BUKIT SILUMAN
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Bukit Siluman
128 hal.
SATU
BULAN seperempat bergerak pelan keluar
dari lintasan awan lalu menapak langit, membuat
hamparan bumi yang sedari tadi digenggam kege-
lapan pelan-pelan mulai agak terang, meski
hanya samar-samar.
Di sebuah ruangan yang hanya diterangi
nyala sebuah obor kecil terlihat dua orang sedang
duduk berdampingan di atas sebuah dipan kayu
besar beralas jemari tebal. Mulut kedua orang ini
sama-sama terkancing, tak ada yang buka suara.
Keduanya hanya saling pandang satu sama lain.
Tiba-tiba orang di sebelah kanan melaku-
kan gerakan dengan palingkan wajahnya sedikit
ke samping. Pandangannya berpindah ke arah
sebuah jendela kayu. Dia lantas bangkit dan me-
langkah perlahan menuju jendela. Sepasang tan-
gannya yang kokoh bergerak. Di kejap lain, jende-
la itu terpentang. Sepasang mata orang ini untuk
beberapa lama memandangi bulan seperempat
yang naik ke bentangan langit. Dia menghela na-
pas dalam. Lalu menutup kembali jendela dan
putar tubuhnya. Sepasang matanya yang tajam
kembali memandang ke arah orang yang masih
duduk di atas dipan kayu.
Yang memiliki mata tajam dan tangan ko-
koh ini adalah seorang laki-laki berumur dua pu-
luh tujuh tahun. Paras wajahnya tampan namun
keras. Dagunya kokoh dengan kumis lebat. Rambutnya panjang yang dibiarkan tergerai lepas menutupi tengkuk dan sebagian bahunya. Dia men-
genakan pakaian hitam-hitam.
Sedangkan orang yang duduk di atas dipan
adalah seorang perempuan muda berwajah cantik
jelita. Dia mengenakan pakaian tipis ketat warna
putih. Rambutnya panjang dan diikat ke bela-
kang. Sepasang matanya tajam dan berbinar. Da-
danya kencang menantang, pinggulnya besar
menggairahkan.
"Hm.... Melihat bentuk bulan, kira-kira
masih sembilan hari lagi malam pertemuan itu
akan berlangsung. Jahanam betul! Rasanya aku
sudah tak sabar!" Tiba-tiba si pemuda memaki
sendiri dalam hati. Dagunya sedikit terangkat
dengan mulut terkancing, pertanda menahan rasa
marah.
Pada saat bersamaan, si gadis palingkan
wajah. Melihat perubahan pada air muka si pe-
muda, gadis berwajah cantik ini sunggingkan se-
nyum. Lalu melangkah ke arah si pemuda dengan
dada di busungkan.
"Saat pertemuan itu sudah dekat. Bersa-
barlah sedikit!" kata si gadis seraya pentangkan
kedua tangannya lalu ditakupkan di tengkuk si
pemuda. Perlahan-lahan si gadis menarik kedua
tangannya hingga kepala si pemuda tertarik ke
depan, mendekati wajahnya yang sepasang ma-
tanya telah dipejamkan dengan bibir setengah
membuka.
Mula-mula si pemuda diam saja, namun
sejengkal lagi wajahnya bertemu dengan wajah
cantik di hadapannya, si pemuda tahan gerakan
kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam
tanpa keluarkan sepatah kata, membuat si gadis
buka matanya. Dia tertegun sejenak. Belum sam-
pai mulutnya terbuka mengucapkan sesuatu, si
pemuda telah angkat kedua tangannya, mencekal
bahu gadis di hadapannya dan berkata datar.
"Nilam Sari.... Pikiranku sedang kacau-
balau. Tahan dulu gejolakmu!"
Ucapan si pemuda sesaat membuat rona
wajah si gadis merah padam. Namun sesaat ke-
mudian bibirnya sunggingkan senyum. Seolah tak
menghiraukan ucapan si pemuda, dia angkat tu-
mitnya lalu wajahnya disorongkan ke depan, bi-
birnya segera melumat bibir si pemuda. Si pemu-
da diam saja, namun ketika si gadis yang dipang-
gil Nilam Sari lepaskan kedua tangannya dan me-
nelusup ke balik pakaiannya, si pemuda dadanya
bergetar, perlahan-lahan pula bibirnya membalas
lumatan. Kedua tangannya bergerak turun ke
pinggul si gadis.
Merasa mendapat balasan, Nilam Sari mu-
lai membuka kancing pakaian si pemuda dengan
tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
membuka satu persatu kancing pakaiannya sen-
diri. Si pemuda darahnya menggelegak tatkala
dadanya merasakan dua payudara besar dan
hangat menempel ke dadanya.
Nilam Sari angkat kedua tangannya ke ba-
hu, lalu sekali sentak pakaian yang dikenakannya
jatuh, membuat dirinya kini polos. Namun sebe-
lum pakaian itu jatuh, si pemuda telah pula ang-
kat kedua tangannya, pakaian si gadis ditang
kapnya lalu dikenakan kembali. Bersamaan den-
gan itu, kepalanya ditarik ke belakang, membuat
Nilam Sari bukan hanya terperangah tapi juga
memberengut dengan dada turun naik. Sepasang
mata gadis itu memandang tajam, namun dia bu-
ru-buru mengalihkan pandangannya tatkala dili-
hatnya sang pemuda juga memandang ke arah-
nya dengan tatapan aneh.
"Nilam Sari.... Untuk sementara urusan
senang-senang kita tunda dahulu. Masalah per-
temuan ini benar-benar penting. Sekali perte-
muan ini gagal, gagal pula cita-citaku!"
"Kau nampaknya masih khawatir dengan
rencana yang telah kita buat...," kata Nilam Sari
sambil menggenggam tangan si pemuda. Gadis ini
tak berusaha mengancingkan kembali pakaian-
nya, hingga dadanya yang kencang masih terpen-
tang. Namun entah karena terpancing dengan
masalah yang akan dihadapi, dada putih kencang
itu kali ini tak membuat si pemuda tertarik.
"Kegagalan adalah hal yang paling kuta-
kutkan! Dan aku tak mau hal itu terjadi!"
"Rencana telah kita atur, malah kita telah
atur rencana susulan jika rencana pertama gagal.
Apalagi yang perlu dikhawatirkan?" Nilam Sari
coba menenangkan si pemuda.
"Aku tahu. Namun aku baru benar-benar
tenteram jika rencana ini berjalan baik dan ber-
hasil!"
"Keyakinan adalah modal utama. Kalau
kau masih gelisah sebelum semuanya berlang-
sung, berarti kau mundur sebelum perang! Cita citamu hanya akan jadi impian!"
"Cita-citaku! Bukan, Nilam Sari. Ini cita-
cita kita bertiga!"
Nilam Sari tersenyum. Genggaman tangan-
nya makin dipererat. Kepalanya menggeleng per-
lahan. "Tidak. Sejak malam ini aku tak ingin lagi
lembaran kulit itu! Aku hanya akan membantu-
mu mendapatkannya. Dan aku senang jika kau
berhasil!"
Si pemuda tersentak. "Kau tak mengingin-
kan lembaran kulit itu?!"
Nilam Sari gelengkan kepalanya. "Dulu ya.
Tapi sekarang tidak! Yang kuinginkan sekarang
adalah dirimu berada di sampingku selamanya,
karena...,"
Nilam Sari tak meneruskan ucapannya ka-
rena bersamaan dengan itu si pemuda lepaskan
tangannya dari genggaman Nilam Sari, lalu me-
rengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Sungguh aku bahagia sekali mendengar-
nya, Nilam Sari.... Kau tak perlu cemas. Hanya
kaulah kelak yang patut mendampingiku...." Ha-
bis berkata begitu, si pemuda melumat bibir Ni-
lam Sari.
Nilam Sari menggeliat seraya mendesah
panjang tatkala kedua tangan si pemuda mulai
masuk ke balik pakaiannya.
"Apakah aku harus mengatakannya seka-
rang jika aku...," Nilam Sari tak meneruskan kata
hatinya, sebab kedua tangan si pemuda telah ta-
rik lepas pakaiannya dan dirinya diangkat serta
dibawa ke atas dipan
Gadis berparas cantik itu duduk bersila di
mulut gua yang nyaris tak kelihatan karena tertu-
tup kerapatan semak belukar di sekitarnya. Ke-
dua tangannya dirangkapkan di depan dada se-
mentara kedua matanya terpejam rapat. Rambut-
nya yang panjang tergerai dibiarkan menutupi se-
bagian wajahnya. Melihat sikapnya, gadis berpa-
kaian ungu ini sedang memusatkan mata hatinya.
Namun agaknya gadis ini tak berhasil. Karena se-
saat kemudian helaan napasnya berhembus pan-
jang dengan kepala digoyang-goyang. Pada saat
bersamaan matanya membuka, mulutnya per-
dengarkan gumaman tak jelas.
"Menurut perjanjian, seharusnya tadi ma-
lam dia sudah datang. Apa yang membuatnya tak
menepati janji? Belum berhasil bertemu dengan
Nilam Sari...? Atau...." Si gadis menarik nafas da-
lam. "Kenapa aku berpikir sejauh itu...? Tapi
seandainya dia macam-macam, tak kubiarkan dia
hidup! Segala milikku telah kuserahkan padanya.
Lebih dari itu, kini aku telah...," bisikan hati si
gadis terputus tatkala telinganya menangkap sua-
ra semak belukar diterabas.
Si gadis tidak menunggu lama. Karena se-
saat kemudian, semak belukar di sekitar mulut
gua di mana dia berada menguak, lalu muncullah
seseorang!
Dia adalah seorang lelaki bertubuh tegap.
Mengenakan pakaian hitam-hitam. Parasnya
tampan tapi keras. Kumisnya lebat dengan dagu
kukuh. Rambutnya panjang dengan sepasang mata tajam.
"Braja Musti...," gumam si gadis dengan
memandang tak berkedip pada pemuda yang kini
tegak memandangnya. Kegelisahan mendadak le-
nyap dari sikapnya meski wajahnya masih me-
nyimpan gurat kecewa.
"Sekar Arum.... Harap kau maafkan keter-
lambatanku. Nilam Sari...."
"Kenapa dengan dia?!" si gadis yang di-
panggil Sekar Arum cepat menukas sebelum si
pemuda meneruskan ucapannya. Wajahnya tam-
pak tegang.
"Baru tadi malam aku bertemu dengan-
nya...."
Sekar Arum menghela napas panjang. Si
pemuda bernama Braja Musti itu melangkah
mendekat. Sepasang matanya memandang tajam
pada Sekar Arum dari atas hingga bawah.
"Apa rencana itu tetap?!" Sekar Arum aju-
kan tanya begitu Braja Musti berhenti dua lang-
kah di depannya.
Braja Musti mengangguk. "Kau siap bu-
kan?!" Sekar Arum tersenyum. "Demi kau, apa
pun akan kulakukan! Walau nyawaku sebagai ta-
ruhan!" Ucapan Sekar Arum menyentuh hati Bra-
ja Musti, hingga pemuda ini bungkukkan tubuh.
Kedua tangannya meraih bahu sang gadis lalu
menariknya ke atas hingga Sekar Arum bergerak
bangkit.
Sejenak kedua orang ini saling berpandan-
gan. Lalu Braja Musti menarik tubuh sang gadis
dalam pelukannya. Untuk beberapa lamanya ke-
duanya tenggelam dalam peluk cium.
"Sampai kapan hubungan kita ini berjalan
begini?!" Sekar Arum berkata seraya rebahkan
kepalanya di dada Braja Musti.
"Bersabarlah. Jika rencana kita berjalan
tanpa halangan dan lembaran kulit itu telah men-
jadi milik kita, hubungan kita tak perlu lagi sem-
bunyi-sembunyi!"
Sekar Arum menarik napas dalam-dalam.
"Sebenarnya kita tak perlu menyembunyikan ma-
salah hubungan kita. Paling tidak di hadapan Ni-
lam Sari...."
Braja Musti berdebar. Pandangannya me-
natap jauh.
"Kau salah, Sekar Arum. Justru kita harus
menyembunyikan hubungan kita di hadapannya.
Kita menjaga agar tak ada keretakan di antara ki-
ta bertiga, setidak-tidaknya sebelum pertemuan
itu berlangsung."
Sekar Arum tarik kepalanya dari dada Bra-
ja Musti. Sepasang matanya menatap lekat-lekat
wajah pemuda di depannya. "Nada bicaramu
mengisyaratkan kau menyimpan sesuatu. Ada
apa antara kau dan Nilam Sari?!"
Braja Musti menggeleng. "Kau jangan men-
duga yang tidak-tidak. Aku bilang kita hanya
menjaga agar tak terjadi keretakan. Purnama de-
pan, kita bertiga akan menghadap guru. Jika di
antara kita terjadi keretakan, dan guru mencium-
nya, gagallah rencana kita! Aku tak mau gagal!
Kau dengar itu?" Sekar Arum tak menyahut. "Aku
khawatir Nilam Sari tak senang dengan hubungan
kita ini. Namun jika lembaran kulit itu telah berhasil kita raih, kita tak perlu lagi menghiraukan
perasaannya. Dengar, Sekar Arum. Kita masih
butuh tenaga Nilam Sari!" ujar Braja Musti me-
lanjutkan kata-katanya. "Paling tidak sebelum
lembaran kulit itu berhasil kita rebut! Bersabar-
lah. Purnama tidak lama lagi...."
"Apakah Nilam Sari tak berubah pendi-
rian?!"
"Hingga tadi malam, rencana tak ada peru-
bahan. Maka dari itu, kita harus menjaga pera-
saannya. Percayalah! Hanya kau satu-satunya
yang kelak mendampingiku...!"
Mendengar ucapan Braja Musti, Sekar
Arum rebahkan kepalanya kembali ke dada bi-
dang si pemuda. Perasaan cemburu yang mengge-
layut di dadanya lenyap.
"Aku gembira. Dan kau tentu akan lebih
senang Jika mendengar sesuatu dariku...."
Kening Braja Musti mengernyit. Dengan
memandang ke arah semak belukar lebat di seki-
tar mulut gua, pemuda ini bergumam.
"Tak ada kegembiraan selain berdekatan
denganmu dan memperoleh lembaran kulit itu!"
Sekar Arum menggoyang-goyangkan kepa-
lanya membuat Braja Musti sedikit terkejut. "Se-
karang, ada sesuatu yang melebihi dari itu, Braja
Musti!"
"Katakanlah, apa sesuatu itu?!"
"Tunggulah hingga pertemuan itu usai...,"
jawab Sekar Arum dengan makin rapatkan tu-
buhnya, membuat tubuh Braja Musti dialiri hawa
panas dan dada berdebar.
"Heran. Apa gerangan yang disembunyi-
kannya? Apakah dia mencium hubunganku den-
gan Nilam Sari? Lalu akan membuka setelah per-
temuan malam purnama depan? Ah, tak mung-
kin. Seorang perempuan tak mungkin bisa me-
mendam bara begitu lama. Lantas apa?!"
Selagi Braja Musti menduga-duga sendiri
dalam hati, Sekar Arum mendesah panjang. "Kau
terdiam. Pasti kau mencari jawaban. Bersabarlah!
Kelak jawaban itu akan kau peroleh. Yang pasti
sesuatu itu akan menambah erat hubungan ki-
ta...."
Braja Musti menghela napas lega. Kalau
sesuatu itu mempererat hubungan, berarti tak
ada sangkut pautnya dengan Nilam Sari. Namun
kelegaan si pemuda hanya sesaat.
"Aku sudah lama menjalin hubungan. Se-
suatu yang mempererat hubungan.... Sesuatu
yang mempererat hubungan adalah.... Hah? Apa-
kah dia...." Tubuh Braja Musti bergetar. Ditarik-
nya bahu Sekar Arum menjauh dari dadanya.
"Sekar Arum. Katakan apakah kau...?!"
Sekar Arum tersenyum. Kepalanya mengge-
leng pelan. "Saatnya akan tiba untuk mengatakan
semua itu. Kekasih.... Sudah semalaman aku me-
nunggumu. Aku merindukan dirimu. Bawalah
aku terbang seperti malam-malam yang lalu...."
Habis berkata begitu, Sekar Arum pejam-
kan sepasang matanya. Kedua tangannya berge-
rak menarik kepala si pemuda mendekat wajah-
nya. Bibir mereka bertemu. Sekar Arum lalu men-
gambil kedua tangan Braja Musti dan ditaruh di dadanya.
DUA
MESKI saat itu malam telah jauh merang-
kak namun Sungai Siluman tampak berkilat-kilat.
Riak air memancarkan sinar putih berkilau terke-
na cahaya sang rembulan purnama yang bergerak
leluasa tanpa terhalang awan. Dalam keadaan se-
perti itu sebuah sampan kecil terlihat meluncur
deras membelah permukaan air.
Di bagian depan sampan, tegak seorang
pemuda bertubuh tegap mengenakan pakaian hi-
tam-hitam. Rambutnya panjang berkibar-kibar di-
tiup angin sungai. Kedua tangan pemuda ini me-
megang dua batang bambu yang terus menerus
ditusukkan ke dalam air sungai. Sementara di se-
belah kanan dan kiri sampan duduk dua orang
gadis.
Sebelah kanan adalah gadis berwajah can-
tik mengenakan pakaian warna putih tipis ketat.
Dadanya kencang dengan mata tajam berbinar,
rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Tan-
gan kanannya memegang batang bambu yang se-
kali-kali dihujamkan ke dalam air sungai di ba-
wahnya. Sedangkan yang di sebelah kiri adalah
gadis berparas cantik mengenakan pakaian warna
ungu. Rambutnya yang panjang dibiarkan berge-
rai hingga melambai-lambai ditiup angin sungai.
Tangan kirinya juga memegang sebatang bambu
yang ditusuk-tusukkan ke dalam air sungai di
sampingnya.
Meski batang-batang bambu yang diguna-
kan sebagai dayung oleh ketiga orang ini hanya
sebesar dua kali ibu jari, namun karena gerakan
mereka dengan kerahkan tenaga dalam, maka tak
heran jika begitu ketiganya sama-sama menghu-
jamkan batang bambu di tangan masing-masing
ke dalam air sungai, sampan itu meluncur den-
gan derasnya!
"Kita sudah dekat...!" Tiba-tiba sang pemu-
da keluarkan suara memecah suara gelombang
air tanpa berpaling ke arah dua gadis cantik di
samping kiri dan kanan sampan. Sepasang mata
pemuda ini memperhatikan permukaan air sun-
gai. Air tak lagi berwarna jernih, melainkan merah
seperti darah! Anehnya, bersamaan dengan ber-
gantinya warna air, berhembus bau harum.
Dua gadis tak ada yang menyahut. Seba-
liknya kedua gadis ini ikut-ikutan arahkan pan-
dangan masing-masing ke arah air sungai. Seje-
nak kemudian kedua gadis ini sama-sama paling-
kan wajah ke kanan kiri, hingga keduanya saling
berpandangan. Keduanya lantas sama-sama
sunggingkan senyum meski ketegangan tak bisa
lenyap dari wajah kedua gadis ini.
"Nilam Sari, Sekar Arum.... Kalian siap...?!"
si pemuda kembali membuka suara masih tanpa
palingkan wajahnya ke belakang.
Kembali tak ada sahutan dari pertanyaan
si pemuda, membuat pemuda ini putar tubuhnya
lalu memandang ke samping kanan kiri.
"Pertanyaanmu tidak perlu dijawab, Braja
Musti. Perjalanan ini cukup menjelaskan semua-
nya! Bukankah begitu, Sekar Arum?!" kata gadis
berpakaian putih yang bukan lain adalah Nilam
Sari adanya seraya berpaling pada gadis di sebe-
lah kirinya yang tidak lain adalah Sekar Arum.
Sekar Arum menjawab dengan anggukan
kepala. "Semua rencana tetap, Braja Musti...."
Sang pemuda yang adalah Braja Musti
adanya tersenyum menutupi kegelisahan serta
ketegangan. Lalu tanpa berkata lagi, dia balikkan
tubuh dan hujamkan kembali bambu di kedua
tangannya. Nilam Sari dan Sekar Arum tak ting-
gal diam. Keduanya pun segera pula menusukkan
batang bambu di tangan masing-masing ke dalam
air sungai, hingga sampan itu kembali meluncur,
tidak lagi ke depan, melainkan ke sebelah kanan.
Sampan itu bergerak menepi.
Braja Musti segera berkelebat, disusul ke-
mudian oleh Nilam Sari dan Sekar Arum sebelum
sampan itu merapat ke pinggir sungai. "Hem....
Sepuluh tahun kutinggalkan, tempat ini hampir
tak mengalami perubahan. Akankah pertemuan
ini benar-benar akan membuahkan hasil?! Semo-
ga Nilam Sari dan Sekar Arum menjalankan tu-
gasnya dengan baik. Jika aku berhasil, hem....
Aku akan jadi raja diraja rimba persilatan!" Braja
Musti membatin. Lalu berpaling ke belakang dan
memberi isyarat pada Nilam Sari serta Sekar
Arum untuk mengikutinya.
Ketiga orang ini terus berkelebat. Medan
yang mereka tempuh menanjak, karena tempat di
mana sampan itu mendarat, berupa bukit, tinggi
di bagian tengah. Sekitar sepuluh tombak, keti-
ganya berhenti. Mata masing-masing orang me-
mandang berkeliling. Yang tampak hanyalah gun-
dukan-gundukan tanah dan pohon-pohon gundul
di sana-sini. Pohon-pohon yang tak mempunyai
daun sehelai pun! Tak tampak adanya tanda-
tanda kehidupan sama sekali!
"Braja Musti. Apalagi yang kita tunggu?!"
Nilam Sari berbisik mengejutkan si pemuda,
membuat wajahnya makin tegang. Pemuda ini
lantas melangkah ke sebelah kanan, diikuti oleh
dua gadis di belakangnya. Sampai pada sebuah
gundukan agak besar, ketiganya hentikan lang-
kah. Di situ tampak sebuah lobang menganga
menyerupai mulut gua.
Braja Musti memandang pada Nilam Sari
dan Sekar Arum. Kedua gadis ini mengangguk.
Belum sampai keduanya benar-benar mengang-
guk, Braja Musti telah melangkah memasuki lo-
bang yang kemudian diikuti oleh Nilam Sari dan
Sekar Arum.
Lobang itu ternyata sebuah terowongan
panjang. Namun ketiga orang ini melangkah den-
gan tenang meski wajah mereka tetap tegang.
Langkah-langkah mereka menunjukkan bahwa
tempat ini sudah tak asing lagi bagi ketiganya.
Sampai ujung terowongan, mereka sejenak
hentikan langkah. Di hadapan mereka kini tam-
pak hamparan tanah membentuk lingkaran sebe-
sar dua puluh tombak berkeliling. Di sebelah de-
pan sana, terlihat beberapa lobang terowongan.
Ada keanehan di hamparan tanah gersang yang
menghubungkan antara terowongan pertama
dengan beberapa terowongan di depan sana. Di
hamparan tanah itu pada beberapa tempat tam-
pak beberapa batu bertulisan angka satu sampai
dua puluh delapan.
Kalau dilihat sepintas, tak ada yang aneh
pada hamparan tanah gersang yang ditonjoli ba-
tu-batu bertulisan angka itu. Namun sebenarnya,
hamparan tanah itu adalah lumpur hidup yang
tertutup lapisan tanah tipis! Hal itu terbukti keti-
ka Braja Musti mengambil sebuah kerikil dan di-
lemparkan, hamparan tanah bergoyang. Kerikil
itu pun tenggelam!
Namun melihat hal ini, ketiga orang yang
ada di mulut terowongan pertama tak menam-
pakkan rasa terkejut. Sebaliknya Braja Musti se-
gera melangkah ke hamparan tanah dengan men-
jejak pada tonjolan batu berangka tiga. Dari tem-
patnya berdiri, Braja Musti lantas bergerak me-
lompat ke tonjolan batu berangka enam. Dia lan-
tas putar tubuhnya menghadap pada Nilam Sari
dan Sekar Arum yang masih tegak di mulut tero-
wongan.
"Kalian masih ingat bukan mana yang ha-
rus dibuat batu loncatan?!" serunya dengan suara
sedikit ditahan. Namun gema suaranya bergaung
keras! Memantul ke setiap lobang terowongan
yang ada di situ.
Dua gadis yang diteriaki tidak ada yang
menyahut. Malah Nilam Sari cepat melompat ke
arah tonjolan batu berangka tiga. Lalu berkelebat
dan tahu-tahu telah tegak di atas tonjolan batu
berangka sembilan. Begitu Nilam Sari berkelebat,
Sekar Arum melompat ke tonjolan batu berangka
tiga.
Melihat hal ini, Braja Musti segera putar
kembali tubuhnya. Nilam Sari ternyata telah ber-
pindah lagi. Kini gadis berpakaian putih tipis ini
telah tegak di atas tonjolan batu berangka lima
belas. Sementara Sekar Arum telah berada di ton-
jolan batu angka dua belas.
Ketiga orang ini tampak berkelebat dari
tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya. Dan seke-
jap kemudian, ketiganya telah berada di depan
beberapa terowongan.
Braja Musti melangkah maju tiga tindak ke
depan terowongan paling tengah. Dia berpaling
sejenak pada dua gadis di belakangnya. Lalu
mengangguk dan berkelebat. Bukan masuk ke da-
lam terowongan, melainkan berkelebat ke atas! Di
mana terdapat lamping batu lurus ke atas yang
tingginya kira-kira sepuluh tombak yang meng-
hubungkan bagian atas terowongan-terowongan
dengan langit-langit tempat itu.
Begitu di atas udara, tangan kanannya
bergerak mendorong batu. Begitu tangannya dita-
rik kembali, batu yang terdorong tangan membu-
ka! Dari dalam batu yang membuka membersit
seberkas cahaya kuning kemerahan.
Pada saat batu membuka, Braja Musti ce-
pat berkelebat masuk lalu lenyap dari pandangan.
Nilam Sari jejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke
udara lalu masuk ke batu yang membuka. Ber-
samaan masuknya Nilam Sari, Sekar Arum segera
menyusul berkelebat lalu lenyap masuk ke batu
yang membuka. Begitu ketiganya masuk, batu
yang tadi membuka itu menutup kembali tanpa
keluarkan suara!
Ternyata di balik batu itu terdapat tangga
menurun dari batu-batu kerikil. Tangga menurun
itu menghubungkan dengan sebuah terowongan
agak besar yang di tengah-tengahnya terdapat se-
buah cermin besar yang diikat dan digantungkan
di bawah sebuah lobang. Dari lobang di atas cer-
min membersit cahaya kuning kemerahan. Na-
mun memancarkan sinar panas. Cahaya dari lo-
bang itu lantas dipantulkan cermin ke sekitar
tempat itu, hingga terowongan agak besar itu se-
dikit terang.
Begitu Braja Musti, Nilam Sari, serta Sekar
Arum sampai pada terowongan agak besar yang
diterangi pantulan cahaya dari cermin, ketiganya
berhenti.
Ketegangan terlihat pada wajah ketiganya.
Hingga dahi dan leher mereka tampak basah oleh
keringat dingin. Namun mungkin karena malam
ini adalah malam yang dijanjikan untuk perte-
muan, meski dengan tegang akhirnya ketiga
orang ini melangkah menelusuri terowongan.
Anehnya, kali ini Braja Musti melangkah dengan
menghitung setiap langkahan kakinya. Sementara
dua gadis di belakangnya hanya mengikuti.
Sampai pada hitungan langkah ke dua pu-
luh satu, Braja Musti hentikan langkah. Lalu pu-
tar tubuh setengah lingkaran menghadap batu
bagian samping terowongan. Setelah menarik napas panjang dan dalam, dia melangkah maju lima
tindak. Kedua tangannya bergerak mendorong ba-
tu samping terowongan. Seolah sulit dipercaya,
batu bagian samping terowongan itu bergerak
membuka! Sebesar pintu rumah biasa.
Tanpa menunggu lama lagi, Nilam Sari dan
Sekar Arum cepat mengikuti Braja Musti yang te-
lah masuk. Begitu mereka masuk, batu yang
membentuk pintu itu menutup kembali dengan
keluarkan suara berdebam dahsyat! Tempat di
mana ketiga orang itu kini berada bergetar keras.
Malah ketiganya hampir saja terjerembab jika ti-
dak segera kerahkan tenaga dalam masing-
masing untuk mengatasi huyungan tubuhnya.
Mereka bertiga kini berada pada sebuah
ruangan besar yang di pojoknya terlihat nyala se-
buah obor yang ditancapkan begitu saja pada
dinding yang terbuat dari batu. Hingga ruangan
besar itu tampak terang. Pada bagian depan
ruangan yang menghadap ke pintu batu, hampir
bersebelahan dengan dinding, tampak sebuah
tonjolan batu rata sebesar dua tombak berkelil-
ing.
Ketiga orang ini melangkah pelan-pelan ke
arah tonjolan batu rata. Sepuluh langkah lagi
sampai, ketiganya berhenti lalu masing-masing
orang ini lorotkan tubuhnya dan duduk bersila.
Braja Musti berada paling kanan, Nilam Sari be-
rada di tengah, sedangkan Sekar Arum berada
paling kiri.
Untuk beberapa lama ketiga orang ini diam
tak bergerak dan tak ada yang buka suara. Mata
mereka masing-masing terpentang lebar tak ber-
kedip memandang ke tonjolan batu rata di hada-
pannya. Keringat telah membasahi sekujur tubuh
mereka dari kepala hingga kaki. Padahal ruangan
itu sangat lembab, pertanda jika mereka dilanda
rasa tegang yang amat sangat.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Braja Mus-
ti lirikkan matanya ke samping. Mulutnya yang
telah membuka hendak mengucapkan sesuatu
terkancing lagi ketika lirikan matanya menangkap
Nilam Sari diam tak bergerak dengan mata nya-
lang tak berkedip memandang ke arah tonjolan
batu rata.
"Jahanam! Akankah pertemuan ini tak
membawa hasil? Atau barangkali aku salah
menghitung hari?! Tidak. Aku masih ingat pesan
Guru. Pertemuan akan berlangsung sepuluh ta-
hun kemudian pada purnama bulan terakhir. Ta-
pi kenapa dia tak muncul?! Lupakah dia dengan
ucapannya? Atau...." Braja Musti tidak mene-
ruskan membatin, karena bersamaan dengan itu
terdengar suara berderit yang memekakkan telin-
ga.
Kepala mereka segera berpaling ke arah da-
tangnya suara berderit. Mereka melihat salah sa-
tu dinding ruangan itu menguak lubang sebesar
pintu. Dari dalamnya mengepul asap putih, lalu
melesat sebuah bayangan. Demikian cepatnya
daya lesat bayangan itu, hingga mereka tak dapat
memastikan apa yang baru saja melesat keluar.
Selagi ketiga orang ini terpaku, telinga me-
reka mendengar suara batuk-batuk kecil beberapa kali. Serentak ketiganya berpaling kembali.
Masing-masing orang terperangah dengan mulut
terbuka tatkala mereka melihat seseorang telah
duduk bersila di atas tonjolan batu rata di hada-
pan mereka!
"Eyang Pandanaran!"
Setelah dapat mengatasi rasa terkejut,
masing-masing orang serentak keluarkan suara
hampir bersamaan. Lalu ketiganya membungkuk
dalam-dalam.
Orang yang duduk di atas tonjolan batu ra-
ta dan dipanggil dengan Eyang Pandanaran ada-
lah seorang laki-laki berusia sangat lanjut. Men-
genakan jubah warna putih. Rambutnya sedikit
dan berwarna putih. Kumis dan jenggotnya yang
juga putih, panjang menjulai ke bawah. Sebagian
besar wajahnya yang terlihat, hampir-hampir tak
berdaging!
TIGA
BRAJA Musti, Nilam Sari, Sekar Arum.
Rentang waktu sepuluh tahun bukanlah masa
yang pendek. Murid-muridku, apakah kalian
baik-baik saja selama sepuluh tahun hidup di
tengah keramaian?!" Eyang Pandanaran buka ke-
heningan yang melingkupi ruangan itu.
Ketiga orang di hadapan Eyang Pandana-
ran sama-sama angkat kepala. Memandang lekat-
lekat pada orang tua yang duduk bersila di hada-
pannya. Ketegangan tak dapat disembunyikan da
ri wajah mereka walaupun Eyang Pandanaran ter-
lihat tersenyum meski samar-samar.
"Guru...," akhirnya Braja Musti buka mu-
lut. "Keadaan kami bertiga baik-baik saja...," sua-
ra Braja Musti terdengar serak parau dan sedikit
bergetar, membuat Eyang Pandanaran kernyitkan
dahi.
"Hem.... Bagus. Itulah yang memang selalu
kuharapkan. Seperti ucapanku pada sepuluh ta-
hun lalu, malam ini adalah malam kalian menge-
tahui apakah ada di antara kalian yang digurat
untuk memiliki apa yang selama ini dipercayakan
padaku untuk menjaga dan merawatnya! Namun
sekali lagi kalian harus ingat, apa pun yang akan
kalian dengar terimalah sebagai kenyataan!"
"Guru.... Apakah ucapanmu melambang-
kan di antara kami tidak ada yang ditakdirkan
memiliki lembaran kulit itu?!" kembali Braja Mus-
ti yang keluarkan suara.
Eyang Pandanaran sipitkan sepasang ma-
tanya. Orang tua ini sedikit terkejut mendengar
pertanyaan murid laki-lakinya itu.
"Hem.... Ternyata kau telah tahu apa yang
selama ini dipercayakan padaku untuk menyim-
pan, menjaga sekaligus merawatnya. Braja Musti,
dari mana kau tahu bahwa yang kusimpan sela-
ma ini adalah sebuah lembaran kulit?!"
"Terbukti kebenaran berita yang tersebar di
rimba persilatan. Lembaran kulit hebat bernama
Lembaran Kulit Naga Pertala itu ada di tangan-
nya! Hem.... Tinggal selangkah lagi. Kini giliran
Nilam Sari dan Sekar Arum yang harus bertindak!
Mudah-mudahan berjalan sesuai rencana...." Di-
am-diam Braja Musti membatin. Lalu memandang
pada gurunya dan berkata.
"Guru.... Kalangan rimba persilatan akhir-
akhir ini diguncang dengan berita tentang Lemba-
ran Kulit Naga Pertala. Dan menurut kabar yang
berhasil kusirap dari orang yang terpercaya, lem-
baran kulit itu disimpan seseorang yang bermu-
kim di Bukit Siluman! Sebenarnya aku belum
percaya dengan kabar berita itu. Aku tadi berkata
seraya menduga-duga. Ternyata menuruti kata-
katamu, sedikit banyak aku mulai percaya kabar
itu...."
Eyang Pandanaran mengangguk-angguk.
Diam-diam pula dalam hati orang tua ini berkata.
"Meski kalangan rimba persilatan telah tahu, na-
mun bukan hal mudah untuk mendapatkannya.
Untuk mencapai tempat ini diperlukan tenaga
dan pikiran jeli. Jika tidak, nyawa mereka akan
melayang! Tempat ini telah kupersiapkan berta-
hun-tahun demi menjaga agar lembaran kulit ini
tak jatuh ke tangan orang yang tidak diharapkan!
Aku percaya, murid-muridku tidak akan membu-
ka rahasia jalan ke ruangan ini!"
"Braja Musti, Nilam Sari dan kau Sekar
Arum. Kurasa kalian telah mendapat kabar yang
benar. Terus terang saja, apa yang selama ini ku-
simpan memang adalah sebuah lembaran kulit
bernama Lembaran Kulit Naga Pertala...," kata
Eyang Pandanaran sambil memandang satu per-
satu pada muridnya.
Ketegangan terlihat lebih terbayang di wa
jah ketiga murid Eyang Pandanaran daripada pe-
rasaan terkejut mendengar kata-kata gurunya itu.
"Tapi seperti kataku tadi, apa yang akan
kalian dengar terimalah sebagai kenyataan!" sam-
bung sang guru. "Murid-muridku. Sebagai guru,
aku sebenarnya menghendaki salah satu di anta-
ra kalian ada yang mewarisi lembaran kulit itu.
Tapi kehendak manusia ada di bawah kehendak
sang Pencipta. Lebih dari itu, takdir ketetapan
sang Pencipta tidak bisa dirubah dengan apa pun
juga! Meresapi kenyataan itu, kuharap kalian ber-
lapang dada jika di antara kalian memang tidak
ada yang ditetapkan untuk mewarisi lembaran
kulit itu!"
Mendengar keterangan Eyang Pandanaran,
ketegangan makin menyelimuti murid-muridnya.
Hingga untuk beberapa lama, tak ada satu pun
yang bicara.
"Murid-muridku. Aku tahu, kalian kecewa
karena sepuluh tahun menanti dan tak menda-
patkan apa-apa dari masa penantian itu. Tapi aku
akan menyesal dan kecewa berlebih-lebih jika ha-
rus memaksakan diri untuk menyerahkan sesua-
tu bukan pada orangnya! Harap kalian menger-
ti...."
"Jika demikian halnya, kami akan meneri-
ma dengan hati lapang, Guru...!" ucap Braja Mus-
ti seraya bungkukkan tubuh menjura dalam. Na-
mun diam-diam sambil menjura, pemuda ini li-
rikkan matanya ke arah Nilam Sari.
"Benar, Guru. Kalau lembaran kulit itu ti-
dak ditetapkan untuk kita, kami akan meneri
manya sebagai kenyataan...," Nilam Sari me-
nyambung ucapan Braja Musti sambil ikut-ikutan
bungkukkan tubuh yang kemudian juga diikuti
oleh Sekar Arum.
Eyang Pandanaran menghela napas lega
sambil tersenyum melihat para muridnya dapat
menerima kenyataan yang didengarnya. Namun
senyum orang tua ini terputus seketika. Sepasang
matanya membeliak besar, dadanya bergetar ke-
ras. Betapa tidak? Begitu Nilam Sari dan Sekar
Arum angkat kembali kepalanya dan luruskan
tubuh, pakaian bagian atas kedua gadis ini telah
terbuka! Hingga dua pasang payudara kencang
membusung dan putih terpentang tanpa penutup
lagi!
"Nilam Sari, Sekar Arum! Jangan berbuat
macam-macam. Tutup kembali auratmu itu!" ben-
tak Eyang Pandanaran seraya alihkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Sementara Braja Musti
seolah-olah masygul dengan tindakan kedua ga-
dis di sampingnya, namun dia tak keluarkan se-
patah kata. Bahkan menoleh pun tidak.
Mendengar bentakan gurunya, bukannya
membuat Nilam Sari dan Sekar Arum menutup
dadanya, malah dengan tersenyum kedua gadis
ini selonjorkan kaki masing-masing ke depan. Ke-
dua tangannya lalu melepas kancing-kancing ba-
gian bawah. Lalu perlahan-lahan kedua gadis ini
bergerak bangkit dengan pakaian bagian depan
terbuka!
"Guru...," kata Nilam Sari seraya melang-
kah mendekat. "Bertahun-tahun hidup menyendiri apakah tidak merindukan kenikmatan? Sebagai
imbalan atas ilmu yang kau berikan pada kami,
malam ini kami ingin guru menikmati apa yang
ada pada kami...."
"Berhenti!" Eyang Pandanaran kembali
membentak. "Tak pantas ucapan dan perbuatan
itu kalian perlihatkan di hadapan guru kalian!
Sekali lagi tutup kembali tubuh kalian berdua
atau...."
Eyang Pandanaran tak meneruskan uca-
pannya karena bersamaan dengan itu Nilam Sari
dan Sekar Arum telah meloncat ke samping kiri
kanan gurunya. Dan tanpa malu-malu lagi kedua
gadis ini segera menciumi gurunya dengan tangan
menekan pada tangan gurunya.
"Kurang ajar! Kalian telah gila!" teriak
Eyang Pandanaran dengan suara bergetar parau.
Orang tua ini tampaknya mulai merasakan hawa
hangat merasuki sekujur tubuhnya. Pelan-pelan
pula dia mulai menikmati ciuman-ciuman yang
dilakukan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum. Bah-
kan kedua tangannya yang tadi hendak digerak-
kan untuk menepis tubuh gadis di hadapannya
seolah lumpuh tak bisa digerakkan.
"Hem.... Aroma perangsang yang dipakai
oleh Nilam Sari dan Sekar Arum tampaknya telah
bekerja dengan baik. Orang tua itu mulai terang-
sang. Aku harus menepi dan tinggal tunggu saat
yang tepat!" Braja Musti mendesis dalam hati se-
raya melirik ke depan. Bibir pemuda ini mengulas
senyum seringai tatkala melihat sebagian tubuh
kedua gadis itu hampir terbuka seluruhnya.
"Keparat! Seandainya tidak demi lembaran
kulit itu, tak akan kubiarkan tubuh bagus itu me-
rengek-rengek di depan mataku!" maki Braja
Musti lalu bangkit dan melangkah ke samping.
Meski sadar jika gelora nafsu telah mera-
suki jiwanya namun Eyang Pandanaran masih
mencoba menekannya dengan pejamkan sepa-
sang matanya.
Namun tindakannya ini justru menambah
dirinya makin terangsang, hingga tatkala tangan
Nilam Sari dan Sekar Arum melepas jubahnya,
orang tua ini diam saja. Hal ini membuat kedua
gadis itu makin berani. Dan dengan keluarkan
desahan-desahan panjang kedua gadis ini mulai
membuka pakaian dalam yang melapis jubah pu-
tih gurunya.
Saat jubah putih besar itu jatuh tercam-
pak, ekor mata Braja Musti yang sejak tadi terus
memperhatikan membeliak besar. Karena dicam-
pakkan dengan kasar, jubah itu menyingkap. Pa-
da bagian punggung jubah putih itu tampak se-
buah lipatan berbentuk segi empat yang dilapis
kain hingga benda itu tak tampak. Lipatan yang
tipis. Andaikata Braja Musti tak terlalu memper-
hatikan, tak akan mungkin dapat melihatnya.
"Hem.... Pasti itu lembaran kulit yang ku-
cari!" desis Braja Musti seraya tak berkedip mem-
perhatikan. Merasa yakin, pemuda ini lalu alih-
kan pandangannya ke atas tonjolan batu rata. Ni-
lam Sari dan Sekar Arum tampak duduk di pang-
kuan kiri kanan Eyang Pandanaran dengan pa-
kaian tersingkap sebatas perut. Eyang Pandana
ran sendiri tampak terengah-engah. Pakaian yang
dikenakannya pun sudah terbuka. Tinggal pa-
kaian bagian bawah.
Nilam Sari dan Sekar Arum perlahan-lahan
merebahkan tubuh gurunya dengan terus menci-
umi bagian tubuh orang tua itu. Saat tubuh
Eyang Pandanaran bergerak hendak telentang,
Braja Musti berkelebat menyambar jubah putih
yang tercampak. Dan tanpa berpaling lagi, pemu-
da ini putar tubuhnya lalu berkelebat menuju
pintu batu yang tertutup.
Saat itulah Eyang Pandanaran menangkap
kelebatan tubuh Braja Musti. Orang tua ini tiba-
tiba tersadar. Kedua tangannya cepat ditepiskan
ke samping kanan kiri hingga tubuh Nilam Sari
dan Sekar Arum terjengkang. Dia cepat bergerak
duduk, dan melihat Braja Musti telah berada di
belakang pintu yang masih tertutup dengan
membawa jubahnya, orang tua ini tersentak. Dia
baru benar-benar sadar apa yang ada di balik
perbuatan murid-muridnya.
"Laknat! Ternyata mulut kalian yang mau
menerima, tapi hati kalian tidak! Kalian mengin-
ginkan lembaran kulit itu!" teriak Eyang Pandana-
ran. Karena lembaran kulit itu berada di jubah-
nya, mau tak mau orang tua ini harus segera me-
rebutnya dari tangan Braja Musti. Takut Braja
Musti segera kabur, orang tua ini angkat kedua
tangannya lalu dihantamkan ke depan.
Wuuttt! Wuttt!
Gelombang angin dahsyat segera keluar
menyambar ke arah Braja Musti. Braja Musti berpaling lalu hantamkan kedua tangannya.
Ruangan itu segera berguncang keras keti-
ka dua pukulan itu bentrok. Braja Musti terpental
ke belakang. Karena di belakangnya adalah dind-
ing batu, maka tak ampun lagi tubuh Braja Musti
mental menghantam dinding batu itu. Lalu berge-
debukan jatuh ke bawah. Paras pemuda ini beru-
bah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari su-
dut bibirnya. Namun pemuda ini tak menghirau-
kan. Dia cepat bangkit lalu mengenakan jubah
putih milik gurunya.
Di seberang, Eyang Pandanaran terdorong,
namun orang tua ini segera dapat kuasai tubuh.
Begitu melihat Braja Musti bangkit dan telah
mengenakan jubahnya, marah orang tua ini tidak
bisa ditahan lagi.
"Murid murtad! Mampus adalah bagian
yang layak untukmu!" serunya sambil kembali le-
paskan pukulan.
Sebenarnya Braja Musti tak berniat mela-
deni gurunya. Dia sadar, ilmunya masih jauh di
bawah gurunya itu. Dia telah siap menghantam
dinding untuk segera meloloskan diri, namun se-
belum tangannya sempat menghantam, serangan
gurunya telah datang, hingga mau tak mau kedua
tangannya dihantamkan untuk menangkis.
Blaarrr!
Untuk kedua kalinya ruangan itu bergetar
keras. Obor yang tertancap di dinding bergoyang-
goyang sebelum akhirnya jatuh dan padam,
membuat ruangan itu gelap.
Braja Musti merasakan tubuhnya terhan
tam gelombang angin dahsyat hingga untuk kali
kedua tubuhnya mental. Begitu derasnya gelom-
bang, hingga dinding batu di belakangnya yang
terkena pentalan tubuhnya berderak ambrol dan
tubuhnya telentang di luar ruangan!
Eyang Pandanaran sendiri terseret dan ter-
sandar di dinding. Orang tua ini segera meneliti,
merasa tak mengalami cedera yang parah, dia ce-
pat bangkit hendak mengejar. Namun langkahnya
tertahan tatkala menyadari tubuhnya hanya
mengenakan pakaian bawah saja.
Dengan mengumpat panjang pendek, orang
tua ini segera meraba-raba mencari pakaiannya.
Saat itulah dari arah samping kanan kiri berdesir
angin keras.
"Laknat! Kalian berdua juga harus mam-
pus!" teriak Eyang Pandanaran tahu siapa geran-
gan yang lepaskan pukulan dari arah samping-
nya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Eyang Pandanaran berkele-
bat menghantam ke arah samping kiri kanan
memapak pukulan yang datang yang ternyata di-
lepaskan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum.
Terdengar letupan dua kali berturut-turut.
Disusul dengan seruan tertahan lalu terdengar
benturan di dinding sebelah kanan dan kiri.
Nilam Sari dan Sekar Arum yang tubuhnya
baru saja menghantam dinding ruangan pelo-
totkan mata masing-masing untuk mengetahui
keadaan tubuhnya, namun karena keadaan gelap,
keduanya tak dapat mengetahuinya. Mereka
hanya merasakan tubuhnya seakan remuk. Dada
mereka bergetar keras dan sakit. Cairan hangat
terasa meleleh dari mulutnya!
Kedua gadis ini cepat kerahkan tenaga da-
lam masing-masing. Lalu sepasang mata mereka
memandang ke depan. Mata mereka pelan-pelan
mulai terbiasa dengan gelap, dan samar-samar
mereka dapat menangkap sosok Eyang Pandana-
ran yang sedang bergerak-gerak mengenakan pa-
kaiannya. Kesempatan ini tak disia-siakan. Nilam
Sari yang berada di sebelah kiri cepat bangkit lalu
melompat satu tombak ke depan. Bersamaan
dengan itu kedua tangannya lepaskan pukulan.
Eyang Pandanaran merasakan gelombang
angin dahsyat menghantam dirinya. Sebelum ge-
lombang angin itu menyapu tubuhnya, orang tua
ini segera melompat ke samping dengan kedua
tangan dihantamkan.
Pada saat Eyang Pandanaran hantamkan
kedua tangannya ke sebelah kiri, Sekar Arum
yang berada di sebelah kanan lepaskan pukulan.
Ruangan itu kembali laksana dilanda gem-
pa ketika pukulan yang dilepas Nilam Sari berte-
mu dengan pukulan Eyang Pandanaran. Nilam
Sari mental menghantam dinding sebelum akhir-
nya jatuh telengkup di lantai ruangan. Eyang
Pandanaran hanya terjajar dua langkah ke bela-
kang. Namun baru saja terjajar, pukulan Sekar
Arum datang menggebrak!
Orang tua itu tersedak. Dia buru-buru ber-
gerak menghindar, namun pukulan Sekar Arum
lebih cepat datangnya, hingga tanpa ampun lagi
orang tua ini keluarkan pekikan tinggi sebelum
akhirnya mencelat menghantam dinding di bela-
kangnya.
"Nilam! Lari!" teriak Sekar Arum seraya
berkelebat ke dinding yang telah ambrol.
Mendengar teriakan saudara seperguruan-
nya, Nilam Sari bangun. Meski masih merasakan
sakit bukan alang kepalang, gadis ini cepat ke-
rahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Lalu dengan
menahan rasa sakit di sekujur tubuh dia berkele-
bat menyusul Sekar Arum yang telah menerobos
keluar.
Braja Musti sendiri, ketika mengetahui Ni-
lam Sari dan Sekar Arum lancarkan serangan pa-
da Eyang Pandanaran tak sia-siakan kesempatan.
Ia sadar dirinya telah terluka cukup parah. Dia
harus selamatkan diri lebih-lebih selamatkan
lembaran kulit yang telah berada di tangannya.
Berpikir sampai di situ, pemuda ini tertatih-tatih
bangkit lalu melangkah keluar terowongan.
Eyang Pandanaran memaki sendiri dalam
hati. Penyesalan dan kecewa atas tindakan mu-
rid-muridnya terbayang jelas dari wajahnya yang
pucat pasi seakan tak berdarah itu. Darah telah
mengalir dari mulutnya. Namun mengingat jubah
berisi lembaran kulit telah lepas dari tangannya,
orang tua ini tidak menghiraukan cedera tubuh
dalamnya. Dia segera bangkit lalu berkelebat
mengejar murid-muridnya.
Namun sampai di tengah-tengah ruangan,
kelebatannya tertahan. Dia merasakan hawa aneh
mendorong tubuhnya hingga meski dia kerahkan
tenaga dalam untuk melawan, tubuhnya tak bisa
bergerak!
Orang tua ini kerutkan dahi dengan hati
menggerendeng marah. Saat itulah entah dari
mana datangnya, dia mendengar suara desiran
angin aneh menyerupai gemeretak ranting-ranting
yang berjatuhan. Belum sempat mengetahui apa
yang terjadi, sepuluh langkah di hadapannya
asap putih mengepul dengan keluarkan cahaya
berkilau hingga ruangan yang tadinya gelap sa-
mar-samar berubah agak terang.
Eyang Pandanaran tercekat dengan sepa-
sang mata membeliak besar. Memandang tak ber-
kesiap ke arah asap putih di hadapannya. Tiba-
tiba orang tua ini surutkan langkah dua tindak
dengan mulut menganga tatkala dari asap putih
itu sepasang matanya samar-samar menangkap
munculnya sesosok tubuh!
EMPAT
MESKI hanya samar-samar terbalut asap
putih namun Eyang Pandanaran dapat dengan je-
las melihat sosok yang ada di balik asap putih itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia amat tua. Ini
jelas tergambar dari rambutnya yang panjang dan
digelung ke atas telah berwarna putih. Demikian
juga alis mata, kumis serta jenggotnya. Tapi wa-
jah orang tua ini tak terlihat, karena memancar-
kan sinar yang menyilaukan mata, seakan-akan
dilapisi kabut. Dia mengenakan pakaian warna
putih-putih.
Eyang Pandanaran menahan napas untuk
beberapa lama. Mulutnya bergerak membuka
hendak keluarkan suara. Tapi ternyata suaranya
terputus di tenggorokan.
"Raden Inu Kertapati...," orang tua di balik
asap putih perdengarkan suara. Eyang Pandana-
ran terlonjak kaget. Sepasang matanya makin
membesar, dahinya makin dipenuhi kerutan.
Berpuluh-puluh tahun dia merahasiakan siapa
dirinya, bahkan nama pemberian kedua orangtu-
anya pun dikubur dalam-dalam.
Raden Inu Kertapati yang sebenarnya me-
rupakan nama pemberian orangtuanya yang men-
jadi adipati di Kadipaten Langkat. Beranjak besar
Raden Inu Kertapati menjalin hubungan dengan
gadis berparas cantik. Namun si gadis akhirnya
tergoda dengan pemuda lain yang selain berparas
tampan juga memiliki ilmu tinggi. Raden Inu Ker-
tapati kecewa. Diam-diam dia meninggalkan Ka-
dipaten Langkat dengan membawa luka hati. Dia
lantas berkelana sebelum akhirnya menemukan
seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.
Setelah bertahun-tahun belajar, Inu Kerta-
pati keluar lagi. Tapi kini dia telah berubah. Tu-
buhnya tegap dengan ilmu tinggi. Meski telah la-
ma berselang, namun luka hatinya masih mem-
bekas dan luka hati itu dilampiaskannya dengan
mengumbar nafsu pada perempuan-perempuan
cantik yang dijumpainya. Bahkan dia tak segan-
segan merebut si perempuan dari tangan orang
lain dengan cara kekerasan bahkan membunuh.
Lingkungan lambat laun menyeret Inu Kertapati
menjadi orang yang kejam dan rimba persilatan
pun mulai mengenalnya.
Hanya beberapa tahun kemudian, Inu Ker-
tapati telah dikenal kalangan persilatan sebagai
tokoh yang ditakuti, dan menggelarinya Iblis Pe-
metik Bunga. Beberapa tahun lamanya Inu Ker-
tapati malang melintang dalam kancah persilatan
sebelum akhirnya dia dapat dikalahkan oleh seo-
rang sakti.
Inu Kertapati akhirnya menemui gurunya
kembali. Sang guru bersedia memenuhi permin-
taan muridnya itu, asal si murid mau merubah
sikap. Berkat bimbingan dari gurunya, akhirnya
Inu Kertapati berubah. Malah ketika muncul
kembali, dia dikenal sebagai tokoh yang ditakuti
golongan hitam dan disegani golongan putih. Inu
Kertapati memperkenalkan diri dengan nama
Pandanaran.
Setelah malang melintang dan merasa
usianya beranjak tua, dia mengundurkan diri dari
kancah persilatan lalu mengasingkan diri. Tapi
pada suatu hari, gurunya datang dan menyerah-
kan sebuah benda yang bukan saja harus disim-
pan dan dirawat namun juga harus dijaga laksa-
na menjaga nyawa sendiri. Menuruti pesan men-
diang gurunya, Pandanaran akhirnya mencari
tempat yang selain rahasia juga sulit ditempuh.
Beberapa tahun hidup menyendiri Eyang
Pandanaran akhirnya dihantui perasaan takut
akan benda yang dititipkan gurunya. Sang guru
berpesan bahwa kelak akan datang orang yang di
tetapkan menjadi pemilik benda yang ternyata be-
rupa sebuah lembaran kulit itu. Karena ditunggu
hingga bertahun-tahun orang yang ditetapkan be-
lum juga ada tanda-tandanya, akhirnya Eyang
Pandanaran mengambil keputusan untuk men-
gangkat murid dengan harapan muridnya kelak
dapat meneruskan pesan mendiang gurunya.
Dia akhirnya mengambil Braja Musti, Ni-
lam Sari, dan Sekar Arum sebagai murid. Setelah
beberapa tahun dibimbing dan ajari ilmu silat,
untuk mencoba murid-muridnya, Eyang Panda-
naran memberi kesempatan murid-muridnya un-
tuk melanglang buana di rimba persilatan dan di-
pesan untuk kembali lagi setelah masa sepuluh
tahun. Selama masa itu pula Eyang Pandanaran
kebingungan tentang lembaran kulit yang berada
di tangannya. Hingga pada suatu malam dia ber-
mimpi bertemu dengan mendiang gurunya yang
mengatakan bahwa di antara murid-muridnya ti-
dak ada yang ditetapkan untuk memiliki atau
menyimpan lembaran kulit itu.
Kekhawatiran Eyang Pandanaran makin
besar tatkala beberapa orang rimba persilatan te-
lah mencium keberadaan Lembaran Kulit Naga
Pertala itu, dan mulai mencarinya. Namun, bebe-
rapa orang yang datang secara bergelombang itu
tak pernah menemukan tempat tinggal Eyang
Pandanaran. Malah, sebagian besar tak pernah
muncul lagi di rimba persilatan. Hingga sejak saat
itu bukit tempat Eyang Pandanaran tinggal di-
kenal orang dengan sebutan Bukit Siluman, karena mengandung misteri!
Malah, kabarnya, bukit itu pernah lenyap
dari permukaan bumi! Begitu pula dengan sun-
gainya! Oleh karena itu bukit dan sungai itu
mendapatkan nama Bukit dan Sungai Siluman!
"Orang... tua. Siapa kau...?!" Eyang Panda-
naran alias Raden Inu Kertapati ajukan tanya
dengan suara gemetar.
Orang tua samar-samar di balik asap putih
sunggingkan senyum dingin.
"Inu Kertapati. Kau tak perlu tahu siapa
aku. Yang pasti aku adalah salah seorang yang
mempunyai tugas untuk menjaga lembaran kulit
yang dititipkan mendiang gurumu. Kau telah ber-
tindak menyalahi pesan gurumu! Kau telah ter-
makan nafsu!"
Tubuh Eyang Pandanaran bergetar hebat
hingga tak lama kemudian tubuhnya melorot ja-
tuh. Seraya menjura dalam-dalam, Eyang Panda-
naran berkata gagap.
"Aku mohon maaf. Gadis-gadis laknat itu
telah memberiku aroma perangsang hingga aku
tak sadar. Tapi lembaran kulit itu selamat. Lem-
baran itu kusimpan di tempat yang aman. Murid-
muridku hanya mendapat Lembaran Kulit Naga
Pertala yang palsu...."
"Aku tahu!" tukas orang tua di balik asap
putih dengan mata menyengat. "Tapi jika saja im-
anmu kukuh, apa pun yang diperbuat orang, kau
tak akan goyah. Permintaan maaf tidak menyele-
saikan masalah, Inu. Kali ini tak ada maaf lagi.
Pula, bukankah kau sendiri yang menentukan-
nya?! Ingat?! Kau yang bersumpah!"
Eyang Pandanaran tercenung sebentar un-
tuk mengingat-ingat. Sesaat kemudian, kepalanya
dianggukkan.
"Bagus kalau kau ingat, Inu! Tapi, untuk
jelasnya biarlah kuuraikan. Dulu, begitu menda-
patkan ilmu yang tinggi dari gurumu, kau lupa
diri. Kau sebar angkara murka di mana-mana.
Tak terhitung wanita yang menjadi korban kebua-
san nafsu birahimu!"
Orang tua di balik asap putih hentikan
ucapannya. Ditatapnya Eyang Pandanaran. Yang
ditatap malah tundukkan kepala, seperti orang
yang pasrah, menerima akibat perbuatannya.
"Kenikmatan dunia membuatmu lupa diri.
Dan, kau baru sadar dan kembali kepada gurumu
ketika seorang tokoh sakti hampir merenggut
nyawamu. Untung gurumu cukup bijaksana un-
tuk menerimamu kembali. Bahkan tanpa meng-
hukummu! Saat itu, kau ucapkan sumpahmu.
Bisa kau ulangi sumpah yang kau sampaikan pa-
da gurumu?!"
Lagi-lagi Eyang Pandanaran anggukkan
kepala, kemudian mulutnya bergerak membuka.
Suaranya terdengar gemetar.
"Guru! Aku berjanji, mulai saat ini akan
senantiasa berbuat kebajikan. Seluruh anggota
tubuhku tak akan menyengsarakan apalagi sam-
pai melenyapkan nyawa orang yang tak berdosa.
Bahkan mulai detik ini, aku akan menjauhi wani-
ta! Tak akan kubiarkan nafsu birahi merasuki
benakku lagi. Dan, bila itu terjadi biarlah aku hi-
lang dari permukaan bumi! Ini sumpahku. Guru!"
"Dan bagaimana kenyataannya sekarang,
Inu?!" Eyang Pandanaran hanya bisa berdesis li-
rih. "Aku siap menerima hukuman...."
"Tidak ada yang menghukummu, Inu.
Sumpahmulah yang menyebabkanmu terhukum.
Sumpahmu telah kau langgar. Kesalahan serupa
kembali kau buat.... Kau akan termakan oleh
sumpahmu sendiri...."
Baru saja, ucapan orang tua di balik asap
putih, tuntas, asap putih tampak mengurung tu-
buh Eyang Pandanaran sampai setengah tombak
berkeliling dan tingginya mencapai dua tombak.
Bersamaan dengan itu, Eyang Pandanaran mera-
sakan tubuhnya dialiri hawa dingin. Orang tua ini
kerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun
dia tersentak tatkala menyadari tenaga dalamnya
tak bisa dialirkan! Hingga pada akhirnya dia diam
saja sambil pejamkan sepasang matanya hingga
asap yang mengurung dirinya lenyap!
"Inu Kertapati.... Kau harus rela menerima
ini. Ketahuilah.... Meski dirimu ada, namun pan-
dangan mata biasa tak dapat menangkap wujud-
nya. Ini sesuai dengan sumpahmu. Bukankah
kau mengatakan kalau melanggar sumpahmu,
kau akan hilang dari permukaan bumi? Nah, se-
karang kau telah masuk dalam lingkaran tak
berwujud yang melindungi dirimu dari pandangan
mata biasa. Kau akan tampak jika lingkaran tak
berwujud itu pecah. Aku tak tahu sampai kapan
kau di dalam lingkaran tak berwujud itu. Hanya
saja akan datang seseorang yang memecahkan
lingkaran itu. Dialah orang yang ditetapkan untuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala. Kau
harus mengatakan padanya!"
Eyang Pandanaran membuka mulut untuk
berkata. Namun tiada suara yang terdengar di
ruangan itu. Bahkan yang tampak di ruangan itu
sekarang adalah asap putih yang membungkus
orang tua berpakaian putih-putih yang samar-
samar menggoyangkan kepalanya. Bersamaan
dengan itu asap bergerak meliuk-liuk sebelum
akhirnya lenyap meninggalkan ruangan yang di-
am kosong tanpa seorang pun!
LIMA
BRAJA Musti merasakan sekujur tubuhnya
luluh lantak. Namun sadar harus mempertahan-
kan lembaran kulit sakti yang telah berada di
tangan, dengan menahan rasa sakit pemuda itu
terus melangkah menelusuri terowongan sebelum
pada akhirnya sampai di luar.
Dia menarik napas sejenak lalu berpaling
ke belakang. Meski belum tampak seseorang na-
mun nalurinya mengatakan jika tak lama lagi
orang itu akan muncul untuk merebut lembaran
kulit yang berada di jubah putih yang kini dike-
nakannya. Berpikir sampai di situ, Braja Musti
tak menghiraukan keadaan dirinya yang terluka
cukup parah. Darah tak henti-hentinya mengalir
dari mulut dan lobang hidungnya. Malah sesekali
dia harus memuntahkan gumpalan darah hitam
dari mulutnya!
Pemuda ini meneruskan langkah menuju
sampan di pinggir sungai. Namun karena ba-
nyaknya darah yang keluar, begitu sampan terli-
hat tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhir-
nya jatuh berlutut di pinggir sungai.
Sambil mengerang pendek, Braja Musti se-
ret tubuhnya mendekat sebuah gundukan agak
besar yang dapat melindungi tubuhnya dari pan-
dangan orang di atasnya. Dia sandarkan pung-
gung pada lamping gundukan besar itu seraya
mengatur napas dan jalan darahnya. Namun
usaha pemuda ini tak membawa hasil. Malah da-
rah hitam makin tersedot ke atas dan menggum-
pal di mulutnya, hingga mau tak mau dia harus
memuntahkannya.
"Keparat! Setan tua itu telah membuatku
cedera parah...!" makinya seraya mengurut dada
dan mengusap darah yang mengalir dari mulut
dan hidungnya.
"Aku harus cepat meninggalkan tempat
ini!" desisnya lalu bangkit. Tapi belum sampai tu-
buhnya tegak, kakinya telah goyah membuat tu-
buhnya oleng sebelum akhirnya jatuh kembali.
Braja Musti kembali memaki panjang pen-
dek. Raut wajahnya jelas membayangkan takut
dan gelisah. Sambil bersandar kembali pemuda
ini berpikir.
"Hem.... Untuk mempertahankan lembaran
kulit itu, aku harus menyembunyikannya! Dalam
keadaan begini, terlalu berani jika memba-
wanya...." Pemuda ini lantas memandang berkelil-
ing. Sejenak kemudian dia tanggalkan jubah putih milik Eyang Pandanaran yang dikenakannya.
Dengan tangan gemetar dan mata membe-
liak, pemuda ini memperhatikan bagian pung-
gung jubah yang menyembul di balik kain lapisan
membentuk empat persegi. Dengan sedikit kerah-
kan tenaga luar, kain pelapis di punggung jubah
itu dirobeknya. Begitu robekan menyingkap, tam-
paklah lembaran-lembaran kulit binatang. Den-
gan dada berdebar, Braja Musti mengambil lem-
baran kulit itu lalu diperiksanya lekat-lekat.
Dengan tangan masih gemetar dan dada
berdebar, Braja Musti balikkan tubuh. Lembaran
kulit diletakkan di sampingnya, lalu kedua tan-
gannya mulai bergerak membuat lobang di tanah
samping tubuhnya. Tak selang lama, tanah di
sampingnya telah berlobang sedalam dua jengkal
dengan lebar dua jengkal. Setelah menarik napas
dalam dan memandang berkeliling, dia angkat
lembaran kulit lalu dimasukkannya ke dalam lo-
bang yang baru saja digali.
Tiba-tiba dia bimbang. Lembaran kulit
berwarna coklat itu kembali diangkat dari dalam
lobang. Diperhatikannya berlama-lama.
"Hem.... Tak ada salahnya aku melihat
isinya barang sejenak...," batin Braja Musti. Tan-
gan kirinya menopang lembaran kulit sementara
tangannya mulai membuka sampul.
Lembaran pertama terbuka. Braja Musti
kerutkan kening. Pada halaman itu tak ada tuli-
san. Kosong! Braja Musti teruskan membuka
lembaran kedua. Kerutan di keningnya makin me-
lipat. Karena lembaran kedua juga tanpa tulisan!
Pemuda ini mulai gelisah dan geram. Na-
mun dia teruskan membuka lembaran ketiga
lembaran terakhir. Kemarahannya kini tak dapat
dibendung lagi hingga saat itu juga dari mulutnya
terdengar makian tak karuan, karena ternyata
lembaran ketiga juga kosong!
"Bangsat! Aku tertipu! Lembaran kulit ini
palsu!" teriak Braja Musti seraya campakkan lem-
baran kulit itu ke tanah. Tangan kiri kanannya
segera dipukulkan ke tanah hingga tanah itu ter-
bongkar dan membentuk lobang. Dia lupa bahwa
keadaan dirinya terluka parah. Hingga begitu tan-
gannya ditarik dari tanah, tubuhnya limbung lalu
jatuh terkapar dengan megap-megap!
Pada saat bersamaan, Nilam Sari dan Se-
kar Arum muncul dari terowongan dan menjejak-
kan kaki masing-masing di luar. Mungkin merasa
Eyang Pandanaran akan segera mengejar, dua
gadis ini segera pula berkelebat ke arah gundu-
kan batu yang agak besar. Lalu mendekam den-
gan mata masing-masing mengarah pada lobang
terowongan dari mana mereka tadi muncul.
Beberapa saat berlalu. Kedua gadis ini tak
juga melihat munculnya sang guru, membuat me-
reka berdua bernapas agak lega.
"Mungkin dia mengira tak ada gunanya
mengejar. Atau mungkin juga dia cedera!" Nilam
Sari keluarkan dugaannya seraya merapikan pa-
kaiannya. Sekar Arum tak menyahut.
"Kita harus segera mencari Braja Musti.
Pasti dia menunggu di sampan!" Nilam Sari kem-
bali keluarkan suara, lalu tanpa menunggu sahutan Sekar Arum, gadis berpakaian putih itu ber-
kelebat ke arah mana sampan ditaruh. Sekar
Arum segera menyusul.
Begitu sampai jalan menurun menuju arah
sampan, kedua gadis ini hentikan langkah den-
gan kening sama-sama mengernyit dan mata nya-
lang.
"Sampan masih ada. Berarti Braja Musti
masih berada di sekitar sini!" gumam Sekar Arum
seraya layangkan pandangannya berkeliling. Ni-
lam Sari anggukkan kepala lalu putar kepala den-
gan mata jelalatan kian kemari. Namun keduanya
tak menemukan Braja Musti.
"Jangan-jangan dia menipu kita!" desis Se-
kar Arum mulai mencium gelagat tidak balk.
"Mana mungkin. Setinggi apa pun ilmu
orang, dia tak akan ambil resiko berenang menga-
rungi permukaan air berwarna merah itu. Apalagi
dia cedera! Pasti dia masih di sekitar tempat ini.
Kita berpencar. Beri tanda jika menemukannya!"
ujar Nilam Sari lalu berkelebat menyusur pinggi-
ran sungai ke arah utara.
Meski masih digelayuti berbagai macam
pertanyaan dan dugaan, akhirnya Sekar Arum
melangkah juga menyusuri pinggiran sungai ke
arah selatan.
Baru saja gadis cantik berpakaian warna
ungu ini melangkah sepuluh tindak, di balik se-
buah gundukan batu agak besar sepasang ma-
tanya melihat sesosok tubuh terkapar. Sekilas
memandang, dia telah tahu siapa adanya sosok
itu. Rasa terkejut dan khawatir akan keselamatan
Braja Musti membuat Sekar Arum melupakan
ucapan Nilam Sari agar memberi tanda jika me-
nemukan Braja Musti.
Sekar Arum cepat berkelebat. Dia tercekat
mendapati Braja Musti terpejam dengan napas
satu dua. Dengan memanggil-manggil nama Braja
Musti, Sekar Arum mengguncang-guncang tubuh
pemuda itu.
Guncangan itu membuat Braja Musti buka
kelopak matanya. Mengerjap sejenak lalu me-
mandang ke tubuh yang berlutut di sampingnya.
Mulutnya bergerak membuka, tapi suaranya tidak
terdengar. Si gadis coba membantu dengan salur-
kan tenaga dalam melalui dadanya. Namun sia-
sia. Bahkan sebentar kemudian Braja Musti
menggeliat dengan perdengarkan erangan pan-
jang. Tapi erangan itu terputus laksana direnggut
hantu bersamaan dengan putusnya nyawa!
Sekar Arum keluarkan jeritan tinggi. Tu-
buh Braja Musti yang sudah tidak bernyawa lagi
diguncang-guncang dengan keras. Lalu kepalanya
direbahkan di dada mayat si pemuda.
"Braja.... Tahu jika begini akhirnya, aku
tak akan lakukan rencana itu! Braja.... Tahukah
kau bahwa saat ini aku mengandung benihmu!
Mengandung anakmu, anak kita! Oh.... Betapa
malang nasibku...," Sekar Arum berkata seraya
menciumi mayat Braja Musti. Air matanya tum-
pah membasahi muka dan dada pemuda yang te-
lah jadi mayat itu.
"Braja.... Aku bersumpah akan membalas
orang yang melakukan ini! Orang yang telah memisahkan kita dan anak kita yang ada dalam
kandunganku! Braja! Percayalah.... Tanpa kau
anak dalam kandunganku ini akan kurawat dan
kubesarkan. Akan kutunjukkan padanya siapa
yang memisahkannya dengan ayahnya!"
Tanpa disadari oleh Sekar Arum, sepuluh
langkah di belakangnya sesosok tubuh terlihat
terguncang lalu menekap mulutnya agar suara
pekikannya tidak terdengar. Namun karena ke-
rasnya guncangan tubuh, sejenak kemudian so-
sok yang bukan lain adalah Nilam Sari jatuh ber-
lutut di atas tanah!
Sewaktu Nilam Sari menyusur pinggiran
sungai, tiba-tiba dia mendengar jeritan. Tanpa pi-
kir panjang Lagi gadis ini segera berkelebat ke
arah suara jeritan. Dia telah menduga siapa
adanya orang yang menjerit. Sampai pada sumber
jeritan dia melihat Sekar Arum menelungkup di
atas tubuh Braja Musti. Melihat sikap saudara
seperguruannya itu, Nilam Sari dapat menebak
apa yang telah terjadi. Dia segera melangkah
mendekat, namun langkahnya tertahan tatkala
telinganya mendengar ratapan Sekar Arum. Gadis
ini laksana disambar petir di siang bolong! Sea-
kan tak percaya, gadis ini tetap diam. Dia berha-
rap ucapan yang dikeluarkan Sekar Arum hanya-
lah tipuan telinganya saja. Namun ketika Sekar
Arum kembali meratap bahkan mengucapkan
sumpah di samping mayat Braja Musti, Nilam Sa-
ri tak dapat menahan gelegak hatinya. Tubuhnya
berguncang keras sebelum akhirnya jatuh berlutut.
Setelah agak sadar, Nilam Sari meng-
goyang-goyangkan kepalanya. Hatinya yang tadi
trenyuh melihat Braja Musti mati kini berubah
menyala-nyala. Dadanya berdebar keras dilanda
marah dan cemburu. Lebih dari itu darahnya
menggelegak mendapati bahwa Sekar Arum telah
mengandung dari benih Braja Musti. Dia merasa
ditipu oleh Braja Musti yang ternyata secara di-
am-diam juga menjalin hubungan dengan Sekar
Arum. Padahal diam-diam Nilam Sari pun telah
mengandung benih akibat hubungannya dengan
Braja Musti!
"Keparat jahanam! Ternyata dia menipuku!
Oh.... Apa yang harus kulakukan sekarang? Pa-
dahal aku juga mengandung benih darinya! Aku
tak dapat menyalahkan Sekar Arum. Mungkin dia
juga tak menduga jika Braja Musti menjalin hu-
bungan denganku.... Keparat! Braja Musti-lah
yang seharusnya dihukum! Dan kematian adalah
hukuman setimpal. Tapi.... Bagaimana dengan
kandunganku?"
Nilam Sari bangkit. Lalu balikkan tubuh
hendak tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba
dia teringat akan lembaran kulit yang dilarikan
Braja Musti. Secepat kilat dia putar tubuhnya
kembali lalu menghambur ke arah Braja Musti.
Sepasang matanya sejenak mengawasi Se-
kar Arum yang masih tenggelam dalam kesedi-
han. Gadis itu tak memperhatikan Nilam Sari
yang kini ada di dekatnya. Nilam Sari coba me-
nindih bara dalam hatinya lalu mengedarkan
pandangan. Matanya tiba-tiba membeliak besar
tatkala menumbuk pada sebuah lembaran kulit
berwarna coklat yang tergeletak tak jauh dari Bra-
ja Musti.
"Lembaran Kulit Naga Pertala!" gumam Ni-
lam Sari dalam hati. Lalu dengan gerakan kilat
tangannya menyambar lembaran kulit. Dimasuk-
kannya ke balik pakaiannya lalu berkelebat me-
ninggalkan tempat itu.
Setelah lama Nilam Sari pergi, Sekar Arum
baru tersadar. Perlahan-lahan dia angkat mu-
kanya dari dada Braja Musti. Mukanya sembab,
air matanya tampak masih mengalir. Gadis ini
lantas memperhatikan sekujur tubuh si pemuda.
Tiba-tiba matanya melihat jubah putih yang ter-
campak. Ingatannya pada Lembaran Kulit Naga
Pertala timbul. Dengan sesenggukkan, tangannya
mencari-cari. Ketika mendapati punggung jubah
robek dia berkesimpulan jika lembaran kulit itu
telah dikeluarkan dari tempatnya.
Sekar Arum lantas melebarkan pandangan
mencari-cari. Namun dia tidak lagi menemukan
lembaran kulit itu.
"Ke mana lembaran kulit itu? Apa mungkin
disimpan?!" Gadis ini bangkit, melangkah mengi-
tari gundukan. Namun dia tak menemukan ba-
rang yang dicari. Ketika matanya melihat lobang
sedalam dan selebar dua jengkal dia kernyitkan
dahi.
"Hem.... Ini pasti galian Braja Musti. Untuk
apa?! Ah, pasti untuk menyembunyikan lembaran
kulit itu! Berarti lembaran kulit itu masih di sini.
Tapi di mana?!" Sekar Arum tercenung.
"Ah, bukankah tadi aku menangkap keha-
diran seseorang di dekat sini?! Tidak lain pasti Ni-
lam Sari. Jangan-jangan dia melarikan lembaran
kulit itu!" desis Sekar Arum lalu mengedarkan
pandangan ke hamparan tempat itu. Ketika ma-
tanya tak melihat Nilam Sari dugaan gadis ini ber-
tambah kuat.
"Jahanam! Pasti dia yang melarikan lemba-
ran kulit itu! Keparat! Dia menggunting dalam li-
patan! Mencari kesempatan saat orang lengah.
Tak kusangka jika dia tega berbuat seperti itu!"
Sekar Arum bantingkan kakinya. "Tentu
dia belum jauh...." Gadis ini lalu berkelebat ke
arah pinggiran sungai di mana sampan berada.
Keyakinan Sekar Arum makin kuat tatkala
sampan itu tidak ada lagi. Dia lalu arahkan pan-
dangannya jauh ke depan. Tiba-tiba dari mulut
gadis ini keluar umpatan panjang pendek tatkala
samar-samar sepasang matanya menangkap se-
buah sampan yang meluncur deras di tengah
sungai.
"Nilam Sari! Hari ini kau boleh bersenang-
senang memiliki lembaran kulit itu! Tapi aku tak
akan tinggal diam! Nilam Sari. Tunggulah!" teriak
Sekar Arum dengan keras. Namun suaranya sea-
kan lenyap ditelan suara riak air. Gadis ini balik-
kan tubuh. Saat itulah baru dirasakan betapa le-
tih tubuh dan pikirannya. Dia lantas tekap wa-
jahnya dengan kedua telapak tangan, tubuhnya
pun perlahan-lahan melorot jatuh di atas tanah.
Tak jelas apa yang ada di benak gadis berpakaian
ungu ini. Mungkin sakit hati melihat saudara seperguruannya berbuat pengecut, mungkin juga
menyesali nasib karena kekasihnya harus tewas,
mungkin juga merenungi apa yang akan diper-
buat dengan benih yang kini ada dalam kandun-
gannya!
* * *
Nampaknya prasangka buruk Sekar Arum
pada Nilam Sari yang diduga membawa lari Lem-
baran Kulit Naga Pertala harus tertanam di lubuk
hatinya. Dan tekadnya untuk merebut kembali
lembaran kulit itu terus menggelora. Hingga sete-
lah kejadian di Bukit Siluman, Sekar Arum terus
malang melintang untuk mencari Nilam Sari
sambil mengasuh anak dari benih Braja Musti
yang akhirnya digelari Raksasa Bermuka Hijau.
Namun hingga umurnya menginjak tua,
Sekar Arum gagal menemukan Nilam Sari, meski
dari kabar yang berhasil disirap, dia tahu jika Ni-
lam Sari telah punya anak yang kemudian oleh
kalangan rimba persilatan dikenal dengan Peri
Kupu-kupu.
Mungkin sadar umurnya tak memungkin-
kan lagi untuk meneruskan niat, akhirnya Sekar
Arum memberi tugas pada anaknya si Raksasa
Bermuka Hijau untuk mencari Nilam Sari, seti-
dak-tidaknya dapat membunuh anaknya. Namun
seperti yang dialami Sekar Arum, Raksasa Ber-
muka Hijau gagal menemukan Nilam Sari, bah-
kan dia juga tak mampu membunuh Peri Kupu-
kupu meski hal itu sudah dilakukannya beberapa
kali.
Mengingat membunuh Peri Kupu-kupu
adalah tugas yang harus diselesaikan, akhirnya
selain terus berupaya melakukan sendiri, Raksa-
sa Bermuka Hijau juga menugaskan cucu sekali-
gus muridnya bernama Seruni untuk mencari dan
membunuh Peri Kupu-kupu.
Di pihak lain. Peri Kupu-kupu memperoleh
keterangan persoalan yang sebenarnya dari Nilam
Sari, ibunya. Nilam Sari memberitahukan pada
Peri Kupu-kupu kalau persoalan itu hanya salah
paham belaka. Sekar Arum, dan keturunannya
mengira Nilam Sari mendapatkan Lembaran Kulit
Naga Pertala. Oleh karena itu, Sekar Arum beru-
saha keras untuk merebutnya.
Menjelang akhir hayatnya, Nilam Sari
memberitahukan pada Peri Kupu-kupu, bahwa
antara keturunan Nilam Sari dan keturunan Se-
kar Arum ada pertalian darah. Mereka berasal da-
ri seorang lelaki. Seorang kakek yang sama yaitu
Braja Musti!
Setelah mengetahui persoalannya yang se-
benarnya, Peri Kupu-kupu mengadakan penyeli-
dikan dan melakukan perjalanan untuk kembali
mempersatukan darah yang terputus. Hanya Peri
Kupu-kupu belum tahu siapa anak daripada Se-
kar Arum. Karena pada beberapa kali pertemuan
dan bentrok dengan Raksasa Bermuka Hijau, le-
laki berbadan bongsor itu tak mau menjelaskan
persoalannya.
ENAM
MATAHARI sudah jauh condong ke sebelah
barat ketika sebuah bayangan berkelebat keluar
dari kerapatan hutan kecil. Sejenak dia hentikan
larinya, lalu berpaling ke belakang ke arah hutan
yang baru saja dilewati. "Untung belum gelap. Se-
dikit terlambat, bisa-bisa aku tersesat di dalam
hutan!"
Setelah menarik napas lega, orang ini lan-
tas berlari kembali. Baru kira-kira dua puluh
tombak orang ini hentikan larinya. Sepasang ma-
tanya yang tajam memperhatikan lurus ke depan.
Dari tempatnya berdiri dia melihat seorang nenek
duduk mencangkung di atas sebatang kayu bulat
besar yang melintang menghalangi jalan.
Nenek ini mengenakan jubah besar ber-
kembang-kembang. Rambutnya putih hanya se-
batas tengkuk. Pada bagian atasnya dibelah ten-
gah dan agak bergelombang membentuk sayap.
Kulitnya telah keriput, tapi masih membiaskan
sisa-sisa kecantikan di masa mudanya.
Orang di hadapan si nenek geleng-geleng
kepala lalu tersenyum sendiri. Orang ini lantas
gerakkan tangan usap-usap hidungnya.
Sampai di depan batangan kayu yang me-
lintang di mana si nenek duduk mencangkung,
orang ini lirikkan sepasang matanya. Si nenek tak
gerakkan tubuh, matanya pun belum dia buka.
"Hem.... Tak baik mengganggu keasyikan
orang...," gumamnya seraya angkat kaki kanan
nya hendak melewati batangan kayu. Namun kaki
orang ini tertahan di udara tatkala bersamaan
dengan itu terdengar bentakan keras dari mulut
si nenek.
"Kurang ajar! Beraninya kau hendak me-
masuki daerahku tanpa izin. Cepat katakan siapa
dirimu!"
Orang itu tarik pulang kaki kanannya lalu
berpaling. Dia mengernyit. Batinnya lalu mem-
perhatikan sekali lagi. "Daerahnya?! Apakah be-
rarti dia pemilik tanah ini?!" Orang ini lalu mem-
buka mulut.
"Nek.... Apakah tanah ini milikmu?!"
Sepasang mata nenek yang sedari tadi ter-
pejam kontan membuka. Ternyata mata itu sipit.
Untuk beberapa saat sepasang mata sipit sang
nenek memperhatikan orang di sampingnya. Bi-
birnya mengulas senyum namun senyum itu di-
putus seketika lalu terdengar lagi bentakannya.
"Aku tidak bicara soal tanah. Aku tanya
siapa kau!"
"Sialan. Kalau tidak kuturuti maunya uru-
san sepele ini akan jadi panjang...." Orang ini lan-
tas jerengkan sepasang matanya lalu usap-usap
hidungnya sambil menjawab. "Namaku Aji Sapu-
tra...."
"Hem.... Nama bagus tapi tampangmu ti-
dak!" gumam si nenek lalu berpaling seraya me-
lanjutkan. "Hari ini tak seorang pun boleh mele-
wati kawasanku. Cepat putar dan tinggalkan
tempat ini!"
Orang berpakaian hijau yang dilapis dengan baju lengan panjang kuning, rambut panjang
dan dikucir ekor kuda, bertubuh tegap dan ber-
wajah tampan bukan lain adalah Pendekar Mata
Keranjang 108. Cengar-cengir sambil usap-usap
hidungnya.
"Peringatan telah dikeluarkan. Atau kau
ingin jadi mayat?!" hardik si nenek tanpa berpal-
ing lagi.
Aji sedikit tersentak, bukan hanya karena
hardikan si nenek yang bikin gendang telinga lak-
sana ditusuk namun juga mampu membuat isi
dadanya tergetar. Hanya orang bertenaga dalam
tinggi yang bisa melakukan hal seperti itu.
"Bagaimana ini? Padahal aku harus mele-
wati jalan ini!" batin Aji lalu berkata pada si ne-
nek. "Nek.... Kalau ini kawasanmu, tolonglah. Bi-
arkan aku lewat. Aku punya urusan yang harus
segera diselesaikan!"
"Setan! Apa kau tuli, hah?!"
"Edan! Daripada cari urusan...," gumam
Pendekar Mata Keranjang lalu edarkan pandan-
gannya. Senyumnya tersungging dengan kepala
manggut-manggut. Tanpa bicara lagi murid Wong
Agung ini putar tubuh lalu melangkah ke arah
mana dia datang.
"Hem.... Lewat sebelahnya juga bisa...," ka-
ta Aji dalam hati lalu menoleh ke belakang. Si ne-
nek terlihat masih berpaling tidak memperhatikan
dirinya. Secepat kilat murid Wong Agung ini ber-
kelebat ke arah utara, lalu berbelok dan berkele-
bat lurus ke depan, arah mana sejajar dengan
tempat si nenek.
Merasa tak ada halangan lagi, Pendekar
108 memperlambat larinya lalu melangkah pelan-
pelan seraya bersiul-siul, mendendangkan lagu
yang tak ketahuan artinya.
"Nenek aneh. Dikira jalan ini cuma satu.
He... he... he...! Siapa dia sebenarnya? Makin ba-
nyak saja orang-orang aneh yang kutemui. Apa-
kah dia salah satu dari orang-orang yang menje-
jaki lembaran kulit itu seperti halnya diriku?! Ah,
persetan. Mungkin saja...," murid Wong Agung
tak meneruskan kata hatinya. Malah langkahnya
tiba-tiba terhenti dengan mulut terkancing. Sepa-
sang matanya membeliak hampir tak percaya.
Sepuluh langkah di hadapannya terlihat
seseorang duduk dengan lutut ditekuk sejajar da-
da. Kedua tangannya melingkar di depan kaki.
Sementara mulutnya bergerak-gerak.
"Sialan! Nenek itu!" maki Aji seraya me-
mandang tak berkedip.
"Kau tak mengindahkan peringatan orang.
Tampaknya kau memang mau mati muda!" habis
berkata begitu, orang yang duduk dan bukan lain
adalah si nenek berjubah kembang-kembang le-
paskan lingkaran tangannya pada kaki lalu tan-
gan kanannya mengibas ke depan.
Wuuttt!
Gelombang angin menderu dahsyat menga-
rah pada murid Wong Agung. "Nek! Kita bicara
baik-baik. Aku...," ucapan Pendekar Mata Keran-
jang 108 terputus karena sapuan gelombang an-
gin telah datang. Pendekar dari Karang Langit ini
cepat bergerak ke samping menghindar. Namun
bersamaan dengan itu gelombang angin susulan
telah menggebrak. Aji coba berkelit namun ter-
lambat. Hingga tubuhnya berputar lalu terbanting
ke tanah! Pada saat bersamaan terdengar suara
tawa mengekeh panjang lalu Aji merasakan desi-
ran angin. Berpaling, si nenek telah tegak di sam-
pingnya dengan kacak pinggang!
Seraya meringis kesakitan, Pendekar 108
bergerak bangkit. Sebenarnya dada pemuda ini
telah dilanda rasa geram namun ditahannya keti-
ka sadar jika yang dihadapi adalah seorang nenek
tua yang mungkin saja pemilik kawasan itu.
"Sebaiknya aku mencari jalan lain saja da-
ripada mencari penyakit. Orang macam begini
akan semakin menjadi-jadi bila diladeni...," Pen-
dekar 108 lalu putar tubuh dan melangkah balik
dengan hati memaki tak habis-habisnya. Namun
baru saja lima langkah, terdengar teriakan keras.
"Hukumanmu belum selesai. Ke mana kau
akan pergi?!"
"Tua bangka sialan ini benar-benar bikin
urusan!" Murid Wong Agung berpaling ke bela-
kang. "Nek. Apa maumu sebenarnya?! Aku sudah
menerima kau buat jatuh. Sekarang kau bilang
hukuman belum selesai!"
"Kau berani menipuku dengan menelikung
jalan hendak masuk kawasanku. Hukuman ba-
gimu adalah mati!" ujar si nenek membuat Pen-
dekar Mata Keranjang terperangah bercampur ge-
ram.
"Edan!" umpat Aji.
"Betul. Edan! Kalau tidak berlaku edan kau
tidak akan kebagian!" timpal si nenek lalu buka
mulutnya lebar-lebar. Bersamaan dengan itu
gumpalan cairan menjijikkan melesat keluar dari
mulutnya.
Aji terbelalak. Baru sekali ini dia lihat
orang mampu membuang ludah dengan membu-
ka mulut lebar-lebar! Dan liur itu bukan saja me-
lesat laksana anak panah namun juga keluarkan
suara mendesing disertai sambaran angin keras!
Murid Wong Agung cepat angkat tangan
kanannya lalu dihantamkan ke bawah arah mana
gumpalan ludah melesat. Tapi yang dipukulnya
hanyalah udara kosong! Pada saat bersamaan
terdengar suara 'breett'. Pendekar 108 melirik.
Pakaian bagian pinggangnya robek dan menge-
pulkan asap!
Selagi Pendekar Mata Keranjang terhenyak
menyaksikan, si nenek tiba-tiba goyang-
goyangkan kepalanya. Tubuhnya berputar satu
kali. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-
tahu dua tangan telah menghantam ke arah kepa-
la Aji.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua pasang tangan belum sampai meng-
hantam sasaran angin deras telah mendahului
menderu.
"Gila! Omongan tua bangka ini tidak main-
main. Dia ingin aku mati!" duga Pendekar 108.
Pemuda ini segera rundukkan sedikit kepalanya
lalu kedua tangannya dihantamkan ke atas.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Pen
dekar 108 berseru tertahan. Tubuhnya terdorong
sampai lima langkah. Kedua tangannya laksana
dipanggang api dengan dada berdenyut sedikit.
Ketika matanya meneliti, tampak kedua tangan
itu berwarna merah dan bergetar!
Di hadapannya, si nenek kibas-kibaskan
kedua tangannya. Meski tidak mengeluarkan se-
ruan, namun dari paras wajahnya jelas jika orang
tua ini merasakan sakit.
"Anak sialan! Kau membuat tanganku ke-
semutan. Kau harus mati dua kali!" hardik si ne-
nek lalu angkat kedua tangannya sejajar dada.
"Tahan!" seru Aji tatkala mengetahui si ne-
nek hendak lepaskan pukulan tangan kosong ja-
rak jauh. Tapi seruan Aji tak mendapat tangga-
pan. Malah si nenek keluarkan tawa berderai
sambil hantamkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Pendekar Mata Keranjang tak mendengar
suara deruan. Namun bersamaan dengan itu tu-
buhnya seperti disapu gelombang angin dahsyat
yang berputar-putar aneh, hingga tubuhnya ber-
putar-putar. Sebelum putaran angin itu meng-
hempaskan tubuhnya, murid Wong Agung ini ke-
rahkan tenaga dalam. Kedua tangannya meman-
carkan sinar kebiruan, lalu didorongkannya ke
depan.
Wuttt! Wuttt!
Dua larik sinar biru membersit, sekejap
kemudian mengembang.
"Mutiara Biru.... Hik... hik... hik.... Apa he-
batnya?!"
Pendekar 108 jadi terhenyak mendengar si
nenek mengenali pukulan yang dilepaskannya.
Sementara itu di hadapannya si nenek kebutkan
kedua tangannya ke bawah. Lalu telapak tangan-
nya dikembangkan dan didorong pelan-pelan ke
depan. Pendekar Mata Keranjang hampir tak
mempercayai penglihatannya. Pukulan 'Mutiara
Biru' yang dilepaskannya serta-merta berbalik
melesat ke arahnya! Hingga saat itu juga dua si-
nar biru pukulannya sendiri menderu ke arahnya!
Tak ada jalan lain bagi Pendekar 108 kecuali
menghantam serangannya sendiri. Maka dengan
membentak keras kedua tangannya didorong
kembali. Kali ini dengan kerahkan setengah dari
tenaga dalamnya.
Blaaarrr!
Kawasan luar hutan itu laksana dilanda
gempa. Hawa panas menghampar, suasana beru-
bah menjadi semburat warna biru. Tanah ber-
hamburan ke udara dan semak belukar tak jauh
dari terjadinya bentrok pukulan sakti itu terbabat
rata dan hangus.
Karena pukulannya yang membalik telah
disertai dengan pukulan si nenek, maka tenaga di
dalamnya lebih kuat dari pukulan yang dilepas Aji
untuk menangkis, hal ini membuat tubuh murid
Wong Agung ini mencelat ke belakang dan jatuh
terbanting di atas tanah! Pemuda ini merasakan
napasnya tersumbat dan aliran darahnya mam-
pet. Namun sadar jika sewaktu-waktu orang tua
ini bisa mencelakai dirinya, Aji cepat kerahkan
tenaga dalam untuk mengatasi aliran darah dari
dadanya.
Di seberang sana, meski hanya mendorong
pukulan Pendekar 108, namun tak membuat si
nenek selamat dari bias bentroknya pukulan. Se-
hingga ketika ledakan terdengar, sosok si nenek
melenting laksana kapas ke belakang. Namun se-
belum tubuhnya menyuruk tanah, orang tua ini
kebutkan kedua tangannya ke bawah. Hingga tu-
buhnya yang hampir menghajar tanah itu mem-
bumbung kembali ke udara. Di udara si nenek
membuat gerakan laksana orang menari dengan
kepala digoyang-goyang. Anehnya bersamaan
dengan itu, tubuhnya melayang turun perlahan-
lahan sebelum akhirnya menjejak tanah dengan
duduk, kedua kaki merangkap di depan dada dan
kedua tangan dilingkarkan!
Pendekar Mata Keranjang gertakkan ra-
hang. Kemarahan yang ditahan serta ancaman
orang membuat darah mudanya tak bisa diben-
dung lagi. Seraya gulingkan tubuh kedua tangan-
nya disentakkan dengan telapak mengembang.
Hawa panas menghampar, semburat warna
kebiruan serta dua sinar biru mencorong melesat
cepat dengan membawa gelombang angin dahsyat
ke arah nenek. Murid Wong Agung ini telah le-
paskan pukulan 'Mutiara Biru' dengan tenaga da-
lam penuh.
Di seberang sana, si nenek keluarkan se-
ruan tegang. Kepalanya digoyang-goyang. Lalu
tubuhnya berputar dan berkelebat lenyap dari
pandangan. Pukulan sakti yang dilepas Pendekar
108 terus melesat lalu menghantam apa saja yang
ada di belakang si nenek tadi berada.
Dua batang pohon besar langsung berde-
rak tumbang, sementara semak belukar tercabut
sampai akar-akarnya dan terhumbalang ke uda-
ra. Belum sirap suara derak tumbangnya pohon,
terdengar suara tawa panjang mengekeh. Pende-
kar Mata Keranjang terlonjak hingga bangkit ber-
diri lalu berpaling. Si nenek berjubah kembang-
kembang kecak pinggang, tegak empat langkah di
samping Pendekar 108! Dan belum sempat Pen-
dekar Mata Keranjang melakukan gerakan, si ne-
nek telah melompat dengan tangan kanan di atas
kepala siap lakukan pukulan.
Murid Wong Agung tak mau bertindak ayal.
Kedua tangannya cepat diangkat untuk menang-
kis. Namun Aji tertipu, karena bersamaan dengan
terangkatnya tangan Pendekar Mata Keranjang, si
nenek tarik pulang tangannya. Tubuhnya berges-
er ke samping lalu tangan kirinya bergerak mene-
likung.
Pendekar 108 merasakan tubuhnya te-
rangkat. Dia cepat menghantam ke tangan kiri si
nenek yang ternyata telah menelikung pinggang-
nya. Namun hantaman Pendekar 108 terlambat.
Sebelum tangan itu menghantam, si nenek telah
sentakkan tangan kirinya yang menelikung ping-
gang Pendekar Mata Keranjang, hingga kejap itu
juga tubuh murid Wong Agung ini terbanting de-
ras ke atas tanah!
Si nenek melangkah mendekat dengan
mengumbar tawa. Sadar akan keadaan dirinya
dan tak ada jalan lain untuk mempertahankan
nyawa, Pendekar Mata Keranjang 108 meraba
pinggangnya di mana tersimpan kipasnya. Tangan
kanannya lalu menyelinap. Sebelum kipas keluar,
si nenek tengadahkan kepala seraya berteriak.
"Orang di balik pohon. Lekas keluar!"
Pendekar 108 meringis sambil kerutkan
dahi. Kipas yang sudah ada digenggaman urung
dikeluarkan. Namun tangan itu tetap menyelinap
di balik pakaian.
Belum lenyap suara si nenek, dari balik
pohon berkelebat sesosok bayangan lalu tegak li-
ma langkah di belakang si nenek.
Pendekar Mata Keranjang sipitkan mata
memperhatikan orang yang baru datang. Dia ada-
lah seorang gadis muda berparas cantik. Menge-
nakan pakaian warna biru ketat dengan rambut
panjang tergerai. Sepasang matanya bulat dengan
bibir merah. Dadanya terlihat kencang sementara
pinggulnya mencuat bagus.
Untuk beberapa saat gadis berpakaian biru
ini memperhatikan Aji dengan mata tak berkedip.
Lalu melihat punggung si nenek dengan mata
berkilat-kilat. Si nenek putar tubuhnya. Tiba-tiba
nenek berjubah kembang-kembang ini kernyitkan
kening. Lalu dari mulutnya terdengar gumaman
tak menentu. Namun jelas jika nenek ini merasa
terkejut!
"Aneh.... Dia yang memanggil tapi dia ter-
kejut...," gumam Pendekar 108 lalu perlahan-
lahan bangkit.
TUJUH
KALAU si nenek tampak terkejut dengan
kedatangan si gadis berpakaian biru, tidak demi-
kian halnya dengan si gadis. Sepasang mata gadis
ini memandang tajam pada si nenek, memperha-
tikan dari ujung rambut sampai kaki.
"Rambut putih dikepang dua berbentuk
sayap, jubah kembang-kembang. Hem.... Tua
bangka inilah orangnya...," batin si gadis. "Tapi
untuk meyakinkan, akan kutanya dulu!"
Gadis berbaju biru ini lantas tengadahkan
kepala. Dari mulutnya terdengar dia berucap.
"Kau manusia yang bergelar Peri Kupu-
kupu?! Benar?!"
Si nenek berjubah kembang-kembang
goyang-goyangkan kepalanya beberapa kali. Tiba-
tiba dia perdengarkan tawa mengekeh.
"Lain yang dipanggil lain yang datang! Tak
apalah...," gumam si nenek lalu sapukan pandan-
gannya berkeliling. Matanya mencari-cari.
"Orang tua! Lekas jawab. Jangan sampai
aku salah turunkan tangan!" si gadis membentak
tatkala si nenek tak jawab pertanyaannya.
"Lain yang dicari lain yang didapat. Hem...
anak gadis. Nasibmu baik. Kau memang sedang
berhadapan dengan orang yang kau sebut!" Habis
berkata demikian si nenek kembali sapukan pan-
dangannya sambil bergumam. "Ke mana tua
bangka sialan itu...!?"
"Hem.... Jadi bukan gadis ini sebenarnya
yang tadi dipanggil. Lalu siapa? Berarti masih ada
orang lagi di sekitar sini!" pikir Pendekar 108 be-
gitu mendengar gumaman si nenek yang membe-
narkan dirinya bergelar Peri Kupu-kupu.
"Peri Kupu-kupu...? Hem.... Tua bangka
peot begini bergelar Peri...?!" Aji jadi tertawa sen-
diri dalam hati. Lalu pandangannya mengarah
pada gadis berbaju biru. "Dia tampaknya mena-
han marah. Siapa dia? Hem.... Wajahnya cantik,
tubuhnya bagus...."
Di hadapan Peri Kupu-kupu, si gadis lu-
ruskan kepalanya. Matanya berkilat-kilat me-
nyengat pada Peri Kupu-kupu. Kejap lain dia ke-
luarkan dengusan keras lalu berkata.
"Dengar! Aku Seruni, cucu sekaligus murid
Raksasa Bermuka Hijau! Kau adalah salah seo-
rang yang harus kulenyapkan dari lindungan lan-
git! Itu tujuanku dan itu nasib buruk yang harus
kau terima!"
Habis berkata begitu, si gadis yang menye-
but dirinya Seruni mundur dua langkah. Kedua
tangannya dipalangkan di depan dada siap le-
paskan pukulan.
Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepa-
lanya tanpa membuat gerakan tangan. Mulutnya
komat-kamit sebentar, lalu berujar.
"Anak gadis. Sebaiknya kita bicara dulu.
Jangan sampai urusan orang-orang tua menurun
pada cucu!"
"Itu urusanmu! Urusanku membunuhmu!"
"Baiklah. Sebelum aku mati di tanganmu,
mau kau jawab pertanyaanku?!"
Sepasang mata Seruni sejenak menatap ke
arah mata sipit Peri Kupu-kupu.
"Katakan!"
"Kau bilang aku adalah salah seorang yang
harus kau bunuh. Siapa lagi lainnya?!"
Seruni tertawa pendek. "Itu urusanku. Kau
nanti dapat tanya pada teman-temanmu di alam
kubur!"
Peri Kupu-kupu tak marah mendengar
hardikan Seruni. Sebaliknya dia tersenyum-
senyum. "Selain membunuh, kau juga punya tu-
juan lain?!" Peri Kupu-kupu ajukan pertanyaan.
"Persetan dengan segala tanyamu! Terima-
lah nasib burukmu!" sergah Seruni lalu tarik tan-
gannya dari dada terus ke belakang. Lalu mendo-
rongnya ke depan.
"Tahan! Jika aku mati, apakah kau tak
menyesal?!"
"Jahanam! Apa maksudmu?!"
Peri Kupu-kupu tertawa mengekeh. Puas
tertawa nenek ini palingkan wajahnya ke samp-
ing. Pendekar 108 terlihat berdiri menyandar di
batang pohon seraya memperhatikan ke arahnya,
membuat si nenek kernyitkan dahi sambil berkata
dalam hati. "Sialan. Dikiranya apa aku ini?" Se-
mentara itu Seruni diam-diam juga lirikkan ma-
tanya pada Aji.
"Hem.... Siapa pemuda ini? Kenapa bentrok
dengan Peri Kupu-kupu? Apakah ia juga mempu-
nyai tugas seperti...," Seruni putuskan kata ha-
tinya, karena saat itu Peri Kupu-kupu telah berkata.
"Anak gadis. Aku tahu. Membunuhku ada-
lah urutan kedua. Yang pertama sebenarnya ada-
lah mengorek keterangan dariku. Betul bukan?!"
"Keterangan apa yang bisa diperoleh dari
Tua bangka sepertimu? Hah...? Bagiku kema-
tianmu adalah yang pertama dan terakhir!"
Ucapan Seruni sedikit merubah paras wa-
jah Peri Kupu-kupu. Dalam hati nenek ini berka-
ta. "Apakah Raksasa Bermuka Hijau melupakan
urusan itu? Jika tidak, kenapa masih menu-
gaskan gadis ini untuk mencabut nyawaku? Apa-
kah dia tak ingin mengorek keterangan mengenai
Lembaran Kulit Naga Pertala yang disangkanya
ada padaku?! Ataukah dia telah yakin kalau lem-
baran kulit itu masih berada di Bukit Siluman?!
Kalau tidak, mana mungkin dia menginginkan
kematianku sebelum didapatkannya lembaran
itu?!"
Selagi Peri Kupu-kupu menduga-duga, Se-
runi berkata.
"Kau siap menuju kematian?! Atau mau bi-
cara dulu?!"
"Anak gadis. Bicara adalah jalan terbaik,
karena kematian tidak menyelesaikan urusan.
Tapi karena ini urusanku dengan Raksasa Ber-
muka Hijau kakekmu, lebih baik aku mene-
muinya...."
"Aku adalah cucunya! Katakan saja pada-
ku! Aku utusannya!"
Peri Kupu-kupu gelengkan kepalanya.
"Urusan kecil di tangan orang tua akan berubah
besar jika jatuh ke tangan anak muda! Aku akan
bicara sendiri dengan kakekmu!"
"Baik. Akan kuantar kau menemuinya. Ta-
pi hanya penggalan kepalamu!" hardik Seruni
dengan suara tinggi. Gadis ini lalu berkelebat ke
depan. Tangan kiri kanannya disentakkan ke
arah Peri Kupu-kupu.
Murid Wong Agung yang berada tak jauh
dari situ buru-buru menghindar dengan melom-
pat ke belakang lalu seenaknya saja duduk meng-
gelosoh. Dari tempatnya kini dia memandang le-
kat-lekat pada Peri Kupu-kupu sambil usap-usap
hidungnya.
"Hem.... Mendengar nada bicaranya, nenek
ini orang baik-baik. Dan kalau mau sebenarnya
mudah saja dia membunuhku saat aku roboh.
Tapi dia tidak melakukannya. Malah memanggil
seseorang tapi yang muncul lain. Hem.... Nenek
ini mempunyai maksud tertentu...."
Di depan sana, begitu Seruni sentakkan
kedua tangannya, dua rangkum angin keluarkan
suara laksana badai melesat cepat ke arah Peri
Kupu-kupu.
Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepala.
Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara. Tangan kiri
kanannya mengebut ke bawah.
Wuuutt! Wuuttt!
Tiada suara deruan yang terdengar, namun
di bawah sana serangan Seruni bukan hanya me-
lenceng tersapu tapi juga ambyar dengan kelua-
rkan letupan. Sosok Seruni terlihat tersurut
mundur hingga lima langkah, membuat gadis
berparas cantik ini katupkan mulut rapat-rapat
dengan dagu mengembang. Sepasang matanya
mengikuti gerakan Peri Kupu-kupu yang perla-
han-lahan melayang turun seperti seekor kupu-
kupu yang hendak hinggap di bunga.
Begitu setengah tombak lagi si nenek men-
jejak tanah, Seruni keluarkan bentakan keras
sambil kirimkan serangan. Tubuhnya berputar
dua kali, pada putaran ketiga kedua tangannya
menghantam.
Suasana mendadak redup pekat, hawa
dingin menusuk menyungkup tempat itu. Angin
menderu-deru laksana gemuruh gelombang. Dike-
jap lain terdengar suara seperti air laut muncrat.
Bersamaan dengan itu suasana tambah pekat,
karena tanah yang terkena pukulan Seruni ter-
bongkar lalu membumbung ke udara.
Seruni menunggu dengan tangan siap
kembali kirimkan pukulan karena dia tak men-
dengar suara seruan atau erangan dari orang
yang diserang. Namun hingga suasana sirap, ga-
dis ini tetap tak mendengar suara erangan malah
lebih-lebih yang membuatnya membelalak, si ne-
nek tak tampak batang hidungnya!
"Jahanam! Kalau mampus mana bangkai
keparatnya kalau hidup mana sosok bangsat-
nya?!"
Seruni besarkan sepasang matanya menca-
ri ke sana kemari. Sementara Pendekar Mata Ke-
ranjang memandang Seruni dengan senyum dita-
han, membuat gadis itu curiga lalu membentak.
"He! Maha Tua bangka itu?!"
Pendekar 108 layangkan pandangannya lu
rus pada si gadis, namun sebenarnya matanya
memandang pada sosok yang berada tepat di be-
lakang si gadis.
Mendapati orang tidak menjawab perta-
nyaannya bahkan memandangnya dengan aneh,
Seruni jadi naik pitam.
"He! Lekas jawab atau kau ingin mati seka-
lian?!"
"Aku di sini, Anak gadis...."
Seruni tersentak hingga meloncat ke de-
pan, karena suara itu demikian dekat dengan te-
linganya. Dia lalu memutar diri dan tampaklah
Peri Kupu-kupu tegak di mana tadi dia berada!
Hal ini membuat Seruni terguncang dengan muka
merah mengelam. Gadis ini maklum jika saja Peri
Kupu-kupu punya niat mencelakai dirinya, tidak
sulit hal itu dilakukan karena saat itu Peri Kupu-
kupu tepat berada di belakangnya sementara di-
rinya tak tahu.
Peri Kupu-kupu merapikan rambutnya
yang cuma sebatas tengkuk. Lalu melangkah per-
lahan ke arah Seruni.
Entah merasa jera atau geram, Seruni me-
lompat mundur seraya kirimkan pukulan. Dikejap
lain tubuhnya berputar lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu.
Peri Kupu-kupu menggeser langkah satu
tindak ke samping. Pukulan Seruni yang tampak-
nya dilakukan tanpa tenaga dalam kuat itu men-
deru ke sampingnya.
"Tunggu!" seru Peri Kupu-kupu menahan
kelebatan Seruni, namun gadis itu telah lenyap.
Nenek ini lantas berpaling ke arah Pendekar 108.
Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas
tatkala matanya tak lagi melihat pemuda itu.
Peri Kupu-kupu usap keringat di leher dan
wajahnya. Lalu mendongak dan berkata. "Banci!
Kenapa kau diam saja di situ?!"
Si nenek tak menunggu lama. Saat itu juga
dari balik sebuah pohon besar berkelebat sesosok
bayangan, dan tahu-tahu di depan Peri Kupu-
kupu berdiri seorang lelaki berwajah amat tam-
pan, malah lebih mendekati jelita. Sepasang ma-
tanya berbentuk bundar. Rambutnya panjang dan
dikepang dua. Bibirnya berbentuk bagus, dan di-
beri pemerah menyala. Tubuhnya yang semampai
dibungkus pakaian perempuan.
Orang yang baru datang, keluarkan tawa
panjang. Tangan kanannya bergerak pulang balik
dengan gemulai. Setelah mengerdipkan mata ki-
rinya, dia berkata. Suaranya mirip seorang pe-
rempuan.
"Peri Kupu-kupu. Manusia punya kehen-
dak namun yang di atas menentukan. Aku tahu,
kau tadi berkehendak memanggilku, tapi yang
muncul gadis itu."
"Setan Pesolek! Tak usah banyak bicara!"
rungut Peri Kupu-kupu kesal. "Jangan menam-
bah-nambah urusanku lagi!"
"Manusia hidup tak lepas dari urusan, Peri
Kupu-kupu. Itulah hidup. Tapi tiada urusan yang
tak dapat diselesaikan."
"Sekarang bagaimana?!"
"Kita cari tempat yang tenang untuk bica
ra."
Laki-laki berpakaian perempuan yang ter-
nyata berjuluk Setan Pesolek lalu memberi isyarat
pada Peri Kupu-kupu. Kejap lain dia melesat di
antara kerapatan rimbun pohon meninggalkan
tempat itu, disusul kemudian oleh si nenek ber-
jubah kembang-kembang.
DELAPAN
SERUNI yang mengaku cucu dan murid
Raksasa Bermuka Hijau terus berlari laksana di-
kejar setan. Segenap kemampuannya dikerahkan.
Karena saat itu malam telah turun, membuat so-
soknya menjadi samar-samar hitam yang berke-
lok-kelok di antara kerapatan pohon. Dia berlari
kencang bukan khawatir dikejar oleh Perl Kupu-
kupu, karena dia sudah sempat berpaling ke be-
lakang dan dengan sekilas pandang gadis ini telah
tahu jika si nenek tak mengejarnya. Sebaliknya
dia berkelebat cepat karena hatinya gundah dan
kecewa tak dapat melaksanakan niatnya untuk
membunuh Peri Kupu-kupu. Yang lebih lagi,
seandainya Peri Kupu-kupu mau, nyawanya
mungkin sudah melayang!
Pada suatu tempat bertanah rata dan di
sana-sini banyak batu-batu besar, Seruni henti-
kan larinya. Setelah mengusap keringat di wajah-
nya dia melangkah perlahan ke arah sebuah batu
besar lalu duduk dengan sandarkan punggung.
Kedua kakinya diselonjorkan ke depan.
Gadis berwajah cantik ini tengadahkan ke-
pala. Langit tampak cerah tak berawan. Bintang
gumintang bertaburan dan bulan mulai meram-
bat pelan menambah keindahan cakrawala. Tapi
semua itu tak membuat Seruni terhibur. Wajah-
nya pucat dan murung. Lalu dari mulutnya ter-
dengar dia berucap lirih.
"Eyang Guru.... Maafkan aku. Aku belum
berhasil melaksanakan tugas yang kau ama-
natkan padaku. Tapi percayalah, aku tak akan
kembali dengan tangan hampa. Bagaimanapun
caranya, aku akan membawa kepala tua bangka
itu ke hadapanmu, peduli setan dia memberikan
keterangan atau tidak!"
Sejenak Seruni terdiam. Kepalanya masih
tengadah. Kini sepasang matanya memperhatikan
sang rembulan. Kalau sebentar tadi air mukanya
membayangkan kekecewaan dan geram, kini be-
rubah menjadi gelisah dan bimbang.
"Membuat mampus salah seorang dari be-
berapa orang yang harus kulenyapkan begini su-
litnya. Apakah aku mampu untuk menghadapi
lainnya? Ah.... Belum lagi mencari pemuda yang
katanya berhasil memiliki kipas ungu 108 yang
kini digelari orang Pendekar Mata Keranjang 108.
Akankah aku dapat menyelesaikan tugas ini atau
gagal dan bahkan harus tewas? Ah, seandainya
aku tahu di mana ibuku berada mungkin dia da-
pat membantuku. Ibu.... Di mana kau berada?
Masih hidupkah kau...?" Tanpa disadari oleh Se-
runi air matanya sudah berlinang membasahi wajah dan sebagian pakaiannya.
"Eyang selalu mengatakan bahwa ibuku te-
lah meninggal tapi dia mungkir jika kutanya di
mana kuburnya. Firasatku mengatakan ibu lupa
jika pernah melahirkan seorang anak? Ah, betapa
banyak masalah yang kuhadapi...."
Tiba-tiba Seruni sentakkan kepalanya ke
sebelah kanan, matanya berkilat-kilat meman-
dang ke arah sebuah batu besar. Kedua tangan-
nya diangkat mengusap sebagian air matanya.
Mendadak dia bangkit lalu berteriak garang.
"Siapa pun adanya kau, cepat unjukkan di-
ri!"
Tak ada suara menyahut atau munculnya
seseorang. Namun Seruni masih menunggu. Be-
berapa saat berlalu masih tak ada gerakan tak
ada jawaban, Seruni tarik tangan kanannya ke
belakang.
"Bagus! Rupanya kau ingin kekerasan!" Se-
runi mendengus keras. Tangan kanannya segera
dihantamkan ke arah batu besar. Dia sengaja
menghantam bagian atas batu, hingga kejap ke-
mudian bagian atas batu besar itu pecah berkep-
ing dan berhamburan ke udara.
Namun sejauh itu belum tampak adanya
gerakan dari balik batu, membuat si gadis marah.
Kini kedua tangannya ditarik dan dihantamkan
langsung ke arah batu itu. Sebelum kedua tangan
menghantam, dari balik batu berkelebat sesosok
bayangan, seraya berseru.
"Tahan pukulan!"
Seruni urungkan niat. Kini sepasang matanya mendelik memperhatikan seorang pemuda
berpakaian hijau dilapis pakaian tangan panjang
kuning, tegak berdiri di hadapannya dengan se-
nyum-senyum.
"Kau!" gumam Seruni parau begitu menge-
nali siapa adanya pemuda.
"Kau sengaja mengikutiku dan mencuri
dengar! Kau mungkin teman tua bangka itu. Kau
harus mati!" ujar Seruni sambil tarik kedua tan-
gannya lagi siap lepaskan pukulan.
"Tunggu!" tahan si pemuda yang bukan
lain adalah Pendekar Mata Keranjang 108 sambil
memandang lekat-lekat pada Seruni.
Sewaktu Seruni bentrok dengan Peri Kupu-
kupu dan tak dapat melaksanakan niatnya, gadis
ini berkelebat pergi setelah kirimkan satu puku-
lan. Pada saat bersamaan Aji pun diam-diam ber-
kelebat pergi. Karena arah yang dituju sama den-
gan Seruni, Pendekar Mata Keranjang mengiku-
tinya dari belakang. Sebenarnya dia tidak berniat
mengikuti ke mana Seruni pergi. Namun setelah
sampai pada suatu tempat rata yang jarang di-
tumbuhi pohon, Pendekar 108 jadi kebingungan
sendiri. Jika dia terus berlari bukan tak mungkin
Seruni akan mengetahuinya. Pendekar 108 tak
mau bikin persoalan. Dia telah menduga jika nan-
tinya Seruni pasti akan menuduh yang bukan-
bukan jika dia ketahuan. Memikir sampai di situ,
begitu Seruni duduk bersandar pada sebuah batu
besar, Pendekar 108 ini diam-diam juga menyeli-
nap dan mendekam di balik sebuah batu di sebe-
lah kanan Seruni sambil mencari kesempatan untuk berkelebat. Namun niatan Aji tertahan tatkala
telinganya menangkap ucapan Seruni. Dan ak-
hirnya dia mengambil keputusan untuk tetap di
balik batu begitu mendengar dirinya juga disebut-
sebut oleh Seruni. Meski saat itu Seruni tak me-
nyebut namanya, namun pemuda yang telah me-
miliki kipas ungu 108 tidak lain adalah dirinya!
"Maaf. Aku bukan mengikuti atau mencuri
dengar ucapanmu. Kita hanya searah dalam per-
jalanan. Aku...."
"Dusta!" potong Seruni. "Apa yang kau ker-
jakan di balik batu itu. Hah...?!"
Pendekar Mata Keranjang cengar-cengir
sambil usap-usap hidungnya. "Seperti halnya
kau, aku juga capek. Lalu duduk di balik batu...."
"Hem.... Begitu. Jelaskan siapa dirimu.
Siapa gelarmu dan apa hubunganmu dengan tua
bangka berjubah kembang-kembang tadi!"
Aji senyum-senyum sejenak lalu menjawab.
"Aku Aji Saputra... Seorang pengelana jalanan
yang melangkah menurutkan ke mana kaki men-
gayun. Si nenek itu pun baru kali ini kutemui!"
Si gadis memandang Pendekar Mata Keran-
jang dari atas hingga bawah. "Aji.... Tapi kalau
tua bangka Peri Kupu-kupu bikin masalah den-
gan dia, pastilah dia salah seorang dari kaum
persilatan. Hem.... Apa dia tadi mendengar uca-
panku? Ah, peduli setan!" Seruni arahkan pan-
dangannya pada jurusan lain. Lalu berujar.
"Malam ini aku masih berbaik hati. Cepat
tinggalkan tempat ini!"
Murid Wong Agung tak menghiraukan uca
pan orang. Malah dia melangkah satu tindak ke
depan.
"Seruni. Apa yang kau ketahui tentang ne-
nek bergelar Peri Kupu-kupu itu?!"
Seruni menggeleng pelan. "Di sini bukan
tempatnya untuk bertanya! Kataku cepat tinggal-
kan tempat ini. Pikiranku bisa berubah dalam se-
saat!"
"Jika itu maumu, baiklah. Tapi kusaran-
kan padamu untuk berpikir jernih. Meski aku be-
lum tahu siapa adanya Peri Kupu-kupu, namun
dia tampaknya orang baik-baik. Jangan menuruti
perasaan dan ucapan orang! Gunakan akal piki-
ran dan hati bersih.... "
"Jahanam! Kau tahu apa tentang tua
bangka itu, hah?! "
"Aku buta tentang dia. Tapi melihat sikap-
nya dia orang baik. Kau sadar itu?!"
Seruni tersenyum sinis. "Kau lupa. Sikap
seseorang justru tameng kepalsuan untuk menu-
tupi sifat sebenarnya!"
"Hem.... Jadi Peri Kupu-kupu itu orang ja-
hat?"
"Tidak hanya jahat tapi juga licik dan pen-
gecut! Orang macam dia pantas dilenyapkan!"
"Apa yang diperbuatnya terhadapmu?!"
"Kau bertanya apa menyelidik, hah?!"
"Aku hanya ingin tahu. Karena tanpa ujung
pangkal dia tiba-tiba menyerangku. Siapa tahu
ucapanmu benar, dia menyembunyikan sifat se-
benarnya. Takkan kubiarkan dia hidup jika dia
benar-benar orang jahat!"
"Kau jangan ikut campur urusan ini. Se-
lembar nyawanya milikku!" sahut Seruni seraya
arahkan kembali pandangannya pada Aji.
"Mana bisa begitu? Dia telah membuat
urusan denganku! Tapi, hem.... Bagaimana kalau
kita bersama-sama membagi nyawanya? Atau se-
tidak-tidaknya aku membantumu melenyapkan-
nya juga orang-orang lainnya? Bukankah selain
nenek itu kau masih punya urusan lagi?!"
"Berarti dia mendengar ucapanku tadi...,"
batin Seruni lalu tertawa pendek bernada sinis.
"Aku punya tangan untuk membunuhnya! Aku
tak butuh bantuan!"
"Sialan. Sombong betul gadis ini! Tapi aku
akan memancingnya untuk mengatakan apa hu-
bungannya dengan diriku...," Aji berkata dalam
hati.
"Seruni. Rimba persilatan kata orang tua-
tua penuh dengan kelicikan, kekejian, dendam
kesumat, hasutan serta fitnah. Lebih dari itu ber-
kubang beberapa orang aneh berilmu tinggi...."
Seruni kepalkan kedua tangannya dan di-
acungkan ke atas. "Rimba persilatan boleh me-
mendam seribu kelicikan, seribu kekejian dan
dendam kesumat. Silakan beratus-ratus orang
berilmu tinggi berenang di dalamnya! Aku telah
siap menghadang dan menghadapinya! Jangan ki-
ra aku jadi surut karena ucapanmu!"
"Semangatmu menyala-nyala, ilmumu ting-
gi. Tapi jangan lupa, otak serta kecerdikan juga
diperlukan. Jika tidak, kau akan meninggalkan
bumi sebelum kau bertemu dengan orang yang
selama ini kau rindukan!"
Seruni tak sadar tersurut sampai dua
langkah ke belakang mendengar ucapan terakhir
Pendekar Mata Keranjang. Parasnya berubah mu-
rung dengan bibir saling menggait. Perlahan-
lahan pula matanya tampak digenangi air.
Melihat keadaan Seruni, diam-diam Aji me-
rasa bersalah. Murid Wong Agung ini lalu me-
langkah mendekat.
"Maaf kalau ucapanku menyinggung. Se-
benarnya aku hanya ingin mengingatkan bahwa
ada sesuatu hal yang lebih penting dalam hidup-
mu selain amanat yang sekarang kau emban. Me-
nurutku.... "
Pendekar 108 tak lanjutkan ucapannya ka-
rena saat itu Seruni memandang ke arahnya den-
gan pandangan nyalang.
"Jangan lanjutkan kata-katamu! Dan ang-
kat kaki dari sini!"
"Seruni...."
"Pergi kataku! Pergi!" teriak Seruni dengan
air mata tumpah.
Entah Aji mengira teriakan si gadis hanya
karena terbawa perasaan yang sejenak kemudian
pasti akan reda, Pendekar Mata Keranjang tetap
tegak di situ.
"Jahanam!" maki Seruni seraya angkat ke-
dua tangannya. Suara gelombang angin dahsyat
menyapu ke arah Pendekar 108. Tersentak kaget,
Pendekar Mata Keranjang cepat-cepat berkelebat
meninggalkan tempat itu. Di depan sana tanah
kontan muncrat ke udara menghalangi pemandangan terkena pukulan Seruni.
Begitu tanah surut, Seruni tampak duduk
bersandar di lamping batu dengan tangan men-
dekap wajah. Bahunya berguncang-guncang. En-
tah apa yang ada di benak gadis ini, yang pasti di
lain saat terdengar suara sesenggukannya!
SEMBILAN
PENDEKAR 108 menggeliat ketika hawa
hangat menyentuh sekujur tubuhnya. Perlahan
dia membuka kelopak matanya. Mata itu segera
mengatup kembali ketika silau oleh cahaya mata-
hari pagi yang menerobos lewat daun-daun pepo-
honan di mana dia berada.
Tapi, secepat sepasang mata itu mengatup,
secepat itu pula, Aji membukanya. Karena sesaat
sebelum sepasang matanya dikatupkan karena
merasa silau, dia sempat melihat adanya dua so-
sok berdiri di hadapannya.
Mereka ternyata adalah seorang lelaki dan
perempuan yang telah berusia lanjut. Yang di se-
belah kanan adalah seorang kakek bertubuh ge-
muk besar. Pada kedua ketiaknya terlihat dua
bambu kecil sebagai penopang tubuh, karena ke-
dua kakinya buntung. Dua bambu itu demikian
kecilnya, dan tubuh si kakek demikian besarnya.
Tapi, bambu itu tidak melengkung apalagi patah!
Di sebelah si kakek adalah seorang perem-
puan tua yang juga bertubuh gemuk besar men-
genakan pakaian merah. Rambutnya yang putih
disanggul di atas. Bibirnya dipoles merah menya-
la. Nenek ini mengenakan anting-anting besar
yang dimuati beberapa anting-anting kecil.
"Gongging Baladewa.... Dewi Kayangan...,"
seru Aji setengah kaget, karena tak menyangka
akan bertemu dengan dua tokoh tua yang sakti
itu.
"Hik hik hik...!" perempuan gemuk itu ter-
tawa mengikik. Kemudian, setelah merasa puas
menebar kegembiraan, dia berkata.
"Kau benar-benar pemalas, Anak Kurang
Ajar! Hanya bicaramu saja yang besar, mengata-
kan hendak pergi ke Bukit Siluman. Tapi, nya-
tanya malah pergi ke Pulau Kapuk! Enak-enakan
tidur di sini! "
"Dewi... Siapa yang pemalas, dan enak-
enakan tidur?!" bantah Aji seraya usap-usap hi-
dung dan cengar-cengir.
"Tentu saja kau, Anak Kurang Ajar!" sentak
Dewi Kayangan. "Mana mungkin aku?! Bukankah
kau yang tengah bermalas-malasan. Bahkan ma-
lah tidur?! Bukankah sewaktu di Dusun Kepati-
han, setelah sembuh dari luka dalam akibat ber-
tarung dengan Dewa Maut, kau katakan ingin
pergi ke Bukit Siluman! Buktinya?!"
Pendekar 108 garuk-garuk kepalanya se-
raya bangkit.
"Kata-katamu perlu kubetulkan, Dewi," sa-
hut Pendekar Mata Keranjang. "Bukan aku yang
ingin pergi ke Bukit Siluman. Bagaimana mung-
kin aku ingin pergi ke tempat yang namanya baru
kudengar?! Apalagi di mana adanya tempat itu
pun aku belum tahu?!"
"Hik hik hik...!" Dewi Kayangan tertawa
mengikik. "Kau dengar ucapan anak ini, Gongg-
ing?! Meski kurang ajar dan tak bisa diam melihat
dahi licin, dia memiliki otak yang lumayan. Inga-
tannya cukup kuat."
"Seberapa kuat ingatannya, Dewi?" Gongg-
ing Baladewa ikut buka suara. "Mampukah men-
gangkat tubuhku?!"
Pendekar Mata Keranjang tak kuasa untuk
menahan senyum lebar yang menghias bibirnya.
"Hik hik hik...! Rupanya kau sudah men-
dapatkan kemajuan, Gongging. Kau sudah mem-
punyai selera untuk bergurau. Sayang, leluconmu
norak! Kau masih kurang tahu kapan dan di ma-
na harus bersikap seperti itu!" cela Dewi Kayan-
gan.
Gongging Baladewa hanya mendengus. Aji
tertawa pelan. Sedangkan Dewi Kayangan, cekiki-
kan.
"Anak Kurang Ajar!" Dewi Kayangan pu-
tuskan tawanya. "Kau tahu mengapa kau harus
ke Bukit Siluman?!"
Aji angkat kedua bahunya. Lalu kepalanya
digelengkan.
"Dewi.... Mengapa mesti bertanya lagi?!
Bukankah kau pun mendengar ketika Setan Peso-
lek menyuruhku pergi ke tempat itu?! Dia tak
menjelaskan apa pun!"
"Hik hik hik...! Inilah orang yang tak meng-
gunakan apa yang dimilikinya?! Punya mulut, tak
dipergunakan untuk bertanya! Mengapa tidak kau
tanyakan orang yang tak ketahuan jenisnya itu?!"
"Dewi.... Kurasa tak ada gunanya berteka-
teki lagi," Pendekar Mata Keranjang menukas.
"Kalau kau memang tahu, beritahukanlah pada-
ku. Kalau kau tak tahu, lebih baik kuteruskan ti-
durku yang tertunda. Pergi ke Bukit Siluman pun
tak ada artinya, bila aku tak tahu tujuannya!"
"Hik hik hik...! Sejak berpisah dari keka-
sihmu itu kau mudah sekali marah, Anak kurang
ajar! Tapi, baiklah. Dengarkan baik-baik, karena
aku tak akan mengulangi keteranganku lagi. Aku
hanya katakan sekali! Tidak ada pengulangan la-
gi, kecuali kalau memang sekali saja tak cukup!
Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh besar itu pu-
tuskan tawanya sebelum tuntas. Gongging Bala-
dewa geleng-geleng kepala, bingung.
"Anak bodoh! Waktu itu, si Pesolek me-
mang tak mengatakan mengapa kau harus pergi
ke Bukit Siluman. Karena, dia sendiri belum tahu
jelas. Si banci itu hanya tahu, ada sesuatu yang
sangat berharga di sana. Tapi, setelah kau pergi,
dia berhasil mengetahuinya!"
"Syukurlah...," desah Pendekar 108, seraya
usap-usap hidungnya. "Dengan begitu, aku tak
seperti keledai bodoh, mencari-cari sebuah tem-
pat, tanpa tahu apa yang kucari!"
"Jangan potong ucapanku! Kalau aku lupa
akan apa yang ingin kuutarakan, kau yang akan
rugi!" sentak Dewi Kayangan, ditutup cekikikan-
nya. "Dengar, manusia banci itu telah pergi me-
nyusulmu untuk memberitahukannya. Khawatir,
dia tak bertemu denganmu, aku dan Gongging
ikut pergi untuk mencarimu. Susah-payah kami
mencari, eh kau malah enak-enakan bermalas-
malasan."
"Dewi.... Aku tak bermalas-malasan...."
"Sudah! Sudah...! Tak ada gunanya berde-
bat lagi!" Dewi Kayangan memutuskan. "Seka-
rang, kau dengar baik-baik. Tujuanmu ke Bukit
Siluman adalah untuk mengambil lembaran ku-
lit...."
"Lembaran kulit?!" potong Aji, cepat. "Un-
tuk apa segala macam lembaran kulit bagiku?!
Jangankan hanya lembaran, sekalipun tumpukan
aku tak akan tertarik!"
"Aku tak peduli apakah kau tertarik atau
tidak!" Dewi Kayangan berkeras. "Yang jelas lem-
baran kulit yang kau remehkan itu akan segera
membuat geger dunia persilatan. Lembaran itu
akan menjadi rebutan, dan membuat pertumpa-
han darah. Itu menurut si manusia banci!"
"Apakah orang-orang persilatan telah de-
mikian dungunya, sehingga mau memperebutkan
segala macam kulit?! Apalagi hanya selembar!"
gerutu Pendekar 108.
"Lembaran itu bukan benda sembarangan.
Menurut si banci kawanmu itu, lembaran yang
bernama Lembaran Kulit Naga Pertala itu berisi-
kan ilmu silat tinggi!"
"Begitukah?!" sahut Pendekar 108, bernada
acuh. "Sayang, aku tak tertarik...."
"Anak Monyet! Aku tak peduli apakah kau
tertarik atau tidak. Yang penting, kau harus mendapatkan Lembaran Kulit Naga Pertala, agar tak
terjatuh ke tangan orang-orang golongan hitam!"
tukas Dewi Kayangan dengan suara lebih dike-
raskan.
"Apa yang dikatakan Dewi Kayangan me-
mang tak salah. Kau harus mendapatkan Lemba-
ran Kulit Naga Pertala itu. Dan...."
Gongging Baladewa terpaksa putuskan
ucapannya, karena Dewi Kayangan memotong
ucapannya dengan suara keras.
"Tak perlu berpanjang lebar lagi, Gongging!
Ataukah kau ingin ikut bermalas-malasan, tidur
di tempat ini seperti anak kurang ajar itu?!"
Tanpa menunggu tanggapan Gongging Ba-
ladewa, Dewi Kayangan melesat meninggalkan
tempat itu. Si kakek bertubuh besar, hanya bisa
mengangkat bahu, kemudian melesat mengikuti.
Tinggal Aji sendirian di tempat itu. Pemuda ber-
pakaian hijau itu tercenung, seperti tengah me-
mikirkan sesuatu. Tak lama kemudian mulutnya
bergerak membuka.
"Bukit Siluman.... Lembaran Kulit Naga
Pertala...." Sambil menggumamkan kata-kata itu,
Pendekar 108 ayunkan langkah dan tebarkan
pandangan ke sekeliling.
Baru dapat lima tombak tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat dan tegak tiga tombak di
hadapan Pendekar 108. Murid Wong Agung hen-
tikan langkah. Dengan mata mengerjap dia perha-
tikan orang di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki dengan tam-
pang seperti anak kecil berusia sepuluh tahun,
berkepala botak dan berwajah kelimis. Tidak ada
kumis, jenggot mau pun cambang. Mengenakan
celana pendek putih tanpa baju.
Sejenak Aji kernyitkan dahi. "Rasanya aku
belum pernah jumpa dengan manusia ini. Menga-
pa, sikapnya seakan-akan mempunyai silang
sengketa dengannya?!"
"Aku Mahaesa Bayangan!" Tiba-tiba orang
di depan Aji keluarkan bentakan. "Serahkan kipas
milikmu padaku!"
Mendapat bentakan, Aji mulai geram. "Me-
nyingkirlah dari hadapanku!" Aji bales memben-
tak.
Mahaesa Bayangan ulurkan tangan mem-
buat gerakan meminta. "Aku akan menyingkir,
tapi serahkan dulu kipas itu!"
"Kau bisa minta pada malaikat maut!"
"Keparat!" maki Mahaesa Bayangan seraya
menghambur ke depan. Kedua tangannya berke-
lebat menghantam ke arah kepala dan perut.
Pendekar 108 tak tinggal diam. Dia mundur satu
langkah. Tangan kiri menghantam ke bawah, tan-
gan kanan diangkat ke atas.
Bukkk! Bukkk!
Benturan tak terhindar lagi. Mahaesa
Bayangan terhuyung ke belakang namun cepat
dia bantingkan kaki. Tubuhnya melenting seten-
gah tombak. Dari atas udara kedua tangannya ki-
rimkan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat.
Wuuut! Wuuuttt!
Angin menderu kencang menghampar ke
arah murid Wong Agung.
"Manusia geblek! Kau hanya cari mati sa-
ja!" seru Pendekar Mata Keranjang lalu hantam-
kan kedua tangannya. Dua berkas sinar biru me-
lesat cepat lalu mengembang.
Blammm!
Mahaesa Bayangan menjerit keras. Sosok-
nya mental jauh ke belakang lalu terkapar di atas
tanah. Mulutnya mengucurkan darah segar. Laki-
laki ini memaki tak karuan lalu tertatih-tatih
bangkit. Baru saja tubuhnya tegak, tiba-tiba dari
arah samping kiri terdengar suara deru dahsyat.
Di lain saat gelombang angin menggebrak. Ma-
haesa Bayangan berteriak tegang. Dia tak sempat
berpaling untuk mengetahui siapa yang kirimkan
serangan karena saat itu juga tubuhnya tersapu
lalu melayang. Entah untuk mencoba menahan
gerak tubuhnya, Mahaesa Bayangan kerahkan si-
sa-sisa tenaganya. Dia lalu membuat gerakan
berputar di udara. Namun sapuan itu begitu dah-
syat hingga baru saja tubuhnya berputar, sosok-
nya telah menghantam sebatang pohon. Sesaat
kemudian dia jatuh ke tanah dengan nyawa pu-
tus!
Meski berdiri agak jauh, namun Pendekar
Mata Keranjang 108 masih merasakan matanya
perih dan hempasan kuat laksana air bah yang
mendorong. Dengan menahan rasa terkejut murid
Wong Agung ini berpaling ke kiri. Sepasang ma-
tanya mendelik tak berkedip. Bersandar pada se-
batang pohon sepuluh tombak dari tempatnya
berdiri Pendekar Mata Keranjang melihat seorang
laki-laki mengenakan jubah hitam ketat menatap
sangar ke arahnya. Sosok orang ini tinggi kurus.
Rambutnya disanggul ke atas. Parasnya lonjong
dan berwarna pucat. Sepasang matanya kecil dan
berwarna merah. Kedua alis matanya tebal dan
bertautan. Yang membuat orang ini makin ang-
ker, adanya sepasang taring yang menyembul dari
sudut-sudut mulutnya.
"Busyet! Ini hantu apa manusia?" gumam
Aji lalu alihkan pandangannya pada Mahaesa
Bayangan. Aji jadi bergidik. Selain hangus hitam,
ternyata kulit tubuhnya mengelupas!
Belum sampai Pendekar 108 berpaling lagi
pada orang yang baru datang, terdengar bentakan
keras agak sengau.
"Aku mewakili sang mayat. Serahkan pa-
daku kipas itu!"
Menoleh, Pendekar 108 melihat orang ber-
jubah hitam telah melangkah ke arahnya lalu
berhenti dua tombak di hadapannya dengan se-
pasang mata mengawasi tajam.
"Orang tak dikenal. Siapa kau?!" Aji mene-
gur. Namun diam-diam mengawasi orang di ha-
dapannya dengan lekat-lekat. Matanya disipitkan
lalu dibuka lebar-lebar dengan dahi berkerut.
"Mengapa kau menginginkan kipas milikku?"
Sebaliknya orang berjubah hitam berkata
sendiri dalam hati. "Menyirap dari manusia yang
telah jadi mayat tadi, aku yakin memang pemuda
ini orangnya. Hem.... Rezekiku besar. Jika kipas
ungu 108 itu teraih, tinggal memburu Lembaran
Kulit Naga Pertala. Rimba persilatan akan ada di
genggaman!" Orang ini lantas berpaling ke samping dan berkata.
"Dengar Anak Muda! Orang di hadapanmu
adalah Hantu Berjubah! Aku tak akan bicara be-
rulangkali! Atau kau ingin jadi mayat tak berku-
lit!" Hantu Berjubah menghardik sambil hantam-
kan kedua tangannya.
Wuttt! Wuttt!
Sinar hitam muncrat keluar dari tangan
Hantu Berjubah. Bersamaan dengan itu hitam
pekat segera menyungkup.
Tanpa bicara lagi murid Wong Agung ini
angkat kedua tangannya, kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Seketika menjadi biru
berkilau. Serta merta didorongkan ke depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua larik sinar biru melesat cepat ke arah
Hantu Berjubah. Kejap lain di tempat itu berbaur
warna biru dan hitam. Kejap kemudian terdengar
gelegar dahsyat memecah ketika pukulan Mutiara
Biru bentrok dengan pukulan sakti 'Asap Kema-
tian' yang dilepaskan Hantu Berjubah.
Bunga api tampak berpijar di udara lalu
padam terkena hamburan tanah yang menguda-
ra. Hantu Berjubah tampak terhuyung-huyung
namun segera dapat kuasai diri. Tubuhnya berge-
tar keras, wajahnya hitam kemerahan.
Lima belas langkah di hadapan Hantu Ber-
jubah, Pendekar Mata Keranjang berlutut dengan
mulut megap-megap dan dada turun naik dengan
keras. Mukanya pucat dan tangan gemetaran.
Mengetahui tak mengalami cedera parah,
setelah kerahkan tenaga dalam Hantu Berjubah
segera bangkit. Di seberang, melihat Hantu Ber-
jubah telah bangkit, Pendekar 108 segera pula
berdiri.
Mata Hantu Berjubah mendelik angker.
Dengusan hidungnya terdengar keras. Diam-diam
dia berkata dalam hati. Kalau tak segera kubikin
mampus, anak ini berbahaya! Bisa jadi duri di
kemudian hari!" Berpikir demikian, Hantu Berju-
bah segera kerahkan tenaga dalamnya dan seko-
nyong-konyong dia lepaskan pukulan dengan lu-
tut sedikit ditekuk.
Karena kali ini dengan kerahkan segenap
tenaga dalamnya, bukan hanya sinar hitam saja
yang melesat keluar, namun bersamaan dengan
itu gelombang angin deras menggebrak dengan
keluarkan suara luar biasa dahsyat. Di kejap lain,
pemandangan jadi gelap gulita!
Daya lesat sinar hitam yang begitu cepat
dan mendadak tidak memungkinkan bagi Pende-
kar 108 untuk segera lepaskan pukulan 'Mutiara
Biru', membuatnya terpaksa melompat mundur
sambil menghantam.
Pukulan sakti yang dilepas Pendekar 108
masih menyelamatkan dirinya dari hantaman te-
lak pukulan Hantu Berjubah, namun karena ja-
raknya begitu dekat, membuat sosok murid Wong
Agung ini merasakan sekujur tubuhnya laksana
dipanggang ketika terjadi bentrok pukulan. Dan
di lain kejap tubuhnya telah mencelat dan mem-
bentur pohon hingga pohon itu berderak tum-
bang. Tubuhnya lalu jatuh terkulai di samping
pohon yang tumbang dengan darah mengucur dari mulut dan hidungnya!
Hantu Berjubah tertawa mengekeh. Lalu
berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di samping
Pendekar 108 dengan tangan menjulur dan tubuh
membungkuk.
Pendekar 108 bertahan agar tidak pingsan.
Dan perlahan-lahan tangan kanannya menyelinap
di balik pakaiannya di mana tersimpan kipasnya.
Dia berusaha mencabut kipas itu. Namun wajah
murid Wong Agung ini jadi pias tatkala tenaganya
tak mampu untuk mencabut kipas dari pinggang-
nya.
"Celaka jika kipas ini sampai jatuh ke tan-
gannya!" desisnya seraya geser tubuhnya ke atas.
Hantu Berjubah menyeringai dan teruskan
juluran tangannya yang mengarah pada pinggang
Pendekar 108. Sejengkal Lagi tangan Hantu Ber-
jubah sampai ke pinggang Pendekar 108 menda-
dak dua larik sinar kuning menggebrak ke arah-
nya, membuat laki-laki berjubah hitam ini meng-
hambur ke samping sambil keluarkan makian
panjang pendek. Di kejap lain terdengar suara
'brakkk'. Pohon yang tinggal separo karena tum-
bang terkena hempasan tubuh Pendekar 108 ter-
hampar berhamburan terkena pukulan yang lolos
menghajar Hantu Berjubah. Pendekar Mata Ke-
ranjang sendiri meski selamat namun tubuhnya
tersapu dan kembali mencelat sebelum akhirnya
jatuh terkapar dengan mulut dan hidung makin
banyak keluarkan darah.
"Setan alas! Siapa bangsatnya yang cari
mati ini, hah?!" teriak Hantu Berjubah seraya
sentakkan kepalanya ke samping arah mana pu-
kulan tadi datang.
Merasa jiwanya masih selamat, Pendekar
Mata Keranjang 108 segera buka sepasang ma-
tanya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan
main. Dia coba kerahkan tenaga dalam untuk
mengatasi, namun tidak banyak menolong. Hing-
ga akhirnya dia hanya dapat miringkan tubuh
dengan mata memandang ke depan. Karena agak
jauh dan matanya masih sedikit kabur murid
Wong Agung ini tidak bisa mengenali siapa
adanya orang yang menahan gerak tangan Hantu
Berjubah yang hendak mengambil kipas dari
pinggangnya. Dia hanya bisa menangkap tiga so-
sok tubuh yang tegak agak jauh dari tempatnya
Hantu Berjubah.
Di depan sana, sentakan kepala Hantu
Berjubah tertahan sebelum setengah jalan. Di situ
sepasang matanya melihat seorang laki-laki men-
genakan rompi berwarna hitam. Rambutnya pan-
jang dan digelung ke atas. Tubuhnya kecil kurus
dengan tangan kanan memegang bambu kuning
sebesar ibu jari tangan yang panjangnya tiga
jengkal. Ujung bambu itu ditempelkan ke mulut-
nya seperti hendak meniup seruling. Setiap dia
monyongkan bibir terdengar suara merdu seperti
suling ditiup! Padahal ujung bambu itu tidak ber-
lubang!
Hantu Berjubah menyeringai, lalu gerak-
kan kepalanya lagi sedikit ke kiri. Di situ tegak
seorang laki-laki berusia tujuh puluh tahunan.
Rambutnya telah putih dan panjang. Raut wajah
nya bengis. Tubuhnya yang tinggi kekar terlapis
oleh pakaian terbuat dari kulit ular.
Hantu Berjubah tersenyum sinis dan din-
gin, lalu gerakkan Lagi kepalanya. Di situ dia me-
lihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya.
Seorang perempuan berumur tiga puluh lima ta-
hunan berwajah jelita mengenakan pakaian war-
na putih tipis yang di bagian dadanya dibuat ren-
dah menampakkan sembulan buah dadanya.
"Hem.... Perempuan sundal ini berhasil
menggaet Dewa Setan dan Mata Malaikat.... Kepa-
rat betul! Gara-gara dia urusan jadi berantakan!"
Hantu Berjubah sengatkan sepasang matanya
pada wanita berpakaian putih tipis. Lalu meng-
hardik garang.
"Bidadari Penyebar Cinta! Aku masih me-
mandangmu sebagai sahabat, lekas enyah dari
sini!"
Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang
hingga dadanya turun naik.
"Hantu Berjubah! Peduli setan kau me-
mandangku sebagai apa! Yang pasti begitu kau
keluar dari sarangmu akulah yang berhak atas
putus tidaknya nyawamu!"
Sementara Hantu Berjubah dan Bidadari
Penyebar Cinta perang mulut, dua orang di samp-
ing Bidadari Penyebar Cinta seolah acuh saja. La-
ki-laki setengah baya berompi hitam yang meme-
gang bambu kuning arahkan pandangannya ke
jurusan lain dengan ujung bambu tetap berada
dicelah-celah bibirnya. Suara merdu seperti serul-
ing ditiup itu makin lama makin keras. Laki-laki
ini dalam rimba persilatan dikenal dengan gelaran
Dewa Setan. Sedangkan laki-laki tua berpakaian
dari kulit ular dalam kancah persilatan digelari
dengan Mata Malaikat.
Hantu Berjubah arahkan pandangannya
pada Dewa Setan dan Mata Malaikat. "Dewa Se-
tan, Mata Malaikat! Apa kalian juga ingin mati
bersama perempuan sundal ini?! Hah...?!"
Dewa Setan tidak berpaling, demikian pula
Mata Malaikat. Hanya sesaat kemudian mulut
Mata Malaikat bergerak menutup lalu membuka
dan terdengarlah ucapannya. "Mati bersama pe-
rempuan cantik lebih enak daripada berkalang
tanah sendirian, Hantu Berjubah!" Habis berkata
begitu, mulut Mata Malaikat terus membuka tak
menutup lagi.
"Jika itu mau kalian akan kuturuti! Berse-
nang-senanglah di akhirat sana dengan perem-
puan sundal ini!"
Mendengar dirinya disebut perempuan
sundal, Bidadari Penyebar Cinta jadi naik pitam.
Sekali sentakkan kedua tangannya dua sinar
berwarna kuning terang melesat. Di lain kejap si-
nar itu mengembang lalu menyergap ke arah Han-
tu Berjubah. Perempuan ini telah lepaskan puku-
lan sakti 'Sinar Mentari'.
Mendengar deru angin dari sampingnya,
tanpa menoleh lagi Mata Malaikat dan Dewa Se-
tan telah tahu jika Bidadari Penyebar Cinta telah
memulai serangan. Mendadak Dewa Setan angkat
tangan tinggi-tinggi. Bambu kuning pendek di
tangannya disentakkan.
Tarrr! Tarrr!
Bukan hanya suaranya yang menusuk
gendang telinga, namun pada saat bersamaan ge-
sekan bambu dengan udara memuntahkan perci-
kan api yang kemudian melesat ke arah Hantu
Berjubah.
Mata Malaikat tak tinggal diam. Begitu
bambu kuning disentakkan, dia memutar diri
membelakangi. Tiba-tiba kedua tangannya dihan-
tamkan ke belakang. Meski hantaman itu pelan,
tapi bersamaan dengan itu terdengar suara lak-
sana ombak lalu tampak asap putih bergerak ce-
pat. Asap itu bergerak turun naik makin lama
makin besar.
Mendapati tiga serangan sekaligus mem-
buat Hantu Berjubah tercekat. Dia sama sekali
tak menduga jika tiga orang itu akan kirimkan se-
rangan secara bersamaan. Belum sempat dia ber-
pikir hendak menangkis yang mana, sinar kuning
telah melabrak! Membuatnya harus cepat meng-
hindar untuk memapak bambu yang datang me-
nyusul. Laki-laki berpakaian hitam ketat ini cepat
berkelebat ke samping sambil kibaskan tangan
kanannya. Sinar kuning pukulan Bidadari Penye-
bar Cinta melenceng dan terus menerabas.
Hantu Berjubah teruskan kelebatannya la-
lu tangan kirinya menyambut bambu sementara
tangan kanannya menyentak menghantam asap
putih yang kini setengah tombak di hadapannya.
Plaaarrr! Blaaammm!
Bambu kuning pendek milik Dewa Setan
mental balik. Laki-laki ini berseru tertahan ketika
merasakan tangannya seperti lumpuh dan tu-
buhnya terdorong mental ke belakang. Dia masih
dapat menguasai tubuh agar tak jatuh, namun di
saat terjadi ledakan dahsyat ketika pukulan Han-
tu Berjubah bentrok dengan pukulan Mata Malai-
kat membuat dirinya terhuyung kembali dan ak-
hirnya jatuh berlutut dengan tangan ngilu dan
hampir saja bambunya jatuh. Sedangkan Mata
Malaikat terdorong ke depan. Tapi orang ini sege-
ra julurkan kedua tangannya hingga kejap kemu-
dian dia bisa berdiri tegak, tak bergeming sedikit
pun!
Di seberang, Hantu Berjubah berteriak ke-
ras. Meski tangan kirinya tidak mengalami cede-
ra, namun benturan dengan bambu kuning mem-
buat tangannya seakan hendak putus. Aliran da-
rah di tangannya mampet. Lalu tampak jubahnya
robek memanjang di bagian tangan kiri. Kalau dia
dapat mengimbangi bambu kuning, tidak demi-
kian halnya ketika pukulannya bentrok dengan
pukulan Mata Malaikat. Begitu ledakan terdengar,
tubuhnya langsung terseret naik turun mengikuti
sapuan angin yang menyertai asap putri yang te-
lah ambyar. Meski Hantu Berjubah kerahkan te-
naga dalam, dia tak bisa mengatasi sapuan angin
naik turun itu hingga kejap kemudian tubuhnya
terjerembab dengan napas ter-engah-engah. Da-
rah tampak keluar dari sudut bibirnya.
Pendekar Mata Keranjang sendiri yang tadi
berada agak jauh di belakang Hantu Berjubah
sempat tercekat ketika mendapati sinar kuning
yang berhasil dihindari Hantu Berjubah melenceng dan lurus melabrak ke arahnya! Murid Wong
Agung ini coba menghindar dengan bergulingan
ke tanah. Namun belum sempat tubuhnya berge-
rak, sinar itu telah menghajar.
Pada saat genting itulah, Pendekar 108 me-
rasakan tubuhnya terangkat. Entah menduga itu
akibat pukulan yang menghajarnya dia segera pe-
jamkan sepasang matanya. Dia lalu merasakan
tubuhnya melayang turun. Pendekar 108 makin
rapatkan matanya. Dia seakan sudah pasrah un-
tuk jatuh menghantam tanah karena tenaganya
sudah terkuras juga karena mengalami cedera.
Namun murid Wong Agung ini jadi terpe-
rangah ketika mendapati tubuhnya bagian bawah
didorong pelan dari bawah lalu tubuhnya melesat
ke depan. Begitu hampir menyuruk tanah lagi,
dorongan itu menyentak lagi, membuat tubuhnya
melesat lagi ke depan. Begitu terus menerus hing-
ga pada suatu saat dorongan itu tak lagi dirasa-
kan. Pendekar Mata Keranjang cepat membuka
sepasang matanya. Pada saat bersamaan tubuh-
nya telah bergulingan di atas tanah!
Ketika suasana sirap, Hantu Berjubah ter-
kejut. Dia tidak melihat sosok Pendekar Mata Ke-
ranjang! Dia edarkan pandangannya. Tiga orang
di depan sana sudah bangkit berdiri.
Hantu Berjubah menarik napas. Dadanya
laksana ditusuk ribuan jarum. Dia maklum, terla-
lu berbahaya dalam keadaan cedera seperti ini
menghadapi tiga lawan. Untuk mengimbangi De-
wa Setan dan Bidadari Penyebar Cinta mungkin
dia masih sanggup menandingi. Namun dia merasa sedikit jera menghadapi Mata Malaikat. Dia
memang tidak begitu mengenal laki-laki berpa-
kaian kulit ular itu, namun dari gerakan aneh
serta pukulannya, Hantu Berjubah sadar jika Ma-
ta Malaikat memiliki ilmu lebih tinggi dari teman-
temannya. Dia tahu, waktu lepaskan pukulan,
Mata Malaikat belum kerahkan seluruh tenaga
dalamnya namun itu telah membuatnya kalang
kabut. Menyadari semua itu diam-diam Hantu
Berjubah jelalatan kian kemari.
"Bidadari Penyebar Cinta jahanam! Urusan
belum selesai. Saatnya akan tiba!"
Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang.
"Hantu Berjubah! Sudah kukatakan putus tidak-
nya nyawamu adalah hakku! Jangan mimpi bisa
lari dari tanganku!" Habis berkata begitu kedua
tangannya dihantamkan ke arah Hantu Berjubah.
Namun laki-laki berjubah hitam ini telah berkele-
bat lebih dahulu meninggalkan tempat itu. Puku-
lan Bidadari Penyebar Cinta menghantam tanah.
Tanah itu langsung terbongkar dan berhamburan
ke udara.
"Setan alas! Kenapa kalian diam saja?!" te-
gur Bidadari Penyebar Cinta pada Dewa Setan
dan Mata Malaikat. Dewa Setan berpaling dan
hanya tersenyum. Sementara Mata Malaikat ber-
kata.
"Sasaran sudah lenyap, perlu apa buang-
buang tenaga?!"
Ucapan Mata Malaikat seakan menyadar-
kan Bidadari Penyebar Cinta. Dia segera meman-
dang berkeliling. Rahangnya seketika bergemeletakan dan tubuhnya bergetar.
"Jahanam! Anak itu ke mana larinya?
Hem.... Dia sudah cedera, pasti belum jauh. Kita
kejar!" kata Bidadari Penyebar Cinta seraya mem-
beri isyarat untuk segera tinggalkan tempat itu.
Dewa Setan bergerak hendak berkelebat menurut
kehendak Bidadari Penyebar Cinta, tapi tidak de-
mikian halnya dengan Mata Malaikat. Kakek ini
malah duduk!
"Mata Malaikat! Apa kau hanya akan du-
duk di situ?!" bentak Bidadari Penyebar Cinta ge-
ram.
Mulut Mata Malaikat membuka. Lalu ter-
dengar dia berucap.
"Menurut perjanjian, hanya sampai hari ini
kita bersama-sama. Sekarang kita jalan sendiri-
sendiri! Kalian mengikuti ke mana kaki kalian
melangkah, aku menuruti langkah ke mana kaki
mengajak...."
"Keparat!" maki Bidadari Penyebar Cinta
tambah geram. Tangan kanannya berkelebat
menghantam ke arah kepala Mata Malaikat di
samping bawahnya. Namun tangan kanan sang
Ratu hanya menghajar tempat kosong. Berpaling,
perempuan berparas cantik ini kertakkan rahang,
dilihatnya Mata Malaikat telah membuat gerakan
meloncat-loncat masih dalam posisi duduk. Bida-
dari Penyebar Cinta angkat kedua tangannya
hendak lepaskan pukulan namun terlambat ka-
rena di lain kejap sosok Mata Malaikat telah le-
nyap laksana ditelan bumi!
SEPULUH
PENDEKAR Mata Keranjang angkat kepa-
lanya yang berdenyut pusing. Seraya membuka
kelopak matanya dia berpaling ke kanan. Tak ada
siapa-siapa. Lalu sambil mengusap-usap dadanya
dia palingkan kepala ke kiri. Aji jadi terhenyak.
Delapan langkah di samping kirinya tegak seo-
rang perempuan tua berambut putih setengkuk
mengenakan jubah kembang-kembang dengan
mulut bergerak-gerak. Dia berkacak pinggang
dengan matanya yang sipit memandang ke arah
Pendekar 108 tak berkedip. Di samping si nenek
berdiri seorang lelaki berwajah amat tampan,
bahkan mendekati cantik, mengenakan pakaian
seorang perempuan.
"Peri Kupu-kupu.... Setan Pesolek...," desis
Pendekar 108 mengenali siapa adanya dua orang
itu. Hanya sampai di situ pernyataan yang keluar
dari mulutnya. Tapi, di hati pemuda ini serente-
tan perkataan meluncur. Pernyataan bernada
bingung. "Bagaimana Setan Pesolek bisa muncul
bersama nenek-nenek ini. Malah, kelihatannya
mereka berdua seperti dua orang sahabat baik."
Dengan benak yang masih dipenuhi rasa
bingung, Pendekar 108 berusaha untuk bangkit.
Namun, dia terhuyung dan kembali terkapar. Ki-
kih tawa perempuan keluar dari mulut Setan Pe-
solek, mengiringi ambruknya tubuh Pendekar
108.
"Bagaimana sekarang?" tiba-tiba si nenek
yang bukan lain Peri Kupu-kupu adanya buka
mulut sambil berpaling pada lelaki banci di sebe-
lahnya. Si banci yang bukan lain dari Setan Peso-
lek adanya menghentikan tawanya. Dirapikan du-
lu rambutnya seraya menarik kepalanya ke bela-
kang. Gerak-geriknya memang mirip perempuan!
"Tenang, Peri...," Setan Pesolek menyahut
seraya gerak-gerakkan kedua tangannya. "Pulih-
kan dulu keadaannya. Dia terluka...."
Peri Kupu-kupu menyeringai lalu melang-
kah ke arah Aji.
"Nenek.... Terima kasih. Kau telah meno-
longku."
Peri Kupu-kupu tak menyambuti ucapan
Aji. Malah dia selinapkan tangan kanannya ke
saku jubah kembang-kembangnya. Ketika tangan
itu ditarik tampak segumpal benda lunak berwar-
na hitam di tangannya.
Tangan Peri Kupu-kupu yang memegang
gumpalan benda lunak menjulur ke depan. "Isap
di mulutmu!"
Mungkin merasa jijik, Aji tak sadar malah
katupkan mulutnya rapat-rapat. Lalu meman-
dang Peri Kupu-kupu dengan pandangan tak per-
caya. Peri Kupu-kupu condongkan tubuhnya ke
depan. Tiba-tiba tangan kirinya menyambut dagu
Aji lalu ditarik sedikit ke bawah, hingga mulut Aji
terbuka. Aji bertahan dengan coba katupkan
kembali mulutnya. Namun gumpalan benda hi-
tam itu telah lebih dahulu masuk.
"Lakukan apa yang kukatakan! Isap di mu-
lutmu!" bentak Peri Kupu-kupu lalu kacak pinggang. Di lain saat tiba-tiba suara tawanya mele-
dak.
Pendekar 108 merasa tenggorokannya lak-
sana dimasuki api. Dia tersedak dan hendak me-
muntahkan gumpalan benda itu. Namun di-
urungkan ketika Peri Kupu-kupu tampak berpal-
ing dan memandangnya dengan mata berkilat-
kilat. Perlahan-lahan dengan napas ditahan-
tahan murid Wong Agung ini melakukan seperti
apa yang diperintahkan Peri Kupu-kupu. Begitu
dapat tiga isapan, Pendekar 108 merasakan tu-
buhnya hangat. Perlahan-lahan pula rasa ngilu di
sekujur tubuhnya lenyap. Pandangan matanya
makin tajam. Mendapati hal demikian, Pendekar
108 terus mengisap gumpalan benda di dalam
mulutnya. Dalam sekejap tubuhnya terasa rin-
gan. Darahnya normal. Dia segera bangkit lalu
membungkuk dalam-dalam. Dia mau mengu-
capkan terima ka-sih. Namun tersengal karena
mulutnya masih ter-sumpal gumpalan benda lu-
nak kehitaman.
"Simpan obat itu!" kata Peri Kupu-kupu la-
lu melangkah kembali ke arah Setan Pesolek. Mu-
rid Wong Agung keluarkan gumpalan benda lunak
yang tak diketahui namanya, dari mulutnya lalu
disimpan di balik pakaiannya. Murid Wong Agung
lalu menjura dalam sambil berkata. "Terima kasih
atas pertolongan kalian berdua...."
"Nanti saja berbasa-basi, Bocah! Sekarang
ada sesuatu yang harus kau dengar dan perhati-
kan!" Peri Kupu-kupu berkata separo menghar-
dik. Sementara Setan Pesolek malah keluarkan
cermin batunya. Cermin itu didekatkan ke wajah-
nya. Manusia banci ini pandangi wajahnya dari
pantulan batu itu.
"Pendekar Mata Keranjang!" Kali ini yang
bicara adalah Setan Pesolek. Manusia banci ini
bicara sambil menggerak-gerakkan tangan pulang
balik ke depan wajahnya. "Saat ini dunia persila-
tan tengah geger. Hampir semua tokoh, baik go-
longan hitam maupun putih menujukan perha-
tian pada Bukit Siluman. Karena di tempat itulah
tersimpan lembaran kulit yang bernama Lemba-
ran Kulit Naga Pertala, yang di dalamnya berisi-
kan ilmu-ilmu dahsyat! Dunia persilatan akan
tertimpa malapetaka besar apabila lembaran kulit
itu sampai jatuh ke tangan orang jahat." Pendekar
108 geleng-gelengkan kepalanya. "Setan Pesolek!
Begitu cepatnya cerita menyebar di dunia persila-
tan! Baru beberapa hari yang lalu kau menyu-
ruhku pergi ke Bukit Siluman, dan saat itu pun
kau belum tahu, mengapa tempat itu demikian
penting. Tapi, sekarang, hampir semua tokoh per-
silatan telah mengetahui apa yang terdapat di
Bukit Siluman...," kata pemuda berpakaian hijau
ini seraya usap-usap hidungnya.
"Sebenarnya geger Lembaran Kulit Naga
Pertala sudah berlangsung berpuluh tahun la-
manya. Namun kegegeran yang dulu-dulu segera
padam begitu mengetahui Bukit Siluman yang di-
duga kuat menyimpan lembaran kulit lenyap tan-
pa bekas seperti ditelan bumi. Sebelumnya, tem-
pat itu penuh terselubung misteri. Banyak tokoh
yang menyelidik bukit itu tak pernah kembali
bahkan mayatnya pun tak ditemukan. Setelah
bukit itu lenyap, perburuan terhadap Lembaran
Kulit Naga Pertala pun usai. Tapi, kali ini Bukit
Siluman itu tampak kembali. Dan itu terjadi
hanya berselisih waktu sedikit dengan kedatan-
ganmu. Tapi, itu bukan berarti usahamu akan
berjalan mulus, karena saat ini banyak tokoh
persilatan yang telah mendengar kabar kemuncu-
lan Bukit Siluman berdatangan, aku khawatir sa-
lah seorang dari mereka mengetahui rahasia tem-
pat itu. Maka untuk menjaga segala kemungkinan
kita harus bertindak cepat!"
"Setan Pesolek! Kau punya kesaktian un-
tuk mengetahui apa yang akan terjadi. Setidaknya
kau bisa membuka rahasia bukit itu!"
Setan Pesolek menggeleng. "Kemampuan
manusia terbatas, Anak muda! Dan aku terbentur
keterbatasan itu tatkala berhadapan dengan mis-
teri Bukit Siluman itu. Seperti yang kukatakan
tempo hari. Aku gagal menembus kabut misteri
lembaran kulit itu!"
Murid Wong Agung menghela napas pan-
jang. Dia maklum jika tokoh seperti Setan Pesolek
saja tak dapat menembus misteri rahasia Bukit
Siluman akan lebih sulit baginya menguak tabir
itu.
"Tapi Tuhan Maha Adil, Anak muda...." Ti-
ba-tiba Setan Pesolek melanjutkan ucapannya.
"Dalam keadaan gelap begini ada seseorang yang
sedikit banyak bisa memberi jalan penerang
meski hanya samar-samar."
"Siapa orangnya, Setan Pesolek?!" tanya Aji
seakan mendapat semangat baru.
Setan Pesolek berpaling pada Peri Kupu-
kupu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Peri Kupu-kupu. Sekarang giliranmu bicara!"
Peri Kupu-kupu komat-kamitkan mulut.
Lalu memandang pada Aji, goyang-goyangkan ke-
palanya sebentar lalu berkata.
"Mengenai rahasia bukit itu aku hanya
punya petunjuk, tiga tambahkan tiga dan sete-
rusnya. Tiga langkah paling tengah, naik buka
pintu lalu turun dan melangkah dua puluh sa-
tu...."
"Aneh. Petunjuk apa itu?!" desis Aji dalam
hati sambil usap-usap hidungnya. Lalu menguta-
rakan apa yang ada dalam benaknya. "Peri. Aku
tak mengerti petunjuk itu. Kau bisa menje-
laskan?!"
Yang ditanya gelengkan kepalanya. "Saat
seperti sekarang ini, sebuah petunjuk lebih mahal
dari seratus nyawa! Kau telah mendapatkan se-
tengah kenyataan, selebihnya putar otakmu sen-
diri!"
Murid Wong Agung tengadahkan kepala
seolah menguraikan petunjuk yang dikatakan Peri
Kupu-kupu, namun dia tak menemukan arti dari
petunjuk itu. Akhirnya dia mengalihkan pandan-
gannya pada Setan Pesolek. Namun sebelum dia
buka mulut untuk bertanya, Setan Pesolek telah
gelengkan kepala sambil berkata.
"Aku tak bisa membantu! Segalanya ge-
lap.... Ada tabir penutup yang tidak dapat ditemhus mata...."
Peri Kupu-kupu melirik pada Setan Peso-
lek. "Tugas kita selesai. Kita harus segera pergi!"
Lalu pada murid Wong Agung nenek ini berujar.
"Firasatku mengatakan ada orang lain yang
juga telah mendapatkan petunjuk seperti itu. Ma-
ka cepatlah berangkat. Sayang bila orang itu
sempat mendahului. Bukan saja dunia persilatan
akan guncang tapi akan menjadikanmu seorang
pengecut besar!"
"Nek...." Hanya itu yang keluar dari mulut
Aji karena saat itu Peri Kupu-kupu telah me-
nyambung ucapannya. "Apa namanya kalau bu-
kan pengecut besar jika harus mengambil milik
orang lain?!"
"Nek, kira-kira siapa orang itu?!"
Peri Kupu-kupu angkat bahunya. "Jika aku
tahu, aku tak mungkin malang melintang. Karena
justru orang itulah yang selama ini kucari!"
"Jadi dia memiliki petunjuk yang sama?!"
"Meski tidak sama, tapi pada akhirnya me-
nuju satu titik temu!"
"Apakah kau akan memecahkan rahasia
itu bersamanya. Begitu?!"
"Urusan Lembaran Kulit Naga Pertala bu-
kanlah hal menarik bagiku. Ada yang lebih besar
dari itu!" Habis berkata demikian. Peri Kupu-
kupu memberi isyarat anggukan kepala pada Se-
tan Pesolek yang duduk di sampingnya. Lalu ba-
likkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat
itu.
Murid Wong Agung segera menghambur ke
arah Setan Pesolek yang masih berada di situ.
"Setan Pesolek. Aku benar-benar tak mengerti
dengan petunjuk yang diberikan Peri Kupu-
kupu...," kata Pendekar 108 sambil duduk di
sampingnya.
Lelaki banci itu tersenyum. "Batu sekeras
dan setebal apa pun akan pecah jika terus dihan-
tam. Kau telah memiliki senjata penghantam.
Tinggal mengukur semangat dan otakmu...."
Aji menarik napas dalam-dalam. Murid
Wong Agung ini akhirnya memutuskan akan me-
mecahkan petunjuk itu sendirian.
"Pendekar Mata Keranjang! Sebelum aku
pergi ada baiknya kau perhatikan baik-baik uca-
panku...," sejenak Setan Pesolek putuskan kata-
katanya, membuat Aji berpaling. "Aku melihat ta-
bir penutup yang tak dapat ditembus pandangan
mata!"
"Hem.... Berulangkali dia mengatakan hal
itu...," batin Aji.
"Kipas ungu 108 mungkin dapat membuka
tabir penutup itu!"
Pendekar 108 terperanjat. Buru-buru dia
meraba pinggangnya. Sekonyong-konyong murid
Wong Agung ini terhenyak tatkala tangannya tak
merasakan senjata di pinggangnya.
"Aku harus pergi ke sana. Kipas itu pasti
terjatuh waktu nenek Peri Kupu-kupu menolong-
ku. Celaka jika sampai kipas itu...."
"Ada apa, Pendekar 108?!"
"Kipas itu. Pasti terjatuh di tempat perke-
lahian. Aku harus pergi sekarang."
Setan Pesolek selinapkan tangan kanannya
kan ibunya yang selama ini dirindukan sebelum
melaksanakan tugas-tugasnya. Siapa tahu piki-
rannya akan berubah berkat nasihat ibunya....
Ah, kenapa aku harus memikirkan hal itu...?!" Aji
memandang berkeliling. Dengan benak disarati
beberapa hal dia tinggalkan tempat itu.
SEBELAS
BIDADARI Penyebar Cinta dan Dewa Setan
terus berkelebat dengan mata masing-masing liar
mencari ke sana kemari. Namun hingga keduanya
lelah dan merasakan mata perih karena terus-
terusan nyalang keduanya tak menemukan Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
"Jahanam! Ke mana perginya anak itu?!"
gumam Bidadari Penyebar Cinta sambil hentikan
larinya. Napasnya terengah-engah. "Tak mungkin
dia dapat berlari jauh karena dia telah cedera.
Hem.... Pasti ada yang menolongnya!"
"Tapi siapa?!" Dewa Setan yang telah tegak
di samping Bidadari Penyebar Cinta menyahut.
Dia lalu melirik. Sepasang mata laki-laki setengah
baya ini sejenak membeliak melihat sembulan
buah dada perempuan di sampingnya yang berge-
rak turun naik.
"Keparat betul! Mengapa urusan jadi be-
rantakan begini rupa?! Mata Malaikat juga ikut-
ikutan menambah masalah!" batin Bidadari Pe-
nyebar Cinta lalu berpaling pada Dewa Setan.
"Kau tahu kenapa Mata Malaikat tak mau
melanjutkan perjalanan lagi bersama-sama ki-
ta...?"
"Orang itu sulit diterka. Tapi dia adalah
seorang yang teguh memegang kata-kata. Menu-
rut yang dikatakannya tempo hari, memang hari
ini saat terakhir dia mau bergabung dengan ki-
ta...."
"Aku belum begitu kenal dengannya. Siapa
dia sebenarnya?!"
"Orang tak ada yang tahu siapa dia sebe-
narnya. Yang diketahui kalangan rimba persilatan
adalah dia seorang yang aneh tapi memiliki ilmu
yang sulit diukur. Kalau bisa kita jangan buat
urusan dengan dia! Selain dapat menghadang
rencana, sekaligus dapat memporak-porandakan!"
"Hem...," Bidadari Penyebar Cinta bergu-
mam panjang. "Aku menyirap kabar Bukit Silu-
man menyimpan misteri. Apa yang kau ketahui
tentang bukit itu?!"
"Aku pun tak tahu banyak. Hanya menurut
kabar, bukit itu dikurung oleh jebakan-jebakan
yang setiap saat mengancam nyawa. Ini terbukti
dengan tidak kembalinya beberapa tokoh yang
coba-coba menyelidik ke sana."
"Begitu? Apakah kau takut dengan semua
itu?"
Dewa Setan tidak segera menjawab. Malah
melirik ke arah buah dada Bidadari Penyebar Cin-
ta. "Setiap ketakutan ada sebabnya. Perasaan be-
rani ada alasannya!"
"Apa maksudmu?!" tanya Bidadari Penye-
bar Cinta tanpa berpaling seakan memberi kesempatan pada Dewa Setan untuk memandang
buah dadanya sepuas-puasnya.
Dewa Setan menyeringai aneh. Lalu berka-
ta dengan suara agak gemetar.
"Aku tak takut asal kau berada di sam-
pingku, dan...," dia menggantung ucapannya,
membuat Bidadari Penyebar Cinta menoleh. Seki-
las perempuan ini telah tahu apa yang dimaksud
laki-laki setengah baya itu.
"Kau menginginkannya...?!" tanya sang ra-
tu dengan busungkan dada dan senyum menggo-
da. Perempuan ini perlahan-lahan pejamkan se-
pasang matanya lalu keluarkan desahan panjang,
membuat Dewa Setan makin berdebar dan mata
membesar.
"Kau tunggu apalagi?" desahan sang ratu
membuat Dewa Setan makin membelalak. Dan
melihat tantangan si perempuan berwajah cantik,
Dewa Setan segera melangkah. Seakan tak sabar,
tubuh perempuan itu diraupnya lalu bibirnya di-
pagut. Bidadari Penyebar Cinta keluarkan desa-
han dan tubuhnya menggeliat ketika dirasakan
tangan-tangan Dewa Setan mulai menelusup ke
balik pakaiannya. Untuk beberapa lama kedua
orang ini tenggelam dalam kemesraan sebelum ti-
ba-tiba Bidadari Penyebar Cinta menarik wajah-
nya dari wajah Dewa Setan sambil berbisik serak.
"Aku menangkap seseorang di sekitar si-
ni...."
Dewa Setan menggerendeng panjang pen-
dek dalam hati. Sebelum dia berbuat sesuatu, Bi-
dadari Penyebar Cinta telah menepis kedua tangannya yang masuk di balik pakaian lalu perem-
puan ini meloncat membelakangi dan berteriak
lantang.
"Pengintip jahanam! Keluarlah atau kau in-
gin mampus!" sambil berteriak perempuan ini me-
rapikan pakaiannya yang sebagian telah terbuka.
Dadanya masih tampak naik turun menahan ge-
jolak yang tertunda.
"Baik! Kau tak mau keluar, berarti kau in-
gin mampus!" kembali Bidadari Penyebar Cinta
berseru tatkala tidak ada orang yang menampak-
kan diri. Kedua tangannya diangkat dan diarah-
kan pada semak belukar di dekat tanah rata yang
di sana-sini banyak batu-batu.
Belum sampai tangan bergerak, dari balik
sebuah batu besar muncul seseorang. Bidadari
Penyebar Cinta memperhatikan dengan mata me-
nyelidik.
"Anak ingusan tukang intip!"
"Jangan salah duga. Aku tidak mengin-
tip...," kata orang yang baru keluar dari balik ba-
tu. Dia ternyata seorang gadis berwajah cantik
mengenakan pakaian warna biru dan bukan lain
adalah Seruni.
"Hem.... Kalau tidak mengintip, apa kerja-
mu di situ, hah?!"
"Aku telah berada di sini sebelum kalian
ada di situ!"
"Beraninya kau berkata bohong! Kau perlu
diberi pelajaran!" sambil berkata tangan kanan
Bidadari Penyebar Cinta bergerak menyentak.
"Orang tak dikenal! Jaga mulutmu. Kaulah
yang salah. Bermain cinta di sembarang tempat!"
sahut Seruni sambil melompat ke samping, hing-
ga pukulan yang dilancarkan Bidadari Penyebar
Cinta melabrak batu di belakangnya. Batu itu
kontan berantakan.
Berubahlah paras Bidadari Penyebar Cinta.
Bukan hanya karena pukulannya dapat dihindari
tapi juga oleh kata-kata yang diucapkan Seruni.
"Keparat jadah! Siapa kau, hah?!" Bidadari
Penyebar Cinta membentak.
"Tak layak kau tahu siapa aku!" Seruni ba-
lik membentak, membuat kemarahan Bidadari
Penyebar Cinta tak dapat ditahan lagi.
"Bagus! Berarti kau ingin mampus tanpa
dikenal!"
Habis berkata begitu, Bidadari Penyebar
Cinta berkelebat, di kejap lain tubuhnya telah dua
langkah di hadapan Seruni dan saat itu juga tan-
gan kiri kanannya bergerak menghantam kepala
Seruni.
Meski sedikit terkejut, Seruni cepat run-
dukkan kepala sambil angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Penyebar Cinta terlengak dan bu-
ru-buru mundur dua langkah. Kedua tangannya
yang baru saja bentrok dengan lawan terasa ke-
semutan dan ngilu. Dari sini Bidadari Penyebar
Cinta sadar jika si gadis memiliki kepandaian dan
tenaga dalam. Sebaliknya, Seruni tampak ter-
huyung sampai lima langkah namun segera kua-
sai diri.
Entah karena ingin meneruskan permai
nannya yang terganggu atau apa, Bidadari Penye-
bar Cinta melangkah maju satu tindak. Tanpa
mengarahkan pandangan matanya pada Seruni
dia berkata.
"Hari ini kau bernasib baik. Lekas tinggal-
kan tempat ini!"
Seruni menyeringai sambil tertawa pendek.
"Aku lebih dulu datang di sini. Kaulah yang
harus tinggalkan tempat ini!"
"Setan alas!" kemarahan Bidadari Penyebar
Cinta muntah lagi. Kalau tadi hanya ingin mem-
beri pelajaran, kini membunuh pun dia tega. Ka-
rena sekarang maklum jika si gadis memiliki ilmu
maka dia tak segan-segan langsung lepaskan pu-
kulan 'Sinar Mentari', hingga saat itu juga dari
kedua tangannya melarik dua sinar kuning yang
membawa suara menggeledek dan gelombang an-
gin.
Mendapati nyawanya terancam, Seruni tak
tinggal diam. Dia segera pula kerahkan tenaga da-
lam lalu menyentakkan kedua tangannya le-
paskan pukulan. Bersamaan dengan itu hawa
dingin menusuk menghampar. Suasana berubah
agak redup, lalu terdengar suara laksana gemu-
ruh ombak.
Blammm!
Tempat itu berguncang hingga membuat
sosok Seruni terseret sampai sembilan langkah ke
belakang. Wajah gadis ini berubah pias dengan
tangan gemetar. Perlahan-lahan kakinya ditekuk
lalu jatuh terduduk. Di seberang sana Bidadari
Penyebar Cinta terhuyung-huyung sambil dekap
dadanya yang berdenyut sakit. Perempuan bertu-
buh bahenol ini segera meneliti, tahu tak menga-
lami cedera cukup berarti, dia segera berkelebat
sambil kirimkan serangan!
Wuuttt! Wuuttt!
Kembali sinar kuning melesat. Seruni ter-
cekat. Dia cepat alihkan tenaga dalamnya pada
kedua tangannya, karena saat itu dia sedang ke-
rahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya.
Tapi belum sempat kedua tangannya melepaskan
pukulan, serangan lawan telah menggebrak.
Seruni keluarkan seruan tertahan. Sekujur
tubuhnya seperti kejang, pandangan matanya pa-
nas. Saat lain tubuhnya mencelat mental ke bela-
kang. Karena di belakangnya banyak batu-batu,
maka tak ampun Lagi tubuhnya menghantam sa-
lah satu batu hingga berderak pecah lalu sosok-
nya lunglai dan jatuh tersandar. Dari mulutnya
mengucur darah segar. Karena matanya masih
pedih, Seruni mengatupkan kelopak matanya ra-
pat-rapat sambil coba kerahkan tenaga dalamnya.
Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang
lalu melangkah ke arah Seruni.
"Seandainya mulutmu tak berkata som-
bong, kau tak akan mengalami mati muda! Tapi
ini sudah nasibmu!" Bidadari Penyebar Cinta me-
lompat, kaki kanannya kirimkan tendangan ke
arah kepala Seruni yang matanya masih terpejam.
Sejengkal lagi kepala Seruni terhajar ten-
dangan, tiba-tiba terdengar deruan angin, di lain
kejap tubuh Bidadari Penyebar Cinta seolah ter-
dorong kekuatan dahsyat hingga perempuan ini
berseru. Namun dia teruskan tendangan. Karena
tubuhnya telah terdorong membuat tendangan-
nya melenceng dan menghantam batu di samping
Seruni. Sesaat kemudian deruan itu melesat dan
mengarah pada Bidadari Penyebar Cinta. Perem-
puan ini kembali berteriak lalu melompat mun-
dur.
Deruan angin terus menggebrak lalu
menghantam tanah agak tinggi di belakang Bida-
dari Penyebar Cinta.
Pyaaarrr!
Suasana seketika menjadi pekat karena ta-
nah itu berhamburan ke udara menutupi peman-
dangan. Ketika tanah surut, Bidadari Penyebar
Cinta tampak terbelalak lalu keluarkan sumpah
serapah tak karuan. Sepasang kakinya pun sege-
ra dibantingkan hingga tanah itu bergetar.
"Ada orang ikut campur dan menolong ga-
dis keparat itu!" desis Bidadari Penyebar Cinta ke-
tika sepasang matanya tak lagi melihat Seruni.
Dada perempuan ini menyala-nyala. Geram, ke-
cewa dan penasaran. "Bangsat siapa yang meno-
longnya?!" Bidadari Penyebar Cinta arahkan pan-
dangannya berkeliling sekali lagi. Namun dia tak
menemukan siapa-siapa.
"Bidadari.... Sudahlah! Untuk apa dipikir-
kan?" tiba-tiba Dewa Setan yang sedari tadi hanya
melihat keluarkan suara menenangkan lalu me-
langkah mendekat.
"Rupanya telah banyak tokoh yang berlaku
pengecut tak mau menampakkan diri!" Bidadari
Penyebar Cinta masih mengomel bahkan ketika
kedua tangan Dewa Setan hendak merangkul di-
tepiskannya.
"Bidadari.... Urusan lebih besar masih
menghadang. Jangan perkara sepele begini me-
nambah beban...."
Seolah tersadar akan ucapan Dewa Setan,
Bidadari Penyebar Cinta tampak anggukkan ke-
pala. "Kita tinggalkan tempat ini!" katanya lalu
hendak berkelebat.
"Tapi...."
"Kita cari tempat yang lebih enak. Jauh da-
ri mata-mata usil yang mengintip...." Habis berka-
ta, Bidadari Penyebar Cinta berkelebat disusul
kemudian oleh Dewa Setan yang rupanya sudah
tak sabar.
Seruni tidak dapat menerka siapa gerangan
yang memanggul dan melarikannya. Yang samar-
samar tertangkap matanya orang yang melari-
kannya berambut putih dan panjang.
"Siapa dia?! Gerakannya begini cepat,
hem.... Jangan-jangan...." Mungkin khawatir ga-
dis ini lantas buka suara pelan.
"Penolongku. Terima kasih, kau telah me-
nyelamatkan nyawaku...."
Orang yang memanggul dan melarikan Se-
runi hentikan larinya dan putar tubuhnya dengan
sedikit menekuk lututnya. Tahu-tahu Seruni te-
lah duduk tersandar pada sebuah lamping tanah
agak tinggi.
"Kalau boleh tahu, siapa kau...?" Seruni
buka mulutnya kembali seraya mengusap da-
danya yang masih terasa nyeri. Orang yang kini
membelakangi Seruni balikkan tubuh. Seruni ter-
cekat sendiri. Memandang tak berkedip pada
orang di hadapannya. Dia adalah seorang kakek
berambut putih dan panjang tergerai hingga me-
nutupi sebagian pakaiannya yang terbuat dari ku-
lit ular. Sebelah matanya sipit, hampir terpejam,
tapi satunya lagi, yang sebelah kanan menonjol
keluar.
"Urusan apa yang membuatmu bentrok
dengan perempuan cantik tadi, heh?" si kakek
ajukan tanya. Dia bukan lain adalah Mata Malai-
kat.
Sejenak Seruni terdiam. Setelah memper-
hatikan lekat-lekat pada Mata Malaikat dia berka-
ta.
"Sebenarnya urusannya sepele, Kek...." La-
lu Seruni menceritakan apa yang baru saja di-
alaminya.
Tiba-tiba Mata Malaikat keluarkan tawa
terbahak-bahak. Wajahnya yang bengis tak terli-
hat menjadi lebih ramah, malah terlihat seakan
menyeramkan. Seruni hanya bisa geleng-geleng
kepala.
"Dasar manusia nafsu. Bercinta pun salah
tempat. Ha... ha... ha...!" Kakek ini lantas ajukan
tanya lagi. "Kau sendiri siapa? Dan hendak ke
mana?"
Seruni tampak bimbang untuk menjawab.
Dalam hati gadis ini berkata sendiri. "Apakah aku
akan mengatakan apa tujuan perjalananku? Tapi...."
"He.... Kau tampak ragu-ragu mengatakan
nya. Hem.... Mungkin kau mengira aku bukan
orang baik-baik. Itu memang benar! Tapi setidak-
tidaknya aku masih punya perasaan...."
Ucapan Mata Malaikat membuat paras wa-
jah Seruni merah padam. Buru-buru Seruni me-
nyambuti ucapan Mata Malaikat.
"Kau jangan salah sangka, Kek. Justru ka-
rena kau mau menolongku berarti kau orang
baik!"
"Ah, ucapanmu membuat aku gelisah. Kau
belum jawab pertanyaanku!"
"Aku Seruni murid sekaligus cucu dari
Raksasa Bermuka Hijau...."
"Hem.... Beruntung kau punya kakek seo-
rang tokoh besar. Aku kenal betul dengan ka-
kekmu itu! Ilmumu pun tidak cetek! Ayah ibumu
tentu sangat gembira punya anak gadis berke-
pandaian tinggi sepertimu...."
Seruni bukannya senang mendapat pujian
seperti itu, sebaliknya parasnya menjadi murung.
Bayangan kecewa tampak jelas di air mukanya.
"Kau salah duga, Kek.... Justru sejak kecil
aku tak mengenal siapa ayah ibuku. Ah, sean-
dainya dia tahu...," diam-diam Seruni membatin
sendiri dalam hati.
"Hai.... Kau kembali murung. Ada apa? Apa
kata-kataku ada yang salah?"
Seruni menggeleng. Mata Malaikat perhati-
kan si gadis lekat-lekat, lalu buka mulut.
"Kau sepertinya menanggung sesuatu yang
berat...."
"Mula-mula tidak berat, Kek. Namun sete
lah kualami sendiri, beban itu bukan hanya berat
tapi rasa-rasanya sulit kulaksanakan. Meski begi-
tu aku akan berusaha!"
"Hem.... Kau tak keberatan mengatakan
beban apa itu?!"
"Membunuh beberapa orang!"
Mata Malaikat bukannya terkejut menden-
gar jawaban Seruni. Malah kakek ini tertawa ber-
derai-derai.
"Dunia persilatan memang dunianya orang-
orang gila. Hingga seorang manusia tega menyu-
ruh seorang anak muda berbuat gila! Membunuh
beberapa orang.... Hem... siapa saja calon mayat-
mayat itu?!"
Seruni terdiam. Dia berpikir kalau orang
tua di hadapannya mengenai kakeknya sudah
pasti dia mengenal pula beberapa orang yang ha-
rus dibunuhnya. Kalau salah seorang calon kor-
ban kebetulan sahabatnya, atau mungkin dia
sendiri, bukan mustahil tugasnya akan beranta-
kan bahkan bisa membuat dirinya celaka sebelum
bertindak. Apalagi sekarang sedang dalam kea-
daan cedera. Memikir sampai di situ akhirnya Se-
runi berkeputusan untuk diam.
"Apakah yang memberi tugas itu gurumu?!"
tanya Mata Malaikat.
Seruni anggukkan kepalanya pelan. Kali ini
dia tak berani memandang ke arah Mata Malai-
kat.
"Anak cantik. Tugas seorang guru memang
harus dilaksanakan. Tapi kau juga harus berpikir
dua kali untuk melaksanakannya! Hanya kuperingatkan padamu carilah duduk urusan yang se-
benarnya agar nantinya kau tak salah menurun-
kan hawa maut! Karena demi kepentingan pribadi
kadang-kadang orang memilih yang baik untuk
diri sendiri dan menumpahkan yang buruk untuk
orang lain! Terjebak dalam lingkaran ini kau akan
menyesal kelak kemudian hari!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat balik-
kan tubuh.
"Kek, tunggu! Kau hendak ke mana? Kau
juga belum mengatakan siapa dirimu!"
Tanpa memutar dirinya, Mata Malaikat be-
rujar.
"Aku juga sedang mencari seseorang. Soal
diriku, kalau ada pertemuan lagi pasti kau akan
mengetahuinya.... Selamat tinggal!" Mata Malaikat
segera meninggalkan Seruni yang hanya diam
mengawasi kepergiannya.
"Hem.... Ucapannya ada juga benarnya.
Bodohnya diriku, kenapa aku tak menanyakan
pada guru apa urusannya hingga dia memberiku
tugas membunuh? Tapi aku yakin Eyang guru
pasti ada di pihak yang benar...," Seruni tenga-
dahkan kepala. Dia baru sadar jika saat itu senja
telah turun dan sebentar lagi malam akan menje-
lang.
"Aku harus mencari tempat untuk istira-
hat...," Seruni lalu bergerak bangkit. Melangkah
perlahan-lahan sambil mengusap wajahnya yang
keringatan.
DUA BELAS
HENTAKAN ladam kaki kuda terdengar
memecah tidak putus-putusnya di dataran luas
perbatasan menuju Hutan Demangan. Karena
saat itu hari sudah senja dataran luas itu tampak
semburat kemerah-merahan, namun tak mengha-
langi pandangan, hingga penunggang kuda itu tak
banyak mengalami kesulitan tatkala lewat. Mung-
kin untuk mengejar waktu agar tak kemalaman
saat memasuki hutan, sang penunggang terus
menghentak tali kekang kuda tunggangannya wa-
lau saat itu sang binatang telah berlari cukup
kencang.
Harapan si penunggang ternyata benar,
tatkala dia keluar dari hutan, malam telah turun,
namun dia menarik napas lega karena telah bera-
da di luar hutan. Hingga meski malam telah jatuh
kini dia menghela kudanya dengan perlahan-
lahan karena kawasan yang dilaluinya sekarang
tidak lagi banyak pohon dan semak belukar ma-
lah nun jauh di depan sana telah tampak kelap-
kelip sinar lampu yang menunjukkan bahwa tak
jauh lagi akan sampai pada sebuah desa.
Sang penunggang kuda adalah seorang ga-
dis berwajah jelita mengenakan pakaian warna
kuning. Rambutnya panjang dan dikucir dengan
ikatan sebuah ikat kepala berwarna kuning pula.
Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik.
Tiba-tiba si gadis tarik hela kuda tunggan-
gannya. Begitu sang binatang berhenti sepasang
mata si gadis memandang kian kemari.
"Meski hari gelap, tapi aku merasakan ada
orang mengawasiku. Hem...." Sesaat gadis ini
bimbang, namun kejap kemudian dia sentakkan
tali helanya hingga kuda itu kembali melangkah.
Tapi baru kira-kira enam langkahan, dari arah
belakang menderu gelombang angin deras. Meng-
hantam ke arah si gadis yang tegak di atas kuda.
Meski sedikit terkejut mendapati serangan
gelap, namun karena sebelumnya telah waspada
karena merasa ada orang mengawasi, gadis ini
secepat kilat melompat ke udara setelah kaki ki-
rinya kirimkan tendangan pelan ke arah kuda
tunggangannya, hingga meski kuda itu sempat
terhantam gelombang angin namun tidak sampai
telak. Kuda itu hanya melonjak dengan mengang-
kat kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya
melompat ke depan lalu menghambur lenyap da-
lam kegelapan.
Di udara si gadis cepat buat putaran lalu
ketika mendarat tubuhnya telah menghadap ke
arah datangnya serangan. Sejenak gadis ini na-
narkan matanya mencari-cari dalam kegelapan.
Tapi dia tak menemukan siapa-siapa!
"Bedebah! Keluarlah dari persembunyian-
mu!" teriak sang gadis.
Belum lenyap gema suara teriakan, dari
kegelapan berkelebat sesosok tubuh. Di lain kejap
tahu-tahu sosok tadi telah tegak dua langkah di
samping si gadis.
Si gadis terkejut, dan cepat-cepat berpaling
sambil kirimkan satu jotosan ke arah sosok di
sampingnya. Tangannya baru setengah jalan, se-
buah tangan telah terlebih dahulu menggebrak ke
arah bahu si gadis, membuat gadis ini terhuyung
dengan tubuh terputar.
Tanpa mempedulikan lagi siapa adanya
orang yang menghantam, si gadis segera sentak-
kan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dari telapak tangan si gadis melesat dua
sinar warna-warni. Setengah jalan sinar itu mun-
crat lalu bermentalan beberapa bunga api menuju
sosok di hadapannya.
Sosok di hadapan si gadis mundur satu
langkah, lalu hantamkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Si gadis serentak keluarkan seruan terta-
han. Karena serangan lawan sama dengan puku-
lan yang dilancarkannya. Hingga kejap itu juga
tempat itu dipenuhi bunga-bunga api yang mem-
bumbung di udara.
Sambil meloncat menghindar si gadis ber-
gumam sendiri. "Celaka! Ternyata dia! Sial. Ba-
gaimana aku harus menjawabnya?"
Bersamaan dengan meloncatnya si gadis
terdengar beberapa letupan ketika bunga-bunga
api itu saling bentrok di udara. Belum lenyap su-
ara letupan, sosok yang baru datang telah kemba-
li berkelebat dan tahu-tahu telah tegak kembali di
samping si gadis. Kali ini sang gadis tidak lagi la-
kukan hantaman malah dengan suara serak dia
cepat menjura. "Maafkan aku, Guru!"
"Anak geblek! Kau mau mabur, hahhh?!" Si
gadis jatuhkan diri bersimpuh. Kepalanya ter-
tunduk dengan mulut mengatup rapat.
"Ayo jawab!" sosok di hadapan si gadis
kembali keluarkan bentakan. Ternyata dia adalah
seorang laki-laki tua. Parasnya merah membara.
Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar
dibungkus pakaian compang-camping, dan seba-
giannya hangus seperti bekas terbakar. Ada asap
tipis mengepul dari sekujur tubuhnya. Orang
yang mengerikan ini adalah tokoh hitam yang ter-
kenal dan berjuluk Manusia Neraka!
"Maafkan muridmu, Guru. Aku terusik
dengan keteranganmu tentang Lembaran Kulit
Naga Pertala. Itulah yang membuatku berada di
sini.... Kepergianku semata-mata ingin ikut me-
nyelidiki Lembaran Kulit Naga Pertala!"
"Begitu? Tapi kenapa kau tak mengatakan-
nya padaku?!"
Si gadis angkat kepalanya. Kali ini dia agak
berani memandang wajah gurunya karena suara
gurunya tidak lagi kasar membentak.
"Aku khawatir kau tak memberi izin pada-
ku!"
Manusia Neraka tertawa panjang.
"Drupadi. Kalau kepergianmu dengan tu-
juan mencari lembaran kulit itu, tidak mungkin
aku mencegahmu! Siapa tahu kau berhasil men-
dapatkannya...," kata Manusia Neraka dengan
suara pelan. Nada kemarahan lenyap sama sekali,
membuat Drupadi menarik napas lega.
"Guru.... Selama ini aku hanya mendengar
lembaran kulit itu selintas saja dari keterangan
mu. Bisakah kau menjelaskannya hal ikhwal
lembaran kulit itu?!"
"Mengenai sejarah lembaran kulit itu ba-
nyak cerita yang berlainan. Hingga membuat seja-
rah yang sebenarnya menjadi kabur. Aku sendiri
tak tahu mana yang benar dari semua cerita yang
sampai padaku. Hanya dari beberapa cerita itu
aku bisa menarik kesimpulan jika lembaran kulit
itu memang benar-benar ada! Dan untuk menye-
lidik apalagi mendapatkannya dibutuhkan kecer-
matan dan waspada penuh!"
"Maksud Guru...?"
"Mendengar berita beberapa tokoh yang co-
ba-coba masuk ke Bukit Siluman tidak ada yang
kembali bahkan mayatnya pun tak ditemukan,
berat dugaan bukit itu selain misterius juga men-
gancam jiwa siapa saja! Meski aku belum sampai
ke sana, aku yakin di sana banyak terpasang je-
bakan-jebakan yang mematikan! Ini mungkin
sengaja dirancang khusus agar orang tidak mu-
dah memasukinya sekaligus mendapatkan lemba-
ran kulit itu!"
"Apa di sana masih ada penghuninya?"
"Itulah yang sampai sekarang tidak ada
yang tahu. Kalau melihat kegegeran lembaran ku-
lit itu sudah berlangsung pada seratus lebih ta-
hun yang lalu, hampir pasti tempat itu kini ko-
song. Di sinilah dibutuhkan kecermatan itu. Ka-
rena meski umpamanya kita berhasil melewati je-
bakan-jebakan itu, ke mana lagi kita harus ber-
tanya tentang disimpannya lembaran kulit itu?
Sebagai benda yang berisi kesaktian, tak mungkin
ditempatkan pada sembarang tempat!"
Mendengar keterangan gurunya, Drupadi,
si gadis terdiam. Dia berpikir sejenak lalu berka-
ta.
"Apakah selama ini tidak ada orang yang
tahu, siapa terakhir kali pemegang lembaran kulit
itu?"
"Menurut kabar yang kupercaya, pemegang
terakhir lembaran kulit itu adalah seorang tokoh
bernama Eyang Pandanaran. Dia dikabarkan
mempunyai tiga orang murid. Satu laki-laki dua
perempuan. Anehnya, hingga kini tidak diketahui
ke mana lenyapnya Eyang Pandanaran. Hingga
membuat sejarah lembaran kulit itu makin dis-
elimuti kabut...."
"Tentang murid-muridnya...?"
"Itulah sekarang yang sedang kuselidiki!
Karena hanya murid-muridnya itu satu-satunya
petunjuk! Tapi di sini juga ada hambatan. Perta-
ma, kejadian itu sudah berlangsung seratus ta-
hun lebih yang silam. Kemungkinan masih hi-
dupnya murid-murid itu kecil sekali. Kedua, kita
sekarang mengalami kebutaan tentang siapa-
siapa saja orang yang dekat dengan mendiang
murid-murid itu, atau kalau mereka punya akan
cucu kita tak tahu siapa!"
"Hem.... Kalau begitu sulit rasanya mem-
buka misteri bukit itu!"
"Sesulit apa pun celah pasti ada, Drupadi!"
"Maksudmu, ada petunjuk lain?"
"Betul! Kau masih ingat ceritaku tentang
seorang lelaki berdandan perempuan?!"
"Setan Pesolek...."
"Benar! Dia dikenal sebagai orang yang bisa
mengetahui hal-hal yang gaib. Dialah sekarang
yang kemungkinan bisa menjelaskan misteri lem-
baran kulit itu!"
"Tapi...," Drupadi tak melanjutkan ucapan-
nya karena gurunya telah menyela.
"Aku memang tak mungkin bertanya pa-
danya! Hanya kalau kau memang benar-benar in-
gin mendapatkan lembaran kulit itu, kau harus
bertanya padanya sebelum berangkat."
"Mana mungkin dia mau memberitahu.
Guru?"
"Kau tak usah tanya langsung padanya.
Kau tahu, menurut berita yang berhasil kusirap,
munculnya kembali Bukit Siluman setelah ham-
pir seratus tahun yang lalu lenyap, karena keda-
tangan seorang pemuda yang mewarisi kipas Em-
pu Jaladara. Aku yakin ada hubungan antara si
pemuda, kipas, dan Bukit Siluman. Menurut beri-
ta yang dapat kusirap Setan Pesolek bersahabat
dengan pemuda yang telah mendapatkan kipas.
Dari pemuda itulah kau dapat mengoreknya. Ma-
nusia Dewa pasti telah mengatakan semuanya
pada pemuda itu!"
Drupadi terbelalak.
"Aku...?"
Manusia Neraka tertawa mengekeh. "Itulah
satu-satunya jalan yang harus kau lalui jika kau
menginginkan lembaran kulit itu, Drupadi! Ba-
gaimana caranya itu bisa kau atur sendiri! Se-
dangkan aku, akan menyelidik dengan caraku
sendiri."
"Kalau aku tak berhasil...?" Manusia Nera-
ka memandangi muridnya lekat-lekat. "Hem....
Kalau kau tak berhasil, sementara kau jangan
menyelidiki di mana adanya Bukit Siluman dahu-
lu, tapi beradalah dekat kawasan Pantai Pangan-
daran yang menuju Bukit Siluman! Ingat. Jangan
pergi dahulu sebelum bertemu denganku!"
"Akan kuingat pesanmu, Guru!"
"Nah, aku pergi sekarang! Jangan lupa be-
radalah di kawasan Pantai Pangandaran. Baik
berhasil atau tidak!" habis berkata begitu, Manu-
sia Neraka berputar. Dan sekali kelebat dia pun
lenyap dari pandangan Drupadi.
Begitu gurunya pergi, pelan-pelan Drupadi
melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja melangkah mendadak
dari arah samping Drupadi merasakan desiran
angin. Belum sempat berpaling, satu bayangan
hitam tiba-tiba berkelebat. Dan tahu-tahu seso-
sok tubuh tegak di depan Drupadi membuat gadis
murid Manusia Neraka ini tersurut tiga langkah!
Drupadi melihat seorang perempuan seten-
gah baya mengenakan pakaian warna hijau. Mu-
kanya memakai bedak putih agak tebal. Bibirnya
merah menyala. Rambutnya dikepang dua.
Sebenarnya tanpa diketahui oleh Drupadi
maupun Manusia Neraka diam-diam sejak tadi
perempuan ini telah mendekam di satu tempat
seraya mendengarkan percakapan antara murid
dan gurunya itu. Mungkin karena dilamun oleh
ucapan-ucapan Manusia Neraka hingga dia tak
mendengar ucapan terakhir Manusia Neraka yang
pamit pada muridnya. Dia baru mengetahui sete-
lah beberapa saat Manusia Neraka pergi mening-
galkan tempat itu. Dia segera saja berkelebat dan
langsung tegak di hadapan Drupadi.
TIGA BELAS
SEPASANG mata perempuan di hadapan
Drupadi membelalak besar di lain saat mulutnya
terbuka dan terdengarlah bentakkannya. "Mana
keparat tadi, hah?!" Mungkin karena masih terke-
jut dengan kedatangan orang, beberapa saat Dru-
padi terdiam. Hingga orang di hadapannya kem-
bali keluarkan bentakan garang. "Apa mulutmu
ingin kutampar agar buka suara?!"
"Orang tua tak dikenal! Siapa kau?!" Dru-
padi balik menegur, membuat perempuan seten-
gah baya itu melotot angker dengan dagu men-
gembung.
"Keparat! Ditanya malah balik bertanya!
Jawab dulu tanyaku!"
Meski geram mendengar ucapan orang,
namun akhirnya Drupadi berkata juga. "Kalau
yang kau maksud guruku, dia telah pergi!"
"Pergi ke mana?!"
"Katakan dulu siapa kau!" ucap Drupadi
dengan mata memperhatikan orang dari rambut
hingga kaki.
"Dengar, Bocah! Aku Kamaratih. Bertahun
lamanya aku mencari Hanggoro! Ke mana perginya dia, he?!"
"Hanggoro?!" Drupadi mengulangi ucapan
perempuan yang menyebut dirinya Kamaratih.
"Hem.... Rupanya kau belum tahu siapa
gurumu itu. Hanggoro adalah nama sebenarnya
Manusia Neraka, gurumu itu!"
Drupadi bengong, namun sesaat kemudian
kembali mengatup ketika Kamaratih kembali ber-
tanya dengan suara masih tetap garang.
"Cepat katakan, ke mana perginya keparat
itu!"
"Aku tak tahu dia hendak ke mana.
Yang...."
"Berani dusta, kurobek mulutmu! Te-
ruskan!"
"Dia hendak menyelidik Lembaran Kulit
Naga Pertala...."
"Hem.... Urusan lama yang tidak ada jun-
trungannya. Urusan usang yang membuat mala-
petaka!"
"Orang tua. Kau ini sebenarnya siapa? Dan
ada hubungan apa dengan guruku?"
Kamaratih memandang tajam pada Drupa-
di. Bayang kemarahan di wajahnya perlahan mu-
lai mengendur. Diam-diam dalam hati perempuan
berbibir merah menyala ini berkata. "Anak ini se-
perti aku waktu masih muda. Dari percakapan-
nya tadi kudengar dia mempunyai semangat
menggebu meski sadar jika apa yang akan diraih-
nya terlalu tinggi. Salah jika aku mengaitkan di-
rinya dengan perbuatan gurunya padaku. Kela-
kuan Hanggoro tak patut bila dia ikut merasakan
akibatnya. Hem...."
"Namamu siapa?" Kamaratih mengajukan
tanya dengan suara agak pelan.
"Kau bisa memanggilku Drupadi...."
"Apa gurumu tak pernah cerita tentang
aku?!"
Drupadi coba mengingat-ingat, namun ak-
hirnya dia gelengkan kepalanya. "Rasa-rasanya
tidak pernah menyebut-nyebut namamu.... Sebe-
narnya kau ini siapa?"
Kamaratih sudah buka mulutnya hendak
mengucapkan sesuatu namun tiba-tiba diurung-
kan. Malah dia putar diri lalu berujar.
"Kalau aku tak berhasil menemukan gu-
rumu, kelak jika kau bertemu dengannya di Pan-
tai Pangandaran, katakan padanya aku juga me-
nunggu di sekitar kawasan itu!" Habis berkata
begitu, Kamaratih hendak berkelebat, namun tu-
buhnya tertahan tatkala terdengar Drupadi me-
nahan.
"Tunggu! Kau belum jawab pertanyaanku!"
Kamaratih berpaling. Memandang lekat-lekat pa-
da Drupadi. Kepalanya tampak menggeleng perla-
han. "Untuk sementara biarlah kau mengenalku
sebagai Kamaratih. Suatu ketika kau akan ta-
hu.... Aku harus pergi sekarang...."
Drupadi mengawasi kepergian Kamaratih
dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa dija-
wab.
"Makin jauh melangkah, makin banyak
urusan yang tak ku mengerti...," gumam Drupadi
lalu perlahan-lahan melangkah meninggalkan
tempat itu dengan benak dibuncah berbagai hal
yang belum bisa dipastikan.
SELESAI
Lanjutan kisah ini:
BIDADARI PENYEBAR CINTA
0 comments:
Posting Komentar