SENGKETA DI GUNUNG MERBABU
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Sengketa Di Gunung Merbabu
128 hal.
1
Kabut seperti biasa, uap air itu selalu ber-
gerak bagai tirai di Gunung Anjasmoro. Dinginnya
menyengat tubuh. Malah sampai menggigit tulang
bila tidak terbiasa berada di sekitar gunung itu.
Pagi ini tidak seperti biasanya. Ramai sekali. Mu-
rid-murid Partai Gunung Anjasmoro yang bi-
asanya setiap pagi berlatih ini tampak berjejer da-
ri mulai lereng jalan setapak, hingga ke bangunan
besar tempat mereka tinggal.
Jumlah murid di Partai Gunung Anjasmoro
yang sekitar lima puluh orang, rata-rata berpa-
kaian putih dengan senjata sebilah pedang tipis
tersampir di punggung. Semua berada dalam
keadaan tegap seperti patung. Beberapa orang
menunggu di bangunan berbentuk semacam pen-
dopo, yang bertonggak dari kayu untuk menahan
atap. Untuk tiba di sana, harus menaiki undakan
yang berjumlah lima buah.
Umbul-umbul lambang kebesaran Partai
Gunung Anjasmoro telah menari-nari dihembus
angin pagi. Meskipun kabut masih tebal dan din-
gin yang sangat terasa, tetap tak mengurangi ke-
giatan itu.
Memang pagi ini, Ki Lingkih Manuk Ketua
Partai Gunung Anjasmoro akan menerima keda-
tangan empat ketua dari partai gunung lainnya.
Walau telah berusia kira-kira enam puluh tahun,
namun tubuh Ki Lingkih Manuk masih tegap.
Dengan pakaian hitam yang di pinggangnya meli-
lit sebuah ikat pinggang berwarna putih, dia ma-
sih cukup terlihat gagah. Rambutnya tergerai
panjang. Wajahnya memang mulai berkeriput,
namun tak mengurangi kewibawaannya. Sudah
dua puluh tahun dia memimpin Partai Gunung
Anjasmoro. Suasana di perguruan itu begitu ten-
teram. Sehingga murid-murid yang berlatih di sa-
na, begitu menghormati Ki Lingkih Manuk selaku
guru dan ketua mereka. Memang, dalam melatih
murid-muridnya, Ki Lingkih Manuk tidak pernah
membeda-bedakan.
Ki Lingkih Manuk pun mempunyai murid-
murid utama yang terkadang menggantikannya
untuk melatih, bila dia tengah bersemadi. Tidak
sembarangan untuk menjadi murid utama, kare-
na sebelumnya diadakan ujian yang ketat. Bukan
main asal comot saja.
Setelah matahari sepenggalah, datang
rombongan yang berjumlah kira-kira lima belas
orang yang hampir semua bersenjata tombak ber-
pakaian biru. Hanya seorang yang mengenakan
pakaian warna hitam dengan ikat pinggang warna
biru. Dan dia nampak berjalan gagah di depan.
Usianya kira-kira setara dengan Ki Lingkih Ma-
nuk. Rambutnya rapi dengan wajah kelimis. Ka-
kinya melangkah dengan kedua tangan berada di
belakang. Namanya, Ki Danang Gumilar. Dialah
Ketua Partai Gunung Semeru. Mereka datang un-
tuk memenuhi undangan Ki Lingkih Manuk.
Rombongan dari Partai Gunung Semeru
disambut oleh Ki Lingkih Manuk yang berdiri di
atas pendopo dengan hangat.
"Selamat dalang, Saudaraku...," sambut Ki
Lingkih Manuk seraya bergegas turun. Langsung
dirangkulnya Ki Danang Gumilar.
Ki Lingkih Manuk segera memerintahkan
dua orang muridnya untuk mengantar Ki Danang
Gumilar ke belakang pendopo, ke sebelah ruan-
gan tertutup yang lelah dihiasi umbul-umbul in-
dah. Makanan dan minuman pun sudah disedia-
kan di atas meja yang berbentuk lingkaran.
Dalam tempo sepeminum teh, muncul se-
rombongan orang berpakaian merah. Di tangan
mereka terlingkar senjata sepasang cakra. Di de-
pan rombongan itu, melangkah seorang laki-laki
gagah bertampang dingin. Pakaian hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah. Wajahnya dipe-
nuhi kumis dan jenggot. Badannya lebih besar
dari Ki Lingkih Manuk dan Ki Danang Gumilar.
Namanya Ki Samundang, Ketua Partai Gunung
Arjuno.
Ki Lingkih Manuk pun segera menyambut
dan merangkulnya. Lalu diperintahkannya dua
murid untuk mengantarkan Ki Samundang ke
tempat Ki Danang Gumilar berada.
Kemudian kembali, muncul rombongan
berpakaian hijau. Senjata mereka berupa golok di
pinggang masing-masing. Paling depan melang-
kah seorang gagah berpakaian hitam dengan ikat
pinggang berwarna hijau. Bibirnya selalu men-
gumbar. Wajahnya nampak ramah dan tenang.
Namanya Ki Kalungkung, Ketua Partai Gunung
Merapi.
Seperti yang sudah-sudah, Ki Lingkih Ma-
nuk pun menyambut kedatangan rombongan itu
dengan gembira. Ki Kalungkung pun dibawa ke
tempat Ki Danang Gumilar dan Ki Samundang
berada.
Selanjutnya muncul rombongan berpa-
kaian kuning. Di pinggang masing-masing terselip
sebuah parang yang bersarung. Di depan melang-
kah seorang laki-laki gagah penuh wibawa. Pa-
kaiannya berwarna hitam dengan ikat pinggang
kuning. Kalau rekan-rekannya yang lain ditum-
buhi rambut, orang yang baru datang ini sama
sekali kelimis. Licin tandas alias botak tuntas!
Namanya Ki Redamo Rusa, yang menguasai Partai
Gunung Slamet.
Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk menyambutnya
dengan gembira. Kalau tiga tamunya tadi diantar
dua orang muridnya, kini Ki Redamo Rusa sendiri
yang melangkah ke ruang tertutup di belakang
pendopo.
Sudah hadir semua tamu yang diundang Ki
Lingkih Manuk. Dan nampaknya, acara yang
memang diadakan akan segera berlangsung.
Sementara di halaman pendopo Partai Gu-
nung Anjasmoro, terlihat lima kelompok murid
dari masing-masing Partai Gunung yang menge-
nakan pakaian berlainan. Semua berdiri tegap,
tanpa ada yang berbicara satu sama lain.
kan ada suatu hal penting yang bakal dibicara-
kan.
Ki Lingkih Manuk mengedarkan pandan-
gan pada adik-adik seperguruannya. Mereka du-
duk membentuk lima tempat, dengan terhalang
sebuah meja besar berbentuk lingkaran yang di
atasnya terdapat makanan dan minuman.
"Hmmm... Terima kasih atas kedatangan
kalian memenuhi undanganku untuk berkumpul
di sini," ucap Ketua Partai Gunung Anjasmoro
dengan nada berwibawa.
Kewibawaan yang ditunjukkan bukan se-
bagai kakak seperguruan, melainkan karena se-
bagai tuan rumah. Dalam suasana seperti ini, Ki
Lingkih Manuk merasa tak ada lagi kesan antara
kakak dan adik seperguruan. Kini semua sama.
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Berada
dalam naungan Panca Giri.
"Mungkin, kalian merasa heran menda-
patkan undangan dariku, yang begitu mendadak
meminta kesediaan kalian untuk hadir di sini.
Apalagi, tidak seperti biasanya, pertemuan dila-
kukan di kediamanku. Bagusnya, kalian jadi me-
menuhi undanganku," lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Lingkih Manuk! Sejak dulu kau tahu
bukan, aku tidak suka bertele-tele." cetus Ki Sa-
mundang, terus-terang. "Kupikir, sudah cukup
kau memberikan sambutan. Dan lebih baik, sege-
ra katakan saja, apa maksud undanganmu... Aku
yakin, yang hadir di sini pun tidak sabar untuk
mengetahuinya, bukan?"
Ki Lingkih Manuk mengangguk-angguk.
Hatinya tidak merasa tersinggung mendengar ka-
ta-kata Ki Samundang yang merupakan adik se-
perguruannya. Karena, dia memang tahu sifat
adik seperguruannya.
"Baiklah.... Seperti yang dikatakan Ki Sa-
mundang, memang pertemuan kita ini segera di-
buka saja. Karena, hanya membuang waktu bila
memberi sambutan terus-menerus. Nah, sebaik-
nya kumulai cerita ini. Terus terang saja..., sebe-
lum Guru meninggal, aku telah dititipkan sesua-
tu. Saat itu. Guru memanggilku. Sementara, ka-
lian sedang berlatih di tempat di sekitar lereng
Gunung Merbabu. Sesuatu yang diberikan Guru,
pasti membuat kalian bertanya-tanya. Sebelum
Guru meninggal aku pun sempat menanyakan,
mengapa benda itu dititipkan kepadaku? Apa ja-
wab Guru? Karena sebagai murid tertua di Pergu-
ruan Partai Gunung Merbabu, sehingga menurut-
nya aku akan bisa membawa diri dan menyam-
paikan apa hendak dikatakannya. Memang, ada
satu amanat Guru yang harus kujalankan. Dia
meminta kepadaku, untuk memperlihatkan benda
itu kepada kalian setelah masing-masing mempu-
nyai murid dan mendirikan Partai Gunung. Kebe-
tulan, kita semua dalam waktu dua puluh tahun
telah berkibar tegar dalam aliran lurus."
Ki Lingkih Manuk sebentar menghentikan
ceritanya seraya mengedarkan pandangan. Bisa
dilihatnya keingintahuan yang jelas dari saudara
seperguruannya yang hadir.
"Rasanya tak perlu berlama-lama lagi," lan-
jut Ki Lingkih Manuk.
Tiba-tiba saja Ketua Partai Anjasmoro
mengibaskan tangan ke atas.
Wusss!
Serangkum angin seketika terlontar dari
tangan Ki Lingkih Manuk. Lalu satu benda men-
dadak saja meluncur deras ke arahnya, bagai
menyerangnya!
Dengan ringan Ki Lingkih Manuk mengge-
rakkan tangannya kembali. Ditepaknya benda itu
dan jatuh tepat di tengah-tengah meja.
Semua yang hadir menajamkan pandan-
gan, melihat benda yang ada di atas meja. Ternya-
ta sebuah bokor yang terbuat dari emas!
"Ki Lingkih Manuk! Apa yang aneh dan
menariknya dari bokor itu?" tanya Ki Danang
Gumilar, agak meremehkan. Baginya, tindakan Ki
Lingkih Manuk hanya buang-buang waktu saja.
Ki Lingkih Manuk tertawa. "Ya, memang.
Dalam sepintas tak ada suatu kesan yang mena-
rik dari bokor itu, kecuali terbuat dari emas yang
tentu harganya sangat mahal. Tetapi aku tahu, di
antara kita semua tak ada yang tertarik dengan
emas. Karena, itu adalah milik Guru. Tetapi, aku
pun tahu dan sangat yakin, kalau kalian semua
pasti akan tertarik setelah mengetahui isinya..."
Semua terdiam, mencoba menebak isi bo-
kor yang sebesar dua kepalan tangan orang dewa-
sa. Tetapi tak ada yang bersuara untuk mengata-
kannya.
"Ki Lingkih Manuk, silakan untuk menga-
takan apa isinya," ujar Ki Kalungkung, memecah
kesunyian.
"Baiklah, aku akan mengatakannya," desah
Ki Lingkih Manuk sambil menghela napas pan-
jang. Jelas sekali kalau sikapnya kelihatan sedikit
ragu-ragu "Isi bokor itu adalah Air Swargaloka
yang didapatkan Guru di Gurun Gobi, ketika ber-
kelana ke sana selagi muda. Cairan Swargaloka
hanya berisi sedikit. Hanya seteguk saja. Tetapi
yang sangat penting, khasiat dari air itu."
Tak ada yang bersuara. Kelihatan kalau
semua menunggu penjelasan-penjelasannya.
Meskipun jelas sekali kalau Ki Samundang yang
sedikit penasaran. Dia memang tidak suka ber-
tele-tele dan ingin tahu segala sesuatunya.
"Menurut Guru, barang siapa yang memi-
num Air Swargaloka akan memiliki tenaga sakti.
Namun dia sendiri tidak tahu, kapan tenaga itu
bisa muncul. Tetapi menurut Guru pula, bila su-
dah dalam keadaan terdesak, maka tenaga sakti
yang tak akan terkalahkan bisa muncul begitu sa-
ja. Dan kalau dipaksakan, tidak akan mungkin
tenaga sakti itu dapat muncul."
Terdengar suara decakan kagum "Ki Ling-
kih Manuk! Kini aku bisa menebak, apa amanat
Guru berikutnya. Pasti, Guru menginginkan salah
seorang di antara kita yang meminum air itu, bu-
kan?" duga Ki Samundang.
"Kau benar," sahut Ki Lingkih Manuk.
"Hanya saja.... aku tidak diberitahu siapa yang
berhak meminumnya."
Kali ini terdengar gumaman bernada sedi-
kit kesal.
"Lalu, siapa yang berhak meminumnya?"
tanya Ki Redamo Rusa. yang sejak tadi diam saja
Ki Lingkih Manuk menghela napas. Berat
untuk mengatakan amanat terakhir yang disam-
paikan Ki Panca Giri.
"Guru mengatakan, bila di antara kita ada
yang berjodoh dengan bokor emas ini, maka di-
alah yang berhak meminum Air Swargaloka...."
Seketika terdengar gumaman ramai bagai
kerumunan lebah. Dan masing-masing menatap
satu sama lain dengan sinar mata tajam. Ki Ling-
kih Manuk segera menenangkan. Sebagai murid
tertua di Partai Gunung Merbabu, sebenarnya dia
tidak mengerti tentang amanat Ki Panca Giri ini.
Bukankah dengan begitu, justru akan membuat
keributan dan perpecahan saja di antara Panca
Giri yang sudah terbentuk? Namun, amanat te-
taplah amanat. Maka amanat itu harus dijalan-
kan meskipun sangat susah.
"Inilah yang susahnya," kata Ki Lingkih
Manuk kemudian. "Tetapi, amanat jelas amanat.
Apalagi ya memberikan Guru kita sendiri. Dan ki-
ta tidak boleh mengabaikannya."
"Jadi..., dengan kata lain, kita akan berada
dalam satu lingkaran pertarungan?" tanya Ki Sa-
mundang sambil mendengus. "Hhh! Boleh, aku
terima usul itu!"
"Sebenarnya, aku tidak bermaksud demi
kian," tukas Ki Lingkih Manuk. "Aku tidak ingin
di antara kita terjadi perpecahan. Perlu diingat,
kita telah berada dalam naungan Panca Giri yang
berada di jalan lurus."
"Tetapi seperti katamu tadi, amanat tetap-
lah amanat," serobot Ki Samundang.
"Benar. Baiklah. Sekarang kutanyakan saja
pada kalian, apakah kalian suka terhadap ama-
nat Guru yang satu ini?"
Tak ada yang menjawab. Tetapi di air wa-
jah Ki Samundang tergambar jelas kalau sangat
menginginkan sekali untuk meminum Air Swarga-
loka yang terdapat di bokor emas itu.
"Untuk mencegah perpecahan, aku menya-
rankan agar kita membuang bokor itu saja," usul
Ki Lingkih Manuk. Dia berharap semua yang ha-
dir di situ menyetujui usulnya.
"Tidak!" sergah Ki Samundang. "Amanat te-
taplah amanat! Kita harus menjalankannya. Den-
gan kata lain kita akan melihat, siapakah di anta-
ra kita yang paling tangguh. Itulah satu-satunya
cara untuk menentukan, siapa yang berjodoh
dengan bokor emas itu. Karena, tidak ada cara
lain untuk menentukan siapakah yang berjodoh
dengan bokor emas itu."
"Ki Samundang..., bukankah dengan demi-
kian kita justru berada di ambang kehancuran?"
tukas Ki Kalungkung, menatap tajam Ki Samun-
dang.
"Habis, mau bagaimana lagi, hah?! Guru
sudah menetapkan amanat seperti itu. Dan sudah
tentu, sebagai muridnya kita tidak boleh melang-
gar setiap amanat Guru," sahut Ki Samundang,
memberikan alasan kuat.
"Memang, meskipun rasanya sangat berat
sekali, tetapi kita harus menjalankan amanat
Guru," timpal Ki Danang Gumilar.
"Tidak!" seru Ki Redamo Rusa. "Amanat
Guru memang harus dijalankan, tetapi bukan da-
lam arti harus berada dalam suatu perpecahan?
Telah lama kita saling mengikat persaudaraan,
semasa masih menuntut ilmu di Partai Gunung
Merbabu, hingga kita membentuk kelompok yang
dinamakan Panca Giri. Kalau kita harus pecah,
untuk apa selama ini menjadi persaudaraan?"
"Jadi, bagaimana usulmu?" tanya Ki Sa-
mundang agak ditekan suaranya.
"Aku setuju usul Ki Lingkih Manuk. Kita
akan membuang saja bokor itu."
"Tidak!"
Ki Samundang kontan berdiri. Tatapannya
mengedar. Tajam!
"Sebagai murid yang berbakti dan meng-
hormati Guru, kita harus tetap menjalankan
amanat Guru. Walaupun, apa yang terjadi." tan-
das Ketua Partai Gunung Arjuno.
Kali ini tak ada yang bersuara. Memang
sangat sulit untuk menentukan sikap di saat se-
perti ini. Di satu segi perpecahan nampak sudah
di ambang mata. Di segi lain, mereka harus men-
jalankan amanat Ki Panca Giri.
Suatu kerikil kehidupan mulai menusuk.
Ki Lingkih Manuk mendesah panjang.
"Baiklah.... Kita akan menjalankan amanat
Guru. Tiga bulan lagi, kita akan bertemu di Gu-
nung Merbabu. Kita selesaikan semua masalah
ini...."
"Dan kita akan melihat, siapa yang berhak
untuk meminum Air Swargaloka itu...," sambung
Ki Samundang, bernada angkuh, "Aku mohon
pamit. Kita bertemu lagi tiga bulan di Gunung
Merbabu!"
Lalu Ketua Perguruan Partai Gunung Arju-
no ini pun keluar.
Tiba di luar murid-murid Ki Samundang
segera menghampirinya. Dan tak banyak ber-
tanya, mereka sudah ikut melangkah mengikuti
ketua mereka.
Satu persatu, para Ketua Partai Gunung
itu keluar, meninggalkan Partai Gunung Anjas-
moro.
Di ruang tadi, Ki Lingkih Manuk mendesah
masygul. Memang tak ada jalan lain lagi. Sesuatu
akan terjadi. Dan nampaknya, itu sudah di am-
bang mata. Waktu tiga bulan bukankah waktu
yang panjang. Bahkan terasa sangat sempit!
Lagi-lagi Ki Lingkih Manuk tidak mengerti,
mengapa Guru memberi amanat yang sangat me-
resahkan. Memang Guru menitipkan bokor emas
yang berisi Air Swargaloka, kalau ternyata bakal
terjadi perpercahan di antara Panca Giri? Sudah
lama soal itu dipikirkannya. Tetapi hingga hari
pertemuan diadakan, dia belum berhasil memecahkannya. Yang pasti hanya satu, kalau amanat
Guru itu memang diperuntukkan bagi mereka
berlima. Dan, sudah tentu harus dijalankan!
Sungguh! Ki Lingkih Manuk amat teramat
tidak mengerti. Namun kesepakatan tadi sudah
didapat. Mereka akan membuktikan, siapa yang
tertangguh dan berhak meminum Air Swargaloka.
Usulnya untuk membuang bokor itu sudah tak
ada gunanya lagi. Memang, dengan begitu dia te-
lah membatalkan amanat Ki Panca Giri. Namun,
itu adalah jalan yang terbaik menurutnya, agar
perpecahan tidak akan terjadi.
Tetapi sekarang jalan satu-satunya yang
harus ditempuh adalah bertarung. Dan Ki Sa-
mundang yang begitu ingin untuk meminum Air
Swargaloka tidak bisa disalahkan. Sedikit ba-
nyaknya, Ki Samundang benar. Karena, mereka
memang harus menjalankan amanat Ki Panca Gi-
ri.
Ki Lingkih Manuk merasa begitu berat, ba-
gaikan ada sebuah beban luar biasa yang menin-
dih dadanya. Dan yang sangat dikhawatirkannya,
bila segolongan orang sesat mendengar berita ini.
Mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan.
Karena, sepak terjang mereka tak akan pernah
lagi dihalangi Panca Giri yang sekarang berada
dalam suatu kemelut menyedihkan.
Lalu perlahan-lahan Ketua Partai Gunung
Anjasmoro menghembuskan napas.
"Akankah berakhir kelompok Panca Giri?"
gumam orang tua ini, lirih.
2
Tiga hari menjelang pertarungan antara se-
sama anggota Panca Giri, seorang pemuda berpa-
kaian hijau muda dengan selembar kain bercorak
catur tersampir di bahu berhenti di lereng Gu-
nung Merbabu. Rambutnya yang gondrong di-
permainkan angin kencang. Sepasang matanya
yang tajam dengan sepasang alis yang menukik
bagaikan kepakan elang, memperhatikan sekitar-
nya.
Pepohonan bagai pasukan siap tempur
yang berjajar rapi. Seolah, siap menunggu perin-
tah untuk menyerang. Juga, ada beberapa beba-
tuan besar.
Pemuda yang tak lain Andika alias Pende-
kar Slebor menepuk keningnya.
"Edan! Kenapa aku sampai di sini, sih?
Hiii... Tempat ini sepi sekali!" desis Andika sambil
memperhatikan sekitarnya.
Pendekar Slebor lantas menaikkan ram-
butnya yang gondrong ke belakang, karena un-
taian rambutnya sesekali menutupi mata ketika
angin berhembus.
"Andika..., Andika.... Kenapa sih, begitu to-
lol datang ke sini? Bukankah di kotaraja atau di
dusun-dusun banyak gadis-gadis cantik? Kalau di
sini, waaahhh! Paling-paling kuntilanak yang me-
nyamar jadi gadis cantik!"
Pendekar Slebor menjatuhkan pantatnya di
tanah berpasir. Dijumputnya sehelai rumput dan
dihisap-hisap ujungnya. Terasa manis.
"Mengembara, ya mengembara. Tetapi jan-
gan ke tempat seperti ini, dong?" rutuk pemuda
itu lagi.
Pendekar Slebor memang tiba tak sengaja
di lereng Gunung Merbabu.
"Kalau sendirian begini, aku jadi teringat
Sari. Gadis penunggang harimau yang jelita tetapi
menjengkelkan itu. Tetapi lumayan juga sih, ka-
lau ada dia. Meskipun kadang-kadang menjeng-
kelkan, tetapi tetaplah salah seorang gadis cantik
yang pernah kutemui...."
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tersenyum sendirian. Mulai sinting kali!
"Ah," desahan panjang keluar dari mulut
Andika. "Kalau memang ada Sari di sini, asyik se-
kali! Tetapi..., mbok ya, jangan harimaunya yang
besar dan galak itu! Bisa runyam! Kok ada ya,
seorang gadis cantik seperti Sari bersahabat den-
gan harimau jelek itu. Lebih baik kau bersahabat
denganku. Jelek-jelek begini, tapi aku kan tam-
pan, ganteng, bijaksana, manis.... Wah, wah....
Mana ada tukang loak menjelek-jelekkan barang-
nya sendiri! Tapi yang penting lebih ganteng dari-
pada harimau jelek itu?"
Rupanya dalam kekesalannya mengapa ta-
hu-tahu berada di tempat sepi semacam ini, An-
dika jadi ngoceh sendirian. Tetapi memang men-
gasyikkan mengenang Sari. Hanya yaitu ya, hari
maunya!
"Huh! Hewan jelek!" desis Andika tiba-tiba.
Mata Pendekar Slebor yang tajam kembali mem-
perhatikan sekelilingnya. Tak seorang pun yang
berada di tempat, kecuali dirinya. Lagi-lagi Andika
menepuk keningnya.
"Busyet! Kenapa sih, aku tahu-tahu berada
di sini?" dengus Andika lagi.
Pendekar Slebor lantas mengambil sebutir
kerikil dan melemparkannya. Hanya sekali sentak
saja, kerikil itu sudah tidak terlihat lagi. Bukan
karena terhalang semak belukar maupun batu
besar, tapi karena kerikil itu bagai dilontarkan
sebuah tali busur. Bahkan kecepatannya lebih
kencang daripada lesatan sebuah anak panah.
Tahu-tahu pemuda urakan ini tersenyum-
senyum sendirian.
"Sari..., Sari.... Kok aku jadi ingin bertemu
denganmu, ya?" desis Andika lagi.
Pemuda ini membayangkan ketika secara
tak sengaja melihat tubuh Sari tanpa busana.
Saat itu, Sari berada dalam kekuasaan Raja Ak-
herat.
"Edan benar Eyang Sasongko Murti itu!
Masa' aku dipaksa untuk melihat tubuh Sari, sih?
Tetapi..., he he he... Lumayan juga. Toh, dia tidak
melihatku, kan? Mengasyikkan juga ilmu yang
dimiliki Eyang Sasongko Murti! Tetapi..., huh! Da-
sar murid siluman!" dengus Andika (Baca: "Nera-
ka di Keraton Barat").
Andika mengambil lagi sebutir kerikil. Un
tuk menghilangkan kejenuhan dilontarkannya
kembali. Kali ini lebih cepat bagaikan sebutir pe-
luru!
"He he he.... Heran, aku! Mengapa gadis
secantik Sari memiliki sahabat si Belang, ya? Ha-
rimau jelek itu! Huh! Mendingan bersahabat den-
ganku! Kan lebih ganteng daripada harimau jelek
yang galak itu!"
"Auuuummm!"
Baru saja Andika berkata demikian, tiba-
tiba terdengar auman harimau yang berkepanjan-
gan. Seketika Pendekar Slebor terkejut.
"Diamput! Rupanya di sini ada harimaunya
juga! Gara-gara ngomong tentang Sari saja, kok
ada suara harimau sih!" maki Pendekar Slebor
sambil berdiri dengan mata waspada.
Geraman harimau itu terdengar lagi. Kali
ini semakin dekat. Pendekar Slebor segera bangkit
dari duduknya sambil memperhatikan sekitarnya.
Mendadak saja kedua mata Andika melo-
tot, ketika muncul seekor harimau besar dari ba-
lik semak di depannya. Kedua mata hewan berka-
ki empat yang ganas itu memerah tertuju kepa-
danya.
"Eiiittt! Benar juga, ada harimau di sini!"
desis Andika sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
"Bagus, Belang! Hajar pemuda urakan itu!"
Sebuah seruan keras bernada perintah ter-
dengar. Dan harimau besar yang dipanggil si Be-
lang itu melompat ke arah Pendekar Slebor.
Wuttt!
"Uts!"
Cepat pendekar dari Lembah Kutukan itu
memiringkan tubuhnya, membuat terkaman itu
pun luput. Tetapi harimau itu sudah berbalik lagi
kepadanya dan menggeram marah. Lalu diter-
jangnya Andika lagi dengan aumannya yang san-
gat keras.
Andika lagi-lagi menghindari terjangan ha-
rimau. Namun bagaikan memiliki akal, harimau
itu berbalik kembali secepat kilat.
"Busyet! Apakah hewan ini peliharaan Sa-
ri?!" rutuk Andika sambil melompat-lompat. "Ti-
dak, tidak mungkin. Masa iya sih, gadis itu sudah
berada di sini? Padahal baru saja kubayangkan?!
Mau apa dia di sini? He he he.... Jangan-jangan
dia kangen dan ingin bertemu denganku...."
Si Belang menerjang terus menerus, mem-
buat Andika jadi kelabakan juga. Ingin dihantam-
nya harimau itu, tetapi kok tidak tega. Bukankah
hewan itu sesama ciptaan Tuhan, meskipun begi-
tu buas sekali?
Jadinya, Pendekar Slebor hanya melompat-
lompat seperti monyet terbakar ekornya. Dan
anehnya harimau itu terus saja menyerang den-
gan ganas. Keempat kuku-kukunya mengembang
dalam sebuah cakar yang siap mencabik-cabik.
Bahkan yang luar biasa, harimau itu sepertinya
pandai menirukan gerakan-gerakan silat Dia se-
perti bisa mengelak, menghindar, dan melakukan
gerak tipu dalam menyerang.
"Busyet!" seru Andika.
Dan kali ini. Pendekar Slebor yakin tentang
hewan itu. Tak ada seekor harimau pun yang
pernah dijumpainya sepandai ini.
"Sariii!" teriak Pendekar Slebor tiba-tiba.
"Keluar dong! Jangan bikin aku kesal!"
"Hi hi hi.... Pendekar bego, coba hentikan
serangan peliharaanku itu!" terdengar suara dari
satu tempat.
Andika yang memiliki pendengaran tajam
bisa segera menebak, kalau suara itu berasal dari
sebuah pohon yang terletak lima langkah di de-
pannya, tersembunyi di balik rimbunnya dedau-
nan pohon.
"Sari! Kalau kau kangen padaku, bukan
begini caranya! Datang saja kepadaku. Lalu, pe-
luk dan..., cup! Nah, kan beres?" seru Andika
sambil bergulingan menghindari terjangan si Be-
lang yang ganas.
"Brengsek!" sembur suara di balik dedau-
nan yang memang Sari. "Belang! Bikin dia kapok!"
Begitu mendengar aba-aba yang dilontar-
kan Sari, si Belang bergerak makin kesetanan.
Dia menerjang dengan aumannya yang ganas.
"Sari! Apakah kau tidak sayang kalau he-
wan jelek ini kuberi pelajaran!"
Bukannya marah, Sari malah terkikik-
kikik.
"Coba saja kalau bisa!"
"Baik! Untuk pertama..., kau dulu yang ha-
rus keluar dari tempat persembunyianmu! Karena
terus terang, aku ingin sekali melihat wajahmu!
Apakah makin cantik, ataukah seperti nenek-
nenek sekarang!"
Pendekar Slebor seketika menggerakkan
tangannya ke sebuah pohon, tempat Sari me-
nyembunyikan diri di sana.
Wuuusss!
Crak!
Dari balik rimbunnya dedaunan tampak
satu sosok tubuh melenting keluar. Dia bersalto
tiga kali di atas, lalu hingga di tanah dengan rin-
gannya. Kini gadis itu telah menampakkan diri.
Sepasang matanya yang jernih melotot.
"Brengsek! Belang! Hajar dia! Hajar!" seru
gadis berpakaian kulit harimau dengan bagian
atas sebelah kanan terbuka. Rambutnya tergerai
indah dan menawan. Wajahnya, teramat jelita. Di
punggungnya terdapat sebilah pedang tipis, na-
mun tajam (Untuk mengetahui bagaimana perta-
ma kali Pendekar Slebor berjumpa Sari, gadis pe-
nunggang harimau silakan baca : "Raja Akherat"
dan "Neraka di Keraton Barat").
Kali ini Andika benar-benar ingin menggo-
da Sari. Heran! Kok tahu-tahu gadis itu berada di
sini? Apakah diam-diam dia membuntuti? Begitu
kata hati Andika, lagi-lagi sok kecakepan.
"Wah, wah...! Tak kusangka, Diajeng Sari
yang berada di sini? Apakah dikau merindukan
Kakangmasmu yang ganteng ini, Diajeng?" goda
Andika, sambil terus menghindari terjangan si Be-
lang yang semakin ganas.
Sari mendengus.
"Pemuda urakan! Enaknya ya, kau menu-
duhku seperti itu? Apa bukannya kau sendiri
yang mengikuti aku, hah?!" bentak Sari
"Aku?" tukas Andika melotot. "Enaknya!
Mana sudi aku mengikuti gadis galak sepertimu?"
"Mana sudi aku mengikuti pemuda bego
sepertimu?" semprot Sari seketika.
"Kebetulan! Aku sendiri memang tidak mau
ditemani! Nah, panggil si Jelek ini! Suruh dia ber-
henti menyerangku yang ganteng seperti ini! La-
ma-lama tampangku yang ganteng ini jadi ketula-
ran jelek!" ujar Andika.
Kali ini Sari semakin sewot. Harimau itu
adalah hewan peliharaan yang paling disayan-
ginya. Dan dia tak akan pernah membiarkan
orang lain mengejek hewan itu.
"Belang! Kau ini kenapa bodoh, sih? Hajar
pemuda jelek itu!" seru Sari setengah jengkel.
"He he he... Sudah tentu si Belang tidak
mau melakukannya. Soalnya dia tahu, yang diha-
dapinya ini majikan laki-lakinya. Iya, kan? Iya,
kan? Iya, kan?"
"Brengsek!"
Tiba-tiba saja gadis itu melenting ke arah
Andika. Di udara pedangnya dicabut
Sraaat! Wuuut! Wuuut!
Dua kali pedang itu dikibaskan ke arah
Andika yang kali ini harus diserang dua jurusan.
Pertama oleh si Belang yang bertambah ganas,
kedua oleh Sari yang sudah kesal terhadapnya.
Andika menghindari dua serangan dengan
melompat ke sana ke mari. Tidak disangka kalau
gadis yang baru saja dipikirkannya benar-benar
berada di sini. Dan yang membuatnya harus ge-
leng-geleng kepala, sikapnya masih galak juga!
Pendekar Slebor kini membiarkan Sari
yang menyerangnya beberapa jurus. Sementara
dalam menghindarinya, Andika berjoget-joget me-
ledek.
"Payah! Kupikir sekian waktu kita tak ber-
temu, kemajuan ilmu pedangmu semakin pesat!
Tidak tahunya, cukup untuk memotong tahu sa-
ja!" ledek Andika.
Sari semakin geram. Maka diserangnya
Andika dengan cepat. Sementara mulutnya sese-
kali berseru pada si Belang untuk segera menca-
bik-cabik tubuh Pendekar Slebor. Dan kalau bu-
kan Andika, sudah bisa dipastikan akan terkapar
karena dua serangan yang sangat berbahaya.
Setelah merasa cukup mempermainkan
Sari, tiba-tiba Pendekar Slebor berkelebat. Dan
dengan gerakan manis sekali, ditepaknya tangan
Sari. Sehingga, pedangnya terlepas. Dan dalam
sekali egosan saja, tubuhnya sudah berada di be-
lakang Sari. Seketika dirangkul dan dikuncinya
gerakan gadis itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Sari ka-
lap. Tubuhnya yang dikunci Andika berusaha di-
gerak-gerakkan.
Andika hanya terkekeh-kekeh saja.
"Jangan terlalu banyak bergerak.... Soal
nya..., hehe he.... Bila terjadi pergesekan antara
dua buah benda, maka akan..."
"Jorok!"
Andika nyengir.
Justru si Belang yang kelihatan bingung.
Hewan buas ini hanya berdiri saja sambil celin-
gukkan untuk mencari kesempatan menyerang.
Dia melihat majikannya nampak sedang berusaha
melepaskan diri. Tetapi, bagaimana caranya agar
bisa menyerang, karena majikannya berada di de-
pan?
Selagi gadis itu masih meronta-ronta...
"Sari...! Suruh Belang bersembunyi! Ada
orang yang datang ke sini!" bisik Pendekar Slebor.
Andika seketika mengempos tubuhnya ke
atas.
"Hup!"
Sambil menggendong Sari, Pendekar Slebor
hinggap di atas sebuah pohon. Sementara, Sari
langsung mengisyaratkan pada Belang untuk ber-
sembunyi. Dari atas, gadis ini melihat apa yang
dikatakan Andika. Tampak lima orang berpakaian
merah dengan sepasang cakra di pergelangan
tangan tengah melangkah mengendap-endap ke
arah lereng Gunung Merbabu.
Tidak jelas, mengapa mereka bersikap se-
perti itu. Sangat berhati-hati dan seolah khawatir
kedatangan mereka diketahui orang. Mereka tak
ada yang bersuara. Sungguh, sikap mereka me-
mang sangat mencurigakan.
Sari sendiri tidak mengerti mengapa justru
ikut-ikutan bersikap seperti Pendekar Slebor. Di-
am-diam matanya melirik pendekar urakan nan
tampan yang sedang memperhatikan kelima
orang berpakaian merah. Hebat! Pemuda itu bisa
mendengar langkah mereka tadi. Ah! Sungguh,
sebenarnya hati Sari berdebar-debar tak menen-
tu.
Sudah lama Sari sebenarnya merindukan
pemuda gondrong ini. Dan karena rindunya itulah
kediamannya ditinggalkan. Sekaligus meninggal-
kan ayahnya yang bernama Ki Wirayuda.
Namun di balik semua itu, gadis ini sebe-
narnya bermaksud mencari Andika, pemuda sakti
yang telah mencuri hatinya. Dan tak disang-
kanya, pemuda itu terlihat sedang duduk di atas
tanah berpasir di lereng Gunung Merbabu.
Sari sendiri heran, mengapa bisa tiba di
tempat itu. Sungguh mati, dia tidak punya tujuan
apa-apa di lereng Gunung Merbabu. Tetapi yang
benar-benar tak disangka, ternyata pemuda yang
dirindukannya berada di sana
Kalaupun Sari menyuruh si Belang menye-
rang Andika tadi, semata ingin menutupi kegem-
biraannya. Begitu pula mengapa sikapnya terlihat
marah. Kan tidak lucu, kalau seorang dara lebih
dulu menyatakan sukanya? Apalagi, sampai
memperlihatkan rasa senangnya pada pemuda
yang dirindukan.
Ah! Sari menghela napas panjang dalam
hati. Apakah pemuda itu merindukannya juga?
Tadi pun telinganya mendengar kata-kata pemuda itu, meskipun sempat membuatnya memerah.
***
Sementara, kelima orang berpakaian me-
rah-merah itu berhenti melangkah. Mereka mem-
perhatikan sekitarnya. Lalu yang berambut tebal
dengan muka tirus dan sepasang mata tajam me-
noleh ke arah rekannya.
"Hmmm... Kira-kira, di manakah pertarun-
gan antara Ketua dengan saudara-saudaranya di-
laksanakan?" gumam lelaki bermuka tebal, ber-
tanya.
Tak ada yang menyahuti pertanyaan itu.
Karena mereka pun seperti berpikir.
"Mungkinkah di sebelah kiri lereng Gunung
Merbabu ini. Bukankah setiap lima tahun Ketua
selalu mengadakan pertemuan di sana?" tanya si
wajah tirus, seperti berkata-kata sendiri.
"Ya! Bisa jadi memang di sana, Linggar!"
Kali ini terdengar sahutan serempak. "Kalau begi-
tu, kita segera bekerja cepat," ujar si wajah tirus
yang dipanggil Linggar.
Mereka pun bergerak ke sisi kiri lereng
Gunung Merbabu. Tampaknya tak ada yang me-
narik di sana. Tak ada bangunan, tak ada rumah.
Yang ada hanya sebuah dataran rata dengan re-
rumputan basah.
Andika yang memperhatikan dari balik
rimbunnya pohon menggaruk-garukkan kepala.
"Siapa sih, mereka? Sepertinya, mereka
akan melakukan sesuatu yang menarik."
Sari yang merasa pertanyaan itu tidak di-
peruntukkan baginya, diam saja. Justru ia terke-
jut ketika....
"Hei! Nyahut dong kalau ditanya!" bentak
Andika, namun dengan suara berbisik. "Oh!"
Sari gelagapan. Tetapi jadi sebal karena di-
bentak seperti itu.
"Memangnya aku tahu kalau kau bertanya
padaku, hah?!" balas Sari, juga berbisik.
"Masa iya aku bertanya dengan pohon?"
tukas Andika, lalu nyengir. "Jangan-jangan, kau
ini tuli, ya? Huh! Sayang, cantik-cantik kok tuli."
"Enaknya ngomong!" seru Sari sambil
mendorong Andika.
Pendekar Slebor tersuruk jatuh. Untung-
nya tangannya yang kekar cepat menyambar da-
han pohon untuk berpegangan.
"Heitt! Hati-hati! Aku bisa jatuh nih! Cepat
tangkap tanganku yang satu lagi!" ujar Andika,
pelan.
Dengan cepat Sari menangkap tangan An-
dika. Langsung disentakkannya ke belakang. Ka-
rena terlalu terburu-buru dan khawatir pemuda
itu benar-benar jatuh, tarikannya terlalu cepat.
Sehingga, kepala Andika membentur salah satu
dahan pohon.
Duk!
"Aduhhh...."
Pendekar Slebor mengusap-usap kepa-
lanya. "Pelan-pelan, dong! Kalau kepalaku benjut
mau kau ganti?"
Sari hanya tertawa tertahan. Apalagi sete-
lah tahu kalau tadi Andika mempermainkannya.
Biar tahu rasa!
Andika nyengir. Kembali dia memperhati-
kan lima sosok tubuh berpakaian merah itu yang
semakin menjauh.
"Kau bisa jawab pertanyaanku tadi," kata
Andika tiba-tiba tanpa menoleh pada Sari.
Gadis itu mendengus. Benar-benar pemuda
tidak tahu aturan. Semau jidatnya saja kalau
ngomong!
"Apa yang harus kujawab, hah?!" sentak
gadis itu jengkel.
"Siapa mereka?"
"Mana kutahu?"
Andika menoleh.
"Lho, kok? Kamu tidak tahu?"
"Ya jelas aku tidak tahu!"
"Iya, sama kalau begitu. Bagaimana kalau
kita cari tahu siapa mereka?"
"Apa untungnya?"
"Tidak ada. Tetapi kalau kau tidak mau, ya
sudah! Aku ke sana dulu! Kau jangan ke mana-
mana, aku masih ingin melihat wajahmu yang
cantik tetapi..., galak!"
Wuuusss!
Pendekar Slebor sudah bersalto dua kali,
lalu hinggap di tanah bagai sehelai kapas. Lalu
tubuhnya melesat menyusul lima orang berpa-
kaian merah tadi.
Tinggal Sari yang mendumal jengkel. Enak
saja kalau ngomong! Padahal tadi, dadanya sudah
berdebar ketika Andika mengatakan kalau dirinya
cantik. Tetapi buntutnya..., weee! Tidak enak!
Gadis itu lalu melompat pula. Gerakannya
tak kalah ringan seperti Andika. Dan tubuhnya
segera melesat menyusul Andika.
3
Lima orang berpakaian merah-merah yang
dibuntuti Pendekar Slebor tiba di sebuah dataran
rata yang banyak ditumbuhi pepohonan. Sehing-
ga sinar matahari yang mulai menyengat tak begi-
tu dirasakan. Linggar menjejak-jejakkan kakinya.
"Kalau tidak salah, di sinilah tempat Ketua
berada," tunjuk Linggar di satu tempat, setelah
menjejak selama lima belas langkah dalam ben-
tuk lingkaran. "Kalau begitu, kita harus bekerja
cepat."
Kemudian setiap lima belas jejak, masing-
masing berhenti. Sementara Linggar masih berdiri
di tempatnya tadi. Dia melihat keempat temannya
mengambil sesuatu dari pinggang. Ternyata se-
buah pundi kecil berwarna merah. Lalu, ditua-
ngkannya isi pundi itu di tempat yang mereka in
jak tadi.
Cairan berwarna merah pun jatuh ke ta-
nah. "Taburkan dengan pasir, biar tidak terlalu
kentara!" perintah Linggar.
Keempat lelaki berpakaian merah itu sege-
ra melakukan perintah. Sementara, Linggar ter-
bahak-bahak.
"Ketua pasti senang dengan apa yang kita
lakukan ini! Meskipun kita tidak diperintah, teta-
pi sebagai murid-muridnya kita harus melakukan
yang terbaik untuk Ketua," kata Linggar.
Keempat orang lainnya pun terhahak-
bahak. Suara mereka menggema di sekitar lereng
Gunung Merbabu. Memang, bila melihat pakaian
yang dikenakan dan senjata cakra yang melingkar
di tangan masing-masing, bisa dipastikan kalau
mereka adalah murid-murid Partai Gunung Arju-
no.
Setelah meninggalkan pertemuan di Gu-
nung Anjasmoro, Ki Samundang mengajak murid-
muridnya meninggalkan tempat itu. Dia sebenar-
nya ingin sekali meminum Air Swargaloka yang
berkhasiat tinggi itu. Tak heran kalau dia berte-
kad ingin merebut bokor emas yang berisi Air
Swargaloka
Memang tidak salah. Karena seperti yang
dikatakan Ki Lingkih Manuk, amanat dari Ki Pan-
ca Giri memang seperti itu.
Ki Sumandang pun menceritakan tentang
pertarungan yang akan dilakukan menghadapi
saudara-saudara seperguruannya yang telah
menduduki Partai Gunung lainnya. Yang lebih
tangguh maka dialah yang berhak meminum Air
Swargaloka.
Meskipun memiliki sifat yang sedikit pana-
san dan ingin tahu, Ki Samundang tetap meng-
hargai para saudara seperguruannya. Dia tidak
menghendaki adanya kecurangan. Namun di luar
sepengetahuannya, Linggar justru mengajak em-
pat murid Partai Gunung Arjuno untuk mencu-
rangi para Ketua Partai Gunung lainnya
Andika yang menyaksikan perbuatan me-
reka dari balik sebuah batu besar mengerutkan
keningnya.
"Aneh! Untuk apa mereka membuang cai-
ran merah itu di empat tempat? Apakah mereka
sedang menyembah dedemit Gunung Merbabu
ini?" desis Andika
Dan selagi Andika asyik memperhatikan
orang-orang itu, satu sosok tubuh tiba di dekat-
nya.
"Mau apa ke sini?" tanya Andika, agak se-
wot.
"Mau lihat!" sahut yang baru datang ketus.
Dia tak lain dari Sari.
"Menyebalkan! Heran! Kenapa sih, aku ber-
temu denganmu lagi!" seru Andika.
"Justru aku yang bertanya-tanya, kenapa
harus bertemu denganmu lagi!" balas Sari. Wa-
jahnya ditekuk dengan mulut cemberut
"Sudah, jangan banyak omong!"
"Brengsek! Justru kau yang banyak
omong!"
Andika melotot. Ingin rasanya menyumpal
mulut gadis ini. Tetapi tidak, ah! Soalnya, bentuk
mulut dan sepasang bibir yang merah basah ga-
dis itu sangat menarik.
Lalu kedua anak muda ini memperhatikan
kembali orang-orang itu. Sari diam-diam menden-
gus dalam hati. Apa pemuda seperti ini yang ha-
rus dirindukan?
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan,
Kakang?" Suara itu datang dari salah seorang
yang berwajah kelimis. hanya dihiasi kumis tipis
saja.
"Kita tinggalkan tempat ini. Biar para ketua
dari Partai Gunung lain mampus terkena Bisa
Ular Welang yang telah kuramu dengan akar mi-
nyak kelawang. Dan yang terpenting lagi, Ketua
akan mendapatkan Air Swargaloka!" kata Linggar.
Lalu mereka pun bergegas meninggalkan
tempat itu.
***
Begitu mereka pergi, Andika segera keluar
dari balik batu besar. Dia menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal.
"Siapa sih, mereka?" tanya Andika. Sari
yang juga sudah keluar dari sana, hanya men-
gangkat bahu saja.
"Aku tidak tanya padamu!" bentak Andika
tiba-tiba.
"Brengsek! Serba salah!" dengus gadis itu
sambil menghentakkan kakinya. "Ketika aku ti-
dak menjawab tadi, kau memaksaku juga untuk
menjawabnya! Ketika aku menjawab, justru kau
marah-marah sekarang!"
Sebagai jawaban dari dengusan Sari, bibir
Andika nyengir. Jelek sekali. Lalu kakinya me-
langkah ke tempat lima orang berpakaian merah
tadi berada.
Sejenak Pendekar Slebor memperhatikan
tempat orang-orang itu berdiri. Berbentuk lingka-
ran, dan ada lima buah. Otaknya yang cerdik se-
gera berputar.
"Hmm, apakah lima tempat itu ada yang
akan menempatinya? Kalau memang ada, untuk
apa? Kalau tidak ada, mengapa mereka menua-
ngkan cairan merah yang dikatakan tadi bisa ular
welang? Hmm..., mengapa yang satu tidak ditua-
ngkan cairan itu?" gumam Andika.
Andika mengetuk-ngetuk keningnya. Sari
memperhatikannya. Heran.
"Kenapa jidatmu? Gatal?" usik Sari.
"Edan! Aku lagi berpikir!"
"Orang berpikir semestinya tidak seperti
itu!"
"Masa bodoh!"
Andika lantas melangkah ke tempat Ling-
gar tadi berdiri.
"Hmm.... Kalau mendengar kata-kata orang
itu tadi, di sini tempat Ketua. Dan di tempat yang
telah dituangkan cairan merah, tempat para Ke
tua Partai Gunung lainnya. Hmm.... Apakah ada
lima Partai Gunung?" gumam Andika lagi.
"Hei? Kau ini mau apa, sih?" tegur Sari
yang jadi jengkel karena didiamkan saja. Andika
nyengir. "Lagi berpikir!"
"Mengapa keningmu tidak diketuk-ketuk
lagi?" ledek Sari mendongkol. Gadis ini benar-
benar tidak mengerti dengan sifat angin-anginan
Andika. Memang tidak heran kalau dijuluki Pen-
dekar Slebor.
Andika tertawa.
"Bagaimana kalau kau yang ketuk?" Sepa-
sang mata Sari terangkat. Tetapi kemudian bibir-
nya mengembangkan senyum.
"Boleh," sahut Sari, pendek. "He he he...,
silakan... "
Sari mendekat dengan masih tersenyum.
Lalu tiba-tiba saja dipukulnya kening Andika
kuat-kuat.
"Waaadddooowww!" jerit pemuda berbaju
hijau itu sambil meringis kesakitan.
Sari tersenyum puas.
"Tahu rasa kau!"
Andika meringis sambil memegang kening-
nya. Ditatapnya Sari yang sekarang tertawa-tawa.
"Bandel! Kau harus kubalas!" seru Andika
seraya mengejar.
Sari langsung berlari ke tempat orang-
orang berbaju merah tadi berada. Ketika kakinya
menginjak tempat cairan berwarna merah dituang
orang berpakaian merah-merah, tiba-tiba saja gadis itu terjatuh terguling. Andika terkesiap meli-
hatnya.
"Sariii!" seru Andika.
Secepat kilat Pendekar Slebor berkelebat,
menangkap tubuh gadis itu. Seketika dilihatnya
kaki Sari yang menginjak tempat tadi. Dan ter-
nyata berubah hitam.
"Gila! Gairah merah itu benar-benar racun
yang membunuh!" sentak Pendekar Slebor.
Dengan cepat Andika membaringkan tubuh
Sari. Kini pemuda itu harus berlomba dengan
waktu. Dengan cepat ditotoknya beberapa urat
syaraf yang ada di kaki Sari. Namun yang mem-
buatnya terbelalak, justru warna hitam itu perla-
han-lahan namun pasti, semakin naik ke atas.
"Edan! Racun ini benar-benar ganas!"
Kembali Pendekar Slebor menotok seluruh
simpul syaraf di tubuh gadis yang terkulai lemah
itu. Tampak keringat telah membanjiri tubuhnya.
Lalu dialirkannya tenaga dalam melalui kedua
tangan gadis itu. Andika harus bertarung mela-
wan racun ganas itu.
Dan perlahan-lahan pula sekujur tubuh
Andika mengeluarkan keringat. Seluruh tena-
ganya berusaha dikerahkan untuk menyela-
matkan gadis itu. Aliran racun yang bisa dipasti-
kan akan tiba di jantung Sari, harus ditahannya.
Namun mendadak saja Pendekar Slebor
merasakan panas menyengat. Ditahannya agar
tenaga dalamnya tidak dilepaskan. Akan tetapi,
panas itu semakin membara saja. Tak ubahnya
memegang besi yang telah berhari-hari ada di
atas api.
"Aku tidak boleh menyerah! Gadis ini harus
hidup!" tekad Andika tegang.
Dan mendadak saja, Pendekar Slebor men-
gubah tenaga dalamnya. Tenaga 'inti petir' tingkat
ketiga puluh segera dialirkannya. Namun hasilnya
nihil. Kini, warna hitam itu sudah sampai pada
batas dengkul Sari.
Andika menambah tenaga 'inti petir'nya,
menjadi tingkat kedua puluh tujuh. Dan perla-
han-lahan terus ditambahnya hingga berada pada
puncak tenaga 'inti petir'.
Rupanya, usaha Pendekar Slebor untuk
menyelamatkan gadis itu berhasil. Karena dengan
tenaga 'inti petir' tingkat pertama, racun itu ber-
hasil berhenti. Bahkan perlahan-lahan warna hi-
tam yang ada di kedua kaki gadis itu menghilang.
Andika menghela napas panjang seraya
menghapus keringatnya.
"Manusia keji!" dengus Andika. "Awasss...!
Rasakan akibatnya dari perbuatan kalian yang
hampir saja merenggut nyawa gadis ini...."
Pendekar Slebor melepas semua totokan-
nya di tubuh Sari. Dan perlahan-lahan, dialir-
kannya hawa murni ke tubuh gadis itu.
4
Suasana di Partai Gunung Anjasmoro tetap
berlangsung seperti biasa. Setiap pagi para murid
berlatih ilmu pedang yang diturunkan Ki Lingkih
Manuk.
Ki Lingkih Manuk sendiri berada di kamar
pribadinya yang menghadap ke samping pendopo.
Di halaman samping, ditanami bunga-bunga be-
raneka warna.
Hari demi hari pun dilalui Ki Lingkih Ma-
nuk dengan penuh ketegangan dan suasana tidak
tenang. Dia masih memikirkan tentang pertarun-
gan yang akan terjadi sesama saudara sepergu-
ruannya.
Sampai saat ini, Ki Lingkih Manuk masih
belum mengerti mengapa Ki Panca Giri, meng-
hendaki amanat seperti itu? Memberikan bokor
emas yang berisi Air Swargaloka, yang akhirnya
harus diperebutkan antara saudara seperguruan
yang telah bergabung dalam Panca Giri?
Apalagi ketika disadari waktu yang diten-
tukan tinggal tiga hari lagi. Dapat dibayangkan
bagaimana nanti para saudara seperguruan yang
tergabung dalam Panca Giri, harus saling tempur
untuk membuktikan mana yang paling tangguh
dan sakti? Dan itu semata untuk mendapatkan
Air Swargaloka! Meskipun ini pemecahan pertama
dari amanat yang diberikan guru mereka. Yakni,
tentang salah seorang anggota Panca Giri yang
akan berjodoh dengan Air Swargaloka itu. Sebe-
narnya Ki Lingkih Manuk belum yakin dengan
pemecahan ini. Namun, kesepakatan sudah terja-
di. Kalau mereka mengartikan kata-kata perjodohan itu dengan bertarung, mau apa lagi?
Kalau mau menuruti kata hatinya, Ki Ling-
kih Manuk sendiri justru tidak menginginkan Air
Swargaloka. Biarlah salah seorang dari adik-adik
seperguruannya yang mendapatkannya. Tetapi
sulitnya, siapakah yang berhak meminum Air
Swargaloka?
Jelas, semuanya pasti menginginkan. Keti-
ka diusulkannya untuk membuang bokor emas
itu saja, sudah terjadi penolakan. Terutama, da-
tang dari Ki Samundang. Namun, Ki Lingkih Ma-
nuk sendiri tidak menyalahi sikap adik sepergu-
ruannya.
Ki Samundang memang benar. Betapapun
pahitnya, mereka harus memenuhi amanat sang
Guru. Meskipun, Ki Lingkih Manuk bertanya-
tanya, apakah sebenarnya mereka telah meme-
cahkan amanat Ki Panca Giri?
Apalagi, kini Ki Lingkih Manuk mendengar
kalau beberapa orang dari golongan sesat telah
unjuk gigi kembali. Dan adanya kemelut di tubuh
Lima Partai Gunung itu rupanya sudah menye-
bar. Entah, siapa yang iseng membuka rahasia
ini.
Ketika matahari sudah lewat sepenggalah.
"Ki Lingkih Manuk! Keluar kau dari tempatmu!"
Ki Lingkih Manuk menegakkan kepalanya
ketika tiba-tiba terdengar suara sangat keras dari
luar. Ada apa ini? Ketika telinganya kembali men-
dengar bentakan bernada menantang dan con-
gkak, kakinya pun melangkah keluar.
Di luar, tampak tiga orang laki-laki berke-
pala botak berpakaian hitam seperti sisik ikan.
Pakaian di bagian bahu sebelah kiri tampak ter-
buka. Mereka telah berdiri di halaman pendopo
Partai Gunung Anjasmoro. Di tangan masing-
masing terdapat rantai berujung besi bulat sebe-
sar kepala orang dewasa yang penuh duri. Mereka
dikelilingi para murid partai itu yang bersiaga
dengan pedang di tangan.
Para murid itu sendiri terkejut, ketika se-
dang berlatih tadi. Karena mendadak saja berke-
lebat tiga orang berkepala gundul, dan langsung
berdiri di halaman.
Ki Lingkih Manuk hanya tersenyum saja
sambil melangkah penuh wibawa.
"Rupanya Tiga Duri Setan yang hadir di si-
ni...." sapa Ketua Partai Gunung Anjosmoro itu.
Salah seorang dari tiga orang yang berjuluk
Tiga Duri Setan terbahak-bahak. Wajahnya yang
dihiasi kumis tebal namun menjuntai panjang itu
jadi terlihat lucu.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali, Ki Ling-
kih Manuk! Kau masih mengenali kami rupanya!"
kata laki-laki berkumis itu.
"Siapa yang bisa lupa pada tiga tokoh sesat
yang pernah kuhajar sampai terkencing-kencing
di Hutan Barangan!" sahut Ki Lingkih Manuk,
sambil tersenyum dingin.
Memang, empat tahun yang lalu Tiga Duri
Setan selalu banyak membuat onar di dusun-
dusun sekitar lereng Gunung Anjasmoro. Untun
glah Ki Lingkih Manuk muncul dan menghajar
mereka sampai babak belur. Setelah berhasil di-
kalahkan Ki Lingkih Manuk, Tiga Duri Setan pun
menghilang dari rimba persilatan. Kalaupun me-
reka muncul sekarang ini, tentunya di samping
untuk membalas dendam, pasti ada sesuatu yang
ingin didapatkan.
Mendengar kata-kata Ki Lingkih Manuk
itu, wajah Tiga Duri Setan memerah geram. Mere-
ka ingat, bagaimana dulu dihajar Ki Lingkih Ma-
nuk seorang diri.
Tetapi yang bicara tadi sudah kembali ter-
bahak-bahak.
"Aku pun masih ingat tentang itu, Lingkih
Manuk. Sekarang, dengarkan! Nyawa tuamu hari
ini akan putus! Tetapi, kau akan selamat bila
memberikan kepada kami bokor emas itu!"
Meskipun sudah yakin kalau banyak yang
tahu tentang Air Swargaloka yang kini justru diri-
butkan dengan saudara-saudara seperguruannya
sendiri, Ki Lingkih Manuk cukup terkejut juga.
Tetapi sebagai orang yang sudah makan asam ga-
rang dalam kehidupan ini, sikapnya tetap tenang
sekali. Tetapi berwibawa.
Sementara para murid Partai Gunung An-
jasmoro sudah tidak sabar untuk mengibaskan
pedang melihat kesombongan ketiga laki-laki
gundul itu.
"Aku senang mendengar kata-katamu yang
berani itu, Sepuh Langit! Tetapi, apa kau yakin
mampu mendapatkannya dariku?" tukas Ki Lingkih Manuk.
Laki-laki botak berkumis panjang yang di-
panggil Sepuh Langit terbahak-bahak.
"Jangan memandang ringan kami sekarang
ini, Lingkih Manuk! Kalau empat tahun yang lalu
kami mengakui kehebatanmu, kali ini kau harus
mengakui kehebatan kami!" sergah Sepuh Langit,
sombong.
"Ya, ya. Kalau dulu aku mengampuni nya-
wa busuk kalian, tetapi sekarang ini.... Jangan
harap kuampuni lagi!" sahut Ki Lingkih Manuk
sambil melangkah.
Dan kini Ki Lingkih Manuk berada delapan
tindak dari Tiga Duri Setan. Sementara para mu-
rid orang tua itu pun mundur tiga langkah.
"Kau akan yakin sekarang, kalau ucapan-
mu tak ada artinya!" dengus Sepuh Langit dengan
wajah semakin memerah. "Kau tak akan bisa
meminta bantuan dari Panca Giri lainnya kalau
berhasil kami kalahkan, Ki Lingkih Manuk! Kare-
na, Panca Giri akan hancur dengan sendirinya!
Tidak lama lagi!"
Diam-diam Ki Lingkih Manuk mendesah
masygul. Rupanya perpecahan yang sebentar lagi
akan terjadi di tubuh Panca Giri, sudah terdengar
ke mana-mana. Tetapi sikapnya tetap tenang.
"Untuk apa minta bantuan, kalau aku sen-
diri sanggup membungkam kalian bertiga!"
"Aku suka sekali mendengarnya! Panca Giri
sebentar lagi akan terkapar di tanah! Lingkih Ma-
nuk! Untuk apa kau mempertahankan Air Swargaloka, kalau ternyata hanya terjadi perpecahan
di antara Panca Giri sendiri?" seru Sepuh Langit.
Dalam hati, Ki Lingkih Manuk membenar-
kan pula kata-kata Sepuh Langit. Yah! Untuk apa
kalau memang nanya membuat hancurnya Panca
Giri? Tetapi itu adalah amanat yang memang ha-
rus dijalankan. Lagi pula. Air Swargaloka tak
akan pernah diberikan begitu saja pada siapa
pun. Terlebih-lebih, pada tiga manusia gundul ini.
"Kalau memang demikian, mengingat jum-
lah kalian bertiga, siapakah yang berhak untuk
meminumnya?" tanya Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu aku!" sahut Sepuh Langit
sambil menepuk dadanya.
Ki Lingkih Manuk menggeleng-geleng.
"Tak kusangka, ternyata kau orang yang
tamak! Apakah kau tidak akan menyisakan untuk
kedua kawanmu?"
Wajah Sepuh Langit merah padam men-
dengar kata-kata ejekan Ki Lingkih Manuk.
"Sudah tentu tidak! Karena, akulah Ketua
Tiga Setan Duri!"
"Sayang.... Karena jumlah kalian bertiga,
aku tidak jadi memberikannya."
Ki Lingkih Manuk tersenyum melihat wajah
Sepuh Langit memerah.
"Mengapa harus berlama-lama? Bukankah
kalian ingin unjuk gigi?!" tandas Ki Lingkih Ma-
nuk.
Sebelum Sepuh Langit berkata lagi, seseo-
rang yang berada di sebelah kirinya sudah melesat. Diputarnya rantai berujung besi berduri itu.
Wukkk! Wukkk...!
"Hhh! Akan kurobek-robek mulutmu itu,
Orang Tua!"
"Rupanya kau ingin mati lebih dulu. Sepuh
Bumi!" sambut Ki Lingkih Manuk sambil meng-
hindari besi berduri yang menderu-deru ke arah-
nya.
Wuuusss!
"Mampus!" dengus laki-laki yang dipanggil
Sepuh Bumi.
"Jangan memandang ringan!" seru Ki Ling-
kih Manuk sambil melompat ke belakang, sejauh
beberapa tombak.
Melihat Sepuh Bumi sudah menyerang,
Sepuh Langit dan saudaranya yang dikenal ber-
nama Sepuh Bayu pun menerjang. Kini, tiga buah
rantai berujung besi berduri telah menderu-deru
mengurung Ki Lingkih Manuk.
***
Rupanya, kemampuan Tiga Duri Setan itu
telah meningkat, setelah menghilang dari dunia
persilatan. Buktinya dalam sepuluh jurus beri-
kutnya, Ki Lingkih Manuk pun mulai terdesak
menahan gempuran dan sambaran rantai beru-
jung besi berduri. Yang datang begitu cepat. Ter-
kadang silih berganti, terkadang secara bersa-
maan. Mereka memang ingin benar-benar mem-
bungkam Ki Lingkih Manuk.
"Rupanya empat tahun tidak bertemu, te-
nagamu sudah loyo, Orang Tua!" ejek Sepuh Lan-
git, sambil terus mencecar Ki Lingkih Manuk den-
gan bandul besinya. Begitu pula dengan Sepuh
Bumi dan Sepuh Bayu.
"Ha ha ha...! Itu hanyalah pemanasan un-
tukku saja! Kalian jangan bangga dulu!" sahut Ki
Lingkih Manuk sambil berjumpalitan terus mene-
rus.
Sebenarnya Ketua Partai Gunung Anjosmo-
ro ini memang dalam keadaan terdesak hebat.
Bandul besi itu terus mencecar, membuatnya
menjadi kewalahan
Namun sebagai pendekar yang telah mene-
lan pahit manisnya kehidupan ini, dicobanya un-
tuk bertahan dan menghindari setiap serangan.
Sementara itu, para murid Partai Gunung
Anjosmoro sebenarnya sudah tidak sabar untuk
membantu. Tetapi karena belum ada perintah da-
ri Ki Lingkih Manuk, mereka mau tak mau hanya
bisa menahan geram dan amarah saja.
Kenapa tidak membokong? Padahal, itu ja-
lan yang paling baik untuk menyelamatkan guru
mereka dan gempuran-gempuran ketiga lawan-
nya. Tidak! Sekali lagi, tidak. Ki Lingkih Manuk
memang telah mengajarkan sifat ksatria kepada
murid-muridnya. Siapa pun lawan, harus dihada-
pi secara ksatria. Membokong adalah tindak pen-
gecut! Malah kemungkinan besar, justru Ki Ling-
kih Manuk sendiri yang akan marah kepada anak
buahnya bila ada yang membokong ketiga lawan
nya.
Namun tiba-tiba salah seorang murid me-
lemparkan pedang di tangannya.
"Guru! Terimalah ini!" teriak murid itu.
Siing!
Dalam sekali dengar saja, Ki Lingkih Ma-
nuk bisa mengetahui sebuah pedang telah melun-
cur ke arahnya. Dengan cepat disongsongnya pe-
dang itu. Akan tetapi, niatnya harus diurungkan,
karena tiga bandul besi lawannya yang bosan
dengan rambut itu sudah kembali menderu ke
arahnya.
Wusss! Wusss! Wusss!
"Kau tak akan bisa ke mana-mana, Orang
Tua! Bahkan ke lubang tikus sawah sekali pun!"
ejek Sepuh Bumi sambil menyerang gencar.
Sementara, pedang yang dilemparkan mu-
rid Partai Gunung Anjosmoro menancap di tanah.
"Lihat saja! Kepala kalian yang licin itu
akan kubuat makin licin! Lihatlah!" seru Ki Ling-
kih Manuk sambil berjumpalitan menghindari
dua bandul besi yang menderu ke arahnya.
Ketika bandul besi milik Sepuh Bumi men-
deru ke arahnya, dengan manis Ki Lingkih Manuk
berputar dua langkah sembari melompat. Begitu
menjejak tanah, kakinya menendang sebuah ke-
rikil yang meluncur deras ke arah kepala Sepuh
Langit yang siap meluncurkan bandul besinya la-
gi.
"Settaaannn!" maki Sepuh Langit seraya
membatalkan serangan. Dia tahu, apa akibatnya
bila kerikil yang ditendang lewat penyaluran tena-
ga dalam tinggi itu mengenai kepalanya.
Kesempatan itu dipergunakan Ki Lingkih
Manuk untuk bergulingan. Tangannya sekali lagi
menyambar sebuah kerikil. Saat menghindar ke-
jaran dari dua bandul besi yang mengarah kepa-
lanya, dilemparkannya kerikil itu.
Tak!
Luncuran dahsyat kerikil tepat mengenai
hulu pedang yang menancap di tanah. Bagaikan
disentak tenaga malaikat, pedang itu kontan
mencelat lepas dari tanah dan meluncur ke arah-
nya. Lalu dengan sentakan satu kaki, Ki Lingkih
Manuk melompat menyambarnya.
Tap!
Begitu pedang berhasil ditangkap, Ki Ling-
kih Manuk bersalto dua kali. Dan ketika hinggap
di tanah, dia sudah bersiap kembali menerima se-
rangan.
Bukan hanya murid-murid Partai Gunung
Anjasmoro yang berdecak kagum. Diam-diam Se-
puh Langit pun kagum melihat kecepatan gerak
Ki Lingkih Manuk. Namun sudah tentu kekagu-
mannya tidak ditunjukkan. Kalau tadi serangan-
nya tanpa berpindah dari tempat berdirinya, kali
ini rantai itu diputar di atas kepalanya. Dan sam-
bil melompat ke arah Ki Lingkih Manuk, tubuh-
nya mencelat untuk melontarkan bandul besinya.
Gerakan itu disusul oleh gerakan Sepuh Bumi
dan Sepuh Bayu.
Dengan pedang di tangan, sudah tentu kali
ini Ki Lingkih Manuk bisa membuktikan kalau di-
rinya adalah salah seorang pendekar yang patut
diperhitungkan. Dia melompat lincah ke sana
kemari. Bahkan dengan beraninya, jalannya ban-
dul besi itu dipotong oleh gerakan tubuhnya.
Trang!
Bandul besi milik Sepuh Bayu bukannya
mengarah pada sasaran, justru meluncur kembali
ke pemiliknya yang langsung tercekat melihatnya.
Untung dia segera bergulingan dengan cepat. Se-
hingga, bandul berduri itu menghantam pohon di
belakangnya hingga sempal!
Dan bukan hanya sampai di sana saja Ki
Lingkih Manuk menunjukkan kepandaiannya.
Mendadak saja pedang di tangannya dilemparkan
ke arah Sepuh Langit.
Laki-laki botak berkumis panjang itu terke-
jut pula. Cepat tangannya digerakkan berputar,
sehingga pedang itu terbelit rantai besinya. Pada
saat yang sama Ki Lingkih Manuk melompat ke
atas bandul besi milik Sepuh Bumi.
Pertunjukan tenaga dalam tinggi oleh Ki
Lingkih Manuk diperlihatkan sekarang. Dengan
masih berdiri di atas bandul besi milik Sepuh
Bumi, dibawanya bandul berduri yang bagaikan
menempel di kakinya itu ke pemiliknya. Sehingga,
tubuhnya seakan terbang.
Bukan main terkejutnya Sepuh Bumi meli-
hat serangan yang aneh namun mengagumkan
itu. Mendadak saja rantai besi itu dilepaskan dari
tangan dengan jalan membantingnya! Karena menurut perhitungannya, tubuh Ki Lingkih Manuk
akan tersentak jatuh.
Namun di luar dugaan, dengan lincahnya
Ki Lingkih Manuk telah melenting dan berputa-
ran, mengejar Sepuh Bumi yang bergulingan ba-
gaikan meluncur. Seketika dilepaskannya dua
pukulan dahsyat.
Des! Des!
"Aaakh...!"
Dua kali pukulan Ki Lingkih Manuk tepat
mengenai punggung Sepuh Bumi yang kontan
menjerit keras. Sementara dengan lincahnya Ki
Lingkih Manuk terus bersalto kembali ke bela-
kang, karena nalurinya yang tajam merasakan
dua angin menderu kencang ke arahnya.
"Ini yang dikatakan ilmu kalian bertambah,
hah?!"
Sepuh Langit menggeram marah. Sungguh,
amat tidak disangka kalau Ki Lingkih Manuk
mampu melakukan gerakan mengejutkan. Apalagi
ketika melihat Sepuh Bumi yang bangkit dengan
terhuyung dan muntah darah.
"Kau harus membayar semua ini dengan
nyawamu. Orang Tua!" dengus Sepuh Langit.
Begitu kata-katanya habis, Sepuh Langit
meluruk cepat ke arah Ki Lingkih Manuk. Kali ini,
bandul besi yang sejak tadi dilontarkannya dipe-
gangnya. Begitu berada tak seberapa jauh dari Ki
Lingkih Manuk, baru dilemparkannya dengan te-
naga penuh.
Wusss!
Ki Lingkih Manuk yang sudah memperhi-
tungkan kalau Sepuh Langit akan melakukan se-
rangan seperti itu cepat bergulingan. Sehingga,
bandul besi itu hanya menebas angin.
Dan dalam masih bergulingan. Ki Lingkih
Manuk mengibaskan kakinya ke atas, ke arah
kaki Sepuh Langit.
Duk!
"Auhhh....!"
Tepat sekali kaki Ki Lingkih Manuk men-
genai tulang kering Sepuh Langit. Laki-laki botak
ini langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh
sempoyongan. Saat itulah Ki Lingkih Manuk me-
mutar tubuhnya. Dia segera melompat untuk
menghabisi nyawa Sepuh Langit. Tetapi seran-
gannya harus dihentikan, karena Sepuh Bayu
sudah menyerangnya.
"Bagus, bagus sekali! Hanya sayang. Tiga
Duri Setan cuma membuang nyawa percuma!" se-
ru Ki Lingkih Manuk.
Dan mendadak saja Ketua Partai Gunung
Anjasmoro itu kembali menyerang. Kedua tan-
gannya mengembang, bagaikan serangan elang
menyambar anak ayam.
Sepuh Bayu melontarkan bandul besinya.
Begitu pula Sepuh Langit yang sudah menyambar
kembali senjata. Dua bendul besi itu kembali me-
nyerang.
Dan mendadak saja, Ki Lingkih Manuk
yang masih melayang menghindar merasakan se-
buah deru angin kencang ke arahnya. Rupanya
Sepuh Bumi mempergunakan kesempatan untuk
membokongnya. Sekaligus, membalas sakit ha-
tinya.
"Bagus! Orang yang sudah mau mampus
pun, mampu berbuat curang!" seru Ki Lingkih
Manuk.
Dan dengan gerakan tak terduga, menda-
dak saja Ki Lingkih Manuk menyongsong bandul
besi Sepuh Langit yang sudah kembali mengarah
padanya. Beberapa rambut saja tubuhnya akan
lumat dimakan bandul besi berduri yang sangat
tajam!
Sepuh langit sendiri sudah mengembang-
kan senyum karena yakin Ki Lingkih Manuk tak
akan mampu menghindari serangannya kali ini.
Apalagi dibantu Sepuh Bayu yang juga sudah
menyerangnya!
Tetapi alangkah terkejutnya Sepuh Langit,
ketika melihat Ki Lingkih Manuk justru mem-
buang tubuhnya ke kiri. Langsung ditendangnya
rantai besi milik Sepuh Bayu, sehingga bandul
besi berduri itu justru berbalik ke arah pemilik-
nya yang terpaksa menjatuhkan diri untuk meng-
hindari seraya melepas rantainya.
Sementara, bandul besi berduri milik Se-
puh Langit terus meluncur deras. Pada saat yang
sama, Sepuh Bumi meluruk deras tak tertahan-
kan lagi. Padahal, Ki Lingkih Manuk telah bergu-
lingan di tanah. Akibatnya....
Brettt!
"Aaakhhh...!"
"Sepuh Bumiii...!"
Bersamaan dengan itu terdengar pula jeri-
tan keras dari mulut Sepuh Langit yang tercen-
gang.
Tubuh Sepuh Bumi sudah ambruk ke ta-
nah dengan dada robek terhantam bandul besi
berduri milik Sepuh Langit. Rupanya Sepuh Lan-
git tidak lagi mampu menahan rantai besinya lagi.
Sementara, Sepuh Bumi sudah siap menyerang Ki
Lingkih Manuk.
Maka tak ayal lagi, tubuh Sepuh Bumi pun
harus termakan bandul besi berduri milik Sepuh
Langit sendiri. Maka makin murkalah Sepuh Lan-
git. Dia cepat melompat seraya melepaskan rantai
besinya.
"Kau harus membayar semua ini dengan
darahmu, Orang Tua! Aku bersumpah, akan
mencuci mukaku dengan darahmu!"
Seketika dua tangan Sepuh Langit bergerak
lurus ke arah Ki Lingkih Manuk.
"Cobalah buktikan sumpahmu itu!" sahut
Ki Lingkih Manuk tanpa bergerak, seraya meng-
hentakkan kedua tangannya.
Blarrr...! Blarrr...!
Terjadi benturan dua kali. Sepuh Langit
merasakan tangannya kesemutan. Sementara Ki
Lingkih Manuk masih berada dalam sikap biasa.
Dia tahu, tenaga dalamnya lebih tinggi.
Sementara itu. Sepuh Bayu pun mem-
buang pula senjatanya. Lalu tubuhnya meluruk
ke arah Ki Lingkih Manuk.Rupanya, Ketua Partai Gunung Anjasmoro
itu selain mempunyai keahlian luar biasa dalam
ilmu pedang, juga memiliki kemampuan bela diri
tangan kosong. Apalagi didukung tenaga dalam
tinggi.
Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, terli-
hat Sepuh Langit dan Sepuh Bayu yang terdesak
hebat. Rupanya Ki Lingkih Manuk sudah mem-
pergunakan ajian yang memang selalu disimpan-
nya, aji 'Pedang Kilat'.
Ajian itu membuat kedua telapak tangan Ki
Lingkih Manuk seolah berubah menjadi setajam
pedang. Memang, lima murid yang tergabung da-
lam Panca Giri dari Partai Gunung Merbabu telah
diturunkan ajian pamungkas yang disesuaikan
keahlian dalam mempergunakan senjata masing-
masing.
Dua kali tangan Sepuh Bayu terhantam
sambaran tangan Ki Lingkih Manuk, sehingga
mengeluarkan darah. Melihat Sepuh Bayu dibuat
kalang kabut seperti itu, kemarahan Sepuh Langit
bertambah. Dengan kemurkaannya seluruh ke-
saktiannya diumbar untuk menjatuhkan Ki Ling-
kih Manuk. Namun ia sendiri tak kuasa menahan
serangan Ajian 'Pedang Kilat'. Bahkan kakinya
pun telah mengeluarkan darah tersambar ajian
'Pedang Kilat'.
Melihat kenyataan itu, Sepuh Langit yakin
kalau pertarungan ini diteruskan, akan berakhir
kekalahan di pihaknya. Mendadak saja dia bersalto ke belakang.
"Sepuh Bayu!! Kita pergi dari sini. Dan kita
akan datang lagi untuk mencabut nyawa Orang
tua itu!!" teriak Sepuh Langit.
Sepuh Bayu pun segera berbuat sama.
Namun sayang. Ternyata Ki Lingkih Manuk
tidak mau lagi memberi kesempatan. Ketika Se-
puh Bayu melompat ke belakang, laki-laki Ketua
Partai Gunung Anjasmoro itu justru mengejar ba-
gaikan meluncur di atas air. Seketika tangan ka-
nannya ditusukkan ke dada Sepuh Bayu. Lalu....
Crasss!
"Aaa...!"
Tangan kanan Ki Lingkih Manuk tembus
ke jantung Sepuh Bayu! Ketika ditarik, darah
muncrat keluar. Kini tangan Ki Lingkih Manuk
berlumur darah.
Mendengar teriakan menyayat Sepuh Bayu,
Sepuh Langit menghentikan larinya. Dengan ge-
ram dia melihat keadaan saudara seperguruan-
nya yang bernasib naas.
"Tunggu pembalasanku, Lingkih Manuk!"
teriak Sepuh Langit, seraya kembali berlari den-
gan hati penuh dendam dan amarah.
Ki Lingkih Manuk menghela napas pan-
jang. Pagi ini, dia telah membunuh dua orang. Te-
tapi yang dibunuh justru akan merugikan orang
banyak. Dibayangkannya, apa yang akan terjadi
di lereng Gunung Merbabu tiga hari lagi.
"Makamkan kedua mayat ini di belakang
pendopo," ujar Ki Lingkih Manuk pada murid-
muridnya.
Tak ada yang membantah. Padahal, kalau
mau menuruti kata hati, mereka lebih suka
membuang kedua mayat ini ke hutan. Dibiarkan
membusuk dan digerogoti ulat-ulat kecil. Namun
perintah tetaplah perintah.
5
Tubuh Sari perlahan-lahan mulai bergerak.
Wajahnya pun mulai tampak cerah. Bibirnya yang
ranum namun kali ini terlihat agak pucat, me-
nimbulkan suara lirih. Andika yang sudah selesai
bersemadi menoleh, memperhatikan gadis itu.
"Sari..., masih hidup rupanya, eh. Maksud-
ku, kau sudah sadar?" kata Andika buru-buru
meralat.
Perlahan-lahan Sari membuka kedua ma-
tanya, yang segera dipejamkannya kembali. Kare-
na, ada silau yang cukup menyengat sepasang
matanya. Lalu perlahan-lahan dibukanya kemba-
li. Kali ini dirasakannya sedikit lumayan, dan bisa
seperti biasa kembali.
Sekujur tubuhnya pun masih sangat le-
mah.
"Andika...," desah Sari begitu melihat tu-
buh Andika di dekatnya.
"Oh.... Syukurlah kau sudah siuman,"
sambut Andika.
Pendekar Slebor benar-benar tidak akan
memaafkan dirinya bila gagal menyelamatkan Sari. Diam-diam, hatinya teramat marah pada keli-
ma orang berpakaian merah-merah yang telah
menuangkan cairan berwarna merah itu. Andika
bertekad, untuk mencari orang-orang itu agar
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
yang hampir saja merenggut nyawa Sari.
Lalu dengan sangat perlahan. Andika
membantu Sari untuk duduk.
"Kenapa aku, Andika?" tanya gadis itu
sambil memegangi kepalanya. Sedikit pusing.
Kening Andika berkerut, mendengar nada
pertanyaan lembut yang dilontarkan Sari. Heran!
Rupanya dia bisa juga bersikap lembut. Kalau be-
gitu, apakah Sari harus dibuat pingsan dulu se-
tiap kali ingin melihatnya bersikap lembut?
"Yang jelas, ini gara-gara kau bandel!" sa-
hut Andika. "Makanya, jangan suka meninju ken-
ing yang tuaan. Beginilah akibatnya!"
Sari teringat kalau sebelumnya bercanda
dengan Andika tadi. Meninju kening Andika dan
berlari, karena pemuda itu mengejarnya. Tetapi,
oh! Mengapa tahu-tahu tubuhnya terjatuh dan
terguling begitu saja? Padahal dia yakin, kakinya
tidak tersandung sesuatu.
Namun kemudian, gadis yang juga dianu-
gerahkan Yang Maha Kuasa memiliki otak cerdik
itu teringat runtutan kejadiannya. Dan keningnya
sedikit berkerut.
"Andika..., apakah tidak mungkin kalau
pingsanku ini disebabkan cairan merah yang tak
sengaja kuinjak?" tanya Sari kemudian. Andika
tersenyum.
"Betul! He he he.... Apa kau kira menginjak
ampas orang buang hajat?"
Sari cemberut. "Aku sungguh-sungguh."
"Betul, Sari..." kata Andika lebih bersung-
guh-sungguh. "Itu juga yang menjadi pemikiran-
ku."
"Kalau begitu, cairan itu sangat berbahaya.
Andika."
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Mereka pasti tengah bermaksud mencela-
kakan seseorang atau beberapa orang."
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Tetapi..., siapa mereka?"
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Andika!" sentak Sari tiba-tiba.
Andika mengangkat kepalanya. "Lho? Men-
gapa kau membentak begitu? Apa aku salah?" tu-
kas Andika seenaknya.
"Jangan mempermainkan aku?" bentak ga-
dis itu lagi, gemas.
Andika menggelengkan kepala. "Sama se-
kali tidak. Apa yang kau katakan itu juga menjadi
pemikiranku. Sari. Mana mungkin sih, aku mem-
permainkan gadis cantik tetapi...."
"Diaaammm!" bentak Sari kembali. Gadis
ini tahu pasti, apa yang akan dikatakan Pendekar
Slebor di ujung kalimatnya. Tetapi kali ini dia ke-
cele....
"Juga sangat ayu dan manis...."
Ternyata Andika tetap berkata-kata. Dan
ujung kalimatnya, tidak seperti yang diduga.
"Hah?!" gadis itu melengak, tetapi buru-
buru menundukkan kepala.
Andika tertawa dalam hati. Heran! Kok ta-
hu-tahu jadi tersipu-sipu seperti gadis pingitan?
Sebenarnya, bagaimana sih cara untuk mem-
buatnya jadi kalem dan tidak galak seperti begi-
tu?
"He he he.... Kau ini sangat manis sebenar-
nya kalau tidak galak."
Kali ini Sari menundukkan kepala. Hatinya
berdebar-debar mendengar kata-kata Andika.
"Sari..., apakah kau yakin kesehatanmu
benar-benar sudah pulih?" tanya Pendekar Slebor
kemudian.
Sari mengangguk. Dia yakin kalau tidak
segera ditolong Andika mungkin nyawanya sudah
kembali ke Sang Pencipta.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap
gadis ini tulus.
Andika tersenyum, seraya mengibaskan
tangannya. "Tak apa-apa. Asal jangan bandel sa-
ja." Ganti Sari tersenyum. Andika berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Sari. Kali ini wajah-
nya kelihatan malu-malu untuk langsung mena-
tap mata Pendekar Slebor.
Andika yang masih tidak mengerti akan pe-
rubahan sikap Sari, mengangkat bahunya saja.
"Aku ingin memusnahkan cairan-cairan
merah yang kelihatannya jelas-jelas berbahaya
itu. Lho,, lho...? Kau sendiri mau ke mana?" tanya
Andika ketika melihat gadis itu juga berdiri.
"Aku ingin membantu."
"Jangan! Nanti kau malah pingsan dua
kali. Cah Ayu..., ketahuilah. Cairan merah itu
sangat berbahaya sekali. Kalau kau pingsan lagi,
aku jadi bingung lagi...."
Bukannya menjawab, Sari malah menun-
dukkan kepala.
Sementara Pendekar Slebor telah melang-
kah dengan santainya.
***
"Kenapa diam saja, sih?" tanya Sari.
Dari tadi gadis ini memperhatikan Pende-
kar Slebor yang hanya terdiam. Berkali-kali kepa-
lanya menelang ke kanan dan ke kiri, sementara
tangannya berada di mulutnya. Seperti berpikir.
Andika tidak menyahuti kata-kata Sari. Dia
sedang memikirkan bagaimana untuk menying-
kirkan sekaligus membuang cairan merah yang
sangat berbahaya itu.
"Andika!"
"Iya, iya! Aku dengar!" sahut Andika tanpa
bergeming.
Sari mendengus.
"Menyebalkan! Untung aku tidak jadi keka-
sihmu, huh!"
Kali ini Andika menoleh. Keningnya berke-
rut
"Yeee,.., siapa yang mau jadi kekasihmu?
Sudi amat sih!" goda Pendekar Slebor.
"Aku juga tak sudi jadi kekasihmu!" dengus
Sari sambil mengangkat tangannya.
"Eit, eit!" seru Andika sambil berlagak hen-
dak menahan pukulan Sari. "Belum jadi kekasih,
sudah main pukul saja. Bagaimana kalau sudah
jadi?"
Sari menurunkan tangannya Bibirnya
cemberut. Namun, hatinya sedih. Sungguh, sukar
sekali menebak isi hati Pendekar Slebor yang
sangat memusingkan kepalanya. Terkadang, dari
setiap ucapannya, mampu membuat Sari terba-
wa. Namun di lain ucapannya, just membuatnya
kesal
Andika yang merasa kasihan melihat gadis
itu terdiam, tersenyum.
"He he he.... Tidak usah marah. Sekarang,
kau berdiri saja di sini. Aku akan mencoba mem-
buang cairan warna merah itu," ujar Andika, lem-
but.
Kali ini Sari menurut.
Andika kini mengangkat kedua tangannya
ke atas, lalu menurunkannya ke bawah kembali.
Ditariknya napas dalam-dalam, menghimpun
kembali tenaga 'inti petir'nya lagi. Dengan cepat
tangannya dikibaskan ke arah salah satu tempat
yang dituangi cairan merah tadi.
Wusss...!
Serangkum angin kencang yang bersuara
bagai salakan petir seketika terdengar. Maka ta-
nah berpasir yang ada di sana mengembang dan
buyar terbawa angin pukulan Andika. Tetapi yang
mengejutkan cairan merah itu tetap berada di sa-
na. Mengering, dan seperti membatu.
"Busyet!" rutuk Pendekar Slebor. "Bisa saja
sih, aku membuangnya dengan kedua tanganku
ini. Tetapi... he he he.... Tadi saja Sari sudah me-
rasakan akibatnya. Masa iya aku begitu bodoh
mau melakukannya lagi."
Tetapi meskipun begitu, Andika mengambil
sebatang ranting dan melemparkannya ke arah
tempat yang dituangi cairan merah tadi.
Pluk!
Srrsss!
Begitu ranting tadi jatuh tepat di tempat
yang dituangi cairan merah, seketika berubah
menjadi debu. Hangus bagaikan tersambar petir.
"Busyet!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Se-
mentara Sari menghela napas panjang melihat
ranting yang seketika menjadi debu.
"Kang Andika.... Sangat berbahaya cairan
merah itu, meskipun telah cukup lama mengen-
dap di tanah!" seru gadis itu.
Andika menoleh. Bukannya menanggapi
kata-kata Sari, dia justru bengong menatap gadis
itu. Kang Andika? Busyet! Kok pakai 'kang' sega-
la? Lagi-lagi dia tidak mengerti dengan sikap Sari
yang terkadang cepat sekali berubah.
"Kau benar! Cairan merah itu sangat ber-
bahaya! Tetapi, bukan Andika kalau tidak mampu
membuangnya!" kata Pendekar Slebor sombong,
sambil menepuk dadanya. "Kau lihat ini!"
Wuuuttt!
Lalu dengan gaya yang sok, Andika mence-
lat ke atas. Tubuhnya diputar dua kali di atas.
Seketika kain pusakanya yang bercorak catur di-
kebutkan.
Bletarrr...!
Pasir di bawah kontan beterbangan. Sebe-
lum kakinya menjejak tanah, tangan Pendekar
Slebor yang telah merangkum ajian 'Guntur Se-
laksa', salah satu ajian warisan dari Lembah Ku-
tukan, dikibaskan.
Dgerrr!
Seketika tanah yang dihantam ajian itu bo-
long! Lalu dengan ringannya, Andika hinggap di
sisi tanah yang bolong itu. Kini tak ada sesuatu
yang membuatnya mengaduh atau jatuh pingsan.
Sari yang sudah terkejut tadi karena meli-
hat betapa beraninya Andika menginjak tempat
itu, kini menghela napas lega. Ternyata pemuda
yang diam-diam dicintainya itu tak kurang suatu
apa.
Andika terkekeh-kekeh.
"Rupanya, hawa panaslah yang menguasai
cairan merah itu, sehingga tidak mau pergi juga!
Memang bandel! Makanya, dengan mengerahkan
kekuatan panas dari ajian 'Guntur Selaksa', pa-
nas yang ditimbulkan cairan merah itu bisa dika-
lahkan. Buktinya? He he he..., kau lihat sendiri
kan, Sari?"
Sari hanya tersenyum. Merasa lucu melihat
sikap Andika yang lugu seperti itu. Lalu tampak
pemuda berbaju hijau pupus itu melakukan gera-
kan serupa sebanyak tiga kali. Dan di tiga tempat
berikutnya, tanahnya pun bolong.
Kini, cairan merah beracun itu telah pu-
nah. Meskipun Andika tidak mengerti, mengapa
kelima orang itu tadi menuangkan cairan ini
keempat tempat, namun dia tetap memusnah-
kannya. Pendekar Slebor memang telah mendu-
ganya, tetapi.... siapa keempat calon yang hendak
dibunuh itu? Lalu diuruknya kembali tanah yang
bolong, sehingga keadaannya seperti semula. Rata
dengan tanah.
Sari mendekat sambil bertepuk tangan.
"Hebat, hebat!"
Andika membusungkan dadanya
"Andika...," panggil Sari dengan nada ting-
gi. Sari tersenyum dan terus mendekat. Lalu, ti-
ba-tiba dipukulnya dada Andika. Keras.
Buk!
"Heigkh! Kenapa lagi ini, sih?" tanya Andi-
ka pura-pura.
Padahal kalaupun Andika menangkis pu-
kulan itu, bisa saja dilakukannya. Tetapi lagi-lagi
dia ingin menggoda Sari.
"Biar kau tidak besar kepala! Kang Andi-
ka..., sebenarnya apa yang telah terjadi ini?"
tanya Sari.
"Aku tidak tahu. Tetapi, aku akan mencari
tahu."
"Maksudmu?"
"Pertama, ada pertanyaan yang sangat
mengganggu sekali bagiku," sahut Andika sambil
menatap sepasang mata jernih di hadapannya.
"Pertanyaan apa?" tanya Sari. "Kenapa kau
tiba-tiba memanggilku 'kang'?" tanya Andika pe-
lan.
Sari mendadak saja gelagapan. Kepalanya
ditundukkan dengan sikap gelisah.
"Aku..., ah! Kau tidak senang?"
"Aku? He he he..., senang banget,"
"Lalu..., mengapa..., mengapa dipermasa-
lahkan?"
"Soalnya...," Andika menggaruk-garuk ke-
palanya. "Soalnya apa, kenapa tidak memanggil
'yang'... he he he...."
"Sudah..., sudah...!" teriak Sari, jadi malu.
Wajah Sari bersemu dadu. Andika sangat menik-
mati sekali wajah yang cantik itu memerah. Apa-
lagi dari jarak dekat seperti ini.
Sejenak suasana jadi hening, ketika tak
ada yang bersuara.
"Aku ingin mencari tempat yang teduh dan
agak tersembunyi" cetus Andika seraya melang-
kah.
"Mau apa?" seru Sari lagi.
"Aku ingin menunggu di sini. Menurut
orang-orang berpakaian merah yang bersenjata
cakra di tangannya, pertemuan itu akan diadakan
tiga hari lagi di sini. Tidak tahu pertemuan apa?
Tetapi aku justru penasaran. Bila melihat perbua-
tan mereka tadi, bisa dipastikan kalau pertemuan
yang akan terjadi pasti akan menimbulkan per-
tumpahan darah! Hei, Sari! Kau dengar itu?!" te-
riak Andika sambil terkekeh.
"Aku ikut!"
Andika terus melangkah.
"Tidak usah!"
"Ikut! Pokoknya ikut!"
"Terserah! Itu urusanmu, kok! Tetapi, lebih
baik panggil harimaumu yang jelek itu! Kasihan
dia kalau tidak diperintahkan keluar dari per-
sembunyiannya. Bertahun-tahun juga tidak akan
keluar!"
"Oh! Kakang Andika suka pada si Belang?"
tanya Sari, riang. Pertama. Karena akhirnya An-
dika mengabulkan permintaannya. Kedua, karena
baru tahu kalau Andika menyukai si Belang.
"Siapa bilang? Malah kalau bisa usir saja
dia dari sini..."
Sari menghentakkan kakinya lagi. Lalu tu-
buhnya berbalik untuk mengambil si Belang.
Memang, di samping ingin selalu berada dekat
pendekar tampan itu, Sari juga penasaran ingin
tahu apa maksud kelima orang itu menuangkan
cairan merah beracun yang mampu mencabut
nyawa dalam beberapa hitungan saja!
6
Malam mulai merebak perlahan-lahan.
Hembusan angin kini dirasakan semakin dingin.Pendekar Slebor telah menemukan sebuah gua
kecil yang terdekat di sisi sebelah kanan Gunung
Merbabu. Saat ini, pemuda itu sedang memang-
gang daging kelinci yang tadi diburunya.
"Jadi bagaimana keputusanmu, Kang An-
dika?" tanya Sari yang duduk di sisi Pendekar
Slebor sambil merangkul Belang untuk menghi-
langkan rasa dingin yang menyengat.
Si Belang sendiri sejak tadi sudah tidak sa-
bar ketika mencium aroma daging kelinci yang
dipanggang Andika.
Andika membalik-balikkan daging kelinci
itu di atas api yang menyala.
"Aku akan tetap menunggu di sini," tegas
Andika.
"Sampai kapan?"
"Sampai aku mengetahui, apa yang sebe-
narnya tengah terjadi. Hmmm... Sari... Apakah
kau tidak mencium aroma daging ini yang menga-
syikkan?"
Sari hanya mengangguk. Wajahnya berki-
lat-kilat ditimpa cahaya api. Dia pun sudah tidak
sabar menyikat daging kelinci itu. Dari aromanya
saja, sudah tercium wangi yang sangat nikmat.
Apalagi bila memakannya. Ah! Rupanya Pendekar
Slebor memang pandai memanggang daging ke-
linci.
"Sudah matangkah daging itu, Kakang?"
tanya Sari.
"He he he.... Jangan khawatir. Sebentar la-
gi kita akan menikmatinya. Masing-masing mendapat satu buah daging kelinci. Termasuk kau,
Belang! Aku tahu, kau sudah tidak sabar segera
menyantapnya, bukan?"
Andika membalik-balik lagi daging kelinci
itu. Lalu dibawanya ke depan hidung.
"Hmmm.... Tak terkirakan nikmatnya.
Hmm, Belang.... Bolehlah kau menikmatinya lebih
dulu."
Andika melemparkan daging kelinci yang
telah matang itu kepada Belang yang dengan si-
gapnya melahapnya. Kalau si Belang bisa ngo-
mong, tentunya akan mengatakan kalau daging
kelinci mentah lebih mengasyikkan daripada ma-
tang begini.
Kini Andika memberikan potongan daging
kelinci lainnya kepada Sari. Dan gadis itu segera
menikmatinya. Mereka pun menikmati daging ke-
linci yang penuh aroma mengasyikkan.
Dan malam pun terus merambat. Suasana
yang dingin membuat Sari harus menekuk kedua
kakinya ke depan. Meskipun mereka berada di
dalam gua, namun gua itu hanya kecil saja. Din-
dingnya tidak terlalu tinggi, sehingga angin yang
masuk hanya berkutat di sekitar dalam saja.
Andika yang masih belum bisa memejam-
kan mata, melirik Sari yang masih meringkuk di
atas beberapa lembar daun pisang yang dijadikan
sebagai alas.
Kasihan. Begitu gumam Andika. Sari me-
mang menyukai petualangan. Dan kini dia sudah
berada di sini.
Dan Andika pun terkenang kembali bagai-
mana mula bertemu Sari.
"Sari...," panggil Pendekar Slebor kemu-
dian. Sari mengangkat kepala. "Ada apa, Kang?"
"Kau belum tidur?"
"Belum."
"Si Belang?"
"Kusuruh menjaga di biar." Belum lagi An-
dika menyahuti kata-kata gadis itu "Grrrhhh...!"
Terdengar erangan pelan dari luar. "Be-
lang!" desis Sari. Secepat kilat tubuhnya sudah
mencelat keluar.
Andika pun menyusul.
Kini mereka melihat si Belang sedang me-
ringkuk dengan auman pelan. Sari memeriksa
hewan kesayangannya dengan hati berdebar-
debar.
"Oh!" desis gadis itu begitu melihat luka di
kaki Belang. "Aduh, Belang.... Kau kenapa? Kena-
pa?"
Pendekar Slebor berdiri kembali. Matanya
memperhatikan sekelilingnya. Dia yakin, ada se-
seorang berilmu tinggi yang telah melukai si Be-
lang. Tetapi yang mengherankan, kalau memang
orang itu berniat mencelakakan, sangat mudah
sekali. Tetapi mengapa hanya melukai kaki kiri
belakang si Belang saja?
Tiba-tiba Andika mencelat ke satu tempat.
Nalurinya yang terlatih mengatakan ada sesuatu
yang berkelebat di kejauhan. Dengan mengguna-
kan ilmu larinya disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Slebor mengejar bayan-
gan yang hanya bisa terlihat bayang-bayang saja.
Lari bayangan itu memang sangat cepat.
Bahkan dalam beberapa tarikan napas saja, Pen-
dekar Slebor kehilangan jejak.
"Brengsek! Siapa manusia itu?" dengus
Andika jengkel.
Pendekar Slebor lantas mencari-cari di se-
kitarnya dengan sikap siaga. Tetapi, dia tak me-
nemukan siapa-siapa di sana.
"Hmmm.... Monyet belang! Kalau kau me-
mang jantan, keluar! Tunjukkan tampang jelek-
mu?" seru Andika keras sambil bersiaga.
Tak ada yang muncul. Hanya angin malam
yang berdesir membelai rambutnya yang panjang.
"Kutu kupret! Cepat keluar! Aku ingin me-
lihat tampang cecungukmu yang sudah tentu je-
lek sekali!" teriak Andika lagi.
Lagi-lagi tak ada yang keluar. Bahkan tak
ada suara yang memancing perhatian Pendekar
Slebor.
"Pengecut!" dengus pendekar urakan ini.
Lalu Pendekar Slebor melesat kembali ke
tempat semula, tempat Sari yang tengah cemas
memeriksa luka hewan kesayangannya. Namun
alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika dua
sosok yang sangat dikenalnya tidak terlihat lagi.
"Busyet, deh! Ke mana lagi gadis galak itu?"
rutuk Andika sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Sari! Kalau mau bercanda, jangan begini
dong!"
Namun sosok Sari tetap tak muncul. Andi-
ka menghentakkan kakinya, jengkel.
"Belang! Kau juga jangan main sembunyi-
sembunyi seperti ini?! Jangan suka main ikut-
ikutan seperti majikanmu yang rada brengsek
itu!"
Hanya angin yang berhembus. Suara geme-
resek dedaunan terdengar dipermainkan angin.
"Edan! Kenapa sih, aku harus mengalami
kejadian seperti begini?" dengus Pendekar Slebor.
"Seharusnya, aku tidak menunggu apa yang akan
terjadi di lereng gunung sialan ini! He he he...
Mending juga aku mengajak Sari berpacaran?
Apa? Berpacaran dengan gadis galak itu? Tidak
usah, ya? Mendingan juga.... He he he.... Tetapi
dia juga cantik, kan? Sariii! Belaaanggg! Keluar
dong kalian!"
Bukannya sosok Sari ataupun si Belang
yang muncul, justru dua sosok lain yang muncul.
Sepasang laki-laki dan perempuan yang bersikap
begitu mesra sekali satu sama lain. Bahkan keti-
ka muncul, masih berada dalam satu rangkulan
mesra.
Pendekar Slebor melongo. Dia tertawa keti-
ka melihat yang perempuan membelai-belai wajah
si laki-laki.
"Hi hi hi.... Apa kubilang. Benar kan, kalau
pemuda itu ternyata Pendekar Slebor?" kata yang
perempuan terkikik. "Sejak tadi aku sudah yakin,
kalau pemuda itu adalah Pendekar Slebor. Siapa
sih, yang tidak tahu ciri-cirinya? Berpakaian warna hijau pupus dengan kain jelek yang bercorak
catur itu?"
Ketika rembulan menyinari tubuhnya, An-
dika bisa melihat jelas wajah perempuan itu yang
cukup mengerikan. Dagunya agak memanjang ke
bawah. Yang paling aneh, semua giginya ompong.
"Busyet! Kalau melihat tampangnya, keli-
haian masih berusia sekitar tiga puluh lima ta-
hun. Tetapi giginya itu... hiii...! Ampun, deh!" gu-
mam Pendekar Slebor, dalam hati.
Yang laki-laki menatap si perempuan den-
gan sinar mata mesra. Tangannya masih meling-
kar di bahu perempuan itu.
"Kau benar, Dinda Sukesih.... Kau benar.
Ternyata pendekar sakti yang ramai dibicarakan
orang-orang rimba persilatan mempunyai otak li-
cik juga! Dia lebih dulu menunggu di sini, sebe-
lum waktu pertarungan antara kelompok Panca
Giri dilakukan!" sahut yang laki-laki, terkekeh.
Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya panjang sam-
pai menutupi wajahnya.
Perempuan yang dipanggil Sukesih sema-
kin menyusupkan kepala di dada si laki-laki.
Tangannya melingkar di pinggang laki-laki itu. Bi-
la melihat sekilas, sudah jelas kalau keduanya
bukanlah pasangan pas. Tetapi mesranya itu...,
ya ampun! Andika kontan sakit perut!
"Sayang, sayang sekali.... Pendekar licik itu
akan mampus hari ini juga di tangan Sepasang
Kelabang Berbisa. Nah, Kanda Jinar.... Siapa yang
bilang kalau dia pendekar yang patut dikagumi?
Buktinya, dia mempunyai rencana untuk mencuri
bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu!"
Pendekar Slebor yang masih jengkel akibat
perlakuan sosok yang menghilang tadi dan meng-
hilangnya Sari serta si Belang, mengangkat da-
gunya.
"O, jadi kalian Sepasang Kelabang Berbi-
sul? Ah, kulihat justru perempuannya yang bisu-
lan... Hm... sebaiknya kalian jangan pacaran di
sini , deh...! mengintip kalian berpacaran saja,
kambing pun enggan...!"
7
Bukannya marah mendengar ejekan Pen-
dekar Slebor, laki-laki dan perempuan aneh yang
berjuluk Sepasang Kelabang Berbisa malah saing
berpandangan.
"Ha ha ha.... Kau benar, Dinda Sukesih.
Rupanya pendekar yang kesohor itu tak ubahnya
orang bego belaka!" ejek laki-laki aneh dari Sepa-
sang Kelabang Berbisa. Dia tadi dipanggil dengan
nama Jinar.
"Nah! Apa kubilang, Kanda? Masa dia bi-
lang tadi, kambing saja tidak mau melihat kita
pacaran? Kalau tidak mau melihat kita, berarti
dia kambing, kan?" cetus yang dipanggil Sukesih.
"Kutu monyet!" dengus Andika dalam hati
dibalikkan seperti itu.
Pendekar Slebor memang baru melihat dua
tokoh aneh yang baru muncul ini. Memang, sepa-
sang anak manusia yang aneh itu cukup lama
menghilang dari dunia persilatan, setelah dika-
lahkan kelompok Lima Gunung ketika melakukan
penculikan bayi-bayi di beberapa dusun untuk
penyempurnaan ilmu sesat yang dipelajari.
Selama sepuluh tahun Sepasang Kelabang
Berbisa hidup menyendiri di Gua Kelabang Mere-
ka memacu diri dan berlatih demi balas dendam
yang akan dilakukan terhadap Panca Giri.
Setelah sepuluh tahun, mereka pun keluar
dari persembunyiannya. Bertepatan dengan itu,
mereka pun mendengar kalau di tubuh Panca Giri
telah terjadi perpecahan karena memperebutkan
bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Maka se-
makin kuat dendam di hati Sepasang Kelabang
Berbisa untuk memusnahkan lima orang pengua-
sa lima gunung itu. Di samping, juga ingin mere-
but bokor emas yang berisi Air Swargaloka.
Sikap Sepasang Kelabang Berbisa memang
selalu mesra. Tak pandang tempat, dan siapa pun
yang dihadapinya. Tak terkecuali, Pendekar Sle-
bor yang kini menggaruk-garuk kepalanya.
Bila mendengar omongan Nyi Sukesih tadi,
adalah tentang bokor emas yang berisi Air Swar-
galoka dan pertarungan yang akan terjadi di tu-
buh Panca Giri. Berarti cerita yang didengarnya
dari lima orang berpakaian merah yang telah menuangkan cairan merah sangat mematikan makin
jelas menuju kebenaran.
Andika kini semakin yakin, kalau memang
akan terjadi sesuatu di lereng Gunung Merbabu
"Hei, Kelabang Jorok! Mau apa kalian ke
sini? Mau ngorek-ngorek tanah di sini, ya?" kata
Andika sambil menahan geli melihat kemesraan
mereka yang semakin menjadi-jadi.
"Hi hi hi.... Ternyata pendekar bego itu ma-
sih bisa bermain sandiwara. Kanda Jinar?"
"Kau benar, Dinda Sukesih...! Sepertinya
dia merasa pasti, kalau dirinya tak ubahnya pe-
main ludruk!"
"Sialan!" maki Andika.
Pendekar Slebor lantas bermaksud me-
ninggalkan tempat itu untuk mencari Sari dan si
Belang. Mereka lebih penting daripada melayani
sikap kedua manusia aneh ini.
Tetapi mendadak saja Nyi Sukesih sudah
berkelebat dan berdiri di hadapan Andika.
"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku
tadi, kalau kau akan mampus malam ini juga?
Karena, hi hi hi... Kau rupanya menginginkan pu-
la Air Swargaloka."
Andika mendengus.
"Kau mau apa sih, Kelabang Perempuan?
Kalau mau pacaran denganku, cium dulu pan-
tatku! Hi hi hi...! Hanya laki-laki bego itu saja
yang mau menjadi pacarmu!" ejek Andika.
Bukannya marah, Nyi Sukesih malah me-
rajuk pada Jinar.
"Kanda..., dia mengejekku...."
"Hhh! Siapa pun orangnya yang mengejek
istriku, maka harus mampus!" bentak Jinar,
menggeram marah. "Apalagi orang itu Pendekar
Slebor! Pendekar yang selalu menghalangi sepak
terjang kami dari golongan sesat!"
"Masa bodoh!" sahut Andika santai. "Kalau
kalian yang ingin mampus, mengapa tidak segera
menyerangku, hah?!"
Sebenarnya. Pendekar Slebor masih memi-
kirkan tentang Sari dan si Belang yang lenyap be-
gitu saja. Juga sosok tubuh yang dilihatnya tadi.
Kini Andika yakin kalau sosok itu sengaja menga-
lihkan perhatiannya. Pasti, sosok tadi balik lagi
entah lewat mana, lalu menculik Sari serta si Be-
lang. Tetapi bila melihat betapa mudahnya Sari
dan si Belang diculik, sudah jelas kesaktian orang
itu sangat tinggi
Selagi Pendekar Slebor berkata-kata, Jinar
sudah menyerang dengan satu pukulan bertenaga
dalam tinggi.
"Kucabut nyawamu... Pendekar Slebor!"
"Bagus! Atau malah sebaliknya?" tukas
Andika sambil mengegos ke kiri. Dan bisa dirasa-
kannya angin yang keras melewati pelipisnya.
"Wiiih! Hebat juga tenagamu, Jelek!"
Lalu dengan gerak ringan sekali, Andika
mengirimkan serangan balasan. Namun di luar
dugaan, lawannya bukan menghindar justru me-
mapaki serangannya.
Plak!
Dalam satu gebrak saja, tenaga mereka su-
dah saling berbenturan. Secara tak sengaja mere-
ka saling mengukur tenaga dalam masing-masing.
Andika terkejut ketika benturan itu terjadi. Bisa
dirasakannya tenaga dalam lawannya sangat
tinggi.
"Ha ha ha... Rupanya pendekar yang keso-
hor itu hanya cetek sekali tenaga dalamnya!" ejek
Jinar, terbahak-bahak sambil hinggap kembali di
tanah. "Pendekar Slebor.... Malam ini kau berke-
nalan dengan Sepasang Kelabang Berbisa yang
sangat tangguh dan ditakuti siapa pun juga! Aku
Jinar. Dan istriku Nyi Sukesih! Ingatlah kedua
nama itu, sebelum kau terkubur malam ini!"
"Hei, Sepasang Kelabang Bisulan! Malam
ini kau berkenalan dengan Pendekar Slebor yang
tersohor ketampanannya! Ingatlah nama bagus
itu. Karena sebentar lagi, kalian akan mampus!"
balas Andika sambil mencibir.
"Kanda.... Dia menghina kita!" seru Nyi Su-
kesih.
"Bunuh dia, Kanda! Bunuh!"
Jinar pun meluruk kembali dengan cepat-
nya. Tenaga dalamnya yang tinggi telah terang-
kum di kedua tangannya. Kalau tadi Andika
hanya menggunakan tenaga dalam biasa, kali ini
menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat kedua pu-
luh delapan untuk memapak.
Pertarungan pun berlangsung sengit, di-
iringi seruan Nyi Sukesih yang keras.
"Bunuh dia, Kanda! Bunuh manusia itu!"
Tetapi setelah lima belas jurus berlang-
sung, Jinar belum juga mampu menjatuhkan An-
dika. Begitu pula sebaliknya.
Pendekar Slebor sendiri sudah mempergu-
nakan otaknya untuk mencari kelemahan Jinar.
Memang, julukan Sepasang Kelabang Berbisa itu
bukan julukan kosong. Yang maju saja baru Ji-
nar. Belum dibantu Nyi Sukesih yang kemungki-
nan bisa mengacaukan jalannya pertarungan.
Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang. "Ba-
gus! Rupanya kau memang memiliki kebolehan
yang tidak bisa dianggap enteng!" kata Jinar.
"Nah! Ngaku, kan? Ngaku, kan? Makanya,
jungkir balik saja deh! Nanti kutendang pantatmu
yang besar itu!" seloroh Andika, mengejek.
Wajah Jinar memerah mendengarnya. Ti-
ba-tiba kedua tangannya dikatupkan, di gosok-
gosoknya. Seketika terlihat asap hitam mengepul
dari sana.
"Sekarang, rasakanlah ajian 'Kelabang Ber-
bisa' tingkat kesepuluh ini! Heaaa...!"
Dengan satu teriakan keras, Jinar meluruk
deras dengan kedua tangan menunjuk ke depan.
Pendekar Slebor sadar, kalau ajian itu sangat
dahsyat. Maka tenaga 'inti petir' nya dinaikkan
menjadi tingkat kedua puluh lima.
"Bagus, Kanda! Bunuh dia! Biar tubuhnya
kelojotan seperti monyet kebakar ekornya!" seru
Nyi Sukesih, sambil bertepuk tangan.
Andika tidak mau untuk beradu tangan
itu. Karena diyakini kedua tangan Jinar mengandung bisa yang sangat mematikan.
Benar saja! Ketika tangan kanan Jinar me-
leset dari sasarannya saat Pendekar Slebor me-
lenting ke atas, sebatang pohon besar yang ter-
cengkeram seketika berguguran daun-daunnya.
Dan perlahan-lahan hangus.
"Gila! Kalau mengenai tubuhku, bagaimana
ya? Bisa-bisa jadi Andika panggang, nih!"
"Ha ha ha.... Mengapa kau hanya bisa
menghindar saja!" ejek Jinar sambil menyerang.
Andika yang sudah melihat keampuhan
ajian 'Kelabang Berbisa' milik Jinar sudah tentu
tidak ingin beradu tangan. Makanya dicoba men-
curi menyerang dari bawah. Namun dengan ce-
patnya. Jinar menutupi geraknya.
Wuuut!
"Kau tak akan bisa ke mana-mana. Pende-
kar Slebor!"
"Yeee..., memangnya aku mau ke mana?
Lagi pula, kalau tahu aku mau ke mana, kau pas-
ti minta ikut, kan? Iya, kan?" sahut Andika sam-
bil melenting ke atas dengan pijakan satu kaki.
Dalam keadaan melenting itu kaki kanan Pende-
kar Slebor menyambar kepala Jinar, secepat kilat
tokoh sesat ini langsung merunduk dan mengi-
baskan tangannya.
Cepat Andika menekuk kedua kakinya. Da-
lam bentuk koprol, dia berputaran menghindari
serangan.
"Kacau balau begini! Aku masih memikir-
kan tentang nasib Sari dan si Belang!" dengus
Andika sambil menghindar kembali.
Begitu mendapat kesempatan, Andika ba-
las menyerang.
Tetapi Jinar terus menutup setiap seran-
gan Pendekar Slebor. Malah diam-diam ajian
'Kelabang Berbisa'nya dinaikkan pada tingkat ke
tujuh. Dia ingin, dalam sekali pukul saja tubuh
Pendekar Slebor akan ambruk.
Namun sudah tentu Andika tidak mengin-
ginkan dirinya dijadikan sasaran serangan Jinar.
Namun yang jelas, kini Andika yakin maksud Se-
pasang Kelabang Berbisa datang ke lereng Gu-
nung Merbabu ini. Pasti sehubungan dengan per-
tarungan yang akan terjadi di sini antara sesama
kelompok Panca Giri, seperti yang dikatakan Nyi
Sukesih tadi.
Pendekar Slebor berada di sini, bukannya
ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swarga-
loka yang seperti dikatakan Nyi Sukesih. Justru
hanya karena merasa penasaran saja, sehingga
mau menunggu saat pertarungan tiba. Ingin dili-
hatnya sendiri, apa yang sebenarnya dipere-
butkan. Dan bila mendengar namanya, Panca Giri
yang berarti Lima Gunung, sudah bisa dipastikan
kalau yang akan bertarung sesama kelompok. Te-
tapi mengapa mereka harus bertarung? Mengapa
mereka memperebutkan bokor emas itu? Inilah
yang membuat Pendekar Slebor sangat penasa-
ran.
Dan kalaupun sekarang Pendekar Slebor
harus bertarung melawan salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbisa, karena merasa yakin
kalau kedatangan kedua manusia aneh itu untuk
mencuri kesempatan selagi lima anggota Panca
Giri bertarung dengan mencuri bokor emas yang
diperebutkan. Bisa jadi, mereka ingin membalas
dendam!
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor me-
lenting ke atas. Dibuatnya gerakan seperti melun-
cur ke arah Jinar.
Jinar terbahak-bahak melihatnya. Karena,
saat-saat seperti inilah yang ditunggunya. Ajian
'Kelabang Berbisa'nya ingin dihantamkannya pa-
da tingkat ketujuh.
Tetapi, ternyata justru Jinar menjadi kela-
bakan ketika tiba-tiba saja selembar kain berco-
rak catur menutupi wajahnya. Tubuhnya ter-
huyung ke belakang, sambil berusaha mele-
paskan kain itu.
Rupanya selagi meluruk tadi, Andika me-
lemparkan kain bercorak catur nya ke wajah Ji-
nar. Lalu dengan gerak sangat cepat sekali Pen-
dekar Slebor sudah menderu maju sambil meng-
hantamkan telapak tangannya.
Desss!
"Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti pe-
tir' tingkat kedua puluh lima itu telah telak men-
genai dada Jinar.
Tubuh Jinar sempoyongan ke belakang.
Dan secepat kilat, Andika menyambar kembali
kainnya.
"Kandaaa!" terdengar seruan Nyi Sukesih.
Wanita aneh ini terkejut melihat suaminya
sempoyongan. Lalu tubuhnya meluruk cepat.
"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" te-
riak Nyi Sukesih.
"Nah, nah.... Mengapa tidak sejak tadi kau
membantu suamimu itu, Jelek!" seru Andika
sambil berkelit.
Serangan Nyi Sukesih dibaluri amarah
yang menggelegak. Dia tidak terima suaminya be-
gitu mudah dipecundangi oleh Pendekar Slebor.
Perbuatan itu harus dibalas lewat kedua tangan-
nya.
Serangan-serangan Nyi Sukesih sangat ce-
pat dan bengis. Bahkan sudah mempergunakan
ajian 'Kelabang Berbisa'nya tingkat pertama. Dia
memang ingin melihat Pendekar Slebor bukan sa-
ja terkapar mampus, tapi juga berubah menjadi
hangus!
Kalau bukan Andika yang memiliki kecepa-
tan menghindar dan menyerang, sudah tentu tu-
buhnya akan ambruk seketika. Namun, Andika
sendiri merasakan kerepotan juga menahan se-
tiap serangan Nyi Sukesih.
Dan Pendekar Slebor makin kelabakan ke-
tika satu sosok besar berkelebat membantu Nyi
Sukesih. Jangankan menyerang. Bahkan untuk
menghindar saja sangat sulit dilakukannya.
"Kau sudah mendingan, Kanda?" tanya Nyi
Sukesih sambil bergerak membentuk setengah
lingkaran. Diberinya kesempatan pada suaminya
untuk menyerang Andika.
"Manusia itu memang harus mampus,
Dinda!" sahut Jinar.
"Hei? Sejak tadi kalian bicara ingin mem-
bunuhku. Mana buktinya?" ejek Andika.
Dan Pendekar Slebor sendiri memang ha-
rus mengeluarkan kecepatannya menghindar.
Memang, hanya itulah jalan satu-satunya yang
bisa dilakukan. Karena untuk membalas sangat
sulit dilakukan.
Sepasang Kelabang Berbisa kembali melu-
ruk cepat. Mereka menyerang dari dua arah yang
berlainan. Jinar di sisi sebelah kiri, sementara Nyi
Sukesih dari sebelah kanan. Dengan cara seperti
itu, ruang gerak Andika semakin sulit saja. Malah
kalau tidak berhati-hati, tubuhnya bisa hangus
terkena ajian 'Kelabang Berbisa' milik mereka.
"Kanda! Kita harus bisa membunuh Pende-
kar Slebor! Nanti dia malah menjadi urusan bila
kita hendak mencuri bokor emas itu!"
"Ya, aku memang ingin membunuhnya!"
sahut Jinar sambil menderu cepat.
Andika terbahak-bahak mengejek.
"Kalau tadi kalian begitu yakin dapat
membunuhku, mengapa sekarang harus pakai
kata 'bisa'? Memangnya sulit, ya? Maklum..., yang
dihadapi kan Pendekar Slebor yang tersohor!"
Kata-kata Andika membuat Sepasang Ke-
labang Berbisa semakin penasaran dan marah.
Rupanya mereka salah menduga. Meskipun Pen-
dekar Slebor bisa didesak, namun sampai saat ini
belum juga berhasil dilukai. Bahkan telinga me-
reka harus memerah mendengar ejekan-ejekan
Pendekar Slebor.
Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang.
"Dinda! Kita hajar manusia itu dengan ajian
'Sepasang Kelabang Marah'!" teriak Jinar.
Nyi Sukesih cepat melompat ke belakang.
Dan tahu-tahu dia sudah hinggap di sebelah ka-
nan suaminya. Lalu tangan kanannya direntang-
kan ke depan. Sementara kaki kirinya membujur
ke belakang. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Sedangkan Jinar berdiri tegak dengan ke-
dua tangan terbuka ke depan, menekuk ke dalam.
Tubuhnya agak condong ke belakang.
"Lho? Kalian mau menari?" ejek Pendekar
Slebor sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Diam-diam Pendekar Slebor yakin, kalau
jurus 'Sepasang Kelabang Marah' itu sangat dah-
syat. Makanya, diam-diam dirangkulnya ajian
'Guntur Selaksa', salah satu jurus warisan Pen-
dekar Lembah Kutukan yang sangat dibangga-
kannya.
Ketika tubuh Sepasang Kelabang Berbisa
menderu ke depan diiringi satu teriakan keras,
Andika pun melenting ke depan dengan tubuh
meluncur ke muka.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Dua buah tenaga yang menjadi satu itu
pun bertemu dengan ajian 'Guntur Selaksa' milik
Pendekar Slebor. Dan....
Glarrr...!
Terdengar suara bagai ledakan keras. Dan
tiga sosok tubuh pun terpental deras ke belakang.
Namun masing-masing masih mampu menguasai
keseimbangan, sehingga bisa jatuh dengan ringan
di tanah.
"Busyet! Hebat sekali jurus yang mereka
perlihatkan!" desis Andika dalam hati
Sementara itu, Sepasang Kelabang Berbisa
sudah meluruk lagi dengan serangan sama. Kare-
na, disadari betul kalau tenaga dalam yang dimi-
liki seimbang dengan tenaga dalam Pendekar Sle-
bor.
Andika tidak menyadari kalau sewaktu-
waktu, bisa saja salah satu dari Sepasang Kela-
bang Berbisa akan melakukan gerakan membo-
kong. Dia terus melayani serangan dengan me-
rangkum ajian 'Guntur Selaksa' di tangan.
Seperti yang telah direncanakan, menda-
dak. Tubuh Nyi Sukesih melenting ke atas. Dile-
watinya tubuh Andika. Sementara, Jinar justru
membanting tubuhnya ke kiri.
"Heiiit!" desis Andika terkejut.
Sebisanya Pendekar Slebor membuang tu-
buhnya ke depan. Namun di luar dugaan, Nyi Su-
kesih mengejar dengan gerakan meluruk cepat.
Dalam keadaan yang sangat genting, Andi-
ka sebisanya melepaskan kain pusaka bercorak
catur. Dan langsung dikebutkannya kain itu ke
arah Nyi Sukesih.
Ctarrr!"Auuhhh...!"
Kain pusaka itu tepat mengenai kedua tan-
gan Nyi Sukesih. Secepatnya perempuan itu me-
lenting ke belakang sambil mengaduh-aduh man-
ja pada Jinar yang segera memburunya. Kedua
tangannya terasa bagai kesemutan.
"Kanda..., bunuh dia...! Bunuh...! Kedua
tanganku dibuat luka olehnya...."
Jinar menggeram marah. Sementara Andi-
ka menghela napas lega. Untungnya Pendekar
Slebor masih waspada dengan serangan yang
mendadak itu. Namun dia tak lagi diberi kesem-
patan untuk mengatur napasnya lagi, karena Ji-
nar sudah menderu dengan kekuatan tinggi.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!"
Namun dengan sigapnya, Andika kembali
mengibaskan kain pusaka kembali.
Brusss!
Serangan kain pusaka itu luput dari sasa-
ran, karena Jinar sudah melenting ke atas. Na-
mun Andika yang melihat celah menguntungkan
segera memburu dengan ajian 'Guntur Selak-
sa'nya. Tubuhnya melesat dahsyat dengan kedua
tangan terbuka. Dan...
Glarrr...!
"Aaa...!"
Terdengar suara bagai petir menyalak,
yang disusul jeritan menyayat
Pukulan Pendekar Slebor tepat mengenai
dada Jinar yang langsung jatuh ambruk. Sua-
ranya berdebam dan pasir di bawahnya berterbangan.
"Kandaaa!" jerit Nyi Sukesih, langsung me-
nubruk suaminya yang telah menjadi mayat.
Tanpa malu-malu lagi, menangislah pe-
rempuan aneh ini. Sementara Pendekar Slebor
segera mengatur napasnya yang memburu.
Bukannya menyerang kembali, Nyi Sukesih
hanya bangkit. Matanya menyalang dengan tan-
gan bergetar.
"Kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi suatu
saat nanti, kau harus menebus nyawa suamiku
ini dengan nyawamu!" desis Nyi Sukesih.
Andika tidak menyahut. Dia hanya mena-
tap redup pada Nyi Sukesih yang mengangkat
mayat suaminya yang bertubuh besar itu.
"Hu hu hu.... Kanda.... Kita gagal memba-
las dendam pada Panca Giri! Tetapi malam ini,
dendam itu kita alihkan pada Pendekar Slebor!
Percayalah, Kanda.... Aku akan membalas semua
sakit hatimu!"
Lalu masih menangis, Nyi Sukesih berkele-
bat meninggalkan tempat itu, sedang Andika
menghela napas panjang.
Beruntunglah Pendekar Slebor bisa menga-
lahkan dua lawan tangguhnya. Lalu kembali piki-
rannya berputar tentang Sari, Belang, dan sosok
yang dilihatnya. Juga, masih dipikirkannya ten-
tang pertarungan yang akan terjadi di lereng Gu-
nung Merbabu ini.
Untuk kali ini, Andika bingung menentu-
kan tujuan. Apakah akan mencari Sari dan si Belang, ataukah menunggu sampai hari yang diten-
tukan, di mana kelompok Lima Gunung akan
mengadakan pertarungan antar sesama?
8
Pagi kembali menyelimuti seisi alam. Ca-
haya matahari sebagai pembangkit kehidupan,
memancarkan sinarnya kepada siapa saja. Dan di
pagi yang masih berkabut itu, tiga sosok tubuh
tampak duduk bersila di Puncak Gunung Semeru.
Mereka tak lain tiga dari Panca Giri. Ki Danang
Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.
Dan sejak malam tadi, mereka telah duduk
bersila di Puncak Gunung Semeru tanpa sedikit
pun merasakan sengatan hawa dingin. Karena,
masing-masing telah mengalirkan hawa panas da-
lam tubuhnya.
Ki Danang Gumilar memang sengaja men-
gundang Ki Kalungkung dan Ki Redamo Rusa,
untuk datang ke tempatnya. Mereka tengah
membicarakan masalah pertarungan yang tinggal
dua hari lagi.
Ki Danang Gumilar, sebenarnya menyetu-
jui usul Ki Lingkih Manuk, agar bokor emas yang
berisi Air Swargaloka dan kini menjadi perebutan
para anggota Panca Giri, dibuang saja. Sehingga,
perpecahan tidak akan terjadi. Namun, Ki Sa-
mundang telah menolak dengan kata-kata bernada menantang. Memang sejak dulu Ki Danang
Gumilar tahu betul bagaimana tabiat Ki Samun-
dang, yang memang selalu penasaran dan ingin
tahu.
Dan itu berarti, pertarungan akan benar-
benar terjadi. Namun, Ki Danang Gumilar masih
berharap, agar kiranya pertarungan yang bakal
menimbulkan perpecahan di tubuh Lima Partai
Gunung itu tidak akan pernah terlaksana. Itulah
sebabnya, yang diundang hanya Ki Kalungkung
dan Ki Redamo Rusa. Menurutnya, mereka masih
berada di pertengahan antara dua pendapat yang
diberikan Ki Lingkih Manuk dengan Ki Samun-
dang.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya
Ki Kalungkung setelah sekian lama dicekam piki-
ran masing-masing.
Ki Danang Gumilar menggeleng.
"Aku masih belum mendapatkan jawaban-
nya. Akan tetapi, aku tetap tidak berkeinginan
terjadinya perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-
nung hanya karena mencari siapa yang berjodoh
dengan Air Swargaloka. Karena, akhirnya akan
merugikan diri sendiri. Juga, ketahuilah. Saat ini
aku yakin, para tokoh sesat yang dulu kita kalah-
kan, sudah tentu akan memanfaatkan kesempa-
tan seperti ini...."
Tak ada yang bersuara. Panas sinar mata-
hari yang lebih dekat menyengat tak dirasakan.
Kalau semalam ketiganya mengeluarkan hawa
panas untuk mengusir dingin, kini mengeluarkan
hawa dingin untuk mengusir panas.
"Apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk
memang benar. Meskipun kita harus mengkhia-
nati amanat Guru. Tetapi, yang dikatakan Ki Sa-
mundang pun benar. Karena, kita menjalankan
amanat Guru. Hanya yang sulitnya, mau tidak
mau terjadi perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-
nung. Dan kita tidak memiliki kekuasaan untuk
menahannya," kata Ki Redamo Rusa.
"Berbicara soal amanat, itulah yang paling
susah," timpal Ki Kalungkung. "Dalam keadaan
semacam ini, sebenarnya sangat menguntungkan
bagi lawan-lawan Panca Giri yang kemungkinan
besar akan mempergunakan kesempatan. Ah! Bila
saja kita menemukan jalan keluarnya."
Hening. Masing-masing kembali dicamuk
pikiran sama.
"Ki Danang Gumilar! Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Pernahkah kalian mendengar tentang seo-
rang pendekar yang namanya akhir-akhir ini dibi-
carakan orang?" kata Ki Danang Gumilar balik
bertanya tiba-tiba.
"Maksudmu..., Pendekar Slebor?" tebak Ki
Kalungkung.
"Benar! Aku mendengar selain sakti, Pen-
dekar Slebor pun memiliki otak sangat cerdik."
"Apa maksudmu tiba-tiba membicarakan
Pendekar Slebor?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Kita bisa meminta bantuannya untuk
memecahkan kemelut di tubuh Lima Partai Gunung."
"Meminta bantuannya?" tanya Ki Redamo
Rusa dengan kening berkerut.
"Benar! Kupikir harus ada seseorang yang
bisa menghentikan kemelut di antara kita. Paling
tidak, mampu memecahkan maksud dari amanat
Guru. Karena aku masih ragu, apakah yang telah
kita putuskan ini telah memecahkan amanat
Guru atau tidak?"
"Ki Danang Gumilar! Aku tidak yakin se-
perti yang kau katakan tadi, apakah Guru mem-
punyai maksud tertentu dengan memberikan
amanat," sergah Ki Kalungkung.
"Amanat yang sudah nyata sekarang ini,
Guru menghendaki kita untuk berkumpul dan
bertarung memperebutkan bokor emas berisi Air
Swargaloka. Dengan kata lain, mungkin Guru in-
gin melihat siapakah yang paling tangguh di anta-
ra kita"
"Pendapatmu bisa kubenarkan. Tetapi aku
justru tiba pada kesimpulan seperti itu. Karena,
tak mungkin Guru memberi amanat yang sangat
sulit. Kita ibarat diberi buah simalakama. Dalam
hal ini, sekali lagi kupikir, kita harus meminta
bantuan seseorang yang cerdik untuk memecah-
kan kemelut ini. Di samping juga, untuk mendin-
ginkan suasana panas yang mulai tercipta di tu-
buh Lima Partai Gunung."
Lagi tak ada yang bersuara. Keheningan
mulai merambah.
"Usul yang kau berikan itu memang baik
dicoba," sahut Ki Kalungkung kemudian. "Tetapi,
apakah itu justru tidak menyinggung perasaan Ki
Samundang maupun Ki Lingkih Manuk?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Ki Danang
Gumilar.
"Bila melihat usia kita yang sudah berkepa-
la enam ini, tidak seharusnya meminta nasihat
dari orang yang lebih muda. Aku yakin, Ki Sa-
mundang akan merasa terinjak-injak kepalanya
bila hal ini kita lakukan juga."
"Tidak! Kau salah, Ki Kalungkung. Dalam
hal meminta nasihat, kita tidak berpatokan pada
usia. Dalam hal ini dibutuhkan adalah orang cer-
dik, yang mampu mendinginkan suasana panas
di tubuh Lima Partai Gunung. Jadi kupikir, jalan
satu-satunya adalah meminta bantuan pendekar
sakti yang berjuluk Pendekar Slebor itu. Bila kita
memakai pendapatmu, siapakah orang yang lebih
tua dari kita yang bisa dimintai pendapat?" Ki
Danang Gumilar mengedarkan pandangan ber-
gantian pada Ki Kalungkung dan Ki Redamo Ru-
sa.
"Bagaimana bila Ki Samundang marah?"
tanya Ki Redamo Rusa. "Bukankah dengan begitu
kita hanya menambah kemelut saja? Memang,
dalam hal ini kita membutuhkan orang cerdik
yang mampu memecahkan kemelut. Karena se-
perti diketahui, saat ini kita bertiga berada dalam
ikatan persaudaraan. Namun dua hari lagi di le-
reng Gunung Merbabu, kita akan menjadi musuh
yang harus mempertahankan nyawa demi Air
Swargaloka yang berada di dalam bokor emas. In-
ilah sulitnya. Dari semalam, kita berembuk untuk
memecahkan kemelut ini, agar jangan sampai ter-
jadi pertumpahan darah. Namun, pada akhirnya
kita harus melakukannya juga. Padahal, hanya
semata untuk memenuhi amanat Guru. Di samp-
ing itu juga, bila kita mengizinkan Pendekar Sle-
bor mencampuri urusan ini, bukankah menam-
bah masalah yang ada pada dirinya?"
Mendengar kata-kata Ki Redamo Rusa. Ki
Danang Gumilar terdiam. Memang sangat sulit
masalah yang dihadapi ini. Namun Ki Danang
Gumilar yang tidak ingin terjadi pertumpahan da-
rah tetap bersikeras untuk meminta nasihat dari
orang cerdik. Keputusannya, tetap Pendekar Sle-
bor!
"Aku yakin, Pendekar Slebor bersedia
membantu kita. Meskipun kudengar dia seorang
pemuda urakan, namun otaknya sangat cerdik.
Kemungkinan Ki Samundang marah, bisa saja
terjadi. Karena aku sendiri tahu bagaimana sifat-
nya. Tetapi apakah kalian rela, bila melihat darah
kita yang berada dalam satu tubuh Lima Partai
Gunung mengalir oleh tangan kita sendiri?"
"Ki Samundang rela melihatnya. Buktinya,
dia tetap berkeinginan pertarungan di antara kita
dijalankan," sahut Ki Kalungkung yang membuat
Ki Danang Gumilar lagi-lagi terdiam.
"Tetapi, bukankah kita tidak rela melihat
darah sesama kita? Termasuk, Ki Lingkih Manuk
yang langsung mengusulkan untuk membuang
saja bokor emas itu, meskipun sebenarnya sangat
berat melakukannya. Apalagi, membatalkan ama-
nat Guru sama saja telah lancang mengkhiana-
tinya!"
"Itulah yang membuat Ki Samundang tetap
bersikeras agar pertarungan memperebutkan bo-
kor emas dilaksanakan," desah Ki Kalungkung
sambil menghela napas panjang. Hatinya benar-
benar sedih memikirkan kemungkinan itu. Dita-
tapnya Ki Danang Gumilar.
"Rasanya, sia-sia kita berkumpul di sini
untuk memecahkan kemelut yang sebentar lagi
akan terjadi," kata Ki Danang Gumilar disertai he-
laan napas panjang. Hening.
Masing-masing sangat menyesali melihat
keadaan ini. Namun apalah hendak dikata? Ama-
nat sudah disampaikan. Ucapan sudah jatuh.
Tinggal menunggu hari pelaksanaannya lagi.
"Kalaupun kita akan meminta bantuan
Pendekar Slebor..., di manakah keberadaannya
sekarang ini?"
Semuanya terdiam kembali. Yah! Di mana-
kah Pendekar Slebor berada sekarang ini? Ki Da-
nang Gumilar yang mengusulkan saja tidak tahu
di mana pendekar sakti yang cerdik itu berada.
"Aku memang tidak tahu di mana dia bera-
da," kata Ki Danang Gumilar jujur.
"Berarti, keputusan kita tetaplah seperti
yang dikatakan Ki Samundang tiga bulan yang la-
lu!" tambah Ki Redamo Rusa. "Kita akan tetap
melakukan pertarungan itu dua hari lagi di lereng
Gunung Merbabu."
***
Pendekar Slebor yang memutuskan untuk
menunggu Sari dan si Belang di lereng Gunung
Merbabu, kini bangkit dari duduknya. Pantatnya
yang berdebu ditepuk-tepuknya.
"Hhh! Aku jadi cemas memikirkan gadis
itu?" desah Pendekar Slebor seorang diri. Tetapi
kalau melihat kesaktian yang dimilikinya, dia
memang bisa menjaga diri. Apalagi ada si Belang.
Tetapi, nampaknya sosok tubuh semalam yang
kuyakini sebagai penculik keduanya, menanda-
kan kesaktian Sari tidak seberapa."
Andika menatap kejauhan.
"Di mana mereka harus kucari?"
Pendekar Slebor menghela napas panjang.
"Kalau nanti kutemukan Sari dan si Belang
dalam keadaan tidak kuinginkan, aku akan
membalas perbuatan orang yang melakukannya!"
Di samping memikirkan Sari dan si Belang,
Pendekar Slebor juga memikirkan tentang perta-
rungan yang akan terjadi di lereng Gunung Mer-
babu. Kedatangan Sepasang Kelabang Berbisa
semalam memperkuat dugaannya. Namun yang
sampai sekarang membuatnya penasaran, siapa-
kah orang-orang Lima Partai Gunung itu? Menga-
pa mereka memperebutkan bokor emas di antara
sesama saudara sendiri?
"Pasti bokor emas itu sangat mahal har-
ganya! Memangnya, kalau sudah berbicara soal
ilmu dan harta, tak akan pernah lagi orang me-
mikirkan siapa yang dihadapi. Bahkan terkadang,
anak sendiri pun rela membunuh kedua orangtu-
anya demi mendapatkan harta yang diinginkan-
nya! Sia-sia saja orang-orang itu berada dalam
kelompok Lima Partai Gunung, yang pada akhir-
nya akan menumpahkan darah saudaranya sen-
diri," desah Pendekar Slebor.
Memang selama petualangannya, bukan
hanya sekali dua kali saja Andika menyaksikan
orang-orang memperebutkan harta sampai men-
gorbankan darah dan nyawa. Bahkan begitu ba-
nyaknya, sehingga lupa mengingatnya satu persa-
tu.
"Sariii! Belaaang! Di mana kalian?!" Tiba-
tiba Pendekar Slebor berteriak keras. Suaranya
menggema, terbawa angin. Tetapi tak ada satu
sosok yang muncul. Andika menunggu beberapa
saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk sege-
ra mencari Sari dan si Belang.
Tetapi sebelum beranjak dari tempatnya,
seekor hewan berkaki empat dengan seorang pe-
nunggang di atas tubuhnya berkelebat ke arah-
nya. "Kang Andikaaa!"
Dengan cepat Andika mendekati sosok
yang tak lain Sari yang sudah melompat turun
dari tubuh si Belang.
"Ke mana saja kau?! Siapa yang menculik-
mu, hah?! Katakan! Akan kuhajar dia sampai
tunggang langgang!" ujar Andika berapi-api,
membuat gadis itu malah cekikikan.
"Soknya!" cibir Sari.
"Eh? Kok tidak percaya? Aku akan...."
Tiba-tiba saja Andika memegangi seluruh
tubuh Sari. Akibatnya gadis itu melayangkan tan-
gannya.
Plak!
"Hei!"
"Genit! Tidak sopan! Jorok!" maki gadis itu.
Andika tertawa. Baru sadar, karena terlalu cemas
memikirkan keadaan Sari.
"Maaf, aku hanya ingin melihat keadaanmu
saja." Gadis itu cemberut.
"Brengsek! Mau mencuri kesempatan, ya?!"
sembur Sari.
"Maaf, maaf...," ucap Andika sambil nyen-
gir.
"Sudah, sudah! Kenapa teriak-teriak me-
manggil namaku dan si Belang tadi?"
Andika hanya nyengir saja. Rupanya sua-
ranya tadi terdengar Sari yang menaiki tubuh si
Belang dan sedang melesat ke arah Gunung Mer-
babu.
"Kang Andika masih ingat Eyang Sasongko
Murti?" tanya Sari, tahu-tahu.
"Huh! Orang tua jelek yang mukanya tidak
bisa ditebak seperti apa? Jelek kayak dedemit,
atau ganteng seperti aku?"
Sari menahan tawanya.
"Ya."
"Kenapa dengan dia?"
"Dialah yang menculikku!"
"Apa?"
Andika menepuk keningnya. Pantas saja
dia tidak berhasil mengetahui siapa sosok tubuh
yang dilihatnya.
"Rupanya murid Siluman Hutan Waringin
yang membelot itu yang membuatku gelisah se-
malaman, hah?!" (Untuk mengetahui siapa Eyang
Sasongko Murti, silakan baca Pendekar Slebor da-
lam episode : "Neraka di Keraton Barat").
"Benar! Dialah yang menculik aku dan si
Belang. Dia juga yang melukai si Belang."
"Edan! Kenapa dia melakukan itu?" tanya
Andika gemas.
"Karena Kang Andika tidak berhati-hati!"
"Hei? Apa maksudmu? Enak saja kau
ngomong!" seru Andika mangkel.
"Memang Kang Andika tidak berhati-hati.
Rupanya, Sepasang Kelabang Berbisa dari golon-
gan sesat itu telah lama melihat kita berada di si-
ni. Mereka bermaksud membunuh kita. Kebanya-
kan makan daging kelinci panggang, sih!"
"Aku sudah membunuh salah seorang da-
rinya!"
"Nah! Itulah yang diinginkan Eyang Sa-
songko Murti."
"Busyet! Jadi untuk apa dia melukai si Be-
lang dan menculikmu juga si Belang?" cecar si
Andika.
"Menurut perhitungannya, kalau saat itu
aku masih berada di sana, jelas akan membuyar-
kan perhatian Kang Andika dalam menghadapi
Sepasang Kelabang Berbisa. Sehingga, dia mem-
buat si Belang luka dan melesat cepat. Sementa-
ra, Kang Andika melihatnya. Lalu dia kembali lagi
dan membawaku dengan maksud untuk me-
nyingkirkanku."
"Memangnya kau kenapa? Biar saja kau
berada di sini! Kalau kau luka, apa urusanku?"
sahut Andika, menyembunyikan rasa khawatir-
nya tadi. Tidak tahu, mengapa dia mengkhawatir-
kan Sari. Tetapi yang pasti, Sari dianggap sebagai
adiknya.
"Menyebalkan!"
"Tetapi manis, kan?"
"Brengsek! Pokoknya, kata Eyang Sasongko
Murti, Kang Andika kebanyakan melihat gadis
cantik. Jadi, kurang hati-hati! Dasar mata bong-
sang!"
"Sialan! Kenapa dia tidak membantuku sa-
ja, sih? Tetapi..., he he he.... Pantang bagi Andika
untuk dibantu. Lagi pula aku yakin, orang tua je-
lek yang sudah seratus tahun terdampar di Alam
Sunyi itu pasti takut menghadapi Sepasang Kela-
bang Berbisa."
"Jangan mengejek dia! Saat ini, dia sedang
dikejar-kejar Siluman Hutan Waringin. Menurut-
nya, kalau berlama-lama berada di alam nyata
ini, bisa-bisa Siluman Hutan Waringin akan mun-
cul kembali dan membuat onar. Jadi, dia sengaja
membiarkan dirinya saja yang dikejar-kejar, agar
Siluman Hutan Waringin tidak mengganggu yang
lain."
"Biar tahu rasa dia! Membuatku bingung
saja! Coba kalau dia menga...."
"Kang Andika bingung, ya?" potong gadis
itu dengan dada berdebar. Kalau memang Andika
memikirkannya, alangkah senangnya. Apakah itu
berarti Andika mencintai Sari?
"Ya!"
"Memikirkan aku?"
"Sudah jelas aku..., he he he.... Enaknya
memikirkanmu! Buat apa sih, gadis jelek seperti-
mu dipikirkan!" sahut Andika nyengir. Dan dia bi-
sa melihat sepasang bibir yang ranum itu cembe-
rut. Menggemaskan sekali!
"Eyang Sasongko Murti bilang, kalau se-
bentar lagi akan ada pertumpahan darah di sini!"
jelas Sari kemudian.
"Aku sudah tahu!"
"Dia juga bilang, kalau Kang Andika segera
menghentikan pertarungan antara Lima Partai
Gunung, Kang! Bukankah itu yang kita ketahui
dari lima orang berpakaian merah, bukan?"
"Benar. Dan akupun mengetahuinya lebih
jelas dari Sepasang Kelabang Berbisa, kalau se-
bentar lagi akan ada pertarungan darah di sini.
Makanya aku mau menunggu! Kau boleh pergi la-
gi dari sini!"
"Kang Andika!" seru gadis itu manja.
"Kenapa?" tanya Andika acuh.
"Kang Andika menginginkan aku pergi?"
Gadis itu merajuk.
"Terserah kau."
"Huh! Sebel! Mendingan aku tadi tidak
kembali lagi ke sini! Biar dimakan harimau saja!"
Andika tertawa.
"Apakah si Belang akan memakanmu?"
Mata jernih Sari melotot.
"Enak saja ngomong! Belang adalah hewan
kesayanganku yang pasti menurut kepadaku! Su-
dah, sudah! Aku mau tidur! Ayo. Belang! Jangan
dekat-dekat pemuda edan itu! Bisa-bisa kita ketu-
laran lagi!" semprot Sari.
Si Belang yang sudah merebahkan tubuh-
nya di tanah tadi, kini tegak berdiri.
Andika menghela napas panjang. Rupanya
saat ini Eyang Sasongko Murti masih berada da-
lam pengejaran Siluman Hutan Waringin yang
mendendam kepadanya. Dan bila urusan ini telah
selesai, Andika berjanji akan membantu me-
nyingkirkan Siluman Hutan Waringin yang men-
gerikan itu.
Lalu, Pendekar Slebor menyusul Sari dan si
Belang ke gua.
9
Hari yang ditentukan akan terjadinya per-
tarungan antara Ketua Partai Gunung pun tiba.
Andika yang sejak tadi bersama Sari ber-
sembunyi di sebuah pohon besar yang di bawah-
nya penuh semak belukar, bisa melihat beberapa
rombongan yang datang sekaligus. Sementara si
Belang sudah diperintahkan bersembunyi oleh
Sari tadi.
Semua rombongan datang dari jalan yang
sama. Yang di depan rombongan berpakaian pu-
tih. Berjalan di depan seorang laki-laki gagah be-
rusia kira-kira enam puluhan. Langkahnya tegap
penuh wibawa. Laki-laki itu sendiri mengenakan
pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna
putih,
Di belakang kemudian, rombongan berpa-
kaian biru. Paling depan seorang laki-laki berpa-
kaian hitam dengan ikat pinggang berwarna biru.
Lalu rombongan selanjutnya berpakaian merah.
Seorang laki-laki gagah berpakaian hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah berjalan di depan.
Andika dan Sari bisa melihat kalau lima
orang yang berniat melakukan kecurangan berada
dalam rombongan berpakaian merah.
Di belakang rombongan berpakaian merah,
melangkah rombongan berpakaian hijau. Seorang
laki-laki gagah yang berjalan di depan berpakaian
hitam dengan ikat pinggang berwarna hijau. Yang
paling akhir adalah rombongan berpakaian kun-
ing. Berjalan gagah di depan adalah laki-laki ber-
kepala botak berpakaian hitam dengan ikat ping-
gang kuning.
Tiba di lereng Gunung Merbabu, laki-laki
paling di depan yang tak lain Ki Lingkih Manuk
mengangkat tangannya.
"Sebelum kita menuju tempat pertarungan,
ada baiknya kita berkumpul dulu di sini!" ujar Ki
Lingkih Manuk.
Seketika empat laki-laki berpakaian hitam
dengan ikat pinggang berbeda berkelebat mende-
katinya. Sementara, rombongan berpakaian ber-
lainan warna itu membentuk lingkaran besar. Se-
dangkan kelima orang-berpakaian hitam tadi su-
dah duduk bersila membentuk lingkaran kecil.
"Sebelum darah tumpah dan nyawa me-
layang di antara kita, aku ingin bertanya. Apakah
kita akan mengurungkan niat ini?" tanya Ki Ling-
kih Manuk.
"Tidak!" sahut laki-laki berikat pinggang
berwarna merah, tegas. "Aku tetap menginginkan
pertarungan itu dilakukan! Karena, semua ini
semata-mata amanat Guru!"
"Tidakkah di hatimu ada keinginan untuk
menghentikan semuanya ini, Ki Samundang?
Apalagi, aku masih sangsi, apakah pemecahan
amanat Guru benar seperti itu?"
"Tak usah disangsikan lagi. Untuk menen-
tukan siapa yang berjodoh, sudah tentu dengan
cara membuktikan siapa yang paling tangguh.
Nah, itulah pemecahan amanat Guru yang se-
sungguhnya."
Tak ada yang bersuara.
Andika melihat Ki Lingkih Manuk menge-
luarkan sesuatu yang terbungkus, dari sebuah
tempat yang tersampir di pinggangnya. Lalu di-
bawanya ke tengah dan dibukanya bungkusan
itu.
Sebuah bokor emas.
"Kang!" desah Sari terbelalak sambil me-
megang lengan Andika.
Pendekar Slebor mendengus. Perempuan di
mana saja sama. Kalau melihat emas, pasti melo-
tot. Tetapi bukan itu yang dimaksud Sari sebe-
narnya.
"Aku yakin..., bokor emas itulah yang akan
diperebutkan mereka?" lanjut Sari.
"Apa lagi kalau bukan itu? Masa iya sih, ti-
dak bisa menebak? Soalnya, tidak ada lagi benda
yang diperlihatkan selain bokor emas itu. Sudah,
sudah, diam. Lama-lama kita bisa ketahuan, nih!"
ujar Andika.
Sari mendengus, tetapi menurut juga.
"Inilah bokor emas yang pada akhirnya ju-
stru menjadi lambang keributan dan pertumpa-
han darah di antara kita. Bokor emas yang men-
jadi penentu, siapakah yang berhak mendapatkan
Air Swargaloka yang berada di dalamnya," jelas Ki
Lingkih Manuk dengan pandangan beredar.
"Jadi..., keputusan kita ini tetap sama den-
gan keputusan tiga bulan yang lalu?"
"Ya!" lagi-lagi hanya Ki Sumandang yang
menyahut
"Baiklah. Memang tak ada jalan lain lagi,
kecuali memperebutkan bokor emas ini yang di-
perkirakan sesuai amanat Guru. Pada akhirnya,
pagi ini... Ikatan Lima Partai Gunung yang sudah
terjalin selama dua puluh tahun harus pecah.
Dan darah yang akan tumpah tak bisa dibendung
lagi!" lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Samundang..., apakah tidak bisa dihen-
tikan saja pertarungan sesama kita ini? Karena
menurutku, pertarungan ini hanya membuat sua-
sana menjadi keruh!" timpal Ki Danang Gumilar.
Ki Samundang menggeleng.
"Tidak! Pertarungan itu harus tetap dilak-
sanakan!"
Kali ini tak ada yang bersuara. Ki Lingkih
Manuk berdiri, disusul keempat saudara sepergu-
ruan yang lain.
"Ada baiknya kita melakukan sembah ke-
pada Ki Panca Giri," ujar Ki Lingkih Manuk.
Lalu masing-masing berdiri seraya menun-
dukkan kepala. Mereka memanjatkan doa bagi
arwah Ki Panca Giri.
"Kini..., kita akan menuju ke tempat per-
temuan...."
Lalu mereka pun beranjak ke tempat yang
dikatakan Ki Lingkih Manuk. Sementara anak
murid masing-masing tetap berdiri tegap.
***
"Nampaknya, pertarungan itu akan terjadi
juga. Sangat disayangkan, kalau sampai terjadi
pertumpahan darah di antara mereka sendiri,"
gumam Andika
"Lalu, apa yang akan Kang Andika laku-
kan?" tanya Sari.
"Aku belum tahu. Tetapi..., ya, ya.... Aku
sudah mendapatkan jalan keluarnya sekarang.
Kau tunggu di sini. Sari," ujar Pendekar Slebor,
mendadak mendapat semacam petunjuk.
Sari menganggukkan kepala. Andika yang
mau melompat justru menghentikan geraknya.
Kepalanya menoleh, menatap Sari dengan kening
berkerut.
"Tumben kau tidak membantah?" tanya
Andika, meledek.
"Serba salah! Kalau aku mau ikut, kau ma-
rah. Kalau aku menurut, kau bertanya! Jadinya,
aku harus bagaimana?"
Andika tertawa. Ditepuk-tepuknya pipi Sa-
ri. Dan tahu-tahu dikecupnya pula pipi gadis itu.
"Bagus!"
Seketika tubuh Pendekar Slebor pun me-
lompat turun.
Sari, meskipun hanya dikecup sekilas,
sukmanya terasa melayang. Oh, Gusti.... pemuda
yang dicintainya itu mengecup pipi. Ah! Kalau sa-
ja Andika melihat perubahan wajahnya yang me-
merah, pasti akan mengolok-oloknya. Sari tidak
mau membantah tadi, karena ingin dinilai penuh
pengertian oleh Andika.
Andika kini sudah melenting tiga kali, lalu
hinggap di depan kelima anggota Panca Giri yang
seketika menghentikan langkah.
"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?" bentak
Ki Samundang, menggeram.
"Pendekar Slebor!"
Bukannya Andika yang menjawab, justru
Ki Danang Gumilar yang berseru. Andika hanya
nyengir.
"Maaf, kalau kemunculanku ini menggang-
gu kalian semua," ucap Pendekar Slebor.
"Kau sudah mengganggu. Lebih baik, me-
nyingkir!" dengus Ki Samundang sambil melang-
kah satu tindak, tetapi dihalangi tangan Ki Ling-
kih Manuk.
"Pemarah!" dengus Andika. "Terus terang,
kehebatan Lima Partai Gunung sudah lama ku-
dengar. Sekaligus para tokohnya. Sebenarnya,
aku sangat menyayangi, bila kalian yang berada
dalam tubuh Lima Partai Gunung harus menum-
pahkan darah sesama orang sendiri, hanya gara-
gara bokor emas yang berisi Air Swargaloka! Maaf,
aku mengetahui hal itu dari lima orang yang ber-
pakaian merah, yang kulihat berada dalam rom-
bonganmu tadi, Ki Samundang!"
Kening Ki Samundang berkerut. "Mengapa
mereka memberitahumu, hah?! Pendekar Sle-
bor..., namamu sudah lama kudengar. Tetapi ru-
panya selama ini aku salah menafsirkan tentang
dirimu. Hm..., ternyata kau terlalu banyak ikut
campur dalam urusan orang lain!" sindir Ki Sa-
mundang.
"Aku tidak mendengar dari mulut mereka,
Ki Samundang. Maaf jika kukatakan, kalau keli-
ma muridmu itu tiga hari yang lalu datang ke si-
ni."
"Mau apa mereka?"
"Baiklah. Nampaknya tak ada yang perlu
dirahasiakan lagi. Kelima muridmu itu melakukan sebuah tindakan keji, dengan cara menabur-
kan cairan racun warna merah yang sangat me-
matikan di empat tempat. Tempat untukmu tidak,
Ki Samundang. Dan gara-gara mereka, seorang
temanku hampir saja tewas."
"Tidak mungkin!"
"Kau bisa memanggilnya nanti, Ki! Dan sa-
tu lagi, aku mengetahui tentang pertarungan yang
akan kalian lakukan dari Sepasang Kelabang
Berbisa...."
Terdengar beberapa desisan. Tetapi, Andika
tidak mempedulikannya.
"Mereka ingin mempergunakan kesempa-
tan untuk mencuri bokor emas itu, selagi kalian
bertarung. Rupanya, mereka adalah Sepasang Ke-
labang Berbisa musuh bebuyutan kahan. Dan
syukurnya, aku bisa menghentikan perbuatan
busuk mereka dengan berhasil membunuh Jinar.
Sementara, Nyi Sukesih meninggalkan tempat ini
dengan penuh dendam terhadapku! Dari dua ke-
lompok orang itulah aku mendengar tentang per-
tarungan kalian!"
"Dusta! Tidak pernah kuperintahkan lima
muridku untuk berbuat curang!" bentak Ki Sa-
mundang.
"Aku pun yakin kau tidak tahu hal itu. Ka-
rena salah seorang muridmu mengatakan, kau ti-
dak mengetahui perbuatan mereka. Yang jelas,
mereka berbuat keji agar kau senang. Dan mere-
ka ingin melihat kau berhasil mendapatkan bokor
emas yang berisi Air Swargaloka," papar Andika.
Wajah Ki Samundang memerah.
"Siapa mereka?"
"Aku bisa mengenalinya! Tunggu di sini!"
Pendekar Slebor seketika berkelebat. Dan
sebentar saja dia sudah kembali lagi bersama
Linggar dan empat orang berpakaian merah lain-
nya.
"Ki Samundang! Silakan tanyakan mereka."
"Baik! Kalau memang benar apa yang kau
katakan, mereka harus mati sekarang juga! Tetapi
bila yang kau katakan dusta, kau yang akan ku-
bunuh, Pendekar Slebor!" ancam Ki Samundang.
"Aku masih berada di sini," sahut Andika
tenang.
Lalu dengan geram Ki Samundang mena-
nyai Linggar dan keempat muridnya yang lain.
Sudah tentu wajah mereka pucat. Tetapi Linggar
berusaha menyangkal.
"Tidak, Ketua.... Kami tidak berani mela-
kukan perbuatan hina itu tanpa perintah Ketua!"
"Kurang ajar! Aku tidak akan pernah me-
merintahkan kalian melakukan perbuatan busuk
itu!"
"Kami tidak pernah melakukannya, Ketua!
Anak muda itu saja yang mengada-ada!"
"Baiklah....Untuk membuktikan kebenaran
itu, aku akan melemparkan sebatang ranting di
salah satu tempat ini, yang tentunya telah diberi
cairan racun berwarna merah yang mematikan,"
sahut Andika, kalem.
Andika memungut sebatang ranting di de
katnya. Dan belum lagi tegak, Linggar sudah me-
luruk penuh kemarahan. Sepasang cakra yang
sudah berada dalam genggamannya langsung di-
kelebatkan.
"Pemuda keparat! Kau menghancurkan
rencanaku!"
Seruan itu sudah cukup bagi Ki Samun-
dang untuk mempercayai kata-kata Andika. Tan-
gannya seketika dijentikkan.
Seerrr!
Crasss!
"Aaa...!"
Serangkum angin kecil namun tajam Lang-
sung melesat, menembus jantung Linggar yang
kontan tersuruk ke depan. Melihat Linggar tewas.
Seketika keempat orang lainnya meratap-ratap
minta ampun di depan kaki Ki Samundang.
Tetapi laki-laki dingin yang telah diperma-
lukan akibat perbuatan murid-muridnya sendiri,
tidak lagi memberi ampun. Tangannya berkelebat
sekali. Maka empat tubuh langsung ambruk den-
gan leher hampir putus memancurkan darah.
"Itu upah kalian yang telah mempermalu-
kan aku!" desis Ki Samundang, lalu menatap din-
gin pada Andika. "Pendekar Slebor! Lebih baik
kau angkat kaki saja dari sini!"
Andika hanya tersenyum. Sementara, Ki
Danang Gumilar diam-diam gembira melihat ke-
munculan pendekar yang diharapkannya mampu
menghentikan kemelut di tubuh Lima Partai Gu-
nung. Tidak dipedulikannya sikap Ki Samundang
yang menurunkan tangan telengas kepada lima
muridnya. Karena bila kekejian itu terjadi di tu-
buh Partai Gunung, sudah tentu dia tak akan se-
gan-segan menurunkan tangan telengas. Me-
mang, murid-murid seperti itu hanya membuat
celaka saja.
"Aku telah berada di sini," kata Andika,
menyahuti kata-kata Ki Samundang dengan te-
nang. "Dan aku pun tidak menginginkan kalian
yang berada dalam aliran lurus harus saling tem-
pur. Sekarang, dengarkan pendapatku. Memang,
aku terlalu lancang mencampuri urusan ka-
lian...."
Sejenak Pendekar Slebor menghentikan ka-
ta-katanya. Matanya beredar ke sekeliling.
"Kalian memang telah mendapatkan ama-
nat dari Guru kalian, akan sebuah bokor emas
yang berisi Air Swargaloka. Sialnya, kalian berli-
ma sulit untuk memutuskan, siapa yang berhak
meminum Air Swargaloka. Dan jalan yang dipakai
adalah dengan bertarung, untuk membuktikan
siapa yang paling tangguh. Dengan demikian pe-
menangnya berhak untuk meminum Air Swarga-
loka yang tentunya mengandung khasiat sangat
tinggi"
Lagi-lagi Andika menghentikan kata-
katanya. Lagaknya seperti seorang guru di depan
murid-muridnya.
"Sekarang, aku mempunyai satu pikiran
menarik. Itu pun bila kalian memang tidak men-
ginginkan terjadinya pertumpahan darah di sini,
sesama Lima Partai Gunung, Ki Samundang! Se-
jak tadi aku tahu, kaulah yang paling mengingin-
kan Air Swargaloka. Nah! Mengapa kalian berem-
pat tidak merelakannya saja Air Swargaloka itu
diminum Ki Samundang? Toh, dia masih saudara
kalian juga? Kalian masih menemuinya. Dan lagi.
Air Swargaloka diminum oleh orang yang berada
dalam jalan lurus. Bukankah ini usul yang sangat
baik? Namun dugaanku tentang amanat Guru ka-
lian itu, karena kalian merasa tak ada yang berjo-
doh, maka akan bisa ditentukan dengan perta-
rungan untuk mencari orang yang paling tang-
guh."
Semua terdiam. Namun dalam hati, mereka
membenarkan juga usul Pendekar Slebor. Me-
mang, kedatangan pendekar urakan ini sungguh
mengejutkan. Terutama bagi Ki Danang Gumilar,
Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.
Sementara kening Ki Lingkih Manuk berke-
rut, sungguh tidak disangka kalau pendekar sakti
yang banyak dibicarakan orang ternyata masih
muda. Dan rupanya, sudah mengerti duduk ma-
salahnya yang tengah dihadapi Lima Partai Gu-
nung. Yang tak pernah disangka, ternyata murid-
murid Ki Samundang telah melakukan suatu ke-
giatan keji, ingin membunuh mereka secara se-
rempak. Namun, Ki Lingkih Manuk sangat yakin
kalau itu bukanlah perintah Ki Samundang.
Meskipun berada pada titik panasnya, namun Ke-
tua Partai Gunung Arjuno bukanlah orang penge-
cut. Bukan pula orang yang tergolong suka membokong.
Sepasang Kelabang Berbisa? Ki Lingkih
Manuk teringat bagaimana Lima Partai Gunung
memukul lari Sepasang Kelabang Berbisa. Itu pun
setelah mereka berlima mengeroyoknya. Kalau-
pun Pendekar Slebor mengatakan telah membu-
nuh salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbi-
sa, bisa ditebak kesaktian pemuda ini memang
sangat tinggi.
Suasana sejenak hening.
"Benar!" kata Ki Danang Gumilar memecah
keheningan. "Benar sekali usul Pendekar Slebor!
Maksudku, bila memang Ki Samundang meng-
hendaki Air Swargaloka itu, silakan saja. Aku pri-
badi tidak begitu menginginkan, daripada harus
melihat darah sesama kita. Begitulah keputusan-
ku setelah mendengar usul Pendekar Slebor. Lagi
pula, aku bisa mengerti kelanjutan dari kata-
katanya. Kalau tidak ada yang berjodoh, berarti
bokor emas itu memang harus dibuang. Seperti
usul Ki Lingkih Manuk, yang sebenarnya telah ki-
ta pecahkan pertama kita bertemu."
Mendengar kata-kata Ki Danang Gumilar
yang pelan namun sangat pedas di telinga, mem-
buat wajah Ki Samundang memerah.
Ki Samundang menggeram. Kejengkelan
pertamanya, adalah karena kehadiran Pendekar
Slebor. Kedua, malunya karena perbuatan lima
muridnya. Ketiga, justru secara tidak langsung
Pendekar Slebor memojokkannya. Keempat, Ki
Danang Gumilar telah membuat telinganya memerah.
"Ki Danang Gumilar! Kau berhasil membu-
atku malu!" desis Ki Samundang.
Ki Danang Gumdar menyadari kesalahan
bicaranya.
"Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku
hanya mengatakan, kalau tidak begitu mengin-
ginkannya. Bukankah amanat Guru, salah seo-
rang di antara kita yang berjodoh berhak memi-
numnya. Nah! Aku pribadi justru menghendaki,
kalau kaulah yang berjodoh untuk meminum Air
Swargaloka. Apa yang dikatakan Pendekar Slebor
memang benar. Juga tentang bokor emas yang
seharusnya dibuang saja. Apalagi kita terlalu sulit
untuk menentukan, siapa yang berjodoh dengan
bokor emas itu. Sehingga, tidak akan terjadi per-
tumpahan darah di antara kita. Sekali lagi kuka-
takan, kau memang berhak meminum Air Swar-
galoka itu, Ki Samundang."
Harga diri yang sudah tersinggung itu tak
mampu lagi membendung amarah Ki Samundang.
Tiba-tiba saja telunjuknya menjentik ke arah Ki
Danang Gumilar.
Werrr...!
Sebuah angin yang meluncur seperti jarum
menderu ke arah Ki Danang Gumilar. Namun la-
ki-laki ini mampu melihat. Dibalasnya serangan
itu dengan menjentikkan tangannya.
Wesss...!
Darrr!
Pertemuan dua angin yang dilakukan
hanya dengan satu jentikan tangan menimbulkan
suara bagai balon pecah.
Andika berdecak kagum dalam hati.
"Hebat! Suatu pameran tenaga dalam me-
nakjubkan!" desis Pendekar Slebor dalam hati.
"Tunggu!" seru Ki Gumilar seraya men-
gangkat tangannya. "Pertarungan di antara kita
belum dilakukan. Tetapi, mendengar usul dari
Pendekar Slebor, kupikir merupakan usulan yang
sangat baik. Dengan begitu, kita tidak akan me-
neruskan pertarungan ini! Aku pribadi, setuju
dengan usulnya! Apalagi, seperti yang dikatakan-
nya, kalau Sepasang Kelabang Berbisa telah da-
tang untuk memukul kita dari belakang. Memang,
aku pun telah kedatangan tamu yang tak kalah
dahsyat dan mendendam kepadaku. Mereka ada-
lah Tiga Duri Setan yang juga berniat memiliki
bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu. Sekali
lagi kukatakan, aku setuju dengan usul Pendekar
Slebor. Bagaimana dengan kalian, Ki Lingkih Ma-
nuk dan Ki Redamo Rusa?"
Ki Lingkih Manuk dan Ki Redamo Rusa sal-
ing berpandang, lalu sama-sama menganggukkan
kepala.
Ki Lingkih Manuk tertawa.
"Ha ha ha.... Rupanya penyelesaian ini
sangat mudah! Memang, kehadiran Pendekar Sle-
bor tidak diundang. Namun, otaknya yang encer
hanya dalam sesaat saja bisa memecahkan kete-
gangan di antara kita. Sementara, kita selama tiga
bulan berada dalam kegelisahan."
"Tidak!" sergah Ki Samundang geram.
Mata Ketua Partai Gunung Arjuno itu me-
natap tajam pada Pendekar Slebor. Secara tidak
langsung, dia dibuat malu oleh pemuda berbaju
hijau pupus yang mendadak saja muncul.
"Ki Lingkih Manuk! Usul itu dikeluarkan
oleh orang yang berdiri di luar Lima Partai Gu-
nung. Sehingga, nampaknya tidak sah. Jadi me-
nurut hematku, aku menolak pemberian Air
Swargaloka itu secara cuma-cuma. Aku tetap
menginginkan pertarungan terjadi Karena, aku
menilai amanat dari Guru, kalau yang paling
tangguh di antara kitalah yang berhak menda-
patkan Air Swargaloka. Pendekar Slebor...! Sekali
lagi kukatakan, jangan memancing di air keruh!
Aku tahu, kau sebenarnya yang menginginkan Air
Swargaloka itu. Hhh! Lebih baik menyingkir dari
sini, sebelum nama besarmu hari ini akan runtuh
di tangan Partai Gunung Arjuno!"
Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepala.
Diam-diam bisa ditebak maksud Ki Samundang.
Memang secara sekilas tidak terlalu kentara, ka-
rena ditekankan pada Ki Panca Giri. Padahal bila
dilihat dari sisi lain, semua itu terjadi karena ke-
sombongan Ki Samundang saja.
10
Andika terkekeh-kekeh.
"Memang kuakui, apa yang kau katakan
itu benar, Ki. Bila kalian tidak setuju dengan
pendapatku yang terakhir, kalau kalian merasa
tak seorang pun yang berjodoh, lebih baik bokor
emas itu dibuang saja. Tetapi, pendapatku yang
pertama, secara tidak langsung sudah disepakati.
Maksudku, empat orang di antara kalian sudah
setuju, hanya kau seorang saja. Tetapi satu di-
banding empat, sudah tentu menang empat. Da-
lam hal ini, keputusan sudah dicapai. Kalau yang
berhak untuk menerima dan meminum Air Swar-
galoka itu."
Ki Samundang menyipitkan matanya. Ber-
bahaya. Hatinya benar-benar tersinggung oleh
perlakuan Andika. Yang terutama lagi ia telah di-
buat malu.
Tiba-tiba saja Ki Samundang meluncur
dahsyat ke arah Andika.
"Kau memang mencari penyakit Pendekar
Slebor!" Gebrakan cepat dan mengandung tenaga
dalam tinggi dari Ki Samundang, meleset dari sa-
saran, karena Pendekar Slebor dengan sigap me-
miringkan tubuhnya ke kiri. Sementara tangan
kanannya bergerak menyerang balik.
Ki Samundang terkejut melihat serangan
balik Pendekar Slebor yang sangat cepat itu. Se-
ketika tubuhnya dikempos ke belakang. Begitu
menjejak tanah, cepat tubuhnya meluruk ke de-
pan diiringi teriakan cukup keras.
Andika diam-diam bisa merasakan kege-
raman Ki Samundang. Karena bila melihat seran-
gan yang penuh tenaga dan mematikan itu, bisa
jadi Ki Samundang memang ingin merampas
nyawanya. Sudah tentu Andika tidak mengingin-
kannya.
Pendekar Slebor pun segera menggebrak
tak kalah cepat. Pertarungan yang terjadi itu kini
hanya kelihatan bagaikan dua bayangan yang
berkelebat, karena saking cepatnya. Dan sekali-
sekali terdengar teriakan keras.
Ki Lingkih Manuk diam-diam mengagumi
kesaktian Pendekar Slebor. Karena dia tahu, ju-
rus Ki Samundang adalah "Sepasang Cakra Men-
cecar Jantung'. Kedua tangannya bagaikan cakra
yang berputar cepat, menyambar bagaikan seekor
elang mengintai anak ayam.
Namun yang dihadapi Ki Samundang ada-
lah Pendekar Slebor yang sangat kesohor kesak-
tiannya. Pendekar urakan ini bukan hanya bisa
mengimbangi serangan Ki Samundang saja. Bah-
kan mampu mengirimkan serangan balasan yang
tak kalah dahsyat.
Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan ter-
jadi. Tiba-tiba saja, Ki Lingkih Manuk meluruk
deras masuk dalam pertarungan itu. Ajian
'Pedang Kilat' telah terangkum di tangannya. Se-
mentara sasaran yang ditujunya adalah Andika.
Andika terkejut ketika merasakan angin
keras menderu ke arahnya. Dengan cepat tubuh-
nya dikempos ke samping. Maka serangan Ki
Lingkih Manuk pun luput.
"Busyet!" dengus Pendekar Slebor dalam
hati. "Kenapa dia justru menyerangku? Tadi sepertinya usulku disetujui? Apakah ada yang salah
sekarang?"
Dan bukan hanya itu saja yang menge-
jutkan Andika. Karena tiba-tiba saja Ki Danang
Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa
menerjunkan diri dalam pertarungan. Sasaran
mereka adalah Andika!
"Hei! Kenapa jadi begini?" seru Pendekar
Slebor pontang-panting menghindari setiap se-
rangan.
Ki Samundang saja tidak mengerti, menga-
pa saudara-saudaranya yang lain justru menye-
rang Pendekar Slebor. Namun kesempatan itu di-
pergunakan untuk mencecarnya.
"Kutu loncat! Monyet belang! Kenapa jadi
begini, sih?!" dengus Andika sambil berjumpalitan
menghindari setiap serangan.
Yang membuat Pendekar Slebor semakin
terkejut ketika menyadari kalau kelima lawannya
telah mempergunakan ajian pamungkas masing-
masing. Ki Danang Gumilar sendiri telah meng-
gunakan ajian 'Tombak Maut'. Sedangkan Ki Ka-
lungkung merangkum ajian 'Golok Dewa'. Semen-
tara Ki Redamo Rusa menggunakan ajian 'Parang
Membelah Bumi'. Belum lagi ajian 'Pedang Kilat'
yang dipergunakan oleh Ki Lingkih Manuk, dan
ajian 'Sepasang Cakra Mencecar Jantung'.
Lengkaplah kesulitan Pendekar Slebor se-
karang ini. Ia mendengus dalam hati, ketika me-
nyadari kalau bantuannya justru menjadi bume-
rang bagi diri sendiri.
"Brengsek. Kalau tahu begini, biar saja ka-
lian saling bertempur!" rutuk Andika sambil me-
lompat ke belakang, bermaksud menghindari per-
tarungan.
Namun Ki Lingkih Manuk sudah kembali
meluruk cepat.
"Kau sudah masuk kalangan, dan men-
campuri urusan kami. Berarti, kau harus meng-
hadapi kami berlima. Lima Partai Gunung!" kata
Ki Lingkih Manuk keras.
Kini mau tak mau Andika mulai menggu-
nakan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh. Kare-
na yang dihadapinya adalah jago-jago yang na-
manya sudah menjulang puncak ketenaran. Jago-
jago yang memang patut diperhitungkan.
Dengan mempergunakan kecepatannya,
Andika mencoba meladeni serangan yang datang
sekaligus. Tiba-tiba saja, dengan keberanian luar
biasa, tubuhnya meluruk ke arah lima serangan
yang datang secara serempak. Tetapi, sebelum te-
naganya beradu dengan lima ajian maut yang di-
pergunakan Lima Partai Gunung, tubuhnya digu-
lingkan ke samping. Kakinya diangkat dengan sa-
tu sentakan kuat ke arah Ki Redamo Rusa.
Ki Redamo Rusa langsung melompat
menghindar. Namun dengan gerakan sangat ce-
pat, Pendekar Slebor cepat melepaskan pukulan
telak ke dada Ketua Partai Gunung Slamet itu.
Dan....
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Redamo Rusa terguling. Dia ce-
pat bangkit, tapi tidak untuk menyerang. Segera
diambilnya sikap bersemadi, ketika merasakan
hawa panas mengalir di tubuhnya.
"Hebat!" puji Ki Lingkih Manuk. "Tetapi
jangan bangga dulu. Masih ada empat orang lagi
yang harus kau hadapi, Pendekar Slebor!"
"Hei. hei! Hentikan dong, serangan ini!"
pinta Andika seperti anak kecil. Dia tahu, kalau
sedikit saja lengah, maka nyawanya akan lewat.
"Aku kan hanya usul! Kalau tidak mau terima, ya
sudah!"
Sementara itu, Sari yang melihat pertarun-
gan dari tempat persembunyiannya jadi berdebar-
debar cemas. Inikah yang dimaksud Andika kalau
siasatnya cemerlang untuk mengatasi kemelut di-
tubuh Lima Partai Gunung?
Ingin sekali Sari membantu pemuda pu-
jaannya. Tetapi, dia mencoba untuk belajar me-
nuruti kata-kata Andika. Dia ingin menjadi gadis
lembut di mata Andika. Makanya, hanya diperha-
tikannya saja jalannya pertarungan dengan dada
semakin berdebar.
Andika sendiri kini sudah melepas kain
pusakanya yang bercorak catur. Dengan bantuan
kain pusaka yang dijadikan senjata, dia bisa men-
jaga jarak dari setiap serangan. Bahkan ketika
melihat Ki Danang Gumilar melesat ke atas. den-
gan cepat Andika membuang tubuhnya sambil
menyentakkan kain pusakanya ke kaki.
Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Ki Danang Gumilar terpekik. Dan baru saja
mendarat di tanah, dia harus menerima pukulan
tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh milik Andika
yang telah berkelebat kembali. Seperti yang dila-
kukan Ki Redamo Rusa, Ki Danang Gumilar pun
segera bersemadi.
Kini tinggal tiga orang lawan yang harus
dihadapi Andika. Namun, bagi Andika semua itu
sama sulitnya. Apalagi ketika dirasakannya angin
menderu ke arah tangannya yang datang dari se-
rangan Ki Lingkih Manuk.
Dengan cepat tubuhnya dimiringkan. Teta-
pi ajian 'Pedang Kilat' yang dilakukan Ki Lingkih
Manuk lebih cepat datangnya. Dan....
Diegkh...!
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor terpekik, tersambar tan-
gan Ki Lingkih Manuk yang bagaikan pedang.
Darah segera mengalir bersamaan dengan
kemarahan Andika yang mulai memuncak. Tiba-
tiba saja Pendekar Slebor menerjang membabi bu-
ta sambil mengecutkan kain pusakanya ke sana
kemari. Bukan hanya itu saja yang dilakukan.
Secepat kilat tubuhnya berkelebat ke arah Ki Ka-
lungkung sambil mengecutkan kain pusakanya.
Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Ki Kalungkung harus tersuruk ke bela-
kang, ketika tangannya tersambar kain pusaka
milik Andika. Belum lagi dia bisa berbuat sesuatu, sebuah tendangan mampir di dadanya.
Desss...!
"Aaakh...!"
Kini tinggal dua orang yang dihadapi Andi-
ka. Yang sangat berbahaya adalah serangan Ki
Samundang yang tetap bernafsu ingin menjatuh-
kannya. Bahkan sekaligus membunuhnya. Tetapi
serangan Ki Lingkih Manuk pun tak kalah berba-
hayanya.
"Edan! Aku bisa mampus juga nih! Sari...,
kau bisa jadi janda!" seloroh Pendekar Slebor
sambil melenting ke belakang.
Dan begitu hinggap di tanah, kain pusaka
Andika sudah disampirkan kembali ke bahunya.
Lalu ajiannya yang sangat dibanggakan dibuka
'Guntur Selaksa'.
"Maaf. Terpaksa aku harus memperguna-
kan ajianku ini. Karena, kalian adalah orang tua
yang keras kepala!" ucap Andika.
"Persetan dengan ucapanmu itu. Pendekar
Slebor!" seru Ki Samundang. "Kau melihat sendiri,
bukan? Ternyata saudara-saudaraku pun tidak
suka kau ikut campur dalam urusan ini!"
"Aku kan hanya usul! Usul!" seru Andika
ngotot. "Kalau kalian tidak mau terima, ya sudah!
Tidak usah marah-marah seperti ini! Dasar, su-
dah pada pikun semuanya!"
Sementara Ki Lingkih Manuk menghela
napas diam-diam. Dia menyerang Andika bukan-
lah sesuai alasan yang dikatakan Ki Samundang.
Dia mempunyai pikiran lain. Maka tiba-tiba saja
tubuhnya meluruk kencang.
"Kita lihat sekarang, siapa yang paling he-
bat, Pendekar Slebor?!"
"Boleh, boleh!" sahut Andika. "Tetapi...,
maafkan aku!"
Bersamaan dengan itu, Andika pun mele-
sat ke arah Ki Lingkih Manuk yang sudah melu-
ruk maju. Dan…..
Blarrr...!
Dua buah ajian sakti berbenturan, menim-
bulkan suara cukup keras.
Sosok Ki Lingkih Manuk terlempar ke bela-
kang disertai muntahan darah. Sementara Andi-
ka, meskipun hanya terjajar ke belakang dua tin-
dak, tetapi dadanya terasa sangat nyeri. Dan se-
lagi menahan rasa sakit itu, Ki Samundang segera
menyerangnya dengan cepat.
"Kini kau mampus. Pendekar Slebor!"
Naluri Andika yang terlatih segera me-
nangkap bahaya yang mematikan. Seketika kedua
kakinya dihentakkan ke tanah, seolah hendak
menancapkannya dalam-dalam. Namun, tanah
yang dipijaknya tidak jeblos.
Begitu serangan Ki Samundang tiba, men-
dadak saja dengan gerakan aneh sekaligus me-
nakjubkan, tubuh Andika meluncur ke atas seca-
ra berputar. Serangan Ki Samundang luput. Dan
orangnya berada di bawah tubuh Andika.
Secepat kilat Andika meluruk ke arah Ki
Samundang yang tak bisa menghindar lagi. Lalu....
Des! Buk!
Ajian 'Guntur Selaksa' telak sekali mampir
di punggung Ki Samundang, disusul satu tendan-
gan berputar yang dilakukan Andika. Tubuh itu
pun tersuruk ke depan.
Sementara Andika berdiri dengan tegar.
Namun dadanya sangat nyeri sekali. Bahkan di-
yakini, dalam dua gebrakan lagi, dia bisa mam-
pus.
Sedangkan Sari, diam-diam menghela na-
pas lega. Dia memang tak pernah menyangsikan
kehebatan Pendekar Slebor. Akan tetapi, ia tahu
kalau Andika terluka dalam.
Apalagi ketika Ki Samundang tampak
bangkit dan bermaksud menyerang kembali. Sari
sudah berniat turun membantu. Tetapi niatnya
diurungkan ketika dilihatnya Ki Lingkih Manuk
mengangkat tangannya.
"Tahaaannn!"
Ki Samundang menghentikan gerakan,
berdiri dengan tubuh gemetar.
Kening Andika berkerut. Tidak mengerti,
mengapa Ki Lingkih Manuk menyuruh Ki Samun-
dang menghentikan serangan.
"Saudara-saudaraku.... Pertarungan di an-
tara kita telah selesai...," lanjut Ki Lingkih Manuk.
Andika melongo. Apa maksudnya?
"Dengarkan kata-kataku sekarang. Keda-
tangan Pendekar Slebor memang sangat menen-
tukan dari pertarungan di antara kita yang seben-
tar lagi dilakukan. Tetapi, justru Pendekar Slebor
yang menjadi sasaran. Menurut amanat Guru,
yang berjodohlah yang berhak meminum Air
Swargaloka. Paling tidak, kita mengartikannya
yang paling tangguhlah yang berhak meminum
Air Swargaloka. Tetapi kini, kita semua harus
mengakui ketangguhan Pendekar Slebor. Bukan
berarti dia yang berhak meminum Air Swargaloka.
Tidak. Karena itu, berarti mengkhianati amanat
Guru."
Semua terdiam.
"Tetapi, dengarkan sekali lagi. Bila kita se-
pakat memecahkan amanat Guru dengan men-
gartikan siapa yang paling tangguh, berarti kita
sudah melakukannya. Tetapi kenyataannya, kita
semua tak ada yang lebih tangguh. Buktinya da-
pat dipecundangi Pendekar Slebor, yang terpaksa
hari ini dijadikan sebagai tumbal! Kita jadikan se-
bagai lawan kita! Dengan ketentuan, yang bisa
menjatuhkannya, maka dialah yang berhak me-
minum Air Swargaloka...."
Semua masih terdiam.
Andika kini mengerti, apa maksud Ki Ling-
kih Manuk menyerangnya. Dia juga melihat Ki
Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo
Rusa menganggukkan kepala. Rupanya mereka
menyetujui usul Ki Lingkih Manuk, meskipun
terpaksa menjadikan Andika sebagai lawan tand-
ing.
"Brengsek!" maki Andika kemudian. "Kalau
memang kenyataannya seperti itu, kenapa tidak
bilang dari tadi?!"
Ki Lingkih Manuk tersenyum.
"Pendekar muda yang sakti, maafkan sikap
kami yang menyerangmu. Kami akui, kami masih
kalah jauh dibandingkan kesaktianmu. Bila tadi
niatan kami menyerangmu dijelaskan, sudah ten-
tu kau tidak akan menyambutnya dengan sung-
guh-sungguh. Padahal, yang tahu hal itu hanya-
lah aku seorang. Dan kau lihat sendiri, bukan?
Aku tidak main-main menyerangmu! Ki Samun-
dang..., bagaimana sekarang?"
Ki Samundang menunduk. Dia malu sekali
dengan sikap lancangnya selama ini. Memang,
apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk dapat dite-
rimanya. Rupanya di antara mereka tak ada yang
paling tangguh. Buktinya tak ada yang berhasil
menjatuhkan Pendekar Slebor.
Ki Samundang mengangkat wajahnya. Di-
helanya napas seraya menatap Ki Lingkih Manuk.
"Aku setuju dengan kata-katamu itu, Ki
Lingkih Manuk. Kau benar. Dengan begitu, kita
pun tak menyalahi amanat Guru," ucap Ki Sa-
mundang.
"Ha ha ha.... Kemelut di tubuh Lima Partai
Gunung rupanya sudah berakhir sekarang ini,"
desah Ki Lingkih Manuk gembira, seraya menoleh
pada Andika, "Pendekar Slebor..., terima kasih
atas bantuanmu."
"Terima kasih, terima kasih! Enak saja ka-
lian sudah membikin jantungku hampir copot!"
seru Andika melotot
Kelima Ketua Partai Gunung terbahak
bahak. Rupanya ikatan batin dan tali persauda-
raan di antara mereka masih erat mengikat. Ter-
bukti sikap mereka seperti tak pernah punya ma-
salah. Terutama, Ki Samundang. Dia kini menya-
dari sikapnya yang terlalu mau menang sendiri.
Dia disadarkan seorang pemuda yang usianya
jauh lebih muda darinya. Seharusnya, di usianya
yang mulai memasuki masa senja ini, dia harus
banyak berpikir dan merenung.
"Sudah, sudah! " seru Andika ketika kelima
orang itu masih terbahak-bahak. "Kalau begitu,
mau diapakan bokor emas yang berada di ping-
gangmu itu, Ki Lingkih Manuk? Jangan-jangan,
hendak kau bawa ke tukang loak?"
Ki Lingkih Manuk tertawa. Diambilnya bo-
kor emas itu.
"Karena tak ada yang berhak untuk memi-
numnya, juga tidak ada yang menyalahi amanat
Guru, lebih baik bokor emas ini dibuang saja!
Dan lebih penting, jangan sampai terjatuh ke tan-
gan orang-orang golongan sesat."
Sehabis berkata begitu, dengan pengera-
han tenaga dalam tinggi, Ki Lingkih Manuk me-
lemparkan bokor emas itu ke puncak kawah Gu-
nung Merbabu. Di puncaknya lubang kawah
menganga siap menelan bulat-bulat.
"Kini, Lima Partai Gunung bersatu kemba-
li!" seru Ki Lingkih Manuk. "Pendekar Slebor...!
Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Kau
memang seorang pendekar kesohor dan dianggap
sebagai orang nomor satu di rimba persilatan ini!
Kalau bukan kau yang kami jadikan lawan tadi,
tak mungkin semua setuju dengan kata-kataku!"
Lalu satu persatu meninggalkan tempat
itu. Sedangkan Ki Danang Gumilar menghampiri
Andika.
"Sebelumnya, aku pun ingin meminta ban-
tuanmu, Andika. Tetapi rupanya, Gusti Allah te-
lah menuntunmu ke sini," kata Ki Danang Gumi-
lar, terus terang.
Andika tersenyum.
"Itulah sebabnya, kita harus percaya pada
Yang Maha Kuasa."
Ki Danang Gumilar menepuk-nepuk bahu
Andika.
"Aku percaya, suatu saat nanti kau akan
menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini
bila kau memang menginginkannya," lanjut Ketua
Partai Gunung Semeru.
"Aku tidak pernah memimpikan soal itu,
Ki. Membantu orang lain dalam kesusahan saja,
aku sudah suka," sahut Andika kalem.
Lalu perlahan-lahan rombongan itu pun
meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Kalau ta-
di di wajah mereka terlihat ketegangan, kali ini
tampak ceria oleh napas persaudaraan yang ber-
hembus kembali.
Sari segera melompat turun dan berlari
menemui Andika.
"Kau tidak apa-apa, Kang Andika? Tidak
apa-apa?" sambut Sari dengan wajah dan suara
cemas. Andika melotot.
"Enak saja ngomong! Dadaku sakit, tahu?!"
rutuk Pendekar Slebor, tak sungguh-sungguh.
"Oh! Yang mana, Kang? Bagian mana?"
tanya gadis itu, cemas. "Ma.... Mau kupijit,
Kang?"
Tetapi sesaat kemudian, gadis itu segera
menundukkan kepala.
Andika tersenyum, lalu perlahan-lahan
menaikkan dagu Sari. Sehingga, mata yang jernih
itu menatapnya. Tampak wajah Sari yang tersipu
bercampur cemas, memancar di sana. Sungguh!
Baru kali ini Andika melihat mata yang teduh
yang membuatnya tenang. Sejenak batin pemuda
itu teraduk-aduk.
"Tidak usah. Terima kasih atas penawa-
ranmu," ucap Pendekar Slebor.
"Aku..., ah! Aku...."
Gadis itu bingung sekali untuk mengung-
kapkan isi hatinya.
Andika tersenyum.
"Sari... Kau adalah gadis cantik, berani,
dan lincah. Aku suka sekali bertemu denganmu.
Tetapi nampaknya, aku harus melanjutkan perja-
lananku."
"Oh!"
Gadis itu terhenyak
"Kenapa, Sari?" tanya Andika.
"Kau mau ke mana, Kang Andika?" Gadis
itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa kasih
sayangnya.
"Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah
aku pergi. Karena, atap rumahku langit yang luas
membentang. Lantai rumahku, bumi yang sangat
luas."
"Tetapi, Kang...."
"Tidak ada tetapi. Sari. Aku harus melan-
jutkan perjalananku kembali."
Sari mendesah pendek.
"Bolehkah aku turut serta denganmu?"
tanya Sari, penuh harap.
Andika menggelengkan kepala sambil ter-
senyum.
"Sari..., kau adalah seorang gadis perkasa.
Kau masih muda. Tidak ada gunanya mengikuti
aku. Karena dalam perjalananku ini, dalam setiap
kakiku melangkah, mata-mata beracun akan se-
lalu mengintai," tolak Andika, halus.
"Aku mampu menjaga diriku, Kang. Kau ti-
dak usah cemas," tukas gadis itu meyakinkan
Andika. Besar sekali keinginannya untuk mengi-
kuti Andika.
"Seperti yang kukatakan tadi, kau gadis
yang perkasa Sari. Tetapi, aku ingin melanjutkan
perjalananku seorang diri. "
"Tetapi, Kang,..."
"Tahanlah keinginanmu itu, Adikku. Bila
Yang Maha Kuasa mengizinkan..., pasti kita akan
bertemu kembali."
Wuuusss!
Seketika tubuh Pendekar Slebor melesat.
Sebentar saja dia sudah jauh dari pandangan.
"Jangan tinggalkan aku. Kang Andikaaa!"
teriak Sari.
"Jaga dirimu baik-baik, Sari!" balas Andika
keras
"Oya, terima kasih kau mau kukecup wak-
tu itu! Pipimu mulus sekali..., ha ha ha...!"
Tanpa terasa dua titik air bening muncul di
sudut mata Sari. Dan tanpa sadar tangannya
membelai-belai pipinya yang dicuri kecup Andika.
Tiba-tiba satu sosok yang sangat dikenali
Sari mendekat. Langsung didekapnya dengan
erat.
"Oh, Belang.... Dia menganggapku sebagai
adiknya. Dia jahat, Belang. Jahat...!"
Bagaikan mengerti apa yang merisaukan
majikannya, si Belang menjilat-jilat wajah Sari.
Seolah dia berusaha untuk menenangkannya.
Sari mengangkat kepala.
"Ya! Kau benar, Belang. Aku tidak boleh
bersedih, Aku masih memilikimu. Seperti yang
dikatakan Kang Andika tadi. Kalau Yang Maha
Kuasa mempertemukan kembali aku dengannya,
pasti akan bertemu. Tetapi mungkinkan aku?"
Lalu perlahan-lahan gadis itu berdiri. Di-
naikinya punggung si Belang.
"Kita pulang, Belang!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar