TAKHTA SETAN
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Takhta Setan
128 hal.
SATU
PANAS menyengat menjilati hamparan
lembah berbatu di sebelah selatan bukit Watu
Wangkit. Angin bukit berhembus sangat kencang,
seakan hendak memporak-porandakan gundu-
kan-gundukan batu yang banyak bertebaran di
sekitar lembah. Tiadanya semak belukar serta
tumbuhnya jajaran pohon, membuat hamparan
lembah itu berubah laksana bara tungku.
Seorang pemuda berparas tampan, bertu-
buh tinggi tegap dengan sepasang mata tajam dan
mengenakan pakaian warna biru tua terlihat me-
langkah menuruni bukit. Pakaiannya telah basah
kuyup oleh keringat yang membasahi hampir se-
kujur tubuhnya. Rambutnya yang panjang di-
biarkan tergerai dan telah tampak kusut masai.
Jelas bahwa si pemuda telah melakukan perjala-
nan agak jauh. Waktu berjalan menuruni bukit
pun sang pemuda tampak sesekali menghentikan
langkah lalu berteduh di bawah sebuah pohon.
"Bodohnya aku.... Kenapa kudaku tadi ti-
dak kubawa serta naik ke bukit! Ah, sudah kepa-
lang basah!" rutuk si pemuda memaki diri sendiri.
Sejenak dia menadangkan tangan kanannya di
depan kening menangkis sengatan sinar matahari
yang membuat pandangannya agak silau. Sambil
bersandar pada batang pohon sepasang matanya
memandang ke bawah, ke hamparan lembah ber-
batu. Tiba-tiba sepasang matanya sedikit membelalak. Dia pun menarik tubuhnya dari batang po-
hon.
"Hmm... Lembah berbatu tidak ditumbuhi
semak belukar dan pepohonan. Tempat itu.... Ya,
sama seperti yang kulihat dalam mimpiku! Dan
sesuai dengan apa yang dikatakan bayangan sa-
mar-samar dalam mimpiku itu!" gumam sang pe-
muda. Dia lalu kernyitkan dahi seakan mengingat
sesuatu. "Bayangan itu mengatakan 'Lembah Ba-
tu Selatan Bukit'...."
Seakan mendapat kekuatan baru, sang
pemuda lantas berlari menuruni bukit. Kepenatan
dan rasa putus asa yang tampak dari raut wajah-
nya tiba-tiba lenyap berubah menjadi harapan
besar. Malah mungkin karena begitu semangat-
nya, tatkala tubuhnya jatuh terjerembab karena
kakinya mengantuk akar-akar pohon, sang pe-
muda segera bergerak bangkit dan meneruskan
larinya.
Ketika telah berada di kaki bukit, dia hen-
tikan larinya. Disekanya dahi dan lehernya yang
basah. Sepasang matanya lantas memandang ke
hamparan lembah berbatu di hadapannya.
"Heran. Aku sendiri tak tahu apa yang
akan kudapatkan di lembah berbatu ini. Tapi
langkahku sepertinya tak bisa kucegah untuk
mendatanginya! Dan bayangan samar dalam
mimpiku itu hanya bunga tidur? Tapi melihat
tempatnya sama seperti yang kulihat dalam mim-
pi, aku yakin mimpiku itu bukan hanya bunga ti-
dur.... Sebaiknya aku menyelidiki ke sana!" sang
pemuda lalu bergerak melangkah menuju hampa-
ran lembah yang berbatu-batu itu.
"Sialan! Batu-batu padas ini panasnya bu-
kan main!" gumam sang pemuda seraya cepat
langkahkan kakinya menghindari pijakan kakinya
pada hamparan lembah yang terdiri dari batu-
batu padas coklat. Namun betapa terkejutnya
sang pemuda ini. Ketika melangkah lagi, batu pa-
das yang diinjaknya semakin panas, dan semakin
ke tengah semakin tambah panas!
"Keparat! Semakin ke tengah hamparan
lembah ini terasa semakin panas! Aneh. Bagai-
mana aku bisa leluasa mengitari tempat ini jika
keadaannya demikian?!" pikir sang pemuda lantas
mulai melompat-lompat agar langkahnya bisa
jauh dan kakinya tidak terlalu lama merasakan
panas. Seraya melompat-lompat sepasang ma-
tanya tidak berkesiap memandang berkeliling.
Dan tak jarang pula kepalanya melongok ke balik
gundukan batu.
Namun setelah sekian lama mencari-cari
dan tak menemukan apa-apa, sang pemuda tam-
pak menarik napas panjang. Namun seakan be-
lum yakin, sebentar kemudian dia telah tampak
berlari dan melompat-lompat kembali mengitari
hamparan lembah. Tapi dia masih tak menemu-
kan apa-apa! Seraya melompat ke balik gundukan
batu dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas.
Namun jelas jika wajahnya menunjukkan rasa
kecewa. Dan dia terlihat menggeram tatkala meli-
rik ke bawah mendapatkan sepasang telapak kakinya telah melepuh dan menggembung merah
pada jari-jari kakinya!
"Ternyata mimpiku hanya impian konyol!
Bodohnya aku.... Melakukan perjalanan panjang
menuruti mimpi! Petunjuk gila yang belum bisa
dipastikan benar tidaknya!" sang pemuda sapu-
kan pandangannya kembali. Lalu sedikit mendon-
gak seraya tadangkan tangannya.
"Sebelum kakiku hancur, lebih baik aku
meninggalkan tempat celaka ini!" dia lantas bali-
kan tubuh hendak berlari menuju arah kaki bu-
kit. Saat itulah sepasang matanya menumbuk
pada sebuah lingkaran hitam pada apitan dua
gundukan batu. Dia sejenak tampak bimbang.
"Ah, tak ada apa-apanya. Mungkin hanya
lingkaran berwarna hitam batu padas!" ujarnya
lantas hendak berlari ke arah kaki bukit. Namun
baru dua langkah, dia berhenti. Rasa panas di
kakinya sejurus ditahannya kuat-kuat. Lalu ber-
paling kembali pada lingkaran hitam. Setelah
berpikir sejenak dia pun meloncat ke arah dua
gundukan batu yang di bagian tengahnya tampak
lingkaran berwarna hitam.
Sambil membuka mata lebar-lebar dia me-
langkah berjingkat ke arah lingkaran hitam. Sete-
lah benar-benar dekat, dia tampak menghela na-
pas dalam-dalam. Seperti dugaannya, ternyata
lingkaran hitam itu cuma batu padas berwarna
hitam dan tak ada apa-apa di situ.
Mendapat mata sang pemuda mendelik.
Keningnya mengernyit, karena begitu kedua kakinya menginjak lingkaran hitam, kakinya tidak
merasakan panas! Malah perlahan-lahan telapak
kakinya mengempos dan hawa dingin menjalari
sekujur tubuhnya. Anehnya, begitu hawa dingin
yang merambat dari sepasang kakinya menjalar,
tubuhnya tidak merasakan sengatan panasnya te-
rik matahari!
"Heran. Lingkaran apa ini?" gumamnya se-
raya tundukkan kepala dan memperhatikan ling-
karan hitam di bawahnya. Belum lama memper-
hatikan, tiba-tiba dia merasakan lingkaran itu
bergerak-gerak. Tubuhnya pun ikut bergetar. Pe-
rasaan heran perlahan berubah menjadi perasaan
tegang dan takut, karena makin lama gerakan-
gerakan lingkaran hitam batu padas itu makin
keras, hingga tubuhnya oleng dan hendak jatuh.
Sambil menahan rasa tegang, dia hendak melom-
pat. Namun gerakannya tertahan karena tiba-tiba
saja gerakan-gerakan itu berhenti.
Belum sempat dia mencari tahu apa yang
menyebabkan lingkaran hitam itu bergerak-gerak,
sang pemuda dikejutkan dengan suara tawa men-
gekeh panjang.
Si pemuda terlihat tercekat tegang, bukan
hanya karena tawa itu tiba-tiba menyeruak, na-
mun juga karena suara tawa itu seakan mengge-
ma dalam suatu ruangan dan tidak di hamparan
lembah itu!
Seraya menahan rasa heran dan takut,
sang pemuda coba membelalakkan sepasang ma-
tanya mencari-cari sumber suara. Namun dia tak
menemukan seorang pun! Malah dia tak dapat
menentukan dari mana suara tawa itu.
"Jelas sekali bahwa suara tawa tadi seakan
menggema dalam ruangan. Namun di mana?
Tempat ini hanya hamparan lembah berbatu.
Jangankan sebuah ruangan, batu yang memben-
tuk sebuah gua pun tak ada!" kuduknya mulai
merinding. Saat itulah suara tawa kembali ter-
dengar. Sang pemuda putar kepalanya meman-
dang keliling. Tapi suara itu memang tidak di
hamparan lembah! Namun jelas terdengar.
Mendapati hal demikian, begitu suara tawa
terdengar berangsur pelan, dia beranikan diri un-
tuk buka mulut. Suaranya terdengar bergetar ma-
lah seakan tersendat di tenggorokan.
"Sia.... siapakah.... Kau? Dan.... Kau di
mana...?!"
Suara tawa lenyap. Lalu terdengar dengu-
san berat, tak lama kemudian terdengar suara.
Sama seperti suara tawa, suara ini juga seakan
terdengar dalam sebuah ruangan.
"Anak muda! Pertanyaanmu bukan saat ini
untuk kujawab. Sekarang aku tanya, siapa na-
mamu? Dan mana tanah kelahiranmu?"
Sejenak sang pemuda tampak bingung dan
ragu-ragu. Dan seolah masih tidak percaya, dia
sapukan sepasang matanya memandang setiap
sudut gundukan batu-batu di hamparan lembah.
"Anak muda! Dengar. Jangan sampai aku
mengulangi pertanyaanku kedua kali jika kau tak
ingin jadi mayat di lembah ini!" terdengar suara
ancaman, membuat sang pemuda bergetar takut.
"Aku.... aku Prabangkara.... Dari sebuah
desa di dekat Singasari...," kata sang pemuda se-
butkan nama dan tempat kelahirannya.
Lama sang pemuda yang bernama Pra-
bangkara ini menunggu, namun tak terdengar lagi
suara. Namun karena takut dan masih tertekan
rasa tak percaya, Prabangkara juga tak angkat bi-
cara, hingga untuk beberapa lama suasana di
hamparan lembah itu sunyi mencekam.
"Anak muda!" akhirnya terdengar lagi sua-
ra. "Apa hubunganmu dengan Pangeran Sela Pe-
manahan dan Pangeran Sindu Kalasan?!"
Prabangkara terhenyak tegang. Dalam hati
dia berkata.
"Siapa sebenarnya manusia yang tidak
tampak ini? Dia mengetahui nama ayahanda dan
kakekku!"
Prabangkara menarik napas panjang. Den-
gan suara masih bergetar dia menjawab. "Mereka
adalah ayah dan kakekku!"
Terdengar suara tawa perlahan, disusul
kemudian dengan suara batuk-batuk beberapa
kali.
"Bagus! Sekarang jawab pertanyaanku ke-
dua. Siapa yang menyuruhmu datang ke lembah
berbatu ini?!"
"Aku tak mengenali orangnya, karena dia
muncul dalam mimpiku dan wajahnya sama-
samar. Dia juga tak menyebutkan namanya!"
Bersamaan dengan selesainya jawaban
Prabangkara, terdengarlah suara tawa panjang.
"Cucuku.... Bertahun-tahun aku menung-
gu kedatanganmu. Masuklah! Jejaklah tiga kali
batu padas di mana kau saat ini berada!"
"Cucu? Dia memanggilku cucu. Siapa dia
sebenarnya?!" batin Prabangkara seraya perhati-
kan lingkaran batu padas hitam di mana ia bera-
da.
"Cucuku! Aku tidak mau memerintah un-
tuk kedua kalinya!"
"Heran. Aku tak mengerti dengan semua
ini. Dia seakan tahu apa yang kuperbuat.... Ah,
sebaiknya kuturuti perintahnya!" Prabangkara la-
lu jejakkan kakinya tiga kali berturut-turut.
Batu padas yang membentuk lingkaran itu
mendadak bergerak-gerak. Lantas terdengar sua-
ra gesekan seperti bersentuhannya dua buah ba-
tu. Dan perlahan-lahan batu padas hitam itu ber-
gerak turun.
"Celaka! Aku bisa tertimbun di dalam...,"
desis Prabangkara begitu mengetahui tubuhnya
bergerak turun. Dia angkat kakinya berusaha me-
lompat. Namun dia tercekat sendiri. Kedua ka-
kinya tak bisa diangkat. Pijaknya pada batu pa-
das yang bergerak turun itu laksana diberi pere-
kat. Hingga dengan menahan rasa cemas bercam-
pur takut dia tegak diam seraya membeliakkan
sepasang matanya.
"Begitu kepalanya masuk ke dalam lingka-
ran yang kini membentuk sebuah lobang, tiba-
tiba gerakan turun batu padas itu meluncur dengan derasnya. Prabangkara pejamkan matanya.
Degupan jantungnya tambah keras. Dan keringat
dingin makin membasahi sekujur tubuhnya.
Brakkk!
Mendadak terdengar suara berderak. Pija-
kan kaki Prabangkara ikut oleng dan tak lama
kemudian tubuhnya jatuh tersungkur! Mungkin
merasa ada bahaya, Prabangkara segera buka ke-
lopak matanya dan bergerak bangkit. Ketika dia
memandang berkeliling, dia tersentak. Ternyata
dia berada pada sebuah ruangan berbentuk bun-
dar. Pada salah satu sisinya tampak sebuah ban-
gunan batu berbentuk pintu gerbang. Di atas pin-
tu gerbang ini tertera sebuah tulisan 'Gerbang Se-
tan'.
Membaca tulisan pada atas pintu gerbang,
tengkuk Prabangkara makin merinding. Bulu-
bulu tangannya berdiri. Dan belum sampai dia
berpikir tentang sesuatu, terdengar suara berde-
rak. Menoleh, Prabangkara terperanjat. Ternyata
batu padas yang tadi membawanya turun telah
menutup kembali!
"Celaka! Aku benar-benar tertimbun di si-
ni...," desisnya seraya menyapukan pandangan-
nya berkeliling. Tak ada lagi pintu selain pintu
Gerbang Setan. Dan belum sempat pemuda ini
berpikir lebih jauh, dari arah pintu gerbang men-
gepul asap putih tebal. Dan bersamaan dengan
itu terdengar suara tawa mengekeh panjang. Pra-
bangkara mendelik dengan tubuh bergetar.
Begitu suara tawa sirap, samar-samar
muncul sesosok bayangan manusia dari balik ke-
pulan asap putih. Prabangkara makin membela-
lakkan matanya, memperhatikan sosok yang ma-
kin lama makin jelas setelah asap putih lenyap,
kini tampaklah sosok itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Mengenakan pakaian seperti pakaian seorang
Pangeran. Kumis dan jenggotnya panjang serta
putih. Sepasang matanya kelabu namun tajam.
Rambutnya panjang dan dibiarkan tergerai rapi
ke belakang.
"Prabangkara. Mendekatlah kemari!" tiba-
tiba sosok orang tua yang kini berdiri tegak di
ambang pintu Gerbang Setan keluarkan suara.
Sepasang matanya yang kelabu mengawasi Pra-
bangkara dari kaki hingga rambut, membuat sang
pemuda semakin bergetar.
Untuk sesaat lamanya Prabangkara tegak
termangu tanpa berani balas memandang. Dan
perlahan-lahan pula dia melangkah mendekat.
Sepuluh langkah di hadapan Gerbang Setan, Pra-
bangkara hentikan langkah. Dengan dada berde-
bar, ia beranikan diri angkat kepalanya meman-
dang sosok yang berdiri tegak di ambang pintu
Gerbang Setan. Mulutnya lantas membuka hen-
dak mengucapkan sesuatu, namun suaranya ter-
cekat di tenggorokan, hingga yang terdengar ha-
nyalah gumaman tak jelas. Prabangkara menarik
napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri.
Lalu mulutnya bergerak-gerak kembali hendak
berkata, namun sebelum suaranya terdengar,
orang tua di hadapannya telah berkata.
"Cucuku, Prabangkara! Hari ini tugasku
akan selesai, dan tugas selanjutnya kaulah yang
harus melaksanakannya!"
Prabangkara terkejut mendengar ucapan
orang tua di hadapannya. Hingga tanpa sadar da-
ri mulutnya keluar ucapan.
"Tugas? Orang tua! Aku tak mengerti den-
gan semua ini!"
Orang tua itu keluarkan tawa panjang.
"Dengar, Prabangkara! Beratus-ratus tahun
aku mengemban tugas menunggu untuk me-
nyampaikan sesuatu padamu! Dan dengan keda-
tanganmu maka selesai sudah tugasku!"
Habis berkata begitu, orang tua itu angkat
tangan kanannya ke atas kepala. Tiba-tiba entah
dari mana datangnya, begitu tangan itu diluruh-
kan terlihatlah sebuah benda berwarna putih ku-
sam di tangannya.
Prabangkara belalakkan sepasang matanya
memandangi benda putih kusam di tangan orang
tua.
"Seperti sebuah kitab...," kata Prabangkara
dalam hati.
"Betul. Ini memang sebuah kitab!" kata
orang tua seakan tahu apa yang terpikir sang pe-
muda. "Kitab inilah yang harus kusampaikan pa-
damu!"
Habis berkata, orang tua itu ulurkan tan-
gannya ke depan.
"Ambillah!"
Prabangkara ternganga. Dia seakan masih
belum percaya apa yang ada di hadapannya.
Hingga untuk beberapa lama ia memandang ber-
ganti-ganti pada orang tua di hadapannya lalu
pada kitab yang kini dijulurkan padanya. Namun
setelah dilihatnya orang tua itu melotot, dan me-
langkah ke depan. Tangan kanan kirinya dijulur-
kan untuk mengambil kitab dari tangan orang
tua. Begitu kedua tangannya menyentuh kitab,
ada hawa aneh yang merasuki tubuhnya.
"Heran. Pandangan mataku lebih tajam.
Degupan jantungku pun reda seketika. Tubuhku
tidak lagi bergetar.... Tapi jangan-jangan aku
mimpi...," batin Prabangkara. Lalu dia menggigit
bibir bawahnya.
"Masih terasa sakit! Berarti aku tidak mim-
pi...."
Setelah kitab berada di tangannya, Pra-
bangkara surutkan langkah dua tindak ke bela-
kang. Untuk beberapa saat lamanya sepasang
matanya memperhatikan kitab di tangannya.
Mungkin karena sudah kuno, sampul kitab yang
terbuat dari kulit domba itu berwarna putih ku-
sam. Pada sampul itu tertera lukisan sebuah pin-
tu gerbang.
Prabangkara angkat kepalanya, meman-
dang pintu gerbang di mana orang tua itu berdiri.
Lalu beralih pada sampul kitab. Dia tampak ter-
peranjat.
"Lukisan ini sama dengan pintu gerbang
itu!" gumamnya. Lalu pandangi sekali lukisan pada sampul kitab itu. Saat itulah orang tua di ha-
dapannya berucap.
"Prabangkara. Seperti kataku tadi, dengan
kedatanganmu dan beradanya kitab di tanganmu,
maka selesai sudah tugasku. Tugas selanjutnya
kau yang akan mengembannya!"
Prabangkara angkat kembali kepalanya.
Lalu berkata.
"Orang tua. Terus terang, aku belum men-
gerti dengan maksud kata-katamu. Harap kau
sudi menerangkan. Juga kalau boleh tahu sebe-
narnya?!"
Yang ditanya keluarkan batuk beberapa
kali.
"Dengar baik-baik Prabangkara. Pada ratu-
san tahun yang lalu, seorang Empu yang berna-
ma Jaladara berhasil menciptakan dua kitab dan
dua kipas. Karena dia adalah Empu keturunan
Empu Candring, maka tidak mustahil jika benda
ciptaannya merupakan sebuah benda yang mem-
punyai kesaktian luar biasa...," sejenak orang tua
itu hentikan keterangannya. Setelah menarik na-
pas dalam-dalam dia melanjutkan.
"Bersamaan waktunya dengan itu, hidup
pula seorang Pangeran yang karena lahir dari istri
selir Baginda yang merintah waktu itu, maka
Pangeran tersebut tidak bisa naik takhta. Padahal
putra mahkota yang lahir dari permaisuri Bagin-
da, sangat bodoh dan tak disukai rakyat. Karena
merasa terpanggil untuk menyelamatkan kerajaan
dari tangan orang bodoh, maka Pangeran dari istri selir tadi mencoba mengadakan pendekatan.
Namun putra mahkota tidak bisa diajak kompro-
mi. Dan sekali lagi untuk menyelamatkan kepan-
daian kerajaan, juga demi rakyat banyak, sang
Pangeran dengan jalan kekerasan. Sebenarnya
waktu itu hampir saja takhta bisa jatuh ke tangan
sang Pangeran jika saja Empu Jaladara tidak ikut
campur. Dengan ikut campurnya Empu Jaladara
yang memihak pada putra mahkota, akhirnya
takhta yang hampir tergenggam lolos dari tangan
sang Pangeran. Bahkan bukan hanya sampai di
situ, dengan hasutan Empu Jaladara, sang Pan-
geran diusir dari kalangan kerajaan. Keluarga
sang Pangeran ini lantas hidup di sebuah desa di
dekat Singasari...."
Prabangkara mendengarkan keterangan
orang tua itu dengan seksama. Dan ketika orang
tua itu menghentikan ceritanya, dia angkat bica-
ra.
"Orang tua. Lantas apa hubungannya ceri-
tamu dengan tugasmu yang juga katamu harus
kuemban?!"
Orang tua itu kembali menarik napas pan-
jang, lalu berkata.
"Mungkin merasa terhina dengan pengusi-
ran yang dijatuhkan atas keluarga sang Pangeran,
salah seorang anaknya pergi mengembara, dan
hidup bertapa seraya memperdalam ilmu silat.
Beberapa puluh tahun kemudian, dia kembali ke
Singasari dengan maksud membuat perhitungan
dengan Empu Jaladara yang telah menghasut putra mahkota hingga menjatuhkan pengusiran ter-
hadap keluarganya. Ternyata setelah terjadi per-
tarungan panjang dan melelahkan, anak sang
Pangeran tersebut belum bisa mengatasi Empu
Jaladara, malah dia akhirnya tewas. Tapi sebelum
menghembuskan napas terakhir, dia sempat me-
nitipkan sebuah kitab dengan pesan kelak di ke-
mudian hari kitab tersebut harus diserahkan pa-
da salah seorang keturunannya yang ke tujuh.
Aku, Panjer Wengi adalah keturunan kedua. Se-
mentara Sindu Kalasan yang kau katakan sebagai
kakekmu dan Sela Pemanahan yang kau se-
butkan sebagai ayahmu adalah keturunan ke li-
ma dan ke enam!"
Prabangkara ternganga lebar, malah kedua
kakinya sampai tersurut satu langkah. Sepasang
matanya tak berkesip memandang orang tua me-
nyebut dirinya Panjer Wengi dan mengaku seba-
gai keturunan kedua.
"Aneh. Jangankan kakekku, ayahku pun
telah meninggal, kenapa dia yang mengaku seba-
gai keturunan kedua masih hidup...?" batin Pra-
bangkara. Lalu dia mengutarakan apa yang ada di
hatinya.
"Orang tua. Kalau kakekku dan ayahku
yang kau sebut sebagai keturunan kelima dan
keenam telah meninggal, bagaimana mungkin
kau yang mengaku sebagai keturunan kedua...,"
Prabangkara tidak melanjutkan ucapannya, kare-
na orang tua yang menyebut dirinya Panjer Wengi
mengangkat tangannya memberi isyarat agar Prabangkara tak melanjutkan bicara.
"Prabangkara. Seperti halnya kakek dan
ayahmu. Aku juga sebenarnya telah meninggal
pada ratusan tahun yang lalu...."
Prabangkara terkesiap. Sepasang matanya
makin dibeliakkan.
"Bagaimana mungkin, orang yang telah
meninggal bisa menampakkan diri?" kata Pra-
bangkara dalam hati.
Seakan tahu apa yang membersit dalam
hati Prabangkara, Panjer Wengi keluarkan tawa
pelan.
"Prabangkara. Yang kau lihat sekarang ini
adalah wujud roh Panjer Wengi. Dan mungkin te-
lah ditakdirkan, rohku belum bisa tenang berse-
mayam sebelum aku menyelesaikan tugasku me-
nyampaikan kitab itu padamu!"
"Jadi...?!" Prabangkara tidak meneruskan
ucapannya. Sepasang matanya memperhatikan
sosok Panjer Wengi dari atas hingga bawah. Dan
pemuda ini jadi terkesiap. Ternyata, meski tam-
pak berdiri tegak di ambang pintu gerbang, na-
mun sepasang kaki Panjer Wengi mengambang di
udara!
DUA
PANJER Wengi keluarkan tawa panjang.
Kedua tangannya bergerak sedekap sejajar dada.
Lalu dia berkata. "Prabangkara. Kau tidak usah
memikirkan bagaimana ini semua bisa terjadi!
Karena kau tidak akan sampai bisa ke sana. Yang
harus kau pikirkan sekarang adalah bagaimana
kau bisa menyelesaikan tugas yang kini ada di-
pundakmu!"
Prabangkara diam beberapa saat. Lalu per-
lahan dia melangkah maju dua tindak. Tiba-tiba
dia jatuhkan diri berlutut seraya berkata.
"Eyang Panjer Wengi.... Harap kau katakan
tugas apa yang harus kulaksanakan!"
"Seperti keterangan tadi, Empu Jaladara
telah memusnahkan harapan kita bersama, bah-
kan telah menewaskan pembuat kitab yang kini
ada di tanganmu! Prabangkara. Roh-roh nenek
moyangmu tidak akan tenang sebelum si pem-
buat malapetaka itu dibuat hancur lebur! Empu
Jaladara dan anak cucunya harus dimusnahkan
dari muka bumi, juga barang-barang ciptaannya!
Karena saat ini yang paling dikenal orang adalah
barang ciptaan Empu itu, maka tugas utamamu
adalah merampas dan memusnahkan barang cip-
taan Empu Jaladara dari orang yang memegang-
nya! Karena dengan demikian nama Empu Jala-
dara tidak akan dikenal lagi! Bahkan demi nama
besar keluarga, kau harus dapat menggenggam
pucuk pimpinan rimba persilatan!"
"Eyang Panjer Wengi. Bagaimana mungkin
aku dapat melaksanakan tugas itu? Sedangkan
aku sendiri hanya menguasai sedikit ilmu silat!"
Panjer Wengi kembali keluarkan tawa pan-
jang.
"Cucuku.... Tugas ini tidak begitu saja di-
limpahkan padamu tanpa perhitungan. Kitab
yang ada di tanganmu adalah sebuah kitab yang
berisi ilmu kesaktian tiada tanding! Begitu hebat-
nya kitab itu hingga selain keturunan ke tujuh,
tidak ada orang yang bisa membukanya! Aku se-
bagai pengemban tugas untuk menyampaikannya
saja tidak kuasa untuk membukanya!"
Prabangkara terdiam sesaat. Diperhatikan-
nya kitab bersampul kulit yang ada di tangannya.
Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak hen-
dak mencoba membuka. Namun sebelum kitab
itu terbuka, Panjer Wengi telah angkat bicara
kembali.
"Prabangkara. Waktumu masih banyak.
Bukan sekarang saatnya membuka kitab itu!"
Prabangkara luruhkan tangannya kembali.
Pandangan matanya kembali lurus ke arah Panjer
Wengi.
"Eyang Panjer Wengi. Tugasku adalah me-
rampas dan memunahkan barang ciptaan Empu
Jaladara. Katakan, barang apa saja itu dan siapa
orang yang kini memegangnya!"
"Barang itu berupa dua kipas. Satu ber-
warna ungu dan satunya lagi berwarna hitam.
Yang berwarna ungu bergambar lukisan ombak
dan berangka 108! Sedangkan satunya lagi, hitam
legam tanpa lukisan. Hanya saja pada ujung ki-
pas terlihat sebuah pangkasan, seolah kipas itu
belum sempurna pembuatannya. Lalu sebuah
bumbung bambu berwarna kuning yang isinya
adalah lembaran daun lontar. Daun lontar itu be-
risi jurus sebagai pendalaman dari dua kipas ta-
di!"
"Lantas siapakah orang yang kini meme-
gangnya?!"
"Kipas ungu sekarang dimiliki oleh seorang
anak manusia bergelar Pendekar Mata Keranjang
108! Kau harus dapat merampas sekaligus me-
munahkan kipas itu! Sedangkan kipas berwarna
hitam, dipegang oleh manusia bergelar Malaikat
Berdarah Biru. Tapi pada akhirnya kipas itu jatuh
ke tangan Wong Agung dari Karang Langit, yang
juga adalah guru dari Pendekar Mata Keranjang
108. Namun akhir-akhir ini kipas itu dicuri oleh
seseorang beserta bumbung bambunya dari Wong
Agung. Siapa pencuri itu, belum dapat diketahui
secara jelas! Tugasmulah untuk menyelidiki siapa
pencuri kipas dan bumbung bambu itu!"
"Prabangkara. Tugas terakhirmu adalah
merajai rimba persilatan! Karena hanya dengan
jalan itulah nama keluarga kita terangkat kemba-
li! Dan nama Empu Jaladara bisa tenggelam!"
"Segala keterangan dan perintahmu akan
kulaksanakan!"
"Bagus! Sebagai orang yang dipersiapkan
mengemban tugas, tentu tidak terlalu lama bagi-
mu untuk mempelajari isi kitab yang ada di tan-
ganmu. Dan ingat! Kau harus mempelajari kitab
itu di sini! Karena di sinilah nenek moyangmu di-
kebumikan! Kelak, jika kau telah selesai, kau cu-
kup menekan batu hitam yang ada di sisi pintu
gerbang ini. Lobang di atasmu akan membuka
sendiri!"
Prabangkara anggukan kepalanya perla-
han.
"Prabangkara. Kurasa semuanya telah ku-
jelaskan padamu. Kalau tidak ada yang kau ta-
nyakan, aku akan pergi sekarang!"
"Eyang.... Tunggu!" seru Prabangkara.
"Kau hendak mengutarakan sesuatu? Ka-
takan!"
"Setelah aku selesai mempelajari kitab ini
dan terjun dalam rimba persilatan, apakah aku
akan tetap memakai nama Prabangkara?"
"Sesuai dengan pesan, kau harus menyim-
pan nama kecilmu! Tentang siapa nama yang ha-
rus kau sandang, semuanya ada di dalam kitab
itu! Hanya kelak jika kau telah berhasil mengua-
sai rimba persilatan, kau boleh katakan siapa di-
rimu sebenarnya!"
Habis berkata begitu, Panjer Wengi angkat
tangan kanannya. Tiba-tiba asap putih muncul
dan langsung membungkus sosoknya. Ketika so-
soknya samar-samar akan lenyap, terdengar sua-
ra.
"Prabangkara.... Ingat! Rimba persilatan
harus kau genggam! Lenyapkan semua orang
yang menghalangi langkahmu!"
"Semua kudengar dan kulaksanakan,
Eyang...," kata Prabangkara, lalu menjura dalam-
dalam. Ketika kepalanya diangkat kembali, sosok
Panjer Wengi telah lenyap!
Untuk beberapa saat lamanya, Prabangka-
ra duduk diam sambil memikirkan apa yang baru
saja dialaminya.
"Rimba persilatan harus bisa kugenggam....
Semua orang yang merintangi harus kumusnah-
kan!" gumamnya, lalu kitab di tangannya diperha-
tikan baik-baik.
"Selain keturunan ketujuh tidak ada orang
yang bisa membukanya. Hm.... Semoga ucapan
itu benar adanya...," batin Prabangkara. Lantas
dengan tangan sedikit gemetar, sampul kitab itu
dibukanya.
"Hmm.... Tidak ada kesulitan...," ujar Pra-
bangkara dalam hati ketika sampul kitab terbuka.
Pada halaman pertama ini terdapat tulisan.
"Keturunan ketujuh adalah satu-satunya
keturunan yang berhak atas kitab ini. Kelak dia
berhak menyandang gelar Dewa Maut!"
"Hmm.... Jadi nama itu yang kelak kusan-
dang setelah mempelajari kitab ini!" gumam Pra-
bangkara. Lantas dia membalik halaman berikut-
nya. Di situ hanya terdapat tulisan pintu gerbang
yang di atasnya tertulis Gerbang Setan. Di ba-
wahnya tertera tulisan besar berbunyi. "Takhta
Setan".
"Takhta Setan. Hm.... Ini pasti nama kitab
ini. Kitab yang digunakan untuk memasuki pintu
gerbang bertulisan Gerbang Neraka itu!"
Prabangkara sejenak memandang lurus ke
depan, ke arah pintu gerbang di mana tadi Panjer
Wengi berdiri. Lalu sesaat kemudian hendak
membuka halaman berikutnya. Namun dia heran.
Halaman ketiga ini tidak kuasa dibukanya!
"Bagaimana ini? Apakah aku memang tak
kuasa membukanya?" bisiknya, lalu mencoba se-
kali lagi membuka. Dan memang benar. Dia tak
bisa membuka halaman ketiga itu.
Selagi Prabangkara dilanda kebingungan,
tiba-tiba terdengar suara.
"Prabangkara. Bangkitlah! Duduk di am-
bang pintu Gerbang Setan!"
Prabangkara terkejut. Dia tahu pasti, itu
bukan suara Panjer Wengi. Sepasang matanya liar
menyapu berkeliling, namun tak terlihat seorang-
pun! Dia sejenak terpaku, namun akhirnya dia
bangkit dan melangkah perlahan menuju bangu-
nan batu yang membentuk pintu. Di situ, dia lan-
tas duduk. Dia diam sesaat menunggu, berharap
terdengar lagi suara. Namun setelah ditunggu
agak lama tidak ada suara yang terdengar, dia
kembali memperhatikan kitab yang masih terbu-
ka dua halaman. Perlahan-lahan pula tangan ka-
nannya coba membuka halaman ketiga. Tiba-tiba
dia tercengang. Dengan mudahnya halaman keti-
ga bisa dibuka!
"Hmm.... Aku tahu sekarang. Aku harus
mempelajari kitab ini di pintu ini!" kata hati Prabangkara dengan wajah cerah.
TIGA
SEORANG pemuda berparas tampan men-
genakan pakaian warna hijau dengan rambut di-
kuncir ekor kuda terlihat melangkah pelan me-
nyusuri padang ilalang hijau yang melambai-
lambai ditiup angin. Matahari yang hampir saja
tenggelam dan memancarkan cahaya kekuningan
menambah indahnya pemandangan di hamparan
padang ilalang itu. Apalagi nun jauh di sebelah
baratnya tampak julangan gunung Arguna yang
berubah warna menjadi keperakan tertimpa ca-
haya senja matahari.
Seraya melangkah, sang pemuda tak henti-
hentinya mengumbar tawa dan senyum. Bahkan
sesekali wajahnya berpaling ke belakang, lalu
bersuit nyaring dan menyelinap masuk ke balik
hamparan ilalang, namun tak lama kemudian
muncul kembali sambil tersenyum-senyum.
"Aji.... Tunggu. Di mana kau? Kau jangan
terus-terusan menggodaku!" tiba-tiba terdengar
teriakan.
"Aku di sini!" jawab sang pemuda yang bu-
ka lain memang Aji alias Pendekar Mata Keran-
jang 108 sambil hentikan langkah dan berpaling
ke belakang.
"Aji.... Sudah! Jangan kau menggodaku la-
gi!" kembali terdengar teriakan dan sesosok
bayangan berkelebat lalu berdiri tegak di samping
Aji dengan wajah memberengut. Namun tampak
sekali jika semua itu hanya sifat manjanya saja.
Terbukti tatkala Aji melangkah mendekat dan
memegang tangannya, sosok di sampingnya telah
tersenyum dan seketika memeluk Aji.
"Anting Wulan.... Hari sudah hampir gelap.
Sebaiknya kita cepat meneruskan perjalanan.
Apakah masih jauh tempatmu dari sini?" kata Aji
sambil mencoba meluruhkan rangkulan orang
yang dipanggil Anting Wulan.
Anting Wulan angkat kepalanya. Ternyata
dia adalah seorang gadis muda berparas cantik je-
lita. Rambutnya panjang dan dibiarkan jatuh ber-
gerai di punggungnya. Sepasang matanya bulat
serta tajam. Mengenakan pakaian warna putih ti-
pis, dan ketat, hingga dadanya yang membusung
kencang menantang tampak menonjol jelas, be-
lum lagi pakaiannya dibuat agak rendah di bagian
dada hingga buah dadanya yang putih kencang
itu tersembul sebagian.
"Kau lihat gunung itu. Di kaki gunung itu-
lah tempatku!"
Aji palingkan wajahnya memandang gu-
nung.
"Hm.... Kurasa masih agak jauh. Kalau kita
tak segera meneruskan perjalanan, jangan-jangan
kita nanti tersesat karena cuaca gelap!"
"Kau tak perlu takut. Aku sudah faham
daerah ini! Lagi pula kenapa takut tersesat? Pe-
mandangan di sini sangat indah jika malam hari,
apalagi jika bulan sedang purnama. Apakah kau
tidak ingin menikmati indahnya tempat ini?!"
sambil berkata, sang gadis mempererat pelukan-
nya. Malah tanpa malu-malu lagi wajahnya segera
didekatkan pada wajah Aji. Bibirnya sedikit dibu-
ka dengan mengeluarkan desahan pelan manja.
Sepasang matanya yang bulat sedikit dipejamkan,
membuat Aji menarik napas dalam-dalam.
"Gila! Kalau terus-terusan berada di samp-
ing gadis ini, bukan tak mungkin aku lambat laun
akan tergoda melakukan hal yang tidak-tidak. Ah,
secepat mungkin aku harus menghindarinya...."
"Kau melamun. Kau memikirkan seseo-
rang?" tiba-tiba Anting Wulan menegur dan pan-
dangi wajah Aji dengan tatapan menyelidik.
Aji menggeleng pelan. Sepasang matanya
balas menatap gadis di hadapannya. Sejenak dua
orang ini saling berpandangan. Aji lantas sung-
gingkan senyum dan berkata.
"Anting Wulan. Sudah beberapa hari ini
tubuhku tak tersentuh air. Apakah di daerah ini
ada pancuran air? Aku ingin membasahi tubuh,
sekalian ingin membasahi tenggorokan..."
Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam
menghela napas panjang seakan ingin menekan
gejolak yang mulai mendera dadanya. Kepalanya
lantas berpaling ke arah barat.
"Di sebelah itu ada pancuran. Seperti hal-
nya dirimu, sebenarnya aku pun sudah gerah dan
ingin mandi. Bagaimana kalau kita mandi bersa-
ma?"
"Edan! Gadis ini benar-benar nekat!" pikir
Aji. Lalu berkata sambil memandang tempat yang
ditunjuk Anting Wulan.
"Tak pantas rasanya jika kita harus mandi
bersama. Anting Wulan. Kalau kau ingin mandi,
pergilah kau duluan. Aku akan menunggumu di
sini!"
Anting Wulan keluarkan tawa pelan. Na-
mun jelas sekali jika wajahnya menunjukkan rasa
kecewa atas penolakan Aji.
"Jika begitu, baiklah. Aku akan mandi du-
luan. Tapi kau jangan terlalu jauh...," seraya ber-
kata begitu, Anting Wulan melepaskan rangku-
lannya lalu menyeret tangan Aji. Meski agak be-
rat, murid Wong Awung ini akhirnya menuruti se-
retan tangan sang gadis dan melangkah ke arah
pancuran air.
"Tunggulah di sini!" gumam Anting Wulan
begitu sampai pada sebuah dangau yang di keli-
lingi batu-batu dan di sebelah sudutnya tampak
pancuran air. Gadis ini lantas melangkah turun
mendekati pancuran. Sejenak dia memandang ke
atas, ke tempat Aji berdiri menunggu. Dan seakan
disengaja, gadis ini segera melepas pakaian atas-
nya.
"Busyet! Aku tak tahan jika menyaksikan
dia...," Aji alihkan pandangan lalu perlahan-lahan
dia melangkah menjauhi tempat itu.
Saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan
tampak berkelebat, lalu menyelinap ke balik
hamparan ilalang.
Aji menunggu sesaat. Tak ada tanda-tanda
akan munculnya seseorang, Aji melangkah sambil
menajamkan sepasang matanya. Tiba-tiba lima
tombak di depannya sesosok bayangan terlihat
kembali berkelebat. Namun karena begitu cepat-
nya gerakan sang bayangan, hingga Aji tak dapat
memastikan laki atau perempuan adanya si
bayangan.
"Edan! Gerakannya sungguh luar biasa.
Siapa dia? Apakah orang yang mengikuti perjala-
nanku selama ini? Memang, aku tak dapat ditipu.
Selama perjalananku dengan Anting Wulan, aku
merasa diikuti seseorang.... Hm.... aku jadi pena-
saran. Kenapa dia terus mengikuti perjalananku?
Aku harus dapat menangkapnya dan mengorek
apa maksudnya!" Berpikir begitu, murid Wong
Agung ini segera berkelebat ke arah lenyapnya
sang bayangan. Namun di tempat itu dia tak me-
nemukan seseorang. Sambil merunduk dan me-
nyibakkan padang ilalang, sepasang matanya lan-
tas mencari-cari dari sela-sela padang ilalang.
Namun sejauh ini dia tak menemukan apa-apa.
Saat itulah, terasa deru angin bersiur di
belakangnya. Aji segera berpaling ke belakang.
Namun lagi-lagi dia tak menemukan seseorang.
Hanya ilalang di belakangnya terlihat bergoyang-
goyang, jelas jika baru saja ada yang menerabas-
nya.
"Gila! Aku dapat memastikan jika baru saja
ada orang berkelebat di sini. Angin siurnya belum
hilang. Tapi mana manusianya? Jangan-jangan
bukan manusia...," pikir Aji. Karena cuaca sudah
mulai temaram, terpaksa murid Wong Agung ini
putar pandangannya dengan sepasang mata dibe-
liakkan besar-besar.
Tiba-tiba lima belas langkah di depannya
terlihat sesuatu membubung ke angkasa. Ketika
diperhatikan betul-betul, sesuatu itu ternyata se-
buah bungkusan kain. Anehnya, begitu membu-
bung dan Aji bergerak ke tempat dari mana bung-
kusan itu mencuat, bungkusan itu tiba-tiba me-
nukik kembali dengan derasnya dan saat Aji
sampai di tempat itu, bungkusan tadi lenyap!
"Sialan! Siapa sebenarnya manusia ini? Ge-
rakannya sungguh luar biasa cepatnya! Dan ke-
napa dia seolah mempermainkan diriku?! Kurang
ajar betul!" ujar Aji seraya terus memperhatikan
tempat di sekelilingnya. Dan Aji terperangah sen-
diri, karena tidak terasa dia telah jauh dari tem-
pat di mana Anting Wulan mandi.
"Ah, tak ada gunanya menuruti orang
main-main. Lebih baik aku kembali ke pancu-
ran...," meski dia berkata begitu dalam hati, na-
mun dia tak juga melangkah ke arah pancuran
air. Malah sepasang matanya memandang jauh ke
depan. Jelas jika dia masih merasa penasaran
dengan orang yang mempermainkannya.
Wuuutt!
Serangkum angin deras tiba-tiba menyam-
bar dari samping Aji.
"Keparat!" seru Aji mulai agak geram men-
dapati orang telah mulai menyerangnya. Sambil
geser bahunya ke samping menghindari samba-
ran angin, Aji dorong tangan kanannya ke arah
datangnya sambaran angin.
Praaasss!
Padang ilalang sepuluh langkah di samping
Aji terpapas rata! Namun tak juga terlihat batang
hidungnya seorang manusia! Membuat murid
Wong Agung ini makin geram. Dan mungkin sak-
ing geramnya, dia segera berteriak.
"Siapa pun adanya kau, jangan main-main
seperti anak kecil! Tunjukkan siapa dirimu, dan
katakan apa maksudmu dengan permainan ini!"
Aji menunggu sesaat. Namun tak ada sua-
ra jawaban atau munculnya seseorang. Melihat
hal demikian, kembali Aji keluarkan teriakan.
"Jangan bertingkah pengecut! Tampakan
wujudmu!"
Lagi-lagi tak ada tanda-tanda munculnya
seseorang, membuat murid Wong Agung ini ma-
kin penasaran dan makin geram. Dengan pelipis
bergerak-gerak dan dagu sedikit mengembung,
kembali Aji berteriak, kali ini sambil angkat tan-
gannya seakan memberi isyarat bahwa dia akan
melakukan serangan.
"Siapa pun kau, jika tak segera menunjuk-
kan diri, maka jangan menyesal jika tubuhmu
ikut merasakan pukulanku!" gertaknya.
Entah karena takut pada gertakan Aji, atau
karena memang ingin menunjukkan diri, tiba-tiba
saja terdengar seseorang menjawab.
"Tahan dulu seranganmu. Aku ada di sebe-
lahmu!"
Aji melengak kaget. Bukan hanya karena
jawaban orang yang mengatakan dirinya ada di
sebelahnya dan dia tak mengetahui, melainkan
juga karena suara orang itu! Suara itu jelas suara
orang laki-laki yang disarukan seperti suara
orang perempuan.
Aji segera palingkan wajahnya ke samping.
Sepuluh langkah di hadapannya kini tampak se-
seorang berdiri tegak sambil memandang ke
arahnya dengan senyum-senyum. Dia adalah seo-
rang pemuda. Wajahnya sangat tampan, bahkan
karena tampannya, hampir-hampir dia berparas
jelita! Sepasang bola matanya bundar dan sayu.
Rambutnya panjang dan dikepang dua. Tubuhnya
semampai. Anehnya meski jelas dia seorang laki-
laki, namun bibirnya yang membentuk bagus itu
diberi pemerah menyolok. Kedua tangannya pun
terlihat bergerak-gerak halus laksana gerakan
seorang perempuan. Dan lebih dari itu semua,
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seo-
rang perempuan!
"Sialan! Ternyata seorang laki-laki setengah
perempuan!" rutuk Aji dalam hati seraya luruh-
kan tangannya dan memperhatikan orang di ha-
dapannya. Kemarahan yang sejak tadi ditahannya
mendadak hilang begitu melihat siapa adanya
orang itu. Malah dia tersenyum-senyum sendiri
melihat tingkah laki-laki yang mengenakan pa-
kaian perempuan di hadapannya. Karena sesekali
orang itu meliuk-liukkan bahu serta pinggulnya.
Bahkan sebelah matanya terlihat mengerdip nakal.
"Siapa kau? Dan kenapa mempermainkan
orang?!" tanya Aji, sepasang matanya terus mem-
perhatikan orang di hadapannya. Ternyata, selain
tangannya lembut dan putih mulus, pada kuku
jari-jarinya dicat merah.
Mendengar pertanyaan Aji, laki-laki berpa-
kaian dan berwajah seperti orang perempuan itu
tersenyum, pinggul dan bahunya digoyang seben-
tar, sementara kedua tangannya digerakkan me-
liuk ke depan. Mulutnya membuka dan terden-
garlah suaranya yang mirip suara seorang perem-
puan.
"Manusia tampan. Sebenarnya aku malu
mengatakan siapa diriku. Karena namaku je-
lek...."
"Jelek atau bagus kau harus sebutkan, ka-
rena kau telah berani permainkan orang!"
"Kalau aku tidak sebutkan?!" katanya se-
raya mengerling, lalu melangkah mendekat. "Aku
akan memaksamu!" Tiba-tiba laki-laki berwajah
cantik jelita itu keluarkan suara tawa manja.
"Idiiihhh.... Aku jadi takut. Jangan-jangan kau
laki-laki yang suka memaksa-maksa...."
"Sudah jangan banyak mulut. Katakan saja
siapa namamu! Aku tak punya waktu banyak!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Tentunya kau ingin
segera melihat gadismu yang sedang mandi, bu-
kan? Apa sedapnya melihat nenek-nenek sedang
mandi?"
"Sialan! Siapa sebenarnya manusia ini.
Ucapannya seperti ucapan Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang yang mengatakan Anting Wulan
sebagai nenek-nenek.'" batin Aji teringat pada
ucapan Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang be-
berapa waktu yang lalu, yang memang menyebut
Anting Wulan sebagai Tua Bangka. Kalau pada
Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang, Aji tak be-
rani berkata apa-apa meski keduanya mengata-
kan Anting Wulan sebagai Tua Bangka, tidak de-
mikian halnya pada orang ini.
"Manusia laki-laki perempuan! Selain tu-
kang mempermainkan orang ternyata mulutmu
juga usil. Dengar! Sedap tidak sedap itu bukan
urusanmu! Dan kalau kau tak lekas sebutkan
siapa dirimu, jangan menyesal jika bibirmu yang
merah itu kubuat makin merah!"
"Ah...," orang di hadapan Aji keluarkan se-
ruan seakan terkejut. Namun tak lama kemudian
bibirnya yang merah diusap-usapnya lalu berka-
ta.
"Sungguh jelek nasib orang sepertiku. Di-
ancam, dituduh, dan dibentak-bentak! Tidak se-
perti nenek-nenek itu. Dipeluk, dicium bahkan
mandi pun diantar!"
"Keparat! Kau membuatku hilang kesaba-
ran!"
"Hilang kesabaran ingin melihat gadismu
itu, bukan?" kata laki-laki berpakaian perempuan
tanpa mempedulikan Aji yang telah banyak dilan-
da amarah.
Aji pelototkan sepasang matanya. Dadanya
bergetar, dagunya mengembung menahan marah.
Namun diam-diam dalam hatinya dia berucap.
"Aku harus berhati-hati dengan manusia
satu ini. Meski sikapnya genit, aku yakin di balik
kegenitannya itu dia menyembunyikan sesuatu!
Terbukti dia tadi mampu bergerak cepat!"
"Manusia laki-laki perempuan! Aku tak
akan mengulangi pertanyaanku. Aku tidak main-
main dengan kata-kataku!" kata Aji lalu angkat
tangannya, membuat gerakan seperti orang hen-
dak menyerang.
Namun Aji jadi salah tingkah sendiri dan
makin geram, karena orang di hadapannya tidak
menunjukkan rasa takut. Malah sambil ker-
dipkan sebelah matanya dan tersenyum genit, dia
berkata.
"Anak manusia bernama Aji Saputra. Per-
cuma kau angkat tanganmu kalau hatimu berka-
ta jangan! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Jahanam! Dia seakan tahu apa yang ada
di benakku. Dia juga tahu namaku! Siapa manu-
sia genit ini sebenarnya?" batin Aji dengan ge-
lengkan sedikit kepalanya. Murid Wong Agung ini
sebenarnya memang tak bermaksud lancarkan
pukulan. Dia angkat tangannya dengan tujuan
agar orang di hadapannya merasa takut dan me-
nyebutkan siapa dirinya. Namun begitu laki-laki
berpakaian perempuan seakan tahu apa yang ada
dalam hatinya, mungkin untuk menunjukkan
bahwa dugaan orang itu salah, ia dorong tangan-
nya perlahan ke depan.
Wuuuttt!
Serangkum angin deras melesat dan meng-
gebrak ke arah laki-laki berpakaian perempuan.
"Itulah petunjuk bahwa ucapanmu salah,
Manusia.'" kata Aji sambil memperhatikan.
Di depan, mendapat serangan begitu laki-
laki berdandan perempuan ini tidak bergerak dari
tempatnya. Malah bibirnya keluarkan desahan
genit. Dan begitu setengah depa lagi serangan Aji
menghajar tubuhnya, dia gerakan tangan kanan-
nya pulang balik dengan gemulainya. Hebatnya
bersamaan dengan itu sambaran angin serangan
Aji bergerak membalik! Malah kini melesat lebih
cepat!
Karena Aji tidak menyangka, maka hampir
saja tubuhnya terhantam pukulannya sendiri jika
dia tidak segera membuat gerakan merunduk
sambil melompat ke samping.
"Edan! Bagaimana mungkin gerakan tan-
gannya yang begitu pelan dapat membalikkan
pukulanku? Hmm.... Dugaanku tidak meleset.
Dia menyembunyikan kepandaian tinggi di balik
kegenitannya...."
Selagi Aji tercenung, laki-laki berdandan
perempuan itu keluarkan tawa panjang.
"Seribu kali berpikir kau tak akan mene-
mukan jawabannya, Pemuda Tampan. Lebih baik
kau pikirkan dirimu! Dirimu sedang diincar
orang. Dan tantangan di depan makin berat, ka-
rena kau akan menemui gunung besar yang siap
meletus!"
Habis berkata begitu, laki-laki berdandan
perempuan itu balikan tubuh dan hendak pergi
dari hadapan Aji.
"Ramalan kentut! Akan pergi ke mana kau?
Jangan mimpi bisa pergi begitu saja sebelum ja-
wab pertanyaanku!" teriak Aji sambil angkat tan-
gannya kembali.
"Aku tidak meramal, tapi kesempatan un-
tuk berdua-duaan lagi dengan gadis tadi lenyap
sudah!" kata lelaki berdandan perempuan, lalu
tanpa menghiraukan ancaman orang, dia enak
saja berkelebat.
Mendapati ancamannya tidak dihiraukan,
Aji serta-merta hantamkan kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin menghamparkan
hawa panas melesat membuntuti sosok laki-laki
berdandan perempuan.
Namun Aji dibuat hampir tak percaya den-
gan pandangan matanya, karena begitu sedepa
lagi pukulannya menghantam sasaran, laki-laki
berdandan perempuan laksana ditelan bumi. So-
soknya tiba-tiba lenyap! Dan serangan Aji meng-
hajar padang ilalang hingga padang ilalang itu
langsung terabas rata dan hangus!
"Setan alas! Ke mana lenyapnya manusia
itu?!" ujar Aji lantas memutar kepalanya dengan
mata mendelik mencari-cari. Namun hingga ma-
tanya lelah melotot, orang yang dicarinya tak da-
pat ditemukan. Sambil menyumpah habis-
habisan, Aji balikkan tubuh dan segera berkelebat
ke arah pancuran.
Namun murid Wong Agung ini sedikit ter-
kejut begitu sampai, karena Anting Wulan tidak
ada di tempat.
"Ah, dia mungkin ganti pakaian hendak
menggodaku! Biar aku berdiri saja di sini. Bila
capek sembunyi, dia tentu akan keluar sendiri!"
batin Aji sambil senyum-senyum.
Tapi begitu ditunggu hingga kakinya terasa
pegal dan Anting Wulan tak juga ada tanda-tanda
muncul, murid Wong Agung ini mulai menangkap
ada yang tidak beres. Sepasang matanya lantas
menyapu berkeliling hingga sudut-sudut sekitar
pancuran. Dan ketika dia belum juga menemukan
orang yang dicari, dia berteriak lantang. "Anting
Wulan.... Di mana kau?" Tak ada jawaban. Untuk
kedua kalinya Aji berteriak. Dan begitu masih ju-
ga tak ada jawaban, dia makin yakin telah terjadi
sesuatu pada Anting Wulan. Dia segera berkelebat
mengelilingi tempat itu. Namun lagi-lagi dia tak
menemukan gadis berparas cantik.
"Ke mana dia? Jangan-jangan ini perbua-
tan manusia banci. Keparat! Akan kuhajar betu-
lan dia kalau sampai berbuat yang tidak-tidak!
Apa maunya dia sebenarnya...?"
Selagi Aji menduga-duga, tiba-tiba terden-
gar siutan beberapa kali. Lalu disusul dengan
berdesirnya angin dari empat jurusan. Dan belum
sempat Aji melihat apa yang terjadi, berkelebat
empat sosok bayangan dan langsung tegak men-
gurungnya!
EMPAT
SERENTAK sepasang mata murid Wong
Agung ini membeliak, dan tanpa sadar kedua ka-
kinya tersurut hingga tiga tindak ke belakang.
Tengkuknya merinding begitu dia dapat mengena-
li tampang masing-masing orang.
Orang sebelah kanan adalah seorang laki-
laki berusia amat lanjut. Mengenakan jubah besar
dan warna biru gelap. Sosoknya tinggi kurus. Se-
pasang matanya besar dan masuk dalam cekun-
gan rongga yang menjorok dalam. Bibirnya sangat
tebal. Kulit wajahnya sangat tipis hampir tak ke-
lihatan. Dia mengenakan sebuah caping lebar dari
kulit berwarna hitam yang bagian atasnya dibuat
terbuka hingga rambutnya yang jarang dan jabrik
mencuat ke atas. Ada keanehan pada kakek ini,
meski dia terlihat tegak berdiri, namun sepasang
kakinya mengambang di udara. Jelas menanda-
kan jika manusia ini mempunyai tingkat peringan
tubuh yang benar-benar sempurna.
Dengan menindih rasa terkejut untuk be-
berapa jurus lamanya, Aji memperhatikan kakek
ini dengan seksama mulai dari atas hingga ba-
wah. Dahinya mengernyit seakan mengingat se-
suatu. Kepalanya lantas mendongak sedikit. Da-
lam hati dia berucap.
"Hmm.... Jika tak salah manusia ini adalah
orang yang bergelar Manusia Titisan Dewa. Tokoh
rimba persilatan yang sekarang menjadi guru Sakawuni. Aku harus berhati-hati, pada waktu ber-
temu dulu, jika tak diselamatkan Setan Arak,
mungkin aku sudah jadi mayat di tangannya...."
Di sebelah kanan kakek bercaping kulit hi-
tam yang bukan lain memang Manusia Titisan
Dewa seorang tokoh jajaran atas golongan hitam
yang kini menjadi guru Sakawuni, dan di sebe-
lahnya adalah seorang perempuan berparas can-
tik berusia kira-kira dua puluh lima tahun. Men-
genakan pakaian ketat warna gelap. Rambutnya
panjang bergerak dan berombak. Hidungnya
mancung ditingkah bibir yang bagus. Sepasang
matanya bulat dan berwarna kebiruan. Dadanya
kencang membusung dengan pinggul besar. Pada
pinggangnya yang ramping sebelah kanan terlihat
sebuah kipas lipat berwarna hitam legam. Semen-
tara pada pinggang sebelah kiri menyelip dua sen-
jata berupa tombak dan keris. Keduanya juga
berwarna hitam. Namun ada seberkas cahaya
berkilat-kilat pada dua senjata tersebut.
Untuk beberapa saat lamanya murid Wong
Agung pandangi perempuan cantik bermata biru
ini seakan ingin menikmati kecantikan parasnya.
Tiba-tiba dua bola mata Aji melotot besar. Ra-
hangnya mengatup rapat. Bukan karena terkesi-
ma oleh kecantikan perempuan bermata biru,
namun karena pandangannya menumbuk pada
tiga buah senjata yang menyelip di pinggang sang
perempuan.
"Ratu Pulau Merah!" gumam Aji seraya
memperhatikan tiga benda yang menyelip di pinggang sang perempuan. "Hm.... Kipas itu adalah
kipas yang berhasil dicurinya dari Karang Langit.
Dan keris serta tombak itu adalah senjata milik
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara. Hmm....
Tampaknya sebelum meninggalkan lereng Gu-
nung Kembar beberapa waktu yang lalu dia sem-
pat menggondol senjata itu.
Hmm.... Kebetulan sekali. Kali ini aku ha-
rus dapat merampas kembali kipas hitam itu! Ra-
tu Pulau Merah.... Mungkin dia mengira Arca De-
wi Bumi masih berada di tanganku, hingga ia tak
lelah-lelahnya mencariku.... Sayang, sebenarnya
dia adalah seorang perempuan yang menarik, jika
saja...," Aji tak meneruskan kata hatinya. Dia lan-
tas memandang ke sebelah kanan lagi. Kali ini
paras wajah murid Wong Agung terkejut bercam-
pur geram.
Di situ, tegak seorang pemuda. Namun se-
benarnya dia lebih pantas disebut perempuan.
Karena selain mengenakan pakaian milik perem-
puan, wajahnya juga elok. Kedua tangannya tam-
pak lemah gemulai, serta kuku jari-jarinya dicat
merah. Bibirnya yang bagus pun terlihat dipoles
merah menyala. Rambutnya yang panjang dike-
pang dua. Satu-satunya petunjuk jika dia seorang
laki-laki adalah jakun di lehernya.
"Hmm.... Manusia genit itu!" seru Aji dalam
hati. Sepasang matanya tiba-tiba membeliak me-
rah. Dagunya terangkat.
"Aku tahu sekarang. Laki-laki teman-
temannya ini membawa pergi dan menyembunyi
kannya! Keparat! Akan kuhajar dia sampai jadi
laki-laki sungguhan!"
Pendekar Mata Keranjang lantas berpaling
pada orang terakhir. Dia adalah seorang laki-laki
berusia setengah baya. Tubuhnya tegap dengan
rambut panjang sebahu. Jambang dan jenggotnya
lebat, demikian pula kumisnya. Wajahnya tak
memperlihatkan keramahan sama sekali. Malah
sambil berkacak pinggang dia tak memandang
pada Aji. Pandangannya pada jurusan lain den-
gan bibir mengulas seringai buruk. Ada sedikit
keanehan yang membuat laki-laki ini makin terli-
hat angker, yakni pada sekujur tubuhnya tampak
jarum-jarum hitam yang ditusukkan pada kulit
tubuhnya!
"Gila! Baru pertama kali ini aku melihat
orang yang menghiasi tubuhnya dengan tusukan
jarum-jarum hitam. Mungkin jarum-jarum hitam
itu menjadi senjata andalannya!" duga murid
Wong Agung ini seraya mengawasi dengan dada
berdebar keras. Malah tubuhnya sedikit tergun-
cang saat dia sadar bahwa dia sedang berhada-
pan dengan orang-orang yang kepandaiannya ti-
dak disangsikan lagi.
Seraya menindih berbagai perasaan, Aji
arahkan pandangannya pada laki-laki berbadan
perempuan, karena murid Wong Agung menduga
jika orang ini yang menyebabkan lenyapnya Ant-
ing Wulan, dia segera berkata dengan suara se-
tengah berteriak.
"Manusia genit! Ternyata kau membawa
teman. Tapi jangan kira aku takut! Lekas katakan
di mana gadis itu kau simpan! Kalau kau tak
mampu cari seorang gadis, aku bisa mencarikan
untukmu berapa kau perlukan!"
Yang ditegur keluarkan tawa panjang. Tan-
gan kanannya bergerak pulang balik dengan ge-
mulai. Setelah meliukkan bahu dan pinggulnya
serta mengerling mata kirinya, dia berkata. Sua-
ranya mirip suara seorang perempuan.
"Kau salah ucap, Pendekar 108! Aku berke-
liaran di sini tanpa sanak saudara tanpa teman.
Tuduhanmu itu juga salah alamat. Aku tak tahu
menahu tentang gadismu itu! Kau tahu, diband-
ing gadismu itu, aku lebih tertarik padamu....
Hik.... Hik.... Hik...! Bagaimana? Apa kau juga ter-
tarik padaku?!"
"Busyet! Menghadapi orang kelainan begini
repot!" pikir Aji dalam hati. Namun dia masih be-
lum percaya dengan ucapan orang berdandan pe-
rempuan ini.
"Kalau mereka bukan temanmu, kenapa
kalian bisa datang bersama-sama...? Dan kau tadi
sengaja mempermainkan aku, agar orang lain da-
pat membawa gadis itu. Betul bukan?!"
Laki-laki genit itu kembali keluarkan tawa
cekikikan. Sambil terus menggerak-gerakkan tan-
gannya dia berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau tampaknya
melupakan sesuatu. Di dunia ini ada waktu kebe-
tulan! Nah, kebetulan itulah yang saat ini ada di
depanmu!" sejenak dia menghentikan ucapannya,
lalu berpaling pada tiga orang di samping kanan
kirinya. Lantas melanjutkan.
"Aku juga tak berniat mempermainkanmu.
Aku bermain-main sendirian! Salahmu sendiri
kau tertarik dengan mainanku hingga melupakan
tugas menjaga gadismu! Salah-salah sendiri, ke-
napa menuduh orang lain?"
Murid Wong Agung ini kertakan rahang.
Dia sebenarnya sudah gatal untuk segera meng-
hajar laki-laki genit itu. Karena dia masih mendu-
ga jika laki-laki genit itu sengaja memancingnya
untuk menjauh dari tempat di mana Anting Wu-
lan mandi. Namun karena masih ada orang lain di
situ yang dia juga menduga bahwa kedatangan-
nya bukan tanpa maksud, maka untuk sementara
waktu Aji menunda keinginannya.
"Pendekar Mata Keranjang! Biar masalah
ini segera selesai, dengar kataku baik-baik! Se-
mua yang ada di depanmu memang datang sendi-
ri-sendiri! Dan semua punya tujuan sama. Mele-
pas selembar nyawamu!" kali ini yang keluarkan
ucapan adalah perempuan berparas cantik dan
bermata biru dan bukan lain memang Ratu Pulau
Merah.
"Bukan! Bukan itu!" tiba-tiba laki-laki mu-
da genit itu menyela. "Aku hanya ingin melihat
tampangnya! Dan apa yang dikatakan orang be-
nar adanya. Ia adalah seorang pemuda tampan,
bertubuh tegap dan...," dia tak meneruskan uca-
pannya karena Manusia Titisan Dewa telah angkat bicara.
"Setan Pesolek! Kau tidak beruntung hari
ini. Karena untuk terakhir kalinya kau melihat
tampang pemuda pujaanmu itu! Dan kalau kau
memang tidak setujuan, sebelum kupuntir lepas
kepalamu, lekas tinggalkan tempat ini!"
Laki-laki muda genit yang dipanggil dengan
Setan Pesolek memberengut. Dengan nada pasrah
akhirnya ia berucap.
"Ah, jika demikian, betul ucapanmu. Hari
ini aku belum beruntung. Daripada putus kepala
dan tak bisa melihat pemuda tampan lagi, lebih
baik aku pergi...."
Habis berkata begitu, dia balikan tubuh.
Dari balik pakaiannya ia mengeluarkan sebuah
batu berwarna putih mengkilat. Batu itu dide-
katkan ke wajahnya. Sejenak ia pandangi wajah-
nya dari pantulan batu. Tangan kanannya berge-
rak menyibak rambut di tengkuknya sambil me-
narik sedikit kepalanya ke belakang. Lalu tanpa
berpaling lagi dia melangkah meninggalkan tem-
pat itu dengan menggoyang-goyangkan pinggul-
nya ke kanan dan kiri. Tangannya pun bergerak-
gerak seakan melambai-lambai.
Sepuluh tombak dari tempatnya semula,
Setan Pesolek hentikan langkah. Lalu terdengar
dia bergumam sendiri.
"Orang berwajah tampan sekalipun sudah
tewas tentu masih juga tampan! Aku masih belum
puas memandangi tampangnya. Biarlah kutunggu
di sini saja. Biar nanti sudah tewas tak apa, dari-
pada memandang lainnya, sudah buruk rupa masih garang dan beringas!" dia lantas balikkan tu-
buh dan duduk di atas sebuah batu sambil sese-
kali berkaca pada batu putihnya.
"Jahanam sialan! Dia menyindirku!" desis
Manusia Titisan Dewa. "Tunggulah! Akan kubikin
bungkam mulut busukmu!"
Bola mata Manusia Titisan Dewa liar nya-
lang, wajahnya yang hanya tampak tulang-tulang
itu bergerak-gerak. Tiba-tiba dia berpaling pada
Pendekar Mata keranjang. Tangannya mengepal
dan diluruskan tepat ke arah murid Wong Agung.
"Beberapa waktu yang lalu kau lolos dari
tangan mautku karena ditolong si keparat manu-
sia arak itu. Sekarang nyawamu tidak akan terto-
long lagi!"
Pendekar 108 yang diam-diam juga merasa
khawatir dengan keselamatannya tengkuknya
merinding. Sewaktu bertemu beberapa waktu
yang lalu, dia memang diselamatkan oleh Setan
Arak dari tangan maut manusia bergelar Manusia
Titisan Dewa. Kalau memang sekarang berhada-
pan sendiri dengan Manusia Titisan Dewa yang
masih dibantu dengan teman-temannya, bagai-
mana mungkin hatinya tidak berdebar. Namun
ketika menyadari jika tugas seorang pendekar
adalah membasmi keangkaramurkaan meski
nyawa sebagai taruhannya, maka perasaan kecut
di hatinya menjadi lenyap. Sebaliknya semangat
dan keberaniannya berkobar. Dengan balas me-
mandang pada Manusia Titisan Dewa, Aji berkata
lantang.
"Tertolong atau tidak, bukan urusanmu!
Katakan apa maksudmu sebenarnya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak-
gelak. Hingga sosoknya turun naik. Menjejak ta-
nah dan mengambang.
"Seperti yang diucapkan Ratu Pulau Merah,
aku juga menginginkan satu-satunya nyawamu!
Kau boleh melarikan muridku, dan nyawamulah
yang harus jadi imbalannya!"
"Hmm.... Begitu? Tunggulah sebentar, biar
aku tanya dulu pada teman satu ini!" kata Aji
acuh tak acuh lalu menghadap pada laki-laki
yang sekujur tubuhnya dihiasi dengan tusukan-
tusukan jarum hitam.
"Hai.... Apa kau juga menginginkan satu-
satunya nyawaku?" tanya Aji dengan usap-usap
hidungnya. Wajahnya tidak menunjukkan air
muka takut. Malah dia tersenyam-senyum.
Laki-laki yang tubuhnya ditancapi jarum-
jarum hitam itu keluarkan dengusan keras. Bi-
birnya memperlihatkan seringai buruk. Masih
dengan kacak pinggang dan tanpa memandang
dia berkata.
"Karena pekerjaanmu seorang tokoh rimba
persilatan bergelar Gentapati tubuhnya terkoyak-
koyak tewas. Dengar! Gentapati adalah kakak
kandungku! Aku, Jarum Neraka menuntut satu-
satunya nyawamu!"
Di seberang sana, Setan Pesolek tiba-tiba
tertawa melengking.
"Kalian semua menginginkan satu-satunya
nyawanya! Bagaimana kalau aku menginginkan
satu-satunya benda yang menggandul-gandul mi-
liknya? Kalian setuju? Hik.... Hik.... Hik...! Kalian
semua orang-orang bodoh. Ada saja benda yang
lebih mendatangkan nikmat, kenapa kalian pilih
nyawa...?! Jika kalian masih hendak memaksanya
masuk kubur, tolong benda pesananku jangan
diusik-usik! Lumayan buat mainan.... Hik....
Hik.... Hik...!"
"Orang edan!" maki Aji dalam hati. "Tapi
dia sepertinya tidak berniat buruk padaku. Dan...
Kata-katanya tadi jadi kenyataan. Ada orang
mengincar diriku! Hmm.... Setan Pesolek. Siapa
dia sebenarnya? Dia seakan tahu apa yang akan
terjadi...."
Sementara itu, mendengar kata-kata Setan
Pesolek baik Manusia Titisan Dewa, Ratu Pulau
Merah serta si Jarum Neraka beliakan mata mas-
ing-masing. Malah paras Ratu Pulau Merah terli-
hat bersemu merah.
Tiba-tiba Manusia Titisan Dewa berpaling
pada si Jarum Neraka.
"Jarum Neraka! Biar suasana tenang, ku-
harap kau suka sedikit berolahraga untuk mem-
bungkam mulut manusia banci itu! Dia biar aku
yang mengurusnya!" sambil berkata, Manusia Ti-
tisan Dewa angkat bahunya menunjuk pada Pen-
dekar 108.
Si Jarum Neraka keluarkan tawa pelan,
nadanya jelas meremehkan. Sesaat kemudian dia
berpaling pada Manusia Titisan Dewa. Parasnya
sedikit merah dengan pandangan tak senang,
mendengar dirinya diperintah orang.
Mungkin menyadari atau mungkin tak mau
membuat masalah dahulu sebelum keinginannya
mencabut nyawa Pendekar 108 terlaksana, Ma-
nusia Titisan Dewa segera menyusuli ucapannya.
"Sobatku Jarum Neraka.... Ucapanku tadi
hanya sebuah usul. Jika kau merasa keberatan,
usulku bisa ditarik kembali. Namun apakah kau
tidak merasa terhina dikatakan orang bodoh?
Apalagi ucapan itu keluar dari mulut pemuda
yang masih bau kencur!"
Rupanya si Jarum Neraka termakan uca-
pan Manusia Titisan Dewa. Meski wajahnya ma-
sih menunjukkan rasa tak senang, namun akhir-
nya dia berkata.
"Hm.... Baiklah. Aku akan menggerakkan
otot-ototku sebentar. Tapi ingat! Sisaku sedikit
nyawanya untukku!" seraya berkata matanya me-
lirik pada Pendekar 108.
"Jangan kuatir. Saat dia meregang nyawa,
itulah bagianmu!"
Si Jarum Neraka memandang liar sejenak
ke arah dada Ratu Pulau Merah. Bibirnya sung-
gingkan senyum. Lalu balikan tubuh dan melang-
kah ke arah Setan Pesolek yang tampak berkaca
pada batu putihnya dan sebentar-sebentar mera-
pikan rambut di tengkuknya sambil menarik ke-
palanya sedikit ke belakang.
Begitu si Jarum Neraka telah mulai me-
langkah, Manusia Titisan Dewa menatap garang
pada Pendekar Mata Keranjang. Dan tanpa berka-
ta lagi sepasang kakinya menjejak tanah. Tubuh-
nya melesat ke depan sambil kirimkan pukulan!
LIMA
KE mana dan apa sebenarnya yang telah
terjadi atas Anting Wulan, hingga ketika Pendekar
Mata Keranjang kembali ke tempatnya mandi dia
tak ada? Tidak lama setelah Aji melangkah men-
jauh karena Anting Wulan sengaja melepas ba-
junya, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan
dan langsung mengendap-endap di balik batu se-
puluh langkah di samping pancuran.
Sebenarnya Anting Wulan alias Dewi Teng-
korak Hitam tahu jika ada orang di tempat tak
jauh darinya. Namun karena menduga orang itu
adalah Pendekar 108, dia malah bersenandung
kecil sambil perlahan-lahan melepas pakaiannya.
Dia berharap, Aji akan tergoda dan segera me-
nyusulnya untuk mandi bersama. Begitu kancing-
kancing pakaiannya telah terbuka dan pung-
gungnya mulai tak tertutup lagi, seakan tak dis-
engaja dia miringkan tubuhnya. Buah dadanya
yang kencang membusung terpentang tidak tertu-
tup. Seraya merunduk mengayuhkan tangan pada
air pancuran, sepasang matanya melirik ke atas.
Sejenak dia menunggu. Dan ketika ditunggu agak
lama, Aji tak juga menampakkan diri, dia tampak
kehilangan kesabaran. Tanpa berusaha menutup
buah dadanya dia berkata pelan.
"Aji.... Aku tahu kau ada di situ! Keluarlah.
Bukankah tadi telah kutawarkan untuk mandi
bersama? Kenapa kau malu-malu? Di sini tak ada
orang lain selain kita berdua. Cepat keluarlah...,"
kata-kata terakhirnya dibuat seakan memohon.
Dua orang di balik batu sejenak saling ber-
pandangan. Namun jelas sekali jika dada kedua-
nya bergetar. Sementara bibirnya sama-sama
sunggingkan senyum. Orang sebelah kanan
memberi isyarat dengan anggukan kepala. Namun
yang satunya menggeleng pelan sambil telunjuk-
nya diarahkan ke atas. Seolah mengerti isyarat
temannya, orang yang tadi mengangguk manggut-
manggut. Kedua orang ini lantas diam seolah me-
nunggu.
Di bawahnya, Dewi Tengkorak Hitam lu-
ruskan tubuhnya. Kini tubuhnya dihadapkan ke
arah batu, di mana dia menduga Aji berada di si-
tu. Dengan bibir menyungging senyum dia kem-
bali berkata,
"Aji.... Kalau kau tidak mau keluar dari
tempat persembunyianmu, aku akan naik ke si-
tu!" lalu terdengar suara tawanya.
Orang di balik batu anggukan kepala. Yang
satunya kali ini membalas dengan anggukan ke-
pala pula. Keduanya serentak memandang ke
atas. Dan merasa keadaan aman, kedua orang ini
langsung berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri
dua langkah di balik batu. Namun begitu tahu
bahwa yang berkelebat dua bayangan, gadis ini
segera menangkap gelagat tidak enak. Dia cepat
takupkan kembali pakaiannya dan menutup buah
dadanya yang terpentang. Dan firasatnya tidak
meleset begitu dia berpaling dan mendapatkan
orang yang muncul bukanlah orang yang diha-
rapkan.
"Jahanam! Siapa kalian!" teriak Dewi Teng-
korak Hitam sambil mengancingkan pakaiannya.
Dua orang yang ditegur tidak menjawab.
Malah keduanya segera gerakan tangan masing-
masing menotok tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
Lalu sama-sama tersenyum.
Di lain pihak, Dewi Tengkorak Hitam terpe-
rangah kaget. Tubuhnya mendadak tegang kaku
tak bisa digerakkan. Gadis ini tak kehabisan akal.
Dia buka mulutnya seolah hendak berteriak. Na-
mun kembali dia dibuat terkejut, meski mulutnya
terbuka lebar-lebar, namun tiada suara yang ter-
dengar! Dewi Tengkorak Hitam sadar jika dirinya
telah tertotok. Bukan saja pada tubuhnya tapi ju-
ga pada urat lehernya, hingga suaranya tersum-
bat.
Untuk beberapa saat lamanya Dewi Teng-
korak Hitam hanya bisa pandangi dua orang di
sampingnya dengan pandangan marah. Orang di
sebelah kanannya adalah seorang laki-laki bertu-
buh besar tegap, mengenakan jubah besar tanpa
lengan warna hitam. Kepalanya gundul plontos.
Sepasang matanya sipit dengan kumis lebat. Ke-
dua telinganya mengenakan anting-anting ber-
warna hitam.
Sementara orang di sebelah kiri adalah ju-
ga seorang laki-laki bertubuh besar dan tegap.
Kepalanya juga plontos. Yang membedakan di an-
tara kedua laki-laki ini adalah warna jubah yang
dikenakan. Orang kedua ini mengenakan jubah
besar tanpa lengan berwarna merah. Anting-
anting yang di telinganya juga berwarna merah.
"Bagaimana sekarang? Apa kita selesaikan
juga si laki-lakinya?!" kata orang yang berjubah
hitam. Meski berkata, namun sepasang matanya
yang sipit tidak tertuju pada orang yang diajak bi-
cara, melainkan pada buah dada Dewi Tengkorak
Hitam yang sebagian menyembul dan terlihat tu-
run naik menuruti gerakan dadanya yang gemetar
kencang karena marah.
"Tak ada gunanya kita buang-buang waktu
dan tenaga untuk membereskan dia. Kau lihat ta-
di, beberapa orang berkelebat ke arah sini. Kudu-
ga mereka juga bertujuan menghabisi pemuda
itu. Jadi biarlah mereka saja yang melakukannya!
Lebih baik kita senang-senang sambil menikmati
indahnya bulan purnama!" orang yang berjubah
merah menjawab. Tangannya bergerak mencolek
dagu Dewi Tengkorak Hitam, lalu turun ke da-
danya.
Dewi Tengkorak Hitam hanya bisa pelo-
totkan sepasang matanya dan menyumpah habis-
habisan dalam hati.
"Kenapa kau yakin orang-orang yang me-
nuju ke arah sini bakal mampu mengatasi pemu-
da itu? Jangan-jangan sebaliknya! Jika itu terjadi,
rencana kita berarti tertunda!" orang berjubah hi-
tam kembali keluarkan suara.
Yang berjubah merah tertawa pendek. Lalu
gelengkan kepalanya.
"Kau tak usah cemas. Aku dapat mengenali
dua orang di antara mereka. Jika kau berani me-
mastikan demikian, karena dua orang yang ku-
kenal itu bukanlah orang sembarangan!"
"Siapa mereka?!"
"Seorang tokoh rimba persilatan bergelar
Manusia Titisan Dewa. Sedang satunya lagi seo-
rang perempuan muda berparas cantik bertubuh
sintal bergetar Ratu Pulau Merah. Orang ketiga
memang tidak kukenal, namun melihat gerakan-
nya dia juga seorang berilmu tinggi!"
Orang yang berjubah hitam manggut-
manggut Lalu berkata.
"Jika demikian adanya, seperti katamu, se-
baiknya kita bersenang-senang menikmati indah-
nya tubuh di bawah siraman cahaya purnama.
Ha.... Ha.... Ha...!"
Tiba-tiba dia hentikan tawanya. Keningnya
mengernyit seolah mengingat sesuatu.
"Bagaimana dengan pemuda banci itu?" dia
keluarkan suara lagi.
"Untuk apa kita urus pemuda banci ini?
Kau tertarik padanya?!" orang berjubah merah
balik bertanya. Namun jelas jika nada suaranya
mengejek.
Yang diejek tidak tampak marah. Malah
tertawa perlahan dan berkata.
"Kalau ada gadis mulus dan bertubuh de-
nok-denok begini, tiga puluh orang banci pun
akan tidak tertarik!"
Sesaat orang yang berjubah merah tenga-
dahkan kepala dan kepalanya berputar. Telin-
ganya terlihat bergerak-gerak, pertanda dia ke-
rahkan tenaga dalam pada telinganya untuk
mengetahui suara yang jauh.
"Hmm.... Pemuda itu sedang perang mulut
dengan si Banci. Kita segera tinggalkan tempat
ini! Ketiga orang itu juga tampaknya sudah de-
kat!"
Habis berkata begitu, orang berjubah me-
rah ini bergerak cepat. Tahu-tahu tubuh bagian
atas Dewi Tengkorak Hitam telah ada di pundak-
nya. Seakan tahu apa yang harus dilakukan, tan-
pa bicara lagi orang berjubah hitam segera pula
bergerak cepat. Dan tahu-tahu tubuh bagian ba-
wah Dewi Tengkorak Hitam telah berada pula di
pundaknya.
"Jahanam! Siapa sebenarnya manusia-
manusia berkepala botak ini? Dan apa maksud
mereka sebenarnya? Hmm.... Pendekar Mata Ke-
ranjang pasti akan menghadapi kesulitan.
Sayang, aku dalam keadaan tidak berdaya...," ba-
tin Dewi Tengkorak Hitam. Mula-mula dia mera-
sakan tubuhnya bergerak pelan, namun sekejap
kemudian dia laksana terbang!
ENAM
SEPERTI diketahui, sebenarnya Manusia
Titisan Dewa sudah berpuluh tahun tidak lagi
pernah berkecimpung dalam kancah belantara
rimba persilatan. Hingga namanya yang dulu per-
nah membuat orang kecut sedikit demi sedikit
mulai dilupakan orang. Bahkan sebagian orang
telah menduga jika tokoh dari jajaran atas golon-
gan sesat tersebut sudah meninggal.
Namun apa yang diduga orang selama ini
tentang Manusia Titisan Dewa jauh meleset. Keti-
dakmunculannya selama ini ternyata telah digu-
nakan tokoh ini untuk memperdalam ilmu, dan
ketika dirasa saatnya tiba, dia pun unjuk diri
kembali. Sejak muda, tokoh ini sebenarnya telah
punya cita-cita untuk merajai kancah rimba per-
silatan. Dan demi untuk mewujudkan cita-citanya
itu, tak tanggung-tanggung dia turunkan maut
kepada siapa saja. Baik pada orang-orang golon-
gan hitam maupun pada orang golongan putih.
Hingga saat itu dirinya menjadi momok dari dua
golongan. Namun perbuatannya itu mendadak dia
hentikan. Ini terjadi karena sewaktu gurunya
hendak meninggal, sang guru mengatakan bahwa
kalau dia benar-benar ingin merajai rimba persi-
latan dan diakui sebagai orang unggul tanpa
tanding, maka tunggulah saat munculnya senjata
ciptaan Empu Jaladara berupa kipas. Karena jika
hal itu telah muncul, itulah pertanda awal akan
tampilnya tokoh-tokoh rimba persilatan yang be-
nar-benar memiliki kesaktian. Dan sejak menden-
gar ucapan gurunya itulah Manusia Titisan Dewa
tidak lagi muncul di arena persilatan.
Ketika telah didengarnya muncul seorang
pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
yang bersenjatakan kipas, maka dia pikir sudah
saatnya dia harus keluar dari persembunyiannya.
Mungkin merasa butuh bantuan tangan orang
lain dalam menggapai cita-citanya, maka dia pun
mengangkat Sakawuni sebagai murid, ini pun se-
telah menyelidik dan mendapat kabar jika gadis
itu punya masalah dengan pemuda bergelar Pen-
dekar Mata Keranjang, dan setelah Sakawuni be-
rani angkat sumpah darah jika dia akan membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang serta akan mela-
kukan segala perintahnya.
Namun akhir-akhir ini dia merasa cemas,
karena Sakawuni yang diperintah untuk membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang tidak ada kabar
beritanya. Bahkan kabar yang sampai padanya,
sang murid dibawa seseorang. Menduga bahwa
Pendekar Mata Keranjanglah yang membawa mu-
ridnya, ditambah dengan memang telah lama in-
gin membunuh Pendekar Mata Keranjang sekali-
gus merampas senjatanya, maka ketika dia dapat
menemukan murid Wong Agung ini, Manusia Titi-
san Dewa segera lancarkan serangan. Tak tang-
gung-tanggung, serangan pembukanya langsung
diarahkan pada titik kematian. Yakni kepala dan
ulu hati! Jelas jika Manusia Titisan Dewa ingin
segera menyelesaikan persoalan.
Sementara itu mendapat serangan pembu-
ka yang begitu ganas, Pendekar Mata Keranjang
tidak mau bertindak ayal, apalagi dia menyadari
jika lawan yang dihadapi kali ini adalah tokoh
yang berilmu sangat tinggi. Hingga tatkala kedua
tangan Manusia Titisan Dewa berkelebat me-
nyambar ke arah kepala dan ulu hatinya, murid
Wong Agung ini cepat angkat kedua tangannya.
Prakkk!
Kedua tangan Manusia Titisan Dewa bera-
du dengan kedua tangan Pendekar 108. Terden-
gar suara benturan keras. Manusia Titisan Dewa
keluarkan dengusan keras sambil melempar
mundur. Sepasang matanya makin membeliak
angker. Mulutnya komat-kamit menggumam tak
jelas. Meski bentrokan tadi tidak mengakibatkan
cidera, namun dia makin yakin jika pemuda di
hadapannya tidak bisa disepelekan.
Di seberang, begitu terjadi bentrok puku-
lan, Pendekar Mata Keranjang tersentak kaget,
dan terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Se-
pasang matanya segera meneliti. Dia makin ter-
sentak, karena kedua tangannya tampak merah
dan panas!
Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Ma-
nusia Titisan Dewa telah membentak garang. Ke-
dua tangannya ditarik sedikit ke belakang dan
serta-merta dihantamkan sekaligus ke depan.
Wuuut! Wuuutt!
Tiada suara yang terdengar, juga tidak ada
sambaran angin. Namun kejap itu juga udara be-
rubah panas menyengat, lalu dingin mencekam.
Tiba-tiba selarik sinar pelangi melesat cepat. In-
ilah pukulan sakti 'Menggiring Pelangi Menebar
Hawa', pukulan andalan Manusia Titisan Dewa.
Pendekar 103 cepat melompat mundur.
Tenaga dalamnya segera dialirkan pada kedua te-
lapak tangannya. Telapak tangannya sesaat ke-
mudian berubah menjadi biru berkilau. Dan sam-
bil melompat setengah tombak ke udara, kedua
tangannya dihantamkan.
Weeett! Weeettt!
Sinar biru melesat menyongsong datangnya
sinar pelangi. Kedua sinar itu bentrok, namun ti-
dak timbul suara. Justru kedua sinar tersebut
melambung tinggi ke udara. Namun hanya sesaat,
sekejap kemudian terdengar ledakan keras. Pa-
dang ilalang itu bergetar hebat. Malah sebagian
terlihat laksana hangus terbakar! Karena begitu
terdengar ledakan, bunga-bunga api bermuncra-
tan kian kemari. Asap hitam pun mengepul me-
nutupi pemandangan.
Saat asap hitam sirap, Manusia Titisan
Dewa tampak jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar
dengan kepala menggeleng-geleng. Caping di ke-
palanya mencelat entah ke mana. Merasa tidak
terluka dalam, orang tua ini segera bergerak
bangkit.
Lima belas langkah di seberang, Pendekar
Mata Keranjang 108 tampak jatuh berlutut. Tu-
buhnya pun bergetar keras. Malah ketika murid
Wong Agung ini angkat kepalanya, darah segar
meleleh dari sudut bibirnya. Wajahnya pucat pasi.
Dan mungkin sadar jika lawannya hendak lan-
carkan serangan lagi, dia segera bangkit. Du-
gaannya tidak salah. Belum lagi tubuhnya tegak
berdiri, sinar pelangi telah menggebrak ke arah-
nya lagi!
Pendekar 108 katupkan rahang. Gebrakan
sinar pelangi yang dipancarkan Manusia Titisan
Dewa yang berdaya lesat luar biasa itu tidak
mungkin bisa disongsong dengan pukulan sakti
'Mutiara Biru'nya, apalagi jaraknya juga dekat.
Hingga satu-satunya jalan yang bisa dilakukan
adalah menghindar dengan berkelebat ke samp-
ing. Namun tak urung lesatan sinar pelangi itu
menyerempet pinggangnya!
Breeettt!
Pendekar 108 berseru tertahan. Tubuhnya
laksana dihantam ombak. Sosoknya mencelat
berputar lalu bergedebukan di atas tanah. Aji se-
gera memeriksa. Ternyata baju bagian pinggang-
nya telah robek besar. Daging di balik robekan
terlihat mengembung dan berwarna biru!
Melihat Pendekar 108 telah roboh untuk
kedua kalinya, dan tampak meringis menahan ra-
sa sakit, Ratu Pulau Merah yang tadi menyingkir
agak jauh segera melompat. Namun baru saja dia
akan lancarkan pukulan, Manusia Titisan Dewa
menegur.
"Tahan pukulanmu! Aku belum selesai
dengan pekerjaanku!"
Ratu Pulau Merah urungkan niat, tanpa
berpaling lagi dia mundur. Wajahnya yang cantik
nampak merah padam dan bibirnya sunggingkan
senyum seringai.
"Hmm.... Dia pasti akan lancarkan seran-
gan lagi.... Sialan betul! Pinggangku panas bukan
main. Darahku seakan tersumbat dan dadaku
berdenyut nyeri. Celaka kalau dia kirimkan se-
rangan lagi...," perlahan-lahan murid Wong Agung
ini sambar kipas ungunya dari balik pakaian. La-
lu sisa tenaga dalamnya dikerahkan. Namun baru
saja dia kerahkan tenaga dalam, Manusia Titisan
Dewa telah hantamkan kembali kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuuttt!
Murid Wong Agung ini terpekik keras. Tu-
buhnya terasa dilanda hempasan gelombang dah-
syat.
Bersamaan dengan itu sosoknya terpelant-
ing hingga beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh terkapar di atas tanah. Begitu derasnya hu-
jaman tubuhnya ke tanah, hingga tanah di mana
dia terkapar terlihat terbongkar! Darah hitam
mengucur dari mulut juga hidungnya. Tangan
keduanya bergetar keras, hingga tak lama kemu-
dian kipas ungu di tangan kanannya jatuh terle-
pas. Sesaat Aji tampak hendak bergerak bangkit,
namun setengah jalan tubuhnya terkapar kemba-
li.
Di depan, Manusia Titisan Dewa keluarkan
tawa mengekeh panjang. Lantas dengan mengam-
bang di udara dia melangkah mendekati Pendekar
108. Melihat hal ini, Ratu Pulau Merah segera
mendahului. Namun gerakannya tertahan tatkala
dari arah belakangnya terdengar deruan angin
dahsyat. Dia buru-buru melompat dan segera
berpaling.
Di sampingnya, Manusia Titisan Dewa
memandangnya dengan tatapan garang, lalu ke-
palanya tengadah memandangi bulan sambil ber-
kata lantang.
"Sudah kukatakan, biar kuselesaikan pe-
kerjaanku dahulu!"
Seraya menahan rasa marah, Ratu Pulau
Merah balas membentak.
"Kau serakah! Dia sudah hampir menemui
ajal. Beri kesempatan padaku untuk merasakan-
nya!"
"Jangan khawatir! Kau pasti masih keba-
gian. Aku cuma perlu sesuatu darinya. Setelah itu
terserah kau, silakan mau kau jadikan apa dia!"
Habis berkata begitu, Manusia Titisan De-
wa teruskan langkah.
Dua langkah di depan Pendekar Mata Ke-
ranjang, Manusia Titisan Dewa hentikan langkah.
Sesaat dia pandangi tubuh Aji yang sudah tam-
pak tak berdaya. Tawanya kembali terdengar. Dan
tanpa hentikan tawa, dia membungkuk dengan
tangan menjulur ke arah kipas yang tergeletak.
Pendekar 108 yang masih dapat melihat
gerakan Manusia Titisan Dewa berusaha hendak
sapukan kakinya, menahan gerak lawan yang
hendak mengambil kipasnya. Sementara Ratu Pulau Merah jadi tersentak kaget melihat Manusia
Titisan Dewa hendak mengambil kipas ungu yang
tergeletak. Dia pun segera berkelebat, dan kirim-
kan satu pukulan ke arah tangan Manusia Titisan
Dewa.
Selagi kaki Pendekar 108 baru bergerak
dan sambaran angin keluar dari kedua tangan
Ratu Pulau Merah, tiba-tiba terdengar siuran an-
gin kencang, lalu terlihat benda merah panjang
meliuk. Dengan gerakan aneh, mendadak ujung
benda merah yang ternyata sehelai benang meng-
gulung kipas yang tergeletak. Dan seperti disen-
tak orang, ujung selendang yang telah menggu-
lung kipas milik Pendekar 108 tertarik ke bela-
kang, lalu lenyap!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera tarik
pulang kakinya, sementara Manusia Titisan Dewa
terperangah. Saat itulah pukulan Ratu Pulau Me-
rah datang.
"Betina jahanam!" maki Manusia Titisan
Dewa seraya tarik tangannya dan serta-merta di-
hantamkan pada Ratu Pulau Merah.
Plarrr!
Terdengar letupan keras. Ratu Pulau Me-
rah tersentak kaget dan tersurut dua langkah ke
belakang.
Sementara Manusia Titisan Desa hanya
terguncang. Namun sial bagi murid Wong Agung.
Karena terjadinya bentrok pukulan ada di dekat-
nya sedang dia sudah tidak berdaya, maka tanpa
ampun lagi tubuhnya yang tak berdaya itu mencelat mental ke belakang!
Anehnya, walau tubuhnya terlihat deras
menghujam tanah, tak terdengar suara gedebu-
kan.
Menyadari jika ada orang ikut campur, ma-
lah telah berhasil menggondol kipas yang tadi ter-
geletak dan mungkin juga telah menyelamatkan
tubuh Pendekar 108 dari menghujam tanah, se-
saat Manusia Titisan Dewa lupakan tingkah Ratu
Pulau Merah yang hendak menyerangnya. Dia pu-
tar pandangannya dan berteriak lantang.
"Budak keparat! Perlihatkan dirimu! Kau
berani ikut campur masalah ini berarti berani cari
mati!"
Manusia Titisan Dewa tidak menunggu la-
ma. Sesaat kemudian, dari padang ilalang terden-
gar suara tawa cekikikan. Lalu muncullah seso-
sok tubuh gemuk besar.
TUJUH
DIA adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Pada kedua ketiaknya terlihat dua bambu kecil
yang dibuat menopang tubuhnya karena ternyata
kedua kakinya buntung.
"Nah, apa kubilang. Jangan turut campur
urusan orang. Kalau sudah begini bagaimana?!"
katanya seolah menegur seseorang. Pandangan
kakek berkaki buntung ini tidak pada Manusia Ti-
tisan Dewa melainkan ke jurusan lain.
"Hik.... Hik.... Hik...!" Lalu terdengar suara
tawa seorang perempuan menyahuti ucapan si
kakek. "Aku mengaku salah! Biar urusannya ti-
dak jadi panjang lebar, kau saja yang minta maaf
pada Manusia Titisan Dewa. Aku menunggu saja
di sini! Hik.,.. Hik.... Hik...!"
"Bagaimana bisa begitu? Kau yang berbuat
kenapa aku yang harus minta maaf? Kau saja
yang keluar dan minta maaf. Aku yang menunggu
di sini!" terdengar si kakek gemuk berkata kemba-
li. Pandangannya tetap ke jurusan lain.
"Hik.... Hik.... Hik...! Sudah kubilang, kau
saja yang minta maaf. Aku sungkan, apalagi ada
perempuan cantiknya! Jangan-jangan dia nanti
marah, karena kalah cantik denganku! Hik....
Hik.... Hik...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara ta-
wa cekikikan, menderu angin kencang ke arah
bambu penopang tubuh si kakek, hingga mau tak
mau sang kakek terdorong ke depan.
"Sialan!" maki sang kakek, lalu teruskan
melangkah ke depan, ke arah Manusia Titisan
Dewa dan Ratu Pulau Merah. Ketukan bambunya
terdengar berdebam.
Baik Manusia Titisan Dewa maupun Ratu
Pulau Merah sama-sama terkesiap. Malah seren-
tak Ratu Pulau Merah surutkan langkah dua tin-
dak, sementara sepasang matanya yang biru
memperhatikan sang kakek dengan dahi menger-
nyit.
"Siapa orang tua ini? Tubuhnya demikian
besar, namun bambu penopang tubuhnya yang
kecil tidak patah, malah menimbulkan suara yang
memekakkan telinga! Hmm.... Siapa pun dia yang
pasti dia bukan orang sembarangan! Dan melihat
senjata berupa selendang merah serta suara tawa
cekikikannya, orang yang masih sembunyi dapat
dipastikan siapa orangnya!"
Kalau Ratu Pulau Merah masih menduga-
duga siapa adanya si kakek, tidak demikian hal-
nya dengan Manusia Titisan Dewa.
"Hmm.... Ternyata Gongging Baladewa. Apa
urusannya manusia ini dengan pemuda itu? Yang
masih sembunyi aku belum bisa menduga siapa
adanya. Namun mendengar dia mengenaliku, bu-
kan mustahil aku juga mengenalnya, setidak-
tidaknya pernah bertemu...."
"Sobatku Manusia Titisan Dewa!" berkata
kakek buntung yang bukan lain memang Gongg-
ing Baladewa. "Maaf atas kelancangan temanku
yang ikut campur urusanmu. Dan kuharap masa-
lahnya dicukupkan sampai di sini saja!"
"Gongging Baladewa. Di antara kita tak ada
silang masalah. Namun rupanya temanmu mem-
buat persoalan. Kalau dia tak ingin buat persoa-
lan lebih panjang, suruh temanmu itu keluar dan
minta maaf padaku, lalu tinggalkan pemuda itu!"
Mendengar Manusia Titisan Dewa menye-
but nama sang kakek, Ratu Pulau Merah terkejut.
Dia memperhatikan lebih seksama lagi.
"Gongging Baladewa.... Hm.... Nama itu
memang tak asing lagi dalam rimba persilatan.
Tapi apa hubungannya tokoh ini dengan Pende-
kar 108? Aku yakin, semua perkataannya dengan
orang yang bersembunyi itu hanyalah sandiwara.
Sialan betul pemuda itu! Apa yang membuatnya
banyak tokoh selalu melindungi nyawanya?!"
Sementara itu, mendengar ucapan Manu-
sia Titisan Dewa, dari balik ilalang terdengar sua-
ra cekikikan. Lalu terdengar suara.
"Manusia Titisan Dewa. Pemuda ini milik
siapa saja. Kau jangan terlalu mengangkangi mi-
lik orang banyak! Siapa saja yang mau bisa saja
membawanya pergi! Kalau boleh tahu, kenapa
kau bernafsu sekali dengan pemuda memuakkan
ini?!"
Manusia Titisan Dewa melenguh. Rahang-
nya bergerak terangkat. Kedua tangannya berge-
meretakan mengepal. Dia tetap mendongak dan
tak mengeluarkan suara jawaban atas pertanyaan
orang di balik ilalang.
"Hik.... Hik.... Hik...! Kau tak mau jawab
pertanyaan orang. Ini membuatku curiga. Kau
adalah seorang laki-laki, dan pemuda ini juga la-
ki-laki. Jangan-jangan kau termasuk jenis manu-
sia laki-laki yang menyukai...," suara itu terhenti,
karena bersamaan dengan itu Manusia Titisan
Dewa telah melompat dan pukulkan kedua tan-
gannya ke arah sumber suara.
Wuuutt!
Padang ilalang hingga delapan tombak ter-
papas rata dan berhamburan ke udara. Manusia
Titisan Dewa menunggu sebentar dan dia yakin
tak berapa lama lagi akan terdengar suara orang
terpekik lalu keluar dari balik ilalang. Namun ha-
rapannya tak terjadi. Tidak ada suara orang yang
terpekik, juga tak ada sosok yang muncul! Justru
sesaat kemudian yang terdengar adalah suara ta-
wa cekikikan!
"Jahanam! Kalau orang ini tak mempunyai
gerakan yang luar biasa, tidak mungkin dia bisa
selamat dari pukulanku tadi! Budak keparat! Sia-
pa dia sebenarnya bangsat ini?" batin Manusia Ti-
tisan Dewa lalu berpaling ke arah sumber suara
tawa. Namun baru saja tangannya hendak berge-
rak menghantam, suara tawa cekikikan itu lenyap
dan berpindah. Kembali Manusia Titisan Dewa
berpaling. Bersamaan dengan bergeraknya kepala
Manusia Titisan Dewa, suara tawa cekikikan le-
nyap dan berpindah tempat lagi.
"Haram jadah! Kenapa aku tolol! Orang ini
ada di satu tempat. Hanya ia bisa memindahkan
suara. Hmm.... Sialan!" maki Manusia Titisan
Dewa dalam hati, lalu berpaling pada Gongging
Baladewa yang tetap tegak di tempatnya semula
dengan memandang ke langit.
"Gongging Baladewa! Aku tak punya waktu
banyak hanya untuk main-main! Lekas panggil
temanmu itu. Jika tidak...."
"Baiklah...," sahut Gongging Baladewa. La-
lu kepalanya menoleh ke kanan. Manusia Titisan
Dewa dan Ratu Pulau Merah ikut-ikutan menoleh
ke arah kanan. Mereka berdua menduga orang
yang masih sembunyi akan muncul dari arah itu.
Namun kedua orang ini kecewa, karena tidak ada
seorang pun yang muncul. Gongging Baladewa la-
lu berpaling ke arah kiri. Dan mungkin masih
menduga jika orang yang sembunyi akan muncul
dari arah mana kepala Gongging Baladewa men-
garah, kedua orang ini ikut-ikutan berpaling ke
arah kiri. Namun lagi-lagi keduanya tidak mene-
mukan kemunculan seseorang. Hal ini bukan saja
membuat Manusia Titisan Dewa geram namun
juga hilang kesabaran. Hingga saat itu juga dia
keluarkan bentakan garang.
"Jika kau ikut-ikutan mempermainkan
aku, jangan menyesal jika kedua tanganmu kupu-
tuskan sekalian!"
"Heran. Siapa mempermainkanmu. Aku ge-
rakan kepalaku karena otot-otot kepalaku terasa
kaku. Kenapa kau mengikuti? Ha.... Ha.... Ha...!"
"Diam! Tutup mulutmu!" bentak Manusia
Titisan Dewa. Namun yang dibentak bukannya
diam, melainkan keraskan tawanya.
Manusia Titisan Dewa habis kesabarannya.
Diam-diam dia kerahkan tenaga dan kedua tan-
gannya bergerak hendak dipukulkan pada Gongg-
ing Baladewa yang berada di tangannya. Karena
saat itu Gongging Baladewa berada membelakan-
gi, maka kakek ini tak tahu apa yang hendak di-
perbuat Manusia Titisan Dewa.
Dari balik ilalang satu sosok gemuk besar
yang sejak tadi mendekam seraya mengurut-urut
dada seseorang pemuda diam-diam merasa kha-
watir. "Keparat! Manusia curang. Dia hendak
memukul orang dari belakang!" Lalu sosok gemuk
besar ini bergerak bangkit dan memandang tajam
dengan mata disipitkan ke arah Manusia Titisan
Dewa. Lalu meledak suara tawa cekikikannya.
Baik Manusia Titisan Dewa maupun Ratu
Pulau Merah cepat berpaling.
Sesosok perempuan bertubuh gemuk besar
mengenakan pakaian warna merah terlihat me-
langkah ke arah Ratu Pulau Merah. Rambutnya
yang putih disanggul ke atas, sementara bibirnya
dipoles warna merah mencolok. Mengenakan ant-
ing-anting sebelah. Anting-anting itu besar dan
dimuati beberapa anting-anting kecil. Anehnya,
meski dia tertawa cekikikan dan anting-anting itu
saling beradu sama lain, tak terdengar suara ber-
denting!
"Manusia jahanam ini! Dugaanku tidak me-
leset!" kata hati Ratu Pulau Merah begitu menge-
tahui siapa adanya perempuan yang kini melang-
kah ke arahnya.
"Hm.... Benar apa kata mendiang guru....
Munculnya senjata ciptaan Empu Jaladara ada-
lah awal dari akan tampilnya beberapa tokoh sak-
ti. Siapa pun adanya perempuan ini, yang pasti
dia berilmu tinggi! Anehnya juga, dia mengetahui
aku, tapi aku rasa-rasanya tak pernah bertemu
dengannya!"
Beberapa saat lamanya Manusia Titisan
Dewa memperhatikan. Setelah agak dekat dia bu-
ka mulut hendak membentak, namun sebelum
suaranya terdengar, Ratu Pulau Merah telah
mendahului berkata.
"Kau!" desis Ratu Pulau Merah sambil lu-
ruskan telunjuk ke arah muka perempuan ge-
muk. "Beberapa waktu yang lalu kau berani cam-
pur urusanku. Kali ini lagi-lagi kau turut campur.
Apa kau kira aku tak bisa membunuhmu, meski
kau bernama besar, Dewi Kayangan?!"
Perempuan bertubuh gemuk besar dan bu-
kan lain memang Dewi Kayangan sejenak mena-
tap wajah cantik Ratu Pulau Merah. Mulutnya
komat-kamit seakan hendak berkata. Namun tak
lama kemudian yang terdengar adalah suara ce-
kikikannya.
Di lain pihak, begitu Ratu Pulau Merah se-
butkan nama perempuan gemuk, Manusia Titisan
Dewa terperangah kaget.
"Keparat! Kukira manusia bergelar Dewi
Kayangan itu orangnya cantik bertubuh sintal,
tak tahunya seperti kerbau bunting!" batinnya la-
lu menahan senyum sendiri. Tapi tiba-tiba wa-
jahnya berubah. Dia teringat perempuan ini yang
baru saja mempermainkannya. Dengan menye-
ringai dan mata berkilat merah, dia melangkah
mendekati Dewi Kayangan.
Mendadak Ratu Pulau Merah berpaling dan
berkata.
"Manusia Titisan Dewa! Biar perempuan
bunting ini kuurus! Kau selidiki di mana pemuda
keparat tadi disembunyikan.'"
Manusia Titisan Dewa kertakan rahang
mendengar ucapan Ratu Pulau Merah, namun setelah sejenak berpikir dia memutuskan menuruti
kata-kata Ratu Pulau Merah.
"Sebenarnya aku masih ingin memberi ha-
jaran pada kerbau bunting itu, namun sebaiknya
aku mengetahui dulu di mana pemuda keparat
itu disembunyikan. Setelah kipasnya dapat ku-
rampas dan nyawanya kulepas, baru kerbau
bunting itu akan kuhajar!" Manusia Titisan Dewa
balikan tubuh dan melangkah hendak mencari di
mana Pendekar Mata Keranjang berada.
Dewi Kayangan terlihat berubah wajahnya
demi melihat Manusia Titisan Dewa melangkah
mencari-cari. Dia sejurus menatap pada Gongging
Baladewa seakan hendak mengutarakan sesuatu.
Namun dia urungkan ketika melihat Gongging
Baladewa ikut-ikutan melangkah. Dan kecemasan
makin terlihat pada paras Dewi Kayangan saat
mengetahui Gongging Baladewa bukannya me-
langkah ke tempat beradanya Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, melainkan ke arah sebuah batu dan
duduk bersandar di sana.
"Sialan! Apa tua bangka itu tak khawatir
dengan keadaan pemuda itu?!" batin Dewi Kayan-
gan. Namun dia tak bisa berpikir lebih jauh kare-
na Ratu Pulau Merah telah keluarkan bentakan.
"Dewi jahanam! Sekali ini jangan mimpi
kau campur tangan urusanku, apa lagi membawa
pemuda itu! Sebaliknya hari ini adalah hari te-
rakhirmu!"
Dewi Kayangan tengadahkan kepalanya.
Suara tawa cekikikannya terdengar. Malah kali ini
ditingkahi suara gemerincing anting-antingnya.
"Ratu.... Kau bicara hari terakhir, jangan-
jangan itu pertanda buruk bagimu!"
"Kita lihat. Buruk bagiku atau buruk
buatmu!" sergah Ratu Pulau Merah. Tangan ki-
rinya segera menyambar tombak hitam di ping-
gangnya, sementara tangan kanan mencabut ki-
pas hitam di pinggang kanannya. Tombak hitam
itu memancarkan kilatan-kilatan aneh, sedang
begitu kipas terkembang, terdengar deru angin
menyambar.
"Senjata curian, apa hebatnya?!" ejek Dewi
Kayangan sambil melepas selendang merah yang
melilit pinggangnya.
"Hebatnya bisa memutus kepalamu!" ujar
Ratu Pulau Merah seraya meloncat. Tombak di
tangan kirinya diputar-putar, sementara kipas di
tangan kanannya dikebutkan.
Kejap itu juga tampak kilatan-kilatan ber-
putar-putar cepat, ditingkahi dengan mengham-
parnya sinar hitam yang mengembang memben-
tuk sebuah kipas dan mengeluarkan suara meng-
gemuruh dahsyat!
Dewi Kayangan terkesiap sejenak, tapi se-
saat kemudian terdengar derai tawa cekikikan-
nya. Tiba-tiba tangannya bergerak.
Wuuutt!
Selendang merah berkelebat angker. Me-
liuk-liuk dengan keluarkan suara mendesis-desis.
Plasss!
Sinar hitam yang membentuk kipas serta
merta ambyar sebelum menghantam sasaran. Ra-
tu Pulau Merah tersirap. Namun dia teruskan
lompatannya dan kini tombaknya menyambar de-
ras ke arah kepala Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan rebahkan dirinya ke bela-
kang hingga punggungnya sejajar dengan tanah.
Tangan kanannya yang memegang selendang se-
gera ditarik mengedut ke belakang.
Tombak hitam di tangan Ratu Pulau Merah
lewat sejengkal di atas kepala Dewi Kayangan.
Namun saat itu juga Ratu Pulau Merah sapukan
kakinya ke tubuh Dewi Kayangan yang telentang
di atas tanah!
Deesss!
Sosok gemuk Dewi Kayangan mencelat
mental ke atas sampai tiga tombak. Namun hal
ini membuat gerakan tangannya yang memegang
selendang ikut tertarik, dan kini meliuk deras ke
arah Ratu Pulau Merah yang baru saja menjejak
tanah.
Melihat bahaya mengancam, Ratu Pulau
Merah cepat balikkan tubuh dan angkat tangan-
nya. Kipas hitam segera dikebutkan untuk me-
mapak selendang merah. Namun perempuan can-
tik ini tertipu. Bersamaan dengan kebutan kipas-
nya, selendang merah meliuk ke bawah!
Ratu Pulau Merah tersentak kaget. Namun
dia tidak hilang akal, tangan kirinya yang masih
memegang tombak disabetkan ke bawah. Namun
gerakan tombaknya kalah cepat dengan liukan se-
lendang. Hingga tanpa ampun lagi ujung selendang itu menghantam kakinya, dan menggelung
erat.
Dewi Kayangan miringkan tubuh dan men-
gedut selendangnya.
Seettt!
Ratu Pulau Merah terpekik, tubuhnya ter-
huyung-huyung hendak jatuh. Perempuan berma-
ta biru ini cepat kerahkan tenaga menahan tubuh
yang kakinya sudah terjerat. Lalu kedua tangan-
nya segera diayunkan ke bawah.
Wuuutt! Weeerrr!
Kipas hitam serta tombak hitam berkelebat
angker ke bawah, hendak merobek selendang me-
rah. Namun saat itu juga Dewi Kayangan angkat
tangannya dan tarik selendang merahnya.
Wuuuttt!
Tubuh Ratu Pulau Merah membubung
tinggi ke udara. Dan belum sempat ia melakukan
gerakan untuk menahan tubuhnya, selendang
merah kembali melesat ke udara. Ratu Pulau Me-
rah hanya melihat kelebatan warna merah serta
suara mendesis. Dan tahu-tahu tubuhnya tegang,
dadanya sakit untuk bernapas. Melirik, dia ter-
lengak. Ternyata selendang merah Dewi Kayangan
telah menggelung tubuhnya!
Di bawah, Dewi Kayangan tertawa cekiki-
kan. Lalu secara tiba-tiba cekikikannya lenyap.
Tangan kanannya bergerak menarik sambil me-
mutar. Gerakannya ini membuat tubuh Ratu Pu-
lau Merah berputar kencang dan menukik deras
ke bawah.
Belum sampai tubuhnya menghajar tanah,
tiba-tiba Dewi Kayangan luruskan tangannya. Se-
lendang merah di tangannya mendadak kaku lak-
sana potongan bambu. Tubuh Ratu Pulau Merah
tertahan sebentar di udara. Hal ini tampaknya tak
disia-siakannya. Kedua tangan yang masih me-
megang senjata segera dikebutkan. Namun baru
saja tangannya bergerak, Dewi Kayangan lempar-
kan genggaman selendangnya.
Wuuutt!
Tubuh Ratu Pulau Merah yang masih ter-
gelung selendang kembali meluncur. Karena wak-
tu melepaskan selendang Dewi Kayangan pu-
satkan tenaga dalam pada tangannya, maka lun-
curan tubuh Ratu Pulau Merah begitu derasnya,
dan mengarah ke tempat Gongging Baladewa
yang duduk bersandar pada batu!
"Sialan! Seandainya aku masih muda, tak
ku sia-siakan kiriman antik ini. Namun sayang,
aku sudah tak bergairah dengan barang-barang
begini!" sambil berkata, Gongging Baladewa re-
bahkan tubuhnya ke samping hingga sejajar tan-
gan. Hingga tanpa ampun lagi tubuh Ratu Pulau
Merah menghantam deras batu yang dibuat san-
darannya!
Brakkk!
Batu yang tadi dibuat sandaran Gongging
Baladewa hancur berantakan. Ratu Pulau Merah
katupkan rahang rapat-rapat agar suara erangan
sakitnya tidak terdengar. Tapi tak urung keluar
juga erangan dari mulutnya. Malah dari sudut bibirnya tampak mengalir darah!
Ratu Pulau Merah keluarkan dengusan
marah. Dadanya sedikit bisa bernapas karena ge-
lungan selendang merah telah lepas. Sepasang
matanya yang biru berkilat-kilat memandang ke
langit, lalu beralih pada selendang merah yang
menghampar tak jauh darinya.
"Selendang keparat!" makinya, lalu meram-
bat sambil ulurkan tangan hendak mengambil se-
lendang. Namun betapa terkejutnya perempuan
cantik ini. Begitu ujung selendang telah tergeng-
gam dia tak bisa menarik. Dia berpaling, ternyata
tubuh besar Gongging Baladewa telentang menin-
dih selendang!
Dengan geram, Ratu Pulau Merah kerah-
kan tenaga dalam. Lalu sambil membentak ga-
rang dia tarik kembali ujung selendang. Dia lagi-
lagi terkejut. Bukan karena berat, namun karena
demikian ringannya!
Wuuutt!
Selendang merah itu bergerak. Karena tu-
buh Gongging Baladewa berada di atasnya, maka
tak ampun lagi tubuh gemuknya ikut tertarik. Ka-
rena tarikan tadi dengan mengerahkan tenaga da-
lam, maka tak pelak lagi tubuh Gongging Balade-
wa tertarik demikian derasnya, ke arah Ratu Pu-
lau Merah!
Ratu Pulau Merah memekik kaget. Namun
sudah terlambat untuk membuat gerakan meng-
hindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh besar
Gongging Baladewa menghantam tubuhnya!
Bresss!
Kedua orang ini sama-sama bergulingan di
atas tanah. Tombak Ratu Pulau Merah mental
dan jatuh menancap di atas tanah!
Ratu Pulau Merah buka kelopak matanya.
Lalu kakinya hendak diangkat untuk menopang
tubuhnya yang berusaha bangkit. Tapi dia terce-
kat. Kakinya seakan tertindih benda berat. Dia
segera gerakan kepala melihat apa yang menye-
babkan kakinya sukar untuk digerakkan. Lagi-
lagi dia tercekat. Kepalanya sulit untuk digerak-
kan ke atas karena bahu kanannya tak bisa dige-
rakkan. Menoleh, dia tersentak. Sepotong bambu
kecil terlihat berada di atas tangannya dan melin-
tang sampai kakinya. Namun bukan bambu kecil
itu yang membuat perempuan bermata biru ini
tersentak, melainkan karena di tengah-tengah
bambu itu tampak kepala. Kepala Gongging Bala-
dewa yang menindih tengah-tengah bambu hing-
ga dia tak bisa menggerakkan kaki dan tangan
kanannya.
Sambil menahan dadanya yang nyeri aki-
bat tubrukan dengan tubuh Gongging Baladewa
serta menghantam batu, Ratu Pulau Merah ke-
rahkan sisa tenaga dalamnya, lalu tangan kirinya
bergerak hendak menghantam kepala Gongging
Baladewa.
"Pecah kepalamu!" desis Ratu Pulau Merah
sambil ayunkan tangan kirinya.
Sejengkal lagi tangan kiri Ratu Pulau Me-
rah menghajar kepala Gongging Baladewa, seberkas kelebatan merah meliuk dan tahu-tahu men-
jerat tangan Ratu Pulau Merah. Kelebatan merah
yang ternyata selendang itu serentak seakan dita-
rik ke belakang, hingga tangan kiri Ratu Pulau
Merah mental. Namun tarikan selendang itu terus
menarik.
Krakkk!
Terdengar suara berderak. Ratu Pulau Me-
rah terpekik. Bersamaan dengan itu tarikan se-
lendang pada tangan kirinya lepas. Tangan itu lu-
ruh lunglai. Urat-urat pada bahunya putus! Hing-
ga meski tangan itu tak penggal namun tak bisa
digerakkan lagi!
Mendengar pekikan, Gongging Baladewa
mengerjap. Tangan kanan kirinya lalu menyelinap
ke belakang. Lalu dengan gerakan yang sulit di-
ikuti mata biasa bisa melenting ke udara. Dan ke-
tika menjejak kembali, tubuhnya telah ditopang
kedua bambu kecil di ketiaknya. Di tangan kanan
tampak menggenggam kipas hitam, sementara
tangan kiri menggenggam keris hitam, dua senja-
ta yang tadi menyelip di pinggang Ratu Pulau Me-
rah!
Sepuluh langkah di sampingnya Dewi
Kayangan tertawa cekikikan sambil menggulung
selendang. Di pinggangnya tampak tombak hitam!
Ratu Pulau Merah kerahkan tenaga agar
tidak pingsan. Lalu perlahan-lahan pula ia berge-
rak bangkit. Sepasang matanya yang biru me-
mandang tajam pada Dewi Kayangan dan Gongg-
ing Baladewa. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia
melangkah terhuyung-huyung meninggalkan
tempat itu.
Sementara itu, Manusia Titisan Dewa yang
masih mencari-cari di mana beradanya Pendekar
Mata Keranjang tampak memaki panjang pendek,
karena dia tak dapat menemukan pemuda yang
dicarinya.
"Budak jahanam! Di mana kerbau bunting
itu menyimpannya?!" serapahnya sambil menyi-
bak ilalang. Tiba-tiba sepasang matanya membe-
liak besar. Dua langkah di depannya tampak me-
lingkar sesosok tubuh berpakaian hijau.
Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Di seberang, Dewi Kayangan dan Gonggong Bala-
dewa saling pandang satu sama lain.
"Lalukan sesuatu!" bisik Dewi Kayangan
dengan wajah cemas. Sepasang matanya mem-
perhatikan Manusia Titisan Dewa yang ternyata
telah menemukan sosok Pendekar 108.
Gongging Baladewa tak bergerak juga tak
menyahut, membuat Dewi Kayangan berpaling
padanya dengan agak jengkel, lalu berkata.
"Apa kau tega melihat anak kurang ajar itu
putus kepalanya?!"
Gongging Baladewa tetap tak bergeming.
Malah berpaling pun tidak. Membuat Dewi
Kayangan tambah geram.
"Dasar tua edan!" maki Dewi Kayangan,
lantas gerakan tangannya hendak kirimkan puku-
lan untuk mencegah perbuatan Manusia Titisan
Dewa. Namun baru saja dia tarik tangannya kebelakang dan hendak dihantamkan, tangan ka-
nan Gongging Baladewa bergerak pegang pun-
daknya.
"Tua bangka! Kau mencegahku biar manu-
sia itu leluasa turunkan tangan pada pemuda itu,
he...?! Kurang ajar! Ternyata kau...."
"Sabar, Dewi! Lihat apa yang terjadi!" kata
Gongging Baladewa dengan mata memandang lu-
rus ke arah di mana Manusia Titisan Dewa bera-
da.
Dengan memaki panjang pendek, Dewi
Kayangan palingkan kepala ke jurusan mana
Gongging Baladewa memandang. Dewi Kayangan
melengak kaget. Sepasang matanya membeliak
menyipit.
Di seberang sana tampak Manusia Titisan
Dewa memandang liar pada sosok Pendekar 108.
Lalu dengan tawa mengekeh panjang kedua tan-
gannya bergerak hendak kirimkan pukulan.
Ketika tangan itu setengah jalan, tiba-tiba
sebuah benda hitam panjang dan besar mencuat
dari balik ilalang dan menghambur ke arah Ma-
nusia Titisan Dewa!
Manusia Titisan Dewa berteriak marah.
Pukulannya diurungkan, dan serta-merta kedua
tangannya dirangkapkan untuk menangkap ben-
da yang meluncur ke arahnya.
Tap!
Manusia Titisan Dewa terhuyung sejenak
begitu kedua tangannya dapat menyambut benda
hitam panjang yang meluncur ke arahnya. Sepasang matanya lantas meneliti. Tiba-tiba sepasang
matanya mendelik angker. Tubuhnya bergetar ke-
ras menahan marah. Sekonyong-konyong benda
hitam panjang yang ternyata adalah sosok si Ja-
rum Neraka yang telah jadi mayat itu dicampak-
kan ke tanah.
Kepalanya lantas berputar. Dia sudah tahu
siapa gerangan orang yang sengaja mencegah se-
rangannya dengan melemparkan sosok mayat si
Jarum Neraka. Namun demikian, diam-diam dia
hampir tak percaya.
"Tak kusangka jika si Jarum Neraka bisa
dibuat mampus oleh manusia banci itu! Hmm....
Setan Pesolek. Siapa sebenarnya manusia ini?
Aku baru saja mengenalnya. Tapi aku sungguh
tak menduga jika dia berilmu tinggi. Rupanya dia
sengaja menyembunyikan ilmu di balik sifat ke-
banciannya! Apa yang pernah dikatakan guru be-
nar-benar terjadi.... Banyak tokoh yang tampil...!"
batin Manusia Titisan Dewa. Lalu sambil mena-
han gejolak amarah, dia berteriak.
"Manusia banci! Jangan tambah keban-
cianmu dengan tak berani unjukan diri!"
Tak ada suara jawaban.
Sementara itu, di bawahnya Pendekar 108
tersentak kaget dari pingsannya begitu sebuah
benda yang bukan lain sosok mayat si Jarum Ne-
raka yang dicampakkan Manusia Titisan Dewa
menimpa tubuhnya. Dia sejenak berpaling pada
mayat si Jarum Neraka. Mulutnya menganga le-
bar, dan lebih melongo lagi tatkala sepasang matanya menangkap siapa adanya orang yang kini
berdiri dua langkah di depannya. Dia tak tahu,
apa yang sedang dilakukan Manusia Titisan Dewa
berdiri di sebelahnya dengan mata nyalang berpu-
tar. Dan mungkin menduga jika Manusia Titisan
Dewa sedang mencari sesuatu lalu setelah itu
akan membunuhnya, Pendekar Mata Keranjang
108 segera luruskan kedua kakinya, lalu serta-
merta kakinya diangkat dan digaetkan pada kaki
Manusia Titisan Dewa.
Settt!
Bukkk!
Manusia Titisan Dewa jatuh terjengkang.
"Budak keparat! Hancur batok jidatmu!" te-
riak Manusia Titisan Dewa sambil hantamkan ke-
dua tangannya sekaligus pada kepala Pendekar
108.
Karena Pendekar 108 masih terluka, apala-
gi jaraknya yang begitu dekat hingga tak ada ke-
sempatan lagi baginya untuk menghindar dari
hantaman kedua tangan Manusia Titisan Dewa.
"Celaka! Amblas kepalaku...!" keluh Aji
sambil pegangi kepalanya.
Sejengkal lagi kedua tangan Manusia Titi-
san Dewa memecah batok kepala Pendekar 108,
tiba-tiba dari balik ilalang menderu angin ken-
cang dan menghantam tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang.
Desss...!
Sosok tubuh Pendekar 108 mencelat mene-
rabas ilalang dan jatuh bergedebukan delapan
tombak ke samping. Namun hal ini menyela-
matkan kepalanya dari hantaman tangan Manu-
sia Titisan Dewa. Tangan itu terus menerabas dan
menghajar tanah. Tanah itu langsung terbongkar
dan berhamburan ke udara!
"Jahanam! Bangsat!" maki Manusia Titisan
Dewa serentak bangkit.
Saat itulah, lima tombak di hadapannya
padang ilalang bergerak menguak, lalu muncul
seseorang dengan menggerak-gerakkan tangan-
nya. Bahu dan pinggulnya pun digerak-gerakkan.
Sementara sebelah matanya mengerling.
"Banci keparat!" hardik Manusia Titisan
Dewa lalu berkelebat.
DELAPAN
KITA kembali sejenak ke belakang. Menge-
tahui bagaimana tiba-tiba saja si Jarum Neraka
bisa meluncur ke arah Manusia Titisan Dewa da-
lam keadaan tewas. Seperti dituturkan, karena
Setan Pesolek tak setuju dengan apa yang akan
dilakukan Manusia Titisan Dewa, Ratu Pulau Me-
rah serta si Jarum Neraka yang hendak membu-
nuh Pendekar Mata Keranjang, maka Setan Peso-
lek menyingkir agak jauh. Namun karena dia ma-
sih ikut-ikutan ngomong, Manusia Titisan Dewa
akhirnya menyuruh si Jarum Neraka untuk
membungkamnya.
Sebenarnya si Jarum Neraka tak senang,
namun karena juga merasa geram dengan Setan
Pesolek, maka dia pun balikan tubuh dan me-
langkah ke arah Setan Pesolek.
Sepuluh langkah di hadapan Setan Peso-
lek, si Jarum Neraka hentikan langkah. Sepasang
matanya lurus menatap tajam. Sementara yang
dipandangi acuh tak acuh. Malah sunggingkan
senyum sambil berkaca pada cermin batu putih-
nya.
Melihat sikap Setan Pesolek yang seakan
meremehkan, si Jarum Neraka tampak sangat ge-
ram. Kedua tangannya dikembangkan hingga
mengeluarkan suara gemeretak. Otot-otot tan-
gannya menyembul hingga jarum-jarum hitam
yang banyak menancap di kulitnya bergerak-
gerak seakan hendak keluar. Tiba-tiba dia kelua-
rkan bentakan keras.
"Manusia banci! Kau terlalu memandang
remeh orang. Kau tahu, sedang berhadapan den-
gan siapa kali ini?!"
Seakan tidak mendengar bentakan orang,
Setan Pesolek tetap bertingkah seperti semula.
Malah kini sambil berkaca, dia dendangkan lagu.
"Manusia banci! Kau dengar ucapan orang.
Kalau kau tetap bertingkah seperti monyet bu-
duk, jangan menyesal jika tanganku akan meru-
bah bentuk wajahmu!"
"Walah, wajah sudah bagus begini mau di-
rubah bagaimana lagi?! Eh.... Apa katamu tadi?!"
Sejenak Setan Pesolek turunkan batu cermin pu-
tihnya. Lalu kepalanya mendongak ke atas, seolah mengingat-ingat.
"Kalau tak salah kau tadi mengatakan,
apakah aku tahu sedang berhadapan dengan sia-
pa kali ini! Benar...?"
Yang ditanya tidak buka mulut. Hanya se-
pasang matanya memandang liar.
"Kau tak mau jawab tak apa-apa. Tapi aku
akan menjawab pertanyaanmu.... Kalau tak salah
aku sedang berhadapan-hadapan dengan tokoh
rimba persilatan bergelar Jarum Neraka! Benar?!"
kembali Setan Pesolek ajukan pertanyaan. Namun
lagi-lagi si Jarum Neraka tak buka suara.
Setan Pesolek angkat cermin batunya kem-
bali. Sepasang matanya lantas menatap tajam ke
arah batu putih di tangannya. Dari mulutnya ke-
luar suara setengah bergumam, namun masih je-
las di telinga si Jarum Neraka.
"Rejeki, jodoh dan mati ada di tangan Yang
Maha di Atas. Tapi semua itu diawali dengan tan-
da-tanda. Hmm.... Aku mencium bau tidak sedap
di sini. Bau bangkai manusia! Dan aku merasa
tanah ini bergetar, takdir buruk akan terjadi...."
"Ramalan gila! Siapa percaya pada orang
kelainan sepertimu!" desis si Jarum Neraka.
"Hush! Siapa meramal. Aku bicara, tidak
meramal!" sahut Setan Pesolek lalu luruhkan tan-
gannya kembali.
"Setan Pesolek!" bentak si Jarum Neraka.
"Kau boleh pergi dari sini dengan wajah tak beru-
bah. Tapi kau harus katakan dahulu, kenapa kau
tak setuju dengan tewasnya pemuda itu?! Apa
hubunganmu dengannya?!"
Setan Pesolek lambaikan tangan kanannya,
mulutnya moncong ke depan.
"Hmm.... Kau sendiri kenapa ingin mem-
bunuh pemuda tampan itu?! Apa hubunganmu
dengannya?!" Setan Pesolek balik bertanya.
"Tikus banci! Ditanya orang balik bertanya!
Wajahmu memang minta dirubah! Rasakan!" har-
dik si Jarum Neraka sambil angkat tangannya.
"Tunggu...!" seru Setan Pesolek dengan se-
dikit liukan tubuhnya. Tangannya bergerak pu-
lang balik melambai.
Si Jarum Neraka urungkan niatnya. Sepa-
sang matanya menyengat tajam. Dia tegak me-
nunggu dengan tangan tetap di atas, siap lakukan
pukulan.
"Turunkan dulu tanganmu. Aku ngeri...,"
kata Setan Pesolek dengan wajah ketakutan.
Meski geram, akhirnya si Jarum Neraka tu-
runkan juga tangannya.
"Lekas jawab pertanyaanku?" bentak se-
raya busungkan dada.
"Pemuda itu berwajah tampan, masih mu-
da lagi. Kasihan jika orang seperti dia harus bu-
ru-buru masuk tanah. Kau kan tahu, aku lebih
memilih pemuda itu daripada temanmu yang
bermata biru dan bertubuh montok itu! Hik....
Hik.... Hik...! Kau sendiri kenapa bernafsu sekali
untuk membunuhnya?" kembali Setan Pesolek
ajukan pertanyaan.
"Dialah yang menyebabkan kakakku tewas
dengan tubuh terkoyak-koyak!" jawab si Jarum
Neraka singkat.
"Hiii... Terkoyak-koyak?" ulang Setan Peso-
lek dengan gerakan tubuhnya seakan ngeri. "Sia-
pa kakakmu itu?"
"Ah, kau terlalu banyak tanya! Lagi pula
apa perlunya kau tanya soal itu?!"
"Ya, apa perlunya aku tanya soal itu?!"
ulang Setan Pesolek sambil tengadahkan kepala.
Tiba-tiba dia luruskan kepalanya memandang se-
jenak pada si Jarum Neraka. Lalu mendongak lagi
dan berkata.
"Aku ingat! Bukankah kakakmu itu sudah
tewas? Sedangkan aku sekarang mencium bau
bangkai manusia. Jangan-jangan ini takdir bu-
ruk...."
"Takdir buruk bagaimana maksudmu?!"
"Orang tolol! Ucapan begitu saja masih tak
dapat menangkap artinya!" gumam Setan Pesolek
dengan tersenyum.
"Hei.... Apa kau bilang? Ulangi lagi uca-
panmu!" perintah si Jarum Neraka demi menden-
gar gumaman Setan Pesolek.
Setan Pesolek sedikit terkejut. Karena dia
menyangka si Jarum Neraka tidak mendengar
gumamannya. Sebab gumaman itu dikeluarkan
sangat pelan.
"Kubilang ulangi lagi ucapanmu!" hardik si
Jarum Neraka dengan suara keras.
"Orang tolol! Ucapan begitu...," Setan Peso-
lek tak meneruskan ucapannya karena saat itu
juga si Jarum Neraka telah angkat tangannya.
"Banci jahanam! Berani kau memakiku
orang tolol! Kuhancurkan mulutmu!"
Wuuutt!
Serangkum angin dahsyat menderu keras
ke arah Setan Pesolek.
"Haiii...! Kenapa kau menyerangku? Bu-
kankah aku menuruti perintahmu untuk mengu-
langi ucapanku?" kata Setan Pesolek dengan wa-
jah ketakutan. Namun anehnya dia tak bergerak
menyingkir.
"Pecah mulutmu!" desis si Jarum Neraka
dari seberang begitu melihat Setan Pesolek tak
berusaha menghindar. Bibirnya tersenyum den-
gan kepala manggut-manggut.
Namun senyuman si Jarum Neraka tiba-
tiba terpenggal. Dia membeliakkan sepasang ma-
tanya. Karena begitu sejengkal lagi pukulan jarak
jauhnya menghajar tubuh Setan Pesolek, pemuda
berparas cantik ini goyangkan tubuhnya. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap dari pandangan! Hingga se-
rangan si Jarum Neraka hanya menghantam an-
gin.
"Setan buduk! Siapa sebenarnya manusia
satu ini?" batin si Jarum Neraka seraya putar
pandangannya mencari tahu di mana beradanya
Setan Pesolek.
Selagi si Jarum Neraka mencari-cari, di be-
lakangnya terdengar suara tawa cekikikan. Dia
cepat putar tubuhnya. Lima langkah di hadapan-
nya tegak Setan Pesolek dengan rapikan rambut
nya.
"Rupanya kau punya ilmu juga, Setan Ban-
ci!" ujar si Jarum Neraka dan kembali hantamkan
kedua tangannya. Kali ini dengan tenaga dalam
kuat.
Wuuut! Wuuuttt!
Dua gelombang angin keluarkan suara
menggemuruh laksana ombak melesat cepat ke
arah Setan Pesolek.
Setan Pesolek kembali goyang-goyangkan
tubuhnya seakan ketakutan dan ngeri. Namun
tinggal sedepa lagi serangan itu menghajar tu-
buhnya, dia angkat kedua tangannya dan dige-
rakkan lemah gemulai ke depan.
Dua gelombang angin yang menyongsong
ke arah Setan Pesolek tiba-tiba terhenti di udara.
Dan ketika tangan Setan Pesolek melambai kem-
bali, dua gelombang itu bergerak membalik ke
arah si Jarum Neraka!
"Kurang ajar!" maki si Jarum Neraka sam-
bil melompat mundur dan miringkan tubuhnya
mengelak dari pukulannya sendiri yang memba-
lik. Tangan kanannya lalu menyelinap ke balik
pakaiannya. Lalu....
Wuuuttt!
Beberapa puluh jarum hitam bertebaran
keluarkan suara mendengung.
Kali ini Setan Pesolek tak menunggu. Begi-
tu pukulan jarum hitam yang tentunya mengan-
dung racun itu bertebaran ke arahnya, dia putar
tubuhnya dengan cepat. Terdengar suara angin
menderu-deru. Tiba-tiba sosoknya lenyap. Dan
dikejap lain terdengar suara 'taass' berpuluh-
puluh kali.
Di seberang, si Jarum Neraka tersirap da-
rahnya. Senjata rahasia berupa jarum hitam mi-
liknya bermentalan dan hancur patah-patah! Be-
gitu tebaran patahan jarum hitam sirap, tampak
Setan Pesolek tadangkan kedua tangannya di atas
kepala seperti orang ketakutan hendak dipukul.
"Jahanam betul! Ternyata dugaanku mele-
set jauh. Dia bukan orang sembarangan...," bisik
si Jarum Neraka dalam hati. Pelan-pelan dia me-
rasa kecut. Namun dia tak menunjukkan rasa
cemasnya. Malah untuk menutupi rasa kecutnya
ia sunggingkan senyum lebar, dan berkata.
"Setan banci! Dari tadi kau hanya meng-
hindar seperti monyet. Tunjukkan kehebatanmu!"
"Jangan salah tangkap, Jarum Neraka.
Orang tampak takut kadang-kadang berani.
Orang tersenyum lebar sering kali hatinya cemas!"
"Setan alas! Dia rupanya mengetahui jalan
pikiranku! Apa hendak dikata, dia harus kuhabisi
sekarang juga! Daripada membuat malu!"
Berpikir begitu, kedua tangannya dika-
tupkan sejajar dada. Mulutnya komat-kamit. Se-
rentak, kedua tangannya dibuka dan dihantam
kuat-kuat ke arah Setan Pesolek yang terlihat
masih jongkok dengan menadangkan tangan di
atas kepala.
Gelombang angin yang dimuati beberapa
puluh jarum hitam melesat ke depan.
Setan Pesolek cepat bangkit. Kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke de-
pan dengan kedua tangan disentakkan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dari telapak tangan Setan Pesolek keluar
asap putih bergulung-gulung. Si Jarum Neraka
melengak kaget tatkala melihat gulungan asap
putih itu membuat putaran aneh dan membung-
kus gelombang angin serta puluhan jarum hitam-
nya. Lalu gulungan asap putih yang membungkus
puluhan jarum itu melesat terus ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Jarum Neraka me-
lompat ke samping mengelak dari hajaran puku-
lannya sendiri yang telah terbungkus asap putih.
Namun betapa terkejutnya manusia berhias ja-
rum ini, karena satu depa lagi serangan itu
menghantam, tiba-tiba bungkusan asap putih pe-
cah! Dan jarum hitam itu bertebaran!
Tak ada kesempatan lagi bagi si Jarum Ne-
raka untuk mengelak. Hingga tanpa ampun lagi
beberapa jarum hitam beracun itu menembus tu-
buhnya.
Untuk beberapa saat si Jarum Neraka
tampak tegang berdiri dengan mata melotot me-
mandang ke arah Setan Pesolek yang goyang-
goyangkan pinggulnya. Namun tak lama kemu-
dian, tubuhnya roboh bergedebukan ke atas ta-
nah.
"Kasihan... Senjata makan tuan...," desis
Setan Pesolek. Lalu melangkah ke arah tubuh si
Jarum Neraka. Dia tersentak sendiri. Tubuh siJarum Neraka ternyata kaku dan hangus seperti
orang terbakar!
"Racun ganas...," gumam Setan Pesolek.
Lalu jongkok. Sepasang matanya lantas meman-
dang jauh ke tempat Manusia Titisan Dewa dan
Ratu Pulau Merah. Tiba-tiba kepalanya berputar
cepat ke arah samping. Matanya menyipit me-
nembus kegelapan malam.
"Hmm.... Ada orang berkelebat ke arah sini!
Untuk sementara aku harus sembunyi...," ka-
tanya, lalu menyeret tubuh si Jarum Neraka dan
mendekam tidak jauh dari tempat Manusia Titi-
san Dewa dan Pendekar 108 yang telah mulai sal-
ing menyerang.
Tatkala melihat Pendekar Mata Keranjang
108 roboh untuk pertama kalinya, sebenarnya Se-
tan Pesolek hendak berkelebat keluar, namun ge-
rakannya tertahan karena ada selendang merah
yang ternyata selendang Dewi Kayangan terlebih
dahulu menyelamatkan murid Wong Agung.
Baru tatkala untuk kedua kalinya Manusia
Titisan Dewa hendak menghajar Pendekar 108
yang sudah pingsan, Setan Pesolek lemparkan
mayat si Jarum Neraka ke arah Manusia Titisan
Dewa, hingga Manusia Titisan Dewa urungkan
niat.
SEMBILAN
KETIKA Setan Pesolek muncul dari balik
ilalang setelah menyelamatkan Pendekar Mata
Keranjang, Manusia Titisan Dewa yang sudah di-
gelayuti hawa amarah langsung berkelebat dan
pukulkan dua tangannya ke arah kepala Setan
Pesolek.
Setan Pesolek berseru ketakutan, namun
tak bergerak dari tempatnya. Lalu masih dengan
wajah menunjukkan rasa ngeri, kedua tangannya
diangkat.
Prakkk!
Terjadi bentrok dua pasang tangan. Manu-
sia Titisan Dewa tersentak tegang dan tersurut
dua langkah. Untung dia cepat kerahkan tenaga
untuk mengatasi huyungan tubuhnya, jika tidak
bukan tak mungkin dia akan jatuh terduduk. Se-
pasang matanya serentak liar menyengat. Tulang-
tulang wajahnya bergerak-gerak. Dia segera
memperhatikan tangannya. Dia menarik napas
lega, karena tangannya tidak cidera meski beru-
bah agak merah. Walau demikian, dia sudah
maklum jika lawan yang dihadapi kali ini memili-
ki tenaga dalam luar biasa. Di depannya Setan
Pesolek kibas-kibaskan kedua tangannya dengan
wajah meringis.
"Setan Pesolek! Apa maumu sebenarnya?
Kenapa kau berbuat keji membunuh teman satu
golongan?"
Setan Pesolek tersenyum. Rambut di teng-
kuknya disibak ke belakang dengan menarik se-
dikit kepalanya.
"Teman satu golongan?!" ulang Setan Peso
lek tanpa memandang.
"Aku tak pernah punya teman, dan juga
tak pernah bergolong-golongan!"
"Hmm.... Begitu? Lantas apa hubunganmu
dengan pemuda itu?"
"Hubunganku dengan pemuda itu?!" kem-
bali Setan Pesolek mengulang kata-kata Manusia
Titisan Dewa.
"Aku tak punya sanak, tak punya saudara.
Teman pun tak punya! Jadi kau bisa jawab sendi-
ri pertanyaanmu!"
"Hmm.... Lalu maksudmu menyelamatkan-
nya?!"
"Maksudku menyelamatkannya?!" sejenak
Setan Pesolek memandang ke arah Dewi Bayang-
Bayang dan Gongging Baladewa yang masih tegak
memperhatikan. Lalu menyambung ucapannya.
"Seperti kukatakan tadi, aku hanya ingin
melihat tampangnya. Namun kalian tampaknya
hendak membunuhnya. Kalau dia sampai mati,
kau yang senang, aku yang merana, karena tak
bisa lagi melihat tampangnya!"
"Dasar manusia banci!" rutuk Manusia Ti-
tisan Dewa dalam hati.
"Setan Pesolek!" kata Manusia Titisan Dewa
sedikit rendahkan nada suaranya. "Kalau kau
memang hanya ingin melihat tampangnya, begini
saja. Untuk sementara biar pemuda itu kubawa
dahulu. Tiga hari di muka kau bisa menjemput-
nya di tempatku! Kau boleh memandanginya se-
puas hatimu, bahkan kau boleh membawanya!"
Setan Pesolek keluarkan tawa cekikikan.
Batu cerminnya dikeluarkan lalu tanpa mempe-
dulikan orang, dia senyum-senyum sendiri seraya
pandangi wajahnya di batu cermin.
"Manusia Titisan Dewa. Siapa pun adanya
kau, Manusia Titisan Setan, Manusia Titisan Iblis,
Manusia Titisan Tikus, Manusia Titisan Bayi, jan-
gan harap bisa mengaturku!"
"Kalau kau tak mau kuatur lekas angkat
kaki dari hadapanku!" bentak Manusia Titisan
Dewa.
"Aku pun tak senang diperintah!" kata Se-
tan Pesolek dengan suara pelan.
"Berarti kau ingin mampus!" seraya berka-
ta, tangan kanannya dihantamkan ke depan.
Hawa panas dan dingin berganti-ganti
menghampar. Sekejap kemudian melarik seberkas
sinar pelangi. Tak ada suara yang terdengar, tak
ada deru angin. Namun bersamaan dengan itu,
tanah pijakan Setan Pesolek bergetar!
"Menggiring Pelangi Menebar Hawa!" seru
Setan Pesolek mengenali pukulan yang dilancar-
kan Manusia Titisan Dewa. Dia cepat simpan
cermin batunya, lalu berputar. Mendadak sosok-
nya lenyap laksana ditelan bumi!
Sinar pelangi serangan Manusia Titisan
Dewa menghajar padang ilalang di depannya. Pa-
dang ilalang itu kontan berhamburan dan lembut!
"Haram jadah! Ke mana lenyapnya manu-
sia banci itu? Heran, dari mana ia mengenali pu-
kulanku?" batin Manusia Titisan Dewa sambil sapukan pandangannya berkeliling.
Tak ada siapa-siapa lagi di tempat ini. So-
sok Dewi Kayangan serta Gongging Baladewa pun
tak terlihat. Setelah menunggu agak lama, tak ju-
ga ada orang yang muncul, Manusia Titisan Dewa
melangkah ke arah jatuhnya Pendekar 108. Ia
menarik napas panjang dengan bibir tersenyum,
karena Pendekar 108 terlihat masih melingkar di
atas tanah.
Tanpa berpaling lagi, Manusia Titisan Dewa
turunkan bahunya, tangannya menjulur. Ketika
tangan itu bergerak naik lagi, tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108 melayang dan jatuh di pun-
daknya.
"Untuk sementara akan kusimpan dulu.
Aku akan mencari Sakawuni, biar dia nanti yang
membereskannya!" batinnya, lalu berkelebat. Na-
mun langkahnya tertahan tatkala terdengar se-
ruan tak jauh dari tempatnya.
"Kau bisa pergi. Tapi tanpa pemuda itu!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan, Manusia
Titisan Dewa merasakan desiran angin di bela-
kangnya. Lalu terasa ada kekuatan tak terlihat
yang membetot tubuh pemuda yang ada di pun-
daknya.
Sesaat Manusia Titisan Dewa tengadah
sambil kerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba sambil
berseru keras, tubuhnya membalik dengan kaki
kiri menyapu!
Wuuutt!
Namun Manusia Titisan Dewa melengak
sendiri. Tendangan kakinya hanya menghajar an-
gin!
Pendekar Mata Keranjang yang ada di pun-
dak Manusia Titisan Dewa tersadar. Dia sejenak
melihat memandang ke bawah. Yang terlihat per-
tama kali adalah sepasang kaki yang tidak men-
ginjak tanah.
Dia bisa menduga bahwa itu adalah kaki
Manusia Titisan Dewa. Lalu melirik ke kanan, ter-
lihat Setan Pesolek duduk berjongkok di balik pa-
dang ilalang. Aji belum dapat menduga apa yang
sedang dilakukan Setan Pesolek. Tiba-tiba tubuh-
nya berputar mengikuti putaran tubuh Manusia
Titisan Dewa.
"Hm.... Berarti manusia ini mencari Setan
Pesolek!" duga Aji.
"Setan banci! Keluarlah!" bentak Manusia
Titisan Dewa. Karena tak ada gerakan juga tak
ada suara yang menyahut, Manusia Titisan Dewa
angukan kepala. Matanya melirik ke samping.
Mendadak tangan kirinya bergerak memukul.
Wuuutt!
Setan Pesolek berseru kaget. Tubuhnya
melenting ke udara. Membuat gerakan berputar
beberapa kali lalu menukik tepat ke arah kepala
Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa yang baru saja men-
dongak hendak menjajaki di mana lawan berada
tercekat sendiri, karena saat itu juga Setan Peso-
lek telah duduk di atas tengkuknya dengan kaki
kiri menelingkung tangan kiri Manusia Titisan
Dewa ke belakang.
Manusia Titisan Dewa berseru keras. Na-
mun karena tangan kirinya tak bisa digerakkan
sementara tangan kanan memegangi tubuh Aji,
maka dia hanya bisa memaki sambil bantingkan
kaki.
"Banci bangsat!" teriak Manusia Titisan
Dewa. Serta-merta tubuh Pendekar Mata keran-
jang 108 dicampakkan ke bawah. Lalu tangan
kanannya memukul ke atas.
Prak!
Manusia Titisan Dewa berseru tegang. Tan-
gan kanannya mental lagi ke bawah karena bera-
du dengan tangan Setan Pesolek. Namun bersa-
maan dengan itu tubuh Setan Pesolek juga men-
tal dan jatuh terduduk lima langkah di samping
Manusia Titisan Dewa.
Manusia Titisan Dewa cepat putar tubuh-
nya setengah lingkaran. Dan dengan tenaga da-
lam penuh kedua tangannya dihantamkan pada
Setan Pesolek!
Sinar pelangi kembali melesat, kali ini di-
dahului dengan sambaran angin dahsyat.
Setan Pesolek rangkapkan kedua telapak
tangannya, lalu disentakkan ke depan.
Asap putih bergulung-gulung menyambar
dari telapak tangan Setan Pesolek dan memapasi
sinar pelangi.
Bummm!
Asap hitam tebal melingkupi tempat itu be-
gitu ledakan akibat bertemunya dua pukulan terjadi. Manusia Titisan Dewa terdengar keluarkan
seruan tertahan, tubuhnya terseret mundur sam-
pai dua tombak. Beberapa saat tubuhnya tampak
limbung, lalu jatuh terkapar di atas tanah!
Begitu asap hitam sirap, dan cahaya rem-
bulan dapat kembali menerangi, Manusia Titisan
Dewa tersentak. Sosok Setan Pesolek tak keliha-
tan, demikian juga Pendekar Mata Keranjang 108.
"Setan Pesolek! Kau telah melakukan dosa
besar pada Manusia Titisan Dewa! Aku tidak akan
mengampuni nyawamu!" ujar Manusia Titisan
Dewa.
Lalu bergerak bangkit, dan melangkah me-
ninggalkan tempat itu seraya mengurut-urut da-
danya. Jelas jika orang ini terluka dalam akibat
bentrok tenaga dalam lewat pukulan jarak jauh
tadi.
SEPULUH
PENDEKAR Mata Keranjang 108 membuka
kelopak matanya, karena dia merasa ada di pun-
dak seseorang yang berlari kencang. Dia tak tahu,
bagaimana dia bisa berada di pundak orang itu.
Karena yang dia ingat adalah sewaktu terjadi le-
dakan, tubuhnya mencelat jauh. Merasa akan ja-
tuh lagi menghempas tanah, dia pejamkan sepa-
sang matanya. Tapi ketika tubuhnya tak meng-
hempas tanah malah seperti terbang, murid Wong
Agung ini segera buka kelopak matanya.
Pendekar Mata Keranjang yang kepalanya
ada di punggung orang yang melarikannya, seje-
nak memperhatikan
"Rambut panjang dikepang dua.... Hm....
Setan Pesolek!" pikir Pendekar 108 dalam hati.
"Dugaanku salah. Ternyata dia tidak sejahat yang
kuduga. Dan kata-katanya menjadi kenyataan.
Dia mengatakan bahwa aku tidak akan menemu-
kan Anting Wulan, juga aku sedang diincar
orang.... Hmm.... Lalu tentang tantangan di de-
pan. Dia mengatakan aku akan menghadapi gu-
nung besar yang siap meletus. Apa artinya
itu...?!"
Selagi Aji memikirkan ucapan Setan Peso-
lek, orang yang melarikan Aji dan bukan lain
memang Setan Pesolek memperlambat larinya.
Pada sebuah tempat sepi dan amat gelap di balik
sebuah pohon besar, Setan Pesolek hentikan la-
rinya lalu meletakkan tubuh Aji di atas tanah.
"Setan Pesolek! Aku berterima kasih pada-
mu yang telah selamatkan jiwaku beberapa kali!"
Setan Pesolek seolah tak mendengar uca-
pan Pendekar 108. Malah dia keluarkan batu
cerminnya dan berkaca sambil rapikan rambut
dan polesan merah di bibirnya.
Pendekar 108 bangkit. Namun tubuhnya
terhuyung-huyung dan jatuh terduduk.
"Sialan! Meski dadaku tidak nyeri tapi ka-
kiku masih gemetar...," bisik Pendekar 108 sambil
memandang pada Setan Pesolek.
"Hm.... Aku tadi selintas melihat Dewi
Kayangan dan Gongging Baladewa.... Apa mereka
juga sudah pergi? Hmm.... Jika pada Dewi Kayan-
gan dan Gongging Baladewa mungkin aku tak se-
gan-segan minta tolong untuk mengurut kaki-
ku...."
Tiba-tiba Setan Pesolek putar tubuhnya
dan melangkah gemulai ke arah Aji. Sejenak se-
pasang matanya memandang sayu. Bibirnya lalu
tersenyum. Dengan gerakan lembut, dia lantas
jongkok di samping Aji. Dan tanpa berkata kedua
tangannya bergerak mengurut kaki Aji.
"Setan Pesolek...," gumam Aji. Namun dia
tak meneruskan ucapannya karena Setan Pesolek
memberi isyarat agar Aji tak meneruskan uca-
pannya. Akhirnya Aji hanya diam, sambil sesekali
gelengkan kepala dan meringis kesakitan.
Namun hanya sekejap, begitu Setan Peso-
lek angkat kedua tangannya, kakinya terasa en-
teng. Begitu Setan Pesolek bergerak bangkit. Aji
ikut-ikutan bergerak. Aji tercengang. Kakinya tak
lagi gemetar, malah tubuhnya terasa segar kem-
bali!
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih...," ka-
ta Pendekar Mata Keranjang seraya bungkukan
sedikit tubuhnya.
Melihat sikap Pendekar 108, tawa Setan
Pesolek meledak.
"Kau tak usah bersikap begitu. Meski kau
masih menduga jelek padaku, tapi aku telah
menganggapmu sebagai sahabat!"
"Maaf atas dugaanku selama ini...," sahut
Aji dengan tersenyum, karena melihat tingkah
pemuda di sampingnya yang tidak bisa berhenti
bergerak. Kalau tidak menyibak rambut di teng-
kuk, ambil batu cerminnya dan berkaca, lalu
mengelus kuku jari-jarinya yang bercat merah.
Sikapnya persis dengan perempuan.
Tiba-tiba Aji teringat pada Anting Wulan.
"Hmm.... Dia mengetahui jika aku tidak
akan menemukan Anting Wulan di tempatnya
mandi. Mungkin dia tahu ke mana Anting Wulan
pergi...," lalu murid Wong Agung ini buka mulut.
"Setan Pesolek. Kalau tak keberatan.... Bisa
katakan padaku, ke mana sebenarnya gadis te-
manku itu?!"
Setan Pesolek berpaling. Senyumnya me-
nyungging. Sebelah matanya mengerdip, mem-
buat murid Wong Agung ini usap-usap hidungnya
sambil alihkan pandangannya pada jurusan lain.
"Dia tak mengatakan padamu ke mana dia
akan pergi?!" Setan Pesolek balik ajukan perta-
nyaan, membuat Aji gelengkan kepala, bukan se-
bagai jawaban atas pertanyaan orang, melainkan
tak habis pikir dengan ucapan orang.
"Kalau dia mengatakan padaku, aku tak
tanya padamu!" akhir Aji menjawab.
"Hmm.... Kau tidak dusta mengatakan ga-
dis itu adalah temanmu?!"
Pendekar 103 gelengkan kepala dengan wa-
jah sedikit muram.
"Aku tampak kecewa. Kau mencintai gadis
itu?" tanya Setan Pesolek.
"Aku tak bisa mengatakan cinta apa tidak.
Yang pasti, aku harus menolong jika dia dalam
keadaan bahaya...."
Setan Pesolek tertawa pelan. Kepalanya
manggut-manggut.
"Setiap sebab akan menimbulkan akibat.
Setiap sebab akan datang bersama tanda-tanda....
Kau mencemaskan gadis itu. Tanpa kau katakan,
tanda-tanda itu telah berkata, bahwa sebenarnya
kau...," Setan Pesolek tak meneruskan kata-
katanya, karena Aji telah menyahut.
"Menyintainya...! Begitu terusan ucapan-
mu?!" Aji berkata sambil tertawa. "Terserah kau
mau bilang apa. Yang pasti, sekarang aku harus
segera mencarinya!"
Aji melangkah maju satu tindak menjajari
Setan Pesolek.
"Terima kasih atas kebaikanmu selama ini.
Aku harus pergi sekarang!"
Habis berkata begitu, Aji putar tubuhnya
dan hendak melangkah pergi. Namun langkahnya
tertahan tatkala terdengar suara Setan Pesolek.
"Pendekar 108! Kau harus hati-hati. Se-
ringkali yang tampak di mata adalah yang palsu.
Dan cinta adalah dinding tebal penutup mata.'"
"Apa maksud kata-katamu, Setan Peso-
lek?!" kata Aji tanpa balikkan tubuh.
Setan Pesolek tak segera menjawab. Sete-
lah tertawa cekikikan, akhirnya dia berkata lagi.
"Tak baik mengatakan apa yang belum ter-
jadi. Bisa kualat! Kelak kau akan tahu sendiri....
Dan juga harus kau ingat. Jangan sampai persoa-
lan cinta membuat lengah hingga gunung besar
itu meletus dan membuat malapetaka!"
"Setan Pesolek!" sahut Pendekar Mata Ke-
ranjang sambil balikkan tubuh. Namun dia tak
teruskan ucapannya, karena terlihat Setan Peso-
lek dongakan kepala, lalu melihat pada cermin
batunya. Sesaat terdiam, lalu memberi isyarat
pada Aji untuk mengikutinya.
Meski masih bertanya-tanya dalam hati,
Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya menuruti
isyarat Setan Pesolek dan mengikutinya dari be-
lakang.
"Sialan! Ke mana dia hendak pergi...?" ba-
tin Pendekar 108 seraya terus mengikuti berkele-
batnya Setan Pesolek.
Pada suatu tempat, Setan Pesolek hentikan
larinya dan mendekam di balik sebuah pohon.
Pendekar Mata Keranjang yang baru saja datang
dan masih berdiri segera ditarik tangannya agar
ikut mendekam.
Untuk beberapa saat sepasang mata Setan
Pesolek memandang tajam pada satu tempat.
Pendekar 108 memperhatikan dengan seksama.
Dan setelah agak lama tak juga ada kejadian apa-
apa, Pendekar 108 keluarkan suara teguran.
"Apa yang kau lakukan?"
Setan Pesolek tak menjawab. Berpaling pun
tidak, membuat Aji agak jengkel dan bergerak
bangkit. Namun belum sampai tubuhnya tegak,
tangan Setan Pesolek telah menariknya, hingga
Aji kembali terduduk.
"Sialan! Apa sebenarnya yang sedang kau
intip?!"
"Jangan banyak mulut! Dengarkan saja!"
kata Setan Pesolek dengan suara sedikit keras,
membuat murid Wong Agung makin jengkel. Na-
mun mungkin untuk membuktikan ucapan Setan
Pesolek, akhirnya Pendekar 108 diam mendekam
tanpa keluarkan suara lagi.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa mengekeh panjang. Lalu disusul suara
tawa lainnya.
Diam-diam Aji membatin. "Sialan betul! Dia
seakan mengetahui apa yang akan terjadi...,"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ikut-ikutan
memandang ke arah mana pandangan mata Se-
tan Pesolek mengarah.
Mula-mula Pendekar 108 hanya melihat
bayangan sosok yang melangkah sambil tertawa.
Lalu muncul lagi sosok di belakangnya. Kedua
orang ini adalah dua orang laki-laki bertubuh
tinggi tegap. Yang di depan mengenakan jubah
besar tanpa lengan berwarna merah. Di telin-
ganya terdapat anting-anting juga berwarna me-
rah. Sementara yang di belakang juga laki-laki te-
gap. Memakai jubah tanpa lengan berwarna hi-
tam. Telinganya juga mengenakan anting-anting
warna hitam. Kedua orang ini kepalanya sama
gundul. Begitu cahaya rembulan tak tertutup
awan dan menerangi tempat di mana kedua sosok
itu muncul, Pendekar 108 terkesiap. Sepasang
matanya mendelik besar. Bukan pada dua sosok
yang melangkah, melainkan pada sosok lain yang
ada di pundak kedua orang ini!
SEBELAS
ANTING Wulan!" seru Aji dengan dada ber-
getar. Sepasang matanya berapi-api. Kedua tan-
gannya serentak mengepal. Pelipisnya bergerak
dengan jakun turun naik menahan gejolak ama-
rah. Mungkin masih terkesima dengan peman-
dangan yang baru saja dilihatnya, hingga untuk
beberapa saat dia hanya diam terpaku. Namun
setelah sadar, dia cepat bergerak bangkit. Namun
sebelum tegak, Setan Pesolek telah menarik len-
gannya. Hingga tubuhnya kembali turun ke ba-
wah,
"Apa maksudmu, Setan Pesolek? Dua
bangsat itu jelas-jelas hendak berbuat tak seno-
noh dengan gadis itu!"
"Tahan suaramu!" kata Setan Pesolek den-
gan suara rendah.
"Aku harus keluar! Tak akan kubiarkan
bangsat-bangsat itu berlaku seenaknya pada ga-
dis itu!" kata Pendekar 108 lepaskan cekalan tan-
gan Setan Pesolek. Namun Pendekar 108 terkejut,
meski tangan itu tidak mencengkeram, dia tak bi-
sa melepaskannya, membuat dia makin geram,
tapi akhirnya dia diam.
"Sudah kubilang, tahan suaramu! Lihat
mereka ada yang curiga!" kata Setan Pesolek tan-
pa alihkan pandangannya ke depan. Salah seo-
rang di antara dua orang berkepala botak tampak
putar kepalanya dengan mata menyelidik. Namun
sebentar kemudian dia sudah tertawa kembali
sambil memandangi perempuan di bawahnya.
"Apa kau kira aku juga akan tetap diam ji-
ka ada manusia berbuat tak senonoh di hada-
panku? He.,.?!" Setan Pesolek menyambung uca-
pannya.
"Tapi kau tunggu apalagi? Apa masih me-
nunggu hingga gadis itu ditelanjangi?" kata Aji
masih dengan nada berang, melihat Setan Pesolek
tak segera bergerak, padahal di depan sudah ter-
lihat kedua orang yang ternyata berkepala botak
telah menelentangkan gadis yang tadi dipanggul-
nya dan bukan lain memang Anting Wulan alias
Dewi Tengkorak Hitam.
"Hati boleh panas, dada boleh bergolak, ta-
pi mata jangan lengah!" berkata Setan Pesolek
tanpa melepaskan pegangan tangannya pada len-
gan Aji.
"Apa maksudmu?"
"Lihat di samping pohon itu!" Setan Pesolek
arahkan telunjuk jarinya pada sebuah pohon tak
Jauh dari dua orang berkepala botak.
Mula-mula Pendekar 108 hanya melihat
kegelapan, namun setelah matanya sedikit terbia-
sa dengan gelap, samar-samar pandangannya
membentur pada sesosok tubuh yang berdiri te-
gak dengan kepala menghadap ke depan, ke arah
dua orang botak yang masih tertawa bergerai-
gerai.
Tiba-tiba salah seorang di antara kedua
orang botak itu, yakni yang mengenakan jubah
besar warna hitam hentikan geraian tawanya.
Tangannya bergerak menekan salah satu urat
leher Dewi Tengkorak Hitam.
"Ha.... Ha.... Ha...! Apa enaknya bersenang-
senang dengan orang bisu? Sedikit suara erangan
akan menambah panasnya suasana...."
Ternyata orang berjubah hitam tadi mem-
bebaskan Dewi Tengkorak Hitam dari totokan di
lehernya, hingga Dewi Tengkorak Hitam dapat
bersuara. Dan tak lama kemudian terdengar sua-
ranya.
"Jahanam! Berani kau berbuat yang bu-
kan-bukan, dunia ini akan sempit buat kalian!
Aku akan mengejar kalian dan menanggalkan ke-
pala kalian satu persatu!"
Dua orang berkepala botak itu saling pan-
dang satu sama lain. Lalu sesaat kemudian kedu-
anya tertawa mengekeh.
"Boleh kau mengejar kami, tapi bukan ke-
pala kami yang akan kau tanggalkan. Tapi seba-
liknya, kami yang akan menanggalkan pakaianmu
lagi! Seperti ini!" yang berkata kali ini adalah yang
mengenakan jubah merah. Habis berkata tangan
kanannya mengayun pelan ke bawah.
Bret! Brettt!
Pakaian bagian atas Dewi Tengkorak Hitam
robek menganga, hingga buah dadanya yang putih membusung mencuat tanpa penutup lagi. De-
wi Tengkorak Hitam memaki habis-habisan. Na-
mun karena tubuhnya tak bisa digerakkan maka
dia hanya memaki sambil mendelik! Dadanya
makin tampak turun naik. Sebaliknya orang ber-
jubah hitam dan merah yang tegak di sampingnya
tertawa makin keras.
"Kau tak usah keluarkan suara banyak-
banyak, Manis. Eranganmu nanti jadi berku-
rang.... Ha.... Ha.... Ha...! Kau tahu? Kami telah
putar-putar cari tempat yang bagus. Tempat yang
bisa dibuat senang-senang dengan disaksikan bu-
lan purnama.... Ha.... Ha .... Ha...!" kata yang ber-
jubah merah, lalu dengan napas memburu dia
tanggalkan jubahnya.
Yang berjubah hitam tak tinggal diam.
Dengan jakun turun naik, dia pun segera tang-
galkan jubahnya.
"Aku lebih tua darimu! Aku yang menikma-
ti dahulu!" berkata yang berjubah merah begitu
melihat orang yang berjubah hitam ikut-ikutan
tanggalkan jubahnya.
"Silakan kau nikmati duluan. Aku hanya
ingin dia mengusap-usapku! Terlalu sayang jika
tangannya hanya dibiarkan diam. Ha.... Ha....
Ha...!"
Di balik pohon, dada Pendekar Mata Keran-
jang makin bergetar keras. Matanya merah berki-
lat-kilat. Dengan mendengus keras, tangannya
menyentakkan tangan Setan Pesolek yang tetap
mencekal lengannya.
"Kalau kau tetap menghalangiku, jangan
kecewa jika aku melupakan jasamu dan memutus
lepas tanganmu!" kertak Pendekar 108 saking ge-
ramnya melihat Setan Pesolek tetap menghalangi
dengan mencekal lengannya.
"Aku tak mengharap imbalan apa-apa da-
rimu! Tapi sebelum melangkah lihat dulu kea-
daan!" berkata Setan Pesolek lalu lepaskan ceka-
lannya pada lengan Pendekar 108.
Pendekar 108 tak pedulikan kata-kata Se-
tan Pesolek. Begitu lengannya tak lagi dicekal, dia
segera bangkit hendak berkelebat. Namun lang-
kahnya terhenti tatkala matanya melihat kejadian
aneh di depan.
Orang yang beranting-anting merah yang
tadi mengenakan jubah merah yang telah siap
hendak membungkuk dan menindih tubuh Dewi
Tengkorak Hitam tiba-tiba terhuyung-huyung ke
belakang, lalu jatuh terduduk, sementara yang
beranting-anting hitam yang tadi mengenakan ju-
bah hitam mencelat sampai satu tombak dan ja-
tuh berlutut.
Selagi dua orang ini belum bergerak bang-
kit, satu bayangan hitam berkelebat dan tahu-
tahu telah berdiri tegak dengan kacak pinggang
lima langkah di sebelah Dewi Tengkorak Hitam.
Dua orang berkepala botak cepat bangkit
dan berteriak berbarengan.
"Siapa kau?!" "
"Kalau tak ingin mati, lekas minggat dari
hadapanku!" yang menyambung adalah yang tadi
mengenakan jubah merah. Sepasang matanya
menyengat tajam memperhatikan orang yang ba-
ru saja datang.
Dia adalah seorang pemuda berparas tam-
pan. Rambutnya panjang bergerai. Tubuhnya
tinggi tegap dengan sepasang mata tajam. Menge-
nakan jubah warna biru gelap, yang merangkapi
baju putih tanpa belahan di depan. Karena ju-
bahnya tidak dikancingkan, maka tampak dengan
jelas jika baju putih dalamnya di bagian dada ter-
pampang sebuah lukisan berbentuk pintu ger-
bang aneh.
Dibentak begitu, sang pemuda tengadah-
kan kepala, lalu berkata.
"Pasang telinga kalian baik-baik! Aku ada-
lah Dewa Maut! Aku akan pergi dari sini apabila
kalian dapat menunjukkan padaku setidak-
tidaknya memberi keterangan padaku tentang se-
seorang yang kucari! Tapi ingat! Jika kalian tak
dapat memenuhi permintaanku, malam ini adalah
saat ajal kalian!"
Entah karena merasa kecut karena menya-
dari orang di hadapannya berilmu tinggi sebab
tanpa terdengar suara dan deru angin, tubuh me-
reka bisa dibuat mental. Atau karena ingin agar
pemuda segera pergi dan mereka dapat mene-
ruskan bersenang-senang, orang yang beranting-
anting merah yang tadi mengenakan jubah merah
segera angkat bicara.
"Katakan siapa orang yang kau cari! Tapi
ingat! Tidak semudah bicaramu jika kau ingin
menentukan ajal kami! Sebaiknya kami yang
akan tentukan ajalmu!"
Sang pemuda yang menyebut dirinya Dewa
Maut keluarkan tawa panjang. Tiba-tiba tawanya
diputus. Kepalanya diluruskan dan sepasang ma-
tanya memandang tajam pada kedua orang di ha-
dapannya.
"Katakan padaku, di mana aku dapat me-
nemukan orang yang bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Seorang pemuda yang memiliki se-
buah kipas warna ungu dengan guratan angka
108!"
Karena Aji berada tak jauh, maka dengan
jelas dia dapat mendengar ucapan Dewa Maut.
Serentak paras wajahnya berubah. Dia meman-
dang tajam ke arah Dewa Maut. Lalu tengadah
dengan dahi mengernyit.
"Dewa Maut.... Hmm.... Aku baru kali ini
mendengar namanya. Siapa dia sebenarnya? Ke-
napa mencariku...?!"
Tak beda dengan Aji, Dewi Tengkorak Hi-
tam pun terkejut. Dadanya berdebar. "Dia menca-
ri Aji, mendengar nada bicaranya, dia bermaksud
tidak baik!" batinnya, lalu pejamkan mata.
Selagi Aji bertanya-tanya, dari arah depan
terdengar seseorang buka suara. Ketika Aji lu-
ruskan lagi kepalanya, maka terlihat bahwa yang
buka suara kali ini adalah orang botak yang men-
genakan anting-anting hitam yang tadi mengena-
kan jubah hitam.
"Dewa Maut! Kami memang pernah dengar
nama orang yang kau sebut. Tapi jangan harap
kau mengetahui dari kami di mana orang itu be-
rada! Kami bukan jongos yang mengurusi orang!"
Dewa Maut kembali keluarkan tawa pan-
jang, lalu berkata tanpa lagi memandang pada
kedua orang di hadapannya.
"Berarti kalian memilih tawaranku yang
kedua!"
"Kami tak mengenalmu! Dan kau tak ber-
hak memberi tawaran pada kami!" sambung
orang botak yang beranting-anting merah.
"Peduli setan kalian mengenalku apa tidak.
Yang jelas kalian tak dapat memberi keterangan
yang kuminta. Itu nasib jelek bagi kalian!"
"Anjing kurap! Mulutmu terlalu sombong!
Lekas menyingkir atau kepalamu akan kubuat
berantakan! Kau tahu, siapa yang sedang di ha-
dapanmu sekarang?!"
"Tak perlu kujawab pertanyaanmu! Aku
butuh keteranganmu!"
Si botak beranting-anting merah meman-
dang pada botak beranting-anting hitam. Dia lan-
tas mengangguk seakan memberi isyarat. Lalu dia
berkata.
"Pemuda sombong! Meski kau tak ingin ta-
hu siapa kami, baiklah akan kuberitahu saja,
mungkin bisa melapangkan jalanmu ke neraka!"
sejenak dia putuskan ucapannya, mungkin me-
nunggu sambutan dari pemuda di hadapannya,
namun ketika ditunggu si pemuda tak juga mem-
beri sambutan, malah memandang jurusan lain,
si botak beranting-anting merah menyambung
ucapannya.
"Buka matamu lebar-lebar, Anak Muda!
Kami adalah Iblis Kembar!"
"Peduli siapa kalian! Tak bisa memberi ke-
terangan pada Dewa Maut berarti calon bangkai
manusia!"
"Anjing buduk! Kepalamu memang minta
dipecah!" teriak yang beranting-anting merah.
Bersamaan dengan itu dia melompat. Yang be-
ranting-anting hitam tak tinggal diam. Dia pun
ikut meloncat ke depan. Dan secara bersamaan
kedua orang ini hantamkan kedua tangan mas-
ing-masing. Empat rangkum angin dahsyat mele-
sat mendahului sebelum dua pasang tangan da-
tang menghajar sasaran.
Yang diserang tidak bergerak dari tempat-
nya. Malah sunggingkan senyum bernada menge-
jek.
Wuuut! Wuuuttt!
Wuuut! Wuuuttt!
Takk! Taakk!
Taakk! Taaakkk!
Terdengar empat kali berturut-turut bentu-
ran keras ketika dua pasang tangan menghajar
telak bahu kanan kiri Dewa Maut. Yang kena ha-
jar cuma bergoyang-goyang sebentar. Sebaliknya
dua orang botak yang menyebut diri mereka Iblis
Kembar mundur dua langkah dengan mata mas-
ing-masing membeliak. Sejenak keduanya diam
tertegun. Lalu saling pandang satu sama lain.
Dua orang ini diam-diam jadi terkesiap. Mereka
sama-sama bertanya dalam hati siapa sebenarnya
pemuda di hadapannya. Karena selama malang
melintang dalam rimba persilatan baru kali ini dia
menemukan orang yang tahan terhadap puku-
lannya. Padahal batu besar pun akan hancur ter-
kena pukulan tadi. Apalagi dilakukan secara ber-
sama-sama.
Selagi Iblis Kembar tercenung, Dewa Maut
keluarkan tawa ngakak.
"Ilmu masih setinggi lutut, kekuatan masih
sebatas mata kaki sudah berkoar setinggi langit!
Dasar manusia dungu! Kalau masih sedangkal itu
kenapa bermulut besar?!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut jejakkan
kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat den-
gan kaki terpentang.
Iblis Kembar cepat angkat tangan masing-
masing dan dihantamkan ke bawah namun kedu-
anya tertipu, karena sebelum kedua tangan mas-
ing-masing orang ini menghajar kaki, Dewa Maut
telah terlebih dahulu tarik pulang kakinya, dan
serta-merta kedua tangannya bergerak mengayun
ke bawah. Ke arah tengkuk Iblis Kembar yang
sama-sama agak menunduk mengikuti gerakan
tangannya.
Deess! Deesss!
Iblis Kembar sama-sama terpekik. Tubuh
keduanya terjungkal ke depan.
Dewa Maut tengadahkan kepala meman-
dang rembulan, lalu tertawa mengekeh. Kedua
tangannya diusap-usapkan satu sama lain.
Iblis Kembar sama-sama cepat bergerak
bangkit. Dan tanpa mempedulikan tengkuk mas-
ing-masing yang terasa hendak penggal, kedua
orang ini melesat ke udara. Kedua tangan masing-
masing menghantam ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Empat gelombang angin yang keluarkan
suara dahsyat menggebrak ke arah Dewa Maut.
Dewa Maut putuskan suara tawanya. Ke-
dua kakinya menjejak tanah. Tubuhnya kembali
melesat ke atas. Satu tombak di atas udara, ke-
dua tangannya mendorong ke depan.
Wuuutt!
Gelombang bara api merah menyala mele-
sat keluar dari telapak tangan Dewa Maut, seketi-
ka itu juga tempat itu laksana dipanggang. Rant-
ing-ranting dan daun-daun keluarkan suara ge-
meretak laksana dibakar, lalu luruh dengan han-
gus!
Iblis Kembar sama-sama keluarkan teria-
kan tegang. Bukan hanya karena melihat puku-
lannya ambyar di tengah jalan terhantam bara
api, namun juga karena tubuhnya terasa dipang-
gang! Inilah pukulan sakti yang berhasil dipelajari
Dewa Maut dari Kitab Takhta Setan, yakni puku-
lan 'Dewa Membakar Bumi'.
Meski pukulannya sudah ambyar, namun
Iblis Kembar tampaknya tidak begitu saja menye-
rah. Kedua tangannya kembali mereka hantam-
kan coba menghalau api yang kini melabrak kearah mereka. Namun untuk kedua kali, serangan
mereka ambyar, dan tanpa bisa dielakkan lagi,
bara api itu kini menggebrak ke arah mereka tan-
pa penghalang!
Wuuus! Wuuusss!
Iblis Kembar keluarkan seruan keras. Tu-
buh keduanya mencelat mental ke belakang den-
gan pakaian terbakar, lalu jatuh berkaparan di
atas tanah.
Sesaat kedua orang ini sama-sama guling-
kan tubuhnya ke tanah untuk mematikan api di
pakaiannya. Namun baru saja mereka bergulin-
gan, dari arah depan menderu angin dahsyat. Ke-
dua orang ini sama-sama tercekat. Namun sudah
tak bisa lagi menghindar. Hingga tak ampun lagi
tubuh keduanya mencelat dan bergedebukan di
atas tanah.
Orang yang beranting-anting hitam sesaat
tampak meraung keras dengan tangan mengga-
pai-gapai. Namun raungannya tiba-tiba terputus
laksana direnggut setan. Dan tangannya pun me-
lemah sebelum akhirnya lunglai bersama terca-
butnya nyawa!
Sebaliknya, orang yang beranting-anting
merah masih tampak merambat bangkit. Namun
belum setengah tegak tubuhnya telah roboh kem-
bali. Sepasang matanya lantas melirik ke arah
Dewa Maut yang tampak melangkah ke arahnya.
Diam-diam orang ini kumpulkan sisa-sisa tena-
ganya. Lalu sambil bersitekan pada siku tangan
kirinya, tangan kanannya mendorong ke arah
Dewa Maut.
"Manusia keparat! Jangan mimpi bisa
membuatku cidera dengan pukulan tahi ayam-
mu!" bentak Dewa Maut marah mengetahui orang
yang beranting-anting merah masih lancarkan se-
rangan. Kedua tangannya kembali mendorong ke
arah depan, sementara kakinya bergeser satu
langkah ke samping menghindari serangan.
Serangan orang beranting-anting merah
lewat sejengkal di sebelah pinggang Dewa Maut,
namun dia sendiri tak dapat menghindari puku-
lan Dewa Maut, hingga untuk kesekian kalinya
tubuhnya mental lalu terjerembab ke tanah tanpa
bangun lagi!
Tubuhnya hangus laksana dipanggang!
"Pemuda berhati keji berwatak beringas!"
gumam Aji setelah mengetahui apa yang terjadi.
Sejenak dia berpaling pada Setan Pesolek. Namun
murid Wong Agung ini menyumpah sendiri habis-
habisan dalam hati, karena dilihatnya Setan Peso-
lek sedang bercermin pada batu putihnya sambil
senyum-senyum!
"Dasar orang...," Aji tak meneruskan gu-
mamannya karena dilihatnya Setan Pesolek se-
dang memandang ke arahnya.
"Dasar orang apa? Ayo teruskan ucapan-
mu! Mengapa diputus?!" tiba-tiba Setan Pesolek
angkat bicara. Sepasang matanya mendelik.
"Dasar Pesolek...," kata Aji, meski sebenar-
nya bukan kata-kata itu yang ada dalam hatinya.
Habis menjawab, Aji kembali alihkan pandangan
nya ke depan.
Saat itu terlihat Dewa Maut melangkah
mendekati Dewi Tengkorak Hitam yang meman-
danginya dengan pandangan takut.
Satu langkah di samping Dewi Tengkorak
Hitam, Dewa Maut hentikan langkah. Memandan-
gi Dewi Tengkorak Hitam dengan tatapan tajam.
Dewi Tengkorak Hitam menyumpah habis-
habisan, karena saat itu dadanya terbuka lebar,
sementara dirinya tak bisa bergerak. Hingga den-
gan paras merah mengelam gadis cantik ini alih-
kan pandangannya pada jurusan lain.
Sejenak mata Dewa Maut tampak sedikit
merah, dadanya berdebar, jakunnya bergerak
naik turun. Napasnya berhembus panjang-
panjang. Jelas jika pemuda ini menahan gejolak
nafsunya. Namun dia lantas melangkah ke samp-
ing. Mengambil jubah merah yang tergeletak, dan
dilempar begitu saja ke atas tubuh Dewi Tengko-
rak Hitam.
Meski jengkel dengan sikap Dewa Maut,
namun Dewi Tengkorak Hitam masih berterima
kasih karena dadanya bisa tertutup.
"Terima kasih. Kalau tak keberatan, harap
kau suka membebaskan diriku dari totokan ma-
nusia-manusia jahanam itu!" kata Dewi Tengko-
rak Hitam sambil memandang ke arah Dewa
Maut.
Dewa Maut seakan tak mendengar ucapan
Dewi Tengkorak Hitam. Dia memandang ke atas.
Dengan kacak pinggang dia berkata.
"Aku dalam perjalanan mencari seseorang.
Kalau kau bisa memberi keterangan di mana aku
bisa menemukan seorang bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 kau akan kubebaskan! Jika tidak
dapat memberi keterangan, sungguh malang na-
sibmu. Karena kau akan menemui ajal dengan
tubuh tegang! Ha.... Ha.... Ha...!"
"Dajal keji!" rutuk Dewi Tengkorak Hitam
dalam hati.
"Hmm.... Sementara aku akan membohon-
ginya, dengan begitu aku akan dibebaskan, sete-
lah itu...," setelah berpikir sejenak, Dewi Tengko-
rak Hitam berkata.
"Aku tahu orang yang kau cari!"
Dewa Maut membelalak, lalu palingkan wa-
jah dan melangkah mendekat. "Bagus! Katakan di
mana!"
"Di suatu tempat jauh dari sini! Perjala-
nannya kira-kira memakan waktu dua hari dua
malam!"
"Hmm.... Begitu? Baiklah! Kau harus tun-
jukkan padaku!" sambil berkata Dewi Maut bung-
kukkan tubuh dan hendak mengangkat tubuh
Dewi Tengkorak Hitam.
"Tunggu!" seru Dewi Tengkorak Hitam.
"Karena yang akan kita lewati jalanan ra-
mai tidak pantas jika kau memanggulku. Be-
baskan dahulu totokan ini!"
Dewa Maut menyeringai, lalu tertawa pe-
lan.
"Jangan harap kau bisa menipuku! Sepu
luh hari pun dan melewati jalan apa pun tak pe-
duli!"
Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan
perubahan pada wajah Dewi Tengkorak Hitam,
Dewa Maut angkat tubuh gadis ini dan meletak-
kan di atas pundaknya. Lalu hendak berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Namun belum sampai bergerak berkelebat,
terdengar orang menegur. "Tunggu...!"
Dewa Maut urungkan niat. Lalu balikan
tubuh.
DUA BELAS
Di hadapan Dewa Maut berdiri seorang
pemuda mengenakan pakaian hijau. Untuk bebe-
rapa saat lamanya Dewa Maut memandangi orang
di hadapannya. Dahinya mengernyit. Sebelum
mulutnya membuka keluarkan suara, orang ber-
baju hijau yang bukan lain adalah Pendekar Mata
Keranjang telah mendahului berkata.
"Kalau boleh tanya, apakah memang ingin
menemukan pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108?"
Dahi Dewa Maut makin mengernyit. Dia
memperhatikan pemuda di hadapannya dari atas
hingga bawah.
"Hmm.... Dia mengetahui. Kalau tidak
mendengarkan di sekitar tempat ini tidak mung-
kin dia mengetahuinya! Kehadirannya di sekitar
tempat ini tak dapat diketahui. Tampaknya dia
memiliki ilmu...," batin Dewa Maut. Lalu berkata.
"Ucapanmu benar! Aku memang ingin me-
nemukannya. Kau dapat menunjukkan? Kalau
dapat, kau akan dapat imbalan pantas dariku.
Tapi jika tidak, kau dapat melihat-lihat dulu dua
orang yang tergeletak itu! Nasibmu akan sama
dengan mereka!"
Sejenak Pendekar 108 memandang silih
berganti pada dua mayat yang tergeletak hangus.
Lalu memandang pada Dewa Maut dan berkata.
"Imbalan apa yang akan kau berikan pada-
ku?!"
"Kau tak berhak tanya padaku! Katakan di
mana pemuda itu dapat kutemukan!"
"Bagaimana kalau gadis di pundakmu itu
saja sebagai imbalannya?" tanya Pendekar 108
tanpa mempedulikan ucapan Dewa Maut.
"Kau tak usah melakukan perjalanan lagi,
karena orang yang kau cari dekat sekitar sini!"
sambung Aji tatkala Dewa Maut masih diam.
"Hmm... Kalau itu maumu, baiklah! Tapi
ingat, sekali kau menipu Dewa Maut, kuhancur-
kan tubuhmu!"
Habis berkata, Dewa Maut turunkan tubuh
Dewi Tengkorak Hitam.
Pendekar 108 melangkah mendekat. Na-
mun baru satu langkah Dewa Maut telah mem-
bentak garang.
"Tetap di tempatmu! Jangan bergerak tan-
pa perintahku!"
Dewi Tengkorak Hitam yang telah berada di
atas tanah melirik. Wajahnya berubah begitu
mengetahui siapa adanya orang yang bicara pada
Dewa Maut. Mulutnya membuka hendak mengu-
capkan sesuatu, namun buru-buru sadar, dan
takupkan kembali mulutnya. Hanya sepasang
matanya kini memperhatikan Aji dengan dahi
mengkerut.
"Katakan di mana pemuda itu! Dan kau bo-
leh ambil gadis ini!" kata Dewa Maut sambil arah-
kan telunjuknya pada Dewi Tengkorak Hitam.
Pendekar 108 arahkan pandangannya pada
tempat di mana Setan Pesolek berada. Lalu berka-
ta.
"Kau dapat menemukannya di balik pohon
itu!" Aji menunjuk pada pohon, di mana Setan Pe-
solek berada di baliknya.
Sejurus Dewa Maut memandang Aji dengan
pandangan tak percaya. Hidungnya keluarkan
dengusan keras. Lalu berkata.
"Kau jangan main-main dengan nyawamu!"
Aji gelengkan kepala.
"Silakan buktikan sendiri!"
Sementara itu di balik pohon Setan Pesolek
memaki habis-habisan. Namun dia tak juga be-
ranjak dari tempatnya.
"Kurang ajar anak itu! Orang dibuat um-
pan seenak perutnya!" gumam Setan Pesolek lalu
sibakan rambutnya dan menggerakkan tangannya
pulang balik ke depan dengan gerakan lembut.
Saat itulah tiba-tiba sepasang matanya
menumbuk pada sebuah benda. Dengan dahi
berkerut, Setan Pesolek melangkah mendekat dan
memungut benda itu.
"Sialan! Dia benar-benar hendak mengerjai
diriku! Kipas ini pasti sengaja ditinggalkan!" gu-
mamnya seraya mengawasi benda di tangannya
yang ternyata adalah kipas lipat.
"Kau tetap di sini! Satu langkah bergerak,
kepalamu hancur! Kau dengar?" bentak Dewa
Maut. Lalu berkelebat ke arah pohon yang ditun-
juk Aji.
Belum sampai berkelebat, dari balik pohon
muncul sesosok pemuda berambut kepang dua
dengan bibir mencorong besar. Bukan karena me-
lihat gerakan orang yang baru muncul, namun
pada tangan kanannya yang bergerak pulang ba-
lik di depan dagu berkipas-kipas.
Kalau Dewa Maut mendelik besar, Aji tam-
pak menarik napas lega. Sebenarnya Aji sempat
dibuat cemas. Dia khawatir Setan Pesolek tak me-
lihat kipasnya atau melihat kipas itu lalu dipun-
gutnya dan dibawanya pergi.
"He...! Ucapanku benar, bukan? Apakah
gadis itu bisa kuambil sekarang?" kata Aji seraya
melirik pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Aku Dewa Maut! Dengar. Aku Dewa Maut!
Sekali lagi kau panggil bukan namaku, kupatah-
kan lehermu! Dan jangan bergerak tanpa perin-
tahku!" berkata Dewa Maut dengan mata tertuju
pada pemuda yang berkipas-kipas. Lalu meloncat
dan berdiri tegak menghadang pemuda yang berkipas-kipas yang bukan lain adalah Setan Peso-
lek.
"Hmm.... Melihat lagak gayanya, tak pantas
dia disebut seorang pendekar. Tapi melihat kipas-
nya...." Untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut
memperhatikan kipas ungu di tangan kanan Se-
tan Pesolek.
"Apa mungkin.... Jangan-jangan kipas itu
palsu! Hmm.... Akan kujajaki ilmunya. Sebagai
orang yang bergelar pendekar, tak mungkin be-
rilmu cetek!" batin Dewa Maut. Lalu dia memben-
tak.
"Siapa kau?!"
Setan Pesolek tak segera menjawab. Malah
sepasang matanya memandangi Dewa Maut. Lalu
tawa cekikikannya keluar.
"Dewa Maut.... Bukankah itu gelarmu?!"
Setan Pesolek balik bertanya.
"Keparat! Kau tak layak menanyaiku! Ja-
wab pertanyaanku! Siapa kau?!"
Setan Pesolek sibakan rambut di tengkuk-
nya dengan menarik sedikit kepalanya ke bela-
kang.
"Orang-orang memanggilku Pendekar Mata
Keranjang 108! Kau siapa?!" kembali Setan Peso-
lek ajukan pertanyaan, membuat Dewa Maut ke-
luarkan dengusan keras dan menyeringai.
Sementara Pendekar 108 menahan tawa,
dan perlahan-lahan menggeser ke arah Dewi
Tengkorak Hitam.
"Kau jangan mengaku-aku Pendekar Mata
Keranjang 108!" bentak Dewa Maut lalu melang-
kah lagi satu tindak.
"Aku tak mengharap kau mempercayaiku.
Bagiku tak ada untungnya kau percaya atau ti-
dak! Harap jangan menghadang. Aku tak punya
waktu banyak!"
"Hmm.... Jika kau memang Pendekar Mata
Keranjang 108, dengar! Serahkan kipas serta
nyawamu padaku!"
Seraya membentak, Dewa Maut julurkan
tangan kanannya membuat gerakan seperti me-
minta. Lalu kepalanya mengangguk.
Setan Pesolek alihkan pandangannya. Lalu
berkata dengan gerakan tangan kiri ke depan ke
belakang seperti orang melambai.
"Tiada hujan tiada panas. Malam-malam
begini kau menghadangku. Lalu meminta barang-
ku, bahkan nyawaku. Jangan-jangan kau ini se-
bangsa orang-orang yang berkeliaran menjarah
barang orang dengan paksa, alias perampok!"
Dewa Maut tertawa mengekeh.
"Kau mau bilang apa terserah! Yang pasti,
aku Dewa Maut menginginkan kipas dan nyawa-
mu!"
"Kau masih muda dan tampan. Sayang...."
"Sayang apa...?!"
"Masih serakah dengan barang dan nyawa
orang lain!"
"Jahanam!" maki Dewa Maut, lalu tanpa
pikir panjang lagi dia angkat kedua tangannya
dan lepaskan pukulan sakti 'Dewa Membakar
Bumi'. Seketika itu juga tempat itu panas me-
nyengat laksana dipanggang. Dari telapak tan-
gannya lalu melesat gelombang bara api merah
menyala.
Setan Pesolek berteriak ngeri. Namun tan-
gan kanan kirinya segera diangkat dan seraya me-
lompat setengah tombak kedua tangannya dihan-
tamkan ke depan.
Asap putih bergulung-gulung melesat dari
tangan kiri, sementara dari tangan kanan asap
putih membentuk kipas menebar melengkung.
Asap putih menyongsong gelombang bara
api lalu bergerak membubung ke atas. Tiba-tiba
menukik deras ke bawah, dan....
Bummm!
Dentuman keras mengguncang.
Tanah di tempat itu terbongkar dan mem-
bentuk lobang menganga sedalam setengah tom-
bak. Dewa Maut terhuyung sejenak lalu jatuh ter-
duduk. Sementara Setan Pesolek terseret ke bela-
kang. Lalu cepat tangannya menyambar batang
pohon di sampingnya, hingga tubuhnya selamat
dari jatuh terjengkang.
Dewa Maut angkat alis matanya. Lalu,
memandang ke arah Setan Pesolek yang bersan-
dar pada batang pohon, dan melihat lawan masih
bertahan malah dia sendiri dibuat jatuh terduduk
membuat dia merasa yakin jika yang dihadapinya
adalah Pendekar Mata Keranjang 108. Sejenak dia
memeriksa, dan begitu tak ada yang cidera, dia
cepat bangkit. Lalu berkelebat ke arah Setan Pesolek dan lepaskan sekali lagi pukulan 'Dewa
Membakar Bumi'.
Wuuutt! Wuuuttt!
Setan Pesolek tak tinggal diam. Kipas ungu
milik Aji cepat disimpan di balik pakaiannya. Lalu
angkat tangannya di atas kepala. Tubuhnya lan-
tas diputar dengan cepat. Serta-merta kedua tan-
gannya dikepakkan, lalu dihantamkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Gelombang asap putih bergulung-gulung
melesat dan serta-merta menggulung bara api se-
rangan lawan.
Setan Pesolek tambah tenaga dalamnya.
Lalu dorong tangannya ke depan. Gulungan asap
putih yang memuntal bara api serangan Dewa
Maut kini bergerak ke arah Dewa Maut.
Dewa Maut berdiri tegak. Rahangnya men-
gatup rapat. Gerakan asap putih yang membung-
kus serangannya tidak mungkin lagi ditangkis-
nya, karena asap itu akan ambyar dan bara api
serangannya sendiri akan mental balik ke arah-
nya.
Memikir sampai di situ, dengan gerakan
luar biasa cepat sepasang kakinya menjejak ta-
nah. Tubuhnya melesat tinggi ke udara. Namun
bersamaan dengan itu asap putih yang mem-
bungkus bara api ambyar.
Bummm!
Dewa Maut terdengar keluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya makin membubung tinggi.
Lalu menukik deras dan jatuh terjerembab pada
tanah yang telah terbongkar hingga untuk bebe-
rapa saat lamanya tubuh Dewa Maut laksana le-
nyap.
Di balik asap putih yang masih melingkupi
tempat itu, Setan Pesolek terlihat terhuyung-
huyung melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang yang ternyata telah membebaskan Dewi
Tengkorak Hitam
"Manusia sialan! Ayo panggul aku! Tinggal-
kan tempat celaka ini!" kata Setan Pesolek. Dan
tanpa menunggu persetujuan Aji, dia langsung
melompat dan menggelayut pada punggung Aji.
Dewi Tengkorak Hitam anggukan kepala.
Lalu berkelebat mendahului. Sejenak Pendekar
108 masih mengawasi di mana Dewa Maut jatuh
terjerembab.
"Manusia sialan! Dia sebenarnya urusan-
mu. Tapi karena kau masih cidera terpaksa untuk
sementara ini aku mewakilimu. Tapi lain kali jan-
gan harap aku akan bisa kau jadikan umpan lagi!
Ayo jalan!"
Sambil cengar-cengir Pendekar Mata Ke-
ranjang balikan tubuh dan berkelebat dengan
menggendong Setan Pesolek.
"Setan Pesolek!" kata Aji sambil terus berla-
ri.
"Aku rasa-rasanya tak pernah punya uru-
san dengan manusia bernama Dewa Maut. Aneh
jika tiba-tiba dia mencariku dan hendak membu-
nuhku!"
Sambil mengusap-usap mulutnya pada
punggung Aji, karena ternyata dari mulutnya te-
lah keluar darah hitam, Setan Pesolek berkata.
"Pendekar 108! Arena rimba persilatan bu-
kan hanya merupakan ajang malang melintang-
nya tokoh golongan putih dan golongan hitam.
Namun juga arena subur untuk menabur benih
dendam, menebar fitnah. Benar kau tak pernah
punya urusan dengan Dewa Maut, tapi benih
dendam mungkin saja telah ditanam seseorang
padanya. Hingga meski kau tak punya masalah
dengannya, tapi dia telah menganggapmu musuh
sekaligus menginginkan nyawamu! Itulah resiko
menjadi seorang pendekar. Jika kau tak pandai-
pandai melangkah apalagi terjerat dengan kepal-
suan yang tampak di mata, maka jangan mimpi
kau dapat melaksanakan tugasmu dengan
baik...."
"Ah, ternyata kau pandai juga bicara.... Ta-
pi, benar juga ucapannya!" kata Pendekar 108 da-
lam hati. Lalu berkelebat lebih kencang lagi.
Jauh di belakangnya, begitu asap putih si-
rap, Dewa Maut terbungkuk-bungkuk bangkit.
Sekali loncat tubuhnya telah keluar dari dalam
bongkaran tanah. Sepasang matanya memandang
berkeliling. Tiba-tiba wajahnya berubah. Mulut-
nya terkancing rapat. Rahangnya mengembung,
dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak.
"Keparat! Hari ini nasibmu masih baik
Pendekar Mata Keranjang 108! Tapi tidak untuk
hari-hari selanjutnya! Dewa Maut akan membuat
duniamu sempit! Dewa Maut punya kekuatan untuk menggenggam dunia persilatan!" teriak Dewa
Maut marah sambil kepalkan kedua tangannya.
Sejenak dia masih memandang berkeliling.
Setelah merasa benar-benar jika orang yang dicari
tidak ada di sekitar tempat itu, dia pun berkelebat
meninggalkan tempat itu.
SELESAI
Ikutilah kelanjutan kisah ini dalam episode:
PRAHARA DENDAM LELUHUR
0 comments:
Posting Komentar