PRAHARA DENDAM
LELUHUR
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Prahara Dendam Leluhur
128 hal.
SATU
Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding dan
berlantai tanah terlihat dua orang sedang duduk
dengan selonjorkan kaki-kaki masing-masing.
Keduanya sama sandarkan punggung masing-
masing pada tiang gubuk. Yang berada di sebelah
kanan, seraya duduk ia gerakan tangannya pu-
lang balik di depan dagu berkipas-kipas. Pandan-
gannya jauh ke depan, di mana tampak ujung ja-
lan setapak yang kemudian membelok dan hilang
di antara kerapatan pohon. Mulutnya terkancing
rapat. Malah sesekali napasnya berhembus pan-
jang-panjang, jelas jika ia sedang memikirkan se-
suatu.
Sementara yang berada di sebelah kiri se-
raya bersandar ia tersenyum-senyum. Tangan ki-
rinya memegang sebuah batu putih mengkilat
yang seringkali didekatkan pada wajahnya. Lalu
menggerak-gerakkan kepalanya dan menyibakkan
anak rambut pada tongkatnya. Gerakannya le-
mah gemulai persis gerakan seorang perempuan,
meski ia adalah seorang laki-laki.
"Kau rupanya masih tenggelam memikir-
kan gadis itu. Apa kau benar-benar jatuh cinta
padanya?!" Orang yang di sebelah kiri berkata
sambil dekatkan batu putih ke wajahnya. Sejenak
ia memperhatikan parasnya dari pantulan batu
putih. Lalu ekor matanya melirik ke kanan.
Yang dilirik tetap berkipas-kipas dan tak
segera menyahuti ucapan orang. Malah ia putar
tubuhnya hingga memunggungi orang yang baru
saja berkata.
"Ah, cinta kadang-kadang bisa membuat
orang menjadi tolol!" ujar orang yang di sebelah
kiri, lalu ikut putar tubuhnya setengah lingkaran,
hingga kedua orang ini saling memunggungi.
Mendengar ucapan orang, orang yang di
sebelah kanan menyeringai. Mulutnya komat-
kamit menggumam sesuatu yang tak jelas. Lalu
mulut itu membuka seakan hendak mengu-
capkan sesuatu, namun sebelum ucapannya ter-
dengar, orang di sebelah kiri telah berkata kemba-
li.
"Pendekar Mata Keranjang.... Jika kau ma-
sih disibukkan dengan masalah kepergian gadis
itu, adanya aku mungkin menambah keruwetan
pikiranmu. Aku akan meneruskan langkah.
Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi...."
Habis berkata begitu, orang ini segera
bangkit. Merapikan rambutnya sebentar, lalu
hendak melangkah meninggalkan gubuk itu. Na-
mun langkahnya tertahan ketika orang di sebelah
kanan yang ternyata adalah Aji alias Pendekar
Mata Keranjang 108 putar tubuhnya sambil ber-
kata.
"Setan Pesolek! Boleh aku tahu sesuatu da-
rimu?!"
Orang yang hendak melangkah pergi dan
ternyata adalah Setan Pesolek urungkan niat, lalu
tanpa balikkan tubuh menghadap Aji, dia berkata.
"Hmm.... Apa yang perlu kau ketahui?!"
Aji bangkit. Lalu melangkah mendekat.
"Aku tidak memikirkan ke mana perginya
Dewi Tengkorak Hitam. Itu adalah urusannya.
Yang jadi tanya bagiku, siapa sabenarnya dia?!"
Setan Pesolek tertawa pelan. Lalu balikkan
tubuh. Masih dengan senyum-senyum, dia ber-
tanya.
"Kalian akhir-akhir ini ke mana-mana sela-
lu berdua. Apakah kau tak sempat menanyakan
sendiri padanya?!"
"Hal itu pernah kulakukan. Namun jawa-
ban yang kuperoleh rasanya belum memuaskan.
Aku tahu, dia masih menyembunyikan sesuatu
padaku. Bisa kau menerangkan siapa dia
adanya?!"
Setan Pesolek gelengkan kepala pelan.
"Tak enak rasanya membicarakan orang.
Biarlah suatu saat kau yang akan tahu sendiri!
Hanya kalau boleh aku berkata, berhati-hatilah!
Pasang telinga kiri kanan baik-baik. Dan jangan
lupa mawas diri. Karena jika tidak, maka akan
buta mata batinmu!"
Aji usap-usap ujung hidungnya. Lalu ber-
kata dengan suara pelan.
"Tentang manusia yang bergelar Dewa
Maut, apakah sebelum ini kau pernah bertemu,
atau kau setidak-tidaknya mendengar namanya?!"
"Untuk pertama kali ini aku mendengar
dan melihat orangnya. Namun harus diakui jika
dia adalah seorang pemuda yang berilmu ting-
gi...," ujar Setan Pesolek. Ekor matanya mengerl-
ing pada Aji, lalu tersenyum-senyum.
"Aku tak mengerti, kenapa dia mendadak
muncul dan mencariku? Padahal, jangankan
membuat masalah, bertemu pun masih baru per-
tama kali.... Heran!"
"Pendekar 108! Kau tak usah heran. Kehe-
ranan hanya akan membuatmu tenggelam dalam
ketidak-pastian. Yang harus kau lakukan adalah
melihat lalu berpikir! Di sanalah nantinya kau
akan mengerti!"
"Sialan!" maki Aji dalam hati. "Siapa sebe-
narnya manusia ini? Aku baru saja mengenalnya.
Aku tahu, dia mengetahui banyak tentang hal
yang kuhadapi. Namun dia enggan mengatakan-
nya padaku...."
Selagi Aji tercenung, tiba-tiba Setan Peso-
lek gerakan tangannya seakan melambai. Bersa-
maan dengan itu, tubuhnya berkelebat dan seke-
jap kemudian lenyap di balik kerapatan pohon.
"Luar biasa.... Gerakannya hampir tak da-
pat kuikuti!" gumam Aji sambil geleng-geleng ke-
pala. Lalu putar tubuh. Sejenak dia menghela na-
pas dalam-dalam.
"Apa maksud ucapan Setan Pesolek agar
aku harus berhati-hati pada Dewi Tengkorak Hi-
tam? Selama bersama-sama dengan gadis itu, dia
sepertinya tidak menunjukkan perilaku yang
mencurigakan.... Tapi, kenapa dia mendadak per-
gi begitu saja tanpa memberitahu? Dan.... Dia seperti tak senang pada Setan Pesolek. Ada apa di
antara kedua orang ini? Mereka berdua tampak-
nya juga sudah saling kenal...," kata Aji dalam ha-
ti, lalu teringat pada perjalanan mereka yang
menghindar dari kejaran Dewa Maut.
Saat itu Dewi Tengkorak Hitam berlari di
sebelah depan. Sementara Setan Pesolek dan Aji
berada di belakang. Tiba-tiba saja Dewi Tengko-
rak Hitam hentikan larinya. Begitu Setan Pesolek
dan Aji ikut berhenti di sebelahnya, gadis itu
langsung memandang tajam pada Setan Pesolek.
Dadanya yang membusung terlihat turun naik, la-
lu dia berkata.
"Aku tak akan melupakan pertolonganmu.
Namun kuharap kau tak lagi mengikuti Iangkah
kami berdua. Kami berdua masih punya urusan
yang harus diselesaikan. Bukankah begitu Aji...?!"
Aji tak segera menjawab. Dia tampak bin-
gung. Sejenak memperhatikan Setan Pesolek lalu
beralih pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Hmm.... Begitu?" gumam Setan Pesolek
sambil gerakan tangannya. "Orang lagi tertusuk
cinta memang selalu tak ingin ditemani orang
lain. Hik.... Hik.... Hik...!" sambil terus tertawa
cekikikan Setan Pesolek balikan tubuh dan me-
ninggalkan Dewi Tengkorak Hitam serta Pendekar
Mata Keranjang.
Sesaat setelah Setan Pesolek berkelebat, Aji
teringat sesuatu.
"Kipasku.... Kipasku masih dibawanya!" Aji
lantas berpaling pada Dewi Tengkorak Hitam dan
berkata.
"Anting Wulan. Kau tunggu sebentar di si-
ni...."
Tanpa mempedulikan Anting Wulan alias
Dewi Tengkorak Hitam yang termangu-mangu tak
mengerti, Aji berkelebat ke arah mana Setan Peso-
lek berlari.
"Jahanam! Setan Pesolek. Kau kali ini men-
jegal langkahku. Hm.... Kau telah membuat uru-
san dengan Dewi Tengkorak Hitam. Hari-harimu
selanjutnya tidak akan lapang!" teriak Dewi Teng-
korak Hitam sambil kepalkan tangan. Dia sejenak
menunggu, namun setelah agak lama yang di-
tunggu tak muncul, gadis berparas cantik ini ban-
tingkan kakinya.
"Dia mungkin telah termakan setan banci
itu...!" gumamnya, lalu termenung dengan sepa-
sang mata memandang ke arah berkelebatnya Aji.
Dia tampak ragu-ragu. Akan menyusul atau me-
neruskan langkah sendiri. Setelah agak lama ak-
hirnya ia balikan tubuh dan berkelebat ke arah
berlawanan dengan yang diambil Aji.
Tak lama setelah Dewi Tengkorak Hitam
berlalu, Aji kembali, namun dia sudah tak mene-
mukan Dewi Tengkorak Hitam. Selagi dia kebin-
gungan, tiba-tiba Setan Pesolek muncul lagi.
"Pendekar Mata Keranjang. Tak ada gu-
nanya dicari. Dia telah jauh berlari...," kata Setan
Pesolek sambil berkaca pada cermin batu putih-
nya dan bersandar pada batang pohon.
Aji keluarkan dengusan. Sebenarnya dia
ingin marah. Namun mengingat Setan Pesolek te-
lah menolongnya, maka amarah itu ditahannya.
Malah tatkala Setan Pesolek berkelebat, Aji ikut-
ikutan berkelebat dan mengikuti ke mana Setan
Pesolek berlari. Ternyata Setan Pesolek menuju
sebuah gubuk tak berdinding di kaki sebuah bu-
kit.
"Hmm.... Butuh waktu untuk mengetahui
apa sebenarnya yang ada di balik ucapan Setan
Pesolek...," pikir Aji. Lalu setelah menarik napas
dalam-dalam ia melangkah meninggalkan gubuk.
Baru saja kakinya bergerak dua tindak, ti-
ba-tiba terdengar suara deru angin disusul den-
gan berkelebatnya sesosok bayangan. Pendekar
Mata Keranjang 108 hentikan Iangkah dan cepat
berpaling.
Paras murid Wong Agung seketika beru-
bah. Sepasang matanya mendelik memperhatikan
pada orang yang kini berdiri tegak sepuluh Iang-
kah di hadapannya.
Dia adalah seorang perempuan berusia
lanjut. Sepasang matanya cekung, rambutnya pu-
tih panjang, mengenakan pakaian panjang ber-
warna hitam yang pada dadanya terlihat sekun-
tum bunga.
"Dewi Bunga Iblis!" seru Aji begitu menge-
nali siapa adanya nenek di hadapannya.
Sang nenek yang bukan lain memang Dewi
Bunga Iblis dongakkan kepalanya. Dari mulutnya
keluar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba
suaranya terputus laksana direnggut setan. Kepalanya bergerak lurus menghadap ke depan.
"Anak jahanam!" teriak si nenek dengan
angkat tangannya dan jari telunjuknya lurus me-
nunjuk ke arah Pendekar 108.
"Ke liang semut pun jangan harap bisa lo-
los dari mataku! Kau telah digurat untuk tewas di
tanganku!"
Alis mata murid Wong Agung naik ke atas.
Sepasang matanya menyipit lalu membesar. Seje-
nak ia memperhatikan sang nenek lebih seksama.
"Nyatanya dia masih hidup. Tentu ada
orang yang telah menolongnya!" kata Aji dalam
hati.
Di hadapannya diam-diam sang nenek juga
membatin.
"Kali ini tak akan kubiarkan lagi dia melo-
loskan diri. Hanya dia satu-satunya harapan un-
tuk memperpanjang hidupku! Bekerjanya racun
si jahanam Gembong Raja Muda tinggal satu se-
tengah purnama lagi! Jika aku tidak berhasil
membawa kepalanya, maka hidupku tinggal em-
pat puluh lima hari! Sialan betul!"
Seperti diketahui, Dewi Bunga Iblis akhir-
akhir ini memang selalu pasang telinga baik-baik.
Mengendus berita ke sana kemari mencari jejak
beradanya Pendekar 108. Hal ini karena dalam
tubuh si nenek telah bersarang butiran beracun
Gembong Raja Muda, tokoh muda musuh Pende-
kar 108 yang terpaksa ditelan sang nenek sebagai
syarat pembebasan dirinya dari belitan selendang
merah Dewi Kayangan. Dan sebagai imbalannya,
kelak dia harus dapat membawa kepala Pendekar
108 ke hadapan Gembong Raja Muda. Jika dia
gagal, maka obat penawar racun itu tidak akan
diberikan (Tentang pertemuan Dewi Bunga Iblis
dengan Gembong Raja Muda silakan baca serial
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode :
"Manusia Titisan Dewa").
"Dewi!" seru Aji setelah agak lama terdiam.
"Kematian adalah bukan hal yang ku ta-
kutkan. Karena semua pasti akan mengalaminya!
Namun suatu hal yang pasti setiap kematian ada
sebabnya. Harap kau suka mengatakan padaku,
kenapa sejak semula kau menginginkan kema-
tianku? Padahal di antara kita tak ada masalah
atau kalaupun ada, itu hanya masalah sepele dan
tentunya kau dapat memakluminya!"
Dewi Bunga Iblis keluarkan dengusan ke-
ras. Lalu tertawa mengekeh.
"Anak muda! Kau tak pantas mengajukan
tanya padaku! Hadapilah kematianmu!"
Habis berkata begitu, kedua tangan Dewi
Bunga Iblis terangkat ke atas. Dan didahului ben-
takan nyaring, kedua tangannya segera disentak-
kan ke depan.
Wuuusss! Wuuusss!
Dua gelombang angin dahsyat menghentak
laksana gelombang air laut. Hawa panas serentak
menghampar. Gelombang angin ini melebar lalu
menyergap ke arah Pendekar 108 dari sisi kanan
kiri.
Aji sejenak terkesiap. Niatnya yang hendak
menghindar dengan melompat ke samping dia
urungkan. Secepat kilat tanganya ditarik dan se-
cepat itu juga disentakkan ke samping kanan kiri.
Sinar biru membersit, lalu mengembang
dan melabrak gelombang angin.
Bumm! Bummm!
Tempat itu bergetar hebat. Tiang gubuk pa-
tah lalu atapnya jatuh dan mental sebelum akhir-
nya berhamburan di udara. Pohon-pohon tak
jauh dari tempat bentroknya pukulan berderak
tumbang dengan kulit mengelupas dan hitam lak-
sana dipanggang! Asap tebal pun menutupi pan-
dangan.
Dewi Bunga Iblis terlihat jatuh berlutut.
Tubuhnya berguncang keras. Sejenak nenek ini
salurkan tenaga dalam pada dada dan tangannya
yang berdenyut sakit dan gemetar. Wajahnya be-
rubah sedikit pucat. Sesaat kemudian dia ter-
huyung-huyung bangkit.
Lima belas langkah di hadapan Dewi Bun-
ga Iblis, Pendekar Mata Keranjang tampak duduk
bersandar pada batangan pohon yang baru saja
tumbang. Paras mukanya pias. Batangan pohon
yang dibuatnya bersandar bergerak-gerak seiring
gerakan tubuhnya yang bergetar keras.
"Hmm.... Anak keparat ini benar-benar
tangguh! Dia tampaknya tak mengalami cidera
yang berarti! Aku harus segera menyelesaikan
urusan ini!" pikir Dewi Bunga iblis. Sejurus dia
memperhatikan Aji. Lalu sepasang matanya me-
mejam rapat. Mulutnya komat-kamit. Kedua tangannya perlahan diangkat dan disejajarkan dada.
Mendapati hal demikian, murid Wong
Agung tak tinggal diam. Dengan masih menahan
rasa sakit pada dada dan tangannya, dia bergerak
bangkit. Tenaga dalamnya cepat disalurkan pada
kedua telapak tangannya.
Saat itulah, di seberang sana terdengar
Dewi Bunga Iblis membentak garang. Kedua tan-
gannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Lalu
serta-merta disentakkan lurus ke depan.
Sebongkah awan hitam menggelembung
melesat cepat ke arah Pendekar 108. Di tengah ja-
lan, bongkahan awan hitam itu ambyar. Lalu ber-
tebaran beberapa bunga hitam! Bunga-bunga hi-
tam ini segera melesat dari segala jurusan. Setiap
bunga meluncur dengan angin dahsyat mendahu-
lui!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik
tangannya dan segera dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dua larik sinar biru membersit, sekejap
kemudian mengembang. Bersamaan dengan itu
terdengar letupan beberapa kali. Setiap letupan
memancarkan lidah api, lalu terlihat berhambu-
rannya bunga-bunga hitam.
Ketika pukulan Mutiara Biru yang dilepas
Aji menghantam satu persatu bunga hitam, Dewi
Bunga Iblis selinapkan tangan kanannya ke balik
pakaiannya, lalu tangan kanan itu disentakkan
ke depan.
Tiga bunga hitam agak besar yang kelua
rkan suara mendengung keras meluncur deras.
Begitu derasnya lesatan bunga hitam ini, hingga
murid Wong Agung sempat tercekat, karena tahu-
tahu tiga kuntum bunga tadi telah berada satu
depa di hadapannya. Hal ini tidak memungkinkan
baginya untuk melepaskan lagi pukulan Mutiara
Biru. Hingga dengan berseru keras, dia melompat
ke belakang, lalu kakinya menjejak tanah. Tu-
buhnya lantas melenting ke udara mengelak dari
hujaman tiga bunga hitam.
Gerakan murid Wong Agung ini memang
berhasil menyelamatkan tubuhnya dari hujaman
dua bunga hitam yang jelas mengandung racun
ganas itu. Namun satu kuntum lainnya sempat
menyergap dan menyerempet lengan kanannya.
Brettt!
Wuuusss!
Baju bagian lengan Aji langsung robek dan
terbakar. Murid Wong Agung ini berteriak keras.
Begitu mendarat dia segera memeriksa. Ternyata
kulit di balik pakaiannya yang robek mengem-
bung dan berwarna hitam!
"Untung kulitnya tidak tertembus, hingga
racun bunga itu tidak masuk!" gumam Aji dengan
mata berkilat-kilat. Dagunya mengembung dan
terangkat.
"Keparat! Dia masih bisa menghindar dari
bunga-bungaku. Kalau tidak kuselesaikan segera,
bukan tak mungkin aku yang akan dapat celaka!
Dan nyawaku makin di ujung tanduk!" Memikir
sampai di situ, Dewi Bunga Iblis cepat selinapkan
kembali tangan kanannya ke balik pakaiannya.
"Dia akan menyerang lagi dengan bunga-
bunga keparat itu! Hmm.... Kali ini tak akan ku-
biarkan dia berlaku semena-mena!" bisik Aji. Lalu
murid Wong Agung itu tarik tangan kirinya ke be-
lakang. Sementara tangan kanannya menyelinap
ke pinggang di mana tersimpan kipas ungunya.
Namun baru saja tangan Aji bergerak, Dewi
Bunga Iblis telah melompat ke depan. Di atas
udara, tubuhnya berputar, lalu lenyap dari pan-
dangan.
Aji tak tinggal diam. Sambil melirik menca-
ri tahu di mana beradanya lawan. Dia pun ikut
melenting ke udara, membuat Dewi Bunga Iblis
terperanjat karena tidak menduga, dan lebih ter-
cekat lagi, karena begitu di udara kaki Aji cepat
menerjang sementara tangan kanan kiri menyer-
gap dari arah samping.
"Jahanam!" maki Dewi Bunga Iblis. Dalam
keadaan demikian rupa, terlalu besar resiko bagi
nenek ini jika menghindar, karena serangan itu
datang dari arah depan dan samping. Maka satu-
satunya jalan adalah menyongsong serangan den-
gan sentakan tangan ke samping kiri dan kanan
sementara kakinya melejang ke depan.
Prak! Prak! Prakkk!
Terjadilah bentrok dua pasang tangan dan
kaki. Dewi Bunga Iblis berseru tertahan, tubuh-
nya terdorong ke belakang, namun nenek ini ce-
pat kerahkan tenaga dalam, hingga tubuhnya
kembali melesat ke depan. Di depan, Aji meringis,
namun begitu mendapati lawan melesat lagi, ke-
dua tangan dan kakinya segera dihentakkan me-
mapak gerakan tangan dan kaki Dewi Bunga Ib-
lis.
Lagi-lagi terjadi bentrok dua pasang tangan
dan kaki. Suara beradunya makin keras, karena
kedua orang ini sama-sama keluarkan segenap
tenaga dalamnya. Dari mulut Dewi Bunga Iblis
kembali terdengar suara seruan tertahan. Tubuh-
nya terlihat bergetar lalu melayang jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Si nenek yang bernafsu ingin
membunuh Pendekar 108 segera bergerak bangkit
meski dia tahu, bahwa dirinya telah terluka da-
lam, karena dari sudut bibir dan hidungnya telah
mengeluarkan darah kehitaman. Namun baru sa-
ja setengah tegak, tubuhnya limbung dan akhir-
nya jatuh lagi terkapar di atas tanah.
Di seberang, murid Wong Agung jatuh ter-
duduk. Untuk beberapa lama dia pejamkan sepa-
sang matanya. Setelah peredaran darahnya dirasa
normal lagi, dibuka matanya dan memandang ke
depan. Dewi Bunga Iblis masih tampak terkapar,
dan berusaha menggeliat bangkit. Namun begitu
hendak duduk, tubuhnya oleng dan terkapar lagi.
Hingga pada akhirnya nenek ini hanya bisa ang-
kat tubuhnya dengan posisi miring sambil bersi-
tekan pada pinggangnya. Sepasang matanya lurus
memandang tajam ke arah Pendekar 108 yang te-
lah berdiri.
"Bodohnya diriku! Kenapa aku melaya-
ninya bertukar pukulan secara langsung. Tenaganya tentu lebih kuat dariku yang sudah renta
ini! Sialan!" Dewi Bunga Iblis memaki dirinya
sendiri. Namun diam-diam nenek ini salurkan si-
sa-sisa tenaganya begitu tampak Pendekar Mata
Keranjang 108 melangkah ke arahnya.
Tujuh langkah di depan si nenek, Aji henti-
kan langkah. Sejenak dia mengawasi keadaan
orang tua yang tak mau bangkit itu.
"Tak pantas rasanya menghabisi orang tua
yang sudah tak berdaya, meski dia menginginkan
nyawaku!" ujar Aji dalam hati. Lalu tanpa berka-
ta-kata lagi dia balikan tubuh dan hendak me-
ninggalkan tempat itu.
'Setan alas! Apa dikira aku telah kalah?!
He...?!" rutuk Dewi Bunga Iblis. Sekonyong-
konyong, dengan menggulingkan tubuhnya, ke-
dua tangannya dihantamkan ke depan.
Gelombang angin dahsyat yang keluarkan
suara menggemuruh melesat ke arah Pendekar
108 yang melangkah memunggungi.
Aji melengak tegang. Dia tak menyangka ji-
ka si nenek masih bisa lancarkan pukulan. Sece-
pat kilat dia putar tubuhnya dan hantamkan ke-
dua tangannya.
Namun sebelum kedua tangan murid Wong
Agung ini menghantam, sesosok bayangan berke-
lebat. Bersamaan dengan itu, terdengar seruan.
"Nenek tak tahu malu! Dikasihani orang
malah menyerang dari belakang!" Lalu terdengar
deru angin, dan tiba-tiba angin pukulan Dewi
Bunga Iblis terpencar sebelum sampai sasaran.
"Jahanam tengkik! Siapa berani ikut uru-
sanku!" teriak Dewi Bunga Iblis marah. Karena
dia yakin seandainya pukulannya tak dipatahkan
orang, bukan tidak mungkin pukulannya akan
menghantam telak Pendekar Mata Keranjang.
Baik Pendekar 108 maupun Dewi Bunga
Iblis segera berpaling ke samping. Di situ berdiri
sesosok tubuh. Tangan kanannya yang baru saja
mengibaskan jubah yang dikenakannya dan
mampu mematahkan pukulan Dewi Bunga Iblis
diturunkan. Sepasang matanya lantas meman-
dang silih berganti pada Pendekar 108 dan Dewi
Bunga Iblis.
DUA
DIA adalah seorang anak perempuan mun-
gil berusia kira-kira sepuluh tahun. Mengenakan
jubah panjang sebatas lutut berwarna putih.
Rambutnya hitam lebat dan dikuncir banyak den-
gan diikat pita berwarna-warni. Wajahnya bulat
dengan mata bundar. Alis kedua matanya tebal,
bulu-bulu matanya lentik, sementara hidungnya
mancung. Meski anak kecil, namun dengan men-
genakan pakaian berupa jubah demikian, tam-
pang anak perempuan ini tampak anggun berwi-
bawa.
Sejurus Dewi Bunga Iblis memperhatikan
si anak dengan tatapan heran bercampur kagum.
Malah dia hampir tak mempercayai pandangan
matanya ketika pukulannya begitu mudah dipa-
tahkan oleh seorang anak kecil. Namun kehera-
nannya berubah saat dia teringat bahwa dengan
kemunculan anak ini, jiwa Pendekar Mata Keran-
jang 108 bisa selamat, dan itu membuat nya-
wanya makin terancam. Apalagi keadaannya se-
karang tidak memungkinkan lagi baginya untuk
meladeni Pendekar 108.
Seraya telentang, Dewi Bunga Iblis kelua-
rkan hardikan keras.
"Anak kurang ajar! Siapa kau berani ikut
campur urusan orang tua?!"
Si anak mainkan beberapa kuncir rambut-
nya. Wajahnya tidak menampakkan perubahan
meski baru saja dibentak orang. Malah dengan
bibir sunggingkan senyum dia berkata ramah.
"Nek! Harap kau tak marah. Bukan mak-
sudku ikut campur urusan orang-orang besar.
Namun....," si anak tak teruskan ucapannya, ka-
rena saat itu juga Dewi Bunga Iblis telah menya-
hut kembali dengan suara tinggi.
"Sudah! Jangan banyak bicara. Sebutkan
siapa namamu! Lalu lekas tinggalkan tempat ini!"
Si anak berjubah putih berpaling pada
Pendekar 108 seakan minta pertimbangan. Na-
mun Aji tak memberikan sambutan. Malah dia
dongakan kepala.
"Siapa anak ini? Melihat gerakannya juga
kedatangannya yang begitu tiba-tiba dan tak da-
pat kusiasati sebelumnya, bukan tak mungkin
anak ini mempunyai ilmu tinggi...," kata Aji dalam
hati. Lalu luruskan kembali kepalanya meman-
dang ke arah si anak.
Saat itu si anak memandang lekat-lekat
pada Dewi Bunga Iblis, lalu berkata. Suaranya te-
tap rendah dan ramah.
"Nek.... Namaku Putri Kipas. Kau sendiri
siapa. Nek?!" si anak yang mengaku bernama Pu-
tri Kipas balik ajukan tanya.
Dewi Bunga Iblis mendengus keras. Sepa-
sang matanya tetap tak kesiap memandang ke
arah Putri Kipas.
"Putri Kipas.... Hmm.... Kalau benar-benar
bernama itu, mana kipasnya? Atau dia hanya
mengada-ada?!" batin si nenek seraya sapukan
pandangannya pada sekujur tubuh Putri Kipas.
Mencari-cari sesuatu.
Seakan tahu apa yang ada dalam benak
Dewi Bunga Iblis, Putri Kipas selinapkan kedua
tangannya ke balik jubah putihnya. Begitu ditarik
keluar kembali, terlihat di tangan kanan kiri terli-
hat memegang masing-masing tiga buah kipas
berwarna-warni. Dengan gerak cepat, kedua tan-
gannya lalu menyentak. Tiba-tiba enam kipas li-
pat berwarna-warni di tangannya mengembang.
Kipas itu tersusun rapi dengan dua jari masing-
masing mengepit satu ujung pangkal kipas. Lalu
dengan enaknya tangan kiri kanannya bergerak
pulang balik ke samping, membuat gerakan se-
perti orang berkipas-kipas.
"Hebat! Aku belum tentu mampu berbuat
sepertinya!" kata Aji dalam hati seraya terus
memperhatikan si anak.
Sementara itu, melihat Putri Kipas seakan
bisa membaca jalan pikirannya, diam-diam Dewi
Bunga Iblis terkesiap. Sepasang matanya makin
membeliak. Dan wajahnya berubah saat Putri Ki-
pas sambil tersenyum dan tetap berkipas-kipas
melangkah ke arahnya.
"Apa yang hendak dilakukannya padaku?
Kalau dia berbuat macam-macam...," Dewi Bunga
Iblis tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-
tiba saja Putri Kipas telah berdiri tegak di sebe-
lahnya, dan berkata pelan.
"Nek.... Kau tampaknya terluka. Hmm....
Boleh aku memijitnya?!"
Dewi Bunga Iblis menatap tajam. Mulutnya
tidak keluarkan ucapan menolak atau menerima.
Kepalanya pun tak memberi isyarat dengan
menggeleng atau mengangguk. Bahkan ketika Pu-
tri Kipas sentakan tangan kanan kirinya untuk
melipat kipasnya, dan lantas jongkok di sebelah-
nya, nenek ini tetap diam.
Setelah menyimpan beberapa kipasnya ke
balik jubah putihnya, tanpa melihat pada peru-
bahan wajah Dewi Bunga Iblis yang serentak be-
rubah tatkala tangan Putri Kipas mulai bergerak
memijit kakinya, anak perempuan ini terus memi-
jit kaki si nenek.
Tiba-tiba Dewi Bunga Iblis tercekat hampir
tak percaya. Kakinya yang tadi seolah tak bisa di-
gerakkan akibat bentrok dengan kaki Pendekar
108 kini perlahan-lahan bisa digerakkan. Malah
rasa sakit dan nyeri di kakinya lenyap!
"Nek.... Tanganmu!" kata Putri Kipas den-
gan ulurkan tangannya memberi isyarat agar De-
wi Bunga Iblis julurkan kedua tangannya ke de-
pan. Dengan mata tetap tak kesiap memandang,
Dewi Bunga Iblis ulurkan kedua tangannya ke
depan.
Putri Kipas mengusap-usap sebentar, lalu
memijit. Dewi Bunga Iblis merasakan darahnya
berjalan normal kembali, dan tangannya tidak te-
rasa ngilu lagi.
"Sekarang cobalah gerakan kedua kaki dan
tanganmu!" ujar Putri Kipas seraya bergerak
bangkit
Tanpa banyak bicara lagi, Dewi Bunga Iblis
gerakan kaki dan tangannya. Merasa tak lagi sa-
kit, nenek ini coba bergerak bangkit. Mula-mula
perlahan-lahan, takut jika akan roboh lagi. Dan
begitu telah berdiri tegak dan tubuhnya tidak lagi
limbung, Dewi Bunga iblis segera berpaling pada
Putri Kipas.
"Putri Kipas.... Terima kasih atas pertolon-
ganmu! Kalau boleh tahu, siapakah kau sebenar-
nya? Kau pasti murid seorang tokoh rimba persi-
latan.... Betul?" katanya seraya ekor matanya me-
lirik Pendekar 108 yang sedari tadi tetap tegak di-
am sambil melihat ke arah Putri Kipas.
Ditanya demikian, Putri Kipas tidak segera
menjawab. Malah dia serentak tertawa lebar. Lalu
mempermainkan pita-pita di rambutnya.
"Nek.... Kau tadi belum jawab pertanyaan-
ku!" Putri Kipas menggumam seolah mengin-
gatkan.
Sekejap paras wajah Dewi Bunga Iblis be-
rubah. Namun sesaat kemudian ia tersenyum,
meski tampak sekali jika senyumnya dipaksakan.
"Putri Kipas.... Namaku, ah! Orang-orang
memanggilku Dewi Bunga Iblis!"
Putri Kipas keluarkan seruan kecil seakan
terkejut mendengar si nenek sebutkan dirinya.
"Nama bagus, tapi menakutkan!" ujarnya
sambil turunkan tangan dari mulutnya yang tadi
dibuat membekap agar seruannya tidak terden-
gar.
Dewi Bunga Iblis tengadahkan kepalanya.
Dalam hati, nenek ini diam-diam membatin.
"Aku tahu, sikapnya itu hanya pura-pura.
Tak mungkin dia gentar hanya karena mendengar
nama! Hmm.... Sekarang bagaimana? Apa akan
kulanjutkan urusanku dengan pemuda itu? Atau
untuk sementara kutunda dahulu? Meski hal itu
akan mendekatkan diriku pada kematian?"
Dewi Bunga Iblis tampak bimbang. Antara
melanjutkan urusannya dengan Pendekar 108
atau menunda urusan. Nenek ini ragu-ragu, ka-
rena meski tubuhnya telah bisa tegak kembali
dan kedua tangan dan kakinya tidak terasa sakit,
namun tenaga dalamnya belum bisa sepenuhnya
pulih. Jika dia melanjutkan urusan, bukan tak
mungkin dia akan celaka sendiri, namun jika dia
menunda urusan, berarti hari kematiannya akan
lebih dekat lagi. Dan jika sampai menunda uru-
san lalu mencari jejak Pendekar 108 dan tak bisa
menemukannya, maka racun yang bersarang di
tubuhnya akan perlahan-lahan membawanya ke
liang kematian.
"Nek...!" tiba-tiba Putri Kipas berseru mem-
buyarkan kata hati Dewi Bunga Iblis. "Kau memi-
kirkan sesuatu? Atau...?!" Putri Kipas tak mene-
ruskan ucapannya karena Dewi Bunga Iblis telah
luruskan kembali kepalanya dan memandang le-
kat-lekat ke arahnya.
"Kalau urusan ini kuteruskan, anak ini
pasti akan membantu pemuda itu! Aku curiga,
mungkin antara keduanya sudah saling kenal!
Hanya mereka berpura-pura saling tak kenal di
hadapanku. Kalau tak saling kenal, tak mungkin
anak ini tadi mematahkan pukulanku! Hmm....
Terpaksa kali ini aku..." Dewi Bunga Iblis geleng-
kan kepalanya. Lalu tanpa berkata lagi, dia berke-
lebat meninggalkan tempat itu.
Putri Kipas sejenak memandang ke arah
berkelebatnya Dewi Bunga Iblis, dan begitu sosok
sang nenek tak terlihat lagi, anak ini berpaling
pada Pendekar Mata Keranjang yang juga sedang
memandang ke arah berkelebatnya Dewi Bunga
Iblis. Putri Kipas melangkah mendekat, lalu ber-
kata.
"Kalau tak keberatan, sudikah memberita-
hu siapa kau adanya? Kulihat kau mempunyai
ilmu tinggi, dan mungkin kau adalah salah satu
tokoh dunia persilatan. Aku gembira sekali dapat
bertemu dengan tokoh berilmu tinggi yang tidak
mau bertindak semena-mena pada orang!"
"Hmm.... Kenapa kau berkata begitu?" Pu-
tri Kipas tersenyum lebar. Lalu melangkah lebih
mendekat.
"Kalau kau mau, tak sulit membuat nenek
tadi roboh untuk selamanya. Namun hal itu tak
kau lakukan, meski sebelumnya nenek tadi begitu
ingin membunuhmu! Boleh tahu siapa kau?!"
kembali Putri Kipas ajukan tanya.
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya.
Sepasang matanya melirik sejenak pada Putri Ki-
pas.
"Jadi anak ini sudah sejak tadi berada di
sini! Aku makin yakin anak ini bukan sembaran-
gan. Pijatannya mampu membuat Dewi Bunga Ib-
lis bisa tegak kembali, dan kehadirannya di sini
tak dapat kuketahui...," batin Aji. Lalu berkata.
"Dugaanmu keliru. Aku bukan tokoh rimba
persilatan. Namaku Aji. Seorang pengelana jala-
nan yang melangkah menurutkan ke mana kaki
mengayun!"
Putri Kipas besarkan bola matanya. Me-
mandang pada Aji dari bawah hingga atas. Lalu
melangkah mengitari Aji sambil manggut-
manggut.
"Boleh tahu, kenapa nenek tadi ingin sekali
mencederaimu?!"
"Masalah sepele...," jawab Aji seenaknya.
"Dia hanya ingin mengajakku ke tempatnya, ka-
rena kakiku berat melangkah mengikutinya, terpaksa aku menolak ajakannya!"
"Boleh tahu, kenapa nenek itu ingin sekali
mengajakmu ke tempatnya?!"
"Sialan! Ini anak ingin tahu apa menyeli-
dik?!" pikir Aji seraya putar tubuhnya, karena Pu-
tri Kipas berada di belakangnya.
"Eh, kenapa kau ingin sekali tahu masa-
lahku dengan nenek itu?!" Aji balik ajukan tanya.
Putri Kipas mainkan pita pada kuncir ram-
butnya. Lalu kepalanya bergerak menggeleng.
"Tidak apa-apa. Hanya aku heran. Apakah
mungkin hanya karena ditolak ajakannya lalu dia
hendak berbuat jahat padamu?"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik na-
pas dalam-dalam. Pandangan matanya beralih ke
tempat lain.
"Itulah manusia. Selalu ingin memaksakan
kehendak meski dia tahu bahwa segalanya terba-
tas! Selalu ingin minta lebih dari apa yang telah
diperoleh!"
"Ah, kau menyindirku! Baiklah. Aku tak
akan memaksamu menjawab pertanyaanku...,"
ujar Putri Kipas seakan mengerti ucapan Aji. Lalu
dia tengadahkan kepalanya memandang langit.
"Astaga!" kata Putri Kipas seakan terkejut.
"Ternyata sudah hampir tengah hari. Aku harus
segera pergi.... "
Habis berkata begitu, Putri Kipas anggukan
kepalanya. Lalu putar tubuhnya dan hendak me-
langkah pergi. Namun langkahnya tertahan tatka-
la didengarnya Aji menahan.
"Tunggu!" seru Aji seraya melangkah men-
jajari.
Putri Kipas palingkan wajahnya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?!" ujarnya
ketika ditunggu agak lama Aji tidak buka mulut.
"Kau hendak ke mana?!" tanya Pendekar
108. Meski sebenarnya bukan pertanyaan itu
yang akan ditanyakan.
"Sepertimu. Aku juga adalah pengelana.
Tidak punya tempat tinggal. Dan melangkah ke
mana kaki bergerak! kenapa?!"
"Hmm.... Kau ini siapa sebenarnya?!" tanya
Aji pada akhirnya, mengutarakan apa yang masih
mengganjal di benaknya.
Putri Kipas tertawa. Kepalanya digerakkan
menggeleng.
"Jangankan kau. Aku sendiri tak tahu sia-
pa diriku! Aku sendiri heran. Tapi itulah kenya-
taannya!"
Jawaban Putri Kipas membuat murid Wong
Agung tertegun. Sambil garuk-garuk tengkuknya
dia bergumam.
"Ternyata bukan hanya orang-orang tua
yang bisa berbuat aneh-aneh. Anak kecil pun da-
pat melakukannya...."
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ang-
gukan kepala, seakan memberi isyarat agar Putri
Kipas melanjutkan langkahnya. Namun baru saja
kepalanya bergerak, tiba-tiba dari arah belakang
terdengar suara menggemuruh dahsyat. Sesaat
kemudian melesat cepat gelombang angin ke arah
mereka berdua.
Berpaling, murid Wong Agung ini tercekat.
Sambil memaki habis-habisan tangan kanannya
bergerak menggamit lengan Putri Kipas yang
hanya tegak melongo. Lalu kakinya menjejak ta-
nah. Tubuhnya melesat ke udara sambil meng-
gamit tubuh Putri Kipas. Begitu gelombang angin
lewat di bawah kakinya, Aji segera mendarat. Se-
telah lepaskan gamitannya pada lengan Putri Ki-
pas, sepasang matanya segera menyapu berkelil-
ing.
Saat itulah, dari balik sebuah pohon mun-
cul sesosok tubuh. Paras wajah Pendekar 108 se-
rentak berubah saat mengetahui siapa adanya
orang yang muncul.
"He.... Kau tampaknya takut. Kau kenal
orang itu? Siapa dia?!" Putri Kipas menjajari dan
berbisik.
Pendekar Mata Keranjang tak menyahuti
ucapan Putri Kipas. Sepasang matanya nanar
memandang ke depan. Mulutnya komat-kamit
seakan hendak mengucapkan sesuatu, namun
yang terdengar adalah gumaman tak jelas.
Sosok yang baru muncul melangkah. Lalu
berhenti delapan langkah di depan Aji. Sepasang
matanya menyengat tajam memperhatikan Aji, la-
lu ke samping ke arah Putri Kipas. Tiba-tiba dari
mulutnya terdengar bentakan keras.
"Mana dia?!"
"Dia siapa?!" Aji balik bertanya.
Orang di hadapan Aji keluarkan tawa men
gekeh panjang. Puas tertawa dia kembali meng-
hardik.
"Kau jangan pura-pura! Mana manusia
banci yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
itu?!"
TIGA
WAH, celaka! Bagaimana sekarang? Apa
mungkin dia tahu bahwa waktu itu Setan Pesolek
pergi bersamaku? Dia pasti minta pertanggung
jawabanku! Untungnya dia masih menganggap
orang yang bergelar Pendekar Mata Keranjang
108 adalah Setan Pesolek. Hmm.... Sedapat
mungkin aku harus bisa menyembunyikan kipas
ini. Karena dia hanya mengetahui bahwa orang
yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-
lah orang yang memegang kipas ungu bergurat
angka 108!" kata Aji dalam hati seraya meraba
pinggangnya di mana tersimpan kipas miliknya.
"Sekali lagi kau tak jawab pertanyaanku,
kurobek mulutmu!" orang di hadapan Pendekar
Mata Keranjang kembali membentak lantang.
Dia adalah seorang pemuda berwajah tam-
pan. Mengenakan jubah besar berwarna hitam
yang melapis baju warna putih. Pada dada baju
putihnya terlihat sebuah lukisan berbentuk pintu
gerbang. Sepasang matanya tajam. Dagunya ko-
koh. Rambutnya panjang dan dibiarkan bergerai.
"Sobatku Dewa Maut! Sewaktu terjadi per
kelahian itu, aku buru-buru menghindar. Jadi
aku tak tahu lagi ke mana perginya Pendekar Ma-
ta keranjang 108! Malah karena begitu terburu-
buru, gadis yang kau berikan padaku sebagai im-
balan itu juga tak sempat kubawa serta! Aku me-
nyesal. Tak jadi menikmati hangat tubuhnya!" je-
las Aji dengan wajah sedikit murung. Namun ekor
matanya melirik pada Putri Kipas. Dia tahu, tak
pantas mengucapkan hal demikian di muka gadis
cilik itu, namun karena ingin menyembunyikan
siapa dirinya, lebih-lebih ingin mengetahui apa
sebabnya orang yang bergelar Dewa Maut ini tiba-
tiba mencarinya dan hendak membunuhnya, ma-
ka terpaksa Aji mengucapkan hal yang kurang
layak didengar anak sekecil Putri Kipas.
Putri Kipas sendiri sempat terkejut men-
dengar ucapan Aji. Namun tatkala dia melihat Aji
melirik padanya begitu selesai bicara, anak ini
seakan mengerti.
Mendengar keterangan Aji, pemuda berju-
bah hitam dan bukan lain memang Dewa Maut,
keluarkan dengusan keras. Parasnya berubah
mengeras. Matanya membeliak berkilat.
"Waktu itu kau muncul bersama dengan-
nya. Bukan tak mungkin kau adalah temannya!
Sekarang tuhjukkan padaku, di mana adanya
Pendekar Mata Keranjang 108 itu!"
Seperti dituturkan pada episode : "Takha
Setan", karena ingin menyelamatkan Dewi Teng-
korak Hitam yang akan dibawa Dewa Maut, Aji
yang saat itu bersembunyi bersama Setan Pesolek
keluar dari tempat persembunyiannya. Namun
sebelum dia sengaja menjatuhkan kipas ungunya
dengan harapan Setan Pesolek mengambilnya.
Dan perkiraan Aji tidak meleset. Setan Pesolek
akhirnya menemukan kipas Aji. Saat itulah Aji
menunjukkan di mana beradanya Setan Pesolek
dengan menyebutnya sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Karena Dewa Maut hanya mengeta-
hui bahwa yang dicarinya adalah orang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108 dengan senjata ki-
pas ungu bergurat angka 108, maka begitu Setan
Pesolek keluar dari persembunyiannya dan berki-
pas-kipas dengan kipas ungu milik Aji, Dewa
Maut tanpa pikir panjang menduga bahwa Setan
Pesolek adalah Pendekar Mata Keranjang 108.
Orang yang dicari dan sekaligus harus dibunuh-
nya!
Aji dongakan kepala. Lalu dari mulutnya
terdengar suara tawa mengekeh panjang.
"Dewa Maut! Sebenarnya saat itu aku
hanya mengira-gira saja. Karena kulihat orang itu
berkipas-kipas dengan kipas ungu berangka 108.
Yang kubutuhkan saat itu sebenarnya adalah ga-
dis yang hendak kau bawa itu! Bukan karena apa,
aku adalah seorang pemuda jalanan yang tak ten-
tu juntrungan. Melihat gadis bertubuh bahenol di
pundakmu, aku tertarik. Lalu aku coba mengira-
ngira orang yang kau cari adalah orang itu. Tak
tahunya perkiraanku tidak salah. Jadi aku bukan
temannya Pendekar Mata Keranjang 108! Dan
tentu tidak tahu ke mana dia pergi...." Aji menjelaskan seraya tetap mendongak, namun sesekali
ekor matanya melirik pada Putri Kipas.
"Seandainya aku tahu ke mana perginya
orang itu, tentu akan kukatakan padamu!" sam-
bung Aji dengan luruskan kepalanya. Sejenak dia
menarik napas dalam-dalam. Dan saat dilihatnya
Dewa Maut masih tak menyambuti ucapannya,
Aji kembali meneruskan bicaranya.
"Hmm.... Sebenarnya apa ada silang seng-
keta antara kau dengan Pendekar Mata Keranjang
108 itu? Atau barangkali dendam?!"
Dewa Maut menyeringai dengan mata me-
mandang menyelidik.
"Kau banyak omong dan pandai bicara.
Siapa kau sebenarnya?!" Aji tertawa.
"Orang yang sedang diamuk hawa amarah
biasanya memang jadi pelupa. Sebenarnya aku
sudah pernah mengatakannya padamu saat itu.
Tapi tak apalah jika kau lupa. Namaku Aji. Seo-
rang pengelana jalanan!"
"Hm.... Aku curiga pada pemuda ini. Dia
mengaku seorang pengelana jalanan. Namun me-
lihat gerakannya saat menghindari pukulanku ta-
di, manusia ini berilmu. Tapi.... Ah, dia tak meng-
gunakan senjata seperti orang yang kucari!" kata
Dewa Maut dalam hati. Lalu pandangannya bera-
lih pada Putri Kipas.
"Siapa pula anak ini? Sewaktu ditarik me-
layang, oleh pemuda itu dia tak menunjukkan ra-
sa takut atau keluarkan jeritan. Jika anak biasa,
mungkin sudah pucat pasi bahkan bisa terkencing-kencing...."
Tiba-tiba sepasang mata Dewa Maut men-
delik besar. Memandang lekat-lekat pada lengan
Aji yang pakaiannya robek dan kulitnya mengem-
bung hitam.
Seakan tahu apa yang dipikirkan Dewa
Maut, sebelum Dewa Maut buka mulut, Aji telah
mendahului bicara.
"Aku baru saja bergumul dengan seorang
nenek gila yang hendak membawa anak ini! Ne-
nek itu menusukkan senjatanya pada lenganku.
Untung waktu itu aku sempat menggigit tangan-
nya, hingga senjatanya hanya menyerempet!"
"Benar! Dia memang baru saja berguling-
gulingan dengan nenek gila itu!" Putri Kipas me-
nyahut ucapan Aji.
Dewa Maut tidak menyahuti ucapan kedua.
orang di hadapannya, membuat Aji dan Putri Ki-
pas saling pandang satu sama lain. Namun Aji
cepat kerdipkan sebelah matanya begitu terlihat
Putri Kipas hendak buka mulut. Hingga gadis ci-
lik ini urungkan niat untuk bicara.
"Dengar!" tiba-tiba Dewa Maut angkat bica-
ra. Kepalanya berpaling memandang jurusan lain.
"Hari ini nasib baik masih berpihak pada-
mu. Tapi sekali lagi kau bertemu denganku dan
tak dapat menunjukkan di mana beradanya Pen-
dekar Mata Keranjang 108, kau tahu apa yang
akan menimpamu!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut putar tu-
buhnya dan melesat meninggalkan tempat itu.
Begitu Dewa Maut berkelebat dan tak terli-
hat lagi, Putri Kipas melangkah ke depan. Lalu
putar tubuhnya dan kini menghadap lurus ke
arah Aji.
"Kau tampaknya ketakutan sekali terhadap
pemuda itu. Siapa dia sebenarnya? Dan aku tahu,
ucapanmu tadi dusta. Apa sebenarnya yang kau
sembunyikan terhadapnya?!"
"Hmm.... Anak ini pandai menduga. Namun
untuk urusan ini tidak mungkin kuceritakan te-
rus terang padanya!" Lantas sambil tertawa pelan,
Aji berkata.
"Dia mengaku bernama Dewa Maut. Siapa
sebenarnya dia aku tak tahu. Aku hanya sempat
bertemu sekali. Hanya saja dia sedang mencari
seorang pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108. Mana aku tahu pemuda yang dicarinya?
Dari pada ngurusi orang, kupikir lebih baik ngu-
rusi diri sendiri. Bukankah begitu?"
Meski dengan kening mengernyit, akhirnya
Putri Kipas anggukan kepala.
"Putri Kipas. Dewa Maut tampaknya orang
yang pemarah dan mungkin saja pendiriannya
cepat berubah. Bisa saja mendadak dia muncul
lagi di sini, dan mengubah apa yang tadi dikata-
kannya. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya aku
harus lekas tinggalkan tempat ini!"
"Hmm.... Jika itu pendapatmu, aku pun
akan segera tingalkan tempat ini pula!"
Sejurus Aji memandangi anak perempuan
berjubah putih itu. Lalu setelah tersenyum dan
kerdipkan sebelah matanya, murid Wong Agung
ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
Putri Kipas sejenak memandangi kepergian
Aji. Setelah celingak-cellnguk sebentar, anak ini
pun akhirnya menghambur ke arah mana Aji berkelebat.
EMPAT
MURID Wong Agung terus berlari menuruni
kaki bukit. Namun baru saja kakinya menginjak
hamparan tanah terbuka yang hanya ditumbuhi
pohon-pohon pinus tiba-tiba terdengar suara ta-
wa tergelak-gelak, membuat Aji serentak hentikan
larinya. Dan tanpa pikir panjang lagi segera ber-
kelebat menyelinap ke balik salah satu batang
pohon pinus.
Murid Wong Agung tidak menunggu lama.
Bersamaan dengan terlindungnya tubuh ke balik
batang pohon, suara tawa berhenti. Lalu disusul
dengan terdengarnya suara. Nadanya tinggi dan
bergetar.
"Hendak lari ke mana kau, Anak Jaha-
nam?!" Pendekar 108 beliakan sepasang matanya
dan disapukan berkeliling. Paras wajahnya beru-
bah seketika. Tengkuknya merinding, karena se-
telah sekian lama mencari, matanya tak mene-
mukan siapa-siapa.
"Celaka! Rupanya dia tak pergi seperti yang
kuduga sebelumnya! Bagaimana kalau dia mengetahui bahwa selama ini aku berdusta padanya?
Dan mengetahui bahwa orang yang dicarinya ada-
lah aku...?!"
Murid Wong Agung yang diam-diam men-
duga bahwa orang yang baru saja keluarkan tawa
dan perdengarkan suara adalah Dewa Maut, sege-
ra salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya
lalu menunggu dengan tangan siap dipukulkan.
"Tak ada jalan lain. Dia terang-terangan in-
gin membunuhku, aku tak akan tinggal diam!
Meski sebenarnya aku masih ingin tahu, apa se-
babnya dia menginginkan selembar nyawaku...!
Padahal, rasa-rasanya aku belum...," Aji tidak
meneruskan kata-katanya, karena saat itu dari
balik pohon pinus sepuluh langkah di samping-
nya muncul sesosok tubuh.
Pendekar 108 menarik napas lega, meski
sepasang matanya mendelik besar. Ternyata yang
muncul dari balik pohon bukannya Dewa Maut.
Untuk beberapa saat Pendekar 108 mem-
perhatikan sosok yang baru muncul. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya kurus.
Rambut dan jenggotnya telah putih serta panjang.
Dia bertelanjang dada, hingga tulang-tulang pada
dada serta lambungnya tampak jelas. Pakaian
bawahnya hanya merupakan sebuah celana kolor
warna putih kusam. Meski telah tampak tua ren-
ta, namun sepasang matanya terlihat tajam dan
langkahnya tegap.
"Dadung Rantak!" gumam Pendekar 108
begitu mengenali siapa adanya kakek yang baru
muncul dan kini melangkah ke arahnya.
Orang tua yang baru muncul bukan lain
memang Dadung Rantak, seorang tokoh rimba
persilatan yang seperti dituturkan dalam episode :
"Dayang Naga Puspa") unjuk diri kembali setelah
sekian puluh tahun tiada kabar berita. Kemuncu-
lannya kembali selain ingin membalas kematian
adiknya yang tewas di tangan Wong Agung juga
untuk memburu Arca Dewi Bumi. Sekaligus men-
cari Ratu Pulau Merah, bekas kekasihnya di masa
muda yang telah mengkhianati dari menipu di-
rinya.
Merasa orang telah mengetahui di mana
dia berada, murid Wong Agung segera keluar dari
tempat persembunyiannya.
Dadung Rantak tengadahkan kepala. Dari
mulutnya keluar tawa mengekeh.
"Mata Keranjang! Membunuhmu bukan
pekerjaan sulit. Namun kau masih kuberi kesem-
patan hidup jika kau serahkan arca itu padaku!
Jika tidak, kau akan terlebih dahulu kukirim ke
neraka, lalu menyusul gurumu!"
"Hmm.... Ternyata selama ini telah ada si-
lang sengketa antara Eyang Wong Agung dengan
orang tua ini!" pikir Pendekar 108 dalam hati. La-
lu dia berujar.
"Orang tua! Kau terlambat meminta barang
itu! Orang yang berhak telah memintanya kemba-
li!"
Dadung Rantak gerakan kepalanya lurus
ke depan. Sepasang matanya menyengat tajam
memandang, ke arah Aji. Bibirnya sunggingkan
senyum seringai.
"Oh, begitu?! Agaknya kau lebih sayang ba-
rang itu daripada nyawamu.... Berarti murid dan
guru memang telah ditakdirkan untuk mati di
tanganku! Ha... Ha.... Ha...!"
Sambil terus tertawa mengekeh, Dadung
Rantak ulurkan tangan kanannya membuat gera-
kan seperti orang meminta. Tiba-tiba suara ta-
wanya diputus.
"Aku tidak akan bicara lagi!" katanya se-
raya anggukan kepala dan dekatkan tangan ka-
nannya yang meminta pada Aji.
"Orang tua! Aku telah mengatakan sesung-
guhnya. Terserah kau mau percaya apa tidak!"
kata Pendekar 108 seraya surutkan langkah satu
tindak ke belakang.
Dadung Rantak tarik pulang tangan ka-
nannya. Tangan itu lantas bergerak mengusap-
usap wajahnya yang telah mengeriput.
"Kau telah kuberi kesempatan. Namun ru-
panya kau lebih suka berkalang tanah! Itu mau-
mu. Jangan menyesal!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak sen-
takan tangan kanannya ke bawah. Tubuhnya
berputar cepat. Lalu lenyap dari hadapan Pende-
kar Mata Keranjang 108.
Belum sempat Pendekar 108 mengetahui di
mana beradanya Dadung Rantak. Tiba-tiba dari
arah samping kanan menyambar gelombang an-
gin dahsyat mendahului dua tangan yang bergerak menghantam ke arah kepala.
Murid Wong Agung cepat rundukan kepa-
lanya. Kaki kanannya diangkat dan dilejangkan
ke arah lambung lawan yang muncul tiba-tiba da-
ri arah kanannya. Namun hantaman kaki Pende-
kar 108 meleset, karena dengan gerakan gesit,
Dadung Rantak tarik pulang kedua tangannya
dan serta-merta dihantamkan ke bawah, mema-
pak terjangan kaki Aji.
Buk!
Kaki Pendekar Mata Keranjang 108 mental
balik ke bawah dan menghujam tanah dengan de-
rasnya. Tanah yang terhantam kaki Pendekar 108
langsung terbongkar. Sementara tubuh Pendekar
108 terhuyung ke depan.
Dadung Rantak tak memberi kesempatan.
Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Pende-
kar 108, orang tua ini membuat gerakan berpu-
tar. Begitu mendarat, kaki kirinya diangkat se-
mentara kaki kanannya dibuat tumpuan tubuh-
nya. Serta-merta dia berputar setengah lingkaran,
lalu kaki kirinya menghantam.
Desss!
Dari mulut murid Wong Agung terdengar
suara tertahan. Bersamaan dengan itu sosoknya
mencelat sampai dua tombak ke belakang. Kedua
tangannya memegangi bahunya yang kena han-
taman kaki. Selagi dia berusaha menguasai diri
agar tidak jatuh terjengkang, di depan sana Da-
dung Rantak telah lepaskan pukulan dengan han-
tamkan kedua tangannya sekaligus!
Pendekar 108 mendengar suara deru
menggemuruh. Namun seketika itu tubuhnya
laksana dihantam gelombang dahsyat. Sadar
akan bahaya dan sebelum tubuhnya terseret dan
dibuat mental oleh kekuatan yang tidak tampak,
murid Wong Agung ini cepat melompat mundur.
Kedua tangannya segera ditarik ke belakang, dan
serta-merta dihantamkan ke depan.
Sinar biru terlihat melesat keluar dari ke-
dua telapak tangan Pendekar Mata Keranjang
108, lalu mengembang dan merangsek lurus ke
arah Dadung Rantak.
Di seberang sana, Dadung Rantak terke-
siap. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya
lalu kedua tangannya mendorong.
Tiba-tiba sinar biru yang mengembang ter-
tahan. Pendekar 108 tidak tinggal diam. Kedua
tangannya kembali dipukulkan ke depan. Dadung
Rantak juga tak mau memberi kesempatan. Ber-
samaan dengan melesatnya sinar biru yang lalu
mengembang dan kini mendorong sinar biru yang
tertahan di udara, Dadung Rantak kembali do-
rong kedua tangannya.
Maka sekejap kemudian terjadilah adu te-
naga dalam di udara. Lalu disusul dengan terden-
garnya ledakan keras beberapa kali ketika ben-
trok tenaga dalam itu terjadi. Dan ledakan itu ba-
ru sirap tatkala terlihat tubuh Dadung Rantak
dan sosok Pendekar Mata Keranjang sama-sama
terhuyung ke belakang lalu terseret sebelum ak-
hirnya sama-sama jatuh terkapar di atas tanah!
Kedua orang ini dari bibir masing-masing
tampak mengeluarkan darah. Tubuh masing-
masing bergetar keras, sementara dadanya ber-
denyut nyeri. Dadung Rantak terlihat bergerak
hendak bangkit. Namun sesaat kemudian jatuh
berlutut dengan memegangi dadanya. Di sebe-
rang, murid Wong Agung terdengar mengerang,
namun tak berusaha merambat bangkit. Dia tetap
diam terkapar. Tapi diam-diam dia kerahkan te-
naga dalam. Setelah tubuhnya agak normal, dia
menggeliat, lalu bergerak duduk.
Saat itulah, tiba-tiba Dadung Rantak tekan
siku dan lututnya ke atas tanah. Mendadak tu-
buhnya terangkat setengah tombak ke udara, lalu
melayang turun lagi. Begitu mengantuk tanah,
tubuhnya mental lagi laksana baling-baling lalu
berputar dan lenyap. Bersamaan dengan itu men-
dadak udara berubah panas menyengat. Angin
berhenti berhembus.
"Dia pasti kerahkan pukulan andalannya!"
pikir Aji. Lalu secepat kilat dia meraba pinggang-
nya di mana tersimpan kipas ungunya. Namun
belum sempat Aji keluarkan kipasnya, Dadung
Rantak telah datang menggebrak.
"Selagi nyawa di kandung badan kau tak
mau serahkan benda itu. Tapi tak jadi soal.
mungkin kau menginginkan aku mengambilnya
saat nyawamu sudah melayang!" teriak Dadung
Rantak. Kedua tangannya menyentak ke depan.
Saat itu, kakek ini telah lima langkah di hadapan
Pendekar 108.
Hawa panas lenyap, angin laksana topan
melesat dari kedua tangan Dadung Rantak.
Pendekar 108 tersentak kaget. Karena ja-
raknya sudah demikian dekat, maka tiada jalan
lain baginya kecuali menangkis serangan lawan.
Namun murid Wong Agung ini tercekat sendiri,
karena ternyata kedua tangannya masih sulit un-
tuk digerakkan dengan cepat, hingga baru saja
kedua tangannya ditarik ke belakang dan belum
sampai dihantamkan, serangan Dadung Rantak
telah setengah depa di depan hidungnya!
Meski Pendekar Mata Keranjang 108 mam-
pu menangkis dengan lepaskan pukulan 'Mutiara
Biru', namun karena jaraknya demikian dekat,
maka bias yang diakibatkan bentrok pukulan
akan lebih membahayakan, belum lagi beradunya
tenaga dalam yang pasti menguras tenaganya. Ji-
ka keduanya terjadi, maka bukan tak mungkin
tubuhnya akan mental dan patah-patah! Hal de-
mikian dalam keadaan terjepit begitu masih ter-
lintas di benak murid Wong Agung ini. Hingga dia
urungkan niat untuk lepaskan pukulan sakti Mu-
tiara Biru. Sebaliknya dia bergerak hendak balik-
kan tubuh dan melesat, meski dia sadar, pukulan
lawan tentu masih akan menyambarnya. Namun
tidak akan setelak jika dia menangkis.
Tapi sebelum dia bergerak balikan tubuh
dan melesat menghindar, tiba-tiba dua buah ben-
da hitam dan putih menderu dari arah samping
memapasi serangan Dadung Rantak.
Byarrr! Byarrr!
Dua benda hitam putih hancur beranta-
kan. Namun dalam waktu sekejap itu membuat
murid Wong Agung bisa balikan tubuh dan mele-
sat dengan selamat, walau karena terburu-buru
dia melesat ke samping kanan di mana terdapat
batang pohon pinus. Hingga tanpa ampun lagi
tubuhnya menghantam batang pohon dan bergu-
lingan di atas tanah.
"Bangsat! Ada orang selamatkan jiwanya!"
gumam Dadung Rantak. Lalu jerengkan sepasang
matanya. Saat itulah terdengar tawa bergelak-
gelak. Dadung Rantak palingkan wajah ke arah
sumber suara tawa. Mata orang tua ini mendelik
besar. Lalu kedua tangannya diusap-usap pada
matanya seolah tak mempercayai pandangannya.
Di sebelah samping, Pendekar 108 segera
bangkit dan palingkan pula kepalanya mencari
tahu siapa adanya orang yang memapasi seran-
gan Dadung Rantak. Seperti halnya Dadung Ran-
tak, murid Wong Agung ini pun membelalak. Ke-
ningnya mengkerut dengan mulut komat-kamit.
LIMA
Di atas sebuah dahan pohon pinus, tam-
pak duduk sambil uncang-uncang kaki dan ber-
kipas-kipas seorang anak perempuan kecil. Dia
mengenakan jubah putih. Rambutnya dihiasi be-
berapa pita berwarna-warni.
"Hampir tak dapat kupercaya jika anak se
kecil dia mampu mematahkan seranganku. Jan-
gan-jangan bukan dia, tapi ada orang lain.... Tapi,
jelas sekali benda tadi melesat dari arah situ!" ba-
tin Dadung Rantak. Lalu orang tua ini sapukan
pandangannya ke sekeliling, khawatir ada orang
lain. Namun dia tak menemukan orang itu.
"Dia lagi!" seru Aji begitu mengenali siapa
adanya anak perempuan di atas dahan. "Hmm....
Tampaknya dia mengikuti perjalananku! Atau
memang tujuanku dengannya searah? Ah, tapi
yang jelas dia telah menyelamatkan untuk kedua
kalinya! Aku berhutang padanya...."
"Hei! Tikus kecil! Kalau kau tak cepat tu-
run dan sebutkan siapa dirimu tubuhmu akan
kubuat hancur berantakan!" teriak Dadung Ran-
tak seraya angkat tangan kanannya, membuat ge-
rakan seakan hendak lepaskan pukulan.
Namun anak perempuan berjubah putih
yang bukan lain adalah Putri Kipas bukannya ta-
kut mendengar ancaman orang. Malah sambil
mempermainkan kipasnya, dia memandang seje-
nak ke arah Dadung Rantak, lalu tersenyum lebar
dan dengan tangan kirinya dia melambai.
"Dia berpaling padaku. Berarti anak itu ti-
dak tuli dan mendengar ucapanku! Dia rupanya
sengaja hendak mempermainkan aku! Kurang
ajar!" rutuk Dadung Rantak. Lalu tanpa berkata
lagi, tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuttt!
"Celaka! Anak itu pasti akan jatuh dan ba-
bak belur, malah kemungkinan bisa tewas!" pikir
Aji, lalu gerakan tangannya hendak memapasi
pukulan Dadung Rantak.
Namun belum sampai murid Wong Agung
ini lepaskan pukulan, Putri Kipas berseru nyar-
ing. Pantatnya disentakkan pada dahan yang di-
dudukinya. Tubuhnya terangkat lalu melayang
dengan jungkir dua kali sebelum akhirnya men-
darat dengan berkipas-kipas!
Bersamaan dengan mendaratnya Putri Ki-
pas, pohon di mana Putri Kipas tadi duduk berge-
tar keras, sesaat kemudian berderak lalu tum-
bang dengan dahan-dahan hancur berantakan.
Melihat si anak berhasil selamatkan diri,
malah sengaja memanasi dengan tanpa meman-
dang ke arahnya, Dadung Rantak hilang kesaba-
ran. Dia segera meloncat ke depan. Namun lonca-
tannya tertahan, karena bersamaan dengan itu
murid Wong Agung yang menangkap apa yang
hendak dilakukan Dadung Rantak cepat meloncat
menghadang.
"Jahanam!" rutuk Dadung Rantak. Dia
berpaling pada Aji. Kemarahannya pada Putri Ki-
pas dilampiaskan pada orang yang kini di hada-
pannya. Kedua tangannya diangkat lalu dipukul-
kan ke depan.
Aji yang telah waspada segera pula tarik
kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.
Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat. Tempat itu
laksana dilanda gempa hebat. Sosok Dadung Ran-
tak dan Pendekar 108 sama-sama terseret ke belakang, lalu berkaparan di atas tanah. Sementara
Putri Kipas yang berada tak jauh dari situ terden-
gar keluarkan seruan nyaring. Tubuhnya tersapu
deras ke belakang. Anak ini coba menahan gerak
laju tubuhnya dengan mengibaskan kipas di tan-
gan kanannya, namun tampak gagal, hingga tu-
buhnya tetap meluncur. Padahal di belakang sana
menunggu jajaran batang pohon pinus!
Dadung Rantak cepat buka kelopak ma-
tanya. Lalu berpaling ke belakang. Bibirnya sung-
gingkan senyum seringai tatkala mendapati anak
perempuan kecil itu melayang deras dan lurus
mengarah pada sebuah pohon.
"Mampus kau anak kurang ajar!" gumam
Dadung Rantak dalam hati. Namun senyumnya
tiba-tiba pupus. Sejengkal lagi tubuh Putri Kipas
menghantam batang pohon, sebuah benda kuning
membersit dan mengantuk tubuhnya, hingga tu-
buh itu bergerak menyamping, menghindar ba-
tang pohon. Bersamaan dengan itu, sesosok
bayangan berkelebat menyambar tubuh anak pe-
rempuan berpita!
Seraya menahan dadanya yang berdenyut
tak karuan, Dadung Rantak bergerak bangkit.
Terhuyung-huyung dia memandang berkeliling.
Darahnya laksana sirap. Tubuhnya tiba-tiba te-
gak mematung. Sosok Aji yang tadi sama-sama
terseret tak kelihatan lagi. Bayangan serta anak
kecil berjubah putih dan berpita juga tak ada di
tempat itu!
"Jahanam laknat! Siapa bangsatnya yang
membawa kabur manusia keparat itu?!" desis
Dadung Rantak seraya gegatkan rahangnya hing-
ga keluarkan suara gemeretak. Kedua tangannya
mengepal dan bergetar keras hingga bahunya
yang telanjang bergerak-gerak. Saat itulah ekor
matanya menangkap gerakan satu bayangan di
balik sebuah batang pohon.
Menduga bahwa bayangan di balik itu yang
membawa kabur dan menyelamatkan Aji serta
Putri. Kipas, tanpa pikir panjang lagi Dadung
Rantak segera hantamkan kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuuttt!
Tak terdengar suara menderunya angin.
Namun mendadak saja batang pohon di mana
Dadung Rantak menangkap adanya bayangan
berderak dan langsung tumbang.
Dadung Rantak menunggu sejenak, berha-
rap bayangan itu akan keluarkan seruan setidak-
tidaknya melesat keluar. Namun harapan Dadung
Rantak tak jadi kenyataan, malah meski sepasang
matanya juga ikut-ikutan menyapu berkeliling,
bayangan itu tak ditemukannya.
"Keparat busuk! Siapa pun adanya kau,
tunjukkan dirimu!" teriak Dadung Rantak marah.
Dadanya yang telanjang terlihat bergerak cepat
turun naik. Sepasang matanya merah menyala
berkilat-kilat.
Saat itulah dia mendengar langkah-
langkah kaki dari arah belakangnya. Terkejut dan
tegang, Dadung Rantak segera putar tubuhnya.
Di hadapannya tegak seorang pemuda mengenakan jubah hitam yang dilapis dengan pakaian
warna putih. Karena tiga kancing jubahnya ba-
gian atas tidak dikancingkan, maka dengan jelas
Dadung Rantak dapat melihat sebuah lukisan
berbentuk pintu gerbang pada baju putih sang
pemuda.
Karena menduga orang inilah yang telah
ikut campur urusannya, serentak Dadung Rantak
keluarkan bentakan keras.
"Kalau tak ingin kupecahkan kepalamu, se-
rahkan dua manusia itu!"
Yang dibentak keluarkan tawa bergelak-
gelak. Dengan mengalihkan pandangan pada ju-
rusan lain, dia balas membentak.
"Manusia gila! Tak ada hujan tak ada angin
bicara seenak perut. Buka matamu lebar-lebar!
Aku datang sendirian tanpa dua manusia!"
Sejurus Dadung Rantak perhatikan pemu-
da di hadapannya. Lalu keluarkan dengusan ke-
ras dari hidung dan mulutnya. Dadanya bergolak
mendengar dirinya disebut manusia gila. Mulut-
nya komat-kamit menggumam tak jelas. Tiba-tiba
saja kakinya dibanting. Tanah di bawahnya lang-
sung melesak dalam!
Sang pemuda yang ingin mengetahui cepat
palingkan wajah. Saat itulah Dadung Rantak me-
lompat, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi
dan dihantamkan ke arah kepala si pemuda.
Mendapat serangan mendadak, sang pe-
muda tak menunjukkan rasa terkejut. Malah se-
raya tersenyum dingin dia rentangkan tangannya
lalu diangkat.
Prak! Prakkk!
Dadung Rantak berseru tegang. Kedua tan-
gannya yang baru saja bentrok dengan tangan si
pemuda terasa hendak penggal. Dia cepat melon-
cat mundur seraya meringis. Sementara sang pe-
muda tetap tegak di tempatnya dengan mata me-
nyorot tajam dan senyum seringai.
"Siapa bangsat ini? Baru kali ini aku ber-
temu dengan pemuda yang tenaga dalamnya de-
mikian tinggi selain pendekar murid Wong Agung
keparat itu! Jangan-jangan dia teman atau sau-
dara seperguruannya.... Tapi secepat apa pun ge-
rakannya, mustahil dia bisa sembunyikan dua
manusia tadi lantas balik ke sini. Lagi pula kawa-
san ini terbuka, kalau disembunyikan di sekitar
sini pasti aku dapat menemukannya...." Berpikir
sampai di situ, Dadung Rantak lantas berkata.
"Anak muda! Waktuku cuma sedikit. Lekas
katakan siapa dirimu!"
Sang pemuda dongakan kepala meman-
dang langit. Dari mulutnya tidak keluar sepatah
kata pun, membuat Dadung Rantak geram dan
katupkan rahang rapat-rapat. Orang tua ini lan-
tas buka mulut hendak membentak lagi. Namun
belum sampai terdengar suaranya, sang pemuda
telah berpaling dan berkata.
"Orang tua! Kau tak pantas mengetahui
namaku! Yang layak kau ketahui hanyalah gelar-
ku! Namun setelah kau mengetahui gelarku, kau
harus dapat tunjukkan di mana beradanya orang
yang kucari!"
Meski hatinya dongkol mendengar ucapan
sang pemuda, namun akhirnya Dadung Rantak
berucap.
"Begitu?! Cepat katakan apa gelarmu dan
siapa orang yang kau cari!"
Sang pemuda terdiam sejenak. Lalu buka
mulut.
"Aku bergelar Dewa Maut! Orang yang ku-
cari adalah pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!"
Sepasang mata Dadung Rantak membeliak
angker. Kedua alis matanya naik ke atas. Sesaat
dipandangi sang pemuda yang bukan lain me-
mang Dewa Maut. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh
panjang. Belum sampai suara tawa Dadung Ran-
tak lenyap, Dewa Maut telah menyambung uca-
pannya.
"Sekarang katakan di mana aku dapat me-
nemukan orang yang kusebutbtadi! Ingat. Pemu-
da bergelar Pendekar Mata Keranjang 108!"
Mendengar ucapan Dewa Maut, Dadung
Rantak bukannya menjawab, sebaliknya makin
tertawa bergerai-gerai.
"Anak muda! Permainan konyol apa yang
kau peragakan di hadapanku? Bukankah kau ba-
ru saja menyelamatkannya?!" ujar Dadung Ran-
tak sengaja memancing.
Kali ini Dewa Maut yang membelalak. Se-
pasang matanya menyorot penuh selidik.
"Orang tua! Seperti katamu. Waktuku juga
tak banyak. Kau jangan bersilat lidah. Aku tak
menyelamatkan siapa-siapa! Justru aku menca-
rinya untuk mengantar tubuhnya menuju alam
lain!"
Dadung Rantak anggukan kepalanya. Mu-
lutnya bergerak komat-kamit seakan hendak
mengucapkan sesuatu. Menyangka jika orang tua
di hadapannya mengetahui orang yang dicari,
Dewa Maut diam menunggu.
"Anak muda! Melihat paras wajahmu, tam-
paknya kau tidak main-main. Boleh aku tahu,
kenapa kau menginginkan nyawa orang itu?!" ujar
Dadung Rantak seraya usap-usap jenggotnya.
Dewa Maut mendengus. Dalam hati pemu-
da ini memaki habis-habisan karena dugaannya
meleset. Setelah diam agak lama, akhirnya Dewa
Maut menjawab.
"Kenapa kuinginkan nyawa pemuda terse-
but, bukan urusanmu! Jawab saja tanyaku!"
"Hm.... Kau tak memberitahu urusanmu
tak jadi apa! Tapi satu hal yang harus kau keta-
hui bukan hanya kau saja yang menginginkan
nyawa pemuda itu!"
"Maksudmu?!" kejar Dewa Maut.
"Aku, Dadung Rantak juga menginginkan
nyawanya! Bahkan sampai gurunya!"
"Hmm.... Apakah orang ini hanya ingin
nyawanya tanpa membutuhkan senjatanya? Atau
menginginkan kedua-duanya? Meski belum bisa
kuketahui tujuannya, namun manusia ini harus
segera disingkirkan. Jika tidak, bukan tak mungkin dia mendapatkan pemuda itu terlebih dahu-
lu...!"
Berpikir begitu, Dewa Maut lantas berujar.
"Orang tua! Kau tadi mengatakan aku me-
nyelamatkan dua orang. Siapa mereka?!"
"Hmm.... Rupanya memang ada orang lain
yang menyelamatkan dua manusia tadi. Aku tak
boleh mengatakan terus terang siapa adanya dua
manusia tadi. Sebab tidak tertutup kemungkinan
pemuda ini akan menemukannya. Itu berarti
akan menghalangi langkahku untuk menda-
patkan benda yang kuinginkan! Kalau perlu ma-
nusia sombong ini harus dikirim sekalian ke akhi-
rat!" batin Dadung Rantak. Setelah berpikir seje-
nak, dia berucap.
"Mereka adalah dua orang laki-laki musuh
besarku. Mereka sebenarnya sudah hampir tewas
seandainya tidak ada orang yang berkelebat me-
nolongnya! Aku curiga padamu, jangan-jangan
kau yang menolong keduanya, karena begitu me-
reka lenyap, kau tiba-tiba muncul. Sekarang ber-
terus teranglah. Di mana kau sembunyikan mu-
suhku itu!"
"Bangsat sialan! Mulutmu sengaja minta
dirobek!" rutuk Dewa Maut.
"Bukan mulutku. Tapi mulutmu yang ha-
rus dipecahkan karena telah berani bicara sandi-
wara di hadapanku!"
"Tua bangka keparat! Kita buktikan mulut
siapa yang akan berantakan!" teriak Dewa Maut.
Habis berteriak begitu, dia menyergap ke depan.
Tangan kanannya diangkat ke atas kepala, se-
mentara tangan kirinya cepat mendorong ke de-
pan. Dari tangan kiri ini mencuat asap merah.
Bersamaan dengan itu udara di tempat itu beru-
bah menjadi panas menyengat laksana dijerang.
Dadung Rantak tampak tersirap kaget.
Meski dia masih terlihat tersenyum mengejek,
namun dia tak mau ambil resiko. Dia cepat pula
melompat ke samping. Tangan kanannya ikut
bergerak melepaskan pukulan. Namun bersa-
maan dengan itu, tangan kanan Dewa Maut telah
susuli pukulan pertamanya. Hingga meski Da-
dung Rantak berhasil memapak serangan perta-
ma lawan, namun serangan keduanya melabrak
tak bisa ditangkis.
Dadung Rantak untuk sesaat terlengak
menyaksikan hal itu. Dia tak menduga sama se-
kali jika serangan kedua lawan begitu cepat, ma-
lah lebih ganas, karena bersamaan dengan itu,
serangkum angin dahsyat terlebih dahulu melesat
sebelum asap merah menggebrak. Namun Da-
dung Rantak tak mau begitu saja membiarkan
tubuhnya terhajar serangan lawan. Tangan ki-
rinya segera diangkat dan serta-merta dipukul-
kan.
Blarrr!
Bentrok pukulan yang sama-sama teraliri
tenaga dalam tak dapat dihindarkan lagi. Karena
terjadinya bentrok lebih dekat dari tempat Da-
dung Rantak apalagi tenaga dalam orang tua ini
telah terkuras sebelumnya sewaktu melayani
Pendekar Mata Keranjang, maka saat ledakan
terdengar, sosok Dadung Rantak langsung mence-
lat mental ke belakang. Lalu telentang di atas ta-
nah dengan sudut bibir mengucurkan darah kehi-
taman.
Di seberang sana, Dewa Maut terhuyung-
huyung lalu jatuh terduduk. Pemuda ini segera
memeriksa, dan merasa dirinya tak mengalami
cidera, dia segera bergerak bangkit. Lantas me-
langkah pelan ke arah Dadung Rantak.
Paras muka Dadung Rantak langsung be-
rubah pucat pasi. Dia menyumpah habis-habisan
dalam hati. Karena akibat bentrok dengan Pende-
kar Mata Keranjang tenaganya tak lagi sempurna.
Namun dia berusaha bangkit meski dengan tubuh
bergetar dan dada berdebar sakit.
"Tua bangka! Jawab. Kau bisa tunjukkan
orang yang kucari apa tidak?!" ujar Dewa Maut.
Meski hatinya kecut namun orang tua ini
segera menyembunyikannya dengan tertawa pe-
lan. Setelah mengusap wajah dan darah yang
mengalir dari sudut bibirnya, dia berucap.
"Manusia bodoh! Dunia ini luas. Mana bisa
orang kau suruh menunjukkan pada segelintir
manusia yang kau cari?!"
Dikatakan manusia bodoh demikian rupa,
Dewa Maut bukannya marah. Sebaliknya dia
mendongak ke langit lalu tertawa. Namun ta-
wanya mendadak diputus laksana terenggut. Ke-
palanya bergerak lurus. Dari mulutnya terdengar
suara bergetar dan keras.
"Dengar, Tua Bangka Jahanam! Aku tak
peduli dunia luas atau sempil. Kau tak bisa me-
menuhi permintaanku, itu berarti nasib jelek
buatmu!"
Meski diam-diam tengkuknya jadi dingin,
namun Dadung Rantak tetap sunggingkan se-
nyum. Sebenarnya diam-diam pula kakek ini se-
dang kerahkan segenap tenaga dalamnya, karena
dia merasa yakin bahwa ucapan pemuda di hada-
pannya tidak sekadar main-main. Setelah terdiam
sesaat, orang tua ini alihkan pandangannya pada
jurusan lain dan berucap datar.
"Kau rupanya berteman dengan malaikat
hingga tahu nasib manusia! Apakah kau juga su-
dah tahu jika nasibmu berada di tanganku?!"
Untuk kesekian kalinya Dewa Maut kelua-
rkan tawa panjang dan keras.
"Tua bangka tolol! Dengar! Aku adalah De-
wa Maut. Manusia yang akan menebar hawa
maut pada siapa saja yang tak bisa memberi apa
yang kupinta! Kau ingin bukti?!'
Tanpa menunggu jawaban dari Dadung
Rantak, Dewa Maut angkat kedua tangannya lalu
dipukulkan.
Gelombang asap merah yang menebar ha-
wa panas menyungkup di tempat itu. Suara
menggemuruh laksana air bah menggebrak ke
arah Dadung Rantak.
Dadung Rantak meski nampak tercekat te-
gang namun segera sentakan kedua tangannya,
membuat suasana di tempat itu makin panas
menyengat. Dan bersamaan dengan itu terdengar
dentuman menggelegar! Saat asap merah dihajar
pukulan Dadung Rantak yang tak kelihatan ben-
tuknya.
Kedua orang ini sama-sama keluarkan pe-
kik kesakitan. Tubuh Dewa Maut terdorong deras
ke belakang. Namun pemuda ini cepat membuat
gerakan jungkir balik, hingga meski sempat jatuh
berlutut, namun tubuhnya selamat dari meng-
hempas menghajar tanah.
Di lain pihak, karena tenaga dalamnya su-
dah pas-pasan, Dadung Rantak tak bisa mengua-
sai gerak tubuhnya, hingga dia terjungkal dengan
kepala lebih dahulu! Orang tua ini sesaat menge-
rang, sepasang matanya redup menyipit. Dan
erangannya segera dia hentikan sementara ma-
tanya dia pejamkan tatkala samar-samar dilihat-
nya Dewa Maut telah melangkah ke arahnya.
Tiga langkah di depan Dadung Rantak yang
diam tak bergerak, Dewa Maut hentikan langkah-
nya. Sejurus lamanya dia memperhatikan sosok
Dadung Rantak. Dan mengira orang tua itu telah
menemui ajal, dengan senyum seringai dan ke-
butkan jubahnya, dia putar tubuh dan tinggalkan
tempat itu.
Begitu sang pemuda pergi, Dadung Rantak
gerakan tangannya dan ditempelkan pada da-
danya untuk mengatasi debarannya yang nyeri.
Namun karena dia terlalu bernafsu untuk menga-
tasi cidera bagian dalam tubuhnya yang membu-
tuhkan pengerahan tenaga dalam, sementara tenaga dalamnya telah terkuras, maka orang itu se-
sat terlihat megap-megap, lalu tangannya lunglai
dan sejenak kemudian dia terkulai pingsan.
ENAM
PENDEKAR Mata Keranjang mula-mula ti-
dak mengetahui siapa adanya orang yang me-
manggul dan kini berkelebat membawa lari di-
rinya. Yang dia ingat dan ketahui adalah dia se-
dang menghadapi Dadung Rantak. Dan sewaktu
tubuhnya terseret ke belakang hendak terjeng-
kang menghajar tanah, tiba-tiba satu tangan me-
nahan gerak tubuhnya, bukan hanya selamatkan
dirinya dari terhempas di tanah, namun juga se-
cara bergerak cepat mengangkat tubuhnya dan
melemparkannya ke atas. Lalu tahu-tahu dia me-
rasa sudah ada di pundak orang, serta sudah
berkelebat.
Setelah memikir sejenak, Aji buka kelopak
matanya. Yang mula-mula terlihat adalah pung-
gung orang yang membawanya lari. Ternyata pa-
kaian yang dikenakan orang itu telah robek di sa-
na-sini. Lalu pandangannya tertumbuk pada so-
sok tubuh yang juga menggelentung seperti di-
rinya di pundak kiri orang.
Pendekar 108 memperhatikan dengan sek-
sama. Dia tak bisa melihat paras wajah orang
yang di sebelahnya, namun dapat melihat bagian
kepala orang itu. Ternyata kepala itu dihiasi beberapa pita berwarna-warni yang digunakan untuk
menguncir rambutnya.
"Putri Kipas...!" gumam Pendekar 108 begi-
tu dapat mengenali orang. Dia menarik napas le-
ga. "Hmm.... Untung anak ini juga selamat. Aku
telah mengkhawatirkan dirinya...."
Mendadak murid Wong Agung ini membaui
sesuatu lain. Keras menyengat hidung. Melirik ke
bawah, ke arah datangnya bau, Aji terperanjat.
"Astaga! Ternyata dia!" bisik Pendekar 108
dalam hati.
Di bawah tubuhnya, tepatnya di bagian
pinggang orang yang membawa tubuh Aji terlihat
melingkar sebuah ikat pinggang besar yang di-
ganduli beberapa bumbung bambu. Dari bum-
bung bambu itu keluar menyengat bau arak!
Pendekar Mata Keranjang lantas berpaling
lagi pada Putri Kipas. Mungkin ingin mengetahui
keadaan si anak. Tangan kirinya bergerak me-
nyentuh pundak Putri Kipas. Untuk beberapa
saat yang disentuh tetap diam tak bergerak. Na-
mun ketika tangan Pendekar 108 hendak me-
nyentuh kembali, kepala Putri Kipas bergerak pe-
lan berpaling ke arah Pendekar 108. Bibir anak
ini lalu tersenyum dan meletakkan telunjuk ja-
rinya melintang di tengah mulutnya memberi
isyarat agar Pendekar 108 tak mengucapkan se-
suatu.
"Sialan! Rupanya dia keenakan digendong!
Tapi aku heran. Dia sepertinya tak merasakan
bau sengatan arak ini. Padahal aku sudah mual
mau muntah! Jangan-jangan dia murid Setan
Arak...," pikir Pendekar 108. Lalu ikut-ikutan me-
lintangkan jari telunjuknya di tengah mulut. Ke-
dua orang ini lantas sama memejamkan mata
masing-masing.
"Hm.... Biarlah aku istirahat dulu di sini!
Rasanya enak juga digendong! Daripada...," Pen-
dekar 108 tak meneruskan kata hatinya, karena
saat itu tiba-tiba saja orang yang membawanya
lari dan bukan lain memang Setan Arak gerakan
pundak kanan kirinya. Lalu melesat mendahului
ke depan, begitu dua sosok di atas pundaknya te-
rangkat ke atas.
Baik Pendekar 108 maupun Putri Kipas
sama-sama terkejut. Serentak dua orang ini buka
mata masing-masing. Keduanya lantas mengelua-
rkan seruan tatkala mengetahui tubuh mereka
menukik telungkup ke bawah.
Kedua orang ini sama-sama membuat ge-
rakan untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Namun terlambat. Sebelum keduanya mampu
bergerak, tubuh mereka telah terjerembab di atas
tanah!
"Puaahhh! Anak-anak kurang ajar! Orang
tua maunya dibuat mainan!" tiba-tiba terdengar
teriakan di seberang.
Pendekar Mata Keranjang 108 dan Putri
Kipas bergerak bangkit sambil pegangi dada mas-
ing-masing. Keduanya saling lirik sejurus, lalu
balikan tubuh masing-masing menghadap orang
yang baru saja keluarkan teriakan.
Sepuluh langkah di hadapan mereka, Se-
tan Arak terlihat duduk menggelosoh sambil me-
nenggak araknya silih berganti dari bumbung di
tangan kanan kirinya. Ikat pinggang besar yang
tadi melingkar di pinggangnya telah berpindah.
Kini tampak menyelempang melingkar melalui
pundaknya.
Pendekar 108 dan Putri Kipas saling ber-
pandangan kembali. Putri Kipas angukkan kepa-
la. Keduanya lantas melangkah mendekat ke arah
Setan Arak.
"Hmm.... Anak ini tampaknya memang su-
dah mengenal Setan Arak..." batin Pendekar 108
seraya terus melangkah. "Gerak-geriknya menun-
jukkan hal itu!"
Tiga langkah di hadapan Setan Arak, kedua
orang ini berhenti. Tiba-tiba Putri Kipas jatuhkan
diri dan menjura dalam-dalam seraya berkata.
"Eyang...."
"Eyang apa?!" sentak Setan Arak tanpa
memandang.
"Maafkan aku. Aku bukannya mau...."
"Kau ingin ikut-ikutan temanmu itu berke-
liaran tak karuan, hah?!" kembali Setan Arak me-
nyentak sebelum Putri Kipas selesaikan ucapan-
nya.
Putri Kipas gelengkan kepalanya. Sejenak
dia memandang Setan Arak. Setelah menarik na-
pas panjang, dia berujar.
"Aku hanya kebetulan bertemu dengannya
sewaktu jalan-jalan di kaki bukit itu. Lalu aku
mengikutinya, tapi dia tidak tahu kalau kuikuti.
Waktu...."
"Sudah. Sudah, jangan banyak omong!"
sahut Setan Arak. Lalu menenggak araknya kem-
bali, hingga matanya terpejam-pejam kemerahan.
"Betul ucapannya.. Aku memang tak sen-
gaja bertemu dengannya di kaki bukit. Jadi aku
tak mengajaknya berkeliaran...," yang buka suara
adalah Pendekar 108 seraya membungkuk hor-
mat.
"Puaahhh! Kalian orang sama-sama pintar
bicara! Kalian sekongkol!'
"Kek! Kami tidak sekongkol. Memang itulah
yang terjadi!" sahut Pendekar 108.
Setan Arak jauhkan tangannya yang me-
megang bumbung arak dari mulutnya, sejurus
sepasang matanya yang kemerahan menatap
Pendekar 108.
"Kau masih pandai omong. Apa kalian kira
aku tak tahu. Kalian saling memberi isyarat un-
tuk tidak keluarkan suara sewaktu aku terseok-
seok memanggul kalian. Apa namanya itu?! Ja-
wab!"
Pendekar Mata Keranjang dan Putri Kipas
saling berpandangan. Namun keduanya tidak ada
yang keluarkan suara untuk menjawab.
"Kau juga mengapa mau mencelakakan
orang, he...?!" kembali Setan Arak ajukan tanya
pada Pendekar 108.
"Mencelakakan orang?" gumam Pendekar
108. Paras wajahnya berubah. Untuk beberapa
lama murid Wong Agung ini pandangi Setan Arak
dengan tatapan tak mengerti.
"Kek! Rasanya aku tak melakukan perbua-
tan itu!"
Setan Arak tertawa bergelak-gelak, hingga
bumbung arak yang bergelantungan di ikat ping-
gangnya bergerak-gerak turun naik.
"Kau mengaku bernama Aji. Tapi tak mene-
rangkan sebagai Pendekar Mata Keranjang. Ju-
stru orang lain yang kau katakan sebagai Pende-
kar Mata Keranjang! Apakah itu tak mencelaka-
kan orang lain? He...?! Apa jawabmu?!"
"Hmm.... Yang dimaksud pasti Setan Peso-
lek. Berarti dia sudah tahu semua ini!" Pendekar
108 membatin. Setelah berpikir sejenak, dia ber-
tanya.
"Kek. Apakah yang dimaksud Setan Peso-
lek?"
"Kau tak usah bertanya. Aku ingin dengar
jawabmu!" Setan Arak menghardik. Namun na-
danya pelan dan tanpa memandang, membuat
murid Wong Agung ini jerengkan sepasang ma-
tanya seraya menggeleng.
"Kek! Sebenarnya bukan maksudku mence-
lakakan Setan Pesolek. Karena Setan Pesolek
sendiri sudah tahu hal ini. Lagi pula dengan tan-
pa mengaku sebagai Pendekar Mata Keranjang
108, aku bisa mengorek apa sebabnya orang yang
bergelar Dewa Maut itu tiba-tiba mencariku dan
menginginkan nyawaku!"
"Memalukan!" tiba-tiba Setan Arak menya
hut.
"Apanya yang memalukan, Kek?!"
"Perbuatanmu itu! Itu adalah perlakuan
seorang pengecut! Tak mau tunjukkan dadanya
sendiri! Tapi mendorong wajah orang lain!"
"Tapi, Kek..."
Setan Arak tertawa bergelak-gelak.
"Aku tahu. Kau takut padanya. Bukankah
begitu?! Padahal apakah kau sadar, dengan per-
buatanmu itu persoalan tidak akan cepat selesai.
Belum lagi adanya korban-korban yang harus ja-
tuh!"
Pendekar Mata Keranjang usap wajahnya
dengan telapak tangannya.
"Lalu, menurutmu apa yang harus kulaku-
kan, Kek?!"
"Aku tak bisa memberi pendapat padamu.
Lagi pula otakmu tidak akan jalan bila terus-
terusan dituntun! Pecahkan sendiri urusanmu.
Yang penting jangan sampai berbuat pengecut
yang akhirnya membawa celaka orang lain lebih-
lebih menyeret jatuhnya beberapa orang yang tak
tahu-menahu urusanmu!"
Habis berkata begitu, Setan Arak melam-
baikan tangannya pada Putri Kipas. Si anak seju-
rus memandang ke arah Aji. Lalu melangkah per-
lahan ke arah Setan Arak.
"Ayo. Kita pulang!" seru Setan Arak seraya
bangkit begitu Putri Kipas telah berada di depan-
nya. Lagi-lagi Putri Kipas memandang pada Pen-
dekar 108. Wajahnya jelas menunjukkan rasa berat. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi
ketika diliriknya Setan Arak berpaling padanya
dengan mata sedikit mendelik.
"Kek, tunggu!" mendadak Pendekar 108
berseru menahan ketika Setan Arak dan Putri Ki-
pas mulai melangkah meninggalkan tempat itu.
Setan Arak berhenti. Tanpa berpaling lagi,
dia berkata.
"Ada apa?!"
"Sebagai tokoh yang telah lama malang me-
lintang dalam rimba persilatan apakah kau tahu
tentang manusia yang bergelar Dewa Maut, atau
setidak-tidaknya pernah dengar berita tentang-
nya?!"
Sebagai jawaban, Setan Arak tertawa ber-
gerai-gerai. Lalu ulurkan tangannya menyambar
tubuh Putri Kipas. Sosok Putri Kipas melayang ke
udara, lalu 'plekk'. Tahu-tahu tubuh Putri Kipas
telah duduk bertengger di tengkuknya dengan ke-
dua kaki menjulai di depan dada.
"Kau telah digelari orang sebagai seorang
pendekar. Kalau di benakmu masih dirambahi ra-
sa takut pada orang yang jelas-jelas hendak me-
nebar maut, atau kau tak bisa menyelidiki urusan
ini dengan otak sendiri, kusarankan padamu le-
bih baik kau kembali ke Karang Langit. Lalu balik
lagi dengan mengenakan kebaya. Bibir dipoles
merah, muka dibedaki dan berganti nama menja-
di Siti Suminten bahenol binti Ponirah! Ha....
Ha.... Ha...!"
Habis berkata. seraya terus tertawa bergelak, Setan Arak melangkah meninggalkan tempat
itu. Di atas tengkuknya Putri Kipas ikut-ikutan
tertawa seraya melambaikan tangan.
"Sialan!" maki Pendekar Mata Keranjang
sambil bantingkan kaki, lalu melesat ke arah timur, jurusan mana tadi dia datang.
TUJUH
HARI ini desa Gondang Legi lain dari bi-
asanya. Karena di alun-alun yang tak jauh dari
pasar Gondang Legi akan diadakan sebuah per-
tunjukan Gandeng Ujung. Sebuah permainan
yang mengandalkan kekuatan luar dan dalam.
Karena di situ akan berlaga dua orang yang nan-
tinya akan saling pukul berganti dengan menggu-
nakan sebuah cemeti. Pertunjukan ini memang
selalu diadakan setiap tahun sekali untuk me-
nandai dibukanya penggilingan tebu yang me-
mang menjadi penghasilan pokok penduduk Gon-
dang Legi. Maka sejak pagi hari penduduk Gon-
dang Legi telah berdatangan, malah mereka yang
tinggal jauh dari desa ikut datang berbondong-
bondong. Ketika penduduk sudah berkumpul, tak
lama kemudian pertunjukan itu pun dimulai. Dua
orang terlihat maju ke tengah lingkaran. Sorak-
sorai serta teriakan-teriakan mulai ramai bersa-
hut-sahutan.
"Sialan! Permainan orang-orang gembel!"
gumam seorang pemuda seraya melangkah menjauhi hiruk-pikuknya orang-orang. Dia adalah
pemuda berwajah tampan. Berdagu kokoh dan
bermata tajam. Tubuhnya tinggi tegap. Rambut-
nya lebat dan panjang sebahu. Dan pemuda ini
terlihat lebih gagah karena dia mengenakan jubah
besar berwarna hitam bergaris-garis putih.
Bersamaan dengan itu, dari arah kerumu-
nan orang banyak juga menyeruak keluar seorang
pemuda. Sosoknya tegap. Mengenakan jubah
warna hitam yang melapis baju warna putih.
Kedua pemuda ini secara kebetulan menu-
ju arah yang sama, yakni jurusan selatan. Pemu-
da yang mengenakan jubah hitam bergaris-garis
putih ada di depan sementara yang mengenakan
jubah hitam dan melapis baju warna putih ada di
belakangnya.
Mungkin merasa diikuti orang, pemuda
yang di depan palingkan wajahnya ke belakang.
Cuma sesaat, lalu meneruskan langkah. Namun
dahi pemuda ini serentak mengernyit.
"Rasanya aku baru kali ini bertemu den-
gannya. Tapi kenapa dia sepertinya mengikutiku?
Atau ini hanya kebetulan menuju arah yang sa-
ma? Keparat! Kenapa aku memikirkan orang? Be-
rani macam-macam kucincang tubuhnya!" batin
pemuda di sebelah depan. Lalu melangkah lebih
cepat.
Pemuda yang di belakang ikut memperce-
pat langkahnya. Namun pandangannya tak men-
garah ke depan, melainkan pada jurusan lain.
Namun jelas sepasang matanya sesekali memperhatikan pemuda di depannya.
"Hm.... Melihat langkah dan pakaian yang
dikenakannya, pasti dia seorang dari kaum persi-
latan. Aku akan tanya padanya. Siapa tahu dia
mengetahui orang yang kucari!" pikir pemuda
yang di belakang. Lalu dia mempercepat lagi
langkahnya.
Mengetahui orang di belakang mendekat,
pemuda di sebelah depan mendadak hentikan
langkah. Tanpa balikan tubuh, malah dengan ka-
cak pinggang dia menegur. Suaranya lantang dan
bergetar.
"Sebutkan siapa kau! Dan kenapa mengi-
kuti langkahku!"
Melihat sikap orang di depannya, pemuda
di belakang katupkan rahangnya rapat-rapat,
hingga keluarkan suara gemeretak. Sepasang ma-
tanya menusuk tajam, memperhatikan pemuda di
depannya dari atas hingga bawah.
Dia tidak segera menjawab pertanyaan pe-
muda di depannya yang membelakangi dengan
kacak pinggang. Bahkan sesaat kemudian pemu-
da ini keluarkan tawa pendek penuh ejekan.
"Baik. Kau tidak mau sebutkan siapa diri-
mu. Itu tidak ada ruginya bagiku! Tapi dengar.
Jangan berani beranjak melangkah dari tempat-
mu untuk mengikutiku, atau kepalamu akan pu-
tus dari lehermu!"
Habis berkata begitu, pemuda di sebelah
depan teruskan langkah. Pemuda di sebelah bela-
kang keluarkan dengusan keras. Matanya berubah merah, sementara dadanya bergetar keras.
Dagunya terangkat, pertanda jika dia menahan
hawa amarah. Dan tanpa mempedulikan anca-
man orang, dia melangkah mengikuti.
Merasa ancamannya diacuhkan, pemuda di
sebelah depan kembali hentikan Iangkah. Dan se-
cepat kilat dia putar tubuhnya membalik. Pemuda
di sebelah belakang ikut hentikan langkah.
Untuk sesaat lamanya pemuda yang men-
genakan jubah hitam bergaris-garis putih yang
tadi ada di sebelah depan memandang tajam pe-
nuh selidik. Mendadak pelipis pemuda ini berge-
rak-gerak. Mulutnya bergetar. Karena pemuda
yang dipandanginya dongakan kepala tidak me-
mandang ke arahnya!
"Setan alas! Siapa gerangan manusia ini?
Nyalinya besar juga. Dia pasti mempunyai sesua-
tu yang diandalkan hingga tak takut ancaman
orang! Hm.... Kalau dia mau dijadikan sahabat,
tentu akan banyak membantu mewujudkan cita-
citaku. Menyingkirkan Pendekar Mata Keranjang
dan sekaligus menggenggam dunia persilatan!"
batin pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih. Lalu dia mendehem beberapa kali dengan ha-
rapan pemuda di hadapannya memandang ke
arahnya. Namun apa yang menjadi harapannya
tidak terjadi. Karena pemuda di hadapannya tetap
mendongak.
Meski agak jengkel, namun akhirnya pe-
muda berjubah hitam bergaris-garis putih kelua-
rkan suara. Kali ini nadanya agak rendah, meski
masih terdengar bergetar.
"Sahabat! Kau mengikuti langkahku. Ten-
tunya kau mempunyai maksud. Harap kau sudi
jelaskan apa tujuanmu!"
Pemuda berjubah hitam luruskan kepa-
lanya menghadap ke depan. Sejurus kedua pe-
muda ini saling adu pandang. Mata masing-
masing saling menusuk. Pemuda berjubah hitam
yang tadi ada di sebelah belakang ini tersenyum
dingin, lalu angkat bicara.
"Aku tak akan melangkah tanpa tujuan!
Tak akan berjalan tanpa hitungan! Aku akan
menjawab pertanyaanmu. Aku mengikutimu ka-
rena ingin tanya padamu!"
Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih kerutkan dahi. Memperhatikan lebih seksama
lagi pada pemuda di hadapannya. Lalu berucap.
"Sayang sekali jika itu tujuanmu. Karena
aku tak akan jawab pertanyaan orang yang belum
kuketahui siapa nama atau gelarnya!"
"Hmm.... Begitu?!" sahut pemuda berjubah
hitam sambil tertawa.
"Kalau itu maumu, aku tak keberatan
memberitahu padamu!" sambungnya. Lalu den-
gan busungkan dada dia menyambung lagi uca-
pannya. "Aku Dewa Maut!"
Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih menyeringai. Lalu dongakan kepala. Dari mu-
lutnya terdengar suara seperti orang sedang ber-
syair.
"Aku seorang musafir!
Melangkah tegak mencari takdir.
Pijakanku berwarna merah. Jejakku ber-
warna merah.
Hembusan napasku bersaput merah.
Merah darah!"
"Hmm.... Rupanya kau seorang penyair!"
desis Dewa Maut tanpa memandang.
"Tak salah! Akulah si Penyair Berdarah!"
tandas pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-
tih, yang tak lain memang Penyair Berdarah. Pe-
muda berilmu tinggi murid Iblis Gelang Kematian
(Tentang Penyair Berdarah serta Iblis Gelang Ke-
matian baca serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode : "Tembang Maut Alam Kematian").
Untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ma-sama diam tak ada yang keluarkan suara. Da-
lam hati masing-masing sama-sama menduga
siapa sebenarnya orang di hadapannya. Namun
tampaknya keduanya sama-sama tak menda-
patkan jawaban. Dan entah karena masih ada
yang harus ditanyakan, akhirnya Dewa Maut bu-
ka mulut.
"Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap
kau sekarang jawab pertanyaanku!"
"Penyair Berdarah tak suka ditekan. Kau
jangan yakin aku akan jawab pertanyaanmu. Ka-
takan apa yang hendak kau tanyakan!"
"Kau bisa katakan, di mana aku dapat me-
nemukan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108! Pemuda yang selama ini malang melintang dengan menggenggam sebuah kipas ungu
bergurat angka 108!"
Penyair Berdarah palingkan wajah sembu-
nyikan rasa terkejutnya. Lalu ketika berpaling la-
gi, dia tunjukkan senyum lebar namun dingin.
"Kau punya urusan apa dengan pemuda
itu?!"
"Urusannya tak perlu kau ketahui. Yang
pasti aku menginginkan selembar nyawanya!"
Penyair Berdarah kembali tersenyum sem-
bunyikan perubahan wajahnya. Namun diam-
diam pemuda ini merasa lega. Karena dengan ber-
tambahnya orang yang hendak membunuh Pen-
dekar Mata Keranjang, maka tujuannya untuk
menggapai jadi raja rimba persilatan akan lebih
mudah lagi.
"Apa hanya itu tujuanmu?!" tanya Penyair
Berdarah.
"Kau bertanya atau menyelidik?!"
Penyair Berdarah sunggingkan senyum.
Kali ini senyumnya polos.
"Terserah kau mau katakan apa. Aku
hanya ingin tahu. Siapa tahu aku dapat memban-
tu. Meski hanya sekadar keterangan!"
Sejenak Dewa Maut terdiam. Dalam hati
pemuda ini berkata,
"Hm.... Tak ada salahnya aku mengatakan
padanya. Siapa tahu memang dia bisa memberi
keterangan yang kuperlukan. Itu akan memper-
mudah perjalananku. Rupanya dia pengetahuan-
nya banyak. Lain dengan aku, yang masih buta
dengan lingkungan rimba persilatan. Namun se-
bentar lagi, aku tidak akan buta lagi! Malah dunia
persilatan akan kugenggam!"
"Selain pemuda yang kusebut tadi, aku ju-
ga memerlukan keterangan tentang pemuda yang
bergelar Malaikat Berdarah Biru!"
Untuk kesekian kalinya Penyair Berdarah
terperanjat.
"Apa sebenarnya tujuan manusia ini? Jan-
gan-jangan...," Penyair Berdarah gelengkan kepa-
la. Lalu kembali ajukan tanya.
"Lantas siapa lagi?!"
"Jangan mengira aku manusia bodoh yang
bisa kau korek mulutnya! Pertanyaanmu sudah
terlalu banyak. Sekarang saatnya bagimu membe-
ri keterangan!" sergah Dewa Maut dengan menye-
ringai.
"Melihat orang yang dicari, pasti manusia
ini telah mempersiapkan bekal! Tapi tampaknya
dia masih polos. Hmm.... Manusia seperti ini yang
kucari! Mempunyai kemampuan, berani, berwa-
tak sombong namun tak punya kelicikan!" batin
Penyair Berdarah. Lalu tersenyum lebar dan ber-
kata.
"Sobatku, Dewa Maut. Masalah di mana
kau dapat menemukan orang yang kau cari, siapa
pun yang kau tanya pasti akan jawab tidak tahu!
Karena orang yang kau cari adalah orang-orang
persilatan yang tak dapat ditentukan di mana
tempatnya! Kalau tidak dicari kadang-kadang ber-
temu, tapi kalau dicari malah sampai modar pun
tak berjumpa! Namun, ada cara bagaimana kau
dapat menemukan orang-orang itu! Malah mereka
yang nanti akan mencarimu!"
"Hmm.... Coba katakan bagaimana ca-
ranya!"
"Sebarkan maut di mana-mana! Jangan
pandang bulu. Baik golongan hitam atau golon-
gan putih. Baik perempuan atau laki-laki! Bahkan
kalau kau berhasil membunuh orang-orang ter-
dekatnya, tak lama kau akan menemukan orang
yang kau cari!"
"Kau terlalu berbelit-belit! Aku jadi tak
mengerti!"
"Bunuh guru atau kekasih orang yang kau
cari!" tandas Penyair Berdarah.
Dewa Maut gelengkan kepala.
"Itu akan lebih sulit bagiku. Aku belum ta-
hu siapa dan di mana gurunya!"
Penyair Berdarah tertawa bergelak.
"Hmm.... Pasti manusia ini baru muncul ke
rimba persilatan. Sampai tempat dan nama guru
Pendekar Mata Keranjang yang sudah banyak di-
kenal orang ia tak tahu...."
"Kau tak usah khawatir. Aku tahu siapa
dan di mana guru Pendekar Mata Keranjang 108!"
"Katakan!" sahut Dewa Maut cepat.
"Dia bernama Wong Agung. Bertempat di
sebuah karang di tengah Laut Utara yang dikenal
orang dengan nama Karang Langit!"
"Wong Agung.... Hmm.... Apa dia juga banci
seperti muridnya?!" gumam Dewa Maut sambil
manggut-manggut.
"Apa kau bilang?! Coba ulangi lagi agak ke-
ras!" tiba-tiba Penyair Berdarah berseru demi
mendengar gumaman Dewa Maut.
Dewa Maut memandang Penyair Berdarah
dengan tatapan heran. Tapi akhirnya dia mengu-
langi kata-katanya. Tiba-tiba Penyair Berdarah
tertawa terbahak-bahak hingga keluar air ma-
tanya.
"Hai! Kenapa kau tertawa? Apa yang lu-
cu?!" hardik Dewa Maut.
"Banci? Ha.... Ha.... Ha...! Siapa yang kau
maksud banci. He...?!" tanya Penyair Berdarah.
"Bukankah pemuda bergelar Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 itu adalah pemuda yang poton-
gan dan gayanya mirip seorang perempuan? Ka-
lau tidak banci apa namanya?"
Penyair Berdarah makin bergelak.
"Siapa yang mengatakan padamu jika pe-
muda itu adalah seorang banci?"
"Aku pernah bertemu dengannya. Sayang,
waktu itu dia lolos! Tapi tidak akan lolos jika ber-
temu untuk kedua kalinya!"
Penyair Berdarah pandangi tampang Dewa
Maut untuk beberapa saat lamanya, lalu tertawa
lagi. Setelah puas tertawa, dia arahkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Seraya tersenyum
mengejek dia berucap.
"Kau salah besar, Sobat! Pendekar Mata
Keranjang 108 adalah manusia laki-laki tulen. Po-
tongan dan gayanya juga laki-laki! Dan seperti katamu, dia menggenggam sebuah kipas berwarna
ungu bergurat angka 108!"
"Kau tak usah menggurui aku. Pemuda
yang kusebut tadi juga menggenggam sebuah ki-
pas ungu bergurat angka 108! Kau jangan bicara
mengada-ada. Jangan-jangan keteranganmu tadi
dusta!"
"Keparat! Apa untungnya mendustaimu?!"
dengus Penyair Berdarah dengan pandangan na-
nar. Namun diam-diam dalam hatinya dia ber-
tanya-tanya.
"Pemuda banci menggenggam kipas ungu
bergurat angka 108. Siapa lagi ini? Baru kali ini
aku mendengarnya. Tapi kata-katanya tidak
mungkin berdusta! Jahanam! Aku jadi ikut-
ikutan bingung!"
Di lain pihak, Dewa Maut pun membatin.
"Aku yakin, pemuda banci yang kutemui bebera-
pa waktu yang lalu itu adalah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Tapi kenapa dia mengatakan Pende-
kar Mata Keranjang 108 adalah laki-laki tulen?
Setan alas! Jangan-jangan dia mengelabuiku!"
Habis membatin begitu, Dewa Maut me-
langkah satu tindak ke depan. Wajahnya berubah
merah padam. Seraya menyeringai dia memben-
tak garang.
"Aku curiga. Keteranganmu pasti bohong!
Dan kau akan menerima nasib buruk karena be-
rani berkata bohong pada Dewa Maut!"
Habis berkata, Dewa Maut angkat kedua
tangannya siap lancarkan pukulan.
"Kau jangan bodoh! Seperti halnya kau, se-
benarnya antara aku dengan Mata Keranjang ada
silang sengketa yang tak akan pernah selesai
sebelum salah satu dari kami ada yang terkapar
tewas! Sebagai musuh, tentunya aku tahu siapa
dia!"
"Eh, jangan-jangan kau berkata begitu ka-
rena takut padaku!"
Penyair Berdarah tertawa panjang.
"Aku tak pernah gentar menghadapi siapa
saja! Aku punya kekuatan dan aku sanggup
menghadapimu! Tapi tidakkah kau akan
menyesal tewas terlebih dahulu sebelum tujuan-
mu tercapai? Atau memang itu yang kau ingin-
kan?!"
"Setan!" rutuk Dewa Maut, lalu bantingkan
kakinya. Tanah di bawahnya kontan terbongkar.
Penyair Berdarah terkesiap sejenak, karena dia
merasa tanah pijakannya ikut bergetar. Diam-
diam dia maklum, jika pemuda di hadapannya
bukan pemuda yang bisa dianggap sebelah mata.
"Sobat!" kata Penyair Berdarah pada akhir-
nya. "Kita sekarang sedang dalam perjalanan
mencari orang yang sama. Kau punya urusan,
aku pun demikian. Kalau ingin unjuk kebolehan,
kutunggu kau di lereng bukit Umbul Rejo. Satu
purnama mendatang! Baik urusanmu dengan
orang yang kau cari selesai atau belum! Kalau tak
datang, sebenarnya kaulah laki-laki banci itu!"
"Jahanam terkutuk! Kenapa tidak kita se-
lesaikan sekarang saja?!"
"Menuruti katamu, sebenarnya aku juga
ingin menghadapimu sekarang. Namun aku ma-
sih punya urusan lebih penting. Ingat! Satu pur-
nama di depan!"
Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-
likan tubuh, berkelebat meninggalkan tempat itu.
Saat bersamaan, sebenarnya Dewa Maut
hendak lepaskan pukulannya, namun dia urung-
kan. "Hmm.... Masih ada waktu untuk menghabi-
sinya. Urusan mencari pendekar itu kiranya lebih
penting, dan aku ingin buktikan kebenaran kata-
katanya!"
Dewa Maut mendongak pandangi langit.
Lalu hendak melangkah meninggalkan tempat itu,
namun langkahnya tertahan ketika telinganya
menangkap suara langkah-langkah berderapnya
kuda yang menuju ke arahnya.
Baru saja pemuda ini palingkan wajah, dari
arah samping muncul dua orang penunggang ku-
da dan langsung hentikan kuda masing-masing l
lima langkah di depannya.
DELAPAN
PENUNGGANG kuda sebelah kanan adalah
seorang gadis muda berwajah cantik jelita Berku-
lit putih, berambut panjang. Bermata bulat dan
tajam. Mengenakan pakaian ketat berwarna kun-
ing, hingga dadanya yang kencang membusung
terlihat membentuk bagus. Sementara penunggang di sebelah kiri adalah seorang laki-laki. Tu-
buhnya tegap besar. Rambutnya kaku dan pan-
jang menjulai. Sepasang matanya menyengat ta-
jam. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum se-
ringai. Meski paras wajahnya kelihatan angker
dan tubuhnya tegap besar, namun jelas sekali ji-
ka laki-laki ini masih berusia sangat muda.
Untuk beberapa saat lamanya kedua pe-
nunggang kuda ini pandangi Dewa Maut dengan
pandangan menyelidik.
Mungkin karena yang memandang ke
arahnya adalah seorang gadis muda dan berparas
cantik, kali ini Dewa Maut tak mengalihkan pan-
dangannya. Dia balas memandang, malah dengan
bibir sunggingkan senyum aneh.
Tiba-tiba si gadis palingkan wajah ke arah
anak laki-laki di sampingnya. Lalu memberi isya-
rat untuk meneruskan perjalanan. Namun si
anak laki-laki sepertinya tak menghiraukan isya-
rat orang. Dia tetap diam dengan sepasang mata
menghujam tajam pada pemuda di hadapannya.
"Bukan dia!" mendadak si gadis keluarkan
suara seakan menegur. Lalu tarik tali kekang ku-
danya.
Kepalanya kembali berpaling dan men-
gangguk pada si anak laki-laki.
Si anak laki-laki menyeringai lalu ikut tarik
tali kekang kudanya. Namun belum sampai kedua
penunggang ini menghela kuda masing-masing,
Dewa Maut membuat gerakan jumpalitan sekali
dan kini tegak dengan kacak pinggang seakan
menghadang.
"Jangan berani bergerak dari tempat kalian
jika tak ingin kepala kalian penggal!" Dewa Maut
keluarkan bentakan.
Sang gadis dan si anak laki-laki urungkan
niat masing-masing. Keduanya serentak meman-
dang pada Dewa Maut. Si gadis perlihatkan se-
nyum sinis, sementara si anak laki-iaki menye-
ringai, seakan menunjukkan barisan giginya yang
besar-besar.
"Orang tak dikenal! Jangan hadang perja-
lanan kami! Atau tubuhmu akan tercabik-cabik
ladam kuda!" si gadis balas membentak.
Dewa Maut keluarkan tawa mengekeh pan-
jang. Puas mengumbar tawa, pemuda ini usap-
usap dadanya. Lalu berujar dingin.
"Silakan teruskan perjalanan, tapi jawab
dulu tanyaku!"
Si anak laki-iaki angkat tangannya hendak
lepaskan pukulan, namun si gadis cepat berpal-
ing dan memberi isyarat agar si anak tidak mene-
ruskan niatnya.
"Kau tak berhak bertanya pada kami. Siapa
kau?!" si gadis ajukan tanya.
"Kau bertanya, aku akan jawab. Dengar!
Aku adalah Dewa Maut! Kalian siapa?!"
"Kami bukan siapa-siapa! Dan harap jan-
gan halangi jalan kami. Kami ada urusan yang
harus diselesaikan!" jawab si gadis.
"Kalian keberatan sebutkan diri tak apa-
apa! Tapi jawab satu pertanyaanku! Setelah itu
kalian silakan teruskan perjalanan!"
Si gadis tak menyahut. Dia hanya mem-
perhatikan pada pemuda di hadapannya lebih
seksama. Sementara si anak laki-laki tak berkesip
memandang dengan tatapan marah.
Merasa orang menunggu pertanyaannya,
maka Dewa Maut segera menyambung ucapan-
nya. "Katakan padaku, pemuda tersohor bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108 seorang laki-laki
tulen apa seorang banci!"
Mendengar ucapan Dewa Maut wajah si
gadis terlihat berubah. Dia segera berpaling ke
arah anak laki-laki dengan dahi berkerut. Diam-
diam dia menekan rasa terkejutnya. Dalam hati
dia berkata.
"Siapa sebenarnya pemuda ini? Kenapa
menanyakan hal itu?! Melihat gerak-geriknya dia
pemuda berilmu. Menilik tampangnya dia seorang
yang beringas dan kejam. Tapi pertanyaannya itu
yang membuatku heran.... Ah, Pendekar Mata Ke-
ranjang.... Di mana dia saat ini? Sebenarnya....
Ah, aku tak pantas mengatakan hal itu.... Aku
sudah...," si gadis tak meneruskan kata hatinya.
Dia terlihat menarik napas dalam-dalam.
"Aku melihat perubahan wajahmu. Aku ya-
kin kau mengenalnya. Harap kau jawab perta-
nyaanku!" Dewa Maut berkata, lalu melangkah
dua tindak ke depan.
"Hmm.... Aku harus mengetahui dahulu
apa tujuannya manusia ini! Aku khawatir dia
mempunyai niat tidak baik!" setelah membatin
begitu si gadis berkata.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Mata
Keranjang?!"
"Itu bukan jawaban!" sergah Dewa Maut.
"Aku ingin jawaban bukan pertanyaan!"
"Hmm.... Rupanya dia memang punya niat
jelek!" lalu si gadis anggukan kepala dan berkata.
"Aku memang tak pernah bertemu dengan
pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang. Na-
mun apa yang pernah kudengar dari orang-orang
yang pernah bertemu dengannya, pemuda itu
adalah seorang pemuda banci!"
"Begitu?!" gumam Dewa Maut seraya an-
gukkan kepalanya. Setelah memandang sejenak,
dia berujar datar. "Silakan teruskan perjalanan!"
Sesaat si gadis termangu. Namun tak lama
kemudian berpaling pada anak laki-laki di sam-
pingnya dan memberi isyarat dengan angukkan
kepala. Tanpa berkata-kata lagi, kedua penung-
gang ini hela kuda masing-masing meninggalkan
tempat itu.
"Penyair Berdarah jahanam! Kau telah ber-
kata dusta padaku! Kau akan tahu akibatnya!"
ujar Dewa Maut sambil palingkan wajah mengiku-
ti arah kepergian dua penunggang kuda.
"Aku menangkap perubahan pada air muka
gadis itu. Hm.... Apakah dia...." Dewa Maut tak
meneruskan membatin. Dia cepat berkelebat me-
ninggalkan tempat itu.
* * *
Kedua penunggang kuda terus memacu
kuda tunggangannya dengan cepat. Pada suatu
tempat yang sepi, mendadak si gadis menarik tali
kekang kudanya hingga ladam kaki kudanya
menggeruk tanah dan membentuk empat garis
berlobang. Tanah berdebu mengepul dan mem-
bumbung ke udara.
Melihat si gadis hentikan kuda tunggan-
gannya, si anak laki-laki ikut hentikan kudanya.
Kembali debu mengudara dan menutupi peman-
dangan sejenak.
Begitu debu sirap, si gadis turun dari
punggung kuda. Lalu memberi isyarat pada anak
laki-laki untuk mengikutinya. Dengan sekali lon-
cat, si anak laki-laki telah berada di belakangnya
dan mengikuti langkahnya yang berjalan ke arah
sebuah pohon besar berdaun rindang.
"Kita istirahat dahulu. Begitu matahari
menggelincir dan tidak begitu panas, kita te-
ruskan perjalanan," kata si gadis lalu duduk ber-
sandar pada batang pohon. Anak laki-laki itu tak
mengeluarkan suara. Dia hanya anggukan kepala
lalu ikut duduk tak jauh dari si gadis.
Untuk beberapa saat lamanya, si gadis
memandangi wajah si anak laki-laki. Dia terlihat
menarik napas dalam-dalam. Lalu alihkan pan-
dangannya ke jurusan lain.
"Betapa malang nasibmu. Harus lahir ke
dunia tanpa seorang ayah.... Dan lebih nista lagi,
penanam benihmu adalah seorang durjana. Ma-
nusia sesat dari kaum persilatan yang di sana
sini cuma bikin keonaran. Tapi, bagaimanapun
juga aku harus mengatakannya padamu. Kau te-
lah besar. Kau sendiri nantinya yang mengambil
jalan. Hm...,"
Si gadis lantas berpaling lagi pada anak la-
ki-laki yang masih duduk dengan sesekali mem-
permainkan julaian rambutnya. Setelah menarik
napas panjang mengatasi segala perasaan yang
menghimpit dadanya, dia buka mulut.
"Abilowo.... Sudah saatnya aku mengata-
kan padamu tentang hal yang selama ini sering
kau tanyakan...."
Si anak laki-laki yang dipanggil Abilowo
berpaling. Dia hanya tersenyum tanpa mengelua-
rkan kata-kata.
"Ayahmu sebenarnya adalah...," sejenak si
gadis berbaju kuning ini hentikan ucapannya, se-
telah menarik napas dalam-dalam dia menyam-
bung. Suaranya berubah bergetar.
"Seorang laki-laki bernama Malaikat Berda-
rah Biru! Namun jangan kau tanyakan di mana
dia berada. Aku telah lama menyelidik, namun
hingga saat ini aku tak berhasil mengeta-
huinya...."
"Tapi dia masih hidup, bukan?!" untuk per-
tama kalinya Abilowo buka suara.
Si gadis gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku belum dapat memastikan. Hanya ka-
bar yang terakhir sampai padaku, dia berhasil
meloloskan diri saat terjadi pertempuran dengan
Pendekar Mata Keranjang. Sejak saat itu pula dia
tidak ada kabar beritanya...."
"Malaikat Beldalah Bilu.... Hmm.... Kalau
tidak salah, menulut apa yang pelnah kudengal
daii Lestu Canggil Lumekso, Malaikat Beldalah Bi-
lu adalah seolang tokoh limba pelsilatan belilmu
tinggi. Dia mempunyai sebuah senjata pusaka be-
lupa sebuah kipas hitam. Apa betul?!"
"Apa yang kau dengar itu betul. Tapi kau
jangan salah tangkap. Meski dia berilmu tinggi,
dia seperti halnya bekas gurumu yang telah tewas
itu, adalah manusia yang salah mengambil jalan!"
"Maksudnya...?!" tanya Abilowo tak men-
gerti.
"Dia berpihak pada orang-orang golongan
sesat! Bahkan dia adalah salah satu dari pimpi-
nannya sebelum dapat ditumpas oleh Pendekar
Mata Keranjang!"
"Abilowo! Tugasmu sekarang adalah men-
cari sekaligus membunuhnya! Karena dia telah
mengabaikanmu. Dia manusia tidak bertanggung
jawab yang tega menelantarkan kau dan aku! Kau
dengar?!"
"Aku dengal. Dan akan kulakukan apa
yang kau pelintahkan!" ujar Abilowo tandas.
"Bagus! Tapi, kau harus tetap berhati-hati
menghadapinya. Karena selain dikenal sebagai
seorang berilmu tinggi, dia juga adalah seorang li-
cik!"
Abilowo anggukan kepala. Si gadis berbaju
kuning ketat yang bukan lain adalah Putri Tun-
jung Kuning, ibu kandung Abilowo akibat hubungan paksa yang dilakukan Malaikat Berdarah Bi-
ru menghela napas panjang merasa lega karena
telah mengutarakan hal yang selama ini dipen-
dam dan ditutupnya rapat-rapat (Mengenai terja-
dinya hubungan antara Putri Tunjung Kuning
dengan Malaikat Berdarah Biru, silakan baca
serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-
sede : "Pewaris Pusaka Hitam").
Putri Tunjung Kuning tengadahkan kepala,
lalu bergerak bangkit.
"Kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kita tak
usah menunggu tergelincirnya matahari!" ka-
tanya. Lalu melangkah menuju ke arah kuda
tunggangannya.
"Tunggu!" tiba-tiba Abilowo berseru.
"Ada yang masih ingin kau tanyakan?!"
tanya Putri Tunjung Kuning seraya berpaling. Ab-
ilowo anggukan kepala.
"Hmm.... Mumpung masih di sini, lekas ka-
takan!"
"Saat bertemu dengan laki-laki tadi, kena-
pa kau sebutkan bahwa Pendekar Mata Keranjang
adalah seorang banci? Apa betul dia seorang ban-
ci?!"
Putri Tunjung Kuning tertawa perlahan.
"Sebenarnya hal itu tak usah kau tanyakan
padaku. Kaupun pernah bertemu dengannya.
Menurutmu apakah dia laki-laki...," Putri Tunjung
Kuning putuskan ucapannya, ekor matanya meli-
rik tajam ke samping kanan. Tiba-tiba dia putar
tubuhnya setengah lingkaran. Matanya menyapu
berkeliling, lalu terpaku pada sebuah batu besar.
Lalu dia berteriak lantang.
"Orang di balik batu! Lekas unjukkan diri-
mu!"
Tak ada suara jawaban, tak terlihat gera-
kan.
"Bagus! Rupanya kau ingin cari mampus!"
Putri Tunjung Kuning Menggeram. Lalu angkat
kedua tangannya dan serta-merta dihantamkan
pada batu besar itu.
Dua larik sinar kuning melesat.
Byarrr!
Batu besar yang terkena hantaman tangan
Putri Tunjung Kuning hancur berkeping-keping
dan langsung bertaburan ke udara.
Bersamaan dengan melesatnya sinar kun-
ing dan sejengkal lagi pukulannya itu menghajar
batu, sesosok bayangan berkelebat dari balik ba-
tu, dan tahu-tahu telah tegak berdiri di hadapan
Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning tersirap dan tersurut
dua langkah ke belakang, sementara Abilowo ce-
pat melompat dan menghadang sosok di hadapan
Putri Tunjung Kuning.
SEMBILAN
ABILOWO angkat kedua tangannya tinggi-
tinggi. Siap hendak lepaskan pukulan. Melihat hal
ini Putri Tunjung Kuning segera melangkah menjajari dan memberi isyarat agar Abilowo tidak me-
lakukan serangan.
Abilowo perdengarkan dengusan tanda tak
senang. Namun akhirnya dia turunkan kedua
tangannya.
"Kenapa kau mengikuti kami?!" bentak Pu-
tri Tunjung Kuning.
Orang yang dibentak, yang ternyata adalah
laki-laki muda mengenakan jubah hitam yang
melapis baju warna putih bergambar pintu ger-
bang yang bukan lain adalah Dewa Maut tidak
segera memberikan jawaban. Hanya sepasang
matanya yang tajam menatap satu persatu pada
Putri Tunjung Kuning dan Abilowo. Diam-diam
dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa se-
benarnya dua orang di hadapannya ini. Sewaktu
bertemu tadi, dia dapat menangkap perubahan
pada Putri Tunjung Kuning saat dia menyebut
nama Pendekar Mata Keranjang 108. Merasa si
gadis menyembunyikan sesuatu, diam-diam dia
mengikuti perjalanan Putri Tunjung Kuning dan
Abilowo. Namun sayang, dia hanya lamat-lamat
mendengar percakapan dua orang ini. Namun
demikian dia masih dapat menangkap ucapan Pu-
tri Tunjung Kuning yang menyebut nama Malai-
kat Berdarah Biru. Dan ketika Putri Tunjung
Kuning menjawab pertanyaan Abilowo, mungkin
karena ingin mendengar lebih jelas, dia membuat
gerakan. Namun berakibat fatal. Selain gagal
mendengarkan ucapan terakhir Putri Tunjung
Kuning, dia pun kepergok dan terpaksa menghambur keluar begitu batu tempatnya bersem-
bunyi dihantam hancur oleh Putri Tunjung Kun-
ing.
"Kalau kau tak menjawab, jelas kau ingin
membuat masalah dengan kami! Dan niatmu pas-
ti jahat, karena sengaja mencuri dengar pembica-
raan orang!" ujar Putri Tunjung Kuning masih
dengan suara keras.
Dewa Maut tertawa pendek. Dengan suara
yang juga keras dia berucap.
"Silakan kau duga niatku! Terserah kau
katakan ingin membuat masalah atau tidak. Yang
jelas kau telah menyebut nama Malaikat Berda-
rah Biru. Kau berarti mengenalnya. Dan kau ha-
rus beri keterangan padaku tentang orang itu!"
"Hmm.... Apa sebenarnya tujuan manusia
ini? Tadi menanyakan Pendekar Mata Keranjang,
sekarang bertanya tentang manusia keparat itu!
Hmm...," Putri Tunjung Kuning bergumam.
"Apa maksudmu sebenarnya menanyakan
tentang orang itu, he?!"
"Itu bukan urusanmu! Katakan saja di ma-
na dia berada!"
"Bial kupecahkan mulutnya agal tak see-
naknya bicala!" kali ini Abilowo ikut angkat bica-
ra.
"Kau tak mau katakan apa maksudmu.
Jangan harap kau akan mendengar keterangan
yang kau pinta! Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Akan kuturuti permintaanmu, setelah kau
beri keterangan!" sahut Dewa Maut seraya menatap pada Abilowo.
"Kalau aku tak memberi keterangan?!"
tanya Putri Tunjung Kuning seakan menantang.
Dewa Maut tengadahkan kepala, lalu
memperdengarkan tawa mengekeh panjang.
"Akan kukorek mulutmu dengan paksa!
Bahkan kedua mulutmu sekaligus!"
Mendengar ucapan Dewa Maut, berubah-
lah paras wajah Putri Tunjung Kuning. Sepasang
matanya membeliak besar sementara tubuhnya
terguncang menahan amarah. Serta-merta kedua
tangannya diangkat. Namun sebelum kedua tan-
gannya melepaskan pukulan, Abilowo telah me-
lompat ke depan dan langsung kirimkan jotosan
ke arah kepala dan perut Dewa Maut.
Dua rangkum angin keras telah mengge-
brak mendahului sebelum kedua tangan itu
menggebuk sasaran.
Dewa Maut sunggingkan senyum menge-
jek. Dia tak bergerak dari tempatnya.
Prakkk!
Dua pasang tangan beradu keras di udara
tatkala Dewa Maut angkat tangannya menangkis
serangan lawan. Pemuda ini kontan tersurut dua
langkah ke belakang dengan dahi mengkerut. Air
mukanya berubah dengan sedikit meringis mena-
han sakit dan kelu pada kedua tangannya yang
baru saja beradu. Sementara Abilowo hanya ber-
geser satu langkah ke samping sambil menyerin-
gai ganas.
"Setan alas! Siapa anak itu? Tenaga da
lamnya sangat kuat. Dan dia sepertinya tak me-
rasakan sakit, padahal tanganku terasa kebas!"
batin Dewa Maut lalu lipat gandakan tenaga da-
lamnya dan siap lancarkan pukulan.
Di seberang, Putri Tunjung Kuning segera
melangkah menjauh begitu Abilowo melakukan
serangan. Dari tempatnya berdiri sekarang, Putri
Tunjung Kuning memperhatikan Abilowo dengan
pandangan bangga.
"Anak hebat. Hanya sayang bernasib tidak
baik! Hmm.... Seandainya dia bukan anak...," Pu-
tri Tunjung Kuning tak mampu teruskan kata ha-
tinya. Yang dilakukan selanjutnya adalah menarik
napas dalam-dalam seraya gelengkan kepalanya.
Di depan, melihat lawannya mempunyai
tenaga dalam kuat, Dewa Mau tak mau lagi keda-
huluan diserang. Sebelum lawan lakukan seran-
gan, dia telah menarik kedua tangannya dan
langsung dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dua asap merah menyambar cepat dengan
hamparkan hawa panas menyengat.
"Ambrol dadamu!" desis Dewa Maut begitu
mengetahui lawan tidak membuat gerakan meng-
hindar.
Di depan, Abilowo sunggingkan senyum
penuh ejekan. Sejengkal lagi serangan lawan
menghantam, dia sentakkan kedua tangannya.
Bummm!
Ledakan dahsyat segera terdengar meng-
hentak di tempat itu. Tanah berhamburan ke
udara. Karena Abilowo bergerak menyentak sete-
lah serangan lawan dekat, maka tak ampun lagi
tubuhnya yang besar tegap mencelat ke belakang
sampai dua tombak dan berkaparan di atas ta-
nah. Sementara Dewa Maut hanya terhuyung-
huyung sebentar lalu segera dapat kuasai diri.
Begitu hamburan tanah sirap, Dewa Maut
segera melangkah dua tindak ke depan. Bibirnya
tersenyum melihat sosok lawannya terkapar di
tanah. Dia menduga jika lawan sudah tidak akan
bisa bangkit lagi.
Namun dugaan Dewa Maut meleset. Baru
saja senyumnya tersungging, Abilowo bergerak
bangkit, membuat matanya mendelik besar. Bu-
kan hanya merasa heran karena tubuh lawannya
tidak cidera, tapi juga merasa aneh jika pukulan-
nya yang mampu membuat batu besar hancur le-
bur tidak dapat mengoyak barang selembar dari
pakaian lawannya! Diam-diam Dewa Maut ter-
guncang juga. Dia segera siapkan pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi'.
Di depan, begitu bangkit sepasang mata
Abilowo yang telah berubah merah berkilat-kilat
menyengat nanar ke arah Dewa Maut. Mulutnya
komat-kamit. Kedua tangannya dikepalkan dan
disentakkan satu sama lain. Bersamaan dengan
itu dari mulutnya terdengar bentakan keras. Tu-
buhnya lalu berputar dan serta-merta kedua tan-
gannya dihantamkan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Dewa Maut berteriak keras. Bukan hanya
karena terdorong keras ke belakang namun juga
karena terkejut ketika dari telapak tangan lawan
menyembur gelombang dahsyat yang mengelua-
rkan hawa sangat panas!
Seraya menahan rasa tercengang, Dewa
Maut cepat silangkan kedua tangan sejajar dada
dan dengan cepat pula didorong ke depan.
Mendadak asap merah melingkupi tempat
itu, udara bertambah panas. Bersamaan dengan
itu asap merah laksana bara api menyambar.
Daarrr!
Dua pukulan bentrok di udara keluarkan
suara meledak keras. Tubuh Dewa Maut mencelat
dan jatuh berlutut. Parasnya berubah pucat pasi,
sementara tubuhnya bergetar keras. Dari sudut
bibirnya keluarkan darah. Dia cepat salurkan te-
naga dalamnya pada dadanya yang berdenyut tak
karuan dan nyeri.
Setelah dapat mengatur jalan napasnya,
Dewa Maut cepat bangkit dan memandang ke de-
pan.
"Gila! Hampir tak dapat dipercaya!" seru
Dewa Maut dengan mata dipentangkan, karena
ternyata lawan telah pula berdiri tanpa cidera se-
dikit pun! Malah kini telah melangkah maju den-
gan senyum dingin dan seringaian ganas.
"Setan! Agaknya dia tak mempan pukulan.
Tapi pasti punya kelemahan. Hmm.... Mung-
kin...," Dewa Maut kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Lalu menyongsong Abilowo dan
kedua tangannya dihantamkan ke arah kepala.
Abilowo merunduk. Kedua tangannya di-
angkat untuk melindungi kepalanya. Namun De-
wa Maut yang telah memperhitungkan serangan-
nya segera tarik kedua tangannya, tangan kanan
diayun ke bawah menelusup ke arah lambung.
Sementara tangan kiri dipalangkan ke depan un-
tuk menangkis kedua tangan Abilowo yang cepat
dihantamkan ke bawah begitu mengetahui lawan
menarik kedua tangannya.
Prakkk!
Bukkk!
Terdengar bentroknya tangan. Lalu disusul
dengan terdengarnya suara terhantamnya benda.
Abilowo terbanting ke tanah terkena hajaran tan-
gan kanan Dewa Maut yang menelusup ke lam-
bungnya.
Mengetahui lawan roboh terbanting, Dewa
Maut tak memberi kesempatan, dia cepat mem-
bungkuk dan hantamkan kedua tangannya seka-
ligus!
Abilowo menggeliat, lalu gerakan tubuhnya
bergulingan, hingga serangan Dewa Maut hanya
menghajar tanah. Tanah itu kontan bergetar dan
berlobang dalam!
Dewa Maut gertakan rahang. Melihat lawan
masih bisa menghindar dia cepat memburu. Kaki
kanannya langsung ditendangkan ke arah kepala.
Bukkk!
Kepala Abilowo terdongak keras terkena sa-
puan kaki Dewa Maut. Bersamaan dengan itu tu-
buhnya mencelat sampai dua tombak.
Meski Putri Tunjung Kuning tahu jika Ab-
ilowo tak akan cidera namun melihat apa yang
terjadi mau tak mau dari mulutnya terdengar jeri-
tan.
"Hmm.... Kenapa tidak gadis itu saja kuja-
dikan sandera? Dia pasti tidak akan berkutik!"
pikir Dewa Maut. Ekor matanya lalu melirik pada
Putri Tunjung Kuning. Dan begitu dilihatnya Ab-
ilowo masih belum bangkit, dia cepat melompat
ke arah Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning terkejut. Dan serta-
merta kedua tangannya bergerak untuk menang-
kis sergapan tangan Dewa Maut. Namun gera-
kannya kalah cepat dengan gerakan Dewa Maut.
Hingga sebelum dia sempat bergerak, tangan De-
wa Maut telah menelikung dan mencekal ping-
gangnya. Tanpa menunggu lagi tangan Dewa
Maut segera bergerak berputar Putri Tunjung
Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya
terbanting di atas tanah.
Ketika Putri Tunjung Kuning hendak berge-
rak bangkit, Dewa Mau segera angkat kaki ka-
nannya dan ditekankan pada perut Putri Tunjung
Kuning, hingga gadis ini menjerit kesakitan tanpa
bisa bergerak lagi.
"Jahanam! Kuputuskan kakimu!" teriak
Putri Tunjung Kuning marah. Tangan kanan ki-
rinya segera bergerak menghantam. Namun ber-
samaan dengan itu kaki kanan Dewa Maut cepat
bergerak lagi. Hingga kedua tangan Putri Tunjung
Kuning mental lagi ke belakang dan menghantam
tanah. Untuk kedua kalinya dari mulut gadis ini
keluar seruan keras.
Dewa Maut yang segera menekan perutnya
tertawa bergelak.
"Bangsat! Apa yang hendak kau lakukan?!"
teriak Abilowo begitu bangkit dan mengetahui apa
yang terjadi.
Dewa Maut berpaling. Bibirnya yang men-
geluarkan darah diusap-usap dengan punggung
tangannya. Lalu tersenyum dingin.
"Berani bergerak dari tempatmu, nyawa
manusia ini kubuat lenyap!" gertak Dewa Maut
sambil tekan kakinya lebih ke bawah di perut Pu-
tri Tunjung Kuning. Putri Tunjung Kuning menge-
rang kesakitan.
Abilowo memandang tajam. Namun tak be-
rani bergerak dari tempatnya, membuat Dewa
Maut perdengarkan tawa mengekeh panjang. Lalu
tanpa pedulikan tatapan mata Abilowo, Dewa
Maut memandang ke bawah.
"Kau punya dua pilihan! Memberi keteran-
gan tentang Malaikat Berdarah Biru atau perut-
mu akan jebol!" teriaknya sambil menekan lagi
perut Putri Tunjung Kuning dengan kakinya.
"Pengecut licik! Jangan mimpi kau akan
mendengarnya!" seru Putri Tunjung Kuning den-
gan suara tersengal.
"Baik. Rupanya kau ingin merasakan ba-
gaimana rasanya perut jebol!" gumam Dewa Maut
lalu tekan lebih keras lagi kakinya. Putri Tunjung
Kuning meraung terputus-putus. Abilowo gegatkan rahangnya. Mulutnya berkemik, tubuhnya
berguncang menahan marah. Dia perlahan me-
langkah. Namun baru saja hendak bergerak, De-
wa Maut tekan lagi kakinya dan berteriak lantang.
"Maju selangkah lagi, putus nyawanya!" se-
raya berteriak tangan Dewa Maut diangkat dan
siap dihantamkan pada kepala Putri Tunjung
Kuning. Membuat Abilowo urungkan melangkah.
Anak ini lalu bantingkan kakinya melampiaskan
amarah. Tanah itu langsung bergetar keras.
"Setan alas! Dia tak mempan pukulan. Te-
naganya begitu kuat. Padahal wajahnya masih
menampakkan kekanak-kanakan. Bagaimana bi-
sa terjadi?" bisik Dewa Maut saat merasakan ka-
kinya ikut bergetar.
"Aku harus cepat mengetahui apa kelema-
hannya, jika tidak nantinya pasti akan menjadi
batu penghalang! Sekarang aku harus segera se-
lesaikan urusan ini!"
Dewa Maut lantas membungkuk, dengan
suara keras dia berteriak.
"Waktumu cuma sedikit. Jelaskan padaku
siapa manusia bergelar Malaikat Berdarah Biru
itu! Dan di mana aku dapat menemukannya!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning ber-
kilat-kilat marah, dadanya bergerak turun naik,
membuat mata Dewa Maut bergerak membeliak.
Rupanya gelegak darah muda pemuda ini perla-
han mulai merasuki dadanya, hingga tangannya
bergerak dan....
Bret! Breeettt!
Pakaian yang dikenakan Putri Tunjung
Kuning robek di bagian dadanya. Buah dada yang
kencang membusung dan putih terpentang. Dewa
Maut makin mengekeh dengan sepasang mata
mendelik. Sementara Abilowo menggeram dan
hantamkan kedua tangannya satu sama lain.
"Kau tak mau buka suara tak jadi apa. Aku
akan buka pakaianmu. Ingin lihat bagaimana mu-
lusnya tubuhmu! Ha.... Ha.... Ha...!'
Tanpa lepaskan injakan kakinya pada pe-
rut Putri Tunjung Kuning, tangan kirinya berge-
rak ke belakang hendak menyingkap pakaian ba-
gian bawah gadis ini.
Abilowo habis kesabarannya. Dia kerahkan
tenaga dalam. Sementara tangan Dewa Maut te-
lah mulai menyingkap pakaian bawah Putri Tun-
jung Kuning. Gadis ini memaki habis-habisan.
Namun Dewa Maut tak peduli.
Paha Putri Tunjung Kuning telah terlihat.
Dewa Maut makin bergelak, sementara Abilowo
siap lepaskan pukulan.
Saat itulah tiba-tiba ada seseorang berseru.
Lalu menderu angin dahsyat dengan keluarkan
suara menggemuruh. Dewa Maut berteriak te-
gang. Gerakan tangannya yang hendak menying-
kap pakaian Putri Tunjung Kuning terpaksa di-
urungkan karena sapuan angin dahsyat itu me-
nyambar ke arahnya dan serta mendorong tu-
buhnya hingga mental sampai beberapa langkah.
Di seberang sana, Abilowo urungkan pukulannya.
Sambil kertakan rahang, Dewa Maut segera
berpaling ke arah sumber datangnya sambaran
angin yang mampu membuat tubuhnya terpental
bahkan hampir saja terjungkal jika dia tidak ce-
pat membuat gerakan sentakan kedua tangannya
hingga keseimbangannya terkendali.
Di lain pihak, merasa kaki orang telah ti-
dak lagi di atas perutnya, Putri Tunjung Kuning
yang juga merasakan sambaran angin dahsyat
hingga tubuhnya sedikit terseret ke atas segera
bangkit, lalu mundur tiga langkah dengan wajah
berpaling pada asal sambaran angin yang telah
membuat mentalnya tubuh Dewa Maut.
Baik Dewa Maut maupun Putri Tunjung
Kuning serta Abilowo melihat seorang pemuda
mengenakan pakaian hijau yang melapis baju
warna kuning lengan panjang. Rambutnya pan-
jang dan dikuncir ekor kuda, memandang tak
berkesip ke arah jurusan lain!
SEPULUH
PENDEKAR Mata Keranjang!" seru Putri
Tunjung Kuning dalam hati. Dia tidak berani
mengucapkan di mulut. Karena dia khawatir Dewa Maut akan mendengarnya. Dia merasa jiwa
Dewa Maut masih menganggap bahwa pemuda
yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-
lah seorang pemuda banci seperti apa yang dika-
takannya.
Dan pura-pura tak mengenal, Putri Tunjung Kuning segera maju dua tindak ke depan.
Seraya membungkukkan sedikit tubuhnya dan
menutupi dadanya yang terbuka, dia berseru.
"Tuan penolong. Terima kasih, aku berhu-
tang jasa padamu!"
Pemuda berpakaian hijau dan memang Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling, ter-
senyum sekilas lalu memandang tajam pada De-
wa Maut yang juga sedang memandangnya. Lalu
berujar.
"Aku tidak merasa menolongmu! Kau salah
alamat mengatakan terima kasih padaku!"
Baik Putri Tunjung Kuning, Dewa Maut,
serta Abilowo terkejut mendengar ucapan Pende-
kar 108. Dan sebelum keheranan ketiga orang ini
lenyap, Pendekar 108 berpaling lagi ke samping.
Lalu berseru,
"Orang di balik pohon! Keluarlah! Kenapa
kau malu-malu memperlihatkan diri?!"
Ketiga orang di situ menindih rasa heran
masing-masing dan diam menunggu dengan mata
masing-masing mengarah pada sebuah pohon.
Sebenarnya Aji sendiri tak tahu siapa
adanya orang di balik pohon, hanya saja sewaktu
dia hendak lepaskan pukulan untuk mencegah
gerakan tangan Dewa Maut yang hendak me-
nyingkap pakaian Putri Tunjung Kuning tiba-tiba
dari balik pohon menyambar angin dahsyat, hing-
ga dia urungkan niat.
Karena belum juga ada gerakan dari balik
pohon, Pendekar 108 kembali ulangi teriakannya.
Mendadak terdengar suara cekikikan. Bersamaan
dengan itu dari balik pohon muncul seseorang.
Dia adalah seorang pemuda. Wajahnya
elok. Memakai bedak dan bibirnya dipoles merah.
Rambutnya yang panjang dikepang dua. Dia me-
langkah keluar dari balik pohon. Langkahnya le-
mah gemulai, tangannya bergerak seakan melam-
bai. Sementara pinggulnya digoyang-goyangkan
dan kepalanya disentak-sentakkan ke depan.
"Setan Pesolek!" gumam Pendekar 108 den-
gan mata terbeliak. Mendadak dada murid Wong
Agung ini berdebar tak karuan. Keningnya men-
gernyit dengan mata melirik pada Dewa Maut.
"Sialan! Tak kusangka dia yang muncul!
Bagaimana ini? Apakah Dewa Maut telah menge-
tahui sandiwara yang kulakukan bersama Setan
Pesolek? Apakah dia sudah tahu, bahwa orang
yang dicarinya selama ini adalah aku? Sean-
dainya bukan Setan Pesolek yang muncul, mung-
kin aku masih bisa mungkir.... Ah, apa harus di-
kata. Memang sudah saatnya manusia itu kuha-
dapi!" pikir Pendekar 108 lalu berpaling lagi pada
Setan Pesolek.
"Siapa orang ini? Hmm.... Baru kali ini aku
bertemu dengannya. Kemunculannya bersamaan
dengan Pendekar Mata Keranjang. Bukan tak
mungkin dia adalah sahabatnya. Hmm.... Aku ta-
hu sekarang, kenapa manusia jahanam itu me-
nanyakan laki-laki atau banci tentang Pendekar
Mata Keranjang. Pasti kedua orang ini telah
mempermainkan Dewa Maut! Dan melihat pukulannya, aku yakin meski tampak seperti perem-
puan, dia memiliki kepandaian tinggi...," batin Pu-
tri Tunjung Kuning, lalu angkat bicara.
"Kalau kau yang telah menolongku, terima-
lah ucapan terima kasihku!"
Pemuda yang baru muncul dan memang
Setan Pesolek memandang sejenak. Lalu tertawa
cekikikan dan menyibakkan rambut pada teng-
kuknya dengan menyentakkan sedikit kepalanya.
Sementara itu, melihat siapa yang muncul
dan baru saja membuat tubuhnya mental, tubuh
Dewa Maut yang telah menahan marah tergun-
cang keras. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda ini
segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak enam
langkah di hadapan Setan Pesolek.
"Hmm.... Berarti pemuda berbaju hijau ini
berdusta padaku. Dia mengatakan tak kenal den-
gan pemuda banci ini. Tapi mustahil jika muncul
secara bersamaan tapi tak kenal. Beberapa waktu
silam mereka juga muncul bersamaan. Hm....
Jangan-jangan dua manusia ini mempermainkan
aku! Jahanam!" rutuk Dewa Maut dalam hati. Ke-
palanya lantas lurus menghadap Setan Pesolek.
Tangannya bergerak dengan jari telunjuk menga-
rah tepat pada wajah Setan Pesolek.
"Hari ini nyawamu tidak akan lari lagi dari
tanganku!"
Habis berkata begitu, kepalanya berpaling
pada Pendekar Mata Keranjang. Dia keluarkan
suara membentak garang.
"Urusan kita belum tuntas! Jangan coba
coba bergerak dari tempatmu!"
Pendekar 108 jerengkan sepasang ma-
tanya. Lalu usap-usap hidungnya. Lalu seenak-
nya saja duduk menggelosoh tanpa memandang
pada Dewa Maut.
"Hmm.... Sebenarnya aku ingin menghajar
pemuda ini. Juga ingin aku mengobrol banyak
dengan Pemuda Mata Keranjang. Hmm.... Pemuda
itu tak berubah. Tetap acuh tak acuh meski nya-
wanya diancam orang.... Ah, seandainya aku di-
pertemukan dalam suasana yang tidak demikian.
Aneh, kenapa aku tetap merindukannya meski
aku sadar tak mungkin harapanku tercapai?" Pu-
tri Tunjung Kuning berkata dalam hati. Lalu me-
noleh pada Abilowo. "Sebaiknya aku meneruskan
perjalanan. Suatu saat nanti aku pasti akan ber-
temu lagi. Urusan Abilowo kurasa lebih penting
untuk saat ini...."
Memikir demikian, Putri Tunjung Kuning
lantas melangkah perlahan ke arah Abilowo.
"Aku makin yakin. Abilowo pastilah anak
Putri Tunjung Kuning. Tapi siapa bapaknya?!
Ah...," Aji garuk-garuk tengkuknya. Pandangan-
nya lantas beralih pada Dewa Maut karena saat
itu terdengar pemuda berjubah hitam itu mem-
bentak pada Setan Pesolek.
"Mata Keranjang! Terimalah kematianmu!"
Tangan Dewa Maut telah diangkat, siap ki-
rimkan pukulan.
Di depannya, Setan Pesolek mengkerut
seakan merasa ngeri. Namun paras wajahnya tak
sedikit pun menunjukkan rasa takut! Tangan ka-
nannya dilambaikan sambil berseru nyaring.
"Tunggu...!"
Dewa Maut urungkan niat untuk kirimkan
serangan, namun tangannya tetap siap siaga.
"Aku tak akan melawan. Karena seseorang
telah mengatakan padaku, jika kematianku me-
mang ada di tanganmu. Namun sebelum aku te-
was, bolehkah aku tahu kenapa kau mengingin-
kan nyawaku?!" tanya Setan Pesolek. Lalu seli-
napkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.
"Hmm.... Berarti manusia itu masih men-
ganggap Setan Pesolek sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang.... Ha.... Ha.... Ha.... Dasar manusia bo-
doh!" kata Pendekar 108 dalam hati seraya terus
memperhatikan. Diam-diam dia juga kerahkan
tenaga dalamnya khawatir sewaktu-waktu Dewa
Maut tiba-tiba menghantamnya.
Di seberang sana, mendengar ucapan Se-
tan Pesolek, Dewa Maut keluarkan tawa ngakak.
"Kau bertanya kenapa aku menginginkan
nyawamu? Sayang, ini bukan saat dan tempatnya
untuk bicara soal itu. Nanti saja kau tanyakan
pada teman-teman barumu di kubur!"
"Ah, sungguh malang nasibku. Sampai in-
gin tahu kenapa aku harus mati saja tak dikasih
tahu.'" Setan Pesolek mengeluh dengan wajah
memberengut. Tangan kanannya yang tadi me-
nyelinap lalu ditarik keluar.
Dewa Maut menduga Setan Pesolek hendak
mengeluarkan kipas ungunya. Ternyata yang
tampak di tangan kanan Setan Pesolek adalah se-
buah batu putih berkilat. Sebuah batu putih yang
bulat digunakan untuk bercermin.
"Keparat! Mana kipas miliknya itu? Jan-
gan-jangan disimpan di satu tempat. Ah, tak
mungkin. Kipas itu adalah sebuah senjata. Ke
mana-mana pasti akan dibawa!" pikir Dewa Maut
lalu memperhatikan Setan Pesolek dengan pan-
dangan sinis, karena saat itu Setan Pesolek ang-
kat cermin batunya dan didekatkan pada wajah-
nya.
"Sebelum mati, boleh aku bercermin dahu-
lu?!" tanya Setan Pesolek seraya mengerling pada
Dewa Maut lalu beralih pada Pendekar Mata Ke-
ranjang.
Dewa Maut menjawab dengan dengusan.
Sementara Aji balas mengerling dan menahan ta-
wa. Murid Wong Agung ini lantas mendehem be-
berapa kali. Dewa Maut menoleh.
"Sobatku Dewa Maut!" kata Pendekar 108
ketika dilihatnya Dewa Maut menoleh padanya.
"Aku tak mengerti. Kenapa kau katakan urusan
kita belum tuntas. Urusan apa sebenarnya?!"
"Tutup dulu mulutmu, Bangsat! Nanti sete-
lah temanmu ini tewas, kau akan mendapat gili-
ran!"
"Jadi, aku juga akan menyusul mati?!"
"Kalau kau terus bicara, kubuat kau mati
terlebih dahulu!" hardik Dewa Maut. Pendekar
108 cepat tekap mulutnya dengan menggunakan
telapak tangan.
"Sial! Jadi aku di sini menunggu kema-
tian...," kata Pendekar 108 dengan suara sengau,
karena mulutnya tertutup telapak tangannya.
Dewa Maut katupkan rahangnya. Tangan-
nya sebenarnya sudah gatal hendak menggebuk
Pendekar 108, namun karena urusan dengan Se-
tan Pesolek yang dikira Pendekar Mata Keranjang
jauh Iebih penting, karena dengan tewasnya Pen-
dekar Mata Keranjang maka salah satu tugasnya
membalaskan dendam leluhurnya telah dilaku-
kan, maka untuk sementara kegeraman pada Aji
ditahannya.
"Mata Keranjang! Kau bisa teruskan ber-
dandan di akhirat nanti!" bentak Dewa Maut keti-
ka dilihatnya Setan Pesolek terus gerak-gerakan
wajahnya dan usap-usap bibirnya, hingga mulut-
nya belepotan merah, membuat Pendekar 108
terpingkal-pingkal.
"Orang mau mati, tingkahnya memang
aneh-aneh...," ujar Pendekar 108 lalu tekap mu-
lutnya kembali karena Dewa Maut melirik pa-
danya dengan tubuh makin terguncang.
Setan Pesolek seakan tidak mendengar
bentakan orang. Dia terus memandangi wajahnya
dibatu cerminnya sambil tersenyum-senyum sen-
diri, namun sesekali ekor matanya melirik pada
Pendekar 108.
Mendapati hal demikian, Dewa Maut habis
kesabarannya. Tanpa keluarkan ucapan lagi, ke-
dua tangannya yang sedari tadi telah siap kirim-
kan pukulan cepat dihantamkan ke arah Setan
Pesolek.
Wuuutt! Wuuuttt!
Asap merah membara melesat keluar dari
kedua tangan Dewa Maut. Asap ini bergerak cepat
menyusur tanah.
Udara mendadak berubah panas menyen-
gat. Tanah yang terlewati asap merah nampak
terbelah serta berhamburan. Dewa Maut telah
lancarkan jurus 'Dewa Membakar Bumi'.
Di depan sana, Setan Pesolek berseru sea-
kan terkejut. Tangan kiri kanan segera desentak-
kan ke depan, hingga tubuhnya terdorong lima
langkah ke belakang. Kedua tangannya lantas di-
tarik ke belakang, lalu seakan melambai, kedua
tangannya didorong ke depan.
Dua gulung asap putih membentuk lingka-
ran aneh menderu kencang ke depan, memapak
asap merah.
Tak ada suara yang terdengar ketika dua
pukulan sakti itu bentrok. Hanya bersamaan
dengan itu, tempat itu bergetar keras, tanah ber-
hamburan ke udara. Asap putih bercampur me-
rah melambung ke udara dan akhirnya lenyap.
Namun di seberang kanan kiri, tubuh Dewa Maut
dan sosok Setan Pesolek tampak sama-sama ter-
huyung-huyung. Kedua kaki Dewa Maut terlihat
goyah dan bergetar hebat, sesaat kemudian pe-
muda ini jatuh terduduk dengan paras berubah
pucat pasi dan tangan gemetaran serta menjadi
merah melepuh. Di lain pihak, Setan Pesolek ja-
tuh berlutut. Dari mulutnya terdengar erangan
pelan. Pemuda berdandan mirip perempuan ini
merasakan dadanya seakan hendak ambrol. Tu-
buhnya bergetar keras
Dewa Maut kumpulkan kembali tenaganya.
Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Mulut-
nya bergerak kemak-kemik. Sesaat kemudian,
dengan masih tetap duduk dia keluarkan benta-
kan keras. Kedua tangannya didorong dengan te-
lapak terkembang.
Gelombang angin menggebrak deras ke de-
pan. Melingkar-lingkar membentuk pusaran. Lalu
menukik deras ke bawah.
Setan Pesolek keluarkan jeritan tinggi. Tu-
buhnya berputar kencang mengikuti pusaran an-
gin yang membungkus tubuhnya. Kedua tangan-
nya tampak bergerak-gerak menghantam, namun
pusaran angin itu tak dapat ditembusnya! Malah
begitu kedua tangannya bergerak, putaran angin
semakin kencang.
Merasa di atas angin, Dewa Maut kelua-
rkan kekehan panjang. Lalu dia lipat gandakan
tenaga dalamnya. Hingga putaran tubuh Setan
Pesolek makin kencang dan karena derasnya, so-
soknya seakan lenyap! Yang terlihat hanyalah pu-
taran angin yang kencang dan menderu-deru.
Beberapa saat berlalu, Aji yang melihat hal
demikian sangat khawatir. Dia beberapa kali be-
liakan matanya, mencari-cari sosok Setan Pesolek
yang dibungkus angin pusaran.
Mungkin merasa lawan sudah tak berdaya
terbungkus serangannya, Dewa maut sentakan
kedua tangannya. Putaran angin yang membung-
kus tubuh Setan Pesolek melesat cepat ke depan
dan menghajar sebuah pohon. Pohon itu langsung
tumbang.
Dewa Maut bangkit berdiri, sepasang ma-
tanya mencari-cari sosok Setan Pesolek di sela-
sela batang pohon yang tumbang. Pendekar 108
pun membeliakkan sepasang matanya, ikut men-
cari-cari.
Namun kedua orang ini tidak menemukan
sosok Setan Pesolek.
"Kurang ajar! Kalau dia sudah mampus
kenapa tak terdengar erangannya? Kalau hancur
kenapa tak kutemukan serpihan tubuhnya?!"
sungut Dewa Maut seraya melangkah ke arah
tumbangnya pohon.
"Jahanam! Jelas sekali jika tadi tubuhnya
tak berdaya dalam bungkusan pukulanku. Tapi
ke mana bangsatnya?!"
"Heran. Apa tubuhnya hancur jadi abu,
hingga potongan tubuhnya tak kelihatan.
Atau...?!" Pendekar 108 gelengkan kepala. Namun
hatinya masih khawatir, karena Setan Pesolek
memang tak kelihatan batang hidungnya.
Yakin kalau lawan tidak ada, Dewa Maut
kertakan rahang. Kepalanya mendongak. Dari
mulutnya menyembur suara keras.
"Kalau kau masih hidup, tunjukan dirimu!
Jangan bersifat seperti pengecut!"
Tak ada sahutan, juga tak ada tanda-tanda
akan munculnya Setan Pesolek. Dada Dewa Maut
bergetar keras, kedua tangannya mengembang
keluarkan suara gemeretakan. Marah di dadanya
sudah tak dapat dibendung lagi. Dia berpaling ke
tempat di mana tadi Putri Tunjung Kuning dan
Abilowo berada. Namun kedua orang itu sudah ti-
dak tampak lagi di tempatnya. Kini kepalanya
berpaling pada orang yang masih ada di tempat
itu. Dia melangkah mendekat.
"Hei! Kau yang harus menjadi ganti te-
manmu itu!"
Pendekar 108 surutkan langkah satu tin-
dak ke belakang. Dia keluarkan keluhan seakan
terkejut dan takut. Dengan wajah ditekuk, dia be-
rujar.
"Sobatku Dewa Maut! Harap kau tak sang-
kut pautkan diriku dengan kejadian ini, Aku tak
tahu apa-apa!"
"Kau banyak omong! Aku yakin kau adalah
temannya! Terimalah kematianmu!" sentak Dewa
Maut, lalu pukulkan kedua tangannya ke arah
kepala Pendekar 108.
Pendekar 108 berseru keras, Seolah takut
dia angkat tangannya untuk melindungi kepa-
lanya. Namun ketika kedua tangan Dewa Maut
sejengkal lagi menghajar sasaran, Pendekar 108
luruskan kedua tangannya.
Buk! Buk!
Bentrok dua tangan terjadi. Dewa Maut
melengak kaget dan langsung surut satu langkah
ke belakang. Tangannya yang baru saja bentrok
terasa panas. Aliran darahnya seakan tersumbat.
Sepasang matanya mendelik besar menatap pada
Aji yang saat itu kibas-kibaskan kedua tangannya
dengan meringis.
"Setan alas! Pemuda ini pandai berpura-
pura! Bentrokan tadi menunjukkan bahwa dia
mempunyai ilmu! Aku tertipu!" rutuk Dewa Maut.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi.
"Siapa kau sebenarnya, Bangsat?!" bentak-
nya seraya mendelik angker.
"Ah, kau! Sudah beberapa kali kukatakan
masih saja bertanya!" jawab Pendekar 108 see-
naknya.
"Hmm.... Rupanya kau memang tak mau
dikasih hati. Sebenarnya aku tadi mempunyai
rencana bagus untukmu, tapi terpaksa kubatal-
kan!"
"Wah, jika begitu nasibku memang tidak
baik!" timpal Pendekar 108 masih dengan acuh
tak acuh.
"Betul! Dan kau akan membuktikannya!"
hardik Dewa Maut. Kedua tangannya segera di-
pukulkan ke depan. Lepaskan pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi'.
Asap merah membara segera saja mengge-
brak deras ke arah Aji. Belum lagi asap itu meng-
hajar sasaran, Dewa Maut telah dorong kedua
tangannya kembali dengan telapak tangan ter-
kembang. Kejap itu juga angin dahsyat yang
membentuk lingkaran aneh berputar-putar lalu
menukik ke arah Aji.
Pendekar murid Wong Agung ini tersirap
mendapati serangan yang begitu ganas. Dia tak
mau bertindak ayal, karena maklum jika Dewa
Maut telah lancarkan pukulan andalannya. Sam-
bil surutkan langkah satu tindak, dia kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Kedua
tangannya seketika berubah menjadi biru berki-
lau. Dan serta-merta didorong pelan saja ke de-
pan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua berkas sinar biru melesat cepat lalu
mengembang dan langsung melabrak lenyap asap
merah. Namun pusaran angin tetap tak bisa ter-
kikis. Pusaran yang melingkar-lingkar aneh itu te-
rus menukik. Sebelum pusaran angin itu mem-
bungkus tubuh Pendekar 108, murid Wong Agung
ini masih sempat hantamkan kedua tangannya
hingga bersamaan dengan terbungkusnya tubuh-
nya, dua berkas sinar biru melesat ke arah Dewa
Maut.
Di depan sana, Dewa Maut keluarkan se-
ruan tegang. Karena dia masih kerahkan tenaga
dalam untuk memutar kedua tangannya agar pu-
saran angin lebih kencang, hingga meski dia ma-
sih sempat menghindar dengan jatuhkan diri sen-
jajar tanah, namun tak urung juga bahunya ter-
sambar kembangan sinar biru. Sosoknya tergul-
ing ke tanah dengan jubah bagian bahunya lang-
sung terbakar.
Di lain pihak, begitu sosok Dewa Maut ter-
guling, pusaran yang membungkus Pendekar 108
terhenti. Namun tubuh Pendekar 108 tampak
masih berputar. Murid Wong Agung ini merasa-
kan kepalanya berjungkir balik. Pandangannya
berkunang-kunang dan sesaat kemudian dia ter-
huyung-huyung lalu roboh bergedebukan ke atas
tanah!
Seraya memegangi bahunya yang masih te-
rasa panas dan nyeri, Dewa Maut bergerak bang-
kit. Lalu melangkah ke arah Pendekar 108. Sepa-
sang matanya meneliti sejenak.
"Hmm.... Tubuhnya tak terbakar. Apakah
dia kebal terhadap api? Padahal segala sesuatu
yang berhasil terbungkus pukulanku pasti akan
terbakar dan hangus! Heran. Apakah dia memba-
wa senjata yang mungkin bisa mencegah dirinya
dari sengatan api?!" pikir Dewa Maut. "Aku akan
memeriksanya!"
Memang, pukulan sakti 'Dewa Membakar
Bumi' yang baru saja dilancarkan Dewa Maut se-
lain mampu membuat orang terbungkus dan ter-
gulung di dalamnya juga orang akan keluar den-
gan tubuh hangus!
Dewa Maut lantas melangkah maju men-
dekati tubuh Aji yang masih tergeletak di tanah.
Dengan menyeringai tangan kanannya bergerak.
Bret! Brettt!
Pakaian bagian atas murid Wong Agung
robek besar di dua tempat.
"Gila! Dadanya juga tak cidera sama seka-
li!" rutuk Dewa Maut hampir tidak percaya den-
gan pandangan matanya. Mungkin penasaran, dia
kembali hendak merobek pakaian Pendekar 108.
Namun baru saja tangannya hendak bergerak,
terdengar orang berseru,
"Memalukan! Nyatanya bukan hanya pe-
rempuan saja yang suka menelanjangi laki-laki.
Tapi laki-laki juga ada yang suka menelanjangi
laki-laki! Jangan-jangan kau laki-laki yang me-
nyukai sejenis! Kasihan.... Di mana nikmatnya?
Hik,... Hik.... Hik...!"
Tersentak kaget, Dewa Maut segera berpal-
ing. Sepasang matanya kontan membesar, me-
mandang tak berkesip.
"Aneh. Jelas sekali sewaktu aku berpaling
bicaranya belum selesai. Namun kenapa mulut-
nya tidak bergerak? Hmm.... Jangan-jangan orang
lain yang buka suara tadi! Tapi suara tadi jelas
suara perempuan. Ini juga seorang perempuan!"
Dewa Maut membatin dengan mata terus mem-
perhatikan ke depan, pada sesosok tubuh yang
memandang tajam ke arahnya dengan mata nanar.
SEBELAS
DIA adalah seorang gadis muda berparas
cantik jelita. Mengenakan pakaian warna putih
ketat membuat bayang lekukan tubuhnya men-
cuat jelas. Rambutnya panjang bergerai, kedua
alis matanya hitam dan tebal dengan bulu mata
lentik. Sepasang matanya bulat berbinar, diting-
kah bibir yang membentuk bagus. Pada lehernya
melingkar untaian kalung dari bunga-bunga ber-
warna hitam. Di atas telinga kirinya juga tampak
menyelinap sekuntum bunga berwarna hitam.
Gadis cantik ini bukan lain adalah Ratu Sekar
Langit. Seperti dituturkan dalam episode: "Gem-
bong Raja Muda", Ratu Sekar Langit saat itu di-
tawan oleh Bawuk Raga Ginting, guru Gembong
Raja Muda. Pendekar Mata Keranjang sebenarnya
sudah berencana hendak membebaskan Ratu Se-
kar Langit, namun karena ada masalah lagi ter-
paksa rencananya dia tangguhkan. Tapi sebenar-
nya Ratu Sekar Langit sendiri waktu itu sudah ti-
dak di tangan Bawuk Raga Ginting, karena seseo-
rang telah membebaskannya.
Dewa Maut bergerak bangkit dan melang-
kah hendak mendekat dengan bibir sunggingkan
senyum. Namun baru satu Iangkah, si gadis buka
mulut keluarkan bentakan nyaring. "Tetap di
tempatmu!"
"Hmm.... Jelas suaranya berbeda dengan
suara yang tadi kudengar! Jadi memang ada
orang lain di tempat ini!" kata Dewa Maut dalam
hati. Sepasang matanya melirik menyapu sekelil-
ing. Tapi matanya tak menangkap siapa-siapa.
Pemuda ini lantas mendongakkan kepala dengan
dahi mengernyit
"Keparat! Pasti manusia banci itu!" pikir-
nya, lalu luruskan kepalanya, dan diputar dengan
mata membeliak.
"Hmm.... Dia mencari orang itu. Aku pun
dapat merasakan kehadirannya tapi tak dapat
menentukan di mana beradanya! Tapi mendengar
suaranya tadi, jelas jika dia adalah seorang pe-
rempuan!" diam-diam Ratu Sekar Langit juga be-
rucap dalam hati. "Siapa pemuda ini? Hm.... Tak
perlu kuketahui siapa dia adanya. Yang penting
aku harus menyelamatkan Pendekar Mata Keran-
jang. Pemuda ini rupanya berniat tidak baik!"
Sejenak Ratu Sekar Langit memperhatikan
tubuh Pendekar 108. Dia terlihat menarik napas
dalam-dalam. Dia lantas bergerak untuk mende-
kati. Tapi langkahnya tertahan saat didengarnya
sebuah bentakan keras.
"Jangan berani beranjak dari tempatmu!"
Yang keluarkan bentakan adalah Dewa
Maut. Pemuda ini lantas maju selangkah. Ma-
tanya menatapi tubuh gadis di hadapannya dari
kaki hingga rambut. Mulutnya bergerak komat-
kamit. Bibirnya sunggingkan senyum aneh.
"Siapa kau?!" si gadis menegur dengan wa-
jah sedikit berubah merah menyadari dirinya di-
tatap demikian rupa.
Dewa Maut perdengarkan tawa pendek. Se-
raya kacak pinggang dan busungkan dada dia
menjawab.
"Aku Dewa Maut! Kau siapa?!" Dewa Maut
balik ajukan tanya.
Ratu Sekar Langit sejenak terdiam. Ke-
ningnya berkerut.
"Baru sekali ini aku mendengar namanya.
Namun kalau dia dapat membuat roboh Pendekar
Mata Keranjang, sudah pasti jika dia berilmu
tinggi!" pikirnya.
"Kau dengar pertanyaan orang. Kenapa ti-
dak segera jawab?!" hardik Dewa Maut. Seraya
menghardik sepasang matanya tak henti-hentinya
melirik berputar. Dia masih menduga jika Setan
Pesolek yang diduga sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 masih berada di sekitar tempat itu.
"Manusia banci itu nyatanya mampu lolos
dari pukulanku! Aku harus segera mendapatkan-
nya! Persetan dengan gadis cantik ini! Urusan
dengan Pendekar Mata Keranjang 108 lebih pent-
ing!"
Berpikir begitu dan setelah ditunggu tak
juga ada jawaban dari si gadis, Dewa Maut kem-
bali keluarkan bentakan.
"Kau mungkin gadis tuli. Tapi kau masih
bernasib baik karena hari ini aku tak bernafsu.
Lekas tinggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba terdengar orang tertawa cekiki-
kan. Lalu disusul dengan suara.
"Dasar manusia aneh. Sama gadis cantik
tidak bernafsu, tapi sama laki-laki tertarik. Ma-
nusia apa namanya?!"
"Jahanam! Hai, Banci Pengecut! Tunjukkan
dirimu!"teriak Dewa Maut lalu kerahkan tenaga
dalam siapkan pukulan 'Dewa Membakar Bumi'.
Matanya liar memandang berkeliling. Dia sudah
siap-siap, begitu orang muncul akan segera di-
hantamnya. Namun orang yang tadi keluarkan
suara tidak menampakkan wujudnya, membuat
Dewa Maut makin geram. Dan melihat si gadis
tak juga beranjak dari tempatnya, kegeramannya
dilampiaskan pada gadis ini.
"Baik. Kau telah kuberi kesempatan na-
mun kau ingin membuktikan ucapan orang bah-
wa aku manusia yang suka sama laki-laki. Akan
kutunjukkan padamu jika aku juga suka pada
tubuh seorang gadis!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-
bat. Tahu-tahu sosoknya telah satu langkah di
samping Ratu Sekar Langit dan serta-merta tan-
gannya diulurkan hendak menyentuh dada si ga-
dis.
Si gadis tersentak, dia cepat surutkan
langkah ke belakang. Tangannya bergerak mengi-
bas ke bawah.
Wuuut!
Dewa Maut terdorong ke belakang. Hal ini
telah menyadarkan pemuda ini jika si gadis mem-
punyai ilmu.
"Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga
punya simpanan ilmu. Aku ingin lihat sampai di
mana kehebatanmu!"
Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya ra-
pat-rapat Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Wuuuttt!
Angin laksana gelombang menderu dah-
syat. Namun setengah jalan gelombang angin ini
tertahan dan sesaat kemudian ambyar ke sana
kemari, membuat si gadis terkesiap dan kembali
hantamkan tangannya.
Namun baru saja gelombang angin itu me
nyambar, dari arah depan menggebrak asap me-
rah yang menghamparkan hawa panas.
Asap merah ini bukan hanya mampu
membuat buyar pukulan si gadis namun juga
membuat si gadis terseret sampai dua tombak ke
belakang. Beberapa saat Ratu Sekar Langit masih
mampu menahan tubuhnya, tapi sekejap kemu-
dian dia roboh terduduk! Sepasang matanya me-
rah berair, sementara dari bibirnya keluar eran-
gan tertahan.
Di depan sana, Dewa Maut turunkan ke-
dua tangannya. Sambil tertawa mengekeh dia
berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak di
samping Ratu Sekar Langit.
Si gadis nampak tercekat dengan paras be-
rubah. Belum sempat dia bergerak bangkit, Dewa
Maut telah gerakan kedua tangannya.
Namun gerakan tangan Dewa Maut terta-
han, karena bersamaan dengan itu, dari arah
samping menderu angin dahsyat. Seraya geser
tubuhnya ke samping kiri menghindari sambaran
angin, Dewa Maut segera berpaling. Rahangnya
kontan mengembung besar.
Di samping kiri, Aji terlihat turunkan tan-
gannya yang baru saja menahan gerakan tangan
Dewa Maut. Sebenarnya murid Wong Agung ini
tidak tahu siapa adanya gadis berbaju putih di
hadapan Dewa Maut. Sewaktu Dewa Maut mena-
han serangan gadis berbaju putih, hawa panas
yang menghambur membuat Aji kepanasan dan
menggeliat. Mungkin merasa dirinya dalam keadaan bahaya, murid Wong Agung ini segera bang-
kit. Dan begitu melihat Dewa Maut gerakan tan-
gannya, dia segera kirimkan pukulan.
Ratu Sekar Langit tak menyia-nyiakan ke-
sempatan. Bersamaan dengan lewatnya sambaran
angin, dia cepat bangkit lalu berpaling ke samping
kiri.
"Ratu Sekar Langit!" seru Pendekar 108 be-
gitu mengetahui siapa adanya gadis berbaju pu-
tih. Sejenak Pendekar 108 memandang dengan
dahi berkerut. "Hm.... Ratu Sekar Langit.... Bu-
kankah waktu itu dia masih ditawan Bawuk Raga
Ginting?! Ah, mungkin ada seseorang yang me-
nyelamatkannya.... Atau.... Lebih baik nanti ku-
tanyakan!" Pendekar 108 lantas sunggingkan se-
nyum. Ratu Sekar Langit membalas dengan se-
nyum pula. Untuk beberapa saat kedua orang ini
saling berpandangan. Kedua orang yang telah la-
ma tidak berjumpa ini seolah melepas kerinduan
dengan tatapan mata masing-masing.
Ratu Sekar Langit dadanya berdebar. Mu-
lutnya bergerak membuka seakan hendak men-
gucapkan sesuatu. Namun suaranya tak terden-
gar.
Murid Wong Agung melangkah hendak
mendekat. Namun Dewa Maut cepat berkelebat
dan langsung menghadang.
"Manusia banci itu masih berada di sekitar
tempat ini. Pemuda ini pasti temannya. Hmm....
Aku akan melumpuhkannya untuk memaksa di-
rinya keluar!" kata Dewa Maut dalam hati. Tanpa
berpikir, Dewa Maut langsung kirimkan serangan
pada Aji.
Pendekar 108 tak tinggal diam. Meski tu-
buhnya masih terasa sakit karena terbanting ro-
boh oleh pukulan Dewa Maut, dia segera pula ta-
rik kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.
Bummm!
Ledakan dahsyat segera mengguncang
tempat itu ketika pukulan sakti 'Mutiara Biru'
yang dilepaskan Pendekar 108 bentrok dengan
pukulan 'Dewa Membakar Bumi' yang dilepas
Dewa Maut.
Dewa Maut terlihat terpental sampai satu
tombak ke belakang, sosoknya berguncang keras.
Pemuda ini tampak coba menahan huyungan tu-
buhnya, namun kakinya goyah. Hingga tak lama
kemudian tubuhnya terjengkang menghempas
tanah.
Di seberang, murid Wong Agung mencelat
dan langsung terkapar. Dari mulutnya terdengar
erangan tertahan.
Ratu Sekar Langit yang waktu terjadi ben-
trok pukulan menyingkir agak jauh segera berke-
lebat. Kedua tangannya segera diulurkan untuk
menolong Pendekar 108 bergerak bangkit.
Tapi baru saja tangannya bergerak, dari
arah depan asap merah yang kemudian disusul
dengan menderunya angin berputar-putar aneh
menyambar deras!
Ternyata Dewa Maut yang tadi terjengkang
roboh segera gulingkan tubuh dan lepaskan pukulan saat dilihatnya Ratu Sekar Langit hendak
menolong Aji.
Ratu Sekar Langit menjerit lengking. Tu-
buhnya terjungkal menumbuk tubuh Pendekar
108. Saat itulah lingkaran angin yang berputar-
putar aneh datang. Membungkus keduanya lalu
berputar-putar seiring gerakan tangan Dewa
Maut.
Beberapa saat berlalu, masih tetap meng-
geletak sejajar tanah dan menggerak-gerakkan
tangannya, tiba-tiba Dewa Maut keluarkan ben-
takan keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi lalu disentakkan ke bawah.
Di depan sana, putaran angin yang mem-
bungkus tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar
Langit ikut berputar dan membubung ke udara,
lalu menukik deras ke bawah!
Sebelum tubuh Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit terjerembab deras menghujam ta-
nah, sesosok bayangan berkelebat. Bersamaan
dengan itu asap putih bergulung-gulung melesat
memapak tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar
Langit. Kalau tadi tubuh kedua orang ini bergerak
deras ke bawah, kini tubuh keduanya bergerak
perlahan-lahan dan akhirnya tergolek telentang di
atas tanah.
Melihat apa yang terjadi, Dewa maut cepat
bergerak bangkit. Sepasang matanya liar mencari.
Namun dia tak menemukan siapa-siapa.
"Haram jadah! Aku jelas melihat kelebatan
tubuhnya! Dan pasti dia yang telah menolong keduanya! Jahanam betul! Gerakannya begitu ce-
pat. Ke mana larinya bangsat itu?!" geram Dewa
Maut seraya angkat kedua tangannya siap le-
paskan pukulan.
Selagi Dewa Maut mencari-cari, terdengar
suara tawa cekikikan dari arah belakang. Pemuda
ini cepat putar tubuhnya.
DUA BELAS
Di hadapannya tampak seorang laki-laki
berusia lanjut. Mengenakan pakaian compang-
camping. Sosoknya kurus, sepasang matanya be-
sar dan merah. Pada tubuhnya menyelempang
sebuah ikat pinggang besar yang diganduli bebe-
rapa bumbung bambu. Tangan kanan kiri juga
menggenggam bambu yang sesekali didekatkan
silih berganti ke mulutnya. Di atas tengkuknya
tampak duduk seorang anak perempuan yang
rambutnya dikuncir dengan pita berwarna-warni.
Seraya duduk dengan uncang-uncang kaki, si
anak menggerakkan tangan kanan kirinya berki-
pas-kipas.
"Hmm.... Anak itu! Lalu siapa orang tua
ini? Gurunya? Apa mungkin anak perempuan ini
yang tadi keluarkan suara?!" batin Dewa Maut.
Sepasang matanya memperhatikan sejenak, lalu
mulutnya membuka perdengarkan teguran. "Sia-
pa kau?!"
Orang tua berselempang ikat pinggang be
sar yang diganduli bumbung bambu yang bukan
lain adalah Setan Arak keluarkan tawa mengekeh.
Lalu dekatkan bumbung bambu yang ada di tan-
gan kanannya. Terdengar gelegukan beberapa
kali.
"Kau siapa?!" Setan Arak balik bertanya,
membuat Dewa Maut kernyitkan dahi. Namun di-
am-diam pemuda ini segera maklum jika orang
tua di hadapannya tak bisa dipandang sebelah
mata. Suaranya mampu membuat telinga berden-
gung!
"Orang tua! Kusarankan padamu untuk
cepat tinggalkan tempat ini!"
Setan Arak tengadahkan kepalanya. Me-
mandang dengan mata terpejam-pejam pada anak
perempuan di atasnya yang bukan lain adalah
Putri Kipas. Yang dipandangi tersenyum-senyum
seraya terus berkipas-kipas.
"Ah, rupanya kau menyukai tempat ini.
Padahal orang menyuruh kita pergi. Bagaimana
cucuku? Apa pendapatmu tentang semua ini?!"
Putri Kipas gelengkan kepalanya. Setan
Arak ikut gelengkan kepala. Lalu berkata.
"Anak muda! Kau lihat sendiri. Cucuku ge-
lengkan kepalanya. Berarti aku dengan berat hati
harus di sini. Sampai cucuku mengajakku pergi!"
"Hmm.... Begitu? Berarti kau tak turut sa-
ranku. Itu berarti nasib buruk bagimu juga cu-
cumu!"
"Nasib buruk? Apa maksudmu, Anak Mu-
da?!"
Dewa Maut dongakkan kepala. Seakan in-
gin unjuk kebolehan, dia perdengarkan suara ta-
wa mengekeh panjang. Karena suara tawanya te-
lah dialiri tenaga dalam, maka suara tawanya
bergemuruh keras!
Tiba-tiba Setan Arak ikut-ikutan mendon-
gak. Dari mulutnya terdengar suara tawa berge-
lak-gelak. Hingga kejap itu juga di tempat itu ter-
dengar suara tawa bersahut-sahutan. Keras dan
menggemuruh! Anehnya, Putri Kipas yang berada
di atas Setan Arak seakan tak berpengaruh. Dia
tetap tersenyum-senyum seraya berkipas-kipas.
Di seberang sana, begitu terdengar suara
tawa bersahut-sahutan, Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit buka kelopak mata masing-masing.
Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya
untuk mengatasi suara tawa yang seakan hendak
membuat telinganya tuli. Dia serentak bergerak
bangkit. Lalu meneliti pakaian yang dikenakan
hangus, sekujur tubuhnya terasa ngilu, namun
dia merasa lega karena tidak ada yang cidera. Dia
kemudian berpaling pada Ratu Sekar Langit. Pen-
dekar 108 membelalak. Pakaian yang dikenakan-
nya telah berubah kecoklatan seperti hangus. Se-
kujur kulit tubuhnya juga berubah agak kecokla-
tan. Dari mulutnya terdengar erangan perlahan.
Murid Wong Agung cepat menghambur.
Dengan perlahan-lahan ditolongnya gadis cantik
ini untuk bangkit duduk.
"Ratu Sekar Langit...," panggil Aji dengan
perasaan khawatir. Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada paras wajah gadis di hada-
pannya.
Ratu Sekar Langit tersenyum. Mungkin
merasa senang, murid Wong Agung segera me-
rengkuh tubuh Ratu Sekar Langit dan dipeluknya
erat-erat. Meski masih merasa sakit pada sekujur
tubuhnya, namun dipeluk orang yang selama ini
dirindukan, Ratu Sekar Langit segera pula ta-
kupkan tangannya memeluk tubuh Pendekar 108.
Kedua orang ini sejenak tenggelam dalam pera-
saan masing-masing sambil saling berpelukan.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah de-
pan. Seakan tersentak sadar, keduanya saling le-
pas pelukan masing-masing, lalu sama-sama ber-
paling ke depan.
'Setan Arak!' seru Aji mengenali orang tua
di hadapan Dewa Maut.
Saat itu baik Dewa Maut dan Setan Arak
telah hentikan tawa masing-masing. Lalu terden-
gar Dewa Maut keluarkan bentakan keras.
"Kau sengaja unjuk kebolehan. Baik, perli-
hatkan kehebatanmu!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-
bat, kedua tangannya bergerak menghantam ke
arah kepala Setan Arak.
Wuuuttt!
Angin deras melesat mendahului sebelum
tangan itu sendiri menghajar sasaran.
Setan Arak mundur ke belakang. Dalam
keadaan seperti itu, orang tua ini berpikir cepat.
Dia mungkin saja dengan mudah dapat menyelamatkan diri dari hantaman Dewa Maut, tapi anak
yang ada di atasnya? Dia juga harus disela-
matkan dari hantaman lawan. Memikir sampai di
situ, seraya mundur ke belakang Setan Arak run-
dukan kepalanya lalu disentakkan keras ke atas.
Wuuuttt!
Tubuh Putri Kipas melambung tinggi ke
udara. Bersamaan dengan itu hantaman tangan
Dewa Maut menggebrak!
Setan Arak membuat gerakan aneh. Tan-
gan kiri kanannya yang masih memegang bum-
bung arak direntangkan. Kedua kakinya ber-
jingkrak. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung
seakan hendak roboh. Anehnya, gerakannya ini
mampu membuat hantaman tangan Dewa Maut
lewat sejengkal di atas kepalanya! Begitu seran-
gan lewat, Setan Arak lemparkan bumbung bam-
bunya ke arah Putri Kipas yang telah menukik ke
bawah.
Seakan sudah tahu apa yang harus dila-
kukan, begitu bumbung bambu melayang, Putri
Kipas membuat gerakan jungkir balik satu kali.
Tahu-tahu kedua kakinya telah berada di atas
bumbung bambu dan kini melayang turun perla-
han-lahan!
"Luar biasa!" gumam Pendekar 108 dengan
mata tak berkesip, murid Wong Agung ini lambai-
kan tangannya pada Putri Kipas begitu gadis can-
tik cilik ini mendarat.
Putri Kipas memandang sejenak pada Se-
tan Arak. Lalu membungkuk mengambil bum
bung bambu yang ternyata masih terisi arak, dan
berlari ke arah Pendekar 108.
Begitu Putri Kipas sampai di hadapannya,
Pendekar 108 segera berkata.
"Tempo hari kau bisa mengobati seseorang.
Kuharap kau sekarang mau mengobati temanku
ini!"
Ratu Sekar Langit tertegun mendengar
ucapan Pendekar 108. Dia seakan masih tak per-
caya dengan pendengarannya. Sementara Putri
Kipas memandang pada Pendekar 108, lalu bera-
lih pada Ratu Sekar Langit. Pendekar 108 anggu-
kan kepala sambil tersenyum.
Putri Kipas mendekat. Tanpa mempeduli-
kan pandangan mata Ratu Sekar Langit yang ke-
heranan, anak perempuan ini segera meneliti ba-
gian tubuh Ratu Sekar Langit yang berwarna agak
kecoklatan.
Putri Kipas lalu mendekat pada Aji. Wajah-
nya didekatkan pada telinga murid Wong Agung
ini, membisikkan sesuatu.
"Mana mungkin?!" tiba-tiba Pendekar 108
berseru seakan terkejut. Namun Putri Kipas
hanya anggukan kepala sambil angkat bahunya,
membuat Pendekar 108 geleng-geleng kepala.
"Apa yang dikatakannya?!" Ratu Sekar
Langit bertanya sambil memandang silih berganti
pada Pendekar 108 dan Putri Kipas.
"Kau harus meminum arak yang ada di
bumbung bambu itu!" ujar Pendekar 108 pelan.
Ratu Sekar Langit beliakan sepasang ma
tanya. Dipandanginya Putri Kipas dari bawah
hingga atas.
"Kau tak usah meragukannya. Aku meli-
hatnya sendiri bagaimana dia menyembuhkan se-
seorang. Lagi pula orang tua yang bersamanya
adalah orang tua yang sudah kukenal!" kata Pen-
dekar 108 menghilangkan keraguan di hati Ratu
Sekar Langit.
"Tapi...."
"Ratu Sekar Langit.... Kau terluka. Sebaik-
nya kau coba dulu...," saran Aji lalu ulurkan tan-
gan untuk meminta bumbung bambu dari Putri
Kipas. Putri Kipas berikan salah satu bumbung
bambu yang masih berisi arak.
Aji mendekatkan bumbung arak pada Ratu
Sekar Langit. Gadis ini mengkerut. Mulutnya di-
katupkan rapat-rapat, sementara wajahnya dipa-
lingkan.
"Ratu Sekar Langit.... Waktu kita tak ba-
nyak. Bukan tak mungkin manusia itu akan la-
kukan serangan lagi!" seraya berkata, Pendekar
108 sodorkan bumbung bambu pada Ratu Sekar
Langit. Dengan tangan sedikit gemetar, Ratu Se-
kar Langit menerima bumbung bambu. Lalu me-
mandang lekat-lekat pada Pendekar 108. Murid
Wong Agung tersenyum sambil anggukan kepala.
Dengan tangan masih gemetar, Ratu Sekar
Langit perlahan-lahan dekatkan bumbung bambu
pada mulutnya. Namun mulutnya tak membuka.
Malah sepasang matanya memejam rapat.
"Hmm.... Seandainya bukan dia, aku sudah
tak sabaran...!" gerutu Pendekar Mata Keranjang
108 dalam hati. Lalu gerakan tangannya meme-
gang tangan Ratu Sekar Langit dan mendorong-
nya pelan ke mulut gadis cantik yang tampak
bergetar itu.
Perlahan-lahan Ratu Sekar Langit membu-
ka mulutnya. Pendekar 108 segera mendorongnya
kembali lebih cepat. Bumbung bambu telah me-
nempel di mulut Ratu Sekar Langit. Dan perla-
han-lahan pula arak dalam bumbung mengalir
masuk ke mulutnya.
Mula-mula Ratu Sekar Langit merasakan
aliran panas pada lidahnya. Dia menyentakkan
kepalanya hendak memuntahkan arak yang telah
ada dalam mulutnya, namun Aji cepat mencegah
dengan menahan kepala Ratu Sekar Langit. Hing-
ga mau tak mau dengan meringis, gadis cantik ini
memasukkan arak ke rongga kerongkongannya.
Tiba-tiba Ratu Sekar Langit keluarkan se-
ruan tertahan, hingga dia seakan tercekik. Na-
mun cuma sesaat. Begitu arak sudah benar-benar
masuk, perlahan-lahan rasa hangat menjalari se-
kujur tubuhnya. Dan tubuhnya yang tadi terasa
ngilu bukan main perlahan-lahan hilang.
Merasa ada perubahan pada tubuhnya, Ra-
tu Sekar Langit tak segan-segan lagi meneguk
arak yang masih tersisa dalam bumbung. Begitu
arak dalam bumbung habis tak tersisa, menda-
dak terjadi hal yang luar biasa. Kulit Ratu Sekar
Langit yang tadinya berwarna kecoklatan, perla-
han-lahan berubah kembali seperti semula!
Untuk beberapa saat lamanya, baik Ratu
Sekar Langit maupun Pendekar 108 tertegun.
Namun buru-buru Ratu Sekar Langit sadar. Dia
segera bangkit dan membungkuk pada Putri Ki-
pas seraya berkata.
"Terima kasih.... Budi baikmu akan kuke-
nang selamanya...."
Putri Kipas gelengkan kepalanya. Dari mu-
lutnya tak terdengar sepatah kata pun. Hanya bi-
birnya sunggingkan senyum.
Tiba-tiba Pendekar 108 teringat sesuatu.
Keningnya mengernyit sambil meneliti kulit tu-
buhnya.
"Heran. Kenapa kulitku tidak berubah saat
terkena pukulan angin keparat itu?!" Pendekar
108 mencari-cari apa sebabnya. Namun tak ber-
hasil mendapat jawaban.
Sebenarnya apa yang dialami murid Wong
Agung ini ada hubungannya dengan Arca Dewi
Bumi. Sewaktu tiga mutiara biru yang ada di ken-
ing area itu masuk dalam telapak tangan Aji, se-
cara aneh tubuh Aji akan kebal terhadap semua
jenis racun. Hingga tatkala angin aneh yang ber-
putar-putar pukulan sakti Dewa Maut yang men-
gandung racun yang masuk melalui sedotan na-
pasnya, maka tubuh dan kulit Aji tak akan beru-
bah.
"Siapa namamu?!" tiba-tiba Ratu Sekar
Langit ajukan pertanyaan pada Putri Kipas.
"Putri Kipas!" jawab anak perempuan cilik
itu seraya balas menatap pada Ratu Sekar Langit.
Saat itulah dari arah depan terdengar ben-
takan-bentakan keras. Pendekar Mata Keranjang,
Ratu Sekar Langit, serta Putri Kipas segera arah-
kan mata masing-masing ke depan.
Di depan sana, terlihat Dewa Maut bant-
ing-bantingkan kedua kakinya ke atas tanah. Tu-
buhnya telentang, sementara kedua tangannya
terpentang. Kedua tangannya tak bisa digerakkan
karena di atasnya Setan Arak juga tampak telen-
tang, sementara kedua kakinya terpentang dan
menekan tangan kiri kanan Dewa Maut. Sementa-
ra tangan kiri kanannya silih berganti menenggak
arak yang ada di genggaman tangannya!
"Tua bangsat! Kuremukan tubuhmu! Aku
bersumpah!" bentak Dewa Maut seraya terus
banting-bantingkan kakinya agar tubuhnya bisa
terbebas. Namun hingga tanah di bawahnya ter-
bongkar dan tanahnya berhamburan ke udara,
Dewa Maut tak bisa membebaskan dirinya! Bah-
kan bentakan-bentakan secara tiba-tiba terhenti
seakan terenggut setan. Dan tak lama kemudian
berganti menjadi seruan tertahan.
Ternyata, begitu Dewa Maut keluarkan
bentakan-bentakan, Setan Arak gerakan kaki ki-
rinya dan dihantamkan ke arah mulut pemuda
ini. Hingga sang pengemban tugas dendam lelu-
hur ini berseru tertahan. Darah muncrat dari mu-
lut dan hidungnya.
Saat itulah, tiba-tiba sesosok bayangan hi-
tam berkelebat. Bersamaan itu gelombang angin
dahsyat yang disertai bongkahan bara api membersit cepat ke arah Setan Arak.
"Setan Arak! Awas serangan!" teriak Pende-
kar 108 keras.
Setan Arak membesarkan sepasang ma-
tanya. Pantatnya cepat disentakkan ke atas ta-
nah. Tubuhnya melenting ke udara, membuat ge-
rakan jungkir balik lalu mendarat dengan jong-
kok. Kedua tangannya bergerak mendekatkan
bumbung bambu ke mulut. Terdengar suara gele-
gukan beberapa kali. Lalu dengan tertawa gelak-
gelak, orang tua ini duduk menggelosoh!
Bongkahan bara api terus melesat dan le-
wat sejengkal di atas tubuh Dewa Maut, terus
menerus lalu meledak ketika menghajar sebuah
batang pohon. Pohon itu langsung tumbang den-
gan akar tercerabut!
Dewa Maut cepat bangkit. Dan merasa ada
orang yang menolong, dia berpaling. Sejenak pe-
muda ini terkejut. Sepuluh tombak di depan sana
dia melihat seorang pemuda berjubah hitam ber-
garis-garis putih.
"Penyair Berdarah!" seru Pendekar 108
mengetahui siapa adanya pemuda berjubah hitam
bergaris-garis putih.
"Hmm.... Dia! Manusia yang bergelar Pe-
nyair Berdarah!" kata Dewa Maut dalam hati se-
raya menatap tajam. Dia tak anggukan kepala
atau keluarkan kata terima kasih. Sebaliknya
pemuda berjubah hitam bergaris-garis putih yang
bukan lain memang Penyair Berdarah sungging-
kan senyum dingin. Dalam hati diam-diam pemuda murid Iblis Gelang Kematian ini berucap.
"Monyet sombong! Seandainya aku tak
mengharapkan sesuatu darimu, masa bodoh kau
tadi tewas di tangan manusia arak itu!" Pandan-
gannya lalu beralih pada Pendekar Mata Keran-
jang.
"Hmm.... Sayang, dia bersama manusia
arak itu lagi. Jika tidak, sudah ingin aku melum-
puhkannya! Gadis yang bersamanya, cantik dan
bertubuh bagus. Siapa dia? Lalu anak kecil itu?
Hmm.... Untuk sementara aku tak akan ikut
campur urusan ini. Saatnya kelak aku pasti dapat
membungkamnya!" Penyair Berdarah diam tak
bergerak dari tempatnya.
Sementara itu, Dewa Maut segera paling-
kan wajahnya pada Setan Arak. Pemuda ini diam-
diam merasa gentar juga setelah mengetahui jika
Setan Arak masih sulit ditaklukannya. Bahkan ji-
ka tak ditolong Penyair Berdarah mungkin dia
masih belum bisa membebaskan diri dari hanta-
man kaki orang tua itu. Memikir sampai di situ,
pemuda ini lantas lirikkan sepasang matanya pa-
da Pendekar Mata Keranjang 108.
Tiba-tiba Dewa Maut putar tubuhnya se-
tengah lingkaran, dan sekonyong-konyong kedua
tangannya dihantamkan dengan telapak terkem-
bang.
"Pendekar Mata Keranjang! Awas!" seru Ra-
tu Sekar Langit.
Asap merah serta angin membentuk ling-
karan yang menebarkan hawa panas melesat kearah Pendekar 108, Ratu Sekar Langit serta Putri
Kipas.
"Ratu. Selamatkan dirimu!" teriak Pendekar
108. Lalu dia berkelebat sambil menyambar tu-
buh Putri Kipas. Sementara Ratu Sekar Langit se-
gera pula membentak dan ikut berkelebat sela-
matkan diri.
Di depan sana, beberapa batang pohon
tampak tergulung putaran angin, lalu membu-
bung ke udara sebelum akhirnya melayang deras
dengan hancur berantakan terkena pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi' yang dilancarkan Dewa
Maut.
Mendadak sepasang mata Dewa Maut
membeliak besar, dadanya bergetar keras. Bukan
karena melihat pukulannya lolos menghajar sasa-
ran, namun karena seruan Ratu Sekar Langit
yang memanggil Aji dengan Pendekar Mata Keran-
jang sewaktu serangannya dilepaskan.
"Jahanam! Jadi...," Dewa Maut tak te-
ruskan gumamannya. Dia cepat berpaling. Men-
dadak sepasang matanya semakin mendelik ang-
ker, karena sosok Pendekar 108 tak lagi ditemu-
kannya di tempat itu. Demikian juga Ratu Sekar
Langit serta Setan Arak dan Putri Kipas. Yang
masih terlihat di tempatnya adalah Penyair Ber-
darah, yang memandang ke arahnya dengan se-
nyum penuh ejekan.
Dewa Maut balas memandang pada Penyair
Berdarah. Mulutnya komat-kamit hendak mengu-
capkan sesuatu. Namun sebelum ucapannya terdengar, Penyair Berdarah telah angkat bicara.
Nadanya seperti orang melantun syair.
Darah tak akan mengalir.
Balas dendam hanya sebuah mimpi.
Jika langkah tak dihitung, jika otak tak di-
putar!
"Dewa Maut! Kusarankan padamu, segala
angan-anganmu hanya akan menjadi kenyataan
mimpi buruk jika kau tak pandai memperhitung-
kan langkah!"
Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-
likan tubuh. Sebelum dia berkelebat pergi dia ma-
sih sempat menyambung ucapannya.
"Jangan lupa, satu purnama di depan ku-
tunggu kau di tempat yang sudah kita janjikan!"
Lalu dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Jahanam! Aku tak butuh nasihatmu!" te-
riak Dewa Maut. Kedua tangannya diangkat ting-
gi-tinggi. Namun Penyair Berdarah telah lenyap.
Sebagai pelampiasan marahnya, kedua tangannya
segera dihantamkan ke tanah.
Bummm!
Tanah itu langsung terbongkar dan ber-
hamburan ke udara menutupi pemandangan. Ke-
tika tanah itu sirap, Dewa Maut sudah tak nampak di tempat itu!
SELESAI
Segera terbit:
LASKAR DEWA
0 comments:
Posting Komentar