..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PENDEKAR WANITA TANAH BUANGAN

Pendekar Wanita Tanah Buangan

 

PENDEKAR WANITA TANAH BUANGAN

oleh Pijar El

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Pijar El

Serial Pendekar Slebor dalam episode

Pendekar Wanita Tanah Buangan


SATU


Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari

kehidupan manusia. Sulit dicapai, karena dibentengi

pegunungan karang terjal di sebelah utara yang

membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan

belantara berlumpur pasir yang dalam, dari selatan hingga

timur.

Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya

binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati

untuk dijadikan tempat tinggal. Meski begitu, tetap saja

ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun sejak dua

puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya

menempati. Semenjak mulai membangun kehidupan di

sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah Buangan.

Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini

tampak sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Matahari

telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya dedaunan

hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar,

dan menerangi semacam karang datar c ukup luas tempat

mereka berlatih.

Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan

cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas

lutut. Tubuhnya yang sintal kuning langsat, terbungkus

pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum

semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung

bangir. Di atas bibirnya yang merah merekah, terdapat tahi

lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya. Kendati

demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit

judes.

Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat

penuh gelora di bawah siraman sinar mentari hangat,

seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak

begitu jauh. Walaupun asianya sudah tujuh puluhan, tapi

wajahnya masih tergolong muda. Kalau diperhatikan,

mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga

puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama


sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya

pada sinar mata. Wanitayang lebih tua tampak lebih

tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping

mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah

dengan sabuk kain pada bagian pinggang. Rambut yang

hitam digelung tanggung di bawah leher. "Hiaaa!"

Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang.

Begitu menggebu seakan siap mcrobek langit. Di bawah

pcngawasan wanita tua sckaligus guru tunggalnya yang

duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu menusuk

udara dengan senjata di tangan kanan. Sekejap itu pula

tercipta desis keras mcmbahana, pertanda kalau tenaga

dalam gadis ini sudah mencapai tingkat tinggi. Angin

pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding

cadas. Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan.

membentuk lobang besar yang dalam.

Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil

angin pukulan perempuan muda yang tampak lemah

gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang

hanya berupa busur kayu. Tampak rapuh, namun bisa

begitu berbahaya di tangannya.

"Cukup, Anakku!" seru wanita tua itu. yang ter-nyata

ibu dari Anggraini. Dan di dalam rimba persilatan dia

dikenal sebagai Kupu-kupu Merah. "Kulihat pukulan

'Kekuatan Kembar'-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal

mencari tahu, apakah inti pukulanmu sudah sempurna

pula."

Kupu-kupu Merah segera bangkit dari bersilanya. Lalu

dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat

wanita awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati-

hati, tangan kanannya dijulurkan ke bagian dalam lobang.

Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat.

Sepcrtinya dia baru saja mcrasakan sengatan halilinlar.

Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini, "Anggraini!

Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu

pukulan itu, Anakku!" seru perempuan tua itu, girang.

Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan

tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri.

"Apa kau tak mendengarku? Kau berhasil, Anakku!

Berhasil!"

Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah

Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih

terpana dengan rangkulan kelewat hangat. Sehingga

menyebabkan tubuh Anggraini sedikit terguncang-guncang.

"Ibu tak sedang menghiburku, bukan?" tanya

Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya

barusan.

Tingkat puncak ilmu pukulan 'Kekuatan Kem-bar'

memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin

didapatkan oleh seorang wanita seperti Anggraini. Bahkan

ibunya sendiri sebagai guru tung-galnya tak bisa mencapai

taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya

kalau kini ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah

berhasil diraihnya?

"Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu

memang tcrjadi. Selama beberapa keturunan, tak pernah

ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu. Baik

diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru

yang menciptakan ilmu pukulan itu...," papar Kupu-kupu

Merah bangga tanpa mclepaskan rangkulan.

"Tapi, Bu...," Anggraini coba membantah.

"Tak ada lapi-tapian! Kau telah berhasil, Anakku! Aku

patut bangga padamu. Juga kakekmu, ya juga buyut guru,"

sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini,

untuk meninggalkan tempat ini. "Kita harus merayakan

keberhasilan ini!" tambahnya sambil mencubit pipi Angraini

yang bersemu merah.

Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang

menjadi korban pukulan pamungkas Anggraini tadi

mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan-

bongkahan batu mulai berhamburan ja-iuh. Lalu retakan-

retakan besar tercipta, menyus ul sebuah suara desisan

amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung

menjadi satu, mengiringi merekahnya bagian datar bukit

karang di dekat lobang pukulan Anggraini

***

"Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar'. Anggraini," kata Kupu-kupu Merah

membuka percakapan ketika mereka sudah berada dalam

gubuk.

"Apa, Bu?" tanya Anggraini meminta jawaban.

Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam,

seperti mengingat-ingat sesuatu yang terkubur begitu lama

dalam benaknya.

"Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu

pernah menyebutkan satu pesan yang datang secara

turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu

memiliki suatu 'kelebihan yang tak pernah terbayangkan

oleh pemiliknya' jika sudah mencapai taraf puncak. Karena

kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah sepantasnya

kau mengetahui," papar Kupu-kupu Merah.

"Kelebihan apa kira-kira, Bu?"

Kupu-kupu Merah menggeleng.

"Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga,"

jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya. "Tapi

kau akan segera mengetahuinya nanti. Bersabarlah...."

Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Di-

hampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya

sebuah peti kecil yang terkunci rapat.

"Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu

tentang suatu hal," ujar wanita tua ini seraya membawa

peti tadi ke dekat Anggraini.

Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan

Anggraini yang tetap duduk bersimpuh. Lalu dengan

sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu.

Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti di

dalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak

berbentuk kepala rajawali. Kupu-kupu Merah

mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di

pangkuan Anggraini.

"Apa maksud Ibu dengan semua ini?" tanya Anggraini

agak terdengar lirih.

Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud

ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar

mengungkap ketidak setujuannya.

"Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu,

Anakku...."

"Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda

ini?" selak Anggraini, menyampaikan dugaan kuatnya.

Kupu-kupu Merah mengangguk Iamat. Sebenarnya

bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu.

Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa

dihindari setiap orang. Sudah waktunya bagi Anggraini

untuk merambah dunia persilatan, mengamalkan seluruh

kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang

banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan

terba-ik bagi anak tunggalnya.

"Aku tak mau berpisah dari Ibu," gumam Anggraini

berat.

"Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah

dari orang-orang yang dicintai? Aku pun sesungguhnya

berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau harus

menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di

tempat terpencil ini. Banyak hal menunggumu di luar sana.

Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak

pengalaman yang akan memperkaya dirimu agar kau bisa

memahami apa arti hidup ini."

Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi

trenyuh. Dengan penuh kasih, dirangkulnya gadis ini erat-

erat.

"Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku, Anakku.

Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya

karena aku tak ada...," tutur wanita tua itu arif.

"Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya

takut tidak akan bertemu lagi denganmu...," keluh

Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil.

"Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis

rapuh. Kau tak mau mengecewakan ibumu, bukan?"

Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu

Merah.

"Nah! Kalau begitu, tegakkan kepala dan man-tapkan

tekad. Kau harus jadi gadis berjiwa karang!" ujar sang ibu

memberi kekuatan seraya melepas pelukan.

Sementara Anggraini menyeka air mata yang

melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam

menunggu. Setelah itu, dia mulai berbicara kembali.

"Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu.

Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan?

Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda-

benda ini, carilah keterangan tentang ayahmu di luar sana.

Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah

dengan hati lapang...."

"Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang

ayah padaku?" cetus Anggraini.

"Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan lahu,

kenapa aku berkata seperti itu. Hanya, aku hanya bisa

mengatakan kalau ayahmu sangat sayang padamu...,"

lanjut Kupu-kupu Merah dengan s uara melemah.

Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan

Anggraini. "Bawalah benda ini. Sekali lagi kukatakan.

dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu."

Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya

dengan garis-garis bening di mata.

***

DUA


Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu

telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa

latihan bersama sang ibu. Untuk yang terakhir kalinya,

dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan bertahun-

tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan.

Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah

menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri

dataran cadas yang membentang di balik bongkahan

karang raksasa. Ketika tiba di pelataran latihan alam itu,

Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut dalam

keadaan porak poranda. Ba-tu-batu besar berserakan tak

menentu. Dinding cadas dilantak retakan-retakan besar.

"Mungkinkah ada gempa?" bisik gadis itu.

Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin

menciptakan lobang seperti galian sumur dengan ga-ris

lingkaran yang begitu bulat, seperti dilihatnya pada

pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding cadas

yang terkena pukulannya beberapa hari lalu.

"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Anggraini kembali.

Saat selanjutnya, naluri gadis ini mcmperingati.

Bahaya besar akan dalang! Sekilas dari peringatan

nalurinya, terdengar sebentuk desisan mengerikan yang

demikian santer....

"Zzz...!"

Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya

berbalik ke arah suara tadi. Matanya tiba-tiba mcmbesar,

bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat

manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu

yang 'tak pernah terbayangkan!.

***

Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan

mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam

benak. Persis keadaan Anggraini saat ini.

Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular

raksasa! Besar tubuhnya dua kali ukuran kerbau dewasa.

Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak! Sisiknya

kasar bagai serpihan karang, berwarna hitam keperakan

serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya saja bebas

dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas,

kepala ular raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada

bagian telinganya terdapat sebentuk sirip tajam. Mulutnya

pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah

tua.

Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat

hendak melepas anaknya dua hari lalu, bahwa pencapaian

tingkat pamungkas ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' yang

dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak

pernah terbayangkan! Ular raksasa itu memang muncul,

karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan milik

Anggraini.

Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia

ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah

mengusik tidurnya dalam perut bumi setelah seratus lima

puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini

menciptakan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar', si ular

raksasa pun tiba-tiba muncul di luar perhitungannya.

Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu

terkejut, buyut Anggraini melepas pukulan ciptaannya ke

tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi, terjadilah

pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda.

Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan.

Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki

sakti buyut Anggraini.

Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang

kembali ke dalam perut bumi. Bersemadi kembali seperti

seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang sanggup

mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar' yang sampai padanya jauh di bawah

bumi.

Jika begitu, mungkin si ular raksasa akan segera jinak

pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu pukulan

'Kekuatan Kembar' seperti buyut gurunya. Kemungkinan

lain pun bisa saja terjadi. Biar bagaimanapun, hewan

tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka, sehingga

mampu membedakan sang tuan atau bukan.

Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai

merayap menuju Anggraini. Gesekan kulitnya yang tebal

dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras. Mulut

bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya

terjulur keluar seperti hendak langsung menyambar tubuh

Anggraini, lalu menyeretnya mas uk ke dalam mulut

sebesar goa itu.

"Zzz! Zzz...!"

"Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?" gumam Anggraini

nyaris mendesis karena begitu bergidik.

Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut-

larut, kalau tidak ingin menjadi sasaran empuk si ular

raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang dengan

ganas.

Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk.

Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar,

memperlihatkan rongganya yang berlendir.

Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke

udara. Tindakan itu cukup mampu menyelamatkan dirinya.

Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian

jengkal di bawah kakinya.

Luputnya serangan pertama. kembali datang se-

rangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan

ekornya pun menyabel deras kedepan. menyerbu tubuh

Anggraini di udara.

Wuk!

"Aaaih!"

Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah

lumbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi,

Anggraini membuat putaran darurat dengan menggulung

tubuhnya.

Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini

dapat dilumpuhkan. Untuk kali ini, Anggraini tak puas

hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus

membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu,

hanya ada dua pilihan bagi gadis itu. Membunuh atau

dibunuh!

"Hiaaa!"

Srat-wut!

Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak

tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan.

Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang

kepala si ular raksasa.

Prak!

Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa

telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau

tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga

dalam, nyatanya si ular raksasa tak mengalami akibat yang

berarti.

Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu mem-

balikkan kepalanya ke arah Anggraini. Seolah-olah pukulan

tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya.

Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali

gadis dari Tanah Buangan.

"Tuhan.... Apakah aku benar-benar mampu

menghadapi binatang mengerikan ini?" keluh Anggraini,

setelah mencoba membuat jarak yang cukup aman dari

lawan anehnya.

Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu

mulai lagi mematuk deras. Karena begitu besar,

patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian

kalinya, Anggraini berkelit jauh-jauh.

Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya

dilandasi kemarahan ular raksasa atas tindakan Anggraini

yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan

begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda.

Akibatnya, angin deras yang tercipta pun kian besar.

Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala,

tak urung angin hasil gerakan buas si ular raksasa

menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat

kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan

itu melepas lecutan secepat kilat.

Wuk! Des!

Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang,

seperti sebongkah batu yang dilemparkan sepenuh tenaga!

Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga

tubuhnya akan remuk-redam. Atau, paling tidak akan

kehilangan kesadarannya.

Untunglah hal itu tidak terjadi. Meski dengan dada

terasa dihantam godam ratusan kali, gadis putri lunggal

Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran

tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding

karang. Setelah menahan luncuran tubuh dengan kakinya,

Anggraini mendarat agak payah. Sebelah tangannya

memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya,

mengalir cairan merah.

Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan

dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang

langka itu. Pandangannya mengabur. Namun di balik itu,

seberkas pijar kegusaran mulai terbetik.

" Jangan senang dulu, Binatang Laknat! Kau pikir aku

akan mudah dilumat!" geram Anggraini bersama rahang

yang mengejang.

Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri

gadis itu kembali. Lidahnya menjulur-julur bagaikan

mengejek. Mata merahnya mencorong penuh ancaman.

Sambil mendesis mengguntur, taring besar-nya

diperlihatkan.

"Kau rasakan ini!" rutuk Anggraini.

Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini

meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya.

Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan,

segera diacungkan ke muka. Senjata itu pun meregang,

siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke kepala

si ular raksasa. Srat!

Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu

deras meluncur ke arah sasaran.... Tak!

Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak

percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata

baja itu ternyata seperti terhadang tembok kuku tak

tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua! Entah

terbuat dari apa kulit kepala binatang itu....

Disertai rasa penasaran membludak, Anggraini

meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung

tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada

beberapa bagian tubuh si hewan raksasa. Mungkin ada

bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit

rapuh.

Srat! Siiing.... Tak-tak-tak!

"Astaga! Betul-betul gila!" seru Anggraini, begitu

mengetahui kalau tiga batang anak panahnya mengalami

nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia

sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang

diperkirakan lemah!

Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu

untuk melepas anak panah selanjutnya, sebelum ular

raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua anak

panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar

sasarannya akan membawa hasil. Yang akan ditujunya

sepasang mata merah darah milik si ular raksasa.

Srat! Siiing...!

Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat

cepat nyaris mencapai biji matanya, si ular raksasa tiba-

tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh

sebuah kemampuan tempur yang s ulit dipercaya, bisa

dilakukan oleh semacam hewan seperti itu. Seakan-akan

makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang

pendekar tangguh.

Bet!

Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat

dua batang anak panah bermata perak itu. Secepat kilat,

lidah lenturnya menghempas balik ke arah Anggraini.

Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri.

Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, ten-tu

sepasang anak panahnya akan menyantap tubuh sendiri.

Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak

bisa melepaskan diri dari keterkejutan atas tindakan ular

aneh ini tak biasanya.

"Benar-benar sulit dipercaya," gumam gadis itu

dengan wajah sedikit terlipat.

Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus

sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa

yang semakin kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk

hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris

nyali. Karena berkali-kali gadis itu bisa menyelamatkan diri,

maka bukit karang di sekitar pertempuran yang menjadi

sasaran.

Bongkahan-bongkahan batu terus berguguran.

Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum

terjadi pertarungan. Butiran-butiran yang lebih kecil

berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian porak-

poranda.

Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan

bela diri. Tubuhnya tentu akan cepat kelelahan, jika terus

diburu seperti itu. Makanya, kini mulai dikerahkannya ilmu

pukulan 'Kekuatan Kembar' pada kedua tangannya. Suatu

ketika, tangan kanan-nya mendapat kesempatan untuk

mendaratkan pukulan tingkat kelima, setengah dari

kemampuan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'. Yang

menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini.

Dugh!

Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur.

Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda

mengalami siksaan rasa sakit. Ketika tubuhnya

menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng

liar dengan cepat.

Anggraini yakin, pukulannya akan segera

membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang

itu akan terluka dalam dengan tulang moncong remuk

redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu pasti tidak

sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas

sekeras apa pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya.

Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular

raksasa.

Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata

tidak mengalami luka berarti. Dengan amat gusar,

kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya terlihat

mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil

dengan kemarahan berkobar.

"Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak

membuatnya terkapar!" desis Anggraini takjub, sekaligus

bingung. Bagaimana tidak bingung kalau ilmu andalannya

yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup

melumpuhkan lawan?

Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya

habis-habisan, Anggraini tak punya pilihan lain. Satu-

satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu

pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan

pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu

dikerahkan. Sebuah pukulan yang mengandung dua

kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan

sanggup melantakkan karang men¬jadi debu, sedangkan

kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena

panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun

memiliki kekuatan untuk menyebar sampai jarak tertentu,

seperti kobaran api yang menyambar ke mana-mana, me-

mangsa apa saja.

"Zzz! Zzz!"

"Haaah... hsssh!"

Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa,

Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua ta-

ngannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka.

Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut

menganga, tepat ketika gadis dari Tanah Buangan itu

melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya.

Weeesss! Das!

"Bgrrrzzz!"

Terjangan si ular raksasa langsung terhadang di

tengah jalan. Kepalanya memantul ke belakang, diterjang

pukulan pamungkas jarak jauh lawan kecil-nya. Sehimpun

rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir kontan

mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar

biasa akibat hantaman di pelipis-nya, seakan membelah

tengkoraknya dari dalam.

Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit

karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu

sebesar kerbau melayang ke segala arah tersampok gerak

tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang

seakan hendak membuat lobang raksasa.

Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung,

Anggraini memperhatikan amukan sang hewan raksasa

dengan mata menyipit-nyipit ngeri. Lama hal itu

berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak

lagi. Getaran hebat pun Ienyap ditelan bumi. Batu besar tak

lagi terlempar. Dan suasana pun senyap.

Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang

tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati.

Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular

raksasa masih hidup. Denyut di satu bagian tubuhnya jelas

terlihat, walaupun sudah lemah.

Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular

raksasa mulai beringsut perlahan. Kepalanya merambat

setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu

tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan

kepala, diam dengan mata menatap pasrah. Sinar mata

yang merah darah, tak lagi buas mengan-cam. Malah kini

memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap

tegang. Sampai akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke

kepala si ular karena rasa iba yang mengusik nurani

kewanitaannya.

***

TIGA


Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta

kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu.

Sepasang kuda penariknya meringkik-ringkik bagai

kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu

meninju permukaan jalan serta bebatuan yang berserakan.

Dengan napas berdengus memburu, mereka terus

melarikan kereta dalam kecepatan tinggi.

Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau

kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak,

seorang saudagar kaya. Kayunya dari jati berukir indah.

Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera

terpancang di kedua sisi kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran

perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat kusir seorang pun.

Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan

tenang, meski suara liar yang diciptakan kereta kuda

terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik ketika

kereta kuda kian dekat dan dekat.

Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita

itu. Dua kuda liar pembawa kereta seperti tidak peduli

kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan

menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah

sebuah bukit karang.

"Ngiiingiii!"

Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat

itu meringkik keras. Tepat beberapa tombak lagi kereta

kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya ditarik tiba-

tiba oleh seseorang.

Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke

belakang, melihat sekilas kendaraan yang hendak

melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan

langkah bagai tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu

tenyata Anggraini.

Sementara dari jendela kereta kuda, muncullah

kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan

perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar

menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain

sutera kuning bersulam benang emas. Rupanya, dialah

yang telah menarik tali kekang. Yang patut dikagumi,

bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya.

Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda

itu sanggup menariknya dari dalam.

"Aku bersedia memberi tumpangan padamu,

Nisanak!" sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah.

"Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki

seperti ini, ketimbang harus duduk bersama seorang yang

suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu," jawab

Anggraini datar tanpa menoleh.

Sementara Anggraini melangkah, pemuda itu

mengikutinya dengan kereta di belakang.

"Hey! Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru

saja menyelamatkanmu. Kalau tali kekangnya tidak

kutarik, kau tentu akan hancur," ujar si pemuda, masih dari

jendela keretanya.

"Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang,"

sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda

melakukannya dengan tenaga dalam yang bisa dibilang

tingkat tinggi. Si pemuda tertawa.

"Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar

di pinggang, kupikir kau orang persilatan yang tak begitu

asing dengan permainan tenaga dalam," kata pemuda itu

setengah meledek.

"Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan!"

selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan

langkahnya dipancung saat itu juga.

"O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?"

kata pemuda itu seperti bertanya.

Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah

penampilan keseluruhan pemuda tampan itu. Tubuhnya

yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan

kain batik terikat di pinggang hingga ke lutut. Pakaiannya

seperti para ningrat kalangan istana. Lengkap dengan

kancing-kancing dan rantai emas.

"Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh

rasa hormat. Itu kalau perbuatanku dianggap lancang,

Nisanak," sambung si pemuda seraya menghampiri

Anggraini.

Anggraini hanya melirik dingin. "Kini kau mulai pamer

kekayaan padaku dengan pakaian mewahmu. Apa dipikir

aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati

karena kau seorang ningrat?"

Si pemuda tersenyum lepas.

"Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku me-

mohon maaf. Bagaimana? Kalau perlu, aku akan

mengganti pakaianku ini, jika kau tak suka...."

"Tak perlu," sahut Anggraini seraya melanjutkan

langkahnya. "Kau akan kehilangan harga dirimu, kalau

melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah

lambang, siapa dirimu sesungguhnya?"

"Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku," desah si

pemuda disertai hembusan napas seraya mengedikkan

bahu. "Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran

baikku, sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta

kudaku dapat lewat?"

Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk

ke dalam.

"Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan

ini? Terus terang, aku tak menepi hanya karena kau

seorang bangsawan," tandas Anggraini, sinis.

"Baik, kalau itu maumu, Nisanak...," sahut pemuda itu.

Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada

sepasang kuda agar segera berlari lagi. Tapi meski sudah

mengulangi siulan, binalang-binatang itu tetap tak

bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan

mengangguk-angguk seperti meronta dari sebuah ikatan.

Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang

ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua

binatang itu. Dalam hati, mau tak mau si pemuda memuji.

Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata

wanita ini sudah menotok kuda-kudanya. Mungkin pula

lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang

dengan tenaga dalam.

"Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer

kekuatan, Nisanak...," ujar si pemuda tanpa terlihat gusar.

"Itu hanya untuk membalas tanlangan pamer

kekuatanmu!"

"Karena kau sudah membalasnya. kurasa persoalan

kita sudah selesai bukan?"

"Apa kau yakin begitu?"

Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat

tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin

kalau si pemuda akan menahannya kembali. Setelah

melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu

memang benar menahannya.

"Nisanak, tunggu!"

Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya.

Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit

dibebaskan. Sudah puluhan tahun jenis totokan itu tak

muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai ahli

warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali.

"Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai?

Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini?!"

pinta si pemuda.

"Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa?!"

"Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh

perjalanan jauhku dengan jalan kaki. Tapi, apa kau tak

kasihan dengan kuda-kuda ini? Tentu mereka akan mati

perlahan, karena kelaparan dan kehausan....

"Apa peduliku?!" dengus Anggraini ketus. Kembali

langkahnya dilanjutkan.

Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang.

Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan

mencoba memegang bahu wanita berpakaian merah-

merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh

Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si

pemuda, lalu melancarkan tusukan dua jari ke leher.

Jep!

Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main.

Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang

sifatnya dianggap ketus itu melancarkan serangan hanya

karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga kalau

wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda

bangsawan ini berusaha menghindar tanpa membalas

serangan.

Tapi serangan pertama yang luput. membuat

Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan

dengan sodokan dengkul ke perut.

Suka tak suka, si pemuda melayani serangan

Anggraini. Setelah menangkis sodokan kaki, jari

telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia

tak bermaksud membalas Anggraini, hanya untuk

melumpuhkannya.

Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan

hanya dalam segebrakan. Sewaktu jari pemuda itu

melunc ur Iurus, Anggraini malah melayaninya dengan

tusukan jari pula.

Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak

untuk menguji kecepatan. Kalau jarinya lebih cepat,

Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita itu

lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si

pemuda tahu, jari Anggraini tidak dimaksudkan untuk

sekadar menotok.

Deb!

Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha

membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar

jari Anggraini tak mendarat di tenggorokan. Sayang, dia

membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga,

gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya

kini terjepit. Sementara jari Anggraini kian dekat ke

sasaran.

"Tunggu!" teriak si pemuda, kalap.

Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang

cepat membelah udara. Asalnya dari sisi kanan mereka.

Tak!

"Aaah!" Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi

tepat mengenai jari telunjuknya dan langsung pula

menyempongkan laju jari itu ke arah lain.

Bles!

Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan

tusukan jari Anggraini, hingga seluruh jari telunjuk gadis

dari Tanah Buangan itu melesak. Hanya berjarak setengah

jengkal dari tenggorokan lawan!

"Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk

sebuah urusan sepele, Nisanak Cantik?!"

Sebuah s uara terdengar, tujuh tombak dari tempat

mereka berdua. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di

situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap.

Kemunc ulannya, seperti hantu.

"Siapa kau?!" bentak Anggraini ketus, seraya

mengangkat tangannya dari lereng bukit. Ditempatkannya

kedua tangan di pinggang, lalu tubuhnya dihadapkan pada

si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih galak

daripada macan betina.

Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru

datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya.

Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan

selembar kain bercorak catur ter-sampir bebas di bahunya.

Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat

saingan. Kalau ada seorang gadis yang diminta untuk

memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu akan

kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan

memikat dan sama-sama memiliki kelebihan pula dalam

ketampanan itu.

"O, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan

mata keranjang?" sindir Anggraini, pada pemuda yang baru

datang. Padahal, dia belum lagi mendapat jawaban dari

pertanyaannya yang pertama.

"Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang can-tik....

Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?"

kata si pemuda berpakaian hijau-hijau.

"Jangan banyak basa-basi! Kenapa kau tak langsung

menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini!"

"Aku Andika," sahut pemuda berpakaian hijau yang

memang Andika atau lebih terkenal sebagai Pendekar

Slebor. "Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak mau

meluluskan permintaanmu. Apa kau membiarkan

seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu

itu nyeri?"

"Itu artinya kau menantangku! Dasar tak tahu diri!

Mestinya, kau berterimakasih karena aku telah

mengampunimu!"

Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan

Anggraini. Santai saja, didekatinya kereta kuda. Diamatinya

kaki-kaki kuda yang masih kaku. "Totokan yang bagus.

Agak sulit membebaskannya, karena ditempatkan

demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...," kata

Pendekar Slebor sambil berjongkok dan mengorek-ngorek

telinga.

Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini.

"Tapi itu bukan perkara yang terlalu s ulit bagiku." ujar

Pendekar Slebor menyombong.

Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar

Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran

Anggraini.

"E-e! Sebelum kau marah, biar aku bertanya dulu. Kau

menotok kuda ini tidak dengan jari, bukan?" lahan Andika

saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel.

"Bagaimana kau tahu?!" tanya Anggraini. Kelopak

matanya agak membesar, karena terkejut.

"Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi

pada satu bagian urat saraf. Jika menggunakan jari, pasti

akan menyebabkan luka di bagian luar kulit kuda ini. Jadi

menurut perkiraanku...," Andika menjentikkan jarinya

dengan mengaliri tenaga dalam.

Tik!

Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat

bergerak kembali seperti semula.

"Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu

yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu.

Seperti juga aku membebaskannya," sambung Andika.

"Bukan begitu?"

***

EMPAT


Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda

bangsawan itu melintasi jalan kembali. Seperti

sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya,

meninggalkan kepulan debu serta ringkikan kuda yang

tinggi mengoyak langit.

Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda

tampan tidak sendiri dalam kendaraannya. Ada dua orang

lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini

Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk

karena ilmu totokan warisan buyut guru yang

dibanggakannya ditelanjangi mentah-mentah oleh

Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar be-berapa

jurus. Namun rhanakala melihat cemeti yang melilit

pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis itu

menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit

karena kemarahannya pada Pendekar Slebor sudah begitu

meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau

mengenal pemilik cemeti itu, barulah gadis ini

menghentikan serangan.

Tahu apa kau dengan cemetiku ini?!" tanya Anggraini

waktu itu.

Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat-

ingat.

"Cepat jawab! Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan

pertarungan denganku? Kau takut dipecundangi

perempuan, bukan?" desak Anggraini, sekaligus mengejek.

"Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja?! Aku

sedang mengingat-ingat, tahu! Kalau kau tak, berhenti

berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang

cemeti itu!" ancam Andika.

Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat.

Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng

(Untuk mengetahui kisah tokoh ini, bacalah episode:

"Lembah Kutukan" berikut "Dendam Dan Asmara").

Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih

rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika

bersedia meluluskan permintaan itu, asal mereka mau

berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini terpaksa

menyetujui syarat yang diajukan.

Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta

kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah

perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk

menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada

Anggraini, Andika membutuhkan waktu banyak.

Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan

utamanya turun ke dunia persilatan adalah mencari tahu

tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan cemeti

serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya.

Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta

memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang

bangsawan muda dari wilayah selatan.

"Apa aku perlu memanggilmu 'Raden'? Raden Agung

cakra?" goda Andika.

'Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu,"

tolak Agungcakra, merendah.

Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah

asam, tiba-tiba menyelak.

"Munafik! Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau

ingin sekali menerima sebutan itu! Raden.... Hm,

membanggakan bukan? Tak setiap orang bisa memakai

gelar itu, bukan?"

Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada

pemuda di sisinya yang sedang menyentak-nyentak tali

kekang. Tak terlihat ada perubahan di wajahnya

mendengar cemoohan pedang Anggraini. Bahkan

ditanggapinya dengan senyum tipis.

"Hey? Apa tujuanmu ke barat?" cetus Andika,

menghanguskan suasana tak nyaman tadi.

"Aku mencari bibiku," jawab Agungcakra singkat,

sementara tangannya sibuk menyentak tali kekang kuda.

"Kenapa dengan dia sebenarnya? Apakah kau .ada

keperluan dengannya atau bagaimana?" susul Andika.

Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri

dengan kelancangan mulutnya.

"Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi

usil pada urusan orang Iain...."

"Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan

bantuan orang lain dalam perkara ini," kata Agungcakra.

"Begitukah? Kau bisa cerita tentang bibimu?"

"Tentu...."

Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya.

***

Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang

bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun

lalu. Sesungguhnya, tak ada yang perlu di-takuti dengan

keadaannya. Bahkan bisa dibilang s uasana dan

pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang

membelah padang bunga matahari, bukit di kejauhan yang

mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni yang

berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah

kolam alam kecil penuh teratai jingga, adalah keindahan

yang bisa ditemui setiap hari.

Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab,

kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang

memiliki ilmu olah kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun

lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang pembantaian

keji. Beberapa orang di antaranya malah menjadi mayat

tanpa kepala.

Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia

persilatan menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia.

Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup

desas-desus ke segenap penjuru dunia persilatan.

Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat

itu, maka ada tiga kemungkinan baginya. Orang itu sudah

kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau

menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di

dunia.

Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di

jalan setapak Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya

mengenakan pakaian seperti biksu berwarna putih. Kepala

mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari

mata yang sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah

diduga kalau mereka adalah orang-orang Tiongkok.

Si Kembar Dari Tiongkok, adalah julukan mereka di

dunia persilatan. Beberapa waktu lalu, mereka menjadi

kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal

Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan

rencana jahat Begal Ireng, keduanya melarikan diri, tanpa

bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit pun

(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar

Slebor dalam rpisode : "Lembah Kutukan" berikut "Dendam

dan Asmara").

Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba

hukum kerajaan Alengka, mereka jadi tak begitu mengikuti

perkembangan dunia persilatan. Termasuk, tak

mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini.

"Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak

memburu kita lagi?" tanya salah seorang dalam bahasa

Tiongkok kental.

"Aku yakin begitu," sahut lelaki yang lain. "Mereka

mungkin berpikir kita sudah kembali ke Tiongkok."

"Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?"

"Kau mulai jadi pengecut?" sindir lelaki yang memiliki

tahi lalat besar di bawah telinga kiri. Namanya, Chia Jui.

"Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu

pemuda itu lagi," sergah kembarannya, Chia Kuo.

"Pendekar Slebor?"

"Ya."

"Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama

hampir tiga tahun ini?"

"Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki

kesaktian yang begitu hebat."

"Sudahlah! Kalau kau nanti tak mau menghadapinya,

lebih baik lari saja seperti perempuan!" putus Chia Jui agak

kesal.

"Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?"

tanya Chia Kuo agak terkejut.

"Aku tak bilang begitu, Bodoh!"

Chia Kuo mengangkat bahu.

"Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia

Jui! Sama-sama gentar. Bedanya, aku lebih jujur ketimbang

kau!" gerutu Chia Kuo.

Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan

setapak. Tiba di suatu tikungan yang berbatasan dengan

kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak menghadang

di depan.

"Siapa kau?!" bentak Chia Jui gusar, melihat seorang

wanita cantik berpakaian merah-merah mengganggu

perjalanan mereka.

Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik

menggoda, matanya tampak menyiratkan kekejaman.

Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah

tajam dengan dua tokoh sesat dari Tiongkok yang

dihadangnya.

"Apa kau orang Kerajaan Alengka?!" timpal Chia Kuo,

tak kalah berang.

Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar

mengangguk atau menggeleng. Hanya matanya yang terus

menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah

memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka

bertemu.

"Kalian telah mengusik istanaku!" hardik si

perempuan, tiba-tiba.

Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana?

Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu,

mereka tak pernah menjumpai sebuah bangunan pun.

Lebih-lebih, sebuah istana.

"Kau keluarga Istana Alengka?" tanya Chia Kuo

menebak-nebak.

Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara

kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada

pihak mus uh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu.

Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan

kembali dengan Pendekar Slebor selaku seorang yang

memiliki pertalian darah dengan ke¬luarga istana.

"Ini istana! Apa kalian buta?! Aku tak punya nama

untuk istana ini. Tapi, orang-orang dungu di luar sana

menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang

buruk, tapi aku cukup menyukainya...," ujar si perempuan

berpakaian merah meledak-ledak.

Chia Jui mulai melangkah lagi.

"Peduli setan dengan istanamu! Kami akan lewat!

Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah!" bentak Chia Jui.

"Biar kalian mampus!" terabas si perempuan sambil

mengirim satu sambaran cakar ke wajah Chia Jui.

Bet!

"Perempuan keparat!" maki Chia Jui dengan logat

Tiongkok.

Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari

lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna

keunguan. Dibalasnya salam perkenalan lawan dengan

sebuah layangan tinju geledek.

Deb!

Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada

si wanita yang memiliki dua bukit padat. Tapi dengan

enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping

Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya

terangkat. Lalu, disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu.

Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat.

Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya.

Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar

kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka

tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah

dari itu... terputus!

Siapa yang mau mempunyai saudara kembar

bertangan kutung? Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia

Kuo cepat melepas hantaman jarak jauh, sekejap sebelum

tangan si perempuan bergerak.

Wush!

Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia

Jui. Walau begitu, tak luput tangan Chia Jui tercabik

sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya.

Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak

terkirakan, sambil melompat menjauhi lawan.

Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa

mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang

orang. Kalau mereka yang sudah masuk dalam jajaran atas

golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan,

bagaimana dengan kepandaian wanita ini.

***

LIMA


Terbukanya matamilik Kembar Dari Tiongkok terha-

dap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka

memutuskan untuk menghadapinya dengan

menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak

terpisahkan, mereka memang tak bisa bertarung sendiri-

sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya

menggabungkan kesaktian.

Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit

itu membentuk sebuah gerak bersama. Sekejap, tangan

mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing,

untuk mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan

mereka yang masih bebas mulai memerah, lalu diarahkan

lurus-lurus ke arah wanita itu.

Wuuush!

Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut,

memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar

ke arah wanita itu.

Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan

ganas tersebut. Entah karena ilmu kedigdayaannya begitu

melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan tenang

saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok

dihadapi.

Dengan maksud untuk memamerkan kehe¬batan,

tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar

kemerahan dengan membuat hirupan udara dari mulut.

"Hfff...."

Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari

Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan

menyedot lebih kuat, angin pukulan itu dipaksa masuk ke

dalam mulutnya.

Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok

adalah himpunan gelombang petir yang kuat luar biasa. Di

tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para

pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan

seluruh tenaga petir dalam tubuh manusia, hingga

mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga

pukulan itu akan membawa akibat merusak, sewaktu terus

tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si perempuan.

Mulanya, Kembar Dari Tiongkok menyeringai,

menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga,

sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu

mengejang dan mati.

Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan

mata kepala sendiri, keduanya melihat lawan tersentak

sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan

tenang seluruh sengatan petir disa-lurkan ke bumi sampai

hilang tertelan.

"Sinting!" sergah Chia Jui, tak mempercayai

penglihatannya. "Dia itu manusia atau...."

"Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus

segera menyingkir!" peringat Chia Kuo, kalang kabut.

Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak

memucat. Bagaimana tidak, kalau kemampuan gabungan

mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan

cantik tapi bengis itu?

"Heeeh...," si perempuan menggeram. "Jangan

berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam

keadaan hidup! Sudah menjadi sumpahku, kalau istana ini

adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku, berarti

telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh!"

Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis

ini menyeringai. Sebaris gigi putih menawan tersembul.

Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan.

Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak

memperkenalkan namanya, meludah ke sebuah

bongkahan batu sebesar kuda.

"Chuih!"

Plas!

Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung

melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain.

"Aku tak ingin mengotori tangan! Akan kubunuh kalian

dengan ludahku. Ya! Dengan ludahku. Hanya ludah yang

pantas untuk kalian," geram wanita itu menggidikkan.

Sepasang matanya mencorong di bawah kelopak,

memperlihatkn setengah warna hitamnya.

"Kau sudah gila, Perempuan!" maki Chia Jui, was-was.

"Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi

bagiku, tidak ada soal apakah aku gila atau tidak!"

"Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu!"

lontar Chia Kuo, membela diri.

"Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki

istanaku!"

"Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat!" sengit Chia

Jui.

"Aaah! Toh, bukan aku saja yang berbuat sewenang-

wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang telah

melakukannya di dunia sampah ini! Asal kalian tahu itu!

Kini, bersiaplah untuk mampus!"

Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar

lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya,

andai saja sebuah seruan lantang tak menahannya.

"Tunggu!"

Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya

seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot

seperti seekor kambing gunung. Menilik kerutan wajah,

bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya

hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam

sembilu. Meski tua, masih tampak sisa ketampanannya.

Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran

kepala, memanjang lepas menutupi bokongnya.

Perawakan lelaki itu tinggi be¬sar dan kekar berotot.

Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat

kulit pada seluruh badan dari bagian leher ke bawah.

Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lu-suh dengan

warna merah kehitam-hitaman. Sepertinya, dia pernah

mengalami luka bakar yang demi-kian hebat.

" Pengeran Neraka," sebut si perempuan.

Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun

berbinar. "Kekasihku, pangeran istanaku...," tambah wanita

ini, mendayu.

Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju.

Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi

baja, sebesar kepalan tangan.

"Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?" tanya si

wanita cantik berpakaian merah-merah manja.

Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu

kekarnya.

Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya

melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit

dibedakan.

"Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah," kata

laki-laki berjuluk Pangeran Neraka pada Kembar Dari

Tiongkok. '"Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati

tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup

sampai petang'."

Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka

meneliti lelaki yang baru munc ul dengan mata masing-

masing.

"Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang

berasal dari negeri kami sendiri. Tapi, apa mak-sudmu

dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?" tanya Chia

Kuo, mengungkap keheranannya.

"Hu... hu... hu! Tak kukira kalian ini tergolong bebal,

Kembar Dari Tiongkok," ejek Pangeran Neraka, didahului

tawa yang terdengar aneh.

Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi

Kembar Dari Tiongkok meneliti tegas-tegas Pangeran

Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena,

lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang

jauh. Sekarang, tiba-tiba saja dia menyebut julukan

Kembar Dari Tiongkok.

Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari

Tiongkok. Chia Jui maupun Chia Kuo yakin, sebab

Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri

tirai bambu itu. Dengan begitu, dia bukan-lah utusan dari

Tiongkok yang hendak menjemput mereka pulang. Tapi,

siapa?

"Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa

kami pulang untuk menerima hukuman, bukan?" aju Chia

Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri.

"Hu... hu... hu! Ya, jelas bukan!" "Kalau begitu,

jelaskan saja, apa maksudmu dengan pepatah tadi?"

sergah Chia Jui tak sabar. "Maksudku...."

Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan

"Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku? Bukankah

dua orang lancang ini telah mengotori Istana kita?" potong

si perempuan di sisinya.

Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan.

"Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri

Mayang seruni?"

"Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?"

"Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna.

Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah

membunuh saudara kandungku, Putri...."

"Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?" perempuan

yang ternyata bernama Putri Mayangseruni balik bertanya.

"Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin se-

cepatnya mengunyah jantung si pembunuh saudara

kandungku. Hu hu hu, betapa nikmatnya...."

Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis

rimbunnya.

"Kita lihat saja nanti...."

Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari

Tiongkok.

"Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku

melontarkan pepatah tadi. Artinya, kalau memang

waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan

mampus. Sebaliknya, kalau belum waktu¬nya, biar kalian

jatuh dari gunung, tetap tidak mampus." Pangeran Neraka

tertawa dengan gaya yang khas. "Kalian bingung, ya? Jadi,

singkatnya kalian belum waktunya mampus hari ini...."

***

Malam turun merambah mayapada. Ribuan bintang

gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh

yang muncul tak ragu-ragu. Temaram cahayanya benda-

benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat

itu angkasa tak diusik awan kelabu.

Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di

atasnya, terpanggang.daging tiga ekor kelinci gemuk hasil

panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak muda itu

kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan

dingin malam yang meng-gelitik kulit.

Satu sisi diri manusia

adalah malam gulita

istana para durjana semesta

b'rsemayam dan berenc ana

untuk sehimpun dusta

untuk sehimpun nista...!

Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari

kalangan bangsawan, keindahan susastra sudah menjadi

bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah

seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam

diri manusia.

Andika bertepuk-tepuk.

"Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan," puji

Andika, terhadap sajak si kawan baru.

Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon

tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu

panggangan.

"Bagaimana menurutmu, Anggraini?" tanya Andika,

ingin tahu penilaian gadis itu tentang karya sastra

Agungcakra.

"Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan

padaku perihal cemeti ini...," sahut Anggraini, tanpa melirik

sedikit pun.

Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan

melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh.

Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel.

Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering

kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis

makhluk indah yang sulit dipahami.

"Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini,"

kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya

ke atas. "Tapi, kau sendiri tidak pernah memberitahu

padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda

ini?"

"Itu bukan urusanmu!" tandas Anggraini judes, seraya

melemparkan sepotong daging kelinci yang sudah matang

pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak sopan.

Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai

menyantap.

"Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri

urusanmu! Jadi, kau tak perlu keterangan dariku," sindir

Andika.

Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas

api unggun. Baunya sedap, mengundang selera Andika. Si

pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya sudah

mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru

saja tangannya terjulur ke daging kelinci panggang....

Plak!

"Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran!"

bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika.

Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat

tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada

gombal, Andika akhirnya kembali ke tempatnya. Sementara

Agungcakra hanya tersenyum kecil;

"Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat

membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu

ngotot hendak mencaritahu tentang cemeti itu...," kata

Anggraini mulai lagi.

"Sesukamulah," jawab Andika, agak merajuk.

"Kau mau dengar apa tidak?!" mata Anggraini jadi

begitu galak.

"Ya ya ya, mau," jawab Andika cepat, daripada tak

dapat jatah daging kelinci panggang.

Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang

asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya.

Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas.

"Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda

yang berhubungan dengan ayahku...," tutur Anggraini

mengakhiri.

"Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa me-

nelusuri jejak ayahmu?" tanya Andika, menduga.

Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan.

"Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda

itu milik ayahmu, bukan?" susul Andika hati-hati.

Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si

gadis, berarti dia telah berhutang nyawa pada Anggraini.

Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya

sewaktu Pendekar Slebor baru turun dari Lembah

Kutukan? Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya.

"Apa maksudmu?" tanya Anggraini.

Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung

dengan pertanyaan macam itu.

"Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini Iho...," kata

Pendekar Slebor tergagap dan kelimpungan sendiri.

Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika,

Agungcakra jadi tak bisa menahan geli. Pemuda

bangsawan itu terbahak mendadak.

"Kenapa tertawa?" Andika agak tersinggung.

Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci.

Agungcakra menggeleng.

"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu.

Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing

menyentak ketiganya....

"Ngiiingngng...!"

***

ENAM


Anggraini yang berada paling dekat dengan api

unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga

dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api,

Andika, Agungcakra, dan Anggraini menelusup cepat ke

balik semak-semak lebat.

Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya

purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan pe-

rasaan tegang.

Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pe-

mandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran

benda langit angkasa, tampak seorang wanita cantik

berpakaian merah sedang melayang di udara dalam

keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada

sekitar ratusan lebah mengangkatnya dengan benang-

benang halus yang terangkai menjadi semacam permadani

tembus pandang! Dengung lebah itulah yang terdengar

sebagai bunyi asing.

Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang,

secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beris-tirahat di

dekat wilayah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan

pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin di sekitar

wilayah kekuasaannya.

"Ratu lebah...," bisik Agungcakra, nyaris tak ter-

dengar.

Andika di sisinya menoleh.

"Kau kenal perempuan itu?" tanya Pendekar Slebor

perlahan, serta hati-hati.

"Tentu saja aku kenal. Dia...."

Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan

Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau

menurut Agungcakra adalah Ratu Lebah. menghentikan

laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar

ke sekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase

betina.

Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ra¬tu

Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau.

Andika memuji dalam hati ketajaman indera

pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun

dirinya sudah begitu halus. Belum lagi, suara bising para

lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus

mereka.

Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium,

Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika

segera menahannya. Menurut Pendekar Slebor, terlalu dini

mereka berurusan dengan tokoh wanita yang

kepandaiannya sulit terukur itu.

Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra.

"Aku hendak menemuinya, Andika! Lagi pula dia

sudah tahu persembunyian kita," bisik Agungcakra lagi

dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan.

"Kau ceroboh!" sentak Andika, tetap berbisik.

Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja me-

nangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang

halus, tampak mengejang. Bibir ranumnya yang tipis

bergerak.

"Chuih!"

Srak!

Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak-

semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata

bagian atasnya. Kalau saja Andika, Anggraini, dan

Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala

mereka ikut terbabat.

Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi

itu muncul perlahan dari semak-semak yang terpangkas.

Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali

dari raut wajah mereka yang agak menegang. Lain lagi

Andika. Pendekar muda itu muncul dengan senyum serba-

salahnya.

"Selamat malam, Nisanak," sapa Andika berbasa-basi

disertai cengiran konyol. "Sungguh, kita bertiga tak sedang

memata-mataimu, he he he. Bukan begitu, Kawan?"

Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan

Agungcakra di sisinya.

Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi

Andika dengan keramahan, tapi dengan satu semburan

ludah maut kembali.

"Chuih!"

"Sial! maki Andika.

Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain

pusaka ke arah ludah Ratu Lebah. Menghadapi kealotan

kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Le¬bah tak bisa

berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak

begitu saja oleh kekuatan yang disalurkan Pendekar Slebor

pada kain pusaka.

"Nisanak! Mestinya kau bisa bersikap ramah pada

orang ramah seperti aku ini!" semprot Pendekar Slebor.

Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya

mulai panas atas perlakuan Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi,

sifat urakannya tentu akan meledak.

"Andika...," tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut

bangkit. Dipegangnya bahu Pendekar Slebor.

"Apa?! Ini semua gara-gara ulahmu, tahu! Coba kalau

kau bisa sedikit tutup mulut!" omel Pendekar Slebor pada

Agungcakra.

Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutuk-an itu

makin melonjak naik ke ubun-ubun. Alis mata sayap

elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang-

kempis. Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan

menantang.

"Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak! Kau terlalu

sombong untuk menghargai orang lain!" sembur Pendekar

Slebor lagi.

Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat

Andika tadi sengaja hendak menyinggungnya sekaligus.

Sekali tepuk dua lalat!

"Ayo, ludahi aku lagi! Biar kusumpal mulut usilmu

dengan kainku yang tak pernah kucuci ini!" tantang Andika

kembali. lebih keterlaluan.

Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan

luar biasa mengumbar senyum tipis.

"Hey! Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini," ujar

Andika seraya menunjuk semena-mena ke depan wajah

Anggraini. "Tapi, jangan dikira aku akan tergoda dengan

senyummu itu! Huh! Tak usah, ya!"

Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan

sudah selesai dengan Ratu Lebah, wanita ini berjanji akan

menyumpal mulut Andika dengan tinjunya!

Di Iain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya

mendekat ke arah mereka.

Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik

berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah me-

lompat turun dari kendaraan anehnya, Pendekar Slebor

langsung pasang kuda-kuda. Dikiranya, wanita

menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut.

Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati

Agungcakra. Langsung dipeluknya pemuda itu.

"Cakra...."

"Bibi...," balas Agungcakra setengah lirih. Andika

hanya melongo.

***

"Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?" tanya

Agungcakra saat keduanya berjalan beriringan, jauh dari

tempat semula. Ratu Lebah telah memaksa Agungcakra

untuk meninggalkan Andika dan Anggraini. Walau

perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi

pula, Andika maupun Anggraini sudah mempersilakannya

dengan senang hati.

"Aku...."

Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong.

"Aku berkelana di dunia lain," jawab wanita itu

kemudian dengan sebaris senyum yang sulit dipa-hami.

"Aku tak paham maksudmu, Bi?"

Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya

ganjil, membuat bulu roma di tubuh Agungcakra

meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik

bungsu ayah Agungcakra. Sejak orangtuanya meninggal

dalam tugas kerajaan, Mayangseruni yang waktu itu baru

berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni, kakak

lelakinya itu.

Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri

Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi

nama Agungcakra. Mayangseruni dan Agungcakra lalu

tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa kanak-

kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi

dengan keponakan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti

kakak beradik.

Waktu berlalu. Tahun-tahun indah tercecer di

belakang. Mayangseruni beranjak sembilan tahun.

Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun.

Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni

sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah

seorang wanita sakti yang sudah dianggap makhluk halus

oleh masyarakat sekitarnya.

Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh

dan bertulang-tulang bagus, serta mempunyai keyakinan

diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa

wanita itu menculiknya.

Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh

si pertapa wanita agar merahasiakan tentang kejadian ini.

Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan

dibawa ke suatu tempat yang menyenangkan. Jika nanti

ditanya oleh orang tuanya, Agungcakra disuruh

mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang

tak dikenal. Dan suatu saat nanti, Mayangseruni akan

dikembalikan.

Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang

Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak

bisa dihindari. Para prajurit kadipaten dikerahkan untuk

mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni tak pernah

ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun.

Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah

tentang hilangnya Mayangseruni. Maka, Agungcakra pun

mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita

padanya. Sewaktu Dwigeni menanyakan ciri-ciri si pertapa,

Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan dengan

tepat.

Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati

Dwigeni tahu, siapa yang telah membawa adik

kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega.

Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya,

adalah tokoh sakti sulit tertandingi dari aliran lurus.

Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa

wanita itu akan mengangkat adiknya menjadi murid.

Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan

zaman. Mayangseruni akhirnya pulang, seperti janji si

pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan

lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah

berubah menjadi gadis cantik, yang mekar merekah bagai

bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun

sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil

dalam menegakkan kebenaran. Namanya pun kian harum

semerbak, dalam percaturan dunia persilatan, selaku

tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah.

Karena itu, lahir julukan untuknya Ratu Lebah!

Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang

bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya.

Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut

kabar burung, julukannya didapat di negeri Tiongkok,

tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu usaha

menuntut ilmu hitam, Pangeran Neraka harus

menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu

didapatnya, tapi sayang seluruh kulit tubuhnya melepuh.

Kecuali, wajahnya.

Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayangseruni saat

itu berusaha menggagalkan segala sepak terjang Pangeran

Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun begitu,

Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik

lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan

saraf di otaknya. Sampai akhirnya, gadis itu kehilangan

akal waras. Bahkan pikirannya berada di bawah pengaruh

Pangeran Neraka. Mengetahui lawan telah berada di

bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan

kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus,

memanfaatkan kesaktiannya. Ratu Lebah pun dijadikan

pasangan si lelaki laknat.

Selanjutnya, Mayangseruni menghilang kembali

seperti beberapa tahun lalu.

Sementara Agungcakra memang sudah telanjur

sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak

perempuan. Maka dia segera melakukan pencarian,

setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada

tokoh kerajaan. Tiga tahun dia terus mencari tanpa basil.

Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan

Anggraini bersamanya.

***

"Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu

selama ini?" tanya Agungcakra sungguh-sungguh. Ada yang

tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak

muda itu.

Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata

Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya

meledak lagi, lebih tinggi daripada sebelumnya.

Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah

terjadi pada diri Mayangseruni. Sepanjang

pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh

kendali diri. Dia tidak akan tertawa seenaknya, seperti

perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu amat

kentara sinar keceriaan di wajahnya, Mayangseruni yang

ditemuinya kini memiliki sinar mata kejam.

Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya

itu pergi untuk sebuah urusan tiga tahun lalu. Ketika itu,

Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya. Namun,

Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya

harus diselesaikan sendiri.

Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa

dengan bibinya. Dan sewaktu mencoba mencari

keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat

hanya sedikit keterangan. Menurut mereka yang sempat

tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama seorang tokoh

sesat bernama Pangeran Neraka.

"Lama aku berkelana, Cakra," tutur Mayangseruni lagi

sambil memainkan anak rambutnya seperti wanita jalang

penggoda. "Berkelana di batas sorga dan neraka. Kau tahu,

bagaimana rasanya berjalan disana? Seperti siksaan yang

melenakan. Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi

demikian takut... takut!"

Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut

matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan.

Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan.

"Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan

menitahku untuk menikmatinya. Dan..., aku pun bisa

menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah,

menikmati...."

"Cukup, Bibi Mayang! Kau bukan bibiku yang dulu lagi!

Rupanya kehidupan dunia yang memikat telah

membuatmu lupa diri!" tuduh Agungcakra. "Kau telah

terjerumus dalam dunia laknat kaum sesat yang

menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan

darah! Sadarlah, Bibi.... Jangan sampai Tuhan

memurkaimu...."

Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran. Betapa

terpukulnya dia mendapati orang yang disayangi sudah

berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-kaca,

menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah.

"Terlambat, Anak Muda! Semuanya sudah terlambat!"

Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya

begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh,

tampak Pangeran Neraka telah berada di sana. Ielaki itu

berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya yang

tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot

matanya menyampaikan ancaman berbau maut....


TUJUH


"Siapa kau?!" bentak Agungcakra penuh selidik. Tanpa

berkedip, diawasinya Pangeran Neraka lekat-lekat.

Pangeran Neraka beringsut ke arah Agungcakra lebih

dekat. Mulutnya mengumbar senyum mengejek.

"Aku? Hu hu hu! Pertanyaanmu terlalu menyedihkan.

Itu pertanda, kau tak banyak tahu tentang dunia persilatan

yang keras ini. Kau terlalu hijau, Anak Muda...."

Pangeran Neraka memenggal kalimat, seiring

terangkatnya dagu. "Akulah Pangeran Neraka. Dunia

persilatan sudah kenal baik dengan namaku," lanjut laki-

laki tua itu, menyombong.

"Apa hubunganmu dengan bibiku?!" tanya Agungcakra

penuh menyelidik.

Pemuda itu yakin, segala sesuatu yang terjadi tentu

ada penyebabnya. Jika bibinya jadi tampak ganjil di

matanya, tentu pula tak luput dari penyebabnya.

Agungcakra pun yakin, lelaki yang baru kali ini dilihatnya

tentu tersangkut dalam perkara yang membuat bibinya

menjadi begitu tak dimengerti seperti sekarang.

"Aku tak suka cara kau menatapku, Anak Muda."

Bukannya menjawab, Pangeran Neraka malah melempar

kalimat lain.

"Jawab pertanyaanku!" sentak Agungcakra, diburu

kegusaran.

"Nyalimu cukup besar. Atau, kau memang terlalu

bodoh sehingga tidak tahu dengan siapa berbicara."

"Aku tak peduli, dengan siapa aku bicara. Dengan

tokoh sakti atau iblis durjana sekali pun! Aku hanya ingin

kau menjawab pertanyaanku," tandas Agungcakra,

setengah mengancam.

"Hu hu hu! Ternyata nyalimu jauh lebih besar daripada

dugaanku," cemooh Pangeran Neraka.

"Keparat! Tentu kau ikut andil dalam perkara bibiku!"

tuding Agungcakra tak bisa lagi membendung

kecurigaannya.

"Kalau kujawab, ya, kau mau berbuat apa?" tantang

Pangeran Neraka melecehkan. Sengaja dia memancing

terus kegusaran anak muda di depannya.

"Bajingan busuk!" maki Agungcakra berat terseret.

"Akan kuhabisi nyawamu sebagai bayaran atas kesalahan

yang telah kau perbuat terhadap bibi kesayanganku!"

Pangeran Neraka memperdengarkan tawa khasnya.

"Kenapa tak segera kau lakukan? Apa mungkin kau

hanya berani mengancam, dan tak mau menerima akibat

jika mengancam orang seperti aku?"

Lagi-lagi Pangeran Neraka melecehkan Agungcakra.

"Pergilah kau ke dasar neraka, Manusia Keparat!"

Sampai di situ, Agungcakra tak bisa lagi menahan

kemurkaan yang meledak-ledak di dalam dada. Kalau saja

persoalannya lain, tentu dia tak akan seberingas itu. Tapi,

ini menyangkut diri orang yang begitu disayanginya. Orang

yang terdekat setelah kedua orangtuanya. Itu tentu saja

perasaannya bagai diluluh-lantakkan.

Sarat kemurkaan pada wajahnya, Agungcakra

melepas satu serangan dahsyat. Kelima jari kirinya yang

tajam, mengancam leher Pangeran Neraka se-penuh

kekuatan. Tampaknya, Agungcakra tak peduli lagi,

bagaimana harus melabrak lawan. Hanya satu yang

dikehendakinya saat itu. Lelaki di depannya harus mati

secepatnya!

Bet!

"Putus lehermu, Keparat!"

Lelaki yang diserang masih sempat mengejek dengan

sebaris senyum memuakkan. Sekejap kemudian, tubuhnya

berkelit enteng. Maka, luputlah terjangan Agungcakra.

Dorongan kemarahan yang sudah mendaki hingga ke

puncak kepala, mendorong Agungcakra untuk melakukan

serangan susulan. Sikunya yang cukup dekat dengan

Pangeran Neraka, segera menghujam ke ulu hati.

Deb!

Pangeran Neraka tak mau ambil bahaya. Apalagi

tingkat kepandaian lawan bisa diukurnya. Maka segera

ditangkisnya tohokah siku Agungcakra dengan satu tangan

terangkat ke atas dalam gerakan menyapu keluar.

Tak!

Lalu disusul satu serangan balasan. Tinju Pangeran

Neraka yang terkenal selalu mengandung racun amat kuat,

langsung melayang lurus ke rahang pemuda tampan yang

sedang kalap itu.

Wus!

"Hiah!"

Berbarengan hentakan suara, Agungcakra berusaha

menghindar sejauh-jauhnya. Meski tergolong hijau,

pemuda itu bisa merasakan hawa maut yang disebar oleh

angin pukulan Pangeran Neraka.

"Hu hu hu! Terbukti ucapanku tadi, bukan? Kau

memang terlalu hijau, terlalu bau kencur. Lebih baik,

kembalilah ke ibumu dan minta diteteki!" sembur Pangeran

Neraka.

"Kau boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi, aku tak akan

surut dari pertarungan ini. Kau harus mati di tanganku,

walaupun aku harus membayarnya dengan nyawa!"

"Lalu, kenapa kau harus menghindar sejauh itu? Ayo,

ke sini kau! Biar tinjuku ini sedikit memanjakanmu!"

"Hiaaa!"

Agungcakra memulai pertarungan kembali. Tubuhnya

mencelat tinggi. Satu kakinya membentang lurus ke depan,

sedang yang lain terlipat. Tendangan terbangnya kini

mengancam dada kekar Pangeran Neraka!

Seperti sebelumnya, meski serangan Agungcakra

sudah hampir tiba, Pangeran Neraka kembali

memperlihatkan senyum yang lebih mirip seringai. Tingkat

kepandaian Pangeran Neraka memang terlalu tinggi,

meskipun Agungcakra di dunia persilatan cukup bisa

mengandalkan kemampuannya. Itulah sebabnya, Pangeran

Neraka seperti tak terancam oleh serangan-serangannya.

Sesaat sebelum kaki Agungcakra benar-benar tiba,

Pangeran Neraka membuat satu gerakan tangan. Telunjuk

kanannya teracung lurus pada arah tendangan terbang

pemuda itu.

Tas!

Entah bagaimana caranya, hanya dengan jari telunjuk

tadi. Pangeran Neraka ternyata sanggup menahan

tendangan terbang berkekuatan milik Agungcakra.

Tubuhnya tak terlihat bergoyang, bahkan sekadar getaran

pada pakaiannya.

Sementara di lain pihak, Agungcakra malah ter-pental

balik. Anak muda berwajah tampan dan ber-kesan jantan

itu seperti baru saja menerjang bukit ka-ret yang kenyal!

Tak hanya itu. Ketika kakinya menjejak bumi, Agungcakra

merasakan nyeri yang luar biasa pada bagian kaki yang

bertumbukan dengan jari telunjuk Pangeran Neraka. Rasa

nyeri terus merangsek ke dalam serat-serat tubuhnya bagai

terikut dalam aliran darah.

Urat-urat wajah Agungcakra menampakkan ke-

sakitan.

"Kenapa, Anak 'Menak'? Apa di tempat tinggalmu yang

nyaman kau tak pernah merasakan sakit? Kau tentu terlalu

dimanja para inangmu.... Hu hu hu!"

Agungcakra diam dengan rahang mengatup ra-pat-

rapat, hingga otot-otot sekitarnya terlihat menonjol keluar.

Ejekan-ejekan lawan telah keterla-luan. Bahkan untuk

ukuran orang yang paling sabar sekali pun.

Tekat Agungcakra untuk memberangus nyawa

Pangeran Neraka kian meledak-ledak Maka, tanpa

menimbang lebih lama, Agungcakra segera memper-

siapkan ilmu pamungkasnya. Hanya cara itulah dia bisa

punya kesempatan untuk menghabisi Pangeran Neraka.

Sebelum serangan si pemuda kalap terlepas kembali,

Pangeran Neraka telah lebih dulu melepas satu isyarat

mata pada Ratu Lebah alias Mayang-seruni. Gerak kecil

matanya, seakan hendak memerintah si wanita cantik yang

bernasib malang itu dengan satu kalimat pendek. Habisi

dia!

Begitu Mayangseruni mengeluarkan suara ganjil yang

tertangkap telinga Agungcakra, pemuda itu cepat menoleh.

Hatinya jadi terkesiap melihat bibinya siap melesatkan

ludah berkekuatan dahsyat, seperti pernah disaksikannya

dulu sewaktu bersama Andika dan Anggraini.

"Bibi jangan!" tahan Agungcakra.

Sayang, usaha Agungcakra untuk menahan ke-

bengisan yang kini menguasai seluruh pikiran bibinya, tak

berarti apa-apa di telinga Mayangseruni.

"Chuih!"

Wesss!

Sebisa-bisanya, Agungcakra menghindar. "Heaaa...!"

Sentakan suara terlempar keluar, untuk mengimbangi

pangerahan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh

pemuda itu. Selagi tubuhnya masih di udara, Ratu Lebah

sudah melepas lagi semburan ludahnya. Kali ini, tak cukup

sekali.

"Chuih! Chuih! Chuih!"

Wess... ssss... sss!

Tiga kelebatan serangan ganjil Ratu Lebah melesat ke

arah tiga kedudukan yang amat menyulitkan Agungcakra.

Satu menyergap bagian atas, sedang yang lain melesat ke

bagian kiri dan kanan.

Untuk menyelamatkan kepala agar tak tertembus,

Agungcakra harus membuang tubuhnya ke sam-ping di

udara. Namun begitu, dia harus berjudi dengan ludah maut

yang lain. Jika bergerak lebih cepat, tentu selamat. Namun

kalau terlambat sedikit saja, maka ludah yang meluruk di

sisi-sisinya akan merencah tubuhnya.

Karena keadaan sudah begitu mendesak, Agungcakra

tak bisa lagi berpikir lama-lama. Langsung saja dia

melempar tubuh ke sisi kanan sekuat tenaga.

Sayang.... - Srat!

Seketika itu juga, bagian pinggang Agungcakra

tersayat dalam oleh ludah Ratu Lebah. Tubuhnya

kontan jatuh ters ungkur tanpa sempat berpijak.

Sambil memegangi pinggang yang mengucurkan

darah, Agungcakra menatap nanar wajah dingin dan kejam

Mayangseruni yang dulu dikenalnya sebagai seorang bibi

yang lembut dan welas asih.

"Bibi! Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" lirih si

pemuda tampan dalam kalimat putus asa.

Saat berkata, sehimpun kepedihan lain yang berasal

dari dasar hatinya mengusik benteng kelelakian si pemuda.

Matanya mulai berkaca-kaca. Tali kasih sayang tulus telah

terputus oleh kepedihan yang tak terperi di antara semua

kepedihan. Sebuah kekecewaan yang terlalu berat untuk

ditanggung.

"Apakah..., apakah kau memang sudah melupakan

sama sekali cerita kita waktu kecil dulu?" lanjut

Agungcakra tertahan-tahan. "Tentang cerita kita di taman

bunga kadipaten? Tentang bibi yang berlari riang mengejar

kupu-kupu kecil, lalu aku mengikutimu karena takut kau

celaka? Apa Bibi lupa dengan semua itu?"

Dingin! Hanya dingin yang bisa ditemukan Agungcakra

di wajah Mayangseruni. Semenjak Pangeran Neraka ada di

dekatnya, sisa-sisa rasa kasih sayang di kalbunya bagai

terbelenggu pengaruh jahat.

Hati Agungcakra kian tercabik-cabik. Kalau saja dia

bukan lelaki, tentu akan menangisi semua itu dengan dada

sesak.

"Kau tak tahu, Bibi! Bagaimana sulitnya aku

mencarimu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-

tahun. Hujan dan terik tak kupedulikan. Badai pun tak bisa

menahan tekadku untuk mene-mukan orang yang

kucintai," ucap Agungcakra lamat, seperti berkata pada diri

sendiri. "Tapi, tak kuduga sama sekali. Ternyata aku telah

kehilangan Bibi untuk selama-lamanya. Bibi telah binasa

dalam kemungkaran...."

Agungcakra senyap. Entah putus asa entah sudah

kehilangan kata.

"Kalau kau mau butuh aku, bunuhlah! Sudah terlanjur

kusia-siakan hidup, untuk mencari Bibi yang sebenarnya

tak mungkin kutemui lagi...," bisik pemuda itu lemah

dengan kepala terjatuh.

Detak-detak degup jantungnya melangkah pasrah.

"Chuih! Chuih! Chuih!"

Seruntun kelebatan ludah berkekuatan dahsyat

menuju tubuh kuyu si pemuda. Dalam sekejap, tubuhnya

dikoyak-koyak bagai sehelai daun kering tak berarti.

" Tangan-tangan maut sepertinya adalah jalan terbaik

menuntas hidup Agungcakra yang diberangus kecewa.

Bersama darah yang membasahi sekujur tubuhnya, seiring

keluh panjang atas kekecewaan, Agungcakra mengatupkan

mata perlahan. Sebentang garis bening mengalir lembut di

antara warna merah yang membasahi pipinya.

***

DELAPAN


"Urusan Cakra sudah beres. Dia sudah bertemu

bibinya kembali," cetus Anggraini pada Andika setelah

kepergian Agungcakra dan Ratu Lebah. "Kini tinggal

urusanku denganmu...."

Seperti tak berniat menggubris, Pendekar Slebor

melangkah acuh menghampiri sisa api unggun yang masih

melepas lenggokan asap putih tipis diusik angin malam.

Dijemputnya panggangan daging kelinci. Hampir dingin,

tapi tak dipedulikan. Perut yang begitu lapar membuatnya

begitu lahap menyantap.

"Kau jangan berpura-pura bodoh! Sudah sejak tadi

kau menjengkelkanku. Kalau tak sabar-sabar, sudah

kuhajar kau. Sekarang, cepat ceritakan padaku tentang

cemeti itu!" desak Anggraini. Si dara ketus itu berdiri

bertolak pinggang. Raut wajahnya sudah matang.

Andika melirik enggan pada Anggraini. Dita-riknya

napas dalam-dalam. Agak berat baginya menceritakan hal

sebenarnya tentang cemeti itu. Bukannya tak mau berterus

terang. Dalam hal ini, dia berada dalam keadaan selaku

pembunuh pemilik cemeti tersebut. Bisa jadi, si pemilik

cemeti, Begal Ireng, adalah ayah Anggraini. Kalau benar,

tentu akan menjadi perkara hutang nyawa. Dan Anggraini

bisa-bisa memusuhinya habis-habisan.

"Padahal, aku tak mau bermusuhan dengannya. Aku

tahu, dia bukan gadis sesat. Meski, sifatnya agak ketus,"

gumam Andika tak sadar, terbawa arus pikiran sendiri.

"Hey, apa katamu tadi?" sergah Anggraini.

"Ah, tidak.... Tidak apa-apa," elak Andika.

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Aku ingin cepat-

cepat membereskan urusanku...."

"Begini saja," putus Andika akhirnya. "Sebaiknya, kau

mencari dua orang dari Tiongkok. Karena mereka kembar,

keduanya dijuluki Kembar Dari Tiongkok."

"Apa hubungannya dengan aku?"

"Pokoknya, cari mereka. Dan, korek keterangan dari

keduanya!" tandas anak muda dari Lembah Kutukan itu.

"Apa hubungannya denganku?!" Si dara berpakaian

merah mengotot.

"Sial!" maki Andika jengkel. Pendekar Slebor memang

tidak suka dipojokkan seperti itu. Apalagi oleh perempuan

pula.

"Yah.... Mereka itu amat kenal pada pemilik cemeti

yang kau bawa!" jelas Andika, menyerah. "Mungkin kau

bisa mengorek keterangan dari mereka, tentang kakak

kandung si pemilik cemeti. Se-bab menurut kabar burung,

pemilik cemeti itu mempunyai seorang kakak lelaki...."

"Kalau begitu, terimakasih!" ucap Anggraini ketus.

Dijumputnya cemeti yang terjatuh di sisi sisa api unggun,

lalu beranjak meninggalkan tempat itu.

"Kau mau ke mana?" tanya Andika.

"Ke neraka!"

Andika menggeleng-gelengkan kepala.

"Bagaimana dengan jatah panggangan kelincimu ini?!"

seru Pendekar Slebor lagi.

"Makan saja sendiri. Bukankah kau memang ra-kus?"

cemooh Anggraini di kejauhan.

"Perempuan slompret!"

***

Tiga hari telah berlaku, Anggraini sudah terlihat di satu

sudut kotapraja. Malam sudah tiba. Lampu-lampu minyak

bertebaran semarak di daerah itu.

Tempat yang paling sering dan paling banyak menjadi

sumber berita adalah kedai. Di sana, desas-desus marak di

antara bau arak dan panganan. Dan Anggraini kini

memasuki salah satu kedai. Dia berharap bisa mencuri-curi

keterangan dari obrolan par pengunjung tentang Kembar

Dari Tiongkok.

Gadis itu mengambil tempat, tepat di tengah tengah

ruangan. Tempat yang bagus untuk bisa mendengar ke

segenap penjuru kedai. Sambil terus memasang kuping,

dipesannya makanan. Ketika makanan datang, gadis itu

pun menyantapnya.

Harapan Anggraini terkabul sebelum sempat

menghabiskan santapan malam. Dua lelaki yang tam-

paknya dari dunia persilatan, sedangsantai membica-rakan

sesuatu sambil menikmati tuak keras. Mereka rupanya

sudah cukup mabuk, sehingga lancar saja mengobral

ucapan.

"Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah

membual kegemparan tiga tahun lalu bersama Begal

Ireng?" tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk

memenuhi wajahnya.

"Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah

mati sewaktu Pendekar Slebor mengamuk, mem-bumi

hanguskan mereka?" tanggap lelaki yang diajak berbicara.

Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot.

"Mati? Siapa yang bilang mereka mati? Begal Ireng

memang mampus di tangan pendekar muda itu. Tapi

mereka tidak"

"Ah! Dari mana kau tahu begitu?"

"Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu

mereka. Dengan kalimat-kalimat mereka yang kaku, aku

ditanya tentang Pendekar Slebor...."

"Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu?

Sinting! Apa mereka belum kapok?!"

"Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari

dunia persilatan, Kembar Dari Tiongkok mempersiapkan

diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka mungkin

punya ilmu baru!"

"Ah! Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak

muda sakti itu meski tiga tahun menambah ilmu. Kata

banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan.

Kalau dia bergerak..., bet! Bet! Tahu-tahu, apa yang ada di

depan hancur. Belum lagi, kabarnya dia bisa menyerap

tenaga petir!" tutur lelaki klimis menggebu-gebu. Saking

semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke

lantai.

"Yaaa.... Tuak kita. Kau sih! Cerita pakai mencak-

mencak segala!" gerutu lelaki bauk. "Mana uangku sudah

habis...."

"Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?" sapa

Anggraini yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka.

Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena

pengaruh tuak.

"Wah, rejeki nomplok! Nisanak haik sekali...." sambut

lelaki klimis.

"Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau

memberitahu aku, ke mana Kembar Dari Tiong¬kok pergi,"

lanjut Anggraini.

Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari

Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara

berpakaian merah.

"Aku tahu, Nisanak," kata si bauk. "Setelah bertanya

padaku, mereka pergi ke arah utara, eh....! Tunggu dulu."

Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat.

"Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?" tanya laki-

laki itu pada kawannya.

"Barat maksudmu?" sela Anggraini.

"Ya, barat! Tepat, Nisanak!"

"Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?"

Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat

kemudian wajahnya meringis ngeri.

"Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya

Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Jaraknya tak begitu jauh

dari sini. Kira-kira setengah harian berkuda...."

"Cukup, terimakasih," putus Anggraini, seraya

mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya

uang itu pada si lelaki pemabuk.

"Mabuk sampai pagi!" teriak lelaki itu girang bukan

main. Setelah itu tubuhnya ambruk, tak kuat lagi menahan

pengaruh tuak dalam tubuhnya.

Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar

kedai. Malam itu juga, gadis ini mencari seekor kuda jantan

dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke arah

yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi.

***

Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan

Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut

timur cakrawala. Cahaya jingganya menyapu samar wilayah

itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari tidur.

"Pantas saja tempat ini disebut 'Pintu Sorga'. Ke-

indahannya benar-benar menakjubkan," puji Anggraini

perlahan.

Gadis itu memandangi pucuk-puc uk bunga matahari

jangkung yang masih tertunduk-tunduk, seakan

sekumpulan serdadu mengantuk. Warna kuningnya

menyatu dengan jingga sang matahari.

"Tapi, kenapa tempat itu disebut juga 'Pintu Neraka'?

Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada

tanda-tanda kalau tempat ini seperti neraka...," gumam

gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa

sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng

daerah itu.

Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan

Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini

dia pun mulai mengendalikan kuda tunggangan yang telah

dibelinya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak

berkerikil warna-warni.

Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemu-kan

serumpun bambu kuning setinggi dua kali manusia.

Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin

mengusik. Di dekat serumpun bambu kuning lain, telinga

Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar

gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka

seketika pen-dengarannya ditajamkan. Tak lama

kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah

rintihan seseorang.

Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari

punggung kudanya. Dia langsung berlari ke balik


kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan

terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah

tiang kayu bcsar terpancang angkuh dan dingin. Di

atasnya, tergantung sescorang yang sudah dikenalnya....

Agungcakra.

"Cakra! Apa yang terjadi?" tanya Anggraini, khawatir

melihat keadaan Agungcakra yang mengenaskan.

Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini.

Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya

tergantung. Sudah begitu banyak darah tergenang disana.

Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat

pasi. Matanya terkatup, redup.

Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu.

Dan tangannya pun bergerak sekelebat. Wes... tes!

Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa

kesulitan, seakan baru saja ditebas sebilah kelewang amat

tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun meluncur

jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap.

"Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak

manusia....," kata Agungcakra lirih. Tubuhnya telah

terbaring di tanah, sementara kepalanya senga-ja dipangku

Anggraini. "Tentang seorang yang begitu menyayangi adik

kandung ayahnya. Dia mencari sang bibi yang menghilang

bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal

mcnyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan,

tiba-tiba dia harus menerima kenyataan pahit. Harapannya

untuk menerima kasih sayang yang dulu pernah hilang,

lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti

dulu. Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada

hanyalah perempuan keji yang sudi mencabik-cabik atas

perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai

hubungan darah.... Ugh-ugh!"

Hati lembut Anggraini tersentuh. Nurani

kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan

Agungcakra menjelang ajal yang kian dekat.

"Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...," hibur

Anggraini bergetar lemah.

Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di ke-

dalaman jiwa goyah Agungcakra. Tak terasa garis-garis

bening mulai menggantung di matanya.

"Aku letih mcncari, Nisanak. Amat letih...."

Agungcakra memperlihatkan tawa rapuh yang

demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasib-nya.

"Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana

pun, aku tetap menyayanginya. Hanya 'sisi gulita' dalam

dirinya yang membuatnya begitu," desah Agungcakra,

mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika

dan Anggraini.

Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan

sekadar desah napasnya. Agungcakra telah mati akibat

tangan orang yang disayanginya.

Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya

terpaku diam, memandangi jasad Agungcakra di

pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari

kehalusan pipi gadis itu. jatuh tepat di sisi bibir Agungcakra

yang masih memperlihatkan senyum kekalahan atas

nasibnya.

Belum puas gadis itu melepas keharuan. mendadak

sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang.

Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya

dari kebisuan panjang mengiringi jiwa Agungcakra yang

pcrgi.

"Dia telah mati, Nisanak," ucap seorang di belakang

Anggraini.

Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu

siapa yang ada di belakangnya. Ternyata, orang itu adalah

Andika, yang mengikutinya sejak gadis itu meninggalkan

kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini

sampai tiba di tempat ini.

"Apakah kau percaya?" kata Anggraini, "Kemarin

malam, dia masih tertawa dengan kita. Masih membaca

sajak indah untuk kita...."

Andika tak mampu berkata-kata.

***

Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah

menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di

tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung

kuda masing-masing. Anggraini masih menatap gundukan

tanah basah di depan.

"Kasihan dia...," bisik Andika seolah pada diri sendiri.

Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu

binatang itu berjalan perlahan. Andika menyusulnya di

belakang.

"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Anggraini

pada Andika beberapa waktu kemudian.

"Aku hanya khawatir padamu," kata Andika.

Anggraini menatap Andika lekat-lekat.

"Kenapa? Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu

dikhawatirkan?" ujar gadis itu agak tersinggung.

Andika tersenyum.

"Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari

caramu menotok kuda almarhum Agungcakra waktu itu,

aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan

untuk menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang

baru di dunia persilatan busuk ini...."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari caramu waktu memperlakukan aku dan

Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu

hati-hati. Bahkan kau sempat hendak menurunkan tangan

kejam pada Agungcakra waktu itu...."

"Ya.... Aku memang menyesal...," sela Anggraini,

leringat sikap kasarnya pada pemuda yang ternyata

berusia singkat itu.

"Nah! Menurut pcngalamanku, hanya orang-orang

yang baru turun ke dunia persilatan yang bersikap seperti

itu," papar Andika entcng. Kembali bibirnya

mempcrlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini

agak rikuh.

"Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya,

aku mengira kalian sejenis pemuda hidung belang. Tapi,

nyatanya kalian berhati mulia...," kata Anggraini dengan

kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil,

seolah merasa bersalah.

"Aku? Aku kau sebut berhati mulia?" tukas Andika,

memperlihatkan wajah mencemooh diri sendiri. "Kau

belum tahu saja."

"Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan

bertemu Cakra," kata Anggraini, tak mempedulikan

gurauan Andika. "Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak

hal. Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira

telah bertemu bibinya yang telah dicari sekian lama...."

"Ternyata dia mengalami nasib mengenaskan.

Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak

'bungkusan bagus, tapi isinya bangkai'...," potong Pendekar

Slebor.

Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan

yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini

mempunyai perhatian besar. Tadi, Andika mengatakan

kalau mencemaskan Anggraini. Kini dari mulutnya

melunc ur nasihat-nasihat yang begi¬tu bijak.

Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir

Anggraini. Keketusannya saat itu seperti terbang entah ke

mana.

"Jangan s uka mencuri-curi pandang padaku, Nisanak.

Nanti kau bisa jatuh cinta!" cetus Andika tak terduga.

Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini.

Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan

semu merah yang merebak di kedua belah pipinya.

Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya

yang merah karena malu, mendadak.

"Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini,

harus mati!"

"Heh?!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar,

membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat

keterkejutan mereka hilang, menyusul berkelebatnya

sesosok bayangan merah....

***

SEMBILAN


Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak

menghadang jalan mereka adalah Ratu Lebah. Tampak

masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna

keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas

kematian Agungcakra.

Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian,

memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji.

Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat

untuk menghabisi Agungcakra. Meski bagaimanapun,

ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra masih

tetap tersisa.

Sewaktu Pangeran Neraka memerintahnya

membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi

pertentangan batin dalam dirinya antara pengaruh jahat

Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang tersisa.

Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai

pikirannya. Dengan telengas, Ratu Lebah menyerang

keponakannya sendiri yang sangat disayangi.

Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara

Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu

tanpa kesulitan berarti mengoyak-ngoyak kulit tubuh

Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran

Neraka menjerat kakinya dengan tambang besar.

Agungcakra digantung di sebuah tiang.

"Rupanya sang bibi bertangan dingin itu," kata

Anggraini, menyambut penghadangan Ratu Lebah dengan

riuh. Matanya berkilat-kilat gusar. "Tak kusangka, kau

ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega

menghabisi nyawa keponakan sendiri!"

"Apa maumu Ratu Lebah?" tanya Andika datar.

Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan.

Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan

terakhir Agungcakra. Tapi menurut pengalaman-

pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila

menghadapi tokoh sesat yang sulit terukur kepandaiannya

dengan gegabah.

Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya

menyeringai seraya melempar sorot mata keji pada Andika.

"Perjaka tampan! Kau tentu belum pernah melayang-

layang dalam tungku tanpa batas...," desis Ratu Lebah

dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini.

"Aku tak paham maksudmu," kata Andika. 'Tak perlu

lagi berbasa-basi dengan wanita busuk ini, Andika! Dia

harus menerima hukuman!"

Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak

hatinya melihat seringai Ratu Lebah. Matanya jelas sekali

menemukan pandangan telengas wanita itu.

Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu

tangannya ke depan tubuh perlahan dan pasti. Wajahnya

berubah menegang.

"Kau rasakan ini!" seru Anggraini berbareng gerakan

tangan, membuat pukulan jarak jauh ke bumi.

Wesss!

Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat

terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena

langsung membara selebar roda pedati. Asap hitam

mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemu¬dian....

Grrr!

Bumi bagai digoncang, menciptakan gemuruh

dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Ang¬graini

mulai kalang kabut. Mereka meringkik-ringkik liar dengan

kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu yang amat

menakutkan mereka.

Saat berikutnya, retakan tanah tercipta. Berpusat dari

tempat Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar'nya,

retakan meluas dan Irian meluas. Kuda tunggangan anak

muda itu pun tersentak mundur ketakutan sewaktu

retakan lebar membelah tanah di depan. Seketika kuakan

besar tercipta, memunculkan wujud mengerikan. Besar,

bersisik serta keperakan.

Andika terpukau. Seumur hidup, baru kali ini matanya

melihat makhluk raksasa itu. Bahkan benaknya pun tak

pernah sekali pun membayangkan-nya.

"Kadal linglung-kecoa bunting!" desis Pendekar Slebor

dengan rrtata terbelalak besar-besar, seakan siap

melompat keluar. "Nenek moyang ular dari mana ini?"

Sekilas Pendekar Slebor menatap Anggraini tanpa

sempat berkedip. Hampir tak bisa dipercaya kalau gadis di

sebelahnya itu yang telah mengundang si ular raksasa

muncul.

"Nisanak! Apa kau sejenis siluman ular? Atau kau

mahaguru para pawang ular? Atau..., atau aku yang

memang sudah tidak waras?" tanya Andika padanya.

Anggraini seperti tak pernah mendengar gumam

takjup Andika lagi. Tangan kanannya diacungkan lurus-

lurus ke arah Ratu Lebah. Seolah dia berkata dengan

isyarat pada sang ular raksasa, bunuh perempuan itu!

Waktu itu si ular raksasa setelah takluk pada

Anggraini, diberi nama Naga Bumi. Binatang itulah

sesungguhnya yang dimaksud buyut guru Anggraini sebagai

'kehebatan lain' dari ilmu 'Kekuatan Kembar'. Sesuatu yang

dikata ibunya sebagai 'yang tak pernah terpikirkan'. Panas

hebat dari pukulan 'Kekuatan Kembar' selalu akan

mengundangnya untuk muncul dari perut bumi,

meninggalkan pertapaannya jauh di bawah sana, untuk

menerima titah sang tuan.

Naga Bumi kini sudah menampakkan seluruh

tubuhnya yang menggetarkan. Mulutnya mendesis-desis

dengan suara bagai guruh. Mulutnya menganga,

mengancam Ratu Lebah yang berdiri dua puluh tombak

darinya. "Ssszzz!"

"Lumatkan dia!" teriak Anggraini, penuh gejolak

kemurkaan.

Hilanglah kesan gadis nakal yang sering tampak pada

dirinya. Kini sitatnya telah ganti menjadi seorang perwira

perang wanita berwibawa.

Sementara itu Naga Bumi meliuk kasar, mem-

porakkan kumpulan pohon bunga matahari di sisi jalan

setapak. Kerikil berhamburan. Bumi terus digebah getaran.

Sasarannya hanya satu. Ratu Lebah!

Wuk!

Ekornya membuat serangan pembuka. Deras

menyabet, menimbulkan angin yang bergulung

disekitarnya.

Ratu Lebah cepat melenting lincah. Caranya

menghadapi binatang dari perut bumi itu begitu pasti.

Sedikit pun tak kentara kegugupan dalam dirinya. Wajah

cantiknya tetap sedingin es. Gerakannya tetap mantap.

Selagi melayang di udara, tubuh Ratu Lebah di-terjang

kepala binatang raksasa yang mematuk dengan mulut

menganga.

Satu gaya menyelamatkan diri dari lahapan mulut

sebesar goa kini dibuat Ratu Lebah. Dengan lentur,

tubuhnya yang semula tergulung, merentang lurus ke

depan. Kedua tangannya terbentang ke muka, siap

menyambut kepala lawan. Ketika hampir tertelan, dua

tangan wanita itu menyentak kuat taring besar di mulut si

ular raksasa.

Das!

Ratu Lebah berhasil menjauhi lawannya dengan

memanfaatkan tenaga dorongannya sendiri. Tubuhnya pun

jatuh dengan kuda-kuda matang, siap menanti terjangan

selanjutnya.

Sementara si ular raksasa bagai tak pernah

merasakan sakit pada taringnya. Dia terus saja merangsek.

Jaraknya dengan lawan kecilnya yang tak begitu jauh,

segera dicapai dengan patukan panjang.

Wuuukh!

Pada saat yang sama, Ratu Lebah sedang memu-

satkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, untuk

menahan patukan kepala besar itu.

"Chiaaa!"

Dark!

Beriring teriakan melengking tinggi, pukulan tenaga

dalam Ratu Lebah terlepas, lantas menghajar telak

moncong si ular raksasa. Luncuran kepalanya langsung

terhenti di tempat, seakan baru saja terhadang benteng

kokoh kasatmata.

"Ayo! Serang aku lagi, Binatang Keparat! Biar kukirim

kau ke suatu tempat yang menyenangkan, tempat kita

berpesta dengan siksaan!" tantang Ratu Lebah sulit

dipahami.

Seperti mengerti ucapan lawan, si ular raksasa

memacu kembali tubuhnya dengan kemurkaan maha

besar. Hantaman Ratu Lebah telah membuat darahnya

mendidih. Sepasang mata merah darahnya kian memerah

pekat. Di sisi-sisinya mulai berpijaran.

Anehnya, si ular raksasa tak segera menuju lawannya.

Tubuhnya meliuk ke atas. Lalu tiba-tiba, kepalanya

menyeruduk bumi, menciptakan lobang besar. Kemudian

dia menelusup dan menghilang.

Permukaan tanah di sekitar arena pertarungan

bergetar hebat seperti semula. Tak ada yang tahu, apa

yang hendak dilakukan binatang langka mengerikan itu.

Yang pasti, kini dia sudah mengaduk aduk isi bumi.

Ratu Lebah berdiri waspada. Diperhatikannya

permukaan tanah tanpa berkedip sekejap pun. Mata-nya

liar bergerak kian kemari, menjaga kemunculan sang

lawan yang bisa saja muncul tiba-tiba.

Kewaspadaan Ratu Lebah tak sia-sia. Si ular raksasa,

seperti dugaannya, memang muncul mendadak dari dalam

bumi tepat di atas tempatnya berpijak.

Gruak!

"Haiiit!"

Ratu Lebah berhasil menggenjot tubuh ke atas,

dengan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.

Sayangnya, kemunc ulan kepala si ular raksasa lebih cepat

dari dugaannya. Kepala besar itu cepat menyusul beringas

ke atas dengan mulut menguak lebar-lebar.Plap!

Sekejap saja, tubuh Ratu Lebah masuk ke dalam

rongga mulutnya.

Andika di kejauhan ternganga amat takjup. Wanita itu

pasti telah ditelan mentah-mentah oleh si ular raksasa itu.

Tapi kenyataan berikutnya membuat dia lebih ternganga

takjup. Di dalam rongga mulut Naga Bumi, tampak Ratu

Lebah sedang merentang-kan tangan tubuh dan kakinya

lurus-lurus dan tegang.

Tangannya terganjal di rongga atas mulut Naga

Bu¬mi, sedangkan kakinya bertahan di atas lidah.

Naga Bumi menghempas-hempas kepala ber-kali-kali.

Tubuh calon korban yang mengganjal rahangnya hendak

dilontarkannya. Berkali-kali dicoba, berkali-kali gagal.

Terkadang dicobanya mcngatup-kan rahang untuk

meremukkan sekaligus tubuh Ratu Lebah. Namun usaha

itu pun menemui kegagalan.

"Ck, ck, ck...," Andika berdecak-decak sendiri. Bibirnya

sampai maju-mundur seperti moncong kelinci.

Anggraini di sisinya menatap terus tajam-tajam Sikap

tubuhnya terlihat amat siaga. Tampaknya, dia sedang

menanti satu kesempatan. Entah untuk apa.

Seesaat kemudian, baru jelas apa yang hendak

dilakukan gadis berwajah ketus itu. Kala mulut ular

taklukannya menghadap ke arahnya, secepat kilat

tubuhnya melompat turun dari kuda yang tak henti gelisah.

Dan secepat kilat pula, dua tangannya memben tang lurus

ke depan, melepas pukulan jarak jauh 'Kekuatan Kembar'

tingkat pembuka dibidikkan amat teliti ke tubuh Ratu

Lebah.

Wusss!

. Kekuatan panas terlepas cepat, menembus udara

dan memanggangnya dalam sekejap. Asap putih

membekas, sepanjang lintasan tenaga pukulan tadi.

109

Arahnya demikian tajam, ke tubuh Ratu Lebah di

rongga mulut ular raksasa. Das!

Ratu Lebah kontan terhantam telak. Untung saja,

hanya bagian paha padatnya yang terhajar. Jika sedikit

lebih ke atas, bisa dipastikan nasibnya akan naas.

Kalaupun bisa bertahan menerima rangsekan pukulan

yang sanggup meremukkan karang, tentu tubuhnya akan

terdorong mas uk ke tenggorokan Na-ga Bumi. Dia akan

menjadi isi perut ular raksasa itiu.

Beruntung pula, pada saat bersamaan ketika

tubuhnya kehilangan pertahanan, Naga Bumi meng-

goyangkan keras kepalanya. Akibatnya, Ratu Lebah pun

jadi terlempar keluar dari rongga mulut Naga Bumi. Setelah

melunc ur cukup jauh, tubuhnya jatuh meninju bumi di atas

hamparan pohon bunga matahari.

Srak!

Sekujur paha Ratu Lebah yang terkena pukulan jarak

jauh Anggraini tak bisa lagi digerakkan. Panas luar biasa

begitu terasa, bagai ada panggangan besi membara! Ratu

Lebah tak kuasa lagi berdiri di atas kuda-kudanya.

Sementara, Naga Bumi tak membiarkan wanita

telengas itu sempat bernapas lega. Binatang beringas itu

merangsek lagi dengan seluruh gambaran keganasan serta

kemurkaannya.

Menyadari tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, si

wanita cantik yang kehilangan kewarasan ini memutar jari

telunjuknya di udara, dalam satu pengerahan tenaga

dalam. Maka sekelika suara tinggi melengking pun tercipta.

Swing, swing, swing!

Apa yang sesungguhnya dilakukan wanita itu? Jelas,

dia tidak sedang bermain-main dalam keadaan genting

seperti ini.

Mendadak, dari balik bukit sebelah tenggara, keluar

sebentuk hamparan di angkasa yang berubah-ubah

bentuk. Dari kejauhan, bunyinya bisa ditangkap.

Berdengung hingga ke balik bukit seberang. Berjuta-juta

makhluk sebesar kelingking berwarna hitam, rupanya telah

merambah angkasa. Jutaan lebah yang terkenal memiliki

sengatan paling berbisa di seantero jagad. Bisanya,

beberapa kali kuat daripada bisa seekor ular sendok.

Lebah-lebah itu memang sengaja dibiakkan Ratu Lebah

dengan ramuan khusus yang menyebabkan mereka

memiliki bisa amat kuat.

Dan hari ini, si Pendekar Slebor sedang mendapat

jatah 'ternganga-nganga' yang melimpah. Sudah beberapa

kali dia terbengong-bengong, kini pun mesti terbengong

lagi. Siapa yang tak takjup mendapati pemandangan

seperti itu? Lebah-lebah yang terbang membentuk raksasa

ganjil di angkasa?

"Mak! Aku memang benar-benar sudah tak waras

barangkali, ya?" rutuk Pendekar Slebor pada diri sendiri.

Dipukul-pukulnya kepala seperti orang hilang ingatan.

Tak lama, jutaan lebah itu mendapat aba-aba suara

siutan dari Ratu Lebah, untuk segera menyerang Naga

Bumi.

Ngungngng!

Naga Bumi kontan diserbu makhluk-makhluk kecil

dari berbagai penjuru. Mereka menyengat seluruh kulit

Naga Bumi dengan rakus. Namun, sengatan yang bisa

menewaskan manusia dalam sekian kedip mata itu,

ternyata hanya jadi semacam c ubitan kecil bagi si ular

raksasa.

Naga Bumi mengamuk. Ekornya dikibas-kibas-kan

sambil meliuk-liukkan badan. Ratusan lebah ma-lah

ditelannya begitu saja. Dan ketika sepasukan le¬bah itu

tak juga mau berhenti mengerubungi, Naga Bumi tak ambil

peduli lagi. ^

Tubuh besar terus merayap menuju Ratu Lebah.

Sesaat lagi, wanita itu siap dihantamkan moncong-nya.

Wusss! Set!

Tepat ketika tinggal setengah tombak lagi mon-cong

Naga Bumi menimpa tubuh Ratu Lebah, sekelebat

bayangan menyambarnya amat cepat. Tubuh sintal Ratu

Lebah langsung dibopong di bahu seperti bungkusan

kapas.

"Hey, siapa kau?!" teriak Andika.

Seketika itu juga tubuh Pendekar Slebor berkelebat

cepat, mengejar.

***

SEPULUH


Di dunia persilatan, ilmu kecepatan gerak dan

meringankan tubuh Pendekar Slebor tergolong berada

dalam urutan puncak. Bahkan bisa dibilang sulit dicari

tandingan. Tak jarang orang menyebut kecepatannya

sebagai sambaran petir, atau kecepatan setan.

Andai ada seseorang yang mampu mengecoh Andika

dengan kecepatannya, maka jangan ragukan lagi,

bagaimana tingkat kesaktian orang itu. Hari ini, Andika

bertemu orang semacam itu.

Sewaktu mencoba mengejar orang yang berkelebat

menyambar tubuh Ratu Lebah, Pendekar Slebor terkecoh.

Ternyata orang itu berlari lebih cepat darinya. Padahal,

sedang membopong tubuh orang lain. Dengan cepat,

Andika kehilangan jejak.

Yang menjengkelkan, orang itu muncul lagi di

kejauhan selagi Pendekar Slebor celingukan seperti kera

bodoh. Dia berdiri menanti, memperdengarkan tawanya

yang buruk. Pendekar Slebor jadi merasa diejek. Maka

dengan sepenuh kemampuan, dikerah-kannya ilmu

peringan tubuh. Dikejarnya lagi orang itu. Dan tiba-tiba

pula, orang itu menghilang seperti ditelan bumi.

"Kenapa aku hari ini dibuat kebingungan terus,"

gerutu Andika sambil menggaruk-garuk kepala. "Ada gadis

cantik yang judes tahu-tahu punya peliharaan yang

besarnya minta tobat. Ada wanita jelita setengah gila punya

peliharaan jutaan binatang 'tukang sundut'. Eh, bisa-

bisanya sekarang aku dijadikan bulan-bulanan orang yang

larinya cepat seperti setan...."

Di akhir gerutuan Pendekar Slebor, terdengar lagi

tawa seseorang di kejauhan. Jelek dan serak seperti tadi.

Andika mendengus kesal. Dia merasa dipecundangi hari

ini.

Kalau diperhatikan lebih teliti, Pendekar Slebor

berkesimpulan kalau suara itu keluar dari pita suara

seorang tua renta. Jika lelaki, suara itu terlalu cempreng.

Kalau begitu, pasti suara perempuan bangkotan. Tapi,

siapa?

"Ah, peduli setan!" maki Andika. "Aku tidak mau cepat-

cepat jadi gila memikirkan perempuan bangkotan itu!"

Andika lalu berlari kembali ke tempat semula. Hendak

ditemuinya Anggraini. Biar s udah tahu gadis itu punya

peliharaan yang bisa diandalkan, Andika tetap saja

khawatir dengan keselamatannya. Seperti pernah

diungkapkan pada Anggraini, rimba persilatan terlalu licik

bagi seorang yang baru menceburkan diri ke dalamnya.

Seperti juga Anggraini.

Tak banyak memakan waktu, Pendekar Slebor sudah

tiba kembali. Tapi di Sana, tak ditemukan seorang pun.

Tidak juga Anggraini. Ular raksasa dan se-kumpulan lebah

itu pun sudah tak tampak. Yang tersisa hanya suasana

yang porak poranda, akibat pertempuran dahsyat.

"Eih! Ke mana pula gadis ketus itu?" gumam Andika.

Kepala Pendekar Slebor celingukan ke sana ke-mari.

Tapi, tak ada tanda-tanda arah kepergian Anggraini.

"Anggraini! Anggraini! Anggraini!" panggil Andika.

Tak ada sahutan. Suara Andika kembali lagi, akibat

pantulan bukit yang mengepung tempat itu....

***

Jauh, amat jauh dari Pintu Sorga dan Neraka Dunia,

seseorang tampak berlari cepat. Bahunya membopong

tubuh seorang wanita sintal. Orang yang dibopong

berukuran lebih besar. Tapi, bukan karena itu tubuhnya

membungkuk.

Orang itu adalah nenek tua peot. Rambutnya putih

digelung, dihiasi tusuk konde dari trisula. Seluruh wajahnya

dipenuhi keriput. Di mulutnya tersembul satu gigi besar

yang tersisa. Dia mengenakan pakaian seronokan. Bagian

atas tubuhnya ditutup rompi kulit kayu yang terbuka ke

mana-mana, sehingga buah dadanya yang kendor

bergelayut kian kemari. Bagian bawah tubuhnya ditutup

dedaunan yang diikat menjadi satu ke pinggang.

Nenek peot itu memasuki wilayah pekuburan tua, di

atas kaki gunung. Di tengah kuburan, tumbuh sebuah

pohon beringin besar. Dihampiri pohon itu. Di sisi pohon, si

nenek terbatuk-batuk sesaat. Dan, terbukalah satu sisi

pohon membentuk pintu masuk. Rupanya, saat batuk tadi

dia melepas satu tenaga dalam yang menggerakkan roda-

roda di bawah pintu yang beratnya mungkin lebih berat tiga

kerbau jantan dewasa!

Si nenek masuk. Dan pintu pun tertutup kembali.

Di dalam, ternyata ada tangga menuju ke bawah,

terbuat dari susunan batu besar dari sungai yang dipapas

oleh tangan membentuk persegi panjang.

Setelah menuruni sekitar sepuluh tangga ber-warna

merah, lima anak tangga kuning serta seratus dua puluh

tangga hijau, si nenek tiba di depan pintu kedua. Begitu

pintu batu dibuka, terlihatlah ruangan besar lengkap

dengan perabotannya. Ada meja dan bangku yang

semuanya dari batu. Ada rak tempat piring dan gelas tanah

liat. Ada juga semacam tempat tidur dari tumpukan jerami.

Di tumpukan jerami itu, Ratu Lebah direbahkan.

"Duh, Nduk.J. Nduk. Kasihan sekali nasibmu!" kata si

nenek. Wajah keriputnya terlihat prihatin. "Bodohnya, aku

terlambat mengetahui keadaanmu. Aku terlalu yakin pada

ilmu-ilmu yang telah kuberikan padamu. Untung saja, aku

iseng-iseng keluar dari tempat pertapaan bau pesing ini,

Nduk."

Di lain sisi, si sosok yang diajak bicara hanya diam

tanpa gerak. Matanya terpejam tenang, seperti tak pernah

terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum disambar si nenek

peot, Ratu Lebah alias Mayangseruni rupanya sudah

ditotok lebih dahulu.

"Sebentar, Ndukl" pamit si nenek. "Akan kuambilkan

dulu Baki Penerawangku."

Beberapa lama, perempuan tua itu tampak mencari-

cari sesuatu di sudut ruangan. Bunyi barang-barang

berantakan terdengar kacau dan bising. Mungkin akan

lebih tepat kalau dikatakan sedang mengaduk-aduk

perabotan.

Prak! Gedubrang! Gedubreng!

"Nah hek hek hek! Akhirnya ketemu juga Baki

Penerawang sial ini," cetus si nenek gembira didahului

tawa jelek menyakitkan telinga.

Dengan tertatih-tatih, nenek ini menaruh baki usang

dari sejenis bata laut ke meja batu.

"Sekarang aku perlu air. Air.... hm.... Air di tempayan

sudah kering kupakai untuk berkumur. Mau ambil di luar

malas. Ah! Masa bodoh!" kata si nenek. Segera dibawanya

baki kembali ke satu sudut ruangan. Di sana dia

berjongkok di depan baki.

Srrr!

Tak lama kemudian, si nenek tertawa-tawa puas. Satu

gigi besar berwarna kuning pekat di mulut keriputnya

tersembul.

"Biar pesing sedikit, yang penting air, hek hek hek!"

Kemudian si nenek meletakkan baki di meja batu, lalu

duduk bersila di atas meja batu tersebut. Dengan mata

terpejam, dia bersemadi. Kalau orang lain bersila, nenek

tua renta itu malah berjongkok seperti sedang buang hajat.

Kedua tangannya ditempelkan ke kening. Mulutnya komat-

kamit.

"Ningnangneng... gong, anak bagongmakan sing-kong,

kodok bangkok di dalam centong.... Ning nang neng... pret,

ada lontong disangka kampret! Phuah! ' Phuah! Khoaek

chuih!

Mantera dari dunia antah berantah telah dibacakan si

nenek. Matanya pun terbuka perlahan. Masih tetap dengan

tangan di kening, diperhatikannya permukaan 'air' di dalam

baki.

"Mmm, ya ya. Begitu rupanya," gumam si nenek

seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau ini

terkena pukulan beracun Perusak Saraf dari negeri

Tiongkok, Nduk."

Si nenek mengangkat kepalanya sesaat.

"Weleh, weleh... weleh.... Bisa-bisanya pukulan dari

negeri jauh itu menjahili anak gadisku...."

Si nenek mengembalikan pandangan ke baki. Air

kekuningan di sana kembali mengabarkan berita padanya.

"Jadi, manusia berjenggot kambing gunung itu biang

keladinya. Eee, Manusia Jelek Sial!"

Berita-berita gaib dari Baki Penerawang pun dilihat

terus oleh si nenek, yang sesungguhnya adalah guru Ratu

Lebah. Dialah pertapa wanita yang dulu menculik

Mayangseruni, untuk dijadikan murid. Setelah semua

keterangan dari baki dianggap cukup, acuh tak acuh

dilemparnya baki tersebut ke tempat semula.

Gedubnang!

Dan bau menusuk hidung pun menebar ke segenap

ruangan!

"Sayang sekali, racun itu tak ada pemunahnya, Nduk.

Pengetahuanku tentang racun pun tak bisa menolongmu.

Jadi bagaimana, ya? Tapi menurut Baki Penerawang sial

tadi, kau bisa sembuh oleh pertolongan seseorang yang

telah memakan buah 'inti petir'. Dengan buah itu, orang

tersebut akan menyalurkan kekuatan petir yang bisa

menghancurkan pengaruh racun di otakmu.... Weleh..

weleh... we-leh.... Menyusahkan juga ya, Nduk!

Si pertapa keriput menatap wajah Mayangseruni.

Mata gadis itu masih terkatup tenang. Bibirnya

memperlihatkan lekukan manis, seperti senyum

kebebasan. Pcrlahan dadanya yang padat turun naik

teratur.

"Pokoknya, aku janji. Siapa saja perjaka yang makan

buah 'inti petir' dan bisa menolongmu, maka dia harus

mengawinimu. Kalau tidak mau, tahu sendiri dia! Akan

kusunat dia! Eh! Tapi. mana ada jejaka yang menolak gadis

seayu dirimu ya, Nduk!."

Si nenek tertawa cekikikan.

"Dan buat si jenggot kambing yang mencelakakanmu.

tunggu saja! Akan kubuat lelaki sial itu terkencing-kencing

di celana! Hek hek hek... khoek chuih!"

Sebenarnya, ke manakah Anggraini? Saat Andika

pergi mengejar nenek pertapa yang menyambar tubuh

Mayangseruni, seseorang mendatanginya dari belakang.

Ketajaman telinga yang ter-latih selama di Tanah Buangan,

membuat Anggraini dengan sigap menoleh.

Tampaklah seorang lelaki berusia delapan puluhan

sedang berdiri memandangi dirinya.

"Siapa kau?" tanya Anggraini, mengungkapkan

keingintahuannya.

"Kau sendiri siapa?" kata lelaki berwajah seram itu

balik bertanya penuh selidik.

"Hey?! Pertanyaanku belum lagi kau jawab!" ser-gah

Anggraini agak gusar.

Lelaki itu kembali menatap Anggraini, tajam dan teliti.

Matanya menyusuri setiap jengkal tubuh gadis itu dari

kepala hingga ujung kaki.

"Kau lelaki bangkotan mata keranjang!"' sodok

Anggraini kasar, menyadari dirinya sedang dilalap mentah-

mentah oleh mata lelaki di depannya.

"Baik. Aku biasa dipanggil Pangeran Neraka," sahut

lelaki tua itu.

Ditunggunya tanggapan Anggraini. Gadis itu tak

tampak terkejut mendengar nama angkernya. Padahal,

banyak tokoh persilatan langsung kecut nyalinya

mendengar julukan itu.

"Kau tidak terkejut mendengar julukanku?" tanya

Pangeran Neraka.

"Kenapa harus terkejut? Apa kau kira namamu

membuat aku takut dengan embel-embel 'neraka'?"

cemooh Anggraini ketus sekali.

"Artinya, kau adalah orang yang baru turun ke dunia

persilatan...," simpul Pangeran Neraka, tak menggubris

cemooh tadi.

"Apa pedulimu!"

Sekali ini, mata berbinar menusuk milik Pangeran

Neraka tertumbuk pada cemeti yang melingkar di pinggang

si dara.

"Sejak tadi aku penasaran dengan cemeti itu, Gadis

Muda. Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan

Begal Ireng?" desak Pangeran Neraka penuh selidik.

"Justru hal itulah yang ingin kutahu. Kemarin, aku

dengar pula nama Begal Ireng disebutkan seseorang di

kedai. Kata mereka, dia berhubungan dengan Kembar Dari

Tiongkok!"

"Ada urusan apa kau dengan dua lelaki kembar itu?"

"Bukan urusanmu!"

"Jangan bertele-tele, Anak Gadis! Aku bisa

membawamu langsung pada Kembar Dari Tiongkok, asal

kau katakan apa urusanmu dengan mereka!" te-gas

Pangeran Neraka datar, namun menusuk.

Mata memikat Anggraini menatap Pangeran Neraka.

Kali ini, dia ganti menyelidik. dengan pandangan. Dengan

sedikit menimbang-nimbang, akhirnya Anggraini mau terus

terang juga. Dia memang hanya ingin secepatnya

mengorek keterangan dari Kembar Dari Tiongkok.

"Menurut kawanku, aku bisa mendapat keterangan

tentang cemeti ini dari dua orang itu," kata gadis dari

Tanah Buangan ini.

"Nama kawanmu?" tanya Pangeran Neraka, se¬perti

menyudutkan Anggraini.

"Kau terlalu banyak menuntut, Orang Tua! Kau bilang

tadi hendak membawa aku langsung pada Kembar Dari

Tiongkok!"

"Baik! Kalau kau tak mau menjawab pertanyaan. Tapi

jawab pertanyaanku yang satu ini, dari siapa kau dapatkan

cemeti itu?"

Anggraini menggeleng-gelengkan kepala jengkel.

"Cepat jawab, Anak Gadis. Kalau tidak, aku tak akan

mengantarmu ke Kembar Dari Tiongkok. Dan, silakan kau

bersusah payah mencari mereka," ancam Pangeran

Neraka.

"Ini dari ibuku! Puas? Lagi pula, apa kepentinganmu

menanyakan hal itu...."

"Kupu-kupu Merah?"

Belum juga selesai kalimat Anggraini, Pangeran

Neraka memenggalnya dengan satu kata yang membuat

gadis itu tersentak.

"Hey? Dari mana kau tahu nama ibuku?"

Seperti sebelumnya, Pangeran Neraka tak me-

nanggapi pertanyaan Anggraini. Dia juga tak peduli

kebingungan yang terpancar di wajah gadis belia itu.

Dengan langkah pasti dan mantap, didekatinya Anggraini.

Didekati oleh orang yang baru pertama kali di-

kenalnya, Anggraini jadi curiga.

"Apa maumu?!" bentak Anggraini, mempersiap-kan

kuda-kuda. Siaga.

Pangeran Neraka kian dekat. Jarak antara mereka

tinggal sedepa lagi. Tiba-tiba saja, lelaki berjenggot itu

menyambar kasar kancing baju di bagian dada Anggraini.

Sret!

Begitu cepat tangan itu bergerak. Meski Anggraini

sesigap mungkin berusaha berkelit, tetap saja bajunya

tersobek di bagian dada. Maka seketika buah dada gempal

nan lembut gadis itu pun tersembul sebagian. Tapi, bukan

itu yang menjadi sasaran perha-tian Pangeran Neraka.

Melainkan, seuntai kalung bermatakan ukiran kepala

rajawali.

"Kurangajar!"

Plak!

Betapa murkanya Anggraini. Perbuatan lelaki di

depannya ini tak hanya mempermalukan dirinya. Harga

dirinya merasa ditelanjangi. Tangannya langsung

menampar keras pipi Pangeran Neraka yang tak mengelak

sedikit pun.

"Kau Anggraini?" tanya Pangeran Neraka pelan.

Anggraini terpaku. Masih tetap memegangi bagian

bajunya yang terkoyak, ditangkapnya sinar mata Pangeran

Neraka yang berubah lembut.

"Siapa sesungguhnya orang ini?" bisik hati Anggraini

bertanya-tanya bimbang. Semula, orang ini tahu nama

ibunya. Lalu, namanya pun disebutkan.

"Aku Lodaya. Kakak ayahmu, Begal Ireng...," tutur

Pangeran Neraka....

***

Ratu Lebah telah ditemukan kembali oleh gurunya

yang berperangai ganjil. Nenek peot itu adalah salah

seorang sesepuh golongan putih yang sulit dimengerti.

Dengan begitu, apakah Ratu Lebah berhasil diselamatkan?

Bisakah dia kembali memperkuat jajaran tokoh pembela

kebenaran? Atau dia tetap akan menjadi wanita bengis tak

kenal ampun?

Siapa pula pemuda yang telah memakan buah ‘inti

petir’ seperti disebutkan si nenek?

Sementara itu, Anggraini telah bertemu pamannya

langsung. Si paman sudah pasti akan menceritakan

kejadian sebenarnya, tentang pembunuh Begal Ireng, ayah

Anggraini yang dilakukan Andika.

Apakah dengan begitu rasa sukanya yang mulai

berkecambah di kedalaman hati Anggraini akan diberangus

kebencian? Bisakah gadis itu jatuh hati pada Andika yang

dibencinya?


Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :


             SEPASANG BIDADARI MERAH


Share:

0 comments:

Posting Komentar