RAHASIA PERMATA SAKTI
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:
Rahasia Permata Sakti
128 hal.
1
Bunga-bunga bermekaran indah dan harum
tersiram hujan rintik-rintik semalam. Panorama indah
membedah daerah di sekitar Gunung Semeru. Tanah
di sekitar sana sedikit basah.
Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak
cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam sapu-
tan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput
kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa
yang sedang tidur.
Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seo-
rang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan
setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gu-
nung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda
yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan
itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.
Diedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpen-
dar.
Keningnya berkerut hingga wajah tampannya
jadi jelek bukan main.
"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengun-
dangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati. "Isi pe-
san yang ditinggalkan dari guratan di batang pohon,
meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini.
Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya.
Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek!
Mau-maunya aku melakukan hal ini? Jangan-jangan
hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi,
melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas
kalau orang yang memintaku datang memiliki tenaga
dalam tinggi."
Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pen-
dek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah
lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ke-
tika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berke-
sip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan
tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di
pohon itu.
Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng
Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampai-
kan.
Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan
itu ternyata tak lain adalah Andika alias Pendekar Sle-
bor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa
maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis
cukup dalam di batang pohon itu jelas ditujukan pa-
danya.
Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila
melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tem-
pat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang ter-
latih akan menangkap suara langkah atau tarikan na-
pas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang
ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang
yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki te-
naga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh
yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara
langkah atau tarikan napas seseorang.
Karena rasa penasarannya, selesai mandi di se-
buah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk un-
tuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera
emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya
yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia
sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.
Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Ku
tukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Di-
ngin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasa-
ran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui
siapa yang menuliskan pesan padanya.
"Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal. "Siapa sih yang mengirim pesan
untukku itu? Bila ternyata orang itu hanya memper-
mainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya!
Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Seme-
ru!"
Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya
kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga pu-
luh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Se-
meru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin
dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipi-
cingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga da-
lam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pe-
san itu benar, Andika memperkirakan orang yang me-
mintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia
tak melihat sosok tubuh di sana.
"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!"
makinya tak karuan. "Hhh! Lebih baik kuputari saja
gunung ini! Barangkali bisa kutemukan orang iseng
itu!!"
Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-
ba-tiba terdengar desingan halus menyusul tiga desir
angin yang kuat ke arahnya.
***
"Sapi ompong! Manusia iseng mana yang lan-
cang menyerang, hah?!" maki Pendekar Slebor sambil
lakukan satu lompatan ringan. Tubuhnya mencelat ke
atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar
tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.
Trak! Trak! Trak!
Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai
arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan
pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke
arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah
dialirkan tenaga dalam mematikan.
Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah
serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar bi-
asa menderu kembali. Dua menyerang bagian atas tu-
buh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.
"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan
tubuhnya. Dua batu yang menyerang bagian atas, di-
hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang
menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan
tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya
sudah naik ke ubun-ubun.
"Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat
persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gu-
nung Semeru ini!!"
Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang
luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar.
Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya
bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna
mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan me-
lalui tawa keras.
Sambil menahan serangan itu, ia buka pandan-
gannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam
gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang
duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desis-
nya. Cepat ia menggerakkan tangan kanannya sebagai
balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas
menderu dahsyat memecah kabut tebal. Terdengar su-
ara ledakan keras. Samar pula pandangannya me-
nangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar
yang didudukinya hancur berantakan.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang
ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, men-
gekeh.
Andika yang masih menahan serangan tak
nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi,
melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam
jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup
kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat me-
lihat rupa orang itu.
"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan
beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil ke-
rutkan kening.
Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh
bongkok. Pakaian compang-camping dengan perli-
hatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan ha-
wa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali di-
lukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai
menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih men-
julai hingga setengah meter dari tanah. Celananya
berwarna putih yang sudah kotor sekali.
"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika de-
ngan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau
orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke
tempat ini.
"Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan
yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini,
Pendekar Slebor." Orang tua itu mengekeh, seperti
mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya
sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak me-
nimpalinya.
Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak
segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi
orang tua aneh, kurus kerempeng, dan memiliki tulang
seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak
terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Ru-
panya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-
ti tadi.
"Tidak sia-sia aku mengundang seorang pende-
kar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin
lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Te-
tapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung ber-
temu denganku, Pendekar Slebor!"
"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati.
"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang
dewa apa?" Lalu ia berseru lagi, "Orang tua... lebih
baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu
mengundangku kemari?"
"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuke-
tahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup
aneh dan sekaligus mengerikan."
"Busyet! Dia masih belum menjawab juga per-
tanyaanku?" maki Andika dalam hati. "Jangan-jangan,
orang tua ini sinting. Mungkin kebanyakan makan na-
si campur tahi ayam!"
Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua
aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe...
kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal,
wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho."
Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaan-
nya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang
Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin
kencing mendengar kata-kata si orang tua. "Heran, kok
tidak malu ya memuji sendiri," ejeknya sambil perli-
hatkan seringainya yang paling jelek. "Padahal wajah-
mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!"
Bukannya marah mendengar ejekan itu, si
orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa
justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang
mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti
setan yang kebelet kencing.
"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya!
Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusam-
paikan padamu! Duduk!!"
Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang
membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua
yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tem-
pat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wa-
jahnya tertutup panjangnya rambut, namun Andika
tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hada-
pannya pasti lebih buruk dari kucing kurus!
Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika.
Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berha-
dapan. Dan saling tatap seolah menjajaki siapa adanya
diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan tan-
gannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan.
Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya
yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya
itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah
dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sa-
na.
Dibawanya benda yang masih berada dalam
genggamannya itu di hadapan Andika.
"Tebak! Apa yang ku genggam ini?"
Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat
sebuah sinar warna biru yang memancar dari gengga-
man si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah
itu.
"Katakanlah, Kek."
"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sa-
hut Kakek Buruk Rupa yang kelihatan geli dengan
permintaan Andika. "Baik, baik... karena aku yang
mengundangmu ke sini, aku akan segera memberita-
hukannya padamu."
"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.
Si orang tua perdengarkan tawanya yang benar-
benar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka
genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini
bertambah terang, menusuk mata.
"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya me-
lotot melihat benda di tangan si orang tua.
"Goblok! Ini permata!"
Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang be-
rada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang
memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.
"Hanya karena permata ini, kau mengundang-
ku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.
Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi. "Permata di
tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan
permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa
yang kau lihat dari permata ini, Andika?"
"Sinar warna biru yang menyilaukan namun
kuakui cukup mempesona."
"Bodoh! Coba perhatikan lagi!"
Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main
karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya
mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya seka-
ligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Per-
lahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam
permata sebesar telur ayam itu.
"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak
ragu.
Si kakek justru mengiyakan dan memujinya.
"Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak
sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta
akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini ada-
lah Permata Sakti yang kudapatkan lima belas tahun
lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari
tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal permata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Bi-
ru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku
terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu
hal yang mengejutkanku, selama lima belas tahun itu
banyak sekali orang-orang yang menginginkan perma-
ta ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya.
Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mem-
pertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau
tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti
yang luar biasa...."
"Apakah itu, Kek?"
"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak. "Ber-
tanya terus! Dengarkan saja!"
Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak
penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua.
Kakek Buruk Rupa berkata lagi. "Selama lima
belas tahun aku berusaha mempertahankannya, ka-
rena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa ra-
hasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Te-
rus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam
rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang
ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini,
Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."
"Heran... tadi kau mengatakan akan memperta-
hankannya. Lalu mengapa kau begitu saja mengha-
diahkannya padaku? Jangan-jangan, kau cuma men-
jebakku saja," seloroh Andika.
"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu
padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada
yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh
kepadamu."
"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku,
Kek? Bila kau memang ingin menyerahkan Permata
Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lain-
nya."
"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecu-
ali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di
jalan kebajikan."
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini ba-
jik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu,
padahal hatinya bangga sekali. Dasar urakan!
"Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu
kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."
"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya
tanpa alasan yang masuk akal."
"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?"
maki Kakek Buruk Rupa sewot.
"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu.
Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata
biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki ke-
saktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa
yang dimiliki permata ini? Jangan-jangan, omonganmu
ini tak lebih dari gombal belaka!"
"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau
sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui ra-
hasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"
"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, ka-
tamu kan banyak yang menginginkannya, jangan-
jangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar
aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkan-
nya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si
orang tua.
"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya
yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya
yang lebat. "Pokoknya, kau harus menerimanya dan
memecahkannya sendiri!"
Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa
penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia
akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang mengin-
ginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah
tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk
Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang ber-
gelimpangan di benaknya.
Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk
Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui kata-
katanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia me-
nepuk perut Andika.
"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apa-
apa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di
tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi un-
danganku ke sini,"
Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak
saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pan-
dangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium ke-
mudian, hanyalah bau tidak sedap.
Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah
baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Ka-
kek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap
itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek
bongkok itu.
"Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!"
gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek
telah meninggalkan tempat itu. "Busyet! Begitu tinggi
ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap be-
gitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku di-
buat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan
juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti
yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku,
padahal ia telah lima belas tahun memperta-
hankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin
memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang
membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu
dipegang oleh Kakek Buruk Rupa, Karena ia memang
pemiliknya yang sah."
Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera
meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua ka-
kinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.
"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh
itu memancarkan sinar warna biru. "Busyet! Orang tua
jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya
sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk pe-
rutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik
pakaianku. Luar biasa!"
Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Ru-
pa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan,
Andika memungut permata yang memancarkan sinar
biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya
bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur
ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas.
Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Ke-
palanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah.
Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.
Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara,
hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.
"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!"
desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya.
"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan
permata ini. Akan kucari Kakek Buruk Rupa dan ku-
kembalikan padanya!"
Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hin-
dari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali per-
mata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak
terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaian-
nya.
Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke
mana aku harus cari orang tua itu? Rupanya, ia sudah
sinting permata kesayangannya ini diserahkannya pa-
daku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengemba-
likannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya."
Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan
yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.
2
Seorang nenek dengan rambut disanggul ke
atas muncul dari sebuah tempat. Kemunculannya ba-
gai mencelos dari gumpalan kabut. Tawa yang diper-
dengarkannya tak kalah hebat dengan tawa yang dila-
kukan oleh Kakek Buruk Rupa.
Andika menatap tak berkesip pada orang tua
berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek
yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apa-
lagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua
yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.
"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan
tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu siapa wanita tua
itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan
Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk me-
ngetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca
episode: "Cincin Berlumur Darah").
Wanita tua yang memang si Camar Hitam per-
dengarkan kekehannya yang tak sedap.
"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan
Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang,
dua nyawa kukepruk!"
Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi
yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh
keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.
"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu
sendiri? Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau
berusaha untuk membunuhku!"
Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai ber-
tambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata ke-
labunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.
"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat
padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal
mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal
membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak
akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"
"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan
dijemput ajal? Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi
sudah memasuki isya! Dan satu lagi, malaikat maut
biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau,
karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis menge-
jek seperti itu, Andika terbahak-bahak keras. Kelam
wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia
menggerakkan tongkatnya.
Wuss!
Deru angin dahsyat disertai suara menggidik-
kan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika
melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, ba-
gai memotong, ia mengibaskan tangannya!
Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam
pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali.
Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah!
Kau lihat sendiri, bukan? Apakah kau mampu meng-
hadapiku?"
Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan ke-
munculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk men-
cari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek
Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit
menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.
Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama
dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus
tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan
hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematah-
kan serangannya.
"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru
kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata
Sakti!"
Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya
tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Ru-
pa? Permata Sakti? Hmm, jelas sekali kalau kehadiran
si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti
milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik
pakaiannya.
Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa
itu memang benar adanya, kalau selama lima belas ta-
hun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.
Andika mendengus menyadari kalau sekarang
justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama
yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang me-
mang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada pa-
danya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini
cukup akan merepotkannya.
"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau
Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam
hati. "Apa sebenarnya kesaktian permata ini? Dan lagi,
kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan
mulut itu memberikannya kepadaku?"
Memikir sampai di sana, guna membuang ke-
terkejutannya Andika terkekeh.
"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata
Sakti? Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa
itu? Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Je-
lek-jelek Sekali?!"
Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya
sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan
dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah
Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan
Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.
Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai
kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh
yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah
lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik
sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang
sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk
Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Per-
mata Sakti itu.
Dalam rencananya, setelah berhasil mendapat-
kan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas
Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari
Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya un-
tuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini,
sebelum rencana pertamanya dijalankan, ia telah ber-
temu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap
kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung
Semeru.
Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksa-
na kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta,
menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi
sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah
cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si
nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika ke-
repotan.
Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap
menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang
kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memaki-
maki tak karuan.
"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil
menggulingkan tubuh menghindari gempuran itu. De-
bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang
menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tem-
pat.
Suatu saat, Andika membuat satu gerakan
yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tan-
gan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju
bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau
Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak meng-
hentikan serangan.
Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam
sendiri. Karena Andika memang menyongsong se-
rangannya!
***
Tuk! Tuk! Tuk!
Tiga kali tubuh Andika tertotok tongkat yang
dialiri tenaga dalam. Si Camar Hitam menghentikan
gerakan. Bibirnya tersenyum puas melihat tubuh pe-
muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu ter-
huyung. Gerakan limbung Pendekar Slebor memang
benar-benar bagai kehilangan tenaganya.
Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari
senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.
"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar
Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak
bisa dikalahkan...."
Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat ba-
gaimana Andika terus menerus limbung seperti tak
mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik
berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak me-
lompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak
dengan tubuh tak kurang suatu apa.
"Setan keparat! Kau menipuku, hah?"
Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pen-
dekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih
dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong se-
rangan itu.
Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tong-
kat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya
saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun memba-
las. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkali-
kali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi la
gi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak!
Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan
Andika. "Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu? Kutu
monyet! Ke mana dia? Mengapa seluruh pandanganku
berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya
warna biru saja. Apa yang terjadi?"
Sementara itu Camar Hitam menghentikan se-
rangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa memper-
cayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang
lagi. Lebih dahsyat disertai dengan teriakan-teriakan
membahana penuh amarah.
Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap mem-
biarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun mem-
balas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini,
dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.
Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya,
Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.
Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Selu-
ruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya
sendiri.
"Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-
majuan sangat pesat. Padahal ketika pertama kali aku
bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus
mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan
yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak
tadi ia tidak membalas? Peduli setan! Ini kesempatan
yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini!
Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa
untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek ti-
dak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan ba-
tang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan
kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang memper-
mainkan ku ini!"
Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung
melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih
berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.
Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si
Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari
sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celin-
gukan
"Busyet! Mengapa pandanganku berubah kem-
bali? Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah
warna biru belaka? Monyet pitak! Kenapa jadi begini?
Ke mana perginya nenek jelek tadi? Aneh! Apa yang
terjadi sebenarnya?"
Merasa penasaran sekaligus heran, Andika ber-
kelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si ne-
nek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak
dengan kening berkerut.
"Busyet! Ke mana manusia jelek itu? Wah, ja-
ngan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?"
pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang ter-
jadi denganku barusan? Sepertinya seluruh pandan-
ganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat
ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar
Hitam berada? Aneh! Ada apa ini? Tetapi, sekarang
aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata
Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Bu-
ruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat men-
gembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga
memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam
dirinya."
Masih dengan rasa keheranan mengenai peru-
bahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samp-
ing juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari
pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tem-
pat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia
sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.
Andika memang tidak tahu apa yang terjadi de-
ngan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang di
lihatnya hanya warna biru belaka? Ia tidak tahu kalau
ia dengan sengaja menyongsong serangan maut si Ca-
mar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar. Karena,
gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu
pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor
telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disadarinya.
***
3
Matahari mulai condong ke barat ketika Andika
tiba di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan. Di
hadapannya berjejer bukit-bukit yang indah sekali. Di
atas perbukitan itu bagai dipayungi oleh lentera merah
yang dipancarkan oleh sinar matahari senja.
Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.
"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek
Buruk Rupa? Bikin kepalaku pusing!" makinya tak ka-
ruan. Diambilnya permata biru yang berada di balik
pakaiannya. Dipegangnya perlahan. "Hmm, masih agak
panas. Brengsek! Apa sih sebenarnya kesaktian perma-
ta ini? Kenapa banyak yang menginginkannya? Lagi
pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku
yang ternyata memberikan permata ini padaku? Dan
lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, se-
luruh penglihatanku hanya melihat warna biru bela-
ka?"
Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur
itu membiarkan tubuhnya dihembusi angin senja yang
sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.
Mendadak saja telinganya yang tajam mende-
ngar desisan liar dari samping. Seekor ular belang
yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya se-
mak dan meluncur ke arah kaki Andika.
"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar
tubuhnya. Lalu kakinya menyentak.
Preek!
Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalir-
kan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di
muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika men-
gambil ular yang telah dibunuhnya itu.
"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya.
Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara
liputan kabut. Dan mendadak saja terdengar suara ta-
wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan
"Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"
***
Suara itu datang dari samping Andika yang se-
gera menoleh. Terus terang, ia tak mendengar ada
langkah di sekitarnya. Bahkan tak melihat sosok yang
sepertinya sejak tadi berada di dekatnya.
Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut,
tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian
kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia ter-
senyum jenaka pada Andika yang terbelalak melihat
betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mu-
lutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Ma-
tanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat
seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-
tawa lincah dan nakal. Sukar untuk mengetahui mak-
na senyuman yang diperlihatkannya.
Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis
dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak
kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayan-
gan?"
Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-
aduk-aduk. Matanya tak tahan lama-lama menatap si
gadis yang masih tersenyum.
"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka
masih tersenyum.
Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar
urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.
"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang
anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-
rohnya.
Bukannya marah mendengar selorohan Andika,
gadis itu justru tertawa.
"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang
jelek itu anak siapa?"
Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia ber-
tanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jeli-
ta?"
"Kau telah membunuhnya."
"Aku?" Andika mengerutkan keningnya. "Kok
main tuduh sembarangan saja!"
"Apa yang ada di tanganmu itu?"
Andika mengangkatnya. "Ular!"
"Nah, itu si Jelitaku!"
Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang
itu melotot.
"Yang beginian kau namakan Jelita?"
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Aku bersyukur karena kau berhasil membu-
nuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk mem-
bunuhnya."
"Mengapa? Katanya, ular ini binatang kesayan-
ganmu?"
"Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci ke
sayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel? Lagi pula,
ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah
kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik ku-
bunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!"
Meskipun heran mendapati gadis cantik di tem-
pat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plin-
plan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bu-
kan?"
"Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke
rumahku."
Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia men-
dapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan men-
dadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main
ketika melihat gadis di depannya tertawa.
"Kau lapar, kan? Nah! Ayo ke rumahku saja! Di
sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak
sebagai ucapan terima kasihku!"
Tawaran itu memang mengasyikkan sebenar-
nya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Ka-
kek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan
untuk menolak.
"Terima kasih. Masih ada urusan yang harus
kulakukan."
"Kalau begitu, aku marah karena kau membu-
nuh ularku!"
"Hei!" Andika melotot tak mengerti. "Tadi kau
mengatakan berterima kasih padaku karena aku
membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah
sekarang?"
"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku!
Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau
bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada
yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga
tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku sudah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh,
anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak ta-
hu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si
kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama,
ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatan-
giku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terak-
hir setahun yang lalu, ketika usiaku sudah lima belas
tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan kepan-
daiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia
selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru
hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi
tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku
sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku
tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini
kan cucunya satu-satunya."
Andika mengerutkan keningnya tak mengerti.
Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya
padanya? Kelihatannya ia memang merindukan ka-
keknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak
mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dika-
renakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin,
ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya
padanya.
Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap
dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.
"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal
bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek me-
mang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di ma-
na! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba per-
silatan, hingga hidupnya selalu di mana saja. Tak me-
netap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia
selalu berkelahi terus menerus. Kakekku itu hebat, ia
tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik men-
jauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang
mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang
menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepan-
daianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh,
dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang
rimba persilatan, ya?"
Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah
bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya
membuktikan ia bukanlah orang rimba persilatan.
Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam
ini diwariskan oleh darah kakeknya.
"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan ka-
kekku? Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua
sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-cam-
ping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pa-
kaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak.
Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeram-
kan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi
seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bi-
us pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya
dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di
sebuah tempat. Semut-semut ganas mendatanginya
dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali mem-
bayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu
menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.
O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!"
Dari ketersimaannya mendengar penuturan ga-
dis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terle-
pas. Ia terbelalak pada gadis itu yang ganti me-
ngerutkan keningnya heran.
"Kau kenapa? Kalau kau menolak ke rumahku,
ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek
kayak begitu?" si gadis bergidik. "Aku jadi ngeri."
Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa
mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di ha-
dapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk
Kakek Buruk Rupa?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Ya. Memangnya kenapa? Kau baru bertemu
dengannya, ya?"
Andika ganti mengangguk.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya? Ajak
aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada ka-
kek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih ce-
rah.
Andika menceritakan pertemuannya dengan
Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis
tidak menyinggung soal permata yang memancarkan
warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si
kakek memang pernah menceritakan permata itu pada
gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut,
ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya?
Andika mendengar gadis itu menarik napas
panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.
"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari
sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada,
pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubu-
juk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudah-
lah... memahami sifat kakek tak cukup memakan wak-
tu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran
yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak?
Sebentar lagi malam?"
Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis
itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin
ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih dis-
elimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang be-
rada di balik pinggangnya sekarang.
Melihat Andika mengangguk, si gadis sungging-
kan senyum.
"Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Na-
mamu siapa? Kau pasti punya nama kan?"
Andika cuma tersenyum mendengar gurauan
gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu me-
mang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.
"Namaku Andika."
"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang!
Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!"
Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar
tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beririn-
gan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tiba-
tiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dile-
pas dari busurnya.
"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" se-
runya sambil tertawa.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kui-
kuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali
saja aku bisa mendapatkan keterangan tentang Kakek
Buruk Rupa!"
Selesai berpikir begitu, Andika pun segera me-
nyusul Suci yang sudah melesat jauh.
***
Kakek Buruk Rupa benar-benar mengajarkan
cucunya ilmu lari yang hebat. Meskipun dapat melam-
pauinya, Andika merasakan kehebatan ilmu lari gadis
itu cukup lumayan meskipun masih tiga tingkat di ba-
wahnya.
Mereka memasuki sebuah jalan desa ketika
rembulan tepat di tengah kepala. Selama berlari, tak
sekali pun Suci berhenti.
Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati
gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama.
Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau
ayahku tanya, katakan kau temanku sejak lama, ya?
Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."
"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.
"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti ti-
dak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apa-
apa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti,
aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya? Kau
janji, ya?"
Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memu-
tuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata
Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindu-
kan kakeknya.
"Mengapa kau diam saja?"
"Aku belum tahu harus menjawab apa."
"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya,
bukan? Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermain-
main dengannya."
Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Ma-
sih jauhkah rumahmu?"
Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk ru-
mah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada se-
macam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah
itu cukup tinggi.
"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pa-
da ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku
ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya? Kau akan men-
jadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya."
Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia
berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.
Keduanya terus melangkah. Tiba di depan ru-
mah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang
berdiri di sana dan sedang merokok bergegas meng-
hampiri,
"Den Suci!"
Suci meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"
"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut
yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika.
Seperti menemukan maling jemuran!
"Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu me-
noleh pada Andika, "Ingat kata-kataku tadi ya? Jangan
sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat si-
kapmu ini, kayaknya kau termasuk orang yang cere-
wet!"
Andika yang hendak menganggukkan kepala,
jadi urung dan keluarkan dengusan. "Brengsek! Gadis
ini benar-benar pandai omong! Tetapi masa bodohlah!
Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Bu-
ruk Rupa," desisnya dalam hati.
Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wa-
jah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tan-
gan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya mema-
suki halaman yang cukup lebar.
Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di
depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban
Suci dengan pemuda yang menurut pandangan me-
reka itu, kumal sekali.
Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den
Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang
tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua
orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang
penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebe-
lum tiga orang yang diutusnya itu menemukan pu-
trinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pe-
muda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.
***
4
Ayah Suci bernama Haryo Adilekso. Laki-laki
itu berperawakan cukup gemuk. Wajahnya bulat. Ia
memiliki kulit yang bersih. Pandangan matanya bijak-
sana, penuh kebajikan. Sedangkan ibunya bernama
Hartati. Seorang wanita yang selalu menekankan pada
kelembutan dan sopan santun yang tinggi. Wanita itu
amat menyayangi Suci, hingga kepergian Suci yang
tanpa pamit, membuatnya bagai kehilangan suk-
manya. Tetapi, kemunculan Suci yang tak disang-
kanya, membuatnya segera bangkit dari kamarnya. Pa-
dahal, sejak pagi ia tidak makan apa-apa. Tak ada ke-
nikmatan menikmati hidangan lezat selagi putrinya ti-
dak ada di sisinya.
Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia lang-
sung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu den-
gan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal,
ya?"
Ibunya tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ta-
ngannya membelai rambut putrinya yang panjang.
"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya
lembut.
"Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci ke-
sayanganku dimangsa oleh si Jelita? Aku kesal kan,
Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh."
Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika
yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan
duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia
kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang
lembut itu jadi kebingungan.
Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika
Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci
berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia ber-
kata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku.
Yah. Bu. Namanya Andika."
Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil
tersenyum.
Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah
menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu
bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau
Suci mempunyai seorang sahabat seperti kau, Andika.
Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?"
Seperti yang telah direncanakan, Andika men-
gatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan
main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya
bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakal-
nya.
Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun
pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi,
laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baik-
baik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menun-
dukkan kepala.
"Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu,
bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpa-
mitan kepada kami."
"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pa-
da si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak
kecil Suci merawatnya dan selalu bermain-main de-
ngannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan
Suci."
Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata
wayang ini.
"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat
saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di bela-
kang."
"Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya
masih jengkel menyadari kalau ia seperti diperalat oleh
Suci.
Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau
tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, seka-
rang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.
"Kamu belum makan, kan?" katanya pada An
dika. "Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!"
Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawa-
bannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke
ruangan yang cukup besar.
Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap pu-
trinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka
telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa ha-
rus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci?
Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Piki-
rannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan
apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun
diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebe-
narnya hendak mencari kakeknya.
Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat ke-
lakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Bu-
ruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berde-
katan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hi-
dup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya
adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu
harus menurunkan tangan keras guna pertahankan
hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang
berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan
menghentikan semua sepak terjangnya. Namun seba-
gai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa meno-
lak permintaannya.
***
Sudah dua malam Andika tinggal di rumah be-
sar itu. Dan terus terang, keadaan ini sangat menyik-
sanya. Ia tak betah tidur di kasur empuk dan menik-
mati makanan lezat yang dihidangkan. Tetapi, rasa in-
gin tahunya tentang Kakek Buruk Rupa yang menu-
rutnya bisa diketahui dari Suci, memaksanya untuk
membuang segala kebosanannya.
Di kamar yang disediakan, Andika berusaha
memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Per-
mata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya
seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap
permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia
berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandung-
nya, semakin buntu rasanya.
Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam
permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang
dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan
apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak
bergerak sedikit juga.
"Rahasia apa yang terkandung di dalam perma-
ta ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi
pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek
Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku? Ka-
lau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu
teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini?
Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada
Suci."
Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajak-
nya bermain-main di Lembah Wangi, di mana terdapat
ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, An-
dika mengemukakan keingintahuannya.
Suci yang sedang tertawa sambil mengejar se-
ekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepa-
lanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ke-
tika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?"
Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon
rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang
sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke pen-
juru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di si-
sinya.
Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja
memegang tangan Andika.
"Apakah kau ingin mengajakku mencari ka-
kek?"
Andika menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang hendak kau katakan?"
Ditatapnya gadis itu yang masih memperli-
hatkan wajah riang.
"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu ka-
kekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang per-
mata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut
sebatang alang-alang, lalu dihisap-hisapnya. Manis.
Suci memandang Andika. "Permata bersinar bi-
ru? Permata apakah itu, Kang? Baguskah?"
Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti
itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu
menahu soal permata biru itu.
"Ceritakan tentang kakekmu."
"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek?
Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek."
Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia
bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.
"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan
kakekmu."
Kali ini Suci tersenyum. "Kakek orang yang ra-
mah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan
siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak
bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, ka-
kek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin mem-
besar saja pada kakek."
Andika pun tak meneruskan pertanyaannya.
Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembica-
raan soal Kakek Buruk Rupa harus dihentikan. Karena
jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya.
Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau ga-
dis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang
memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak
memberitahukannya.
Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepan-
jang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus me-
nerus meminta Andika mengajaknya serta mencari ka-
keknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!
***
Malam kembali bentangkan sayapnya. Sang ra-
tu malam kembali berada dalam perjalanannya me-
nyongsong matahari. Kegelapan dan kesunyian malam
payungi desa di mana Suci tinggal dan Andika mengi-
nap.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an itu kembali duduk di atas ranjangnya. Matanya tak
berkesip memandang Permata Sakti yang memancar-
kan sinar warna biru di tangannya. Otaknya kembali
diperas guna memecahkan rahasia apa yang dikan-
dung permata biru itu. Namun lagi-lagi buntu.
Dan mendadak saja pendengarannya yang ter-
latih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwun-
gan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi
kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung
dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat ke-
adaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.
"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari
penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar
dan langsung berkelebat ke atas.
Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun
ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain ke-
cuali dirinya.
"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan
dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan.
Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa
gerangan dia!"
Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandan-
gannya samar melihat bayangan melompat ke bawah.
Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih
penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk
ke kamar Suci.
"Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayan-
gan itu, Andika kibaskan tangannya.
Wusss!!
Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusa-
ha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika me-
nangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memu-
tar tubuh dan melompat ke samping.
Andika tak mau membuang waktu, ia langsung
berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh
hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik
kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika di-
buatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan
sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.
"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau
akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia mem-
buat gerakan seperti melompat. Dugaannya tepat ka-
rena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh.
Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebe-
narnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihada-
pannya bergulingan, ia langsung menyergap.
Tap!
Kedua tangannya menangkap tangan orang itu,
lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan ter-
tahan.
"Aaaakhhh!!"
Justru Andika yang langsung melepaskan kun-
cian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat
orang itu menjatuhkan tubuh dan mendengus panjang
pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat
pitingan Andika.
"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian,
terdengar suaranya jengkel, "Mau apa kau memata-
mataiku, Suci?!"
Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat ke-
palanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik
kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terden-
gar seruannya.
"Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-
ka mendengus. Benar-benar jengkel melihat wajah
orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit,
tak mustahil kedua tangan gadis itu patah dibuatnya!
"Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Meng-
apa kau melakukan tindakan seperti ini, hah?."
"Karena Kang Andika akan pergi!"
"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan me-
ninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"
"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku ser-
ta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan
sarat dengan kesalahan. "Aku tahu, karena Kang An-
dika belum juga mengiyakan permintaanku."
"Aku memang tak akan mengajakmu! Melihat
sikapmu seperti ini apa aku tak akan mengalami kesu-
litan bila bersamamu, hah? Lagi pula, aku ingin sendi-
ri."
"Aku bisa menjaga diri."
"Dan aku tak ingin mendapatkan sulit dan re-
pot karenamu! Masuk kembali ke kamarmu, Suci! Ja-
ngan kau lakukan tindakan seperti ini lagi!!" suara An-
dika tegas, meskipun rasanya ia tidak tega membentak
gadis ini terus menerus.
Suci menundukkan kepalanya. Rasa bersalah
menjalari hatinya hingga ia tak mampu berkata apa-
apa. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menatap
Andika. Yang ditatap membuang muka. Hatinya masih
kesal. Justru melihat sikap Andika, rasa bersalah di
hati Suci makin membesar.
Perlahan-lahan terdengar suaranya pelan, agak
bergetar, "Maafkan aku, Kang Andika. Aku janji, tak
akan berbuat seperti ini lagi."
Andika tak menjawab.
Suci sadar kalau Andika marah akan perbua-
tannya. Dengan hati sedih ia melangkah masuk ke ka-
marnya. Tak ada maksud apa-apa ketika ia mencoba
melihat keadaan Andika, kecuali ingin mengetahui
apakah Andika akan meninggalkannya atau tidak. Te-
tapi, Andika keburu memergokinya.
Sementara Andika yang masih jengkel dengan
sikap Suci, merasa saat inilah yang terbaik untuk se-
gera meninggalkan gadis itu. Hatinya masih banyak di-
liputi pertanyaan yang merisaukan dan membingung-
kannya.
Begitu Suci masuk dan mengunci kamarnya,
Andika langsung mengemposkan tubuh tinggalkan
tempat itu. Hal inilah yang terbaik menurutnya.
Namun, tanpa sepengetahuannya, satu sosok
tubuh yang sejak tadi melihat dari wuwungan mende-
sis, "Kini aku tahu... kalau Permata Sakti itu berada di
tangan Pendekar Slebor. Sekian lama aku mencari je-
jak Kakek Buruk Rupa, dan ketika kudapatkan kete-
rangan kalau rumah ini adalah tempat tinggal anak
dan cucunya, kudatangi tempat ini. Dan yang kulihat
sekarang, Pendekar Slebor-lah yang memilikinya. Ten-
tunya ia tak menyangka kalau aku sejak tadi sudah
melihat permata itu saat dikeluarkan dari balik pa-
kaiannya. Untungnya, gadis manja itu mendadak
muncul hingga kehadiranku tak diketahuinya. Hhh!
Akan kudapatkan Permata Sakti itu darinya!"
Memikir sampai di situ, sosok tinggi besar den-
gan baju panjang itu pun melesat turun menyusul
Pendekar Slebor. Gerakannya sangat ringan sekali, tak
ubahnya bagai sehelai kapas yang bergerak dimainkan
angin.
***
5
Ketika Andika tiba di sebuah sungai yang san-
gat lebar, siang sudah meranggas. Suasana di tepi
sungai itu cukup nyaman, karena dipenuhi banyak
pepohonan.
"Sial! Bagaimana caraku untuk melewati sungai
yang panjang dan luas ini untuk sampai ke seberang?
Bila saja aku bisa berjalan di atas air, tentunya dengan
mudah aku bisa menyeberang sungai yang berair deras
ini!" dengus Andika sambil memperhatikan aliran sun-
gai yang deras.
Digunakan akalnya untuk memecahkan masa-
lah di depannya. Lalu nampak ia melangkah mengam-
bil potongan dahan pohon. Dibawanya kembali ke tepi
sungai.
"Dengan bantuan ranting pohon ini, aku bisa
melewati sungai. Akan kulemparkan ranting-ranting
ini secara serempak. Namun sulitnya, aliran sungai ini
begitu deras. Bisa-bisa sebelum aku melompat, ran-
ting-ranting ini sudah jauh dibawa aliran sungai! Hhh!
Sial! Apakah aku harus balik lagi? Tetapi, jalan satu-
satunya yang bisa kugunakan adalah merenangi sun-
gai ini."
Selagi Andika memikirkan kemungkinan cara
yang hendak digunakannya, sebuah sampan yang di-
kayuh oleh seorang laki-laki bertudung caping, me-
luncur dari arah kanan sungai.
Seketika Andika melambaikan tangannya.
Orang dalam sampan, menghentikan sampan-
nya. Bambu kayuhnya yang cukup panjang dihujam-
kan ke dasar sungai hingga sampannya berhenti dan
dipermainkan air.
"Ada apa, Orang Muda?" tanyanya.
Andika berusaha melihat wajah orang di sam-
pan itu. Namun tak bisa karena sebagian wajahnya di-
tutupi caping bambu kusam.
"Orang tua... bisakah kau mengantarku ke se-
berang sungai?"
"Hendak ke manakah kau, Orang Muda?"
Terus terang, Andika memang tidak tahu hen-
dak ke mana. Yang menjadi tujuannya adalah mencari
Kakek Buruk Rupa. Untuk menjawab pertanyaan si
pemilik sampan ia berkata, "Aku hanya ingin ke sebe-
rang dan melanjutkan perjalananku."
"Aku mencari nafkah dengan sampanku, Orang
Muda."
Andika mengerti apa maksud orang itu. Ia ber-
kata, "Aku akan membayarmu...."
"Naiklah!"
Andika melompat ringan, hinggap di dasar sam-
pan yang tak bergerak sedikit juga. Kalau bergerak, itu
dikarenakan sampan masih dimainkan oleh arus sun-
gai.
"Kita akan memotong aliran sungai, Orang Mu-
da."
Ketika si tukang sampan mengangkat kayuh-
nya, sampannya meluncur. Lalu dengan cekatan sekali
ia menahannya kembali. Lalu perlahan-lahan sampan
itu mulai bergerak ke tengah.
Diam-diam Andika kagum dengan kelincahan si
tukang sampan. Ia mampu kendalikan sampannya di
arus sungai deras semacam ini. Deburnya terdengar
cukup memekakkan. Andika sendiri kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, dengan maksud memudahkan
si tukang sampan mengendalikan sampannya.
Dari balik caping bambunya, sepasang mata si
tukang sampan memancarkan sinar merah menatap
tubuh Andika yang berdiri menghadap ke muka. Men-
dadak saja, ia lepaskan kayuhnya. Hingga sampannya
deras meluncur.
Andika terperanjat. Ia mengendalikan tenaga
dalamnya karena sampan oleng. Sementara tangan si
tukang sampan yang sengaja melepaskan kayuhnya,
terulur. Siap menjambak rambut Andika.
Namun mendadak saja Andika memiringkan
kepalanya. Lalu memutar tubuh dengan satu jotosan
dari bawah. Si tukang sampan terperanjat melihat ge-
rakan yang tak disangkanya sama sekali. Jotosan yang
cepat itu memang tak mungkin untuk dielakkan.
Namun, si tukang sampan bukanlah orang
sembarangan. Ketika tangan Andika menjotos, cepat
pula ia menarik tangan kanannya menekuk.
Des!
Akibat benturan itu, sampan menjadi oleng dan
semakin kencang bagai digusur oleh air.
Andika sunggingkan senyum. "Manusia busuk!
Bokongan semacam ini tak berguna sama sekali! Ka-
takan, siapa kau adanya?"
Si tukang sampan mencabut capingnya dan ter-
lihatlah seraut wajah kasar dengan hidung besar.
Rambutnya yang digelung ke atas menjuntai panjang.
Ia membuka pakaian kumalnya, yang nampak pakaian
warna hitam sekarang. Panjang dengan celana hitam
pula. Wajahnya dipenuhi jerawat masak. Ia tertawa.
Sampan itu terus meluncur.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau dijuluki
orang nomor satu di rimba persilatan ini, Pendekar
Slebor! Hanya sayangnya, siang ini kau berjumpa de-
ngan si Rase Maut!"
Andika cuma mendengus. "Kau pantasnya ber-
juluk si Tikus Jelek!" seringainya. Ketika tadi Andika
melihat sampan itu datang, ia sama sekali tak mendu-
ga apa-apa kecuali menyangka orang itu memang ke-
betulan lewat. Namun, cara orang itu menahan perahu
dari derasnya air sungai, seketika Andika bisa melihat
kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang hebat. Be-
lum lagi saat ia melompat tadi, masih dilihatnya pa-
kaian orang itu di balik pakaian kumalnya. Berwarna
hitam. Kecurigaannya makin membesar ketika men-
gingat akan tudung bambu yang dikenakan si tukang
sampan. Tak seperti biasanya seorang tukang sampan
mengenakan tudung bambu begitu lebar hingga me-
nenggelamkan sebagian wajahnya. Andika pun men-
gambil posisi siap menghadapi segala kemungkinan.
"Haram jadah! Nyawamu sudah berada di ta-
nganku, Pendekar Slebor! Sebaiknya, kau serahkan
permata itu kepadaku!!"
Kalau sejak tadi Andika sudah mencurigai si
tukang sampan, kali ini ia jadi kaget. Karena orang
yang berjuluk si Rase Maut itu mengetahui tentang
Permata sakti biru yang diberikan Kakek Buruk Rupa
kepadanya
Diam-diam hatinya mendesis, "Bagaimana
orang ini bisa tahu kalau permata itu ada padaku?
Hm, dugaanku hanya satu. Ia pasti mengintipku. Teta-
pi, tak mungkin ia bisa lolos dari pendengaranku. Oh!
Kini aku tahu sekarang. Ketika Suci mencoba memata-
mataiku, manusia ini pasti lebih dulu melihatnya dan
aku tak menyangka sama sekali. Karena dugaanku,
hanya Sucilah yang melakukan tindakan seperti itu.
Sungguh konyol!"
Memikir sampai di situ Andika cuma mengang
kat kedua bahu.
"O... jadi Permata Sakti biru itu yang kau ingin-
kan? Bila memang begitu, mengapa kau tidak segera
mengambilnya?"
Kelam wajah penuh jerawat itu. Dan satu lom-
patan sudah menderu ke arah Andika, cepat, menim-
bulkan dorongan angin hebat.
Rase Maut menunjukkan kelasnya dalam ilmu
meringankan tubuh. Gerakan yang dilakukan dengan
satu dorongan tenaga dalam tinggi itu seharusnya
membuat sampan oleng, namun tidak sama sekali.
Andika sendiri membuat gerakan yang menak-
jubkan. Tubuhnya melompati tubuh si Rase Maut yang
menggempurnya. Namun di luar dugaannya, Rase
Maut justru membiarkan tubuhnya dilompati Andika.
Bersamaan tubuh Andika melompat, telunjuk tangan
kanannya menotok.
Tuk! Tuk!
Gerakan Andika jadi limbung. Seharusnya ia
hinggap kembali di dasar sampan dengan kedua kaki
tegak. Akibat totokan yang dilakukan oleh si Rase
Maut, ia jatuh dengan posisi tubuh tengkurap.
Laki-laki tinggi besar yang mengintip Andika
semalam itu terbahak-bahak. "Rimba persilatan akan
berkabung dengan kematianmu, Pendekar Slebor!"
Sehabis berkata begitu, si Rase Maut angkat
sebelah kakinya. Dengan tenaga dalam tinggi, ia men-
jejak kepala Andika.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!!"
Namun di luar dugaannya, Andika yang kelihat-
an tak berdaya, mendadak mencelat naik, berputar di
atas lalu hinggap di ujung sampan. Terdengar tawanya
yang mengejek si Rase Maut.
"Wah, kupikir totokan itu benar-benar hebat!
Rupanya cuma pantas dilakukan pada tikus got, ya?"
Merah padam wajah Rase Maut menyadari ka-
lau ia tengah dipermainkan oleh Pendekar Slebor. Ke-
tika Rase Maut menotoknya, Andika yang memang su-
dah alirkan tenaga dalamnya, mampu menahan to-
tokan itu. Tetapi dasar urakan, di saat maut sudah di
ambang mata ia masih bertingkah saja. Setelah ter-
kena totokan itu, ia berlagak ambruk. Padahal dalam
hatinya terbahak-bahak melihat bagaimana si Rase
Maut sudah berbesar hati melihat gebrakan perta-
manya membawa hasil.
Penuh gerengan amarah. Rase Maut menerjang
lagi. Tetapi Andika justru menjejakkan kakinya di da-
sar sampan. Sampan yang tertahan karena tenaga da-
lam yang dikerahkan oleh si Rase Maut, bagai anak
panah terlepas dari busur.
Wusss!
Sampan itu bergerak cepat, kembali dimainkan
air. Sedangkan tubuh si Rase Maut jadi limbung, se-
rangannya terhenti seketika.
"Busyet! Kau ini lebih pantas jadi penari jaipong
di kotapraja, ya? Eh! Kalau senggang, bagaimana ka-
lau kau mengajari aku?" ejek Andika nyengir.
Rase Maut menggeram keras. Ia kendalikan lagi
posisi tubuhnya. Lalu menerjang dengan jotosan ke
muka.
Namun lagi-lagi Andika menjejakkan kakinya di
dasar sampan. Kali ini sampan bukan hanya ber-
goyang, melainkan pecah berantakan. Secepat itu pula
Andika lompat dan hinggap di salah satu pecahan
sampan. Tubuhnya mengapung dengan tenaga dalam
yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara si Rase Maut yang sebelumnya su-
dah menebak kalau Andika akan menjejakkan kakinya
kembali, berhasil kendalikan diri. Namun, ia tidak me-
nyangka kalau Andika justru akan menghancurkan
sampan. Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya pun jatuh
ke sungai yang mengalir deras itu.
Byuuur!
Laki-laki berbaju hitam itu gelagapan terbawa
air. Andika melambaikan tangannya. Menirukan suara
perempuan genit, ia berkata, "Aduh, Kang! Kenapa sih
kau mau mandi di sungai yang kotor ini? Ih! Sampai
jumpa, ya?"
Bukan buatan geramnya si Rase Maut. Ia ber-
usaha untuk keluar dari gulungan air sungai. Ketika
dilihatnya sebuah pecahan sampan mendekatinya, ia
bersiap untuk meloncat dan hinggap di pecahan sam-
pan itu.
Tetapi mendadak saja kayu pecahan sampan
itu, melompat dan mencelat ke atas. Ketika ia putar
kepalanya, dilihatnya Andika terbahak-bahak.
"Maaf ya? Kayu itu terlalu jelek untukmu! Jadi
kupikir, lebih baik dibuang saja!!"
Namun di luar dugaan Andika, si Rase Maut te-
lah mempergunakan ajian andalannya, 'Rase Lompati
Pagar Api'. Tubuhnya mendadak mencelat dari dalam
air, mengalahkan suara gemuruh. Bahkan dalam jarak
yang cukup jauh dengan Andika, seharusnya sangat
sulit bagi Rase Maut untuk langsung menyerang.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan
itu!
Begitu tubuhnya mencelat dari dalam air, joto-
san tangan kanan dan kiri siap dihadiahkan kepada
Andika. Andika cukup tersentak dibuatnya.
Ia segera angkat tangan kanan dan kirinya.
Des! Des!
Jotosan Rase Maut yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu tertahan oleh tangkisannya. Namun
Rase Maut kembali menunjukkan kelasnya, kalau ia
memang seorang lawan yang patut diperhitungkan.
Masih berada di udara, tubuhnya berputar setengah
lingkaran dan kakinya dikibaskan.
Des!
Tendangan itu tepat mengenai dada Andika. Ke-
seimbangannya oleng seketika. Rase Maut yang me-
rasa kalau lawan sudah kendor serangannya, menyu-
sulkan tendangan beruntun.
Berkali-kali tubuh Andika terhantam tendan-
gan kerasnya. Tubuhnya limbung berkali-kali. Pecahan
kayu yang diinjaknya bergoyang. Dalam pikiran Rase
Maut, Andika akan jatuh ke air saat itu juga, tetapi se-
telah tubuhnya oleng, Andika berdiri tegak kembali.
Sesuatu yang aneh dirasakan oleh pemuda
urakan itu.
"Sinting! Mengapa pandanganku berubah men-
jadi biru kembali dan tak kulihat kembali apa-apa
yang ada di hadapanku. Busyet! Mengapa hal ini ter-
jadi? Ada apa sebenarnya? Sulit bagiku untuk melihat
Rase Maut berada. Jangan-jangan dia menyerangku?
Tetapi, apa yang kulihat sekarang hanya warna biru
belaka tanpa ada sesuatu yang kukenal. Semuanya
kosong."
Selagi Andika dihinggapi perasaan tak menen-
tu. Rase Maut yang sudah hinggap di pecahan sam-
pan, kembali menerjang. Menghajar Andika membabi-
buta, yang seolah membiarkan dirinya dihantam terus
menerus. Namun sampai sejauh itu, ia seolah tak me-
rasakan betapa kerasnya hajaran si Rase Maut. Jatuh
dan tegak lagi tanpa membalas.
Sudah tentu hal itu mengejutkan si Rase Maut.
Kalau tadi Andika tak akan membiarkan pukulannya
masuk, kali ini justru membiarkannya dipukuli.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya? Tetapi, men-
gapa ia tidak membalas? Peduli setan! Akan kuhajar
habis-habisan!"
Namun apa yang terjadi kemudian, Andika te-
tap menerima dan tak membalasnya sekali pun, hingga
akhirnya Rase Maut yang terkuras tenaganya.
"Ada apa ini? Ilmu apa yang dimilikinya?" seru-
nya heran.
Dihentikan serangan dan siap menunggu bila
Andika menyerang. Tetapi sampai beberapa kejap, tak
ada serangan yang dilakukan Andika. Justru saat ini
Andika yang sedang berada dalam keheranannya ka-
rena pandangannya yang hanya menemukan suasana
berwarna biru kini kembali seperti biasa.
"Busyet! Kenapa ini? Jangan-jangan.... Aku te-
lah lama dihinggapi setan gentayangan?" Dan begitu
melihat sosok Rase Maut di hadapannya dia berkata
yang membuat kening Rase Maut berkerut,
"Lho? Kau bisa menyelamatkan diri rupanya,
ya? Hebat-hebat!!"
Rase Maut mendidih amarah yang menyelimuti
tubuhnya. Ia merasa diejek dengan kata-kata Andika
itu.
"Keparat hina! Kuhajar kau!!" makinya.
Dalam sangkaannya, Andika akan kembali
membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan, namun
begitu Rase Maut menggerakkan kakinya, Andika jus-
tru melompat dan membuat gerakan memutar. Kaki-
nya tepat menghajar kepala si Rase Maut yang lang-
sung terjungkal kembali ke dalam air.
"Wah! Kau ini jangan-jangan belum mandi, ya?
Ya, mandi dululah kalau begitu!" seloroh Andika dan
melihat Rase Maut gelagapan. Tendangan telak yang
mengenai kepalanya membuatnya pusing dan sukar
mengendalikan diri lagi. Apalagi air deras itu telah
menggulungnya.
Sementara itu Andika masih memikirkan kea-
nehan yang terjadi. pada dirinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa pandanganku seolah melihat
ruang warna biru yang besar? Lalu kejap lain kembali
normal?" Kejap lain, pemuda urakan berbaju hijau pu-
pus ini sudah mendengus, "Masa bodohlah! Yang ku-
tahu sekarang, Rase Maut pun menginginkan Permata
Sakti ini!"
Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, An-
dika membawa pecahan kayu di mana ia berdiri ke te-
pian. Masih berjarak tiga tombak, dia segera melom-
pat.
Hup!
Sekarang, ia hinggap di seberang sungai. Dili-
hatnya bagaimana Rase Maut berusaha untuk men-
gendalikan dirinya. Sumpah serapah yang panjang ter-
dengar di telinga Andika. Sebenarnya, Andika ingin
menolong Rase Maut yang tengah gelagapan. Tetapi
menurutnya, biarlah orang itu mendapat pelajaran dari
niat busuknya.
Setelah tubuh si Rase Maut yang tergulung de-
rasnya air sungai menghilang, Andika terdiam. Ma-
tanya memandangi sungai itu.
"Hmmm... memang banyak yang menginginkan
Permata Sakti biru ini, padahal aku sendiri tidak tahu
apa rahasia yang ada di balik permata ini. Jalan satu-
satunya, aku memang harus memecahkannya. Namun
yang lebih penting lagi, aku harus temui Kakek Buruk
Rupa yang menyebalkan itu! Tetapi, mengapa dua kali
aku merasa aneh. Bahkan aku tidak tahu ketika Ca-
mar Hitam mendadak menyerang kembali. Juga, saat
Rase Maut muncul dari dalam air tadi. Busyet! Kenapa
ini?"
Memikir begitu, Andika pun putar tubuhnya.
Namun ia urung melangkah, karena satu sosok jelita
berdiri di hadapannya dengan senyuman di bibir.
***
"Uh! Mau apa sih kau ke sini?" maki Andika de-
ngan kepala yang mendadak jadi pusing. Matanya me-
lotot gusar. "Aku paling tidak suka dibuntuti!"
"Lho, siapa yang membuntuti Kang Andika?
Aku keluar dari rumah karena ingin mencari kakek!
Kok, kecakepan sekali Kang Andika ini kalau aku mau
melakukan hal itu!" kata sosok jelita di hadapannya
dengan senyum mengejek bertengger di bibirnya yang
memerah ranum. Ia tak lain adalah Suci.
Andika mendengus dalam hati. "Sial! Rupanya
diam-diam ia mengetahui aku pergi. Hebat juga ilmu
meringankan tubuh yang dipelajari gadis ini dari ka-
keknya! Lalu katanya, "Lebih baik kau kembali ke ru-
mahmu, Suci!"
"Tidak mau! Aku ingin mencari kakek!"
Di balik keriangannya gadis ini ternyata juga
seorang yang keras kepala.
"Perjalanan yang akan kau tempuh sangat sulit,
karena kau sendiri tidak tahu di mana kakekmu ber-
ada."
"Bersama dengan Kang Andika, apa yang kuta-
kutkan? Tadi kulihat bagaimana Kang Andika me-
ngalahkan si tukang perahu itu! Lagi pula, aku bisa
berjalan sendiri. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa ber-
buat apa-apa sendiri. Aku cuma ikut dengan Kang An-
dika. Kalau sudah kutemukan kakekku, aku akan pu-
lang. Itu saja, kan? Apa yang merepotkan Kang Andika
kalau begitu? Buktinya, aku bisa menyeberangi sungai
ini, karena aku tahu ada jembatan gantung di sebelah
barat sana."
Kali ini Andika keluarkan napas pelan. Yang
cukup merepotkannya, karena ia pun hendak mencari
Kakek Buruk Rupa. Dan bukan mustahil ia sendiri tidak akan menemukan si orang tua kumal itu.
Kalaupun soal mencarinya memang bukan ma-
salah besar, akan tetapi, soal Permata Sakti biru inilah
yang ia pikir akan merepotkannya.
"Aku yakin, kepergianmu ini tak diketahui oleh
kedua orangtuamu."
"Biasanya memang seperti itu. Soalnya, mereka
bisa marah kalau aku pergi lagi. Lebih-lebih bila me-
reka tahu kalau aku mencari kakek."
"Kau bukan hanya akan membuat kedua
orang-tuamu cemas, Suci... tetapi kau telah membo-
honginya."
Kali ini Suci kelihatan kikuk.
"Habisnya, aku kan rindu kakek. Kalau kuka-
takan aku hendak mencari kakek, mana mereka men-
gizinkan?"
"Kau terlalu sering membohongi kedua orang
tuamu."
"Kalau sudah kutemukan kakek dan kakek
mau tinggal bersamaku, kan tak ada lagi yang perlu
kubohongi."
"Bagaimana kalau kakekmu menolak?"
"Bila kakek mau berjanji untuk mendatangiku
sebulan atau beberapa bulan sekali, sudah cukup
memuaskanku. Pokoknya, aku harus bertemu kakek."
"Kalau begitu lebih baik kau...."
Wusss!
Andika sudah berkelebat cepat dan mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuhnya menjauhi Suci.
Gadis itu menjerit kaget, "Kang Andikaaa!!"
Bagi Andika, yang terpenting adalah keselama-
tan Suci. Karena ia yakin, akan banyak orang-orang
yang muncul hendak merebut Permata Sakti biru yang
ada di balik bajunya.
Senja sudah menurun ketika Andika memasuki
sebuah hutan. Ia celingukan sebentar dari balik se-
buah pohon. Ketika ia yakin kalau Suci tidak akan
berhasil mengejarnya, ia pun keluar dari sana sambil
tarik napas panjang.
"Hmmm.... Suci pasti tak bisa lagi mengikutiku.
Sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik aku cari
kelinci atau ayam hutan yang bisa kujadikan penggan-
jal perut. Mudah-mudahan Suci sadar akan keke-
raskepalaannya dan kembali lagi ke rumahnya."
Selang beberapa saat, nampaklah Andika se-
dang asyik memanggang daging seekor kelinci. Aro-
manya sangat mengundang selera sekali.
Dan ketika ia sedang mengerat daging itu, lalu
siap dimakannya, tiba-tiba saja terdengar suara, "Ih!
Kau jahat sekali kalau tidak mengajakku menikmati
lezatnya daging kelinci itu, Kang Andika!!"
***
6
Sementara itu, di tempat yang sangat jauh dari
tempat di mana Andika berada, Kakek Buruk Rupa se-
dang duduk di sebuah batu besar. Cukup aneh me-
mang, batu besar itu ada di tengah-tengah sebuah hu-
tan belantara yang lebat.
Dari cara duduk dan wajahnya yang berkerut,
jelas sekali ada yang dipikirkan. Orangtua kakek dari
Suci itu memang tengah memikirkan tentang Permata
Sakti biru yang lima belas tahun lalu ditemukannya.
Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hati-
nya. Karena, ia sama sekali belum berhasil memecah-
kan rahasia apa yang ada di balik batu Permata Sakti
itu. Yang diketahuinya, begitu banyak orang yang
menginginkan Permata Sakti itu.
Lalu pikirannya tiba pada Pendekar Slebor.
"Pemuda itu memiliki otak yang cerdik. Maka-
nya, aku rela menyerahkan Permata Sakti itu padanya.
Karena aku berharap, dengan kecerdikannya ia berha-
sil memecahkan rahasia permata itu," orang tua itu
bergumam sambil usap jenggot putihnya. "Yah, di tan-
gannyalah aku berharap rahasia permata itu terpecah-
kan."
Angin malam berhembus dingin, namun tak di-
hiraukan oleh Kakek Buruk Rupa yang mengenakan
pakaian acak-acakan. Rambut panjangnya yang tutupi
wajahnya, tergerai. Hanya sesaat, karena kemudian
kembali lagi pada posisinya.
Tiba-tiba, si orang tua membentak, "Tamu tak
diundang. Mengapa harus mengintip. Nanti matamu
bintit. Silahkan keluar, karena bila kau bermaksud ja-
hat, kau telah dinanti ajal!!"
Seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh
lima tahun, melengak di atas sebuah pohon. Dari tadi
laki-laki berwajah tengkorak dan tubuh kurus kerem-
peng itu berada di sana dan memperhatikan Kakek
Buruk Rupa yang duduk di atas sebuah batu besar.
Rambut panjangnya awut-awutan. Karena malu di-
ketahui kehadirannya, tanpa disadari olehnya, ia me-
lompat turun sambil terbahak-bahak.
Ketika ia berdiri di atas kedua kakinya yang ku-
rus, terlihat sebuah tambang yang besar di panggul di
bahu kirinya. Dari cara ia memanggul tambang besar
tanpa menimbulkan kesulitan baginya, sudah bisa di-
pastikan ia bukan orang kebanyakan.
"Mata dan telinga tuamu ternyata masih awas,
Kakek Buruk Rupa. Cukup senang aku bisa melihat
kehebatanmu itu!" Orang yang baru turun itu terba-
hak-bahak kembali.
Sedangkan Kakek Buruk Rupa tak bergerak se-
dikit juga dari duduknya yang membelakangi laki-laki
berwajah tengkorak itu. Hatinya mendesis, "Bila me-
lihat cara ia menjejakkan kakinya dan benda yang di-
panggul di bahu kirinya, aku yakin, manusia inilah
yang berjuluk Iblis Tambang," Si kakek lalu perde-
ngarkan suara, "Senang mendapat teman di tempat
sepi seperti ini. Cuma sayangnya, mengapa harus ber-
jumpa dengan manusia jelek seperti tengkorak?"
Si wajah tengkorak kelam seketika. Mukanya
yang rata tinggal kulit pembungkus tulang bagai terte-
kuk ke dalam. Mulutnya yang seperti memiliki bibir
menggeram, "Aku datang, untuk meminta Permata
Sakti darimu, Kakek Buruk Rupa!"
"O... salah seorang yang memiliki jiwa serakah
yang berada di belakangku ini. Sayangnya, aku tak
pernah akan memberikan Permata Sakti itu pada
orang semacammu!!"
Laki-laki kurus kering itu perdengarkan gera-
mannya yang dibaluri kemarahan menghemat. Ialah
yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan de-
ngan sebutan Iblis Tambang. Cukup lama juga Iblis
Tambang malang melintang di rimba persilatan. Tak
seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Yang dike-
tahui, ia hanyalah seorang laki-laki yang berwatak cu-
las dan memiliki kekejaman yang luar biasa. Tambang
besar yang menjadi senjatanya itu, adalah sebuah
benda yang dahsyat. Mengenai wajahnya yang mirip
tengkorak, orang-orang hanya menyirap kabar, kalau
semenjak lahir ia memang sudah berwajah seperti itu.
"Menolak, berarti hanya menantang maut! Lima
tahun aku mencari jejakmu, Orang Tua Hina, tak akan
mungkin setelah kutemukan aku akan tinggalkan kau
begitu saja!"
"Kau betul, karena bila kau berbuat seperti itu,
kau hanya membuang waktu lima tahunmu itu secara
sia-sia."
Marah bukan buatan Iblis Tambang. Tanpa bu-
ang tempo lagi, ia buat satu serangan kelebatan dah-
syat. Tangan kurusnya menderu hebat. Kakek Buruk
Rupa yang sejak tadi memang sudah waspada, segera
mencelat ke atas. Tangan Iblis Tambang menghantam
batu besar yang tadi didudukinya.
Blaaarrr!
Batu besar itu menjadi kerikil dan berpentalan.
Serangan Iblis Tambang menyusul. Kedua kaki
kurusnya menderu dahsyat ke muka. Kakek Buruk
Rupa cepat mengangkat tangannya menangkis.
Des! Des!
Gempuran kedua kaki Iblis Tambang tertahan.
Akibatnya, kedua tokoh aneh itu mencelat beberapa
tombak ke belakang. Kakek Buruk Rupa merasa ta-
ngannya bagai remuk. Sedangkan yang dialami oleh
Iblis Tambang tak jauh berbeda sebenarnya. Kedua
kakinya terasa ngilu. Hal itu membuatnya jadi marah
tak karuan.
Tahu-tahu tangan kanannya sudah mengambil
tambang besar yang tergulung dan sepanjang tiga me-
ter di bahunya. Diloloskannya tambang itu hingga se-
bagian menjulai di tanah. Tatapannya tak berkesip pe-
nuh sinar kematian laksana api yang menyala.
"Aku tak ingin banyak bicara, serahkan Perma-
ta Sakti itu kepadaku!!"
"Kau tak akan bisa memecahkan rahasianya,
Jelek!"
Iblis Tambang terbahak-bahak keras. "Begitu
bodohnya bila aku tak bisa mengetahui. Bukankah
tenggorakanmu bisa kujadikan sebagai imbalan bila
kau mau mengatakannya kepadaku!"
Berulang kali Kakek Buruk Rupa selalu mendapatkan jawaban seperti itu dari orang-orang serakah
yang menginginkan permata biru yang sekarang ber-
ada di tangan Pendekar Slebor. Rata-rata mereka me-
nyangka, kalau ia mengetahui rahasia Permata Sakti.
Belum lagi ia berkata apa-apa, Iblis Tambang
sudah menggerakkan tangannya. Tambang berat itu
menderu ke arah si orang tua yang terkesiap melihat
sinar merah yang dipancarkan dari tambang itu ke
arahnya. Cepat ia menghindar bergulingan, namun Ib-
lis Tambang sambil terbahak-bahak dan bagai melihat
seekor monyet yang terjebak lingkaran jaring, terus
menerus gerakkan tangannya dengan gencar.
Pepohonan yang tumbuh di sana banyak yang
tumbang berdebam. Tanah yang semula dipijak oleh
Kakek Buruk Rupa, bolong setengah meter!
Ia belum punya kesempatan sekali pun untuk
membalas. Sebaliknya, Iblis Tambang terus menerus
perdengarkan tawanya sambil melakukan serangkaian
serangan tambang dahsyatnya yang timbulkan suara
bergemuruh dan suara bagai ledakan.
Blaaarr!
Sebatang pohon terhantam lagi hingga beran-
takan. Bersamaan senjata tambang dahsyat itu me-
ngejar dirinya tadi, si orang tua bongkok melepaskan
satu tendangan dahsyat yang didahului lompatan satu
kaki.
Iblis Tambang tak memperhitungkan kalau la-
wan akan melakukan satu serangan balik yang me-
matikan. Ia tarik pulang tambangnya kembali. Lalu di-
hentakkan dengan suara keras, "Heaaaa!!"
Namun, Kakek Buruk Rupa yang sudah mem-
perhitungkan kalau lawan akan memotong serangan-
nya, justru berputar. Tambang itu mendesir di atas
kepalanya. Tubuh udangnya tak ubahnya bagai bola
setengah lingkaran. Mendadak ia mengibaskan ram
butnya ke depan.
Wuuuttt!
Bau tak sedap menguar, bagai memenuhi hu-
tan di mana mereka bertempur. Menyergap Iblis Tam-
bang yang terhenyak sejenak. Lalu segera menutup ja-
lan napasnya sendiri. Meskipun dilakukan dengan
sangat cepat, waktu yang hanya dua detik itu sudah
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kakek Buruk Rupa.
Selagi lawan mau tak mau menghentikan se-
rangannya, orang tua bongkok itu memutar tubuhnya.
Tangannya bergerak ke depan.
Des!
Jotosannya telak menghantam dada Iblis Tam-
bang.
Meskipun dalam keadaan terdesak, Iblis Tam-
bang tidak memperlihatkan wajah pias. Sebisanya ia
menggerakkan senjatanya lagi.
Wusss!
Tambang yang menderu itu siap mencopot ke-
pala Kakek Buruk Rupa bila ia tak segera menunduk.
Sementara kakinya terus meluncur.
Buk! Buk!
Dua kali tendangan berkekuatan dahsyat itu
menghantam Iblis Tambang hingga tersuruk ke bela-
kang. Dadanya dirasakan bagai remuk. Darah menga-
lir dari mulut dan hidungnya. Sedangkan Kakek Buruk
Rupa yang memang enggan untuk menurunkan tan-
gan telengas, segera angkat kaki dari sana.
"Orang tua keparat! Kau tak akan bisa lolos da-
ri tanganku!!"
Tanpa menghentikan larinya, Kakek Buruk Ru-
pa perdengarkan tawa yang keras.
"Maaf, tanganku bisa lumutan bila bertarung
dengan orang yang memiliki ilmu picisan!"
Panas wajah Iblis Tambang. Ia mencoba untuk
bangkit. Namun dadanya yang terhantam tendangan
dahsyat si kakek, membuatnya harus rebah kembali.
"Bangsat keparat! Sampai ke mana pun kau
akan kukejar!"
Sementara itu, satu sosok tubuh hitam-hitam
dengan rambut digelung ke atas yang sejak tadi mem-
perhatikan pertempuran itu, segera mencelat me-
nyusul Kakek Buruk Rupa.
"Kehebatan Iblis Tambang tak banyak berarti di
tangan Kakek Buruk Rupa. Sekarang, orang tua sialan
itu akan menerima batunya di tanganku, si Camar Hi-
tam! Setelah kudapatkan Permata Sakti itu, akan ku-
bunuh Pendekar Slebor! Aneh, mengapa pemuda ura-
kan dari Lembah Kutukan itu tiba-tiba mampu mem-
balikkan pukulanku. Bahkan, ia membiarkan setiap
pukulanku di tubuhnya! Hhh! Kehebatannya semakin
bertambah saja!"
Wanita tua yang tak lain si Camar Hitam, terus
mengejar Kakek Buruk Rupa yang berkelebat laksana
angin.
Andika yang urung menikmati daging pang-
gangnya, menoleh, dan melotot. Lagi-lagi cucu Kakek
Buruk Rupa yang berada di hadapannya.
"Brengsek! Kupikir ia tak akan mampu meng-
ikutiku!" makinya dalam hati. Hatinya makin kesal ke-
tika melihat Suci tersenyum sambil mengangkat kedua
alisnya. Lalu seperti tak menghiraukan kedatangan
Suci, Andika putar tubuhnya kembali dan menikmati
daging panggangnya.
Suci tahu kalau kehadirannya tidak disukai
oleh Andika. Namun ia tidak peduli. Dengan santainya
tanpa menghilangkan senyum yang bertengger di bi-
birnya itu, ia duduk di sisi Andika. Tanpa merasakan
kejengkelan Andika, dengan enaknya Suci me-
natapnya. Kedua matanya dibulatkan. Andika yang
meskipun sudah diusahakan berlagak tak acuh, justru
jadi risih juga karena ditatap terus menerus.
"Apa sih maumu?" dengusnya jengkel.
Seperti baru sadar kalau Andika tidak mengerti
keinginannya, Suci melengak dengan kening berkerut.
"Jadi Kang Andika tidak tahu, ya? Kasihan se-
kali! Padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali!
Jangan-jangan, telinga Kang Andika jadi tuli, ya? Pasti
kebanyakan makan daging kelinci! Coba kalau Kang
Andika membaginya separo denganku, pasti telinga
Kang Andika tidak akan tuli."
Seharusnya Andika bisa tertawa mendengar ka-
ta-kata Suci yang punya dua tujuan. Pertama, dengan
kata-kata seperti itu, ia mengejek Andika. Kedua, seca-
ra tidak langsung ia mengatakan kalau perutnya lapar.
Tetapi pemuda urakan nan tampan itu kembali
perdengarkan dengusannya. Hatinya mendongkol se-
kali. Benar-benar mati kutu dia menghadapi gadis di
sampingnya ini.
Ditariknya napas perlahan, dihentikannya ma-
kannya.
"Sekali lagi kukatakan, bukannya aku tidak
mau membawamu untuk menemui Kakek Buruk Ru-
pa, tetapi perjalanan yang akan kutempuh ini sangat
sulit sekali. Kapan sih kau mau mengerti akan kata-
kataku itu?"
"Berapa kali kukatakan pada Kang Andika, ka-
lau aku mampu menjaga diri. Kang Andika tidak usah
cemas," kata Suci berusaha meyakinkan.
"Enaknya ngomong! Kau tidak tahu bagaimana
sebenarnya kehidupan ini. Aku tahu kau sering mem-
bohongi kedua orangtuamu sementara kau sendiri
pergi dengan enaknya ke segenap penjuru. Akan te-
tapi, sampai saat ini kau tak kurang suatu apa, karena
kau memang belum mendapatkan masalah."
"Kalaupun iya, aku akan berusaha menghinda-
rinya."
"Ucapan tak sama dengan tindakan. Sudahlah
lebih baik kau kembali ke rumahmu."
"Mana bisa begitu? Aku mau mencari kakek."
"Aku sendiri sedang mencari kakekmu yang je-
lek itu, tahu!" sengat Andika benar-benar jengkel.
Kalau tadi Suci nampak masih berusaha mem-
bantah kata-kata Andika, kali ini gadis itu terdiam.
Seolah tak percaya dengan kata-kata Andika barusan.
Ini berita baru baginya. Dan keningnya yang licin itu,
perlahan-lahan mengerut.
"Kang Andika... juga mencari kakekku?" ta-
nyanya meyakinkan pendengarannya.
Andika yang sudah merasa kelepasan bicara,
mau tak mau akhirnya menganggukkan kepala. "Ya!
Laki-laki tua bongkok jelek itu menitipkan sebuah
permata biru kepadaku."
"Permata apa?"
"Kan tadi sudah kukatakan, permata biru!"
"Maksudku... untuk apa?"
"Aku sendiri tidak tahu." Andika menatap gadis
yang masih menatapnya itu. Bagai baru menyadari, ia
bisa melihat betapa cantiknya gadis ini. Tetapi mes-
kipun sifatnya riang dan jenaka, ia memiliki sifat yang
keras kepala. "Suci... apakah kakekmu pernah men-
ceritakan tentang sebuah permata biru?"
Suci menggelengkan kepalanya, Matanya masih
lekat memandang Andika.
"Aku tidak tahu menahu soal itu."
"Sayang, padahal aku dibuat pusing olehnya."
"Bolehkan aku melihatnya?"
Andika menatap Suci dalam-dalam. Lalu mem-
perhatikan sekelilingnya. Memang tak jadi masalah bi-
la ia memperlihatkan permata biru itu pada Suci. Di
ambilnya benda sebesar telur ayam yang meman-
carkan sinar biru.
"Wooo... indah sekali. Jadi, permata itu milik
kakek, Kang Andika?"
Andika menganggukkan kepalanya, lalu mema-
sukkan permata itu lagi ke balik pakaiannya.
"Itulah sebabnya mengapa aku mencari kakek-
mu. Perlu kau ketahui, menurut kakekmu sendiri, ka-
lau permata ini banyak menimbulkan petaka. Mak-
sudku, banyak sekali orang-orang serakah yang men-
ginginkannya. Dan pertarunganku di sungai sebelah
sana tadi, adalah salah seorang yang mempunyai niat
busuk terhadapku. Itulah Suci, mengapa aku tidak
mengizinkan kau untuk ikut denganku. Karena...."
"Aku kangen kakek!"
"Aku tahu. Tetapi...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, aku mau men-
cari kakek! Kang Andika kan bisa membawaku serta!"
Kali ini Andika benar-benar kehabisan akal un-
tuk menghadapi Suci. Tanpa menjawab ia meneruskan
lagi menikmati daging panggangnya. Suci yang me-
mang sudah merasa lapar, hanya menatap saja tanpa
berani memintanya.
Melihat kesungguhan gadis itu, Andika akhir-
nya jadi tidak tega. Dibaginya sebagian daging pang-
gang itu pada Suci, dia menerima dan menikmatinya
dengan lahap.
Karena sulit untuk meminta pengertian dari
Suci agar tidak mengikutinya, Andika membiarkan sa-
ja gadis itu bersamanya.
Selesai menghabiskan daging panggangnya, An-
dika bangkit sambil berkata, "Aku ingin tidur! Kau si-
lakan cari tempat untuk kau tidur!"
"Tetapi, Kang Andika jangan meninggalkan aku,
ya?" katanya dengan suara mengibakan.
Andika tak menyahut. Ia mematikan api yang
dipakainya untuk memanggang. Dan tidak lagi menya-
lakan api untuk menghangatkan badan. Dibawanya
langkahnya ke balik semak.
"Hei! Sana cari tempat untuk tidur!" serunya.
"Apakah kau ingin tidur berdua-dua denganku?"
Bagai disentak Suci bangkit, lalu celingukan ke
sana-sini. Meskipun ia tahu Andika keberatan meng-
ajaknya serta, tetapi ia bisa menebak kalau pemuda
tampan itu tidak tega pada akhirnya.
"Aku tidur di sini saja!"
"Terserah!"
Sambil cemberut, gadis itu merebahkan tubuh-
nya. Dia cukup dibuat jengkel dengan sikap Andika
yang semaunya. Diingatnya lagi tentang kakeknya. La-
lu pikirannya tiba pada permata biru yang diperli-
hatkan Andika. Permata yang bagus sekali.
Dan diam-diam, di bibir gadis itu tersungging
sebuah senyuman. "Menurut Kang Andika.... Banyak
yang menginginkan, permata itu. Hmm... Aku pun jadi
tertarik untuk mendapatkannya. Yah, suatu saat akan
kukejutkan Kang Andika."
***
7
Malam makin membentang. Hawa dingin yang
tak terkira menusuk tulang. Sang Ratu Malam dijaga
oleh gumpalan awan hitam. Bunyi dedaunan diper-
mainkan angin, cukup mampu membuat jantung lebih
cepat berdetak. Andika yang sejak tadi tak bisa meme-
jamkan mata, bangkit perlahan, disibaknya semak di
mana ia berada. Dilihatnya Suci tengah melingkar
dengan kedua tangan mendekap dada. Kelihatan kalau
gadis itu kedinginan.
Andika mendesah pendek. "Sulit bagiku meng-
hadapi gadis ini. Tetapi, biar dia tahu bagaimana sulit-
nya perjalanan ini."
Namun ketika malam semakin mengedar, lama
kelamaan rasa iba datang di hati Andika. Jangan-ja-
ngan, gadis itu bisa membeku ketika bangun keesokan
harinya. Akhirnya Andika keluar dari balik semak, di-
dekatinya Suci yang menggigil.
"Suci...," dipanggilnya dengan lembut, seperti
ada pesona yang menariknya.
Suci yang memang tak bisa tidur karena hawa
dingin, menyahut pelan sambil buka matanya, "Kena-
pa, Kang Andika...," suaranya bergetar, setengah
menggigil.
Andika melihat wajah gadis itu membiru, ter-
utama di bibirnya yang memerah. Rasa ibanya makin
menjalar, hati-hati direbahkan tubuhnya di sisi gadis
itu. Dilingkarkan tangan kanannya ke tubuh gadis itu,
diberinya kehangatan yang dalam.
Dalam dingin menusuk, perlahan-lahan Suci
merasa hangat kembali. Diam-diam, ia menyukai
rangkulan Andika di tubuhnya. Selang beberapa saat
Andika masih juga merangkulnya. Dibuka matanya
perlahan-lahan, dilihatnya pemuda tampan itu sudah
terlelap.
Lalu dengan batin bergejolak hebat, perlahan-
lahan Suci mengulurkan tangannya untuk balas me-
rangkul. Namun beberapa kali ia tidak jadi melaku-
kannya.
"Tidak, aku bisa malu kalau Kang Andika tahu-
tahu bangun," desisnya. Begitu nyaman sekali pelukan
Kang Andika ini, tambahnya dalam hati. Kalau pun ia
pernah meninggalkan rumah selama dua hari dan tidur di sembarang tempat, itu dikarenakan ia secara ti-
dak sengaja menemukan gubuk-gubuk milik para pe-
nebang kayu, hingga terhalang dari hawa dingin yang
menusuk.
Dan perlahan-lahan ia pun akhirnya terlelap.
***
Tepat ketika ayam jantan berkokok di kejau-
han, Andika terbangun. Diliriknya Suci yang terlelap
dengan bibir tersenyum. Tangan kanan merangkul tu-
buh Andika. Sejenak Andika mengerutkan keningnya.
"Heran, ada orang tidur tersenyum seperti itu?"
Hati-hati ia menurunkan tangan gadis manis
itu dari tubuhnya. Ia sendiri segera berdiri. Menggerak-
gerakkan tubuhnya sekadar melemaskan otot. Lalu di-
edarkan pandangan ke sekelilingnya. Alam begitu ra-
mah dan asri meskipun belum begitu terang. Di ufuk
timur sana, matahari baru memancarkan sinar me-
rahnya yang tipis.
"Hmm... sebenarnya cukup merepotkan bila
kuajak gadis ini mencari Kakek Buruk Rupa," desisnya
sambil melirik Suci kembali. Dalam pandangannya,
wajah gadis itu begitu bersih sekali. "Tetapi mau ba-
gaimana? Melihat kekeraskepalaannya aku yakin ia
tak akan merepotkanku sebenarnya."
Andika menarik napasnya lagi. Ia bermaksud
untuk mencari sungai guna membersihkan tubuhnya
selagi Suci masih tidur. Namun langkahnya urung.
Tiba-tiba saja pemuda dari Lembah Kutukan
itu merasa jantungnya berdetak keras. Ia menangkap
sebuah isyarat bahaya yang cukup menegangkan. Se-
ketika dibangunkannya Suci yang membuka dan men-
gucak-ngucak matanya.
"Apakah ini sudah pagi, Kang Andika?" ta
nyanya dengan suara agak parau.
Andika tidak menyahut. Batinnya mengatakan
kalau bahaya semakin dekat. Ia justru berbisik, "Cepat
kau naik ke pohon itu, Suci."
Meskipun baru bangun tidur dan kepala ber-
pendar pusing, Suci tak banyak bertanya akan perin-
tah Andika. Cepat ia mengempos tubuhnya melompat
ke dahan pohon, melompati satu dahan ke dahan lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena Suci sedikit ba-
nyaknya telah digembleng oleh kakeknya. Bila saja Ka-
kek Buruk Rupa mengajari ilmunya lebih lama lagi, tak
mustahil Suci akan menjadi seorang wanita muda yang
sukar dikalahkan oleh lawan-lawannya. Dari balik
rimbunnya dedaunan dilihatnya Andika sedang berdiri
bersiaga.
Pijaran mata bagai sepasang mata elang itu
berkeliling. Sekarang telinganya menangkap derap ce-
pat ke arah di mana ia berdiri.
"Siapa yang datang sekarang? Kalau mendengar
suara yang cukup ramai ini, pasti yang datang dengan
menunggang kuda. Hmm... rasanya lebih dari tiga
orang. Sebaiknya, aku bersembunyi dulu untuk men-
getahui siapa dan mau apa orang-orang ini!"
Memikir sampai di situ, Andika langsung me-
ngempos tubuhnya ke sebuah pohon besar. Dilambai-
kan tangannya pada Suci dan diletakkan telunjuknya
ke bibir memberi isyarat agar gadis itu jangan menge-
luarkan suara. Suci mengangguk, agak tegang.
Selang beberapa saat, muncul di tempat cukup
terbuka itu lima ekor kuda jantan yang gagah. Ditung-
gangi oleh orang-orang berpakaian hitam. Salah seo-
rang menarik kendali kuda, hingga kudanya berhenti
dan keluarkan suara ringkikan cukup keras. Menyusul
kuda-kuda yang lain.
Dari tempat di mana dirinya bersembunyi, Andika jelas melihat rata-rata wajah penunggang kuda
itu cukup menyeramkan. Tubuh mereka besar. Mas-
ing-masing dipenuhi dengan cambang bawuk yang le-
bat. Pakaian hitam dengan destar merah menambah
angkernya penampilan mereka.
"Hmmm, aku pernah mendengar tentang seri-
kat dari golongan hitam yang bernama Serikat Kuda
Hitam. Apakah manusia-manusia jelek ini dari Serikat
Kuda Hitam?" desis Andika sambil terus memperha-
tikan.
Salah seorang dari penunggang kuda itu, me-
lompat turun. Gerakannya begitu ringan sekali. Ia
mendekati kayu bekas Andika memanggang daging ke-
linci.
"Gadis itu memang berada di sini semalam. Te-
tapi, ia sudah pergi lagi dari sini!" suaranya kasar dan
tak sedap di dengar.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus mencari
gadis yang bernama Suci itu!" sahut yang rambutnya
tipis. "Selentingan kabar mengatakan kalau ia adalah
cucu dari Kakek Buruk Rupa. Telah tujuh bulan kita
mencari jejak Kakek Buruk Rupa untuk mendapatkan
Permata Sakti berwarna biru, tetapi sampai saat ini be-
lum juga kita dapatkan jejaknya. Bila kita berhasil
menangkap cucunya, kita paksa ia keluar dari per-
sembunyiannya dan menukar Permata Sakti itu de-
ngan nyawa cucunya!!"
Di atas pohon, Suci merasa dadanya semakin
berdebar hebat. Wajah cantiknya berkerut pias. Na-
mun di balik ketegangannya, menyembul pula kema-
rahan yang hampir saja tak mampu membuatnya un-
tuk menahan diri bila tak dilihatnya Andika memberi
isyarat agar ia tetap tenang.
Orang yang pertama berbicara tadi, naik kem-
bali ke kudanya.
"Permata Sakti yang berada di tangan Kakek
Buruk Rupa harus kita serahkan pada Ketua. Biar ba-
gaimanapun sulitnya, permata itu harus kita da-
patkan. Serikat Kuda Hitam harus mengibarkan
sayapnya setinggi langit! Kita harus cepat, paling tidak
gadis itu belum jauh dari sini! Hhhh! Seharusnya kita
tidak kehilangan jejaknya waktu itu, bila ia tidak ber-
lari secepat kilat di tepi sungai sebelah sana!"
"Moro Alit... bagaimana dengan pemuda berbaju
hijau pupus yang bertarung dengan si tukang sam-
pan?"
"Peduli setan dengan pemuda itu!" sahut si
rambut panjang yang bernama Moro Alit. "Meskipun
kita menduga kalau pemuda itulah yang berjuluk Pen-
dekar Slebor dari ciri-ciri yang ada padanya, namun ki-
ta tak punya urusan dengannya!"
"Ingat, Pendekar Slebor tak akan pernah mem-
biarkan kita melakukan tindakan seperti yang kita in-
gin lakukan."
"Kalau begitu, ia harus mampus di tangan Seri-
kat Kuda Hitam!"
Sehabis berkata begitu, laki-laki berambut pan-
jang itu menggebrak kudanya. Menyusul yang lainnya
menggebah kuda masing-masing.
Di tempatnya Andika mendesis, "Rupanya ma-
nusia-manusia itu memang dari Serikat Kuda Hitam.
Hhhh! Cukup lama juga nama golongan itu kudengar
namun sampai saat ini belum juga kudapatkan kete-
rangan di mana mereka berdiam. Tetapi yang jelas se-
karang, mereka pun menginginkan Permata Sakti itu
dan bermaksud menculik Suci untuk memancing Ka-
kek Buruk Rupa. Tentunya, seperti kebanyakan orang
lainnya, mereka menyangka permata itu masih berada
di tangan Kakek Buruk Rupa."
Sedangkan yang dipikirkan Suci, kalau sebe
lumnya ia berada dalam jalur ketegangannya sekarang
nampak kening gadis itu berkerut. Ia memikirkan ka-
ta-kata salah seorang dari penunggang kuda tadi.
Pendekar Slebor? Samar ia mengingat kalau ka-
keknya pernah menceritakan tentang seorang pen-
dekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor. Menurut
kakeknya, kepandaian Pendekar Slebor yang memiliki
sifat bijaksana namun juga sifat urakan, sangat sulit
dicari tandingannya.
Batin Suci bergetar, "Apakah Kang Andika yang
berjuluk Pendekar Slebor?" desisnya.
Saat itu ia mendengar suara Andika memanggil,
"Hei! Ayo, turun! Apakah kau akan menjadi monyet
disana?"
Suci melengak dengan mata melotot. Lalu de-
ngan ringannya ia melompat ke bawah dan begitu ka-
kinya hinggap di tanah, dijejakkannya dua kali dengan
jengkel.
"Enaknya ngomong! Kang Andika... apakah
Kang Andika berjuluk Pendekar Slebor?"
Andika menatap gadis itu lekat-lekat. Mengapa
tiba-tiba saja gadis ini bertanya soal julukannya se-
gala? Tetapi ia menganggukkan kepalanya juga.
"Kakek pernah bercerita tentang Pendekar Sle-
bor. Ia juga bermaksud untuk mencari Kang Andika.
Kalau menurut cerita Kang Andika pernah bertemu
dengan kakek... aku yakin ada sesuatu yang terjadi,
bukan?"
Andika cuma mengulapkan tangannya.
"Kalau kau mau ikut denganku, silakan! Tapi
jangan banyak bertanya! Ingat, sekarang banyak yang
mengincar dirimu karena permata itu!"
Setelah berkata begitu, ia berkelebat ke arah
orang-orang Serikat Kuda Hitam tadi. Suci sendiri tak
melanjutkan pikiran yang ada di benaknya. Baginya,
ini sebuah keberuntungan karena Kang Andika akhir-
nya mengizinkannya untuk ikut bersama. Dalam per-
kiraan Suci, jaraknya dengan kakek yang dirindukan-
nya semakin dekat.
Ia langsung mengejar Andika.
***
Orang-orang dari Serikat Kuda Hitam menghen-
tikan lari kuda mereka di sebuah tempat terbuka. Di
sekeliling mereka ditumbuhi semak belukar, lebat dan
pepohonan tinggi. Di hadapan mereka nampak sebuah
gunung yang menjulang.
"Hhhh! Tak ada tanda-tanda gadis itu datang
ke tempat ini!" maki Moro Alit sambil perdengarkan de-
ngusannya. Matanya yang kasar melotot memperha-
tikan sekelilingnya. "Sulit untuk menentukan di mana
Kakek Buruk Rupa berada! Padahal, yang terbaik ada-
lah menculik cucunya yang sangat disayanginya!"
"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat ting-
gal anak dan menantunya?" tanya Dimar Gondo.
"Itu berarti mengulang dari awal! Hhh! Sebaik-
nya, kita lanjutkan saja mencari cucu Kakek Buruk
Rupa itu! Bila kita sudah berhasil menculiknya, se-
muanya akan terasa mudah! Ketua sangat mengingin-
kan sekali Permata Sakti biru itu!!"
Tanpa setahu mereka, tiga pasang mata men-
gintip kehadiran mereka di sana. Dua pasang mata
yang mengintip dari balik rimbunnya semak saling
berdekatan. Salah satu pasang mata memancarkan si-
nar jengkel, yang satu lagi menatap penuh ketenan-
gan.
"Mereka harus dibunuh, Kang Andika," desis
yang memiliki pasang mata jengkel tadi. Ia tak lain Suci.
Andika mendesis pelan, "Kita harus menahan
amarah, Suci. Manusia-manusia itu tidak tahu kalau
Permata Sakti yang diberikan kakekmu itu ada pada-
ku."
"Apakah sebaiknya tidak diserahkan saja pada
mereka, hingga kakekku tidak selalu diburu?" Andika
menggelengkan kepalanya.
"Terus terang, aku sendiri tidak tahu apa ke-
saktian yang ada pada permata ini. Kakekmu juga ti-
dak mengatakannya padaku. Tetapi, meskipun demi-
kian, samar bisa kuyakini kebenaran omongan ka-
kekmu itu, Suci. Kalau permata ini memang mengan-
dung sebuah kesaktian meskipun aku tidak tahu ke-
saktian apa itu. Jangan bersuara. Aku melihat seseo-
rang di sebuah pohon."
Diam-diam Suci membatin, teringat pada ke-
inginannya untuk memiliki permata itu pula. "Bila ada
kesempatan, aku akan mengambilnya."
Suci memicingkan matanya untuk mengikuti
pandangan Andika. Namun, ia tak bisa melihat siapa
yang berada di balik rimbunnya dedaunan.
Sementara itu, Moro Alit yang hendak mengge-
brak kudanya lagi, menjadi urung ketika melihat satu
sosok tubuh berpakaian hitam meluncur turun dengan
ringannya dari pohon yang tak jauh dari hadapannya.
Andika mendesis, "Rase Maut! Sinting! Rupanya
ia bisa menyelamatkan diri."
Orang yang tadi bersembunyi dan meluncur tu-
run itu memang si Rase Maut. Ketika ia tergulung de-
ras oleh aliran sungai dan kepalanya berpendar pusing
hingga sulit mengendalikan tubuhnya, mendadak ma-
tanya menangkap sebatang pohon yang menjulai ke
air. Cepat disambarnya batang pohon itu. Lalu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia pun melompat naik.
Dialirkan tenaga dalam dan hawa murni guna
menghilangkan rasa pusing akibat tendangan Andika.
Ia masih tak mengerti mendapati kehebatan yang di-
perlihatkan Pendekar Slebor. Membiarkan dirinya di-
hantam oleh pukulan seorang tokoh tinggi semacam
dia, bukanlah suatu pekerjaan yang lunak. Harus
mengandalkan kemampuan dan kekebalan. Tetapi,
lama kelamaan pun akan roboh juga, karena keke-
balan itu pasti memiliki kelemahan. Hanya yang
mengherankannya, Pendekar Slebor tetap mampu me-
nahan setiap hantamannya, tanpa sekali pun memba-
las. Sakit hati Rase Maut memikirkan hal itu.
Akhirnya ia menunggu Pendekar Slebor di tem-
pat itu sambil memulihkan seluruh tenaganya. Ter-
nyata orang-orang Serikat Kuda Hitam yang muncul.
Ia terbahak-bahak melihat wajah kelima pe-
nunggang kuda itu melotot padanya.
"Jangan gusar! Aku si Rase Maut adalah saha-
bat dari Tunggul Manik, atau Ketua Serikat Kuda Hi-
tam!"
Moro Alit tatap dengan mata nyalang.
"Jangan menjadi tukang ngibul di sini! Ketua
tak punya sahabat buruk seperti kau!"
Meskipun hatinya geram bukan buatan, Rase
Maut hanya memperdengarkan tawa belaka.
"Jangan marah! Dengar baik-baik, urungkan
niat kalian untuk menculik cucu Kakek Buruk Rupa!"
Semakin kelam wajah Moro Alit mendengarnya.
Secara tidak langsung ia bisa menangkap kalau laki-
laki di hadapannya ini sejak tadi sudah mencuri den-
gar percakapan mereka.
"Setan alas! Minggir kalau tidak ingin tubuhmu
tercacak tak berbentuk di sini!!"
Rase Maut hanya sunggingkan senyum.
"Aku tahu apa yang kalian inginkan, Permata
Sakti biru milik Kakek Buruk Rupa, bukan? Ketahui-
lah... meskipun kalian telah berhasil menculik cucu
dari Kakek Buruk Rupa, kalian tetap tak akan menda-
patkan permata itu!"
Dari rasa marah yang menyelimutinya, Moro
Alit diam-diam menjadi tertarik juga untuk lebih lanjut
mendengar penuturan laki-laki di hadapannya ini.
"Alasan apa yang bisa kau berikan padaku?!"
"Karena, Permata Sakti itu tidak lagi berada di
tangan Kakek Buruk Rupa!"
"Haram jadah! Kau ingin membohongi kami,
hah?"
"Dengar baik-baik," suara Rase Maut berada di
tenggorokan, menandakan ia marah luar biasa. "Per-
mata Sakti itu telah berada di tangan seorang pemuda
dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor!"
"Keparat! Bagaimana kau bisa mengatakan se-
perti itu?"
"Karena aku melihatnya sendiri! Dan aku sem-
pat bentrok pula dengannya?"
"Kau berhasil dikalahkan?" suara Moro Alit pe-
nuh ejekan.
Ganti wajah Rase Maut yang mengkelam.
"Itulah sebabnya, kukatakan semua ini, karena
aku ingin kita bergabung untuk membunuh Pendekar
Slebor!"
"Kau memiliki kelicikan yang luar biasa! Setelah
bergabung dan berhasil merebut permata itu dari ta-
ngan Pendekar Slebor, kau akan mengkangkanginya
sendiri!"
"Dengar baik-baik, Tunggul Manik adalah sa-
habatku, bila ia menginginkan Permata Sakti itu, aku
akan membantunya! Terus terang, aku juga ingin me-
milikinya! Tetapi sekarang, yang kuinginkan adalah
nyawa Pendekar Slebor! Kalian mendapatkan Permata
Sakti itu untuk diserahkan pada Tunggul Manik, dan
aku mendapatkan nyawa busuk Pendekar Slebor! Ba-
gaimana?"
Moro Alit terdiam. Lalu mengedarkan pandang-
annya pada keempat temannya yang seperti memberi
isyarat mengiyakan.
"Baik! Kita bisa bergabung! Bila kau ingkar, ja-
ngan harap kau bisa hidup lebih lama!"
Rase Maut terbahak-bahak. Bukan dalam arti
ketakutan mendengar ancaman itu yang ia samarkan
melalui tawanya, melainkan karena ia merasa mampu
menghancurkan kelima orang ini sekaligus. Namun
saat ini, ia memang berdiri dalam satu pikiran licik. Bi-
la bergabung dengan kelimanya, sudah dipastikan ke-
kuatannya akan bertambah. Dan ini lebih memudah-
kannya untuk membunuh Pendekar Slebor sekaligus
merebut Permata Sakti itu.
Di tempat persembunyiannya, Andika mende-
sis, "Bisa berabe kalau begini! Pencarianku untuk me-
nemukan Kakek Buruk Rupa akan semakin terham-
bat!"
Rase Maut berkata lagi, "Kalian kujanjikan le-
herku sebagai taruhannya!" Lalu menyambung dalam
hati, "Itu pun bila kalian mampu melakukannya, Anj-
ing-anjing geladak!"
Moro Alit tertawa. Ia bangga karena merasa bi-
sa menguasai permainan. Bukannya ia tidak tahu ten-
tang Rase Maut yang mendiami Bukit Tunggul, yang
dikenalnya sebagai tokoh dari golongan hitam yang te-
lah lama malang melintang di rimba persilatan.
Namun kenyataannya, meskipun mereka berli-
ma, mereka tak akan mampu mengalahkan Rase Maut.
Betapa dungunya laki-laki itu!
Tiba-tiba terdengar tawa keras dari Rase Maut.
Cukup kuat untuk menghancurkan gendang telinga.
"Mengapa harus bersembunyi seperti seekor ke-
linci! Jadilah seekor musang yang berani muncul
menghadapi bahaya!"
Moro Alit dan keempat temannya saling pan-
dang tak mengerti mendengar ucapan Rase Maut. Te-
tapi, Andika tahu sekali siapa yang dimaksud oleh la-
ki-laki itu.
Ia pun berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini.
Jangan keluar meskipun bahaya mengancam diriku.
Bila kau lihat aku dalam bahaya, lebih baik segera
tinggalkan tempat ini."
Tanpa menunggu sahutan Suci, pemuda pewa-
ris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera melom-
pat keluar dari persembunyiannya.
"Hebat juga mata belomu itu, Orang Jelek!" se-
lorohnya sambil mengangkat kedua alis hitamnya de-
ngan sikap yang lucu pada Rase Maut. "Jangan-ja-
ngan, kau memakai mata ikan mas koki, ya? Besar se-
kali!"
***
8
Lima anggota dari Serikat Kuda Hitam segera
memutar tubuh dan serentak melompat dari kuda
masing-masing. Mereka melihat seorang pemuda tam-
pan berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak
catur yang tersampir di bahunya. Sikapnya begitu en-
teng sekali, cengengesan, menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
Diam-diam Moro Alit menyadari kedunguannya
yang merasa berhasil memenangkan permainan yang
diciptakan si Rase Maut. Ia jadi malu sendiri ketika tahu kelihaian si Rase Maut, yang bisa mengetahui kebe-
radaan orang lain yang di dekat mereka.
"O... jadi kalian bergabung toh untuk menga-
lahkanku? Waduh, rasa-rasanya... kalian hanya jadi
pemimpi di siang bolong belaka! Bagaimana bila kalian
masing-masing menungging saja dan saling tendang?
Bukankah itu permainan yang lebih asyik?"
Rase Maut memerah wajahnya. Diingatnya ba-
gaimana ketika Andika membiarkan tubuhnya dihajar
terus menerus.
Ia menggeram murka, "Kalau waktu itu kau
berhasil mempecundangiku, sekarang ajalmu sudah
nampak, Pendekar Slebor! Serahkan permata biru itu
kepadaku?!"
Seperti tak tahu ancaman orang, Andika masih
menunjukkan sifat urakannya.
"Jadi yang kau inginkan Permata Sakti. itu?
O... sudah kujual ke tukang loak untuk ditukar den-
gan sebidang tanah."
"Setan alas!"
"Lho, kau tidak bertanya tanah yang kudapat
itu untuk apa? Tidak usah sedih, karena aku pasti me-
ngatakannya. Tanah itu akan kujadikan tempat ku-
buran bagi dirimu. Nah, akan kuhiasi tempat itu de-
ngan bunga-bunga yang indah dan... heeeittt! Kenapa
jadi lancang begini?"
Andika langsung melompat ke samping, begitu
Moro Alit menderu dahsyat. Rupanya laki-laki tinggi
besar itu tak bisa menahan amarahnya yang dibaluri
dengan kedunguannya karena meremehkan Rase Maut
tadi.
Serangannya lolos seketika. Laki-laki berambut
panjang itu menjadi geram bukan main. Padahal se-
rangan yang dilakukannya itu merupakan gebrak per-
tama dari rangkaian jurus 'Jaran Mabur'. Ia putar lagi
tubuhnya dan tangannya menjotos ke muka.
Dasar urakan, Andika justru teriak-teriak,
"Aduh! Ampun, ampun! Jangan pukul!"
Tangannya terangkat, menangkis jotosan Moro
Alit.
Des!
Moro Alit mundur dua tindak, dirasakan tan-
gannya kesemutan. Wajah laki-laki berambut panjang
itu kelam.
"Setan keparat! Kau akan merasakan akibat
perbuatanmu ini!"
"Heran! Kenapa jadi marah-marah?" sahut An-
dika seperti tak menyadari kemarahan Moro Alit. Lalu
seperti baru menemukan jawabannya, ia berkata, "O
ya... kau marah karena tidak kupukul, ya? Ayo, sini!
Sini! Biar kutendang pantatmu hingga mencelat ke gu-
nung itu!!"
Di tempat persembunyiannya, Suci mendesah
panjang. Ia tak mengerti melihat sikap Andika yang
masih saja bercanda, padahal maut siap menjemput-
nya.
Empat orang kawan Moro Alit, sudah menderu
laksana kilat begitu ejekan Andika habis terdengar. Jo-
tosan dan tendangan dilakukan dengan beruntun, ce-
pat dan berbahaya. Kali ini Andika mendengus keras.
Ia mengibaskan tangannya dan membalas dengan se-
rangan tak kalah cepat.
Moro Alit yang juga sudah ikutan menyerang,
menggempur dengan serangan luar biasa dahsyatnya.
Kemarahan laki-laki berambut panjang itu sudah ting-
gi.
Sementara itu si Rase Maut sedang memikirkan
akal liciknya.
"Hhh! Aku tak ingin melihat ilmu kebal yang
pernah diperlihatkan Pendekar Slebor meskipun aku
yakin, ilmu itu pasti memiliki kelemahan! Akan, kuli-
hat dulu manusia-manusia dungu itu menghadapi
Pendekar Slebor!"
Namun setelah lima jurus berlangsung, Pende-
kar Slebor bukan hanya menangkis dan menghindar,
ia juga membalas gebrakan lawan-lawannya. Akibat
balasannya, dua dari lima penyerangnya terlontar ke
belakang terhantam tenaga 'inti petir' yang sudah di-
alirkan pada kedua tangannya. Tubuh mereka membi-
ru dengan napas tersendat-sendat.
Rase Maut jadi gusar sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi, ia menderu ke
arah Andika. Gebrakan tubuhnya menimbulkan angin
bergemuruh dan kiblatan bagai sinar hitam menderu
dahsyat, membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu sekarang jadi gelagapan.
"Busyet! Aku harus bisa mematahkan serangan
dari si Rase Maut. Serangan darinya sangat menyu-
litkan!"
Namun untuk menjatuhkan Rase Maut, bukan-
lah pekerjaan yang mudah. Karena selain lincah, laki-
laki berjerawat itu juga menyerang demikian cepat. Be-
lum lagi serangan dari Moro Alit dan kedua temannya.
Membuat Andika bertambah sulit untuk mematahkan
serangan Rase Maut. Jalan satu-satunya ia memang
harus mencari sela.
"Gila! Lama kelamaan aku yang jadi kerepotan!"
Rase Maut benar-benar tak mau membuang
waktu. Ia terus mencecar dengan gerakan melompat ke
sana kemari. Angin jotosannya menggugurkan de-
daunan.
***
Kita lihat sekarang apa yang dialami oleh Kakek
Buruk Rupa. Setelah bertarung dengan Iblis Tambang,
laki-laki bongkok itu melesat meninggalkan tempat itu.
Ia bermaksud untuk mendatangi cucunya. Tiba-tiba
saja ia merindukan cucunya itu. Akan diceritakannya
kembali kalau ia sudah berjumpa dengan Pendekar
Slebor. Dan diam-diam, di dasar hatinya, Kakek Buruk
Rupa menginginkan cucunya berjodoh dengan Pende-
kar Slebor. Namun, ia beranggapan kalau semua itu
adalah kehendak Sang Maha Kuasa.
Ia juga masih memikirkan tentang Permata
Sakti yang diberikannya pada Pendekar Slebor dengan
harapan kalau pemuda dari Lembah Kutukan itu ber-
hasil memecahkan rahasianya. Karena sampai saat ini,
ia sendiri tidak tahu apa kesaktian dari permata itu.
Sejak pertama kali menemukannya, ia sudah
jatuh hati pada permata itu. Dasar orang-orang sera-
kah yang tak boleh melihat benda aneh, maka mereka
pun berduyun-duyun menginginkannya. Padahal, ia
tidak tahu kesaktian permata itu. Hanya saja, ia se-
nang memancing orang lain untuk lebih penasaran la-
gi. Hingga diam-diam ia pun sadar kalau permata ini
memang bukan permata sembarangan.
Bukan sekali dua kali sebenarnya Kakek Buruk
Rupa saat bertarung dengan lawannya, tak menyadari
kalau lawan tiba-tiba sudah meninggalkannya ataupun
sudah terkapar di tanah. Padahal menurutnya, lawan
saat itu sedang gencar menyerang. Tetapi mengapa
mereka justru meninggalkannya?
Pertanyaan itu memang berpendar di dirinya
tanpa mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hanya
yang diduganya, kalau ia telah berhasil mengalahkan
lawan-lawannya.
"Sebenarnya, aku tak ingin menyerahkan per-
mata itu pada Pendekar Slebor. Aku ingin bertanya
pada Srimpil atau yang berjuluk Penghulu Segala Ilmu.
Tetapi mencari manusia itu, sama saja mencari jarum
di tumpukan jerami! Ah, Pendekar Slebor pun memiliki
otak yang sangat cerdik. Tak kusangka, kalau pewaris
Ki Saptacakra - pendekar legendaris itu - seseorang
yang masih muda dan mempunyai sifat konyol. Mu-
dah-mudahan, ia berhasil memecahkan rahasia per-
mata itu. Ini hanya sebuah harapan. Memang cukup
merepotkan keadaan Pendekar Slebor sebenarnya, bila
orang-orang serakah mengetahui Permata Sakti itu be-
rada di tangannya. Namun, biarlah. Toh aku yakin, ia
bisa mempertahankan diri."
Kakek Buruk Rupa terus berkelebat ke arah ti-
mur. Kali ini terbayang di benaknya sang cucu akan
menyambut kedatangannya seperti biasa dengan cara
sembunyi-sembunyi. Selang beberapa saat kemudian,
ia pun memasuki sebuah desa.
"Hmm... Haryo pasti tidak menyukai kedatan-
ganku, apalagi bila mengetahui aku mendekati anak-
nya. Tetapi Haryo adalah putraku dan Suci cucuku.
Aku akan tetap ke sana. Hanya saja, aku tidak mau
cari gara-gara, sebaiknya... aku datang bersembunyi-
sembunyi."
Kelebatan tubuhnya di jalan desa yang mema-
suki rembang petang itu, cukup menggidikkan bagi pa-
ra penduduk yang melihat bayangan laksana setan
berkelebat. Tetapi mereka tak ambil peduli karena toh
ini masih sore. Menurut mereka, setan tak akan
mungkin iseng gentayangan di sore ini.
Kakek Buruk Rupa kini sudah berada di atap
genting rumah putranya. Ia tahu di mana letak kamar
cucunya. Tetapi, pendengarannya yang tajam menang-
kap suara tangis di bawahnya.
"Bagaimana kita harus menemukan Suci, Pak?"
suara wanita yang dikenali sebagai anak menantunya.
"Sudah beberapa hari ini Suci menghilang. Oh, Gusti...
ke manakah kau Suci?"
Di depan wanita yang tengah bersedih itu,
Haryo Adilekso hanya berdiri mematung. Ia sudah me-
nyuruh beberapa penjaga rumahnya untuk mencari
putrinya, namun sampai saat ini belum ada laporan
yang memuaskan.
"Sudahlah, Bu... ia pasti kembali. Bukankah
begitu biasanya?"
"Tetapi... aku khawatir akan kepergiannya saat
ini. Pak... apakah ia mengikuti pemuda yang bernama
Andika itu?" tanyanya tersendat. Dihapusnya air ma-
tanya dengan saputangan yang bermotifkan sulaman
burung merak.
"Mungkin iya, mungkin tidak. Karena, pemuda
itu tidak berada di sini pula."
"Apakah dia...."
Haryo Adilekso tersenyum.
"Jangan berpikir macam-macam, Bu. Meskipun
kulihat sifat pemuda itu agak konyol, namun aku ya-
kin ia adalah pemuda baik-baik."
Tetapi istrinya menggeleng-gelengkan kepala
sambil menghapus air matanya.
"Maksudku... apakah kepergian Suci untuk
mencari ayahmu? Aku yakin... sebenarnya ia sangat
dekat dengan ayahmu itu. Suamiku... bisakah kau
meminta pada ayahmu untuk tinggal bersama kita,
agar Suci tidak menghilang lagi?"
Kali ini suaminya terdiam. Sebenarnya, Haryo
Adilekso pun menduga akan hal itu. Tetapi, untuk me-
nenangkan istrinya ia tidak mau mengatakan dugaan-
nya. Hanya saja, istrinya sudah mengatakan hal itu.
Dugaannya kembali berpendar-pendar, cukup
memusingkan kepalanya sekarang. Bila ia ingat ten-
tang ayahnya yang dijuluki oleh orang-orang rimba
persilatan sebagai Kakek Buruk Rupa, rasa jengkel
mulai merayapinya.
Tetapi lagi-lagi ia memutuskan untuk tidak
mengatakan hal itu pada istrinya.
"Entahlah... aku tidak tahu soal itu, Bu. Me-
mang kuakui, kalau Suci sebenarnya merindukan ka-
keknya. Tetapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah beru-
saha meminta pada Ayah agar mau tinggal bersama ki-
ta. Namun kau tahu sendiri bukan sifat Ayah? Sudah-
lah, kita hanya berharap, semoga tak terjadi apa-apa
dengannya. Terus terang, kalau memang ia pergi ber-
sama pemuda yang bernama Andika itu, aku lebih te-
nang karena aku yakin pemuda itu akan menja-
ganya...."
"Pak... aku khawatir akan terjadi apa-apa pada
Suci," suara istrinya terdengar lemah, mengandung
kekhawatiran tinggi.
Haryo Adilekso perlahan-lahan mendekati is-
trinya. Lalu dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
Ditatapnya seolah memberikan kekuatan agar istrinya
tenang.
"Berdoalah, semoga tak terjadi apa-apa. Bu-
kankah seperti biasanya Suci memang seperti itu? Aku
yakin, ia pasti kembali tak kurang suatu apa."
Di atap, Kakek Buruk Rupa mengerutkan ke-
ningnya mendengar percakapan itu. Rambutnya yang
menutupi wajahnya tersibak dipermainkan angin.
"Hhh! Cucuku pergi dari sini. Tetapi, mengapa
ia bisa bertemu dengan Andika? Mengapa pemuda itu
bisa menginap di sini? Aku pun merasa aman kalau
cucuku bersama dia sebenarnya? Tetapi... aku pun ta-
hu sangat berbahaya bagi keselamatannya bila ada
yang mengetahui tentang permata itu berada di tangan
Pendekar Slebor. Sebaiknya, kucari ia sekarang!! Mu-
dah-mudahan, tak ada peristiwa yang mencemaskan."
Setelah berpikir begitu, Kakek Buruk Rupa masih menyempatkan diri mendengar isak dari menan-
tunya. Hatinya pilu. Lalu tanpa buang tempo lagi, laki-
laki bongkok itu berkelebat cepat. Sosok tubuh kurus
dengan rambut disanggul ke atas yang sejak tadi
hanya memperhatikan tak mengerti mengapa orang
yang dibuntutinya mengintip rumah itu, segera kele-
batkan tubuh lagi untuk mengikuti Kakek Buruk Ru-
pa.
"Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Manusia
sialan itu, harus kubunuh dan kudapatkan Permata
Sakti. Kupaksa ia untuk mengatakan rahasianya. Aku
yakin kakek bongkok itu tahu rahasia apa yang ter-
pendam pada permata itu. Biarlah kutunggu saat yang
tepat, siapa tahu ia akan mengeluarkan permata itu
dan mempergunakannya. Setelah kudapatkan, akan
kucari dan kubunuh Pendekar Slebor. Gila! Aku masih
tak mengerti mengapa ilmunya demikian cepat ber-
tambah."
Sosok berbaju perak itu yang tak lain si Camar
Hitam, segera menyusul Kakek Buruk Rupa. Hatinya
penuh kegeraman, kekesalan, dan dendam.
***
9
Serangan gencar yang kini diterima Andika, be-
nar-benar membuatnya mati kutu. Terutama serangan
balik yang dilakukan oleh Rase Maut. Belum lagi gedo-
ran Moro Alit dan kedua temannya. Mengandalkan ke-
cepatannya, Andika mencoba menghindari setiap se-
rangan dan membalas.
Tenaga 'inti petir' tingkat kelima sudah dikerah-
kan. Setiap kali ia menggerakkan tangannya, terdengar
suara salakan keras. Mampu membuyarkan konsen-
trasi lawan sebenarnya. Namun serangan lawan yang
beruntun itu bagai mengurung geraknya, membuatnya
jadi kelimpungan sendiri.
Serangan Moro Alit dan kedua temannya sebe-
narnya tak begitu menyulitkan. Tetapi, serangan dari
Rase Maut-lah yang mematikan. Membuatnya harus
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Gila! Aku harus bisa meloloskan diri kalau ti-
dak ingin konyol!" gerutunya, dan bersalto ke bela-
kang, menghindari terobosan Rase Maut yang menye-
rang sambil mengeluarkan seruan keras. Bersamaan
dengan itu, tiga sosok tubuh berpakaian hitam segera
menerjang.
Andika kalang kabut dibuatnya. Pukulan Moro
Alit menghantam dadanya telak. Meskipun merasa se-
sak napas sejenak, Andika tak ambil peduli. Ia putar
tubuhnya dan dengan ajian 'Guntur Selaksa' ia mema-
paki hantaman Rase Maut yang sudah mengeluarkan
jurus 'Rase Kejar Mangsa'.
Sebuah rangkaian jurus yang cepat dan tak
memberikan kesempatan pada lawan untuk menghin-
dar atau bertahan lebih lama. Namun yang dihada-
pinya adalah Pendekar Slebor, yang bertarung dengan
selalu mempergunakan kecerdikan otaknya.
Benturan dua tenaga hebat terjadi.
Des! Blaaarr!
Tanah yang mereka pijak bagai bergoyang. Suci
yang sedang mengintip pertarungan maut itu pun tak
urung dari getaran hebat yang diterimanya. Segera ia
alirkan tenaga dalamnya. Hatinya tegang memikirkan
keadaan Andika. Tatapannya sejak tadi tak berkesip.
Mulutnya berkomat-kamit panjatkan doa agar Andika
diberi kekuatan.
Sedikit banyaknya ia menyesal mengapa ia tidak meminta kakeknya untuk mengajarinya ilmu ka-
nuragan. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh dan
tenaga dalam. Bila saja ia memiliki sedikit kesaktian,
ia pasti akan turut membantu Andika.
Akibat benturan keras yang terjadi itu tubuh
Andika mencelat beberapa tombak ke belakang. Dari
hidungnya mengalirkan darah segar. Sementara si
Rase Maut merasa napasnya sesak dengan aliran da-
rah yang kacau.
Saat itu, Moro Alit dengan liciknya segera me-
nyerbu ke depan. Satu jotosan tangan kanan yang
mengandung kekuatan tinggi itu dikiblatkan ke wajah
Andika. Namun seruan dari Rase Maut mengurungkan
niatnya untuk menghajar wajah Andika.
"Ambil Permata Sakti itu dan balik bajunya!!"
Tangannya yang mengarah ke atas tadi ditu-
runkan. Gerakan cepatnya tak mengendor. Tangannya
bergerak.
Buk!
Justru dalam keadaan sempoyongan Andika
masih menunjukkan kelasnya. Tangan kirinya berge-
rak menangkis tangan Moro Alit, yang mengeluarkan
seruan tertahan karena tangannya dirasakan ngilu se-
kali.
Tak berkesudahan serangan yang dialami oleh
Andika, karena Rase Maut bersamaan dengan dua te-
man Moro Alit, sudah menggempur dahsyat. Mencoba
merebut Permata Sakti dan sekaligus menghabisi Pen-
dekar Slebor.
Andika menjadi tegang sekarang. Nyeri di seku-
jur tubuhnya akibat bentrokan dengan si Rase Maut
bagai membuatnya tak bisa bergerak. Rase Maut per-
dengarkan teriakan mengguntur dan senyuman penuh
kemenangan. Tangannya menghantam dada Andika.
Des!
lawan akan merasakan bagai memukul kapas belaka.
Sedangkan yang dimiliki oleh Pendekar Slebor, tubuh-
nya tetap keras seperti biasa. Hanya saja, ia tak peduli
dengan hantaman sekeras apa pun. Setan alas! Ba-
gaimana caranya aku untuk mengalahkan dan mere-
but Permata Sakti itu! Hhh! Kucoba saja untuk mere-
butnya!"
Penasaran Rase Maut kembali menyerang Pen-
dekar Slebor, sementara Moro Alit dan kedua te-
mannya terus menggempur. Tubuh Andika tak ubah-
nya bagai sebuah bola yang dipermainkan. Ditendang
ke sana kemari. Bagai bergulingan cepat.
Sementara pemuda urakan itu sendiri sedang
memaki dirinya keras, "Keparat! Apa yang terjadi? Aku
tak melihat apa-apa selain warna biru? Celaka! Sudah
beberapa kali hal ini terjadi tetapi aku tak mengetahui
apa sebabnya?"
Rase Maut menggerakkan tangannya, mencoba
menjambret pakaian Andika. Namun yang cukup
mengherankannya, selagi ia mencoba menyusupkan
tangannya, dirasakan tubuh Andika memancarkan
panas yang luar biasa!
"Haram jadah!" makinya sambil membuang tu-
buh dan mengalirkan tenaga dalam guna mengusir
panas yang menyengat. "Kalau kuhajar, ia seolah
membiarkan. Mengapa ketika serangan ini ku ubah,
tubuhnya bagai memancarkan panas? Setan alas! Ilmu
apa yang sebenarnya dimiliki oleh Pendekar Slebor?"
Moro Alit dan kedua temannya yang sudah ke-
habisan napas dan tenaga karena memforsir tenaganya
terus menerus, perlahan-lahan mulai mengendor se-
rangannya. Ketiganya mundur teratur dan mengatur
napas.
"Jangan menjadi banci! Hajar manusia itu terus
menerus!" sentak Rase Maut. Moro Alit melotot.
"Setan jerawat! Apakah kau tidak tahu kalau
tenaga kami sudah terkuras habis, sementara Pende-
kar Slebor tetap berdiri pada posisinya? Jangan hanya
bisa memerintah kalau tidak kubuat mencong mulut-
mu? Kau sendiri dibuat tak ubahnya seperti banci be-
laka!"
Panas wajah Rase Maut mendengar ejekan
orang. Namun untuk saat ini tak dihiraukannya. Se-
umur hidupnya baru kali ini ia melihat lawan membi-
arkan tubuhnya dihajar habis-habisan tanpa sekali
pun membalas. Bahkan ketika ia dan yang lainnya
menghentikan serangan, sang lawan masih tegak ber-
diri tanpa melakukan gerakan yang mencurigakan.
"Ilmu yang dimilikinya memang aneh sekaligus
dahsyat luar biasa! Sebaiknya kita coba rebut Permata
Sakti itu!"
"Kau lakukan sendiri, tenaga kami belum pu-
lih!" Dengan suara menggembor menahan geram. Rase
Maut bergerak lagi untuk merebut Permata Sakti itu.
Namun kembali dirasakan hawa panas menyergapnya
bertubi-tubi, sementara Andika tetap sempoyongan
terhantam dan kembali tegak. Dan lagi-lagi pemuda
dari Lembah Kutukan ini membatin geram, "Gila! Men-
gapa ini? Mengapa?"
Diusahakan untuk memecahkan keheranan
yang melingkupinya. Namun sampai sejauh ini Andika
belum bisa mengetahuinya. Bahkan yang dicemaskan-
nya, kalau lawan-lawannya menyerang sementara yang
ada dalam pandangannya hanya warna biru belaka.
Rase Maut memutuskan untuk menghentikan
serangannya.
"Benar-benar luar biasa! Aku harus bisa meme-
cahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Sle-
bor! Aku yakin, ilmu itu mempunyai kelemahan!"
Ia coba berdiam sekarang sambil mencoba
menguras seluruh pikirannya. Andika masih tetap te-
gak dengan mata nyalang.
Sementara Suci menarik napas lega melihat
kenyataan itu. Kekagumannya semakin bertambah
melihat kelihaian Pendekar Slebor.
"Kulihat... Kang Andika tidak membalas sekali
pun. Ia malah membiarkan dirinya dihajar. Bahkan...
sepertinya Kang Andika tidak tahu apa yang sedang
terjadi," desis Suci dengan hati galau. Diam-diam dia
berkata dalam hati, "Lalu, bagaimana caranya aku bisa
memiliki Permata Sakti itu bila Kang Andika memiliki
ilmu yang tinggi?"
"Rase Maut... tak mungkin kita bisa mengalah-
kan Pendekar Slebor sekarang ini," kata Moro Alit yang
tenaganya sudah pulih kembali. "Lebih baik kita le-
paskan dulu, untuk kemudian kita hajar kembali dia!"
"Goblok! Ini kesempatan yang telah lama kuca-
ri! Permata itu tak lagi berada di tangan Kakek Buruk
Rupa! Sekarang, apakah kalian akan melepaskannya
begitu saja setelah mengetahui permata itu berada di
tangan Pendekar Slebor? Dasar orang-orang bodoh!"
Wajah Moro Alit mengkelam. Ia muak dibentak
seperti itu. Namun, ia juga membenarkan kata-kata
Rase Maut. Hanya saja, bagaimana cara mengalahkan
Pendekar Slebor yang telah menguras tenaganya ha-
bis-habisan. Masih untung ia bisa memulihkannya,
kalau tidak, ia membutuhkan waktu dua hari dua ma-
lam guna mendapatkan tenaganya kembali.
Meskipun menyetujui kata-kata Rase Maut, ha-
tinya sudah keburu geram dibentak seperti itu.
"Kau lakukan sendiri dan kami ingin melihat
hasilnya!!"
Ganti Rase Maut yang menggeram, sementara
Andika masih berdiri tegak tanpa bergerak, seolah siap
membiarkan dirinya dihajar habis-habisan.
"Bagaimana caranya untuk menghabisi Pende-
kar Slebor?" desisnya. Diperas seluruh otaknya, na-
mun ia tak menemukan jawabannya. "Hhh! Yang
mengherankanku, ia tak menyerang sama sekali. Tidak
seperti pertama kali kami bertempur. Seolah ia me-
nunggu, namun dari sikapnya itu pun sepertinya ia
tak peduli dirinya dihajar habis-habisan. Gila! Benar-
benar ilmu yang luar biasa! Bagaimana mungkin aku
bisa mendapatkan Permata Sakti itu? Menjengkelkan!"
"Mengapa harus memeras tenaga lebih banyak?
Aku siap membantumu!" terdengar seruan itu bersa-
maan satu sosok tubuh melayang dari satu tempat.
Sosok itu tinggi besar dan terdapat sebuah
tambang besar di bahu kirinya.
Rase Maut seketika palingkan kepala. Sesaat
kemudian terdengar dengusannya, "Mau apa kau ke
sini, Iblis Tambang?"
Yang hadir itu tak lain adalah Iblis Tambang. Ia
perdengarkan tawanya yang mengguntur. Rupanya,
manusia itu telah berhasil memulihkan sakit di seku-
jur tubuhnya akibat serangan dari Kakek Buruk Rupa.
Ia memang masih bermaksud untuk mengejar Kakek
Buruk Rupa. Hanya saja, ketika ia tiba di tempat itu,
didengarnya sebuah pertarungan dahsyat. Dan dili-
hatnya seorang pemuda berbaju hijau pupus dengan
kain bercorak catur yang tersampir di bahunya bagai
membiarkan saja serangan-serangan gencar dari la-
wan-lawannya. Yang cukup mengejutkannya, ketika ia
mendengar tentang Permata Sakti yang kini diketa-
huinya berada di tangan Pendekar Slebor.
"Lama kucari Kakek Buruk Rupa, tak tahunya
Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Rase Maut... apakah kau akan mengkangkangi sendiri
Permata Sakti itu?"
Rase Maut tahu akan kehebatan Iblis Tambang.
Ia tahu pula kalau ilmunya berada satu tingkat di ba-
wah Iblis Tambang. Namun kelicikannya itu kini mun-
cul kembali.
"Jangan tegang begitu. Jangan gusar. Kita bisa
bersama-sama merebut Permata Sakti dari tangan
Pendekar Slebor. Hanya saja, aku sudah berjanji un-
tuk menyerahkan permata itu pada Tunggul Manik,
ketua Serikat Kuda Hitam."
Dengan berkata seperti itu, Rase Maut berharap
Iblis Tambang akan marah mendengarnya. Hingga ia
akan merebut dan mempertahankan Permata Sakti itu
dari tangan Tunggul Manik bila berhasil menda-
patkannya. Bila keduanya bentrok, maka Rase Maut
merasa bisa mengambil kesempatan.
Yang diduganya itu memang benar. Iblis Tam-
bang memerah wajahnya. Sekian bulan ia memburu
Permata Sakti, tak akan mungkin bila sudah di ta-
ngannya akan dilepaskan.
"Persetan dengan Tunggul Manik! Aku ingin
mencoba kekuatan manusia keparat itu!"
Rase Maut cuma tersenyum saja, diliriknya Mo-
ro Alit dan kedua temannya yang mendadak menjadi
gusar. Ketiganya segera melompat ke muka dua tin-
dak.
"Jangan sembarang omong! Kau akan terserim-
pung oleh ucapanmu sendiri!!" bentak Moro Alit.
Iblis Tambang terbahak-bahak mendengar an-
camannya.
"Rase Maut... karena orang-orang semacam in-
ilah hingga kau membiarkan jiwamu kau jual?" se-
runya dengan suara ditekan, penuh ejekan.
"Yang kutakutkan adalah Tunggul Manik," sa-
hut Rase Maut menebar hawa panas di antara mereka.
Lalu dengan liciknya ia berkata, "Tak mungkin aku
sanggup membantah perintah Tunggul Manik. Entah
bagaimana kau sendiri. Apakah mampu atau tidak??
Tetapi menurut penglihatanku...."
"Keparat! Kau hendak mengatakan aku tak
akan mampu mengungguli Tunggul Manik?" dengus
Iblis Tambang dengan tatapan laksana kobaran mata
api.
"Jangan memutar mulut ngaco! Manusia mana
pun juga akan kulibas dan rebah sejajar dengan tanah
bila menghalangi keinginanku! Tak peduli siapa pun
dia! Tunggul Manik... ingin kutahu kehebatan manusia
semacam dia. Aku yakin, ia tak lebih dari seorang ban-
ci yang berlindung di balik kekuatan anak buahnya."
Moro Alit semakin panas bukan buatan. Ha-
tinya bagai dicabik-cabik tangan kasar dan ribuan ja-
rum. Wajahnya tertarik ke belakang. Rambut panjang-
nya bagai bergetar.
"Iblis Tambang! Tak kuperkenankan kau meng-
ejek Ketua serendah itu! Kau akan merasakan aki-
batnya!"
Iblis Tambang terbahak-bahak.
"Mengapa kau hanya berdiam saja? Cepat la-
kukan apa yang kau inginkan? Biar aku...."
Tak mau menunggu kata-kata Iblis Tambang
yang telah menghina ketuanya, Moro Alit sudah maju
dengan satu gempuran dahsyat. Dalam sekali gebrak
itu, Iblis Tambang bisa dibuat berantakan. Namun la-
ki-laki bersenjata tambang besar itu, cuma menggeser
tubuhnya. Dan dengan kecepatan laksana setan, ia
menjotos dada Moro Alit yang mengaduh keras dan ter-
lempar ke belakang.
Tanpa mau membiarkan lawan hidup lebih la-
ma lagi, Iblis Tambang melompat. Masih melompat ka-
kinya bergerak.
Praaak!!
Moro Alit yang masih terhuyung tak mampu
hindari tendangan ke kepalanya. Tanpa ampun lagi,
kepalanya terhantam tendangan keras itu. Pecah dan
tubuhnya ambruk.
Melihat kawannya mati dalam sekali gebrak,
dua orang dari anggota Serikat Kuda Hitam segera
berkelebat dengan gerengan yang keras memecah ang-
kasa.
"Keparat! Mampuslah kau, Manusia Hina!".
Iblis Tambang hanya terbahak-bahak saja, se-
olah membiarkan maut menjemputnya. Namun dengan
gerakan tak terlihat, tiba-tiba saja tambangnya sudah
berkelebat. Keluarkan suara bergemuruh dan meng-
hantam keduanya.
Des! Des!
Bukan buatan maut yang diterima keduanya,
lebih parah dari yang dialami oleh Moro Alit. Tubuh
keduanya rencah terhantam tambang berkekuatan
dahsyat itu.
Sesaat kemudian, terdengar lagi tawa dari iblis
Tambang. Rase Maut diam-diam mendesah, "Luar bi-
asa! Kecepatannya sangat luar biasa sekali!"
Sementara Suci yang bersembunyi sambil ke-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya terbelalak me-
nyaksikan semuanya. Hatinya kacau tak karuan. Lebih
kacau lagi melihat sikap Andika yang tetap berdiri te-
gak tanpa berbuat apa-apa. Dan tak seorang pun yang
tahu kalau saat ini Pendekar Slebor sedang berteriak
sangat keras sekali. Berharap ada yang mendengarnya
dan membawanya keluar dari suasana yang se-
luruhnya berwarna biru.
Sedangkan saat itu, Iblis Tambang sudah ber-
balik dan menatap Andika tak berkesip.
"Rase Maut... apakah kau akan menyaksikan
kehebatan ilmu tambangku ini, hah? Sekalipun Pende-
kar Slebor memiliki ilmu kebal yang luar biasa, tak
akan bisa menahan dahsyatnya tenaga dan gempuran
tambang kesayanganku ini!!"
Rase Maut cuma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. Akal liciknya tetap berputar. Ia tetap meng-
inginkan Permata Sakti itu.
"Iblis Tambang... kau akan bisa mengalahkan
Pendekar Slebor dan mendapatkan Permata Sakti itu.
Tetapi, bagaimana tanggung jawabku dengan Tunggul
Manik?"
"Manusia bodoh! Bila kau mau bergabung de-
nganku, akan kuhancurkan Tunggul Manik bersama
serikatnya itu!"
Inilah yang dikehendaki oleh akal licik Rase
Maut. Sudah tentu ia senang bukan main. Diperli-
hatkan senyum dan pujian yang membuat Iblis Tam-
bang semakin bertambah jumawa.
"Kau minggir sekarang! Ingin kulihat kekebalan
yang dimiliki Pendekar Slebor! Kau lihat sendiri, bu-
kan? Kalau Pendekar Slebor tak lebih dari mayat hidup
belaka! Ia merasa akan mampu menahan serangan
tambang kesayanganku ini! Padahal, ia salah besar bi-
la memang berniat melakukannya! Tak akan kubi-
arkan manusia itu bercokol di rimba persilatan ini le-
bih lama!!"
Sehabis berkata begitu, Iblis Tambang melang-
kah dan berhenti dalam jarak tiga tombak di hadapan
Pendekar Slebor. Segera dialirkan tenaga dalamnya
pada tambangnya.
Rase Maut diam-diam tersenyum penuh kelici-
kan. Ia bergeser dari tempatnya. Untuk saat ini, biar-
lah ia mengalah dan membiarkan Iblis Tambang memi-
liki Permata Sakti itu. Setelah Iblis Tambang bentrok
dengan Tunggul Manik, ia akan mencoba mengambil
kesempatan.
Putaran tambang itu semakin lama semakin
keras terdengar. Memekakkan telinga dan menggu-
gurkan dedaunan. Suci menggigil menahan kekacauan
hatinya. Darahnya bagai beredar dengan cepat. Ia ber-
doa agar Andika menghindar.
"Tak ada lagi nama Pendekar Slebor sekarang
ini!!" terdengar sentakan maut dari Iblis Tambang.
Suci memutuskan untuk mengambil tindakan
nekat. Ia benar-benar tak mengerti mengapa Andika ti-
dak menghindar maupun membalas setiap serangan
yang datang. Justru berdiri tegak membiarkan tubuh-
nya dihujani serangan.
Mendadak saja ia melompat dari persembunyi-
annya, "Heaaaa!!"
Teriakannya mengejutkan Iblis Tambang. Selagi
Iblis Tambang menghentikan gerakannya, Suci mena-
rik tangan Andika.
Wut! Wut!
Dan membawanya menghilang ke satu tempat.
Gusar bukan buatan Iblis Tambang dibuatnya.
Ia menggeram setinggi langit.
"Setan alas! Kubunuh kau, Manusia Lancang!"
Rase Maut sendiri terpaku di tempatnya. Sama
sekali tak menyangka kalau seseorang akan muncul
dan menyelamatkan Pendekar Slebor. Melihat Iblis
Tambang sudah melesat. Rase Maut pun menyusul. Ia
tak ingin Permata Sakti itu jatuh ke tangan Iblis Tam-
bang.
***
10
Suci yang membawa Andika dengan mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuhnya terkejut ketika
mendengar teriakan Andika, "Hey hei! Aku mau dibawa
ke mana?"
Merasa sekarang sudah agak aman, Suci meng-
hentikan larinya. Menatap Andika yang sedang ber-
sungut-sungut dengan pandangan tak mengerti. Saat
itu hari sudah memasuki malam. Udara di sekitar ta-
nah terbuka berhembus dingin. Sayup-sayup terde-
ngar suara gemuruh sungai yang keras.
"Mengapa aku berada di sini? Sepi... ke mana
manusia-manusia dajal itu?" seru Andika sambil celi-
ngukan.
Lagi-lagi Suci cuma melongo mendengarnya.
Dari kata-kata Andika barusan, pemuda sakti itu se-
olah tak merasa kalau ia dibawa lari Suci.
"Maksud Kang Andika bagaimana?" tanyanya
tak mengerti.
Justru Andika yang balik bertanya, "Apanya
yang bagaimana? Aku malah bingung mengapa bisa
berada di sini?"
Terheran-heran Suci menceritakan apa yang
terjadi. Ganti Andika sekarang yang terheran-heran.
"Kau bilang, aku membiarkan tubuhku dihan-
tami serangan manusia-manusia itu?"
Suci menganggukkan kepala.
"Aneh!" desis Andika sambil mengerutkan ke-
ningnya.
"Tidak aneh, Kang. Sudah dua kali sebenarnya
aku melihat Kang Andika membiarkan dihajar lawan
tanpa sekali pun membalas," kata Suci.
"Dua kali?" ulang Andika.
"Ya. Dua kali. Pertama, ketika Andika bertarung
di atas sampan menghadapi si Rase Maut. Kedua, ya
pertarungan tadi itu. Mengapa Kang Andika seperti
keheranan?"
Bukannya menjawab, Andika justru mondar
mandir kayak mandor pabrik.
"Tak mungkin, Suci... tak mungkin."
"Apanya yang tak mungkin?"
Andika menghentikan langkahnya. "Dan menu-
rutmu aku sama sekali tidak merasa kesakitan?"
Suci menganggukkan kepalanya. Aneh, kenapa
Kang Andika jadi begini, desisnya dalam hati.
"Tidak membalas?"
"Ya. Tetapi, Kang Andika, mengapa Kang An-
dika keheranan? Bukankah Kang Andika yang me-
lakukannya?"
"Tidak."
"Bagaimana ini?" kata Suci makin tak mengerti.
"Padahal, aku melihatnya dengan jelas."
Andika diam kembali. Lalu katanya, "Ketahui-
lah Suci, aku tak memiliki ilmu aneh semacam itu.
Bahkan aku seolah baru disadarkan kalau sudah dua
kali hal itu terjadi. Malah aku... oh!" Andika berdiri te-
gak, mematung dengan tatapan melotot.
Suci menjadi tegang sendiri. Mengingat tempat
itu sepi dan sikap Andika yang rada aneh.
"Kenapa, Kang Andika?"
"Apakah... oh, ya, ya... bisa jadi itu. Bisa jadi."
"Kang Andika kenapa?"
Andika masih belum menjawab pertanyaan Su-
ci, "Tidak, aku belum bisa menentukan itu benar atau
tidak sebelum membuktikannya. Hmmm... ya, ya...
memang harus dibuktikan."
Merasa ada keanehan dalam diri Andika, Suci
berkata, "Kang Andika... sebaiknya, kita tinggalkan
tempat ini. Karena, kedua manusia itu pasti akan
mencari kita."
Kali ini Andika menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Suci. Kita memang harus mening-
galkan tempat ini. Tetapi... awaaaasss!!"
Andika mencelat menyambar tubuh Suci, keti-
ka didengarnya suara menggemuruh mengerikan men-
garah pada keduanya.
Blaaarr!
Dua buah pohon tumbang seketika.
Andika menurunkan tubuh Suci dari bopon-
gannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh su-
dah mencelat ke arahnya. Jotosan dan tendangan siap
diterima Andika.
Andika mendorong tubuh Suci. Lalu menekuk
kedua lutut dan kedua tangan bergerak.
Buk! Buk!
Tendangan dan jotosan itu tertahan, namun
meskipun demikian, dua dorongan tenaga dalam ting-
gi, membuatnya agak terhuyung. Mengubah posisi
agar keseimbangannya tidak menghilang, pindah satu
tindak ke kiri dan melepaskan tendangan balasan.
Rase Maut yang tengah mencecar, urung den-
gan satu teriakan keras. Saat itu sebenarnya Andika
bisa menghabisi lawan, akan tetapi, tambang besar
yang mengeluarkan suara mengerikan menderu meng-
halangi maksudnya.
"Kerbau bau!" maki Andika sambil membuang
tubuh. Tetapi, tambang besar senjata andalan Iblis
Tambang terus mencecarnya. Mau tak mau untuk be-
berapa saat, Andika merasa dirinya seperti monyet ke-
bakaran ekor.
Menyusul rangkaian serangan dari Rase Maut.
Benar-benar Andika berada di lingkaran jalan ke-
matian sekarang ini. Suci yang sudah berdiri akibat
dorongan Andika tadi, menjadi pias bukan main. Ia
berteriak keras, "Gunakan ilmu kebal yang Kang Andi-
ka miliki?!"
Tetapi yang dilihatnya, Andika terus berusaha
menghindar. Tidak lagi menunjukkan 'kebolehan'nya
yang menurut Suci sangat menakjubkan.
Tambang besar itu lolos dari sasaran, tetapi jo-
tosan tangan kiri iblis Tambang, telak menghantam
dada Andika. Menyusul tendangan Rase Maut. Bukan
alang kepalang sakitnya. Napas Andika terasa sesak.
Tetapi dasar urakan, Andika tak mempedulikan
hal itu. Ia berkelit, bergulingan, melompat, dan men-
coba membalas. Keberanian yang dipadukan dengan
kepandaiannya yang tinggi, membawa basil. Rase Maut
merasa ngilu ketika tempurung kaki kirinya terhantam
tendangan Andika.
Patah dengan jeritan yang cukup keras.
Menyadari kalau lawan belum sepenuhnya ter-
desak, Iblis Tambang yang melihat Rase Maut menjerit
seperti itu, mencoba menambah kecepatan dan tena-
ganya. Akibatnya, Andika terhantam telak kembali.
Ia terjajar ke belakang. Darah segar mengalir
dari mulutnya.
Iblis Tambang berdiri pongah, sementara Rase
Maut coba berdiri dengan sebelah kaki. Matanya me-
nyiratkan dendam tinggi, penuh ambisi untuk mem-
bunuh Andika.
"Nyawamu akan kuampuni, bila kau menyerah-
kan Permata Sakti itu kepadaku, Pendekar Slebor!"
suara serak Iblis Tambang menggetarkan tempat itu.
Andika tersenyum mengejek.
"Kalau kau mampu, mengapa tidak mengambil-
nya?"
Iblis Tambang memutar senjatanya yang me-
nimbulkan gemuruh angin.
"Nyawamu sudah di tanganku, Pendekar Sle-
bor! Kau masih saja mencoba mengulur waktu!!"
Andika tersenyum, dengan membentuk mo-
nyongan pada bibirnya. "Heran, kalau mau membunuh
ya lakukan saja!"
Iblis Tambang yang penasaran tentang ilmu ke-
bal yang dilihatnya ketika Rase Maut dan Serikat Kuda
Hitam menghajar Andika, diam-diam mengerahkan te-
naga dari pusarnya. Panas menggejolak di tubuhnya.
Desingan tambangnya bertambah kuat, angin makin
kencang menggemuruh.
"Kau akan menyesal, Andika!!"
Wussss!!
Tambangnya sudah digusurkan ke arah Andi-
ka. Cepat Andika mengempos tubuhnya dengan panca-
lan satu kaki.
Hup!
Lincah ia melompati tubuh Iblis Tambang sen-
diri.
Tanah di mana ia terduduk tadi, membentuk
lubang yang sangat besar dan mengeluarkan asap.
"Edan! Kalau aku tidak cepat, bisa jadi perkedel
busuk!" maki Andika.
Tetapi, Rase Maut dengan liciknya, menyergap
dengan satu totokan.
Tuk!
Tubuh Andika bergetar. Lalu menggelosoh le-
mah dan terbujur kaku di tanah. Ia memaki panjang
pendek.
Mendapati lawan telah lumpuh, Rase Maut
yang kini sebelah kakinya tak berfungsi lagi, melang-
kah dengan terpincang. Geram bukan buatan. Ma-
tanya melotot nyalang.
"Kau akan membayar perbuatanmu ini, Pende-
kar Slebor!"
Tangannya siap dihantamkan pada kaki Andi-
ka, tetapi Iblis Tambang berseru, "Siksaan untuknya
telah kupersiapkan Rase Maut! Untuk sementara, bi-
arkan ia terbujur tak berdaya!"
Rase Maut membuang kesalnya dengan melepaskan pukulan ke depan. Akibatnya, sebuah pohon
menjadi berantakan. Sementara Suci menjerit tertahan
menyadari keadaan Andika yang tak menguntungkan.
Jeritannya itu memancing Iblis Tambang yang
terbahak-bahak melihatnya. Sebuah rencana busuk te-
lah terpampang di benaknya.
"Pendekar Slebor... untuk beberapa saat lalu,
kau masih bisa mempertahankan Permata Sakti itu.
Tetapi sekarang, kau tak berdaya. Permata itu akan
kumiliki. Setelah itu, kau akan melihat pemandangan
yang mengasyikkan di depanmu."
Sambil terbahak, Iblis Tambang menggeladah
tubuh Pendekar Slebor. Diperlakukan semacam itu,
bukan buatan gusarnya Andika. Tetapi ia hanya terta-
wa-tawa saja.
"Kau tak akan menemukan Permata Sakti itu,
Manusia Jelek!" ejeknya menyeringai.
Apa yang dikatakan Andika memang benar. Ka-
rena Iblis Tambang tak menemukan Permata Sakti
yang memancarkan sinar biru itu di seluruh tubuh
Andika.
"Setan alas! Katakan di mana permata itu bila
tidak ingin kupenggal?" Kemarahan Iblis Tambang
menggunung. Matanya bagai pijaran api, menggelora,
mengerikan.
"Aku sih masih sayang dengan nyawaku, maka-
nya kuberi tahu di mana Permata Sakti itu."
"Katakan!"
"Kau lihat gadis itu, bukan? Permata itu ada
padanya!"
Bukan hanya Iblis Tambang dan Rase Maut
yang terkejut, tetapi juga Suci. Ia sampai terjingkat.
Heran, mengapa Andika berkata begitu?
Ini memang merupakan sebuah rencana untuk
menjelaskan dugaannya. Selagi serangan pertama datang, Andika bisa menebak kalau Iblis Tambang dan
Rase Maut yang muncul kembali. Gerakan kilat dila-
kukan, ia menyelipkan Permata Sakti itu ke balik tu-
buh Suci. Saking cepatnya hingga gadis itu tidak me-
rasa apa-apa.
Andika sendiri sebenarnya bisa memunahkan
totokan si Rase Maut yang tak terlalu bertenaga lagi.
Tetapi, teka-teki tentang Permata Sakti kini ia coba pe-
cahkan, bahkan dengan sebuah cara yang mungkin
mengerikan!
Iblis Tambang memutar tubuhnya, begitu pula
Rase Maut. Dua pasang mata kelam menatap Suci
yang coba untuk tetap tegar. Namun riak ketakutan
mulai menyelinap di hatinya.
"Gadis manis... serahkan permata itu kepada-
ku!" bentak Iblis Tambang.
"Jangan, Suci! Jangan kau serahkan permata
itu!" seru Andika. Tamparan Rase Maut membuat bi-
birnya berdarah. Andika menggeram. Kalau saja ia tak
ingin membuktikan dugaannya, sudah dikerahkan te-
naga untuk melepaskan diri dari totokan Rase Maut.
Tetapi ia masih menunggu, dan ia percaya kalau Suci
selamat dari gempuran maut kedua lawan. Karena, ia
telah mengarah pada dugaannya tentang teka-teki
Permata Sakti.
Iblis Tambang tak mau bertindak ayal. Ia me-
nerjang cepat. Meskipun tak memiliki ilmu kanuragan,
tetapi Suci memiliki ilmu meringankan tubuh dan te-
naga dalam yang lumayan. Cepat ia berkelit. Iblis
Tambang menggeram dan terus menerjang.
Suci benar-benar dibuat tunggang langgang.
Terutama ketika Rase Maut berupaya agar semuanya
cepat selesai.
"Hmm... seharusnya Suci membiarkan tubuh-
nya dihajar, agar aku bisa menduganya," desis Andika,
"Tetapi, kalau ia tak mampu menerima hajaran itu, bi-
ar kubantai keduanya!" sambungnya sambil kerahkan
tenaga dalam, hingga totokan Rase Maut terlepas. Te-
tapi Andika masih terbaring dengan sifat urakannya.
Saat ini Suci benar-benar kewalahan menghin-
dari gempuran kedua lawan. Satu tendangan telak di-
terimanya. Namun yang mengejutkan, Suci langsung
tegak berdiri. Hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Iblis Tambang menderu, "Putus nyawamu!!"
Des!
Tendangan yang siap menjebol dadanya diteri-
ma Suci, tetap dengan ketenangan, bahkan tubuhnya
yang terhuyung berdiri kembali. Seolah gadis itu tidak
merasakan sakit.
Diam-diam Andika mendesis, "Benar dugaanku.
Teka-teki Permata Sakti terpecahkan sudah. Kesaktian
yang dimiliki permata itu ternyata mampu menahan
seorang yang memegangnya dari serangan sehebat apa
pun. Bahkan senjata sakti macam mana pun juga.
Pantas, aku agak keheranan ketika melihat Camar Hi-
tam menghilang. Rupanya tanpa disadari si pemegang
Permata Sakti itu, tenaga yang dikandung Permata
Sakti telah melindunginya. Hmm... kini aku paham,
mengapa Kakek Buruk Rupa tidak dapat me-
mecahkannya. Karena, ia sendiri pasti tidak merasa
kalau tenaga Permata Sakti yang membantunya. Be-
nar-benar sebuah permata yang luar biasa! Tetapi...
Apakah pandangan Suci juga melihat suasana se-
kelilingnya yang berwarna biru?"
Dugaan Andika memang terbukti. Karena saat
ini, Suci sedang keheranan sendiri. Karena, mendadak
saja dia tak melihat siapa pun juga di hadapannya.
Yang ada hanya sebuah ruang yang luas dan kosong.
Semuanya berwarna biru.
"Oh! Mengapa terjadi seperti ini? Mengapa sekelilingku jadi berwarna biru?" desis cucu Kakek Buruk
Rupa keheranan sekaligus waswas. Lalu dengan gu-
gupnya gadis ini berteriak, "Kang Andika! Di mana
kau, Kang?!"
Tak ada sahutan apa-apa. Bahkan gema suara-
nya pun tak terdengar. Gadis itu semakin kebingun-
gan.
Sementara itu Iblis Tambang dan Rase Maut
menjadi terheran-heran mendapati si gadis nampak
tenang-tenang saja dan membiarkan serangan mereka
mengenai sasaran.
Rase Maut menggeram, "Sinting! Rupanya gadis
itu memiliki ilmu aneh seperti yang dimiliki Pendekar
Slebor!"
"Persetan dengan semua itu!" seru Iblis Tam-
bang dengan wajah membesi. "Hajar sampai lumat!"
Tetapi meskipun serangkaian gempuran maut
diterima Suci, gadis itu tetap tegak tanpa kurang suatu
apa. Andika yang sudah merasa cukup untuk mem-
buktikan dugaannya, menarik napas panjang tatkala
mendapati Rase Maut siap menghajar Suci lagi.
"Tak ada jalan lain sekarang. Aku tak bisa
membiarkan hal itu terus menerus terjadi," desisnya
dalam hati. Dan segera dikerahkan tenaga 'Inti Petir'
guna melepaskan totokan yang dialaminya. Lalu den-
gan teriakan keras pemuda urakan dari Lembah Kutu-
kan itu menerjang ke depan. Tangannya mengibas,
menangkis serangan Rase Maut pada Suci. Masih me-
layang kakinya berputar.
Des!
Menyusul kaki kanannya menghantam kepala
Rase Maut.
Rase Maut yang tak menyangka kalau Pendekar
Slebor bisa terbebas dari totokannya terperangah. Ia
mencoba untuk merunduk. Tetapi kaki kanan Andika
merupakan sebuah pancingan belaka. Justru kaki ki-
rinya yang menghantam dari bawah.
Prak!
Seketika kepala Rase Maut pecah. Tak ada jerit-
an apa-apa kecuali ambruk bersimbah darah.
Iblis Tambang segera menghentikan serangan-
nya pada Suci yang kali ini sudah tersadar dari penga-
ruh gaib Permata Sakti. Gadis itu keheranan sendiri
mendapati dirinya masih tegak berdiri dan pandang-
annya kembali pada hamparan pemandangan semula,
tidak lagi berwarna biru.
Bahkan gadis itu hanya teringat, kalau Iblis
Tambang dan Rase Maut tengah melancarkan seran-
gan. Ia juga melihat Rase Maut telah menjadi mayat.
Dan Andika yang sedang berdiri tegak sementara Iblis
Tambang menatapnya dengan beringas.
Bagaimana semua ini tidak kuketahui? desis
Suci bingung. Ia meraba perutnya. Permata Sakti itu
teraba, agak panas. Tetapi, terhalang oleh tenaga da-
lamnya yang memang sudah terlatih. Dari keheranan
yang menyelimutinya, mendadak saja si gadis terse-
nyum. "Permata yang direbutkan banyak orang kini
berada di tanganku. Permata ini semula milik kakek-
ku. Tak jadi soal bila aku memilikinya dari tangan
Pendekar Slebor."
Sementara itu, Pendekar Slebor sedang menarik
napas panjang. "Tak seharusnya aku menurunkan ta-
ngan telengas. Tetapi, dosa orang yang berjuluk Rase
Maut itu terlalu banyak...," desisnya seperti menyesal
sambil menatap mayat Rase Maut.
Dan tatkala mendengar teriakan Iblis Tambang
yang sudah menyerang, mau tak mau Andika bergerak
memapaki.
"Monyet pitak! Apakah aku harus mencabut
nyawa lagi?" makinya tak karuan. Namun, bila Andika
tak bertindak, sudah barang tentu dia yang akan men-
jadi sasaran lawan.
Dengan ajian 'Guntur Selaksa' Andika mem-
balas gempuran Iblis Tambang yang sebenarnya te-
naganya sudah terkuras. Orang berwajah mengerikan
ini tak mampu berbuat banyak. Berkali-kali tendangan
Andika mengenai sasarannya. Bahkan tangan kirinya
terhantam keras pukulan ajian 'Guntur Selaksa' yang
seketika remuk dan membiru.
Lolongan bak serigala luka terdengar hebat. An-
dika yang merasa sudah cukup memberi pelajaran pa-
da Iblis Tambang menghentikan gerakannya. Karena
dipikirnya, Iblis Tambang tak akan mampu berbuat
banyak.
Namun dugaannya keliru, karena mendadak
saja Iblis Tambang melepaskan serangannya dengan
mempergunakan senjata tambang besarnya. Kendati
hanya mempergunakan tangan kanannya saja, namun
kecepatan tambang yang dilepaskan orang yang tan-
gan kirinya telah remuk itu sama sekali tak terganggu.
Hanya saja, tenaga yang keluar lebih lemah bila mem-
pergunakan dua tangan.
Wuusss!
Cepat Andika melompat ke samping. Dan ke-
sempatan itu dipergunakan Iblis Tambang, sambil me-
nahan sakit dan dendamnya, meninggalkan tempat
itu.
Bila saja Andika tak memiliki jiwa kemanu-
siaan, sudah tentu akan dikejarnya Iblis Tambang
yang sudah kalah itu. "Sayang sekali. Padahal dia me-
miliki ilmu yang tinggi. Bila saja dibawa pada jalan ke-
benaran...."
Dari sudut matanya yang setajam mata elang,
Andika melihat Suci mendekatinya. Dia tersenyum.
Dan semakin tersenyum mendengar gadis itu bertanya
tentang keheranannya mengenai apa yang terjadi.
"Mengapa aku tidak tahu semuanya, Kang Andika?"
Andika tersenyum. "Maafkan aku, karena terla-
lu nekat menjadikanmu sebagai umpan, Suci. Tetapi,
semuanya sudah kuperhitungkan dengan matang."
"Maksud Kang Andika?"
Andika mengatakan dugaannya tentang Per-
mata Sakti yang kini telah terbukti.
"Jadi... Permata Sakti ini bisa membantu si
pemegangnya bila dalam keadaan terdesak?"
"Begitulah adanya, Suci. Ketahuilah, apa yang
kau lihat selama ini kalau aku mampu menghadapi se-
rangan lawan, sebenarnya bantuan Permata Sakti itu.
Aku tidak memiliki ilmu kebal semacam itu, lagi pula,
aku tidak begitu bodoh membiarkan tubuhku dijadi-
kan bulan-bulanan lawan."
"Pantas, begitu banyak yang menginginkan Per-
mata Sakti ini dari Kakek, Kang Andika."
"Ya, sudah sepantasnyalah demikian. Kini aku
telah berhasil memecahkan teka-teki Permata Sakti
seperti yang diminta kakekmu meskipun secara tidak
langsung ia menjebakku. Sekarang, saatnyalah kita
mencari kakekmu, Suci."
Karena terlalu gembira mendengar kata-kata
Andika, tak sadar Suci merangkulnya. "Oh! Kau ber-
janji, Kang Andika? Kau berjanji?"
Andika cuma mengangkat alisnya dengan wa-
jah memerah.
"Terima kasih, Kang Andika. Terima kasih." Ga-
dis itu mengecup pipi Andika yang bertambah meme-
rah.
Andika berbisik, "Ingat Suci, aku ini laki-laki
lho!"
Seperti baru menyadari hal itu, Suci mele-
paskan rangkulannya. Wajahnya seketika memerah.
"Maafkan aku, aku terlalu gembira mendengar
janji kang Andika."
"Tidak apa-apa. Malah aku ingin dirangkul se-
kali lagi," kata Andika genit.
Suci melotot, Andika cuma tertawa. Namun,
Andika tidak tahu apa yang kemudian dipikirkan oleh
gadis itu mengenai Permata Sakti.
***
11
Ombak berdebur keras. Menghantam batu ka-
rang yang tinggi. Senja menurun. Suasana di tepi pan-
tai itu begitu mencekam. Langit kelam, pertanda akan
turun hujan.
Dalam jarak seratus tombak dari pantai, terda-
pat sebuah bangunan besar. Tersaput kegelapan. Di
sanalah Serikat Kuda Hitam berdiam dengan pimpi-
nannya yang bernama Tunggul Manik.
Telah sepuluh tahun Tunggul Manik mendiami
pulau yang mengerikan itu, yang bernama Pulau Seri-
bu Setan. Sepak terjang Serikat Kuda Hitam memang
tak bisa dirubah oleh siapa pun juga, terutama kaum
golongan lurus.
Tetapi, untuk memusnahkan Serikat Kuda Hi-
tam bukanlah sebuah cara yang mudah. Karena, un-
tuk mendarat di Pulau Seribu Setan yang penuh den-
gan batu karang, bukanlah hal yang mudah. Kalaupun
Tunggul Manik dan anak buahnya yang berjumlah se-
kitar lima puluh orang itu bisa keluar masuk ke pulau,
dikarenakan ia mengetahui sebuah jalan rahasia. Se-
buah jalan yang diciptakan dengan kekuatan sihirnya.
Saat ini, laki-laki berwajah kasar dengan pipi
yang selalu menggembor itu tengah menggeram. Lima
anak buahnya hanya terduduk tanpa berani mengang-
kat wajah di hadapannya.
Semenjak lima orang anak buahnya diutus un-
tuk mencari Permata Sakti tiga bulan lalu, Tunggul
Manik mulai tak sabaran. Apalagi mengingat batas
waktu yang diberinya. Karena saat ini kelima anak
buahnya tidak memberi kabar apa-apa. Padahal, seha-
rusnya mereka sudah kembali ke Pulau Seribu Setan.
Laki-laki itu tidak tinggi, tetapi terbilang kekar.
Bajunya hitam pekat. Bagian dadanya tak tertutup,
memperlihatkan sebuah tato bergambar tengkorak. Ce-
lananya hitam panjang hingga mata kaki. Di ping-
gangnya melilit sabuk warna merah. Matanya agak
menukik dengan kelopak mata berlipat ke dalam. Alis
mata laki-laki itu setebal brewok yang tumbuh dida-
gunya. Di pergelangan tangannya terdapat dua buah
gelang perak yang besar.
"Ke mana manusia-manusia dungu itu?" maki
Tunggul Manik, suaranya besar mengerikan. "Hhh!
Seminggu lagi mereka tak kembali, kalian pergi me-
nyusul! Temukan mereka, dan katakan, kalau mereka
akan menerima hukuman!!"
Lima anak buahnya yang sejak tadi menunduk-
kan kepala, cepat-cepat mengangguk. Dan lega bukan
buatan ketika Tunggul Manik membentak agar mereka
keluar.
Laki-laki berhidung besar dan berbibir tebal itu
hilir mudik dengan wajah tertekuk. Sorot matanya
yang celong ke dalam begitu mengerikan,
Lalu ia melangkah ke sebuah ruangan yang ada
di dalam bangunan besar itu. Ruangan itu mengua-
rkan bau yang sangat busuk sekali. Tetapi bagi Tung-
gul Manik bukanlah hal yang mengherankan. Ia duduk
di lantai. Di hadapannya ada sebuah meja kecil. Di
atasnya terdapat sebuah dupa yang mengepul.
Dari sanalah bau busuk itu menguar. Di samp-
ing dupa itu, terdapat sebuah baskom yang berisi air
berwarna kuning.
Mendadak terlihat tubuhnya bergetar dengan
mulut komat-kamit. Tangannya yang terangkum di
dada bergerak-gerak di atas dupa itu.
Dan mendadak matanya terbuka. Tajam mem-
perhatikan air di baskom yang tadi tenang kini berge-
rak-gerak.
Tiba-tiba, sungguh aneh sebenarnya, karena di
dalam itu terlihat sosok Pendekar Slebor dan Suci yang
sedang celingukan di sebuah hutan lebat.
"Setan alas!! Aku yakin, permata itu berada di
tangan Pendekar Slebor!"
Lalu orang ini mengulap-ngulapkan tangannya
lagi di atas dupa. Pemandangan yang nampak di air itu
kini berganti. Sosok wanita tua dengan rambut dige-
lung ke atas nampak sedang bersembunyi di salah se-
buah batu di sebuah Bukit Karang.
"Camar Hitam!"
Menyusul sosok Kakek Buruk Rupa yang mun-
cul, sedang celingukan di sekitar Bukit Karang. Lalu
wujud Iblis Tambang yang tengah mengobati tangan-
nya yang remuk. Menyusul pemandangan sepasang
anak manusia setengah baya berbaju biru.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir!"
Dan beberapa gambar lainnya. Ketika gambar
itu tiba pada sosok anak buahnya yang telah tewas,
menjerit setinggi gunung Tunggul Manik. Mengge-
tarkan bangunan di mana ia tinggal.
"Keparat! Kalian akan kuundang ke Pulau Seri-
bu Setan!!" serunya keras. Tangannya dihantamkan
pada lantai.
Braakk!
Tangan sebatas siku melesak ke dalam lantai.
Sepasang mata orang ini melebar ganas dan wajahnya
menekuk liar.
Apa yang akan terjadi kemudian? Rahasia Per-
mata Sakti telah berhasil dipecahkan oleh Pendekar
Slebor. Maut pun membentang di setiap langkahnya
dari orang-orang serakah yang menginginkan Permata
Sakti itu. Bahkan, sebuah undangan akan ditebarkan
oleh Tunggul Manik. Bukan undangan biasa, melain-
kan undangan yang dilakukan dengan kekuatan sihirnya.
SELESAI
Segera hadir kembali Serial Pendekar Slebor
dalam episode:
PULAU SERIBU SETAN
0 comments:
Posting Komentar