..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 05 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE BUKIT SILUMAN

Bukit Siluman

 BUKIT  SILUMAN

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Bukit Siluman

128 hal.


SATU


BULAN seperempat bergerak pelan keluar 

dari lintasan awan lalu menapak langit, membuat 

hamparan bumi yang sedari tadi digenggam kege-

lapan pelan-pelan mulai agak terang, meski 

hanya samar-samar.

Di sebuah ruangan yang hanya diterangi 

nyala sebuah obor kecil terlihat dua orang sedang 

duduk berdampingan di atas sebuah dipan kayu 

besar beralas jemari tebal. Mulut kedua orang ini 

sama-sama terkancing, tak ada yang buka suara. 

Keduanya hanya saling pandang satu sama lain.

Tiba-tiba orang di sebelah kanan melaku-

kan gerakan dengan palingkan wajahnya sedikit 

ke samping. Pandangannya berpindah ke arah 

sebuah jendela kayu. Dia lantas bangkit dan me-

langkah perlahan menuju jendela. Sepasang tan-

gannya yang kokoh bergerak. Di kejap lain, jende-

la itu terpentang. Sepasang mata orang ini untuk 

beberapa lama memandangi bulan seperempat 

yang naik ke bentangan langit. Dia menghela na-

pas dalam. Lalu menutup kembali jendela dan 

putar tubuhnya. Sepasang matanya yang tajam 

kembali memandang ke arah orang yang masih 

duduk di atas dipan kayu.

Yang memiliki mata tajam dan tangan ko-

koh ini adalah seorang laki-laki berumur dua pu-

luh tujuh tahun. Paras wajahnya tampan namun 

keras. Dagunya kokoh dengan kumis lebat. Rambutnya panjang yang dibiarkan tergerai lepas menutupi tengkuk dan sebagian bahunya. Dia men-

genakan pakaian hitam-hitam.

Sedangkan orang yang duduk di atas dipan 

adalah seorang perempuan muda berwajah cantik 

jelita. Dia mengenakan pakaian tipis ketat warna 

putih. Rambutnya panjang dan diikat ke bela-

kang. Sepasang matanya tajam dan berbinar. Da-

danya kencang menantang, pinggulnya besar 

menggairahkan.

"Hm.... Melihat bentuk bulan, kira-kira 

masih sembilan hari lagi malam pertemuan itu 

akan berlangsung. Jahanam betul! Rasanya aku 

sudah tak sabar!" Tiba-tiba si pemuda memaki 

sendiri dalam hati. Dagunya sedikit terangkat 

dengan mulut terkancing, pertanda menahan rasa 

marah.

Pada saat bersamaan, si gadis palingkan 

wajah. Melihat perubahan pada air muka si pe-

muda, gadis berwajah cantik ini sunggingkan se-

nyum. Lalu melangkah ke arah si pemuda dengan 

dada di busungkan.

"Saat pertemuan itu sudah dekat. Bersa-

barlah sedikit!" kata si gadis seraya pentangkan 

kedua tangannya lalu ditakupkan di tengkuk si 

pemuda. Perlahan-lahan si gadis menarik kedua 

tangannya hingga kepala si pemuda tertarik ke 

depan, mendekati wajahnya yang sepasang ma-

tanya telah dipejamkan dengan bibir setengah 

membuka.

Mula-mula si pemuda diam saja, namun 

sejengkal lagi wajahnya bertemu dengan wajah 

cantik di hadapannya, si pemuda tahan gerakan

kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam 

tanpa keluarkan sepatah kata, membuat si gadis 

buka matanya. Dia tertegun sejenak. Belum sam-

pai mulutnya terbuka mengucapkan sesuatu, si 

pemuda telah angkat kedua tangannya, mencekal 

bahu gadis di hadapannya dan berkata datar.

"Nilam Sari.... Pikiranku sedang kacau-

balau. Tahan dulu gejolakmu!"

Ucapan si pemuda sesaat membuat rona 

wajah si gadis merah padam. Namun sesaat ke-

mudian bibirnya sunggingkan senyum. Seolah tak 

menghiraukan ucapan si pemuda, dia angkat tu-

mitnya lalu wajahnya disorongkan ke depan, bi-

birnya segera melumat bibir si pemuda. Si pemu-

da diam saja, namun ketika si gadis yang dipang-

gil Nilam Sari lepaskan kedua tangannya dan me-

nelusup ke balik pakaiannya, si pemuda dadanya 

bergetar, perlahan-lahan pula bibirnya membalas 

lumatan. Kedua tangannya bergerak turun ke 

pinggul si gadis.

Merasa mendapat balasan, Nilam Sari mu-

lai membuka kancing pakaian si pemuda dengan 

tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya 

membuka satu persatu kancing pakaiannya sen-

diri. Si pemuda darahnya menggelegak tatkala 

dadanya merasakan dua payudara besar dan 

hangat menempel ke dadanya.

Nilam Sari angkat kedua tangannya ke ba-

hu, lalu sekali sentak pakaian yang dikenakannya 

jatuh, membuat dirinya kini polos. Namun sebe-

lum pakaian itu jatuh, si pemuda telah pula ang-

kat kedua tangannya, pakaian si gadis ditang

kapnya lalu dikenakan kembali. Bersamaan den-

gan itu, kepalanya ditarik ke belakang, membuat 

Nilam Sari bukan hanya terperangah tapi juga 

memberengut dengan dada turun naik. Sepasang 

mata gadis itu memandang tajam, namun dia bu-

ru-buru mengalihkan pandangannya tatkala dili-

hatnya sang pemuda juga memandang ke arah-

nya dengan tatapan aneh.

"Nilam Sari.... Untuk sementara urusan 

senang-senang kita tunda dahulu. Masalah per-

temuan ini benar-benar penting. Sekali perte-

muan ini gagal, gagal pula cita-citaku!"

"Kau nampaknya masih khawatir dengan 

rencana yang telah kita buat...," kata Nilam Sari 

sambil menggenggam tangan si pemuda. Gadis ini 

tak berusaha mengancingkan kembali pakaian-

nya, hingga dadanya yang kencang masih terpen-

tang. Namun entah karena terpancing dengan 

masalah yang akan dihadapi, dada putih kencang 

itu kali ini tak membuat si pemuda tertarik.

"Kegagalan adalah hal yang paling kuta-

kutkan! Dan aku tak mau hal itu terjadi!"

"Rencana telah kita atur, malah kita telah 

atur rencana susulan jika rencana pertama gagal. 

Apalagi yang perlu dikhawatirkan?" Nilam Sari 

coba menenangkan si pemuda.

"Aku tahu. Namun aku baru benar-benar 

tenteram jika rencana ini berjalan baik dan ber-

hasil!"

"Keyakinan adalah modal utama. Kalau 

kau masih gelisah sebelum semuanya berlang-

sung, berarti kau mundur sebelum perang! Cita citamu hanya akan jadi impian!"

"Cita-citaku! Bukan, Nilam Sari. Ini cita-

cita kita bertiga!"

Nilam Sari tersenyum. Genggaman tangan-

nya makin dipererat. Kepalanya menggeleng per-

lahan. "Tidak. Sejak malam ini aku tak ingin lagi 

lembaran kulit itu! Aku hanya akan membantu-

mu mendapatkannya. Dan aku senang jika kau 

berhasil!"

Si pemuda tersentak. "Kau tak mengingin-

kan lembaran kulit itu?!"

Nilam Sari gelengkan kepalanya. "Dulu ya. 

Tapi sekarang tidak! Yang kuinginkan sekarang 

adalah dirimu berada di sampingku selamanya, 

karena...,"

Nilam Sari tak meneruskan ucapannya ka-

rena bersamaan dengan itu si pemuda lepaskan 

tangannya dari genggaman Nilam Sari, lalu me-

rengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

"Sungguh aku bahagia sekali mendengar-

nya, Nilam Sari.... Kau tak perlu cemas. Hanya 

kaulah kelak yang patut mendampingiku...." Ha-

bis berkata begitu, si pemuda melumat bibir Ni-

lam Sari.

Nilam Sari menggeliat seraya mendesah 

panjang tatkala kedua tangan si pemuda mulai 

masuk ke balik pakaiannya.

"Apakah aku harus mengatakannya seka-

rang jika aku...," Nilam Sari tak meneruskan kata 

hatinya, sebab kedua tangan si pemuda telah ta-

rik lepas pakaiannya dan dirinya diangkat serta 

dibawa ke atas dipan

Gadis berparas cantik itu duduk bersila di 

mulut gua yang nyaris tak kelihatan karena tertu-

tup kerapatan semak belukar di sekitarnya. Ke-

dua tangannya dirangkapkan di depan dada se-

mentara kedua matanya terpejam rapat. Rambut-

nya yang panjang tergerai dibiarkan menutupi se-

bagian wajahnya. Melihat sikapnya, gadis berpa-

kaian ungu ini sedang memusatkan mata hatinya. 

Namun agaknya gadis ini tak berhasil. Karena se-

saat kemudian helaan napasnya berhembus pan-

jang dengan kepala digoyang-goyang. Pada saat 

bersamaan matanya membuka, mulutnya per-

dengarkan gumaman tak jelas.

"Menurut perjanjian, seharusnya tadi ma-

lam dia sudah datang. Apa yang membuatnya tak 

menepati janji? Belum berhasil bertemu dengan 

Nilam Sari...? Atau...." Si gadis menarik nafas da-

lam. "Kenapa aku berpikir sejauh itu...? Tapi 

seandainya dia macam-macam, tak kubiarkan dia 

hidup! Segala milikku telah kuserahkan padanya. 

Lebih dari itu, kini aku telah...," bisikan hati si 

gadis terputus tatkala telinganya menangkap sua-

ra semak belukar diterabas.

Si gadis tidak menunggu lama. Karena se-

saat kemudian, semak belukar di sekitar mulut 

gua di mana dia berada menguak, lalu muncullah 

seseorang!

Dia adalah seorang lelaki bertubuh tegap. 

Mengenakan pakaian hitam-hitam. Parasnya 

tampan tapi keras. Kumisnya lebat dengan dagu 

kukuh. Rambutnya panjang dengan sepasang mata tajam.

"Braja Musti...," gumam si gadis dengan 

memandang tak berkedip pada pemuda yang kini 

tegak memandangnya. Kegelisahan mendadak le-

nyap dari sikapnya meski wajahnya masih me-

nyimpan gurat kecewa.

"Sekar Arum.... Harap kau maafkan keter-

lambatanku. Nilam Sari...."

"Kenapa dengan dia?!" si gadis yang di-

panggil Sekar Arum cepat menukas sebelum si 

pemuda meneruskan ucapannya. Wajahnya tam-

pak tegang.

"Baru tadi malam aku bertemu dengan-

nya...."

Sekar Arum menghela napas panjang. Si 

pemuda bernama Braja Musti itu melangkah 

mendekat. Sepasang matanya memandang tajam 

pada Sekar Arum dari atas hingga bawah.

"Apa rencana itu tetap?!" Sekar Arum aju-

kan tanya begitu Braja Musti berhenti dua lang-

kah di depannya.

Braja Musti mengangguk. "Kau siap bu-

kan?!" Sekar Arum tersenyum. "Demi kau, apa 

pun akan kulakukan! Walau nyawaku sebagai ta-

ruhan!" Ucapan Sekar Arum menyentuh hati Bra-

ja Musti, hingga pemuda ini bungkukkan tubuh. 

Kedua tangannya meraih bahu sang gadis lalu 

menariknya ke atas hingga Sekar Arum bergerak 

bangkit.

Sejenak kedua orang ini saling berpandan-

gan. Lalu Braja Musti menarik tubuh sang gadis 

dalam pelukannya. Untuk beberapa lamanya ke-

duanya tenggelam dalam peluk cium.

"Sampai kapan hubungan kita ini berjalan 

begini?!" Sekar Arum berkata seraya rebahkan 

kepalanya di dada Braja Musti.

"Bersabarlah. Jika rencana kita berjalan 

tanpa halangan dan lembaran kulit itu telah men-

jadi milik kita, hubungan kita tak perlu lagi sem-

bunyi-sembunyi!"

Sekar Arum menarik napas dalam-dalam. 

"Sebenarnya kita tak perlu menyembunyikan ma-

salah hubungan kita. Paling tidak di hadapan Ni-

lam Sari...."

Braja Musti berdebar. Pandangannya me-

natap jauh.

"Kau salah, Sekar Arum. Justru kita harus 

menyembunyikan hubungan kita di hadapannya. 

Kita menjaga agar tak ada keretakan di antara ki-

ta bertiga, setidak-tidaknya sebelum pertemuan

itu berlangsung."

Sekar Arum tarik kepalanya dari dada Bra-

ja Musti. Sepasang matanya menatap lekat-lekat 

wajah pemuda di depannya. "Nada bicaramu 

mengisyaratkan kau menyimpan sesuatu. Ada 

apa antara kau dan Nilam Sari?!"

Braja Musti menggeleng. "Kau jangan men-

duga yang tidak-tidak. Aku bilang kita hanya 

menjaga agar tak terjadi keretakan. Purnama de-

pan, kita bertiga akan menghadap guru. Jika di 

antara kita terjadi keretakan, dan guru mencium-

nya, gagallah rencana kita! Aku tak mau gagal! 

Kau dengar itu?" Sekar Arum tak menyahut. "Aku 

khawatir Nilam Sari tak senang dengan hubungan 

kita ini. Namun jika lembaran kulit itu telah berhasil kita raih, kita tak perlu lagi menghiraukan 

perasaannya. Dengar, Sekar Arum. Kita masih 

butuh tenaga Nilam Sari!" ujar Braja Musti me-

lanjutkan kata-katanya. "Paling tidak sebelum 

lembaran kulit itu berhasil kita rebut! Bersabar-

lah. Purnama tidak lama lagi...."

"Apakah Nilam Sari tak berubah pendi-

rian?!"

"Hingga tadi malam, rencana tak ada peru-

bahan. Maka dari itu, kita harus menjaga pera-

saannya. Percayalah! Hanya kau satu-satunya 

yang kelak mendampingiku...!"

Mendengar ucapan Braja Musti, Sekar 

Arum rebahkan kepalanya kembali ke dada bi-

dang si pemuda. Perasaan cemburu yang mengge-

layut di dadanya lenyap.

"Aku gembira. Dan kau tentu akan lebih 

senang Jika mendengar sesuatu dariku...."

Kening Braja Musti mengernyit. Dengan 

memandang ke arah semak belukar lebat di seki-

tar mulut gua, pemuda ini bergumam.

"Tak ada kegembiraan selain berdekatan 

denganmu dan memperoleh lembaran kulit itu!"

Sekar Arum menggoyang-goyangkan kepa-

lanya membuat Braja Musti sedikit terkejut. "Se-

karang, ada sesuatu yang melebihi dari itu, Braja 

Musti!"

"Katakanlah, apa sesuatu itu?!"

"Tunggulah hingga pertemuan itu usai...," 

jawab Sekar Arum dengan makin rapatkan tu-

buhnya, membuat tubuh Braja Musti dialiri hawa 

panas dan dada berdebar.

"Heran. Apa gerangan yang disembunyi-

kannya? Apakah dia mencium hubunganku den-

gan Nilam Sari? Lalu akan membuka setelah per-

temuan malam purnama depan? Ah, tak mung-

kin. Seorang perempuan tak mungkin bisa me-

mendam bara begitu lama. Lantas apa?!"

Selagi Braja Musti menduga-duga sendiri 

dalam hati, Sekar Arum mendesah panjang. "Kau 

terdiam. Pasti kau mencari jawaban. Bersabarlah! 

Kelak jawaban itu akan kau peroleh. Yang pasti 

sesuatu itu akan menambah erat hubungan ki-

ta...."

Braja Musti menghela napas lega. Kalau 

sesuatu itu mempererat hubungan, berarti tak 

ada sangkut pautnya dengan Nilam Sari. Namun 

kelegaan si pemuda hanya sesaat.

"Aku sudah lama menjalin hubungan. Se-

suatu yang mempererat hubungan.... Sesuatu 

yang mempererat hubungan adalah.... Hah? Apa-

kah dia...." Tubuh Braja Musti bergetar. Ditarik-

nya bahu Sekar Arum menjauh dari dadanya.

"Sekar Arum. Katakan apakah kau...?!"

Sekar Arum tersenyum. Kepalanya mengge-

leng pelan. "Saatnya akan tiba untuk mengatakan 

semua itu. Kekasih.... Sudah semalaman aku me-

nunggumu. Aku merindukan dirimu. Bawalah 

aku terbang seperti malam-malam yang lalu...."

Habis berkata begitu, Sekar Arum pejam-

kan sepasang matanya. Kedua tangannya berge-

rak menarik kepala si pemuda mendekat wajah-

nya. Bibir mereka bertemu. Sekar Arum lalu men-

gambil kedua tangan Braja Musti dan ditaruh di dadanya.


DUA


MESKI saat itu malam telah jauh merang-

kak namun Sungai Siluman tampak berkilat-kilat. 

Riak air memancarkan sinar putih berkilau terke-

na cahaya sang rembulan purnama yang bergerak 

leluasa tanpa terhalang awan. Dalam keadaan se-

perti itu sebuah sampan kecil terlihat meluncur 

deras membelah permukaan air.

Di bagian depan sampan, tegak seorang 

pemuda bertubuh tegap mengenakan pakaian hi-

tam-hitam. Rambutnya panjang berkibar-kibar di-

tiup angin sungai. Kedua tangan pemuda ini me-

megang dua batang bambu yang terus menerus 

ditusukkan ke dalam air sungai. Sementara di se-

belah kanan dan kiri sampan duduk dua orang 

gadis.

Sebelah kanan adalah gadis berwajah can-

tik mengenakan pakaian warna putih tipis ketat. 

Dadanya kencang dengan mata tajam berbinar, 

rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Tan-

gan kanannya memegang batang bambu yang se-

kali-kali dihujamkan ke dalam air sungai di ba-

wahnya. Sedangkan yang di sebelah kiri adalah 

gadis berparas cantik mengenakan pakaian warna 

ungu. Rambutnya yang panjang dibiarkan berge-

rai hingga melambai-lambai ditiup angin sungai. 

Tangan kirinya juga memegang sebatang bambu 

yang ditusuk-tusukkan ke dalam air sungai di

sampingnya.

Meski batang-batang bambu yang diguna-

kan sebagai dayung oleh ketiga orang ini hanya 

sebesar dua kali ibu jari, namun karena gerakan 

mereka dengan kerahkan tenaga dalam, maka tak 

heran jika begitu ketiganya sama-sama menghu-

jamkan batang bambu di tangan masing-masing 

ke dalam air sungai, sampan itu meluncur den-

gan derasnya!

"Kita sudah dekat...!" Tiba-tiba sang pemu-

da keluarkan suara memecah suara gelombang 

air tanpa berpaling ke arah dua gadis cantik di 

samping kiri dan kanan sampan. Sepasang mata 

pemuda ini memperhatikan permukaan air sun-

gai. Air tak lagi berwarna jernih, melainkan merah 

seperti darah! Anehnya, bersamaan dengan ber-

gantinya warna air, berhembus bau harum.

Dua gadis tak ada yang menyahut. Seba-

liknya kedua gadis ini ikut-ikutan arahkan pan-

dangan masing-masing ke arah air sungai. Seje-

nak kemudian kedua gadis ini sama-sama paling-

kan wajah ke kanan kiri, hingga keduanya saling 

berpandangan. Keduanya lantas sama-sama 

sunggingkan senyum meski ketegangan tak bisa 

lenyap dari wajah kedua gadis ini.

"Nilam Sari, Sekar Arum.... Kalian siap...?!" 

si pemuda kembali membuka suara masih tanpa 

palingkan wajahnya ke belakang.

Kembali tak ada sahutan dari pertanyaan 

si pemuda, membuat pemuda ini putar tubuhnya 

lalu memandang ke samping kanan kiri.

"Pertanyaanmu tidak perlu dijawab, Braja

Musti. Perjalanan ini cukup menjelaskan semua-

nya! Bukankah begitu, Sekar Arum?!" kata gadis 

berpakaian putih yang bukan lain adalah Nilam 

Sari adanya seraya berpaling pada gadis di sebe-

lah kirinya yang tidak lain adalah Sekar Arum.

Sekar Arum menjawab dengan anggukan 

kepala. "Semua rencana tetap, Braja Musti...."

Sang pemuda yang adalah Braja Musti 

adanya tersenyum menutupi kegelisahan serta 

ketegangan. Lalu tanpa berkata lagi, dia balikkan 

tubuh dan hujamkan kembali bambu di kedua 

tangannya. Nilam Sari dan Sekar Arum tak ting-

gal diam. Keduanya pun segera pula menusukkan 

batang bambu di tangan masing-masing ke dalam 

air sungai, hingga sampan itu kembali meluncur, 

tidak lagi ke depan, melainkan ke sebelah kanan. 

Sampan itu bergerak menepi.

Braja Musti segera berkelebat, disusul ke-

mudian oleh Nilam Sari dan Sekar Arum sebelum 

sampan itu merapat ke pinggir sungai. "Hem.... 

Sepuluh tahun kutinggalkan, tempat ini hampir 

tak mengalami perubahan. Akankah pertemuan 

ini benar-benar akan membuahkan hasil?! Semo-

ga Nilam Sari dan Sekar Arum menjalankan tu-

gasnya dengan baik. Jika aku berhasil, hem.... 

Aku akan jadi raja diraja rimba persilatan!" Braja 

Musti membatin. Lalu berpaling ke belakang dan 

memberi isyarat pada Nilam Sari serta Sekar 

Arum untuk mengikutinya.

Ketiga orang ini terus berkelebat. Medan 

yang mereka tempuh menanjak, karena tempat di 

mana sampan itu mendarat, berupa bukit, tinggi

di bagian tengah. Sekitar sepuluh tombak, keti-

ganya berhenti. Mata masing-masing orang me-

mandang berkeliling. Yang tampak hanyalah gun-

dukan-gundukan tanah dan pohon-pohon gundul 

di sana-sini. Pohon-pohon yang tak mempunyai 

daun sehelai pun! Tak tampak adanya tanda-

tanda kehidupan sama sekali!

"Braja Musti. Apalagi yang kita tunggu?!" 

Nilam Sari berbisik mengejutkan si pemuda, 

membuat wajahnya makin tegang. Pemuda ini 

lantas melangkah ke sebelah kanan, diikuti oleh 

dua gadis di belakangnya. Sampai pada sebuah 

gundukan agak besar, ketiganya hentikan lang-

kah. Di situ tampak sebuah lobang menganga 

menyerupai mulut gua.

Braja Musti memandang pada Nilam Sari 

dan Sekar Arum. Kedua gadis ini mengangguk. 

Belum sampai keduanya benar-benar mengang-

guk, Braja Musti telah melangkah memasuki lo-

bang yang kemudian diikuti oleh Nilam Sari dan 

Sekar Arum.

Lobang itu ternyata sebuah terowongan 

panjang. Namun ketiga orang ini melangkah den-

gan tenang meski wajah mereka tetap tegang. 

Langkah-langkah mereka menunjukkan bahwa 

tempat ini sudah tak asing lagi bagi ketiganya.

Sampai ujung terowongan, mereka sejenak 

hentikan langkah. Di hadapan mereka kini tam-

pak hamparan tanah membentuk lingkaran sebe-

sar dua puluh tombak berkeliling. Di sebelah de-

pan sana, terlihat beberapa lobang terowongan. 

Ada keanehan di hamparan tanah gersang yang

menghubungkan antara terowongan pertama 

dengan beberapa terowongan di depan sana. Di 

hamparan tanah itu pada beberapa tempat tam-

pak beberapa batu bertulisan angka satu sampai 

dua puluh delapan.

Kalau dilihat sepintas, tak ada yang aneh 

pada hamparan tanah gersang yang ditonjoli ba-

tu-batu bertulisan angka itu. Namun sebenarnya, 

hamparan tanah itu adalah lumpur hidup yang 

tertutup lapisan tanah tipis! Hal itu terbukti keti-

ka Braja Musti mengambil sebuah kerikil dan di-

lemparkan, hamparan tanah bergoyang. Kerikil 

itu pun tenggelam!

Namun melihat hal ini, ketiga orang yang 

ada di mulut terowongan pertama tak menam-

pakkan rasa terkejut. Sebaliknya Braja Musti se-

gera melangkah ke hamparan tanah dengan men-

jejak pada tonjolan batu berangka tiga. Dari tem-

patnya berdiri, Braja Musti lantas bergerak me-

lompat ke tonjolan batu berangka enam. Dia lan-

tas putar tubuhnya menghadap pada Nilam Sari 

dan Sekar Arum yang masih tegak di mulut tero-

wongan.

"Kalian masih ingat bukan mana yang ha-

rus dibuat batu loncatan?!" serunya dengan suara 

sedikit ditahan. Namun gema suaranya bergaung 

keras! Memantul ke setiap lobang terowongan 

yang ada di situ.

Dua gadis yang diteriaki tidak ada yang 

menyahut. Malah Nilam Sari cepat melompat ke 

arah tonjolan batu berangka tiga. Lalu berkelebat 

dan tahu-tahu telah tegak di atas tonjolan batu

berangka sembilan. Begitu Nilam Sari berkelebat, 

Sekar Arum melompat ke tonjolan batu berangka 

tiga.

Melihat hal ini, Braja Musti segera putar 

kembali tubuhnya. Nilam Sari ternyata telah ber-

pindah lagi. Kini gadis berpakaian putih tipis ini 

telah tegak di atas tonjolan batu berangka lima 

belas. Sementara Sekar Arum telah berada di ton-

jolan batu angka dua belas.

Ketiga orang ini tampak berkelebat dari 

tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya. Dan seke-

jap kemudian, ketiganya telah berada di depan 

beberapa terowongan.

Braja Musti melangkah maju tiga tindak ke 

depan terowongan paling tengah. Dia berpaling 

sejenak pada dua gadis di belakangnya. Lalu 

mengangguk dan berkelebat. Bukan masuk ke da-

lam terowongan, melainkan berkelebat ke atas! Di 

mana terdapat lamping batu lurus ke atas yang 

tingginya kira-kira sepuluh tombak yang meng-

hubungkan bagian atas terowongan-terowongan 

dengan langit-langit tempat itu.

Begitu di atas udara, tangan kanannya 

bergerak mendorong batu. Begitu tangannya dita-

rik kembali, batu yang terdorong tangan membu-

ka! Dari dalam batu yang membuka membersit 

seberkas cahaya kuning kemerahan.

Pada saat batu membuka, Braja Musti ce-

pat berkelebat masuk lalu lenyap dari pandangan. 

Nilam Sari jejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke 

udara lalu masuk ke batu yang membuka. Ber-

samaan masuknya Nilam Sari, Sekar Arum segera

menyusul berkelebat lalu lenyap masuk ke batu 

yang membuka. Begitu ketiganya masuk, batu 

yang tadi membuka itu menutup kembali tanpa 

keluarkan suara!

Ternyata di balik batu itu terdapat tangga 

menurun dari batu-batu kerikil. Tangga menurun 

itu menghubungkan dengan sebuah terowongan 

agak besar yang di tengah-tengahnya terdapat se-

buah cermin besar yang diikat dan digantungkan 

di bawah sebuah lobang. Dari lobang di atas cer-

min membersit cahaya kuning kemerahan. Na-

mun memancarkan sinar panas. Cahaya dari lo-

bang itu lantas dipantulkan cermin ke sekitar 

tempat itu, hingga terowongan agak besar itu se-

dikit terang.

Begitu Braja Musti, Nilam Sari, serta Sekar 

Arum sampai pada terowongan agak besar yang 

diterangi pantulan cahaya dari cermin, ketiganya 

berhenti.

Ketegangan terlihat pada wajah ketiganya. 

Hingga dahi dan leher mereka tampak basah oleh 

keringat dingin. Namun mungkin karena malam 

ini adalah malam yang dijanjikan untuk perte-

muan, meski dengan tegang akhirnya ketiga 

orang ini melangkah menelusuri terowongan. 

Anehnya, kali ini Braja Musti melangkah dengan 

menghitung setiap langkahan kakinya. Sementara 

dua gadis di belakangnya hanya mengikuti.

Sampai pada hitungan langkah ke dua pu-

luh satu, Braja Musti hentikan langkah. Lalu pu-

tar tubuh setengah lingkaran menghadap batu 

bagian samping terowongan. Setelah menarik napas panjang dan dalam, dia melangkah maju lima 

tindak. Kedua tangannya bergerak mendorong ba-

tu samping terowongan. Seolah sulit dipercaya, 

batu bagian samping terowongan itu bergerak 

membuka! Sebesar pintu rumah biasa.

Tanpa menunggu lama lagi, Nilam Sari dan 

Sekar Arum cepat mengikuti Braja Musti yang te-

lah masuk. Begitu mereka masuk, batu yang 

membentuk pintu itu menutup kembali dengan 

keluarkan suara berdebam dahsyat! Tempat di 

mana ketiga orang itu kini berada bergetar keras. 

Malah ketiganya hampir saja terjerembab jika ti-

dak segera kerahkan tenaga dalam masing-

masing untuk mengatasi huyungan tubuhnya.

Mereka bertiga kini berada pada sebuah 

ruangan besar yang di pojoknya terlihat nyala se-

buah obor yang ditancapkan begitu saja pada 

dinding yang terbuat dari batu. Hingga ruangan 

besar itu tampak terang. Pada bagian depan 

ruangan yang menghadap ke pintu batu, hampir 

bersebelahan dengan dinding, tampak sebuah 

tonjolan batu rata sebesar dua tombak berkelil-

ing.

Ketiga orang ini melangkah pelan-pelan ke 

arah tonjolan batu rata. Sepuluh langkah lagi 

sampai, ketiganya berhenti lalu masing-masing 

orang ini lorotkan tubuhnya dan duduk bersila. 

Braja Musti berada paling kanan, Nilam Sari be-

rada di tengah, sedangkan Sekar Arum berada 

paling kiri.

Untuk beberapa lama ketiga orang ini diam 

tak bergerak dan tak ada yang buka suara. Mata

mereka masing-masing terpentang lebar tak ber-

kedip memandang ke tonjolan batu rata di hada-

pannya. Keringat telah membasahi sekujur tubuh 

mereka dari kepala hingga kaki. Padahal ruangan 

itu sangat lembab, pertanda jika mereka dilanda 

rasa tegang yang amat sangat.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Braja Mus-

ti lirikkan matanya ke samping. Mulutnya yang 

telah membuka hendak mengucapkan sesuatu 

terkancing lagi ketika lirikan matanya menangkap 

Nilam Sari diam tak bergerak dengan mata nya-

lang tak berkedip memandang ke arah tonjolan 

batu rata.

"Jahanam! Akankah pertemuan ini tak

membawa hasil? Atau barangkali aku salah 

menghitung hari?! Tidak. Aku masih ingat pesan 

Guru. Pertemuan akan berlangsung sepuluh ta-

hun kemudian pada purnama bulan terakhir. Ta-

pi kenapa dia tak muncul?! Lupakah dia dengan 

ucapannya? Atau...." Braja Musti tidak mene-

ruskan membatin, karena bersamaan dengan itu 

terdengar suara berderit yang memekakkan telin-

ga.

Kepala mereka segera berpaling ke arah da-

tangnya suara berderit. Mereka melihat salah sa-

tu dinding ruangan itu menguak lubang sebesar 

pintu. Dari dalamnya mengepul asap putih, lalu 

melesat sebuah bayangan. Demikian cepatnya 

daya lesat bayangan itu, hingga mereka tak dapat 

memastikan apa yang baru saja melesat keluar.

Selagi ketiga orang ini terpaku, telinga me-

reka mendengar suara batuk-batuk kecil beberapa kali. Serentak ketiganya berpaling kembali. 

Masing-masing orang terperangah dengan mulut 

terbuka tatkala mereka melihat seseorang telah 

duduk bersila di atas tonjolan batu rata di hada-

pan mereka!

"Eyang Pandanaran!"

Setelah dapat mengatasi rasa terkejut, 

masing-masing orang serentak keluarkan suara 

hampir bersamaan. Lalu ketiganya membungkuk 

dalam-dalam.

Orang yang duduk di atas tonjolan batu ra-

ta dan dipanggil dengan Eyang Pandanaran ada-

lah seorang laki-laki berusia sangat lanjut. Men-

genakan jubah warna putih. Rambutnya sedikit 

dan berwarna putih. Kumis dan jenggotnya yang 

juga putih, panjang menjulai ke bawah. Sebagian 

besar wajahnya yang terlihat, hampir-hampir tak 

berdaging!


TIGA


BRAJA Musti, Nilam Sari, Sekar Arum. 

Rentang waktu sepuluh tahun bukanlah masa 

yang pendek. Murid-muridku, apakah kalian 

baik-baik saja selama sepuluh tahun hidup di 

tengah keramaian?!" Eyang Pandanaran buka ke-

heningan yang melingkupi ruangan itu.

Ketiga orang di hadapan Eyang Pandana-

ran sama-sama angkat kepala. Memandang lekat-

lekat pada orang tua yang duduk bersila di hada-

pannya. Ketegangan tak dapat disembunyikan da

ri wajah mereka walaupun Eyang Pandanaran ter-

lihat tersenyum meski samar-samar.

"Guru...," akhirnya Braja Musti buka mu-

lut. "Keadaan kami bertiga baik-baik saja...," sua-

ra Braja Musti terdengar serak parau dan sedikit 

bergetar, membuat Eyang Pandanaran kernyitkan 

dahi.

"Hem.... Bagus. Itulah yang memang selalu 

kuharapkan. Seperti ucapanku pada sepuluh ta-

hun lalu, malam ini adalah malam kalian menge-

tahui apakah ada di antara kalian yang digurat 

untuk memiliki apa yang selama ini dipercayakan 

padaku untuk menjaga dan merawatnya! Namun 

sekali lagi kalian harus ingat, apa pun yang akan 

kalian dengar terimalah sebagai kenyataan!"

"Guru.... Apakah ucapanmu melambang-

kan di antara kami tidak ada yang ditakdirkan 

memiliki lembaran kulit itu?!" kembali Braja Mus-

ti yang keluarkan suara.

Eyang Pandanaran sipitkan sepasang ma-

tanya. Orang tua ini sedikit terkejut mendengar 

pertanyaan murid laki-lakinya itu.

"Hem.... Ternyata kau telah tahu apa yang 

selama ini dipercayakan padaku untuk menyim-

pan, menjaga sekaligus merawatnya. Braja Musti, 

dari mana kau tahu bahwa yang kusimpan sela-

ma ini adalah sebuah lembaran kulit?!"

"Terbukti kebenaran berita yang tersebar di 

rimba persilatan. Lembaran kulit hebat bernama 

Lembaran Kulit Naga Pertala itu ada di tangan-

nya! Hem.... Tinggal selangkah lagi. Kini giliran 

Nilam Sari dan Sekar Arum yang harus bertindak!

Mudah-mudahan berjalan sesuai rencana...." Di-

am-diam Braja Musti membatin. Lalu memandang 

pada gurunya dan berkata.

"Guru.... Kalangan rimba persilatan akhir-

akhir ini diguncang dengan berita tentang Lemba-

ran Kulit Naga Pertala. Dan menurut kabar yang 

berhasil kusirap dari orang yang terpercaya, lem-

baran kulit itu disimpan seseorang yang bermu-

kim di Bukit Siluman! Sebenarnya aku belum 

percaya dengan kabar berita itu. Aku tadi berkata 

seraya menduga-duga. Ternyata menuruti kata-

katamu, sedikit banyak aku mulai percaya kabar 

itu...."

Eyang Pandanaran mengangguk-angguk. 

Diam-diam pula dalam hati orang tua ini berkata. 

"Meski kalangan rimba persilatan telah tahu, na-

mun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. 

Untuk mencapai tempat ini diperlukan tenaga 

dan pikiran jeli. Jika tidak, nyawa mereka akan 

melayang! Tempat ini telah kupersiapkan berta-

hun-tahun demi menjaga agar lembaran kulit ini 

tak jatuh ke tangan orang yang tidak diharapkan! 

Aku percaya, murid-muridku tidak akan membu-

ka rahasia jalan ke ruangan ini!"

"Braja Musti, Nilam Sari dan kau Sekar 

Arum. Kurasa kalian telah mendapat kabar yang 

benar. Terus terang saja, apa yang selama ini ku-

simpan memang adalah sebuah lembaran kulit 

bernama Lembaran Kulit Naga Pertala...," kata 

Eyang Pandanaran sambil memandang satu per-

satu pada muridnya.

Ketegangan terlihat lebih terbayang di wa

jah ketiga murid Eyang Pandanaran daripada pe-

rasaan terkejut mendengar kata-kata gurunya itu.

"Tapi seperti kataku tadi, apa yang akan 

kalian dengar terimalah sebagai kenyataan!" sam-

bung sang guru. "Murid-muridku. Sebagai guru, 

aku sebenarnya menghendaki salah satu di anta-

ra kalian ada yang mewarisi lembaran kulit itu. 

Tapi kehendak manusia ada di bawah kehendak 

sang Pencipta. Lebih dari itu, takdir ketetapan 

sang Pencipta tidak bisa dirubah dengan apa pun 

juga! Meresapi kenyataan itu, kuharap kalian ber-

lapang dada jika di antara kalian memang tidak 

ada yang ditetapkan untuk mewarisi lembaran 

kulit itu!"

Mendengar keterangan Eyang Pandanaran, 

ketegangan makin menyelimuti murid-muridnya. 

Hingga untuk beberapa lama, tak ada satu pun 

yang bicara.

"Murid-muridku. Aku tahu, kalian kecewa 

karena sepuluh tahun menanti dan tak menda-

patkan apa-apa dari masa penantian itu. Tapi aku 

akan menyesal dan kecewa berlebih-lebih jika ha-

rus memaksakan diri untuk menyerahkan sesua-

tu bukan pada orangnya! Harap kalian menger-

ti...."

"Jika demikian halnya, kami akan meneri-

ma dengan hati lapang, Guru...!" ucap Braja Mus-

ti seraya bungkukkan tubuh menjura dalam. Na-

mun diam-diam sambil menjura, pemuda ini li-

rikkan matanya ke arah Nilam Sari.

"Benar, Guru. Kalau lembaran kulit itu ti-

dak ditetapkan untuk kita, kami akan meneri

manya sebagai kenyataan...," Nilam Sari me-

nyambung ucapan Braja Musti sambil ikut-ikutan 

bungkukkan tubuh yang kemudian juga diikuti 

oleh Sekar Arum.

Eyang Pandanaran menghela napas lega 

sambil tersenyum melihat para muridnya dapat 

menerima kenyataan yang didengarnya. Namun 

senyum orang tua ini terputus seketika. Sepasang 

matanya membeliak besar, dadanya bergetar ke-

ras. Betapa tidak? Begitu Nilam Sari dan Sekar 

Arum angkat kembali kepalanya dan luruskan 

tubuh, pakaian bagian atas kedua gadis ini telah 

terbuka! Hingga dua pasang payudara kencang 

membusung dan putih terpentang tanpa penutup 

lagi!

"Nilam Sari, Sekar Arum! Jangan berbuat 

macam-macam. Tutup kembali auratmu itu!" ben-

tak Eyang Pandanaran seraya alihkan pandan-

gannya pada jurusan lain. Sementara Braja Musti 

seolah-olah masygul dengan tindakan kedua ga-

dis di sampingnya, namun dia tak keluarkan se-

patah kata. Bahkan menoleh pun tidak.

Mendengar bentakan gurunya, bukannya 

membuat Nilam Sari dan Sekar Arum menutup 

dadanya, malah dengan tersenyum kedua gadis 

ini selonjorkan kaki masing-masing ke depan. Ke-

dua tangannya lalu melepas kancing-kancing ba-

gian bawah. Lalu perlahan-lahan kedua gadis ini 

bergerak bangkit dengan pakaian bagian depan 

terbuka!

"Guru...," kata Nilam Sari seraya melang-

kah mendekat. "Bertahun-tahun hidup menyendiri apakah tidak merindukan kenikmatan? Sebagai 

imbalan atas ilmu yang kau berikan pada kami, 

malam ini kami ingin guru menikmati apa yang 

ada pada kami...."

"Berhenti!" Eyang Pandanaran kembali 

membentak. "Tak pantas ucapan dan perbuatan 

itu kalian perlihatkan di hadapan guru kalian! 

Sekali lagi tutup kembali tubuh kalian berdua 

atau...."

Eyang Pandanaran tak meneruskan uca-

pannya karena bersamaan dengan itu Nilam Sari 

dan Sekar Arum telah meloncat ke samping kiri 

kanan gurunya. Dan tanpa malu-malu lagi kedua 

gadis ini segera menciumi gurunya dengan tangan 

menekan pada tangan gurunya.

"Kurang ajar! Kalian telah gila!" teriak 

Eyang Pandanaran dengan suara bergetar parau. 

Orang tua ini tampaknya mulai merasakan hawa

hangat merasuki sekujur tubuhnya. Pelan-pelan 

pula dia mulai menikmati ciuman-ciuman yang 

dilakukan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum. Bah-

kan kedua tangannya yang tadi hendak digerak-

kan untuk menepis tubuh gadis di hadapannya 

seolah lumpuh tak bisa digerakkan.

"Hem.... Aroma perangsang yang dipakai 

oleh Nilam Sari dan Sekar Arum tampaknya telah 

bekerja dengan baik. Orang tua itu mulai terang-

sang. Aku harus menepi dan tinggal tunggu saat 

yang tepat!" Braja Musti mendesis dalam hati se-

raya melirik ke depan. Bibir pemuda ini mengulas 

senyum seringai tatkala melihat sebagian tubuh 

kedua gadis itu hampir terbuka seluruhnya.

"Keparat! Seandainya tidak demi lembaran 

kulit itu, tak akan kubiarkan tubuh bagus itu me-

rengek-rengek di depan mataku!" maki Braja 

Musti lalu bangkit dan melangkah ke samping.

Meski sadar jika gelora nafsu telah mera-

suki jiwanya namun Eyang Pandanaran masih 

mencoba menekannya dengan pejamkan sepa-

sang matanya.

Namun tindakannya ini justru menambah 

dirinya makin terangsang, hingga tatkala tangan 

Nilam Sari dan Sekar Arum melepas jubahnya, 

orang tua ini diam saja. Hal ini membuat kedua 

gadis itu makin berani. Dan dengan keluarkan 

desahan-desahan panjang kedua gadis ini mulai 

membuka pakaian dalam yang melapis jubah pu-

tih gurunya.

Saat jubah putih besar itu jatuh tercam-

pak, ekor mata Braja Musti yang sejak tadi terus 

memperhatikan membeliak besar. Karena dicam-

pakkan dengan kasar, jubah itu menyingkap. Pa-

da bagian punggung jubah putih itu tampak se-

buah lipatan berbentuk segi empat yang dilapis 

kain hingga benda itu tak tampak. Lipatan yang 

tipis. Andaikata Braja Musti tak terlalu memper-

hatikan, tak akan mungkin dapat melihatnya.

"Hem.... Pasti itu lembaran kulit yang ku-

cari!" desis Braja Musti seraya tak berkedip mem-

perhatikan. Merasa yakin, pemuda ini lalu alih-

kan pandangannya ke atas tonjolan batu rata. Ni-

lam Sari dan Sekar Arum tampak duduk di pang-

kuan kiri kanan Eyang Pandanaran dengan pa-

kaian tersingkap sebatas perut. Eyang Pandana

ran sendiri tampak terengah-engah. Pakaian yang 

dikenakannya pun sudah terbuka. Tinggal pa-

kaian bagian bawah.

Nilam Sari dan Sekar Arum perlahan-lahan 

merebahkan tubuh gurunya dengan terus menci-

umi bagian tubuh orang tua itu. Saat tubuh 

Eyang Pandanaran bergerak hendak telentang, 

Braja Musti berkelebat menyambar jubah putih

yang tercampak. Dan tanpa berpaling lagi, pemu-

da ini putar tubuhnya lalu berkelebat menuju 

pintu batu yang tertutup.

Saat itulah Eyang Pandanaran menangkap 

kelebatan tubuh Braja Musti. Orang tua ini tiba-

tiba tersadar. Kedua tangannya cepat ditepiskan 

ke samping kanan kiri hingga tubuh Nilam Sari 

dan Sekar Arum terjengkang. Dia cepat bergerak 

duduk, dan melihat Braja Musti telah berada di 

belakang pintu yang masih tertutup dengan 

membawa jubahnya, orang tua ini tersentak. Dia 

baru benar-benar sadar apa yang ada di balik 

perbuatan murid-muridnya.

"Laknat! Ternyata mulut kalian yang mau 

menerima, tapi hati kalian tidak! Kalian mengin-

ginkan lembaran kulit itu!" teriak Eyang Pandana-

ran. Karena lembaran kulit itu berada di jubah-

nya, mau tak mau orang tua ini harus segera me-

rebutnya dari tangan Braja Musti. Takut Braja 

Musti segera kabur, orang tua ini angkat kedua 

tangannya lalu dihantamkan ke depan.

Wuuttt! Wuttt!

Gelombang angin dahsyat segera keluar 

menyambar ke arah Braja Musti. Braja Musti berpaling lalu hantamkan kedua tangannya.

Ruangan itu segera berguncang keras keti-

ka dua pukulan itu bentrok. Braja Musti terpental 

ke belakang. Karena di belakangnya adalah dind-

ing batu, maka tak ampun lagi tubuh Braja Musti 

mental menghantam dinding batu itu. Lalu berge-

debukan jatuh ke bawah. Paras pemuda ini beru-

bah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari su-

dut bibirnya. Namun pemuda ini tak menghirau-

kan. Dia cepat bangkit lalu mengenakan jubah 

putih milik gurunya.

Di seberang, Eyang Pandanaran terdorong, 

namun orang tua ini segera dapat kuasai tubuh. 

Begitu melihat Braja Musti bangkit dan telah 

mengenakan jubahnya, marah orang tua ini tidak 

bisa ditahan lagi.

"Murid murtad! Mampus adalah bagian 

yang layak untukmu!" serunya sambil kembali le-

paskan pukulan.

Sebenarnya Braja Musti tak berniat mela-

deni gurunya. Dia sadar, ilmunya masih jauh di 

bawah gurunya itu. Dia telah siap menghantam 

dinding untuk segera meloloskan diri, namun se-

belum tangannya sempat menghantam, serangan 

gurunya telah datang, hingga mau tak mau kedua 

tangannya dihantamkan untuk menangkis.

Blaarrr!

Untuk kedua kalinya ruangan itu bergetar 

keras. Obor yang tertancap di dinding bergoyang-

goyang sebelum akhirnya jatuh dan padam, 

membuat ruangan itu gelap.

Braja Musti merasakan tubuhnya terhan

tam gelombang angin dahsyat hingga untuk kali 

kedua tubuhnya mental. Begitu derasnya gelom-

bang, hingga dinding batu di belakangnya yang 

terkena pentalan tubuhnya berderak ambrol dan 

tubuhnya telentang di luar ruangan!

Eyang Pandanaran sendiri terseret dan ter-

sandar di dinding. Orang tua ini segera meneliti, 

merasa tak mengalami cedera yang parah, dia ce-

pat bangkit hendak mengejar. Namun langkahnya 

tertahan tatkala menyadari tubuhnya hanya 

mengenakan pakaian bawah saja.

Dengan mengumpat panjang pendek, orang 

tua ini segera meraba-raba mencari pakaiannya. 

Saat itulah dari arah samping kanan kiri berdesir 

angin keras.

"Laknat! Kalian berdua juga harus mam-

pus!" teriak Eyang Pandanaran tahu siapa geran-

gan yang lepaskan pukulan dari arah samping-

nya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Kedua tangan Eyang Pandanaran berkele-

bat menghantam ke arah samping kiri kanan 

memapak pukulan yang datang yang ternyata di-

lepaskan oleh Nilam Sari dan Sekar Arum.

Terdengar letupan dua kali berturut-turut. 

Disusul dengan seruan tertahan lalu terdengar 

benturan di dinding sebelah kanan dan kiri.

Nilam Sari dan Sekar Arum yang tubuhnya 

baru saja menghantam dinding ruangan pelo-

totkan mata masing-masing untuk mengetahui 

keadaan tubuhnya, namun karena keadaan gelap, 

keduanya tak dapat mengetahuinya. Mereka

hanya merasakan tubuhnya seakan remuk. Dada 

mereka bergetar keras dan sakit. Cairan hangat 

terasa meleleh dari mulutnya!

Kedua gadis ini cepat kerahkan tenaga da-

lam masing-masing. Lalu sepasang mata mereka 

memandang ke depan. Mata mereka pelan-pelan 

mulai terbiasa dengan gelap, dan samar-samar 

mereka dapat menangkap sosok Eyang Pandana-

ran yang sedang bergerak-gerak mengenakan pa-

kaiannya. Kesempatan ini tak disia-siakan. Nilam 

Sari yang berada di sebelah kiri cepat bangkit lalu 

melompat satu tombak ke depan. Bersamaan 

dengan itu kedua tangannya lepaskan pukulan.

Eyang Pandanaran merasakan gelombang 

angin dahsyat menghantam dirinya. Sebelum ge-

lombang angin itu menyapu tubuhnya, orang tua 

ini segera melompat ke samping dengan kedua 

tangan dihantamkan.

Pada saat Eyang Pandanaran hantamkan 

kedua tangannya ke sebelah kiri, Sekar Arum 

yang berada di sebelah kanan lepaskan pukulan.

Ruangan itu kembali laksana dilanda gem-

pa ketika pukulan yang dilepas Nilam Sari berte-

mu dengan pukulan Eyang Pandanaran. Nilam 

Sari mental menghantam dinding sebelum akhir-

nya jatuh telengkup di lantai ruangan. Eyang 

Pandanaran hanya terjajar dua langkah ke bela-

kang. Namun baru saja terjajar, pukulan Sekar 

Arum datang menggebrak!

Orang tua itu tersedak. Dia buru-buru ber-

gerak menghindar, namun pukulan Sekar Arum 

lebih cepat datangnya, hingga tanpa ampun lagi

orang tua ini keluarkan pekikan tinggi sebelum 

akhirnya mencelat menghantam dinding di bela-

kangnya.

"Nilam! Lari!" teriak Sekar Arum seraya 

berkelebat ke dinding yang telah ambrol.

Mendengar teriakan saudara seperguruan-

nya, Nilam Sari bangun. Meski masih merasakan 

sakit bukan alang kepalang, gadis ini cepat ke-

rahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Lalu dengan 

menahan rasa sakit di sekujur tubuh dia berkele-

bat menyusul Sekar Arum yang telah menerobos 

keluar.

Braja Musti sendiri, ketika mengetahui Ni-

lam Sari dan Sekar Arum lancarkan serangan pa-

da Eyang Pandanaran tak sia-siakan kesempatan. 

Ia sadar dirinya telah terluka cukup parah. Dia 

harus selamatkan diri lebih-lebih selamatkan 

lembaran kulit yang telah berada di tangannya. 

Berpikir sampai di situ, pemuda ini tertatih-tatih 

bangkit lalu melangkah keluar terowongan.

Eyang Pandanaran memaki sendiri dalam 

hati. Penyesalan dan kecewa atas tindakan mu-

rid-muridnya terbayang jelas dari wajahnya yang 

pucat pasi seakan tak berdarah itu. Darah telah 

mengalir dari mulutnya. Namun mengingat jubah 

berisi lembaran kulit telah lepas dari tangannya, 

orang tua ini tidak menghiraukan cedera tubuh 

dalamnya. Dia segera bangkit lalu berkelebat 

mengejar murid-muridnya.

Namun sampai di tengah-tengah ruangan, 

kelebatannya tertahan. Dia merasakan hawa aneh 

mendorong tubuhnya hingga meski dia kerahkan

tenaga dalam untuk melawan, tubuhnya tak bisa 

bergerak!

Orang tua ini kerutkan dahi dengan hati 

menggerendeng marah. Saat itulah entah dari 

mana datangnya, dia mendengar suara desiran 

angin aneh menyerupai gemeretak ranting-ranting 

yang berjatuhan. Belum sempat mengetahui apa 

yang terjadi, sepuluh langkah di hadapannya 

asap putih mengepul dengan keluarkan cahaya 

berkilau hingga ruangan yang tadinya gelap sa-

mar-samar berubah agak terang.

Eyang Pandanaran tercekat dengan sepa-

sang mata membeliak besar. Memandang tak ber-

kesiap ke arah asap putih di hadapannya. Tiba-

tiba orang tua ini surutkan langkah dua tindak 

dengan mulut menganga tatkala dari asap putih 

itu sepasang matanya samar-samar menangkap 

munculnya sesosok tubuh!


EMPAT


MESKI hanya samar-samar terbalut asap 

putih namun Eyang Pandanaran dapat dengan je-

las melihat sosok yang ada di balik asap putih itu. 

Dia adalah seorang laki-laki berusia amat tua. Ini 

jelas tergambar dari rambutnya yang panjang dan 

digelung ke atas telah berwarna putih. Demikian 

juga alis mata, kumis serta jenggotnya. Tapi wa-

jah orang tua ini tak terlihat, karena memancar-

kan sinar yang menyilaukan mata, seakan-akan 

dilapisi kabut. Dia mengenakan pakaian warna

putih-putih.

Eyang Pandanaran menahan napas untuk 

beberapa lama. Mulutnya bergerak membuka 

hendak keluarkan suara. Tapi ternyata suaranya 

terputus di tenggorokan.

"Raden Inu Kertapati...," orang tua di balik 

asap putih perdengarkan suara. Eyang Pandana-

ran terlonjak kaget. Sepasang matanya makin 

membesar, dahinya makin dipenuhi kerutan. 

Berpuluh-puluh tahun dia merahasiakan siapa 

dirinya, bahkan nama pemberian kedua orangtu-

anya pun dikubur dalam-dalam.

Raden Inu Kertapati yang sebenarnya me-

rupakan nama pemberian orangtuanya yang men-

jadi adipati di Kadipaten Langkat. Beranjak besar 

Raden Inu Kertapati menjalin hubungan dengan 

gadis berparas cantik. Namun si gadis akhirnya 

tergoda dengan pemuda lain yang selain berparas 

tampan juga memiliki ilmu tinggi. Raden Inu Ker-

tapati kecewa. Diam-diam dia meninggalkan Ka-

dipaten Langkat dengan membawa luka hati. Dia 

lantas berkelana sebelum akhirnya menemukan 

seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.

Setelah bertahun-tahun belajar, Inu Kerta-

pati keluar lagi. Tapi kini dia telah berubah. Tu-

buhnya tegap dengan ilmu tinggi. Meski telah la-

ma berselang, namun luka hatinya masih mem-

bekas dan luka hati itu dilampiaskannya dengan 

mengumbar nafsu pada perempuan-perempuan 

cantik yang dijumpainya. Bahkan dia tak segan-

segan merebut si perempuan dari tangan orang 

lain dengan cara kekerasan bahkan membunuh.

Lingkungan lambat laun menyeret Inu Kertapati 

menjadi orang yang kejam dan rimba persilatan 

pun mulai mengenalnya.

Hanya beberapa tahun kemudian, Inu Ker-

tapati telah dikenal kalangan persilatan sebagai 

tokoh yang ditakuti, dan menggelarinya Iblis Pe-

metik Bunga. Beberapa tahun lamanya Inu Ker-

tapati malang melintang dalam kancah persilatan 

sebelum akhirnya dia dapat dikalahkan oleh seo-

rang sakti.

Inu Kertapati akhirnya menemui gurunya 

kembali. Sang guru bersedia memenuhi permin-

taan muridnya itu, asal si murid mau merubah 

sikap. Berkat bimbingan dari gurunya, akhirnya 

Inu Kertapati berubah. Malah ketika muncul 

kembali, dia dikenal sebagai tokoh yang ditakuti 

golongan hitam dan disegani golongan putih. Inu 

Kertapati memperkenalkan diri dengan nama 

Pandanaran.

Setelah malang melintang dan merasa 

usianya beranjak tua, dia mengundurkan diri dari 

kancah persilatan lalu mengasingkan diri. Tapi 

pada suatu hari, gurunya datang dan menyerah-

kan sebuah benda yang bukan saja harus disim-

pan dan dirawat namun juga harus dijaga laksa-

na menjaga nyawa sendiri. Menuruti pesan men-

diang gurunya, Pandanaran akhirnya mencari 

tempat yang selain rahasia juga sulit ditempuh.

Beberapa tahun hidup menyendiri Eyang 

Pandanaran akhirnya dihantui perasaan takut 

akan benda yang dititipkan gurunya. Sang guru 

berpesan bahwa kelak akan datang orang yang di

tetapkan menjadi pemilik benda yang ternyata be-

rupa sebuah lembaran kulit itu. Karena ditunggu 

hingga bertahun-tahun orang yang ditetapkan be-

lum juga ada tanda-tandanya, akhirnya Eyang 

Pandanaran mengambil keputusan untuk men-

gangkat murid dengan harapan muridnya kelak 

dapat meneruskan pesan mendiang gurunya.

Dia akhirnya mengambil Braja Musti, Ni-

lam Sari, dan Sekar Arum sebagai murid. Setelah 

beberapa tahun dibimbing dan ajari ilmu silat, 

untuk mencoba murid-muridnya, Eyang Panda-

naran memberi kesempatan murid-muridnya un-

tuk melanglang buana di rimba persilatan dan di-

pesan untuk kembali lagi setelah masa sepuluh 

tahun. Selama masa itu pula Eyang Pandanaran 

kebingungan tentang lembaran kulit yang berada 

di tangannya. Hingga pada suatu malam dia ber-

mimpi bertemu dengan mendiang gurunya yang 

mengatakan bahwa di antara murid-muridnya ti-

dak ada yang ditetapkan untuk memiliki atau 

menyimpan lembaran kulit itu.

Kekhawatiran Eyang Pandanaran makin 

besar tatkala beberapa orang rimba persilatan te-

lah mencium keberadaan Lembaran Kulit Naga 

Pertala itu, dan mulai mencarinya. Namun, bebe-

rapa orang yang datang secara bergelombang itu 

tak pernah menemukan tempat tinggal Eyang 

Pandanaran. Malah, sebagian besar tak pernah 

muncul lagi di rimba persilatan. Hingga sejak saat 

itu bukit tempat Eyang Pandanaran tinggal di-

kenal orang dengan sebutan Bukit Siluman, karena mengandung misteri!

Malah, kabarnya, bukit itu pernah lenyap 

dari permukaan bumi! Begitu pula dengan sun-

gainya! Oleh karena itu bukit dan sungai itu 

mendapatkan nama Bukit dan Sungai Siluman!

"Orang... tua. Siapa kau...?!" Eyang Panda-

naran alias Raden Inu Kertapati ajukan tanya 

dengan suara gemetar.

Orang tua samar-samar di balik asap putih 

sunggingkan senyum dingin.

"Inu Kertapati. Kau tak perlu tahu siapa 

aku. Yang pasti aku adalah salah seorang yang 

mempunyai tugas untuk menjaga lembaran kulit 

yang dititipkan mendiang gurumu. Kau telah ber-

tindak menyalahi pesan gurumu! Kau telah ter-

makan nafsu!"

Tubuh Eyang Pandanaran bergetar hebat 

hingga tak lama kemudian tubuhnya melorot ja-

tuh. Seraya menjura dalam-dalam, Eyang Panda-

naran berkata gagap.

"Aku mohon maaf. Gadis-gadis laknat itu 

telah memberiku aroma perangsang hingga aku 

tak sadar. Tapi lembaran kulit itu selamat. Lem-

baran itu kusimpan di tempat yang aman. Murid-

muridku hanya mendapat Lembaran Kulit Naga 

Pertala yang palsu...."

"Aku tahu!" tukas orang tua di balik asap 

putih dengan mata menyengat. "Tapi jika saja im-

anmu kukuh, apa pun yang diperbuat orang, kau 

tak akan goyah. Permintaan maaf tidak menyele-

saikan masalah, Inu. Kali ini tak ada maaf lagi. 

Pula, bukankah kau sendiri yang menentukan-

nya?! Ingat?! Kau yang bersumpah!"

Eyang Pandanaran tercenung sebentar un-

tuk mengingat-ingat. Sesaat kemudian, kepalanya 

dianggukkan.

"Bagus kalau kau ingat, Inu! Tapi, untuk 

jelasnya biarlah kuuraikan. Dulu, begitu menda-

patkan ilmu yang tinggi dari gurumu, kau lupa 

diri. Kau sebar angkara murka di mana-mana. 

Tak terhitung wanita yang menjadi korban kebua-

san nafsu birahimu!"

Orang tua di balik asap putih hentikan 

ucapannya. Ditatapnya Eyang Pandanaran. Yang 

ditatap malah tundukkan kepala, seperti orang 

yang pasrah, menerima akibat perbuatannya.

"Kenikmatan dunia membuatmu lupa diri. 

Dan, kau baru sadar dan kembali kepada gurumu 

ketika seorang tokoh sakti hampir merenggut 

nyawamu. Untung gurumu cukup bijaksana un-

tuk menerimamu kembali. Bahkan tanpa meng-

hukummu! Saat itu, kau ucapkan sumpahmu. 

Bisa kau ulangi sumpah yang kau sampaikan pa-

da gurumu?!"

Lagi-lagi Eyang Pandanaran anggukkan 

kepala, kemudian mulutnya bergerak membuka. 

Suaranya terdengar gemetar.

"Guru! Aku berjanji, mulai saat ini akan 

senantiasa berbuat kebajikan. Seluruh anggota 

tubuhku tak akan menyengsarakan apalagi sam-

pai melenyapkan nyawa orang yang tak berdosa. 

Bahkan mulai detik ini, aku akan menjauhi wani-

ta! Tak akan kubiarkan nafsu birahi merasuki 

benakku lagi. Dan, bila itu terjadi biarlah aku hi-

lang dari permukaan bumi! Ini sumpahku. Guru!"

"Dan bagaimana kenyataannya sekarang, 

Inu?!" Eyang Pandanaran hanya bisa berdesis li-

rih. "Aku siap menerima hukuman...."

"Tidak ada yang menghukummu, Inu. 

Sumpahmulah yang menyebabkanmu terhukum. 

Sumpahmu telah kau langgar. Kesalahan serupa 

kembali kau buat.... Kau akan termakan oleh 

sumpahmu sendiri...."

Baru saja, ucapan orang tua di balik asap 

putih, tuntas, asap putih tampak mengurung tu-

buh Eyang Pandanaran sampai setengah tombak 

berkeliling dan tingginya mencapai dua tombak. 

Bersamaan dengan itu, Eyang Pandanaran mera-

sakan tubuhnya dialiri hawa dingin. Orang tua ini 

kerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun 

dia tersentak tatkala menyadari tenaga dalamnya 

tak bisa dialirkan! Hingga pada akhirnya dia diam 

saja sambil pejamkan sepasang matanya hingga 

asap yang mengurung dirinya lenyap!

"Inu Kertapati.... Kau harus rela menerima 

ini. Ketahuilah.... Meski dirimu ada, namun pan-

dangan mata biasa tak dapat menangkap wujud-

nya. Ini sesuai dengan sumpahmu. Bukankah 

kau mengatakan kalau melanggar sumpahmu, 

kau akan hilang dari permukaan bumi? Nah, se-

karang kau telah masuk dalam lingkaran tak 

berwujud yang melindungi dirimu dari pandangan 

mata biasa. Kau akan tampak jika lingkaran tak 

berwujud itu pecah. Aku tak tahu sampai kapan 

kau di dalam lingkaran tak berwujud itu. Hanya 

saja akan datang seseorang yang memecahkan 

lingkaran itu. Dialah orang yang ditetapkan untuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala. Kau 

harus mengatakan padanya!"

Eyang Pandanaran membuka mulut untuk 

berkata. Namun tiada suara yang terdengar di 

ruangan itu. Bahkan yang tampak di ruangan itu 

sekarang adalah asap putih yang membungkus 

orang tua berpakaian putih-putih yang samar-

samar menggoyangkan kepalanya. Bersamaan 

dengan itu asap bergerak meliuk-liuk sebelum 

akhirnya lenyap meninggalkan ruangan yang di-

am kosong tanpa seorang pun!


LIMA


BRAJA Musti merasakan sekujur tubuhnya 

luluh lantak. Namun sadar harus mempertahan-

kan lembaran kulit sakti yang telah berada di 

tangan, dengan menahan rasa sakit pemuda itu 

terus melangkah menelusuri terowongan sebelum 

pada akhirnya sampai di luar.

Dia menarik napas sejenak lalu berpaling 

ke belakang. Meski belum tampak seseorang na-

mun nalurinya mengatakan jika tak lama lagi 

orang itu akan muncul untuk merebut lembaran

kulit yang berada di jubah putih yang kini dike-

nakannya. Berpikir sampai di situ, Braja Musti 

tak menghiraukan keadaan dirinya yang terluka 

cukup parah. Darah tak henti-hentinya mengalir 

dari mulut dan lobang hidungnya. Malah sesekali 

dia harus memuntahkan gumpalan darah hitam 

dari mulutnya!

Pemuda ini meneruskan langkah menuju 

sampan di pinggir sungai. Namun karena ba-

nyaknya darah yang keluar, begitu sampan terli-

hat tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhir-

nya jatuh berlutut di pinggir sungai.

Sambil mengerang pendek, Braja Musti se-

ret tubuhnya mendekat sebuah gundukan agak 

besar yang dapat melindungi tubuhnya dari pan-

dangan orang di atasnya. Dia sandarkan pung-

gung pada lamping gundukan besar itu seraya 

mengatur napas dan jalan darahnya. Namun 

usaha pemuda ini tak membawa hasil. Malah da-

rah hitam makin tersedot ke atas dan menggum-

pal di mulutnya, hingga mau tak mau dia harus 

memuntahkannya.

"Keparat! Setan tua itu telah membuatku 

cedera parah...!" makinya seraya mengurut dada 

dan mengusap darah yang mengalir dari mulut 

dan hidungnya.

"Aku harus cepat meninggalkan tempat 

ini!" desisnya lalu bangkit. Tapi belum sampai tu-

buhnya tegak, kakinya telah goyah membuat tu-

buhnya oleng sebelum akhirnya jatuh kembali.

Braja Musti kembali memaki panjang pen-

dek. Raut wajahnya jelas membayangkan takut 

dan gelisah. Sambil bersandar kembali pemuda 

ini berpikir.

"Hem.... Untuk mempertahankan lembaran 

kulit itu, aku harus menyembunyikannya! Dalam 

keadaan begini, terlalu berani jika memba-

wanya...." Pemuda ini lantas memandang berkelil-

ing. Sejenak kemudian dia tanggalkan jubah putih milik Eyang Pandanaran yang dikenakannya.

Dengan tangan gemetar dan mata membe-

liak, pemuda ini memperhatikan bagian pung-

gung jubah yang menyembul di balik kain lapisan 

membentuk empat persegi. Dengan sedikit kerah-

kan tenaga luar, kain pelapis di punggung jubah 

itu dirobeknya. Begitu robekan menyingkap, tam-

paklah lembaran-lembaran kulit binatang. Den-

gan dada berdebar, Braja Musti mengambil lem-

baran kulit itu lalu diperiksanya lekat-lekat.

Dengan tangan masih gemetar dan dada 

berdebar, Braja Musti balikkan tubuh. Lembaran 

kulit diletakkan di sampingnya, lalu kedua tan-

gannya mulai bergerak membuat lobang di tanah 

samping tubuhnya. Tak selang lama, tanah di 

sampingnya telah berlobang sedalam dua jengkal 

dengan lebar dua jengkal. Setelah menarik napas 

dalam dan memandang berkeliling, dia angkat 

lembaran kulit lalu dimasukkannya ke dalam lo-

bang yang baru saja digali.

Tiba-tiba dia bimbang. Lembaran kulit 

berwarna coklat itu kembali diangkat dari dalam 

lobang. Diperhatikannya berlama-lama.

"Hem.... Tak ada salahnya aku melihat 

isinya barang sejenak...," batin Braja Musti. Tan-

gan kirinya menopang lembaran kulit sementara 

tangannya mulai membuka sampul.

Lembaran pertama terbuka. Braja Musti 

kerutkan kening. Pada halaman itu tak ada tuli-

san. Kosong! Braja Musti teruskan membuka 

lembaran kedua. Kerutan di keningnya makin me-

lipat. Karena lembaran kedua juga tanpa tulisan!

Pemuda ini mulai gelisah dan geram. Na-

mun dia teruskan membuka lembaran ketiga 

lembaran terakhir. Kemarahannya kini tak dapat 

dibendung lagi hingga saat itu juga dari mulutnya 

terdengar makian tak karuan, karena ternyata 

lembaran ketiga juga kosong!

"Bangsat! Aku tertipu! Lembaran kulit ini 

palsu!" teriak Braja Musti seraya campakkan lem-

baran kulit itu ke tanah. Tangan kiri kanannya 

segera dipukulkan ke tanah hingga tanah itu ter-

bongkar dan membentuk lobang. Dia lupa bahwa 

keadaan dirinya terluka parah. Hingga begitu tan-

gannya ditarik dari tanah, tubuhnya limbung lalu 

jatuh terkapar dengan megap-megap!

Pada saat bersamaan, Nilam Sari dan Se-

kar Arum muncul dari terowongan dan menjejak-

kan kaki masing-masing di luar. Mungkin merasa 

Eyang Pandanaran akan segera mengejar, dua 

gadis ini segera pula berkelebat ke arah gundu-

kan batu yang agak besar. Lalu mendekam den-

gan mata masing-masing mengarah pada lobang 

terowongan dari mana mereka tadi muncul.

Beberapa saat berlalu. Kedua gadis ini tak 

juga melihat munculnya sang guru, membuat me-

reka berdua bernapas agak lega.

"Mungkin dia mengira tak ada gunanya 

mengejar. Atau mungkin juga dia cedera!" Nilam 

Sari keluarkan dugaannya seraya merapikan pa-

kaiannya. Sekar Arum tak menyahut.

"Kita harus segera mencari Braja Musti. 

Pasti dia menunggu di sampan!" Nilam Sari kem-

bali keluarkan suara, lalu tanpa menunggu sahutan Sekar Arum, gadis berpakaian putih itu ber-

kelebat ke arah mana sampan ditaruh. Sekar 

Arum segera menyusul.

Begitu sampai jalan menurun menuju arah 

sampan, kedua gadis ini hentikan langkah den-

gan kening sama-sama mengernyit dan mata nya-

lang.

"Sampan masih ada. Berarti Braja Musti 

masih berada di sekitar sini!" gumam Sekar Arum 

seraya layangkan pandangannya berkeliling. Ni-

lam Sari anggukkan kepala lalu putar kepala den-

gan mata jelalatan kian kemari. Namun keduanya 

tak menemukan Braja Musti.

"Jangan-jangan dia menipu kita!" desis Se-

kar Arum mulai mencium gelagat tidak balk.

"Mana mungkin. Setinggi apa pun ilmu 

orang, dia tak akan ambil resiko berenang menga-

rungi permukaan air berwarna merah itu. Apalagi 

dia cedera! Pasti dia masih di sekitar tempat ini. 

Kita berpencar. Beri tanda jika menemukannya!" 

ujar Nilam Sari lalu berkelebat menyusur pinggi-

ran sungai ke arah utara.

Meski masih digelayuti berbagai macam 

pertanyaan dan dugaan, akhirnya Sekar Arum 

melangkah juga menyusuri pinggiran sungai ke 

arah selatan.

Baru saja gadis cantik berpakaian warna 

ungu ini melangkah sepuluh tindak, di balik se-

buah gundukan batu agak besar sepasang ma-

tanya melihat sesosok tubuh terkapar. Sekilas 

memandang, dia telah tahu siapa adanya sosok 

itu. Rasa terkejut dan khawatir akan keselamatan

Braja Musti membuat Sekar Arum melupakan 

ucapan Nilam Sari agar memberi tanda jika me-

nemukan Braja Musti.

Sekar Arum cepat berkelebat. Dia tercekat 

mendapati Braja Musti terpejam dengan napas 

satu dua. Dengan memanggil-manggil nama Braja 

Musti, Sekar Arum mengguncang-guncang tubuh 

pemuda itu.

Guncangan itu membuat Braja Musti buka 

kelopak matanya. Mengerjap sejenak lalu me-

mandang ke tubuh yang berlutut di sampingnya. 

Mulutnya bergerak membuka, tapi suaranya tidak 

terdengar. Si gadis coba membantu dengan salur-

kan tenaga dalam melalui dadanya. Namun sia-

sia. Bahkan sebentar kemudian Braja Musti 

menggeliat dengan perdengarkan erangan pan-

jang. Tapi erangan itu terputus laksana direnggut 

hantu bersamaan dengan putusnya nyawa!

Sekar Arum keluarkan jeritan tinggi. Tu-

buh Braja Musti yang sudah tidak bernyawa lagi 

diguncang-guncang dengan keras. Lalu kepalanya 

direbahkan di dada mayat si pemuda.

"Braja.... Tahu jika begini akhirnya, aku 

tak akan lakukan rencana itu! Braja.... Tahukah 

kau bahwa saat ini aku mengandung benihmu! 

Mengandung anakmu, anak kita! Oh.... Betapa 

malang nasibku...," Sekar Arum berkata seraya 

menciumi mayat Braja Musti. Air matanya tum-

pah membasahi muka dan dada pemuda yang te-

lah jadi mayat itu.

"Braja.... Aku bersumpah akan membalas 

orang yang melakukan ini! Orang yang telah memisahkan kita dan anak kita yang ada dalam 

kandunganku! Braja! Percayalah.... Tanpa kau 

anak dalam kandunganku ini akan kurawat dan 

kubesarkan. Akan kutunjukkan padanya siapa 

yang memisahkannya dengan ayahnya!"

Tanpa disadari oleh Sekar Arum, sepuluh 

langkah di belakangnya sesosok tubuh terlihat 

terguncang lalu menekap mulutnya agar suara 

pekikannya tidak terdengar. Namun karena ke-

rasnya guncangan tubuh, sejenak kemudian so-

sok yang bukan lain adalah Nilam Sari jatuh ber-

lutut di atas tanah!

Sewaktu Nilam Sari menyusur pinggiran 

sungai, tiba-tiba dia mendengar jeritan. Tanpa pi-

kir panjang Lagi gadis ini segera berkelebat ke 

arah suara jeritan. Dia telah menduga siapa 

adanya orang yang menjerit. Sampai pada sumber 

jeritan dia melihat Sekar Arum menelungkup di 

atas tubuh Braja Musti. Melihat sikap saudara 

seperguruannya itu, Nilam Sari dapat menebak 

apa yang telah terjadi. Dia segera melangkah 

mendekat, namun langkahnya tertahan tatkala 

telinganya mendengar ratapan Sekar Arum. Gadis 

ini laksana disambar petir di siang bolong! Sea-

kan tak percaya, gadis ini tetap diam. Dia berha-

rap ucapan yang dikeluarkan Sekar Arum hanya-

lah tipuan telinganya saja. Namun ketika Sekar 

Arum kembali meratap bahkan mengucapkan 

sumpah di samping mayat Braja Musti, Nilam Sa-

ri tak dapat menahan gelegak hatinya. Tubuhnya 

berguncang keras sebelum akhirnya jatuh berlutut.

Setelah agak sadar, Nilam Sari meng-

goyang-goyangkan kepalanya. Hatinya yang tadi 

trenyuh melihat Braja Musti mati kini berubah 

menyala-nyala. Dadanya berdebar keras dilanda 

marah dan cemburu. Lebih dari itu darahnya 

menggelegak mendapati bahwa Sekar Arum telah 

mengandung dari benih Braja Musti. Dia merasa 

ditipu oleh Braja Musti yang ternyata secara di-

am-diam juga menjalin hubungan dengan Sekar 

Arum. Padahal diam-diam Nilam Sari pun telah 

mengandung benih akibat hubungannya dengan 

Braja Musti!

"Keparat jahanam! Ternyata dia menipuku! 

Oh.... Apa yang harus kulakukan sekarang? Pa-

dahal aku juga mengandung benih darinya! Aku 

tak dapat menyalahkan Sekar Arum. Mungkin dia 

juga tak menduga jika Braja Musti menjalin hu-

bungan denganku.... Keparat! Braja Musti-lah 

yang seharusnya dihukum! Dan kematian adalah 

hukuman setimpal. Tapi.... Bagaimana dengan 

kandunganku?"

Nilam Sari bangkit. Lalu balikkan tubuh 

hendak tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba 

dia teringat akan lembaran kulit yang dilarikan 

Braja Musti. Secepat kilat dia putar tubuhnya 

kembali lalu menghambur ke arah Braja Musti.

Sepasang matanya sejenak mengawasi Se-

kar Arum yang masih tenggelam dalam kesedi-

han. Gadis itu tak memperhatikan Nilam Sari 

yang kini ada di dekatnya. Nilam Sari coba me-

nindih bara dalam hatinya lalu mengedarkan 

pandangan. Matanya tiba-tiba membeliak besar

tatkala menumbuk pada sebuah lembaran kulit 

berwarna coklat yang tergeletak tak jauh dari Bra-

ja Musti.

"Lembaran Kulit Naga Pertala!" gumam Ni-

lam Sari dalam hati. Lalu dengan gerakan kilat 

tangannya menyambar lembaran kulit. Dimasuk-

kannya ke balik pakaiannya lalu berkelebat me-

ninggalkan tempat itu.

Setelah lama Nilam Sari pergi, Sekar Arum 

baru tersadar. Perlahan-lahan dia angkat mu-

kanya dari dada Braja Musti. Mukanya sembab, 

air matanya tampak masih mengalir. Gadis ini 

lantas memperhatikan sekujur tubuh si pemuda. 

Tiba-tiba matanya melihat jubah putih yang ter-

campak. Ingatannya pada Lembaran Kulit Naga 

Pertala timbul. Dengan sesenggukkan, tangannya 

mencari-cari. Ketika mendapati punggung jubah 

robek dia berkesimpulan jika lembaran kulit itu 

telah dikeluarkan dari tempatnya.

Sekar Arum lantas melebarkan pandangan 

mencari-cari. Namun dia tidak lagi menemukan 

lembaran kulit itu.

"Ke mana lembaran kulit itu? Apa mungkin 

disimpan?!" Gadis ini bangkit, melangkah mengi-

tari gundukan. Namun dia tak menemukan ba-

rang yang dicari. Ketika matanya melihat lobang 

sedalam dan selebar dua jengkal dia kernyitkan 

dahi.

"Hem.... Ini pasti galian Braja Musti. Untuk 

apa?! Ah, pasti untuk menyembunyikan lembaran 

kulit itu! Berarti lembaran kulit itu masih di sini. 

Tapi di mana?!" Sekar Arum tercenung.

"Ah, bukankah tadi aku menangkap keha-

diran seseorang di dekat sini?! Tidak lain pasti Ni-

lam Sari. Jangan-jangan dia melarikan lembaran 

kulit itu!" desis Sekar Arum lalu mengedarkan 

pandangan ke hamparan tempat itu. Ketika ma-

tanya tak melihat Nilam Sari dugaan gadis ini ber-

tambah kuat.

"Jahanam! Pasti dia yang melarikan lemba-

ran kulit itu! Keparat! Dia menggunting dalam li-

patan! Mencari kesempatan saat orang lengah. 

Tak kusangka jika dia tega berbuat seperti itu!"

Sekar Arum bantingkan kakinya. "Tentu 

dia belum jauh...." Gadis ini lalu berkelebat ke 

arah pinggiran sungai di mana sampan berada. 

Keyakinan Sekar Arum makin kuat tatkala 

sampan itu tidak ada lagi. Dia lalu arahkan pan-

dangannya jauh ke depan. Tiba-tiba dari mulut 

gadis ini keluar umpatan panjang pendek tatkala 

samar-samar sepasang matanya menangkap se-

buah sampan yang meluncur deras di tengah 

sungai.

"Nilam Sari! Hari ini kau boleh bersenang-

senang memiliki lembaran kulit itu! Tapi aku tak 

akan tinggal diam! Nilam Sari. Tunggulah!" teriak 

Sekar Arum dengan keras. Namun suaranya sea-

kan lenyap ditelan suara riak air. Gadis ini balik-

kan tubuh. Saat itulah baru dirasakan betapa le-

tih tubuh dan pikirannya. Dia lantas tekap wa-

jahnya dengan kedua telapak tangan, tubuhnya 

pun perlahan-lahan melorot jatuh di atas tanah. 

Tak jelas apa yang ada di benak gadis berpakaian 

ungu ini. Mungkin sakit hati melihat saudara seperguruannya berbuat pengecut, mungkin juga 

menyesali nasib karena kekasihnya harus tewas, 

mungkin juga merenungi apa yang akan diper-

buat dengan benih yang kini ada dalam kandun-

gannya!

* * *

Nampaknya prasangka buruk Sekar Arum 

pada Nilam Sari yang diduga membawa lari Lem-

baran Kulit Naga Pertala harus tertanam di lubuk 

hatinya. Dan tekadnya untuk merebut kembali 

lembaran kulit itu terus menggelora. Hingga sete-

lah kejadian di Bukit Siluman, Sekar Arum terus 

malang melintang untuk mencari Nilam Sari 

sambil mengasuh anak dari benih Braja Musti 

yang akhirnya digelari Raksasa Bermuka Hijau.

Namun hingga umurnya menginjak tua, 

Sekar Arum gagal menemukan Nilam Sari, meski 

dari kabar yang berhasil disirap, dia tahu jika Ni-

lam Sari telah punya anak yang kemudian oleh 

kalangan rimba persilatan dikenal dengan Peri 

Kupu-kupu.

Mungkin sadar umurnya tak memungkin-

kan lagi untuk meneruskan niat, akhirnya Sekar 

Arum memberi tugas pada anaknya si Raksasa 

Bermuka Hijau untuk mencari Nilam Sari, seti-

dak-tidaknya dapat membunuh anaknya. Namun 

seperti yang dialami Sekar Arum, Raksasa Ber-

muka Hijau gagal menemukan Nilam Sari, bah-

kan dia juga tak mampu membunuh Peri Kupu-

kupu meski hal itu sudah dilakukannya beberapa

kali.

Mengingat membunuh Peri Kupu-kupu 

adalah tugas yang harus diselesaikan, akhirnya 

selain terus berupaya melakukan sendiri, Raksa-

sa Bermuka Hijau juga menugaskan cucu sekali-

gus muridnya bernama Seruni untuk mencari dan 

membunuh Peri Kupu-kupu.

Di pihak lain. Peri Kupu-kupu memperoleh 

keterangan persoalan yang sebenarnya dari Nilam 

Sari, ibunya. Nilam Sari memberitahukan pada 

Peri Kupu-kupu kalau persoalan itu hanya salah 

paham belaka. Sekar Arum, dan keturunannya 

mengira Nilam Sari mendapatkan Lembaran Kulit 

Naga Pertala. Oleh karena itu, Sekar Arum beru-

saha keras untuk merebutnya.

Menjelang akhir hayatnya, Nilam Sari 

memberitahukan pada Peri Kupu-kupu, bahwa 

antara keturunan Nilam Sari dan keturunan Se-

kar Arum ada pertalian darah. Mereka berasal da-

ri seorang lelaki. Seorang kakek yang sama yaitu 

Braja Musti!

Setelah mengetahui persoalannya yang se-

benarnya, Peri Kupu-kupu mengadakan penyeli-

dikan dan melakukan perjalanan untuk kembali 

mempersatukan darah yang terputus. Hanya Peri 

Kupu-kupu belum tahu siapa anak daripada Se-

kar Arum. Karena pada beberapa kali pertemuan 

dan bentrok dengan Raksasa Bermuka Hijau, le-

laki berbadan bongsor itu tak mau menjelaskan 

persoalannya.


ENAM


MATAHARI sudah jauh condong ke sebelah 

barat ketika sebuah bayangan berkelebat keluar 

dari kerapatan hutan kecil. Sejenak dia hentikan 

larinya, lalu berpaling ke belakang ke arah hutan 

yang baru saja dilewati. "Untung belum gelap. Se-

dikit terlambat, bisa-bisa aku tersesat di dalam 

hutan!"

Setelah menarik napas lega, orang ini lan-

tas berlari kembali. Baru kira-kira dua puluh 

tombak orang ini hentikan larinya. Sepasang ma-

tanya yang tajam memperhatikan lurus ke depan. 

Dari tempatnya berdiri dia melihat seorang nenek 

duduk mencangkung di atas sebatang kayu bulat 

besar yang melintang menghalangi jalan.

Nenek ini mengenakan jubah besar ber-

kembang-kembang. Rambutnya putih hanya se-

batas tengkuk. Pada bagian atasnya dibelah ten-

gah dan agak bergelombang membentuk sayap. 

Kulitnya telah keriput, tapi masih membiaskan 

sisa-sisa kecantikan di masa mudanya.

Orang di hadapan si nenek geleng-geleng 

kepala lalu tersenyum sendiri. Orang ini lantas 

gerakkan tangan usap-usap hidungnya.

Sampai di depan batangan kayu yang me-

lintang di mana si nenek duduk mencangkung, 

orang ini lirikkan sepasang matanya. Si nenek tak 

gerakkan tubuh, matanya pun belum dia buka.

"Hem.... Tak baik mengganggu keasyikan 

orang...," gumamnya seraya angkat kaki kanan

nya hendak melewati batangan kayu. Namun kaki 

orang ini tertahan di udara tatkala bersamaan 

dengan itu terdengar bentakan keras dari mulut 

si nenek.

"Kurang ajar! Beraninya kau hendak me-

masuki daerahku tanpa izin. Cepat katakan siapa 

dirimu!"

Orang itu tarik pulang kaki kanannya lalu 

berpaling. Dia mengernyit. Batinnya lalu mem-

perhatikan sekali lagi. "Daerahnya?! Apakah be-

rarti dia pemilik tanah ini?!" Orang ini lalu mem-

buka mulut.

"Nek.... Apakah tanah ini milikmu?!"

Sepasang mata nenek yang sedari tadi ter-

pejam kontan membuka. Ternyata mata itu sipit. 

Untuk beberapa saat sepasang mata sipit sang 

nenek memperhatikan orang di sampingnya. Bi-

birnya mengulas senyum namun senyum itu di-

putus seketika lalu terdengar lagi bentakannya.

"Aku tidak bicara soal tanah. Aku tanya 

siapa kau!"

"Sialan. Kalau tidak kuturuti maunya uru-

san sepele ini akan jadi panjang...." Orang ini lan-

tas jerengkan sepasang matanya lalu usap-usap 

hidungnya sambil menjawab. "Namaku Aji Sapu-

tra...."

"Hem.... Nama bagus tapi tampangmu ti-

dak!" gumam si nenek lalu berpaling seraya me-

lanjutkan. "Hari ini tak seorang pun boleh mele-

wati kawasanku. Cepat putar dan tinggalkan 

tempat ini!"

Orang berpakaian hijau yang dilapis dengan baju lengan panjang kuning, rambut panjang 

dan dikucir ekor kuda, bertubuh tegap dan ber-

wajah tampan bukan lain adalah Pendekar Mata 

Keranjang 108. Cengar-cengir sambil usap-usap 

hidungnya.

"Peringatan telah dikeluarkan. Atau kau 

ingin jadi mayat?!" hardik si nenek tanpa berpal-

ing lagi.

Aji sedikit tersentak, bukan hanya karena 

hardikan si nenek yang bikin gendang telinga lak-

sana ditusuk namun juga mampu membuat isi 

dadanya tergetar. Hanya orang bertenaga dalam 

tinggi yang bisa melakukan hal seperti itu.

"Bagaimana ini? Padahal aku harus mele-

wati jalan ini!" batin Aji lalu berkata pada si ne-

nek. "Nek.... Kalau ini kawasanmu, tolonglah. Bi-

arkan aku lewat. Aku punya urusan yang harus 

segera diselesaikan!"

"Setan! Apa kau tuli, hah?!"

"Edan! Daripada cari urusan...," gumam 

Pendekar Mata Keranjang lalu edarkan pandan-

gannya. Senyumnya tersungging dengan kepala 

manggut-manggut. Tanpa bicara lagi murid Wong 

Agung ini putar tubuh lalu melangkah ke arah 

mana dia datang.

"Hem.... Lewat sebelahnya juga bisa...," ka-

ta Aji dalam hati lalu menoleh ke belakang. Si ne-

nek terlihat masih berpaling tidak memperhatikan 

dirinya. Secepat kilat murid Wong Agung ini ber-

kelebat ke arah utara, lalu berbelok dan berkele-

bat lurus ke depan, arah mana sejajar dengan 

tempat si nenek.

Merasa tak ada halangan lagi, Pendekar 

108 memperlambat larinya lalu melangkah pelan-

pelan seraya bersiul-siul, mendendangkan lagu 

yang tak ketahuan artinya.

"Nenek aneh. Dikira jalan ini cuma satu. 

He... he... he...! Siapa dia sebenarnya? Makin ba-

nyak saja orang-orang aneh yang kutemui. Apa-

kah dia salah satu dari orang-orang yang menje-

jaki lembaran kulit itu seperti halnya diriku?! Ah, 

persetan. Mungkin saja...," murid Wong Agung 

tak meneruskan kata hatinya. Malah langkahnya 

tiba-tiba terhenti dengan mulut terkancing. Sepa-

sang matanya membeliak hampir tak percaya.

Sepuluh langkah di hadapannya terlihat 

seseorang duduk dengan lutut ditekuk sejajar da-

da. Kedua tangannya melingkar di depan kaki. 

Sementara mulutnya bergerak-gerak.

"Sialan! Nenek itu!" maki Aji seraya me-

mandang tak berkedip.

"Kau tak mengindahkan peringatan orang. 

Tampaknya kau memang mau mati muda!" habis 

berkata begitu, orang yang duduk dan bukan lain 

adalah si nenek berjubah kembang-kembang le-

paskan lingkaran tangannya pada kaki lalu tan-

gan kanannya mengibas ke depan.

Wuuttt!

Gelombang angin menderu dahsyat menga-

rah pada murid Wong Agung. "Nek! Kita bicara 

baik-baik. Aku...," ucapan Pendekar Mata Keran-

jang 108 terputus karena sapuan gelombang an-

gin telah datang. Pendekar dari Karang Langit ini 

cepat bergerak ke samping menghindar. Namun

bersamaan dengan itu gelombang angin susulan 

telah menggebrak. Aji coba berkelit namun ter-

lambat. Hingga tubuhnya berputar lalu terbanting 

ke tanah! Pada saat bersamaan terdengar suara 

tawa mengekeh panjang lalu Aji merasakan desi-

ran angin. Berpaling, si nenek telah tegak di sam-

pingnya dengan kacak pinggang!

Seraya meringis kesakitan, Pendekar 108 

bergerak bangkit. Sebenarnya dada pemuda ini 

telah dilanda rasa geram namun ditahannya keti-

ka sadar jika yang dihadapi adalah seorang nenek 

tua yang mungkin saja pemilik kawasan itu.

"Sebaiknya aku mencari jalan lain saja da-

ripada mencari penyakit. Orang macam begini 

akan semakin menjadi-jadi bila diladeni...," Pen-

dekar 108 lalu putar tubuh dan melangkah balik 

dengan hati memaki tak habis-habisnya. Namun 

baru saja lima langkah, terdengar teriakan keras.

"Hukumanmu belum selesai. Ke mana kau 

akan pergi?!"

"Tua bangka sialan ini benar-benar bikin 

urusan!" Murid Wong Agung berpaling ke bela-

kang. "Nek. Apa maumu sebenarnya?! Aku sudah 

menerima kau buat jatuh. Sekarang kau bilang 

hukuman belum selesai!"

"Kau berani menipuku dengan menelikung 

jalan hendak masuk kawasanku. Hukuman ba-

gimu adalah mati!" ujar si nenek membuat Pen-

dekar Mata Keranjang terperangah bercampur ge-

ram.

"Edan!" umpat Aji.

"Betul. Edan! Kalau tidak berlaku edan kau

tidak akan kebagian!" timpal si nenek lalu buka 

mulutnya lebar-lebar. Bersamaan dengan itu 

gumpalan cairan menjijikkan melesat keluar dari 

mulutnya.

Aji terbelalak. Baru sekali ini dia lihat 

orang mampu membuang ludah dengan membu-

ka mulut lebar-lebar! Dan liur itu bukan saja me-

lesat laksana anak panah namun juga keluarkan 

suara mendesing disertai sambaran angin keras!

Murid Wong Agung cepat angkat tangan 

kanannya lalu dihantamkan ke bawah arah mana 

gumpalan ludah melesat. Tapi yang dipukulnya 

hanyalah udara kosong! Pada saat bersamaan 

terdengar suara 'breett'. Pendekar 108 melirik. 

Pakaian bagian pinggangnya robek dan menge-

pulkan asap!

Selagi Pendekar Mata Keranjang terhenyak 

menyaksikan, si nenek tiba-tiba goyang-

goyangkan kepalanya. Tubuhnya berputar satu 

kali. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-

tahu dua tangan telah menghantam ke arah kepa-

la Aji. 

Wuuttt! Wuuttt!

Dua pasang tangan belum sampai meng-

hantam sasaran angin deras telah mendahului 

menderu.

"Gila! Omongan tua bangka ini tidak main-

main. Dia ingin aku mati!" duga Pendekar 108. 

Pemuda ini segera rundukkan sedikit kepalanya 

lalu kedua tangannya dihantamkan ke atas.

Bukkk! Bukkk!

Dua pasang tangan beradu di udara. Pen

dekar 108 berseru tertahan. Tubuhnya terdorong 

sampai lima langkah. Kedua tangannya laksana 

dipanggang api dengan dada berdenyut sedikit. 

Ketika matanya meneliti, tampak kedua tangan 

itu berwarna merah dan bergetar!

Di hadapannya, si nenek kibas-kibaskan 

kedua tangannya. Meski tidak mengeluarkan se-

ruan, namun dari paras wajahnya jelas jika orang 

tua ini merasakan sakit.

"Anak sialan! Kau membuat tanganku ke-

semutan. Kau harus mati dua kali!" hardik si ne-

nek lalu angkat kedua tangannya sejajar dada.

"Tahan!" seru Aji tatkala mengetahui si ne-

nek hendak lepaskan pukulan tangan kosong ja-

rak jauh. Tapi seruan Aji tak mendapat tangga-

pan. Malah si nenek keluarkan tawa berderai 

sambil hantamkan kedua tangannya.

Wuuttt! Wuuuttt!

Pendekar Mata Keranjang tak mendengar 

suara deruan. Namun bersamaan dengan itu tu-

buhnya seperti disapu gelombang angin dahsyat 

yang berputar-putar aneh, hingga tubuhnya ber-

putar-putar. Sebelum putaran angin itu meng-

hempaskan tubuhnya, murid Wong Agung ini ke-

rahkan tenaga dalam. Kedua tangannya meman-

carkan sinar kebiruan, lalu didorongkannya ke 

depan. 

Wuttt! Wuttt!

Dua larik sinar biru membersit, sekejap 

kemudian mengembang.

"Mutiara Biru.... Hik... hik... hik.... Apa he-

batnya?!"

Pendekar 108 jadi terhenyak mendengar si 

nenek mengenali pukulan yang dilepaskannya. 

Sementara itu di hadapannya si nenek kebutkan 

kedua tangannya ke bawah. Lalu telapak tangan-

nya dikembangkan dan didorong pelan-pelan ke 

depan. Pendekar Mata Keranjang hampir tak 

mempercayai penglihatannya. Pukulan 'Mutiara 

Biru' yang dilepaskannya serta-merta berbalik 

melesat ke arahnya! Hingga saat itu juga dua si-

nar biru pukulannya sendiri menderu ke arahnya! 

Tak ada jalan lain bagi Pendekar 108 kecuali 

menghantam serangannya sendiri. Maka dengan 

membentak keras kedua tangannya didorong 

kembali. Kali ini dengan kerahkan setengah dari 

tenaga dalamnya.

Blaaarrr!

Kawasan luar hutan itu laksana dilanda 

gempa. Hawa panas menghampar, suasana beru-

bah menjadi semburat warna biru. Tanah ber-

hamburan ke udara dan semak belukar tak jauh 

dari terjadinya bentrok pukulan sakti itu terbabat 

rata dan hangus.

Karena pukulannya yang membalik telah 

disertai dengan pukulan si nenek, maka tenaga di 

dalamnya lebih kuat dari pukulan yang dilepas Aji 

untuk menangkis, hal ini membuat tubuh murid 

Wong Agung ini mencelat ke belakang dan jatuh 

terbanting di atas tanah! Pemuda ini merasakan 

napasnya tersumbat dan aliran darahnya mam-

pet. Namun sadar jika sewaktu-waktu orang tua 

ini bisa mencelakai dirinya, Aji cepat kerahkan 

tenaga dalam untuk mengatasi aliran darah dari

dadanya.

Di seberang sana, meski hanya mendorong 

pukulan Pendekar 108, namun tak membuat si 

nenek selamat dari bias bentroknya pukulan. Se-

hingga ketika ledakan terdengar, sosok si nenek 

melenting laksana kapas ke belakang. Namun se-

belum tubuhnya menyuruk tanah, orang tua ini 

kebutkan kedua tangannya ke bawah. Hingga tu-

buhnya yang hampir menghajar tanah itu mem-

bumbung kembali ke udara. Di udara si nenek 

membuat gerakan laksana orang menari dengan 

kepala digoyang-goyang. Anehnya bersamaan 

dengan itu, tubuhnya melayang turun perlahan-

lahan sebelum akhirnya menjejak tanah dengan 

duduk, kedua kaki merangkap di depan dada dan 

kedua tangan dilingkarkan!

Pendekar Mata Keranjang gertakkan ra-

hang. Kemarahan yang ditahan serta ancaman 

orang membuat darah mudanya tak bisa diben-

dung lagi. Seraya gulingkan tubuh kedua tangan-

nya disentakkan dengan telapak mengembang.

Hawa panas menghampar, semburat warna 

kebiruan serta dua sinar biru mencorong melesat 

cepat dengan membawa gelombang angin dahsyat 

ke arah nenek. Murid Wong Agung ini telah le-

paskan pukulan 'Mutiara Biru' dengan tenaga da-

lam penuh.

Di seberang sana, si nenek keluarkan se-

ruan tegang. Kepalanya digoyang-goyang. Lalu 

tubuhnya berputar dan berkelebat lenyap dari 

pandangan. Pukulan sakti yang dilepas Pendekar 

108 terus melesat lalu menghantam apa saja yang

ada di belakang si nenek tadi berada.

Dua batang pohon besar langsung berde-

rak tumbang, sementara semak belukar tercabut 

sampai akar-akarnya dan terhumbalang ke uda-

ra. Belum sirap suara derak tumbangnya pohon, 

terdengar suara tawa panjang mengekeh. Pende-

kar Mata Keranjang terlonjak hingga bangkit ber-

diri lalu berpaling. Si nenek berjubah kembang-

kembang kecak pinggang, tegak empat langkah di 

samping Pendekar 108! Dan belum sempat Pen-

dekar Mata Keranjang melakukan gerakan, si ne-

nek telah melompat dengan tangan kanan di atas 

kepala siap lakukan pukulan.

Murid Wong Agung tak mau bertindak ayal. 

Kedua tangannya cepat diangkat untuk menang-

kis. Namun Aji tertipu, karena bersamaan dengan 

terangkatnya tangan Pendekar Mata Keranjang, si 

nenek tarik pulang tangannya. Tubuhnya berges-

er ke samping lalu tangan kirinya bergerak mene-

likung.

Pendekar 108 merasakan tubuhnya te-

rangkat. Dia cepat menghantam ke tangan kiri si 

nenek yang ternyata telah menelikung pinggang-

nya. Namun hantaman Pendekar 108 terlambat. 

Sebelum tangan itu menghantam, si nenek telah 

sentakkan tangan kirinya yang menelikung ping-

gang Pendekar Mata Keranjang, hingga kejap itu 

juga tubuh murid Wong Agung ini terbanting de-

ras ke atas tanah!

Si nenek melangkah mendekat dengan 

mengumbar tawa. Sadar akan keadaan dirinya 

dan tak ada jalan lain untuk mempertahankan

nyawa, Pendekar Mata Keranjang 108 meraba 

pinggangnya di mana tersimpan kipasnya. Tangan 

kanannya lalu menyelinap. Sebelum kipas keluar, 

si nenek tengadahkan kepala seraya berteriak.

"Orang di balik pohon. Lekas keluar!"

Pendekar 108 meringis sambil kerutkan 

dahi. Kipas yang sudah ada digenggaman urung 

dikeluarkan. Namun tangan itu tetap menyelinap 

di balik pakaian.

Belum lenyap suara si nenek, dari balik 

pohon berkelebat sesosok bayangan lalu tegak li-

ma langkah di belakang si nenek.

Pendekar Mata Keranjang sipitkan mata 

memperhatikan orang yang baru datang. Dia ada-

lah seorang gadis muda berparas cantik. Menge-

nakan pakaian warna biru ketat dengan rambut 

panjang tergerai. Sepasang matanya bulat dengan 

bibir merah. Dadanya terlihat kencang sementara 

pinggulnya mencuat bagus.

Untuk beberapa saat gadis berpakaian biru 

ini memperhatikan Aji dengan mata tak berkedip. 

Lalu melihat punggung si nenek dengan mata 

berkilat-kilat. Si nenek putar tubuhnya. Tiba-tiba 

nenek berjubah kembang-kembang ini kernyitkan 

kening. Lalu dari mulutnya terdengar gumaman 

tak menentu. Namun jelas jika nenek ini merasa 

terkejut! 

"Aneh.... Dia yang memanggil tapi dia ter-

kejut...," gumam Pendekar 108 lalu perlahan-

lahan bangkit.


TUJUH


KALAU si nenek tampak terkejut dengan 

kedatangan si gadis berpakaian biru, tidak demi-

kian halnya dengan si gadis. Sepasang mata gadis 

ini memandang tajam pada si nenek, memperha-

tikan dari ujung rambut sampai kaki.

"Rambut putih dikepang dua berbentuk 

sayap, jubah kembang-kembang. Hem.... Tua 

bangka inilah orangnya...," batin si gadis. "Tapi 

untuk meyakinkan, akan kutanya dulu!"

Gadis berbaju biru ini lantas tengadahkan 

kepala. Dari mulutnya terdengar dia berucap.

"Kau manusia yang bergelar Peri Kupu-

kupu?! Benar?!"

Si nenek berjubah kembang-kembang 

goyang-goyangkan kepalanya beberapa kali. Tiba-

tiba dia perdengarkan tawa mengekeh.

"Lain yang dipanggil lain yang datang! Tak 

apalah...," gumam si nenek lalu sapukan pandan-

gannya berkeliling. Matanya mencari-cari.

"Orang tua! Lekas jawab. Jangan sampai 

aku salah turunkan tangan!" si gadis membentak 

tatkala si nenek tak jawab pertanyaannya.

"Lain yang dicari lain yang didapat. Hem... 

anak gadis. Nasibmu baik. Kau memang sedang 

berhadapan dengan orang yang kau sebut!" Habis 

berkata demikian si nenek kembali sapukan pan-

dangannya sambil bergumam. "Ke mana tua 

bangka sialan itu...!?"

"Hem.... Jadi bukan gadis ini sebenarnya

yang tadi dipanggil. Lalu siapa? Berarti masih ada 

orang lagi di sekitar sini!" pikir Pendekar 108 be-

gitu mendengar gumaman si nenek yang membe-

narkan dirinya bergelar Peri Kupu-kupu.

"Peri Kupu-kupu...? Hem.... Tua bangka 

peot begini bergelar Peri...?!" Aji jadi tertawa sen-

diri dalam hati. Lalu pandangannya mengarah 

pada gadis berbaju biru. "Dia tampaknya mena-

han marah. Siapa dia? Hem.... Wajahnya cantik, 

tubuhnya bagus...."

Di hadapan Peri Kupu-kupu, si gadis lu-

ruskan kepalanya. Matanya berkilat-kilat me-

nyengat pada Peri Kupu-kupu. Kejap lain dia ke-

luarkan dengusan keras lalu berkata.

"Dengar! Aku Seruni, cucu sekaligus murid 

Raksasa Bermuka Hijau! Kau adalah salah seo-

rang yang harus kulenyapkan dari lindungan lan-

git! Itu tujuanku dan itu nasib buruk yang harus 

kau terima!"

Habis berkata begitu, si gadis yang menye-

but dirinya Seruni mundur dua langkah. Kedua 

tangannya dipalangkan di depan dada siap le-

paskan pukulan.

Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepa-

lanya tanpa membuat gerakan tangan. Mulutnya 

komat-kamit sebentar, lalu berujar.

"Anak gadis. Sebaiknya kita bicara dulu. 

Jangan sampai urusan orang-orang tua menurun 

pada cucu!"

"Itu urusanmu! Urusanku membunuhmu!"

"Baiklah. Sebelum aku mati di tanganmu, 

mau kau jawab pertanyaanku?!"

Sepasang mata Seruni sejenak menatap ke 

arah mata sipit Peri Kupu-kupu.

"Katakan!"

"Kau bilang aku adalah salah seorang yang 

harus kau bunuh. Siapa lagi lainnya?!"

Seruni tertawa pendek. "Itu urusanku. Kau 

nanti dapat tanya pada teman-temanmu di alam 

kubur!"

Peri Kupu-kupu tak marah mendengar 

hardikan Seruni. Sebaliknya dia tersenyum-

senyum. "Selain membunuh, kau juga punya tu-

juan lain?!" Peri Kupu-kupu ajukan pertanyaan.

"Persetan dengan segala tanyamu! Terima-

lah nasib burukmu!" sergah Seruni lalu tarik tan-

gannya dari dada terus ke belakang. Lalu mendo-

rongnya ke depan.

"Tahan! Jika aku mati, apakah kau tak 

menyesal?!"

"Jahanam! Apa maksudmu?!"

Peri Kupu-kupu tertawa mengekeh. Puas 

tertawa nenek ini palingkan wajahnya ke samp-

ing. Pendekar 108 terlihat berdiri menyandar di 

batang pohon seraya memperhatikan ke arahnya, 

membuat si nenek kernyitkan dahi sambil berkata 

dalam hati. "Sialan. Dikiranya apa aku ini?" Se-

mentara itu Seruni diam-diam juga lirikkan ma-

tanya pada Aji.

"Hem.... Siapa pemuda ini? Kenapa bentrok 

dengan Peri Kupu-kupu? Apakah ia juga mempu-

nyai tugas seperti...," Seruni putuskan kata ha-

tinya, karena saat itu Peri Kupu-kupu telah berkata.

"Anak gadis. Aku tahu. Membunuhku ada-

lah urutan kedua. Yang pertama sebenarnya ada-

lah mengorek keterangan dariku. Betul bukan?!"

"Keterangan apa yang bisa diperoleh dari 

Tua bangka sepertimu? Hah...? Bagiku kema-

tianmu adalah yang pertama dan terakhir!"

Ucapan Seruni sedikit merubah paras wa-

jah Peri Kupu-kupu. Dalam hati nenek ini berka-

ta. "Apakah Raksasa Bermuka Hijau melupakan 

urusan itu? Jika tidak, kenapa masih menu-

gaskan gadis ini untuk mencabut nyawaku? Apa-

kah dia tak ingin mengorek keterangan mengenai 

Lembaran Kulit Naga Pertala yang disangkanya 

ada padaku?! Ataukah dia telah yakin kalau lem-

baran kulit itu masih berada di Bukit Siluman?! 

Kalau tidak, mana mungkin dia menginginkan 

kematianku sebelum didapatkannya lembaran 

itu?!"

Selagi Peri Kupu-kupu menduga-duga, Se-

runi berkata.

"Kau siap menuju kematian?! Atau mau bi-

cara dulu?!"

"Anak gadis. Bicara adalah jalan terbaik, 

karena kematian tidak menyelesaikan urusan. 

Tapi karena ini urusanku dengan Raksasa Ber-

muka Hijau kakekmu, lebih baik aku mene-

muinya...."

"Aku adalah cucunya! Katakan saja pada-

ku! Aku utusannya!"

Peri Kupu-kupu gelengkan kepalanya. 

"Urusan kecil di tangan orang tua akan berubah 

besar jika jatuh ke tangan anak muda! Aku akan

bicara sendiri dengan kakekmu!"

"Baik. Akan kuantar kau menemuinya. Ta-

pi hanya penggalan kepalamu!" hardik Seruni 

dengan suara tinggi. Gadis ini lalu berkelebat ke 

depan. Tangan kiri kanannya disentakkan ke 

arah Peri Kupu-kupu.

Murid Wong Agung yang berada tak jauh 

dari situ buru-buru menghindar dengan melom-

pat ke belakang lalu seenaknya saja duduk meng-

gelosoh. Dari tempatnya kini dia memandang le-

kat-lekat pada Peri Kupu-kupu sambil usap-usap 

hidungnya.

"Hem.... Mendengar nada bicaranya, nenek 

ini orang baik-baik. Dan kalau mau sebenarnya 

mudah saja dia membunuhku saat aku roboh. 

Tapi dia tidak melakukannya. Malah memanggil 

seseorang tapi yang muncul lain. Hem.... Nenek 

ini mempunyai maksud tertentu...."

Di depan sana, begitu Seruni sentakkan 

kedua tangannya, dua rangkum angin keluarkan 

suara laksana badai melesat cepat ke arah Peri 

Kupu-kupu.

Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepala. 

Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara. Tangan kiri 

kanannya mengebut ke bawah.

Wuuutt! Wuuttt!

Tiada suara deruan yang terdengar, namun 

di bawah sana serangan Seruni bukan hanya me-

lenceng tersapu tapi juga ambyar dengan kelua-

rkan letupan. Sosok Seruni terlihat tersurut 

mundur hingga lima langkah, membuat gadis 

berparas cantik ini katupkan mulut rapat-rapat

dengan dagu mengembang. Sepasang matanya 

mengikuti gerakan Peri Kupu-kupu yang perla-

han-lahan melayang turun seperti seekor kupu-

kupu yang hendak hinggap di bunga.

Begitu setengah tombak lagi si nenek men-

jejak tanah, Seruni keluarkan bentakan keras 

sambil kirimkan serangan. Tubuhnya berputar 

dua kali, pada putaran ketiga kedua tangannya 

menghantam.

Suasana mendadak redup pekat, hawa 

dingin menusuk menyungkup tempat itu. Angin 

menderu-deru laksana gemuruh gelombang. Dike-

jap lain terdengar suara seperti air laut muncrat. 

Bersamaan dengan itu suasana tambah pekat, 

karena tanah yang terkena pukulan Seruni ter-

bongkar lalu membumbung ke udara.

Seruni menunggu dengan tangan siap 

kembali kirimkan pukulan karena dia tak men-

dengar suara seruan atau erangan dari orang 

yang diserang. Namun hingga suasana sirap, ga-

dis ini tetap tak mendengar suara erangan malah 

lebih-lebih yang membuatnya membelalak, si ne-

nek tak tampak batang hidungnya!

"Jahanam! Kalau mampus mana bangkai 

keparatnya kalau hidup mana sosok bangsat-

nya?!"

Seruni besarkan sepasang matanya menca-

ri ke sana kemari. Sementara Pendekar Mata Ke-

ranjang memandang Seruni dengan senyum dita-

han, membuat gadis itu curiga lalu membentak.

"He! Maha Tua bangka itu?!"

Pendekar 108 layangkan pandangannya lu

rus pada si gadis, namun sebenarnya matanya 

memandang pada sosok yang berada tepat di be-

lakang si gadis.

Mendapati orang tidak menjawab perta-

nyaannya bahkan memandangnya dengan aneh, 

Seruni jadi naik pitam.

"He! Lekas jawab atau kau ingin mati seka-

lian?!"

"Aku di sini, Anak gadis...."

Seruni tersentak hingga meloncat ke de-

pan, karena suara itu demikian dekat dengan te-

linganya. Dia lalu memutar diri dan tampaklah 

Peri Kupu-kupu tegak di mana tadi dia berada! 

Hal ini membuat Seruni terguncang dengan muka 

merah mengelam. Gadis ini maklum jika saja Peri 

Kupu-kupu punya niat mencelakai dirinya, tidak 

sulit hal itu dilakukan karena saat itu Peri Kupu-

kupu tepat berada di belakangnya sementara di-

rinya tak tahu.

Peri Kupu-kupu merapikan rambutnya 

yang cuma sebatas tengkuk. Lalu melangkah per-

lahan ke arah Seruni.

Entah merasa jera atau geram, Seruni me-

lompat mundur seraya kirimkan pukulan. Dikejap 

lain tubuhnya berputar lalu berkelebat tinggalkan 

tempat itu.

Peri Kupu-kupu menggeser langkah satu 

tindak ke samping. Pukulan Seruni yang tampak-

nya dilakukan tanpa tenaga dalam kuat itu men-

deru ke sampingnya.

"Tunggu!" seru Peri Kupu-kupu menahan 

kelebatan Seruni, namun gadis itu telah lenyap.

Nenek ini lantas berpaling ke arah Pendekar 108. 

Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas 

tatkala matanya tak lagi melihat pemuda itu.

Peri Kupu-kupu usap keringat di leher dan 

wajahnya. Lalu mendongak dan berkata. "Banci! 

Kenapa kau diam saja di situ?!"

Si nenek tak menunggu lama. Saat itu juga 

dari balik sebuah pohon besar berkelebat sesosok 

bayangan, dan tahu-tahu di depan Peri Kupu-

kupu berdiri seorang lelaki berwajah amat tam-

pan, malah lebih mendekati jelita. Sepasang ma-

tanya berbentuk bundar. Rambutnya panjang dan 

dikepang dua. Bibirnya berbentuk bagus, dan di-

beri pemerah menyala. Tubuhnya yang semampai 

dibungkus pakaian perempuan.

Orang yang baru datang, keluarkan tawa 

panjang. Tangan kanannya bergerak pulang balik 

dengan gemulai. Setelah mengerdipkan mata ki-

rinya, dia berkata. Suaranya mirip seorang pe-

rempuan.

"Peri Kupu-kupu. Manusia punya kehen-

dak namun yang di atas menentukan. Aku tahu, 

kau tadi berkehendak memanggilku, tapi yang 

muncul gadis itu."

"Setan Pesolek! Tak usah banyak bicara!" 

rungut Peri Kupu-kupu kesal. "Jangan menam-

bah-nambah urusanku lagi!"

"Manusia hidup tak lepas dari urusan, Peri 

Kupu-kupu. Itulah hidup. Tapi tiada urusan yang 

tak dapat diselesaikan."

"Sekarang bagaimana?!" 

"Kita cari tempat yang tenang untuk bica

ra." 

Laki-laki berpakaian perempuan yang ter-

nyata berjuluk Setan Pesolek lalu memberi isyarat 

pada Peri Kupu-kupu. Kejap lain dia melesat di 

antara kerapatan rimbun pohon meninggalkan 

tempat itu, disusul kemudian oleh si nenek ber-

jubah kembang-kembang.


DELAPAN


SERUNI yang mengaku cucu dan murid 

Raksasa Bermuka Hijau terus berlari laksana di-

kejar setan. Segenap kemampuannya dikerahkan. 

Karena saat itu malam telah turun, membuat so-

soknya menjadi samar-samar hitam yang berke-

lok-kelok di antara kerapatan pohon. Dia berlari 

kencang bukan khawatir dikejar oleh Perl Kupu-

kupu, karena dia sudah sempat berpaling ke be-

lakang dan dengan sekilas pandang gadis ini telah 

tahu jika si nenek tak mengejarnya. Sebaliknya 

dia berkelebat cepat karena hatinya gundah dan 

kecewa tak dapat melaksanakan niatnya untuk 

membunuh Peri Kupu-kupu. Yang lebih lagi, 

seandainya Peri Kupu-kupu mau, nyawanya 

mungkin sudah melayang!

Pada suatu tempat bertanah rata dan di 

sana-sini banyak batu-batu besar, Seruni henti-

kan larinya. Setelah mengusap keringat di wajah-

nya dia melangkah perlahan ke arah sebuah batu 

besar lalu duduk dengan sandarkan punggung.

Kedua kakinya diselonjorkan ke depan.

Gadis berwajah cantik ini tengadahkan ke-

pala. Langit tampak cerah tak berawan. Bintang 

gumintang bertaburan dan bulan mulai meram-

bat pelan menambah keindahan cakrawala. Tapi 

semua itu tak membuat Seruni terhibur. Wajah-

nya pucat dan murung. Lalu dari mulutnya ter-

dengar dia berucap lirih.

"Eyang Guru.... Maafkan aku. Aku belum 

berhasil melaksanakan tugas yang kau ama-

natkan padaku. Tapi percayalah, aku tak akan 

kembali dengan tangan hampa. Bagaimanapun 

caranya, aku akan membawa kepala tua bangka 

itu ke hadapanmu, peduli setan dia memberikan 

keterangan atau tidak!"

Sejenak Seruni terdiam. Kepalanya masih 

tengadah. Kini sepasang matanya memperhatikan 

sang rembulan. Kalau sebentar tadi air mukanya 

membayangkan kekecewaan dan geram, kini be-

rubah menjadi gelisah dan bimbang.

"Membuat mampus salah seorang dari be-

berapa orang yang harus kulenyapkan begini su-

litnya. Apakah aku mampu untuk menghadapi 

lainnya? Ah.... Belum lagi mencari pemuda yang 

katanya berhasil memiliki kipas ungu 108 yang 

kini digelari orang Pendekar Mata Keranjang 108. 

Akankah aku dapat menyelesaikan tugas ini atau 

gagal dan bahkan harus tewas? Ah, seandainya 

aku tahu di mana ibuku berada mungkin dia da-

pat membantuku. Ibu.... Di mana kau berada? 

Masih hidupkah kau...?" Tanpa disadari oleh Se-

runi air matanya sudah berlinang membasahi wajah dan sebagian pakaiannya.

"Eyang selalu mengatakan bahwa ibuku te-

lah meninggal tapi dia mungkir jika kutanya di 

mana kuburnya. Firasatku mengatakan ibu lupa 

jika pernah melahirkan seorang anak? Ah, betapa 

banyak masalah yang kuhadapi...."

Tiba-tiba Seruni sentakkan kepalanya ke 

sebelah kanan, matanya berkilat-kilat meman-

dang ke arah sebuah batu besar. Kedua tangan-

nya diangkat mengusap sebagian air matanya. 

Mendadak dia bangkit lalu berteriak garang.

"Siapa pun adanya kau, cepat unjukkan di-

ri!"

Tak ada suara menyahut atau munculnya 

seseorang. Namun Seruni masih menunggu. Be-

berapa saat berlalu masih tak ada gerakan tak 

ada jawaban, Seruni tarik tangan kanannya ke 

belakang.

"Bagus! Rupanya kau ingin kekerasan!" Se-

runi mendengus keras. Tangan kanannya segera 

dihantamkan ke arah batu besar. Dia sengaja 

menghantam bagian atas batu, hingga kejap ke-

mudian bagian atas batu besar itu pecah berkep-

ing dan berhamburan ke udara.

Namun sejauh itu belum tampak adanya 

gerakan dari balik batu, membuat si gadis marah. 

Kini kedua tangannya ditarik dan dihantamkan 

langsung ke arah batu itu. Sebelum kedua tangan 

menghantam, dari balik batu berkelebat sesosok 

bayangan, seraya berseru.

"Tahan pukulan!"

Seruni urungkan niat. Kini sepasang matanya mendelik memperhatikan seorang pemuda 

berpakaian hijau dilapis pakaian tangan panjang 

kuning, tegak berdiri di hadapannya dengan se-

nyum-senyum.

"Kau!" gumam Seruni parau begitu menge-

nali siapa adanya pemuda.

"Kau sengaja mengikutiku dan mencuri 

dengar! Kau mungkin teman tua bangka itu. Kau 

harus mati!" ujar Seruni sambil tarik kedua tan-

gannya lagi siap lepaskan pukulan.

"Tunggu!" tahan si pemuda yang bukan 

lain adalah Pendekar Mata Keranjang 108 sambil 

memandang lekat-lekat pada Seruni.

Sewaktu Seruni bentrok dengan Peri Kupu-

kupu dan tak dapat melaksanakan niatnya, gadis 

ini berkelebat pergi setelah kirimkan satu puku-

lan. Pada saat bersamaan Aji pun diam-diam ber-

kelebat pergi. Karena arah yang dituju sama den-

gan Seruni, Pendekar Mata Keranjang mengiku-

tinya dari belakang. Sebenarnya dia tidak berniat 

mengikuti ke mana Seruni pergi. Namun setelah 

sampai pada suatu tempat rata yang jarang di-

tumbuhi pohon, Pendekar 108 jadi kebingungan 

sendiri. Jika dia terus berlari bukan tak mungkin 

Seruni akan mengetahuinya. Pendekar 108 tak 

mau bikin persoalan. Dia telah menduga jika nan-

tinya Seruni pasti akan menuduh yang bukan-

bukan jika dia ketahuan. Memikir sampai di situ, 

begitu Seruni duduk bersandar pada sebuah batu 

besar, Pendekar 108 ini diam-diam juga menyeli-

nap dan mendekam di balik sebuah batu di sebe-

lah kanan Seruni sambil mencari kesempatan untuk berkelebat. Namun niatan Aji tertahan tatkala 

telinganya menangkap ucapan Seruni. Dan ak-

hirnya dia mengambil keputusan untuk tetap di 

balik batu begitu mendengar dirinya juga disebut-

sebut oleh Seruni. Meski saat itu Seruni tak me-

nyebut namanya, namun pemuda yang telah me-

miliki kipas ungu 108 tidak lain adalah dirinya!

"Maaf. Aku bukan mengikuti atau mencuri 

dengar ucapanmu. Kita hanya searah dalam per-

jalanan. Aku...."

"Dusta!" potong Seruni. "Apa yang kau ker-

jakan di balik batu itu. Hah...?!"

Pendekar Mata Keranjang cengar-cengir 

sambil usap-usap hidungnya. "Seperti halnya 

kau, aku juga capek. Lalu duduk di balik batu...."

"Hem.... Begitu. Jelaskan siapa dirimu. 

Siapa gelarmu dan apa hubunganmu dengan tua 

bangka berjubah kembang-kembang tadi!"

Aji senyum-senyum sejenak lalu menjawab. 

"Aku Aji Saputra... Seorang pengelana jalanan 

yang melangkah menurutkan ke mana kaki men-

gayun. Si nenek itu pun baru kali ini kutemui!"

Si gadis memandang Pendekar Mata Keran-

jang dari atas hingga bawah. "Aji.... Tapi kalau 

tua bangka Peri Kupu-kupu bikin masalah den-

gan dia, pastilah dia salah seorang dari kaum 

persilatan. Hem.... Apa dia tadi mendengar uca-

panku? Ah, peduli setan!" Seruni arahkan pan-

dangannya pada jurusan lain. Lalu berujar.

"Malam ini aku masih berbaik hati. Cepat 

tinggalkan tempat ini!"

Murid Wong Agung tak menghiraukan uca

pan orang. Malah dia melangkah satu tindak ke 

depan.

"Seruni. Apa yang kau ketahui tentang ne-

nek bergelar Peri Kupu-kupu itu?!"

Seruni menggeleng pelan. "Di sini bukan 

tempatnya untuk bertanya! Kataku cepat tinggal-

kan tempat ini. Pikiranku bisa berubah dalam se-

saat!"

"Jika itu maumu, baiklah. Tapi kusaran-

kan padamu untuk berpikir jernih. Meski aku be-

lum tahu siapa adanya Peri Kupu-kupu, namun 

dia tampaknya orang baik-baik. Jangan menuruti 

perasaan dan ucapan orang! Gunakan akal piki-

ran dan hati bersih.... "

"Jahanam! Kau tahu apa tentang tua 

bangka itu, hah?! "

"Aku buta tentang dia. Tapi melihat sikap-

nya dia orang baik. Kau sadar itu?!"

Seruni tersenyum sinis. "Kau lupa. Sikap 

seseorang justru tameng kepalsuan untuk menu-

tupi sifat sebenarnya!"

"Hem.... Jadi Peri Kupu-kupu itu orang ja-

hat?"

"Tidak hanya jahat tapi juga licik dan pen-

gecut! Orang macam dia pantas dilenyapkan!"

"Apa yang diperbuatnya terhadapmu?!"

"Kau bertanya apa menyelidik, hah?!"

"Aku hanya ingin tahu. Karena tanpa ujung 

pangkal dia tiba-tiba menyerangku. Siapa tahu 

ucapanmu benar, dia menyembunyikan sifat se-

benarnya. Takkan kubiarkan dia hidup jika dia 

benar-benar orang jahat!"

"Kau jangan ikut campur urusan ini. Se-

lembar nyawanya milikku!" sahut Seruni seraya 

arahkan kembali pandangannya pada Aji.

"Mana bisa begitu? Dia telah membuat 

urusan denganku! Tapi, hem.... Bagaimana kalau 

kita bersama-sama membagi nyawanya? Atau se-

tidak-tidaknya aku membantumu melenyapkan-

nya juga orang-orang lainnya? Bukankah selain 

nenek itu kau masih punya urusan lagi?!"

"Berarti dia mendengar ucapanku tadi...," 

batin Seruni lalu tertawa pendek bernada sinis. 

"Aku punya tangan untuk membunuhnya! Aku 

tak butuh bantuan!"

"Sialan. Sombong betul gadis ini! Tapi aku 

akan memancingnya untuk mengatakan apa hu-

bungannya dengan diriku...," Aji berkata dalam 

hati.

"Seruni. Rimba persilatan kata orang tua-

tua penuh dengan kelicikan, kekejian, dendam 

kesumat, hasutan serta fitnah. Lebih dari itu ber-

kubang beberapa orang aneh berilmu tinggi...."

Seruni kepalkan kedua tangannya dan di-

acungkan ke atas. "Rimba persilatan boleh me-

mendam seribu kelicikan, seribu kekejian dan 

dendam kesumat. Silakan beratus-ratus orang 

berilmu tinggi berenang di dalamnya! Aku telah 

siap menghadang dan menghadapinya! Jangan ki-

ra aku jadi surut karena ucapanmu!"

"Semangatmu menyala-nyala, ilmumu ting-

gi. Tapi jangan lupa, otak serta kecerdikan juga 

diperlukan. Jika tidak, kau akan meninggalkan 

bumi sebelum kau bertemu dengan orang yang

selama ini kau rindukan!"

Seruni tak sadar tersurut sampai dua 

langkah ke belakang mendengar ucapan terakhir 

Pendekar Mata Keranjang. Parasnya berubah mu-

rung dengan bibir saling menggait. Perlahan-

lahan pula matanya tampak digenangi air.

Melihat keadaan Seruni, diam-diam Aji me-

rasa bersalah. Murid Wong Agung ini lalu me-

langkah mendekat.

"Maaf kalau ucapanku menyinggung. Se-

benarnya aku hanya ingin mengingatkan bahwa 

ada sesuatu hal yang lebih penting dalam hidup-

mu selain amanat yang sekarang kau emban. Me-

nurutku.... "

Pendekar 108 tak lanjutkan ucapannya ka-

rena saat itu Seruni memandang ke arahnya den-

gan pandangan nyalang.

"Jangan lanjutkan kata-katamu! Dan ang-

kat kaki dari sini!"

"Seruni...."

"Pergi kataku! Pergi!" teriak Seruni dengan 

air mata tumpah.

Entah Aji mengira teriakan si gadis hanya 

karena terbawa perasaan yang sejenak kemudian 

pasti akan reda, Pendekar Mata Keranjang tetap 

tegak di situ.

"Jahanam!" maki Seruni seraya angkat ke-

dua tangannya. Suara gelombang angin dahsyat 

menyapu ke arah Pendekar 108. Tersentak kaget, 

Pendekar Mata Keranjang cepat-cepat berkelebat 

meninggalkan tempat itu. Di depan sana tanah 

kontan muncrat ke udara menghalangi pemandangan terkena pukulan Seruni.

Begitu tanah surut, Seruni tampak duduk 

bersandar di lamping batu dengan tangan men-

dekap wajah. Bahunya berguncang-guncang. En-

tah apa yang ada di benak gadis ini, yang pasti di 

lain saat terdengar suara sesenggukannya!


SEMBILAN


PENDEKAR 108 menggeliat ketika hawa 

hangat menyentuh sekujur tubuhnya. Perlahan 

dia membuka kelopak matanya. Mata itu segera 

mengatup kembali ketika silau oleh cahaya mata-

hari pagi yang menerobos lewat daun-daun pepo-

honan di mana dia berada.

Tapi, secepat sepasang mata itu mengatup, 

secepat itu pula, Aji membukanya. Karena sesaat 

sebelum sepasang matanya dikatupkan karena 

merasa silau, dia sempat melihat adanya dua so-

sok berdiri di hadapannya.

Mereka ternyata adalah seorang lelaki dan 

perempuan yang telah berusia lanjut. Yang di se-

belah kanan adalah seorang kakek bertubuh ge-

muk besar. Pada kedua ketiaknya terlihat dua 

bambu kecil sebagai penopang tubuh, karena ke-

dua kakinya buntung. Dua bambu itu demikian 

kecilnya, dan tubuh si kakek demikian besarnya. 

Tapi, bambu itu tidak melengkung apalagi patah!

Di sebelah si kakek adalah seorang perem-

puan tua yang juga bertubuh gemuk besar men-

genakan pakaian merah. Rambutnya yang putih

disanggul di atas. Bibirnya dipoles merah menya-

la. Nenek ini mengenakan anting-anting besar 

yang dimuati beberapa anting-anting kecil.

"Gongging Baladewa.... Dewi Kayangan...," 

seru Aji setengah kaget, karena tak menyangka 

akan bertemu dengan dua tokoh tua yang sakti 

itu.

"Hik hik hik...!" perempuan gemuk itu ter-

tawa mengikik. Kemudian, setelah merasa puas 

menebar kegembiraan, dia berkata.

"Kau benar-benar pemalas, Anak Kurang 

Ajar! Hanya bicaramu saja yang besar, mengata-

kan hendak pergi ke Bukit Siluman. Tapi, nya-

tanya malah pergi ke Pulau Kapuk! Enak-enakan 

tidur di sini! "

"Dewi... Siapa yang pemalas, dan enak-

enakan tidur?!" bantah Aji seraya usap-usap hi-

dung dan cengar-cengir.

"Tentu saja kau, Anak Kurang Ajar!" sentak 

Dewi Kayangan. "Mana mungkin aku?! Bukankah 

kau yang tengah bermalas-malasan. Bahkan ma-

lah tidur?! Bukankah sewaktu di Dusun Kepati-

han, setelah sembuh dari luka dalam akibat ber-

tarung dengan Dewa Maut, kau katakan ingin 

pergi ke Bukit Siluman! Buktinya?!"

Pendekar 108 garuk-garuk kepalanya se-

raya bangkit.

"Kata-katamu perlu kubetulkan, Dewi," sa-

hut Pendekar Mata Keranjang. "Bukan aku yang 

ingin pergi ke Bukit Siluman. Bagaimana mung-

kin aku ingin pergi ke tempat yang namanya baru 

kudengar?! Apalagi di mana adanya tempat itu

pun aku belum tahu?!"

"Hik hik hik...!" Dewi Kayangan tertawa 

mengikik. "Kau dengar ucapan anak ini, Gongg-

ing?! Meski kurang ajar dan tak bisa diam melihat 

dahi licin, dia memiliki otak yang lumayan. Inga-

tannya cukup kuat."

"Seberapa kuat ingatannya, Dewi?" Gongg-

ing Baladewa ikut buka suara. "Mampukah men-

gangkat tubuhku?!"

Pendekar Mata Keranjang tak kuasa untuk 

menahan senyum lebar yang menghias bibirnya.

"Hik hik hik...! Rupanya kau sudah men-

dapatkan kemajuan, Gongging. Kau sudah mem-

punyai selera untuk bergurau. Sayang, leluconmu 

norak! Kau masih kurang tahu kapan dan di ma-

na harus bersikap seperti itu!" cela Dewi Kayan-

gan.

Gongging Baladewa hanya mendengus. Aji 

tertawa pelan. Sedangkan Dewi Kayangan, cekiki-

kan.

"Anak Kurang Ajar!" Dewi Kayangan pu-

tuskan tawanya. "Kau tahu mengapa kau harus 

ke Bukit Siluman?!"

Aji angkat kedua bahunya. Lalu kepalanya 

digelengkan.

"Dewi.... Mengapa mesti bertanya lagi?! 

Bukankah kau pun mendengar ketika Setan Peso-

lek menyuruhku pergi ke tempat itu?! Dia tak 

menjelaskan apa pun!"

"Hik hik hik...! Inilah orang yang tak meng-

gunakan apa yang dimilikinya?! Punya mulut, tak 

dipergunakan untuk bertanya! Mengapa tidak kau

tanyakan orang yang tak ketahuan jenisnya itu?!"

"Dewi.... Kurasa tak ada gunanya berteka-

teki lagi," Pendekar Mata Keranjang menukas. 

"Kalau kau memang tahu, beritahukanlah pada-

ku. Kalau kau tak tahu, lebih baik kuteruskan ti-

durku yang tertunda. Pergi ke Bukit Siluman pun 

tak ada artinya, bila aku tak tahu tujuannya!"

"Hik hik hik...! Sejak berpisah dari keka-

sihmu itu kau mudah sekali marah, Anak kurang 

ajar! Tapi, baiklah. Dengarkan baik-baik, karena 

aku tak akan mengulangi keteranganku lagi. Aku 

hanya katakan sekali! Tidak ada pengulangan la-

gi, kecuali kalau memang sekali saja tak cukup! 

Hik hik hik...!"

Perempuan tua bertubuh besar itu pu-

tuskan tawanya sebelum tuntas. Gongging Bala-

dewa geleng-geleng kepala, bingung.

"Anak bodoh! Waktu itu, si Pesolek me-

mang tak mengatakan mengapa kau harus pergi 

ke Bukit Siluman. Karena, dia sendiri belum tahu 

jelas. Si banci itu hanya tahu, ada sesuatu yang 

sangat berharga di sana. Tapi, setelah kau pergi, 

dia berhasil mengetahuinya!"

"Syukurlah...," desah Pendekar 108, seraya 

usap-usap hidungnya. "Dengan begitu, aku tak 

seperti keledai bodoh, mencari-cari sebuah tem-

pat, tanpa tahu apa yang kucari!"

"Jangan potong ucapanku! Kalau aku lupa 

akan apa yang ingin kuutarakan, kau yang akan 

rugi!" sentak Dewi Kayangan, ditutup cekikikan-

nya. "Dengar, manusia banci itu telah pergi me-

nyusulmu untuk memberitahukannya. Khawatir,

dia tak bertemu denganmu, aku dan Gongging 

ikut pergi untuk mencarimu. Susah-payah kami 

mencari, eh kau malah enak-enakan bermalas-

malasan."

"Dewi.... Aku tak bermalas-malasan...."

"Sudah! Sudah...! Tak ada gunanya berde-

bat lagi!" Dewi Kayangan memutuskan. "Seka-

rang, kau dengar baik-baik. Tujuanmu ke Bukit 

Siluman adalah untuk mengambil lembaran ku-

lit...."

"Lembaran kulit?!" potong Aji, cepat. "Un-

tuk apa segala macam lembaran kulit bagiku?! 

Jangankan hanya lembaran, sekalipun tumpukan 

aku tak akan tertarik!"

"Aku tak peduli apakah kau tertarik atau 

tidak!" Dewi Kayangan berkeras. "Yang jelas lem-

baran kulit yang kau remehkan itu akan segera 

membuat geger dunia persilatan. Lembaran itu 

akan menjadi rebutan, dan membuat pertumpa-

han darah. Itu menurut si manusia banci!"

"Apakah orang-orang persilatan telah de-

mikian dungunya, sehingga mau memperebutkan 

segala macam kulit?! Apalagi hanya selembar!" 

gerutu Pendekar 108.

"Lembaran itu bukan benda sembarangan. 

Menurut si banci kawanmu itu, lembaran yang 

bernama Lembaran Kulit Naga Pertala itu berisi-

kan ilmu silat tinggi!"

"Begitukah?!" sahut Pendekar 108, bernada 

acuh. "Sayang, aku tak tertarik...."

"Anak Monyet! Aku tak peduli apakah kau 

tertarik atau tidak. Yang penting, kau harus mendapatkan Lembaran Kulit Naga Pertala, agar tak 

terjatuh ke tangan orang-orang golongan hitam!" 

tukas Dewi Kayangan dengan suara lebih dike-

raskan.

"Apa yang dikatakan Dewi Kayangan me-

mang tak salah. Kau harus mendapatkan Lemba-

ran Kulit Naga Pertala itu. Dan...."

Gongging Baladewa terpaksa putuskan 

ucapannya, karena Dewi Kayangan memotong 

ucapannya dengan suara keras.

"Tak perlu berpanjang lebar lagi, Gongging! 

Ataukah kau ingin ikut bermalas-malasan, tidur 

di tempat ini seperti anak kurang ajar itu?!"

Tanpa menunggu tanggapan Gongging Ba-

ladewa, Dewi Kayangan melesat meninggalkan 

tempat itu. Si kakek bertubuh besar, hanya bisa 

mengangkat bahu, kemudian melesat mengikuti. 

Tinggal Aji sendirian di tempat itu. Pemuda ber-

pakaian hijau itu tercenung, seperti tengah me-

mikirkan sesuatu. Tak lama kemudian mulutnya 

bergerak membuka.

"Bukit Siluman.... Lembaran Kulit Naga 

Pertala...." Sambil menggumamkan kata-kata itu, 

Pendekar 108 ayunkan langkah dan tebarkan 

pandangan ke sekeliling.

Baru dapat lima tombak tiba-tiba sebuah 

bayangan berkelebat dan tegak tiga tombak di 

hadapan Pendekar 108. Murid Wong Agung hen-

tikan langkah. Dengan mata mengerjap dia perha-

tikan orang di hadapannya.

Dia adalah seorang laki-laki dengan tam-

pang seperti anak kecil berusia sepuluh tahun,

berkepala botak dan berwajah kelimis. Tidak ada 

kumis, jenggot mau pun cambang. Mengenakan 

celana pendek putih tanpa baju.

Sejenak Aji kernyitkan dahi. "Rasanya aku 

belum pernah jumpa dengan manusia ini. Menga-

pa, sikapnya seakan-akan mempunyai silang 

sengketa dengannya?!"

"Aku Mahaesa Bayangan!" Tiba-tiba orang 

di depan Aji keluarkan bentakan. "Serahkan kipas 

milikmu padaku!"

Mendapat bentakan, Aji mulai geram. "Me-

nyingkirlah dari hadapanku!" Aji bales memben-

tak.

Mahaesa Bayangan ulurkan tangan mem-

buat gerakan meminta. "Aku akan menyingkir, 

tapi serahkan dulu kipas itu!"

"Kau bisa minta pada malaikat maut!"

"Keparat!" maki Mahaesa Bayangan seraya 

menghambur ke depan. Kedua tangannya berke-

lebat menghantam ke arah kepala dan perut. 

Pendekar 108 tak tinggal diam. Dia mundur satu 

langkah. Tangan kiri menghantam ke bawah, tan-

gan kanan diangkat ke atas.

Bukkk! Bukkk!

Benturan tak terhindar lagi. Mahaesa 

Bayangan terhuyung ke belakang namun cepat 

dia bantingkan kaki. Tubuhnya melenting seten-

gah tombak. Dari atas udara kedua tangannya ki-

rimkan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat.

Wuuut! Wuuuttt!

Angin menderu kencang menghampar ke 

arah murid Wong Agung.

"Manusia geblek! Kau hanya cari mati sa-

ja!" seru Pendekar Mata Keranjang lalu hantam-

kan kedua tangannya. Dua berkas sinar biru me-

lesat cepat lalu mengembang.

Blammm!

Mahaesa Bayangan menjerit keras. Sosok-

nya mental jauh ke belakang lalu terkapar di atas 

tanah. Mulutnya mengucurkan darah segar. Laki-

laki ini memaki tak karuan lalu tertatih-tatih 

bangkit. Baru saja tubuhnya tegak, tiba-tiba dari 

arah samping kiri terdengar suara deru dahsyat. 

Di lain saat gelombang angin menggebrak. Ma-

haesa Bayangan berteriak tegang. Dia tak sempat 

berpaling untuk mengetahui siapa yang kirimkan 

serangan karena saat itu juga tubuhnya tersapu 

lalu melayang. Entah untuk mencoba menahan 

gerak tubuhnya, Mahaesa Bayangan kerahkan si-

sa-sisa tenaganya. Dia lalu membuat gerakan 

berputar di udara. Namun sapuan itu begitu dah-

syat hingga baru saja tubuhnya berputar, sosok-

nya telah menghantam sebatang pohon. Sesaat 

kemudian dia jatuh ke tanah dengan nyawa pu-

tus!

Meski berdiri agak jauh, namun Pendekar 

Mata Keranjang 108 masih merasakan matanya 

perih dan hempasan kuat laksana air bah yang 

mendorong. Dengan menahan rasa terkejut murid 

Wong Agung ini berpaling ke kiri. Sepasang ma-

tanya mendelik tak berkedip. Bersandar pada se-

batang pohon sepuluh tombak dari tempatnya 

berdiri Pendekar Mata Keranjang melihat seorang 

laki-laki mengenakan jubah hitam ketat menatap

sangar ke arahnya. Sosok orang ini tinggi kurus. 

Rambutnya disanggul ke atas. Parasnya lonjong 

dan berwarna pucat. Sepasang matanya kecil dan 

berwarna merah. Kedua alis matanya tebal dan 

bertautan. Yang membuat orang ini makin ang-

ker, adanya sepasang taring yang menyembul dari 

sudut-sudut mulutnya.

"Busyet! Ini hantu apa manusia?" gumam 

Aji lalu alihkan pandangannya pada Mahaesa 

Bayangan. Aji jadi bergidik. Selain hangus hitam, 

ternyata kulit tubuhnya mengelupas!

Belum sampai Pendekar 108 berpaling lagi 

pada orang yang baru datang, terdengar bentakan 

keras agak sengau.

"Aku mewakili sang mayat. Serahkan pa-

daku kipas itu!"

Menoleh, Pendekar 108 melihat orang ber-

jubah hitam telah melangkah ke arahnya lalu 

berhenti dua tombak di hadapannya dengan se-

pasang mata mengawasi tajam.

"Orang tak dikenal. Siapa kau?!" Aji mene-

gur. Namun diam-diam mengawasi orang di ha-

dapannya dengan lekat-lekat. Matanya disipitkan 

lalu dibuka lebar-lebar dengan dahi berkerut. 

"Mengapa kau menginginkan kipas milikku?"

Sebaliknya orang berjubah hitam berkata 

sendiri dalam hati. "Menyirap dari manusia yang 

telah jadi mayat tadi, aku yakin memang pemuda 

ini orangnya. Hem.... Rezekiku besar. Jika kipas 

ungu 108 itu teraih, tinggal memburu Lembaran 

Kulit Naga Pertala. Rimba persilatan akan ada di 

genggaman!" Orang ini lantas berpaling ke samping dan berkata.

"Dengar Anak Muda! Orang di hadapanmu 

adalah Hantu Berjubah! Aku tak akan bicara be-

rulangkali! Atau kau ingin jadi mayat tak berku-

lit!" Hantu Berjubah menghardik sambil hantam-

kan kedua tangannya.

Wuttt! Wuttt!

Sinar hitam muncrat keluar dari tangan 

Hantu Berjubah. Bersamaan dengan itu hitam 

pekat segera menyungkup.

Tanpa bicara lagi murid Wong Agung ini 

angkat kedua tangannya, kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya. Seketika menjadi biru 

berkilau. Serta merta didorongkan ke depan.

Wuuttt! Wuuuttt!

Dua larik sinar biru melesat cepat ke arah 

Hantu Berjubah. Kejap lain di tempat itu berbaur 

warna biru dan hitam. Kejap kemudian terdengar 

gelegar dahsyat memecah ketika pukulan Mutiara 

Biru bentrok dengan pukulan sakti 'Asap Kema-

tian' yang dilepaskan Hantu Berjubah.

Bunga api tampak berpijar di udara lalu 

padam terkena hamburan tanah yang menguda-

ra. Hantu Berjubah tampak terhuyung-huyung

namun segera dapat kuasai diri. Tubuhnya berge-

tar keras, wajahnya hitam kemerahan.

Lima belas langkah di hadapan Hantu Ber-

jubah, Pendekar Mata Keranjang berlutut dengan 

mulut megap-megap dan dada turun naik dengan 

keras. Mukanya pucat dan tangan gemetaran.

Mengetahui tak mengalami cedera parah, 

setelah kerahkan tenaga dalam Hantu Berjubah

segera bangkit. Di seberang, melihat Hantu Ber-

jubah telah bangkit, Pendekar 108 segera pula 

berdiri.

Mata Hantu Berjubah mendelik angker. 

Dengusan hidungnya terdengar keras. Diam-diam 

dia berkata dalam hati. Kalau tak segera kubikin 

mampus, anak ini berbahaya! Bisa jadi duri di 

kemudian hari!" Berpikir demikian, Hantu Berju-

bah segera kerahkan tenaga dalamnya dan seko-

nyong-konyong dia lepaskan pukulan dengan lu-

tut sedikit ditekuk.

Karena kali ini dengan kerahkan segenap 

tenaga dalamnya, bukan hanya sinar hitam saja 

yang melesat keluar, namun bersamaan dengan 

itu gelombang angin deras menggebrak dengan 

keluarkan suara luar biasa dahsyat. Di kejap lain, 

pemandangan jadi gelap gulita!

Daya lesat sinar hitam yang begitu cepat 

dan mendadak tidak memungkinkan bagi Pende-

kar 108 untuk segera lepaskan pukulan 'Mutiara 

Biru', membuatnya terpaksa melompat mundur 

sambil menghantam.

Pukulan sakti yang dilepas Pendekar 108 

masih menyelamatkan dirinya dari hantaman te-

lak pukulan Hantu Berjubah, namun karena ja-

raknya begitu dekat, membuat sosok murid Wong 

Agung ini merasakan sekujur tubuhnya laksana 

dipanggang ketika terjadi bentrok pukulan. Dan 

di lain kejap tubuhnya telah mencelat dan mem-

bentur pohon hingga pohon itu berderak tum-

bang. Tubuhnya lalu jatuh terkulai di samping 

pohon yang tumbang dengan darah mengucur dari mulut dan hidungnya!

Hantu Berjubah tertawa mengekeh. Lalu 

berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di samping 

Pendekar 108 dengan tangan menjulur dan tubuh 

membungkuk.

Pendekar 108 bertahan agar tidak pingsan. 

Dan perlahan-lahan tangan kanannya menyelinap 

di balik pakaiannya di mana tersimpan kipasnya. 

Dia berusaha mencabut kipas itu. Namun wajah 

murid Wong Agung ini jadi pias tatkala tenaganya 

tak mampu untuk mencabut kipas dari pinggang-

nya.

"Celaka jika kipas ini sampai jatuh ke tan-

gannya!" desisnya seraya geser tubuhnya ke atas.

Hantu Berjubah menyeringai dan teruskan 

juluran tangannya yang mengarah pada pinggang 

Pendekar 108. Sejengkal Lagi tangan Hantu Ber-

jubah sampai ke pinggang Pendekar 108 menda-

dak dua larik sinar kuning menggebrak ke arah-

nya, membuat laki-laki berjubah hitam ini meng-

hambur ke samping sambil keluarkan makian 

panjang pendek. Di kejap lain terdengar suara 

'brakkk'. Pohon yang tinggal separo karena tum-

bang terkena hempasan tubuh Pendekar 108 ter-

hampar berhamburan terkena pukulan yang lolos 

menghajar Hantu Berjubah. Pendekar Mata Ke-

ranjang sendiri meski selamat namun tubuhnya 

tersapu dan kembali mencelat sebelum akhirnya 

jatuh terkapar dengan mulut dan hidung makin 

banyak keluarkan darah.

"Setan alas! Siapa bangsatnya yang cari 

mati ini, hah?!" teriak Hantu Berjubah seraya

sentakkan kepalanya ke samping arah mana pu-

kulan tadi datang.

Merasa jiwanya masih selamat, Pendekar 

Mata Keranjang 108 segera buka sepasang ma-

tanya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan 

main. Dia coba kerahkan tenaga dalam untuk 

mengatasi, namun tidak banyak menolong. Hing-

ga akhirnya dia hanya dapat miringkan tubuh 

dengan mata memandang ke depan. Karena agak 

jauh dan matanya masih sedikit kabur murid 

Wong Agung ini tidak bisa mengenali siapa 

adanya orang yang menahan gerak tangan Hantu 

Berjubah yang hendak mengambil kipas dari 

pinggangnya. Dia hanya bisa menangkap tiga so-

sok tubuh yang tegak agak jauh dari tempatnya 

Hantu Berjubah.

Di depan sana, sentakan kepala Hantu 

Berjubah tertahan sebelum setengah jalan. Di situ 

sepasang matanya melihat seorang laki-laki men-

genakan rompi berwarna hitam. Rambutnya pan-

jang dan digelung ke atas. Tubuhnya kecil kurus 

dengan tangan kanan memegang bambu kuning 

sebesar ibu jari tangan yang panjangnya tiga 

jengkal. Ujung bambu itu ditempelkan ke mulut-

nya seperti hendak meniup seruling. Setiap dia 

monyongkan bibir terdengar suara merdu seperti 

suling ditiup! Padahal ujung bambu itu tidak ber-

lubang!

Hantu Berjubah menyeringai, lalu gerak-

kan kepalanya lagi sedikit ke kiri. Di situ tegak 

seorang laki-laki berusia tujuh puluh tahunan. 

Rambutnya telah putih dan panjang. Raut wajah

nya bengis. Tubuhnya yang tinggi kekar terlapis 

oleh pakaian terbuat dari kulit ular.

Hantu Berjubah tersenyum sinis dan din-

gin, lalu gerakkan Lagi kepalanya. Di situ dia me-

lihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya. 

Seorang perempuan berumur tiga puluh lima ta-

hunan berwajah jelita mengenakan pakaian war-

na putih tipis yang di bagian dadanya dibuat ren-

dah menampakkan sembulan buah dadanya.

"Hem.... Perempuan sundal ini berhasil 

menggaet Dewa Setan dan Mata Malaikat.... Kepa-

rat betul! Gara-gara dia urusan jadi berantakan!" 

Hantu Berjubah sengatkan sepasang matanya 

pada wanita berpakaian putih tipis. Lalu meng-

hardik garang.

"Bidadari Penyebar Cinta! Aku masih me-

mandangmu sebagai sahabat, lekas enyah dari 

sini!"

Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang 

hingga dadanya turun naik.

"Hantu Berjubah! Peduli setan kau me-

mandangku sebagai apa! Yang pasti begitu kau 

keluar dari sarangmu akulah yang berhak atas 

putus tidaknya nyawamu!"

Sementara Hantu Berjubah dan Bidadari 

Penyebar Cinta perang mulut, dua orang di samp-

ing Bidadari Penyebar Cinta seolah acuh saja. La-

ki-laki setengah baya berompi hitam yang meme-

gang bambu kuning arahkan pandangannya ke 

jurusan lain dengan ujung bambu tetap berada 

dicelah-celah bibirnya. Suara merdu seperti serul-

ing ditiup itu makin lama makin keras. Laki-laki

ini dalam rimba persilatan dikenal dengan gelaran 

Dewa Setan. Sedangkan laki-laki tua berpakaian 

dari kulit ular dalam kancah persilatan digelari 

dengan Mata Malaikat.

Hantu Berjubah arahkan pandangannya 

pada Dewa Setan dan Mata Malaikat. "Dewa Se-

tan, Mata Malaikat! Apa kalian juga ingin mati 

bersama perempuan sundal ini?! Hah...?!"

Dewa Setan tidak berpaling, demikian pula 

Mata Malaikat. Hanya sesaat kemudian mulut 

Mata Malaikat bergerak menutup lalu membuka 

dan terdengarlah ucapannya. "Mati bersama pe-

rempuan cantik lebih enak daripada berkalang 

tanah sendirian, Hantu Berjubah!" Habis berkata 

begitu, mulut Mata Malaikat terus membuka tak 

menutup lagi.

"Jika itu mau kalian akan kuturuti! Berse-

nang-senanglah di akhirat sana dengan perem-

puan sundal ini!"

Mendengar dirinya disebut perempuan 

sundal, Bidadari Penyebar Cinta jadi naik pitam. 

Sekali sentakkan kedua tangannya dua sinar 

berwarna kuning terang melesat. Di lain kejap si-

nar itu mengembang lalu menyergap ke arah Han-

tu Berjubah. Perempuan ini telah lepaskan puku-

lan sakti 'Sinar Mentari'.

Mendengar deru angin dari sampingnya, 

tanpa menoleh lagi Mata Malaikat dan Dewa Se-

tan telah tahu jika Bidadari Penyebar Cinta telah 

memulai serangan. Mendadak Dewa Setan angkat 

tangan tinggi-tinggi. Bambu kuning pendek di 

tangannya disentakkan.

Tarrr! Tarrr!

Bukan hanya suaranya yang menusuk 

gendang telinga, namun pada saat bersamaan ge-

sekan bambu dengan udara memuntahkan perci-

kan api yang kemudian melesat ke arah Hantu 

Berjubah.

Mata Malaikat tak tinggal diam. Begitu 

bambu kuning disentakkan, dia memutar diri 

membelakangi. Tiba-tiba kedua tangannya dihan-

tamkan ke belakang. Meski hantaman itu pelan, 

tapi bersamaan dengan itu terdengar suara lak-

sana ombak lalu tampak asap putih bergerak ce-

pat. Asap itu bergerak turun naik makin lama 

makin besar.

Mendapati tiga serangan sekaligus mem-

buat Hantu Berjubah tercekat. Dia sama sekali 

tak menduga jika tiga orang itu akan kirimkan se-

rangan secara bersamaan. Belum sempat dia ber-

pikir hendak menangkis yang mana, sinar kuning 

telah melabrak! Membuatnya harus cepat meng-

hindar untuk memapak bambu yang datang me-

nyusul. Laki-laki berpakaian hitam ketat ini cepat 

berkelebat ke samping sambil kibaskan tangan 

kanannya. Sinar kuning pukulan Bidadari Penye-

bar Cinta melenceng dan terus menerabas.

Hantu Berjubah teruskan kelebatannya la-

lu tangan kirinya menyambut bambu sementara 

tangan kanannya menyentak menghantam asap 

putih yang kini setengah tombak di hadapannya.

Plaaarrr! Blaaammm!

Bambu kuning pendek milik Dewa Setan 

mental balik. Laki-laki ini berseru tertahan ketika

merasakan tangannya seperti lumpuh dan tu-

buhnya terdorong mental ke belakang. Dia masih 

dapat menguasai tubuh agar tak jatuh, namun di 

saat terjadi ledakan dahsyat ketika pukulan Han-

tu Berjubah bentrok dengan pukulan Mata Malai-

kat membuat dirinya terhuyung kembali dan ak-

hirnya jatuh berlutut dengan tangan ngilu dan 

hampir saja bambunya jatuh. Sedangkan Mata 

Malaikat terdorong ke depan. Tapi orang ini sege-

ra julurkan kedua tangannya hingga kejap kemu-

dian dia bisa berdiri tegak, tak bergeming sedikit 

pun!

Di seberang, Hantu Berjubah berteriak ke-

ras. Meski tangan kirinya tidak mengalami cede-

ra, namun benturan dengan bambu kuning mem-

buat tangannya seakan hendak putus. Aliran da-

rah di tangannya mampet. Lalu tampak jubahnya 

robek memanjang di bagian tangan kiri. Kalau dia 

dapat mengimbangi bambu kuning, tidak demi-

kian halnya ketika pukulannya bentrok dengan 

pukulan Mata Malaikat. Begitu ledakan terdengar, 

tubuhnya langsung terseret naik turun mengikuti 

sapuan angin yang menyertai asap putri yang te-

lah ambyar. Meski Hantu Berjubah kerahkan te-

naga dalam, dia tak bisa mengatasi sapuan angin 

naik turun itu hingga kejap kemudian tubuhnya 

terjerembab dengan napas ter-engah-engah. Da-

rah tampak keluar dari sudut bibirnya.

Pendekar Mata Keranjang sendiri yang tadi 

berada agak jauh di belakang Hantu Berjubah 

sempat tercekat ketika mendapati sinar kuning 

yang berhasil dihindari Hantu Berjubah melenceng dan lurus melabrak ke arahnya! Murid Wong 

Agung ini coba menghindar dengan bergulingan 

ke tanah. Namun belum sempat tubuhnya berge-

rak, sinar itu telah menghajar.

Pada saat genting itulah, Pendekar 108 me-

rasakan tubuhnya terangkat. Entah menduga itu 

akibat pukulan yang menghajarnya dia segera pe-

jamkan sepasang matanya. Dia lalu merasakan 

tubuhnya melayang turun. Pendekar 108 makin 

rapatkan matanya. Dia seakan sudah pasrah un-

tuk jatuh menghantam tanah karena tenaganya 

sudah terkuras juga karena mengalami cedera.

Namun murid Wong Agung ini jadi terpe-

rangah ketika mendapati tubuhnya bagian bawah 

didorong pelan dari bawah lalu tubuhnya melesat 

ke depan. Begitu hampir menyuruk tanah lagi, 

dorongan itu menyentak lagi, membuat tubuhnya 

melesat lagi ke depan. Begitu terus menerus hing-

ga pada suatu saat dorongan itu tak lagi dirasa-

kan. Pendekar Mata Keranjang cepat membuka 

sepasang matanya. Pada saat bersamaan tubuh-

nya telah bergulingan di atas tanah!

Ketika suasana sirap, Hantu Berjubah ter-

kejut. Dia tidak melihat sosok Pendekar Mata Ke-

ranjang! Dia edarkan pandangannya. Tiga orang 

di depan sana sudah bangkit berdiri.

Hantu Berjubah menarik napas. Dadanya 

laksana ditusuk ribuan jarum. Dia maklum, terla-

lu berbahaya dalam keadaan cedera seperti ini 

menghadapi tiga lawan. Untuk mengimbangi De-

wa Setan dan Bidadari Penyebar Cinta mungkin 

dia masih sanggup menandingi. Namun dia merasa sedikit jera menghadapi Mata Malaikat. Dia 

memang tidak begitu mengenal laki-laki berpa-

kaian kulit ular itu, namun dari gerakan aneh 

serta pukulannya, Hantu Berjubah sadar jika Ma-

ta Malaikat memiliki ilmu lebih tinggi dari teman-

temannya. Dia tahu, waktu lepaskan pukulan, 

Mata Malaikat belum kerahkan seluruh tenaga 

dalamnya namun itu telah membuatnya kalang 

kabut. Menyadari semua itu diam-diam Hantu 

Berjubah jelalatan kian kemari.

"Bidadari Penyebar Cinta jahanam! Urusan 

belum selesai. Saatnya akan tiba!"

Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang. 

"Hantu Berjubah! Sudah kukatakan putus tidak-

nya nyawamu adalah hakku! Jangan mimpi bisa 

lari dari tanganku!" Habis berkata begitu kedua 

tangannya dihantamkan ke arah Hantu Berjubah. 

Namun laki-laki berjubah hitam ini telah berkele-

bat lebih dahulu meninggalkan tempat itu. Puku-

lan Bidadari Penyebar Cinta menghantam tanah. 

Tanah itu langsung terbongkar dan berhamburan 

ke udara.

"Setan alas! Kenapa kalian diam saja?!" te-

gur Bidadari Penyebar Cinta pada Dewa Setan 

dan Mata Malaikat. Dewa Setan berpaling dan 

hanya tersenyum. Sementara Mata Malaikat ber-

kata.

"Sasaran sudah lenyap, perlu apa buang-

buang tenaga?!"

Ucapan Mata Malaikat seakan menyadar-

kan Bidadari Penyebar Cinta. Dia segera meman-

dang berkeliling. Rahangnya seketika bergemeletakan dan tubuhnya bergetar.

"Jahanam! Anak itu ke mana larinya? 

Hem.... Dia sudah cedera, pasti belum jauh. Kita 

kejar!" kata Bidadari Penyebar Cinta seraya mem-

beri isyarat untuk segera tinggalkan tempat itu. 

Dewa Setan bergerak hendak berkelebat menurut 

kehendak Bidadari Penyebar Cinta, tapi tidak de-

mikian halnya dengan Mata Malaikat. Kakek ini 

malah duduk!

"Mata Malaikat! Apa kau hanya akan du-

duk di situ?!" bentak Bidadari Penyebar Cinta ge-

ram.

Mulut Mata Malaikat membuka. Lalu ter-

dengar dia berucap.

"Menurut perjanjian, hanya sampai hari ini 

kita bersama-sama. Sekarang kita jalan sendiri-

sendiri! Kalian mengikuti ke mana kaki kalian 

melangkah, aku menuruti langkah ke mana kaki 

mengajak...."

"Keparat!" maki Bidadari Penyebar Cinta 

tambah geram. Tangan kanannya berkelebat 

menghantam ke arah kepala Mata Malaikat di 

samping bawahnya. Namun tangan kanan sang 

Ratu hanya menghajar tempat kosong. Berpaling, 

perempuan berparas cantik ini kertakkan rahang, 

dilihatnya Mata Malaikat telah membuat gerakan 

meloncat-loncat masih dalam posisi duduk. Bida-

dari Penyebar Cinta angkat kedua tangannya 

hendak lepaskan pukulan namun terlambat ka-

rena di lain kejap sosok Mata Malaikat telah le-

nyap laksana ditelan bumi!


SEPULUH


PENDEKAR Mata Keranjang angkat kepa-

lanya yang berdenyut pusing. Seraya membuka 

kelopak matanya dia berpaling ke kanan. Tak ada 

siapa-siapa. Lalu sambil mengusap-usap dadanya 

dia palingkan kepala ke kiri. Aji jadi terhenyak. 

Delapan langkah di samping kirinya tegak seo-

rang perempuan tua berambut putih setengkuk 

mengenakan jubah kembang-kembang dengan 

mulut bergerak-gerak. Dia berkacak pinggang 

dengan matanya yang sipit memandang ke arah 

Pendekar 108 tak berkedip. Di samping si nenek 

berdiri seorang lelaki berwajah amat tampan, 

bahkan mendekati cantik, mengenakan pakaian 

seorang perempuan.

"Peri Kupu-kupu.... Setan Pesolek...," desis 

Pendekar 108 mengenali siapa adanya dua orang 

itu. Hanya sampai di situ pernyataan yang keluar 

dari mulutnya. Tapi, di hati pemuda ini serente-

tan perkataan meluncur. Pernyataan bernada 

bingung. "Bagaimana Setan Pesolek bisa muncul 

bersama nenek-nenek ini. Malah, kelihatannya 

mereka berdua seperti dua orang sahabat baik."

Dengan benak yang masih dipenuhi rasa 

bingung, Pendekar 108 berusaha untuk bangkit. 

Namun, dia terhuyung dan kembali terkapar. Ki-

kih tawa perempuan keluar dari mulut Setan Pe-

solek, mengiringi ambruknya tubuh Pendekar 

108.

"Bagaimana sekarang?" tiba-tiba si nenek

yang bukan lain Peri Kupu-kupu adanya buka 

mulut sambil berpaling pada lelaki banci di sebe-

lahnya. Si banci yang bukan lain dari Setan Peso-

lek adanya menghentikan tawanya. Dirapikan du-

lu rambutnya seraya menarik kepalanya ke bela-

kang. Gerak-geriknya memang mirip perempuan!

"Tenang, Peri...," Setan Pesolek menyahut 

seraya gerak-gerakkan kedua tangannya. "Pulih-

kan dulu keadaannya. Dia terluka...."

Peri Kupu-kupu menyeringai lalu melang-

kah ke arah Aji.

"Nenek.... Terima kasih. Kau telah meno-

longku."

Peri Kupu-kupu tak menyambuti ucapan 

Aji. Malah dia selinapkan tangan kanannya ke 

saku jubah kembang-kembangnya. Ketika tangan 

itu ditarik tampak segumpal benda lunak berwar-

na hitam di tangannya.

Tangan Peri Kupu-kupu yang memegang 

gumpalan benda lunak menjulur ke depan. "Isap 

di mulutmu!"

Mungkin merasa jijik, Aji tak sadar malah 

katupkan mulutnya rapat-rapat. Lalu meman-

dang Peri Kupu-kupu dengan pandangan tak per-

caya. Peri Kupu-kupu condongkan tubuhnya ke 

depan. Tiba-tiba tangan kirinya menyambut dagu 

Aji lalu ditarik sedikit ke bawah, hingga mulut Aji 

terbuka. Aji bertahan dengan coba katupkan 

kembali mulutnya. Namun gumpalan benda hi-

tam itu telah lebih dahulu masuk.

"Lakukan apa yang kukatakan! Isap di mu-

lutmu!" bentak Peri Kupu-kupu lalu kacak pinggang. Di lain saat tiba-tiba suara tawanya mele-

dak.

Pendekar 108 merasa tenggorokannya lak-

sana dimasuki api. Dia tersedak dan hendak me-

muntahkan gumpalan benda itu. Namun di-

urungkan ketika Peri Kupu-kupu tampak berpal-

ing dan memandangnya dengan mata berkilat-

kilat. Perlahan-lahan dengan napas ditahan-

tahan murid Wong Agung ini melakukan seperti 

apa yang diperintahkan Peri Kupu-kupu. Begitu 

dapat tiga isapan, Pendekar 108 merasakan tu-

buhnya hangat. Perlahan-lahan pula rasa ngilu di 

sekujur tubuhnya lenyap. Pandangan matanya 

makin tajam. Mendapati hal demikian, Pendekar 

108 terus mengisap gumpalan benda di dalam 

mulutnya. Dalam sekejap tubuhnya terasa rin-

gan. Darahnya normal. Dia segera bangkit lalu 

membungkuk dalam-dalam. Dia mau mengu-

capkan terima ka-sih. Namun tersengal karena 

mulutnya masih ter-sumpal gumpalan benda lu-

nak kehitaman.

"Simpan obat itu!" kata Peri Kupu-kupu la-

lu melangkah kembali ke arah Setan Pesolek. Mu-

rid Wong Agung keluarkan gumpalan benda lunak 

yang tak diketahui namanya, dari mulutnya lalu 

disimpan di balik pakaiannya. Murid Wong Agung 

lalu menjura dalam sambil berkata. "Terima kasih 

atas pertolongan kalian berdua...."

"Nanti saja berbasa-basi, Bocah! Sekarang 

ada sesuatu yang harus kau dengar dan perhati-

kan!" Peri Kupu-kupu berkata separo menghar-

dik. Sementara Setan Pesolek malah keluarkan

cermin batunya. Cermin itu didekatkan ke wajah-

nya. Manusia banci ini pandangi wajahnya dari 

pantulan batu itu.

"Pendekar Mata Keranjang!" Kali ini yang 

bicara adalah Setan Pesolek. Manusia banci ini 

bicara sambil menggerak-gerakkan tangan pulang 

balik ke depan wajahnya. "Saat ini dunia persila-

tan tengah geger. Hampir semua tokoh, baik go-

longan hitam maupun putih menujukan perha-

tian pada Bukit Siluman. Karena di tempat itulah 

tersimpan lembaran kulit yang bernama Lemba-

ran Kulit Naga Pertala, yang di dalamnya berisi-

kan ilmu-ilmu dahsyat! Dunia persilatan akan 

tertimpa malapetaka besar apabila lembaran kulit 

itu sampai jatuh ke tangan orang jahat." Pendekar 

108 geleng-gelengkan kepalanya. "Setan Pesolek! 

Begitu cepatnya cerita menyebar di dunia persila-

tan! Baru beberapa hari yang lalu kau menyu-

ruhku pergi ke Bukit Siluman, dan saat itu pun 

kau belum tahu, mengapa tempat itu demikian 

penting. Tapi, sekarang, hampir semua tokoh per-

silatan telah mengetahui apa yang terdapat di 

Bukit Siluman...," kata pemuda berpakaian hijau 

ini seraya usap-usap hidungnya.

"Sebenarnya geger Lembaran Kulit Naga 

Pertala sudah berlangsung berpuluh tahun la-

manya. Namun kegegeran yang dulu-dulu segera 

padam begitu mengetahui Bukit Siluman yang di-

duga kuat menyimpan lembaran kulit lenyap tan-

pa bekas seperti ditelan bumi. Sebelumnya, tem-

pat itu penuh terselubung misteri. Banyak tokoh 

yang menyelidik bukit itu tak pernah kembali

bahkan mayatnya pun tak ditemukan. Setelah 

bukit itu lenyap, perburuan terhadap Lembaran 

Kulit Naga Pertala pun usai. Tapi, kali ini Bukit 

Siluman itu tampak kembali. Dan itu terjadi 

hanya berselisih waktu sedikit dengan kedatan-

ganmu. Tapi, itu bukan berarti usahamu akan 

berjalan mulus, karena saat ini banyak tokoh 

persilatan yang telah mendengar kabar kemuncu-

lan Bukit Siluman berdatangan, aku khawatir sa-

lah seorang dari mereka mengetahui rahasia tem-

pat itu. Maka untuk menjaga segala kemungkinan 

kita harus bertindak cepat!"

"Setan Pesolek! Kau punya kesaktian un-

tuk mengetahui apa yang akan terjadi. Setidaknya 

kau bisa membuka rahasia bukit itu!"

Setan Pesolek menggeleng. "Kemampuan 

manusia terbatas, Anak muda! Dan aku terbentur 

keterbatasan itu tatkala berhadapan dengan mis-

teri Bukit Siluman itu. Seperti yang kukatakan 

tempo hari. Aku gagal menembus kabut misteri 

lembaran kulit itu!"

Murid Wong Agung menghela napas pan-

jang. Dia maklum jika tokoh seperti Setan Pesolek 

saja tak dapat menembus misteri rahasia Bukit 

Siluman akan lebih sulit baginya menguak tabir 

itu.

"Tapi Tuhan Maha Adil, Anak muda...." Ti-

ba-tiba Setan Pesolek melanjutkan ucapannya. 

"Dalam keadaan gelap begini ada seseorang yang 

sedikit banyak bisa memberi jalan penerang 

meski hanya samar-samar."

"Siapa orangnya, Setan Pesolek?!" tanya Aji

seakan mendapat semangat baru.

Setan Pesolek berpaling pada Peri Kupu-

kupu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan. 

"Peri Kupu-kupu. Sekarang giliranmu bicara!"

Peri Kupu-kupu komat-kamitkan mulut. 

Lalu memandang pada Aji, goyang-goyangkan ke-

palanya sebentar lalu berkata.

"Mengenai rahasia bukit itu aku hanya 

punya petunjuk, tiga tambahkan tiga dan sete-

rusnya. Tiga langkah paling tengah, naik buka 

pintu lalu turun dan melangkah dua puluh sa-

tu...."

"Aneh. Petunjuk apa itu?!" desis Aji dalam 

hati sambil usap-usap hidungnya. Lalu menguta-

rakan apa yang ada dalam benaknya. "Peri. Aku 

tak mengerti petunjuk itu. Kau bisa menje-

laskan?!"

Yang ditanya gelengkan kepalanya. "Saat 

seperti sekarang ini, sebuah petunjuk lebih mahal 

dari seratus nyawa! Kau telah mendapatkan se-

tengah kenyataan, selebihnya putar otakmu sen-

diri!"

Murid Wong Agung tengadahkan kepala 

seolah menguraikan petunjuk yang dikatakan Peri 

Kupu-kupu, namun dia tak menemukan arti dari 

petunjuk itu. Akhirnya dia mengalihkan pandan-

gannya pada Setan Pesolek. Namun sebelum dia 

buka mulut untuk bertanya, Setan Pesolek telah 

gelengkan kepala sambil berkata.

"Aku tak bisa membantu! Segalanya ge-

lap.... Ada tabir penutup yang tidak dapat ditemhus mata...."

Peri Kupu-kupu melirik pada Setan Peso-

lek. "Tugas kita selesai. Kita harus segera pergi!" 

Lalu pada murid Wong Agung nenek ini berujar.

"Firasatku mengatakan ada orang lain yang 

juga telah mendapatkan petunjuk seperti itu. Ma-

ka cepatlah berangkat. Sayang bila orang itu 

sempat mendahului. Bukan saja dunia persilatan 

akan guncang tapi akan menjadikanmu seorang 

pengecut besar!"

"Nek...." Hanya itu yang keluar dari mulut 

Aji karena saat itu Peri Kupu-kupu telah me-

nyambung ucapannya. "Apa namanya kalau bu-

kan pengecut besar jika harus mengambil milik 

orang lain?!"

"Nek, kira-kira siapa orang itu?!"

Peri Kupu-kupu angkat bahunya. "Jika aku 

tahu, aku tak mungkin malang melintang. Karena 

justru orang itulah yang selama ini kucari!"

"Jadi dia memiliki petunjuk yang sama?!"

"Meski tidak sama, tapi pada akhirnya me-

nuju satu titik temu!"

"Apakah kau akan memecahkan rahasia 

itu bersamanya. Begitu?!"

"Urusan Lembaran Kulit Naga Pertala bu-

kanlah hal menarik bagiku. Ada yang lebih besar 

dari itu!" Habis berkata demikian. Peri Kupu-

kupu memberi isyarat anggukan kepala pada Se-

tan Pesolek yang duduk di sampingnya. Lalu ba-

likkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat 

itu.

Murid Wong Agung segera menghambur ke 

arah Setan Pesolek yang masih berada di situ.

"Setan Pesolek. Aku benar-benar tak mengerti 

dengan petunjuk yang diberikan Peri Kupu-

kupu...," kata Pendekar 108 sambil duduk di 

sampingnya.

Lelaki banci itu tersenyum. "Batu sekeras 

dan setebal apa pun akan pecah jika terus dihan-

tam. Kau telah memiliki senjata penghantam. 

Tinggal mengukur semangat dan otakmu...."

Aji menarik napas dalam-dalam. Murid 

Wong Agung ini akhirnya memutuskan akan me-

mecahkan petunjuk itu sendirian.

"Pendekar Mata Keranjang! Sebelum aku 

pergi ada baiknya kau perhatikan baik-baik uca-

panku...," sejenak Setan Pesolek putuskan kata-

katanya, membuat Aji berpaling. "Aku melihat ta-

bir penutup yang tak dapat ditembus pandangan 

mata!"

"Hem.... Berulangkali dia mengatakan hal 

itu...," batin Aji.

"Kipas ungu 108 mungkin dapat membuka 

tabir penutup itu!"

Pendekar 108 terperanjat. Buru-buru dia 

meraba pinggangnya. Sekonyong-konyong murid 

Wong Agung ini terhenyak tatkala tangannya tak 

merasakan senjata di pinggangnya.

"Aku harus pergi ke sana. Kipas itu pasti 

terjatuh waktu nenek Peri Kupu-kupu menolong-

ku. Celaka jika sampai kipas itu...."

"Ada apa, Pendekar 108?!"

"Kipas itu. Pasti terjatuh di tempat perke-

lahian. Aku harus pergi sekarang."

Setan Pesolek selinapkan tangan kanannya

kan ibunya yang selama ini dirindukan sebelum 

melaksanakan tugas-tugasnya. Siapa tahu piki-

rannya akan berubah berkat nasihat ibunya.... 

Ah, kenapa aku harus memikirkan hal itu...?!" Aji 

memandang berkeliling. Dengan benak disarati 

beberapa hal dia tinggalkan tempat itu.


SEBELAS


BIDADARI Penyebar Cinta dan Dewa Setan 

terus berkelebat dengan mata masing-masing liar 

mencari ke sana kemari. Namun hingga keduanya 

lelah dan merasakan mata perih karena terus-

terusan nyalang keduanya tak menemukan Pen-

dekar Mata Keranjang 108.

"Jahanam! Ke mana perginya anak itu?!" 

gumam Bidadari Penyebar Cinta sambil hentikan 

larinya. Napasnya terengah-engah. "Tak mungkin 

dia dapat berlari jauh karena dia telah cedera. 

Hem.... Pasti ada yang menolongnya!"

"Tapi siapa?!" Dewa Setan yang telah tegak 

di samping Bidadari Penyebar Cinta menyahut. 

Dia lalu melirik. Sepasang mata laki-laki setengah 

baya ini sejenak membeliak melihat sembulan 

buah dada perempuan di sampingnya yang berge-

rak turun naik.

"Keparat betul! Mengapa urusan jadi be-

rantakan begini rupa?! Mata Malaikat juga ikut-

ikutan menambah masalah!" batin Bidadari Pe-

nyebar Cinta lalu berpaling pada Dewa Setan.

"Kau tahu kenapa Mata Malaikat tak mau

melanjutkan perjalanan lagi bersama-sama ki-

ta...?"

"Orang itu sulit diterka. Tapi dia adalah 

seorang yang teguh memegang kata-kata. Menu-

rut yang dikatakannya tempo hari, memang hari 

ini saat terakhir dia mau bergabung dengan ki-

ta...."

"Aku belum begitu kenal dengannya. Siapa 

dia sebenarnya?!"

"Orang tak ada yang tahu siapa dia sebe-

narnya. Yang diketahui kalangan rimba persilatan 

adalah dia seorang yang aneh tapi memiliki ilmu 

yang sulit diukur. Kalau bisa kita jangan buat 

urusan dengan dia! Selain dapat menghadang 

rencana, sekaligus dapat memporak-porandakan!"

"Hem...," Bidadari Penyebar Cinta bergu-

mam panjang. "Aku menyirap kabar Bukit Silu-

man menyimpan misteri. Apa yang kau ketahui 

tentang bukit itu?!"

"Aku pun tak tahu banyak. Hanya menurut 

kabar, bukit itu dikurung oleh jebakan-jebakan 

yang setiap saat mengancam nyawa. Ini terbukti 

dengan tidak kembalinya beberapa tokoh yang 

coba-coba menyelidik ke sana."

"Begitu? Apakah kau takut dengan semua 

itu?"

Dewa Setan tidak segera menjawab. Malah 

melirik ke arah buah dada Bidadari Penyebar Cin-

ta. "Setiap ketakutan ada sebabnya. Perasaan be-

rani ada alasannya!"

"Apa maksudmu?!" tanya Bidadari Penye-

bar Cinta tanpa berpaling seakan memberi kesempatan pada Dewa Setan untuk memandang 

buah dadanya sepuas-puasnya.

Dewa Setan menyeringai aneh. Lalu berka-

ta dengan suara agak gemetar.

"Aku tak takut asal kau berada di sam-

pingku, dan...," dia menggantung ucapannya, 

membuat Bidadari Penyebar Cinta menoleh. Seki-

las perempuan ini telah tahu apa yang dimaksud 

laki-laki setengah baya itu.

"Kau menginginkannya...?!" tanya sang ra-

tu dengan busungkan dada dan senyum menggo-

da. Perempuan ini perlahan-lahan pejamkan se-

pasang matanya lalu keluarkan desahan panjang, 

membuat Dewa Setan makin berdebar dan mata 

membesar.

"Kau tunggu apalagi?" desahan sang ratu 

membuat Dewa Setan makin membelalak. Dan 

melihat tantangan si perempuan berwajah cantik, 

Dewa Setan segera melangkah. Seakan tak sabar, 

tubuh perempuan itu diraupnya lalu bibirnya di-

pagut. Bidadari Penyebar Cinta keluarkan desa-

han dan tubuhnya menggeliat ketika dirasakan 

tangan-tangan Dewa Setan mulai menelusup ke 

balik pakaiannya. Untuk beberapa lama kedua 

orang ini tenggelam dalam kemesraan sebelum ti-

ba-tiba Bidadari Penyebar Cinta menarik wajah-

nya dari wajah Dewa Setan sambil berbisik serak.

"Aku menangkap seseorang di sekitar si-

ni...."

Dewa Setan menggerendeng panjang pen-

dek dalam hati. Sebelum dia berbuat sesuatu, Bi-

dadari Penyebar Cinta telah menepis kedua tangannya yang masuk di balik pakaian lalu perem-

puan ini meloncat membelakangi dan berteriak 

lantang.

"Pengintip jahanam! Keluarlah atau kau in-

gin mampus!" sambil berteriak perempuan ini me-

rapikan pakaiannya yang sebagian telah terbuka. 

Dadanya masih tampak naik turun menahan ge-

jolak yang tertunda.

"Baik! Kau tak mau keluar, berarti kau in-

gin mampus!" kembali Bidadari Penyebar Cinta 

berseru tatkala tidak ada orang yang menampak-

kan diri. Kedua tangannya diangkat dan diarah-

kan pada semak belukar di dekat tanah rata yang 

di sana-sini banyak batu-batu.

Belum sampai tangan bergerak, dari balik 

sebuah batu besar muncul seseorang. Bidadari 

Penyebar Cinta memperhatikan dengan mata me-

nyelidik.

"Anak ingusan tukang intip!"

"Jangan salah duga. Aku tidak mengin-

tip...," kata orang yang baru keluar dari balik ba-

tu. Dia ternyata seorang gadis berwajah cantik 

mengenakan pakaian warna biru dan bukan lain 

adalah Seruni.

"Hem.... Kalau tidak mengintip, apa kerja-

mu di situ, hah?!"

"Aku telah berada di sini sebelum kalian 

ada di situ!"

"Beraninya kau berkata bohong! Kau perlu 

diberi pelajaran!" sambil berkata tangan kanan 

Bidadari Penyebar Cinta bergerak menyentak.

"Orang tak dikenal! Jaga mulutmu. Kaulah

yang salah. Bermain cinta di sembarang tempat!" 

sahut Seruni sambil melompat ke samping, hing-

ga pukulan yang dilancarkan Bidadari Penyebar 

Cinta melabrak batu di belakangnya. Batu itu 

kontan berantakan.

Berubahlah paras Bidadari Penyebar Cinta. 

Bukan hanya karena pukulannya dapat dihindari 

tapi juga oleh kata-kata yang diucapkan Seruni.

"Keparat jadah! Siapa kau, hah?!" Bidadari 

Penyebar Cinta membentak.

"Tak layak kau tahu siapa aku!" Seruni ba-

lik membentak, membuat kemarahan Bidadari 

Penyebar Cinta tak dapat ditahan lagi.

"Bagus! Berarti kau ingin mampus tanpa 

dikenal!"

Habis berkata begitu, Bidadari Penyebar 

Cinta berkelebat, di kejap lain tubuhnya telah dua 

langkah di hadapan Seruni dan saat itu juga tan-

gan kiri kanannya bergerak menghantam kepala 

Seruni.

Meski sedikit terkejut, Seruni cepat run-

dukkan kepala sambil angkat kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Bidadari Penyebar Cinta terlengak dan bu-

ru-buru mundur dua langkah. Kedua tangannya 

yang baru saja bentrok dengan lawan terasa ke-

semutan dan ngilu. Dari sini Bidadari Penyebar 

Cinta sadar jika si gadis memiliki kepandaian dan 

tenaga dalam. Sebaliknya, Seruni tampak ter-

huyung sampai lima langkah namun segera kua-

sai diri.

Entah karena ingin meneruskan permai

nannya yang terganggu atau apa, Bidadari Penye-

bar Cinta melangkah maju satu tindak. Tanpa 

mengarahkan pandangan matanya pada Seruni 

dia berkata.

"Hari ini kau bernasib baik. Lekas tinggal-

kan tempat ini!"

Seruni menyeringai sambil tertawa pendek.

"Aku lebih dulu datang di sini. Kaulah yang 

harus tinggalkan tempat ini!"

"Setan alas!" kemarahan Bidadari Penyebar 

Cinta muntah lagi. Kalau tadi hanya ingin mem-

beri pelajaran, kini membunuh pun dia tega. Ka-

rena sekarang maklum jika si gadis memiliki ilmu 

maka dia tak segan-segan langsung lepaskan pu-

kulan 'Sinar Mentari', hingga saat itu juga dari 

kedua tangannya melarik dua sinar kuning yang 

membawa suara menggeledek dan gelombang an-

gin.

Mendapati nyawanya terancam, Seruni tak 

tinggal diam. Dia segera pula kerahkan tenaga da-

lam lalu menyentakkan kedua tangannya le-

paskan pukulan. Bersamaan dengan itu hawa 

dingin menusuk menghampar. Suasana berubah 

agak redup, lalu terdengar suara laksana gemu-

ruh ombak.

Blammm!

Tempat itu berguncang hingga membuat 

sosok Seruni terseret sampai sembilan langkah ke 

belakang. Wajah gadis ini berubah pias dengan 

tangan gemetar. Perlahan-lahan kakinya ditekuk 

lalu jatuh terduduk. Di seberang sana Bidadari 

Penyebar Cinta terhuyung-huyung sambil dekap

dadanya yang berdenyut sakit. Perempuan bertu-

buh bahenol ini segera meneliti, tahu tak menga-

lami cedera cukup berarti, dia segera berkelebat 

sambil kirimkan serangan!

Wuuttt! Wuuttt!

Kembali sinar kuning melesat. Seruni ter-

cekat. Dia cepat alihkan tenaga dalamnya pada 

kedua tangannya, karena saat itu dia sedang ke-

rahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya. 

Tapi belum sempat kedua tangannya melepaskan 

pukulan, serangan lawan telah menggebrak.

Seruni keluarkan seruan tertahan. Sekujur 

tubuhnya seperti kejang, pandangan matanya pa-

nas. Saat lain tubuhnya mencelat mental ke bela-

kang. Karena di belakangnya banyak batu-batu, 

maka tak ampun Lagi tubuhnya menghantam sa-

lah satu batu hingga berderak pecah lalu sosok-

nya lunglai dan jatuh tersandar. Dari mulutnya 

mengucur darah segar. Karena matanya masih 

pedih, Seruni mengatupkan kelopak matanya ra-

pat-rapat sambil coba kerahkan tenaga dalamnya.

Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang 

lalu melangkah ke arah Seruni.

"Seandainya mulutmu tak berkata som-

bong, kau tak akan mengalami mati muda! Tapi 

ini sudah nasibmu!" Bidadari Penyebar Cinta me-

lompat, kaki kanannya kirimkan tendangan ke 

arah kepala Seruni yang matanya masih terpejam.

Sejengkal lagi kepala Seruni terhajar ten-

dangan, tiba-tiba terdengar deruan angin, di lain 

kejap tubuh Bidadari Penyebar Cinta seolah ter-

dorong kekuatan dahsyat hingga perempuan ini

berseru. Namun dia teruskan tendangan. Karena 

tubuhnya telah terdorong membuat tendangan-

nya melenceng dan menghantam batu di samping 

Seruni. Sesaat kemudian deruan itu melesat dan 

mengarah pada Bidadari Penyebar Cinta. Perem-

puan ini kembali berteriak lalu melompat mun-

dur.

Deruan angin terus menggebrak lalu 

menghantam tanah agak tinggi di belakang Bida-

dari Penyebar Cinta.

Pyaaarrr!

Suasana seketika menjadi pekat karena ta-

nah itu berhamburan ke udara menutupi peman-

dangan. Ketika tanah surut, Bidadari Penyebar 

Cinta tampak terbelalak lalu keluarkan sumpah 

serapah tak karuan. Sepasang kakinya pun sege-

ra dibantingkan hingga tanah itu bergetar.

"Ada orang ikut campur dan menolong ga-

dis keparat itu!" desis Bidadari Penyebar Cinta ke-

tika sepasang matanya tak lagi melihat Seruni. 

Dada perempuan ini menyala-nyala. Geram, ke-

cewa dan penasaran. "Bangsat siapa yang meno-

longnya?!" Bidadari Penyebar Cinta arahkan pan-

dangannya berkeliling sekali lagi. Namun dia tak 

menemukan siapa-siapa.

"Bidadari.... Sudahlah! Untuk apa dipikir-

kan?" tiba-tiba Dewa Setan yang sedari tadi hanya 

melihat keluarkan suara menenangkan lalu me-

langkah mendekat.

"Rupanya telah banyak tokoh yang berlaku 

pengecut tak mau menampakkan diri!" Bidadari 

Penyebar Cinta masih mengomel bahkan ketika

kedua tangan Dewa Setan hendak merangkul di-

tepiskannya.

"Bidadari.... Urusan lebih besar masih 

menghadang. Jangan perkara sepele begini me-

nambah beban...."

Seolah tersadar akan ucapan Dewa Setan, 

Bidadari Penyebar Cinta tampak anggukkan ke-

pala. "Kita tinggalkan tempat ini!" katanya lalu 

hendak berkelebat.

"Tapi...."

"Kita cari tempat yang lebih enak. Jauh da-

ri mata-mata usil yang mengintip...." Habis berka-

ta, Bidadari Penyebar Cinta berkelebat disusul 

kemudian oleh Dewa Setan yang rupanya sudah 

tak sabar.

Seruni tidak dapat menerka siapa gerangan 

yang memanggul dan melarikannya. Yang samar-

samar tertangkap matanya orang yang melari-

kannya berambut putih dan panjang.

"Siapa dia?! Gerakannya begini cepat, 

hem.... Jangan-jangan...." Mungkin khawatir ga-

dis ini lantas buka suara pelan.

"Penolongku. Terima kasih, kau telah me-

nyelamatkan nyawaku...."

Orang yang memanggul dan melarikan Se-

runi hentikan larinya dan putar tubuhnya dengan 

sedikit menekuk lututnya. Tahu-tahu Seruni te-

lah duduk tersandar pada sebuah lamping tanah 

agak tinggi.

"Kalau boleh tahu, siapa kau...?" Seruni 

buka mulutnya kembali seraya mengusap da-

danya yang masih terasa nyeri. Orang yang kini

membelakangi Seruni balikkan tubuh. Seruni ter-

cekat sendiri. Memandang tak berkedip pada 

orang di hadapannya. Dia adalah seorang kakek 

berambut putih dan panjang tergerai hingga me-

nutupi sebagian pakaiannya yang terbuat dari ku-

lit ular. Sebelah matanya sipit, hampir terpejam, 

tapi satunya lagi, yang sebelah kanan menonjol 

keluar.

"Urusan apa yang membuatmu bentrok 

dengan perempuan cantik tadi, heh?" si kakek 

ajukan tanya. Dia bukan lain adalah Mata Malai-

kat.

Sejenak Seruni terdiam. Setelah memper-

hatikan lekat-lekat pada Mata Malaikat dia berka-

ta.

"Sebenarnya urusannya sepele, Kek...." La-

lu Seruni menceritakan apa yang baru saja di-

alaminya.

Tiba-tiba Mata Malaikat keluarkan tawa 

terbahak-bahak. Wajahnya yang bengis tak terli-

hat menjadi lebih ramah, malah terlihat seakan 

menyeramkan. Seruni hanya bisa geleng-geleng 

kepala.

"Dasar manusia nafsu. Bercinta pun salah 

tempat. Ha... ha... ha...!" Kakek ini lantas ajukan 

tanya lagi. "Kau sendiri siapa? Dan hendak ke 

mana?"

Seruni tampak bimbang untuk menjawab. 

Dalam hati gadis ini berkata sendiri. "Apakah aku 

akan mengatakan apa tujuan perjalananku? Tapi...."

"He.... Kau tampak ragu-ragu mengatakan

nya. Hem.... Mungkin kau mengira aku bukan 

orang baik-baik. Itu memang benar! Tapi setidak-

tidaknya aku masih punya perasaan...."

Ucapan Mata Malaikat membuat paras wa-

jah Seruni merah padam. Buru-buru Seruni me-

nyambuti ucapan Mata Malaikat.

"Kau jangan salah sangka, Kek. Justru ka-

rena kau mau menolongku berarti kau orang 

baik!"

"Ah, ucapanmu membuat aku gelisah. Kau 

belum jawab pertanyaanku!"

"Aku Seruni murid sekaligus cucu dari 

Raksasa Bermuka Hijau...."

"Hem.... Beruntung kau punya kakek seo-

rang tokoh besar. Aku kenal betul dengan ka-

kekmu itu! Ilmumu pun tidak cetek! Ayah ibumu 

tentu sangat gembira punya anak gadis berke-

pandaian tinggi sepertimu...."

Seruni bukannya senang mendapat pujian 

seperti itu, sebaliknya parasnya menjadi murung. 

Bayangan kecewa tampak jelas di air mukanya.

"Kau salah duga, Kek.... Justru sejak kecil 

aku tak mengenal siapa ayah ibuku. Ah, sean-

dainya dia tahu...," diam-diam Seruni membatin 

sendiri dalam hati.

"Hai.... Kau kembali murung. Ada apa? Apa 

kata-kataku ada yang salah?"

Seruni menggeleng. Mata Malaikat perhati-

kan si gadis lekat-lekat, lalu buka mulut.

"Kau sepertinya menanggung sesuatu yang 

berat...."

"Mula-mula tidak berat, Kek. Namun sete

lah kualami sendiri, beban itu bukan hanya berat 

tapi rasa-rasanya sulit kulaksanakan. Meski begi-

tu aku akan berusaha!"

"Hem.... Kau tak keberatan mengatakan 

beban apa itu?!"

"Membunuh beberapa orang!"

Mata Malaikat bukannya terkejut menden-

gar jawaban Seruni. Malah kakek ini tertawa ber-

derai-derai.

"Dunia persilatan memang dunianya orang-

orang gila. Hingga seorang manusia tega menyu-

ruh seorang anak muda berbuat gila! Membunuh 

beberapa orang.... Hem... siapa saja calon mayat-

mayat itu?!"

Seruni terdiam. Dia berpikir kalau orang 

tua di hadapannya mengenai kakeknya sudah 

pasti dia mengenal pula beberapa orang yang ha-

rus dibunuhnya. Kalau salah seorang calon kor-

ban kebetulan sahabatnya, atau mungkin dia 

sendiri, bukan mustahil tugasnya akan beranta-

kan bahkan bisa membuat dirinya celaka sebelum 

bertindak. Apalagi sekarang sedang dalam kea-

daan cedera. Memikir sampai di situ akhirnya Se-

runi berkeputusan untuk diam.

"Apakah yang memberi tugas itu gurumu?!" 

tanya Mata Malaikat.

Seruni anggukkan kepalanya pelan. Kali ini 

dia tak berani memandang ke arah Mata Malai-

kat.

"Anak cantik. Tugas seorang guru memang 

harus dilaksanakan. Tapi kau juga harus berpikir 

dua kali untuk melaksanakannya! Hanya kuperingatkan padamu carilah duduk urusan yang se-

benarnya agar nantinya kau tak salah menurun-

kan hawa maut! Karena demi kepentingan pribadi 

kadang-kadang orang memilih yang baik untuk 

diri sendiri dan menumpahkan yang buruk untuk 

orang lain! Terjebak dalam lingkaran ini kau akan 

menyesal kelak kemudian hari!"

Habis berkata begitu, Mata Malaikat balik-

kan tubuh.

"Kek, tunggu! Kau hendak ke mana? Kau 

juga belum mengatakan siapa dirimu!"

Tanpa memutar dirinya, Mata Malaikat be-

rujar.

"Aku juga sedang mencari seseorang. Soal 

diriku, kalau ada pertemuan lagi pasti kau akan 

mengetahuinya.... Selamat tinggal!" Mata Malaikat 

segera meninggalkan Seruni yang hanya diam 

mengawasi kepergiannya.

"Hem.... Ucapannya ada juga benarnya. 

Bodohnya diriku, kenapa aku tak menanyakan 

pada guru apa urusannya hingga dia memberiku 

tugas membunuh? Tapi aku yakin Eyang guru 

pasti ada di pihak yang benar...," Seruni tenga-

dahkan kepala. Dia baru sadar jika saat itu senja 

telah turun dan sebentar lagi malam akan menje-

lang.

"Aku harus mencari tempat untuk istira-

hat...," Seruni lalu bergerak bangkit. Melangkah

perlahan-lahan sambil mengusap wajahnya yang 

keringatan.


DUA BELAS


HENTAKAN ladam kaki kuda terdengar 

memecah tidak putus-putusnya di dataran luas 

perbatasan menuju Hutan Demangan. Karena 

saat itu hari sudah senja dataran luas itu tampak 

semburat kemerah-merahan, namun tak mengha-

langi pandangan, hingga penunggang kuda itu tak 

banyak mengalami kesulitan tatkala lewat. Mung-

kin untuk mengejar waktu agar tak kemalaman 

saat memasuki hutan, sang penunggang terus 

menghentak tali kekang kuda tunggangannya wa-

lau saat itu sang binatang telah berlari cukup 

kencang.

Harapan si penunggang ternyata benar, 

tatkala dia keluar dari hutan, malam telah turun, 

namun dia menarik napas lega karena telah bera-

da di luar hutan. Hingga meski malam telah jatuh 

kini dia menghela kudanya dengan perlahan-

lahan karena kawasan yang dilaluinya sekarang 

tidak lagi banyak pohon dan semak belukar ma-

lah nun jauh di depan sana telah tampak kelap-

kelip sinar lampu yang menunjukkan bahwa tak 

jauh lagi akan sampai pada sebuah desa.

Sang penunggang kuda adalah seorang ga-

dis berwajah jelita mengenakan pakaian warna 

kuning. Rambutnya panjang dan dikucir dengan 

ikatan sebuah ikat kepala berwarna kuning pula. 

Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik.

Tiba-tiba si gadis tarik hela kuda tunggan-

gannya. Begitu sang binatang berhenti sepasang

mata si gadis memandang kian kemari.

"Meski hari gelap, tapi aku merasakan ada 

orang mengawasiku. Hem...." Sesaat gadis ini 

bimbang, namun kejap kemudian dia sentakkan 

tali helanya hingga kuda itu kembali melangkah. 

Tapi baru kira-kira enam langkahan, dari arah 

belakang menderu gelombang angin deras. Meng-

hantam ke arah si gadis yang tegak di atas kuda.

Meski sedikit terkejut mendapati serangan 

gelap, namun karena sebelumnya telah waspada 

karena merasa ada orang mengawasi, gadis ini 

secepat kilat melompat ke udara setelah kaki ki-

rinya kirimkan tendangan pelan ke arah kuda 

tunggangannya, hingga meski kuda itu sempat 

terhantam gelombang angin namun tidak sampai 

telak. Kuda itu hanya melonjak dengan mengang-

kat kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya 

melompat ke depan lalu menghambur lenyap da-

lam kegelapan.

Di udara si gadis cepat buat putaran lalu 

ketika mendarat tubuhnya telah menghadap ke 

arah datangnya serangan. Sejenak gadis ini na-

narkan matanya mencari-cari dalam kegelapan. 

Tapi dia tak menemukan siapa-siapa!

"Bedebah! Keluarlah dari persembunyian-

mu!" teriak sang gadis.

Belum lenyap gema suara teriakan, dari 

kegelapan berkelebat sesosok tubuh. Di lain kejap 

tahu-tahu sosok tadi telah tegak dua langkah di 

samping si gadis.

Si gadis terkejut, dan cepat-cepat berpaling 

sambil kirimkan satu jotosan ke arah sosok di

sampingnya. Tangannya baru setengah jalan, se-

buah tangan telah terlebih dahulu menggebrak ke 

arah bahu si gadis, membuat gadis ini terhuyung 

dengan tubuh terputar.

Tanpa mempedulikan lagi siapa adanya 

orang yang menghantam, si gadis segera sentak-

kan kedua tangannya.

Wuuttt! Wuuuttt!

Dari telapak tangan si gadis melesat dua 

sinar warna-warni. Setengah jalan sinar itu mun-

crat lalu bermentalan beberapa bunga api menuju 

sosok di hadapannya.

Sosok di hadapan si gadis mundur satu 

langkah, lalu hantamkan kedua tangannya.

Wuuttt! Wuuuttt!

Si gadis serentak keluarkan seruan terta-

han. Karena serangan lawan sama dengan puku-

lan yang dilancarkannya. Hingga kejap itu juga 

tempat itu dipenuhi bunga-bunga api yang mem-

bumbung di udara.

Sambil meloncat menghindar si gadis ber-

gumam sendiri. "Celaka! Ternyata dia! Sial. Ba-

gaimana aku harus menjawabnya?"

Bersamaan dengan meloncatnya si gadis 

terdengar beberapa letupan ketika bunga-bunga 

api itu saling bentrok di udara. Belum lenyap su-

ara letupan, sosok yang baru datang telah kemba-

li berkelebat dan tahu-tahu telah tegak kembali di 

samping si gadis. Kali ini sang gadis tidak lagi la-

kukan hantaman malah dengan suara serak dia 

cepat menjura. "Maafkan aku, Guru!" 

"Anak geblek! Kau mau mabur, hahhh?!" Si

gadis jatuhkan diri bersimpuh. Kepalanya ter-

tunduk dengan mulut mengatup rapat.

"Ayo jawab!" sosok di hadapan si gadis 

kembali keluarkan bentakan. Ternyata dia adalah 

seorang laki-laki tua. Parasnya merah membara. 

Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar 

dibungkus pakaian compang-camping, dan seba-

giannya hangus seperti bekas terbakar. Ada asap 

tipis mengepul dari sekujur tubuhnya. Orang 

yang mengerikan ini adalah tokoh hitam yang ter-

kenal dan berjuluk Manusia Neraka!

"Maafkan muridmu, Guru. Aku terusik 

dengan keteranganmu tentang Lembaran Kulit 

Naga Pertala. Itulah yang membuatku berada di 

sini.... Kepergianku semata-mata ingin ikut me-

nyelidiki Lembaran Kulit Naga Pertala!"

"Begitu? Tapi kenapa kau tak mengatakan-

nya padaku?!"

Si gadis angkat kepalanya. Kali ini dia agak 

berani memandang wajah gurunya karena suara 

gurunya tidak lagi kasar membentak.

"Aku khawatir kau tak memberi izin pada-

ku!"

Manusia Neraka tertawa panjang.

"Drupadi. Kalau kepergianmu dengan tu-

juan mencari lembaran kulit itu, tidak mungkin 

aku mencegahmu! Siapa tahu kau berhasil men-

dapatkannya...," kata Manusia Neraka dengan 

suara pelan. Nada kemarahan lenyap sama sekali, 

membuat Drupadi menarik napas lega.

"Guru.... Selama ini aku hanya mendengar 

lembaran kulit itu selintas saja dari keterangan

mu. Bisakah kau menjelaskannya hal ikhwal 

lembaran kulit itu?!"

"Mengenai sejarah lembaran kulit itu ba-

nyak cerita yang berlainan. Hingga membuat seja-

rah yang sebenarnya menjadi kabur. Aku sendiri 

tak tahu mana yang benar dari semua cerita yang 

sampai padaku. Hanya dari beberapa cerita itu 

aku bisa menarik kesimpulan jika lembaran kulit 

itu memang benar-benar ada! Dan untuk menye-

lidik apalagi mendapatkannya dibutuhkan kecer-

matan dan waspada penuh!"

"Maksud Guru...?"

"Mendengar berita beberapa tokoh yang co-

ba-coba masuk ke Bukit Siluman tidak ada yang 

kembali bahkan mayatnya pun tak ditemukan, 

berat dugaan bukit itu selain misterius juga men-

gancam jiwa siapa saja! Meski aku belum sampai 

ke sana, aku yakin di sana banyak terpasang je-

bakan-jebakan yang mematikan! Ini mungkin 

sengaja dirancang khusus agar orang tidak mu-

dah memasukinya sekaligus mendapatkan lemba-

ran kulit itu!"

"Apa di sana masih ada penghuninya?"

"Itulah yang sampai sekarang tidak ada 

yang tahu. Kalau melihat kegegeran lembaran ku-

lit itu sudah berlangsung pada seratus lebih ta-

hun yang lalu, hampir pasti tempat itu kini ko-

song. Di sinilah dibutuhkan kecermatan itu. Ka-

rena meski umpamanya kita berhasil melewati je-

bakan-jebakan itu, ke mana lagi kita harus ber-

tanya tentang disimpannya lembaran kulit itu? 

Sebagai benda yang berisi kesaktian, tak mungkin

ditempatkan pada sembarang tempat!"

Mendengar keterangan gurunya, Drupadi, 

si gadis terdiam. Dia berpikir sejenak lalu berka-

ta.

"Apakah selama ini tidak ada orang yang 

tahu, siapa terakhir kali pemegang lembaran kulit 

itu?"

"Menurut kabar yang kupercaya, pemegang 

terakhir lembaran kulit itu adalah seorang tokoh 

bernama Eyang Pandanaran. Dia dikabarkan 

mempunyai tiga orang murid. Satu laki-laki dua 

perempuan. Anehnya, hingga kini tidak diketahui 

ke mana lenyapnya Eyang Pandanaran. Hingga 

membuat sejarah lembaran kulit itu makin dis-

elimuti kabut...."

"Tentang murid-muridnya...?"

"Itulah sekarang yang sedang kuselidiki! 

Karena hanya murid-muridnya itu satu-satunya 

petunjuk! Tapi di sini juga ada hambatan. Perta-

ma, kejadian itu sudah berlangsung seratus ta-

hun lebih yang silam. Kemungkinan masih hi-

dupnya murid-murid itu kecil sekali. Kedua, kita 

sekarang mengalami kebutaan tentang siapa-

siapa saja orang yang dekat dengan mendiang 

murid-murid itu, atau kalau mereka punya akan 

cucu kita tak tahu siapa!"

"Hem.... Kalau begitu sulit rasanya mem-

buka misteri bukit itu!"

"Sesulit apa pun celah pasti ada, Drupadi!"

"Maksudmu, ada petunjuk lain?"

"Betul! Kau masih ingat ceritaku tentang 

seorang lelaki berdandan perempuan?!"

"Setan Pesolek...."

"Benar! Dia dikenal sebagai orang yang bisa 

mengetahui hal-hal yang gaib. Dialah sekarang 

yang kemungkinan bisa menjelaskan misteri lem-

baran kulit itu!"

"Tapi...," Drupadi tak melanjutkan ucapan-

nya karena gurunya telah menyela.

"Aku memang tak mungkin bertanya pa-

danya! Hanya kalau kau memang benar-benar in-

gin mendapatkan lembaran kulit itu, kau harus 

bertanya padanya sebelum berangkat."

"Mana mungkin dia mau memberitahu. 

Guru?"

"Kau tak usah tanya langsung padanya. 

Kau tahu, menurut berita yang berhasil kusirap, 

munculnya kembali Bukit Siluman setelah ham-

pir seratus tahun yang lalu lenyap, karena keda-

tangan seorang pemuda yang mewarisi kipas Em-

pu Jaladara. Aku yakin ada hubungan antara si 

pemuda, kipas, dan Bukit Siluman. Menurut beri-

ta yang dapat kusirap Setan Pesolek bersahabat 

dengan pemuda yang telah mendapatkan kipas. 

Dari pemuda itulah kau dapat mengoreknya. Ma-

nusia Dewa pasti telah mengatakan semuanya 

pada pemuda itu!" 

Drupadi terbelalak. 

"Aku...?" 

Manusia Neraka tertawa mengekeh. "Itulah 

satu-satunya jalan yang harus kau lalui jika kau 

menginginkan lembaran kulit itu, Drupadi! Ba-

gaimana caranya itu bisa kau atur sendiri! Se-

dangkan aku, akan menyelidik dengan caraku

sendiri." 

"Kalau aku tak berhasil...?" Manusia Nera-

ka memandangi muridnya lekat-lekat. "Hem.... 

Kalau kau tak berhasil, sementara kau jangan 

menyelidiki di mana adanya Bukit Siluman dahu-

lu, tapi beradalah dekat kawasan Pantai Pangan-

daran yang menuju Bukit Siluman! Ingat. Jangan 

pergi dahulu sebelum bertemu denganku!" 

"Akan kuingat pesanmu, Guru!" 

"Nah, aku pergi sekarang! Jangan lupa be-

radalah di kawasan Pantai Pangandaran. Baik 

berhasil atau tidak!" habis berkata begitu, Manu-

sia Neraka berputar. Dan sekali kelebat dia pun 

lenyap dari pandangan Drupadi.

Begitu gurunya pergi, pelan-pelan Drupadi 

melangkah meninggalkan tempat itu.

Namun baru saja melangkah mendadak 

dari arah samping Drupadi merasakan desiran 

angin. Belum sempat berpaling, satu bayangan 

hitam tiba-tiba berkelebat. Dan tahu-tahu seso-

sok tubuh tegak di depan Drupadi membuat gadis 

murid Manusia Neraka ini tersurut tiga langkah!

Drupadi melihat seorang perempuan seten-

gah baya mengenakan pakaian warna hijau. Mu-

kanya memakai bedak putih agak tebal. Bibirnya 

merah menyala. Rambutnya dikepang dua.

Sebenarnya tanpa diketahui oleh Drupadi 

maupun Manusia Neraka diam-diam sejak tadi 

perempuan ini telah mendekam di satu tempat 

seraya mendengarkan percakapan antara murid 

dan gurunya itu. Mungkin karena dilamun oleh 

ucapan-ucapan Manusia Neraka hingga dia tak

mendengar ucapan terakhir Manusia Neraka yang 

pamit pada muridnya. Dia baru mengetahui sete-

lah beberapa saat Manusia Neraka pergi mening-

galkan tempat itu. Dia segera saja berkelebat dan 

langsung tegak di hadapan Drupadi.


TIGA BELAS


SEPASANG mata perempuan di hadapan 

Drupadi membelalak besar di lain saat mulutnya 

terbuka dan terdengarlah bentakkannya. "Mana 

keparat tadi, hah?!" Mungkin karena masih terke-

jut dengan kedatangan orang, beberapa saat Dru-

padi terdiam. Hingga orang di hadapannya kem-

bali keluarkan bentakan garang. "Apa mulutmu 

ingin kutampar agar buka suara?!"

"Orang tua tak dikenal! Siapa kau?!" Dru-

padi balik menegur, membuat perempuan seten-

gah baya itu melotot angker dengan dagu men-

gembung.

"Keparat! Ditanya malah balik bertanya! 

Jawab dulu tanyaku!"

Meski geram mendengar ucapan orang, 

namun akhirnya Drupadi berkata juga. "Kalau 

yang kau maksud guruku, dia telah pergi!"

"Pergi ke mana?!"

"Katakan dulu siapa kau!" ucap Drupadi 

dengan mata memperhatikan orang dari rambut 

hingga kaki.

"Dengar, Bocah! Aku Kamaratih. Bertahun 

lamanya aku mencari Hanggoro! Ke mana perginya dia, he?!"

"Hanggoro?!" Drupadi mengulangi ucapan 

perempuan yang menyebut dirinya Kamaratih.

"Hem.... Rupanya kau belum tahu siapa 

gurumu itu. Hanggoro adalah nama sebenarnya 

Manusia Neraka, gurumu itu!"

Drupadi bengong, namun sesaat kemudian 

kembali mengatup ketika Kamaratih kembali ber-

tanya dengan suara masih tetap garang.

"Cepat katakan, ke mana perginya keparat 

itu!"

"Aku tak tahu dia hendak ke mana. 

Yang...."

"Berani dusta, kurobek mulutmu! Te-

ruskan!"

"Dia hendak menyelidik Lembaran Kulit 

Naga Pertala...."

"Hem.... Urusan lama yang tidak ada jun-

trungannya. Urusan usang yang membuat mala-

petaka!"

"Orang tua. Kau ini sebenarnya siapa? Dan 

ada hubungan apa dengan guruku?"

Kamaratih memandang tajam pada Drupa-

di. Bayang kemarahan di wajahnya perlahan mu-

lai mengendur. Diam-diam dalam hati perempuan 

berbibir merah menyala ini berkata. "Anak ini se-

perti aku waktu masih muda. Dari percakapan-

nya tadi kudengar dia mempunyai semangat 

menggebu meski sadar jika apa yang akan diraih-

nya terlalu tinggi. Salah jika aku mengaitkan di-

rinya dengan perbuatan gurunya padaku. Kela-

kuan Hanggoro tak patut bila dia ikut merasakan

akibatnya. Hem...."

"Namamu siapa?" Kamaratih mengajukan 

tanya dengan suara agak pelan.

"Kau bisa memanggilku Drupadi...."

"Apa gurumu tak pernah cerita tentang 

aku?!"

Drupadi coba mengingat-ingat, namun ak-

hirnya dia gelengkan kepalanya. "Rasa-rasanya 

tidak pernah menyebut-nyebut namamu.... Sebe-

narnya kau ini siapa?"

Kamaratih sudah buka mulutnya hendak 

mengucapkan sesuatu namun tiba-tiba diurung-

kan. Malah dia putar diri lalu berujar.

"Kalau aku tak berhasil menemukan gu-

rumu, kelak jika kau bertemu dengannya di Pan-

tai Pangandaran, katakan padanya aku juga me-

nunggu di sekitar kawasan itu!" Habis berkata 

begitu, Kamaratih hendak berkelebat, namun tu-

buhnya tertahan tatkala terdengar Drupadi me-

nahan.

"Tunggu! Kau belum jawab pertanyaanku!" 

Kamaratih berpaling. Memandang lekat-lekat pa-

da Drupadi. Kepalanya tampak menggeleng perla-

han. "Untuk sementara biarlah kau mengenalku 

sebagai Kamaratih. Suatu ketika kau akan ta-

hu.... Aku harus pergi sekarang...."

Drupadi mengawasi kepergian Kamaratih 

dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa dija-

wab.

"Makin jauh melangkah, makin banyak 

urusan yang tak ku mengerti...," gumam Drupadi 

lalu perlahan-lahan melangkah meninggalkan

tempat itu dengan benak dibuncah berbagai hal 

yang belum bisa dipastikan.


                      SELESAI



Lanjutan kisah ini: 

BIDADARI PENYEBAR CINTA



































Share:

0 comments:

Posting Komentar