..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE CERMIN ALAM GAIB

Cermin Alam Gaib

 

SATU


Tak seorang pun tahu kalau di bawah naungan sebuah 

pohon bcsar yang lebat telah duduk bersila sebuah sosok gaib 

selama berhari-hari. Tubuh laki-laki kasat mata yang duduk terpejam 

itu sedikil pun tak bergerak. Jenggotnya yang putih lebat, 

menguncup di ujungnya. Kepalanya ditutup kain batik seperti 

belangkon Sunda. Seluruh tubuhnya diselubungi se- rat-serat cahaya 

berwarna putih.

Dialah si Raja Penyamar. Tokoh golongan atas yang

sudah berupa roh itu mati beberapa puluh tabun lalu. Sejak 

kepergian Pendekar Slebor menelusup Pengadilan Perut Bumi, roh 

Raja Penyamar berusaha masuk pula ke sana. Namun, niatnya 

gagal. Karena Pengadilan Perut bumi ternyata telah dilindungi 

benteng gaib yang dibuat Manusia Dari Pusat Bumi. Sebab itu, Raja 

Penyamar pun mencoba menjebolnya dengan melakukan tapa batin 

(Untuk mengetahui tentang Raja Penyamar, baca serial Pendekar 

Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”)

Sejauh itu, usaha tokoh gaib ini nihil. Hanya karena 

tekadnya dalam membantu Andikalah yang membuat dia tetap 

bertahan untuk melakukannya. Padahal usahanya menjebol dinding 

gaib Pengadilan Perut Bumi, tak beda dengan beratnya seseorang 

yang bertarung mati-matian selama berhari-hari.

Semakin keras usaha Raja Penyamar dalam me- nembus 

dinding gaib itu, maka semakin terang semburat sinar putih di 

sekujur tubuhnya. Padahal hari kesembilan, serat-serat cahaya itu 

mulai tampak bergelombang dalam gerak melingkar. Warna di 

tepinya mulai berubah kemerahan.

Hari kesebelas, gelombang cahaya itu makin menghebat. 

Tubuh halus Raja Penyamar seperti timbul tenggelam dalam 

amukannya. Percik-percik kecil pun mulai tercipta, pertanda kalau 

usahanya sudah mencapai titik paling berbahaya.

Sraaat!

Pada puncaknya, sehimpun percikan cahaya biru menyatu 

membentuk lidah api. Gempuran kekuatan Raja Penyamar pada

benteng gaib Pengadilan Perut Bumi mulai berbalik ke arahnya. 

Sedikit demi sedikit, Raja Penyamar tertelan cahaya biru yang 

membesar.

Keadaan menjadi genting. Artinya, nyawa Raja Penyamar 

seperti telur di ujung tanduk. Dia memang telah mati. Namun jika 

gempurannya kalah, bukan tidak mungkin jasad halusnya terlempar 

ke alam lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Itu artinya, 

nyawanya akan terpenjara sampai malaikat menjemput.

Hal itu tak boleh terjadi. Tugasnya di dunia per- silatan

belum lagi selesai. Apalagi, Pendekar Slebor masih amat 

membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan angkara murka 

yang dibawa Manusia Dari Pusat Bumi.

Dengan segenap kemampuan, Raja Penyamar 

mengerahkan kembali perlawanannya. Tubuhnya memang tetap tak 

bergeming. Wajahnya memang tetap setenang permukaan telaga. 

Sebaliknya, serat-serat cahaya di sekujur tubuhnya kian hebat 

bergelombang.

Sampai akhirnya....

Plap!

Tumbukan cahaya putih, merah, dan biru itu pupus 

seketika, bagai ditelan kelengangan pagi buta.

“Aneh...,” bisik Raja Penyamar. “Semestinya aku harus 

mati-matian melakukan gempuran. Dan tak akan semudah ini aku 

menghancurkan benteng gaib itu. Hm.... Apa yang sesungguhnya 

terjadi di Pengadilan Perut Bumi sana? Kenapa benteng gaibnya 

tiba-tiba menghilang?”

Mata lelaki yang hanya berbentuk roh halus itu terbuka. 

Bola matanya bergerak-gerak, memperlihatkan rasa keheranan 

dalam hati.

Tak ada lagi gempuran balik dirasakan. Semuanya tiba-

tiba terasa begitu lega. Badannya pun kini sudah terlihat 

mengenakan baju coklat berkerah pendek dengan celana pangsi 

hitam, seperti dikenakan jasadnya yang terkaku bisu di Kampung 

Kelelawar nun jauh di sana.

Raja Penyamar bangkit dari bersilanya.

“Aku yakin telah terjadi sesuatu di Pengadilan Perut Bumi

sana,” bisik orang tua itu lagi.

Sementara itu, jauh di bawah perut bumi sana, memang 

telah terjadi sesuatu, tepat seperti dugaan Raja Penyamar. 

Pertarungan besar telah meletus antara Manusia Dari Pusat Bumi 

disatu pihak, melawan Hakim Tanpa Wajah di lain pihak.

Dengan berseterunya antara guru dan murid itu, maka 

benteng gaib yang dibangun Manusia Dari Pusat Bumi pun tak 

berguna lagi. Setelah mendapat titah langsung dari Siluman Berperut 

Buncit melalui Cermin Alam Gaib, Manusia Dari Pusat Bumi 

langsung menarik kembali kekuatan miliknya yang membentengi 

Pengadilan Perut Bumi.

Di ruang utama Pengadilan Perut Bumi sendiri, saat itu 

digetarkan erangan tinggi mendirikan bulu roma. Si manusia jelmaan 

siluman ini telah terang-terangan hendak melenyapkan gurunya 

sendiri. Bahkan dia telah membuka jurus yang begitu asing di mata 

Hakim Tanpa Wajah. Padahal, gerakan itu tak pernah diajarkan 

sama sekali.

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi tampak ber- kejaran satu 

sama lain dalam putaran tak teratur. Ke- cepatannya begitu tinggi, 

menyebabkan tangannya

terlihat begitu banyak, seperti belalai gurita Iaut.

Tak lama berikutnya, tangan manusia jelmaan si luman itu 

mulai memendarkan cahaya kemerahan, yang kemudian berubah 

menjadi kobaran api melalap sekujur tangannya. Dalam kecepatan 

gerak tangan, jilatan api itu kini mengelilingi tubuhnya.

Wrrr! Wrrr!

Menyaksikan semua itu, tak ayal lagi Hakim Tan pa Wajah 

mengerahkan ilmu andalan yang sempat disembunyikan. ‘Tenaga 

Sakti Pembelah Bumi Pengoyak Langit’! Ilmu olah kanuragan sakti 

hasil pengembangan ‘Tenaga Sakti Pembelah Bumi’ itu memang 

sengaja tidak diturunkan pada muridnya.

Dan memang sudah menjadi aturan tak tertulis para tokoh 

golongan hitam, untuk tidak menurunkan seluruh ilmu pada seorang 

murid. Dalam dunia kaum sesat, pengkhianatan setiap saat bisa saja 

terjadi. Itu sebabnya, harus ada ilmu simpanan yang tak diwariskan. 

Jika suatu saat sang murid berkhianat, maka si guru bisa

mempergunakan ilmu simpanan tersebut untuk menghadapinya.

“Hiaaa...!”

Mulut Hakim Tanpa Wajah mengumandangkan teriakan 

mengguncang, seiring jejakan-jejakan kakinya yang jauh lebih 

mengguncang. Ruangan besar itu sampai bergetar hebat, seolah 

terjadi tumbukan dua kekuatan raksasa. Tangan si tua bangka itu 

sudah pula menghentak-hentak ke depan. Kini, kain kafan yang 

semula mengikat kakinya, sudah tak karuan lagi bentuknya.

Tak lebih dari dua kerdipan mata, murid murtad Hakim 

Tanpa Wajah ini menerjang gurunya sendiri dalam kecepatan penuh. 

Diterkamnya laki-laki tua itu seperti seekor macan lapar menerkam 

mangsa. Sepasang tangannya yang berselimut jilatan api menegang 

ke depan, siap melalap wajah sang guru.

“Arrrgh!”

Karena begitu yakin kehandalan ilmu ‘Tenaga Sakti 

Pembelah Bumi Pengoyak Langit’ yang sanggup menahan panas api 

di tangan Manusia Dari Pusat Bumi, Hakim Tanpa Wajah tak ragu-

ragu lagi menyambut terkaman itu. Berbareng jejakan kakinya ke 

bumi, sepasang tangannya menadah tinggi ke atas. Maka, tangan 

keduanya pun berbenturan.

Blammm...!

Seketika tercipta ledakan keras disertai semburat pancaran 

api yang menjilati angkasa.

pada saat tubuh pemuda siluman itu masih di udara, 

tangan Hakim Tanpa Wajah menyodok dalam-dalam ke dua sisi 

dadanya.

Derrr!

Dengan telak, dada Manusia Dari Pusat Bumi terhajar 

telapak tangan bekas gurunya. Tubuhnya kontan meluncur balik ke 

belakang. Sebelum tiba di dinding ruangan, tubuh manusia siluman 

itu jatuh berdebam.

Seandainya tubuh Manusia Dari Pusat Bumi adalah 

lempengan baja setebal satu depa, tentu akan jatuh dalam keadaan 

ringsek, karena tak sanggup menahan kekuatan dahsyat pukulan 

Hakim Tanpa Wajah tadi.

Tapi kenyataannya, terlalu jauh dari gambaran itu. Tubuh

Manusia Dari Pusat Bumi tak mengalami pcngaruh apa-apa. Entah 

bagaimana, tubuhnya ternyata jauh lebih kuat daripada lempengan 

baja setebal satu depa. Sehingga, kedahsyatan ilmu bekas gurunya 

pun tak berarti apa-apa!

“Makan kesombonganmu, Tua Bangka Jelek!” cjek Lelaki 

Berbulu Hitam yang terus memantau jalannya pertarungan. Betapa 

girangnya laki-laki berbulu lebat itu melihat guru dan murid sesat itu 

saling baku hantam (Untuk mengetahui tentang Lelaki Berbulu Hitam 

baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut 

Bumi”)

“Hitam! Bukankah mereka mestinya menunggu giliran 

untuk bertarung di panggung itu?” tanya Pendekar Dungu, amat 

lugu. Sepertinya dia tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

Lelaki Berbulu Hitam mendelik.

“Kau mau pertandingan antara Tuan Penolong dengan 

kawan wanitanya itu segera berakhir dengan matinya salah seorang 

di antara mereka?!” bentak laki-laki berbulu hitam seraya menunjuk 

Andika dan Purwasih yang masih bertarung di panggung batu 

kematian (Untuk lebih jelasnya, baca episode: “Pengadilan Perut 

Bumi”).

“Kau bicara padaku? Atau masih berbicara dengan si tua 

bangka jelek itu?”

“Ah, sudahlah!”

Sementara itu di lain arena, Andika berada di atas angin 

dalam pertempuran melawan Purwasih. Jurus-jurus tangguh dari 

Lembah Kutukan gencar sekali dalam mendesak wanita itu. Dari 

segala arah, gerakan Pendekar Slebor yang sering terlihat ngawur, 

mengurung seluruh tubuh pendekar wanita yang terkenal berjuluk 

Naga Wanita.

Suatu ketika, kaki Andika oleng ke samping di luar 

sasaran. Sedangkan kaki yang lain masih berada di atas. Dan kini 

Naga Wanita merasa mendapat peluang besar. Maka, secepatnya, 

Andika yang hendak berpijak dengan satu babatan pedang 

dihadangnya.

Bet!

Saat itulah terlihat, bagaimana ketangguhan jurus

Pendekar Slebor. Keseimbangannya yang demikian sempurna, 

mampu membuat kakinya menjejak di atas pedang lawan. Padahal, 

kecepatan babatan pedang Naga Wanita begitu tinggi. Bahkan yang 

terlihat hanya bentuk kelebatan bayangan saja!

Tetapi jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan 

memang begitu mengandalkan pengerahan keseimbangan. Malah 

pada waktu diciptakan, Pendekar Slebor harus meniti patok-patok 

batu dalam hujanan petir. Sedikit saja keseimbangannya tak terjaga, 

maka tubuhnya pasti lantak dipapas puluhan lidah petir.

Maka tak heran bila dalam menguasai keseimbangan 

membuat Pendekar Slebor mampu pula mengikuti kecepatan 

pedang saat hinggap di atasnya! ketika sekejap saja pedang 

Purwasih tiba di sisi tubuhnya sendiri yang kosongdari pertahanan, 

Pendekar Slebor langsung mengirim sepakan dengan kaki vang tak 

ikut dijejakan di gagang pedang. Dan....

Dug!

Tak ayal lagi, pelipis Naga Wanita menjadi sasaran empuk

punggung kaki Pendekar Slebor.

Purwasih atau si Naga Wanita kontan melintir di udara 

seperti gasing raksasa. Kalau beruntung, gadis itu tak akan 

mengalami patah leher yang begitu parah. Lalu, apakah 

keberuntungan lain mengikuti? Karena di bawah, telah siap 

menyambut permukaan panggung yang dipasangi pisau-pisau tajam.

Pada saat tubuh Purwasih nyaris dimangsa permukaan 

panggung, Pendekar Slebor yang gelap mata mcmburunya kembali 

penuh nafsu.

“Heaaa!”

Namun, pada saat yang bersamaan, satu pukulan jarak 

jauh milik Hakim Tanpa Wajah tersasar kearah Pendekar Slebor.

Des!

Pukulan nyasar itu membentur tinju Pendekar Slebor. 

Akibatnya. tinju itu luput dari tubuh Purwasih. Namun karena sudah 

telanjur menerjang, tubuh Andika tetap meluncur dan menabrak 

Purwasih. Sehingga dua anak muda itu akhirnya terlempar keluar 

panggung.

Dengan begitu, selamatlah Purwasih dari hujam- an

permukaan panggung yang bergerigi mengerikan tadi.

Tubuh kedua pendekar muda itu jatuh tepat di antara kaki 

para tawanan pada barisan kanan. Pendekar Slebor dan Purwasih 

langsung kehilangan kesadaran.

“Kalian ini macam-macam! Kalau bertarung, ya bertarung 

sajalah. Jangan pakai acara mesra-mesraan segala!” oceh Pendekar 

Dungu ketika menyaksikan Pendekar Slebor dan Purwasih terjatuh 

saling tindih.

Setelah itu, Pendekar Dungu menguap lebar-le- bar. 

Rupanya sejak tadi dia sedang tertidur dalam ke- adaan berdiri. 

Andai kata tubuh kedua anak muda itu tak jatuh di dekat kakinya, 

tentu kepalanya masih tertunduk-tunduk dengan mata terpejam.

Ketika mata sayu Pendekar Slebor sudah mulai 

menguncup kembali, Lelaki Berbulu Hitam menyikutnya dengan 

kasar.

“Hey! Jangan tidur saja! Kau yang paling dekat, cepat 

bantu dua anak muda itu!” perintah Lelaki Berbulu Hitam.

Dengan bersungut-sungut, tua bangka berotak kcrbau itu 

berjongkok untuk meneliti keadaan Andika dan Purwasih.

“Bagaimana?” tanya Lelaki Berbulu Hitam. Dia agak 

khawatir dengan keadaan Andika dan Purwasih.

“Huaaah! Aku masih ngantuk.” jawab Pendekar dungu 

ngaco.

Aku tidak menanyakan kau. Dungu! Maksudku, bagaimana 

keadaan dua anak muda itu?!” dengus Lelaki Berbulu Hitam.

“Ooo,” Pendekar Dungu memancungkan bibir. “Mereka 

hanya pingsan,” sahutnya sambil mengusap- usap mata yang penuh 

tahi mata. “Sebentar lagi tentu ikan siuman.”

“Sok tahu! Kalau tak segera disadarkan, bagaimana 

mungkin mereka cepat siuman?!” ujar Lelaki Berbulu Hitam keras, 

tepat di depan telinga Pendekar Dungu.

Pendekar Dungu hanya menarik napas. Lain halnya si 

Lelaki Berbulu Hitam. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah malang 

kehijau-hijauan. Matanya tak berkedip. Hidungnya bergerak-gerak, 

seperti mencium bau sesuatu. Setelah itu, tangannya cepat menutup 

lobang hidung.

“Sial! Kau kentut sembarangan, ya!” bentak Lelaki Berbulu 

Hitam pada Pendekar Dungu.

Ajaibnya, Andika dan Purwasih langsung siuman setelah 

mengisap udara busuk itu. Tubuh mereka bergeming, dan kepala 

terangkat.

“Nah, kan! Kubilang juga apa!” seru Pendekar

Dungu, penuh kemenangan.


DUA


Pertama kali Andika membuka mata, yang dida- patinya 

adalah wajah ketolol-tololan Pendekar Dungu. Laki-laki tua bangka 

itu memang sedang memperhatikannya.

“Wah! Baru aku tahu kalau penjaga kubur wajah- nya mirip 

si tua bangkotan Pendekar Dungu,” gumam Andika, nyaris tak 

kentara.

“Hey! Aku memang Pendekar Dungu,” sergah tua bangka 

bebal itu cepat, tak sudi dianggap penjaga kubur oleh Andika.

“Jadi, aku belum mampus?” tanya Pendekar Slebor seraya 

melepas senyum yang mirip ringisan. Ma- tanya beredar.

Tampak Lelaki Berbulu Hitam tengah berdiri menjulang. 

Sementara beberapa orang lain, termasuk Lima Gembel Busuk dan 

Penggerutu Berkepang, juga tengah memperhatikannya.

Tiba-tiba anak muda itu ingat sesuatu.

“Purwasih..- Mana Purwasih?” cetus Andika cepat

Jangan tanya betapa khawatirnya Andika terhadap keselamatan 

wanita berwajah manis itu. Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor 

masih memiliki pertalian darah dengan wanita yang lebih tua darinya 

beberapa tahun itu.

“Dia tak apa-apa.” kata Lelaki Berbulu Hitam. Ditunjuknya 

Purwasih yang mulai bergerak pula di sisi Andika.

“Kau tak apa-apa?” tanya Andika, setelah me- noleh ke 

arah Purwasih.

Purwasih menggeleng dengan mata mengerjap-ngerjap. 

Dan Andika pun menjadi lega mendapat ja- waban Purwasih. Dia 

takut telah mencelakakan dara itu sclama terkena totokan rahasia 

Hakim Tanpa Wajah yang membuatnya gelap mata.

“’Bor’! Kita harus bagaimana lagi ini?!” tukas Penggerutu 

Berkepang yang sejak tadi bungkam memperhatikan pertempuran 

dua manusia sesat yang makin menggila.

“Coba tengok ke belakang sana! Dua manusia sinting itu 

sedang gontok-gontokan. Kekualan mereka bisa menghancurkan 

tempat ini Siapa yang sudi terkubur di tempat bau ini,” gerutu lelaki 

setengah baya pemimpin para pengemis di wilayah timur

Andika cukup terkejut sewaktu menoleh ke arah yang 

ditunjuk Penggerutu Berkepang. Dari tadi dia memang mendengar 

gemuruh bagai gempa. Tapi tak pernah disangka kalau itu akibat 

pertarungan Manusia Dari Pusat Bumi dengan gurunya sendiri.

“Sedang apa mereka? Sedang latihan?” tanya Andika, tak 

mempercayai penglihatannya sendiri.

Tepat ketika Andika hendak bangkit karena rasa 

penasaran, sebongkah batu besar yang runcing runtuh dari langit-

langit ruangan. Arahnya tepat menuju punggung Purwasih yang 

masih tengkurap di l.intai.

Grrr...!

Gemuruh yang dihasilkan reruntuhan batu, amat 

mengejutkan mereka yang berada di dekatnya. TerIebih, pemuda 

dari Lembah Kutukan yang memang begitu dekat dengan si Naga 

Wanita.

“Purwasih, awas!” seru Andika keras.

Bersaman dengan itu tangan Pendekar Slebor berkelebat 

cepat, mengirim tinju geledek ke arah batu sebesar kerbau yang 

meluncur tepat di depannya. Gerakan itu dilakukan begitu saja 

karena begitu khawatir akan keselamatan Purwasih. Hasilnya....

Blarrr!

Batu besar seruncing mata tombak itu kontan lantak berkeping-

keping. Serpihannya berhamburan ke segala arah bagai pasir disapu 

angin ribut.

Lelaki Berbulu Hitam terheran-heran. Pendekar Dungu, Penggerutu 

Berkepang, dan lelaki lain yang berada dalam barisan juga ikut 

terpana. Siapa yang tak heran? Setahu mereka, Pendekar Slebor 

masih dalam pengaruh totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah 

yang menyebabkan seluruh kekuatannya hilang terkunci di dalam.

Pendekar Slebor pun tak kalah heran. 

”Aneh! Kenapa aku sudah terbebas dari totokan rahasia si 

Hakim Tanpa Wajah?” bisik Andika, bergumam sendiri.

Otak Pendekar Slebor yang terkenal encer, tak memberi 

kescmpatan terjebak dalam kebingungan seperti orang bodoh. 

Otaknya segera bekerja, membuat kesimpulan-kesimpulan cepat.

“Kenapa kau?” usik Purwasih, manakala me- nyaksikan

pemuda idamannya tersenyum-senyum sendiri. Dia pun telah 

bangkit di sisi Andika.

“Yak, aku tahu!” sentak Andika, mendadak. Satu 

tangannya meninju telapak tangan yang lain.

“Hey hey hey! Tahu apa kau?”

Pendekar Dungu ikut terheran-heran dengan mata mengerjap-

ngerjap menahan kantuk.

“Aku tahu, bagaimana membebaskan kalian dari totokan 

rahasia Hakim Tanpa Wajah! Sesungguhnya dia menempatkan 

semua totokan rahasianya pada jaringan saraf yang berhubungan 

dengan pusat kesadaran dan keseimbangan kita. Dan bila kita 

kehilangan kesadaran lalu siuman, maka secara tidak sengaja 

totokan itu ikut terbebas seiring kembalinya kesadaran kita,” papar 

Pendekar Slebor panjang lebar.

Andika memang cukup banyak tahu tentang jaringan tubuh 

manusia, setelah membaca kitab pusaka menyamar yang diwariskan 

Raja Penyamar kepadanya.

“Haaah, aku bingung! Jangan harap aku bisa memahami 

kalimat membingungkanmu itu!” sergah Pendekar Dungu sambil 

mencium bekas liur di tangannya.

“Kalau begitu, kenapa kita tak cepat-cepat membebaskan 

mereka?” usul Purwasih cepat.

“Usul bagus! Bagaimana, Pak Tua Bulu Hitam?” aju Andika 

pada Lelaki Berbulu Hitam.

“Ya, cepatlah! Aku pada dasarnya sudah tak sabar ingin 

meremukkan kepala tua bangka jelek bermuka rata itu!” timpal Lelaki 

Berbulu Hitam tegas.

Andika mengangguk.

“Kalau begitu, sebelumnya aku minta maaf ka- rena harus 

kurang ajar padamu....”

Lalu...

Dugkh!

Mendadak saja, bogem mentah Andika mendarat telak di 

dagu lelaki keturunan serigala itu. Sengaja Andika hanya 

menggunakan tenaga luar. Karena bila disertai pengerahan tenaga 

dalam, dia takut malah akan mencelakakan lelaki itu. Tapi, apa yang

terjadi?

Lelaki Berbulu Hitam tetap berdiri kekar tanpa bergeming 

sedikit pun. Hanya bibirnya saja yang meringis-ringis. Rupanya ada 

gigi gerahamnya yang patah akibat tonjokan Andika.

“Kau ini ingin menolongku, apa hendak menyiksaku!” 

hardik Lelaki Berbulu Hitam setelah mengeluarkan sebutir giginya 

dari mulut.

“E-eh...,” Andika ikut meringis. “Maaf, Pak Tua Bulu Hitam. 

Kupikir aku cukup menggunakan tenaga luar saja,” ucap Andika 

serba salah.

Dugh!

Sekali lagi Pendekar Slebor melepas hajaran. Kali ini tidak 

dengan bogem dan tenaga luar, melainkan dengan tebasan 

punggung tangan yang disertai penyaluran tenaga dalam. Maka....

Gedubrak!

Lagi-lagi nasib sial Lelaki Berbulu Hitam bukannya berkurang, malah 

bertambah. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Matanya 

mendelik dengan bola hitam ke atas. Tak begitu lama kemudian, 

Andika sudah bisa menyadarkannya kembali.

“Lain kali, lebih baik aku tak kau bebaskan!” maki Lelaki 

Berbulu Hitam, tepat di muka Andika.

Pendekar Slebor itu hanya bisa tersenyum-senyum 

seadanya.

“Biar aku yang membebaskan si bebal itu!” selak Lelaki 

Berbulu Hitam, ketika Andika hendak mendekati Pendekar Dungu.

“Hey, apa-apaan ini?! O-o! Tak usah, ya.... Aku tak mau 

dipukul-pukul!” tolak Pendekar Dungu, kelimpungan. Giginya yang 

ompong terlihat manakala bibirnya terangkat-angkat karena ngeri.

“Aaah! Banyak mulut kau!” bentak Lelaki Ber¬bulu Hitam.

Das!

Tanpa permisi lagi, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam 

langsung mendarat di wajah keriput Pendekar Dungu. Wajah 

menjengkelkan milik tua bangkotan itu untuk beberapa saat 

mengejang. Matanya terjuling-juling. Sesaat kemudian tubuhnya 

ambruk.

“Biar tahu rasa kau!” dengus Lelaki Berbulu Hitam.

Sementara itu, Andika mendekati lelaki lain dalam barisan.

“Sekarang giliranmu, Ketua Pengemis!” ujar Pendekar 

Slebor pada Penggerutu Berkepang.

“Kutu busuk sial! Siapa yang mau dibebaskan dengan cara 

itu. Kau pikir aku ini siapa. Huh, ngngng....”

Penyakit lama Penggerutu Berkepang kambuh. Lelaki 

compang-camping itu menggerutu panjang-panjang.

“Kalau itu maumu, ya terserah.... Biar kau tetap tinggal di 

sini sampai ruangan besar ini ambruk dan menguburmu hidup-

hidup,” kata Andika santai.

“Yayaya! Baiklah!”seru Penggerutu Berkepang bcrgegas 

melihat Andika hendak meninggalkannya. “Tapi kau harus ingat, 

‘Bor’! Sedikit saja tubuhku memar, akan kusikat kau!”

Andika jadi sedikit jengkel.

Dugh!

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Andika menghajar pelipis 

lelaki setengah baya yang mendongkolkan itu, dengan tenaga dalam 

lebih tinggi dari sebelumnya.

“Wadouuu!” Penggerutu Berkepang sempat berteriak. 

Pada saat yang sama, tubuhnya terpuntir ke belakang, dan 

terjengkang.

“Biar tahu rasa kau!” serapah Andika, mengikuti kalimat 

Lelaki Berbulu Hitam barusan. Setelah itu, bibirnya tersenyum-

senyum sendiri.

Di bagian lain ruang seluas alun-alun itu, Hakim Tanpa 

Wajah dan murid murtadnya telah mencapai puncak pertarungan. 

Keduanya sedang terlibat adu kesaktian. Di satu sisi, Manusia Dari 

Pusat Bumi mengempos seluruh kesaktian siluman dalam dirinya, 

hingga tubuhnya berubah menjadi seperti bola api besar. Sementara 

di lain sisi. Hakim Tanpa Wajah mati-matian mempertahankan diri 

dari terjangan api sepanas bara neraka yang menjulur panjang dari 

tubuh berkobar murid murtadnya, dengan ilmu Tenaga Sakti 

Pembelah Bumi Pengoyak Langit’.

Waktu terus merangkak dalam erangan dan keringat darah 

sepasang manusia terkutuk itu. Dan pada saatnya....

Blarrr!

Ledakan amat dahsyat seketika tercipta. Dinding ruangan 

langsung runtuh berbongkah-bongkah. Tubuh Manusia Dari Pusat 

Bumi terlempar ke belakang laksana anak panah. Lalu, tubuhnya 

melesak di dinding ruang dari batu. Demikian pula yang terjadi 

terhadap Hakim Tanpa Wajah. Tapi, tampaknya tua bangka itu 

mengalami luka lebih parah.

Kiamat seakan terjadi dalam ruangan besar ke- banggaan 

si Hakim Tanpa Wajah. Bongkahan-bongkahan batu dinding kian 

deras bcrguguran. Tiang-tiang besar di sepanjang sisi ruangan mulai 

retak. Dan sesaat kemudian, tiang-tiang itu ikut berguguran. 

Sebagian malah runtuh begitu saja.

Andika, Purwasih, dan para tawanan lain yang scjak tadi 

hanya menjadi pcnonton jadi kalang-kabut. Berbeda dengan para 

tawanan dari golongan putih di barisan kanan ruang, para tawanan 

dari golongan sesat di barisan kiri ruang begitu terkesiap setengah 

mati. Di samping belum terbebas dari totokan, mereka juga masih 

terbelenggu rantai baja satu sama lain.

“Hey! Bebaskan kami! Kami tak ingin cepat-cepat mati!” 

teriak salah seorang pada para tokoh golongan putih.

Orang-orang golongan putih yang sudah pula memutuskan 

rantai baja pembelenggu kaki dan tangan, bukannya tidak mau 

menolong membebaskan golongan sesat. Betapapun jahatnya, 

mereka toh ber hak mendapat kesempatan hidup. Siapa tahu, 

mereka akan sadar nantinya.

Sayangnya para tokoh golongan putih belum bisa 

menolong membebaskan orang-orang itu. Pendekar Slebor dan yang 

lain sedang disibuki oleh batu-batu sebesar kerbau yang berguguran 

di sekitarnya. Bahkan terkadang harus berkelit ke sana kemari, tak 

jarang harus menghantam batu-batu itu dengan tangan jika kepala 

tak ingin pecah tertimpa.

Pada saat-saat yang membahayakan jiwanya sendiri, 

Andika sama sekali tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Ada

yang harus diperbuat untuk me- nolong para tawanan golongan 

sesat.

“Pak Tua Bulu Hitam! Lindungi aku dari hujanan batu! Aku 

akan mencoba membebaskan mereka!” seru Andika, sepenuh

tenaga. Suaranya yang sudah dialiri tenaga dalam pun, masih timbul 

tenggelam ditengah gemuruhnya ruangan besar yang mulai runtuh.

“Apa kau gila, Anak Muda! Biarkan saja mereka mati! 

Dunia pun akan berterimakasih jika aku tak menolong mereka!” 

bentak Lelaki Berbulu Hitam.

“Aku tak pernah memilih-milih, siapa orang yang harus 

ditolong!” balas Pendekar Slebor tak peduli.

Lalu Andika mulai berkelebat gesit ke sana kemari. 

berusaha menembus hujanan batu-batu besar yang menggila.

“Dasar keras kepala!” maki Lelaki Berbulu Hitam jengkel.

Mau tak mau, manusia keturunan serigala itu mengawasi 

Pendekar Slebor juga. Sambil tetap berusaha menyelamatkan diri 

dari runtuhan ruangan, tangannya sesekali melepas hantaman jarak 

jauh ke arah batu yang mencoba menghambat gerakan Andika.

Dengan sungsang-sumbel, Pendekar Slebor akhirnya bisa 

tiba di dekat orang-orang golongan hitam. Seketika itu pula hendak 

dilepaskannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dari 

jarak jauh untuk melebur rantai baja pembelenggu kaki dan tangan 

mereka. Namun, niatnya tak kesampaian. Karena tiba-tiba saja, 

lengkung kubah ruangan di sayap kiri ambruk.

“Andika menyingkir! Ruangan ini akan segera runtuh!” 

teriak Purwasih memperingatkan dari jauh.

Tanpa perlu diperingatkan pun, Pendekar Slebor terpaksa 

akan menyingkir dari sana. Reruntuhan sayap kiri kubah terlalu 

berbahaya untuk ditembus. Kalaupun mengerahkan seluruh 

kekuatannya untuk menghantami reruntuhan itu, tetap akan sia-sia.

Sekejap setelah Andika menyingkir, orang- orang golongan 

sesat yang hendak ditolongnya langsung tertelan timbunan bebatuan 

ruangan. Suara mereka tak terdengar. Bisa saja karena tak sempat 

berteriak, atau mungkin terlalu lemah dibanding kedahsyatan 

gemuruh reruntuhan.

Sementara itu, puncak kubah ruangan kian rapuh. Retakan 

besar tampak dirembesi air. Lama kelamaan, rembesan itu berubah 

menjadi cucuran. Bahkan akhirnya berhamburanlah air bah raksasa 

berbareng terkuaknya puncak kubah bagai moncong naga bumi.

Seisi ruangan langsung dilahap air, membuat mereka yang

ada di sana terombang-ambing kian kemari tanpa daya.

Kekuatan dorongan air bah itu sekarang menghantam satu 

sisi dinding yang paling rapuh. Maka, terciptalah lobang besar yang 

berhubungan dengan lorong aliran sungai bawah tanah.

Bagi setiap orang yang masih hidup di sana, terkuaknya 

dinding ruangan adalah awal dari kehilangan kesadaran. Semuanya 

liba-tiba gelap. Begitu juga Andika dan Purwasih yang sempat 

berpegangan tangan erat-erat.

Andika sendiri, pada saat hampir kehilangan kesadaran, 

sempat mendengar sebuah suara yang lamat-lamat berseru 

langsung ke relung benaknya....

“Pendekar Slebor! Aku akan datang lain kali untuk 

membunuhmu!”


TIGA


Andika siuman, begitu rasa sejuk merambahi wajah hingga 

ke bagian lehernya. Kelopak matanya ter- buka. Yang pertama 

dilihatnya adalah hamparan langit-langit berbatu-batu menonjol 

tajam, seperti susunan gigi tak beraturan. Pada setiap ujung runcing 

tonjolan batu, menetes butir-butir air. Sebagian tetesan air itu jatuh di 

wajahnya. Itu sebabnya, Andika merasakan kesejukan.

“Di mana aku?” tanya Pendekar Slebor agak mengerang.

Seluruh tubuh pemuda itu serasa luluh lantak. Mungkin 

akibat benturan berkali kali dengan dinding lorong sungai bawah 

tanah selama diseret arus.

Dari rebahnya, Andika beringsut tegak. Suasana baru, 

menitah dia untuk mencari tahu ke sekeliling tempat. Pandangannya 

pun beredar sesaat, dan baru berhenti ketika menemukan tubuh 

Purwasih tergeletak lunglai tiga tombak dari tempatnya.

“Mana yang lain ?” gumam Andika lagi.

Pertanyaan itu wajar saja tersembul dari benak- nya. 

Bukankah sewaktu di Pengadilan Perut Bumi mereka bersama-

sama? Tapi, kini yang ditemukan hanya tubuh Purwasih.

Sebelum menghampiri Purwasih, Andika memperhatikan 

lagi suasana sekelilingnya. Dia berada di satu sisi lorong. Sepanjang 

sisi lorong yang lain, terdapat aliran air jernih selebar dua kaki, dan 

sedalam betis. Tempat dirinya dan Purwasih tergeletak, tampaknya 

adalah pinggiran sungai bawah tanah yang sudah mengendap 

selama ratusan tahun, sehingga mengeras kini.

Cukup memperhatikan semua itu, Andika segera 

menghampiri Purwasih. Wanita berjiwa ksatria itu juga hanya 

pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya, terdapat goresan yang 

mengeluarkan darah. Bagian yang paling parah adalah kaki kirinya. 

Bengkak dan membiru. Andika yakin, ada tulang yang remuk akibat 

benturan hebat dengan sisi lorong.

Tak berpikir lama-lama lagi, segera ditotoknya jalan darah 

di bagian kaki kiri Purwasih. Tindakan itu memang perlu dilakukan, 

agar Purwasih tak begitu menderita jika siuman nanti.

Setelah itu, pendekar muda dari Lembah Kutukan ini

mengerahkan hawa murni melalui telapak tangan, ke bagian dada 

Purwasih. Agak sungkan, memang. Tapi Andika tak punya pilihan 

lain. Dengan begitu, Purwasih dapat cepat siuman dan sedikit 

menyegarkan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan tenaga.

Purwasih tersadar sekian saat kemudian.

“Uuuh.”

Dara cantik itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan 

kepala perlahan.

Di mana kita, Andika?” tanya Purwasih lirih, ketika 

mendapati Pendekar Slebor di sisinya.

Purwasih berusaha duduk berselonjor. Kepalanya yang 

masih begitu berat, disandarkan di bahu bidang pemuda yang 

selama ini begitu menawan perasaannya.

“Tepatnya, aku tak tahu. Tapi aku yakin kita telah berada 

jauh dari Pengadilan Perut Bumi,” jawab Andika. “Kau tak apa-apa, 

Purwasih?”

“Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” 

Purwasih balik bertanya, seolah ingin membayar perhatian barusan.

Bibir Andika tersungging. Bahunya mengedik kecil.

“Hanya luka-luka kecil. Seperti kau juga. Aku hanya lecet di 

sana-sini,” sahut Andika, sambil memutar tangan kanan untuk 

memperlihatkan sikunya yang terkoyak pada Purwasih.

“Aku tak melihat luka di sikumu,” kata Purwasih, memaksa 

Andika tertegun sejenak.

“Apa maksudmu?” tanya Andika heran, kembali melihat 

siku kanannya.

Benar kata Purwasih. Tak ada lagi koyakan kulit di sana. 

Hanya warna hitam yang melintang tipis.

“Aneh...,” desis Andika.

“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih seraya bangkit seperti 

tak terlalu tertarik pada pertanyaan Andika tadi.

“Sumpah mampus, barusan aku menyaksikan sendiri 

sikuku ini terkoyak. Kau lihat ini...,” Andika menunjukkan bercak-

hercak darah yang tersisa di bawah sikunya. “Bercak-bercak 

darahnya pun masih ada....”

“Mungkin kau salah lihat tadi,” sangkal Purwasih, seraya

mengedarkan pandangan ke sckeliling.

“Kau pikir aku sudah tidak waras? Aku jelas-jelas melihat 

dengan mata kepalaku sendiri!” Andika ngotot. -

“Ah, sudahlah. Itu hanya persoalan “kecil, bukan?”

“Tunggu..., tunggu dulu!” sergah Andika. “Sepertinya kita 

mendapat persoalan yang tidak kecil. Ini tidak remeh, Purwasih!”

Langsung Pendekar Slebor menatap pinggul me- nantang 

Purwasih yang begitu gempal berisi.

“Apa-apaan kau ini! Kenapa matamu jadi tak senonoh 

begitu!” omel Purwasih. Wajahnya karuan menjadi merah matang.

“Sial! Aku bukannya sedang memperhatikan pinggulmu. 

Meskipun kuakui memang indah, dan....”

“Tutup mulut kotormu!” Purwasih makin ber- tingkah tak

karuan. Lebih-lebih, warna wajahnya. 

”Maksudku.... sewaktu kau belum siuman. kulihat ada luka 

agak menganga di bagian itu!” tegas Andika.

“Ah, sudahlah! Lelaki memang punya seribu satu alasan 

untuk berbuat kurang ajar!” penggal Purwasih, malu bukan main.

Dikira, Andika hanya sedang mengolok-oloknya. 

Masalahnya, selama ini gadis itu tahu bagaimana urakannya 

Pendekar Slebor. Dalam keadaan apa pun, bahkan dalam 

kegentingan, pemuda brengsek itu tetap tak pernah sembuh dari 

sitat urakannya.

“Biar kulihat sebentar!” ujar Andika mendadak.

Dan mendadak pula Pendekar Slebor menarik tangan 

Purwasih. Cepat dan tak terduga. Tahu-tahu, tubuh Purwasih sudah 

merapat ke dadanya. Sedangkan tangannya mendekap pinggang 

Purwasih dari belakang.

“Andika! Apa-apaan ini!”

Gadis berkulit kecoklatan nan manis itu meronta-ronta. 

Antara risih dan rasa berbunga-bunga. Dadanya berdebar-debar 

cepat, bagai ada badai hebat dalam dirinya.

“Nah, betul bukan?!” seru Andika.

Dari belakang tubuh Purwasih, mata jantan pemuda itu 

sibuk mengamati bagian pinggul Purwasih. Di bagian itu, pakaian 

Purwasih tampak terkoyak. Sehingga, memunculkan kemulusannya.

Purwasih menepak keras-keras tangan pemuda ini yang 

hinggap semena-mena di pinggang rampingnya. Dia pun meronta 

sampai lepas. Hendak ditinjunya perut pemuda urakan itu. 

Tangannya siap melayangkan kepalan.

“Tunggu-tunggu!” tahan Andika mendelik-delik. Tubuhnya 

tersurut-surut mundur di bawah ancaman kepalan Purwasih. “Kalau 

kau tak percaya mulutku, coba lihat sendiri bagian tubuhmu yang 

aduhai i... ugh!”

Pendekar yang begitu slebor ini tak sempat me-

nyelesaikan kalimatnya, karena tinju Purwasih lebih dulu bersarang 

telak di ulu hatinya.

Purwasih berjalan meninggalkan Andika di be- lakangnya. 

Sedikit pun kepalanya tak berani menoleh. Takut wajahnya yang kian 

tak karuan diketahui Andika.

“Mau ke mana, kau?!” cegah Andika. “Sungguh mati, aku 

tak main-main. Tampaknya ada suatu yang luar biasa di tempat ini.”

Suara Andika terdengar penuh tekanan, agar Purwasih 

tahu kalau dia bersungguh-sungguh.

Purwasih akhirnya mau juga menoleh, setelah terlebih 

dahulu berdiri diam sekian lama.

“Baik. Sekarang, jelaskan padaku dengan singkat. Apa 

maksudmu sebenarnya?” desak Purwasih.

“Kau perhatikan lagi bagian pinggulmu. Aku tak bohong. 

Sebelumnya aku memang melihat luka di situ. Tapi kini, yang tinggal 

hanya pakaianmu yang terkoyak di bagian itu, dan bercak-bercak 

darah di sekitarnya. Sementara di bagian yang kulihat terluka, hanya 

ada bekas yang agak menghitam,” papar Andika.

Tak terlihat kesan bergurau di wajah pemuda itu. Scwaktu 

bicara, bahkan matanya agak menyipit-nyipit, tanda benar-benar 

menaruh perhatian penuh pada perkara itu.

Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian 

pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat 

seperti uraian Andika.

“Lalu?” tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen- dapat 

Andika tentang semua ini.

Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti

mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit-

langit lorong berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap 

ujung- nya.

“Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa.”

“Bukan air biasa bagaimana? Kulihat warna dan rasanya 

seperti air pada umumnya....”

Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat-

lekat.

“Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?” tantang 

Pendekar Slebor.

“Kau mau bertaruh?” Purwasih balik menantang.

“Kalau kau benar, aku boleh menciummu,” tutur Andika 

setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah 

lagi. “Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua... 

ha... ha!”

Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa 

mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan 

tangannya ke bawah letesan air, tepat pada luka goresannva. Air 

dari langit-langit lo- rong itu jatuh setetes demi setetes, sampai luka 

itu pun mulai basah.

Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka 

memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek, 

merapat dan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu 

terkelupas sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh 

seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih. 

Hanya ada bekas menghitam.

Bibir Andika tersungging lebar.

“Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan 

menghilang” kata Pendekar Slebor mantap.

Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat 

berucap apa-apa.

“Dan.... kita telah menemukan ‘Air Kehidupan’ Purwasih!” 

sentaknya tiba-tiba, seraya melompat ke- girangan tak bedanya 

bocah kecil diberi hadiah.

Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir 

ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat

tingkah pemuda idaman di depannya

“Purwasih! Cepat beri sarung pedangmu!” ujar Andika 

Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan ‘Air 

Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.

“Untuk apa sebenamya kau bawa air itu, Andika?” tanya 

Purwasih, tidak mengerti.

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut 

Pendekar Slebor santai. 

”Untuk apa?”

“Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya 

di dalam rongga mulut, bukan?”

“Ooe....”

Purwasih mengangguk. Diserahkannya sarung pedang dari 

tanduk rusa liar itu.

Andika segera mengisi sarung pedang dengan ‘Air 

Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.

“Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya 

Purwasih.

Mata Andika mengerling.

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut 

Pendekar Slebor, santai.

“Satu pertanyaan lagi boleh?”

Andika mengangguk.

“Dari mana kau tahu kalau nama air itu ‘Air Kehidupan’?”

Andika meringis kebodoh-bodohan.

“Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun, 

baru kali ini. Tapi daripada aku sebut ‘Air Anu kan lebih baik 

kukarang satu nama..., ‘Air Kehidupan’ Hua... ha... ha!”

***

Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk 

termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah

sungai berair jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat, 

Pendekar Dungu tengah mandi. Sekujur tubuhnya yang penuh 

lumpur, digosok-gosoknya.

Mengapa mereka bisa sampai ada si sini? Rupanya, arus

bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke 

sungai terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka 

berada.

“Hitam! Apa kau tak berniat membersihkan tu- huhmu?!” 

sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai.

“Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup, 

Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan 

Pendekar Dungu. “Kalau dia mati, siapa yang akan membantu 

menyelesaikan persoalan kita? Padahal aku begitu mengidam-

idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau 

membuang kebodohanmu, Dungu?”

“Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi 

kepingin ‘membuang’ juga, nih!” cetus si tua bergigi ompong.

Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama 

kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga 

terdengar bunyi kecil nan merdu....

Plung..., piung!

“Hitam! Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu 

semudah membuang ‘ampas’ ini, ya?!” oceh Pendekar Dungu.

Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak me- nyahut. 

Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur 

Pendekar Dungu yang menyinggung perasaannya. Mungkin dia 

sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau 

mungkin sedang memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai 

Tuan Penolongnya.

Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu 

besar.

“Hitam! Hitam!” panggil Pendekar Dungu, makin banyak 

mulut. “Hey, kau masih memasang telingamu, bukan?”

Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak 

dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu.

Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri 

kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam 

perang mulut.

“Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?” kata 

Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana.

Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dile- pasnya 

pandangan ke mata kelabu tua bangka di de- pannya.

“Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu di 

permukaan air sungai...!,” sambung Pendekar Dungu, memberitahu. 

Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak. “Bodoh!” maki 

laki-laki keturunan serigala itu. Lalu, Lelaki Berbulu Hitam 

mengedarkan pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit 

ber- hatu-batu di kanan dan kiri sungai.

“Ada apa?!” tanya Pendekar Dungu tak mengerti.

Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras. “Mungkin tadi kau 

tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita!” 

bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam.

“Jadi, orang jelek itu masih hidup?” 

***

EMPAT


Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa 

bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit 

nada-nada yang mengusik buluh perindu itu.

Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh 

tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan 

tahun. Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu. 

Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam. 

Namanya Walet.

 Bocah tanggung itu kini berjalan santai meleng gak-lenggok 

menembus lembah luas berhias bunga- bunga rumput liar. Beberapa 

waktu lalu, bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama 

dengan Pendekar Slebor dalam membongkar kepalsuan seorang 

pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini, 

bacalah episode: “Mustika Putri Terkutuk”).

O, bunga rumpul liar

Kalau saja kalian dengar

Sehimpun mata hati basah dalam tangis

Kuluhi dunia bengis

Terkangkangi angkara 

Dilindas jejak-jejak murka....

Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirik gelisah. 

Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia 

di atas buana.

Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat 

Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja 

memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan 

Perut Bumi, setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubung-

nya.

Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu 

melintas cepat di depan Walet. Tak di- pedulikannya si bocah, 

mengingat hal genting yang harus dikerjakan.

“Pak Tua! Kenapa begitu tergesa-gesa?! Meski aku hanya 

bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di 

depanku,” tegur Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari

tangan satu ke tangan yang lain.

Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu, 

Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh 

sebuah kejutan baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya 

melintas di depannya.

Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah 

Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali. 

Seakan, dia hendak meyakinkan diri.

“Anak ini menegurku atau menegur orang lain?” pikir Raja 

Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorang 

pun. Kecuali, dirinya dan si bocah.

“Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?” tegur 

Walet lagi.

“Kau..., bisa melihatku?” tanya Raja Penyamar, digelitik 

rasa penasaran.

“Apa salahnya aku bisa melihatmu? Apa tindakanku adalah 

dosa?” Walet balik bertanya dengan nada lugu.

“Siapa kau sebenarnya, Bocah?” selidik Raja Penyamar.

“Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga 

bukan kau, Pak Tua,” jawab Walet berputar-putar.

Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu 

menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah 

naungannya.

“Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua. 

Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan? Udara siang 

benar-benar membuatku penat...,” lanjut Walet.

Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah, 

dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak. 

Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan 

matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu, 

Raja Penyamar agak ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang 

hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti berusia begitu muda.

“Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan 

penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada 

sesuatu yang kau sembunyikan. Maukah menjeiaskan padaku?” 

tanya Raja Penyamar.

“Eh! Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu?!” 

kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa, 

dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya.

“Maksudmu bukan telur-telur itu,” sergah Raja Penyamar.

“Kalau bukan telur ini, aku memang masih 

menyembunyikan telur yang lain...,” oceh Walet sekena- kenanya.

Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang 

memancarkan pendaran cahaya, tampak memperlihatkan binar 

bersahabat.

“Kau mengingatkan aku pada seseoraftg, Bocah,” kata 

Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang

membayangkan seseorang.

“Ah! Kalau dia orangnya, aku sudah kenal...,” te- rabas 

Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang 

dibayangkan Raja Penyamar.

Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut.

“Dia siapa maksudmu?” pancing orang tua itu, berpura-

pura.

“Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan 

yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he!”

“Kau...,” desis Raja Penyamar takjub.

Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak 

mengatakan apa.

“Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?” lanjut 

orang tua ini selang beberapa lama.

“Ha ha ha!”

Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai-

sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin 

takut ada yang terlepas dari ‘bawah’.

“Kenapa kau tertawa?” sela Raja Penyamar.

tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar 

mendapat perlakuan seperti itu. Dia sendiri tak tahu, kenapa tak 

terbetik ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang 

berlaku, sikap bocah ini sudah keterlaluan. Seperti ada semacam 

pengaruh batin dari diri si bocah yang membuatnya senang dan 

langsung merasa akrab dengan Walet.

“Pak Tua..., Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau 

mengakui aku sebagai anaknya? Ha ha ha! Kurasa, aku ini lebih 

jelek daripada anak siluman mana pun!”

Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bu-. kankah 

dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi?

“Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan 

kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan 

menjelaskan padaku tentang dirimu, bukan?” pamit Raja Penyamar.

“Hm, Pak Tua! Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang 

kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa 

di kaki bukit...,” kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu 

menghilang.

“Kenapa begitu?”

“Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa 

Kang Andika, katakan padanya dia mem- butuhkan ‘sesuatu yang 

bisa menandingi’ kekuatan sihir senjata lawan!”

Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga 

dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian 

menghilang.

“Terimakasih banyak, Pak Tua!” seru Walet.

Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar 

bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi 

penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka 

tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu 

itu.

Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih 

muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur 

coklat di sana-sini. Sementara Purwasih menenteng pedang 

bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang 

warangkanya dengan hati-hati. Andika hanya takut ‘Air Kehidupan’ di 

dalamnya tertumpah. Padahal mereka sudah susah payah 

membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang 

sungai bawah tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau 

kebetulan langit-langii lorong begitu pendek. Terkadang pula harus 

sungsang-sumbel menghindari gigi langit- langit yang runtuh 

menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh selama

setengah harian yang melelahkan.

“Andika!” sambut Raja Penyamar di permukaan arus 

sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela 

arus.

“Raja Penyamar?” gumam Pendekar Slebor sedikit ragu.

Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang 

menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati. 

Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai 

wangi bunga sedap malam, hidung Andika segera mengendus-

endus seperti seekor kucing lapar mencari makan. Namun hawa 

dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga tampaknya 

kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar 

sedap malam itu bisa tercium juga. 

”Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,” 

kata Andika lega.

Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap 

telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk 

pemuda pujaannya yang entah berbicara pada siapa.

“Kau bicara padaku, Andika?” tanya Purwasih.

“Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku,” sahut Andika. 

Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri.

“Kau sinting, ya? Aku tak melihat siapa-siapa di sana!” 

omel Purwasih. “Sini. kau! Biar matahari siang menghangatkan 

otakmu yang mulai beku!”

Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai.

“Hey, jangan menarikku seperti ini! Aku harus berbicara 

dengan....”

Andika cepat tersadar.

“Slompret! Aku saja yang tolol! Ya. jelas Purwasih tak 

melihat Raja Penyamar...,” gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang 

seraya menepuk kening keras- keras.

“Nah! Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku 

bukan?” cemooh Purwasih tak tahu rae- menahu.

“Ah, iyalah!”

Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing 

congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja

Penyamar tanpa membuat bi- ngung dara itu.

Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat 

tingkah dua anak muda itu.

“Purwasih! Bagaimana kalau kau membuat api unggun di 

dekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci? Kau 

tentu sudah lapar dan mau me- nyantap daging kelinci hangat 

bukan?” usul Pendekar Slebor.

Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar 

bisa pergi untuk sementara.

“Usul bagus! Kalau begitu, cepat!”

Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali 

Raja Penyamar di tempat semula.

“Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua! Aku punya sesuatu 

untukmu!” ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu.

“Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan 

Pengadilan Perut Bumi?”

Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak 

tangan membuka lebar-lebar.

“Blar!” seru Pendekar Slebor dengan mimik wa¬jah seru 

pula. “Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi 

penyebabnya. Mereka jotos-jotosan.... Nah sekarang, kau mau 

dengar berita gembira untukmu?”

“Apa?”

“Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?” sambung 

Andika menggebu-gebu. 

”Air ajaib apa?”

“Ah! Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu 

nama ‘Air Kehidupan’! Bagus, bukan? Nah! Yang jelas, air itu bisa 

membuat tubuh yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib!”

Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung 

berkerut.

“Itu ‘Air Sari Buana’...,” desah Raja Penyamar.

“Jadi kau tahu soal air ini?”

Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng.

“Anak Muda.... Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air 

mukjizat yang begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu

berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun 

sekali...,” papar Raja Penyamar.

Mulut Andika menganga.

“Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk 

mengambilnya?”

“Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu 

sudah berpindah kembali, entah ke mana...,” tambah Raja 

Penyamar.

“Ah, sayang...,” sesal si pemuda gondrong. Diliriknya 

gagang pedang milik Purwasih. “Aku hanya dapat sedikit....”

“Lalu, apa maksudmu dengan ‘Air Sari Buana’ itu?” tanya 

Raja Penyamar.

“O, iya! Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena 

suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan? Kau mati. Sementara itu, 

jasadmu tak kunjung membusuk di Kampung Kelelawar....” (Untuk 

lebih jelasnya, bacalah episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).

“Jadi maksudmu”

“Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa di- sembuhkan. 

Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun 

menemukan obat untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan 

mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan 

pulih kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa 

menempatinya kembali....”

Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng- geleng.

“Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak 

Muda....”

“Aaa! Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung 

membusuk? Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali 

ke jasadmu? Jadi, ini hanya masalah waktu. Kalau suatu saat kau 

berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu, maka....

Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba- tiba sebuah 

tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang.

“Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bi- cara!” 

omel Purwasih disampingnya. “Yang pasti, kau harus menepati 

janjimu untuk mencarikan kelinci!” 

”Ya, ya, ya!

Kelinciii! “Yang gemuk!” 

“Yang gemuuuk!” 

***

LIMA


Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang ba- kal 

terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri, 

menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak 

dikehendaki manusia, tetap berjalan seperti itu.

Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga. 

Seperti halnya Andika.

Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui 

Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui 

batin. Dia amat tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan 

semadi, Pendekar Slebor yakin akan berhasil menghubungi batin 

bocah tanggung itu.

Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me- layang 

kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya 

terus melayang dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang 

tak terbatas. Sepasang tangannya terkembang ke depan, seolah 

hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat.

“Walet! Walet!” panggil Andika. Suaranya bergema tak 

terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas.

Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya 

putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar. 

Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya

itu atau justru sebaliknya.

Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan 

tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan 

seorang tampan perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus 

pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan 

tanpa kumis atau cambang penghias. Lelaki pun akan sempat 

terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu.

“Siapa kau?” sapa Andika. “Aku tak memanggilmu. Yang 

kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet!”

Sang Pangeran tersenyum amat ramah.

“Akulah Walet!” sambut sosok tampan itu, lembut.

“Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia 

seorang bocah kecil,” sangkal Andika.

“Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika, 

bukan? Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku 

sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika 

Putri Terkutuk. Tentang seorang pangeran dan putri yang saling 

mencintai, namun kedua orangtua masing-masing tak menyetujui 

hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua mereka pun 

mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk 

dan Sang Pangeran menghilang bagai ditelan bumi....” (Baca

Pendekar Slebor dalam episode: “Mustika Putri Ter- kutuk”).

“Tunggu! Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu, 

bukan?” sergah Andika.

“Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu. 

Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal....” Sang 

Pangeran mengakhiri cerita.

Mulut Andika membulat.

“Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan 

batin yang luar biasa...,” gumam Pendekar Slebor. “Jadi, apa pesan 

yang kau maksudkan untukku?”

“Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus 

memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah 

benda....”

“Kekuatan sihir sebuah benda? Benda apa yang kau 

maksud?”

“Cermin Alam Gaib....”

“Tuhan.... Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin 

Alam Gaib,” desis Andika.

Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bo- la mata Sang 

Pangeran dengan sinar mata berharap.

“Jadi, apa yang harus kumiliki?”

“Kalbumu...,” sahut Sang Pangeran, singkat.

Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi.

“Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki,” kelakar Pendekar 

Slebor. 

”Kau memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki 

kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui 

pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari

keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha 

Besar yang menduduki kursi semesta....”

Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara 

jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih.

Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan di 

depannya langsung ditemukan Raja Penyamar.

“Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung- guhnya 

anak kecil itu, Andika?” tanya Raja Penyamar.

Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja 

Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran.

Maka secara jelas dan singkat, Andika pun men- ceritakan 

jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri.

“Pantas...,” bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh 

cerita Andika tentang si bocah ajaib itu.

Dari silanya, pemuda tampan yang disegani da- lam dunia 

persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja 

Penyamar di dalam sebuah gubuk terbengkalai di Kampung 

Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh 

tahun silam. 

Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut 

ruangan. Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau 

sudah banyak sarang laba- laba menggerayangi sekitar jasadnya. 

Pakaian coklat berkerah pendek serta penutup kepala seperti 

blangkon dari batik pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar 

di sana-sini.

Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak 

termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan 

kesejukan dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah 

terjadi, layaknya seorang yang tertidur pulas saat bersila.

Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja 

Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi, 

Andika telah menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya, 

akan banyak makan waktu jika menjelaskan perihal Raja Penyamar 

pada Purwasih. Termasuk menceritakan rencananya untuk 

memberikan ‘Air Sari Buana’ pada jasad lelaki tua itu.

“Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyim- pan saja

air mukjizat itu, Anak Muda,” cetus Raja Penyamar, membuka 

percakapan kembali. “Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya.”

Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan 

kemantapan keputusannya.

“Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan 

masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu 

selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad.”

“Kenapa begitu?”

“Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini ber- kaitan erat 

dengan usaha kita memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi. 

Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau 

setuju me- manfaatkan ‘Air Sari Buana’ bagi jasadmu. Kalau me-

nolak, berarti kau menutup kesempatan untuk memerangi kezaliman 

yang bakal disebar manusia siluman itu dengan Cermin Alam Gaib-

nya...,” jelas Pendekar Slebor.

“Tampaknya aku tak punya pilihan?” ujar Raja Penyamar, 

masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya.

Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di du- nia 

persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya 

seseorang mendapatkan ‘Air Sari Buana’. Usaha mencarinya saja, 

sama dengan kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan 

berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya.

Kalau ‘Air Sari Buana’ itu kini dimanfaatkan un¬tuk dirinya, 

berarti sampai mati nanti pun Andika tak akan punya kesempatan 

memilikinya kembali. Padahal, sebagai ksatria penegak panji-panji 

kebenaran, ‘Air Sari Buana’ amat dibutuhkan dalam perjuangannya.

“Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua. 

Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan 

begitu saja. Jadi, sama saja bukan? Aku tetap tak akan memiliki air 

mukjizat ini, dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak,” papar 

pemuda dari Lembah Kutukan keras kepala. setengah mengancam.

“Baiklah,” putus Raja Penyamar akhirnya.

***

Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya

beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat 

Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati. 

hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski. si tua 

itu adalah gurunya sendiri.

Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika 

sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia 

Dari Pusat Bumi

Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan 

siluman itu?

Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan 

Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara 

timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat 

bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya, 

seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama 

sekali tak berarti apa-apa.

Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui 

sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa 

kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.

Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah

menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung 

jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan 

Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat 

pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.

Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari 

yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.

Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi 

tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung 

Kapur.

Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan 

tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam 

pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah.

Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si 

manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia 

bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui 

mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah 

hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki

beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat 

Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati. 

hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski. si tua 

itu adalah gurunya sendiri.

Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika 

sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia 

Dari Pusat Bumi

Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan 

siluman itu?

Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan 

Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara 

timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat 

bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya, 

seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama 

sekali tak berarti apa-apa.

Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui 

sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa 

kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.

Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah

menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung 

jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan 

Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat 

pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.

Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari 

yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.

Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi 

tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung 

Kapur.

Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan 

tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam 

pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah.

Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si 

manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia 

bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui 

mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah 

hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki

itu, yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan 

mengancamnya.

“Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,” 

desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan.

Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan 

kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan 

itu satu dengan yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung 

tumpul sebuah benda. Makin nampak. sampai akhirnya tergenggam 

utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib.

“Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini,” kata 

manusia Dari Pusat Bumi.

Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari 

Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata 

pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup, 

melepas sehimpun tenaga hitam hingga warnanya berubah merah.

Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu 

mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak-

gerak kecil! Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar 

Manusia Dari Pusat Bumi. Darah dari bola mata kiri dan kanan pun 

bertemu di ujung dagunya.

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas mem- bawa 

Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah 

yang menggelantung di ujung dagu terhenti.

Tes!

Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu me- netes ke 

permukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar 

semerah darah yang mem- basahinya, tepat pada saat keduanya 

menyatu. Ber- samaan dengan itu, tetesan darah menghilang bagai

terserap cermin.

 “Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai 

Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu. 

Keinginanku, juga keinginanmu,” ucap Manusia Dari Pusat Bumi 

seperti jalinan mantera.

Sebentar manusia siluman itu menghentikan ka- la-

katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam.

“Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,”

kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi. Berat dan pasti.

Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas 

bibir goa. Dan....

“Hancur!” seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang 

membahana.

Blarrr!

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan 

menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru, 

seperti hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata. 

Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi meng- acungkan 

kepala cermin ke atas bibir goa. Dan....

“Hancur!” serunya lantang membahana.

Blarrr!

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan 

menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin 

ke segenap penjuru!

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan 

seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang 

dilihatnya.

Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar 

pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa.

“Kini, angkat batu itu ke arahku!” perintah Manusia Dari 

Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib.

Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi 

mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang 

dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki 

bobot lebih dari selembar bulu!

Blam! Grrr....

Entah tenaga sesat dari mana. sehingga mampu 

menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa. 

Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil 

menerpa tubuh Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan 

mengutukinya.

***

ENAM


Ada pepatah lama yang berbunyi, ‘Lidi yang rapuh akan 

memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu’. Untuk tujuan-tujuan 

tertentu, menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan.

Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk 

niat-niat terpuji. Para pembangun ke- jahatan pun tampaknya 

menyadari pentingnya hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali 

Manusia Dari Pusat Bumi mengundang tokoh-tokoh jajaran atas 

dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi, sebab 

dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan.

Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Di- namakan 

begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu 

panas menyengat bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih, 

Lembah Pasir Tungku lebih pantas disebut gurun.

Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi 

merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu 

panji angkara murka!

Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan 

dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki 

kutung. Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya. 

Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak 

jauh berbeda. Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah 

memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka 

cekung ke dalam. Dengan begitu dagu mereka tampak lebih 

menjorok keluar.

Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua 

perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang 

dikenakan, sama-sama berbebat kain hitam sepanjang dada hingga 

lutut.

Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat, 

sepertinya mereka tak bisa bergerak lin- cah. Padahal jika keduanya 

sudah berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan 

renta itu selincah rase muda betina.

Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat 

julukan Rase Tua Kembar.

Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan ada- lah 

rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka 

bisa terlepas. Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun 

yang sanggup me- manggang daging siapa pun. Daya tembus 

binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan, 

maka ulat-ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung.

“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat meng- undang 

kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,” gerutu si buta.

Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka 

memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat 

manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir 

darah korban.

“Ah! Ini tak seberapa panas dibanding neraka!” sergah si 

kutung, melecehkan gerutuan si buta.

“Ya! Kau bisa bilangbegitu! Terang saja, kau hanya mendompleng di 

bahuku. Coba kalau kau merasakan panas pasir ini!”

“Kalau aku punya kaki, aku akan jalan!”

“Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini!”

“Tapi, aku toh takbakal punya kaki!”

“Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini! 

Makanya, jangan bicara seenak dengkul!”

“Heeeh! Apa kau lupa aku tak punya dengkul!”

Keduanya lalu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik, 

mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya 

seakan tidak pernah terjadi.

“Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu di 

mana?” tanya si buta.

“Kau lupa?”

“Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua!” sentak si buta.

“Memang kau sendiri yang tua! Aku juga begitu!” sergah si 

kutung tak mau kalah.

“Kau lupa apa tidak?!” tandas si buta.

‘Tidak.”

“Kalau begitu, kau belum tua!”

Kembali mereka terkikik-kikik ramai.

Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki

sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang 

besar.

“Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda 

dalam mimpi kita,” tandas si kutung.

Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika me- nemukan 

duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk.

“Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini 

tempatnya....”

Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang 

lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki 

berperut sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah 

lelaki buncit itu sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu 

tua dipenuhi keriput. Alis di belahan itu pun memutih, di atas sebelah 

matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian wajah sebelah kiri tampak 

demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak kemerahan, bagai 

kulit bayi.

Perut yang demikian besar seperti tak menghen- daki baju. 

Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan 

kain yang hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan 

suka berpakaian, kalau tubuhnya saja selalu dibasahi keringat.

 Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu se-

bagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang 

besar, juga karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan 

bunyi bertabuh-tabuh. Persis bunyi gendang!

dung dung

Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon 

kaktus besar.

Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan 

wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai 

seraya memperdengarkan gemelutuk gigi.

“Si Perut Gendang minta dibunuh!” geram si buta. Meski 

tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki 

pendatang baru tadi.

“Menurutmu, apa dia orangnya yang mengun- dang kita?” 

tanya si kutung.

“Mana aku tahu!”

“Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita....”

“Kita pecahkan perut buncitnya itu!” terabas si buta.

Lagi-lagi keduanya terkikik.

“Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek!” tegur si Perut 

Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya 

sama sekali tak ramah. “Berani-beraninya kalian mengundangku!”

“Heeeh! Berani-beraninya dia membentak-bentak!” balas si 

kutung sewot.

“Makan, nih!” sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran 

pasir di sela-sela jari kaki yang takberalas.

Wes wes!

Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat, 

mengancam udel si lelaki buncit yang meng- intip malu-malu dari 

permukaan perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir 

demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas, 

kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan 

menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun!

Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku 

bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer 

kekuatan, si Perut Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk 

deras.

Bleng!

Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke 

atas, seperti permukaan tikar yangdigebah. Hasilnya, berupa tenaga 

sedotan luar biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir 

berkekuatan hebat itu dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun 

tak begitu lama kemudian perutnya meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir 

tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan berbahaya, benda-benda 

halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas tubuh si Perut 

Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara!

“Permainan anak-anak kalian pamerkan!” maki si kutung 

gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi.

“Chuih!”

Psss....

Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup, 

meninggalkan asap tipis yang terpenggal di uda- ra. Sedangkan

terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya 

menerima beban air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di 

dada si kutung.

“Jawab pertaryaanku, Buncit! Kau yang meng- undang 

kami ke tempat ini?!” tanya si kutung, mem- bentak.

“Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian!” balik 

si Perut Gendang tak mau kalah.

“Kau mengundang kami atau tidak?!” si buta ikut campur.

“Kalian mengundang aku atau tidak?!”

Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari 

kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang

menyakitkan telinga.

Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak me- noleh ke 

asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula. 

Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak 

mengenalnya.

Kalau dalam jarak jauh saja senandung meme- kakkan si 

pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah 

tiba di dekat ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya 

meringis-ringis. Ingin rasanya mereka segera menutup telinga 

dengan tangan. Nama besar yang tersandang, membuat mereka 

malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa 

menyalurkan havva murni agar gendang telinga tak pecah.

“Nyanyian gagak buduk apa pula ini?!” gerutu si buta.

Orang yang baru datang tak mempedulikan ge- rutuan itu. 

Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah.

“Aaa! Sudah ada yang kumpulll!” seru si penda- tang baru 

dengan wajah riang bukan main.

Ternyata dia adalah seorang lelaki muda ber- kepala 

botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India. 

Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak 

menonjol keluar. Dengan baju panjang putih serta selendang di 

leher, kulit hitamnya jadi tampak makin kelam.

“Aaa, sudah ada yang kumpulll!” sapa orang itu kembali, 

sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering 

yang mengelupas dari ke- palanya.

Kau yang mengundang kami?!” sambut Rase Tua Kembar 

bersamaan.

“Kau yang mengundang aku?!”

Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas 

pertanyaan serupa.

Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa ditu duh

demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat 

perlakuan kasar begitu tiba di tempat yang menyiksa ini. 

Nampaknya, si pemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang 

semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan 

kepala. Sikapnya benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar 

dan si Perut Gendang.

“Chuah! Tingkahmu memuakkan!” semprot si kutung.

“Apa yang diperbuatnya?” Wanita buta di bawah nya ingin

pula tahu.

“Nanti kau jadi ikut muak!”

“Aku dengar suara orang menggaruk, tadi,” kata si buta 

penasaran.

“Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul 

dan beruntusan itu!” si Perut Gendang memberitahu.

Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gen dang 

untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam 

kebaikan, mungkin itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang 

hidup.

“Idih! Aku suka kepala gundul. Mengingatkanku pada....”

“Jangan berpikiran kotor!” potong si kutung pada ucapan 

saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada 

pemuda gundul itu. “Sekarang jawab pertanyaanku pemuda ‘keling’! 

Apa keperluanmu datang ke tempat ini?!”

“Aku diundang seseorang,” sahut si pemuda hitam disertai 

sebaris senyum.

“Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau 

juga diundang, lantas siapa yang mengundang?!” tanya perempuan 

berkaki kutung. Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan 

pemuda ber- kulit hitam ini.

“Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?”

ucap si pemuda gundul.

“Sebaiknya begitu!” serobot si buta cepat.

“Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang

mengundangku?” tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri.

“Hey?! Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua!” 

bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka. 

“Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang 

yang mengundang kita. Menunggu.... Huh! Menyebalkan!”

Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kia- mat, kalau 

saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat 

Bumi, yang telah mengundang mereka semua.

“O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.’” sambut 

si perempuan kutung.

“Kau yakin dia orangnya?” tanya saudara kem- barnya.

“Peduli apa? Aku yakin kek, tidak kek! Pokoknya, aku 

sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu!”

Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang 

kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung 

mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan.

“Suka tidak suka, kalian akan diam dan mende- ngarkan 

perkataanku!” seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat.

Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut. 

Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya 

itu. Mereka juga tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula 

yang terjadi pada si Perut Gendang dan pemuda hitam.

“Dengar! Akulah orangyang mengundang kalian untuk 

datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap 

oleh orang-orang sakti yang bejat! Di tempat ini, kalian harus 

bertarung denganku dalam sepeminuman teh. Siapa yang selamat, 

harus bergabung di bawah panjiku!”

Inilah ujian yangdiberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi 

bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau 

scmbarangan mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak 

banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh!

Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut 

Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam

masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi. 

Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus, 

menghadapi sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan 

dari pengaruh sihir.

“Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek?! Baru sekali ini 

ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang!” mulai si lelaki 

buncit.

“Tak perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau 

berusia panjang. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengerahkan 

seluruh kesaktian yang kau miliki untuk menghadapiku. Jika berhasil 

bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka bersenanglah. 

Karena, kau akan bergabung dengan ‘Raja Diraja Kejahatari’!”

Si Perut Gendang tertawa mengejek.

“Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek! Tampangmu 

pun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur 

untuk menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji 

kesaktianku....’”

Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki 

sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan 

calon lawan. Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya 

sebuah jurus. 

”Kau sungguh-sungguh, rupanya? Ya, sungguh- sungguh 

mencari mampus!” hardik si Perut Gendang mulai gusar.

Deb! Deb!

Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas, 

Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan 

patukan tangan secepat kilal. Agak aneh. Karena, tangannya sama 

sekali tak mematuk langsung ke tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya 

sungguh sempat memukau si Perut Gendang. Tangan pemuda 

bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang 

langsung menyambar deras ke kening.

“Gila! Ini sihir!” seru si Perut Gendang, setelah menghindar 

sebisa-bisanya.

Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang 

bisa merasakan angin pukulan maut dari se- rangan yang luput. 

Seolah-olah, bayangan itu lebih kuat berlipat ganda dari tangan

sesungguhnya.

Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh 

lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan 

sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus. 

Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempcrsiapkan satu 

rencana serangan balasan.

 Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang. 

Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut 

besarnya meliuk-liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang, 

tercipta bunyi yang mememakkan telinga.

Dung! Dung...!

Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian me- muncak, 

berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya. 

Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh 

gajah jantan sekali pun!

Deb, deb, deb,!

Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan 

bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular 

kini meluruk ganas.

Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat 

Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut si Perut Gendang. 

Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat, 

bayangan tangan itu kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan 

memang, benteng angin lawan yang tangguh berhasil ditembus!

Wesss!

“Bangsat!” maki si Perut Gendang, gusar bukan main.

Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat di- lempar 

jauh-jauh dari jarak jangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat 

Bumi.

Setelah berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar 

kalau harus melepas serangan balasan. Terlalu berbahaya baginya 

jika hanya bertahan mengandalkan benteng angin perutnya, 

sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan.

“Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek!”

Diiringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk-

nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara

kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan 

cepat.

Prak, prak, prak...!

Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut 

Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar 

pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal 

didunia persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa. 

Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut 

Gendang.

“Hiaaa!”

Whuuusss!

Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun 

raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar 

membentuk kincir tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya 

Manusia Dari Pusat Bumi.

Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang 

berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu 

membentuk angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya.

Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak 

tampak rasa ngeri di wajahnya.

Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari 

tcngah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat 

Bumi membentangtinggi ke atas.

Plakk!

Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu 

terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah 

ditahan oleh patok kuatyang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari 

Pusat Bumi.

‘Cukup! Kau telah lolos dari ujianku!” seru Manusia Dari 

Pusat Bumi.

Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga 

dirinya sudah telanjur diinjak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia 

merasa terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah. 

Siap mengibas kepala lawan di depan.

Plak!

Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu

tanpa kesulitan.

“Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti!” bentak 

Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali.

Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi 

tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin 

petaka itu diarahkan ke sasaran. si lelaki berperut buncit langsung 

mengejang. 

***

TUJUH


Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi 

telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat 

bertahan dalam sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka 

dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan 

siluman.

Meski merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau 

kencur yang baru dikenal, tiga tokoh sesat kawakan itu tak bisa 

menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh, harus 

mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan 

kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak 

keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah 

perintahnya.

 Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding. 

Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak 

dikenal. Namun begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit 

hitam itu. Sebelum waktu yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi 

habis saat uji tanding, dia sempat memasukkan sebuah hantaman 

telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun si Perut 

Gendang belum bisa melakukannya.

Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak 

terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri 

masing-masing. Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu? 

Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang 

membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing- masing.

“Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan. 

Bahkan harta yang melimpah,” kata Manusia Dari Pusat Bumi, 

sesuai uji tanding. “Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu 

dekat, semua itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku!”

Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari 

Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang di- ucapkannya bagai 

tertenung. Ada semacam daya cengkeramyang kuat dalam ucapan

si manusia jelmaan siluman itu. merasuk langsung ke dalam nafsu 

masing-masing.

Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka

satu persatu, menusuk dan bengis.

“Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekua¬saan dan 

harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati 

mempertahankan harga diri!” tandas Manusia Dari Pusat Bumi 

seperti ingin memastikan ke- hendak orang-orang taklukannya. Bisa 

jadi, juga hanya. karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa 

ditentang.

Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam 

tak bicara apa-apa. Sudah jelas bagi mereka, apa yang lebih penting 

dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim seperti mereka, harga 

diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika mereka punya 

kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan 

mudah di injak-injak.

Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita 

tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan.

“Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri. Sebab. Jika 

kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan 

dunia hitam!”

Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah 

tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak 

muncul Cermin Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian 

dari dirinya.

Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu 

terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan 

Manusia Dari Pusat Bumi.

“Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian 

kuangkat menjadi pengikutku! Kalianlah kaki tangan Sang Angkara!” 

teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur.

Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak me- nyalak di 

angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan 

hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau 

para makhluk durjana sedang berseru gembira.

“Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan...?” tanya si 

Perut Gendang.

“Panggil aku Sang Angkara!” hardik Manusia Dari Pusat 

Bumi.

“Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?” ulang si 

lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan.

Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan 

kembali.

“Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka 

yang mengaku dirinya sebagai abdi Sang Ke- benaran, selalu berdiri 

menghadang gerak kita...,” sahut Manusia Dari Pusat Bumi.

Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat.

“Di antara mereka, ada satu orang yang benar- benar akan 

menjadi penghalang besar!” lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang 

Angkara berapi-api. “Seorang pemuda yang memiliki ‘bakat suci’ 

dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan....”

Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat 

tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang

dibicarakan manusia jelmaan siluman itu.

“Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang 

Angkara,” selak si perempuan berkaki kutung.

“Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa 

orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat. 

Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita.... 

Pendekar Slebor!” sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat 

kegeraman.

Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut 

Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing-

masing seperti langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar 

yang menggemparkan selama ini.

“Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang 

Angkara Murka?” tanya si pemuda hitam, memecah keheningan 

mereka.

Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah 

hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat 

permukaan pasir seperti dilapisi lelehan lilin bening.

“Percayalah... tak akan mudah menaklukkan dia dengan 

kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan 

untuk menjadi musuh besar kaum sesat...,” urai Manusia Dari Pusat 

Bumi kembali. “Untuk itu, kita harus menjalankan semua cara untuk

menghancurkannya!”

“Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?” si buta yang 

sejak tadi bungkam, ikut berbicara. “Tapi sepanjang pengetahuanku, 

dia belum pernah mem- perlihatkan kelemahan....”

“Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki 

kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kele- mahannya, 

maka kita bisa memanfaatkan orang- orang yang dekat dengannya. 

Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang 

terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?” tutur si Perut Gendang, 

seolah seorang penasihat raja sedang memberi saran.

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi 

menyeringai.

Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun 

mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang-

orang yang dekat dengan Pendekar Slebor.”

“Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang 

wanita,” ujar kutung bersemangat.

“Ya! Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia ber- juluk 

Naga Wanita...,” Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan. 

Dikembangkannya dada sarat keangkuhan. “Rencana pertama kita 

adalah....”

***

“Andika! Andika...!”

Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor. 

Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu 

muncul dari rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah 

siapa dia. Purwa¬sih.

“Dasar pemuda brengsek!” maki sang dara. Wajah 

cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel. 

Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga

wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian 

kesal?

Sewaktu bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah 

barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana. 

Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang 

didapat Andika waktu itu.

Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena 

tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada 

hal penting yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu. 

Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih.

“Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan, 

Andika,” ancam Purwasih menggerutu.

Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar? 

Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena 

totokan Andika. Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda 

slebor itu ternyata terlalu hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya 

sampai totokan itu terbebas sendiri. Dia tahu, totokan itu hanya untuk 

sementara waktu. Karena, sebelum pergi meninggalkannya, Andika 

sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu akan 

terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek!

“Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak. 

Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh! Apa aku mau 

dijadikan umpan binatang buas oleh pemuda konyol itu?!” gerutuan 

Purwasih tersambung.

Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena 

tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala 

naga yang masih tergeletak di tanah.

“Mana sarung pedangku dibawanya lagi! Apa maunya 

pemuda itu? Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam 

sarung pedang,” gumam Purwasih.

Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan.

“Ah! Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya! Bisa 

sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak,” kata 

Purwasih berbicara sendiri.

Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang 

berguruh menahannya.

“Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak?!”

Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak 

kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu, 

dengan serta merta pedangnya diacungkan.

“Siapa kau?!” tanya Purwasih manakala menyak- sikan 

dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh 

yang lain di bahu. “Sepertinya aku pernah mendengar tentang 

kalian.”

Sambil berkata, kelopak mata lentik Purwasih menyempit. 

Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi.

“Kalian Rase Tua Kembar?” tanya Purwasih. hendak 

meyakinkan diri.

“Hee... he he! Anak cantik yang pintar!” sergah si 

perempuan buta.

“Dari mana kau tahu dia cantik?” Masih sempat-

sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya.

“Sial! Kenapa kau tak urus gadis itu saja!” bentak si 

perempuan tua buta gusar.

“Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu, 

Nisanak yang cantik...,” ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan 

ucapan pada Purwasih.

Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap 

Purwasih.

“O, ada! Tentu saja ada. Bukan begitu?” terabas si buta.

“Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara 

bertemu pun baru kali ini,” sangkal Purwasih.

“Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus 

tercipta setelah pertemuan, Nisanak,” tutur si kutung, sok berkata 

bijak. “Kau tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain, 

padahal baru pertama kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena 

satu alasan, Nisanak....”

“Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit-

belit.”

Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele, 

Nisanak. Dia ingin memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua. 

Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi.

Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak ter elakkan....”

“Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit!” sergah 

Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli.

“Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama 

sekali tak pernah bertemu sebelumnya....”

“Apa maksudmu sebenarnya!” bentak Purwasih, mulai tak 

sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi 

dipermainkan.

“Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga 

kau harus berurusan dengan kami....,” timpal si buta, kembarnya.

“Kenapa kau tak cepat katakan!” sentak Purwasih.

“Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap 

Pendekar Slebor. Jelas?”

Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti. 

Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik.

“Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada 

kalian?” kata Purwasih penuh tekanan. 

”Nama besar kalian tak cukup membuatku menge- mis-

ngemis minta dikasihani!”

“Bagus! Kalau begitu, kami bisa sedikit mengen- durkan 

urat-urat. He he he! Mari kita serang dia, Kutung!” ujar si tua buta 

bersemangat.

“Ya! Tunggu apa lagi?!” timpal saudara kembar di 

bahunya.

“Bersiaplah, Nisanak yang cantik!” geram si buta.

“Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk 

macam kalian!” tantang Purwasih.

Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua 

Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat 

kompak. Tangan si kutung bergerak, membuat persiapan serangan 

di bagian atas. Sedangkan si buta membuat persiapan serangan 

khusus bagian bawah.

Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di 

tangannya terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya 

berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya.

“Maju empat langkah, Buta!” seru si kutung memberi

perintah.

Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka, 

memperpendek jarak dengan lawan.

“Hiaaa!”

Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek 

berkaki kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal 

serangan. Tapi yang dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak 

menunjukkan hendak melakukan serangan. Mereka tetap di tempat, 

meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya menanti terjangan.

Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan 

cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka 

sengaja hendak menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti, 

Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot 

secara paksa, saat teriakan lawan berkumandang.

Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepa- sang 

telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya. 

Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah 

keduanya mengirim terjangan dahsyat.

Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak 

segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerah- kannya hawa murni ke 

gendang telinga. Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak 

berwujud tersebut, disalurkannya tenaga dalam pada ayunan 

pe¬dang.

Wuk, wuk, wuk!

Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat 

dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar 

pun dapat sedikit teredam.

Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga 

dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau 

sebelumnya hanya kerongkongan si nenek berkaki kutung yang 

mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama 

melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat 

sekitarnya, bagai ribuan gagak yang berteriak serempak.

“Hiaaakkk!”

Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang 

Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat

itu juga.

Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian 

berusaha memutar terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang. 

Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang. 

Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan.

Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat 

tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela 

lowong menuju tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang 

sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi. 

makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih 

mcrasakan semacam sayatan sembilu mengge rayangi kulitnya.

“Aaa.!” pekik Purwasih, didera pedih luar biasa.

Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu 

ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon 

tinggi menjadi berguguran,

seakan dihujam keraarau panjang!

Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam 

jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun. 

Semuanya telah telanjang dalam sekejap!

Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih me¬mang 

tergolong hijau dibanding kedua tokoh bang- kotan itu. Itu sebabnya, 

kian lama pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan 

kekukuhan. Dara cantik itu mulai melorot, tapi masih berusaha tegak 

pada kedua lututnya.

Usaha untuk bertahan makin tak banyak mem¬beri 

harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan.

Dung, dung, dung!

Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh 

benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu 

tenaga dalam. Dari perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh 

keluar.

Purwasih makin payah. Suara perut yang ganjil itu ternyata 

ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase Tua Kembar. Tak lama 

berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi dipertahankan. 

Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur 

darah kental kehitaman.

Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk.



DELAPAN


Sebuah tempat terpencil dikungkung kegelapan malam. Di 

sana, ada candi kuno terbengkalai yang berdiri kaku dan bisu. 

Bangunannya tak begitu besar, terbuat dari susunan batu yang 

seluruhnya nyaris diselimuti lumut. Sebagin batu sudah gompal di 

sana sini. Tepat di bawah anak tangga gapura masuk, terdapat dua 

patung ‘kala'’) memanggul ‘gada’*). Karena sudah begitu tua, satu 

patung telah kehilangan kepala.

Empat sosok kini tiba di tempat itu.

Mereka adalah Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan 

Purwasih. Gadis itu kini terkulai tidak berdaya di bahu lelaki berperut 

buncit. Mereka pun menaiki anak tangga candi satu persatu. Bulan 

sepotong di langit menyiram cahayanya, sehingga tercipta bayangan 

samar mereka terlekuk di anak tangga.

Kehebatan ilmu meringankan tubuh, membuat para tokoh 

sesat itu tidak menghasilkan suara ketika menaiki tangga batu yang 

merapuh. Mereka berjalan ringan seperti melangkah di timbunan 

awan.

Saat itu, malam hanya dibelah oleh suara satwa. Jangkrik 

memainkan tembang tak teratur, ditingkahi nyanyian katak-katak

yang tak mau kalah. Ditambah satu suara yang begitu mengusik 

malam, suara perut si lelaki buncit.

Dung, dung, dung!

“Buncit! Apa kau tak bisa sebentar saja meliburkan suara 

perutmu yang menjengkelkan itu?” gerutu si buta, satu dari Rase Tua 

Kembar.

Dengan kebutaannya, si Buta telah melatih telinganya 

menjadi demikian tajam. Suara yang dihasilkan perut si lelaki buncit 

tentu saja amat mengganggu telinganya yang memang peka.

“Tentu saja aku bisa membuang suara ini, asal perutku 

juga dibuang. Tapi, mana aku sudi membuang perutku, Buta,” sahut 

si Perut Gendang.

“Kalau begitu, biar kubantu dengan senang hati membuang 

perutmu!” kata si nenek buta gusar.

“Berhentilah kalian bertengkar!” sergah si nenek berkaki

kutung. “Kalian bukan anak kecil yang pantas ribut-ribut!”

Si Perut Gendang terbahak. Sedangkan si nenek buta 

cemberut.

Tepat di mulut pintu masuk candi, si pemuda hitam 

menyambut.

“Kenapa untuk membawa kelinci cantik seperti dia kalian 

begitu lama?” sambut si pemuda hitam. Sedikit pun sambutannya tak 

menyenangkan ketiga tokoh sesat yang baru tiba. Sambil berkata, 

mulutnya tak pernah lepas dari senyum lebar. Barisan gigi putihnya 

tampak terjilat siraman bulan.

“Banyak manusia yang hanya bisa bicara, tanpa 

melakukan apa-apa,” sindir si nenek berkaki kutung.

Pemuda berkulit hitam hanya menanggapi sindiran itu 

dengan senyum lebar khasnya.

“Kalian sudah ditunggu Sang Angkara di dalam,” kata 

pemuda gundul berkulit hitam kemudian. Mereka bersama-sama 

memasuki candi. 

***

Manusia Dari Pusat Bumi tampak duduk menunggu di atas 

undakan batu persegi yang sebenarnya digunakan untuk 

meletakkan sesajian, sewaktu candi itu masih dimanfaatkan ratusan 

tahun lalu. Di depannya, api unggun besar menjilat langit-langit 

ruangan.

Panasnya menggapai ke mana-mana. Dan cahayanya

menyapu dinding ruangan menjadi kemerahan terang.

“Kami sudah berhasil membawa gadis yang kau maksud, 

Sang Angkara,” lapor si Perut Gendang. Di kedikkannya bahu tempat 

Purwasih terkulai, seolah ingin menunjukkan hasil kerja mereka.

Manusia Dari Pusat Bumi alias Sang Angkara

mengangguk.

“Rantai wanita itu di ruang sayap kiri candi!” perintah Sang 

Angkara kemudian.

Si Perut Gendang melirik si pemuda hitam yang mengaku 

pada mereka bernama Gulili. Nama yang asing bagi telinga para

tokoh sesat itu. Bagi mereka, nama itu seperti mirip-mirip nama asal 

tanah India. Boleh jadi, Gulili memang berasal dari sana.

“Sekarang giliranmu, Gulili,” ucap si Perut Gendang.

“Giliranku apa?” tanya si pemuda hitam, berpura-pura tak 

mengerti.

“Kau dengar tadi, Sang Angkara menyuruh merantai gadis 

ini di ruang sayap kiri!” tandas lelaki buncit itu, agak membentak.

“Kau yang diperintah, bukan aku,” tolak Gulili tegas, 

mengetahui maksud si Perut Gendang di balik kalimatnya.

Si Perut Gendang mendelik pada pemuda berkulit hitam 

itu. Dia sungguh tak senang diremehkan Gulili yang jauh lebih muda. 

Apalagi, anak muda itu dianggap masih bau kencur karena di dunia 

persilatan namanya tak pernah muncul.

Gulili tampaknya tak gentar dengan ancaman mata si Perut 

Gendang. Dengan senyum lebarnya, lagi-lagi dia meremehkan tokoh 

kelas atas golongan sesat itu. 

“Sepertinya kau hendak menantangku, Pemuda Hitam?!” 

ucap si Perut Gendang, mulai terusik sikap Gulili.

“Apa pun sebutannya, yang jelas aku tak suka kau perintah 

seenaknya!” Gulili pun mulai terang-terangan menantang si Perut 

Gendang.

Rase Tua Kembar senang menyaksikan keduanya 

bersitegang. Bibir kedua nenek kembar itu mulai memunculkan 

senyum tipis. Barangkali, mereka berharap si Perut Gendang dan 

Gulili segera terseret dalam pertarungan.

Manusia Dari Pusat Bumi pun tampaknya tidak berniat 

cepat-cepat meredam perselisihan itu. Matanya terus mengawasi 

kedua lelaki jauh bertaut usia itu.

Tahu kalau Manusia Dari Pusat Bumi tak menggubris, si 

Perut Gendang segera menurunkan tubuh Purwasih dari bahunya.

“Kau ingin menjajalku, ya?!” ucap si Perut Gendang padat 

tekanan.

“Kalau itu maumu, aku tak akan menghindar,” balas Gulili 

mantap.

“Baik,” tandas si Perut Gendang datar. “Akan kita lihat, 

apakah kau sudah pantas bersekutu dengan kami, Pemuda Bau

Kencur!”

Dengan senyum khasnya, Gulili seolah menyetujui. Dari 

balik bajunya, si Perut Gendang mengeluarkan sabuk dari kulit ular 

yang selama ini hanya melilit perutnya yang kasar.

“Aku punya sabuk kulit ular. Sabuk ini adalah benda 

pusaka yang memiliki kekenyalan luar biasa. Tak akan terputus oleh 

tarikan seribu ekor banteng!” papar si Perut Gendang.

“Jelaskan saja, apa maumu dengan sabuk itu?!” selak 

Gulili.

“Aku akan mengikat satu ujung sabuk ini ke leherku. Ujung 

yang lain diikatkan ke lehermu. Dengan begitu, kita akan menguji 

ketangguhan. Kita akan tarik menarik ke depan dengan arah 

berlawanan. Siapa yang tak memiliki cukup kekuatan, akan mampus 

dengan leher tercekik. Atau..., terputus!” papar si Perut Gendang 

melanjutkan.

“Aaa! Permainan yang menarik!” seru Gulili, seolah 

kehilangan nyawa bagi dirinya hanya soal sepele. “Ayo kita mulai!”

Tanding kesaktian pun siap berlangsung.

Gulili telah mengikat satu ujung sabuk ke lehernya. Begitu 

juga si Perut Gendang. Kini, mereka berdiri saling membelakangi. 

Keduanya dihubungkan sabuk sepanjang dua tombak pada leher 

masing-masing. Tangan mereka pun sudah diturunkan ke belakang 

punggung.

“Kau sudah siap, Pemuda Bau Kencur?” tanya si Perut 

Gendang.

“Aku telah lebih siap darimu, Orang Tua Buncit,” sahut 

Gulili.

“Satu..., dua..., tiga, mulai!” kata si Perut Gendang, 

memberi aba-aba. Srat!

Sabuk pun menegang sekejapan mata Rentangannya 

bergetar halus sesaat, kemudian getaran menghilang. Baik Gulili 

maupun si Perut Gendang sudah sama-sama mengerahkan tenaga 

dalam masing-masing. Leher mereka sebagai daerah yang paling 

rawan, menjadi pusat penyaluran tenaga dalam. Dengan cepat 

wajah mereka memerah.

Sehebat-hebatnya seseorang, adu kekuatan tenaga dalam

dengan cara itu memang amat sulit dilakukan. Di samping 

dipusatkan pada bagian tubuh yang berbahaya, juga karena jeratan 

pada leher akan sangat mengganggu dalam memusatkan 

pengerahan tenaga dalam.

Dengan begitu, sebenarnya mereka tak sekadar menguji 

kekuatan, tapi sekaligus menguji kemampuan dalam memusatkan 

perhatian. Sedetik saja perhatian mereka goyah, maka lawan akan 

punya kesempatan menarik sabuk. Satu-satunya akibat adalah; mati!

Dengan keadaan tubuh condong ke depan, keduanya terus 

berkutat. Seluruh urat di sekujur tubuh mengejang penuh. Sementara 

itu, tanpa diketahui Gulili, Rase Tua Kembar diam-diam menyalurkan 

tenaga dalam membantu si Perut Gendang. Pada dasarnya, mereka 

memang tak suka pada si pemuda hitam. Selaku tokoh seangkatan, 

nenek kembar itu merasa dihina oleh sikap Gulili terhadap si Perut 

Gendang. Terlebih, sewaktu Rase Tua Kembar teringat pada 

keberhasilan Gulili mengirim serangan balasan pada Manusia Dari 

Pusat Bumi, saat uji tanding waktu itu.

“Biar kau mampus, Pemuda Besar Kepala!” rutuk si nenek 

buta dalam hati.

Pertarungan tak berimbang pun berlangsung. Gulili kini 

tidak hanya menghadapi kekuatan si Perut Gendang, tapi juga 

menghadapi kekuatan dua nenek yang segolongan dengan si Perut 

Gendang. Artinya, dia menghadapi tiga tokoh sesat kelas atas 

sekaligus!

Anehnya, tatkala tenaga Rase Tua Kembar mulai tersalur 

pada sabuk, pemuda berkulit hitam itu malah melepas senyum lebar-

lebar. Sepertinya, dia tahu ada yang tak beres dengan terlipatnya 

tenaga tarikan menjadi beberapa kali lebih kuat.

Di lain sisi, Rase Tua Kembar cukup terperanjat pada hasil 

yang terjadi. Mereka mengira, Gulili akan langsung tercekik lalu 

terseret ke belakang. Atau lebih parah lagi, kepalanya terputus dari 

badan. Kenyataan yang terlihat malah sebaliknya. Perlahan-lahan 

sabuk milik si Perut Gendang bergeser sedikit demi sedikit ke arah 

Gulili. Kuda-kuda pemuda itu pun sudah bergeser satu tindak ke 

depan.

Rase Tua Kembar kian terperanjat. Sedangkan si Perut

Gendang harus mati-matian mempertahankan tenaga yang terpusat 

di lehernya agar tak tercekik. Wajahnya sudah demikian matang. 

Bahkan otot- otot di wajahnya menonjol keluar.

“Gila! Tak pernah aku mendengar nama pemuda bau 

kencur ini. Tapi, kekuatannya ternyata sanggup memperdayai tenaga 

dalam kami,” ucap si nenek kutung membatin.

Kemudian dengan penuh rasa penasaran, Rase Tua 

Kembar menambah penyaluran tenaga dalamnya. Sabuk memang 

sempat berhenti bergeser beberapa saat. Tapi, selanjutnya 

pergeseran itu terjadi kembali.

Lebih edan lagi, Gulili malah melontarkan sebaris ejekan 

pada saat yang sudah tak mungkin lagi baginya untuk mengeluarkan 

sepatah kata pun.

“He he he! Apa kalian sejenis serigala-serigala ompong 

yang sudah kehilangan tenaga?!”

Rase Tua Kembar tak bisa lagi menahan keterpanaan. 

Mata mereka terbelalak, meski salah satu di antara mereka buta.

Kasihan si Perut Gendang. Matanya terbelalak bukan 

karena terperanjat, tapi karena lehernya kini benar-benar tercekik 

rapat. Jalan napasnya langsung terhambat. Lidahnya sudah menjulur 

keluar.

“Heeek!” jeritnya tertahan.

Pada saat paling berbahaya bagi si lelaki buncit itu, tenaga tarikan 

lawan mengendur, mengendur, dan akhirnya, sabuk itu tak lagi 

menegang.

Gulili tersenyum lebar. Dengan tenang, dilepasnya ikatan 

sabuk di leher, lalu dicampakkannya begitu saja ke lantai candi.

“Kini, biar aku saja yang akan merantai gadis ini ke ruang 

sayap kiri,” kata Gulili seraya menghampiri tubuh lunglai Purwasih. 

“Lagi pula, aku suka pada gadis cantik seperti dia.”

Si Perut Gendang hanya bisa menatapnya dengan dada 

terengah dan perut turun naik.

Gulili berlalu dari ruang itu, diikuti pandangan Manusia Dari 

Pusat Bumi penuh selidik.

***

Malam semakin larut. Kesunyian meniduri alam. 

Kepekatan berkuasa, manakala arakan mega hitam menggumpal 

menutupi angkasa.

Purwasih masih dalam keadaan taksadarkan diri. Gadis itu 

dirantai dalam keadaan tegak di dinding. Kaki dan tangannya 

terbelenggu rantai baja, membuatnya setengah tergelantung lunglai 

dengan ke- pala tergolek lemah ke bahu kiri.

Sesaat kemudian, gadis itu siuman.

“Hhh....,” Ienguh Purwasih beriring bergeraknya kepala. 

Kelopakmata indahnya mulai membuka perlahan.” Di mana aku?”

Sesaat gadis itu memandang ruangan dengan mata 

mengabur. Dan ketika tangannya bergerak tak disengaja, terdengar 

bunyi rantai baja. Bunyi itu segera menyadarkannya bahwa suatu 

yangburuk telah terjadi pada dirinya. Cepat tangannya dihentak. 

Setelah itu, dia makin sadar keadaan dirinya benar-benar tak 

menyenangkan.

“Rupanya aku telah ditahan manusia-manusia keparat itu,” 

bisik Purwasih manakala ingat kejadian terakhir, saat dikeroyok Rase 

Tua Kembar dan si Perut Gendang.

“Apakah kau menikmati mimpimu, Kisanak?” sapa 

seseorang dari pintu masuk di sebelah kiri Purwasih. Orang itu 

adalah Gulili.

Purwasih menoleh.

“Siapa kau?” tanya gadis itu. Sepanjang pengetahuannya, 

orang yang menahannya adalah nenek tua kembar dan seorang 

lelaki gemuk.

Gulili tidak menyahut. Didekatinya Purwasih. Seperti biasa, 

senyum lebarnya tetap terkembang.

“Kau memang belum pernah melihatku, Nisanak. Aku tidak 

turut dalam usaha penculikanmu,” kata Gulili.

“Aku tahu itu. Yang ingin kutahu, apa maumu ke sini?!” 

tanya Purwasih kasar.

“Aku?” Gulili tertawa terkekeh.

Sambil tertawa, mata Gulili tak kunjung lepas

memperhatikan lekuk-Iekuk tubuh Purwasih. Bajunya yang sudah

koyak-moyak tak karuan memunculkan sebagian kulit halus di 

baliknya.

“Kau pikir, apa yang hendak diperbuat seorang pemuda 

dengan seorang dara cantik menggoda sepertimu, Nisanak?!” ucap 

Gulili, nyaris berdesis seperti ular sanca yang begitu berselera 

melihat seekor kelinci tak berdaya.

“Jangan coba berani-berani kurang ajar padaku!” ancam 

Purwasih geram.

“Kalau aku berani kurang ajar, apa yang akan kau 

lakukan? Bukankah untuk menggerakkan tangan ke bawah saja 

sudah sulit?” cemooh Gulili, makin memuakkan Purwasih.

Pemuda berkulit hitam itu kian dekat. Selangkah demi 

selangkah, terus dihampirinya Purwasih. Matanya berkilat-kilat 

kurang ajar.

“Berhenti kau, Keparat! Jangan coba dekati aku!” hardik 

Purwasih, mulai kalap. Tubuhnya meronta-ronta liar. Tapi justru 

dengan begitu, dia makin terlihat menggiurkan.

“He he he! Kau rupanya sudah tak sabar untuk 

merangkulku, Cah Ayu,” goda Gulili.

“Tutup bacot busukmu itu! Kau pikir aku sudi melayanimu?! 

Chuih!”

“Ah! Percayalah, Nisanak. Kau akan segera memelukku 

erat-erat setelah tahu aku....” Gulili bertambah dekat. Jaraknya 

dengan Purwasih tinggal tiga langkah lagi. Dan tiba-tiba..

Srat!

Di depan Purwasih, pemuda berkulit hitam dan berkepala 

gundul itu menguliti kulit kepalanya! Perbuatannya benar-benar 

membuat mata Purwasih terbelalak lebar. Nyaris saja, dia menjerit 

karena begitu ngeri.

Selanjutnya, keterperangahan gadis itu bertambah. Kali ini 

bukan karena ngeri, tapi karena luapan kegembiraan yang 

membludak. Setelah kulit kepala dan wajah Gulili terlepas, muncullah 

wajah seorang pemuda yang amat dekat di hati Purwasih..., wajah 

Andika!

“Kau...,” desis Purwasih.

“Ya, aku. Sekarang, kau benar-benar akan memelukku,

bukan?” goda Andika.

Pemuda dari Lembah Kutukan menghampiri Purwasih 

lebih dekat. Sehingga, gadis itu bisa merebahkan kepala di dadanya.

“Sayang tanganmu dirantai, ya? Kalau tidak, tentu aku 

akan bisa sedikit menikmati pelukan hangatmu,” oceh Pendekar 

Slebor, tepat di sisi telinga Purwasih.

“Kau...,” ucap Purwasih, gemas.

“Adaouw!” teriak Andika tertahan dan tiba-tiba.

Rupanya, Purwasih menggigit keras-keras dada Andika. Gadis itu 

gemas mendengar ucapan Andika barusan.

“Cepat bebaskan aku!” hardik Purwasih.

“Baik. Tapi, biasanya untuk perbuatan baik seperti ini, 

orang selalu mengharapkan upah....”’

“Sudah tutup mulutmu, Andika!”

“He... he... he!’

Pendekar Slebor pun membebaskan Purwasih tanpa 

kesulitan sama sekali. Dengan sekali tebasan tangan, rantai baja 

yang membelenggu Purwasih terputus.

“Sekarang, bebaskan totokanku!” perintah Pur¬wasih.

“Tentu saja. Aku toh, tak sudi membopong-bopongmu 

keluar dari tempat ini.... Adouw!” Andika menjerit tertahan lagi. 

Rupanya, Purwasih menjitak kepalanya keras-keras.

Tak berapa lama kemudian, Andika dan Purwasih sudah 

terlihat mengendap-endap keluar dari candi tua. Dengan ilmu 

meringankan tubuh mereka yang telah tinggi, usaha mereka pergi 

dari tempat itu bisa cukup lancar.

Benarkah semuanya lancar? Tanpa diketahui keduanya, 

dua orang mengawasi di kejauhan. Di balik sebuah pohon besar, 

mereka mengintai sejak tadi. Bahkan sempat tahu penyamaran yang 

dilakukan Pendekar Slebor.


SEMBILAN


“Hendak ke mana kita?” tanya Purwasih pada Andika yang 

sudah mengenakan topengnya kembali. Kalau memperhatikan wajah 

palsu yang demikian sempurna itu, Purwasih jadi ingin meledak 

menahan tawa. Sulit dibayangkan kalau Andika, pemuda tampan 

dan mempesona, memiliki wajah yang mengge likan.

“Lebih baik kau segera menyingkir jauh-jauh dari candi itu,” 

kata Andika.

“Apa maksudmu? Kenapa bukan kita berdua? Kenapa 

hanya aku?” seruntun pertanyaan diajukan Purwasih.

“Karena aku masih mempunyai urusan yang belum 

terselesaikan,” jawab Andika.

“Lalu, kau pikir aku takut sehingga perlu disuruh 

menyingkir?”

“Bukan begitu. Mmm.... Maksudku, kau bisa mengacaukan 

penyamaranku.” dalih Andika. Padahal sebenarnya hatinya khawatir 

terhadap keselamatan gadis manis itu.

Purwasih baru hendak melontarkan sanggahan, ketika 

tiba-tiba saja tangan pemuda di sisinya mendekap mulutnya.

“Ssst,” bisik Andika. “Rasanya kita kedatangan tamu.

“Tepat! Kalian memang kedatangan tamu!” seru seseorang 

yang tiba-tiba muncul menyeruak deda- unan pohon besar.

“O! Kau, Perut Gendang!” sambut Andika yang telah 

berubah menjadi Gulili kembali.

“Tak usah berbasa-basi lagi, Gulili! Dari semula aku sudah 

curiga padamu!” bentak si Perut Gendang.

Purwasih maupun Andika mulai was-was. Kalimat lelaki 

buncit itu sepertinya hendak memojokkan Andika. Mungkinkah dia 

sudah mengetahui penyamaran Andika?

“Apa maksud kata-katamu, Perut Gendang?” tanya Andika, 

pura-pura tak paham.

“Kau pikir aku tak tahu kau berbicara sesuatu dengan 

gadis itu? Secara kebetulan, aku melintasi daerah ini. Dan 

kutemukan kau bersama gadis itu!” kata si Perut Gendang meledak-

ledak. “Kau pasti orang dari golongan putih! Bisa jadi juga, kau

adalah kawan Pendekar Slebor!”

“O, begitu. Biar kujelaskan....”

“Tak perlu dijelaskan!” terabas seseorang, memenggal 

ucapan Andika.

Rase Tua Kembar muncul pula di sana.

“Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu, 

Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus 

memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan 

membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu!” 

semprot si nenek berkaki kutung.

“Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor 

yang sedang menyamar?” selak si Perut Gendang.

“Ya! Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit?! 

Masa’ kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita, 

saat adu tenaga dengan sabuk mu!” si nenek buta ikut ambil bagian.

“Jadi kalian waktu itu membantuku? Dan, kita dikalahkan?” 

tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan.

“Ah, sudah! Jangan banyak tanya lagi, Buncit! Sekarang 

kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar 

usaha kita!” putus si kutung.

“Ya! Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor!”

Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan, 

terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi.

Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan 

langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat 

Rase Tua Kembar, pemuda bertaring itu menghentikan langkah. 

Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika.

“Untuk apa lagi topeng busuk itu?!” sentak Manusia Dari 

Pusat Bumi.

Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka. 

Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Gulili.

Srat!

Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih 

serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian 

menyapu tangan dan lehernya yang dihitamkan dengan sejenis 

getah. Dan kini, An¬dika berdiri dengan penampilan aslinya.

“Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?” 

seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para 

lawan.

Keempat tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka 

terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat 

terpancing hanya oleh perkataan seperti tadi.

Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata 

Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka 

untuk segera menghabisi Pendekar Slebor.

Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini 

sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut 

Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja 

mengeluarkan ilmu andalan masing- masing.

Rase Tua Kembar mengerahkan ajian ‘Rambut Liang 

Lahat’. Yang akan mampu melepaskan ulat- ulat ganas dan rakus 

berukuran sangat halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup 

menembus tubuh seseorang seperti percikan bara api menembus 

lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka semakin hancur 

tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan 

jasad mayat dengan amat rakus!

Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian ‘Hawa 

Neraka’. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan 

gelombang panas luar biasa yang tercipta dari perut besarnya. 

Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang 

kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim ke-

marau.

“Hiiiaaah!”

Wrrr!

Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas 

ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat. 

Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang 

kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang 

kecil yang menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan 

purnama, ulat-ulat kecil itu berkembang biak menjadi dua kali lipat. 

Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase 

Tua Kembar memberi makan dengan darah bayi yang baru saja

dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan 

bayi dari rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya 

tentu saja si nenek buta, saudara kembar nenek berkaki kutung.

Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara 

kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang 

menghimpun tenaga. Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga 

yang terpusat di bagian kepala akan melontarkan ulat-ulat ganas 

yang lebih kuat menembus daripada belati!

Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut, 

saudara kembarnya majuselangkah demi seIangkah. Telinganya 

yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga 

mampu menentukan letak lawan berada.

Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap 

dengan ‘Hawa Neraka’nya. Setelah mengatur napas, dan dia 

menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan. 

Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan 

jari-jari terkepal kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit 

perutnya mulai mengepulkan asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian 

sesatnya telah waktunya untuk dihentakkan keluar, membentuk 

angin pukulan panas dari lobang pusatnya.

Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan 

Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan 

kuda-kudanya menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih 

menghadap si Perut Gendang.

Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat.

Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang 

tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu 

langsung berdiri di sisi Andika dan Purwasih.

Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang. 

Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit 

dibedakan dengan pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat 

mirip Andika!

Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase 

Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun 

begitu.

“Aku tak mengerti,” desis Purwasih, terheran- heran.

“Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih,” kata

Andika yang baru datang. “Karena, kita harus menghadapi manusia-

manusia busuk ini.”

Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika 

pertama.

Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di 

antara dua Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli. 

Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli?

“Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat 

Bumi?” usik Andika kedua, mengejek.

Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang 

setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar 

Slebor yang sesungguhnya.

“Baik! Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan, 

siapa di antara kami yang asli,” kata Andika pertama.

Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut 

panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan.

Ternyata, dia adalah Raja Penyamar!

Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan 

menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang 

ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar 

memakai dua topeng sekaligus.

Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua 

Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan 

ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah 

seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang. 

Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja 

Penyamar sudah lama malang melintang membabati tokoh-tokoh 

atas golongan sesat.

Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari 

mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan 

putih itu. Bisa selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah 

terlalu bagus.

“Ada apa, Kutung? Kenapa kau tampak begitu bergetar?” 

tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui 

wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini.

“Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi

tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?” bisik si nenek kutung.

“Ra.... Raja Penyamar?” desis si nenek buta ter- gagap.

“Ya! Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar 

Slebor! Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat 

membantu si Perut Gendang mengadu kekuatan....”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si nenek 

buta, bimbang.

“Kau pikir, kita harus menghadapinya?!” hardik si kutung 

tertahan. “Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat 

menyingkir!”

“Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?”

“Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan 

kehebatannya, agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar! 

Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja 

Penyamar?!”

“Jadi kita lari?”

“Ayo, tunggu apa lagi?!”

Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar 

membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari 

Pusat Bumi yang telah mengangkat mereka menjadi pengikut. 

Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar.

Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang 

kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut 

boros itu pun ikut buron.

Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat 

tahu kehebatan Raja Penyamar.

“Kalian manusia bodoh!” maki Manusia Dari Pusat Bumi, 

amat geram.

Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja. 

Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa 

banyak tindak lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi-

tinggi lebih cepat dari gerak lari para pengikut pengkhianatnya. 

Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya.

Slash!

Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung


menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan 

gaib yang terkandung di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu 

mematung seketika!

“He he he! Sang Angkara tidak mau ditinggal para 

patihnya!” cemooh Andika.

Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah 

Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan.

Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar 

setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika. 

Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat 

menghilang. Raja Penyamar pun dapat kembali menempati raganya 

yang telah pulih. Dengan seizin Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua 

itu bisa hidup kembali!

Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya 

untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia 

Dari Pusat Bumi. Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi 

‘penyempurnaan kalbu’ sesuai petuah Sang Pangeran.

Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa 

menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak 

menjadikan Purwasih sandera!

“Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan 

kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun, 

aku belum lagi tahu kelemahanmu!” ancam Manusia Dari Pusat 

Bumi.

“Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum 

mengetahui kelemahanku,” ledek Andika lagi.

“Tak usah banyak mulut. Hiaaa!”

Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari 

Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabi buta ke arah 

Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam 

kegelapan dikerahkannya saat itu juga.

Deb!

Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke 

depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak 

ke samping, Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi 

kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke

selangkangan Manusia dari Pusat Bumi.

Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak 

tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan.

Tagh!

Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya 

terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam 

dari alam siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur 

lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis 

tiap kali satu pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya.

Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba 

Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu 

serta Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi 

tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode : 

“Pengadilan Perut Bumi”).

Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi, 

Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak 

tangan ke masing-masing telinga.

Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi 

telinga.

Prak!

Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang 

diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan 

mereka kembali, tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu 

jelas amat menguntungkan Manusia Dari Pusat Bumi. Di samping 

kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan tenaga.

Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus 

menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika 

segera mengubah siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke 

belakang. Sekitar tujuh tombak dari tempat semula, putaran 

tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi. 

Dan....

“Heaaa!”

Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun 

diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang 

tercipta di Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan. 

Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir!

Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar 

Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan?

Disiapkannya jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Sebuah 

jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus, 

kecepatannya bahkan membuat tubuh Pendekar Slebor sudah 

seperti bayangan yang berkelebat ngawur.

Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari 

pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan 

penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur 

akan dipergunakan.

Cletar! Wush!

Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas, 

Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar 

Lembah Kutukan yang amat disegani di seantero dunia persilatan. 

Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan.

“Khiaaah!”

Cletar! Srel!

Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di 

satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran 

angin puting beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan 

batu- batu sebesar kepalan tangan.

Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba- tiba 

mencelat keluar berkawal erangan menggiris.

“Wuaaa!”

Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak 

lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di 

tangannya telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi, 

hingga terpaksa harus melompat jauh-jauh ke belakang.

“Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor!” desis 

Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat 

Andika.

Usai berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat 

tangan kanannya tinggi-linggi.

“Andika! Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya!” 

seru Raja Penyamar, memperingati.

Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu- tunggu

Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas 

membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat 

Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia 

bertekad menghancurkannya!

Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap, 

tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin 

bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib.

Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarakdelapan 

tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh 

kecepatan puncak warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum 

sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehi-

langan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan....

Wusss!

Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian 

lawan, Pendekar Slebor menggenjot puncak kecepatannya. 

Tubuhnya melesat lebih cepat dari pada angin, menuju Manusia Dari 

Pusat Bumi.

“Andika! Jangan!” seru Raja Penyamar untuk kedua 

kalinya. Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan 

Pendekar Slebor mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri. 

Lalu....

Blarrr!

Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan 

menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib. 

Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber.

“Waaa!”

Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu 

membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu 

langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul 

bunyi ledakan.

Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja 

Penyamar.

“Andika! Kau salah langkah! Cermin itu tak bisa dikalahkan 

dengan nafsu! Apa kau lupa petuah...,” kata Raja Penyamar 

menasihati tanpa mendekat.

“Petuah Sang Pangeran...,” desis Pendekar Slebor,

menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar, 

telah melakukan kesalahan.

“Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa 

langsung merebut cermin itu,” kata Andika. “Tapi, rupanya aku salah 

paham. Semadi itu justru untuk melatihbertahan menghadapi 

serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan....”

Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya. 

Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang 

keluar dari mulut dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua 

telapak tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam. 

Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai.

Pendekar Slebor telah mencapai taraf ‘Menyucikan Kalbu’ 

dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya 

bahkan tak menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang 

maha luas. Dirinya telah menyatu dengan alam.

Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu 

menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam 

dari cerminnya.

Siiing!

Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika. 

Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran 

cahaya warna-warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan 

Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya 

cahaya itu.

Dari serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah 

tangan-tangan besar berbulu. Semuanya menghantami Andika dari 

berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap perkasa pemuda 

itu terhempas kian kemari.

Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh 

hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap 

dalam keadaan semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara 

wajahnya tetap membersitkan keteduhan dan kedamaian.

Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar 

merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup 

mega mendung yang pekat. Lalu....

Slat... glar!

Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran 

serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit. 

Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika.

Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti 

tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang 

tangannya yang semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan. 

Dan....

“Aaa...!”

Blasss!

Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar 

Slebor, menyambar langsung ke arah Cermin Alam Gaib yang 

sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara.

Ctarrr!

Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah 

sirna. Ratusan tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan.

Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu, 

terdapat setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis. 

Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah 

memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.

Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana. 

Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya? 

Di langit, seberkas cahaya merah darah mela- yang cepat 

bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema 

yang timbul tengg lam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor!

Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua 

Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa 

wujud. Mereka melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini 

jauh lebih terbirit-birit manakala mereka menyaksikan tu¬buh 

pemimpin baru mereka tinggal berwujud setumpuk debu.



                        SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar