"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 23 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MANUSIA LABA LABA

Manusia Laba Laba

 

MANUSIA LABA-LABA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Penyunting oleh Pujl S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Dunia seringkali menciptakan hal-hal yang tak

terduga oleh manusia. Manusia boleh berencana, tapi Yang

Maha Kuasa pula yang menentukan. Tak pula kematian.

Kendati itu hams menimpa orang baik sekalipun.

Kira-kira, begitu yang dialami seorang juragan kaya

raya di Desa Wanasari. Juragan Kama Wijaya panggilannya.

Amat dicintai oleh penduduk sekitarnya, karena

kemurahan hatinya. Suka membantu orang-orang melarat.

Tapi, siapa pula yang dapat menduga datangnya

malapetaka?

Sementara di atas langit sana, angkasa meredup

dalam kegelapan. Malam merambat pelan. Angin yang

berhembus dingin, tak mampu mengusir gumpalan awan

bergumpal hitam yang menghalangi sang Dewi Malam.

Terlalu banyak untuk diusir, karena angin dari selatan terns

saja membawa gumpalan-gumpalan awan ke utara.

Di bawah sana, satu sosok bayangan melompat

keluar dari sebuah semak. Satu sosok lelaki berpakaian

rompi merah, memperlihalkan dada berbulunya. Kepalanya

terlalu pelit untuk ditumbuhi rambut. Mata tajamnya yang

memancarkan warna merab menatap ke depan. Ke sebuah

bangunan besar dan megah. Di depan bangunan itu berdiri

dua orang lelaki bersenjata lombak.

"Hhh! Manusia busuk seperti Karna Wijaya

memang harus mati!" desis lelaki berompi merah. "Jangan

harap aku melupakan penghinaanmu pada lima tahun

yang lalu, Karna Wijaya! Kini saatnya aku menuntut baias

dengan cara lebih mengerikan!

Dengan gerakan sangat aneh, lelaki yang ternyata

berhidung melesak ke dalam itu bergerak ke arah

bangunan yang tak lepas dari matanya. Terlalu aneh bila

melihat gerakannya. Pada saat bergerak demikian, kedua

tangannya pun sudah digunakan pula untuk berjalan.

Namun luncuran tubuhnya tampak demikian cepat. Dan

tahu-tahu, dia telah berada dua tombak di hadapan kedua

penjaga bangunan mi.

"Heh?!"

Dua lelaki yang menjaga bangunan besar itu ter-

sentak ketika melihat satu sosok tubuh bermata merah

telah berdiri di hadapan mereka.

"Siapa kau?!" bentak lelaki penjaga yang berkumis

tebal dengan wajah segarang anjing penjaga.

Tombaknya yang sudah terhunus mendadak

ditarik kembali dengan wajah kaget melihat sosok

mengerikan di hadapannya. "Setankah yang ada di

hadapanku ini?"

Belum juga terjawab pertanyaan penjaga berkumis

tebal itu, lelaki berompi menggerakkan tangannya.

Serrr...!

Sangat aneh sekali apa yang terjadi kemudian.

Karena dari tangan lelaki bermata merah itu meluncur

puluhan benang balus yang langsung menjerat leher yang

membentak tadi. Lalu dengan tarikan lambat, leher si

penjaga bagai tercekik. Tubuhnya kejang sesaat. Tombak

di tangannya pun terlepas.

"Hih!"

Tas!

Dan kejap berikutnya, kepala si penjaga mencelat

pisah dari tubuhnya oleh satu sentakan amat cepat.

Penjaga yang satu lagi baru sadar dari

terkesimanya ketika melihat kepala si kumis tebal pisah

dari jasadnya.

"Setan laknat! Mampuslah kau!" bentaknya.

"Hih...!"

Serrr...!

Namun belum lagi penjaga ini sempat bergerak,

jerat-jerat halus itu sudah mengikat kedua kakinya. Dengan

sekali sentak, penjaga itu terjatuh. Maka saat itu pula

dengan kejamnya lelaki berompi merah menyala itu

menginjak kepalanya hingga pecah.

Jrottt!

"Aaa...!"

"Kalian rupanya pekerja baru di sini! Hhh! Hanya

membuang waktuku saja!" desis lelaki itu.

Lalu dengan gerakan gesit, lelaki yang baru saja

menurunkan tangan telengas itu mendekati tembok pagar

yang tinggi. Matanya memperhatikan sekelilingnya. Dan

setelah merasa aman, perlahan-lahan kedua tangannya

ditempelkan pada dinding. Lalu....

"Hup!"

Lelaki bermata merah memanjat tembok pagar

dengan enaknya! Gerakannya begitu cepat. Dan ketika tiba

di atas tembok, dia merangkak tak ubahnya seekor laba-

laba. Dari atas, terlihat dua orang laki-laki menjaga pintu

masuk bangunan besar itu.

Dari atas pula lelaki berompi merah itu

menggerakkan tangannya. Dua kali. Maka kembali jerat-

jerat halus meluncur dari telapak tangannya, langsung

menjerat leher kedua lelaki penjaga.

"Hih!"

Sekali betot tulang leher kedua penjaga patah

tanpa bersuara lagi. Lalu tubuh keduanya ambruk tanpa

sempat menyadari apa yang telah menyerang mereka.

"Kini tiba saatnya bagimu, Karna Wijaya!

Perbuatanmu yang telah mengusirku dari sini lima tahun

yang lalu harus kau bayar dengan nyawa busukmu! Hhh!

Pada akhirnya, apa yang kuinginkan selama ini untuk ra

iinpersunting Den Asti, akan terpenuhi juga," desis lelaki

berompi merah. Suaranya begitu dingin, menandakan

gelegak dendam mendalam.

Masih dalam keadaan merangkak, si lelaki

bertingkah laku mirip laba-laba melompat dan bergerak

melintasi halaman cukup luas. Ketika tangannya bergerak

ke atas, serat halus pun meluncur ke arah atap bangunan.

Erat dan kuat jerat itu menempel pada bangunan besar itu.

Lalu dengan enaknya dia meniti di atas serat-serat halus

itu hinggap ke atap.

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si lelaki

berambut jarang merangkak ke tengah bangunan. Di

tempat yang jadi tujuannya. dibukanya beberapa buah

genting. Gerakannya hati-hati sekali. Empat buah genting

telah terbuka. Kini tatapannya yang memancarkan warna

merah semakin melebar begitu melihat lelaki bertubuh

gemuk di bawahnya yang sedang tidur nyenyak. Di samping

sosok bertubuh boros, tampak seorang wanita cantik yang

hanya mengenakan pakaian dalam saja tengah tertidur

pulas.

Lelaki aneh itu menelan ludahnya. "Hhh! Aku tak

butuh kenikmatan sekarang. Yang kuinginkan adalah

kematian Kama Wijaya."

Lelaki ini menurunkan tangan kanannya. Dan........

srraaatt!

Jerat-jerat halus kembali meluncur, langsung

melibat leher sosok bertubuh gemuk!

"Mampus kau, Kama Wijaya!" desis lelaki di atas

atap.

"Ohhhkh...?"

Lelaki bertubuh boros yang bernama Kama Wijaya

langsung terbangun dari tidurnya. Dan seketika napasnya

terasa tersengal. Tanpa sadar tangannya memegang ke

leher. Dan dirasakannya jerat-jerat halus berwarna putih

bening membelit lehernya.

Hanya itu gerakan yang bisa dilakukan Kama

Wijaya. Karena kejap berikutnya, nyawanya sudah

melayang dengan leher patah.

"Oh...? Kangmas...?! Kangmas...!"

Wanita cantik di sisi Kama Wijaya kontan

terbangun dan seketika menjerit cukup keras begitu

menyadari suaminya sudah menjadi mayat. Namun belum

juga dia beranjak, jerat-jerat halus sudah melingkari

lehernya. Dan dengan sekali sentak saja, lehernya telah

patah dengan nyawa melayang.

Jeritan si wanita membuat beberapa penjaga

rumah Kama Wijaya tersentak. Seketika mereka

berlompatan dan berlari ke arah kamar majikan mereka.

Brakkk!

Tiga orang lelaki langsung mendobrak pintu kamar

itu. Dan seketika, ketiganya terkejut melihat nyawa majikan

mereka sudah melayang.

"Bangsat! Ada pembunuh kejam di sini! Siaga!"

seru penjaga berwajah lebar, "Cepat sebagian ke kamar

Nona Asti. Jaga keselamatannya!"

Dua orang dari mereka bergegas menuju kamar

putri satu-satunya dari Kama Wijaya. Begitu tiba di sebuah

kamar yang terletak di sisi kiri dari bangunan, mereka jadi

tegang.

"Nona Asti! Nona Asti!" seru salah seorang sam-bil

mengetuk pintu.

Tak ada sahutan apa-apa.

Lelaki penjaga yang mengetuk tadi memandangi

orang di sebelahnya, seolah minta pendapat.

"Dobrak saja!" usul lelaki yang berkumis tipis.

'Bagaimana kalau dia terkejut?"

"Kita bisa menerangkannya. Nyawanya saat ini

terancam oleh maut."

Dengan dua kali tendangan kuat, pintu kamar Asti

terbuka paksa. Keduanya segera memburu masuk. Dan

mereka tercekat, karena tak melihat Asti berada di

kamarnya. Justru yang terljhat, genting atas kamar ini telah

terbuka.

"Kita lerlambat! Nona Asti telah lenyap. Pasti

diculik pembunuh keparat itu. Sebaiknya kita laporkan hal

ini pada Banowo!"

***


2


Kletak!

"Adauwww...! Sial! Hei, Pak Tua! Kau jual batu apa

nasi?!" maki seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus

dengan kain bercorak catur di bahunya.

"Maaf, Den........ Aku tadi terburu-buru. Beras tidak

sempat kubersihkan, karena harus menghadiri

pemakaman Juragan Karna Wijaya. Dan maaf sekali lagi,

kedai ini pun harus segera kututup," ucap si pemilik kedai.

"Lho, lho...? Wahhh.... Kalau begini caranya, lebih

baik kau jual batu rames saja, Pak Tua. Jangan nasi

rames."

Wajah si pemilik kedai memerah.

"Bukan, bukan begitu maksudku, Den. Tetapi, aku

harus menghadiri...."

Iya, aku tidak tuli!" potong si pemuda. "Tadi kau

bilang kau akan menghadiri pemakaman Juragan Karna

Wijaya. Hm.... Siapa dia, Pak Tua?"

"Juragan Kama Wijaya adalah orang kaya yang

paling baik di desa ini. Dia tak segan-segan membantu

siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kemarin

malam, dia dan istrinya ditemukan mati terbunuh. Juga

empat orang penjaganya."

"Walah? Orang iseng mana yang tega-teganya

membunuh orang sebaik itu?" sentak pemuda beralis tebal

seperti kepakan sayap elang sambil menggeleng gelengkan

kepalanya.

Itulah yang sekarang sedang diselidiki. Menurut

kepala penjaga di rumah J uragan Kama Wijaya yang

bernama Banowo, pembunuhnya pasti memiliki ilmu

sangat tinggi. Karena seluruh kejadian itu bagai angin

belaka. Nyata, tetapi tak memiliki bukti siapa

pembunuhnya. Saat ini, mereka juga sedang mencari Den

Asti yang kemungkinan besar diculik si pembunuh," papar

pemilik kedai.

"Siapa pula gadis itu?"

"Dia adalah putri satu-satunya Juragan Kama

Wijaya yang saat kejadian berdarah tak ditemukan berada

di tempatnya. Yang terlihat, hanya atap yang terbuka.

Maafkan aku. Den.... Aku harus tutup sekarang. Karena

aku mengganggu keasyikan Aden makan, maka lebih baik

tidak usah dibayar."

Pemuda tampan yang tak lain Andika alias

Pendekar Slebor nyengir, lalu berdiri.

"Ah, Pak Tua! Kau tak perlu sungkan-sungkan

padaku. Nih, kubayar semua, sekaligus batu yang masih

nyempil di gigiku!" kata Andika, lalu ngeloyor pergi

Pemilik kedai jadi merasa tidak enak dengan sikap

si pemuda. Tetapi, pemakaman Juragan Kama Wijaya

baginya sangat penting. Bergegas kedainya ditutup.

Sementara si pemuda urakan itu telah melangkah

ke arah selatan. Matanya tak henti-hentinya melihat orang-

orang yang bergerak ke arah selatan. Ada yang menjerit-

jerit sambil meneriakkan nama J uragan Kama Wijaya. Ada

yang menangis sesenggukan bagai kehilangan kekasih

tercinta.

"Hebat sekali pengaruh Juragan Karna Wijaya. Aku

jadi penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi,"

desis Andika sambil mengikuti langkah orang-orang itu.

Di sebuah tanah pemakaman, Pendekar Slebor

berhenti bersama orang-orang yang memenuhi tempat itu.

Mata tajamnya langsung terarah pada mayat yang sedang

dibuka penutup kain kafan di bagian wajahnya. Tampak di

leher kedua korban terdapat jerat-jerat halus.

"Hei? Jerat apa itu? Setipis benang dan sukar

sekali dilihat mata biasa. Apakah jerat ini yang membunuh

mereka?"

Ketika para pelayat memegang dan merangkul

tubuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya, Andika

menyempatkan untuk meraba leher mayat Juragan Kama

Wijaya.

"Benar dugaanku. Ada jerat halus. Hmmm....Se-

karang aku yakin..., jerat-jerat bening inilah yang

mengakhiri nyawa mereka. Lalu, apa maksud atap yang

terbuka menurut pemilik kedai tadi? Apakah si pembunuh

sekaligus penculik itu keluar dan masuk lewat atap?"

Sementara itu, Banowo dan tiga kawannya

menyuruh agar orang-orang menyudahi pelukan dan

pegangan. karena kedua mayat itu hendak dikebumikan.

Saat mayat Juragan Kama Wijaya dan istrinya diturunkan,

banyak sekali yang menangis.

"Cari Den Asti! Kasihan nasibnya bila sampai

disiksa oleh si pembunuh!" ujar Banowo kemudian.

"Kita harus mencari si pembunuh itu!"

"Ya! Kita harus mencarinya!"

"Cincang pembunuh keparat itu!"

Teriakan-teriakan bernada kemarahan terdengar

sangat keras sekali diiringi gerakan tangan ke atas berkali-

kali.

Dahi si pemuda urakan yang dikenal sebagai

Pendekar Slebor berkerut.

"Rupanya J uragan Kama Wijaya sangat dicintai

para penduduk di sini. Mereka tak segan-segan

mengorbankan nyawa. Hmm, putri Juragan Kama Wijaya

diculik. Tapi, cantikkah dia? He he he.... Ah, sebaiknya, aku

pergi dulu dari tempat ini."

Namun, sebelum Pendekar Slebor melangkah......

"Hei! Siapa kau, Orang Muda?!"

***

Andika menghentikan langkahnya ketika terdengar

seruan keras. Begitu kepalanya menoleh, tampak wajah-

wajah garang di hadapannya.

"Saudara-saudara memanggilku?" Andika malah

balik bertanya.

"Di sini tak ada orang asing lagi, selain kau, Anak

Muda!" kata salah seorang penduduk, langsung menuding.

"O, itu. Aku hanya kebetulan saja lewat sini. Tadi

aku sempat mampir di kedai di desa ini. Kata pemilik

kedai, di desa ini ada yang terbunuh. Pas aku lewat

pemakaman ini, sekalian saja aku mampir," jelas Andika.

"Lalu mengapa kau masih berada di sini, hah?!"

bentak seorang lelaki berwajah kasar. Di tangannya

terdapat sebilah parang besar yang sangat tajam. Sambil

maju dua langkah, matanya yang memancar kan sinar

kemarahan meneliti Andika.

"Lho? Bukankali ini pemakaman umum? Sejak

kapan ada larangan orang asing tak boleh memasuki

pemakaman? Ah, lucu juga kau, Saudara!" kilah Andika,

mulai konyol sifat urakannya.

"Kurang ajar!" dengus si wajah kasar. "Kawan-

kawan...! Jangan-jangan, pemuda inilah yang menurunkan

tangan setan pada Juragan Kama Wijaya dan istrinya. Juga

dia pula yang menculik Den Asti! Bisa saja dia kembali ke

sini untuk mengetahui keadaan di sini. Setelah dipikirnya

aman, dia pasti akan melakukan tindakan busuk lagi! Ayo,

tunggu apa lagi?! Kita tangkap manusia berhati busuk mi!"

Bagai diberi aba-aba, orang-orang itu segera

memburu ke arah Pendekar Slebor.

"Hei! Apa-apaan ini?! Saudara-saudara salah

tuduh. Aku bukan.... Uts!"

Tetapi kata-kata Andika terpenggal oleh puluhan

senjata tajam yang melesat ke arahnya. Amarah para

penduduk atas matinya orang yang mereka hormati sudah

demikian menggelegak.

Si pemuda menghindar dengan gerakan luar biasa

cepatnya. Hingga sampai sejauh ini tak satu senjata pun

yang berhasil menyentuh tubuhnya.

"Lihat! Dia memiliki kepandaian! Banowo!

Mengapa kau diam saja, hah?! Bukankali kau yang

mengatakan kalau pembunuh Juragan Kama Wijaya dan

istrinya memiliki kepandaian tinggi! Ayo, cincang pemuda

laknat itu!"

Andika lama-kelamaan menjadi jengkel melihat

kemarahan para penduduk yang tak mau mendengarkan

ucapannya.

"Terpaksa aku harus bertindak, tanpa harus

membuat mereka celaka. Paling tidak sekadar

menyadarkan...," gumam Andika.

Maka dikawal satu bentakan keras, tubuh

Pendekar Slebor berkelebat ke sana kemari. Tangannya

bergerak cepat, melepas pukulan tak bertenaga dalam.

Duk! Duk!

Para pengeroyok yang belum kebagian bogem

mentah Andika dipaksa membelalak, melihat kawan

mereka berjatuhan satu persatu. Begitu cepat, seolah

seperti angin saja pemuda itu bergerak.

Andika meringis sendirl Sengaja untuk

menyadarkan tindakan brutal para penduduk.

"Kalau kalian mau mendengar penjelasanku tak

akan begini jadinya," gumam Pendekar Slebor, enteng.

"Apa yang kalian tuduhkan padaku, tak beralasan sama

sekali. Aku hanya kebetulan melewati desa ini."

"Dusta!" seru lelaki berwajah kasar sambil

memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia tadi termasuk

salah satu orang yang mendapat hadiah satu kibasan pada

bagian pinggangnya.

"Jangan terlalu keras bicara, Orang Tua! Jangan-

jangan kolormu telah putus," ujar Andika. Mata nakalnya

mengerjap-ngerjap ke arah kolor lelaki berwajah kasar itu.

Si lelaki kasar seketika merasakan hawa sejuk di

antara selangkangannya. Sejenak matanya melirik takut-

takut. Dan....

"Walah...!" sentak si lelaki kasar seraya kedua

tangannya menutup burung kesayangannya, takut-takut

kalau terbang. Wajahnya kontan merah seketika. Lalu

dengan kegeraman bercampur malu tak terkira dia

menghambur dart tempat ini, setelah menarik kembali

kolornya yang melorot sampai betis.

Kejadian ini membuat para pengeroyok

menurunkan senjata masing-masing. Tindakan Andika

seolah menyadarkan mereka kalau si pemuda tak bisa

dianggap main-main.

"Maaf, bukannya aku hendak mempermalukan

kalian. Aku hanya ingin kalian jangan main tuduh. Oh, ya.

Tadi aku melihat ada yang aneh pada kedua mayat itu. Aku

mehhat ada jerat halus di leher mereka. Kemungkinan

besar, jerat-jerat yang mirip benang ituiah yang membunuh

mereka," ucap Pendekar Slebor.

Mendengar kata-kata si pemuda, orang-orang

terdiam.

"Si pembunuh memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Jerat-jerat halus yang dijadikan sebagai senjata merupakan

benda sangat berbahaya. Dan terus terang, aku belum

tahu dari mana asalnya jerat-jerat halus itu. Akan tetapi,

jerat itu mirip seperti jerat laba-laba. Hanya bedanya, jerat

itu memiliki kealotan atau kekuatan beribu kali lipat. Kalau

kalian bisa sampai tidak tahu saat pembunuhan terjadi, itu

artinya si pembunuh bukan orang sembarangan," lanjut

Andika memaparkan.

"Siapa kau sebenarnya, Orang Muda?" tanya

Banowo, membuka suara. Sementara sepasang matanya

tak lepas dari wajah si pemuda.

Banowo memang cukup terkejut mendengar

penjelasan si pemuda tentang jerat halus di leher Juragan

Kama Wijaya dan istrinya. Sedangkan, dia sendiri tak

melihat apa-apa. Jelas kalau begitu, pemuda yang berdiri di

hadapannya bukanlah orang sembarangan.

"Namaku Andika!" sahut si pemuda sambil

tersenyum.

"Melihat pakaianmu, kau pasti orang rimba

persilatan. Lancangkah kami bila mengetahui julukanmu?"

tanya Banowo lagi.

Ini yang membuat Andika tersenyum kecut. Dia

paling tak suka julukannya diutak-atik. Tapi demi

kepentingan adanya kesalahpahaman tadi, Andika jadi

berpikiran lain.

"Orang persilatan memanggilku Pendekar Slebor."

Seketika wajah Banowo berubah menjadi cerah.

"Maafkan sikap kawan-kawanku tadi yang buta,

Pendekar Slebor. Kami tidak tahu siapa yang berada di

hadapan kami," katanya sambil menjura!.

"Ya, sudah kalau begitu. Hmm..... Aku permisi dulu.

Mudah-mudahan aku bisa mencari si pembunuh keji dan

mencoba menyelamatkan putri Juragan Kama Wijaya," kata

Andika seraya berbalik. Lalu....

Wuuttt...!

Tubuh Pendekar Slebor berkelebat seketika. Se-

bentar saja, tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi.

Sementara Banowo menggeleng-gelengkan

kepalanya.

"Rupanya Pendekar Slebor masih sangat muda.

Sungguh tak kusangka. Mudah-mudahan dia bisa

membantu untuk menemukan Den Asti."

***

3


Enam orang lelaki pekerja di rumah Juragan Kama

Wijaya yang tengah mencari Den Asti, menghentikan

langkah di sebuah hutan lebat. Sengatan matahari siang ini

tak terasa panas, karena sinarnya terhalang kerimbunan

pepohonan hutan.

"Sudah tiga hari kita mencari Den Asti. Lantas ke

mana lagi kita harus mencarinya?" tanya lelaki bertubuh

kurus. Di matanya memancarkan keletihan yang berbalur

rasa geram mengingat kematian majikannya.

"Kita memang tidak tahu harus mencari ke mana.

Namun sebelum Den Asti ditemukan, kita tak usah kembali

ke desa. Kita harus tetap mencarinya," sahut lelaki

bertubuh tinggi besar. "Sebaiknya, kita beristirahat saja

dulu di sini. Kandolo! Kau cari kelinci hutan untuk mengisi

perut!"

Lelaki bertubuh kurus yang dipanggil Kandolo

hendak bergerak. Namun dari balik sebuah pohon besar

melompat satu sosok tubuh kurus dengan rambut bisa

dihitung. Hidungnya melesak ke dalam, terlalu mengerikan

untuk dilihat. Sosok itu tahu-tahu telah berdiri di depan

keenam orang ini.

"Walengkeng!" seru Kandolo, ketika mengenali

orang yang baru muncul.

"Sedang apa kalian di sini?" tanya lelaki

menyeramkan bernama Walengkeng dengan senyum

ganjil.

Memang Walengkeng dikenal sebagai pengurus

kuda di rumah Juragan Karna Wijaya. Cuma saja lelaki ini

punya cita-cita besar, bagai pungguk merindukan bulan.

Tanpa melihat keadaan dirinya, Walengkeng diam-diam

mencintai Den Asti. Suatu ketika Walengkeng tertangkap

basah tengah mengintip Den Asti mandi. Kejadian ini

terdengar oleh orang tua Den Asti. Akibatnya, Juragan

Kama Wijaya marah besar. Sejak itu, laki-laki hidung

melesak ke dalam ini diusir dari rumah Juragan Karna

Wijaya.

Namun kini setelah lima tahun menghilang,

Walengkeng muncul kembali. Maka Kandolo pun men-

ceritakan apa yang terjadi terhadap keluarga Juragan

Kama Wijaya. Walengkeng menggeleng-gelengkan kepala.

"Kasihan nasib Den Asti...," desah lelaki yang

terlalu pelit dengan rambut itu.

"Betul! Dan lebih kasihan lagi bila ia menjadi

istrimu!" ejek lelaki bertubuh tinggi besar sambil terbahak-

bahak, langsung disambut lawa yang lainnya.

Walengkeng tersenyum tipis.

"Ya, ya.... Kau benar, Marwoto. Nasibnya akan

lebih menyedihkan bila dia menikah denganku."

"Dan karena sikapmu yang konyol dan kurang ajar

itulah kau dipecat Juragan Kama Wijaya. Hei, Walengkeng!

Sebaiknya kau sadar siapa dirimu dan siapa Den Asti itu,"

lanjut lelaki yang dipanggil Marwoto.

Walengkeng hanya mengangguk-angguk. Dan

tanpa disadari keenam orang itu, tiba-tiba saja matanya

memancarkan sinar warna merah.

"Hmm.... Di mana orang yang telah membunuh

Juragan Kama Wijaya dan istrinya?" tanya Walengkeng

dengan kepala tertunduk.

Tawa orang-orang itu terhenti.

"Biar bagaimanapun sulitnya, kami akan tetap

mencari Den Asti," kata Kandolo.

Walengkeng mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kebencian di dalam hatinya semakin membuncah. Sejak

lama harga dirinyadiejek oleh orang-orang ini, karena wajah

buruknya dengan kepala nyaris tanpa rambut.

"Kalau begitu, selamat kalian mencari, katanya

sambil menundukkan kepalanya, lelaki ini berbalik lalu

kakinya melangkah pergi dari tempat ini.

"Hei, Walengkeng!" seru Marwoto, "Di mana

sekarangkau tinggal?!"

Walengkeng berbalik, membuat orang-orang yang

melihatnya kontan bergetar mundur dengan wajah kaget.

Bola mata laki-laki berbidung melesak ke dalam itu

semakin memerah sepanas bara. Tubuhnya bagai bergetar.

Bibirnya yang agak tebal mengatup rapat.

"Di neraka!" bentak Walengkeng sambil

mengibaskan tangannya. Sraaat!

Jerat-jerat halus kontan melunc ur kencang ke arah

keenam orang itu. Mereka melengak, ketika jerat-jerat

halus itu bagai mata anak panah melesak masuk ke dada.

"Hih!"

"Aaa...!"

Dan ketika ditarik. tubuh mereka ambruk dengan

darah muncrat disertai teriakan merobek langit. Hanya

sekali gebrak mereka kontan tewas!

"Hhh! Tak ada lagi yang bernama Walengkeng!

Kalian beruntung. Karena, telah berjumpa si Manusia

Laba-laba!"

Seketika tubuh Walengkeng yang menamakan diri

sebagai Manusia Laba-laba pun mendadak berkelebat

amat cepat. Sehingga sebentar saja telah lenyap dari

pandangan.

Senja datang lamat. Pendekar Slebor yang tiba di

hutan tempat terjadinya pembantaian terhadap Kandolo

dan kawan-kawannya langsung mendengus geram. Karena

sosok mayat yang bergeletak di depannya ternyata juga

terdapat jerat-jerat halus yang me-nembus dada. Saat itu

juga dia segera menguburkan mayat-mayat itu.

"Hhh! Kutu kupret! Lagi-lagi jerat-jerat halus ini!

Siapa sebenarnya manusia busuk yang sok jadi laba-laba.

Atau laba-laba betulan. Tapi kalau laba-laba betulan,

sebesar apa binatangnya?"

Andika mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Entah kenapa dia tersenyum sendiri.

"Siapa yang suka ngintip, matanya bintitan.

Orangnya pasti jelek, tapi pemalu. Ha ha ha. Sudah jelek,

pemalu lagi. Entah sudah berapa lama kau berada di

tempat ini. Sebaiknya keluar saja kalau tak mau kutuduh

sebagai pembunuh keenam orang tadi," gumam Andika,

entah ditujukan pada siapa.

"Enak saja kau bicara, Pemuda Gombal! Aku sudah

berada di sini sejak tadi, tahu?! Dan lagi, aku bukan

pembunuh keenam orang tadi. Bahkan kau tak akan

pernah bisa mengalahkan Manusia Laba-laba itu!"

Tak lama memang terdengar sahutan dari salah

satu batang pohon. Lalu meluncur satu sosok tubuh

ramping berpakaian rompi merah yang melapisi pakaian

hitam tipis. Sebentar saja di depan Andika berdiri seorang

gadis, berambut panjang diikat seperti ekor kuda. Di

keningnya terdapat poni yang rata.

Pendekar Slebor tersenyum cerah. Ketajaman

pendengarannya memang tak diragukan lagi. Telinga

tajamnya tadi memang mendengar desah napas halus di

sekitar tempat ini. Namun dia yakin orang yang ada bukan

si pembunuh yang dimaksud. Karena mana ada seorang

pembunuh yang mau susah payah menunggui mayat yang

habis dibunuhnya.

"Ilmu laba-laba sulit sekali untuk dikalahkan.

Karena terlalu licik dan memiliki segudang tipu daya."

"Hm.... Aku suka denganmu, Gadis!" sambar

Andika, hampir tanpa makna. "Belum apa-apa, seolah-olah

kau sudah tahu seluruh kejadian ini."

"Cerewet!" bentak gadis itu. "Aku tahu, kau sedang

mencari Manusia Laba-laba yang telah membunuh keenam

orang itu, bukan?"

"Manusia Laba-laba?" ulang Andika dalam ke-

terpanaan.

"Ya! Sejak menemukan mayat-mayat itu, aku yakin

pelakunya si Manusia Laba-laba. Ketika kuperiksa, aku

menemukan jerat-jerat halus di tubuh mereka. Sama

seperti yang kutemukan pada mayat paman guruku, si Jari

Sakti!"

"Dan kesimpulanmu, yang melakukan perbuatan

hina itu adalah orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?"

"Kau benar. Manusia itu sangat sulit sekali

dikalahkan. Ilmunya begitu aneh dan tinggi. Hanya seorang

yang mungkin bisa mengalahkannya."

"Siapa dia?"

"Pendekar Slebor."

Andika melengak mendengarnya. Kalau begitu,

gadis ini belum tahu siapa dirinya?

"Mengapa kau yakin kalau yang mampu mem-

bunuhnya adalah Pendekar Slebor?" tanya Andika dengan

kening berkerut.

"Dalam perjalananku mencari Manusia Laba-laba,

dua kali aku bentrok denganny a. Yang pertama, aku masih

mampu bertahan. Tetapi yang kedua, aku tak mampu lagi

menghadapmya. Di saat Manusia Laba-laba siap

menurunkan tangan telengas," lanjut si gadis, meskipun

jengkel terhadap Andika. "Tetapi, seorang kakek yang

berjuluk Penghulu Segala Ilmu tiba-tiba muncul dan

menyelamatkanku. Manusia Laba-laba murka. Dan,

pertarungan pun terjadi dengan hebatnya. Namun,

kebijakan orang tua itu dimanfaatkan dengan licik oleh

Manusia Laba-laba. Saat sudah beberapa kali terkena

pukulan maut dari lawannya, Manusia Laba-laba memohon

ampun. Dan selagi orang tua itu mengulurkan tangannya

penuhwelas asih, manusia culas itu mengirimkan satu

serangan maut. Meskipun dapat dihindari, namun tak

urung tangan kiri orang tua itu luka parah akibat jerat dari

Manusia Laba-laba yang langsung melarikan diri.

Kemudian Penghulu Segala Ilmu mengobati dirinya dan

diriku. Dari dialah aku tahu, kalau jerat laba-laba dan

Manusia Laba-laba hanya bisa dikalahkan oleh orangyang

telah memakan buah 'inti petir'. Kalau tak salah julukan

Pendekar Slebor. Sayang aku tak me-nanyakan ciri-cirinya."

"Mengapa harus Pendekar Slebor?" ungkit Andika.

Si pemuda merasa heran karena Penghulu Segala

Ilmu begitu yakin dengan ucapannya. Namun

keheranannya pun tak terlalu lama, karena orang tua itu

memang memiliki pengetahuan luas soal ilmu langka

maupun biasa.

"Tadi sudah kukatakan, pemuda itu memiliki

tenaga 'inti petir'. Bila tubuhnya tersambar petir, maka saat

itulah saat yang tepat untuk memusnahkan Manusia Laba-

laba. Hei? Apakah kau mengenal Pendekar Slebor?" sahut

si gadis.

Andika menggeleng. Entah mengapa dia ingin

mempermainkan gadis ini.

"Kalau jumpa dengannya, aku ingin mencium

tangannya," katanya sambil nyengir.

"Begitu pula denganku. Bahkan aku akan me-

minta bantuannya untuk memusnahkan Manusia Laba-

laba," sambar gadis itu sambil mengerutkan keningnya

melihat cengir kuda Andika.

"Kalau soal itu, kau tak perlu ragu. Apalagi dia

memang tampan dan berwibawa. Siapa yang berjumpa

dengannya, pasti akan merasa suka," bual Andika. Dalam

hati dia cengengesan.

Gadis itu menatap tajam Andika.

"Bagaimana kau bisa tahu tentang Pendekar

Slebor? Katanya, kau belum pemah tahu siapa dia?"

"Aku sering mendengar orang-orang

membicarakannya," sahut Pendekar Slebor. seraya

mengangkat bahunya.

"Hhh! Tetapi mengapa Penghulu Segala Ilmu

mengatakan kalau Pendekar Slebor orangnya urakan dan

suka berbicara seenaknya?" kata gadis itu bagai

bergumam.

Andika mendengus diam-diam. Brengsek juga tuh

orang tua! Desisnya dalam hati. Dia teringat bagaimana

pengalamannya ketika memasuki Alam Gerbang Neraka

bersama Penghulu Segala Ilmu (Baca : "Bunga Neraka").

Dan sekarang orang tua itu mengatakannya urakan dan

seenaknya saja? Hhh! Tetapi tiba-tiba pemuda ini tertawa

sendiri.

Sementara itu si gadis berompi merah

mengerutkan keningnya melihat Andika tahu-tabu tertawa

sendiri.

"Hei? Apakah kau kemasukan setan hutan ini?

Atau..., penyakit ayanmu kumat?"

Andika menghentikan tawanya.

"Maaf..., aku sedang membayangkan bagaimana

sifat Pendekar Slebor sesungguhnya."

"Hhh! Ternyata aku bertemu orang tolol malam ini!

Lebih baik aku meneruskan saja untuk mencari Manusia

Laba-laba!" desis si gadis siap untuk me-langkah.

"Nona.... Mengapa kau mencarinya?"

"Manusia keparat itu telah membunuh paman

guruku. si Jari Sakti."

"Paman gurumu saja bisa dikalahkannya. Bahkan

dibunuhnya. Bagaimana kau bisa menghadapinya?"

"Hhh! Peduli setan! Guruku sudah tiada. Kedua

orangtuaku pun sudah tiada. Hanya tinggal paman guruku

saja yang seharusnya masih hidup! Tetapi, manusia busuk

itu telah membunuhnya secara keji! Dia mempergunakan

ilmu 'Laba-laba' yang diturunkan paman guruku selagi

beliau bersemadi. Padahal, ilmu 'Laba-laba' itu adalah ilmu

simpanannya yang tak pernah dipakai karena begitu

kejam!" urai gadis itu sambil mengepalkan kedua

tangannya kuat-kuat. "Meskipun aku tahu akan

kehebatannya, aku tak peduli. Lebih baik mati di

tangannya daripada membiarkan manusia laknat itu terus

menerus menurunkan tangan jahat!"

"Jadi..., Manusia Laba-laba itu murid paman

gurumu?"

"Betul. Paman guruku menemukannya di lereng

Bukit Tunggul dalam keadaan kelaparan dan tak berdaya

lima tahun yang lalu. Laki-laki dengan hidung melesak ke

dalam dan rambut jarang itu pun dirawat penuh perhatian

oleh paman guruku. Ketika ditanya mengapa berada di

sana, orang yang bernama Walengkeng itu mengatakan

kalau baru saja dipecat dari pekerjaannya di rumah

Juragan Karna Wijaya...."

"Hei!" seru Andika tercekat. "Kenapa?"

"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Sebaiknya teruskan

saja."

"Paman guruku pun menasihatinya agar

Walengkeng tidak mendendam pada Juragan Karna Wijaya.

Lalu diajaknya Walengkeng ke tempat tinggalnya. Entah

karena melihat ketulusan dan kebaikannya, paman guruku

mau mengangkatnya sebagai murid ketika Walengkeng

memintanya. Ilmu yang dimiliki-nya termasuk ilmu 'Jari

Sakti' pun diturunkannya. Dan karena melihat

kejujurannya, paman guruku pun telah menurunkan ilmu

andalannya yang jarang sekali dipakai. Ilmu 'Laba-laba'.

Bahkan, paman guruku memberikan seekor laba-laba

Gurun Gobi yang telah diawetkannya. Dengan mantera dan

ramuan yang dibuatnya, lendir laba-laba Gurun Gobi yang

diawetkan itu dicampurkan. Lalu diberikannya pada

Walengkeng untuk diminum. Setelah meminumnya, dia

memiliki serat laba-laba yang sangat kuat dan tak akan

pernah habis sebelum mati seperti yang dimiliki paman

guruku. Karena semuanya sudah bersatu dengan darah."

Sejenak si gadis menghentikan ceritanya.

Sepertinya ada raut penyesalan di wajahnya.

"Sebelumnya, aku sudah memperingati paman

guruku agar tidak menurunkan seluruh ilmu pada

Walengkeng. Namun paman guruku hanya tersenyum dan

mengatakan kalau sudah memperhitungkan semuanya

masak-masak. Apalagi, Walengkeng sudah bersumpah

akan mempergunakan ilmu yang diturunkannya pada jalan

kebenaran. Hingga akhirnya, aku pun tak bisa berbuat apa-

apa meskipun dalam hatiku begitu ngeri membayangkan

sesuatu yang sebenarnya takut kubayangkan. Dan

kengerian itu pun terjadi. Rupanya manusia busuk itu

hanya menipu paman guruku. Dia berlagak baik, padahal

hatinya culas. Selesai menamatkan seluruh pelajaran yang

diberikan, dia membunuh paman guruku! Apakah aku akan

berpangku tangan saja melihat ke-nyataan ini?"

Wajah gadis itu merah padam menahan geram

mengingat semua itu.

Andika tak berkata apa-apa.

"Hei, tahukah kau, di mana Desa Wanasari

berada?" tanya si gadis.

"Hendak apa kau ke sana?"

"Aku yakin, manusia hina itu memiliki dendam

pada Juragan Karna Wijaya yang telah mengusimya. Tetapi,

tindakan yang dilakukan Karna Wijaya memang benar.

Karena siapa pun tak akan sudi mengawinkan putrinya

dengan manusia bertampang setan itu."

"Kau terlambat," sahut Andika.

Gadis itu mengerutkan keningnya. "Mengapa?"

"Juragan Karna Wijaya dan istrinya mati dibunuh

oleh orang yang kau juluki Manusia Laba-laba. Bahkan saat

ini, putrinya berada di tangan manusia busuk itu!"

Gadis itu mendesah pelan.

"Boleh kutahu, siapa namamu?" usik Andika,

mengalihkan perhatian.

Gadis itu menarik napas panjang untuk mere-

dakan gejolak amarahnya. Ditatapnya Andika dengan

sengit.

"Namaku Larasati!" kata si gadis, akhirnya.

"Nama yang bagus...."

"Aku tidak suka dengan laki-laki ceriwis!" bentak si

gadis tiba-tiba.

"Apakah kau akan mencari Pendekar Slebor?"

"Ya! Sambil lalu pun akan kucari Pendekar Slebor!

Mudah-mudahan dia mau membantuku."

"Percayalah dengan ucapanku. Dia pasti bersedia

membantu."

Gadis itu tersenyum getir, lalu melompat. Dan

dalam sekali pandang, tubuhnya lenyap dalam kegelapan.

Sementara Andika masih terpaku di tempatnya.

"Hmm.... Bila mendengarkan penuturan Larasati,

ilmu yang dimiliki Manusia Laba-laba begitu tinggi. Aku

yakin, Larasati pun pernah diajarkan ilmu 'Jari Sakti'. Dan

manusia yang bernama Walengkeng itu pun memiliki ilmu

yang sama. Ilmu 'Jari Sakti' itu saja sudah sedemikian

hebat. Bagaimana dengan ilmu 'Laba-laba'-nya yang

menurut Larasati adalah ajian andalan paman gurunya?

Hhh! Memusingkan! Dan lagi, aku belum mengerti tentang

penjelasan Penghulu Segala Ilmu yang menurut Larasati

hanya aku yang mampu mengalahkannya. Penghulu Segala

Ilmu saja belum bisa menaklukkannya. Sementara ilmuku

jauh berada di bawah Penghulu Segala Ilmu? Hmm....

Apakah orang tua bangkotan itu sudah sering ngelindur?"

Lalu tubuh Andika pun berkelebat.

***

4


Bagaimana nasib Asti di bawah kekuasaan

Manusia Laba-laba?

Beruntung sekali gadis itu. Walau keadaannya

pucat, tapi Manusia Laba-laba alias Walengkeng belum

menjamahnya. Sampai saat ini, Asti memang tidak tahu

siapa Walengkeng sebenarnya. Yang diketahuinya lelaki

berwajah mengerikan itu bekas pekerja di rumahnya pada

lima tahun yang lalu.

Memang tak jelas asal-usulnya. Walengkeng kecil

waktu ditemukan di pasar Desa Wanasari langsung

menimbulkan rasa iba. Tapi menurut cerita Walengkeng

sendiri, sejak kecil dia telah dibuang keluarganya karena

tak menginginkan kehadirannya yang cacat. Tak heran

kalau lelaki itu tak pernah mengenal ayah dan ibunya.

Sejak usia tiga tahun dia dipelihara oleh seorang

gelandangan pasar. Ketika empat tahun kemudia nsi

gelandangan meninggal dunia, Walengkeng mulai

menjalani ganasnya hidup seorang diri di Desa Wanasari.

Kejamnya dunia tak dipedulikan Walengkeng.

Dirinya tak pernah sepi dari caci dan ejekan. Namun di

usianya yang kesepuluh, nasibnya mulai berubah ketika

Juragan Karna Wijaya menawarkan untuk bekerja di

rumahnya. Bagai setetes air di padang pasir, tawaran

Juragan Karna Wijaya langsung disambut suka cita.

Sepuluh tahun hidup di rumah Juragan Karna

Wijaya, Walengkeng selalu memperhatikan Asti yang juga

telah tumbuh menjadi gadis cantik. Sejak itu, pemuda ini

mulai dihasut iblis. Diam-diam dia mulai mengkhayal bisa

memiliki Asti, sekaligus menikmati tubuhnya. Karena untuk

mengutarakan cintanya jelas tidak mungkin, maka begitu

ada kesempatan Walengkeng mencuri-curi untuk dapat

mengintip Asti.

Para pekerja lain yang sejak semula sudah mulai

curiga, akhirnya memergoki tindakan Walengkeng.

Akibatnya, lelaki itu diusir oleh Juragan Karna Wijaya.

Kini lima tahun kemudian, Walengkeng muncul

kembali. Dan Asti hanya tahu kalau kemunculan

Walengkeng, menurut cerita lelaki itu sendiri, untuk

menolong keluarga Juragan Karna Wijaya yang tengah

dirampok. Untungnya, Asti dapat diselamatkan

Walengkeng, kendati kedua orangtuanya terbunuh.

Si gadis mendesah pendek. Hatinya luka dan sedih

bila teringat nasib kedua orangtuanya. Terutama ketika

mendapati dirinya masih mengenakan pakaian tidur yang

tipis, membuatnya semakin risih bila berhadapan dengan

Walengkeng.

"Tetapi, mengapa sampai saat ini Walengkeng

menolak untuk membawaku kembali ke rumah?" gumam si

gadis, bertanya pada diri sendiri. Padahal, dia sudah

berkali-kali meminta pada Walengkeng untuk

mengantarnya pulang. Tetapi selalu ditolaknya dengan

alasan, keadaan belum aman.

Selama ini, Walengkeng memang belum

memperlihatkan tindakan kurang ajar. Asti tidur di dipan,

sementara Walengkeng tidur di lantai beralaskan daun

pisang. Namun biar bagaimanapun juga, si gadis tidak

merasa aman berada bersama-sama lelaki itu. Terutama,

mengingat pakaian yang dikenakannya. Dia ingin kembali

ke rumahnya, ingin mengetahui keadaan ayah dan ibunya.

Apakah benar mereka telah mati? Kalau memang benar,

sudah tentu Asti tak menghadiri pemakaman mereka.

Hati gadis jelita itu menjadi sedih sekali me-

nyadari keadaannya.

"Apakah selamanya aku harus tinggal bersama

Walengkeng?" desisnya galau. Otaknya sudah buntu

memikirkan, bagaimana caranya bisa keluar dari tempat

ini. Membujuk Walengkeng untuk mengantarnya,

nampaknya akan sia-sia belaka. Karena laki-laki

bertampang seram itu selalu berjanji dan berjanji. Sedang

untuk pulang sendiri, gadis ini tak ada keberanian.

Tiba-tiba telinga si gadis mendengar suara langkah

perlahan di depan gubuk itu. Tampak Walengkeng masuk

sambil membawa buah-buahan di tangan kanan. Di tangan

kiriny a terdapat sebuah bungkusan.

"Oh! Kau sudah bangun, Den Asti?" tanya lelaki itu

tanpa mengangkat wajahnya. Diletakkannya buah-buahan

yang dibawanya di meja kusam. Lalu disodorkannya

bungkusan yang dipegangnya. "Gantilah pakaianmu, Den

Asti. Mudah-mudahan pakaian yang kubeli di kotapraja ini

cocok untukmu. Maaf, mungkin tidak terlalu bagus dan

mahal seperti yang biasa kau kenakan."

Asti mendesah diam-diam. Terus terang,

perasaannya ngeri melihat tampang setan Walengkeng.

Terutama, bila teringat perbuatan busuk yang dilakukan

lelaki itu. Namun diambilnya juga bungkusan itu. Memang

lebih baik menutupi tubuhnya dulu yang masih

mengenakan pakaian tidur.

Sementara, Walengkeng tidak berpindah dari

tempatnya, dan hanya membelakanginya saja.

"Walengkeng.... Kapan kau mengajakku pulang?"

tanya si gadis hati-hati setelah mengenakan pakaian warna

biru muda yang diberikan Walengkeng. Sementara, lelaki

berwajah mengerikan itu s udah menghadap ke arahnya

kembali. Dicobanya untuk memperhatikan wajah seram

yang menunduk itu. Tetapi hanya sejenak. Karena

kengeriannya muncul kembali

"Belum saatnya, Den Asti," sahut lelaki itu pelan.

Asti menghela napas panjang melihat kesopanan

yang diperlihatkan Walengkeng. Tetapi bila mengingat

perlakuan busuk yang pernah dilakukan lelaki itu,

semuanya jadi sirna.

"Aku baru saja dari Desa Wanasari Keadaan masih

belum aman. Aku yakin, pembunuh itu masih berkeliaran."

"Tetapi, apakah aku harus di sini terus-menerus?

Yang benar saja, Walengkeng! Aku ingin kembali ke rumah.

Aku ingin mengetahui keadaan kedua orang-tuaku?" tukas

Asti setengah memaksa dan penasaran.

"Apakah Den Asti tidak suka dengan tempat

tinggalku ini?" kata Walengkeng. "Memang buruk dan

berada di hutan yang mengerikan."

"Bukan itu maksudku.... Tetapi, aku ingin kembali

ke rumah. Aku ingin melihat keadaan ayah dan ibuku."

"Mereka sudah dimakamkan, Den Asti."

Hati Asti kembali menjadi sedih.

"Dan aku tak pernah melihat mereka untuk

terakhir kalinya."

"Bila keadaan aman, aku akan mengantar Den Asti

kembali pulang."

"Aku ingin sekarang."

Tiba-tiba Walengkeng yang sejak ladi berbicara

selalu menunduk, mengangkat kepalanya. Hati Asti kontan

ciut ketika melihat tatapan mata Walengkeng yang

mendadak berubah merah. Dia merasa dirinya hendak

ditelan bulat-bulat.

"Bila kukatakan belum saatnya, itu berarti

memang belum saatnya, Den Asti," tegas Walengkeng.

Meskipun matanya berubah mengerikan, namun nada

suaranya tetap sama. "Sekarang..., makanlah buah-buahan

itu. Dari kemarin kau belum makan, Den Asti."

Entah karena memang lapar atau karena

ketakutan melihat tatapan membara dari Walengkeng,

dengan gemetar Asti mengambil manggis hutan yang

disodorkan Walengkeng. Dia memakannya dengan

memalingkan wajah dari Walengkeng.

"Hhh! Bisa saja aku menggarapmu sekarang juga,

Asti. Tetapi, aku ingin kau menyerahkan seluruh yang

kuinginkan dalam keadaan sadar dan pasrah. Bukan harus

kutotok, harus kujebak dengan jamu perangsang.

Melainkan, dengan sikap seorang istri pada suaminya.

Tetapi, aku akan bersabar menunggu saat yang tepat

untuk mendapatkanmu. Karena, kau tak akan bisa

melarikan diri dari tanganku. Tak akan pernah kulepaskan

apa yang kudapatkan sekarang ini. Terlalu bodoh bila aku

meninggalkan semua yang sudah berada di depan

mataku," desis Walengkeng dalam hati.

Asti yang sudah menghabiskan sebuah manggis

hutan justru tidak enak bila dalam keadaan berdiam.

Apalagi, berdua-duaan dengan Walengkeng. Tapi bisa saja

dia menganggap Walengkeng tak memiliki wajah setan

seperti itu, daripada berdiam diri. Dan dia ingin mengetahui

sesuatu yang telah lama dipendamnya.

"Selama lima tahun..., apakah kau membenci

ayahku, Walengkeng?" tanyanya.

Walengkeng menggeleng sambil tersenyum.

"Tidak, Den Asti. Apa yang dilakukannya memang benar.

Karena aku telah melakukan sesuatu yang buruk. Aku

sendiri ingin minta maaf pada Den Asti atas perbuatanku

yang berakibat harus diberhentikan dari pekerjaan. Tetapi

terus terang, aku melakukannya karena..., aku mencintai

Den Asti."

Asti bergidik membayangkannya.

"Dan selama lima tahun kau berada di hutan ini?"

tanya si gadis mengalihkan perhatian dari masalah cinta

Walengkeng.

"Ya!" sahut Walengkeng, singkat.

"Hutan apa ini namanya, Walengkeng?"

"Hutan Babat Roban."

"Jauhkah hutan ini dari tempat tinggalku?" tanya

Asti, sekaligus ingin mengetahui arah mana yang di

tempuhnya bila memutuskan untuk melarikan diri.

"Membutuhkan waktu dua hari dua malam untuk

tiba di Desa Wanasari. Juga, harus melalui jalan yang

sangat sulit. Karena begitu keluar dari hutan ini, terdapat

sebuah lembah landai yang mengerikan. Lalu, akan

memasuki Hutan Tinggi. Dan setelah melewatinya, barulah

tiba di rumah, Den Asti. Bila belum mengenal jalannya, kita

pasti akan tersesat. Aku pun membutuhkan waktu

berbulan-bulan untuk mengakrabi hutan ini, hingga

akhirnya terbiasa."

"Kau tidak merasa kesepian?"

"Sejak lima tahun ini aku selalu merasa kesepian.

Tetapi selama empat hari ini, hatiku selalu riang

Karena ada Den Asti di sini."

Tanpa sadar tubuh Asti menggigil. Secara tidak

langsung hati wanitanya menangkap isyarat kalau

Walengkeng masih mencintainya. Dan perasaannya kini

menjadi tegang dan ketakutan. Kalau begitu, tempat ini

memang harus ditinggalkannya. Bila dia terus-menerus di

sini, bisa jadi Walengkeng akan memaksakan

kehendaknya.

"Kau pandai berbicara rupanya," kata Asti, untuk

menenangkan hatinya.

Walengkeng menggelengkan kepalanya. "Itulah

kenyataannya, Den Asti. Selama lima tahun aku me-

mendam rindu yang semakin hari terasa semakin da¬lam

pada Den Asti. Bahkan aku merasa tak akan pernah

bertemu Den Asti kembali. Namun, Gusti Yang Maha Kuasa

mcngabulkan permohonanku siang dan malam."

Asti bertambah gelisah. Dia merasa harus

mengubah pokok pembicaraan. Kupingnya terasa panas

mendengar pernyataan Walengkeng yang seperti

mendapat kesempatan. Apa yang dilakukan lelaki itu

memang sebuah bujukan di balik sikapnya yang sopan.

Karena secara tak langsung, apa yang ditunggu selama ini

dibuka oleh Asti sendiri. Dan s udah tentu lelaki berwajah

menyeramkan ini tak membuang kesempatan yang ada.

Dia tetap menginginkan Asti menyerahkan dirinya dengan

suka rela. Bukan dalam paksaan.

"Den Asti.... Apakah kau...," Walengkeng sengaja

menghentikan kata-katanya untuk melihat sikap gadis

manis itu.

"Apa... apa yang hendak kau katakan,

Walengkeng?" sahut Asti dengan suara bergetar. Sedikit

banyaknya dia sudah menangkap isyarat yang

menggelisahkan hatinya.

"Sudahlah.... Rasanya belum tepat aku

mengatakan yang sebenarnya. Namun aku yakin. Den Asti

tahu apa yang kupendam selama ini. Aku mencintai Den

Asti. Dan, menginginkan...."

"Walengkeng!" potong Asti dengan kegelisahan

merajai tubuhnya. Wajahnya nampak pucat dengan bola

mata jernih bergerak cepat. "Sampai saat ini, aku belum

mengetahui keadaan kedua orangtuaku, meskipun kau

mengatakan mereka sudah mati di tangan pembunuh

kejam itu. Aku ingin sekali melihat makam mereka. Aku

ingin menyembangi dan bersujud di makam keduanya,

Walengkeng. Tentunya kau mengerti perasaanku saat ini,

bukan? Aku begitu sedih memikirkan nasib mereka....."

Walengkeng hanya menganggukkan kepala

meskipun hatinya berubah geram. Dia sadar. secara tidak

langsung Asti menolaknya.

"Bila kau tetap menolak, aku bisa memaksakan

kehendakku dan mendapatkan apa yang kuingin-kan...,"

kata Walengkeng, mendesis dalam hati.

"Walengkeng.... Berjanjilah untuk segera

mengantarku pulang," pinta Asti pelan.

Walengkeng tak menyahut. Sudah tentu

permintaan itu tak akan dikabulkan. Dia ingin

mendapatkan apa yang telah lama diimpikannya.

Dan sebelum ada yang berkata apa-apa....

"Tempat itu layak untuk kita tinggali sebelum

meneruskan mencari Pendekar Slebor, Kawan-kawan!"

Terdengar suara keras yang disertai tawa ter-

bahak-bahak.

***

5


Seorang lelaki bertubuh setengah bulat dengan

kepala agak botak tengah melangkah bersama tiga orang

lainnya. Kepalanya diikat kain berwarna merah yang di

lengahnya ada gambar bulan sabit. Di tengahnya terdapat

beberapa buah gelang bahar besar.

Lelaki itu terbahak-bahak lagi, memperlihatkan

bungkahan dua pipinya yang semakin bertambah bulat.

Suaranya menggema di seluruh hutan itu.

"Kita bisa menyusun kembali semua rencana

untuk menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Hhh!

Dua minggu sudah kita mencari Pendekar Slebor. Tetapi

sampai saat ini, keparat itu belum juga kelihatan batang

hidungnya!" lanjulnya.

"Kau periksa tempat itu, Dwipolko!" ujar lelaki yang

bertubuh tinggi besar. Wajahnya dipenuhi cambang. "Hhh!

Barangkali kita memang bisa memakainya sebagai tempat

beristirahat sebelum menuntaskan dendam pada

Pendekar Slebor! Aku tak ingin lima sahabat kita mati

penasaran karena ulahnya!'

Mendengar kata-kata lelaki yang bercambang

bawuk itu, lelaki setengah bulat yang dipanggil Dwipolko

menggeram sambil mengepalkan tangannya. Lalu kakinya

melangkah untuk memeriksa gubuk di depannya.

Sementara, tiga orang temannya menunggu di depan

gubuk dengan hati penuh dendam pada Pendekar Slebor.

Jelas sekali, kalau mereka memiliki dendam kesumat pada

pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu.

Sedangkan di dalam gubuk, Walengkeng yang

sebenarnya berjuluk Manusia Laba-laba berdiri tegak

ketika melihat gelagat kurang menguntungkan. Dia

menggeram penuh amarah, karena manusia-manusia yang

datang itu membuyarkan seluruh rencananya untuk

merayu Asti.

Asti sendiri yang tadi terkejut mendengar suara itu,

lebih terkejut lagi ketika melihat mata Walengkeng tiba-tiba

memerah kembali. Ketika lelaki setengah bulat tahu-tahu

sudah berada di depan pintu. Tanpa sadar si gadis

beringsut ke pojok dengan tubuh agak bergetar.

Dwipolko terbahak-bahak keras ketika melihat

gubuk itu ternyata berpenghuni.

"Luar biasa! Rupanya ada monyet kesasar di sini!

Dan..., oh! Seorang bidadari dari kayangan berada di sini!

Menyenangkan! Sangat menyenangkan!"

Begitu mendengar suara Dwipolko, ketiga

temannya segera melesat ke arah pondok. Mereka tak

tertarik dengan kata-kala pertama dari laki-laki setengah

bulat itu. Tetapi kata-kata yang kedua yang membuat

mereka seperti singa kelaparan. Dan mereka terbahak-

bahak ketika melihat apa yang dikatakan Dwipolko.

Walengkeng alias Manusia Laba-laba

mengepalkan kedua tangannya.

"Siapa kalian?" tanya Walengkeng. Suaranya

bergetar dan dingin.

Asti semakin terkejut menyadari perubahan yang

terjadi pada diri Walengkeng. Dulu dia tahu, lelaki itu

hanyalah lemah. Tetapi, dari suaranya kini menandakan

kalau Walengkeng bukanlah orang lemah seperti dulu. Dan

Asti menangkap nada kejam pada bentakannya.

Keempat orang yang berlampang menyeramkan

itu terbahak-bahak.

"Hei, Manusia Setan!" seru Dwipolko. "Apa yang

kau lakukan di sini bersama bidadari itu? Serahkan

bidadari jelita itu. Maka nyawa setanmu tak akan pernah

kami cabut!"

"Lancang bicara, hanya mencari kematian!"

"Setan alas!" maki Dwipolko dengan wajah

seketika memerah seperti udang rebus. "Apa kau belum

tahu berhadapan dengan siapa, hah?!"

"Katakan nama-nama busuk kalian! Karena, aku

perlu mengingat siapa saja manusia yang mampus di

tanganku!" ujar Walengkeng, dingin.

"Monyet hidung sumplung! Kau mencari mampus!

Kami adalah empal orang dari Sembilan Iblis! Namaku

Dwipolko, berjuluk Iblis Rembulan. Yang berpakaian kuning

adalah Bresatar. Julukannya Iblis Kaki Seribu. Yang tinggi

besar bernama Jenggolo. Dia berjuluk Iblis Tangan Dewa.

Dan yang berbaju sehalus sutera bernama Upasonto.

Julukannya Iblis Baju Sutera! Nah! Sekarang, minggat dari

sini! Biarkan bidadari jeh'ta itu.menemani kami, daripada

nyawa busukmu melayang!"

Walengkeng terdiam. Namun, tatapan matanya

bertambah membara, menebarkan hawa kematian.

"Aku tak punya silang sengketa dengan kalian!

Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku

menjadi-jadi!" tegas Manusia Laba-laba, menggetarkan.

"Ha ha ha...!"

Ancaman Walengkeng itu dibalas tawa empat

orang yang mengaku sebagai Sembilan Iblis. Mereka tak

lain adalah para anggota Sembilan Iblis yang pemah dibuat

porak-poranda oleh Pendekar Slebor. Lima orang dari

Sembilan Iblis telah menemui ajal. Dan kini, sisanya yang

telah berpisah setelah bertarung dengan Pendekar Dungu

dan Lelaki Berbulu Hitam, muncul kembali. Mereka telah

bersatu untuk menghancurkan Pendekar Slebor! Karena,

gara-gara Pendekar Slebor kekuatan mereka menjadi

kacau (Untuklebih jelasnya, silakan baca: "Istana Sembilan

Iblis").

"Aku ingin lihat omong besar orang berhidung

sumplung itu!"

Begitu habis kata-katanya, tubuh Dwipolko alias

Iblis Rembulan berkelebat. Angin dingin menderu tajam

mengiringi luncuran tubuh.

Sementara Walengkeng alias Manusia Laba-laba

tak bergerak dari tempatnya. Matanya semakin nyalang

dengan kemarahan membludak. Namun begitu tangan

kanan dan kiri Iblis Rembulan bergerak, tubuhnya

dimiringkan sambil mengibaskan tangan.

Siting!

Dua buah larik sinar hitam yang menggidikkan

melesat. Iblis Rembulan yang tak menyangka akan

mendapat serangan mendadak cepat membuang

tubuhnya.

"Manusia setan! Pantas kau berani omong

banyak!" bentak Iblis Rembulan dengan wajah pias. Begitu

bangkit, dia melihat sebuah pohon hangus seketika

terkena hantaman sinar hitam yang mengerikan tadi.

"Tempat ini terlalu kecil untuk kita!" dengus

Manusia Laba-laba, langsung melompat ke atas. Brosss...!

Tubuh Manusia Laba-laba menerobos atap rumbia.

Di udara dia berputaran. Dan begitu lelaki ini hinggap di

tempat yang agak terbuka, empat anggota dari sisa

Sembilan Iblis segera mengurungnya.

Sementara Asti yang beringsut di s udut gubuk, tak

terasa tubuhnya menggigiL Kengerian macam apa yang

akan dialaminya lagi? Apalagi, melihat perubahan wajah

dan sinar mata Walengkeng yang mengerikan. Dan tadi...,

oh, Gusti! Sejak kapan Walengkeng memiliki kepandaian

mengerikan?

Iblis Rembulan yang marah karena serangannya

digagalkan dengan mudah segera menyerang kembali. Kali

ini lebih mengerikan dari serangan yang pertama. Sambil

maju, tangan kanannya bergerak ke arah Manusia Laba-

laba berkali-kali.

Sinar merah berbentuk bulan sabit melesat

menggiriskan ke arah Manusia Laba-laba. Namun dengan

gerakan aneh, Walengkeng merangkakkan tubuhnya. Dia

bergerak cepat ke sana ke mari membuat sinar merah itu

hanya menghantam beberapa pohon hingga langsung

terpolong pada bagian tengahnya.

Dan sambil merangkak menghindari serangan Iblis

Rembulan, Manusia Laba-laba mengibaskan tangannya ke

atas berkali-kali. Maka seketika jerat-jerat halus menempel

di dalam pohon dengan ganjilnya, dia meniti jerat-jerat

halus itu. Tindakan ini membuat keempat lawannya

sejenak terperangah. Karena, gerakan seperti itu tak

mungkin bisa dilakukan siapa pun.

Iblis Baju Sutera yang lebih dulu tersadar dari

keterkesimaannya,

"Setan alas! Manusia keparat itu menguasai ilmu

laba-laba! Iblis Rembulan, hati-hati!"

Namun seruan itu terlambat. Karena begitu

menginjak batang pohon, tangan Manusia Laba-laba

langsung bergerak kembali

Sraaat!

Jerat-jerat halus kontan melilit tubuh Iblis

Rembulan yang baru saja hendak melesat mengejar

manusia rambut jarang itu. Tubuhnya terpuruk jatuh begitu

disentak kuat-kuat oleh Manusia Laba-laba. Dan belum lagi

menyadari apa yang terjadi, tubuh

Walengkeng sudah bergerak menuruni jerat-jerat

halusnya. Kedua tangannya merentang. Dan.... "Heigghkh!"

Bagai capitan tang raksasa, kedua tangan

Manusia Laba-laba mencengkeram leher Iblis Rembulan.

Dwipolko meronta-ronta hebat, namun tak mampu berbuat

apa-apa. Karena, jerat-jerat halus itu begitu alot dan

menyulitkan gerakannya. Kejap berikutnya....

"Aaa...!"

Nyawa Iblis Rembulan pun melayang dengan leher

patah dikawal oleh leriakan menggiriskan. "Heaaah...!

Chhuhhh...!"

Dengan bengisnya, Manusia Laba-laba melempar

tubuh Iblis Rembulan sambil meludah. Tatapannya yang

membara mengalih pada tiga lawan lainnya yang hanya

terbengong. Karena, baru kali ini mereka melihat ada yang

memiliki ilmu dahsyat seperti itu.

"Kurung manusia anjing itu! Hati-hati! Jerat-jerat

laba-labanya sangat berbahaya!" teriak Iblis Baju Sutera,

memecah keterpanaannya.

Sehabis berkata begitu, lelaki berbaju sutera ini

sudah meluruk dahsyat. Menyusul kemudian, Bresatar

alias Iblis Kaki Seribu dengan serangan kaki yang cepat,

hingga menimbulkan gemuruh angin bak topan prahara.

Tak ketinggalan Jenggolo alias Iblis Tangan Dewa. Begitu

mengibaskan tangannya, cahaya panas dengan kekuatan

raksasa langsung meluruk dahsyat.

Namun Manusia Laba-laba dengan lincahnya

bergerak ke sana kemari di atas jerat-jerat halusnya. Dan

selagi menghindar, telunjuknya bergerak membabi buta.

Maka puluhan sinar hitam melesat dari ilmu 'Jari Sakti' nya.

Ketiga lawan mendengus dengan kemarahan

menyentak-nyentak. Namun bagi mereka sangat sulit

sekali untuk mendekati Manusia Laba-laba. Karena

merasa sadar, sekali terjerat jerat-jerat halus namun alot

itu, maka sudah dipastikan tak akan bisa melepaskan diri.

Berarti, nyawa sudah di ujung tanduk.

Namun Iblis Kaki Seribu yang geram akibat

kematian Iblis Rembulan tak mempedulikan soal itu lagi.

Dengan ilmu 'Kaki Seribu' nya, tubuhnya bergerak bagai

baling-baling dengan kepala di bawah. Gemuruh angin

bagai topan mengamuk langsung terjadi.

Kini tubuh Manusia Laba-laba terombang-am-bing

dalam jerat-jerat halusnya. Dia berkali-kali harus

menambahkan kekuatan jerat-jeratnya melalui tenaga

dalam.

Sementara, Iblis Baju Sutera dan Iblis Tangan

Dewa mengalirkan tenaga dalam pada kedua kaki untuk

bertahan. Namun wajah dan tubuh mereka terasa bagai

ditampar tangan raksasa yang keras sekali.

Pepohonan yang berada di sana seketika tumbang

terhantam kekuatan dahsyat. Dan kekuatan itu lerus

melunc ur ke arah gubuk reyot yang di dalamnya terdapat

Asti.

***

Di dalam gubuk reyot itu, Asti semakin terpaku

dalam kengerian, begitu melihat perubahan yang terjadi

pada diri Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Saat

melihat pertarungan, si gadis menjeril ketika Walengkeng

menggerakkan tangannya yang meluncur sinar hitam

mengerikan. Kesadarannya kontan tersentak. Dilihatnya

lelaki hidung sumplung itu telah berubah menjadi orang

berilmu tinggi.

Kesadaran itu menimbulkan sebuah tekad. Maka

Asti pun perlahan-lahan beringsut. Lalu dengan hati-hati

dan agak susah payah dia keluar melalui jendela. Dan saat

itu pula langkahnya bergerak meskipun berkali-kali harus

tersaruk akar pohon besar yang keluar dari tanah. Pada

saat yang sama.... Brasss...! "Aauww...!"

Dan si gadis berleriak keras ketika tubuhnya

hampir saja terhantam gubuk yang diterbangkan angin

yang ditimbulkan serangan Iblis Kaki Seribu.

Menyadari hal itu, Asti menghela napas panjang

dan merasa beruntung karena memutuskan untuk

melarikan diri. Bagaimana kalau tidak?

Dengan menambah semangatnya, Asti pun

melangkah lebih bergegas. Tak dipedulikan lagi jalan mana

yang harus ditempuh. Yang diinginkan sekarang ini, pergi

sejauh-jauhnya dari Walengkeng!

***

Manusia Laba-laba seketika menoleh ketika gubuk

reyot tadi diterbangkan angin. Matanya terbelalak ketika

tak melihat Asti berada di sana. Dugaannya, gadis itu pasti

sudah melayang diterbangkan oleh angin dari Mis Kaki

Seribu.

Berpikir seperti itu, Manusia Laba-laba menjadi

bertambah geram. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke

bawah, setelah mengirimkan jerat-jerat halusnya. Lalu

dengan melompat layaknya seekor laba-laba berpindah

tempat, sambil berbalik tangannya me-ngibas.

Srat! Srat!

Jerat-jerat halus Manusia Laba-laba langsung

mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Dan seketika

diputarnya tubuh lelaki itu dengan kekuatan cepat.

Brukk!

Gerakan Iblis Kaki Seribu terhenti. Bersamaan

dengan itu, tubuhnya ambruk dengan kaki terikat.

"Anjing keparat!" maki Iblis Kaki Seribu sambil

mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan kakinya

dari jerat-jerat halus yang begitu kuat.

Pada saat yang sama, Iblis Tangan Dewa dan Iblis

Baju Sutera langsung memburu ke arah Manusia Laba-

laba. Mereka bermaksud menyelamatkan nyawa Iblis Kaki

Seribu yang terancam.

Namun lagi-lagi gerakan mereka terhenti ketika

tangan Manusia Laba-laba mengibas, melepaskan jaring-

jaring kuat hingga keduanya sulit untuk masuk. Masih

untung mereka mampu menahan laju kecepatan, hingga

tak menempel pada jaring halus itu.

Mendapat kesempatan baik, Manusia Laba-laba

sendiri sudah melesat meninggalkan tempat itu. Yang

terpenting baginya adalah nasib Asti. Dia harus

menyelamatkan gadis yang diinginkan menjadi istrinya. Bila

tak menemukan gadis itu, akan dihancurkannya tiga

manusia dari Sembilan Iblis!

"Setan alas!" maki Iblis Tangan Dewa, menyadari

lawannya telah lenyap tanpa bekas, kecuali jerat-jerat yang

masih menempel di sana sini. "Bila bertemu lagi, akan

kuhajar kau, Keparat Sumplung!"

Perhatian Iblis Tangan Dewa beralih pada Iblis

Baju Sutera yang sedang mencoba memutuskan jerat laba-

laba yang mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Namun

meskipun seluruh tenaga dalamnya sudah dikerahkan,

jerat-jerat halus itu tak putus juga.

"Gila! Terbuat dari apa jerat-jerat ini?" maki Iblis"

Kaki Seribu dengan mulut berbentuk kerucut.

"Hhh! Hanya jerat seperti itu saja kau tak mampu

melakukannya!" bentak Iblis Tangan Dewa.

Lalu lelaki ini membungkuk. Tenaga dalamnya

segera dikerahkan untuk memutuskan jerat-jerat alot itu.

Namun seperti yang dialami Iblis Baju Sutera, dia pun tak

mampu memutuskannya.

"Sialan! Jerat keparat!"

Iblis Tangan Dewa kini mengerahkan hawa panas

melalui kedua telapak tangan. Akan tetapi, jerat-jerat halus

itu tak putus juga.

Dan, justru Iblis Kaki Seribu yang berteriak keras

karena kedua kakinya melepuh.

"Setan! Bagaimana cara kita untuk

memutuskannya!" maki Iblis Tangan Dewa, seolah tak

mempedulikan teriakan kesakitan dari temannya.

Iblis Baju Sutera yang tadi merasa diejek

mendengus.

"Jerat-jerat ini memiliki kekuatan sangat hebat.

Hanya hawa panas yang luar biasa yang bisa

memutuskannya. Namun bila kita mengalirkannya,

akibatnya kedua kaki Iblis Kaki Seribu bukan hanya

melepuh. Tetapi, bisa hangus!"

'Peduli setan! Lakukan!" seru Iblis Kaki Seribu.

"Kau bisa lumpuh!"

"Persetan dengan segala kelumpuhan! Aku akan

mencoba mengalirkan tenaga dalamku untuk

menahannya! Ayo, mengapa kalian jadi ragu?! Apakah

kalian menginginkan aku selamanya terjerat oleh benang-

benang keparat ini?!"

"Aku sangsi, apakah kau bisa bertahan?"

"Sialan! Kenapa kalian jadi banyak omong begitu,

hah?!" maki Iblis Kaki Seribu geram. "Lakukan apa yang

menurut kalian baik. Dan aku yakin bisa tertahan."

Iblis Baju Sutera memandang Ibis Tangan Dewa.

Lalu seperti disepakati, Iblis Tangan Dewa memegang

kedua kaki Iblis Kaki Seribu yang terlibt jerat-jerat halus itu.

Sementara, Iblis Baju Sutera sendiri duduk di belakangnya

dengan kedua tangan menempel di punggung Iblis Tangan

Dewa.

Perlahan-lahan Iblis Baju Sutera mengalirkan hawa

panas dari tubuhnya dengan tenaga dalam melalui

punggung Iblis Tangan Dewa sebagai perantara.

Sementara Iblis Tangan Dewa begitu merasakan panas

menyengat tubuhnya, segera mengalirkannya pada kaki

Iblis Kaki Seribu.

Iblis Kaki Seribu sendiri mencoba menutup aliran

hawa panas itu agar tidak terlalu menyengat dengan

tenaga dalam. Namun tak urung, dia pun menjerit keras

karena tekanan hawa panas sangat luar biasa!

Ketiganya bagai berjuang keras saling bahu-

membahu. Dalam waktu tiga kali penanakan nasi, jerat-

jerat alot itu mulai putus satu persatu! Hingga akhirnya

terlepas semua.

Tak lama, Iblis Kaki Seribu sudah jatuh pingsan

dengan kedua kaki hangus.

***

6


Senja semakin menurun ketika Asti tiba di sebuah

lembah yang terjal. Kengeriannya menjadi-jadi. Bukan

hanya karena tak tahu harus menempuh jalan yang mana,

tapi juga karena lembah curam penuh batu itu sangat

berbahaya. Kabut tebal menghalangi pandangannya ke

depan. Apalagi senja kian merayap gelap.

"Oh, Gusti Allah.... Apakah aku harus mati di sini?"

desisnya kecut.

Entah kenapa bayangan puluhan ular melata

melintas di benaknya. Seolah hewan-hewan menjijikkan itu

siap menantinya bila si gadis nekat menuruni lembah itu.

Belum lagi dengan batu-batu tajam yang akan semakin

menggores telapak kakinya. Alas kaki yang dikenakanya

saja sudah sobek bagian depan. Pada jari-jarinya terasa

perih.

"Tidak...! Aku harus bertahaa Harus! Lebih baik

dipatuk ular daripada berada terus-menerus bersama

Walengkeng. Manusia itu bukan hanya mengerikan

sekarang. Tetapi aku yakin dia mempunyai niat busuk

padaku."

Asti mulai melangkah ke depan. Dia berusaha

menerobos kabut yang tebal. Namun baru sekali kakinya

melangkah. tubuhnya sudah terperosok.

"Oh!"

Masih sempat tangannya menyambar sebuah batu

hingga tubuhnya tidak jatuh. Lalu dengan mengerahkan

sisa tenaga nya, tubuhnya dibawa ke atas. Kedua

tangannya menjadi lecet.

"Apakah ada lubang di depanku?" desahnya

cemas.

"Atau..., ada sebuah jurang yang menganga? Oh,

Gusti...! Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Tanpa sadar Asti jatuh terduduk. Dan pikiran si

gadis jadi kacau hingga akhirnya menangis. Keletihan dan

rasa sakit pada kaki yang mendera nya, membuatnya tak

sanggup berdiri lagi. Dia semakin menangis,

membayangkan dirinya yang tak tahu harus berbuat apa.

Padahal, Asti termasuk gadis tegas. Namun biar

bagaimanapun dia hanyalah seorang wanita. Dan tanpa

terasa, Asti pun jatuh tertidur di tempat itu.

Pada saat yang sama, satu sosok tubuh tiba di

sana. Sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju hijau

pupus terkejut melihatnya. Diperiksanya tubuh gadis itu

dengan seksama. Sesaat terdengar helaan napasnya. Lalu

diangkatnya untukdibawa ke tempat aman, yang mampu

menahan angin dingin.

Perlahan-lahan matahari di timur sana muncul.

Sinarnya bagai gumpalan emas menerangi seisi alam.

Lembah yang kalau malam sangat mengerikan itu, kini pun

diterangi cahaya sang Raja Siang yang siap mengedar.

Asti terbangun ketika dirasakannya belai angin

sejuk menerpa wajahnya. Telinganya menangkap suara

burung menyambut pagi.

"Oh!" desisnya pelan.

Mata si gadis beredar ke sekelilingnya. Baru

disadarinya lembah itu begitu hijau. Tetapi menurut

ingatannya, kalau tak salah dia berada di tepi lembah.

Karena, tubuhnya hampir terperosok kemarin. Lalu,

mengapa kini berada agak jauh dari lembah itu? Bahkan

berada di antara pepohonan yang rimbun.

"Apakah aku semalam sewaktu tidur mengigau

dan berjalan? Oh! Untung sekali aku tidak berjalan ke arah

lembah itu," desah si gadis, bergidik membayangkan apa

yang akan terjadi.

Tiba-tiba Asti teringat lagi akan Walengkeng yang

begitu mengerikan. Teringat akan hal itu, tiba-tiba saja dia

bergegas bangkit.

"Aku harus segera meninggalkan tempat ini!"

gumamnya dengan mata memandang cemas. Namun baru

saja hendak melangkah....

"Nah! Sudah bangun rupanya? Hei! Tidurmu

nyenyak sekali, ya?"

Gadis cantik itu seketika menoleh. Tampak satu

sosok tubuh tampan berpakaian hijau pupus sedang

melangkah ke arahnya. Di tangannya terdapat beberapa

ekor burung yang baru saja diburunya.

Karena saat ini masih dicekam rasa cemas, tanpa

sadar Asti segera melarikan diri.

"Hei!" seru pemuda berpakaian hijau pupus yang

tak lain Andika alias Pendekar Slebor.

Memang si pemuda urakan itu yang menemukan

Asti saat tertidur kemarin menjelang malam, dan

memindahkannya di tempat aman. Andika yang masih

mencari orang kejam yang berjuluk Manusia Laba-laba tak

sengaja tiba di lembah itu kemarin.

Dan sekarang Pendekar Slebor melihat Asti lari

bagai melihat setan. Hanya sekali lompat dengan pencalan

satu kaki, Pendekar Slebor sudah melesat dan hinggap di

depan gadis itu.

Asti tersentak. Wajahnya bertambah pucat. Se-

pasang matanya yang bagus bergerak liar bagai kelinci

terjebak oleh ular yang siap memangsa.

"Hei, tenang dong! Aku bukan setan. Apa

tampangku yang ganteng ini persis setan?" ujar Andika.

Asti mundur dua langkah dengan hati kebat-kebit.

"Si.., siapa kau?"

Andika tersenyum.

"Nah, begitu lebih baik? Masa' sih sudah kutolong

main kabur saja! Kau lihat sendiri bukan, kedua kakiku

menginjak tanah? Berarti, aku bukan setan. Sudahlah,

tidak usah takut padaku. Namaku Andika............ Kau

sendiri siapa?"

Asti tak segera menjawab. Keningnya berkerut

memikirkan siapa pemuda yang berada di hadapannya ini?

"Bingung, ya. Kalau bingung pegangan. Nanti jatuh,

lho!" goda Andika, mulai timbul sifat urakannya.

Melihat hal itu, Asti yang pada dasarnya memiliki

sifat riang jadi tertawa.

"Siapa namamu?" ulang si pemuda.

Naluri gadis itu mengatakan, pemuda gagah

namun sikapnya seperti urakan ini bukanlah orang ja-hat.

"Namaku..., Asti," sahut si gadis, mulai reda rasa

takutnya.

"Asti.... Nama yang cocok. Kau pasti belum makan,

ya? Bagaimana kalau daging burung ini buat menyumpal

perut?"

Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar

Slebor terungkit-ungkit.

Asti yang memang sejak tadi kelaparan terpancing

untuk mengiyakan. Tentu saja tawaran itu tak ingin

dilewatkan.

***

Meskipun sudah akrab, namun kecurigaan pada

Andika masih singgah di hati Asti. Apalagi ketika Andika

bertanya tentang keberadaannya di sini.

Sejenak Asti menghentikan makannya. Jangan-

jangan, pemuda ini adalah orang suruhan Walengkeng

untuk membujuknya? Begitu hati cemasnya berkata.

Andika menyadari kalau gadis itu masih

mencurigainya.

"E-e! Jangan curiga begitu, dong? Apakah semua

orang di dunia ini berhati jahat?" cetus Andika.

"Bukan begitu, hanya tak ingin mengalami

peristiwa mengerikan untuk kedua kalinya," sahut gadis itu

sambil menatap Andika tajam.

"Peristiwa apa?"

"Aku tidak tahu, mengapa kau berada di sini. Yang

pasti, aku tengah melarikan diri dari Walengkeng?"

"Siapa Walengkeng? Aneh betul, namanya? Dan

kenapa kau melarikan diri darinya?"

Asti mulai terpancing oleh pertanyaan Andika

"Walengkeng dulu pengurus kuda di rumahku.

Desa Wanasari. Tetapi lima tahun yang lalu, dia

diberhentikan oleh ayahku karena ternyata berbuat tak

senonoh padaku. Bahkan dia pun menyintaiku. Sungguh

tak bisa kubayangkan bila dia menjadi suamiku kelak. Dan

aku berterima kasih pada Ayah yang memecatnya. Lalu

tahu-tahu, aku sudah berada di hutan sebelah timur sana

bersama Walengkeng. Meskipun ketakutan bersamanya,

namun aku masih mencoba untuk bertahan. Hanya saja,

dia mengatakan kalau kedua orangtuaku sudah mati

dibunuh oleh seseorang yang tak dikenal. Namun, dia

melarangku untuk kembali ke Desa Wanasari sampai aku

pernah mencoba untuk melarikan diri Dan...."

"Sudahlah, Asti.... Kedua orangtuamu memang

sudah meninggal. Manusia yang...."

"Hei? Bagaimana kau tahu siapa aku?" desis Asti

heran, seperti baru sadar kalau dijebak Andika.

Andika cuma tersenyum. Diceritakannya apa yang

diketahuinya. Dan perlahan-lahan dia melihat bagaimana

gadis itu menundukkan kepalanya dengan napas

tersendat. Butiran air mata mengalir Iembut di pipi

halusnya.

"Semuanya sudah terjadi, Asti. Dan kau harus

merelakan kepergian kedua orang tuamu. Karena walau

kau menangis sambil nungging pun, kedua orang tuamu

tak akan kembali."

Mendengar kata-kata Andika, gadis itu

menghentikan tangisnya.

"Aku mengerti, Kang Andika."

Andika memegang tangan putri Karna Wijaya

dengan lembut.

"Ceritakanlah apa yang terjadi kemudian," ujarnya

kemudian.

Asti pun menceritakan seluruh yang dialaminya.

Setelah selesai bercerita, Andika mengangguk-ang-gukkan

kepala dengan tangan terkepal.

"Kau yakin orang-orang itu mengatakan dirinya

sisa dari anggota Sembilan Iblis?"

Asti mengangguk.

"Kalau begitu, lawan yang kita hadapi bukan hanya

orang yang berjuluk Manusia Laba-laba. Tetapi, juga

manusia-manusia dari anggota Sembilan Iblis itu."

"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Asti kini mulai

merasa akrab dengan pemuda di hadapannya.

Andika pun menceritakan apa yang terjadi be-

berapa bulan yang lalu.

"Dan aku yakin, mereka muncul kembali untuk

menuntut balas terhadapku," gumamnya di akhir cerita.

Gadis itu terdiam. Matanya menatap nanar pada

Andika.

"Siapakah sebenarnya Kang Andika ini?"

Andika nyengir. "Aku ya aku. Asti, lebih baik kita

tinggalkan tempat ini. Aku merasa kau lebih aman bila

sudah bersama-sama Banowo. Karena, di sana akan ada

yang menjagamu."

"Lalu Kang Andika hendak ke mana?"

"Aku ingin tahu, siapa orang yang berjuluk Manusia

Laba-laba itu. Juga menuntaskan urusan lama dengan

anggota Sembilan Iblis."

"Kang Andika.... Apakah Walengkeng..., ah! Tidak.

Aku hanya mau mengatakan tentang perubahan matanya

yang memerah itu. Bukankah seekor laba-laba bermata

merah?"

Andika tersenyum. "Aku pun memikirkan hal itu.

Tetapi. aku belum bisa memutuskan bila belum melihatnya

sendiri, meskipun menurut cerita dia

mendadak memiliki kehebatan tinggi. Sudahlah....

Lebih baik, kau mandi saja dulu. Nanti baru kuantar kau ke

Desa Wanasari."

Tak lama kemudian putri almarhum Juragan Karna

Wijaya itu sudah selesai mandi. Andika berdecak kagum

melihat wajah dan tubuh Asti yang kembali segar itu.

Rambutnya yang masih basah bagai mengeluarkan bau

wangi segar. Berarti, dia memang selalu merawat rambut

dan seluruh tubuhnya.

"Kenapa menatapku seperti itu, Kang Andika?"

tanya Asti sambil menggerakkan tangannya ke rambut.

Sebenarnya si gadis agak risih dipandang dengan

tatapan seperti itu. Apalagi seolah baru menyadari, kalau

wajah di hadapannya ini begitu tampan meskipun matanya

yang seperti mata elang itu terkadang bersinar jenaka.

Andika nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya

yang tak gatal. Malu tertangkap basah seperti itu.

"Kalau kau tidak mau dilihat, colok saja kedua

mataku ini," kata Pendekar Slebor seenaknya. "Tetapi,

apakah kau tidak sayang bila wajahmu yang cantik itu tak

ada yang menikmati?" Asti mendengus.

"Tetapi tidak boleh pemuda konyol sepertimu!"

Andika tertawa.

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera berangkat

menuju Desa Wanasari. Di tempat yang kau kenal, kau bisa

meneruskan perjalanan sendiri. Aku tak bisa

mengantarmu sampai ke Desa Wanasari. Karena, aku

akan tetap memburu Manusia Laba-laba yang

kukhawatirkan akan menurunkan tangan telengas pada

siapa pun juga."

Gadis itu tak berkata apa-apa. Tubuhnya berbalik

dan melangkah. Justru Andika yang memberengut.

"Brengsek! Jadi geregetan aku melihatnya!"

Lalu si pemuda pun menyusul Asti yang sudah

sepuluh tombak berada di depan. Dan langkahnya berubah

menjadi kelebatan cepat ketika...

"Aaaakhhhh!"

***

7


Sekali kelebat saja, Andika sudah berada di depan

Asti. Si. pemuda tak perlu mendapatkan penjelasan lagi,

apa yang menyebabkan gadis itu menjerit. Karena di

depannya, tiga sosok berwajah sangar berdiri dengan

tatapan liar.

"Wah, wah...!

Kok, kalian sudah berada di sini?

Apa kabar. Kuharap kalian baik-baik saja.

Demikian pula aku. Berkat lindungan-Nya, aku...."

"Diaammm...!" bentak salah satu penghadang

memenggal ocehan Pendekar Slebor yang ngalor-ngidul.

Asti yang ketakutan memegang tangan Pendekar

Slebor erat-erat. Matanya melirik cemas, karena melihat

sikap Andika yang begitu santai. Gadis ini mengenali orang-

orang ini, yang sebelumnya bertarung dengan Walengkeng.

Ketiga orang yang muncul memang Iblis Baju

Sutera, Iblis Tangan Dewa, dan Iblis Kaki Seribu. Setelah

menguburkan mayat Iblis Rembulan, mereka pun bergerak

menyusul Manusia Laba-laba. Dan yang mengejutkan

sekaligus menggembirakan, mereka menemukan Asti yang

mengkerut di samping Pendekar Slebor.

"Hhh! Ajal sudah ada di depan matamu, Pendekar

Slebor! Jadi jangan ngoceh macam-macam!" desis Iblis

Baju Sutera.

"Nah, ini aku suka dengan kalian," gumam

Pendekar Slebor.

"Jangan main-main dengan kami, Pendekar Slebor!

Kau pikir kami akan begitu saja melupakan dirimu?!"

timpal Iblis Tangan Dewa.

Mata lelaki ini menajam, menusuk masuk mata

Andika. Terdengar geramnya. Dan tahu-tahu.....

Iblis Tangan Dewa sudah membuka jurusnya.

"Hei, apa aku salah bicara?" lonjak Andika.

"Masa bodoh! Yang penting kau harus

dilenyapkan!"

"Sontoloyo! Baru bertemu lagi, kau sudah bisa

memastikan kalau aku bisa dienyahkan?" Andika mendelik

sejadi-jadinya jangan katakan hatinya tidak sewot.

"Sini kau!"

Andika melambaikan tangannya. Lagaknya tak

bedanya aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu

nakalnya.

"Heaaa...!"

Iblis Tangan Dewa menerjang. Tangan kanan dan

kirinya bergerak cepat.

Bed! Bed! Bed! .

Bunyi kibasan kencang tercipta. Dengan amat

bernafsu, Iblis Tangan Dewa hendak membelah batok

kepala Pendekar Slebor saat itu juga.

Andika menyambutnya dengan gerakan melompat

ke samping. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia melompat

sambil menyambar tubuh Asti begitu cepat. Si gadis

berteriak ketakutan, karena tahu-tahu mendapatkan

dirinya berada di bawah sebuah pohon. Seketika

dipegangnya beberapa ranting pohon erat-erat dengan

mata terpejam. Sementara, tubuh Andika sudah meluruk

ke tanah kembali.

Dan begitu Pendekar Slebor hinggap di tanah, kali

ini Iblis Baju Sutera yang menyerang dahsyat. Tangannya

mengibas, maka angin hebat meluruk. Andika memiringkan

tubuhnya, membuat angin itu melesat di sisinya.

Drakk!

Sebuah pohon langsung tumbang termakan angin

serangan Iblis Baju Sutera. Dahan bagian yang terhantam

hancur. Pecahannya berpentalan.

"Nah! 'Kan luput? Kubilang juga apa...," gumam

Pendekar Slebor.

Sementara Iblis Kaki Seribu yang terduduk hanya

bisa memandang gusar. Dia merasa benci pada diri sendiri

karena tak bisa turun tangan untuk membantu kedua

sahabatnya. Sepasang kakinya untuk sementara tak bisa

digunakan, akibat hawa panas yang dialirkan Iblis Baju

Sutera dan Iblis Tangan Dewa ketika menolongnya

memutuskan jerat alot dari Manusia Laba-laba.

Iblis Kaki Seribu makin muak. Karena di saat

lawan yang dicari selama ini berada di hadapannya, justru

dia tak mampu berbuat apa-apa selain memperhatikan

dengan rasa geram. Kedua tangannya terkepal karena

gatal untuk menghajar Pendekar Slebor yang tampak

tenang-tenang saja.

"Heaa...!"

"Heaaa...!"

Para lawan makin kalap. Mereka mulai menyerang

dari segala penjuru. "Hea hea heaaaa...!"

Andika menimpalinya kendati merasa kesulitan

untuk meloloskan diri. Teriakannya malah tak ada

juntrungan sama sekali. Beberapa ekor burung di atas

sebuah pohon kontan beterbangan kalang kabur. Mungkin

menyangka teriakan itu adalah angin ribut.

Pada saat yang sama, Iblis Baju Sutera tiba-tiba

membentuk pusaran kuat sekali. Sementara Iblis Tangan

Dewa meluruk dengan pukulan-pukulan maut yang

mematikan.

Namun begitu kedua lawan berada di udara

dengan serangan yang tinggal sejengkal lagi, pemuda itu

mengenyalikan diri ke sisi kanan. Sebelah kakinya

terangkat tinggi menuju Iblis Baju Sutera.

Duk!

Masih di udara. Iblis Baju Sutera merasakan

kantong menyannya nyeri hingga ke perut. Dia merasa

teramat mual sekaligus sesak. Dan dalam keadaan itu

membuatnya tak mampu bertahan lagi.

Brukk!

Tubuh lelaki itu jatuh berdebam menghantam

tanah.

"Hati-hati nyusruk!" ejek Pendekar Slebor.

Buru-buru Iblis Baju Sutera bangkit. Meski masih

merunduk-runduk sambil memegangi kantong menyannya

yang terasa hendak pecah. dia bersikeras untuk

menyerang kembali

Iblis Tangan Dewa yang melihat Pendekar Slebor

bisa menjatuhkan Iblis Baju Sutera dalam sekali gebrak

jadi terkejut. Hati kecilnya, dia mengagumi pemuda pewaris

ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang begitu mudah

menyongsong serangan. Namun di sisi lain dia bertekad

untuk melenyapkan si pemuda. Maka pada saat

menyerang, tenaganya segera ditambah berpuluh kali lipat.

"Jangan gegabah! Temanmu saja belum berhasil

menjatuhkan aku!" cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga

Andika menghadapi orang keras kepala seperti itu.

Padahal, dia sendiri biangnya keras kepala.

Wuuttt!

Membabi buta serangan Iblis Tangan Dewa

melesat ke arah Andika. Arahnya ke seluruh jaringan tubuh

si pemuda urakan. Namun Pendekar Slebor berkelit

enteng. Maka tak bisa tertahan lagi karena dorongan

tenaganya sendiri, akibatnya serangan maut Iblis Tangan

Dewa justru menghajar telak tubuh Iblis Baju Sutera yang

pada saat itu pula tengah membokong Andika.

Desss!

"Aaakhhhh!"

Tubuh Iblis Baju Sutera seketika terlontar deras ke

belakang, langsung menghantam sebuah pohon besar

hingga tumbang. Saat itu juga nyawa Iblis Baju Sutera

melayang dengan tulang iga patah tiga buah. Darah

tampak mengalir dari mulut dan hidungnya.

"Apa kubilang? Kenapa kau begitu tega

membunuh teman sendiri?" kata Andika, membuat Iblis

Tangan Dewa kalap bukan main.

"Setan alas! Kau harus mampus, Pendekar

Slebor!" bentak Iblis Tangan Dewa.

"Lho? Kenapa jadi sewot begitu? Bukankah kau

sendiri yang membunuh temanmu?"

Rahang Iblis Tangan Dewa mengatup. Matanya

memancarkan sinar dendam dan berbahaya. Namun kini

semangatnya kendor sudah. Berdua saja, mereka tak

mampu menghadapi Pendekar Slebor. Apalagi kini

sendirian. Apalagi, Iblis Kaki Seribu tak dapat membantu.

"Lain kali kita akan berjumpa lagi, Pendekar

Slebor!" desis Iblis Tangan Dewa yang sudah putus

nyalinya.

Lalu dengan perlahan lelaki ini menghampiri Iblis

Kaki Seribu yang juga menggeram marah. Diangkatnya

tubuh sahabatnya itu.

"Ingat, kita akan bertemu lagi!" ulang Iblis Tangan

Dewa.

"Terima kasih.... Ternyata kau masih menyukaiku.

Jangan lupa kalau bertemu lagi bawa oleh-oleh. Ikan mujair

kesenanganku!" sahut Pendekar Slebor, sambil mengiringi

kepergian Iblis Tangan Dewa yang membawa Iblis Kaki

Seribu, lewat sorot matanya.

82

Namun Andika teringat sesuatu.

"Hei? Kenapa mayat manusia jelek itu tidak kau

bawa?!" seru Andika tiba-tiba. Tetapi tubuh kedua manusia

sesat itu telah hilang dari pandangannya.

Kini Pendekar Slebor berniat menurunkan Asti. Dia

cepat melompat ke atas pohon tempat Asti bersembunyi.

Dan wajahnya seketika kelam dengan mata terbelalak.

Karena, Asti tak ada di tempatnya!

"Alamak...!"

Andika jadi bingung bukan main. Bagaimana gadis

itu lenyap begitu cepat. Asti sama sekali tak memiliki

kepandaian silat. Apalagi ilmu meringankan tubuh. Lalu ke

mana perginya gadis itu?" desisnya tak mengerti.

Diperhatikannya sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda

di mana Asti berada.

Andika melompat turun.

"Apakah dia terjatuh dari dahan itu? Ah! Kalau

terjatuh, pasti masih berada di sekitar sini. Tetapi

sekarang, mengapa tidak ada?"

Andika berpikir keras untuk memecahkan teka-teki

itu.

"Pasti ada seseorang yang membawanya. Siapa

dia? Ilmunya begitu tinggi karena aku tak mendengar

gerakan apa-apa yang dilakukannya."

Ketika tiba pada satu kesimpulan, Andika

melompat lagi ke dahan pohon itu. Diperhatikannya

dengan seksama.

"Benar dugaanku. Pasti Manusia Laba-laba yang

membawanya pergi," gumam si pemuda sambil mera-ba

dahan pohon. Di situ dia menemukan jerat halus yang alot.

"Hhh! Manusia keparat! Kau tak akan bisa melarikan diri

dari tanganku!"

Setelah mengira-ngira, Andika memutuskan untuk

mengejar ke arah utara.

***

Saat itu, Asti memang kembali berada di tangan

Walengkeng alias Manusia Laba-laba.

Ketika Andika tengah berhadapan dengan tiga dari

Sembilan Iblis, Manusia Laba-laba diam-diam telah berada

di tempat itu. Dan ketika Asti ditempatkan di tempat aman,

lelaki berwajah menyeramkan itu tersenyum licik. Baru saat

Pendekar Slebor bertarung, Manusia Laba-laba menyergap

Asti.

Ketika mendengar Iblis Baju Sutera meneriakkan

nama 'Pendekar Slebor', Walengkeng alias Manusia Laba-

laba menggeram. Namun sejurus kemudian bibirnya

tersenyum dingin. Dia merasa lebih baik pemuda itu

mampus di tangan iblis-iblis itu! Sementara, dia sendiri

mengurus putri Karna Wijaya.

Maka ketika pertarungan berlangsung Manusia

Laba-laba membawa Asti yang langsung ditotok hingga tak

mampu bergerak dan bersuara.

Sraatt!

"Oh, Tuhan! Walengkeng! Mengapa kau

membawaku ke sini?" seru Asti begitu Walengkeng

membuka totokannya. Saat ini mereka berada di utara

hutan tempat Pendekar Slebor bertarung. Tepatnya di

sebuah gua.

Walengkeng mendengus.

"Diaaam!" bentaknya keras, membuat batu-batu di

atas gua itu berguguran. Semetara aliran darah Asti bagai

terhenti seketika. "Sudah beberapa hari ini aku bersabar

terhadap sikapmu, Asti. Namun sikapmu tetap tidak

membuatku senang."

Tetapi..., aku...," desis gadis itu takut-takut

Kali ini si gadis yakin kalau Walengkeng

bermaksud jahat. Jantungnya bagai berhenti berdetak

ketika melihat tatapan Walengkeng yang semerah darah.

"Aku ingin kembali ke Desa Wanasari,

Walengkeng."

"Persetan dengan permintaanmu itu, Asti!

Sekarang dengar baik-baik! Aku menginginkan kau menjadi

istriku! Saat ini juga kau harus menjawabnya!"

"Oh!" keluh gadis itu. "Kali ini jantungnya terasa

bagai diremas oleh tangan keras.

"Aku tak suka membuang waktu sekarang! Kau

harus menjawabnya, Asti...."

Wajah pucat gadis itu nampak sekali.

"Walengkeng..., aku..., aku...."

"Kau harus menjawabnya iya, Asti!"

"Tetapi...."

"Setan!"

Plak!

Si gadis menjerit ketika tamparan keras

Walengkeng menerpa pipinya hingga seketika memerah.

Kepalanya bergoyang, dan mendadak menjadi pusing

dengan mata nanar.

Mata Walengkeng semakin memerah. Bibirnya

menyeringai, membuat wajahnya semakin mengerikan.

Tangannya terjulur, membuat Asti menjerit ketakutan.

Tetapi tangan itu telah mencengkeram tangan si gadis

yang merasa bagai dijepit sebuah tang.

"Perlu kau ketahui, Asti.... Selama lima tahun aku

berada dalam keadaan tidak tenang dan rindu berbalur

dendam. Hari ini, kau tak akan pernah bisa kubiarkan

untuk melarikan diri dari tanganku."

'Walengkeng..., aku......"

"Kau harus menjawab 'iya', Asti. Aku tak mau

mendengar kata 'tidak' dalam hidupku. Terlebih lagi,

dengan keinginanku yang satu itu!"

Bret!

"Ogghhhkhhh!"

Pakaian di bagian dada Asti robek ketika

Walengkeng menggerakkan tangannya. Manusia

bertampang setan itu terbahak-bahak begitu melihat dua

bukit berkulit halus di dada Asti. Dia menjilat ludahnya

sendiri, membuat gadis itu bertambah ketakutan. Sebelah

tangannya mencoba menutupi dadanya yang menjulang

indah. Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya gadis itu

mati mendadak. Bisa dibayangkan apa yang akan

dialaminya. Dan yang semakin membuatnya sadar,

Walengkeng bukanlah orang baik-baik. Terbukti dengan

perlakuannya yang mengerikan seperti ini.

"Oh, Tuhan.... Apakah aku akan mengalami se-

suatu yang menakutkan?" desah si gadis dengan rasa

takut luar biasa.

"Kang Andika.... Tolong aku..., to-long...."

Sambil terbahak-bahak Walengkeng menarik

tangan kiri Asti yang menutupi buah dadanya. Kini lelaki itu

terbahak-bahak ketika pemandangan yang tak tertutupi

apa-apa terpampang di matanya bulat-bulat.

"Menyenangkan.... Sangat menyenangkan

sekali...."

Tangan kasar Manusia Laba-laba bersiap mero-

bek kain yang dikenakan AstL Tetapi baru saja hehdak

melakukannya, tiba-tiba....

Tak!

"Aaakh!"

Sebuah kerikil menerpa tangan Manusia Laba-laba

dengan kuat. Seketika, lelaki ini berdiri setelah melempar

tubuh Asti yang menangis ketakutan. Tatapannya geram

penuh kemarahan. Tubuhnya sampai bergetar hebat.

Sementara Asti yang bagai terlepas dari

kungkungan mengerikan, beringsut ke sudut gua. Kedua

tangannya menutup bagian dadanya yang berbentuk indah.

"Manusia yang mau mampus! Berani lancang

terhadap Manusia Laba-laba!" dengus Walengkeng hingga

batu-batu gua itu berguguran.

Sejurus kemudian tubuh Manusia Laba-laba

berkelebat keluar dengan makian panjang.

***

8


Satu tubuh ramping berompi merah berdiri di

hadapan Manusia Laba-laba dengan tatapan merah. Wajah

cantik memancarkan sinar dingin.

"Manusia setan! Kau harus mampus untuk me-

nebus dosa-dosamu pada paman guruku!" bentak sosok

ramping.

Walengkeng alias Manusia Laba-laba mendelik

begitu melihat siapa yang mengganggu keinginannya.

"Larasati! Kalau waktu itu kau masih bisa

diselamatkan oleh Penghulu Segala Ilmu, sekarang tak

akan bisa melarikan diri lagi!"

"Manusia hina! Bila kau tak berbuat curang, kau

tak akan bisa mengalahkan Penghulu Segala Ilmu!" sahut

sosok ramping yang temyata Larasati.

Walengkeng terbahak-bahak, "Kuakui, memang

sangat sulit untuk mengalahkan Penghulu Segala Ilmu!

Namun hatinya terlalu lemah. Sehingga dia sangat mudah

dibodohi! Tetapi yang perlu kau ketahui, siapa pun boleh

berbuat apa saja untuk menang!"

"Dasar iblis! Penghulu Segala Ilmu karena

kebijaksanaannya mau mengulurkan tangan baiknya

kepadamu. Namun kau memanfaatkannya secara kurang

ajar. Dosa-dosamu tak akan terampuni! Kau telah

membunuh Juragan Karna Wijaya dan istrinya! Juga,

menculik putri mereka...."

"Peduli setan dengan semuanya! Itu adalah

urusanku, Larasati! Kau tak usah ikut campur dalam

urusanku!"

"Dengan muka setanmu yang dipoles dengan

senyuman, membuat paman guruku bersedia menerimamu

bahkan menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya

kepadamu! Nyatanya, kau masih memiliki dendam

berkobar! Bahkan secara keji kau membunuh paman

guruku dengan mempergunakan ajian 'Laba-laba'!"

Walengkeng terbahak-bahak mendengar kata-kata

Larasati.

"Sudah kukatakan tadi, berbuat curang itu diha-

lalkan bila untuk menang! Dan, apa lagi yang bisa

dibutuhkan dari paman gurumu si Jari Sakti itu, hah?!

Semuanya sudah kudapatkan. Mau apa lagi? Dan aku pun

muak mendengar segala nasihat yang diberikannya

kepadaku! Aku tahu, ajian 'Laba-laba' tak ada gunanya di

dunia ini!"

"Setan alas! Bukan hanya wajahmu yang

bertampang setan. Tetapi, hatimu berhati iblis!"

"Dan kau jangan lupa. Sebentar lagi, nyawamu

akan putus!" dengus Walengkeng. Dan tiba-tiba tangannya

bergerak.

Sratt! Srattt!

Jerat-jerat halus meluncur ke arah Larasati. Si

gadis cepat berguling menghindar sambil menggerakkan

tangannya.

Sing! Sing!

Sinar hitam meluncur melalui ilmu 'Jari Sakti’ yang

dikerahkan Larasati. Namun Walengkeng hanya terbahak-

bahak. Dan dengan enaknya dia menghindari serangan.

Tubuhnya dienyahkan ke samping klri. Akibatnya, dinding

gua tempat Asti berada, gompal di bagian atas, terhantam

sinar-sinar itu. Di dalamnya, Asti yang tengah meringkuk

ketakutan merasa tubuhnya bagai bergetar.

"Kau tak akan mampu mengalahkan aku,

Larasati!"

"Manusia setan! Kau mempergunakan ajian 'Laba-

laba yang diajarkan paman guruku untuk tindakan keji!"

dengus gadis berompi merah itu dan terus mencecar

Manusia Laba-laba dengan ilmu 'Jari Sakti'-nya.

Tapi, Manusia Laba-laba yang memang juga

mendalami ilmu itu sudah tentu tahu, bagaimana cara

mengelak dan sekaligus melumpuhkan. Maka hanya dalam

dua jurus berikutnya, Larasati kjni terdesak hebat.

Gadis itu pontang-panting dicecar Walengkeng

yang mengerahkan ilmu 'Laba-laba'. Jerat-jerat halus yang

melunc ur itu membuat Larasati tak berkutik untuk

bergerak lebih lama. Sementara, Walengkeng melompat ke

sana kemari.

Dalam waktu tak lebih sepuluh tarikan napas,

tubuh gadis berompi merah itu s udah berada dalam

keadaan telentang di atas jerat halus yang dibuat

Walengkeng. Dia meronta-ronta, namun jerat-jerat halus itu

bagai mengekang seluruh tubuhnya pada bagian belakang.

"Setan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!" seru si

gadis yang menjunf ai-juntai dalam jerat alot itu.

Walengkeng terbahak-bahak.

"Larasati! Aku adalah seorang laki-laki bijaksana.

Makanya, kubiarkan kau hidup dalam jerat laba-laba yang

kumiliki itu!"

"Setan alas!" maki Larasati dengan wajah pucat.

Gadis ini mengerti, apa yang dimaksud

Walengkeng. Dengan membiarkannya telentang tak

berdaya dalam jerat itu, berarti membunuh secara

perlahan.

Karena tubuhnya yang terus-menerus berada

dalam jerat tak akan mampu berbuat apa-apa.

Walengkeng hanya terbahak-bahak. Lalu

tangannya membuat jaring serupa, namun berada da¬lam

jarak tiga tombak di atas tubuh Larasati.

Larasati, tahu apa arti jaring laba-laba di atasnya.

Bila ada yang menolongnya, maka jaring itu akan segera

mengurungnya berikut si penolong.

"Nikmatilah kematianmu itu, Larasati! Percayalah!

Aku tetaplah orang bijaksana," kata Manusia Laba-laba

sambil mendekati Larasati. Ditotoknya urat suara Larasati,

hingga gadis itu mendelik tanpa bisa bersuara.

Sambil terbahak-bahak Walengkeng berkelebat

masuk ke dalam gua. Asti yang masih menangis tak

mampu berbuat apa-apa. Keinginannya tadi untuk

melarikan diri selagi Walengkeng bertarung, seolah

mampus. Karena saking takutnya, kedua kakinya bagai tak

mampu digerakkan.

"Tempat ini tak nyaman lagi untuk berbulan madu,

Asti. Lebih baik kita cari tempat yang lebih nyaman," oceh

Walengkeng.

"Lepaskan aku, Walengkeng.... Lepaskan aku...,"

desis Asti lemah.

Si gadis sudah putus asa sekarang. Apalagi ketika

tadi mendengar seruan dari gadis yang

membentak Walengkeng. Batinnya menjerit.

"Oh.... GustL..! Apakah manusia bertampang setan

ini yang membunuh kedua orangtuaku?"

Walengkeng menggeleng dengan tatapan tajam.

"Lima tahun aku menunggu kesempatan seperti

ini. Sudah tentu aku tak akan menyia-nyiakannya."

Manusia Laba-laba lantas mengangkat tubuh Asti.

Dan si gadis bagai telah kehilangan seluruh tenaganya.

Ketakutannya semakin membesar, namun tak mampu

berbuat apa-apa ketika Walengkeng membawanya pergi.

Kejap berikutnya, Asti jatuh pingsan ketika angin

keras bagai menampar tubuhnya saat Walenkeng

berkelebat.

***

Pendekar Slebor jengkel bukan main ketika tiba di

sebuah hutan kecil. Kepalanya benar-benar dibuat pusing

menghadapi masalah seperti ini. Karena, lawan sekalipun

belum pernah dilihatnya. Apalagi yang membingungkannya

sekarang, keadaan putiri almarhum Juragan Karna Wijaya.

"Hhh! Ke mana kutu kuprel itu membawa Asti

pergi!" keluh Pendekar Slebor dengan tangan terkepal.

Otak seencer bubur di kepala Andika benar-benar

dipaksa harus memecahkan teka-teki itu seorang diri.

Meskipun Larasati sudah menceritakan tentang Manusia

Laba-laba lengkap dengan ciri-cirinya, namun sampai saat

ini si pemuda urakan ini belum pernah sekali pun

berjumpa.

"Aku tak boleh membuang waktu! Keselamatan

Asti-lah yang utama. Apalagi Manusia Laba-laba itu

memang hendak memaksakan niat busuk padanya.

Karena, dialah yang membunuh Juragan Karna Wijaya dan

istrinya! Setan betul!"

Lalu pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah

Kutukan itu pun berkelebat cepat. Gerakannya secepat

angin, hingga yang terlihat hanya kelebatan warna hijau

saja.

Ketika Pendekar Slebor tiba di depan gua tempat

Asti dan Manusia Laba-laba sebelumnya berada, keningnya

berkerut, melihat sosok Larasati sedang telentang di

sebuah jaring laba-laba.

"Wah, wah! Orang susah-susah mencari Manusia

Laba-laba, kau asyik bermain ayunan?!" seloroh Pendekar

Slebor sambil mendekati Larasati.

Si gadis hanya mendelik. Mulutnya mengeluarkan

suara keluhan, membuat Andika tertawa.

"Kau ini ngomong apa sin?" goda si pemuda.

Larasati makin melotot. Lalu kepalanya bergerak-

gerak mencoba memberi tahu Pendekar Slebor kalau

bahaya mengancam.

Andika tertawa melihatnya.

"Ah, jangan bercanda. Jangan pura-pura gagu. Aku

tahu kau tertotok. Tetapi, bagaimana caranya

membebaskan totokanmu? Karena jarak kau denganku

cukup jauh. Dan aku yakin, bila aku menyentuh jaring laba-

laba ini maka akan menempel di tubuhku. Hmm..., aku

tahu sekarang. Hei? Kau bersiap.... Aku akan melepaskan

totokanmu itu!"

Mata Larasati masih melotot sambil menggerak-

gerakkan kepalanya. Dia menjadi gemas sendiri karena tak

bisa mengatakan bahaya yang mengancam bila Andika

menyelamatkannya. Si gadis tahu apa yang hendak

dilakukan Andika. Tentunya si pemuda akan melompati

jaring laba-laba itu dan membebaskan totokannya.

Tentunya cara membebaskan totokan seperti itu haruslah

oleh orang yang sangat ahli. Karena, totokan itu harus bisa

tepat mengenai urat yang tertotok.

"Ahhg..., auggkk...." Gadis berompi merah itu masih

berusaha menyadarkan Andika kalau bahaya tengah

mengancam.

Tetapi pemuda itu seperti tak mengetahui apa

yang dimaksudkan oleh Larasati. Bahkan cengengesan

saja.

"Bersiaplah!" desisnya.

Mata Larasati melotot, masih berusaha mem-

beritahukan Andika kalau jaring laba-laba di atas tubuhnya

akan segera menerkam. Tetapi tubuh Pendekar Slebor

sudah bergerak.

Lalu....

"Hup!"

Dengan pencalan satu kaki Andika melompat

cepat. Tangannya cepat bergerak.

Tuk!

Getaran tenaga dalam yang dilakukan Pendekar

Slebor membuat jerat-jerat itu bagai bergetar sejenak. Dan

jaring laba-laba yang berada di atas tubuh Larasati jatuh

melayang.

"Awaaasss! Kau bisa terjerat, Andika!" seru

Larasati begitu totokan pada urat suaranya terlepas.

Dengan tubuh berjingkat sejenak.

Namun di luar dugaan, Andika bukannya

meneruskan loncatannya, justru hinggap di sisinya. Maka

jaring laba-laba yang alot itu bergoyang. Dan bertepatan

dengan jatuhnya jaring laba-laba di atas tubuhnya, Andika

mengangkat kedua tangannya.

Hawa panas langsung menebar dari seluruh tubuh

Pendekar Slebor. Dan jaring laba-laba yang hinggap di

tubuhnya putus satu persatu!

"Hhh! Ternyata benar!" desis pemuda pewaris ilmu

Pendekar Lembah Kutukan

Dan bukan hanya jaring yang jatuh itu saja yang

putus. Jaring yang menjerat tubuh Larasati pun putus.

Tubuh si gadis ambruk ke tanah, sementara Andika

melompat cepat.

"Brengsek! maki Larasati yang kini sadar kalau

dipermainkan Andika.

Andika tertawa saja. Sebenarnya, ketika

menemukan Larasati telentang tak berdaya pada jaring

laba-laba itu, Pendekar Slebor sudah melihat jaring laba-

laba di atas si gadis. Andika pun teringat apa yang pernah

diutarakan Larasati. Menurut Penghulu Segala Ilmu, jaring

laba-laba itu hanya bisa diputuskan oleh seseorang yang

memiliki tenaga 'inti petir'.

Makanya, Pendekar Slebor pun bermaksud

mencobanya. Sambil melompat untuk membebaskan

totokan pada diri Larasati, tenaga 'intir petir' tingkat

pamungkas telah dirangkum pada kedua tangannya. Lalu

seketika hawa panas segera menebar ke seluruh

tubuhnya.

Dan yang dikatakan Penghulu Segala Ilmu

memang benar. Pendekar Slebor bukan hanya mampu

memutuskan jaring-jaring halus yang alot itu, bahkan

menghancurkannya. Jaring laba-laba yang terkena panas

melalui kakinya pun putus, menyebabkan tubuh Larasati

ambruk tanpa ampun.

"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Pendekar

Slebor kemudian.

"Brengsek!"

Larasati yang masih jengkel karena dipermainkan

membentak.

"Usil! Urakan! Kau pikir tubuhku ini nangka bus uk

yang bisa dijatuhkan begitu saja?!" lanjutnya geram.

"He he he.... Jatuh, ya? Yah, sekali-kali bolehlah

kalau kau mau jadi nangka busuk," oceh Andika.

"Brengsek!

Putri Karna Wijaya berada di tangan Walengkeng

alias Manusia Laba-laba!"

Andika menghentikan tawanya. Dia melengak

kaget.

"Ke mana dia membawanya?" tanya Pendekar

Slebor.

"Arah timur!"

"Kalau begitu, secepatnya kita harus menuju ke

sana! Aku khawatir, akan terjadi apa-apa pada Asti!

Larasati! Sebaiknya kau ikut denganku!"

"Buat apa aku berjalan bersama pemuda usilan?"

Kali ini Andika mengumpat dalam hati.

"Bukan apa-apa. Terus terang, aku belum pernah

melihat wujud Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Aku

hanya mendengar dari ceritamu saja tentang ciri-cirinya."

Meskipun masih jengkel karena dipermainkan,

namun Larasati merasa beruntung juga karena Andika

muncul di saat yang tepat. Kalau tidak, dia bisa tergantung

sepanjang masa di jaring laba-laba itu dalam keadaan tak

berdaya.

Tanpa berkata apa-apa, Larasati sudah melesat ke

arah timur. Andika pun segera mengempos tubuhnya,

menyusul. Karena dengan begitu, secara tidak langsung

Larasati memenuhi permintaannya.

***

9


"Jangan, Walengkeng.... Jangan kau perlakukan itu

padaku...," ratap Asti ketakutan. Tubuhnya mengkeret di

pembaringan, dalam sebuah gubuk di pinggiran hutan.

"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Walengkeng

dalam kemarahan memuncak. Lalu tanpa ragu lagi

Manusia Laba-laba menggerakkan tangannya, hendak

menjamah baju Asti.

"Aku..., aku..., menerima lamaranmu, Walengkeng!"

Kata-kata Asti membuat Walengkeng

menghentikan gerakan tangannya untuk merobek-robek

kembali pakaian si gadis. Matanya membeliak tak percaya-

"Kau?" desis lelaki ini terkejut. Lalu tawa keras-nya

terumbar, memenuhi ruangan ini.

"Menyenangkan, menyenangkan sekali mendengar

kata-katamu itu, Asti."

Asti dalam tekanan batin yang menyesakkan,

mencoba untuk berpikir waras. Lebih baik dia menerima

lamaran Walengkeng lebih dulu daripada mengalami hal

yang paling menakutkan dalam hidupnya. Dia berharap,

dengan berbuat seperti itu Walengkeng akan

mengurungkan niatnya. Sebersit harapan pun terlintas bila

suatu saat ada kesempatan untuk melarikan diri. Terutama

sekali, kedatangan Pendekar Slebor yang sangat

ditunggunya.

Namun harapan si gadis hanya tinggal harapan

"Aku ingin melihat kesungguhanmu, Asti. Sekarang,

bukalah pakaianmu sendiri.... Sementara, aku akan

memutuskan jerat laba-laba yang mengikat kaki dan

tanganmu."

Gemetar, Asti menjamah kancing bajunya. Setitik

air bening menggulir di matanya. Tak mampu lagi dia

membayangkan apa yang bakal terjadi selan-jutnya.

Namun di saat yang gawat itu....

"Walengkeng! Keluar kau!"

Satu bentakan keras membangkitkan kegeraman

Walengkeng. Lelaki ini dengan penuh kegeraman bangkit

berdiri. Hendak dibelahnya kepala orang usil yang

menggagalkan niatnya.

Tiba di luar, Walengkeng mendelik tak percaya

melihat Larasati segar bugar. Kalau gadis itu selamat, pasti

ada yang menyelamatkannya. Kalau yang menyelamatkan

si gadis pun selamat, pasti si penyelamat berilmu amat

tinggi. Dan kalau di sisi gadis itu ada seorang pemuda

berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu,

pasti dialah penyelamatnya. Sekaligus, berilmu amat tinggi.

Sosok yang tak lain Pendekar Slebor.

Bagaimana Pendekar Slebor dan Larasati bisa

menemukan Walengkeng?

Tak terlalu sulit, memang. Arah yang ditempuh

Walengkeng, menurut petunjuk Larasati adalah timur. Ada

satu kebodohan yang dimiliki Manusia Laba-laba. Bila

bosan berkelebat, Walengkeng menggunakan jerat-jeratnya

untuk bergayutan dari satu pohon ke pohon lain, tak

ubahnya laba-laba yang berpindah dari satu tempat ke

tempat lain.

Dari jerat-jerat yang tertinggal, Pendekar Slebor

segera melacaknya. Hingga ketika tiba di pinggir hutan dan

mendapatkan sebuah gubuk, telinga tajamnya menangkap

suara rintihan. Maka dugaannya makin terbukti.

"O, ini orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?

Ha ha ha.... Pasti bapakmu kawin dengan onggok-

onggok, ya?"

Sementara Andika yang kini baru pertama kali

berjumpa dengan Manusia Laba-laba, membuka mulut

usilnya.

"Dan kau yang berjuluk Pendekar Slebor?"

"Terserah kau menyebutku apa."

Dalam hati sebenarnya Manusia Laba-laba heran

ketika menyadari Larasati berhasil lolos dari jerat-jerat

alotnya. Selama ini dia berkeyakinan, tak satu tenaga pun

yang akan mampu memutuskan jerat-jeratnya. Kalaupun

mampu, kemungkinan besar akan bahu-membahu dan

membutuhkan waktu lama.

"Sialan! Apakah Pendekar Slebor itu yang mampu

memutuskan jerat-jerat milikku?" desisnya dalam hati.

Manusia Laba-laba menatap tajam Pendekar

Slebor. Namun yang ditatap malah cengengesan tak

bermakna.

"Pendekar Slebor! Ternyata kau hanya manusia

lancang yang kerjanya mencampuri urusan orang!"

"Alah, jangan banyak lagak lagi, Manusia Laba-

laba. Cepat serahkan Asti padaku!" sergah Andika. Hati si

pemuda sudah sangat jengkel melihat ulah Manusia Laba-

laba. Terutama, bila mengingat Asti berada di tangan

manusia itu.

"Hhh! Menghancurkan pendekar yang suka ikut

campur urusan orang, bukanlah hal yang menyulit-

kanbagiku! Larasati! Kalau dua kali perjumpaan kita kau

masih hidup, kali ini jangan harap kubiarkan lebih lama

hidup!"

Sehabis berkata demikian, kedua tangan Manusia

Laba-laba mengibas ke arah Larasati dan Pendekar Slebor.

Sraat! Sraat!

"Hei, jangan sewot dulu, Laba-laba! Kalau kau mau

sabar dikit, pasti akan kuberi lalat!" oceh Andika, seraya

mendorong tubuh Larasati. Dan mereka segera

bergulingan di tanah.

Dalam bergulingannya, Larasati masih sempat

mengibaskan tangannya.

Sing! Sing!

Dua larik sinar hitam langsung meluruk ke arah

Manusia Laba-laba. Namun Walengkeng tak kalah sigap.

Kembali tangannya mengibas. Kali ini dua buah sinar hitam

yang sama melesat pula menghantam dua larik sinar yang

dilepaskan Larasati.

Duar! Duaaarr!

Dua ledakan terdengar keras. Pada saat yang

sama, Pendekar Slebor s udah melesat ke depan ke arah

Manusia Laba-laba. Akan tetapi....

Srat! Srat!

Terpaksa Pendekar Slebor menjatuhkan diri, dan

langsung bergulingan cepat ketika jerat-jerat halus kembali

dilepaskan Manusia Laba-laba.

Selagi Pendekar Slebor bergulingan begitu,

Larasati langsung mengirimkan serangannya dengan ilmu

'Jari Sakti'.

Sing! Sing!

Dua larik sinar hitam dahsyat kembali meluruk ke

arah Manusia Laba-laba. Namun sambil terbahak-bahak

Walengkeng membuang tubuhnya ke kanan. Akibatnya,

dua pohon besar langsung bolong seketika. Dan dengan

gerakan menakjubkan, tubuh laki-laki berambut jarang dan

bermata merah itu me-ngibaskan tangannya.

Sratt! Sratt!

Kalau biasanya jerat-jerat halus itu meluncur, kali

ini menebar dan seketika mengurung Larasati.

Si gadis terkejut, melepas pekikan. Bila saja

Pendekar Slebor tidak sigap menyambar tubuhnya, bisa

dipastikan akan terjerat. Dan sangat sukar baginya untuk

melepaskan diri. Bahkan jerat-jerat halus itu akan

mematikan seluruh jalan darahnya.

Namun yang dialami Andika justru menyakitkan.

Karena bertepatan tubuhnya bergerak untuk

menyelamatkan Larasati, Manusia Laba-laba sudah

meluruk ke arahnya dengan cara merangkak di tanah

Begitu cepat gerakannya. Lalu....

Des! Des! "Aaakh!"

Dua kali pukulan telak menghantam punggung

Pendekar Slebor. Andika kontan ters uruk ke depan. Untung

keseimbangannya masih bisa dikuasai. Ketika tubuhnya

sempoyongan, segera dikemposnya untuk melompat dua

kali ke muka.

Manusia Laba-laba yang sudah menderu kembali

terbahak-bahak.

"Huh.... Rupanya hanya begitu saja kemampuan

yang dimiliki Pendekar Slebor!"

Begitu merasakan hawa panas yang mengarah

kepadanya, Andika membuat gerakan mengejutkan. Masih

membopong Larasati, tubuhnya bergerak setengah

lingkaran. Maka, pukulan Manusia Laba-laba luput dari

sasarannya. Dan begitu Pendekar Slebor bergerak, tubuh

Larasati diturunkan. Saat itu juga tubuh si gadis

diputarnya, seolah menjadikan sebagai senjata.

Larasati yang mengerti maksud Andika, meng-

alirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu.... Buk!

Tubuh kurus berwajah mengerikan itu tersuruk ke

samping, terhantam kaki si gadis pada bagian punggung.

Ketika tubuhnya berdiri tegak, matanya melotot dengan

sorot mata mengerikan. Rambutnya yang jarang seolah

berdiri menandakan kemarahan menggelegak.

Andika sadar, lawan akan berbuat nekat untuk

menghancurkan mereka.

"Kau menyingkir dari sini, Laras," ujar Pendekar

Slebor.

"Tidak... Aku harus membunuh manusia setan itu."

"Jangan keras kepala, Laras. Ini bukan waktunya

untuk bercanda! Kau tahu, tadi aku kewalahan untuk

menyelamatkanmu."

"Kau tak usah menyelamatkan aku! Aku bisa

mengurus diri sendiri!"

Sehabis berkata begitu, gadis keras kepala itu

berkelebat ke depan. Gerakannya begitu cepat dengan

tubuh mengeluarkan hawa dingin.

"Perempuan slompret!" maki Andika, merasa

kehabisan akal.

Tepat ketika Pendekar Slebor berkelebat ke

depan, Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak telah

meluruk hendak memapak serangan Larasati.

Sraat! Sraat!

Andika harus menghentikan gerakan

memotongnya terhadap gerakan laju Manusia Laba-laba

yang ditujukan pada Larasati. Karena dengan cerdiknya,

lelaki itu telah mengirimkan jerat-jerat halusnya. Terpaksa

Andika harus membuang tubuhnya. Sementara tubuh

Manusia Laba-laba terus meluruk ke arah Larasati.

Plak! Plak!

Dua benturan terjadi.

Dalam soal tenaga dalam, sebenarnya Larasati

memiliki tingkat kemampuan cukup. Namun lawan yang

dihadapinya adalah Manusia Laba-laba yang mampu

mengalirkan seluruh tenaga dalam ke urat darahnya

sekalipun. Maka tak ampun lagi, tubuh si gadis tersentak

ke belakang.

"Laras!" seru Andika.

Pendekar Slebor yang sudah berdiri tegak segera

menyambar tubuh Larasati. Dalam dekapannya, si gadis

muntah darah dan pingsan. Melihat hal ini wajah Andika

berubah bengis. Tubuhnya bergetar.

"Perbuatanmu benar-benar tak bisa diampuni!"

"Justru aku ingin melihat kehebatanmu, Pendekar

Slebor. Dan seluruh rimba persilatan akan tersentak begitu

mendengar kau mampus di tangan si Manusia Laba-laba!"

Andika meletakkan tubuh Larasati. Begitu berdiri

tegak, tatapannya memancarkan hawa amarah. Namun

dalam keadaan seperti ini, sifat urakan Andika tetap saja

tak enyah.

"Heran? Kenapa sih kau mau dijuluki Manusia

Laba-laba? Apa karena wajahmu yang jelek itu? Kurasa

tidak juga. Karena kupikir, wajahnya cukup mirip kecoa. Ha

ha ha...! Mestinya kau berjuluk Manusia, Kecoa. Pantas

kepalamu yang gersang itu bau kotoran!"

"Setan keparat!"

Manusia Laba-laba mengibaskan kedua

tangannya, tepat ketika Andika berhenti mengoceh. Tak

ada waktu lagi buat Pendekar Slebor.

Sraat! Sraat!

"Ha ha ha...!"

Ganti Manusia Laba-laba yang terbahak-bahak

ketika melihat Pendekar Slebor terlilit jerat-jerat halusnya.

Kelihatan sekali bagaimana Andika seperti susah bergerak

dan bernapas.

"Hanya begitu saja kemampuan yang kau miliki

Pendekar Slebor? Nah untuk sementara aku akan

menuntaskan urusanku dulu. Kau kutunggu di Bukit

Kamparan, Pendekar Slebor. Di sanalah tempat tinggalku

yang sebenarnya!"

Begitu habis kata-katanya, Manusia Laba-laba

langsung berkelebat cepat ke dalam gubuk tempat Asti

berada.

Setelah menyambar tubuh Asti, dia melompat

lewat jendela dan menghilang cepat.

"Kutu kupret! Sapi bangkotan! Aku akan

menyusulmu. Heaaa...!" teriak Andika penuh gelegak

***

10


Keheningan Bukit Kamparan yang terlalu tinggi

menyambut Andika. Setelah mampu memutuskan jerat-

jerat dari Manusia Laba-laba yang membelit tubuhnya

dengan tenaga 'inti petir', Pendekar Slebor membawa

Larasati ke tempat yang aman. Baru kemudian dia menuju

tempat ini. Tak terlalu sukar mencarinya. Karena Andika

sendiri pernah mengenal bukit itu.

Di sisi lain pun, Pendekar Slebor harus

berhadapan dengan kelicikan Manusia Laba-laba. Karena

begitu tiba dia sudah disuguhi pemandanganyang tak

mengenakkan. Si pemuda melihat Asti tengah tak berdaya

terlilit jerat laba-laba yang menggantung di satu pohon ke

pohon lain.

"Ha ha ha.... Selamat datang di gubukku ini,

Pendekar Slebor! Menarik bukan, sambutanku?" sambut

Manusia Laba-laba, langsung melompat dari gubuknya di

atas pohon ke jerat-jerat tempat Asti berada.

"Rupanya kau tengah menjalankan cara licik kuno.

Jangan pergunakan gadis itu sebagai sandera. Mari kita

bertarung sebagai lelaki!" teriak Andika dari bawah, sarat

dengan kemarahan.

"Majulah, Pendekar Slebor! Aku ingin melihat

keberanianmu sekarang ini? Ayo, sini! Melompatlah!"

Di tengah kegeramannya, otak encer Andika

berkutat keras. Di sisi Asti, tampak tangan Walengkeng

sudah berubah menjadi hitam. Ini menandakan laki-

lakibertampang setan itu telah merangkum ilmu 'Jari Sakti'

yang siap dihantamkan pada gadis itu.

"Ahh! Aku tahu! Kau memang tak punya nyali untuk

berhadapan sebagai lelaki!" ejek Andika.

"Ha ha ha.... Apa artinya nyali dan keberanian?

Justru aku ingin melihat, apakah kau memiliki nyali dan

keberanian untuk datang ke sini?!"

"Monyet pitak!" gerutu Andika dalam hati.

"Aku bisa saja segera menghantamnya. Namun

kalau aku kalah cepat, bisa jadi nyawa Asti taruhannya.

Orang seperti dia memang menghalalkan segala cara!

Tetapi, apakah aku harus berdiam seperti ini?"

"Hei! Mengapa bengong? Bila kau memang tak

punya nyali dan keberanian itu, silakan pergunakan

kesaktianmu. Lalu, hantamkan pada tubuhmu sendiri!"

seru Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak Dia

merasa menang melihat Pendekar Slebor seperti

kehilangan akal.

Akal licik Manusia Laba-laba memang patut diberi

pujian. Dengan keyakinan Pendekar Slebor akan

menyusulnya, dia memasang tubuh Asti yang telah tertotok

pada jerat-jerat yang dibuatnya. Dengan mengancam akan

membunuh Asti, dia yakih Pendekar Slebor akan

memenuhi seluruh perintahnya.

"Permainan tengik!" maki Andika.

"Di sinilah terlihat kepengecutanmu, Pendekar

Slebor. Bila kau memang memiliki nyali, lakukan yang

kuperintah. Kalau tidak..., nyawa gadis ini akan segera

melayang."

Mata setajam elang Andika menyipit. Memang tak

ada jalan lain sekarang. Seharusnya dia bisa menguasai

pertarungan karena telah mengetahui kelemahan ilmu

'Laba-laba' yang dimiliki Manusia Laba-laba. Namun, lelaki

berambut jarang itu memiliki seribu akal licik yang

mematikan.

Seperti yang dilakukannya saat ini pada Andika

yang bagai tak berkutik. Namun jangan sebuat Pendekar

Slebor kalau untuk masalah segede upil ini saja tak bisa

memecahkannya. Sebuah rencana telah tersusun rapi

dalam beriaknya. Yang jelas rencana itu akan membuat

Manusia Laba-laba mengumpat tak karuan.

"Kau janji akan melepaskan gadis itu bila aku

menuruti kemauanmu?" tanya pemuda urakan ini mulai

memasang akal bulusnya.

"Ha ha ha.... Kecerdikan Pendekar Slebor ternyata

hanya pantas untuk anak kecil!" ejek Manusia Laba-laba.

Dan tiba-tiba suaranya berubah.

"Lakukan yang kuperintahkan itu! Bila dalam

hitungan ketiga kau belum juga melakukannya, jangan

menyesali bila gadis ini akan rebah tanpa nyawa!

Satu!"

Andika tersenyum kecut. Sebenarnya dia pun tak

pasti dengan keberhasilan rencananya. Tapi apa boleh

buat? Itulah cara satu-satunya.

"Dua!"

Andika menatap tajam Manusia Laba-laba.

"Ti...."

"Tunggu!" sentak Pendekar Slebor cepat. Babak

pertama rencananya mulai berjalan mengulur-ulur waktu.

"Baik! Aku akan melakukan apa yang kau inginkan!

Tetapi...."

Tidak ada tetapi! Jangan mengulur waktu lagi!

Lakukan yang kuperintah itu, Bedebah!"

Andika mati kutu. Otak encernya terus bekerja

keras. Ditariknya napas dalam-dalam.

115

"Setan alas! Kau hanya membuang-buang

waktuku!" bentak Manusia Laba-laba. Tangannya siap

terayun.

"Sabar, Manusia Laba-laba!" seru Andika sekali

lagi.

Seharusnya Pendekar Slebor memang bisa

langsung bergerak menghantam Manusia Laba-laba.

Namun kali ini perhitungannya meleset. Karena bila

bergerak bersamaan dengan ayunan tangan Manusia

Laba-laba, belum tentu gadis itu dapat cepat diselamatkan.

Karena belitan jaring laba-laba pada gadis itu sangat tebal.

"Kau menang kali ini!" gumam Andika.

"Akallah yang membuatku besar, Pendekar Slebor!

Lakukan!"

Bagai tak berdaya menghadapi masalah di

hadapannya, Pendekar Slebor terdiam. Manusia Laba-laba

terbahak-bahak begitu melihat tangan Pendekar Slebor

mengencang, memancarkan sinar keperakan. Begitu pula

sekujur tubuhnya. Walengkeng yakin kalau Pendekar

Slebor tengah mengerahkan kekuatan dahsyat.

Dan perlahan-lahan tangan yang telah terangkum

tenaga 'inti petir' itu dihantamkan Andika pada tubuhnya

sendiri.

116

Duarrr...! "Aaa...!"

Terdengar ledakan keras yang disusul lontaran

tubuh Andika beberapa tombak. Pemuda urakan itu

memekik menyayat, bagai menyambut kematian.

"Ha ha ha.... Kini mampuslah kau, Pendekar

Slebor!" sambut Manusia Laba-laba sambil melayang turun.

Perlahan-lahan lelaki ini mendekati tubuh Andika

yang tergolek tak berdaya. Pakaian di bagian dada si

pemuda hangus seperti terbakar. Napasnya terdengar

tersendat.

"Menyenangkan.... Sangat menyenangkan," decak

Manusia Laba-laba. "Nama besar Pendekar Slebor kini

telah terkubur dalam tanah. Hhh! Tenaga dalamnya yang

sangat dahsyat itu akhirnya memakan pemiliknya sendiri.

Inilah yang dinamakan senjata makan tuan."

Mata merah Walengkeng membulat senang.

"Kau tak perlu kubunuh, Pendekar Slebor. Karena

dengan sendirinya kau akan mati akibat pukulanmu

sendiri."

Lalu Manusia Laba-laba kembali melompat ke

jerat-jeratnya. Dibebaskannya Asti yang meskipun ditotok,

bisa mengelahui apa yang terjadi. Hatinya pilu begitu

menyadari Pendekar Slebor berkorban untuk dirinya.

Dalam keadaan seperti ini, hati gadis itu semakin pilu.

Sekarang, tak ada lagi yang bisa menolongnya.

Manusia Laba-laba melompat turun kembali

dengan tubuh Asti dalam bopongannya. Kali ini gadis itu

tak banyak meronta. Hatinya sudah pasrah mengikuti nasib

apa yang akan terjadi. Hatinya teriris melihat tindakan

Pendekar Slebor. Dan rasanya, mati memang lebih baik.

Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena

begitu kaki kurus Manusia Laba-laba menginjak tanah,

satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus berkelebat

sangat cepat. Lalu....

Des! Buk!

Sosok itu langsung menghantam punggung

Walengkeng dan menendangnya hingga terhuyung. Asti

yang berada dalam bopongannya terlepas. Dan dengan

cepat, sosok itu menangkapnya.

Dengan geram penuh kemarahan, Manusia Laba-

laba berbalik. Kedua matanya seperti hendak melompat

keluar, melihat sosok yang memukulnya. Sosok itu tak lain

Pendekar Slebor!

Masih tak percaya dengan yang dilihatnya, Wa-

lengkeng mengalihkan pandangan ke tempat Pendekar

Slebor tadi berada. Namun, sosok itu tak ada di tempatnya!

"Curang!" bentak Manusia Laba-laba dengan

amarah meradang.

"Biarrr...!" balas Andika.

***

Pendekar Slebor sudah bergerak cepat. Bahkan

terlalu cepat. Tahu-tahu saja tubuh Asti telah bersandar

pada batang pohon. Dia pun telah membuka jalan suara

gadis itu yang ditotokoleh Manusia Laba-laba tadi. Dan

sebentar kemudian si pemuda telah berada di depan

Walengkeng.

Dan bukan Pendekar Slebor kalau sifat usilnya tak

muncul untuk menguras tuntas kemarahan orang lain.

"Nah, kan? Aku yang menang? Kubilang juga apa?

Nang-ning-nong, neng-nang-neng gong!" ejek Andika sambil

nandak sendirian. Persis topeng monyet sedang ditanggap.

"Setan alas!" maki Manusia Laba-laba dengan

wajah memerah karena dipermainkan.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi tadi? Di saat

yang gawat tadi di bawah ancaman Manusia Laba-laba,

bagai orang terpaksa Andika pun menghantamkan

tangannya ke dada sendiri. Namun tanpa sepengetahuan

Manusia Laba-laba, Andika sudah meng-alirkan ajian

'Guntur Selaksa' pada tubuhnya. Sinar perak yang

melingkupi tubuhnya tadi, dijadikan sebagai tameng untuk

menghalangi sebuah keberanian. Namun yang terpenting

adalah nyawa Asti.

Begitu pukulan terhantam, sifat tengik Andika pun

muncul. Teriakan keras dikeluarkannya boros-boros. Bisa

jadi, itu untuk meyakinkan Manusia Laba-laba. Dan

bersamaan dengan itu, si pemuda mengempos tubuhnya

ke belakang bagai terlontar akibat pukulannya sendiri.

Pukulan Pendekar Slebor memang tak begitu

keras. Kendati demikian, tetap membuat pakaiannya

hangus. Bukan oleh pukulannya, tapi karena benturan

pukulan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Itulah babak kedua rencana Andika. Dan dia

berharap lelaki hidung sumplung itu akan turun untuk

memeriksanya. Makanya, di tangannya sudah di-

persiapkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk menyelamatkan

diri.

Benar saja Manusia Laba-laba memang merae-

riksa keadaan Andika. Dasar wataknya kejam, Andika yang

disangka sudah tak berdaya diharapkan mati perlahan-

lahan.

Ketika menyadari Manusia Laba-laba pergi dan

bersiap membawa Asti, Pendekar Slebor bergerak cepat

membokong.

Andika tertawa.

Aduh, bagaimana ya? Kenapa kau bisa

kecolongan?" gumam Andika meledek dengan berpura-

pura tolol.

"Keparat busuk!" dengus Manusia Laba-laba.

Dengan gerakan dahsyat Manusia Laba-laba mengibaskan

tangannya ke arah Pendekar Slebor. Sing! Sing!

Dua larik sinar hitam melesat. Kecepatannya tak

terkira. Namun dua jengkal lagi menemui sasaran,

Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.

Ke mana Pendekar Slebor sendiri?

Dengan kecepatan yang tak terlihat mata, pemuda

pewaris ilmu-ilmu Lembah Kutukan berkelebat cepat ke

atas.

"Aku di sini, Kecoa!" susul Andika, seraya melesat

cepat ke arah Manusia Laba-laba. Lalu....

Des!

Jotosan Pendekar Slebor tahu-tahu sudah

menghantam dada Manusia Laba-laba. Sambil terhuyung.

rupanya Walengkeng masih sempat melepaskan jerat-jerat

halusnya. Dia berharap masih mampu menahan serangan

Andika selanjutnya.

Namun, Pendekar Slebor yang memang tahu

kelemahan jerat-jerat halus itu sudah merangkum tenaga

'inti petir'-nya. Dan dengan sekali sentak, jerat-jerat itu

sudah putus!

Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Pendekar

Slebor berkelebat mengejar. Kini yang terlihat hanya

bayangan hijau saja. Di tangannya sudah terangkum ajian

'Guntur Selaksa'.

Manusia Laba-laba,sudah mati kutu. Tak ada

waktu lagi untuk menahan gempuran dahsyat Andika.

Dan....

Desss!

"Augh...!"

Kembali Manusia Laba-laba terhuyung. Pada saat

begini, tendangan kaki kanan penuh tenaga dalam yang

dilakukan secara berputar dilepas Andika.

Krak!

"Aaa...!"

Terdengar suara berderak tulang patah disusul

jeritan menyayat hati. Tulang leher Manusia Laba-laba

patah terkena tendangan dahsyat Andika. Lalu, tubuhnya

pun ambruk menggeloso di tanah tak mampu bangkit lagi.

Andika menarik napas panjang.

"Impas sudah. Kelicikan kubayar dengan kelicikan

pula," gumamnya.

Plok! Plok! Plok!

Tiba-tiba terdengar suara tepukan di belakang

Andika.

"Hebat.... Memang hebat orang yang berjuluk

Pendekar Slebor!" Andika menoleh.

"Penghulu Segala Ilmu!"

"Ilmu laba-laba memang hanya dimiliki si 'Jari

Sakti'. Namun lelaki bijaksana itu tak pernah lagi

mempergunakan ajian yang sakti itu. Terus terang, tak ada

yang sanggup memutuskan jaring laba-laba yang

dimilikinya, bila tidak bahu-membahu untuk melepaskan

jaring-jaring itu. Namun bagi orang yang telah memakan

buah 'intir petir', jerat-jerat halus itu bukanlah masalah

besar. Terus terang, aku sendiri tak akan sanggup

memutuskan jaring-jaring itu tanpa bantuan seseorang

atau beberapa orang untuk mengalirkan hawa panas," kata

sosok lelaki yang baru datang. Dia memang Penghulu

Segala Ilmu.

Andika diam-diam merasa kagum atas kerendahan

hati Penghulu Segala Ilmu. Dia yakin, tak seorang pun

mampu menyaingi ilmu lelaki tua itu. Dia sepertinya tahu

berbagai jenis ilmu aneh yang ada di dunia ini. Bahkan

tahu cara memusnahkannya, meskipun harus meminta

bantuan orang lain.

Seperti yang terjadi sekarang. Penghulu Segala

Ilmu tahu bagaimana cara memusnahkan ilmu 'Laba-laba'.

Namun dia membutuhkan Pendekar Slebor untuk

melakukannya. Karena, pemuda urakan itulah satu-

satunya orang yang pernah memakan buah 'inti petir' yang

tersimpan puluhan tahun di Lembah Kutukan.

Kedatangan Penghulu Segala Ilmu pun sebenarnya

untuk mencari Pendekar Slebor, sekaligus mencoba

menghalangi sepak terjang Manusia Laba-laba. Ketika

muncul tadi, pertarungan sudah terjadi. Namun dengan

penuh keyakinan, Penghulu Segala Ilmu memegang Andika

sebagai pemenangnya.

"Kelicikan itu berbahaya, Andika."

"Kau benar, Orang Tua. Tapi sekali-kali boleh dong

digunakan untuk melawan kelicikan pula...."

"Aku percaya, kelicikanmu untuk jalan kebaikan.

Hm.... Manusia itu memang, sangat sulit untuk ditandingi

bila sudah mempergunakan ilmu 'Laba-laba'. Andika,

tetaplah berjalan di jalurmu. Karena orang sepertimu

sangat dibuluhkan untuk mengamankan isi dunia."

"Ah! Yang benar saja, Orang Tua. Sekali-kali jalan

di jalur orang lain boleh, dong?"

Penghulu Segala Ilmu tertawa renyah. Dia memang

paham dengan sifat Andika yang nyeleneh. Untung saja,

pemuda ini selalu menjunjung tinggi sifat

kependekarannya.

"Bila saja Larasati tak mengatakan tentang

kelemahan jaring laba-laba, niscaya aku sendiri belum

tentu mampu mengalahkannya," kali ini Andika tak

berseloroh. Wajahnya dipasang sungguh-sungguh.

Penghulu Segala Ilmu tersenyum.

"Berjanjilah kepadaku, bahwa kau akan tetap

berada di jalurmu."

Andika menarik ujung bibirnya. Balas tersenyum.

Tanpa diminta pun, Andika tetap akan berada pada jalan

yang memang telah ditemukannya.

Setelah melihat Pendekar Slebor tersenyum,

Penghulu Segala Ilmu menghilang dari pandangan.

Ketika Pendekar Slebor berniat hendak menemui

Asti....

"Hei, Pemuda Brengsek! Kenapa kau tinggalkan

aku, hah?! Apa kau ingin aku mati dengan membiarkan aku

pingsan? Hhh! Pemuda urakan konyol!"

***

11


Larasati sudah berdiri di hadapan Pendekar Slebor

sambil berkacak pinggang. Tetapi sebelum meneruskan

bentakannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sosok

Manusia Laba-laba yang sudah terkapar menjadi mayat.

"Hhh! Kini puas perasaanku melihat manusia

keparat itu sudah mampus! Aku yakin, paman guruku pasti

akan tenang di alamnya sana," desah si gadis.

"Kalau begitu, kenapa kau masih berada di sini?"

goda Andika.

Larasati melotot.

"Brengsek! Apa kau pikir aku berada di sini

karenamu? Tak usah ya?"

"Ya, sudah. Pergi sana!"

"Konyol!" maki Larasati.

Tetapi kali ini wajah si gadis memerah.

Sebenarnya, sejak bertemu Andika, dia merasakan sesuatu

yang lain di hatinya. Namun disadarinya kalau dirinya

dengan Andika jauh berbeda. Larasati mempunyai tempat

tinggal meskipun kini seorang diri. Kalau Andika, sudah

bisa dipastikan akan meneruskan perjalanannya. Karena,

rimba persilatan adalah kehidupannya.

"Hei, Laras! Aku ingin suatu saat kita bertemu lagi."

Gadis itu mendelik.

"Mana sudi aku bertemu denganmu lagi? Tetapi,

terima kasih atas bantuanmu, Andika."

Meskipun mulutnyaberkata begitu, tetapi hati si

gadis sangat mengharapkan dapat bertemu Andika

kembali.

"Aku permisi!" lanjutnya, mohon diri.

Saat itu juga tubuh gadis itu berkelebat

meninggalkan tempat ini dengan dendam yang tuntas

terhadap Manusia Laba-laba. Sementara setengah hatinya

tertinggal pada Pendekar Slebor.

Andika tak menghiraukan Larasati lagi, karena

memang. tak punya perasaan apa pun pada gadis itu,

kecuali membantunya. Kakinya kini melangkah mendekati

Asti. Gadis itu tampak tersenyum gembira. Perlahan-lahan

dibimbingnya Asti berdiri.

"Terima kasih, Kang Andika...," desah Asti seraya

merangkul Andika.

"Semua sudah berakhir. Sebaiknya kuantar kau.

kembali ke rumahmu...."

Asti hanya mengangguk-angguk.



                      SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive