"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 14 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE SENGKETA DI GUNUNG MERBABU

Sengketa Di Gunung Merbabu

 

SENGKETA DI GUNUNG MERBABU

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor : Puji S

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Sengketa Di Gunung Merbabu

128 hal.


1


Kabut seperti biasa, uap air itu selalu ber-

gerak bagai tirai di Gunung Anjasmoro. Dinginnya 

menyengat tubuh. Malah sampai menggigit tulang 

bila tidak terbiasa berada di sekitar gunung itu. 

Pagi ini tidak seperti biasanya. Ramai sekali. Mu-

rid-murid Partai Gunung Anjasmoro yang bi-

asanya setiap pagi berlatih ini tampak berjejer da-

ri mulai lereng jalan setapak, hingga ke bangunan 

besar tempat mereka tinggal.

Jumlah murid di Partai Gunung Anjasmoro 

yang sekitar lima puluh orang, rata-rata berpa-

kaian putih dengan senjata sebilah pedang tipis 

tersampir di punggung. Semua berada dalam 

keadaan tegap seperti patung. Beberapa orang 

menunggu di bangunan berbentuk semacam pen-

dopo, yang bertonggak dari kayu untuk menahan 

atap. Untuk tiba di sana, harus menaiki undakan 

yang berjumlah lima buah.

Umbul-umbul lambang kebesaran Partai 

Gunung Anjasmoro telah menari-nari dihembus 

angin pagi. Meskipun kabut masih tebal dan din-

gin yang sangat terasa, tetap tak mengurangi ke-

giatan itu.

Memang pagi ini, Ki Lingkih Manuk Ketua 

Partai Gunung Anjasmoro akan menerima keda-

tangan empat ketua dari partai gunung lainnya. 

Walau telah berusia kira-kira enam puluh tahun, 

namun tubuh Ki Lingkih Manuk masih tegap.

Dengan pakaian hitam yang di pinggangnya meli-

lit sebuah ikat pinggang berwarna putih, dia ma-

sih cukup terlihat gagah. Rambutnya tergerai 

panjang. Wajahnya memang mulai berkeriput, 

namun tak mengurangi kewibawaannya. Sudah 

dua puluh tahun dia memimpin Partai Gunung 

Anjasmoro. Suasana di perguruan itu begitu ten-

teram. Sehingga murid-murid yang berlatih di sa-

na, begitu menghormati Ki Lingkih Manuk selaku 

guru dan ketua mereka. Memang, dalam melatih 

murid-muridnya, Ki Lingkih Manuk tidak pernah 

membeda-bedakan.

Ki Lingkih Manuk pun mempunyai murid-

murid utama yang terkadang menggantikannya 

untuk melatih, bila dia tengah bersemadi. Tidak 

sembarangan untuk menjadi murid utama, kare-

na sebelumnya diadakan ujian yang ketat. Bukan 

main asal comot saja.

Setelah matahari sepenggalah, datang 

rombongan yang berjumlah kira-kira lima belas 

orang yang hampir semua bersenjata tombak ber-

pakaian biru. Hanya seorang yang mengenakan 

pakaian warna hitam dengan ikat pinggang warna 

biru. Dan dia nampak berjalan gagah di depan. 

Usianya kira-kira setara dengan Ki Lingkih Ma-

nuk. Rambutnya rapi dengan wajah kelimis. Ka-

kinya melangkah dengan kedua tangan berada di 

belakang. Namanya, Ki Danang Gumilar. Dialah 

Ketua Partai Gunung Semeru. Mereka datang un-

tuk memenuhi undangan Ki Lingkih Manuk.

Rombongan dari Partai Gunung Semeru

disambut oleh Ki Lingkih Manuk yang berdiri di 

atas pendopo dengan hangat.

"Selamat dalang, Saudaraku...," sambut Ki 

Lingkih Manuk seraya bergegas turun. Langsung 

dirangkulnya Ki Danang Gumilar.

Ki Lingkih Manuk segera memerintahkan 

dua orang muridnya untuk mengantar Ki Danang 

Gumilar ke belakang pendopo, ke sebelah ruan-

gan tertutup yang lelah dihiasi umbul-umbul in-

dah. Makanan dan minuman pun sudah disedia-

kan di atas meja yang berbentuk lingkaran.

Dalam tempo sepeminum teh, muncul se-

rombongan orang berpakaian merah. Di tangan 

mereka terlingkar senjata sepasang cakra. Di de-

pan rombongan itu, melangkah seorang laki-laki 

gagah bertampang dingin. Pakaian hitam dengan 

ikat pinggang berwarna merah. Wajahnya dipe-

nuhi kumis dan jenggot. Badannya lebih besar 

dari Ki Lingkih Manuk dan Ki Danang Gumilar. 

Namanya Ki Samundang, Ketua Partai Gunung 

Arjuno.

Ki Lingkih Manuk pun segera menyambut 

dan merangkulnya. Lalu diperintahkannya dua 

murid untuk mengantarkan Ki Samundang ke 

tempat Ki Danang Gumilar berada.

Kemudian kembali, muncul rombongan 

berpakaian hijau. Senjata mereka berupa golok di 

pinggang masing-masing. Paling depan melang-

kah seorang gagah berpakaian hitam dengan ikat 

pinggang berwarna hijau. Bibirnya selalu men-

gumbar. Wajahnya nampak ramah dan tenang.

Namanya Ki Kalungkung, Ketua Partai Gunung 

Merapi.

Seperti yang sudah-sudah, Ki Lingkih Ma-

nuk pun menyambut kedatangan rombongan itu 

dengan gembira. Ki Kalungkung pun dibawa ke 

tempat Ki Danang Gumilar dan Ki Samundang 

berada.

Selanjutnya muncul rombongan berpa-

kaian kuning. Di pinggang masing-masing terselip 

sebuah parang yang bersarung. Di depan melang-

kah seorang laki-laki gagah penuh wibawa. Pa-

kaiannya berwarna hitam dengan ikat pinggang 

kuning. Kalau rekan-rekannya yang lain ditum-

buhi rambut, orang yang baru datang ini sama 

sekali kelimis. Licin tandas alias botak tuntas! 

Namanya Ki Redamo Rusa, yang menguasai Partai 

Gunung Slamet.

Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk menyambutnya 

dengan gembira. Kalau tiga tamunya tadi diantar 

dua orang muridnya, kini Ki Redamo Rusa sendiri 

yang melangkah ke ruang tertutup di belakang 

pendopo.

Sudah hadir semua tamu yang diundang Ki 

Lingkih Manuk. Dan nampaknya, acara yang 

memang diadakan akan segera berlangsung.

Sementara di halaman pendopo Partai Gu-

nung Anjasmoro, terlihat lima kelompok murid 

dari masing-masing Partai Gunung yang menge-

nakan pakaian berlainan. Semua berdiri tegap, 

tanpa ada yang berbicara satu sama lain.

kan ada suatu hal penting yang bakal dibicara-

kan.

Ki Lingkih Manuk mengedarkan pandan-

gan pada adik-adik seperguruannya. Mereka du-

duk membentuk lima tempat, dengan terhalang 

sebuah meja besar berbentuk lingkaran yang di 

atasnya terdapat makanan dan minuman.

"Hmmm... Terima kasih atas kedatangan 

kalian memenuhi undanganku untuk berkumpul 

di sini," ucap Ketua Partai Gunung Anjasmoro 

dengan nada berwibawa.

Kewibawaan yang ditunjukkan bukan se-

bagai kakak seperguruan, melainkan karena se-

bagai tuan rumah. Dalam suasana seperti ini, Ki 

Lingkih Manuk merasa tak ada lagi kesan antara 

kakak dan adik seperguruan. Kini semua sama. 

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Berada 

dalam naungan Panca Giri.

"Mungkin, kalian merasa heran menda-

patkan undangan dariku, yang begitu mendadak 

meminta kesediaan kalian untuk hadir di sini. 

Apalagi, tidak seperti biasanya, pertemuan dila-

kukan di kediamanku. Bagusnya, kalian jadi me-

menuhi undanganku," lanjut Ki Lingkih Manuk.

"Ki Lingkih Manuk! Sejak dulu kau tahu 

bukan, aku tidak suka bertele-tele." cetus Ki Sa-

mundang, terus-terang. "Kupikir, sudah cukup 

kau memberikan sambutan. Dan lebih baik, sege-

ra katakan saja, apa maksud undanganmu... Aku 

yakin, yang hadir di sini pun tidak sabar untuk 

mengetahuinya, bukan?"

Ki Lingkih Manuk mengangguk-angguk. 

Hatinya tidak merasa tersinggung mendengar ka-

ta-kata Ki Samundang yang merupakan adik se-

perguruannya. Karena, dia memang tahu sifat 

adik seperguruannya.

"Baiklah.... Seperti yang dikatakan Ki Sa-

mundang, memang pertemuan kita ini segera di-

buka saja. Karena, hanya membuang waktu bila 

memberi sambutan terus-menerus. Nah, sebaik-

nya kumulai cerita ini. Terus terang saja..., sebe-

lum Guru meninggal, aku telah dititipkan sesua-

tu. Saat itu. Guru memanggilku. Sementara, ka-

lian sedang berlatih di tempat di sekitar lereng 

Gunung Merbabu. Sesuatu yang diberikan Guru, 

pasti membuat kalian bertanya-tanya. Sebelum 

Guru meninggal aku pun sempat menanyakan, 

mengapa benda itu dititipkan kepadaku? Apa ja-

wab Guru? Karena sebagai murid tertua di Pergu-

ruan Partai Gunung Merbabu, sehingga menurut-

nya aku akan bisa membawa diri dan menyam-

paikan apa hendak dikatakannya. Memang, ada 

satu amanat Guru yang harus kujalankan. Dia 

meminta kepadaku, untuk memperlihatkan benda 

itu kepada kalian setelah masing-masing mempu-

nyai murid dan mendirikan Partai Gunung. Kebe-

tulan, kita semua dalam waktu dua puluh tahun 

telah berkibar tegar dalam aliran lurus."

Ki Lingkih Manuk sebentar menghentikan 

ceritanya seraya mengedarkan pandangan. Bisa 

dilihatnya keingintahuan yang jelas dari saudara 

seperguruannya yang hadir.

"Rasanya tak perlu berlama-lama lagi," lan-

jut Ki Lingkih Manuk.

Tiba-tiba saja Ketua Partai Anjasmoro 

mengibaskan tangan ke atas.

Wusss!

Serangkum angin seketika terlontar dari 

tangan Ki Lingkih Manuk. Lalu satu benda men-

dadak saja meluncur deras ke arahnya, bagai 

menyerangnya!

Dengan ringan Ki Lingkih Manuk mengge-

rakkan tangannya kembali. Ditepaknya benda itu 

dan jatuh tepat di tengah-tengah meja.

Semua yang hadir menajamkan pandan-

gan, melihat benda yang ada di atas meja. Ternya-

ta sebuah bokor yang terbuat dari emas!

"Ki Lingkih Manuk! Apa yang aneh dan 

menariknya dari bokor itu?" tanya Ki Danang 

Gumilar, agak meremehkan. Baginya, tindakan Ki 

Lingkih Manuk hanya buang-buang waktu saja.

Ki Lingkih Manuk tertawa. "Ya, memang. 

Dalam sepintas tak ada suatu kesan yang mena-

rik dari bokor itu, kecuali terbuat dari emas yang 

tentu harganya sangat mahal. Tetapi aku tahu, di 

antara kita semua tak ada yang tertarik dengan 

emas. Karena, itu adalah milik Guru. Tetapi, aku 

pun tahu dan sangat yakin, kalau kalian semua 

pasti akan tertarik setelah mengetahui isinya..."

Semua terdiam, mencoba menebak isi bo-

kor yang sebesar dua kepalan tangan orang dewa-

sa. Tetapi tak ada yang bersuara untuk mengata-

kannya.

"Ki Lingkih Manuk, silakan untuk menga-

takan apa isinya," ujar Ki Kalungkung, memecah 

kesunyian.

"Baiklah, aku akan mengatakannya," desah 

Ki Lingkih Manuk sambil menghela napas pan-

jang. Jelas sekali kalau sikapnya kelihatan sedikit 

ragu-ragu "Isi bokor itu adalah Air Swargaloka 

yang didapatkan Guru di Gurun Gobi, ketika ber-

kelana ke sana selagi muda. Cairan Swargaloka 

hanya berisi sedikit. Hanya seteguk saja. Tetapi 

yang sangat penting, khasiat dari air itu."

Tak ada yang bersuara. Kelihatan kalau 

semua menunggu penjelasan-penjelasannya. 

Meskipun jelas sekali kalau Ki Samundang yang 

sedikit penasaran. Dia memang tidak suka ber-

tele-tele dan ingin tahu segala sesuatunya.

"Menurut Guru, barang siapa yang memi-

num Air Swargaloka akan memiliki tenaga sakti. 

Namun dia sendiri tidak tahu, kapan tenaga itu 

bisa muncul. Tetapi menurut Guru pula, bila su-

dah dalam keadaan terdesak, maka tenaga sakti 

yang tak akan terkalahkan bisa muncul begitu sa-

ja. Dan kalau dipaksakan, tidak akan mungkin 

tenaga sakti itu dapat muncul." 

Terdengar suara decakan kagum "Ki Ling-

kih Manuk! Kini aku bisa menebak, apa amanat 

Guru berikutnya. Pasti, Guru menginginkan salah 

seorang di antara kita yang meminum air itu, bu-

kan?" duga Ki Samundang.

"Kau benar," sahut Ki Lingkih Manuk. 

"Hanya saja.... aku tidak diberitahu siapa yang

berhak meminumnya."

Kali ini terdengar gumaman bernada sedi-

kit kesal.

"Lalu, siapa yang berhak meminumnya?" 

tanya Ki Redamo Rusa. yang sejak tadi diam saja

Ki Lingkih Manuk menghela napas. Berat 

untuk mengatakan amanat terakhir yang disam-

paikan Ki Panca Giri.

"Guru mengatakan, bila di antara kita ada 

yang berjodoh dengan bokor emas ini, maka di-

alah yang berhak meminum Air Swargaloka...."

Seketika terdengar gumaman ramai bagai 

kerumunan lebah. Dan masing-masing menatap 

satu sama lain dengan sinar mata tajam. Ki Ling-

kih Manuk segera menenangkan. Sebagai murid 

tertua di Partai Gunung Merbabu, sebenarnya dia 

tidak mengerti tentang amanat Ki Panca Giri ini. 

Bukankah dengan begitu, justru akan membuat 

keributan dan perpecahan saja di antara Panca 

Giri yang sudah terbentuk? Namun, amanat te-

taplah amanat. Maka amanat itu harus dijalan-

kan meskipun sangat susah.

"Inilah yang susahnya," kata Ki Lingkih 

Manuk kemudian. "Tetapi, amanat jelas amanat. 

Apalagi ya memberikan Guru kita sendiri. Dan ki-

ta tidak boleh mengabaikannya."

"Jadi..., dengan kata lain, kita akan berada 

dalam satu lingkaran pertarungan?" tanya Ki Sa-

mundang sambil mendengus. "Hhh! Boleh, aku 

terima usul itu!"

"Sebenarnya, aku tidak bermaksud demi

kian," tukas Ki Lingkih Manuk. "Aku tidak ingin 

di antara kita terjadi perpecahan. Perlu diingat, 

kita telah berada dalam naungan Panca Giri yang 

berada di jalan lurus."

"Tetapi seperti katamu tadi, amanat tetap-

lah amanat," serobot Ki Samundang.

"Benar. Baiklah. Sekarang kutanyakan saja 

pada kalian, apakah kalian suka terhadap ama-

nat Guru yang satu ini?"

Tak ada yang menjawab. Tetapi di air wa-

jah Ki Samundang tergambar jelas kalau sangat 

menginginkan sekali untuk meminum Air Swarga-

loka yang terdapat di bokor emas itu.

"Untuk mencegah perpecahan, aku menya-

rankan agar kita membuang bokor itu saja," usul 

Ki Lingkih Manuk. Dia berharap semua yang ha-

dir di situ menyetujui usulnya.

"Tidak!" sergah Ki Samundang. "Amanat te-

taplah amanat! Kita harus menjalankannya. Den-

gan kata lain kita akan melihat, siapakah di anta-

ra kita yang paling tangguh. Itulah satu-satunya 

cara untuk menentukan, siapa yang berjodoh 

dengan bokor emas itu. Karena, tidak ada cara 

lain untuk menentukan siapakah yang berjodoh 

dengan bokor emas itu."

"Ki Samundang..., bukankah dengan demi-

kian kita justru berada di ambang kehancuran?" 

tukas Ki Kalungkung, menatap tajam Ki Samun-

dang.

"Habis, mau bagaimana lagi, hah?! Guru 

sudah menetapkan amanat seperti itu. Dan sudah

tentu, sebagai muridnya kita tidak boleh melang-

gar setiap amanat Guru," sahut Ki Samundang, 

memberikan alasan kuat.

"Memang, meskipun rasanya sangat berat 

sekali, tetapi kita harus menjalankan amanat 

Guru," timpal Ki Danang Gumilar.

"Tidak!" seru Ki Redamo Rusa. "Amanat 

Guru memang harus dijalankan, tetapi bukan da-

lam arti harus berada dalam suatu perpecahan? 

Telah lama kita saling mengikat persaudaraan, 

semasa masih menuntut ilmu di Partai Gunung 

Merbabu, hingga kita membentuk kelompok yang 

dinamakan Panca Giri. Kalau kita harus pecah,

untuk apa selama ini menjadi persaudaraan?"

"Jadi, bagaimana usulmu?" tanya Ki Sa-

mundang agak ditekan suaranya.

"Aku setuju usul Ki Lingkih Manuk. Kita 

akan membuang saja bokor itu."

"Tidak!"

Ki Samundang kontan berdiri. Tatapannya 

mengedar. Tajam!

"Sebagai murid yang berbakti dan meng-

hormati Guru, kita harus tetap menjalankan 

amanat Guru. Walaupun, apa yang terjadi." tan-

das Ketua Partai Gunung Arjuno.

Kali ini tak ada yang bersuara. Memang 

sangat sulit untuk menentukan sikap di saat se-

perti ini. Di satu segi perpecahan nampak sudah 

di ambang mata. Di segi lain, mereka harus men-

jalankan amanat Ki Panca Giri.

Suatu kerikil kehidupan mulai menusuk.

Ki Lingkih Manuk mendesah panjang.

"Baiklah.... Kita akan menjalankan amanat 

Guru. Tiga bulan lagi, kita akan bertemu di Gu-

nung Merbabu. Kita selesaikan semua masalah 

ini...."

"Dan kita akan melihat, siapa yang berhak 

untuk meminum Air Swargaloka itu...," sambung 

Ki Samundang, bernada angkuh, "Aku mohon 

pamit. Kita bertemu lagi tiga bulan di Gunung 

Merbabu!"

Lalu Ketua Perguruan Partai Gunung Arju-

no ini pun keluar.

Tiba di luar murid-murid Ki Samundang 

segera menghampirinya. Dan tak banyak ber-

tanya, mereka sudah ikut melangkah mengikuti 

ketua mereka.

Satu persatu, para Ketua Partai Gunung 

itu keluar, meninggalkan Partai Gunung Anjas-

moro.

Di ruang tadi, Ki Lingkih Manuk mendesah 

masygul. Memang tak ada jalan lain lagi. Sesuatu 

akan terjadi. Dan nampaknya, itu sudah di am-

bang mata. Waktu tiga bulan bukankah waktu 

yang panjang. Bahkan terasa sangat sempit!

Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk tidak mengerti, 

mengapa Guru memberi amanat yang sangat me-

resahkan. Memang Guru menitipkan bokor emas 

yang berisi Air Swargaloka, kalau ternyata bakal 

terjadi perpercahan di antara Panca Giri? Sudah 

lama soal itu dipikirkannya. Tetapi hingga hari 

pertemuan diadakan, dia belum berhasil memecahkannya. Yang pasti hanya satu, kalau amanat 

Guru itu memang diperuntukkan bagi mereka 

berlima. Dan, sudah tentu harus dijalankan!

Sungguh! Ki Lingkih Manuk amat teramat 

tidak mengerti. Namun kesepakatan tadi sudah 

didapat. Mereka akan membuktikan, siapa yang 

tertangguh dan berhak meminum Air Swargaloka. 

Usulnya untuk membuang bokor itu sudah tak 

ada gunanya lagi. Memang, dengan begitu dia te-

lah membatalkan amanat Ki Panca Giri. Namun, 

itu adalah jalan yang terbaik menurutnya, agar 

perpecahan tidak akan terjadi.

Tetapi sekarang jalan satu-satunya yang 

harus ditempuh adalah bertarung. Dan Ki Sa-

mundang yang begitu ingin untuk meminum Air 

Swargaloka tidak bisa disalahkan. Sedikit ba-

nyaknya, Ki Samundang benar. Karena, mereka 

memang harus menjalankan amanat Ki Panca Gi-

ri.

Ki Lingkih Manuk merasa begitu berat, ba-

gaikan ada sebuah beban luar biasa yang menin-

dih dadanya. Dan yang sangat dikhawatirkannya, 

bila segolongan orang sesat mendengar berita ini. 

Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan. 

Karena, sepak terjang mereka tak akan pernah 

lagi dihalangi Panca Giri yang sekarang berada 

dalam suatu kemelut menyedihkan.

Lalu perlahan-lahan Ketua Partai Gunung 

Anjasmoro menghembuskan napas.

"Akankah berakhir kelompok Panca Giri?" 

gumam orang tua ini, lirih.



2


Tiga hari menjelang pertarungan antara se-

sama anggota Panca Giri, seorang pemuda berpa-

kaian hijau muda dengan selembar kain bercorak 

catur tersampir di bahu berhenti di lereng Gu-

nung Merbabu. Rambutnya yang gondrong di-

permainkan angin kencang. Sepasang matanya 

yang tajam dengan sepasang alis yang menukik 

bagaikan kepakan elang, memperhatikan sekitar-

nya.

Pepohonan bagai pasukan siap tempur 

yang berjajar rapi. Seolah, siap menunggu perin-

tah untuk menyerang. Juga, ada beberapa beba-

tuan besar.

Pemuda yang tak lain Andika alias Pende-

kar Slebor menepuk keningnya.

"Edan! Kenapa aku sampai di sini, sih? 

Hiii... Tempat ini sepi sekali!" desis Andika sambil 

memperhatikan sekitarnya.

Pendekar Slebor lantas menaikkan ram-

butnya yang gondrong ke belakang, karena un-

taian rambutnya sesekali menutupi mata ketika 

angin berhembus.

"Andika..., Andika.... Kenapa sih, begitu to-

lol datang ke sini? Bukankah di kotaraja atau di 

dusun-dusun banyak gadis-gadis cantik? Kalau di 

sini, waaahhh! Paling-paling kuntilanak yang me-

nyamar jadi gadis cantik!"

Pendekar Slebor menjatuhkan pantatnya di 

tanah berpasir. Dijumputnya sehelai rumput dan 

dihisap-hisap ujungnya. Terasa manis.

"Mengembara, ya mengembara. Tetapi jan-

gan ke tempat seperti ini, dong?" rutuk pemuda 

itu lagi.

Pendekar Slebor memang tiba tak sengaja 

di lereng Gunung Merbabu.

"Kalau sendirian begini, aku jadi teringat 

Sari. Gadis penunggang harimau yang jelita tetapi 

menjengkelkan itu. Tetapi lumayan juga sih, ka-

lau ada dia. Meskipun kadang-kadang menjeng-

kelkan, tetapi tetaplah salah seorang gadis cantik 

yang pernah kutemui...."

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya 

sambil tersenyum sendirian. Mulai sinting kali!

"Ah," desahan panjang keluar dari mulut 

Andika. "Kalau memang ada Sari di sini, asyik se-

kali! Tetapi..., mbok ya, jangan harimaunya yang 

besar dan galak itu! Bisa runyam! Kok ada ya, 

seorang gadis cantik seperti Sari bersahabat den-

gan harimau jelek itu. Lebih baik kau bersahabat 

denganku. Jelek-jelek begini, tapi aku kan tam-

pan, ganteng, bijaksana, manis.... Wah, wah.... 

Mana ada tukang loak menjelek-jelekkan barang-

nya sendiri! Tapi yang penting lebih ganteng dari-

pada harimau jelek itu?"

Rupanya dalam kekesalannya mengapa ta-

hu-tahu berada di tempat sepi semacam ini, An-

dika jadi ngoceh sendirian. Tetapi memang men-

gasyikkan mengenang Sari. Hanya yaitu ya, hari

maunya!

"Huh! Hewan jelek!" desis Andika tiba-tiba. 

Mata Pendekar Slebor yang tajam kembali mem-

perhatikan sekelilingnya. Tak seorang pun yang 

berada di tempat, kecuali dirinya. Lagi-lagi Andika 

menepuk keningnya.

"Busyet! Kenapa sih, aku tahu-tahu berada 

di sini?" dengus Andika lagi.

Pendekar Slebor lantas mengambil sebutir 

kerikil dan melemparkannya. Hanya sekali sentak 

saja, kerikil itu sudah tidak terlihat lagi. Bukan 

karena terhalang semak belukar maupun batu 

besar, tapi karena kerikil itu bagai dilontarkan 

sebuah tali busur. Bahkan kecepatannya lebih 

kencang daripada lesatan sebuah anak panah.

Tahu-tahu pemuda urakan ini tersenyum-

senyum sendirian.

"Sari..., Sari.... Kok aku jadi ingin bertemu 

denganmu, ya?" desis Andika lagi.

Pemuda ini membayangkan ketika secara 

tak sengaja melihat tubuh Sari tanpa busana. 

Saat itu, Sari berada dalam kekuasaan Raja Ak-

herat.

"Edan benar Eyang Sasongko Murti itu! 

Masa' aku dipaksa untuk melihat tubuh Sari, sih? 

Tetapi..., he he he... Lumayan juga. Toh, dia tidak 

melihatku, kan? Mengasyikkan juga ilmu yang 

dimiliki Eyang Sasongko Murti! Tetapi..., huh! Da-

sar murid siluman!" dengus Andika (Baca: "Nera-

ka di Keraton Barat").

Andika mengambil lagi sebutir kerikil. Un

tuk menghilangkan kejenuhan dilontarkannya 

kembali. Kali ini lebih cepat bagaikan sebutir pe-

luru!

"He he he.... Heran, aku! Mengapa gadis 

secantik Sari memiliki sahabat si Belang, ya? Ha-

rimau jelek itu! Huh! Mendingan bersahabat den-

ganku! Kan lebih ganteng daripada harimau jelek 

yang galak itu!"

"Auuuummm!"

Baru saja Andika berkata demikian, tiba-

tiba terdengar auman harimau yang berkepanjan-

gan. Seketika Pendekar Slebor terkejut.

"Diamput! Rupanya di sini ada harimaunya 

juga! Gara-gara ngomong tentang Sari saja, kok 

ada suara harimau sih!" maki Pendekar Slebor 

sambil berdiri dengan mata waspada.

Geraman harimau itu terdengar lagi. Kali 

ini semakin dekat. Pendekar Slebor segera bangkit 

dari duduknya sambil memperhatikan sekitarnya.

Mendadak saja kedua mata Andika melo-

tot, ketika muncul seekor harimau besar dari ba-

lik semak di depannya. Kedua mata hewan berka-

ki empat yang ganas itu memerah tertuju kepa-

danya.

"Eiiittt! Benar juga, ada harimau di sini!" 

desis Andika sambil menggaruk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal.

"Bagus, Belang! Hajar pemuda urakan itu!"

Sebuah seruan keras bernada perintah ter-

dengar. Dan harimau besar yang dipanggil si Be-

lang itu melompat ke arah Pendekar Slebor.

Wuttt!

"Uts!"

Cepat pendekar dari Lembah Kutukan itu 

memiringkan tubuhnya, membuat terkaman itu 

pun luput. Tetapi harimau itu sudah berbalik lagi 

kepadanya dan menggeram marah. Lalu diter-

jangnya Andika lagi dengan aumannya yang san-

gat keras.

Andika lagi-lagi menghindari terjangan ha-

rimau. Namun bagaikan memiliki akal, harimau 

itu berbalik kembali secepat kilat.

"Busyet! Apakah hewan ini peliharaan Sa-

ri?!" rutuk Andika sambil melompat-lompat. "Ti-

dak, tidak mungkin. Masa iya sih, gadis itu sudah 

berada di sini? Padahal baru saja kubayangkan?! 

Mau apa dia di sini? He he he.... Jangan-jangan 

dia kangen dan ingin bertemu denganku...."

Si Belang menerjang terus menerus, mem-

buat Andika jadi kelabakan juga. Ingin dihantam-

nya harimau itu, tetapi kok tidak tega. Bukankah 

hewan itu sesama ciptaan Tuhan, meskipun begi-

tu buas sekali?

Jadinya, Pendekar Slebor hanya melompat-

lompat seperti monyet terbakar ekornya. Dan 

anehnya harimau itu terus saja menyerang den-

gan ganas. Keempat kuku-kukunya mengembang 

dalam sebuah cakar yang siap mencabik-cabik. 

Bahkan yang luar biasa, harimau itu sepertinya 

pandai menirukan gerakan-gerakan silat Dia se-

perti bisa mengelak, menghindar, dan melakukan 

gerak tipu dalam menyerang.

"Busyet!" seru Andika.

Dan kali ini. Pendekar Slebor yakin tentang 

hewan itu. Tak ada seekor harimau pun yang 

pernah dijumpainya sepandai ini.

"Sariii!" teriak Pendekar Slebor tiba-tiba. 

"Keluar dong! Jangan bikin aku kesal!"

"Hi hi hi.... Pendekar bego, coba hentikan 

serangan peliharaanku itu!" terdengar suara dari 

satu tempat.

Andika yang memiliki pendengaran tajam 

bisa segera menebak, kalau suara itu berasal dari 

sebuah pohon yang terletak lima langkah di de-

pannya, tersembunyi di balik rimbunnya dedau-

nan pohon.

"Sari! Kalau kau kangen padaku, bukan 

begini caranya! Datang saja kepadaku. Lalu, pe-

luk dan..., cup! Nah, kan beres?" seru Andika 

sambil bergulingan menghindari terjangan si Be-

lang yang ganas.

"Brengsek!" sembur suara di balik dedau-

nan yang memang Sari. "Belang! Bikin dia kapok!"

Begitu mendengar aba-aba yang dilontar-

kan Sari, si Belang bergerak makin kesetanan. 

Dia menerjang dengan aumannya yang ganas.

"Sari! Apakah kau tidak sayang kalau he-

wan jelek ini kuberi pelajaran!"

Bukannya marah, Sari malah terkikik-

kikik.

"Coba saja kalau bisa!"

"Baik! Untuk pertama..., kau dulu yang ha-

rus keluar dari tempat persembunyianmu! Karena

terus terang, aku ingin sekali melihat wajahmu! 

Apakah makin cantik, ataukah seperti nenek-

nenek sekarang!"

Pendekar Slebor seketika menggerakkan 

tangannya ke sebuah pohon, tempat Sari me-

nyembunyikan diri di sana.

Wuuusss!

Crak!

Dari balik rimbunnya dedaunan tampak 

satu sosok tubuh melenting keluar. Dia bersalto 

tiga kali di atas, lalu hingga di tanah dengan rin-

gannya. Kini gadis itu telah menampakkan diri. 

Sepasang matanya yang jernih melotot.

"Brengsek! Belang! Hajar dia! Hajar!" seru 

gadis berpakaian kulit harimau dengan bagian 

atas sebelah kanan terbuka. Rambutnya tergerai 

indah dan menawan. Wajahnya, teramat jelita. Di 

punggungnya terdapat sebilah pedang tipis, na-

mun tajam (Untuk mengetahui bagaimana perta-

ma kali Pendekar Slebor berjumpa Sari, gadis pe-

nunggang harimau silakan baca : "Raja Akherat" 

dan "Neraka di Keraton Barat").

Kali ini Andika benar-benar ingin menggo-

da Sari. Heran! Kok tahu-tahu gadis itu berada di 

sini? Apakah diam-diam dia membuntuti? Begitu 

kata hati Andika, lagi-lagi sok kecakepan.

"Wah, wah...! Tak kusangka, Diajeng Sari 

yang berada di sini? Apakah dikau merindukan 

Kakangmasmu yang ganteng ini, Diajeng?" goda 

Andika, sambil terus menghindari terjangan si Be-

lang yang semakin ganas.

Sari mendengus.

"Pemuda urakan! Enaknya ya, kau menu-

duhku seperti itu? Apa bukannya kau sendiri 

yang mengikuti aku, hah?!" bentak Sari

"Aku?" tukas Andika melotot. "Enaknya! 

Mana sudi aku mengikuti gadis galak sepertimu?"

"Mana sudi aku mengikuti pemuda bego 

sepertimu?" semprot Sari seketika.

"Kebetulan! Aku sendiri memang tidak mau 

ditemani! Nah, panggil si Jelek ini! Suruh dia ber-

henti menyerangku yang ganteng seperti ini! La-

ma-lama tampangku yang ganteng ini jadi ketula-

ran jelek!" ujar Andika.

Kali ini Sari semakin sewot. Harimau itu 

adalah hewan peliharaan yang paling disayan-

ginya. Dan dia tak akan pernah membiarkan 

orang lain mengejek hewan itu.

"Belang! Kau ini kenapa bodoh, sih? Hajar 

pemuda jelek itu!" seru Sari setengah jengkel.

"He he he... Sudah tentu si Belang tidak 

mau melakukannya. Soalnya dia tahu, yang diha-

dapinya ini majikan laki-lakinya. Iya, kan? Iya, 

kan? Iya, kan?"

"Brengsek!"

Tiba-tiba saja gadis itu melenting ke arah 

Andika. Di udara pedangnya dicabut 

Sraaat! Wuuut! Wuuut!

Dua kali pedang itu dikibaskan ke arah 

Andika yang kali ini harus diserang dua jurusan. 

Pertama oleh si Belang yang bertambah ganas, 

kedua oleh Sari yang sudah kesal terhadapnya.

Andika menghindari dua serangan dengan 

melompat ke sana ke mari. Tidak disangka kalau 

gadis yang baru saja dipikirkannya benar-benar 

berada di sini. Dan yang membuatnya harus ge-

leng-geleng kepala, sikapnya masih galak juga!

Pendekar Slebor kini membiarkan Sari 

yang menyerangnya beberapa jurus. Sementara 

dalam menghindarinya, Andika berjoget-joget me-

ledek.

"Payah! Kupikir sekian waktu kita tak ber-

temu, kemajuan ilmu pedangmu semakin pesat! 

Tidak tahunya, cukup untuk memotong tahu sa-

ja!" ledek Andika.

Sari semakin geram. Maka diserangnya 

Andika dengan cepat. Sementara mulutnya sese-

kali berseru pada si Belang untuk segera menca-

bik-cabik tubuh Pendekar Slebor. Dan kalau bu-

kan Andika, sudah bisa dipastikan akan terkapar 

karena dua serangan yang sangat berbahaya.

Setelah merasa cukup mempermainkan 

Sari, tiba-tiba Pendekar Slebor berkelebat. Dan 

dengan gerakan manis sekali, ditepaknya tangan 

Sari. Sehingga, pedangnya terlepas. Dan dalam 

sekali egosan saja, tubuhnya sudah berada di be-

lakang Sari. Seketika dirangkul dan dikuncinya 

gerakan gadis itu.

"Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Sari ka-

lap. Tubuhnya yang dikunci Andika berusaha di-

gerak-gerakkan.

Andika hanya terkekeh-kekeh saja.

"Jangan terlalu banyak bergerak.... Soal

nya..., hehe he.... Bila terjadi pergesekan antara 

dua buah benda, maka akan..."

"Jorok!"

Andika nyengir.

Justru si Belang yang kelihatan bingung. 

Hewan buas ini hanya berdiri saja sambil celin-

gukkan untuk mencari kesempatan menyerang. 

Dia melihat majikannya nampak sedang berusaha 

melepaskan diri. Tetapi, bagaimana caranya agar 

bisa menyerang, karena majikannya berada di de-

pan?

Selagi gadis itu masih meronta-ronta...

"Sari...! Suruh Belang bersembunyi! Ada 

orang yang datang ke sini!" bisik Pendekar Slebor.

Andika seketika mengempos tubuhnya ke 

atas.

"Hup!"

Sambil menggendong Sari, Pendekar Slebor 

hinggap di atas sebuah pohon. Sementara, Sari 

langsung mengisyaratkan pada Belang untuk ber-

sembunyi. Dari atas, gadis ini melihat apa yang 

dikatakan Andika. Tampak lima orang berpakaian 

merah dengan sepasang cakra di pergelangan 

tangan tengah melangkah mengendap-endap ke 

arah lereng Gunung Merbabu.

Tidak jelas, mengapa mereka bersikap se-

perti itu. Sangat berhati-hati dan seolah khawatir 

kedatangan mereka diketahui orang. Mereka tak 

ada yang bersuara. Sungguh, sikap mereka me-

mang sangat mencurigakan.

Sari sendiri tidak mengerti mengapa justru

ikut-ikutan bersikap seperti Pendekar Slebor. Di-

am-diam matanya melirik pendekar urakan nan 

tampan yang sedang memperhatikan kelima 

orang berpakaian merah. Hebat! Pemuda itu bisa 

mendengar langkah mereka tadi. Ah! Sungguh, 

sebenarnya hati Sari berdebar-debar tak menen-

tu.

Sudah lama Sari sebenarnya merindukan 

pemuda gondrong ini. Dan karena rindunya itulah 

kediamannya ditinggalkan. Sekaligus meninggal-

kan ayahnya yang bernama Ki Wirayuda.

Namun di balik semua itu, gadis ini sebe-

narnya bermaksud mencari Andika, pemuda sakti 

yang telah mencuri hatinya. Dan tak disang-

kanya, pemuda itu terlihat sedang duduk di atas 

tanah berpasir di lereng Gunung Merbabu.

Sari sendiri heran, mengapa bisa tiba di 

tempat itu. Sungguh mati, dia tidak punya tujuan 

apa-apa di lereng Gunung Merbabu. Tetapi yang 

benar-benar tak disangka, ternyata pemuda yang 

dirindukannya berada di sana

Kalaupun Sari menyuruh si Belang menye-

rang Andika tadi, semata ingin menutupi kegem-

biraannya. Begitu pula mengapa sikapnya terlihat 

marah. Kan tidak lucu, kalau seorang dara lebih 

dulu menyatakan sukanya? Apalagi, sampai 

memperlihatkan rasa senangnya pada pemuda 

yang dirindukan.

Ah! Sari menghela napas panjang dalam 

hati. Apakah pemuda itu merindukannya juga? 

Tadi pun telinganya mendengar kata-kata pemuda itu, meskipun sempat membuatnya memerah.

***

Sementara, kelima orang berpakaian me-

rah-merah itu berhenti melangkah. Mereka mem-

perhatikan sekitarnya. Lalu yang berambut tebal 

dengan muka tirus dan sepasang mata tajam me-

noleh ke arah rekannya.

"Hmmm... Kira-kira, di manakah pertarun-

gan antara Ketua dengan saudara-saudaranya di-

laksanakan?" gumam lelaki bermuka tebal, ber-

tanya.

Tak ada yang menyahuti pertanyaan itu. 

Karena mereka pun seperti berpikir.

"Mungkinkah di sebelah kiri lereng Gunung 

Merbabu ini. Bukankah setiap lima tahun Ketua 

selalu mengadakan pertemuan di sana?" tanya si 

wajah tirus, seperti berkata-kata sendiri.

"Ya! Bisa jadi memang di sana, Linggar!" 

Kali ini terdengar sahutan serempak. "Kalau begi-

tu, kita segera bekerja cepat," ujar si wajah tirus 

yang dipanggil Linggar.

Mereka pun bergerak ke sisi kiri lereng 

Gunung Merbabu. Tampaknya tak ada yang me-

narik di sana. Tak ada bangunan, tak ada rumah. 

Yang ada hanya sebuah dataran rata dengan re-

rumputan basah.

Andika yang memperhatikan dari balik 

rimbunnya pohon menggaruk-garukkan kepala.

"Siapa sih, mereka? Sepertinya, mereka

akan melakukan sesuatu yang menarik."

Sari yang merasa pertanyaan itu tidak di-

peruntukkan baginya, diam saja. Justru ia terke-

jut ketika....

"Hei! Nyahut dong kalau ditanya!" bentak 

Andika, namun dengan suara berbisik. "Oh!"

Sari gelagapan. Tetapi jadi sebal karena di-

bentak seperti itu.

"Memangnya aku tahu kalau kau bertanya 

padaku, hah?!" balas Sari, juga berbisik.

"Masa iya aku bertanya dengan pohon?" 

tukas Andika, lalu nyengir. "Jangan-jangan, kau 

ini tuli, ya? Huh! Sayang, cantik-cantik kok tuli."

"Enaknya ngomong!" seru Sari sambil 

mendorong Andika.

Pendekar Slebor tersuruk jatuh. Untung-

nya tangannya yang kekar cepat menyambar da-

han pohon untuk berpegangan.

"Heitt! Hati-hati! Aku bisa jatuh nih! Cepat 

tangkap tanganku yang satu lagi!" ujar Andika, 

pelan.

Dengan cepat Sari menangkap tangan An-

dika. Langsung disentakkannya ke belakang. Ka-

rena terlalu terburu-buru dan khawatir pemuda 

itu benar-benar jatuh, tarikannya terlalu cepat. 

Sehingga, kepala Andika membentur salah satu 

dahan pohon. 

Duk!

"Aduhhh...."

Pendekar Slebor mengusap-usap kepa-

lanya. "Pelan-pelan, dong! Kalau kepalaku benjut

mau kau ganti?"

Sari hanya tertawa tertahan. Apalagi sete-

lah tahu kalau tadi Andika mempermainkannya. 

Biar tahu rasa!

Andika nyengir. Kembali dia memperhati-

kan lima sosok tubuh berpakaian merah itu yang 

semakin menjauh.

"Kau bisa jawab pertanyaanku tadi," kata 

Andika tiba-tiba tanpa menoleh pada Sari.

Gadis itu mendengus. Benar-benar pemuda 

tidak tahu aturan. Semau jidatnya saja kalau 

ngomong!

"Apa yang harus kujawab, hah?!" sentak 

gadis itu jengkel.

"Siapa mereka?"

"Mana kutahu?"

Andika menoleh.

"Lho, kok? Kamu tidak tahu?"

"Ya jelas aku tidak tahu!"

"Iya, sama kalau begitu. Bagaimana kalau 

kita cari tahu siapa mereka?" 

"Apa untungnya?"

"Tidak ada. Tetapi kalau kau tidak mau, ya 

sudah! Aku ke sana dulu! Kau jangan ke mana-

mana, aku masih ingin melihat wajahmu yang 

cantik tetapi..., galak!"

Wuuusss!

Pendekar Slebor sudah bersalto dua kali, 

lalu hinggap di tanah bagai sehelai kapas. Lalu 

tubuhnya melesat menyusul lima orang berpa-

kaian merah tadi.

Tinggal Sari yang mendumal jengkel. Enak 

saja kalau ngomong! Padahal tadi, dadanya sudah 

berdebar ketika Andika mengatakan kalau dirinya 

cantik. Tetapi buntutnya..., weee! Tidak enak!

Gadis itu lalu melompat pula. Gerakannya 

tak kalah ringan seperti Andika. Dan tubuhnya 

segera melesat menyusul Andika.


3


Lima orang berpakaian merah-merah yang 

dibuntuti Pendekar Slebor tiba di sebuah dataran 

rata yang banyak ditumbuhi pepohonan. Sehing-

ga sinar matahari yang mulai menyengat tak begi-

tu dirasakan. Linggar menjejak-jejakkan kakinya. 

"Kalau tidak salah, di sinilah tempat Ketua 

berada," tunjuk Linggar di satu tempat, setelah 

menjejak selama lima belas langkah dalam ben-

tuk lingkaran. "Kalau begitu, kita harus bekerja 

cepat."

Kemudian setiap lima belas jejak, masing-

masing berhenti. Sementara Linggar masih berdiri 

di tempatnya tadi. Dia melihat keempat temannya 

mengambil sesuatu dari pinggang. Ternyata se-

buah pundi kecil berwarna merah. Lalu, ditua-

ngkannya isi pundi itu di tempat yang mereka in

jak tadi.

Cairan berwarna merah pun jatuh ke ta-

nah. "Taburkan dengan pasir, biar tidak terlalu 

kentara!" perintah Linggar.

Keempat lelaki berpakaian merah itu sege-

ra melakukan perintah. Sementara, Linggar ter-

bahak-bahak.

"Ketua pasti senang dengan apa yang kita 

lakukan ini! Meskipun kita tidak diperintah, teta-

pi sebagai murid-muridnya kita harus melakukan 

yang terbaik untuk Ketua," kata Linggar.

Keempat orang lainnya pun terhahak-

bahak. Suara mereka menggema di sekitar lereng 

Gunung Merbabu. Memang, bila melihat pakaian 

yang dikenakan dan senjata cakra yang melingkar 

di tangan masing-masing, bisa dipastikan kalau 

mereka adalah murid-murid Partai Gunung Arju-

no.

Setelah meninggalkan pertemuan di Gu-

nung Anjasmoro, Ki Samundang mengajak murid-

muridnya meninggalkan tempat itu. Dia sebenar-

nya ingin sekali meminum Air Swargaloka yang 

berkhasiat tinggi itu. Tak heran kalau dia berte-

kad ingin merebut bokor emas yang berisi Air 

Swargaloka

Memang tidak salah. Karena seperti yang 

dikatakan Ki Lingkih Manuk, amanat dari Ki Pan-

ca Giri memang seperti itu.

Ki Sumandang pun menceritakan tentang 

pertarungan yang akan dilakukan menghadapi 

saudara-saudara seperguruannya yang telah

menduduki Partai Gunung lainnya. Yang lebih 

tangguh maka dialah yang berhak meminum Air 

Swargaloka.

Meskipun memiliki sifat yang sedikit pana-

san dan ingin tahu, Ki Samundang tetap meng-

hargai para saudara seperguruannya. Dia tidak 

menghendaki adanya kecurangan. Namun di luar 

sepengetahuannya, Linggar justru mengajak em-

pat murid Partai Gunung Arjuno untuk mencu-

rangi para Ketua Partai Gunung lainnya

Andika yang menyaksikan perbuatan me-

reka dari balik sebuah batu besar mengerutkan 

keningnya.

"Aneh! Untuk apa mereka membuang cai-

ran merah itu di empat tempat? Apakah mereka 

sedang menyembah dedemit Gunung Merbabu 

ini?" desis Andika

Dan selagi Andika asyik memperhatikan 

orang-orang itu, satu sosok tubuh tiba di dekat-

nya. 

"Mau apa ke sini?" tanya Andika, agak se-

wot. 

"Mau lihat!" sahut yang baru datang ketus. 

Dia tak lain dari Sari.

"Menyebalkan! Heran! Kenapa sih, aku ber-

temu denganmu lagi!" seru Andika.

"Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa 

harus bertemu denganmu lagi!" balas Sari. Wa-

jahnya ditekuk dengan mulut cemberut

"Sudah, jangan banyak omong!" 

"Brengsek! Justru kau yang banyak

omong!" 

Andika melotot. Ingin rasanya menyumpal 

mulut gadis ini. Tetapi tidak, ah! Soalnya, bentuk 

mulut dan sepasang bibir yang merah basah ga-

dis itu sangat menarik.

Lalu kedua anak muda ini memperhatikan 

kembali orang-orang itu. Sari diam-diam menden-

gus dalam hati. Apa pemuda seperti ini yang ha-

rus dirindukan?

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, 

Kakang?" Suara itu datang dari salah seorang 

yang berwajah kelimis. hanya dihiasi kumis tipis 

saja.

"Kita tinggalkan tempat ini. Biar para ketua 

dari Partai Gunung lain mampus terkena Bisa 

Ular Welang yang telah kuramu dengan akar mi-

nyak kelawang. Dan yang terpenting lagi, Ketua 

akan mendapatkan Air Swargaloka!" kata Linggar.

Lalu mereka pun bergegas meninggalkan 

tempat itu.

***

Begitu mereka pergi, Andika segera keluar 

dari balik batu besar. Dia menggaruk-garuk kepa-

lanya yang tak gatal.

"Siapa sih, mereka?" tanya Andika. Sari 

yang juga sudah keluar dari sana, hanya men-

gangkat bahu saja.

"Aku tidak tanya padamu!" bentak Andika 

tiba-tiba.

"Brengsek! Serba salah!" dengus gadis itu 

sambil menghentakkan kakinya. "Ketika aku ti-

dak menjawab tadi, kau memaksaku juga untuk 

menjawabnya! Ketika aku menjawab, justru kau 

marah-marah sekarang!"

Sebagai jawaban dari dengusan Sari, bibir 

Andika nyengir. Jelek sekali. Lalu kakinya me-

langkah ke tempat lima orang berpakaian merah 

tadi berada.

Sejenak Pendekar Slebor memperhatikan 

tempat orang-orang itu berdiri. Berbentuk lingka-

ran, dan ada lima buah. Otaknya yang cerdik se-

gera berputar.

"Hmm, apakah lima tempat itu ada yang 

akan menempatinya? Kalau memang ada, untuk 

apa? Kalau tidak ada, mengapa mereka menua-

ngkan cairan merah yang dikatakan tadi bisa ular 

welang? Hmm..., mengapa yang satu tidak ditua-

ngkan cairan itu?" gumam Andika. 

Andika mengetuk-ngetuk keningnya. Sari 

memperhatikannya. Heran. 

"Kenapa jidatmu? Gatal?" usik Sari.

"Edan! Aku lagi berpikir!" 

"Orang berpikir semestinya tidak seperti 

itu!" 

"Masa bodoh!"

Andika lantas melangkah ke tempat Ling-

gar tadi berdiri.

"Hmm.... Kalau mendengar kata-kata orang 

itu tadi, di sini tempat Ketua. Dan di tempat yang 

telah dituangkan cairan merah, tempat para Ke

tua Partai Gunung lainnya. Hmm.... Apakah ada 

lima Partai Gunung?" gumam Andika lagi.

"Hei? Kau ini mau apa, sih?" tegur Sari 

yang jadi jengkel karena didiamkan saja. Andika 

nyengir. "Lagi berpikir!"

"Mengapa keningmu tidak diketuk-ketuk 

lagi?" ledek Sari mendongkol. Gadis ini benar-

benar tidak mengerti dengan sifat angin-anginan 

Andika. Memang tidak heran kalau dijuluki Pen-

dekar Slebor.

Andika tertawa.

"Bagaimana kalau kau yang ketuk?" Sepa-

sang mata Sari terangkat. Tetapi kemudian bibir-

nya mengembangkan senyum.

"Boleh," sahut Sari, pendek. "He he he..., 

silakan... "

Sari mendekat dengan masih tersenyum. 

Lalu tiba-tiba saja dipukulnya kening Andika 

kuat-kuat.

"Waaadddooowww!" jerit pemuda berbaju 

hijau itu sambil meringis kesakitan.

Sari tersenyum puas.

"Tahu rasa kau!"

Andika meringis sambil memegang kening-

nya. Ditatapnya Sari yang sekarang tertawa-tawa.

"Bandel! Kau harus kubalas!" seru Andika 

seraya mengejar.

Sari langsung berlari ke tempat orang-

orang berbaju merah tadi berada. Ketika kakinya 

menginjak tempat cairan berwarna merah dituang 

orang berpakaian merah-merah, tiba-tiba saja gadis itu terjatuh terguling. Andika terkesiap meli-

hatnya.

"Sariii!" seru Andika.

Secepat kilat Pendekar Slebor berkelebat, 

menangkap tubuh gadis itu. Seketika dilihatnya 

kaki Sari yang menginjak tempat tadi. Dan ter-

nyata berubah hitam.

"Gila! Gairah merah itu benar-benar racun 

yang membunuh!" sentak Pendekar Slebor.

Dengan cepat Andika membaringkan tubuh 

Sari. Kini pemuda itu harus berlomba dengan 

waktu. Dengan cepat ditotoknya beberapa urat 

syaraf yang ada di kaki Sari. Namun yang mem-

buatnya terbelalak, justru warna hitam itu perla-

han-lahan namun pasti, semakin naik ke atas.

"Edan! Racun ini benar-benar ganas!"

Kembali Pendekar Slebor menotok seluruh 

simpul syaraf di tubuh gadis yang terkulai lemah 

itu. Tampak keringat telah membanjiri tubuhnya. 

Lalu dialirkannya tenaga dalam melalui kedua 

tangan gadis itu. Andika harus bertarung mela-

wan racun ganas itu.

Dan perlahan-lahan pula sekujur tubuh 

Andika mengeluarkan keringat. Seluruh tena-

ganya berusaha dikerahkan untuk menyela-

matkan gadis itu. Aliran racun yang bisa dipasti-

kan akan tiba di jantung Sari, harus ditahannya.

Namun mendadak saja Pendekar Slebor 

merasakan panas menyengat. Ditahannya agar 

tenaga dalamnya tidak dilepaskan. Akan tetapi, 

panas itu semakin membara saja. Tak ubahnya

memegang besi yang telah berhari-hari ada di 

atas api.

"Aku tidak boleh menyerah! Gadis ini harus 

hidup!" tekad Andika tegang.

Dan mendadak saja, Pendekar Slebor men-

gubah tenaga dalamnya. Tenaga 'inti petir' tingkat 

ketiga puluh segera dialirkannya. Namun hasilnya 

nihil. Kini, warna hitam itu sudah sampai pada 

batas dengkul Sari.

Andika menambah tenaga 'inti petir'nya, 

menjadi tingkat kedua puluh tujuh. Dan perla-

han-lahan terus ditambahnya hingga berada pada 

puncak tenaga 'inti petir'.

Rupanya, usaha Pendekar Slebor untuk 

menyelamatkan gadis itu berhasil. Karena dengan 

tenaga 'inti petir' tingkat pertama, racun itu ber-

hasil berhenti. Bahkan perlahan-lahan warna hi-

tam yang ada di kedua kaki gadis itu menghilang.

Andika menghela napas panjang seraya 

menghapus keringatnya.

"Manusia keji!" dengus Andika. "Awasss...! 

Rasakan akibatnya dari perbuatan kalian yang 

hampir saja merenggut nyawa gadis ini...."

Pendekar Slebor melepas semua totokan-

nya di tubuh Sari. Dan perlahan-lahan, dialir-

kannya hawa murni ke tubuh gadis itu.


4


Suasana di Partai Gunung Anjasmoro tetap

berlangsung seperti biasa. Setiap pagi para murid 

berlatih ilmu pedang yang diturunkan Ki Lingkih 

Manuk.

Ki Lingkih Manuk sendiri berada di kamar 

pribadinya yang menghadap ke samping pendopo. 

Di halaman samping, ditanami bunga-bunga be-

raneka warna.

Hari demi hari pun dilalui Ki Lingkih Ma-

nuk dengan penuh ketegangan dan suasana tidak 

tenang. Dia masih memikirkan tentang pertarun-

gan yang akan terjadi sesama saudara sepergu-

ruannya.

Sampai saat ini, Ki Lingkih Manuk masih 

belum mengerti mengapa Ki Panca Giri, meng-

hendaki amanat seperti itu? Memberikan bokor 

emas yang berisi Air Swargaloka, yang akhirnya 

harus diperebutkan antara saudara seperguruan 

yang telah bergabung dalam Panca Giri?

Apalagi ketika disadari waktu yang diten-

tukan tinggal tiga hari lagi. Dapat dibayangkan 

bagaimana nanti para saudara seperguruan yang 

tergabung dalam Panca Giri, harus saling tempur 

untuk membuktikan mana yang paling tangguh 

dan sakti? Dan itu semata untuk mendapatkan 

Air Swargaloka! Meskipun ini pemecahan pertama 

dari amanat yang diberikan guru mereka. Yakni, 

tentang salah seorang anggota Panca Giri yang 

akan berjodoh dengan Air Swargaloka itu. Sebe-

narnya Ki Lingkih Manuk belum yakin dengan 

pemecahan ini. Namun, kesepakatan sudah terja-

di. Kalau mereka mengartikan kata-kata perjodohan itu dengan bertarung, mau apa lagi?

Kalau mau menuruti kata hatinya, Ki Ling-

kih Manuk sendiri justru tidak menginginkan Air 

Swargaloka. Biarlah salah seorang dari adik-adik 

seperguruannya yang mendapatkannya. Tetapi 

sulitnya, siapakah yang berhak meminum Air 

Swargaloka?

Jelas, semuanya pasti menginginkan. Keti-

ka diusulkannya untuk membuang bokor emas 

itu saja, sudah terjadi penolakan. Terutama, da-

tang dari Ki Samundang. Namun, Ki Lingkih Ma-

nuk sendiri tidak menyalahi sikap adik sepergu-

ruannya.

Ki Samundang memang benar. Betapapun 

pahitnya, mereka harus memenuhi amanat sang 

Guru. Meskipun, Ki Lingkih Manuk bertanya-

tanya, apakah sebenarnya mereka telah meme-

cahkan amanat Ki Panca Giri?

Apalagi, kini Ki Lingkih Manuk mendengar 

kalau beberapa orang dari golongan sesat telah 

unjuk gigi kembali. Dan adanya kemelut di tubuh 

Lima Partai Gunung itu rupanya sudah menye-

bar. Entah, siapa yang iseng membuka rahasia 

ini.

Ketika matahari sudah lewat sepenggalah. 

"Ki Lingkih Manuk! Keluar kau dari tempatmu!" 

Ki Lingkih Manuk menegakkan kepalanya 

ketika tiba-tiba terdengar suara sangat keras dari 

luar. Ada apa ini? Ketika telinganya kembali men-

dengar bentakan bernada menantang dan con-

gkak, kakinya pun melangkah keluar.

Di luar, tampak tiga orang laki-laki berke-

pala botak berpakaian hitam seperti sisik ikan. 

Pakaian di bagian bahu sebelah kiri tampak ter-

buka. Mereka telah berdiri di halaman pendopo 

Partai Gunung Anjasmoro. Di tangan masing-

masing terdapat rantai berujung besi bulat sebe-

sar kepala orang dewasa yang penuh duri. Mereka 

dikelilingi para murid partai itu yang bersiaga 

dengan pedang di tangan.

Para murid itu sendiri terkejut, ketika se-

dang berlatih tadi. Karena mendadak saja berke-

lebat tiga orang berkepala gundul, dan langsung 

berdiri di halaman.

Ki Lingkih Manuk hanya tersenyum saja

sambil melangkah penuh wibawa.

"Rupanya Tiga Duri Setan yang hadir di si-

ni...." sapa Ketua Partai Gunung Anjosmoro itu.

Salah seorang dari tiga orang yang berjuluk 

Tiga Duri Setan terbahak-bahak. Wajahnya yang 

dihiasi kumis tebal namun menjuntai panjang itu 

jadi terlihat lucu.

"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali, Ki Ling-

kih Manuk! Kau masih mengenali kami rupanya!" 

kata laki-laki berkumis itu.

"Siapa yang bisa lupa pada tiga tokoh sesat 

yang pernah kuhajar sampai terkencing-kencing 

di Hutan Barangan!" sahut Ki Lingkih Manuk, 

sambil tersenyum dingin.

Memang, empat tahun yang lalu Tiga Duri 

Setan selalu banyak membuat onar di dusun-

dusun sekitar lereng Gunung Anjasmoro. Untun

glah Ki Lingkih Manuk muncul dan menghajar 

mereka sampai babak belur. Setelah berhasil di-

kalahkan Ki Lingkih Manuk, Tiga Duri Setan pun 

menghilang dari rimba persilatan. Kalaupun me-

reka muncul sekarang ini, tentunya di samping 

untuk membalas dendam, pasti ada sesuatu yang

ingin didapatkan.

Mendengar kata-kata Ki Lingkih Manuk 

itu, wajah Tiga Duri Setan memerah geram. Mere-

ka ingat, bagaimana dulu dihajar Ki Lingkih Ma-

nuk seorang diri.

Tetapi yang bicara tadi sudah kembali ter-

bahak-bahak.

"Aku pun masih ingat tentang itu, Lingkih 

Manuk. Sekarang, dengarkan! Nyawa tuamu hari 

ini akan putus! Tetapi, kau akan selamat bila 

memberikan kepada kami bokor emas itu!"

Meskipun sudah yakin kalau banyak yang 

tahu tentang Air Swargaloka yang kini justru diri-

butkan dengan saudara-saudara seperguruannya 

sendiri, Ki Lingkih Manuk cukup terkejut juga. 

Tetapi sebagai orang yang sudah makan asam ga-

rang dalam kehidupan ini, sikapnya tetap tenang 

sekali. Tetapi berwibawa.

Sementara para murid Partai Gunung An-

jasmoro sudah tidak sabar untuk mengibaskan 

pedang melihat kesombongan ketiga laki-laki 

gundul itu.

"Aku senang mendengar kata-katamu yang 

berani itu, Sepuh Langit! Tetapi, apa kau yakin 

mampu mendapatkannya dariku?" tukas Ki Lingkih Manuk.

Laki-laki botak berkumis panjang yang di-

panggil Sepuh Langit terbahak-bahak.

"Jangan memandang ringan kami sekarang 

ini, Lingkih Manuk! Kalau empat tahun yang lalu 

kami mengakui kehebatanmu, kali ini kau harus 

mengakui kehebatan kami!" sergah Sepuh Langit, 

sombong.

"Ya, ya. Kalau dulu aku mengampuni nya-

wa busuk kalian, tetapi sekarang ini.... Jangan 

harap kuampuni lagi!" sahut Ki Lingkih Manuk 

sambil melangkah.

Dan kini Ki Lingkih Manuk berada delapan 

tindak dari Tiga Duri Setan. Sementara para mu-

rid orang tua itu pun mundur tiga langkah.

"Kau akan yakin sekarang, kalau ucapan-

mu tak ada artinya!" dengus Sepuh Langit dengan 

wajah semakin memerah. "Kau tak akan bisa 

meminta bantuan dari Panca Giri lainnya kalau 

berhasil kami kalahkan, Ki Lingkih Manuk! Kare-

na, Panca Giri akan hancur dengan sendirinya! 

Tidak lama lagi!"

Diam-diam Ki Lingkih Manuk mendesah 

masygul. Rupanya perpecahan yang sebentar lagi 

akan terjadi di tubuh Panca Giri, sudah terdengar 

ke mana-mana. Tetapi sikapnya tetap tenang.

"Untuk apa minta bantuan, kalau aku sen-

diri sanggup membungkam kalian bertiga!"

"Aku suka sekali mendengarnya! Panca Giri 

sebentar lagi akan terkapar di tanah! Lingkih Ma-

nuk! Untuk apa kau mempertahankan Air Swargaloka, kalau ternyata hanya terjadi perpecahan 

di antara Panca Giri sendiri?" seru Sepuh Langit.

Dalam hati, Ki Lingkih Manuk membenar-

kan pula kata-kata Sepuh Langit. Yah! Untuk apa 

kalau memang nanya membuat hancurnya Panca 

Giri? Tetapi itu adalah amanat yang memang ha-

rus dijalankan. Lagi pula. Air Swargaloka tak 

akan pernah diberikan begitu saja pada siapa 

pun. Terlebih-lebih, pada tiga manusia gundul ini.

"Kalau memang demikian, mengingat jum-

lah kalian bertiga, siapakah yang berhak untuk 

meminumnya?" tanya Ki Lingkih Manuk.

"Sudah tentu aku!" sahut Sepuh Langit 

sambil menepuk dadanya.

Ki Lingkih Manuk menggeleng-geleng.

"Tak kusangka, ternyata kau orang yang 

tamak! Apakah kau tidak akan menyisakan untuk 

kedua kawanmu?"

Wajah Sepuh Langit merah padam men-

dengar kata-kata ejekan Ki Lingkih Manuk.

"Sudah tentu tidak! Karena, akulah Ketua 

Tiga Setan Duri!"

"Sayang.... Karena jumlah kalian bertiga, 

aku tidak jadi memberikannya."

Ki Lingkih Manuk tersenyum melihat wajah 

Sepuh Langit memerah.

"Mengapa harus berlama-lama? Bukankah 

kalian ingin unjuk gigi?!" tandas Ki Lingkih Ma-

nuk.

Sebelum Sepuh Langit berkata lagi, seseo-

rang yang berada di sebelah kirinya sudah melesat. Diputarnya rantai berujung besi berduri itu.

Wukkk! Wukkk...!

"Hhh! Akan kurobek-robek mulutmu itu, 

Orang Tua!"

"Rupanya kau ingin mati lebih dulu. Sepuh 

Bumi!" sambut Ki Lingkih Manuk sambil meng-

hindari besi berduri yang menderu-deru ke arah-

nya.

Wuuusss!

"Mampus!" dengus laki-laki yang dipanggil 

Sepuh Bumi.

"Jangan memandang ringan!" seru Ki Ling-

kih Manuk sambil melompat ke belakang, sejauh 

beberapa tombak.

Melihat Sepuh Bumi sudah menyerang, 

Sepuh Langit dan saudaranya yang dikenal ber-

nama Sepuh Bayu pun menerjang. Kini, tiga buah 

rantai berujung besi berduri telah menderu-deru 

mengurung Ki Lingkih Manuk.

***

Rupanya, kemampuan Tiga Duri Setan itu 

telah meningkat, setelah menghilang dari dunia 

persilatan. Buktinya dalam sepuluh jurus beri-

kutnya, Ki Lingkih Manuk pun mulai terdesak 

menahan gempuran dan sambaran rantai beru-

jung besi berduri. Yang datang begitu cepat. Ter-

kadang silih berganti, terkadang secara bersa-

maan. Mereka memang ingin benar-benar mem-

bungkam Ki Lingkih Manuk.

"Rupanya empat tahun tidak bertemu, te-

nagamu sudah loyo, Orang Tua!" ejek Sepuh Lan-

git, sambil terus mencecar Ki Lingkih Manuk den-

gan bandul besinya. Begitu pula dengan Sepuh 

Bumi dan Sepuh Bayu.

"Ha ha ha...! Itu hanyalah pemanasan un-

tukku saja! Kalian jangan bangga dulu!" sahut Ki 

Lingkih Manuk sambil berjumpalitan terus mene-

rus.

Sebenarnya Ketua Partai Gunung Anjosmo-

ro ini memang dalam keadaan terdesak hebat. 

Bandul besi itu terus mencecar, membuatnya 

menjadi kewalahan

Namun sebagai pendekar yang telah mene-

lan pahit manisnya kehidupan ini, dicobanya un-

tuk bertahan dan menghindari setiap serangan.

Sementara itu, para murid Partai Gunung 

Anjosmoro sebenarnya sudah tidak sabar untuk 

membantu. Tetapi karena belum ada perintah da-

ri Ki Lingkih Manuk, mereka mau tak mau hanya 

bisa menahan geram dan amarah saja.

Kenapa tidak membokong? Padahal, itu ja-

lan yang paling baik untuk menyelamatkan guru 

mereka dan gempuran-gempuran ketiga lawan-

nya. Tidak! Sekali lagi, tidak. Ki Lingkih Manuk 

memang telah mengajarkan sifat ksatria kepada 

murid-muridnya. Siapa pun lawan, harus dihada-

pi secara ksatria. Membokong adalah tindak pen-

gecut! Malah kemungkinan besar, justru Ki Ling-

kih Manuk sendiri yang akan marah kepada anak 

buahnya bila ada yang membokong ketiga lawan

nya.

Namun tiba-tiba salah seorang murid me-

lemparkan pedang di tangannya.

"Guru! Terimalah ini!" teriak murid itu.

Siing!

Dalam sekali dengar saja, Ki Lingkih Ma-

nuk bisa mengetahui sebuah pedang telah melun-

cur ke arahnya. Dengan cepat disongsongnya pe-

dang itu. Akan tetapi, niatnya harus diurungkan, 

karena tiga bandul besi lawannya yang bosan 

dengan rambut itu sudah kembali menderu ke 

arahnya.

Wusss! Wusss! Wusss!

"Kau tak akan bisa ke mana-mana, Orang 

Tua! Bahkan ke lubang tikus sawah sekali pun!" 

ejek Sepuh Bumi sambil menyerang gencar.

Sementara, pedang yang dilemparkan mu-

rid Partai Gunung Anjosmoro menancap di tanah.

"Lihat saja! Kepala kalian yang licin itu 

akan kubuat makin licin! Lihatlah!" seru Ki Ling-

kih Manuk sambil berjumpalitan menghindari 

dua bandul besi yang menderu ke arahnya.

Ketika bandul besi milik Sepuh Bumi men-

deru ke arahnya, dengan manis Ki Lingkih Manuk 

berputar dua langkah sembari melompat. Begitu 

menjejak tanah, kakinya menendang sebuah ke-

rikil yang meluncur deras ke arah kepala Sepuh 

Langit yang siap meluncurkan bandul besinya la-

gi.

"Settaaannn!" maki Sepuh Langit seraya 

membatalkan serangan. Dia tahu, apa akibatnya

bila kerikil yang ditendang lewat penyaluran tena-

ga dalam tinggi itu mengenai kepalanya.

Kesempatan itu dipergunakan Ki Lingkih 

Manuk untuk bergulingan. Tangannya sekali lagi 

menyambar sebuah kerikil. Saat menghindar ke-

jaran dari dua bandul besi yang mengarah kepa-

lanya, dilemparkannya kerikil itu.

Tak!

Luncuran dahsyat kerikil tepat mengenai 

hulu pedang yang menancap di tanah. Bagaikan 

disentak tenaga malaikat, pedang itu kontan 

mencelat lepas dari tanah dan meluncur ke arah-

nya. Lalu dengan sentakan satu kaki, Ki Lingkih 

Manuk melompat menyambarnya.

Tap!

Begitu pedang berhasil ditangkap, Ki Ling-

kih Manuk bersalto dua kali. Dan ketika hinggap 

di tanah, dia sudah bersiap kembali menerima se-

rangan.

Bukan hanya murid-murid Partai Gunung

Anjasmoro yang berdecak kagum. Diam-diam Se-

puh Langit pun kagum melihat kecepatan gerak 

Ki Lingkih Manuk. Namun sudah tentu kekagu-

mannya tidak ditunjukkan. Kalau tadi serangan-

nya tanpa berpindah dari tempat berdirinya, kali 

ini rantai itu diputar di atas kepalanya. Dan sam-

bil melompat ke arah Ki Lingkih Manuk, tubuh-

nya mencelat untuk melontarkan bandul besinya. 

Gerakan itu disusul oleh gerakan Sepuh Bumi 

dan Sepuh Bayu.

Dengan pedang di tangan, sudah tentu kali

ini Ki Lingkih Manuk bisa membuktikan kalau di-

rinya adalah salah seorang pendekar yang patut 

diperhitungkan. Dia melompat lincah ke sana 

kemari. Bahkan dengan beraninya, jalannya ban-

dul besi itu dipotong oleh gerakan tubuhnya.

Trang!

Bandul besi milik Sepuh Bayu bukannya 

mengarah pada sasaran, justru meluncur kembali 

ke pemiliknya yang langsung tercekat melihatnya. 

Untung dia segera bergulingan dengan cepat. Se-

hingga, bandul berduri itu menghantam pohon di 

belakangnya hingga sempal!

Dan bukan hanya sampai di sana saja Ki 

Lingkih Manuk menunjukkan kepandaiannya. 

Mendadak saja pedang di tangannya dilemparkan 

ke arah Sepuh Langit.

Laki-laki botak berkumis panjang itu terke-

jut pula. Cepat tangannya digerakkan berputar, 

sehingga pedang itu terbelit rantai besinya. Pada 

saat yang sama Ki Lingkih Manuk melompat ke 

atas bandul besi milik Sepuh Bumi.

Pertunjukan tenaga dalam tinggi oleh Ki 

Lingkih Manuk diperlihatkan sekarang. Dengan 

masih berdiri di atas bandul besi milik Sepuh 

Bumi, dibawanya bandul berduri yang bagaikan 

menempel di kakinya itu ke pemiliknya. Sehingga, 

tubuhnya seakan terbang.

Bukan main terkejutnya Sepuh Bumi meli-

hat serangan yang aneh namun mengagumkan 

itu. Mendadak saja rantai besi itu dilepaskan dari 

tangan dengan jalan membantingnya! Karena menurut perhitungannya, tubuh Ki Lingkih Manuk 

akan tersentak jatuh.

Namun di luar dugaan, dengan lincahnya 

Ki Lingkih Manuk telah melenting dan berputa-

ran, mengejar Sepuh Bumi yang bergulingan ba-

gaikan meluncur. Seketika dilepaskannya dua 

pukulan dahsyat.

Des! Des!

"Aaakh...!"

Dua kali pukulan Ki Lingkih Manuk tepat 

mengenai punggung Sepuh Bumi yang kontan 

menjerit keras. Sementara dengan lincahnya Ki 

Lingkih Manuk terus bersalto kembali ke bela-

kang, karena nalurinya yang tajam merasakan 

dua angin menderu kencang ke arahnya.

"Ini yang dikatakan ilmu kalian bertambah, 

hah?!"

Sepuh Langit menggeram marah. Sungguh, 

amat tidak disangka kalau Ki Lingkih Manuk 

mampu melakukan gerakan mengejutkan. Apalagi 

ketika melihat Sepuh Bumi yang bangkit dengan 

terhuyung dan muntah darah.

"Kau harus membayar semua ini dengan 

nyawamu. Orang Tua!" dengus Sepuh Langit.

Begitu kata-katanya habis, Sepuh Langit 

meluruk cepat ke arah Ki Lingkih Manuk. Kali ini, 

bandul besi yang sejak tadi dilontarkannya dipe-

gangnya. Begitu berada tak seberapa jauh dari Ki 

Lingkih Manuk, baru dilemparkannya dengan te-

naga penuh.

Wusss!

Ki Lingkih Manuk yang sudah memperhi-

tungkan kalau Sepuh Langit akan melakukan se-

rangan seperti itu cepat bergulingan. Sehingga, 

bandul besi itu hanya menebas angin.

Dan dalam masih bergulingan. Ki Lingkih 

Manuk mengibaskan kakinya ke atas, ke arah 

kaki Sepuh Langit.

Duk!

"Auhhh....!"

Tepat sekali kaki Ki Lingkih Manuk men-

genai tulang kering Sepuh Langit. Laki-laki botak 

ini langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh 

sempoyongan. Saat itulah Ki Lingkih Manuk me-

mutar tubuhnya. Dia segera melompat untuk 

menghabisi nyawa Sepuh Langit. Tetapi seran-

gannya harus dihentikan, karena Sepuh Bayu 

sudah menyerangnya.

"Bagus, bagus sekali! Hanya sayang. Tiga 

Duri Setan cuma membuang nyawa percuma!" se-

ru Ki Lingkih Manuk.

Dan mendadak saja Ketua Partai Gunung 

Anjasmoro itu kembali menyerang. Kedua tan-

gannya mengembang, bagaikan serangan elang 

menyambar anak ayam.

Sepuh Bayu melontarkan bandul besinya. 

Begitu pula Sepuh Langit yang sudah menyambar 

kembali senjata. Dua bendul besi itu kembali me-

nyerang.

Dan mendadak saja, Ki Lingkih Manuk 

yang masih melayang menghindar merasakan se-

buah deru angin kencang ke arahnya. Rupanya

Sepuh Bumi mempergunakan kesempatan untuk 

membokongnya. Sekaligus, membalas sakit ha-

tinya.

"Bagus! Orang yang sudah mau mampus 

pun, mampu berbuat curang!" seru Ki Lingkih 

Manuk.

Dan dengan gerakan tak terduga, menda-

dak saja Ki Lingkih Manuk menyongsong bandul 

besi Sepuh Langit yang sudah kembali mengarah 

padanya. Beberapa rambut saja tubuhnya akan 

lumat dimakan bandul besi berduri yang sangat 

tajam!

Sepuh langit sendiri sudah mengembang-

kan senyum karena yakin Ki Lingkih Manuk tak 

akan mampu menghindari serangannya kali ini. 

Apalagi dibantu Sepuh Bayu yang juga sudah 

menyerangnya!

Tetapi alangkah terkejutnya Sepuh Langit, 

ketika melihat Ki Lingkih Manuk justru mem-

buang tubuhnya ke kiri. Langsung ditendangnya 

rantai besi milik Sepuh Bayu, sehingga bandul 

besi berduri itu justru berbalik ke arah pemilik-

nya yang terpaksa menjatuhkan diri untuk meng-

hindari seraya melepas rantainya.

Sementara, bandul besi berduri milik Se-

puh Langit terus meluncur deras. Pada saat yang 

sama, Sepuh Bumi meluruk deras tak tertahan-

kan lagi. Padahal, Ki Lingkih Manuk telah bergu-

lingan di tanah. Akibatnya.... 

Brettt!

"Aaakhhh...!"

"Sepuh Bumiii...!"

Bersamaan dengan itu terdengar pula jeri-

tan keras dari mulut Sepuh Langit yang tercen-

gang.

Tubuh Sepuh Bumi sudah ambruk ke ta-

nah dengan dada robek terhantam bandul besi 

berduri milik Sepuh Langit. Rupanya Sepuh Lan-

git tidak lagi mampu menahan rantai besinya lagi. 

Sementara, Sepuh Bumi sudah siap menyerang Ki 

Lingkih Manuk.

Maka tak ayal lagi, tubuh Sepuh Bumi pun 

harus termakan bandul besi berduri milik Sepuh 

Langit sendiri. Maka makin murkalah Sepuh Lan-

git. Dia cepat melompat seraya melepaskan rantai 

besinya.

"Kau harus membayar semua ini dengan 

darahmu, Orang Tua! Aku bersumpah, akan 

mencuci mukaku dengan darahmu!"

Seketika dua tangan Sepuh Langit bergerak 

lurus ke arah Ki Lingkih Manuk.

"Cobalah buktikan sumpahmu itu!" sahut 

Ki Lingkih Manuk tanpa bergerak, seraya meng-

hentakkan kedua tangannya.

Blarrr...! Blarrr...!

Terjadi benturan dua kali. Sepuh Langit 

merasakan tangannya kesemutan. Sementara Ki 

Lingkih Manuk masih berada dalam sikap biasa. 

Dia tahu, tenaga dalamnya lebih tinggi.

Sementara itu. Sepuh Bayu pun mem-

buang pula senjatanya. Lalu tubuhnya meluruk 

ke arah Ki Lingkih Manuk.Rupanya, Ketua Partai Gunung Anjasmoro 

itu selain mempunyai keahlian luar biasa dalam 

ilmu pedang, juga memiliki kemampuan bela diri 

tangan kosong. Apalagi didukung tenaga dalam 

tinggi.

Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, terli-

hat Sepuh Langit dan Sepuh Bayu yang terdesak 

hebat. Rupanya Ki Lingkih Manuk sudah mem-

pergunakan ajian yang memang selalu disimpan-

nya, aji 'Pedang Kilat'.

Ajian itu membuat kedua telapak tangan Ki 

Lingkih Manuk seolah berubah menjadi setajam 

pedang. Memang, lima murid yang tergabung da-

lam Panca Giri dari Partai Gunung Merbabu telah 

diturunkan ajian pamungkas yang disesuaikan 

keahlian dalam mempergunakan senjata masing-

masing.

Dua kali tangan Sepuh Bayu terhantam 

sambaran tangan Ki Lingkih Manuk, sehingga 

mengeluarkan darah. Melihat Sepuh Bayu dibuat 

kalang kabut seperti itu, kemarahan Sepuh Langit 

bertambah. Dengan kemurkaannya seluruh ke-

saktiannya diumbar untuk menjatuhkan Ki Ling-

kih Manuk. Namun ia sendiri tak kuasa menahan 

serangan Ajian 'Pedang Kilat'. Bahkan kakinya 

pun telah mengeluarkan darah tersambar ajian 

'Pedang Kilat'.

Melihat kenyataan itu, Sepuh Langit yakin 

kalau pertarungan ini diteruskan, akan berakhir 

kekalahan di pihaknya. Mendadak saja dia bersalto ke belakang.


"Sepuh Bayu!! Kita pergi dari sini. Dan kita 

akan datang lagi untuk mencabut nyawa Orang 

tua itu!!" teriak Sepuh Langit.

Sepuh Bayu pun segera berbuat sama.

Namun sayang. Ternyata Ki Lingkih Manuk 

tidak mau lagi memberi kesempatan. Ketika Se-

puh Bayu melompat ke belakang, laki-laki Ketua 

Partai Gunung Anjasmoro itu justru mengejar ba-

gaikan meluncur di atas air. Seketika tangan ka-

nannya ditusukkan ke dada Sepuh Bayu. Lalu....

Crasss!

"Aaa...!"

Tangan kanan Ki Lingkih Manuk tembus 

ke jantung Sepuh Bayu! Ketika ditarik, darah 

muncrat keluar. Kini tangan Ki Lingkih Manuk 

berlumur darah.

Mendengar teriakan menyayat Sepuh Bayu, 

Sepuh Langit menghentikan larinya. Dengan ge-

ram dia melihat keadaan saudara seperguruan-

nya yang bernasib naas.

"Tunggu pembalasanku, Lingkih Manuk!" 

teriak Sepuh Langit, seraya kembali berlari den-

gan hati penuh dendam dan amarah.

Ki Lingkih Manuk menghela napas pan-

jang. Pagi ini, dia telah membunuh dua orang. Te-

tapi yang dibunuh justru akan merugikan orang 

banyak. Dibayangkannya, apa yang akan terjadi 

di lereng Gunung Merbabu tiga hari lagi.

"Makamkan kedua mayat ini di belakang 

pendopo," ujar Ki Lingkih Manuk pada murid-

muridnya.

Tak ada yang membantah. Padahal, kalau 

mau menuruti kata hati, mereka lebih suka 

membuang kedua mayat ini ke hutan. Dibiarkan 

membusuk dan digerogoti ulat-ulat kecil. Namun 

perintah tetaplah perintah.


5


Tubuh Sari perlahan-lahan mulai bergerak. 

Wajahnya pun mulai tampak cerah. Bibirnya yang 

ranum namun kali ini terlihat agak pucat, me-

nimbulkan suara lirih. Andika yang sudah selesai 

bersemadi menoleh, memperhatikan gadis itu.

"Sari..., masih hidup rupanya, eh. Maksud-

ku, kau sudah sadar?" kata Andika buru-buru 

meralat.

Perlahan-lahan Sari membuka kedua ma-

tanya, yang segera dipejamkannya kembali. Kare-

na, ada silau yang cukup menyengat sepasang 

matanya. Lalu perlahan-lahan dibukanya kemba-

li. Kali ini dirasakannya sedikit lumayan, dan bisa 

seperti biasa kembali.

Sekujur tubuhnya pun masih sangat le-

mah.

"Andika...," desah Sari begitu melihat tu-

buh Andika di dekatnya.

"Oh.... Syukurlah kau sudah siuman," 

sambut Andika.

Pendekar Slebor benar-benar tidak akan 

memaafkan dirinya bila gagal menyelamatkan Sari. Diam-diam, hatinya teramat marah pada keli-

ma orang berpakaian merah-merah yang telah 

menuangkan cairan berwarna merah itu. Andika 

bertekad, untuk mencari orang-orang itu agar 

mempertanggungjawabkan perbuatan mereka 

yang hampir saja merenggut nyawa Sari.

Lalu dengan sangat perlahan. Andika 

membantu Sari untuk duduk.

"Kenapa aku, Andika?" tanya gadis itu 

sambil memegangi kepalanya. Sedikit pusing.

Kening Andika berkerut, mendengar nada 

pertanyaan lembut yang dilontarkan Sari. Heran! 

Rupanya dia bisa juga bersikap lembut. Kalau be-

gitu, apakah Sari harus dibuat pingsan dulu se-

tiap kali ingin melihatnya bersikap lembut?

"Yang jelas, ini gara-gara kau bandel!" sa-

hut Andika. "Makanya, jangan suka meninju ken-

ing yang tuaan. Beginilah akibatnya!"

Sari teringat kalau sebelumnya bercanda 

dengan Andika tadi. Meninju kening Andika dan 

berlari, karena pemuda itu mengejarnya. Tetapi, 

oh! Mengapa tahu-tahu tubuhnya terjatuh dan 

terguling begitu saja? Padahal dia yakin, kakinya 

tidak tersandung sesuatu.

Namun kemudian, gadis yang juga dianu-

gerahkan Yang Maha Kuasa memiliki otak cerdik 

itu teringat runtutan kejadiannya. Dan keningnya 

sedikit berkerut.

"Andika..., apakah tidak mungkin kalau 

pingsanku ini disebabkan cairan merah yang tak 

sengaja kuinjak?" tanya Sari kemudian. Andika

tersenyum.

"Betul! He he he.... Apa kau kira menginjak 

ampas orang buang hajat?" 

Sari cemberut. "Aku sungguh-sungguh."

"Betul, Sari..." kata Andika lebih bersung-

guh-sungguh. "Itu juga yang menjadi pemikiran-

ku."

"Kalau begitu, cairan itu sangat berbahaya. 

Andika."

"Itu juga yang menjadi pemikiranku." 

"Mereka pasti tengah bermaksud mencela-

kakan seseorang atau beberapa orang."

"Itu juga yang menjadi pemikiranku." 

"Tetapi..., siapa mereka?" 

"Itu juga yang menjadi pemikiranku." 

"Andika!" sentak Sari tiba-tiba.

Andika mengangkat kepalanya. "Lho? Men-

gapa kau membentak begitu? Apa aku salah?" tu-

kas Andika seenaknya.

"Jangan mempermainkan aku?" bentak ga-

dis itu lagi, gemas.

Andika menggelengkan kepala. "Sama se-

kali tidak. Apa yang kau katakan itu juga menjadi 

pemikiranku. Sari. Mana mungkin sih, aku mem-

permainkan gadis cantik tetapi...." 

"Diaaammm!" bentak Sari kembali. Gadis 

ini tahu pasti, apa yang akan dikatakan Pendekar 

Slebor di ujung kalimatnya. Tetapi kali ini dia ke-

cele....

"Juga sangat ayu dan manis...."

Ternyata Andika tetap berkata-kata. Dan

ujung kalimatnya, tidak seperti yang diduga.

"Hah?!" gadis itu melengak, tetapi buru-

buru menundukkan kepala.

Andika tertawa dalam hati. Heran! Kok ta-

hu-tahu jadi tersipu-sipu seperti gadis pingitan? 

Sebenarnya, bagaimana sih cara untuk mem-

buatnya jadi kalem dan tidak galak seperti begi-

tu?

"He he he.... Kau ini sangat manis sebenar-

nya kalau tidak galak."

Kali ini Sari menundukkan kepala. Hatinya 

berdebar-debar mendengar kata-kata Andika.

"Sari..., apakah kau yakin kesehatanmu 

benar-benar sudah pulih?" tanya Pendekar Slebor 

kemudian.

Sari mengangguk. Dia yakin kalau tidak 

segera ditolong Andika mungkin nyawanya sudah 

kembali ke Sang Pencipta.

"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap 

gadis ini tulus.

Andika tersenyum, seraya mengibaskan 

tangannya. "Tak apa-apa. Asal jangan bandel sa-

ja." Ganti Sari tersenyum. Andika berdiri.

"Mau ke mana?" tanya Sari. Kali ini wajah-

nya kelihatan malu-malu untuk langsung mena-

tap mata Pendekar Slebor.

Andika yang masih tidak mengerti akan pe-

rubahan sikap Sari, mengangkat bahunya saja.

"Aku ingin memusnahkan cairan-cairan 

merah yang kelihatannya jelas-jelas berbahaya 

itu. Lho,, lho...? Kau sendiri mau ke mana?" tanya

Andika ketika melihat gadis itu juga berdiri.

"Aku ingin membantu."

"Jangan! Nanti kau malah pingsan dua 

kali. Cah Ayu..., ketahuilah. Cairan merah itu 

sangat berbahaya sekali. Kalau kau pingsan lagi, 

aku jadi bingung lagi...."

Bukannya menjawab, Sari malah menun-

dukkan kepala.

Sementara Pendekar Slebor telah melang-

kah dengan santainya.

***

"Kenapa diam saja, sih?" tanya Sari.

Dari tadi gadis ini memperhatikan Pende-

kar Slebor yang hanya terdiam. Berkali-kali kepa-

lanya menelang ke kanan dan ke kiri, sementara 

tangannya berada di mulutnya. Seperti berpikir.

Andika tidak menyahuti kata-kata Sari. Dia 

sedang memikirkan bagaimana untuk menying-

kirkan sekaligus membuang cairan merah yang 

sangat berbahaya itu.

"Andika!"

"Iya, iya! Aku dengar!" sahut Andika tanpa 

bergeming.

Sari mendengus.

"Menyebalkan! Untung aku tidak jadi keka-

sihmu, huh!"

Kali ini Andika menoleh. Keningnya berke-

rut

"Yeee,.., siapa yang mau jadi kekasihmu?

Sudi amat sih!" goda Pendekar Slebor.

"Aku juga tak sudi jadi kekasihmu!" dengus 

Sari sambil mengangkat tangannya.

"Eit, eit!" seru Andika sambil berlagak hen-

dak menahan pukulan Sari. "Belum jadi kekasih, 

sudah main pukul saja. Bagaimana kalau sudah 

jadi?"

Sari menurunkan tangannya Bibirnya 

cemberut. Namun, hatinya sedih. Sungguh, sukar 

sekali menebak isi hati Pendekar Slebor yang 

sangat memusingkan kepalanya. Terkadang, dari 

setiap ucapannya, mampu membuat Sari terba-

wa. Namun di lain ucapannya, just membuatnya 

kesal

Andika yang merasa kasihan melihat gadis 

itu terdiam, tersenyum.

"He he he.... Tidak usah marah. Sekarang, 

kau berdiri saja di sini. Aku akan mencoba mem-

buang cairan warna merah itu," ujar Andika, lem-

but.

Kali ini Sari menurut.

Andika kini mengangkat kedua tangannya 

ke atas, lalu menurunkannya ke bawah kembali. 

Ditariknya napas dalam-dalam, menghimpun 

kembali tenaga 'inti petir'nya lagi. Dengan cepat 

tangannya dikibaskan ke arah salah satu tempat 

yang dituangi cairan merah tadi.

Wusss...!

Serangkum angin kencang yang bersuara 

bagai salakan petir seketika terdengar. Maka ta-

nah berpasir yang ada di sana mengembang dan

buyar terbawa angin pukulan Andika. Tetapi yang 

mengejutkan cairan merah itu tetap berada di sa-

na. Mengering, dan seperti membatu.

"Busyet!" rutuk Pendekar Slebor. "Bisa saja 

sih, aku membuangnya dengan kedua tanganku 

ini. Tetapi... he he he.... Tadi saja Sari sudah me-

rasakan akibatnya. Masa iya aku begitu bodoh 

mau melakukannya lagi."

Tetapi meskipun begitu, Andika mengambil 

sebatang ranting dan melemparkannya ke arah 

tempat yang dituangi cairan merah tadi.

Pluk!

Srrsss!

Begitu ranting tadi jatuh tepat di tempat 

yang dituangi cairan merah, seketika berubah 

menjadi debu. Hangus bagaikan tersambar petir. 

"Busyet!"

Andika menggaruk-garuk kepalanya. Se-

mentara Sari menghela napas panjang melihat 

ranting yang seketika menjadi debu.

"Kang Andika.... Sangat berbahaya cairan 

merah itu, meskipun telah cukup lama mengen-

dap di tanah!" seru gadis itu.

Andika menoleh. Bukannya menanggapi 

kata-kata Sari, dia justru bengong menatap gadis 

itu. Kang Andika? Busyet! Kok pakai 'kang' sega-

la? Lagi-lagi dia tidak mengerti dengan sikap Sari 

yang terkadang cepat sekali berubah.

"Kau benar! Cairan merah itu sangat ber-

bahaya! Tetapi, bukan Andika kalau tidak mampu 

membuangnya!" kata Pendekar Slebor sombong,

sambil menepuk dadanya. "Kau lihat ini!"

Wuuuttt!

Lalu dengan gaya yang sok, Andika mence-

lat ke atas. Tubuhnya diputar dua kali di atas. 

Seketika kain pusakanya yang bercorak catur di-

kebutkan.

Bletarrr...!

Pasir di bawah kontan beterbangan. Sebe-

lum kakinya menjejak tanah, tangan Pendekar 

Slebor yang telah merangkum ajian 'Guntur Se-

laksa', salah satu ajian warisan dari Lembah Ku-

tukan, dikibaskan.

Dgerrr!

Seketika tanah yang dihantam ajian itu bo-

long! Lalu dengan ringannya, Andika hinggap di 

sisi tanah yang bolong itu. Kini tak ada sesuatu 

yang membuatnya mengaduh atau jatuh pingsan.

Sari yang sudah terkejut tadi karena meli-

hat betapa beraninya Andika menginjak tempat 

itu, kini menghela napas lega. Ternyata pemuda 

yang diam-diam dicintainya itu tak kurang suatu 

apa.

Andika terkekeh-kekeh.

"Rupanya, hawa panaslah yang menguasai 

cairan merah itu, sehingga tidak mau pergi juga! 

Memang bandel! Makanya, dengan mengerahkan 

kekuatan panas dari ajian 'Guntur Selaksa', pa-

nas yang ditimbulkan cairan merah itu bisa dika-

lahkan. Buktinya? He he he..., kau lihat sendiri 

kan, Sari?"

Sari hanya tersenyum. Merasa lucu melihat

sikap Andika yang lugu seperti itu. Lalu tampak 

pemuda berbaju hijau pupus itu melakukan gera-

kan serupa sebanyak tiga kali. Dan di tiga tempat 

berikutnya, tanahnya pun bolong.

Kini, cairan merah beracun itu telah pu-

nah. Meskipun Andika tidak mengerti, mengapa 

kelima orang itu tadi menuangkan cairan ini 

keempat tempat, namun dia tetap memusnah-

kannya. Pendekar Slebor memang telah mendu-

ganya, tetapi.... siapa keempat calon yang hendak 

dibunuh itu? Lalu diuruknya kembali tanah yang 

bolong, sehingga keadaannya seperti semula. Rata 

dengan tanah.

Sari mendekat sambil bertepuk tangan.

"Hebat, hebat!"

Andika membusungkan dadanya

"Andika...," panggil Sari dengan nada ting-

gi. Sari tersenyum dan terus mendekat. Lalu, ti-

ba-tiba dipukulnya dada Andika. Keras. 

Buk!

"Heigkh! Kenapa lagi ini, sih?" tanya Andi-

ka pura-pura.

Padahal kalaupun Andika menangkis pu-

kulan itu, bisa saja dilakukannya. Tetapi lagi-lagi 

dia ingin menggoda Sari.

"Biar kau tidak besar kepala! Kang Andi-

ka..., sebenarnya apa yang telah terjadi ini?" 

tanya Sari.

"Aku tidak tahu. Tetapi, aku akan mencari 

tahu." 

"Maksudmu?"

"Pertama, ada pertanyaan yang sangat 

mengganggu sekali bagiku," sahut Andika sambil 

menatap sepasang mata jernih di hadapannya.

"Pertanyaan apa?" tanya Sari. "Kenapa kau 

tiba-tiba memanggilku 'kang'?" tanya Andika pe-

lan.

Sari mendadak saja gelagapan. Kepalanya 

ditundukkan dengan sikap gelisah.

"Aku..., ah! Kau tidak senang?"

"Aku? He he he..., senang banget,"

"Lalu..., mengapa..., mengapa dipermasa-

lahkan?" 

"Soalnya...," Andika menggaruk-garuk ke-

palanya. "Soalnya apa, kenapa tidak memanggil 

'yang'... he he he...."

"Sudah..., sudah...!" teriak Sari, jadi malu. 

Wajah Sari bersemu dadu. Andika sangat menik-

mati sekali wajah yang cantik itu memerah. Apa-

lagi dari jarak dekat seperti ini.

Sejenak suasana jadi hening, ketika tak 

ada yang bersuara.

"Aku ingin mencari tempat yang teduh dan 

agak tersembunyi" cetus Andika seraya melang-

kah. 

"Mau apa?" seru Sari lagi.

"Aku ingin menunggu di sini. Menurut 

orang-orang berpakaian merah yang bersenjata 

cakra di tangannya, pertemuan itu akan diadakan 

tiga hari lagi di sini. Tidak tahu pertemuan apa? 

Tetapi aku justru penasaran. Bila melihat perbua-

tan mereka tadi, bisa dipastikan kalau pertemuan

yang akan terjadi pasti akan menimbulkan per-

tumpahan darah! Hei, Sari! Kau dengar itu?!" te-

riak Andika sambil terkekeh.

"Aku ikut!"

Andika terus melangkah.

"Tidak usah!"

"Ikut! Pokoknya ikut!" 

"Terserah! Itu urusanmu, kok! Tetapi, lebih 

baik panggil harimaumu yang jelek itu! Kasihan 

dia kalau tidak diperintahkan keluar dari per-

sembunyiannya. Bertahun-tahun juga tidak akan 

keluar!"

"Oh! Kakang Andika suka pada si Belang?" 

tanya Sari, riang. Pertama. Karena akhirnya An-

dika mengabulkan permintaannya. Kedua, karena 

baru tahu kalau Andika menyukai si Belang.

"Siapa bilang? Malah kalau bisa usir saja 

dia dari sini..."

Sari menghentakkan kakinya lagi. Lalu tu-

buhnya berbalik untuk mengambil si Belang. 

Memang, di samping ingin selalu berada dekat 

pendekar tampan itu, Sari juga penasaran ingin 

tahu apa maksud kelima orang itu menuangkan 

cairan merah beracun yang mampu mencabut 

nyawa dalam beberapa hitungan saja!


6



Malam mulai merebak perlahan-lahan. 

Hembusan angin kini dirasakan semakin dingin.Pendekar Slebor telah menemukan sebuah gua 

kecil yang terdekat di sisi sebelah kanan Gunung 

Merbabu. Saat ini, pemuda itu sedang memang-

gang daging kelinci yang tadi diburunya.

"Jadi bagaimana keputusanmu, Kang An-

dika?" tanya Sari yang duduk di sisi Pendekar 

Slebor sambil merangkul Belang untuk menghi-

langkan rasa dingin yang menyengat.

Si Belang sendiri sejak tadi sudah tidak sa-

bar ketika mencium aroma daging kelinci yang 

dipanggang Andika.

Andika membalik-balikkan daging kelinci 

itu di atas api yang menyala.

"Aku akan tetap menunggu di sini," tegas 

Andika. 

"Sampai kapan?"

"Sampai aku mengetahui, apa yang sebe-

narnya tengah terjadi. Hmmm... Sari... Apakah 

kau tidak mencium aroma daging ini yang menga-

syikkan?"

Sari hanya mengangguk. Wajahnya berki-

lat-kilat ditimpa cahaya api. Dia pun sudah tidak 

sabar menyikat daging kelinci itu. Dari aromanya 

saja, sudah tercium wangi yang sangat nikmat. 

Apalagi bila memakannya. Ah! Rupanya Pendekar 

Slebor memang pandai memanggang daging ke-

linci.

"Sudah matangkah daging itu, Kakang?" 

tanya Sari. 

"He he he.... Jangan khawatir. Sebentar la-

gi kita akan menikmatinya. Masing-masing mendapat satu buah daging kelinci. Termasuk kau, 

Belang! Aku tahu, kau sudah tidak sabar segera 

menyantapnya, bukan?"

Andika membalik-balik lagi daging kelinci 

itu. Lalu dibawanya ke depan hidung.

"Hmmm.... Tak terkirakan nikmatnya. 

Hmm, Belang.... Bolehlah kau menikmatinya lebih 

dulu."

Andika melemparkan daging kelinci yang 

telah matang itu kepada Belang yang dengan si-

gapnya melahapnya. Kalau si Belang bisa ngo-

mong, tentunya akan mengatakan kalau daging 

kelinci mentah lebih mengasyikkan daripada ma-

tang begini.

Kini Andika memberikan potongan daging 

kelinci lainnya kepada Sari. Dan gadis itu segera 

menikmatinya. Mereka pun menikmati daging ke-

linci yang penuh aroma mengasyikkan.

Dan malam pun terus merambat. Suasana 

yang dingin membuat Sari harus menekuk kedua 

kakinya ke depan. Meskipun mereka berada di 

dalam gua, namun gua itu hanya kecil saja. Din-

dingnya tidak terlalu tinggi, sehingga angin yang 

masuk hanya berkutat di sekitar dalam saja.

Andika yang masih belum bisa memejam-

kan mata, melirik Sari yang masih meringkuk di 

atas beberapa lembar daun pisang yang dijadikan 

sebagai alas.

Kasihan. Begitu gumam Andika. Sari me-

mang menyukai petualangan. Dan kini dia sudah 

berada di sini.

Dan Andika pun terkenang kembali bagai-

mana mula bertemu Sari.

"Sari...," panggil Pendekar Slebor kemu-

dian. Sari mengangkat kepala. "Ada apa, Kang?" 

"Kau belum tidur?" 

"Belum." 

"Si Belang?"

"Kusuruh menjaga di biar." Belum lagi An-

dika menyahuti kata-kata gadis itu "Grrrhhh...!"

Terdengar erangan pelan dari luar. "Be-

lang!" desis Sari. Secepat kilat tubuhnya sudah 

mencelat keluar.

Andika pun menyusul.

Kini mereka melihat si Belang sedang me-

ringkuk dengan auman pelan. Sari memeriksa 

hewan kesayangannya dengan hati berdebar-

debar.

"Oh!" desis gadis itu begitu melihat luka di 

kaki Belang. "Aduh, Belang.... Kau kenapa? Kena-

pa?"

Pendekar Slebor berdiri kembali. Matanya

memperhatikan sekelilingnya. Dia yakin, ada se-

seorang berilmu tinggi yang telah melukai si Be-

lang. Tetapi yang mengherankan, kalau memang 

orang itu berniat mencelakakan, sangat mudah 

sekali. Tetapi mengapa hanya melukai kaki kiri 

belakang si Belang saja?

Tiba-tiba Andika mencelat ke satu tempat. 

Nalurinya yang terlatih mengatakan ada sesuatu 

yang berkelebat di kejauhan. Dengan mengguna-

kan ilmu larinya disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Slebor mengejar bayan-

gan yang hanya bisa terlihat bayang-bayang saja.

Lari bayangan itu memang sangat cepat. 

Bahkan dalam beberapa tarikan napas saja, Pen-

dekar Slebor kehilangan jejak.

"Brengsek! Siapa manusia itu?" dengus 

Andika jengkel.

Pendekar Slebor lantas mencari-cari di se-

kitarnya dengan sikap siaga. Tetapi, dia tak me-

nemukan siapa-siapa di sana.

"Hmmm.... Monyet belang! Kalau kau me-

mang jantan, keluar! Tunjukkan tampang jelek-

mu?" seru Andika keras sambil bersiaga.

Tak ada yang muncul. Hanya angin malam 

yang berdesir membelai rambutnya yang panjang.

"Kutu kupret! Cepat keluar! Aku ingin me-

lihat tampang cecungukmu yang sudah tentu je-

lek sekali!" teriak Andika lagi.

Lagi-lagi tak ada yang keluar. Bahkan tak 

ada suara yang memancing perhatian Pendekar 

Slebor.

"Pengecut!" dengus pendekar urakan ini.

Lalu Pendekar Slebor melesat kembali ke 

tempat semula, tempat Sari yang tengah cemas 

memeriksa luka hewan kesayangannya. Namun 

alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika dua 

sosok yang sangat dikenalnya tidak terlihat lagi.

"Busyet, deh! Ke mana lagi gadis galak itu?" 

rutuk Andika sambil menggaruk-garuk kepa-

lanya. "Sari! Kalau mau bercanda, jangan begini 

dong!"

Namun sosok Sari tetap tak muncul. Andi-

ka menghentakkan kakinya, jengkel.

"Belang! Kau juga jangan main sembunyi-

sembunyi seperti ini?! Jangan suka main ikut-

ikutan seperti majikanmu yang rada brengsek 

itu!"

Hanya angin yang berhembus. Suara geme-

resek dedaunan terdengar dipermainkan angin.

"Edan! Kenapa sih, aku harus mengalami 

kejadian seperti begini?" dengus Pendekar Slebor. 

"Seharusnya, aku tidak menunggu apa yang akan 

terjadi di lereng gunung sialan ini! He he he... 

Mending juga aku mengajak Sari berpacaran? 

Apa? Berpacaran dengan gadis galak itu? Tidak 

usah, ya? Mendingan juga.... He he he.... Tetapi 

dia juga cantik, kan? Sariii! Belaaanggg! Keluar 

dong kalian!"

Bukannya sosok Sari ataupun si Belang 

yang muncul, justru dua sosok lain yang muncul. 

Sepasang laki-laki dan perempuan yang bersikap 

begitu mesra sekali satu sama lain. Bahkan keti-

ka muncul, masih berada dalam satu rangkulan 

mesra.

Pendekar Slebor melongo. Dia tertawa keti-

ka melihat yang perempuan membelai-belai wajah 

si laki-laki.

"Hi hi hi.... Apa kubilang. Benar kan, kalau 

pemuda itu ternyata Pendekar Slebor?" kata yang 

perempuan terkikik. "Sejak tadi aku sudah yakin, 

kalau pemuda itu adalah Pendekar Slebor. Siapa 

sih, yang tidak tahu ciri-cirinya? Berpakaian warna hijau pupus dengan kain jelek yang bercorak 

catur itu?"

Ketika rembulan menyinari tubuhnya, An-

dika bisa melihat jelas wajah perempuan itu yang 

cukup mengerikan. Dagunya agak memanjang ke 

bawah. Yang paling aneh, semua giginya ompong.

"Busyet! Kalau melihat tampangnya, keli-

haian masih berusia sekitar tiga puluh lima ta-

hun. Tetapi giginya itu... hiii...! Ampun, deh!" gu-

mam Pendekar Slebor, dalam hati.

Yang laki-laki menatap si perempuan den-

gan sinar mata mesra. Tangannya masih meling-

kar di bahu perempuan itu.

"Kau benar, Dinda Sukesih.... Kau benar. 

Ternyata pendekar sakti yang ramai dibicarakan 

orang-orang rimba persilatan mempunyai otak li-

cik juga! Dia lebih dulu menunggu di sini, sebe-

lum waktu pertarungan antara kelompok Panca 

Giri dilakukan!" sahut yang laki-laki, terkekeh. 

Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya panjang sam-

pai menutupi wajahnya.

Perempuan yang dipanggil Sukesih sema-

kin menyusupkan kepala di dada si laki-laki. 

Tangannya melingkar di pinggang laki-laki itu. Bi-

la melihat sekilas, sudah jelas kalau keduanya 

bukanlah pasangan pas. Tetapi mesranya itu..., 

ya ampun! Andika kontan sakit perut!

"Sayang, sayang sekali.... Pendekar licik itu 

akan mampus hari ini juga di tangan Sepasang 

Kelabang Berbisa. Nah, Kanda Jinar.... Siapa yang 

bilang kalau dia pendekar yang patut dikagumi?

Buktinya, dia mempunyai rencana untuk mencuri 

bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu!"

Pendekar Slebor yang masih jengkel akibat 

perlakuan sosok yang menghilang tadi dan meng-

hilangnya Sari serta si Belang, mengangkat da-

gunya.

"O, jadi kalian Sepasang Kelabang Berbi-

sul? Ah, kulihat justru perempuannya yang bisu-

lan... Hm... sebaiknya kalian jangan pacaran di 

sini , deh...! mengintip kalian berpacaran saja, 

kambing pun enggan...!"


7


Bukannya marah mendengar ejekan Pen-

dekar Slebor, laki-laki dan perempuan aneh yang 

berjuluk Sepasang Kelabang Berbisa malah saing 

berpandangan.

"Ha ha ha.... Kau benar, Dinda Sukesih. 

Rupanya pendekar yang kesohor itu tak ubahnya 

orang bego belaka!" ejek laki-laki aneh dari Sepa-

sang Kelabang Berbisa. Dia tadi dipanggil dengan 

nama Jinar.

"Nah! Apa kubilang, Kanda? Masa dia bi-

lang tadi, kambing saja tidak mau melihat kita 

pacaran? Kalau tidak mau melihat kita, berarti 

dia kambing, kan?" cetus yang dipanggil Sukesih.

"Kutu monyet!" dengus Andika dalam hati 

dibalikkan seperti itu.

Pendekar Slebor memang baru melihat dua 

tokoh aneh yang baru muncul ini. Memang, sepa-

sang anak manusia yang aneh itu cukup lama 

menghilang dari dunia persilatan, setelah dika-

lahkan kelompok Lima Gunung ketika melakukan 

penculikan bayi-bayi di beberapa dusun untuk 

penyempurnaan ilmu sesat yang dipelajari.

Selama sepuluh tahun Sepasang Kelabang 

Berbisa hidup menyendiri di Gua Kelabang Mere-

ka memacu diri dan berlatih demi balas dendam 

yang akan dilakukan terhadap Panca Giri.

Setelah sepuluh tahun, mereka pun keluar 

dari persembunyiannya. Bertepatan dengan itu, 

mereka pun mendengar kalau di tubuh Panca Giri 

telah terjadi perpecahan karena memperebutkan 

bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Maka se-

makin kuat dendam di hati Sepasang Kelabang 

Berbisa untuk memusnahkan lima orang pengua-

sa lima gunung itu. Di samping, juga ingin mere-

but bokor emas yang berisi Air Swargaloka.

Sikap Sepasang Kelabang Berbisa memang 

selalu mesra. Tak pandang tempat, dan siapa pun 

yang dihadapinya. Tak terkecuali, Pendekar Sle-

bor yang kini menggaruk-garuk kepalanya.

Bila mendengar omongan Nyi Sukesih tadi, 

adalah tentang bokor emas yang berisi Air Swar-

galoka dan pertarungan yang akan terjadi di tu-

buh Panca Giri. Berarti cerita yang didengarnya 

dari lima orang berpakaian merah yang telah menuangkan cairan merah sangat mematikan makin 

jelas menuju kebenaran.

Andika kini semakin yakin, kalau memang 

akan terjadi sesuatu di lereng Gunung Merbabu

"Hei, Kelabang Jorok! Mau apa kalian ke 

sini? Mau ngorek-ngorek tanah di sini, ya?" kata 

Andika sambil menahan geli melihat kemesraan 

mereka yang semakin menjadi-jadi.

"Hi hi hi.... Ternyata pendekar bego itu ma-

sih bisa bermain sandiwara. Kanda Jinar?"

"Kau benar, Dinda Sukesih...! Sepertinya 

dia merasa pasti, kalau dirinya tak ubahnya pe-

main ludruk!"

"Sialan!" maki Andika.

Pendekar Slebor lantas bermaksud me-

ninggalkan tempat itu untuk mencari Sari dan si 

Belang. Mereka lebih penting daripada melayani 

sikap kedua manusia aneh ini.

Tetapi mendadak saja Nyi Sukesih sudah 

berkelebat dan berdiri di hadapan Andika.

"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku 

tadi, kalau kau akan mampus malam ini juga? 

Karena, hi hi hi... Kau rupanya menginginkan pu-

la Air Swargaloka."

Andika mendengus.

"Kau mau apa sih, Kelabang Perempuan? 

Kalau mau pacaran denganku, cium dulu pan-

tatku! Hi hi hi...! Hanya laki-laki bego itu saja 

yang mau menjadi pacarmu!" ejek Andika.

Bukannya marah, Nyi Sukesih malah me-

rajuk pada Jinar.

"Kanda..., dia mengejekku...."

"Hhh! Siapa pun orangnya yang mengejek 

istriku, maka harus mampus!" bentak Jinar, 

menggeram marah. "Apalagi orang itu Pendekar 

Slebor! Pendekar yang selalu menghalangi sepak 

terjang kami dari golongan sesat!"

"Masa bodoh!" sahut Andika santai. "Kalau 

kalian yang ingin mampus, mengapa tidak segera 

menyerangku, hah?!"

Sebenarnya. Pendekar Slebor masih memi-

kirkan tentang Sari dan si Belang yang lenyap be-

gitu saja. Juga sosok tubuh yang dilihatnya tadi. 

Kini Andika yakin kalau sosok itu sengaja menga-

lihkan perhatiannya. Pasti, sosok tadi balik lagi 

entah lewat mana, lalu menculik Sari serta si Be-

lang. Tetapi bila melihat betapa mudahnya Sari 

dan si Belang diculik, sudah jelas kesaktian orang 

itu sangat tinggi

Selagi Pendekar Slebor berkata-kata, Jinar 

sudah menyerang dengan satu pukulan bertenaga 

dalam tinggi.

"Kucabut nyawamu... Pendekar Slebor!"

"Bagus! Atau malah sebaliknya?" tukas 

Andika sambil mengegos ke kiri. Dan bisa dirasa-

kannya angin yang keras melewati pelipisnya. 

"Wiiih! Hebat juga tenagamu, Jelek!"

Lalu dengan gerak ringan sekali, Andika 

mengirimkan serangan balasan. Namun di luar 

dugaan, lawannya bukan menghindar justru me-

mapaki serangannya.

Plak!

Dalam satu gebrak saja, tenaga mereka su-

dah saling berbenturan. Secara tak sengaja mere-

ka saling mengukur tenaga dalam masing-masing. 

Andika terkejut ketika benturan itu terjadi. Bisa 

dirasakannya tenaga dalam lawannya sangat 

tinggi.

"Ha ha ha... Rupanya pendekar yang keso-

hor itu hanya cetek sekali tenaga dalamnya!" ejek 

Jinar, terbahak-bahak sambil hinggap kembali di 

tanah. "Pendekar Slebor.... Malam ini kau berke-

nalan dengan Sepasang Kelabang Berbisa yang 

sangat tangguh dan ditakuti siapa pun juga! Aku 

Jinar. Dan istriku Nyi Sukesih! Ingatlah kedua 

nama itu, sebelum kau terkubur malam ini!"

"Hei, Sepasang Kelabang Bisulan! Malam 

ini kau berkenalan dengan Pendekar Slebor yang 

tersohor ketampanannya! Ingatlah nama bagus 

itu. Karena sebentar lagi, kalian akan mampus!" 

balas Andika sambil mencibir.

"Kanda.... Dia menghina kita!" seru Nyi Su-

kesih.

"Bunuh dia, Kanda! Bunuh!"

Jinar pun meluruk kembali dengan cepat-

nya. Tenaga dalamnya yang tinggi telah terang-

kum di kedua tangannya. Kalau tadi Andika 

hanya menggunakan tenaga dalam biasa, kali ini 

menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat kedua pu-

luh delapan untuk memapak.

Pertarungan pun berlangsung sengit, di-

iringi seruan Nyi Sukesih yang keras.

"Bunuh dia, Kanda! Bunuh manusia itu!"

Tetapi setelah lima belas jurus berlang-

sung, Jinar belum juga mampu menjatuhkan An-

dika. Begitu pula sebaliknya.

Pendekar Slebor sendiri sudah mempergu-

nakan otaknya untuk mencari kelemahan Jinar. 

Memang, julukan Sepasang Kelabang Berbisa itu 

bukan julukan kosong. Yang maju saja baru Ji-

nar. Belum dibantu Nyi Sukesih yang kemungki-

nan bisa mengacaukan jalannya pertarungan.

Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang. "Ba-

gus! Rupanya kau memang memiliki kebolehan 

yang tidak bisa dianggap enteng!" kata Jinar.

"Nah! Ngaku, kan? Ngaku, kan? Makanya, 

jungkir balik saja deh! Nanti kutendang pantatmu 

yang besar itu!" seloroh Andika, mengejek.

Wajah Jinar memerah mendengarnya. Ti-

ba-tiba kedua tangannya dikatupkan, di gosok-

gosoknya. Seketika terlihat asap hitam mengepul 

dari sana.

"Sekarang, rasakanlah ajian 'Kelabang Ber-

bisa' tingkat kesepuluh ini! Heaaa...!"

Dengan satu teriakan keras, Jinar meluruk 

deras dengan kedua tangan menunjuk ke depan. 

Pendekar Slebor sadar, kalau ajian itu sangat 

dahsyat. Maka tenaga 'inti petir' nya dinaikkan 

menjadi tingkat kedua puluh lima.

"Bagus, Kanda! Bunuh dia! Biar tubuhnya 

kelojotan seperti monyet kebakar ekornya!" seru 

Nyi Sukesih, sambil bertepuk tangan.

Andika tidak mau untuk beradu tangan 

itu. Karena diyakini kedua tangan Jinar mengandung bisa yang sangat mematikan.

Benar saja! Ketika tangan kanan Jinar me-

leset dari sasarannya saat Pendekar Slebor me-

lenting ke atas, sebatang pohon besar yang ter-

cengkeram seketika berguguran daun-daunnya. 

Dan perlahan-lahan hangus.

"Gila! Kalau mengenai tubuhku, bagaimana 

ya? Bisa-bisa jadi Andika panggang, nih!"

"Ha ha ha.... Mengapa kau hanya bisa 

menghindar saja!" ejek Jinar sambil menyerang.

Andika yang sudah melihat keampuhan 

ajian 'Kelabang Berbisa' milik Jinar sudah tentu 

tidak ingin beradu tangan. Makanya dicoba men-

curi menyerang dari bawah. Namun dengan ce-

patnya. Jinar menutupi geraknya.

Wuuut!

"Kau tak akan bisa ke mana-mana. Pende-

kar Slebor!"

"Yeee..., memangnya aku mau ke mana? 

Lagi pula, kalau tahu aku mau ke mana, kau pas-

ti minta ikut, kan? Iya, kan?" sahut Andika sam-

bil melenting ke atas dengan pijakan satu kaki. 

Dalam keadaan melenting itu kaki kanan Pende-

kar Slebor menyambar kepala Jinar, secepat kilat 

tokoh sesat ini langsung merunduk dan mengi-

baskan tangannya.

Cepat Andika menekuk kedua kakinya. Da-

lam bentuk koprol, dia berputaran menghindari 

serangan.

"Kacau balau begini! Aku masih memikir-

kan tentang nasib Sari dan si Belang!" dengus

Andika sambil menghindar kembali.

Begitu mendapat kesempatan, Andika ba-

las menyerang.

Tetapi Jinar terus menutup setiap seran-

gan Pendekar Slebor. Malah diam-diam ajian 

'Kelabang Berbisa'nya dinaikkan pada tingkat ke 

tujuh. Dia ingin, dalam sekali pukul saja tubuh 

Pendekar Slebor akan ambruk.

Namun sudah tentu Andika tidak mengin-

ginkan dirinya dijadikan sasaran serangan Jinar. 

Namun yang jelas, kini Andika yakin maksud Se-

pasang Kelabang Berbisa datang ke lereng Gu-

nung Merbabu ini. Pasti sehubungan dengan per-

tarungan yang akan terjadi di sini antara sesama 

kelompok Panca Giri, seperti yang dikatakan Nyi 

Sukesih tadi.

Pendekar Slebor berada di sini, bukannya 

ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swarga-

loka yang seperti dikatakan Nyi Sukesih. Justru 

hanya karena merasa penasaran saja, sehingga 

mau menunggu saat pertarungan tiba. Ingin dili-

hatnya sendiri, apa yang sebenarnya dipere-

butkan. Dan bila mendengar namanya, Panca Giri 

yang berarti Lima Gunung, sudah bisa dipastikan 

kalau yang akan bertarung sesama kelompok. Te-

tapi mengapa mereka harus bertarung? Mengapa 

mereka memperebutkan bokor emas itu? Inilah 

yang membuat Pendekar Slebor sangat penasa-

ran.

Dan kalaupun sekarang Pendekar Slebor 

harus bertarung melawan salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbisa, karena merasa yakin 

kalau kedatangan kedua manusia aneh itu untuk 

mencuri kesempatan selagi lima anggota Panca 

Giri bertarung dengan mencuri bokor emas yang 

diperebutkan. Bisa jadi, mereka ingin membalas 

dendam!

Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor me-

lenting ke atas. Dibuatnya gerakan seperti melun-

cur ke arah Jinar.

Jinar terbahak-bahak melihatnya. Karena, 

saat-saat seperti inilah yang ditunggunya. Ajian 

'Kelabang Berbisa'nya ingin dihantamkannya pa-

da tingkat ketujuh.

Tetapi, ternyata justru Jinar menjadi kela-

bakan ketika tiba-tiba saja selembar kain berco-

rak catur menutupi wajahnya. Tubuhnya ter-

huyung ke belakang, sambil berusaha mele-

paskan kain itu.

Rupanya selagi meluruk tadi, Andika me-

lemparkan kain bercorak catur nya ke wajah Ji-

nar. Lalu dengan gerak sangat cepat sekali Pen-

dekar Slebor sudah menderu maju sambil meng-

hantamkan telapak tangannya.

Desss! 

"Aaakh...!"

Pukulan yang mengandung tenaga 'inti pe-

tir' tingkat kedua puluh lima itu telah telak men-

genai dada Jinar.

Tubuh Jinar sempoyongan ke belakang. 

Dan secepat kilat, Andika menyambar kembali 

kainnya.

"Kandaaa!" terdengar seruan Nyi Sukesih.

Wanita aneh ini terkejut melihat suaminya 

sempoyongan. Lalu tubuhnya meluruk cepat.

"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" te-

riak Nyi Sukesih.

"Nah, nah.... Mengapa tidak sejak tadi kau 

membantu suamimu itu, Jelek!" seru Andika 

sambil berkelit.

Serangan Nyi Sukesih dibaluri amarah 

yang menggelegak. Dia tidak terima suaminya be-

gitu mudah dipecundangi oleh Pendekar Slebor. 

Perbuatan itu harus dibalas lewat kedua tangan-

nya.

Serangan-serangan Nyi Sukesih sangat ce-

pat dan bengis. Bahkan sudah mempergunakan 

ajian 'Kelabang Berbisa'nya tingkat pertama. Dia 

memang ingin melihat Pendekar Slebor bukan sa-

ja terkapar mampus, tapi juga berubah menjadi 

hangus!

Kalau bukan Andika yang memiliki kecepa-

tan menghindar dan menyerang, sudah tentu tu-

buhnya akan ambruk seketika. Namun, Andika 

sendiri merasakan kerepotan juga menahan se-

tiap serangan Nyi Sukesih.

Dan Pendekar Slebor makin kelabakan ke-

tika satu sosok besar berkelebat membantu Nyi 

Sukesih. Jangankan menyerang. Bahkan untuk 

menghindar saja sangat sulit dilakukannya.

"Kau sudah mendingan, Kanda?" tanya Nyi 

Sukesih sambil bergerak membentuk setengah 

lingkaran. Diberinya kesempatan pada suaminya

untuk menyerang Andika.

"Manusia itu memang harus mampus, 

Dinda!" sahut Jinar.

"Hei? Sejak tadi kalian bicara ingin mem-

bunuhku. Mana buktinya?" ejek Andika.

Dan Pendekar Slebor sendiri memang ha-

rus mengeluarkan kecepatannya menghindar. 

Memang, hanya itulah jalan satu-satunya yang 

bisa dilakukan. Karena untuk membalas sangat 

sulit dilakukan.

Sepasang Kelabang Berbisa kembali melu-

ruk cepat. Mereka menyerang dari dua arah yang 

berlainan. Jinar di sisi sebelah kiri, sementara Nyi 

Sukesih dari sebelah kanan. Dengan cara seperti 

itu, ruang gerak Andika semakin sulit saja. Malah 

kalau tidak berhati-hati, tubuhnya bisa hangus 

terkena ajian 'Kelabang Berbisa' milik mereka.

"Kanda! Kita harus bisa membunuh Pende-

kar Slebor! Nanti dia malah menjadi urusan bila 

kita hendak mencuri bokor emas itu!"

"Ya, aku memang ingin membunuhnya!" 

sahut Jinar sambil menderu cepat.

Andika terbahak-bahak mengejek.

"Kalau tadi kalian begitu yakin dapat 

membunuhku, mengapa sekarang harus pakai 

kata 'bisa'? Memangnya sulit, ya? Maklum..., yang 

dihadapi kan Pendekar Slebor yang tersohor!"

Kata-kata Andika membuat Sepasang Ke-

labang Berbisa semakin penasaran dan marah. 

Rupanya mereka salah menduga. Meskipun Pen-

dekar Slebor bisa didesak, namun sampai saat ini

belum juga berhasil dilukai. Bahkan telinga me-

reka harus memerah mendengar ejekan-ejekan 

Pendekar Slebor.

Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang. 

"Dinda! Kita hajar manusia itu dengan ajian 

'Sepasang Kelabang Marah'!" teriak Jinar.

Nyi Sukesih cepat melompat ke belakang. 

Dan tahu-tahu dia sudah hinggap di sebelah ka-

nan suaminya. Lalu tangan kanannya direntang-

kan ke depan. Sementara kaki kirinya membujur 

ke belakang. Tubuhnya sedikit membungkuk.

Sedangkan Jinar berdiri tegak dengan ke-

dua tangan terbuka ke depan, menekuk ke dalam. 

Tubuhnya agak condong ke belakang.

"Lho? Kalian mau menari?" ejek Pendekar 

Slebor sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Diam-diam Pendekar Slebor yakin, kalau 

jurus 'Sepasang Kelabang Marah' itu sangat dah-

syat. Makanya, diam-diam dirangkulnya ajian 

'Guntur Selaksa', salah satu jurus warisan Pen-

dekar Lembah Kutukan yang sangat dibangga-

kannya.

Ketika tubuh Sepasang Kelabang Berbisa 

menderu ke depan diiringi satu teriakan keras, 

Andika pun melenting ke depan dengan tubuh 

meluncur ke muka.

"Heaaa!" 

"Yeaaa!"

Dua buah tenaga yang menjadi satu itu 

pun bertemu dengan ajian 'Guntur Selaksa' milik 

Pendekar Slebor. Dan....

Glarrr...!

Terdengar suara bagai ledakan keras. Dan 

tiga sosok tubuh pun terpental deras ke belakang. 

Namun masing-masing masih mampu menguasai 

keseimbangan, sehingga bisa jatuh dengan ringan 

di tanah.

"Busyet! Hebat sekali jurus yang mereka 

perlihatkan!" desis Andika dalam hati

Sementara itu, Sepasang Kelabang Berbisa 

sudah meluruk lagi dengan serangan sama. Kare-

na, disadari betul kalau tenaga dalam yang dimi-

liki seimbang dengan tenaga dalam Pendekar Sle-

bor.

Andika tidak menyadari kalau sewaktu-

waktu, bisa saja salah satu dari Sepasang Kela-

bang Berbisa akan melakukan gerakan membo-

kong. Dia terus melayani serangan dengan me-

rangkum ajian 'Guntur Selaksa' di tangan.

Seperti yang telah direncanakan, menda-

dak. Tubuh Nyi Sukesih melenting ke atas. Dile-

watinya tubuh Andika. Sementara, Jinar justru 

membanting tubuhnya ke kiri.

"Heiiit!" desis Andika terkejut.

Sebisanya Pendekar Slebor membuang tu-

buhnya ke depan. Namun di luar dugaan, Nyi Su-

kesih mengejar dengan gerakan meluruk cepat.

Dalam keadaan yang sangat genting, Andi-

ka sebisanya melepaskan kain pusaka bercorak 

catur. Dan langsung dikebutkannya kain itu ke 

arah Nyi Sukesih.

Ctarrr!"Auuhhh...!"

Kain pusaka itu tepat mengenai kedua tan-

gan Nyi Sukesih. Secepatnya perempuan itu me-

lenting ke belakang sambil mengaduh-aduh man-

ja pada Jinar yang segera memburunya. Kedua 

tangannya terasa bagai kesemutan.

"Kanda..., bunuh dia...! Bunuh...! Kedua 

tanganku dibuat luka olehnya...."

Jinar menggeram marah. Sementara Andi-

ka menghela napas lega. Untungnya Pendekar 

Slebor masih waspada dengan serangan yang 

mendadak itu. Namun dia tak lagi diberi kesem-

patan untuk mengatur napasnya lagi, karena Ji-

nar sudah menderu dengan kekuatan tinggi.

"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!"

Namun dengan sigapnya, Andika kembali

mengibaskan kain pusaka kembali.

Brusss!

Serangan kain pusaka itu luput dari sasa-

ran, karena Jinar sudah melenting ke atas. Na-

mun Andika yang melihat celah menguntungkan 

segera memburu dengan ajian 'Guntur Selak-

sa'nya. Tubuhnya melesat dahsyat dengan kedua 

tangan terbuka. Dan...

Glarrr...!

"Aaa...!"

Terdengar suara bagai petir menyalak, 

yang disusul jeritan menyayat

Pukulan Pendekar Slebor tepat mengenai 

dada Jinar yang langsung jatuh ambruk. Sua-

ranya berdebam dan pasir di bawahnya berterbangan.

"Kandaaa!" jerit Nyi Sukesih, langsung me-

nubruk suaminya yang telah menjadi mayat.

Tanpa malu-malu lagi, menangislah pe-

rempuan aneh ini. Sementara Pendekar Slebor 

segera mengatur napasnya yang memburu.

Bukannya menyerang kembali, Nyi Sukesih 

hanya bangkit. Matanya menyalang dengan tan-

gan bergetar.

"Kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi suatu 

saat nanti, kau harus menebus nyawa suamiku 

ini dengan nyawamu!" desis Nyi Sukesih.

Andika tidak menyahut. Dia hanya mena-

tap redup pada Nyi Sukesih yang mengangkat 

mayat suaminya yang bertubuh besar itu.

"Hu hu hu.... Kanda.... Kita gagal memba-

las dendam pada Panca Giri! Tetapi malam ini, 

dendam itu kita alihkan pada Pendekar Slebor! 

Percayalah, Kanda.... Aku akan membalas semua 

sakit hatimu!"

Lalu masih menangis, Nyi Sukesih berkele-

bat meninggalkan tempat itu, sedang Andika 

menghela napas panjang.

Beruntunglah Pendekar Slebor bisa menga-

lahkan dua lawan tangguhnya. Lalu kembali piki-

rannya berputar tentang Sari, Belang, dan sosok 

yang dilihatnya. Juga, masih dipikirkannya ten-

tang pertarungan yang akan terjadi di lereng Gu-

nung Merbabu ini.

Untuk kali ini, Andika bingung menentu-

kan tujuan. Apakah akan mencari Sari dan si Belang, ataukah menunggu sampai hari yang diten-

tukan, di mana kelompok Lima Gunung akan 

mengadakan pertarungan antar sesama?


8


Pagi kembali menyelimuti seisi alam. Ca-

haya matahari sebagai pembangkit kehidupan, 

memancarkan sinarnya kepada siapa saja. Dan di 

pagi yang masih berkabut itu, tiga sosok tubuh 

tampak duduk bersila di Puncak Gunung Semeru. 

Mereka tak lain tiga dari Panca Giri. Ki Danang 

Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.

Dan sejak malam tadi, mereka telah duduk 

bersila di Puncak Gunung Semeru tanpa sedikit 

pun merasakan sengatan hawa dingin. Karena, 

masing-masing telah mengalirkan hawa panas da-

lam tubuhnya.

Ki Danang Gumilar memang sengaja men-

gundang Ki Kalungkung dan Ki Redamo Rusa, 

untuk datang ke tempatnya. Mereka tengah 

membicarakan masalah pertarungan yang tinggal 

dua hari lagi.

Ki Danang Gumilar, sebenarnya menyetu-

jui usul Ki Lingkih Manuk, agar bokor emas yang 

berisi Air Swargaloka dan kini menjadi perebutan 

para anggota Panca Giri, dibuang saja. Sehingga, 

perpecahan tidak akan terjadi. Namun, Ki Sa-

mundang telah menolak dengan kata-kata bernada menantang. Memang sejak dulu Ki Danang 

Gumilar tahu betul bagaimana tabiat Ki Samun-

dang, yang memang selalu penasaran dan ingin 

tahu.

Dan itu berarti, pertarungan akan benar-

benar terjadi. Namun, Ki Danang Gumilar masih 

berharap, agar kiranya pertarungan yang bakal 

menimbulkan perpecahan di tubuh Lima Partai 

Gunung itu tidak akan pernah terlaksana. Itulah 

sebabnya, yang diundang hanya Ki Kalungkung 

dan Ki Redamo Rusa. Menurutnya, mereka masih 

berada di pertengahan antara dua pendapat yang 

diberikan Ki Lingkih Manuk dengan Ki Samun-

dang.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya 

Ki Kalungkung setelah sekian lama dicekam piki-

ran masing-masing.

Ki Danang Gumilar menggeleng.

"Aku masih belum mendapatkan jawaban-

nya. Akan tetapi, aku tetap tidak berkeinginan 

terjadinya perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-

nung hanya karena mencari siapa yang berjodoh 

dengan Air Swargaloka. Karena, akhirnya akan 

merugikan diri sendiri. Juga, ketahuilah. Saat ini 

aku yakin, para tokoh sesat yang dulu kita kalah-

kan, sudah tentu akan memanfaatkan kesempa-

tan seperti ini...."

Tak ada yang bersuara. Panas sinar mata-

hari yang lebih dekat menyengat tak dirasakan. 

Kalau semalam ketiganya mengeluarkan hawa 

panas untuk mengusir dingin, kini mengeluarkan

hawa dingin untuk mengusir panas.

"Apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk 

memang benar. Meskipun kita harus mengkhia-

nati amanat Guru. Tetapi, yang dikatakan Ki Sa-

mundang pun benar. Karena, kita menjalankan 

amanat Guru. Hanya yang sulitnya, mau tidak 

mau terjadi perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-

nung. Dan kita tidak memiliki kekuasaan untuk 

menahannya," kata Ki Redamo Rusa.

"Berbicara soal amanat, itulah yang paling 

susah," timpal Ki Kalungkung. "Dalam keadaan 

semacam ini, sebenarnya sangat menguntungkan 

bagi lawan-lawan Panca Giri yang kemungkinan 

besar akan mempergunakan kesempatan. Ah! Bila 

saja kita menemukan jalan keluarnya."

Hening. Masing-masing kembali dicamuk 

pikiran sama.

"Ki Danang Gumilar! Apa yang harus kita 

lakukan sekarang?" tanya Ki Redamo Rusa.

"Pernahkah kalian mendengar tentang seo-

rang pendekar yang namanya akhir-akhir ini dibi-

carakan orang?" kata Ki Danang Gumilar balik 

bertanya tiba-tiba.

"Maksudmu..., Pendekar Slebor?" tebak Ki 

Kalungkung.

"Benar! Aku mendengar selain sakti, Pen-

dekar Slebor pun memiliki otak sangat cerdik."

"Apa maksudmu tiba-tiba membicarakan 

Pendekar Slebor?" tanya Ki Redamo Rusa.

"Kita bisa meminta bantuannya untuk 

memecahkan kemelut di tubuh Lima Partai Gunung."

"Meminta bantuannya?" tanya Ki Redamo 

Rusa dengan kening berkerut.

"Benar! Kupikir harus ada seseorang yang 

bisa menghentikan kemelut di antara kita. Paling 

tidak, mampu memecahkan maksud dari amanat 

Guru. Karena aku masih ragu, apakah yang telah 

kita putuskan ini telah memecahkan amanat 

Guru atau tidak?"

"Ki Danang Gumilar! Aku tidak yakin se-

perti yang kau katakan tadi, apakah Guru mem-

punyai maksud tertentu dengan memberikan 

amanat," sergah Ki Kalungkung.

"Amanat yang sudah nyata sekarang ini, 

Guru menghendaki kita untuk berkumpul dan 

bertarung memperebutkan bokor emas berisi Air 

Swargaloka. Dengan kata lain, mungkin Guru in-

gin melihat siapakah yang paling tangguh di anta-

ra kita"

"Pendapatmu bisa kubenarkan. Tetapi aku 

justru tiba pada kesimpulan seperti itu. Karena, 

tak mungkin Guru memberi amanat yang sangat 

sulit. Kita ibarat diberi buah simalakama. Dalam 

hal ini, sekali lagi kupikir, kita harus meminta 

bantuan seseorang yang cerdik untuk memecah-

kan kemelut ini. Di samping juga, untuk mendin-

ginkan suasana panas yang mulai tercipta di tu-

buh Lima Partai Gunung."

Lagi tak ada yang bersuara. Keheningan 

mulai merambah.

"Usul yang kau berikan itu memang baik

dicoba," sahut Ki Kalungkung kemudian. "Tetapi, 

apakah itu justru tidak menyinggung perasaan Ki 

Samundang maupun Ki Lingkih Manuk?"

"Maksudmu, bagaimana?" tanya Ki Danang 

Gumilar.

"Bila melihat usia kita yang sudah berkepa-

la enam ini, tidak seharusnya meminta nasihat 

dari orang yang lebih muda. Aku yakin, Ki Sa-

mundang akan merasa terinjak-injak kepalanya 

bila hal ini kita lakukan juga."

"Tidak! Kau salah, Ki Kalungkung. Dalam 

hal meminta nasihat, kita tidak berpatokan pada 

usia. Dalam hal ini dibutuhkan adalah orang cer-

dik, yang mampu mendinginkan suasana panas 

di tubuh Lima Partai Gunung. Jadi kupikir, jalan 

satu-satunya adalah meminta bantuan pendekar 

sakti yang berjuluk Pendekar Slebor itu. Bila kita 

memakai pendapatmu, siapakah orang yang lebih 

tua dari kita yang bisa dimintai pendapat?" Ki 

Danang Gumilar mengedarkan pandangan ber-

gantian pada Ki Kalungkung dan Ki Redamo Ru-

sa.

"Bagaimana bila Ki Samundang marah?" 

tanya Ki Redamo Rusa. "Bukankah dengan begitu 

kita hanya menambah kemelut saja? Memang, 

dalam hal ini kita membutuhkan orang cerdik 

yang mampu memecahkan kemelut. Karena se-

perti diketahui, saat ini kita bertiga berada dalam 

ikatan persaudaraan. Namun dua hari lagi di le-

reng Gunung Merbabu, kita akan menjadi musuh 

yang harus mempertahankan nyawa demi Air

Swargaloka yang berada di dalam bokor emas. In-

ilah sulitnya. Dari semalam, kita berembuk untuk 

memecahkan kemelut ini, agar jangan sampai ter-

jadi pertumpahan darah. Namun, pada akhirnya 

kita harus melakukannya juga. Padahal, hanya 

semata untuk memenuhi amanat Guru. Di samp-

ing itu juga, bila kita mengizinkan Pendekar Sle-

bor mencampuri urusan ini, bukankah menam-

bah masalah yang ada pada dirinya?"

Mendengar kata-kata Ki Redamo Rusa. Ki 

Danang Gumilar terdiam. Memang sangat sulit 

masalah yang dihadapi ini. Namun Ki Danang 

Gumilar yang tidak ingin terjadi pertumpahan da-

rah tetap bersikeras untuk meminta nasihat dari 

orang cerdik. Keputusannya, tetap Pendekar Sle-

bor!

"Aku yakin, Pendekar Slebor bersedia 

membantu kita. Meskipun kudengar dia seorang 

pemuda urakan, namun otaknya sangat cerdik. 

Kemungkinan Ki Samundang marah, bisa saja 

terjadi. Karena aku sendiri tahu bagaimana sifat-

nya. Tetapi apakah kalian rela, bila melihat darah 

kita yang berada dalam satu tubuh Lima Partai 

Gunung mengalir oleh tangan kita sendiri?"

"Ki Samundang rela melihatnya. Buktinya, 

dia tetap berkeinginan pertarungan di antara kita 

dijalankan," sahut Ki Kalungkung yang membuat 

Ki Danang Gumilar lagi-lagi terdiam.

"Tetapi, bukankah kita tidak rela melihat 

darah sesama kita? Termasuk, Ki Lingkih Manuk 

yang langsung mengusulkan untuk membuang

saja bokor emas itu, meskipun sebenarnya sangat 

berat melakukannya. Apalagi, membatalkan ama-

nat Guru sama saja telah lancang mengkhiana-

tinya!"

"Itulah yang membuat Ki Samundang tetap 

bersikeras agar pertarungan memperebutkan bo-

kor emas dilaksanakan," desah Ki Kalungkung 

sambil menghela napas panjang. Hatinya benar-

benar sedih memikirkan kemungkinan itu. Dita-

tapnya Ki Danang Gumilar.

"Rasanya, sia-sia kita berkumpul di sini 

untuk memecahkan kemelut yang sebentar lagi 

akan terjadi," kata Ki Danang Gumilar disertai he-

laan napas panjang. Hening.

Masing-masing sangat menyesali melihat 

keadaan ini. Namun apalah hendak dikata? Ama-

nat sudah disampaikan. Ucapan sudah jatuh. 

Tinggal menunggu hari pelaksanaannya lagi.

"Kalaupun kita akan meminta bantuan 

Pendekar Slebor..., di manakah keberadaannya 

sekarang ini?"

Semuanya terdiam kembali. Yah! Di mana-

kah Pendekar Slebor berada sekarang ini? Ki Da-

nang Gumilar yang mengusulkan saja tidak tahu 

di mana pendekar sakti yang cerdik itu berada.

"Aku memang tidak tahu di mana dia bera-

da," kata Ki Danang Gumilar jujur.

"Berarti, keputusan kita tetaplah seperti 

yang dikatakan Ki Samundang tiga bulan yang la-

lu!" tambah Ki Redamo Rusa. "Kita akan tetap 

melakukan pertarungan itu dua hari lagi di lereng

Gunung Merbabu."

***

Pendekar Slebor yang memutuskan untuk 

menunggu Sari dan si Belang di lereng Gunung 

Merbabu, kini bangkit dari duduknya. Pantatnya 

yang berdebu ditepuk-tepuknya.

"Hhh! Aku jadi cemas memikirkan gadis 

itu?" desah Pendekar Slebor seorang diri. Tetapi 

kalau melihat kesaktian yang dimilikinya, dia 

memang bisa menjaga diri. Apalagi ada si Belang. 

Tetapi, nampaknya sosok tubuh semalam yang 

kuyakini sebagai penculik keduanya, menanda-

kan kesaktian Sari tidak seberapa."

Andika menatap kejauhan.

"Di mana mereka harus kucari?"

Pendekar Slebor menghela napas panjang.

"Kalau nanti kutemukan Sari dan si Belang 

dalam keadaan tidak kuinginkan, aku akan 

membalas perbuatan orang yang melakukannya!"

Di samping memikirkan Sari dan si Belang, 

Pendekar Slebor juga memikirkan tentang perta-

rungan yang akan terjadi di lereng Gunung Mer-

babu. Kedatangan Sepasang Kelabang Berbisa 

semalam memperkuat dugaannya. Namun yang

sampai sekarang membuatnya penasaran, siapa-

kah orang-orang Lima Partai Gunung itu? Menga-

pa mereka memperebutkan bokor emas di antara 

sesama saudara sendiri?

"Pasti bokor emas itu sangat mahal har-

ganya! Memangnya, kalau sudah berbicara soal

ilmu dan harta, tak akan pernah lagi orang me-

mikirkan siapa yang dihadapi. Bahkan terkadang, 

anak sendiri pun rela membunuh kedua orangtu-

anya demi mendapatkan harta yang diinginkan-

nya! Sia-sia saja orang-orang itu berada dalam 

kelompok Lima Partai Gunung, yang pada akhir-

nya akan menumpahkan darah saudaranya sen-

diri," desah Pendekar Slebor.

Memang selama petualangannya, bukan 

hanya sekali dua kali saja Andika menyaksikan 

orang-orang memperebutkan harta sampai men-

gorbankan darah dan nyawa. Bahkan begitu ba-

nyaknya, sehingga lupa mengingatnya satu persa-

tu.

"Sariii! Belaaang! Di mana kalian?!" Tiba-

tiba Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya 

menggema, terbawa angin. Tetapi tak ada satu 

sosok yang muncul. Andika menunggu beberapa 

saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk sege-

ra mencari Sari dan si Belang.

Tetapi sebelum beranjak dari tempatnya, 

seekor hewan berkaki empat dengan seorang pe-

nunggang di atas tubuhnya berkelebat ke arah-

nya. "Kang Andikaaa!"

Dengan cepat Andika mendekati sosok 

yang tak lain Sari yang sudah melompat turun 

dari tubuh si Belang.

"Ke mana saja kau?! Siapa yang menculik-

mu, hah?! Katakan! Akan kuhajar dia sampai 

tunggang langgang!" ujar Andika berapi-api, 

membuat gadis itu malah cekikikan.

"Soknya!" cibir Sari.

"Eh? Kok tidak percaya? Aku akan...."

Tiba-tiba saja Andika memegangi seluruh 

tubuh Sari. Akibatnya gadis itu melayangkan tan-

gannya.

Plak!

"Hei!"

"Genit! Tidak sopan! Jorok!" maki gadis itu. 

Andika tertawa. Baru sadar, karena terlalu cemas 

memikirkan keadaan Sari.

"Maaf, aku hanya ingin melihat keadaanmu 

saja." Gadis itu cemberut.

"Brengsek! Mau mencuri kesempatan, ya?!" 

sembur Sari.

"Maaf, maaf...," ucap Andika sambil nyen-

gir.

"Sudah, sudah! Kenapa teriak-teriak me-

manggil namaku dan si Belang tadi?"

Andika hanya nyengir saja. Rupanya sua-

ranya tadi terdengar Sari yang menaiki tubuh si 

Belang dan sedang melesat ke arah Gunung Mer-

babu.

"Kang Andika masih ingat Eyang Sasongko 

Murti?" tanya Sari, tahu-tahu.

"Huh! Orang tua jelek yang mukanya tidak 

bisa ditebak seperti apa? Jelek kayak dedemit, 

atau ganteng seperti aku?"

Sari menahan tawanya.

"Ya."

"Kenapa dengan dia?" 

"Dialah yang menculikku!"

"Apa?"

Andika menepuk keningnya. Pantas saja 

dia tidak berhasil mengetahui siapa sosok tubuh 

yang dilihatnya.

"Rupanya murid Siluman Hutan Waringin 

yang membelot itu yang membuatku gelisah se-

malaman, hah?!" (Untuk mengetahui siapa Eyang 

Sasongko Murti, silakan baca Pendekar Slebor da-

lam episode : "Neraka di Keraton Barat").

"Benar! Dialah yang menculik aku dan si 

Belang. Dia juga yang melukai si Belang."

"Edan! Kenapa dia melakukan itu?" tanya 

Andika gemas.

"Karena Kang Andika tidak berhati-hati!"

"Hei? Apa maksudmu? Enak saja kau 

ngomong!" seru Andika mangkel.

"Memang Kang Andika tidak berhati-hati. 

Rupanya, Sepasang Kelabang Berbisa dari golon-

gan sesat itu telah lama melihat kita berada di si-

ni. Mereka bermaksud membunuh kita. Kebanya-

kan makan daging kelinci panggang, sih!"

"Aku sudah membunuh salah seorang da-

rinya!"

"Nah! Itulah yang diinginkan Eyang Sa-

songko Murti."

"Busyet! Jadi untuk apa dia melukai si Be-

lang dan menculikmu juga si Belang?" cecar si 

Andika.

"Menurut perhitungannya, kalau saat itu 

aku masih berada di sana, jelas akan membuyar-

kan perhatian Kang Andika dalam menghadapi

Sepasang Kelabang Berbisa. Sehingga, dia mem-

buat si Belang luka dan melesat cepat. Sementa-

ra, Kang Andika melihatnya. Lalu dia kembali lagi 

dan membawaku dengan maksud untuk me-

nyingkirkanku."

"Memangnya kau kenapa? Biar saja kau 

berada di sini! Kalau kau luka, apa urusanku?" 

sahut Andika, menyembunyikan rasa khawatir-

nya tadi. Tidak tahu, mengapa dia mengkhawatir-

kan Sari. Tetapi yang pasti, Sari dianggap sebagai 

adiknya.

"Menyebalkan!"

"Tetapi manis, kan?"

"Brengsek! Pokoknya, kata Eyang Sasongko 

Murti, Kang Andika kebanyakan melihat gadis 

cantik. Jadi, kurang hati-hati! Dasar mata bong-

sang!"

"Sialan! Kenapa dia tidak membantuku sa-

ja, sih? Tetapi..., he he he.... Pantang bagi Andika 

untuk dibantu. Lagi pula aku yakin, orang tua je-

lek yang sudah seratus tahun terdampar di Alam 

Sunyi itu pasti takut menghadapi Sepasang Kela-

bang Berbisa."

"Jangan mengejek dia! Saat ini, dia sedang 

dikejar-kejar Siluman Hutan Waringin. Menurut-

nya, kalau berlama-lama berada di alam nyata 

ini, bisa-bisa Siluman Hutan Waringin akan mun-

cul kembali dan membuat onar. Jadi, dia sengaja 

membiarkan dirinya saja yang dikejar-kejar, agar 

Siluman Hutan Waringin tidak mengganggu yang 

lain."

"Biar tahu rasa dia! Membuatku bingung 

saja! Coba kalau dia menga...."

"Kang Andika bingung, ya?" potong gadis 

itu dengan dada berdebar. Kalau memang Andika 

memikirkannya, alangkah senangnya. Apakah itu 

berarti Andika mencintai Sari?

"Ya!"

"Memikirkan aku?"

"Sudah jelas aku..., he he he.... Enaknya 

memikirkanmu! Buat apa sih, gadis jelek seperti-

mu dipikirkan!" sahut Andika nyengir. Dan dia bi-

sa melihat sepasang bibir yang ranum itu cembe-

rut. Menggemaskan sekali!

"Eyang Sasongko Murti bilang, kalau se-

bentar lagi akan ada pertumpahan darah di sini!" 

jelas Sari kemudian.

"Aku sudah tahu!"

"Dia juga bilang, kalau Kang Andika segera 

menghentikan pertarungan antara Lima Partai 

Gunung, Kang! Bukankah itu yang kita ketahui 

dari lima orang berpakaian merah, bukan?"

"Benar. Dan akupun mengetahuinya lebih 

jelas dari Sepasang Kelabang Berbisa, kalau se-

bentar lagi akan ada pertarungan darah di sini. 

Makanya aku mau menunggu! Kau boleh pergi la-

gi dari sini!"

"Kang Andika!" seru gadis itu manja.

"Kenapa?" tanya Andika acuh.

"Kang Andika menginginkan aku pergi?" 

Gadis itu merajuk.

"Terserah kau."

"Huh! Sebel! Mendingan aku tadi tidak 

kembali lagi ke sini! Biar dimakan harimau saja!" 

Andika tertawa.

"Apakah si Belang akan memakanmu?" 

Mata jernih Sari melotot.

"Enak saja ngomong! Belang adalah hewan 

kesayanganku yang pasti menurut kepadaku! Su-

dah, sudah! Aku mau tidur! Ayo. Belang! Jangan 

dekat-dekat pemuda edan itu! Bisa-bisa kita ketu-

laran lagi!" semprot Sari.

Si Belang yang sudah merebahkan tubuh-

nya di tanah tadi, kini tegak berdiri.

Andika menghela napas panjang. Rupanya 

saat ini Eyang Sasongko Murti masih berada da-

lam pengejaran Siluman Hutan Waringin yang 

mendendam kepadanya. Dan bila urusan ini telah 

selesai, Andika berjanji akan membantu me-

nyingkirkan Siluman Hutan Waringin yang men-

gerikan itu.

Lalu, Pendekar Slebor menyusul Sari dan si 

Belang ke gua.


9



Hari yang ditentukan akan terjadinya per-

tarungan antara Ketua Partai Gunung pun tiba.

Andika yang sejak tadi bersama Sari ber-

sembunyi di sebuah pohon besar yang di bawah-

nya penuh semak belukar, bisa melihat beberapa 

rombongan yang datang sekaligus. Sementara si

Belang sudah diperintahkan bersembunyi oleh 

Sari tadi.

Semua rombongan datang dari jalan yang 

sama. Yang di depan rombongan berpakaian pu-

tih. Berjalan di depan seorang laki-laki gagah be-

rusia kira-kira enam puluhan. Langkahnya tegap 

penuh wibawa. Laki-laki itu sendiri mengenakan 

pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna 

putih, 

Di belakang kemudian, rombongan berpa-

kaian biru. Paling depan seorang laki-laki berpa-

kaian hitam dengan ikat pinggang berwarna biru. 

Lalu rombongan selanjutnya berpakaian merah. 

Seorang laki-laki gagah berpakaian hitam dengan 

ikat pinggang berwarna merah berjalan di depan.

Andika dan Sari bisa melihat kalau lima 

orang yang berniat melakukan kecurangan berada 

dalam rombongan berpakaian merah.

Di belakang rombongan berpakaian merah, 

melangkah rombongan berpakaian hijau. Seorang 

laki-laki gagah yang berjalan di depan berpakaian 

hitam dengan ikat pinggang berwarna hijau. Yang 

paling akhir adalah rombongan berpakaian kun-

ing. Berjalan gagah di depan adalah laki-laki ber-

kepala botak berpakaian hitam dengan ikat ping-

gang kuning.

Tiba di lereng Gunung Merbabu, laki-laki 

paling di depan yang tak lain Ki Lingkih Manuk 

mengangkat tangannya.

"Sebelum kita menuju tempat pertarungan, 

ada baiknya kita berkumpul dulu di sini!" ujar Ki

Lingkih Manuk. 

Seketika empat laki-laki berpakaian hitam 

dengan ikat pinggang berbeda berkelebat mende-

katinya. Sementara, rombongan berpakaian ber-

lainan warna itu membentuk lingkaran besar. Se-

dangkan kelima orang-berpakaian hitam tadi su-

dah duduk bersila membentuk lingkaran kecil.

"Sebelum darah tumpah dan nyawa me-

layang di antara kita, aku ingin bertanya. Apakah 

kita akan mengurungkan niat ini?" tanya Ki Ling-

kih Manuk.

"Tidak!" sahut laki-laki berikat pinggang 

berwarna merah, tegas. "Aku tetap menginginkan 

pertarungan itu dilakukan! Karena, semua ini 

semata-mata amanat Guru!"

"Tidakkah di hatimu ada keinginan untuk 

menghentikan semuanya ini, Ki Samundang? 

Apalagi, aku masih sangsi, apakah pemecahan 

amanat Guru benar seperti itu?"

"Tak usah disangsikan lagi. Untuk menen-

tukan siapa yang berjodoh, sudah tentu dengan 

cara membuktikan siapa yang paling tangguh. 

Nah, itulah pemecahan amanat Guru yang se-

sungguhnya." 

Tak ada yang bersuara.

Andika melihat Ki Lingkih Manuk menge-

luarkan sesuatu yang terbungkus, dari sebuah 

tempat yang tersampir di pinggangnya. Lalu di-

bawanya ke tengah dan dibukanya bungkusan 

itu.

Sebuah bokor emas.

"Kang!" desah Sari terbelalak sambil me-

megang lengan Andika.

Pendekar Slebor mendengus. Perempuan di 

mana saja sama. Kalau melihat emas, pasti melo-

tot. Tetapi bukan itu yang dimaksud Sari sebe-

narnya.

"Aku yakin..., bokor emas itulah yang akan 

diperebutkan mereka?" lanjut Sari.

"Apa lagi kalau bukan itu? Masa iya sih, ti-

dak bisa menebak? Soalnya, tidak ada lagi benda 

yang diperlihatkan selain bokor emas itu. Sudah, 

sudah, diam. Lama-lama kita bisa ketahuan, nih!" 

ujar Andika. 

Sari mendengus, tetapi menurut juga. 

"Inilah bokor emas yang pada akhirnya ju-

stru menjadi lambang keributan dan pertumpa-

han darah di antara kita. Bokor emas yang men-

jadi penentu, siapakah yang berhak mendapatkan 

Air Swargaloka yang berada di dalamnya," jelas Ki 

Lingkih Manuk dengan pandangan beredar.

"Jadi..., keputusan kita ini tetap sama den-

gan keputusan tiga bulan yang lalu?"

"Ya!" lagi-lagi hanya Ki Sumandang yang 

menyahut 

"Baiklah. Memang tak ada jalan lain lagi, 

kecuali memperebutkan bokor emas ini yang di-

perkirakan sesuai amanat Guru. Pada akhirnya, 

pagi ini... Ikatan Lima Partai Gunung yang sudah 

terjalin selama dua puluh tahun harus pecah. 

Dan darah yang akan tumpah tak bisa dibendung 

lagi!" lanjut Ki Lingkih Manuk.

"Ki Samundang..., apakah tidak bisa dihen-

tikan saja pertarungan sesama kita ini? Karena 

menurutku, pertarungan ini hanya membuat sua-

sana menjadi keruh!" timpal Ki Danang Gumilar.

Ki Samundang menggeleng.

"Tidak! Pertarungan itu harus tetap dilak-

sanakan!"

Kali ini tak ada yang bersuara. Ki Lingkih 

Manuk berdiri, disusul keempat saudara sepergu-

ruan yang lain.

"Ada baiknya kita melakukan sembah ke-

pada Ki Panca Giri," ujar Ki Lingkih Manuk.

Lalu masing-masing berdiri seraya menun-

dukkan kepala. Mereka memanjatkan doa bagi 

arwah Ki Panca Giri.

"Kini..., kita akan menuju ke tempat per-

temuan...."

Lalu mereka pun beranjak ke tempat yang 

dikatakan Ki Lingkih Manuk. Sementara anak 

murid masing-masing tetap berdiri tegap.

***

"Nampaknya, pertarungan itu akan terjadi 

juga. Sangat disayangkan, kalau sampai terjadi 

pertumpahan darah di antara mereka sendiri," 

gumam Andika

"Lalu, apa yang akan Kang Andika laku-

kan?" tanya Sari.

"Aku belum tahu. Tetapi..., ya, ya.... Aku 

sudah mendapatkan jalan keluarnya sekarang.

Kau tunggu di sini. Sari," ujar Pendekar Slebor, 

mendadak mendapat semacam petunjuk.

Sari menganggukkan kepala. Andika yang 

mau melompat justru menghentikan geraknya. 

Kepalanya menoleh, menatap Sari dengan kening 

berkerut.

"Tumben kau tidak membantah?" tanya 

Andika, meledek.

"Serba salah! Kalau aku mau ikut, kau ma-

rah. Kalau aku menurut, kau bertanya! Jadinya, 

aku harus bagaimana?"

Andika tertawa. Ditepuk-tepuknya pipi Sa-

ri. Dan tahu-tahu dikecupnya pula pipi gadis itu. 

"Bagus!"

Seketika tubuh Pendekar Slebor pun me-

lompat turun.

Sari, meskipun hanya dikecup sekilas, 

sukmanya terasa melayang. Oh, Gusti.... pemuda 

yang dicintainya itu mengecup pipi. Ah! Kalau sa-

ja Andika melihat perubahan wajahnya yang me-

merah, pasti akan mengolok-oloknya. Sari tidak 

mau membantah tadi, karena ingin dinilai penuh 

pengertian oleh Andika.

Andika kini sudah melenting tiga kali, lalu 

hinggap di depan kelima anggota Panca Giri yang 

seketika menghentikan langkah.

"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?" bentak 

Ki Samundang, menggeram.

"Pendekar Slebor!"

Bukannya Andika yang menjawab, justru 

Ki Danang Gumilar yang berseru. Andika hanya

nyengir.

"Maaf, kalau kemunculanku ini menggang-

gu kalian semua," ucap Pendekar Slebor.

"Kau sudah mengganggu. Lebih baik, me-

nyingkir!" dengus Ki Samundang sambil melang-

kah satu tindak, tetapi dihalangi tangan Ki Ling-

kih Manuk.

"Pemarah!" dengus Andika. "Terus terang, 

kehebatan Lima Partai Gunung sudah lama ku-

dengar. Sekaligus para tokohnya. Sebenarnya, 

aku sangat menyayangi, bila kalian yang berada 

dalam tubuh Lima Partai Gunung harus menum-

pahkan darah sesama orang sendiri, hanya gara-

gara bokor emas yang berisi Air Swargaloka! Maaf, 

aku mengetahui hal itu dari lima orang yang ber-

pakaian merah, yang kulihat berada dalam rom-

bonganmu tadi, Ki Samundang!"

Kening Ki Samundang berkerut. "Mengapa 

mereka memberitahumu, hah?! Pendekar Sle-

bor..., namamu sudah lama kudengar. Tetapi ru-

panya selama ini aku salah menafsirkan tentang 

dirimu. Hm..., ternyata kau terlalu banyak ikut 

campur dalam urusan orang lain!" sindir Ki Sa-

mundang.

"Aku tidak mendengar dari mulut mereka, 

Ki Samundang. Maaf jika kukatakan, kalau keli-

ma muridmu itu tiga hari yang lalu datang ke si-

ni." 

"Mau apa mereka?"

"Baiklah. Nampaknya tak ada yang perlu 

dirahasiakan lagi. Kelima muridmu itu melakukan sebuah tindakan keji, dengan cara menabur-

kan cairan racun warna merah yang sangat me-

matikan di empat tempat. Tempat untukmu tidak, 

Ki Samundang. Dan gara-gara mereka, seorang 

temanku hampir saja tewas."

"Tidak mungkin!"

"Kau bisa memanggilnya nanti, Ki! Dan sa-

tu lagi, aku mengetahui tentang pertarungan yang 

akan kalian lakukan dari Sepasang Kelabang 

Berbisa...."

Terdengar beberapa desisan. Tetapi, Andika 

tidak mempedulikannya.

"Mereka ingin mempergunakan kesempa-

tan untuk mencuri bokor emas itu, selagi kalian 

bertarung. Rupanya, mereka adalah Sepasang Ke-

labang Berbisa musuh bebuyutan kahan. Dan 

syukurnya, aku bisa menghentikan perbuatan 

busuk mereka dengan berhasil membunuh Jinar. 

Sementara, Nyi Sukesih meninggalkan tempat ini 

dengan penuh dendam terhadapku! Dari dua ke-

lompok orang itulah aku mendengar tentang per-

tarungan kalian!"

"Dusta! Tidak pernah kuperintahkan lima 

muridku untuk berbuat curang!" bentak Ki Sa-

mundang.

"Aku pun yakin kau tidak tahu hal itu. Ka-

rena salah seorang muridmu mengatakan, kau ti-

dak mengetahui perbuatan mereka. Yang jelas, 

mereka berbuat keji agar kau senang. Dan mere-

ka ingin melihat kau berhasil mendapatkan bokor 

emas yang berisi Air Swargaloka," papar Andika.

Wajah Ki Samundang memerah.

"Siapa mereka?"

"Aku bisa mengenalinya! Tunggu di sini!"

Pendekar Slebor seketika berkelebat. Dan 

sebentar saja dia sudah kembali lagi bersama 

Linggar dan empat orang berpakaian merah lain-

nya.

"Ki Samundang! Silakan tanyakan mereka."

"Baik! Kalau memang benar apa yang kau

katakan, mereka harus mati sekarang juga! Tetapi 

bila yang kau katakan dusta, kau yang akan ku-

bunuh, Pendekar Slebor!" ancam Ki Samundang.

"Aku masih berada di sini," sahut Andika 

tenang.

Lalu dengan geram Ki Samundang mena-

nyai Linggar dan keempat muridnya yang lain. 

Sudah tentu wajah mereka pucat. Tetapi Linggar 

berusaha menyangkal.

"Tidak, Ketua.... Kami tidak berani mela-

kukan perbuatan hina itu tanpa perintah Ketua!"

"Kurang ajar! Aku tidak akan pernah me-

merintahkan kalian melakukan perbuatan busuk 

itu!"

"Kami tidak pernah melakukannya, Ketua! 

Anak muda itu saja yang mengada-ada!"

"Baiklah....Untuk membuktikan kebenaran 

itu, aku akan melemparkan sebatang ranting di 

salah satu tempat ini, yang tentunya telah diberi 

cairan racun berwarna merah yang mematikan," 

sahut Andika, kalem.

Andika memungut sebatang ranting di de

katnya. Dan belum lagi tegak, Linggar sudah me-

luruk penuh kemarahan. Sepasang cakra yang 

sudah berada dalam genggamannya langsung di-

kelebatkan.

"Pemuda keparat! Kau menghancurkan 

rencanaku!"

Seruan itu sudah cukup bagi Ki Samun-

dang untuk mempercayai kata-kata Andika. Tan-

gannya seketika dijentikkan.

Seerrr!

Crasss!

"Aaa...!"

Serangkum angin kecil namun tajam Lang-

sung melesat, menembus jantung Linggar yang 

kontan tersuruk ke depan. Melihat Linggar tewas. 

Seketika keempat orang lainnya meratap-ratap 

minta ampun di depan kaki Ki Samundang.

Tetapi laki-laki dingin yang telah diperma-

lukan akibat perbuatan murid-muridnya sendiri, 

tidak lagi memberi ampun. Tangannya berkelebat 

sekali. Maka empat tubuh langsung ambruk den-

gan leher hampir putus memancurkan darah.

"Itu upah kalian yang telah mempermalu-

kan aku!" desis Ki Samundang, lalu menatap din-

gin pada Andika. "Pendekar Slebor! Lebih baik 

kau angkat kaki saja dari sini!"

Andika hanya tersenyum. Sementara, Ki 

Danang Gumilar diam-diam gembira melihat ke-

munculan pendekar yang diharapkannya mampu 

menghentikan kemelut di tubuh Lima Partai Gu-

nung. Tidak dipedulikannya sikap Ki Samundang

yang menurunkan tangan telengas kepada lima 

muridnya. Karena bila kekejian itu terjadi di tu-

buh Partai Gunung, sudah tentu dia tak akan se-

gan-segan menurunkan tangan telengas. Me-

mang, murid-murid seperti itu hanya membuat 

celaka saja.

"Aku telah berada di sini," kata Andika, 

menyahuti kata-kata Ki Samundang dengan te-

nang. "Dan aku pun tidak menginginkan kalian 

yang berada dalam aliran lurus harus saling tem-

pur. Sekarang, dengarkan pendapatku. Memang, 

aku terlalu lancang mencampuri urusan ka-

lian...."

Sejenak Pendekar Slebor menghentikan ka-

ta-katanya. Matanya beredar ke sekeliling.

"Kalian memang telah mendapatkan ama-

nat dari Guru kalian, akan sebuah bokor emas 

yang berisi Air Swargaloka. Sialnya, kalian berli-

ma sulit untuk memutuskan, siapa yang berhak 

meminum Air Swargaloka. Dan jalan yang dipakai 

adalah dengan bertarung, untuk membuktikan 

siapa yang paling tangguh. Dengan demikian pe-

menangnya berhak untuk meminum Air Swarga-

loka yang tentunya mengandung khasiat sangat 

tinggi"

Lagi-lagi Andika menghentikan kata-

katanya. Lagaknya seperti seorang guru di depan 

murid-muridnya.

"Sekarang, aku mempunyai satu pikiran 

menarik. Itu pun bila kalian memang tidak men-

ginginkan terjadinya pertumpahan darah di sini,

sesama Lima Partai Gunung, Ki Samundang! Se-

jak tadi aku tahu, kaulah yang paling mengingin-

kan Air Swargaloka. Nah! Mengapa kalian berem-

pat tidak merelakannya saja Air Swargaloka itu 

diminum Ki Samundang? Toh, dia masih saudara 

kalian juga? Kalian masih menemuinya. Dan lagi. 

Air Swargaloka diminum oleh orang yang berada 

dalam jalan lurus. Bukankah ini usul yang sangat 

baik? Namun dugaanku tentang amanat Guru ka-

lian itu, karena kalian merasa tak ada yang berjo-

doh, maka akan bisa ditentukan dengan perta-

rungan untuk mencari orang yang paling tang-

guh."

Semua terdiam. Namun dalam hati, mereka 

membenarkan juga usul Pendekar Slebor. Me-

mang, kedatangan pendekar urakan ini sungguh 

mengejutkan. Terutama bagi Ki Danang Gumilar, 

Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.

Sementara kening Ki Lingkih Manuk berke-

rut, sungguh tidak disangka kalau pendekar sakti 

yang banyak dibicarakan orang ternyata masih 

muda. Dan rupanya, sudah mengerti duduk ma-

salahnya yang tengah dihadapi Lima Partai Gu-

nung. Yang tak pernah disangka, ternyata murid-

murid Ki Samundang telah melakukan suatu ke-

giatan keji, ingin membunuh mereka secara se-

rempak. Namun, Ki Lingkih Manuk sangat yakin 

kalau itu bukanlah perintah Ki Samundang. 

Meskipun berada pada titik panasnya, namun Ke-

tua Partai Gunung Arjuno bukanlah orang penge-

cut. Bukan pula orang yang tergolong suka membokong.

Sepasang Kelabang Berbisa? Ki Lingkih 

Manuk teringat bagaimana Lima Partai Gunung 

memukul lari Sepasang Kelabang Berbisa. Itu pun 

setelah mereka berlima mengeroyoknya. Kalau-

pun Pendekar Slebor mengatakan telah membu-

nuh salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbi-

sa, bisa ditebak kesaktian pemuda ini memang 

sangat tinggi.

Suasana sejenak hening.

"Benar!" kata Ki Danang Gumilar memecah 

keheningan. "Benar sekali usul Pendekar Slebor! 

Maksudku, bila memang Ki Samundang meng-

hendaki Air Swargaloka itu, silakan saja. Aku pri-

badi tidak begitu menginginkan, daripada harus 

melihat darah sesama kita. Begitulah keputusan-

ku setelah mendengar usul Pendekar Slebor. Lagi 

pula, aku bisa mengerti kelanjutan dari kata-

katanya. Kalau tidak ada yang berjodoh, berarti 

bokor emas itu memang harus dibuang. Seperti 

usul Ki Lingkih Manuk, yang sebenarnya telah ki-

ta pecahkan pertama kita bertemu."

Mendengar kata-kata Ki Danang Gumilar 

yang pelan namun sangat pedas di telinga, mem-

buat wajah Ki Samundang memerah.

Ki Samundang menggeram. Kejengkelan 

pertamanya, adalah karena kehadiran Pendekar 

Slebor. Kedua, malunya karena perbuatan lima 

muridnya. Ketiga, justru secara tidak langsung 

Pendekar Slebor memojokkannya. Keempat, Ki 

Danang Gumilar telah membuat telinganya memerah.

"Ki Danang Gumilar! Kau berhasil membu-

atku malu!" desis Ki Samundang.

Ki Danang Gumdar menyadari kesalahan 

bicaranya.

"Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku 

hanya mengatakan, kalau tidak begitu mengin-

ginkannya. Bukankah amanat Guru, salah seo-

rang di antara kita yang berjodoh berhak memi-

numnya. Nah! Aku pribadi justru menghendaki, 

kalau kaulah yang berjodoh untuk meminum Air 

Swargaloka. Apa yang dikatakan Pendekar Slebor 

memang benar. Juga tentang bokor emas yang 

seharusnya dibuang saja. Apalagi kita terlalu sulit 

untuk menentukan, siapa yang berjodoh dengan 

bokor emas itu. Sehingga, tidak akan terjadi per-

tumpahan darah di antara kita. Sekali lagi kuka-

takan, kau memang berhak meminum Air Swar-

galoka itu, Ki Samundang."

Harga diri yang sudah tersinggung itu tak 

mampu lagi membendung amarah Ki Samundang. 

Tiba-tiba saja telunjuknya menjentik ke arah Ki 

Danang Gumilar.

Werrr...!

Sebuah angin yang meluncur seperti jarum 

menderu ke arah Ki Danang Gumilar. Namun la-

ki-laki ini mampu melihat. Dibalasnya serangan 

itu dengan menjentikkan tangannya.

Wesss...!

Darrr!

Pertemuan dua angin yang dilakukan

hanya dengan satu jentikan tangan menimbulkan 

suara bagai balon pecah.

Andika berdecak kagum dalam hati.

"Hebat! Suatu pameran tenaga dalam me-

nakjubkan!" desis Pendekar Slebor dalam hati.

"Tunggu!" seru Ki Gumilar seraya men-

gangkat tangannya. "Pertarungan di antara kita 

belum dilakukan. Tetapi, mendengar usul dari 

Pendekar Slebor, kupikir merupakan usulan yang 

sangat baik. Dengan begitu, kita tidak akan me-

neruskan pertarungan ini! Aku pribadi, setuju 

dengan usulnya! Apalagi, seperti yang dikatakan-

nya, kalau Sepasang Kelabang Berbisa telah da-

tang untuk memukul kita dari belakang. Memang, 

aku pun telah kedatangan tamu yang tak kalah 

dahsyat dan mendendam kepadaku. Mereka ada-

lah Tiga Duri Setan yang juga berniat memiliki 

bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu. Sekali 

lagi kukatakan, aku setuju dengan usul Pendekar 

Slebor. Bagaimana dengan kalian, Ki Lingkih Ma-

nuk dan Ki Redamo Rusa?"

Ki Lingkih Manuk dan Ki Redamo Rusa sal-

ing berpandang, lalu sama-sama menganggukkan 

kepala.

Ki Lingkih Manuk tertawa.

"Ha ha ha.... Rupanya penyelesaian ini 

sangat mudah! Memang, kehadiran Pendekar Sle-

bor tidak diundang. Namun, otaknya yang encer 

hanya dalam sesaat saja bisa memecahkan kete-

gangan di antara kita. Sementara, kita selama tiga 

bulan berada dalam kegelisahan."

"Tidak!" sergah Ki Samundang geram.

Mata Ketua Partai Gunung Arjuno itu me-

natap tajam pada Pendekar Slebor. Secara tidak 

langsung, dia dibuat malu oleh pemuda berbaju 

hijau pupus yang mendadak saja muncul.

"Ki Lingkih Manuk! Usul itu dikeluarkan 

oleh orang yang berdiri di luar Lima Partai Gu-

nung. Sehingga, nampaknya tidak sah. Jadi me-

nurut hematku, aku menolak pemberian Air 

Swargaloka itu secara cuma-cuma. Aku tetap 

menginginkan pertarungan terjadi Karena, aku 

menilai amanat dari Guru, kalau yang paling 

tangguh di antara kitalah yang berhak menda-

patkan Air Swargaloka. Pendekar Slebor...! Sekali 

lagi kukatakan, jangan memancing di air keruh! 

Aku tahu, kau sebenarnya yang menginginkan Air 

Swargaloka itu. Hhh! Lebih baik menyingkir dari 

sini, sebelum nama besarmu hari ini akan runtuh 

di tangan Partai Gunung Arjuno!"

Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepala. 

Diam-diam bisa ditebak maksud Ki Samundang. 

Memang secara sekilas tidak terlalu kentara, ka-

rena ditekankan pada Ki Panca Giri. Padahal bila 

dilihat dari sisi lain, semua itu terjadi karena ke-

sombongan Ki Samundang saja.


10



Andika terkekeh-kekeh.

"Memang kuakui, apa yang kau katakan

itu benar, Ki. Bila kalian tidak setuju dengan 

pendapatku yang terakhir, kalau kalian merasa 

tak seorang pun yang berjodoh, lebih baik bokor 

emas itu dibuang saja. Tetapi, pendapatku yang 

pertama, secara tidak langsung sudah disepakati. 

Maksudku, empat orang di antara kalian sudah 

setuju, hanya kau seorang saja. Tetapi satu di-

banding empat, sudah tentu menang empat. Da-

lam hal ini, keputusan sudah dicapai. Kalau yang 

berhak untuk menerima dan meminum Air Swar-

galoka itu."

Ki Samundang menyipitkan matanya. Ber-

bahaya. Hatinya benar-benar tersinggung oleh 

perlakuan Andika. Yang terutama lagi ia telah di-

buat malu.

Tiba-tiba saja Ki Samundang meluncur 

dahsyat ke arah Andika.

"Kau memang mencari penyakit Pendekar 

Slebor!" Gebrakan cepat dan mengandung tenaga 

dalam tinggi dari Ki Samundang, meleset dari sa-

saran, karena Pendekar Slebor dengan sigap me-

miringkan tubuhnya ke kiri. Sementara tangan 

kanannya bergerak menyerang balik.

Ki Samundang terkejut melihat serangan 

balik Pendekar Slebor yang sangat cepat itu. Se-

ketika tubuhnya dikempos ke belakang. Begitu 

menjejak tanah, cepat tubuhnya meluruk ke de-

pan diiringi teriakan cukup keras.

Andika diam-diam bisa merasakan kege-

raman Ki Samundang. Karena bila melihat seran-

gan yang penuh tenaga dan mematikan itu, bisa

jadi Ki Samundang memang ingin merampas 

nyawanya. Sudah tentu Andika tidak mengingin-

kannya.

Pendekar Slebor pun segera menggebrak 

tak kalah cepat. Pertarungan yang terjadi itu kini 

hanya kelihatan bagaikan dua bayangan yang 

berkelebat, karena saking cepatnya. Dan sekali-

sekali terdengar teriakan keras.

Ki Lingkih Manuk diam-diam mengagumi 

kesaktian Pendekar Slebor. Karena dia tahu, ju-

rus Ki Samundang adalah "Sepasang Cakra Men-

cecar Jantung'. Kedua tangannya bagaikan cakra 

yang berputar cepat, menyambar bagaikan seekor 

elang mengintai anak ayam.

Namun yang dihadapi Ki Samundang ada-

lah Pendekar Slebor yang sangat kesohor kesak-

tiannya. Pendekar urakan ini bukan hanya bisa 

mengimbangi serangan Ki Samundang saja. Bah-

kan mampu mengirimkan serangan balasan yang 

tak kalah dahsyat.

Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan ter-

jadi. Tiba-tiba saja, Ki Lingkih Manuk meluruk 

deras masuk dalam pertarungan itu. Ajian 

'Pedang Kilat' telah terangkum di tangannya. Se-

mentara sasaran yang ditujunya adalah Andika.

Andika terkejut ketika merasakan angin

keras menderu ke arahnya. Dengan cepat tubuh-

nya dikempos ke samping. Maka serangan Ki 

Lingkih Manuk pun luput.

"Busyet!" dengus Pendekar Slebor dalam 

hati. "Kenapa dia justru menyerangku? Tadi sepertinya usulku disetujui? Apakah ada yang salah 

sekarang?"

Dan bukan hanya itu saja yang menge-

jutkan Andika. Karena tiba-tiba saja Ki Danang 

Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa 

menerjunkan diri dalam pertarungan. Sasaran 

mereka adalah Andika!

"Hei! Kenapa jadi begini?" seru Pendekar 

Slebor pontang-panting menghindari setiap se-

rangan.

Ki Samundang saja tidak mengerti, menga-

pa saudara-saudaranya yang lain justru menye-

rang Pendekar Slebor. Namun kesempatan itu di-

pergunakan untuk mencecarnya.

"Kutu loncat! Monyet belang! Kenapa jadi 

begini, sih?!" dengus Andika sambil berjumpalitan 

menghindari setiap serangan.

Yang membuat Pendekar Slebor semakin 

terkejut ketika menyadari kalau kelima lawannya 

telah mempergunakan ajian pamungkas masing-

masing. Ki Danang Gumilar sendiri telah meng-

gunakan ajian 'Tombak Maut'. Sedangkan Ki Ka-

lungkung merangkum ajian 'Golok Dewa'. Semen-

tara Ki Redamo Rusa menggunakan ajian 'Parang 

Membelah Bumi'. Belum lagi ajian 'Pedang Kilat' 

yang dipergunakan oleh Ki Lingkih Manuk, dan 

ajian 'Sepasang Cakra Mencecar Jantung'.

Lengkaplah kesulitan Pendekar Slebor se-

karang ini. Ia mendengus dalam hati, ketika me-

nyadari kalau bantuannya justru menjadi bume-

rang bagi diri sendiri.

"Brengsek. Kalau tahu begini, biar saja ka-

lian saling bertempur!" rutuk Andika sambil me-

lompat ke belakang, bermaksud menghindari per-

tarungan.

Namun Ki Lingkih Manuk sudah kembali 

meluruk cepat.

"Kau sudah masuk kalangan, dan men-

campuri urusan kami. Berarti, kau harus meng-

hadapi kami berlima. Lima Partai Gunung!" kata 

Ki Lingkih Manuk keras.

Kini mau tak mau Andika mulai menggu-

nakan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh. Kare-

na yang dihadapinya adalah jago-jago yang na-

manya sudah menjulang puncak ketenaran. Jago-

jago yang memang patut diperhitungkan.

Dengan mempergunakan kecepatannya, 

Andika mencoba meladeni serangan yang datang 

sekaligus. Tiba-tiba saja, dengan keberanian luar 

biasa, tubuhnya meluruk ke arah lima serangan 

yang datang secara serempak. Tetapi, sebelum te-

naganya beradu dengan lima ajian maut yang di-

pergunakan Lima Partai Gunung, tubuhnya digu-

lingkan ke samping. Kakinya diangkat dengan sa-

tu sentakan kuat ke arah Ki Redamo Rusa.

Ki Redamo Rusa langsung melompat 

menghindar. Namun dengan gerakan sangat ce-

pat, Pendekar Slebor cepat melepaskan pukulan 

telak ke dada Ketua Partai Gunung Slamet itu. 

Dan....

Desss!

"Aaakh...!"

Tubuh Ki Redamo Rusa terguling. Dia ce-

pat bangkit, tapi tidak untuk menyerang. Segera 

diambilnya sikap bersemadi, ketika merasakan 

hawa panas mengalir di tubuhnya.

"Hebat!" puji Ki Lingkih Manuk. "Tetapi 

jangan bangga dulu. Masih ada empat orang lagi 

yang harus kau hadapi, Pendekar Slebor!"

"Hei. hei! Hentikan dong, serangan ini!" 

pinta Andika seperti anak kecil. Dia tahu, kalau 

sedikit saja lengah, maka nyawanya akan lewat. 

"Aku kan hanya usul! Kalau tidak mau terima, ya 

sudah!"

Sementara itu, Sari yang melihat pertarun-

gan dari tempat persembunyiannya jadi berdebar-

debar cemas. Inikah yang dimaksud Andika kalau 

siasatnya cemerlang untuk mengatasi kemelut di-

tubuh Lima Partai Gunung?

Ingin sekali Sari membantu pemuda pu-

jaannya. Tetapi, dia mencoba untuk belajar me-

nuruti kata-kata Andika. Dia ingin menjadi gadis 

lembut di mata Andika. Makanya, hanya diperha-

tikannya saja jalannya pertarungan dengan dada 

semakin berdebar.

Andika sendiri kini sudah melepas kain 

pusakanya yang bercorak catur. Dengan bantuan 

kain pusaka yang dijadikan senjata, dia bisa men-

jaga jarak dari setiap serangan. Bahkan ketika 

melihat Ki Danang Gumilar melesat ke atas. den-

gan cepat Andika membuang tubuhnya sambil 

menyentakkan kain pusakanya ke kaki.

Ctarrr...!

"Aaakh...!"

Ki Danang Gumilar terpekik. Dan baru saja 

mendarat di tanah, dia harus menerima pukulan 

tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh milik Andika 

yang telah berkelebat kembali. Seperti yang dila-

kukan Ki Redamo Rusa, Ki Danang Gumilar pun 

segera bersemadi.

Kini tinggal tiga orang lawan yang harus 

dihadapi Andika. Namun, bagi Andika semua itu 

sama sulitnya. Apalagi ketika dirasakannya angin 

menderu ke arah tangannya yang datang dari se-

rangan Ki Lingkih Manuk.

Dengan cepat tubuhnya dimiringkan. Teta-

pi ajian 'Pedang Kilat' yang dilakukan Ki Lingkih 

Manuk lebih cepat datangnya. Dan....

Diegkh...!

"Aaakh...!"

Pendekar Slebor terpekik, tersambar tan-

gan Ki Lingkih Manuk yang bagaikan pedang.

Darah segera mengalir bersamaan dengan 

kemarahan Andika yang mulai memuncak. Tiba-

tiba saja Pendekar Slebor menerjang membabi bu-

ta sambil mengecutkan kain pusakanya ke sana 

kemari. Bukan hanya itu saja yang dilakukan. 

Secepat kilat tubuhnya berkelebat ke arah Ki Ka-

lungkung sambil mengecutkan kain pusakanya.

Ctarrr...!

"Aaakh...!"

Ki Kalungkung harus tersuruk ke bela-

kang, ketika tangannya tersambar kain pusaka 

milik Andika. Belum lagi dia bisa berbuat sesuatu, sebuah tendangan mampir di dadanya.

Desss...!

"Aaakh...!"

Kini tinggal dua orang yang dihadapi Andi-

ka. Yang sangat berbahaya adalah serangan Ki 

Samundang yang tetap bernafsu ingin menjatuh-

kannya. Bahkan sekaligus membunuhnya. Tetapi 

serangan Ki Lingkih Manuk pun tak kalah berba-

hayanya.

"Edan! Aku bisa mampus juga nih! Sari..., 

kau bisa jadi janda!" seloroh Pendekar Slebor 

sambil melenting ke belakang.

Dan begitu hinggap di tanah, kain pusaka 

Andika sudah disampirkan kembali ke bahunya. 

Lalu ajiannya yang sangat dibanggakan dibuka 

'Guntur Selaksa'.

"Maaf. Terpaksa aku harus memperguna-

kan ajianku ini. Karena, kalian adalah orang tua 

yang keras kepala!" ucap Andika.

"Persetan dengan ucapanmu itu. Pendekar 

Slebor!" seru Ki Samundang. "Kau melihat sendiri, 

bukan? Ternyata saudara-saudaraku pun tidak 

suka kau ikut campur dalam urusan ini!"

"Aku kan hanya usul! Usul!" seru Andika 

ngotot. "Kalau kalian tidak mau terima, ya sudah! 

Tidak usah marah-marah seperti ini! Dasar, su-

dah pada pikun semuanya!"

Sementara Ki Lingkih Manuk menghela 

napas diam-diam. Dia menyerang Andika bukan-

lah sesuai alasan yang dikatakan Ki Samundang. 

Dia mempunyai pikiran lain. Maka tiba-tiba saja

tubuhnya meluruk kencang.

"Kita lihat sekarang, siapa yang paling he-

bat, Pendekar Slebor?!"

"Boleh, boleh!" sahut Andika. "Tetapi..., 

maafkan aku!"

Bersamaan dengan itu, Andika pun mele-

sat ke arah Ki Lingkih Manuk yang sudah melu-

ruk maju. Dan…..

Blarrr...!

Dua buah ajian sakti berbenturan, menim-

bulkan suara cukup keras.

Sosok Ki Lingkih Manuk terlempar ke bela-

kang disertai muntahan darah. Sementara Andi-

ka, meskipun hanya terjajar ke belakang dua tin-

dak, tetapi dadanya terasa sangat nyeri. Dan se-

lagi menahan rasa sakit itu, Ki Samundang segera 

menyerangnya dengan cepat.

"Kini kau mampus. Pendekar Slebor!"

Naluri Andika yang terlatih segera me-

nangkap bahaya yang mematikan. Seketika kedua 

kakinya dihentakkan ke tanah, seolah hendak 

menancapkannya dalam-dalam. Namun, tanah 

yang dipijaknya tidak jeblos.

Begitu serangan Ki Samundang tiba, men-

dadak saja dengan gerakan aneh sekaligus me-

nakjubkan, tubuh Andika meluncur ke atas seca-

ra berputar. Serangan Ki Samundang luput. Dan 

orangnya berada di bawah tubuh Andika.

Secepat kilat Andika meluruk ke arah Ki 

Samundang yang tak bisa menghindar lagi. Lalu....


Des! Buk!

Ajian 'Guntur Selaksa' telak sekali mampir 

di punggung Ki Samundang, disusul satu tendan-

gan berputar yang dilakukan Andika. Tubuh itu 

pun tersuruk ke depan.

Sementara Andika berdiri dengan tegar. 

Namun dadanya sangat nyeri sekali. Bahkan di-

yakini, dalam dua gebrakan lagi, dia bisa mam-

pus.

Sedangkan Sari, diam-diam menghela na-

pas lega. Dia memang tak pernah menyangsikan 

kehebatan Pendekar Slebor. Akan tetapi, ia tahu 

kalau Andika terluka dalam.

Apalagi ketika Ki Samundang tampak 

bangkit dan bermaksud menyerang kembali. Sari 

sudah berniat turun membantu. Tetapi niatnya 

diurungkan ketika dilihatnya Ki Lingkih Manuk 

mengangkat tangannya.

"Tahaaannn!"

Ki Samundang menghentikan gerakan, 

berdiri dengan tubuh gemetar.

Kening Andika berkerut. Tidak mengerti, 

mengapa Ki Lingkih Manuk menyuruh Ki Samun-

dang menghentikan serangan.

"Saudara-saudaraku.... Pertarungan di an-

tara kita telah selesai...," lanjut Ki Lingkih Manuk.

Andika melongo. Apa maksudnya?

"Dengarkan kata-kataku sekarang. Keda-

tangan Pendekar Slebor memang sangat menen-

tukan dari pertarungan di antara kita yang seben-

tar lagi dilakukan. Tetapi, justru Pendekar Slebor

yang menjadi sasaran. Menurut amanat Guru, 

yang berjodohlah yang berhak meminum Air 

Swargaloka. Paling tidak, kita mengartikannya 

yang paling tangguhlah yang berhak meminum 

Air Swargaloka. Tetapi kini, kita semua harus 

mengakui ketangguhan Pendekar Slebor. Bukan 

berarti dia yang berhak meminum Air Swargaloka. 

Tidak. Karena itu, berarti mengkhianati amanat 

Guru."

Semua terdiam.

"Tetapi, dengarkan sekali lagi. Bila kita se-

pakat memecahkan amanat Guru dengan men-

gartikan siapa yang paling tangguh, berarti kita 

sudah melakukannya. Tetapi kenyataannya, kita 

semua tak ada yang lebih tangguh. Buktinya da-

pat dipecundangi Pendekar Slebor, yang terpaksa 

hari ini dijadikan sebagai tumbal! Kita jadikan se-

bagai lawan kita! Dengan ketentuan, yang bisa 

menjatuhkannya, maka dialah yang berhak me-

minum Air Swargaloka...."

Semua masih terdiam.

Andika kini mengerti, apa maksud Ki Ling-

kih Manuk menyerangnya. Dia juga melihat Ki 

Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo 

Rusa menganggukkan kepala. Rupanya mereka 

menyetujui usul Ki Lingkih Manuk, meskipun 

terpaksa menjadikan Andika sebagai lawan tand-

ing.

"Brengsek!" maki Andika kemudian. "Kalau 

memang kenyataannya seperti itu, kenapa tidak 

bilang dari tadi?!"

Ki Lingkih Manuk tersenyum.

"Pendekar muda yang sakti, maafkan sikap 

kami yang menyerangmu. Kami akui, kami masih 

kalah jauh dibandingkan kesaktianmu. Bila tadi 

niatan kami menyerangmu dijelaskan, sudah ten-

tu kau tidak akan menyambutnya dengan sung-

guh-sungguh. Padahal, yang tahu hal itu hanya-

lah aku seorang. Dan kau lihat sendiri, bukan? 

Aku tidak main-main menyerangmu! Ki Samun-

dang..., bagaimana sekarang?"

Ki Samundang menunduk. Dia malu sekali 

dengan sikap lancangnya selama ini. Memang, 

apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk dapat dite-

rimanya. Rupanya di antara mereka tak ada yang 

paling tangguh. Buktinya tak ada yang berhasil 

menjatuhkan Pendekar Slebor.

Ki Samundang mengangkat wajahnya. Di-

helanya napas seraya menatap Ki Lingkih Manuk.

"Aku setuju dengan kata-katamu itu, Ki 

Lingkih Manuk. Kau benar. Dengan begitu, kita 

pun tak menyalahi amanat Guru," ucap Ki Sa-

mundang.

"Ha ha ha.... Kemelut di tubuh Lima Partai 

Gunung rupanya sudah berakhir sekarang ini," 

desah Ki Lingkih Manuk gembira, seraya menoleh 

pada Andika, "Pendekar Slebor..., terima kasih 

atas bantuanmu."

"Terima kasih, terima kasih! Enak saja ka-

lian sudah membikin jantungku hampir copot!" 

seru Andika melotot

Kelima Ketua Partai Gunung terbahak

bahak. Rupanya ikatan batin dan tali persauda-

raan di antara mereka masih erat mengikat. Ter-

bukti sikap mereka seperti tak pernah punya ma-

salah. Terutama, Ki Samundang. Dia kini menya-

dari sikapnya yang terlalu mau menang sendiri. 

Dia disadarkan seorang pemuda yang usianya 

jauh lebih muda darinya. Seharusnya, di usianya 

yang mulai memasuki masa senja ini, dia harus 

banyak berpikir dan merenung.

"Sudah, sudah! " seru Andika ketika kelima 

orang itu masih terbahak-bahak. "Kalau begitu, 

mau diapakan bokor emas yang berada di ping-

gangmu itu, Ki Lingkih Manuk? Jangan-jangan, 

hendak kau bawa ke tukang loak?"

Ki Lingkih Manuk tertawa. Diambilnya bo-

kor emas itu.

"Karena tak ada yang berhak untuk memi-

numnya, juga tidak ada yang menyalahi amanat 

Guru, lebih baik bokor emas ini dibuang saja! 

Dan lebih penting, jangan sampai terjatuh ke tan-

gan orang-orang golongan sesat."

Sehabis berkata begitu, dengan pengera-

han tenaga dalam tinggi, Ki Lingkih Manuk me-

lemparkan bokor emas itu ke puncak kawah Gu-

nung Merbabu. Di puncaknya lubang kawah 

menganga siap menelan bulat-bulat.

"Kini, Lima Partai Gunung bersatu kemba-

li!" seru Ki Lingkih Manuk. "Pendekar Slebor...! 

Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Kau 

memang seorang pendekar kesohor dan dianggap 

sebagai orang nomor satu di rimba persilatan ini!

Kalau bukan kau yang kami jadikan lawan tadi, 

tak mungkin semua setuju dengan kata-kataku!"

Lalu satu persatu meninggalkan tempat 

itu. Sedangkan Ki Danang Gumilar menghampiri 

Andika.

"Sebelumnya, aku pun ingin meminta ban-

tuanmu, Andika. Tetapi rupanya, Gusti Allah te-

lah menuntunmu ke sini," kata Ki Danang Gumi-

lar, terus terang.

Andika tersenyum.

"Itulah sebabnya, kita harus percaya pada 

Yang Maha Kuasa."

Ki Danang Gumilar menepuk-nepuk bahu 

Andika.

"Aku percaya, suatu saat nanti kau akan 

menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini 

bila kau memang menginginkannya," lanjut Ketua 

Partai Gunung Semeru.

"Aku tidak pernah memimpikan soal itu, 

Ki. Membantu orang lain dalam kesusahan saja, 

aku sudah suka," sahut Andika kalem.

Lalu perlahan-lahan rombongan itu pun 

meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Kalau ta-

di di wajah mereka terlihat ketegangan, kali ini 

tampak ceria oleh napas persaudaraan yang ber-

hembus kembali.

Sari segera melompat turun dan berlari 

menemui Andika.

"Kau tidak apa-apa, Kang Andika? Tidak 

apa-apa?" sambut Sari dengan wajah dan suara 

cemas. Andika melotot.

"Enak saja ngomong! Dadaku sakit, tahu?!" 

rutuk Pendekar Slebor, tak sungguh-sungguh.

"Oh! Yang mana, Kang? Bagian mana?" 

tanya gadis itu, cemas. "Ma.... Mau kupijit, 

Kang?"

Tetapi sesaat kemudian, gadis itu segera 

menundukkan kepala.

Andika tersenyum, lalu perlahan-lahan 

menaikkan dagu Sari. Sehingga, mata yang jernih 

itu menatapnya. Tampak wajah Sari yang tersipu 

bercampur cemas, memancar di sana. Sungguh! 

Baru kali ini Andika melihat mata yang teduh 

yang membuatnya tenang. Sejenak batin pemuda 

itu teraduk-aduk.

"Tidak usah. Terima kasih atas penawa-

ranmu," ucap Pendekar Slebor.

"Aku..., ah! Aku...."

Gadis itu bingung sekali untuk mengung-

kapkan isi hatinya.

Andika tersenyum.

"Sari... Kau adalah gadis cantik, berani, 

dan lincah. Aku suka sekali bertemu denganmu. 

Tetapi nampaknya, aku harus melanjutkan perja-

lananku."

"Oh!"

Gadis itu terhenyak

"Kenapa, Sari?" tanya Andika.

"Kau mau ke mana, Kang Andika?" Gadis 

itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa kasih 

sayangnya.

"Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah

aku pergi. Karena, atap rumahku langit yang luas 

membentang. Lantai rumahku, bumi yang sangat

luas."

"Tetapi, Kang...."

"Tidak ada tetapi. Sari. Aku harus melan-

jutkan perjalananku kembali."

Sari mendesah pendek.

"Bolehkah aku turut serta denganmu?" 

tanya Sari, penuh harap.

Andika menggelengkan kepala sambil ter-

senyum.

"Sari..., kau adalah seorang gadis perkasa. 

Kau masih muda. Tidak ada gunanya mengikuti 

aku. Karena dalam perjalananku ini, dalam setiap 

kakiku melangkah, mata-mata beracun akan se-

lalu mengintai," tolak Andika, halus.

"Aku mampu menjaga diriku, Kang. Kau ti-

dak usah cemas," tukas gadis itu meyakinkan 

Andika. Besar sekali keinginannya untuk mengi-

kuti Andika.

"Seperti yang kukatakan tadi, kau gadis 

yang perkasa Sari. Tetapi, aku ingin melanjutkan 

perjalananku seorang diri. "

"Tetapi, Kang,..."

"Tahanlah keinginanmu itu, Adikku. Bila 

Yang Maha Kuasa mengizinkan..., pasti kita akan 

bertemu kembali."

Wuuusss!

Seketika tubuh Pendekar Slebor melesat. 

Sebentar saja dia sudah jauh dari pandangan.

"Jangan tinggalkan aku. Kang Andikaaa!"

teriak Sari.

"Jaga dirimu baik-baik, Sari!" balas Andika 

keras

"Oya, terima kasih kau mau kukecup wak-

tu itu! Pipimu mulus sekali..., ha ha ha...!"

Tanpa terasa dua titik air bening muncul di 

sudut mata Sari. Dan tanpa sadar tangannya 

membelai-belai pipinya yang dicuri kecup Andika.

Tiba-tiba satu sosok yang sangat dikenali 

Sari mendekat. Langsung didekapnya dengan 

erat.

"Oh, Belang.... Dia menganggapku sebagai 

adiknya. Dia jahat, Belang. Jahat...!"

Bagaikan mengerti apa yang merisaukan 

majikannya, si Belang menjilat-jilat wajah Sari. 

Seolah dia berusaha untuk menenangkannya.

Sari mengangkat kepala.

"Ya! Kau benar, Belang. Aku tidak boleh 

bersedih, Aku masih memilikimu. Seperti yang 

dikatakan Kang Andika tadi. Kalau Yang Maha 

Kuasa mempertemukan kembali aku dengannya, 

pasti akan bertemu. Tetapi mungkinkan aku?"

Lalu perlahan-lahan gadis itu berdiri. Di-

naikinya punggung si Belang.

"Kita pulang, Belang!" 



                        SELESAI





















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive