"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 22 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE LIMA JALAN DARAH

Lima Jalan Darah

 

LIMA JALAN DARAH

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Lima Jalan Darah

128 hal.


1


Malam merangkak naik. Makin jauh tenggelam 

dalam kegelapan mengurung jalan setapak yang dipe-

nuhi ilalang lebat dan pepohonan besar. Suasana ba-

gai mati belaka. Di atas sana, awan hitam membulat 

tebal bagaikan wanita bunting yang siap melahirkan. 

Suasana begitu mencekam dan mengerikan, kala tak 

seekor binatang malam pun terlihat.

Tak semestinya bila ada orang yang melintasi 

jalan setapak itu. Malah justru menghentikan larinya 

di sana. Dan itu yang dilakukan satu sosok berwajah 

mirip tengkorak. Rambut acak-acakannya tergerai 

hingga ke pinggul. Mata celongnya yang berwarna ke-

labu melihat ke kanan-kiri. Hanya kesepian belaka.

"Brengsek! Di mana tempat yang tepat bagiku 

untuk mengobati manusia jelek ini?!" maki sosok ber-

wajah tengkorak yang ternyata perempuan berpakaian 

hitam. Dari tubuhnya menebar bau yang sangat bu-

suk.

Rupanya, si perempuan sedang memanggul sa-

tu sosok tubuh yang sedang pingsan. Padahal, sosok 

yang dipanggul berbobot dua kali lebih besar. Tapi dia 

enak saja membawanya. Bisa jadi kepandaian tokoh 

ini sudah sangat tinggi.

"Pendekar Slebor keparat!" desis sosok itu den-

gan kegeraman menggelegak. "Setelah kuobati Hantu 

Gigi Gading ini, kau akan berhadapan kembali dengan 

Dewi Sungai Bangkai! Akan kubalas kematian saha-

batku si Gampo Sinting!"

Sosok berwajah tengkorak ini memang tak lain 

dari Dewi Sungai Bangkai, Penguasa Sungai Bangkai. 

Sungai yang bukan berisi air tenang, tapi berisi air bu-

suk yang penuh mayat

Benak Dewi Sungai Bangkai teringat pertarun-

gan terakhirnya dengan Pendekar Slebor di Gunung 

Kidul. Di tempat itu sahabatnya si Gampo Sinting te-

was. Sedang Hantu Gigi Gading terluka parah (Untuk 

lebih jelasnya, silakan baca Pendekar Slebor dalam ep-

isode: Tasbih Emas Bidadari").

Sosok bau busuk itu berkelebat lagi. Dia ber-

henti begitu melihat sebuah gubuk yang sudah miring 

ke kiri.

"Hmm.... Pasti milik para penebang kayu. Ini 

menguntungkan bagiku," gumamnya.

Si perempuan merebahkan tubuh Hantu Gigi 

Gading yang luka parah akibat sambaran pedang mu-

rid Malaikat Putih Bayangan Maut yang bernama Nila-

kanti. Namun Dewi Sungai Bangkai mengesampingkan 

soal Nilakanti. Yang diinginkannya hanya Pendekar 

Slebor. Si pemuda berwatak semau udelnya itulah 

yang menggagalkan seluruh keinginan si Gampo Sint-

ing untuk mendapatkan pusaka Tasbih Emas Bidadari 

milik Ki Bubu Jagat. Dan yang membuatnya makin ur-

ing-uringan setelah tahu kalau Pendekar Slebor-lah 

yang memiliki pusaka langka itu.

Dewi Sungai Bangkai memeriksa tubuh Hantu 

Gigi Gading. "Edan! Lukanya begitu parah! Sabetan 

pedang ini begitu dalam! Kalau tidak segera kutolong, 

tamat riwayatnya!"

Si perempuan tua berbaju hitam bau busuk itu 

terdiam. Mulutnya berkomat-kamit. Kalau sudah begi-

tu, makin seram saja wajahnya. Ketika kedua tangan-

nya berubah hitam legam, perlahan-lahan di-

tempelkan di tubuh Hantu Gigi Gading. Si lelaki kon-

tan melejang-lejang, namun tetap dalam keadaan ping-

san.

Hampir sepeminuman teh Dewi Sungai Bangkai 

berkutat mengobati Hantu Gigi Gading. Keringatnya

yang baunya seperti kencing kuda membasahi sekujur 

tubuhnya yang apek.

"Kau berhutang nyawa denganku, Monyet Je-

lek!" makinya sambil mengambil sikap semadi.

Baru saja mata celong si perempuan tua terpe-

jam, tiba-tiba saja terdengar deru angin luar biasa ke-

rasnya. Serentak dengan kecepatan tinggi, Dewi Sun-

gai Bangkai menyambar tubuh Hantu Gigi Gading 

yang baru saja diobatinya. Dengan pencalan satu kaki, 

tubuhnya melesat ke luar.

Duaaar!!

Terdengar suara ledakan keras. Dan gubuk 

yang baru saja didiami itu telah hancur berantakan.

"Setan keparat! Iblis mana yang berani menjual 

lagak di hadapanku!" bentak Dewi Sungai Bangkai se-

telah meletakkan tubuh Hantu Gigi Gading di tempat 

agak tersembunyi.

"Malam-malam begini tercium bau busuk! 

Hoiii.... Siapa yang belum mandi?! Makanya, lebih baik 

mampus saja daripada membuat hewan-hewan di sini 

tak ada yang keluar seekor pun!"

Terdengar suara penuh wibawa yang bergema 

di sekitar. Lalu disusul berkelebatnya satu bayangan 

biru menyala ke arah Dewi Sungai Bangkai dan ber-

henti di depannya.

***

Dewi Sungai Bangkai memicingkan mata ce-

longnya, menatap satu sosok pemuda tegap berwajah 

tampan berdiri di hadapannya. Pakaiannya warna biru 

menyala. Terbuka di bagian atas, hingga memper-

lihatkan bagian dadanya yang bidang. Rambutnya 

yang panjang digelung ke atas. Meskipun wajahnya 

sangat tampan, namun sinar matanya memperlihatkan

kekejian luar biasa.

"Orang muda keparat! Siapa kau?!"bentak Dewi 

Sungai Bangkai keras.

"Brengsek! Rupanya ada mayat hidup di sini! 

Pantas baunya sampai ke mana-mana!"

"Orang muda kurang ajar! Ku sobek mulutmu!" 

"Bicaramu yakin sekali. Tapi aku ingin bukti!" 

"Pemuda hina dina! Mampuslah kau!"

Meski sudah kenyang menelan asam garam 

dunia persilatan, tak urung Dewi Sungai Bangkai ter-

pancing juga. Tangannya langsung bergerak cepat. 

Maka lima larik sinar hitam tiba-tiba melesat dahsyat.

Namun si pemuda berpakaian biru menyala 

hanya tertawa. Lima jengkal serangan itu berada di 

depannya, dia melompat ke samping. 

Jdar! Jdar...!

Lima sinar hitam luput mendarat di sasaran, 

dan hanya menghantam pohon-pohon di sana hingga 

bertumbangan dan hancur berantakan.

Di luar dugaan si pemuda, bau busuk menda-

dak tercium. Dan ini sangat menyesakkan dadanya. 

Malah, lehernya terasa bagai dililit tali kasatmata. Dan 

nafasnya pun tiba-tiba tersendat. Pukulan yang dile-

paskan Dewi Sungai Bangkai memang sangat hebat.

"Rasakan ajian kebanggaanku, 'Angin Bangkai 

Melilit Leher'! Makanya, kau jangan menjual lagak di 

sini! Dan aku tak pernah mengampuni siapa pun ju-

ga!"

Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai 

mengirimkan ajian kebanggaannya kembali. Maka bau 

busuk yang sangat menyengat makin mengunci gerak 

tubuh si pemuda. Semakin keras tawa Dewi Sungai 

Bangkai melihat pemuda itu tahu-tahu ambruk sambil 

memegang lehernya.

"Cih! Kau belum mengenalku rupanya!"

Tanpa peduli lagi, Dewi Sungai Bangkai me-

langkah untuk mengambil tubuh Hantu Gigi Gading 

yang masih pingsan. Dan dia bermaksud untuk me-

ninggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya me-

langkah dua tindak....

"Mau ke mana kau, Orang Tua?"

Dikawal satu keterkejutan, Dewi Sungai Bang-

kai menoleh. Dan perempuan tua ini benar-benar 

hampir tak bisa mempercayai pandangannya sendiri. 

Pemuda yang tadi sudah ambruk itu berdiri tegak den-

gan kedua tangan bersedekap di dada dalam keadaan 

segar bugar.

"Kau?!"

"Sudah kukatakan tadi, bicaramu terlalu yakin. 

Kenyataannya, hanya pepesan kosong!" leceh si pemu-

da berbaju biru. Tatapannya memancarkan sinar pa-

nas, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi 

mpot-mpotan. Termasuk Dewi Sungai Bangkai yang 

mendadak bulu kuduknya meremang.

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" Entah 

apa sebabnya, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari 

bibir keriput si perempuan tua.

"Itukah pertanyaan terakhir menjelang ajalmu? 

Ha ha ha...! Aku suka sekali memberitahukan siapa di-

riku pada orang yang akan mampus! Panggil aku den-

gan sebutan Lima Jalan Darah!" seru si pemuda den-

gan suara ditekan.

Kening keriput Dewi Sungai Bangkai berkerut. 

Baru kali ini telinganya mendengar seorang tokoh mu-

da yang berjuluk Lima Jalan Darah.

"Lima Jalan Darah! Sebuah julukan yang lu-

mayan! Tapi, sayang. Tak membuat nyaliku kendor. 

Huh! Aku jadi ingin melihat kehebatanmu!"

Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai 

berkelebat laksana anak panah terlepas dari busur.

Gebrakannya sangat dahsyat, menebarkan bau busuk 

luar biasa.

Kalau tadi si pemuda nampak tenang-tenang 

saja, kali ini tubuhnya pun berkelebat cepat ke arah 

Dewi Sungai Bangkai.

Des! Tuk!

Benturan keras itu terjadi. Tubuh Dewi Sungai 

Bangkai terlontar empat tombak ke belakang. Malah 

tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil hebat. Kaki

sebelah kanannya tak dapat digerakkan lagi. Sementa-

ra pemuda yang mengaku berjuluk Lima Jalan Darah 

mendarat empuk di tanah sambil menebarkan senyum 

dingin.

"Yang baru kulakukan adalah totokan jalan da-

rah ke satu. Masih ada empat buah lagi jalan darah 

yang harus ku matikan. Sehingga kau tak akan mam-

pu menggerakkan tubuhmu sedikit pun. Hm.... Sangat 

menyenangkan bila melihatmu tersiksa. Karena, aku 

memang gemar sekali menyiksa orang!"

Sehabis menyelesaikan kalimatnya, mendadak 

tubuh Lima Jalan Darah berkelebat sangat cepat. Ke-

dua tangannya bergerak amat cepat, sebanyak dua kali 

ke arah leher dan pinggul Dewi Sungai Bangkai. 

Tuk! Tuk!

Dikawal satu keterkejutan yang amat sangat, 

Dewi Sungai Bangkai merasakan lehernya bagai patah. 

Sementara pinggulnya seakan lepas dari tubuhnya.

"Setan keparat!" maki si perempuan tua dengan 

tubuh goyah.

"Sesuai julukanku, totokan 'Lima Jalan Darah' 

terdiri dari lima cara menuju kematian dengan meno-

tok jalan darah di tubuh lawan. Orang yang terkena to-

tokan yang kesatu, maka tubuhnya sudah mati seper-

lima. Meskipun masih bisa bergerak, namun dalam 

waktu lima hari akan mati. Bila terkena totokan ke

dua, dia tak akan mampu lagi bernapas seperti biasa. 

Meskipun masih selamat, namun akan mati dalam 

waktu empat hari. Bila terkena totokan ketiga, maka 

sendi-sendinya akan mati. Meskipun masih selamat, 

namun akan mati dalam waktu tiga hari. Bila terkena 

totokan keempat, maka seluruh kekuatan otot yang 

ada di tubuhnya akan hilang. Meskipun masih sela-

mat, namun akan mati dalam waktu dua hari. Dan bila 

terkena totokan yang kelima, maka aliran darahnya 

terhenti. Bahkan jantungnya akan mencelat keluar. 

Dia akan mati saat itu juga! Kau masih beruntung ka-

rena masih kuberi kesempatan untuk hidup, Dewi 

Sungai Bangkai. Sehingga, aku tak melakukan totokan 

yang kelima secara langsung. Bukankah tadi kukata-

kan, aku sangat senang sekali menyiksa lawan-

lawanku? Ha ha ha...!"

Tubuh Dewi Sungai Bangkai bergetar hebat. 

Getaran itu terjadi di samping rasa gelegak marahnya, 

juga seluruh tubuhnya bagai tak mampu melakukan 

apa-apa. Sementara, hawa napas terus menyengat.

"Bila kau memang jantan, bunuh aku!" sentak 

Dewi Sungai Bangkai, mulai putus asa.

"Hm.... Totokan jalan darah pertama, kedua, 

dan ketiga pada dirimu sudah cukup mengirimmu ke 

neraka!"

"Keparat buduk! Iblis kau!"

Lima Jalan Darah terbahak-bahak.

"Kau sekarang menjadi orang suci rupanya! 

Nama Dewi Sungai Bangkai sudah lama kudengar ka-

rena kekejaman dan kebusukan hati iblisnya. Namun 

sekarang, begitu suci sekali laksana dewi!"

Mata Dewi Sungai Bangkai bagai hendak me-

loncat dari rongganya. Mulutnya yang keriput tanpa 

gigi merapat tajam.

"Tetapi, aku akan mengampuni nyawa busuk

mu, bila kau bersedia memenuhi dua persyaratanku!" 

lanjut si pemuda.

"Keparat! Tak sudi aku diperintah seperti itu!" 

dengus si perempuan tua.

"Hm... Ingat saja. Kau sudah terkena totokan 

jalan darah ketiga. Berarti, tiga hari lagi kau akan 

mampus! Dan yang perlu diketahui, setiap tengah ma-

lam, tubuhmu akan semakin terasa panas. Sehingga

akhirnya kau akan mampus dengan tubuh meledak!"

Pucatlah wajah si perempuan keji itu. Meski-

pun dalam keadaan tak berdaya, otak warasnya masih 

bisa dipergunakan. Dia harus membunuh Pendekar 

Slebor. Kalau mampus sekarang, berarti tak pernah bi-

sa membalaskan sakit hati sahabatnya, si Gampo Sint-

ing.

"Katakan!" ujarnya dengan suara ditekan.

"Sudah kuduga kau akan menyetujuinya! Den-

gar baik-baik! Pertama, setelah kubebaskan dari segala 

jalan darah yang kulakukan kepadamu, kau harus jadi 

pengikutku! Katakan sekarang juga, sebelum kulan-

jutkan yang kedua!"

Sambil menahan kegeraman luar biasa, Dewi 

Sungai Bangkai mengangguk.

"Setan tua bau tanah!"

Diiringi satu desisan, tangan Lima Jalan Darah 

bergerak. 

Wusss! Plass!

Angin dingin kontan menampar pipi Dewi Sun-

gai Bangkai. Si perempuan tua terguling ke belakang 

disertai muntahan darah.

"Aku bukan ingin melihat anggukan atau gelen-

gan! Aku ingin kau bersuara!" tandas si pemuda.

"Ya!" seru Dewi Sungai Bangkai keras dengan 

tubuh bergetar menahan marah.

Tawa Lima Jalan Darah semakin mengeras.

"Menyenangkan sekali memiliki seekor anjing 

setia sepertimu! Tetapi, jangan berbahagia dulu! Kare-

na bila kau tak bisa memenuhi persyaratan kedua, 

akan percuma saja menyetujui persyaratanku yang 

pertama!"

"Katakan, Keparat!"

"Aku sedang mencari seorang pemuda berbaju 

hijau pupus dan memiliki sehelai kain bercorak catur! 

Julukannya, Pendekar Slebor! Bila kau mengetahui di 

mana pendekar sialan itu, maka kau akan kube-

baskan!"

Kening Dewi Sungai Bangkai berkerut. Persya-

ratan yang sangat mudah sekali. Tetapi dia ingin tahu 

dulu, mengapa Lima Jalan Darah hendak mencari 

Pendekar Slebor.

"Mengapa kau mencarinya?" tanya si perem-

puan tua, tak dapat menahan rasa penasarannya.

"Ini urusanku!" bentak Lima Jalan Darah.

"Aku mengetahui dia berada di mana!"

"Katakan!" tandas Lima Jalan Darah, mengan-

dung kegeraman tinggi.

"Katakan pula, apa maksudmu untuk menca-

rinya?"

"Hhh! Pendekar Slebor katanya memiliki kesak-

tian setinggi langit. Tapi dia harus mampus di tangan-

ku! Aku muak mendengar orang-orang rimba persila-

tan kerap kali menyanjung kesaktiannya. Juga, karena 

dia telah membuat malu sahabatku yang berjuluk Ma-

laikat Mata Satu!" papar Lima Jalan Darah dengan wa-

jah memerah.

Si pemuda teringat bagaimana ketika Malaikat 

Mata Satu datang ke kediamannya di Gua Seribu Da-

rah dalam keadaan luka parah. Laki-laki bermata satu 

itu menceritakan semua yang terjadi. Maka hati Lima 

Jalan Darah kontan bagai teraduk-aduk ketika mendengar siapa yang telah mempermalukan sahabatnya. 

Pendekar Slebor-lah orangnya.

Setelah berhasil mengobati sahabatnya itu, si 

pemuda pun segera meninggalkan Gua Seribu Darah. 

Dia bermaksud mencari Pendekar Slebor. Di samping 

ingin membalaskan sakit hati Malaikat Mata Satu, juga 

ingin membuktikan omongan orang-orang yang mem-

bicarakan tentang kehebatan Pendekar Slebor. Telah 

dua bulan dia mencari Pendekar Slebor (Untuk menge-

tahui siapa adanya Malaikat Mata Satu, silakan baca : 

"Jodoh Sang Pendekar").

Lima Jalan Darah sebenarnya dulu hanyalah 

seorang pemuda kurus yang tak berdaya. Tak memiliki 

sanak saudara. Dan secara tak sengaja, dia tiba di Gua 

Seribu Darah yang sebelumnya dihuni dedengkot sesat 

rimba persilatan, Setan Seribu Darah. Di tangan laki-

laki tua bangka kejam itulah si pemuda digembleng 

menjadi salah seorang tokoh sesat yang kini patut di-

perhitungkan.

Sejak pertama kali bertemu Setan Seribu Da-

rah, si pemuda yang sebelumnya bernama Sabur San-

tang, telah diubah dengan panggilan Lima Jalan Da-

rah. Sebagai murid Setan Seribu Darah, Lima Jalan 

Darah pun telah berubah menjadi tokoh kejam. Di 

tangannyalah seluruh keinginan Setan Seribu Darah 

berhasil dijalankan. Hingga akhirnya, dia pun men-

genal tokoh Malaikat Mata Satu dan menjadi saha-

batnya. 

Setelah sepuluh tahun berlalu, Setan Seribu 

Darah pun meninggalkan Gua Seribu Darah untuk 

mencari musuh bebuyutannya yang berjuluk Penghulu 

Segala Ilmu. Pada satu pertarungan, Setan Seribu Da-

rah berhasil dikalahkan Penghulu Segala Ilmu. Dan dia 

pun mengasingkan diri di Gua Seribu Darah sekaligus 

memperdalam kesaktiannya. Baru setelah itu dia ke

luar dari gua untuk mencari Penghulu Segala Ilmu.

Sejak saat itulah Lima Jalan Darah tak lagi ke-

luar dari Gua Seribu Darah, karena sangat mentaati 

perintah gurunya yang sedang mencari musuh be-

buyutannya.

Namun kehadiran sahabatnya yang berjuluk 

Malaikat Mata Satu yang terluka parah di tangan Pen-

dekar Slebor, menyebabkan Lima Jalan Darah melang-

gar amanat gurunya. Karena menurut perhitungannya, 

dia akan bisa membalaskan sakit hati Malaikat Mata 

Satu pada Pendekar Slebor sebelum gurunya tiba 

kembali di Gua Seribu Darah.

Sementara itu, Dewi Sungai Bangkai terdiam. 

Matanya yang celong ke dalam semakin masuk saja 

ketika memperhatikan sosok berpakaian biru di hada-

pannya. Dia pernah mendengar julukan Malaikat Mata 

Satu. Tetapi bagaimana mungkin pemuda yang menu-

rut perhitungannya baru berusia sekitar dua puluh ti-

ga tahun, bersahabat dengan Malaikat Mata Satu yang 

berusia sekitar lima puluh tahun? Tetapi, keheranan-

nya tidak diutarakannya. Karena dalam persahabatan 

tak mustahil hal itu terjadi.

Dan mendengar keinginan Lima Jalan Darah 

untuk membunuh Pendekar Slebor, Dewi Sungai 

Bangkai bagai melihat kesempatan emas di depan ma-

tanya. Kini dia pun tahu, kalau Lima Jalan Darah yang 

masih muda dan memiliki kesaktian tinggi, ter-nyata 

satu golongan dengannya.

"Aku tahu tentang Pendekar Slebor!" cetus si 

perempuan tua, tanpa ragu.

"Katakan cepat!" ujar si pemuda mendesis tidak 

sabar.

Dewi Sungai Bangkai menceritakan apa yang 

baru dialaminya dengan Pendekar Slebor.

"Dia kini telah memiliki pusaka langka yang

ternyata Tasbih Emas Bidadari. Aku pun mempunyai 

keinginan yang sama denganmu untuk membunuh-

nya!" ungkap Dewi Sungai Bangkai.

"Bagus, bagus sekali! Malaikat Mata Satu akan 

senang bila mendengar pendekar keparat itu telah 

mampus di tanganku! Dan aku bisa kembali ke Gua 

Seribu Darah!"

Lima Jalan Darah lantas berkelebat ke arah 

Dewi Sungai Bangkai. Tangannya bergerak tiga kali.

Tuk! Tuk! Tuk!

"Aaah...!"

Seketika, totokan jalan darah pada tubuh Dewi 

Sungai Bangkai terbuka. Tubuh perempuan tua sesat 

itu bukan hanya mengejut, tetapi juga terjungkir di-

sertai teriakan keras. Karena, totokan pembuka itu te-

rasa menyakitkan sekali.

Lima Jalan Darah hanya tersenyum dingin.

"Sekarang, kita cari Pendekar Slebor! Akan ku-

habisi dia dengan jurus 'Lima Jalan Darah'!" kata Lima 

Jalan Darah, terdengar memuakkan.

Dewi Sungai Bangkai mengangguk. Nyeri akibat 

pembuka totokan yang dilakukan Lima Jalan Darah 

masih terasa. Namun diam-diam keningnya berkernyit, 

ketika tadi mendengar dari mana asal Lima Jalan Da-

rah.

Gua Seribu Darah, setahu Dewi Sungai Bangkai 

adalah tempat kediaman Setan Seribu Darah yang 

pernah dikalahkan Penghulu Segala Ilmu puluhan ta-

hun lalu. Kalau memang cerita pemuda ini benar bisa 

dipastikan dia adalah murid dari Setan Seribu Darah, 

salah satu dedengkot rimba persilatan yang banyak 

menurunkan tangan telengas. Namun si perempuan 

tua tak mau memikirkan soal itu lagi. Yang terpenting 

sekarang, dia merasa memiliki bantuan yang tak terni-

lai dari Lima Jalan Darah untuk menghancurkan Pen

dekar Slebor!

"Hantu Gigi Gading pasti akan senang bila tahu 

semua ini," pikirnya. Lalu tubuhnya berkelebat untuk 

mengambil tubuh Hantu Gigi Gading yang masih ping-

san.

***

2


Matahari tak henti merangkak naik. Dua anak 

muda di bawahnya pun juga tak henti melangkah. Pa-

dahal peluh telah membasahi tubuh. Mereka adalah 

seorang pemuda dan seorang gadis.

"Ngomong-ngomong, masih jauhkah Lembah

Matahari itu, Nila?" tanya si anak muda yang berpa-

kaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersam-

pir di bahu. Rambutnya yang gondrong acak-acakan 

dipermainkan oleh angin lembut.

"Kita masih membutuhkan waktu sekitar tiga 

hari, Kang Andika...," sahut gadis di sebelah si pemu-

da. Wajahnya sangat cantik. Pakaian berwarna putih 

dengan ikat kepala berwarna sama. Rambutnya pan-

jang sebahu. Di punggungnya bertengger sebilah pe-

dang berhulu ukiran kepala naga dengan warangka in-

dah.

Sesekali si pemuda yang tak lain Andika alias 

Pendekar Slebor melirik Nilakanti. Entah apa arti liri-

kannya. Saat ini mereka sedang menuju Lembah Ma-

tahari. Sesuai amanat Sapta Jingga sebelum ajalnya, 

Pendekar Slebor diminta menyerahkan Tasbih Emas 

Bidadari, kepada Malaikat Putih Bayangan Maut bila 

telah berhasil mendapatkannya. Dan secara tidak ter-

duga buat Andika, ternyata Nilakanti adalah murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut. (Baca: "Tasbih Emas 

Bidadari").

Andika sebenarnya khawatir terhadap Tasbih 

Emas Bidadari yang berada di balik baju hijau pupus-

nya. Karena dia yakin, Dewi Sungai Bangkai yang 

membawa lari tubuh Hantu Gigi Gading tak akan ting-

gal diam. Apalagi menurut Nilakanti, mereka masih 

membutuhkan waktu sekitar tiga hari lagi untuk tiba 

di Lembah Matahari. Padahal, mereka sudah berjalan 

selama tujuh hari.

Lain halnya Nilakanti. Bila Andika agak cemas 

memikirkan kemungkinan itu, gadis jelita ini nampak 

gembira sekali. Kegembiraannya ada dua hal. Pertama, 

karena telah menunaikan amanat gurunya untuk 

mendapatkan Tasbih Emas Bidadari yang sekarang be-

rada pada Pendekar Slebor. Dan yang kedua, karena 

berjalan bersama pendekar gagah perkasa yang ba-

nyak dibicarakan orang. Meskipun pada awal-nya, Ni-

lakanti agak jengkel melihat sikap Andika yang urakan 

dan suka berbicara seenak jidatnya saja. Namun, la-

ma-kelamaan dia tahu kalau di balik sikap yang ura-

kan Pendekar Slebor tersimpan kelembutan dan kebi-

jaksanaan berpikir.

Ketika mereka tiba di sebuah desa, tanpa dis-

adari ada empat pasang mata mengawasi dengan pe-

nuh hasrat.

"Ini tak boleh dilewatkan, Gandowoto. Ketua 

pasti sangat senang bila gadis itu kita bawa ke hada-

pannya!" kata salah seorang yang terus mengawasi. 

Dia adalah seorang lelaki bercodet di pipi kanan.

"Kau benar, Sutaboga!" sahut lelaki yang wa-

jahnya banyak ditumbuhi jerawat. "Ketua akan mem-

berikan uang yang banyak untuk kita." 

"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu?" tukas 

lelaki yang berkulit sangat hitam.

"Tunggu, Jatilangor!" cegah lelaki yang bercam-

bang bauk. Kau dan yang lain urus pemuda itu. Dan 

aku urus bunga jelita itu.

Diselingi pembicaraan ringan, Pendekar Slebor 

dan Nilakanti terus melangkah. Namun tiba-tiba lang-

kah mereka terhenti ketika tahu-tahu Andika sudah 

berkelebat sambil menarik tangan Nilakanti. Terpaksa 

gadis itu mengikutinya.

"Brengsek! Ada apa sih? Main pegang semba-

rangan!" maki Nilakanti di balik semak.

Andika cuma mengangkat kedua alisnya yang 

hitam legam bak kepakan sayap elang

"Tidak apa-apa, kok. Aku hanya ingin meme-

gang lenganmu saja."

"Hhh! Menyesal aku berjalan bersamamu!"

"Ssstt!"

Nilakanti jadi terdiam mendengar desisan Andi-

ka. Dia melihat dari celah semak-semak tempat empat 

orang laki-laki bersenjata parang besar di pinggang se-

dang celingukan.

"Siapa mereka, Kang Andika?"

"Lho? Kok malah tanya aku? Kalau aku tahu, 

mengapa aku harus mengajakmu ke balik semak-

semak ini."

Keempat laki-laki yang sedang celingukan itu 

memperhatikan sekelilingnya.

"Edan! Aku yakin tadi mereka berada di sini," 

rutuk lelaki bercambang bauk yang dipanggil Gando-

woto.

"Ya! Tetapi ke mana mereka?" lelaki berkulit 

sangat hitam yang bernama Jatilangor.

"Bunga itu jangan sampai lolos! Ini kesempatan 

emas untuk kita!" seru lelaki berwajah penuh jerawat.

Di balik kerimbunan semak, keisengan Andika 

timbul lagi.

"Mereka mencarimu, Nila."

"Brengsek!" maki Nilakanti.

"Lho? Kok marah? Baiknya kau temui mereka 

saja. Siapa tahu kau berjodoh dengan salah seorang 

dari mereka?"

"Kang Andika ini! Menggoda saja! Tanganku ja-

di gatal untuk membunuh mereka!"

"Kenapa memangnya? Mereka tampan-tampan, 

lho! Mungkin monyet buduk kalah tampan dengan me-

reka!"

Nilakanti melotot pada Andika.

"Diam tidak?! Nanti ku cubit pinggangmu ke-

ras-keras!"

Andika nyengir kuda. Dan kuda pun pasti ka-

lah tampan dengan Andika bila sedang nyengir seperti 

ini.

"Kalau kau tidak mau menjadi jodoh salah seo-

rang dari mereka, kita tinggalkan saja tempat ini," su-

sul Andika.

"Tidak, aku ingin memberi pelajaran pada 

orang-orang kurang ajar itu!" tegas si gadis.

Andika merasa keputusan Nilakanti hanya 

buang-buang waktu saja. Karena, mereka harus segera 

tiba di Lembah Matahari.

"Tidak usah. Biar saja. Toh kita..., hei!"

Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal dan ber-

ganti keterkejutan saat tubuh Nilakanti sudah melesat 

ke depan.

***

Gandowoto dan tiga orang temannya terbahak-

bahak begitu Nilakanti berdiri di hadapan mereka.

"Rupanya gadis ini mengerti maksud kita! Nona 

manis..., apakah kau bersedia kami persembahkan

pada Ketua?" kata Jatilangor, menyeringai memua-

kkan.

"Manusia-manusia berotak kotor! Tinggalkan 

tempat ini. Atau, nyawa kalian akan putus!" bentak Ni-

lakanti.

"Luar biasa sekali! Dia galak! Dan aku yakin, 

dia pun liar di ranjang! Ketua pasti akan senang men-

dapat hidangan istimewa seperti ini!" sahut Jatilangor. 

"Ke mana pemuda urakan yang tadi berjalan bersa-

mamu? Apakah kau sudah sadar kalau pemuda itu ti-

dak cocok untukmu?"

Tiba-tiba saja tubuh Nilakanti berkelebat cepat. 

Lalu....

Plak!

Tubuh Jatilangor terhuyung ke belakang den-

gan mulut berdarah. Entah bagaimana melakukannya, 

Nilakanti tahu-tahu sudah menampar mulut kurang 

ajar itu.

Meradanglah Jatilangor. Parangnya langsung 

diloloskan. Dan dikawal gerengan keras, tubuhnya me-

lesat ke arah Nilakanti. Namun yang dihadapinya ada-

lah murid tunggal Malaikat Putih Bayangan Maut. Da-

lam satu liukan tubuh ditambah kibasan tangan

Desss...!

Tubuh Jatilangor kontan terjatuh ke belakang.

Begitu mencium tanah, dia tak bangkit-bangkit lagi.

Melihat hal itu, kawan-kawan lelaki itu segera 

bergerak mengurung Nilakanti dengan parang besar 

siap dikibaskan.

Di balik semak, Andika menggaruk-garuk kepa-

lanya yang tidak gatal.

"Wah.... Jadi panjang urusannya. Bisa lebih 

lama tiba di Lembah Matahari!"

Andika pun keluar dari balik semak. Diperhati-

kannya Nilakanti yang sedang diserang tiga bilah parang besar.

Namun hanya sekali berkelebat gadis jelita ber-

baju putih itu dengan mudah menjatuhkan lawan-

lawan. Yang tersisa kini hanya Gandowoto. Itu pun 

nyalinya sudah tampak ciut. Kegarangannya telah hi-

lang tepat ketika ketiga sahabatnya berjatuhan.

Lelaki ini segera berbalik, langsung mengambil 

langkah seribu. Nilakanti bermaksud mengejar. Na-

mun....

"Tidak usah dikejar! Kita harus melanjutkan 

perjalanan!" seru Andika, mencegah gadis itu.

Nilakanti memang tidak mengejarnya, dan sege-

ra mengikuti langkah Pendekar Slebor.

***

3


Dengan membawa luka berdarah di pahanya, 

Gandowoto tiba di sebuah bangunan yang sudah run-

tuh bagian sisinya. "Ketua! Ketua!" teriaknya.

Satu sosok tubuh berpakaian hitam yang du-

duk di undakan bangunan rusak itu berkelebat cepat

"Gandowoto! Ada apa?"

"Dewi..., aku..., aku...."

Tubuh Gandowoto sempoyongan. Sementara 

sosok berpakaian hitam yang mengeluarkan bau bu-

suk itu segera menangkapnya. Lalu ditotok luka di pa-

ha lelaki itu, agar darah tak keluar lagi. Dan secepat-

nya dijejalinya mulut Gandowoto dengan obat pulung. 

Dengan gerakan ringan, sosok berpakaian hitam ini 

membawa Gandowoto ke dalam.

Tak sepeminum teh kemudian, Gandowoto me-

rasakan kesehatannya membaik.

"Ceritakan, apa yang terjadi?" ujar sosok ber-

pakaian hitam yang tak lain Dewi Sungai Bangkai.

Dengan terpatah-patah, Gandowoto bercerita. 

Dewi Sungai Bangkai mendengarkan dengan seksama. 

"Gadis itu bersama pemuda berbaju hijau pupus dan 

mempunyai kain bercorak catur pada bahunya! Jelas 

dia Pendekar Slebor!" sentak si perempuan tua.

"Begitulah, Dewi...."

"Rupanya pendekar keparat itu berada di sini!"

Pintu kamar bangunan rusak itu terbuka. Satu 

sosok tubuh tegap keluar sambil memakai bajunya 

yang berwarna biru menyala.

"Di mana Pendekar Slebor itu berada?!"

"Dia..., bersama gadis yang bernama Nilakan-

ti.., bergerak ke arah selatan...," sahut Gandowoto, ta-

kut-takut.

"Kita kejar mereka, Dewi Sungai Bangkai!" seru 

pemuda berbaju biru menyala yang tak lain Lima Jalan 

Darah.

"Apakah tidak kita tunggu Hantu Gigi Gading 

yang sudah dua hari ini berkeliaran mencari Pendekar 

Slebor!"

"Orang tua setan! Kau berani membantahku, 

hah?!" bentak Lima Jalan Darah, keras sekali.

Saat yang sama terdengar pula suara gemuruh 

di belakang bangunan itu. Rupanya bangunan itu run-

tuh karena getaran yang sangat kuat dari suara Lima 

Jalan Darah.

"Persetan dengan Hantu Gigi Gading yang bo-

doh itu! Kita susul mereka! Gandowoto! Kau buang 

mayat gadis yang mampus di kamarku!"

Lalu tanpa berkata lagi, Lima Jalan Darah su-

dah berkelebat. Sementara, Dewi Sungai Bangkai yang 

tak bisa berkata apa-apa segera menyusul.

Gandowoto yang sejak tadi membungkuk, kini

berdiri. Perlahan-lahan kakinya melangkah ke kamar 

di mana Lima Jalan Darah tadi keluar. Tampak sosok 

tubuh bertelanjang bulat di sana. Dia tahu, gadis yang 

memiliki tubuh menggiurkan itu sudah mati.

Perlahan-lahan lelaki ini mengangkat mayat 

gadis itu. Dan begitu tubuh indah meskipun sudah 

menjadi mayat itu tersentuh tangannya, tiba-tiba saja 

gairahnya timbul. Direbahkannya kembali sosok itu 

dan dipandanginya dengan mata berkilat-kilat.

Tepat ketika Gandowoto menindih tubuh kaku 

itu....

"Aaah...!"

Tiba-tiba saja terdengar teriakan si lelaki yang 

keras setinggi langit. Tubuhnya bergetar dan menda-

dak saja tersentak jatuh ke lantai. Sebentar dia mele-

jang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi dengan mulut 

mengeluarkan darah.

Di satu lain, Lima Jalan Darah tersenyum din-

gin.

"Kau tak berguna lagi, Gando. Maka hadiah 

yang kau terima adalah kematian," desisnya.

***

"Maafkan aku, Sayang.... Gara-gara aku, hi-

dupmu tidak tenang. Oh.... Aku menyesal semua ini. 

Hidup kita sudah enak tinggal di Gunung Kabut. Na-

mun, manusia-manusia laknat itu memporakporanda-

kannya. Percayalah, Sayang.... Sakit hatimu akan ku-

balas."

Malam yang begitu pekat dan kering, dipecah-

kan oleh suara bernada geram yang terdengar dari atas 

sebuah pohon. Angin yang berhembus dingin memba-

wa suara itu hingga jauh.

"Percayalah, Sayang. Semuanya akan kuakhiri

hingga kau bisa tenang dan tidak sakit hati lagi."

Di atas pohon tak terlalu tinggi, satu sosok ber-

tubuh kerempeng bertengger. Wajah jeleknya makin 

buruk saja ketika mengeluh begitu. Di tangannya yang 

nyaris tinggal tulang saja, tergenggam sebuah bungku-

san yang nampak sangat disayanginya sekali. Rambut 

panjangnya yang acak-acakan dipermainkan angin.

"Aku tak sabar untuk membalaskan sakit hati-

mu itu, Sayang. Nenek peot yang berjuluk Dewi Sungai 

Bangkai harus mampus," lanjut si tubuh kurus seperti 

berbicara pada bungkusan di tangannya.

Siapakah dia? Kalau melihat tampangnya, dia 

tak lain dari si Hantu Jantan, salah seorang dari Sepa-

sang Hantu Neraka yang mendiami Gunung Kabut. 

Kenapa dia bicara pada bungkusan di tangannya? Ka-

rena isi bungkusan itu adalah kepala kekasihnya yang 

berjuluk si Hantu Betina yang meninggal karena sakit. 

Entah bagaimana mulanya, yang pasti kepala kekasih-

nya itu selalu berada di dalam bungkusan yang diba-

wa. Dan anehnya, meskipun sudah berbulan-bulan, 

potongan kepala itu tak mengeluarkan bau busuk se-

dikit pun.

Saat ini si Hantu Jantan telah meninggalkan 

Gunung Kabut. Dia begitu marah besar pada Dewi 

Sungai Bangkai yang telah menendang lepas kepala si 

Hantu Betina dari tangannya. Kemarahannya tak da-

pat ditahan lagi. Dia bertekad untuk membalas semua 

ini (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Tasbih Emas 

Bidadari").

"Sayangku.... Meskipun aku telah bersumpah 

tidak akan membunuh, tetapi akan ku langgar sum-

pahku itu. Maafkan aku. Dendamku pada Dewi Sungai 

Bangkai mengalahkan semua ini. Tetapi aku yakin, 

kau pasti setuju dengan keinginanku ini, bukan?" kata 

si Hantu Jantan lagi dengan tatapan penuh kasih

sayang pada bungkusan yang berisi kepala si Hantu 

Betina.

Tiba-tiba lelaki kurus ini mengerutkan kening-

nya. Telinganya dipertajam. 

"Apa yang kau katakan? Oh? Aku tak perlu 

membunuh Dewi Sungai Bangkai? Baik, baik.... Akan 

kulakukan untukmu. Ah, ya, ya.... Kau benar, Sayang-

ku. Aku telah bersumpah. Tetapi, bila ku patah-

patahkan tulang-belulangnya dan kubuat cacat pe-

rempuan tua setan itu, apakah kau mengizinkan?" de-

sis si tua ini, lalu tertawa. "Terima kasih, Sayangku.... 

Terima kasih atas persetujuanmu."

Pembicaraan seperti itu bukanlah hal yang 

aneh bagi si Hantu Jantan. Dia seolah bisa mendengar 

kata-kata kekasihnya lewat potongan kepala itu.

"Apa kau bilang? Pendekar Slebor? Ah! Biarkan 

saja pemuda urakan itu pergi, Sayangku. Oh, maaf.... 

Aku tak bermaksud membuatmu luka. Ya, ya.... Apa 

yang kau inginkan? Oh?! Lembah Matahari? Di mana 

lembah itu berada? Nah! Kau sendiri tidak tahu. Aku 

juga. Apa kau bilang? Dewi Sungai Bangkai akan bera-

da di sana juga? Hhh! Bagus! Kalau begitu, aku akan 

segera ke sana! Tetapi, apakah kau tidak ingin beristi-

rahat dulu? Ya, ya.... Aku tahu, kau kuat menahan 

kantuk. Baiklah.... Kalau begitu, aku akan segera 

mencari tempat yang bernama Lembah Matahari. Teta-

pi, bukanlah sahabat kita Malaikat Putih Bayangan 

Maut mendiami tempat seperti itu? Kalau begitu, seka-

lian berkunjung ke tempatnya, meskipun aku tak tahu 

di mana Lembah Matahari berada."

Sehabis berkata demikian, si Hantu Jantan 

mencelat. Bukan turun, melainkan berkelebat dari sa-

tu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Gerakannya 

begitu cepat sekali. Bahkan tak terdengar suara geme-

resek sedikit pun ketika sepasang kaki kurusnya menginjak dahan pohon yang dijadikan sebagai tumpuan 

loncatan.

***

4


Matahari makin menampakkan kegarangannya. 

Sinarnya sudah cukup membuat kulit jadi hitam ber-

simbah peluh. Apalagi di daerah tandus yang tengah 

dilewati satu rombongan berkuda sejauh mata me-

mandang hanya bukit-bukit tandus berbatu. Belum la-

gi angin nakal yang mengangkat debu-debu ke udara 

kadang main sembunyi saja di mata. Tanah memang 

sangat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak 

membasahinya.

Berkuda paling depan seorang lelaki gagah ter-

bungkus baju putih. Di dadanya berselimpang kain 

berwarna merah. Wajahnya kokoh dihiasi cambang 

dan kumis tipis. Di punggungnya terdapat dua bilah 

pedang yang bersilang.

Di belakangnya dua orang lelaki gagah men-

dampingi seorang gadis cantik yang menunggang kuda 

putih. Di belakang si gadis, berjalan sekitar lima orang 

lelaki bersenjata tombak. Dua orang dari mereka 

menggotong tiga ekor babi hutan dan sepuluh ekor ke-

linci.

Mereka adalah pasukan Kadipaten Karanga-

nyar yang saat ini baru saja pulang mengantarkan pu-

tri sang Adipati setelah tiga hari berburu di Hutan Pa-

naran.

Mawar Wangi adalah satu-satunya putri dari 

Adipati Ramada, penguasa di Kadipaten Karanganyar. 

Adipati Ramada sangat menyayangi putrinya yang

memiliki kegemaran berburu. Dan putrinya selalu di-

izinkan bila hasrat untuk berburu muncul.

Namun sudah barang tentu, Mawar Wangi tak 

dibiarkan pergi seorang diri.

Mawar Wangi sebenarnya jengkel dikawal terus-

menerus. Dia ingin sekali bisa pergi berburu seorang 

diri tanpa harus dijaga dan diperhatikan. Akan tetapi, 

apa yang dikatakan ayahnya tak bisa ditolak. Karena 

bila menolak, maka hasratnya untuk berburu akan 

terpendam dan berubah menjadi kekesalan meman-

jang.

Selagi si gadis bersungut-sungut dalam hati ka-

rena rombongan bergerak sangat pelan, tiba-tiba saja 

kuda-kuda di depannya berhenti.

"Ada apa, Paman Subali?" tanyanya. Panas 

yang menyengat membuat kulitnya yang putih agak 

memerah. Pakaian ringkasnya yang berwarna kuning 

tampak sudah agak kucal. Busur yang dipergunakan 

untuk berburu tadi tersampir di bahunya.

"Tidak ada apa-apa, Den Mawar," sahut lelaki 

paling depan yang bernama Subali.

"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa berhenti? 

Ayo, cepat! Sudah panas sekali! Jalan kok seperti pen-

gantin!" dengus Mawar Wangi.

Benaknya langsung membayangkan alangkah 

enaknya bila pergi seorang diri. Dan sejak tadi ku-

danya sudah digebah menuju kadipaten. Dan sekarang 

ini, langkah kudanya seperti satu-satu. Menjengkel-

kan!

Pertanyaan Mawar Wangi langsung terjawab ke-

tika matanya menemukan jawabannya. Di sebuah batu 

besar sejauh sepuluh tombak tampak seorang lelaki 

tinggi besar sedang duduk enak-enakan. Kulitnya yang 

hitam semakin terbakar matahari. Namun kelihatan-

nya dia tak peduli. Wajahnya begitu mengerikan. Terutama, tatapan matanya yang memperhatikan rombon-

gan Mawar Wangi.

"Apanya yang aneh dengan orang jelek seperti 

itu? Biarkan saja!" makinya dalam hati.

Sementara Subali yang telah banyak makan 

asam garam kehidupan melangkahkan kudanya penuh 

waspada. Ketika laki-laki berpakaian hitam itu terlewa-

ti, tampak kalungnya yang berbentuk taring dari gad-

ing di lehernya.

Subali menarik napas pendek. Hatinya merasa 

tenang sekarang. Karena, sebenarnya sudah lama ke-

pala rombongan ini mendengar adanya gerombolan pe-

rampok yang suka menghadang dan menjarah pada 

rombongan atau penjual yang melewati tempat tandus 

ini. Dan kehadiran laki-laki berbaju hitam yang tahan 

duduk di bawah sinar matahari cukup membuatnya 

berhati-hati.

Akan tetapi, hanya sesaat saja ketenangannya. 

Karena tiba-tiba....

"Hentikan perjalanan kalian! Aku menginginkan 

gadis itu!"

Terdengar bentakan keras bersamaan dengan 

satu sosok tubuh melesat, dan hinggap di depan rom-

bongan itu dengan kedua kaki terbuka.

***

Subali menggeram pendek. Matanya tajam me-

natap lelaki berbaju hitam berwajah mengerikan di de-

pannya. Sementara Mawar Wangi memandang tajam si 

lelaki berkalung taring itu.

"Kau menginginkan gadis itu? Apakah kau ti-

dak tahu siapa dia? Hati-hati bicara, Pak Tua. Dia ada-

lah putri Adipati Ramada!" desis Subali penuh perba-

wa. Dan dia yakin manusia ini adalah perampok yang

sering dibicarakan orang. Kalau begitu, sudah tentu ti-

dak sendiri. Akan tetapi, Subali tidak melihat tanda-

tanda kalau lelaki besar itu datang bersama gerombo-

lannya. Untuk bersembunyi di balik bukit-bukit, sudah 

tentu tidak mungkin. Karena selain jaraknya cukup 

jauh, juga panas yang akan membakar kulit mereka.

"Persetan dengan segala macam adipati! Jangan 

membuatku terlalu lama menunggu! Serahkan gadis 

itu!" bentak lelaki tinggi besar itu garang. Tatapannya 

mengandung ancaman mengerikan. "Atau..., kuambil 

dia secara paksa!"

Subali tak mau banyak bicara. Dari atas ku-

danya, dia mencelat. Di udara dua bilah pedangnya di-

loloskan, lalu dikebutkan ke arah lelaki berkalung tar-

ing.

"Setan keparat! Kau senang cari penyakit ru-

panya!"

Si lelaki tinggi besar terbahak-bahak melihat-

nya. Lima jengkal serangan akan sampai, tubuhnya 

dibuang ke kiri. Bersamaan dengan itu kaki kirinya 

melepas tendangan cepat yang sukar dilihat.

Buk! 

Tubuh Subali kontan terlempar sejauh dua 

tombak ke samping dengan pinggang bagai terasa pa-

tah. Melihat hal itu, dua orang pengawal berkuda sege-

ra menggebrak kudanya. Begitu dekat, keduanya me-

lompat dan melesat ke arah si lelaki berkalung taring 

sambil membabatkan pedangnya.

Wuut!

Wuutt!

"Kalian lancang bersikap pada Hantu Gigi Gad-

ing!" leceh lelaki yang ternyata Hantu Gigi Gading 

sambil tertawa mengejek. Sudah beberapa hari ini dia 

tengah menjalankan perintah Lima Jalan Darah untuk 

mencari Pendekar Slebor.

Sekali tubuh Hantu Gigi Gading berkelebat, 

dua pengawal kontan terjungkal dengan leher patah.

Terkejutnya lima pengawal bersenjata tombak 

melihat dua pengawal berkuda roboh hanya sekali ge-

brak. Namun tanpa mengendorkan semangat, mereka 

berlari mengurung Hantu Gigi Gading.

Sedangkan Mawar Wangi sendiri menggeram 

marah. Dia bukanlah gadis pengecut. Disambarnya 

busur dan sarung anak panahnya, lalu melompat tu-

run.

"Mawar! Kau tetap di sini!" cegah Subali, yang 

menjadi tegang.

"Tidak! Manusia keparat itu telah membunuh 

Paman Lingga dan Paman Sanur!" sergah si gadis.

Sementara itu Hantu Gigi Gading terbahak-

bahak begitu melihat Mawar Wangi.

"Manis.... Rupanya kau sudah tidak sabar me-

nunggu kakangmu...."

"Lelaki berotak kotor! Rasakan panahku ini!"

Dalam keahlian memanah, Mawar Wangi bukan 

anak kemarin sore. Adipati Ramada telah membayar 

dua orang guru untuk mengajarkan putrinya mema-

nah. Dua buah anak panah langsung dipasang Mawar 

Wangi. Dan....

Siing! Siingngng!

Hantu Gigi Gading terbahak-bahak saja meli-

hatnya. Sejengkal lagi anak-anak panah mencium sa-

saran, tangannya diangkat.

Trak! Trak!

Dua buah anak panah itu terbelah menjadi 

empat. Dan anehnya, potongan empat anak panah itu 

justru melesat pada empat orang pengawal yang ber-

tombak. Mereka terkejut dan tak sempat mengelak. 

Akibatnya....

Cras! Crab!

Keempat pengawal kontan roboh dengan jan-

tung tertusuk patahan anak panah. Kejap itu juga me-

reka tewas.

Mawar Wangi bertambah geram. Subali yang 

menyadari kemungkinan bahaya yang tak bisa dielak-

kan melompat mendekati Mawar Wangi.

"Tinggalkan tempat ini! Cepat, Mawar!" ujar 

Subali.

Sementara sisa satu pengawal bertombak men-

coba bertindak nekat. Dengan keberanian yang dipak-

sakan dia maju sambil menusukkan tombak ke arah 

Hantu Gigi Gading.

Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya, 

Hantu Gigi Gading berhasil menghindarinya. Lantas 

tangannya bergerak cepat merampas tombak. Dan 

hanya sekali putar saja, tombak itu telah menancap di 

perut si pengawal.

"Menyenangkan sekali! Sebelum aku menemu-

kan Pendekar Slebor, aku akan menikmati hidangan 

manis ini!"

Tiba-tiba Hantu Gigi Gading menderu ke arah 

Mawar Wangi. Namun Subali telah menghalanginya 

dengan sepasang pedang.

Wuut! Wuuut!

Hantu Gigi Gading terpaksa mengurungkan 

niatnya menangkap Mawar Wangi. Akibatnya kemara-

han si lelaki bertubuh besar ini menjadi berlipat gan-

da. Tiba-tiba saja tangannya mengibas.

Wuuss!

Subali terkejut. Segera tubuhnya dibuang ke 

tanah ketika dirasakannya angin panas menderu hebat 

ke arahnya.

Duar!

Pasir berdebu yang panas mencelat ke atas begitu pukulan jarak jauh Hantu Gigi Gading menghantam. Sementara Subali telah bergulingan dan cepat 

berdiri tegak. Tak menghiraukannya betapa panasnya 

debu-debu yang menempel di tubuhnya.

"Mawar! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat!" te-

riak Subali.

"Kau sendiri bagaimana, Paman?" tukas Mawar 

Wangi.

"Jangan hiraukan aku! Cepat!" teriak Subali 

sambil mendorong tubuh Mawar Wangi naik ke ku-

danya. "Cepat, Mawar! Cepat!"

Mawar Wangi hanya mengangguk. Begitu bera-

da di atas kudanya dia berbalik. Matanya masih sem-

pat melihat Hantu Gigi Gading memburunya. Namun, 

tiba-tiba dihalangi Subali.

"Setan!" maki Hantu Gigi Gading muak. Hanya 

sekali bergerak, tubuh Subali terpental dengan seluruh 

tulang terasa patah. Setelah muntah darah, dia pun 

ambruk dengan nyawa melayang.

Sementara Hantu Gigi Gading sudah berkelebat 

menyusul Mawar Wangi yang melarikan kudanya bagai 

dikejar setan

***

5


Mawar Wangi terus melesat cepat bersama ku-

da putihnya. Apa yang dialami barusan benar-benar 

membuat nyalinya ciut. Terbayang di benaknya bagai-

mana orang-orang yang mengawalnya harus mati di 

tangan lelaki berkalung taring berjuluk Hantu Gigi 

Gading secara mengenaskan. Belum lagi Subali. Masih 

sempat dilihat pengawal pribadinya roboh dengan tubuh penuh darah.


Mawar Wangi memacu kudanya ke arah perbu-

kitan. Karena, dari sana dia bisa memotong jalan me-

nuju kadipaten. Namun sebelum tiba di perbukitan 

yang cukup tandus itu, tiba-tiba saja dia tersentak. Ta-

li kekang ditariknya kuat-kuat, membuat kaki depan 

kudanya terangkat disertai ringkikan keras.

Di depannya, Hantu Gigi Gading telah berdiri 

dengan kedua kaki terbuka. Sepasang mata tajamnya 

bersorot mengerikan, membuat jantung si gadis sea-

kan mau copot. Seringainya membuat hati jadi berge-

tar.

"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tangan-

ku, Manis!" desis Hantu Gigi Gading.

Wajah cantik Mawar Wangi menjadi pucat. Ke-

palanya celingukan bagai anak ayam kehilangan in-

duk, seolah tak tahu harus berbuat apa. Hanya mu-

lutnya yang mengeluarkan suara tergagap. Apalagi me-

lihat lelaki itu perlahan-lahan mendekatinya.

Tergesa-gesa dan kecemasan yang berbalur 

menjadi satu, Mawar Wangi memutar kudanya. Tetapi 

anehnya, kudanya tak mampu bergerak dari tempat-

nya meskipun pinggulnya sudah ditepuk-tepuk.

"Ayo, jalan! Jalan!"

"Sudah kukatakan, kau akan menjadi milikku!"

Dikawal suara tawa terbahak-bahak tubuh 

Hantu Gigi Gading tiba-tiba saja melesat ke arah Ma-

war Wangi.

Wuss! Tap!

"Auuu...!"

Mawar Wangi tergagap. Dia berteriak keras ke-

tika tangan penuh bulu itu menyambar tubuhnya. Se-

bisanya dia meronta-ronta sambil memukuli punggung 

si lelaki. Namun Hantu Gigi Gading hanya terbahak-

bahak saja. Pukulan itu dianggapnya hanya bagai elusan saja.

"Lakukan sepuasmu, Manis.... Karena sebentar 

lagi, kau tak akan mampu melakukannya," susul Han-

tu Gigi Gading, melecehkan.

""Lepaskan aku, Keparat! Lepaskan!" teriak 

Mawar Wangi kalap.

Hantu Gigi Gading semakin mengumbar tawa 

keras. Mendadak kakinya menyepak sebuah kerikil 

hingga langsung meluncur ke arah kuda yang kaku.

Tuk!

Kuda yang tadi ditotok dengan gerakan sangat 

cepat pun terbebas. Begitu terbebas dari totokan, kuda 

itu meringkik dan berlari kencang tak tentu arah.

"Menyenangkan sekali. Sebelum kulanjutkan 

untuk mencari Pendekar Slebor..., ada baiknya berse-

nang-senang dulu."

Dibawanya tubuh Mawar Wangi ke arah jalan 

setapak menuju sebuah hutan. Sedangkan si gadis 

hanya mampu berteriak dan memukuli punggung si le-

laki. Akan tetapi, baru saja Hantu Gigi Gading melang-

kah lima tindak, tiba-tiba saja melesat satu sosok 

bayangan ke arahnya disertai deru angin keras.

Hantu Gigi Gading terperangah. Lebih terpe-

rangah lagi ketika mendadak tubuhnya terasa berge-

tar. Tangannya yang memanggul Mawar Wangi terle-

pas. Dan tubuh gadis itu pun lenyap dari punggung-

nya.

"Setan Alas! Siapa kau?!" bentaknya setelah 

mengalirkan tenaga dalam untuk menghentikan geta-

ran tubuhnya.

Seorang pemuda berpakaian hijau pupus den-

gan sehelai kain bercorak catur tertawa-tawa menden-

gar bentakan Hantu Gigi Gading. Di bahunya tergolek 

tubuh Mawar Wangi. Wajah si gadis bertambah pucat 

saja.

"Apakah kau sudah lupa padaku, Hantu Gigi

Gading?" sapa si pemuda yang tak lain Pendekar Sle-

bor. "Kalau aku sih, tak pernah lupa dengan gigimu 

yang penuh jigong itu."

Hantu Gigi Gading menggeram dengan kedua 

tangan terkepal. 

"Keparat! Kau akan mampus kali ini, Pendekar 

Slebor!"

"Apakah kau mampu menghadapinya, hah?!" 

Mendadak terdengar satu suara dari belakang. Cepat 

tanggap, si lelaki kasar itu membalikkan tubuhnya. 

Dia terbahak-bahak begitu melihat Nilakanti telah ber-

diri dengan tatapan sengit.

"Tak mendapat gadis itu, biarlah. Asal kau se-

bagai gantinya!" oceh Hantu Gigi Gading. 

"Setan laknat! Ku sobek mulutmu!" 

Gadis berpakaian putih itu melesat laksana ki-

lat. Di tangannya telah terangkum tenaga dalam tinggi. 

Angin lesatannya membawa hawa panas yang bisa jadi 

akan mengeritingkan bulu-bulu di tubuh Hantu Gigi 

Gading.

Si lelaki sadar, tingkat kepandaian gadis ini 

hampir setara dengannya. Maka dia pun tak mau ber-

tindak ayal-ayalan. Tubuhnya pun melesat, menerjang 

dengan dahsyat. 

Buuum...!

Dua tenaga dalam kuat berbenturan. Terdengar 

suara ledakan, ketika dua sosok tubuh terpental ke be-

lakang.

Nilakanti memegang dadanya yang terasa nyeri. 

Matanya memandang Hantu Gigi Gading yang mengge-

ram murka ketika dari pelipisnya mengalir darah.

"Perempuan sialan! Aku tak akan mengampu-

nimu lagi!" dengus si lelaki, seraya mengempos seman-

gatnya. Seketika itu juga tubuhnya meluruk.

Pada saat yang sama, Nilakanti pun tak tinggal

diam. Secepatnya dia berkelebat melayani. Tak dapat 

dihindari lagi, pertempuran sengit pun berlangsung. 

Satu sama lain saling ingin mengalahkan. Terutama, 

Hantu Gigi Gading. Dia masih merasa beruntung ber-

tarung dengan Nilakanti daripada menghadapi Pende-

kar Slebor. Karena dia tahu, kepandaiannya tak jauh 

berbeda dari si gadis.

Lima belas jurus sudah berlalu. Dan masing-

masing telah terluka. Di tempatnya, Pendekar Slebor 

cuma mendesah pendek. Sebenarnya dia berkeinginan 

menolong Nilakanti. Akan tetapi jiwa kependekarannya 

tidak mengizinkan. Baginya, hanya orang-orang curan-

glah yang mengeroyok, padahal pertarungan berjalan 

seimbang. Makanya, Nilakanti dibiarkan saja mengha-

dap Hantu Gigi Gading. Dan hati kecilnya pun yakin, 

murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu akan mampu 

menguasai pertarungan.

Sementara Mawar Wangi yang sudah agak te-

nang dan kini berdiri di samping Andika, diam-diam 

menghela napas lega. Dia ngeri sekali melihat perta-

rungan maut di hadapannya. Meskipun tak mengenal 

siapa muda-mudi yang menolongnya, namun dalam 

hati berterima kasih sekali.

Perhitungan si pemuda urakan yang otaknya 

tergolong encer itu agaknya tak berlebihan. Dalam ju-

rus berikutnya dia melihat Nilakanti sudah meloloskan 

pedangnya. Gebrakan selanjutnya si gadis sudah men-

guasai pertarungan.

Namun Hantu Gigi Gading pun tak mau begitu 

saja dijadikan sasaran pedang. Dia harus hertindak 

hati-hati oleh tajamnya pedang dan sinar putih menyi-

laukan mata yang keluar dari mata pedang.

Bum! Bum!

Setiap kali sinar putih melesat dan menghan-

tam ruang kosong, selalu menimbulkan ledakan keras.

Debu-debu langsung terangkat naik menghalangi pan-

dangan. Tanah yang jadi sasaran seketika membentuk

lubang.

"Gadis ini benar-benar tangguh!" dengus Hantu 

Gigi Gading.

Cepat Hantu Gigi Gading melenting ke samping 

untuk menghindari sinar putih ke arahnya. Begitu 

menjejak tanah, digosoknya kalung taring gading den-

gan mulut komat-kamit.

Set!

Tiba-tiba saja melesat sinar hitam menggidik-

kan ke arah Nilakanti. Si gadis melompat mundur 

sambil mengibaskan pedangnya. Seketika sinar putih 

kembali melesat, memapak.

Duaaar!

Tegangnya pertarungan, kembali dibuncah le-

dakan dahsyat ketika dua sinar itu beradu di udara. 

Hantu Gigi Gading terpental dan jatuh keras di tanah. 

Sedangkan Nilakanti hanya terjajar beberapa langkah.

Si gadis agaknya tak menyia-nyiakan kesempa-

tan. Berikutnya, dia sudah menerjang dengan jurus 

andalan, 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'.

Si lelaki bertubuh besar ini cepat bangkit, un-

tuk melayani serangan.

Dua jurus kemudian Hantu Gigi Gading merasa 

tenaganya semakin lama semakin terkuras. Akibatnya, 

keadaannya pun melemah.

Malah seketika si gadis membabatkan pedang-

nya secara menyilang.... 

Cras! Cras! 

"Aaakh...!"

Pedang di tangan Nilakanti tahu-tahu telah 

membabat kutung kedua lengan Hantu Gigi Gading. 

Darah pun bersimbah. Tubuh Hantu Gigi Gading ter-

huyung ke belakang, lalu jatuh ke tanah.

Sementara Andika menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut memang 

tak bisa dianggap enteng. Luar biasa," pujinya.

Saat itu Nilakanti sedang memasukkan pe-

dangnya ke dalam warangka. Didekatinya Hantu Gigi 

Gading yang bergulingan ke sana kemari. Darah yang 

keluar semakin banyak. Lukanya bertambah perih saja 

ketika terkena debu-debu panas. Jeritannya memba-

hana bagai memecah langit.

"Kau masih beruntung karena aku tidak mem-

bunuhmu, Manusia Setan! Lekas pergi dari sini!" desis 

si gadis.

"Bunuh aku! Bunuh aku, Keparat!" rutuk Han-

tu Gigi Gading.

Nilakanti tersenyum.

"Rasakanlah bagaimana sakitnya luka diderita. 

Hal itu pun dialami orang-orang yang pernah kau sik-

sa!" kata si gadis, lalu menoleh pada Pendekar Slebor. 

"Kang Andika! Akan ke manakah kita sekarang ini?"

"Kalau kau mau bermalam di sini, ya silakan. 

Aku tak melarangmu, kok," sahut si pemuda, seenak-

nya. Nilakanti mendengus.

"Tetapi bagaimana dengan gadis itu?" susul si 

gadis, seraya memandang Mawar Wangi yang sedang 

berdiri dengan wajah pucat.

"Soal gadis, akan selalu jadi urusanku. Akulah 

jagonya.... He he he.... Tapi, masa' ya sih kau tega 

mendahuluiku ke Lembah Matahari?"

Nilakanti terdiam. Tetapi sejurus kemudian ma-

tanya melotot ketika Andika mengedipkan mata ki-

rinya.

"Genit!"

Sementara itu Mawar Wangi tampaknya sema-

kin tegang dengan apa yang dialaminya. Ditariknya

napas panjang.

"Maukah kalian kuajak ke rumah?" tanya gadis 

ini tergagap.

"Siapa namamu?" tanya Andika. Lagaknya sok 

menjadi Dewa Pelindung. Dan ini membuat Nilakanti 

mencibir.

"Mawar.... Mawar Wangi."

"Nama yang bagus sekali," puji Andika, lalu 

menoleh pada Nilakanti. "Nila, sebaiknya kita antar du-

lu gadis ini ke rumahnya," susulnya sok berwibawa.

Nilakanti cuma mengangkat bahunya. "Terse-

rah kau saja."

Lalu tanpa menunggu jawaban Andika, murid 

Malaikat Putih Bayangan Maut itu sudah melangkah 

mendahului.

"Hei! Apakah kau tahu jalan menuju rumah ga-

dis ini?" tanya Andika. Si pemuda tak mengerti menga-

pa Nilakanti seperti tegang begitu.

"Masa bodoh! Toh ada gadis itu bila aku salah 

jalan!" jawab Nilakanti seenaknya, tanpa menoleh se-

dikit pun.

Andika yang menggaruk-garuk kepalanya seka-

rang dan bersama Mawar Wangi dia melangkah mengi-

kuti.

"Kutu kupret! Kok jadi begini urusannya?" maki 

Andika dalam hati.

Tetapi kemudian otak encer si pemuda segera 

menemukan jawabannya. Nilakanti pasti tidak setuju 

kalau mereka mengantarkan gadis ini dulu. Karena 

perjalanan menuju ke Lembah Matahari akan semakin 

lambat saja. Namun pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan itu tidak tahu sama sekali apa yang 

ada di hati Nilakanti yang paling dalam.

Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor, Nila-

kanti, dan Mawar Wangi sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dari balik sebuah batu besar di bu-

kit tandus, menggeleng-gelengkan kepalanya. Di bahu 

sosok itu terdapat sebuah buntalan kain yang cukup 

besar.

"Diakah yang bergelar Pendekar Slebor?" ta-

nyanya pada diri sendiri dengan tatapan mata lebih 

membuka. Diperhatikannya tiga sosok tubuh yang se-

makin menjauh. "Hmm, ini kesempatanku untuk 

membuntutinya. Pusaka ampuh milik Tasbih Emas 

Bidadari untuk melaksanakan keinginanku dalam 

menguasai rimba persilatan ini. Bertahun-tahun aku 

mencoba mendapatkannya dari Ki Bubu Jagat. Na-

mun, lelaki keparat itu berhasil mengalahkan aku te-

rus-menerus. Kini, ku tahu dia telah mati. Tak sia-sia 

kutinggalkan Tepi Kali Musang untuk mendapatkan 

Tasbih Emas Bidadari."

Sosok lelaki berpakaian merah darah dengan 

celana hitam itu menatap ke atas. Langit tidak begitu 

terang seperti tadi. Matahari sudah berada di ujung 

peraduannya. Di benaknya, terbayang kembali peristi-

wa tiga puluh tahun yang lalu, di saat dia bertarung 

hebat dan kalah oleh Ki Buyut Jagat yang berbekal ke-

saktian dari Tasbih Emas Bidadari. Dan selama tiga 

puluh tahun berlatih di tepi Kali Musang, dia hendak 

menantang kembali Ki Bubu Jagat.

Namun semua keinginan itu kandas. Karena, Ki 

Bubu Jagat telah tewas di tangan muridnya sendiri, si 

Gampo Sinting yang membunuhnya secara licik. Den-

gan hati murka, lelaki yang berjuluk Setan Selaksa 

Wajah itu pun meninggalkan kediaman Ki Bubu Jagat.

Di sana, secara tak sengaja, Setan Selaksa Wa-

jah mendengar kabar kalau pusaka ampuh Tasbih 

Emas Bidadari disembunyikan Ki Bubu Jagat. Dalam 

pencariannya, secara tak sengaja terdengar kabar ka-

lau Tasbih Emas Bidadari telah dimiliki Pendekar Slebor.

Kini, dendam dan keinginan Setan Selaksa Wa-

jah untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari beralih 

pada Pendekar Slebor yang namanya akhir-akhir ini te-

lah menggemparkan dunia persilatan. Tekad-nya, dia 

tak akan pernah kembali ke Tepi Kali Musang sebelum 

mendapatkan apa yang diinginkannya. Sekaligus, 

membunuh Pendekar Slebor. Karena menurut perki-

raannya, bila berhasil membunuh pendekar pewaris 

ilmu Lembah Kutukan itu, maka namanya akan lebih 

banyak ditakuti orang-orang rimba persilatan.

Sekarang, secara tak sengaja Setan Selaksa 

Wajah mengetahui bagaimana rupa orang yang dica-

rinya. Dan seluruh keinginannya akan dituntaskannya 

sekarang juga!

"Selain ingin mendapatkan Tasbih Emas Bida-

dari, aku juga ingin mengetahui kehebatan Pendekar 

Slebor yang banyak dibicarakan orang! Hhh! Dia akan 

terkejut bila berhadapan denganku! Akulah Setan Se-

laksa Wajah yang akan menghentikan sepak terjang-

nya yang selalu menghalangi keinginan orang-orang 

sepertiku!"

Lelaki berwajah tampan itu tergelak-gelak ke-

ras. Suaranya membahana ke seantero tempat tandus 

itu. Dan tiba-tiba saja buntalan kainnya dibuka. Di-

ambilnya beberapa benda dari sana. Lalu dibukanya 

rambut palsu. Segera dikenakannya rambut yang lebih 

panjang.

Hanya dalam sepuluh hitungan, paras si lelaki 

sudah berubah. Dari paras tampan tadi, kini terlihat 

seraut wajah jelita mempesona. Getar pesonanya begi-

tu menjerat sukma.

Si gadis jelita jelmaan dari Setan Selaksa Wajah 

mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Tak seo-

rang pun yang tahu bagaimana rupa asli Setan Selaksa Wajah.


***


6


Adipati Ramada yang sudah cemas memikirkan 

putri kesayangannya yang belum kembali sejak siang 

tadi, kini bisa menarik napas lega. Dia baru saja men-

dengar laporan dari seorang pengawalnya kalau Mawar 

Wangi sudah tiba. Tetapi bukan dengan rombongan 

yang dipimpin Subali, melainkan oleh sepasang anak 

muda yang mengaku bernama Andika dan Nilakanti.

Mawar Wangi langsung merangkul ayahnya be-

gitu berjumpa. Dia berusaha menenangkan putrinya, 

dan mempersilakan Andika dan Nilakanti untuk du-

duk. Sambil terisak Mawar Wangi menceritakan ten-

tang kejadian yang dialaminya.

Ketika cerita selesai, Adipati Ramada meman-

dang penuh terima kasih pada Pendekar Slebor dan Ni-

lakanti.

"Bila tak ada kalian, entah bagaimana nasib 

putriku ini...," desah lelaki berusia kira-kira empat pu-

luh tiga tahun itu.

Wajah si adipati mencerminkan kebijaksanaan-

nya. Matanya penuh sorot kelembutan. Wajahnya ku-

kuh menandakan kegigihannya. Pakaiannya terusan 

batik dengan kain jingga yang melilit pinggangnya.

"Yang menolong bukan aku, Adipati," kata An-

dika hormat. Tapi gadis di sampingku ini."

Andika menunjuk Nilakanti dengan jempolnya.

"Terima kasih kuucapkan kepadamu, Nisanak," 

ucap Adipati Ramada. "Hm.... Kulihat, kalian nampak-

nya sedang melakukan perjalanan jauh. Ada baiknya

bila kalian beristirahat barang satu dua malam di sini."

Sementara itu Mawar Wangi sudah duduk di 

sebelah ayahnya. Gadis itu sudah tidak terisak lagi.

"Terima kasih, Adipati. Kebaikan Adipati bu-

kannya kami tolak. Tetapi mengingat perjalanan kami 

yang masih jauh, sebaiknya kami mohon diri," sahut 

Nilakanti, mendahului Andika. Padahal sejak dalam 

perjalanan tadi, dia tidak bicara sepatahkata pun.

Andika melirik enteng pada Nilakanti. Lalu ta-

tapannya beralih pada wajah Adipati Ramada yang ke-

lihatan agak kecewa. Ketika melirik Mawar Wangi, ta-

tapan mata gadis itu tampak sangat menyayangkan bi-

la kedua penolongnya menolak kebaikan ayahnya.

"Orang-orang rimba persilatan seperti kalian 

memang selalu menyenangi perjalanan. Baiklah.... Aku 

tidak bermaksud menahan kalian lebih lama lagi, 

meskipun sangat mengharapkan kalian bisa bermalam 

di sini. Paling tidak untuk malam ini."

"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih," 

sahut Nilakanti, mendahului Andika yang mulutnya 

sudah terbuka ingin bicara.

"Kalau begitu, terimalah hadiah uang yang jum-

lahnya kupikir bisa membiayai kalian dalam perjala-

nan menuju Lembah Matahari."

"Terima kasih, Adipati. Dua ekor kuda, nam-

paknya lebih berguna untuk kami."

"Kalau begitu, kalian akan mendapatkannya."

Adipati Ramada memerintahkan seorang pen-

gawal untuk mengambil dua ekor kuda terbaik milik 

kadipaten.

"Mengapa kalian menolak kebaikan ayahanda? 

Bukankah kalian nampak lelah? Kalian masih butuh 

makan untuk mengisi perut. Juga, kalian harus beris-

tirahat," tuntut Mawar Wangi, seolah setengah me-

maksa agar kedua penolongnya bersedia menerima tawaran ayahnya.

"Kami pikir, memang sudah seharusnya untuk 

melanjutkan perjalanan. Karena semakin cepat kami 

tiba di Lembah Matahari, rasanya semakin baik," sero-

bot Nilakanti.

"Tetapi...."

"Terima kasih atas kebaikanmu dan ayahmu, 

Mawar Wangi," potong Nilakanti.

Si gadis memang melihat kesempatan untuk 

berdua kembali dengan Andika. Kini disadari, hatinya 

sudah terpaut erat pada pemuda urakan itu. Dia men-

ginginkan balasannya. Nilakanti tak rela bila Andika 

justru terpaut pada kecantikan Mawar Wangi.

Dua ekor kuda itu telah disiapkan. Nilakanti 

dan Andika pun segera berpamitan. Kepergian mereka 

dilepas oleh Mawar Wangi dengan mata agak berkaca-

kaca.

Setelah keduanya menghilang dari pandangan, 

Mawar Wangi berlari masuk ke kamarnya. Entah men-

gapa dalam perjumpaan pertama dengan Andika, ha-

tinya yang belum pernah tersentuh benih cinta, kini 

terasa bergetar.

***

"Sudah enak-enak ditawari bermalam di istana, 

malah pilih di alam terbuka," gumam Andika seperti 

ditujukan pada diri sendiri.

Saat ini kuda-kuda mereka memasuki sebuah 

hutan. Matahari telah tenggelam sejak tadi. Mereka 

terpaksa memperlambat laju kuda. Suasana tampak 

sepi dan gelap.

Sementara itu Nilakanti kini menghentikan 

langkah kudanya. Ringan sekali dia melompat turun.

"Di hutan seperti ini?!" belalak Andika sambil

melompat turun.

Sementara Nilakanti dengan tak acuhnya su-

dah merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon.

"Kenapa sih sikapmu jadi lain sekali? Nampak-

nya kau marah padaku, Nila? Katakan, kenapa jadi 

begini?" susul Andika, memasang wajah penuh tuntu-

tan.

Sudah tentu Nilakanti tidak mau menceritakan 

yang sebenarnya. Sebagai seorang gadis, dia tentu saja 

malu untuk mengutarakan isi hatinya.

"Rewel! Baru aku tahu kalau Kang Andika ini 

cerewet!" bentak si gadis.

"O..., baru tahuya kalau aku cerewet? Sial! Aku 

pun juga baru tahu kalau aku cerewet. Sudahlah, ka-

takan saja, ada apa denganmu. Kalau tidak, kutinggal 

kau di sini!" ancam Andika dengan kedua tangan bera-

da di pinggang.

Nilakanti tak menggubris kata-katanya. Hatinya 

masih dilanda cemburu.

"Tinggal saja!" susul si gadis, menyentak.

Andika tersenyum dalam hati. Dia tahu, meski-

pun Nilakanti berkata begitu, namun hatinya tidak 

menghendakinya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, Andi-

ka menggebah kudanya.

"Biar kau dimakan macan di situ!" Andika me-

nakut-nakuti.

"Masa bodoh!"

Kuda Andika melesat meninggalkan tempat itu. 

Nilakanti terhenyak. Tiba-tiba baru disadari kalau se-

kelilingnya menyeramkan. Entah mengapa dia yang 

terbiasa dalam tempat yang seram seperti ini, menjadi 

agak ngeri. Mungkin karena mulai terbiasa berdua 

bersama Andika.

"Kang Andika!" serunya keras.

Tak ada sahutan apa pun. Nilakanti jadi menggigil sekarang. Dia menyesali sikapnya yang membuat 

Andika menjadi marah dan kesal. Tetapi, dia merasa 

hal itu lebih baik bila Andika bersikap seperti itu dari-

pada harus berada di dekat Mawar Wangi. Hanya saja, 

kini dia menjadi kehilangan Andika.

"Apakah aku harus mengatakan yang sesung-

guhnya?" desah si gadis masygul. "Tetapi, apakah aku 

tidak akan ditertawainya?"

Hati Nilakanti menjadi kacau sekarang.

"Kang Andika.... Apakah kau tidak tahu men-

gapa sikapku jadi begini? Karena aku cemburu, Kang. 

Aku khawatir kau tertarik pada Mawar Wangi.... Pa-

dahal, hatiku mulai dekat denganmu, Kang.... Ah! Bila 

kukatakan semua ini, apakah kau marah? Aku harus 

mencobanya. Aku tak mau dia bertambah marah pa-

daku," lanjut gadis ini tetap mendesah,

Berpikiran demikian, Nilakanti melompat ke 

kudanya. Namun belum lagi kudanya digebah gebrak, 

tiba-tiba....

"Ha ha ha...!"

Mendadak terdengar suara terbahak-bahak 

yang sangat keras.

"Kang Andika!" seru Nilakanti terperanjat. Wa-

jahnya langsung memerah karena malu tak terkira.

Di dahan pohon tepat di dekat Nilakanti berdiri, 

Andika terbahak-bahak sambil memegang perutnya. 

Tubuhnya agak berguncang.

"Jadi itu sebabnya, Nila? Mengapa tak menga-

takannya padaku? Aku tidak akan marah, malah se-

nang sekali," kata Pendekar Slebor.

Nilakanti yang kaget karena tahu-tahu Andika 

berada di dahan pohon di atasnya, tak dapat menahan 

sifat kewanitaannya lagi. Ingin menangis rasanya.

Andika melompat turun, setelah menghentikan 

tawanya. Dia mengerti, mengapa Nilakanti menunduk

kan kepalanya. Lalu dengan hati-hati didekatinya ga-

dis itu, dan dirangkulnya.

"Kau tidak usah malu, Nila. Tenanglah. Semua-

nya akan selesai...."

"Tetapi...," Nilakanti tersendat dalam pelukan 

Andika.

"Sudahlah.... Lebih baik kita beristirahat seka-

rang. Bukankah kau lelah. Nah, kau lihat itu?"

Andika menunjuk ke dahan pohon yang tadi 

didudukinya.

"Apa, Kang?" tanya Nilakanti. Samar dia meli-

hat sebuah benda bergelantungan.

Andika berkelebat melompat, lalu hingga kem-

bali di tanah. Di tangannya tertentang tiga ekor kelinci 

gemuk.

"Bukankah kita bisa mengisi perut sekarang?"

Nilakanti tersenyum. Hatinya kini lega dan se-

nang. Lega karena Andika tidak marah, senang karena 

telah mengatakan isi hatinya secara tidak langsung. 

Dia baru sadar kalau Andika tidak sungguh-sungguh 

meninggalkannya. Malah, menjebaknya. Di-am-diam 

Nilakanti pun mengagumi betapa tingginya ilmu me-

ringankan tubuh Pendekar Slebor. 

***

7


Di kamarnya, Mawar Wangi masih tak bisa 

memejamkan matanya. Kedua mata indahnya menam-

pakkan kesedihan mendalam. Bukan dikarenakan pe-

ristiwa mengerikan yang dialami, melainkan karena 

harus secepat itu berpisah dengan Pendekar Slebor.

Gadis yang selama hidupnya baru kali ini ter

sentuh api cinta, benar-benar sedih atas perpisahan 

itu. Namun dia tak pernah berpikir kalau semuanya 

terjadi karena kecemburuan Nilakanti.

Malam terus merangkak perlahan namun pasti. 

Halaman kadipaten yang biasa dijaga ketat, kali ini ke-

colongan dengan masuknya satu sosok hijau pupus 

dengan sehelai kain catur yang melompat dari balik 

dinding sebelah timur. Gerakannya begitu cekatan se-

kali.

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sosok 

tubuh itu melesat kembali. Sekarang, dia sudah bera-

da di sisi sebuah dinding. Lalu tanpa mengeluarkan 

suara sedikit pun tubuhnya menyelinap mendekati sisi 

sebuah kamar yang masih terang.

Sampai di situ, sosok yang ternyata pemuda 

tampan berbaju hijau pupus menajamkan pendenga-

rannya. Dan telinganya menangkap desahan panjang 

Mawar Wangi.

"Kang Andika.... Mengapa kau tega meninggal-

kan aku? Padahal aku masih ingin mendapatkan kete-

nangan bersamamu."

Sosok berpakaian hijau pupus itu tersenyum. 

Ditekuknya jendela kamar Mawar Wangi.

"Mawar.... Mawar...," panggil pemuda yang ter-

nyata Pendekar Slebor.

Mawar Wangi tercekat. Dia ingat betul akan su-

ara itu. Bergegas gadis ini berlari ke jendela kamarnya 

dan segera membukanya.

"Kang Andika!" serunya penuh gembira begitu 

melihat sosok pemuda yang dirindunya berada di ha-

dapannya.

Pendekar Slebor tersenyum.

"Tidak usah menangis. Semuanya akan berja-

lan seperti yang diharapkan," ujar si pemuda.

Mawar Wangi tersenyum gembira. Namun ada

sesuatu yang membuatnya harus bertanya. "Adakah 

yang tertinggal, Kang Andika?"

"Ya."

"Oh! Apakah itu?" 

"Kau, Mawar."

Dada Mawar Wangi berdebar gembira menden-

garnya. Semua kesedihan yang baru dirasakannya le-

nyap begitu saja. Namun sekali lagi, sebagaimana 

layaknya gadis-gadis lain, dia tak mau memperlihatkan 

kelemahannya.

"Di manakah Kak Nilakanti?" tanya si gadis.

"Dia menunggu kita di tepi sungai sebelah uta-

ra."

"Kita, Kang Andika? Apa maksud Kang Andi-

ka?"

"Mawar.... Apakah kau tak ingin mengikuti per-

jalananku bersama dengan Nilakanti?"

"Oh! Aku ingin sekali. Tetapi...."

"Kau takut ayahmu akan marah?" tebak si pe-

muda.

Kepala Mawar Wangi mengangguk cepat.

"Tidak perlu khawatir. Malam ini juga ikut den-

gan kami. Besok pagi, aku akan mengantarmu datang 

ke sini lagi untuk meminta izin ayahmu."

"Kita mau ke mana, Kang Andika?"

Sosok berbaju hijau pupus itu tersenyum.

"Aku tak ingin membuatmu sedih. Aku ingin 

menghiburmu."

Hati Mawar Wangi berbunga-bunga menden-

garnya. Dia berpikir, apa yang dikatakan pemuda tam-

pan gagah ini memang benar.

"Tolong bantu aku keluar," bisiknya kemudian.

Sosok berbaju hijau pupus itu segera mengang-

surkan tangannya. Lalu....

"Hup!"


Tubuh Mawar Wangi sudah berada dalam 

rangkulan si pemuda. Begitu padat dan menebarkan 

harum semerbak.

"Kau sudah siap sekarang, Mawar?" tanya An-

dika.

"Ya, Kang. Bersamamu, aku merasa senang," 

sahut si gadis, polos.

"Begitu pula denganku, Mawar. Itu sebabnya 

aku kembali ke sini."

Lalu dengan kelebatan yang luar biasa cepat-

nya, sosok berbaju hijau pupus itu melesat membawa 

tubuh padat Mawar Wangi. Sampai-sampai mata si ga-

dis terpejam karena merasa bagai dibawa terbang.

Hanya dalam lima belas tarikan napas saja, 

mereka sudah berada di sebuah hutan kecil yang ber-

jarak ratusan tombak dari Kadipaten Karanganyar.

"Di manakah Kak Nila, Kang Andika?" tanya 

Mawar Wangi yang telah turun dari rangkulan Pende-

kar Slebor.

Mata indah si gadis agak kecut juga memperha-

tikan kegelapan di sekelilingnya. Kalaupun pernah 

memasuki hutan yang lebih lebat dari hutan ini, itu 

pun siang hari dan ditemani para pengawalnya. Diam-

diam, Mawar Wangi menyadari akan kebenaran laran-

gan ayahnya yang tidak pernah menghendakinya pergi 

berburu seorang diri.

"Aku juga tidak tahu. Barangkali dia mengerti, 

kalau kini kita berdua, Mawar," sahut Pendekar Slebor 

sambil meremas tangan Mawar Wangi.

Dada Mawar Wangi berdebar kembali, senang 

bercampur tegang. 

"Maksud..., maksud Kang Andika bagaimana?" 

tanyanya tersendat.

Si gadis merasa seluruh sendi di tubuhnya ba-

gai lolos begitu saja ketika melihat pandangan mesra

Pendekar Slebor yang menghujam tepat di sudut hati 

kewanitaannya.

Senyum di bibir Pendekar Slebor semakin men-

gembang.

"Bukankah kau sudah mengetahuinya, Ma-

war?" tukas Andika penuh getaran.

"Aku..., aku..."

"Kau cantik, Mawar...."

Sukma Mawar Wangi kontan bagai melambung 

ke langit tingkat tujuh mendengar pujian sang pemuda 

pujaan. Perlahan-lahan kepalanya menunduk guna 

menghilangkan rasa jengahnya. Dan tubuhnya ganti 

menggigil ketika perlahan-lahan dengan penuh kelem-

butan tangan Andika memegang dagunya, lalu men-

gangkatnya.

"Jangan menunduk, Mawar. Biarkan aku me-

nikmati keindahan wajahmu...."

Perasaan Mawar Wangi semakin tak menentu. 

Tubuhnya mendadak tegang ketika perlahan-lahan bi-

birnya disentuh benda lunak. Dan didorong oleh nalu-

rinya, perlahan-lahan gadis cantik itu memejamkan 

mata. Dinikmatinya ciuman hangat yang baru pertama 

kali dirasakannya.

Dan ketika tubuhnya ditidurkan di rumput 

yang tebal, si gadis pasrah saja. Seluruh sukmanya 

seolah telah melayang dalam angan kenikmatan. Dira-

sakannya bagaimana belaian mesra disertai bisikan 

yang membuatnya semakin pasrah. Tubuhnya menjadi 

panas. Aliran darahnya dirasakan mendadak berjalan 

cepat.

"Sebentar, Mawar.... Aku ingin melihat-lihat 

keadaan dulu," bisik Andika, membuat gejolak si gadis 

tersurut.

Mawar Wangi membuka kedua matanya.

"Semuanya aman, Kakang...," desah gadis itu.

"Aku menyukaimu, Mawar. Tetapi, tunggu dulu 

sebentar. Aku yakin kau mau bersabar, bukan?" ujar 

si pemuda sambil tersenyum.

"Tetapi...."

"Aku tidak lama," sela Andika. "Aku hanya akan 

memeriksa keadaan sekeliling tempat ini. Sekaligus, 

mencari tahu di mana Nilakanti berada. Biar bagaima-

napun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan

gadis itu...."

Mawar Wangi meskipun sedikit kesal, hanya 

menganggukkan kepalanya. Ditutupinya lagi pakaian 

bagian atasnya yang sudah terbuka.

"Jangan lama-lama, Kakang...," ingat si gadis.

"Percayalah, aku tidak akan lama. Lagi pula, 

mana mungkin aku tega meninggalkanmu seorang diri 

disini?"

Setelah mengecup bibir ranum Mawar Wangi, 

tubuh si pemuda pun melesat meninggalkan Mawar 

Wangi.

"Rupanya, Kang Andika menyukaiku pula. Ini 

suatu hal yang sangat menyenangkan...," desahnya 

sambil tersenyum penuh harap.

Di satu tempat yang agak jauh dari sana, pe-

muda berbaju hijau pupus itu berhenti. Telinganya 

langsung ditajamkan. Lalu dengan cepat tubuhnya me-

lompat ke atas sebuah pohon. Sejenak matanya mena-

tap ke sekitar tempat, di mana dua sosok anak muda 

berlainan jenis sedang tertawa gembira sambil me-

manggang daging kelinci.

"Sangat menyenangkan! Yang kucari-cari bera-

da di sini. Bau harum dari daging panggang itulah 

yang menunjukkan keberadaanmu, Pendekar Slebor. 

Hmm.... Mawar Wangi sudah berada di tanganku. Aku 

harus memainkan seluruh peranan. Akan ku kacau-

kan keadaan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan

Tasbih Emas Bidadari!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu 

berkelebat ke satu tempat. Di balik sebuah semak, di-

ambilnya sebuah buntalan kain.

"Hmm... Aku sekarang harus merubah diriku 

menjadi Mawar Wangi setelah tadi menjadi Pendekar 

Slebor.

"Beruntung aku membawa berbagai jenis pa-

kaian," desisnya.

Sosok Pendekar Slebor menghilang di balik se-

mak. Begitu muncul, telah berganti menjadi Mawar 

Wangi.

Lalu sosok Mawar Wangi pun melangkah perla-

han ke arah Pendekar Slebor dan Nilakanti yang se-

dang memanggang daging kelinci.

Siapa tokoh itu sebenarnya? Dia tak lain adalah 

Setan Selaksa Wajah.

Tengah Andika dan Nilakanti menyantap daging 

kelinci, mendadak mendengar suara tangis.

Pendekar Slebor cepat berkelebat untuk menca-

ri sumber suara. Sementara Nilakanti menyusul di be-

lakangnya. Mereka bergerak penuh waspada.

Dan mereka sama-sama terkejut ketika melihat 

Mawar Wangi sedang menangis sambil memijat sebelah 

kakinya.

"Mawar!" seru Pendekar Slebor. Sementara Ni-

lakanti menjadi merengut melihat siapa yang menan-

gis.

"Hhh! Brengsek! Mau apa sih gadis kadipaten 

itu?" dengus si gadis dalam hati.

Mawar Wangi yang sebenarnya Setan Selaksa 

Wajah mengaduh sambil menunjuk kakinya. Andika 

melihat betis yang halus itu agak membengkak.

"Mengapa kau ke tempat seperti ini, Mawar? 

Seharusnya kau berada di rumahmu?" tanya Pendekar

Slebor, sambil mengurut.

"Aku..., aku ingin ikut denganmu, Kang Andi-

ka...."

"Mau apa, Mawar? Mengapa begitu?"

"Karena..., aku..., aku..., ah! Kak Nila...."

Nilakanti cuma berdiri tegak sambil melipat ke-

dua tangannya di dada. Wajahnya melengos jengkel. 

Andika tertawa dalam hati melihatnya.

Tak lama kemudian, bengkak di kaki Mawar 

Wangi pun agak membaik.

"Sebaiknya..., kau kuantar kembali ke kadipa-

ten."

"Tidak! Aku ingin bersama-sama, Kang Andi-

ka...," tandas Setan Selaksa Wajah yang menyamar se-

bagai Mawar Wangi memegang tangan Andika.

Lalu seperti tidak menyetujui usul Andika, si 

gadis jelmaan merangkul sosok pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan. Tangan kanannya me-

nyentuh sebuah benda yang berada di balik baju Andi-

ka.

Andika yang sudah tahu siapa gadis di hada-

pannya ini mendesah panjang.

"Kalau begitu..., untuk malam ini saja. Besok, 

aku akan mengantarmu kembali ke kadipaten. Kau 

paham maksudku, bukan?" putus Andika.

"Aku ingin selamanya bersama Kang Andika," 

tegas si gadis jelmaan.

"Mawar..., dengarlah! Perjalananku bersama Ni-

lakanti ke Lembah Matahari bukanlah perjalanan me-

nyenangkan. Aku tak menginginkan kamu mengalami 

hal-hal yang tidak mengenakan dalam hidupmu," ujar 

Pendekar Slebor.

"Aku tidak peduli. Aku ingin bersama Kang Andika."

Andika menghela napas panjang. "Baiklah ka

lau begitu. Tetapi, ingat! Setelah semuanya selesai, kau 

harus kembali ke kadipaten," desah Andika.

"Itu bisa kita bicarakan lain kali, bukan?" tukas 

si gadis jelmaan.

Andika mengangguk-angguk. Matanya melirik 

Nilakanti yang semakin cemberut saja.

"Gawat! Urusan ini bukan hanya akan mena-

han perjalananku menuju Lembah Matahari, tetapi ju-

ga bisa memancing kemunculan orang-orang yang 

menginginkan Tasbih Emas Bidadari," rutuk Pendekar 

Slebor dalam hati.

Lalu si pemuda bangkit mendekati Nilakanti. 

Kepalanya yang mendadak gatal, digaruk-garuk. "Kok 

cemberut sih?" tanyanya. 

"Mata bongsang!" maki Nilakanti sambil mem-

buang muka. "Bilang saja Kang Andika memang me-

nunggu kesempatan seperti ini? Pakai berlagak lagi!"

"Aduh, Nila.... Mengerti sedikit dong. Bukan 

aku yang menghendaki semua ini. Tetapi, gadis itu...."

"Iya.... Tetapi kan, Kang Andika mengharapkan 

kedatangannya!"

Andika jadi serba salah.

"Baiklah.... Kalau kau memang tidak menyukai 

kedatangannya, lebih baik kita tinggalkan saja dia di 

sini."

Meskipun dalam keadaan cemburu, namun Ni-

lakanti masih memiliki naluri kewanitaannya.

"Enak saja ngomong begitu! Kalau nanti dia...."

"Dimakan macan?" potong Andika sambil terse-

nyum. "Sudahlah, Nila. Percayalah kepadaku. Aku...."

"Memang menghendaki kedatangannya, kan?" 

potong Nilakanti.

"Membalas ya? Mengertilah, Nila.... Keadaan 

semacam ini tak pernah kuhendaki. Hmm, begini sa-

ja.... Biarkan Mawar Wangi ikut dengan kita ke Lembah Matahari. Setelah itu kita kembalikan ke kadipa-

ten. Kau setuju?" 

"Tetapi...."

Ingin sekali Nilakanti menolak, namun ketika 

Andika memegang tangannya hatinya menjadi luluh 

juga. Dia menghela napas.

"Baiklah, Kang...," desahnya.

"Kalau begitu, kau mau bukan bila menema-

ninya tidur? Kalau aku, bisa gawat, kan?"

Nilakanti kini tersenyum. Selorohan-selorohan 

Andika terkadang memang menjengkelkan. Namun 

terkadang mampu membuatnya tersenyum.

"Hei? Kenapa tersenyum?" tukas Andika. Saat 

melihat Nilakanti belum beranjak dari tempatnya. "Apa 

kau akan membiarkan aku tidur dengannya? He he 

he.... Nanti kau cemburu?"

Kali ini Nilakanti mendengus. Lalu melangkah 

mendekati Mawar Wangi yang masih duduk di rumput. 

Tangannya terulur.

"Berdiri! Kita cari tempat untuk tidur!" ujar Ni-

lakanti.

Andika tertawa melihat sikap Nilakanti yang ke-

tus begitu.

"Mestinya kan baik-baik, ya? Kalau kau terus-

menerus begitu, jangan-jangan bukan hanya perem-

puan saja yang takut. Tetapi lelaki juga takut!"

Nilakanti mendelik, lalu beralih menatap Mawar 

Wangi.

"Kita cari tempat untuk tidur, Mawar. Jangan 

dekat-dekat dengan mata bongsang itu!"

"Bukannya asyik kalau berdekatan?" sambar 

Andika. Sementara Nilakanti sudah membimbing Setan 

Selaksa Wajah yang menjelma menjadi Mawar Wangi.

***

Karena lelahnya, Nilakanti pun tertidur setelah 

melirik Mawar Wangi yang sejak tadi sudah memejam-

kan matanya. Mawar Wangi jelmaan Setan Selaksa 

Wajah tersenyum licik melihat gadis di sisinya sudah 

pulas.

"Aku harus membereskan satu persatu. Setelah 

itu, barulah giliran Pendekar Slebor," gumamnya da-

lam hati dengan tangan bergerak cepat.

Tuk! Tuk! Tuk!

Tubuh Nilakanti menjingkat sejenak. Dan seju-

rus kemudian dia pingsan dalam keadaan tertotok. 

Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, 

diangkatnya tubuh gadis jelita itu. Lalu dibawanya ke 

arah yang berlawanan dari tempat Pendekar Slebor be-

rada.

Setan Selaksa Wajah membawa Nilakanti ke 

tempat yang agak tersembunyi. Dia melompat ke atas 

sebuah pohon. Di situ, tidak akan membuatnya jatuh. 

Apalagi saat ini Nilakanti sedang pingsan. Kalaupun 

sudah siuman, sudah tentu tak akan mampu mengge-

rakkan tubuhnya dan berbicara.

"Kau akan kuurus nanti, Manis. Sekarang gili-

ran putri Adipati Ramada yang tentunya sudah tak sa-

bar menungguku," gumam Setan Selaksa Wajah.

Mawar Wangi jelmaan Setan Selaksa Wajah 

kembali ke tempat buntalannya tersimpan. Gerakan-

nya cepat sekali. Sebentar saja tubuhnya telah menye-

linap ke balik semak. Begitu muncul kembali, yang 

tampak kini sosok berwajah mirip Pendekar Slebor.

Kemudian Pendekar Slebor jelmaan Setan Se-

laksa Wajah berkelebat cepat sambil membayangkan 

apa yang akan dilakukannya. Namun ketika tiba di 

tempat Mawar Wangi berada, dua sosok telah berdiri 

menghadangnya.

Yang seorang lelaki berwajah tampan dengan

pakaian biru menyala dan rambut digelung ke atas. 

Tatapannya dingin menampakkan kekejaman. Yang 

seorang lagi wanita tua yang mengeluarkan bau bu-

suk. Sementara, sosok Mawar Wangi terbaring di rum-

put dalam keadaan tertotok dengan tubuh setengah te-

lanjang.

"Ha ha ha... Rupanya Pendekar Slebor mempu-

nyai nyali besar untuk berhadapan denganku!" kata le-

laki berwajah tampan. "Perkenalkan! Aku Lima Jalan 

Darah!"

"Kang Andika.... Selamatkan aku!" seru Mawar 

Wangi.

Gadis ini masih tetap menyangka kalau pemu-

da yang berdiri tiga tombak darinya adalah Pendekar 

Slebor asli. Tetapi secepat itu dia jatuh pingsan setelah 

kaki Lima Jalan Darah menyepak kepalanya. Dari peli-

pisnya mengalir darah.

***

8


Setan Selaksa Wajah yang nyamar sebagai Pen-

dekar Slebor kembali, memperlihatkan dua sosok tu-

buh di hadapannya dengan tatapan tak kalah dingin-

nya. Hatinya agak bergetar ketika menyadari siapa 

yang muncul. Julukan Lima Jalan Darah memang be-

lum lama terdengar. Namun dia tahu tindakan telen-

gas yang sering dilakukan Lima Jalan Darah telah 

menggemparkan dunia persilatan dengan totokan da-

rahnya! Orang yang jadi korban totokannya, tak akan 

ada yang sanggup hidup lebih lima hari. Dan selama 

itu, siksaan yang diderita akibat totokan darah sangat 

mengerikan!

Kini Setan Selaksa Wajah tahu kalau Lima Ja-

lan Darah pun sedang mencari Pendekar Slebor. Ini 

sebenarnya kesempatan baginya untuk bekerja sama 

dengan Lima Jalan Darah dalam membunuh Pendekar 

Slebor, sekaligus untuk mendapatkan Tasbih Emas 

Bidadari. Tetapi, dia ingin tahu mengapa lelaki berbaju 

biru menyala itu mencari Pendekar Slebor?

"Hmm.... Nama Lima Jalan Darah cukup santer 

juga sampai di telingaku. Tetapi sayangnya, kita tak 

punya silang sengketa! Lebih baik, ambil jalan ma-

sing-masing!"

"Anjing buduk! Manusia keparat sepertimu su-

dah selayaknya berkalang tanah! Dan yang terpenting 

lagi, sebelum mampus, Hantu Gigi Gading mengatakan 

kalau kau kawanmulah yang membuatnya seperti itu!" 

sentak Lima Jalan Darah, tetap menyangka orang di 

hadapannya adalah Pendekar Slebor.

Memang, dalam perjalanan mencari Pendekar 

Slebor, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai

menemukan Hantu Gigi Gading tengah dalam keadaan 

sekarat. Dengan terpatah-patah dan napas tersengal, 

Hantu Gigi Gading menceritakan apa yang terjadi. Dan 

sesaat kemudian, nyawa busuknya pun melayang.

Dewi Sungai Bangkai geram bukan main. Dia 

bersumpah akan mencabik-cabik tubuh kawan Pende-

kar Slebor dan Andika sendiri!

Kemudian mereka meneruskan perjalanan, 

hingga akhirnya menemukan Mawar Wangi. Gadis ini 

langsung tercekat melihat kehadiran kedua tokoh yang 

membuatnya bergetar. Terutama badan Dewi Sungai 

Bangkai yang mengeluarkan bau busuk. Mawar Wangi 

mencoba melarikan diri untuk mencari Pendekar Sle-

bor. Namun, Dewi Sungai Bangkai dengan cepat meno-

toknya.

Dari Mawar Wangilah mereka tahu, kalau Pendekar Slebor berada bersama gadis itu sebelumnya. 

Hanya saja, keduanya tidak tahu siapa yang berada di 

hadapannya! Yang mereka sangka, tetaplah Pendekar 

Slebor.

Setan Selaksa Wajah terdiam. Otak busuknya 

berpikir licik.

"Hmm.... Bila aku bersatu dengan kedua ma-

nusia ini, sudah dipastikan keinginanku untuk men-

dapatkan Tasbih Emas Bidadari sekaligus membunuh 

Pendekar Slebor akan terlaksana. Dalam penyamaran 

sebagai Pendekar Slebor saat ini, memang bukan cara 

yang tepat untuk bekerja sama dengan mereka. Se-

baiknya aku tinggalkan saja keduanya!" putus Setan 

Selaksa Wajah.

Berpikir demikian, Setan Selaksa Wajah men-

ginginkan untuk langsung meninggalkan tempat itu. 

Sementara gadis yang berada dalam bopongan Lima 

Jalan Darah tak dipedulikannya lagi. Toh dia masih 

mempunyai Nilakanti yang menggantikan Mawar Wan-

gi.

Akan tetapi, sebelum Setan Selaksa Wajah me-

lakukan rencananya, wanita tua yang mengeluarkan 

bau busuk itu sudah meluruk dengan satu serangan 

maut.

"Sekarang saatnya kau harus mampus, Pende-

kar Slebor! Kau harus bayar nyawa Hantu Gigi Gading 

dengan nyawa sialanmu!"

Setan Selaksa Wajah langsung melenting ke 

atas ketika serangan yang mengeluarkan bau busuk 

itu melabrak ke arahnya. Dari bau busuk yang ter-

cium, dia yakin wanita tua ini tak lain adalah Dewi 

Sungai Bangkai!

Dewi Sungai Bangkai menyangka kalau lawan 

yang dihadapi adalah Pendekar Slebor asli. Makanya, 

dia menyerang secara membabi-buta. Pukulan 'Angin

Bangkai Lilit Leher' sudah dilepaskan. Seketika sinar 

hitam meluruk dahsyat ke arah Setan Selaksa Wajah 

yang baru saja menjejak tanah. Dengan lincahnya si 

lelaki jago menyamar itu meliukkan tubuhnya. Namun 

tubuhnya pun terhuyung ke belakang ketika nafasnya

terasa sesak

"Gila! Kecepatan dan serangan sinarnya masih 

tak seberapa! Tetapi, bau busuk ini justru yang akan 

membunuhku!" rutuk Setan Selaksa Wajah, seraya 

mengibaskan kedua tangannya.

Bet!

Saat itu juga serangkum angin dingin meluncur 

cepat ke arah Dewi Sungai Bangkai yang sedang me-

nyerang ganas. Angin dingin itu langsung membuyar-

kan bau busuk yang menyengat leher Setan Selaksa 

Wajah.

Sementara Dewi Sungai Bangkai tampak begitu 

terkejut. Dia semula yakin lawannya bisa dijatuhkan 

dalam dua jurus berikutnya. Tetapi dugaannya meleset 

jauh. Angin sedingin es itu justru membuyarkan se-

rangannya. Bahkan dalam keterkejutannya, Setan Se-

laksa Wajah telah meluruk cepat bagai kilat dengan sa-

tu jotosan keras.

Des!

Dewi Sungai Bangkai terhuyung ke belakang. 

Tubuhnya seketika terasa bagai dikelilingi es. Dalam 

keadaan terluka dalam itu, keningnya berkerut. Sebe-

lumnya beberapa kali dia bertarung melawan Pendekar 

Slebor. Dan setiap kali Pendekar Slebor menyerang, 

yang terasa hawa panas dan terdengar suara bagai 

menyalak. Tetapi sekarang ini? Mengapa pukulannya 

menjadi sedingin es? Apakah sebenarnya Pendekar 

Slebor masih memiliki ajian simpanan yang ampuh?

Menyadari hal itu, Dewi Sungai Bangkai menja-

di penasaran. Segera tubuhnya menerjang kembali

dengan serangan bertubi-tubi. Namun agaknya Setan 

Selaksa Wajah sudah menemukan kelemahan seran-

gan Dewi Sungai Bangkai. Maka segera ditutup-nya se-

rangan hawa dingin yang mengarah padanya dengan

kibasan pukulan angin sedingin es. Begitu si perem-

puan gelagapan, kembali pukulannya mendarat telak.

Dess....!

Dewi Sungai Bangkai terlempar beberapa lang-

kah. Kalau tadi hawa panasnya masih mampu dialir-

kan untuk mengusir hawa dingin yang melingkupi tu-

buhnya, kali ini dia terjatuh dengan tubuh menggigil 

hebat. Aliran darahnya seolah membeku.

"Ternyata tak sia-sia kau dibicarakan orang ba-

nyak, Pendekar Slebor. Aku jadi penasaran! Dan sudah 

tentu, kau akan membayar lunas sakit hati Malaikat 

Mata Satu.!"

Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah 

membuka serangan mautnya. Totokan aneh jarak jauh 

yang dilontarkan, membuat Setan Selaksa Wajah ter-

perangah. Sebisanya dia menghindari. Dan setiap kali 

berhasil meloloskan diri, totokan darah yang dile-

paskan Lima Jalan Darah menghantam pohon hingga 

hangus seketika.

"Benar-benar sinting! Julukan Lima Jalan Da-

rah bukan nama kosong belaka! Bisa berabe kalau be-

gini! Lebih baik aku tinggalkan dulu kedua manusia 

sialan ini! Kalau di sini terus-menerus, bisa-bisa aku 

tak akan mampu mengacaukan Pendekar Slebor seka-

ligus membunuh dan mendapatkan Tasbih Emas Bi-

dadari!"

Berpikiran demikian, tubuh Setan Selaksa Wa-

jah bergulingan untuk menghindari totokan darah 

yang dilakukan Lima Jalan Darah. Begitu bangkit dile-

paskannya pukulan jarak jauh untuk menjaga jarak. 

Setelah mendapat kesempatan, mendadak dia melesat

meninggalkan tempat itu.

"Setan laknat! Kau tak akan bisa meloloskan 

diri, Pendekar Slebor!"

Lima Jalan Darah melesat ke arah Setan Selak-

sa Wajah melarikan diri. Namun Pendekar Slebor palsu 

itu sudah menghilang dari pandangan. Geram bukan 

main hatinya menyadari hal itu.

"Ke mana pun pergi, kau tak akan bisa melari-

kan diri, Pendekar Slebor!" desis Lima Jalan Darah.

Lalu si lelaki tampan melesat kembali ke tem-

pat semula. Dilihatnya bagaimana Dewi Sungai Bang-

kai sedang menderita karena kedinginan. Ketika tan-

gannya menyentuh kulit perempuan tua itu, tak ubah-

nya bagai memegang bongkahan salju es abadi.

"Gila! Pendekar Slebor harus membayar semua 

ini!"

Lima Jalan Darah segera mengerahkan tenaga 

dalam ke tubuh Dewi Sungai Bangkai. Hanya dalam ti-

ga tarikan napas saja tubuh Dewi Sungai Bangkai su-

dah kembali seperti biasa. Dan wanita tua yang men-

geluarkan bau busuk dari tubuhnya itu segera bersila 

untuk memulihkan luka dalamnya.

***

Pagi kembali datang. Sinar matahari menyengat 

seisi alam. Pendekar Slebor yang baru saja terbangun 

segera teringat akan Nilakanti dan Mawar Wangi. Dia 

mencari sambil berteriak, namun tak ada sahutan apa-

apa.

"Hoi! Nila! Mawar! Kalian di mana. Kalau kalian 

meledek, tidak lucu!"

Tetap tak ada sahutan apa pun juga. "Hmm.... 

Apakah Nila kembali datang cemburunya? Apa mung-

kin dia sengaja mengembalikan Mawar Wangi ke kadipaten? Atau..., jangan-jangan justru membawa Mawar 

ke satu tempat dan meninggalkannya. Ah! Tidak 

mungkin Nilakanti berbuat jelek seperti itu. Sebaiknya 

aku mandi saja dulu. Eh, jangan-jangan mereka se-

dang mandi. Lumayan sin kalau memang benar," oceh 

Andika.

Andika pun melesat mencari sungai. Kepalanya 

celingukan di sekitar sungai yang mengalirkan air jer-

nih itu. Tak ada tanda-tanda Nilakanti dan Mawar 

Wangi berada di sana.

"Ah! Biar saja dulu. Setelah mandi, baru aku 

mencari mereka kembali."

Sambil bersiul-siul tak ada juntrungannya, 

Pendekar Slebor mencuci seluruh tubuhnya. Dia be-

rendam, lalu muncul kembali sambil berteriak keras. 

Norak sekali.

Selesai, Andika mengenakan pakaiannya kem-

bali. Dan baru saja melangkah sepuluh tindak, dia 

berpapasan dengan dua manusia. Yang seorang sangat 

dikenalnya. Dia sedang membopong satu sosok tubuh 

yang pingsan. Sedang yang satunya lagi, lelaki berbaju 

biru menyala.

Andika terperanjat begitu melihat siapa yang 

berada dalam bopongan orang itu.

"Orang tua bau busuk! Lepaskan gadis itu!" 

bentak Andika dengan kening berkerut. Mengapa Ma-

war Wangi berada di tangan mereka? Kalau begitu, di 

mana Nila? Bukankah dia bersama Mawar Wangi?

"Pendekar keparat! Rupanya kau masih berada 

di sini? Hhh! Kalau semalam kau mengeluarkan ajian 

busukmu yang memancarkan hawa dingin, sekarang 

tiba giliranmu untuk mampus!" desis Dewi Sungai 

Bangkai.

Lima Jalan Darah mengangkat tangannya.

"Biar pendekar sialan ini aku yang urus!"

Sementara itu, kening Andika berkerut. Dia 

sama sekali tak mengerti, apa yang dimaksud Dewi 

Sungai Bangkai. Dan sebelum bisa menemukan jawa-

bannya....

"Semalam kau menjadi anjing pengecut. Dan 

sekarang berubah menjadi harimau! Kalau semalam 

kau dapat meloloskan diri, sekarang kau tak akan 

mampu melakukannya!"

Andika makin tak mengerti. Meskipun dalam 

keadaan keheranan, tetap saja sifat urakannya tak 

pernah hilang.

"Hei, Pantat Monyet! Mestinya kau tahu, den-

gan siapa berhadapan. Kalau hanya pemain ketoprak 

saja, aku juga bisa menandingimu?" selorohnya sambil 

menggoyang-goyangkan tangannya.

Wajah Lima Jalan Darah kontan memerah. Ali-

ran darah dalam tubuhnya menjalar cepat.

"Kau harus membayar sakit hati Malaikat Mata 

Satu, Pendekar Slebor!"

"Jadi, Malaikat Mata Satu brengsek itu saha-

batmu, ya?" sahut Andika sambil mencoba memikirkan 

kemungkinan yang dikatakan kedua tokoh hitam itu. 

"Kalau begitu, salam deh untuknya. Katakan, aku rin-

du ingin menghapus beleknya."

"Setan hijau keparat!"

Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah ber-

gerak dengan kaki menyepak. Gerakannya secepat ki-

lat, mengandung tenaga dalam tinggi

Andika menyadari adanya serangan hebat. Se-

ketika bergulingan ke arah Lima Jalan Darah seraya 

melepaskan satu jotosan ke perut. Namun Lima Jalan 

Darah bergerak cepat, memutar kakinya.

Plak!

"Heit! Edan!" maki Andika sambil melenting 

bangkit. Tangan Pendekar Slebor terasa bergetar. Begitu berdiri, tubuhnya seketika terhuyung. Pada saat 

yang sama, Lima Jalan Darah sudah meluruk sambil 

melepaskan totokan darahnya yang mengerikan.

Meskipun dalam keadaan seperti itu, Andika 

cepat mengubah arah langkahnya, membentuk seten-

gah lingkaran.

Wuut!

Seketika Pendekar Slebor merasakan angin se-

tajam mata anak panah melesat di sisi tubuhnya.

"Totokan darah!" seru Andika terkejut ketika 

menyadari arah yang ditotoknya adalah salah satu 

urat darah dari tubuhnya.

Lima Jalan Darah terbahak-bahak. Dan seran-

gannya segera diteruskan.

"Kali ini kau tak akan bisa melepaskan diri! 

Semalam kau masih mampu melakukannya"

"Apa sih yang dimaksud kedua orang ini? Pa-

dahal semalam aku tidur, dan tidak tabu-menahu soal 

mereka. Yang terpenting sekarang adalah menyela-

matkan Mawar Wangi. Aku juga ingin tahu, di mana 

Nila berada? Jangan-jangan dia sudah mereka bu..., 

ah! Tidak, aku tidak boleh berpikiran jelek seperti itu! 

Eittt...! Benar-benar mengerikan serangan yang dila-

kukan oleh Lima Jalan Darah!" kata Andika dalam hati 

sambil terus menghindar.

Lima Jalan Darah semakin lama jadi bertam-

bah marah karena tak satu totokannya pun yang ma-

suk. Bahkan tiba-tiba saja Andika bergulingan ke 

arahnya. Di tangannya sudah terangkum ajian 'Guntur 

Selaksa'.

Deb!

Tubuh Lima Jalan Darah terhantam pukulan si 

pemuda. Namun hanya sesaat tubuhnya bergetar. Ka-

rena selebihnya, dia sudah menyerang kembali.

Andika mendengus. Lawan ternyata memiliki

tenaga dalam lebih tinggi. Kalau begitu, sekaranglah 

waktunya menyelamatkan Mawar Wangi. Karena bisa 

gawat bila terkena totokan darah yang dilakukan lelaki 

berbaju biru menyala itu.

Dan mendadak saja sambil menghindari seran-

gan Lima Jalan Darah, Andika melesat ke arah Dewi 

Sungai Bangkai dengan kecepatan luar biasa.

Langsung si perempuan tua membuang tubuh 

Mawar Wangi, seraya memapak serangan Andika.

Dua tenaga beradu. Kalau saja Dewi Sungai 

Bangkai tidak tengah terluka dalam akibat serangan 

Setan Selaksa Wajah yang menyamar sebagai Pendekar 

Slebor, sudah tentu tenaganya akan berimbang. Na-

mun karena dalam keadaan terluka, tubuhnya jadi 

mencelat ke belakang.

Sementara dengan kecepatan luar biasa, Andi-

ka menyambar tubuh Mawar Wangi.

Melihat hal itu, Lima Jalan Darah melepaskan 

lima totokannya sekaligus. Andika masih bisa meng-

hindari dengan jalan melentingkan tubuhnya dua kali. 

Namun, dua totokan tepat mengenai jalan darahnya.

"Aaakhhh...!"

Terdengar jeritan Pendekar Slebor yang cukup 

keras. Tubuhnya agaknya terhuyung, namun dipaksa-

kan untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dengan 

jalan melesat cepat, Andika berhasil meloloskan diri 

dengan membawa tubuh Mawar Wangi.

Lima Jalan Darah tidak mengejarnya. Bibirnya 

menyungging senyum dingin.

"Kali ini kau tak akan mampu melarikan diri, 

Pendekar Slebor! Dalam waktu empat hari, kau akan 

mampus!"

Lalu terdengarlah tawa keras lelaki ini, hingga 

memecah kesunyian alam. Daun-daun berguguran. 

Hewan hutan yang sejak pertarungan terjadi bersembunyi di sarang mereka, langsung berlarian keluar. Ka-

rena, sarang-sarang mereka menjadi bergetar dan han-

cur.

Lima Jalan Darah lantas mendekati Dewi Sun-

gai Bangkai. Diperiksanya lagi tubuh wanita yang 

mengeluarkan bau busuk itu.

"Hhh! Kalau sebelumnya kau terkena pukulan 

berhawa dingin, sekarang kau terkena pukulan berha-

wa panas. Seharusnya, kau mampus saja, Orang Tua! 

Tetapi karena sikapmu yang hormat padaku, untuk 

kedua kalinya aku bersedia mengobatimu. Sekali lagi 

kau luka seperti ini, sebaiknya mampus saja!"

***

9


Andika yang membawa lari tubuh Mawar Wangi 

merasa sekujur tubuhnya tiba-tiba memanas. Nafas-

nya terasa tersengal. Rasa sakit luar biasa membuat 

tubuhnya agak limbung. Kepalanya bagai berputar 

dengan pandangan nanar. Tanah yang dipijak bagai 

bergerak. Dan Andika jatuh begitu saja. Mau tak mau, 

Mawar Wangi yang berada dalam bopongannya pun 

terjatuh.

"Monyet pitak! Totokan Lima Jalan Darah 

membuat aliran darahku bagai terhenti!" maki si pe-

muda.

Cepat Pendekar Slebor duduk bersila, mengam-

bil sikap semadi. Dialirkannya tenaga dalam ke pusat-

pusat totokan. Namun apa yang dilakukannya justru 

membuat keadaannya semakin tersiksa.

"Aaakh...!"

Pendekar Slebor menjerit keras ketika terasa

seperti kau ini!"

Andika melotot sambil menahan panas di tu-

buhnya.

"Jangan banyak omong!" bentak Andika dengan 

napas tersendat. "Mau apa sih kau ke sini? Sudah bau 

tanah masih juga kelayapan!"

Si Hantu Jantan mengeluarkan suara dari hi-

dung.

"Apakah aku akan mendiamkan saja melihatmu 

dalam keadaan terluka seperti itu?" tukas si Hantu 

Jantan.

Andika langsung menoleh.

"Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah matamu 

sudah rabun?" selorohnya. Namun, hatinya mengagu-

mi ketajaman mata si Hantu Jantan.

"Kurang ajar! Sini kuperiksa lukamu?"

Si Hantu Jantan melangkah. Dia lantas mem-

bungkuk di dekat Andika. Tangannya meraba pung-

gung dan mata kaki si pemuda.

"Hmm.... Rupanya nasib Pendekar Slebor hanya 

sampai di sini saja! Kau akan tewas dalam waktu em-

pat hari!"

"Jangan menakut-nakutiku, Pak Tua. Aku su-

dah biasa menghadapi kematian. Kalau kau merasa 

kasihan, kenapa tidak kau coba untuk mengobatinya?" 

seru Andika. Hatinya kesal melihat lagak si Hantu Jan-

tan.

"Aku tak menakut-nakutimu. Tapi perlu kau 

ketahui, yang mampu mengobati hanyalah orang yang 

membuatmu begini. Kalau aku yang mengobati, hawa 

panas dalam tubuhmu justru akan pindah ke tubuh-

ku! Dan aku tak bodoh mau menerima semua itu, se-

belum melihat Dewi Sungai Bangkai mampus? 

Sayangku, ada manusia tolol di sini...."

Pendekar Slebor terdiam sejenak. Tak terasa

hatinya sedikit kecut mendengar kata-kata si Hantu 

Jantan.

"Kalau begitu, aku harus kembali menemui Li-

ma Jalan Darah," gumam Pendekar Slebor, tanpa sa-

dar.

"Nah, nah.... Siapa lagi manusia yang punya ju-

lukan mampu membuat hati keder itu?"

Andika lantas menceritakan apa yang terjadi. 

Dan si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-

lanya, setelah mendengar keseluruhan cerita.

"Seingatku, yang bisa melakukan totokan se-

perti ini hanya Malaikat Putih Bayangan Maut. 

Hmm.... Apakah kau diserang olehnya?" tanya si Han-

tu Jantan. Sepertinya dia masih memikirkan tentang 

orang yang berjuluk Lima Jalan Darah.

"Tadi sudah kukatakan orang yang melakukan-

nya! Apa telingamu tuli, Pak Tua?"

Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Kesaktian Malaikat Putih Bayangan Maut su-

kar dicari tandingannya. Aku tahu dia mampu mela-

kukan totokan darah seperti ini. Namun semuanya 

hanya untuk melakukan pengobatan. Bukan untuk 

menyerang. Apa yang kau alami ini adalah satu seran-

gan berbahaya sekali. Kalau tidak segera ditolong, 

nyawamu hanya sampai empat hari saja, Bor! Kau 

mau kalau usiamu tinggal seumur jagung?"

Andika berdiri perlahan-lahan. Nafasnya sema-

kin tersengal.

"Aku harus mencari obat pemunah totokan ini 

dari tangan si Lima Jalan Darah."

"Sebenarnya aku pun bisa mengobatinya."

"Hei?" Andika tercekat sambil memandang kes-

al si Hantu Jantan. "Tapi kau mengatakan tak bisa?"

"Sekarang kukatakan bisa."

"Kalau begitu, cepat obati aku! Karena, aku ha-

rus mencari Nilakanti!" sambarnya.

"Gadis cantik murid Malaikat Putih Bayangan 

Maut? Heran, kok manusia urakan yang jelek seperti-

mu ini selalu ditemani gadis cantik, ya?"

Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. Sikapnya membuat Andika mau memaki. Lalu si 

Hantu Jantan memandangi bungkusan yang berada di 

tangannya.

"Sayangku..., apakah aku harus mengobati pe-

muda bandel ini atau tidak? Oh, kau menghendaki 

aku mengobatinya? Baiklah kalau begitu," si Hantu 

Jantan menatap kembali ke arah Andika. "Nah! Kau 

dengar sendiri, bukan? Kekasihku menghendaki aku 

mengobatimu? Kau seharusnya berterima kasih pa-

danya!"

Walau agak jengkel dengan sikap si Hantu Jan-

tan, Andika hanya diam saja.

"Tetapi..., apakah kau tahan dengan pengoba-

tan yang akan kulakukan?" tanya si Hantu Jantan.

"Lakukanlah.... Aku akan berterima kasih pa-

damu."

"Mulutmu selalu ngoceh, Pemuda Tak Bera-

dab!" bentak si Hantu Jantan. "Kau jangan berterima 

kasih padaku. Tetapi, pada kekasihku!"

"Iya, ya!" dengus Andika, mendongkol.

Si Hantu Jantan mengangsurkan tangannya 

yang memegang bungkusan itu dengan hati-hati.

"Nah, ucapkan terima kasihmu pada kekasihku 

ini."

"Busyet! Iya, terima kasih!"

"Bagus! Aku akan mengobatimu. Tetapi, jawab 

dulu pertanyaanku. Apakah kau bersedia kuobati?" 

"Iya!" sahut Andika, menahan jengkel. 

"Dengan cara apa pun aku mengobatimu!"

"Ya!" 

"Bagus!"

Si Hantu Jantan bangkit. Lalu dia menungging 

ke arah Andika. Si pemuda tercekat.

"Busyet! Cara apa yang akan kau lakukan, 

Kek?" sentak Andika.

"Diam, Tolol! Kau sudah menyetujui dengan ca-

ra apa pun aku melakukan pengobatan terhadapmu!"

"Tetapi jangan seperti ini!"

Si Hantu Jantan meluruskan tubuhnya. Di-

pandangnya bungkusan di tangannya.

"Rupanya dia tidak mau, Sayangku. Jadi, aku 

tidak salah, bukan? Hhh! Dia memang sudah mau 

mampus!"

Sementara itu, Andika merasakan panas di se-

kujur tubuhnya semakin meninggi. Nafasnya terasa 

Senin-Kamis, membuatnya bagai tak mampu untuk 

melakukan apa-apa. Dia rela diobati dengan cara apa 

pun. Tetapi mbok ya, jangan dikentuti!

"Iya! Iya! Sudah, obati aku cepat!" sungut Andi-

ka, akhirnya menyetujui. Hal itu didasari oleh rasa 

cemas terhadap nasib Nilakanti.

Si Hantu Jantan terkekeh.

"Kau lihat sikapnya sekarang, Sayangku. Ter-

nyata otak Pendekar Slebor bebal juga! Mana ada sih, 

pengobatan dengan cara seperti itu?"

Sekarang Andika sadar kalau hampir saja di-

kerjai.

"Hampir saja aku menelan bulat-bulat angin 

pinggul!" dengus si pemuda jengkel.

"Hei, Bor! Sekarang, kosongkan dirimu. Jangan 

sekali-sekali menahan atau mengalirkan tenaga da-

lammu bila merasakan sakit luar biasa saat aku men-

gobatimu. Kau harus ingat itu. Sekali kau lakukan, 

maka justru akan mampus!"

Andika sadar, kalau apa yang terjadi ini akan 

menentukan nasibnya. Dan kepalanya pun mengang-

guk.

"Lakukanlah, Pak Tua! Tetapi, bagaimana den-

gan hawa panas yang akan berpindah pada tubuhmu?"

"Tolol! Sudah tentu aku akan menutup semua 

pori-pori di tubuhku agar hawa panas dari tubuhmu 

akan berpindah! Aku tentu saja tak mau mati dulu! 

Kalau aku mampus bagaimana? Siapa yang akan me-

nemani kekasihku ini? Sialan! Jangan-jangan, kau 

mencintai kekasihku, ya? Kau mengharapkan aku ma-

ti, biar kau bisa berpacaran dengannya? Dasar kurang 

ajar!"

Andika melongo mendengarnya. Bagaimana 

mungkin dia mempunyai pikiran seperti itu? Bila si 

Hantu Betina masih hidup saja tak akan mau mende-

katinya karena pasti sudah tua. Apalagi sekarang su-

dah mati dan kepalanya selalu dibawa si Hantu Jan-

tan? Orang tua ini sudah sinting rupanya! Atau..., jan-

gan-jangan dia memang sinting!

Si Hantu Jantan berjongkok lagi di sisinya. Di-

letakkannya bungkusan yang berisi kepala kekasihnya 

di dekatnya.

"Selonjorkan kedua kakimu. Ingat! Jangan alir-

kan tenaga dalam walau apa pun yang akan kau rasa-

kan...," ingat si lelaki tua.

Andika menarik napas tiga kali. Lalu dipen-

damnya seluruh tenaga dalam. Jiwanya dikosongkan. 

Perlahan-lahan tangan kurus si Hantu Jantan terasa 

memegang kedua ibu jarinya. Lalu terasa aliran hawa 

dingin yang membuatnya menggigil. Bentrokan hawa 

dingin yang masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya 

tersentak. Tubuhnya bagai disengat kekuatan dahsyat.

Andika berontak berkali-kali untuk melepaskan 

kedua tangannya yang dipegang si Hantu Jantan karena rasa sakit yang tak terkira. Belum lagi ketika dira-

sakannya bagaimana ada hawa yang bagai ribuan ja-

rum masuk ke dalam tubuhnya.

"Aaa...!"

Si pemuda berteriak keras setinggi langit. Na-

fasnya terasa semakin tersengal. Kepalanya terasa 

mau pecah dengan aliran darah kacau. Dia berkali-kali 

muntah darah sangat kental. Sakit yang menyiksanya 

belum juga terhenti. Malah semakin menggila. Seluruh 

tenaga dalamnya berusaha untuk ditekan agar tidak 

keluar. Bila tak mendengar penjelasan si Hantu Jan-

tan, sudah pasti tenaga dalamnya akan dialirkan guna 

melawan sakit yang tak terkira.

Sementara tubuh si Hantu Jantan bergetar he-

bat. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. Na-

mun, pegangannya pada kedua ibu jari Andika tidak 

terlepas. Perlahan-lahan terlihat asap mengepul dari 

sana, lalu keluar dari ubun-ubun kepala Andika.

Andika yang masih menahan sakit, tak kuasa 

menahannya lebih lama. Dia telah jatuh pingsan. Ber-

samaan dengan itu, pengobatan yang dilakukan si 

Hantu Jantan pun selesai.

Si Hantu Jantan mendesah panjang. Tubuhnya 

kelihatan lemas sekali.

"Maafkan aku, Andika. Aku hanya mampu 

membuatmu bisa hidup lebih lama. Namun tak lebih 

dari sepuluh hari. Selain Lima Jalan Darah, satu-

satunya yang bisa mengobatimu hanyalah Malaikat 

Putih Bayangan Maut. Apakah sebaiknya aku memba-

wamu sekarang ke Lembah Matahari? Rasanya tidak 

perlu. Aku harus mencari Dewi Sungai Bangkai terle-

bih dahulu! Atau..., jangan-jangan nenek peot itu su-

dah berada di sana? Hmm.... Sebaiknya aku mem-

buang hawa panas yang berpindah dari tubuh Pende-

kar Slebor ke tubuhku," desah si tua.

Kini orang tua penghuni Gunung Kabut itu du-

duk bersila untuk mengembalikan seluruh tenaganya. 

Selang beberapa saat, kedua tangannya digerakkan ke 

depan. Seketika serangkum angin panas menderu 

dahsyat, menghantam tiga buah pohon hingga hangus.

"Benar-benar keji totokan darah yang dilaku-

kan Lima Jalan Darah. Kalau saja tenaga dalamku 

pas-pasan, bisa-bisa aku yang mampus."

Lalu si tua itu menoleh pada Mawar Wangi yang 

masih terbujur pingsan. Diperiksanya tubuh gadis itu.

"Hmm.... Luka di pelipisnya ini menandakan 

tendangan kuat yang diterimanya. Di tubuhnya pun 

ada totokan cukup kuat. Untungnya bukan totokan 

darah yang diterimanya."

Tangan kurus si tua bergerak dua kali. Dibu-

kanya totokan di tubuh Mawar Wangi. Si gadis menge-

jut sebentar.

"Hm... Tak lama lagi gadis ini akan siuman. Be-

gitu pula Pendekar Slebor. Lebih baik aku tinggal saja 

keduanya di sini." Si Hantu Jantan mengambil bung-

kusannya. "Sayangku.... Apakah yang kulakukan su-

dah benar? Tetapi sayangnya, aku tak mampu mengo-

bati Pendekar Slebor secara menyeluruh. Sebaiknya, 

kita meneruskan saja perjalanan menuju Lembah Ma-

tahari. Sekaligus, mencari Dewi Sungai Bangkai. Ba-

gaimana? Apakah kau setuju? Ah, kau pasti setuju, 

Sayangku. Karena, kaulah kekasihku yang setia."

Lalu sosok kurus dengan rambut acak-acakan 

itu pun melesat meninggalkan tempat ini.

***

10

Setan Selaksa Wajah yang masih dalam pe-

nyamarannya sebagai Pendekar Slebor memandang ke 

sekeliling. Ketika yakin kalau dirinya lolos dari kejaran 

Lima Jalan Darah, dibukanya buntalan kain miliknya 

yang masih sempat diambil tadi. Lalu dia melompat ke 

balik semak untuk mengubah. Begitu muncul kini 

yang terlihat lelaki tampan mempesona.

Setelah itu, Setan Selaksa Wajah melenting rin-

gan ke atas pohon tempat Nilakanti berada. Dia terke-

keh-kekeh melihat keadaan si gadis yang masih ping-

san dalam keadaan tertotok.

"Sangat menyenangkan suasana seperti ini. Na-

sib Pendekar Slebor sudah di ujung tanduk. Sampai 

saat ini aku yakin, tak seorang pun yang tahu kebera-

daanku di sini. Hmm.... Sebaiknya aku tinggal me-

nunggu saja saat yang paling tepat untuk membunuh 

Pendekar Slebor dan mendapatkan Tasbih Emas Bida-

dari. Karena, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai 

Bangkai pun menginginkan kematian Pendekar Slebor. 

Berarti aku tinggal makan nangkanya saja. Mereka 

yang makan getahnya. Sangat menyenangkan," oceh-

nya.

Tangan liar Setan Selaksa Wajah perlahan-

lahan menggerayangi tubuh Nilakanti yang dalam kea-

daan pingsan. Sepasang matanya semakin liar menjila-

ti tubuh yang indah itu. Diangkatnya tubuh Nilakanti, 

dan dibawanya ke bawah. Seketika dia menyelinap 

masuk ke balik semak. Dibebaskannya totokan pada 

tubuh Nilakanti. Si gadis mengejut sebentar, namun 

belum tersadar dari pingsannya.

"Menyenangkan. Sangat menyenangkan...," de-

sis Setan Selaksa Wajah sambil membuka pakaiannya.

Tubuhnya bergetar oleh rangsangan birahi yang tinggi. 

Tangannya meraba kembali tubuh Nilakanti. Lalu den-

gan penuh nafsu, disobeknya pakaian si gadis di ba-

gian dada.

Brettt...!

Seketika dua bukit kembar menyembul dengan 

bentuk gempal dan mulus. Sepasang mata Setan Se-

laksa Wajah semakin liar berbinar menjilati. Namun 

belum lagi maksud jahatnya dilaksanakan, tiba-tiba 

terdengar derap langkah kuda dari kejauhan.

"Setan keparat!" makinya geram.

Dari balik semak, Setan Selaksa Wajah melihat 

sepuluh ekor kuda bergerak dan berhenti di depannya. 

Dari pakaian yang dikenakan, bisa ditebak kalau me-

reka adalah orang-orang Kadipaten Karanganyar.

"Hmm.... Manusia-manusia keparat itu pasti 

mencari gadis yang kuculik!" duga Setan Selaksa Wa-

jah dalam hati.

Apa yang diperkirakan lelaki itu memang benar. 

Sepuluh laki-laki gagah berkuda itu memang orang-

orang kadipaten. Mereka diperintahkan Adipati Rama-

da yang tadi pagi terkejut ketika melihat kamar putri 

kesayangannya kosong, sementara jendela kamarnya 

terbuka. Dengan hati geram Adipati Ramada memerin-

tahkan sepuluh pengawalnya untuk mencari Mawar 

Wangi.

"Kakang Kataran. Di mana kita harus mencari 

Putri Mawar Wangi?" tanya seorang lelaki berwajah bu-

lat. Di punggungnya terdapat tombak tajam.

Lelaki bernama Kataran yang memimpin pasu-

kan itu terdiam. Wajahnya yang kukuh nampak berge-

tar. Dia memikirkan kemungkinan seorang lelaki tinggi 

besar yang telah membunuh Subali dan para pengawal 

sepulang dari mengantar Mawar Wangi berburu. Apa-

kah manusia keparat itu yang membawa lari Mawar

Wangi?

"Aku tidak tahu. Tetapi sebaiknya, kita berpen-

car saja di sini. Lima orang ke sebelah barat, lima 

orang lagi ke sebelah timur. Bila sampai malam nanti 

tidak menemukan jejak Putri Mawar Wangi, kita ber-

kumpul kembali di sini untuk menentukan langkah se-

lanjutnya," ujar Kataran.

Kataran pun membagi pasukan menjadi dua 

kelompok. Masing-masing kelompok lima orang. Na-

mun belum lagi mereka bergerak, tiba-tiba.... 

"Lelaki laknat! Lebih baik kau mampus!" Para 

prajurit kadipaten tersentak ketika terdengar bentakan 

keras. Bersamaan dengan itu terdengar menyambar 

dari balik semak. Lalu, melompat keluar satu sosok 

tubuh, melewati orang-orang kadipaten.

***

Rupanya, Nilakanti yang baru tersadar dari 

pingsan langsung memekik keras sambil menutup da-

danya yang terbuka. Si gadis segera melancarkan se-

rangan pada Setan Selaksa Wajah yang sedang mem-

belakanginya!

Namun si lelaki yang juga merubah wajah ini 

cepat melesat keluar. Dan Nilakanti pun melesat me-

nyusul disertai serangan mautnya.

"Siapa kau sebenarnya, Manusia Hina?!" bentak 

si gadis disertai serangan yang mengeluarkan angin 

dingin ke arah Setan Selaksa Wajah.

Sementara itu, Kataran terkejut begitu menge-

nali gadis yang sedang menyerang lelaki berwajah 

tampan di hadapannya. Kalau tak salah ingat, gadis 

itulah yang datang bersama Pendekar Slebor ketika 

menyelamatkan sekaligus mengantar Mawar Wangi ke 

kadipaten.

Menyadari hal itu, lelaki pengawal ini langsung 

melompat dari kudanya.

"Kurung laki-laki itu!" seru Kataran.

Seketika para pengawal kadipaten mengurung 

Setan Selaksa Wajah yang sedang menghindari gempu-

ran-gempuran maut Nilakanti. Si gadis sudah mem-

pergunakan pedangnya. Setiap kali tangannya berge-

rak, serangkum angin dingin menderu dahsyat.

Setan Selaksa Wajah memaki tak karuan. Dia 

berusaha menghindari serangan dari Nilakanti. Namun 

si gadis yang tak tahu siapa lelaki tampan yang berada 

di hadapannya ini tak menghentikan serangannya se-

kali pun. Karena dia yakin, lelaki liar inilah yang hen-

dak menjelajahi tubuhnya.

Sesaat ingatan si gadis kembali pada Pendekar 

Slebor. Di mana pendekar urakan itu berada? Dan di 

mana Mawar Wangi? Berpikir tegang demikian, Nila-

kanti semakin menerjang ganas.

"Gadis keparat! Kau tak tahu berhadapan den-

gan siapa!"

Tiba-tiba saja tubuh Setan Selaksa Wajah ber-

putar setengah lingkaran, seperti menyongsong pusa-

ran pedang Nilakanti. Gebrakannya mengundang 

tanya. Karena hanya orang yang mau mati saja yang 

berani nekat berbuat seperti itu. Dan ini membuat Ni-

lakanti merasa di atas angin. Karena diyakini, dalam 

gebrakan berikutnya akan menguasai pertarungan.

Namun rupanya apa yang telah diduga meleset. 

Karena, Setan Selaksa Wajah justru membuang tu-

buhnya, ketika pedang di tangan murid Malaikat Putih 

Bayangan Maut itu mendekat.

Wuutt!

Sambaran pedang Nilakanti meleset. Pada saat 

yang sama. Satu tendangan Setan Selaksa Wajah me-

luruk cepat, tak terhindari lagi.

Duk!

"Aaakh...!"

Nilakanti terjajar beberapa langkah disertai pe-

kik kesakitan.

"Tangkap laki-laki itu!" teriak Kataran yang se-

jak tadi memperhatikan pertarungan.

Serentak sepuluh orang menyerbu Setan Selak-

sa Wajah.

Deb! Deb! 

"Aaakh...!"

Namun dalam dua gebrak saja, yang tersisa 

hanya tinggal tiga orang pengawal. Selebihnya tewas 

dengan tubuh bagai tercacah!

Kataran menggeram murka melihat anak 

buahnya berjatuhan. Tombak di tangannya mengayun 

mencari sasaran. Nilakanti sendiri sudah masuk me-

nyerbu dengan hebatnya.

Bet! Bet!

"Aaakh...!"

Akan tetapi, lagi-lagi Setan Selaksa Wajah me-

nunjukkan kepandaiannya. Setelah lima jurus berlalu, 

dia berhasil membunuh dua orang dari sisa pengawal 

kadipaten. Sementara Kataran sendiri me-nerima pu-

kulan yang bagai mematahkan tulang iganya.

Nilakanti sendiri mengalami hal yang sama. 

Tubuhnya terjajar tiga tombak ke belakang, setelah 

terkena tendangan keras Setan Selaksa Wajah.

"Hhh! Kalian tak pernah memandang betapa 

tingginya langit!" desis Setan Selaksa Wajah.

"Manusia hina! Kaulah yang tak pernah me-

mandang langit!" balas Nilakanti sambil berusaha 

bangkit. Namun si gadis tak kuasa melakukannya. Ka-

rena, seluruh persendian di tubuhnya bagai mati.

Kataran hatinya sudah panas segera menerjang 

dengan sisa tenaganya. Namun hanya memiringkan

tubuhnya, Setan Selaksa Wajah membuat serangan 

Kataran hanya menebas angin. Bahkan satu jotosan 

pada punggung membuat pengawal itu jatuh pingsan.

"Sekarang giliranmu, Gadis Manis. Setelah kau 

beres, tinggal Pendekar Slebor yang harus kube-

reskan!"

Hati Nilakanti menjadi ciut ketika lelaki tampan 

itu mendekatinya dengan seringai buas yang membuat 

bulu kuduk meremang.

"Tak ada yang bisa menolongmu sekarang...."

"Kutu loncat! Apa kau tidak lihat ada aku di si-

ni?!"

Mendadak terdengar seruan dari sebelah kiri. 

Setan Selaksa Wajah menoleh. "Kang Andika! Mawar!" 

seru Nilakanti.

***

Bagaimana Pendekar Slebor bisa sampai di si-

ni? Setelah siuman dari pingsannya karena tak sang-

gup menahan sakit akibat pengobatan yang dilakukan 

si Hantu Jantan, Andika terbangun. Dan yang pertama 

kali dilihatnya adalah wajah cantik Mawar Wangi yang 

lebih dulu siuman.

Andika pun teringat pada Nilakanti. Namun 

yang membuatnya heran ketika bertanya pada Mawar 

Wangi, justru gadis ini belum bertemu Nilakanti lagi. 

Keheranan si pemuda semakin menjadi-jadi ketika di-

katakan, kalau Mawar Wangi menunggu kedatangan-

nya di tempat tadi. Bahkan Andika yang mengajaknya 

keluar dari kadipaten.

Pasti ada yang salah, pikir Andika. Maka segera 

diajaknya Mawar Wangi untuk mencari Nilakanti. Me-

mang agak terlambat. Namun nasib jelek belum me-

nimpa murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu.

"Hhh! Bila kau ingin selamat, serahkan Tasbih 

Emas Bidadari kepadaku!" dengus Setan Selaksa Wa-

jah, begitu melihat tampang Pendekar Slebor.

"Menyerahkannya sangat gampang. Tetapi me-

nyerahkannya pada manusia sepertimu, perlu ada ke-

sepakatan?" sahut Andika. 

"Apa maksudmu?"

"Kau mendapatkan pusaka ini dariku. Semen-

tara aku mendapatkan kepalamu. Bagaimana? Kese-

pakatan yang bagus sekali, bukan?"

"Setan alas! Kulumat tubuhmu, Pendekar Sle-

bor!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Setan Selaksa 

Wajah melompat ke arah Andika. Si pemuda urakan 

segera berkelit dengan melompat ke sana kemari den-

gan gerakan cepat mengagumkan.

Beberapa kali suara bagai petir menyalak ter-

dengar. Andika yang merasakan betapa kuatnya tena-

ga dalam lawan, segera mengalirkan tenaga 'inti petir' 

tingkat ke sepuluh.

Kini pertempuran berlangsung sengit. Setan Se-

laksa Wajah mengeluarkan segenap kemampuan men-

desak Pendekar Slebor. Namun si pemuda membalas 

tak kalah ganas. 

Desss...! 

Bukkk...!

Dalam jurus berikutnya, Setan Selaksa Wajah 

berhasil mendaratkan satu tendangan ke dada. Na-

mun, dia pun harus menerima pukulan yang kuat di 

punggungnya.

Andika mundur dua tindak sambil cengenge-

san.

"Tidak sakit! Payah juga! Tendanganmu," oceh 

si pemuda. Padahal mulutnya meringis menahan sakit.

Mendengar ejekan seperti itu, Setan Selaksa

Wajah menggeram marah. Kali ini serangan yang dila-

kukan cepat luar biasa. Tubuhnya berputar melingkari 

Andika sambil mengirimkan jotosan.

Justru sekarang Andika yang kelabakan mene-

rima serangan. Dia mendelik gusar sambil berusaha 

menghindar. Namun karena gerakannya selalu tertu-

tup oleh pusaran tubuh Setan Selaksa Wajah. Bah-kan 

tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan.

"Biang panu! Ibuku saja tak memukul kepala, 

dia enak sekali menjitak kepalaku!" maki Andika, da-

lam hati. Siapa sebenarnya laki-laki tampan ini? Ru-

panya banyak yang menginginkan Tasbih Emas Bida-

dari dan nyawaku! Hmm.... Lima Jalan Darah dan De-

wi Sungai Bangkai bisa menjadi momok yang mengeri-

kan. Tetapi, aku masih belum mengerti apa yang di-

maksud Mawar Wangi, Lima Jalan Darah, dan Dewi 

Sungai Bangkai yang mengatakan kalau aku pernah 

berjumpa mereka sebelumnya?!"

Meski kebingungan, Andika terus berusaha 

Memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Otak encer-

nya terus bekerja sambil melayani serangan-serangan 

ganas.

Dan tiba-tiba saja, Andika membuat gerakan 

menakjubkan. 

Breeeppp!

Di tangan si pemuda tahu-tahu sudah terpe-

gang kain pusaka bercorak catur warisan Ki Saptaca-

kra. Ketika dikibaskan, terdengar suara menggelegar 

bagai sambaran petir. Dan tahu-tahu, kain pusaka itu 

melibat kaki Setan Selaksa Wajah. 

"Hih!"

Dengan cepat Andika menarik kain itu dan 

membantingnya. 

Bruk!

Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor me

nyusuli dengan satu jotosan telak di dada Setan Selak-

sa Wajah.

Desss!

Setan Selaksa Wajah jatuh terjengkang. Dari 

mulutnya mengalir darah segar.

Andika terperangah. Karena lelaki itu masih bi-

sa berdiri kembali, meskipun sudah agak sempoyon-

gan. Menyadari hal itu, Andika segera menerjang den-

gan ajian 'Guntur Selaksa' yang sudah terangkum di 

tangannya.

Des!

Kembali tubuh Setan Selaksa Wajah terjeng-

kang sejauh tiga tombak, terkena pukulan keras Andi-

ka. Namun tubuhnya yang kedot itu masih bisa untuk 

bangkit. Kini baru disadari, siapa pemuda lawannya. 

Dan dia merasa lebih baik menghindar dari-pada mati 

di tangan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan apa 

yang diinginkannya.

Begitu bisa bangkit, Setan Selaksa Wajah ber-

balik dan melesat pergi.

"Hei! Mau ke mana kau?" seru Andika sambil 

mengejar. Namun sosok lelaki tampan itu sudah 

menghilang dari pandangan. "Siapa sebenarnya dia?"

Andika lantas mendekati Nilakanti yang masih 

ditemani Mawar Wangi.

"Siapa sih dia?" tanya si pemuda. "Pacarmu, Ni-

la?"

"Enak saja! Aku justru ingin membunuhnya! 

Kau ke mana saja, Kang Andika? Meninggalkan aku 

begitu saja!" seru Nilakanti ketus.

Andika yang masih bingung dengan apa yang 

terjadi, tak menghiraukan makian Nilakanti. Dia sudah 

menatap Mawar Wangi.

"Ceritakan sekali lagi apa yang kau alami," ujar 

Pendekar Slebor.

Dengan keheranan Mawar Wangi mengulang 

ceritanya.

"Tetapi, aku tak pernah datang kembali ke ka-

dipaten dan mengajakmu ke hutan ini, Mawar," tandas 

Andika, setelah Mawar Wangi menyelesaikan ceritanya.

"Oh! Kok bisa begitu?" tukas Mawar Wangi den-

gan kening berkerut. Dia berpikir, apakah Andika malu 

mengatakannya karena sekarang ada Nila? "Bukankah 

Kang Andika sendiri yang datang mengetuk pintu ka-

marku?" susulnya.

"Kalau kau tak percaya, kau bisa bertanya pada 

Nila," ujar Andika.

"Kang Andika benar, Mawar. Sejak meninggal-

kan kadipaten, dia selalu bersamaku," timpal Nilakan-

ti.

"Tetapi..., kalau begitu siapa yang datang dan 

mengajakku ke sini?" tanya Mawar Wangi tak menger-

ti. "Dia..., mirip sekali denganmu, Kang Andika."

Andika terdiam sesaat.

"Nila..., bagaimana tiba-tiba kau berpisah den-

gan Mawar?" tanya si pemuda, akhirnya.

"Aku tidak tahu. Tadi kuajak dia untuk mencari 

tempat yang nyaman untuk tidur. Ketika aku terlelap, 

masih kurasakan totokan yang membuatku terbangun 

sejenak. Tetapi selebihnya, aku tidak tahu. Karena aku 

langsung pingsan. Dan ketika terbangun, lelaki kurang 

ajar itu sudah berada di dekatku!" 

"Kalau begitu...."

"Kang Andika...," potong Mawar Wangi dengan 

suara heran. "Aku baru sekarang ini bertemu Kak Nila 

lagi. Aku tak pernah mendatanginya."

"Itu yang akan kutanyakan. Mawar! Semalam 

ada seseorang yang mirip denganmu mendatangi kami. 

Dan kau yakin yang datang itu bukan dirimu?"

"Justru aku sedang menunggu kedatangan

Kang Andika, sampai munculnya orang yang berjuluk 

Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai."

"Apa yang terjadi, Kang Andika?" tanya Nila 

Kanti.

"Setelah diobati si Hantu Jantan, kesehatanku 

terasa pulih kembali. Meskipun aku tak tahu apakah 

pengobatannya sudah sempurna atau belum. Hmm.... 

Aku yakin..., ada sesuatu yang aneh yang kita alami 

ini. Dan aku jadi penasaran ingin mengetahuinya, Nila, 

bersediakah kau menjaga Mawar?" papar si pemuda.

"Maksud Kang Andika?" tanya Nilakanti.

"Carilah tempat persembunyian untuk semen-

tara. Aku hendak melakukan sesuatu untuk membuk-

tikan dugaanku. Karena sebelum aku bertarung, Lima 

Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai pun mengata-

kan telah bertarung denganku sebelumnya. Hmm..., 

berjanjilah padaku untuk menjaga Mawar."

"Kang Andika..., aku ingin membantumu."

"Tidak usah. Kau jaga Mawar dan berjanjilah 

padaku."

Meskipun dari sorot matanya Nilakanti tidak 

setuju, tetapi kepalanya mengangguk pula.

"Kalau begitu, pergilah kalian dari sini. Kulihat 

lukamu tak seberapa parah, Nila. Bila kau sudah men-

galirkan tenaga dalam yang dipadukan dengan hawa 

murnimu, pasti akan pulih kembali," ujar Andika.

Nilakanti mengangguk-angguk. 

"Kang Andika...," panggil Mawar Wangi.

Andika menggaruk-garuk kepalanya. Bisa be-

rabe. Apalagi dia melihat Nilakanti sudah melengos.

"Nila akan menjagamu. Setelah semuanya sele-

sai, kau akan kuantar ke kadipaten. Kau lihat sendiri, 

mereka adalah orang-orang kadipaten. Tentunya 

ayahmu cemas karena kau tak ada di kamarmu sema-

lam."

"Tetapi, bukankah Kang Andika yang menjem-

putku?"

Andika menghela napas.

"Percayalah, Mawar.... Ada sesuatu yang aneh. 

Dan aku tak pernah menjemputmu semalam."

Sehabis berkata begitu, Andika berkelebat ce-

pat.

Mawar Wangi menundukkan kepalanya. Dia 

masih tak mengerti, mengapa Kang Andika menyang-

kal semuanya? Sementara, Nilakanti sebagai gadis 

rimba persilatan, paham apa yang sebenarnya terjadi.

***

11

Bersama luka dalamnya Setan Selaksa Wajah 

terus berlari. Dan dia baru berhenti setelah tiba di 

pinggir hutan sebelah tenggara. Dia berkali-kali meru-

tuki kekalahannya. Keinginannya untuk membunuh 

Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.

Ketika lelaki ini bermaksud menyembuhkan lu-

ka dalamnya, telinganya mendengar langkah bergegas 

ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya melenting ke atas 

pohon. Begitu hinggap, tampak seorang gadis berlari 

ke arahnya. Si gadis berhenti di bawah pohon tempat 

Setan Selaksa Wajah bersembunyi, dan celingukan di 

sana.

"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut!" den-

gusnya begitu mengenali siapa yang datang.

Dengan kegeraman yang tinggi, tubuh Setan 

Selaksa Wajah langsung meluncur ke arah gadis yang 

ternyata Nilakanti.

Menyadari ada angin kencang yang menderu kearahnya, Nilakanti mendongak. Terdengar seruannya 

yang cukup keras karena terkejut. Dia mencoba me-

nangkis serangan Setan Selaksa Wajah.

Des!

Karena tidak dalam keadaan siap serang dan 

berdirinya dalam keadaan tidak menguntungkan, mau 

tak mau tubuh Nilakanti tersuruk oleh hantaman Se-

tan Selaksa Wajah yang begitu keras.

Tubuh Nilakanti terguling. Setan Selaksa Wajah 

yang masih dalam penyamarannya sebagai lelaki tam-

pan, langsung memburu. Kali ini seluruh keinginannya 

untuk memiliki si gadis lenyap, berganti kemarahan 

membludak.

Dalam keadaan terguling. Nilakanti mencoba 

membuang tubuhnya. Akan tetapi, sambaran kaki Se-

tan Selaksa Wajah lebih cepat lagi.

Des!

Tubuh si gadis terlontar tiga tombak ke bela-

kang. Setan Selaksa Wajah bukannya merasa bangga 

akibat tendangannya, justru menghentikan serangan-

nya dengan kening berkerut. Saat meneruskan seran-

gannya tadi, dia yakin kalau gadis itu mampu mena-

han serangannya. Bahkan membalas. Akan tetapi, ju-

stru si gadis terlempar kembali.

Setan Selaksa Wajah melihat kesempatan di 

depan matanya.

"Hhh! Aku ingin lihat bagaimana murkanya 

Pendekar Slebor bila melihat kau mampus di tangan-

ku, Gadis Sial!"

Begitu selesai kata-katanya, Setan Selaksa Wa-

jah membuka jurus mautnya.

Nilakanti mengangkat sebelah tangannya seo-

lah memberi isyarat agar Setan Selaksa Wajah mena-

han gerakannya. Kelihatannya dia tak mampu lagi ber-

gerak.

"Sebelum kau bunuh, aku ingin mengetahui se-

suatu. Siapa kau sebenarnya? Dan ada urusan apa?" 

tanya Nilakanti.

"Orang-orang rimba persilatan menjulukiku Se-

tan Selaksa Wajah," katanya dengan nada pongah. 

"Keinginanku sudah jelas. Untuk mendapatkan Tasbih 

Emas Bidadari dari tangan Pendekar Slebor. Sekaligus 

membunuhnya."

"Aku tak pernah percaya kau berjuluk Setan 

Selaksa Wajah!" leceh Nilakanti, disertai tawa menge-

jek.

"Ha ha ha.... Sangat menyenangkan mendengar 

kata-katamu itu, Gadis Manis. Tetapi sayangnya, 

hanya ada seorang Setan Selaksa Wajah di dunia ini. 

Dan, akulah orangnya. Apakah kau tak sadar saat kau 

dan Pendekar Slebor didatangi gadis manis bernama 

Mawar Wangi? Gadis itu adalah jelmaan diriku. Se-

mentara, Mawar Wangi, sedang menunggu kedatangan 

Pendekar Slebor di tempat yang agak jauh...."

"Apakah kau yang menyamar sebagai Pendekar 

Slebor, dan membawa Mawar Wangi meninggalkan ka-

dipaten?"

"Tepat sekali. Aku senang menjawab perta-

nyaan orang yang mau mampus!"

"Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kau ada-

lah Setan Selaksa Wajah! Hanya seorang yang bisa me-

lakukan penyamaran seperti apa pun. Dan dia adalah 

Raja Penyamar!"

"Bila aku berjumpa dengannya, orang tua kepa-

rat itu akan kubuat mampus!" dengus Setan Selaksa 

Wajah dengan rahang berkerut geram.

"Tunjukkan kemampuanmu bila kau memang 

Setan Selaksa Wajah!" 

Merasa ditantang, kesombongan Setan Selaksa 

Wajah semakin tinggi.

"Kau lihat sekarang!" serunya sambil mencopot 

rambut palsunya.

Lalu dengan gerakan sangat cepat, Setan Se-

laksa Wajah mengubah wajahnya di sana-sini, setelah 

mengambil alat-alat yang ada dalam buntalannya.

Di tempatnya, Nilakanti memekik. Dan kini me-

lihat wajah Mawar Wangi di hadapannya.

"Apakah kau sudah percaya sekarang?" tanya 

Setan Selaksa Wajah.

Gadis itu hanya terdiam dengan tatapan tak 

percaya.

"Sekarang! Mampuslah kau!"

Setan Selaksa Wajah yang menduga kalau Nila-

kanti sudah tak mampu bergerak, meluruk dengan sa-

tu serangan maut. Dengan sekali pukul, nyawa Nila-

kanti jelas-jelas akan melayang.

Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja tubuh ga-

dis manis yang kelihatan tak berdaya itu melenting. 

Dari udara, dia menerjang ke arah Setan Selaksa Wa-

jah.

Duar!

Suara bagai salakan petir terdengar, Setan Se-

laksa Wajah terperanjat menyadari kalau tubuhnya 

bagai disengat petir berkekuatan tinggi.

"Rupanya kau sudah diajarkan ajian 'Guntur 

Selaksa' oleh Pendekar Slebor!" duga Setan Selaksa 

Wajah.

"Dan kau akan terkejut menyadari siapa yang 

kau hadapi ini?" tukas sosok Nilakanti dingin.

Lalu tangan si gadis terangkat. Dicabutnya 

rambut palsu yang digunakannya. Tangannya lantas 

mengupas kulit wajahnya yang ternyata terbuat dari 

sejenis getah. Dan disobeknya pakaian putih yang di-

kenakannya. Tak lama kemudian, wajah Nilakanti be-

rubah menjadi sosok..., Pendekar Slebor!

***

"Anjing kurap!" maki Setan Selaksa Wajah da-

lam wajah mirip Mawar Wangi.

Andika tertawa melihat wajah yang mendadak 

pias begitu. Inilah rencana yang dijalankannya. Karena 

sejak mengalami kebingungan demi kebingungan yang 

dialaminya, otak cerdiknya menduga kalau ada seseo-

rang yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal me-

nyamar. Selama ini dalam hal menyamar yang diketa-

huinya hanyalah Raja Penyamar. Namun dia tak me-

mungkiri kalau ada tokoh lain yang mempunyai ke-

mampuan sama.

Untuk membuktikan dugaannya, Andika senga-

ja menyamar sebagai Nilakanti. Karena dia berpikir, bi-

la memang ada orang yang seperti dugaannya itu, pasti 

sudah mengenal Nilakanti. Dan dugaannya pun men-

jadi kenyataan sekarang. Ternyata sosok di hadapan-

nya mengaku sebagai Setan Selaksa Wajah. Kemam-

puannya dalam hal menyamar mungkin bisa menan-

dingi si Raja Penyamar, yang pernah menurunkan 

keahliannya pada Pendekar Slebor.

"Rupanya ada pemain ketoprak di sini!" ejek 

Andika dengan kedua tangan terkepal.

Sedangkan Setan Selaksa Wajah yang tak me-

nyangka melihat kenyataan ini, hanya melotot tak per-

caya. Sungguh, tak pernah diketahui kalau Pendekar 

Slebor memiliki keahlian menyamar yang patut di-

banggakan pula.

Dan kemarahannya pun membuat Setan Selak-

sa Wajah segera menyerang dengan membabi-buta. 

Andika yang sudah geram pun menerjang pula. Perta-

rungan sengit pun berlangsung kembali.

Sebelumnya, saat diserang Setan Selaksa Wa-

jah dalam penyamarannya sebagai Nilakanti tadi, Andika sudah membuat pertahanan diri dengan tenaga 

'inti petir' pada sekujur tubuhnya. Hingga hantaman 

Setan Selaksa Wajah tak membawa pengaruh apa-apa 

terhadap dirinya. Saat Setan Selaksa Wajah tadi me-

nyerang, dia sudah membuang diri ke tanah.

Pertarungan itu tak terasa sudah berlangsung 

dua puluh jurus. Mereka saling serang dan hindar. 

Masing-masing pun menunjukkan kemampuan. Se-

rangan Setan Selaksa Wajah yang ganas itu bisa diim-

bangi Andika. Apalagi ketika pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan itu mempergunakan kain 

bercorak catur. Dan ini membuat Setan Selaksa Wajah 

harus berpikir beberapa kali untuk masuk menyerang.

Dan beberapa kali pula jotosan Andika masuk, 

membuat tubuh Setan Selaksa Wajah tersentak den-

gan aliran hawa panas pada tubuhnya. Menyusul satu 

tendangan keras, membuat Setan Selaksa Wajah ter-

lempar disertai muntahan darah.

"Busyet! Kok jadi begini, sih? Tadi kau bersama 

gadis itu, Andika. Sekarang, justru kau menyerangnya 

mati-matian!"

Mendadak terdengar suara dari samping, saat 

Andika sudah siap melancarkan serangannya pada Se-

tan Selaksa Wajah.

Andika menoleh. Tampak si Hantu Jantan se-

dang menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ditatap-

nya bungkusan yang dipegangnya.

"Kau lihat sendiri pemuda brengsek itu, 

Sayangku? Memang aku yakin, dia tak pantas menda-

patkan gadis secantik dia. Tetapi..., rasa-rasanya aku 

melihat sesuatu yang aneh dari gadis itu. Apakah kau 

melihatnya pula, Sayangku? Oh, kau melihatnya? Ya, 

ya.... Tanda silang pada telapak tangan kanannya ju-

stru mengingatkan aku pada manusia busuk puluhan 

tahun yang lalu, Sayangku. Kau mengingatnya pula?"

Andika yang tak mengerti apa yang dikatakan 

si Hantu Jantan, siap melancarkan serangan.

"Tahan!" seru si Hantu Jantan. "Kau tak akan 

bisa membunuh manusia keparat itu, Pendekar Sle-

bor."

"Dia bukan Mawar Wangi. Pak Tua. Dia Setan 

Selaksa Wajah!"

"Aku sudah tahu! Tua bangka keparat yang su-

dah berusia seratus tahun itu rupanya masih bisa 

mengubah dirinya menjadi apa yang disukai. Sampai 

saat ini, aku memang tak tahu bagaimana rupa as-

linya. Tetapi aku tahu kalau dia adalah manusia bu-

suk dari tanda silang di telapak tangannya! Minggir! 

Biar aku yang menangani manusia ini! Dia punya si-

lang sengketa padaku puluhan tahun yang lalu!"

"Sepasang Hantu Neraka! Rupanya kau tinggal 

sendiri sekarang! Bagus, ingin kulihat kemampuan-

mu!" kata Setan Selaksa Wajah. Dia sudah bisa bang-

kit, walau menderita luka dalam cukup parah.

Si Hantu Jantan terbahak-bahak.

"Apakah aku tidak tahu, kalau kau sudah 

mempersiapkan ajian 'Telapak Akhirat'?! Kalau pulu-

han tahun yang lalu kau bisa mengalahkan aku den-

gan ajian keparat itu, sekarang jangan harap mampu 

melakukannya!"

Mendengar kata-kata itu, Pendekar Slebor jadi 

tercenung sendiri. Ajian 'Telapak Akhirat'? Desisnya. 

Rupanya Sepasang Hantu Neraka dulu memang mem-

punyai silang sengketa dengan Setan Selaksa Wajah.

"Sudah sana! Minggir!"

Sehabis membentak begitu, si Hantu Jantan 

berkelebat cepat ke arah Setan Selaksa Wajah. Desin-

gan angin meluncur cepat. Dan dari kelebatan tubuh si 

Hantu Jantan memancar sinar kuning menggidikkan.

"Hup!"

Setan Selaksa Wajah melompat dengan satu 

egosan. Lalu mendadak dia menyergap ke arah telapak 

tangan si Hantu Jantan. Namun dengan cepat si Han-

tu Jantan menarik tangannya.

"Nah kau lihat sendiri, Andika! Bila dia berhasil 

menyentuh tanganku yang memancarkan hawa dingin, 

berarti siap melancarkan ajian 'Telapak Akhirat'-nya! 

Tetapi sayangnya, dia tak akan mampu melakukan-

nya!"

Apa yang dikatakan si Hantu Jantan memang 

benar. Dalam dua gebrak berikutnya, Setan Selaksa 

Wajah terdesak hebat oleh serangan-serangannya yang 

berbahaya. Dan berkali-kali tubuhnya terhantam pu-

kulan dahsyat. 

"Aaaakhhh...!"

Tiba-tiba Setan Selaksa Wajah menjerit setinggi 

langit ketika tangannya ditangkap tangan si Hantu 

Jantan yang memancarkan panas amat dahsyat. Lalu 

ditekannya dengan kuat.

"Manusia keparat ini tak akan memiliki kekua-

tan bila tanda silang merah pada telapak tangannya di-

tangkap. Lebih tak berdaya lagi, bila tangan ini dipo-

tong!"

Jeritan Setan Selaksa Wajah yang setinggi lan-

git disusul kelojotan tubuhnya. Namun tangan si Han-

tu Jantan bagai sebuah capit bertenaga raksasa yang 

sangat keras. Tak mudah bagi Setan Selaksa Wajah 

untuk melepaskan diri. Akibatnya, tubuhnya terasa 

semakin lama semakin lemas. Tenaganya bagai hilang 

perlahan-lahan. Dan jeritannya pun mulai melemah.

"Sayangku.... Apakah aku harus membunuh 

manusia sialan ini?" tanya si Hantu Jantan pada 

bungkusan yang dipegangnya. "Oh, kau mengizinkan 

aku membunuhnya? Baik, baik aku akan melakukan-

nya!"

Setan Selaksa Wajah yang tak berdaya membe-

lalakkan matanya. Disadari kalau maut sudah di am-

bang pintu. Tetapi....

Desss...!

Wuutt...!

Justru lelaki ini terkejut ketika tubuhnya ter-

lontar ke belakang. Sementara tubuh si Hantu Jantan 

tertarik ke samping oleh sambaran satu sosok bayan-

gan hijau pupus. Pada saat yang sama, meluruk sinar-

sinar hitam yang tak menemukan sasaran.

Duaarr! Duaaarr!

Ledakan keras terdengar dua kali. Dan pohon 

besar di belakang mereka seketika hangus terhantam 

sinar-sinar hitam itu.

***

12


Apa yang sebenarnya terjadi? Di saat si Hantu 

Jantan berniat menghabisi Setan Selaksa Wajah, Pen-

dekar Slebor melihat dua buah sinar hitam yang men-

geluarkan bau busuk berkelebat ke arah si Hantu Jan-

tan. Maka dengan mempergunakan seluruh tenaga da-

lam dan ilmu meringankan tubuhnya, Andika melesat 

menendang tubuh Setan Selaksa Wajah sekaligus me-

nyambar tubuh si Hantu Jantan.

Yang disambar Andika justru memaki-maki.

"Pemuda brengsek! Mau apa sih kau sebenar-

nya?"

"Apa kau tidak lihat kalau kedua pohon itu 

hangus, Pak Tua?" tukas Andika sambil menunjuk po-

hon yang dimaksud.

"Masa bodoh! Aku ingin membunuh manusia

keparat itu! Hei, Manusia Jelek! Sini kau!" seru si Han-

tu Jantan pada Setan Selaksa Wajah yang terkulai tak 

berdaya. Nafasnya terlihat terputus-putus.

Andika yang merasa bahaya lain akan datang, 

bersiaga tanpa mempedulikan makian si Hantu Jan-

tan. Dan kini bisa terlihat siapa yang muncul di hada-

pannya. Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai!

Si Hantu Jantan yang sudah melangkah dua 

tindak untuk mendekati Setan Selaksa Wajah seketika 

melotot begitu melihat Dewi Sungai Bangkai. Kemara-

hannya bertambah tinggi.

"Rupanya kau berada di sini, Nenek Busuk!"

"Orang tua bau tanah! Apakah kau memang in-

gin mampus?" balas si nenek sengit.

Menyadari kalau manusia yang dicarinya bera-

da di hadapannya, si Hantu Jantan langsung men-

gempos tubuhnya. Gerakannya cepat luar biasa penuh 

tenaga dalam tinggi.

Dewi Sungai Bangkai mendengus. Cepat kedua 

tangannya menghentak, mengirimkan pukulan berbau 

busuk.

Sementara Lima Jalan Darah tengah memper-

hatikan Pendekar Slebor dengan tatapan gusar. Dia ti-

dak mengerti ketika melihat pemuda berpakaian corak 

catur itu dalam keadaan biasa-biasa saja. Bahkan na-

fasnya tak terlihat tersendat. Padahal dia yakin, dua 

totokan darahnya tepat mengenai tubuh Pendekar Sle-

bor.

"Pendekar Slebor! Serahkan Tasbih Emas Bida-

dari kepadaku!" bentak Lima Jalan Darah.

"Kalau aku tak mau menyerahkannya, bagai-

mana?" tukas Andika.

"Setan alas!"

Mendadak saja Lima Jalan Darah mengibaskan 

tangannya. Seketika meluruk angin dahsyat meluncur

cepat.

Andika mencelat cepat dengan segala kelinca-

hannya. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan Lima 

Jalan Darah. Makanya dicobanya untuk menghindar 

sambil mencari sela menyerang.

Namun kali ini, Lima Jalan Darah sudah men-

gerahkan kecepatannya yang luar biasa. Serangan-

serangan totokan darahnya benar-benar mengerikan.

"Monyet busuk! Gembel kurapan!" maki Andika.

Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali ha-

rus mempergunakan kain bercorak caturnya. Sekali 

tangannya mengibas, terdengar suara menggeletar dis-

ertai sambaran angin yang mengacaukan serangan Li-

ma Jalan Darah.

"Keparat! Kain pusaka itu menghalangi setiap 

gerakanku! Dan angin yang keluar seolah mematikan 

setiap totokan darah yang kulakukan! Aku harus me-

rebutnya lebih dulu!"

Mendadak saja Lima Jalan Darah bergerak 

memutari tubuh Andika. Pendekar Slebor tercekat, ka-

rena lagi-lagi harus menerima serangan seperti itu. 

"Kutu monyet!" maki Andika.

Pendekar Slebor kelihatannya kebingungan un-

tuk menghentikan serangan Lima Jalan Darah yang 

berupa jotosan dan tendangan mengandung tenaga da-

lam penuh. Dua kali tubuhnya terhantam tendangan-

nya. Lalu satu jotosan membuat tubuhnya terpental.

Saking kerasnya tubuh Andika meluncur ke be-

lakang, hingga dari balik perutnya mencelat sebuah 

benda memancarkan sinar keemasan.

Melihat benda itu, sepasang mata Lima Jalan 

Darah terbelalak. Dengan cepat disambarnya benda

itu. Namun....

"Setan keparat!"

Segera tubuh Lima Jalan Darah melenting ke

belakang saat satu sosok tubuh menghalanginya den-

gan kibasan pedang. Bahkan sosok itu pun menyam-

bar benda yang tak lain pusaka darah Ki Bubu Jagat, 

Tasbih Emas Bidadari.

Tap!

Lalu dengan lincahnya sosok ramping itu hing-

gap di tanah.

Penuh kegeraman Lima Jalan Darah meman-

dang sosok yang berhasil merampas Tasbih Emas Bi-

dadari.

"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!" 

bentak Lima Jalan Darah.

Sosok ramping yang tak lain Nilakanti melotot 

garang.

"Manusia hina! Sebaiknya kau mampus daripa-

da membuat celaka di dunia ini!" bentak Nilakanti.

"Gadis kurang ajar! Kau akan menyesali ocehan 

busukmu itu!" desis Lima Jalan Darah seraya mengge-

rakkan tangannya cepat.

"Pergunakan kecepatanmu, Nila! Jangan sam-

pai terkena totokan darah yang dilakukannya!" teriak 

Pendekar Slebor.

Begitu mendengar seruan Pendekar Slebor, Ni-

lakanti urung untuk menyongsong serangan. Tubuh-

nya berkelit lincah.

Beberapa kali Lima Jalan Darah melakukan se-

rangannya. Namun, tak satu pun yang mengenai sasa-

ran. Hal ini membuatnya semakin kalap. Dan kini sa-

sarannya adalah Pendekar Slebor. 

Wusss!

Andika tercekat melihat serangkum angin me-

luruk ke arahnya.

"Monyet pitak!" makinya seraya bergulingan.

Tak! Tak! Tak!

"Auuukhhh...!"

Namun gerakan yang dilakukan Pendekar Sle-

bor terlambat. Karena tiga buah totokan sudah sing-

gah di tubuhnya diiringi jeritan setinggi langit. Seketi-

ka Andika merasa nafasnya tersengal. Hawa panas 

pun mengalir di sekujur tubuhnya. Lebih menyiksa da-

ripada sebelumnya.

Melihat hal itu Nilakanti berteriak kaget. Kalap, 

dia menderu ke arah Lima Jalan Darah. Dalam kea-

daan begini, serangannya justru jadi tak menentu. Dan 

dengan mudahnya Lima Jalan Darah menghindari. 

Bahkan mengirimkan satu jotosan telak!

Desss...!

Nilakanti pingsan seketika.

Kini Lima Jalan Darah berdiri dengan tatapan 

liar ke arah Tasbih Emas Bidadari yang berada di tan-

gan kiri Nilakanti. Dengan perlahan didekatinya gadis 

itu.

***

Sementara itu pertarungan si Hantu Jantan 

dengan Dewi Sungai Bangkai semakin seru saja. Da-

lam hati penuh amarah dan dendam, si Hantu Jantan 

menyerang si nenek secara bertubi-tubi.

Dewi Sungai Bangkai yang bukan tandingan si 

Hantu Jantan, berkali-kali harus merelakan tubuhnya 

terkena hantaman keras.

Dewi Sungai Bangkai benar-benar tak mampu 

lagi bertahan. Dalam dua gebrakan berikutnya, men-

dadak tangan kurus si Hantu Jantan yang sekeras besi 

memapas lehernya!

Crasss...!

"Aaakhhh...!"

Kepala Dewi Sungai Bangkai terpental, tubuh 

tanpa kepala yang memuncratkan darah dari leher itu

bergerak terhuyung, lalu ambruk. Si Hantu Jantan 

mendengus puas sambil mengusap wajahnya yang ter-

kena muncratan darah Dewi Sungai Bangkai. Lalu ke-

palanya berpaling pada bungkusan yang dipegangnya.

"Sayangku, semoga kau puas. Dan aku berjanji, 

tak akan pernah lagi membunuh," katanya, lirih.

Kepala si Hantu Jantan menoleh, melihat ba-

gaimana Pendekar Slebor tengah dalam keadaan ter-

siksa akibat totokan Lima Jalan Darah, memaksa tu-

buhnya untuk bergulingan ke arah Tasbih Emas Bida-

dari.

Tesss!

Begitu kaki si pemuda bergerak, Tasbih Emas 

Bidadari yang hendak diambil Lima Jalan Darah ter-

pental. Bersamaan dengan itu, sambil mengerahkan 

sisa tenaganya, Andika melenting. Disambarnya Tasbih 

Emas Bidadari yang masih melayang.

Tap!

Begitu hinggap di tanah, tubuh Pendekar Sle-

bor sempoyongan.

Lima Jalan Darah menggeram murka. Tangan-

nya bergerak kembali.

"Setan alas kau, Pendekar Slebor!" dengusnya 

seraya mengibaskan tangannya.

Untungnya si Hantu Jantan cepat melesat ke 

arah Pendekar Slebor. Segera disambarnya pemuda 

urakan itu.

Tes! Tes!

Totokan darah yang dilepaskan Lima Jalan Da-

rah pun hanya mengenai lima buah pohon hingga 

hangus.

"Hhh! Rupanya kaulah yang berjuluk Lima Ja-

lan Darah!" dengus si Hantu Jantan, setelah meletak-

kan tubuh Pendekar Slebor.

"Orang tua sinting! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum menjadi sasaran!" ancam Lima Jalan 

Darah.

"Bicara memang gampang. Tetapi sayangnya, 

aku ingin melihat kehebatanmu!"

Sehabis berkata begitu dengan masih meme-

gang bungkusan di tangannya, si Hantu Jantan berge-

rak cepat ke arah Lima Jalan Darah. Namun dengan 

tenangnya lelaki tampan ini segera mengibaskan tan-

gannya.

"Setan!" maki si Hantu Jantan. Cepat dia mem-

buang tubuhnya ketika merasakan sambaran panas ke 

arahnya.

"Tinggalkan tempat ini, Orang Tua Busuk!" ma-

ki Lima Jalan Darah dengan tangan terus bergerak-

gerak melepaskan totokan lima jalan darahnya yang 

mengerikan.

Si Hantu Jantan yang baru saja bangkit berdiri 

menjadi kalang kabut. Meskipun demikian, dia masih 

bisa menunjukkan kemampuannya sebagai tokoh rim-

ba persilatan. Dengan gerakan luar biasa cepatnya dia 

menghindar. Tubuhnya melenting ke atas. Dari udara, 

tangannya mengibas cepat.

Lelaki berbaju biru menyala itu tercekat dan 

terpaksa mundur beberapa langkah.

"Hhh! Orang tua bau tanah ini tak boleh diang-

gap enteng! Kecepatannya sangat sukar kuikuti. 

Hmm.... Sejak tadi dia selalu memegang bungkusan di 

tangannya. Dan dari cara memegangnya, jelaslah ka-

lau bungkusan itu sangat berharga baginya. Baiknya, 

aku coba dugaanku ini!"

Kalau tadi Lima Jalan Darah mengarahkan se-

rangan pada bagian-bagian jalan darah di tubuh si 

Hantu Jantan, kali ini diarahkan pada bungkusan 

yang dipegang Penguasa Gunung Kabut.

Dan dugaan lelaki berbaju biru itu ternyata

membawa hasil.

"Anak setan! Kau harus membayar perlakuan 

busukmu pada kekasihku ini!" maki si Hantu Jantan, 

seraya kalang kabut menyelamatkan bungkusannya.

Lima Jalan Darah merasa sudah menemukan 

cara menyerang yang paling enak. Maka dia terus 

mengarahkan serangan-serangan mautnya pada bung-

kusan di tangan si Hantu Jantan.

"Bangsat setan!" rutuk si Hantu Jantan, kalang 

kabut. Keringatnya sudah banyak mengalir berbalur 

dengan ketegangan mendalam.

Pendekar Slebor yang melihat keadaan gawat 

yang dialami si Hantu Jantan, menarik napas panjang.

"Tak ada jalan lain. Untuk menghadapi Lima 

Jalan Darah yang kesaktiannya begitu tinggi, terutama 

serangan totokan darahnya, terpaksa aku harus mem-

pergunakan kesaktian Tasbih Emas Bidadari," desis si 

pemuda sambil menatap Tasbih Emas Bidadari yang 

berada di tangannya. "Mudah-mudahan caraku ini 

berhasil. Aku ingin, tenaga yang dimiliki Lima Jalan 

Darah melemah. Dan dia tak mampu melakukan se-

rangannya!"

Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja tubuh 

Pendekar Slebor bergetar hebat. Dalam keadaan terlu-

ka parah akibat terkena totokan Lima Jalan Darah un-

tuk kedua kalinya, si pemuda menjerit setinggi langit. 

Panas menyengat terasa mendesak-desak sekujur tu-

buhnya yang terhuyung-huyung.

Pada saat yang demikian, Pendekar Slebor 

bermaksud melepaskan Tasbih Emas Bidadari. Karena 

dia yakin getaran hawa panas yang masuk ke tubuh-

nya berasal dari pusaka sakti itu. Akan tetapi, keingi-

nannya tak bisa dilakukan. Karena, Tasbih Emas Bi-

dadari bagai melekat di tangannya. Sementara tubuh-

nya terus saja terhuyung-huyung.

Si Hantu Jantan yang melihat keadaan itu 

menjadi terpecah perhatiannya. Namun untungnya, 

pada saat yang bersamaan Lima Jalan Darah meng-

hentikan serangannya. Ketamakannya untuk menda-

patkan pusaka Tasbih Emas Bidadari membuatnya 

tertawa. Terutama ketika melihat keadaan Pendekar 

Slebor yang bagai sekarat.

"Ha ha ha.... Kini saatnya bagimu untuk pergi 

ke neraka, Pendekar Slebor!" serunya terbahak-bahak.

Tangan lelaki ini pun bergerak beberapa kali. 

Namun yang mengejutkannya, tubuhnya mendadak te-

rasa melemah. Dan dia tak mampu melakukan totokan 

lima jalan darah!

"Edan! Kenapa jadi begini?!" rutuknya.

***

13


Tepat ketika tubuh Lima Jalan Darah melemah, 

keadaan Pendekar Slebor pulih kembali. Selesai sudah 

terhuyung-huyungnya. Getaran pada tubuhnya pun 

melemah. Meskipun demikian, nafasnya masih tersen-

gal akibat totokan darah yang dilakukan Lima Jalan 

Darah.

"Terima kasih...," desah Pendekar Slebor pelan, 

seolah berkata pada Tasbih Emas Bidadari.

Si Hantu Jantan hanya menggeleng-gelengkan 

kepalanya melihat ambruknya Lima Jalan Darah den-

gan kedua lutut tertekuk dan dalam keadaan tak ber-

daya.

"Pusaka milik Ki Bubu Jagat memang sangat 

mengerikan. Sudah selayaknya bila Malaikat Putih 

Bayangan Maut yang menjaga Tasbih Emas Bidadari,"

kata si Hantu Jantan sambil mendesah panjang. Lalu 

dihampirinya Andika. "Untuk kedua kalinya kau terlu-

ka akibat totokan yang dilancarkan Lima Jalan Darah. 

Kali ini aku tak sanggup mengobatimu. Sebaiknya, kita 

segera menuju Lembah Matahari."

Andika yang merasa seluruh tenaganya terku-

ras, hanya mengangguk-angguk saja. Sedikit pun tak 

ada suara yang keluar dari mulutnya. Nafasnya masih 

terasa tersendat.

"Lima Jalan Darah tak akan mampu bergerak 

lagi, sebelum kau mencabut kata-katamu pada Tasbih 

Emas Bidadari. Tetapi untuk manusia busuk seperti 

dia, nampaknya itu hukuman sangat layak!" kata si 

Hantu Jantan.

Andika mengangguk-angguk. Namun sejurus 

kemudian kepalanya celingukan.

"Aku tak melihat Setan Selaksa Wajah...?" ka-

tanya, lirih.

Si Hantu Jantan yang juga ikutan mencari 

menganggukkan kepalanya.

"Rupanya manusia setan itu mencuri kesempa-

tan untuk kabur ketika kita disibukkan oleh lawan 

masing-masing. Hei, Bor! Apakah kau akan mendiam-

kan saja murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu?"

Andika menggeleng.

"Tolong kau gendong dia, Pak Tua. Mudah-

mudahan dalam waktu yang tak terlalu lama dia akan 

siuman dari pingsannya," ujar si pemuda.

"Bagaimana dengan kau?" tukas si Hantu Jan-

tan.

"Rasanya, aku masih bisa bertahan meskipun 

kesehatanku bertambah payah."

Si Hantu Jantan lantas membopong tubuh Ni-

lakanti yang masih pingsan.

"Kalau begitu, kerahkan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki. Ingat! Jangan dipadukan dengan 

tenaga dalam. Aku yakin, pendekar kenamaan seper-

timu akan mampu melakukannya," ingat si Hantu Jan-

tan.

Andika menuruti saran si Hantu Jantan. Dan 

kejap berikutnya, Pendekar Slebor sudah merasa bagai

terbang ketika si Hantu Jantan menyambar tangan-

nya. Sambil membopong tubuh Nilakanti, lelaki tua itu 

membawa lari Pendekar Slebor.

Sementara Lima Jalan Darah tetap terduduk 

dengan kedua kaki tertekuk. Tenaganya semakin lama 

semakin lenyap. Untuk merintih saja, dia sudah tak 

mampu.

Selebihnya, sunyi mendera.

***

Di satu tempat yang sunyi, satu sosok tubuh 

sedang duduk bersemadi. Kelihatan sekali kalau lelaki 

itu sudah cukup lama melakukan semadinya. Ru-

panya, dia sedang mengobati luka dalamnya.

Selang beberapa saat, lelaki itu menyelesaikan 

pengobatan.

"Hhh! Kali ini kau berhasil mengalahkan aku, 

Pendekar Slebor.... Namun lain kali, justru kau yang 

akan berkalang tanah!"

Lelaki tampan yang tak lain Setan Selaksa Wa-

jah mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Dari wa-

jah tampan, mendadak saja terlihat wajah seorang ka-

kek tua renta tak berdaya.

"Hhh! Suatu saat, Pendekar Slebor! Suatu 

saat!" desis Setan Selaksa Wajah. Lalu si kakek pergi 

tertatih-tatih dari tempat ini.

***

Di sebuah kamar apik yang menebarkan bau 

harum, satu sosok ramping berwajah jelita sedang me-

nangis tersendat. Tubuhnya tengkurap dengan kedua 

tangan menutupi wajah.

"Kang Andika.... Apakah kita akan berjumpa la-

gi?" desahnya tersendat.

Dia adalah Mawar Wangi. Atas saran dari Nila-

kanti, gadis ini kembali ke kadipaten. Kataran yang 

sudah siuman dari pingsan pun membantu Nilakanti 

dalam membujuk Mawar Wangi. 

Semula Mawar Wangi bersikeras menolak. Na-

mun karena Nilakanti terus membujuk akhirnya ha-

tinya luluh. Dan sekarang ini si gadis kadipaten dilan-

da rindu mendalam pada Pendekar Slebor.

"Kang Andika.... Aku ingin sekali hidup bersa-

mamu. Datanglah ke sini, Andika... Datanglah... aku 

pasti akan menunggumu...." 

Karena terlalu lama menangis dan kelelahan 

yang menderanya, gadis cantik itu tertidur. 


                   SELESAI



Segera terbit:

MANUSIA LABA-LABA





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive