"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 31 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RAHASIA PERMATA SAKTI

Rahasia Permata Sakti

 

RAHASIA PERMATA SAKTI

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:

Rahasia Permata Sakti

128 hal.


1


Bunga-bunga bermekaran indah dan harum 

tersiram hujan rintik-rintik semalam. Panorama indah 

membedah daerah di sekitar Gunung Semeru. Tanah 

di sekitar sana sedikit basah.

Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak 

cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam sapu-

tan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput 

kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa 

yang sedang tidur.

Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seo-

rang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan 

setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gu-

nung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda 

yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan 

itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.

Diedarkan pandangan ke segenap penjuru. 

Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpen-

dar.

Keningnya berkerut hingga wajah tampannya 

jadi jelek bukan main.

"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengun-

dangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati. "Isi pe-

san yang ditinggalkan dari guratan di batang pohon, 

meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini. 

Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya. 

Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek! 

Mau-maunya aku melakukan hal ini? Jangan-jangan

hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi, 

melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas 

kalau orang yang memintaku datang memiliki tenaga 

dalam tinggi."

Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pen-

dek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah 

lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ke-

tika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berke-

sip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan 

tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di 

pohon itu.

Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng 

Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampai-

kan.

Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan 

itu ternyata tak lain adalah Andika alias Pendekar Sle-

bor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa 

maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis 

cukup dalam di batang pohon itu jelas ditujukan pa-

danya.

Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila 

melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tem-

pat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang ter-

latih akan menangkap suara langkah atau tarikan na-

pas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang 

ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang 

yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki te-

naga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh 

yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara 

langkah atau tarikan napas seseorang.

Karena rasa penasarannya, selesai mandi di se-

buah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk un-

tuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera 

emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya 

yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia 

sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.

Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Ku

tukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Di-

ngin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasa-

ran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui 

siapa yang menuliskan pesan padanya.

"Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepa-

lanya yang tidak gatal. "Siapa sih yang mengirim pesan 

untukku itu? Bila ternyata orang itu hanya memper-

mainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya! 

Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Seme-

ru!"

Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya 

kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga pu-

luh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Se-

meru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin 

dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipi-

cingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga da-

lam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pe-

san itu benar, Andika memperkirakan orang yang me-

mintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia 

tak melihat sosok tubuh di sana.

"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!" 

makinya tak karuan. "Hhh! Lebih baik kuputari saja 

gunung ini! Barangkali bisa kutemukan orang iseng 

itu!!"

Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-

ba-tiba terdengar desingan halus menyusul tiga desir 

angin yang kuat ke arahnya.

***

"Sapi ompong! Manusia iseng mana yang lan-

cang menyerang, hah?!" maki Pendekar Slebor sambil 

lakukan satu lompatan ringan. Tubuhnya mencelat ke 

atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar 

tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.

Trak! Trak! Trak!

Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai 

arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan 

pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke 

arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah 

dialirkan tenaga dalam mematikan.

Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah 

serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar bi-

asa menderu kembali. Dua menyerang bagian atas tu-

buh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.

"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan 

tubuhnya. Dua batu yang menyerang bagian atas, di-

hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang 

menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan 

tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya 

sudah naik ke ubun-ubun.

"Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat 

persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gu-

nung Semeru ini!!"

Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang 

luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar. 

Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya 

bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna 

mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan me-

lalui tawa keras.

Sambil menahan serangan itu, ia buka pandan-

gannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam 

gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang 

duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.

"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desis-

nya. Cepat ia menggerakkan tangan kanannya sebagai

balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas 

menderu dahsyat memecah kabut tebal. Terdengar su-

ara ledakan keras. Samar pula pandangannya me-

nangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar

yang didudukinya hancur berantakan.

"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang 

ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, men-

gekeh.

Andika yang masih menahan serangan tak 

nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi, 

melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam 

jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup 

kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat me-

lihat rupa orang itu.

"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan 

beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil ke-

rutkan kening.

Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh

bongkok. Pakaian compang-camping dengan perli-

hatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan ha-

wa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali di-

lukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai 

menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih men-

julai hingga setengah meter dari tanah. Celananya 

berwarna putih yang sudah kotor sekali.

"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika de-

ngan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau 

orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke 

tempat ini.

"Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan 

yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini, 

Pendekar Slebor." Orang tua itu mengekeh, seperti 

mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya 

sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak me-

nimpalinya.

Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak 

segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi 

orang tua aneh, kurus kerempeng, dan memiliki tulang 

seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak

terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Ru-

panya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-

ti tadi. 

"Tidak sia-sia aku mengundang seorang pende-

kar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin 

lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Te-

tapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung ber-

temu denganku, Pendekar Slebor!"

"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati. 

"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang 

dewa apa?" Lalu ia berseru lagi, "Orang tua... lebih 

baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu 

mengundangku kemari?"

"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuke-

tahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup 

aneh dan sekaligus mengerikan."

"Busyet! Dia masih belum menjawab juga per-

tanyaanku?" maki Andika dalam hati. "Jangan-jangan, 

orang tua ini sinting. Mungkin kebanyakan makan na-

si campur tahi ayam!"

Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua 

aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe... 

kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal, 

wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho."

Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaan-

nya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang 

Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin 

kencing mendengar kata-kata si orang tua. "Heran, kok 

tidak malu ya memuji sendiri," ejeknya sambil perli-

hatkan seringainya yang paling jelek. "Padahal wajah-

mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!"

Bukannya marah mendengar ejekan itu, si 

orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa 

justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang 

mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti

setan yang kebelet kencing.

"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya! 

Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusam-

paikan padamu! Duduk!!"

Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang 

membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua 

yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tem-

pat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wa-

jahnya tertutup panjangnya rambut, namun Andika 

tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hada-

pannya pasti lebih buruk dari kucing kurus!

Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika. 

Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berha-

dapan. Dan saling tatap seolah menjajaki siapa adanya 

diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan tan-

gannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan. 

Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya 

yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya 

itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah 

dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sa-

na.

Dibawanya benda yang masih berada dalam 

genggamannya itu di hadapan Andika.

"Tebak! Apa yang ku genggam ini?"

Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat 

sebuah sinar warna biru yang memancar dari gengga-

man si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah 

itu.

"Katakanlah, Kek."

"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sa-

hut Kakek Buruk Rupa yang kelihatan geli dengan 

permintaan Andika. "Baik, baik... karena aku yang 

mengundangmu ke sini, aku akan segera memberita-

hukannya padamu."

"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.

Si orang tua perdengarkan tawanya yang benar-

benar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka 

genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini 

bertambah terang, menusuk mata.

"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya me-

lotot melihat benda di tangan si orang tua.

"Goblok! Ini permata!" 

Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir. 

Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang be-

rada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang 

memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.

"Hanya karena permata ini, kau mengundang-

ku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.

Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi. "Permata di 

tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan 

permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa 

yang kau lihat dari permata ini, Andika?"

"Sinar warna biru yang menyilaukan namun 

kuakui cukup mempesona."

"Bodoh! Coba perhatikan lagi!"

Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main 

karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya 

mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya seka-

ligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Per-

lahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam 

permata sebesar telur ayam itu.

"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak 

ragu.

Si kakek justru mengiyakan dan memujinya.

"Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak 

sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta 

akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini ada-

lah Permata Sakti yang kudapatkan lima belas tahun 

lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari 

tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal permata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Bi-

ru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku 

terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu 

hal yang mengejutkanku, selama lima belas tahun itu 

banyak sekali orang-orang yang menginginkan perma-

ta ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya. 

Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mem-

pertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau 

tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti 

yang luar biasa...." 

"Apakah itu, Kek?"

"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak. "Ber-

tanya terus! Dengarkan saja!" 

Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak 

penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua. 

Kakek Buruk Rupa berkata lagi. "Selama lima 

belas tahun aku berusaha mempertahankannya, ka-

rena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa ra-

hasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Te-

rus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam 

rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang 

ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini, 

Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."

"Heran... tadi kau mengatakan akan memperta-

hankannya. Lalu mengapa kau begitu saja mengha-

diahkannya padaku? Jangan-jangan, kau cuma men-

jebakku saja," seloroh Andika.

"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu 

padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada 

yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh

kepadamu."

"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku, 

Kek? Bila kau memang ingin menyerahkan Permata 

Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lain-

nya."

"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecu-

ali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di 

jalan kebajikan."

"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini ba-

jik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu, 

padahal hatinya bangga sekali. Dasar urakan!

"Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu 

kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."

"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya 

tanpa alasan yang masuk akal."

"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?" 

maki Kakek Buruk Rupa sewot.

"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu. 

Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata 

biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki ke-

saktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa 

yang dimiliki permata ini? Jangan-jangan, omonganmu 

ini tak lebih dari gombal belaka!"

"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau 

sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui ra-

hasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"

"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, ka-

tamu kan banyak yang menginginkannya, jangan-

jangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar 

aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkan-

nya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si 

orang tua.

"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya 

yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya 

yang lebat. "Pokoknya, kau harus menerimanya dan 

memecahkannya sendiri!"

Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa 

penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia 

akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang mengin-

ginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah

tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk 

Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang ber-

gelimpangan di benaknya.

Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk 

Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui kata-

katanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia me-

nepuk perut Andika.

"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apa-

apa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di 

tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi un-

danganku ke sini,"

Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak 

saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pan-

dangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium ke-

mudian, hanyalah bau tidak sedap.

Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah 

baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Ka-

kek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap 

itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek 

bongkok itu.

"Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!" 

gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek 

telah meninggalkan tempat itu. "Busyet! Begitu tinggi 

ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap be-

gitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku di-

buat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan 

juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti 

yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku, 

padahal ia telah lima belas tahun memperta-

hankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin 

memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang 

membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu 

dipegang oleh Kakek Buruk Rupa, Karena ia memang 

pemiliknya yang sah."

Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera

meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua ka-

kinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.

"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh 

itu memancarkan sinar warna biru. "Busyet! Orang tua 

jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya 

sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk pe-

rutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik 

pakaianku. Luar biasa!"

Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Ru-

pa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan, 

Andika memungut permata yang memancarkan sinar 

biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya 

bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur 

ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas. 

Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Ke-

palanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah. 

Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.

Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara, 

hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.

"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!" 

desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya. 

"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan 

permata ini. Akan kucari Kakek Buruk Rupa dan ku-

kembalikan padanya!"

Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hin-

dari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali per-

mata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak 

terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaian-

nya.

Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke 

mana aku harus cari orang tua itu? Rupanya, ia sudah 

sinting permata kesayangannya ini diserahkannya pa-

daku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengemba-

likannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya."

Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan

yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.


2


Seorang nenek dengan rambut disanggul ke 

atas muncul dari sebuah tempat. Kemunculannya ba-

gai mencelos dari gumpalan kabut. Tawa yang diper-

dengarkannya tak kalah hebat dengan tawa yang dila-

kukan oleh Kakek Buruk Rupa.

Andika menatap tak berkesip pada orang tua 

berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek 

yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apa-

lagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua 

yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.

"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan 

tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu siapa wanita tua 

itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan 

Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk me-

ngetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca 

episode: "Cincin Berlumur Darah").

Wanita tua yang memang si Camar Hitam per-

dengarkan kekehannya yang tak sedap.

"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan 

Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang, 

dua nyawa kukepruk!" 

Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi 

yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh 

keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.

"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu 

sendiri? Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau 

berusaha untuk membunuhku!"

Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai ber-

tambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata ke-

labunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.

"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat

padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal 

mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal 

membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak 

akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"

"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan 

dijemput ajal? Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi 

sudah memasuki isya! Dan satu lagi, malaikat maut 

biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau, 

karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis menge-

jek seperti itu, Andika terbahak-bahak keras. Kelam 

wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia 

menggerakkan tongkatnya.

Wuss! 

Deru angin dahsyat disertai suara menggidik-

kan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika 

melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, ba-

gai memotong, ia mengibaskan tangannya!

Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam 

pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali. 

Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah! 

Kau lihat sendiri, bukan? Apakah kau mampu meng-

hadapiku?"

Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan ke-

munculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk men-

cari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek 

Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit 

menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.

Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama 

dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus 

tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan 

hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematah-

kan serangannya.

"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru 

kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata 

Sakti!"

Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya 

tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Ru-

pa? Permata Sakti? Hmm, jelas sekali kalau kehadiran 

si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti 

milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik 

pakaiannya.

Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa 

itu memang benar adanya, kalau selama lima belas ta-

hun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.

Andika mendengus menyadari kalau sekarang 

justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama 

yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang me-

mang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada pa-

danya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini 

cukup akan merepotkannya.

"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau 

Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam 

hati. "Apa sebenarnya kesaktian permata ini? Dan lagi, 

kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan 

mulut itu memberikannya kepadaku?"

Memikir sampai di sana, guna membuang ke-

terkejutannya Andika terkekeh.

"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata 

Sakti? Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa 

itu? Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Je-

lek-jelek Sekali?!" 

Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya 

sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan 

dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah 

Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan 

Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.

Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai 

kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh 

yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah 

lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik

sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang 

sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk 

Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Per-

mata Sakti itu.

Dalam rencananya, setelah berhasil mendapat-

kan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas 

Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari 

Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya un-

tuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini, 

sebelum rencana pertamanya dijalankan, ia telah ber-

temu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap 

kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung 

Semeru.

Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksa-

na kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta, 

menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi 

sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah 

cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si 

nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika ke-

repotan. 

Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap 

menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang 

kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memaki-

maki tak karuan.

"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil 

menggulingkan tubuh menghindari gempuran itu. De-

bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang 

menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tem-

pat.

Suatu saat, Andika membuat satu gerakan 

yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tan-

gan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju 

bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau 

Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak meng-

hentikan serangan.

Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam 

sendiri. Karena Andika memang menyongsong se-

rangannya!

***

Tuk! Tuk! Tuk!

Tiga kali tubuh Andika tertotok tongkat yang 

dialiri tenaga dalam. Si Camar Hitam menghentikan 

gerakan. Bibirnya tersenyum puas melihat tubuh pe-

muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu ter-

huyung. Gerakan limbung Pendekar Slebor memang 

benar-benar bagai kehilangan tenaganya.

Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari 

senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.

"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar 

Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak 

bisa dikalahkan...."

Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat ba-

gaimana Andika terus menerus limbung seperti tak 

mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik 

berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak me-

lompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak 

dengan tubuh tak kurang suatu apa.

"Setan keparat! Kau menipuku, hah?"

Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pen-

dekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih 

dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong se-

rangan itu.

Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tong-

kat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan 

tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya 

saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun memba-

las. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkali-

kali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi la

gi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak!

Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan 

Andika. "Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu? Kutu 

monyet! Ke mana dia? Mengapa seluruh pandanganku 

berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya 

warna biru saja. Apa yang terjadi?"

Sementara itu Camar Hitam menghentikan se-

rangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa memper-

cayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang 

lagi. Lebih dahsyat disertai dengan teriakan-teriakan 

membahana penuh amarah.

Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap mem-

biarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun mem-

balas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini, 

dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.

Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya, 

Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.

Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Selu-

ruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya 

sendiri.

"Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-

majuan sangat pesat. Padahal ketika pertama kali aku 

bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus 

mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan 

yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak 

tadi ia tidak membalas? Peduli setan! Ini kesempatan 

yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini! 

Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa 

untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek ti-

dak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan ba-

tang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan 

kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang memper-

mainkan ku ini!"

Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung 

melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih

berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.

Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si 

Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari 

sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celin-

gukan

"Busyet! Mengapa pandanganku berubah kem-

bali? Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah 

warna biru belaka? Monyet pitak! Kenapa jadi begini? 

Ke mana perginya nenek jelek tadi? Aneh! Apa yang 

terjadi sebenarnya?"

Merasa penasaran sekaligus heran, Andika ber-

kelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si ne-

nek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak 

dengan kening berkerut.

"Busyet! Ke mana manusia jelek itu? Wah, ja-

ngan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?" 

pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang ter-

jadi denganku barusan? Sepertinya seluruh pandan-

ganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat 

ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar 

Hitam berada? Aneh! Ada apa ini? Tetapi, sekarang 

aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata 

Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Bu-

ruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat men-

gembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga 

memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam 

dirinya."

Masih dengan rasa keheranan mengenai peru-

bahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samp-

ing juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari 

pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tem-

pat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia 

sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.

Andika memang tidak tahu apa yang terjadi de-

ngan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang di

lihatnya hanya warna biru belaka? Ia tidak tahu kalau 

ia dengan sengaja menyongsong serangan maut si Ca-

mar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar. Karena, 

gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu 

pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor 

telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disadarinya.

***


3


Matahari mulai condong ke barat ketika Andika 

tiba di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan. Di 

hadapannya berjejer bukit-bukit yang indah sekali. Di 

atas perbukitan itu bagai dipayungi oleh lentera merah 

yang dipancarkan oleh sinar matahari senja.

Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutuk-

an mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.

"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek 

Buruk Rupa? Bikin kepalaku pusing!" makinya tak ka-

ruan. Diambilnya permata biru yang berada di balik 

pakaiannya. Dipegangnya perlahan. "Hmm, masih agak 

panas. Brengsek! Apa sih sebenarnya kesaktian perma-

ta ini? Kenapa banyak yang menginginkannya? Lagi 

pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku 

yang ternyata memberikan permata ini padaku? Dan 

lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, se-

luruh penglihatanku hanya melihat warna biru bela-

ka?"

Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur 

itu membiarkan tubuhnya dihembusi angin senja yang 

sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.

Mendadak saja telinganya yang tajam mende-

ngar desisan liar dari samping. Seekor ular belang 

yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya se-

mak dan meluncur ke arah kaki Andika. 

"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar 

tubuhnya. Lalu kakinya menyentak. 

Preek! 

Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalir-

kan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di 

muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika men-

gambil ular yang telah dibunuhnya itu.

"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya. 

Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara 

liputan kabut. Dan mendadak saja terdengar suara ta-

wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan

"Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"

***

Suara itu datang dari samping Andika yang se-

gera menoleh. Terus terang, ia tak mendengar ada 

langkah di sekitarnya. Bahkan tak melihat sosok yang 

sepertinya sejak tadi berada di dekatnya.

Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut, 

tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian 

kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia ter-

senyum jenaka pada Andika yang terbelalak melihat 

betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mu-

lutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Ma-

tanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat 

seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-

tawa lincah dan nakal. Sukar untuk mengetahui mak-

na senyuman yang diperlihatkannya.

Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis 

dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak

kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayan-

gan?"

Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-

aduk-aduk. Matanya tak tahan lama-lama menatap si 

gadis yang masih tersenyum.

"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka 

masih tersenyum.

Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar 

urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.

"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang 

anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-

rohnya.

Bukannya marah mendengar selorohan Andika, 

gadis itu justru tertawa.

"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang 

jelek itu anak siapa?" 

Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia ber-

tanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jeli-

ta?"

"Kau telah membunuhnya." 

"Aku?" Andika mengerutkan keningnya. "Kok 

main tuduh sembarangan saja!"

"Apa yang ada di tanganmu itu?"

Andika mengangkatnya. "Ular!"

"Nah, itu si Jelitaku!"

Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang 

itu melotot. 

"Yang beginian kau namakan Jelita?"

Gadis itu mengangguk-angguk.

"Aku bersyukur karena kau berhasil membu-

nuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk mem-

bunuhnya."

"Mengapa? Katanya, ular ini binatang kesayan-

ganmu?"

"Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci ke

sayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel? Lagi pula, 

ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah 

kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik ku-

bunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!"

Meskipun heran mendapati gadis cantik di tem-

pat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plin-

plan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.

"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bu-

kan?"

"Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke 

rumahku."

Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia men-

dapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan men-

dadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main 

ketika melihat gadis di depannya tertawa.

"Kau lapar, kan? Nah! Ayo ke rumahku saja! Di 

sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak 

sebagai ucapan terima kasihku!"

Tawaran itu memang mengasyikkan sebenar-

nya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Ka-

kek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan 

untuk menolak. 

"Terima kasih. Masih ada urusan yang harus 

kulakukan."

"Kalau begitu, aku marah karena kau membu-

nuh ularku!"

"Hei!" Andika melotot tak mengerti. "Tadi kau 

mengatakan berterima kasih padaku karena aku 

membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah 

sekarang?"

"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku! 

Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau 

bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada 

yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga 

tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku sudah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh, 

anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak ta-

hu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si 

kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama, 

ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatan-

giku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terak-

hir setahun yang lalu, ketika usiaku sudah lima belas 

tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan kepan-

daiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia 

selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru 

hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi 

tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku 

sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku 

tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini 

kan cucunya satu-satunya."

Andika mengerutkan keningnya tak mengerti. 

Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya 

padanya? Kelihatannya ia memang merindukan ka-

keknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak 

mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dika-

renakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin, 

ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya 

padanya.

Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap 

dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.

"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal 

bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek me-

mang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di ma-

na! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba per-

silatan, hingga hidupnya selalu di mana saja. Tak me-

netap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia 

selalu berkelahi terus menerus. Kakekku itu hebat, ia 

tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik men-

jauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang 

mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang

menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepan-

daianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh, 

dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang 

rimba persilatan, ya?"

Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah 

bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya 

membuktikan ia bukanlah orang rimba persilatan. 

Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam 

ini diwariskan oleh darah kakeknya.

"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan ka-

kekku? Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua 

sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-cam-

ping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pa-

kaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak. 

Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeram-

kan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi 

seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bi-

us pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya 

dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di 

sebuah tempat. Semut-semut ganas mendatanginya 

dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali mem-

bayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu 

menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang. 

O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!"

Dari ketersimaannya mendengar penuturan ga-

dis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terle-

pas. Ia terbelalak pada gadis itu yang ganti me-

ngerutkan keningnya heran. 

"Kau kenapa? Kalau kau menolak ke rumahku, 

ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek 

kayak begitu?" si gadis bergidik. "Aku jadi ngeri."

Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa 

mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di ha-

dapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk 

Kakek Buruk Rupa?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya.

"Ya. Memangnya kenapa? Kau baru bertemu 

dengannya, ya?"

Andika ganti mengangguk.

"Oh! Di mana kau bertemu dengannya? Ajak 

aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada ka-

kek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih ce-

rah.

Andika menceritakan pertemuannya dengan 

Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis 

tidak menyinggung soal permata yang memancarkan 

warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si 

kakek memang pernah menceritakan permata itu pada 

gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut, 

ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya?

Andika mendengar gadis itu menarik napas 

panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.

"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari 

sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada, 

pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubu-

juk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudah-

lah... memahami sifat kakek tak cukup memakan wak-

tu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran 

yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak? 

Sebentar lagi malam?"

Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis 

itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin 

ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih dis-

elimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang be-

rada di balik pinggangnya sekarang.

Melihat Andika mengangguk, si gadis sungging-

kan senyum.

"Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Na-

mamu siapa? Kau pasti punya nama kan?"

Andika cuma tersenyum mendengar gurauan

gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu me-

mang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.

"Namaku Andika."

"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang! 

Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!"

Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar 

tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beririn-

gan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tiba-

tiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dile-

pas dari busurnya.

"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" se-

runya sambil tertawa.

Andika menggaruk-garuk kepalanya.

"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kui-

kuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali 

saja aku bisa mendapatkan keterangan tentang Kakek 

Buruk Rupa!" 

Selesai berpikir begitu, Andika pun segera me-

nyusul Suci yang sudah melesat jauh. 

***

Kakek Buruk Rupa benar-benar mengajarkan 

cucunya ilmu lari yang hebat. Meskipun dapat melam-

pauinya, Andika merasakan kehebatan ilmu lari gadis 

itu cukup lumayan meskipun masih tiga tingkat di ba-

wahnya.

Mereka memasuki sebuah jalan desa ketika 

rembulan tepat di tengah kepala. Selama berlari, tak 

sekali pun Suci berhenti.

Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati 

gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama. 

Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau 

ayahku tanya, katakan kau temanku sejak lama, ya? 

Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."

"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.

"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti ti-

dak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apa-

apa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti, 

aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya? Kau 

janji, ya?"

Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memu-

tuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata 

Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindu-

kan kakeknya.

"Mengapa kau diam saja?"

"Aku belum tahu harus menjawab apa."

"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya, 

bukan? Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermain-

main dengannya." 

Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Ma-

sih jauhkah rumahmu?"

Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk ru-

mah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada se-

macam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah 

itu cukup tinggi.

"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pa-

da ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku 

ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya? Kau akan men-

jadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya."

Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia 

berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.

Keduanya terus melangkah. Tiba di depan ru-

mah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang 

berdiri di sana dan sedang merokok bergegas meng-

hampiri, 

"Den Suci!"

Suci meletakkan telunjuknya di bibir.

"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"

"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut

yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika. 

Seperti menemukan maling jemuran!

"Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu me-

noleh pada Andika, "Ingat kata-kataku tadi ya? Jangan 

sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat si-

kapmu ini, kayaknya kau termasuk orang yang cere-

wet!"

Andika yang hendak menganggukkan kepala, 

jadi urung dan keluarkan dengusan. "Brengsek! Gadis 

ini benar-benar pandai omong! Tetapi masa bodohlah! 

Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Bu-

ruk Rupa," desisnya dalam hati.

Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wa-

jah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tan-

gan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya mema-

suki halaman yang cukup lebar.

Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di 

depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban 

Suci dengan pemuda yang menurut pandangan me-

reka itu, kumal sekali.

Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den 

Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang 

tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua 

orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang 

penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebe-

lum tiga orang yang diutusnya itu menemukan pu-

trinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pe-

muda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.

***

4


Ayah Suci bernama Haryo Adilekso. Laki-laki

itu berperawakan cukup gemuk. Wajahnya bulat. Ia 

memiliki kulit yang bersih. Pandangan matanya bijak-

sana, penuh kebajikan. Sedangkan ibunya bernama 

Hartati. Seorang wanita yang selalu menekankan pada 

kelembutan dan sopan santun yang tinggi. Wanita itu 

amat menyayangi Suci, hingga kepergian Suci yang 

tanpa pamit, membuatnya bagai kehilangan suk-

manya. Tetapi, kemunculan Suci yang tak disang-

kanya, membuatnya segera bangkit dari kamarnya. Pa-

dahal, sejak pagi ia tidak makan apa-apa. Tak ada ke-

nikmatan menikmati hidangan lezat selagi putrinya ti-

dak ada di sisinya.

Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia lang-

sung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu den-

gan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal, 

ya?"

Ibunya tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ta-

ngannya membelai rambut putrinya yang panjang.

"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya 

lembut.

"Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci ke-

sayanganku dimangsa oleh si Jelita? Aku kesal kan, 

Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh." 

Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika 

yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan 

duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia 

kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang 

lembut itu jadi kebingungan.

Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika 

Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci 

berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia ber-

kata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku. 

Yah. Bu. Namanya Andika."

Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil 

tersenyum.

Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah 

menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu 

bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau 

Suci mempunyai seorang sahabat seperti kau, Andika. 

Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?"

Seperti yang telah direncanakan, Andika men-

gatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan 

main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya 

bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakal-

nya.

Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun 

pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi, 

laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baik-

baik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menun-

dukkan kepala.

"Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu, 

bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpa-

mitan kepada kami."

"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pa-

da si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak 

kecil Suci merawatnya dan selalu bermain-main de-

ngannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan 

Suci."

Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata 

wayang ini.

"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat 

saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di bela-

kang."

"Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya 

masih jengkel menyadari kalau ia seperti diperalat oleh 

Suci.

Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau 

tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, seka-

rang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.

"Kamu belum makan, kan?" katanya pada An

dika. "Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!"

Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawa-

bannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke 

ruangan yang cukup besar.

Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap pu-

trinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka 

telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa ha-

rus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci?

Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Piki-

rannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan 

apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun 

diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebe-

narnya hendak mencari kakeknya.

Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat ke-

lakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Bu-

ruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berde-

katan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hi-

dup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya 

adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu 

harus menurunkan tangan keras guna pertahankan 

hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang 

berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan 

menghentikan semua sepak terjangnya. Namun seba-

gai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa meno-

lak permintaannya.

***

Sudah dua malam Andika tinggal di rumah be-

sar itu. Dan terus terang, keadaan ini sangat menyik-

sanya. Ia tak betah tidur di kasur empuk dan menik-

mati makanan lezat yang dihidangkan. Tetapi, rasa in-

gin tahunya tentang Kakek Buruk Rupa yang menu-

rutnya bisa diketahui dari Suci, memaksanya untuk 

membuang segala kebosanannya.

Di kamar yang disediakan, Andika berusaha 

memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Per-

mata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya 

seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap 

permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia 

berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandung-

nya, semakin buntu rasanya.

Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam 

permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang 

dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan 

apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak 

bergerak sedikit juga.

"Rahasia apa yang terkandung di dalam perma-

ta ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi 

pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek 

Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku? Ka-

lau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu 

teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini? 

Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada 

Suci."

Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajak-

nya bermain-main di Lembah Wangi, di mana terdapat 

ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, An-

dika mengemukakan keingintahuannya.

Suci yang sedang tertawa sambil mengejar se-

ekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepa-

lanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ke-

tika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?"

Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon 

rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang 

sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke pen-

juru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di si-

sinya.

Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja 

memegang tangan Andika.

"Apakah kau ingin mengajakku mencari ka-

kek?"

Andika menggelengkan kepalanya.

"Lalu, apa yang hendak kau katakan?"

Ditatapnya gadis itu yang masih memperli-

hatkan wajah riang.

"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu ka-

kekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang per-

mata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut 

sebatang alang-alang, lalu dihisap-hisapnya. Manis.

Suci memandang Andika. "Permata bersinar bi-

ru? Permata apakah itu, Kang? Baguskah?"

Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti 

itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu 

menahu soal permata biru itu.

"Ceritakan tentang kakekmu."

"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek? 

Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek."

Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia 

bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.

"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan 

kakekmu."

Kali ini Suci tersenyum. "Kakek orang yang ra-

mah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan 

siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak 

bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, ka-

kek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin mem-

besar saja pada kakek."

Andika pun tak meneruskan pertanyaannya. 

Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembica-

raan soal Kakek Buruk Rupa harus dihentikan. Karena 

jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya. 

Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau ga-

dis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang 

memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak

memberitahukannya.

Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepan-

jang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus me-

nerus meminta Andika mengajaknya serta mencari ka-

keknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!

***

Malam kembali bentangkan sayapnya. Sang ra-

tu malam kembali berada dalam perjalanannya me-

nyongsong matahari. Kegelapan dan kesunyian malam 

payungi desa di mana Suci tinggal dan Andika mengi-

nap.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutuk-

an itu kembali duduk di atas ranjangnya. Matanya tak 

berkesip memandang Permata Sakti yang memancar-

kan sinar warna biru di tangannya. Otaknya kembali 

diperas guna memecahkan rahasia apa yang dikan-

dung permata biru itu. Namun lagi-lagi buntu.

Dan mendadak saja pendengarannya yang ter-

latih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwun-

gan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi 

kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung 

dimasukkan kembali ke balik bajunya.

Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat ke-

adaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.

"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari 

penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar 

dan langsung berkelebat ke atas.

Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun 

ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain ke-

cuali dirinya.

"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan 

dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan. 

Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa

gerangan dia!"

Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandan-

gannya samar melihat bayangan melompat ke bawah. 

Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih 

penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk 

ke kamar Suci.

"Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayan-

gan itu, Andika kibaskan tangannya.

Wusss!! 

Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusa-

ha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika me-

nangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memu-

tar tubuh dan melompat ke samping.

Andika tak mau membuang waktu, ia langsung 

berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh 

hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik 

kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika di-

buatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan 

sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.

"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau 

akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia mem-

buat gerakan seperti melompat. Dugaannya tepat ka-

rena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh. 

Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebe-

narnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihada-

pannya bergulingan, ia langsung menyergap.

Tap!

Kedua tangannya menangkap tangan orang itu, 

lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan ter-

tahan.

"Aaaakhhh!!"

Justru Andika yang langsung melepaskan kun-

cian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat 

orang itu menjatuhkan tubuh dan mendengus panjang 

pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat

pitingan Andika.

"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian, 

terdengar suaranya jengkel, "Mau apa kau memata-

mataiku, Suci?!"

Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat ke-

palanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik 

kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terden-

gar seruannya.

"Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-

ka mendengus. Benar-benar jengkel melihat wajah 

orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit, 

tak mustahil kedua tangan gadis itu patah dibuatnya! 

"Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Meng-

apa kau melakukan tindakan seperti ini, hah?." 

"Karena Kang Andika akan pergi!"

"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan me-

ninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"

"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku ser-

ta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan 

sarat dengan kesalahan. "Aku tahu, karena Kang An-

dika belum juga mengiyakan permintaanku."

"Aku memang tak akan mengajakmu! Melihat 

sikapmu seperti ini apa aku tak akan mengalami kesu-

litan bila bersamamu, hah? Lagi pula, aku ingin sendi-

ri." 

"Aku bisa menjaga diri." 

"Dan aku tak ingin mendapatkan sulit dan re-

pot karenamu! Masuk kembali ke kamarmu, Suci! Ja-

ngan kau lakukan tindakan seperti ini lagi!!" suara An-

dika tegas, meskipun rasanya ia tidak tega membentak 

gadis ini terus menerus.

Suci menundukkan kepalanya. Rasa bersalah 

menjalari hatinya hingga ia tak mampu berkata apa-

apa. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menatap 

Andika. Yang ditatap membuang muka. Hatinya masih

kesal. Justru melihat sikap Andika, rasa bersalah di 

hati Suci makin membesar.

Perlahan-lahan terdengar suaranya pelan, agak 

bergetar, "Maafkan aku, Kang Andika. Aku janji, tak 

akan berbuat seperti ini lagi."

Andika tak menjawab.

Suci sadar kalau Andika marah akan perbua-

tannya. Dengan hati sedih ia melangkah masuk ke ka-

marnya. Tak ada maksud apa-apa ketika ia mencoba 

melihat keadaan Andika, kecuali ingin mengetahui 

apakah Andika akan meninggalkannya atau tidak. Te-

tapi, Andika keburu memergokinya.

Sementara Andika yang masih jengkel dengan 

sikap Suci, merasa saat inilah yang terbaik untuk se-

gera meninggalkan gadis itu. Hatinya masih banyak di-

liputi pertanyaan yang merisaukan dan membingung-

kannya.

Begitu Suci masuk dan mengunci kamarnya, 

Andika langsung mengemposkan tubuh tinggalkan 

tempat itu. Hal inilah yang terbaik menurutnya.

Namun, tanpa sepengetahuannya, satu sosok 

tubuh yang sejak tadi melihat dari wuwungan mende-

sis, "Kini aku tahu... kalau Permata Sakti itu berada di 

tangan Pendekar Slebor. Sekian lama aku mencari je-

jak Kakek Buruk Rupa, dan ketika kudapatkan kete-

rangan kalau rumah ini adalah tempat tinggal anak 

dan cucunya, kudatangi tempat ini. Dan yang kulihat 

sekarang, Pendekar Slebor-lah yang memilikinya. Ten-

tunya ia tak menyangka kalau aku sejak tadi sudah 

melihat permata itu saat dikeluarkan dari balik pa-

kaiannya. Untungnya, gadis manja itu mendadak 

muncul hingga kehadiranku tak diketahuinya. Hhh! 

Akan kudapatkan Permata Sakti itu darinya!"

Memikir sampai di situ, sosok tinggi besar den-

gan baju panjang itu pun melesat turun menyusul

Pendekar Slebor. Gerakannya sangat ringan sekali, tak 

ubahnya bagai sehelai kapas yang bergerak dimainkan 

angin.

***

5


Ketika Andika tiba di sebuah sungai yang san-

gat lebar, siang sudah meranggas. Suasana di tepi 

sungai itu cukup nyaman, karena dipenuhi banyak 

pepohonan.

"Sial! Bagaimana caraku untuk melewati sungai 

yang panjang dan luas ini untuk sampai ke seberang? 

Bila saja aku bisa berjalan di atas air, tentunya dengan 

mudah aku bisa menyeberang sungai yang berair deras 

ini!" dengus Andika sambil memperhatikan aliran sun-

gai yang deras.

Digunakan akalnya untuk memecahkan masa-

lah di depannya. Lalu nampak ia melangkah mengam-

bil potongan dahan pohon. Dibawanya kembali ke tepi 

sungai.

"Dengan bantuan ranting pohon ini, aku bisa 

melewati sungai. Akan kulemparkan ranting-ranting 

ini secara serempak. Namun sulitnya, aliran sungai ini 

begitu deras. Bisa-bisa sebelum aku melompat, ran-

ting-ranting ini sudah jauh dibawa aliran sungai! Hhh! 

Sial! Apakah aku harus balik lagi? Tetapi, jalan satu-

satunya yang bisa kugunakan adalah merenangi sun-

gai ini."

Selagi Andika memikirkan kemungkinan cara 

yang hendak digunakannya, sebuah sampan yang di-

kayuh oleh seorang laki-laki bertudung caping, me-

luncur dari arah kanan sungai.

Seketika Andika melambaikan tangannya.

Orang dalam sampan, menghentikan sampan-

nya. Bambu kayuhnya yang cukup panjang dihujam-

kan ke dasar sungai hingga sampannya berhenti dan 

dipermainkan air.

"Ada apa, Orang Muda?" tanyanya.

Andika berusaha melihat wajah orang di sam-

pan itu. Namun tak bisa karena sebagian wajahnya di-

tutupi caping bambu kusam.

"Orang tua... bisakah kau mengantarku ke se-

berang sungai?"

"Hendak ke manakah kau, Orang Muda?"

Terus terang, Andika memang tidak tahu hen-

dak ke mana. Yang menjadi tujuannya adalah mencari 

Kakek Buruk Rupa. Untuk menjawab pertanyaan si 

pemilik sampan ia berkata, "Aku hanya ingin ke sebe-

rang dan melanjutkan perjalananku."

"Aku mencari nafkah dengan sampanku, Orang 

Muda."

Andika mengerti apa maksud orang itu. Ia ber-

kata, "Aku akan membayarmu...." 

"Naiklah!"

Andika melompat ringan, hinggap di dasar sam-

pan yang tak bergerak sedikit juga. Kalau bergerak, itu 

dikarenakan sampan masih dimainkan oleh arus sun-

gai.

"Kita akan memotong aliran sungai, Orang Mu-

da."

Ketika si tukang sampan mengangkat kayuh-

nya, sampannya meluncur. Lalu dengan cekatan sekali 

ia menahannya kembali. Lalu perlahan-lahan sampan 

itu mulai bergerak ke tengah.

Diam-diam Andika kagum dengan kelincahan si 

tukang sampan. Ia mampu kendalikan sampannya di 

arus sungai deras semacam ini. Deburnya terdengar

cukup memekakkan. Andika sendiri kerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya, dengan maksud memudahkan 

si tukang sampan mengendalikan sampannya.

Dari balik caping bambunya, sepasang mata si 

tukang sampan memancarkan sinar merah menatap 

tubuh Andika yang berdiri menghadap ke muka. Men-

dadak saja, ia lepaskan kayuhnya. Hingga sampannya 

deras meluncur.

Andika terperanjat. Ia mengendalikan tenaga 

dalamnya karena sampan oleng. Sementara tangan si 

tukang sampan yang sengaja melepaskan kayuhnya, 

terulur. Siap menjambak rambut Andika.

Namun mendadak saja Andika memiringkan 

kepalanya. Lalu memutar tubuh dengan satu jotosan 

dari bawah. Si tukang sampan terperanjat melihat ge-

rakan yang tak disangkanya sama sekali. Jotosan yang 

cepat itu memang tak mungkin untuk dielakkan.

Namun, si tukang sampan bukanlah orang 

sembarangan. Ketika tangan Andika menjotos, cepat 

pula ia menarik tangan kanannya menekuk.

Des!

Akibat benturan itu, sampan menjadi oleng dan 

semakin kencang bagai digusur oleh air.

Andika sunggingkan senyum. "Manusia busuk! 

Bokongan semacam ini tak berguna sama sekali! Ka-

takan, siapa kau adanya?"

Si tukang sampan mencabut capingnya dan ter-

lihatlah seraut wajah kasar dengan hidung besar. 

Rambutnya yang digelung ke atas menjuntai panjang. 

Ia membuka pakaian kumalnya, yang nampak pakaian 

warna hitam sekarang. Panjang dengan celana hitam 

pula. Wajahnya dipenuhi jerawat masak. Ia tertawa.

Sampan itu terus meluncur.

"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau dijuluki 

orang nomor satu di rimba persilatan ini, Pendekar

Slebor! Hanya sayangnya, siang ini kau berjumpa de-

ngan si Rase Maut!"

Andika cuma mendengus. "Kau pantasnya ber-

juluk si Tikus Jelek!" seringainya. Ketika tadi Andika 

melihat sampan itu datang, ia sama sekali tak mendu-

ga apa-apa kecuali menyangka orang itu memang ke-

betulan lewat. Namun, cara orang itu menahan perahu 

dari derasnya air sungai, seketika Andika bisa melihat 

kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang hebat. Be-

lum lagi saat ia melompat tadi, masih dilihatnya pa-

kaian orang itu di balik pakaian kumalnya. Berwarna 

hitam. Kecurigaannya makin membesar ketika men-

gingat akan tudung bambu yang dikenakan si tukang 

sampan. Tak seperti biasanya seorang tukang sampan 

mengenakan tudung bambu begitu lebar hingga me-

nenggelamkan sebagian wajahnya. Andika pun men-

gambil posisi siap menghadapi segala kemungkinan.

"Haram jadah! Nyawamu sudah berada di ta-

nganku, Pendekar Slebor! Sebaiknya, kau serahkan 

permata itu kepadaku!!"

Kalau sejak tadi Andika sudah mencurigai si 

tukang sampan, kali ini ia jadi kaget. Karena orang 

yang berjuluk si Rase Maut itu mengetahui tentang 

Permata sakti biru yang diberikan Kakek Buruk Rupa 

kepadanya

Diam-diam hatinya mendesis, "Bagaimana 

orang ini bisa tahu kalau permata itu ada padaku? 

Hm, dugaanku hanya satu. Ia pasti mengintipku. Teta-

pi, tak mungkin ia bisa lolos dari pendengaranku. Oh! 

Kini aku tahu sekarang. Ketika Suci mencoba memata-

mataiku, manusia ini pasti lebih dulu melihatnya dan 

aku tak menyangka sama sekali. Karena dugaanku, 

hanya Sucilah yang melakukan tindakan seperti itu. 

Sungguh konyol!"

Memikir sampai di situ Andika cuma mengang

kat kedua bahu.

"O... jadi Permata Sakti biru itu yang kau ingin-

kan? Bila memang begitu, mengapa kau tidak segera 

mengambilnya?"

Kelam wajah penuh jerawat itu. Dan satu lom-

patan sudah menderu ke arah Andika, cepat, menim-

bulkan dorongan angin hebat.

Rase Maut menunjukkan kelasnya dalam ilmu 

meringankan tubuh. Gerakan yang dilakukan dengan 

satu dorongan tenaga dalam tinggi itu seharusnya 

membuat sampan oleng, namun tidak sama sekali.

Andika sendiri membuat gerakan yang menak-

jubkan. Tubuhnya melompati tubuh si Rase Maut yang 

menggempurnya. Namun di luar dugaannya, Rase 

Maut justru membiarkan tubuhnya dilompati Andika. 

Bersamaan tubuh Andika melompat, telunjuk tangan 

kanannya menotok.

Tuk! Tuk!

Gerakan Andika jadi limbung. Seharusnya ia 

hinggap kembali di dasar sampan dengan kedua kaki 

tegak. Akibat totokan yang dilakukan oleh si Rase 

Maut, ia jatuh dengan posisi tubuh tengkurap.

Laki-laki tinggi besar yang mengintip Andika 

semalam itu terbahak-bahak. "Rimba persilatan akan 

berkabung dengan kematianmu, Pendekar Slebor!" 

Sehabis berkata begitu, si Rase Maut angkat 

sebelah kakinya. Dengan tenaga dalam tinggi, ia men-

jejak kepala Andika.

"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!!"

Namun di luar dugaannya, Andika yang kelihat-

an tak berdaya, mendadak mencelat naik, berputar di 

atas lalu hinggap di ujung sampan. Terdengar tawanya 

yang mengejek si Rase Maut.

"Wah, kupikir totokan itu benar-benar hebat! 

Rupanya cuma pantas dilakukan pada tikus got, ya?"

Merah padam wajah Rase Maut menyadari ka-

lau ia tengah dipermainkan oleh Pendekar Slebor. Ke-

tika Rase Maut menotoknya, Andika yang memang su-

dah alirkan tenaga dalamnya, mampu menahan to-

tokan itu. Tetapi dasar urakan, di saat maut sudah di 

ambang mata ia masih bertingkah saja. Setelah ter-

kena totokan itu, ia berlagak ambruk. Padahal dalam 

hatinya terbahak-bahak melihat bagaimana si Rase 

Maut sudah berbesar hati melihat gebrakan perta-

manya membawa hasil.

Penuh gerengan amarah. Rase Maut menerjang 

lagi. Tetapi Andika justru menjejakkan kakinya di da-

sar sampan. Sampan yang tertahan karena tenaga da-

lam yang dikerahkan oleh si Rase Maut, bagai anak 

panah terlepas dari busur.

Wusss!

Sampan itu bergerak cepat, kembali dimainkan 

air. Sedangkan tubuh si Rase Maut jadi limbung, se-

rangannya terhenti seketika.

"Busyet! Kau ini lebih pantas jadi penari jaipong 

di kotapraja, ya? Eh! Kalau senggang, bagaimana ka-

lau kau mengajari aku?" ejek Andika nyengir.

Rase Maut menggeram keras. Ia kendalikan lagi 

posisi tubuhnya. Lalu menerjang dengan jotosan ke 

muka.

Namun lagi-lagi Andika menjejakkan kakinya di 

dasar sampan. Kali ini sampan bukan hanya ber-

goyang, melainkan pecah berantakan. Secepat itu pula 

Andika lompat dan hinggap di salah satu pecahan 

sampan. Tubuhnya mengapung dengan tenaga dalam 

yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya.

Sementara si Rase Maut yang sebelumnya su-

dah menebak kalau Andika akan menjejakkan kakinya 

kembali, berhasil kendalikan diri. Namun, ia tidak me-

nyangka kalau Andika justru akan menghancurkan

sampan. Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya pun jatuh 

ke sungai yang mengalir deras itu.

Byuuur!

Laki-laki berbaju hitam itu gelagapan terbawa 

air. Andika melambaikan tangannya. Menirukan suara 

perempuan genit, ia berkata, "Aduh, Kang! Kenapa sih 

kau mau mandi di sungai yang kotor ini? Ih! Sampai 

jumpa, ya?"

Bukan buatan geramnya si Rase Maut. Ia ber-

usaha untuk keluar dari gulungan air sungai. Ketika 

dilihatnya sebuah pecahan sampan mendekatinya, ia 

bersiap untuk meloncat dan hinggap di pecahan sam-

pan itu.

Tetapi mendadak saja kayu pecahan sampan 

itu, melompat dan mencelat ke atas. Ketika ia putar 

kepalanya, dilihatnya Andika terbahak-bahak.

"Maaf ya? Kayu itu terlalu jelek untukmu! Jadi 

kupikir, lebih baik dibuang saja!!"

Namun di luar dugaan Andika, si Rase Maut te-

lah mempergunakan ajian andalannya, 'Rase Lompati 

Pagar Api'. Tubuhnya mendadak mencelat dari dalam 

air, mengalahkan suara gemuruh. Bahkan dalam jarak 

yang cukup jauh dengan Andika, seharusnya sangat 

sulit bagi Rase Maut untuk langsung menyerang.

Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan 

itu!

Begitu tubuhnya mencelat dari dalam air, joto-

san tangan kanan dan kiri siap dihadiahkan kepada 

Andika. Andika cukup tersentak dibuatnya.

Ia segera angkat tangan kanan dan kirinya.

Des! Des! 

Jotosan Rase Maut yang mengandung tenaga 

dalam tinggi itu tertahan oleh tangkisannya. Namun 

Rase Maut kembali menunjukkan kelasnya, kalau ia 

memang seorang lawan yang patut diperhitungkan.

Masih berada di udara, tubuhnya berputar setengah 

lingkaran dan kakinya dikibaskan.

Des!

Tendangan itu tepat mengenai dada Andika. Ke-

seimbangannya oleng seketika. Rase Maut yang me-

rasa kalau lawan sudah kendor serangannya, menyu-

sulkan tendangan beruntun.

Berkali-kali tubuh Andika terhantam tendan-

gan kerasnya. Tubuhnya limbung berkali-kali. Pecahan 

kayu yang diinjaknya bergoyang. Dalam pikiran Rase 

Maut, Andika akan jatuh ke air saat itu juga, tetapi se-

telah tubuhnya oleng, Andika berdiri tegak kembali.

Sesuatu yang aneh dirasakan oleh pemuda 

urakan itu.

"Sinting! Mengapa pandanganku berubah men-

jadi biru kembali dan tak kulihat kembali apa-apa 

yang ada di hadapanku. Busyet! Mengapa hal ini ter-

jadi? Ada apa sebenarnya? Sulit bagiku untuk melihat 

Rase Maut berada. Jangan-jangan dia menyerangku? 

Tetapi, apa yang kulihat sekarang hanya warna biru 

belaka tanpa ada sesuatu yang kukenal. Semuanya 

kosong."

Selagi Andika dihinggapi perasaan tak menen-

tu. Rase Maut yang sudah hinggap di pecahan sam-

pan, kembali menerjang. Menghajar Andika membabi-

buta, yang seolah membiarkan dirinya dihantam terus 

menerus. Namun sampai sejauh itu, ia seolah tak me-

rasakan betapa kerasnya hajaran si Rase Maut. Jatuh 

dan tegak lagi tanpa membalas.

Sudah tentu hal itu mengejutkan si Rase Maut. 

Kalau tadi Andika tak akan membiarkan pukulannya 

masuk, kali ini justru membiarkannya dipukuli.

"Gila! Ilmu apa yang dipakainya? Tetapi, men-

gapa ia tidak membalas? Peduli setan! Akan kuhajar 

habis-habisan!"

Namun apa yang terjadi kemudian, Andika te-

tap menerima dan tak membalasnya sekali pun, hingga 

akhirnya Rase Maut yang terkuras tenaganya.

"Ada apa ini? Ilmu apa yang dimilikinya?" seru-

nya heran.

Dihentikan serangan dan siap menunggu bila 

Andika menyerang. Tetapi sampai beberapa kejap, tak 

ada serangan yang dilakukan Andika. Justru saat ini 

Andika yang sedang berada dalam keheranannya ka-

rena pandangannya yang hanya menemukan suasana 

berwarna biru kini kembali seperti biasa.

"Busyet! Kenapa ini? Jangan-jangan.... Aku te-

lah lama dihinggapi setan gentayangan?" Dan begitu 

melihat sosok Rase Maut di hadapannya dia berkata 

yang membuat kening Rase Maut berkerut,

"Lho? Kau bisa menyelamatkan diri rupanya, 

ya? Hebat-hebat!!"

Rase Maut mendidih amarah yang menyelimuti 

tubuhnya. Ia merasa diejek dengan kata-kata Andika 

itu.

"Keparat hina! Kuhajar kau!!" makinya.

Dalam sangkaannya, Andika akan kembali 

membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan, namun 

begitu Rase Maut menggerakkan kakinya, Andika jus-

tru melompat dan membuat gerakan memutar. Kaki-

nya tepat menghajar kepala si Rase Maut yang lang-

sung terjungkal kembali ke dalam air.

"Wah! Kau ini jangan-jangan belum mandi, ya? 

Ya, mandi dululah kalau begitu!" seloroh Andika dan 

melihat Rase Maut gelagapan. Tendangan telak yang 

mengenai kepalanya membuatnya pusing dan sukar 

mengendalikan diri lagi. Apalagi air deras itu telah 

menggulungnya.

Sementara itu Andika masih memikirkan kea-

nehan yang terjadi. pada dirinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa pandanganku seolah melihat 

ruang warna biru yang besar? Lalu kejap lain kembali 

normal?" Kejap lain, pemuda urakan berbaju hijau pu-

pus ini sudah mendengus, "Masa bodohlah! Yang ku-

tahu sekarang, Rase Maut pun menginginkan Permata 

Sakti ini!"

Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, An-

dika membawa pecahan kayu di mana ia berdiri ke te-

pian. Masih berjarak tiga tombak, dia segera melom-

pat.

Hup!

Sekarang, ia hinggap di seberang sungai. Dili-

hatnya bagaimana Rase Maut berusaha untuk men-

gendalikan dirinya. Sumpah serapah yang panjang ter-

dengar di telinga Andika. Sebenarnya, Andika ingin 

menolong Rase Maut yang tengah gelagapan. Tetapi 

menurutnya, biarlah orang itu mendapat pelajaran dari 

niat busuknya.

Setelah tubuh si Rase Maut yang tergulung de-

rasnya air sungai menghilang, Andika terdiam. Ma-

tanya memandangi sungai itu.

"Hmmm... memang banyak yang menginginkan 

Permata Sakti biru ini, padahal aku sendiri tidak tahu 

apa rahasia yang ada di balik permata ini. Jalan satu-

satunya, aku memang harus memecahkannya. Namun 

yang lebih penting lagi, aku harus temui Kakek Buruk 

Rupa yang menyebalkan itu! Tetapi, mengapa dua kali 

aku merasa aneh. Bahkan aku tidak tahu ketika Ca-

mar Hitam mendadak menyerang kembali. Juga, saat 

Rase Maut muncul dari dalam air tadi. Busyet! Kenapa 

ini?"

Memikir begitu, Andika pun putar tubuhnya. 

Namun ia urung melangkah, karena satu sosok jelita 

berdiri di hadapannya dengan senyuman di bibir.

***

"Uh! Mau apa sih kau ke sini?" maki Andika de-

ngan kepala yang mendadak jadi pusing. Matanya me-

lotot gusar. "Aku paling tidak suka dibuntuti!"

"Lho, siapa yang membuntuti Kang Andika? 

Aku keluar dari rumah karena ingin mencari kakek! 

Kok, kecakepan sekali Kang Andika ini kalau aku mau 

melakukan hal itu!" kata sosok jelita di hadapannya 

dengan senyum mengejek bertengger di bibirnya yang 

memerah ranum. Ia tak lain adalah Suci.

Andika mendengus dalam hati. "Sial! Rupanya 

diam-diam ia mengetahui aku pergi. Hebat juga ilmu 

meringankan tubuh yang dipelajari gadis ini dari ka-

keknya! Lalu katanya, "Lebih baik kau kembali ke ru-

mahmu, Suci!"

"Tidak mau! Aku ingin mencari kakek!"

Di balik keriangannya gadis ini ternyata juga 

seorang yang keras kepala.

"Perjalanan yang akan kau tempuh sangat sulit, 

karena kau sendiri tidak tahu di mana kakekmu ber-

ada."

"Bersama dengan Kang Andika, apa yang kuta-

kutkan? Tadi kulihat bagaimana Kang Andika me-

ngalahkan si tukang perahu itu! Lagi pula, aku bisa 

berjalan sendiri. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa ber-

buat apa-apa sendiri. Aku cuma ikut dengan Kang An-

dika. Kalau sudah kutemukan kakekku, aku akan pu-

lang. Itu saja, kan? Apa yang merepotkan Kang Andika 

kalau begitu? Buktinya, aku bisa menyeberangi sungai 

ini, karena aku tahu ada jembatan gantung di sebelah 

barat sana."

Kali ini Andika keluarkan napas pelan. Yang 

cukup merepotkannya, karena ia pun hendak mencari 

Kakek Buruk Rupa. Dan bukan mustahil ia sendiri tidak akan menemukan si orang tua kumal itu.

Kalaupun soal mencarinya memang bukan ma-

salah besar, akan tetapi, soal Permata Sakti biru inilah 

yang ia pikir akan merepotkannya.

"Aku yakin, kepergianmu ini tak diketahui oleh 

kedua orangtuamu."

"Biasanya memang seperti itu. Soalnya, mereka 

bisa marah kalau aku pergi lagi. Lebih-lebih bila me-

reka tahu kalau aku mencari kakek."

"Kau bukan hanya akan membuat kedua 

orang-tuamu cemas, Suci... tetapi kau telah membo-

honginya."

Kali ini Suci kelihatan kikuk.

"Habisnya, aku kan rindu kakek. Kalau kuka-

takan aku hendak mencari kakek, mana mereka men-

gizinkan?"

"Kau terlalu sering membohongi kedua orang 

tuamu."

"Kalau sudah kutemukan kakek dan kakek 

mau tinggal bersamaku, kan tak ada lagi yang perlu 

kubohongi."

"Bagaimana kalau kakekmu menolak?"

"Bila kakek mau berjanji untuk mendatangiku 

sebulan atau beberapa bulan sekali, sudah cukup 

memuaskanku. Pokoknya, aku harus bertemu kakek."

"Kalau begitu lebih baik kau...."

Wusss!

Andika sudah berkelebat cepat dan mempergu-

nakan ilmu meringankan tubuhnya menjauhi Suci.

Gadis itu menjerit kaget, "Kang Andikaaa!!"

Bagi Andika, yang terpenting adalah keselama-

tan Suci. Karena ia yakin, akan banyak orang-orang 

yang muncul hendak merebut Permata Sakti biru yang 

ada di balik bajunya.

Senja sudah menurun ketika Andika memasuki

sebuah hutan. Ia celingukan sebentar dari balik se-

buah pohon. Ketika ia yakin kalau Suci tidak akan 

berhasil mengejarnya, ia pun keluar dari sana sambil 

tarik napas panjang.

"Hmmm.... Suci pasti tak bisa lagi mengikutiku. 

Sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik aku cari 

kelinci atau ayam hutan yang bisa kujadikan penggan-

jal perut. Mudah-mudahan Suci sadar akan keke-

raskepalaannya dan kembali lagi ke rumahnya."

Selang beberapa saat, nampaklah Andika se-

dang asyik memanggang daging seekor kelinci. Aro-

manya sangat mengundang selera sekali.

Dan ketika ia sedang mengerat daging itu, lalu 

siap dimakannya, tiba-tiba saja terdengar suara, "Ih! 

Kau jahat sekali kalau tidak mengajakku menikmati 

lezatnya daging kelinci itu, Kang Andika!!"

***

6


Sementara itu, di tempat yang sangat jauh dari 

tempat di mana Andika berada, Kakek Buruk Rupa se-

dang duduk di sebuah batu besar. Cukup aneh me-

mang, batu besar itu ada di tengah-tengah sebuah hu-

tan belantara yang lebat.

Dari cara duduk dan wajahnya yang berkerut, 

jelas sekali ada yang dipikirkan. Orangtua kakek dari 

Suci itu memang tengah memikirkan tentang Permata 

Sakti biru yang lima belas tahun lalu ditemukannya.

Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hati-

nya. Karena, ia sama sekali belum berhasil memecah-

kan rahasia apa yang ada di balik batu Permata Sakti 

itu. Yang diketahuinya, begitu banyak orang yang

menginginkan Permata Sakti itu.

Lalu pikirannya tiba pada Pendekar Slebor.

"Pemuda itu memiliki otak yang cerdik. Maka-

nya, aku rela menyerahkan Permata Sakti itu padanya. 

Karena aku berharap, dengan kecerdikannya ia berha-

sil memecahkan rahasia permata itu," orang tua itu 

bergumam sambil usap jenggot putihnya. "Yah, di tan-

gannyalah aku berharap rahasia permata itu terpecah-

kan." 

Angin malam berhembus dingin, namun tak di-

hiraukan oleh Kakek Buruk Rupa yang mengenakan 

pakaian acak-acakan. Rambut panjangnya yang tutupi 

wajahnya, tergerai. Hanya sesaat, karena kemudian 

kembali lagi pada posisinya.

Tiba-tiba, si orang tua membentak, "Tamu tak 

diundang. Mengapa harus mengintip. Nanti matamu 

bintit. Silahkan keluar, karena bila kau bermaksud ja-

hat, kau telah dinanti ajal!!"

Seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh 

lima tahun, melengak di atas sebuah pohon. Dari tadi 

laki-laki berwajah tengkorak dan tubuh kurus kerem-

peng itu berada di sana dan memperhatikan Kakek 

Buruk Rupa yang duduk di atas sebuah batu besar. 

Rambut panjangnya awut-awutan. Karena malu di-

ketahui kehadirannya, tanpa disadari olehnya, ia me-

lompat turun sambil terbahak-bahak.

Ketika ia berdiri di atas kedua kakinya yang ku-

rus, terlihat sebuah tambang yang besar di panggul di 

bahu kirinya. Dari cara ia memanggul tambang besar 

tanpa menimbulkan kesulitan baginya, sudah bisa di-

pastikan ia bukan orang kebanyakan.

"Mata dan telinga tuamu ternyata masih awas, 

Kakek Buruk Rupa. Cukup senang aku bisa melihat 

kehebatanmu itu!" Orang yang baru turun itu terba-

hak-bahak kembali.

Sedangkan Kakek Buruk Rupa tak bergerak se-

dikit juga dari duduknya yang membelakangi laki-laki 

berwajah tengkorak itu. Hatinya mendesis, "Bila me-

lihat cara ia menjejakkan kakinya dan benda yang di-

panggul di bahu kirinya, aku yakin, manusia inilah 

yang berjuluk Iblis Tambang," Si kakek lalu perde-

ngarkan suara, "Senang mendapat teman di tempat 

sepi seperti ini. Cuma sayangnya, mengapa harus ber-

jumpa dengan manusia jelek seperti tengkorak?"

Si wajah tengkorak kelam seketika. Mukanya 

yang rata tinggal kulit pembungkus tulang bagai terte-

kuk ke dalam. Mulutnya yang seperti memiliki bibir 

menggeram, "Aku datang, untuk meminta Permata 

Sakti darimu, Kakek Buruk Rupa!"

"O... salah seorang yang memiliki jiwa serakah 

yang berada di belakangku ini. Sayangnya, aku tak 

pernah akan memberikan Permata Sakti itu pada 

orang semacammu!!"

Laki-laki kurus kering itu perdengarkan gera-

mannya yang dibaluri kemarahan menghemat. Ialah 

yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan de-

ngan sebutan Iblis Tambang. Cukup lama juga Iblis 

Tambang malang melintang di rimba persilatan. Tak 

seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Yang dike-

tahui, ia hanyalah seorang laki-laki yang berwatak cu-

las dan memiliki kekejaman yang luar biasa. Tambang 

besar yang menjadi senjatanya itu, adalah sebuah 

benda yang dahsyat. Mengenai wajahnya yang mirip 

tengkorak, orang-orang hanya menyirap kabar, kalau 

semenjak lahir ia memang sudah berwajah seperti itu.

"Menolak, berarti hanya menantang maut! Lima 

tahun aku mencari jejakmu, Orang Tua Hina, tak akan 

mungkin setelah kutemukan aku akan tinggalkan kau 

begitu saja!"

"Kau betul, karena bila kau berbuat seperti itu,

kau hanya membuang waktu lima tahunmu itu secara 

sia-sia."

Marah bukan buatan Iblis Tambang. Tanpa bu-

ang tempo lagi, ia buat satu serangan kelebatan dah-

syat. Tangan kurusnya menderu hebat. Kakek Buruk 

Rupa yang sejak tadi memang sudah waspada, segera 

mencelat ke atas. Tangan Iblis Tambang menghantam 

batu besar yang tadi didudukinya. 

Blaaarrr!

Batu besar itu menjadi kerikil dan berpentalan.

Serangan Iblis Tambang menyusul. Kedua kaki 

kurusnya menderu dahsyat ke muka. Kakek Buruk 

Rupa cepat mengangkat tangannya menangkis.

Des! Des!

Gempuran kedua kaki Iblis Tambang tertahan. 

Akibatnya, kedua tokoh aneh itu mencelat beberapa 

tombak ke belakang. Kakek Buruk Rupa merasa ta-

ngannya bagai remuk. Sedangkan yang dialami oleh 

Iblis Tambang tak jauh berbeda sebenarnya. Kedua 

kakinya terasa ngilu. Hal itu membuatnya jadi marah 

tak karuan.

Tahu-tahu tangan kanannya sudah mengambil 

tambang besar yang tergulung dan sepanjang tiga me-

ter di bahunya. Diloloskannya tambang itu hingga se-

bagian menjulai di tanah. Tatapannya tak berkesip pe-

nuh sinar kematian laksana api yang menyala.

"Aku tak ingin banyak bicara, serahkan Perma-

ta Sakti itu kepadaku!!"

"Kau tak akan bisa memecahkan rahasianya, 

Jelek!"

Iblis Tambang terbahak-bahak keras. "Begitu 

bodohnya bila aku tak bisa mengetahui. Bukankah 

tenggorakanmu bisa kujadikan sebagai imbalan bila 

kau mau mengatakannya kepadaku!"

Berulang kali Kakek Buruk Rupa selalu mendapatkan jawaban seperti itu dari orang-orang serakah 

yang menginginkan permata biru yang sekarang ber-

ada di tangan Pendekar Slebor. Rata-rata mereka me-

nyangka, kalau ia mengetahui rahasia Permata Sakti.

Belum lagi ia berkata apa-apa, Iblis Tambang 

sudah menggerakkan tangannya. Tambang berat itu 

menderu ke arah si orang tua yang terkesiap melihat 

sinar merah yang dipancarkan dari tambang itu ke 

arahnya. Cepat ia menghindar bergulingan, namun Ib-

lis Tambang sambil terbahak-bahak dan bagai melihat 

seekor monyet yang terjebak lingkaran jaring, terus 

menerus gerakkan tangannya dengan gencar.

Pepohonan yang tumbuh di sana banyak yang 

tumbang berdebam. Tanah yang semula dipijak oleh 

Kakek Buruk Rupa, bolong setengah meter!

Ia belum punya kesempatan sekali pun untuk 

membalas. Sebaliknya, Iblis Tambang terus menerus 

perdengarkan tawanya sambil melakukan serangkaian 

serangan tambang dahsyatnya yang timbulkan suara 

bergemuruh dan suara bagai ledakan.

Blaaarr!

Sebatang pohon terhantam lagi hingga beran-

takan. Bersamaan senjata tambang dahsyat itu me-

ngejar dirinya tadi, si orang tua bongkok melepaskan 

satu tendangan dahsyat yang didahului lompatan satu 

kaki.

Iblis Tambang tak memperhitungkan kalau la-

wan akan melakukan satu serangan balik yang me-

matikan. Ia tarik pulang tambangnya kembali. Lalu di-

hentakkan dengan suara keras, "Heaaaa!!"

Namun, Kakek Buruk Rupa yang sudah mem-

perhitungkan kalau lawan akan memotong serangan-

nya, justru berputar. Tambang itu mendesir di atas 

kepalanya. Tubuh udangnya tak ubahnya bagai bola 

setengah lingkaran. Mendadak ia mengibaskan ram

butnya ke depan. 

Wuuuttt!

Bau tak sedap menguar, bagai memenuhi hu-

tan di mana mereka bertempur. Menyergap Iblis Tam-

bang yang terhenyak sejenak. Lalu segera menutup ja-

lan napasnya sendiri. Meskipun dilakukan dengan 

sangat cepat, waktu yang hanya dua detik itu sudah 

dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kakek Buruk Rupa.

Selagi lawan mau tak mau menghentikan se-

rangannya, orang tua bongkok itu memutar tubuhnya. 

Tangannya bergerak ke depan.

Des!

Jotosannya telak menghantam dada Iblis Tam-

bang.

Meskipun dalam keadaan terdesak, Iblis Tam-

bang tidak memperlihatkan wajah pias. Sebisanya ia 

menggerakkan senjatanya lagi.

Wusss!

Tambang yang menderu itu siap mencopot ke-

pala Kakek Buruk Rupa bila ia tak segera menunduk. 

Sementara kakinya terus meluncur.

Buk! Buk!

Dua kali tendangan berkekuatan dahsyat itu 

menghantam Iblis Tambang hingga tersuruk ke bela-

kang. Dadanya dirasakan bagai remuk. Darah menga-

lir dari mulut dan hidungnya. Sedangkan Kakek Buruk 

Rupa yang memang enggan untuk menurunkan tan-

gan telengas, segera angkat kaki dari sana.

"Orang tua keparat! Kau tak akan bisa lolos da-

ri tanganku!!"

Tanpa menghentikan larinya, Kakek Buruk Ru-

pa perdengarkan tawa yang keras.

"Maaf, tanganku bisa lumutan bila bertarung 

dengan orang yang memiliki ilmu picisan!"

Panas wajah Iblis Tambang. Ia mencoba untuk

bangkit. Namun dadanya yang terhantam tendangan 

dahsyat si kakek, membuatnya harus rebah kembali.

"Bangsat keparat! Sampai ke mana pun kau 

akan kukejar!"

Sementara itu, satu sosok tubuh hitam-hitam 

dengan rambut digelung ke atas yang sejak tadi mem-

perhatikan pertempuran itu, segera mencelat me-

nyusul Kakek Buruk Rupa.

"Kehebatan Iblis Tambang tak banyak berarti di 

tangan Kakek Buruk Rupa. Sekarang, orang tua sialan 

itu akan menerima batunya di tanganku, si Camar Hi-

tam! Setelah kudapatkan Permata Sakti itu, akan ku-

bunuh Pendekar Slebor! Aneh, mengapa pemuda ura-

kan dari Lembah Kutukan itu tiba-tiba mampu mem-

balikkan pukulanku. Bahkan, ia membiarkan setiap 

pukulanku di tubuhnya! Hhh! Kehebatannya semakin 

bertambah saja!"

Wanita tua yang tak lain si Camar Hitam, terus 

mengejar Kakek Buruk Rupa yang berkelebat laksana 

angin. 

Andika yang urung menikmati daging pang-

gangnya, menoleh, dan melotot. Lagi-lagi cucu Kakek 

Buruk Rupa yang berada di hadapannya.

"Brengsek! Kupikir ia tak akan mampu meng-

ikutiku!" makinya dalam hati. Hatinya makin kesal ke-

tika melihat Suci tersenyum sambil mengangkat kedua 

alisnya. Lalu seperti tak menghiraukan kedatangan 

Suci, Andika putar tubuhnya kembali dan menikmati 

daging panggangnya.

Suci tahu kalau kehadirannya tidak disukai 

oleh Andika. Namun ia tidak peduli. Dengan santainya 

tanpa menghilangkan senyum yang bertengger di bi-

birnya itu, ia duduk di sisi Andika. Tanpa merasakan 

kejengkelan Andika, dengan enaknya Suci me-

natapnya. Kedua matanya dibulatkan. Andika yang

meskipun sudah diusahakan berlagak tak acuh, justru 

jadi risih juga karena ditatap terus menerus.

"Apa sih maumu?" dengusnya jengkel.

Seperti baru sadar kalau Andika tidak mengerti 

keinginannya, Suci melengak dengan kening berkerut.

"Jadi Kang Andika tidak tahu, ya? Kasihan se-

kali! Padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali! 

Jangan-jangan, telinga Kang Andika jadi tuli, ya? Pasti 

kebanyakan makan daging kelinci! Coba kalau Kang 

Andika membaginya separo denganku, pasti telinga 

Kang Andika tidak akan tuli."

Seharusnya Andika bisa tertawa mendengar ka-

ta-kata Suci yang punya dua tujuan. Pertama, dengan 

kata-kata seperti itu, ia mengejek Andika. Kedua, seca-

ra tidak langsung ia mengatakan kalau perutnya lapar.

Tetapi pemuda urakan nan tampan itu kembali 

perdengarkan dengusannya. Hatinya mendongkol se-

kali. Benar-benar mati kutu dia menghadapi gadis di 

sampingnya ini.

Ditariknya napas perlahan, dihentikannya ma-

kannya.

"Sekali lagi kukatakan, bukannya aku tidak 

mau membawamu untuk menemui Kakek Buruk Ru-

pa, tetapi perjalanan yang akan kutempuh ini sangat 

sulit sekali. Kapan sih kau mau mengerti akan kata-

kataku itu?"

"Berapa kali kukatakan pada Kang Andika, ka-

lau aku mampu menjaga diri. Kang Andika tidak usah 

cemas," kata Suci berusaha meyakinkan.

"Enaknya ngomong! Kau tidak tahu bagaimana 

sebenarnya kehidupan ini. Aku tahu kau sering mem-

bohongi kedua orangtuamu sementara kau sendiri 

pergi dengan enaknya ke segenap penjuru. Akan te-

tapi, sampai saat ini kau tak kurang suatu apa, karena 

kau memang belum mendapatkan masalah."

"Kalaupun iya, aku akan berusaha menghinda-

rinya."

"Ucapan tak sama dengan tindakan. Sudahlah 

lebih baik kau kembali ke rumahmu."

"Mana bisa begitu? Aku mau mencari kakek."

"Aku sendiri sedang mencari kakekmu yang je-

lek itu, tahu!" sengat Andika benar-benar jengkel.

Kalau tadi Suci nampak masih berusaha mem-

bantah kata-kata Andika, kali ini gadis itu terdiam. 

Seolah tak percaya dengan kata-kata Andika barusan. 

Ini berita baru baginya. Dan keningnya yang licin itu, 

perlahan-lahan mengerut.

"Kang Andika... juga mencari kakekku?" ta-

nyanya meyakinkan pendengarannya.

Andika yang sudah merasa kelepasan bicara, 

mau tak mau akhirnya menganggukkan kepala. "Ya! 

Laki-laki tua bongkok jelek itu menitipkan sebuah 

permata biru kepadaku."

"Permata apa?"

"Kan tadi sudah kukatakan, permata biru!"

"Maksudku... untuk apa?"

"Aku sendiri tidak tahu." Andika menatap gadis 

yang masih menatapnya itu. Bagai baru menyadari, ia 

bisa melihat betapa cantiknya gadis ini. Tetapi mes-

kipun sifatnya riang dan jenaka, ia memiliki sifat yang 

keras kepala. "Suci... apakah kakekmu pernah men-

ceritakan tentang sebuah permata biru?"

Suci menggelengkan kepalanya, Matanya masih 

lekat memandang Andika.

"Aku tidak tahu menahu soal itu."

"Sayang, padahal aku dibuat pusing olehnya."

"Bolehkan aku melihatnya?"

Andika menatap Suci dalam-dalam. Lalu mem-

perhatikan sekelilingnya. Memang tak jadi masalah bi-

la ia memperlihatkan permata biru itu pada Suci. Di

ambilnya benda sebesar telur ayam yang meman-

carkan sinar biru.

"Wooo... indah sekali. Jadi, permata itu milik 

kakek, Kang Andika?"

Andika menganggukkan kepalanya, lalu mema-

sukkan permata itu lagi ke balik pakaiannya.

"Itulah sebabnya mengapa aku mencari kakek-

mu. Perlu kau ketahui, menurut kakekmu sendiri, ka-

lau permata ini banyak menimbulkan petaka. Mak-

sudku, banyak sekali orang-orang serakah yang men-

ginginkannya. Dan pertarunganku di sungai sebelah 

sana tadi, adalah salah seorang yang mempunyai niat 

busuk terhadapku. Itulah Suci, mengapa aku tidak 

mengizinkan kau untuk ikut denganku. Karena...."

"Aku kangen kakek!"

"Aku tahu. Tetapi...."

"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, aku mau men-

cari kakek! Kang Andika kan bisa membawaku serta!" 

Kali ini Andika benar-benar kehabisan akal un-

tuk menghadapi Suci. Tanpa menjawab ia meneruskan 

lagi menikmati daging panggangnya. Suci yang me-

mang sudah merasa lapar, hanya menatap saja tanpa 

berani memintanya.

Melihat kesungguhan gadis itu, Andika akhir-

nya jadi tidak tega. Dibaginya sebagian daging pang-

gang itu pada Suci, dia menerima dan menikmatinya 

dengan lahap.

Karena sulit untuk meminta pengertian dari 

Suci agar tidak mengikutinya, Andika membiarkan sa-

ja gadis itu bersamanya.

Selesai menghabiskan daging panggangnya, An-

dika bangkit sambil berkata, "Aku ingin tidur! Kau si-

lakan cari tempat untuk kau tidur!"

"Tetapi, Kang Andika jangan meninggalkan aku, 

ya?" katanya dengan suara mengibakan.

Andika tak menyahut. Ia mematikan api yang 

dipakainya untuk memanggang. Dan tidak lagi menya-

lakan api untuk menghangatkan badan. Dibawanya 

langkahnya ke balik semak.

"Hei! Sana cari tempat untuk tidur!" serunya. 

"Apakah kau ingin tidur berdua-dua denganku?"

Bagai disentak Suci bangkit, lalu celingukan ke 

sana-sini. Meskipun ia tahu Andika keberatan meng-

ajaknya serta, tetapi ia bisa menebak kalau pemuda 

tampan itu tidak tega pada akhirnya.

"Aku tidur di sini saja!"

"Terserah!"

Sambil cemberut, gadis itu merebahkan tubuh-

nya. Dia cukup dibuat jengkel dengan sikap Andika 

yang semaunya. Diingatnya lagi tentang kakeknya. La-

lu pikirannya tiba pada permata biru yang diperli-

hatkan Andika. Permata yang bagus sekali.

Dan diam-diam, di bibir gadis itu tersungging 

sebuah senyuman. "Menurut Kang Andika.... Banyak 

yang menginginkan, permata itu. Hmm... Aku pun jadi 

tertarik untuk mendapatkannya. Yah, suatu saat akan 

kukejutkan Kang Andika."

***

7


Malam makin membentang. Hawa dingin yang 

tak terkira menusuk tulang. Sang Ratu Malam dijaga 

oleh gumpalan awan hitam. Bunyi dedaunan diper-

mainkan angin, cukup mampu membuat jantung lebih 

cepat berdetak. Andika yang sejak tadi tak bisa meme-

jamkan mata, bangkit perlahan, disibaknya semak di 

mana ia berada. Dilihatnya Suci tengah melingkar

dengan kedua tangan mendekap dada. Kelihatan kalau 

gadis itu kedinginan.

Andika mendesah pendek. "Sulit bagiku meng-

hadapi gadis ini. Tetapi, biar dia tahu bagaimana sulit-

nya perjalanan ini."

Namun ketika malam semakin mengedar, lama 

kelamaan rasa iba datang di hati Andika. Jangan-ja-

ngan, gadis itu bisa membeku ketika bangun keesokan 

harinya. Akhirnya Andika keluar dari balik semak, di-

dekatinya Suci yang menggigil.

"Suci...," dipanggilnya dengan lembut, seperti 

ada pesona yang menariknya.

Suci yang memang tak bisa tidur karena hawa 

dingin, menyahut pelan sambil buka matanya, "Kena-

pa, Kang Andika...," suaranya bergetar, setengah 

menggigil.

Andika melihat wajah gadis itu membiru, ter-

utama di bibirnya yang memerah. Rasa ibanya makin 

menjalar, hati-hati direbahkan tubuhnya di sisi gadis 

itu. Dilingkarkan tangan kanannya ke tubuh gadis itu, 

diberinya kehangatan yang dalam.

Dalam dingin menusuk, perlahan-lahan Suci 

merasa hangat kembali. Diam-diam, ia menyukai 

rangkulan Andika di tubuhnya. Selang beberapa saat 

Andika masih juga merangkulnya. Dibuka matanya 

perlahan-lahan, dilihatnya pemuda tampan itu sudah 

terlelap. 

Lalu dengan batin bergejolak hebat, perlahan-

lahan Suci mengulurkan tangannya untuk balas me-

rangkul. Namun beberapa kali ia tidak jadi melaku-

kannya. 

"Tidak, aku bisa malu kalau Kang Andika tahu-

tahu bangun," desisnya. Begitu nyaman sekali pelukan 

Kang Andika ini, tambahnya dalam hati. Kalau pun ia 

pernah meninggalkan rumah selama dua hari dan tidur di sembarang tempat, itu dikarenakan ia secara ti-

dak sengaja menemukan gubuk-gubuk milik para pe-

nebang kayu, hingga terhalang dari hawa dingin yang 

menusuk.

Dan perlahan-lahan ia pun akhirnya terlelap.

***

Tepat ketika ayam jantan berkokok di kejau-

han, Andika terbangun. Diliriknya Suci yang terlelap 

dengan bibir tersenyum. Tangan kanan merangkul tu-

buh Andika. Sejenak Andika mengerutkan keningnya. 

"Heran, ada orang tidur tersenyum seperti itu?"

Hati-hati ia menurunkan tangan gadis manis 

itu dari tubuhnya. Ia sendiri segera berdiri. Menggerak-

gerakkan tubuhnya sekadar melemaskan otot. Lalu di-

edarkan pandangan ke sekelilingnya. Alam begitu ra-

mah dan asri meskipun belum begitu terang. Di ufuk 

timur sana, matahari baru memancarkan sinar me-

rahnya yang tipis.

"Hmm... sebenarnya cukup merepotkan bila 

kuajak gadis ini mencari Kakek Buruk Rupa," desisnya 

sambil melirik Suci kembali. Dalam pandangannya, 

wajah gadis itu begitu bersih sekali. "Tetapi mau ba-

gaimana? Melihat kekeraskepalaannya aku yakin ia 

tak akan merepotkanku sebenarnya."

Andika menarik napasnya lagi. Ia bermaksud 

untuk mencari sungai guna membersihkan tubuhnya 

selagi Suci masih tidur. Namun langkahnya urung.

Tiba-tiba saja pemuda dari Lembah Kutukan 

itu merasa jantungnya berdetak keras. Ia menangkap 

sebuah isyarat bahaya yang cukup menegangkan. Se-

ketika dibangunkannya Suci yang membuka dan men-

gucak-ngucak matanya.

"Apakah ini sudah pagi, Kang Andika?" ta

nyanya dengan suara agak parau. 

Andika tidak menyahut. Batinnya mengatakan 

kalau bahaya semakin dekat. Ia justru berbisik, "Cepat 

kau naik ke pohon itu, Suci."

Meskipun baru bangun tidur dan kepala ber-

pendar pusing, Suci tak banyak bertanya akan perin-

tah Andika. Cepat ia mengempos tubuhnya melompat 

ke dahan pohon, melompati satu dahan ke dahan lain. 

Hal itu tidak mengherankan, karena Suci sedikit ba-

nyaknya telah digembleng oleh kakeknya. Bila saja Ka-

kek Buruk Rupa mengajari ilmunya lebih lama lagi, tak 

mustahil Suci akan menjadi seorang wanita muda yang 

sukar dikalahkan oleh lawan-lawannya. Dari balik 

rimbunnya dedaunan dilihatnya Andika sedang berdiri 

bersiaga.

Pijaran mata bagai sepasang mata elang itu 

berkeliling. Sekarang telinganya menangkap derap ce-

pat ke arah di mana ia berdiri. 

"Siapa yang datang sekarang? Kalau mendengar 

suara yang cukup ramai ini, pasti yang datang dengan 

menunggang kuda. Hmm... rasanya lebih dari tiga 

orang. Sebaiknya, aku bersembunyi dulu untuk men-

getahui siapa dan mau apa orang-orang ini!"

Memikir sampai di situ, Andika langsung me-

ngempos tubuhnya ke sebuah pohon besar. Dilambai-

kan tangannya pada Suci dan diletakkan telunjuknya 

ke bibir memberi isyarat agar gadis itu jangan menge-

luarkan suara. Suci mengangguk, agak tegang. 

Selang beberapa saat, muncul di tempat cukup 

terbuka itu lima ekor kuda jantan yang gagah. Ditung-

gangi oleh orang-orang berpakaian hitam. Salah seo-

rang menarik kendali kuda, hingga kudanya berhenti 

dan keluarkan suara ringkikan cukup keras. Menyusul 

kuda-kuda yang lain.

Dari tempat di mana dirinya bersembunyi, Andika jelas melihat rata-rata wajah penunggang kuda 

itu cukup menyeramkan. Tubuh mereka besar. Mas-

ing-masing dipenuhi dengan cambang bawuk yang le-

bat. Pakaian hitam dengan destar merah menambah 

angkernya penampilan mereka.

"Hmmm, aku pernah mendengar tentang seri-

kat dari golongan hitam yang bernama Serikat Kuda 

Hitam. Apakah manusia-manusia jelek ini dari Serikat 

Kuda Hitam?" desis Andika sambil terus memperha-

tikan.

Salah seorang dari penunggang kuda itu, me-

lompat turun. Gerakannya begitu ringan sekali. Ia 

mendekati kayu bekas Andika memanggang daging ke-

linci.

"Gadis itu memang berada di sini semalam. Te-

tapi, ia sudah pergi lagi dari sini!" suaranya kasar dan 

tak sedap di dengar. 

"Kalau begitu, secepatnya kita harus mencari 

gadis yang bernama Suci itu!" sahut yang rambutnya 

tipis. "Selentingan kabar mengatakan kalau ia adalah 

cucu dari Kakek Buruk Rupa. Telah tujuh bulan kita 

mencari jejak Kakek Buruk Rupa untuk mendapatkan 

Permata Sakti berwarna biru, tetapi sampai saat ini be-

lum juga kita dapatkan jejaknya. Bila kita berhasil 

menangkap cucunya, kita paksa ia keluar dari per-

sembunyiannya dan menukar Permata Sakti itu de-

ngan nyawa cucunya!!"

Di atas pohon, Suci merasa dadanya semakin 

berdebar hebat. Wajah cantiknya berkerut pias. Na-

mun di balik ketegangannya, menyembul pula kema-

rahan yang hampir saja tak mampu membuatnya un-

tuk menahan diri bila tak dilihatnya Andika memberi 

isyarat agar ia tetap tenang.

Orang yang pertama berbicara tadi, naik kem-

bali ke kudanya.

"Permata Sakti yang berada di tangan Kakek 

Buruk Rupa harus kita serahkan pada Ketua. Biar ba-

gaimanapun sulitnya, permata itu harus kita da-

patkan. Serikat Kuda Hitam harus mengibarkan 

sayapnya setinggi langit! Kita harus cepat, paling tidak 

gadis itu belum jauh dari sini! Hhhh! Seharusnya kita 

tidak kehilangan jejaknya waktu itu, bila ia tidak ber-

lari secepat kilat di tepi sungai sebelah sana!"

"Moro Alit... bagaimana dengan pemuda berbaju 

hijau pupus yang bertarung dengan si tukang sam-

pan?"

"Peduli setan dengan pemuda itu!" sahut si 

rambut panjang yang bernama Moro Alit. "Meskipun 

kita menduga kalau pemuda itulah yang berjuluk Pen-

dekar Slebor dari ciri-ciri yang ada padanya, namun ki-

ta tak punya urusan dengannya!"

"Ingat, Pendekar Slebor tak akan pernah mem-

biarkan kita melakukan tindakan seperti yang kita in-

gin lakukan."

"Kalau begitu, ia harus mampus di tangan Seri-

kat Kuda Hitam!"

Sehabis berkata begitu, laki-laki berambut pan-

jang itu menggebrak kudanya. Menyusul yang lainnya 

menggebah kuda masing-masing.

Di tempatnya Andika mendesis, "Rupanya ma-

nusia-manusia itu memang dari Serikat Kuda Hitam. 

Hhhh! Cukup lama juga nama golongan itu kudengar 

namun sampai saat ini belum juga kudapatkan kete-

rangan di mana mereka berdiam. Tetapi yang jelas se-

karang, mereka pun menginginkan Permata Sakti itu 

dan bermaksud menculik Suci untuk memancing Ka-

kek Buruk Rupa. Tentunya, seperti kebanyakan orang 

lainnya, mereka menyangka permata itu masih berada 

di tangan Kakek Buruk Rupa."

Sedangkan yang dipikirkan Suci, kalau sebe

lumnya ia berada dalam jalur ketegangannya sekarang 

nampak kening gadis itu berkerut. Ia memikirkan ka-

ta-kata salah seorang dari penunggang kuda tadi.

Pendekar Slebor? Samar ia mengingat kalau ka-

keknya pernah menceritakan tentang seorang pen-

dekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor. Menurut 

kakeknya, kepandaian Pendekar Slebor yang memiliki 

sifat bijaksana namun juga sifat urakan, sangat sulit 

dicari tandingannya.

Batin Suci bergetar, "Apakah Kang Andika yang 

berjuluk Pendekar Slebor?" desisnya.

Saat itu ia mendengar suara Andika memanggil, 

"Hei! Ayo, turun! Apakah kau akan menjadi monyet 

disana?"

Suci melengak dengan mata melotot. Lalu de-

ngan ringannya ia melompat ke bawah dan begitu ka-

kinya hinggap di tanah, dijejakkannya dua kali dengan 

jengkel.

"Enaknya ngomong! Kang Andika... apakah 

Kang Andika berjuluk Pendekar Slebor?"

Andika menatap gadis itu lekat-lekat. Mengapa 

tiba-tiba saja gadis ini bertanya soal julukannya se-

gala? Tetapi ia menganggukkan kepalanya juga.

"Kakek pernah bercerita tentang Pendekar Sle-

bor. Ia juga bermaksud untuk mencari Kang Andika. 

Kalau menurut cerita Kang Andika pernah bertemu 

dengan kakek... aku yakin ada sesuatu yang terjadi, 

bukan?"

Andika cuma mengulapkan tangannya.

"Kalau kau mau ikut denganku, silakan! Tapi 

jangan banyak bertanya! Ingat, sekarang banyak yang 

mengincar dirimu karena permata itu!"

Setelah berkata begitu, ia berkelebat ke arah 

orang-orang Serikat Kuda Hitam tadi. Suci sendiri tak 

melanjutkan pikiran yang ada di benaknya. Baginya,

ini sebuah keberuntungan karena Kang Andika akhir-

nya mengizinkannya untuk ikut bersama. Dalam per-

kiraan Suci, jaraknya dengan kakek yang dirindukan-

nya semakin dekat.

Ia langsung mengejar Andika.

***

Orang-orang dari Serikat Kuda Hitam menghen-

tikan lari kuda mereka di sebuah tempat terbuka. Di 

sekeliling mereka ditumbuhi semak belukar, lebat dan 

pepohonan tinggi. Di hadapan mereka nampak sebuah 

gunung yang menjulang.

"Hhhh! Tak ada tanda-tanda gadis itu datang 

ke tempat ini!" maki Moro Alit sambil perdengarkan de-

ngusannya. Matanya yang kasar melotot memperha-

tikan sekelilingnya. "Sulit untuk menentukan di mana 

Kakek Buruk Rupa berada! Padahal, yang terbaik ada-

lah menculik cucunya yang sangat disayanginya!"

"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat ting-

gal anak dan menantunya?" tanya Dimar Gondo.

"Itu berarti mengulang dari awal! Hhh! Sebaik-

nya, kita lanjutkan saja mencari cucu Kakek Buruk 

Rupa itu! Bila kita sudah berhasil menculiknya, se-

muanya akan terasa mudah! Ketua sangat mengingin-

kan sekali Permata Sakti biru itu!!"

Tanpa setahu mereka, tiga pasang mata men-

gintip kehadiran mereka di sana. Dua pasang mata 

yang mengintip dari balik rimbunnya semak saling 

berdekatan. Salah satu pasang mata memancarkan si-

nar jengkel, yang satu lagi menatap penuh ketenan-

gan.

"Mereka harus dibunuh, Kang Andika," desis 

yang memiliki pasang mata jengkel tadi. Ia tak lain Suci.

Andika mendesis pelan, "Kita harus menahan 

amarah, Suci. Manusia-manusia itu tidak tahu kalau 

Permata Sakti yang diberikan kakekmu itu ada pada-

ku."

"Apakah sebaiknya tidak diserahkan saja pada 

mereka, hingga kakekku tidak selalu diburu?" Andika 

menggelengkan kepalanya. 

"Terus terang, aku sendiri tidak tahu apa ke-

saktian yang ada pada permata ini. Kakekmu juga ti-

dak mengatakannya padaku. Tetapi, meskipun demi-

kian, samar bisa kuyakini kebenaran omongan ka-

kekmu itu, Suci. Kalau permata ini memang mengan-

dung sebuah kesaktian meskipun aku tidak tahu ke-

saktian apa itu. Jangan bersuara. Aku melihat seseo-

rang di sebuah pohon."

Diam-diam Suci membatin, teringat pada ke-

inginannya untuk memiliki permata itu pula. "Bila ada 

kesempatan, aku akan mengambilnya."

Suci memicingkan matanya untuk mengikuti 

pandangan Andika. Namun, ia tak bisa melihat siapa 

yang berada di balik rimbunnya dedaunan.

Sementara itu, Moro Alit yang hendak mengge-

brak kudanya lagi, menjadi urung ketika melihat satu 

sosok tubuh berpakaian hitam meluncur turun dengan 

ringannya dari pohon yang tak jauh dari hadapannya. 

Andika mendesis, "Rase Maut! Sinting! Rupanya 

ia bisa menyelamatkan diri."

Orang yang tadi bersembunyi dan meluncur tu-

run itu memang si Rase Maut. Ketika ia tergulung de-

ras oleh aliran sungai dan kepalanya berpendar pusing 

hingga sulit mengendalikan tubuhnya, mendadak ma-

tanya menangkap sebatang pohon yang menjulai ke 

air. Cepat disambarnya batang pohon itu. Lalu dengan 

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia pun melompat naik.

Dialirkan tenaga dalam dan hawa murni guna 

menghilangkan rasa pusing akibat tendangan Andika. 

Ia masih tak mengerti mendapati kehebatan yang di-

perlihatkan Pendekar Slebor. Membiarkan dirinya di-

hantam oleh pukulan seorang tokoh tinggi semacam 

dia, bukanlah suatu pekerjaan yang lunak. Harus 

mengandalkan kemampuan dan kekebalan. Tetapi, 

lama kelamaan pun akan roboh juga, karena keke-

balan itu pasti memiliki kelemahan. Hanya yang 

mengherankannya, Pendekar Slebor tetap mampu me-

nahan setiap hantamannya, tanpa sekali pun memba-

las. Sakit hati Rase Maut memikirkan hal itu.

Akhirnya ia menunggu Pendekar Slebor di tem-

pat itu sambil memulihkan seluruh tenaganya. Ter-

nyata orang-orang Serikat Kuda Hitam yang muncul.

Ia terbahak-bahak melihat wajah kelima pe-

nunggang kuda itu melotot padanya.

"Jangan gusar! Aku si Rase Maut adalah saha-

bat dari Tunggul Manik, atau Ketua Serikat Kuda Hi-

tam!"

Moro Alit tatap dengan mata nyalang.

"Jangan menjadi tukang ngibul di sini! Ketua 

tak punya sahabat buruk seperti kau!"

Meskipun hatinya geram bukan buatan, Rase 

Maut hanya memperdengarkan tawa belaka.

"Jangan marah! Dengar baik-baik, urungkan 

niat kalian untuk menculik cucu Kakek Buruk Rupa!"

Semakin kelam wajah Moro Alit mendengarnya. 

Secara tidak langsung ia bisa menangkap kalau laki-

laki di hadapannya ini sejak tadi sudah mencuri den-

gar percakapan mereka.

"Setan alas! Minggir kalau tidak ingin tubuhmu 

tercacak tak berbentuk di sini!!" 

Rase Maut hanya sunggingkan senyum. 

"Aku tahu apa yang kalian inginkan, Permata

Sakti biru milik Kakek Buruk Rupa, bukan? Ketahui-

lah... meskipun kalian telah berhasil menculik cucu 

dari Kakek Buruk Rupa, kalian tetap tak akan menda-

patkan permata itu!"

Dari rasa marah yang menyelimutinya, Moro 

Alit diam-diam menjadi tertarik juga untuk lebih lanjut 

mendengar penuturan laki-laki di hadapannya ini.

"Alasan apa yang bisa kau berikan padaku?!"

"Karena, Permata Sakti itu tidak lagi berada di 

tangan Kakek Buruk Rupa!"

"Haram jadah! Kau ingin membohongi kami, 

hah?"

"Dengar baik-baik," suara Rase Maut berada di 

tenggorokan, menandakan ia marah luar biasa. "Per-

mata Sakti itu telah berada di tangan seorang pemuda 

dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor!"

"Keparat! Bagaimana kau bisa mengatakan se-

perti itu?"

"Karena aku melihatnya sendiri! Dan aku sem-

pat bentrok pula dengannya?"

"Kau berhasil dikalahkan?" suara Moro Alit pe-

nuh ejekan.

Ganti wajah Rase Maut yang mengkelam.

"Itulah sebabnya, kukatakan semua ini, karena 

aku ingin kita bergabung untuk membunuh Pendekar 

Slebor!"

"Kau memiliki kelicikan yang luar biasa! Setelah 

bergabung dan berhasil merebut permata itu dari ta-

ngan Pendekar Slebor, kau akan mengkangkanginya 

sendiri!"

"Dengar baik-baik, Tunggul Manik adalah sa-

habatku, bila ia menginginkan Permata Sakti itu, aku 

akan membantunya! Terus terang, aku juga ingin me-

milikinya! Tetapi sekarang, yang kuinginkan adalah 

nyawa Pendekar Slebor! Kalian mendapatkan Permata

Sakti itu untuk diserahkan pada Tunggul Manik, dan 

aku mendapatkan nyawa busuk Pendekar Slebor! Ba-

gaimana?"

Moro Alit terdiam. Lalu mengedarkan pandang-

annya pada keempat temannya yang seperti memberi 

isyarat mengiyakan.

"Baik! Kita bisa bergabung! Bila kau ingkar, ja-

ngan harap kau bisa hidup lebih lama!"

Rase Maut terbahak-bahak. Bukan dalam arti 

ketakutan mendengar ancaman itu yang ia samarkan 

melalui tawanya, melainkan karena ia merasa mampu 

menghancurkan kelima orang ini sekaligus. Namun 

saat ini, ia memang berdiri dalam satu pikiran licik. Bi-

la bergabung dengan kelimanya, sudah dipastikan ke-

kuatannya akan bertambah. Dan ini lebih memudah-

kannya untuk membunuh Pendekar Slebor sekaligus 

merebut Permata Sakti itu.

Di tempat persembunyiannya, Andika mende-

sis, "Bisa berabe kalau begini! Pencarianku untuk me-

nemukan Kakek Buruk Rupa akan semakin terham-

bat!"

Rase Maut berkata lagi, "Kalian kujanjikan le-

herku sebagai taruhannya!" Lalu menyambung dalam 

hati, "Itu pun bila kalian mampu melakukannya, Anj-

ing-anjing geladak!"

Moro Alit tertawa. Ia bangga karena merasa bi-

sa menguasai permainan. Bukannya ia tidak tahu ten-

tang Rase Maut yang mendiami Bukit Tunggul, yang 

dikenalnya sebagai tokoh dari golongan hitam yang te-

lah lama malang melintang di rimba persilatan.

Namun kenyataannya, meskipun mereka berli-

ma, mereka tak akan mampu mengalahkan Rase Maut. 

Betapa dungunya laki-laki itu!

Tiba-tiba terdengar tawa keras dari Rase Maut. 

Cukup kuat untuk menghancurkan gendang telinga.

"Mengapa harus bersembunyi seperti seekor ke-

linci! Jadilah seekor musang yang berani muncul 

menghadapi bahaya!"

Moro Alit dan keempat temannya saling pan-

dang tak mengerti mendengar ucapan Rase Maut. Te-

tapi, Andika tahu sekali siapa yang dimaksud oleh la-

ki-laki itu.

Ia pun berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini. 

Jangan keluar meskipun bahaya mengancam diriku. 

Bila kau lihat aku dalam bahaya, lebih baik segera 

tinggalkan tempat ini."

Tanpa menunggu sahutan Suci, pemuda pewa-

ris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera melom-

pat keluar dari persembunyiannya.

"Hebat juga mata belomu itu, Orang Jelek!" se-

lorohnya sambil mengangkat kedua alis hitamnya de-

ngan sikap yang lucu pada Rase Maut. "Jangan-ja-

ngan, kau memakai mata ikan mas koki, ya? Besar se-

kali!"

***

8


Lima anggota dari Serikat Kuda Hitam segera 

memutar tubuh dan serentak melompat dari kuda 

masing-masing. Mereka melihat seorang pemuda tam-

pan berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak 

catur yang tersampir di bahunya. Sikapnya begitu en-

teng sekali, cengengesan, menggaruk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal.

Diam-diam Moro Alit menyadari kedunguannya 

yang merasa berhasil memenangkan permainan yang 

diciptakan si Rase Maut. Ia jadi malu sendiri ketika tahu kelihaian si Rase Maut, yang bisa mengetahui kebe-

radaan orang lain yang di dekat mereka.

"O... jadi kalian bergabung toh untuk menga-

lahkanku? Waduh, rasa-rasanya... kalian hanya jadi 

pemimpi di siang bolong belaka! Bagaimana bila kalian 

masing-masing menungging saja dan saling tendang? 

Bukankah itu permainan yang lebih asyik?"

Rase Maut memerah wajahnya. Diingatnya ba-

gaimana ketika Andika membiarkan tubuhnya dihajar 

terus menerus.

Ia menggeram murka, "Kalau waktu itu kau 

berhasil mempecundangiku, sekarang ajalmu sudah 

nampak, Pendekar Slebor! Serahkan permata biru itu 

kepadaku?!"

Seperti tak tahu ancaman orang, Andika masih 

menunjukkan sifat urakannya.

"Jadi yang kau inginkan Permata Sakti. itu? 

O... sudah kujual ke tukang loak untuk ditukar den-

gan sebidang tanah." 

"Setan alas!"

"Lho, kau tidak bertanya tanah yang kudapat 

itu untuk apa? Tidak usah sedih, karena aku pasti me-

ngatakannya. Tanah itu akan kujadikan tempat ku-

buran bagi dirimu. Nah, akan kuhiasi tempat itu de-

ngan bunga-bunga yang indah dan... heeeittt! Kenapa 

jadi lancang begini?"

Andika langsung melompat ke samping, begitu 

Moro Alit menderu dahsyat. Rupanya laki-laki tinggi 

besar itu tak bisa menahan amarahnya yang dibaluri 

dengan kedunguannya karena meremehkan Rase Maut 

tadi. 

Serangannya lolos seketika. Laki-laki berambut 

panjang itu menjadi geram bukan main. Padahal se-

rangan yang dilakukannya itu merupakan gebrak per-

tama dari rangkaian jurus 'Jaran Mabur'. Ia putar lagi

tubuhnya dan tangannya menjotos ke muka.

Dasar urakan, Andika justru teriak-teriak, 

"Aduh! Ampun, ampun! Jangan pukul!"

Tangannya terangkat, menangkis jotosan Moro 

Alit.

Des!

Moro Alit mundur dua tindak, dirasakan tan-

gannya kesemutan. Wajah laki-laki berambut panjang 

itu kelam.

"Setan keparat! Kau akan merasakan akibat 

perbuatanmu ini!"

"Heran! Kenapa jadi marah-marah?" sahut An-

dika seperti tak menyadari kemarahan Moro Alit. Lalu 

seperti baru menemukan jawabannya, ia berkata, "O 

ya... kau marah karena tidak kupukul, ya? Ayo, sini! 

Sini! Biar kutendang pantatmu hingga mencelat ke gu-

nung itu!!"

Di tempat persembunyiannya, Suci mendesah 

panjang. Ia tak mengerti melihat sikap Andika yang 

masih saja bercanda, padahal maut siap menjemput-

nya.

Empat orang kawan Moro Alit, sudah menderu 

laksana kilat begitu ejekan Andika habis terdengar. Jo-

tosan dan tendangan dilakukan dengan beruntun, ce-

pat dan berbahaya. Kali ini Andika mendengus keras. 

Ia mengibaskan tangannya dan membalas dengan se-

rangan tak kalah cepat. 

Moro Alit yang juga sudah ikutan menyerang, 

menggempur dengan serangan luar biasa dahsyatnya. 

Kemarahan laki-laki berambut panjang itu sudah ting-

gi.

Sementara itu si Rase Maut sedang memikirkan 

akal liciknya.

"Hhh! Aku tak ingin melihat ilmu kebal yang 

pernah diperlihatkan Pendekar Slebor meskipun aku

yakin, ilmu itu pasti memiliki kelemahan! Akan, kuli-

hat dulu manusia-manusia dungu itu menghadapi 

Pendekar Slebor!" 

Namun setelah lima jurus berlangsung, Pende-

kar Slebor bukan hanya menangkis dan menghindar, 

ia juga membalas gebrakan lawan-lawannya. Akibat 

balasannya, dua dari lima penyerangnya terlontar ke 

belakang terhantam tenaga 'inti petir' yang sudah di-

alirkan pada kedua tangannya. Tubuh mereka membi-

ru dengan napas tersendat-sendat. 

Rase Maut jadi gusar sendiri.

Tanpa membuang waktu lagi, ia menderu ke 

arah Andika. Gebrakan tubuhnya menimbulkan angin 

bergemuruh dan kiblatan bagai sinar hitam menderu 

dahsyat, membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan itu sekarang jadi gelagapan.

"Busyet! Aku harus bisa mematahkan serangan 

dari si Rase Maut. Serangan darinya sangat menyu-

litkan!" 

Namun untuk menjatuhkan Rase Maut, bukan-

lah pekerjaan yang mudah. Karena selain lincah, laki-

laki berjerawat itu juga menyerang demikian cepat. Be-

lum lagi serangan dari Moro Alit dan kedua temannya. 

Membuat Andika bertambah sulit untuk mematahkan 

serangan Rase Maut. Jalan satu-satunya ia memang 

harus mencari sela.

"Gila! Lama kelamaan aku yang jadi kerepotan!"

Rase Maut benar-benar tak mau membuang 

waktu. Ia terus mencecar dengan gerakan melompat ke 

sana kemari. Angin jotosannya menggugurkan de-

daunan.

***

Kita lihat sekarang apa yang dialami oleh Kakek

Buruk Rupa. Setelah bertarung dengan Iblis Tambang, 

laki-laki bongkok itu melesat meninggalkan tempat itu. 

Ia bermaksud untuk mendatangi cucunya. Tiba-tiba 

saja ia merindukan cucunya itu. Akan diceritakannya 

kembali kalau ia sudah berjumpa dengan Pendekar 

Slebor. Dan diam-diam, di dasar hatinya, Kakek Buruk 

Rupa menginginkan cucunya berjodoh dengan Pende-

kar Slebor. Namun, ia beranggapan kalau semua itu 

adalah kehendak Sang Maha Kuasa.

Ia juga masih memikirkan tentang Permata 

Sakti yang diberikannya pada Pendekar Slebor dengan 

harapan kalau pemuda dari Lembah Kutukan itu ber-

hasil memecahkan rahasianya. Karena sampai saat ini, 

ia sendiri tidak tahu apa kesaktian dari permata itu.

Sejak pertama kali menemukannya, ia sudah 

jatuh hati pada permata itu. Dasar orang-orang sera-

kah yang tak boleh melihat benda aneh, maka mereka 

pun berduyun-duyun menginginkannya. Padahal, ia 

tidak tahu kesaktian permata itu. Hanya saja, ia se-

nang memancing orang lain untuk lebih penasaran la-

gi. Hingga diam-diam ia pun sadar kalau permata ini 

memang bukan permata sembarangan.

Bukan sekali dua kali sebenarnya Kakek Buruk 

Rupa saat bertarung dengan lawannya, tak menyadari 

kalau lawan tiba-tiba sudah meninggalkannya ataupun 

sudah terkapar di tanah. Padahal menurutnya, lawan 

saat itu sedang gencar menyerang. Tetapi mengapa 

mereka justru meninggalkannya?

Pertanyaan itu memang berpendar di dirinya 

tanpa mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hanya 

yang diduganya, kalau ia telah berhasil mengalahkan 

lawan-lawannya.

"Sebenarnya, aku tak ingin menyerahkan per-

mata itu pada Pendekar Slebor. Aku ingin bertanya 

pada Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu.

Tetapi mencari manusia itu, sama saja mencari jarum 

di tumpukan jerami! Ah, Pendekar Slebor pun memiliki 

otak yang sangat cerdik. Tak kusangka, kalau pewaris 

Ki Saptacakra - pendekar legendaris itu - seseorang 

yang masih muda dan mempunyai sifat konyol. Mu-

dah-mudahan, ia berhasil memecahkan rahasia per-

mata itu. Ini hanya sebuah harapan. Memang cukup 

merepotkan keadaan Pendekar Slebor sebenarnya, bila 

orang-orang serakah mengetahui Permata Sakti itu be-

rada di tangannya. Namun, biarlah. Toh aku yakin, ia 

bisa mempertahankan diri."

Kakek Buruk Rupa terus berkelebat ke arah ti-

mur. Kali ini terbayang di benaknya sang cucu akan 

menyambut kedatangannya seperti biasa dengan cara 

sembunyi-sembunyi. Selang beberapa saat kemudian, 

ia pun memasuki sebuah desa.

"Hmm... Haryo pasti tidak menyukai kedatan-

ganku, apalagi bila mengetahui aku mendekati anak-

nya. Tetapi Haryo adalah putraku dan Suci cucuku. 

Aku akan tetap ke sana. Hanya saja, aku tidak mau 

cari gara-gara, sebaiknya... aku datang bersembunyi-

sembunyi."

Kelebatan tubuhnya di jalan desa yang mema-

suki rembang petang itu, cukup menggidikkan bagi pa-

ra penduduk yang melihat bayangan laksana setan 

berkelebat. Tetapi mereka tak ambil peduli karena toh 

ini masih sore. Menurut mereka, setan tak akan 

mungkin iseng gentayangan di sore ini.

Kakek Buruk Rupa kini sudah berada di atap 

genting rumah putranya. Ia tahu di mana letak kamar 

cucunya. Tetapi, pendengarannya yang tajam menang-

kap suara tangis di bawahnya.

"Bagaimana kita harus menemukan Suci, Pak?" 

suara wanita yang dikenali sebagai anak menantunya. 

"Sudah beberapa hari ini Suci menghilang. Oh, Gusti...

ke manakah kau Suci?"

Di depan wanita yang tengah bersedih itu, 

Haryo Adilekso hanya berdiri mematung. Ia sudah me-

nyuruh beberapa penjaga rumahnya untuk mencari 

putrinya, namun sampai saat ini belum ada laporan 

yang memuaskan.

"Sudahlah, Bu... ia pasti kembali. Bukankah 

begitu biasanya?"

"Tetapi... aku khawatir akan kepergiannya saat 

ini. Pak... apakah ia mengikuti pemuda yang bernama 

Andika itu?" tanyanya tersendat. Dihapusnya air ma-

tanya dengan saputangan yang bermotifkan sulaman 

burung merak.

"Mungkin iya, mungkin tidak. Karena, pemuda 

itu tidak berada di sini pula."

"Apakah dia...."

Haryo Adilekso tersenyum.

"Jangan berpikir macam-macam, Bu. Meskipun 

kulihat sifat pemuda itu agak konyol, namun aku ya-

kin ia adalah pemuda baik-baik."

Tetapi istrinya menggeleng-gelengkan kepala 

sambil menghapus air matanya.

"Maksudku... apakah kepergian Suci untuk 

mencari ayahmu? Aku yakin... sebenarnya ia sangat 

dekat dengan ayahmu itu. Suamiku... bisakah kau 

meminta pada ayahmu untuk tinggal bersama kita, 

agar Suci tidak menghilang lagi?"

Kali ini suaminya terdiam. Sebenarnya, Haryo 

Adilekso pun menduga akan hal itu. Tetapi, untuk me-

nenangkan istrinya ia tidak mau mengatakan dugaan-

nya. Hanya saja, istrinya sudah mengatakan hal itu.

Dugaannya kembali berpendar-pendar, cukup 

memusingkan kepalanya sekarang. Bila ia ingat ten-

tang ayahnya yang dijuluki oleh orang-orang rimba 

persilatan sebagai Kakek Buruk Rupa, rasa jengkel

mulai merayapinya.

Tetapi lagi-lagi ia memutuskan untuk tidak 

mengatakan hal itu pada istrinya.

"Entahlah... aku tidak tahu soal itu, Bu. Me-

mang kuakui, kalau Suci sebenarnya merindukan ka-

keknya. Tetapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah beru-

saha meminta pada Ayah agar mau tinggal bersama ki-

ta. Namun kau tahu sendiri bukan sifat Ayah? Sudah-

lah, kita hanya berharap, semoga tak terjadi apa-apa 

dengannya. Terus terang, kalau memang ia pergi ber-

sama pemuda yang bernama Andika itu, aku lebih te-

nang karena aku yakin pemuda itu akan menja-

ganya...."

"Pak... aku khawatir akan terjadi apa-apa pada 

Suci," suara istrinya terdengar lemah, mengandung 

kekhawatiran tinggi.

Haryo Adilekso perlahan-lahan mendekati is-

trinya. Lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang. 

Ditatapnya seolah memberikan kekuatan agar istrinya 

tenang.

"Berdoalah, semoga tak terjadi apa-apa. Bu-

kankah seperti biasanya Suci memang seperti itu? Aku 

yakin, ia pasti kembali tak kurang suatu apa."

Di atap, Kakek Buruk Rupa mengerutkan ke-

ningnya mendengar percakapan itu. Rambutnya yang 

menutupi wajahnya tersibak dipermainkan angin.

"Hhh! Cucuku pergi dari sini. Tetapi, mengapa 

ia bisa bertemu dengan Andika? Mengapa pemuda itu 

bisa menginap di sini? Aku pun merasa aman kalau 

cucuku bersama dia sebenarnya? Tetapi... aku pun ta-

hu sangat berbahaya bagi keselamatannya bila ada 

yang mengetahui tentang permata itu berada di tangan 

Pendekar Slebor. Sebaiknya, kucari ia sekarang!! Mu-

dah-mudahan, tak ada peristiwa yang mencemaskan."

Setelah berpikir begitu, Kakek Buruk Rupa masih menyempatkan diri mendengar isak dari menan-

tunya. Hatinya pilu. Lalu tanpa buang tempo lagi, laki-

laki bongkok itu berkelebat cepat. Sosok tubuh kurus 

dengan rambut disanggul ke atas yang sejak tadi 

hanya memperhatikan tak mengerti mengapa orang 

yang dibuntutinya mengintip rumah itu, segera kele-

batkan tubuh lagi untuk mengikuti Kakek Buruk Ru-

pa.

"Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Manusia 

sialan itu, harus kubunuh dan kudapatkan Permata 

Sakti. Kupaksa ia untuk mengatakan rahasianya. Aku 

yakin kakek bongkok itu tahu rahasia apa yang ter-

pendam pada permata itu. Biarlah kutunggu saat yang 

tepat, siapa tahu ia akan mengeluarkan permata itu 

dan mempergunakannya. Setelah kudapatkan, akan 

kucari dan kubunuh Pendekar Slebor. Gila! Aku masih 

tak mengerti mengapa ilmunya demikian cepat ber-

tambah."

Sosok berbaju perak itu yang tak lain si Camar 

Hitam, segera menyusul Kakek Buruk Rupa. Hatinya 

penuh kegeraman, kekesalan, dan dendam. 

***

9


Serangan gencar yang kini diterima Andika, be-

nar-benar membuatnya mati kutu. Terutama serangan 

balik yang dilakukan oleh Rase Maut. Belum lagi gedo-

ran Moro Alit dan kedua temannya. Mengandalkan ke-

cepatannya, Andika mencoba menghindari setiap se-

rangan dan membalas.

Tenaga 'inti petir' tingkat kelima sudah dikerah-

kan. Setiap kali ia menggerakkan tangannya, terdengar

suara salakan keras. Mampu membuyarkan konsen-

trasi lawan sebenarnya. Namun serangan lawan yang 

beruntun itu bagai mengurung geraknya, membuatnya 

jadi kelimpungan sendiri.

Serangan Moro Alit dan kedua temannya sebe-

narnya tak begitu menyulitkan. Tetapi, serangan dari 

Rase Maut-lah yang mematikan. Membuatnya harus 

mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.

"Gila! Aku harus bisa meloloskan diri kalau ti-

dak ingin konyol!" gerutunya, dan bersalto ke bela-

kang, menghindari terobosan Rase Maut yang menye-

rang sambil mengeluarkan seruan keras. Bersamaan 

dengan itu, tiga sosok tubuh berpakaian hitam segera 

menerjang.

Andika kalang kabut dibuatnya. Pukulan Moro 

Alit menghantam dadanya telak. Meskipun merasa se-

sak napas sejenak, Andika tak ambil peduli. Ia putar 

tubuhnya dan dengan ajian 'Guntur Selaksa' ia mema-

paki hantaman Rase Maut yang sudah mengeluarkan 

jurus 'Rase Kejar Mangsa'.

Sebuah rangkaian jurus yang cepat dan tak 

memberikan kesempatan pada lawan untuk menghin-

dar atau bertahan lebih lama. Namun yang dihada-

pinya adalah Pendekar Slebor, yang bertarung dengan 

selalu mempergunakan kecerdikan otaknya.

Benturan dua tenaga hebat terjadi.

Des! Blaaarr!

Tanah yang mereka pijak bagai bergoyang. Suci 

yang sedang mengintip pertarungan maut itu pun tak 

urung dari getaran hebat yang diterimanya. Segera ia 

alirkan tenaga dalamnya. Hatinya tegang memikirkan 

keadaan Andika. Tatapannya sejak tadi tak berkesip. 

Mulutnya berkomat-kamit panjatkan doa agar Andika 

diberi kekuatan.

Sedikit banyaknya ia menyesal mengapa ia tidak meminta kakeknya untuk mengajarinya ilmu ka-

nuragan. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh dan 

tenaga dalam. Bila saja ia memiliki sedikit kesaktian, 

ia pasti akan turut membantu Andika.

Akibat benturan keras yang terjadi itu tubuh 

Andika mencelat beberapa tombak ke belakang. Dari 

hidungnya mengalirkan darah segar. Sementara si 

Rase Maut merasa napasnya sesak dengan aliran da-

rah yang kacau.

Saat itu, Moro Alit dengan liciknya segera me-

nyerbu ke depan. Satu jotosan tangan kanan yang 

mengandung kekuatan tinggi itu dikiblatkan ke wajah 

Andika. Namun seruan dari Rase Maut mengurungkan 

niatnya untuk menghajar wajah Andika.

"Ambil Permata Sakti itu dan balik bajunya!!"

Tangannya yang mengarah ke atas tadi ditu-

runkan. Gerakan cepatnya tak mengendor. Tangannya 

bergerak. 

Buk!

Justru dalam keadaan sempoyongan Andika 

masih menunjukkan kelasnya. Tangan kirinya berge-

rak menangkis tangan Moro Alit, yang mengeluarkan 

seruan tertahan karena tangannya dirasakan ngilu se-

kali.

Tak berkesudahan serangan yang dialami oleh 

Andika, karena Rase Maut bersamaan dengan dua te-

man Moro Alit, sudah menggempur dahsyat. Mencoba 

merebut Permata Sakti dan sekaligus menghabisi Pen-

dekar Slebor.

Andika menjadi tegang sekarang. Nyeri di seku-

jur tubuhnya akibat bentrokan dengan si Rase Maut 

bagai membuatnya tak bisa bergerak. Rase Maut per-

dengarkan teriakan mengguntur dan senyuman penuh 

kemenangan. Tangannya menghantam dada Andika.

Des!

lawan akan merasakan bagai memukul kapas belaka. 

Sedangkan yang dimiliki oleh Pendekar Slebor, tubuh-

nya tetap keras seperti biasa. Hanya saja, ia tak peduli 

dengan hantaman sekeras apa pun. Setan alas! Ba-

gaimana caranya aku untuk mengalahkan dan mere-

but Permata Sakti itu! Hhh! Kucoba saja untuk mere-

butnya!" 

Penasaran Rase Maut kembali menyerang Pen-

dekar Slebor, sementara Moro Alit dan kedua te-

mannya terus menggempur. Tubuh Andika tak ubah-

nya bagai sebuah bola yang dipermainkan. Ditendang 

ke sana kemari. Bagai bergulingan cepat.

Sementara pemuda urakan itu sendiri sedang 

memaki dirinya keras, "Keparat! Apa yang terjadi? Aku 

tak melihat apa-apa selain warna biru? Celaka! Sudah 

beberapa kali hal ini terjadi tetapi aku tak mengetahui 

apa sebabnya?"

Rase Maut menggerakkan tangannya, mencoba 

menjambret pakaian Andika. Namun yang cukup 

mengherankannya, selagi ia mencoba menyusupkan 

tangannya, dirasakan tubuh Andika memancarkan 

panas yang luar biasa!

"Haram jadah!" makinya sambil membuang tu-

buh dan mengalirkan tenaga dalam guna mengusir 

panas yang menyengat. "Kalau kuhajar, ia seolah 

membiarkan. Mengapa ketika serangan ini ku ubah, 

tubuhnya bagai memancarkan panas? Setan alas! Ilmu 

apa yang sebenarnya dimiliki oleh Pendekar Slebor?"

Moro Alit dan kedua temannya yang sudah ke-

habisan napas dan tenaga karena memforsir tenaganya 

terus menerus, perlahan-lahan mulai mengendor se-

rangannya. Ketiganya mundur teratur dan mengatur 

napas.

"Jangan menjadi banci! Hajar manusia itu terus 

menerus!" sentak Rase Maut. Moro Alit melotot.

"Setan jerawat! Apakah kau tidak tahu kalau 

tenaga kami sudah terkuras habis, sementara Pende-

kar Slebor tetap berdiri pada posisinya? Jangan hanya 

bisa memerintah kalau tidak kubuat mencong mulut-

mu? Kau sendiri dibuat tak ubahnya seperti banci be-

laka!"

Panas wajah Rase Maut mendengar ejekan 

orang. Namun untuk saat ini tak dihiraukannya. Se-

umur hidupnya baru kali ini ia melihat lawan membi-

arkan tubuhnya dihajar habis-habisan tanpa sekali 

pun membalas. Bahkan ketika ia dan yang lainnya 

menghentikan serangan, sang lawan masih tegak ber-

diri tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan.

"Ilmu yang dimilikinya memang aneh sekaligus 

dahsyat luar biasa! Sebaiknya kita coba rebut Permata 

Sakti itu!"

"Kau lakukan sendiri, tenaga kami belum pu-

lih!" Dengan suara menggembor menahan geram. Rase 

Maut bergerak lagi untuk merebut Permata Sakti itu. 

Namun kembali dirasakan hawa panas menyergapnya 

bertubi-tubi, sementara Andika tetap sempoyongan 

terhantam dan kembali tegak. Dan lagi-lagi pemuda 

dari Lembah Kutukan ini membatin geram, "Gila! Men-

gapa ini? Mengapa?"

Diusahakan untuk memecahkan keheranan 

yang melingkupinya. Namun sampai sejauh ini Andika 

belum bisa mengetahuinya. Bahkan yang dicemaskan-

nya, kalau lawan-lawannya menyerang sementara yang 

ada dalam pandangannya hanya warna biru belaka.

Rase Maut memutuskan untuk menghentikan 

serangannya.

"Benar-benar luar biasa! Aku harus bisa meme-

cahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Sle-

bor! Aku yakin, ilmu itu mempunyai kelemahan!"

Ia coba berdiam sekarang sambil mencoba

menguras seluruh pikirannya. Andika masih tetap te-

gak dengan mata nyalang.

Sementara Suci menarik napas lega melihat 

kenyataan itu. Kekagumannya semakin bertambah 

melihat kelihaian Pendekar Slebor.

"Kulihat... Kang Andika tidak membalas sekali 

pun. Ia malah membiarkan dirinya dihajar. Bahkan... 

sepertinya Kang Andika tidak tahu apa yang sedang 

terjadi," desis Suci dengan hati galau. Diam-diam dia 

berkata dalam hati, "Lalu, bagaimana caranya aku bisa 

memiliki Permata Sakti itu bila Kang Andika memiliki 

ilmu yang tinggi?"

"Rase Maut... tak mungkin kita bisa mengalah-

kan Pendekar Slebor sekarang ini," kata Moro Alit yang 

tenaganya sudah pulih kembali. "Lebih baik kita le-

paskan dulu, untuk kemudian kita hajar kembali dia!"

"Goblok! Ini kesempatan yang telah lama kuca-

ri! Permata itu tak lagi berada di tangan Kakek Buruk 

Rupa! Sekarang, apakah kalian akan melepaskannya 

begitu saja setelah mengetahui permata itu berada di 

tangan Pendekar Slebor? Dasar orang-orang bodoh!"

Wajah Moro Alit mengkelam. Ia muak dibentak 

seperti itu. Namun, ia juga membenarkan kata-kata 

Rase Maut. Hanya saja, bagaimana cara mengalahkan 

Pendekar Slebor yang telah menguras tenaganya ha-

bis-habisan. Masih untung ia bisa memulihkannya, 

kalau tidak, ia membutuhkan waktu dua hari dua ma-

lam guna mendapatkan tenaganya kembali.

Meskipun menyetujui kata-kata Rase Maut, ha-

tinya sudah keburu geram dibentak seperti itu.

"Kau lakukan sendiri dan kami ingin melihat 

hasilnya!!"

Ganti Rase Maut yang menggeram, sementara 

Andika masih berdiri tegak tanpa bergerak, seolah siap 

membiarkan dirinya dihajar habis-habisan.

"Bagaimana caranya untuk menghabisi Pende-

kar Slebor?" desisnya. Diperas seluruh otaknya, na-

mun ia tak menemukan jawabannya. "Hhh! Yang 

mengherankanku, ia tak menyerang sama sekali. Tidak 

seperti pertama kali kami bertempur. Seolah ia me-

nunggu, namun dari sikapnya itu pun sepertinya ia 

tak peduli dirinya dihajar habis-habisan. Gila! Benar-

benar ilmu yang luar biasa! Bagaimana mungkin aku 

bisa mendapatkan Permata Sakti itu? Menjengkelkan!"

"Mengapa harus memeras tenaga lebih banyak? 

Aku siap membantumu!" terdengar seruan itu bersa-

maan satu sosok tubuh melayang dari satu tempat.

Sosok itu tinggi besar dan terdapat sebuah 

tambang besar di bahu kirinya.

Rase Maut seketika palingkan kepala. Sesaat 

kemudian terdengar dengusannya, "Mau apa kau ke 

sini, Iblis Tambang?"

Yang hadir itu tak lain adalah Iblis Tambang. Ia 

perdengarkan tawanya yang mengguntur. Rupanya, 

manusia itu telah berhasil memulihkan sakit di seku-

jur tubuhnya akibat serangan dari Kakek Buruk Rupa. 

Ia memang masih bermaksud untuk mengejar Kakek 

Buruk Rupa. Hanya saja, ketika ia tiba di tempat itu, 

didengarnya sebuah pertarungan dahsyat. Dan dili-

hatnya seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan 

kain bercorak catur yang tersampir di bahunya bagai 

membiarkan saja serangan-serangan gencar dari la-

wan-lawannya. Yang cukup mengejutkannya, ketika ia 

mendengar tentang Permata Sakti yang kini diketa-

huinya berada di tangan Pendekar Slebor.

"Lama kucari Kakek Buruk Rupa, tak tahunya 

Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor. 

Rase Maut... apakah kau akan mengkangkangi sendiri 

Permata Sakti itu?"

Rase Maut tahu akan kehebatan Iblis Tambang.

Ia tahu pula kalau ilmunya berada satu tingkat di ba-

wah Iblis Tambang. Namun kelicikannya itu kini mun-

cul kembali.

"Jangan tegang begitu. Jangan gusar. Kita bisa 

bersama-sama merebut Permata Sakti dari tangan 

Pendekar Slebor. Hanya saja, aku sudah berjanji un-

tuk menyerahkan permata itu pada Tunggul Manik, 

ketua Serikat Kuda Hitam."

Dengan berkata seperti itu, Rase Maut berharap 

Iblis Tambang akan marah mendengarnya. Hingga ia 

akan merebut dan mempertahankan Permata Sakti itu 

dari tangan Tunggul Manik bila berhasil menda-

patkannya. Bila keduanya bentrok, maka Rase Maut 

merasa bisa mengambil kesempatan.

Yang diduganya itu memang benar. Iblis Tam-

bang memerah wajahnya. Sekian bulan ia memburu 

Permata Sakti, tak akan mungkin bila sudah di ta-

ngannya akan dilepaskan.

"Persetan dengan Tunggul Manik! Aku ingin 

mencoba kekuatan manusia keparat itu!"

Rase Maut cuma tersenyum saja, diliriknya Mo-

ro Alit dan kedua temannya yang mendadak menjadi 

gusar. Ketiganya segera melompat ke muka dua tin-

dak.

"Jangan sembarang omong! Kau akan terserim-

pung oleh ucapanmu sendiri!!" bentak Moro Alit.

Iblis Tambang terbahak-bahak mendengar an-

camannya. 

"Rase Maut... karena orang-orang semacam in-

ilah hingga kau membiarkan jiwamu kau jual?" se-

runya dengan suara ditekan, penuh ejekan.

"Yang kutakutkan adalah Tunggul Manik," sa-

hut Rase Maut menebar hawa panas di antara mereka. 

Lalu dengan liciknya ia berkata, "Tak mungkin aku 

sanggup membantah perintah Tunggul Manik. Entah

bagaimana kau sendiri. Apakah mampu atau tidak?? 

Tetapi menurut penglihatanku...." 

"Keparat! Kau hendak mengatakan aku tak 

akan mampu mengungguli Tunggul Manik?" dengus 

Iblis Tambang dengan tatapan laksana kobaran mata 

api. 

"Jangan memutar mulut ngaco! Manusia mana 

pun juga akan kulibas dan rebah sejajar dengan tanah 

bila menghalangi keinginanku! Tak peduli siapa pun 

dia! Tunggul Manik... ingin kutahu kehebatan manusia 

semacam dia. Aku yakin, ia tak lebih dari seorang ban-

ci yang berlindung di balik kekuatan anak buahnya."

Moro Alit semakin panas bukan buatan. Ha-

tinya bagai dicabik-cabik tangan kasar dan ribuan ja-

rum. Wajahnya tertarik ke belakang. Rambut panjang-

nya bagai bergetar.

"Iblis Tambang! Tak kuperkenankan kau meng-

ejek Ketua serendah itu! Kau akan merasakan aki-

batnya!"

Iblis Tambang terbahak-bahak.

"Mengapa kau hanya berdiam saja? Cepat la-

kukan apa yang kau inginkan? Biar aku...."

Tak mau menunggu kata-kata Iblis Tambang 

yang telah menghina ketuanya, Moro Alit sudah maju 

dengan satu gempuran dahsyat. Dalam sekali gebrak 

itu, Iblis Tambang bisa dibuat berantakan. Namun la-

ki-laki bersenjata tambang besar itu, cuma menggeser 

tubuhnya. Dan dengan kecepatan laksana setan, ia 

menjotos dada Moro Alit yang mengaduh keras dan ter-

lempar ke belakang.

Tanpa mau membiarkan lawan hidup lebih la-

ma lagi, Iblis Tambang melompat. Masih melompat ka-

kinya bergerak.

Praaak!!

Moro Alit yang masih terhuyung tak mampu

hindari tendangan ke kepalanya. Tanpa ampun lagi, 

kepalanya terhantam tendangan keras itu. Pecah dan 

tubuhnya ambruk.

Melihat kawannya mati dalam sekali gebrak, 

dua orang dari anggota Serikat Kuda Hitam segera 

berkelebat dengan gerengan yang keras memecah ang-

kasa.

"Keparat! Mampuslah kau, Manusia Hina!".

Iblis Tambang hanya terbahak-bahak saja, se-

olah membiarkan maut menjemputnya. Namun dengan 

gerakan tak terlihat, tiba-tiba saja tambangnya sudah 

berkelebat. Keluarkan suara bergemuruh dan meng-

hantam keduanya.

Des! Des!

Bukan buatan maut yang diterima keduanya, 

lebih parah dari yang dialami oleh Moro Alit. Tubuh 

keduanya rencah terhantam tambang berkekuatan 

dahsyat itu.

Sesaat kemudian, terdengar lagi tawa dari iblis 

Tambang. Rase Maut diam-diam mendesah, "Luar bi-

asa! Kecepatannya sangat luar biasa sekali!"

Sementara Suci yang bersembunyi sambil ke-

rahkan ilmu meringankan tubuhnya terbelalak me-

nyaksikan semuanya. Hatinya kacau tak karuan. Lebih 

kacau lagi melihat sikap Andika yang tetap berdiri te-

gak tanpa berbuat apa-apa. Dan tak seorang pun yang 

tahu kalau saat ini Pendekar Slebor sedang berteriak 

sangat keras sekali. Berharap ada yang mendengarnya 

dan membawanya keluar dari suasana yang se-

luruhnya berwarna biru.

Sedangkan saat itu, Iblis Tambang sudah ber-

balik dan menatap Andika tak berkesip.

"Rase Maut... apakah kau akan menyaksikan 

kehebatan ilmu tambangku ini, hah? Sekalipun Pende-

kar Slebor memiliki ilmu kebal yang luar biasa, tak

akan bisa menahan dahsyatnya tenaga dan gempuran 

tambang kesayanganku ini!!"

Rase Maut cuma mengangguk-anggukkan ke-

palanya. Akal liciknya tetap berputar. Ia tetap meng-

inginkan Permata Sakti itu.

"Iblis Tambang... kau akan bisa mengalahkan 

Pendekar Slebor dan mendapatkan Permata Sakti itu. 

Tetapi, bagaimana tanggung jawabku dengan Tunggul 

Manik?"

"Manusia bodoh! Bila kau mau bergabung de-

nganku, akan kuhancurkan Tunggul Manik bersama 

serikatnya itu!"

Inilah yang dikehendaki oleh akal licik Rase 

Maut. Sudah tentu ia senang bukan main. Diperli-

hatkan senyum dan pujian yang membuat Iblis Tam-

bang semakin bertambah jumawa.

"Kau minggir sekarang! Ingin kulihat kekebalan 

yang dimiliki Pendekar Slebor! Kau lihat sendiri, bu-

kan? Kalau Pendekar Slebor tak lebih dari mayat hidup 

belaka! Ia merasa akan mampu menahan serangan 

tambang kesayanganku ini! Padahal, ia salah besar bi-

la memang berniat melakukannya! Tak akan kubi-

arkan manusia itu bercokol di rimba persilatan ini le-

bih lama!!"

Sehabis berkata begitu, Iblis Tambang melang-

kah dan berhenti dalam jarak tiga tombak di hadapan 

Pendekar Slebor. Segera dialirkan tenaga dalamnya 

pada tambangnya.

Rase Maut diam-diam tersenyum penuh kelici-

kan. Ia bergeser dari tempatnya. Untuk saat ini, biar-

lah ia mengalah dan membiarkan Iblis Tambang memi-

liki Permata Sakti itu. Setelah Iblis Tambang bentrok 

dengan Tunggul Manik, ia akan mencoba mengambil 

kesempatan.

Putaran tambang itu semakin lama semakin

keras terdengar. Memekakkan telinga dan menggu-

gurkan dedaunan. Suci menggigil menahan kekacauan 

hatinya. Darahnya bagai beredar dengan cepat. Ia ber-

doa agar Andika menghindar.

"Tak ada lagi nama Pendekar Slebor sekarang 

ini!!" terdengar sentakan maut dari Iblis Tambang.

Suci memutuskan untuk mengambil tindakan 

nekat. Ia benar-benar tak mengerti mengapa Andika ti-

dak menghindar maupun membalas setiap serangan 

yang datang. Justru berdiri tegak membiarkan tubuh-

nya dihujani serangan.

Mendadak saja ia melompat dari persembunyi-

annya, "Heaaaa!!"

Teriakannya mengejutkan Iblis Tambang. Selagi 

Iblis Tambang menghentikan gerakannya, Suci mena-

rik tangan Andika.

Wut! Wut!

Dan membawanya menghilang ke satu tempat.

Gusar bukan buatan Iblis Tambang dibuatnya. 

Ia menggeram setinggi langit.

"Setan alas! Kubunuh kau, Manusia Lancang!"

Rase Maut sendiri terpaku di tempatnya. Sama 

sekali tak menyangka kalau seseorang akan muncul 

dan menyelamatkan Pendekar Slebor. Melihat Iblis 

Tambang sudah melesat. Rase Maut pun menyusul. Ia 

tak ingin Permata Sakti itu jatuh ke tangan Iblis Tam-

bang. 

***

10


Suci yang membawa Andika dengan mempergu-

nakan ilmu meringankan tubuhnya terkejut ketika

mendengar teriakan Andika, "Hey hei! Aku mau dibawa 

ke mana?" 

Merasa sekarang sudah agak aman, Suci meng-

hentikan larinya. Menatap Andika yang sedang ber-

sungut-sungut dengan pandangan tak mengerti. Saat 

itu hari sudah memasuki malam. Udara di sekitar ta-

nah terbuka berhembus dingin. Sayup-sayup terde-

ngar suara gemuruh sungai yang keras.

"Mengapa aku berada di sini? Sepi... ke mana 

manusia-manusia dajal itu?" seru Andika sambil celi-

ngukan.

Lagi-lagi Suci cuma melongo mendengarnya. 

Dari kata-kata Andika barusan, pemuda sakti itu se-

olah tak merasa kalau ia dibawa lari Suci.

"Maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya 

tak mengerti.

Justru Andika yang balik bertanya, "Apanya 

yang bagaimana? Aku malah bingung mengapa bisa 

berada di sini?"

Terheran-heran Suci menceritakan apa yang 

terjadi. Ganti Andika sekarang yang terheran-heran.

"Kau bilang, aku membiarkan tubuhku dihan-

tami serangan manusia-manusia itu?"

Suci menganggukkan kepala.

"Aneh!" desis Andika sambil mengerutkan ke-

ningnya. 

"Tidak aneh, Kang. Sudah dua kali sebenarnya 

aku melihat Kang Andika membiarkan dihajar lawan 

tanpa sekali pun membalas," kata Suci.

"Dua kali?" ulang Andika.

"Ya. Dua kali. Pertama, ketika Andika bertarung 

di atas sampan menghadapi si Rase Maut. Kedua, ya 

pertarungan tadi itu. Mengapa Kang Andika seperti 

keheranan?" 

Bukannya menjawab, Andika justru mondar

mandir kayak mandor pabrik.

"Tak mungkin, Suci... tak mungkin." 

"Apanya yang tak mungkin?"

Andika menghentikan langkahnya. "Dan menu-

rutmu aku sama sekali tidak merasa kesakitan?"

Suci menganggukkan kepalanya. Aneh, kenapa 

Kang Andika jadi begini, desisnya dalam hati.

"Tidak membalas?"

"Ya. Tetapi, Kang Andika, mengapa Kang An-

dika keheranan? Bukankah Kang Andika yang me-

lakukannya?"

"Tidak."

"Bagaimana ini?" kata Suci makin tak mengerti. 

"Padahal, aku melihatnya dengan jelas."

Andika diam kembali. Lalu katanya, "Ketahui-

lah Suci, aku tak memiliki ilmu aneh semacam itu. 

Bahkan aku seolah baru disadarkan kalau sudah dua 

kali hal itu terjadi. Malah aku... oh!" Andika berdiri te-

gak, mematung dengan tatapan melotot.

Suci menjadi tegang sendiri. Mengingat tempat 

itu sepi dan sikap Andika yang rada aneh.

"Kenapa, Kang Andika?"

"Apakah... oh, ya, ya... bisa jadi itu. Bisa jadi."

"Kang Andika kenapa?"

Andika masih belum menjawab pertanyaan Su-

ci, "Tidak, aku belum bisa menentukan itu benar atau 

tidak sebelum membuktikannya. Hmmm... ya, ya... 

memang harus dibuktikan."

Merasa ada keanehan dalam diri Andika, Suci 

berkata, "Kang Andika... sebaiknya, kita tinggalkan 

tempat ini. Karena, kedua manusia itu pasti akan 

mencari kita."

Kali ini Andika menganggukkan kepalanya.

"Kau benar, Suci. Kita memang harus mening-

galkan tempat ini. Tetapi... awaaaasss!!"

Andika mencelat menyambar tubuh Suci, keti-

ka didengarnya suara menggemuruh mengerikan men-

garah pada keduanya.

Blaaarr!

Dua buah pohon tumbang seketika.

Andika menurunkan tubuh Suci dari bopon-

gannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh su-

dah mencelat ke arahnya. Jotosan dan tendangan siap 

diterima Andika.

Andika mendorong tubuh Suci. Lalu menekuk 

kedua lutut dan kedua tangan bergerak.

Buk! Buk!

Tendangan dan jotosan itu tertahan, namun 

meskipun demikian, dua dorongan tenaga dalam ting-

gi, membuatnya agak terhuyung. Mengubah posisi 

agar keseimbangannya tidak menghilang, pindah satu 

tindak ke kiri dan melepaskan tendangan balasan.

Rase Maut yang tengah mencecar, urung den-

gan satu teriakan keras. Saat itu sebenarnya Andika 

bisa menghabisi lawan, akan tetapi, tambang besar 

yang mengeluarkan suara mengerikan menderu meng-

halangi maksudnya.

"Kerbau bau!" maki Andika sambil membuang 

tubuh. Tetapi, tambang besar senjata andalan Iblis 

Tambang terus mencecarnya. Mau tak mau untuk be-

berapa saat, Andika merasa dirinya seperti monyet ke-

bakaran ekor.

Menyusul rangkaian serangan dari Rase Maut. 

Benar-benar Andika berada di lingkaran jalan ke-

matian sekarang ini. Suci yang sudah berdiri akibat 

dorongan Andika tadi, menjadi pias bukan main. Ia 

berteriak keras, "Gunakan ilmu kebal yang Kang Andi-

ka miliki?!"

Tetapi yang dilihatnya, Andika terus berusaha 

menghindar. Tidak lagi menunjukkan 'kebolehan'nya

yang menurut Suci sangat menakjubkan.

Tambang besar itu lolos dari sasaran, tetapi jo-

tosan tangan kiri iblis Tambang, telak menghantam 

dada Andika. Menyusul tendangan Rase Maut. Bukan 

alang kepalang sakitnya. Napas Andika terasa sesak.

Tetapi dasar urakan, Andika tak mempedulikan 

hal itu. Ia berkelit, bergulingan, melompat, dan men-

coba membalas. Keberanian yang dipadukan dengan 

kepandaiannya yang tinggi, membawa basil. Rase Maut 

merasa ngilu ketika tempurung kaki kirinya terhantam 

tendangan Andika.

Patah dengan jeritan yang cukup keras.

Menyadari kalau lawan belum sepenuhnya ter-

desak, Iblis Tambang yang melihat Rase Maut menjerit 

seperti itu, mencoba menambah kecepatan dan tena-

ganya. Akibatnya, Andika terhantam telak kembali.

Ia terjajar ke belakang. Darah segar mengalir 

dari mulutnya.

Iblis Tambang berdiri pongah, sementara Rase 

Maut coba berdiri dengan sebelah kaki. Matanya me-

nyiratkan dendam tinggi, penuh ambisi untuk mem-

bunuh Andika.

"Nyawamu akan kuampuni, bila kau menyerah-

kan Permata Sakti itu kepadaku, Pendekar Slebor!" 

suara serak Iblis Tambang menggetarkan tempat itu.

Andika tersenyum mengejek.

"Kalau kau mampu, mengapa tidak mengambil-

nya?"

Iblis Tambang memutar senjatanya yang me-

nimbulkan gemuruh angin.

"Nyawamu sudah di tanganku, Pendekar Sle-

bor! Kau masih saja mencoba mengulur waktu!!"

Andika tersenyum, dengan membentuk mo-

nyongan pada bibirnya. "Heran, kalau mau membunuh 

ya lakukan saja!"

Iblis Tambang yang penasaran tentang ilmu ke-

bal yang dilihatnya ketika Rase Maut dan Serikat Kuda 

Hitam menghajar Andika, diam-diam mengerahkan te-

naga dari pusarnya. Panas menggejolak di tubuhnya. 

Desingan tambangnya bertambah kuat, angin makin 

kencang menggemuruh.

"Kau akan menyesal, Andika!!"

Wussss!!

Tambangnya sudah digusurkan ke arah Andi-

ka. Cepat Andika mengempos tubuhnya dengan panca-

lan satu kaki.

Hup!

Lincah ia melompati tubuh Iblis Tambang sen-

diri.

Tanah di mana ia terduduk tadi, membentuk 

lubang yang sangat besar dan mengeluarkan asap.

"Edan! Kalau aku tidak cepat, bisa jadi perkedel 

busuk!" maki Andika.

Tetapi, Rase Maut dengan liciknya, menyergap 

dengan satu totokan.

Tuk!

Tubuh Andika bergetar. Lalu menggelosoh le-

mah dan terbujur kaku di tanah. Ia memaki panjang 

pendek. 

Mendapati lawan telah lumpuh, Rase Maut 

yang kini sebelah kakinya tak berfungsi lagi, melang-

kah dengan terpincang. Geram bukan buatan. Ma-

tanya melotot nyalang.

"Kau akan membayar perbuatanmu ini, Pende-

kar Slebor!"

Tangannya siap dihantamkan pada kaki Andi-

ka, tetapi Iblis Tambang berseru, "Siksaan untuknya 

telah kupersiapkan Rase Maut! Untuk sementara, bi-

arkan ia terbujur tak berdaya!"

Rase Maut membuang kesalnya dengan melepaskan pukulan ke depan. Akibatnya, sebuah pohon 

menjadi berantakan. Sementara Suci menjerit tertahan 

menyadari keadaan Andika yang tak menguntungkan.

Jeritannya itu memancing Iblis Tambang yang 

terbahak-bahak melihatnya. Sebuah rencana busuk te-

lah terpampang di benaknya.

"Pendekar Slebor... untuk beberapa saat lalu, 

kau masih bisa mempertahankan Permata Sakti itu. 

Tetapi sekarang, kau tak berdaya. Permata itu akan 

kumiliki. Setelah itu, kau akan melihat pemandangan 

yang mengasyikkan di depanmu."

Sambil terbahak, Iblis Tambang menggeladah 

tubuh Pendekar Slebor. Diperlakukan semacam itu, 

bukan buatan gusarnya Andika. Tetapi ia hanya terta-

wa-tawa saja.

"Kau tak akan menemukan Permata Sakti itu, 

Manusia Jelek!" ejeknya menyeringai.

Apa yang dikatakan Andika memang benar. Ka-

rena Iblis Tambang tak menemukan Permata Sakti 

yang memancarkan sinar biru itu di seluruh tubuh 

Andika.

"Setan alas! Katakan di mana permata itu bila 

tidak ingin kupenggal?" Kemarahan Iblis Tambang 

menggunung. Matanya bagai pijaran api, menggelora, 

mengerikan.

"Aku sih masih sayang dengan nyawaku, maka-

nya kuberi tahu di mana Permata Sakti itu."

"Katakan!"

"Kau lihat gadis itu, bukan? Permata itu ada 

padanya!"

Bukan hanya Iblis Tambang dan Rase Maut 

yang terkejut, tetapi juga Suci. Ia sampai terjingkat. 

Heran, mengapa Andika berkata begitu?

Ini memang merupakan sebuah rencana untuk 

menjelaskan dugaannya. Selagi serangan pertama datang, Andika bisa menebak kalau Iblis Tambang dan 

Rase Maut yang muncul kembali. Gerakan kilat dila-

kukan, ia menyelipkan Permata Sakti itu ke balik tu-

buh Suci. Saking cepatnya hingga gadis itu tidak me-

rasa apa-apa.

Andika sendiri sebenarnya bisa memunahkan 

totokan si Rase Maut yang tak terlalu bertenaga lagi. 

Tetapi, teka-teki tentang Permata Sakti kini ia coba pe-

cahkan, bahkan dengan sebuah cara yang mungkin 

mengerikan!

Iblis Tambang memutar tubuhnya, begitu pula 

Rase Maut. Dua pasang mata kelam menatap Suci 

yang coba untuk tetap tegar. Namun riak ketakutan 

mulai menyelinap di hatinya.

"Gadis manis... serahkan permata itu kepada-

ku!" bentak Iblis Tambang.

"Jangan, Suci! Jangan kau serahkan permata 

itu!" seru Andika. Tamparan Rase Maut membuat bi-

birnya berdarah. Andika menggeram. Kalau saja ia tak 

ingin membuktikan dugaannya, sudah dikerahkan te-

naga untuk melepaskan diri dari totokan Rase Maut. 

Tetapi ia masih menunggu, dan ia percaya kalau Suci 

selamat dari gempuran maut kedua lawan. Karena, ia 

telah mengarah pada dugaannya tentang teka-teki 

Permata Sakti.

Iblis Tambang tak mau bertindak ayal. Ia me-

nerjang cepat. Meskipun tak memiliki ilmu kanuragan, 

tetapi Suci memiliki ilmu meringankan tubuh dan te-

naga dalam yang lumayan. Cepat ia berkelit. Iblis 

Tambang menggeram dan terus menerjang.

Suci benar-benar dibuat tunggang langgang. 

Terutama ketika Rase Maut berupaya agar semuanya 

cepat selesai.

"Hmm... seharusnya Suci membiarkan tubuh-

nya dihajar, agar aku bisa menduganya," desis Andika,

"Tetapi, kalau ia tak mampu menerima hajaran itu, bi-

ar kubantai keduanya!" sambungnya sambil kerahkan 

tenaga dalam, hingga totokan Rase Maut terlepas. Te-

tapi Andika masih terbaring dengan sifat urakannya.

Saat ini Suci benar-benar kewalahan menghin-

dari gempuran kedua lawan. Satu tendangan telak di-

terimanya. Namun yang mengejutkan, Suci langsung 

tegak berdiri. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.

Iblis Tambang menderu, "Putus nyawamu!!" 

Des!

Tendangan yang siap menjebol dadanya diteri-

ma Suci, tetap dengan ketenangan, bahkan tubuhnya 

yang terhuyung berdiri kembali. Seolah gadis itu tidak 

merasakan sakit.

Diam-diam Andika mendesis, "Benar dugaanku. 

Teka-teki Permata Sakti terpecahkan sudah. Kesaktian 

yang dimiliki permata itu ternyata mampu menahan 

seorang yang memegangnya dari serangan sehebat apa 

pun. Bahkan senjata sakti macam mana pun juga. 

Pantas, aku agak keheranan ketika melihat Camar Hi-

tam menghilang. Rupanya tanpa disadari si pemegang 

Permata Sakti itu, tenaga yang dikandung Permata 

Sakti telah melindunginya. Hmm... kini aku paham, 

mengapa Kakek Buruk Rupa tidak dapat me-

mecahkannya. Karena, ia sendiri pasti tidak merasa 

kalau tenaga Permata Sakti yang membantunya. Be-

nar-benar sebuah permata yang luar biasa! Tetapi... 

Apakah pandangan Suci juga melihat suasana se-

kelilingnya yang berwarna biru?"

Dugaan Andika memang terbukti. Karena saat 

ini, Suci sedang keheranan sendiri. Karena, mendadak 

saja dia tak melihat siapa pun juga di hadapannya. 

Yang ada hanya sebuah ruang yang luas dan kosong. 

Semuanya berwarna biru.

"Oh! Mengapa terjadi seperti ini? Mengapa sekelilingku jadi berwarna biru?" desis cucu Kakek Buruk 

Rupa keheranan sekaligus waswas. Lalu dengan gu-

gupnya gadis ini berteriak, "Kang Andika! Di mana 

kau, Kang?!"

Tak ada sahutan apa-apa. Bahkan gema suara-

nya pun tak terdengar. Gadis itu semakin kebingun-

gan.

Sementara itu Iblis Tambang dan Rase Maut 

menjadi terheran-heran mendapati si gadis nampak 

tenang-tenang saja dan membiarkan serangan mereka 

mengenai sasaran.

Rase Maut menggeram, "Sinting! Rupanya gadis 

itu memiliki ilmu aneh seperti yang dimiliki Pendekar 

Slebor!"

"Persetan dengan semua itu!" seru Iblis Tam-

bang dengan wajah membesi. "Hajar sampai lumat!"

Tetapi meskipun serangkaian gempuran maut 

diterima Suci, gadis itu tetap tegak tanpa kurang suatu 

apa. Andika yang sudah merasa cukup untuk mem-

buktikan dugaannya, menarik napas panjang tatkala 

mendapati Rase Maut siap menghajar Suci lagi.

"Tak ada jalan lain sekarang. Aku tak bisa 

membiarkan hal itu terus menerus terjadi," desisnya 

dalam hati. Dan segera dikerahkan tenaga 'Inti Petir' 

guna melepaskan totokan yang dialaminya. Lalu den-

gan teriakan keras pemuda urakan dari Lembah Kutu-

kan itu menerjang ke depan. Tangannya mengibas, 

menangkis serangan Rase Maut pada Suci. Masih me-

layang kakinya berputar. 

Des! 

Menyusul kaki kanannya menghantam kepala 

Rase Maut.

Rase Maut yang tak menyangka kalau Pendekar 

Slebor bisa terbebas dari totokannya terperangah. Ia 

mencoba untuk merunduk. Tetapi kaki kanan Andika

merupakan sebuah pancingan belaka. Justru kaki ki-

rinya yang menghantam dari bawah.

Prak!

Seketika kepala Rase Maut pecah. Tak ada jerit-

an apa-apa kecuali ambruk bersimbah darah.

Iblis Tambang segera menghentikan serangan-

nya pada Suci yang kali ini sudah tersadar dari penga-

ruh gaib Permata Sakti. Gadis itu keheranan sendiri 

mendapati dirinya masih tegak berdiri dan pandang-

annya kembali pada hamparan pemandangan semula, 

tidak lagi berwarna biru.

Bahkan gadis itu hanya teringat, kalau Iblis 

Tambang dan Rase Maut tengah melancarkan seran-

gan. Ia juga melihat Rase Maut telah menjadi mayat. 

Dan Andika yang sedang berdiri tegak sementara Iblis 

Tambang menatapnya dengan beringas.

Bagaimana semua ini tidak kuketahui? desis 

Suci bingung. Ia meraba perutnya. Permata Sakti itu 

teraba, agak panas. Tetapi, terhalang oleh tenaga da-

lamnya yang memang sudah terlatih. Dari keheranan 

yang menyelimutinya, mendadak saja si gadis terse-

nyum. "Permata yang direbutkan banyak orang kini 

berada di tanganku. Permata ini semula milik kakek-

ku. Tak jadi soal bila aku memilikinya dari tangan 

Pendekar Slebor."

Sementara itu, Pendekar Slebor sedang menarik 

napas panjang. "Tak seharusnya aku menurunkan ta-

ngan telengas. Tetapi, dosa orang yang berjuluk Rase 

Maut itu terlalu banyak...," desisnya seperti menyesal 

sambil menatap mayat Rase Maut.

Dan tatkala mendengar teriakan Iblis Tambang 

yang sudah menyerang, mau tak mau Andika bergerak 

memapaki.

"Monyet pitak! Apakah aku harus mencabut 

nyawa lagi?" makinya tak karuan. Namun, bila Andika

tak bertindak, sudah barang tentu dia yang akan men-

jadi sasaran lawan.

Dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika mem-

balas gempuran Iblis Tambang yang sebenarnya te-

naganya sudah terkuras. Orang berwajah mengerikan 

ini tak mampu berbuat banyak. Berkali-kali tendangan 

Andika mengenai sasarannya. Bahkan tangan kirinya 

terhantam keras pukulan ajian 'Guntur Selaksa' yang 

seketika remuk dan membiru.

Lolongan bak serigala luka terdengar hebat. An-

dika yang merasa sudah cukup memberi pelajaran pa-

da Iblis Tambang menghentikan gerakannya. Karena 

dipikirnya, Iblis Tambang tak akan mampu berbuat 

banyak.

Namun dugaannya keliru, karena mendadak 

saja Iblis Tambang melepaskan serangannya dengan 

mempergunakan senjata tambang besarnya. Kendati 

hanya mempergunakan tangan kanannya saja, namun 

kecepatan tambang yang dilepaskan orang yang tan-

gan kirinya telah remuk itu sama sekali tak terganggu. 

Hanya saja, tenaga yang keluar lebih lemah bila mem-

pergunakan dua tangan. 

Wuusss!

Cepat Andika melompat ke samping. Dan ke-

sempatan itu dipergunakan Iblis Tambang, sambil me-

nahan sakit dan dendamnya, meninggalkan tempat 

itu.

Bila saja Andika tak memiliki jiwa kemanu-

siaan, sudah tentu akan dikejarnya Iblis Tambang 

yang sudah kalah itu. "Sayang sekali. Padahal dia me-

miliki ilmu yang tinggi. Bila saja dibawa pada jalan ke-

benaran...."

Dari sudut matanya yang setajam mata elang, 

Andika melihat Suci mendekatinya. Dia tersenyum. 

Dan semakin tersenyum mendengar gadis itu bertanya

tentang keheranannya mengenai apa yang terjadi. 

"Mengapa aku tidak tahu semuanya, Kang Andika?"

Andika tersenyum. "Maafkan aku, karena terla-

lu nekat menjadikanmu sebagai umpan, Suci. Tetapi, 

semuanya sudah kuperhitungkan dengan matang."

"Maksud Kang Andika?"

Andika mengatakan dugaannya tentang Per-

mata Sakti yang kini telah terbukti.

"Jadi... Permata Sakti ini bisa membantu si 

pemegangnya bila dalam keadaan terdesak?"

"Begitulah adanya, Suci. Ketahuilah, apa yang 

kau lihat selama ini kalau aku mampu menghadapi se-

rangan lawan, sebenarnya bantuan Permata Sakti itu. 

Aku tidak memiliki ilmu kebal semacam itu, lagi pula, 

aku tidak begitu bodoh membiarkan tubuhku dijadi-

kan bulan-bulanan lawan."

"Pantas, begitu banyak yang menginginkan Per-

mata Sakti ini dari Kakek, Kang Andika."

"Ya, sudah sepantasnyalah demikian. Kini aku 

telah berhasil memecahkan teka-teki Permata Sakti 

seperti yang diminta kakekmu meskipun secara tidak 

langsung ia menjebakku. Sekarang, saatnyalah kita 

mencari kakekmu, Suci."

Karena terlalu gembira mendengar kata-kata 

Andika, tak sadar Suci merangkulnya. "Oh! Kau ber-

janji, Kang Andika? Kau berjanji?"

Andika cuma mengangkat alisnya dengan wa-

jah memerah.

"Terima kasih, Kang Andika. Terima kasih." Ga-

dis itu mengecup pipi Andika yang bertambah meme-

rah.

Andika berbisik, "Ingat Suci, aku ini laki-laki 

lho!"

Seperti baru menyadari hal itu, Suci mele-

paskan rangkulannya. Wajahnya seketika memerah.

"Maafkan aku, aku terlalu gembira mendengar 

janji kang Andika."

"Tidak apa-apa. Malah aku ingin dirangkul se-

kali lagi," kata Andika genit.

Suci melotot, Andika cuma tertawa. Namun, 

Andika tidak tahu apa yang kemudian dipikirkan oleh 

gadis itu mengenai Permata Sakti.

***

11


Ombak berdebur keras. Menghantam batu ka-

rang yang tinggi. Senja menurun. Suasana di tepi pan-

tai itu begitu mencekam. Langit kelam, pertanda akan 

turun hujan.

Dalam jarak seratus tombak dari pantai, terda-

pat sebuah bangunan besar. Tersaput kegelapan. Di 

sanalah Serikat Kuda Hitam berdiam dengan pimpi-

nannya yang bernama Tunggul Manik. 

Telah sepuluh tahun Tunggul Manik mendiami 

pulau yang mengerikan itu, yang bernama Pulau Seri-

bu Setan. Sepak terjang Serikat Kuda Hitam memang 

tak bisa dirubah oleh siapa pun juga, terutama kaum 

golongan lurus.

Tetapi, untuk memusnahkan Serikat Kuda Hi-

tam bukanlah sebuah cara yang mudah. Karena, un-

tuk mendarat di Pulau Seribu Setan yang penuh den-

gan batu karang, bukanlah hal yang mudah. Kalaupun 

Tunggul Manik dan anak buahnya yang berjumlah se-

kitar lima puluh orang itu bisa keluar masuk ke pulau, 

dikarenakan ia mengetahui sebuah jalan rahasia. Se-

buah jalan yang diciptakan dengan kekuatan sihirnya.

Saat ini, laki-laki berwajah kasar dengan pipi

yang selalu menggembor itu tengah menggeram. Lima 

anak buahnya hanya terduduk tanpa berani mengang-

kat wajah di hadapannya.

Semenjak lima orang anak buahnya diutus un-

tuk mencari Permata Sakti tiga bulan lalu, Tunggul 

Manik mulai tak sabaran. Apalagi mengingat batas 

waktu yang diberinya. Karena saat ini kelima anak 

buahnya tidak memberi kabar apa-apa. Padahal, seha-

rusnya mereka sudah kembali ke Pulau Seribu Setan.

Laki-laki itu tidak tinggi, tetapi terbilang kekar. 

Bajunya hitam pekat. Bagian dadanya tak tertutup, 

memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Ce-

lananya hitam panjang hingga mata kaki. Di ping-

gangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak 

menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis 

mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh dida-

gunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah 

gelang perak yang besar. 

"Ke mana manusia-manusia dungu itu?" maki 

Tunggul Manik, suaranya besar mengerikan. "Hhh! 

Seminggu lagi mereka tak kembali, kalian pergi me-

nyusul! Temukan mereka, dan katakan, kalau mereka 

akan menerima hukuman!!"

Lima anak buahnya yang sejak tadi menunduk-

kan kepala, cepat-cepat mengangguk. Dan lega bukan 

buatan ketika Tunggul Manik membentak agar mereka 

keluar. 

Laki-laki berhidung besar dan berbibir tebal itu 

hilir mudik dengan wajah tertekuk. Sorot matanya 

yang celong ke dalam begitu mengerikan,

Lalu ia melangkah ke sebuah ruangan yang ada 

di dalam bangunan besar itu. Ruangan itu mengua-

rkan bau yang sangat busuk sekali. Tetapi bagi Tung-

gul Manik bukanlah hal yang mengherankan. Ia duduk 

di lantai. Di hadapannya ada sebuah meja kecil. Di

atasnya terdapat sebuah dupa yang mengepul.

Dari sanalah bau busuk itu menguar. Di samp-

ing dupa itu, terdapat sebuah baskom yang berisi air 

berwarna kuning.

Mendadak terlihat tubuhnya bergetar dengan 

mulut komat-kamit. Tangannya yang terangkum di 

dada bergerak-gerak di atas dupa itu.

Dan mendadak matanya terbuka. Tajam mem-

perhatikan air di baskom yang tadi tenang kini berge-

rak-gerak.

Tiba-tiba, sungguh aneh sebenarnya, karena di 

dalam itu terlihat sosok Pendekar Slebor dan Suci yang 

sedang celingukan di sebuah hutan lebat.

"Setan alas!! Aku yakin, permata itu berada di 

tangan Pendekar Slebor!"

Lalu orang ini mengulap-ngulapkan tangannya 

lagi di atas dupa. Pemandangan yang nampak di air itu 

kini berganti. Sosok wanita tua dengan rambut dige-

lung ke atas nampak sedang bersembunyi di salah se-

buah batu di sebuah Bukit Karang.

"Camar Hitam!"

Menyusul sosok Kakek Buruk Rupa yang mun-

cul, sedang celingukan di sekitar Bukit Karang. Lalu 

wujud Iblis Tambang yang tengah mengobati tangan-

nya yang remuk. Menyusul pemandangan sepasang 

anak manusia setengah baya berbaju biru.

"Sepasang Dewa Gurun Pasir!" 

Dan beberapa gambar lainnya. Ketika gambar 

itu tiba pada sosok anak buahnya yang telah tewas, 

menjerit setinggi gunung Tunggul Manik. Mengge-

tarkan bangunan di mana ia tinggal.

"Keparat! Kalian akan kuundang ke Pulau Seri-

bu Setan!!" serunya keras. Tangannya dihantamkan 

pada lantai. 

Braakk!

Tangan sebatas siku melesak ke dalam lantai. 

Sepasang mata orang ini melebar ganas dan wajahnya 

menekuk liar.

Apa yang akan terjadi kemudian? Rahasia Per-

mata Sakti telah berhasil dipecahkan oleh Pendekar 

Slebor. Maut pun membentang di setiap langkahnya 

dari orang-orang serakah yang menginginkan Permata 

Sakti itu. Bahkan, sebuah undangan akan ditebarkan 

oleh Tunggul Manik. Bukan undangan biasa, melain-

kan undangan yang dilakukan dengan kekuatan sihirnya.


                        SELESAI


Segera hadir kembali Serial Pendekar Slebor 

dalam episode:

PULAU SERIBU SETAN



















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive