MANUSIA LABA-LABA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting oleh Pujl S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Dunia seringkali menciptakan hal-hal yang tak
terduga oleh manusia. Manusia boleh berencana, tapi Yang
Maha Kuasa pula yang menentukan. Tak pula kematian.
Kendati itu hams menimpa orang baik sekalipun.
Kira-kira, begitu yang dialami seorang juragan kaya
raya di Desa Wanasari. Juragan Kama Wijaya panggilannya.
Amat dicintai oleh penduduk sekitarnya, karena
kemurahan hatinya. Suka membantu orang-orang melarat.
Tapi, siapa pula yang dapat menduga datangnya
malapetaka?
Sementara di atas langit sana, angkasa meredup
dalam kegelapan. Malam merambat pelan. Angin yang
berhembus dingin, tak mampu mengusir gumpalan awan
bergumpal hitam yang menghalangi sang Dewi Malam.
Terlalu banyak untuk diusir, karena angin dari selatan terns
saja membawa gumpalan-gumpalan awan ke utara.
Di bawah sana, satu sosok bayangan melompat
keluar dari sebuah semak. Satu sosok lelaki berpakaian
rompi merah, memperlihalkan dada berbulunya. Kepalanya
terlalu pelit untuk ditumbuhi rambut. Mata tajamnya yang
memancarkan warna merab menatap ke depan. Ke sebuah
bangunan besar dan megah. Di depan bangunan itu berdiri
dua orang lelaki bersenjata lombak.
"Hhh! Manusia busuk seperti Karna Wijaya
memang harus mati!" desis lelaki berompi merah. "Jangan
harap aku melupakan penghinaanmu pada lima tahun
yang lalu, Karna Wijaya! Kini saatnya aku menuntut baias
dengan cara lebih mengerikan!
Dengan gerakan sangat aneh, lelaki yang ternyata
berhidung melesak ke dalam itu bergerak ke arah
bangunan yang tak lepas dari matanya. Terlalu aneh bila
melihat gerakannya. Pada saat bergerak demikian, kedua
tangannya pun sudah digunakan pula untuk berjalan.
Namun luncuran tubuhnya tampak demikian cepat. Dan
tahu-tahu, dia telah berada dua tombak di hadapan kedua
penjaga bangunan mi.
"Heh?!"
Dua lelaki yang menjaga bangunan besar itu ter-
sentak ketika melihat satu sosok tubuh bermata merah
telah berdiri di hadapan mereka.
"Siapa kau?!" bentak lelaki penjaga yang berkumis
tebal dengan wajah segarang anjing penjaga.
Tombaknya yang sudah terhunus mendadak
ditarik kembali dengan wajah kaget melihat sosok
mengerikan di hadapannya. "Setankah yang ada di
hadapanku ini?"
Belum juga terjawab pertanyaan penjaga berkumis
tebal itu, lelaki berompi menggerakkan tangannya.
Serrr...!
Sangat aneh sekali apa yang terjadi kemudian.
Karena dari tangan lelaki bermata merah itu meluncur
puluhan benang balus yang langsung menjerat leher yang
membentak tadi. Lalu dengan tarikan lambat, leher si
penjaga bagai tercekik. Tubuhnya kejang sesaat. Tombak
di tangannya pun terlepas.
"Hih!"
Tas!
Dan kejap berikutnya, kepala si penjaga mencelat
pisah dari tubuhnya oleh satu sentakan amat cepat.
Penjaga yang satu lagi baru sadar dari
terkesimanya ketika melihat kepala si kumis tebal pisah
dari jasadnya.
"Setan laknat! Mampuslah kau!" bentaknya.
"Hih...!"
Serrr...!
Namun belum lagi penjaga ini sempat bergerak,
jerat-jerat halus itu sudah mengikat kedua kakinya. Dengan
sekali sentak, penjaga itu terjatuh. Maka saat itu pula
dengan kejamnya lelaki berompi merah menyala itu
menginjak kepalanya hingga pecah.
Jrottt!
"Aaa...!"
"Kalian rupanya pekerja baru di sini! Hhh! Hanya
membuang waktuku saja!" desis lelaki itu.
Lalu dengan gerakan gesit, lelaki yang baru saja
menurunkan tangan telengas itu mendekati tembok pagar
yang tinggi. Matanya memperhatikan sekelilingnya. Dan
setelah merasa aman, perlahan-lahan kedua tangannya
ditempelkan pada dinding. Lalu....
"Hup!"
Lelaki bermata merah memanjat tembok pagar
dengan enaknya! Gerakannya begitu cepat. Dan ketika tiba
di atas tembok, dia merangkak tak ubahnya seekor laba-
laba. Dari atas, terlihat dua orang laki-laki menjaga pintu
masuk bangunan besar itu.
Dari atas pula lelaki berompi merah itu
menggerakkan tangannya. Dua kali. Maka kembali jerat-
jerat halus meluncur dari telapak tangannya, langsung
menjerat leher kedua lelaki penjaga.
"Hih!"
Sekali betot tulang leher kedua penjaga patah
tanpa bersuara lagi. Lalu tubuh keduanya ambruk tanpa
sempat menyadari apa yang telah menyerang mereka.
"Kini tiba saatnya bagimu, Karna Wijaya!
Perbuatanmu yang telah mengusirku dari sini lima tahun
yang lalu harus kau bayar dengan nyawa busukmu! Hhh!
Pada akhirnya, apa yang kuinginkan selama ini untuk ra
iinpersunting Den Asti, akan terpenuhi juga," desis lelaki
berompi merah. Suaranya begitu dingin, menandakan
gelegak dendam mendalam.
Masih dalam keadaan merangkak, si lelaki
bertingkah laku mirip laba-laba melompat dan bergerak
melintasi halaman cukup luas. Ketika tangannya bergerak
ke atas, serat halus pun meluncur ke arah atap bangunan.
Erat dan kuat jerat itu menempel pada bangunan besar itu.
Lalu dengan enaknya dia meniti di atas serat-serat halus
itu hinggap ke atap.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si lelaki
berambut jarang merangkak ke tengah bangunan. Di
tempat yang jadi tujuannya. dibukanya beberapa buah
genting. Gerakannya hati-hati sekali. Empat buah genting
telah terbuka. Kini tatapannya yang memancarkan warna
merah semakin melebar begitu melihat lelaki bertubuh
gemuk di bawahnya yang sedang tidur nyenyak. Di samping
sosok bertubuh boros, tampak seorang wanita cantik yang
hanya mengenakan pakaian dalam saja tengah tertidur
pulas.
Lelaki aneh itu menelan ludahnya. "Hhh! Aku tak
butuh kenikmatan sekarang. Yang kuinginkan adalah
kematian Kama Wijaya."
Lelaki ini menurunkan tangan kanannya. Dan........
srraaatt!
Jerat-jerat halus kembali meluncur, langsung
melibat leher sosok bertubuh gemuk!
"Mampus kau, Kama Wijaya!" desis lelaki di atas
atap.
"Ohhhkh...?"
Lelaki bertubuh boros yang bernama Kama Wijaya
langsung terbangun dari tidurnya. Dan seketika napasnya
terasa tersengal. Tanpa sadar tangannya memegang ke
leher. Dan dirasakannya jerat-jerat halus berwarna putih
bening membelit lehernya.
Hanya itu gerakan yang bisa dilakukan Kama
Wijaya. Karena kejap berikutnya, nyawanya sudah
melayang dengan leher patah.
"Oh...? Kangmas...?! Kangmas...!"
Wanita cantik di sisi Kama Wijaya kontan
terbangun dan seketika menjerit cukup keras begitu
menyadari suaminya sudah menjadi mayat. Namun belum
juga dia beranjak, jerat-jerat halus sudah melingkari
lehernya. Dan dengan sekali sentak saja, lehernya telah
patah dengan nyawa melayang.
Jeritan si wanita membuat beberapa penjaga
rumah Kama Wijaya tersentak. Seketika mereka
berlompatan dan berlari ke arah kamar majikan mereka.
Brakkk!
Tiga orang lelaki langsung mendobrak pintu kamar
itu. Dan seketika, ketiganya terkejut melihat nyawa majikan
mereka sudah melayang.
"Bangsat! Ada pembunuh kejam di sini! Siaga!"
seru penjaga berwajah lebar, "Cepat sebagian ke kamar
Nona Asti. Jaga keselamatannya!"
Dua orang dari mereka bergegas menuju kamar
putri satu-satunya dari Kama Wijaya. Begitu tiba di sebuah
kamar yang terletak di sisi kiri dari bangunan, mereka jadi
tegang.
"Nona Asti! Nona Asti!" seru salah seorang sam-bil
mengetuk pintu.
Tak ada sahutan apa-apa.
Lelaki penjaga yang mengetuk tadi memandangi
orang di sebelahnya, seolah minta pendapat.
"Dobrak saja!" usul lelaki yang berkumis tipis.
'Bagaimana kalau dia terkejut?"
"Kita bisa menerangkannya. Nyawanya saat ini
terancam oleh maut."
Dengan dua kali tendangan kuat, pintu kamar Asti
terbuka paksa. Keduanya segera memburu masuk. Dan
mereka tercekat, karena tak melihat Asti berada di
kamarnya. Justru yang terljhat, genting atas kamar ini telah
terbuka.
"Kita lerlambat! Nona Asti telah lenyap. Pasti
diculik pembunuh keparat itu. Sebaiknya kita laporkan hal
ini pada Banowo!"
***
2
Kletak!
"Adauwww...! Sial! Hei, Pak Tua! Kau jual batu apa
nasi?!" maki seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus
dengan kain bercorak catur di bahunya.
"Maaf, Den........ Aku tadi terburu-buru. Beras tidak
sempat kubersihkan, karena harus menghadiri
pemakaman Juragan Karna Wijaya. Dan maaf sekali lagi,
kedai ini pun harus segera kututup," ucap si pemilik kedai.
"Lho, lho...? Wahhh.... Kalau begini caranya, lebih
baik kau jual batu rames saja, Pak Tua. Jangan nasi
rames."
Wajah si pemilik kedai memerah.
"Bukan, bukan begitu maksudku, Den. Tetapi, aku
harus menghadiri...."
Iya, aku tidak tuli!" potong si pemuda. "Tadi kau
bilang kau akan menghadiri pemakaman Juragan Karna
Wijaya. Hm.... Siapa dia, Pak Tua?"
"Juragan Kama Wijaya adalah orang kaya yang
paling baik di desa ini. Dia tak segan-segan membantu
siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kemarin
malam, dia dan istrinya ditemukan mati terbunuh. Juga
empat orang penjaganya."
"Walah? Orang iseng mana yang tega-teganya
membunuh orang sebaik itu?" sentak pemuda beralis tebal
seperti kepakan sayap elang sambil menggeleng gelengkan
kepalanya.
Itulah yang sekarang sedang diselidiki. Menurut
kepala penjaga di rumah J uragan Kama Wijaya yang
bernama Banowo, pembunuhnya pasti memiliki ilmu
sangat tinggi. Karena seluruh kejadian itu bagai angin
belaka. Nyata, tetapi tak memiliki bukti siapa
pembunuhnya. Saat ini, mereka juga sedang mencari Den
Asti yang kemungkinan besar diculik si pembunuh," papar
pemilik kedai.
"Siapa pula gadis itu?"
"Dia adalah putri satu-satunya Juragan Kama
Wijaya yang saat kejadian berdarah tak ditemukan berada
di tempatnya. Yang terlihat, hanya atap yang terbuka.
Maafkan aku. Den.... Aku harus tutup sekarang. Karena
aku mengganggu keasyikan Aden makan, maka lebih baik
tidak usah dibayar."
Pemuda tampan yang tak lain Andika alias
Pendekar Slebor nyengir, lalu berdiri.
"Ah, Pak Tua! Kau tak perlu sungkan-sungkan
padaku. Nih, kubayar semua, sekaligus batu yang masih
nyempil di gigiku!" kata Andika, lalu ngeloyor pergi
Pemilik kedai jadi merasa tidak enak dengan sikap
si pemuda. Tetapi, pemakaman Juragan Kama Wijaya
baginya sangat penting. Bergegas kedainya ditutup.
Sementara si pemuda urakan itu telah melangkah
ke arah selatan. Matanya tak henti-hentinya melihat orang-
orang yang bergerak ke arah selatan. Ada yang menjerit-
jerit sambil meneriakkan nama J uragan Kama Wijaya. Ada
yang menangis sesenggukan bagai kehilangan kekasih
tercinta.
"Hebat sekali pengaruh Juragan Karna Wijaya. Aku
jadi penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi,"
desis Andika sambil mengikuti langkah orang-orang itu.
Di sebuah tanah pemakaman, Pendekar Slebor
berhenti bersama orang-orang yang memenuhi tempat itu.
Mata tajamnya langsung terarah pada mayat yang sedang
dibuka penutup kain kafan di bagian wajahnya. Tampak di
leher kedua korban terdapat jerat-jerat halus.
"Hei? Jerat apa itu? Setipis benang dan sukar
sekali dilihat mata biasa. Apakah jerat ini yang membunuh
mereka?"
Ketika para pelayat memegang dan merangkul
tubuh Juragan Kama Wijaya dan istrinya, Andika
menyempatkan untuk meraba leher mayat Juragan Kama
Wijaya.
"Benar dugaanku. Ada jerat halus. Hmmm....Se-
karang aku yakin..., jerat-jerat bening inilah yang
mengakhiri nyawa mereka. Lalu, apa maksud atap yang
terbuka menurut pemilik kedai tadi? Apakah si pembunuh
sekaligus penculik itu keluar dan masuk lewat atap?"
Sementara itu, Banowo dan tiga kawannya
menyuruh agar orang-orang menyudahi pelukan dan
pegangan. karena kedua mayat itu hendak dikebumikan.
Saat mayat Juragan Kama Wijaya dan istrinya diturunkan,
banyak sekali yang menangis.
"Cari Den Asti! Kasihan nasibnya bila sampai
disiksa oleh si pembunuh!" ujar Banowo kemudian.
"Kita harus mencari si pembunuh itu!"
"Ya! Kita harus mencarinya!"
"Cincang pembunuh keparat itu!"
Teriakan-teriakan bernada kemarahan terdengar
sangat keras sekali diiringi gerakan tangan ke atas berkali-
kali.
Dahi si pemuda urakan yang dikenal sebagai
Pendekar Slebor berkerut.
"Rupanya J uragan Kama Wijaya sangat dicintai
para penduduk di sini. Mereka tak segan-segan
mengorbankan nyawa. Hmm, putri Juragan Kama Wijaya
diculik. Tapi, cantikkah dia? He he he.... Ah, sebaiknya, aku
pergi dulu dari tempat ini."
Namun, sebelum Pendekar Slebor melangkah......
"Hei! Siapa kau, Orang Muda?!"
***
Andika menghentikan langkahnya ketika terdengar
seruan keras. Begitu kepalanya menoleh, tampak wajah-
wajah garang di hadapannya.
"Saudara-saudara memanggilku?" Andika malah
balik bertanya.
"Di sini tak ada orang asing lagi, selain kau, Anak
Muda!" kata salah seorang penduduk, langsung menuding.
"O, itu. Aku hanya kebetulan saja lewat sini. Tadi
aku sempat mampir di kedai di desa ini. Kata pemilik
kedai, di desa ini ada yang terbunuh. Pas aku lewat
pemakaman ini, sekalian saja aku mampir," jelas Andika.
"Lalu mengapa kau masih berada di sini, hah?!"
bentak seorang lelaki berwajah kasar. Di tangannya
terdapat sebilah parang besar yang sangat tajam. Sambil
maju dua langkah, matanya yang memancar kan sinar
kemarahan meneliti Andika.
"Lho? Bukankali ini pemakaman umum? Sejak
kapan ada larangan orang asing tak boleh memasuki
pemakaman? Ah, lucu juga kau, Saudara!" kilah Andika,
mulai konyol sifat urakannya.
"Kurang ajar!" dengus si wajah kasar. "Kawan-
kawan...! Jangan-jangan, pemuda inilah yang menurunkan
tangan setan pada Juragan Kama Wijaya dan istrinya. Juga
dia pula yang menculik Den Asti! Bisa saja dia kembali ke
sini untuk mengetahui keadaan di sini. Setelah dipikirnya
aman, dia pasti akan melakukan tindakan busuk lagi! Ayo,
tunggu apa lagi?! Kita tangkap manusia berhati busuk mi!"
Bagai diberi aba-aba, orang-orang itu segera
memburu ke arah Pendekar Slebor.
"Hei! Apa-apaan ini?! Saudara-saudara salah
tuduh. Aku bukan.... Uts!"
Tetapi kata-kata Andika terpenggal oleh puluhan
senjata tajam yang melesat ke arahnya. Amarah para
penduduk atas matinya orang yang mereka hormati sudah
demikian menggelegak.
Si pemuda menghindar dengan gerakan luar biasa
cepatnya. Hingga sampai sejauh ini tak satu senjata pun
yang berhasil menyentuh tubuhnya.
"Lihat! Dia memiliki kepandaian! Banowo!
Mengapa kau diam saja, hah?! Bukankali kau yang
mengatakan kalau pembunuh Juragan Kama Wijaya dan
istrinya memiliki kepandaian tinggi! Ayo, cincang pemuda
laknat itu!"
Andika lama-kelamaan menjadi jengkel melihat
kemarahan para penduduk yang tak mau mendengarkan
ucapannya.
"Terpaksa aku harus bertindak, tanpa harus
membuat mereka celaka. Paling tidak sekadar
menyadarkan...," gumam Andika.
Maka dikawal satu bentakan keras, tubuh
Pendekar Slebor berkelebat ke sana kemari. Tangannya
bergerak cepat, melepas pukulan tak bertenaga dalam.
Duk! Duk!
Para pengeroyok yang belum kebagian bogem
mentah Andika dipaksa membelalak, melihat kawan
mereka berjatuhan satu persatu. Begitu cepat, seolah
seperti angin saja pemuda itu bergerak.
Andika meringis sendirl Sengaja untuk
menyadarkan tindakan brutal para penduduk.
"Kalau kalian mau mendengar penjelasanku tak
akan begini jadinya," gumam Pendekar Slebor, enteng.
"Apa yang kalian tuduhkan padaku, tak beralasan sama
sekali. Aku hanya kebetulan melewati desa ini."
"Dusta!" seru lelaki berwajah kasar sambil
memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia tadi termasuk
salah satu orang yang mendapat hadiah satu kibasan pada
bagian pinggangnya.
"Jangan terlalu keras bicara, Orang Tua! Jangan-
jangan kolormu telah putus," ujar Andika. Mata nakalnya
mengerjap-ngerjap ke arah kolor lelaki berwajah kasar itu.
Si lelaki kasar seketika merasakan hawa sejuk di
antara selangkangannya. Sejenak matanya melirik takut-
takut. Dan....
"Walah...!" sentak si lelaki kasar seraya kedua
tangannya menutup burung kesayangannya, takut-takut
kalau terbang. Wajahnya kontan merah seketika. Lalu
dengan kegeraman bercampur malu tak terkira dia
menghambur dart tempat ini, setelah menarik kembali
kolornya yang melorot sampai betis.
Kejadian ini membuat para pengeroyok
menurunkan senjata masing-masing. Tindakan Andika
seolah menyadarkan mereka kalau si pemuda tak bisa
dianggap main-main.
"Maaf, bukannya aku hendak mempermalukan
kalian. Aku hanya ingin kalian jangan main tuduh. Oh, ya.
Tadi aku melihat ada yang aneh pada kedua mayat itu. Aku
mehhat ada jerat halus di leher mereka. Kemungkinan
besar, jerat-jerat yang mirip benang ituiah yang membunuh
mereka," ucap Pendekar Slebor.
Mendengar kata-kata si pemuda, orang-orang
terdiam.
"Si pembunuh memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Jerat-jerat halus yang dijadikan sebagai senjata merupakan
benda sangat berbahaya. Dan terus terang, aku belum
tahu dari mana asalnya jerat-jerat halus itu. Akan tetapi,
jerat itu mirip seperti jerat laba-laba. Hanya bedanya, jerat
itu memiliki kealotan atau kekuatan beribu kali lipat. Kalau
kalian bisa sampai tidak tahu saat pembunuhan terjadi, itu
artinya si pembunuh bukan orang sembarangan," lanjut
Andika memaparkan.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Muda?" tanya
Banowo, membuka suara. Sementara sepasang matanya
tak lepas dari wajah si pemuda.
Banowo memang cukup terkejut mendengar
penjelasan si pemuda tentang jerat halus di leher Juragan
Kama Wijaya dan istrinya. Sedangkan, dia sendiri tak
melihat apa-apa. Jelas kalau begitu, pemuda yang berdiri di
hadapannya bukanlah orang sembarangan.
"Namaku Andika!" sahut si pemuda sambil
tersenyum.
"Melihat pakaianmu, kau pasti orang rimba
persilatan. Lancangkah kami bila mengetahui julukanmu?"
tanya Banowo lagi.
Ini yang membuat Andika tersenyum kecut. Dia
paling tak suka julukannya diutak-atik. Tapi demi
kepentingan adanya kesalahpahaman tadi, Andika jadi
berpikiran lain.
"Orang persilatan memanggilku Pendekar Slebor."
Seketika wajah Banowo berubah menjadi cerah.
"Maafkan sikap kawan-kawanku tadi yang buta,
Pendekar Slebor. Kami tidak tahu siapa yang berada di
hadapan kami," katanya sambil menjura!.
"Ya, sudah kalau begitu. Hmm..... Aku permisi dulu.
Mudah-mudahan aku bisa mencari si pembunuh keji dan
mencoba menyelamatkan putri Juragan Kama Wijaya," kata
Andika seraya berbalik. Lalu....
Wuuttt...!
Tubuh Pendekar Slebor berkelebat seketika. Se-
bentar saja, tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi.
Sementara Banowo menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Rupanya Pendekar Slebor masih sangat muda.
Sungguh tak kusangka. Mudah-mudahan dia bisa
membantu untuk menemukan Den Asti."
***
3
Enam orang lelaki pekerja di rumah Juragan Kama
Wijaya yang tengah mencari Den Asti, menghentikan
langkah di sebuah hutan lebat. Sengatan matahari siang ini
tak terasa panas, karena sinarnya terhalang kerimbunan
pepohonan hutan.
"Sudah tiga hari kita mencari Den Asti. Lantas ke
mana lagi kita harus mencarinya?" tanya lelaki bertubuh
kurus. Di matanya memancarkan keletihan yang berbalur
rasa geram mengingat kematian majikannya.
"Kita memang tidak tahu harus mencari ke mana.
Namun sebelum Den Asti ditemukan, kita tak usah kembali
ke desa. Kita harus tetap mencarinya," sahut lelaki
bertubuh tinggi besar. "Sebaiknya, kita beristirahat saja
dulu di sini. Kandolo! Kau cari kelinci hutan untuk mengisi
perut!"
Lelaki bertubuh kurus yang dipanggil Kandolo
hendak bergerak. Namun dari balik sebuah pohon besar
melompat satu sosok tubuh kurus dengan rambut bisa
dihitung. Hidungnya melesak ke dalam, terlalu mengerikan
untuk dilihat. Sosok itu tahu-tahu telah berdiri di depan
keenam orang ini.
"Walengkeng!" seru Kandolo, ketika mengenali
orang yang baru muncul.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya lelaki
menyeramkan bernama Walengkeng dengan senyum
ganjil.
Memang Walengkeng dikenal sebagai pengurus
kuda di rumah Juragan Karna Wijaya. Cuma saja lelaki ini
punya cita-cita besar, bagai pungguk merindukan bulan.
Tanpa melihat keadaan dirinya, Walengkeng diam-diam
mencintai Den Asti. Suatu ketika Walengkeng tertangkap
basah tengah mengintip Den Asti mandi. Kejadian ini
terdengar oleh orang tua Den Asti. Akibatnya, Juragan
Kama Wijaya marah besar. Sejak itu, laki-laki hidung
melesak ke dalam ini diusir dari rumah Juragan Karna
Wijaya.
Namun kini setelah lima tahun menghilang,
Walengkeng muncul kembali. Maka Kandolo pun men-
ceritakan apa yang terjadi terhadap keluarga Juragan
Kama Wijaya. Walengkeng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kasihan nasib Den Asti...," desah lelaki yang
terlalu pelit dengan rambut itu.
"Betul! Dan lebih kasihan lagi bila ia menjadi
istrimu!" ejek lelaki bertubuh tinggi besar sambil terbahak-
bahak, langsung disambut lawa yang lainnya.
Walengkeng tersenyum tipis.
"Ya, ya.... Kau benar, Marwoto. Nasibnya akan
lebih menyedihkan bila dia menikah denganku."
"Dan karena sikapmu yang konyol dan kurang ajar
itulah kau dipecat Juragan Kama Wijaya. Hei, Walengkeng!
Sebaiknya kau sadar siapa dirimu dan siapa Den Asti itu,"
lanjut lelaki yang dipanggil Marwoto.
Walengkeng hanya mengangguk-angguk. Dan
tanpa disadari keenam orang itu, tiba-tiba saja matanya
memancarkan sinar warna merah.
"Hmm.... Di mana orang yang telah membunuh
Juragan Kama Wijaya dan istrinya?" tanya Walengkeng
dengan kepala tertunduk.
Tawa orang-orang itu terhenti.
"Biar bagaimanapun sulitnya, kami akan tetap
mencari Den Asti," kata Kandolo.
Walengkeng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kebencian di dalam hatinya semakin membuncah. Sejak
lama harga dirinyadiejek oleh orang-orang ini, karena wajah
buruknya dengan kepala nyaris tanpa rambut.
"Kalau begitu, selamat kalian mencari, katanya
sambil menundukkan kepalanya, lelaki ini berbalik lalu
kakinya melangkah pergi dari tempat ini.
"Hei, Walengkeng!" seru Marwoto, "Di mana
sekarangkau tinggal?!"
Walengkeng berbalik, membuat orang-orang yang
melihatnya kontan bergetar mundur dengan wajah kaget.
Bola mata laki-laki berbidung melesak ke dalam itu
semakin memerah sepanas bara. Tubuhnya bagai bergetar.
Bibirnya yang agak tebal mengatup rapat.
"Di neraka!" bentak Walengkeng sambil
mengibaskan tangannya. Sraaat!
Jerat-jerat halus kontan melunc ur kencang ke arah
keenam orang itu. Mereka melengak, ketika jerat-jerat
halus itu bagai mata anak panah melesak masuk ke dada.
"Hih!"
"Aaa...!"
Dan ketika ditarik. tubuh mereka ambruk dengan
darah muncrat disertai teriakan merobek langit. Hanya
sekali gebrak mereka kontan tewas!
"Hhh! Tak ada lagi yang bernama Walengkeng!
Kalian beruntung. Karena, telah berjumpa si Manusia
Laba-laba!"
Seketika tubuh Walengkeng yang menamakan diri
sebagai Manusia Laba-laba pun mendadak berkelebat
amat cepat. Sehingga sebentar saja telah lenyap dari
pandangan.
Senja datang lamat. Pendekar Slebor yang tiba di
hutan tempat terjadinya pembantaian terhadap Kandolo
dan kawan-kawannya langsung mendengus geram. Karena
sosok mayat yang bergeletak di depannya ternyata juga
terdapat jerat-jerat halus yang me-nembus dada. Saat itu
juga dia segera menguburkan mayat-mayat itu.
"Hhh! Kutu kupret! Lagi-lagi jerat-jerat halus ini!
Siapa sebenarnya manusia busuk yang sok jadi laba-laba.
Atau laba-laba betulan. Tapi kalau laba-laba betulan,
sebesar apa binatangnya?"
Andika mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Entah kenapa dia tersenyum sendiri.
"Siapa yang suka ngintip, matanya bintitan.
Orangnya pasti jelek, tapi pemalu. Ha ha ha. Sudah jelek,
pemalu lagi. Entah sudah berapa lama kau berada di
tempat ini. Sebaiknya keluar saja kalau tak mau kutuduh
sebagai pembunuh keenam orang tadi," gumam Andika,
entah ditujukan pada siapa.
"Enak saja kau bicara, Pemuda Gombal! Aku sudah
berada di sini sejak tadi, tahu?! Dan lagi, aku bukan
pembunuh keenam orang tadi. Bahkan kau tak akan
pernah bisa mengalahkan Manusia Laba-laba itu!"
Tak lama memang terdengar sahutan dari salah
satu batang pohon. Lalu meluncur satu sosok tubuh
ramping berpakaian rompi merah yang melapisi pakaian
hitam tipis. Sebentar saja di depan Andika berdiri seorang
gadis, berambut panjang diikat seperti ekor kuda. Di
keningnya terdapat poni yang rata.
Pendekar Slebor tersenyum cerah. Ketajaman
pendengarannya memang tak diragukan lagi. Telinga
tajamnya tadi memang mendengar desah napas halus di
sekitar tempat ini. Namun dia yakin orang yang ada bukan
si pembunuh yang dimaksud. Karena mana ada seorang
pembunuh yang mau susah payah menunggui mayat yang
habis dibunuhnya.
"Ilmu laba-laba sulit sekali untuk dikalahkan.
Karena terlalu licik dan memiliki segudang tipu daya."
"Hm.... Aku suka denganmu, Gadis!" sambar
Andika, hampir tanpa makna. "Belum apa-apa, seolah-olah
kau sudah tahu seluruh kejadian ini."
"Cerewet!" bentak gadis itu. "Aku tahu, kau sedang
mencari Manusia Laba-laba yang telah membunuh keenam
orang itu, bukan?"
"Manusia Laba-laba?" ulang Andika dalam ke-
terpanaan.
"Ya! Sejak menemukan mayat-mayat itu, aku yakin
pelakunya si Manusia Laba-laba. Ketika kuperiksa, aku
menemukan jerat-jerat halus di tubuh mereka. Sama
seperti yang kutemukan pada mayat paman guruku, si Jari
Sakti!"
"Dan kesimpulanmu, yang melakukan perbuatan
hina itu adalah orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?"
"Kau benar. Manusia itu sangat sulit sekali
dikalahkan. Ilmunya begitu aneh dan tinggi. Hanya seorang
yang mungkin bisa mengalahkannya."
"Siapa dia?"
"Pendekar Slebor."
Andika melengak mendengarnya. Kalau begitu,
gadis ini belum tahu siapa dirinya?
"Mengapa kau yakin kalau yang mampu mem-
bunuhnya adalah Pendekar Slebor?" tanya Andika dengan
kening berkerut.
"Dalam perjalananku mencari Manusia Laba-laba,
dua kali aku bentrok denganny a. Yang pertama, aku masih
mampu bertahan. Tetapi yang kedua, aku tak mampu lagi
menghadapmya. Di saat Manusia Laba-laba siap
menurunkan tangan telengas," lanjut si gadis, meskipun
jengkel terhadap Andika. "Tetapi, seorang kakek yang
berjuluk Penghulu Segala Ilmu tiba-tiba muncul dan
menyelamatkanku. Manusia Laba-laba murka. Dan,
pertarungan pun terjadi dengan hebatnya. Namun,
kebijakan orang tua itu dimanfaatkan dengan licik oleh
Manusia Laba-laba. Saat sudah beberapa kali terkena
pukulan maut dari lawannya, Manusia Laba-laba memohon
ampun. Dan selagi orang tua itu mengulurkan tangannya
penuhwelas asih, manusia culas itu mengirimkan satu
serangan maut. Meskipun dapat dihindari, namun tak
urung tangan kiri orang tua itu luka parah akibat jerat dari
Manusia Laba-laba yang langsung melarikan diri.
Kemudian Penghulu Segala Ilmu mengobati dirinya dan
diriku. Dari dialah aku tahu, kalau jerat laba-laba dan
Manusia Laba-laba hanya bisa dikalahkan oleh orangyang
telah memakan buah 'inti petir'. Kalau tak salah julukan
Pendekar Slebor. Sayang aku tak me-nanyakan ciri-cirinya."
"Mengapa harus Pendekar Slebor?" ungkit Andika.
Si pemuda merasa heran karena Penghulu Segala
Ilmu begitu yakin dengan ucapannya. Namun
keheranannya pun tak terlalu lama, karena orang tua itu
memang memiliki pengetahuan luas soal ilmu langka
maupun biasa.
"Tadi sudah kukatakan, pemuda itu memiliki
tenaga 'inti petir'. Bila tubuhnya tersambar petir, maka saat
itulah saat yang tepat untuk memusnahkan Manusia Laba-
laba. Hei? Apakah kau mengenal Pendekar Slebor?" sahut
si gadis.
Andika menggeleng. Entah mengapa dia ingin
mempermainkan gadis ini.
"Kalau jumpa dengannya, aku ingin mencium
tangannya," katanya sambil nyengir.
"Begitu pula denganku. Bahkan aku akan me-
minta bantuannya untuk memusnahkan Manusia Laba-
laba," sambar gadis itu sambil mengerutkan keningnya
melihat cengir kuda Andika.
"Kalau soal itu, kau tak perlu ragu. Apalagi dia
memang tampan dan berwibawa. Siapa yang berjumpa
dengannya, pasti akan merasa suka," bual Andika. Dalam
hati dia cengengesan.
Gadis itu menatap tajam Andika.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang Pendekar
Slebor? Katanya, kau belum pemah tahu siapa dia?"
"Aku sering mendengar orang-orang
membicarakannya," sahut Pendekar Slebor. seraya
mengangkat bahunya.
"Hhh! Tetapi mengapa Penghulu Segala Ilmu
mengatakan kalau Pendekar Slebor orangnya urakan dan
suka berbicara seenaknya?" kata gadis itu bagai
bergumam.
Andika mendengus diam-diam. Brengsek juga tuh
orang tua! Desisnya dalam hati. Dia teringat bagaimana
pengalamannya ketika memasuki Alam Gerbang Neraka
bersama Penghulu Segala Ilmu (Baca : "Bunga Neraka").
Dan sekarang orang tua itu mengatakannya urakan dan
seenaknya saja? Hhh! Tetapi tiba-tiba pemuda ini tertawa
sendiri.
Sementara itu si gadis berompi merah
mengerutkan keningnya melihat Andika tahu-tabu tertawa
sendiri.
"Hei? Apakah kau kemasukan setan hutan ini?
Atau..., penyakit ayanmu kumat?"
Andika menghentikan tawanya.
"Maaf..., aku sedang membayangkan bagaimana
sifat Pendekar Slebor sesungguhnya."
"Hhh! Ternyata aku bertemu orang tolol malam ini!
Lebih baik aku meneruskan saja untuk mencari Manusia
Laba-laba!" desis si gadis siap untuk me-langkah.
"Nona.... Mengapa kau mencarinya?"
"Manusia keparat itu telah membunuh paman
guruku. si Jari Sakti."
"Paman gurumu saja bisa dikalahkannya. Bahkan
dibunuhnya. Bagaimana kau bisa menghadapinya?"
"Hhh! Peduli setan! Guruku sudah tiada. Kedua
orangtuaku pun sudah tiada. Hanya tinggal paman guruku
saja yang seharusnya masih hidup! Tetapi, manusia busuk
itu telah membunuhnya secara keji! Dia mempergunakan
ilmu 'Laba-laba' yang diturunkan paman guruku selagi
beliau bersemadi. Padahal, ilmu 'Laba-laba' itu adalah ilmu
simpanannya yang tak pernah dipakai karena begitu
kejam!" urai gadis itu sambil mengepalkan kedua
tangannya kuat-kuat. "Meskipun aku tahu akan
kehebatannya, aku tak peduli. Lebih baik mati di
tangannya daripada membiarkan manusia laknat itu terus
menerus menurunkan tangan jahat!"
"Jadi..., Manusia Laba-laba itu murid paman
gurumu?"
"Betul. Paman guruku menemukannya di lereng
Bukit Tunggul dalam keadaan kelaparan dan tak berdaya
lima tahun yang lalu. Laki-laki dengan hidung melesak ke
dalam dan rambut jarang itu pun dirawat penuh perhatian
oleh paman guruku. Ketika ditanya mengapa berada di
sana, orang yang bernama Walengkeng itu mengatakan
kalau baru saja dipecat dari pekerjaannya di rumah
Juragan Karna Wijaya...."
"Hei!" seru Andika tercekat. "Kenapa?"
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Sebaiknya teruskan
saja."
"Paman guruku pun menasihatinya agar
Walengkeng tidak mendendam pada Juragan Karna Wijaya.
Lalu diajaknya Walengkeng ke tempat tinggalnya. Entah
karena melihat ketulusan dan kebaikannya, paman guruku
mau mengangkatnya sebagai murid ketika Walengkeng
memintanya. Ilmu yang dimiliki-nya termasuk ilmu 'Jari
Sakti' pun diturunkannya. Dan karena melihat
kejujurannya, paman guruku pun telah menurunkan ilmu
andalannya yang jarang sekali dipakai. Ilmu 'Laba-laba'.
Bahkan, paman guruku memberikan seekor laba-laba
Gurun Gobi yang telah diawetkannya. Dengan mantera dan
ramuan yang dibuatnya, lendir laba-laba Gurun Gobi yang
diawetkan itu dicampurkan. Lalu diberikannya pada
Walengkeng untuk diminum. Setelah meminumnya, dia
memiliki serat laba-laba yang sangat kuat dan tak akan
pernah habis sebelum mati seperti yang dimiliki paman
guruku. Karena semuanya sudah bersatu dengan darah."
Sejenak si gadis menghentikan ceritanya.
Sepertinya ada raut penyesalan di wajahnya.
"Sebelumnya, aku sudah memperingati paman
guruku agar tidak menurunkan seluruh ilmu pada
Walengkeng. Namun paman guruku hanya tersenyum dan
mengatakan kalau sudah memperhitungkan semuanya
masak-masak. Apalagi, Walengkeng sudah bersumpah
akan mempergunakan ilmu yang diturunkannya pada jalan
kebenaran. Hingga akhirnya, aku pun tak bisa berbuat apa-
apa meskipun dalam hatiku begitu ngeri membayangkan
sesuatu yang sebenarnya takut kubayangkan. Dan
kengerian itu pun terjadi. Rupanya manusia busuk itu
hanya menipu paman guruku. Dia berlagak baik, padahal
hatinya culas. Selesai menamatkan seluruh pelajaran yang
diberikan, dia membunuh paman guruku! Apakah aku akan
berpangku tangan saja melihat ke-nyataan ini?"
Wajah gadis itu merah padam menahan geram
mengingat semua itu.
Andika tak berkata apa-apa.
"Hei, tahukah kau, di mana Desa Wanasari
berada?" tanya si gadis.
"Hendak apa kau ke sana?"
"Aku yakin, manusia hina itu memiliki dendam
pada Juragan Karna Wijaya yang telah mengusimya. Tetapi,
tindakan yang dilakukan Karna Wijaya memang benar.
Karena siapa pun tak akan sudi mengawinkan putrinya
dengan manusia bertampang setan itu."
"Kau terlambat," sahut Andika.
Gadis itu mengerutkan keningnya. "Mengapa?"
"Juragan Karna Wijaya dan istrinya mati dibunuh
oleh orang yang kau juluki Manusia Laba-laba. Bahkan saat
ini, putrinya berada di tangan manusia busuk itu!"
Gadis itu mendesah pelan.
"Boleh kutahu, siapa namamu?" usik Andika,
mengalihkan perhatian.
Gadis itu menarik napas panjang untuk mere-
dakan gejolak amarahnya. Ditatapnya Andika dengan
sengit.
"Namaku Larasati!" kata si gadis, akhirnya.
"Nama yang bagus...."
"Aku tidak suka dengan laki-laki ceriwis!" bentak si
gadis tiba-tiba.
"Apakah kau akan mencari Pendekar Slebor?"
"Ya! Sambil lalu pun akan kucari Pendekar Slebor!
Mudah-mudahan dia mau membantuku."
"Percayalah dengan ucapanku. Dia pasti bersedia
membantu."
Gadis itu tersenyum getir, lalu melompat. Dan
dalam sekali pandang, tubuhnya lenyap dalam kegelapan.
Sementara Andika masih terpaku di tempatnya.
"Hmm.... Bila mendengarkan penuturan Larasati,
ilmu yang dimiliki Manusia Laba-laba begitu tinggi. Aku
yakin, Larasati pun pernah diajarkan ilmu 'Jari Sakti'. Dan
manusia yang bernama Walengkeng itu pun memiliki ilmu
yang sama. Ilmu 'Jari Sakti' itu saja sudah sedemikian
hebat. Bagaimana dengan ilmu 'Laba-laba'-nya yang
menurut Larasati adalah ajian andalan paman gurunya?
Hhh! Memusingkan! Dan lagi, aku belum mengerti tentang
penjelasan Penghulu Segala Ilmu yang menurut Larasati
hanya aku yang mampu mengalahkannya. Penghulu Segala
Ilmu saja belum bisa menaklukkannya. Sementara ilmuku
jauh berada di bawah Penghulu Segala Ilmu? Hmm....
Apakah orang tua bangkotan itu sudah sering ngelindur?"
Lalu tubuh Andika pun berkelebat.
***
4
Bagaimana nasib Asti di bawah kekuasaan
Manusia Laba-laba?
Beruntung sekali gadis itu. Walau keadaannya
pucat, tapi Manusia Laba-laba alias Walengkeng belum
menjamahnya. Sampai saat ini, Asti memang tidak tahu
siapa Walengkeng sebenarnya. Yang diketahuinya lelaki
berwajah mengerikan itu bekas pekerja di rumahnya pada
lima tahun yang lalu.
Memang tak jelas asal-usulnya. Walengkeng kecil
waktu ditemukan di pasar Desa Wanasari langsung
menimbulkan rasa iba. Tapi menurut cerita Walengkeng
sendiri, sejak kecil dia telah dibuang keluarganya karena
tak menginginkan kehadirannya yang cacat. Tak heran
kalau lelaki itu tak pernah mengenal ayah dan ibunya.
Sejak usia tiga tahun dia dipelihara oleh seorang
gelandangan pasar. Ketika empat tahun kemudia nsi
gelandangan meninggal dunia, Walengkeng mulai
menjalani ganasnya hidup seorang diri di Desa Wanasari.
Kejamnya dunia tak dipedulikan Walengkeng.
Dirinya tak pernah sepi dari caci dan ejekan. Namun di
usianya yang kesepuluh, nasibnya mulai berubah ketika
Juragan Karna Wijaya menawarkan untuk bekerja di
rumahnya. Bagai setetes air di padang pasir, tawaran
Juragan Karna Wijaya langsung disambut suka cita.
Sepuluh tahun hidup di rumah Juragan Karna
Wijaya, Walengkeng selalu memperhatikan Asti yang juga
telah tumbuh menjadi gadis cantik. Sejak itu, pemuda ini
mulai dihasut iblis. Diam-diam dia mulai mengkhayal bisa
memiliki Asti, sekaligus menikmati tubuhnya. Karena untuk
mengutarakan cintanya jelas tidak mungkin, maka begitu
ada kesempatan Walengkeng mencuri-curi untuk dapat
mengintip Asti.
Para pekerja lain yang sejak semula sudah mulai
curiga, akhirnya memergoki tindakan Walengkeng.
Akibatnya, lelaki itu diusir oleh Juragan Karna Wijaya.
Kini lima tahun kemudian, Walengkeng muncul
kembali. Dan Asti hanya tahu kalau kemunculan
Walengkeng, menurut cerita lelaki itu sendiri, untuk
menolong keluarga Juragan Karna Wijaya yang tengah
dirampok. Untungnya, Asti dapat diselamatkan
Walengkeng, kendati kedua orangtuanya terbunuh.
Si gadis mendesah pendek. Hatinya luka dan sedih
bila teringat nasib kedua orangtuanya. Terutama ketika
mendapati dirinya masih mengenakan pakaian tidur yang
tipis, membuatnya semakin risih bila berhadapan dengan
Walengkeng.
"Tetapi, mengapa sampai saat ini Walengkeng
menolak untuk membawaku kembali ke rumah?" gumam si
gadis, bertanya pada diri sendiri. Padahal, dia sudah
berkali-kali meminta pada Walengkeng untuk
mengantarnya pulang. Tetapi selalu ditolaknya dengan
alasan, keadaan belum aman.
Selama ini, Walengkeng memang belum
memperlihatkan tindakan kurang ajar. Asti tidur di dipan,
sementara Walengkeng tidur di lantai beralaskan daun
pisang. Namun biar bagaimanapun juga, si gadis tidak
merasa aman berada bersama-sama lelaki itu. Terutama,
mengingat pakaian yang dikenakannya. Dia ingin kembali
ke rumahnya, ingin mengetahui keadaan ayah dan ibunya.
Apakah benar mereka telah mati? Kalau memang benar,
sudah tentu Asti tak menghadiri pemakaman mereka.
Hati gadis jelita itu menjadi sedih sekali me-
nyadari keadaannya.
"Apakah selamanya aku harus tinggal bersama
Walengkeng?" desisnya galau. Otaknya sudah buntu
memikirkan, bagaimana caranya bisa keluar dari tempat
ini. Membujuk Walengkeng untuk mengantarnya,
nampaknya akan sia-sia belaka. Karena laki-laki
bertampang seram itu selalu berjanji dan berjanji. Sedang
untuk pulang sendiri, gadis ini tak ada keberanian.
Tiba-tiba telinga si gadis mendengar suara langkah
perlahan di depan gubuk itu. Tampak Walengkeng masuk
sambil membawa buah-buahan di tangan kanan. Di tangan
kiriny a terdapat sebuah bungkusan.
"Oh! Kau sudah bangun, Den Asti?" tanya lelaki itu
tanpa mengangkat wajahnya. Diletakkannya buah-buahan
yang dibawanya di meja kusam. Lalu disodorkannya
bungkusan yang dipegangnya. "Gantilah pakaianmu, Den
Asti. Mudah-mudahan pakaian yang kubeli di kotapraja ini
cocok untukmu. Maaf, mungkin tidak terlalu bagus dan
mahal seperti yang biasa kau kenakan."
Asti mendesah diam-diam. Terus terang,
perasaannya ngeri melihat tampang setan Walengkeng.
Terutama, bila teringat perbuatan busuk yang dilakukan
lelaki itu. Namun diambilnya juga bungkusan itu. Memang
lebih baik menutupi tubuhnya dulu yang masih
mengenakan pakaian tidur.
Sementara, Walengkeng tidak berpindah dari
tempatnya, dan hanya membelakanginya saja.
"Walengkeng.... Kapan kau mengajakku pulang?"
tanya si gadis hati-hati setelah mengenakan pakaian warna
biru muda yang diberikan Walengkeng. Sementara, lelaki
berwajah mengerikan itu s udah menghadap ke arahnya
kembali. Dicobanya untuk memperhatikan wajah seram
yang menunduk itu. Tetapi hanya sejenak. Karena
kengeriannya muncul kembali
"Belum saatnya, Den Asti," sahut lelaki itu pelan.
Asti menghela napas panjang melihat kesopanan
yang diperlihatkan Walengkeng. Tetapi bila mengingat
perlakuan busuk yang pernah dilakukan lelaki itu,
semuanya jadi sirna.
"Aku baru saja dari Desa Wanasari Keadaan masih
belum aman. Aku yakin, pembunuh itu masih berkeliaran."
"Tetapi, apakah aku harus di sini terus-menerus?
Yang benar saja, Walengkeng! Aku ingin kembali ke rumah.
Aku ingin mengetahui keadaan kedua orang-tuaku?" tukas
Asti setengah memaksa dan penasaran.
"Apakah Den Asti tidak suka dengan tempat
tinggalku ini?" kata Walengkeng. "Memang buruk dan
berada di hutan yang mengerikan."
"Bukan itu maksudku.... Tetapi, aku ingin kembali
ke rumah. Aku ingin melihat keadaan ayah dan ibuku."
"Mereka sudah dimakamkan, Den Asti."
Hati Asti kembali menjadi sedih.
"Dan aku tak pernah melihat mereka untuk
terakhir kalinya."
"Bila keadaan aman, aku akan mengantar Den Asti
kembali pulang."
"Aku ingin sekarang."
Tiba-tiba Walengkeng yang sejak ladi berbicara
selalu menunduk, mengangkat kepalanya. Hati Asti kontan
ciut ketika melihat tatapan mata Walengkeng yang
mendadak berubah merah. Dia merasa dirinya hendak
ditelan bulat-bulat.
"Bila kukatakan belum saatnya, itu berarti
memang belum saatnya, Den Asti," tegas Walengkeng.
Meskipun matanya berubah mengerikan, namun nada
suaranya tetap sama. "Sekarang..., makanlah buah-buahan
itu. Dari kemarin kau belum makan, Den Asti."
Entah karena memang lapar atau karena
ketakutan melihat tatapan membara dari Walengkeng,
dengan gemetar Asti mengambil manggis hutan yang
disodorkan Walengkeng. Dia memakannya dengan
memalingkan wajah dari Walengkeng.
"Hhh! Bisa saja aku menggarapmu sekarang juga,
Asti. Tetapi, aku ingin kau menyerahkan seluruh yang
kuinginkan dalam keadaan sadar dan pasrah. Bukan harus
kutotok, harus kujebak dengan jamu perangsang.
Melainkan, dengan sikap seorang istri pada suaminya.
Tetapi, aku akan bersabar menunggu saat yang tepat
untuk mendapatkanmu. Karena, kau tak akan bisa
melarikan diri dari tanganku. Tak akan pernah kulepaskan
apa yang kudapatkan sekarang ini. Terlalu bodoh bila aku
meninggalkan semua yang sudah berada di depan
mataku," desis Walengkeng dalam hati.
Asti yang sudah menghabiskan sebuah manggis
hutan justru tidak enak bila dalam keadaan berdiam.
Apalagi, berdua-duaan dengan Walengkeng. Tapi bisa saja
dia menganggap Walengkeng tak memiliki wajah setan
seperti itu, daripada berdiam diri. Dan dia ingin mengetahui
sesuatu yang telah lama dipendamnya.
"Selama lima tahun..., apakah kau membenci
ayahku, Walengkeng?" tanyanya.
Walengkeng menggeleng sambil tersenyum.
"Tidak, Den Asti. Apa yang dilakukannya memang benar.
Karena aku telah melakukan sesuatu yang buruk. Aku
sendiri ingin minta maaf pada Den Asti atas perbuatanku
yang berakibat harus diberhentikan dari pekerjaan. Tetapi
terus terang, aku melakukannya karena..., aku mencintai
Den Asti."
Asti bergidik membayangkannya.
"Dan selama lima tahun kau berada di hutan ini?"
tanya si gadis mengalihkan perhatian dari masalah cinta
Walengkeng.
"Ya!" sahut Walengkeng, singkat.
"Hutan apa ini namanya, Walengkeng?"
"Hutan Babat Roban."
"Jauhkah hutan ini dari tempat tinggalku?" tanya
Asti, sekaligus ingin mengetahui arah mana yang di
tempuhnya bila memutuskan untuk melarikan diri.
"Membutuhkan waktu dua hari dua malam untuk
tiba di Desa Wanasari. Juga, harus melalui jalan yang
sangat sulit. Karena begitu keluar dari hutan ini, terdapat
sebuah lembah landai yang mengerikan. Lalu, akan
memasuki Hutan Tinggi. Dan setelah melewatinya, barulah
tiba di rumah, Den Asti. Bila belum mengenal jalannya, kita
pasti akan tersesat. Aku pun membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk mengakrabi hutan ini, hingga
akhirnya terbiasa."
"Kau tidak merasa kesepian?"
"Sejak lima tahun ini aku selalu merasa kesepian.
Tetapi selama empat hari ini, hatiku selalu riang
Karena ada Den Asti di sini."
Tanpa sadar tubuh Asti menggigil. Secara tidak
langsung hati wanitanya menangkap isyarat kalau
Walengkeng masih mencintainya. Dan perasaannya kini
menjadi tegang dan ketakutan. Kalau begitu, tempat ini
memang harus ditinggalkannya. Bila dia terus-menerus di
sini, bisa jadi Walengkeng akan memaksakan
kehendaknya.
"Kau pandai berbicara rupanya," kata Asti, untuk
menenangkan hatinya.
Walengkeng menggelengkan kepalanya. "Itulah
kenyataannya, Den Asti. Selama lima tahun aku me-
mendam rindu yang semakin hari terasa semakin da¬lam
pada Den Asti. Bahkan aku merasa tak akan pernah
bertemu Den Asti kembali. Namun, Gusti Yang Maha Kuasa
mcngabulkan permohonanku siang dan malam."
Asti bertambah gelisah. Dia merasa harus
mengubah pokok pembicaraan. Kupingnya terasa panas
mendengar pernyataan Walengkeng yang seperti
mendapat kesempatan. Apa yang dilakukan lelaki itu
memang sebuah bujukan di balik sikapnya yang sopan.
Karena secara tak langsung, apa yang ditunggu selama ini
dibuka oleh Asti sendiri. Dan s udah tentu lelaki berwajah
menyeramkan ini tak membuang kesempatan yang ada.
Dia tetap menginginkan Asti menyerahkan dirinya dengan
suka rela. Bukan dalam paksaan.
"Den Asti.... Apakah kau...," Walengkeng sengaja
menghentikan kata-katanya untuk melihat sikap gadis
manis itu.
"Apa... apa yang hendak kau katakan,
Walengkeng?" sahut Asti dengan suara bergetar. Sedikit
banyaknya dia sudah menangkap isyarat yang
menggelisahkan hatinya.
"Sudahlah.... Rasanya belum tepat aku
mengatakan yang sebenarnya. Namun aku yakin. Den Asti
tahu apa yang kupendam selama ini. Aku mencintai Den
Asti. Dan, menginginkan...."
"Walengkeng!" potong Asti dengan kegelisahan
merajai tubuhnya. Wajahnya nampak pucat dengan bola
mata jernih bergerak cepat. "Sampai saat ini, aku belum
mengetahui keadaan kedua orangtuaku, meskipun kau
mengatakan mereka sudah mati di tangan pembunuh
kejam itu. Aku ingin sekali melihat makam mereka. Aku
ingin menyembangi dan bersujud di makam keduanya,
Walengkeng. Tentunya kau mengerti perasaanku saat ini,
bukan? Aku begitu sedih memikirkan nasib mereka....."
Walengkeng hanya menganggukkan kepala
meskipun hatinya berubah geram. Dia sadar. secara tidak
langsung Asti menolaknya.
"Bila kau tetap menolak, aku bisa memaksakan
kehendakku dan mendapatkan apa yang kuingin-kan...,"
kata Walengkeng, mendesis dalam hati.
"Walengkeng.... Berjanjilah untuk segera
mengantarku pulang," pinta Asti pelan.
Walengkeng tak menyahut. Sudah tentu
permintaan itu tak akan dikabulkan. Dia ingin
mendapatkan apa yang telah lama diimpikannya.
Dan sebelum ada yang berkata apa-apa....
"Tempat itu layak untuk kita tinggali sebelum
meneruskan mencari Pendekar Slebor, Kawan-kawan!"
Terdengar suara keras yang disertai tawa ter-
bahak-bahak.
***
5
Seorang lelaki bertubuh setengah bulat dengan
kepala agak botak tengah melangkah bersama tiga orang
lainnya. Kepalanya diikat kain berwarna merah yang di
lengahnya ada gambar bulan sabit. Di tengahnya terdapat
beberapa buah gelang bahar besar.
Lelaki itu terbahak-bahak lagi, memperlihatkan
bungkahan dua pipinya yang semakin bertambah bulat.
Suaranya menggema di seluruh hutan itu.
"Kita bisa menyusun kembali semua rencana
untuk menuntaskan dendam pada Pendekar Slebor! Hhh!
Dua minggu sudah kita mencari Pendekar Slebor. Tetapi
sampai saat ini, keparat itu belum juga kelihatan batang
hidungnya!" lanjulnya.
"Kau periksa tempat itu, Dwipolko!" ujar lelaki yang
bertubuh tinggi besar. Wajahnya dipenuhi cambang. "Hhh!
Barangkali kita memang bisa memakainya sebagai tempat
beristirahat sebelum menuntaskan dendam pada
Pendekar Slebor! Aku tak ingin lima sahabat kita mati
penasaran karena ulahnya!'
Mendengar kata-kata lelaki yang bercambang
bawuk itu, lelaki setengah bulat yang dipanggil Dwipolko
menggeram sambil mengepalkan tangannya. Lalu kakinya
melangkah untuk memeriksa gubuk di depannya.
Sementara, tiga orang temannya menunggu di depan
gubuk dengan hati penuh dendam pada Pendekar Slebor.
Jelas sekali, kalau mereka memiliki dendam kesumat pada
pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu.
Sedangkan di dalam gubuk, Walengkeng yang
sebenarnya berjuluk Manusia Laba-laba berdiri tegak
ketika melihat gelagat kurang menguntungkan. Dia
menggeram penuh amarah, karena manusia-manusia yang
datang itu membuyarkan seluruh rencananya untuk
merayu Asti.
Asti sendiri yang tadi terkejut mendengar suara itu,
lebih terkejut lagi ketika melihat mata Walengkeng tiba-tiba
memerah kembali. Ketika lelaki setengah bulat tahu-tahu
sudah berada di depan pintu. Tanpa sadar si gadis
beringsut ke pojok dengan tubuh agak bergetar.
Dwipolko terbahak-bahak keras ketika melihat
gubuk itu ternyata berpenghuni.
"Luar biasa! Rupanya ada monyet kesasar di sini!
Dan..., oh! Seorang bidadari dari kayangan berada di sini!
Menyenangkan! Sangat menyenangkan!"
Begitu mendengar suara Dwipolko, ketiga
temannya segera melesat ke arah pondok. Mereka tak
tertarik dengan kata-kala pertama dari laki-laki setengah
bulat itu. Tetapi kata-kata yang kedua yang membuat
mereka seperti singa kelaparan. Dan mereka terbahak-
bahak ketika melihat apa yang dikatakan Dwipolko.
Walengkeng alias Manusia Laba-laba
mengepalkan kedua tangannya.
"Siapa kalian?" tanya Walengkeng. Suaranya
bergetar dan dingin.
Asti semakin terkejut menyadari perubahan yang
terjadi pada diri Walengkeng. Dulu dia tahu, lelaki itu
hanyalah lemah. Tetapi, dari suaranya kini menandakan
kalau Walengkeng bukanlah orang lemah seperti dulu. Dan
Asti menangkap nada kejam pada bentakannya.
Keempat orang yang berlampang menyeramkan
itu terbahak-bahak.
"Hei, Manusia Setan!" seru Dwipolko. "Apa yang
kau lakukan di sini bersama bidadari itu? Serahkan
bidadari jelita itu. Maka nyawa setanmu tak akan pernah
kami cabut!"
"Lancang bicara, hanya mencari kematian!"
"Setan alas!" maki Dwipolko dengan wajah
seketika memerah seperti udang rebus. "Apa kau belum
tahu berhadapan dengan siapa, hah?!"
"Katakan nama-nama busuk kalian! Karena, aku
perlu mengingat siapa saja manusia yang mampus di
tanganku!" ujar Walengkeng, dingin.
"Monyet hidung sumplung! Kau mencari mampus!
Kami adalah empal orang dari Sembilan Iblis! Namaku
Dwipolko, berjuluk Iblis Rembulan. Yang berpakaian kuning
adalah Bresatar. Julukannya Iblis Kaki Seribu. Yang tinggi
besar bernama Jenggolo. Dia berjuluk Iblis Tangan Dewa.
Dan yang berbaju sehalus sutera bernama Upasonto.
Julukannya Iblis Baju Sutera! Nah! Sekarang, minggat dari
sini! Biarkan bidadari jeh'ta itu.menemani kami, daripada
nyawa busukmu melayang!"
Walengkeng terdiam. Namun, tatapan matanya
bertambah membara, menebarkan hawa kematian.
"Aku tak punya silang sengketa dengan kalian!
Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku
menjadi-jadi!" tegas Manusia Laba-laba, menggetarkan.
"Ha ha ha...!"
Ancaman Walengkeng itu dibalas tawa empat
orang yang mengaku sebagai Sembilan Iblis. Mereka tak
lain adalah para anggota Sembilan Iblis yang pemah dibuat
porak-poranda oleh Pendekar Slebor. Lima orang dari
Sembilan Iblis telah menemui ajal. Dan kini, sisanya yang
telah berpisah setelah bertarung dengan Pendekar Dungu
dan Lelaki Berbulu Hitam, muncul kembali. Mereka telah
bersatu untuk menghancurkan Pendekar Slebor! Karena,
gara-gara Pendekar Slebor kekuatan mereka menjadi
kacau (Untuklebih jelasnya, silakan baca: "Istana Sembilan
Iblis").
"Aku ingin lihat omong besar orang berhidung
sumplung itu!"
Begitu habis kata-katanya, tubuh Dwipolko alias
Iblis Rembulan berkelebat. Angin dingin menderu tajam
mengiringi luncuran tubuh.
Sementara Walengkeng alias Manusia Laba-laba
tak bergerak dari tempatnya. Matanya semakin nyalang
dengan kemarahan membludak. Namun begitu tangan
kanan dan kiri Iblis Rembulan bergerak, tubuhnya
dimiringkan sambil mengibaskan tangan.
Siting!
Dua buah larik sinar hitam yang menggidikkan
melesat. Iblis Rembulan yang tak menyangka akan
mendapat serangan mendadak cepat membuang
tubuhnya.
"Manusia setan! Pantas kau berani omong
banyak!" bentak Iblis Rembulan dengan wajah pias. Begitu
bangkit, dia melihat sebuah pohon hangus seketika
terkena hantaman sinar hitam yang mengerikan tadi.
"Tempat ini terlalu kecil untuk kita!" dengus
Manusia Laba-laba, langsung melompat ke atas. Brosss...!
Tubuh Manusia Laba-laba menerobos atap rumbia.
Di udara dia berputaran. Dan begitu lelaki ini hinggap di
tempat yang agak terbuka, empat anggota dari sisa
Sembilan Iblis segera mengurungnya.
Sementara Asti yang beringsut di s udut gubuk, tak
terasa tubuhnya menggigiL Kengerian macam apa yang
akan dialaminya lagi? Apalagi, melihat perubahan wajah
dan sinar mata Walengkeng yang mengerikan. Dan tadi...,
oh, Gusti! Sejak kapan Walengkeng memiliki kepandaian
mengerikan?
Iblis Rembulan yang marah karena serangannya
digagalkan dengan mudah segera menyerang kembali. Kali
ini lebih mengerikan dari serangan yang pertama. Sambil
maju, tangan kanannya bergerak ke arah Manusia Laba-
laba berkali-kali.
Sinar merah berbentuk bulan sabit melesat
menggiriskan ke arah Manusia Laba-laba. Namun dengan
gerakan aneh, Walengkeng merangkakkan tubuhnya. Dia
bergerak cepat ke sana ke mari membuat sinar merah itu
hanya menghantam beberapa pohon hingga langsung
terpolong pada bagian tengahnya.
Dan sambil merangkak menghindari serangan Iblis
Rembulan, Manusia Laba-laba mengibaskan tangannya ke
atas berkali-kali. Maka seketika jerat-jerat halus menempel
di dalam pohon dengan ganjilnya, dia meniti jerat-jerat
halus itu. Tindakan ini membuat keempat lawannya
sejenak terperangah. Karena, gerakan seperti itu tak
mungkin bisa dilakukan siapa pun.
Iblis Baju Sutera yang lebih dulu tersadar dari
keterkesimaannya,
"Setan alas! Manusia keparat itu menguasai ilmu
laba-laba! Iblis Rembulan, hati-hati!"
Namun seruan itu terlambat. Karena begitu
menginjak batang pohon, tangan Manusia Laba-laba
langsung bergerak kembali
Sraaat!
Jerat-jerat halus kontan melilit tubuh Iblis
Rembulan yang baru saja hendak melesat mengejar
manusia rambut jarang itu. Tubuhnya terpuruk jatuh begitu
disentak kuat-kuat oleh Manusia Laba-laba. Dan belum lagi
menyadari apa yang terjadi, tubuh
Walengkeng sudah bergerak menuruni jerat-jerat
halusnya. Kedua tangannya merentang. Dan.... "Heigghkh!"
Bagai capitan tang raksasa, kedua tangan
Manusia Laba-laba mencengkeram leher Iblis Rembulan.
Dwipolko meronta-ronta hebat, namun tak mampu berbuat
apa-apa. Karena, jerat-jerat halus itu begitu alot dan
menyulitkan gerakannya. Kejap berikutnya....
"Aaa...!"
Nyawa Iblis Rembulan pun melayang dengan leher
patah dikawal oleh leriakan menggiriskan. "Heaaah...!
Chhuhhh...!"
Dengan bengisnya, Manusia Laba-laba melempar
tubuh Iblis Rembulan sambil meludah. Tatapannya yang
membara mengalih pada tiga lawan lainnya yang hanya
terbengong. Karena, baru kali ini mereka melihat ada yang
memiliki ilmu dahsyat seperti itu.
"Kurung manusia anjing itu! Hati-hati! Jerat-jerat
laba-labanya sangat berbahaya!" teriak Iblis Baju Sutera,
memecah keterpanaannya.
Sehabis berkata begitu, lelaki berbaju sutera ini
sudah meluruk dahsyat. Menyusul kemudian, Bresatar
alias Iblis Kaki Seribu dengan serangan kaki yang cepat,
hingga menimbulkan gemuruh angin bak topan prahara.
Tak ketinggalan Jenggolo alias Iblis Tangan Dewa. Begitu
mengibaskan tangannya, cahaya panas dengan kekuatan
raksasa langsung meluruk dahsyat.
Namun Manusia Laba-laba dengan lincahnya
bergerak ke sana kemari di atas jerat-jerat halusnya. Dan
selagi menghindar, telunjuknya bergerak membabi buta.
Maka puluhan sinar hitam melesat dari ilmu 'Jari Sakti' nya.
Ketiga lawan mendengus dengan kemarahan
menyentak-nyentak. Namun bagi mereka sangat sulit
sekali untuk mendekati Manusia Laba-laba. Karena
merasa sadar, sekali terjerat jerat-jerat halus namun alot
itu, maka sudah dipastikan tak akan bisa melepaskan diri.
Berarti, nyawa sudah di ujung tanduk.
Namun Iblis Kaki Seribu yang geram akibat
kematian Iblis Rembulan tak mempedulikan soal itu lagi.
Dengan ilmu 'Kaki Seribu' nya, tubuhnya bergerak bagai
baling-baling dengan kepala di bawah. Gemuruh angin
bagai topan mengamuk langsung terjadi.
Kini tubuh Manusia Laba-laba terombang-am-bing
dalam jerat-jerat halusnya. Dia berkali-kali harus
menambahkan kekuatan jerat-jeratnya melalui tenaga
dalam.
Sementara, Iblis Baju Sutera dan Iblis Tangan
Dewa mengalirkan tenaga dalam pada kedua kaki untuk
bertahan. Namun wajah dan tubuh mereka terasa bagai
ditampar tangan raksasa yang keras sekali.
Pepohonan yang berada di sana seketika tumbang
terhantam kekuatan dahsyat. Dan kekuatan itu lerus
melunc ur ke arah gubuk reyot yang di dalamnya terdapat
Asti.
***
Di dalam gubuk reyot itu, Asti semakin terpaku
dalam kengerian, begitu melihat perubahan yang terjadi
pada diri Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Saat
melihat pertarungan, si gadis menjeril ketika Walengkeng
menggerakkan tangannya yang meluncur sinar hitam
mengerikan. Kesadarannya kontan tersentak. Dilihatnya
lelaki hidung sumplung itu telah berubah menjadi orang
berilmu tinggi.
Kesadaran itu menimbulkan sebuah tekad. Maka
Asti pun perlahan-lahan beringsut. Lalu dengan hati-hati
dan agak susah payah dia keluar melalui jendela. Dan saat
itu pula langkahnya bergerak meskipun berkali-kali harus
tersaruk akar pohon besar yang keluar dari tanah. Pada
saat yang sama.... Brasss...! "Aauww...!"
Dan si gadis berleriak keras ketika tubuhnya
hampir saja terhantam gubuk yang diterbangkan angin
yang ditimbulkan serangan Iblis Kaki Seribu.
Menyadari hal itu, Asti menghela napas panjang
dan merasa beruntung karena memutuskan untuk
melarikan diri. Bagaimana kalau tidak?
Dengan menambah semangatnya, Asti pun
melangkah lebih bergegas. Tak dipedulikan lagi jalan mana
yang harus ditempuh. Yang diinginkan sekarang ini, pergi
sejauh-jauhnya dari Walengkeng!
***
Manusia Laba-laba seketika menoleh ketika gubuk
reyot tadi diterbangkan angin. Matanya terbelalak ketika
tak melihat Asti berada di sana. Dugaannya, gadis itu pasti
sudah melayang diterbangkan oleh angin dari Mis Kaki
Seribu.
Berpikir seperti itu, Manusia Laba-laba menjadi
bertambah geram. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke
bawah, setelah mengirimkan jerat-jerat halusnya. Lalu
dengan melompat layaknya seekor laba-laba berpindah
tempat, sambil berbalik tangannya me-ngibas.
Srat! Srat!
Jerat-jerat halus Manusia Laba-laba langsung
mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Dan seketika
diputarnya tubuh lelaki itu dengan kekuatan cepat.
Brukk!
Gerakan Iblis Kaki Seribu terhenti. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya ambruk dengan kaki terikat.
"Anjing keparat!" maki Iblis Kaki Seribu sambil
mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan kakinya
dari jerat-jerat halus yang begitu kuat.
Pada saat yang sama, Iblis Tangan Dewa dan Iblis
Baju Sutera langsung memburu ke arah Manusia Laba-
laba. Mereka bermaksud menyelamatkan nyawa Iblis Kaki
Seribu yang terancam.
Namun lagi-lagi gerakan mereka terhenti ketika
tangan Manusia Laba-laba mengibas, melepaskan jaring-
jaring kuat hingga keduanya sulit untuk masuk. Masih
untung mereka mampu menahan laju kecepatan, hingga
tak menempel pada jaring halus itu.
Mendapat kesempatan baik, Manusia Laba-laba
sendiri sudah melesat meninggalkan tempat itu. Yang
terpenting baginya adalah nasib Asti. Dia harus
menyelamatkan gadis yang diinginkan menjadi istrinya. Bila
tak menemukan gadis itu, akan dihancurkannya tiga
manusia dari Sembilan Iblis!
"Setan alas!" maki Iblis Tangan Dewa, menyadari
lawannya telah lenyap tanpa bekas, kecuali jerat-jerat yang
masih menempel di sana sini. "Bila bertemu lagi, akan
kuhajar kau, Keparat Sumplung!"
Perhatian Iblis Tangan Dewa beralih pada Iblis
Baju Sutera yang sedang mencoba memutuskan jerat laba-
laba yang mengikat kedua kaki Iblis Kaki Seribu. Namun
meskipun seluruh tenaga dalamnya sudah dikerahkan,
jerat-jerat halus itu tak putus juga.
"Gila! Terbuat dari apa jerat-jerat ini?" maki Iblis"
Kaki Seribu dengan mulut berbentuk kerucut.
"Hhh! Hanya jerat seperti itu saja kau tak mampu
melakukannya!" bentak Iblis Tangan Dewa.
Lalu lelaki ini membungkuk. Tenaga dalamnya
segera dikerahkan untuk memutuskan jerat-jerat alot itu.
Namun seperti yang dialami Iblis Baju Sutera, dia pun tak
mampu memutuskannya.
"Sialan! Jerat keparat!"
Iblis Tangan Dewa kini mengerahkan hawa panas
melalui kedua telapak tangan. Akan tetapi, jerat-jerat halus
itu tak putus juga.
Dan, justru Iblis Kaki Seribu yang berteriak keras
karena kedua kakinya melepuh.
"Setan! Bagaimana cara kita untuk
memutuskannya!" maki Iblis Tangan Dewa, seolah tak
mempedulikan teriakan kesakitan dari temannya.
Iblis Baju Sutera yang tadi merasa diejek
mendengus.
"Jerat-jerat ini memiliki kekuatan sangat hebat.
Hanya hawa panas yang luar biasa yang bisa
memutuskannya. Namun bila kita mengalirkannya,
akibatnya kedua kaki Iblis Kaki Seribu bukan hanya
melepuh. Tetapi, bisa hangus!"
'Peduli setan! Lakukan!" seru Iblis Kaki Seribu.
"Kau bisa lumpuh!"
"Persetan dengan segala kelumpuhan! Aku akan
mencoba mengalirkan tenaga dalamku untuk
menahannya! Ayo, mengapa kalian jadi ragu?! Apakah
kalian menginginkan aku selamanya terjerat oleh benang-
benang keparat ini?!"
"Aku sangsi, apakah kau bisa bertahan?"
"Sialan! Kenapa kalian jadi banyak omong begitu,
hah?!" maki Iblis Kaki Seribu geram. "Lakukan apa yang
menurut kalian baik. Dan aku yakin bisa tertahan."
Iblis Baju Sutera memandang Ibis Tangan Dewa.
Lalu seperti disepakati, Iblis Tangan Dewa memegang
kedua kaki Iblis Kaki Seribu yang terlibt jerat-jerat halus itu.
Sementara, Iblis Baju Sutera sendiri duduk di belakangnya
dengan kedua tangan menempel di punggung Iblis Tangan
Dewa.
Perlahan-lahan Iblis Baju Sutera mengalirkan hawa
panas dari tubuhnya dengan tenaga dalam melalui
punggung Iblis Tangan Dewa sebagai perantara.
Sementara Iblis Tangan Dewa begitu merasakan panas
menyengat tubuhnya, segera mengalirkannya pada kaki
Iblis Kaki Seribu.
Iblis Kaki Seribu sendiri mencoba menutup aliran
hawa panas itu agar tidak terlalu menyengat dengan
tenaga dalam. Namun tak urung, dia pun menjerit keras
karena tekanan hawa panas sangat luar biasa!
Ketiganya bagai berjuang keras saling bahu-
membahu. Dalam waktu tiga kali penanakan nasi, jerat-
jerat alot itu mulai putus satu persatu! Hingga akhirnya
terlepas semua.
Tak lama, Iblis Kaki Seribu sudah jatuh pingsan
dengan kedua kaki hangus.
***
6
Senja semakin menurun ketika Asti tiba di sebuah
lembah yang terjal. Kengeriannya menjadi-jadi. Bukan
hanya karena tak tahu harus menempuh jalan yang mana,
tapi juga karena lembah curam penuh batu itu sangat
berbahaya. Kabut tebal menghalangi pandangannya ke
depan. Apalagi senja kian merayap gelap.
"Oh, Gusti Allah.... Apakah aku harus mati di sini?"
desisnya kecut.
Entah kenapa bayangan puluhan ular melata
melintas di benaknya. Seolah hewan-hewan menjijikkan itu
siap menantinya bila si gadis nekat menuruni lembah itu.
Belum lagi dengan batu-batu tajam yang akan semakin
menggores telapak kakinya. Alas kaki yang dikenakanya
saja sudah sobek bagian depan. Pada jari-jarinya terasa
perih.
"Tidak...! Aku harus bertahaa Harus! Lebih baik
dipatuk ular daripada berada terus-menerus bersama
Walengkeng. Manusia itu bukan hanya mengerikan
sekarang. Tetapi aku yakin dia mempunyai niat busuk
padaku."
Asti mulai melangkah ke depan. Dia berusaha
menerobos kabut yang tebal. Namun baru sekali kakinya
melangkah. tubuhnya sudah terperosok.
"Oh!"
Masih sempat tangannya menyambar sebuah batu
hingga tubuhnya tidak jatuh. Lalu dengan mengerahkan
sisa tenaga nya, tubuhnya dibawa ke atas. Kedua
tangannya menjadi lecet.
"Apakah ada lubang di depanku?" desahnya
cemas.
"Atau..., ada sebuah jurang yang menganga? Oh,
Gusti...! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Tanpa sadar Asti jatuh terduduk. Dan pikiran si
gadis jadi kacau hingga akhirnya menangis. Keletihan dan
rasa sakit pada kaki yang mendera nya, membuatnya tak
sanggup berdiri lagi. Dia semakin menangis,
membayangkan dirinya yang tak tahu harus berbuat apa.
Padahal, Asti termasuk gadis tegas. Namun biar
bagaimanapun dia hanyalah seorang wanita. Dan tanpa
terasa, Asti pun jatuh tertidur di tempat itu.
Pada saat yang sama, satu sosok tubuh tiba di
sana. Sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju hijau
pupus terkejut melihatnya. Diperiksanya tubuh gadis itu
dengan seksama. Sesaat terdengar helaan napasnya. Lalu
diangkatnya untukdibawa ke tempat aman, yang mampu
menahan angin dingin.
Perlahan-lahan matahari di timur sana muncul.
Sinarnya bagai gumpalan emas menerangi seisi alam.
Lembah yang kalau malam sangat mengerikan itu, kini pun
diterangi cahaya sang Raja Siang yang siap mengedar.
Asti terbangun ketika dirasakannya belai angin
sejuk menerpa wajahnya. Telinganya menangkap suara
burung menyambut pagi.
"Oh!" desisnya pelan.
Mata si gadis beredar ke sekelilingnya. Baru
disadarinya lembah itu begitu hijau. Tetapi menurut
ingatannya, kalau tak salah dia berada di tepi lembah.
Karena, tubuhnya hampir terperosok kemarin. Lalu,
mengapa kini berada agak jauh dari lembah itu? Bahkan
berada di antara pepohonan yang rimbun.
"Apakah aku semalam sewaktu tidur mengigau
dan berjalan? Oh! Untung sekali aku tidak berjalan ke arah
lembah itu," desah si gadis, bergidik membayangkan apa
yang akan terjadi.
Tiba-tiba Asti teringat lagi akan Walengkeng yang
begitu mengerikan. Teringat akan hal itu, tiba-tiba saja dia
bergegas bangkit.
"Aku harus segera meninggalkan tempat ini!"
gumamnya dengan mata memandang cemas. Namun baru
saja hendak melangkah....
"Nah! Sudah bangun rupanya? Hei! Tidurmu
nyenyak sekali, ya?"
Gadis cantik itu seketika menoleh. Tampak satu
sosok tubuh tampan berpakaian hijau pupus sedang
melangkah ke arahnya. Di tangannya terdapat beberapa
ekor burung yang baru saja diburunya.
Karena saat ini masih dicekam rasa cemas, tanpa
sadar Asti segera melarikan diri.
"Hei!" seru pemuda berpakaian hijau pupus yang
tak lain Andika alias Pendekar Slebor.
Memang si pemuda urakan itu yang menemukan
Asti saat tertidur kemarin menjelang malam, dan
memindahkannya di tempat aman. Andika yang masih
mencari orang kejam yang berjuluk Manusia Laba-laba tak
sengaja tiba di lembah itu kemarin.
Dan sekarang Pendekar Slebor melihat Asti lari
bagai melihat setan. Hanya sekali lompat dengan pencalan
satu kaki, Pendekar Slebor sudah melesat dan hinggap di
depan gadis itu.
Asti tersentak. Wajahnya bertambah pucat. Se-
pasang matanya yang bagus bergerak liar bagai kelinci
terjebak oleh ular yang siap memangsa.
"Hei, tenang dong! Aku bukan setan. Apa
tampangku yang ganteng ini persis setan?" ujar Andika.
Asti mundur dua langkah dengan hati kebat-kebit.
"Si.., siapa kau?"
Andika tersenyum.
"Nah, begitu lebih baik? Masa' sih sudah kutolong
main kabur saja! Kau lihat sendiri bukan, kedua kakiku
menginjak tanah? Berarti, aku bukan setan. Sudahlah,
tidak usah takut padaku. Namaku Andika............ Kau
sendiri siapa?"
Asti tak segera menjawab. Keningnya berkerut
memikirkan siapa pemuda yang berada di hadapannya ini?
"Bingung, ya. Kalau bingung pegangan. Nanti jatuh,
lho!" goda Andika, mulai timbul sifat urakannya.
Melihat hal itu, Asti yang pada dasarnya memiliki
sifat riang jadi tertawa.
"Siapa namamu?" ulang si pemuda.
Naluri gadis itu mengatakan, pemuda gagah
namun sikapnya seperti urakan ini bukanlah orang ja-hat.
"Namaku..., Asti," sahut si gadis, mulai reda rasa
takutnya.
"Asti.... Nama yang cocok. Kau pasti belum makan,
ya? Bagaimana kalau daging burung ini buat menyumpal
perut?"
Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar
Slebor terungkit-ungkit.
Asti yang memang sejak tadi kelaparan terpancing
untuk mengiyakan. Tentu saja tawaran itu tak ingin
dilewatkan.
***
Meskipun sudah akrab, namun kecurigaan pada
Andika masih singgah di hati Asti. Apalagi ketika Andika
bertanya tentang keberadaannya di sini.
Sejenak Asti menghentikan makannya. Jangan-
jangan, pemuda ini adalah orang suruhan Walengkeng
untuk membujuknya? Begitu hati cemasnya berkata.
Andika menyadari kalau gadis itu masih
mencurigainya.
"E-e! Jangan curiga begitu, dong? Apakah semua
orang di dunia ini berhati jahat?" cetus Andika.
"Bukan begitu, hanya tak ingin mengalami
peristiwa mengerikan untuk kedua kalinya," sahut gadis itu
sambil menatap Andika tajam.
"Peristiwa apa?"
"Aku tidak tahu, mengapa kau berada di sini. Yang
pasti, aku tengah melarikan diri dari Walengkeng?"
"Siapa Walengkeng? Aneh betul, namanya? Dan
kenapa kau melarikan diri darinya?"
Asti mulai terpancing oleh pertanyaan Andika
"Walengkeng dulu pengurus kuda di rumahku.
Desa Wanasari. Tetapi lima tahun yang lalu, dia
diberhentikan oleh ayahku karena ternyata berbuat tak
senonoh padaku. Bahkan dia pun menyintaiku. Sungguh
tak bisa kubayangkan bila dia menjadi suamiku kelak. Dan
aku berterima kasih pada Ayah yang memecatnya. Lalu
tahu-tahu, aku sudah berada di hutan sebelah timur sana
bersama Walengkeng. Meskipun ketakutan bersamanya,
namun aku masih mencoba untuk bertahan. Hanya saja,
dia mengatakan kalau kedua orangtuaku sudah mati
dibunuh oleh seseorang yang tak dikenal. Namun, dia
melarangku untuk kembali ke Desa Wanasari sampai aku
pernah mencoba untuk melarikan diri Dan...."
"Sudahlah, Asti.... Kedua orangtuamu memang
sudah meninggal. Manusia yang...."
"Hei? Bagaimana kau tahu siapa aku?" desis Asti
heran, seperti baru sadar kalau dijebak Andika.
Andika cuma tersenyum. Diceritakannya apa yang
diketahuinya. Dan perlahan-lahan dia melihat bagaimana
gadis itu menundukkan kepalanya dengan napas
tersendat. Butiran air mata mengalir Iembut di pipi
halusnya.
"Semuanya sudah terjadi, Asti. Dan kau harus
merelakan kepergian kedua orang tuamu. Karena walau
kau menangis sambil nungging pun, kedua orang tuamu
tak akan kembali."
Mendengar kata-kata Andika, gadis itu
menghentikan tangisnya.
"Aku mengerti, Kang Andika."
Andika memegang tangan putri Karna Wijaya
dengan lembut.
"Ceritakanlah apa yang terjadi kemudian," ujarnya
kemudian.
Asti pun menceritakan seluruh yang dialaminya.
Setelah selesai bercerita, Andika mengangguk-ang-gukkan
kepala dengan tangan terkepal.
"Kau yakin orang-orang itu mengatakan dirinya
sisa dari anggota Sembilan Iblis?"
Asti mengangguk.
"Kalau begitu, lawan yang kita hadapi bukan hanya
orang yang berjuluk Manusia Laba-laba. Tetapi, juga
manusia-manusia dari anggota Sembilan Iblis itu."
"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Asti kini mulai
merasa akrab dengan pemuda di hadapannya.
Andika pun menceritakan apa yang terjadi be-
berapa bulan yang lalu.
"Dan aku yakin, mereka muncul kembali untuk
menuntut balas terhadapku," gumamnya di akhir cerita.
Gadis itu terdiam. Matanya menatap nanar pada
Andika.
"Siapakah sebenarnya Kang Andika ini?"
Andika nyengir. "Aku ya aku. Asti, lebih baik kita
tinggalkan tempat ini. Aku merasa kau lebih aman bila
sudah bersama-sama Banowo. Karena, di sana akan ada
yang menjagamu."
"Lalu Kang Andika hendak ke mana?"
"Aku ingin tahu, siapa orang yang berjuluk Manusia
Laba-laba itu. Juga menuntaskan urusan lama dengan
anggota Sembilan Iblis."
"Kang Andika.... Apakah Walengkeng..., ah! Tidak.
Aku hanya mau mengatakan tentang perubahan matanya
yang memerah itu. Bukankah seekor laba-laba bermata
merah?"
Andika tersenyum. "Aku pun memikirkan hal itu.
Tetapi. aku belum bisa memutuskan bila belum melihatnya
sendiri, meskipun menurut cerita dia
mendadak memiliki kehebatan tinggi. Sudahlah....
Lebih baik, kau mandi saja dulu. Nanti baru kuantar kau ke
Desa Wanasari."
Tak lama kemudian putri almarhum Juragan Karna
Wijaya itu sudah selesai mandi. Andika berdecak kagum
melihat wajah dan tubuh Asti yang kembali segar itu.
Rambutnya yang masih basah bagai mengeluarkan bau
wangi segar. Berarti, dia memang selalu merawat rambut
dan seluruh tubuhnya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Kang Andika?"
tanya Asti sambil menggerakkan tangannya ke rambut.
Sebenarnya si gadis agak risih dipandang dengan
tatapan seperti itu. Apalagi seolah baru menyadari, kalau
wajah di hadapannya ini begitu tampan meskipun matanya
yang seperti mata elang itu terkadang bersinar jenaka.
Andika nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal. Malu tertangkap basah seperti itu.
"Kalau kau tidak mau dilihat, colok saja kedua
mataku ini," kata Pendekar Slebor seenaknya. "Tetapi,
apakah kau tidak sayang bila wajahmu yang cantik itu tak
ada yang menikmati?" Asti mendengus.
"Tetapi tidak boleh pemuda konyol sepertimu!"
Andika tertawa.
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera berangkat
menuju Desa Wanasari. Di tempat yang kau kenal, kau bisa
meneruskan perjalanan sendiri. Aku tak bisa
mengantarmu sampai ke Desa Wanasari. Karena, aku
akan tetap memburu Manusia Laba-laba yang
kukhawatirkan akan menurunkan tangan telengas pada
siapa pun juga."
Gadis itu tak berkata apa-apa. Tubuhnya berbalik
dan melangkah. Justru Andika yang memberengut.
"Brengsek! Jadi geregetan aku melihatnya!"
Lalu si pemuda pun menyusul Asti yang sudah
sepuluh tombak berada di depan. Dan langkahnya berubah
menjadi kelebatan cepat ketika...
"Aaaakhhhh!"
***
7
Sekali kelebat saja, Andika sudah berada di depan
Asti. Si. pemuda tak perlu mendapatkan penjelasan lagi,
apa yang menyebabkan gadis itu menjerit. Karena di
depannya, tiga sosok berwajah sangar berdiri dengan
tatapan liar.
"Wah, wah...!
Kok, kalian sudah berada di sini?
Apa kabar. Kuharap kalian baik-baik saja.
Demikian pula aku. Berkat lindungan-Nya, aku...."
"Diaammm...!" bentak salah satu penghadang
memenggal ocehan Pendekar Slebor yang ngalor-ngidul.
Asti yang ketakutan memegang tangan Pendekar
Slebor erat-erat. Matanya melirik cemas, karena melihat
sikap Andika yang begitu santai. Gadis ini mengenali orang-
orang ini, yang sebelumnya bertarung dengan Walengkeng.
Ketiga orang yang muncul memang Iblis Baju
Sutera, Iblis Tangan Dewa, dan Iblis Kaki Seribu. Setelah
menguburkan mayat Iblis Rembulan, mereka pun bergerak
menyusul Manusia Laba-laba. Dan yang mengejutkan
sekaligus menggembirakan, mereka menemukan Asti yang
mengkerut di samping Pendekar Slebor.
"Hhh! Ajal sudah ada di depan matamu, Pendekar
Slebor! Jadi jangan ngoceh macam-macam!" desis Iblis
Baju Sutera.
"Nah, ini aku suka dengan kalian," gumam
Pendekar Slebor.
"Jangan main-main dengan kami, Pendekar Slebor!
Kau pikir kami akan begitu saja melupakan dirimu?!"
timpal Iblis Tangan Dewa.
Mata lelaki ini menajam, menusuk masuk mata
Andika. Terdengar geramnya. Dan tahu-tahu.....
Iblis Tangan Dewa sudah membuka jurusnya.
"Hei, apa aku salah bicara?" lonjak Andika.
"Masa bodoh! Yang penting kau harus
dilenyapkan!"
"Sontoloyo! Baru bertemu lagi, kau sudah bisa
memastikan kalau aku bisa dienyahkan?" Andika mendelik
sejadi-jadinya jangan katakan hatinya tidak sewot.
"Sini kau!"
Andika melambaikan tangannya. Lagaknya tak
bedanya aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu
nakalnya.
"Heaaa...!"
Iblis Tangan Dewa menerjang. Tangan kanan dan
kirinya bergerak cepat.
Bed! Bed! Bed! .
Bunyi kibasan kencang tercipta. Dengan amat
bernafsu, Iblis Tangan Dewa hendak membelah batok
kepala Pendekar Slebor saat itu juga.
Andika menyambutnya dengan gerakan melompat
ke samping. Lalu dengan pencalan satu kaki, dia melompat
sambil menyambar tubuh Asti begitu cepat. Si gadis
berteriak ketakutan, karena tahu-tahu mendapatkan
dirinya berada di bawah sebuah pohon. Seketika
dipegangnya beberapa ranting pohon erat-erat dengan
mata terpejam. Sementara, tubuh Andika sudah meluruk
ke tanah kembali.
Dan begitu Pendekar Slebor hinggap di tanah, kali
ini Iblis Baju Sutera yang menyerang dahsyat. Tangannya
mengibas, maka angin hebat meluruk. Andika memiringkan
tubuhnya, membuat angin itu melesat di sisinya.
Drakk!
Sebuah pohon langsung tumbang termakan angin
serangan Iblis Baju Sutera. Dahan bagian yang terhantam
hancur. Pecahannya berpentalan.
"Nah! 'Kan luput? Kubilang juga apa...," gumam
Pendekar Slebor.
Sementara Iblis Kaki Seribu yang terduduk hanya
bisa memandang gusar. Dia merasa benci pada diri sendiri
karena tak bisa turun tangan untuk membantu kedua
sahabatnya. Sepasang kakinya untuk sementara tak bisa
digunakan, akibat hawa panas yang dialirkan Iblis Baju
Sutera dan Iblis Tangan Dewa ketika menolongnya
memutuskan jerat alot dari Manusia Laba-laba.
Iblis Kaki Seribu makin muak. Karena di saat
lawan yang dicari selama ini berada di hadapannya, justru
dia tak mampu berbuat apa-apa selain memperhatikan
dengan rasa geram. Kedua tangannya terkepal karena
gatal untuk menghajar Pendekar Slebor yang tampak
tenang-tenang saja.
"Heaa...!"
"Heaaa...!"
Para lawan makin kalap. Mereka mulai menyerang
dari segala penjuru. "Hea hea heaaaa...!"
Andika menimpalinya kendati merasa kesulitan
untuk meloloskan diri. Teriakannya malah tak ada
juntrungan sama sekali. Beberapa ekor burung di atas
sebuah pohon kontan beterbangan kalang kabur. Mungkin
menyangka teriakan itu adalah angin ribut.
Pada saat yang sama, Iblis Baju Sutera tiba-tiba
membentuk pusaran kuat sekali. Sementara Iblis Tangan
Dewa meluruk dengan pukulan-pukulan maut yang
mematikan.
Namun begitu kedua lawan berada di udara
dengan serangan yang tinggal sejengkal lagi, pemuda itu
mengenyalikan diri ke sisi kanan. Sebelah kakinya
terangkat tinggi menuju Iblis Baju Sutera.
Duk!
Masih di udara. Iblis Baju Sutera merasakan
kantong menyannya nyeri hingga ke perut. Dia merasa
teramat mual sekaligus sesak. Dan dalam keadaan itu
membuatnya tak mampu bertahan lagi.
Brukk!
Tubuh lelaki itu jatuh berdebam menghantam
tanah.
"Hati-hati nyusruk!" ejek Pendekar Slebor.
Buru-buru Iblis Baju Sutera bangkit. Meski masih
merunduk-runduk sambil memegangi kantong menyannya
yang terasa hendak pecah. dia bersikeras untuk
menyerang kembali
Iblis Tangan Dewa yang melihat Pendekar Slebor
bisa menjatuhkan Iblis Baju Sutera dalam sekali gebrak
jadi terkejut. Hati kecilnya, dia mengagumi pemuda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang begitu mudah
menyongsong serangan. Namun di sisi lain dia bertekad
untuk melenyapkan si pemuda. Maka pada saat
menyerang, tenaganya segera ditambah berpuluh kali lipat.
"Jangan gegabah! Temanmu saja belum berhasil
menjatuhkan aku!" cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga
Andika menghadapi orang keras kepala seperti itu.
Padahal, dia sendiri biangnya keras kepala.
Wuuttt!
Membabi buta serangan Iblis Tangan Dewa
melesat ke arah Andika. Arahnya ke seluruh jaringan tubuh
si pemuda urakan. Namun Pendekar Slebor berkelit
enteng. Maka tak bisa tertahan lagi karena dorongan
tenaganya sendiri, akibatnya serangan maut Iblis Tangan
Dewa justru menghajar telak tubuh Iblis Baju Sutera yang
pada saat itu pula tengah membokong Andika.
Desss!
"Aaakhhhh!"
Tubuh Iblis Baju Sutera seketika terlontar deras ke
belakang, langsung menghantam sebuah pohon besar
hingga tumbang. Saat itu juga nyawa Iblis Baju Sutera
melayang dengan tulang iga patah tiga buah. Darah
tampak mengalir dari mulut dan hidungnya.
"Apa kubilang? Kenapa kau begitu tega
membunuh teman sendiri?" kata Andika, membuat Iblis
Tangan Dewa kalap bukan main.
"Setan alas! Kau harus mampus, Pendekar
Slebor!" bentak Iblis Tangan Dewa.
"Lho? Kenapa jadi sewot begitu? Bukankah kau
sendiri yang membunuh temanmu?"
Rahang Iblis Tangan Dewa mengatup. Matanya
memancarkan sinar dendam dan berbahaya. Namun kini
semangatnya kendor sudah. Berdua saja, mereka tak
mampu menghadapi Pendekar Slebor. Apalagi kini
sendirian. Apalagi, Iblis Kaki Seribu tak dapat membantu.
"Lain kali kita akan berjumpa lagi, Pendekar
Slebor!" desis Iblis Tangan Dewa yang sudah putus
nyalinya.
Lalu dengan perlahan lelaki ini menghampiri Iblis
Kaki Seribu yang juga menggeram marah. Diangkatnya
tubuh sahabatnya itu.
"Ingat, kita akan bertemu lagi!" ulang Iblis Tangan
Dewa.
"Terima kasih.... Ternyata kau masih menyukaiku.
Jangan lupa kalau bertemu lagi bawa oleh-oleh. Ikan mujair
kesenanganku!" sahut Pendekar Slebor, sambil mengiringi
kepergian Iblis Tangan Dewa yang membawa Iblis Kaki
Seribu, lewat sorot matanya.
82
Namun Andika teringat sesuatu.
"Hei? Kenapa mayat manusia jelek itu tidak kau
bawa?!" seru Andika tiba-tiba. Tetapi tubuh kedua manusia
sesat itu telah hilang dari pandangannya.
Kini Pendekar Slebor berniat menurunkan Asti. Dia
cepat melompat ke atas pohon tempat Asti bersembunyi.
Dan wajahnya seketika kelam dengan mata terbelalak.
Karena, Asti tak ada di tempatnya!
"Alamak...!"
Andika jadi bingung bukan main. Bagaimana gadis
itu lenyap begitu cepat. Asti sama sekali tak memiliki
kepandaian silat. Apalagi ilmu meringankan tubuh. Lalu ke
mana perginya gadis itu?" desisnya tak mengerti.
Diperhatikannya sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda
di mana Asti berada.
Andika melompat turun.
"Apakah dia terjatuh dari dahan itu? Ah! Kalau
terjatuh, pasti masih berada di sekitar sini. Tetapi
sekarang, mengapa tidak ada?"
Andika berpikir keras untuk memecahkan teka-teki
itu.
"Pasti ada seseorang yang membawanya. Siapa
dia? Ilmunya begitu tinggi karena aku tak mendengar
gerakan apa-apa yang dilakukannya."
Ketika tiba pada satu kesimpulan, Andika
melompat lagi ke dahan pohon itu. Diperhatikannya
dengan seksama.
"Benar dugaanku. Pasti Manusia Laba-laba yang
membawanya pergi," gumam si pemuda sambil mera-ba
dahan pohon. Di situ dia menemukan jerat halus yang alot.
"Hhh! Manusia keparat! Kau tak akan bisa melarikan diri
dari tanganku!"
Setelah mengira-ngira, Andika memutuskan untuk
mengejar ke arah utara.
***
Saat itu, Asti memang kembali berada di tangan
Walengkeng alias Manusia Laba-laba.
Ketika Andika tengah berhadapan dengan tiga dari
Sembilan Iblis, Manusia Laba-laba diam-diam telah berada
di tempat itu. Dan ketika Asti ditempatkan di tempat aman,
lelaki berwajah menyeramkan itu tersenyum licik. Baru saat
Pendekar Slebor bertarung, Manusia Laba-laba menyergap
Asti.
Ketika mendengar Iblis Baju Sutera meneriakkan
nama 'Pendekar Slebor', Walengkeng alias Manusia Laba-
laba menggeram. Namun sejurus kemudian bibirnya
tersenyum dingin. Dia merasa lebih baik pemuda itu
mampus di tangan iblis-iblis itu! Sementara, dia sendiri
mengurus putri Karna Wijaya.
Maka ketika pertarungan berlangsung Manusia
Laba-laba membawa Asti yang langsung ditotok hingga tak
mampu bergerak dan bersuara.
Sraatt!
"Oh, Tuhan! Walengkeng! Mengapa kau
membawaku ke sini?" seru Asti begitu Walengkeng
membuka totokannya. Saat ini mereka berada di utara
hutan tempat Pendekar Slebor bertarung. Tepatnya di
sebuah gua.
Walengkeng mendengus.
"Diaaam!" bentaknya keras, membuat batu-batu di
atas gua itu berguguran. Semetara aliran darah Asti bagai
terhenti seketika. "Sudah beberapa hari ini aku bersabar
terhadap sikapmu, Asti. Namun sikapmu tetap tidak
membuatku senang."
Tetapi..., aku...," desis gadis itu takut-takut
Kali ini si gadis yakin kalau Walengkeng
bermaksud jahat. Jantungnya bagai berhenti berdetak
ketika melihat tatapan Walengkeng yang semerah darah.
"Aku ingin kembali ke Desa Wanasari,
Walengkeng."
"Persetan dengan permintaanmu itu, Asti!
Sekarang dengar baik-baik! Aku menginginkan kau menjadi
istriku! Saat ini juga kau harus menjawabnya!"
"Oh!" keluh gadis itu. "Kali ini jantungnya terasa
bagai diremas oleh tangan keras.
"Aku tak suka membuang waktu sekarang! Kau
harus menjawabnya, Asti...."
Wajah pucat gadis itu nampak sekali.
"Walengkeng..., aku..., aku...."
"Kau harus menjawabnya iya, Asti!"
"Tetapi...."
"Setan!"
Plak!
Si gadis menjerit ketika tamparan keras
Walengkeng menerpa pipinya hingga seketika memerah.
Kepalanya bergoyang, dan mendadak menjadi pusing
dengan mata nanar.
Mata Walengkeng semakin memerah. Bibirnya
menyeringai, membuat wajahnya semakin mengerikan.
Tangannya terjulur, membuat Asti menjerit ketakutan.
Tetapi tangan itu telah mencengkeram tangan si gadis
yang merasa bagai dijepit sebuah tang.
"Perlu kau ketahui, Asti.... Selama lima tahun aku
berada dalam keadaan tidak tenang dan rindu berbalur
dendam. Hari ini, kau tak akan pernah bisa kubiarkan
untuk melarikan diri dari tanganku."
'Walengkeng..., aku......"
"Kau harus menjawab 'iya', Asti. Aku tak mau
mendengar kata 'tidak' dalam hidupku. Terlebih lagi,
dengan keinginanku yang satu itu!"
Bret!
"Ogghhhkhhh!"
Pakaian di bagian dada Asti robek ketika
Walengkeng menggerakkan tangannya. Manusia
bertampang setan itu terbahak-bahak begitu melihat dua
bukit berkulit halus di dada Asti. Dia menjilat ludahnya
sendiri, membuat gadis itu bertambah ketakutan. Sebelah
tangannya mencoba menutupi dadanya yang menjulang
indah. Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya gadis itu
mati mendadak. Bisa dibayangkan apa yang akan
dialaminya. Dan yang semakin membuatnya sadar,
Walengkeng bukanlah orang baik-baik. Terbukti dengan
perlakuannya yang mengerikan seperti ini.
"Oh, Tuhan.... Apakah aku akan mengalami se-
suatu yang menakutkan?" desah si gadis dengan rasa
takut luar biasa.
"Kang Andika.... Tolong aku..., to-long...."
Sambil terbahak-bahak Walengkeng menarik
tangan kiri Asti yang menutupi buah dadanya. Kini lelaki itu
terbahak-bahak ketika pemandangan yang tak tertutupi
apa-apa terpampang di matanya bulat-bulat.
"Menyenangkan.... Sangat menyenangkan
sekali...."
Tangan kasar Manusia Laba-laba bersiap mero-
bek kain yang dikenakan AstL Tetapi baru saja hehdak
melakukannya, tiba-tiba....
Tak!
"Aaakh!"
Sebuah kerikil menerpa tangan Manusia Laba-laba
dengan kuat. Seketika, lelaki ini berdiri setelah melempar
tubuh Asti yang menangis ketakutan. Tatapannya geram
penuh kemarahan. Tubuhnya sampai bergetar hebat.
Sementara Asti yang bagai terlepas dari
kungkungan mengerikan, beringsut ke sudut gua. Kedua
tangannya menutup bagian dadanya yang berbentuk indah.
"Manusia yang mau mampus! Berani lancang
terhadap Manusia Laba-laba!" dengus Walengkeng hingga
batu-batu gua itu berguguran.
Sejurus kemudian tubuh Manusia Laba-laba
berkelebat keluar dengan makian panjang.
***
8
Satu tubuh ramping berompi merah berdiri di
hadapan Manusia Laba-laba dengan tatapan merah. Wajah
cantik memancarkan sinar dingin.
"Manusia setan! Kau harus mampus untuk me-
nebus dosa-dosamu pada paman guruku!" bentak sosok
ramping.
Walengkeng alias Manusia Laba-laba mendelik
begitu melihat siapa yang mengganggu keinginannya.
"Larasati! Kalau waktu itu kau masih bisa
diselamatkan oleh Penghulu Segala Ilmu, sekarang tak
akan bisa melarikan diri lagi!"
"Manusia hina! Bila kau tak berbuat curang, kau
tak akan bisa mengalahkan Penghulu Segala Ilmu!" sahut
sosok ramping yang temyata Larasati.
Walengkeng terbahak-bahak, "Kuakui, memang
sangat sulit untuk mengalahkan Penghulu Segala Ilmu!
Namun hatinya terlalu lemah. Sehingga dia sangat mudah
dibodohi! Tetapi yang perlu kau ketahui, siapa pun boleh
berbuat apa saja untuk menang!"
"Dasar iblis! Penghulu Segala Ilmu karena
kebijaksanaannya mau mengulurkan tangan baiknya
kepadamu. Namun kau memanfaatkannya secara kurang
ajar. Dosa-dosamu tak akan terampuni! Kau telah
membunuh Juragan Karna Wijaya dan istrinya! Juga,
menculik putri mereka...."
"Peduli setan dengan semuanya! Itu adalah
urusanku, Larasati! Kau tak usah ikut campur dalam
urusanku!"
"Dengan muka setanmu yang dipoles dengan
senyuman, membuat paman guruku bersedia menerimamu
bahkan menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya
kepadamu! Nyatanya, kau masih memiliki dendam
berkobar! Bahkan secara keji kau membunuh paman
guruku dengan mempergunakan ajian 'Laba-laba'!"
Walengkeng terbahak-bahak mendengar kata-kata
Larasati.
"Sudah kukatakan tadi, berbuat curang itu diha-
lalkan bila untuk menang! Dan, apa lagi yang bisa
dibutuhkan dari paman gurumu si Jari Sakti itu, hah?!
Semuanya sudah kudapatkan. Mau apa lagi? Dan aku pun
muak mendengar segala nasihat yang diberikannya
kepadaku! Aku tahu, ajian 'Laba-laba' tak ada gunanya di
dunia ini!"
"Setan alas! Bukan hanya wajahmu yang
bertampang setan. Tetapi, hatimu berhati iblis!"
"Dan kau jangan lupa. Sebentar lagi, nyawamu
akan putus!" dengus Walengkeng. Dan tiba-tiba tangannya
bergerak.
Sratt! Srattt!
Jerat-jerat halus meluncur ke arah Larasati. Si
gadis cepat berguling menghindar sambil menggerakkan
tangannya.
Sing! Sing!
Sinar hitam meluncur melalui ilmu 'Jari Sakti’ yang
dikerahkan Larasati. Namun Walengkeng hanya terbahak-
bahak. Dan dengan enaknya dia menghindari serangan.
Tubuhnya dienyahkan ke samping klri. Akibatnya, dinding
gua tempat Asti berada, gompal di bagian atas, terhantam
sinar-sinar itu. Di dalamnya, Asti yang tengah meringkuk
ketakutan merasa tubuhnya bagai bergetar.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku,
Larasati!"
"Manusia setan! Kau mempergunakan ajian 'Laba-
laba yang diajarkan paman guruku untuk tindakan keji!"
dengus gadis berompi merah itu dan terus mencecar
Manusia Laba-laba dengan ilmu 'Jari Sakti'-nya.
Tapi, Manusia Laba-laba yang memang juga
mendalami ilmu itu sudah tentu tahu, bagaimana cara
mengelak dan sekaligus melumpuhkan. Maka hanya dalam
dua jurus berikutnya, Larasati kjni terdesak hebat.
Gadis itu pontang-panting dicecar Walengkeng
yang mengerahkan ilmu 'Laba-laba'. Jerat-jerat halus yang
melunc ur itu membuat Larasati tak berkutik untuk
bergerak lebih lama. Sementara, Walengkeng melompat ke
sana kemari.
Dalam waktu tak lebih sepuluh tarikan napas,
tubuh gadis berompi merah itu s udah berada dalam
keadaan telentang di atas jerat halus yang dibuat
Walengkeng. Dia meronta-ronta, namun jerat-jerat halus itu
bagai mengekang seluruh tubuhnya pada bagian belakang.
"Setan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!" seru si
gadis yang menjunf ai-juntai dalam jerat alot itu.
Walengkeng terbahak-bahak.
"Larasati! Aku adalah seorang laki-laki bijaksana.
Makanya, kubiarkan kau hidup dalam jerat laba-laba yang
kumiliki itu!"
"Setan alas!" maki Larasati dengan wajah pucat.
Gadis ini mengerti, apa yang dimaksud
Walengkeng. Dengan membiarkannya telentang tak
berdaya dalam jerat itu, berarti membunuh secara
perlahan.
Karena tubuhnya yang terus-menerus berada
dalam jerat tak akan mampu berbuat apa-apa.
Walengkeng hanya terbahak-bahak. Lalu
tangannya membuat jaring serupa, namun berada da¬lam
jarak tiga tombak di atas tubuh Larasati.
Larasati, tahu apa arti jaring laba-laba di atasnya.
Bila ada yang menolongnya, maka jaring itu akan segera
mengurungnya berikut si penolong.
"Nikmatilah kematianmu itu, Larasati! Percayalah!
Aku tetaplah orang bijaksana," kata Manusia Laba-laba
sambil mendekati Larasati. Ditotoknya urat suara Larasati,
hingga gadis itu mendelik tanpa bisa bersuara.
Sambil terbahak-bahak Walengkeng berkelebat
masuk ke dalam gua. Asti yang masih menangis tak
mampu berbuat apa-apa. Keinginannya tadi untuk
melarikan diri selagi Walengkeng bertarung, seolah
mampus. Karena saking takutnya, kedua kakinya bagai tak
mampu digerakkan.
"Tempat ini tak nyaman lagi untuk berbulan madu,
Asti. Lebih baik kita cari tempat yang lebih nyaman," oceh
Walengkeng.
"Lepaskan aku, Walengkeng.... Lepaskan aku...,"
desis Asti lemah.
Si gadis sudah putus asa sekarang. Apalagi ketika
tadi mendengar seruan dari gadis yang
membentak Walengkeng. Batinnya menjerit.
"Oh.... GustL..! Apakah manusia bertampang setan
ini yang membunuh kedua orangtuaku?"
Walengkeng menggeleng dengan tatapan tajam.
"Lima tahun aku menunggu kesempatan seperti
ini. Sudah tentu aku tak akan menyia-nyiakannya."
Manusia Laba-laba lantas mengangkat tubuh Asti.
Dan si gadis bagai telah kehilangan seluruh tenaganya.
Ketakutannya semakin membesar, namun tak mampu
berbuat apa-apa ketika Walengkeng membawanya pergi.
Kejap berikutnya, Asti jatuh pingsan ketika angin
keras bagai menampar tubuhnya saat Walenkeng
berkelebat.
***
Pendekar Slebor jengkel bukan main ketika tiba di
sebuah hutan kecil. Kepalanya benar-benar dibuat pusing
menghadapi masalah seperti ini. Karena, lawan sekalipun
belum pernah dilihatnya. Apalagi yang membingungkannya
sekarang, keadaan putiri almarhum Juragan Karna Wijaya.
"Hhh! Ke mana kutu kuprel itu membawa Asti
pergi!" keluh Pendekar Slebor dengan tangan terkepal.
Otak seencer bubur di kepala Andika benar-benar
dipaksa harus memecahkan teka-teki itu seorang diri.
Meskipun Larasati sudah menceritakan tentang Manusia
Laba-laba lengkap dengan ciri-cirinya, namun sampai saat
ini si pemuda urakan ini belum pernah sekali pun
berjumpa.
"Aku tak boleh membuang waktu! Keselamatan
Asti-lah yang utama. Apalagi Manusia Laba-laba itu
memang hendak memaksakan niat busuk padanya.
Karena, dialah yang membunuh Juragan Karna Wijaya dan
istrinya! Setan betul!"
Lalu pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu pun berkelebat cepat. Gerakannya secepat
angin, hingga yang terlihat hanya kelebatan warna hijau
saja.
Ketika Pendekar Slebor tiba di depan gua tempat
Asti dan Manusia Laba-laba sebelumnya berada, keningnya
berkerut, melihat sosok Larasati sedang telentang di
sebuah jaring laba-laba.
"Wah, wah! Orang susah-susah mencari Manusia
Laba-laba, kau asyik bermain ayunan?!" seloroh Pendekar
Slebor sambil mendekati Larasati.
Si gadis hanya mendelik. Mulutnya mengeluarkan
suara keluhan, membuat Andika tertawa.
"Kau ini ngomong apa sin?" goda si pemuda.
Larasati makin melotot. Lalu kepalanya bergerak-
gerak mencoba memberi tahu Pendekar Slebor kalau
bahaya mengancam.
Andika tertawa melihatnya.
"Ah, jangan bercanda. Jangan pura-pura gagu. Aku
tahu kau tertotok. Tetapi, bagaimana caranya
membebaskan totokanmu? Karena jarak kau denganku
cukup jauh. Dan aku yakin, bila aku menyentuh jaring laba-
laba ini maka akan menempel di tubuhku. Hmm..., aku
tahu sekarang. Hei? Kau bersiap.... Aku akan melepaskan
totokanmu itu!"
Mata Larasati masih melotot sambil menggerak-
gerakkan kepalanya. Dia menjadi gemas sendiri karena tak
bisa mengatakan bahaya yang mengancam bila Andika
menyelamatkannya. Si gadis tahu apa yang hendak
dilakukan Andika. Tentunya si pemuda akan melompati
jaring laba-laba itu dan membebaskan totokannya.
Tentunya cara membebaskan totokan seperti itu haruslah
oleh orang yang sangat ahli. Karena, totokan itu harus bisa
tepat mengenai urat yang tertotok.
"Ahhg..., auggkk...." Gadis berompi merah itu masih
berusaha menyadarkan Andika kalau bahaya tengah
mengancam.
Tetapi pemuda itu seperti tak mengetahui apa
yang dimaksudkan oleh Larasati. Bahkan cengengesan
saja.
"Bersiaplah!" desisnya.
Mata Larasati melotot, masih berusaha mem-
beritahukan Andika kalau jaring laba-laba di atas tubuhnya
akan segera menerkam. Tetapi tubuh Pendekar Slebor
sudah bergerak.
Lalu....
"Hup!"
Dengan pencalan satu kaki Andika melompat
cepat. Tangannya cepat bergerak.
Tuk!
Getaran tenaga dalam yang dilakukan Pendekar
Slebor membuat jerat-jerat itu bagai bergetar sejenak. Dan
jaring laba-laba yang berada di atas tubuh Larasati jatuh
melayang.
"Awaaasss! Kau bisa terjerat, Andika!" seru
Larasati begitu totokan pada urat suaranya terlepas.
Dengan tubuh berjingkat sejenak.
Namun di luar dugaan, Andika bukannya
meneruskan loncatannya, justru hinggap di sisinya. Maka
jaring laba-laba yang alot itu bergoyang. Dan bertepatan
dengan jatuhnya jaring laba-laba di atas tubuhnya, Andika
mengangkat kedua tangannya.
Hawa panas langsung menebar dari seluruh tubuh
Pendekar Slebor. Dan jaring laba-laba yang hinggap di
tubuhnya putus satu persatu!
"Hhh! Ternyata benar!" desis pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan
Dan bukan hanya jaring yang jatuh itu saja yang
putus. Jaring yang menjerat tubuh Larasati pun putus.
Tubuh si gadis ambruk ke tanah, sementara Andika
melompat cepat.
"Brengsek! maki Larasati yang kini sadar kalau
dipermainkan Andika.
Andika tertawa saja. Sebenarnya, ketika
menemukan Larasati telentang tak berdaya pada jaring
laba-laba itu, Pendekar Slebor sudah melihat jaring laba-
laba di atas si gadis. Andika pun teringat apa yang pernah
diutarakan Larasati. Menurut Penghulu Segala Ilmu, jaring
laba-laba itu hanya bisa diputuskan oleh seseorang yang
memiliki tenaga 'inti petir'.
Makanya, Pendekar Slebor pun bermaksud
mencobanya. Sambil melompat untuk membebaskan
totokan pada diri Larasati, tenaga 'intir petir' tingkat
pamungkas telah dirangkum pada kedua tangannya. Lalu
seketika hawa panas segera menebar ke seluruh
tubuhnya.
Dan yang dikatakan Penghulu Segala Ilmu
memang benar. Pendekar Slebor bukan hanya mampu
memutuskan jaring-jaring halus yang alot itu, bahkan
menghancurkannya. Jaring laba-laba yang terkena panas
melalui kakinya pun putus, menyebabkan tubuh Larasati
ambruk tanpa ampun.
"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Pendekar
Slebor kemudian.
"Brengsek!"
Larasati yang masih jengkel karena dipermainkan
membentak.
"Usil! Urakan! Kau pikir tubuhku ini nangka bus uk
yang bisa dijatuhkan begitu saja?!" lanjutnya geram.
"He he he.... Jatuh, ya? Yah, sekali-kali bolehlah
kalau kau mau jadi nangka busuk," oceh Andika.
"Brengsek!
Putri Karna Wijaya berada di tangan Walengkeng
alias Manusia Laba-laba!"
Andika menghentikan tawanya. Dia melengak
kaget.
"Ke mana dia membawanya?" tanya Pendekar
Slebor.
"Arah timur!"
"Kalau begitu, secepatnya kita harus menuju ke
sana! Aku khawatir, akan terjadi apa-apa pada Asti!
Larasati! Sebaiknya kau ikut denganku!"
"Buat apa aku berjalan bersama pemuda usilan?"
Kali ini Andika mengumpat dalam hati.
"Bukan apa-apa. Terus terang, aku belum pernah
melihat wujud Walengkeng alias Manusia Laba-laba. Aku
hanya mendengar dari ceritamu saja tentang ciri-cirinya."
Meskipun masih jengkel karena dipermainkan,
namun Larasati merasa beruntung juga karena Andika
muncul di saat yang tepat. Kalau tidak, dia bisa tergantung
sepanjang masa di jaring laba-laba itu dalam keadaan tak
berdaya.
Tanpa berkata apa-apa, Larasati sudah melesat ke
arah timur. Andika pun segera mengempos tubuhnya,
menyusul. Karena dengan begitu, secara tidak langsung
Larasati memenuhi permintaannya.
***
9
"Jangan, Walengkeng.... Jangan kau perlakukan itu
padaku...," ratap Asti ketakutan. Tubuhnya mengkeret di
pembaringan, dalam sebuah gubuk di pinggiran hutan.
"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Walengkeng
dalam kemarahan memuncak. Lalu tanpa ragu lagi
Manusia Laba-laba menggerakkan tangannya, hendak
menjamah baju Asti.
"Aku..., aku..., menerima lamaranmu, Walengkeng!"
Kata-kata Asti membuat Walengkeng
menghentikan gerakan tangannya untuk merobek-robek
kembali pakaian si gadis. Matanya membeliak tak percaya-
"Kau?" desis lelaki ini terkejut. Lalu tawa keras-nya
terumbar, memenuhi ruangan ini.
"Menyenangkan, menyenangkan sekali mendengar
kata-katamu itu, Asti."
Asti dalam tekanan batin yang menyesakkan,
mencoba untuk berpikir waras. Lebih baik dia menerima
lamaran Walengkeng lebih dulu daripada mengalami hal
yang paling menakutkan dalam hidupnya. Dia berharap,
dengan berbuat seperti itu Walengkeng akan
mengurungkan niatnya. Sebersit harapan pun terlintas bila
suatu saat ada kesempatan untuk melarikan diri. Terutama
sekali, kedatangan Pendekar Slebor yang sangat
ditunggunya.
Namun harapan si gadis hanya tinggal harapan
"Aku ingin melihat kesungguhanmu, Asti. Sekarang,
bukalah pakaianmu sendiri.... Sementara, aku akan
memutuskan jerat laba-laba yang mengikat kaki dan
tanganmu."
Gemetar, Asti menjamah kancing bajunya. Setitik
air bening menggulir di matanya. Tak mampu lagi dia
membayangkan apa yang bakal terjadi selan-jutnya.
Namun di saat yang gawat itu....
"Walengkeng! Keluar kau!"
Satu bentakan keras membangkitkan kegeraman
Walengkeng. Lelaki ini dengan penuh kegeraman bangkit
berdiri. Hendak dibelahnya kepala orang usil yang
menggagalkan niatnya.
Tiba di luar, Walengkeng mendelik tak percaya
melihat Larasati segar bugar. Kalau gadis itu selamat, pasti
ada yang menyelamatkannya. Kalau yang menyelamatkan
si gadis pun selamat, pasti si penyelamat berilmu amat
tinggi. Dan kalau di sisi gadis itu ada seorang pemuda
berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di bahu,
pasti dialah penyelamatnya. Sekaligus, berilmu amat tinggi.
Sosok yang tak lain Pendekar Slebor.
Bagaimana Pendekar Slebor dan Larasati bisa
menemukan Walengkeng?
Tak terlalu sulit, memang. Arah yang ditempuh
Walengkeng, menurut petunjuk Larasati adalah timur. Ada
satu kebodohan yang dimiliki Manusia Laba-laba. Bila
bosan berkelebat, Walengkeng menggunakan jerat-jeratnya
untuk bergayutan dari satu pohon ke pohon lain, tak
ubahnya laba-laba yang berpindah dari satu tempat ke
tempat lain.
Dari jerat-jerat yang tertinggal, Pendekar Slebor
segera melacaknya. Hingga ketika tiba di pinggir hutan dan
mendapatkan sebuah gubuk, telinga tajamnya menangkap
suara rintihan. Maka dugaannya makin terbukti.
"O, ini orang yang berjuluk Manusia Laba-laba?
Ha ha ha.... Pasti bapakmu kawin dengan onggok-
onggok, ya?"
Sementara Andika yang kini baru pertama kali
berjumpa dengan Manusia Laba-laba, membuka mulut
usilnya.
"Dan kau yang berjuluk Pendekar Slebor?"
"Terserah kau menyebutku apa."
Dalam hati sebenarnya Manusia Laba-laba heran
ketika menyadari Larasati berhasil lolos dari jerat-jerat
alotnya. Selama ini dia berkeyakinan, tak satu tenaga pun
yang akan mampu memutuskan jerat-jeratnya. Kalaupun
mampu, kemungkinan besar akan bahu-membahu dan
membutuhkan waktu lama.
"Sialan! Apakah Pendekar Slebor itu yang mampu
memutuskan jerat-jerat milikku?" desisnya dalam hati.
Manusia Laba-laba menatap tajam Pendekar
Slebor. Namun yang ditatap malah cengengesan tak
bermakna.
"Pendekar Slebor! Ternyata kau hanya manusia
lancang yang kerjanya mencampuri urusan orang!"
"Alah, jangan banyak lagak lagi, Manusia Laba-
laba. Cepat serahkan Asti padaku!" sergah Andika. Hati si
pemuda sudah sangat jengkel melihat ulah Manusia Laba-
laba. Terutama, bila mengingat Asti berada di tangan
manusia itu.
"Hhh! Menghancurkan pendekar yang suka ikut
campur urusan orang, bukanlah hal yang menyulit-
kanbagiku! Larasati! Kalau dua kali perjumpaan kita kau
masih hidup, kali ini jangan harap kubiarkan lebih lama
hidup!"
Sehabis berkata demikian, kedua tangan Manusia
Laba-laba mengibas ke arah Larasati dan Pendekar Slebor.
Sraat! Sraat!
"Hei, jangan sewot dulu, Laba-laba! Kalau kau mau
sabar dikit, pasti akan kuberi lalat!" oceh Andika, seraya
mendorong tubuh Larasati. Dan mereka segera
bergulingan di tanah.
Dalam bergulingannya, Larasati masih sempat
mengibaskan tangannya.
Sing! Sing!
Dua larik sinar hitam langsung meluruk ke arah
Manusia Laba-laba. Namun Walengkeng tak kalah sigap.
Kembali tangannya mengibas. Kali ini dua buah sinar hitam
yang sama melesat pula menghantam dua larik sinar yang
dilepaskan Larasati.
Duar! Duaaarr!
Dua ledakan terdengar keras. Pada saat yang
sama, Pendekar Slebor s udah melesat ke depan ke arah
Manusia Laba-laba. Akan tetapi....
Srat! Srat!
Terpaksa Pendekar Slebor menjatuhkan diri, dan
langsung bergulingan cepat ketika jerat-jerat halus kembali
dilepaskan Manusia Laba-laba.
Selagi Pendekar Slebor bergulingan begitu,
Larasati langsung mengirimkan serangannya dengan ilmu
'Jari Sakti'.
Sing! Sing!
Dua larik sinar hitam dahsyat kembali meluruk ke
arah Manusia Laba-laba. Namun sambil terbahak-bahak
Walengkeng membuang tubuhnya ke kanan. Akibatnya,
dua pohon besar langsung bolong seketika. Dan dengan
gerakan menakjubkan, tubuh laki-laki berambut jarang dan
bermata merah itu me-ngibaskan tangannya.
Sratt! Sratt!
Kalau biasanya jerat-jerat halus itu meluncur, kali
ini menebar dan seketika mengurung Larasati.
Si gadis terkejut, melepas pekikan. Bila saja
Pendekar Slebor tidak sigap menyambar tubuhnya, bisa
dipastikan akan terjerat. Dan sangat sukar baginya untuk
melepaskan diri. Bahkan jerat-jerat halus itu akan
mematikan seluruh jalan darahnya.
Namun yang dialami Andika justru menyakitkan.
Karena bertepatan tubuhnya bergerak untuk
menyelamatkan Larasati, Manusia Laba-laba sudah
meluruk ke arahnya dengan cara merangkak di tanah
Begitu cepat gerakannya. Lalu....
Des! Des! "Aaakh!"
Dua kali pukulan telak menghantam punggung
Pendekar Slebor. Andika kontan ters uruk ke depan. Untung
keseimbangannya masih bisa dikuasai. Ketika tubuhnya
sempoyongan, segera dikemposnya untuk melompat dua
kali ke muka.
Manusia Laba-laba yang sudah menderu kembali
terbahak-bahak.
"Huh.... Rupanya hanya begitu saja kemampuan
yang dimiliki Pendekar Slebor!"
Begitu merasakan hawa panas yang mengarah
kepadanya, Andika membuat gerakan mengejutkan. Masih
membopong Larasati, tubuhnya bergerak setengah
lingkaran. Maka, pukulan Manusia Laba-laba luput dari
sasarannya. Dan begitu Pendekar Slebor bergerak, tubuh
Larasati diturunkan. Saat itu juga tubuh si gadis
diputarnya, seolah menjadikan sebagai senjata.
Larasati yang mengerti maksud Andika, meng-
alirkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lalu.... Buk!
Tubuh kurus berwajah mengerikan itu tersuruk ke
samping, terhantam kaki si gadis pada bagian punggung.
Ketika tubuhnya berdiri tegak, matanya melotot dengan
sorot mata mengerikan. Rambutnya yang jarang seolah
berdiri menandakan kemarahan menggelegak.
Andika sadar, lawan akan berbuat nekat untuk
menghancurkan mereka.
"Kau menyingkir dari sini, Laras," ujar Pendekar
Slebor.
"Tidak... Aku harus membunuh manusia setan itu."
"Jangan keras kepala, Laras. Ini bukan waktunya
untuk bercanda! Kau tahu, tadi aku kewalahan untuk
menyelamatkanmu."
"Kau tak usah menyelamatkan aku! Aku bisa
mengurus diri sendiri!"
Sehabis berkata begitu, gadis keras kepala itu
berkelebat ke depan. Gerakannya begitu cepat dengan
tubuh mengeluarkan hawa dingin.
"Perempuan slompret!" maki Andika, merasa
kehabisan akal.
Tepat ketika Pendekar Slebor berkelebat ke
depan, Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak telah
meluruk hendak memapak serangan Larasati.
Sraat! Sraat!
Andika harus menghentikan gerakan
memotongnya terhadap gerakan laju Manusia Laba-laba
yang ditujukan pada Larasati. Karena dengan cerdiknya,
lelaki itu telah mengirimkan jerat-jerat halusnya. Terpaksa
Andika harus membuang tubuhnya. Sementara tubuh
Manusia Laba-laba terus meluruk ke arah Larasati.
Plak! Plak!
Dua benturan terjadi.
Dalam soal tenaga dalam, sebenarnya Larasati
memiliki tingkat kemampuan cukup. Namun lawan yang
dihadapinya adalah Manusia Laba-laba yang mampu
mengalirkan seluruh tenaga dalam ke urat darahnya
sekalipun. Maka tak ampun lagi, tubuh si gadis tersentak
ke belakang.
"Laras!" seru Andika.
Pendekar Slebor yang sudah berdiri tegak segera
menyambar tubuh Larasati. Dalam dekapannya, si gadis
muntah darah dan pingsan. Melihat hal ini wajah Andika
berubah bengis. Tubuhnya bergetar.
"Perbuatanmu benar-benar tak bisa diampuni!"
"Justru aku ingin melihat kehebatanmu, Pendekar
Slebor. Dan seluruh rimba persilatan akan tersentak begitu
mendengar kau mampus di tangan si Manusia Laba-laba!"
Andika meletakkan tubuh Larasati. Begitu berdiri
tegak, tatapannya memancarkan hawa amarah. Namun
dalam keadaan seperti ini, sifat urakan Andika tetap saja
tak enyah.
"Heran? Kenapa sih kau mau dijuluki Manusia
Laba-laba? Apa karena wajahmu yang jelek itu? Kurasa
tidak juga. Karena kupikir, wajahnya cukup mirip kecoa. Ha
ha ha...! Mestinya kau berjuluk Manusia, Kecoa. Pantas
kepalamu yang gersang itu bau kotoran!"
"Setan keparat!"
Manusia Laba-laba mengibaskan kedua
tangannya, tepat ketika Andika berhenti mengoceh. Tak
ada waktu lagi buat Pendekar Slebor.
Sraat! Sraat!
"Ha ha ha...!"
Ganti Manusia Laba-laba yang terbahak-bahak
ketika melihat Pendekar Slebor terlilit jerat-jerat halusnya.
Kelihatan sekali bagaimana Andika seperti susah bergerak
dan bernapas.
"Hanya begitu saja kemampuan yang kau miliki
Pendekar Slebor? Nah untuk sementara aku akan
menuntaskan urusanku dulu. Kau kutunggu di Bukit
Kamparan, Pendekar Slebor. Di sanalah tempat tinggalku
yang sebenarnya!"
Begitu habis kata-katanya, Manusia Laba-laba
langsung berkelebat cepat ke dalam gubuk tempat Asti
berada.
Setelah menyambar tubuh Asti, dia melompat
lewat jendela dan menghilang cepat.
"Kutu kupret! Sapi bangkotan! Aku akan
menyusulmu. Heaaa...!" teriak Andika penuh gelegak
***
10
Keheningan Bukit Kamparan yang terlalu tinggi
menyambut Andika. Setelah mampu memutuskan jerat-
jerat dari Manusia Laba-laba yang membelit tubuhnya
dengan tenaga 'inti petir', Pendekar Slebor membawa
Larasati ke tempat yang aman. Baru kemudian dia menuju
tempat ini. Tak terlalu sukar mencarinya. Karena Andika
sendiri pernah mengenal bukit itu.
Di sisi lain pun, Pendekar Slebor harus
berhadapan dengan kelicikan Manusia Laba-laba. Karena
begitu tiba dia sudah disuguhi pemandanganyang tak
mengenakkan. Si pemuda melihat Asti tengah tak berdaya
terlilit jerat laba-laba yang menggantung di satu pohon ke
pohon lain.
"Ha ha ha.... Selamat datang di gubukku ini,
Pendekar Slebor! Menarik bukan, sambutanku?" sambut
Manusia Laba-laba, langsung melompat dari gubuknya di
atas pohon ke jerat-jerat tempat Asti berada.
"Rupanya kau tengah menjalankan cara licik kuno.
Jangan pergunakan gadis itu sebagai sandera. Mari kita
bertarung sebagai lelaki!" teriak Andika dari bawah, sarat
dengan kemarahan.
"Majulah, Pendekar Slebor! Aku ingin melihat
keberanianmu sekarang ini? Ayo, sini! Melompatlah!"
Di tengah kegeramannya, otak encer Andika
berkutat keras. Di sisi Asti, tampak tangan Walengkeng
sudah berubah menjadi hitam. Ini menandakan laki-
lakibertampang setan itu telah merangkum ilmu 'Jari Sakti'
yang siap dihantamkan pada gadis itu.
"Ahh! Aku tahu! Kau memang tak punya nyali untuk
berhadapan sebagai lelaki!" ejek Andika.
"Ha ha ha.... Apa artinya nyali dan keberanian?
Justru aku ingin melihat, apakah kau memiliki nyali dan
keberanian untuk datang ke sini?!"
"Monyet pitak!" gerutu Andika dalam hati.
"Aku bisa saja segera menghantamnya. Namun
kalau aku kalah cepat, bisa jadi nyawa Asti taruhannya.
Orang seperti dia memang menghalalkan segala cara!
Tetapi, apakah aku harus berdiam seperti ini?"
"Hei! Mengapa bengong? Bila kau memang tak
punya nyali dan keberanian itu, silakan pergunakan
kesaktianmu. Lalu, hantamkan pada tubuhmu sendiri!"
seru Manusia Laba-laba sambil terbahak-bahak Dia
merasa menang melihat Pendekar Slebor seperti
kehilangan akal.
Akal licik Manusia Laba-laba memang patut diberi
pujian. Dengan keyakinan Pendekar Slebor akan
menyusulnya, dia memasang tubuh Asti yang telah tertotok
pada jerat-jerat yang dibuatnya. Dengan mengancam akan
membunuh Asti, dia yakih Pendekar Slebor akan
memenuhi seluruh perintahnya.
"Permainan tengik!" maki Andika.
"Di sinilah terlihat kepengecutanmu, Pendekar
Slebor. Bila kau memang memiliki nyali, lakukan yang
kuperintah. Kalau tidak..., nyawa gadis ini akan segera
melayang."
Mata setajam elang Andika menyipit. Memang tak
ada jalan lain sekarang. Seharusnya dia bisa menguasai
pertarungan karena telah mengetahui kelemahan ilmu
'Laba-laba' yang dimiliki Manusia Laba-laba. Namun, lelaki
berambut jarang itu memiliki seribu akal licik yang
mematikan.
Seperti yang dilakukannya saat ini pada Andika
yang bagai tak berkutik. Namun jangan sebuat Pendekar
Slebor kalau untuk masalah segede upil ini saja tak bisa
memecahkannya. Sebuah rencana telah tersusun rapi
dalam beriaknya. Yang jelas rencana itu akan membuat
Manusia Laba-laba mengumpat tak karuan.
"Kau janji akan melepaskan gadis itu bila aku
menuruti kemauanmu?" tanya pemuda urakan ini mulai
memasang akal bulusnya.
"Ha ha ha.... Kecerdikan Pendekar Slebor ternyata
hanya pantas untuk anak kecil!" ejek Manusia Laba-laba.
Dan tiba-tiba suaranya berubah.
"Lakukan yang kuperintahkan itu! Bila dalam
hitungan ketiga kau belum juga melakukannya, jangan
menyesali bila gadis ini akan rebah tanpa nyawa!
Satu!"
Andika tersenyum kecut. Sebenarnya dia pun tak
pasti dengan keberhasilan rencananya. Tapi apa boleh
buat? Itulah cara satu-satunya.
"Dua!"
Andika menatap tajam Manusia Laba-laba.
"Ti...."
"Tunggu!" sentak Pendekar Slebor cepat. Babak
pertama rencananya mulai berjalan mengulur-ulur waktu.
"Baik! Aku akan melakukan apa yang kau inginkan!
Tetapi...."
Tidak ada tetapi! Jangan mengulur waktu lagi!
Lakukan yang kuperintah itu, Bedebah!"
Andika mati kutu. Otak encernya terus bekerja
keras. Ditariknya napas dalam-dalam.
115
"Setan alas! Kau hanya membuang-buang
waktuku!" bentak Manusia Laba-laba. Tangannya siap
terayun.
"Sabar, Manusia Laba-laba!" seru Andika sekali
lagi.
Seharusnya Pendekar Slebor memang bisa
langsung bergerak menghantam Manusia Laba-laba.
Namun kali ini perhitungannya meleset. Karena bila
bergerak bersamaan dengan ayunan tangan Manusia
Laba-laba, belum tentu gadis itu dapat cepat diselamatkan.
Karena belitan jaring laba-laba pada gadis itu sangat tebal.
"Kau menang kali ini!" gumam Andika.
"Akallah yang membuatku besar, Pendekar Slebor!
Lakukan!"
Bagai tak berdaya menghadapi masalah di
hadapannya, Pendekar Slebor terdiam. Manusia Laba-laba
terbahak-bahak begitu melihat tangan Pendekar Slebor
mengencang, memancarkan sinar keperakan. Begitu pula
sekujur tubuhnya. Walengkeng yakin kalau Pendekar
Slebor tengah mengerahkan kekuatan dahsyat.
Dan perlahan-lahan tangan yang telah terangkum
tenaga 'inti petir' itu dihantamkan Andika pada tubuhnya
sendiri.
116
Duarrr...! "Aaa...!"
Terdengar ledakan keras yang disusul lontaran
tubuh Andika beberapa tombak. Pemuda urakan itu
memekik menyayat, bagai menyambut kematian.
"Ha ha ha.... Kini mampuslah kau, Pendekar
Slebor!" sambut Manusia Laba-laba sambil melayang turun.
Perlahan-lahan lelaki ini mendekati tubuh Andika
yang tergolek tak berdaya. Pakaian di bagian dada si
pemuda hangus seperti terbakar. Napasnya terdengar
tersendat.
"Menyenangkan.... Sangat menyenangkan," decak
Manusia Laba-laba. "Nama besar Pendekar Slebor kini
telah terkubur dalam tanah. Hhh! Tenaga dalamnya yang
sangat dahsyat itu akhirnya memakan pemiliknya sendiri.
Inilah yang dinamakan senjata makan tuan."
Mata merah Walengkeng membulat senang.
"Kau tak perlu kubunuh, Pendekar Slebor. Karena
dengan sendirinya kau akan mati akibat pukulanmu
sendiri."
Lalu Manusia Laba-laba kembali melompat ke
jerat-jeratnya. Dibebaskannya Asti yang meskipun ditotok,
bisa mengelahui apa yang terjadi. Hatinya pilu begitu
menyadari Pendekar Slebor berkorban untuk dirinya.
Dalam keadaan seperti ini, hati gadis itu semakin pilu.
Sekarang, tak ada lagi yang bisa menolongnya.
Manusia Laba-laba melompat turun kembali
dengan tubuh Asti dalam bopongannya. Kali ini gadis itu
tak banyak meronta. Hatinya sudah pasrah mengikuti nasib
apa yang akan terjadi. Hatinya teriris melihat tindakan
Pendekar Slebor. Dan rasanya, mati memang lebih baik.
Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena
begitu kaki kurus Manusia Laba-laba menginjak tanah,
satu sosok tubuh berpakaian hijau pupus berkelebat
sangat cepat. Lalu....
Des! Buk!
Sosok itu langsung menghantam punggung
Walengkeng dan menendangnya hingga terhuyung. Asti
yang berada dalam bopongannya terlepas. Dan dengan
cepat, sosok itu menangkapnya.
Dengan geram penuh kemarahan, Manusia Laba-
laba berbalik. Kedua matanya seperti hendak melompat
keluar, melihat sosok yang memukulnya. Sosok itu tak lain
Pendekar Slebor!
Masih tak percaya dengan yang dilihatnya, Wa-
lengkeng mengalihkan pandangan ke tempat Pendekar
Slebor tadi berada. Namun, sosok itu tak ada di tempatnya!
"Curang!" bentak Manusia Laba-laba dengan
amarah meradang.
"Biarrr...!" balas Andika.
***
Pendekar Slebor sudah bergerak cepat. Bahkan
terlalu cepat. Tahu-tahu saja tubuh Asti telah bersandar
pada batang pohon. Dia pun telah membuka jalan suara
gadis itu yang ditotokoleh Manusia Laba-laba tadi. Dan
sebentar kemudian si pemuda telah berada di depan
Walengkeng.
Dan bukan Pendekar Slebor kalau sifat usilnya tak
muncul untuk menguras tuntas kemarahan orang lain.
"Nah, kan? Aku yang menang? Kubilang juga apa?
Nang-ning-nong, neng-nang-neng gong!" ejek Andika sambil
nandak sendirian. Persis topeng monyet sedang ditanggap.
"Setan alas!" maki Manusia Laba-laba dengan
wajah memerah karena dipermainkan.
Sebenarnya, apa yang telah terjadi tadi? Di saat
yang gawat tadi di bawah ancaman Manusia Laba-laba,
bagai orang terpaksa Andika pun menghantamkan
tangannya ke dada sendiri. Namun tanpa sepengetahuan
Manusia Laba-laba, Andika sudah meng-alirkan ajian
'Guntur Selaksa' pada tubuhnya. Sinar perak yang
melingkupi tubuhnya tadi, dijadikan sebagai tameng untuk
menghalangi sebuah keberanian. Namun yang terpenting
adalah nyawa Asti.
Begitu pukulan terhantam, sifat tengik Andika pun
muncul. Teriakan keras dikeluarkannya boros-boros. Bisa
jadi, itu untuk meyakinkan Manusia Laba-laba. Dan
bersamaan dengan itu, si pemuda mengempos tubuhnya
ke belakang bagai terlontar akibat pukulannya sendiri.
Pukulan Pendekar Slebor memang tak begitu
keras. Kendati demikian, tetap membuat pakaiannya
hangus. Bukan oleh pukulannya, tapi karena benturan
pukulan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Itulah babak kedua rencana Andika. Dan dia
berharap lelaki hidung sumplung itu akan turun untuk
memeriksanya. Makanya, di tangannya sudah di-
persiapkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk menyelamatkan
diri.
Benar saja Manusia Laba-laba memang merae-
riksa keadaan Andika. Dasar wataknya kejam, Andika yang
disangka sudah tak berdaya diharapkan mati perlahan-
lahan.
Ketika menyadari Manusia Laba-laba pergi dan
bersiap membawa Asti, Pendekar Slebor bergerak cepat
membokong.
Andika tertawa.
Aduh, bagaimana ya? Kenapa kau bisa
kecolongan?" gumam Andika meledek dengan berpura-
pura tolol.
"Keparat busuk!" dengus Manusia Laba-laba.
Dengan gerakan dahsyat Manusia Laba-laba mengibaskan
tangannya ke arah Pendekar Slebor. Sing! Sing!
Dua larik sinar hitam melesat. Kecepatannya tak
terkira. Namun dua jengkal lagi menemui sasaran,
Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.
Ke mana Pendekar Slebor sendiri?
Dengan kecepatan yang tak terlihat mata, pemuda
pewaris ilmu-ilmu Lembah Kutukan berkelebat cepat ke
atas.
"Aku di sini, Kecoa!" susul Andika, seraya melesat
cepat ke arah Manusia Laba-laba. Lalu....
Des!
Jotosan Pendekar Slebor tahu-tahu sudah
menghantam dada Manusia Laba-laba. Sambil terhuyung.
rupanya Walengkeng masih sempat melepaskan jerat-jerat
halusnya. Dia berharap masih mampu menahan serangan
Andika selanjutnya.
Namun, Pendekar Slebor yang memang tahu
kelemahan jerat-jerat halus itu sudah merangkum tenaga
'inti petir'-nya. Dan dengan sekali sentak, jerat-jerat itu
sudah putus!
Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Pendekar
Slebor berkelebat mengejar. Kini yang terlihat hanya
bayangan hijau saja. Di tangannya sudah terangkum ajian
'Guntur Selaksa'.
Manusia Laba-laba,sudah mati kutu. Tak ada
waktu lagi untuk menahan gempuran dahsyat Andika.
Dan....
Desss!
"Augh...!"
Kembali Manusia Laba-laba terhuyung. Pada saat
begini, tendangan kaki kanan penuh tenaga dalam yang
dilakukan secara berputar dilepas Andika.
Krak!
"Aaa...!"
Terdengar suara berderak tulang patah disusul
jeritan menyayat hati. Tulang leher Manusia Laba-laba
patah terkena tendangan dahsyat Andika. Lalu, tubuhnya
pun ambruk menggeloso di tanah tak mampu bangkit lagi.
Andika menarik napas panjang.
"Impas sudah. Kelicikan kubayar dengan kelicikan
pula," gumamnya.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba terdengar suara tepukan di belakang
Andika.
"Hebat.... Memang hebat orang yang berjuluk
Pendekar Slebor!" Andika menoleh.
"Penghulu Segala Ilmu!"
"Ilmu laba-laba memang hanya dimiliki si 'Jari
Sakti'. Namun lelaki bijaksana itu tak pernah lagi
mempergunakan ajian yang sakti itu. Terus terang, tak ada
yang sanggup memutuskan jaring laba-laba yang
dimilikinya, bila tidak bahu-membahu untuk melepaskan
jaring-jaring itu. Namun bagi orang yang telah memakan
buah 'intir petir', jerat-jerat halus itu bukanlah masalah
besar. Terus terang, aku sendiri tak akan sanggup
memutuskan jaring-jaring itu tanpa bantuan seseorang
atau beberapa orang untuk mengalirkan hawa panas," kata
sosok lelaki yang baru datang. Dia memang Penghulu
Segala Ilmu.
Andika diam-diam merasa kagum atas kerendahan
hati Penghulu Segala Ilmu. Dia yakin, tak seorang pun
mampu menyaingi ilmu lelaki tua itu. Dia sepertinya tahu
berbagai jenis ilmu aneh yang ada di dunia ini. Bahkan
tahu cara memusnahkannya, meskipun harus meminta
bantuan orang lain.
Seperti yang terjadi sekarang. Penghulu Segala
Ilmu tahu bagaimana cara memusnahkan ilmu 'Laba-laba'.
Namun dia membutuhkan Pendekar Slebor untuk
melakukannya. Karena, pemuda urakan itulah satu-
satunya orang yang pernah memakan buah 'inti petir' yang
tersimpan puluhan tahun di Lembah Kutukan.
Kedatangan Penghulu Segala Ilmu pun sebenarnya
untuk mencari Pendekar Slebor, sekaligus mencoba
menghalangi sepak terjang Manusia Laba-laba. Ketika
muncul tadi, pertarungan sudah terjadi. Namun dengan
penuh keyakinan, Penghulu Segala Ilmu memegang Andika
sebagai pemenangnya.
"Kelicikan itu berbahaya, Andika."
"Kau benar, Orang Tua. Tapi sekali-kali boleh dong
digunakan untuk melawan kelicikan pula...."
"Aku percaya, kelicikanmu untuk jalan kebaikan.
Hm.... Manusia itu memang, sangat sulit untuk ditandingi
bila sudah mempergunakan ilmu 'Laba-laba'. Andika,
tetaplah berjalan di jalurmu. Karena orang sepertimu
sangat dibuluhkan untuk mengamankan isi dunia."
"Ah! Yang benar saja, Orang Tua. Sekali-kali jalan
di jalur orang lain boleh, dong?"
Penghulu Segala Ilmu tertawa renyah. Dia memang
paham dengan sifat Andika yang nyeleneh. Untung saja,
pemuda ini selalu menjunjung tinggi sifat
kependekarannya.
"Bila saja Larasati tak mengatakan tentang
kelemahan jaring laba-laba, niscaya aku sendiri belum
tentu mampu mengalahkannya," kali ini Andika tak
berseloroh. Wajahnya dipasang sungguh-sungguh.
Penghulu Segala Ilmu tersenyum.
"Berjanjilah kepadaku, bahwa kau akan tetap
berada di jalurmu."
Andika menarik ujung bibirnya. Balas tersenyum.
Tanpa diminta pun, Andika tetap akan berada pada jalan
yang memang telah ditemukannya.
Setelah melihat Pendekar Slebor tersenyum,
Penghulu Segala Ilmu menghilang dari pandangan.
Ketika Pendekar Slebor berniat hendak menemui
Asti....
"Hei, Pemuda Brengsek! Kenapa kau tinggalkan
aku, hah?! Apa kau ingin aku mati dengan membiarkan aku
pingsan? Hhh! Pemuda urakan konyol!"
***
11
Larasati sudah berdiri di hadapan Pendekar Slebor
sambil berkacak pinggang. Tetapi sebelum meneruskan
bentakannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sosok
Manusia Laba-laba yang sudah terkapar menjadi mayat.
"Hhh! Kini puas perasaanku melihat manusia
keparat itu sudah mampus! Aku yakin, paman guruku pasti
akan tenang di alamnya sana," desah si gadis.
"Kalau begitu, kenapa kau masih berada di sini?"
goda Andika.
Larasati melotot.
"Brengsek! Apa kau pikir aku berada di sini
karenamu? Tak usah ya?"
"Ya, sudah. Pergi sana!"
"Konyol!" maki Larasati.
Tetapi kali ini wajah si gadis memerah.
Sebenarnya, sejak bertemu Andika, dia merasakan sesuatu
yang lain di hatinya. Namun disadarinya kalau dirinya
dengan Andika jauh berbeda. Larasati mempunyai tempat
tinggal meskipun kini seorang diri. Kalau Andika, sudah
bisa dipastikan akan meneruskan perjalanannya. Karena,
rimba persilatan adalah kehidupannya.
"Hei, Laras! Aku ingin suatu saat kita bertemu lagi."
Gadis itu mendelik.
"Mana sudi aku bertemu denganmu lagi? Tetapi,
terima kasih atas bantuanmu, Andika."
Meskipun mulutnyaberkata begitu, tetapi hati si
gadis sangat mengharapkan dapat bertemu Andika
kembali.
"Aku permisi!" lanjutnya, mohon diri.
Saat itu juga tubuh gadis itu berkelebat
meninggalkan tempat ini dengan dendam yang tuntas
terhadap Manusia Laba-laba. Sementara setengah hatinya
tertinggal pada Pendekar Slebor.
Andika tak menghiraukan Larasati lagi, karena
memang. tak punya perasaan apa pun pada gadis itu,
kecuali membantunya. Kakinya kini melangkah mendekati
Asti. Gadis itu tampak tersenyum gembira. Perlahan-lahan
dibimbingnya Asti berdiri.
"Terima kasih, Kang Andika...," desah Asti seraya
merangkul Andika.
"Semua sudah berakhir. Sebaiknya kuantar kau.
kembali ke rumahmu...."
Asti hanya mengangguk-angguk.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar