alam

Kau bawa kehangatan pada mayapada

Kau bawa kehangatan pada....

Dan tiba-tibasaja...

Prot!

Sesuatuyang lembek dan hangat tahu-tahu 

menimpa kening Andika dengan telak.

"Sial! Kau boleh bawa banyak kehangatan! Tapi, 

jangan kasih yang hangat satu ini ke mukaku!" maki 

pemuda itu sewot ketika menyadari kalau baru tertimpa 

rejeki nomplok.

"Andika...."

Sedang seru-serunya pendekar urakan itu 

mencak- mencak dengan kepala menengadah, 

terdengar panggilan lemah di belakangnya. Saat 

melayang menoleh, tampak Chin Liong keluar tertatih-

tatih dari bibir goa. Di tangannya, tergenggam Pedang 

Pusaka Langit.

"Kau mendapatkannya, Chin Liong?!" sambut 

Andika gembira.

"Ya," jawab Chin Liong tersendat. 

Lelaki bermata sipit itu terlihat begitu lemah dan 

lusuh. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka 

memar serta noda-noda darah. Demikian juga di 

mulutnya.

"Kenapa kau?" tanya Andika, tergesa-gesa meng 

hampiri kawannya. Chin Liong yang menyender pada 

dinding goa segera dipapahnya. "Apa ada rintangan dari 

si Pandai Besi itu?"

Chin Liong menggeleng berat.

"Chin Chung," desak Chin Liong.

"Chin Chung?"

"Ya! Dan aku terpaksa membunuhnya. Dia terlalu 

memaksa aku melakukannya. Padahal..., padahal aku 

tetap menyayanginya," keluh Chin Liong lirih. Kepalanya 

tertunduk dalam, memperlihatkan rasa penyesalan yang 

menyesaki dada.

"Aku turut menyesal," tutur Andika. "Tapi kebe-

naran memang tidak mengenal ikatan darah. Kau tak 

perlu menyesali perbuatanmu. Dia telah menentukan 

pilihannya sendiri."

Perlahan-lahan keduanya mulai melangkah meniti 

lereng berliku.

Belum begitu lama kedua orang itu pergi, tahu-

tahu seseorang muncul pula di bibir Goa Sejuta Lintah. 

Keadaannya sungguh mengenaskan. Tubuhnya 

bermandikan darah dan rupanya sudah tak karuan.

Wajahnya pucat dan kotor oleh lumpur. Seperti 

wajahnya, rambut panjangnya pun dipenuhi lumpur 

hitam.

Laki-Iaki itu berusaha menyeret tubuhnya, untuk 

keluar dari goa itu. Kira-kira tiga langkah dari bibir goa, 

terdengar dia memanggil-manggil seseorang.

Dua kali dia memanggil, kemudian matanya 

menjadi nanar. Diawali getaran kecil sesaat, kepalanya 

pun roboh ke tanah. Dia tak mampu lagi merayap. 

Seluruh kesadarannya lerbang.

Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak 

seorang pun tahu. Kecuali, dirinya dan lelaki Tiongkok 

yang kini berjalan bersama Andika jauh di sana.

***

Pada dasarnya sebagian rencana yang disusun 

Andika telah berubah. Semula, setelah mendapat 

Pedang Pusaka Langit, dia dan Chin Liong bermaksud 

akan menemui pimpinan pemberontak wilayah utara 

kota Yingtienfu. Tujuannya, untuk menyampaikan pesan 

mengenai pertukaran Putri Ying-lien dengan Pedang 

Pusaka Langit pada Chin Chung.

Tapi kini, hal itu tidak perlu lagi dilaksanakan. 

Karena setahu Andika, Chin Chung selaku orang yang 

menyandera Putri Ying-lien, telah tewas di tangan Chin 

Liong. Dan kini mereka harus menyusun rencana baru.

Pendekar tanah Jawa Dwipa itu sekarang sedang 

berdiri diam memikirkannya, di bawah sebuah pohon 

besar di pekarangan Kuil Peraduan Bulan. Dari 

wajahnya, tampak jelas kalau sedang berpikir keras. Tak 

dipedulikannya angin kecil mengusik pakaian morat-

marit yang belum diganti sejak bertempur dengan Si 

Pembawa Badai. 

Sementara itu, Chia-ceng tengah pergi dengan 

Chin Liong ke pusat kota Yingtienfu untuk mencari

keperluan sehari-hari. Dengan begitu, mereka bisa tetap 

tinggal di Kuil Peraduan Bulan, khususnya Andika. Ini 

terpaksa dilakukan, menimbang Putri Ying-lien belum 

lagi diketahui nasibnya. Apalagi, Empat Penguasa 

Penjuru Angin yang begitu dekat dengan Chin Chung, 

tentu tak senang jika Andika terlihat berkeliaran. Mereka 

bisa saja meneruskan niat jahat Chin Chung untuk 

menghabisi Putri Ying-lien.

Sedang keras-kerasnya Andika berpikir, tiba-tiba 

Chin Liong datang tergopoh-gopoh. Badannya dibanjiri 

keringat dan napasnya memburu.

"Ada apa, Chin Liong?" tanya Andika cepat.

"Chia-ceng...."

"Kenapa dengan dia?"

"Seseorang telah membunuhnya!" lapor Chin 

liong.

Andika terkesiap. Wajahnya mengeras.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pendekar 

Slebor gusar.

Usai mengatur napas, Chin Liong mulai bercerita.

"Di pusat kota, aku dan Chia-ceng berpisah dalam 

mencari segala kebutuhan kita. Lalu kami sepakat untuk 

bertemu di satu tempat. Setelah aku kembali ke tempat 

yang telah disepakati, ternyata Chia-ceng tak kunjung 

muncul. Aku menjadi was-was. Lalu dia segera kucari ke 

sekitar pusat kota. Sampai akhirnya aku temui orang-

orang berkerumun. Ternyata, mereka mengerumuni 

tubuh Chia-ceng yang sudah menjadi mayat."

Chin Liong mengakhiri ceritanya bersama wajah 

geram. Tak cuma lelaki Tiongkok tampan itu. Andika 

•pun ikut geram atas peristiwa yang menimpa Chia-ceng 

pengikut setia kerajaan.

"Menurut beberapa orang saksi mati, 

pembunuhnya adalah seorang lelaki berkaki baja 

runcing," sambung Chin Liong menambahkan.

"Hantu Bisu Kaki Baja," simpul Andika berdesis.

"Ya! Aku pikir juga begitu," timpal Chin Liong.

"Tampaknya, anak buah Si Pembawa Badai itu 

ingin menuntut balas atas kematian Chin Chung," 

gumam Andika.

"Tapi, bagaimana dia bisa tahu kalau Chin Chung 

sudah mati. Padahal, dia terbunuh di tempat 

tersembunyi?" tanya Chin Liong, heran.

"Mungkin saja Chin Chung telah bercerita 

sebelumnya kalau hendak mengambil Pusaka Langit ke 

Goa Sejuta Lintah," duga Andika.

"Tak mungkin," kata Chin Liong, setengah 

bergumam.

"Kenapa tak mungkin?"

"Aku tahu, siapa Chin Chung. Dia orang yang 

begitu bernafsu. Dengan memberitahu tentang Goa 

Sejuta Lintah, berarti ada kemungkinan benda pusaka 

itu akan diminta Si Pembawa Badai. Dan dia tak akan 

sudi menyerahkan benda yang begitu berharga itu," 

papar Chin Liong datar.

"Lalu, apa mungkin Chin Chung masih hidup? 

Atau malah sempat kembali pada rekan-rekannya, untuk 

melaporkan tentang perbuatanmu padanya?"

"Entahlah. Tapi, aku yakin dia telah mati. Karena 

jelas sekali aku menusukkan Pedang Pusaka Langit ke 

tubuhnya."

"Kau benar-benar yakin? Apa kau telah 

memeriksa mayatnya?" tanya Andika, sedikit 

menyudutkan.

Chin Liong menggeleng ragu.

"Entahlah," desah pemuda Tiongkok itu. 

***

DELAPAN


Seseorang tampak masih terbaring tak sadarkan 

diri di bibir Goa Sejuta Lintah. Di tengah pingsannya, 

muncul seorang wanita. Dilihat dari penampilannya, 

usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik tanpa 

tata rias. Pakaiannya sederhana dengan baju kuning 

berompi kulit domba. Kesederhanaan juga terlihat pada 

tataan rambutnya. Meski hanya digelung, rambut 

panjang hitamnya tetap tampak menawan.

Pribadi gadis itu tampak tegar. Itu terlihat dari 

caranya menghadapi orang yang bermandi darah. Bagi 

banyak wanita, pemandangan itu bisa membuat amat 

gugup. Tapi, tidak bagi si Gadis. Dia malah tenang

berjongkok di dekat tubuh itu. Mimik wajahnya hanya 

berubah. sedikit, manakala nadi leher pemuda yang 

masih tak sadarkan diri diperiksanya.

Yakin kalau orang itu belum menjadi mayat, 

wanita ini segera membopongnya. Tanpa kesulitan, 

diangkatnya tubuh itu ke bahu, lalu dimasukinya mulut 

goa dengan langkah ringan.

***

Tiga hari waktu telah berlalu. Dan kini, Chin Liong 

tersadar. Matanya tampak mengerjap-ngerjap sesaat. 

Setelah pandangannya tidak lagi mengabur, tampaklah 

sebuah pemandanganyang tak asing lagi. Apalagi, 

ketika kepalanya berusaha menoleh ke satu arah. 

Didapatinya cahaya terang yang datang dari satu tungku 

raksasa.

"Kenapa aku masih berada di ruangan milik Tua 

Bangka Tangan Api ini?" bisik pemuda itu, bertanya 

pada diri sendiri.

"Kau kutemukan sedang pingsan di bibir goa," 

sahut seseorang di dekat kepalanya.

Sambil memegangi kepala yang masih berat, 

pemuda itu mendongak ke arah suara tadi. Sekarang, 

didapatinya gadis yang menolongnya di bibir Goa Sejuta 

Lintah tempo hari.

"Siapa kau?" tanya pemuda itu.

Bergegas, dia berusaha bangkit. Namun niatnya 

tertahan ketika di bagian perutnya terasa nyeri. Dengan 

seketika tangannya pun berpindah ke bagian perut. Kini, 

tangannya dapat merasakan kehalusan pembalut yang 

menutup luka tusuk di perutnya.

"Kaukah yang telah merawatku?" tanya pemuda 

itu. 

"Kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"

Gadis yang diajak bicara mendekatinya. 

Tangannya tampak membawa mangkuk keramik kecil. 

Setelah berada di sisi kirinya, tangan kanannya 

membalutkan sesuatu dari mangkuk ke wajah Chin 

Liong.

"Tak apa-apa. Ini hanya ramuan untuk mengobati 

memar-memar diwajahmu," kata wanita itu lembut ketika 

tangan pemuda ini berusaha menahan.

Pemuda bermata sipit itu akhirnya membiarkan 

saja wajahnya dijamah tangan berlumur ramuan gadis 

manis.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak," 

tegur pemuda itu beberapa saat kemudian.

"Pertanyaanyang mana? Kau begitu banyak

mengajukan padaku?" balas si Gadis seraya tersenyum 

ramah.

Pemuda itu menyeringai, menyadari 

kebodohannya.

"Siapa namamu?" ulang pemuda itu lagi.

"Apa itu perlu?"

"Aku rasa, ya."

"Tapi, aku rasa tidak."

"Nisanak..., tolonglah. Aku tak ingin memanggil

orang yang telah berjasa padaku dengan sebutan 

seenaknya," desak pemuda itu.

"Baik, kalau kau memang memaksa. Aku Mei-jen," 

aku si Gadis, akhirnya.

"Aku Chin Liong," balas pemuda yang ternyata 

Chin Liong sambil mengulurkan tangan kanan untuk 

mengajak berjabatan.

Benarkah dia Chin Liong? Lalu, siapa yang 

meninggalkan Goa Sejuta Lintah bersama Pendekar 

Slebor?

Pemuda yang tengah dirawat oleh wanita yang 

mengaku bernama Mei-jen memang Chin Liong! Dan 

memang, sesungguhnya semua terjadi berada di luar 

perkiraan Pendekar Slebor. Amat keliru jika orang yang 

jalan bersamanya dianggap Chin Liong, orang yang 

selama ini dikenalnya. Lelaki Tiongkok yang diduga Chin 

Liong, sebenarnya justru Chin Chung!

Kemiripan wajah yang sukar dibedakan, dan 

kelihatan Chin Chung bersandiwara, telah mampu 

mengecoh Andika. Berarti, sudah telah tiga kali Chin 

Chung memperdayainya begitu rupa. Dan sampai 

sejauh itu Pendekar Slebor tak juga menyadari.

Bisa ditebak, kematian Chia-ceng memang 

sebenarnya dibunuh oleh Chin Chung pula. Lelaki cebol 

itu dibokong secara licik, saat mereka melintasi hutan 

menuju pusat kota.

Tampaknya, pendekar muda tanah Jawa Dwipa 

yang amat terkenal keenceran otaknya, benar-benar 

hendak dijadikan boneka bulan-bulanan Chin Chung. 

Kercerdikan si Pendekar Slebor ternyata telah 

terombang-ambing kelicikan lawan.

Chin Chung memang memiliki rencana, setelah 

merasa yakin telah menghabisi saudara kembarnya 

sendiri. Dengan rencana liciknya, dia hendak mencari 

kepuasan mempermainkan Andika. Pendekar asing itu 

hendak dibunuhnya, persis di hadapan Putri Ying-lien!

Begitu niatnya. Di samping akan menemukan kepuasan 

tersendiri, sekaligus akan ditemukan kepuasan lain, 

manakala Putri Ying-lien terperangah mendapati 

pendekar asing andalannya mati di depan mata.

***

"Terima kasih kau menyebutkan namamu..., meski 

belum kutanyakan," sentil Mei-jen.

Dan ini membuat lelaki muda di depannya kembali 

menyeringai malu. Tapi tangan Chin Liong disambutnya.

"Ah, maaf. Aku lupa kalau tanganku masih penuh 

ramuan ini," tutur Mei-jen, menyadari telah mengotori 

tangan Chin Liong. Segera ditariknya tangan halus nan 

lembut itu.

"Tak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong...," Chin 

Liong mencium tangannya yang terkena ramuan dengan 

wajah agak meringis.".... Ramuan apa yang kau berikan 

padaku? Kenapa baunya seperti kotoran kcrbau?"

"Memangnya kau pikir ramuan apa?"

"Jadi, benar dari kotoran kerbau?" Mata Chin 

Liong lerbelalak jijik.

"Aku tak bilang begitu," jawab Mei-jen tenang.

Kaki gadis itu segera melangkah ke tempatnya 

berdiri semula, untuk meletakkan mangkuk ke satu rak 

obat-obatan.

"Ah... sykurlah," gumam Chin Liong lega. "Ng.... 

Boleh aku bertanya lagi padamu?"

Dengan agak susah payah, Chin Liong berusaha 

bangkit.

"Untuk seorang yang sudah ditolong, kau 

termasuk terlalu banyak tanya. Tapi, tak mengapa," 

sahut Mei-jen jadi menoleh. Tangannya masih sibuk 

mengatur kendi- kendi obat.

"Siapa kau sebenarnya?"

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku Mei-jen."

"Maksudku, julukanmu. Dan kenapa kau bisa 

berada di tempat terpencil ini?"

"Ini memang tempat tinggalku," sahut Mei-jen, 

ringan.

Chin Liong menggelengkan kepala.

"Jangan berbohong! Apa kau kira aku tak tahu 

kalau ini tempat Tua Bangka Tangan Api?"

"Lantas, kau pikir aku ini siapa?" Mei-jen malah 

balik menyudutkan Chin Liong. Dia pun berbalik mengha 

dap pemuda itu.

Chin Liong mengangkat bahu. Tampak wajah 

berkerut.

"Ya! Siapa kau?" tanya pemuda itu tak mengerti.

"Kau boleh percaya atau tidak. Akulah si Tua 

Bangka Tangan Api yang disebut-sebut orang itu."

Kerut di wajah Chin liong tampak makin dalam.

"Kau bisa main-main juga rupanya...," leceh Chin 

Liong tak percaya. "Yang kutahu, Tua Bangka Tangan 

Api adalah lelaki tua yang telah kutemukan hampir mati 

di sini."

"Dia pembantuku. Kasihan sekali. Padahal, dia 

begitu setia padaku."

"Aku masih belum mengerti?"

"Memang, aku tak menyalahkan orang-orang yang 

telah menyebutku seperti itu. Mungkin mereka mengira 

pembantuku itulah yang telah membuat senjata pusaka 

pesanan tokoh-tokoh persilatan," papar gadis itu enteng. 

"Selama ini, aku memang tidak mau tahu pada orang-

orang yang memesan senjata padaku. Aku hanya 

membuatnya. Sedang urusan pemesanan, kuserahkan 

pada pembantuku."

"Lalu kenapa...."

"Kenapa dia diberi embel-embel nama Tangan 

Api?" potong Mei-jen. "Ah, itu hanya ibarat. Karena 

logam-logam langka terkeras, dapat dibuat mudah. 

Maka julukan itu pun bertambah. Dan karena mereka

menyangka pembantuku yang membuat, mereka pun 

menambahkan embel-embel itu pada namanya."

"Apa benar kau...."

Tiba-tiba ucapan Chin Liong terputus. Bicara 

tentang lelaki tua itu, dia jadi teringat pada kejadian yang 

menimpanya.

Astaga! Kenapa aku jadi melupakan Chin Chung! 

Dia bisa amat berbahaya bersama pedang itu," desis 

Chin Liong dalam.

Segera pemuda itu berusaha berdiri tergesa dari 

pcinharingan kayu.

"Mau ke mana?" tanya Mei-jen. "Kau belum pulih 

benar. Tiga hari ini kau tak sadarkan diri. Baru saja 

siuman, kau sudah ingin pergi?"

"Aku harus mencegah saudara kembarku. Tentu 

dia memiliki rencana jahat pada Putri Ying-lien dan 

Andika...."

"Tidak! Tak perlu kau khawatirkan dengan pedang 

pusaka itu," tegas gadis yang sebenarnya dialah si 

Tangan Api sambil menekan bahu Chin Liong kembali 

berbaring.

"Apa kau gila?! Pedang pusaka itu mampu 

membuatnya amat sakti dan lebih sinting!" Chin Liong 

bersikeras.

"Pedang itu masih ada padaku," jegal Met jen.

"Apa?!"

"Apa kau pikir aku tak tahu riwayat benda langit 

itu? Aku juga tahu keampuhannya. Apalagi, jika telah 

dibentuk sebuah pedang. Lima ratus tahun yang lalu, 

buyutku pun pernah membentuk benda langit itu menjadi 

pedang pusaka yang gagangnya kini dipakai lagi. Dari 

beliau, cerita itu turun hingga ke aku. Dan, apa kau pikir 

aku akan membiarkan benda sakti itu jatuh ke tangan 

orang lalim?" tutur Mei-jen.

"Jadi?"

"Aku telah membuat tiruannya," aku Mei-jen. "Dan

tiruannya itu yang telah dirampas seseorang yang kau 

sebut tadi, ketika aku pergi keluar. "Aslinya tetap 

kusimpan, sampai ada orang yang berhak 

mendapatkannya."

Chin Liong terlolong tanpa kata, antara terkejut 

dan gembira. Pantas, waktu bertarung melawan Chin 

Chung, dia tidak merasakan adanya kekuatan berlipat 

pada saudara kembarnya. Kalau pun dia kalah, mungkin

hanya soal keberuntungan ada di pihak Chin Chung!

***

Sore telah menjelang. Cahaya meredup dalam 

lembayung jingga. Di langit, gumpalan-gumpalan awan 

kecil berpilin masih terlihat. Saat bumi teduh dan angin 

me- nyapukan rasa damai, Chin Liong tampak telah 

berjalan menuju Kuil Peraduan Bulan.

Di tangannya tergenggam Pedang Pusaka Langit, 

terbungkus dalam kain berwarna keemasan. Masih 

dengan jalan agak limbung, kakinya terus melangkah. 

Sehari setelah siuman, dia sudah tidak bisa bersabar 

lagi untuk segera keluar dari Goa Sejuta Lintah. Hal ini 

karena dorongan tanggung jawabnya pada nasib Putri 

Ying-lien dan sahabatnya, Andika.

Sementara si Tangan Api yang bernama asli Mei-

jen tak bisa mencegah kehendak Chin Liong. Pemuda 

itu terlalu bersikeras untuk dicegah. Dan ketika Mei-jen 

yakin kalau Chin Liong benar-benar utusan kerajaan 

untuk mengamankan Pedang Pusaka Langit, senjata itu 

pun diserahkan pada pemuda itu.

Chin Liong masih ingat saat terakhir berpisah 

dengan gadis manis itu. Entah kenapa, kala itu mata 

Mei- jen ditatapnya lekat-lekat. Dia yakin, sikap itu bukan 

sekadar ungkapan rasa terima kasihnya. Dan tindakan 

itu, membuat Mei-jen mengembangkan senyum malu 

dengan wajah bersemu merah. Dan sebagai wanita

berkepribadian tegar, sifat-sifat kewanitaannya tak 

pernah pudar. Dan dia masih mampu untuk tak tersipu-

sipu.

"Sebelum pergi, boleh aku bertanya padamu?" 

ungkap Chin Liong waktu sebelum pergi. "Kenapa gadis 

secantikmu menyepi sendiri di tempat terpencil ini?"

"Ceritanya panjang dan menyakitkan untuk 

diingat," jawab Mei-jen datar.

"Kalau aku selesai menunaikan tugas dan 

selamat, boleh kudengar ceritamu. Aku ingin berbagi 

rasa denganmu?" ucap Chin Liong.

Mei-jen tak menyahut, juga tak menggeleng atau 

mengangguk. Dibalasnya tatapan Chin Liong dengan 

sepasang mata yang bagai dua penggal bulan itu.

"Kau ingin melakukan itu, karena aku telah berjasa 

padamu?" sindir gadis itu halus.

"Tidak, bukan itu. Dan aku juga tak tahu, kenapa. 

Hanya aku ingin mengenalmu lebih dekat," sahut Chin 

Liong.

"Terima kasih.... Kau ternyata seorang yang 

penuh perhatian," puji Mei-jen tulus.

"Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi, 

bukan?" desak Chin Liong.

Mei-jen terdiam. Ditatapnya lagi pemuda tampan 

di depannya.

"Jika keinginanmu tulus, rasanya aku tidak bisa 

menolak," tutur Mei-jen akhirnya.

Chin Liong tersenyum tipis. Senyum yang jarang 

sekali tersembul di bibirnya.

'Tapi, berjanjilah padaku. Kau harus selamat dari 

tugas berat ini," pinta Mei-jen, membuat relung hati Chin 

Liong tersentuh.

Chin Liong mendekati Mei-jen. Digenggamnya ke-

dua tangan gadis itu.

"Aku berjanji. Doakanlah aku," pinta Chin Liong 

kembali.

Sampai Chin Liong hampir tiba di Kuil Peraduan 

Bulan, wajah dan pribadi Mei-jen tetap mengusik 

benaknya. Selama itu pula, dia merasakan getaran lama 

yang kembali hadir, setelah sekian lama terkubur. 

Getaran yang pernah ada ketika begitu akrab dengan 

Ying- lien.

Kini kaki pemuda itu telah memasuki pelataran

kuil. Senja saat ini makin terjatuh di tepi langit. Gelap 

mulai menyapu alam. Namun, masih ada sisa cahaya 

yang terjaga. Dan baru saja hendak memasuki pintu 

besar kuil, telinganya menangkap gerak langkah dua 

orang yang datang.

Chin Liong cepat mengurungkan niat untuk 

masuk. Dia bergerak sigap, untuk mencari tempat 

sembunyi di balik semak-semak pelataran.

Kedua orangyang datang ternyata sosok-sosok

yang amat dikenalnya. Mereka adalah Chin Chung dan 

Andika.

Tubuh Chin Liong kontan menegang. Ingin 

rasanya saat itu Chin Chung dihadangnya. Karena 

dikira, dia akan melakukan niat jahat pada Andika atau 

Chia-ceng! Tapi keinginannya segera ditekan, manakala 

melihat bagaimana Chin Chung berjalan demikian 

santai.

"Hm.... Tampaknya dia tak begitu khawatir 

kehadirannya diketahui. Lalu, kenapa dia datang?" bisik 

hati Chin Liong bcrtanya-tanya sendiri. "Apakah dia 

mulai bermain-main kucing-kucingan lagi? Ya! Pasti dia 

hendak mempcrmainkan Andika kembali, seperti saat di 

tanah Jawa Dwipa dulu!"

Chin Liong terus memperhatikan Chin Chung dan 

Andika yang terus melangkah tenang.

"Baik akan kuikuti dulu permainannya! Mungkin 

aku bisa mengikutinya hingga ke tempat Putri Ying-lien

disembunyikan," putus Chin Liong akhirnya.


SEMBILAN


Malam itu dua sosok bayangan mengendap-

endap dalam gelap. Hanya temaram cahaya rembulan 

yang membantu kedua bayangan orang itu menerabas 

onak pohon-pohon di kaki Bukit Naga sebelah timur kota 

Yingtienfu.

Mereka terus mendekati ke arah sebuah 

bangunan besar yang tersembunyi dalam lingkaran lebat 

pepohonan randu, tepat di balik bukit itu. Tak tampak 

adanya kesukaran pada perjalanan mereka. Jalan 

menanjak penuh semak dan tak jarangbatang pohon 

tumbang, dapat mudah dilalui. Keduanya seakan 

sepasang rase. Lincah dan gesit.

Sesekali dua sosok bayangan itu terlihat 

melompat ringan untuk melewati mulut jurang dalam dan 

lebar. Tanpa menghasilkan suara sedikit pun, kaki 

mereka menjejak mantap di bibir jurang, lalu 

melanjutkan langkah dengan berlari-lari kecil.

Setelah tiba di puncak Bukit Naga, mereka mulai 

menuruni semacam tebing berbatu. Sekitar dua ratus 

depa dari puncak bukit itulah terlihat bangunan besar 

yang berdiri pada kemiringan tebing.

Dari kejauhan, bangunan yang hendak disantroni 

itu tampak menjulang angker ke angkasa. Dilihat dari 

bentuknya, bangunan itu seperti sebuah benteng kuno 

yang tak digunakan lagi. Dindingnyayang hitam kehijau-

hijauan karena berlumut, terbuat dari susunan batu-batu 

cadas persegi. Pada dua sisi bangunan terdapat menara 

yang seakan hendak menggapai langit. Di sekitar 

dinding batu sepanjang kurang lebih tiga puluh tombak, 

tak satu jendela pun, kecuali satu pintu gerbang besar.

Di masing-masing menara pada sisi benteng, 

tampak dua orang sedang berjaga penuh siaga. Yang 

terlihat hanya setengah tubuh mereka, karena berdiri di 

mulut jendela pengintai, seukuran manusia yang

terdapat di sisi utara dan selatan. Sementara dua 

jendela di menara yang lain menghadap arah timur dan 

barat.

Para penjaga itu berseragam prajurit kerajaan, 

berwarna merah dengan tutup kepala dari kain berwarna 

merah pula. Memang, sebelumnya mereka adalah para 

prajurit kerajaan. Tapi kini mereka telah membelot 

Tangan mereka masing-masing tampak memegang 

tombak panjang di depan dada.

Rupanya penjaga itu tak mampu memergoki dua 

penyelusup tadi yang kelihatannya berkepandaian tinggi. 

Layaknya hantu, kedua penyusup itu tiba-tiba saja telah 

sampai di salah satu atap menara, setelah sebelumnya 

merayap tanpa suara bagai cicak pada susunan dinding 

cadas bangunan tinggi ini. Seorang dari mereka 

kemudian bergerak lincah ke arah jendela, secara 

bergelayut di tonjolan dinding menara. Bersamaan 

dengan gerak ayunan tubuhnya menuju jendela, 

ditendangnya satu penjaga.

Bruk! 

Berikutnya, satu totokan cepat membungkam 

penjaga naas itu sebelum mulutnya sempat membikin 

keributan. Sementara, penjaga yang seorang lagi pun 

menyusul menerima jatah totokan. Seperti tak pernah 

terjadi apa-apa, tubuh kedua penjaga yang telah kaku itu 

ditegakkan di ambang jendela oleh si Penyelusup.

Kini, kedua penyusup itu mulai menuruni tangga 

menara yang berliku, bersambung dengan ruang bawah 

tanah benteng kuno. Beberapa ratus tahun silam ruang 

bawah tanah ini pernah digunakan sebagai tempat para 

tahanan meringkuk.

Memang, kedua penyusup adalah Andika dan 

Chin Chung yang menyamar sebagai Chin Liong. 

Sebagai bagian dari rencana liciknya, dia pun membuat 

satu laporan palsu pada Andika dua hari yang lalu. 

Dikatakannya, ada seorang pemberontak yang

membelot membocorkan rahasia tempat penahanan 

Putri Ying-lien, dan memberitahukan padanya letak 

tempat itu. Andika memang termakan pancingan Chin 

Chung. Makanya pemuda itu segera memutuskan untuk 

mengadakan penyusupan.

Rencana lelaki licik itu tampaknya berjalan lancar. 

Tapi tanpa sepengetahuan Chin Chung, ternyata ada 

seseorang siap membongkar kedoknya mentah-mentah. 

Tentu saja, saudara kembarnya sendiri. Chin Liong! 

Sejak Andika dan Chin Chung berangkat menuju 

benteng kuno, Chin Liong menguntit terus di kejauhan. 

Pada saat yang menurutnya paling tepat, dia akan 

memperingatkan Andika, siapa sebenarnya lelaki yang 

kini bersamanya.

Sayang! Ketika baru saja hendak merayap ke atas 

menara yang digunakan Andika dan Chin Chung 

sebagai jalan masuk.

"Berhenti!"

Terdengar suara menggelegar yang mengejutkan. 

ternyata ada beberapa orang yang memergoki Chin 

Liong. Mereka bukan para penjaga yang baginya tak 

begitu berarti untuk disingkirkan, tapi justru halangan 

terberat yang mesti dihadapi! Empat Penguasa Penjuru 

Angin!

Orang yang berteriak adalah Si Pembawa Badai, 

salah satu dari orang-orang yang melihat Chin Liong 

lebih dulu. Sungguh sial bagi Chin Liong! Sungguh tak

biasanya keempat tokoh sesat kalangan atas Tiongkok 

itu mengadakan pengawasan ke sekitar benteng kuno, 

markas mereka Padahal hari-hari sebelumnya, mereka 

menyerahkan pekerjaan itu pada para anak buah.

Tanpa banyak cakap, Chin Liong melompat turun 

dari dinding benteng. Pedang Pusaka Langit yang masih 

tersimpan dalam warangka di pinggang, digenggam 

gagangnya erat-erat, siap menghadapi keadaan lebih 

buruk.

"Hey, siapa kau?! Wajahmu mirip Chin Chung. 

Tapi, pasti kau bukan dia! Ooo, aku ingat! Kau pasti 

saudara kembar Chin Chung yang tak sejalan 

dengannya. Bukan begitu?" sambut lelaki tua bertubuh 

kurus kering itu.

Chin Liong tak berniat menyahuti. Dia hanya 

mendehem kecil. Wajahnya tetap dingin, diwarnai kilat 

mata penuh siaga.

"Hm.... Tampaknya kau hendak membebaskan 

junjunganmu, Putri Ying-lien nan cantik jelita itu. Huak 

hak hak...!" Si Pembawa Badai mengalunkan tawa 

serak, diikuti Dewi Seribu Diri di sampingnya.

Sementara, dua langkah di belakang mereka 

tampak Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja 

berdiri dingin tanpa memperdengarkan tawa. Bahkan 

sekadar seringai.

Chin Liong sadar, keadaan bahaya akan 

mengancam Andika setiap saat di dalam sana. Karena, 

pendekar tanah Jawa Dwipa itu tidak tahu kalau sedang 

masuk perangkap. Maka Chin Liong tak ingin banyak 

cincong lagi. Dalam sekali gerak, tangannya sudah 

melepas Pedang Pusaka Langit dari sarungnya.

Sring...!

"Kalian tentu tak akan sudi menyingkir begitu saja. 

Sedangkan aku, tak punya waktu banyak untuk 

meladeni mulut kalian. Karena itu, sebaiknya 

pertarungan dipercepat!" tantang Chin Liong tanpa 

perubahan air muka.

Kini Pedang Pusaka Langit teracung tepat di 

depan dada Chin Liong. Sinarnya yang merah membara, 

menyapu wajah dingin Chin Liong. Sehingga, membuat 

wajah lelaki muda itu tampak begitu angker.

Sementara itu keempat calon lawan Chin Liong 

mendadak terpesona, menyaksikan keindahan pedang 

di tangan Chin Liong. Tak hanya cahaya merah bara 

memukau yang tak dimiliki pedang lain. Bentuknya pun

demikian memancing decak kagum. Gagangnya 

berbentuk naga terbang, perlambang kekuatan dan 

kekuasaan. Sepuhannya dari emas, mengesankan 

keagungan. Sedangkan bentuk batangnya memiliki 

beberapa lekukan di ujungnya bagai ekor naga.

"Apakah aku tak salah lihat? Bukankah itu Pedang 

Pusaka Langit yang menggegerkan dunia persilatan lima 

ratus tahun yang lalu?" desis Si Pembawa Badai, tak 

percaya. Mimik mukanya seperti seorang yang 

menyaksikan taman firdaus di depan mata.

Sementara itu, lain lagi sikap yang diperlihatkan 

Dewi Seribu Diri. Tiba-tiba saja, dia sesegukan bercu-

curan air mata. Sambil menyapu air mata dengan 

punggung tangan, dia berbicara seperti nenek tua yang 

terharu karena diberi sirih.

"Ooo, indah nian pedang itu. Alangkah 

bahagianya jika aku memilikmya."

Tampaknya, penyakit bawaan wanita itu mulai 

kambuh kembali.

"Pedang ini memang Pedang Pusaka Langit," ujar 

Chin Liong. "Kalian tentu tahu pula dari cerita rakyat, 

kalau pedang ini akan meningkatkan kemampuan 

seseorang berlipat ganda. Kini pedang ini ditanganku. 

Maka kuperingatkan pada kalian, agar segera 

menyingkir dari sini!"

Mendadak saja, tiada angin tiada hujan, Dewi 

Seribu Diri cekikikan meski wajahnya masih dibasahi air 

mata.

"Hik hik hik...! Apa kau sudah pikun, kalau kau 

sedang berhadapan dengan Empat Penguasa Penjuru 

Angin? Mana mungkin kami mau begitu saja diusir 

seperti anjing buduk!" umpat wanita itu dengan wajah 

keji.

"Kalau begitu, kalian harus kusingkirkan 

secepatnya!" tandas Chin Liong, tak ingin lebih banyak 

buang waktu.

Lalu dengan keyakinan dan sedikit kenekatan, 

pemuda itu meluruk ke arah keempat tokoh sesat itu. 

Padahal selama ini, dia tidak pernah sekalipun ingin 

bermimpi untuk menghadapi. Ya, bahkan sekadar 

mimpi!

"Heaaa!"

Zing...!

Di lain tempat, tepatnya di ruang bawah tanah 

benteng kuno, Andika dan Chin Chung yang mengaku 

sebagai Chin Liong, dengan mudah memberesi lima 

penjaga penjara tua tempat Putri Ying-lien disekap.

Setelah mendapat kunci, Pendekar Slebor 

bergegas membuka jeruji baja penjaga. Di situ, putri 

mahkota kerajaan itu ditemukan dalam keadaan 

menyedihkan. Wajah, tubuh, dan pakaiannya kumal. 

Wajahnya yang cantik tampak memucat. Tangannya 

yang terentang ke atas, terbelenggu rantai baja. Seluruh 

tubuhnya tampak lemah tak berdaya. Andika yakin, 

wanita itu dalam pe- ngaruh totokan.

"Putri! Kau tak apa-apa?" tanya Andika khawatir, 

sesaat setelah melewati pintu penjara. Didekatinya Putri 

Ying-lien untuk membebaskan tangannya dari belenggu 

baja.

"K.. kaukah, Andika?" tanya Putri Ying-lien, lirih.

"Ya! Ini aku," jawab Andika seraya berusaha 

memapah tubuh Putri Ying-lien yang hendak terjatuh 

ketika belenggunya terbuka.

Di belakangnya, Chin Chung yang mengendap-

endap halus, melepas pedang yang dikira Pedang 

Pusaka Langit dari belakang punggung Andika. 

Gerakannya begitu hati-hati. Sehingga telinga seorang 

pendekar yang terlatih seperti Andika, tak mau 

menangkapnya.

Agaknya, siap menjemput si Pendekar Slebor. 

Jarak yang demikian dekat, membuat Andika tak akan 

mungkin sempat lagi menghindar, jika pedang itu

lerayun cepat.

Mungkinkah nyawa Pendekar Slebor telah tiba di 

ambang maut? Ternyata di luar perhitungan Chin Chung 

sama sekali. sepasang telinga Putri Ying-lien yang 

sudah menjadi pengganti matanya, masih mampu 

menangkap desing amat halus.

"Andika! Awas di belakangmu!" sentak Putri Ying-

lien, memperingatkan.

Pada saat yang bersamaan, Chin Chung 

mengayunkan senjatanya tepat ke tengkuk Andika. 

Kalau saja yang diserang bukan Pendekar Slebor, 

seorang jago tanah Jawa Dwipa yang memiliki 

kecepatan siluman, sudah tentu pedang haus darah itu 

akan segera menemui sasaran.

Zing...!

Sekejapan sebelum mata pedang sampai di 

tubuhnya, Andika telah lebih dahulu melesat ke 

belakang. Langsung dilewatinya tubuh Chin Chung 

sambil membopong Putri Ying-lien sekaligus.

"Kau...," geram Andika, begitu kakinya mendarat. 

Kini baru disadari kalau dirinya telah termakan tipu daya 

Chin Chung.

"Hua ha ha...! Kau terkejut, Pendekar Bodoh?! 

Sekali lagi kau terkecoh, bukan? Aku memang Chin 

Chung. Terpaksa saudara kembarku kubunuh di Goa 

Sejuta Lintah karena terlalu memaksaku," sesumbar 

Chin Chung pongah.

Pendekar Slebor segera meletakkan tubuh wanita 

yang dibopongnya ke sudut penjara. Dia harus bersiap 

menerima serangan lawan, karena gelagatnya sudah

makin memburuk.

"Dan kau lihat ini, Tuan Pendekar Dungu!" Chin 

Chung mengacungkan pedang tinggi-tinggi. "Inilah 

Pedang Pusaka Langit! Berdoalah untuk mati! Karena 

dengan pedang mi, aku mungkin bisa lebih cepat 

mengirimu ke dasar neraka!"

Pendekar Slebor mengepalkan kedua tangannya 

dalam geram tak terhingga. Berbareng dengan itu, 

rahangnya mengejang dan matanya berkilat murka. Dia 

pernah merasakan, bagaimana kehebatan tenaga lawan 

yang telah diperkuat kesaktian Pusaka Langit di Danau 

Panca Warna dulu (Baca kisah Pendekar Slebor ber-

judul: "Pusaka Langit"). Kini Pendekar Slebor tak mau 

gegabah menghadapinya. Tanpa perlu menimbang lebih 

lama, segera kain pusaka yang selama ini hanya 

tersampir di pundaknya dilepas.

"Percayalah, Manusia Kentut. Kau akan 

membayar semua nyawa orang-orang yang dekat 

denganku," serapah Andika seperti menggeram. Sudut 

bibirnya terangkat, menandakan dirinya sedang berada 

di tepi batas kemarahan.

"Mimpi! Kau hanya bermimpi, Andika! Kau tak 

akan mungkin mengalahkanku. Hua ha ha... Apa kau 

pi...."

"Diam!" bentak Andika menggelegar.

Seketika Chin Chung tersentak kaget, hingga 

kata- katanya terputus. "

Kenapa kau tak langsung membuktikannya? Apa 

kau takut dengansenjataku? He he he...," kata Andika 

sambil menyeringai. "Asal kau tahu saja. Kain ku ini, biar 

butut bisa dipakai membuntal manusia kentut macam 

kau! Kau boleh menyebutnya buntalan kentut, tapi akan 

membuatmu terkentut-kentut. Ya! Meski pun kau 

berusaha takkentut. Tapi, kau pastiakan kentut... 

Kentut!"

Wajah Chin Chung merah padam. Tak ada 

manusia waras yang sanggup menerima celaan 

keterlaluan Pendekar Slebor. Dialah kini yang justru 

nyaris meledak murka.

"Mampus kau, Pendekar Dungu!"

Berbarengan dengan umpatan, disambarnya 

Pendekar Slebor dengan sapuan pendang ke batang

leher.

Zing...!

"Wait! Hia-haaa! Kau mau membabat setan 

bingung?" ejek Pendekar Slebor, setelah mampu 

menghindari tebasan dengan menggeser kaki dua 

langkah. "Aku di sini, nih!"

"Haiiih!"

Chin Chung kembali menggempur telengas. 

Serangkai sabetan beruntunnya diarahkan ke beberapa 

bagian tubuh Pendekar Slebor.

Seperti tak sudi diserang terus, Andika mulai 

melakukan elakan yang diimbangi serangan balasan. 

Sewaktu pedang itu menusuk lurus ke ulu hatinya, 

tangan kanan yang memegang kain pusaka bergerak, 

membuat satu lecutan ke depan.

Cret! Trang!

Saat itu juga, pedang yang dikira Pedang Pusaka 

Langit terpatah menjadi tiga bagian, tertampar kain 

Pusaka Pendekar Slebor. Tak diragukan lagi. Andika 

telah menyalurkan sebagian inti kekuatan warisan 

Pendekar Lembah Kutukan pada senjata yang jarang 

digunakannya. Terbukti, seketika tercipta percikan 

bunga api, manakala kain pusakanya menghancurkan 

senjata lawan.

Chin Chung bukan main terperangah mendapati 

pedang di tangannya tak utuh lagi. Mana mungkin bisa? 

Bukankah yang digenggamnya sekarang adalah pedang 

pusaka terbuat dari batu langit yang keampuhannya tak 

diragukan?

Dan yang terkejut ternyata bukan hanya dia. 

Andika pun sampai terbelalak tak percaya dengan 

penglihatannya sendiri. Mulutnya bahkan terbuka lebar 

kebodoh-bodohan. Sesaat kemudian, baru disadari 

kalau pedang di tangan lawan bukanlah Pedang Pusaka 

Langit.

"Hia hik hik..," Andika terkikik geli ingin mengejek.

"Kau salah culik pedang Chin Chung!"

Pendekar Slebor sampai memegangi perutnya 

karena-menahan tawa.

"Melihat cahaya merah baranya tadi, aku sempat 

yakin, lho! Tapi nyatanya... huaaa ha ha... nguk!" Andika 

memajukan bibirnya. "Pedangmu hanya dari tulang 

monyet! Nang, ning, ning, nang, ning, kung...."

Andika makin urakan. Tangannya malah 

melenggak-lenggok seperti menari ketoprak.

"Apa?! Kau akan berkicau kalau bisa 

membunuhku dengan senjata bohongan itu?" lanjut 

Pendekar Slebor.

Napas Chin Chung turun naik memburu. 

Benaknya terasa menjadi kacau balau tak karuan. 

Terbang sudah harapannya dapat menghabisi lawan 

setangguh Pendekar Slebor!

"Sudah...! Lebih baik, lari saja sana. Hus! Hus! 

Hus!" leceh Andika.

"Aku bukan pengecut!" bentak Chin Chung gusar. 

Dibantingnya gagang pedang dari tangan. "Telanjur ba-

sah! Aku akan tetap mengadu jiwa denganmu!"

Setelah itu, Chin Chung menggenjot tubuhnya 

untuk keluar dari tempat ini.

"Lho-lho-lho? Katanya mau mengadu jiwa?"

"Aku tunggu di luar!" teriak Chin Chung, membuat 

keputusan. Disadari, bertempur dengan pendekar ka-

wakan tanah Jawa Dwipa seperti Andika di ruang sempit 

seperti itu, sungguh amat tak menguntungkan.

Sementara itu, Andika segera menjemput tubuh 

Putri Ying-lien. Selanjutnya disuruhnya Chin Chung 

keluar.

***

Sementara di tempat lain, Chin Liong tengah 

berada di titik tergawat menghadapi Empat Penguasa

Penjuru Angin. Sebagai orang persilatan, Chin Liong 

masih tergolong hijau. Sehingga kepandaiannya masih 

jauh tertinggal dalam pengalaman bertarung. Meski di 

tangannya kini tergenggam senjata sakti yang mampu 

melipatgandakan kekuatan dan kecepatan seperti 

keperkasaan seratus gajah dan kelincah walet muda, 

tetap saja Chin Liong terdesak.

Dalam empat puluh jurus saja, pemuda itu mulai 

tertekan oleh barisan tempur tak terkalahkan milik 

Empat Penguasa Penjuru Angin.

Sampai suatu ketika, sebuah sapuan angin puting 

beliung dari kesaktian pamungkas Si Pembawa Badai, 

meruntuhkan benteng pertahanan Chin Liong. Tubuhnya 

jadi terhuyung limbung ke sisi kanan. Tepat pada saat 

itu, Dewi Seribu Diri menyabetkan selendangnya yang 

disusul oleh hantaman buntalan Hantu Bisu Kaki Baja 

yang demikian cepat.

Cletar!

Bugkh!

"Akh!"

Dua deraan senjata lawan pada bahu kanan dan 

punggung, membuat Chin Liong terlempar ke tanah 

beberapa tombak disertai muntahan darah segar. Lebih 

dari itu, Pedang Pusaka Langit yang jadi andalannya 

terlempar tinggi ke udara.

Pada saat yang bersamaan, Chin Chung tiba. 

Tubuhnya langsung melayang tinggi, menyambar 

pedang sakti itu.

Tep!

"Hua ha ha...! Inilah pedang yang kudambakan!" 

seru Chin Chung dengan kegembiraan membludak, 

setelah kakinya menjejak tanah. "Sebelum mampus, kau 

boleh berkoar sepuas-puasmu, Pendekar Slebor!"

Sementara itu Andika yang baru saja meletakkan 

tubuh Putri Ying-lien di tempat aman, menatap tajam ke 

arah Chin Chung.

"Kau harus memastikan kalau pemuda asing itu 

mati, Chin Chung! Karena, kami akan membantumu!" 

timpal Si Pembawa Badai yang berdiri lima langkah di 

sampingnya. "Aku ingin, kita menumpas semua 

penghalang yang mencoba usil terhadap rencana kita 

menguasai negeri ini!"

Tubuh Andika seketika menegang hebat. Bukan 

saja harus berhadapan dengan orang yang memiliki 

Pedang Pusaka Langit, tapi Pendekar Slebor juga harus 

berhadapan dengan empat tokoh sesat tersakti di 

daratan Tiongkok. Ini benar-benar sebuah pertarungan 

habis-habisan!

"Andika.... Jangan menyerah! Bantulah kami. 

Hanya kau satu-satunya yang kami harapkan!" seru 

Chin Liong terbata-bata sambil memegangi dadanya. 

Ksatria Tiongkok itu tampak berusaha merangkak ke 

arah An¬dika.

"Kau masih hidup, Chin Liong?" tanya Andika 

gembira mengetahui kawannya ternyata masih 

bernyawa. "Apa kau baik-baik saja?"

"Jangan pikirkan aku, Andika Hadapi saja 

mereka!"

Baru saja Chin Liong menyelesaikan kalimatnya, 

Hantu Bisu Kaki Baja melepaskan senjata rahasia 

berbentuk kepingan uang logam yang diambil dari 

buntalannya.

Wes, wes, wes...!

Bles, bles, bles. J

"Aaakh!" Chin Liong menjerit sekuat-kuatnya. Di 

telinga siapa pun, jeritan tadi tertangkap laksana 

dentang kematian.

Mata Andika kontan terbelalak melihat nasib yang 

diterima Chin Liong. Giginya bergemelutuk keras. 

Wajahnya mendadak terbakar matang. Seluruh 

tubuhnya bergetar hebat. Kemarahan benar-benar telah 

tiba di puncaknya. Di depan mata kepala sendiri,

sahabatnya telah dihabisi secara keji!

"Chin Liong...," teriak Pendekar Slebor sejadi-

jadinya, bersama seluruh otot di tubuhnya yang 

meregang. "Akan kuhabisi kalian semuaaa!"

Amukan Pendekar Slebor tak terbendung lagi. 

Lalu....

"Hiaaah!"

Pendekar Slebor langsung meluruk, melabrak 

Hantu Bisu Kaki Baja sebagai orang yang mula-mula 

akan dimusnahkannya. Seluruh kesaktian yang 

terpendam dalam tubuhnya kini membuncah keluar, 

membentuk cahaya keperakan menyelimuti tubuh. 

Seketika jurus pamungkasnya langsung dikerahkan. 

Suatu jurus yang pernah diciptakan di Lembah Kutukan, 

'MemapakPetir Membabibuta'.

Melihat gelagat yang tak baik, empat tokoh sesat 

yang tergabung dalam Empat Penguasa Penjuru Angin 

cepat membentuk barisan tempur andalan. Dengan 

barisan ini, mereka memang masih bisa menyelamatkan 

nyawa Hantu Bisu Kaki Baja. Begitu Pendekar Slebor 

mendekat, kawan-kawan Hantu Bisu Kaki Baja langsung 

menyambar tubuhnya. Kemudian, mereka segera 

mengurung Andika yang telah mendarat kembali di 

tanah setelah berputaran beberapa kali.

Namun begitu, tak luput senjata lelaki buntung itu 

terhajar tinju maut Andika. Buntalan berisi pasir baja 

yang langka itu berhamburan, bagai semburan gunung 

api. Puncak kekuatan Pendekar Slebor rupanya telah 

membuat butir-butir pasir itu menjadi panas membara.

"Chin Chung, bantu kami!"

Tindakan Andika sungguh membuat terperangah 

semua orang. Kenyataan itulah yang mendesak Si 

Pembawa Badai untuk berteriak pada Chin Chung.

"Hiaaa...!"

Dengan satu teriakan membanaha, Chin Chung 

melompat ke tengah pertempuran. Pedang Pusaka

Langit langsung dibabatkan ke tubuh Pendekar Slebor. 

Kesaktian yang terkandung dalam senjata itu 

menyebabkan pedang di tangannya memancarkan 

cahaya merah bara yang lebih terang dari sebelumnya. 

Dan gesekan pedang dengan udara, menghasilkan 

bunga api yang terpercik ke segala arah.

Zing...!

Sayang yang dirangsek Chin Chung bukan anak 

kemarin sore. Apalagi seluruh kesaktian Pendekar 

Slebor keluar sampai pada puncaknya. Satu geseran 

kecil tubuhnya saja, telah cukup menyelamatkan Andika 

dari tebasan kejam Chin Chung.

Melihat serangannya gagal, Chin Chung langsung 

mencecar Pendekar Slebor dengan gempuran beruntun.

"Hiah!"

Zing... wesss... zing... zing!

Berlipat gandanya kecepatan lelaki Tiongkok itu, 

memaksa Pendekar Slebor berkelit semampunya. Andai 

saja Chin Chung tak memegang Pedang Pusaka Langit, 

gempuran seperti itu sudah pasti dapat dimentahkan 

kecepatan sakti warisan Lembah Kutukan milik 

Pendekar Slebor. Tapi, persoalan jadi lain jika ada 

pedang itu masih di tangannya.

Empat sabetan membentuk putaran ke bawah di 

sekujur tubuh dapat dihindari Andika. Namun pada 

sabetan kelima yang begitu tipis jaraknya, tak bisa lagi 

die- lakkan. Sehingga...

Sret!

"Aaakh...!"

Bahu kiri Pendekar Slebor jadi terkoyak dalam 

diiringi keluhan tertahan. Tampak bagian kulit luarnya

menghangus. Rasa sakit yang dideritanya lebih hebat 

daripada sambaran petir yang pernah menggores 

kulitnya, kala menjalani penyempurnaan di Lembah 

Kutukan. Dan ini sangat mengganggu pusat 

perhatiannya.

Pada saat yang tak menguntungkan, mendadak 

Pencuri Jantung memanfaatkannya. Satu sambaran jari 

meluncur ke dada kiri Pendekar Slebor. Seperti 

julukannya, tampaknya jantung Andika hendak 

didongkel keluar.

Bes!

Kalau saja selubung tenaga sakti di sekitar tubuh 

Pendekar Slebor tidak lebih kuat daripada tohokan jari 

Pencuri Jantung, entah bagaimana nasib yang akan 

dialaminya. Tapi, bukan berarti Andika tak mengalami 

luka. Tulang rusuk di dada kirinya saat itu terasa bagai 

diremukkan dari dalam.

"Huaaa!"

Pendekar muda itu menjerit keras-keras, sehingga 

bumi bagai bergetar. Lalu tubuhnya terpuruk menimpa 

bumi, menimbulkan suara berdebam.

Selagi Pendekar Slebor bergulingan kesakitan di 

tanah, Dewi Seribu Diri melepas sapuan selendangnya 

ke perut Andika.

Cletar!

Tubuh Pendekar Slebor kontan makin menggila 

bergulingan di tanah. Kalau saja kekerasan hatinya 

untuk membantu nasib negeri Tiongkok tidak ada, sudah 

semenjak tadi kesadarannya hilang.

Sementara itu, langit di atas kancah pertarungan 

mulai menebal. Arakan awan hitam bergerombol, 

memekati angkasa. Musim memang baru saja berganti.

Hujan per lama akan segera membasahi bumi. Itu 

sudah dapat dipastikan, karena tak lama kemudian 

salakan guntur terdengar mengekori kerjap kilat di 

udara. Dan kini rintik-rintik air pun mulai berlomba jatuh.

Di antara serbuan bulir-bulir air hujan, Pendekar 

Slebor menerima serbuan yang lain. Suatu serbuan 

telengas yang hendak merancah tubuhnya. Bagai 

kawanan serigala lapar tak memiliki belas kasihan, 

kelima lawannya melancarkan hantaman demi

hantaman secara bergantian.

Andika terpaksa berjuang di batas hidup dan mati 

dalam gelombang rasa sakit luar biasa. Penderitaan itu 

menyedot kesadarannya sampai pada titik paling bawah. 

Nyaris Pendekar Slebor tak sadarkan diri, sampai suatu 

ketika....

Jlegarrr!

Mendadak satu kilatan lidah petir menyergap 

tubuh Pendekar Slebor. Tenaga geledek raksasa itu 

demikian menyilaukan, memaksa kelima lawannya 

terhenyak beberapa tindak ke belakang, seraya 

menghindari terpaan cahaya petir yang kuat, ke mata 

masing-masing.

Saat itu, mereka semua sudah mengira kalau 

Pendekar Slebor, penghalang terberat ini telah tutup 

usia. Mana ada manusia yang bisa bertahan hidup 

diganyang petir? Nyatanya mereka salah duka, karena 

memang sama sekali tak pernah tahu kalau dalam 

seluruh jaringan tubuh Andika tersimpan kekuatan 

mukjizat dari buah langka yang pernah dimakannya di 

Lembah Kutukan. Mukjizat buah itu mampu menyerap 

berjuta-juta kekuatan tenaga geledek. 

Jauh di luar keyakinan mereka, tubuh pendekar 

muda itu tiba-tiba meregang bersama sinar menyilaukan 

di sekujur tubuhnya. Dari rebahannya, Andika segera 

bangkit bagai hendak meledak.

Seketika, Empat Penguasa Penjuru Angin takjub 

luar biasa, menyaksikan peristiwa yang di luar 

jangkauan akal itu. Maka keempatnya terbelalak lebar-

lebar. Seluruh keberingasan mereka mendadak terbang 

entah ke mana.

Tubuh Pendekar Slebor kini makin bergetar hebat. 

Ketika serangkum petir menyambar tubuhnya kembali, 

terdengar erangan tinggi, seakan hendak membelah 

langit. Kemudian....

Crash!

Dari kedua telapak tangan Pendekar Slebor 

mendadak membersit larikan menyilaukan sebagai 

pelepas tenaga petir yang telah terkumpul di tubuhnya. 

Tak ada sekerdipan mata, Hantu Bisu Kaki Baja dan 

Pencuri Jantung tersambar cahaya yang tak sempat 

dielakkan itu. Tubuh mereka langsung membersit sinar 

terang. Setelah sinar itu menghilang, tubuh mereka pun 

tak berbentuk lagi. Kecuali, tumpukan abu hitam yang 

berhamburan tertimpa rintik hujan.

Sedangkan Chin Chung hanya bisa menahan 

napas. Kerongkongannya mendadak tersedak. Begitu 

pula Dewi Seribu Diri dan Si Pembawa Badai. 

Bagaimana mungkin lawan bisa melakukannya?

Sebelum benak mereka mampu menjawab 

kejadian aneh yang baru seumur hidup disaksikan, dua 

larik sinar kembali membersit dari telapak tangan 

Pendekar Slebor. Kini, giliran dua anggota Empat 

Penguasa Penjuru Angin yang termakan kekuatan alam 

itu.

Jlegar! Jlcgar!

' Aaa.... Aaakh...!"

Terdengar dua jeritan menyayat, begitu sinar putih 

menghantam jubah Si Pembawa Badai dan Dewi Seribu 

Diri. Kedua tokoh sesat itu kontan terjengkang dengan 

tubuh hangus jadi arang.

Chin Chung makin membelalak. Seluruh tubuhnya 

jadi kaku. Dia benar-bena terbelenggu keterpesonaan 

dan kebingungan yang berbaur menjadi satu.

Glarrr...!

Sekali lagi petir menyalak. Kini tubuh Andika 

kembali menjadi sasaran.

Glar.... Glarrr...!

Sekejapan saja terlepas kembali dua larik sinar 

dari telapak tangan Pendekar Slebor. Sasarannya kini 

tubuh Chin Chung.

Untung saja Chin Chung memegang Pedang

Pusaka Langit di depan tubuhnya. Karena secara 

kebetulan, larikan sinar tadi pun menghantam pedang di 

tangannya. Seketika satu kerjapan cahaya menyilaukan 

tergipta, membuat tubuh Chin Chung terguncang hebat.

Mendapati dirinya masih dalam keadaan utuh, 

Chin Chung segera menyadari kalau pedang di 

tangannya telah mampu menyedot kekuatan cahaya 

yang hendak menghanguskan. Merasa mendapat 

harapan baru, cepat Pedang Pusaka Langit diputar ke 

sekitar tubuhnya.

Glarrr.... Glarrr...!

Baru satu putaran, tangan Pendekar Slebor 

kembali melepas dua larik sinar. Begitu cepatnya, 

sehingga langsung melabrak Chin Chung.

"Aaa...!" 

Naas bagi Chin Chung. Rupanya, gerakannya 

telah menjadi satu kesalahan paling parah. Pada saat 

pedang itu berada di bawah, sinar petir telah lebih dulu 

sampai di bagian atas tubuhnya. Maka tubuhnya pun, 

seperti rekan-rekannya yang lain, hangus menjadi debu 

hitam yang tercabik.

Bumi menjadi tenang, kecuali deru angin dan 

tangisan hujan mengisi alam. Pendekar Slebor berdiri 

bagai patung tak bernyawa, dengan pandangan 

menyapu ke arah mayat lawan-lawannya. Seluruh 

pakaiannya sudah tak berbentuk lagi. Sementara, air 

hujan meluncur perlahan di kulit wajahnya.

Bumi makin bisu. Hujan makin menyapu basah 

seluruh permukaan tanah, ketika Andika menghampiri 

tubuh Putri Ying-lien.

Terdengar keluh panjang wanita cantik itu, ma

nakala Andika membebaskan totokannya. Agar 

tubuhnya lebih segar, pendekar muda ahli waris 

Pendekar Lembah Kutukan ini menyalurkan sisa hawa 

murni ke bagian punggung Putri Ying-lien.

"Bagaimana keadaan Chin Liong?" tanya Putri

Ying-lien khawatir, setelah mendapat penyaluran hawa 

murni.

Di depannya Andika menggeleng lamban. "Dia tak 

tertolong lagi...," jawab Pendekar Slebor putus asa.

"Kau yakin?"

Andika menatap manik-manik mata Putri Ying-

lien. Jelas sekali kalau wanita itu meminta secara tak 

langsung untuk meyakinkan keadaan Chin Liong. 

Memang. Sampai saat ini, Andika belum sempat 

memeriksa keadaan Chin Liong. Dia hanya berpikir, 

pemuda ksatria itu telah kehilangan nyawa.

Sebelum Andika bergegas bangkit untuk 

menghampiri Chin Liong, sepuluh depa di belakangnya 

terdengar erangan. Ternyata erangan itu keluar dari 

mulut penuh darah Chin Liong. Pemuda gagah itu 

berjalan menyeret langkah, tak mau menyerah dengan 

keadaan dirinya yang sudah begitu memprihatinkan. Di 

tangannya kini tergenggam lemah Pedang Pusaka 

Langit.

"Chin Liong...," sebut Putri Ying-lien, seraya 

menghambur ke arahnya. Dipapahnya lelaki 

kepercayaan yang pernah mencintainya.

"Tuan Putri. Kuserahkan Pedang Pusaka Langit ini 

kepadamu," kata Chin Liong terseret-seret. 

"Sekarang, tugasku telah selesai, bukan?"

Putri Ying-lien menerima pedang pusaka itu. 

Bibirnya terukir sebaris senyum lega.

"Kenapa kau berkata begitu?" tanya wanita itu.

"Karena aku ingin menepati janji dengan 

seseorang...," jelas Chin Liong.

"Seorang wanita?" tukas wanita ini, menggoda.

"Masa' nenek-nenek!" sela Andika.

Kata-kata Pendekar Slebor membuat Putri Ying-

lien tertawa renyah. Sedangkan Chin Liong hanya bisa 

menyeringai kecil.



                           SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar