"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 04 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE PRAHARA DENDAM LELUHUR

 

Prahara Dendam Leluhur

PRAHARA DENDAM 

LELUHUR

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Prahara Dendam Leluhur

128 hal.


SATU


Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding dan 

berlantai tanah terlihat dua orang sedang duduk 

dengan selonjorkan kaki-kaki masing-masing. 

Keduanya sama sandarkan punggung masing-

masing pada tiang gubuk. Yang berada di sebelah 

kanan, seraya duduk ia gerakan tangannya pu-

lang balik di depan dagu berkipas-kipas. Pandan-

gannya jauh ke depan, di mana tampak ujung ja-

lan setapak yang kemudian membelok dan hilang 

di antara kerapatan pohon. Mulutnya terkancing 

rapat. Malah sesekali napasnya berhembus pan-

jang-panjang, jelas jika ia sedang memikirkan se-

suatu.

Sementara yang berada di sebelah kiri se-

raya bersandar ia tersenyum-senyum. Tangan ki-

rinya memegang sebuah batu putih mengkilat 

yang seringkali didekatkan pada wajahnya. Lalu 

menggerak-gerakkan kepalanya dan menyibakkan 

anak rambut pada tongkatnya. Gerakannya le-

mah gemulai persis gerakan seorang perempuan, 

meski ia adalah seorang laki-laki.

"Kau rupanya masih tenggelam memikir-

kan gadis itu. Apa kau benar-benar jatuh cinta 

padanya?!" Orang yang di sebelah kiri berkata 

sambil dekatkan batu putih ke wajahnya. Sejenak 

ia memperhatikan parasnya dari pantulan batu 

putih. Lalu ekor matanya melirik ke kanan.

Yang dilirik tetap berkipas-kipas dan tak

segera menyahuti ucapan orang. Malah ia putar 

tubuhnya hingga memunggungi orang yang baru 

saja berkata.

"Ah, cinta kadang-kadang bisa membuat 

orang menjadi tolol!" ujar orang yang di sebelah 

kiri, lalu ikut putar tubuhnya setengah lingkaran, 

hingga kedua orang ini saling memunggungi.

Mendengar ucapan orang, orang yang di 

sebelah kanan menyeringai. Mulutnya komat-

kamit menggumam sesuatu yang tak jelas. Lalu 

mulut itu membuka seakan hendak mengu-

capkan sesuatu, namun sebelum ucapannya ter-

dengar, orang di sebelah kiri telah berkata kemba-

li.

"Pendekar Mata Keranjang.... Jika kau ma-

sih disibukkan dengan masalah kepergian gadis 

itu, adanya aku mungkin menambah keruwetan 

pikiranmu. Aku akan meneruskan langkah. 

Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi...."

Habis berkata begitu, orang ini segera 

bangkit. Merapikan rambutnya sebentar, lalu 

hendak melangkah meninggalkan gubuk itu. Na-

mun langkahnya tertahan ketika orang di sebelah 

kanan yang ternyata adalah Aji alias Pendekar 

Mata Keranjang 108 putar tubuhnya sambil ber-

kata.

"Setan Pesolek! Boleh aku tahu sesuatu da-

rimu?!"

Orang yang hendak melangkah pergi dan 

ternyata adalah Setan Pesolek urungkan niat, lalu 

tanpa balikkan tubuh menghadap Aji, dia berkata.

"Hmm.... Apa yang perlu kau ketahui?!"

Aji bangkit. Lalu melangkah mendekat.

"Aku tidak memikirkan ke mana perginya 

Dewi Tengkorak Hitam. Itu adalah urusannya. 

Yang jadi tanya bagiku, siapa sabenarnya dia?!"

Setan Pesolek tertawa pelan. Lalu balikkan 

tubuh. Masih dengan senyum-senyum, dia ber-

tanya.

"Kalian akhir-akhir ini ke mana-mana sela-

lu berdua. Apakah kau tak sempat menanyakan 

sendiri padanya?!"

"Hal itu pernah kulakukan. Namun jawa-

ban yang kuperoleh rasanya belum memuaskan. 

Aku tahu, dia masih menyembunyikan sesuatu 

padaku. Bisa kau menerangkan siapa dia 

adanya?!"

Setan Pesolek gelengkan kepala pelan.

"Tak enak rasanya membicarakan orang. 

Biarlah suatu saat kau yang akan tahu sendiri! 

Hanya kalau boleh aku berkata, berhati-hatilah! 

Pasang telinga kiri kanan baik-baik. Dan jangan 

lupa mawas diri. Karena jika tidak, maka akan 

buta mata batinmu!"

Aji usap-usap ujung hidungnya. Lalu ber-

kata dengan suara pelan.

"Tentang manusia yang bergelar Dewa 

Maut, apakah sebelum ini kau pernah bertemu, 

atau kau setidak-tidaknya mendengar namanya?!"

"Untuk pertama kali ini aku mendengar 

dan melihat orangnya. Namun harus diakui jika

dia adalah seorang pemuda yang berilmu ting-

gi...," ujar Setan Pesolek. Ekor matanya mengerl-

ing pada Aji, lalu tersenyum-senyum.

"Aku tak mengerti, kenapa dia mendadak 

muncul dan mencariku? Padahal, jangankan 

membuat masalah, bertemu pun masih baru per-

tama kali.... Heran!"

"Pendekar 108! Kau tak usah heran. Kehe-

ranan hanya akan membuatmu tenggelam dalam 

ketidak-pastian. Yang harus kau lakukan adalah 

melihat lalu berpikir! Di sanalah nantinya kau 

akan mengerti!"

"Sialan!" maki Aji dalam hati. "Siapa sebe-

narnya manusia ini? Aku baru saja mengenalnya. 

Aku tahu, dia mengetahui banyak tentang hal 

yang kuhadapi. Namun dia enggan mengatakan-

nya padaku...."

Selagi Aji tercenung, tiba-tiba Setan Peso-

lek gerakan tangannya seakan melambai. Bersa-

maan dengan itu, tubuhnya berkelebat dan seke-

jap kemudian lenyap di balik kerapatan pohon.

"Luar biasa.... Gerakannya hampir tak da-

pat kuikuti!" gumam Aji sambil geleng-geleng ke-

pala. Lalu putar tubuh. Sejenak dia menghela na-

pas dalam-dalam.

"Apa maksud ucapan Setan Pesolek agar 

aku harus berhati-hati pada Dewi Tengkorak Hi-

tam? Selama bersama-sama dengan gadis itu, dia 

sepertinya tidak menunjukkan perilaku yang 

mencurigakan.... Tapi, kenapa dia mendadak per-

gi begitu saja tanpa memberitahu? Dan.... Dia seperti tak senang pada Setan Pesolek. Ada apa di 

antara kedua orang ini? Mereka berdua tampak-

nya juga sudah saling kenal...," kata Aji dalam ha-

ti, lalu teringat pada perjalanan mereka yang 

menghindar dari kejaran Dewa Maut.

Saat itu Dewi Tengkorak Hitam berlari di 

sebelah depan. Sementara Setan Pesolek dan Aji 

berada di belakang. Tiba-tiba saja Dewi Tengko-

rak Hitam hentikan larinya. Begitu Setan Pesolek

dan Aji ikut berhenti di sebelahnya, gadis itu 

langsung memandang tajam pada Setan Pesolek. 

Dadanya yang membusung terlihat turun naik, la-

lu dia berkata.

"Aku tak akan melupakan pertolonganmu. 

Namun kuharap kau tak lagi mengikuti Iangkah 

kami berdua. Kami berdua masih punya urusan 

yang harus diselesaikan. Bukankah begitu Aji...?!"

Aji tak segera menjawab. Dia tampak bin-

gung. Sejenak memperhatikan Setan Pesolek lalu 

beralih pada Dewi Tengkorak Hitam.

"Hmm.... Begitu?" gumam Setan Pesolek

sambil gerakan tangannya. "Orang lagi tertusuk 

cinta memang selalu tak ingin ditemani orang 

lain. Hik.... Hik.... Hik...!" sambil terus tertawa 

cekikikan Setan Pesolek balikan tubuh dan me-

ninggalkan Dewi Tengkorak Hitam serta Pendekar

Mata Keranjang.

Sesaat setelah Setan Pesolek berkelebat, Aji 

teringat sesuatu.

"Kipasku.... Kipasku masih dibawanya!" Aji 

lantas berpaling pada Dewi Tengkorak Hitam dan

berkata.

"Anting Wulan. Kau tunggu sebentar di si-

ni...."

Tanpa mempedulikan Anting Wulan alias 

Dewi Tengkorak Hitam yang termangu-mangu tak 

mengerti, Aji berkelebat ke arah mana Setan Peso-

lek berlari.

"Jahanam! Setan Pesolek. Kau kali ini men-

jegal langkahku. Hm.... Kau telah membuat uru-

san dengan Dewi Tengkorak Hitam. Hari-harimu 

selanjutnya tidak akan lapang!" teriak Dewi Teng-

korak Hitam sambil kepalkan tangan. Dia sejenak 

menunggu, namun setelah agak lama yang di-

tunggu tak muncul, gadis berparas cantik ini ban-

tingkan kakinya.

"Dia mungkin telah termakan setan banci 

itu...!" gumamnya, lalu termenung dengan sepa-

sang mata memandang ke arah berkelebatnya Aji. 

Dia tampak ragu-ragu. Akan menyusul atau me-

neruskan langkah sendiri. Setelah agak lama ak-

hirnya ia balikan tubuh dan berkelebat ke arah 

berlawanan dengan yang diambil Aji.

Tak lama setelah Dewi Tengkorak Hitam 

berlalu, Aji kembali, namun dia sudah tak mene-

mukan Dewi Tengkorak Hitam. Selagi dia kebin-

gungan, tiba-tiba Setan Pesolek muncul lagi.

"Pendekar Mata Keranjang. Tak ada gu-

nanya dicari. Dia telah jauh berlari...," kata Setan 

Pesolek sambil berkaca pada cermin batu putih-

nya dan bersandar pada batang pohon.

Aji keluarkan dengusan. Sebenarnya dia

ingin marah. Namun mengingat Setan Pesolek te-

lah menolongnya, maka amarah itu ditahannya. 

Malah tatkala Setan Pesolek berkelebat, Aji ikut-

ikutan berkelebat dan mengikuti ke mana Setan 

Pesolek berlari. Ternyata Setan Pesolek menuju 

sebuah gubuk tak berdinding di kaki sebuah bu-

kit.

"Hmm.... Butuh waktu untuk mengetahui

apa sebenarnya yang ada di balik ucapan Setan 

Pesolek...," pikir Aji. Lalu setelah menarik napas 

dalam-dalam ia melangkah meninggalkan gubuk.

Baru saja kakinya bergerak dua tindak, ti-

ba-tiba terdengar suara deru angin disusul den-

gan berkelebatnya sesosok bayangan. Pendekar 

Mata Keranjang 108 hentikan Iangkah dan cepat 

berpaling.

Paras murid Wong Agung seketika beru-

bah. Sepasang matanya mendelik memperhatikan 

pada orang yang kini berdiri tegak sepuluh Iang-

kah di hadapannya.

Dia adalah seorang perempuan berusia 

lanjut. Sepasang matanya cekung, rambutnya pu-

tih panjang, mengenakan pakaian panjang ber-

warna hitam yang pada dadanya terlihat sekun-

tum bunga.

"Dewi Bunga Iblis!" seru Aji begitu menge-

nali siapa adanya nenek di hadapannya.

Sang nenek yang bukan lain memang Dewi 

Bunga Iblis dongakkan kepalanya. Dari mulutnya 

keluar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba 

suaranya terputus laksana direnggut setan. Kepalanya bergerak lurus menghadap ke depan.

"Anak jahanam!" teriak si nenek dengan 

angkat tangannya dan jari telunjuknya lurus me-

nunjuk ke arah Pendekar 108.

"Ke liang semut pun jangan harap bisa lo-

los dari mataku! Kau telah digurat untuk tewas di 

tanganku!"

Alis mata murid Wong Agung naik ke atas. 

Sepasang matanya menyipit lalu membesar. Seje-

nak ia memperhatikan sang nenek lebih seksama.

"Nyatanya dia masih hidup. Tentu ada 

orang yang telah menolongnya!" kata Aji dalam 

hati.

Di hadapannya diam-diam sang nenek juga 

membatin.

"Kali ini tak akan kubiarkan lagi dia melo-

loskan diri. Hanya dia satu-satunya harapan un-

tuk memperpanjang hidupku! Bekerjanya racun 

si jahanam Gembong Raja Muda tinggal satu se-

tengah purnama lagi! Jika aku tidak berhasil 

membawa kepalanya, maka hidupku tinggal em-

pat puluh lima hari! Sialan betul!"

Seperti diketahui, Dewi Bunga Iblis akhir-

akhir ini memang selalu pasang telinga baik-baik. 

Mengendus berita ke sana kemari mencari jejak 

beradanya Pendekar 108. Hal ini karena dalam 

tubuh si nenek telah bersarang butiran beracun 

Gembong Raja Muda, tokoh muda musuh Pende-

kar 108 yang terpaksa ditelan sang nenek sebagai 

syarat pembebasan dirinya dari belitan selendang 

merah Dewi Kayangan. Dan sebagai imbalannya,

kelak dia harus dapat membawa kepala Pendekar 

108 ke hadapan Gembong Raja Muda. Jika dia 

gagal, maka obat penawar racun itu tidak akan 

diberikan (Tentang pertemuan Dewi Bunga Iblis 

dengan Gembong Raja Muda silakan baca serial 

Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode : 

"Manusia Titisan Dewa").

"Dewi!" seru Aji setelah agak lama terdiam.

"Kematian adalah bukan hal yang ku ta-

kutkan. Karena semua pasti akan mengalaminya! 

Namun suatu hal yang pasti setiap kematian ada 

sebabnya. Harap kau suka mengatakan padaku, 

kenapa sejak semula kau menginginkan kema-

tianku? Padahal di antara kita tak ada masalah 

atau kalaupun ada, itu hanya masalah sepele dan 

tentunya kau dapat memakluminya!"

Dewi Bunga Iblis keluarkan dengusan ke-

ras. Lalu tertawa mengekeh.

"Anak muda! Kau tak pantas mengajukan 

tanya padaku! Hadapilah kematianmu!"

Habis berkata begitu, kedua tangan Dewi 

Bunga Iblis terangkat ke atas. Dan didahului ben-

takan nyaring, kedua tangannya segera disentak-

kan ke depan.

Wuuusss! Wuuusss!

Dua gelombang angin dahsyat menghentak 

laksana gelombang air laut. Hawa panas serentak 

menghampar. Gelombang angin ini melebar lalu 

menyergap ke arah Pendekar 108 dari sisi kanan 

kiri.

Aji sejenak terkesiap. Niatnya yang hendak

menghindar dengan melompat ke samping dia 

urungkan. Secepat kilat tanganya ditarik dan se-

cepat itu juga disentakkan ke samping kanan kiri.

Sinar biru membersit, lalu mengembang 

dan melabrak gelombang angin.

Bumm! Bummm!

Tempat itu bergetar hebat. Tiang gubuk pa-

tah lalu atapnya jatuh dan mental sebelum akhir-

nya berhamburan di udara. Pohon-pohon tak 

jauh dari tempat bentroknya pukulan berderak 

tumbang dengan kulit mengelupas dan hitam lak-

sana dipanggang! Asap tebal pun menutupi pan-

dangan.

Dewi Bunga Iblis terlihat jatuh berlutut. 

Tubuhnya berguncang keras. Sejenak nenek ini 

salurkan tenaga dalam pada dada dan tangannya 

yang berdenyut sakit dan gemetar. Wajahnya be-

rubah sedikit pucat. Sesaat kemudian dia ter-

huyung-huyung bangkit.

Lima belas langkah di hadapan Dewi Bun-

ga Iblis, Pendekar Mata Keranjang tampak duduk 

bersandar pada batangan pohon yang baru saja 

tumbang. Paras mukanya pias. Batangan pohon 

yang dibuatnya bersandar bergerak-gerak seiring 

gerakan tubuhnya yang bergetar keras.

"Hmm.... Anak keparat ini benar-benar 

tangguh! Dia tampaknya tak mengalami cidera 

yang berarti! Aku harus segera menyelesaikan 

urusan ini!" pikir Dewi Bunga iblis. Sejurus dia 

memperhatikan Aji. Lalu sepasang matanya me-

mejam rapat. Mulutnya komat-kamit. Kedua tangannya perlahan diangkat dan disejajarkan dada.

Mendapati hal demikian, murid Wong 

Agung tak tinggal diam. Dengan masih menahan 

rasa sakit pada dada dan tangannya, dia bergerak 

bangkit. Tenaga dalamnya cepat disalurkan pada 

kedua telapak tangannya.

Saat itulah, di seberang sana terdengar 

Dewi Bunga Iblis membentak garang. Kedua tan-

gannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Lalu 

serta-merta disentakkan lurus ke depan.

Sebongkah awan hitam menggelembung 

melesat cepat ke arah Pendekar 108. Di tengah ja-

lan, bongkahan awan hitam itu ambyar. Lalu ber-

tebaran beberapa bunga hitam! Bunga-bunga hi-

tam ini segera melesat dari segala jurusan. Setiap 

bunga meluncur dengan angin dahsyat mendahu-

lui!

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik 

tangannya dan segera dihantamkan ke depan.

Wuuutt! Wuuuttt!

Dua larik sinar biru membersit, sekejap 

kemudian mengembang. Bersamaan dengan itu 

terdengar letupan beberapa kali. Setiap letupan 

memancarkan lidah api, lalu terlihat berhambu-

rannya bunga-bunga hitam.

Ketika pukulan Mutiara Biru yang dilepas 

Aji menghantam satu persatu bunga hitam, Dewi 

Bunga Iblis selinapkan tangan kanannya ke balik 

pakaiannya, lalu tangan kanan itu disentakkan 

ke depan.

Tiga bunga hitam agak besar yang kelua

rkan suara mendengung keras meluncur deras. 

Begitu derasnya lesatan bunga hitam ini, hingga 

murid Wong Agung sempat tercekat, karena tahu-

tahu tiga kuntum bunga tadi telah berada satu 

depa di hadapannya. Hal ini tidak memungkinkan 

baginya untuk melepaskan lagi pukulan Mutiara 

Biru. Hingga dengan berseru keras, dia melompat 

ke belakang, lalu kakinya menjejak tanah. Tu-

buhnya lantas melenting ke udara mengelak dari 

hujaman tiga bunga hitam.

Gerakan murid Wong Agung ini memang 

berhasil menyelamatkan tubuhnya dari hujaman 

dua bunga hitam yang jelas mengandung racun 

ganas itu. Namun satu kuntum lainnya sempat 

menyergap dan menyerempet lengan kanannya.

Brettt! 

Wuuusss!

Baju bagian lengan Aji langsung robek dan 

terbakar. Murid Wong Agung ini berteriak keras. 

Begitu mendarat dia segera memeriksa. Ternyata 

kulit di balik pakaiannya yang robek mengem-

bung dan berwarna hitam!

"Untung kulitnya tidak tertembus, hingga 

racun bunga itu tidak masuk!" gumam Aji dengan 

mata berkilat-kilat. Dagunya mengembung dan 

terangkat.

"Keparat! Dia masih bisa menghindar dari 

bunga-bungaku. Kalau tidak kuselesaikan segera, 

bukan tak mungkin aku yang akan dapat celaka! 

Dan nyawaku makin di ujung tanduk!" Memikir 

sampai di situ, Dewi Bunga Iblis cepat selinapkan

kembali tangan kanannya ke balik pakaiannya.

"Dia akan menyerang lagi dengan bunga-

bunga keparat itu! Hmm.... Kali ini tak akan ku-

biarkan dia berlaku semena-mena!" bisik Aji. Lalu 

murid Wong Agung itu tarik tangan kirinya ke be-

lakang. Sementara tangan kanannya menyelinap 

ke pinggang di mana tersimpan kipas ungunya. 

Namun baru saja tangan Aji bergerak, Dewi 

Bunga Iblis telah melompat ke depan. Di atas 

udara, tubuhnya berputar, lalu lenyap dari pan-

dangan.

Aji tak tinggal diam. Sambil melirik menca-

ri tahu di mana beradanya lawan. Dia pun ikut 

melenting ke udara, membuat Dewi Bunga Iblis 

terperanjat karena tidak menduga, dan lebih ter-

cekat lagi, karena begitu di udara kaki Aji cepat 

menerjang sementara tangan kanan kiri menyer-

gap dari arah samping.

"Jahanam!" maki Dewi Bunga Iblis. Dalam 

keadaan demikian rupa, terlalu besar resiko bagi 

nenek ini jika menghindar, karena serangan itu 

datang dari arah depan dan samping. Maka satu-

satunya jalan adalah menyongsong serangan den-

gan sentakan tangan ke samping kiri dan kanan 

sementara kakinya melejang ke depan.

Prak! Prak! Prakkk!

Terjadilah bentrok dua pasang tangan dan 

kaki. Dewi Bunga Iblis berseru tertahan, tubuh-

nya terdorong ke belakang, namun nenek ini ce-

pat kerahkan tenaga dalam, hingga tubuhnya 

kembali melesat ke depan. Di depan, Aji meringis,

namun begitu mendapati lawan melesat lagi, ke-

dua tangan dan kakinya segera dihentakkan me-

mapak gerakan tangan dan kaki Dewi Bunga Ib-

lis.

Lagi-lagi terjadi bentrok dua pasang tangan 

dan kaki. Suara beradunya makin keras, karena 

kedua orang ini sama-sama keluarkan segenap 

tenaga dalamnya. Dari mulut Dewi Bunga Iblis 

kembali terdengar suara seruan tertahan. Tubuh-

nya terlihat bergetar lalu melayang jatuh bergu-

lingan di atas tanah. Si nenek yang bernafsu ingin 

membunuh Pendekar 108 segera bergerak bangkit 

meski dia tahu, bahwa dirinya telah terluka da-

lam, karena dari sudut bibir dan hidungnya telah 

mengeluarkan darah kehitaman. Namun baru sa-

ja setengah tegak, tubuhnya limbung dan akhir-

nya jatuh lagi terkapar di atas tanah.

Di seberang, murid Wong Agung jatuh ter-

duduk. Untuk beberapa lama dia pejamkan sepa-

sang matanya. Setelah peredaran darahnya dirasa 

normal lagi, dibuka matanya dan memandang ke 

depan. Dewi Bunga Iblis masih tampak terkapar, 

dan berusaha menggeliat bangkit. Namun begitu 

hendak duduk, tubuhnya oleng dan terkapar lagi. 

Hingga pada akhirnya nenek ini hanya bisa ang-

kat tubuhnya dengan posisi miring sambil bersi-

tekan pada pinggangnya. Sepasang matanya lurus 

memandang tajam ke arah Pendekar 108 yang te-

lah berdiri.

"Bodohnya diriku! Kenapa aku melaya-

ninya bertukar pukulan secara langsung. Tenaganya tentu lebih kuat dariku yang sudah renta 

ini! Sialan!" Dewi Bunga Iblis memaki dirinya 

sendiri. Namun diam-diam nenek ini salurkan si-

sa-sisa tenaganya begitu tampak Pendekar Mata 

Keranjang 108 melangkah ke arahnya.

Tujuh langkah di depan si nenek, Aji henti-

kan langkah. Sejenak dia mengawasi keadaan 

orang tua yang tak mau bangkit itu.

"Tak pantas rasanya menghabisi orang tua 

yang sudah tak berdaya, meski dia menginginkan 

nyawaku!" ujar Aji dalam hati. Lalu tanpa berka-

ta-kata lagi dia balikan tubuh dan hendak me-

ninggalkan tempat itu.

'Setan alas! Apa dikira aku telah kalah?! 

He...?!" rutuk Dewi Bunga Iblis. Sekonyong-

konyong, dengan menggulingkan tubuhnya, ke-

dua tangannya dihantamkan ke depan.

Gelombang angin dahsyat yang keluarkan 

suara menggemuruh melesat ke arah Pendekar 

108 yang melangkah memunggungi.

Aji melengak tegang. Dia tak menyangka ji-

ka si nenek masih bisa lancarkan pukulan. Sece-

pat kilat dia putar tubuhnya dan hantamkan ke-

dua tangannya.

Namun sebelum kedua tangan murid Wong 

Agung ini menghantam, sesosok bayangan berke-

lebat. Bersamaan dengan itu, terdengar seruan.

"Nenek tak tahu malu! Dikasihani orang 

malah menyerang dari belakang!" Lalu terdengar 

deru angin, dan tiba-tiba angin pukulan Dewi 

Bunga Iblis terpencar sebelum sampai sasaran.

"Jahanam tengkik! Siapa berani ikut uru-

sanku!" teriak Dewi Bunga Iblis marah. Karena 

dia yakin seandainya pukulannya tak dipatahkan 

orang, bukan tidak mungkin pukulannya akan 

menghantam telak Pendekar Mata Keranjang.

Baik Pendekar 108 maupun Dewi Bunga 

Iblis segera berpaling ke samping. Di situ berdiri

sesosok tubuh. Tangan kanannya yang baru saja 

mengibaskan jubah yang dikenakannya dan 

mampu mematahkan pukulan Dewi Bunga Iblis 

diturunkan. Sepasang matanya lantas meman-

dang silih berganti pada Pendekar 108 dan Dewi 

Bunga Iblis.


DUA


DIA adalah seorang anak perempuan mun-

gil berusia kira-kira sepuluh tahun. Mengenakan 

jubah panjang sebatas lutut berwarna putih. 

Rambutnya hitam lebat dan dikuncir banyak den-

gan diikat pita berwarna-warni. Wajahnya bulat 

dengan mata bundar. Alis kedua matanya tebal, 

bulu-bulu matanya lentik, sementara hidungnya 

mancung. Meski anak kecil, namun dengan men-

genakan pakaian berupa jubah demikian, tam-

pang anak perempuan ini tampak anggun berwi-

bawa.

Sejurus Dewi Bunga Iblis memperhatikan 

si anak dengan tatapan heran bercampur kagum.

Malah dia hampir tak mempercayai pandangan 

matanya ketika pukulannya begitu mudah dipa-

tahkan oleh seorang anak kecil. Namun kehera-

nannya berubah saat dia teringat bahwa dengan 

kemunculan anak ini, jiwa Pendekar Mata Keran-

jang 108 bisa selamat, dan itu membuat nya-

wanya makin terancam. Apalagi keadaannya se-

karang tidak memungkinkan lagi baginya untuk 

meladeni Pendekar 108.

Seraya telentang, Dewi Bunga Iblis kelua-

rkan hardikan keras.

"Anak kurang ajar! Siapa kau berani ikut 

campur urusan orang tua?!"

Si anak mainkan beberapa kuncir rambut-

nya. Wajahnya tidak menampakkan perubahan 

meski baru saja dibentak orang. Malah dengan 

bibir sunggingkan senyum dia berkata ramah.

"Nek! Harap kau tak marah. Bukan mak-

sudku ikut campur urusan orang-orang besar. 

Namun....," si anak tak teruskan ucapannya, ka-

rena saat itu juga Dewi Bunga Iblis telah menya-

hut kembali dengan suara tinggi.

"Sudah! Jangan banyak bicara. Sebutkan 

siapa namamu! Lalu lekas tinggalkan tempat ini!"

Si anak berjubah putih berpaling pada 

Pendekar 108 seakan minta pertimbangan. Na-

mun Aji tak memberikan sambutan. Malah dia 

dongakan kepala.

"Siapa anak ini? Melihat gerakannya juga 

kedatangannya yang begitu tiba-tiba dan tak da-

pat kusiasati sebelumnya, bukan tak mungkin

anak ini mempunyai ilmu tinggi...," kata Aji dalam 

hati. Lalu luruskan kembali kepalanya meman-

dang ke arah si anak.

Saat itu si anak memandang lekat-lekat 

pada Dewi Bunga Iblis, lalu berkata. Suaranya te-

tap rendah dan ramah.

"Nek.... Namaku Putri Kipas. Kau sendiri 

siapa. Nek?!" si anak yang mengaku bernama Pu-

tri Kipas balik ajukan tanya.

Dewi Bunga Iblis mendengus keras. Sepa-

sang matanya tetap tak kesiap memandang ke 

arah Putri Kipas.

"Putri Kipas.... Hmm.... Kalau benar-benar 

bernama itu, mana kipasnya? Atau dia hanya 

mengada-ada?!" batin si nenek seraya sapukan 

pandangannya pada sekujur tubuh Putri Kipas. 

Mencari-cari sesuatu.

Seakan tahu apa yang ada dalam benak 

Dewi Bunga Iblis, Putri Kipas selinapkan kedua 

tangannya ke balik jubah putihnya. Begitu ditarik 

keluar kembali, terlihat di tangan kanan kiri terli-

hat memegang masing-masing tiga buah kipas 

berwarna-warni. Dengan gerak cepat, kedua tan-

gannya lalu menyentak. Tiba-tiba enam kipas li-

pat berwarna-warni di tangannya mengembang. 

Kipas itu tersusun rapi dengan dua jari masing-

masing mengepit satu ujung pangkal kipas. Lalu 

dengan enaknya tangan kiri kanannya bergerak 

pulang balik ke samping, membuat gerakan se-

perti orang berkipas-kipas.

"Hebat! Aku belum tentu mampu berbuat

sepertinya!" kata Aji dalam hati seraya terus 

memperhatikan si anak.

Sementara itu, melihat Putri Kipas seakan 

bisa membaca jalan pikirannya, diam-diam Dewi 

Bunga Iblis terkesiap. Sepasang matanya makin 

membeliak. Dan wajahnya berubah saat Putri Ki-

pas sambil tersenyum dan tetap berkipas-kipas 

melangkah ke arahnya.

"Apa yang hendak dilakukannya padaku? 

Kalau dia berbuat macam-macam...," Dewi Bunga 

Iblis tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-

tiba saja Putri Kipas telah berdiri tegak di sebe-

lahnya, dan berkata pelan.

"Nek.... Kau tampaknya terluka. Hmm.... 

Boleh aku memijitnya?!"

Dewi Bunga Iblis menatap tajam. Mulutnya 

tidak keluarkan ucapan menolak atau menerima. 

Kepalanya pun tak memberi isyarat dengan 

menggeleng atau mengangguk. Bahkan ketika Pu-

tri Kipas sentakan tangan kanan kirinya untuk 

melipat kipasnya, dan lantas jongkok di sebelah-

nya, nenek ini tetap diam.

Setelah menyimpan beberapa kipasnya ke 

balik jubah putihnya, tanpa melihat pada peru-

bahan wajah Dewi Bunga Iblis yang serentak be-

rubah tatkala tangan Putri Kipas mulai bergerak 

memijit kakinya, anak perempuan ini terus memi-

jit kaki si nenek.

Tiba-tiba Dewi Bunga Iblis tercekat hampir 

tak percaya. Kakinya yang tadi seolah tak bisa di-

gerakkan akibat bentrok dengan kaki Pendekar

108 kini perlahan-lahan bisa digerakkan. Malah 

rasa sakit dan nyeri di kakinya lenyap!

"Nek.... Tanganmu!" kata Putri Kipas den-

gan ulurkan tangannya memberi isyarat agar De-

wi Bunga Iblis julurkan kedua tangannya ke de-

pan. Dengan mata tetap tak kesiap memandang, 

Dewi Bunga Iblis ulurkan kedua tangannya ke 

depan.

Putri Kipas mengusap-usap sebentar, lalu 

memijit. Dewi Bunga Iblis merasakan darahnya 

berjalan normal kembali, dan tangannya tidak te-

rasa ngilu lagi.

"Sekarang cobalah gerakan kedua kaki dan

tanganmu!" ujar Putri Kipas seraya bergerak 

bangkit

Tanpa banyak bicara lagi, Dewi Bunga Iblis 

gerakan kaki dan tangannya. Merasa tak lagi sa-

kit, nenek ini coba bergerak bangkit. Mula-mula 

perlahan-lahan, takut jika akan roboh lagi. Dan 

begitu telah berdiri tegak dan tubuhnya tidak lagi 

limbung, Dewi Bunga iblis segera berpaling pada 

Putri Kipas.

"Putri Kipas.... Terima kasih atas pertolon-

ganmu! Kalau boleh tahu, siapakah kau sebenar-

nya? Kau pasti murid seorang tokoh rimba persi-

latan.... Betul?" katanya seraya ekor matanya me-

lirik Pendekar 108 yang sedari tadi tetap tegak di-

am sambil melihat ke arah Putri Kipas.

Ditanya demikian, Putri Kipas tidak segera 

menjawab. Malah dia serentak tertawa lebar. Lalu 

mempermainkan pita-pita di rambutnya.

"Nek.... Kau tadi belum jawab pertanyaan-

ku!" Putri Kipas menggumam seolah mengin-

gatkan.

Sekejap paras wajah Dewi Bunga Iblis be-

rubah. Namun sesaat kemudian ia tersenyum, 

meski tampak sekali jika senyumnya dipaksakan.

"Putri Kipas.... Namaku, ah! Orang-orang 

memanggilku Dewi Bunga Iblis!"

Putri Kipas keluarkan seruan kecil seakan 

terkejut mendengar si nenek sebutkan dirinya.

"Nama bagus, tapi menakutkan!" ujarnya 

sambil turunkan tangan dari mulutnya yang tadi 

dibuat membekap agar seruannya tidak terden-

gar.

Dewi Bunga Iblis tengadahkan kepalanya. 

Dalam hati, nenek ini diam-diam membatin.

"Aku tahu, sikapnya itu hanya pura-pura. 

Tak mungkin dia gentar hanya karena mendengar 

nama! Hmm.... Sekarang bagaimana? Apa akan 

kulanjutkan urusanku dengan pemuda itu? Atau 

untuk sementara kutunda dahulu? Meski hal itu 

akan mendekatkan diriku pada kematian?"

Dewi Bunga Iblis tampak bimbang. Antara 

melanjutkan urusannya dengan Pendekar 108 

atau menunda urusan. Nenek ini ragu-ragu, ka-

rena meski tubuhnya telah bisa tegak kembali 

dan kedua tangan dan kakinya tidak terasa sakit, 

namun tenaga dalamnya belum bisa sepenuhnya 

pulih. Jika dia melanjutkan urusan, bukan tak 

mungkin dia akan celaka sendiri, namun jika dia 

menunda urusan, berarti hari kematiannya akan

lebih dekat lagi. Dan jika sampai menunda uru-

san lalu mencari jejak Pendekar 108 dan tak bisa 

menemukannya, maka racun yang bersarang di 

tubuhnya akan perlahan-lahan membawanya ke 

liang kematian.

"Nek...!" tiba-tiba Putri Kipas berseru mem-

buyarkan kata hati Dewi Bunga Iblis. "Kau memi-

kirkan sesuatu? Atau...?!" Putri Kipas tak mene-

ruskan ucapannya karena Dewi Bunga Iblis telah 

luruskan kembali kepalanya dan memandang le-

kat-lekat ke arahnya.

"Kalau urusan ini kuteruskan, anak ini 

pasti akan membantu pemuda itu! Aku curiga, 

mungkin antara keduanya sudah saling kenal! 

Hanya mereka berpura-pura saling tak kenal di 

hadapanku. Kalau tak saling kenal, tak mungkin 

anak ini tadi mematahkan pukulanku! Hmm.... 

Terpaksa kali ini aku..." Dewi Bunga Iblis geleng-

kan kepalanya. Lalu tanpa berkata lagi, dia berke-

lebat meninggalkan tempat itu.

Putri Kipas sejenak memandang ke arah 

berkelebatnya Dewi Bunga Iblis, dan begitu sosok 

sang nenek tak terlihat lagi, anak ini berpaling 

pada Pendekar Mata Keranjang yang juga sedang 

memandang ke arah berkelebatnya Dewi Bunga 

Iblis. Putri Kipas melangkah mendekat, lalu ber-

kata.

"Kalau tak keberatan, sudikah memberita-

hu siapa kau adanya? Kulihat kau mempunyai 

ilmu tinggi, dan mungkin kau adalah salah satu 

tokoh dunia persilatan. Aku gembira sekali dapat

bertemu dengan tokoh berilmu tinggi yang tidak 

mau bertindak semena-mena pada orang!"

"Hmm.... Kenapa kau berkata begitu?" Pu-

tri Kipas tersenyum lebar. Lalu melangkah lebih 

mendekat.

"Kalau kau mau, tak sulit membuat nenek 

tadi roboh untuk selamanya. Namun hal itu tak 

kau lakukan, meski sebelumnya nenek tadi begitu 

ingin membunuhmu! Boleh tahu siapa kau?!" 

kembali Putri Kipas ajukan tanya.

Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya. 

Sepasang matanya melirik sejenak pada Putri Ki-

pas.

"Jadi anak ini sudah sejak tadi berada di 

sini! Aku makin yakin anak ini bukan sembaran-

gan. Pijatannya mampu membuat Dewi Bunga Ib-

lis bisa tegak kembali, dan kehadirannya di sini 

tak dapat kuketahui...," batin Aji. Lalu berkata.

"Dugaanmu keliru. Aku bukan tokoh rimba 

persilatan. Namaku Aji. Seorang pengelana jala-

nan yang melangkah menurutkan ke mana kaki 

mengayun!"

Putri Kipas besarkan bola matanya. Me-

mandang pada Aji dari bawah hingga atas. Lalu 

melangkah mengitari Aji sambil manggut-

manggut.

"Boleh tahu, kenapa nenek tadi ingin sekali 

mencederaimu?!"

"Masalah sepele...," jawab Aji seenaknya. 

"Dia hanya ingin mengajakku ke tempatnya, ka-

rena kakiku berat melangkah mengikutinya, terpaksa aku menolak ajakannya!"

"Boleh tahu, kenapa nenek itu ingin sekali 

mengajakmu ke tempatnya?!"

"Sialan! Ini anak ingin tahu apa menyeli-

dik?!" pikir Aji seraya putar tubuhnya, karena Pu-

tri Kipas berada di belakangnya.

"Eh, kenapa kau ingin sekali tahu masa-

lahku dengan nenek itu?!" Aji balik ajukan tanya.

Putri Kipas mainkan pita pada kuncir ram-

butnya. Lalu kepalanya bergerak menggeleng.

"Tidak apa-apa. Hanya aku heran. Apakah 

mungkin hanya karena ditolak ajakannya lalu dia 

hendak berbuat jahat padamu?"

Pendekar Mata Keranjang 108 menarik na-

pas dalam-dalam. Pandangan matanya beralih ke 

tempat lain.

"Itulah manusia. Selalu ingin memaksakan 

kehendak meski dia tahu bahwa segalanya terba-

tas! Selalu ingin minta lebih dari apa yang telah 

diperoleh!"

"Ah, kau menyindirku! Baiklah. Aku tak 

akan memaksamu menjawab pertanyaanku...," 

ujar Putri Kipas seakan mengerti ucapan Aji. Lalu 

dia tengadahkan kepalanya memandang langit.

"Astaga!" kata Putri Kipas seakan terkejut. 

"Ternyata sudah hampir tengah hari. Aku harus 

segera pergi.... "

Habis berkata begitu, Putri Kipas anggukan 

kepalanya. Lalu putar tubuhnya dan hendak me-

langkah pergi. Namun langkahnya tertahan tatka-

la didengarnya Aji menahan.

"Tunggu!" seru Aji seraya melangkah men-

jajari.

Putri Kipas palingkan wajahnya.

"Kau ingin mengatakan sesuatu?!" ujarnya 

ketika ditunggu agak lama Aji tidak buka mulut.

"Kau hendak ke mana?!" tanya Pendekar 

108. Meski sebenarnya bukan pertanyaan itu 

yang akan ditanyakan.

"Sepertimu. Aku juga adalah pengelana. 

Tidak punya tempat tinggal. Dan melangkah ke 

mana kaki bergerak! kenapa?!"

"Hmm.... Kau ini siapa sebenarnya?!" tanya 

Aji pada akhirnya, mengutarakan apa yang masih 

mengganjal di benaknya.

Putri Kipas tertawa. Kepalanya digerakkan 

menggeleng.

"Jangankan kau. Aku sendiri tak tahu sia-

pa diriku! Aku sendiri heran. Tapi itulah kenya-

taannya!"

Jawaban Putri Kipas membuat murid Wong 

Agung tertegun. Sambil garuk-garuk tengkuknya 

dia bergumam.

"Ternyata bukan hanya orang-orang tua 

yang bisa berbuat aneh-aneh. Anak kecil pun da-

pat melakukannya...."

Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ang-

gukan kepala, seakan memberi isyarat agar Putri 

Kipas melanjutkan langkahnya. Namun baru saja 

kepalanya bergerak, tiba-tiba dari arah belakang 

terdengar suara menggemuruh dahsyat. Sesaat 

kemudian melesat cepat gelombang angin ke arah

mereka berdua.

Berpaling, murid Wong Agung ini tercekat. 

Sambil memaki habis-habisan tangan kanannya 

bergerak menggamit lengan Putri Kipas yang 

hanya tegak melongo. Lalu kakinya menjejak ta-

nah. Tubuhnya melesat ke udara sambil meng-

gamit tubuh Putri Kipas. Begitu gelombang angin 

lewat di bawah kakinya, Aji segera mendarat. Se-

telah lepaskan gamitannya pada lengan Putri Ki-

pas, sepasang matanya segera menyapu berkelil-

ing.

Saat itulah, dari balik sebuah pohon mun-

cul sesosok tubuh. Paras wajah Pendekar 108 se-

rentak berubah saat mengetahui siapa adanya 

orang yang muncul.

"He.... Kau tampaknya takut. Kau kenal 

orang itu? Siapa dia?!" Putri Kipas menjajari dan 

berbisik.

Pendekar Mata Keranjang tak menyahuti 

ucapan Putri Kipas. Sepasang matanya nanar 

memandang ke depan. Mulutnya komat-kamit 

seakan hendak mengucapkan sesuatu, namun 

yang terdengar adalah gumaman tak jelas.

Sosok yang baru muncul melangkah. Lalu 

berhenti delapan langkah di depan Aji. Sepasang 

matanya menyengat tajam memperhatikan Aji, la-

lu ke samping ke arah Putri Kipas. Tiba-tiba dari 

mulutnya terdengar bentakan keras.

"Mana dia?!"

"Dia siapa?!" Aji balik bertanya.

Orang di hadapan Aji keluarkan tawa men

gekeh panjang. Puas tertawa dia kembali meng-

hardik.

"Kau jangan pura-pura! Mana manusia 

banci yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 

itu?!"


TIGA


WAH, celaka! Bagaimana sekarang? Apa

mungkin dia tahu bahwa waktu itu Setan Pesolek

pergi bersamaku? Dia pasti minta pertanggung

jawabanku! Untungnya dia masih menganggap 

orang yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 

108 adalah Setan Pesolek. Hmm.... Sedapat 

mungkin aku harus bisa menyembunyikan kipas 

ini. Karena dia hanya mengetahui bahwa orang 

yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-

lah orang yang memegang kipas ungu bergurat 

angka 108!" kata Aji dalam hati seraya meraba 

pinggangnya di mana tersimpan kipas miliknya.

"Sekali lagi kau tak jawab pertanyaanku, 

kurobek mulutmu!" orang di hadapan Pendekar 

Mata Keranjang kembali membentak lantang.

Dia adalah seorang pemuda berwajah tam-

pan. Mengenakan jubah besar berwarna hitam 

yang melapis baju warna putih. Pada dada baju 

putihnya terlihat sebuah lukisan berbentuk pintu 

gerbang. Sepasang matanya tajam. Dagunya ko-

koh. Rambutnya panjang dan dibiarkan bergerai.

"Sobatku Dewa Maut! Sewaktu terjadi per

kelahian itu, aku buru-buru menghindar. Jadi 

aku tak tahu lagi ke mana perginya Pendekar Ma-

ta keranjang 108! Malah karena begitu terburu-

buru, gadis yang kau berikan padaku sebagai im-

balan itu juga tak sempat kubawa serta! Aku me-

nyesal. Tak jadi menikmati hangat tubuhnya!" je-

las Aji dengan wajah sedikit murung. Namun ekor 

matanya melirik pada Putri Kipas. Dia tahu, tak 

pantas mengucapkan hal demikian di muka gadis 

cilik itu, namun karena ingin menyembunyikan 

siapa dirinya, lebih-lebih ingin mengetahui apa 

sebabnya orang yang bergelar Dewa Maut ini tiba-

tiba mencarinya dan hendak membunuhnya, ma-

ka terpaksa Aji mengucapkan hal yang kurang 

layak didengar anak sekecil Putri Kipas.

Putri Kipas sendiri sempat terkejut men-

dengar ucapan Aji. Namun tatkala dia melihat Aji 

melirik padanya begitu selesai bicara, anak ini 

seakan mengerti.

Mendengar keterangan Aji, pemuda berju-

bah hitam dan bukan lain memang Dewa Maut, 

keluarkan dengusan keras. Parasnya berubah 

mengeras. Matanya membeliak berkilat.

"Waktu itu kau muncul bersama dengan-

nya. Bukan tak mungkin kau adalah temannya! 

Sekarang tuhjukkan padaku, di mana adanya 

Pendekar Mata Keranjang 108 itu!"

Seperti dituturkan pada episode : "Takha 

Setan", karena ingin menyelamatkan Dewi Teng-

korak Hitam yang akan dibawa Dewa Maut, Aji 

yang saat itu bersembunyi bersama Setan Pesolek

keluar dari tempat persembunyiannya. Namun 

sebelum dia sengaja menjatuhkan kipas ungunya 

dengan harapan Setan Pesolek mengambilnya. 

Dan perkiraan Aji tidak meleset. Setan Pesolek

akhirnya menemukan kipas Aji. Saat itulah Aji 

menunjukkan di mana beradanya Setan Pesolek

dengan menyebutnya sebagai Pendekar Mata Ke-

ranjang 108. Karena Dewa Maut hanya mengeta-

hui bahwa yang dicarinya adalah orang bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108 dengan senjata ki-

pas ungu bergurat angka 108, maka begitu Setan 

Pesolek keluar dari persembunyiannya dan berki-

pas-kipas dengan kipas ungu milik Aji, Dewa 

Maut tanpa pikir panjang menduga bahwa Setan 

Pesolek adalah Pendekar Mata Keranjang 108. 

Orang yang dicari dan sekaligus harus dibunuh-

nya!

Aji dongakan kepala. Lalu dari mulutnya 

terdengar suara tawa mengekeh panjang.

"Dewa Maut! Sebenarnya saat itu aku 

hanya mengira-gira saja. Karena kulihat orang itu 

berkipas-kipas dengan kipas ungu berangka 108. 

Yang kubutuhkan saat itu sebenarnya adalah ga-

dis yang hendak kau bawa itu! Bukan karena apa, 

aku adalah seorang pemuda jalanan yang tak ten-

tu juntrungan. Melihat gadis bertubuh bahenol di 

pundakmu, aku tertarik. Lalu aku coba mengira-

ngira orang yang kau cari adalah orang itu. Tak 

tahunya perkiraanku tidak salah. Jadi aku bukan 

temannya Pendekar Mata Keranjang 108! Dan 

tentu tidak tahu ke mana dia pergi...." Aji menjelaskan seraya tetap mendongak, namun sesekali 

ekor matanya melirik pada Putri Kipas.

"Seandainya aku tahu ke mana perginya 

orang itu, tentu akan kukatakan padamu!" sam-

bung Aji dengan luruskan kepalanya. Sejenak dia 

menarik napas dalam-dalam. Dan saat dilihatnya 

Dewa Maut masih tak menyambuti ucapannya, 

Aji kembali meneruskan bicaranya.

"Hmm.... Sebenarnya apa ada silang seng-

keta antara kau dengan Pendekar Mata Keranjang 

108 itu? Atau barangkali dendam?!"

Dewa Maut menyeringai dengan mata me-

mandang menyelidik.

"Kau banyak omong dan pandai bicara. 

Siapa kau sebenarnya?!" Aji tertawa.

"Orang yang sedang diamuk hawa amarah 

biasanya memang jadi pelupa. Sebenarnya aku 

sudah pernah mengatakannya padamu saat itu. 

Tapi tak apalah jika kau lupa. Namaku Aji. Seo-

rang pengelana jalanan!"

"Hm.... Aku curiga pada pemuda ini. Dia 

mengaku seorang pengelana jalanan. Namun me-

lihat gerakannya saat menghindari pukulanku ta-

di, manusia ini berilmu. Tapi.... Ah, dia tak meng-

gunakan senjata seperti orang yang kucari!" kata 

Dewa Maut dalam hati. Lalu pandangannya bera-

lih pada Putri Kipas.

"Siapa pula anak ini? Sewaktu ditarik me-

layang, oleh pemuda itu dia tak menunjukkan ra-

sa takut atau keluarkan jeritan. Jika anak biasa, 

mungkin sudah pucat pasi bahkan bisa terkencing-kencing...."

Tiba-tiba sepasang mata Dewa Maut men-

delik besar. Memandang lekat-lekat pada lengan 

Aji yang pakaiannya robek dan kulitnya mengem-

bung hitam.

Seakan tahu apa yang dipikirkan Dewa 

Maut, sebelum Dewa Maut buka mulut, Aji telah 

mendahului bicara.

"Aku baru saja bergumul dengan seorang 

nenek gila yang hendak membawa anak ini! Ne-

nek itu menusukkan senjatanya pada lenganku. 

Untung waktu itu aku sempat menggigit tangan-

nya, hingga senjatanya hanya menyerempet!"

"Benar! Dia memang baru saja berguling-

gulingan dengan nenek gila itu!" Putri Kipas me-

nyahut ucapan Aji.

Dewa Maut tidak menyahuti ucapan kedua. 

orang di hadapannya, membuat Aji dan Putri Ki-

pas saling pandang satu sama lain. Namun Aji 

cepat kerdipkan sebelah matanya begitu terlihat 

Putri Kipas hendak buka mulut. Hingga gadis ci-

lik ini urungkan niat untuk bicara.

"Dengar!" tiba-tiba Dewa Maut angkat bica-

ra. Kepalanya berpaling memandang jurusan lain.

"Hari ini nasib baik masih berpihak pada-

mu. Tapi sekali lagi kau bertemu denganku dan 

tak dapat menunjukkan di mana beradanya Pen-

dekar Mata Keranjang 108, kau tahu apa yang 

akan menimpamu!"

Habis berkata begitu, Dewa Maut putar tu-

buhnya dan melesat meninggalkan tempat itu.

Begitu Dewa Maut berkelebat dan tak terli-

hat lagi, Putri Kipas melangkah ke depan. Lalu 

putar tubuhnya dan kini menghadap lurus ke 

arah Aji.

"Kau tampaknya ketakutan sekali terhadap 

pemuda itu. Siapa dia sebenarnya? Dan aku tahu, 

ucapanmu tadi dusta. Apa sebenarnya yang kau 

sembunyikan terhadapnya?!"

"Hmm.... Anak ini pandai menduga. Namun 

untuk urusan ini tidak mungkin kuceritakan te-

rus terang padanya!" Lantas sambil tertawa pelan, 

Aji berkata.

"Dia mengaku bernama Dewa Maut. Siapa 

sebenarnya dia aku tak tahu. Aku hanya sempat 

bertemu sekali. Hanya saja dia sedang mencari 

seorang pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108. Mana aku tahu pemuda yang dicarinya? 

Dari pada ngurusi orang, kupikir lebih baik ngu-

rusi diri sendiri. Bukankah begitu?"

Meski dengan kening mengernyit, akhirnya 

Putri Kipas anggukan kepala. 

"Putri Kipas. Dewa Maut tampaknya orang 

yang pemarah dan mungkin saja pendiriannya 

cepat berubah. Bisa saja mendadak dia muncul 

lagi di sini, dan mengubah apa yang tadi dikata-

kannya. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya aku 

harus lekas tinggalkan tempat ini!"

"Hmm.... Jika itu pendapatmu, aku pun 

akan segera tingalkan tempat ini pula!"

Sejurus Aji memandangi anak perempuan 

berjubah putih itu. Lalu setelah tersenyum dan

kerdipkan sebelah matanya, murid Wong Agung 

ini berkelebat meninggalkan tempat itu.

Putri Kipas sejenak memandangi kepergian 

Aji. Setelah celingak-cellnguk sebentar, anak ini 

pun akhirnya menghambur ke arah mana Aji berkelebat.


EMPAT


MURID Wong Agung terus berlari menuruni 

kaki bukit. Namun baru saja kakinya menginjak 

hamparan tanah terbuka yang hanya ditumbuhi 

pohon-pohon pinus tiba-tiba terdengar suara ta-

wa tergelak-gelak, membuat Aji serentak hentikan 

larinya. Dan tanpa pikir panjang lagi segera ber-

kelebat menyelinap ke balik salah satu batang 

pohon pinus.

Murid Wong Agung tidak menunggu lama. 

Bersamaan dengan terlindungnya tubuh ke balik 

batang pohon, suara tawa berhenti. Lalu disusul 

dengan terdengarnya suara. Nadanya tinggi dan 

bergetar. 

"Hendak lari ke mana kau, Anak Jaha-

nam?!" Pendekar 108 beliakan sepasang matanya 

dan disapukan berkeliling. Paras wajahnya beru-

bah seketika. Tengkuknya merinding, karena se-

telah sekian lama mencari, matanya tak mene-

mukan siapa-siapa.

"Celaka! Rupanya dia tak pergi seperti yang 

kuduga sebelumnya! Bagaimana kalau dia mengetahui bahwa selama ini aku berdusta padanya? 

Dan mengetahui bahwa orang yang dicarinya ada-

lah aku...?!"

Murid Wong Agung yang diam-diam men-

duga bahwa orang yang baru saja keluarkan tawa 

dan perdengarkan suara adalah Dewa Maut, sege-

ra salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya 

lalu menunggu dengan tangan siap dipukulkan.

"Tak ada jalan lain. Dia terang-terangan in-

gin membunuhku, aku tak akan tinggal diam! 

Meski sebenarnya aku masih ingin tahu, apa se-

babnya dia menginginkan selembar nyawaku...! 

Padahal, rasa-rasanya aku belum...," Aji tidak 

meneruskan kata-katanya, karena saat itu dari 

balik pohon pinus sepuluh langkah di samping-

nya muncul sesosok tubuh.

Pendekar 108 menarik napas lega, meski 

sepasang matanya mendelik besar. Ternyata yang 

muncul dari balik pohon bukannya Dewa Maut.

Untuk beberapa saat Pendekar 108 mem-

perhatikan sosok yang baru muncul. Dia adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya kurus. 

Rambut dan jenggotnya telah putih serta panjang. 

Dia bertelanjang dada, hingga tulang-tulang pada 

dada serta lambungnya tampak jelas. Pakaian 

bawahnya hanya merupakan sebuah celana kolor 

warna putih kusam. Meski telah tampak tua ren-

ta, namun sepasang matanya terlihat tajam dan 

langkahnya tegap.

"Dadung Rantak!" gumam Pendekar 108 

begitu mengenali siapa adanya kakek yang baru

muncul dan kini melangkah ke arahnya.

Orang tua yang baru muncul bukan lain 

memang Dadung Rantak, seorang tokoh rimba 

persilatan yang seperti dituturkan dalam episode : 

"Dayang Naga Puspa") unjuk diri kembali setelah 

sekian puluh tahun tiada kabar berita. Kemuncu-

lannya kembali selain ingin membalas kematian 

adiknya yang tewas di tangan Wong Agung juga 

untuk memburu Arca Dewi Bumi. Sekaligus men-

cari Ratu Pulau Merah, bekas kekasihnya di masa 

muda yang telah mengkhianati dari menipu di-

rinya.

Merasa orang telah mengetahui di mana 

dia berada, murid Wong Agung segera keluar dari 

tempat persembunyiannya.

Dadung Rantak tengadahkan kepala. Dari 

mulutnya keluar tawa mengekeh.

"Mata Keranjang! Membunuhmu bukan 

pekerjaan sulit. Namun kau masih kuberi kesem-

patan hidup jika kau serahkan arca itu padaku! 

Jika tidak, kau akan terlebih dahulu kukirim ke 

neraka, lalu menyusul gurumu!"

"Hmm.... Ternyata selama ini telah ada si-

lang sengketa antara Eyang Wong Agung dengan 

orang tua ini!" pikir Pendekar 108 dalam hati. La-

lu dia berujar.

"Orang tua! Kau terlambat meminta barang 

itu! Orang yang berhak telah memintanya kemba-

li!"

Dadung Rantak gerakan kepalanya lurus 

ke depan. Sepasang matanya menyengat tajam

memandang, ke arah Aji. Bibirnya sunggingkan 

senyum seringai.

"Oh, begitu?! Agaknya kau lebih sayang ba-

rang itu daripada nyawamu.... Berarti murid dan 

guru memang telah ditakdirkan untuk mati di 

tanganku! Ha... Ha.... Ha...!"

Sambil terus tertawa mengekeh, Dadung 

Rantak ulurkan tangan kanannya membuat gera-

kan seperti orang meminta. Tiba-tiba suara ta-

wanya diputus.

"Aku tidak akan bicara lagi!" katanya se-

raya anggukan kepala dan dekatkan tangan ka-

nannya yang meminta pada Aji.

"Orang tua! Aku telah mengatakan sesung-

guhnya. Terserah kau mau percaya apa tidak!" 

kata Pendekar 108 seraya surutkan langkah satu 

tindak ke belakang.

Dadung Rantak tarik pulang tangan ka-

nannya. Tangan itu lantas bergerak mengusap-

usap wajahnya yang telah mengeriput.

"Kau telah kuberi kesempatan. Namun ru-

panya kau lebih suka berkalang tanah! Itu mau-

mu. Jangan menyesal!"

Habis berkata begitu, Dadung Rantak sen-

takan tangan kanannya ke bawah. Tubuhnya 

berputar cepat. Lalu lenyap dari hadapan Pende-

kar Mata Keranjang 108.

Belum sempat Pendekar 108 mengetahui di 

mana beradanya Dadung Rantak. Tiba-tiba dari 

arah samping kanan menyambar gelombang an-

gin dahsyat mendahului dua tangan yang bergerak menghantam ke arah kepala.

Murid Wong Agung cepat rundukan kepa-

lanya. Kaki kanannya diangkat dan dilejangkan 

ke arah lambung lawan yang muncul tiba-tiba da-

ri arah kanannya. Namun hantaman kaki Pende-

kar 108 meleset, karena dengan gerakan gesit, 

Dadung Rantak tarik pulang kedua tangannya 

dan serta-merta dihantamkan ke bawah, mema-

pak terjangan kaki Aji.

Buk!

Kaki Pendekar Mata Keranjang 108 mental 

balik ke bawah dan menghujam tanah dengan de-

rasnya. Tanah yang terhantam kaki Pendekar 108 

langsung terbongkar. Sementara tubuh Pendekar 

108 terhuyung ke depan.

Dadung Rantak tak memberi kesempatan. 

Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Pende-

kar 108, orang tua ini membuat gerakan berpu-

tar. Begitu mendarat, kaki kirinya diangkat se-

mentara kaki kanannya dibuat tumpuan tubuh-

nya. Serta-merta dia berputar setengah lingkaran, 

lalu kaki kirinya menghantam. 

Desss!

Dari mulut murid Wong Agung terdengar 

suara tertahan. Bersamaan dengan itu sosoknya 

mencelat sampai dua tombak ke belakang. Kedua 

tangannya memegangi bahunya yang kena han-

taman kaki. Selagi dia berusaha menguasai diri 

agar tidak jatuh terjengkang, di depan sana Da-

dung Rantak telah lepaskan pukulan dengan han-

tamkan kedua tangannya sekaligus!

Pendekar 108 mendengar suara deru 

menggemuruh. Namun seketika itu tubuhnya 

laksana dihantam gelombang dahsyat. Sadar 

akan bahaya dan sebelum tubuhnya terseret dan 

dibuat mental oleh kekuatan yang tidak tampak, 

murid Wong Agung ini cepat melompat mundur. 

Kedua tangannya segera ditarik ke belakang, dan 

serta-merta dihantamkan ke depan.

Sinar biru terlihat melesat keluar dari ke-

dua telapak tangan Pendekar Mata Keranjang 

108, lalu mengembang dan merangsek lurus ke 

arah Dadung Rantak.

Di seberang sana, Dadung Rantak terke-

siap. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya 

lalu kedua tangannya mendorong.

Tiba-tiba sinar biru yang mengembang ter-

tahan. Pendekar 108 tidak tinggal diam. Kedua 

tangannya kembali dipukulkan ke depan. Dadung 

Rantak juga tak mau memberi kesempatan. Ber-

samaan dengan melesatnya sinar biru yang lalu 

mengembang dan kini mendorong sinar biru yang

tertahan di udara, Dadung Rantak kembali do-

rong kedua tangannya.

Maka sekejap kemudian terjadilah adu te-

naga dalam di udara. Lalu disusul dengan terden-

garnya ledakan keras beberapa kali ketika ben-

trok tenaga dalam itu terjadi. Dan ledakan itu ba-

ru sirap tatkala terlihat tubuh Dadung Rantak 

dan sosok Pendekar Mata Keranjang sama-sama 

terhuyung ke belakang lalu terseret sebelum ak-

hirnya sama-sama jatuh terkapar di atas tanah!

Kedua orang ini dari bibir masing-masing 

tampak mengeluarkan darah. Tubuh masing-

masing bergetar keras, sementara dadanya ber-

denyut nyeri. Dadung Rantak terlihat bergerak 

hendak bangkit. Namun sesaat kemudian jatuh 

berlutut dengan memegangi dadanya. Di sebe-

rang, murid Wong Agung terdengar mengerang, 

namun tak berusaha merambat bangkit. Dia tetap 

diam terkapar. Tapi diam-diam dia kerahkan te-

naga dalam. Setelah tubuhnya agak normal, dia 

menggeliat, lalu bergerak duduk.

Saat itulah, tiba-tiba Dadung Rantak tekan 

siku dan lututnya ke atas tanah. Mendadak tu-

buhnya terangkat setengah tombak ke udara, lalu 

melayang turun lagi. Begitu mengantuk tanah, 

tubuhnya mental lagi laksana baling-baling lalu

berputar dan lenyap. Bersamaan dengan itu men-

dadak udara berubah panas menyengat. Angin 

berhenti berhembus.

"Dia pasti kerahkan pukulan andalannya!" 

pikir Aji. Lalu secepat kilat dia meraba pinggang-

nya di mana tersimpan kipas ungunya. Namun 

belum sempat Aji keluarkan kipasnya, Dadung 

Rantak telah datang menggebrak.

"Selagi nyawa di kandung badan kau tak 

mau serahkan benda itu. Tapi tak jadi soal. 

mungkin kau menginginkan aku mengambilnya 

saat nyawamu sudah melayang!" teriak Dadung 

Rantak. Kedua tangannya menyentak ke depan. 

Saat itu, kakek ini telah lima langkah di hadapan 

Pendekar 108.

Hawa panas lenyap, angin laksana topan 

melesat dari kedua tangan Dadung Rantak.

Pendekar 108 tersentak kaget. Karena ja-

raknya sudah demikian dekat, maka tiada jalan 

lain baginya kecuali menangkis serangan lawan. 

Namun murid Wong Agung ini tercekat sendiri, 

karena ternyata kedua tangannya masih sulit un-

tuk digerakkan dengan cepat, hingga baru saja 

kedua tangannya ditarik ke belakang dan belum 

sampai dihantamkan, serangan Dadung Rantak 

telah setengah depa di depan hidungnya!

Meski Pendekar Mata Keranjang 108 mam-

pu menangkis dengan lepaskan pukulan 'Mutiara 

Biru', namun karena jaraknya demikian dekat, 

maka bias yang diakibatkan bentrok pukulan 

akan lebih membahayakan, belum lagi beradunya 

tenaga dalam yang pasti menguras tenaganya. Ji-

ka keduanya terjadi, maka bukan tak mungkin 

tubuhnya akan mental dan patah-patah! Hal de-

mikian dalam keadaan terjepit begitu masih ter-

lintas di benak murid Wong Agung ini. Hingga dia 

urungkan niat untuk lepaskan pukulan sakti Mu-

tiara Biru. Sebaliknya dia bergerak hendak balik-

kan tubuh dan melesat, meski dia sadar, pukulan 

lawan tentu masih akan menyambarnya. Namun 

tidak akan setelak jika dia menangkis.

Tapi sebelum dia bergerak balikan tubuh 

dan melesat menghindar, tiba-tiba dua buah ben-

da hitam dan putih menderu dari arah samping 

memapasi serangan Dadung Rantak.

Byarrr! Byarrr!

Dua benda hitam putih hancur beranta-

kan. Namun dalam waktu sekejap itu membuat 

murid Wong Agung bisa balikan tubuh dan mele-

sat dengan selamat, walau karena terburu-buru 

dia melesat ke samping kanan di mana terdapat 

batang pohon pinus. Hingga tanpa ampun lagi 

tubuhnya menghantam batang pohon dan bergu-

lingan di atas tanah.

"Bangsat! Ada orang selamatkan jiwanya!" 

gumam Dadung Rantak. Lalu jerengkan sepasang 

matanya. Saat itulah terdengar tawa bergelak-

gelak. Dadung Rantak palingkan wajah ke arah 

sumber suara tawa. Mata orang tua ini mendelik 

besar. Lalu kedua tangannya diusap-usap pada 

matanya seolah tak mempercayai pandangannya.

Di sebelah samping, Pendekar 108 segera 

bangkit dan palingkan pula kepalanya mencari 

tahu siapa adanya orang yang memapasi seran-

gan Dadung Rantak. Seperti halnya Dadung Ran-

tak, murid Wong Agung ini pun membelalak. Ke-

ningnya mengkerut dengan mulut komat-kamit.


LIMA


Di atas sebuah dahan pohon pinus, tam-

pak duduk sambil uncang-uncang kaki dan ber-

kipas-kipas seorang anak perempuan kecil. Dia 

mengenakan jubah putih. Rambutnya dihiasi be-

berapa pita berwarna-warni.

"Hampir tak dapat kupercaya jika anak se

kecil dia mampu mematahkan seranganku. Jan-

gan-jangan bukan dia, tapi ada orang lain.... Tapi, 

jelas sekali benda tadi melesat dari arah situ!" ba-

tin Dadung Rantak. Lalu orang tua ini sapukan 

pandangannya ke sekeliling, khawatir ada orang 

lain. Namun dia tak menemukan orang itu.

"Dia lagi!" seru Aji begitu mengenali siapa 

adanya anak perempuan di atas dahan. "Hmm.... 

Tampaknya dia mengikuti perjalananku! Atau 

memang tujuanku dengannya searah? Ah, tapi 

yang jelas dia telah menyelamatkan untuk kedua 

kalinya! Aku berhutang padanya...."

"Hei! Tikus kecil! Kalau kau tak cepat tu-

run dan sebutkan siapa dirimu tubuhmu akan 

kubuat hancur berantakan!" teriak Dadung Ran-

tak seraya angkat tangan kanannya, membuat ge-

rakan seakan hendak lepaskan pukulan.

Namun anak perempuan berjubah putih 

yang bukan lain adalah Putri Kipas bukannya ta-

kut mendengar ancaman orang. Malah sambil 

mempermainkan kipasnya, dia memandang seje-

nak ke arah Dadung Rantak, lalu tersenyum lebar 

dan dengan tangan kirinya dia melambai.

"Dia berpaling padaku. Berarti anak itu ti-

dak tuli dan mendengar ucapanku! Dia rupanya 

sengaja hendak mempermainkan aku! Kurang 

ajar!" rutuk Dadung Rantak. Lalu tanpa berkata 

lagi, tangan kanannya dipukulkan ke atas.

Wuuttt!

"Celaka! Anak itu pasti akan jatuh dan ba-

bak belur, malah kemungkinan bisa tewas!" pikir

Aji, lalu gerakan tangannya hendak memapasi 

pukulan Dadung Rantak.

Namun belum sampai murid Wong Agung 

ini lepaskan pukulan, Putri Kipas berseru nyar-

ing. Pantatnya disentakkan pada dahan yang di-

dudukinya. Tubuhnya terangkat lalu melayang 

dengan jungkir dua kali sebelum akhirnya men-

darat dengan berkipas-kipas!

Bersamaan dengan mendaratnya Putri Ki-

pas, pohon di mana Putri Kipas tadi duduk berge-

tar keras, sesaat kemudian berderak lalu tum-

bang dengan dahan-dahan hancur berantakan.

Melihat si anak berhasil selamatkan diri, 

malah sengaja memanasi dengan tanpa meman-

dang ke arahnya, Dadung Rantak hilang kesaba-

ran. Dia segera meloncat ke depan. Namun lonca-

tannya tertahan, karena bersamaan dengan itu 

murid Wong Agung yang menangkap apa yang 

hendak dilakukan Dadung Rantak cepat meloncat 

menghadang.

"Jahanam!" rutuk Dadung Rantak. Dia 

berpaling pada Aji. Kemarahannya pada Putri Ki-

pas dilampiaskan pada orang yang kini di hada-

pannya. Kedua tangannya diangkat lalu dipukul-

kan ke depan.

Aji yang telah waspada segera pula tarik 

kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.

Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat. Tempat itu 

laksana dilanda gempa hebat. Sosok Dadung Ran-

tak dan Pendekar 108 sama-sama terseret ke belakang, lalu berkaparan di atas tanah. Sementara 

Putri Kipas yang berada tak jauh dari situ terden-

gar keluarkan seruan nyaring. Tubuhnya tersapu 

deras ke belakang. Anak ini coba menahan gerak 

laju tubuhnya dengan mengibaskan kipas di tan-

gan kanannya, namun tampak gagal, hingga tu-

buhnya tetap meluncur. Padahal di belakang sana 

menunggu jajaran batang pohon pinus!

Dadung Rantak cepat buka kelopak ma-

tanya. Lalu berpaling ke belakang. Bibirnya sung-

gingkan senyum seringai tatkala mendapati anak 

perempuan kecil itu melayang deras dan lurus 

mengarah pada sebuah pohon.

"Mampus kau anak kurang ajar!" gumam 

Dadung Rantak dalam hati. Namun senyumnya 

tiba-tiba pupus. Sejengkal lagi tubuh Putri Kipas 

menghantam batang pohon, sebuah benda kuning 

membersit dan mengantuk tubuhnya, hingga tu-

buh itu bergerak menyamping, menghindar ba-

tang pohon. Bersamaan dengan itu, sesosok 

bayangan berkelebat menyambar tubuh anak pe-

rempuan berpita!

Seraya menahan dadanya yang berdenyut 

tak karuan, Dadung Rantak bergerak bangkit. 

Terhuyung-huyung dia memandang berkeliling. 

Darahnya laksana sirap. Tubuhnya tiba-tiba te-

gak mematung. Sosok Aji yang tadi sama-sama 

terseret tak kelihatan lagi. Bayangan serta anak 

kecil berjubah putih dan berpita juga tak ada di 

tempat itu!

"Jahanam laknat! Siapa bangsatnya yang

membawa kabur manusia keparat itu?!" desis 

Dadung Rantak seraya gegatkan rahangnya hing-

ga keluarkan suara gemeretak. Kedua tangannya 

mengepal dan bergetar keras hingga bahunya 

yang telanjang bergerak-gerak. Saat itulah ekor 

matanya menangkap gerakan satu bayangan di 

balik sebuah batang pohon.

Menduga bahwa bayangan di balik itu yang 

membawa kabur dan menyelamatkan Aji serta 

Putri. Kipas, tanpa pikir panjang lagi Dadung 

Rantak segera hantamkan kedua tangannya.

Wuuutt! Wuuuttt!

Tak terdengar suara menderunya angin. 

Namun mendadak saja batang pohon di mana 

Dadung Rantak menangkap adanya bayangan 

berderak dan langsung tumbang.

Dadung Rantak menunggu sejenak, berha-

rap bayangan itu akan keluarkan seruan setidak-

tidaknya melesat keluar. Namun harapan Dadung 

Rantak tak jadi kenyataan, malah meski sepasang 

matanya juga ikut-ikutan menyapu berkeliling, 

bayangan itu tak ditemukannya.

"Keparat busuk! Siapa pun adanya kau, 

tunjukkan dirimu!" teriak Dadung Rantak marah. 

Dadanya yang telanjang terlihat bergerak cepat 

turun naik. Sepasang matanya merah menyala 

berkilat-kilat.

Saat itulah dia mendengar langkah-

langkah kaki dari arah belakangnya. Terkejut dan 

tegang, Dadung Rantak segera putar tubuhnya. 

Di hadapannya tegak seorang pemuda mengenakan jubah hitam yang dilapis dengan pakaian 

warna putih. Karena tiga kancing jubahnya ba-

gian atas tidak dikancingkan, maka dengan jelas 

Dadung Rantak dapat melihat sebuah lukisan 

berbentuk pintu gerbang pada baju putih sang 

pemuda.

Karena menduga orang inilah yang telah 

ikut campur urusannya, serentak Dadung Rantak 

keluarkan bentakan keras.

"Kalau tak ingin kupecahkan kepalamu, se-

rahkan dua manusia itu!"

Yang dibentak keluarkan tawa bergelak-

gelak. Dengan mengalihkan pandangan pada ju-

rusan lain, dia balas membentak.

"Manusia gila! Tak ada hujan tak ada angin 

bicara seenak perut. Buka matamu lebar-lebar! 

Aku datang sendirian tanpa dua manusia!"

Sejurus Dadung Rantak perhatikan pemu-

da di hadapannya. Lalu keluarkan dengusan ke-

ras dari hidung dan mulutnya. Dadanya bergolak 

mendengar dirinya disebut manusia gila. Mulut-

nya komat-kamit menggumam tak jelas. Tiba-tiba 

saja kakinya dibanting. Tanah di bawahnya lang-

sung melesak dalam!

Sang pemuda yang ingin mengetahui cepat 

palingkan wajah. Saat itulah Dadung Rantak me-

lompat, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi 

dan dihantamkan ke arah kepala si pemuda.

Mendapat serangan mendadak, sang pe-

muda tak menunjukkan rasa terkejut. Malah se-

raya tersenyum dingin dia rentangkan tangannya

lalu diangkat.

Prak! Prakkk!

Dadung Rantak berseru tegang. Kedua tan-

gannya yang baru saja bentrok dengan tangan si 

pemuda terasa hendak penggal. Dia cepat melon-

cat mundur seraya meringis. Sementara sang pe-

muda tetap tegak di tempatnya dengan mata me-

nyorot tajam dan senyum seringai.

"Siapa bangsat ini? Baru kali ini aku ber-

temu dengan pemuda yang tenaga dalamnya de-

mikian tinggi selain pendekar murid Wong Agung 

keparat itu! Jangan-jangan dia teman atau sau-

dara seperguruannya.... Tapi secepat apa pun ge-

rakannya, mustahil dia bisa sembunyikan dua 

manusia tadi lantas balik ke sini. Lagi pula kawa-

san ini terbuka, kalau disembunyikan di sekitar 

sini pasti aku dapat menemukannya...." Berpikir 

sampai di situ, Dadung Rantak lantas berkata.

"Anak muda! Waktuku cuma sedikit. Lekas 

katakan siapa dirimu!"

Sang pemuda dongakan kepala meman-

dang langit. Dari mulutnya tidak keluar sepatah 

kata pun, membuat Dadung Rantak geram dan 

katupkan rahang rapat-rapat. Orang tua ini lan-

tas buka mulut hendak membentak lagi. Namun 

belum sampai terdengar suaranya, sang pemuda 

telah berpaling dan berkata.

"Orang tua! Kau tak pantas mengetahui 

namaku! Yang layak kau ketahui hanyalah gelar-

ku! Namun setelah kau mengetahui gelarku, kau 

harus dapat tunjukkan di mana beradanya orang

yang kucari!"

Meski hatinya dongkol mendengar ucapan 

sang pemuda, namun akhirnya Dadung Rantak 

berucap.

"Begitu?! Cepat katakan apa gelarmu dan 

siapa orang yang kau cari!"

Sang pemuda terdiam sejenak. Lalu buka 

mulut.

"Aku bergelar Dewa Maut! Orang yang ku-

cari adalah pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-

ranjang 108!"

Sepasang mata Dadung Rantak membeliak 

angker. Kedua alis matanya naik ke atas. Sesaat 

dipandangi sang pemuda yang bukan lain me-

mang Dewa Maut. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh 

panjang. Belum sampai suara tawa Dadung Ran-

tak lenyap, Dewa Maut telah menyambung uca-

pannya.

"Sekarang katakan di mana aku dapat me-

nemukan orang yang kusebutbtadi! Ingat. Pemu-

da bergelar Pendekar Mata Keranjang 108!"

Mendengar ucapan Dewa Maut, Dadung 

Rantak bukannya menjawab, sebaliknya makin 

tertawa bergerai-gerai.

"Anak muda! Permainan konyol apa yang 

kau peragakan di hadapanku? Bukankah kau ba-

ru saja menyelamatkannya?!" ujar Dadung Ran-

tak sengaja memancing.

Kali ini Dewa Maut yang membelalak. Se-

pasang matanya menyorot penuh selidik.

"Orang tua! Seperti katamu. Waktuku juga

tak banyak. Kau jangan bersilat lidah. Aku tak 

menyelamatkan siapa-siapa! Justru aku menca-

rinya untuk mengantar tubuhnya menuju alam 

lain!"

Dadung Rantak anggukan kepalanya. Mu-

lutnya bergerak komat-kamit seakan hendak 

mengucapkan sesuatu. Menyangka jika orang tua 

di hadapannya mengetahui orang yang dicari, 

Dewa Maut diam menunggu.

"Anak muda! Melihat paras wajahmu, tam-

paknya kau tidak main-main. Boleh aku tahu, 

kenapa kau menginginkan nyawa orang itu?!" ujar 

Dadung Rantak seraya usap-usap jenggotnya.

Dewa Maut mendengus. Dalam hati pemu-

da ini memaki habis-habisan karena dugaannya 

meleset. Setelah diam agak lama, akhirnya Dewa 

Maut menjawab.

"Kenapa kuinginkan nyawa pemuda terse-

but, bukan urusanmu! Jawab saja tanyaku!"

"Hm.... Kau tak memberitahu urusanmu 

tak jadi apa! Tapi satu hal yang harus kau keta-

hui bukan hanya kau saja yang menginginkan 

nyawa pemuda itu!"

"Maksudmu?!" kejar Dewa Maut.

"Aku, Dadung Rantak juga menginginkan 

nyawanya! Bahkan sampai gurunya!" 

"Hmm.... Apakah orang ini hanya ingin 

nyawanya tanpa membutuhkan senjatanya? Atau 

menginginkan kedua-duanya? Meski belum bisa 

kuketahui tujuannya, namun manusia ini harus 

segera disingkirkan. Jika tidak, bukan tak mungkin dia mendapatkan pemuda itu terlebih dahu-

lu...!"

Berpikir begitu, Dewa Maut lantas berujar.

"Orang tua! Kau tadi mengatakan aku me-

nyelamatkan dua orang. Siapa mereka?!"

"Hmm.... Rupanya memang ada orang lain 

yang menyelamatkan dua manusia tadi. Aku tak 

boleh mengatakan terus terang siapa adanya dua 

manusia tadi. Sebab tidak tertutup kemungkinan 

pemuda ini akan menemukannya. Itu berarti 

akan menghalangi langkahku untuk menda-

patkan benda yang kuinginkan! Kalau perlu ma-

nusia sombong ini harus dikirim sekalian ke akhi-

rat!" batin Dadung Rantak. Setelah berpikir seje-

nak, dia berucap.

"Mereka adalah dua orang laki-laki musuh 

besarku. Mereka sebenarnya sudah hampir tewas 

seandainya tidak ada orang yang berkelebat me-

nolongnya! Aku curiga padamu, jangan-jangan 

kau yang menolong keduanya, karena begitu me-

reka lenyap, kau tiba-tiba muncul. Sekarang ber-

terus teranglah. Di mana kau sembunyikan mu-

suhku itu!"

"Bangsat sialan! Mulutmu sengaja minta 

dirobek!" rutuk Dewa Maut.

"Bukan mulutku. Tapi mulutmu yang ha-

rus dipecahkan karena telah berani bicara sandi-

wara di hadapanku!"

"Tua bangka keparat! Kita buktikan mulut 

siapa yang akan berantakan!" teriak Dewa Maut. 

Habis berteriak begitu, dia menyergap ke depan.

Tangan kanannya diangkat ke atas kepala, se-

mentara tangan kirinya cepat mendorong ke de-

pan. Dari tangan kiri ini mencuat asap merah. 

Bersamaan dengan itu udara di tempat itu beru-

bah menjadi panas menyengat laksana dijerang.

Dadung Rantak tampak tersirap kaget. 

Meski dia masih terlihat tersenyum mengejek, 

namun dia tak mau ambil resiko. Dia cepat pula 

melompat ke samping. Tangan kanannya ikut 

bergerak melepaskan pukulan. Namun bersa-

maan dengan itu, tangan kanan Dewa Maut telah 

susuli pukulan pertamanya. Hingga meski Da-

dung Rantak berhasil memapak serangan perta-

ma lawan, namun serangan keduanya melabrak 

tak bisa ditangkis.

Dadung Rantak untuk sesaat terlengak 

menyaksikan hal itu. Dia tak menduga sama se-

kali jika serangan kedua lawan begitu cepat, ma-

lah lebih ganas, karena bersamaan dengan itu, 

serangkum angin dahsyat terlebih dahulu melesat 

sebelum asap merah menggebrak. Namun Da-

dung Rantak tak mau begitu saja membiarkan 

tubuhnya terhajar serangan lawan. Tangan ki-

rinya segera diangkat dan serta-merta dipukul-

kan.

Blarrr!

Bentrok pukulan yang sama-sama teraliri 

tenaga dalam tak dapat dihindarkan lagi. Karena 

terjadinya bentrok lebih dekat dari tempat Da-

dung Rantak apalagi tenaga dalam orang tua ini 

telah terkuras sebelumnya sewaktu melayani

Pendekar Mata Keranjang, maka saat ledakan 

terdengar, sosok Dadung Rantak langsung mence-

lat mental ke belakang. Lalu telentang di atas ta-

nah dengan sudut bibir mengucurkan darah kehi-

taman.

Di seberang sana, Dewa Maut terhuyung-

huyung lalu jatuh terduduk. Pemuda ini segera 

memeriksa, dan merasa dirinya tak mengalami 

cidera, dia segera bergerak bangkit. Lantas me-

langkah pelan ke arah Dadung Rantak.

Paras muka Dadung Rantak langsung be-

rubah pucat pasi. Dia menyumpah habis-habisan 

dalam hati. Karena akibat bentrok dengan Pende-

kar Mata Keranjang tenaganya tak lagi sempurna. 

Namun dia berusaha bangkit meski dengan tubuh 

bergetar dan dada berdebar sakit.

"Tua bangka! Jawab. Kau bisa tunjukkan 

orang yang kucari apa tidak?!" ujar Dewa Maut.

Meski hatinya kecut namun orang tua ini 

segera menyembunyikannya dengan tertawa pe-

lan. Setelah mengusap wajah dan darah yang 

mengalir dari sudut bibirnya, dia berucap.

"Manusia bodoh! Dunia ini luas. Mana bisa 

orang kau suruh menunjukkan pada segelintir 

manusia yang kau cari?!"

Dikatakan manusia bodoh demikian rupa, 

Dewa Maut bukannya marah. Sebaliknya dia 

mendongak ke langit lalu tertawa. Namun ta-

wanya mendadak diputus laksana terenggut. Ke-

palanya bergerak lurus. Dari mulutnya terdengar 

suara bergetar dan keras.

"Dengar, Tua Bangka Jahanam! Aku tak 

peduli dunia luas atau sempil. Kau tak bisa me-

menuhi permintaanku, itu berarti nasib jelek 

buatmu!"

Meski diam-diam tengkuknya jadi dingin, 

namun Dadung Rantak tetap sunggingkan se-

nyum. Sebenarnya diam-diam pula kakek ini se-

dang kerahkan segenap tenaga dalamnya, karena 

dia merasa yakin bahwa ucapan pemuda di hada-

pannya tidak sekadar main-main. Setelah terdiam 

sesaat, orang tua ini alihkan pandangannya pada 

jurusan lain dan berucap datar.

"Kau rupanya berteman dengan malaikat 

hingga tahu nasib manusia! Apakah kau juga su-

dah tahu jika nasibmu berada di tanganku?!"

Untuk kesekian kalinya Dewa Maut kelua-

rkan tawa panjang dan keras.

"Tua bangka tolol! Dengar! Aku adalah De-

wa Maut. Manusia yang akan menebar hawa 

maut pada siapa saja yang tak bisa memberi apa 

yang kupinta! Kau ingin bukti?!'

Tanpa menunggu jawaban dari Dadung 

Rantak, Dewa Maut angkat kedua tangannya lalu 

dipukulkan.

Gelombang asap merah yang menebar ha-

wa panas menyungkup di tempat itu. Suara 

menggemuruh laksana air bah menggebrak ke 

arah Dadung Rantak.

Dadung Rantak meski nampak tercekat te-

gang namun segera sentakan kedua tangannya, 

membuat suasana di tempat itu makin panas

menyengat. Dan bersamaan dengan itu terdengar 

dentuman menggelegar! Saat asap merah dihajar 

pukulan Dadung Rantak yang tak kelihatan ben-

tuknya.

Kedua orang ini sama-sama keluarkan pe-

kik kesakitan. Tubuh Dewa Maut terdorong deras 

ke belakang. Namun pemuda ini cepat membuat 

gerakan jungkir balik, hingga meski sempat jatuh 

berlutut, namun tubuhnya selamat dari meng-

hempas menghajar tanah.

Di lain pihak, karena tenaga dalamnya su-

dah pas-pasan, Dadung Rantak tak bisa mengua-

sai gerak tubuhnya, hingga dia terjungkal dengan 

kepala lebih dahulu! Orang tua ini sesaat menge-

rang, sepasang matanya redup menyipit. Dan 

erangannya segera dia hentikan sementara ma-

tanya dia pejamkan tatkala samar-samar dilihat-

nya Dewa Maut telah melangkah ke arahnya.

Tiga langkah di depan Dadung Rantak yang 

diam tak bergerak, Dewa Maut hentikan langkah-

nya. Sejurus lamanya dia memperhatikan sosok 

Dadung Rantak. Dan mengira orang tua itu telah 

menemui ajal, dengan senyum seringai dan ke-

butkan jubahnya, dia putar tubuh dan tinggalkan 

tempat itu.

Begitu sang pemuda pergi, Dadung Rantak 

gerakan tangannya dan ditempelkan pada da-

danya untuk mengatasi debarannya yang nyeri. 

Namun karena dia terlalu bernafsu untuk menga-

tasi cidera bagian dalam tubuhnya yang membu-

tuhkan pengerahan tenaga dalam, sementara tenaga dalamnya telah terkuras, maka orang itu se-

sat terlihat megap-megap, lalu tangannya lunglai 

dan sejenak kemudian dia terkulai pingsan.


ENAM


PENDEKAR Mata Keranjang mula-mula ti-

dak mengetahui siapa adanya orang yang me-

manggul dan kini berkelebat membawa lari di-

rinya. Yang dia ingat dan ketahui adalah dia se-

dang menghadapi Dadung Rantak. Dan sewaktu 

tubuhnya terseret ke belakang hendak terjeng-

kang menghajar tanah, tiba-tiba satu tangan me-

nahan gerak tubuhnya, bukan hanya selamatkan 

dirinya dari terhempas di tanah, namun juga se-

cara bergerak cepat mengangkat tubuhnya dan 

melemparkannya ke atas. Lalu tahu-tahu dia me-

rasa sudah ada di pundak orang, serta sudah 

berkelebat.

Setelah memikir sejenak, Aji buka kelopak 

matanya. Yang mula-mula terlihat adalah pung-

gung orang yang membawanya lari. Ternyata pa-

kaian yang dikenakan orang itu telah robek di sa-

na-sini. Lalu pandangannya tertumbuk pada so-

sok tubuh yang juga menggelentung seperti di-

rinya di pundak kiri orang.

Pendekar 108 memperhatikan dengan sek-

sama. Dia tak bisa melihat paras wajah orang 

yang di sebelahnya, namun dapat melihat bagian 

kepala orang itu. Ternyata kepala itu dihiasi beberapa pita berwarna-warni yang digunakan untuk 

menguncir rambutnya.

"Putri Kipas...!" gumam Pendekar 108 begi-

tu dapat mengenali orang. Dia menarik napas le-

ga. "Hmm.... Untung anak ini juga selamat. Aku 

telah mengkhawatirkan dirinya...."

Mendadak murid Wong Agung ini membaui 

sesuatu lain. Keras menyengat hidung. Melirik ke 

bawah, ke arah datangnya bau, Aji terperanjat.

"Astaga! Ternyata dia!" bisik Pendekar 108 

dalam hati.

Di bawah tubuhnya, tepatnya di bagian 

pinggang orang yang membawa tubuh Aji terlihat 

melingkar sebuah ikat pinggang besar yang di-

ganduli beberapa bumbung bambu. Dari bum-

bung bambu itu keluar menyengat bau arak!

Pendekar Mata Keranjang lantas berpaling 

lagi pada Putri Kipas. Mungkin ingin mengetahui 

keadaan si anak. Tangan kirinya bergerak me-

nyentuh pundak Putri Kipas. Untuk beberapa 

saat yang disentuh tetap diam tak bergerak. Na-

mun ketika tangan Pendekar 108 hendak me-

nyentuh kembali, kepala Putri Kipas bergerak pe-

lan berpaling ke arah Pendekar 108. Bibir anak 

ini lalu tersenyum dan meletakkan telunjuk ja-

rinya melintang di tengah mulutnya memberi 

isyarat agar Pendekar 108 tak mengucapkan se-

suatu.

"Sialan! Rupanya dia keenakan digendong! 

Tapi aku heran. Dia sepertinya tak merasakan 

bau sengatan arak ini. Padahal aku sudah mual

mau muntah! Jangan-jangan dia murid Setan 

Arak...," pikir Pendekar 108. Lalu ikut-ikutan me-

lintangkan jari telunjuknya di tengah mulut. Ke-

dua orang ini lantas sama memejamkan mata 

masing-masing.

"Hm.... Biarlah aku istirahat dulu di sini! 

Rasanya enak juga digendong! Daripada...," Pen-

dekar 108 tak meneruskan kata hatinya, karena

saat itu tiba-tiba saja orang yang membawanya 

lari dan bukan lain memang Setan Arak gerakan 

pundak kanan kirinya. Lalu melesat mendahului 

ke depan, begitu dua sosok di atas pundaknya te-

rangkat ke atas.

Baik Pendekar 108 maupun Putri Kipas 

sama-sama terkejut. Serentak dua orang ini buka 

mata masing-masing. Keduanya lantas mengelua-

rkan seruan tatkala mengetahui tubuh mereka 

menukik telungkup ke bawah.

Kedua orang ini sama-sama membuat ge-

rakan untuk menyelamatkan diri masing-masing. 

Namun terlambat. Sebelum keduanya mampu 

bergerak, tubuh mereka telah terjerembab di atas 

tanah!

"Puaahhh! Anak-anak kurang ajar! Orang 

tua maunya dibuat mainan!" tiba-tiba terdengar 

teriakan di seberang.

Pendekar Mata Keranjang 108 dan Putri 

Kipas bergerak bangkit sambil pegangi dada mas-

ing-masing. Keduanya saling lirik sejurus, lalu 

balikan tubuh masing-masing menghadap orang 

yang baru saja keluarkan teriakan.

Sepuluh langkah di hadapan mereka, Se-

tan Arak terlihat duduk menggelosoh sambil me-

nenggak araknya silih berganti dari bumbung di 

tangan kanan kirinya. Ikat pinggang besar yang 

tadi melingkar di pinggangnya telah berpindah. 

Kini tampak menyelempang melingkar melalui 

pundaknya.

Pendekar 108 dan Putri Kipas saling ber-

pandangan kembali. Putri Kipas angukkan kepa-

la. Keduanya lantas melangkah mendekat ke arah 

Setan Arak.

"Hmm.... Anak ini tampaknya memang su-

dah mengenal Setan Arak..." batin Pendekar 108 

seraya terus melangkah. "Gerak-geriknya menun-

jukkan hal itu!"

Tiga langkah di hadapan Setan Arak, kedua 

orang ini berhenti. Tiba-tiba Putri Kipas jatuhkan 

diri dan menjura dalam-dalam seraya berkata.

"Eyang...."

"Eyang apa?!" sentak Setan Arak tanpa 

memandang.

"Maafkan aku. Aku bukannya mau...."

"Kau ingin ikut-ikutan temanmu itu berke-

liaran tak karuan, hah?!" kembali Setan Arak me-

nyentak sebelum Putri Kipas selesaikan ucapan-

nya.

Putri Kipas gelengkan kepalanya. Sejenak 

dia memandang Setan Arak. Setelah menarik na-

pas panjang, dia berujar.

"Aku hanya kebetulan bertemu dengannya 

sewaktu jalan-jalan di kaki bukit itu. Lalu aku

mengikutinya, tapi dia tidak tahu kalau kuikuti. 

Waktu...."

"Sudah. Sudah, jangan banyak omong!" 

sahut Setan Arak. Lalu menenggak araknya kem-

bali, hingga matanya terpejam-pejam kemerahan.

"Betul ucapannya.. Aku memang tak sen-

gaja bertemu dengannya di kaki bukit. Jadi aku 

tak mengajaknya berkeliaran...," yang buka suara 

adalah Pendekar 108 seraya membungkuk hor-

mat.

"Puaahhh! Kalian orang sama-sama pintar 

bicara! Kalian sekongkol!'

"Kek! Kami tidak sekongkol. Memang itulah 

yang terjadi!" sahut Pendekar 108.

Setan Arak jauhkan tangannya yang me-

megang bumbung arak dari mulutnya, sejurus 

sepasang matanya yang kemerahan menatap 

Pendekar 108.

"Kau masih pandai omong. Apa kalian kira 

aku tak tahu. Kalian saling memberi isyarat un-

tuk tidak keluarkan suara sewaktu aku terseok-

seok memanggul kalian. Apa namanya itu?! Ja-

wab!"

Pendekar Mata Keranjang dan Putri Kipas 

saling berpandangan. Namun keduanya tidak ada 

yang keluarkan suara untuk menjawab.

"Kau juga mengapa mau mencelakakan 

orang, he...?!" kembali Setan Arak ajukan tanya 

pada Pendekar 108.

"Mencelakakan orang?" gumam Pendekar 

108. Paras wajahnya berubah. Untuk beberapa

lama murid Wong Agung ini pandangi Setan Arak 

dengan tatapan tak mengerti.

"Kek! Rasanya aku tak melakukan perbua-

tan itu!"

Setan Arak tertawa bergelak-gelak, hingga 

bumbung arak yang bergelantungan di ikat ping-

gangnya bergerak-gerak turun naik.

"Kau mengaku bernama Aji. Tapi tak mene-

rangkan sebagai Pendekar Mata Keranjang. Ju-

stru orang lain yang kau katakan sebagai Pende-

kar Mata Keranjang! Apakah itu tak mencelaka-

kan orang lain? He...?! Apa jawabmu?!"

"Hmm.... Yang dimaksud pasti Setan Peso-

lek. Berarti dia sudah tahu semua ini!" Pendekar 

108 membatin. Setelah berpikir sejenak, dia ber-

tanya.

"Kek. Apakah yang dimaksud Setan Peso-

lek?"

"Kau tak usah bertanya. Aku ingin dengar 

jawabmu!" Setan Arak menghardik. Namun na-

danya pelan dan tanpa memandang, membuat 

murid Wong Agung ini jerengkan sepasang ma-

tanya seraya menggeleng.

"Kek! Sebenarnya bukan maksudku mence-

lakakan Setan Pesolek. Karena Setan Pesolek

sendiri sudah tahu hal ini. Lagi pula dengan tan-

pa mengaku sebagai Pendekar Mata Keranjang 

108, aku bisa mengorek apa sebabnya orang yang 

bergelar Dewa Maut itu tiba-tiba mencariku dan 

menginginkan nyawaku!"

"Memalukan!" tiba-tiba Setan Arak menya

hut.

"Apanya yang memalukan, Kek?!"

"Perbuatanmu itu! Itu adalah perlakuan 

seorang pengecut! Tak mau tunjukkan dadanya 

sendiri! Tapi mendorong wajah orang lain!"

"Tapi, Kek..."

Setan Arak tertawa bergelak-gelak.

"Aku tahu. Kau takut padanya. Bukankah 

begitu?! Padahal apakah kau sadar, dengan per-

buatanmu itu persoalan tidak akan cepat selesai. 

Belum lagi adanya korban-korban yang harus ja-

tuh!"

Pendekar Mata Keranjang usap wajahnya 

dengan telapak tangannya.

"Lalu, menurutmu apa yang harus kulaku-

kan, Kek?!"

"Aku tak bisa memberi pendapat padamu. 

Lagi pula otakmu tidak akan jalan bila terus-

terusan dituntun! Pecahkan sendiri urusanmu. 

Yang penting jangan sampai berbuat pengecut 

yang akhirnya membawa celaka orang lain lebih-

lebih menyeret jatuhnya beberapa orang yang tak 

tahu-menahu urusanmu!"

Habis berkata begitu, Setan Arak melam-

baikan tangannya pada Putri Kipas. Si anak seju-

rus memandang ke arah Aji. Lalu melangkah per-

lahan ke arah Setan Arak.

"Ayo. Kita pulang!" seru Setan Arak seraya 

bangkit begitu Putri Kipas telah berada di depan-

nya. Lagi-lagi Putri Kipas memandang pada Pen-

dekar 108. Wajahnya jelas menunjukkan rasa berat. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi 

ketika diliriknya Setan Arak berpaling padanya 

dengan mata sedikit mendelik.

"Kek, tunggu!" mendadak Pendekar 108 

berseru menahan ketika Setan Arak dan Putri Ki-

pas mulai melangkah meninggalkan tempat itu.

Setan Arak berhenti. Tanpa berpaling lagi, 

dia berkata.

"Ada apa?!"

"Sebagai tokoh yang telah lama malang me-

lintang dalam rimba persilatan apakah kau tahu 

tentang manusia yang bergelar Dewa Maut, atau 

setidak-tidaknya pernah dengar berita tentang-

nya?!"

Sebagai jawaban, Setan Arak tertawa ber-

gerai-gerai. Lalu ulurkan tangannya menyambar 

tubuh Putri Kipas. Sosok Putri Kipas melayang ke 

udara, lalu 'plekk'. Tahu-tahu tubuh Putri Kipas 

telah duduk bertengger di tengkuknya dengan ke-

dua kaki menjulai di depan dada.

"Kau telah digelari orang sebagai seorang 

pendekar. Kalau di benakmu masih dirambahi ra-

sa takut pada orang yang jelas-jelas hendak me-

nebar maut, atau kau tak bisa menyelidiki urusan 

ini dengan otak sendiri, kusarankan padamu le-

bih baik kau kembali ke Karang Langit. Lalu balik 

lagi dengan mengenakan kebaya. Bibir dipoles 

merah, muka dibedaki dan berganti nama menja-

di Siti Suminten bahenol binti Ponirah! Ha.... 

Ha.... Ha...!"

Habis berkata. seraya terus tertawa bergelak, Setan Arak melangkah meninggalkan tempat 

itu. Di atas tengkuknya Putri Kipas ikut-ikutan 

tertawa seraya melambaikan tangan.

"Sialan!" maki Pendekar Mata Keranjang 

sambil bantingkan kaki, lalu melesat ke arah timur, jurusan mana tadi dia datang.


TUJUH


HARI ini desa Gondang Legi lain dari bi-

asanya. Karena di alun-alun yang tak jauh dari 

pasar Gondang Legi akan diadakan sebuah per-

tunjukan Gandeng Ujung. Sebuah permainan 

yang mengandalkan kekuatan luar dan dalam. 

Karena di situ akan berlaga dua orang yang nan-

tinya akan saling pukul berganti dengan menggu-

nakan sebuah cemeti. Pertunjukan ini memang 

selalu diadakan setiap tahun sekali untuk me-

nandai dibukanya penggilingan tebu yang me-

mang menjadi penghasilan pokok penduduk Gon-

dang Legi. Maka sejak pagi hari penduduk Gon-

dang Legi telah berdatangan, malah mereka yang 

tinggal jauh dari desa ikut datang berbondong-

bondong. Ketika penduduk sudah berkumpul, tak 

lama kemudian pertunjukan itu pun dimulai. Dua 

orang terlihat maju ke tengah lingkaran. Sorak-

sorai serta teriakan-teriakan mulai ramai bersa-

hut-sahutan.

"Sialan! Permainan orang-orang gembel!" 

gumam seorang pemuda seraya melangkah menjauhi hiruk-pikuknya orang-orang. Dia adalah 

pemuda berwajah tampan. Berdagu kokoh dan 

bermata tajam. Tubuhnya tinggi tegap. Rambut-

nya lebat dan panjang sebahu. Dan pemuda ini 

terlihat lebih gagah karena dia mengenakan jubah 

besar berwarna hitam bergaris-garis putih.

Bersamaan dengan itu, dari arah kerumu-

nan orang banyak juga menyeruak keluar seorang 

pemuda. Sosoknya tegap. Mengenakan jubah 

warna hitam yang melapis baju warna putih.

Kedua pemuda ini secara kebetulan menu-

ju arah yang sama, yakni jurusan selatan. Pemu-

da yang mengenakan jubah hitam bergaris-garis 

putih ada di depan sementara yang mengenakan 

jubah hitam dan melapis baju warna putih ada di 

belakangnya.

Mungkin merasa diikuti orang, pemuda 

yang di depan palingkan wajahnya ke belakang. 

Cuma sesaat, lalu meneruskan langkah. Namun 

dahi pemuda ini serentak mengernyit. 

"Rasanya aku baru kali ini bertemu den-

gannya. Tapi kenapa dia sepertinya mengikutiku? 

Atau ini hanya kebetulan menuju arah yang sa-

ma? Keparat! Kenapa aku memikirkan orang? Be-

rani macam-macam kucincang tubuhnya!" batin 

pemuda di sebelah depan. Lalu melangkah lebih 

cepat. 

Pemuda yang di belakang ikut memperce-

pat langkahnya. Namun pandangannya tak men-

garah ke depan, melainkan pada jurusan lain. 

Namun jelas sepasang matanya sesekali memperhatikan pemuda di depannya.

"Hm.... Melihat langkah dan pakaian yang 

dikenakannya, pasti dia seorang dari kaum persi-

latan. Aku akan tanya padanya. Siapa tahu dia 

mengetahui orang yang kucari!" pikir pemuda 

yang di belakang. Lalu dia mempercepat lagi 

langkahnya.

Mengetahui orang di belakang mendekat, 

pemuda di sebelah depan mendadak hentikan 

langkah. Tanpa balikan tubuh, malah dengan ka-

cak pinggang dia menegur. Suaranya lantang dan 

bergetar.

"Sebutkan siapa kau! Dan kenapa mengi-

kuti langkahku!"

Melihat sikap orang di depannya, pemuda 

di belakang katupkan rahangnya rapat-rapat, 

hingga keluarkan suara gemeretak. Sepasang ma-

tanya menusuk tajam, memperhatikan pemuda di 

depannya dari atas hingga bawah.

Dia tidak segera menjawab pertanyaan pe-

muda di depannya yang membelakangi dengan 

kacak pinggang. Bahkan sesaat kemudian pemu-

da ini keluarkan tawa pendek penuh ejekan.

"Baik. Kau tidak mau sebutkan siapa diri-

mu. Itu tidak ada ruginya bagiku! Tapi dengar. 

Jangan berani beranjak melangkah dari tempat-

mu untuk mengikutiku, atau kepalamu akan pu-

tus dari lehermu!"

Habis berkata begitu, pemuda di sebelah 

depan teruskan langkah. Pemuda di sebelah bela-

kang keluarkan dengusan keras. Matanya berubah merah, sementara dadanya bergetar keras. 

Dagunya terangkat, pertanda jika dia menahan 

hawa amarah. Dan tanpa mempedulikan anca-

man orang, dia melangkah mengikuti.

Merasa ancamannya diacuhkan, pemuda di 

sebelah depan kembali hentikan Iangkah. Dan se-

cepat kilat dia putar tubuhnya membalik. Pemuda 

di sebelah belakang ikut hentikan langkah.

Untuk sesaat lamanya pemuda yang men-

genakan jubah hitam bergaris-garis putih yang 

tadi ada di sebelah depan memandang tajam pe-

nuh selidik. Mendadak pelipis pemuda ini berge-

rak-gerak. Mulutnya bergetar. Karena pemuda 

yang dipandanginya dongakan kepala tidak me-

mandang ke arahnya!

"Setan alas! Siapa gerangan manusia ini? 

Nyalinya besar juga. Dia pasti mempunyai sesua-

tu yang diandalkan hingga tak takut ancaman 

orang! Hm.... Kalau dia mau dijadikan sahabat, 

tentu akan banyak membantu mewujudkan cita-

citaku. Menyingkirkan Pendekar Mata Keranjang 

dan sekaligus menggenggam dunia persilatan!" 

batin pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-

tih. Lalu dia mendehem beberapa kali dengan ha-

rapan pemuda di hadapannya memandang ke 

arahnya. Namun apa yang menjadi harapannya 

tidak terjadi. Karena pemuda di hadapannya tetap 

mendongak.

Meski agak jengkel, namun akhirnya pe-

muda berjubah hitam bergaris-garis putih kelua-

rkan suara. Kali ini nadanya agak rendah, meski

masih terdengar bergetar.

"Sahabat! Kau mengikuti langkahku. Ten-

tunya kau mempunyai maksud. Harap kau sudi 

jelaskan apa tujuanmu!"

Pemuda berjubah hitam luruskan kepa-

lanya menghadap ke depan. Sejurus kedua pe-

muda ini saling adu pandang. Mata masing-

masing saling menusuk. Pemuda berjubah hitam 

yang tadi ada di sebelah belakang ini tersenyum 

dingin, lalu angkat bicara.

"Aku tak akan melangkah tanpa tujuan! 

Tak akan berjalan tanpa hitungan! Aku akan 

menjawab pertanyaanmu. Aku mengikutimu ka-

rena ingin tanya padamu!"

Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-

tih kerutkan dahi. Memperhatikan lebih seksama 

lagi pada pemuda di hadapannya. Lalu berucap.

"Sayang sekali jika itu tujuanmu. Karena 

aku tak akan jawab pertanyaan orang yang belum 

kuketahui siapa nama atau gelarnya!"

"Hmm.... Begitu?!" sahut pemuda berjubah 

hitam sambil tertawa.

"Kalau itu maumu, aku tak keberatan 

memberitahu padamu!" sambungnya. Lalu den-

gan busungkan dada dia menyambung lagi uca-

pannya. "Aku Dewa Maut!"

Pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-

tih menyeringai. Lalu dongakan kepala. Dari mu-

lutnya terdengar suara seperti orang sedang ber-

syair.

"Aku seorang musafir!

Melangkah tegak mencari takdir.

Pijakanku berwarna merah. Jejakku ber-

warna merah.

Hembusan napasku bersaput merah.

Merah darah!"

"Hmm.... Rupanya kau seorang penyair!" 

desis Dewa Maut tanpa memandang.

"Tak salah! Akulah si Penyair Berdarah!" 

tandas pemuda berjubah hitam bergaris-garis pu-

tih, yang tak lain memang Penyair Berdarah. Pe-

muda berilmu tinggi murid Iblis Gelang Kematian 

(Tentang Penyair Berdarah serta Iblis Gelang Ke-

matian baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode : "Tembang Maut Alam Kematian").

Untuk beberapa lama kedua orang ini sa-

ma-sama diam tak ada yang keluarkan suara. Da-

lam hati masing-masing sama-sama menduga 

siapa sebenarnya orang di hadapannya. Namun 

tampaknya keduanya sama-sama tak menda-

patkan jawaban. Dan entah karena masih ada 

yang harus ditanyakan, akhirnya Dewa Maut bu-

ka mulut.

"Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap 

kau sekarang jawab pertanyaanku!"

"Penyair Berdarah tak suka ditekan. Kau 

jangan yakin aku akan jawab pertanyaanmu. Ka-

takan apa yang hendak kau tanyakan!"

"Kau bisa katakan, di mana aku dapat me-

nemukan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108! Pemuda yang selama ini malang melintang dengan menggenggam sebuah kipas ungu 

bergurat angka 108!"

Penyair Berdarah palingkan wajah sembu-

nyikan rasa terkejutnya. Lalu ketika berpaling la-

gi, dia tunjukkan senyum lebar namun dingin.

"Kau punya urusan apa dengan pemuda 

itu?!"

"Urusannya tak perlu kau ketahui. Yang 

pasti aku menginginkan selembar nyawanya!"

Penyair Berdarah kembali tersenyum sem-

bunyikan perubahan wajahnya. Namun diam-

diam pemuda ini merasa lega. Karena dengan ber-

tambahnya orang yang hendak membunuh Pen-

dekar Mata Keranjang, maka tujuannya untuk 

menggapai jadi raja rimba persilatan akan lebih 

mudah lagi.

"Apa hanya itu tujuanmu?!" tanya Penyair 

Berdarah.

"Kau bertanya atau menyelidik?!"

Penyair Berdarah sunggingkan senyum. 

Kali ini senyumnya polos.

"Terserah kau mau katakan apa. Aku 

hanya ingin tahu. Siapa tahu aku dapat memban-

tu. Meski hanya sekadar keterangan!"

Sejenak Dewa Maut terdiam. Dalam hati 

pemuda ini berkata,

"Hm.... Tak ada salahnya aku mengatakan 

padanya. Siapa tahu memang dia bisa memberi 

keterangan yang kuperlukan. Itu akan memper-

mudah perjalananku. Rupanya dia pengetahuan-

nya banyak. Lain dengan aku, yang masih buta

dengan lingkungan rimba persilatan. Namun se-

bentar lagi, aku tidak akan buta lagi! Malah dunia 

persilatan akan kugenggam!"

"Selain pemuda yang kusebut tadi, aku ju-

ga memerlukan keterangan tentang pemuda yang 

bergelar Malaikat Berdarah Biru!"

Untuk kesekian kalinya Penyair Berdarah 

terperanjat.

"Apa sebenarnya tujuan manusia ini? Jan-

gan-jangan...," Penyair Berdarah gelengkan kepa-

la. Lalu kembali ajukan tanya.

"Lantas siapa lagi?!"

"Jangan mengira aku manusia bodoh yang 

bisa kau korek mulutnya! Pertanyaanmu sudah 

terlalu banyak. Sekarang saatnya bagimu membe-

ri keterangan!" sergah Dewa Maut dengan menye-

ringai.

"Melihat orang yang dicari, pasti manusia 

ini telah mempersiapkan bekal! Tapi tampaknya 

dia masih polos. Hmm.... Manusia seperti ini yang 

kucari! Mempunyai kemampuan, berani, berwa-

tak sombong namun tak punya kelicikan!" batin 

Penyair Berdarah. Lalu tersenyum lebar dan ber-

kata.

"Sobatku, Dewa Maut. Masalah di mana 

kau dapat menemukan orang yang kau cari, siapa 

pun yang kau tanya pasti akan jawab tidak tahu! 

Karena orang yang kau cari adalah orang-orang 

persilatan yang tak dapat ditentukan di mana 

tempatnya! Kalau tidak dicari kadang-kadang ber-

temu, tapi kalau dicari malah sampai modar pun

tak berjumpa! Namun, ada cara bagaimana kau 

dapat menemukan orang-orang itu! Malah mereka 

yang nanti akan mencarimu!"

"Hmm.... Coba katakan bagaimana ca-

ranya!"

"Sebarkan maut di mana-mana! Jangan 

pandang bulu. Baik golongan hitam atau golon-

gan putih. Baik perempuan atau laki-laki! Bahkan 

kalau kau berhasil membunuh orang-orang ter-

dekatnya, tak lama kau akan menemukan orang 

yang kau cari!"

"Kau terlalu berbelit-belit! Aku jadi tak 

mengerti!"

"Bunuh guru atau kekasih orang yang kau 

cari!" tandas Penyair Berdarah.

Dewa Maut gelengkan kepala.

"Itu akan lebih sulit bagiku. Aku belum ta-

hu siapa dan di mana gurunya!"

Penyair Berdarah tertawa bergelak.

"Hmm.... Pasti manusia ini baru muncul ke 

rimba persilatan. Sampai tempat dan nama guru 

Pendekar Mata Keranjang yang sudah banyak di-

kenal orang ia tak tahu...."

"Kau tak usah khawatir. Aku tahu siapa 

dan di mana guru Pendekar Mata Keranjang 108!"

"Katakan!" sahut Dewa Maut cepat.

"Dia bernama Wong Agung. Bertempat di 

sebuah karang di tengah Laut Utara yang dikenal 

orang dengan nama Karang Langit!"

"Wong Agung.... Hmm.... Apa dia juga banci 

seperti muridnya?!" gumam Dewa Maut sambil

manggut-manggut.

"Apa kau bilang?! Coba ulangi lagi agak ke-

ras!" tiba-tiba Penyair Berdarah berseru demi 

mendengar gumaman Dewa Maut.

Dewa Maut memandang Penyair Berdarah 

dengan tatapan heran. Tapi akhirnya dia mengu-

langi kata-katanya. Tiba-tiba Penyair Berdarah 

tertawa terbahak-bahak hingga keluar air ma-

tanya.

"Hai! Kenapa kau tertawa? Apa yang lu-

cu?!" hardik Dewa Maut.

"Banci? Ha.... Ha.... Ha...! Siapa yang kau 

maksud banci. He...?!" tanya Penyair Berdarah.

"Bukankah pemuda bergelar Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 itu adalah pemuda yang poton-

gan dan gayanya mirip seorang perempuan? Ka-

lau tidak banci apa namanya?"

Penyair Berdarah makin bergelak.

"Siapa yang mengatakan padamu jika pe-

muda itu adalah seorang banci?"

"Aku pernah bertemu dengannya. Sayang, 

waktu itu dia lolos! Tapi tidak akan lolos jika ber-

temu untuk kedua kalinya!"

Penyair Berdarah pandangi tampang Dewa 

Maut untuk beberapa saat lamanya, lalu tertawa 

lagi. Setelah puas tertawa, dia arahkan pandan-

gannya pada jurusan lain. Seraya tersenyum 

mengejek dia berucap.

"Kau salah besar, Sobat! Pendekar Mata 

Keranjang 108 adalah manusia laki-laki tulen. Po-

tongan dan gayanya juga laki-laki! Dan seperti katamu, dia menggenggam sebuah kipas berwarna 

ungu bergurat angka 108!"

"Kau tak usah menggurui aku. Pemuda 

yang kusebut tadi juga menggenggam sebuah ki-

pas ungu bergurat angka 108! Kau jangan bicara 

mengada-ada. Jangan-jangan keteranganmu tadi 

dusta!"

"Keparat! Apa untungnya mendustaimu?!" 

dengus Penyair Berdarah dengan pandangan na-

nar. Namun diam-diam dalam hatinya dia ber-

tanya-tanya.

"Pemuda banci menggenggam kipas ungu 

bergurat angka 108. Siapa lagi ini? Baru kali ini 

aku mendengarnya. Tapi kata-katanya tidak 

mungkin berdusta! Jahanam! Aku jadi ikut-

ikutan bingung!"

Di lain pihak, Dewa Maut pun membatin. 

"Aku yakin, pemuda banci yang kutemui bebera-

pa waktu yang lalu itu adalah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108. Tapi kenapa dia mengatakan Pende-

kar Mata Keranjang 108 adalah laki-laki tulen? 

Setan alas! Jangan-jangan dia mengelabuiku!"

Habis membatin begitu, Dewa Maut me-

langkah satu tindak ke depan. Wajahnya berubah 

merah padam. Seraya menyeringai dia memben-

tak garang.

"Aku curiga. Keteranganmu pasti bohong! 

Dan kau akan menerima nasib buruk karena be-

rani berkata bohong pada Dewa Maut!"

Habis berkata, Dewa Maut angkat kedua 

tangannya siap lancarkan pukulan.

"Kau jangan bodoh! Seperti halnya kau, se-

benarnya antara aku dengan Mata Keranjang ada 

silang sengketa yang tak akan pernah selesai 

sebelum salah satu dari kami ada yang terkapar 

tewas! Sebagai musuh, tentunya aku tahu siapa 

dia!"

"Eh, jangan-jangan kau berkata begitu ka-

rena takut padaku!"

Penyair Berdarah tertawa panjang.

"Aku tak pernah gentar menghadapi siapa 

saja! Aku punya kekuatan dan aku sanggup 

menghadapimu! Tapi tidakkah kau akan 

menyesal tewas terlebih dahulu sebelum tujuan-

mu tercapai? Atau memang itu yang kau ingin-

kan?!"

"Setan!" rutuk Dewa Maut, lalu bantingkan 

kakinya. Tanah di bawahnya kontan terbongkar. 

Penyair Berdarah terkesiap sejenak, karena dia 

merasa tanah pijakannya ikut bergetar. Diam-

diam dia maklum, jika pemuda di hadapannya 

bukan pemuda yang bisa dianggap sebelah mata.

"Sobat!" kata Penyair Berdarah pada akhir-

nya. "Kita sekarang sedang dalam perjalanan 

mencari orang yang sama. Kau punya urusan, 

aku pun demikian. Kalau ingin unjuk kebolehan, 

kutunggu kau di lereng bukit Umbul Rejo. Satu 

purnama mendatang! Baik urusanmu dengan 

orang yang kau cari selesai atau belum! Kalau tak 

datang, sebenarnya kaulah laki-laki banci itu!"

"Jahanam terkutuk! Kenapa tidak kita se-

lesaikan sekarang saja?!"

"Menuruti katamu, sebenarnya aku juga 

ingin menghadapimu sekarang. Namun aku ma-

sih punya urusan lebih penting. Ingat! Satu pur-

nama di depan!"

Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-

likan tubuh, berkelebat meninggalkan tempat itu.

Saat bersamaan, sebenarnya Dewa Maut

hendak lepaskan pukulannya, namun dia urung-

kan. "Hmm.... Masih ada waktu untuk menghabi-

sinya. Urusan mencari pendekar itu kiranya lebih 

penting, dan aku ingin buktikan kebenaran kata-

katanya!"

Dewa Maut mendongak pandangi langit. 

Lalu hendak melangkah meninggalkan tempat itu, 

namun langkahnya tertahan ketika telinganya 

menangkap suara langkah-langkah berderapnya 

kuda yang menuju ke arahnya.

Baru saja pemuda ini palingkan wajah, dari 

arah samping muncul dua orang penunggang ku-

da dan langsung hentikan kuda masing-masing l

lima langkah di depannya.


DELAPAN



PENUNGGANG kuda sebelah kanan adalah 

seorang gadis muda berwajah cantik jelita Berku-

lit putih, berambut panjang. Bermata bulat dan 

tajam. Mengenakan pakaian ketat berwarna kun-

ing, hingga dadanya yang kencang membusung 

terlihat membentuk bagus. Sementara penunggang di sebelah kiri adalah seorang laki-laki. Tu-

buhnya tegap besar. Rambutnya kaku dan pan-

jang menjulai. Sepasang matanya menyengat ta-

jam. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum se-

ringai. Meski paras wajahnya kelihatan angker 

dan tubuhnya tegap besar, namun jelas sekali ji-

ka laki-laki ini masih berusia sangat muda.

Untuk beberapa saat lamanya kedua pe-

nunggang kuda ini pandangi Dewa Maut dengan 

pandangan menyelidik.

Mungkin karena yang memandang ke 

arahnya adalah seorang gadis muda dan berparas 

cantik, kali ini Dewa Maut tak mengalihkan pan-

dangannya. Dia balas memandang, malah dengan 

bibir sunggingkan senyum aneh.

Tiba-tiba si gadis palingkan wajah ke arah 

anak laki-laki di sampingnya. Lalu memberi isya-

rat untuk meneruskan perjalanan. Namun si 

anak laki-laki sepertinya tak menghiraukan isya-

rat orang. Dia tetap diam dengan sepasang mata 

menghujam tajam pada pemuda di hadapannya.

"Bukan dia!" mendadak si gadis keluarkan 

suara seakan menegur. Lalu tarik tali kekang ku-

danya.

Kepalanya kembali berpaling dan men-

gangguk pada si anak laki-laki.

Si anak laki-laki menyeringai lalu ikut tarik 

tali kekang kudanya. Namun belum sampai kedua 

penunggang ini menghela kuda masing-masing, 

Dewa Maut membuat gerakan jumpalitan sekali 

dan kini tegak dengan kacak pinggang seakan

menghadang.

"Jangan berani bergerak dari tempat kalian 

jika tak ingin kepala kalian penggal!" Dewa Maut 

keluarkan bentakan.

Sang gadis dan si anak laki-laki urungkan 

niat masing-masing. Keduanya serentak meman-

dang pada Dewa Maut. Si gadis perlihatkan se-

nyum sinis, sementara si anak laki-iaki menye-

ringai, seakan menunjukkan barisan giginya yang 

besar-besar.

"Orang tak dikenal! Jangan hadang perja-

lanan kami! Atau tubuhmu akan tercabik-cabik 

ladam kuda!" si gadis balas membentak.

Dewa Maut keluarkan tawa mengekeh pan-

jang. Puas mengumbar tawa, pemuda ini usap-

usap dadanya. Lalu berujar dingin.

"Silakan teruskan perjalanan, tapi jawab 

dulu tanyaku!"

Si anak laki-iaki angkat tangannya hendak 

lepaskan pukulan, namun si gadis cepat berpal-

ing dan memberi isyarat agar si anak tidak mene-

ruskan niatnya.

"Kau tak berhak bertanya pada kami. Siapa 

kau?!" si gadis ajukan tanya.

"Kau bertanya, aku akan jawab. Dengar! 

Aku adalah Dewa Maut! Kalian siapa?!"

"Kami bukan siapa-siapa! Dan harap jan-

gan halangi jalan kami. Kami ada urusan yang 

harus diselesaikan!" jawab si gadis.

"Kalian keberatan sebutkan diri tak apa-

apa! Tapi jawab satu pertanyaanku! Setelah itu

kalian silakan teruskan perjalanan!"

Si gadis tak menyahut. Dia hanya mem-

perhatikan pada pemuda di hadapannya lebih 

seksama. Sementara si anak laki-laki tak berkesip 

memandang dengan tatapan marah.

Merasa orang menunggu pertanyaannya, 

maka Dewa Maut segera menyambung ucapan-

nya. "Katakan padaku, pemuda tersohor bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108 seorang laki-laki 

tulen apa seorang banci!"

Mendengar ucapan Dewa Maut wajah si 

gadis terlihat berubah. Dia segera berpaling ke 

arah anak laki-laki dengan dahi berkerut. Diam-

diam dia menekan rasa terkejutnya. Dalam hati 

dia berkata.

"Siapa sebenarnya pemuda ini? Kenapa 

menanyakan hal itu?! Melihat gerak-geriknya dia 

pemuda berilmu. Menilik tampangnya dia seorang 

yang beringas dan kejam. Tapi pertanyaannya itu 

yang membuatku heran.... Ah, Pendekar Mata Ke-

ranjang.... Di mana dia saat ini? Sebenarnya.... 

Ah, aku tak pantas mengatakan hal itu.... Aku 

sudah...," si gadis tak meneruskan kata hatinya. 

Dia terlihat menarik napas dalam-dalam.

"Aku melihat perubahan wajahmu. Aku ya-

kin kau mengenalnya. Harap kau jawab perta-

nyaanku!" Dewa Maut berkata, lalu melangkah 

dua tindak ke depan.

"Hmm.... Aku harus mengetahui dahulu 

apa tujuannya manusia ini! Aku khawatir dia 

mempunyai niat tidak baik!" setelah membatin

begitu si gadis berkata.

"Apa hubunganmu dengan Pendekar Mata 

Keranjang?!"

"Itu bukan jawaban!" sergah Dewa Maut. 

"Aku ingin jawaban bukan pertanyaan!"

"Hmm.... Rupanya dia memang punya niat 

jelek!" lalu si gadis anggukan kepala dan berkata.

"Aku memang tak pernah bertemu dengan 

pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang. Na-

mun apa yang pernah kudengar dari orang-orang 

yang pernah bertemu dengannya, pemuda itu 

adalah seorang pemuda banci!"

"Begitu?!" gumam Dewa Maut seraya an-

gukkan kepalanya. Setelah memandang sejenak, 

dia berujar datar. "Silakan teruskan perjalanan!"

Sesaat si gadis termangu. Namun tak lama 

kemudian berpaling pada anak laki-laki di sam-

pingnya dan memberi isyarat dengan angukkan

kepala. Tanpa berkata-kata lagi, kedua penung-

gang ini hela kuda masing-masing meninggalkan 

tempat itu.

"Penyair Berdarah jahanam! Kau telah ber-

kata dusta padaku! Kau akan tahu akibatnya!" 

ujar Dewa Maut sambil palingkan wajah mengiku-

ti arah kepergian dua penunggang kuda.

"Aku menangkap perubahan pada air muka 

gadis itu. Hm.... Apakah dia...." Dewa Maut tak 

meneruskan membatin. Dia cepat berkelebat me-

ninggalkan tempat itu.

* * *

Kedua penunggang kuda terus memacu 

kuda tunggangannya dengan cepat. Pada suatu 

tempat yang sepi, mendadak si gadis menarik tali 

kekang kudanya hingga ladam kaki kudanya 

menggeruk tanah dan membentuk empat garis 

berlobang. Tanah berdebu mengepul dan mem-

bumbung ke udara.

Melihat si gadis hentikan kuda tunggan-

gannya, si anak laki-laki ikut hentikan kudanya. 

Kembali debu mengudara dan menutupi peman-

dangan sejenak.

Begitu debu sirap, si gadis turun dari 

punggung kuda. Lalu memberi isyarat pada anak 

laki-laki untuk mengikutinya. Dengan sekali lon-

cat, si anak laki-laki telah berada di belakangnya 

dan mengikuti langkahnya yang berjalan ke arah 

sebuah pohon besar berdaun rindang.

"Kita istirahat dahulu. Begitu matahari 

menggelincir dan tidak begitu panas, kita te-

ruskan perjalanan," kata si gadis lalu duduk ber-

sandar pada batang pohon. Anak laki-laki itu tak 

mengeluarkan suara. Dia hanya anggukan kepala 

lalu ikut duduk tak jauh dari si gadis.

Untuk beberapa saat lamanya, si gadis 

memandangi wajah si anak laki-laki. Dia terlihat 

menarik napas dalam-dalam. Lalu alihkan pan-

dangannya ke jurusan lain.

"Betapa malang nasibmu. Harus lahir ke 

dunia tanpa seorang ayah.... Dan lebih nista lagi, 

penanam benihmu adalah seorang durjana. Ma-

nusia sesat dari kaum persilatan yang di sana

sini cuma bikin keonaran. Tapi, bagaimanapun 

juga aku harus mengatakannya padamu. Kau te-

lah besar. Kau sendiri nantinya yang mengambil 

jalan. Hm...,"

Si gadis lantas berpaling lagi pada anak la-

ki-laki yang masih duduk dengan sesekali mem-

permainkan julaian rambutnya. Setelah menarik 

napas panjang mengatasi segala perasaan yang 

menghimpit dadanya, dia buka mulut.

"Abilowo.... Sudah saatnya aku mengata-

kan padamu tentang hal yang selama ini sering 

kau tanyakan...."

Si anak laki-laki yang dipanggil Abilowo 

berpaling. Dia hanya tersenyum tanpa mengelua-

rkan kata-kata.

"Ayahmu sebenarnya adalah...," sejenak si 

gadis berbaju kuning ini hentikan ucapannya, se-

telah menarik napas dalam-dalam dia menyam-

bung. Suaranya berubah bergetar.

"Seorang laki-laki bernama Malaikat Berda-

rah Biru! Namun jangan kau tanyakan di mana 

dia berada. Aku telah lama menyelidik, namun 

hingga saat ini aku tak berhasil mengeta-

huinya...."

"Tapi dia masih hidup, bukan?!" untuk per-

tama kalinya Abilowo buka suara.

Si gadis gelengkan kepalanya perlahan.

"Aku belum dapat memastikan. Hanya ka-

bar yang terakhir sampai padaku, dia berhasil 

meloloskan diri saat terjadi pertempuran dengan 

Pendekar Mata Keranjang. Sejak saat itu pula dia

tidak ada kabar beritanya...."

"Malaikat Beldalah Bilu.... Hmm.... Kalau 

tidak salah, menulut apa yang pelnah kudengal 

daii Lestu Canggil Lumekso, Malaikat Beldalah Bi-

lu adalah seolang tokoh limba pelsilatan belilmu 

tinggi. Dia mempunyai sebuah senjata pusaka be-

lupa sebuah kipas hitam. Apa betul?!"

"Apa yang kau dengar itu betul. Tapi kau 

jangan salah tangkap. Meski dia berilmu tinggi, 

dia seperti halnya bekas gurumu yang telah tewas 

itu, adalah manusia yang salah mengambil jalan!"

"Maksudnya...?!" tanya Abilowo tak men-

gerti.

"Dia berpihak pada orang-orang golongan 

sesat! Bahkan dia adalah salah satu dari pimpi-

nannya sebelum dapat ditumpas oleh Pendekar 

Mata Keranjang!"

"Abilowo! Tugasmu sekarang adalah men-

cari sekaligus membunuhnya! Karena dia telah 

mengabaikanmu. Dia manusia tidak bertanggung 

jawab yang tega menelantarkan kau dan aku! Kau 

dengar?!"

"Aku dengal. Dan akan kulakukan apa 

yang kau pelintahkan!" ujar Abilowo tandas.

"Bagus! Tapi, kau harus tetap berhati-hati 

menghadapinya. Karena selain dikenal sebagai 

seorang berilmu tinggi, dia juga adalah seorang li-

cik!"

Abilowo anggukan kepala. Si gadis berbaju 

kuning ketat yang bukan lain adalah Putri Tun-

jung Kuning, ibu kandung Abilowo akibat hubungan paksa yang dilakukan Malaikat Berdarah Bi-

ru menghela napas panjang merasa lega karena 

telah mengutarakan hal yang selama ini dipen-

dam dan ditutupnya rapat-rapat (Mengenai terja-

dinya hubungan antara Putri Tunjung Kuning 

dengan Malaikat Berdarah Biru, silakan baca 

serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-

sede : "Pewaris Pusaka Hitam").

Putri Tunjung Kuning tengadahkan kepala, 

lalu bergerak bangkit.

"Kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kita tak 

usah menunggu tergelincirnya matahari!" ka-

tanya. Lalu melangkah menuju ke arah kuda 

tunggangannya.

"Tunggu!" tiba-tiba Abilowo berseru.

"Ada yang masih ingin kau tanyakan?!" 

tanya Putri Tunjung Kuning seraya berpaling. Ab-

ilowo anggukan kepala.

"Hmm.... Mumpung masih di sini, lekas ka-

takan!"

"Saat bertemu dengan laki-laki tadi, kena-

pa kau sebutkan bahwa Pendekar Mata Keranjang 

adalah seorang banci? Apa betul dia seorang ban-

ci?!"

Putri Tunjung Kuning tertawa perlahan.

"Sebenarnya hal itu tak usah kau tanyakan 

padaku. Kaupun pernah bertemu dengannya. 

Menurutmu apakah dia laki-laki...," Putri Tunjung 

Kuning putuskan ucapannya, ekor matanya meli-

rik tajam ke samping kanan. Tiba-tiba dia putar 

tubuhnya setengah lingkaran. Matanya menyapu

berkeliling, lalu terpaku pada sebuah batu besar. 

Lalu dia berteriak lantang.

"Orang di balik batu! Lekas unjukkan diri-

mu!"

Tak ada suara jawaban, tak terlihat gera-

kan.

"Bagus! Rupanya kau ingin cari mampus!" 

Putri Tunjung Kuning Menggeram. Lalu angkat 

kedua tangannya dan serta-merta dihantamkan 

pada batu besar itu.

Dua larik sinar kuning melesat.

Byarrr!

Batu besar yang terkena hantaman tangan 

Putri Tunjung Kuning hancur berkeping-keping 

dan langsung bertaburan ke udara.

Bersamaan dengan melesatnya sinar kun-

ing dan sejengkal lagi pukulannya itu menghajar 

batu, sesosok bayangan berkelebat dari balik ba-

tu, dan tahu-tahu telah tegak berdiri di hadapan 

Putri Tunjung Kuning.

Putri Tunjung Kuning tersirap dan tersurut 

dua langkah ke belakang, sementara Abilowo ce-

pat melompat dan menghadang sosok di hadapan 

Putri Tunjung Kuning.


SEMBILAN



ABILOWO angkat kedua tangannya tinggi-

tinggi. Siap hendak lepaskan pukulan. Melihat hal 

ini Putri Tunjung Kuning segera melangkah menjajari dan memberi isyarat agar Abilowo tidak me-

lakukan serangan.

Abilowo perdengarkan dengusan tanda tak 

senang. Namun akhirnya dia turunkan kedua 

tangannya.

"Kenapa kau mengikuti kami?!" bentak Pu-

tri Tunjung Kuning.

Orang yang dibentak, yang ternyata adalah 

laki-laki muda mengenakan jubah hitam yang 

melapis baju warna putih bergambar pintu ger-

bang yang bukan lain adalah Dewa Maut tidak 

segera memberikan jawaban. Hanya sepasang 

matanya yang tajam menatap satu persatu pada 

Putri Tunjung Kuning dan Abilowo. Diam-diam 

dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa se-

benarnya dua orang di hadapannya ini. Sewaktu 

bertemu tadi, dia dapat menangkap perubahan 

pada Putri Tunjung Kuning saat dia menyebut 

nama Pendekar Mata Keranjang 108. Merasa si 

gadis menyembunyikan sesuatu, diam-diam dia 

mengikuti perjalanan Putri Tunjung Kuning dan 

Abilowo. Namun sayang, dia hanya lamat-lamat 

mendengar percakapan dua orang ini. Namun 

demikian dia masih dapat menangkap ucapan Pu-

tri Tunjung Kuning yang menyebut nama Malai-

kat Berdarah Biru. Dan ketika Putri Tunjung 

Kuning menjawab pertanyaan Abilowo, mungkin 

karena ingin mendengar lebih jelas, dia membuat 

gerakan. Namun berakibat fatal. Selain gagal 

mendengarkan ucapan terakhir Putri Tunjung 

Kuning, dia pun kepergok dan terpaksa menghambur keluar begitu batu tempatnya bersem-

bunyi dihantam hancur oleh Putri Tunjung Kun-

ing.

"Kalau kau tak menjawab, jelas kau ingin 

membuat masalah dengan kami! Dan niatmu pas-

ti jahat, karena sengaja mencuri dengar pembica-

raan orang!" ujar Putri Tunjung Kuning masih 

dengan suara keras.

Dewa Maut tertawa pendek. Dengan suara 

yang juga keras dia berucap.

"Silakan kau duga niatku! Terserah kau 

katakan ingin membuat masalah atau tidak. Yang 

jelas kau telah menyebut nama Malaikat Berda-

rah Biru. Kau berarti mengenalnya. Dan kau ha-

rus beri keterangan padaku tentang orang itu!"

"Hmm.... Apa sebenarnya tujuan manusia 

ini? Tadi menanyakan Pendekar Mata Keranjang, 

sekarang bertanya tentang manusia keparat itu! 

Hmm...," Putri Tunjung Kuning bergumam.

"Apa maksudmu sebenarnya menanyakan 

tentang orang itu, he?!"

"Itu bukan urusanmu! Katakan saja di ma-

na dia berada!"

"Bial kupecahkan mulutnya agal tak see-

naknya bicala!" kali ini Abilowo ikut angkat bica-

ra.

"Kau tak mau katakan apa maksudmu. 

Jangan harap kau akan mendengar keterangan 

yang kau pinta! Lekas tinggalkan tempat ini!"

"Akan kuturuti permintaanmu, setelah kau 

beri keterangan!" sahut Dewa Maut seraya menatap pada Abilowo.

"Kalau aku tak memberi keterangan?!" 

tanya Putri Tunjung Kuning seakan menantang.

Dewa Maut tengadahkan kepala, lalu 

memperdengarkan tawa mengekeh panjang.

"Akan kukorek mulutmu dengan paksa! 

Bahkan kedua mulutmu sekaligus!"

Mendengar ucapan Dewa Maut, berubah-

lah paras wajah Putri Tunjung Kuning. Sepasang 

matanya membeliak besar sementara tubuhnya 

terguncang menahan amarah. Serta-merta kedua 

tangannya diangkat. Namun sebelum kedua tan-

gannya melepaskan pukulan, Abilowo telah me-

lompat ke depan dan langsung kirimkan jotosan 

ke arah kepala dan perut Dewa Maut.

Dua rangkum angin keras telah mengge-

brak mendahului sebelum kedua tangan itu 

menggebuk sasaran.

Dewa Maut sunggingkan senyum menge-

jek. Dia tak bergerak dari tempatnya.

Prakkk!

Dua pasang tangan beradu keras di udara 

tatkala Dewa Maut angkat tangannya menangkis 

serangan lawan. Pemuda ini kontan tersurut dua 

langkah ke belakang dengan dahi mengkerut. Air 

mukanya berubah dengan sedikit meringis mena-

han sakit dan kelu pada kedua tangannya yang 

baru saja beradu. Sementara Abilowo hanya ber-

geser satu langkah ke samping sambil menyerin-

gai ganas.

"Setan alas! Siapa anak itu? Tenaga da

lamnya sangat kuat. Dan dia sepertinya tak me-

rasakan sakit, padahal tanganku terasa kebas!" 

batin Dewa Maut lalu lipat gandakan tenaga da-

lamnya dan siap lancarkan pukulan.

Di seberang, Putri Tunjung Kuning segera 

melangkah menjauh begitu Abilowo melakukan 

serangan. Dari tempatnya berdiri sekarang, Putri 

Tunjung Kuning memperhatikan Abilowo dengan 

pandangan bangga.

"Anak hebat. Hanya sayang bernasib tidak 

baik! Hmm.... Seandainya dia bukan anak...," Pu-

tri Tunjung Kuning tak mampu teruskan kata ha-

tinya. Yang dilakukan selanjutnya adalah menarik 

napas dalam-dalam seraya gelengkan kepalanya.

Di depan, melihat lawannya mempunyai 

tenaga dalam kuat, Dewa Mau tak mau lagi keda-

huluan diserang. Sebelum lawan lakukan seran-

gan, dia telah menarik kedua tangannya dan 

langsung dihantamkan ke depan.

Wuuutt! Wuuuttt!

Dua asap merah menyambar cepat dengan 

hamparkan hawa panas menyengat.

"Ambrol dadamu!" desis Dewa Maut begitu 

mengetahui lawan tidak membuat gerakan meng-

hindar.

Di depan, Abilowo sunggingkan senyum 

penuh ejekan. Sejengkal lagi serangan lawan 

menghantam, dia sentakkan kedua tangannya.

Bummm!

Ledakan dahsyat segera terdengar meng-

hentak di tempat itu. Tanah berhamburan ke

udara. Karena Abilowo bergerak menyentak sete-

lah serangan lawan dekat, maka tak ampun lagi 

tubuhnya yang besar tegap mencelat ke belakang 

sampai dua tombak dan berkaparan di atas ta-

nah. Sementara Dewa Maut hanya terhuyung-

huyung sebentar lalu segera dapat kuasai diri.

Begitu hamburan tanah sirap, Dewa Maut 

segera melangkah dua tindak ke depan. Bibirnya 

tersenyum melihat sosok lawannya terkapar di 

tanah. Dia menduga jika lawan sudah tidak akan 

bisa bangkit lagi.

Namun dugaan Dewa Maut meleset. Baru 

saja senyumnya tersungging, Abilowo bergerak

bangkit, membuat matanya mendelik besar. Bu-

kan hanya merasa heran karena tubuh lawannya 

tidak cidera, tapi juga merasa aneh jika pukulan-

nya yang mampu membuat batu besar hancur le-

bur tidak dapat mengoyak barang selembar dari 

pakaian lawannya! Diam-diam Dewa Maut ter-

guncang juga. Dia segera siapkan pukulan sakti

'Dewa Membakar Bumi'.

Di depan, begitu bangkit sepasang mata 

Abilowo yang telah berubah merah berkilat-kilat 

menyengat nanar ke arah Dewa Maut. Mulutnya 

komat-kamit. Kedua tangannya dikepalkan dan 

disentakkan satu sama lain. Bersamaan dengan 

itu dari mulutnya terdengar bentakan keras. Tu-

buhnya lalu berputar dan serta-merta kedua tan-

gannya dihantamkan.

Wuuutt! Wuuuttt!

Dewa Maut berteriak keras. Bukan hanya

karena terdorong keras ke belakang namun juga 

karena terkejut ketika dari telapak tangan lawan 

menyembur gelombang dahsyat yang mengelua-

rkan hawa sangat panas!

Seraya menahan rasa tercengang, Dewa 

Maut cepat silangkan kedua tangan sejajar dada 

dan dengan cepat pula didorong ke depan.

Mendadak asap merah melingkupi tempat 

itu, udara bertambah panas. Bersamaan dengan 

itu asap merah laksana bara api menyambar.

Daarrr!

Dua pukulan bentrok di udara keluarkan 

suara meledak keras. Tubuh Dewa Maut mencelat 

dan jatuh berlutut. Parasnya berubah pucat pasi, 

sementara tubuhnya bergetar keras. Dari sudut 

bibirnya keluarkan darah. Dia cepat salurkan te-

naga dalamnya pada dadanya yang berdenyut tak 

karuan dan nyeri.

Setelah dapat mengatur jalan napasnya, 

Dewa Maut cepat bangkit dan memandang ke de-

pan.

"Gila! Hampir tak dapat dipercaya!" seru 

Dewa Maut dengan mata dipentangkan, karena 

ternyata lawan telah pula berdiri tanpa cidera se-

dikit pun! Malah kini telah melangkah maju den-

gan senyum dingin dan seringaian ganas.

"Setan! Agaknya dia tak mempan pukulan. 

Tapi pasti punya kelemahan. Hmm.... Mung-

kin...," Dewa Maut kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya. Lalu menyongsong Abilowo dan 

kedua tangannya dihantamkan ke arah kepala.

Abilowo merunduk. Kedua tangannya di-

angkat untuk melindungi kepalanya. Namun De-

wa Maut yang telah memperhitungkan serangan-

nya segera tarik kedua tangannya, tangan kanan 

diayun ke bawah menelusup ke arah lambung. 

Sementara tangan kiri dipalangkan ke depan un-

tuk menangkis kedua tangan Abilowo yang cepat 

dihantamkan ke bawah begitu mengetahui lawan 

menarik kedua tangannya.

Prakkk!

Bukkk!

Terdengar bentroknya tangan. Lalu disusul 

dengan terdengarnya suara terhantamnya benda. 

Abilowo terbanting ke tanah terkena hajaran tan-

gan kanan Dewa Maut yang menelusup ke lam-

bungnya.

Mengetahui lawan roboh terbanting, Dewa 

Maut tak memberi kesempatan, dia cepat mem-

bungkuk dan hantamkan kedua tangannya seka-

ligus!

Abilowo menggeliat, lalu gerakan tubuhnya 

bergulingan, hingga serangan Dewa Maut hanya 

menghajar tanah. Tanah itu kontan bergetar dan 

berlobang dalam!

Dewa Maut gertakan rahang. Melihat lawan 

masih bisa menghindar dia cepat memburu. Kaki 

kanannya langsung ditendangkan ke arah kepala.

Bukkk!

Kepala Abilowo terdongak keras terkena sa-

puan kaki Dewa Maut. Bersamaan dengan itu tu-

buhnya mencelat sampai dua tombak.

Meski Putri Tunjung Kuning tahu jika Ab-

ilowo tak akan cidera namun melihat apa yang 

terjadi mau tak mau dari mulutnya terdengar jeri-

tan.

"Hmm.... Kenapa tidak gadis itu saja kuja-

dikan sandera? Dia pasti tidak akan berkutik!" 

pikir Dewa Maut. Ekor matanya lalu melirik pada 

Putri Tunjung Kuning. Dan begitu dilihatnya Ab-

ilowo masih belum bangkit, dia cepat melompat 

ke arah Putri Tunjung Kuning.

Putri Tunjung Kuning terkejut. Dan serta-

merta kedua tangannya bergerak untuk menang-

kis sergapan tangan Dewa Maut. Namun gera-

kannya kalah cepat dengan gerakan Dewa Maut. 

Hingga sebelum dia sempat bergerak, tangan De-

wa Maut telah menelikung dan mencekal ping-

gangnya. Tanpa menunggu lagi tangan Dewa 

Maut segera bergerak berputar Putri Tunjung 

Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya 

terbanting di atas tanah.

Ketika Putri Tunjung Kuning hendak berge-

rak bangkit, Dewa Mau segera angkat kaki ka-

nannya dan ditekankan pada perut Putri Tunjung 

Kuning, hingga gadis ini menjerit kesakitan tanpa 

bisa bergerak lagi.

"Jahanam! Kuputuskan kakimu!" teriak 

Putri Tunjung Kuning marah. Tangan kanan ki-

rinya segera bergerak menghantam. Namun ber-

samaan dengan itu kaki kanan Dewa Maut cepat 

bergerak lagi. Hingga kedua tangan Putri Tunjung 

Kuning mental lagi ke belakang dan menghantam

tanah. Untuk kedua kalinya dari mulut gadis ini 

keluar seruan keras.

Dewa Maut yang segera menekan perutnya 

tertawa bergelak.

"Bangsat! Apa yang hendak kau lakukan?!" 

teriak Abilowo begitu bangkit dan mengetahui apa 

yang terjadi.

Dewa Maut berpaling. Bibirnya yang men-

geluarkan darah diusap-usap dengan punggung 

tangannya. Lalu tersenyum dingin.

"Berani bergerak dari tempatmu, nyawa 

manusia ini kubuat lenyap!" gertak Dewa Maut 

sambil tekan kakinya lebih ke bawah di perut Pu-

tri Tunjung Kuning. Putri Tunjung Kuning menge-

rang kesakitan.

Abilowo memandang tajam. Namun tak be-

rani bergerak dari tempatnya, membuat Dewa 

Maut perdengarkan tawa mengekeh panjang. Lalu 

tanpa pedulikan tatapan mata Abilowo, Dewa 

Maut memandang ke bawah.

"Kau punya dua pilihan! Memberi keteran-

gan tentang Malaikat Berdarah Biru atau perut-

mu akan jebol!" teriaknya sambil menekan lagi 

perut Putri Tunjung Kuning dengan kakinya.

"Pengecut licik! Jangan mimpi kau akan 

mendengarnya!" seru Putri Tunjung Kuning den-

gan suara tersengal.

"Baik. Rupanya kau ingin merasakan ba-

gaimana rasanya perut jebol!" gumam Dewa Maut 

lalu tekan lebih keras lagi kakinya. Putri Tunjung 

Kuning meraung terputus-putus. Abilowo gegatkan rahangnya. Mulutnya berkemik, tubuhnya 

berguncang menahan marah. Dia perlahan me-

langkah. Namun baru saja hendak bergerak, De-

wa Maut tekan lagi kakinya dan berteriak lantang.

"Maju selangkah lagi, putus nyawanya!" se-

raya berteriak tangan Dewa Maut diangkat dan 

siap dihantamkan pada kepala Putri Tunjung 

Kuning. Membuat Abilowo urungkan melangkah. 

Anak ini lalu bantingkan kakinya melampiaskan 

amarah. Tanah itu langsung bergetar keras.

"Setan alas! Dia tak mempan pukulan. Te-

naganya begitu kuat. Padahal wajahnya masih 

menampakkan kekanak-kanakan. Bagaimana bi-

sa terjadi?" bisik Dewa Maut saat merasakan ka-

kinya ikut bergetar.

"Aku harus cepat mengetahui apa kelema-

hannya, jika tidak nantinya pasti akan menjadi 

batu penghalang! Sekarang aku harus segera se-

lesaikan urusan ini!"

Dewa Maut lantas membungkuk, dengan 

suara keras dia berteriak.

"Waktumu cuma sedikit. Jelaskan padaku 

siapa manusia bergelar Malaikat Berdarah Biru 

itu! Dan di mana aku dapat menemukannya!"

Sepasang mata Putri Tunjung Kuning ber-

kilat-kilat marah, dadanya bergerak turun naik, 

membuat mata Dewa Maut bergerak membeliak. 

Rupanya gelegak darah muda pemuda ini perla-

han mulai merasuki dadanya, hingga tangannya 

bergerak dan....

Bret! Breeettt!

Pakaian yang dikenakan Putri Tunjung 

Kuning robek di bagian dadanya. Buah dada yang 

kencang membusung dan putih terpentang. Dewa 

Maut makin mengekeh dengan sepasang mata 

mendelik. Sementara Abilowo menggeram dan 

hantamkan kedua tangannya satu sama lain.

"Kau tak mau buka suara tak jadi apa. Aku 

akan buka pakaianmu. Ingin lihat bagaimana mu-

lusnya tubuhmu! Ha.... Ha.... Ha...!'

Tanpa lepaskan injakan kakinya pada pe-

rut Putri Tunjung Kuning, tangan kirinya berge-

rak ke belakang hendak menyingkap pakaian ba-

gian bawah gadis ini.

Abilowo habis kesabarannya. Dia kerahkan 

tenaga dalam. Sementara tangan Dewa Maut te-

lah mulai menyingkap pakaian bawah Putri Tun-

jung Kuning. Gadis ini memaki habis-habisan. 

Namun Dewa Maut tak peduli.

Paha Putri Tunjung Kuning telah terlihat. 

Dewa Maut makin bergelak, sementara Abilowo 

siap lepaskan pukulan.

Saat itulah tiba-tiba ada seseorang berseru. 

Lalu menderu angin dahsyat dengan keluarkan

suara menggemuruh. Dewa Maut berteriak te-

gang. Gerakan tangannya yang hendak menying-

kap pakaian Putri Tunjung Kuning terpaksa di-

urungkan karena sapuan angin dahsyat itu me-

nyambar ke arahnya dan serta mendorong tu-

buhnya hingga mental sampai beberapa langkah. 

Di seberang sana, Abilowo urungkan pukulannya.

Sambil kertakan rahang, Dewa Maut segera

berpaling ke arah sumber datangnya sambaran 

angin yang mampu membuat tubuhnya terpental 

bahkan hampir saja terjungkal jika dia tidak ce-

pat membuat gerakan sentakan kedua tangannya 

hingga keseimbangannya terkendali.

Di lain pihak, merasa kaki orang telah ti-

dak lagi di atas perutnya, Putri Tunjung Kuning 

yang juga merasakan sambaran angin dahsyat 

hingga tubuhnya sedikit terseret ke atas segera 

bangkit, lalu mundur tiga langkah dengan wajah 

berpaling pada asal sambaran angin yang telah 

membuat mentalnya tubuh Dewa Maut.

Baik Dewa Maut maupun Putri Tunjung 

Kuning serta Abilowo melihat seorang pemuda 

mengenakan pakaian hijau yang melapis baju 

warna kuning lengan panjang. Rambutnya pan-

jang dan dikuncir ekor kuda, memandang tak 

berkesip ke arah jurusan lain!


SEPULUH


PENDEKAR Mata Keranjang!" seru Putri 

Tunjung Kuning dalam hati. Dia tidak berani 

mengucapkan di mulut. Karena dia khawatir Dewa Maut akan mendengarnya. Dia merasa jiwa 

Dewa Maut masih menganggap bahwa pemuda 

yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-

lah seorang pemuda banci seperti apa yang dika-

takannya.

Dan pura-pura tak mengenal, Putri Tunjung Kuning segera maju dua tindak ke depan. 

Seraya membungkukkan sedikit tubuhnya dan 

menutupi dadanya yang terbuka, dia berseru.

"Tuan penolong. Terima kasih, aku berhu-

tang jasa padamu!"

Pemuda berpakaian hijau dan memang Aji 

alias Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling, ter-

senyum sekilas lalu memandang tajam pada De-

wa Maut yang juga sedang memandangnya. Lalu 

berujar.

"Aku tidak merasa menolongmu! Kau salah 

alamat mengatakan terima kasih padaku!"

Baik Putri Tunjung Kuning, Dewa Maut, 

serta Abilowo terkejut mendengar ucapan Pende-

kar 108. Dan sebelum keheranan ketiga orang ini 

lenyap, Pendekar 108 berpaling lagi ke samping. 

Lalu berseru,

"Orang di balik pohon! Keluarlah! Kenapa 

kau malu-malu memperlihatkan diri?!"

Ketiga orang di situ menindih rasa heran 

masing-masing dan diam menunggu dengan mata

masing-masing mengarah pada sebuah pohon.

Sebenarnya Aji sendiri tak tahu siapa 

adanya orang di balik pohon, hanya saja sewaktu 

dia hendak lepaskan pukulan untuk mencegah 

gerakan tangan Dewa Maut yang hendak me-

nyingkap pakaian Putri Tunjung Kuning tiba-tiba 

dari balik pohon menyambar angin dahsyat, hing-

ga dia urungkan niat.

Karena belum juga ada gerakan dari balik 

pohon, Pendekar 108 kembali ulangi teriakannya.

Mendadak terdengar suara cekikikan. Bersamaan 

dengan itu dari balik pohon muncul seseorang.

Dia adalah seorang pemuda. Wajahnya 

elok. Memakai bedak dan bibirnya dipoles merah. 

Rambutnya yang panjang dikepang dua. Dia me-

langkah keluar dari balik pohon. Langkahnya le-

mah gemulai, tangannya bergerak seakan melam-

bai. Sementara pinggulnya digoyang-goyangkan 

dan kepalanya disentak-sentakkan ke depan.

"Setan Pesolek!" gumam Pendekar 108 den-

gan mata terbeliak. Mendadak dada murid Wong 

Agung ini berdebar tak karuan. Keningnya men-

gernyit dengan mata melirik pada Dewa Maut.

"Sialan! Tak kusangka dia yang muncul! 

Bagaimana ini? Apakah Dewa Maut telah menge-

tahui sandiwara yang kulakukan bersama Setan 

Pesolek? Apakah dia sudah tahu, bahwa orang 

yang dicarinya selama ini adalah aku? Sean-

dainya bukan Setan Pesolek yang muncul, mung-

kin aku masih bisa mungkir.... Ah, apa harus di-

kata. Memang sudah saatnya manusia itu kuha-

dapi!" pikir Pendekar 108 lalu berpaling lagi pada 

Setan Pesolek.

"Siapa orang ini? Hmm.... Baru kali ini aku 

bertemu dengannya. Kemunculannya bersamaan 

dengan Pendekar Mata Keranjang. Bukan tak 

mungkin dia adalah sahabatnya. Hmm.... Aku ta-

hu sekarang, kenapa manusia jahanam itu me-

nanyakan laki-laki atau banci tentang Pendekar 

Mata Keranjang. Pasti kedua orang ini telah 

mempermainkan Dewa Maut! Dan melihat pukulannya, aku yakin meski tampak seperti perem-

puan, dia memiliki kepandaian tinggi...," batin Pu-

tri Tunjung Kuning, lalu angkat bicara.

"Kalau kau yang telah menolongku, terima-

lah ucapan terima kasihku!"

Pemuda yang baru muncul dan memang 

Setan Pesolek memandang sejenak. Lalu tertawa 

cekikikan dan menyibakkan rambut pada teng-

kuknya dengan menyentakkan sedikit kepalanya.

Sementara itu, melihat siapa yang muncul

dan baru saja membuat tubuhnya mental, tubuh 

Dewa Maut yang telah menahan marah tergun-

cang keras. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda ini 

segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak enam 

langkah di hadapan Setan Pesolek.

"Hmm.... Berarti pemuda berbaju hijau ini 

berdusta padaku. Dia mengatakan tak kenal den-

gan pemuda banci ini. Tapi mustahil jika muncul

secara bersamaan tapi tak kenal. Beberapa waktu 

silam mereka juga muncul bersamaan. Hm.... 

Jangan-jangan dua manusia ini mempermainkan 

aku! Jahanam!" rutuk Dewa Maut dalam hati. Ke-

palanya lantas lurus menghadap Setan Pesolek. 

Tangannya bergerak dengan jari telunjuk menga-

rah tepat pada wajah Setan Pesolek.

"Hari ini nyawamu tidak akan lari lagi dari 

tanganku!"

Habis berkata begitu, kepalanya berpaling 

pada Pendekar Mata Keranjang. Dia keluarkan 

suara membentak garang.

"Urusan kita belum tuntas! Jangan coba

coba bergerak dari tempatmu!"

Pendekar 108 jerengkan sepasang ma-

tanya. Lalu usap-usap hidungnya. Lalu seenak-

nya saja duduk menggelosoh tanpa memandang 

pada Dewa Maut.

"Hmm.... Sebenarnya aku ingin menghajar 

pemuda ini. Juga ingin aku mengobrol banyak 

dengan Pemuda Mata Keranjang. Hmm.... Pemuda 

itu tak berubah. Tetap acuh tak acuh meski nya-

wanya diancam orang.... Ah, seandainya aku di-

pertemukan dalam suasana yang tidak demikian. 

Aneh, kenapa aku tetap merindukannya meski 

aku sadar tak mungkin harapanku tercapai?" Pu-

tri Tunjung Kuning berkata dalam hati. Lalu me-

noleh pada Abilowo. "Sebaiknya aku meneruskan 

perjalanan. Suatu saat nanti aku pasti akan ber-

temu lagi. Urusan Abilowo kurasa lebih penting 

untuk saat ini...."

Memikir demikian, Putri Tunjung Kuning 

lantas melangkah perlahan ke arah Abilowo.

"Aku makin yakin. Abilowo pastilah anak 

Putri Tunjung Kuning. Tapi siapa bapaknya?! 

Ah...," Aji garuk-garuk tengkuknya. Pandangan-

nya lantas beralih pada Dewa Maut karena saat 

itu terdengar pemuda berjubah hitam itu mem-

bentak pada Setan Pesolek.

"Mata Keranjang! Terimalah kematianmu!"

Tangan Dewa Maut telah diangkat, siap ki-

rimkan pukulan.

Di depannya, Setan Pesolek mengkerut 

seakan merasa ngeri. Namun paras wajahnya tak

sedikit pun menunjukkan rasa takut! Tangan ka-

nannya dilambaikan sambil berseru nyaring.

"Tunggu...!"

Dewa Maut urungkan niat untuk kirimkan 

serangan, namun tangannya tetap siap siaga.

"Aku tak akan melawan. Karena seseorang 

telah mengatakan padaku, jika kematianku me-

mang ada di tanganmu. Namun sebelum aku te-

was, bolehkah aku tahu kenapa kau mengingin-

kan nyawaku?!" tanya Setan Pesolek. Lalu seli-

napkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.

"Hmm.... Berarti manusia itu masih men-

ganggap Setan Pesolek sebagai Pendekar Mata Ke-

ranjang.... Ha.... Ha.... Ha.... Dasar manusia bo-

doh!" kata Pendekar 108 dalam hati seraya terus 

memperhatikan. Diam-diam dia juga kerahkan 

tenaga dalamnya khawatir sewaktu-waktu Dewa 

Maut tiba-tiba menghantamnya.

Di seberang sana, mendengar ucapan Se-

tan Pesolek, Dewa Maut keluarkan tawa ngakak.

"Kau bertanya kenapa aku menginginkan 

nyawamu? Sayang, ini bukan saat dan tempatnya 

untuk bicara soal itu. Nanti saja kau tanyakan 

pada teman-teman barumu di kubur!"

"Ah, sungguh malang nasibku. Sampai in-

gin tahu kenapa aku harus mati saja tak dikasih 

tahu.'" Setan Pesolek mengeluh dengan wajah 

memberengut. Tangan kanannya yang tadi me-

nyelinap lalu ditarik keluar.

Dewa Maut menduga Setan Pesolek hendak 

mengeluarkan kipas ungunya. Ternyata yang

tampak di tangan kanan Setan Pesolek adalah se-

buah batu putih berkilat. Sebuah batu putih yang 

bulat digunakan untuk bercermin. 

"Keparat! Mana kipas miliknya itu? Jan-

gan-jangan disimpan di satu tempat. Ah, tak 

mungkin. Kipas itu adalah sebuah senjata. Ke 

mana-mana pasti akan dibawa!" pikir Dewa Maut 

lalu memperhatikan Setan Pesolek dengan pan-

dangan sinis, karena saat itu Setan Pesolek ang-

kat cermin batunya dan didekatkan pada wajah-

nya.

"Sebelum mati, boleh aku bercermin dahu-

lu?!" tanya Setan Pesolek seraya mengerling pada 

Dewa Maut lalu beralih pada Pendekar Mata Ke-

ranjang.

Dewa Maut menjawab dengan dengusan. 

Sementara Aji balas mengerling dan menahan ta-

wa. Murid Wong Agung ini lantas mendehem be-

berapa kali. Dewa Maut menoleh.

"Sobatku Dewa Maut!" kata Pendekar 108 

ketika dilihatnya Dewa Maut menoleh padanya. 

"Aku tak mengerti. Kenapa kau katakan urusan 

kita belum tuntas. Urusan apa sebenarnya?!"

"Tutup dulu mulutmu, Bangsat! Nanti sete-

lah temanmu ini tewas, kau akan mendapat gili-

ran!"

"Jadi, aku juga akan menyusul mati?!"

"Kalau kau terus bicara, kubuat kau mati 

terlebih dahulu!" hardik Dewa Maut. Pendekar 

108 cepat tekap mulutnya dengan menggunakan 

telapak tangan.

"Sial! Jadi aku di sini menunggu kema-

tian...," kata Pendekar 108 dengan suara sengau, 

karena mulutnya tertutup telapak tangannya.

Dewa Maut katupkan rahangnya. Tangan-

nya sebenarnya sudah gatal hendak menggebuk 

Pendekar 108, namun karena urusan dengan Se-

tan Pesolek yang dikira Pendekar Mata Keranjang 

jauh Iebih penting, karena dengan tewasnya Pen-

dekar Mata Keranjang maka salah satu tugasnya 

membalaskan dendam leluhurnya telah dilaku-

kan, maka untuk sementara kegeraman pada Aji 

ditahannya.

"Mata Keranjang! Kau bisa teruskan ber-

dandan di akhirat nanti!" bentak Dewa Maut keti-

ka dilihatnya Setan Pesolek terus gerak-gerakan 

wajahnya dan usap-usap bibirnya, hingga mulut-

nya belepotan merah, membuat Pendekar 108 

terpingkal-pingkal.

"Orang mau mati, tingkahnya memang 

aneh-aneh...," ujar Pendekar 108 lalu tekap mu-

lutnya kembali karena Dewa Maut melirik pa-

danya dengan tubuh makin terguncang.

Setan Pesolek seakan tidak mendengar 

bentakan orang. Dia terus memandangi wajahnya 

dibatu cerminnya sambil tersenyum-senyum sen-

diri, namun sesekali ekor matanya melirik pada 

Pendekar 108.

Mendapati hal demikian, Dewa Maut habis 

kesabarannya. Tanpa keluarkan ucapan lagi, ke-

dua tangannya yang sedari tadi telah siap kirim-

kan pukulan cepat dihantamkan ke arah Setan

Pesolek.

Wuuutt! Wuuuttt!

Asap merah membara melesat keluar dari 

kedua tangan Dewa Maut. Asap ini bergerak cepat 

menyusur tanah.

Udara mendadak berubah panas menyen-

gat. Tanah yang terlewati asap merah nampak 

terbelah serta berhamburan. Dewa Maut telah 

lancarkan jurus 'Dewa Membakar Bumi'.

Di depan sana, Setan Pesolek berseru sea-

kan terkejut. Tangan kiri kanan segera desentak-

kan ke depan, hingga tubuhnya terdorong lima 

langkah ke belakang. Kedua tangannya lantas di-

tarik ke belakang, lalu seakan melambai, kedua 

tangannya didorong ke depan.

Dua gulung asap putih membentuk lingka-

ran aneh menderu kencang ke depan, memapak 

asap merah.

Tak ada suara yang terdengar ketika dua 

pukulan sakti itu bentrok. Hanya bersamaan 

dengan itu, tempat itu bergetar keras, tanah ber-

hamburan ke udara. Asap putih bercampur me-

rah melambung ke udara dan akhirnya lenyap. 

Namun di seberang kanan kiri, tubuh Dewa Maut 

dan sosok Setan Pesolek tampak sama-sama ter-

huyung-huyung. Kedua kaki Dewa Maut terlihat 

goyah dan bergetar hebat, sesaat kemudian pe-

muda ini jatuh terduduk dengan paras berubah 

pucat pasi dan tangan gemetaran serta menjadi 

merah melepuh. Di lain pihak, Setan Pesolek ja-

tuh berlutut. Dari mulutnya terdengar erangan

pelan. Pemuda berdandan mirip perempuan ini 

merasakan dadanya seakan hendak ambrol. Tu-

buhnya bergetar keras

Dewa Maut kumpulkan kembali tenaganya. 

Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Mulut-

nya bergerak kemak-kemik. Sesaat kemudian, 

dengan masih tetap duduk dia keluarkan benta-

kan keras. Kedua tangannya didorong dengan te-

lapak terkembang.

Gelombang angin menggebrak deras ke de-

pan. Melingkar-lingkar membentuk pusaran. Lalu 

menukik deras ke bawah.

Setan Pesolek keluarkan jeritan tinggi. Tu-

buhnya berputar kencang mengikuti pusaran an-

gin yang membungkus tubuhnya. Kedua tangan-

nya tampak bergerak-gerak menghantam, namun 

pusaran angin itu tak dapat ditembusnya! Malah 

begitu kedua tangannya bergerak, putaran angin 

semakin kencang.

Merasa di atas angin, Dewa Maut kelua-

rkan kekehan panjang. Lalu dia lipat gandakan

tenaga dalamnya. Hingga putaran tubuh Setan 

Pesolek makin kencang dan karena derasnya, so-

soknya seakan lenyap! Yang terlihat hanyalah pu-

taran angin yang kencang dan menderu-deru.

Beberapa saat berlalu, Aji yang melihat hal 

demikian sangat khawatir. Dia beberapa kali be-

liakan matanya, mencari-cari sosok Setan Pesolek

yang dibungkus angin pusaran.

Mungkin merasa lawan sudah tak berdaya 

terbungkus serangannya, Dewa maut sentakan

kedua tangannya. Putaran angin yang membung-

kus tubuh Setan Pesolek melesat cepat ke depan 

dan menghajar sebuah pohon. Pohon itu langsung 

tumbang.

Dewa Maut bangkit berdiri, sepasang ma-

tanya mencari-cari sosok Setan Pesolek di sela-

sela batang pohon yang tumbang. Pendekar 108 

pun membeliakkan sepasang matanya, ikut men-

cari-cari.

Namun kedua orang ini tidak menemukan 

sosok Setan Pesolek.

"Kurang ajar! Kalau dia sudah mampus 

kenapa tak terdengar erangannya? Kalau hancur 

kenapa tak kutemukan serpihan tubuhnya?!" 

sungut Dewa Maut seraya melangkah ke arah 

tumbangnya pohon.

"Jahanam! Jelas sekali jika tadi tubuhnya 

tak berdaya dalam bungkusan pukulanku. Tapi 

ke mana bangsatnya?!"

"Heran. Apa tubuhnya hancur jadi abu, 

hingga potongan tubuhnya tak kelihatan. 

Atau...?!" Pendekar 108 gelengkan kepala. Namun 

hatinya masih khawatir, karena Setan Pesolek

memang tak kelihatan batang hidungnya.

Yakin kalau lawan tidak ada, Dewa Maut 

kertakan rahang. Kepalanya mendongak. Dari 

mulutnya menyembur suara keras.

"Kalau kau masih hidup, tunjukan dirimu! 

Jangan bersifat seperti pengecut!"

Tak ada sahutan, juga tak ada tanda-tanda 

akan munculnya Setan Pesolek. Dada Dewa Maut

bergetar keras, kedua tangannya mengembang 

keluarkan suara gemeretakan. Marah di dadanya 

sudah tak dapat dibendung lagi. Dia berpaling ke 

tempat di mana tadi Putri Tunjung Kuning dan 

Abilowo berada. Namun kedua orang itu sudah ti-

dak tampak lagi di tempatnya. Kini kepalanya 

berpaling pada orang yang masih ada di tempat 

itu. Dia melangkah mendekat.

"Hei! Kau yang harus menjadi ganti te-

manmu itu!"

Pendekar 108 surutkan langkah satu tin-

dak ke belakang. Dia keluarkan keluhan seakan 

terkejut dan takut. Dengan wajah ditekuk, dia be-

rujar.

"Sobatku Dewa Maut! Harap kau tak sang-

kut pautkan diriku dengan kejadian ini, Aku tak 

tahu apa-apa!"

"Kau banyak omong! Aku yakin kau adalah 

temannya! Terimalah kematianmu!" sentak Dewa 

Maut, lalu pukulkan kedua tangannya ke arah 

kepala Pendekar 108.

Pendekar 108 berseru keras, Seolah takut 

dia angkat tangannya untuk melindungi kepa-

lanya. Namun ketika kedua tangan Dewa Maut 

sejengkal lagi menghajar sasaran, Pendekar 108

luruskan kedua tangannya. 

Buk! Buk!

Bentrok dua tangan terjadi. Dewa Maut 

melengak kaget dan langsung surut satu langkah 

ke belakang. Tangannya yang baru saja bentrok 

terasa panas. Aliran darahnya seakan tersumbat.

Sepasang matanya mendelik besar menatap pada 

Aji yang saat itu kibas-kibaskan kedua tangannya 

dengan meringis.

"Setan alas! Pemuda ini pandai berpura-

pura! Bentrokan tadi menunjukkan bahwa dia 

mempunyai ilmu! Aku tertipu!" rutuk Dewa Maut. 

Kemarahannya semakin menjadi-jadi.

"Siapa kau sebenarnya, Bangsat?!" bentak-

nya seraya mendelik angker.

"Ah, kau! Sudah beberapa kali kukatakan 

masih saja bertanya!" jawab Pendekar 108 see-

naknya.

"Hmm.... Rupanya kau memang tak mau 

dikasih hati. Sebenarnya aku tadi mempunyai 

rencana bagus untukmu, tapi terpaksa kubatal-

kan!"

"Wah, jika begitu nasibku memang tidak 

baik!" timpal Pendekar 108 masih dengan acuh 

tak acuh.

"Betul! Dan kau akan membuktikannya!" 

hardik Dewa Maut. Kedua tangannya segera di-

pukulkan ke depan. Lepaskan pukulan sakti 

'Dewa Membakar Bumi'.

Asap merah membara segera saja mengge-

brak deras ke arah Aji. Belum lagi asap itu meng-

hajar sasaran, Dewa Maut telah dorong kedua 

tangannya kembali dengan telapak tangan ter-

kembang. Kejap itu juga angin dahsyat yang 

membentuk lingkaran aneh berputar-putar lalu

menukik ke arah Aji.

Pendekar murid Wong Agung ini tersirap

mendapati serangan yang begitu ganas. Dia tak 

mau bertindak ayal, karena maklum jika Dewa 

Maut telah lancarkan pukulan andalannya. Sam-

bil surutkan langkah satu tindak, dia kerahkan 

tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Kedua 

tangannya seketika berubah menjadi biru berki-

lau. Dan serta-merta didorong pelan saja ke de-

pan. 

Wuuttt! Wuuuttt!

Dua berkas sinar biru melesat cepat lalu 

mengembang dan langsung melabrak lenyap asap 

merah. Namun pusaran angin tetap tak bisa ter-

kikis. Pusaran yang melingkar-lingkar aneh itu te-

rus menukik. Sebelum pusaran angin itu mem-

bungkus tubuh Pendekar 108, murid Wong Agung 

ini masih sempat hantamkan kedua tangannya 

hingga bersamaan dengan terbungkusnya tubuh-

nya, dua berkas sinar biru melesat ke arah Dewa 

Maut.

Di depan sana, Dewa Maut keluarkan se-

ruan tegang. Karena dia masih kerahkan tenaga 

dalam untuk memutar kedua tangannya agar pu-

saran angin lebih kencang, hingga meski dia ma-

sih sempat menghindar dengan jatuhkan diri sen-

jajar tanah, namun tak urung juga bahunya ter-

sambar kembangan sinar biru. Sosoknya tergul-

ing ke tanah dengan jubah bagian bahunya lang-

sung terbakar.

Di lain pihak, begitu sosok Dewa Maut ter-

guling, pusaran yang membungkus Pendekar 108 

terhenti. Namun tubuh Pendekar 108 tampak

masih berputar. Murid Wong Agung ini merasa-

kan kepalanya berjungkir balik. Pandangannya 

berkunang-kunang dan sesaat kemudian dia ter-

huyung-huyung lalu roboh bergedebukan ke atas 

tanah!

Seraya memegangi bahunya yang masih te-

rasa panas dan nyeri, Dewa Maut bergerak bang-

kit. Lalu melangkah ke arah Pendekar 108. Sepa-

sang matanya meneliti sejenak.

"Hmm.... Tubuhnya tak terbakar. Apakah 

dia kebal terhadap api? Padahal segala sesuatu 

yang berhasil terbungkus pukulanku pasti akan 

terbakar dan hangus! Heran. Apakah dia memba-

wa senjata yang mungkin bisa mencegah dirinya 

dari sengatan api?!" pikir Dewa Maut. "Aku akan 

memeriksanya!"

Memang, pukulan sakti 'Dewa Membakar 

Bumi' yang baru saja dilancarkan Dewa Maut se-

lain mampu membuat orang terbungkus dan ter-

gulung di dalamnya juga orang akan keluar den-

gan tubuh hangus!

Dewa Maut lantas melangkah maju men-

dekati tubuh Aji yang masih tergeletak di tanah. 

Dengan menyeringai tangan kanannya bergerak.

Bret! Brettt!

Pakaian bagian atas murid Wong Agung 

robek besar di dua tempat.

"Gila! Dadanya juga tak cidera sama seka-

li!" rutuk Dewa Maut hampir tidak percaya den-

gan pandangan matanya. Mungkin penasaran, dia 

kembali hendak merobek pakaian Pendekar 108.

Namun baru saja tangannya hendak bergerak, 

terdengar orang berseru,

"Memalukan! Nyatanya bukan hanya pe-

rempuan saja yang suka menelanjangi laki-laki. 

Tapi laki-laki juga ada yang suka menelanjangi 

laki-laki! Jangan-jangan kau laki-laki yang me-

nyukai sejenis! Kasihan.... Di mana nikmatnya? 

Hik,... Hik.... Hik...!"

Tersentak kaget, Dewa Maut segera berpal-

ing. Sepasang matanya kontan membesar, me-

mandang tak berkesip.

"Aneh. Jelas sekali sewaktu aku berpaling 

bicaranya belum selesai. Namun kenapa mulut-

nya tidak bergerak? Hmm.... Jangan-jangan orang 

lain yang buka suara tadi! Tapi suara tadi jelas 

suara perempuan. Ini juga seorang perempuan!" 

Dewa Maut membatin dengan mata terus mem-

perhatikan ke depan, pada sesosok tubuh yang 

memandang tajam ke arahnya dengan mata nanar.


SEBELAS


DIA adalah seorang gadis muda berparas 

cantik jelita. Mengenakan pakaian warna putih 

ketat membuat bayang lekukan tubuhnya men-

cuat jelas. Rambutnya panjang bergerai, kedua 

alis matanya hitam dan tebal dengan bulu mata 

lentik. Sepasang matanya bulat berbinar, diting-

kah bibir yang membentuk bagus. Pada lehernya

melingkar untaian kalung dari bunga-bunga ber-

warna hitam. Di atas telinga kirinya juga tampak 

menyelinap sekuntum bunga berwarna hitam. 

Gadis cantik ini bukan lain adalah Ratu Sekar 

Langit. Seperti dituturkan dalam episode: "Gem-

bong Raja Muda", Ratu Sekar Langit saat itu di-

tawan oleh Bawuk Raga Ginting, guru Gembong 

Raja Muda. Pendekar Mata Keranjang sebenarnya 

sudah berencana hendak membebaskan Ratu Se-

kar Langit, namun karena ada masalah lagi ter-

paksa rencananya dia tangguhkan. Tapi sebenar-

nya Ratu Sekar Langit sendiri waktu itu sudah ti-

dak di tangan Bawuk Raga Ginting, karena seseo-

rang telah membebaskannya.

Dewa Maut bergerak bangkit dan melang-

kah hendak mendekat dengan bibir sunggingkan 

senyum. Namun baru satu Iangkah, si gadis buka 

mulut keluarkan bentakan nyaring. "Tetap di 

tempatmu!"

"Hmm.... Jelas suaranya berbeda dengan 

suara yang tadi kudengar! Jadi memang ada 

orang lain di tempat ini!" kata Dewa Maut dalam 

hati. Sepasang matanya melirik menyapu sekelil-

ing. Tapi matanya tak menangkap siapa-siapa. 

Pemuda ini lantas mendongakkan kepala dengan 

dahi mengernyit

"Keparat! Pasti manusia banci itu!" pikir-

nya, lalu luruskan kepalanya, dan diputar dengan 

mata membeliak.

"Hmm.... Dia mencari orang itu. Aku pun 

dapat merasakan kehadirannya tapi tak dapat

menentukan di mana beradanya! Tapi mendengar 

suaranya tadi, jelas jika dia adalah seorang pe-

rempuan!" diam-diam Ratu Sekar Langit juga be-

rucap dalam hati. "Siapa pemuda ini? Hm.... Tak 

perlu kuketahui siapa dia adanya. Yang penting 

aku harus menyelamatkan Pendekar Mata Keran-

jang. Pemuda ini rupanya berniat tidak baik!"

Sejenak Ratu Sekar Langit memperhatikan 

tubuh Pendekar 108. Dia terlihat menarik napas 

dalam-dalam. Dia lantas bergerak untuk mende-

kati. Tapi langkahnya tertahan saat didengarnya 

sebuah bentakan keras.

"Jangan berani beranjak dari tempatmu!"

Yang keluarkan bentakan adalah Dewa 

Maut. Pemuda ini lantas maju selangkah. Ma-

tanya menatapi tubuh gadis di hadapannya dari 

kaki hingga rambut. Mulutnya bergerak komat-

kamit. Bibirnya sunggingkan senyum aneh.

"Siapa kau?!" si gadis menegur dengan wa-

jah sedikit berubah merah menyadari dirinya di-

tatap demikian rupa.

Dewa Maut perdengarkan tawa pendek. Se-

raya kacak pinggang dan busungkan dada dia 

menjawab.

"Aku Dewa Maut! Kau siapa?!" Dewa Maut 

balik ajukan tanya.

Ratu Sekar Langit sejenak terdiam. Ke-

ningnya berkerut.

"Baru sekali ini aku mendengar namanya. 

Namun kalau dia dapat membuat roboh Pendekar 

Mata Keranjang, sudah pasti jika dia berilmu

tinggi!" pikirnya.

"Kau dengar pertanyaan orang. Kenapa ti-

dak segera jawab?!" hardik Dewa Maut. Seraya 

menghardik sepasang matanya tak henti-hentinya 

melirik berputar. Dia masih menduga jika Setan 

Pesolek yang diduga sebagai Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 masih berada di sekitar tempat itu.

"Manusia banci itu nyatanya mampu lolos 

dari pukulanku! Aku harus segera mendapatkan-

nya! Persetan dengan gadis cantik ini! Urusan 

dengan Pendekar Mata Keranjang 108 lebih pent-

ing!"

Berpikir begitu dan setelah ditunggu tak 

juga ada jawaban dari si gadis, Dewa Maut kem-

bali keluarkan bentakan.

"Kau mungkin gadis tuli. Tapi kau masih 

bernasib baik karena hari ini aku tak bernafsu. 

Lekas tinggalkan tempat ini!"

Tiba-tiba terdengar orang tertawa cekiki-

kan. Lalu disusul dengan suara.

"Dasar manusia aneh. Sama gadis cantik 

tidak bernafsu, tapi sama laki-laki tertarik. Ma-

nusia apa namanya?!"

"Jahanam! Hai, Banci Pengecut! Tunjukkan 

dirimu!"teriak Dewa Maut lalu kerahkan tenaga 

dalam siapkan pukulan 'Dewa Membakar Bumi'. 

Matanya liar memandang berkeliling. Dia sudah 

siap-siap, begitu orang muncul akan segera di-

hantamnya. Namun orang yang tadi keluarkan 

suara tidak menampakkan wujudnya, membuat 

Dewa Maut makin geram. Dan melihat si gadis

tak juga beranjak dari tempatnya, kegeramannya 

dilampiaskan pada gadis ini.

"Baik. Kau telah kuberi kesempatan na-

mun kau ingin membuktikan ucapan orang bah-

wa aku manusia yang suka sama laki-laki. Akan 

kutunjukkan padamu jika aku juga suka pada 

tubuh seorang gadis!"

Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-

bat. Tahu-tahu sosoknya telah satu langkah di 

samping Ratu Sekar Langit dan serta-merta tan-

gannya diulurkan hendak menyentuh dada si ga-

dis.

Si gadis tersentak, dia cepat surutkan 

langkah ke belakang. Tangannya bergerak mengi-

bas ke bawah.

Wuuut!

Dewa Maut terdorong ke belakang. Hal ini 

telah menyadarkan pemuda ini jika si gadis mem-

punyai ilmu.

"Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga 

punya simpanan ilmu. Aku ingin lihat sampai di 

mana kehebatanmu!"

Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya ra-

pat-rapat Kedua tangannya dipukulkan ke depan. 

Wuuuttt!

Angin laksana gelombang menderu dah-

syat. Namun setengah jalan gelombang angin ini 

tertahan dan sesaat kemudian ambyar ke sana 

kemari, membuat si gadis terkesiap dan kembali 

hantamkan tangannya.

Namun baru saja gelombang angin itu me

nyambar, dari arah depan menggebrak asap me-

rah yang menghamparkan hawa panas.

Asap merah ini bukan hanya mampu 

membuat buyar pukulan si gadis namun juga 

membuat si gadis terseret sampai dua tombak ke 

belakang. Beberapa saat Ratu Sekar Langit masih 

mampu menahan tubuhnya, tapi sekejap kemu-

dian dia roboh terduduk! Sepasang matanya me-

rah berair, sementara dari bibirnya keluar eran-

gan tertahan.

Di depan sana, Dewa Maut turunkan ke-

dua tangannya. Sambil tertawa mengekeh dia 

berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak di 

samping Ratu Sekar Langit.

Si gadis nampak tercekat dengan paras be-

rubah. Belum sempat dia bergerak bangkit, Dewa 

Maut telah gerakan kedua tangannya.

Namun gerakan tangan Dewa Maut terta-

han, karena bersamaan dengan itu, dari arah 

samping menderu angin dahsyat. Seraya geser 

tubuhnya ke samping kiri menghindari sambaran 

angin, Dewa Maut segera berpaling. Rahangnya 

kontan mengembung besar.

Di samping kiri, Aji terlihat turunkan tan-

gannya yang baru saja menahan gerakan tangan 

Dewa Maut. Sebenarnya murid Wong Agung ini 

tidak tahu siapa adanya gadis berbaju putih di 

hadapan Dewa Maut. Sewaktu Dewa Maut mena-

han serangan gadis berbaju putih, hawa panas 

yang menghambur membuat Aji kepanasan dan 

menggeliat. Mungkin merasa dirinya dalam keadaan bahaya, murid Wong Agung ini segera bang-

kit. Dan begitu melihat Dewa Maut gerakan tan-

gannya, dia segera kirimkan pukulan.

Ratu Sekar Langit tak menyia-nyiakan ke-

sempatan. Bersamaan dengan lewatnya sambaran 

angin, dia cepat bangkit lalu berpaling ke samping

kiri.

"Ratu Sekar Langit!" seru Pendekar 108 be-

gitu mengetahui siapa adanya gadis berbaju pu-

tih. Sejenak Pendekar 108 memandang dengan 

dahi berkerut. "Hm.... Ratu Sekar Langit.... Bu-

kankah waktu itu dia masih ditawan Bawuk Raga 

Ginting?! Ah, mungkin ada seseorang yang me-

nyelamatkannya.... Atau.... Lebih baik nanti ku-

tanyakan!" Pendekar 108 lantas sunggingkan se-

nyum. Ratu Sekar Langit membalas dengan se-

nyum pula. Untuk beberapa saat kedua orang ini 

saling berpandangan. Kedua orang yang telah la-

ma tidak berjumpa ini seolah melepas kerinduan 

dengan tatapan mata masing-masing.

Ratu Sekar Langit dadanya berdebar. Mu-

lutnya bergerak membuka seakan hendak men-

gucapkan sesuatu. Namun suaranya tak terden-

gar.

Murid Wong Agung melangkah hendak 

mendekat. Namun Dewa Maut cepat berkelebat 

dan langsung menghadang.

"Manusia banci itu masih berada di sekitar 

tempat ini. Pemuda ini pasti temannya. Hmm.... 

Aku akan melumpuhkannya untuk memaksa di-

rinya keluar!" kata Dewa Maut dalam hati. Tanpa

berpikir, Dewa Maut langsung kirimkan serangan 

pada Aji.

Pendekar 108 tak tinggal diam. Meski tu-

buhnya masih terasa sakit karena terbanting ro-

boh oleh pukulan Dewa Maut, dia segera pula ta-

rik kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.

Bummm!

Ledakan dahsyat segera mengguncang 

tempat itu ketika pukulan sakti 'Mutiara Biru' 

yang dilepaskan Pendekar 108 bentrok dengan 

pukulan 'Dewa Membakar Bumi' yang dilepas 

Dewa Maut.

Dewa Maut terlihat terpental sampai satu 

tombak ke belakang, sosoknya berguncang keras. 

Pemuda ini tampak coba menahan huyungan tu-

buhnya, namun kakinya goyah. Hingga tak lama 

kemudian tubuhnya terjengkang menghempas 

tanah.

Di seberang, murid Wong Agung mencelat 

dan langsung terkapar. Dari mulutnya terdengar 

erangan tertahan.

Ratu Sekar Langit yang waktu terjadi ben-

trok pukulan menyingkir agak jauh segera berke-

lebat. Kedua tangannya segera diulurkan untuk 

menolong Pendekar 108 bergerak bangkit.

Tapi baru saja tangannya bergerak, dari 

arah depan asap merah yang kemudian disusul 

dengan menderunya angin berputar-putar aneh 

menyambar deras!

Ternyata Dewa Maut yang tadi terjengkang 

roboh segera gulingkan tubuh dan lepaskan pukulan saat dilihatnya Ratu Sekar Langit hendak 

menolong Aji.

Ratu Sekar Langit menjerit lengking. Tu-

buhnya terjungkal menumbuk tubuh Pendekar 

108. Saat itulah lingkaran angin yang berputar-

putar aneh datang. Membungkus keduanya lalu 

berputar-putar seiring gerakan tangan Dewa 

Maut.

Beberapa saat berlalu, masih tetap meng-

geletak sejajar tanah dan menggerak-gerakkan 

tangannya, tiba-tiba Dewa Maut keluarkan ben-

takan keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-

tinggi lalu disentakkan ke bawah.

Di depan sana, putaran angin yang mem-

bungkus tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar 

Langit ikut berputar dan membubung ke udara, 

lalu menukik deras ke bawah!

Sebelum tubuh Pendekar 108 dan Ratu 

Sekar Langit terjerembab deras menghujam ta-

nah, sesosok bayangan berkelebat. Bersamaan 

dengan itu asap putih bergulung-gulung melesat 

memapak tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar 

Langit. Kalau tadi tubuh kedua orang ini bergerak 

deras ke bawah, kini tubuh keduanya bergerak 

perlahan-lahan dan akhirnya tergolek telentang di 

atas tanah.

Melihat apa yang terjadi, Dewa maut cepat 

bergerak bangkit. Sepasang matanya liar mencari. 

Namun dia tak menemukan siapa-siapa.

"Haram jadah! Aku jelas melihat kelebatan 

tubuhnya! Dan pasti dia yang telah menolong keduanya! Jahanam betul! Gerakannya begitu ce-

pat. Ke mana larinya bangsat itu?!" geram Dewa 

Maut seraya angkat kedua tangannya siap le-

paskan pukulan.

Selagi Dewa Maut mencari-cari, terdengar 

suara tawa cekikikan dari arah belakang. Pemuda 

ini cepat putar tubuhnya.


DUA BELAS


Di hadapannya tampak seorang laki-laki 

berusia lanjut. Mengenakan pakaian compang-

camping. Sosoknya kurus, sepasang matanya be-

sar dan merah. Pada tubuhnya menyelempang 

sebuah ikat pinggang besar yang diganduli bebe-

rapa bumbung bambu. Tangan kanan kiri juga 

menggenggam bambu yang sesekali didekatkan 

silih berganti ke mulutnya. Di atas tengkuknya 

tampak duduk seorang anak perempuan yang 

rambutnya dikuncir dengan pita berwarna-warni. 

Seraya duduk dengan uncang-uncang kaki, si 

anak menggerakkan tangan kanan kirinya berki-

pas-kipas.

"Hmm.... Anak itu! Lalu siapa orang tua 

ini? Gurunya? Apa mungkin anak perempuan ini 

yang tadi keluarkan suara?!" batin Dewa Maut. 

Sepasang matanya memperhatikan sejenak, lalu 

mulutnya membuka perdengarkan teguran. "Sia-

pa kau?!"

Orang tua berselempang ikat pinggang be

sar yang diganduli bumbung bambu yang bukan 

lain adalah Setan Arak keluarkan tawa mengekeh. 

Lalu dekatkan bumbung bambu yang ada di tan-

gan kanannya. Terdengar gelegukan beberapa 

kali.

"Kau siapa?!" Setan Arak balik bertanya, 

membuat Dewa Maut kernyitkan dahi. Namun di-

am-diam pemuda ini segera maklum jika orang 

tua di hadapannya tak bisa dipandang sebelah 

mata. Suaranya mampu membuat telinga berden-

gung!

"Orang tua! Kusarankan padamu untuk 

cepat tinggalkan tempat ini!"

Setan Arak tengadahkan kepalanya. Me-

mandang dengan mata terpejam-pejam pada anak 

perempuan di atasnya yang bukan lain adalah 

Putri Kipas. Yang dipandangi tersenyum-senyum 

seraya terus berkipas-kipas.

"Ah, rupanya kau menyukai tempat ini. 

Padahal orang menyuruh kita pergi. Bagaimana 

cucuku? Apa pendapatmu tentang semua ini?!"

Putri Kipas gelengkan kepalanya. Setan 

Arak ikut gelengkan kepala. Lalu berkata.

"Anak muda! Kau lihat sendiri. Cucuku ge-

lengkan kepalanya. Berarti aku dengan berat hati 

harus di sini. Sampai cucuku mengajakku pergi!"

"Hmm.... Begitu? Berarti kau tak turut sa-

ranku. Itu berarti nasib buruk bagimu juga cu-

cumu!"

"Nasib buruk? Apa maksudmu, Anak Mu-

da?!"

Dewa Maut dongakkan kepala. Seakan in-

gin unjuk kebolehan, dia perdengarkan suara ta-

wa mengekeh panjang. Karena suara tawanya te-

lah dialiri tenaga dalam, maka suara tawanya 

bergemuruh keras!

Tiba-tiba Setan Arak ikut-ikutan mendon-

gak. Dari mulutnya terdengar suara tawa berge-

lak-gelak. Hingga kejap itu juga di tempat itu ter-

dengar suara tawa bersahut-sahutan. Keras dan 

menggemuruh! Anehnya, Putri Kipas yang berada 

di atas Setan Arak seakan tak berpengaruh. Dia 

tetap tersenyum-senyum seraya berkipas-kipas.

Di seberang sana, begitu terdengar suara 

tawa bersahut-sahutan, Pendekar 108 dan Ratu 

Sekar Langit buka kelopak mata masing-masing. 

Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya 

untuk mengatasi suara tawa yang seakan hendak 

membuat telinganya tuli. Dia serentak bergerak 

bangkit. Lalu meneliti pakaian yang dikenakan 

hangus, sekujur tubuhnya terasa ngilu, namun 

dia merasa lega karena tidak ada yang cidera. Dia 

kemudian berpaling pada Ratu Sekar Langit. Pen-

dekar 108 membelalak. Pakaian yang dikenakan-

nya telah berubah kecoklatan seperti hangus. Se-

kujur kulit tubuhnya juga berubah agak kecokla-

tan. Dari mulutnya terdengar erangan perlahan.

Murid Wong Agung cepat menghambur. 

Dengan perlahan-lahan ditolongnya gadis cantik 

ini untuk bangkit duduk.

"Ratu Sekar Langit...," panggil Aji dengan 

perasaan khawatir. Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada paras wajah gadis di hada-

pannya.

Ratu Sekar Langit tersenyum. Mungkin 

merasa senang, murid Wong Agung segera me-

rengkuh tubuh Ratu Sekar Langit dan dipeluknya 

erat-erat. Meski masih merasa sakit pada sekujur 

tubuhnya, namun dipeluk orang yang selama ini 

dirindukan, Ratu Sekar Langit segera pula ta-

kupkan tangannya memeluk tubuh Pendekar 108. 

Kedua orang ini sejenak tenggelam dalam pera-

saan masing-masing sambil saling berpelukan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah de-

pan. Seakan tersentak sadar, keduanya saling le-

pas pelukan masing-masing, lalu sama-sama ber-

paling ke depan.

'Setan Arak!' seru Aji mengenali orang tua 

di hadapan Dewa Maut.

Saat itu baik Dewa Maut dan Setan Arak 

telah hentikan tawa masing-masing. Lalu terden-

gar Dewa Maut keluarkan bentakan keras.

"Kau sengaja unjuk kebolehan. Baik, perli-

hatkan kehebatanmu!"

Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-

bat, kedua tangannya bergerak menghantam ke 

arah kepala Setan Arak.

Wuuuttt!

Angin deras melesat mendahului sebelum 

tangan itu sendiri menghajar sasaran.

Setan Arak mundur ke belakang. Dalam 

keadaan seperti itu, orang tua ini berpikir cepat. 

Dia mungkin saja dengan mudah dapat menyelamatkan diri dari hantaman Dewa Maut, tapi anak 

yang ada di atasnya? Dia juga harus disela-

matkan dari hantaman lawan. Memikir sampai di 

situ, seraya mundur ke belakang Setan Arak run-

dukan kepalanya lalu disentakkan keras ke atas.

Wuuuttt!

Tubuh Putri Kipas melambung tinggi ke 

udara. Bersamaan dengan itu hantaman tangan 

Dewa Maut menggebrak!

Setan Arak membuat gerakan aneh. Tan-

gan kiri kanannya yang masih memegang bum-

bung arak direntangkan. Kedua kakinya ber-

jingkrak. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung 

seakan hendak roboh. Anehnya, gerakannya ini 

mampu membuat hantaman tangan Dewa Maut 

lewat sejengkal di atas kepalanya! Begitu seran-

gan lewat, Setan Arak lemparkan bumbung bam-

bunya ke arah Putri Kipas yang telah menukik ke 

bawah.

Seakan sudah tahu apa yang harus dila-

kukan, begitu bumbung bambu melayang, Putri 

Kipas membuat gerakan jungkir balik satu kali. 

Tahu-tahu kedua kakinya telah berada di atas 

bumbung bambu dan kini melayang turun perla-

han-lahan!

"Luar biasa!" gumam Pendekar 108 dengan 

mata tak berkesip, murid Wong Agung ini lambai-

kan tangannya pada Putri Kipas begitu gadis can-

tik cilik ini mendarat.

Putri Kipas memandang sejenak pada Se-

tan Arak. Lalu membungkuk mengambil bum

bung bambu yang ternyata masih terisi arak, dan 

berlari ke arah Pendekar 108.

Begitu Putri Kipas sampai di hadapannya, 

Pendekar 108 segera berkata.

"Tempo hari kau bisa mengobati seseorang. 

Kuharap kau sekarang mau mengobati temanku 

ini!"

Ratu Sekar Langit tertegun mendengar 

ucapan Pendekar 108. Dia seakan masih tak per-

caya dengan pendengarannya. Sementara Putri 

Kipas memandang pada Pendekar 108, lalu bera-

lih pada Ratu Sekar Langit. Pendekar 108 anggu-

kan kepala sambil tersenyum.

Putri Kipas mendekat. Tanpa mempeduli-

kan pandangan mata Ratu Sekar Langit yang ke-

heranan, anak perempuan ini segera meneliti ba-

gian tubuh Ratu Sekar Langit yang berwarna agak 

kecoklatan.

Putri Kipas lalu mendekat pada Aji. Wajah-

nya didekatkan pada telinga murid Wong Agung 

ini, membisikkan sesuatu.

"Mana mungkin?!" tiba-tiba Pendekar 108 

berseru seakan terkejut. Namun Putri Kipas 

hanya anggukan kepala sambil angkat bahunya, 

membuat Pendekar 108 geleng-geleng kepala.

"Apa yang dikatakannya?!" Ratu Sekar 

Langit bertanya sambil memandang silih berganti 

pada Pendekar 108 dan Putri Kipas.

"Kau harus meminum arak yang ada di 

bumbung bambu itu!" ujar Pendekar 108 pelan.

Ratu Sekar Langit beliakan sepasang ma

tanya. Dipandanginya Putri Kipas dari bawah 

hingga atas.

"Kau tak usah meragukannya. Aku meli-

hatnya sendiri bagaimana dia menyembuhkan se-

seorang. Lagi pula orang tua yang bersamanya 

adalah orang tua yang sudah kukenal!" kata Pen-

dekar 108 menghilangkan keraguan di hati Ratu 

Sekar Langit.

"Tapi...."

"Ratu Sekar Langit.... Kau terluka. Sebaik-

nya kau coba dulu...," saran Aji lalu ulurkan tan-

gan untuk meminta bumbung bambu dari Putri 

Kipas. Putri Kipas berikan salah satu bumbung 

bambu yang masih berisi arak.

Aji mendekatkan bumbung arak pada Ratu 

Sekar Langit. Gadis ini mengkerut. Mulutnya di-

katupkan rapat-rapat, sementara wajahnya dipa-

lingkan.

"Ratu Sekar Langit.... Waktu kita tak ba-

nyak. Bukan tak mungkin manusia itu akan la-

kukan serangan lagi!" seraya berkata, Pendekar 

108 sodorkan bumbung bambu pada Ratu Sekar 

Langit. Dengan tangan sedikit gemetar, Ratu Se-

kar Langit menerima bumbung bambu. Lalu me-

mandang lekat-lekat pada Pendekar 108. Murid 

Wong Agung tersenyum sambil anggukan kepala.

Dengan tangan masih gemetar, Ratu Sekar 

Langit perlahan-lahan dekatkan bumbung bambu 

pada mulutnya. Namun mulutnya tak membuka. 

Malah sepasang matanya memejam rapat.

"Hmm.... Seandainya bukan dia, aku sudah

tak sabaran...!" gerutu Pendekar Mata Keranjang 

108 dalam hati. Lalu gerakan tangannya meme-

gang tangan Ratu Sekar Langit dan mendorong-

nya pelan ke mulut gadis cantik yang tampak 

bergetar itu.

Perlahan-lahan Ratu Sekar Langit membu-

ka mulutnya. Pendekar 108 segera mendorongnya 

kembali lebih cepat. Bumbung bambu telah me-

nempel di mulut Ratu Sekar Langit. Dan perla-

han-lahan pula arak dalam bumbung mengalir 

masuk ke mulutnya.

Mula-mula Ratu Sekar Langit merasakan 

aliran panas pada lidahnya. Dia menyentakkan 

kepalanya hendak memuntahkan arak yang telah 

ada dalam mulutnya, namun Aji cepat mencegah 

dengan menahan kepala Ratu Sekar Langit. Hing-

ga mau tak mau dengan meringis, gadis cantik ini 

memasukkan arak ke rongga kerongkongannya.

Tiba-tiba Ratu Sekar Langit keluarkan se-

ruan tertahan, hingga dia seakan tercekik. Na-

mun cuma sesaat. Begitu arak sudah benar-benar 

masuk, perlahan-lahan rasa hangat menjalari se-

kujur tubuhnya. Dan tubuhnya yang tadi terasa 

ngilu bukan main perlahan-lahan hilang.

Merasa ada perubahan pada tubuhnya, Ra-

tu Sekar Langit tak segan-segan lagi meneguk 

arak yang masih tersisa dalam bumbung. Begitu 

arak dalam bumbung habis tak tersisa, menda-

dak terjadi hal yang luar biasa. Kulit Ratu Sekar 

Langit yang tadinya berwarna kecoklatan, perla-

han-lahan berubah kembali seperti semula!

Untuk beberapa saat lamanya, baik Ratu 

Sekar Langit maupun Pendekar 108 tertegun. 

Namun buru-buru Ratu Sekar Langit sadar. Dia 

segera bangkit dan membungkuk pada Putri Ki-

pas seraya berkata.

"Terima kasih.... Budi baikmu akan kuke-

nang selamanya...."

Putri Kipas gelengkan kepalanya. Dari mu-

lutnya tak terdengar sepatah kata pun. Hanya bi-

birnya sunggingkan senyum.

Tiba-tiba Pendekar 108 teringat sesuatu. 

Keningnya mengernyit sambil meneliti kulit tu-

buhnya.

"Heran. Kenapa kulitku tidak berubah saat 

terkena pukulan angin keparat itu?!" Pendekar 

108 mencari-cari apa sebabnya. Namun tak ber-

hasil mendapat jawaban.

Sebenarnya apa yang dialami murid Wong 

Agung ini ada hubungannya dengan Arca Dewi 

Bumi. Sewaktu tiga mutiara biru yang ada di ken-

ing area itu masuk dalam telapak tangan Aji, se-

cara aneh tubuh Aji akan kebal terhadap semua 

jenis racun. Hingga tatkala angin aneh yang ber-

putar-putar pukulan sakti Dewa Maut yang men-

gandung racun yang masuk melalui sedotan na-

pasnya, maka tubuh dan kulit Aji tak akan beru-

bah.

"Siapa namamu?!" tiba-tiba Ratu Sekar 

Langit ajukan pertanyaan pada Putri Kipas.

"Putri Kipas!" jawab anak perempuan cilik 

itu seraya balas menatap pada Ratu Sekar Langit.

Saat itulah dari arah depan terdengar ben-

takan-bentakan keras. Pendekar Mata Keranjang, 

Ratu Sekar Langit, serta Putri Kipas segera arah-

kan mata masing-masing ke depan.

Di depan sana, terlihat Dewa Maut bant-

ing-bantingkan kedua kakinya ke atas tanah. Tu-

buhnya telentang, sementara kedua tangannya 

terpentang. Kedua tangannya tak bisa digerakkan 

karena di atasnya Setan Arak juga tampak telen-

tang, sementara kedua kakinya terpentang dan 

menekan tangan kiri kanan Dewa Maut. Sementa-

ra tangan kiri kanannya silih berganti menenggak 

arak yang ada di genggaman tangannya!

"Tua bangsat! Kuremukan tubuhmu! Aku 

bersumpah!" bentak Dewa Maut seraya terus 

banting-bantingkan kakinya agar tubuhnya bisa 

terbebas. Namun hingga tanah di bawahnya ter-

bongkar dan tanahnya berhamburan ke udara, 

Dewa Maut tak bisa membebaskan dirinya! Bah-

kan bentakan-bentakan secara tiba-tiba terhenti 

seakan terenggut setan. Dan tak lama kemudian 

berganti menjadi seruan tertahan.

Ternyata, begitu Dewa Maut keluarkan 

bentakan-bentakan, Setan Arak gerakan kaki ki-

rinya dan dihantamkan ke arah mulut pemuda 

ini. Hingga sang pengemban tugas dendam lelu-

hur ini berseru tertahan. Darah muncrat dari mu-

lut dan hidungnya.

Saat itulah, tiba-tiba sesosok bayangan hi-

tam berkelebat. Bersamaan itu gelombang angin 

dahsyat yang disertai bongkahan bara api membersit cepat ke arah Setan Arak.

"Setan Arak! Awas serangan!" teriak Pende-

kar 108 keras.

Setan Arak membesarkan sepasang ma-

tanya. Pantatnya cepat disentakkan ke atas ta-

nah. Tubuhnya melenting ke udara, membuat ge-

rakan jungkir balik lalu mendarat dengan jong-

kok. Kedua tangannya bergerak mendekatkan 

bumbung bambu ke mulut. Terdengar suara gele-

gukan beberapa kali. Lalu dengan tertawa gelak-

gelak, orang tua ini duduk menggelosoh!

Bongkahan bara api terus melesat dan le-

wat sejengkal di atas tubuh Dewa Maut, terus 

menerus lalu meledak ketika menghajar sebuah 

batang pohon. Pohon itu langsung tumbang den-

gan akar tercerabut!

Dewa Maut cepat bangkit. Dan merasa ada 

orang yang menolong, dia berpaling. Sejenak pe-

muda ini terkejut. Sepuluh tombak di depan sana 

dia melihat seorang pemuda berjubah hitam ber-

garis-garis putih.

"Penyair Berdarah!" seru Pendekar 108 

mengetahui siapa adanya pemuda berjubah hitam 

bergaris-garis putih.

"Hmm.... Dia! Manusia yang bergelar Pe-

nyair Berdarah!" kata Dewa Maut dalam hati se-

raya menatap tajam. Dia tak anggukan kepala 

atau keluarkan kata terima kasih. Sebaliknya 

pemuda berjubah hitam bergaris-garis putih yang 

bukan lain memang Penyair Berdarah sungging-

kan senyum dingin. Dalam hati diam-diam pemuda murid Iblis Gelang Kematian ini berucap.

"Monyet sombong! Seandainya aku tak 

mengharapkan sesuatu darimu, masa bodoh kau 

tadi tewas di tangan manusia arak itu!" Pandan-

gannya lalu beralih pada Pendekar Mata Keran-

jang.

"Hmm.... Sayang, dia bersama manusia 

arak itu lagi. Jika tidak, sudah ingin aku melum-

puhkannya! Gadis yang bersamanya, cantik dan 

bertubuh bagus. Siapa dia? Lalu anak kecil itu? 

Hmm.... Untuk sementara aku tak akan ikut

campur urusan ini. Saatnya kelak aku pasti dapat 

membungkamnya!" Penyair Berdarah diam tak 

bergerak dari tempatnya.

Sementara itu, Dewa Maut segera paling-

kan wajahnya pada Setan Arak. Pemuda ini diam-

diam merasa gentar juga setelah mengetahui jika 

Setan Arak masih sulit ditaklukannya. Bahkan ji-

ka tak ditolong Penyair Berdarah mungkin dia 

masih belum bisa membebaskan diri dari hanta-

man kaki orang tua itu. Memikir sampai di situ, 

pemuda ini lantas lirikkan sepasang matanya pa-

da Pendekar Mata Keranjang 108.

Tiba-tiba Dewa Maut putar tubuhnya se-

tengah lingkaran, dan sekonyong-konyong kedua 

tangannya dihantamkan dengan telapak terkem-

bang.

"Pendekar Mata Keranjang! Awas!" seru Ra-

tu Sekar Langit.

Asap merah serta angin membentuk ling-

karan yang menebarkan hawa panas melesat kearah Pendekar 108, Ratu Sekar Langit serta Putri 

Kipas.

"Ratu. Selamatkan dirimu!" teriak Pendekar 

108. Lalu dia berkelebat sambil menyambar tu-

buh Putri Kipas. Sementara Ratu Sekar Langit se-

gera pula membentak dan ikut berkelebat sela-

matkan diri.

Di depan sana, beberapa batang pohon 

tampak tergulung putaran angin, lalu membu-

bung ke udara sebelum akhirnya melayang deras 

dengan hancur berantakan terkena pukulan sakti 

'Dewa Membakar Bumi' yang dilancarkan Dewa 

Maut.

Mendadak sepasang mata Dewa Maut 

membeliak besar, dadanya bergetar keras. Bukan 

karena melihat pukulannya lolos menghajar sasa-

ran, namun karena seruan Ratu Sekar Langit 

yang memanggil Aji dengan Pendekar Mata Keran-

jang sewaktu serangannya dilepaskan.

"Jahanam! Jadi...," Dewa Maut tak te-

ruskan gumamannya. Dia cepat berpaling. Men-

dadak sepasang matanya semakin mendelik ang-

ker, karena sosok Pendekar 108 tak lagi ditemu-

kannya di tempat itu. Demikian juga Ratu Sekar 

Langit serta Setan Arak dan Putri Kipas. Yang 

masih terlihat di tempatnya adalah Penyair Ber-

darah, yang memandang ke arahnya dengan se-

nyum penuh ejekan.

Dewa Maut balas memandang pada Penyair 

Berdarah. Mulutnya komat-kamit hendak mengu-

capkan sesuatu. Namun sebelum ucapannya terdengar, Penyair Berdarah telah angkat bicara. 

Nadanya seperti orang melantun syair.

Darah tak akan mengalir.

Balas dendam hanya sebuah mimpi.

Jika langkah tak dihitung, jika otak tak di-

putar!

"Dewa Maut! Kusarankan padamu, segala 

angan-anganmu hanya akan menjadi kenyataan 

mimpi buruk jika kau tak pandai memperhitung-

kan langkah!"

Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-

likan tubuh. Sebelum dia berkelebat pergi dia ma-

sih sempat menyambung ucapannya.

"Jangan lupa, satu purnama di depan ku-

tunggu kau di tempat yang sudah kita janjikan!" 

Lalu dia berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Jahanam! Aku tak butuh nasihatmu!" te-

riak Dewa Maut. Kedua tangannya diangkat ting-

gi-tinggi. Namun Penyair Berdarah telah lenyap. 

Sebagai pelampiasan marahnya, kedua tangannya 

segera dihantamkan ke tanah.

Bummm!

Tanah itu langsung terbongkar dan ber-

hamburan ke udara menutupi pemandangan. Ke-

tika tanah itu sirap, Dewa Maut sudah tak nampak di tempat itu!


                    SELESAI


Segera terbit:

LASKAR DEWA









































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive