..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PENGADILAN PERUT BUMI

Pengadilan Perut Bumi

 

PENGADILAN PERUT BUMI 

Oleh Pijar El 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Penyunting : Puji S 

Cover : Henky 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit 

Pijar El 

Serial Pendekar Slebor 

dalam episode 10 : 

Pengadilan Perut Bumi 

128 hal ; 12 x 18 cm


SATU


Teriakan-teriakan pertarungan terdengar memecah 

keheningan di kaki sebuah pegunungan berapi. 

Sebuah pertarungan tingkat tinggi antara dua tokoh 

tua melawan satu tokoh tua dibantu seorang 

pemuda, sulit diduga sampai di mana tingkat ilmu 

masing-masing. Yang jelas, teriakan mereka lebih 

menggidikkan daripada salakan seribu petir. 

Bisa dikatakan, pertarungan ini satu dari 

bentrokan terdahsyat sepanjang seratus tahun 

belakangan. Apalagi, tiga orang di antara mereka, 

memang sulit dicari tandingan sejak pertama kali 

muncul delapan puluh tahun yang lalu. Jika untuk 

kedua kalinya mereka hadir kembali dan membuat 

keguncangan, sebenarnya bukan hal yang terlalu 

aneh. 

Dibanding delapan puluh tahun yang lampau, 

pertarungan kali ini ternyata lebih hebat lagi, dengan 

turut andilnya seorang pemuda jelmaan siluman. Dan 

pemuda itu memang mendapat tugas untuk 

membuat kekacauan di bumi setiap sejuta purnama. 

Layaknya sosok siluman, penampilan pemuda itu 

memang mengerikan. Tubuhnya kekar sarat dengan 

otot menonjol. Rambutnya panjang berwarna merah 

bara bagai percikan api neraka. Matanya seperti mata 

macan hutan liar. Dan di dua sudut bibirnya, 

tersembul dua taring tajam mengancam! Lahirlah 

sebutan angker bagi dirinya. Manusia Dari Pusat 

Bumi

Sementara itu satu orang yang berdiri di pihaknya 

adalah lelaki tua berusia sekitar seratus dua puluh 

tahun. Wajahnya datar dengan satu lubang hidung 

kecil. Berbibir amat tipis dan berkelopak mata begitu 

sempit. Tubuhnya terbungkus kain kafan usang dari 

bahu hingga terikat ketat di mata kaki. Dagunya 

ditumbuhi jenggot panjang dan putih sekitar satu 

depa. Rambutnya pun putih, tersibak ke mana-mana. 

Delapan puluh tahun lalu, sepak terjangnya membuat 

ciut nyali banyak tokoh persilatan. Dialah tokoh yang 

berjuluk Hakim Tanpa Wajah! 

Lawan kedua tokoh itu adalah dua lelaki yang 

sifatnya bertolak belakang. Satu begitu pemarah dan 

pemberang. Sedang yang lain begitu lugu dan dungu. 

Usia lelaki yang berwatak pemberang tak jauh 

beda dengan Hakim Tanpa Wajah. Namun karena 

dalam tubuhnya mengalir darah serigala, maka tak 

mengalami ketuaan. Sosoknya tinggi besar, dengan 

bulu-bulu hitam lebat di sekujur tubuh dan wajahnya. 

Penampilannya seperti gorila. Namun, tak begitu 

dengan paras wajahnya yang terbilang tampan, meski 

pipinya begitu tebal. Seperti Manusia dari Pusat Bumi, 

lelaki keturunan serigala ini pun hanya bercelana 

hitam tanggung yang ujungnya sudah koyak-moyak. 

Sesuai keadaannya, julukannya pun Lelaki Berbulu 

Hitam sejak muncul delapan puluh tahun yang 

lampau. 

Sedangkan kawan Lelaki Berbulu Hitam yang 

berwatak dungu, berjuluk Pendekar Dungu. Karena 

seangkatan dengan tokoh sesat yang berjuluk Hakim 

Tanpa Wajah, dia sudah begitu peot keriput. 

Pakaiannya warna-warni, penuh tambalan. Tubuhnya 

bongkok seperti gagang tongkat. Tapi masih begitu 

gagah. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar penuh

semangat. Rambutnya memutih rata ditutup 

selembar topi pandan. Wajahnya tanpa jenggot dan 

kumis. Mulutnya hanya memiliki tiga butir gigi yang 

semuanya berwarna kuning langsat! (Untuk 

mengetahui awal kisah bentrokan mereka, ikuti serial 

Pendekar Slebor dalam episode : “Manusia Dari Pusat 

Bumi”). 

Pertarungan mereka telah memasuki hari kedua, 

tanpa henti. Meski usia tiga orang di antara mereka 

tergolong uzur, namun pertarungan yang panjang itu 

tak juga membuat lelah. Tenaga mereka seperti tak 

terkuras sama sekali. Dari gejolak pertarungan yang 

kian memanas, tampaknya mereka malah memiliki 

cadangan tenaga yang cukup untuk beberapa hari 

lagi. 

Des! Plak! 

Dua tinju yang dilepaskan dari jurus 'Tenaga Sakti 

Pembelah Bumi' secara berbarengan oleh Hakim 

Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi mencoba 

melebur kekompakan pertahanan lawan. 

Sudah jurus yang ketujuh puluh guru dan murid itu 

mengerahkan jurus langka ini. Akibat yang ditimbul-

kannya membuat permukaan tanah seperti digoyang 

berkali-kali. Hal itu terjadi karena pada setiap rangkai 

jurus, kaki mereka selalu melakukan jejakan-jejakan 

bertenaga ke bumi. Terlalu banyaknya jejakan hebat 

menyebabkan tanah banyak yang retak di sana-sini. 

Pepohonan dalam jarak sekitar dua puluh tombak 

dari kancah pertarungan, sudah pula bertumbangan. 

Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam sudah 

amat kenal dengan jurus 'Tenaga Sakti Pembelah 

Bumi'. Mereka mampu mengimbangi dengan 

gabungan jurus masing-masing. 

Sewaktu tinju yang dilepaskan guru dan murid itu

merangsek pertahan secara berbareng, mereka pun 

berpencar. Masing-masing menahan satu tinju. 

Dengan begitu, sepertinya kekompakan mereka ter-

pecah. Padahal, tidak sama sekali. Karena justru 

mereka sedang menjalankan siasat tempur baru yang 

diharapkan akan mengecoh lawan. 

“Dungu! Jangan merenggangkan jarak! Gabungan 

jurus kita bisa kocar-kacir!” ujar Lelaki Berbulu Hitam, 

pura-pura terkejut. 

“Lho?! Kupikir ini siasat kita untuk mengecoh 

mereka!” sahut Pendekar Dungu lugu. 

“Wuaaa, Dasar Goblok! Kenapa mesti disebut-

sebut?! Kau telah menggagalkan rencana kita!” 

umpat Lelaki Berbulu Hitam, di antara terjangan 

bertubi-tubi Hakim Tanpa Wajah. 

“Lho? Salahmu sendiri! Kenapa tadi berteriak...?! 

Hey! Kau tadi berteriak apa padaku, ya?!” 

“Ah, sudah! Tutup saja bacotmu! Dan, hadapi si 

Pemuda Jelek itu!” hardik Lelaki Berbulu Hitam. 

Manusia Dari Pusat Bumi tak kalah garang 

merangsek Pendekar Dungu. Sepuluh cakarnya men-

cabik udara, menuju leher lelaki berotak kerbau itu. 

Tapi Pendekar Dungu malah tertawa keras-keras 

sampai terdongak-dongak. Sehingga, sambaran cakar 

si Pemuda Jelmaan Siluman luput berkali-kali. 

“Kenapa kau tertawa, Dungu?! Apa kau pikir 

ucapanku barusan lucu?! Haih!” dengus Lelaki 

Berbulu Hitam sambil balas menyerang Hakim Tanpa 

Wajah dengan hentakan telapak tangan lurus ke 

dada. 

“Ait..., ait!” 

Pendekar Dungu berjingkat-jingkat sewaktu 

Manusia Dari Pusat Bumi mengincar kaki keriputnya. 

“Pemuda sialan ini memang jelek, Hitam! Setelah

kupikir susah payah, baru kusadari kalau ada 

manusia yang lebih jelek daripada dirimu! He... he... 

he!” oceh Pendekar Dungu tanpa rasa bersalah 

sedikit pun pada Lelaki Berbulu Hitam. 

“Wuaaa, Tua Bangka Berotak Bebal! Kalau aku 

berhasil meremukkan kepala hakim sialan ini, kau 

akan dapat giliran!” ancam Lelaki Berbulu Hitam 

berang. Matanya mendelik-delik seperti orang 

keracunan. 

Puncak pertarungan mereka diawali oleh 

melompatnya Manusia Dari Pusat Bumi jauh keluar 

arena. Menyadari muridnya akan mengerahkan 

kesaktian baru yang mungkin belum pernah 

disaksikannya, Hakim Tanpa Wajah ikut menjauhi 

lawan. Dengan beruntun salto di udara, lelaki tua 

terbungkus kain kafan usang itu mengambil tempat 

jauh dari lawan, dan juga jauh dari si Manusia 

Jelmaan Siluman pula. Paling tidak, sekadar untuk 

menjaga kemungkinan agar dirinya tidak jadi sasaran 

serangan nyasar milik murid ajaibnya. 

“He... he... he. Kau punya kejutan untukku, Bocah 

Bagus?” tanya Hakim Tanpa Wajah di kejauhan. 

Bibirnya menyeringai penuh harap. “Sekarang inilah 

saat yang tepat untuk membuktikan bahwa kau 

mampu menjadi 'Sang Penuntut' dari pengadilanku! 

He... he... he!” 

Tak lama setelah kata-kata Hakim Tanpa Wajah 

tuntas, si Manusia Jelmaan Siluman pun menyiapkan 

satu serangan gaib yang didukung oleh kekuatan dari 

alam lain. Sejenak kepalanya mendongak lurus ke 

langit, disusul oleh terangkatnya kedua tangannya 

tinggi-tinggi. Seluruh jarinya membentang, seolah 

hendak menggapai atap dunia, lalu meruntuhkannya! 

“Nah, lo...! Nah, lo! Pemuda jelek itu hendak

berbuat apa?” tanya Pendekar Dungu dengan mimik 

linglung, seperti untuk diri sendiri. 

“Mana kutahu! Kau pikir dia itu adikku, hingga aku 

tahu apa yang mau diperbuatnya!” sahut Lelaki 

Berbulu Hitam, tetap garang seperti yang sudah-

sudah. 

“Jadi dia itu bukan adikmu?” sergah Pendekar 

Dungu. “O-o. Pantas saja kau kelihatannya lebih jelek 

daripada dia....” 

Pendekar Dungu mengangguk-angguk polos, 

dengan pandangan tetap pada pemuda siluman itu. 

“Diaaam!” bentak Lelaki Berbulu Hitam. Suaranya 

mengguntur ke segenap penjuru. Tapi sama sekali 

tidak mengusik Manusia Dari Pusat Bumi jauh di 

depan. 

“Lihat..., lihat!” seru Pendekar Dungu pada kawan 

buruknya yang masih mendelik dengan rahang 

mengejang. Ditunjuknya si Manusia Dari Pusat Bumi. 

Jauh di sana, orang yang dimaksud sedang 

mengalami getaran hebat. Seluruh tubuhnya bagai 

diberontaki seribu makhluk tak berwujud. Masih tetap 

mendongak, mulut bertaringnya perlahan membuka. 

Setelah itu, meluncurlah lengkingan asing yang baru 

kali ini terdengar di telinga manusia mana pun. 

Lengkingan tinggi, yang langsung menerabas hingga 

ke sudut hati. Tak keras, namun amat berpengaruh 

pada sambaran mereka. 

Telinga sepasang tokoh aneh musuh bebuyutan 

Hakim Tanpa Wajah ini tak terlalu terganggu oleh 

jeritan tadi. Tenaga dalam mereka terlalu tinggi untuk 

bisa dijatuhkan dengan kekuatan suara seperti itu. 

Namun begitu, ada pengaruh lain yang tak lagi 

terbendung. Semacam ketakutan yang sulit 

dijelaskan, mendadak saja menggerayangi diri Lelaki

Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. 

“Sial! Apa yang telah diperbuatnya padaku?!” desis 

Lelaki Berbulu Hitam tak mengerti. “Seumur hidup, 

belum pernah kurasakan perasaan mencekam 

seperti sekarang....” 

Ketika Hakim Tanpa Wajah melirik Pendekar 

Dungu, lelaki tua bongkok itu pun menampakkan 

wajah pias. Mimiknya seperti orang yang sedang 

menunggu ajal. 

“Dungu! Apakah kau merasakan hal yang sama?” 

tanya Lelaki Berbulu Hitam. 

Pendekar Dungu lalu menggeleng. “Aku tak tahu 

apa yang kau rasakan. Bahkan aku pun tak tahu, apa 

yang kurasakan saat ini. Semuanya begitu asing...,” 

jawab Pendekar Dungu, tak lagi berkesan bodoh 

seperti sebelumnya. “Apa yang mesti kita lakukan?” 

“Pusatkan pikiranmu, Dungu! Tutup semua indera! 

Aku yakin, gelombang suara itu yang menjadi 

penyebabnya!” ujar Lelaki Berbulu Hitam memper-

ingatkan, di antara pertempuran rasa takut yang 

menelusup dengan rasa murka yang menjadi sifatnya. 

Dan secepat itu pula Lelaki Berbulu Hitam, 

bersemadi dalam keadaan berdiri. Lalu, ditutupnya 

seluruh indera. Pikirannya langsung dipusatkan pada 

satu titik dalam diri. Sementara Pendekar Dungu 

mengikuti perbuatannya. 

Memang benar dugaan Lelaki Berbulu Hitam. 

Manusia Dari Pusat Bumi saat ini sedang mengirim 

satu kekuatan gaib melalui gelombang suaranya, 

yang bersumber dari medan kekuatan jahat di satu 

lapisan langit yang menjadi tempat bergentayangan-

nya para makhluk halus laknat! Ketika memasuki 

pintu-pintu indera, kekuatan itu akan segera 

menyerap habis-habisan seluruh keberanian dalam

diri manusia yang paling digdaya sekali pun. 

Lama kelamaan, lengkingan milik manusia utusan 

alam kejahatan yang menusuk angkasa itu kian 

meninggi. Gelombang suaranya kian bertambah, 

seiring makin hebatnya penyergapan kekuatan jahat 

dari langit! 

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu benar-

benar mati-matian menghadapi gempuran tak ber-

wujud yang mencoba merangsek seluruh indera. 

Mereka bertahan habis-habisan, seperti dua orang 

yang mencoba menutup sebuah pintu. Makala terjadi 

angin topan maha hebat yang mencoba menguak-

nya.... 

Pertanyaan bagi mereka, bukan lagi apakah 

mereka mampu mengalahkan kekuatan jahat itu? 

Tapi, apakah mampu bertahan? Kemenangan bagi 

mereka memang tidak mungkin. Benteng kekuatan 

garba mereka tak sebanding kekuatan medan jahat 

dari langit. Kalaupun mampu bertahan, akan berapa 

lama mereka sanggup melakukannya? 

Tubuh dua lelaki itu bergetar, bersamaan dengan 

meningginya lengkingan lawan. Dari seluruh pori-pori 

tubuh mereka, mengalir cairan kemerahan. Keringat 

bercampur darah! Sesekali tubuh mereka tersentak-

sentak. Dan pada puncaknya, mulut kedua lelaki itu 

melepas teriakan berbareng, meningkahi lengkingan 

tinggi milik Manusia Dari Pusat Bumi. Tapi bukan 

berarti mereka telah menang. Sebaliknya, justru 

mereka baru saja terhempas dalam kekalahan 

dahsyat. 

Bergiliran tubuh keduanya berlutut lemah. Mata 

mereka menatap sayu, ke arah Hakim Tanpa Wajah 

dan Manusia Dari Pusat Bumi secara bergantian. 

“He... he... he. Kalau delapan puluh tahun lalu

kalian luput dari pengadilanku, maka kali ini tak bisa 

menghindarinya lagi...,” kata Hakim Tanpa Wajah, 

disertai seringai berhawa maut. 

Dihampirinya kedua tubuh lemah itu. 

“Apakah masih sanggup melawan, kalau aku men-

coba melumpuhkan kalian?” cemooh Hakim Tanpa 

Wajah meremehkan. 

Tangannya pun diangkat perlahan, seakan hendak 

menjadikan kedua lelaki seangkatan dengannya ini 

sebagai bulan-bulanan. 

“Bersiaplah menerima 'hukuman pendahuluan' 

dariku,” ujar Hakim Tanpa Wajah lagi. “Jarang sekali 

'para terhukum' mendapat kehormatan mendapatkan 

'Totokan Penyiksa' milikku. Hanya orang-orang yang 

pernah luput dari pengadilanku yang akan menerima-

nya. Seperti kalian!” 

Didahului seringai, Hakim Tanpa Wajah menyalur-

kan hawa sakti ke tiap jarinya. Dipersiapkannya satu 

ilmu yang disebutnya 'Totokan Penyiksa'. 

Pada saat itulah, Lelaki Berbulu Hitam menggeram 

laksana serigala luka. Suaranya terlempar ke 

segenap penjuru, hingga jauh ke balik gunung. 

Hakim Tanpa Wajah tercekat. Tak pernah disangka 

kalau lawan masih sanggup melakukan hal ini. Malah 

keterkejutannya jadi kesalahan, manakala tangan 

bercakar Lelaki Berbulu Hitam merangsek dengan 

seluruh sisa tenaga. 

Saaat! 

Sebisa-bisanya, Hakim Tanpa Wajah berkelit. 

Namun tetap juga cakar Lelaki Berbulu Hitam 

merobek kafannya, sekaligus membeset kulit 

dadanya.... 

Bret! 

Betapa murkanya Hakim Tanpa Wajah. Totokan

yang berisi kekuatan terpusat di jari, segera saja 

dilancarkan ke leher lawan. 

Suit! 

“Grrrh!” 

Namun mendadak sebuah geraman lain hadir di 

dekatnya. Bukan lagi dari mulut Lelaki Berbulu Hitam, 

tapi dari moncong dua ekor serigala besar! Begitu 

tiba, kedua hewan buas itu langsung saja menerkam 

jemari Hakim Tanpa Wajah. 

Hakim Tanpa Wajah seketika menarik kembali 

gerak tangannya. Karena begitu kaget oleh kehadiran 

yang tiba-tiba dua serigala itu, tubuhnya pun 

mengambil jarak ke belakang dengan satu lompatan 

cepat. 

Maka kesempatan itu dipergunakan Lelaki Berbulu 

Hitam untuk melompat dengan sisa tenaganya ke 

punggung dua serigala. Sebuah tali kekang yang 

terikat menjadi satu di leher binatang-binatang itu, 

cepat disambarnya. Kini dia berdiri di atas dua 

punggung serigala. Tiap kakinya, berpijak pada satu 

punggung serigala. 

Ketika Hakim Tanpa Wajah masih terpana, Lelaki 

Berbulu Hitam tanpa membuang waktu menyambar 

tubuh Pendekar Dungu. Kemudian, menghentakkan 

tali kekang. Kini mereka pun melesat cepat ke atas 

serigala jejadian.... 

***

DUA


Seorang pemuda berpakaian hijau-hijau tampak 

tengah melangkah bersungut-sungut dan tergesa di 

sebuah jalan berlumpur. Sesekali kakinya berjingkat, 

untuk mencari tempat pijakan yang lebih kering. 

Pemuda ini tetap tampan, meski wajahnya terlipat. 

Matanya tajam dan alisnya hitam melengkung seperti 

kapak sayap elang. Anak rambutnya yang tak pernah 

ditata berayun-ayun kecil di sekitar dahinya. Di 

tangannya ada gulungan kain bercorak papan catur. 

Entah sudah berapa kali gulungan kain itu ditinju-

tinjunya gemas. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda 

itu kalau bukan Andika, alias Pendekar Slebor. 

“Benar-benar sial! Enak saja dia menunjukku 

menjadi orang yang bisa mencegah si Manusia 

Siluman atau Manusia Kuman atau manusia apa pun 

dia! Padahal, sebelumnya aku sudah dipermainkan 

mentah-mentah! Pura-pura jadi wanita cantik segala 

macam. Jadi nenek pikunlah! Jadi inilah! Itulah.... 

Tidak sekalian dia jadi kentut!” gerutu Pendekar 

Slebor seperti khotbah orang tak waras. 

Sehari lalu, Andika memang baru saja bertemu si 

Raja Penyamar di Kampung Kelelawar. Mendapat 

semua penjelasan lelaki yang telah mati itu, Pendekar 

Slebor jadi mangkel begitu rupa. Biarpun mendapat 

kehormatan dari tokoh tua kawakan macam Raja 

Penyamar sebagai orang satu-satunya yang bisa 

menghadapi Manusia Dari Pusat Bumi, tetap saja dia 

merasa telah dipermainkan. (Baca episode : 

“Manusia Dari Pusat Bumi”).

Sementara itu pada saat yang sama, seekor 

burung gagak berwarna hitam sedang melayang-

layang angker di angkasa. Binatang itu terus 

melakukan putaran jauh di atas Andika, seolah-olah 

sedang melakukan pengintaian. 

Di atas sana, mata tajam binatang itu memang 

terus mengawasi Pendekar Slebor. Sesekali dari 

paruhnya meluncur keluar suara serak menyeramkan. 

Jika gagak itu membentangkan sayap lebar-lebar, dia 

akan terlihat bagai hantu dari langit. 

Lama kelamaan, Andika mulai merasakan ada 

sesuatu yang tidak beres pada burung itu. 

Langkahnya segera dihentikan untuk memastikan, 

apakah burung itu hanya kebetulan mengikuti atau 

tidak. Dengan berpura-pura duduk di sebatang pohon 

tua tumbang, ditunggunya tanggapan si Burung 

Gagak. 

Untuk beberapa saat, burung hitam kelam itu 

tetap melayang berputar. Dan mendadak saja, 

tubuhnya menukik cepat. Sayapnya merapat, sedang 

paruhnya menusuk udara di depan. 

“Kaaak!” 

Tak beberapa lama, si Burung Gagak sudah 

hinggap ringan di dahan pohon beringin lebat. Mata 

kemerahannya terkesan dingin, menantang 

kehadiran pendekar muda dari Lembah Kutukan. 

Sedangkan kepalanya bergerak kian kemari. 

Andika melirik hati-hati, seakan khawatir kalau 

tindakannya diketahui. Dengan ujung mata yang 

menyelidik, mulutnya berbisik. 

“Apa maunya burung ini? Belum pernah kutemui 

binatang bertingkah seaneh itu....” 

Tiba-tiba sesuatu mengejutkan burung gagak itu, 

begitu terdengar suara ranting kayu kering yang tak

sengaja terinjak di balik pohon beringin. Derak ranting 

patah itu yang menyebabkan burung gagak tadi 

mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu merambah 

angkasa kembali. 

Andika pun turut terkejut, meski tak separah 

burung tadi. Kewaspadaannya cepat bangkit. Mata 

tajamnya mengarah siaga ke arah bunyi tadi. Tanpa 

gerak, dinantinya sesuatu yang bakal terjadi 

berikutnya. Yang jelas dia menduga, pasti ada orang 

di balik pohon beringin itu. 

Namun setelah sekian lama menunggu, tak juga 

terjadi sesuatu pun. Bahkan orang di balik pohon 

beringin besar tak muncul-muncul. Itu menyebabkan 

keingintahuannya mendadak muncul. 

Dengan langkah hati-hati, Andika mendekati 

pohon beringin itu. Pengerahan sebagian ilmu 

meringankan tubuhnya, membuat langkah Pendekar 

Slebor tidak menimbulkan suara sedikit pun, meski 

berjalan di atas serakan daun kering. 

Setibanya di sisi batang besar pohon beringin, 

Andika mengendap untuk melihat sisi lain di balik 

pohon, tempat asal bunyi tadi. Kepala dijulurkannya 

perlahan. Tindakannya terlihat bodoh sekali. Padahal, 

dia bisa saja melompat ringan ke satu dahan pohon 

beringin di atas, lalu melihat siapa orang yang ber-

sembunyi di balik tumbuhan besar itu. 

Dan kebodohannya harus dibayar oleh keter-

kejutan luar biasa. Bagaimana dia tidak terperanjat, 

kalau pada saat yang sama, ada satu kepala pula 

yang melongok? Bahkan hampir-hampir saja wajah 

Pendekar Slebor tertabrak wajah orang yang dicurigai. 

“Siapa kau?!” bentak Andika gusar. 

Hidung Pendekar Slebor kontan kembang-kempis, 

karena terkejut. Cerita Raja Penyamar, benar-benar

telah membuatnya menjadi orang sakit jantung. 

Waktu itu, si Raja Penyamar menceritakan bagai-

mana mengerikannya si Manusia Dari Pusat Bumi. 

Juga, tentang kemungkinan kekuatan-kekuatan alam 

gaib milik para siluman yang bisa membantunya. 

Karena keterangan itu, Andika jadi terlalu berhati-hati 

semenjak keluar dari Kampung Kelelawar. Dalam 

bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa 

saja tiba-tiba muncul tanpa diketahui, lalu membedol 

jantungnya dengan kekuatan siluman. 

“Kau sendiri siapa?!” balas orang di balik pohon. 

Suaranya lantang, namun berkesan halus. Tepatnya, 

suara itu milik wanita. 

Andika mengernyitkan alis rapat-rapat. Dia berpikir 

sejenak. Seingatnya, Manusia Dari Pusat Bumi yang 

diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau 

begitu, orang di balik pohon ini tentu bukan manusia 

jelmaan siluman yang dimaksudkan. 

“Tapi...,” bisik Pendekar Slebor kemudian.”... bisa 

saja siluman congek yang sedang menyamar jadi 

wanita....” 

“Hey! Apa kau bilang tadi?! Kau menyebut aku 

siluman congek?!” 

Terdengar dampratan gusar dari balik sebatang 

pohon. 

“O, jadi kau bukan siluman congek? Lalu kau 

siluman apa? Apa sejenis siluman kibul?” tanya 

Andika, tanpa maksud meledek sedikit pun. 

Pertanyaan itu terlontar begitu saja, karena sedang 

was-was. 

“Diam kau!” bentak orang di balik pohon, makin 

tersinggung. 

“Wait! Apa aku menyinggungmu? Kau tentu bukan 

siluman kibul, ya? Pas... ti, kau siluman...,” Andika

mengurut-urut kening. “Siluman apa, ya? Hey! Lebih 

baik kau saja yang memperkenalkan padaku, siluman 

jenis apa kau! Aku tak begitu tahu soal siluman-

siluman!” 

“Manusia tak tahu adat!” 

Selesai terdengarnya hardikan itu, kembali 

terdengar suara pakaian yang menggelepar di udara. 

Orang di balik pohon itu rupanya melompat ke atas 

dahan pohon beringin. Tampaknya dia sudah tidak 

sabar lagi. 

Mendengar bunyi itu, Andika dengan sigap 

memasang kuda-kuda siap tempur. Kepalanya 

mendongak tegang ke atas pohon, langsung melihat 

seorang wanita yang sudah amat dikenalnya dulu! 

*** 

“Brengsek kau!” maki sebuah suara wanita dari 

atas pohon beringin. 

Selincah dan seanggun burung manyar, wanita itu 

melompat turun. Lalu dia berdiri tepat di depan 

pemuda yang baru saja dimakinya. Tangannya cepat 

terangkat, siap mendaratkan tamparan ke pipi 

pemuda di depannya. 

Plak! 

Tamparan itu pun benar-benar jatuh pada pipi kiri 

pemuda berpakaian hijau-hijau yang memang Andika. 

Sementara Pendekar Slebor itu sendiri masih 

terpana-pana melihat wanita yang baru saja muncul. 

Tak ada akibat yang parah dari tamparan itu. Di 

pipinya, Andika malah merasakan satu kehangatan 

serta kemanjaan. 

“Kenapa jadi bengong begitu? Apa kau sudah tak 

kenal lagi padaku?” sentak wanita itu seraya

menyusul satu cubitan gemas ke perut Andika. 

Pendekar Slebor meringis. Perutnya jadi begitu 

pedas. 

“Purwasih...?” gumam Andika. 

Purwasih, seorang gadis cantik putri Raja Alengka. 

Tubuhnya yang berkulit agak kecoklatan agak mungil 

ditutup ketat oleh pakaian hijau lumut. Begitu 

menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada 

usia yang sebenarnya dengan rambut dikepang ekor 

kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat yang 

dihiasi bulu lentik. Hidungnya tipis dan mancung, 

membatasi sepasang matanya. Semuanya makin 

sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang. 

Sebagai seorang pendekar wanita yang cukup 

kondang dengan julukan Naga Wanita, kehadirannya 

selalu ditemani pedang bergagang kepala naga yang 

tergantung di punggung. (Tentang Purwasih, baca 

episode : “Dendam dan Asmara”). 

Sebenarnya antara Purwasih dengan Andika masih 

ada pertalian darah. Buyut Andika yang bergelar 

Pendekar Lembah Kutukan, adalah salah seorang 

keluarga istana juga. 

“Ya, aku memang Purwasih. Tapi, kenapa kau 

memandangku seperti melihat hantu?” tanya 

Purwasih. 

“A..., aku hanya hampir pangling,” Andika ter-

gagap. “Tak kusangka setelah sekian lama berpisah, 

kau kian cantik mempesona.” 

“Gombal!” 

“Sungguh!” tegas Andika sambil meraba dadanya. 

“Kenapa?” tanya Purwasih lagi. 

“Hanya memeriksa jantungku. Aku takut, jantung 

ini tahu-tahu berhenti karena begitu kaget melihat 

kecantikanmu....”

“Kau makin gombal!” 

Andika tertawa berderai. Saat itulah Purwasih yang 

begitu rindu, menubruknya. Bahu kekar Andika 

dirangkul, seperti sikap seorang kakak yang bertemu 

adik lelakinya setelah terpisah bertahun-tahun. 

Tawa Andika terpenggal mendadak. Sementara 

akar pohon beringin di bawahnya tersangkut di kaki. 

Sedangkan tubuhnya sudah telanjur terdorong oleh 

rangkulan Purwasih. 

“E... e-e-e!” teriak Andika. Lalu.... 

Bruk! 

Keduanya langsung terjatuh. Beruntung bagi 

Purwasih karena jatuhnya di atas tubuh Andika. 

Sebaliknya, naas bagi Andika. Kepalanya langsung 

dikecup sebongkah batu sebesar kepalan tangan 

yang memaksanya harus meringis-ringis ber-

kepanjangan.... 

Sekarang giliran Purwasih melepas tawa kecilnya. 

Sebelum terlalu lama, Andika cepat menekan bibir 

gadis jelita itu dengan jari telunjuk. Lama, ditatapnya 

Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan 

debaran-debaran tak beraturan di dada. 

“Apakah Andika akan berbuat yang macam-

macam?” tanya Purwasih membatin. 

Sebenarnya sudah terlalu lama Purwasih berharap 

Andika memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. 

Kalau hari ini harus menerima pernyataan perasaan 

itu dari Andika, betapa berbunga-bunga hatinya. 

Mata sarat bulu lentik milik Purwasih perlahan 

terpejam. 

“Kenapa kau seperti orang mengantuk?” tanya 

Andika, mengejutkan Purwasih. 

Dara cantik ini sama sekali tak menduga Andika 

akan membisiki kalimat itu.

“Aku pikir....” 

Kalimat Purwasih terpenggal, tak sanggup dilanjut-

kannya. Sebab dia yakin, Andika pasti menemukan 

rona merah di kedua belah pipi halusnya. 

“Ah! Kau ini kenapa jadi berpikir macam-macam,” 

bisik Andika lagi. “Aku tadi mendengar suara men-

curigakan.” 

Perlahan Andika bangkit, diikuti Purwasih. Sesaat 

kemudian mereka sudah mengedarkan pandangan 

ke segenap penjuru. Tak ada seorang pun yang 

terlihat. 

“Aku tak melihat seorang pun,” kata Purwasih. 

“Bahkan aku tak juga mendengar suara men-

curigakan seperti katamu tadi.” 

Tapi.... 

“Andika.... Temui aku di Sungai Mati sebelah 

utara.” 

Andika mendadak saja mendengar bisikan halus 

singgah ke dalam liang telinganya. Begitu halus, 

hingga hanya dia sendiri yang bisa menangkapnya. 

Dari warna suara tadi, Andika segera bisa 

menduga siapa sesungguhnya orang yang telah 

mengirim bisikan jarak jauh tersebut. Suara yang 

belum lama dikenalnya. Raja Penyamar. 

“Purwasih.... Menyesal sekali aku harus pergi,” 

pamit Andika. 

Pendekar Slebor sadar, Raja Penyamar tentu 

hendak menyampaikan sesuatu yang penting. 

“Aku ikut Andika,” pinta Purwasih. Wajahnya 

menampakkan sinar kekecewaan. Bagaimanapun 

juga, rindunya belum lagi tuntas. 

“Bukan aku tak mau mengajakmu. Tapi tampak-

nya urusan ini harus kulakukan sendiri,” cegah 

Andika sungguh-sungguh.

Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya 

tertunduk dalam. 

“Kalau begitu, kapan kita bisa berjumpa lagi?” 

ungkap gadis itu agak melemah. 

Andika berpikir sejenak. 

“Bagaimana kalau di pura tua sebelah timur kaki 

Gunung Sumbing?” tawar Andika. “Aku berjanji akan 

menemuimu di sana, pada hari ke tiga setelah 

purnama.” 

Purwasih mengangguk lamban dan berat. 

“Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Andika sekali 

lagi diiringi sebaris senyum menawan. Senyum yang 

mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga. 

Baru saja Andika hendak berangkat.... 

“Andika tunggu!” sentak Purwasih, menahan 

langkah Pendekar Slebor. 

Andika menoleh. Mimik wajahnya seolah hendak 

bertanya kenapa Purwasih masih juga menahannya. 

“Hati-hatilah,” pesan gadis itu sendu. 

Andika menarik napas sejenak, lalu melangkah 

pergi. Bukannya dia tak tahu, bagaimana perasaan 

Purwasih terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah 

memiliki perasaan yang sama. 

Tinggallah Purwasih menatapi kepergian Pendekar 

Slebor. 

“Aku masih rindu padamu, Andika..,” bisik gadis 

itu, sendu sekali. 

Purwasih memang tak bisa berbuat apa-apa. Gadis 

ini amat tahu pribadi Andika. Kalau pemuda itu 

berkata hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka 

akan dilakukannya sendiri. Hitam baginya harus 

hitam. Putih baginya harus putih. Berkeras bagi 

Purwasih pun, sama sekali tak berguna.

*** 

Jika dengan berkuda, jarak yang harus ditempuh 

Andika ke Sungai Mati di sebelah utara akan 

memakan waktu setengah hari. Maka paling tidak 

Pendekar Slebor bisa tiba di sana menjelang malam 

nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari. 

Pengerahan ilmu meringankan tubuh warisan 

Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk mem-

persingkat waktu hingga tiba lebih awal. 

Kala ini matahari mulai terpuruk di kaki langit 

sebelah barat. Sinar Jingganya memulas permukaan 

Sungai Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa 

puluh tahun belakangan ini. Terpaan angin mengusili 

permukaannya, membuat cahaya pantulan matahari 

menjadi terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil. 

Tak lama berselang setelah Andika sampai, Raja 

Penyamar pun muncul dalam penampilan aslinya. 

Seorang kakek tua berjenggot putih yang menguncup 

di ujungnya. Kepalanya berambut putih pendek, 

dibelit kain batik, seperti bentuk blangkon 

Parahiangan. Wajahnya dipenuhi kerutan yang ber-

kesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu 

sejuk. Dia mengenakan baju coklat rapat berkerah 

pendek, serta bercelana pangsi hitam. 

Raja Penyamar muncul begitu saja di atas per-

mukaan air sungai. Jika ditilik dari caranya berdiri, 

sehelai bulu pun mungkin kalah ringan dibanding 

tubuhnya. Bisa dimaklumi, sehab wujud sebenarnya 

dari lelaki itu sudah berupa roh. 

“Ada apa memanggilku, Raja Penyamar?” tanya 

Andika. “Terus terang saja, sebenarnya aku enggan 

bertemu denganmu. Aku masih jengkel oleh semua 

ulahmu padaku beberapa waktu lalu.”

“Ah! Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak 

memiliki sedikit kesabaran dalam menghadapi 

tingkah si Tua Bangka ini?” gurau Raja Penyamar, 

tokoh tua yang amat disegani pada masa jayanya 

delapan puluh tahun silam. 

Beberapa tahun lalu. Raja Penyamar telah mati 

karena penyakit yang tak bisa disembuhkan. Berkat 

kuasa Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap 

hidup untuk menjalani tugas mulia, menyelamatkan 

manusia dari tangan biadab Manusia Dari Pusat 

Bumi. Walaupun upaya penyelamatan itu dibantu 

orang. 

“Ah, sudahlah! Tak perlu lagi berbasa-basi, Orang 

Tua!” sergah Andika. “Katakan saja, apa ke-

pentinganmu memanggilku ke tempat ini?” 

Raja Penyamar mengangguk-angguk sebentar. 

Sementara bibirnya tetap tersenyum. 

“Aku tahu, baru kali ini kau menghadapi persoalan 

yang berkaitan dengan dunia siluman...,” kata Raja 

Penyamar lagi. 

“Ya, kuakui masalah baru ini membuatku men-

dadak jadi orang jantungan. Kau tahu, betapa tak 

enaknya berjalan di atas bumi dengan perasaan 

waswas karena khawatir siluman-siluman bisul segala 

macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik 

leherku tiba-tiba?” cerocos Andika bernafsu. 

“Ha... ha... ha!” Raja Penyamar tertawa. 

“Kenapa tertawa?!” 

“Kini aku baru percaya, bahwa setiap manusia 

sesungguhnya pasti memiliki rasa takut juga....” 

“Hey?! Tapi itu bukan berarti aku pengecut!” 

sentak Andika tersinggung. 

“Ya..., ya. Apa pun namanya itu....” 

“Pokoknya aku bukan pengecut!” tandas Andika

tak peduli. “Sekarang, katakan saja. Apa maksud-

mu?” 

“Aku tadi baru hendak menjelaskan, tapi kau 

menyelak...,” sindir Raja Penyamar. 

“Baik..., baik. Aku tak akan menyelak lagi! Ayo 

katakan!” 

Raja Penyamar diam sesaat. 

“Sekarang aku sudah boleh bicara?” usik Raja 

Penyamar. 

“Dari tadi juga sudah kutunggu!” 

Akhirnya pembicaraan yang sungguh-sungguh bisa 

berlanjut juga. 

“Karena aku tahu, kau harus menghadapi seperti 

ini. Maka kau membutuhkan sesuatu yang bisa mem-

bantumu,” papar Raja Penyamar. 

“Apa itu?” 

“Sebuah Cermin Alam Gaib. Dengan benda itu, kau 

akan dapat mengetahui setiap kehadiran siluman-

siluman itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk 

halus....” 

“Di mana bisa kudapat benda itu?” tanya Andika 

bersemangat. 

“Di Rimba Slaksa Mambang....” 

***

TIGA


Kalau ada tempat yang paling menggidikkan dan tak 

seorang pun mau mendekati, maka salah satunya 

adalah Rimba Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, 

konon hutan belantara itu adalah tempat ber-

semayamnya para makhluk halus. 

Tepat di jantung Rimba Slaksa Mambang, tumbuh 

pohon amat besar berusia ratusan tahun. Di sanalah 

terletak pintu penghubung dari alam nyata, menuju 

alam gaib. 

Pohon itu sangat besar seperti pohon beringin. 

Batangnya saja sebesar tiga atau empat ekor kerbau 

tua. Warnanya hitam kusam kehijauan, karena di-

selimuti lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon 

yang menjulur dari atas ke bawah, seolah tangan-

tangan bisu dari dunia lain. Akarnya sudah meninggi 

seperti sekat-sekat ruangan pemandian mayat. 

Daunnya begitu lebat, tak memberi kesempatan 

secercah pun bagi cahaya untuk masuk. 

Bagi manusia waras, merambah tempat ini adalah 

tindakan gila yang paling gila. Tapi, tidak bagi seorang 

pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau 

dengan selembar kain bercorak catur tersampir di 

bahu. 

Tak ada hal yang terlalu gila untuk dilakukan 

pemuda itu, selama menyangkut keadilan dan 

kebenaran. Terkadang, kegilaan baginya adalah 

sekadar cara mencapai tujuan tadi. Lalu, pendekar 

mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan 

gila kalau bukan si Pendekar Slebor?

Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba 

di Rimba Slaksa Mambang. Setelah menerobos onak 

berduri, semak belukar dan simpang siurnya batang 

pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di 

dekat pohon angker tadi. 

Dari jarak dua puluh tombak, Pendekar Slebor 

memandangi pohon raksasa itu dengan pandangan 

takjub. Bila dibanding-banding, tubuhnya hanya 

seperti kuku dengan pohon itu. Beberapa kali kepala 

Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun 

tumbuhan raksasa itu. Dan beberapa kali pula 

kepalanya harus digeleng-gelengkan. Orang lain 

mungkin akan berpikiran yang bukan-bukan saat itu. 

Andika sendiri justru sedang menyadari bahwa 

keberadaan manusia seperti dirinya di alam semesta 

ini, sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar 

debu di antara debu yang lebih besar. 

Puas menghela napas, Andika mulai memusatkan 

perhatian kembali pada tugasnya untuk menemukan 

Cermin Alam Gaib yang menurut Raja Penyamar, 

tergolek dalam salah satu lubang pohon raksasa. 

Pendekar Slebor mendekati pohon raksasa itu. 

Makin dekat, makin terlihat jelas bagaimana rupa 

tumbuhan ini. Ternyata di batangnya, banyak terdapat 

lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia. 

Kesulitan pertama bagi Andika adalah, bagaimana 

cara menemukan satu lubang yang di dalamnya ter-

dapat Cermin Alam Gaib? Sementara, Raja Penyamar 

tak pernah menyinggung-nyinggung soal itu. 

“Jempol kerbau! Bagaimana aku bisa menemukan 

benda itu kalau lubangnya saja begitu banyak,” rutuk 

Andika. “Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada 

binatang berbisa di dalamnya. Apa si Tua Brengsek ini 

menganggapku sudah kebal racun?”

Sesaat dipandanginya lagi batang pohon. Sampai 

akhirnya, diputuskannya untuk memeriksa setiap 

lubang dengan ranting kering. Setelah didapatinya 

ranting kering, Andika pun mulai melakukan 

pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya. lubang-

lubang itu dengan hati-hati. Pada lubang kelima, tiba-

tiba saja seekor ular pohon berbisa mematuk keluar. 

Andika tercekat. Wajahnya pasti akan langsung 

jadi santapan empuk bisa ular itu kalau tak cepat 

berkelit. Dengan ranting kayu di tangan kanannya, 

kepala ular berbisa tadi langsung dihantamnya, 

dengan telak. 

Prak! 

Tanpa sempat berdesis lagi, binatang itu menemui 

ajal. 

Pendekar Slebor menarik napas lega. Lubang-

lubang di bagian paling bawah telah selesai diperiksa. 

Tak ada satu tanda pun didapat untuk menunjukkan 

kalau Cermin Alam Gaib berada di dalamnya. Dengan 

begitu, Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke 

atas. 

Masih tetap berhati-hati, Andika mulai merayapi 

kulit pohon. Tonjolan-tonjolan keras dimanfaatkannya 

untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi 

sebagian batang pohon dirayapinya. Sementara itu, 

tangannya terus memasukkan ranting kayu ke setiap 

lubang. 

Ketika hari mulai terjebak dalam kegelapan, 

Andika baru bisa memeriksa sampai di tengah batang 

pohon. Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, 

nilainya. Sampai pada lubang keseratus tiga puluhan, 

barulah Pendekar Slebor mendapat satu keganjilan. 

Ranting kayu di tangannya bertumbuk dengan suatu 

benda hingga menimbulkan bunyi yang lain dari

sebelumnya. 

Krang! 

“Nah! Kalau aku beruntung, pasti di lubang ini 

Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau apes, paling-paling 

aku hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas 

kenduri para dedemit,” gurau Pendekar Slebor 

menghibur diri. Paling tidak, dengan begitu dia lebih 

yakin untuk memasukkan tangannya ke dalam 

lubang. 

Dengan tetap berpegangan erat pada satu tonjolan 

kulit pohon, Andika memasukkan satu tangan ke 

dalam lubang tadi. Mulanya sebatas pergelangan 

tangan. Lalu, lebih dalam sampai sebatas siku. 

Sampai akhirnya, sebatas bahu. Tapi sejauh itu, 

tangannya tidak menemukan apa-apa. 

“Aneh...,” bisik Andika. Diperhatikannya ranting 

kayu yang sebelumnya diselipkan di balik baju. 

“Padahal ranting kayu ini tidak lebih panjang dari 

tanganku.” 

Memang, kalau ranting itu tadi menyentuh 

sesuatu, tangan Andika justru tak menyentuh apa-

apa. Bahkan dasar lubang itu sekali pun. Sementara, 

tangannya sudah tidak bisa dijulurkan lebih dalam 

lagi. 

Untuk meyakinkan diri. Andika mengeluarkan 

tangannya. Kembali lubang itu disodoknya dengan 

ranting kayu. 

Tring! 

Sekarang terdengar lagi suatu bunyi. Namun 

suaranya lebih tinggi dari yang pertama. 

Andika meringis. Benar-benar dia tak habis pikir. 

“Ada yang aneh dengan lubang ini,” simpul 

Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu yang bisa 

diperbuat. Selebihnya, dia masih tetap bingung.

Sementara itu, matahari sudah tenggelam 

seluruhnya di kaki langit barat. Sisa sinar Jingga pun 

terkubur gelap. Hari telah berganti, dan waktu para 

makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada 

telah tiba. 

Dalam kepekatan suasana Rimba Slaksa 

Mambang, berpasang-pasang mata bermunculan 

satu persatu. Dari semak, dari kulit pohon, dari 

ranting besar, bahkan dari dedaunan. 

Wujud-wujud asing menyusul muncul tanpa pernah 

disadari Pendekar Slebor. Satu, dua, tiga, dan 

seterusnya. Mereka menampakkan diri dengan 

bentuk masing-masing. Benar-benar suasana yang 

menyeramkan. 

Saat yang sama, kesusahpayahan Andika meng-

gapai dasar lubang tiba-tiba hilang sama sekali. 

Mendadak saja, tangannya menyentuh sesuatu. 

Seolah, benda itu datang dengan sendirinya. 

Sementara itu bulu-bulu halus di sekujur tengkuk 

Andika meremang. Dia sama sekali tak bisa mengerti, 

apa yang terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk 

melihat benda yang dipegangnya, sehimpun suara 

menggidikkan memadati tempat itu. Tak seperti tawa. 

Tak juga seperti tangis. Tak seperti jeritan. Tak juga 

seperti gumaman. Semuanya begitu asing.... 

*** 

“Pengadilan menanti!” 

Satu teriakan membawa Andika kembali ke alam 

kesadaran. Kelopak matanya segera dibuka. Sinar 

siang, tajam menusuk, membuat Pendekar Slebor 

berkali-kali mengerjap silau. Wajahnya menengadah 

langit, karena tubuhnya sudah tergeletak entah di

mana. 

Yang terakhir diingatnya hanya suasana Rimba 

Slaksa Mambang yang mendadak asing sewaktu 

mencoba menemukan Cermin Alam Gaib. Sewaktu 

tangannya ditarik dari lubang, suara-suara aneh 

sempat didengarnya. Setelah itu, dia tak sadarkan diri 

sama sekali. Seakan-akan, seluruh kesadarannya 

dibetot oleh suatu kekuatan. Padahal, benda yang 

terpegang tangannya belum lagi dilihatnya. 

Seiring keluhan kecil, Andika mencoba bangkit. 

Sakit pada beberapa bagian tubuh, membuatnya 

harus bersusah payah menegakkan punggung. Kini 

dilihatnya sebuah dataran kosong tandus. Tanah 

kering berdebu kecoklatan di mana-mana. Sedang di 

kejauhan sana, hanya terlihat jajaran pegunungan 

mengurung tempat ini. 

“Di mana aku?” bisik Pendekar Slebor. “Mengapa 

tiba-tiba aku ada di tempat ini?” 

Sebelum pertanyaan itu terjawab, kembali ter-

dengar teriakan kedua. 

“Pengadilan menanti!” 

Pendekar Slebor tersentak. Dengan sigap, dicoba-

nya berdiri. Lalu dicarinya asal suara tadi. Tanpa sulit-

sulit, dilihatnya dua sosok di kejauhan. Cara berdiri 

mereka begitu mengancam di mata Andika. 

“Siapa pula mereka?” tanya Pendekar Slebor 

kemudian. 

Penasaran dengan wajah kedua orang itu, Andika 

mengangkat tangan di atas alis matanya untuk 

menahan sinar matahari yang menusuk, sehingga tak 

begitu jelas melihat siapa yang hadir. Tiba-tiba, 

Pendekar Slebor baru sadar kalau di tangannya ter-

genggam sesuatu. Sewaktu dilihat, ternyata sebuah 

cermin selebar jengkalan tangan. Bentuknya bulat,

dengan bingkai kayu hitam serta setangkai gagang 

tempat tangannya menggenggam. 

“Inikah cermin yang dimaksud Raja Penyamar” 

tanya Andika membatin. 

Seperti sebelumnya, pertanyaan itu pun dipenggal 

oleh teriakan yang sama. 

“Pengadilan menanti!” 

Andika menjadi jengkel. Teriakan yang sama 

dengan suara serak memekakkan, tentu saja amat 

memuakkan. Andika melirik kesal dengan ujung 

mata. Kemudian.... 

“Peduli setan! Peduli tuyul!” maki Pendekar Slebor 

sembarangan, dengan teriakan pula. 

Salah seorang yang dimaki terkekeh mendengar-

nya. Terdengar sama menyebalkannya dengan 

teriakan tadi. Andika berpikir, kalau bukan orang tak 

berotak, tentunya mereka orang sinting. Bila orang 

waras, mana mungkin tak tersinggung dengan 

makiannya. 

Silat slebor Andika tampaknya tak akan berguna 

menghadapi orang sesinting mereka. Seperti halnya 

menghadapi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar 

Dungu dulu (Baca episode : “Manusia Dari Pusat 

Bumi”). Justru, malah Andika sendiri yang dibuat 

kelimpungan menghadapi tingkah simpang siur 

kedua lelaki tersebut. 

“Sebenarnya apa yang kalian mau dariku?” tanya 

Andika akhirnya. 

“Tak banyak,” sahut seorang yang dikenal sebagai 

Hakim Tanpa Wajah. “Kami hanya ingin mengadilimu 

di Pengadilan Perut Bumi....” 

“Mengadili? He... he... he!” giliran Andika terkekeh. 

“Dugaanku ternyata benar. Kalian memang orang 

sinting! Tapi, tunggu dulu....”

Andika langsung teringat pada cerita Raja 

Penyamar di Kampung Kelelawar beberapa waktu 

lalu. 

“Kalian tentu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia 

Dari Pusat Bumi...,” duga Pendekar Slebor yakin. 

“Tepat sekali!” jawab Hakim Tanpa Wajah. 

“Nah!” Andika menjentikkan jari tangan. “Kalau 

begitu, pucuk dicinta..., ulam tiba!” 

“He... he... he. Baru kali ini aku bertemu 'seorang 

tertuduh' begitu bersemangat berhadapan dengan-

ku,” tukas Hakim Tanpa Wajah. 

Andika berjalan mendekati mereka. Sampai 

sekitar delapan tombak, barulah dia berhenti. Ditatap-

nya wajah dan perawakan mereka satu-satu. 

“Kau pasti Hakim Berwajah Tembok!” sebut 

Pendekar Slebor seraya mengacungkan jari ke wajah 

Hakim Tanpa Wajah. Lalu, matanya memutar ke 

Manusia Dari Pusat Bumi. “Sedangkan kau pasti 

Manusia Dari Lobang Koreng!” 

Mendapat cemoohan pemuda dari Lembah 

Kutukan itu, lagi-lagi Hakim Tanpa Wajah terkekeh 

tanpa beban. Lain halnya Manusia Dari Pusat Bumi 

dengan wajah yang tetap dingin, kakinya melangkah 

dua tindak ke depan. 

“Dengan ini, kau kutuntut atas beberapa 

kesalahan. Bahwa kau telah bersalah, banyak 

mencampuri urusan orang lain. Bahkan bertindak 

gegabah membunuh para pengacau dunia!” papar 

Manusia Dari Pusat Bumi, bagai seorang jaksa 

penuntut dalam sebuah pengadilan. 

Mulut Andika kontan mencibir. “Heh! Kalau semua 

orang menganggap menegakkan keadilan sama 

dengan mencampuri urusan orang, bisa cepat kiamat 

dunia ini....”

“Kau juga bersalah karena telah mencuri sebuah 

cermin dari Rimba Slaksa Mambang!” lanjut Manusia 

Dari Pusat Bumi tanpa peduli dengan tanggapan sinis 

Pendekar Slebor. 

Acuh tak acuh, pemuda berpakaian hijau itu 

mengangkat cermin di tangannya ke depan. 

“O, ya. Aku hampir lupa memberitahukanmu. 

Dengan cermin ini, aku akan bisa menghadapimu 

meski kau menguras seluruh ilmu gaibmu dan 

mengundang seluruh siluman sial untuk 

membantu....” 

“Salah!” terabas Manusia Dari Pusat Bumi, begitu 

dingin. “Justru cermin itu akan membuatmu makin 

sulit untuk mengalahkanku...” 

Sekali ini Andika benar-benar dibuat terperanjat 

habis-habisan. Pasti ada sesuatu yang tak beres telah 

terjadi, begitu pikir Pendekar Slebor. 

“Apa maksudmu?” tanya Andika seperti tak yakin 

dengan pendengarannya. 

“Cermin itu adalah benda milik para siluman yang 

dipersiapkan selama ratusan tahun, untuk mengokoh-

kan kehadiranku sebagai 'pemelihara angkara 

murka'!” 

Jantung Andika seperti hendak berhenti berdenyut 

saat itu juga. Darahnya seperti berhenti mengalir, dan 

benaknya seperti dikosongkan tiba-tiba. Baru disadari 

kalau dia telah melakukan kesalahan besar. Juga 

baru diingat kalau Raja Penyamar yang ditemuinya di 

Sungai Mati, tak pernah meninggalkan aroma bunga 

sedap malam layaknya kebiasaan Raja Penyamar 

(Baca episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”). 

“Tentu ada siluman yang telah menyamar menjadi 

Raja Penyamar untuk menipuku. Lalu, aku dimanfaat-

kan untuk mengantarkan benda laknat ini pada

Manusia Dari Pusat Bumi. Sebagai makhluk kasar 

aku dimanfaatkan, karena mereka tak bisa membawa 

sendiri benda ini, akibat sekat antara alam halus dan 

kasar...,” simpul Pendekar Slebor geram. 

Untuk pertama kalinya, wajah dingin Manusia Dari 

Pusat Bumi menampakkan seringai. 

“Keparat!” rutuk Andika. 

Kemarahan Pendekar Slebor meledak sudah. 

Diangkatnya Cermin Alam Gaib tinggi-tinggi. Dengan 

seluruh kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan 

yang terkerahkan akibat kemurkaannya, tentu benda 

tipis itu akan hancur berkeping-keping seperti kerikil 

kala Andika menghantamkannya ke lutut. 

Siat! Tak! 

Cermin di tangan Andika seketika bertumbukan 

amat keras dengan lututnya. Namun hasilnya bukan-

lah seperti yang diduga sebelumnya, benda itu tetap 

utuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sebaliknya, 

sehimpun rasa nyeri tak terhingga melabrak Andika 

saat itu juga. 

“Aaakh!” 

Teriakan menyayat terlepas dari kerongkongan 

pendekar muda itu. Bersamaan dengan teriakannya, 

Cermin Alam Gaib terlepas jauh ke angkasa. Benda 

itu seketika melayang dalam putaran cepat. Pantulan 

sinar matahari berkerjap-kerjap dari permukaannya, 

bagai cemoohan bagi Pendekar Slebor. 

Meski menderita sakit luar biasa, Andika masih 

mampu menjaga akal sehatnya. Jelas benda itu akan 

berbahaya jika jatuh ke tangan Manusia Dari Pusat 

Bumi. Maka tanpa mempedulikan rasa sakit yang 

menjalari serat-serat tubuhnya, Pendekar Slebor 

sebisa-bisanya menghentakkan kakinya penuh 

tenaga. Maka tubuhnya langsung melayang menyusul

Cermin Alam Gaib. 

“Hiaaa!” 

Sekejap di belakangnya, Manusia Dari Pusat Bumi 

mengikuti tindakan Pendekar Slebor. Tak kalah 

tangkas, tubuhnya melayang ke udara dari arah 

berlawanan. Tak! 

Di udara, tangan Pendekar Slebor yang hendak 

menggapai cermin dihadang dengan tendangan 

ungkit yang lurus di depan dada. Maka seketika 

telapak tangan Andika tersodok telak ujung jari kaki 

pemuda bertaring itu. Kemudian disusul dengan 

sambaran tangan kanan, seperti gerakan menyampok 

untuk merebut Cermin Alam Gaib. 

Tak! 

Andika cepat mengirimkan serangan susulan. Satu 

gerak menyabet ke dalam dilepaskan tangan kiri 

untuk menahan pergelangan tangan Manusia Dari 

Pusat Bumi yang hendak menggapai Cermin Alam 

Gaib. Akibatnya, pergelangan tangan mereka ber-

hantaman keras. 

Ketika titik balik luncuran cermin tiba, kedua 

pemuda gagah berbeda silat dan usia itu sama-sama 

saling melancarkan tebasan-tebasan amat cepat. 

Satu menghantam, yang lain menangkis. Begitu pula 

sebaliknya. Bahkan tindakan itu sampai tubuh 

mereka mulai meluncur turun, menyusul menukiknya 

Cermin Alam Gaib. 

Khawatir Hakim Tanpa Wajah memanfaatkan 

kesempatan itu untuk menyambut cermin dari bawah, 

Pendekar Slebor cepat-cepat melepas kain pusaka 

dari bahunya pada kesempatan yang begitu tipis. 

Srat! 

Kecepatan yang sulit tertandingi warisan Pendekar 

Lembah Kutukan, cukup memberi Pendekar Slebor

kesempatan untuk menyabetkan kain pusaka ke arah 

Cermin Alam Gaib. 

Tar! 

Pendekar Slebor memang sempat mengenyahkan 

cermin, jauh dari jarak jangkauan Hakim Tanpa 

Wajah. Tapi untuk itu, dia harus menebusnya dengan 

akibat yang tak ringan. Mendadak saja hantaman 

punggung tangan Manusia Dari Pusat Bumi telah 

menyodok dadanya. 

Des! 

Saat itu juga, arah luncuran tubuh Pendekar 

Slebor berubah cepat. Tubuhnya tidak lagi meluncur 

lurus ke bawah, melainkan meluncur dalam arah 

menyimpang ke belakang akibat hantaman tenaga 

Manusia Dari Pusat Bumi. Sepotong erangan tertahan 

langsung tercipta. Setelah itu, Pendekar Slebor tak 

ingat apa-apa. Dunia bagai dirampas tiba-tiba. 

Semuanya menjadi gelap..., gelap. 

*** 

Malam ini adalah hari ketiga setelah purnama. 

Kaki Gunung Sumbing disapu rata oleh cahaya 

temaram rembulan yang mulai meramping. Di 

sebelah timur kaki gunung, sebuah pura tua berdiri 

dingin di atasnya. 

Di dalam bangunan itu, Purwasih duduk gundah di 

antara siraman cahaya lembut api unggun. Wajah 

gelisahnya berpendar-pendar akibat pantulan cahaya, 

membuatnya terlihat demikian anggun menawan. 

“Ke mana Andika?” tanya Purwasih pada diri 

sendiri. “Tak mungkin dia ingkar janji. Aku tahu 

pribadinya. Lalu, kenapa sampai selarut ini dia belum 

juga datang?”

Sudah begitu lama dara jelita berjuluk Naga 

Wanita itu menanti kehadiran jejaka pujaan hatinya. 

Selama itu, perasaannya terus saja terombang-

ambing oleh kegelisahan. Dia sendiri tak memahami, 

kenapa bisa begitu. 

Untuk sedikit mengusir rasa yang tak enak itu, 

Purwasih melamunkan kejadian yang lalu, yang 

pernah dialami bersama Andika. Ya! Saat-saat indah 

memang pernah dialaminya bersama si Pemuda itu. 

Kala di mana dia begitu dekat serta berbagi suka dan 

duka dalam suatu tugas negara, menumpas 

Gerombolan Begal Ireng. Tapi mungkin saja saat itu, 

Purwasih tahu kalau Andika hanya menganggapnya 

sebagai mitra seperjuangan. Atau mungkin meng-

anggapnya sebagai saudara perempuan, karena se-

sungguhnya mereka berdua masih memiliki pertalian 

darah. (Baca episode : “Dendam dan Asmara”). 

Sesaat kemudian, bibir ranum Purwasih mengem-

bangkan senyum tipis, manakala benaknya terngiang 

kembali ucapan-ucapan urakan Andika padanya yang 

sering kali keterlaluan dan menggemaskan. 

“Andika..., Andika...,” bisik gadis itu tak sadar. 

“Hey, Gadis Cacingan!” 

Tiba-tiba saja sebuah suara merobek lamunan 

Purwasih. Dengan sigap, tangan pendekar wanita itu 

meraih gagang pedang di punggungnya. 

Sret! 

“Siapa kau?!” bentak si Naga Wanita seraya 

mengacungkan mata pedang ke depan. 

Dari pintu masuk, muncullah seorang nenek tua 

berpunuk seperti onta. Rambutnya demikian panjang, 

hingga terseret-seret di tanah. Tak seperti nenek tua 

biasa, dia mengenakan baju panjang warna Jingga 

mencolok. Pipinya yang kendor, tampak bergerak

gerak sewaktu mengunyah gulungan sirih. 

Seperti tak peduli dengan pertanyaan gusar 

Purwasih, nenek peot itu terus mendekati Purwasih. 

“Apa kau tak dengar kalau kusebut gadis 

cacingan?” kata nenek itu. 

“Apa maksudmu, Nenek Tua?” tanya Purwasih 

lebih sopan, sewaktu mengetahui siapa yang masuk. 

Pedang berkepala naga di tangannya diturunkan. Dia 

tak ingin terlihat tidak sopan pada orang tua uzur itu. 

“Apa maksudmu? Huh! Buat apa kau masih terus 

menunggu di sini? Terbengong-bengong seperti orang 

cacingan?” 

“Aku menunggu seseorang, Nek.” 

“Pemuda berpakaian hijau-hijau berwajah ningrat, 

tapi berpenampilan gembel itu?” terabas si Nenek 

Peot semena-mena. 

“Dari mana Nenek tahu?” tanya Purwasih heran. 

Si Nenek Peot mengibaskan tangan di udara. 

“Haaah! Itu soal sepele!” tukas si Nenek. “Kau tak 

perlu tahu dari mana aku tahu. Yang sekarang justru 

harus kau tahu adalah.... Ah slompret! Kenapa aku 

jadi pelupa begini?” 

Si Nenek Pikun memainkan gulungan sirih di 

mulutnya. Untuk beberapa saat bia tampak berpikir 

keras. 

“O, iya! Aku ingat sekarang. Yang perlu kau 

ketahui, pemuda yang kau tunggu sekarang ini 

sedang sekarat....” 

“Apa?!” sentak Purwasih begitu khawatir. 

“Sabar-sabar.... Jangan terburu nafsu! Anak muda 

sial itu masih cukup kuat untuk tetap bertahan 

hidup....” 

“Di mana dia, Nek?!” desak Purwasih, tak sabar. 

“Di danau dekat pinggiran Rimba Slaksa

Mambang,” jawab si Nenek acuh sambil melenggang 

keluar. Seiring dengan itu, wangi bunga sedap malam 

segera menebar memenuhi ruangan. 

***

EMPAT


“Kira-kira, ke mana lagi kita harus mencari pemuda 

bertanda bintang itu, Dungu?” tanya Lelaki Berbulu 

Hitam pada kawannya yang berotak bebal. 

Setelah lolos dari tangan Hakim Tanpa Wajah dan 

Manusia Dari Pusat Bumi, kini mereka sudah tampak 

jalan beriringan pada sebuah jalan setapak. 

“Gara-gara hakim sableng itu, kita gagal meminta 

bantuan pemuda yang ditunjuk dalam wangsit 

sebagai 'sang penolong'!” gerutu lelaki keturunan 

serigala itu keras dan meledak-ledak. 

“Aku kira juga begitu,” sahut Pendekar Dungu, 

dengan mata terus terjatuh pada jalan. “Kalau 

binatang peliharaanmu tidak segera datang waktu itu, 

tentu kita sudah jadi tawanan si Bangkotan Muka 

Rata!” 

Lelaki Berbulu Hitam menghentikan langkahnya. 

Wajahnya tiba-tiba terbakar matang. 

“Aku sedang membicarakan pemuda penolong 

kita, Dungu! Bukan soal serigala-serigalaku! Lagi pula, 

mereka bukan peliharaanku. Mereka itu kawanku!” 

bentak Lelaki Berbulu Hitam ngotot sampai-sampai 

urat lehernya menonjol keluar. 

“Astaga! Sial kau, ya! Jadi si Hakim Tanpa Wajah 

dan pemuda jelek itu kawanmu?” Pendekar Dungu 

ikut berhenti. Ditantangnya tatapan berang si 

Manusia Berbulu dengan wajah penasaran. 

“Bukan, Guobeluoook! Maksudku, Serigala-

serigala itu!” 

“Lho. Jadi, serigala-serigala itu yang bisa menolong

masalah kita? Tadi kau bilang pemuda berpakaian 

hijau-hijau.... Kau jadi linglung sekarangnya?” kata 

laki-laki bangkotan berotak bebal itu lagi. 

Setelah itu Pendekar Dungu melangkah santai, 

meninggalkan Lelaki Berbulu Hitam yang masih 

berdiri sambil memukul-mukul kepala sendiri. Andai 

Lelaki Berbulu Hitam adalah mercon bungkus, tentu 

sudah melesak saat itu juga menghadapi kebodohan 

kawannya. 

Sebelum Lelaki Berbulu Hitam sempat menumpah-

kan kemarahan dengan serangkai caci-maki kasar, 

tiba-tiba seseorang berkelebat dari belakang, me-

lewati dirinya lalu melewati Pendekar Dungu di depan. 

Dari kecepatannya bergerak, tentu orang itu sedang 

mengerahkan kemampuan lari cepat pada puncak-

nya. 

“Hey, siapa itu?!” seru Lelaki Berbulu Hitam. 

“Bukan aku!” jawab Pendekar Dungu. Padahal, 

Pendekar Dungu tak ditanya sama sekali. Namun dia 

cepat sadar kalau ada orang yang mendahuluinya. 

“Ya... ya! Siapa itu?!” 

“Kejar, Dungu!” ujar Lelaki Berbulu Hitam seraya 

mengempos tenaga untuk mengejar orang tadi. 

“Ya... ya... ya, kejar!” latah Pendekar Dungu lebih 

bersemangat. 

Seketika kejar-kejaran terjadi. Tanpa mengalami 

kesulitan, Lelaki Berbulu Hitam yang lebih unggul 

dalam ilmu meringankan tubuh daripada Pendekar 

Dungu, bisa menyusul orang yang diburu. Dari jarak 

empat depa di belakang buruan, seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya dikempos. Di udara, tubuhnya 

segera melesat cepat mendahului orang tadi, lalu 

berhenti menghadang dengan wajah garang. 

“Berhenti!” bentak Lelaki Berbulu Hitam lantang.

Buruan itu berhenti mendadak, begitu mendengar 

bentakan. Sementara Pendekar Dungu terlalu 

keasyikan menggenjot langkah larinya yang tak 

sehebat Lelaki Berbulu Hitam. Akibatnya, sewaktu 

kawannya menghadang mendadak, dia malah lupa 

berhenti. 

“E-e-e, awas! Awaaas!” teriak Pendekar Dungu 

kelimpungan sendiri, tanpa bisa menahan. Dan yang 

jadi sasaran tabrakannya adalah Lelaki Berbulu 

Hitam. 

Dada besar manusia keturunan serigala itu 

ditanduknya. Untuk ilmu-ilmu yang berhubungan 

dengan tenaga, Pendekar Dungu memang berada 

satu tingkat di atas Lelaki Berbulu Hitam. Jadi jangan 

tanya, apa akibatnya kalau kepalanya menyeruduk 

Lelaki Berbulu Hitam. Seperti kerbau gila! 

Lelaki Berbulu Hitam terjengkang ke belakang 

beberapa depa. Mulutnya menganga lebar dan mata-

nya mendelik hendak keluar. Saat berikutnya, tubuh 

gempal itu menimbulkan bunyi cukup merdu sewaktu 

menghantam jalan berkerikil. 

Di lain pihak, mata sayu Pendekar Dungu jadi 

tambah sayu. Biji matanya yang kelabu berputar-putar 

tak karuan. Tak lama berikutnya, kepalanya sendiri, 

ditampar-tampar. Seakan, dengan perbuatan itu 

gerak mata bisa dibetulkan. 

Tak jauh di depan, Lelaki Berbulu Hitam bangkit 

menggeliat-geliat menahan sakit di seluruh belakang 

tubuhnya. Sesekali diam meliuk ke kiri, lalu ke kanan, 

lalu ke kiri lagi. 

“Kali ini, kepalamu benar-benar akan kuremukkan, 

Dungu!” ancam Lelaki Berbulu Hitam dengan mata 

mengerjap-ngerjap. 

Tingkah kedua tokoh itu benar-benar mem

bingungkan orang yang dihadang. Dia seorang wanita 

berpakaian hijau lumut. Dengan rambut berkepang 

ekor kuda dan pedang kepala naga di punggung, 

sudah bisa diduga dia adalah Purwasih. Kebetulan 

sekali gadis itu mengambil jalan singkat dari tempat 

itu untuk menuju tepian Rimba Slaksa Mambang. 

“Kalian ini siapa?” tanya Purwasih heran pada 

Lelaki Berbulu Hitam yang menggeram-geram meng-

hampiri Pendekar Dungu. 

“Biar... biar! Jangan dipisahkan! Dikiranya aku 

takut pada manusia jelek ini!” 

Bukannya menyahuti, Pendekar Dungu malah 

berseru lantang pada Purwasih. 

Begitu lantangnya ucapan itu ditujukan pada 

Lelaki Berbulu Hitam yang siap mengamuk. Lalu, dia 

malah berbalik lalu lari sebisa-bisanya. 

Lelaki Berbulu Hitam mengejar di belakang. 

Makian simpang-siurnya terdengar sampai mereka 

menghilang di kejauhan. 

Tinggal Purwasih yang hanya bisa menggeleng-

geleng. 

“Makin banyak saja manusia edan di dunia ini,” 

gumam gadis itu, lalu melanjutkan larinya yang 

tersendat. 

Jarak yang sudah tidak begitu jauh, membuat 

Purwasih dengan singkat tiba di danau pinggiran 

Rimba Slaksa Mambang. Segera pandangannya 

beredar ke seluruh tepian danau. Sampai akhirnya, 

gadis itu menemukan Andika sedang tergolek lemah 

di salah satu sudut. 

Purwasih segera menjemputnya. Setelah diangkat, 

tubuh pemuda itu dibopong di bahu. Baru saja 

Purwasih hendak pergi, mendadak dua lelaki aneh 

yang menghadangnya tadi, muncul lagi.

“Naaa, itu dia!” seru Pendekar Dungu. “Daya 

penciummu jempolan, Hitam!” 

“Jangan menepuk-nepukku seperti itu!” bentak 

Lelaki Berbulu Hitam ketika Pendekar Dungu 

menepuk-nepuk punggungnya keras. 

*** 

Dalam ruang sebuah pura tua di sebelah timur 

kaki Gunung Sumbing, lima orang tampak mematung 

bisu. Yang seorang tergeletak pucat di dekat api 

unggun. Dialah Andika. Telah tiga hari tiga malam, 

pemuda itu tak sadarkan diri. Di sisinya, Purwasih 

duduk menekuk lutut di lantai. Di salah satu sudut 

ruang. Pendekar Dungu duduk melengkung. Kepala-

nya terjatuh sesekali, akibat serangan kantuk. Tak 

jarang mengalir lendir dari mulutnya yang menganga 

seenaknya. Sedangkan Lelaki Berbulu Hitam berdiri 

melipat tangan di depan dada, tepat di dekat pintu 

masuk. Satu orang lagi, adalah Raja Penyamar. 

Di antara mereka, tak seorang pun yang tahu 

tentang kehadiran Raja Penyamar. Memang, 

kehadirannya hanya berupa jasad halus. Sedikit pun 

tak ada niat untuk menampakkan diri pada mereka. 

“Apakah kau tak ingin istirahat dulu, Anak Gadis?” 

kata Lelaki Berbulu Hitam, memecah kesunyian. “Kau 

sudah begitu letih mengurusnya tiga hari tiga 

malam....” 

Dengan wajah letih karena kurang tidur, Purwasih 

menggeleng lamat. 

“Bagaimana aku bisa memejamkan mata kalau 

orang yang kucintai terbaring dalam keadaan 

menyedihkan? Denyut jantungnya begitu lemah. Dan 

wajahnya sudah begitu pucat,” tolak Purwasih, lirih.

Ditariknya napas untuk mengenyahkan beban yang 

menggelantungi dada. “Aku tak mengerti, kenapa dia 

tetap saja tak mau sadar. Padahal aku telah cukup 

menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya.” 

Lelaki Berbulu Hitam yang hari itu memperlihatkan 

sifat halus terpendamnya, tampak mengangguk-

angguk dengan wajah datar. 

“Jangan kau pikir aku tak turut membantu, Anak 

Gadis. Diam-diam, aku juga mengirim hawa murni 

dari jarak jauh ke tubuh anak muda itu. Tapi, 

tampaknya sia-sia...,” kata Lelaki Berbulu Hitam 

seperti mengeluh. 

“Bagaimana dengan kawanmu itu?” tanya 

Purwasih, seraya melempar pandangan ke arah 

Pendekar Dungu. 

Melihat si Tua Bangkotan di sudut ruangan, wajah 

Lelaki Berbulu Hitam jadi berubah. Ada garis 

kemangkelan terlihat di sudut bibirnya. 

“Bagaimana kalau kita menggabungkan hawa 

murni kita untuk menolongnya?” usul Purwasih. 

“Mungkin dengan begitu, dia akan tersadar.” 

“Sementara memang begitu,” jawab Lelaki Berbulu 

Hitam menyetujui. Segera dihampirinya Pendekar 

Dungu. “Hey! Bangun, Dungu!” 

Merasa tak berguna hanya dengan mulut, Lelaki 

Berbulu Hitam menendang kaki Pendekar Dungu. 

Plak! 

“Hiaaat!” 

Kontan saja si Tua Bangka bergigi ompong ini 

mencak-mencak. Untung saja tangannya tak tersasar 

ke wajah Lelaki Berbulu Hitam. Kalau tidak, bisa 

terjadi kiamat dalam ruangan itu. 

“Ada apa?” tanya Pendekar Dungu, akhirnya. 

Purwasih dengan singkat menjelaskan

maksudnya. Setelah Pendekar Dungu setuju, meski 

harus menunggu lama agar mengerti, barulah 

ketiganya bersiap-siap. Mereka kemudian duduk 

berkeliling di sekitar tubuh Andika. Tangan mereka 

menyatu sama lain. Sedangkan sebelah tangan 

Purwasih, menempel di dada pemuda yang tak 

sadarkan diri ini. 

Dalam pemusatan rasa dan pikiran, mereka mulai 

menyalurkan hawa murni masing-masing. Dan tanpa 

diketahuinya, Raja Penyamar ikut andil menyalurkan 

kekuatan halusnya, melalui diri Purwasih. 

Waktu berlalu. Cukup lama mereka melakukan 

usaha itu. Tapi sedikit pun tak ada perubahan pada 

diri Andika. Sampai akhirnya, mereka berhenti karena 

kehabisan tenaga. 

“Aneh! Kenapa seluruh hawa murniku seperti 

disedot begitu saja. Tenagaku seperti terkuras...,” 

desah Lelaki Berbulu Hitam, terheran-heran. 

“Ya! Aku pun baru menyadari, setelah kita 

menggabungkan hawa murni,” timpal Purwasih. 

“Aneh...,” tambah Lelaki Berbulu Hitam. 

“Aneh memang.... Memang aneh,” Pendekar 

Dungu ikut-ikutan. 

Sementara, seseorang tanpa wujud langsung 

menyadari apa sesungguhnya yang terjadi dalam diri 

anak muda ksatria itu. Raja Penyamar yakin, ada 

semacam medan pusaran jahat dari alam lain yang 

menumpangi garba Andika. Meski sampai saat itu tak 

juga diketahui penyebabnya. 

Medan pusaran jahat itu sengaja dirasuki 

seseorang ke dalam diri Andika. Tujuannya untuk 

menyedot habis tenaga orang-orang yang hendak 

menolongnya, dengan menyalurkan hawa murni. 

Mulanya si Korban tak akan merasakan tenaganya

tersedot. Mereka baru akan tahu, setelah tak bisa lagi 

mengerahkan tenaga dalam selama beberapa waktu. 

Karena kekuatan mereka sudah terkuras. Yang 

tersisa hanya rasa lemas jika mencoba mengerahkan 

tenaga dalam. 

“Hanya ada satu orang yang sengaja melakukan 

ini dengan maksud tertentu,” bisik Raja Penyamar. 

“Hakim Tanpa Wajah! Dia tentu dibantu Manusia Dari 

Pusat Bumi. Tujuannya tentu hendak melumpuhkan si 

Dungu dan si Hitam, yang masih tetap sulit 

ditaklukkan. Tentu selama ini, gagak yang menjadi 

'saksi mata'nya telah mengabarkan bahwa si Dungu 

dan si Hitam membutuhkan pertolongan Andika....” 

Saat itulah indera halus Raja Penyamar merasa-

kan sesuatu yang tak diharapkan bakal terjadi. Tapi, 

peringatan inderanya itu sudah terlambat. Karena.... 

“Pengadilan menanti!” 

Sebuah teriakan yang begitu dikenal, melantak 

kesunyian ruangan dari arah luar. 

“Dungu dan Hitam keparat! Kalian tak akan bisa 

menghindar lagi dari pengadilanku! He... hek... hek... 

heee!” 

“Siapa mereka?” tanya Purwasih. Selama tiga hari 

mengenal Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam, 

Purwasih memang hanya mendengar penjelasan 

tentang alasan mereka mencari-cari Andika, lalu sudi 

pula menolongnya. Sedangkan tentang asal-usul dua 

tokoh aneh ini, serta urusan lama dengan Hakim 

Tanpa Wajah tak pernah diceritakan. 

“Manusia tak waras yang sok benar sendiri!” jawab 

Lelaki Berbulu Hitam. 

“Aku tak mengerti?” lanjut Purwasih. 

“Nanti pun kau akan tahu,” putus Lelaki Berbulu 

Hitam. Selanjutnya, laki-laki berbulu lebat itu keluar

dengan langkah terbanting-banting keras. 

Pendekar Dungu mengikuti di belakangnya. Juga 

Purwasih. 

Di luar, Lelaki Berbulu Hitam berdiri menantang 

kedatangan dua seterunya di kejauhan. Sepasang 

tangannya bertolak pinggang. Wajahnya cepat 

memerah dipompa kemarahan. 

Dengan latah, Pendekar Dungu berdiri di samping-

nya dan ikut bertolak pinggang. Punggungnya yang 

sudah melengkung dipaksa-paksakan untuk tegak. 

Mungkin pikirnya, dengan begitu dia tampak mem-

busungkan dada. Padahal, malah terlihat seperti 

sedang menderita encok. 

“Penasaran kau, ya?!” cemooh Lelaki Berbulu 

Hitam sarat tekanan. 

“Kujamin! Sekali ini, kau tak akan lolos lagi. Ingat 

itu, tak akan!” tandas Hakim Tanpa Wajah, berkawal 

seringai. 

“Orang tua! Siapa sesungguhnya kau ini? Kenapa 

berkata begitu tak sopan dan lancang?” selak 

Purwasih. Muak juga gadis itu melihat lagak Hakim 

Tanpa Wajah. 

“Heee... he... he... heee! Ada gadis cantik yang 

minta diadili!” leceh Hakim Tanpa Wajah. 

“Tunggu dulu! Dari tadi kau bicara soal pengadilan. 

Apa kau orang yang belakangan ini membuat 

kegemparan, dengan julukan Hakim Tanpa Wajah?” 

tanya Purwasih tanpa terbetik rasa takut. 

“Ya! Kau gadis pintar!” 

“Ooo.... Jadi, ini orangnya yang membuat takut 

banyak tokoh persilatan belakangan ini?!” sinis 

Purwasih kian berani. 

“Sudahlah, Anak Gadis! Hanya buang-buang waktu 

berbicara dengan manusia sial ini!” sergah Lelaki

Berbulu Hitam, naik pitam. 

“Ya... ya. Hanya manusia sial yang buang-buang 

waktu,” timpal Pendekar Dungu ngawur. 

Lelaki Berbulu Hitam maju beberapa tindak. Dari 

cara berjalannya, tampak kalau dia sudah begitu 

bernafsu membalas kekalahannya waktu itu. 

“Ayo! Maju kau!” tantang Lelaki Berbulu Hitam. 

Manusia Dari Pusat Bumi baru hendak melayani 

tantangannya. Tapi, sang Guru mengeluarkan tangan 

dari balik kafan untuk menahan pemuda setengah 

siluman itu. 

“Aku ingin sedikit mengenang peristiwa delapan 

puluh tahun lalu,” kata Hakim Tanpa Wajah. 

Selesai berkata, laki-laki berkain kafan itu 

meloncat-loncat ke depan. Empat depa di depan 

Lelaki Berbulu Hitam, baru dia berhenti. 

“Kita hendak mulai dari jurus kacangan atau jurus 

habis-habisan?” tawar Hakim Tanpa Wajah pongah. 

“Aaargh!” 

Lelaki Berbulu Hitam tak mau banyak cing-cong. 

Diterkamnya Hakim Tanpa Wajah dengan jari me-

negang seperti batangan baja. 

Hakim Tanpa Wajah amat kenal, bagaimana 

tingkat kecepatan lawannya. Pada masa jayanya 

delapan puluh tahun yang silam, Lelaki Berbulu Hitam 

berada di papan atas dalam ilmu-ilmu kecepatan. 

Tahu akan hal itu, mestinya Hakim Tanpa Wajah 

cepat menghindar dari cakar Lelaki Berbulu Hitam 

yang sanggup merobek lehernya dalam sekali tebas. 

Tapi hal itu tak juga dilakukan. Sampai.... 

Srat! 

Leher kurus Hakim Tanpa Wajah benar-benar di-

mangsa cakar lelaki tinggi besar itu. Benarkah laki-

laki tua berkain kafan itu akan kehilangan kepala?

Sama sekali tidak! Sebab, Hakim Tanpa Wajah amat 

tahu kalau lawannya kini sudah tak memiliki tenaga 

dalam yang bisa diandalkan untuk melakukan itu. 

“He... he... he! Kenapa berhenti?” ledek Hakim 

Tanpa Wajah. 

Tampak Lelaki Berbulu Hitam terpana-pana 

memandangi jari-jari berkuku tajam miliknya yang tak 

seampuh sebelumnya. 

“Astaga, Hitam! Kenapa kau tak sungguh-sungguh 

'menggaruk' leher manusia sial itu?!” seru Pendekar 

Dungu, masih belum menangkap apa yang terjadi. 

“Aku bukan main-main, Goblok! Sudah kukerahkan 

seluruh tenaga dalamku untuk merobek lehernya. 

Tapi, tenagaku tidak ada lagi!” teriak kalap Lelaki 

Berbulu Hitam. 

“Tak ada? Memang kau pinjamkan pada siapa?!” 

tanya si Dungu kembali. Amat lugu..., dan tentu 

menyebalkan! 

***

LIMA


Jasad halus Raja Penyamar menelusuri sebuah lorong 

asing yang panjang bagai tak bertepi. Dalam lorong 

berpusaran kabut itu, tubuhnya melayang terus 

menuju ujungnya. Sesekali ada semacam terpaan 

angin kuat menahan. Dengan susah payah, 

ditembusnya dinding angin itu. Tak jarang pula ada 

kilatan-kilatan cahaya menyambarnya demikian liar. 

Raja Penyamar tetap tak peduli. 

Seberkas kilatan cahaya tiba-tiba menerjang Raja 

Penyamar. Tubuhnya langsung terlempar ke sisi 

lorong, dan langsung disambut pusaran kabut. Tanpa 

bisa menguasai keseimbangan, tubuhnya terombang-

ambing di sisi lorong. Lalu kekuatan pusaran itu 

hendak melemparnya keluar dari lorong. 

Karena Raja Penyamar begitu bertekad untuk 

berhasil tiba di ujung lorong, kekuatan meng-

hempasnya tadi dilawannya. Dia berteriak sekuat-

kuatnya, berjuang melawan pusaran yang hendak 

menggagalkan usahanya. Ketika lengkingannya kian 

meninggi dan meninggi, keseimbangan tubuhnya pun 

dapat dikuasai. Dia terus melayang kembali dalam 

lorong menuju ujungnya, setelah lepas dari 

cengkeraman pusaran tadi. 

Akhirnya tiba pula Raja Penyamar di ujung lorong. 

Di sana terbentang ruang tanpa batas. Dalam ruang 

itu, menggema suara panggilan-panggilan Andika. 

“Raja Penyamar! Raja Penyamar” 

Andika! Di mana kau?!” tanya Raja Penyamar, 

bingung.

“Aku di sini!” 

Raja Penyamar mengikuti arah suara Andika. 

Dengan tuntunan gaung suara itu, Andika bisa 

ditemukan pada satu bagian ruang tanpa batas. 

Sosok pemuda itu sedang terkurung dalam sebuah 

sangkar yang selalu berubah bentuk, namun memiliki 

warna tetap. Yakni, warna merah bara neraka. 

Di dalam sangkar, Raja Penyamar melihat Andika 

meronta-ronta mengerahkan seluruh tenaga. Setiap 

kali tubuhnya bersentuhan dengan jeruji sangkar, 

terperciklah bunga-bunga api panas luar biasa. 

Sehingga membuat tenggorokan Andika tercekat 

hendak melepas lolongan. 

“Bagaimana aku harus keluar dari sini?!” tanya 

Andika kacau. 

“Kerahkan seluruh kehendak sucimu!” perintah 

Raja Penyamar, di sisi sangkar yang melayang dalam 

ruang tanpa batas. 

“Sudah kucoba. Tapi, tak berhasil!” 

“Coba lagi, dan terus coba!” 

“Aku tak bisa!” 

“Kau harus bisa, Andika!” 

“Aku tak kuat' lagi! Sangkar ini terlalu kokoh. Dan 

pijarnya begitu menyiksa untuk dilawan!” 

“Tidak, Andika! Kau akan kuat untuk menentang-

nya! Ayo, kerahkan lagi kehendak sucimu! Jangan 

menyerah! Ingat! Kau adalah pribadi yang tak ingin 

dikalahkan keangkaramurkaan!” 

“Aku letih!” 

“Jangan pernah letih! Kau belum tiba pada batas 

hidup! Ayo, berusahalah! Jeruji merah bara itu tak 

sekuat kehendak sucimu, Andika! Tataplah ruang 

tanpa batas ini! Mestinya, kehendak sucimu 

menempati rongga ruang ini! Karena, itu yang

sesungguhnya disediakan sang Penguasa Alam 

untukmu! Ayo! Kau sanggup melawan sangkar laknat 

itu, Andika! Ayo!” seru Raja Penyamar tanpa kenal 

menyerah. 

“Aku....” 

“Jangan pernah berkata-kata lagi! Hanya dirimu 

yang mampu menolong! Hanya dirimu!” sambung 

Raja Penyamar, makin mendesak. 

Beberapa lama tubuh Andika bergetar dalam 

kungkungan sangkar. Seluruh bagian tubuhnya 

mengejang. Mimik wajahnya sangat menggambarkan 

suatu perjuangan hidup dan mati. Sedangkan 

sepuluh jari tangannya mengeras di depan dada. 

Andika terus berjuang... berjuang.... 

Pada satu batas perjuangannya, jeruji sangkar 

merah bara terlihat meredup dan menguat. Seolah, 

sedang bertahan dari perlawanan kekuatan kehendak 

suci Andika. Dan pada saatnya.... 

“Aaa!” 

*** 

Andika mendadak tersadar dari pingsannya yang 

berhari-hari. Kelopak matanya membuka tersentak. 

Sinar matanya nanar, mencari-cari liar. Ketika cahaya 

matahari ditemukannya, barulah otot-ototnya yang 

menegang demikian rupa dilemaskan. Dadanya mulai 

menarik udara ke paru-paru. Lega. 

“Andika...,” panggil sebuah suara dari sisi. 

Andika menoleh. Dilihatnya Purwasih duduk di 

dekatnya dengan wajah letih dan mata basah. 

“Sukurlah, kau sudah sadar Andika. Aku begitu 

khawatir melihat keadaanmu,” kata Purwasih lirih 

seraya menghambur ke dada bidang Andika. Dara

jelita itu terisak di sana. 

“Apa yang terjadi, Purwasih? Di mana aku?” tanya 

Andika lemah. 

Purwasih menegakkan tubuhnya. “Kau berada 

dkempat yang aman Andika,” jawab gadis itu. 

“Apa yang terjadi denganku?” ulang Andika. 

Pendekar Slebor mencoba bangkit. Dan Purwasih 

pun membantunya, menegakkan punggung dan 

duduk di sisi pemuda itu. 

Lalu, gadis itu pun menceritakan kejadian yang 

menimpa Andika sepanjang pengetahuannya. 

Termasuk, tentang dua lelaki aneh yang kemudian 

dikenalnya sebagai Lelaki Berbulu Hitam dan 

Pendekar Dungu. Juga tentang kedatangan dua lelaki 

asing lain yang dikenalnya sebagai Hakim Tanpa 

Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi dari desas-desus 

santer belakangan ini. 

“Sewaktu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari 

Pusat Bumi bertempur dengan dua lelaki aneh yang 

membantuku malam itu, tiba-tiba saja ada bisikan di 

telingaku untuk membawamu secepatnya keluar dari 

tempat itu. Aku tak tahu, siapa yang berbisik. Seolah, 

suara itu langsung terdengar meski tak melalui 

telingaku. Tanpa banyak pikir, aku segera menuruti-

nya dan sampailah di tempat ini,” papar Purwasih 

menyelesaikan ceritanya. 

Mata gadis itu langsung merayapi tempat ini. 

Sebuah ruang gubuk yang tak begitu terawat baik. 

Terletak di sebuah dataran lembah. 

“Mana Raja Penyamar?” tanya Andika. 

“Raja Penyamar?” Purwasih tak paham maksud 

Andika. 

“Ah! Aku lupa, kau belum mengenal dia,” gumam 

Andika.

“Apa yang kau katakan, Andika?” 

“Tidak,” hindar Andika cepat. Dia mencoba 

bangkit, tapi segera ditahan Purwasih. 

“Mau ke mana, kau?” tanya gadis itu. 

“Aku harus mencari seseorang. Semua kejadian 

yang menimpaku harus dijelaskannya,” kata 

Pendekar Slebor. 

Sekali lagi dicobanya untuk berdiri kembali. Tapi, 

kembali Purwasih menahannya. 

“Bisikan yang datang padaku waktu itu menitipkan 

pesan untukmu juga, Andika....” 

“Apa?” tanya Andika cepat. 

“Katanya, kau tak perlu mendatangi tempatnya. 

Dia sendiri nanti yang akan menemuimu....” 

*** 

Tengah malam, ketika Purwasih benar-benar 

terpulas membayar kekurangan tidurnya, Andika 

menyelinap keluar gubuk diam-diam. Memang, ada 

bisikan yang dikenalnya sebagai suara Raja 

Penyamar. 

Di tengah lembah dalam siraman cahaya redup 

benda-benda langit, lelaki yang telah lama mati itu 

berdiri menanti Andika. 

“Maukah kau menjelaskan padaku, apa yang 

sesungguhnya telah terjadi?” tanya Andika, setibanya 

di dekat jasad halus Raja Penyamar. 

“Mestinya kau yang lebih dahulu menjelaskan 

padaku, kenapa tiba-tiba tergolek tak sadarkan diri di 

danau pinggiran Rimba Slaksa Mambang?” balik 

tanya Raja Penyamar. 

“Kau belum tahu kejadian yang menimpaku? 

Bukankah kau jasad halus yang tak dibatasi ruang

dan waktu?” 

“Ya, benar. Aku memang jasad halus. Tapi, bukan 

berarti bisa seenaknya menembus batas ruang dan 

waktu. Tetap ada ruang-ruang dan waktu-waktu 

tertentu yang tak bisa kutembus. Sebab, aku bukan 

Tuhan. Hanya Tuhan-lah yang memiliki secara mutlak 

ruang dan waktu...,” papar Raja Penyamar. “Sekarang 

kau mau menjelaskan padaku, apa yang kau alami?” 

“Baik....” 

Andika mengalah. Maka diceritakannya bagai-

mana telah ditipu mentah-mentah oleh siluman yang 

menyerupai Raja Penyamar, sampai akhirnya dia 

sadar telah dimanfaatkan untuk menyampaikan 

senjata milik Manusia Dari Pusat Bumi. 

“Aku telah begitu bodoh!” rutuk Andika pada diri 

sendiri. “Mestinya aku ingat kalau kau selalu 

meninggalkan aroma bunga sedap malam setiap kali 

pergi....” 

“Semuanya telah terjadi. Selaku manusia biasa, 

kau bisa berbuat kesalahan,” hibur Raja Penyamar, 

arif. 

“Kau tak menyalahkanku?” ujar Andika heran. 

“Aku tetap menyalahkanmu. Tapi, bisa kumaklumi. 

Untuk itu, kau harus melakukan sesuatu agar 

kesalahanmu dapat ditebus.” Raja Penyamar diam 

sesaat. “Beberapa hal harus kau lakukan. Pertama, 

kau harus memanfaatkan kesaktian Lelaki Berbulu 

Hitam dan Pendekar Dungu. Sebelum terjun kembali 

ke dalam dunia persilatan, mereka telah kukecoh 

dengan memberi wangsit palsu yang mengatakan 

bahwa masalah diri mereka bisa ditolong olehmu. 

Dengan begitu, setiap perkataanmu akan dituruti 

mereka. Nah! Usahakan, agar mereka berdiri di 

pihakmu untuk menentang kezaliman Hakim Tanpa

Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi....” 

“Selanjutnya?” 

“Aku yakin, Cermin Alam Gaib akan sangat 

menyulitkanmu. Karena itu, kau harus meng-

hancurkannya....” 

“Bagaimana caranya?” 

Raja Penyamar menggeleng. “Sampai saat ini, 

belum bisa kuketahui. Perlu waktu dan usaha untuk 

mencoba menerobos benteng gaib rahasia 

kelemahan cermin itu...,” kata Raja Penyamar. “Oh, 

ya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apa kau 

sudah menyelesaikan seluruh kitab penyamaran yang 

kuberi?” 

“Belum. Ada satu bagian akhir yang tak ku-

selesaikan. Sebab, bagian itu kupikir tidak begitu 

penting,” jawab Andika. 

“Kau keliru. Justru bagian itu adalah bagian 

terpenting yang akan menyempurnakan ilmu 

menyamarmu....” 

*** 

Dua lelaki tengah berjalan tertatih-tatih di 

hamparan dataran tandus. Matahari bersinar terik 

tepat menyengat ubun-ubun keduanya. Seorang 

berusia muda. Rambutnya kaku, hingga sebagian 

berdiri seperti landak dengan warna kusam 

kemerahan. Wajahnya terlihat amat dungu, matanya 

sering terjuling-juling. Berjidat besar dan berhidung 

besar pula. Jalannya terpincang-pincang. Kerap kali 

mulutnya meringis-ringis menahan sakit sewaktu 

sebelah kakinya yang bengkak karena borok, terantuk 

batu jalan. Pakaiannya tidak sedap dipandang sama 

sekali. Bahkan tak pantas bagi lelaki seperti dia,

mengenakan gaun rombeng perempuan berwarna 

kelabu. 

Sedangkan seorang lagi berusia setengah baya. 

Entah banyak pikiran atau kenapa, wajahnya tampak 

lebih tua daripada usia sebenarnya. Rambutnya yang 

panjang dipenuhi uban dan dikepang. Sama 

kusamnya dengan rambut lelaki pertama. Wajahnya 

kurus, sekurus tubuhnya. Hidungnya lancip dan 

matanya besar tanpa alis. Tak henti-henti mulutnya 

yang bergigi ompong, menggerutu sepanjang jalan. 

Setiap beberapa langkah, ditepuk-tepuknya pakaian 

bertambal sulam yang dikenakan. Seolah dia takut 

banyak debu menempel. Kalau pemuda yang berjalan 

bersamanya tertatih-tatih karena borok, lelaki ini 

tertatih-tatih karena sandal kayu kebesarannya. 

Sewaktu berjalan, akan terdengar bunyi mengganggu 

telinga, akibat benturan sandal dengan kerikil. Di 

dunia persilatan, dia dikenal sebagai Ketua Partai 

Pengemis Timur. Julukannya, si Penggerutu 

Berkepang. 

“Sialan... ugh-ugh! Ke mana lagi kita mesti mencari 

Lima Gembel Busuk?” tanya si Penggerutu Berkepang 

membuka percakapan. “Apa kau punya sedikit usul, 

Borok?” 

“Aku tak tahu,” jawab pemuda yang dipanggil 

Borok. 

“Ugh-ugh sialan! Kalau begitu, buat apa kita terus 

mengukur jalan seperti ini tanpa tujuan jelas? 

Debuh... nggg... nggg... was... wis... wus!” gerutu si 

Penggerutu Berkepang.. 

“Biar kita kenal jalan. Ha... ha... ha!” si Borok 

tertawa dengan mata menjuling-juling dan bibir 

tertarik-tarik. 

“Tak lucu!”

Si Borok langsung bungkam. 

“Kau sendiri, kira-kira ke mana harus mencari 

mereka?” aju si Borok. 

Jawaban si Penggerutu Berkepang hanya gerutuan 

panjang. 

“Nah! Kalau begitu kita sama-sama tak tahu. Kan, 

ada baiknya kita terus berjalan. Siapa tahu, kalau 

beruntung kita bertemu tabib yang bisa 

menyembuhkan borok dan julingku. Dan kau bisa 

disembuhkan dari kebiasaan menggerutumu! Ha... 

ha... ha!” 

“Tak lucu!” 

Sementara itu di atas mereka, tepatnya di udara 

terbuka nan luas, seekor gagak hitam berkeliling-

keliling liar. Sejak dari tadi, binatang itu terus 

mengawasi mereka. Matanya yang kemerahan 

merekam terus ciri-ciri mereka. Suara jerit 

memekakkannya berkali-kali merobek angkasa. 

Sejauh itu, kehadirannya tak pernah dipedulikan oleh 

dua lelaki tadi. 

Angkasa sepi ketika binatang berwarna hitam 

malam itu melayang pergi. Selang sekian lama, 

kehadirannya digantikan dua sosok yang 

menghadang di depan. 

“Kau kenal dua lelaki itu, Borok?” tanya si 

Penggerutu Berkepang, menyaksikan ada dua orang 

menghadang mereka jauh di depan. 

“Yang pasti bukan anggota Lima Gembel Busuk!” 

tukas Borok. Matanya melirik susah-payah ke arah 

penghadang. 

“Kira-kira kau tahu, apa yang mereka mau?” tanya 

Penggerutu Berkepang sambil tetap melangkah. 

“Yah.... Yang pasti, mereka tak ingin merampok 

kita. Mau mengambil apa mereka dari kita? Gaun

rombeng ini? Atau terompah kayu jelekmu? Ha-ha-

ha!” 

Setibanya tak jauh dari para penghadang, 

Penggerutu Berkepang berbasa-basi. 

“Hey, kalian berdua! Apa kabar? Kenapa siang 

terik begini berdiri di tempat panas?!” 

Sahutan yang didapat cukup mengejutkan mereka. 

“Pengadilan menanti!” 

***

ENAM


Tak ada niat lain bagi Hakim Tanpa Wajah dan 

muridnya menghadang Ketua Partai Pengemis Timur 

dan si Borok, kecuali membawa mereka berdua ke 

Pengadilan Perut Bumi. Dengan begitu, tak ada lain 

hal yang bisa terjadi. Pertempuran! 

“Gebuk mereka, Kepang!” seru Borok, menye-

mangati kawannya untuk segera menyerang. 

Merasa panas, Penggerutu Berkepang segera 

membuka jurusnya. Langkahnya diseret-seret sambil 

menggerak-gerakkan tangan, mengitari Hakim Tanpa 

Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi. Sementara dua 

lawannya masih tampak sedingin es. Tanpa gerak, 

mata mereka mengawasi Penggerutu Berkepang. Di 

bibir mereka tersembul seringai. Entah meremehkan, 

entah geram. 

Set! 

Tiba-tiba saja, Penggerutu Berkepang meng-

hentakkan tangannya, menebas udara di depan 

Hakim Tanpa Wajah. Tapi, serangannya sama sekali 

tak langsung diarahkan ke tubuh lawan. Mungkin 

maksudnya sekadar menggertak. Seperti tak 

mempan dikecoh, Hakim Tanpa Wajah tak terkejut. 

Dia tetap tenang, seperti batu karang. 

“Tunggu apa lagi?! Ayo, hantam saja!” teriak Borok 

tak sabar melihat kawannya masih menunggu-

nunggu. 

“Diam kau, Sialan! Yang mau bertempur kau atau 

aku?!” hardik Penggerutu Berkepang, diikuti 

gerutuannya.

“Alah! Jujur aja! Apa kau takut?! Bukankah mereka 

yang bikin gentar nyali tokoh persilatan belakangan 

ini?” cemooh Borok, memanas-manasi. 

“Biar nama mereka bikin ngacir setan belang 

sekali pun, aku tak akan mundur! Mau ditaruh di 

mana mukaku, selaku Ketua Partai Pengemis 

Timur?!” dengus Penggerutu Berkepang, masih tetap 

mencak sana mencak sini. 

“Kalau begitu, ayo terjang mereka!” 

“Tunggu dulu, Sialan! Aku sedang mencari-cari 

kelemahan mereka,” dalih Penggerutu Berkepang. 

“Ya, kawanmu benar! Tunggu apa lagi?” timpal 

hakim palsu berwajah tembok, tanpa menoleh pada 

lawan di belakangnya. 

Barulah kesungguhan Penggerutu Berkepang ter-

sulut mendengar ucapan Hakim Tanpa Wajah 

barusan. Setelah berpindah ke depan karena tak 

ingin membokong, segera dikirimnya dua tendangan 

susun tiga. Sasarannya kepala, dada dan 

selangkangan. Begitu cepat gerakannya dari atas ke 

bawah. Deb! Deb! Deb! 

Tapi enteng saja Hakim Tanpa Wajah menangkis-

nya satu demi satu dengan pergelangan tangannya 

tanpa bergerak sama sekali. Pada saat yang sama, 

bola mata sempitnya digerakkan untuk memberi 

isyarat pada muridnya untuk menjauh. 

Manusia Dari Pusat Bumi langsung mengambil 

jarak tujuh tombak ke belakang. Kini tersedia arena 

bagi Hakim Tanpa Wajah dan Penggerutu Berkepang 

untuk bertukar jurus-jurus berat. 

Serangan susulan dilancarkan Penggerutu 

Berkepang. Dengan tangan terbentang, tubuhnya 

berputar. Sepasang tangannya menyambar lurus ke 

kepala Hakim Tanpa Wajah.

Wut! Wut! 

Dua sambaran tangan Ketua Partai Pengemis 

Timur mampu dihindari Hakim Tanpa Wajah dengan 

amat mudah. Lelaki bangkotan itu hanya merunduk 

dua kali, maka putaran tangan pengemis itu pun 

memakan angin. Selanjutnya, Hakim Tanpa Wajah 

melancarkan serangan balasan yang tak kalah 

berbahaya. Didahului hentakan suara tertahan, 

tangan yang berjari menegang lurus menuju ulu hati 

disodokkan. 

Jep! 

Untuk mematahkannya, Penggerutu Berkepang 

menurunkan kedua tangan dengan memutarnya lebih 

dahulu ke atas. Setelah bersilangan sekepakan, 

kedua tangannya segera menghadang tusukan jari 

Hakim Tanpa Wajah. 

Tak! 

Hakim Tanpa Wajah tak puas dengan serangan 

awal. Dan dia menyusuli tangan lawan dengan 

sapuan dua kaki yang terikat tali kafan. 

Mengetahui kakinya terancam, Penggerutu 

Berkepang melompat di tempat. Baru saja kakinya 

menjejak, sepasang kaki Hakim Tanpa Wajah sudah 

menyapu kembali. Kali ini, Penggerutu Berkepang 

yang begitu disegani di wilayah timur tak ingin terus 

didekte dengan melompat seperti orang bodoh. Maka 

dengan modal jejakkan sesaat tadi, tubuhnya 

dilempar ke belakang. 

“Hup!” 

“Bagus! Bagus! Itu baru Ketua Partai Pengemis 

Timur!” sorak Borok bersemangat. 

“Diam kau!” hardik Penggerutu Berkepang seraya 

menangkis tinju yang menyusul tubuhnya. “Nih, 

makan jurus 'Ekor Naga Menyapu Gunung' milikku!”

Langsung Penggerutu Berkepang membuat 

beberapa babatan kaki ke beberapa bagian tubuh 

Hakim Tanpa Wajah. Pergantian gerak kakinya begitu 

cepat. Dalam sekerdip mata, lima kali pergantian 

gerak bisa dibuatnya. Tentu saja hal itu dapat 

dilakukan, mengingat Penggerutu Berkepang adalah 

tokoh jajaran atas wilayah timur yang kesohor dengan 

permainan jurus-jurus kakinya. Apalagi, sekarang dia 

sudah mencoba memainkan jurus-jurus berat. 

“Bodoh! Kau tidak bisa mengalahkanku dengan 

jurus anak kecil macam ini! Bahkan hanya untuk 

membuat aku kewalahan, he-he-he!” ledek Hakim 

Tanpa Wajah kian keterlaluan. 

Sambil melempar kata-kata meremehkan, tubuh 

Hakim Tanpa Wajah meliuk ke sana kemari seperti 

seekor ular nangka. Lincah dan cepat tak terkejar. 

Jenggot putihnya yang panjang terayun kian kemari, 

mengikuti liukan tubuh rentanya. 

Bet! Bet! Bet! 

Penggerutu Berkepang mencoba melepas kembali 

beberapa tendangan kunci mematikan. Namun, itu 

pun bisa dihindari Hakim Tanpa Wajah dengan amat 

mudah. 

“Ayo, balas seranganku! Jangan hanya 

menghindar!” hardik Penggerutu Berkepang makin 

kalap. 

“Tenang..., tenang.... Apa kau tak senang kalau 

aku ingin sedikit menghiburmu?” sahut Hakim Tanpa 

Wajah seperti tidak menggerakkan bibir. 

Makin kalap saja Penggerutu Berkepang. Tiga 

jurus 'Ekor Naga Menyapu Gunung' yang digabung 

menjadi satu, secara serentak dihamburkan ke arah 

Hakim Tanpa Wajah. Untuk serangannya kali ini, laki-

laki tua berkain kafan itu tak bisa lagi mengandalkan

kelincahan tubuh semata. Beberapa sodokan kaki 

lawan disambutnya dengan jentikan jari kurus, 

terbungkus kulit keriputnya. 

Tik! 

Meski terdengar lembut, bagi Penggerutu 

Berkepang jentikan jari kurus Hakim Tanpa Wajah 

malah terasa menyengat ke tulang sum-sum. Setiap 

kali terkena, mulutnya yang tak henti-henti membeber 

gerutuan dan meringis kesakitan. 

Di luar arena, si Borok mencak-mencak sendiri. 

Seperti bertarung dengan setan kesiangan, dia 

memukul dan menendang tak karuan. Bibirnya yang 

oleng ke samping dengan lancar melempar teriakan-

teriakan seru nan menggebu. 

“Yak! Hiaaat! Set! Hait! Tendangan ke kiri! Balas ke 

kanan! Ah, Goblok! Jangan ditangkis! Gigit saja 

jarinya! Iyak, begitu!” 

Sementara itu di arena, Hakim Tanpa Wajah sudah 

mulai bosan dengan permainannya. Segera dia 

menjauh beberapa langkah dari lawan yang 

mendengus-dengus bernafsu. 

“Sekarang, bersiaplah untuk kujadikan bulan-

bulanan!” kata Hakim Tanpa Wajah. 

Penggerutu Berkepang sudah tak bisa 

membedakan lagi, apakah lawan masih mengolok-

oloknya atau berkata sungguh-sungguh. Dia terlalu 

kalap untuk memikirkannya. Padahal kalau bisa 

tenang sedikit, tentu dia tak mau melanjutkan 

pertarungan dengan mata gelap seperti itu. Sebab, 

kecerobohannya kali ini bisa menjadi kunci kekalahan 

paling menyebalkan yang bisa segera membawanya 

ke pintu Pengadilan Perut Bumi! 

“Apa pun katamu, semuanya tai kucing!” umpat 

Penggerutu Berkepang sambil maju merangsek

dengan tendangan berputar bagai kincir liar. 

Bet! Bet! Bet! 

Bunyi tendangan Penggerutu Berkepang mendekat 

cepat, menerbangkan debu tinggi-tinggi. Rupanya, 

tenaga pamungkas telah pula disalurkan pada kedua 

senjata mautnya. Andai saat itu ada sebongkah batu 

karang sebesar banteng terkena sepakannya, tak 

bisa disangkal lagi tentu akan lebur berhamburan ke 

segenap penjuru! 

Ketika kaki Penggerutu Berkepang menebas leher, 

Hakim Tanpa Wajah segera menyambutnya dengan 

papakan telapak tangan kiri. Tangan kanannya yang 

lowong mendorong ke depan disertai tenaga dalam 

tinggi. Apa yang sedang dilakukan manusia berotak 

tak waras itu, seperti tak berbahaya. Namun jika 

melihat kakinya menjejak bumi beriring hentakan 

tadi, maka menjadi jelas kalau Hakim Tanpa Wajah 

sedang mengerahkan satu ilmu andalan yang 

bernama 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'. 

Kesaktiannya yang disertai pemusatan tenaga, 

sanggup membuat lubang sedalam beberapa jengkal 

pada karang. Sementara, satu depa di sekitarnya 

sebuah batu sebesar banteng kontan menjadi butiran 

debu. 

Dak! 

Seketika dua telapak tangan berbenturan. Dalam 

keadaan terdesak, Penggerutu Berkepang masih 

sempat memapak hentakan telapak tangan Hakim 

Tanpa Wajah. Namun begitu, 'Tenaga Sakti Pembelah 

Bumi' terlalu tangguh untuk dihadapi tenaga 

dalamnya. Sekejap tubuhnya bergetar. Sekejap 

berikutnya, Penggerutu Berkepang sudah terlempar 

jauh ke belakang. 

“Wuaaa!”

Jeritannya terpenggal manakala Penggerutu 

Berkepang jatuh meninju permukaan bumi dengan 

keras. Seluruh kesadarannya kontan terbang. 

Kalaupun tak langsung tewas saat itu juga, itu karena 

Hakim Tanpa Wajah hanya menyalurkan kurang dari 

seperempat tenaga saktinya. Lawannya akan terluka 

dalam, sekaligus kehilangan kesadaran. Tak lebih 

dari itu. 

Menyaksikan kawannya ambruk, Borok cemberut. 

Matanya makin terjuling-juling menunggu Penggerutu 

Berkepang bangkit kembali. Tapi, itu tak bakal terjadi. 

“Kok, hanya sebegitu?” gumam Borok terpatah-

patah. 

Bagai pendekar tak terkalahkan, Borok maju. 

Wajahnya dibuat sejumawa mungkin, meski dipaksa-

kan. Langkahnya terbanting-banting, meski harus 

menderita kesakitan akibat borok di kakinya. 

“Mungkin saja kau bisa berbuat itu pada dia!” 

bentak Borok garang pada Hakim Tanpa Wajah. 

“Ta...Pi....” 

Laki-laki itu langsung memukul dadanya keras-

keras hingga terbatuk-batuk. 

“Tapi, kau tidak bisa melakukan itu padaku sama 

sekali. Kuulangi, sama sekali!” lanjut Borok. 

Lalu Borok maju lagi hingga jaraknya tinggal enam 

langkah dari Hakim Tanpa Wajah. 

“Kau tahu sebabnya kenapa?” sambung Borok. 

“Sebab, he... he... he.... Aku tak mau bertempur 

denganmu, rasanya. Bagaimana kalau kita damai 

saja?” 

Hakim Tanpa Wajah terkekeh. Namun Manusia 

Dari Pusat Bumi yang berdiri tak jauh darinya malah 

menggeram. Si Borok mendelik. Jangan ditanya, 

bagaimana bola matanya yang selalu salah alamat

itu. Jangan ditanya pula, bagaimana bibirnya yang tak 

mau bersahabat itu. Pokoknya, dia terlihat jelek 

sekali! 

“Wua... haaa-haaa!” jerit Borok kalang kabut 

seraya mengerahkan seluruh kekuatan untuk lari. 

Tapi.... 

Tuk! 

Manusia Dari Pusat Bumi cepat menotoknya dari 

jarak jauh. 

***

TUJUH


Pengadilan Perut Bumi. Sebuah tempat tersembunyi, 

tak terjangkau manusia lain. Seperti namanya, 

terletak jauh di bawah permukaan bumi. Untuk tiba di 

sana, harus melalui rawa-rawa dalam yang penuh 

binatang buas melata dari buaya hingga ular. Di dasar 

rawa, ada lorong air berliku yang sesungguhnya 

adalah aliran sungai di perut bumi. Setibanya di ujung 

lorong panjang, akan ditemui sebuah dunia lain yang 

biasa dipakai si Hakim Tanpa Wajah.... 

Sebuah kolam besar dalam ruang di dasar bumi, 

menjadi gerbang masuk yang menghubungkan lorong 

aliran sungai bawah tanah dengan tempat ini. 

Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi 

telah tiba di sana. Mereka muncul di permukaan 

kolam dengan membopong tubuh dua lelaki pada 

bahu masing-masing. Dari tepi kolam, mereka 

memasuki salah satu mulut lorong yang banyak 

terdapat di sekeliling tepian kolam. Setelah berjalan 

menempuh lorong yang tak begitu panjang, mereka 

akhirnya tiba di ruang lain. Ruang amat luas yang 

memiliki banyak kamar. 

Setiap kamar ditutup pintu besi berjeruji baja. 

Dalam kamar-kamar itulah, orang-orang yang diculik 

dari dunia persilatan ditawan. Dan mereka berasal 

dari beberapa wilayah dan dari golongan berbeda. 

Pada setiap pintu kamar, terdapat tulisan di 

atasnya. Satu kamar bertuliskan; 'Kamar Ular'. Yang 

lain diberi nama 'Kamar Buaya'. Ada juga 'Kamar 

Katak' dan 'Kamar Rajawali'. Serta, beberapa tulisan

lain. 

Di dalam sebuah kamar yang bertuliskan 'Kamar 

Rajawali', ada dua lelaki dari kalangan tua yang 

pernah mengibarkan panji kejayaan masing-masing 

pada masa delapan puluh tahun silam. Mereka tak 

lain, Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu. 

Memang, setelah berhasil diperdayai dengan 

menguras kekuatan mereka melalui tubuh Pendekar 

Slebor, Hakim Tanpa Wajah dan muridnya akhirnya 

bisa juga membawa dua tokoh tak tertandingi itu ke 

Pengadilan Perut Bumi. Sebuah mimpi delapan puluh 

tahun milik Hakim Tanpa Wajah, kini baru terwujud. 

“Kau akan merasakan balasanku, Hakim Jelek!” 

ancam Lelaki Berbulu Hitam manakala guru dan 

murid itu sedang melewati kamar tahanannya. “Akan 

kurencah-rencah seluruh tubuhmu seperti makanan 

anjing geladak!” 

Hakim Tanpa Wajah hanya terkekeh mendengar 

ungkapan kemurkaan Lelaki Berbulu Hitam. Diliriknya 

lelaki tinggi besar yang berdiri mencengkeram jeruji 

baja itu dengan mata mencemooh. Ketika tangan 

besar Lelaki Berbulu Hitam hendak menggapainya, 

Hakim Tanpa Wajah hanya melompat sedikit lalu 

terkekeh lagi. Suara tawa buruknya menghilang di 

sebuah tikungan lorong, bersama menghilangnya 

tubuh bangkotan berkafan itu yang diiringi sang 

Murid. 

“Siapa mereka, Hitam?” tegur Pendekar Dungu di 

belakang Lelaki Berbulu Hitam. 

Lelaki keriput itu tampak tenang-tenang saja 

bersandar pada dinding batu dengan mata terkantuk-

kantuk. 

“Kalau aku sudah berteriak mengkelap seperti 

tadi, pada siapa kau pikir aku berteriak?” sahut Lelaki

Berbulu Hitam kasar, masih dibawa kegusaran pada 

Hakim Tanpa Wajah. 

“Ah! Yang kutahu, selalu mengkelap pada siapa 

saja. Dan berbicara dengan berteriak, bagimu sama 

saja!” 

“Kau meledekku?!” bentak manusia berdarah 

serigala itu dengan wajah memerah. Dihampirinya 

Pendekar Dungu bersungut-sungut. “Hey, apa kau 

tuli?! Aku tanya tadi, apa kau meledekku?” 

Tapi orang yang diajak berdebat menyahutinya 

dengan dengkuran panjang. 

“Dasar tua bangka keropos!” maki Lelaki Berbulu 

Hitam kesal. 

Sementara itu, dua lelaki di bahu Hakim Tanpa 

Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi telah dilempar-

kan ke dalam 'Kamar Kutu Busuk' bersama empat 

orang lain, yang sudah lama berada di dalam sana. 

Bruk! Bruk! 

“Tenang-tenanglah kalian menunggu saat 

pengadilan nanti!” ujar Hakim Tanpa Wajah penuh 

kepuasan. 

Setelah itu, dia memerintahkan Manusia Dari 

Pusat Bumi untuk mengunci pintu besi kembali. 

Krang! 

Kini keduanya meninggalkan kamar itu. 

Begitu mereka menghilang di satu tikungan, dua 

lelaki yang menjadi warga baru 'Kamar Kutu Busuk' 

siuman. Mereka adalah si Pemimpin Partai Pengemis 

Timur bersama kawannya yang dipanggil Borok. 

“Heee, sialan! Di mana aku sekarang?!” tanya laki-

laki berjuluk Penggerutu Berkepang sambil mengurut-

urut kening. Lalu disusul dengan kebiasaannya 

menggerutu. 

“Uuuh...,” keluh Borok, ikut menegakkan tubuh

dalam keadaan duduk. “Apa ini neraka? Kenapa 

neraka bau pesing, ya?” 

Empat orang lain yang berada dalam ruang itu, 

lebih dulu segera menyambut. Wajah mereka begitu 

terkejut ketika melihat siapa orang yang baru datang. 

Tentu saja Penggerutu Berkepang sangat dikenal, 

karena mereka adalah empat anggota dari Lima 

Gembel Busuk. Kamasetya, Guruhdadi, Kamajaya, 

dan Dartasa. Sedangkan yang bernama Damarsuta, 

telah tewas sesaat setelah ditemukan Andika 

beberapa waktu lalu (Baca episode : “Manusia Dari 

Pusat Bumi”). 

“Sialan was-wis-wus ng-ng.... Rupanya kalian ada 

di sini! Aku sudah susah-payah kian kemari mencari, 

kalian malah enak-enakan!” balas Penggerutu 

Berkepang, menanggapi sambutan mereka. 

“Kami bukan enak-enakan di sini, Ketua!” sangkal 

Kamajaya, lelaki yang paling berpengaruh di antara 

mereka. “Kami diculik Hakim Tanpa Wajah seperti 

beberapa tokoh persilatan lain!” 

“Aku tahu...,” tukas Penggerutu Berkepang. 

Padahal, laki-laki itu juga yang tadi memancing 

perdebatan. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk 

pakaian yang masih basah dan kotor. 

“Sekarang di mana kita?” tanya Penggerutu 

Berkepang kemudian. 

“Bukankah kau sudah tahu, Ketua?” sahut 

Kamajaya, tak bermaksud meledek atau menyindir. 

“Aku memang bilang begitu tadi! Aku memang 

sudah tahu tempat ini, kok! Tapi, apa salahnya kalian 

menjawab pertanyaanku selaku ketua kalian!” hardik 

Penggerutu Berkepang bersungut-sungut. “Sialan....” 

Kamajaya mengangkat bahu. Dia memang tak bisa 

menang berdebat dengan ketua sendiri.

“Kita ada di Pengadilan Perut Bumi,” jawab 

Kamajaya kemudian. 

“Aku tahu! Sudah kubilang bukan? Aku tahu!” 

bentak Penggerutu Berkepang serba salah. 

Selagi Penggerutu Berkepang melempar 

pandangan keluar dari jeruji baja seperti seorang 

pengawas kurang kerjaan, Kamajaya mengusiknya 

lagi. 

“Ketua, boleh aku bertanya sedikit?” 

“Ya.... Sedikit saja...,” kata Penggerutu Berkepang. 

“Siapa kiranya anak muda yang bersama Ketua 

ini? Kalau dia anggota kita, kenapa aku belum 

mengenalnya?” 

Mendadak Penggerutu Berkepang berbalik. 

Wajahnya memberang. 

“Goblok...! Eh, sialan!” umpat Ketua Partai 

Pengemis Timur sambil menghampiri Kamajaya 

tergesa. “Kau harus memberi hormat pada dia! Ayo!” 

Penggerutu Berkepang segera menekan punggung 

Kamajaya untuk menjura. 

“Kalian juga!” sambung laki-laki pada tiga lelaki 

lain. 

Meski tak mengerti-sama sekali, terpaksa keempat 

lelaki itu menjura juga. 

“Nah, sialan...! Eh, bagus!” puji Penggerutu 

Berkepang berbareng anggukan puas. 

Kamajaya dan tiga rekannya menatap, seolah 

hendak bertanya kembali. Siapa anak muda itu 

sebenarnya? 

“Jangan menatap begitu padaku! Apa kalian tidak 

kenal, siapa dia?” lanjut Penggerutu Berkepang lagi. 

Ditunjuknya pemuda berwajah tak karuan yang 

sedang tersenyum-senyum penuh arti itu. “Dia itu 

pendekar yang amat disegani..., Pendekar Slebor!”

“Ah, masa'?” gumam keempat lelaki itu, serempak. 

“Jangan masa'-masa'!” 

Lalu Ketua Partai Pengemis Timur melirik anak 

muda yang selama ini dipanggil Borok olehnya. 

“Bor! Coba kau buka topeng jelek itu!” ujarnya 

acuh, pada Borok. 

Pemuda itu pun mempreteli perangkat 

penyamarannya. Termasuk, kaki palsu yang bengkak. 

Maka, tampaklah sekarang oleh semua orang yang 

ada dalam ruang itu. Wajah seorang pemuda tampan 

yang berperawakan gagah. Memang benar! Dia 

adalah Pendekar Slebor! 

“Nah, kan.... Kubilang juga apa...,” gerutu 

Penggerutu Berkepang. 

Pemuda yang kini mengenakan pakaian hijau-hijau 

dengan selembar kain bercorak catur tersampir di 

bahu itu mendekati keempat lelaki yang masih 

menjura padanya. Mereka disalami satu persatu. 

“Ketuamu benar. Aku memang Pendekar Slebor. 

Kalian bisa memanggilku Andika. Dan kurasa, tak 

perlu acara penghormatan seperti ini.... Bukan begitu, 

Penggerutu Berkepang?” kata Andika. 

“Bukan!” jawab Penggerutu Berkepang, tak mau 

tahu. 

Andika tertawa. Juga empat dari Lima Gembel 

Busuk. Kecuali, si Penggerutu Berkepang. Lelaki 

setengah baya itu masih menekuk wajah di dekat 

jeruji baja. 

Sebenarnya, apa yang Andika rencanakan? 

Memang, waktu itu, setelah mendapat pesan dari 

Raja Penyamar untuk menyelesaikan bagian akhir 

kitab penyamaran yang diberikannya, maka Andika 

pun menjalankannya. 

Dan tepat, apa kata Raja Penyamar. Bagian akhir

kitab itu berisi inti dari seluruh ilmu 'Menyamar'. 

Dengan mempelajari bagian itu, Andika bukan saja 

mampu menipu mata seseorang. Tapi juga mampu 

menipu penciuman seekor anjing pelacak sekali pun. 

Dengan melakukan semadi beberapa lama dengan 

cara-cara tertentu, maka pemuda itu bisa mengubah 

zat-zat dalam tubuhnya, sehingga mampu merubah 

pula bau tubuhnya. Kalau dulu penyamarannya dapat 

dibongkar oleh penciuman serigala milik Lelaki 

Berbulu Hitam di kaki Gunung Merapi menuju 

Kampung Kelelawar, maka sekarang tak akan terjadi 

lagi (Baca episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”). 

Bukan hanya itu. Dengan semacam sugesti dalam 

semadi, Andika mampu mengubah warna pribadinya. 

Menghilangkan untuk sementara pribadi aslinya, lalu 

memunculkan pribadi baru. Itu sebabnya, Manusia 

Dari Pusat Bumi yang memiliki indera siluman pun 

mampu ditipunya mentah-mentah! 

Tak heran kalau Raja Penyamar menyebut bagian 

akhir kitab itu sebagai bagian terpenting dari seluruh 

kitab! 

“Apa rencanamu selanjutnya, Bor?” tanya Peng-

gerutu Berkepang pada Andika. 

Andika berdiri. Didekatinya si Ketua Partai 

Pengemis Timur itu. 

“Aku belum tahu,” jawab Pendekar Slebor. “Kurasa 

aku harus mempelajari dulu seluruh keadaan di 

sini....” 

*** 

Dua hari sudah Pendekar Slebor dan Penggerutu 

Berkepang berada dalam ruang tahanan di 

Pengadilan Perut Bumi. Selama itu, belum ada satu

tindakan pun yang bisa diperbuat. Andika masih tetap 

berpikir keras sambil mempelajari keadaan di sana. 

Sedangkan Penggerutu Berkepang masih tetap meng-

gerutu tak bosan-bosannya. 

Sebenarnya, kalau tidak terkena ilmu totokan 

rahasia milik Hakim Tanpa Wajah, dengan amat 

mudah mereka melantakkan jeruji baja yang 

mengungkung. Totokan itu memang telah 

melumpuhkan kekuatan tenaga dalam mereka. 

Sehingga seolah-olah mereka menjadi terkunci dalam 

tubuh masing-masing. Begitu pula yang dialami Lelaki 

Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Selaku tokoh 

kawakan yang lama malang melintang, mereka 

sendiri tak pernah tahu secara pasti, bagaimana 

lawan bisa menotok mereka sedemikian rupa. 

Selama mengenal Hakim Tanpa Wajah, memang baru 

kali ini mereka tahu kalau lelaki itu memiliki ilmu 

totokan simpanan. 

Pada awalnya, ketika baru pertama kali masuk 

ruang tahanan, Andika agak heran melihat mereka 

tak berusaha menghancurkan jeruji baja di pintu 

ruangan. Toh, kebanyakan dari mereka adalah tokoh 

kelas atas yang tak akan begitu menemui banyak 

kesulitan untuk melantakkan batang baja sekalipun. 

Dan sewaktu Kamajaya menjelaskan, barulah Andika 

mengerti duduk persoalannya. 

“Tampaknya kita mati kutu di sini, Tuan 

Pendekar,” ungkap Kamajaya putus asa. “Aku pernah 

mendengar Hakim Tanpa Wajah berkata bahwa kita 

akan diadu seperti hewan, sampai mati pada 

purnama ketiga nanti. Waktunya tinggal beberapa 

hari lagi, bukan?” 

“Sialan.... Tak pantas kau berkata seperti itu! 

Memalukan nama Partai Pengemis Timur saja...,”

gerutu Penggerutu Berkepang. 

“Aku tak takut mati, Ketua,” sebut Kamajaya. “Aku 

hanya khawatir akan membunuh kawan se-

perjuangan saat diadu nanti.” 

“Kalau begitu, ya jangan mau diadu! Kau kan 

bukan ayam atau domba yang bisa diatur-atur! 

Kenapa goblok sekali....” 

“Tapi, bagaimana kalau Hakim Tanpa Wajah 

memiliki totokan rahasia lain yang membuat kita 

gelap mata, sehingga tak bisa membedakan mana 

kawan atau lawan?” susul Kamajaya lagi. 

“Iya, juga ya...,” gumam Penggerutu Berkepang. 

Tapi setelah itu. “Ah, peduli amat! Pokoknya, kau 

harus tidak mau diadu. Titik!” 

Andika hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksi-

kan kekerasan kepala Ketua Partai Pengemis Timur 

itu. Untung saja Penggerutu Berkepang berada di 

pihak yang benar. Kalau tidak, apa jadinya dunia 

persilatan nanti? 

Keenam orang itu kembali diam. Ruang sunyi. 

Bunyi napas mereka terpantul dinding batu. Mau tak 

mau, mereka hanya bisa menikmati gema desah 

napas saja. 

Pendekar Slebor sendiri terdiam. Dirinya mungkin 

begitu, tapi pikirannya tidak. Otaknya terus berkutat 

untuk mencari pemecahan. Sambil berpikir, tangan-

nya tanpa sadar memainkan sebutir batu kecil yang 

dilemparnya berulang-ulang ke dinding ruangan. 

Entah karena jengkel atau sebab lain, mendadak saja 

batu kecil itu dihempasnya ke lantai keras-keras. 

Tak! 

Yang lain tersentak. Bukan sekadar karena batu 

kecil itu menimbulkan suara yang keras dalam 

ruangan. Tapi, juga karena terciptanya lubang yang

dalam, sekitar tiga-empat jengkal! 

“Astaga! Apa Tuan Pendekar luput ditotok?” bisik 

Kamajaya, di dekat Andika. 

Andika terdiam. Diingatnya sesuatu. 

“Aku memang ditotok, ketika menyamar bersama 

Penggerutu Berkepang waktu itu. Tapi yang menotok-

ku bukan Hakim Tanpa Wajah...,” jelas Pendekar 

Slebor. 

“Manusia Dari Pusat Bumi?” selak Dartasa, lelaki 

lain dari Lima Gembel Busuk, menduga. 

“Ya! Mungkin dia hanya menotok untuk 

melumpuhkanku,” tambah Andika. 

“Tapi, kenapa Hakim Tanpa Wajah tak mengeluar-

kan totokan rahasianya pada Tuan?” tanya Kamajaya. 

“Mungkin karena dikira aku tak terlalu berbahaya. 

Dan kalaupun dibawa ke sini, mungkin hanya untuk 

menutup jejak penculikan ketua kalian,” jelas Andika 

pada empat anggota Lima Gembel Busuk. 

“Hey? Kau membicarakan aku, ya?!” penggal 

Penggerutu Berkepang. 

Andika bangkit menuju jeruji baja. 

“Kau tak menyahuti pertanyaanku?!” desak 

Penggerutu Berkepang. 

Pendekar Slebor tak menggubrisnya. Malah kini 

siap mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar 

Lembah Kutukan untuk menghancurkan pintu baja 

ruang tahanan ini. 

Dengan sedikit pemusatan pikiran dan perasaan, 

Andika sudah bisa menghimpun sepertiga kekuatan 

saktinya pada kedua belah tangan. Saat berikutnya.... 

“Heaaa!” 

Brak! 

Pintu berjeruji baja kokoh kontan roboh dalam 

keadaan lantak. Benda itu tak akan sanggup

menahan terjangan tenaga sakti Pendekar Slebor, 

meskipun tebalnya tiga kali lipat. 

“Yak! Sialan... eh, bagus!” puji Penggerutu 

Berkepang. 

Andika mempersilakan tokoh setengah baya itu 

keluar lebih dahulu. Saat melewati Andika, laki-laki 

berambut berkepang itu menoleh ke arah Andika. 

“Biar begitu, pukulanmu tadi sebenarnya biasa-

biasa saja...,” kata Ketua Partai Pengemis Timur. 

Andika tertawa. Tapi sempat pula mendelik kesal 

di belakang lelaki setengah baya itu. Kalau saja tak 

berniat untuk memasuki Pengadilan Perut Bumi, 

tentu Andika tak akan pernah bertemu manusia yang 

begitu menjengkelkan ini. 

Awal pertemuan Andika dengan tokoh itu bermula 

ketika Pendekar Slebor teringat pada gelang perak 

berukir milik salah sedang anggota Lima Gembel 

Busuk yang ditemukan sedang sekarat. Saat itu, dia 

baru saja menyelesaikan bagian terakhir kitab 

penyamaran yang diberikan Raja Penyamar. 

Bermodal gelang itu, Andika menyelidiki hingga 

sampai ke markas Partai Pengemis Timur. Gelang itu 

rupanya menjadi lambang partai mereka. Di sana, dia 

pun bertemu Penggerutu Berkepang. Pada lelaki itu, 

dijelaskannya semua perihal tentang kehadiran 

Hakim Tanpa Wajah. Termasuk, keterlibatan Lima 

Gembel Busuk dengan tokoh tersebut. 

Dengan penjelasan Andika, kebingungan Partai 

Pengemis Timur terhadap hilangnya para rekan 

mereka akhirnya terjawab. Sampai suatu saat, Andika 

menyinggung-nyinggung soal gagak hitam yang 

menjadi tanda akan datangnya si Hakim Tanpa 

Wajah. 

Secara tak terduga, Penggerutu Berkepang pun

mengatakan pada Andika kalau hari-hari belakangan 

selalu diikuti gagak hitam seperti gambaran Andika. 

Mengetahui hal itu, Andika segera menyusun rencana 

untuk bisa masuk ke Pengadilan Perut Bumi. 

Sekaligus, menyelamatkan anggota Lima Gembel 

Busuk lain. 

*** 

Kini dengan hati-hati, keenam orang yang baru 

bebas tadi menelusuri lorong berkamar. Yang 

pertama hendak dicari Andika adalah Pendekar 

Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam. Karena menurut 

Raja Penyamar, kedua tokoh aneh itu bisa mem-

bantunya untuk menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan 

Manusia Dari Pusat Bumi. 

Kamar demi kamar diperiksa. Karena tidak ingin 

tertangkap basah oleh Hakim Tanpa Wajah yang bisa 

saja kembali tiba-tiba, maka Andika tak mem-

bebaskan dulu beberapa tokoh lainnya. Sampai 

akhirnya, Pendekar Slebor sampai di 'Kamar 

Rajawali'. 

“Hey, Orang Tua!” panggil Andika dari balik jeruji. 

Lelaki Berbulu Hitam yang sedang mondar-mandir 

gelisah dalam ruangan cepat menoleh. Wajahnya 

yang semula berangasan, mendadak menjadi cerah 

demi melihat wajah Andika. 

“Aoi, Tuan penolong ternyata ada di sini juga?” 

sapa Lelaki Berbulu Hitam dibuat seramah mungkin. 

Didekatinya pintu baja. 

Andika memberi isyarat dengan tangan agar lelaki 

berdarah setengah serigala itu menjauh. Seperti tadi, 

akan didobraknya pintu berjeruji baja 'Kamar 

Rajawali'. Tapi sebelum niatnya terlaksana....

“Haaa, rupanya ada penyelundup yang berusaha 

meloloskan para tawananku?! He... he... he!” 

Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sudah 

dikenal. 

Tak hanya Andika yang langsung menoleh sigap ke 

arah seruan itu. Penggerutu Berkepang serta empat 

anggotanya pun ikut menoleh. 

Di ujung lorong, berdiri Hakim Tanpa Wajah 

dengan muridnya. Pada bahu Manusia Dari Pusat 

Bumi, terkulai lemah tubuh seorang dara dengan baju 

koyak monyak. Wajah gadis itu tersembunyi di balik 

punggung manusia jelmaan siluman ini. Tapi bukan 

berarti Andika tak bisa mengenalinya. Cukup hanya 

melihat pedang bergagang kepalan naga di 

punggung. Pendekar muda itu yakin kalau gadis yang 

terkulai di bahu Manusia Dari Pusat Bumi adalah.... 

Purwasih! 

Bagaimana Andika bisa melakukan perlawanan 

kalau Purwasih berada di bawah ancaman Manusia 

Dari Pusat Bumi? Andika tidak bisa berbuat lain, 

sewaktu Hakim Tanpa Wajah memerintahnya untuk 

masuk ke dalam 'Kamar Rajawali' bersama Lelaki 

Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Agar tidak 

terjadi pembobolan pintu baja kembali, sekali itu 

Andika harus mendapat jatah totokan pelumpuh 

tenaga, tanpa perlawanan sedikit pun. Purwasih 

sendiri dikurung dalam kamar terpisah. Untung saja, 

dia tak disatukan dengan tokoh-tokoh sesat. 

***

DELAPAN


Ketika pengadilan pada purnama ketiga akhirnya tiba, 

bulan bulat tepat menggantung bebas di angkasa 

raya. Seluruh tawanan Pengadilan Perut Bumi digiring 

ke sebuah ruang besar. Tangan mereka dibelenggu 

menjadi satu dengan rantai-rantai baja. 

Dari sebuah lorong gelap tak berpelita tak seperti 

tempat lain dalam Pengadilan Perut Bumi, para 

tawanan tiba di ruang besar tersebut. Suara 

tumbukan rantai di tangan mereka berpantulan pada 

dinding ruang, menciptakan bunyi menggema yang 

mendirikan bulu roma. 

Ruang itu seluas alun-alun keraton. Sisi dan 

atasnya berupa dinding batu bergigi-gigi kasar, 

membentuk kubah raksasa. Di tengah ruangan, 

terdapat meja besar berukir yang bentuknya 

melengkung setengah lingkaran. Di ujung depan 

meja, terdapat sebuah tengkorak manusia untuk 

menempatkan lilin berwarna merah sebesar lengan 

manusia. Api di atas lilin bergerak-gerak kecil. 

Sinarnya menerangi ukiran bergambar para algojo 

berjubah sedang memancung, menggantung, atau 

menyiksa korbannya. 

Di sekeliling dinding ruangan, terdapat ratusan 

pelita kecil. Seolah, puluhan pasang mata yang siap 

menyaksikan jalannya pengadilan si Hakim Gila. 

Tepat di depan meja, terdapat tungku api besar 

menyala-nyala. Lidah apinya bergerak menjilat-jilat 

bagai gapaian tangan-tangan dari neraka.

Di depan tungku api sekitar empat tombak, berdiri 

panggung besar dari batu berbentuk persegi. 

Permukaan panggung terlihat kasar, bahkan tajam. 

Andai seseorang terjatuh di sana, tentu kulit tubuhnya 

akan langsung terkelupas. 

Para tahanan dijajarkan di kedua sisi panggung 

dalam dua barisan. Ada sekitar sepuluh orang setiap 

baris. Di sebelah kiri adalah tokoh-tokoh aliran sesat. 

Sedangkan sebelah kanan aliran lurus. 

Tak lama mereka menunggu, Hakim Tanpa Wajah 

memasuki ruangan dari sebuah pintu kecil, tak jauh 

di belakang meja. Tubuhnya tidak dibungkus kain 

kafan lusuh seperti biasa. Kini dia mengenakan jubah 

hitam panjang, sampai menutupi seluruh kakinya. 

Dengan langkah-langkah angkuh, laki-laki itu 

menghampiri meja, lalu duduk di sebuah bangku 

besar yang sandarannya lebih tinggi dari kepalanya. 

“Pengadilan dimulai.” 

Hakim Tanpa Wajah membuka sidang dengan 

suara berat. Tanpa hendak melaksanakan tuntutan 

dan pembelaan lagi, Hakim Tanpa Wajah langsung 

menjatuhkan hukuman. 

“Dengan ini, kalian semua dihukum mati dengan 

cara bertarung satu lawan satu, hingga ada yang 

menemui ajal!” ujar Hakim Tanpa Wajah. 

Bersamaan ketukan palu, beberapa orang 

tawanan berseru. Ada yang memaki atau bergumam 

kaget. Sebagian di antara mereka hanya diam tegang 

memandangi wajah buruk Hakim Tanpa Wajah. 

Duk! Duk! Duk! 

Palu diketuk Hakim Tanpa Wajah berkali-kali. 

“Diam!” bentak Hakim Tanpa Wajah kasar. Suara 

Hakim Tanpa Wajah bergema memadati ruangan.

“Sang Penuntut! Bawa dua terhukum ke depan!” 

lanjut hakim gila ini. 

Manusia Dari Pusat Bumi melepas dua lelaki di 

barisan kiri. Digiringnya mereka ke atas panggung. 

Lelaki pertama adalah seorang berusia sekitar tiga 

puluh tahunan. Badannya tinggi besar, dihiasi otot 

kenyal menonjol dan gambar rajahan di seluruh 

badan. Kepalanya gundul penuh cacat bekas luka, 

serta berwajah seram dan kasar. Dia hanya 

mengenakan celana pendek merah yang digabung 

selempang bersilang di dada dari kulit ular. Di tangan-

nya tergenggam dua golok besar. Di dunia persilatan, 

lelaki itu dikenal sebagai Sepasang Golok Angin. 

Lelaki kedua bertubuh lebih kecil. Di lain sisi, 

tingginya malah melebihi si Gundul. Itu sebabnya, dia 

tampak kurus. Wajahnya cukup tampan, namun 

dingin dan bermata tajam. Rambutnya yang pendek 

diikat kain berwarna merah. Pakaiannya pun sewarna 

dengan ikat kepala. Bila diperhatikan, tangannya 

tampak lebih panjang dari biasa. Kedua tangan itulah 

senjata maut si Lelaki jangkung yang berjuluk si 

Tangan Ular. 

Keduanya kini berdiri berhadapan, di atas 

panggung batu. Masing-masing menatap tajam pada 

calon lawan, seakan dua hewan buas. Tangan lelaki 

jangkung itu mengepal keras, lalu meremas-remas. 

Lawannya di depan, memainkan gagang golok 

dengan jari-jarinya. 

Sesaat kemudian.... 

Tak! Tak! 

Dua totokan jarak jauh dilepas Hakim Tanpa 

Wajah. Dengan begitu, mereka terbebaskan dari 

kuncian tenaga. Tapi kini keadaan mereka diganti 

dengan penguncian pikiran. Ya! Tepat dugaan

Kamajaya waktu itu, Hakim Tanpa Wajah memang 

menotok jalan kesadaran orang-orang yang hendak 

disabung. Pikiran mereka kini terkunci dalam nafsu 

membunuh yang liar! 

“Hiaaakh!” 

Kancah pertarungan maut pecah. Sepasang Golok 

Angin menerjang lebih dulu. Sepasang golok besarnya 

berputar di kedua sisi tubuh bagai dua kincir setan. 

Wuk! Wuk! Wuk! 

Setibanya di depan lawan, satu golok di tangan 

kanan Sepasang Golok Angin menebas deras ke 

depan. Kepala lawan hendak dibelah menjadi dua 

bagian. 

Tapi si Tangan Ular menyelamatkan kepalanya 

yang kecil dengan merunduk sigap dengan tubuh 

tetap tegak. Gerakannya seperti tiang bambu runtuh. 

Tubuh Sepasang Golok Angin disambut dengan 

sodokan dua tangan lurus ke depan. Arahnya, tepat 

kedua sisi dada bidang lawan. 

Bet! 

Mengetahui ada sepasang tangan hendak men-

jebol dadanya, Sepasang Golok Angin menghentikan 

putaran golok di tangan kiri dan dengan tangkas 

dihadangnya tohokan si Tangan Ular dengan 

membentang sisi golok di depan dada. 

Tang! Tang! 

Tangan sekeras baja milik si Tangan Ular ber-

tumbukan dengan senjata Sepasang Golok Angin. 

Kekuatan tenaga dalam mereka seketika menimbul-

kan percikan api meskipun yang berbenturan hanya 

golok dengan tangan. 

Luputnya serangan, mendorong Tangan Ular 

melepas satu serangan susulan yang cepat. Dengan 

jari menegang lurus seperti kepala seekor ular

sendok disambarnya wajah Sepasang Golok Angin 

dalam pergantian arah serangan secepat kilat. 

Bet! 

Tangan si Tangan Ular begitu cepat menyambar. 

Tapi gerakan Sepasang Golok Angin rupanya tak 

kalah cepat. Dalam kecepatan, kedua tokoh aliran 

sesat itu tampaknya cukup berimbang. Seperti me-

matahkan leher, Sepasang Golok Angin menggeleng 

cepat, menyelamatkan wajahnya dari patukan lawan. 

Namun Tangan Ular seperti tak memberi ke-

sempatan pada Sepasang Golok Angin untuk sekadar 

bernapas lega. Sekali lagi, tangan yang lain mematuk 

deras ke wajah Sepasang Golok Angin. 

Bet! 

Kembali si Lelaki Gundul itu melempar wajah ke 

lain arah. Usahanya kedua berhasil, disusul satu 

tebasan dua golok berbarengan untuk menggunting 

leher si Tangan Ular yang masih meluncur turun. 

Set! 

Mana mau Tangan Ular menyerahkan lehernya 

untuk ditebas. Maka dengan cerdik otot perut hingga 

badannya dikencangkan cepat ke depan. Secepat itu 

pula tubuhnya berguling ke depan, menerobos 

benteng pertahanan lawan. Kakinya kini begitu 

bebas, tidak di dekat perut si Lelaki Gundul. 

Akibatnya.... 

Duk! 

Sepasang Golok Angin langsung terjengkang ke 

belakang. Tubuhnya yang besar melayang menuju 

permukaan tajam panggung. 

Tak dinyana lagi kepala Sepasang Golok Angin 

terjerembab lebih dahulu ke permukaan panggung. 

Tangannya yang sebelumnya sibuk menggerakkan 

senjata, tak sempat lagi menjadi topangan. Seketika

wajah kasar lelaki itu terbentur.... 

Duk! 

Lolongan menyayat terdengar. Wajah Sepasang 

Golok Angin tercabik-cabik bermandikan darah. Golok 

di tangannya sudah dilepas, lalu didekapnya wajah 

sambil meraung-raung. 

Saat itulah Tangan Ular menghadiahinya satu 

patukan maut, sebagai pengantar menuju kematian. 

Bet! Bles! 

Ulu hati si Gundul naas itu langsung jebol. Tangan 

kanan si Tangan Ular tembus satu jengkal ke dalam. 

Setelah mengaduk bagian dalam tubuh lawan, 

barulah tangan mautnya ditarik keluar. Berbarengan 

dengan itu, tubuh Sepasang Golok Angin pun ambruk. 

*** 

Panggung kematian sunyi kembali. Tangan Ular 

berdiri kaku bagai mayat hidup pemakan bangkai. Di 

dekatnya, tubuh Sepasang Golok Angin tergeletak 

tanpa nyawa. Darah pertama pada purnama ini, 

membasahi panggung. Seperti terjadi delapan puluh 

tahun yang silam. 

Purwasih yang berada di barisan kanan tak kuasa 

menyaksikan kejadian itu. Hanya dia satu-satunya 

wanita dalam jajaran para korban. Selaku wanita, 

hatinya tetap lembut, sehingga tak bisa menelan 

mentah-mentah peristiwa kejam itu. Tak seperti para 

tawanan lain yang hanya menatap dengan mata 

menyipit. 

“He... he... he! Sebuah pelaksanaan hukuman 

yang memuaskan!” puji Hakim Tanpa Wajah. 

Bibir laki-laki tua itu tak kunjung henti melempar 

seringai haus darah. Kegilaannya membuatnya

merasakan satu kepuasan tersendiri manakala 

menyaksikan orang lain saling membunuh. 

“Sang Penuntut! Lemparkan mayat tak berguna itu 

ke lubang menuju rawa. Biar dia jadi makanan buaya 

peliharaanku! He-he-he!” perintah Hakim Tanpa 

Wajah pada Manusia Dari Pusat Bumi. 

Manusia Dari Pusat Bumi menuruti apa kata sang 

Guru. Mayat Sepasang Golok Angin segera dibawanya 

keluar ruangan. Dari pintu kecil tempat Hakim Tanpa 

Wajah masuk tadi, dia keluar. Disusurihya lorong kecil 

yang lurus menuju sebuah lubang air seperti sumur. 

Lubang itu bersambungan langsung dengan rawa-

rawa di mana ratusan buaya setiap purnama ketiga 

delapan puluh tahun silam, menanti-nanti mayat yang 

akan diumpankan. 

Sementara itu di ruang Pengadilan Perut Bumi, 

acara dilanjutkan kembali. Hakim Tanpa Wajah tak 

sabar menunggu muridnya kembali. Dia terlalu 

berselera untuk melihat kembali satu adu nyawa yang 

akan menumpahkan darah di atas panggung, di 

depan matanya. 

Dari kursi kebesarannya, Hakim Tanpa Wajah 

bangkit. Dihampirinya jajaran tawanan di sebelah 

kanan. Bibirnya tetap menyeringai ketika kakinya 

melangkah angkuh seraya memandangi para 

tawanan satu demi satu. 

Tiba di dekat Andika, mata pemuda itu ditatapnya 

tajam-tajam. Dan Andika membalasnya tak kalah 

tajam. 

“He-he-he! Pendekar muda kesohor yang bikin 

geger dunia persilatan belakangan ini sungguh 

sayang, kau harus mengalami nasib sial di 

pengadilanku,” ujar Hakim Tanpa Wajah, memuak-

kan.

“He-he-he,” Andika tertawa meledek dengan bibir 

mencibir. “Lelaki jelek bangkotan yang hebat delapan 

puluh tahun lalu, sungguh disayangkan akan kubuat 

terkencing-kencing di 'kandang'nya sendiri....” 

Wajah si Bangkotan itu mendekat pada Andika. 

Bibirnya tetap memamerkan seringai. Dari mimik 

wajahnya, tak tampak kalau dia terpancing ucapan 

Andika barusan. 

“Bagaimana cara kau membuktikan hal itu, Anak 

Muda Tolol?” desis Hakim Tanpa Wajah. 

“Bagiku amat mudah, Orang Tua Jelek! Kita lihat 

saja nanti!” ancam Andika, tepat di wajah buruk si 

Hakim Tanpa Wajah. 

Hakim Tanpa Wajah tergelak. Lalu langkahnya 

dilanjutkan. 

“Mudah? He-he-he! Lihat saja nanti? He-he-heee-

hek!” kata Hakim Tanpa Wajah sambil mendekati 

Pendekar Dungu. 

Kini laki-laki bangkotan itu tiba di depan Pendekar 

Dungu. 

“Dungu.... Dungu.... Akhirnya kau harus menyerah 

juga di tanganku,” kata Hakim Tanpa Wajah penuh 

kemenangan. 

“Apa?!” 

Pendekar Dungu melotot. Mata sayu si Bangkotan 

Ompong itu seperti hendak keluar mendadak. 

“Kau bilang apa? Mana tanganmu? Coba kulihat. 

Apa iya aku ada di sana?” kata Pendekar Dungu 

dengan wajah terlolong-lolong keheranan. 

“Kau masih tetap bodoh seperti dulu, Dungu!” 

Selesai memaki, Hakim Tanpa Wajah melangkah ke 

samping Lelaki Berbulu Hitam kini dihadapinya. 

“Kau... he-he-he! Kenapa dari tadi mulutmu 

bungkam? Sudah bosan membeberkan makian

makian memuakkanmu itu?!” ledek Hakim Tanpa 

Wajah. 

“Diam kau, Manusia Jelek Sejagad! Lepaskan 

belengguku. Dan bebaskan totokanku! Ayo kita 

bertarung untuk membuktikan, siapa di antara kita 

yang lebih hebat!” maki Lelaki Berbulu Hitam terus 

menerus. 

“Tarik napas, Hitam.... Tarik napas,” selak 

Pendekar Dungu. “Kalau kau tak tarik napas, kau bisa 

mati karena terlalu panjang memaki....” 

“Diam kau, Bangkotan Dungu! Aku tak perlu 

pendapatmu yang menjengkelkanku. Apa kau pikir 

aku tak bisa menghadapi lelaki sok besar ini?! Aaah, 

sial-sial-sial!” 

“Hey-hey! Kenapa kau jadi sewot padaku?” jawab 

Pendekar Dungu, tanpa rasa salah sedikit pun. 

“Kalian benar-benar sinting!” hardik Hakim Tanpa 

Wajah, terpancing tingkah kedua lelaki yang pernah 

menjadi saingan utamanya dulu. 

Sebelum melanjutkan langkah, kembali Hakim 

Tanpa Wajah menatap Pendekar Dungu dan Lelaki 

Berbulu Hitam. 

“Setelah kalian berdua menemui ajal, akan kucari 

si Raja Penyamar Keparat! Tinggal dia saingan 

beratku, setelah kalian berdua, Manusia Sinting!” 

Sementara itu, tanpa diketahui siapa pun, 

seseorang memasuki salah satu ruangan dalam 

Pengadilan Perut Bumi. Ruangan itu terletak di antara 

kamar-kamar tahanan. Cara berjalannya amat ringan 

dan pasti. 

Tatkala satu obor menerangi wajahnya, maka 

tampaklah mimik menyeramkan. Bertaring, berambut 

merah bara bagai kayu bakar neraka dan bermata 

seekor macan hutan. Dia memang si Manusia Dari

Pusat Bumi. Mestinya, setelah melempar mayat 

Sepasang Golok Angin tadi, dia kembali ke ruang 

pengadilan. Tapi, itu tidak dilakukannya. Seakan, dia 

memiliki rencana sendiri di luar rencana sang Guru. 

Di dalam ruangan, matanya mencari-cari sebentar. 

Di dinding batu, matanya tertumbuk pada lubang 

kecil yang langsung didekati. Dari lubang itu, 

dikeluarkannya sebuah benda. Tepatnya, sebuah 

cermin bulat berbingkai kayu hitam. Cermin Alam 

Gaib yang direbutnya dari tangan Andika. Sebuah 

cermin yang dikhususkan untuknya, datang dari alam 

siluman sebagai bekal dari para makhluk kegelapan, 

untuk mendukung tugasnya menjadi sang Pengacau 

Dunia! 

Dengan menggenggam pegangan cermin, Manusia 

Dari Pusat Bumi duduk bersila. Matanya terpejam dan 

bibirnya bergerak-gerak merapalkan mantera. 

Bisikannya terdengar naik turun, seperti irama 

nyanyian upacara-upacara gaib. 

Sewaktu bisikan mantera makin menurun dan 

menurun, timbul selubung cahaya kemerahan di 

sekitar tubuhnya. Dalam kegelapan ruang, cahaya itu 

berpendar memenuhi tempat ini. Sampai akhirnya, 

seluruh ruangan dipadati cahaya merah berasal dari 

tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. 

Tak lama, seberkas sinar lain keluar perlahan dari 

permukaan cermin. Bentuknya memanjang, seperti 

serat berpendar. Warnanya lebih merah dari sinar 

yang keluar dari tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. 

Serat cahaya merah pekat itu membesar perlahan, 

membentuk suatu wujud menyeramkan. Sesosok 

siluman tinggi besar! Kepalanya besar, bermata satu 

serta berperut buncit. Mulut bertaring besar bergerak-

gerak, menciptakan lendir-lendir pucat kental yang

memanjang. 

“Ini purnama yang kau janjikan, Eyang. Saatnya 

aku menerima petunjuk darimu,” desis Manusia Dari 

Pusat Bumi. Matanya tetap terpejam rapat. 

Diawali denting panjang, siluman tadi menggeram! 

“Benar! Ini purnama yang ditentukan bagimu. 

Tugas besar dari seluruh makhluk alam kegelapan 

harus kau emban...,” kata makhluk yang dipanggil 

Eyang. 

“Apa itu, Eyang?” 

“Buat kekacauan di muka bumi! Tapi, kau tak 

akan bebas bergerak untuk melakukan hal itu, 

selama masih ada seseorang....” 

“Siapa dia?” 

“Seseorang yang dimanfaatkan kaummu untuk 

menyampaikan Cermin Alam Gaib. Namanya Andika 

yang berjuluk Pendekar Slebor. Salah seorang 

keturunan manusia ksatria berjuluk Pendekar 

Lembah Kutukan....” 

“Kenapa dia begitu berbahaya bagiku?” susul 

Manusia Dari Pusat Bumi, ingin tahu lebih jelas. 

“Karena, dia adalah satu dari manusia yang 

memiliki bakat suci dalam dirinya sepanjang satu 

abad terakhir. Orang seperti itu, akan menghambat 

usaha kita menguasai dunia dan mengubahnya 

menjadi alam kegelapan....” 

Sesaat sang Siluman menunjuk pada cermin di 

tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Tangannya bergetar 

kuat, seolah benda itu memiliki pengaruh hebat. 

“Pergunakan benda itu! Hanya ada satu-satunya 

Cermin Alam Gaib di alam kami. Benda itu adalah 

tiang Istana Kerajaan Siluman. Jika kau tak men-

jaganya, berarti membiarkan kaummu hancur...,” 

tandas makhluk itu amat berat. Suaranya seolah

dibebani ratusan gunung. 

“Lalu, apa manfaatnya yang hebat bagiku?” 

“Nanti kau akan segera tahu. Yang jelas, kini kau 

harus melepaskan diri dari keinginan Hakim Tanpa 

Wajah. Kau bukan berada di bawah pengaruhnya. 

Kau berada di bawah pengaruh kami! Khianati dia! 

Karena, pengkhianatan adalah salah satu kerja 

terbaik bagi kaum kita!” 

*** 

Pertarungan maut kedua di ubun-ubun panggung 

kematian akan dimulai lagi. Dua petarung telah dipilih 

dari barisan kanan. Purwasih harus berhadapan 

dengan pemuda yang amat dicintainya. Andika! 

Dua anak itu sudah berdiri diam di atas panggung. 

Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Mereka 

terpaku bisu digerayangi ketegangan hebat. Andika 

menatap mata berbulu legam milik wanita di 

depannya dengan sinar mata kekhawatiran. Begitu 

juga Purwasih. Sedang sekitar dahi, mulai berpeluh. 

Tak ada yang bisa diperbuat, kecuali menunggu 

Hakim Tanpa Wajah melepas totokan rahasianya 

yang akan membuat keduanya kehilangan kesadaran 

sama sekali. Lalu, mereka berubah seperti hewan 

buas tak kenal kasihan. 

“Apa yang bisa kuperbuat?” tanya batin Andika. 

Tak beda dengan para tawanan lain, kekuatan 

Pendekar Slebor sudah tidak bisa lagi diandalkan. 

Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan 

terkunci, tanpa daya dalam dirinya. Begitupun ilmu 

peringan tubuhnya. Kalaupun ada yang bisa 

diandalkan, hanya kecerdasan otaknya. Tapi apa 

lacur? Sampai saat gawat ini, dia pun tak

menemukan akal. Pikirannya buntu, akibat cekaman 

rasa tegang. Tak salah perkataan siluman yang 

menyamar sebagai Raja Penyamar dulu. Setiap 

manusia memang memiliki rasa takut. Kecuali, orang 

itu memang sudah tidak waras. Apalagi, ini 

menyangkut kematian yang sudah begitu dekat. 

Sebagai seorang lumpuh yang bertahan di ujung 

jurang. Dan Andika mau tak mau kehilangan akal 

sehatnya juga. 

“Tiba saatnya hukuman dijatuhkan,” sentak Hakim 

Tanpa Wajah dari belakang meja kebesarannya. 

“Tunggu!” tahan Andika, di antara kecamuk pikiran 

untuk mencegah pertarungan membabi-buta dengan 

Purwasih. 

Hakim Tanpa Wajah menunggu ucapan Andika, 

bibirnya terus menyeringai. 

“Apa tak bisa aku meminta sesuatu, sebagai 

permintaan terakhir?” usul Pendekar Slebor pada 

Hakim Tanpa Wajah, setelah berpikir keras sesaat. 

Hanya itu yang sempat terbetik di benaknya. Sekadar 

mengulur waktu. 

“Heee... he he heeek! Kau masih sempat juga 

bercanda saat menjelang kematianmu, Anak Muda!” 

kata Hakim Tanpa Wajah, sekaligus menertawai 

usulan calon korbannya. 

Dari balik meja, tangan si Tua Bangka muncul lalu 

menggoyang-goyangkannya sebagai isyarat pe-

nolakan. 

“Sudah tak ada waktu lagi bagimu, Anak Muda. 

Terima saja nasibmu. Hih!” 

Sekejap, tangan Hakim Tanpa Wajah berkelebat 

melepas totokan jarak jauh ke arah Andika dan 

Purwasih. 

Tuk! Tuk!

Maka ini artinya acara sabung nyawa akan 

berlanjut lagi. Berarti pula, Andika akan kehilangan 

seluruh kendali diri seperti halnya Purwasih. Kedua-

nya pun langsung tersulap, menjadi hewan-hewan 

buas haus darah. 

“Heaaa!” 

Teriakan menggelegar Andika membuncah 

ruangan besar sebagai tanda pertarungan maut 

membabibuta dimulai. Kalau menilik dari 

kemampuan Andika selaku pendekar muda yang 

malang melintang di jajaran atas dunia persilatan, 

amat mudah diduga Purwasih akan cepat menemui 

ajal di tangannya. Artinya, Pendekar Slebor akan 

menang mutlak. Namun begitu, kemenangan di atas 

panggung kematian milik Hakim Tanpa Wajah bukan 

berarti keberuntungan. Pemenang atau pecundang, 

sama-sama bakal mati. Seperti juga pertarungan 

sebelumnya. Tangan Ular yang menang atas 

Sepasang Golok Angin, harus menerima kematiannya 

akibat pukulan 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' yang 

terkenal ampuh milik Hakim Tanpa Wajah. Deb! 

Sapuan telapak tangan Pendekar Slebor meng-

ancam leher Purwasih alias si Naga Wanita. Sebentuk 

serangan amat cepat yang begitu disegani di dunia 

persilatan, karena merupakan bagian jurus sulit 

tertandingi yang diciptakan di Lembah Kutukan. 

“Haiiit!” 

Naga Wanita agak susah payah berkelit ke sisi. 

Sekedip setelah itu, pedang bergagang kepala naga 

di punggungnya sudah diloloskan, lalu disabetkan 

deras ke tangan Pendekar Slebor. 

Set! 

Tangan pendekar muda dari Lembah Kutukan 

seperti memiliki mata. Secepat tebasan pedang

Purwasih, tangan itu ditarik kembali ke belakang. 

Dengan begitu, Pendekar Slebor yang tak lagi 

memiliki kesadaran, telah membayar serangannya 

yang dimentahkan Naga Wanita yang sama-sama tak 

sadar. 

“Kau akan kucincang-cincang hingga lumat, kalau 

satu di antara mereka celaka, Manusia Jelek!” teriak 

Lelaki Berulu Hitam dari bawah panggung yang 

ditujukan pada Hakim Tanpa Wajah. 

Sahutan tua bangka sok benar sendiri itu hanya 

kekeh mengejek. Namun.... 

“Tak ada lagi satu manusia pun yang boleh 

mempengaruhiku atau mengaturku! Tidak juga kau, 

Orang Tua Bermuka Rata! Untuk itu, aku harus 

membunuhmu!” 

Tak lama berselang terdengar seruan lain 

memenuhi ruang Pengadilan Perut Bumi. Lantang 

menggema dan sarat kekuatan. Dinding batu seolah 

hendak diruntuhkan oleh suara itu! 

Hakim Tanpa Wajah dengan serta merta menoleh 

ke belakang, tempat asal suara keras tadi. Betapa 

terperanjatnya si Tua Bangka melihat siapa orang 

yang berada di sana. 

“Kau.... Apa-apaan kau ini? Apa aku tak salah 

dengar?!” ujar Hakim Tanpa Wajah terheran-heran 

menyadari murid tunggalnya, Manusia Dari Pusat 

Bumi telah menyatakan akan membunuhnya! 

Dari mulut pintu kecil menuju ruang pembuangan 

mayat, Manusia Dari Pusat Bumi melangkah perlahan 

menuju Hakim Tanpa Wajah. Matanya yang 

menyeramkan menghujam tajam-tajam manik mata 

lelaki tua itu. Bibirnya pun membentuk seringai 

mengancam, memperlihatkan dua taringnya.

Hakim Tanpa Wajah bergegas bangkit dari kursi. 

Wajahnya sarat ketegangan berbaur rasa ketidak 

mengertian. Kini ditunggunya si Murid sambil berdiri 

tanpa gerak. 

“Siapa yang telah menghasutmu, sehingga mau 

memusuhiku?!” tanya Hakim Tanpa Wajah kemudian. 

Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Muridnya 

yang murtad memang jenis manusia yang tak banyak 

omong. Sifatnya begitu dingin, seolah selalu siap 

mencabut nyawa siapa pun. 

“Pasti ini akibat pengaruh Cermin Alam Gaib,” 

desis Hakim Tanpa Wajah, menduga. “Sial! Kenapa 

aku tak berusaha mencari tahu tentang benda laknat 

itu....” 

Manusia Dari Pusat Bumi kian dekat. Dan ketika 

mencapai empat tombak dari Hakim Tanpa Wajah, 

langkahnya dihentikan. Kini guru dan murid berhadap 

hadapan untuk menjadi lawan. Sesaat kemudian, 

manusia jelmaan siluman itu mulai menggeram, 

menyadarkan Hakim Tanpa Wajah bahwa semuanya 

telah terlambat. 

*** 

Tampaknya pertarungan besar-besaran akan 

segera terjadi di ruang Pengadilan Perut Bumi. Lalu, 

apakah Hakim Tanpa Wajah akan terbunuh oleh 

muridnya sendiri? Bagaimana dengan para tawanan 

Hakim Tanpa Wajah? Mampukah mereka keluar dari 

tempat tersebut? 

Bagaimana pula dengan nasib Andika dan 

Purwasih? Akankah mereka saling bunuh? 

Dan apa sesungguhnya keampuhan Cermin 

Pusaka Alam Gaib bagi si Pemiliknya? Sanggupkah

Andika menghancurkan cermin yang menjadi tiang 

istana para siluman itu? 

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : 



                 CERMIN ALAM GAIB 

 

 



Share:

0 comments:

Posting Komentar