..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE SEPASANG BIDADARI MERAH

Sepasang Bidadari Merah


SEPASANG 

BIDADARI MERAH

oleh Pijar El

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Editor : Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Pijar El

Serial Pendekar Slebor 

Dalam episode: Sepasang Bidadari Merah 

128 hal.

https://matjenuhkhairil.blogspot.com/


SATU


Dunia seringkali menawarkan pada 

manusia sesuatu yang tidak terduga. 

Layaknya sakaratul maut menjemput. Da-

tang tanpa disadari siapa pun, semen-

tara manusia mungkin masih terlena 

buaian duniawi.

Seperti juga yang dialami seorang 

gadis cantik yang saat ini berada di 

sebelah selatan Pintu Sorga dan Neraka 

Dunia. Dia adalah Anggraini, putri 

seorang tokoh silat wanita bernama Ku-

pu-kupu Merah. Berjalan bersamanya 

adalah seorang laki-laki tua, penguasa 

wilayah ini. Julukannya, Pangeran Ne-

raka. Mereka tampak beriringan akrab 

dengan langkah lambat menyusuri jalan 

setapak berkerikil halus. Sebelah tan-

gan Pangeran Neraka menggandeng bahu 

gadis cantik itu, memperlihatkan per-

hatian seorang paman kepada kemenakan-

nya (Untuk mengetahui lebih jelas ten-

tang mereka, baca serial Pendekar Sle-

bor dalam kisah: "Pendekar Wanita Ta-

nah Buangan").

Di atas sana, angkasa meredup la-

mat. Cahaya mentari telah menguning 

matang, pertanda hari sebentar lagi 

tersungkur di awal malam. Angin senja 

menyapu kulit kedua insan yang berta-

lian darah itu.

"Bukankah kau hendak menceritakan

padaku tentang cemeti dan kalung kepa-

la rajawali yang diberikan ibu padaku, 

Paman Bureksa?" tanya Anggraini berna-

da meminta, setelah memindahkan benda-

benda yang dimaksud ketangannya.

"Apakah kau sudah siap mendengar-

nya?" tanya Pangeran Neraka yang ber-

nama asli Bureksa.

Cara bicara laki-laki tua ini 

saat itu sangat jauh dari sifat sebe-

narnya yang telengas dan culas. Dia 

lebih tampak sebagai orangtua arif pe-

nuh kasih.

"Apa maksudmu dengan pertanyaan 

itu, Paman?"

Pangeran Neraka tertawa.

"Sewaktu bertemu pertama kali, 

bukankah kau tak percaya kalau aku ini 

kakak ayahmu?" kata Pangeran Neraka 

seperti hendak menguji kesungguhan 

Anggraini menanyakan tentang riwayat 

dua benda di tangannya.

"Sekarang aku percaya, setelah 

Paman bisa tepat menceritakan tentang 

riwayat ibuku."

"Tapi itu bisa saja dilakukan ba-

nyak orang yang mengenal ibumu. Kupu-

kupu Merah adalah julukan ibumu yang 

tersohor beberapa waktu lalu. Banyak 

orang yang tahu tentang ibumu."

"Tapi, tak mungkin banyak orang 

tahu tentang kalung kepala rajawali 

ini, bukan?"

Pangeran Neraka tertawa lagi. En

tah apa yang dianggapnya lucu.

"Sekarang, Paman mau menceritakan 

bagaimana kaitan benda-benda ini den-

gan ayahku, bukan?" desak Anggraini 

halus tanpa kesan merajuk.

Dalam beberapa hari ini, gadis 

itu memang sudah begitu dekat dengan 

Pangeran Neraka. Keberadaan lelaki tua

itu seperti mengisi kerinduannya pada 

sosok seorang ayah. Namun demikian, 

sebagai seorang gadis yang dibesarkan 

menurut adat orang-orang persilatan 

Anggraini tak tampak manja.

Pangeran Neraka mengangguk man-

tap.

"Baiklah," desah orang tua itu.

Anggraini menunggu. Namun, belum 

ada satu kata lagi meluncur dari mulut 

Bureksa. Anggraini tentu saja menjadi 

agak heran.

"Kenapa Paman kelihatannya ragu?" 

tanya Anggraini.

"Aku ingin bertanya dulu padamu 

sebelum bercerita," kata Bureksa, se-

raya menjemput bahu Anggraini dengan 

kedua tangan kekarnya yang berkulit 

cacat seperti bekas terbakar. Ditatap-

nya sepasang mata gadis itu lekat-

lekat. "Aku sempat melihat kau bersama 

pemuda berpakaian hijau muda waktu 

itu. Bagaimana hubunganmu dengannya?"

Anggraini mengingat-ingat. Gadis 

itu cepat tahu, siapa yang dimaksud 

pamannya.

"Andika maksud Paman?"

"Ya!" sahut Bureksa, singkat.

"Dia kawan baruku," jawab 

Anggraini, sungkan.

"Jangan menyembunyikan apa-apa 

padaku, Anggraini! Aku sudah hidup cu-

kup lama. Artinya, aku sudah hafal be-

nar, bagaimana sinar mata seorang ga-

dis yang mulai jatuh hati pada seorang 

pemuda...."

Ucapan Bureksa terasa sekali me-

nyentil perasaan Anggraini. Cepat-

cepat pandangannya dialihkan, melepas 

ikatan mata Pangeran Neraka. Seolah-

olah gadis itu percaya pamannya mampu 

membaca isi hatinya melalui sinar ma-

ta. Saat yang sama, pipinya bersemu 

merah.

"Kau belum mengatakan hal yang 

sebenarnya, bukan?" usik Pangeran Ne-

raka. Nadanya seperti mendesak, mem-

buat Anggraini merasa tak nyaman.

"Ayo, Anggraini! Katakan padaku. 

Kau mulai mencintai pemuda itu, bu-

kan?" Pangeran Neraka makin mendesak. 

Cekalan tangan di bahu gadis itu pun 

mengeras.

"Aku tak suka Paman mendesakku 

seperti ini!" se-tak Anggraini tiba-

tiba. Ditepisnya kedua tangan sang pa-

man dari bahunya.

Gadis itu berbalik, membelakangi 

Bureksa. Wajahnya yang kian matang 

terbakar oleh rasa malu dan kegugupan

atas tekanan Bureksa, seakan-akan dis-

embunyikannya.

Pangeran Neraka hendak meraih ba-

hu Anggraini kembali dari belakang. 

Baru saja tersentuh, Anggraini sudah 

menjauh dengan langkah terbanting-

banting.

"Anggraini!" seru Bureksa agak 

gusar melihat sikap kemenakannya yang 

baru saja dikenal.

"Kalaupun aku mengakuimu sebagai 

kakak ayahku, tapi bukan berarti Paman 

bisa mencampuri hidupku seenaknya," 

gerutu Anggraini, sambil tetap melang-

kah.

"Aku tak akan mencampuri hidupmu, 

asal kau tidak mencintai pemuda itu!" 

tegur Pangeran Neraka, segera menyu-

sulnya.

"Paman tak bisa mengatur cinta 

seseorang. Datangnya cinta tidak bisa 

ditentukan. Dan perginya pun tanpa bi-

sa dicegah!" bantah Anggraini mulai 

sengit.

"Tapi kau belum tahu, siapa pemu-

da itu!"

"Aku memang belum lama kenal den-

gannya. Tapi hatiku mengatakan, dia

lelaki yang patut dicintai. Seorang 

pemuda berkepribadian, punya jiwa ksa-

tria. Juga memiliki kelembutan...."

"Kau sedang mabuk, Anggraini! Kau 

tak menyadari, siapa yang kau cintai!"

Pangeran Neraka kini segera meng

hadang langkah Anggraini. Diangkatnya 

wajah terbakar Anggraini dengan tan-

gan.

"Lihat aku, Anggraini!" ujar 

orang tua itu, agak keras.

Gadis yang berwatak keras itu tak 

juga mau menurut. Lagi-lagi ditepisnya 

tangan kekar Pangeran Neraka.

"Aku tak mau mendengar ucapan Pa-

man lagi, kecuali tentang ayahku!" 

tandas gadis itu.

"Pemuda itu pun berhubungan erat 

dengan kematian ayahmu, Gadis Keras 

Kepala!" hardik Bureksa, mulai kehi-

langan kesabaran.

Anggraini tercekat. Apakah telin-

ganya tak salah dengar? Pamannya baru-

san menyebutkan, kalau Andika berhu-

bungan dengan kematian ayahnya.

Dengan kelopak menyempit, 

Anggraini mempertemukan matanya dengan 

mata sembilu Pangeran Neraka. Ditang-

kapnya jilatan api kemarahan pada mata 

lelaki itu. Tapi, Anggraini tak pedu-

li.

"Apa maksud Paman?" tanya gadis 

itu nyaris seperti mendesis.

"Kalau kau ingin tahu, dialah 

orang yang telah membunuh ayahmu!" pa-

par Pangeran Neraka tegas, penuh teka-

nan.

Anggraini melengak. Tak ada lagi 

kata yang bisa diucapkan bibirnya. Dia 

terlalu terkejut mendengar berita yang

disampaikan pamannya. Kelopak matanya 

membuka tanpa kedip sekian lama. Lalu 

mendadak saja tubuhnya berbalik dan 

berlari sambil mendekap wajah.

"Aku tak percaya ini!" teriak 

Anggraini bergetar seperti menahan 

isak.

* * *

Berhari-hari Andika mencari 

Anggraini. Dan tak sejenak pun sempat 

dilihatnya lagi wajah gadis itu. Sejak 

menghilangnya Anggraini di daerah Pin-

tu Sorga dan Neraka Dunia, Andika jadi 

seperti anak ayam kehilangan induk 

(Untuk lebih jelasnya, baca episode : 

"Pendekar Wanita Tanah Buangan"). Dia 

kelimpungan mencari kesana kemari, ta-

pi hasilnya melompong.

Kalau saja tak mengkhawatirkan 

keselamatan gadis yang baru turun da-

lam persilatan yang penuh tipu daya 

ini, tentu Pendekar Slebor sudah me-

lanjutkan perjalanan ketujuan lain. 

Dia sendiri tak mengerti, perasaan ma-

cam apa yang membuat hatinya begitu 

mengkhawatirkan Anggraini. Bisa saja 

semacam perasaan bersalah, karena mem-

buat Anggraini harus kehilangan seo-

rang yang amat dekat dengannya. Bisa 

jadi juga dia mulai menyukai pribadi 

Anggraini. Tapi, apa begitu? Padahal 

Anggraini tergolong sulit diajak ber

sahabat.

Orangnya terlalu keras.

Sambil membawa pikirannya menera-

wang, Pendekar Slebor melanjutkan pen-

carian. Sampai akhirnya, Andika tiba 

di suatu tempat yang teduh. Pohon-

pohon besar memayungi tempat itu. Se-

waktu melihat ada sungai kecil berair 

bening di sana, timbul keinginannya 

untuk sedikit menyejukkan badan.

Andika pun menanggalkan pakaian.

Setelah melemparkan perangkat penutup 

tubuhnya kebawah sebatang pohon, pemu-

da tampan itu langsung melompat ke da-

lam sungai. 

Byur!

"Fhuah! Segarnya," ucap Andika, 

begitu muncul di permukaan kembali.

Sungai kecil itu tergolong cukup 

dalam. Sehingga, memungkinkan Andika 

menyelam. Kebeningan airnya menyebab-

kan dasar sungai dapat terlihat mela-

lui permukaan.

Andika mencoba menyelamkan kepala 

lagi. Panas matahari yang memanggang 

batok kepalanya siang itu, sepertinya 

belum cukup terusir.

"Fhuah!" 

Pemuda itu muncul kembali di per-

mukaan. Kepalanya menggeleng-geleng 

keras, mengusir usikan air pada telin-

ganya.

"Tuhan memang adil. Menciptakan 

rasa panas yang disertai pula rasa

dingin. Coba kalau ada panas saja, bi-

sa gosong semua manusia di permukaan 

bumi ini," gumam pemuda itu saat meng-

gosok-gosok badan dengan batu cadas 

dari dasar sungai.

Puas menyejukkan sekaligus mem-

bersihkan badan, Pendekar Slebor ber-

niat naik ke tepi sungai. Sewaktu ma-

tanya mencari pakaiannya, wajahnya 

kontan terlipat. Pakaiannya tak ada 

lagi di tempat! Mau tak mau, Andika 

mengurungkan niat untuk naik.

"Ini pasti ada yang usil," bisik 

Pendekar Slebor sambil menggerutu. 

"Apa dikiranya aku ini bidadari dari 

kayangan yang tak bisa kembali lagi 

kalau pakaianku diambil?!"

Pendekar Slebor lantas mengedar-

kan pandangan ke sekeliling.

"Hey, Pencuri! Kuberitahu, kalau 

pakaianku tidak berharga untuk dijual. 

Biar ke tempat loakan sekali pun!" te-

riak Andika. "Dan kalau kau hanya mau 

usil, ya jangan keterlaluan! Aku tidak 

bisa keluar dari sungai ini hanya den-

gan mengenakan celana dalam!"

Tak ada sahutan.

"Hoooiii! Perempuan atau lelaki! 

Jin botak atau manusia gundul! Tua 

atau muda! Yang membawa pakaianku, ce-

pat kembalikan ke tempatnya semula!" 

teriak Andika lagi.

Tetap saja tak ada tanggapan.

"Ah! Apa aku hanya berprasangka

buruk saja. Belum tentu pakaianku di-

bawa orang. Mungkin saja diterpa an-

gin," gumam Andika, meralat dugaan se-

belumnya.

Pikir punya pikir, pemuda itu ak-

hirnya sedikit nekat untuk naik menca-

ri pakaiannya. Dengan tangan menutupi 

celana dalam, tubuhnya mengendap-endap 

ke tempat pakaiannya diletakkan. Dica-

ri-carinya baju dan celana hijau muda 

itu ke sekitarnya. Tapi sejauh mata 

memandang, tak juga ditemukannya

Kecurigaan Andika mulai tersembul 

lagi.

"Kalau begitu, benar dugaanku ta-

di. Memang ada manusia usil yang hen-

dak mengerjaiku," bisik pemuda itu.

Sementara berbisik, matanya meli-

rik kian kemari. Tentu saja pemuda ke-

sohor itu takut tertangkap basah se-

dang polos seperti bayi yang hanya 

mengenakan popok!

"Iya kalau lelaki yang mengusili 

ku. Aku tak begitu malu. Bagaimana ka-

lau wanita? Wah! Bisa lepas wajahku 

karena malu," gumam Andika lagi seraya 

mengendap-endap untuk kembali ke sun-

gai. Maksudnya, supaya bisa menyembu-

nyikan tubuh.

Saat matanya melirik kesana kema-

ri seperti maling kesiangan, mendadak 

saja terdengar hardikan seseorang di-

belakangnya. 

"Nhaaa! Mau berbuat mesum, ya!"

Tanpa pikir apa-apa lagi, Andika 

langsung saja tunggang-langgang sece-

patnya ke arah sungai. Tak lagi diper-

dulikan, bagaimana caranya berlari se-

panjang masih bisa menutupi celana da-

lamnya dengan tangan.

"Wuaaa!"

Byur!

Didahului teriakan kalang kabut, 

pemuda urakan yang ternyata masih 

punya malu itu terjun ke dalam sungai

kembali.

* * *

DUA


"Hik hikhik!"

Satu alunan tawa nyaring memekak-

kan telinga berkumandang, mengejek 

Pendekar Slebor.

Ketika kepalanya muncul ke permu-

kaan, Andika melihat seorang nenek je-

lek berpakaian aneh yang pernah dili-

hatnya saat melarikan Ratu Lebah. Ne-

nek itu masih terkikik-kikik, sampai 

tubuhnya berguncang-guncang kecil. De-

daunan yang menutupi auratnya pun ikut 

bergetaran.

"Kau lagi...," gerutu Andika 

dongkol. "Cepat kembalikan pakaianku!"

Mata Andika melotot ketika mene-

mukan pakaian hijau muda itu berada di

tangan si nenek jelek.

"Enak saja! Aku masih senang me-

nikmati pemandangan bagus itu, kok!" 

sergah si nenek, menghentikan tawa 

nyaringnya. Dengan genit, diliriknya 

permukaan sungai tempat Andika beren-

dam. "Kau tak sadar, ya? Sungai itu 

terlalu bening untuk dijadikan tempat 

bersembunyi. Hikhikhik!"

Mata pemuda berambut gondrong itu 

mendelik sejadi-jadinya. Kenapa dia 

jadi tolol! Tentu saja setiap orang

yang tak buta akan dapat melihat tu-

buhnya yang tak berpakaian, dari per-

mukaan air sungai yang begitu bening!

Untuk keluar dari sungai, sudah 

tak mungkin lagi bagi Andika. Itu sama 

saja membiarkan tubuhnya jadi tontonan

indah si nenek genit. Namun, otak enc-

er Andika tak kehilangan akal. Permu-

kaan air segera diaduk-aduknya supaya 

bayangan tubuhnya jadi menghambur tak

kentara.

"Lho! Lho?! Kok, tubuhmu sekarang 

jadi tampak berantakan?!" ejek si ne-

nek dengan mata terbelalak.

"Tutup mulut mesummu itu, Nenek 

Jelek!" maki Andika kesal.

"Idih! Begitu saja sudah sewot!" 

goda si nenek dengan gaya seorang pe-

rawan desa merayu jejaka.

Andika mendengus. Pangkal hidung-

nya jadi terlipat.

"Sebenarnya, apa maumu?!" tanya

Andika kemudian.

"Aku? Yang kumau sih, ya bisa ja-

di kekasihmu...," sahut si nenek men-

dayu.

"Amit-amit," bisik Andika memba-

tin.

Bergidik juga pemuda itu menden-

gar ucapan si nenek genit.

"Terus terang, aku sedang tak 

berselera mendengar ocehan tengik. Ke-

napa kau tak langsung katakan saja, 

apa maumu sebenarnya, Perempuan Tua?" 

Andika mengulangi kembali pertanyaan-

nya.

"Anak muda selalu bernafsu," ce-

mooh si nenek seraya mencibir. "Tapi, 

baiklah. Aku hanya ingin memberi pela-

jaran padamu, karena kau harus ikut 

bertanggung jawab atas luka yang dide-

rita anak gadisku," tutur perempuan 

uzur itu akhirnya.

"O, sekarang persoalan menjadi 

jelas. Sejak semula juga sudah kuduga 

kalau kau hendak mengungkit-ungkit pe-

ristiwa itu lagi," tanggap Andika. 

"Jadi, Ratu Lebah adalah anakmu?"

"Aku tak bilang dia anakku, To-

lol!"

"Kalau begitu, pasti dia murid-

mu," duga Andika.

"Nah! Kau tidak tolol lagi!"

Pemuda sakti dari Lembah Kutukan 

itu memajukan bibirnya.

"Kalau muridnya saja sebejat itu,

apalagi gurunya," sindir Andika, pe-

das-pedas.

"Siapa yang kau bilang bejat?!" 

bentak si nenek sewot.

"Muridmu, Ratu Lebah!"

"Eee, Pemuda Bermulut Lancang! 

Kau tak boleh asal bicara sebelum kui-

zinkan!"

Si nenek mencak-mencak. Pakaian 

Andika dikebut-kebutkannya kian kema-

ri.

"Ini mulutku sendiri, Perempuan 

Tua. Aku tak bisa mengatakan yang hi-

tam itu putih. Kalau memang bejat, ya 

kukatakan bejat. Dan kalau...."

"Diam!" potong si nenek, menghar-

dik.

Seketika itu juga Andika benar-

benar terdiam. Mulutnya yang biasanya 

begitu terampil mencerocoskan dengan 

kata pedas, tiba-tiba saja tak bisa 

digerakkan. Raut mukanya kejang dan 

lidahnya kelu. Andika tetap tak bisa 

mengucapkan sepatah kata pun, meski 

telah berusaha menggerakkan rahang 

dengan menyalurkan kekuatan tenaga da-

lam warisan Pendekar Lembah Kutukan 

yang diandalkan.

"Mhhh... mhhh bhff!"

Hanya bunyi itu yang terdengar.

"Hik hik hik! Biar tahu rasa kau! 

Itu namanya kualat pada orang tua!" 

ledek si nenek. Mencak-mencaknya ber-

ganti goyangan pinggul ke kiri dan ka

nan.

Sekarang pendekar muda itu baru 

sadar kalau nenek yang dihadapinya bu-

kan orang sembarangan. Terbukti, tena-

ga dalamnya yang disegani di dunia 

persilatan tak berdaya menghadapi kun-

cian yang dibuat si nenek kerahangnya.

"Sebelum aku salah menjatuhkan 

tangan padamu, sebaiknya kutanyakan 

dulu padamu. Apakah kau bertanggung 

jawab terhadap muridku yang terluka 

sewaktu kularikan dulu?"

Si nenek mulai mengajukan perta-

nyaan, tak ubahnya seperti seorang 

punggawa mengorek keterangan dari seo-

rang mata-mata istana. Wajah keriput-

nya dibuat sebengis mungkin. Padahal, 

malah terlihat menggelikan. Malah le-

bih parah daripada raut wajah orang 

yang terserang mules hebat.

"Mmhh... mmh!" jawab Pendekar 

Slebor, tak kentara.

"O, iya! Aku lupa dengan mulut-

mu...," kata si nenek.

Segera si nenek menyapukan tangan 

yang tak memegang pakaian Andika ke 

udara. Gerakannya terlihat ringan sa-

ja, seolah asap pun tak terhalau. Na-

mun, hasilnya ternyata dapat membuat 

kuncian pada mulut Andika terbebas.

"Sekarang bicara!" bentak si ne-

nek, disertai belalakan matanya.

"Aku tak akan menjelaskan duduk

perkaranya, kalau kau tak memberikan

pakaianku dahulu!" ujar Andika, tak 

memuaskan si nenek.

"E, bisa juga kau mengancam, ya! 

Nih! Tangkap pakaian jelekmu! Kau pi-

kir aku butuh? Untuk kujadikan gombal 

saja, aku tak berniat..."

Perempuan tua berompi kulit pohon 

itu melempar pakaian Andika yang sejak 

tadi dipegangnya. Seperti ketika mem-

bebaskan Andika dari kuncian mulut, 

gerakan kali ini pun tak kelihatan 

bertenaga sama sekali. Amat enteng. 

Namun ketika pakaian berwarna hijau 

muda itu terlepas dari tangannya....

Wuuut!

Terciptalah kelebatan amat cepat. 

Mata terlatih Andika yang biasa me-

nangkap kecepatan sambaran kilat di 

Lembah Kutukan, masih sempat menangkap 

kelebatan pakaiannya.

Lalu tangkas sekali pendekar muda 

itu mengangkat tangan dari bawah per-

mukaan sungai, untuk menjemput lempa-

ran si nenek. Meski begitu, ketangka-

san tangannya belum bisa menghadang 

kelebatan pakaiannya.

Pyar!

Sekejap kemudian, pakaian hijau 

muda itu menampai permukaan sungai di 

belakang Andika. Saat itu air, seperti 

langsung disibak tangan raksasa. Sam-

pai-sampai, tubuh Andika sendiri ter-

hempas gelombang besar ketepi sungai.

"Sudah tidak betah di sungai,

ya?" ledek si nenek, menjengkelkan.

Seraya menggerutu berkepanjangan, 

Andika memakai pakaiannya. Daripada 

setengah telanjang, dipakainya juga 

pakaian basah itu. Tak begitu lama, 

dia pun naik.

"Nah! Sekarang, jawab pertanyaan-

ku!" kata si nenek memulai kembali.

"Terus terang, aku memang memusu-

hi muridmu. Aku tak menyesal jika dia 

terluka," jelas Andika tak segan-

segan.

"Aku tak tanya kau menyesal atau 

tidak! Yang kutanya, apa kau bertang-

gung jawab terhadap keadaan muridku!" 

sergah si nenek ngotot.

"Kalau itu pertanyaannya, kujawab 

tidak."

"Bagus!" cetus si nenek.

Setelah itu, si nenek berbalik. 

Perempuan tua itu pergi begitu saja. 

Padahal, Andika menduga si nenek akan 

menggempurnya setelah seluruh perta-

nyaan dijawab. Biasanya, jika murid 

bejat, itu karena hasil didikan gu-

runya. Dengan kata lain, guru yang ke-

ji biasanya akan melahirkan murid yang 

sama keji.

Dengan terheran-heran, Andika me-

nahan langkah si nenek.

"Kenapa kau tak melabrakku?" 

tanya Andika.

Si nenek menoleh sebentar.

"Apa kau mau bermusuhan dengan

seorang yang baru kau kenal?" si nenek 

balik bertanya. Bibirnya tersungging 

kecil. Entah meledek, entah meremeh-

kan.

Dan entah pula merasa lucu dengan 

pertanyaan Andika barusan.

"Bermusuhan? Aku malah sering me-

mimpikan seluruh manusia di atas jagad 

ini membuang semua sifat ingin musu-

han. Lalu, mereka bisa hidup damai 

saling berkasih sayang. Sayang, hati 

manusia banyak yang dengki dan bu-

suk...," ucap Andika seperti bicara 

pada diri sendiri.

Sekali ini, si nenek terkekeh 

mendengar penuturan pemuda yang baru 

saja dikerjainya.

"Itu artinya, kau tidak mau ber-

musuhan denganku. Nah, kenapa pula aku 

harus memusuhi orang yang tidak ingin 

bermusuhan denganku? Asal kau tahu, 

Anak Muda Semestinya, di dunia ini 

berlaku hukum yang setimpal Setiap ke-

jahatan harus dibalas kejahatan. Se-

babnya, kebaikan harus dibalas pula 

dengan kebaikan...," ucap si nenek 

berkesan dalam.

"Tapi, jika seseorang ingin besar 

di hadapan Tuhan semesta Alam, semes-

tinya memaafkan kejahatan yang diper-

buat orang terhadap dirinya. Dan, mem-

balas kebaikan dengan kebaikan yang 

lebih baik...," timpal Andika.

"Hik hik hik! Aku suka kau, Anak

Muda!" puji si nenek tulus meski dis-

ampaikan secara menyebalkan.

Tak lama kemudian, si nenek sudah 

menghilang bagai ditelan bumi. Andika 

memang sempat menangkap kelebatan tu-

buhnya. Tapi dia tahu sulit untuk me-

nandingi kecepatan geraknya.

* * *

Anggraini termenung sendiri dalam 

kungkungan kebisuan. Dipandanginya ge-

rombolan bunga matahari di kejauhan, 

dengan sinar mata amat kosong. Di ba-

wah naungan ser ampun bambu kuning 

yang tumbuh di beberapa tempat di Pin-

tu Sorga dan Neraka Dunia, gadis mena-

wan itu duduk bersandar. Angin mengu-

sik derit batang bambu hingga saling 

bergesekan menggoda. Juga, gemerisik 

dedaunan bambu mencoba menyadarkan 

Anggraini dari lamunan. Namun, gadis 

itu tidak peduli.

Banyak hal yang bisa membuat se-

seorang bagai menghukum diri menjadi 

area batu seperti itu. Untuk dara se-

macam Anggraini, penyebabnya seringka-

li mudah dikenali. Cinta!

Cinta? Ya! Satu kata singkat, na-

mun menyimpan sehimpun makna. Dan itu 

telah menggerayangi gadis ini hari-

hari belakangan. Dimulai sejak Pange-

ran Neraka, pamannya, menerangkan ka-

lau pembunuh ayah gadis ini adalah je

jaka yang berhasil menanam benih-benih 

kasih terdalam, yang kemudian tumbuh 

menjadi cinta pertamanya.

Betapa Anggraini sulit memper-

cayai keterangan tersebut. Dimatanya, 

Andika adalah seorang pemuda yang ti-

dak saja tampan rupawan. Tapi, juga 

memiliki sifat yang patut dikagumi. 

Ksatria, welas asih, dan berwibawa 

adalah sekadar sebagian pribadinya. 

Anggraini bisa melihatnya, meski per-

kenalan dengan Andika bisa dikatakan 

singkat.

Mungkinkah semua itu adalah ke-

palsuan semata? Anggraini bertanya re-

sah. Bukankah kepura-puraan dan kemu-

nafikan adalah jamur menjijikkan yang 

semakin tumbuh di dunia ini? Dalam di-

ri sekian banyak manusia? Keraguan mu-

lai merambah relung batin gadis itu.

"Tapi, bagaimana mungkin dia tak 

membunuhku, kalau tahu aku bakal me-

nuntut balas atas kematian ayahku?" 

sangkal sisi hati Anggraini yang lain. 

"Kalau dia memang yang berdarah 

dingin, tentunya aku sudah tak memili-

ki nyawa lagi.... Tapi, ah! Kenapa dia 

membunuh ayahku? Apa salahnya? 

Atau...."

Relung hati gadis ini tak kuasa 

lagi menampung beruntun pertanyaan 

yang membingungkan. Dia berontak dan 

terjaga. Namun yang ditelannya setelah 

itu adalah sebentuk kekecewaan menghu

jam. Kecewa karena pemuda yang menanam 

benih cinta pertamanya, ternyata ada-

lah sang pembunuh ayah kandung yang 

begitu lama dirindukan!

"Aku benci kau, Andika!" rutuk 

Angraini geram, nyaris bergumam geram.

Sesudah itu, Anggraini bangkit 

dengan benak terkoyak. Dia berdiri di-

am, menantang sapuan angin lembah. Da-

lam dirinya hanya terngiang kata-kata 

Bureksa, pamannya. Andika adalah pem-

bunuh Ayah! Andika adalah pembunuh 

Ayah...!

* * *

TIGA


Di pinggiran sungai Andika sedang 

memanggang ikan mujair hasil tangka-

pannya. Asap putih membawa aroma sedap 

berarak naik dari tumpukan kayu bakar, 

menggoda perut Andika yang sudah demi-

kian keroncongan.

Sambil bersiul-siul, pemuda itu 

membalik-balik panggangan ikan di tan-

gannya. Dan tiba-tiba siulan riangnya 

terhenti seketika, terpenggal oleh in-

gatan yang muncul begitu saja.

"Si nenek jelek itu...," gumam 

Pendekar Slebor. "Bukankah kemarin du-

lu dia mengatakan kalau kejahatan mes-

tinya dibalas kejahatan? Kalau murid

nya terluka oleh Anggraini, tentunya 

dia akan menuntut balas. Kemarin lalu 

pun, dia menemuiku untuk meminta tang-

gung jawabku...."

Plak!

Andika menampar kening keras-

keras dengan telapak tangan kiri.

"Kenapa aku jadi tolol! Tentu si 

nenek jelek itu kini sedang mencari 

Anggraini. Bukankah sewaktu menyela-

matkan Ratu Lebah, dia melihat 

Anggraini sedang bertarung dengan mu-

ridnya itu? Tentu dia tahu, Anggraini 

lah yang melumpuhkan muridnya.... Wah, 

kacau! Anggraini bisa jadi sasaran ke-

marahan si nenek jelek. Padahal, mu-

ridnya sendiri yang salah...," gumam 

Andika lagi.

Dari duduknya, pemuda berambut 

gondrong itu cepat-cepat bangkit

"Tapi, ke mana aku harus mencari 

gadis itu? Dia menghilang seperti di-

telan bumi. Berhari-hari aku menca-

rinya, tapi nihil. Apa iya, aku bisa 

menemukan secepatnya sebelum didahului 

nenek jelek itu?"

Andika mengetuk-ngetuk kepala 

dengan jari kiri. Sedang dipikirkan, 

bagaimana caranya agar bisa cepat me-

nemukan gadis yang baru turun dalam 

dunia persilatan itu.

"Ah! Peduli setan bagaimana ca-

ranya! Kalau aku hanya berpikir terus, 

bisa-bisa sudah kedahuluan nenek jelek

itu!" umpat Pendekar Slebor pada diri 

sendiri.

Sejenak dipandanginya panggangan 

mujair di tangan kanan. Sudah matang 

dan benar-benar menggoda. Baunya pun 

menyengat hidung.

"Apa boleh buat...," gumam Andi-

ka.

Panggangan mujair itu dimasukkan 

saja ke balik bajunya. Padahal asapnya 

masih mengepul. Memang sayang, Dari 

pada dibuang, lebih baik dijadikan 

persediaan kalau perutnya tak bisa di-

ajak berdamai lagi. Dasar urakan!

Pemuda acuh ini pun beranjak dari 

tempat itu. Tujuannya, Pintu Sorga dan 

Neraka Dunia. Dia akan memulai ulang 

pencarian Anggraini dari tempat perta-

ma. Disana, mungkin bisa disusuri je-

jak yang luput ditemukan pada penca-

rian pertama.

* * *

Pintu Sorga dan Neraka Dunia tam-

pak lengang. Pendekar Slebor tiba di 

sana ketika matahari terjatuh pengga-

lan dibelahan angkasa sebelah barat.

Berawal dari tempat Anggraini 

bertempur melawan Ratu Lebah dulu, An-

dika mulai mencari tanda-tanda yang 

mungkin bisa dijadikan petunjuk, kema-

na perginya Anggraini. Cukup lama pe-

muda berpakaian hijau-hijau menyusuri

tiap jengkal tanah disekitarnya. Ma-

tanya bahkan sudah sedikit pedih, ka-

rena terus dikerahkan. Kalau penci-

umannya setajam anjing pelacak, tentu 

urusannya akan lain.

"Tak ada tanda-tanda sedikit 

pun.... Koreng garing!" umpat Andika 

kesal. "Aku jadi semakin yakin, 

Anggraini menghilang karena keinginan-

nya sendiri. Sedikit pun tak ada tanda 

kalau dia dipaksa oleh seseorang. Apa

mungkin dia tak ingin urusannya kucam-

puri. Padahal, aku sangat berkaitan 

erat dengan urusan gadis itu...."

Kepala pemuda sakti dari Lembah 

Kutukan ini menoleh ke sana kemari. 

Sepertinya, dia masih penasaran.

"Kalau nanti aku bertemu dengan-

nya, bagaimana caraku menjelaskan ka-

lau aku adalah pembunuh ayahnya?" gu-

mam Pendekar Slebor lagi.

Plak!

Mendadak sontak Andika merasa ke-

palanya ditampar seseorang dari bela-

kang. Hal itu membuat Andika terke-

siap. Bukan karena tamparan itu berba-

haya, sebaliknya tamparan itu seper-

tinya hanya dimaksudkan untuk main-

main saja.

Pemuda urakan itu terkesiap, ka-

rena sedikit pun tak menyangka ada se-

seorang yang melayangkan telapak tan-

gan kebelakang kepalanya. Padahal, se-

bagai seorang pendekar sakti yang cu

kup menggetarkan dunia persilatan, ge-

rakan halus seekor cecak pun dapat 

tertangkap telinganya.

Andika cepat menoleh.

"Hik hik hik! Kalau ada sumur di 

ladang, boleh kita menumpang mandi. 

Kalau ada jodoh untukku seorang, boleh 

kita berkencan lagi!"

Andika meringis lebar-lebar. 

Orang yang menampar belakang kepalanya 

ternyata perempuan tua pertapa, guru 

Ratu Lebah. Nenek yang sudah bau tanah 

itu senyam senyum genit, memperli-

hatkan sebutir gigi besar yang masih 

tersisa di mulutnya.

"Ampun.... Kenapa aku harus ber-

jumpa nenek jelek ini lagi?! Apa sa-

lahku?" gerutu Andika berbisik.

"Kau jangan sembarangan menghina-

ku, ya?!" hardik si nenek sewot. "Be-

gini-begini juga masih membawa reje-

ki!"

Rupanya bisikan Andika yang begi-

tu halus bisa ditangkap dengan baik 

oleh telinga si nenek. Barangkali 

hanya kata hati saja yang tak bisa di-

dengarnya.

"Kita bertemu lagi, ya Nek?!" An-

dika berbasa-basi pura-pura ramah. Se-

mentara wajahnya sama sekali tidak me-

nunjukkan keramahan. Bisa dibilang, 

mirip wajah orang yang telat buang ha-

jat!

"Yang sopan terhadap orangtua ka

lau tak mau kualat!"

"Lho? Sapaan tadi sudah sopan, 

bukan?" sergah Andika. 

"Nih....."

Perempuan uzur itu menyodorkan 

punggung tangannya.

"Cium! Itu tanda kau anak muda 

yang sopan! Ayo, cium!" perintah si 

nenek dengan mata mendelik-delik.

Dengan berdecak-decak mangkel, 

Andika menuruti perintahnya.

"Aku sudah cium tangan, Nek. Ka-

rena, aku sebenarnya menaruh hormat 

pada orang yang lebih tua. Sekarang, 

apa lagi? Cium dengkulmu?" ceracau An-

dika.

Si nenek malah terkikik.

"Aku benar-benar suka padamu, 

Anak Muda!" kata si nenek. Lalu.... 

Plak!

Sekali ini, kening Andika yang 

menjadi sasaran kegemasannya. Mulutnya 

sampai meringis-ringis.

"Kau benar-benar pemuda yang co-

cok buat kujadikan menantu. Eh! Mak-

sudku, jadi suami muridku yang molek 

itu, lho!" lanjut si nenek.

"Apa?!" Andika terbelalak. Mulut-

nya terbuka lebar.

Selagi masih terbelalak bodoh se-

perti itu, si nenek aneh menarik tan-

gannya.

"Ayo ikut aku, Anak Muda! Sebaik-

nya kau melihat dulu anak gadisku,"

ujar si nenek semena-mena. 

"Tapi...."

"Biar kau tahu dan jelas benar 

kalau anak gadisku memang molek!" te-

rabas nenek pertapa, tak peduli. Andi-

ka pun ditariknya seperti kambing con-

gek.

Baru beranjak sekitar empat tom-

bak dari tempat semula, seseorang 

menghadang tepat di depan si nenek.

Gerakannya ringan. Sewaktu berke-

lebat, Andika menangkap warna merah 

pakaian si penghadang. Juga, sempat 

menangkap rambutnya yang panjang. Ma-

ka, hatinya pun mulai menduga kalau si 

penghadang adalah Anggraini. Dugaannya 

terbukti, ketika matanya jelas-jelas

melihat wajah Anggraini yang sudah te-

gak berdiri dengan sikap tegang.

"Nhaaa! Pucuk dicinta ulam pun 

tiba!" sambut si nenek senang sekali 

bisa menemukan Anggraini yang dica-

rinya, tanpa harus susah payah.

Sementara, Andika sibuk memperin-

gati Anggraini

Dibelakang si nenek. Tangannya 

memberi isyarat di udara, menyuruh 

Anggraini untuk segera pergi. Anak mu-

da itu tidak mau urusan jadi runyam 

akibat kesalahpahaman, karena si nenek 

belum sadar kalau sebenarnya muridnya 

lah yang bersalah.

"Jangan coba macam-macam di bela-

kangku, Anak Muda!" ancam si nenek

tanpa menoleh. "Bisa-bisa, kubuat ru-

jak kau!" 

Andika meringis. Tangannya ber-

henti bergerak-gerak.

"Nah! Mumpung kau ada di sini, 

Anak Gadis. Katakan padaku, apa kau 

bertanggung jawab terhadap luka yang 

diderita muridku tempo hari?" tanya si 

nenek memulai lagi.

"Maaf, Nek. Aku menghadang bukan 

untuk berurusan denganmu. Urusanku 

dengan pemuda itu," ucap Anggraini me-

nusuk, seraya melempar isyarat mata 

yang panas kepada Andika.

Kalau sebelumnya pemuda berkain 

corak catur itu meringis mendengar an-

caman aneh si nenek, kini mulutnya me-

ringis karena sikap dan ucapan 

Anggraini. Sama sekali tidak dimenger-

ti maksud gadis itu. Menurut dugaan-

nya, tentu ada sesuatu yang melatar

belakangi sikap Anggraini yang kini 

berubah tak ramah padanya. Apa mungkin 

gadis itu sudah tahu kalau Andika ada-

lah pembunuh ayahnya?

Sembarangan saja kau membacot!" 

sergah si nenek kasar. "Jelas-jelas 

kau berurusan denganku, kalau kau te-

lah melukai muridku tempo hari! Ayo 

jujur... jur... jur!"

Cukup lama Anggraini menatap si 

nenek. Matanya sebentar-sebentar me-

lempar bara panas ke arah Andika. 

Meski begitu, ada sesuatu yang lain

ditangkap mata Andika. Pancaran mata 

yang menyeruak di antara kebencian, 

yang berasal dari hati terdalamnya. 

Ya! Andika menangkap rasa cinta di an-

tara sinar kebencian pada pandangan 

mata Anggraini!

"Baiklah kalau begitu," putus An-

dika. "Bisakah kau menjelaskan padaku 

duduk permasalahannya? Terus terang

saja, aku sama sekali tidak mengenali-

mu."

Kata-kata Anggraini tetap memper-

tahankan kesopanan pada perempuan tua 

di depannya.

"Kau ingat pertempuran dengan Ra-

tu Lebah?" tanya si nenek.

Anggraini mengangguk.

"Orang yang melarikan Ratu Lebah 

adalah aku. Ada lagi yang perlu kau 

tahu, aku adalah guru perempuan 

itu...," papar si nenek tegas dan man-

tap. Kalau bisa busungkan dada, tentu 

dia akan membusung. Sayang, punggung-

nya sudah bungkuk.

"Ya! Sekarang aku paham," lanjut 

Anggraini.

"Nah, bagus!"

"Lalu, apa maumu denganku, Nek?" 

tanya Anggraini.

"Lho? Katanya paham? Bagaimana 

ini?" si nenek menggerutu seraya meno-

leh pada Andika. Andika membalasnya 

dengan mengangkat bahu.

"Begini," lanjut si nenek memulai

lagi. "Aku mau meminta pertanggung ja-

wabanmu...."

"Kau tak bisa semena-mena begitu, 

Nek,", selak Andika. "Dalam hal ini, 

muridmulah yang bersalah...."

"Diammm! Aku tak perlu pendapat-

mu!" bentak si nenek geram sekali. Bi-

birnya sampai terpuntir-puntir sewaktu 

membentak.

"Sudahlah, Nek," putus Anggraini. 

"Menurutku, aku tak perlu mempertang-

gung jawabkan tindakanku terhadap mu-

ridmu...."

"Apa?!" mata si nenek mendelik 

besar-besar. "Kau ingin menyangkal 

perbuatanmu?!"

"Aku tidak menyangkal. Kuakui, 

aku memang telah melukai muridmu. Tapi 

kalau kau katakan bersalah, jelas aku 

tak akan mengakuinya...."

"Eee! Anak gadis slompret! Nih, 

kuberi sedikit pelajaran, biar kau ta-

hu adat!"

Tangan keriput perempuan pertapa 

itu meraih daun-daun kering penutup 

auratnya. Dalam sekerdipan mata saja, 

si nenek bisa sekaligus melemparkan 

dedaunan kering ke arah Anggraini. 

Wes! Wes! Wes!

Beberapa lembar daun berwarna 

coklat berkelebat deras, dan nyaris 

tak tertangkap mata Andika dan 

Anggraini.

Mata Andika yang terlatih untuk

bersiaga pada setiap sambaran lidah 

petir di Lembah Kutukan, sempat meli-

hat kehebatan lain pada kelebatan 

daun-daun yang dilempar si nenek. Mas-

ing-masing daun, ternyata telah diisi 

tenaga dorong menyamping. Pada saat 

meluncur, daun yang satu dengan daun 

yang lain akan saling mendorong. Se-

hingga, dapat bergerak mengembang un-

tuk mengurung seluruh ruang gerak 

Anggraini bila menghindar. Jika gadis 

itu mencoba menghindar, maka malah 

akan terkena sambaran salah satu daun.

"Jangan menghindar!" seru Andika, 

secepat kelebatan dedaunan yang dilem-

par si nenek.

Sayang, peringatan Andika terlam-

bat. Anggraini dengan amat sigap telah 

lebih dahulu bergerak menghindar. Aki-

batnya....

Des!

Daun yang ringan itu kontan mela-

brak tubuh Anggraini bagai palu raksa-

sa sebesar kerbau. Kontan saja tubuh 

gadis itu melayang deras ke belakang, 

seolah-olah bobotnya tak lebih berat 

dari daun yang menghajarnya.

Grusak!

Setelah melayang hampir sepuluh 

tombak, Anggraini jatuh menimpa gerom-

bolan bunga matahari.

"Kau sudah sinting, Nenek Moyang 

Gendoruwo!" maki Andika murka, menyak-

sikan kesewenang-wenangan si nenek di

depan matanya.

"Eee! Memaki orang tua, ya?! Mau 

kualat kau?!" Salak si nenek tak ambil 

pusing dengan kegusaran pemuda beram-

but gondrong itu.

"Kau tak pantas kuhormati! Kau 

lebih pantas kuhajar!" cecar Andika 

lagi.

Beriring makiannya, Andika meng-

hentak pergelangan tangan yang masih 

digenggam si nenek. Tak lepas! Padah-

al, si nenek tak tampak sungguh-

sungguh mencekalnya. Andika mencoba 

lagi. Kali ini disertai penyaluran ke-

kuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan 

sampai tingkat kedelapan. Tapi tetap 

tak bisa! Cekalan tangan si nenek 

hanya tersentak sedikit, tanpa terle-

pas dari pergelangan tangan Andika.

"Ayo! Kerahkan tenaga saktimu 

sampai tingkat kesembilan belas!" le-

ceh si nenek, memanas-manasi.

Begitu mendengar penuturan perem-

puan tua yang mencekalnya, Andika kon-

tan terdiam.

"Tingkat kesembilan belas, ka-

tanya?" bisik hati Andika. "Bagaimana 

dia bisa tahu kalau tenaga sakti wari-

san buyutku mencapai kekuatan pamung-

kas pada tingkat kesembilan belas?"

"Wah! Masih muda sudah sering 

linglung! Hik hik hik!"

* * *

EMPAT


Sementara itu Pangeran Neraka 

tengah mengadakan pembicaraan rahasia 

dengan dua sekutu barunya, Kembar Dari 

Tiongkok. Di sebuah pondok di kaki bu-

kit yang Neraka Dunia, ketiganya ber-

kumpul.

"Aku tak mengerti, kenapa Mayang-

seruni tiba-tiba menghilang tanpa ter-

lebih dahulu meminta izin padaku?" ka-

ta Pangeran Neraka, membuka percaka-

pan.

Lelaki berkulit cacat itu berja-

lan hilir mudik dalam ruangan. Tangan-

nya terlipat di depan dada.

"Sebelum menghilang, apa ada ke-

jadian ditempat kita ini, Ketua?" 

tanya Chia Jui yang bersila bersebela-

han dengan saudara kembarnya, Chia 

Kuo.

Dua lelaki Cina itu memang telah 

mengangkat Pangeran Neraka sebagai 

'ketua'. Di samping karena tingkat il-

mu Pangeran Neraka lebih tinggi, mere-

ka juga membutuhkan pelindung. Paling 

tidak bisa membantu mereka jika suatu 

hari harus berhadapan dengan orang-

orang kerajaan yang hendak mereka tum-

bangkan dulu hersama Begal Ireng. Khu-

susnya, jika harus berhadapan dengan 

seseorang yang begitu mereka taku-

ti.... Pendekar Slebor (Baca episode

"Dendam dan Asmara").

"Ya! Memang telah terjadi sesua-

tu, sebelum Mayangseruni menghilang," 

gumam Bureksa alias Pangeran Neraka. 

Sekali lagi, disebutkannya nama asli 

Ratu Lebah.

Chia Jui dan Chia Kuo menunggu 

uraian Bureksa lebih lanjut.

"Menurut keterangan kemenakanku 

yang bernama Anggraini, Mayangseruni 

bertempur dengannya. Dan... ah! Baru 

aku ingat sekarang! Anggraini juga 

bercerita kalau ada seseorang melari-

kan Mayangseruni, ketika Anggraini 

berhasil melukainya!" cetus Bureksa.

"Kira-kira, berada di pihak mana 

orang yang telah melarikan Mayangseru-

ni?" tanya Chia Kuo.

Pertanyaan itu wajar saja diaju-

kannya. Dia maupun saudara kembarnya 

memang khawatir jika ada orang lain 

yang berdiri di pihak lawan. Malah, 

kesempatan mereka untuk mencari per-

lindungan di bawah ketiak Pangeran Ne-

raka, menjadi semakin tak bisa diha-

rapkan. Sebaliknya, jika ada orang 

lain yang memihak mereka, tentu dengan

begitu akan lebih banyak memiliki ke-

sempatan lolos dari tangan pihak kera-

jaan.

"Aku masih belum bisa memastikan. 

Yang jelas, orang itu memiliki kepan-

daian sulit diukur. Begitu menurut

Anggraini yang sempat melihat cara

orang itu melarikan Mayangseruni," ja-

wab Bureksa gamang, karena merasa ke-

hilangan seorang kaki tangan setangguh 

Ratu Lebah.

Chia Kuo dan Chia Jui tak suka 

mendengarnya. Mungkinkah dengan begitu 

mereka akan digerayangi rasa was was, 

karena belum bisa mengetahui orang itu 

berada di pihak mana?

"Bagaimana dengan rencanamu mem-

balas hutang nyawa Begal Ireng?" tanya 

Chia Jui kemudian.

Pangeran Neraka mengambil tempat 

duduk didepan lelaki gundul kembar 

itu. Pembicaraan makin sungguh-sungguh 

baginya, jika sudah membahas soal ren-

cana balas dendam terhadap Pendekar 

Slebor.

"Justru itu yang hendak kubicara-

kan pada kalian. Aku punya rencana ce-

merlang untuk mengirim pemuda itu ke 

neraka! Hu hu hu!" Bureksa mengekori 

kalimatnya dengan tawa anehnya.

Kembar Dari Tiongkok langsung me-

nampakkan wajah penasaran mendengar 

penuturan Pangeran Neraka. Mata kedua-

nya pun tampak berbinar-binar penuh 

luap. Dengan membantu membalaskan den-

dam Bureksa, mereka bisa sekaligus me-

metik keuntungan. Selamat dari buruan 

Pendekar Slebor! Dan hal itu memang 

yang amat diharapkan.

"Kalian tahu," kata Pangeran Ne-

raka, seraya mengangsurkan wajah ke

dekat Kembar Dari Tiongkok. Cara bica-

ranya penuh tekanan, memancing kein-

gintahuan Kembar Dari Tiongkok. "Pen-

dekar keparat itu akan mati, tanpa aku 

mesti turun tangan sedikit pun!"

Chia Jui dan Chia Kuo menatap 

sungguh-sungguh mata Bureksa. Kelopak 

mata mereka tak berkedip. Jangan 

tanya, bagaimana rasa penasaran mere-

ka.

"Bagaimana cara kau melakukan 

itu, Ketua?!" ujar! Chia Jui tak sabar 

menanti penuturan Bureksa selanjutnya.

"Huhuhu!"

Bureksa melempar tawa khasnya ke 

segenap ruangan, hingga memadati pon-

dok kecil itu. Alis matanya yang tebal 

dan lebat diungkit-ungkit.

"Kalian tunggu saja hari kematian 

anak sial itu!" bisik Bureksa, mende-

sis.

* * *

Apa yang sebenarnya dialami 

Anggraini setelah terhajar daun yang 

dilempar nenek pertapa? Andika tidak 

tahu jawabannya. Sejauh yang diketa-

huinya, Anggraini terpental jauh, lalu 

jatuh menyeruak gerombolan bunga mata-

hari.

Dan sampai sejauh itu, pemuda 

urakan ini tak habis fikir , siapa se-

sungguhnya nenek aneh itu. Sewaktu

bertemu untuk yang kedua kalinya di 

dekat sungai kecil, perempuan tua itu 

meninggalkannya begitu saja. Padahal, 

Andika mengira akan dilabrak atas lu-

ka-luka yang diderita Ratu Lebah. Lalu 

pada waktu yang bersamaan ini, si ne-

nek dengan telengas melabrak Anggrai-

ni. Sekaligus, membuat suatu kejutan 

dengan mengetahui tingkat pamungkas 

tenaga sakti Andika.

"Katakan padaku! Siapa kau sebe-

narnya, Nenek jelek?!" maki Andika, 

usai terbebas dari ketertegunannya.

"Jangan sebut-sebut aku nenek je-

lek! Kalau tak salah, di antara nenek-

nenek, akulah yang paling cantik! Hik 

hik hik!"

"Kau tak lebih dari tukang sihir 

kampung! Aku tak akan takut menghada-

pimu, meski ilmumu jauh lebih tinggi 

dariku. Bagiku, mengadu jiwa dengan 

manusia-manusia zalim adalah kehorma-

tan!"

"Hush! Hush! Jangan terus sewot 

begitu! Yang zalim itu siapa, Pemuda 

Tolol?!" dalih si nenek seraya menga-

cung-acungkan jari.

"Kau telah berlaku keji pada ga-

dis itu!" bentak Andika lagi. Jarinya 

menunjuk ke arah Anggraini terjerem-

bab.

Gadis itu belum tampak muncul da-

ri gerombolan pohon bunga matahari 

yang jangkung.

"Kau yakin aku telah berbuat keji 

pada gadis ayu tadi?" kelit si nenek 

tenang.

Andika tak melanjutkan caci ma-

kinya. Matanya yang mulai memerah ka-

rena marah, menatap si nenek lurus-

lurus.

"Jangan main-main padaku, Nenek 

Jelek! Apa maksud perkataanmu?" tanya 

Andika, masih dengan nada tinggi.

"Dasar anak muda! Selalu saja 

terburu nafsu dalam segala hal. Hik 

hik hik! Coba sana, kau lihat ke tem-

pat gadis ayu tadi jatuh," ujar si ne-

nek.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan itu ragu-ragu melirik tem-

pat jatuhnya Anggraini.

Ajaib! Saat itu, si gadis berpa-

kaian merah-merah muncul tanpa luka 

sedikit pun. Anggraini tampak sedang 

mengebut-ngebutkan pakaian dari dedau-

nan pohon bunga matahari yang menem-

pel.

"Nah, kan.... Kubilang juga 

apa...," seloroh si nenek penuh keme-

nangan. "Sudah, ya! Aku akan pergi du-

lu! Urusanku dengan kalian sudah 

beres. Menurutku, kalian anak muda 

yang jujur...."

Si nenek pun berkelebat dan hi-

lang.

Sepeninggalannya, Andika mengga-

ruk-garuk kepala. Ingin rasanya dia

menganggap semua kejadian dengan si 

nenek hanya mimpi. Semuanya begitu 

membingungkan!"

"Jadi hanya begitu saja?" gumam 

Andika, seperti orang bodoh.

"Aku punya urusan yang belum ter-

selesaikan denganmu, Andika!" sentak

Anggraini, mengejutkan pemuda itu.

Gadis berambut panjang itu sudah 

berdiri empat tombak di depannya. Si-

kapnya begitu kaku, sarat ancaman.

"Ada apa lagi ini?" tanya Andika, 

melihat sikap tak bersahabat Anggrai-

ni.

"Aku ingin menuntut hutang nya-

wa!"

Pandangan Andika terjatuh.

"Sudah kuduga, akhirnya kau akan 

tahu juga...," desah Pendekar Slebor. 

"Kuakui, memang aku telah 

......membunuh Begal Ireng, ayahmu. 

Tapi...."

"Aku tak butuh alasanmu!" penggal 

Anggraini dengan wajah merah penuh ke-

marahan.

"Kau harus dengar aku dulu, 

Anggraini!"

Andika berusaha menjelaskan pada 

Anggraini kembali Sia-sia. Gadis itu 

tampaknya sudah sampai pada ambang ba-

tas kemurkaan. Sebuah gejolak dendam 

membunuh siap tertumpah.

"Aku paham, bagaimana rasanya tak 

memiliki orangtua," bujuk pemuda itu

tak menyerah begitu saja.

"Aku tak peduli!"

Anggraini langsung memasang jurus 

pembuka. "Anggraini, tunggu!" cegah 

Andika. Tapi.... 

"Hiaaat!"

Sudah tak ada kesempatan lagi ba-

gi Pendekar Slebor menjelaskan duduk 

perkara sebenarnya. Dan ketika satu 

tusukan jari Anggraini lurus-lurus 

mengancam keningnya, Andika dengan si-

gap menahannya dengan himpitan telapak 

tangan.

Tap!

Tepat di depan wajah Pendekar 

Slebor, gerakan jemari halus namun 

berkekuatan milik Anggraini tertahan 

karena himpitan telapak tangan Andika.

Gadis dari Tanah Buangan ini su-

dah gelap mata Serangan susulan memba-

bi buta pun segera dilancarkan. Sebe-

lah tangannya yang bebas, menerabas 

dari samping kiri, menuju pelipis Pen-

dekar Slebor.

Wuk!

Suara santer yang tercipta menya-

darkan Pendek Slebor, kalau pelipisnya 

terancam sebentuk tenaga dalam yang 

bukan hanya meremukkan, melainkan mam-

pu membuat keningnya hancur lebur!

Pendekar Slebor sadar. Dia harus 

memapaki tebasan tangan Anggraini jika 

tak ingin pelipisnya jadi sasaran em-

puk. Untuk melakukannya, yang dibutuh

kan ialah tangan. Tapi, kedua tangan-

nya masih menghimpit satu tangan lain 

Anggraini. Kalau sedikit saja himpitan

telapak tangan dikendurkan, maka jari 

Anggraini akan langsung menusuk ken-

ing!

Kedudukan sulit itu dengan cerdik 

dipecahkan Pendekar Slebor. Seluruh 

kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutu-

kan segera disalurkannya ke sepasang 

telapak tangannya. Kekuatan sakti itu 

dalam sekejap menekan tenaga dalam 

yang berada dalam tangan Anggraini 

yang telah dihimpit. Maka tak ada se-

kerdipan mata, sebelah tangan Anggrai-

ni langsung bisa dikuasai Andika. Lalu 

dengan amat cepat, tangan Anggraini 

digiring untuk ditusukkan dengan sebe-

lah tangan gadis itu yang lain.

Aaagh!

Selamatlah pelipis Andika dari 

tebasan tangan gadis kalap ini. Yang 

menjadi sasarannya malah tangan 

Anggraini yang sebelah lagi. Ketika

bertumbukan, Anggraini merasakan tu-

lang-tulang tangannya seperti dilo-

loskan dari daging.

Bagai singa betina terluka, 

Anggraini tak peduli akan rasa menyik-

sa di bagian tangannya. Sesaat setelah 

sepasang telapak tangan Pendekar Sle-

bor melepaskan himpitan, dikirimkannya 

tendangan cepat bertubi-tubi ke bebe-

rapa bagian tubuh Pendekar Slebor.

"Hiaaa!" 

Deb!

Satu tendangan pertama dilepaskan 

dengan mantap. Sasarannya tulang rusuk 

kiri Pendekar Slebor.

Masih dengan mudah, Andika memen-

tahkan serangan Anggraini. Gerakannya 

yang kesohor amat cepat, mementahkan 

tendangan gadis itu dengan satu keli-

tan manis.

Deb!

Anggraini memburu. Tendangan be-

rikutnya mendarat lurus kedada bidang 

Andika.

Untuk tendangan kali ini, Pende-

kar Slebor tak hanya mengelak. Satu 

siasat tempur diterapkannya. Tangan 

Anggraini yang terangkat tinggi segera 

disambut angsuran tangan kebawah kaki. 

Berbarengan dengan itu Andika menya-

lurkan sebagian kekuatan warisan 

buyutnya yang sanggup menahan serudu-

kan banteng jantari sekali pun. Dan 

jari tangannya pun menjepit bagian ba-

wah kaki Anggraini.

Tap!

"Aaaw!" pekik Anggraini saat itu 

juga.

Jepitan jari Andika, tanpa senga-

ja rupanya mengenai bagian bawah pa-

hanya. Tak terlalu sakit. Hanya karena 

daerah itu cukup peka, Anggraini seke-

tika jadi menjerit kaget.

Sementara Andika sudah mengunci

gerak Anggraini dengan menekan kaki 

bagian atas dengan tangannya yang 

lain. Kuncian yang demikian kuat bagai 

himpitan batu karang, membuat Anggrai-

ni tidak bisa bergerak. Walaupun tan-

gannya masih bebas, tetap tidak bisa 

menjangkau Andika.

"Kurang ajar kau!" maki gadis 

itu.

Andika tersenyum serba salah.

"Aaa..., aku tak sengaja!" kilah 

pemuda itu, gagap.

"Lepaskan aku! Kita bertarung 

mengadu jiwa!"

"Jangan bernafsu begitu, Anggrai-

ni! Tak baik menyelesaikan persoalan 

dengan kepala mendidih," ujar Andika, 

menasihati.

"Aku tak perlu menyelesaikan per-

soalan hanya dengan bicara. Persoalan 

ini akan tuntas kalau kau sudah masuk 

liang kubur!" tandas Anggraini berge-

jolak.

"Tenanglah dulu...," ucap Andika, 

kehabisan kata menghadapi amukan den-

dam gadis ini.

"Lepaskan aku pengecut!" hardik 

Anggraini.

Karena tak ingin dianggap kurang

ajar, Andika akhirnya melepaskan juga 

kuncian itu. Kalau lebih lama, akan 

menjadi kian risih.

Selagi melepas kuncian, pendekar 

muda kesohor itu melenting ringan ke

belakang, untuk mengambil jarak. Ia

berniat membujuk Anggraini sekali la-

gi.

"Anggraini, sabar.... Mestinya 

kau berpikir, kenapa aku tidak membu-

nuhmu selagi aku tahu, kau akan menun-

tut balas terhadap kematian ayahmu," 

jelas Andika dengan tangan terangkat 

ke depan, mencoba menyabarkan Anggrai-

ni.

Sembilan tombak dari tempatnya, 

Anggraini mulai maju selangkah demi 

selangkah. Matanya menusuk lurus, amat 

mengancam. Sementara tangannya berge-

rak-gerak memainkan kembangan jurus 

yang pernah diajarkan ibunya.

"Aku pernah berpikir seperti 

itu," geram Anggraini.

"Lalu?" tanya Andika tersurut-

surut, seperti tikus selokan tertang-

kap basah oleh kucing betina.

"Aku tak peduli pada hal itu la-

gi!"

"Itu artinya kau tak mau menden-

gar suara hatimu, Anggraini. Sadar-

lah.... Apakah kau tak tahu, suara ha-

ti kerap kali membawa kebenaran?"

"Kukatakan sekali lagi, aku tak 

peduli!"

"O, Tuhan...," keluh Andika.

Kepala Pendekar Slebor menengadah 

ke angkasa.

"Apa dunia-Mu ini sudah terbalik? 

Mengapa orang yang ingin menegakkan

kebenaran seperti diri hamba harus di-

tuding bagai orang hukuman?" bisik 

Pendekar Slebor, seperti menggugat.

Sang Maha Tunggal pasti mendengar 

keluh Andika.

Tapi apa Anggraini sudi menden-

garkan juga? Tidak! gadis itu menerkam 

Pendekar Slebor manakala jarak mereka 

tinggal empat tombak lagi. 

"Hiaaah!"

Sepuluh jari indah gadis itu se-

ketika menegang, memperlihatkan kesan 

kebengisan. Setelah bersalto, tubuhnya

meluruk di udara dengan sepasang tan-

gan mencabik udara.

Srah! Srah! Srah!

Tiba di dekat Andika, cabikan 

tangan Anggraini yang hanya dimaksud-

kan untuk mengumpulkan tenaga ketela-

pak tangan, mengembang lebar dan men-

gepak indah bagai sepasang sayap kupu-

kupu. Angin besar tercipta dari kepa-

kannya, pertanda kekuatan yang tersim-

pan pada serangan tak bisa dianggap 

main-main. Kupu-kupu Merah, Ibunya, 

memang telah mewariskan ilmu 'Kepakan 

Sang Kupu-kupu' yang dahsyat kepada 

anak tunggalnya!

Tindakan Anggraini tersebut me-

maksa Andika mengeluarkan pula satu 

jurus yang cukup diandalkan. 'Guntur 

Selaksa'!

"Heaaa!"

Deb! Deb! Deb!

* * *

Wajar saja kalau Andika terheran-

heran terhadap si nenek pertapa, guru 

Ratu Lebah yang sebenarnya bernama 

Nyai Silili-lilu. Satu nama aneh yang 

entah didapat dari mana. Dia adalah 

seorang pertapa berusia amat uzur. 

Bahkan untuk ukuran seorang nenek se-

kalipun. Dia telah hidup lebih dari 

tiga keturunan. Dunia persilatan sudah 

menganggapnya sebagai siluman perem-

puan, karena tabiatnya sulit dipahami 

dengan kesaktian yang demikian tinggi.

Nyai Silili-lilu kini kembali ke-

tempat persembunyiannya. Seperti bi-

asa, dia masuk ke dalam satu wilayah 

pemakaman tua. Melalui pintu rahasia 

pada pohon besar di tengah kuburan, 

perempuan tua itu masuk ke ruang bawah 

tanah. Dan akhirnya si nenek pertapa 

tiba di ruangan, tempat tubuh Mayang-

seruni atau Ratu Lebah terbaring.

Kini si nenek menghampiri satu 

sudut ruangan, tempat penyimpanan se-

gala perabotannya. Beberapa saat, di-

aduk-aduknya barang-barang yang sudah 

bagai tumpukan loak itu. Seisi ruangan 

jadi bising tak karuan.

Kalau saja ada orang yang meli-

hat, tentu orang itu akan bingung. Se-

benarnya, si nenek sedang mencari se-

suatu atau sedang uring-uringan?

Gedumbrang... gedumbreng! Prak!

Cit, cit, cit!

Seekor tikus kurus lari terbirit-

birit, ketika tangan luput si nenek 

menggapai satu baki rombeng dari tuang

laut.

"Selalu saja kau susah ditemukan 

kalau sedang dibutuhkan! Dasar baki 

kentut!" maki perempuan tua ini, seb-

al.

Tertatih-tatih, Nyai Silili-lilu 

membawa baki yang disebutnya sebagai 

Baki Penerawang itu ke sebuah meja, 

setelah sebelumnya diisi air dari gen-

tong di satu sudut. Tak cuma baki yang 

menempati meja. Tubuh kurusnya pun am-

bil bagian di atas meja batu.

Kini Nyai Silili-lilu bersila te-

pat di depan baki. Baki dan pemiliknya 

sudah mirip penghias meja. Mata Nyai 

Silili-lilu terpejam. Tangannya me-

nyentuh sisi kening.

"Nyam..., nyammm.... Khoekchuih!" 

perempuan tua itu memulai mantera-

manteranya.

Dal del dol perkedel nonjol...

Pak tani ketiban papan....

Matinya jam delapan....

Kuburnya tahun depan.... Ngik! 

Nyam... nyam" Dari balik rompi kulit 

pohonnya, perlahan-lahan tangan Nyai 

Silili-lilu mengeluarkan selembar ke-

cil sobekan kain berwarna hijau muda 

dari sobekan baju Andika. Sengaja so-

bekan kain itu disembunyikan, sewaktu

Andika sedang mandi di sungai kecil 

beberapa waktu yang lalu,

Dengan lemah gemulai, sobekan 

kain bau apek itu dilemparkan ke dalam 

baki berisi air hingga menjadi basah. 

Beberapa saat mengapung, lalu tengge-

lam ke dasar baki.

Kelopak mata Nyai Silili-lilu pun 

menyusul membuka. Cukup lama matanya 

melirik-lirik ke seluruh bagian baki. 

Alisnya yang putih sampai-sampai me-

lengkung hebat. Sesuatu yang diha-

rapkannya belum juga muncul. Perempuan 

tua ini mulai mangkel. Bibirnya maju

mundur tak teratur, lebih jelek dari-

pada mulut mujair.

"Baki slomprettt! Jangan coba-

coba mogok kerja, ya?!" maki Nyai Si-

lili-lilu dengan segenap semburan 

liur.

Setelah dimaki, terjadi perubahan 

pada baki. Dan wajah keriput si nenek 

pun ikut berubah. Cerah ceria, gemah 

ripah dan sebagainya....

"Mmm emmm emmm...," gumam Nyai 

Silili-lilu sambil mengangguk-angguk 

kepala berirama. "Ya ya ya. Sudah ku-

duga sebelumnya. Anak muda itu memang 

masih ada hubungan denganku. Dia itu 

cucunya si Sapta Cakra buduk, adikku 

yang ileran sewaktu masih kecil. Iik 

hik hik! Her... iler...."

Inilah satu tabir rahasia yang 

sampai saat ini belum terbuka untuk

Pendekar Slebor. Sesungguhnya, Nyai 

Silili-lilu kakak perempuan dari Ki 

Saptacakra, buyut Andika sendiri. Se-

perti juga Ki Saptacakra yang lebih 

dikenal sebagai Pendekar Lembah Kutu-

kan, Nyai Silili-lilu juga sudah men-

jadi cerita rakyat. Jika nama Pendekar 

Lembah Kutukan besar karena ksatriaan-

nya, maka Nyai Silili-lilu besar kare-

na sifatnya yang ganjil. Namun begitu, 

tetap ada satu kejelasan kalau perem-

puan tua itu tak akan pernah sudi me-

mihak pada golongan sesat. Meski, tak 

juga memerangi kalau benar-benar tak 

terpaksa. Dengan begitu, orang sering 

juga menyebutnya si Nenek pertapa ren-

dah hati. Karena, dianggap tak mau me-

mamerkan kesaktiannya.

Nyai Silili-lilu kini menepuk-

nepuk dengkul sebentar. Lalu mulai 

bergumam lagi. Suara gumamannya ter-

dengar seperti orang berkumur.

"E e e! Rupanya dia juga pernah 

makan buah 'inti petir'! Wih! Rakus 

juga anak muda itu, ya? Dan... lho? 

kok gambarnya hilang?!" sentak Nyai 

Silili-lilu. Matanya terbelalak, mulai 

mau mengamuk lagi dia. Sebelum sembu-

ran mulutnya terjadi, bayangan di baki 

muncul lagi.

"Lho? Anak muda ini sedang ber-

tempur dengan kawan wanitanya. Kok, 

bisa begitu ya? Wah! Mesti cepat-cepat 

kulerai. Kalau tidak, bisa ada yang

celaka....'

Nyai Silili-lilu bergegas bangkit 

dari meja batunya

Gedumprang!

Nyai Silili-lilu tiba di tempat 

pertempuran, saat sepasang anak muda 

itu sedang terlibat pertukaran jurus

hebat. Debu menyelimuti arena pertem-

puran, Kehebatan tenaga dalam yang di-

miliki masing-masing menciptakan gu-

lungan debu tinggi serta pusaran angin 

yang menghempas batuan ke mana-mana 

saat terjadi benturan. Sebagian padang 

tanaman bunga matahari pur sudah tak 

jelas lagi bentuknya.

"Boleh juga ilmu mereka," puji 

Nyai Silili-lilu. Nenek itu berdiri 

cukup jauh. Jarak yang cukup untuk bi-

sa menikmati pertempuran.

"Iya, ya. Kalau cepat-cepat kule-

rai, aku bisa kehilangan tontonan se-

ru," gumam Nyai Silili-lilu. "Lebih

asyik kalau. kunikmati dulu dua muda-

mudi itu baku hantam. Setelah mereka 

mulai tak terkendali, baru kulerai. 

Hik hik hik! Gagasan yang bagus!"

Maka, Nyai Silili-lilu yang semu-

la hendak melerai Andika dan Anggrai-

ni, sekarang malah duduk santai meng-

guncang-uncang kaki dibawah serumpun 

bambu kuning. Tingkahnya yang sudah 

berlipat seperti gombal, mencoba ber-

siul. Yang dihasilkan malah suara 

sember seperti kaleng rombeng ditiup

angin!

"Hiaaa!"

Des! Deb! Deb!

Biar bagaimanapun, Pendekar Sle-

bor tetap berada atas angin. Sekian 

puluh jurus tangguh dikerahkan 

Anggraini, tetap tidak bisa menjatuh-

kannya. Bahkan untuk sekadar membuat 

terdesak sekalipun.

Jurus-jurus ciptaan Andika di 

Lembah Kutukan memang bukanlah tandin-

gan gadis yang masih hijau di dunia 

persilatan ini. Kalaupun Anggraini te-

lah mengeluarkan beberapa tingkat ilmu 

Kekuatan Kembarnya, tetap tak menjamin 

bisa mengungguli Andika.

Setiap kali telapak tangan 

Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan 

Kembar', Pendekar Slebor meredamnya 

dengan selubung kekuatan sakti warisan 

Ki Saptacakra yang sanggup menahan 

gempuran petir!

Sampai satu ketika....

Tap!

Kecepatan tangan Andika yang ser-

ing membuat Warga persilatan kagum, 

mencekal pergelangan tangan gadis itu. 

Sekali terkena, tangan Pendekar Slebor 

langsung lekat bagai bertemunya dua 

besi sembrani.

Dalam serangkai gerakan yang su-

lit diikuti mat awam, Andika langsung 

memutar tubuh Anggraini hingga membe-

lakanginya. Pada jarak berhimpitan

itu, sebelah tangan Andika lain dengan 

tangkas meraih pinggang gadis itu dari 

belakang.

Tap!

Pendekar Slebor pun langsung men-

gunci tubuh Anggraini dalam pelukan-

nya.

Gadis itu berusaha meronta sepe-

nuh tenaga. Tapi tetap tak berhasil 

melepaskan diri. Tentu saja, tenaga

Pendekar Slebor jauh lebih unggul da-

rinya.

"Lepaskan aku, Pengecut! Apa kau 

hanya bisa berbuat seperti ini?!" maki 

Anggraini dalam rontaannya yang sia-

sia.

"Kalau kau terus meronta, aku 

akan terus mendekapmu," kata Andika, 

tepat di belakang telinga Anggraini. 

Kata-katanya diucapkan tanpa amarah 

dan berkesan dalam.

Ternyata tak sekadar telinga 

Anggraini yang menangkap kalimat Andi-

ka barusan. Hati wanitanya pun me-

nangkapnya. Ada getaran yang tercipta 

di dada gadis ini. Gemuruh yang sejuk. 

Maka perlahan-lahan tenaga rontaannya 

memupus, lalu hilang sama sekali. 

Anggraini tergugu dalam dekapan tangan 

kekar pemuda yang menitipkan cinta 

pertama baginya.

Di antara tarikan napas Anggraini 

yang masih terhela, Andika mendekatkan 

mulutnya.

"Kau bisa memusuhiku. Bahkan kau 

bisa membunuhku. Tapi asal kau tahu, 

aku tak akan mungkin membunuh dan me-

musuhimu...," bisik Andika.

Anggraini bisa menikmati selent-

ing rasa damai dalam kalimat Andika. 

Dan itu membuatnya seperti makin ter-

tawan dalam sangkar cinta yang menda-

dak menyembul, manakala tak berdaya di 

dada bidang sang jejaka.

"Kau tahu sebabnya? Karena kau 

tak pantas mendapatkan sikap permusu-

hanku. Kau gadis yang berhati pualam. 

Rasa sayangmu terhadap orang tua, mem-

buktikannya. Jadi, kau tak bisa memak-

saku memusuhimu," desah Andika, seraya 

mengendurkan cekalannya pada tangan 

Anggraini.

Dengan hati-hati pula, Andika me-

lepas pelukan sebelah tangannya pada 

pinggang Anggraini. Kakinya lantas 

mundur beberapa langkah, membiarkan 

Anggraini terpaku merenungi kata-kata 

tadi.

Tak lama kemudian, bahu gadis itu 

tampak berguncang-guncang kecil. Kepa-

lanya merunduk. Sementara, sebelah 

tangannya menutup bibir.

"Anggraini!" panggil Andika, ke-

tika gadis menawan berlari membawa 

isak tertahannya.

Plok! Plok! Plok...!

"Weleh..weleh..weleh! Sebuah ade-

gan yang mengharukan," ceracau Nyai

Silili-lilu sepeninggalan Anggraini.

Dihampirinya Andika. Sementara 

pemuda itu masih terpaku menatap hi-

langnya Anggraini di kejauhan.

"Heh, sudah jangan sedih! Nanti! 

Uwak belikan gasing dari kulit jeng-

kol...," tegur Nyai Silili-lilu, sam-

bil menepuk pundak Andika.

Mendengar seloroh si nenek, Andi-

ka menoleh Meski dengan kalimat meng-

goda, Andika tahu ucapan Nyai Silili-

lilu ditujukan untuk menghibur kega-

lauan hatinya terhadap sikap Anggrai-

ni.

"Kau lagi, Nek. Ada perlu apa la-

gi?" tanya Andika. Tak seperti sebe-

lumnya, kali ini pendekar muda itu

bersikap lebih ramah.

"Aku butuh pertolonganmu," kata 

Nyai Silili-lilu singkat. Lalu tanpa 

banyak mulut, tangan Andika langsung 

ditariknya.

"Mau ke mana kita, Nek?"

"Nanti juga kau tahu!"

"Asal jangan dibawa ke neraka sa-

ja...."

"Kalau banyak tanya, kau bakal 

sampai ke neraka!!

Andika meringis ngeri.

* * *

ENAM


Pendekar Slebor begitu terbawa 

pesona, menatapi sosok yang terbaring 

di depannya. Berkelopak mata lembut, 

diperindah sebaris bulu lentik nan le-

gam. Matanya terkatup. Di bawah sepa-

sang mata berbulu lentik, mencuat hi-

dung tipis dan bangir. Sisi-sisi pang-

kalnya mempertegas cekung kelopak ma-

ta, mempersarat kesan menggoda. Di ba-

wah cuping hidung yang melancip, ada 

terbentang bibir merah menggemaskan. 

Bagian atasnya tipis, sedang bagian 

bawahnya merekah. Dalam keadaan seten-

gah terbuka, bibir itu seperti mengun-

dang birahi setiap pria. Semuanya ada 

dalam sebentuk wajah bulat telur, di-

permanis kulit kuning langsat berca-

haya.

Sosok itu diam dalam kedamaian 

yang dimilikinya. Dalam kedamaian, dia 

seperti terbebas dari sebuah belenggu.

"Dhuarrr...!"

Andika kontan tersentak dari ke-

terpesonaannya terhadap wajah Mayang-

seruni yang masih tak sadarkan diri.

Sementara itu, Nyai Silili-lilu 

berada di belakangnya. Tampak cengar-

cengir, memergoki Andika yang tadi 

tengah menikmati mana karya Tuhan yang 

terbentang diam di meja batu.

"Suaramu masih lumayan keras un-

tuk membuat copot jantungku, Nek," se

loroh Andika, berusaha berkelit dari 

tatapan mata Nyai Silili-lilu yang 

menggoda.

"Tertangkap basah?" cecar Nyai 

Silili-lilu.

"Iya, Nek. He he he," sahut Andi-

ka, mati kutu.

"Apa kubilang. Kau akan terpesona 

setelah memperhatikan muridku...," tu-

kas nenek pertapa itu seraya membenahi 

perabotannya yang lupa dibereskan.

"Aku tak mengira wanita yang ke-

jam bisa memancarkan kedamaian dalam 

ketidak sadarannya," kata Andika agak 

bergumam.

"Slompret kau! Dia bukannya gadis 

jahat! Jangan coba-coba lagi kau sebut 

dia begitu!" hardik Nyai Silili-lilu 

gemas.

"Tapi..."

"Ya..., ya! Kau akan mengatakan 

tentang tindak-tanduknya di lembah 

Pintu Sorga dan Neraka Dunia, bukan?" 

serobot Nyai Silili-lilu sambil terus 

sibuk meletakkan barang-barangnya ke-

tempat semula. "Sebenarnya, itu bukan 

sifat asli Mayangseruni, Anak Muda. 

Dia berubah sifat, karena terkena ra-

cun 'Perusak Saraf milik Bureksa!"

"Bureksa?" tanya Andika. Jangan-

kan nama Bureksa, julukan lelaki itu 

pun Andika belum tahu.

"Itu, lho.... Pangeran Neraka," 

tambah Nyai Silili-lilu, menegaskan.

"Pangeran Neraka?"

Mata perempuan tua itu memelototi 

Andika.

"Kau ini bagaimana? Malang melin-

tang di dunia persilatan, tapi belum 

tahu kalau musuh yang telah kau tumpas 

punya seorang kakak lelaki. Maksudku, 

si Bureksa itu adalah kakaknya Begal 

Ireng, Tolol!" dengus Nyai Silili-

lilu.

Andika tak memberi tanggapan apa-

apa. Pemuda itu diam dengan kelopak 

mata menyipit. Ada sesuatu yang dipi-

kirkannya, setelah mendengar penjela-

san Nyai Silili-lilu.

"Pantas saja Anggraini cepat tahu 

kalau aku adalah pembunuh ayahnya," 

gumam pemuda berambut gondrong ini. 

"Pasti, lelaki itu yang telah memberi-

tahu. Dia pula tentu yang menghasut-

hasut Anggraini, dengan memutar-

balikkan kenyataan sebenarnya.... Li-

cik!"

"Betul!" sambut perempuan tua ini 

seraya menuding telunjuk di depan wa-

jah Andika. "Lelaki slompret itu me-

mang licik! Cepat atau lambat, kau 

pasti akan menghadapinya juga. Untuk 

itu, aku peringati. Hati-hati terhadap 

Bureksa! Dia selicik serigala dan se-

licin belut!"

Kepala Andika mengangguk-angguk.

"Bagus! Sekarang kau harus mem-

bantuku menolong anak gadisku yang ma

lang ini," ujar Nyai Silili-lilu.

Segera perempuan tua itu mendeka-

ti meja batu tempat Mayangseruni ter-

geletak.

"Oh, iya! Ada satu hal lagi, se-

belum kita berusaha menolong anak ga-

disku. Kau harus memanggilku 'Uwak'!" 

sambung si nenek, sama sekali membuat 

Andika tak mengerti.

"Kenapa aku harus memanggilmu 

'Uwak'?" tanya Andika.

"Karena kau adalah cicit kemena-

kanku..." 

"Maksudmu bagaimana, Nek?" 

"Uwak!"

"Eh, iya! Maksudmu bagaimana..., 

Uwak?"

"Aaah, slompret kau! Sudah kubi-

lang jangan banyak tanya! Telingaku 

sudah terlalu tua untuk menerima per-

tanyaanmu yang tak habis-habisnya!"

Andika hanya bisa menggaruk-garuk 

kepala, meski tak gatal.

Untuk menyembuhkan Mayangseruni, 

memang dibutuhkan bantuan seseorang 

yang sudah pernah memakan buah 'inti 

petir'. Salah seorang yang beruntung 

memakan buah langka itu adalah Andika. 

Ki Saptacakra telah memberi buah itu, 

ketika Andika menyelesaikan penyempur-

naannya di Lembah Kutukan (Baca epi-

sode : "Dendam dan Asmara").

Sudah menjadi semacam cerita di 

dunia persilatan, bahwa bila seseorang

memakan buah mukjizat itu, maka akan 

sanggup menyerap tenaga petir ke dalam 

seluruh serat tubuhnya. Bahkan sekali-

gus dapat memanfaatkan tenaga petir 

itu menjadi sebentuk pukulan maha dah-

syat berkekuatan geledek raksasa!

Kejadian sebenarnya, nyata-nyata 

bukan sekadar cerita. Andika kerap

kali mengalami hal ini, setelah mema-

kan buah 'inti petir'. Dalam saat-saat 

genting menghadapi musuh yang terlam-

pau tangguh, Pendekar Slebor bisa me-

lancarkan pukulan maut sekuat petir 

setelah terlebih dahulu menyerapnya 

dari angkasa. Sayangnya, kehebatan itu 

tak selalu bisa diwujudkan, selama tak 

ada arakan awan hitam pekat. Dan Andi-

ka lebih suka menganggapnya sebagai 

suatu bukti kekuasaan Tuhan. Tanpa ke-

hendak dan kodrat-Nya, segala hal yang 

mungkin terjadi tidak mungkin. Seba-

liknya, hal yang terkadang mustahil, 

mendadak bisa terjadi.

Saat ini, kemukjizatan buah 'inti 

petir' yang sudah menyatu dengan darah

dan daging Andika, hendak dicoba di-

manfaatkan oleh Nyai Silili-lilu demi 

kesembuhan murid tunggalnya.

Sewaktu ditanya caranya, jawaban 

Nyai Silili-lilu mengejutkan Andika. 

Katanya, untuk bisa memulihkan simpul-

simpul saraf dalam jaringan otak 

Mayangseruni yang terganggu, Pendekar 

Slebor harus mencoba menyerap sambaran

petir.

Andika berpikir, itu pun gila. 

Kalau sebelumnya tubuhnya menyerap ke-

kuatan petir, itu semata-mata di luar 

kehendaknya. Petir tiba-tiba menyam-

bar. Dan dia merasakan penderitaan 

luar biasa bagai disayat-sayat sejuta 

kuku hewan buas.

Maka jika sekarang harus menanti 

disambar petir di atas sebuah bukit 

gundul, itu sama artinya menyiksa di-

ri. Padahal setiap kali mengalami pe-

nyerapan kekuatan petir, Andika selalu 

berharap hal itu tak akan terjadi lagi 

padanya, untuk seumur hidupnya!

"Kalau begitu, kau bukanlah ksa-

tria sejati!" rutuk Nyai Silili-lilu 

menerima penolakan Andika. 

"Ini sama saja bunuh diri!" kilah 

Andika.

Bukannya Pendekar Slebor gentar, 

tapi hanya agak ragu. Apakah pada saat 

dia sengaja membiarkan dirinya disam-

bar petir, nyawanya tetap utuh di ba-

dan? Itu berarti dirinya telah melaku-

kan kebodohan andai benar-benar tewas. 

Lagi pula, sengaja menentang kekuatan 

alam, seperti hendak menjajal-jajal 

kekuasaan Tuhan. Dan dia tak mau jadi 

manusia durhaka!

"Kau tak perlu menganggapnya bu-

nuh diri, Tolol! Kau harus menganggap-

nya usaha menolong sesama!" kilah Nyai 

Silili-lilu, tak mau kalah bersikeras.

"Aku tak mau menentang kekuasaan 

Tuhan dengan sengaja!"

"Anak bandel! Apa kau pikir Tuhan 

tak tahu hatimu? Dia itu mengetahui 

apa-apa yang dilahirkan atau disembu-

nyikan hati manusia. Kalau niatmu ik-

hlas untuk menolong orang lain, tentu 

tindakanmu tergolong tugas suci!"

Andika diam dengan wajah terli-

pat. Pemuda itu duduk melengkung di 

bangku batu milik si nenek pertapa. 

Kedua tangannya menopang dagu.

Melihat Andika duduk bertopang 

dagu seperti itu, lama kelamaan Nyai 

Silili-lilu menjadi sebal.

"Huh! Tak kukira aku akan punya 

cicit kemenakan sepengecut kau!"

Andika terusik. Telah dua kali 

telinganya mendengar si nenek menyebut 

dirinya 'cicit kemenakan'. Benar-benar 

mengundang keingintahuannya.

"Siapa kau ini sebenarnya, Uwak? 

Sudah dua kali kau menyebutku cicit

kemenakan...?" tanya Andika penasaran.

"Janji dulu padaku, kau harus me-

nolong Mayangseruni. Setelah itu, baru 

kau kuceritakan siapa aku sebenarnya!" 

elak si nenek, menuntut satu perjan-

jian tak tertulis.

"Baik..., baiklah!" putus Andika 

akhirnya. "Tapi bukan karena aku ingin 

tahu siapa kau sebenarnya. Aku mere-

nungi kata-katamu barusan. Sepertinya, 

ucapanmu ada benarnya, Uwak," tutur

Andika jujur.

"Hik hik hik! Itu baru cicit ke-

menakanku!"

"Sekarang ceritakanlah?" pinta 

Andika.

Nyai Silili-lilu pun memulai ce-

ritanya.

***

Dua hari berlalu sudah. Kuburan 

tua tempat tinggal Nyai Silili-lilu 

tampak lengang. Kabut pagi bergen-

tayangan lamban. Hujan yang sejak se-

malam mengguyuri hebat, pagi itu ting-

gal tersisa rintik-rintik gerimis sa-

ja. 

Dalam rinai gerimis halus, dua 

sosok tubuh berjalan beriringan. Salah 

seorang berbadan gagah dan tegap, mem-

bopong tubuh sintal seorang wanita. Di 

sisinya, tertatih-tatih melangkah ne-

nek tua bungkuk berpakaian ganjil.

Keduanya adalah Andika dan Nyai 

Silili-lilu. Sedangkan wanita yang di-

bopong Pendekar Slebor tentu saja 

Mayangseruni.

Semalam, ketika hujan badai me-

rangsek bumi keduanya membawa segera 

Mayangseruni kebukit terdekat. Sebuah 

bukit yang gundul kerontang, tanpa ada 

sebatang pohon menjulang. Tempat itu-

lah yang amat tepat bagi orang yang 

hendak menyudahi hidup, dalam hujan

menggila. Petir setiap saat akan men-

cari perantara ke bumi. Jika tidak ada 

sebatang pohon pun, maka setiap benda 

yang sudi berdiri tegak di sana akan 

menjadi sasarannya. Termasuk, manusia.

Dan tempat itu pula, sangat tepat 

untuk melaksanakan rencana pengobatan 

Mayangseruni menurut Nyai Silili-lilu. 

Andika pun berpikir begitu, setelah 

niatnya benar-benar bulat untuk meno-

long si gadis malang.

Maka, malam itu juga mereka be-

rangkat. Tebing-tebing terjal yang me-

magari bukit tak menjadi halangan bagi 

kedua tokoh sakti berbeda usia itu. 

Tak juga badai yang mengamuk, tak juga 

jurang-jurang yang siap menelan tubuh 

mereka.

Begitu tiba di ubun-ubun bukit, 

Nyai Silili-lilu bergegas menjauhi An-

dika yang tegak menentang angkasa, 

serta tubuh Mayangseruni yang rebah di 

dekatnya. Meski dalam hal kesaktian, 

si nenek berada beberapa tingkat ilmu

atas Andika, namun tak akan sudi han-

gus diterjang lidah petir. Hanya 

orang-orang yang beruntung memakan 

buah 'inti petir' saja yang bisa me-

naklukkan gejala alam dahsyat itu.

Belum lagi tubuh bungkuk Nyai Si-

lili-lilu mencapai jarak yang cukup 

jauh, sejulur lidah petir menyalak, 

membelah langit. 

Glar!

Tubuh Andika yang menjadi ujung 

puncak bukit, tak ayal lagi disambar-

nya. Pada kejap yang berselang begitu 

tipis, tubuh si jejaka bergetar dan 

tersentak-sentak.

Yang terjadi selanjutnya, siksaan 

tak terhingga dialami Andika. Penderi-

taannya lebih hebat, dibanding tubuh-

nya ditarik seratus ekor kuda liar. 

Atau lebih menyakitkan dari sayatan 

sejuta sembilu.

Tak ada satu benteng diri yang 

sanggup menahan penderitaan itu. Tak 

juga milik pemuda berhati baja Pende-

kar Slebor. Alam memang terkadang bisa 

ditaklukkan. Tapi, manusia tetap tak 

kuasa mengaturnya. Maka, mulut Andika 

pun melempar teriakan melengking bagai 

hendak menyaingi salakan guntur mero-

bek angkasa!

Tangan Andika mengejang serta 

membentang tinggi-tinggi ke atas. Ke-

palanya menengadah, seakan hendak me-

robek lehernya sendiri. Seluruh otot-

otot di tubuhnya meregang, dialiri te-

gangan petir alam raksasa. 

Kekokohan poros hati pemuda ini 

memang patut dikagumi. Meski dalam 

penderitaan yang bisa melempar kesada-

rannya, Andika ternyata mampu memper-

tahankan tekad untuk menolong Mayang-

seruni. Dia bertahan untuk tidak jatuh 

pingsan. Dan kesadarannya meronta-

ronta, untuk segera melakukan tindakan

terhadap gadis di dekat tempatnya ber-

diri.

Perjuangan antara hidup dan mati 

dimulai. Andika berusaha menahan te-

gangan lidah-lidah petir raksasa dalam 

tubuhnya, agar tak langsung terserap 

bumi. Sesuai nasihat Nyai Silili-lilu, 

Andika harus menyalurkan sebagian te-

naga petir ketubuh Mayangseruni mela-

lui keningnya.

Dalam cucuran hujan dan terpaan 

badai, dalam gelombang siksaan yang

tak kunjung henti, dan dalam getaran 

tubuh, Andika perlahan-lahan menurun-

kan dua jari telunjuknya ke pelipis 

gadis itu.

Begitu kedua jari telunjuk Pende-

kar Slebor menyentuh pelipis Mayangse-

runi, gelombang hebat tenaga petir 

raksasa dalam tubuhnya mengalir liar 

menuju tubuh gadis ini.

Srrrt!

Tubuh basah kuyup Mayangseruni 

tersentak-sentak seperti dialami Andi-

ka sebelumnya. Dada montoknya terang-

kat-angkat cepat, bagai dirasuki mak-

hluk halus buas.

Pada kala itulah Pendekar Slebor 

harus segera memenggal aliran lidah 

petir raksasa yang menjadikan tubuh

gadis itu sebagai perantara ke bumi. 

Jika tidak, Mayangseruni bukannya bisa 

disembuhkan. Malah, justru nyawanya 

akan melayang!

Namun, tindakan itu bukanlah hal 

yang mudah buat Andika. Tubuh halus 

gelombang lidah petir raksasa yang su-

dah mendapat perantara menuju bumi, 

akan sulit diputuskan manakala telan-

jur menemukan jalan. Untuk itu, Andi-

ka harus mengempos seluruh kekuatan 

dalam setiap jengkal dirinya.

"Heeeaaakh!" teriak Andika serak 

mengerikan.

Di akhir teriakan, jari Andika 

dapat diangkat dari pelipis Mayangse-

runi. Berbarengan dengan itu, tubuh 

Pendekar Slebor terlempar jauh ke be-

lakang terhempas tenaganya sendiri.

Pemuda berhati baja itu baru bisa 

bangkit, setelah hujan mereda. Itu pun

telah dibantu Nyai Silili-lilu dengan 

menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh-

nya.

"Kira-kira, kapan dia akan si-

uman, Uwak?" tanya Andika ketika mere-

ka tiba di pintu masuk yang terdapat 

di tubuh pohon besar. Pakaiannya tam-

pak koyak-moyak, seperti dicabik-cabik 

sekawanan serigala. Wajahnya yang ba-

sah masih tampak pucat, setelah menga-

lami perjuangan antara hidup dan mati 

di atas bukit.

"Kenapa kau bertanya begitu, Bo-

cah Slompret?" Nyai Silili-lilu malah 

balik bertanya. Bibirnya tersungging

kecil, penuh arti. "Apa kau sudah tak 

sabar ingin mengenal lebih dekat gadis

yang telah kau tolong? Kau punya pa-

mrih sewaktu berniat menolong, ya?"

Andika tentu saja tahu kalau ne-

nek tua yang telah diketahui sebagai 

kakak kandung buyutnya, Pendekar Lem-

bah Kutukan, hanya ingin bergurau.

Sewaktu melewati anak tangga batu 

menuju ruang bawah tanah, mata Andika 

memperhatikan seluruh anak tangga yang 

aneh menurutnya.

"Uwak! Boleh kutanya sedikit?" 

aju Pendekar Slebor pada si nenek.

"Ah! Kau selalu saja bertanya!" 

tukas Nyai Silili-lilu.

"Kenapa tangga batu ini aneh se-

kali? Beberapa anak tangga diwarnai 

merah. Sebagian lain kuning, dan si-

sanya hijau. Apa maksudnya?"

Nyai Silili-lilu berhenti pada 

satu anak tangga. Andika mengikuti. 

Jari telunjuk nenek itu lalu menotok-

notok kening Andika keras-keras. Sam-

pai-sampai, kepalanya melengak-lengak.

"Pikir..., pikir! Anak muda beb-

al! Sepanjang pengetahuanku, keturu-

nanku memiliki otak yang encer!"

* * *

TUJUH


Gubuk kecil tempat kediaman Pan-

geran Neraka dan anteknya, Kembar Dari 

Tiongkok kelihatan sepi. Tak ada suara

seorang pun di dalamnya.

Sementara, Anggraini tiba di anak 

tangga masuk. Dan saat itulah Pangeran 

Neraka muncul bersama Kembar Dari 

Tiongkok.

"Anggraini!" panggil Pangeran Ne-

raka.

Anggraini menoleh. Langkahnya un-

tuk menaiki tangga gubuk diurungkan.

"Dari mana saja kau?" tanya Bu-

reksa, setelah dekat. "Kami sudah men-

cari-cari kau belakangan ini. Aku kha-

watir kalau terjadi apa-apa terhadap 

dirimu...."

Kata-kata Bureksa seolah penuh 

perhatian. Padahal dalam hatinya ada 

rencana busuk yang akan melibatkan ke-

menakannya sendiri. Itu sebabnya dia 

mencari-cari Anggraini.

"Aku hanya berkeliling-keliling," 

jawab Anggraini berbohong. Dihinda-

rinya tatapan mata si paman berjiwa 

bejat, namun belum diketahuinya sampai 

saat itu.

"Kau tak apa-apa, bukan?" tanya 

Bureksa lagi. "Kelihatannya kau murung 

sekali?"

"Aku tak apa-apa, Paman. Hanya 

lelah...."

Anggraini membalikkan tubuh, lalu 

mulai meniti anak tangga.

"Aku ingin istirahat dulu Paman," 

pamit gadis itu dengan suara tak ber-

gairah.

Tubuh Anggraini menghilang di ba-

lik pintu gubuk beberapa saat. Setelah 

itu, Bureksa melirik Chia Jui dan Chia 

Kuo dengan pandangan licik.

"Hari ini, kita harus mematangkan 

rencana," desis Bureksa perlahan.

Chia Jui dan Chia Kuo mengangguk 

berbarengan.

"Kalian lihat pandangan gadis itu 

barusan? Apa kalian bisa melihat ada 

sesuatu yang terjadi padanya. Kuyaki-

ni, ini ada hubungannya dengan Ratu 

Lebah, atau Andika. Sore nanti, kalian 

berpura-pura hendak keluar. Aku akan 

mengorek keterangan dari gadis itu 

yang nantinya akan bisa mempermulus 

rencana kita...."

"Menyingkirkan Pendekar Slebor 

keparat!" tambah Chia Jui diiringi se-

ringai.

"Ya!" timpal Bureksa mantap.

Lalu, ketiganya segera masuk ke 

dalam gubuk.

***

Tanpa terasa, sore pun tiba. Se-

suai rencana Pangeran Neraka, Kembar 

Dari Tiongkok pamit keluar gubuk. Me-

reka hendak mencari bahan makanan di 

kotapraja. Begitu alasan mereka.

Di dalam gubuk, kini tinggal Bu-

reksa dan Anggraini.

Kepura-puraan Pangeran Neraka

saat itu diumbar lagi. Dengan penuh 

kepalsuan, dibuatkannya teh hangat un-

tuk Anggraini. Agar dianggap kalau di-

rinya menaruh rasa sayang pada kemena-

kan sendiri.

Benar kata Nyai Silili-lilu pada 

Andika beberapa waktu lalu. Bureksa 

memang selicik serigala dan selicin 

belut. Dia mampu bersandiwara dengan 

sempurna di hadapan Anggraini. Dalam 

benaknya sendiri, tak pernah ada rasa 

sayang pada kemenakannya. Yang ada 

hanya kelicikan dengan memanfaatkan 

Anggraini, untuk mengenyahkan Pendekar 

Slebor. Sebab, lelaki itu amat jeli 

membaca pikiran Anggraini yang ayahnya 

dibunuh Andika. Dendam pasti sedang 

bergelora dalam hati gadis itu. Begitu 

pikir Bureksa. Dendam itulah yang akan 

dipicunya, sehingga Anggraini akan 

mengenyahkan Andika!

"Kau perlu meminum teh hangat 

ini, untuk menyegarkan tubuh," kata 

Bureksa dengan tata krama yang manis. 

Diletakkannya cangkir teh di depan 

Anggraini.

"Terima kasih, Paman," hatur 

Anggraini.

Saat ini gadis itu sedang duduk 

menekuk lutut di lantai beralas tikar 

pandan. Baru saja Anggraini selesai 

bersemadi.

"Kau tampaknya sedang ada masa-

lah, Anakku," kata Bureksa memulai

kembali. "Kau bisa menceritakan masa-

lahmu padaku. Anggaplah aku sebagai 

pengganti Ayahmu...."

Anggraini menoleh sejenak. Bibir-

nya menyembulkan senyum tawar. Bebera-

pa saat, dia hanya menimbang.

"Paman benar. Aku memang sedang 

memiliki masalah," kata gadis itu.

"Ceritakanlah...," bujuk Pangeran

Neraka. Matanya berbinar-binar culas, 

mengetahui Anggraini mulai mau membuka 

mulut.

"Kau tentu tahu pemuda yang ber-

samaku dulu, Paman...."

"Yang berpakaian hijau itu?" 

"Ya."

"Kau masih berhubungan dengan 

pembunuh ayahmu itu?" kata Bureksa, 

berpura-pura tersentak kaget. Anggrai-

ni menggeleng.

"Aku justru menemuinya untuk me-

nuntut balas atas kematian Ayah...," 

tutur Anggraini datar. 

"Lalu?"

"Kurasa aku tak sanggup membunuh-

nya...."

"Dia memang terlampau sakti un-

tukmu."

"Bukan itu, Paman," sergah 

Anggraini. "Melainkan, aku tak bisa 

melakukannya. Hatiku menolak setiap 

kali aku berusaha membunuh pembunuh 

itu."

Bureksa mengangguk-angguk dengan

wajah dibuat sebijak mungkin.

"Kalau kau merasa tak sanggup, 

kenapa tak lupakan saja dendammu pa-

danya? Dendam itu selamanya tak baik, 

Anakku...," tutur Bureksa halus. "Ka-

laupun aku melarangmu berhubungan den-

gan pemuda itu, bukan berarti mengan-

jurkan untuk membunuhnya karena luapan 

dendam kesumat."

Bureksa tampaknya berusaha me-

mancing keingintahuan Anggraini, den-

gan membuat tekanan kalimat. 

Sementara Anggraini kemudian me-

nyeruput teh. Diletakkannya kembali 

cangkir tanah liat di tempatnya.

"Kenapa Paman melarangku berhu-

bungan dengan pemuda itu?" tanya gadis 

itu kemudian, terpancing gaya bicara 

Bureksa.

Bureksa tertawa ringan. Ditarik-

nya napas dalam-dalam, seakan begitu 

berat menjelaskan hal yang akan diuta-

rakannya.

"Ayolah, Paman...," desak 

Anggraini, lagi-lagi terpancing sikap 

Bureksa.

"Kularang kau mencintai pemuda 

itu, bukan karena telah membunuh adik 

kandungku, ayahmu. Aku tidak sepicik 

itu, Anggraini. Sebabnya karena...."

Sengaja Bureksa memenggal kali-

mat.

"Katakan saja, Paman!"

"Kau yakin siap mendengarnya?"

Andika mengangguk, meski agak ra-

gu.

"Kau tak akan kecewa?"

Kini kepala gadis itu menggeleng 

lamban.

"Baiklah...," desah Bureksa, 

langsung diam sesaat. "Sebenarnya, pe-

muda itu adalah seorang hidung belang. 

Di dunia persilatan, dia dikenal seba-

gai Iblis Pemetik Bunga. Banyak gadis 

yang sudah menjadi korbannya. Setiap 

gadis akan mengalami kematian menge-

naskan, setelah digauli pemuda itu. 

Dia memiliki ilmu yang menuntut tumbal 

kehormatan gadis suci seperti kau. Se-

tiap kali seorang gadis dikorbankan, 

ilmunya bertambah beberapa ting-

kat...," papar Pangeran Neraka dengan 

sandiwaranya yang sempurna.

Selesai mendengar penuturan Bu-

reksa, mata Anggraini berkaca-kaca. 

Tampak tersirat rasa kegeraman di sa-

na. Giginya terdengar bergeletuk di-

hantam kekecewaan mendalam.

"Pantas saja dia tak segera mem-

bunuhku, sementara mengetahui aku hen-

dak menuntut balas padanya. Rupanya, 

pemuda keparat itu ingin menjadikan 

aku tumbal ilmu iblisnya!" 

Pak!

Dengan tinjunya, Anggraini meng-

hajar lantai kayu pondok. Hantaman itu 

membuat lubang cukup besar, Pertanda 

kegeraman dan kebenciannya telah ter

bakar cepat!

Bureksa menepuk-nepuk bahu 

Anggraini. Wajahnya ditampakkan se 

prihatin mungkin, terhadap keadaan ha-

ti gadis kemenakannya.

"Sudahlah...," bujuk Pangeran Ne-

raka. "Lupakan pemuda itu. Lupakan pu-

la dendammu. Kembalilah ke Tanah Buan-

gan menemani ibumu. Tentu beliau kese-

pian di sana...."

"Aku tak akan kembali ke Tanah 

Buangan sebelum membunuh pemuda itu, 

Paman!" tandas Anggraini. Matanya me-

merah penuh. "Dia telah membuat Ibu 

kesepian dengan tewasnya Ayah!"

Kepala Bureksa menggeleng-geleng 

perlahan. Sementara, raut wajahnya te-

tap mempertahankan kesan prihatin. Se-

dang benaknya sendiri melantunkan tawa 

puas. Tawa tersembunyi penuh kemenan-

gan!

Pada saat yang sama, Mayangseruni 

sedang berbincang-bincang dengan gu-

runya, Nyai Silili-lilu dalam tempat 

rahasia. Beberapa saat waktu lalu, ga-

dis menawan itu telah siuman.

Sementara keduanya berbicara hi-

lir- udik, melepas kerinduan setelah 

tak berjumpa demikian lama, Andika ma-

suk melalui tangga batu. Dia baru saja 

keluar untuk mencari pengganti pa-

kaian, atas saran Nyai Silili-lilu.

Begitu Andika hendak memasuki se-

buah pintu yang menghubungkan ruang

bawah tanah dengan anak tangga, ka-

kinya tertahan untuk melangkah lebih 

lanjut. Andika tertarik oleh pembica-

raan dua perempuan yang usianya ter-

paut jauh itu. Telinganya mendengar 

namanya disebut-sebut.

"Pemuda yang menolongmu bernama 

Andika," terdengar suara Nyai Silili-

lilu sayup.

"Andika? Rasanya aku pernah men-

dengar selentingan nama pemuda itu," 

susul suara Mayangseruni yang halus 

terdengar.

"Tentu saja kau pernah mendengar-

nya, 'Nduk'. Apa kau lupa kalau Andika 

adalah nama asli Pendekar Slebor.... 

Hik hik hik!"

Si nenek tertawa pada akhir kali-

mat. Padahal, tidak ada yang lucu un-

tuk ditertawakan.

"Pendekar Slebor, Guru?! Jadi 

pendekar muda terhormat itu yang telah 

membantuku menawarkan racun dalam tu-

buhku?!"

Suara Mayangseruni terdengar me-

ninggi. Tampaknya, gadis ini demikian 

terperanjat.

"Ya! Apa telingamu tuli, 'Nduk'?"

"Ya, Tuhan.... Ini benar-benar 

membuat hatiku berbunga-bunga, Guru!"

"Eh, eh! Apa kau tahu, anak muda 

itu mati-mati dalam usaha menolongmu. 

Kupikir, kalau ada pemuda yang paling 

cocok denganmu, ya dia orangnya!"

Andika tersenyum sendiri menden-

garnya.

"Ah, Guru...!" desah Mayangseruni 

malu-malu.

"Eee! Bagaimana kalau dia naksir 

kau. Dan kau harus tahu malu pada An-

dika. Dia sudah mempertaruhkan nyawa 

demi kesembuhanmu!"

Tak terdengar tanggapan Mayangse-

runi. Mungkin hatinya begitu risih 

mendengar celoteh guru ceriwisnya yang 

terlalu memojokkan.

"Bayangkan saja, dia harus mem-

biarkan dirinya disambar petir!"

"Untuk menolongku?"

"Iya! Apa kau belum tahu, racun 

'Perusak Saraf hanya bisa dilumpuhkan 

dengan menyalurkan sebagian kekuatan 

petir ke dalam tubuhmu? Dan hanya 

orang yang pernah memakan buah 'inti 

petir' saja yang bisa melakukan-

nya...."

"Uggg, sekarang mmm, Kang Andika 

di mana, Guru?"

"Weit, weit! Belum apa-apa sudah 

panggil-panggil 'Kang'. Mesra sekali 

kedengarannya.... Hik hik hik!"

"Guru kenapa terus menggodaku!"

"Kakang mu itu sekarang sedang 

sembunyi seperti cecurut di balik pin-

tu itu!" tukas Nyai Silili-lilu, men-

gejutkan Andika.

Andika benar-benar tak menyangka 

kalau uwaknya mengetahui kehadirannya.

Padahal, dia sudah begitu hati-hati.

"Alah, tidak usah pura-pura sega-

la! Ayo masuk!" bentak si nenek dari 

dalam.

Dengan wajah merah padam, Andika 

terpaksa masuk juga. Perempuan bangko-

tan itu memang paling hebat menangkap 

basah seseorang!

"Nah! Inilah Pendekar Slebor, 

'Nduk'! Sudah lama kau ingin kenal 

dengannya, bukan?" cerocos Nyai Sili-

li-lilu, seolah hendak menelanjangi 

Andika di tempatnya.

Untuk pertama kalinya, Andika bi-

sa menyaksikan pribadi Mayangseruni 

sesungguhnya. Tak ada lagi kesan keji 

pada wajah gadis ayu luar biasa ini. 

Mata lentiknya kini memancarkan keang-

gunan serta kesungkanan, sekaligus ma-

nakala bentrok dengan mata elang Andi-

ka. Hati pemuda ini terasa sejuk di-

buatnya.

"Ayo! Ke sini, Anak Muda Slomp-

ret!" maki Nyai Silili-lilu semena-

mena, mendapati Andika terdiam di mu-

lut pintu masuk ruang bawah tanah.

Andika tersentak. Matanya menger-

jap-ngerjap layaknya bocah kampung ca-

cingan.

Sewaktu pendekar muda itu melang-

kah lebih dekat ke arah dua perempuan 

berbeda usia yang duduk bersandingan 

di meja batu, Mayangseruni tampak ter-

tunduk-tunduk. Wajah halusnya tampak

bersemu merah.

Nyai Silili-lilu bangkit dari me-

ja batu. Lalu dia berjalan terbungkuk-

bungkuk menuju ruang semadinya.

"Ajak anak gadisku cari angin! 

Terserah kalian, di luar mau berbuat 

apa! Mau main petak umpet, kek. Atau 

apa, kek! Masabodoh! Asal jangan ber-

buat yang macam-macam! Bisa kusunat 

dua kali kau Andika!" kata Nyai Sili-

li-lilu.

Pendekar Slebor menarik napas se-

dalam mungkin. Untung dia hanya punya 

satu uwak seperti Nyai Silili-lilu. 

Kalau lebih sedikit saja, bisa-bisa 

mati berdiri.

"Heh, tunggu apa lagi?!" sentak 

Nyai Silili-lilu di belakang Andika. 

"Ayo, gandeng tangan Mayangseruni! 

Ajak dia keluar! Kalian hanya membuat 

tempat tinggalku sumpek!"

Puas berkoar-koar, nenek pertapa 

itu menghilang di balik dinding ruang 

semadinya.

Tinggal Andika dan Mayangseruni 

yang masih terdiam, menikmati keterpe-

sonaan masing-masing.

* * *

"Kita akan ke mana, Kang Andika?" 

tanya Mayangseruni pada pemuda di si-

sinya.

Mereka kini berjalan beriringan.

Pagi tadi, mereka baru saja pamit pada 

Nyai Silili-lilu.

Sebenarnya, Andika tak berniat 

pergi bersama-sama murid tunggal uwak-

nya. Berhubung Nyai Silili-lilu mende-

saknya terus untuk mengajak Mayangse-

runi, Andika akhirnya mengizinkan juga 

gadis itu pergi bersamanya.

Mayang sendiri memang sudah lama 

merindukan bisa berjalan beriringan 

bersama pendekar besar macam Andika. 

Biarpun masih agak risih, hatinya ten-

tu saja gembira mendengar desakan gu-

runya pada Pendekar Slebor.

"Kang Andika...," tegur Mayangse-

runi. Pertanyaannya tadi belum dijawab 

Andika.

"Eh, apa?" gagap Andika tersadar.

"Kakang melamun, ya?" goda 

Mayang, sungkan-sungkan.

"Ah, tidak...! Eh, iya!" 

"Melamun apa?" Andika tersenyum 

kecil.

"Kau tadi tanya apa padaku?" An-

dika mengalihkan pembicaraan.

Merasa Andika tak mau membicara-

kan isi pikirannya, Mayangseruni tidak 

ingin memaksa.

"Aku tanya, kita akan ke ma-

na...?" ulang Mayangseruni.

"Ooo, itu. Kita akan ke lembah 

Pintu Sorga dan Neraka Dunia," jawab 

Andika.

"Apa Kakang ada urusan di sana?"

tanya Mayangseruni lagi.

Sementara kesadarannya pulih, 

Mayangseruni tak lagi ingat tentang 

tempat tersebut. Termasuk, tentang di-

rinya yang diperalat Pangeran Neraka.

Andika maklum akan hal itu.

"Aku punya sobat baru. Dia masih 

hijau dalam dunia persilatan. Karena 

suatu hal, aku harus mengenyahkan 

ayahnya. Lalu, dia pun mencari pembu-

nuh ayahnya. Ketika tahu dari pamannya 

kalau akulah pembunuh ayahnya, dia pun 

mulai memusuhiku. Aku hendak menca-

rinya di sana, karena khawatir terha-

dap kelicikan si paman," tutur Andika 

gamblang.

"Entah kenapa, aku sepertinya me-

rasa pernah mendengar tentang tempat 

itu...," kata Mayangseruni, seperti 

bergumam sendiri.

Karena merasa yakin Mayangseruni 

sudah siap, Andika memutuskan untuk 

menceritakan kejadian yang telah me-

nimpa Mayangseruni.

"Apa kau ingat dengan seorang to-

koh golongan sesat berjuluk Pangeran 

Neraka?" pancing Andika, memulai mem-

buka ingatan si gadis.

Beberapa ayunan langkah, gadis 

berparas amat mempesona itu mengingat-

ingat nama yang disebutkan Andika. 

Kening halusnya sedikit terlipat.

"Ya, aku ingat kini...," ucap 

Mayangseruni kemudian.

"Sebenarnya, ada urusan apa anta-

ra kau dan lelaki itu?" tanya Andika 

lagi.

Kali ini, pertanyaan itu tidak 

dimaksudkan untuk memancing ingatan 

Mayangseruni. Andika hanya ingin tahu 

lebih jelas duduk persoalan antara ga-

dis itu dengan Pangeran Neraka, hingga 

melibatkan diri Mayangseruni jauh ke 

lembah kaum sesat.

"Apa Kakang tak tahu kalau lelaki 

itu adalah kakak kandung Begal Ireng?"

Kelopak mata teduh Mayangseruni 

sedikit membesar. Ditatapnya mata An-

dika, meminta jawaban.

"Aku baru mengetahuinya belakan-

gan ini. Tapi, apa hubungan perkaramu 

dengan urusan antara aku dan Begal 

Ireng?" Andika balik tanya. Caranya 

melempar pertanyaan berkesan menyu-

dutkan gadis berpakaian merah-merah di 

sisinya.

Tetap dengan kesungkanan yang me-

nyertainya, Mayangseruni akhirnya mem-

buka satu rahasia yang selama ini dis-

impannya sendiri.

"Sebenarnya, aku tak ada urusan 

apa-apa dengan Pangeran Neraka," aku 

Mayangseruni.

"Tapi, kenapa kau bisa sampai 

terlibat jauh dengan lelaki itu?" 

tanya Andika, dengan alis legam ber-

taut rapat, pertanda mulai terbawa 

arus keingintahuannya.

"Sewaktu Kakang hendak menumpas 

gerombolan Begal Ireng, namamu jadi 

kesohor ke seantero penjuru angin. Aku 

kerap kali mendengar nama harum Kakang 

disebut-sebut di mana-mana. Banyak ku-

dengar tentang diri Kakang, tentang 

pribadi. Juga...." Mayang tersipu. 

"Juga, tentang ketampanan Kakang."

Mendengar hal itu, Andika kontan 

terbahak.

"Lalu?" tanya Pendekar Slebor pe-

nasaran. Bibirnya masih menyisakan se-

nyum lebar.

"Suatu hari, aku juga mendengar 

desas-desus kalau Pangeran Neraka hen-

dak membantu Begal Ireng. Dia merenca-

nakan pembunuhan licik terhadap diri 

Kakang. Lalu...."

Anggraini kembali memenggal ceri-

ta. Ada sesuatu yang membuatnya malu 

mengutarakan kelanjutan cerita.

"Lalu apa? Ayo, lanjutkanlah! Aku 

toh, bukan siapa-siapa bagimu. Maksud-

ku, aku toh, masih cicit kemenakan gu-

rumu sendiri. Nyai Silili-lilu sudah 

mengatakannya padamu, bukan?" desak 

Andika, halus.

"Lalu, aku berusaha menggagalkan 

rencana licik Pangeran Neraka...," 

tambah Mayangseruni, hampir-hampir 

berbisik karena diusik kesungkanan.

"Apa?" mata Andika kontan membe-

sar seperti hampir tak percaya. "Jadi, 

kau bertaruh nyawa menghadapi Pangeran

Neraka hanya karena ingin menyela-

matkanku?!"

Anggraini tertunduk. Gadis yang 

berkepribadian agak pemalu itu memain-

kan ujung-ujung kukunya. Tak berani 

matanya menatap langsung mata jantan 

Andika. Seolah-olah, takut ada sinar 

mencemooh di sana. Kepala Andika meng-

geleng-geleng. "Aku harus bilang apa 

padamu? Rupanya, kau terlalu termakan 

desas-desus tentang diriku. Kau terta-

rik padaku, sementara orangnya belum 

lagi kau kenal. Padahal, aku ini, ya 

hanya begini...," ucap Andika tanpa 

tedeng aling-aling. Sifat acuhnya mem-

buat ingatannya terlupa kalau sedang 

berbicara dengan gadis yang agak pema-

lu.

Sebentar saja, Andika menyadari 

kebodohan ucapannya. Sambil mengumpati 

diri dalam hati, keningnya ditampar 

gemas-gemas.

"Tapi, terus terang. Terima kasih 

saja, rasanya belum cukup kuberikan 

untukmu. Karena, kau telah begitu be-

rani menentang Pangeran Neraka...," 

hatur Andika, seperti hendak meralat 

kesalahan ucapannya barusan.

Mayangseruni tetap diam. Pandan-

gannya masih saja terjatuh mengawal 

langkah-langkah kakinya.

"Terima kasih, Mayang.... Dengan 

berbuat itu, berarti kau telah memban-

tuku dalam menegakkan kebenaran!"

"Aku malu, Kang...," kata Mayang-

seruni, seperti berbisik.

"Kenapa harus malu dalam melaksa-

nakan hal yang baik?"

"Aku malu karena alasanku mencoba 

menggagalkan rencana Pangeran Neraka, 

hanya karena ingin menyelamatkan-

mu...."

"Apa itu perbuatan dosa? Bukankah 

tugas kita untuk saling bahu membahu 

dalam kebaikan dan kebenaran?" hibur 

Andika kembali.

Bibir ranum Mayangseruni memper-

lihatkan senyum sejuk.

"Nah, begitu! Jadi, pada dasarnya 

kita telah lunas, bukan? Kau telah be-

rusaha menyelamatkanku, dan aku pun 

telah berusaha menyelamatkanmu...," 

tambah Pendekar Slebor seraya menggan-

deng bahu gadis itu. Dan seketika wa-

jah Mayangseruni mendadak matang.

Sementara kedua anak muda itu me-

lanjutkan langkah begitu akrab, sepa-

sang mata terus mengawasi dari kejau-

han. Mengawasi terus, dan terus. Meli-

hat keakraban Andika dan Mayangseruni, 

matanya perlahan namun pasti, mulai 

menyimpan bara kebencian.... Anggrai-

ni. Gadis itulah yang menguntit Andika 

dan Mayangseruni selama ini. Api ke-

bencian yang berhasil disulut Pangeran 

Neraka, makin berkobar-kobar melihat 

bagaimana mesranya Andika dengan 

Mayangseruni. Paling tidak, begitulah

dalam pandangan Anggraini.

Masih teringat kalimat-kalimat 

yang diutarakan Bureksa, pamannya, ma-

nakala menanyakan tentang Ratu Lebah 

atau Mayangseruni.

"Kau tahu, perempuan itu sesung-

guhnya adalah kekasih Iblis Pemetik 

Bunga," tutur Pangeran Neraka waktu 

itu. Disebutnya Andika dengan julukan 

karangannya sendiri. "Jangan heran ka-

lau suatu saat nanti, kau akan melihat 

mereka berjalan beriringan dengan me-

sra. Terus terang saja Paman katakan, 

kau telah dikelabui mereka mentah-

mentah, Anakku...."

Tentu saja Bureksa bisa menduga 

demikian, karena begitu tahu siapa 

Mayangseruni. Seorang pendekar wanita 

yang begitu menyanjung Andika. Setelah 

mendengar dari Anggraini kalau Ratu 

Lebah alias Mayangseruni dibawa seo-

rang nenek ceriwis yang diyakini Bu-

reksa sebagai gurunya, maka lelaki itu 

yakin, cepat atau lambat Andika akan 

dekat dengan Mayangseruni. Apalagi, 

Bureksa tahu. Hanya Andika yang bisa 

membantu menyembuhkan Mayangseruni da-

ri racun miliknya.

Dapat dibayangkan, betapa licik-

nya tokoh sesat ini. Semua kenyataan 

diputarbalikkan, agar Anggraini terpe-

rangkap ke dalam tipu dayanya. Tak la-

gi dipedulikannya hubungan darah anta-

ra dirinya dengan Anggraini. Baginya,

yang terpenting adalah mencapai tujuan 

yang diinginkan. Tanpa mempedulikan, 

apakah cara mencapai tujuan itu men-

gorbankan orang lain atau tidak. Tidak 

juga kemenakannya sendiri!

"Jika kau telah berhasil dijadi-

kan tumbal ilmu sesat pemuda itu, maka 

mereka akan menertawai bangkaimu, 

Anggraini.... Bangkaimu!" tandas Bu-

reksa, memberi pengulangan pada kata 

terakhirnya. Hal itu akan mengendap 

rekat-rekat di dasar benak Anggraini. 

Dan Bureksa tahu itu.

***

Lembah Pintu Sorga dan Neraka Du-

nia. Andika dan Mayangseruni akhirnya 

tiba di sana. Tanpa diketahui kedua-

nya, Anggraini yang terpedaya mentah-

mentah semua hasutan pamannya, terus 

mengikuti.

"Ke mana kira-kira aku harus men-

cari gadis itu?" tanya Andika pada di-

ri sendiri. Matanya mencari-cari ke 

segenap lembah yang berbukit-bukit.

"Jadi, sobat barumu itu wanita, 

ya Kang Andika?" usik Mayangseruni.

Andika hanya menjawab dengan ang-

gukan kecil. Dia masih sibuk mengedar-

kan pandangan kesekitar lembah yang 

luas.

"Cantik, Kang?"

"Apa?"

"Apa gadis itu cantik?" ulang 

Mayangseruni. 

"Mmm, yah.... Bisa dibilang begi-

tu." 

"Boleh tanya sedikit yang sifat-

nya agak pribadi, Kang?"

Pendekar muda itu menghentikan 

kesibukan matanya. Sekarang sepasang 

mata perkasanya ditujukan langsung ke 

bola mata Mayangseruni yang selalu tak 

punya daya untuk membalas tatapan itu. 

Timbul semacam kerikuhan apabila men-

cobanya. Mata Andika terlalu menelu-

supkan pesona ke dalam dirinya. Itu 

sebabnya kepalanya menunduk.

"Tanya soal apa?" ucap Andika.

"Apa.... Kang Andika tertarik pa-

da gadis itu?"

Pertanyaan Mayangseruni memaksa 

Andika tergelak. "Kenapa kau bertanya 

seperti itu?" tanya Pendekar Slebor, 

di antara derai tawa lepasnya.

"Tidak apa-apa, Kang...," kilah 

Mayangseruni, seraya mengangkat bahu.

"Tak mungkin. Tak mungkin kau tak 

punya alasan menanyakan hal itu," 

sanggah Andika, main-main.

Tapi siapa nyana kalau ucapan 

main-main Andika, justru ditanggapi 

sungguh-sungguh oleh gadis itu. Pende-

kar Slebor melihat wajah ayu gadis itu 

berubah. Kedua belah pipinya bersemu 

merah menggemaskan.

"Ah! Sudahlah, Mayang.... Tak

perlu dipersoalkan lagi. Aku memperha-

tikan gadis itu, karena akulah yang 

membuatnya kehilangan seorang ayah. 

Meski tak merasa berdosa, aku tetap 

merasa bersalah padanya. Kau paham?"

Mayangseruni mengangguk perlahan.

"Sekarang, kita harus secepatnya 

menemukan gadis itu. Aku tak ingin 

Pangeran Neraka yang licik mengua-

sainya. Dia masih terlalu hijau untuk 

menyadari kebusukan dunia persila-

tan...," tambah Andika.

"Bagaimana kalau kita berpencar, 

Kang. Biar bisa lebih cepat menemukan-

nya," usul Mayangseruni.

"Kau yakin?" tanya Andika.

Pendekar Slebor hanya agak khawa-

tir terhadap keselamatan Mayangseruni. 

Namun karena Andika percaya Mayangse-

runi dapat menjaga dirinya sendiri, 

akhirnya disetujuinya. Bukankah dia 

pernah melihat sendiri kehebatan murid 

uwaknya itu, ketika bertarung melawan 

Anggraini? Dan kalaupun dulu pernah 

dipecundangi Pangeran Neraka, tentu 

karena lawannya memperdayai gadis itu 

dengan tipu muslihat licik.... (Untuk

lebih jelasnya, bacalah episode : 

"Pendekar Wanita Tanah Buangan").

"Aku akan mencarinya ke timur. 

Kau mencarinya ke barat. Bagaimana?" 

kata Andika, menanggapi usul Mayangse-

runi.

Gadis itu mengangguk.

"Dan kalau terjadi sesuatu, kau 

harus segera menghubungiku. Kau punya 

caranya?"

Mayangseruni berpikir sejenak.

"Aku akan melepas lebah-lebah 

keangkasa," jawab Mayangseruni cepat.

"Pikiran jitu!" puji Andika.

Lalu keduanya pun segera berpi-

sah. Seperti rencana, Andika mulai me-

nyusuri lembah bagian timur, Sedangkan 

Mayangseruni, si Ratu Lebah, akan me-

nyusuri arah yang berlawanan.

Dengan berpisahnya Andika dengan 

Mayangseruni, Anggraini yang menguntit 

mesti membuat keputusan. Hendak mengi-

kuti Andika atau Mayangseruni. Gejolak 

kebencian yang diwarnai rasa cemburu, 

tanpa disadari telah mendorongnya un-

tuk mengikuti Mayangseruni.

Anggraini pun menuju lembah ba-

gian barat. Sepeminum teh kemudian, 

Mayangseruni sampai di sebuah bukit 

yang membentang di bagian barat lembah 

Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Tak se-

perti di tempat semula, tempat ini di-

tumbuhi pepohonan cemara besar yang 

berbaris seperti gerombolan pendaki.

Mayangseruni sejenak melepas le-

lah. Tubuhnya bersandar di batang se-

buah pohon cemara. Rasa sejuk ditarik-

nya ke dalam dada, untuk mengusir pe-

nat setelah mencari cukup lama.

"Apa mungkin gadis yang dicari 

Kang Andika masih berada di daerah

ini?" gumam Mayangseruni, pelan.

Dalam benak, Mayangseruni tetap 

saja digerayangi pertanyaan-pertanyaan 

tentang hubungan gadis yang sedang di-

carinya dengan Andika. Yang pasti, dia 

ingin langsung mempercayai perkataan 

Andika, bahwa pemuda itu tak memiliki 

hubungan khusus dengan Anggraini. Na-

mun, keresahan dan kekhawatiran tetap 

saja melingkupi benaknya.

Mayangseruni cukup sadar. Pera-

saan seperti itu lahir dalam dirinya, 

mungkin karena berharap banyak terha-

dap pemuda pujaannya. Seperti pernah 

diungkapkan langsung pada Andika, 

Mayangseruni memang memuja Andika yang 

sebelumnya hanya diketahui dari seli-

weran kabar burung. Tentang Pendekar 

Slebor yang muda, tampan, dan gagah. 

Pendekar Slebor yang banyak mengecoh 

bahkan memberantas tokoh-tokoh atas 

golongan sesat.

Belum lagi bertemu, Mayangseruni 

sudah begitu mengagumi. Apalagi kini 

telah bertemu langsung tokoh muda pu-

jaannya itu?

Memikirkan semua itu, Mayangseru-

ni jadi tak memiliki semangat lagi un-

tuk meneruskan pencarian.

Mendadak sontak, Mayangseruni di-

kejutkan suara mendesir yang datang 

dari sebelah kiri. Lamunannya koyak 

seketika. Meski belum tahu suara apa, 

namun gadis berjuluk Ratu Lebah itu

serta merta berjungkir balik ke depan. 

Wesss! 

Blar!

Firasat pekanya terbukti. Seben-

tuk bahaya maut baru saja luput! Mana-

kala mata Mayangseruni menemukan tem-

patnya berdiri tadi, pohon cemara yang 

dijadikan sandaran telah hancur lantak 

bagai baru tersambar petir. Batangnya

tumbang, menciptakan suara bergemuruh. 

Pada bagian yang terhajar desiran ta-

di, mengepulkan asap tipis. Bahkan ba-

gian atasnya membara!

Bukan orang sembarangan yang bisa 

melakukan pukulan jarak jauh seperti 

itu. Maka murid tunggal Nyai Silili-

lilu itu langsung saja bersiaga.

"Jangan beraninya main bokong! 

Keluar kau!" tantang Ratu Lebah pada 

si penyerang gelap.

Di ujung kalimat Mayangseruni, 

sesosok tubuh berkelebat keluar dari 

semak-semak. Pakaiannya sewarna dengan 

Mayangseruni. Merah-merah. Begitu juga 

panjang rambutnya. Sepintas saja, pe-

nampilan mereka sulit dibedakan.

"Siapa kau?!" tanya Mayangseruni 

gusar.

Gadis itu sama sekali tidak men-

genali kalau wanita yang berdiri di 

hadapannya adalah Anggraini, orang 

yang pernah bertarung dengannya bebe-

rapa waktu lalu.

"Jangan banyak basa-basi, Perem

puan Lacur!" maki Anggraini amat kasar 

dan menyakitkan telinga.

Mayangseruni tak begitu terpenga-

ruh mendengar makian Anggraini. Malah 

diamatinya penampilan gadis di hada-

pannya dengan kelopak mata agak menyi-

pit. Penampilan perempuan ini amat mi-

rip dengan gambaran yang diberikan An-

dika.

"Apakah kau Anggraini?" tanya 

Mayangseruni hati-hati.

"Apa pedulimu menanyakan nama-

ku?!" balas Anggraini, tetap kasar. 

Sehingga, membuat Mayangseruni jadi 

ragu apakah telah menemukan wanita 

yang dimaksud Andika atau bukan.

"Kalau kau Anggraini, kenapa kau 

menyerangku?" tanya Mayangseruni kem-

bali, berusaha tetap menjaga kesaba-

ran.

"Karena kau perempuan bejat yang 

patut kukirim ke neraka!"

Selesai itu, Anggraini langsung 

membuka jurusnya. 

"Terimalah kematianmu, Perempuan 

Keparat! Hiaaa!"

"Tunggu!" tahan Mayangseruni.

Usaha Mayangseruni sudah terlam-

bat. Anggraini telah menggempurnya

dengan serangkai tusukan anak panah 

yang baru saja diloloskan dari tempat-

nya.

Jep! Jep! Jep!

Tampaknya, gadis dari Tanah Buan

gan itu tidak ingin lagi melihat la-

wannya hidup dalam keadaan utuh. Cem-

buru dan benci telah menjadi satu, 

menghasutnya untuk merobek-robek tubuh 

Ratu Lebah. Seakan Anggraini tidak su-

di melihat kecantikan Mayangseruni me-

lebihi dirinya.

Dalam segebrakan, tiga tusukan 

mengancam bagian-bagian mematikan di 

tubuh Mayangseruni. Sementara, Ratu 

Lebah sendiri sudah pasti tidak ingin 

dijadikan satai hidup-hidup. Dengan 

lincah tanpa kehilangan kegemulaian-

nya, tubuhnya berkelit cepat dalam ti-

ga kali menyempongkan tubuh.

Karena tak mungkin untuk terus 

menghindar, Mayangseruni pun melancar-

kan serangan balasan. Satu anak panah 

Anggraini yang hendak menembus dada 

kanannya, segera dihantam dengan baco-

kan tangan. Maksudnya, tentu saja hen-

dak mematahkan senjata itu.

Namun betapa tersentaknya Mayang-

seruni, tatkala tangannya berbenturan 

dengan anak panah yang hanya terbuat 

dari kayu. Sekujur tangan hingga ke 

bagian rusuknya terasa tersengat api. 

Bagaimana mungkin panas yang demikian 

tinggi, bisa disalurkan dalam sebatang 

kayu tipis tanpa terbakar?

Di lain pihak, Anggraini tak mem-

beri kesempatan pada Mayangseruni, wa-

lau sekadar untuk terheran.

"Heaaa!"

Swing!

Mata panah di tangan kiri 

Anggraini membabat udara menuju perut 

Mayangseruni. Hendak dirobeknya perut 

gadis cantik itu. Jika perlu, sampai 

isi perutnya bobol keluar!

Sekali lagi Mayangseruni terke-

siap. Gesekan mata panah dari baja

dengan udara, menimbulkan bunga api di 

sepanjang jalur babatan! Kini makin 

yakinlah Mayangseruni. Ternyata, la-

wannya benar-benar tidak ingin membe-

rinya kesempatan untuk hidup. Padahal, 

murid si nenek pertapa semula hanya 

menganggap Anggraini ingin memberinya 

pelajaran, karena kecemburuan pada si-

kap akrab Andika padanya. Paling ti-

dak, begitu dugaannya.

Tak ada pilihan lain bagi Mayang-

seruni kini. Dia pun harus melakukan 

perlawanan seimbang. Maka tanpa ragu 

lagi, gadis yang lebih dikenal sebagai 

Ratu Lebah itu langsung saja memainkan 

jurus-jurus andalannya.

"Bagus! Keluarkan semua ilmu an-

dalanmu! Agar aku puas membunuhmu!" 

geram Anggraini, Pendekar Wanita dari 

Tanah Buangan.

Pertarungan hebat yang kedua kali 

bisa dipastikan akan segera tercipta 

kembali. Namun....

"Tahan...!"

Satu bentakan lantang, tiba-tiba 

menggetarkan pepohonan dan merontokkan

dedaunan.

Dua lelaki berkepala gundul tahu-

tahu telah berdiri di dekat arena per-

tarungan. Keduanya berpenampilan amat 

mirip. Dari pakaian sampai ke wajah 

mereka. Anggraini mengenali mereka se-

bagai Kembar Dari Tiongkok.

"Paman Chia Kuo.... Paman Chia 

Jui! Kenapa kalian menghentikan perta-

runganku?" tanya Anggraini terheran-

heran. Kemarahannya yang sudah memun-

cak menjadi surut kembali.

Sementara Kembar Dari Tiongkok 

tak bergemik dari tempat berdiri. "Pa-

manmu menyuruh kau untuk segera kemba-

li," ucap Chia Jui.

"Dan kau harus kembali, begitu 

kata pamanmu," timpal Chia Kuo memberi 

tekanan pada kata 'harus'.

Anggraini tidak bisa terima. Ke-

napa pada saat harus menumpas perem-

puan jahat seperti dikatakan pamannya, 

dia harus berhenti menggempur lalu pu-

lang begitu saja.

"Tapi, Paman...."

"Tak ada tetapi, Anggraini! Kau 

harus menuruti perintah pamanmu!"

Anggraini ingin menolak perintah 

kedua lelaki dari tanah Tiongkok itu, 

tapi secepatnya Chia Jui memotong.

Meski memendam perasaan tak me-

nentu, benturan perasaan antara pena-

saran ingin menghabisi Ratu Lebah den-

gan keheranan terhadap perintah paman

nya, Anggraini akhirnya meninggalkan 

sang lawan.

"Kita akan segera bertemu lagi, 

Perempuan Laknat!" ancam Anggraini pa-

da Mayangseruni yang masih berdiri 

dengan kuda-kuda siap tempur.

Tak beda dengan Anggraini, 

Mayangseruni pun dibuat heran atas 

tindak-tanduk mereka semua. Menurut

cerita Andika, paman Anggraini adalah 

Pangeran Neraka. Bila lelaki itu tahu 

kalau kemenakannya bertarung dengan 

Mayangseruni, tentunya tak akan meme-

rintah untuk menghentikan pertarungan. 

Apa mungkin Pangeran Neraka tidak ta-

hu, dengan siapa kemenakannya berta-

rung?

Sebelum benar-benar pergi, seo-

rang dari dua lelaki kembar itu mele-

satkan sebuah tabung bambu ke arah

Mayangseruni. Amat cepat meluncur, na-

mun tidak begitu berarti bagi gadis 

murid Nyai Silili-lilu. Tanpa menemui 

kesulitan, tangannya menyergap benda 

itu.

Pada dasarnya, tabung bambu se-

panjang jengkalan tangan itu memang 

tidak dimaksudkan untuk menyerang. 

Buktinya, setelah meneliti sebentar, 

Mayangseruni menemukan secarik surat.

Dan Mayangseruni membacanya.

"Pendekar Slebor! Tunggu aku di-

penginapan, sebelah utara Bukit Cemara

jajar - Pangeran Neraka"

Sepeninggalan gadis yang diyakini 

sebagai Anggraini dan dua lelaki

Tiongkok tadi, Mayangseruni segera pu-

la meninggalkan tempat ini. Hendak 

disusul nya Andika ke arah timur.

***

Tanpa kesulitan berarti, Mayang-

seruni cepat menemukan Andika. Lalu, 

segera diceritakannya kejadian yang 

terjadi secara singkat dan gamblang.

Usai mendengar penuturan gadis 

itu, Andika terdiam sambil mengetuk-

ngetuk siku tangan yang disilangkan ke 

depan dada. Sedangkan matanya menera-

wang jauh.

"Aku merasa ada yang ganjil den-

gan peristiwa itu," ucap Pendekar Sle-

bor samar, namun cukup jelas ditangkap 

telinga Mayangseruni.

"Ya! Entah bagaimana, aku pun me-

rasakan hal yang sama," timpal Mayang-

seruni.

"Kau kenal dua lelaki yang menyu-

sul Anggraini?" tanya pemuda sakti da-

ri Lembah Kutukan ini.

"Tidak," jawab Mayangseruni.

"Kalau menilik gambaran yang kau 

berikan, aku yakin mereka adalah Kem-

bar Dari Tiongkok. Kau tentu pernah 

mendengar dua kaki tangan Begal Ireng,

bukan? Merekalah orangnya. Pasti mere-

ka telah bersekongkol dengan Pangeran 

Neraka...."

Kepala Mayangseruni mengangguk-

angguk. Dia ingat sekarang tentang 

Kembar Dari Tiongkok yang menjadi 

orang kepercayaan Begal Ireng, sewaktu 

mengadakan makar jahat terhadap kera-

jaan Alangkah.

Andika tak berhenti berpikir sam-

pai di situ. Otaknya yang encer, ber-

jalan lagi.

Kalau Kembar Dari Tiongkok berga-

bung cukup lama dengan Pangeran Nera-

ka, tentunya sudah mengenal Mayangse-

runi sebagai Ratu Lebah yang kejam,

pendamping Pangeran Neraka. Kalau kini 

kedua lelaki itu tak menggubris 

Mayangseruni, berarti pula Pangeran 

Neraka tahu kalau Mayangseruni sudah 

sembuh dari pengaruh racun Perusak 

Syarafnya. Begitulah yang dipikirkan 

pendekar muda buyut Pendekar Lembah 

Kutukan ini.

Bukankah menurut Nyai Silili-

lilu, Pangeran Neraka adalah lelaki 

yang memiliki kelicikan serigala dan 

licin bagai belut?

Kalau tiba-tiba dia tak mempedu-

likan kehadiran Ratu Lebah, sudah pas-

ti ada satu rencana licik pula dalam 

benaknya....

"Hmmm.... Apa maumu, Setan Gun-

dul!" bisik Andika geram, mengumpat

lelaki sesat yang kini merongrong pi-

kirannya. 

"Kang...," tegur Mayangseruni, 

melihat pemuda itu mondar-mandir tak 

karuan seperti mandor perkebunan jeng-

kol!

Andika tak memperhatikan teguran 

gadis didekatnya. Otaknya masih sibuk 

teraduk-aduk.

"Kang Andika...," panggil Mayang-

seruni sekali lagi.

Barulah Andika tersadar. "E, 

apa?" tanya Andika. 

"Ternyata dugaanku benar." 

"Benar apa?"

"Gadis itu memang cantik."

"Gadis apa? Eh..., gadis yang ma-

na?" tanya Andika acuh tak acuh. Kem-

bali kebingungannya dilanjutkan memi-

kirkan rencana licik Pangeran Neraka.

"Anggraini, Kang. Siapa lagi?" 

ucap Mayangseruni, sungkan.

Gadis itu masih malu-malu mengha-

dapi Andika yang sifatnya berlawanan 

sama sekali dengannya.

"Iya.... Anggraini.... Siapa la-

gi...," gumam Andika, tak sadar mengu-

lang ucapan Mayangseruni. "Eh, tunggu 

dulu! Anggraini?!" sentaknya tiba-

tiba. Kalau ada cecurut jantungan di 

dekatnya, tentu binatang itu akan te-

was seketika!

"Oh, ya! Ada pesan untukmu,

Kang!" kata Mayangseruni lagi. Dis

odorkannya secarik surat pada Andika. 

"Surat ini kudapat dari Kembar Dari 

Tiongkok itu."

Andika segera membaca. Dan seke-

tika air mukanya berubah, setelah mem-

baca. Ada satu hal yang baru saja dis-

impulkan pemuda itu. Kini kepalanya 

mengangguk-angguk.

"Rasanya sekarang aku mulai bisa 

membaca niat busuk lelaki itu," ujar 

Andika meletup-letup. "Ayo, kita sege-

ra tinggalkan tempat ini, Mayang!"

Seketika Pendekar Slebor menyam-

bar tangan gadis cantik rupawan itu 

semena-mena, lalu membawanya lari.

***

SEMBILAN


Penginapan yang dimaksud dalam 

surat Pengeran Neraka, terletak tepat 

di kaki Bukit Cemarajajar. Sesuai na-

manya, bukit itu dikepung jajaran pe-

pohonan cemara yang tumbuh rapat tak 

teratur hingga merambahi kakinya. Pa-

noramanya memikat. Barisan cemara yang 

tumbuh pada dataran miring, akan ter-

lihat seperti payung-payung kuncup da-

ri kejauhan.

Penginapan itu dibentengi pagar 

tembok tak terlalu tinggi. Di halaman 

depan dan belakangnya yang luas, bebe

rapa batang cemara dibiarkan tumbuh 

pada setiap sudut dan tepian jalan ma-

suk. Rumput jarum tumbuh subur di se-

luruh taman, bak permadani hijau ter-

hampar luas. Pada beberapa bagian ta-

man, ditempatkan patung-patung kayu 

ukir bernilai seni tinggi. Di tambah 

sebuah kolam buatan berisi ikan ber-

warna-warni serta tanaman bunga di si-

sinya. Sehingga menyempurnakan taman 

menjadi tempat yang menawarkan kenya-

manan.

Tampaknya, si pemilik penginapan 

tak mau tanggung-tanggung dalam menge-

lola penginapannya, agar benar-benar 

menarik pengunjung. Terbukti, bangu-

nannya dirancang sedemikian rupa. Se-

bagian mengambil rancangan seni lelu-

hur, bagian lain mengambil gaya bangu-

nan Cina. Meski si pemilik tahu, tem-

patnya agak terpencil.

Andika dan Mayangseruni tiba di 

sana. Mereka masuk sambil mengagumi 

taman dan bangunannya. Dalam hati, 

Pendekar Slebor jadi berseloroh sendi-

ri.

"Selera Pangeran Slompret itu ru-

panya tinggi juga....?"

Melalui jalan setapak dari susu-

ran batuan sungai halus, dua anak muda 

itu melangkah terus sampai memasuki 

bangunan penginapan.

Di ruang penerimaan tamu yang tak 

begitu besar, keduanya disambut lelaki

yang tampaknya berdarah campuran Me-

layu Cina.

"Ada yang bisa hamba bantu?" 

tanya penerima tamu ramah, layaknya 

pemilik penginapan lain.

"Kami hendak memesan kamar," kata 

Andika, menanggapi sambutan penerima 

tamu.

Tanpa banyak tanya, si penerima 

tamu berjalan menuju meja berukir di 

sudut ruangan. Dari lacinya, diambil-

nya dua anak kunci.

"Kamarnya terletak agak berjau-

han," kata penerima tamu yang sekali-

gus pemilik penginapan, setibanya di 

dekat Andika dan Mayangseruni. 

"Satu kamar berada disayap timur, 

sedang yang lain berada di sayap ka-

nan. Aku harap, Tuan-tuan dapat men-

gerti. Karena hanya kamar-kamar itu 

yang belum terisi."

Ketajaman otak Andika menangkap 

suatu yang mencurigakan dengan sambu-

tan yang berkesan tergesa-gesa itu. 

Bukan Pendekar Slebor kalau tak bisa 

mencium gelagat aneh, meski hanya se-

kelebatan. Tak percuma orang-orang 

persilatan sering membicarakannya se-

bagai pendekar yang memiliki otak le-

bih encer dari pada bubur bayi!

"Dari mana lelaki ini tahu kalau 

aku dan Mayangseruni hendak menginap 

dengan dua kamar terpisah?" tanya An-

dika. "Padahal, lazimnya pemilik pen

ginapan selalu menanyakan berapa kamar 

yang hendak dipesan, jika kedatangan 

tamu lebih dari satu orang...."

Tanpa hendak memperlihatkan kecu-

rigaan, Pendekar Slebor menerima sodo-

ran anak kunci dari lelaki berdarah 

campuran itu. Satu hal lagi keganjilan 

yang ditangkap mata Andika. Ketika 

memberi kunci, lelaki itu seperti tahu 

hendak menyerahkan kunci yang mana pa-

da Andika, dan yang mana pula untuk 

Mayangseruni.

"Terima kasih," tutur Andika da-

tar.

Menurut dugaan, lelaki pemilik 

penginapan tentu telah terlibat dalam 

rencana busuk Pangeran Neraka. Kalau 

melihat sinar matanya, tampaknya tak 

ada sifat-sifat jahat dalam dirinya. 

Barangkali, dia terpaksa terlibat ka-

rena diancam.

Setelah Mayangseruni menyusul pu-

la kata terima kasih, keduanya lalu

menuju kamar masing-masing. Kedua ka-

mar itu terletak sama-sama dilantai 

atas. Tapi, jaraknya berjauhan. Kira-

kira, terpisah jarak dua puluh lima 

tombak.

Andika masuk ke dalam kamarnya. 

Hampir berbarengan, Mayangseruni pun 

masuk.

* * *

Malam pun tiba. Sejauh ini tak

ada tanda-tanda mencurigakan bakal 

terjadi. Pendekar Slebor berusaha te-

rus untuk tetap waspada, sesuatu bisa 

saja terjadi secara tiba-tiba.

Jangkrik berkerik-kerik tanpa bo-

san-bosan. Nyanyian hewan malam lain 

turut menimpali, membuat suasana makin 

terasa tegang.

Tanpa mampu memicingkan mata se-

jenak pun, Pendekar Slebor berjalan 

hilir mudik di dalam kamarnya yang 

sengaja tidak diberi penerangan. Dalam 

keadaan gelap itu, matanya justru le-

bih leluasa meneliti keadaan di luar. 

Sementara itu, pikirannya terus dige-

layuti kegelisahan. Andika khawatir 

akan keselamatan Mayangseruni di kamar 

lain. Biarpun ilmu dara cantik terse-

but tidak diragukan, namun tetap mera-

sa memiliki tanggung jawab terhadap 

keselamatannya.

Waktu terus merangkak. Entah su-

dah berapa lama Andika seperti itu, 

tetap juga tak terjadi apa-apa.

Untuk menghempas kejenuhan, Pen-

dekar Slebor mencoba sedikit menyibak 

kerai jendela. Angin menerobos diam-

diam, sedikit pun tak membuatnya men-

jadi merasa lebih tenang. Di angkasa 

maha luas, matanya menemukan sinar pu-

cat rembulan. Benda langit itu seakan 

menambah kegelisahan hatinya.

Di kamar lain, Mayangseruni pun

mengalami hal yang sama. Matanya juga 

tak bisa dipicingkan. Hatinya pun ge-

lisah, seperti pemuda pujaannya.

Bedanya, kalau Andika berjalan 

tak karuan, gadis itu memilih untuk 

duduk diam di atas pembaringan dalam 

keadaan bersemadi. Dalam gelap, mata 

berbulu lentik Mayangseruni sesekali 

bergerak waspada. Gadis itu pun ru-

panya berpendapat sama dengan Andika. 

Jika tidak ingin diawasi orang lain 

dari luar, lentera kamarnya harus di-

padamkan.

Suatu saat, perasaan Mayangseruni 

tiba-tiba memperingati akan suatu ba-

haya mengancam. Dia belum tahu, apa 

yang bakal terjadi. Yang jelas, nalu-

rinya memperingati harus waspada.

Wesss!

Benar juga. Dari arah lubang an-

gin di atas pintu, mendesis suara ta-

jam menuju dirinya.

Tangkas sekali Mayangseruni me-

lempar tubuh ke samping ranjang. Tak

ada sekejap, desisan tadi menghujam 

ranjangnya, melahirkan suara lain yang 

tak begitu kentara.

Bles!

Seusai suara tadi, tak ada keja-

dian lain menyusul. Hanya kelengangan 

merajai kamarnya, serta suara lamat-

lamat jangkrik yang berdendang. Untuk 

lebih yakin, sengaja Mayangseruni me-

nunggu beberapa lama dalam sikap mema

sang kuda-kuda siaga.

Karena tetap tak terjadi apa-apa, 

barulah Mayangseruni mencoba menghi-

dupkan lentera yang sejak tadi dipa-

damkan. Bunyi pemantik api penginapan 

terdengar, menyusul ruangan menjadi 

terang.

Kini, mata Mayangseruni bisa me-

lihat jelas, benda apa yang telah me-

mangsa ranjangnya. Di sana, tertancap 

sebilah anak panah yang di tengahnya 

diikatkan secarik surat.

Cepat Mayangseruni menjemput anak 

panah tersebut. Dari ikatannya Mayang-

seruni melepas surat pada anak panah.

Asal kau tahu, perempuan tak tahu 

malu! Pemuda tampan yang kini bersama-

mu, adalah kekasihku. Kau telah bera-

ni-beraninya merebut Andika dari pelu-

kanku. Bukankah wanita seperti itu 

pantas disebut sebagai wanita murahan.

Anggraini

Betapa panasnya wajah Mayangseru-

ni membaca surat yang berisi bukan 

hanya kecaman, tapi juga caci maki. 

Seluruh kata yang tertulis dalam su-

rat, seperti menyeruak paksa ke setiap 

jalan darahnya. Dadanya mendadak se-

sak, memaksa hidungnya menarik napas 

setarikan demi setarikan dengan terse-

ret-seret.

Wanita mana yang sudi dikatakan 

wanita murahan? Tidak juga diri gadis

cantik itu. Sebutan itu lebih menya-

kitkan ketimbang hantaman godam raksa-

sa seberat ribuan kati!

Saat itu, yang terbersit dalam 

pikiran Mayangseruni hanya perkataan 

kalau pemuda idamannya telah menipu 

dirinya mentah-mentah. Cinta murninya 

telah dipermainkan Andika. Cintanya 

yang selama ini terbangun dengan pen-

gorbanan, terserpih begitu mudah.

Perlahan-lahan, desakan rasa pe-

dih dari dalam dada Mayangseruni me-

maksa garis bening merembes dari kelo-

pak matanya. Dia memang seorang pende-

kar wanita. Tapi, tentu saja tak akan 

sanggup memungkiri kewanitaannya. Biar 

bagaimanapun, air mata tetap menjadi 

bagian dalam hidup seorang wanita se-

perti Mayangseruni.

Mayangseruni tak ingin terisak. 

Cukup airmata saja yang jatuh sebagai 

tanda kekecewaan mendalam.

Mayangseruni melempar surat dan 

anak panah di tangan. Dengan hati lu-

luh lantak, kakinya melangkah menuju 

pintu kamar dan keluar dari sana. Jika 

seseorang menanyakan hendak ke mana 

saat itu, dia tidak bisa menjawab. 

Mayangseruni hanya ingin meninggalkan 

tempat itu. Seakan-akan, hanya dengan 

begitu bisa membuang jauh-jauh segala 

hal tentang Andika.

Bagaimana dengan Andika sendiri? 

Tidak! Pemuda itu tak pernah tahu ka

lau Mayangseruni pergi. Jendela kamar-

nya membelakangi kamar Mayangseruni. 

Sehingga apa pun yang terjadi di kamar 

gadis itu, Andika tidak dapat melihat-

nya. Sementara, letak yang cukup jauh, 

membuat suara halus anak panah tersapu 

angin tak dapat tertangkap telinga An-

dika.

"Sudah lewat dini hari, tapi ke-

napa belum terjadi apa-apa juga...," 

gumam Andika berbisik.

Untuk yang ke sekian kalinya, 

Pendekar Slebor melepas pandangan ke-

luar dari jendela, seraya menajamkan 

indera pendengarannya. Tapi tetap saja 

tak tertangkap suatu yang mencuriga-

kan.

"Apakah aku sudah salah perhitun-

gan?" tanya Pendekar Slebor pada diri 

sendiri, ragu. "Apa mungkin aku justru 

telah benar-benar masuk ke dalam pe-

rangkap pangeran sial itu tanpa kusa-

dari?"

Andika makin digebah keraguan. 

Sebelumnya pemuda itu sudah merasa ya-

kin, telah berhasil membaca rencana 

licik Pangeran Neraka. Semua hal-hal

yang berkesan ganjil, direkam serta 

diolah otaknya. Dia yakin, telah bera-

da pada arah yang tepat menuju puncak 

rencana lawan.

Kalau sampai selarut itu perki-

raannya belum terbukti, tentu saja An-

dika menjadi ragu.

Segera Andika memutuskan untuk 

memeriksa kamar murid bibi buyutnya. 

Bukankah Pangeran Neraka amat licik? 

Bisa saja, dia telah memperdayai 

Mayangseruni tanpa sepengetahuannya.

Namun baru saja tangannya hendak 

menjemput gagang pintu, tiba-tiba saja 

matanya melihat seseorang mengendap-

endap ringan di atas wuwungan. Tak je-

las, apakah orang itu wanita atau le-

laki. Sebab pada saat itu, bulan dis-

elumuti awan hitam pekat. Gerakan 

orang itu amat ringan, seringan kucing 

liar. Tak ada keributan yang ditimbul-

kannya.

Anehnya, begitu melihat kehadiran 

sosok tak dikenal itu, Andika telah 

mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, 

bibirnya malah memperlihatkan senyum.

Hanya Pendekar Slebor sendiri 

yang tahu, kenapa begitu.

"He he he, kukira aku sudah salah 

perhitungan...," bisik Andika samar.

Selang beberapa waktu berikutnya, 

pemuda urakan yang terkadang sulit di-

mengerti itu, mengangkat kesepuluh ja-

rinya. Satu persatu, jari tersebut di-

lipat seraya menghitung.

"Satu... dua... tiga...."

Pada hitungan kesepuluh, Andika 

bergegas membuka pintu kamarnya. Wa-

jahnya kini dibuat seperti sedang di-

guncang kekhawatiran. Namun karena da-

sarnya memang urakan, masih sempat

sempat pula bibirnya tersungging ke-

cil.

Aneh!

Lalu, pemuda dari Lembah Kutukan 

itu berlari-lari, seolah memburu suatu 

yang mencemaskan. Arahnya, menuju ka-

mar Mayangseruni. Agar lebih terlihat 

seperti sungguh-sungguh, Andika pun 

mengerahkan sebagian ilmu meringankan 

tubuhnya yang amat dikagumi banyak to-

koh persilatan.

Whus!

Lebih cepat dari 'gas buangan' 

siapa pun, Pendekar Slebor telah tiba 

di depan kamar Mayangseruni. Tepat di 

depan pintu kamar, pemuda itu berdiri 

sejenak. Dibenarkannya letak kerah ba-

ju, kemudian menjemput gagang pintu.

Pintu terbuka. Ruangan ternyata 

sudah gelap kembali. Ada seseorang 

yang telah mematikan kembali lentera 

yang baru saja dinyalakan Mayangseruni 

sebelumnya.

Entah, siasat apa lagi yang se-

dang dijalankan pemuda berotak encer 

itu. Yang jelas, dia berlagak seperti 

orang yang bersiaga penuh. Kakinya me-

langkah satu-satu, melewati mulut pin-

tu. Sepasang tangannya teracung ke de-

pan dengan otot menegang. Diliriknya 

ranjang di dalam kamar. Ada seseorang 

sedang terlelap di sana.

"Mayang..., ssst, Mayang," bisik 

Pendekar Slebor hati-hati seraya men

dekat perlahan-lahan ke sisi ranjang.

Makin dekat, gaya anak muda 

brengsek itu makin dibuat-buat. Seper-

tinya, Andika begitu tahu ada orang 

lain selain wanita diranjang yang se-

dang mengawasi semua gerak-geriknya. 

Kaki Andika mulai berjingkat-jingkat 

kecil menuju tepi ranjang, seperti 

maling jemuran. Tangannya pun mencak 

sana mencak sini tak karuan.

Sebenarnya, apa yang ada dalam 

pikiran Andika saat itu?

"Mayang.... Mayang...," ulang 

Pendekar Slebor, memanggil nama gadis 

yang sudah tidak ada lagi di tempat-

nya.

Tepat ketika benar-benar tiba di 

tepi ranjang. 

Werrr!

Selimut yang menutupi sebagian 

badan tersingkat amat cepat. Seiring 

dengan itu, seberkas suara mendesis 

halus terdengar.

Seth!

Tahu-tahu, telah menempel benda 

kecil tajam yang dingin tepat di teng-

gorokan Andika. Namun Pendekar Slebor 

tak tampak terperanjat mendapat sambu-

tan tak ramah itu. Malah dia memperli-

hatkan cengiran kudanya yang menjeng-

kelkan.

"Apa kabar, Anggraini?" tegur 

Pendekar Slebor.

Sungguh pada saat itu, tak ada

sedikit cahaya yang menerangi wajah 

wanita di depannya. Semuanya memang 

telah diperhitungkan Pendekar Slebor. 

Jadi, tanpa perlu melihat jelas pun, 

Andika sudah tahu kalau wanita itu 

adalah Anggraini. Kalaupun sebelumnya 

memanggil-manggil nama Mayangseruni, 

itu semata-mata hanya berpura-pura.

"Tak perlu berbasa-basi lagi pa-

daku, Penipu Laknat!" geram Anggraini. 

Di tangannya telah siap busur yang me-

rentang tegang. Ujung anak panahnya 

menempel di tenggorokan Andika.

"Kukira aku tidak seperti apa 

yang kau ucapkan," sangkal Andika te-

nang. "Aku yakin, kau telah termakan 

hasutan pamanmu. Bukan begitu, 

Anggraini?"

"Sekali lagi kau berbicara, le-

hermu akan tertembus anak panahku!" 

ancam Anggraini. "Sekarang nyalakan 

lentera itu!"

Andika menuruti perintah gadis 

yang dibakar api dendam buta ini. Per-

lahan tubuhnya beringsut ke tempat 

lentera tergantung. Dengan pemantik 

api di dekatnya, dinyalakannya lentera 

minyak itu hati-hati di bawah ancaman 

busur Anggraini.

"Sekarang, aku bisa melihat wajah 

pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas 

melihat, bagaimana wajahmu ketika me-

regang maut...," desis Anggraini geram 

dengan menyipit.

Andika tak peduli dengan kegera-

man di wajah ayu yang terbakar warna 

merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata 

Anggraini, seakan sedang berusaha me-

nembus langsung ke hati gadis itu.

"Apa kau yakin hendak membunuh-

ku?" tanya Andika.

Ucapan Pendekar Slebor mungkin 

tak beda dengan sebuah tantangan. Na-

mun, nada kalimat yang dibuatnya men-

gandung tekanan mantap, mencoba meng-

goyahkan niat membunuh dalam diri ga-

dis itu.

Anggraini tak segera menjawab.

"Kenapa kau diam, Anggraini? Apa-

kah kau ragu?" susul Andika lagi.

"Diam kau! Aku tak pernah ragu 

untuk membunuh orang yang telah membu-

nuh ayahku!" bentak gadis itu hampir 

tersekat isak yang muncul tanpa terta-

han.

"Kau tak akan percaya bila kuka-

takan, kalau aku telah melakukan tin-

dakan yang benar dengan membunuh ayah-

mu," ucap Andika kembali, tanpa takut 

Anggraini melepas tali busurnya.

"Kau penipu!" maki Anggraini. Wa-

jahnya menyimpan mendung. Kalau saja 

tak berusaha menahan, tentu isaknya 

sudah terlempar keluar.

"Aku memang pembunuh ayahmu. Ta-

pi, aku bukan penipu seperti katamu," 

sangkal Andika. "Pamanmu lah yang pan-

tas disebut penipu...."

"Diam!" bentak Anggraini. Tapi, 

Andika tak peduli.

"Dia telah memutar balikkan ke-

nyataan sesungguhnya. Kau telah berha-

sil dipermainkan lelaki itu, lalu di-

manfaatkan untuk melaksanakan keingi-

nannya untuk membunuhku...."

"Diam! Diam! Diam! Kalau kau ti-

dak diam...."

"Kalau aku tak diam, apa yang 

akan kau lakukan Anggraini? Apa? Mem-

bunuhku dengan anak panahmu ini? Ayo, 

bunuhlah aku! Ayo bunuh!" Andika terus 

menyudutkan Anggraini dengan kata demi 

katanya.

Anggraini tidak bisa menjawab. 

Bibirnya bergerak-gerak, hendak mengu-

capkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir 

bening yang sejak tadi bergelayut di 

kelopak matanya, kini mulai gugur di 

sepanjang pipi halusnya.

"Kenapa kau belum juga membunuh-

ku, Anggraini? Kau ragu bukan? Karena, 

kau tidak ingin menyesal seumur hidup 

setelah tahu aku tak pantas dibu-

nuh...," sambung Andika agak melembut.

Sementara hati gadis di depan 

Pendekar Slebor makin goyah diberon-

dong isak.

"Perlu kau tahu. Sebenarnya, aku 

sudah tahu kalau kau akan ada di sini. 

Kelicikan pamanmu sudah dapat kubaca. 

Manakala tahu Mayangseruni telah ber-

samaku, dia pun segera mengatur siasat

licik untuk mengenyahkanku dengan tan-

ganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni 

hampir sulit dibedakan, jika dilihat 

sekilas. Apalagi dalam gelap seperti 

tadi...," kata Andika, lalu diam se-

saat. "Dia mengira, aku bisa tertipu 

dengan menempatkanmu di kamar Mayang-

seruni. Tidak! Aku tidak tertipu. Ka-

laupun aku datang juga ke kamar ini,

itu karena ingin membuktikan padamu 

bahwa aku tidak. bersalah dengan mem-

bunuh ayahmu. Aku yakin, telah melaku-

kan tindakan benar. Jadi, kenapa aku 

harus takut menghadapi tuntutan den-

dammu?"

Seluruh kalimat Andika bagai 

menghujam ke dalaman batin Anggraini.

Di telinganya, kata-kata itu begitu

mantap terulur bagai tak memiliki ke-

raguan atau kedustaan sepercik pun.

Di lain sisi, justru keraguan da-

lam diri Anggraini makin membesar dan 

membesar. Bahkan berkembang perlahan 

bagai daging tumbuh yang menyiksa.

Tangan Anggraini yang merentang-

kan busur makin kehilangan kekuatan. 

Getarannya menghebat.

Biar bagaimanapun, dendam buta 

membakar, cinta pula yang bisa menero-

bos dari kepungannya. Anggraini tak 

kuasa menghalangi rontaan cinta dari 

dalam dirinya. Sementara, kata demi 

kata pemuda di hadapannya telah jatuh 

tepat di garba cinta itu sendiri.

"Sadarlah. Anggraini. Begal 

Ireng, ayahmu, adalah tokoh sesat yang 

harus kusingkirkan...."

Mendapat kalimat terakhir Andika, 

mata Anggraini yang semula terjatuh, 

kini membeliak beringas.

"Kebohongan apa lagi yang kau ka-

takan, Andika?" geram Anggraini.

"Kalau kau benar-benar ingin mem-

bunuhku, cari tahulah tentang ayahmu 

di Istana Alengka, agar nanti tak me-

nyesal. Dan kau pun harus benar meya-

kini setiap ucapan pamanmu...."

Saat berbicara, mata Andika men-

cari-cari sesuatu dalam kamar. Ditemu-

kannya remasan surat yang ditujukan 

untuk Mayangseruni, serta anak panah 

di satu sudut ruangan.

Sejak semula, Andika sudah tahu 

kalau Pangeran Neraka akan memperdayai 

Mayangseruni agar keluar dari kamar 

itu, lalu memperdayai Anggraini pula 

agar menggantikan Mayangseruni di ka-

marnya. Hanya sampai semuanya terjadi, 

Andika tidak tahu bagaimana cara Pan-

geran Neraka melakukannya.

Setelah melihat secarik surat lu-

suh dan anak panah itu, pikiran Andika 

terbuka kembali. Kini dia tahu, Pange-

ran Neraka mengeluarkan Mayangseruni 

dari kamar secara halus. Tampaknya, 

tidak akan terjadi apa-apa terhadap 

diri gadis itu. Karena, sasaran Pange-

ran Neraka hanya Andika sendiri.

"Kau lihat secarik surat lusuh 

dan anak panah di sudut ruangan itu?" 

kata Andika memulai kembali pada 

Anggraini. "Dengan benda-benda itu, 

kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya 

pamanmu...."

"Apa maksudmu?!" sentak Anggraini 

bersama derai airmata yang tak bisa 

lagi dibendung. 

"Apa kau tak mengenali kalau anak 

panah itu adalah anak panahmu? Meski-

pun belum sempat kubaca, namun aku ya-

kin isi surat itu mengatas namakan di-

rimu. Sementara, kau tak pernah mengi-

rimnya pada Mayangseruni yang sebelum-

nya menempati kamar ini...."

Mata sembab gadis itu melirik ra-

gu ke sudut ruangan.

"Ayo, lihatlah.... Aku tak akan

lari. Dan aku tak akan membokong-

mu...," ucap Andika.

Mata Anggraini kini beralih pada 

mata Andika. Ditembusnya manik-manik 

mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia 

ingin mencaritahu apakah Andika beru-

saha menipunya atau tidak. Tapi, sebe-

tik pun tak ditemukan kedustaan di sa-

na.

Perlahan-lahan, tubuh Anggraini 

beringsut menghampiri anak panah dan 

secarik surat lusuh tadi. Mata anak 

panah di tangannya tetap ditujukan pa-

da Andika, seperti juga matanya yang 

tetap mengawasi.

Begitu tangan lembut Anggraini 

hendak menjemput kedua benda itu....

Brak!

Mendadak saja, dinding kamar je-

bol. Serangkum pukulan bertenaga dalam 

dahsyat yang ditujukan pada Andika, 

merangsek masuk dengan amat kasar! An-

dika terkesiap. Begitu juga Anggraini. 

Apalagi, pukulan jarak jauh dahsyat 

itu searah dengan tempat Anggraini.

Pendekar Slebor yang sering kali 

menelan kejadian-kejadian tak terduga 

selama petualangannya serta merta men-

gerahkan seluruh kemampuan ilmu kece-

patan warisan Pendekar Lembah Kutukan.

"Anggraini awas!"

Sekelebat gerak yang sulit diiku-

ti mata, dilakukan pendekar muda itu. 

Disergapnya tubuh sintal Anggraini, 

sekaligus menyelamatkan diri dari ter-

jangan pukulan jarak jauh tadi.

Tak ayal lagi, tubuh mereka ber-

gulingan di lantai.

Ketika guguran dinding kayu ber-

serakan tanpa daya, ketika debu-debu 

ruangan sudah tergolek di seluruh 

ruangan, tubuh Andika dan Anggraini 

terdiam. Andika masih memeluk punggung 

Anggraini di bawahnya. Pemuda itu me-

nanti serangan lebih lanjut, tapi tak

kunjung datang juga.

Andika lalu berkesimpulan, penye-

rang gelapnya adalah Pangeran Neraka. 

Tahu kalau sasarannya selamat, Bureksa

mungkin menyingkir secepatnya. Pada 

dasarnya, dia memang tidak mau mengam-

bil bahaya menghadapi Andika secara 

langsung.

"Manusia kentut pengecut!" umpat 

Pendekar Slebor geram.

Andika bangkit, seraya membantu 

Anggraini. "Kau tidak apa-apa, 

Anggraini?" tanya Andika lembut.

Sulit digambarkan, bagaimana wa-

jah Anggraini saat itu. Sehimpun rasa 

berbaur menjadi satu. Gundah, kalut, 

kecewa, serta dendam. Kini dia tahu, 

ucapan Andika seluruhnya benar. Paman-

nya telah mengkhianati.

Tanpa berniat menjawab pertanyaan 

Andika, Anggraini menghambur keluar 

kamar, membawa isak dan segala kepedi-

han tak tertanggungkan.

"Anggraini, tunggu!" tahan Andi-

ka.

Tapi, kehancuran batin Anggraini 

memaksanya untuk tidak mempedulikan 

apa-apa lagi. Dia terus berlari..., 

berlari..., membawa seluruh luka dalam 

diri. Akan ke mana kau, Anggraini?



                         S E L E S A I

Ikuti kelanjutan kisah ini,

dalam episode :

"BAYANG-BAYANG GAIB"





 

Share:

0 comments:

Posting Komentar