LIMA JALAN DARAH
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Lima Jalan Darah
128 hal.
1
Malam merangkak naik. Makin jauh tenggelam
dalam kegelapan mengurung jalan setapak yang dipe-
nuhi ilalang lebat dan pepohonan besar. Suasana ba-
gai mati belaka. Di atas sana, awan hitam membulat
tebal bagaikan wanita bunting yang siap melahirkan.
Suasana begitu mencekam dan mengerikan, kala tak
seekor binatang malam pun terlihat.
Tak semestinya bila ada orang yang melintasi
jalan setapak itu. Malah justru menghentikan larinya
di sana. Dan itu yang dilakukan satu sosok berwajah
mirip tengkorak. Rambut acak-acakannya tergerai
hingga ke pinggul. Mata celongnya yang berwarna ke-
labu melihat ke kanan-kiri. Hanya kesepian belaka.
"Brengsek! Di mana tempat yang tepat bagiku
untuk mengobati manusia jelek ini?!" maki sosok ber-
wajah tengkorak yang ternyata perempuan berpakaian
hitam. Dari tubuhnya menebar bau yang sangat bu-
suk.
Rupanya, si perempuan sedang memanggul sa-
tu sosok tubuh yang sedang pingsan. Padahal, sosok
yang dipanggul berbobot dua kali lebih besar. Tapi dia
enak saja membawanya. Bisa jadi kepandaian tokoh
ini sudah sangat tinggi.
"Pendekar Slebor keparat!" desis sosok itu den-
gan kegeraman menggelegak. "Setelah kuobati Hantu
Gigi Gading ini, kau akan berhadapan kembali dengan
Dewi Sungai Bangkai! Akan kubalas kematian saha-
batku si Gampo Sinting!"
Sosok berwajah tengkorak ini memang tak lain
dari Dewi Sungai Bangkai, Penguasa Sungai Bangkai.
Sungai yang bukan berisi air tenang, tapi berisi air bu-
suk yang penuh mayat
Benak Dewi Sungai Bangkai teringat pertarun-
gan terakhirnya dengan Pendekar Slebor di Gunung
Kidul. Di tempat itu sahabatnya si Gampo Sinting te-
was. Sedang Hantu Gigi Gading terluka parah (Untuk
lebih jelasnya, silakan baca Pendekar Slebor dalam ep-
isode: Tasbih Emas Bidadari").
Sosok bau busuk itu berkelebat lagi. Dia ber-
henti begitu melihat sebuah gubuk yang sudah miring
ke kiri.
"Hmm.... Pasti milik para penebang kayu. Ini
menguntungkan bagiku," gumamnya.
Si perempuan merebahkan tubuh Hantu Gigi
Gading yang luka parah akibat sambaran pedang mu-
rid Malaikat Putih Bayangan Maut yang bernama Nila-
kanti. Namun Dewi Sungai Bangkai mengesampingkan
soal Nilakanti. Yang diinginkannya hanya Pendekar
Slebor. Si pemuda berwatak semau udelnya itulah
yang menggagalkan seluruh keinginan si Gampo Sint-
ing untuk mendapatkan pusaka Tasbih Emas Bidadari
milik Ki Bubu Jagat. Dan yang membuatnya makin ur-
ing-uringan setelah tahu kalau Pendekar Slebor-lah
yang memiliki pusaka langka itu.
Dewi Sungai Bangkai memeriksa tubuh Hantu
Gigi Gading. "Edan! Lukanya begitu parah! Sabetan
pedang ini begitu dalam! Kalau tidak segera kutolong,
tamat riwayatnya!"
Si perempuan tua berbaju hitam bau busuk itu
terdiam. Mulutnya berkomat-kamit. Kalau sudah begi-
tu, makin seram saja wajahnya. Ketika kedua tangan-
nya berubah hitam legam, perlahan-lahan di-
tempelkan di tubuh Hantu Gigi Gading. Si lelaki kon-
tan melejang-lejang, namun tetap dalam keadaan ping-
san.
Hampir sepeminuman teh Dewi Sungai Bangkai
berkutat mengobati Hantu Gigi Gading. Keringatnya
yang baunya seperti kencing kuda membasahi sekujur
tubuhnya yang apek.
"Kau berhutang nyawa denganku, Monyet Je-
lek!" makinya sambil mengambil sikap semadi.
Baru saja mata celong si perempuan tua terpe-
jam, tiba-tiba saja terdengar deru angin luar biasa ke-
rasnya. Serentak dengan kecepatan tinggi, Dewi Sun-
gai Bangkai menyambar tubuh Hantu Gigi Gading
yang baru saja diobatinya. Dengan pencalan satu kaki,
tubuhnya melesat ke luar.
Duaaar!!
Terdengar suara ledakan keras. Dan gubuk
yang baru saja didiami itu telah hancur berantakan.
"Setan keparat! Iblis mana yang berani menjual
lagak di hadapanku!" bentak Dewi Sungai Bangkai se-
telah meletakkan tubuh Hantu Gigi Gading di tempat
agak tersembunyi.
"Malam-malam begini tercium bau busuk!
Hoiii.... Siapa yang belum mandi?! Makanya, lebih baik
mampus saja daripada membuat hewan-hewan di sini
tak ada yang keluar seekor pun!"
Terdengar suara penuh wibawa yang bergema
di sekitar. Lalu disusul berkelebatnya satu bayangan
biru menyala ke arah Dewi Sungai Bangkai dan ber-
henti di depannya.
***
Dewi Sungai Bangkai memicingkan mata ce-
longnya, menatap satu sosok pemuda tegap berwajah
tampan berdiri di hadapannya. Pakaiannya warna biru
menyala. Terbuka di bagian atas, hingga memper-
lihatkan bagian dadanya yang bidang. Rambutnya
yang panjang digelung ke atas. Meskipun wajahnya
sangat tampan, namun sinar matanya memperlihatkan
kekejian luar biasa.
"Orang muda keparat! Siapa kau?!"bentak Dewi
Sungai Bangkai keras.
"Brengsek! Rupanya ada mayat hidup di sini!
Pantas baunya sampai ke mana-mana!"
"Orang muda kurang ajar! Ku sobek mulutmu!"
"Bicaramu yakin sekali. Tapi aku ingin bukti!"
"Pemuda hina dina! Mampuslah kau!"
Meski sudah kenyang menelan asam garam
dunia persilatan, tak urung Dewi Sungai Bangkai ter-
pancing juga. Tangannya langsung bergerak cepat.
Maka lima larik sinar hitam tiba-tiba melesat dahsyat.
Namun si pemuda berpakaian biru menyala
hanya tertawa. Lima jengkal serangan itu berada di
depannya, dia melompat ke samping.
Jdar! Jdar...!
Lima sinar hitam luput mendarat di sasaran,
dan hanya menghantam pohon-pohon di sana hingga
bertumbangan dan hancur berantakan.
Di luar dugaan si pemuda, bau busuk menda-
dak tercium. Dan ini sangat menyesakkan dadanya.
Malah, lehernya terasa bagai dililit tali kasatmata. Dan
nafasnya pun tiba-tiba tersendat. Pukulan yang dile-
paskan Dewi Sungai Bangkai memang sangat hebat.
"Rasakan ajian kebanggaanku, 'Angin Bangkai
Melilit Leher'! Makanya, kau jangan menjual lagak di
sini! Dan aku tak pernah mengampuni siapa pun ju-
ga!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai
mengirimkan ajian kebanggaannya kembali. Maka bau
busuk yang sangat menyengat makin mengunci gerak
tubuh si pemuda. Semakin keras tawa Dewi Sungai
Bangkai melihat pemuda itu tahu-tahu ambruk sambil
memegang lehernya.
"Cih! Kau belum mengenalku rupanya!"
Tanpa peduli lagi, Dewi Sungai Bangkai me-
langkah untuk mengambil tubuh Hantu Gigi Gading
yang masih pingsan. Dan dia bermaksud untuk me-
ninggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya me-
langkah dua tindak....
"Mau ke mana kau, Orang Tua?"
Dikawal satu keterkejutan, Dewi Sungai Bang-
kai menoleh. Dan perempuan tua ini benar-benar
hampir tak bisa mempercayai pandangannya sendiri.
Pemuda yang tadi sudah ambruk itu berdiri tegak den-
gan kedua tangan bersedekap di dada dalam keadaan
segar bugar.
"Kau?!"
"Sudah kukatakan tadi, bicaramu terlalu yakin.
Kenyataannya, hanya pepesan kosong!" leceh si pemu-
da berbaju biru. Tatapannya memancarkan sinar pa-
nas, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi
mpot-mpotan. Termasuk Dewi Sungai Bangkai yang
mendadak bulu kuduknya meremang.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" Entah
apa sebabnya, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari
bibir keriput si perempuan tua.
"Itukah pertanyaan terakhir menjelang ajalmu?
Ha ha ha...! Aku suka sekali memberitahukan siapa di-
riku pada orang yang akan mampus! Panggil aku den-
gan sebutan Lima Jalan Darah!" seru si pemuda den-
gan suara ditekan.
Kening keriput Dewi Sungai Bangkai berkerut.
Baru kali ini telinganya mendengar seorang tokoh mu-
da yang berjuluk Lima Jalan Darah.
"Lima Jalan Darah! Sebuah julukan yang lu-
mayan! Tapi, sayang. Tak membuat nyaliku kendor.
Huh! Aku jadi ingin melihat kehebatanmu!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Sungai Bangkai
berkelebat laksana anak panah terlepas dari busur.
Gebrakannya sangat dahsyat, menebarkan bau busuk
luar biasa.
Kalau tadi si pemuda nampak tenang-tenang
saja, kali ini tubuhnya pun berkelebat cepat ke arah
Dewi Sungai Bangkai.
Des! Tuk!
Benturan keras itu terjadi. Tubuh Dewi Sungai
Bangkai terlontar empat tombak ke belakang. Malah
tiba-tiba saja tubuhnya terasa menggigil hebat. Kaki
sebelah kanannya tak dapat digerakkan lagi. Sementa-
ra pemuda yang mengaku berjuluk Lima Jalan Darah
mendarat empuk di tanah sambil menebarkan senyum
dingin.
"Yang baru kulakukan adalah totokan jalan da-
rah ke satu. Masih ada empat buah lagi jalan darah
yang harus ku matikan. Sehingga kau tak akan mam-
pu menggerakkan tubuhmu sedikit pun. Hm.... Sangat
menyenangkan bila melihatmu tersiksa. Karena, aku
memang gemar sekali menyiksa orang!"
Sehabis menyelesaikan kalimatnya, mendadak
tubuh Lima Jalan Darah berkelebat sangat cepat. Ke-
dua tangannya bergerak amat cepat, sebanyak dua kali
ke arah leher dan pinggul Dewi Sungai Bangkai.
Tuk! Tuk!
Dikawal satu keterkejutan yang amat sangat,
Dewi Sungai Bangkai merasakan lehernya bagai patah.
Sementara pinggulnya seakan lepas dari tubuhnya.
"Setan keparat!" maki si perempuan tua dengan
tubuh goyah.
"Sesuai julukanku, totokan 'Lima Jalan Darah'
terdiri dari lima cara menuju kematian dengan meno-
tok jalan darah di tubuh lawan. Orang yang terkena to-
tokan yang kesatu, maka tubuhnya sudah mati seper-
lima. Meskipun masih bisa bergerak, namun dalam
waktu lima hari akan mati. Bila terkena totokan ke
dua, dia tak akan mampu lagi bernapas seperti biasa.
Meskipun masih selamat, namun akan mati dalam
waktu empat hari. Bila terkena totokan ketiga, maka
sendi-sendinya akan mati. Meskipun masih selamat,
namun akan mati dalam waktu tiga hari. Bila terkena
totokan keempat, maka seluruh kekuatan otot yang
ada di tubuhnya akan hilang. Meskipun masih sela-
mat, namun akan mati dalam waktu dua hari. Dan bila
terkena totokan yang kelima, maka aliran darahnya
terhenti. Bahkan jantungnya akan mencelat keluar.
Dia akan mati saat itu juga! Kau masih beruntung ka-
rena masih kuberi kesempatan untuk hidup, Dewi
Sungai Bangkai. Sehingga, aku tak melakukan totokan
yang kelima secara langsung. Bukankah tadi kukata-
kan, aku sangat senang sekali menyiksa lawan-
lawanku? Ha ha ha...!"
Tubuh Dewi Sungai Bangkai bergetar hebat.
Getaran itu terjadi di samping rasa gelegak marahnya,
juga seluruh tubuhnya bagai tak mampu melakukan
apa-apa. Sementara, hawa napas terus menyengat.
"Bila kau memang jantan, bunuh aku!" sentak
Dewi Sungai Bangkai, mulai putus asa.
"Hm.... Totokan jalan darah pertama, kedua,
dan ketiga pada dirimu sudah cukup mengirimmu ke
neraka!"
"Keparat buduk! Iblis kau!"
Lima Jalan Darah terbahak-bahak.
"Kau sekarang menjadi orang suci rupanya!
Nama Dewi Sungai Bangkai sudah lama kudengar ka-
rena kekejaman dan kebusukan hati iblisnya. Namun
sekarang, begitu suci sekali laksana dewi!"
Mata Dewi Sungai Bangkai bagai hendak me-
loncat dari rongganya. Mulutnya yang keriput tanpa
gigi merapat tajam.
"Tetapi, aku akan mengampuni nyawa busuk
mu, bila kau bersedia memenuhi dua persyaratanku!"
lanjut si pemuda.
"Keparat! Tak sudi aku diperintah seperti itu!"
dengus si perempuan tua.
"Hm... Ingat saja. Kau sudah terkena totokan
jalan darah ketiga. Berarti, tiga hari lagi kau akan
mampus! Dan yang perlu diketahui, setiap tengah ma-
lam, tubuhmu akan semakin terasa panas. Sehingga
akhirnya kau akan mampus dengan tubuh meledak!"
Pucatlah wajah si perempuan keji itu. Meski-
pun dalam keadaan tak berdaya, otak warasnya masih
bisa dipergunakan. Dia harus membunuh Pendekar
Slebor. Kalau mampus sekarang, berarti tak pernah bi-
sa membalaskan sakit hati sahabatnya, si Gampo Sint-
ing.
"Katakan!" ujarnya dengan suara ditekan.
"Sudah kuduga kau akan menyetujuinya! Den-
gar baik-baik! Pertama, setelah kubebaskan dari segala
jalan darah yang kulakukan kepadamu, kau harus jadi
pengikutku! Katakan sekarang juga, sebelum kulan-
jutkan yang kedua!"
Sambil menahan kegeraman luar biasa, Dewi
Sungai Bangkai mengangguk.
"Setan tua bau tanah!"
Diiringi satu desisan, tangan Lima Jalan Darah
bergerak.
Wusss! Plass!
Angin dingin kontan menampar pipi Dewi Sun-
gai Bangkai. Si perempuan tua terguling ke belakang
disertai muntahan darah.
"Aku bukan ingin melihat anggukan atau gelen-
gan! Aku ingin kau bersuara!" tandas si pemuda.
"Ya!" seru Dewi Sungai Bangkai keras dengan
tubuh bergetar menahan marah.
Tawa Lima Jalan Darah semakin mengeras.
"Menyenangkan sekali memiliki seekor anjing
setia sepertimu! Tetapi, jangan berbahagia dulu! Kare-
na bila kau tak bisa memenuhi persyaratan kedua,
akan percuma saja menyetujui persyaratanku yang
pertama!"
"Katakan, Keparat!"
"Aku sedang mencari seorang pemuda berbaju
hijau pupus dan memiliki sehelai kain bercorak catur!
Julukannya, Pendekar Slebor! Bila kau mengetahui di
mana pendekar sialan itu, maka kau akan kube-
baskan!"
Kening Dewi Sungai Bangkai berkerut. Persya-
ratan yang sangat mudah sekali. Tetapi dia ingin tahu
dulu, mengapa Lima Jalan Darah hendak mencari
Pendekar Slebor.
"Mengapa kau mencarinya?" tanya si perem-
puan tua, tak dapat menahan rasa penasarannya.
"Ini urusanku!" bentak Lima Jalan Darah.
"Aku mengetahui dia berada di mana!"
"Katakan!" tandas Lima Jalan Darah, mengan-
dung kegeraman tinggi.
"Katakan pula, apa maksudmu untuk menca-
rinya?"
"Hhh! Pendekar Slebor katanya memiliki kesak-
tian setinggi langit. Tapi dia harus mampus di tangan-
ku! Aku muak mendengar orang-orang rimba persila-
tan kerap kali menyanjung kesaktiannya. Juga, karena
dia telah membuat malu sahabatku yang berjuluk Ma-
laikat Mata Satu!" papar Lima Jalan Darah dengan wa-
jah memerah.
Si pemuda teringat bagaimana ketika Malaikat
Mata Satu datang ke kediamannya di Gua Seribu Da-
rah dalam keadaan luka parah. Laki-laki bermata satu
itu menceritakan semua yang terjadi. Maka hati Lima
Jalan Darah kontan bagai teraduk-aduk ketika mendengar siapa yang telah mempermalukan sahabatnya.
Pendekar Slebor-lah orangnya.
Setelah berhasil mengobati sahabatnya itu, si
pemuda pun segera meninggalkan Gua Seribu Darah.
Dia bermaksud mencari Pendekar Slebor. Di samping
ingin membalaskan sakit hati Malaikat Mata Satu, juga
ingin membuktikan omongan orang-orang yang mem-
bicarakan tentang kehebatan Pendekar Slebor. Telah
dua bulan dia mencari Pendekar Slebor (Untuk menge-
tahui siapa adanya Malaikat Mata Satu, silakan baca :
"Jodoh Sang Pendekar").
Lima Jalan Darah sebenarnya dulu hanyalah
seorang pemuda kurus yang tak berdaya. Tak memiliki
sanak saudara. Dan secara tak sengaja, dia tiba di Gua
Seribu Darah yang sebelumnya dihuni dedengkot sesat
rimba persilatan, Setan Seribu Darah. Di tangan laki-
laki tua bangka kejam itulah si pemuda digembleng
menjadi salah seorang tokoh sesat yang kini patut di-
perhitungkan.
Sejak pertama kali bertemu Setan Seribu Da-
rah, si pemuda yang sebelumnya bernama Sabur San-
tang, telah diubah dengan panggilan Lima Jalan Da-
rah. Sebagai murid Setan Seribu Darah, Lima Jalan
Darah pun telah berubah menjadi tokoh kejam. Di
tangannyalah seluruh keinginan Setan Seribu Darah
berhasil dijalankan. Hingga akhirnya, dia pun men-
genal tokoh Malaikat Mata Satu dan menjadi saha-
batnya.
Setelah sepuluh tahun berlalu, Setan Seribu
Darah pun meninggalkan Gua Seribu Darah untuk
mencari musuh bebuyutannya yang berjuluk Penghulu
Segala Ilmu. Pada satu pertarungan, Setan Seribu Da-
rah berhasil dikalahkan Penghulu Segala Ilmu. Dan dia
pun mengasingkan diri di Gua Seribu Darah sekaligus
memperdalam kesaktiannya. Baru setelah itu dia ke
luar dari gua untuk mencari Penghulu Segala Ilmu.
Sejak saat itulah Lima Jalan Darah tak lagi ke-
luar dari Gua Seribu Darah, karena sangat mentaati
perintah gurunya yang sedang mencari musuh be-
buyutannya.
Namun kehadiran sahabatnya yang berjuluk
Malaikat Mata Satu yang terluka parah di tangan Pen-
dekar Slebor, menyebabkan Lima Jalan Darah melang-
gar amanat gurunya. Karena menurut perhitungannya,
dia akan bisa membalaskan sakit hati Malaikat Mata
Satu pada Pendekar Slebor sebelum gurunya tiba
kembali di Gua Seribu Darah.
Sementara itu, Dewi Sungai Bangkai terdiam.
Matanya yang celong ke dalam semakin masuk saja
ketika memperhatikan sosok berpakaian biru di hada-
pannya. Dia pernah mendengar julukan Malaikat Mata
Satu. Tetapi bagaimana mungkin pemuda yang menu-
rut perhitungannya baru berusia sekitar dua puluh ti-
ga tahun, bersahabat dengan Malaikat Mata Satu yang
berusia sekitar lima puluh tahun? Tetapi, keheranan-
nya tidak diutarakannya. Karena dalam persahabatan
tak mustahil hal itu terjadi.
Dan mendengar keinginan Lima Jalan Darah
untuk membunuh Pendekar Slebor, Dewi Sungai
Bangkai bagai melihat kesempatan emas di depan ma-
tanya. Kini dia pun tahu, kalau Lima Jalan Darah yang
masih muda dan memiliki kesaktian tinggi, ter-nyata
satu golongan dengannya.
"Aku tahu tentang Pendekar Slebor!" cetus si
perempuan tua, tanpa ragu.
"Katakan cepat!" ujar si pemuda mendesis tidak
sabar.
Dewi Sungai Bangkai menceritakan apa yang
baru dialaminya dengan Pendekar Slebor.
"Dia kini telah memiliki pusaka langka yang
ternyata Tasbih Emas Bidadari. Aku pun mempunyai
keinginan yang sama denganmu untuk membunuh-
nya!" ungkap Dewi Sungai Bangkai.
"Bagus, bagus sekali! Malaikat Mata Satu akan
senang bila mendengar pendekar keparat itu telah
mampus di tanganku! Dan aku bisa kembali ke Gua
Seribu Darah!"
Lima Jalan Darah lantas berkelebat ke arah
Dewi Sungai Bangkai. Tangannya bergerak tiga kali.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Aaah...!"
Seketika, totokan jalan darah pada tubuh Dewi
Sungai Bangkai terbuka. Tubuh perempuan tua sesat
itu bukan hanya mengejut, tetapi juga terjungkir di-
sertai teriakan keras. Karena, totokan pembuka itu te-
rasa menyakitkan sekali.
Lima Jalan Darah hanya tersenyum dingin.
"Sekarang, kita cari Pendekar Slebor! Akan ku-
habisi dia dengan jurus 'Lima Jalan Darah'!" kata Lima
Jalan Darah, terdengar memuakkan.
Dewi Sungai Bangkai mengangguk. Nyeri akibat
pembuka totokan yang dilakukan Lima Jalan Darah
masih terasa. Namun diam-diam keningnya berkernyit,
ketika tadi mendengar dari mana asal Lima Jalan Da-
rah.
Gua Seribu Darah, setahu Dewi Sungai Bangkai
adalah tempat kediaman Setan Seribu Darah yang
pernah dikalahkan Penghulu Segala Ilmu puluhan ta-
hun lalu. Kalau memang cerita pemuda ini benar bisa
dipastikan dia adalah murid dari Setan Seribu Darah,
salah satu dedengkot rimba persilatan yang banyak
menurunkan tangan telengas. Namun si perempuan
tua tak mau memikirkan soal itu lagi. Yang terpenting
sekarang, dia merasa memiliki bantuan yang tak terni-
lai dari Lima Jalan Darah untuk menghancurkan Pen
dekar Slebor!
"Hantu Gigi Gading pasti akan senang bila tahu
semua ini," pikirnya. Lalu tubuhnya berkelebat untuk
mengambil tubuh Hantu Gigi Gading yang masih ping-
san.
***
2
Matahari tak henti merangkak naik. Dua anak
muda di bawahnya pun juga tak henti melangkah. Pa-
dahal peluh telah membasahi tubuh. Mereka adalah
seorang pemuda dan seorang gadis.
"Ngomong-ngomong, masih jauhkah Lembah
Matahari itu, Nila?" tanya si anak muda yang berpa-
kaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersam-
pir di bahu. Rambutnya yang gondrong acak-acakan
dipermainkan oleh angin lembut.
"Kita masih membutuhkan waktu sekitar tiga
hari, Kang Andika...," sahut gadis di sebelah si pemu-
da. Wajahnya sangat cantik. Pakaian berwarna putih
dengan ikat kepala berwarna sama. Rambutnya pan-
jang sebahu. Di punggungnya bertengger sebilah pe-
dang berhulu ukiran kepala naga dengan warangka in-
dah.
Sesekali si pemuda yang tak lain Andika alias
Pendekar Slebor melirik Nilakanti. Entah apa arti liri-
kannya. Saat ini mereka sedang menuju Lembah Ma-
tahari. Sesuai amanat Sapta Jingga sebelum ajalnya,
Pendekar Slebor diminta menyerahkan Tasbih Emas
Bidadari, kepada Malaikat Putih Bayangan Maut bila
telah berhasil mendapatkannya. Dan secara tidak ter-
duga buat Andika, ternyata Nilakanti adalah murid dari Malaikat Putih Bayangan Maut. (Baca: "Tasbih Emas
Bidadari").
Andika sebenarnya khawatir terhadap Tasbih
Emas Bidadari yang berada di balik baju hijau pupus-
nya. Karena dia yakin, Dewi Sungai Bangkai yang
membawa lari tubuh Hantu Gigi Gading tak akan ting-
gal diam. Apalagi menurut Nilakanti, mereka masih
membutuhkan waktu sekitar tiga hari lagi untuk tiba
di Lembah Matahari. Padahal, mereka sudah berjalan
selama tujuh hari.
Lain halnya Nilakanti. Bila Andika agak cemas
memikirkan kemungkinan itu, gadis jelita ini nampak
gembira sekali. Kegembiraannya ada dua hal. Pertama,
karena telah menunaikan amanat gurunya untuk
mendapatkan Tasbih Emas Bidadari yang sekarang be-
rada pada Pendekar Slebor. Dan yang kedua, karena
berjalan bersama pendekar gagah perkasa yang ba-
nyak dibicarakan orang. Meskipun pada awal-nya, Ni-
lakanti agak jengkel melihat sikap Andika yang urakan
dan suka berbicara seenak jidatnya saja. Namun, la-
ma-kelamaan dia tahu kalau di balik sikap yang ura-
kan Pendekar Slebor tersimpan kelembutan dan kebi-
jaksanaan berpikir.
Ketika mereka tiba di sebuah desa, tanpa dis-
adari ada empat pasang mata mengawasi dengan pe-
nuh hasrat.
"Ini tak boleh dilewatkan, Gandowoto. Ketua
pasti sangat senang bila gadis itu kita bawa ke hada-
pannya!" kata salah seorang yang terus mengawasi.
Dia adalah seorang lelaki bercodet di pipi kanan.
"Kau benar, Sutaboga!" sahut lelaki yang wa-
jahnya banyak ditumbuhi jerawat. "Ketua akan mem-
berikan uang yang banyak untuk kita."
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu?" tukas
lelaki yang berkulit sangat hitam.
"Tunggu, Jatilangor!" cegah lelaki yang bercam-
bang bauk. Kau dan yang lain urus pemuda itu. Dan
aku urus bunga jelita itu.
Diselingi pembicaraan ringan, Pendekar Slebor
dan Nilakanti terus melangkah. Namun tiba-tiba lang-
kah mereka terhenti ketika tahu-tahu Andika sudah
berkelebat sambil menarik tangan Nilakanti. Terpaksa
gadis itu mengikutinya.
"Brengsek! Ada apa sih? Main pegang semba-
rangan!" maki Nilakanti di balik semak.
Andika cuma mengangkat kedua alisnya yang
hitam legam bak kepakan sayap elang
"Tidak apa-apa, kok. Aku hanya ingin meme-
gang lenganmu saja."
"Hhh! Menyesal aku berjalan bersamamu!"
"Ssstt!"
Nilakanti jadi terdiam mendengar desisan Andi-
ka. Dia melihat dari celah semak-semak tempat empat
orang laki-laki bersenjata parang besar di pinggang se-
dang celingukan.
"Siapa mereka, Kang Andika?"
"Lho? Kok malah tanya aku? Kalau aku tahu,
mengapa aku harus mengajakmu ke balik semak-
semak ini."
Keempat laki-laki yang sedang celingukan itu
memperhatikan sekelilingnya.
"Edan! Aku yakin tadi mereka berada di sini,"
rutuk lelaki bercambang bauk yang dipanggil Gando-
woto.
"Ya! Tetapi ke mana mereka?" lelaki berkulit
sangat hitam yang bernama Jatilangor.
"Bunga itu jangan sampai lolos! Ini kesempatan
emas untuk kita!" seru lelaki berwajah penuh jerawat.
Di balik kerimbunan semak, keisengan Andika
timbul lagi.
"Mereka mencarimu, Nila."
"Brengsek!" maki Nilakanti.
"Lho? Kok marah? Baiknya kau temui mereka
saja. Siapa tahu kau berjodoh dengan salah seorang
dari mereka?"
"Kang Andika ini! Menggoda saja! Tanganku ja-
di gatal untuk membunuh mereka!"
"Kenapa memangnya? Mereka tampan-tampan,
lho! Mungkin monyet buduk kalah tampan dengan me-
reka!"
Nilakanti melotot pada Andika.
"Diam tidak?! Nanti ku cubit pinggangmu ke-
ras-keras!"
Andika nyengir kuda. Dan kuda pun pasti ka-
lah tampan dengan Andika bila sedang nyengir seperti
ini.
"Kalau kau tidak mau menjadi jodoh salah seo-
rang dari mereka, kita tinggalkan saja tempat ini," su-
sul Andika.
"Tidak, aku ingin memberi pelajaran pada
orang-orang kurang ajar itu!" tegas si gadis.
Andika merasa keputusan Nilakanti hanya
buang-buang waktu saja. Karena, mereka harus segera
tiba di Lembah Matahari.
"Tidak usah. Biar saja. Toh kita..., hei!"
Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal dan ber-
ganti keterkejutan saat tubuh Nilakanti sudah melesat
ke depan.
***
Gandowoto dan tiga orang temannya terbahak-
bahak begitu Nilakanti berdiri di hadapan mereka.
"Rupanya gadis ini mengerti maksud kita! Nona
manis..., apakah kau bersedia kami persembahkan
pada Ketua?" kata Jatilangor, menyeringai memua-
kkan.
"Manusia-manusia berotak kotor! Tinggalkan
tempat ini. Atau, nyawa kalian akan putus!" bentak Ni-
lakanti.
"Luar biasa sekali! Dia galak! Dan aku yakin,
dia pun liar di ranjang! Ketua pasti akan senang men-
dapat hidangan istimewa seperti ini!" sahut Jatilangor.
"Ke mana pemuda urakan yang tadi berjalan bersa-
mamu? Apakah kau sudah sadar kalau pemuda itu ti-
dak cocok untukmu?"
Tiba-tiba saja tubuh Nilakanti berkelebat cepat.
Lalu....
Plak!
Tubuh Jatilangor terhuyung ke belakang den-
gan mulut berdarah. Entah bagaimana melakukannya,
Nilakanti tahu-tahu sudah menampar mulut kurang
ajar itu.
Meradanglah Jatilangor. Parangnya langsung
diloloskan. Dan dikawal gerengan keras, tubuhnya me-
lesat ke arah Nilakanti. Namun yang dihadapinya ada-
lah murid tunggal Malaikat Putih Bayangan Maut. Da-
lam satu liukan tubuh ditambah kibasan tangan
Desss...!
Tubuh Jatilangor kontan terjatuh ke belakang.
Begitu mencium tanah, dia tak bangkit-bangkit lagi.
Melihat hal itu, kawan-kawan lelaki itu segera
bergerak mengurung Nilakanti dengan parang besar
siap dikibaskan.
Di balik semak, Andika menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Wah.... Jadi panjang urusannya. Bisa lebih
lama tiba di Lembah Matahari!"
Andika pun keluar dari balik semak. Diperhati-
kannya Nilakanti yang sedang diserang tiga bilah parang besar.
Namun hanya sekali berkelebat gadis jelita ber-
baju putih itu dengan mudah menjatuhkan lawan-
lawan. Yang tersisa kini hanya Gandowoto. Itu pun
nyalinya sudah tampak ciut. Kegarangannya telah hi-
lang tepat ketika ketiga sahabatnya berjatuhan.
Lelaki ini segera berbalik, langsung mengambil
langkah seribu. Nilakanti bermaksud mengejar. Na-
mun....
"Tidak usah dikejar! Kita harus melanjutkan
perjalanan!" seru Andika, mencegah gadis itu.
Nilakanti memang tidak mengejarnya, dan sege-
ra mengikuti langkah Pendekar Slebor.
***
3
Dengan membawa luka berdarah di pahanya,
Gandowoto tiba di sebuah bangunan yang sudah run-
tuh bagian sisinya. "Ketua! Ketua!" teriaknya.
Satu sosok tubuh berpakaian hitam yang du-
duk di undakan bangunan rusak itu berkelebat cepat
"Gandowoto! Ada apa?"
"Dewi..., aku..., aku...."
Tubuh Gandowoto sempoyongan. Sementara
sosok berpakaian hitam yang mengeluarkan bau bu-
suk itu segera menangkapnya. Lalu ditotok luka di pa-
ha lelaki itu, agar darah tak keluar lagi. Dan secepat-
nya dijejalinya mulut Gandowoto dengan obat pulung.
Dengan gerakan ringan, sosok berpakaian hitam ini
membawa Gandowoto ke dalam.
Tak sepeminum teh kemudian, Gandowoto me-
rasakan kesehatannya membaik.
"Ceritakan, apa yang terjadi?" ujar sosok ber-
pakaian hitam yang tak lain Dewi Sungai Bangkai.
Dengan terpatah-patah, Gandowoto bercerita.
Dewi Sungai Bangkai mendengarkan dengan seksama.
"Gadis itu bersama pemuda berbaju hijau pupus dan
mempunyai kain bercorak catur pada bahunya! Jelas
dia Pendekar Slebor!" sentak si perempuan tua.
"Begitulah, Dewi...."
"Rupanya pendekar keparat itu berada di sini!"
Pintu kamar bangunan rusak itu terbuka. Satu
sosok tubuh tegap keluar sambil memakai bajunya
yang berwarna biru menyala.
"Di mana Pendekar Slebor itu berada?!"
"Dia..., bersama gadis yang bernama Nilakan-
ti.., bergerak ke arah selatan...," sahut Gandowoto, ta-
kut-takut.
"Kita kejar mereka, Dewi Sungai Bangkai!" seru
pemuda berbaju biru menyala yang tak lain Lima Jalan
Darah.
"Apakah tidak kita tunggu Hantu Gigi Gading
yang sudah dua hari ini berkeliaran mencari Pendekar
Slebor!"
"Orang tua setan! Kau berani membantahku,
hah?!" bentak Lima Jalan Darah, keras sekali.
Saat yang sama terdengar pula suara gemuruh
di belakang bangunan itu. Rupanya bangunan itu run-
tuh karena getaran yang sangat kuat dari suara Lima
Jalan Darah.
"Persetan dengan Hantu Gigi Gading yang bo-
doh itu! Kita susul mereka! Gandowoto! Kau buang
mayat gadis yang mampus di kamarku!"
Lalu tanpa berkata lagi, Lima Jalan Darah su-
dah berkelebat. Sementara, Dewi Sungai Bangkai yang
tak bisa berkata apa-apa segera menyusul.
Gandowoto yang sejak tadi membungkuk, kini
berdiri. Perlahan-lahan kakinya melangkah ke kamar
di mana Lima Jalan Darah tadi keluar. Tampak sosok
tubuh bertelanjang bulat di sana. Dia tahu, gadis yang
memiliki tubuh menggiurkan itu sudah mati.
Perlahan-lahan lelaki ini mengangkat mayat
gadis itu. Dan begitu tubuh indah meskipun sudah
menjadi mayat itu tersentuh tangannya, tiba-tiba saja
gairahnya timbul. Direbahkannya kembali sosok itu
dan dipandanginya dengan mata berkilat-kilat.
Tepat ketika Gandowoto menindih tubuh kaku
itu....
"Aaah...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan si lelaki yang
keras setinggi langit. Tubuhnya bergetar dan menda-
dak saja tersentak jatuh ke lantai. Sebentar dia mele-
jang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi dengan mulut
mengeluarkan darah.
Di satu lain, Lima Jalan Darah tersenyum din-
gin.
"Kau tak berguna lagi, Gando. Maka hadiah
yang kau terima adalah kematian," desisnya.
***
"Maafkan aku, Sayang.... Gara-gara aku, hi-
dupmu tidak tenang. Oh.... Aku menyesal semua ini.
Hidup kita sudah enak tinggal di Gunung Kabut. Na-
mun, manusia-manusia laknat itu memporakporanda-
kannya. Percayalah, Sayang.... Sakit hatimu akan ku-
balas."
Malam yang begitu pekat dan kering, dipecah-
kan oleh suara bernada geram yang terdengar dari atas
sebuah pohon. Angin yang berhembus dingin memba-
wa suara itu hingga jauh.
"Percayalah, Sayang. Semuanya akan kuakhiri
hingga kau bisa tenang dan tidak sakit hati lagi."
Di atas pohon tak terlalu tinggi, satu sosok ber-
tubuh kerempeng bertengger. Wajah jeleknya makin
buruk saja ketika mengeluh begitu. Di tangannya yang
nyaris tinggal tulang saja, tergenggam sebuah bungku-
san yang nampak sangat disayanginya sekali. Rambut
panjangnya yang acak-acakan dipermainkan angin.
"Aku tak sabar untuk membalaskan sakit hati-
mu itu, Sayang. Nenek peot yang berjuluk Dewi Sungai
Bangkai harus mampus," lanjut si tubuh kurus seperti
berbicara pada bungkusan di tangannya.
Siapakah dia? Kalau melihat tampangnya, dia
tak lain dari si Hantu Jantan, salah seorang dari Sepa-
sang Hantu Neraka yang mendiami Gunung Kabut.
Kenapa dia bicara pada bungkusan di tangannya? Ka-
rena isi bungkusan itu adalah kepala kekasihnya yang
berjuluk si Hantu Betina yang meninggal karena sakit.
Entah bagaimana mulanya, yang pasti kepala kekasih-
nya itu selalu berada di dalam bungkusan yang diba-
wa. Dan anehnya, meskipun sudah berbulan-bulan,
potongan kepala itu tak mengeluarkan bau busuk se-
dikit pun.
Saat ini si Hantu Jantan telah meninggalkan
Gunung Kabut. Dia begitu marah besar pada Dewi
Sungai Bangkai yang telah menendang lepas kepala si
Hantu Betina dari tangannya. Kemarahannya tak da-
pat ditahan lagi. Dia bertekad untuk membalas semua
ini (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Tasbih Emas
Bidadari").
"Sayangku.... Meskipun aku telah bersumpah
tidak akan membunuh, tetapi akan ku langgar sum-
pahku itu. Maafkan aku. Dendamku pada Dewi Sungai
Bangkai mengalahkan semua ini. Tetapi aku yakin,
kau pasti setuju dengan keinginanku ini, bukan?" kata
si Hantu Jantan lagi dengan tatapan penuh kasih
sayang pada bungkusan yang berisi kepala si Hantu
Betina.
Tiba-tiba lelaki kurus ini mengerutkan kening-
nya. Telinganya dipertajam.
"Apa yang kau katakan? Oh? Aku tak perlu
membunuh Dewi Sungai Bangkai? Baik, baik.... Akan
kulakukan untukmu. Ah, ya, ya.... Kau benar, Sayang-
ku. Aku telah bersumpah. Tetapi, bila ku patah-
patahkan tulang-belulangnya dan kubuat cacat pe-
rempuan tua setan itu, apakah kau mengizinkan?" de-
sis si tua ini, lalu tertawa. "Terima kasih, Sayangku....
Terima kasih atas persetujuanmu."
Pembicaraan seperti itu bukanlah hal yang
aneh bagi si Hantu Jantan. Dia seolah bisa mendengar
kata-kata kekasihnya lewat potongan kepala itu.
"Apa kau bilang? Pendekar Slebor? Ah! Biarkan
saja pemuda urakan itu pergi, Sayangku. Oh, maaf....
Aku tak bermaksud membuatmu luka. Ya, ya.... Apa
yang kau inginkan? Oh?! Lembah Matahari? Di mana
lembah itu berada? Nah! Kau sendiri tidak tahu. Aku
juga. Apa kau bilang? Dewi Sungai Bangkai akan bera-
da di sana juga? Hhh! Bagus! Kalau begitu, aku akan
segera ke sana! Tetapi, apakah kau tidak ingin beristi-
rahat dulu? Ya, ya.... Aku tahu, kau kuat menahan
kantuk. Baiklah.... Kalau begitu, aku akan segera
mencari tempat yang bernama Lembah Matahari. Teta-
pi, bukanlah sahabat kita Malaikat Putih Bayangan
Maut mendiami tempat seperti itu? Kalau begitu, seka-
lian berkunjung ke tempatnya, meskipun aku tak tahu
di mana Lembah Matahari berada."
Sehabis berkata demikian, si Hantu Jantan
mencelat. Bukan turun, melainkan berkelebat dari sa-
tu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Gerakannya
begitu cepat sekali. Bahkan tak terdengar suara geme-
resek sedikit pun ketika sepasang kaki kurusnya menginjak dahan pohon yang dijadikan sebagai tumpuan
loncatan.
***
4
Matahari makin menampakkan kegarangannya.
Sinarnya sudah cukup membuat kulit jadi hitam ber-
simbah peluh. Apalagi di daerah tandus yang tengah
dilewati satu rombongan berkuda sejauh mata me-
mandang hanya bukit-bukit tandus berbatu. Belum la-
gi angin nakal yang mengangkat debu-debu ke udara
kadang main sembunyi saja di mata. Tanah memang
sangat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak
membasahinya.
Berkuda paling depan seorang lelaki gagah ter-
bungkus baju putih. Di dadanya berselimpang kain
berwarna merah. Wajahnya kokoh dihiasi cambang
dan kumis tipis. Di punggungnya terdapat dua bilah
pedang yang bersilang.
Di belakangnya dua orang lelaki gagah men-
dampingi seorang gadis cantik yang menunggang kuda
putih. Di belakang si gadis, berjalan sekitar lima orang
lelaki bersenjata tombak. Dua orang dari mereka
menggotong tiga ekor babi hutan dan sepuluh ekor ke-
linci.
Mereka adalah pasukan Kadipaten Karanga-
nyar yang saat ini baru saja pulang mengantarkan pu-
tri sang Adipati setelah tiga hari berburu di Hutan Pa-
naran.
Mawar Wangi adalah satu-satunya putri dari
Adipati Ramada, penguasa di Kadipaten Karanganyar.
Adipati Ramada sangat menyayangi putrinya yang
memiliki kegemaran berburu. Dan putrinya selalu di-
izinkan bila hasrat untuk berburu muncul.
Namun sudah barang tentu, Mawar Wangi tak
dibiarkan pergi seorang diri.
Mawar Wangi sebenarnya jengkel dikawal terus-
menerus. Dia ingin sekali bisa pergi berburu seorang
diri tanpa harus dijaga dan diperhatikan. Akan tetapi,
apa yang dikatakan ayahnya tak bisa ditolak. Karena
bila menolak, maka hasratnya untuk berburu akan
terpendam dan berubah menjadi kekesalan meman-
jang.
Selagi si gadis bersungut-sungut dalam hati ka-
rena rombongan bergerak sangat pelan, tiba-tiba saja
kuda-kuda di depannya berhenti.
"Ada apa, Paman Subali?" tanyanya. Panas
yang menyengat membuat kulitnya yang putih agak
memerah. Pakaian ringkasnya yang berwarna kuning
tampak sudah agak kucal. Busur yang dipergunakan
untuk berburu tadi tersampir di bahunya.
"Tidak ada apa-apa, Den Mawar," sahut lelaki
paling depan yang bernama Subali.
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa berhenti?
Ayo, cepat! Sudah panas sekali! Jalan kok seperti pen-
gantin!" dengus Mawar Wangi.
Benaknya langsung membayangkan alangkah
enaknya bila pergi seorang diri. Dan sejak tadi ku-
danya sudah digebah menuju kadipaten. Dan sekarang
ini, langkah kudanya seperti satu-satu. Menjengkel-
kan!
Pertanyaan Mawar Wangi langsung terjawab ke-
tika matanya menemukan jawabannya. Di sebuah batu
besar sejauh sepuluh tombak tampak seorang lelaki
tinggi besar sedang duduk enak-enakan. Kulitnya yang
hitam semakin terbakar matahari. Namun kelihatan-
nya dia tak peduli. Wajahnya begitu mengerikan. Terutama, tatapan matanya yang memperhatikan rombon-
gan Mawar Wangi.
"Apanya yang aneh dengan orang jelek seperti
itu? Biarkan saja!" makinya dalam hati.
Sementara Subali yang telah banyak makan
asam garam kehidupan melangkahkan kudanya penuh
waspada. Ketika laki-laki berpakaian hitam itu terlewa-
ti, tampak kalungnya yang berbentuk taring dari gad-
ing di lehernya.
Subali menarik napas pendek. Hatinya merasa
tenang sekarang. Karena, sebenarnya sudah lama ke-
pala rombongan ini mendengar adanya gerombolan pe-
rampok yang suka menghadang dan menjarah pada
rombongan atau penjual yang melewati tempat tandus
ini. Dan kehadiran laki-laki berbaju hitam yang tahan
duduk di bawah sinar matahari cukup membuatnya
berhati-hati.
Akan tetapi, hanya sesaat saja ketenangannya.
Karena tiba-tiba....
"Hentikan perjalanan kalian! Aku menginginkan
gadis itu!"
Terdengar bentakan keras bersamaan dengan
satu sosok tubuh melesat, dan hinggap di depan rom-
bongan itu dengan kedua kaki terbuka.
***
Subali menggeram pendek. Matanya tajam me-
natap lelaki berbaju hitam berwajah mengerikan di de-
pannya. Sementara Mawar Wangi memandang tajam si
lelaki berkalung taring itu.
"Kau menginginkan gadis itu? Apakah kau ti-
dak tahu siapa dia? Hati-hati bicara, Pak Tua. Dia ada-
lah putri Adipati Ramada!" desis Subali penuh perba-
wa. Dan dia yakin manusia ini adalah perampok yang
sering dibicarakan orang. Kalau begitu, sudah tentu ti-
dak sendiri. Akan tetapi, Subali tidak melihat tanda-
tanda kalau lelaki besar itu datang bersama gerombo-
lannya. Untuk bersembunyi di balik bukit-bukit, sudah
tentu tidak mungkin. Karena selain jaraknya cukup
jauh, juga panas yang akan membakar kulit mereka.
"Persetan dengan segala macam adipati! Jangan
membuatku terlalu lama menunggu! Serahkan gadis
itu!" bentak lelaki tinggi besar itu garang. Tatapannya
mengandung ancaman mengerikan. "Atau..., kuambil
dia secara paksa!"
Subali tak mau banyak bicara. Dari atas ku-
danya, dia mencelat. Di udara dua bilah pedangnya di-
loloskan, lalu dikebutkan ke arah lelaki berkalung tar-
ing.
"Setan keparat! Kau senang cari penyakit ru-
panya!"
Si lelaki tinggi besar terbahak-bahak melihat-
nya. Lima jengkal serangan akan sampai, tubuhnya
dibuang ke kiri. Bersamaan dengan itu kaki kirinya
melepas tendangan cepat yang sukar dilihat.
Buk!
Tubuh Subali kontan terlempar sejauh dua
tombak ke samping dengan pinggang bagai terasa pa-
tah. Melihat hal itu, dua orang pengawal berkuda sege-
ra menggebrak kudanya. Begitu dekat, keduanya me-
lompat dan melesat ke arah si lelaki berkalung taring
sambil membabatkan pedangnya.
Wuut!
Wuutt!
"Kalian lancang bersikap pada Hantu Gigi Gad-
ing!" leceh lelaki yang ternyata Hantu Gigi Gading
sambil tertawa mengejek. Sudah beberapa hari ini dia
tengah menjalankan perintah Lima Jalan Darah untuk
mencari Pendekar Slebor.
Sekali tubuh Hantu Gigi Gading berkelebat,
dua pengawal kontan terjungkal dengan leher patah.
Terkejutnya lima pengawal bersenjata tombak
melihat dua pengawal berkuda roboh hanya sekali ge-
brak. Namun tanpa mengendorkan semangat, mereka
berlari mengurung Hantu Gigi Gading.
Sedangkan Mawar Wangi sendiri menggeram
marah. Dia bukanlah gadis pengecut. Disambarnya
busur dan sarung anak panahnya, lalu melompat tu-
run.
"Mawar! Kau tetap di sini!" cegah Subali, yang
menjadi tegang.
"Tidak! Manusia keparat itu telah membunuh
Paman Lingga dan Paman Sanur!" sergah si gadis.
Sementara itu Hantu Gigi Gading terbahak-
bahak begitu melihat Mawar Wangi.
"Manis.... Rupanya kau sudah tidak sabar me-
nunggu kakangmu...."
"Lelaki berotak kotor! Rasakan panahku ini!"
Dalam keahlian memanah, Mawar Wangi bukan
anak kemarin sore. Adipati Ramada telah membayar
dua orang guru untuk mengajarkan putrinya mema-
nah. Dua buah anak panah langsung dipasang Mawar
Wangi. Dan....
Siing! Siingngng!
Hantu Gigi Gading terbahak-bahak saja meli-
hatnya. Sejengkal lagi anak-anak panah mencium sa-
saran, tangannya diangkat.
Trak! Trak!
Dua buah anak panah itu terbelah menjadi
empat. Dan anehnya, potongan empat anak panah itu
justru melesat pada empat orang pengawal yang ber-
tombak. Mereka terkejut dan tak sempat mengelak.
Akibatnya....
Cras! Crab!
Keempat pengawal kontan roboh dengan jan-
tung tertusuk patahan anak panah. Kejap itu juga me-
reka tewas.
Mawar Wangi bertambah geram. Subali yang
menyadari kemungkinan bahaya yang tak bisa dielak-
kan melompat mendekati Mawar Wangi.
"Tinggalkan tempat ini! Cepat, Mawar!" ujar
Subali.
Sementara sisa satu pengawal bertombak men-
coba bertindak nekat. Dengan keberanian yang dipak-
sakan dia maju sambil menusukkan tombak ke arah
Hantu Gigi Gading.
Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya,
Hantu Gigi Gading berhasil menghindarinya. Lantas
tangannya bergerak cepat merampas tombak. Dan
hanya sekali putar saja, tombak itu telah menancap di
perut si pengawal.
"Menyenangkan sekali! Sebelum aku menemu-
kan Pendekar Slebor, aku akan menikmati hidangan
manis ini!"
Tiba-tiba Hantu Gigi Gading menderu ke arah
Mawar Wangi. Namun Subali telah menghalanginya
dengan sepasang pedang.
Wuut! Wuuut!
Hantu Gigi Gading terpaksa mengurungkan
niatnya menangkap Mawar Wangi. Akibatnya kemara-
han si lelaki bertubuh besar ini menjadi berlipat gan-
da. Tiba-tiba saja tangannya mengibas.
Wuuss!
Subali terkejut. Segera tubuhnya dibuang ke
tanah ketika dirasakannya angin panas menderu hebat
ke arahnya.
Duar!
Pasir berdebu yang panas mencelat ke atas begitu pukulan jarak jauh Hantu Gigi Gading menghantam. Sementara Subali telah bergulingan dan cepat
berdiri tegak. Tak menghiraukannya betapa panasnya
debu-debu yang menempel di tubuhnya.
"Mawar! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat!" te-
riak Subali.
"Kau sendiri bagaimana, Paman?" tukas Mawar
Wangi.
"Jangan hiraukan aku! Cepat!" teriak Subali
sambil mendorong tubuh Mawar Wangi naik ke ku-
danya. "Cepat, Mawar! Cepat!"
Mawar Wangi hanya mengangguk. Begitu bera-
da di atas kudanya dia berbalik. Matanya masih sem-
pat melihat Hantu Gigi Gading memburunya. Namun,
tiba-tiba dihalangi Subali.
"Setan!" maki Hantu Gigi Gading muak. Hanya
sekali bergerak, tubuh Subali terpental dengan seluruh
tulang terasa patah. Setelah muntah darah, dia pun
ambruk dengan nyawa melayang.
Sementara Hantu Gigi Gading sudah berkelebat
menyusul Mawar Wangi yang melarikan kudanya bagai
dikejar setan
***
5
Mawar Wangi terus melesat cepat bersama ku-
da putihnya. Apa yang dialami barusan benar-benar
membuat nyalinya ciut. Terbayang di benaknya bagai-
mana orang-orang yang mengawalnya harus mati di
tangan lelaki berkalung taring berjuluk Hantu Gigi
Gading secara mengenaskan. Belum lagi Subali. Masih
sempat dilihat pengawal pribadinya roboh dengan tubuh penuh darah.
Mawar Wangi memacu kudanya ke arah perbu-
kitan. Karena, dari sana dia bisa memotong jalan me-
nuju kadipaten. Namun sebelum tiba di perbukitan
yang cukup tandus itu, tiba-tiba saja dia tersentak. Ta-
li kekang ditariknya kuat-kuat, membuat kaki depan
kudanya terangkat disertai ringkikan keras.
Di depannya, Hantu Gigi Gading telah berdiri
dengan kedua kaki terbuka. Sepasang mata tajamnya
bersorot mengerikan, membuat jantung si gadis sea-
kan mau copot. Seringainya membuat hati jadi berge-
tar.
"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tangan-
ku, Manis!" desis Hantu Gigi Gading.
Wajah cantik Mawar Wangi menjadi pucat. Ke-
palanya celingukan bagai anak ayam kehilangan in-
duk, seolah tak tahu harus berbuat apa. Hanya mu-
lutnya yang mengeluarkan suara tergagap. Apalagi me-
lihat lelaki itu perlahan-lahan mendekatinya.
Tergesa-gesa dan kecemasan yang berbalur
menjadi satu, Mawar Wangi memutar kudanya. Tetapi
anehnya, kudanya tak mampu bergerak dari tempat-
nya meskipun pinggulnya sudah ditepuk-tepuk.
"Ayo, jalan! Jalan!"
"Sudah kukatakan, kau akan menjadi milikku!"
Dikawal suara tawa terbahak-bahak tubuh
Hantu Gigi Gading tiba-tiba saja melesat ke arah Ma-
war Wangi.
Wuss! Tap!
"Auuu...!"
Mawar Wangi tergagap. Dia berteriak keras ke-
tika tangan penuh bulu itu menyambar tubuhnya. Se-
bisanya dia meronta-ronta sambil memukuli punggung
si lelaki. Namun Hantu Gigi Gading hanya terbahak-
bahak saja. Pukulan itu dianggapnya hanya bagai elusan saja.
"Lakukan sepuasmu, Manis.... Karena sebentar
lagi, kau tak akan mampu melakukannya," susul Han-
tu Gigi Gading, melecehkan.
""Lepaskan aku, Keparat! Lepaskan!" teriak
Mawar Wangi kalap.
Hantu Gigi Gading semakin mengumbar tawa
keras. Mendadak kakinya menyepak sebuah kerikil
hingga langsung meluncur ke arah kuda yang kaku.
Tuk!
Kuda yang tadi ditotok dengan gerakan sangat
cepat pun terbebas. Begitu terbebas dari totokan, kuda
itu meringkik dan berlari kencang tak tentu arah.
"Menyenangkan sekali. Sebelum kulanjutkan
untuk mencari Pendekar Slebor..., ada baiknya berse-
nang-senang dulu."
Dibawanya tubuh Mawar Wangi ke arah jalan
setapak menuju sebuah hutan. Sedangkan si gadis
hanya mampu berteriak dan memukuli punggung si le-
laki. Akan tetapi, baru saja Hantu Gigi Gading melang-
kah lima tindak, tiba-tiba saja melesat satu sosok
bayangan ke arahnya disertai deru angin keras.
Hantu Gigi Gading terperangah. Lebih terpe-
rangah lagi ketika mendadak tubuhnya terasa berge-
tar. Tangannya yang memanggul Mawar Wangi terle-
pas. Dan tubuh gadis itu pun lenyap dari punggung-
nya.
"Setan Alas! Siapa kau?!" bentaknya setelah
mengalirkan tenaga dalam untuk menghentikan geta-
ran tubuhnya.
Seorang pemuda berpakaian hijau pupus den-
gan sehelai kain bercorak catur tertawa-tawa menden-
gar bentakan Hantu Gigi Gading. Di bahunya tergolek
tubuh Mawar Wangi. Wajah si gadis bertambah pucat
saja.
"Apakah kau sudah lupa padaku, Hantu Gigi
Gading?" sapa si pemuda yang tak lain Pendekar Sle-
bor. "Kalau aku sih, tak pernah lupa dengan gigimu
yang penuh jigong itu."
Hantu Gigi Gading menggeram dengan kedua
tangan terkepal.
"Keparat! Kau akan mampus kali ini, Pendekar
Slebor!"
"Apakah kau mampu menghadapinya, hah?!"
Mendadak terdengar satu suara dari belakang. Cepat
tanggap, si lelaki kasar itu membalikkan tubuhnya.
Dia terbahak-bahak begitu melihat Nilakanti telah ber-
diri dengan tatapan sengit.
"Tak mendapat gadis itu, biarlah. Asal kau se-
bagai gantinya!" oceh Hantu Gigi Gading.
"Setan laknat! Ku sobek mulutmu!"
Gadis berpakaian putih itu melesat laksana ki-
lat. Di tangannya telah terangkum tenaga dalam tinggi.
Angin lesatannya membawa hawa panas yang bisa jadi
akan mengeritingkan bulu-bulu di tubuh Hantu Gigi
Gading.
Si lelaki sadar, tingkat kepandaian gadis ini
hampir setara dengannya. Maka dia pun tak mau ber-
tindak ayal-ayalan. Tubuhnya pun melesat, menerjang
dengan dahsyat.
Buuum...!
Dua tenaga dalam kuat berbenturan. Terdengar
suara ledakan, ketika dua sosok tubuh terpental ke be-
lakang.
Nilakanti memegang dadanya yang terasa nyeri.
Matanya memandang Hantu Gigi Gading yang mengge-
ram murka ketika dari pelipisnya mengalir darah.
"Perempuan sialan! Aku tak akan mengampu-
nimu lagi!" dengus si lelaki, seraya mengempos seman-
gatnya. Seketika itu juga tubuhnya meluruk.
Pada saat yang sama, Nilakanti pun tak tinggal
diam. Secepatnya dia berkelebat melayani. Tak dapat
dihindari lagi, pertempuran sengit pun berlangsung.
Satu sama lain saling ingin mengalahkan. Terutama,
Hantu Gigi Gading. Dia masih merasa beruntung ber-
tarung dengan Nilakanti daripada menghadapi Pende-
kar Slebor. Karena dia tahu, kepandaiannya tak jauh
berbeda dari si gadis.
Lima belas jurus sudah berlalu. Dan masing-
masing telah terluka. Di tempatnya, Pendekar Slebor
cuma mendesah pendek. Sebenarnya dia berkeinginan
menolong Nilakanti. Akan tetapi jiwa kependekarannya
tidak mengizinkan. Baginya, hanya orang-orang curan-
glah yang mengeroyok, padahal pertarungan berjalan
seimbang. Makanya, Nilakanti dibiarkan saja mengha-
dap Hantu Gigi Gading. Dan hati kecilnya pun yakin,
murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu akan mampu
menguasai pertarungan.
Sementara Mawar Wangi yang sudah agak te-
nang dan kini berdiri di samping Andika, diam-diam
menghela napas lega. Dia ngeri sekali melihat perta-
rungan maut di hadapannya. Meskipun tak mengenal
siapa muda-mudi yang menolongnya, namun dalam
hati berterima kasih sekali.
Perhitungan si pemuda urakan yang otaknya
tergolong encer itu agaknya tak berlebihan. Dalam ju-
rus berikutnya dia melihat Nilakanti sudah meloloskan
pedangnya. Gebrakan selanjutnya si gadis sudah men-
guasai pertarungan.
Namun Hantu Gigi Gading pun tak mau begitu
saja dijadikan sasaran pedang. Dia harus hertindak
hati-hati oleh tajamnya pedang dan sinar putih menyi-
laukan mata yang keluar dari mata pedang.
Bum! Bum!
Setiap kali sinar putih melesat dan menghan-
tam ruang kosong, selalu menimbulkan ledakan keras.
Debu-debu langsung terangkat naik menghalangi pan-
dangan. Tanah yang jadi sasaran seketika membentuk
lubang.
"Gadis ini benar-benar tangguh!" dengus Hantu
Gigi Gading.
Cepat Hantu Gigi Gading melenting ke samping
untuk menghindari sinar putih ke arahnya. Begitu
menjejak tanah, digosoknya kalung taring gading den-
gan mulut komat-kamit.
Set!
Tiba-tiba saja melesat sinar hitam menggidik-
kan ke arah Nilakanti. Si gadis melompat mundur
sambil mengibaskan pedangnya. Seketika sinar putih
kembali melesat, memapak.
Duaaar!
Tegangnya pertarungan, kembali dibuncah le-
dakan dahsyat ketika dua sinar itu beradu di udara.
Hantu Gigi Gading terpental dan jatuh keras di tanah.
Sedangkan Nilakanti hanya terjajar beberapa langkah.
Si gadis agaknya tak menyia-nyiakan kesempa-
tan. Berikutnya, dia sudah menerjang dengan jurus
andalan, 'Kibas Pedang Mengambil Tenaga Lawan'.
Si lelaki bertubuh besar ini cepat bangkit, un-
tuk melayani serangan.
Dua jurus kemudian Hantu Gigi Gading merasa
tenaganya semakin lama semakin terkuras. Akibatnya,
keadaannya pun melemah.
Malah seketika si gadis membabatkan pedang-
nya secara menyilang....
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Pedang di tangan Nilakanti tahu-tahu telah
membabat kutung kedua lengan Hantu Gigi Gading.
Darah pun bersimbah. Tubuh Hantu Gigi Gading ter-
huyung ke belakang, lalu jatuh ke tanah.
Sementara Andika menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut memang
tak bisa dianggap enteng. Luar biasa," pujinya.
Saat itu Nilakanti sedang memasukkan pe-
dangnya ke dalam warangka. Didekatinya Hantu Gigi
Gading yang bergulingan ke sana kemari. Darah yang
keluar semakin banyak. Lukanya bertambah perih saja
ketika terkena debu-debu panas. Jeritannya memba-
hana bagai memecah langit.
"Kau masih beruntung karena aku tidak mem-
bunuhmu, Manusia Setan! Lekas pergi dari sini!" desis
si gadis.
"Bunuh aku! Bunuh aku, Keparat!" rutuk Han-
tu Gigi Gading.
Nilakanti tersenyum.
"Rasakanlah bagaimana sakitnya luka diderita.
Hal itu pun dialami orang-orang yang pernah kau sik-
sa!" kata si gadis, lalu menoleh pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika! Akan ke manakah kita sekarang ini?"
"Kalau kau mau bermalam di sini, ya silakan.
Aku tak melarangmu, kok," sahut si pemuda, seenak-
nya. Nilakanti mendengus.
"Tetapi bagaimana dengan gadis itu?" susul si
gadis, seraya memandang Mawar Wangi yang sedang
berdiri dengan wajah pucat.
"Soal gadis, akan selalu jadi urusanku. Akulah
jagonya.... He he he.... Tapi, masa' ya sih kau tega
mendahuluiku ke Lembah Matahari?"
Nilakanti terdiam. Tetapi sejurus kemudian ma-
tanya melotot ketika Andika mengedipkan mata ki-
rinya.
"Genit!"
Sementara itu Mawar Wangi tampaknya sema-
kin tegang dengan apa yang dialaminya. Ditariknya
napas panjang.
"Maukah kalian kuajak ke rumah?" tanya gadis
ini tergagap.
"Siapa namamu?" tanya Andika. Lagaknya sok
menjadi Dewa Pelindung. Dan ini membuat Nilakanti
mencibir.
"Mawar.... Mawar Wangi."
"Nama yang bagus sekali," puji Andika, lalu
menoleh pada Nilakanti. "Nila, sebaiknya kita antar du-
lu gadis ini ke rumahnya," susulnya sok berwibawa.
Nilakanti cuma mengangkat bahunya. "Terse-
rah kau saja."
Lalu tanpa menunggu jawaban Andika, murid
Malaikat Putih Bayangan Maut itu sudah melangkah
mendahului.
"Hei! Apakah kau tahu jalan menuju rumah ga-
dis ini?" tanya Andika. Si pemuda tak mengerti menga-
pa Nilakanti seperti tegang begitu.
"Masa bodoh! Toh ada gadis itu bila aku salah
jalan!" jawab Nilakanti seenaknya, tanpa menoleh se-
dikit pun.
Andika yang menggaruk-garuk kepalanya seka-
rang dan bersama Mawar Wangi dia melangkah mengi-
kuti.
"Kutu kupret! Kok jadi begini urusannya?" maki
Andika dalam hati.
Tetapi kemudian otak encer si pemuda segera
menemukan jawabannya. Nilakanti pasti tidak setuju
kalau mereka mengantarkan gadis ini dulu. Karena
perjalanan menuju ke Lembah Matahari akan semakin
lambat saja. Namun pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu tidak tahu sama sekali apa yang
ada di hati Nilakanti yang paling dalam.
Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor, Nila-
kanti, dan Mawar Wangi sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dari balik sebuah batu besar di bu-
kit tandus, menggeleng-gelengkan kepalanya. Di bahu
sosok itu terdapat sebuah buntalan kain yang cukup
besar.
"Diakah yang bergelar Pendekar Slebor?" ta-
nyanya pada diri sendiri dengan tatapan mata lebih
membuka. Diperhatikannya tiga sosok tubuh yang se-
makin menjauh. "Hmm, ini kesempatanku untuk
membuntutinya. Pusaka ampuh milik Tasbih Emas
Bidadari untuk melaksanakan keinginanku dalam
menguasai rimba persilatan ini. Bertahun-tahun aku
mencoba mendapatkannya dari Ki Bubu Jagat. Na-
mun, lelaki keparat itu berhasil mengalahkan aku te-
rus-menerus. Kini, ku tahu dia telah mati. Tak sia-sia
kutinggalkan Tepi Kali Musang untuk mendapatkan
Tasbih Emas Bidadari."
Sosok lelaki berpakaian merah darah dengan
celana hitam itu menatap ke atas. Langit tidak begitu
terang seperti tadi. Matahari sudah berada di ujung
peraduannya. Di benaknya, terbayang kembali peristi-
wa tiga puluh tahun yang lalu, di saat dia bertarung
hebat dan kalah oleh Ki Buyut Jagat yang berbekal ke-
saktian dari Tasbih Emas Bidadari. Dan selama tiga
puluh tahun berlatih di tepi Kali Musang, dia hendak
menantang kembali Ki Bubu Jagat.
Namun semua keinginan itu kandas. Karena, Ki
Bubu Jagat telah tewas di tangan muridnya sendiri, si
Gampo Sinting yang membunuhnya secara licik. Den-
gan hati murka, lelaki yang berjuluk Setan Selaksa
Wajah itu pun meninggalkan kediaman Ki Bubu Jagat.
Di sana, secara tak sengaja, Setan Selaksa Wa-
jah mendengar kabar kalau pusaka ampuh Tasbih
Emas Bidadari disembunyikan Ki Bubu Jagat. Dalam
pencariannya, secara tak sengaja terdengar kabar ka-
lau Tasbih Emas Bidadari telah dimiliki Pendekar Slebor.
Kini, dendam dan keinginan Setan Selaksa Wa-
jah untuk mendapatkan Tasbih Emas Bidadari beralih
pada Pendekar Slebor yang namanya akhir-akhir ini te-
lah menggemparkan dunia persilatan. Tekad-nya, dia
tak akan pernah kembali ke Tepi Kali Musang sebelum
mendapatkan apa yang diinginkannya. Sekaligus,
membunuh Pendekar Slebor. Karena menurut perki-
raannya, bila berhasil membunuh pendekar pewaris
ilmu Lembah Kutukan itu, maka namanya akan lebih
banyak ditakuti orang-orang rimba persilatan.
Sekarang, secara tak sengaja Setan Selaksa
Wajah mengetahui bagaimana rupa orang yang dica-
rinya. Dan seluruh keinginannya akan dituntaskannya
sekarang juga!
"Selain ingin mendapatkan Tasbih Emas Bida-
dari, aku juga ingin mengetahui kehebatan Pendekar
Slebor yang banyak dibicarakan orang! Hhh! Dia akan
terkejut bila berhadapan denganku! Akulah Setan Se-
laksa Wajah yang akan menghentikan sepak terjang-
nya yang selalu menghalangi keinginan orang-orang
sepertiku!"
Lelaki berwajah tampan itu tergelak-gelak ke-
ras. Suaranya membahana ke seantero tempat tandus
itu. Dan tiba-tiba saja buntalan kainnya dibuka. Di-
ambilnya beberapa benda dari sana. Lalu dibukanya
rambut palsu. Segera dikenakannya rambut yang lebih
panjang.
Hanya dalam sepuluh hitungan, paras si lelaki
sudah berubah. Dari paras tampan tadi, kini terlihat
seraut wajah jelita mempesona. Getar pesonanya begi-
tu menjerat sukma.
Si gadis jelita jelmaan dari Setan Selaksa Wajah
mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Tak seo-
rang pun yang tahu bagaimana rupa asli Setan Selaksa Wajah.
***
6
Adipati Ramada yang sudah cemas memikirkan
putri kesayangannya yang belum kembali sejak siang
tadi, kini bisa menarik napas lega. Dia baru saja men-
dengar laporan dari seorang pengawalnya kalau Mawar
Wangi sudah tiba. Tetapi bukan dengan rombongan
yang dipimpin Subali, melainkan oleh sepasang anak
muda yang mengaku bernama Andika dan Nilakanti.
Mawar Wangi langsung merangkul ayahnya be-
gitu berjumpa. Dia berusaha menenangkan putrinya,
dan mempersilakan Andika dan Nilakanti untuk du-
duk. Sambil terisak Mawar Wangi menceritakan ten-
tang kejadian yang dialaminya.
Ketika cerita selesai, Adipati Ramada meman-
dang penuh terima kasih pada Pendekar Slebor dan Ni-
lakanti.
"Bila tak ada kalian, entah bagaimana nasib
putriku ini...," desah lelaki berusia kira-kira empat pu-
luh tiga tahun itu.
Wajah si adipati mencerminkan kebijaksanaan-
nya. Matanya penuh sorot kelembutan. Wajahnya ku-
kuh menandakan kegigihannya. Pakaiannya terusan
batik dengan kain jingga yang melilit pinggangnya.
"Yang menolong bukan aku, Adipati," kata An-
dika hormat. Tapi gadis di sampingku ini."
Andika menunjuk Nilakanti dengan jempolnya.
"Terima kasih kuucapkan kepadamu, Nisanak,"
ucap Adipati Ramada. "Hm.... Kulihat, kalian nampak-
nya sedang melakukan perjalanan jauh. Ada baiknya
bila kalian beristirahat barang satu dua malam di sini."
Sementara itu Mawar Wangi sudah duduk di
sebelah ayahnya. Gadis itu sudah tidak terisak lagi.
"Terima kasih, Adipati. Kebaikan Adipati bu-
kannya kami tolak. Tetapi mengingat perjalanan kami
yang masih jauh, sebaiknya kami mohon diri," sahut
Nilakanti, mendahului Andika. Padahal sejak dalam
perjalanan tadi, dia tidak bicara sepatahkata pun.
Andika melirik enteng pada Nilakanti. Lalu ta-
tapannya beralih pada wajah Adipati Ramada yang ke-
lihatan agak kecewa. Ketika melirik Mawar Wangi, ta-
tapan mata gadis itu tampak sangat menyayangkan bi-
la kedua penolongnya menolak kebaikan ayahnya.
"Orang-orang rimba persilatan seperti kalian
memang selalu menyenangi perjalanan. Baiklah.... Aku
tidak bermaksud menahan kalian lebih lama lagi,
meskipun sangat mengharapkan kalian bisa bermalam
di sini. Paling tidak untuk malam ini."
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih,"
sahut Nilakanti, mendahului Andika yang mulutnya
sudah terbuka ingin bicara.
"Kalau begitu, terimalah hadiah uang yang jum-
lahnya kupikir bisa membiayai kalian dalam perjala-
nan menuju Lembah Matahari."
"Terima kasih, Adipati. Dua ekor kuda, nam-
paknya lebih berguna untuk kami."
"Kalau begitu, kalian akan mendapatkannya."
Adipati Ramada memerintahkan seorang pen-
gawal untuk mengambil dua ekor kuda terbaik milik
kadipaten.
"Mengapa kalian menolak kebaikan ayahanda?
Bukankah kalian nampak lelah? Kalian masih butuh
makan untuk mengisi perut. Juga, kalian harus beris-
tirahat," tuntut Mawar Wangi, seolah setengah me-
maksa agar kedua penolongnya bersedia menerima tawaran ayahnya.
"Kami pikir, memang sudah seharusnya untuk
melanjutkan perjalanan. Karena semakin cepat kami
tiba di Lembah Matahari, rasanya semakin baik," sero-
bot Nilakanti.
"Tetapi...."
"Terima kasih atas kebaikanmu dan ayahmu,
Mawar Wangi," potong Nilakanti.
Si gadis memang melihat kesempatan untuk
berdua kembali dengan Andika. Kini disadari, hatinya
sudah terpaut erat pada pemuda urakan itu. Dia men-
ginginkan balasannya. Nilakanti tak rela bila Andika
justru terpaut pada kecantikan Mawar Wangi.
Dua ekor kuda itu telah disiapkan. Nilakanti
dan Andika pun segera berpamitan. Kepergian mereka
dilepas oleh Mawar Wangi dengan mata agak berkaca-
kaca.
Setelah keduanya menghilang dari pandangan,
Mawar Wangi berlari masuk ke kamarnya. Entah men-
gapa dalam perjumpaan pertama dengan Andika, ha-
tinya yang belum pernah tersentuh benih cinta, kini
terasa bergetar.
***
"Sudah enak-enak ditawari bermalam di istana,
malah pilih di alam terbuka," gumam Andika seperti
ditujukan pada diri sendiri.
Saat ini kuda-kuda mereka memasuki sebuah
hutan. Matahari telah tenggelam sejak tadi. Mereka
terpaksa memperlambat laju kuda. Suasana tampak
sepi dan gelap.
Sementara itu Nilakanti kini menghentikan
langkah kudanya. Ringan sekali dia melompat turun.
"Di hutan seperti ini?!" belalak Andika sambil
melompat turun.
Sementara Nilakanti dengan tak acuhnya su-
dah merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon.
"Kenapa sih sikapmu jadi lain sekali? Nampak-
nya kau marah padaku, Nila? Katakan, kenapa jadi
begini?" susul Andika, memasang wajah penuh tuntu-
tan.
Sudah tentu Nilakanti tidak mau menceritakan
yang sebenarnya. Sebagai seorang gadis, dia tentu saja
malu untuk mengutarakan isi hatinya.
"Rewel! Baru aku tahu kalau Kang Andika ini
cerewet!" bentak si gadis.
"O..., baru tahuya kalau aku cerewet? Sial! Aku
pun juga baru tahu kalau aku cerewet. Sudahlah, ka-
takan saja, ada apa denganmu. Kalau tidak, kutinggal
kau di sini!" ancam Andika dengan kedua tangan bera-
da di pinggang.
Nilakanti tak menggubris kata-katanya. Hatinya
masih dilanda cemburu.
"Tinggal saja!" susul si gadis, menyentak.
Andika tersenyum dalam hati. Dia tahu, meski-
pun Nilakanti berkata begitu, namun hatinya tidak
menghendakinya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, Andi-
ka menggebah kudanya.
"Biar kau dimakan macan di situ!" Andika me-
nakut-nakuti.
"Masa bodoh!"
Kuda Andika melesat meninggalkan tempat itu.
Nilakanti terhenyak. Tiba-tiba baru disadari kalau se-
kelilingnya menyeramkan. Entah mengapa dia yang
terbiasa dalam tempat yang seram seperti ini, menjadi
agak ngeri. Mungkin karena mulai terbiasa berdua
bersama Andika.
"Kang Andika!" serunya keras.
Tak ada sahutan apa pun. Nilakanti jadi menggigil sekarang. Dia menyesali sikapnya yang membuat
Andika menjadi marah dan kesal. Tetapi, dia merasa
hal itu lebih baik bila Andika bersikap seperti itu dari-
pada harus berada di dekat Mawar Wangi. Hanya saja,
kini dia menjadi kehilangan Andika.
"Apakah aku harus mengatakan yang sesung-
guhnya?" desah si gadis masygul. "Tetapi, apakah aku
tidak akan ditertawainya?"
Hati Nilakanti menjadi kacau sekarang.
"Kang Andika.... Apakah kau tidak tahu men-
gapa sikapku jadi begini? Karena aku cemburu, Kang.
Aku khawatir kau tertarik pada Mawar Wangi.... Pa-
dahal, hatiku mulai dekat denganmu, Kang.... Ah! Bila
kukatakan semua ini, apakah kau marah? Aku harus
mencobanya. Aku tak mau dia bertambah marah pa-
daku," lanjut gadis ini tetap mendesah,
Berpikiran demikian, Nilakanti melompat ke
kudanya. Namun belum lagi kudanya digebah gebrak,
tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara terbahak-bahak
yang sangat keras.
"Kang Andika!" seru Nilakanti terperanjat. Wa-
jahnya langsung memerah karena malu tak terkira.
Di dahan pohon tepat di dekat Nilakanti berdiri,
Andika terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
Tubuhnya agak berguncang.
"Jadi itu sebabnya, Nila? Mengapa tak menga-
takannya padaku? Aku tidak akan marah, malah se-
nang sekali," kata Pendekar Slebor.
Nilakanti yang kaget karena tahu-tahu Andika
berada di dahan pohon di atasnya, tak dapat menahan
sifat kewanitaannya lagi. Ingin menangis rasanya.
Andika melompat turun, setelah menghentikan
tawanya. Dia mengerti, mengapa Nilakanti menunduk
kan kepalanya. Lalu dengan hati-hati didekatinya ga-
dis itu, dan dirangkulnya.
"Kau tidak usah malu, Nila. Tenanglah. Semua-
nya akan selesai...."
"Tetapi...," Nilakanti tersendat dalam pelukan
Andika.
"Sudahlah.... Lebih baik kita beristirahat seka-
rang. Bukankah kau lelah. Nah, kau lihat itu?"
Andika menunjuk ke dahan pohon yang tadi
didudukinya.
"Apa, Kang?" tanya Nilakanti. Samar dia meli-
hat sebuah benda bergelantungan.
Andika berkelebat melompat, lalu hingga kem-
bali di tanah. Di tangannya tertentang tiga ekor kelinci
gemuk.
"Bukankah kita bisa mengisi perut sekarang?"
Nilakanti tersenyum. Hatinya kini lega dan se-
nang. Lega karena Andika tidak marah, senang karena
telah mengatakan isi hatinya secara tidak langsung.
Dia baru sadar kalau Andika tidak sungguh-sungguh
meninggalkannya. Malah, menjebaknya. Di-am-diam
Nilakanti pun mengagumi betapa tingginya ilmu me-
ringankan tubuh Pendekar Slebor.
***
7
Di kamarnya, Mawar Wangi masih tak bisa
memejamkan matanya. Kedua mata indahnya menam-
pakkan kesedihan mendalam. Bukan dikarenakan pe-
ristiwa mengerikan yang dialami, melainkan karena
harus secepat itu berpisah dengan Pendekar Slebor.
Gadis yang selama hidupnya baru kali ini ter
sentuh api cinta, benar-benar sedih atas perpisahan
itu. Namun dia tak pernah berpikir kalau semuanya
terjadi karena kecemburuan Nilakanti.
Malam terus merangkak perlahan namun pasti.
Halaman kadipaten yang biasa dijaga ketat, kali ini ke-
colongan dengan masuknya satu sosok hijau pupus
dengan sehelai kain catur yang melompat dari balik
dinding sebelah timur. Gerakannya begitu cekatan se-
kali.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sosok
tubuh itu melesat kembali. Sekarang, dia sudah bera-
da di sisi sebuah dinding. Lalu tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun tubuhnya menyelinap mendekati sisi
sebuah kamar yang masih terang.
Sampai di situ, sosok yang ternyata pemuda
tampan berbaju hijau pupus menajamkan pendenga-
rannya. Dan telinganya menangkap desahan panjang
Mawar Wangi.
"Kang Andika.... Mengapa kau tega meninggal-
kan aku? Padahal aku masih ingin mendapatkan kete-
nangan bersamamu."
Sosok berpakaian hijau pupus itu tersenyum.
Ditekuknya jendela kamar Mawar Wangi.
"Mawar.... Mawar...," panggil pemuda yang ter-
nyata Pendekar Slebor.
Mawar Wangi tercekat. Dia ingat betul akan su-
ara itu. Bergegas gadis ini berlari ke jendela kamarnya
dan segera membukanya.
"Kang Andika!" serunya penuh gembira begitu
melihat sosok pemuda yang dirindunya berada di ha-
dapannya.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Tidak usah menangis. Semuanya akan berja-
lan seperti yang diharapkan," ujar si pemuda.
Mawar Wangi tersenyum gembira. Namun ada
sesuatu yang membuatnya harus bertanya. "Adakah
yang tertinggal, Kang Andika?"
"Ya."
"Oh! Apakah itu?"
"Kau, Mawar."
Dada Mawar Wangi berdebar gembira menden-
garnya. Semua kesedihan yang baru dirasakannya le-
nyap begitu saja. Namun sekali lagi, sebagaimana
layaknya gadis-gadis lain, dia tak mau memperlihatkan
kelemahannya.
"Di manakah Kak Nilakanti?" tanya si gadis.
"Dia menunggu kita di tepi sungai sebelah uta-
ra."
"Kita, Kang Andika? Apa maksud Kang Andi-
ka?"
"Mawar.... Apakah kau tak ingin mengikuti per-
jalananku bersama dengan Nilakanti?"
"Oh! Aku ingin sekali. Tetapi...."
"Kau takut ayahmu akan marah?" tebak si pe-
muda.
Kepala Mawar Wangi mengangguk cepat.
"Tidak perlu khawatir. Malam ini juga ikut den-
gan kami. Besok pagi, aku akan mengantarmu datang
ke sini lagi untuk meminta izin ayahmu."
"Kita mau ke mana, Kang Andika?"
Sosok berbaju hijau pupus itu tersenyum.
"Aku tak ingin membuatmu sedih. Aku ingin
menghiburmu."
Hati Mawar Wangi berbunga-bunga menden-
garnya. Dia berpikir, apa yang dikatakan pemuda tam-
pan gagah ini memang benar.
"Tolong bantu aku keluar," bisiknya kemudian.
Sosok berbaju hijau pupus itu segera mengang-
surkan tangannya. Lalu....
"Hup!"
Tubuh Mawar Wangi sudah berada dalam
rangkulan si pemuda. Begitu padat dan menebarkan
harum semerbak.
"Kau sudah siap sekarang, Mawar?" tanya An-
dika.
"Ya, Kang. Bersamamu, aku merasa senang,"
sahut si gadis, polos.
"Begitu pula denganku, Mawar. Itu sebabnya
aku kembali ke sini."
Lalu dengan kelebatan yang luar biasa cepat-
nya, sosok berbaju hijau pupus itu melesat membawa
tubuh padat Mawar Wangi. Sampai-sampai mata si ga-
dis terpejam karena merasa bagai dibawa terbang.
Hanya dalam lima belas tarikan napas saja,
mereka sudah berada di sebuah hutan kecil yang ber-
jarak ratusan tombak dari Kadipaten Karanganyar.
"Di manakah Kak Nila, Kang Andika?" tanya
Mawar Wangi yang telah turun dari rangkulan Pende-
kar Slebor.
Mata indah si gadis agak kecut juga memperha-
tikan kegelapan di sekelilingnya. Kalaupun pernah
memasuki hutan yang lebih lebat dari hutan ini, itu
pun siang hari dan ditemani para pengawalnya. Diam-
diam, Mawar Wangi menyadari akan kebenaran laran-
gan ayahnya yang tidak pernah menghendakinya pergi
berburu seorang diri.
"Aku juga tidak tahu. Barangkali dia mengerti,
kalau kini kita berdua, Mawar," sahut Pendekar Slebor
sambil meremas tangan Mawar Wangi.
Dada Mawar Wangi berdebar kembali, senang
bercampur tegang.
"Maksud..., maksud Kang Andika bagaimana?"
tanyanya tersendat.
Si gadis merasa seluruh sendi di tubuhnya ba-
gai lolos begitu saja ketika melihat pandangan mesra
Pendekar Slebor yang menghujam tepat di sudut hati
kewanitaannya.
Senyum di bibir Pendekar Slebor semakin men-
gembang.
"Bukankah kau sudah mengetahuinya, Ma-
war?" tukas Andika penuh getaran.
"Aku..., aku..."
"Kau cantik, Mawar...."
Sukma Mawar Wangi kontan bagai melambung
ke langit tingkat tujuh mendengar pujian sang pemuda
pujaan. Perlahan-lahan kepalanya menunduk guna
menghilangkan rasa jengahnya. Dan tubuhnya ganti
menggigil ketika perlahan-lahan dengan penuh kelem-
butan tangan Andika memegang dagunya, lalu men-
gangkatnya.
"Jangan menunduk, Mawar. Biarkan aku me-
nikmati keindahan wajahmu...."
Perasaan Mawar Wangi semakin tak menentu.
Tubuhnya mendadak tegang ketika perlahan-lahan bi-
birnya disentuh benda lunak. Dan didorong oleh nalu-
rinya, perlahan-lahan gadis cantik itu memejamkan
mata. Dinikmatinya ciuman hangat yang baru pertama
kali dirasakannya.
Dan ketika tubuhnya ditidurkan di rumput
yang tebal, si gadis pasrah saja. Seluruh sukmanya
seolah telah melayang dalam angan kenikmatan. Dira-
sakannya bagaimana belaian mesra disertai bisikan
yang membuatnya semakin pasrah. Tubuhnya menjadi
panas. Aliran darahnya dirasakan mendadak berjalan
cepat.
"Sebentar, Mawar.... Aku ingin melihat-lihat
keadaan dulu," bisik Andika, membuat gejolak si gadis
tersurut.
Mawar Wangi membuka kedua matanya.
"Semuanya aman, Kakang...," desah gadis itu.
"Aku menyukaimu, Mawar. Tetapi, tunggu dulu
sebentar. Aku yakin kau mau bersabar, bukan?" ujar
si pemuda sambil tersenyum.
"Tetapi...."
"Aku tidak lama," sela Andika. "Aku hanya akan
memeriksa keadaan sekeliling tempat ini. Sekaligus,
mencari tahu di mana Nilakanti berada. Biar bagaima-
napun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan
gadis itu...."
Mawar Wangi meskipun sedikit kesal, hanya
menganggukkan kepalanya. Ditutupinya lagi pakaian
bagian atasnya yang sudah terbuka.
"Jangan lama-lama, Kakang...," ingat si gadis.
"Percayalah, aku tidak akan lama. Lagi pula,
mana mungkin aku tega meninggalkanmu seorang diri
disini?"
Setelah mengecup bibir ranum Mawar Wangi,
tubuh si pemuda pun melesat meninggalkan Mawar
Wangi.
"Rupanya, Kang Andika menyukaiku pula. Ini
suatu hal yang sangat menyenangkan...," desahnya
sambil tersenyum penuh harap.
Di satu tempat yang agak jauh dari sana, pe-
muda berbaju hijau pupus itu berhenti. Telinganya
langsung ditajamkan. Lalu dengan cepat tubuhnya me-
lompat ke atas sebuah pohon. Sejenak matanya mena-
tap ke sekitar tempat, di mana dua sosok anak muda
berlainan jenis sedang tertawa gembira sambil me-
manggang daging kelinci.
"Sangat menyenangkan! Yang kucari-cari bera-
da di sini. Bau harum dari daging panggang itulah
yang menunjukkan keberadaanmu, Pendekar Slebor.
Hmm.... Mawar Wangi sudah berada di tanganku. Aku
harus memainkan seluruh peranan. Akan ku kacau-
kan keadaan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan
Tasbih Emas Bidadari!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju hijau pupus itu
berkelebat ke satu tempat. Di balik sebuah semak, di-
ambilnya sebuah buntalan kain.
"Hmm... Aku sekarang harus merubah diriku
menjadi Mawar Wangi setelah tadi menjadi Pendekar
Slebor.
"Beruntung aku membawa berbagai jenis pa-
kaian," desisnya.
Sosok Pendekar Slebor menghilang di balik se-
mak. Begitu muncul, telah berganti menjadi Mawar
Wangi.
Lalu sosok Mawar Wangi pun melangkah perla-
han ke arah Pendekar Slebor dan Nilakanti yang se-
dang memanggang daging kelinci.
Siapa tokoh itu sebenarnya? Dia tak lain adalah
Setan Selaksa Wajah.
Tengah Andika dan Nilakanti menyantap daging
kelinci, mendadak mendengar suara tangis.
Pendekar Slebor cepat berkelebat untuk menca-
ri sumber suara. Sementara Nilakanti menyusul di be-
lakangnya. Mereka bergerak penuh waspada.
Dan mereka sama-sama terkejut ketika melihat
Mawar Wangi sedang menangis sambil memijat sebelah
kakinya.
"Mawar!" seru Pendekar Slebor. Sementara Ni-
lakanti menjadi merengut melihat siapa yang menan-
gis.
"Hhh! Brengsek! Mau apa sih gadis kadipaten
itu?" dengus si gadis dalam hati.
Mawar Wangi yang sebenarnya Setan Selaksa
Wajah mengaduh sambil menunjuk kakinya. Andika
melihat betis yang halus itu agak membengkak.
"Mengapa kau ke tempat seperti ini, Mawar?
Seharusnya kau berada di rumahmu?" tanya Pendekar
Slebor, sambil mengurut.
"Aku..., aku ingin ikut denganmu, Kang Andi-
ka...."
"Mau apa, Mawar? Mengapa begitu?"
"Karena..., aku..., aku..., ah! Kak Nila...."
Nilakanti cuma berdiri tegak sambil melipat ke-
dua tangannya di dada. Wajahnya melengos jengkel.
Andika tertawa dalam hati melihatnya.
Tak lama kemudian, bengkak di kaki Mawar
Wangi pun agak membaik.
"Sebaiknya..., kau kuantar kembali ke kadipa-
ten."
"Tidak! Aku ingin bersama-sama, Kang Andi-
ka...," tandas Setan Selaksa Wajah yang menyamar se-
bagai Mawar Wangi memegang tangan Andika.
Lalu seperti tidak menyetujui usul Andika, si
gadis jelmaan merangkul sosok pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan. Tangan kanannya me-
nyentuh sebuah benda yang berada di balik baju Andi-
ka.
Andika yang sudah tahu siapa gadis di hada-
pannya ini mendesah panjang.
"Kalau begitu..., untuk malam ini saja. Besok,
aku akan mengantarmu kembali ke kadipaten. Kau
paham maksudku, bukan?" putus Andika.
"Aku ingin selamanya bersama Kang Andika,"
tegas si gadis jelmaan.
"Mawar..., dengarlah! Perjalananku bersama Ni-
lakanti ke Lembah Matahari bukanlah perjalanan me-
nyenangkan. Aku tak menginginkan kamu mengalami
hal-hal yang tidak mengenakan dalam hidupmu," ujar
Pendekar Slebor.
"Aku tidak peduli. Aku ingin bersama Kang Andika."
Andika menghela napas panjang. "Baiklah ka
lau begitu. Tetapi, ingat! Setelah semuanya selesai, kau
harus kembali ke kadipaten," desah Andika.
"Itu bisa kita bicarakan lain kali, bukan?" tukas
si gadis jelmaan.
Andika mengangguk-angguk. Matanya melirik
Nilakanti yang semakin cemberut saja.
"Gawat! Urusan ini bukan hanya akan mena-
han perjalananku menuju Lembah Matahari, tetapi ju-
ga bisa memancing kemunculan orang-orang yang
menginginkan Tasbih Emas Bidadari," rutuk Pendekar
Slebor dalam hati.
Lalu si pemuda bangkit mendekati Nilakanti.
Kepalanya yang mendadak gatal, digaruk-garuk. "Kok
cemberut sih?" tanyanya.
"Mata bongsang!" maki Nilakanti sambil mem-
buang muka. "Bilang saja Kang Andika memang me-
nunggu kesempatan seperti ini? Pakai berlagak lagi!"
"Aduh, Nila.... Mengerti sedikit dong. Bukan
aku yang menghendaki semua ini. Tetapi, gadis itu...."
"Iya.... Tetapi kan, Kang Andika mengharapkan
kedatangannya!"
Andika jadi serba salah.
"Baiklah.... Kalau kau memang tidak menyukai
kedatangannya, lebih baik kita tinggalkan saja dia di
sini."
Meskipun dalam keadaan cemburu, namun Ni-
lakanti masih memiliki naluri kewanitaannya.
"Enak saja ngomong begitu! Kalau nanti dia...."
"Dimakan macan?" potong Andika sambil terse-
nyum. "Sudahlah, Nila. Percayalah kepadaku. Aku...."
"Memang menghendaki kedatangannya, kan?"
potong Nilakanti.
"Membalas ya? Mengertilah, Nila.... Keadaan
semacam ini tak pernah kuhendaki. Hmm, begini sa-
ja.... Biarkan Mawar Wangi ikut dengan kita ke Lembah Matahari. Setelah itu kita kembalikan ke kadipa-
ten. Kau setuju?"
"Tetapi...."
Ingin sekali Nilakanti menolak, namun ketika
Andika memegang tangannya hatinya menjadi luluh
juga. Dia menghela napas.
"Baiklah, Kang...," desahnya.
"Kalau begitu, kau mau bukan bila menema-
ninya tidur? Kalau aku, bisa gawat, kan?"
Nilakanti kini tersenyum. Selorohan-selorohan
Andika terkadang memang menjengkelkan. Namun
terkadang mampu membuatnya tersenyum.
"Hei? Kenapa tersenyum?" tukas Andika. Saat
melihat Nilakanti belum beranjak dari tempatnya. "Apa
kau akan membiarkan aku tidur dengannya? He he
he.... Nanti kau cemburu?"
Kali ini Nilakanti mendengus. Lalu melangkah
mendekati Mawar Wangi yang masih duduk di rumput.
Tangannya terulur.
"Berdiri! Kita cari tempat untuk tidur!" ujar Ni-
lakanti.
Andika tertawa melihat sikap Nilakanti yang ke-
tus begitu.
"Mestinya kan baik-baik, ya? Kalau kau terus-
menerus begitu, jangan-jangan bukan hanya perem-
puan saja yang takut. Tetapi lelaki juga takut!"
Nilakanti mendelik, lalu beralih menatap Mawar
Wangi.
"Kita cari tempat untuk tidur, Mawar. Jangan
dekat-dekat dengan mata bongsang itu!"
"Bukannya asyik kalau berdekatan?" sambar
Andika. Sementara Nilakanti sudah membimbing Setan
Selaksa Wajah yang menjelma menjadi Mawar Wangi.
***
Karena lelahnya, Nilakanti pun tertidur setelah
melirik Mawar Wangi yang sejak tadi sudah memejam-
kan matanya. Mawar Wangi jelmaan Setan Selaksa
Wajah tersenyum licik melihat gadis di sisinya sudah
pulas.
"Aku harus membereskan satu persatu. Setelah
itu, barulah giliran Pendekar Slebor," gumamnya da-
lam hati dengan tangan bergerak cepat.
Tuk! Tuk! Tuk!
Tubuh Nilakanti menjingkat sejenak. Dan seju-
rus kemudian dia pingsan dalam keadaan tertotok.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya,
diangkatnya tubuh gadis jelita itu. Lalu dibawanya ke
arah yang berlawanan dari tempat Pendekar Slebor be-
rada.
Setan Selaksa Wajah membawa Nilakanti ke
tempat yang agak tersembunyi. Dia melompat ke atas
sebuah pohon. Di situ, tidak akan membuatnya jatuh.
Apalagi saat ini Nilakanti sedang pingsan. Kalaupun
sudah siuman, sudah tentu tak akan mampu mengge-
rakkan tubuhnya dan berbicara.
"Kau akan kuurus nanti, Manis. Sekarang gili-
ran putri Adipati Ramada yang tentunya sudah tak sa-
bar menungguku," gumam Setan Selaksa Wajah.
Mawar Wangi jelmaan Setan Selaksa Wajah
kembali ke tempat buntalannya tersimpan. Gerakan-
nya cepat sekali. Sebentar saja tubuhnya telah menye-
linap ke balik semak. Begitu muncul kembali, yang
tampak kini sosok berwajah mirip Pendekar Slebor.
Kemudian Pendekar Slebor jelmaan Setan Se-
laksa Wajah berkelebat cepat sambil membayangkan
apa yang akan dilakukannya. Namun ketika tiba di
tempat Mawar Wangi berada, dua sosok telah berdiri
menghadangnya.
Yang seorang lelaki berwajah tampan dengan
pakaian biru menyala dan rambut digelung ke atas.
Tatapannya dingin menampakkan kekejaman. Yang
seorang lagi wanita tua yang mengeluarkan bau bu-
suk. Sementara, sosok Mawar Wangi terbaring di rum-
put dalam keadaan tertotok dengan tubuh setengah te-
lanjang.
"Ha ha ha... Rupanya Pendekar Slebor mempu-
nyai nyali besar untuk berhadapan denganku!" kata le-
laki berwajah tampan. "Perkenalkan! Aku Lima Jalan
Darah!"
"Kang Andika.... Selamatkan aku!" seru Mawar
Wangi.
Gadis ini masih tetap menyangka kalau pemu-
da yang berdiri tiga tombak darinya adalah Pendekar
Slebor asli. Tetapi secepat itu dia jatuh pingsan setelah
kaki Lima Jalan Darah menyepak kepalanya. Dari peli-
pisnya mengalir darah.
***
8
Setan Selaksa Wajah yang nyamar sebagai Pen-
dekar Slebor kembali, memperlihatkan dua sosok tu-
buh di hadapannya dengan tatapan tak kalah dingin-
nya. Hatinya agak bergetar ketika menyadari siapa
yang muncul. Julukan Lima Jalan Darah memang be-
lum lama terdengar. Namun dia tahu tindakan telen-
gas yang sering dilakukan Lima Jalan Darah telah
menggemparkan dunia persilatan dengan totokan da-
rahnya! Orang yang jadi korban totokannya, tak akan
ada yang sanggup hidup lebih lima hari. Dan selama
itu, siksaan yang diderita akibat totokan darah sangat
mengerikan!
Kini Setan Selaksa Wajah tahu kalau Lima Ja-
lan Darah pun sedang mencari Pendekar Slebor. Ini
sebenarnya kesempatan baginya untuk bekerja sama
dengan Lima Jalan Darah dalam membunuh Pendekar
Slebor, sekaligus untuk mendapatkan Tasbih Emas
Bidadari. Tetapi, dia ingin tahu mengapa lelaki berbaju
biru menyala itu mencari Pendekar Slebor?
"Hmm.... Nama Lima Jalan Darah cukup santer
juga sampai di telingaku. Tetapi sayangnya, kita tak
punya silang sengketa! Lebih baik, ambil jalan ma-
sing-masing!"
"Anjing buduk! Manusia keparat sepertimu su-
dah selayaknya berkalang tanah! Dan yang terpenting
lagi, sebelum mampus, Hantu Gigi Gading mengatakan
kalau kau kawanmulah yang membuatnya seperti itu!"
sentak Lima Jalan Darah, tetap menyangka orang di
hadapannya adalah Pendekar Slebor.
Memang, dalam perjalanan mencari Pendekar
Slebor, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai
menemukan Hantu Gigi Gading tengah dalam keadaan
sekarat. Dengan terpatah-patah dan napas tersengal,
Hantu Gigi Gading menceritakan apa yang terjadi. Dan
sesaat kemudian, nyawa busuknya pun melayang.
Dewi Sungai Bangkai geram bukan main. Dia
bersumpah akan mencabik-cabik tubuh kawan Pende-
kar Slebor dan Andika sendiri!
Kemudian mereka meneruskan perjalanan,
hingga akhirnya menemukan Mawar Wangi. Gadis ini
langsung tercekat melihat kehadiran kedua tokoh yang
membuatnya bergetar. Terutama badan Dewi Sungai
Bangkai yang mengeluarkan bau busuk. Mawar Wangi
mencoba melarikan diri untuk mencari Pendekar Sle-
bor. Namun, Dewi Sungai Bangkai dengan cepat meno-
toknya.
Dari Mawar Wangilah mereka tahu, kalau Pendekar Slebor berada bersama gadis itu sebelumnya.
Hanya saja, keduanya tidak tahu siapa yang berada di
hadapannya! Yang mereka sangka, tetaplah Pendekar
Slebor.
Setan Selaksa Wajah terdiam. Otak busuknya
berpikir licik.
"Hmm.... Bila aku bersatu dengan kedua ma-
nusia ini, sudah dipastikan keinginanku untuk men-
dapatkan Tasbih Emas Bidadari sekaligus membunuh
Pendekar Slebor akan terlaksana. Dalam penyamaran
sebagai Pendekar Slebor saat ini, memang bukan cara
yang tepat untuk bekerja sama dengan mereka. Se-
baiknya aku tinggalkan saja keduanya!" putus Setan
Selaksa Wajah.
Berpikir demikian, Setan Selaksa Wajah men-
ginginkan untuk langsung meninggalkan tempat itu.
Sementara gadis yang berada dalam bopongan Lima
Jalan Darah tak dipedulikannya lagi. Toh dia masih
mempunyai Nilakanti yang menggantikan Mawar Wan-
gi.
Akan tetapi, sebelum Setan Selaksa Wajah me-
lakukan rencananya, wanita tua yang mengeluarkan
bau busuk itu sudah meluruk dengan satu serangan
maut.
"Sekarang saatnya kau harus mampus, Pende-
kar Slebor! Kau harus bayar nyawa Hantu Gigi Gading
dengan nyawa sialanmu!"
Setan Selaksa Wajah langsung melenting ke
atas ketika serangan yang mengeluarkan bau busuk
itu melabrak ke arahnya. Dari bau busuk yang ter-
cium, dia yakin wanita tua ini tak lain adalah Dewi
Sungai Bangkai!
Dewi Sungai Bangkai menyangka kalau lawan
yang dihadapi adalah Pendekar Slebor asli. Makanya,
dia menyerang secara membabi-buta. Pukulan 'Angin
Bangkai Lilit Leher' sudah dilepaskan. Seketika sinar
hitam meluruk dahsyat ke arah Setan Selaksa Wajah
yang baru saja menjejak tanah. Dengan lincahnya si
lelaki jago menyamar itu meliukkan tubuhnya. Namun
tubuhnya pun terhuyung ke belakang ketika nafasnya
terasa sesak
"Gila! Kecepatan dan serangan sinarnya masih
tak seberapa! Tetapi, bau busuk ini justru yang akan
membunuhku!" rutuk Setan Selaksa Wajah, seraya
mengibaskan kedua tangannya.
Bet!
Saat itu juga serangkum angin dingin meluncur
cepat ke arah Dewi Sungai Bangkai yang sedang me-
nyerang ganas. Angin dingin itu langsung membuyar-
kan bau busuk yang menyengat leher Setan Selaksa
Wajah.
Sementara Dewi Sungai Bangkai tampak begitu
terkejut. Dia semula yakin lawannya bisa dijatuhkan
dalam dua jurus berikutnya. Tetapi dugaannya meleset
jauh. Angin sedingin es itu justru membuyarkan se-
rangannya. Bahkan dalam keterkejutannya, Setan Se-
laksa Wajah telah meluruk cepat bagai kilat dengan sa-
tu jotosan keras.
Des!
Dewi Sungai Bangkai terhuyung ke belakang.
Tubuhnya seketika terasa bagai dikelilingi es. Dalam
keadaan terluka dalam itu, keningnya berkerut. Sebe-
lumnya beberapa kali dia bertarung melawan Pendekar
Slebor. Dan setiap kali Pendekar Slebor menyerang,
yang terasa hawa panas dan terdengar suara bagai
menyalak. Tetapi sekarang ini? Mengapa pukulannya
menjadi sedingin es? Apakah sebenarnya Pendekar
Slebor masih memiliki ajian simpanan yang ampuh?
Menyadari hal itu, Dewi Sungai Bangkai menja-
di penasaran. Segera tubuhnya menerjang kembali
dengan serangan bertubi-tubi. Namun agaknya Setan
Selaksa Wajah sudah menemukan kelemahan seran-
gan Dewi Sungai Bangkai. Maka segera ditutup-nya se-
rangan hawa dingin yang mengarah padanya dengan
kibasan pukulan angin sedingin es. Begitu si perem-
puan gelagapan, kembali pukulannya mendarat telak.
Dess....!
Dewi Sungai Bangkai terlempar beberapa lang-
kah. Kalau tadi hawa panasnya masih mampu dialir-
kan untuk mengusir hawa dingin yang melingkupi tu-
buhnya, kali ini dia terjatuh dengan tubuh menggigil
hebat. Aliran darahnya seolah membeku.
"Ternyata tak sia-sia kau dibicarakan orang ba-
nyak, Pendekar Slebor. Aku jadi penasaran! Dan sudah
tentu, kau akan membayar lunas sakit hati Malaikat
Mata Satu.!"
Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah
membuka serangan mautnya. Totokan aneh jarak jauh
yang dilontarkan, membuat Setan Selaksa Wajah ter-
perangah. Sebisanya dia menghindari. Dan setiap kali
berhasil meloloskan diri, totokan darah yang dile-
paskan Lima Jalan Darah menghantam pohon hingga
hangus seketika.
"Benar-benar sinting! Julukan Lima Jalan Da-
rah bukan nama kosong belaka! Bisa berabe kalau be-
gini! Lebih baik aku tinggalkan dulu kedua manusia
sialan ini! Kalau di sini terus-menerus, bisa-bisa aku
tak akan mampu mengacaukan Pendekar Slebor seka-
ligus membunuh dan mendapatkan Tasbih Emas Bi-
dadari!"
Berpikiran demikian, tubuh Setan Selaksa Wa-
jah bergulingan untuk menghindari totokan darah
yang dilakukan Lima Jalan Darah. Begitu bangkit dile-
paskannya pukulan jarak jauh untuk menjaga jarak.
Setelah mendapat kesempatan, mendadak dia melesat
meninggalkan tempat itu.
"Setan laknat! Kau tak akan bisa meloloskan
diri, Pendekar Slebor!"
Lima Jalan Darah melesat ke arah Setan Selak-
sa Wajah melarikan diri. Namun Pendekar Slebor palsu
itu sudah menghilang dari pandangan. Geram bukan
main hatinya menyadari hal itu.
"Ke mana pun pergi, kau tak akan bisa melari-
kan diri, Pendekar Slebor!" desis Lima Jalan Darah.
Lalu si lelaki tampan melesat kembali ke tem-
pat semula. Dilihatnya bagaimana Dewi Sungai Bang-
kai sedang menderita karena kedinginan. Ketika tan-
gannya menyentuh kulit perempuan tua itu, tak ubah-
nya bagai memegang bongkahan salju es abadi.
"Gila! Pendekar Slebor harus membayar semua
ini!"
Lima Jalan Darah segera mengerahkan tenaga
dalam ke tubuh Dewi Sungai Bangkai. Hanya dalam ti-
ga tarikan napas saja tubuh Dewi Sungai Bangkai su-
dah kembali seperti biasa. Dan wanita tua yang men-
geluarkan bau busuk dari tubuhnya itu segera bersila
untuk memulihkan luka dalamnya.
***
Pagi kembali datang. Sinar matahari menyengat
seisi alam. Pendekar Slebor yang baru saja terbangun
segera teringat akan Nilakanti dan Mawar Wangi. Dia
mencari sambil berteriak, namun tak ada sahutan apa-
apa.
"Hoi! Nila! Mawar! Kalian di mana. Kalau kalian
meledek, tidak lucu!"
Tetap tak ada sahutan apa pun juga. "Hmm....
Apakah Nila kembali datang cemburunya? Apa mung-
kin dia sengaja mengembalikan Mawar Wangi ke kadipaten? Atau..., jangan-jangan justru membawa Mawar
ke satu tempat dan meninggalkannya. Ah! Tidak
mungkin Nilakanti berbuat jelek seperti itu. Sebaiknya
aku mandi saja dulu. Eh, jangan-jangan mereka se-
dang mandi. Lumayan sin kalau memang benar," oceh
Andika.
Andika pun melesat mencari sungai. Kepalanya
celingukan di sekitar sungai yang mengalirkan air jer-
nih itu. Tak ada tanda-tanda Nilakanti dan Mawar
Wangi berada di sana.
"Ah! Biar saja dulu. Setelah mandi, baru aku
mencari mereka kembali."
Sambil bersiul-siul tak ada juntrungannya,
Pendekar Slebor mencuci seluruh tubuhnya. Dia be-
rendam, lalu muncul kembali sambil berteriak keras.
Norak sekali.
Selesai, Andika mengenakan pakaiannya kem-
bali. Dan baru saja melangkah sepuluh tindak, dia
berpapasan dengan dua manusia. Yang seorang sangat
dikenalnya. Dia sedang membopong satu sosok tubuh
yang pingsan. Sedang yang satunya lagi, lelaki berbaju
biru menyala.
Andika terperanjat begitu melihat siapa yang
berada dalam bopongan orang itu.
"Orang tua bau busuk! Lepaskan gadis itu!"
bentak Andika dengan kening berkerut. Mengapa Ma-
war Wangi berada di tangan mereka? Kalau begitu, di
mana Nila? Bukankah dia bersama Mawar Wangi?
"Pendekar keparat! Rupanya kau masih berada
di sini? Hhh! Kalau semalam kau mengeluarkan ajian
busukmu yang memancarkan hawa dingin, sekarang
tiba giliranmu untuk mampus!" desis Dewi Sungai
Bangkai.
Lima Jalan Darah mengangkat tangannya.
"Biar pendekar sialan ini aku yang urus!"
Sementara itu, kening Andika berkerut. Dia
sama sekali tak mengerti, apa yang dimaksud Dewi
Sungai Bangkai. Dan sebelum bisa menemukan jawa-
bannya....
"Semalam kau menjadi anjing pengecut. Dan
sekarang berubah menjadi harimau! Kalau semalam
kau dapat meloloskan diri, sekarang kau tak akan
mampu melakukannya!"
Andika makin tak mengerti. Meskipun dalam
keadaan keheranan, tetap saja sifat urakannya tak
pernah hilang.
"Hei, Pantat Monyet! Mestinya kau tahu, den-
gan siapa berhadapan. Kalau hanya pemain ketoprak
saja, aku juga bisa menandingimu?" selorohnya sambil
menggoyang-goyangkan tangannya.
Wajah Lima Jalan Darah kontan memerah. Ali-
ran darah dalam tubuhnya menjalar cepat.
"Kau harus membayar sakit hati Malaikat Mata
Satu, Pendekar Slebor!"
"Jadi, Malaikat Mata Satu brengsek itu saha-
batmu, ya?" sahut Andika sambil mencoba memikirkan
kemungkinan yang dikatakan kedua tokoh hitam itu.
"Kalau begitu, salam deh untuknya. Katakan, aku rin-
du ingin menghapus beleknya."
"Setan hijau keparat!"
Sehabis berkata begitu, Lima Jalan Darah ber-
gerak dengan kaki menyepak. Gerakannya secepat ki-
lat, mengandung tenaga dalam tinggi
Andika menyadari adanya serangan hebat. Se-
ketika bergulingan ke arah Lima Jalan Darah seraya
melepaskan satu jotosan ke perut. Namun Lima Jalan
Darah bergerak cepat, memutar kakinya.
Plak!
"Heit! Edan!" maki Andika sambil melenting
bangkit. Tangan Pendekar Slebor terasa bergetar. Begitu berdiri, tubuhnya seketika terhuyung. Pada saat
yang sama, Lima Jalan Darah sudah meluruk sambil
melepaskan totokan darahnya yang mengerikan.
Meskipun dalam keadaan seperti itu, Andika
cepat mengubah arah langkahnya, membentuk seten-
gah lingkaran.
Wuut!
Seketika Pendekar Slebor merasakan angin se-
tajam mata anak panah melesat di sisi tubuhnya.
"Totokan darah!" seru Andika terkejut ketika
menyadari arah yang ditotoknya adalah salah satu
urat darah dari tubuhnya.
Lima Jalan Darah terbahak-bahak. Dan seran-
gannya segera diteruskan.
"Kali ini kau tak akan bisa melepaskan diri!
Semalam kau masih mampu melakukannya"
"Apa sih yang dimaksud kedua orang ini? Pa-
dahal semalam aku tidur, dan tidak tabu-menahu soal
mereka. Yang terpenting sekarang adalah menyela-
matkan Mawar Wangi. Aku juga ingin tahu, di mana
Nila berada? Jangan-jangan dia sudah mereka bu...,
ah! Tidak, aku tidak boleh berpikiran jelek seperti itu!
Eittt...! Benar-benar mengerikan serangan yang dila-
kukan oleh Lima Jalan Darah!" kata Andika dalam hati
sambil terus menghindar.
Lima Jalan Darah semakin lama jadi bertam-
bah marah karena tak satu totokannya pun yang ma-
suk. Bahkan tiba-tiba saja Andika bergulingan ke
arahnya. Di tangannya sudah terangkum ajian 'Guntur
Selaksa'.
Deb!
Tubuh Lima Jalan Darah terhantam pukulan si
pemuda. Namun hanya sesaat tubuhnya bergetar. Ka-
rena selebihnya, dia sudah menyerang kembali.
Andika mendengus. Lawan ternyata memiliki
tenaga dalam lebih tinggi. Kalau begitu, sekaranglah
waktunya menyelamatkan Mawar Wangi. Karena bisa
gawat bila terkena totokan darah yang dilakukan lelaki
berbaju biru menyala itu.
Dan mendadak saja sambil menghindari seran-
gan Lima Jalan Darah, Andika melesat ke arah Dewi
Sungai Bangkai dengan kecepatan luar biasa.
Langsung si perempuan tua membuang tubuh
Mawar Wangi, seraya memapak serangan Andika.
Dua tenaga beradu. Kalau saja Dewi Sungai
Bangkai tidak tengah terluka dalam akibat serangan
Setan Selaksa Wajah yang menyamar sebagai Pendekar
Slebor, sudah tentu tenaganya akan berimbang. Na-
mun karena dalam keadaan terluka, tubuhnya jadi
mencelat ke belakang.
Sementara dengan kecepatan luar biasa, Andi-
ka menyambar tubuh Mawar Wangi.
Melihat hal itu, Lima Jalan Darah melepaskan
lima totokannya sekaligus. Andika masih bisa meng-
hindari dengan jalan melentingkan tubuhnya dua kali.
Namun, dua totokan tepat mengenai jalan darahnya.
"Aaakhhh...!"
Terdengar jeritan Pendekar Slebor yang cukup
keras. Tubuhnya agaknya terhuyung, namun dipaksa-
kan untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dengan
jalan melesat cepat, Andika berhasil meloloskan diri
dengan membawa tubuh Mawar Wangi.
Lima Jalan Darah tidak mengejarnya. Bibirnya
menyungging senyum dingin.
"Kali ini kau tak akan mampu melarikan diri,
Pendekar Slebor! Dalam waktu empat hari, kau akan
mampus!"
Lalu terdengarlah tawa keras lelaki ini, hingga
memecah kesunyian alam. Daun-daun berguguran.
Hewan hutan yang sejak pertarungan terjadi bersembunyi di sarang mereka, langsung berlarian keluar. Ka-
rena, sarang-sarang mereka menjadi bergetar dan han-
cur.
Lima Jalan Darah lantas mendekati Dewi Sun-
gai Bangkai. Diperiksanya lagi tubuh wanita yang
mengeluarkan bau busuk itu.
"Hhh! Kalau sebelumnya kau terkena pukulan
berhawa dingin, sekarang kau terkena pukulan berha-
wa panas. Seharusnya, kau mampus saja, Orang Tua!
Tetapi karena sikapmu yang hormat padaku, untuk
kedua kalinya aku bersedia mengobatimu. Sekali lagi
kau luka seperti ini, sebaiknya mampus saja!"
***
9
Andika yang membawa lari tubuh Mawar Wangi
merasa sekujur tubuhnya tiba-tiba memanas. Nafas-
nya terasa tersengal. Rasa sakit luar biasa membuat
tubuhnya agak limbung. Kepalanya bagai berputar
dengan pandangan nanar. Tanah yang dipijak bagai
bergerak. Dan Andika jatuh begitu saja. Mau tak mau,
Mawar Wangi yang berada dalam bopongannya pun
terjatuh.
"Monyet pitak! Totokan Lima Jalan Darah
membuat aliran darahku bagai terhenti!" maki si pe-
muda.
Cepat Pendekar Slebor duduk bersila, mengam-
bil sikap semadi. Dialirkannya tenaga dalam ke pusat-
pusat totokan. Namun apa yang dilakukannya justru
membuat keadaannya semakin tersiksa.
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor menjerit keras ketika terasa
seperti kau ini!"
Andika melotot sambil menahan panas di tu-
buhnya.
"Jangan banyak omong!" bentak Andika dengan
napas tersendat. "Mau apa sih kau ke sini? Sudah bau
tanah masih juga kelayapan!"
Si Hantu Jantan mengeluarkan suara dari hi-
dung.
"Apakah aku akan mendiamkan saja melihatmu
dalam keadaan terluka seperti itu?" tukas si Hantu
Jantan.
Andika langsung menoleh.
"Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah matamu
sudah rabun?" selorohnya. Namun, hatinya mengagu-
mi ketajaman mata si Hantu Jantan.
"Kurang ajar! Sini kuperiksa lukamu?"
Si Hantu Jantan melangkah. Dia lantas mem-
bungkuk di dekat Andika. Tangannya meraba pung-
gung dan mata kaki si pemuda.
"Hmm.... Rupanya nasib Pendekar Slebor hanya
sampai di sini saja! Kau akan tewas dalam waktu em-
pat hari!"
"Jangan menakut-nakutiku, Pak Tua. Aku su-
dah biasa menghadapi kematian. Kalau kau merasa
kasihan, kenapa tidak kau coba untuk mengobatinya?"
seru Andika. Hatinya kesal melihat lagak si Hantu Jan-
tan.
"Aku tak menakut-nakutimu. Tapi perlu kau
ketahui, yang mampu mengobati hanyalah orang yang
membuatmu begini. Kalau aku yang mengobati, hawa
panas dalam tubuhmu justru akan pindah ke tubuh-
ku! Dan aku tak bodoh mau menerima semua itu, se-
belum melihat Dewi Sungai Bangkai mampus?
Sayangku, ada manusia tolol di sini...."
Pendekar Slebor terdiam sejenak. Tak terasa
hatinya sedikit kecut mendengar kata-kata si Hantu
Jantan.
"Kalau begitu, aku harus kembali menemui Li-
ma Jalan Darah," gumam Pendekar Slebor, tanpa sa-
dar.
"Nah, nah.... Siapa lagi manusia yang punya ju-
lukan mampu membuat hati keder itu?"
Andika lantas menceritakan apa yang terjadi.
Dan si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya, setelah mendengar keseluruhan cerita.
"Seingatku, yang bisa melakukan totokan se-
perti ini hanya Malaikat Putih Bayangan Maut.
Hmm.... Apakah kau diserang olehnya?" tanya si Han-
tu Jantan. Sepertinya dia masih memikirkan tentang
orang yang berjuluk Lima Jalan Darah.
"Tadi sudah kukatakan orang yang melakukan-
nya! Apa telingamu tuli, Pak Tua?"
Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Kesaktian Malaikat Putih Bayangan Maut su-
kar dicari tandingannya. Aku tahu dia mampu mela-
kukan totokan darah seperti ini. Namun semuanya
hanya untuk melakukan pengobatan. Bukan untuk
menyerang. Apa yang kau alami ini adalah satu seran-
gan berbahaya sekali. Kalau tidak segera ditolong,
nyawamu hanya sampai empat hari saja, Bor! Kau
mau kalau usiamu tinggal seumur jagung?"
Andika berdiri perlahan-lahan. Nafasnya sema-
kin tersengal.
"Aku harus mencari obat pemunah totokan ini
dari tangan si Lima Jalan Darah."
"Sebenarnya aku pun bisa mengobatinya."
"Hei?" Andika tercekat sambil memandang kes-
al si Hantu Jantan. "Tapi kau mengatakan tak bisa?"
"Sekarang kukatakan bisa."
"Kalau begitu, cepat obati aku! Karena, aku ha-
rus mencari Nilakanti!" sambarnya.
"Gadis cantik murid Malaikat Putih Bayangan
Maut? Heran, kok manusia urakan yang jelek seperti-
mu ini selalu ditemani gadis cantik, ya?"
Si Hantu Jantan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Sikapnya membuat Andika mau memaki. Lalu si
Hantu Jantan memandangi bungkusan yang berada di
tangannya.
"Sayangku..., apakah aku harus mengobati pe-
muda bandel ini atau tidak? Oh, kau menghendaki
aku mengobatinya? Baiklah kalau begitu," si Hantu
Jantan menatap kembali ke arah Andika. "Nah! Kau
dengar sendiri, bukan? Kekasihku menghendaki aku
mengobatimu? Kau seharusnya berterima kasih pa-
danya!"
Walau agak jengkel dengan sikap si Hantu Jan-
tan, Andika hanya diam saja.
"Tetapi..., apakah kau tahan dengan pengoba-
tan yang akan kulakukan?" tanya si Hantu Jantan.
"Lakukanlah.... Aku akan berterima kasih pa-
damu."
"Mulutmu selalu ngoceh, Pemuda Tak Bera-
dab!" bentak si Hantu Jantan. "Kau jangan berterima
kasih padaku. Tetapi, pada kekasihku!"
"Iya, ya!" dengus Andika, mendongkol.
Si Hantu Jantan mengangsurkan tangannya
yang memegang bungkusan itu dengan hati-hati.
"Nah, ucapkan terima kasihmu pada kekasihku
ini."
"Busyet! Iya, terima kasih!"
"Bagus! Aku akan mengobatimu. Tetapi, jawab
dulu pertanyaanku. Apakah kau bersedia kuobati?"
"Iya!" sahut Andika, menahan jengkel.
"Dengan cara apa pun aku mengobatimu!"
"Ya!"
"Bagus!"
Si Hantu Jantan bangkit. Lalu dia menungging
ke arah Andika. Si pemuda tercekat.
"Busyet! Cara apa yang akan kau lakukan,
Kek?" sentak Andika.
"Diam, Tolol! Kau sudah menyetujui dengan ca-
ra apa pun aku melakukan pengobatan terhadapmu!"
"Tetapi jangan seperti ini!"
Si Hantu Jantan meluruskan tubuhnya. Di-
pandangnya bungkusan di tangannya.
"Rupanya dia tidak mau, Sayangku. Jadi, aku
tidak salah, bukan? Hhh! Dia memang sudah mau
mampus!"
Sementara itu, Andika merasakan panas di se-
kujur tubuhnya semakin meninggi. Nafasnya terasa
Senin-Kamis, membuatnya bagai tak mampu untuk
melakukan apa-apa. Dia rela diobati dengan cara apa
pun. Tetapi mbok ya, jangan dikentuti!
"Iya! Iya! Sudah, obati aku cepat!" sungut Andi-
ka, akhirnya menyetujui. Hal itu didasari oleh rasa
cemas terhadap nasib Nilakanti.
Si Hantu Jantan terkekeh.
"Kau lihat sikapnya sekarang, Sayangku. Ter-
nyata otak Pendekar Slebor bebal juga! Mana ada sih,
pengobatan dengan cara seperti itu?"
Sekarang Andika sadar kalau hampir saja di-
kerjai.
"Hampir saja aku menelan bulat-bulat angin
pinggul!" dengus si pemuda jengkel.
"Hei, Bor! Sekarang, kosongkan dirimu. Jangan
sekali-sekali menahan atau mengalirkan tenaga da-
lammu bila merasakan sakit luar biasa saat aku men-
gobatimu. Kau harus ingat itu. Sekali kau lakukan,
maka justru akan mampus!"
Andika sadar, kalau apa yang terjadi ini akan
menentukan nasibnya. Dan kepalanya pun mengang-
guk.
"Lakukanlah, Pak Tua! Tetapi, bagaimana den-
gan hawa panas yang akan berpindah pada tubuhmu?"
"Tolol! Sudah tentu aku akan menutup semua
pori-pori di tubuhku agar hawa panas dari tubuhmu
akan berpindah! Aku tentu saja tak mau mati dulu!
Kalau aku mampus bagaimana? Siapa yang akan me-
nemani kekasihku ini? Sialan! Jangan-jangan, kau
mencintai kekasihku, ya? Kau mengharapkan aku ma-
ti, biar kau bisa berpacaran dengannya? Dasar kurang
ajar!"
Andika melongo mendengarnya. Bagaimana
mungkin dia mempunyai pikiran seperti itu? Bila si
Hantu Betina masih hidup saja tak akan mau mende-
katinya karena pasti sudah tua. Apalagi sekarang su-
dah mati dan kepalanya selalu dibawa si Hantu Jan-
tan? Orang tua ini sudah sinting rupanya! Atau..., jan-
gan-jangan dia memang sinting!
Si Hantu Jantan berjongkok lagi di sisinya. Di-
letakkannya bungkusan yang berisi kepala kekasihnya
di dekatnya.
"Selonjorkan kedua kakimu. Ingat! Jangan alir-
kan tenaga dalam walau apa pun yang akan kau rasa-
kan...," ingat si lelaki tua.
Andika menarik napas tiga kali. Lalu dipen-
damnya seluruh tenaga dalam. Jiwanya dikosongkan.
Perlahan-lahan tangan kurus si Hantu Jantan terasa
memegang kedua ibu jarinya. Lalu terasa aliran hawa
dingin yang membuatnya menggigil. Bentrokan hawa
dingin yang masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya
tersentak. Tubuhnya bagai disengat kekuatan dahsyat.
Andika berontak berkali-kali untuk melepaskan
kedua tangannya yang dipegang si Hantu Jantan karena rasa sakit yang tak terkira. Belum lagi ketika dira-
sakannya bagaimana ada hawa yang bagai ribuan ja-
rum masuk ke dalam tubuhnya.
"Aaa...!"
Si pemuda berteriak keras setinggi langit. Na-
fasnya terasa semakin tersengal. Kepalanya terasa
mau pecah dengan aliran darah kacau. Dia berkali-kali
muntah darah sangat kental. Sakit yang menyiksanya
belum juga terhenti. Malah semakin menggila. Seluruh
tenaga dalamnya berusaha untuk ditekan agar tidak
keluar. Bila tak mendengar penjelasan si Hantu Jan-
tan, sudah pasti tenaga dalamnya akan dialirkan guna
melawan sakit yang tak terkira.
Sementara tubuh si Hantu Jantan bergetar he-
bat. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. Na-
mun, pegangannya pada kedua ibu jari Andika tidak
terlepas. Perlahan-lahan terlihat asap mengepul dari
sana, lalu keluar dari ubun-ubun kepala Andika.
Andika yang masih menahan sakit, tak kuasa
menahannya lebih lama. Dia telah jatuh pingsan. Ber-
samaan dengan itu, pengobatan yang dilakukan si
Hantu Jantan pun selesai.
Si Hantu Jantan mendesah panjang. Tubuhnya
kelihatan lemas sekali.
"Maafkan aku, Andika. Aku hanya mampu
membuatmu bisa hidup lebih lama. Namun tak lebih
dari sepuluh hari. Selain Lima Jalan Darah, satu-
satunya yang bisa mengobatimu hanyalah Malaikat
Putih Bayangan Maut. Apakah sebaiknya aku memba-
wamu sekarang ke Lembah Matahari? Rasanya tidak
perlu. Aku harus mencari Dewi Sungai Bangkai terle-
bih dahulu! Atau..., jangan-jangan nenek peot itu su-
dah berada di sana? Hmm.... Sebaiknya aku mem-
buang hawa panas yang berpindah dari tubuh Pende-
kar Slebor ke tubuhku," desah si tua.
Kini orang tua penghuni Gunung Kabut itu du-
duk bersila untuk mengembalikan seluruh tenaganya.
Selang beberapa saat, kedua tangannya digerakkan ke
depan. Seketika serangkum angin panas menderu
dahsyat, menghantam tiga buah pohon hingga hangus.
"Benar-benar keji totokan darah yang dilaku-
kan Lima Jalan Darah. Kalau saja tenaga dalamku
pas-pasan, bisa-bisa aku yang mampus."
Lalu si tua itu menoleh pada Mawar Wangi yang
masih terbujur pingsan. Diperiksanya tubuh gadis itu.
"Hmm.... Luka di pelipisnya ini menandakan
tendangan kuat yang diterimanya. Di tubuhnya pun
ada totokan cukup kuat. Untungnya bukan totokan
darah yang diterimanya."
Tangan kurus si tua bergerak dua kali. Dibu-
kanya totokan di tubuh Mawar Wangi. Si gadis menge-
jut sebentar.
"Hm... Tak lama lagi gadis ini akan siuman. Be-
gitu pula Pendekar Slebor. Lebih baik aku tinggal saja
keduanya di sini." Si Hantu Jantan mengambil bung-
kusannya. "Sayangku.... Apakah yang kulakukan su-
dah benar? Tetapi sayangnya, aku tak mampu mengo-
bati Pendekar Slebor secara menyeluruh. Sebaiknya,
kita meneruskan saja perjalanan menuju Lembah Ma-
tahari. Sekaligus, mencari Dewi Sungai Bangkai. Ba-
gaimana? Apakah kau setuju? Ah, kau pasti setuju,
Sayangku. Karena, kaulah kekasihku yang setia."
Lalu sosok kurus dengan rambut acak-acakan
itu pun melesat meninggalkan tempat ini.
***
10
Setan Selaksa Wajah yang masih dalam pe-
nyamarannya sebagai Pendekar Slebor memandang ke
sekeliling. Ketika yakin kalau dirinya lolos dari kejaran
Lima Jalan Darah, dibukanya buntalan kain miliknya
yang masih sempat diambil tadi. Lalu dia melompat ke
balik semak untuk mengubah. Begitu muncul kini
yang terlihat lelaki tampan mempesona.
Setelah itu, Setan Selaksa Wajah melenting rin-
gan ke atas pohon tempat Nilakanti berada. Dia terke-
keh-kekeh melihat keadaan si gadis yang masih ping-
san dalam keadaan tertotok.
"Sangat menyenangkan suasana seperti ini. Na-
sib Pendekar Slebor sudah di ujung tanduk. Sampai
saat ini aku yakin, tak seorang pun yang tahu kebera-
daanku di sini. Hmm.... Sebaiknya aku tinggal me-
nunggu saja saat yang paling tepat untuk membunuh
Pendekar Slebor dan mendapatkan Tasbih Emas Bida-
dari. Karena, Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai
Bangkai pun menginginkan kematian Pendekar Slebor.
Berarti aku tinggal makan nangkanya saja. Mereka
yang makan getahnya. Sangat menyenangkan," oceh-
nya.
Tangan liar Setan Selaksa Wajah perlahan-
lahan menggerayangi tubuh Nilakanti yang dalam kea-
daan pingsan. Sepasang matanya semakin liar menjila-
ti tubuh yang indah itu. Diangkatnya tubuh Nilakanti,
dan dibawanya ke bawah. Seketika dia menyelinap
masuk ke balik semak. Dibebaskannya totokan pada
tubuh Nilakanti. Si gadis mengejut sebentar, namun
belum tersadar dari pingsannya.
"Menyenangkan. Sangat menyenangkan...," de-
sis Setan Selaksa Wajah sambil membuka pakaiannya.
Tubuhnya bergetar oleh rangsangan birahi yang tinggi.
Tangannya meraba kembali tubuh Nilakanti. Lalu den-
gan penuh nafsu, disobeknya pakaian si gadis di ba-
gian dada.
Brettt...!
Seketika dua bukit kembar menyembul dengan
bentuk gempal dan mulus. Sepasang mata Setan Se-
laksa Wajah semakin liar berbinar menjilati. Namun
belum lagi maksud jahatnya dilaksanakan, tiba-tiba
terdengar derap langkah kuda dari kejauhan.
"Setan keparat!" makinya geram.
Dari balik semak, Setan Selaksa Wajah melihat
sepuluh ekor kuda bergerak dan berhenti di depannya.
Dari pakaian yang dikenakan, bisa ditebak kalau me-
reka adalah orang-orang Kadipaten Karanganyar.
"Hmm.... Manusia-manusia keparat itu pasti
mencari gadis yang kuculik!" duga Setan Selaksa Wa-
jah dalam hati.
Apa yang diperkirakan lelaki itu memang benar.
Sepuluh laki-laki gagah berkuda itu memang orang-
orang kadipaten. Mereka diperintahkan Adipati Rama-
da yang tadi pagi terkejut ketika melihat kamar putri
kesayangannya kosong, sementara jendela kamarnya
terbuka. Dengan hati geram Adipati Ramada memerin-
tahkan sepuluh pengawalnya untuk mencari Mawar
Wangi.
"Kakang Kataran. Di mana kita harus mencari
Putri Mawar Wangi?" tanya seorang lelaki berwajah bu-
lat. Di punggungnya terdapat tombak tajam.
Lelaki bernama Kataran yang memimpin pasu-
kan itu terdiam. Wajahnya yang kukuh nampak berge-
tar. Dia memikirkan kemungkinan seorang lelaki tinggi
besar yang telah membunuh Subali dan para pengawal
sepulang dari mengantar Mawar Wangi berburu. Apa-
kah manusia keparat itu yang membawa lari Mawar
Wangi?
"Aku tidak tahu. Tetapi sebaiknya, kita berpen-
car saja di sini. Lima orang ke sebelah barat, lima
orang lagi ke sebelah timur. Bila sampai malam nanti
tidak menemukan jejak Putri Mawar Wangi, kita ber-
kumpul kembali di sini untuk menentukan langkah se-
lanjutnya," ujar Kataran.
Kataran pun membagi pasukan menjadi dua
kelompok. Masing-masing kelompok lima orang. Na-
mun belum lagi mereka bergerak, tiba-tiba....
"Lelaki laknat! Lebih baik kau mampus!" Para
prajurit kadipaten tersentak ketika terdengar bentakan
keras. Bersamaan dengan itu terdengar menyambar
dari balik semak. Lalu, melompat keluar satu sosok
tubuh, melewati orang-orang kadipaten.
***
Rupanya, Nilakanti yang baru tersadar dari
pingsan langsung memekik keras sambil menutup da-
danya yang terbuka. Si gadis segera melancarkan se-
rangan pada Setan Selaksa Wajah yang sedang mem-
belakanginya!
Namun si lelaki yang juga merubah wajah ini
cepat melesat keluar. Dan Nilakanti pun melesat me-
nyusul disertai serangan mautnya.
"Siapa kau sebenarnya, Manusia Hina?!" bentak
si gadis disertai serangan yang mengeluarkan angin
dingin ke arah Setan Selaksa Wajah.
Sementara itu, Kataran terkejut begitu menge-
nali gadis yang sedang menyerang lelaki berwajah
tampan di hadapannya. Kalau tak salah ingat, gadis
itulah yang datang bersama Pendekar Slebor ketika
menyelamatkan sekaligus mengantar Mawar Wangi ke
kadipaten.
Menyadari hal itu, lelaki pengawal ini langsung
melompat dari kudanya.
"Kurung laki-laki itu!" seru Kataran.
Seketika para pengawal kadipaten mengurung
Setan Selaksa Wajah yang sedang menghindari gempu-
ran-gempuran maut Nilakanti. Si gadis sudah mem-
pergunakan pedangnya. Setiap kali tangannya berge-
rak, serangkum angin dingin menderu dahsyat.
Setan Selaksa Wajah memaki tak karuan. Dia
berusaha menghindari serangan dari Nilakanti. Namun
si gadis yang tak tahu siapa lelaki tampan yang berada
di hadapannya ini tak menghentikan serangannya se-
kali pun. Karena dia yakin, lelaki liar inilah yang hen-
dak menjelajahi tubuhnya.
Sesaat ingatan si gadis kembali pada Pendekar
Slebor. Di mana pendekar urakan itu berada? Dan di
mana Mawar Wangi? Berpikir tegang demikian, Nila-
kanti semakin menerjang ganas.
"Gadis keparat! Kau tak tahu berhadapan den-
gan siapa!"
Tiba-tiba saja tubuh Setan Selaksa Wajah ber-
putar setengah lingkaran, seperti menyongsong pusa-
ran pedang Nilakanti. Gebrakannya mengundang
tanya. Karena hanya orang yang mau mati saja yang
berani nekat berbuat seperti itu. Dan ini membuat Ni-
lakanti merasa di atas angin. Karena diyakini, dalam
gebrakan berikutnya akan menguasai pertarungan.
Namun rupanya apa yang telah diduga meleset.
Karena, Setan Selaksa Wajah justru membuang tu-
buhnya, ketika pedang di tangan murid Malaikat Putih
Bayangan Maut itu mendekat.
Wuutt!
Sambaran pedang Nilakanti meleset. Pada saat
yang sama. Satu tendangan Setan Selaksa Wajah me-
luruk cepat, tak terhindari lagi.
Duk!
"Aaakh...!"
Nilakanti terjajar beberapa langkah disertai pe-
kik kesakitan.
"Tangkap laki-laki itu!" teriak Kataran yang se-
jak tadi memperhatikan pertarungan.
Serentak sepuluh orang menyerbu Setan Selak-
sa Wajah.
Deb! Deb!
"Aaakh...!"
Namun dalam dua gebrak saja, yang tersisa
hanya tinggal tiga orang pengawal. Selebihnya tewas
dengan tubuh bagai tercacah!
Kataran menggeram murka melihat anak
buahnya berjatuhan. Tombak di tangannya mengayun
mencari sasaran. Nilakanti sendiri sudah masuk me-
nyerbu dengan hebatnya.
Bet! Bet!
"Aaakh...!"
Akan tetapi, lagi-lagi Setan Selaksa Wajah me-
nunjukkan kepandaiannya. Setelah lima jurus berlalu,
dia berhasil membunuh dua orang dari sisa pengawal
kadipaten. Sementara Kataran sendiri me-nerima pu-
kulan yang bagai mematahkan tulang iganya.
Nilakanti sendiri mengalami hal yang sama.
Tubuhnya terjajar tiga tombak ke belakang, setelah
terkena tendangan keras Setan Selaksa Wajah.
"Hhh! Kalian tak pernah memandang betapa
tingginya langit!" desis Setan Selaksa Wajah.
"Manusia hina! Kaulah yang tak pernah me-
mandang langit!" balas Nilakanti sambil berusaha
bangkit. Namun si gadis tak kuasa melakukannya. Ka-
rena, seluruh persendian di tubuhnya bagai mati.
Kataran hatinya sudah panas segera menerjang
dengan sisa tenaganya. Namun hanya memiringkan
tubuhnya, Setan Selaksa Wajah membuat serangan
Kataran hanya menebas angin. Bahkan satu jotosan
pada punggung membuat pengawal itu jatuh pingsan.
"Sekarang giliranmu, Gadis Manis. Setelah kau
beres, tinggal Pendekar Slebor yang harus kube-
reskan!"
Hati Nilakanti menjadi ciut ketika lelaki tampan
itu mendekatinya dengan seringai buas yang membuat
bulu kuduk meremang.
"Tak ada yang bisa menolongmu sekarang...."
"Kutu loncat! Apa kau tidak lihat ada aku di si-
ni?!"
Mendadak terdengar seruan dari sebelah kiri.
Setan Selaksa Wajah menoleh. "Kang Andika! Mawar!"
seru Nilakanti.
***
Bagaimana Pendekar Slebor bisa sampai di si-
ni? Setelah siuman dari pingsannya karena tak sang-
gup menahan sakit akibat pengobatan yang dilakukan
si Hantu Jantan, Andika terbangun. Dan yang pertama
kali dilihatnya adalah wajah cantik Mawar Wangi yang
lebih dulu siuman.
Andika pun teringat pada Nilakanti. Namun
yang membuatnya heran ketika bertanya pada Mawar
Wangi, justru gadis ini belum bertemu Nilakanti lagi.
Keheranan si pemuda semakin menjadi-jadi ketika di-
katakan, kalau Mawar Wangi menunggu kedatangan-
nya di tempat tadi. Bahkan Andika yang mengajaknya
keluar dari kadipaten.
Pasti ada yang salah, pikir Andika. Maka segera
diajaknya Mawar Wangi untuk mencari Nilakanti. Me-
mang agak terlambat. Namun nasib jelek belum me-
nimpa murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu.
"Hhh! Bila kau ingin selamat, serahkan Tasbih
Emas Bidadari kepadaku!" dengus Setan Selaksa Wa-
jah, begitu melihat tampang Pendekar Slebor.
"Menyerahkannya sangat gampang. Tetapi me-
nyerahkannya pada manusia sepertimu, perlu ada ke-
sepakatan?" sahut Andika.
"Apa maksudmu?"
"Kau mendapatkan pusaka ini dariku. Semen-
tara aku mendapatkan kepalamu. Bagaimana? Kese-
pakatan yang bagus sekali, bukan?"
"Setan alas! Kulumat tubuhmu, Pendekar Sle-
bor!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Setan Selaksa
Wajah melompat ke arah Andika. Si pemuda urakan
segera berkelit dengan melompat ke sana kemari den-
gan gerakan cepat mengagumkan.
Beberapa kali suara bagai petir menyalak ter-
dengar. Andika yang merasakan betapa kuatnya tena-
ga dalam lawan, segera mengalirkan tenaga 'inti petir'
tingkat ke sepuluh.
Kini pertempuran berlangsung sengit. Setan Se-
laksa Wajah mengeluarkan segenap kemampuan men-
desak Pendekar Slebor. Namun si pemuda membalas
tak kalah ganas.
Desss...!
Bukkk...!
Dalam jurus berikutnya, Setan Selaksa Wajah
berhasil mendaratkan satu tendangan ke dada. Na-
mun, dia pun harus menerima pukulan yang kuat di
punggungnya.
Andika mundur dua tindak sambil cengenge-
san.
"Tidak sakit! Payah juga! Tendanganmu," oceh
si pemuda. Padahal mulutnya meringis menahan sakit.
Mendengar ejekan seperti itu, Setan Selaksa
Wajah menggeram marah. Kali ini serangan yang dila-
kukan cepat luar biasa. Tubuhnya berputar melingkari
Andika sambil mengirimkan jotosan.
Justru sekarang Andika yang kelabakan mene-
rima serangan. Dia mendelik gusar sambil berusaha
menghindar. Namun karena gerakannya selalu tertu-
tup oleh pusaran tubuh Setan Selaksa Wajah. Bah-kan
tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan.
"Biang panu! Ibuku saja tak memukul kepala,
dia enak sekali menjitak kepalaku!" maki Andika, da-
lam hati. Siapa sebenarnya laki-laki tampan ini? Ru-
panya banyak yang menginginkan Tasbih Emas Bida-
dari dan nyawaku! Hmm.... Lima Jalan Darah dan De-
wi Sungai Bangkai bisa menjadi momok yang mengeri-
kan. Tetapi, aku masih belum mengerti apa yang di-
maksud Mawar Wangi, Lima Jalan Darah, dan Dewi
Sungai Bangkai yang mengatakan kalau aku pernah
berjumpa mereka sebelumnya?!"
Meski kebingungan, Andika terus berusaha
Memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Otak encer-
nya terus bekerja sambil melayani serangan-serangan
ganas.
Dan tiba-tiba saja, Andika membuat gerakan
menakjubkan.
Breeeppp!
Di tangan si pemuda tahu-tahu sudah terpe-
gang kain pusaka bercorak catur warisan Ki Saptaca-
kra. Ketika dikibaskan, terdengar suara menggelegar
bagai sambaran petir. Dan tahu-tahu, kain pusaka itu
melibat kaki Setan Selaksa Wajah.
"Hih!"
Dengan cepat Andika menarik kain itu dan
membantingnya.
Bruk!
Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor me
nyusuli dengan satu jotosan telak di dada Setan Selak-
sa Wajah.
Desss!
Setan Selaksa Wajah jatuh terjengkang. Dari
mulutnya mengalir darah segar.
Andika terperangah. Karena lelaki itu masih bi-
sa berdiri kembali, meskipun sudah agak sempoyon-
gan. Menyadari hal itu, Andika segera menerjang den-
gan ajian 'Guntur Selaksa' yang sudah terangkum di
tangannya.
Des!
Kembali tubuh Setan Selaksa Wajah terjeng-
kang sejauh tiga tombak, terkena pukulan keras Andi-
ka. Namun tubuhnya yang kedot itu masih bisa untuk
bangkit. Kini baru disadari, siapa pemuda lawannya.
Dan dia merasa lebih baik menghindar dari-pada mati
di tangan Pendekar Slebor sebelum mendapatkan apa
yang diinginkannya.
Begitu bisa bangkit, Setan Selaksa Wajah ber-
balik dan melesat pergi.
"Hei! Mau ke mana kau?" seru Andika sambil
mengejar. Namun sosok lelaki tampan itu sudah
menghilang dari pandangan. "Siapa sebenarnya dia?"
Andika lantas mendekati Nilakanti yang masih
ditemani Mawar Wangi.
"Siapa sih dia?" tanya si pemuda. "Pacarmu, Ni-
la?"
"Enak saja! Aku justru ingin membunuhnya!
Kau ke mana saja, Kang Andika? Meninggalkan aku
begitu saja!" seru Nilakanti ketus.
Andika yang masih bingung dengan apa yang
terjadi, tak menghiraukan makian Nilakanti. Dia sudah
menatap Mawar Wangi.
"Ceritakan sekali lagi apa yang kau alami," ujar
Pendekar Slebor.
Dengan keheranan Mawar Wangi mengulang
ceritanya.
"Tetapi, aku tak pernah datang kembali ke ka-
dipaten dan mengajakmu ke hutan ini, Mawar," tandas
Andika, setelah Mawar Wangi menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kok bisa begitu?" tukas Mawar Wangi den-
gan kening berkerut. Dia berpikir, apakah Andika malu
mengatakannya karena sekarang ada Nila? "Bukankah
Kang Andika sendiri yang datang mengetuk pintu ka-
marku?" susulnya.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa bertanya pada
Nila," ujar Andika.
"Kang Andika benar, Mawar. Sejak meninggal-
kan kadipaten, dia selalu bersamaku," timpal Nilakan-
ti.
"Tetapi..., kalau begitu siapa yang datang dan
mengajakku ke sini?" tanya Mawar Wangi tak menger-
ti. "Dia..., mirip sekali denganmu, Kang Andika."
Andika terdiam sesaat.
"Nila..., bagaimana tiba-tiba kau berpisah den-
gan Mawar?" tanya si pemuda, akhirnya.
"Aku tidak tahu. Tadi kuajak dia untuk mencari
tempat yang nyaman untuk tidur. Ketika aku terlelap,
masih kurasakan totokan yang membuatku terbangun
sejenak. Tetapi selebihnya, aku tidak tahu. Karena aku
langsung pingsan. Dan ketika terbangun, lelaki kurang
ajar itu sudah berada di dekatku!"
"Kalau begitu...."
"Kang Andika...," potong Mawar Wangi dengan
suara heran. "Aku baru sekarang ini bertemu Kak Nila
lagi. Aku tak pernah mendatanginya."
"Itu yang akan kutanyakan. Mawar! Semalam
ada seseorang yang mirip denganmu mendatangi kami.
Dan kau yakin yang datang itu bukan dirimu?"
"Justru aku sedang menunggu kedatangan
Kang Andika, sampai munculnya orang yang berjuluk
Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai."
"Apa yang terjadi, Kang Andika?" tanya Nila
Kanti.
"Setelah diobati si Hantu Jantan, kesehatanku
terasa pulih kembali. Meskipun aku tak tahu apakah
pengobatannya sudah sempurna atau belum. Hmm....
Aku yakin..., ada sesuatu yang aneh yang kita alami
ini. Dan aku jadi penasaran ingin mengetahuinya, Nila,
bersediakah kau menjaga Mawar?" papar si pemuda.
"Maksud Kang Andika?" tanya Nilakanti.
"Carilah tempat persembunyian untuk semen-
tara. Aku hendak melakukan sesuatu untuk membuk-
tikan dugaanku. Karena sebelum aku bertarung, Lima
Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai pun mengata-
kan telah bertarung denganku sebelumnya. Hmm...,
berjanjilah padaku untuk menjaga Mawar."
"Kang Andika..., aku ingin membantumu."
"Tidak usah. Kau jaga Mawar dan berjanjilah
padaku."
Meskipun dari sorot matanya Nilakanti tidak
setuju, tetapi kepalanya mengangguk pula.
"Kalau begitu, pergilah kalian dari sini. Kulihat
lukamu tak seberapa parah, Nila. Bila kau sudah men-
galirkan tenaga dalam yang dipadukan dengan hawa
murnimu, pasti akan pulih kembali," ujar Andika.
Nilakanti mengangguk-angguk.
"Kang Andika...," panggil Mawar Wangi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Bisa be-
rabe. Apalagi dia melihat Nilakanti sudah melengos.
"Nila akan menjagamu. Setelah semuanya sele-
sai, kau akan kuantar ke kadipaten. Kau lihat sendiri,
mereka adalah orang-orang kadipaten. Tentunya
ayahmu cemas karena kau tak ada di kamarmu sema-
lam."
"Tetapi, bukankah Kang Andika yang menjem-
putku?"
Andika menghela napas.
"Percayalah, Mawar.... Ada sesuatu yang aneh.
Dan aku tak pernah menjemputmu semalam."
Sehabis berkata begitu, Andika berkelebat ce-
pat.
Mawar Wangi menundukkan kepalanya. Dia
masih tak mengerti, mengapa Kang Andika menyang-
kal semuanya? Sementara, Nilakanti sebagai gadis
rimba persilatan, paham apa yang sebenarnya terjadi.
***
11
Bersama luka dalamnya Setan Selaksa Wajah
terus berlari. Dan dia baru berhenti setelah tiba di
pinggir hutan sebelah tenggara. Dia berkali-kali meru-
tuki kekalahannya. Keinginannya untuk membunuh
Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Ketika lelaki ini bermaksud menyembuhkan lu-
ka dalamnya, telinganya mendengar langkah bergegas
ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya melenting ke atas
pohon. Begitu hinggap, tampak seorang gadis berlari
ke arahnya. Si gadis berhenti di bawah pohon tempat
Setan Selaksa Wajah bersembunyi, dan celingukan di
sana.
"Murid Malaikat Putih Bayangan Maut!" den-
gusnya begitu mengenali siapa yang datang.
Dengan kegeraman yang tinggi, tubuh Setan
Selaksa Wajah langsung meluncur ke arah gadis yang
ternyata Nilakanti.
Menyadari ada angin kencang yang menderu kearahnya, Nilakanti mendongak. Terdengar seruannya
yang cukup keras karena terkejut. Dia mencoba me-
nangkis serangan Setan Selaksa Wajah.
Des!
Karena tidak dalam keadaan siap serang dan
berdirinya dalam keadaan tidak menguntungkan, mau
tak mau tubuh Nilakanti tersuruk oleh hantaman Se-
tan Selaksa Wajah yang begitu keras.
Tubuh Nilakanti terguling. Setan Selaksa Wajah
yang masih dalam penyamarannya sebagai lelaki tam-
pan, langsung memburu. Kali ini seluruh keinginannya
untuk memiliki si gadis lenyap, berganti kemarahan
membludak.
Dalam keadaan terguling. Nilakanti mencoba
membuang tubuhnya. Akan tetapi, sambaran kaki Se-
tan Selaksa Wajah lebih cepat lagi.
Des!
Tubuh si gadis terlontar tiga tombak ke bela-
kang. Setan Selaksa Wajah bukannya merasa bangga
akibat tendangannya, justru menghentikan serangan-
nya dengan kening berkerut. Saat meneruskan seran-
gannya tadi, dia yakin kalau gadis itu mampu mena-
han serangannya. Bahkan membalas. Akan tetapi, ju-
stru si gadis terlempar kembali.
Setan Selaksa Wajah melihat kesempatan di
depan matanya.
"Hhh! Aku ingin lihat bagaimana murkanya
Pendekar Slebor bila melihat kau mampus di tangan-
ku, Gadis Sial!"
Begitu selesai kata-katanya, Setan Selaksa Wa-
jah membuka jurus mautnya.
Nilakanti mengangkat sebelah tangannya seo-
lah memberi isyarat agar Setan Selaksa Wajah mena-
han gerakannya. Kelihatannya dia tak mampu lagi ber-
gerak.
"Sebelum kau bunuh, aku ingin mengetahui se-
suatu. Siapa kau sebenarnya? Dan ada urusan apa?"
tanya Nilakanti.
"Orang-orang rimba persilatan menjulukiku Se-
tan Selaksa Wajah," katanya dengan nada pongah.
"Keinginanku sudah jelas. Untuk mendapatkan Tasbih
Emas Bidadari dari tangan Pendekar Slebor. Sekaligus
membunuhnya."
"Aku tak pernah percaya kau berjuluk Setan
Selaksa Wajah!" leceh Nilakanti, disertai tawa menge-
jek.
"Ha ha ha.... Sangat menyenangkan mendengar
kata-katamu itu, Gadis Manis. Tetapi sayangnya,
hanya ada seorang Setan Selaksa Wajah di dunia ini.
Dan, akulah orangnya. Apakah kau tak sadar saat kau
dan Pendekar Slebor didatangi gadis manis bernama
Mawar Wangi? Gadis itu adalah jelmaan diriku. Se-
mentara, Mawar Wangi, sedang menunggu kedatangan
Pendekar Slebor di tempat yang agak jauh...."
"Apakah kau yang menyamar sebagai Pendekar
Slebor, dan membawa Mawar Wangi meninggalkan ka-
dipaten?"
"Tepat sekali. Aku senang menjawab perta-
nyaan orang yang mau mampus!"
"Tetapi aku tetap tidak percaya kalau kau ada-
lah Setan Selaksa Wajah! Hanya seorang yang bisa me-
lakukan penyamaran seperti apa pun. Dan dia adalah
Raja Penyamar!"
"Bila aku berjumpa dengannya, orang tua kepa-
rat itu akan kubuat mampus!" dengus Setan Selaksa
Wajah dengan rahang berkerut geram.
"Tunjukkan kemampuanmu bila kau memang
Setan Selaksa Wajah!"
Merasa ditantang, kesombongan Setan Selaksa
Wajah semakin tinggi.
"Kau lihat sekarang!" serunya sambil mencopot
rambut palsunya.
Lalu dengan gerakan sangat cepat, Setan Se-
laksa Wajah mengubah wajahnya di sana-sini, setelah
mengambil alat-alat yang ada dalam buntalannya.
Di tempatnya, Nilakanti memekik. Dan kini me-
lihat wajah Mawar Wangi di hadapannya.
"Apakah kau sudah percaya sekarang?" tanya
Setan Selaksa Wajah.
Gadis itu hanya terdiam dengan tatapan tak
percaya.
"Sekarang! Mampuslah kau!"
Setan Selaksa Wajah yang menduga kalau Nila-
kanti sudah tak mampu bergerak, meluruk dengan sa-
tu serangan maut. Dengan sekali pukul, nyawa Nila-
kanti jelas-jelas akan melayang.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja tubuh ga-
dis manis yang kelihatan tak berdaya itu melenting.
Dari udara, dia menerjang ke arah Setan Selaksa Wa-
jah.
Duar!
Suara bagai salakan petir terdengar, Setan Se-
laksa Wajah terperanjat menyadari kalau tubuhnya
bagai disengat petir berkekuatan tinggi.
"Rupanya kau sudah diajarkan ajian 'Guntur
Selaksa' oleh Pendekar Slebor!" duga Setan Selaksa
Wajah.
"Dan kau akan terkejut menyadari siapa yang
kau hadapi ini?" tukas sosok Nilakanti dingin.
Lalu tangan si gadis terangkat. Dicabutnya
rambut palsu yang digunakannya. Tangannya lantas
mengupas kulit wajahnya yang ternyata terbuat dari
sejenis getah. Dan disobeknya pakaian putih yang di-
kenakannya. Tak lama kemudian, wajah Nilakanti be-
rubah menjadi sosok..., Pendekar Slebor!
***
"Anjing kurap!" maki Setan Selaksa Wajah da-
lam wajah mirip Mawar Wangi.
Andika tertawa melihat wajah yang mendadak
pias begitu. Inilah rencana yang dijalankannya. Karena
sejak mengalami kebingungan demi kebingungan yang
dialaminya, otak cerdiknya menduga kalau ada seseo-
rang yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal me-
nyamar. Selama ini dalam hal menyamar yang diketa-
huinya hanyalah Raja Penyamar. Namun dia tak me-
mungkiri kalau ada tokoh lain yang mempunyai ke-
mampuan sama.
Untuk membuktikan dugaannya, Andika senga-
ja menyamar sebagai Nilakanti. Karena dia berpikir, bi-
la memang ada orang yang seperti dugaannya itu, pasti
sudah mengenal Nilakanti. Dan dugaannya pun men-
jadi kenyataan sekarang. Ternyata sosok di hadapan-
nya mengaku sebagai Setan Selaksa Wajah. Kemam-
puannya dalam hal menyamar mungkin bisa menan-
dingi si Raja Penyamar, yang pernah menurunkan
keahliannya pada Pendekar Slebor.
"Rupanya ada pemain ketoprak di sini!" ejek
Andika dengan kedua tangan terkepal.
Sedangkan Setan Selaksa Wajah yang tak me-
nyangka melihat kenyataan ini, hanya melotot tak per-
caya. Sungguh, tak pernah diketahui kalau Pendekar
Slebor memiliki keahlian menyamar yang patut di-
banggakan pula.
Dan kemarahannya pun membuat Setan Selak-
sa Wajah segera menyerang dengan membabi-buta.
Andika yang sudah geram pun menerjang pula. Perta-
rungan sengit pun berlangsung kembali.
Sebelumnya, saat diserang Setan Selaksa Wa-
jah dalam penyamarannya sebagai Nilakanti tadi, Andika sudah membuat pertahanan diri dengan tenaga
'inti petir' pada sekujur tubuhnya. Hingga hantaman
Setan Selaksa Wajah tak membawa pengaruh apa-apa
terhadap dirinya. Saat Setan Selaksa Wajah tadi me-
nyerang, dia sudah membuang diri ke tanah.
Pertarungan itu tak terasa sudah berlangsung
dua puluh jurus. Mereka saling serang dan hindar.
Masing-masing pun menunjukkan kemampuan. Se-
rangan Setan Selaksa Wajah yang ganas itu bisa diim-
bangi Andika. Apalagi ketika pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu mempergunakan kain
bercorak catur. Dan ini membuat Setan Selaksa Wajah
harus berpikir beberapa kali untuk masuk menyerang.
Dan beberapa kali pula jotosan Andika masuk,
membuat tubuh Setan Selaksa Wajah tersentak den-
gan aliran hawa panas pada tubuhnya. Menyusul satu
tendangan keras, membuat Setan Selaksa Wajah ter-
lempar disertai muntahan darah.
"Busyet! Kok jadi begini, sih? Tadi kau bersama
gadis itu, Andika. Sekarang, justru kau menyerangnya
mati-matian!"
Mendadak terdengar suara dari samping, saat
Andika sudah siap melancarkan serangannya pada Se-
tan Selaksa Wajah.
Andika menoleh. Tampak si Hantu Jantan se-
dang menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ditatap-
nya bungkusan yang dipegangnya.
"Kau lihat sendiri pemuda brengsek itu,
Sayangku? Memang aku yakin, dia tak pantas menda-
patkan gadis secantik dia. Tetapi..., rasa-rasanya aku
melihat sesuatu yang aneh dari gadis itu. Apakah kau
melihatnya pula, Sayangku? Oh, kau melihatnya? Ya,
ya.... Tanda silang pada telapak tangan kanannya ju-
stru mengingatkan aku pada manusia busuk puluhan
tahun yang lalu, Sayangku. Kau mengingatnya pula?"
Andika yang tak mengerti apa yang dikatakan
si Hantu Jantan, siap melancarkan serangan.
"Tahan!" seru si Hantu Jantan. "Kau tak akan
bisa membunuh manusia keparat itu, Pendekar Sle-
bor."
"Dia bukan Mawar Wangi. Pak Tua. Dia Setan
Selaksa Wajah!"
"Aku sudah tahu! Tua bangka keparat yang su-
dah berusia seratus tahun itu rupanya masih bisa
mengubah dirinya menjadi apa yang disukai. Sampai
saat ini, aku memang tak tahu bagaimana rupa as-
linya. Tetapi aku tahu kalau dia adalah manusia bu-
suk dari tanda silang di telapak tangannya! Minggir!
Biar aku yang menangani manusia ini! Dia punya si-
lang sengketa padaku puluhan tahun yang lalu!"
"Sepasang Hantu Neraka! Rupanya kau tinggal
sendiri sekarang! Bagus, ingin kulihat kemampuan-
mu!" kata Setan Selaksa Wajah. Dia sudah bisa bang-
kit, walau menderita luka dalam cukup parah.
Si Hantu Jantan terbahak-bahak.
"Apakah aku tidak tahu, kalau kau sudah
mempersiapkan ajian 'Telapak Akhirat'?! Kalau pulu-
han tahun yang lalu kau bisa mengalahkan aku den-
gan ajian keparat itu, sekarang jangan harap mampu
melakukannya!"
Mendengar kata-kata itu, Pendekar Slebor jadi
tercenung sendiri. Ajian 'Telapak Akhirat'? Desisnya.
Rupanya Sepasang Hantu Neraka dulu memang mem-
punyai silang sengketa dengan Setan Selaksa Wajah.
"Sudah sana! Minggir!"
Sehabis membentak begitu, si Hantu Jantan
berkelebat cepat ke arah Setan Selaksa Wajah. Desin-
gan angin meluncur cepat. Dan dari kelebatan tubuh si
Hantu Jantan memancar sinar kuning menggidikkan.
"Hup!"
Setan Selaksa Wajah melompat dengan satu
egosan. Lalu mendadak dia menyergap ke arah telapak
tangan si Hantu Jantan. Namun dengan cepat si Han-
tu Jantan menarik tangannya.
"Nah kau lihat sendiri, Andika! Bila dia berhasil
menyentuh tanganku yang memancarkan hawa dingin,
berarti siap melancarkan ajian 'Telapak Akhirat'-nya!
Tetapi sayangnya, dia tak akan mampu melakukan-
nya!"
Apa yang dikatakan si Hantu Jantan memang
benar. Dalam dua gebrak berikutnya, Setan Selaksa
Wajah terdesak hebat oleh serangan-serangannya yang
berbahaya. Dan berkali-kali tubuhnya terhantam pu-
kulan dahsyat.
"Aaaakhhh...!"
Tiba-tiba Setan Selaksa Wajah menjerit setinggi
langit ketika tangannya ditangkap tangan si Hantu
Jantan yang memancarkan panas amat dahsyat. Lalu
ditekannya dengan kuat.
"Manusia keparat ini tak akan memiliki kekua-
tan bila tanda silang merah pada telapak tangannya di-
tangkap. Lebih tak berdaya lagi, bila tangan ini dipo-
tong!"
Jeritan Setan Selaksa Wajah yang setinggi lan-
git disusul kelojotan tubuhnya. Namun tangan si Han-
tu Jantan bagai sebuah capit bertenaga raksasa yang
sangat keras. Tak mudah bagi Setan Selaksa Wajah
untuk melepaskan diri. Akibatnya, tubuhnya terasa
semakin lama semakin lemas. Tenaganya bagai hilang
perlahan-lahan. Dan jeritannya pun mulai melemah.
"Sayangku.... Apakah aku harus membunuh
manusia sialan ini?" tanya si Hantu Jantan pada
bungkusan yang dipegangnya. "Oh, kau mengizinkan
aku membunuhnya? Baik, baik aku akan melakukan-
nya!"
Setan Selaksa Wajah yang tak berdaya membe-
lalakkan matanya. Disadari kalau maut sudah di am-
bang pintu. Tetapi....
Desss...!
Wuutt...!
Justru lelaki ini terkejut ketika tubuhnya ter-
lontar ke belakang. Sementara tubuh si Hantu Jantan
tertarik ke samping oleh sambaran satu sosok bayan-
gan hijau pupus. Pada saat yang sama, meluruk sinar-
sinar hitam yang tak menemukan sasaran.
Duaarr! Duaaarr!
Ledakan keras terdengar dua kali. Dan pohon
besar di belakang mereka seketika hangus terhantam
sinar-sinar hitam itu.
***
12
Apa yang sebenarnya terjadi? Di saat si Hantu
Jantan berniat menghabisi Setan Selaksa Wajah, Pen-
dekar Slebor melihat dua buah sinar hitam yang men-
geluarkan bau busuk berkelebat ke arah si Hantu Jan-
tan. Maka dengan mempergunakan seluruh tenaga da-
lam dan ilmu meringankan tubuhnya, Andika melesat
menendang tubuh Setan Selaksa Wajah sekaligus me-
nyambar tubuh si Hantu Jantan.
Yang disambar Andika justru memaki-maki.
"Pemuda brengsek! Mau apa sih kau sebenar-
nya?"
"Apa kau tidak lihat kalau kedua pohon itu
hangus, Pak Tua?" tukas Andika sambil menunjuk po-
hon yang dimaksud.
"Masa bodoh! Aku ingin membunuh manusia
keparat itu! Hei, Manusia Jelek! Sini kau!" seru si Han-
tu Jantan pada Setan Selaksa Wajah yang terkulai tak
berdaya. Nafasnya terlihat terputus-putus.
Andika yang merasa bahaya lain akan datang,
bersiaga tanpa mempedulikan makian si Hantu Jan-
tan. Dan kini bisa terlihat siapa yang muncul di hada-
pannya. Lima Jalan Darah dan Dewi Sungai Bangkai!
Si Hantu Jantan yang sudah melangkah dua
tindak untuk mendekati Setan Selaksa Wajah seketika
melotot begitu melihat Dewi Sungai Bangkai. Kemara-
hannya bertambah tinggi.
"Rupanya kau berada di sini, Nenek Busuk!"
"Orang tua bau tanah! Apakah kau memang in-
gin mampus?" balas si nenek sengit.
Menyadari kalau manusia yang dicarinya bera-
da di hadapannya, si Hantu Jantan langsung men-
gempos tubuhnya. Gerakannya cepat luar biasa penuh
tenaga dalam tinggi.
Dewi Sungai Bangkai mendengus. Cepat kedua
tangannya menghentak, mengirimkan pukulan berbau
busuk.
Sementara Lima Jalan Darah tengah memper-
hatikan Pendekar Slebor dengan tatapan gusar. Dia ti-
dak mengerti ketika melihat pemuda berpakaian corak
catur itu dalam keadaan biasa-biasa saja. Bahkan na-
fasnya tak terlihat tersendat. Padahal dia yakin, dua
totokan darahnya tepat mengenai tubuh Pendekar Sle-
bor.
"Pendekar Slebor! Serahkan Tasbih Emas Bida-
dari kepadaku!" bentak Lima Jalan Darah.
"Kalau aku tak mau menyerahkannya, bagai-
mana?" tukas Andika.
"Setan alas!"
Mendadak saja Lima Jalan Darah mengibaskan
tangannya. Seketika meluruk angin dahsyat meluncur
cepat.
Andika mencelat cepat dengan segala kelinca-
hannya. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan Lima
Jalan Darah. Makanya dicobanya untuk menghindar
sambil mencari sela menyerang.
Namun kali ini, Lima Jalan Darah sudah men-
gerahkan kecepatannya yang luar biasa. Serangan-
serangan totokan darahnya benar-benar mengerikan.
"Monyet busuk! Gembel kurapan!" maki Andika.
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali ha-
rus mempergunakan kain bercorak caturnya. Sekali
tangannya mengibas, terdengar suara menggeletar dis-
ertai sambaran angin yang mengacaukan serangan Li-
ma Jalan Darah.
"Keparat! Kain pusaka itu menghalangi setiap
gerakanku! Dan angin yang keluar seolah mematikan
setiap totokan darah yang kulakukan! Aku harus me-
rebutnya lebih dulu!"
Mendadak saja Lima Jalan Darah bergerak
memutari tubuh Andika. Pendekar Slebor tercekat, ka-
rena lagi-lagi harus menerima serangan seperti itu.
"Kutu monyet!" maki Andika.
Pendekar Slebor kelihatannya kebingungan un-
tuk menghentikan serangan Lima Jalan Darah yang
berupa jotosan dan tendangan mengandung tenaga da-
lam penuh. Dua kali tubuhnya terhantam tendangan-
nya. Lalu satu jotosan membuat tubuhnya terpental.
Saking kerasnya tubuh Andika meluncur ke be-
lakang, hingga dari balik perutnya mencelat sebuah
benda memancarkan sinar keemasan.
Melihat benda itu, sepasang mata Lima Jalan
Darah terbelalak. Dengan cepat disambarnya benda
itu. Namun....
"Setan keparat!"
Segera tubuh Lima Jalan Darah melenting ke
belakang saat satu sosok tubuh menghalanginya den-
gan kibasan pedang. Bahkan sosok itu pun menyam-
bar benda yang tak lain pusaka darah Ki Bubu Jagat,
Tasbih Emas Bidadari.
Tap!
Lalu dengan lincahnya sosok ramping itu hing-
gap di tanah.
Penuh kegeraman Lima Jalan Darah meman-
dang sosok yang berhasil merampas Tasbih Emas Bi-
dadari.
"Serahkan Tasbih Emas Bidadari kepadaku!"
bentak Lima Jalan Darah.
Sosok ramping yang tak lain Nilakanti melotot
garang.
"Manusia hina! Sebaiknya kau mampus daripa-
da membuat celaka di dunia ini!" bentak Nilakanti.
"Gadis kurang ajar! Kau akan menyesali ocehan
busukmu itu!" desis Lima Jalan Darah seraya mengge-
rakkan tangannya cepat.
"Pergunakan kecepatanmu, Nila! Jangan sam-
pai terkena totokan darah yang dilakukannya!" teriak
Pendekar Slebor.
Begitu mendengar seruan Pendekar Slebor, Ni-
lakanti urung untuk menyongsong serangan. Tubuh-
nya berkelit lincah.
Beberapa kali Lima Jalan Darah melakukan se-
rangannya. Namun, tak satu pun yang mengenai sasa-
ran. Hal ini membuatnya semakin kalap. Dan kini sa-
sarannya adalah Pendekar Slebor.
Wusss!
Andika tercekat melihat serangkum angin me-
luruk ke arahnya.
"Monyet pitak!" makinya seraya bergulingan.
Tak! Tak! Tak!
"Auuukhhh...!"
Namun gerakan yang dilakukan Pendekar Sle-
bor terlambat. Karena tiga buah totokan sudah sing-
gah di tubuhnya diiringi jeritan setinggi langit. Seketi-
ka Andika merasa nafasnya tersengal. Hawa panas
pun mengalir di sekujur tubuhnya. Lebih menyiksa da-
ripada sebelumnya.
Melihat hal itu Nilakanti berteriak kaget. Kalap,
dia menderu ke arah Lima Jalan Darah. Dalam kea-
daan begini, serangannya justru jadi tak menentu. Dan
dengan mudahnya Lima Jalan Darah menghindari.
Bahkan mengirimkan satu jotosan telak!
Desss...!
Nilakanti pingsan seketika.
Kini Lima Jalan Darah berdiri dengan tatapan
liar ke arah Tasbih Emas Bidadari yang berada di tan-
gan kiri Nilakanti. Dengan perlahan didekatinya gadis
itu.
***
Sementara itu pertarungan si Hantu Jantan
dengan Dewi Sungai Bangkai semakin seru saja. Da-
lam hati penuh amarah dan dendam, si Hantu Jantan
menyerang si nenek secara bertubi-tubi.
Dewi Sungai Bangkai yang bukan tandingan si
Hantu Jantan, berkali-kali harus merelakan tubuhnya
terkena hantaman keras.
Dewi Sungai Bangkai benar-benar tak mampu
lagi bertahan. Dalam dua gebrakan berikutnya, men-
dadak tangan kurus si Hantu Jantan yang sekeras besi
memapas lehernya!
Crasss...!
"Aaakhhh...!"
Kepala Dewi Sungai Bangkai terpental, tubuh
tanpa kepala yang memuncratkan darah dari leher itu
bergerak terhuyung, lalu ambruk. Si Hantu Jantan
mendengus puas sambil mengusap wajahnya yang ter-
kena muncratan darah Dewi Sungai Bangkai. Lalu ke-
palanya berpaling pada bungkusan yang dipegangnya.
"Sayangku, semoga kau puas. Dan aku berjanji,
tak akan pernah lagi membunuh," katanya, lirih.
Kepala si Hantu Jantan menoleh, melihat ba-
gaimana Pendekar Slebor tengah dalam keadaan ter-
siksa akibat totokan Lima Jalan Darah, memaksa tu-
buhnya untuk bergulingan ke arah Tasbih Emas Bida-
dari.
Tesss!
Begitu kaki si pemuda bergerak, Tasbih Emas
Bidadari yang hendak diambil Lima Jalan Darah ter-
pental. Bersamaan dengan itu, sambil mengerahkan
sisa tenaganya, Andika melenting. Disambarnya Tasbih
Emas Bidadari yang masih melayang.
Tap!
Begitu hinggap di tanah, tubuh Pendekar Sle-
bor sempoyongan.
Lima Jalan Darah menggeram murka. Tangan-
nya bergerak kembali.
"Setan alas kau, Pendekar Slebor!" dengusnya
seraya mengibaskan tangannya.
Untungnya si Hantu Jantan cepat melesat ke
arah Pendekar Slebor. Segera disambarnya pemuda
urakan itu.
Tes! Tes!
Totokan darah yang dilepaskan Lima Jalan Da-
rah pun hanya mengenai lima buah pohon hingga
hangus.
"Hhh! Rupanya kaulah yang berjuluk Lima Ja-
lan Darah!" dengus si Hantu Jantan, setelah meletak-
kan tubuh Pendekar Slebor.
"Orang tua sinting! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum menjadi sasaran!" ancam Lima Jalan
Darah.
"Bicara memang gampang. Tetapi sayangnya,
aku ingin melihat kehebatanmu!"
Sehabis berkata begitu dengan masih meme-
gang bungkusan di tangannya, si Hantu Jantan berge-
rak cepat ke arah Lima Jalan Darah. Namun dengan
tenangnya lelaki tampan ini segera mengibaskan tan-
gannya.
"Setan!" maki si Hantu Jantan. Cepat dia mem-
buang tubuhnya ketika merasakan sambaran panas ke
arahnya.
"Tinggalkan tempat ini, Orang Tua Busuk!" ma-
ki Lima Jalan Darah dengan tangan terus bergerak-
gerak melepaskan totokan lima jalan darahnya yang
mengerikan.
Si Hantu Jantan yang baru saja bangkit berdiri
menjadi kalang kabut. Meskipun demikian, dia masih
bisa menunjukkan kemampuannya sebagai tokoh rim-
ba persilatan. Dengan gerakan luar biasa cepatnya dia
menghindar. Tubuhnya melenting ke atas. Dari udara,
tangannya mengibas cepat.
Lelaki berbaju biru menyala itu tercekat dan
terpaksa mundur beberapa langkah.
"Hhh! Orang tua bau tanah ini tak boleh diang-
gap enteng! Kecepatannya sangat sukar kuikuti.
Hmm.... Sejak tadi dia selalu memegang bungkusan di
tangannya. Dan dari cara memegangnya, jelaslah ka-
lau bungkusan itu sangat berharga baginya. Baiknya,
aku coba dugaanku ini!"
Kalau tadi Lima Jalan Darah mengarahkan se-
rangan pada bagian-bagian jalan darah di tubuh si
Hantu Jantan, kali ini diarahkan pada bungkusan
yang dipegang Penguasa Gunung Kabut.
Dan dugaan lelaki berbaju biru itu ternyata
membawa hasil.
"Anak setan! Kau harus membayar perlakuan
busukmu pada kekasihku ini!" maki si Hantu Jantan,
seraya kalang kabut menyelamatkan bungkusannya.
Lima Jalan Darah merasa sudah menemukan
cara menyerang yang paling enak. Maka dia terus
mengarahkan serangan-serangan mautnya pada bung-
kusan di tangan si Hantu Jantan.
"Bangsat setan!" rutuk si Hantu Jantan, kalang
kabut. Keringatnya sudah banyak mengalir berbalur
dengan ketegangan mendalam.
Pendekar Slebor yang melihat keadaan gawat
yang dialami si Hantu Jantan, menarik napas panjang.
"Tak ada jalan lain. Untuk menghadapi Lima
Jalan Darah yang kesaktiannya begitu tinggi, terutama
serangan totokan darahnya, terpaksa aku harus mem-
pergunakan kesaktian Tasbih Emas Bidadari," desis si
pemuda sambil menatap Tasbih Emas Bidadari yang
berada di tangannya. "Mudah-mudahan caraku ini
berhasil. Aku ingin, tenaga yang dimiliki Lima Jalan
Darah melemah. Dan dia tak mampu melakukan se-
rangannya!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba saja tubuh
Pendekar Slebor bergetar hebat. Dalam keadaan terlu-
ka parah akibat terkena totokan Lima Jalan Darah un-
tuk kedua kalinya, si pemuda menjerit setinggi langit.
Panas menyengat terasa mendesak-desak sekujur tu-
buhnya yang terhuyung-huyung.
Pada saat yang demikian, Pendekar Slebor
bermaksud melepaskan Tasbih Emas Bidadari. Karena
dia yakin getaran hawa panas yang masuk ke tubuh-
nya berasal dari pusaka sakti itu. Akan tetapi, keingi-
nannya tak bisa dilakukan. Karena, Tasbih Emas Bi-
dadari bagai melekat di tangannya. Sementara tubuh-
nya terus saja terhuyung-huyung.
Si Hantu Jantan yang melihat keadaan itu
menjadi terpecah perhatiannya. Namun untungnya,
pada saat yang bersamaan Lima Jalan Darah meng-
hentikan serangannya. Ketamakannya untuk menda-
patkan pusaka Tasbih Emas Bidadari membuatnya
tertawa. Terutama ketika melihat keadaan Pendekar
Slebor yang bagai sekarat.
"Ha ha ha.... Kini saatnya bagimu untuk pergi
ke neraka, Pendekar Slebor!" serunya terbahak-bahak.
Tangan lelaki ini pun bergerak beberapa kali.
Namun yang mengejutkannya, tubuhnya mendadak te-
rasa melemah. Dan dia tak mampu melakukan totokan
lima jalan darah!
"Edan! Kenapa jadi begini?!" rutuknya.
***
13
Tepat ketika tubuh Lima Jalan Darah melemah,
keadaan Pendekar Slebor pulih kembali. Selesai sudah
terhuyung-huyungnya. Getaran pada tubuhnya pun
melemah. Meskipun demikian, nafasnya masih tersen-
gal akibat totokan darah yang dilakukan Lima Jalan
Darah.
"Terima kasih...," desah Pendekar Slebor pelan,
seolah berkata pada Tasbih Emas Bidadari.
Si Hantu Jantan hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat ambruknya Lima Jalan Darah den-
gan kedua lutut tertekuk dan dalam keadaan tak ber-
daya.
"Pusaka milik Ki Bubu Jagat memang sangat
mengerikan. Sudah selayaknya bila Malaikat Putih
Bayangan Maut yang menjaga Tasbih Emas Bidadari,"
kata si Hantu Jantan sambil mendesah panjang. Lalu
dihampirinya Andika. "Untuk kedua kalinya kau terlu-
ka akibat totokan yang dilancarkan Lima Jalan Darah.
Kali ini aku tak sanggup mengobatimu. Sebaiknya, kita
segera menuju Lembah Matahari."
Andika yang merasa seluruh tenaganya terku-
ras, hanya mengangguk-angguk saja. Sedikit pun tak
ada suara yang keluar dari mulutnya. Nafasnya masih
terasa tersendat.
"Lima Jalan Darah tak akan mampu bergerak
lagi, sebelum kau mencabut kata-katamu pada Tasbih
Emas Bidadari. Tetapi untuk manusia busuk seperti
dia, nampaknya itu hukuman sangat layak!" kata si
Hantu Jantan.
Andika mengangguk-angguk. Namun sejurus
kemudian kepalanya celingukan.
"Aku tak melihat Setan Selaksa Wajah...?" ka-
tanya, lirih.
Si Hantu Jantan yang juga ikutan mencari
menganggukkan kepalanya.
"Rupanya manusia setan itu mencuri kesempa-
tan untuk kabur ketika kita disibukkan oleh lawan
masing-masing. Hei, Bor! Apakah kau akan mendiam-
kan saja murid Malaikat Putih Bayangan Maut itu?"
Andika menggeleng.
"Tolong kau gendong dia, Pak Tua. Mudah-
mudahan dalam waktu yang tak terlalu lama dia akan
siuman dari pingsannya," ujar si pemuda.
"Bagaimana dengan kau?" tukas si Hantu Jan-
tan.
"Rasanya, aku masih bisa bertahan meskipun
kesehatanku bertambah payah."
Si Hantu Jantan lantas membopong tubuh Ni-
lakanti yang masih pingsan.
"Kalau begitu, kerahkan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki. Ingat! Jangan dipadukan dengan
tenaga dalam. Aku yakin, pendekar kenamaan seper-
timu akan mampu melakukannya," ingat si Hantu Jan-
tan.
Andika menuruti saran si Hantu Jantan. Dan
kejap berikutnya, Pendekar Slebor sudah merasa bagai
terbang ketika si Hantu Jantan menyambar tangan-
nya. Sambil membopong tubuh Nilakanti, lelaki tua itu
membawa lari Pendekar Slebor.
Sementara Lima Jalan Darah tetap terduduk
dengan kedua kaki tertekuk. Tenaganya semakin lama
semakin lenyap. Untuk merintih saja, dia sudah tak
mampu.
Selebihnya, sunyi mendera.
***
Di satu tempat yang sunyi, satu sosok tubuh
sedang duduk bersemadi. Kelihatan sekali kalau lelaki
itu sudah cukup lama melakukan semadinya. Ru-
panya, dia sedang mengobati luka dalamnya.
Selang beberapa saat, lelaki itu menyelesaikan
pengobatan.
"Hhh! Kali ini kau berhasil mengalahkan aku,
Pendekar Slebor.... Namun lain kali, justru kau yang
akan berkalang tanah!"
Lelaki tampan yang tak lain Setan Selaksa Wa-
jah mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Dari wa-
jah tampan, mendadak saja terlihat wajah seorang ka-
kek tua renta tak berdaya.
"Hhh! Suatu saat, Pendekar Slebor! Suatu
saat!" desis Setan Selaksa Wajah. Lalu si kakek pergi
tertatih-tatih dari tempat ini.
***
Di sebuah kamar apik yang menebarkan bau
harum, satu sosok ramping berwajah jelita sedang me-
nangis tersendat. Tubuhnya tengkurap dengan kedua
tangan menutupi wajah.
"Kang Andika.... Apakah kita akan berjumpa la-
gi?" desahnya tersendat.
Dia adalah Mawar Wangi. Atas saran dari Nila-
kanti, gadis ini kembali ke kadipaten. Kataran yang
sudah siuman dari pingsan pun membantu Nilakanti
dalam membujuk Mawar Wangi.
Semula Mawar Wangi bersikeras menolak. Na-
mun karena Nilakanti terus membujuk akhirnya ha-
tinya luluh. Dan sekarang ini si gadis kadipaten dilan-
da rindu mendalam pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika.... Aku ingin sekali hidup bersa-
mamu. Datanglah ke sini, Andika... Datanglah... aku
pasti akan menunggumu...."
Karena terlalu lama menangis dan kelelahan
yang menderanya, gadis cantik itu tertidur.
SELESAI
Segera terbit:
MANUSIA LABA-LABA
0 comments:
Posting Komentar