"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 23 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MACAN KEPALA ULAR

Macan Kepala Ular

 

MACAN KEPALA ULAR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Macan Kepala Ular


1


Sinar matahari naik cepat ke puncak hari. Tepat di

ubun-ubun setiap penghuni bumi, sinar tajamnya

menghujam. Dalam terik yang ganas itu, seseorang

melakukan semadi di tengah-tengah perbukitan pasir

tandus.

Badan orang itu amat kurus. Tulang iganya menonjol

keluar, cuma berbalut kulit. Kulitnya sendiri hitam. Tentu

saja bukan cuma akibat garangan sinar matahari saat itu.

Kulitnya memang hitam semenjak dia lahir ke bumi. Lelaki

kurus itu mengenakan semacam sorban dekil kecil di

kepalanya.

Bersemadi di puncak bukit pasir tandus serta di

bawah hujanan sengatan matahari saja sudah memancing

perhatian. Terlebih lagi karena dia seperti sengaja

membiarkan dirinya digarang sampai gosong dengan tubuh

terbuka tanpa pakaian cukup itu. Yang dikenakan cuma

kain penutup dekil di bagian ‘rahasia' saja.

Wajahnya terlalu asing untuk disebut sebagai

penduduk asli tanah Jawa. Hidungnya memancung

kelewatan. Agak membengkok seperti paruh burung

kakatua. Bibirnya tipis. Sedangkan matanya yang berbiji

besar, terpejam khusuk.

Tak seperti lazimnya cara semadi penduduk tanah

Jawa, orang satu ini melakukan hal itu dengan cara unik.

Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada.

Sementara kedua telapak kakinya dipertemukan di atas

tengkuk! Dari kejauhan, tubuh lelaki itu terlihat seperti

hewan aneh negeri antah berantah....

Luar biasanya lagi, dalam keadaan yang begitu

menyiksa bagi orang lain, wajah si orang kurus bersorban

malah memperlihatkan ketenangan. Tak terbersit sedikit

pun mimik tersiksa.

Sementara karena kelewat hebatnya diganyang

panas, kulit lelaki bersorban menjadi demikian kering. Tak

ada lagi keringat. Bahkan kulit tersebut seperti

memantulkan kembali sinar matahari. Sampai seorang

wanita datang tergopoh-gopoh padanya.

"Amitha, berhentilah kau melakukan yogamul Aku

perlu bicara!" bentak wanita yang juga berkulit hitam

'langsat'. Badannya sebesar biang kerbau. Kalau dihitung-

hitung, mungkin lemaknya bisa cukup untuk persediaan

makan orang satu rumah selama sebulan.

Wajah perempuan yang baru datang ini pun tak beda

dengan lelaki kurus bersorban. Hidungnya mancung dan

agak membengkok. Matanya besar dengan bulu mata

hitam pekat. Di antara sepasang alis lebatnya diberi tanda

titik hitam. Rambutnya hitam panjang, serta dikepang dua.

Dengan pakaian yang mempertontonkan perut

kendornya, perempuan itu berlari-lari mendekat. Bumi

menjadi 'gonjang-ganjing' akibat hentakkan badan

borosnya....

Dung! Dung! Dung!

Ngeri-ngeri, lelaki kurus yang dipanggil Amitha

membuka sebelah matanya. Menyaksikan perempuan

bengkak tadi datang, matanya cepat-cepat dipejamkan

kembali. Bibirnya sedikit meringis, meski dia sudah mati-

matian berpura-pura tidak tahu.

Tiba di depan Amitha, perempuan bengkak bertolak

pinggang. Perutnya yang selebar 'jagat' menaungi wajah

keling Amitha dari sengatan matahari. Itu bagus. Yang tidak

bagus,bau seperti lobak mentah justru langsung

menyengat hidung Amitha!

Amitha terbangkis.

"Hua... hua... chuihh!"

Kalau sedang melakukan yoga, Amitha biasa

mengendalikan inderanya. Dia bisa membuat telinganya

tidak menangkap s uara-suara. Biasa membuat kulitnya

menjadi mati rasa. Atau bisa membuat hidungnya tidak

menangkap bau dan aroma. Tapi, aneh! Kalau giliran bau

istrinya, dia bisa mencium juga?!

Ya, perempuan bengkak itu memang istri Amitha.

Istri sah yang dinikahi Amitha di tepian Sungai Suci

Gangga, sebelum mereka berangkat ke pulau Jawa dengan

menumpang kapal dari Gujarat. Keduanya berasal dari

satu kasta yang sama. Mereka berasal dari kasta sudra*

Orang sudra hanya boleh menikah dengan sudra, begitu

aturannya.

Belum lagi sewindu masa pernikahan, Amitha sudah

merasa telah keliru besar mengawini perempuan bernama

Neelam itu. Bagaimana tidak begitu?

Dulu. Dulu sewaktu baru menikah di hadapan

pendeta tua Hindu, tubuh Neelam begitu sintal, begitu

menggiurkan bagi lelaki mana pun. Wajahnya begitu

mempesona juga bagi lelaki mana pun. Memandang

matanya seolah menemukan keindahan purnama yang

tertangkap permukaan Sungai Gangga.

Tapi kalau sekarang, setelah hanya dalam tempo

yang sesingkat-singkatnya, setelah mereka menikah dan

berat perempuan itu langsung bertambah dengan pesat,

pesona Neelam berubah menjadi kiamat bagi Amitha.

Tubuhnya kini begitu menggidikkan... bagi lelaki mana pun!

"Kau jangan berpura-pura tidak mendengarku,

Amitha!" geram istrinya di depan Amitha. Geramannya lebih

menyeramkan dari seekor serigala betina kelaparan.

Amitha bergidik. Biasanya tangan besar Neelam bisa

seenaknya mendarat sesuka hati. Bisa di ubun-ubunnya,

bisa di pipinya, bisa juga di tengkuknya. Tahu sendiri,

tangan orang sebengkak itu pasti beratnya sama dengan

gada Manik Angkeran, musuhnya Damar Wulan dalam

cerita rakyat! Itu masih mending. Bagaimana kalau istrinya

tahu-tahu memeluntir kaki Amitha yang kebetulan

disangkutkan di tengkuk? Bisa-bisa dia benar-benar

menjadi hewan aneh!

Makanya Amitha langsung menyahut mendayu-dayu.

Sedikit merayu istrinya yang sedang marah-marah.

"Ada apa, Adinda Sayang...?"

"Ada apa, ada apa! Bangun kau! Kerjamu cuma bisa

yoga saja. Sana ke kotapraja! Cari kerja atau apa! Kita

butuh makan, tahu?!" semprot Neelam tak

berperikemanusiaan.

Beringsut Amitha bangkit. Hatinya terus mengutuk-

ngutuk, sedangkan wajahnya dibuat tetap semanis

mungkin. Memang mesti begitu. Kalau tidak, bogem

Neelam bisa langsung melayang.

"Ayo sana cepat pergi!" usik Neelam.

"Baik Adinda...."

"Pergi!"

"Baik! Baik!"Tergopoh-gopoh, Amitha pergi dari

tempat itu.

***

Hari mulai agak bersahabat ketika Amitha tiba di

kotapraja. Sore jatuh melamat. Matahari condong

sepenggalan. Suasana kotapraja seperti hari biasa. Dari

awal pagi tadi sampai menjelang maiam nanti, denyut

daerah itu tak berhenti barang sejenak. Kalau hari mulai

agak larut, barulah sepi agak menguasai.

Sore itu juga Amitha tiba di sana. Selama hampir

sepertiga hari dia berjalan. Amitha memang harus begitu.

Kuda dia tidak punya. Uangnya saja tak cukup untuk

menyewa kereta reyot sekali pun.

Di tangannya ada semacam keranjang belanjaan

besar yang sebetulnya tak sesuai dengan ukuran badan

lelaki kurus itu. Tadi, sebelum dia benar-benar beranjak

jauh, istrinya memanggil santer. Diperintahnya Amitha

membawa keranjang belanjaan sekalian.

"Beli keperluan kita untuk seminggu!" begitu pesan

Neelam tegas, beringas dan mengancam.

"Tapi uangku hanya cukup untuk makan setengah

hari? Dengan apa aku membeli keperluan makanan untuk

seminggu?" keluh Amitha, berusaha membantah.

"Kerja! Kerja! Orang sudra tak akan bisa makan

kalau tidak kerja! Kita bukan orang-orang Ksatria*. yang

boleh uncang-uncang kaki sambil mengelus perut mereka

lalu menerima pajak dari perasan keringat orang-orang

kecil seperti kita," sembur Neelam sengit.

Amitha ngeri kalau Neelam sudah bicara dengan

mata mendelik-delik. Bingung tidak bingung, lelaki kurus

itu jalan juga. Pesan istrinya yang lebih terasa sebagai

ancaman baginya tinggal bagaimana nanti saja. Mana bisa

dia belanja keperluan seminggu sementara uangnya c uma

cukup untuk makan setengah harian?

Ah, jalan satu-satunya dia harus kerja dulu untuk

memenuhi 'sabda' istrinya. Itu artinya dia tidak akan pulang

dalam satu dua hari. Itu artinya Neelam di rumah akan

menunggu lebih lama. Itu artinya....

"Hoi, jalan jangan bengong begitu! Apa kau mau

terlindas?!" bentak seseorang pada Amitha.

Amitha terkejut bukan main. Rupanya dia melamun

di tengah jalan kotapraja. Satu kereta kuda terhalang

olehnya. Dan itu menyebabkan sang sais menjadi gusar.

Amitha hendak meminta maaf, tapi kereta itu sudah

meluruk cepat.

"Ada-ada saja...," gumam Amitha.

Lalu Amitha berjalan gontai kembali di jalan

berdebu. Perasaannya serasa dijepit, mengingat dirinya

dilahirkan hanya sebagai orang sudra. Kenapa dia harus

dilahirkan sebagai sudra? Gumam hatinya, seperti

mencoba menghujat Tuhan. Apa memang Tuhan tak punya

cukup keadilan? Bukankah sewaktu dilahirkan semuanya

sama, tanpa pakaian dan embel-embel apa pun? Apa

Tuhan hanya memihak para hartawan dan bangsawan?

Kalau begitu, tidak perlu ada sorga, tak juga perlu ada

neraka. Bukankah kedua tempat akhir itu diciptakan untuk

menyempurnakan keadilan Tuhan yang tak ditegakkan

manusia secara benar di dunia?

Dunia... dunia, keluhnya membatin. Banyak jurang

yang telah diciptakan manusia sendirl Sudah terlalu penat

dunia ini dengan sekian dalih beberapa manusia dan

beberapa golongan untuk memelihara kepentingan sendirl

Amitha mengenyahkan segala pikiran tadi. Dia harus

cepat membereskan urusan. Ke kotapraja tujuannya

hendak mencari keperluan hidup, sekaligus mencari

penghidupan. Bukan hendak menyesali nasib. Tapi, belum

lagi jauh Amitha beranjak dari tempat semula, dari arah

selatan terdengar teriakan menggidikkan seorang lelaki.

Teriakan tadi begitu giris di telinga Amitha. Me-

maksa lelaki kurus ini menoleh dengan mata membesar.

Ada apa? Tanya hatinya, penasaran.

Dilihatnya sekitar seratus depa dari tempatnya

berdiri, seorang bertelanjang dada sedang meregang-

regang di udara. Ada yang membuat tubuh kekar berotot

itu melayang setinggi belasan kaki. Selain itu, seperti ada

tenaga kasat mata yang mencekik lehernya, membuat

orang tadi bagai direjam sakaratul maut!

Amitha berlari memburu ke tempat kejadian. Hatinya

dirasuki keingin tahuan membludak. Sementara berlari, dia

terus bertanya-tanya membatin. Ada apa? Tak lagi

dipedulikannya keranjang besar di tangannya. Seperti dia

tak peduli pada amukan Neelam nanti jika tahu dia malah

melancong ke urusan lain.

Ada hal yang sebenarnya membuat Amitha merasa

harus melihat kejadian itu dari dekat. Orang yang sedang

meregang maut di udara berasal dari negeri yang sama

dengan dirinya: India. Itu diketahui Amitha dari bentuk

tubuh dan wajahnya. Di tanah rantau yang jauh dari negeri

asal, selayaknya orang-orang seperti mereka saling

menolong, pikir Amitha.

Tiba di tempat kejadian, Amitha s udah nyaris

terlambat. Lelaki yang terapung di udara sudah mendekati

ajal. Regangan tubuhnya melemah, sebelum akhirnya

terjuntai tanpa gerak. Sebagai seorang yang cukup tahu

banyak tentang perihal tubuh manusia yang dipelajarinya

dari ilmu yoga, Amitha menyadari lelaki itu belum lagi mati.

Cuma, kalau dia sempat terlambat sedikit saja, maka

nyawanya akan benar-benar terlempar dari raga!

Untuk menolongnya, Amitha harus tahu dulu dalang

perbuatan keji itu. Jika tidak, sama artinya dia hendak

mengeringkan sumur, kerja yang belum tentu ada hasilnya.Cepat mata cekung Amitha mencari biang keladi

perbuatan keji tersebut. Tak sulit menemukannya. Amitha

menyaksikan seorang lelaki berpakaian kelabu dari kulit

kerbau berdiri melipat tangan di dada. Tubuhnya tinggi

kekar. Berdada penuh bulu lebat Wajahnya di samping

memperlihatkan paras kejam, juga menakutkan. Kedua sisi

wajahnya tak memiliki keselarasan satu dengan yang lain.

Lobang hidungnya besar sebelah. Seperti juga matanya.

Sementara bibirnya sebelah kiri melekuk ke bawah, dan

yang sebelah kanan melekuk ke atas. Berkali-kali kulit pipi

sebelah kanannya bergerak-gerak. Ada ketidakberesan

saraf wajah lelaki itu.

Sambil mendeliki terus lelaki India yang mengapung

sekarat di udara, otot dadanya mengejang. Tampaknya

lelaki berwajah buruk sedang mengerahkan tenaga amat

kuat. Tenaga itulah yang pasti sedang merejang lelaki India

dengan cara yang aneh di udara.

***

2


"Hei, berhenti, kau!"

Bentakan Amitha membawa hasil. Lelaki

berkebangsaan India yang sedang melayang meregang

nyawa di udara saat itu juga terjatuh ke tanah bersamaan

dengan teralihnya perhatian lelaki berparas buruk.

Dengan mata membersitkan kegeraman tak

terhingga, si lelaki berparas buruk menatap Amitha.

Sebelah matanya yang sudah besar makin membesar.

Tanpa berujar apa-apa, dilepasnya senyuman mencemooh.

Satu sikap yang selalu ditampakkan oleh orang-orang

berjiwa angkuh, menganggap dirinya terlalu besar dan

hebat untuk orang lain,

Amitha tak mempedulikan hal itu. Cepat diburunya

lelaki India yang baru saja terjatuh. Keadaan orang itu kini

jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya yang semula

membiru matang mulai kembali pulih. Pernapasan yang

semula bagai tercekik tangan makhluk gaib mulai pula

dapat berhembus kembali, meskipun masih tersedak-

sedak.

"Kau tak apa-apa, Saudara?" tanya Amitha, mencoba

memastikan keadaan lelaki yang mencoba menyanggah

tubuh lemahnya dengan sebelah siku. Satu tangan yang

lain memegangi lehernya.

"Kau terlalu nekat mencoba menolongku,

Saudara...," rintih lelaki itu pada Amitha. Bukan dia tak sudi

ditolong. Namun, nampaknya dia lebih tahu siapa yang

tengah berurusan dengan mereka saat ini. Baginya, lelaki

dari satu negeri yang mencoba menolongnya telah

melakukan kesalahan besar. Dan itu menyangkut

persoalan nyawa!

"Kau tak tahu kalau kau telah mengusik manusia

iblis, Saudara," desah lelaki tadi, menambahkan.

Amitha mendengus seraya melepas tatapan benci

kepada lelaki berparas buruk.

"Apa pun kau sebut dia, aku tak bisa membiarkan

kau diperlakukan semena-mena," tepis Amitha. Untuk hal

satu itu, Amitha memang tak memandang siapa pun. Tak

ada kata takut untuknya ketika dia harus melakukan

tindakan ksatria. (Entah kalau Nee¬lam)!

Si lelaki sebangsa yang dibantu berdiri menggeleng-

gelengkan kepala.

"Kau tak lihat bagaimana dia melakukan perbuatan

tadi pada diriku, Saudara? Dia itu manusia iblis. Matanya

mampu mengeluarkan kekuatan yang mengerikan...,"

desisnya.

"Sebaiknya, kau cepat pergi dari sinl Jangan pikirkan

aku...."

"Aku tak akan pergi sebelum memastikan kau

selamat," tandas Amitha tegas.

Mendadak terdengar ledakan tawa deras di

belakangnya. Tawa serak bernada terpecah itu melompat

keluar dari tenggorokan lelaki berparas buruk.

"Kau merasa telah cukup hebat untuk menentangku,

Orang Kurus?"

Amitha menoleh mendengar hinaan tadi. Mata

besarnya membeliak marah. Cuping hidungnya meninggi.

"Tak ada yang perlu kutakuti. Kau pikir dengan wajah

menyeramkan dan kekuatanmu tadi aku menjadi takut

untuk menghadapi kelalimanmu?"

Lelaki berparas buruk tertawa lagi.

"Kalau begitu, nyawamu akan menggantikan nyawa

rekan Indiamu itu!" ancam si lelaki buruk, menandaskan.

Amitha menggeram. Dia sudah tak peduli lagi.

"Jangan...," cegah lelaki India tadi, sekali

memperingati ketika Amitha hendak beranjak mendekati si

lelaki buruk. "Kalau tadi saja dia hendak membunuhku

dengan cara yang begitu menyakitkan hanya karena aku

tak sengaja melanggarnya, apa yang bakal ia perbuat

padamu kalau kau menentangnya seperti itu? Kumohon

padamu Saudara, sebaiknya kau cepat menyingkir dari

sini."

Amitha mendengus.

"Kumohon padamu, Saudara. Sebaiknya kau

mengetahui bahwa kelaliman di atas bumi ini tidak bisa

didiamkan saja," sahut Amitha tegas.

Lalu lelaki India naas tadi tak bisa lagi menahannya.

Amitha telah telanjur melangkah ke dalam bahaya yang

dianggapnya harus dihadapi demi sepotong kebenaran,

meski dia sadar nyawanya bisa saja melayang karena itu.

"Sekarang apa maumu?" tantang Amitha jumawa.

Lelaki berwajah buruk tergelak. Suara tawanya

meninggi seperti melompati ruang di atas ubun-ubun awan.

"Kau akan segera mampus!"

Di akhir ancaman tak main-mainnya, sebelah mata

lelaki buruk tadi mendadak membesar. Mata yang besar

sebelah itu menjadi memerah. Seperti ada aliran darah

berlebihan meruyak ke aliran darah di matanya. Amat

pekat, amat menakutkan.

Dan sebentuk tenaga dahsyat kasat mata kala itu

juga menerjang Amitha. Amitha merasa lehernya ada yang

mencekik dengan kekuatan regangan seratus tambang

kapal.

"Aaakh...."

Hanya erangan yang mampu dikeluarkan

kerongkongan lelaki kurus dari India itu.

Amitha tak bisa memahami apa yang telah dilakukan

oleh lelaki berparas buruk terhadap lelaki tadi, dan kini

terhadap dirinya sendiri. Semuanya begitu aneh bagi

Amitha.

Tubuh Amitha meregang, berkutat untuk

membebaskan jalan napas di kerongkongannya. Setiap kali

dadanya hendak menarik udara, saat itu juga dia

merasakan rasa sesak teramat sangat. Perlahan-lahan,

wajah Amitha berubah kebiru-biruan. Kulit wajahnya yang

hitam makin membuatnya terlihat matang. Matanya

membeliak-beliak.

Kalau semula lelaki berparas buruk begitu

bersemangat melepas gelak tawa, kini dia justru

memperlihatkan garis wajah keras mengejang. Sebelah

pipinya terus saja bergetar-getar. Napasnya tertarik dan

terlepas teratur serta panjang. Juga terdengar mendesis

sesekali.

Seperti lelaki sebelumnya, Amitha pun merasakan

tubuhnya mulai terangkat naik. Perlahan tapi pasti dia

terangkat semakin tinggi. Sementara itu, sekujur otot-otot

tubuhnya mengejang keras. Amitha menggeliat-liat liar.

Pandangannya mengabur dan mengabur, seiring dengan

siksaan yang mendera sekujur tubuhnya.

Menyaksikan Amitha meregang maut seperti itu,

lelaki India rekannya menjadi nekat. Tak adil baginya jika

dia tak peduli pada keadaan Amitha, sementara

sebelumnya dia telah ditolong Amitha. Dia memang takut,

menyadari bagaimana hebatnya lelaki berparas buruk itu.

Tapi, dia tak ingin dianggap pengecut.

Terhina rasanya jika dia lari membiarkan orang yang

menolongnya dari kematian justru mati menanggung

akibatnya.

"Bajingan kau!"

Tanpa mempedulikan keadaan yang masih terlalu

lemah untuk melakukan serangan, lelaki tadi menerjang si

lelaki berparas buruk. Cara menyerangnya tak teratur,

menandakan dia bukanlah seorang warga persilatan.

Belum lagi sampai ke arah sasaran, tangannya sudah

terayun liar entah ke mana.

Memang, lelaki India itu bukanlah warga persilatan.

Dan di sana terlihat bagaimana tak tahu malunya si lelaki

berparas buruk telah memperlakukan orang lemah seperti

dia.

Setibanya di dekat si lelaki berparas buruk, lelaki

tadi mencoba menyarangkan pukulan sekenanya ke wajah

lelaki berparas buruk.

Sebelum sempat hantaman mendarat, lelaki

berparas buruk tiba-tiba saja mengalihkan bola matanya

kepada penyerang. Sebelah matanya membersitkan sinar

kemurkaan berbaur dengan sinar kekejian. Tak sampai

sekedipan mata, terjangan lelaki India tadi tertahan

seketika. Tangannya yang sudah terangkat tinggi-tinggi

menjadi kaku di udara saat itu juga.

Lelaki India tadi menjerit. Otot di sekujur tangannya

seperti ditarik paksa oleh empat ekor kuda jantan! Pada

saat yang sama, tubuh Amitha meluncur menghantam

tanah.

Terdengarlah teriakan keduanya menyatu menjadi

satu.

"Akkhhh!"

"Teriakan demi teriakan susul-menyusul. Yang

terakhir terpelanting keluar dari tenggorokan lelaki India

tadi. Tampaknya dia merasakan siksaan yang diterimanya

meningkat beberapa kali lipat, menyusul hentakan suara

lelaki berparas buruk. Dirasa tulang di bagian lengannya

hendak diremukkan dari dalam. Sedangkan sendinya

hendak tercerabut

Itu bukan sekadar perasaan si lelaki India. Karena

tak lama kemudian, bagian siku di lengannya be-nar-benar

terkuak seperti potongan dahan kering yang dipatahkan.

Krrk!

Dari bagian kulit yang terkoyak, bersemburan darah

segar, menyiram bumi, dan memerciki sebagian wajah

lelaki berparas buruk. Selanjutnya, tangan lelaki tadi benar-

benar terlepas dari sikunya!

Menyaksikan terjatuhnya bagian tangan korban,

orang yang melakukan perbuatan keji itu tergelak-gelak

diberondong kegiranganyang mengerikan. Darah korban

yang menempel di sebagian wajahnya disapu dengan

telapak tangan seiring seringainya.

Lalu seperti seekor kelelawar penghisap darah,

dijilatinya darah dari telapak tangan.

"Manusia iblis!" kutuk Amitha, menyaksikan kejadian

mengerikan tadi. Sekarang dia mulai mengerti kenapa

lelaki yang senegeri dengannya meminta dia agar tidak

berurusan dengan manusia satu ini. Lelaki itu benar. Orang

berparas buruk memang bukan lagi manusia, melainkan

iblis berwujud manusia!

Dijerang kemarahan meluap-luap dan napas yang

memburu, Amitha hendak menerjang lelaki buruk tadi. Apa

pun akibatnya, dia tak ambil peduli, yang ada dalam dirinya

saat ini cuma kebencian mendidihkan segenap kemurkaan

dan keberaniannya.

Belum lagi Amitha benar-benar menerjang, dari

kejauhan terdengar siulan bernada tinggi. Dari suaranya,

terdengar kalau siulan itu dilepas dari jarak yang amat

jauh. Sepertinya suara tinggi dan panjang tadi telah

melanglangi langit lalu mendarat di tempat itu.

Mendengar siulan, lelaki berparas buruk melirik ke

satu arah, di mana siulan tadi berasal. Tangannya merogoh

sesuatu dari balik baju di bagian dada. Sebentuk mata

kalung dari ujung tanduk rusa dikeluarkan. Lalu benda

sebesar jari telunjuk berbentuk pi-pih setengah lingkaran

dan memiliki lubang di satu sisinya itu ditiup. Maka,

terdengarlah siulan yang serupa dengan siulan di kejauhan

sebelumnya. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diduga

Amitha bahwa orang itu sedang menjawab pesan yang

diterima melalui siulan pula. Selesai meniup mata

kalungnya, tanpa mempedulikan dua korban

kekejamannya, dia melenting bagai tanpa bobot dari satu

atap ke atap lain. Sampai akhirnya dia menghilang di

sebelah barat seolah diterkam matahari senja.

***

Neelam didatangi tiga orang asing. Seorang

perempuan muda, dan dua lelaki. Yang perempuan

memiliki wajah cantik mengundang hasrat lelaki. Dari

wajahnya seolah terpancar kuat godaan birahi. Matanya

berbulu lebar, merangsang namun berkesan jahat. Bibirnya

merah ranum, namun selalu tampak menyimpan seringai.

Kulit putih halus tanpa cacatnya terbungkus seronok

dengan pakaian yang terbuka lebar pada bagian punggung

dan perut, makin memadatkan kesan menggoda pada

dirinya. Sedang dua lelaki di sisinya bertampang kelewat

bengis. Salah seorang adajah lelaki yang berurusan dengan

Amitha di kotapraja. Yang lain, berwajah tak kalah

menggidikkan. Tubuhnya cebol dengan wajah melebar.

Hidungnya pesek. Matanya besar dan mencekung dalam.

Tulang pipinya menonjol dengan kudis sebesar uang logam

di pipi kiri. Kepala lelaki cebol ini gundul. Berpakaian

kebesaran dari kulit ular sanca.

Wajah ketiganya tak sebetik pun memperlihatkan

sikap manis ketika menegur Neelam. Wanita India

kelebihan lemak yang ditegur saat itu sedang merajut

keranjang buah yang biasanya dijual untuk mendapatkan

nafkah.

"Hei perempuan!" sapa lelaki cebol.

Neelam menoleh acuh. Karena dia tak suka pada

cara si lelaki cebol menegur, kembali dia melanjutkan

menganyam.

"Hei, aku bicara padamu!" bentuk si cebol

berangasan.

"Aku tak sudi menyahuti teguran orang tak tahu

adat," gerutu Neelam.

"Bangsat!" si cebol gundul mengutuk. Dia hendak

maju menghajar bokong gempal Neelam yang

membelakangi. Tapi, tangan perempuan cantik di se-

belahnya cepat menahan.

"Kami cuma ingin bertanya," ujar perempuan cantik

tadi pada Neelam.

"Apa yang hendak kalian tanyakan?" Untuk

perempuan cantik itu, Neelam masih bersedia menyahut,

meski badannya tetap tak dihadapkan ke arah tiga orang

tadi.

"Apakah kau berasal dari negeri India?" susul

perempuan cantik.

"Ada urusan apa dengan kalian?" sahut Neelam

ketus. Dilemparnya anyaman keranjang yang baru saja

diselesaikan ke tumpukan. Diambilnya potongan bambu

tipis dari tumpukan di sisinya. Dia memulai anyaman baru.

"Jika benar kau dari negeri India, kami ingin mencari

tahu tentang satu hal...."

"Aku tak ada waktu. Kau lihat aku sedang bekerja?"

"Sebaiknya kau menjawab pertanyaan kami,

Perempuan Gemuk! Kami tak mempunyai waktu untuk

bertele-tele!" si cebol mulai berangasan kembali.

"Kalau begitu, kenapa kalian tak segera saja

menyingkir dari sini?!" ketus Neelam.

"Kau terlalu memaksa kami untuk berlaku kasar

padamu...," kata perempuan cantik kembali. "Jadi, jangan

salahkan kami kalau...."

Kalimat perempuan cantik tadi belum lagi selesai,

Neelam sudah bangkit dengan wajah garang. Lemak di

sekitar perut tambunnya berayun-ayun karena dia begitu

bergegas. Kalau lemak di perutnya saja begitu, jangan

tanya 'daging lebih' di bagian dadanya!

"Kalau aku tak mau bicara, kalian mau apa, hah?!"

hardik Neelam, menantang sekali. "Jangan mentang-

mentang aku ini cuma orang kecil, lalu kalian menganggap

bisa berbuat seenaknya padaku!" semburnya kembali

menggebu-gebu, berapi-api.

"Perempuan jahanam!" Meledak sudah kegusaran si

orang cebol. Ditepisnya tangan perempuan cantik yang

mencoba menahan kemarahannya.

"Biar kukuliti kulit berlemaknya!"

Neelam diserang si cebol.

Kalau dilihat perbedaan tubuh antara Neelam denga

orang cebol yang menerjangnya, sungguh seperti kerbau

betina bengkak dengan anak kunyuk botak.

"Uaaah!"

Dengan kepala gundulnya, si cebol menyeruduk

perut kelebihan lemak Neelam. Gerak larinya berangasan.

Semangat seekor domba sabung tak ada apa-apanya

dengan keberangasan lelaki kekurangan tinggi tubuh ini.

Neelam tertawa. Dia geli melihat bagaimana lucunya

cara menyerang si cebol. Di benaknya, terbersit pikiran

untuk membiarkan perut besamya di tanduk kepala lawan.

Dia pikir, orang sebogel itu tak akan memaksa tubuhnya

terpental ke belakang. Sakit saja mungkin tidak. Bahkan

mungkin dia justru akan memaksa tubuh lawan terpental

balik dengan sedikit sentakan pada otot perutnya.

Geliat pikiran Neelam bertolak belakang dengan

kenyataan. Ketika....

Begh!

Tepat manakala kulit kepala klimis si cebol men-

darat di perut Neelam, tubuh perempuan subur India itu

mencelat ke belakang. Ibarat sebatang daun kering

terhajar hantaman godam raksasa!

Dalam kancah rimba persilatan, kedigdayaan se-

seorang tidak diukur dari bentuk tubuh, melainkan dari

seberapa hebat dia menguasai jurus-jurus, tenaga dalam,

kelincahan serta ajian-ajiannya. Biarpun ukuran tubuh

lawan terlalu kecil dibanding Neelam, namun kesaktiannya

justru jauh di atas Neelam. Apa-lagi modal Neelam

hanyalah ilmu bela diri biasa yang baru dipelajarinya di

tanah Jawa. Tenaga dalam sempat pula dipelajarinya. Tapi,

apalah arti tenaga dalam yang baru dilatih selama

beberapa bulan?

Tubuh besar perempuan India itu akhirnya jatuh di

dalam gubuk, setelah sebelumnya menjebol dinding kayu

randu.

"Cebol busuk! Akan kulumat tubuhmu...," ge-ram

Neelam terbata. Perutnya didekap kuat. Napasnya seperti

ditahan oleh cekikan rantai baja. Sesak luar biasa.

Susah payah, Neelam bangkit. Untuk orang

kelebihan bobot seperti dia, mengangkat tubuh adalah

pekerjaan paling menyiksa. Terlebih setelah menerima

hantaman hebat di bagian perut.

Melalui lubang besar di dinding gubuknya, Neelam

keluar lagi, menggiring golak kemarahan yang paling

ditakuti suami tercintanya. Kaki sebesar telapak badak

menghantami lantai tanah, membayangkan bagaimana

gusarnya dia dengan si cebol. Kalau ada sekawanan tikus

bersarang di bawah lantai gubuknya, dijamin mereka akan

terkena serangan jantung seketika!


3


Mentari boleh ngotot mengganyang siapa saja. Boleh

menyuburkan perasaan tersiksa dalam diri siapa pun

dengan gempuran panas nya Siang di musim kemarau yang

melibas tanah Jawa memang sama sekali tak bersahabat.

Jangan lagi manusia, tetumbuhan dan binatang pun

menelan bulat-bulat akibatnya. Rerumputan menjelma

sekering jerami. Pohon tergunduli. Tanah retak-retak.

Sawah sekarat.

Kemarau kali ini adalah kemarau terburuk selama

sepuluh tahun belakangan. Bencana sepertinya tersebar

merata ke segenap pelosok Jawa Timur, Barat, atau

Tengah. Lumbung padi milik rakyat kembang-kempis. Sisa

padi mungkin cuma cukup untuk persedian seminggu dua

minggu. Sementara, kemarau belum lagi diketahui

juntrungannya kapan hendak selesai.

Debu kering berlarian sekehendak hati. Menggiring

bibit-bibit penyakit menular mengerikan ke mana pun

mereka melayang. Korbannya sudah ratusan orang. Dan

belum pasti akan berhenti dalam bulan-bulan belakangan.

Malaikat maut tak pernah peduli untuk mencabut nyawa

siapa saja. Tua atau muda. Perempuan atau lelaki.

Banyak orang bijak berpendapat, kejadian itu

sekadar isyarat. Orang-orang tanah J awa telah banyak

melupakan sang Khalik, ujar mereka. Bumi yang ber-tasbih

selalu pada Penciptanya, mulai uring-uringan karena

banyak insan berubah jadi hewan di atas ubun-ubunnya.

Mereka berjalan dengan segenap ke-angkuhan dan

kerakusan. Jadi, ratakan saja dengan tanah! Agar mereka

tak bisa lagi membusungkan dada terlalu tinggi dan

meraup sekehendak nafsu. Wabah dan bencana pun

tercipta.

Bagi seseorang yang kini tampak berjalan di tanah

pematang kering, siksaan panas luar biasa tak pernah

terlalu mengusik hari-harinya. Terus ke barat dia berjalan.

Tanpa beban.

Orang ini berusia muda. Tampan. Kekar berotot.

Rambut panjang ikal sebatas bahu. Tanpa tataan, anak

rambutnya jadi meliuk-liuk liar diterpa angin panas.

Pakaiannya hijau-hijau. Di bahunya berkibaran kain

bercorak catur, berlomba dengan gerakan lemah gemulai

anak rambut.

Sejenak kakinya berhenti melangkah pada

percabangan pematang kering. Ditebarnya pandangan ke

sekitar. Di sana-sini yang ditemukan cuma petak-petak

kering kerontang. Angin mengikir permukaan-nya yang

berubah menjadi debu.

Bibir tipisnya meringis. Satu tangannya mengu-sap-

usap perut.

"Jangan-jangan, besok aku sudah tak bisa makan

nasi lagi.... Syukur-syukur masih bisa ketemu ubi. Kalau

yang ada cuma sandal bakiak? Apa aku mesti makan

sandal bakiak?" gumamnya.

Ah, gara-gara alam uring-uringan semuanya jadi

scngsara. Bahkan yang tak berdosa pun jadi ikut susah,

bisik batinnya. Barangkali, supaya semua manusia sadar

bahwa memelihara amanat sang Pencipta adalah tanggung

jawab bersama.... Jangan ada yang seenak udel mengeruk

untuk membuat gendut perut sendiri!

Usai berbincang dengan diri sendiri, anak muda itu

melanjutkan langkah.

Dia tentu saja Pendekar Slebor. Tujuannya tak jelas.

Dia sendiri belum yakin benar apa benar-benar berniat

melangkah terus ke arah barat. Di mana-mana keadaannya

nyaris sama. Kekeringan, kekerontangan!

Melewati hamparan sawah kering, anak muda itu

sampai di lembah berbukit. Di sana juga kering. Di tengah-

tengah lembah, matanya menemukan satu gubuk kecil.

Sepi saja di luar. Terlihat tak ada satu manusia pun.

Namun, bukan berarti tidak ada orang. Siapa tahu

pemiliknya sedang berada di dalam.

Pendekar Slebor melangkah ke sana. Kerong-

kongannya sudah seperti karet terbakar. Terlalu kering,hingga seperti melekat satu sama lain. Dia perlu sedikit

minum. Barangkali orang di dalam gubuk bisa memberi

seteguk dua teguk air pelepas dahaga, harapnya.

Sampai di sana, Pendekar Slebor malah disuguhkan

pemandangan yang membuat kerongkongannya makin

kering. Disaksikannya seorang perempuan gemuk

tergeletak menjadi mayat. Tubuhnya tergeletak di belakang

gubuk dalam keadaan menyedihkan, kalau tak cukup

dibilang mengenaskan. Burung-burung pemakan bangkai

yang kelaparan dan akhir-akhir ini kebanjiran rezeki karena

banyak yang mati sekali ini mendapat santapan besar.

Ada sekitar tujuh ekor burung pemakan bangkai

mulai mencabik-cabik tubuh berlemak mayat perempuan

tadi. Satu sama lain saling menguasai bagiannya. Dengan

tamak dan rakus, mereka akan mematuk yang lain jika

merasa bagiannya diserobot.

Pendekar Slebor mengambil batu. Dilemparnya batu

itu untuk mengusir burung-burung pemakan bangkai.

Binatang-binatang itu pun berhamburan ke angkasa,

terbang dengan riuh rendah koakan yang memaki-maki

perbuatan Andika.

"Koak! Koak! Koak!" teriak mereka merangas.

"Kau yang 'koak'!" balas Pendekar Slebor bersungut-

sungut.

Anak muda itu lalu mendekati mayat perempuan

tadi. Seorang perempuan India. Neelam. Perempuan itu

tertimpa nasib malang di tangan si cebol. Si cebol dan dua

rekannya sendiri sudah tak ada di sana. Entah ke mana

mereka.

Pendekar Slebor meneliti sejenak. Debu menutupi

sebagian mayat Neelam. Dalam musim kemarau seperti

sekarang, wajar saja debu cepat campur tangan. Tapi kalau

menilik tebalnya debu, Andika yakin perempuan itu belum

lama mati. Lebih jelas lagi ketika dia melihat genangan

darah yang sudah agak mengental di samping leher

Neelam. Darah itu rupanya terpaksa keluar dari mulut

karena satu hantaman hebat di bagian dada.

Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar Slebor

memeriksa bagian dada mayat perempuan itu. Matanya

membesar menyaksikan bagian kiri mayat ternyata

mencekung dalam. Lebarnya sebesar telapak tangan

bocah kecil. Dalamnya sekitar setengah jengkal.

Pendekar muda dari Lembah Kutukan itu makin

yakin saja kalau cekungan itu bekas pukulan tinju

seseorang ketika menemukan bentuknya yang mirip

kepalan. Tapi kalau menilik ukurannya, Pendekar Slebor

jadi ragu lagi. Apa mungkin seorang bocah dapat

melakukan hal sehebat itu? Sebab, menurutnya bukan

sembarang orang dapat melakukan. Pukulan itu adalah

hasil olahan sempurna tenaga dalam tingkat tinggi.

"Bocah kecil?" desisnya, masih tetap bersimpuh di

sisi mayat. Ingat bocah, dia jadi ingat Walet. Anak itu pun

memiliki kesaktian tinggi. Tapi, dia bukan bocah

sembarangan. Dia sesungguhnya adalah titisan seorang

pangeran. (Lihat ceritanya dalam episode: "Mustika Putri

Terkutuk", dan "Bayang-Bayang Ga-ib").

Lalu apakah orang yang membunuh mayat

perempuan ini juga bocah ajaib seperti Walet? Andika

belum bisa memastikan. Selanjutnya, kembali diteliti mayat

tadi. Di tangan kanannya, anak muda itu menemukan satu

kalung. Tentunya kalung itu tersambar tanpa sengaja

ketika bertarung dengan lawannya, duga Andika.

Diperhatikannya kalung itu seksama. Mata kalungnya

terbuat dari ujung tanduk rusa. Besarnya seukuran jari

telunjuk. Berbentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki

lubang di satu sisinya.

"Tampaknya ini semacam peluit," reka Pendekar

Slebor. "Dengan benda ini, kuharap aku akan menemukan

pembunuh perempuan ini," tekadnya. Selaku seorang

ksatria sejati, tak pada tempatnya kalau Pendekar Slebor

tak mau ambil peduli. Memang, dia sama sekali tidak tahu

jelas persoalannya. Kemungkinan kalau mayat perempuan

itu adalah seorang tokoh sesat pun ada di benaknya. Tapi,

bagaimana kalau perempuan itu justru orang teraniaya?

Untuk itu Andika merasa harus lebih jauh terlibat.

Kecamuk rasa penasaran di hati Pendekar Slebor

diberangus teriakan menggila seseorang di belakangnya.

"Neelaaaam! Wuaaa haaa!"

Andika terlonjak kaget. Dia sampai melompat tak

sadar seperti seekor anak kunyuk. Tolol sekali ke-

lihatannya. Padahal Andika sebal kalau dirinya terlihat tolol

tanpa disengaja seperti itu. Maunya dia, kalau kaget ya

kaget saja. Tidak usah pakai melompat seperti itu segala.

Ya, yang namanya kaget masa' bisa diatur?

Orang yang baru datang ternyata Amitha. Dia

kembali ke tempat tinggalnya dengan perasaan tak

menentu. Lelaki di pasar yang berasal dari negeri yang

sama dengannya telah mati kehabisan darah. Sebelum

berangkat pulang, Amitha telah mengurus jenazahnya

dengan tata cara adat dari negeri mereka. Meski

sederhana, Amitha berharap dia telah melakukan dengan

sebaik-baiknya.

Tujuan semula untuk belanja keperluan sehari-hari

atas 'titah' istrinya sudah menguap dari benak lelaki itu.

Pikirannya terus saja digerayangi peristiwa di pasar tadi.

Setibanya di rumah gubuknya, betapa terperan-

jatnya Amitha menyaksikan sang istri. Dari kejauhan,

dilihatnya tubuh istrinya sudah membujur kaku di depan

seseorang tak dikenal tahu 'Adinda' tercinta yang sekaligus

dibencinya habis-habisan mati menyedihkan, lelaki itu jadi

mata gelap. Bukan sedih lagi pasti. Setidak-tidaknya

perasaan Amitha sebanding dengan kesedihan seribu satu

ditambah seribu satu

kakek pikun kehilangan istri kelima! Wih!

"Kau apakah dia anak muda keparat?! Kau apakan

dia?! Haaa!" teriak Amitha meledak-ledak selagi berlari

serimpungan mendekati jenazah Neelam.

"Jeee, memangnya aku apakan?" tangkis Andika

tersurut.

Andika beringsut ngeri-ngeri dari tempat semula.

Melihat penampilan Amitha saat itu, seperti menyaksikan

setumpuk tahi lalat sedang berlari. Hitam, dekil, bau....

Amitha menubruk mayat Neelam. Dia seseguk-an di

atas (maaf) pusar mancung istrinya. Membuat bangkai

empuk itu bergoyang-goyang bak alunan ge-lombang lautan

teduh. Sudah buyar begitu saja ajaran-ajaran yoga yang

selama ini dicoba didalaminya. Padahal yoga menekankan

pada seni penguasaan tubuh dan pikiran. Sekarang,

pikiran dan perasaan Amitha lebur jadi bubur. Keraknya

malah!

Puas sesegukan, diangkatnya kepala. Lagipula,

kalau terlalu lama dia bisa jatuh pingsan diserang baunya.

"Kau membunuhnya bukan?!" hardik Amitha dengan

mata berpijar-pijar pada Pendekar Slebor.

Andika serba salah. Mulutnya mengobral se-nyum

badak!

"Bukan aku, Saudara...," aku Andika jujur.

"Memang kau!"

"Bukan Saudara...," kata Andika lagi, berusaha

bersabar.

"Ah, memang! Memang! Memang!"

"Kutu kupret!" jengkel Pendekar Slebor dalam hati.

Apa dimusim kemarau otak orang-orang jadi meleleh?

Masa' tak ada angin tak ada kentut, menuduh orang

seenaknya?

"Aku menemukan dia sudah menjadi mayat,

Saudara!" tandas Pendekar Slebor, mulai naik juga da-

rahnya.

"Aku juga!"

"Maksudku, aku tidak membunuhnya! Mengerti

tidak?!"

"Huu-huu-haaa!" Amitha mulai merengek-rengek lagi.

Air matanya terburai-burai, berlinangan melimpah. Aneh

juga kalau mengingat saat itu sedang kemarau panjang.

"Jadi siapa yang telah membunuh dia kalau ternyata

kau tidak mengaku?!" cecar Amitha kembali.

Entah karena tidak tahu lagi pada siapa harus

menumpahkan segala kegundahan, kesedihan dan

kemarahan. Segalak tikus sawah Amitha melabrak

Pendekar Slebor juga. Nah lo! Kena getahnya anak muda

itu....

"Kau harus mati! Bayar nyawa istriku! Heuaaa!"

"Bayar? Seenaknya menyuruh orang bayar. Memangnya

aku hutang apa sama dia?" rutuk Pendekar Slebor

membatin. Sampokan telapak tangan selebar tiga kantong

kemenyan milik Amitha dihindarinya tanpa kesulitan.

Amitha jelas bukan tandingan nama besar Pendekar

Slebor. Sama sekali bukan. Amitha cuma seorang lelaki

biasa yang hanya memiliki keahlian yoga. Itu pun terbilang

tanggung. Jurus-jurus hebat dia tak punya. Apalagi ilmu

kanuragan yang sang-gup membuat bocor jidat seseorang.

Buktinya, di kotapraja dia dijadikan bulan-bulanan empuk

lelaki berwajah jelek.

Untunglah Pendekar Slebor masih punya pikiran

sehat. Biarpun dongkolnya sudah berdenyut-denyut seperti

bisul, Andika tak akan meladeni kekalapan tolol Amitha.

"Sudah! Sebaiknya aku pergi saja! Nanti kalau kau

sudah dingin, aku akan kembali! Aku janji akan mencari

siapa yang bertanggung jawab atas kematian istrimu!"

tukasnya mengakhiri. Setelah itu dia buron dengan

mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.

Tinggal Amitha meraung-raung sendiri sambil

mengacung-acungkan tinjunya.

Sekian jam berlalu sesudah menyingkirnya Pendekar

Slebor, Amitha sudah kekeringan air mata. Matanya

bengkak sembab. Sesekali dia masih terisak. Untuk

seorang lelaki, dia tak keberatan dibilang cengeng. Baginya

Neelam adalah segala-galanya setelah dirinya. Biar

gembrot, cuma dia satu-satunya orang yang dimiliki Amitha.

Buat Amitha, cintanya tulus. Murni. Putih. Cinta

sejenis itu, tak pernah dan tak perlu memandang zahir.

Cintanya datang langsung dari Hang hati. Ya, biar orang

bilang dia beristrikan gentong arak sekali pun, kalau cinta

mau bilang apa?

Terbayang kembali hidupnya bersama Neelam.

Pahit, getir dan manisnya hidup dilalui bersama. Biarpun

lebih banyak getirnya....

"Neelam. Aku berjanji akan menuntut balas

kematianmu! Akan kucari pembunuhmu dan akan kubunuh

dia! Aku bersumpah Neelam! Aku bers umpah!" ucap

Amitha di dekat perapian jenazah istrinya. Dengan upacara

sederhana, dia membakar jenazah Neelam. sebagaimana

kepercayaan yang dianut selama hidup.

Kayu pembakar. Bunyinya bergemeletakan. Api

mengangkasa. Merahnya seperti hendak membakar langit.

Dalam gerak jalan lidah api, Amitha menusukkan

pandangan. Matanya pun memendam api. Lebih panas

dari pembakaran jenazah, lebih merah dari darah.

Lalu di antara tabir api, lamat-lamat disaksikannya

wajah Pendekar Slebor, orang yang dianggap bertanggung

jawab atas kematian Neelam.

"Aku bersumpah Demi Dewa akan kubunuh kau...,"

desisnya.

***

4


Tak habis-habisnya Pendekar Slebor menyumpahi

kesialannya hari ini. Bertemu Amitha, baginya tak lebih dari

kesialan. Menyakitkan kalau dirinya dituduh untuk satu

perbuatan yang tidak dilakukan. Sudah begitu,

tenggorokannya urung mendapat siraman air. Padahal

dahaganya sudah keterlaluan sekali.

Sementara ini, dia akan melupakan dulu soal kalung

yang didapatnya dari tangan mayat Neelam. Sumpah

mampus, dia tak ingin mati kehausan.

Kebetulan dilewatinya satu sumur terbengkalai di

balik bukit wadas. Tampaknya, sumur itu sengaja dibuat

untuk tempat minum para buruh pengangkut batu.

Dijulurkannya kepala ke mulut sumur. Dalam sekali.

Cahaya tak sampai. Andika tak bisa menentukan apakah di

dalam sana dia bisa mendapatkan air.

Untuk memastikan, sengaja dilemparnya batu kerikil

ke dalam sumur tersebut.

"Aneh juga. Kenapa tak ada suara sedikit pun

kudengar," bisik Pendekar Slebor setelah beberapa lama

tak juga didengarnya bunyi selang batu dilemparkan ke

dalam.

Anak muda itu penasaran. Diambilnya batu kedua.

Dilemparnya pula ke dalam sumur. Lagi-lagi tak ada

seberkas bunyi pun didengarnya. Seperti sebelumnya, tak

ada suara percikan air, atau bunyi tanah terbentur jika

sumur itu ternyata kering. Tidak ada sama sekali.

"Kalau begitu, bukan kupingku yang tidak beres.

Sumur ini jelas...."

"Hoiii! Siapa yang iseng-iseng menjahiliku?! Jangan

gila, ya?!"

Andika terperanjat. Sedang seru-serunya dia

melongok-longokkan kepala, tahu-tahu melompat keluar

suara serak cempreng dan berlendir. Kepala anak muda itu

sampai tersentak ke belakang. Pasalnya, kekuatan suara

tadi mengundang dorongan seperti tenaga besi sembrani

sebesar biang gajah. Ah, itu belum cukup. Tepatnya

mungkin sebesar biang gajah bengkak dan buncit pula!

Andika pikir dia sedang berurusan dengan memedi

sumur tua. Tapi apa iya memedi nekat keluar tengah hari

bolong begini?

"Siapa di dalam?!" seru Pendekar Slebor, ingin

mencari tahu.

"Siapa di luar?!"

Anak muda itu merengut. Pertanyaannya terjawab

juga belum, malah dia ditodong pertanyaan balik.

"Aku seorang pengelana yang membutuhkan sedikit

air untuk pelepas dahaga!" Pendekar Slebor mengalah.

Dijawabnya dulu pertanyaan dari dasar sumur. Dia c uma

tak mau harus menahan haus lagi. Siapa pun di dalam

sana, mau memedi kek, mau manusia lumut kek, kalau

bisa diminta sedikit air 'kan tak ada salahnya sedikit

beramah-tamah, pikir anak muda itu.

"Mau air?"

Pendekar Slebor lega sekali. Tawaran yang sumpah

mampus disambar geledek pelan-pelan akan di sambutnya

dengan suka cita,

Terdengar lagi suara dari dasar sumur.

"Nih kau terima... khoek cuih!"

Plok!

Wajah tampan pemuda itu dihinggapi 'air' berbau

kotoran siluman pemakan jengkol!

Dua kali Pendekar Slebor terperanjat. Tak pernah

disangkanya kalau orang di dasar sumur meludahinya

demikian rupa. Tak sempat disadari, tahu-tahu wajahnya

sudah basah. Betapa hebat orang di dalam sana telah

melakukan itu demikian cepat dan dari jarak yang

demikian jauh. Kalau si anak muda kesohor yang membuat

banyak warna sesat dunia persilatan pontang-panting saja

bisa terkecoh, bagaimana pula kesaktian orang di dasar

sumur?

Rasa jijik menggerayangi cepat. Terburu-buru

disapunya wajah dengan telapak tangan. Wajah Pendekar

Slebor meringis-ringis. Cuping hidungnya kembang-kempis.

Baunya membuat dia nyaris muntah. Slompret!

"Apa air itu yang kau minta?!"

Dari dasar sumur, terlempar lagi pertanyaan.

"Tentu saja bukan dedemit!" maki Pendekar Slebor

dongkol. "Aku butuh minum. Bukan butuh 'racun'!"

sambungnya sewot.

"Oooo, bilang kenapa dari dulu...."

"Dari dulu... dari dulu...," gerutu Pendekar Slebor

mengekori.

"Kalau begitu, turunkan timbanya!"

Berhubiing haus makin menjadi-jadi, Andika tak bisa

banyak rewel. Diturutinya perintah tadi. Tali timba di palang

sumur diturunkan.

"Sekarang tarik!" susul suara dari dasar sumur ketika

tali timba sudah terulur seluruhnya.

Sekali lagi pendekar muda bernama besar itu

dijadikan kambing congek. Dia mengangkat juga tali timba

sesuai perintah. Ditarik... ditarik. Tak lama, dari kegelapan

dan kelembaban mulut sumur menyembul kepala

seseorang. Wajah keriput perempuan tua terlihat. Ya

ampun, seorang nenek jompo nangkring di atas timba!

Pendekar Slebor mendelik. Hatinya saat itu juga

berdoa habis-habisan supaya orang yang dilihatnya c uma

mimpi. Dia itu Nyai Silili-lilu.

Dia adalah adik kandung buyut Andika, Pendekar

Lembah Kutukan. Seorang petapa wanita berusia amat

uzur. Hidup lebih dari tiga keturunan. Dunia persilatan

bahkan telah menganggapnya siluman perempuan karena

kesaktian dan keganjilan tindak-tanduknya.

Bagi Pendekar Slebor, perempuan bangkotan tengik

itu adalah salah seorang yang paling ingin dihindarinya

setelah buyutnya sendiri! Nenek jompo sakti yang

tingkahnya setiap saat bisa membuatnya mati berdiri!

(Untuk mengetahui tentang tokoh ini, bacalah episode:

"Sepasang Bidadari Merah").

"Oeeiii! Kita ketemu lagi!" seru Nyai Silili-lilu meriah.

"Pantas semalam aku bermimpi bertemu ular kadut! Hi hi

hi!"

Andika sendiri terpaku seolah benar-benar mati

berdiri!

***

Sehari terlewati. Amitha terlihat di dalam gu-buknya.

Lelaki India kurus kering itu berjalan hilir-mudik. Ada

sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Wajahnya

menampakkan kebimbangan kental. Kematian Neelam

tentu saja membuat dirinya seperti direnggut dari

kehidupan. Tapi yang merisaukannya kali ini bukan hal itu.

Ada sesuatu yang lain.

Lama Amitha hanya melakukan hal itu. Sebentar-

sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya satu

bagian lantai gubuk dengan mata nanap. Tangannya

mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.

Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu.

Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula

memperhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.

Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk

melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.

"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya

bergegas mengambil cangkul kecil dari gantungan dinding.

Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah yang

sejak tadi diperhatikan. Di bagian tersebut, Amitha mulai

menghujamkan mata cangkul dengan wajah mengeras.

Gambaran rasa tegang dan waswas yang bertumbukan

kasar dalam dirinya.

Selam seperempat jam berikutnya, sudah tercipta

lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki. Di dasar

lubang, didapat satu peti kayu berkerangka baja. Kayunya

sudah tampak begitu tua. Namun tetap kokoh. Sedangkan

kerangka bajanya sudah berkarat. Tampaknya sudah

begitu tua.

Peti tersebut diangkat Amitha dari dasar lubang.

Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepi-nya.

Untuk beberapa saat, si lelaki kurus hitam itu hanya

memandangi peti itu. Keraguan tampaknya meruyak lagi

dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit sinar

matanya. Ketika ingat kematian mengenaskan Neelam,

wajahnya mengeras. Garis-garisnya menguat, menebarkan

hawa dendam, lalu menying-kirkan keraguan dalam dirinya.

Dengan rahang mengejang, tangan Amitha lambat-

lambat mendekati peti di depannya. Tangan kurus itu agak

bergetar, pertanda dia hendak melakukan sesuatu yang

pasti amat berat untuk dikerjakan. Tutup peti lalu

dibukanya jalang, seakan ingin membunuh keraguan yang

masih mencecarnya bertubi.

Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal setengah

jengkal. Sampulnya terbuat dari kulit Harimau Jawa.

Sedangkan lembar-lembar di dalamnya terbuat dari kulit

ular sendok yang disamak demikian tipis. Tepat di pusat

sampul, tertulis aksara Jawa kuno berbunyi: Kitab Ular dan

Macan.

Amitha terpaku sejenak menatapi gurat aksara tadi,

lekuk demi lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya

sampul kitab. Di halaman kedua, ditemukan dua baris

tulisan lain.

Gagal akan mati, berhasil akan sesat!

Kitab Ular dan Macam adalah kitab kanuragan sesat

yang telah ada jauh sebelum zaman kejayaan Majapahit.

Kitab itu ditulis oleh seorang petapa sakti dari puncak

Gunung Krakatau.

Petapa sakti itu sendiri sebenarnya menulis kitab

tersebut untuk diwariskan pada seseorang yang mampu

mengembannya. Namun apa lacur, pengaruh kesaktian di

dalam kitab justru membuat sifat seseorang menjadi

serendah hewan.

Sang petapa sakti baru menyadari kesalahan yang

dibuatnya ketika dia menyerahkan Kitab Ular dan Macan

pada seorang petapa muda dari kaki bukit anak Krakatau.

Petapa muda itu menjadi sosok manusia yang tak

mengenal peri kemanusiaan. Rasa manusiawi dalam

dirinya digantikan oleh sifat-sifat buas seekor macan lapar.

Dan kekejiannya bagai dirasuki darah dingin seekor ular.

Rupanya, wangsit yang selama ini diterimanya

sengaja diturunkan Penguasa Semesta untuk menguji hati

manusia. Manusia seringkali tergiur oleh hal-hal yang bisa

membuatnya berkuasa di dunia. Entah itu kekayaan,

kedudukan, atau kekuatan. Dengan diturunkan wangsit

pembawa ajian-ajian yang ditulis dalam kitab, setiap orang

yang kebetulan mendapatkannya akan diuji ketegaran

hatinya. Ibarat ujian bagi Adam yang diperintahkan Tuhan

untuk tidak me-makan buah khuldi dalam Taman Firdaus.

Ketika sang Petapa Suci dari puncak Krakatau

hendak memusnahkan kitab tersebut, datang lagi wangsit

pada satu malam. Wangsit itu mencegah sang petapa

untuk memusnahkan Kitab Ular dan Macan.Dengan berat

hati, petapa itu tak jadi memusnahkan benda tersebut.

Untuk mengingatkan siapa pun yang kebetulan

mendapatkan Kitab Ular dan Macan, dia menuliskan dua

bait pesan dalam hala-man pertama. Pesan itulah yang

berbunyi: Gagal akan mati, berhasil akan sesat!

Sesuai wangsit terakhir, sang Petapa Suci kemudian

meletakkan Kitab Ular dan Macan dalam peti. Peti itu

kemudian dilemparkan ke tengah kawah Gunung Krakatau.

Beberapa puluh tahun kemudian, terjadi amukan

Krakatau. Gunung itu meletus sejadi-jadinya, sehebat-

hebatnya, sedahsyat-dahsyatnya. Bumi diguncang.

Samudera disibak. Lahar termuntah. Peti yang selama ini

terkubur dalam lahar dingin di permukaan kawah

Krakatau, saat itu juga dimuntahkan keluar. Terlempar

jauh ke tengah samudera. Lahar panas membara yang

tersembur membakar bagian luar peti kayu berkerangka

baja itu. Merubah warnanya dari coklat kayu menjadi

hitam.

Gelombang akibat letusan Krakatau kemudian

menggiringnya sampai ke pulau Jawa. Letusan teramat

hebat saat itu membuat kekuatan gelombang sanggup

menggapai jauh ke dalam pulau Jawa.

Peti itu lalu terkubur dalam endapan lumpur selama

beratus-ratus tahun. Waktu bergulir. Endapan lumpur itu

kemudian menjadi daerah pertanian s ubur di sekitar

wilayah Kulon Jawa,

Amitha dan Neelam, kebetulan adalah pendatang

yang mengolah tanah di mana peti penyimpanan kitab

terpendam. Sewaktu dia hendak membajak ladang,

cangkulnya tanpa sengaja menghantam benda keras. Peti

tua itu ditemukan.

Semula sepasang suami-istri perantau itu mengira

peti yang mereka temukan adalah harta karun. Belum lagi

dibuka, Neelam sudah mengidam-idamkan menjadi

Kanjeng Putri hartawan. Setidak-tidak-nya menjadi bandar

martabak seantero Jawa Namun .ketika dibuka, Neelam

langsung kecewa. Mimpinya berubah menjadi gerutuan

sebulan penuh.

Amitha menanggapi hal tersebut tak seperti Neelam.

Dia tertarik dengan kitab kuno tersebut. Dia yakin telah

mendapatkan satu kitab kesaktian tinggi. Ketika dia mulai

berniat menyimpannya, Neelam langsung pasang

bogemnya di depan batang hidung Amitha. Amitha ngeri.

Tapi dia tak berniat menyingkirkan kitab itu. Diam-diam,

disimpannya benda tersebut dalam tanah tepat di bawah

lantai gubuk.

Kejadian aneh mulai saat itu menghantui diri Amitha.

Seminggu berturut-turut semenjak mendapatkan kitab itu,

dia didatangi seseorang dalam mimpi. Mula-mula seorang

lelaki tua berpakaian putih berjenggot. Tubuhnya seperti

diselubungi sinar. Lelaki tua itu mengangkat tangannya,

seolah-olah mencegah Amitha melakukan sesuatu. Sosok

lelaki tua itu lalu memupus. Digantikan oleh sosok

menyeramkan. Besar, bertaring, bermata satu. Di tangan

kirinya ada air dalam bejana berwarna merah bara dan di

tangan kanannya ada api.

Sosok menyeramkan itu menyodor-nyodorkan air

pada Amitha. Kalau lelaki tua tak pernah berbicara sepatah

pun, makhluk menyeramkan ini justru membujuk-bujuknya.

"Ayo, terimalah air ini. Dengan air ini, kau akan

berkuasa! Kau akan abadi seperti abadinya diriku. Kau

akan menjadi raja diraja manusia! Ayo, terimalah...."

Sekujur tubuh Amitha saat itu menjadi panas. Meski

dalam mimpi, dia begitu merasakan bagaimana sodoran

air di tangan kiri makhluk menyeramkan tadi demikian

menyengat. Lebih hebat dari slaksa kali sengatan bara

paling panas di muka bumi. Aneh, api di tangan kanannya

justru sama sekali tak terasa panas.

Ketika Amitha mencoba memandang air itu, wujud

air dalam bejana semerah bara tadi berubah menjadi satu

baris tulisan: Ular dan Macan....

Mulai saat itu, Amitha terus digerayangi ketakutan

dalam setiap tarikan napasnya. Mimpi tentang makhluk

alam kegelapan demikian menjejak jelas di benaknya.

Karena terus dihantui, dia lalu berusaha mengusir

bayangan menakutkan tersebut dengan memperdalam

yoga.

Selama itu pula, Amitha berusaha menafsir-nafsir

mimpinya. Karena penasaran, dilihatnya kembali kitab itu

tanpa sepengetahuan Neelam. Dia mulai menyadari kitab

apa yang telah didapatnya ketika membaca dua bait

tulisan di halaman pertama. Sebuah kitab sesat yang

menuntut nyawanya jika dia gagal mempelajari. Kalaupun

berhasil, dia akanjatuh ke jurang kesesatan teramat

dalam.

***

Di lain tempat, tepatnya di sumur tua di balik bukit

wadas.

Karena setengah modar tak suka bertemu dengan

Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor cepat-cepat melepas tali

timba yang dipegangnya. Dia berharap nenek setengah

edan yang nangkring seenaknya di atas timba segera

terjatuh kembali ke dasar sumur.

Andika boleh berharap begitu. Kenyataannya

berbalik seratus delapan puluh derajat. Timba tetap

menggelantung di tempat. Bobot Nyai Silili-lilu mungkin tak

lebih berat dari seekor kadal.

Menyaksikan kegagalannya, Pendekar Slebor

menepak kening kuat-kuat. Baru dia sadar kalau si nenek

sinting memiliki ilmu kanuragan setaraf dengan buyutnya

sendiri. Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, jangan heran

kalau dia bisa menguasai berat tubuhnya demikian rupa.

"Mau main licik? Atau 'main' yang lain?" goda Nyai

Silili-lilu genit.

Pendekar Slebor menarik napas. Panjang-panjang.

Dalam-dalam. Bakal benar-benar kena musibah, pikirnya.

Tabah... tabah....

Dari atas timba, si nenek sakti melompat ringan.

Hinggap di samping Pendekar Slebor membawa senyum

sarat kemenangan.

"Weleh... kau makin guanteng saja, Andika!" pujinya.

Kumat lagi penyakit genitnya. Orang sejompo dia mestinya

sadar kalau bau tubuhnya sudah seperti tanah. Kalau yang

namanya Nyai Silili-lilu, hal seperti itu justru jadi tabu. Apa

tidak sinting?

"Boleh dong, aku meminta sedikit ciuman sebagai

salam pertemuan?" serbunya lagi.

Andika cengengesan. Cium katanya? Daripada cium

dia, lebih baik cium telapak kaki buto ijo sekalian, pikir

Andika merajuk.

"O, jadi tidak mau?" desak Nyai Silili-lilu semena-

mena. Mata keriput berwarna kelabunya mendelik. Pakai

tolak pinggang segala lagi. Lagaknya sudah mirip penjajah

dari Mongol.

"Kalau begitu, cium tangan saja!" bentaknya, mulai

memerintah.

Wajah Pendekar Slebor tambah terlipat. Mau di-

turuti, dia tak sudi. Tidak dituruti, tahu sendiri. Nenek

sinting satu itu bukan cuma bisa membuatnya jadi bulan-

bulanan. Dijitaki bertubi-tubi saja masih untung.

Bagaimana kalau dia dibuat telanjang bulat? Andika takut?

Bukan soal takut. Ini masalah menyebalkan baginya. Cuma

itu.

"Eee, cicit kemenakanku mulai membantah, ya?"

Selesai menghardik, Nyai Silili-lilu menggeram. Di

telinga Pendekar Slebor, geramannya lebih menakutkan

dari gonggongan biang setan.

"Cepat cium!"

Nyai Silili-lilu menyodorkan punggung tangan tinggi-

tinggi. Meski badannya sudah membengkok bak tongkat,

masih juga sok ditegak-tegakkan. Biar terlihat lebih

berwibawa di mata cicit kemenakannya, barangkali.

Dengan terpaksa, Pendekar Slebor akhirnya

'bertekuk-lutut'. Diciumnya juga punggung tangan Nyai Silili-

lilu. Khidmat tidak khidmat, peduli setan, rutuknya.

"Sebenarnya, sedang apa kau di sini, Uwak?"

Tanya Andika setelah dia terbangkis-bangkis berkali-

kali.

"Usaha," jawab Nyai Silili-lilu singkat.

Andika kebingungan. Jawaban tadi sulit dimengerti,

meski otaknya sudah tergolong encer.

"Bertapa, tolol! Cari tambahan ilmu. Barangkali

masih ada sisa jatah buatku. Apa itu namanya bukan

usaha?"

Andika mengangguk-angguk mengerti. Heran juga

dia, orang sesakti Nyai Silili-lilu masih juga mau menambah

ilmunya.

"Apa merasa belum cukup, Wak?"

"Apanya yang belum cukup?"

"Ilmunya? Kurasa kau sudah cukup sakti...."

"Bocah gendeng tidak punya otak! Apa kau pikir aku

bertapa untuk mencari ilmu kesaktian tambahan?"

"Jadi?"

"Aku mencari hikmah! Ini...," Nyai Silili-lilu menunjuk

dadanya. "Hati kita selama hidup pasti penuh kekotoran.

Aku yang sudah mau mampus, ingin sekali

membersihkannya terlebih dahulu dengan cara mencari

hikmah. Itu yang aku perlukan—"

'Tapi kok heran ya...."

"Heran bagaimana?"

"Anu, tingkahUwak masih saja tengik...," gumam

Andika takut-takut.

"Eee, jaga bacotmu!"

***

5


Amitha tiba di atas puncak Gunung Kawi,

Karisidenan Cirebon. Berhari-hari dia melakukan

perjalanan kaki dari Kulon Jawa menuju Wetan Jawa. Di

balik pakaiannya tersembul Kitab Ular dan Macan.

Sejak terakhir mengangkat kitab dari lubang, Amitha

telah memeram tekad untuk mempelajarinya. Apa pun

akibat yang akan menimpa, akan ditanggungnya. Dia

sudah tak peduli lagi. Dia nekat. Dendam telah

membutakan mata hatinya. Lelaki kurus hitam itu tak bisa

lagi membedakan mana cara yang benar dan mana cara

sesat.

Waktu itu, tepat ketika Amitha mencoba membaca

halaman kedua Kitab Ular Macan, mendadak saja dari

tempatnya berpijak tersembur asap hitam pekat, tebal dan

menggumpal padat.

Amitha ketakutan. Amitha panik. Setakut-takutnya

dia, sepanik-paniknya dia, lelaki itu tak bisa berbuat apa-

apa. Seluruh jaringan otot dan persendiannya seperti mati.

Dia tak mampu bergerak, meski sekadar mengedipkan

kelopak mata.

Dalam kungkungan ketakutan teramat sangat, asap

kelam yang merubunginya di tempat perlahan tapi pasti

mengumpul menjadi sosok tinggi besar berbulu. Mulutnya

menyembulkan dua taring besar. Matanya hanya satu,

tepat di atas batang hidungyang tak kalah besar dengan

bola mataberwarna merah darah. Ada desis menggebah

bulu roma ketika mata itu me-natap Amitha.

Makhluk terkutuk itulahyang dilihat Amitha dalam

mimpi!

Si lelaki perantau dari India itu merasa jantungnya

berhenti berdenyut untuk sekian saat. Badannya bergetar

hebat. Jauh lebih hebat dari gigil orang terserang malaria.

Apalagi ketika makhluk mengerikan itu mendekat dengan

cara aneh. Tanpa menggerak-kan kaki, tubuh menebar bau

itu bergerak seperti kabut memperpendek jarak dengan

Amitha.

Satu tombak dari Amitha, gerak tubuh makhluk itu

berhenti. Tawa terlepas dari mulut yang melebar

mendadak, seakan ingin menelan Amitha bulat-bulat.

Suaranya terdengar terpendam, tapi juga melengking.

Terdengar menggaung, tapi juga mendenging. Terdengar

pekat, tapi juga menghambur. Serak, juga mengabur.

"Aku Dajjal Yang Terkutuk. Datang untuk memberimu

apa-apa yang kau kehendaki...," ucapnya. Suara makhluk

itu mendadak mendayu lebih memikat dari suara Dewa

Kebajikan atau Bidadari dari sorga.

Amitha tidak berkata apa-apa. Pita di

kerongkongannya seperti melekat erat.

"Kau ingin membalas kematian istrimu. Pelajari kitab

itu di puncak Gunung Kawi...."

Selesai menambahkan, sosok itu mendadak pupus.

Asap tebal pekat pun menghilang seketika, tak beda

dengan gelombang mimpi yang tiba-tiba terjaga.

Keesokan harinya, Amitha benar-benar berang-kat

ke Wetan J awa. Gunung Kawi yang dituju. Akan

dipelajarinya kitab sesat di sana. Dan hari ini, dia tiba.

Di atas batu besar seukuran tiga ekor gajah, Amitha

duduk bersila. Dibukanya Kitab Ular dan Macan yang sejak

tadi hanya ditatapinya tanpa gemik.

Tepat ketika halaman yang berisi tentang ajian-ajian

maut dalam kitab tersebut, bumi diguncang gelegar

halilintar. Lidah petir seperti menebas ubun-ubun Gunung

Kawi. Alam berubah kelam dalam pandangan Amitha.

Amitha tidak peduli sama sekali pada apa pun yang

terjadi. Tekadnya sudah penuh. Dia harus memulai!

***

Tampaknya hari-hari belakangan Pendekar Slebor

sedang dilanda kesialan demi kesialan. Semula dia

bertemu Amitha dalam haus teramat sangat. Belum cukup

kenyang dengan kesialan itu, ada lagi kesialan baru yang

tak kepalang tanggung. Bertemu dengan Nyai Silili-lilu.

Bertemu saja tak terlalu merongrong dirinya. Tapi kalau si

perempuan bangkotan itu ingin mengikutinya? Sama saja

sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Edannya lagi, perawan

lapuk itu minta digendong pula!

"Aku sebenarnya sedang ada urusan penting, Uwak.

Kenapa kau ingin sekali turut denganku?" tanya Andika.

Dongkolnya berusaha ditahan-tahan sekuat mungkin. Di

sumur tadi, dia belum sempat minum. Sekarang

perjalanannya malah ditambah beban di punggung.

Mestinya berat nenek kerempeng seperti Nyai Silili-lilu tak

terlalu merepotkan seorang pemuda kekar berotot seperti

Andika. Herannya, anak muda itu justru merasa sedang

menggendong seekor kerbau!

Pendekar Slebor tahu dia sedang dikerjai. Nyai Silili-

lilu memang usil. Andika bukan tak mau maklum. Cuma

saja, dia tak habis mengerti kenapa mesti tertimpa

'musibah' bertemu dengan perempuan peot itu? Di lain sisi,

Andika tak bisa menolak begitu saja permintaan ngotot

Nyai Silili-lilu. Mana bisa nenek keras kepala dan mau

menang sendiri itu ditolak? Sehebat-hebatnya sifat keras

kepala Pendekar Slebor, Nyai Silili-lilu barangkali seribu

satu kali lebih hebat.

"Aku juga ada urusan penting. Memangnya cuma

kau saja?" tukas Nyai Silili-lilu ketus.

Merasa nenek buyut kemenakannya tak

mempercayai kesungguhan ucapannya, Pendekar Slebor

mencoba meyakinkan. Dikeluarkannya kalung yang

ditemukan dalam genggaman mayat Neelam.

"Aku hendak mencari seorang pembunuh, Wak. Ini

buktinya...," kata Andika bersungut. Diperlihatkannya

kalung tadi ke depan hidung Nyai Silili-lilu yang nangkring

seenak perut di punggungnya.

"Ah, cuma kalung butut! Apa hubungannya dengan

seorang pembunuh yang hendak kau cari? Kau cuma mau

mengibuli aku saja!"

"Aku tidak bohong, Uwak! Apa kau pikir aku mau

kualat membohongimu?"

"Coba kulihat!"

Andika menyerahkan kalung pada Nyai Silili-lilu.

"E, buyut!" Nyai Silili-lilu tersentak.

"Ada apa, Uwak?"

"Aku kenal dengan kalung ini."

"Masa'?"

"Jangan masa'-masa'!" "Katanya tadi aku cuma mau

mengibuli...." "Sudah jangan banyak bacot! Kau mau

mencari pemilik kalung ini apa tidak?"

"Ya, mau."

"Kalau gitu, kita mesti cepat ke pesisir Pantai Laut

Selatan!"

"Pantai Laut Selatan? Dengan menggendong Uwak?"

"Jangan banyak bacot, kataku. Lari saja ke sana!"

"Lari sih, lari. Cuma kalau sambil menggendong

manusia bau seberat kerbau, apa tidak cari susah

namanya? Apalagi tempat yang dituju jauhnya bukan main.

Dasar apes!" maki Pendekar Slebor membatin.

***

Pertarungan sengit sedang berlangsung di sekitar

Kadipaten Karang Gantung. Tiga orang sedang terlibat

pengeroyokan terhadap seseorang.

Ketiga pengeroyok adalah orang-orang yang pernah

mendatangi Neelam beberapa hari lalu. Seorang lelaki

India kalang-kabut digempur mereka. Si lelaki India

bertubuh tegap. Berpakaian jubah kurung khas negerinya

berwarna merah hati. Wajah banjir peluhnya

memperlihatkan raut tegar usia empat puluhan.

Rambutnya amat pendek, dibiarkan tumbuh hanya

sepanjang setengah kuku.

Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.

Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul-

menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gerakan

cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cukup alot.

Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang

diandalkan untuk bertahan dari serangan ketiga lawan,

meski dia terus terdesak.

Bersenjatakan sebuah gada besar yang ujungnya

berbentuk bulat, lelaki India tadi berusaha mengim-bangi

serangan-serangan para pengeroyoknya. Sementara, di sisi

para pengeroyok, hanya perempuan cantik

mempergunakan senjata rantai panjang bermata baja

berbentuk cakar.

Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat

yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang

dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri dari

kepungan.

Tiba di tepi sebuah telaga, lelaki India jatuh dalam

keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak lebih leluasa

dalam usaha melepaskan diri dari kepungan. Telaga

terbentang dibelakangnya. Sementara di depan dan

sisinya, tiga lawan setiap saat dapat menendangnya ke

hang lahat.

"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana pun,

lelaki India!" cibir perempuan cantik, mencoba

meruntuhkan semangat perlawanan lelaki India.

"Ya, kau tak bisa lagi menghindar dari kami. Dan

kami pun tak perlu sungsang-sumbel mencarimu. Karena

hari ini kau akan segera mati!" timpal orang berwajah

bengis yang beberapa waktu lalu telah membunuh seorang

India pula di kotapraja.

"Kenapa kalian begitu menginginkan kematianku?!"

tanya lelaki India, serak. Dadanya kembang-kempis tak

beraturan. Wajahnya setiap kali membersitkan ketakutan.

Tampaknya meski dia punya cukup kepandaian bela diri

untuk bertahan, tak urung dia digerayangi rasa takut.

Orang cebol terkikik geli. Sehabis tertawa singkat,

wajahnya berubah berangasan kembali. "Kau pikir kami

akan melepaskan begitu saja orang yang akan merusak

rencana besar kami, heh?!" tukasnya sinis.

"Tapi kalian memang merencanakan suatu yang

busuk!" kecam lelaki India.

"Itu sebabnya kau harus kami singkirkan! Rencana

kami tak boleh bocor! Tak boleh ada satu orang golongan

putih persilatan yang tahu rencana kami itu. Kami tak ingin

mereka menyusun kekuatan untuk menghalangi kami!"

sela wanita cantik. Wajah merangsangnya tetap dingin.

"Tapi apa urusannya denganku?! Aku tidak akan

mencampuri urusan kalian!"

"Ketika kau mendengar secara tak sengaja per-

temuan kami di hutan waktu itu, itu artinya kau telah

mencampuri urusan kami!" tandas lelaki berwajah bengis.

"Mana aku tahu kalian mengadakan pertemuan

rahasia di sana. Aku sendiri tak berniat mencuri

pembicaraan kalian. Aku waktu itu hanya berniat mencari

kayu bakar! Apa salahnya dengan perbuatan itu?!" sangkal

lelaki India lagi.

"Salahnya? Kau mau tahu salahmu? Salahmu,

kenapa kau bertemu dengan kami..."

"Ah, kalian memang cuma orang-orang sesat yang

mencari segala alasan untuk membenarkan tin-dakan

laknat kalian!" maki lelaki India gusar.

Si cebol terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang

dianggapnya lucu dari makian lelaki India tadi. Yang jelas,

sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar haus

darah ke arah lawan.

"Sekarang, berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu,

sebab kami akan segera mengirimmu ke akhirat!"

Akhir ucapan orang cebol menjadi pemicu pe-

ngeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh

kerdil itu memulai dengan satu lepasan tinju menggeledek

di atas selangkangan lawan.

Wukh! Deb!

Lelaki India tahu dirinya tak mungkin lagi

menghindar ke mana pun, selain memapaki tinju lawan.

Dengan agak nekat, disambutnya tinju si cebol dengan

senjatanya.

Prak!

Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu

alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.

Ujung senjata tadi berserpih menebari udara dalam

pecahan-pecahan kecil. Tinju ganas yang pernah mengirim

nyawa Neelam ke akhirat kini dipergunakan si cebol

kembali!

Lelaki India terkesiap. Semula dia tak

memperkirakan tinju si cebol memiliki kekuatan

penghancur yang hebat. Tapi, tak sedikit pun dia

memperhitungkan kalau kehebatan tinju lawan sanggup

melantakkan senjatanya. Padahal dia tahu pasti, batu yang

dipergunakan untuk ujung senjatanya termasuk batu mulia

yang memiliki kekerasan tak diragukan.

Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya

tadi manakala tangan si cebol yang lain menderu pula

mengejar dirinya.

Wukh!

"Haih!"

Jarak yang terlalu dekat memaksa lelaki India

berjumpalitan ke depan, melewati kepala si cebol. Sayang,

di sana sudah menunggu lelaki berwajah berangasan.

Pijakan kakinya di tanah disambut oleh sepakan setengah

putaran kaki lelaki itu.

Zeb!

Sekali lagi, lelaki India pontang-panting

menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya

diremukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan

tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu

dekat ke arah si cebol.

Belum lagi napasnya lega, wanita cantik mulai pula

melepas gempuran. Senjata rantainya menanduk udara,

memperdengarkan desing tipis di sisi bu-ruannya,

sementara tubuh lelaki India sendiri masih berada di

udara.

Lelaki India benar-benar hendak dijadikan bulan-

bulanan!

Keadaan yang sudah amat terjepit membuat lelaki

India tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun

dia. Jalan satu-satunya, dia harus mementahkan ancaman

rantai berujung cakar baja tadi. Dengan gagang baja sisa

gadanya, untung-untungan disampoknya tandukan hebat

ujung rantai.

Trangng!

Cuma satu harapan lelaki India agar ujung maut

berbentuk cakar itu urung menghantam iganya. Sayang,

tenaga yang terkandung dalam senjata lawan nyatanya

jauh dari perkiraan. Gagang gadanya terpental saat itu

juga. Nyeri luar biasa menjalari sekujur tangannya.

Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan di-

rasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang

menerjang bagian bahu kirinya.

Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya

telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu melontarkan

tubuh lelaki India ke tengah-tengah telaga.

Byur!

Permukaan telaga menelannya. Air beriak.

Gelombangnya mengembang sampai jauh, membentuk

cincin-cincin bergerak mengembang. Perlahan-lahan, riak

permukaan telaga menghilang. Tubuh lelaki tadi tak

kunjung muncul di permukaan.

Telah direnggut ajalkah dia?

"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui

ajal Mata Dewa Kematian?" tanya si cebol.

"Aku yakin sekali," sahut lelaki berwajah seram yang

dipanggil Mata Dewa Kematian. "Tendanganku mengenai

dada kirinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!"

tambahnya yakin.

"Jangan ceroboh mengambil kesimpulan," sela

wanita cantik di tengah-tengah mereka.

"Dalam hal ini, kita tak bisa berjudi. Kita harus

memastikan lelaki itu benar-benar telah mati! Apa kalian

mau dia membocorkan rencana rahasia kita pada orang

dunia persilatan kalau ternyata dia masih hidup?"

"Benar juga," timpal si cebol.

"Jadi meriurutmu, sebaiknya kita memastikan dia

benar-benar mampus?" kata Mata Dewa Kematian agak

tersinggung.

"Kalau kau tak mau melakukannya, sebaiknya biar

Katak Merah yang melakukan," sergah wanita cantik datar,

namun menusuk Si cebol yang disebut Katak Merah

menyeringai. Dia ingin mengejek Mata Dewa Kematian.

"Kerja mudah buatku," tukasnya meremehkan.

Mata Dewa Kematian mendengus.

"Kau pikir apa yang hendak kau lakukan. Katak

Merah? Mencoba menyelam seperti katak buduk ke dasar

telaga?" gerutu Mata Dewa Kematian.

Katak Merah mengepalkan tinju. Rahangnya

mengeras. Dia hendak menindak lelaki tadi. Tapi cepat

dicegah oleh si wanita cantik.

Mata Dewa Kematian terpancing juga oleh ulah

Katak Merah. Mata merahnya menatap tajam-tajam. Dari

mata mautnya itu membersit kilatan menggidikkan.

"Kerjakan saja apa yang diperintahkan!" sentak si

wanita cantik, melihat gelagat yang tak baik.

***

6


Puncak Gunung Kawi. Tempat di mana sebentang

kekuatan hitam alam gaib membentuk benteng. Tempat di

mana manusia banyak datang melakukan pemujaan.

Tempat di mana banyak manusia terjerembab dalam

persekutuan dengan sang Durjana!

Di salah satu celah gunung yang membentuk gua

pendek menjorok ke dalam, seorang terlihat. Diam, dingin

bagai area. Kegelapan menyelimuti. Siang dan malam tiada

beda. Karena sinar matahari tak bisa menembus masuk.

Udara di dalam dingin lembab. Hanya kelelawar atau

binatang melata yang biasanya mendekam di dalam sana.

Tidak seperti biasanya orang bertapa, cara duduk

orang ini begitu aneh. Dia harus duduk di dalam lumpur

lengket kehitaman setinggi leher yang menjadi dasar gua.

Hanya kepala berambut klimis pada bagian atas lelaki itu

yang menyembul di atas permukaan lumpur.

Orang itu memang Amitha. Hari ini, memasuki hari

kedua dia melakukan tapa untuk mengamalkan rapalan-

rapalan ajian dalam Kitab Ular dan Macan. Empat hari

sebelumnya, dia.telah berhasil tuntas mempelajari isi Kitab

Ular dan Macan. Beberapa syarat sebelumnya telah dia

selesaikan. Tapa kali ini adalah syarat terakhir baginya

agar dapat memperoleh ilmu kanuragan sesat.

Di permukaan lumpur, terlihat potongan-potongan

kecil makhluk menjijikkan. Ratusan lintah, melata di sana!

Bahkan mungkin, jumlahnya lebih banyak di dalam lumpur.

Binatang-binatang itu bergerak-gerak, menggeliat-geliat

bersama lendirnya di sekujur wajah dan tubuh Amitha.

Sejak memulai tapa, lelaki itu harus membiarkan

dirinya menjadi santapan lintah. Membiarkan darahnya

dihisap sedikit demi sedikit oleh makhluk-makhluk kecil

penghuni lumpur.

Mula-mula, amat sulit bagi Amitha. Baru dia hendak

memulai memusatkan perhatian dan menghilangkan

pikirannya, di beberapa bagian tubuhnya terasa ada

geliatan-geliatan halus, menyusul rasa gatal teramat

sangat sewaktu lintah-lintah itu mulai menghisap darahnya

rakus-rakus. Perhatiannya jadi terpecah.

Agar dia bisa menjalankan syarat terakhir, dengan

segenap kekuatan pikiran, Amitha berjuang untuk

mengenyahkan perasaan-perasaan yang mengusiknya.

Latihan yoga selama ini cukup memban-tunya. Meski susah

payah, dia berhasil juga mencapai pemusatan pikiran dan

perasaan.

Namun, untuk syarat kali ini dia dihadapkan pada

perjudian maut. Nyawanya akan dipertaruhkan.

Sebab semakin lama dia berada dalam lumpur

sarang lintah tersebut, akan semakin banyak darahnya di-

kuras. Lintah-lintah itu seperti tak pernah kenyang.

Dua hari berlalu. Saat-saat ini keadaan begitu kritis

bagi Amitha. Darah ditubuhnya sudah tak bisa lagi dihisap

lebih banyak oleh lintah. Kalau itu terjadi, maka organ-

organ dalam tubuhnya akan kekurangan darah. Dia bukan

saja akan kehilangan kesadaran, tapi juga akan mati.

Dalam perjuangan untuk tetap menjaga kendali

tapanya, Amitha merasakan tubuhnya begitu lemah.

Perlahan tapi pasti, ada perasaan mual tak terhingga.

Kepalanya memberat, seperti dilimpahi timbunan wadas.

Darah dalam tubuhnya rupanya makin menipis.

Lama kelamaan, timbul gambar-gambar aneh dalam

kepalanya. Bentuknya tak beraturan, Simpang-siur dan

beragam. Amitha tak menyadari kalau dia mulai tak kuasa

lagi mengendalikan kesadarannya. Sebentar lagi, dia akan

terjatuh pingsan.

Pada saat Amitha merasakan tubuhnya seperti

terapung perlahan di atas, terdengarlah tawa serak

menggetarkan dinding gua.

"Ha ha ha! Kau telah berhasil anak manusia! Kau

telah berhasil! Bangkitlah dengan kesaktian dalam dirimu.

Kini, kau telah menjadi sekutuku! Kau telah rela untuk

mempertaruhkan nyawamu sendiri untuk dendammu!"

Suara menggidikkan tadi memupus.

Amitha membuka mata perlahan. Kelopak matanya

begitu berat untuk digerakkan. Sepertinya dia akan

membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk melakukan

itu.

Begitu matanya terbuka, cahaya terang menyerang

seketika. Otot-otot matanya menjadi linu. Tanpa sadar,

Amitha mengangkat tangannya untuk menghalangi

terjangan cahaya. Matanya mengerjap-ngerjap.

Lambat laun, akhirnya pandangan Amitha bisa wajar

kembali. Amitha mendapati dirinya sudah tidak berada di

dalam gua berlumpur. Melainkan di dalam liang lahat

terbuka.

"Mungkinkah aku gagal dan telah mati?" bisiknya

bergetar.

Amitha mendongak pada lubang liang.

Disaksikannya matahari tepat berada di atas ubun-ubun.

Itu artinya, dia belum mati.

Tapi di mana aku?" bisik batinnya.

***

Lelaki berjuluk Mata Dewa Kematian berdiri diam di

tepi telaga. Tak ada gerak. Hanya dadanya yang terlihat

mengembang kempis teratur. Pandangannya dihujamkan

lurus-lurus, lekat-lekat pada permukaan telaga. Angin

mendesis-desis mengusik permukaan telaga hingga

membentuk riak kecil.

"Heaaa!"

Mendadak kes unyian diporak-porandakan. Mata

Dewa Kematian memekikkan lengking melolong panjang.

Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas dengan

telapak terbuka kejang.

Di ujung teriakan membahananya, permukaan telaga

tiba-tiba meruyak, bergolak. Suara riuh-rendah seperti

badai tercipta. Gelombang-gelombang besar pun tercipta.

Gelombang itu tak seperti biasa. Kalau ombak biasa akan

bergerak menyamping, ombak yang terjadi kali ini malah

mencelat lurus ke atas. Tingginya sekitar empat tombak.

Ombak itu kemudian menyatu di udara, dan melayang

untuk beberapa saat. Air telaga seakan sedang diciduk

gayung gaib raksasa sebesar pendapa!

Gumpalan terapung air raksasa tadi kembali jatuh ke

telaga ketika Mata Dewa Kematian tak menemukan apa

yang dicarinya.

Permukaan telaga tersibak lagi, mengiringi timpaan

gumpalan air raksasa tadi. Disusul oleh lengkingan suara

Mata Dewa Kematian.

"Heaaa!"

Kemudian, hal seperti sebelumnya pun terulang

kembali. Terulang dan terulang lagi. Sampai akhirnya tubuh

orang yang diburu terikut salah satu gulungan air raksasa

ke udara.

"Itu dia, Dewi Kecubung!" seru si cebol meng-gebu.

"Bereskan!". perintah wanita cantik berjuluk Dewi

Kecubung.

Cepat Katak Merah mengerahkan tenaga dalam ke

sepasang telapak tangannya. Tak tanggung-tanggung lagi

dikerahkan tenaga dalamnya. Seperti ucapan Dewi

Kecubung belum lama, dia memang harus benar-benar

memastikan bahwa kali ini, buruan mereka akan sampai di

akhirat!

Jeph!

Serangkum angin pukulan berhawa kuat yang

sanggup melantak karang membelah udara. Arah yang

dituju, tepat tubuh lelaki India yang masih terapung di

udara bersama gumpalan air raksasa.

Drat!

Didahului dengan hantaman pada gumpalan air,

tubuh lelaki India terpental. Sejauh sepuluh depa tubuh itu

melayang terhempas kembali ke permukaan sungai,

tenggelam beberapa saat, lalu mengapung tanpa gerak.

"Kuyakin dia kini benar-benar telah mampus! He he

he!" Katak Merah terkekeh menyaksikan hasil kerjanya.

Tubuh lelaki India itu.

Dewi Kecubung menjentikkan jari, mengajak dua

sekutunya meninggalkan tempat tersebut.

Telaga di Kadipaten Karang Gantung itu sunyi

kembali. Airnya agak surut karena musim kemarau

berkepanjangan. Namun tak turunnya hujan sekian lama

tak membuat telaga itu menjadi kering sama sekali. Hanya

sekitar tepian telaga yang mengering.

Beberapa ekor rusa terlihat datang mendekat

Mereka meneguk airnya. Sejak aliran sungai kecil yang

membelah Kadipaten Karang Gantung kering, banyak

hewan menjadikan telaga itu sumber air minum. Seperti

halnya penduduk di sekitar.

Ketenangan kawanan rusa tadi diusik oleh sesuatu

dari tengah-tengah telaga. Mereka menghentikan minum,

menegakkan kepala siaga. Mata bulat jernih hewan-hewan

itu menatap tak berkedip ke tengah telaga di mana

sesuatu mengapung.

Kawanan rusa tadi lari berhamburan ketika tubuh

yang mengapung sekian lama barusan mulai bergerak.

Tangannya terkayuh lemah di permukaan bersama suara

kecipak air. Tampaknya dia berusaha untuk berenang ke

tepi dengan sisa-sisa tenaga.

Dalam keadaan amat payah, akhirnya orang tadi tiba

juga di tepi telaga yang mengering. Dia berjalan terseok.

Dari sudut bibirnya yang basah mengalir darah. Juga dari

lubang hidungnya.

Orang itu yang belum lama dikeroyok tiga lawan di

tepi telaga. Dugaan Katak Merah meleset. Ternyata buruan

mereka sama sekali belum menemui ajal. Menilik

keadaannya, memang sulit dipercaya kalau si lelaki India

masih hidup. Apalagi dia sudah cukup lama berada dalam

air.

"Uuuhhh...," keluhnya sambil menjatuhkan diri ke

atas rumput. Dia tak mungkin lagi berjalan lebih jatuh.

Sudah tak sanggup lagi. Kekuatan tubuhnya terus merosot

hingga ke titik terlemah.

Di atas rumput, sebentar dia terbatuk-batuk. Darah

kehitaman terikut keluar bersama batuknya. Tak begitu

lama, kepalanya terkulai. Dia tak sadarkan diri.

Di salah satu sudut wilayah Wetan Jawa, seseorang

tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal Dia

mengenakan caping lebar dan jubah besar ber-warna

hitam Dengan kepala agak dirundukkan, akan sangat sulit

bagi orang lain untuk menyaksikan wajahnya. Tangannya

bersedekap erat di dada.

Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah

orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda berlari

menggila. Debu membubung pekat, meng-ekori setiap

hentakan ladam kuda pada tanah kering.

Para penunggang di atasnya, tak henti-henti

menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara

teriakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan.

Bertumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap

kaki kuda.

"Hea! Hea! Heaaa!"

Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang yang

berdiri di tengahjalan. Semakin memperpendek pula jarak

di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat

kemungkinan orang tengah jalan akan terinjak-injak.

Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada

labrakan kaki-kaki kuda.

Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga

penunggang yang seluruhnya lelaki terpaksa menyentak

tali kekang tunggangan masing-masing.

Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda kekar

perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan tiga

binatangitu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan

gerakan menendang-nendang liar.

"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan seperti

itu? Tidakkah kau sadar kau hanya akan mencelakakan diri

sendiri?"

Salah satu penungganp berkumis tebai mencoba

menegur.

Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik pun

tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali

dari sebelumnya.

"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting!

Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang

berkumis tebal, masih berusaha untuk bersikap ramah.

"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum

kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas penghadang.

Suaranya terdengar samar. Seakan orang itu malas

berbicara. Biar begitu, terdengar amat bertekanan kuat.

Ketiga penunggang kuda saling bertatap.

"Apa yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung

orang berkumis.

"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar

Slebor?"

Ketiga lelaki di punggung kuda tersenyum. Mereka

harripir saja tertawa kalau tak segera menahan-nya.

"Tentu saja orang yang kau maksud tidak ada di

antara kami. Kau pasti sedang bergurau kalau

menganggap salah seorang di antara kami adalah

pendekar besar itu...," gurau penunggang paling muda.

"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku di mana aku

dapat menemukan orang itu."

Mendengar nada bicara yang seperti tak

memandang sebelah mata nama besar pendekar muda

dari Lembah Kutukan, ketiga penunggang kuda saling

menatap kembali. Siapa orang ini sebenarnya? Bisik hati

masing-masing.

"Sebenarnya, ada urusan apa kau pada Pendekar

Slebor?" Tanpa menjawab pertanyaan lelaki penghadang

barusan, penunggang berusia paling muda justru balik

bertanya.

Lelaki penghadang tak menjawab sepatah kata pun.

Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Ca-ping

lebarnya tetap ditundukan. Sampai....

"Katakan padaku di mana aku dapat menemukan

dia?!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari

kerongkongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk

ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu,

hardikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak

semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui

gelombang suara

Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan.

Mereka seperti disentak oleh salakan guntur. Dengan

nyalang mereka menendang-nendangkan kaki depan

tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan

dari punggung. Untung saja ketiga lelaki tadi memiliki

cukup kemahiran dalam seni me-nunggang kuda.

"Haooo! Hooo!"

Ketiga penunggang kuda berjuang untuk

menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan

mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tangan

yang lain mengelus-elus.

Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat ketiga

hewan gagah itu tenang kembali. Sewaktu mereka

melepas perhatian pada lelaki penghadang, orang itu

ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.

Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka tak

mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, mereka

sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh

mata memandang, hanya ada hamparan ladang jagung

kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka masih bisa

menyaksikan sosoknya di kejauhan.

"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?"

tanya lelaki berkumis pada kedua temannya.

Kedua temannya malah bertukar pandangan seperti

orang kebanyak minum tuak.

"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini.

Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini... Lagi

pula, kita harus segera ke Pedepokan Ki

Braja."

Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat

tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut

kuda. Tali kekang dilecutkan. Ketiga kuda siap berpacu di

jalan berdebu kembali.

Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari, debu

bahkan belum sempat menebar jauh, sayup-sayup

terdengar suara dengung di belakang ketiganya. Suara

asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga terdengar

dekat.

Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih dahulu

seperti sebelumnya, mereka menoleh ke belakang sambil

tetap menunggang.

Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu

pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka mene-

gang seketika. Mata mereka mendelik sebesar-be-sarnya.

Otot di tubuh mereka serentak mengejang tegang.

Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali kendali kuda

masing-masing.

Samar-samar, mata mereka menyaksikan seekor

macan siap menerkam di kejauhan. Yang membuat

mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena binatang itu

bukan seperti yang biasa mereka saksikan. Hewan itu

memiliki kepala puluhan ekor ular sendok yang bergerak-

gerak. Mendesis-desis berbarengan membentuk dengung.

Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan oleh

terkaman hewan ganjil tadi. Seperti terbang, macan

berkepala puluhan ular sendok itu menyambar dua kepala

penunggang kuda dengan cakar depannya.

Cras!

Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala

menggelinding di atas tanah berdebu.

Penunggang paling muda tak bisa menggerakkan

tubuhnya. Ujung jempol kakinya, dan semua 'ujung' di

bagian tubuhnya seperti terserang keram. Dia akan

bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja kuda

tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai

dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas tunggangan dua

temannya. Nasibnya, memang masih bagus. Meski dia

harus terkencing-kencing di celana.

***

7


Dengan cepat, mungkin lebih cepat dari melesatnya

anak panah, desas-desus tersebar semenjak peristiwa di

satu daerah ladang jagung kering Wetan. Lelaki muda

penunggang kuda seperti kesetanan memberitahu siapa

saja. Tak peduli yang diberitahu mau tahu atau tidak. Tidak

peduli orang yang diberitahu sedang sibuk makan atau

sibuk buang hajat.

Desas-desus merembet, dan merembet. Kegem-

paran pun terpic u. Ini satu berita besar dunia persilatan!

Jarang ada yang mau melewatkan, kecuali bagi yang

telinganya sudah jadi rongsokan.

Orang-orang banyak juga yang kurang percaya pada

cerita si anak muda. Bagaimana bisa percaya kalau cara

menceritakannya begitu meledak-ledak, menggebu-gebu,

terburu-buru sekaligus takut-takut. Mereka menganggap

ocehan si pemuda cuma bualan seorang berpenyakit

sinting.

Masa' iya ada macan berkepala puluhan ular? Dari

zaman kuda gigit besi sampai kuda gigit bakpao, yang

namanya macan ya tetap berkepala macan. Nah, yang

namanya ular, tetap ular. Kalau dikatakan macan

berkepala puluhan ular, itu kan sama saja seperti

mengatakan seorang yang jidatnya ada di jempol dan

jempolnya ada di jidat. Bagaimana gitu! Pokoknya tidak

masuk akal bagi mereka.

Tapi yang namanya desas-desus, lebih banyak yang

percaya ketimbang tidak. Jangan lagi orang dunia

persilatan yang merasa berkepentingan dengan munculnya

kehebohan itu, nenek-nenek kampung sampai istri centeng

desa pun meributkannya.

Hari itu, si pemuda terlihat di sebuah pinggiran desa.

Kebetulan dia bertemu dengan seseorang tua bertubuh

pendek, berperut buncit. Berpakaian merah kedodoran dari

bahan murahan. Kepalanya gundul sebelah, Kalau

kepalanya sudah gundul sebelah, siapa tahu bagian lain

pun begitu, yang itu tak usah dipermasalahkan. Yang jelas,

dari caranya berjalan dengan menyandang tombak

bermata golok besar, lelaki tua buncit ini jelas warga

persilatan.

"Bapak Tua! Berhenti dulu. Bapak Tua!" tahan si

pemuda dengan napas terengah-engah.

"Apa?!" tanya si Tua Buncit singkat. Alisnya yang

gundul sebelah terangkat.

"Dunia persilatan sedang dalam keadaan 'buaha-ya'!"

sambar si pemuda meledak-ledak. Matanya mendelik-delik

setiap kali mengucapkan satu kata. Jangan-jangan kalau

dia terus berbicara, biji matanya bakal mencelat keluar.

Kalau semula terangkat, sebelah alis orangtua

buncit sekarang malah merosot turun.

"Ngomong yang benar! Bahaya, maksudmu?!"

Iya.PakTua! 'Buahaya'!"

Orang tua buncit merengut.

"Ah, dari dulu dunia persilatan memang selalu

begitu! Bahaya menebar di mana-mana!" tepis si Tua

Buncit sambil mengayun tangan di udara. Dia hendak

meneruskan langkah.

Si anak muda menahannya. Lengan baju si Tua

Buncit dicekal kuat-kuat.

"Jangan pergi dulu, Pak Tua! Bukankah Pak Tua

warga persilatan?!"

"Apa aku terlihat seperti warga hutan alas? Seperti

kunyuk atau kambing begitu?!"

"Kalau begitu, kau mesti tahu, Pak Tua!"

'Tahu apa?!"

"Tahu sesuatu yang pasti kau belum tahu!"

"Monyong! Bertele-tele sekali kau!"

"Ada manusia bisa berubah menjadi macan

berkepala puluhan ular!"

"Ini teka-teki atau bukan?" sungut si Tua Buncit

salah kaprah. "Kalau itu teka-teki, aku juga punya. Ada

sesuatu yang hitam, kecil, tersembunyi dan bau. Apa

hayo?!"

"Bukan... bukan!" si pemuda menggeleng-gelengkan

kepalanya seperti hampir mau lepas.

"Jadi apa maksudmu, heh?!" "Aku melihat ada orang

mencari Pendekar Slebor!"

Orang tua buncit mengernyit. Dia masih belum

mengerti ucapan ngelantur pemuda di depannya. Tadi dia

bilang soal orang yang bisa berubah menjadi macan

berkepala ular. Sekarang, dia bilang ada orang mencari

Pendekar Slebor....

Mulut si Tua Buncit menganga, baru hendak

mengumpat. Namun kalah cepat dengan si pemuda.

"Begini saja, Pak Tua! Karena kau orang dunia

persilatan, tolong sampaikan pada Pendekar Slebor! Ada

orang mencarinya. Orang itu berilmu 'tinggi'...."

"Tinggi, maksudmu?"

"Ya, 'tuinggi'! Dia memiliki ajian yang bisa mengubah

wujudnya menjadi macan berkepala ular!" cecar si

pemuda, tanpa titik tanpa koma.

Orang tua berperut buncit mengangguk-angguk

pelan.

"O, cuma itu saja," katanya santai. Dia berjalan lagi

dengan menyandangkan tombak bermata golok besar di

bahu. Baru tiga langkah, dia terhenti. Matanya mendelik.

Cepat dia berbalik pada si pemuda.

"Hah, ada manusia bisa berubah menjadi macan

berkepala ular?! Mencari Pendekar Slebor?! Hah?! Hah?!"

runtun orang tua buncit tadi.

E, memang telinganya tadi melayap ke mana saja?

***

"Kenapa kita harus lewat sini, Wak. Kita sama saja

berputar. Itu artinya, kita menempuh perjalanan yang

jaraknya dua kali lebih jauh. Mestinya kita tinggal lurus

saja. Bukankah tujuan kita ke Wetan seperti katamu?"

Pendekar Slebor memprotes Nyai Silili-lilu. Adik kandung

buyutnya itu seperti sengaja mengerjainya terus.

Perempuan uzur itu tentu merasa suka cita kalau

digendong keliling-keliling dan membuat napas si pendekar

muda dari Lembah Kutukan Senin-Kamis. Begitu pikir

Andika.

"Jangan banyak mengeluh! Sejak kapan aku memiliki

seorang cicit kemenakan yang doyan mengeluh!" bentak

Nyai Silili-lilu menyembur-nyembur bak seekor naga peot.

"Ya, kau sendiri enak-enakan di atas punggungku,

Wak. Sedang aku? Bisa-bisa tulang punggungku

membengkok sebelum jompo!"

"Diam... diam... diam..!" Nyai Silui-lilu menjewer

telinga Pendekar Slebor. Maka, meringis-ringislah pendekar

muda itu.

Di dekat sebuah pohon besar, perjalanan mereka

dihentikan sapaan seseorang.

"Pucuk dicinta, ulam tiba...."

Pendekar Slebor menoleh ke asal suara. Begitu juga

nenek peot di punggungnya. Seorang lelaki tua pendek

berperut buncit yang belum lama mendengar berita

menggemparkan dari seorang pemuda terlihat sedang

duduk menjuntai kaki di atas ranting pohon tak lebih besar

dari jari kelingking.

"Pucuk dicinta, ulam tiba!" balas Nyai Silili-lilu.

Wajahnya sumringah melihat si penyapa.

"Pucuk dicinta, dengkulku sengsara!" gumam

Pendekar Slebor, sebal sekali.

"Turunkan aku, Andika!" perintah Nyai Silili-lilu.

Ah, akhirnya penderitaan itu berlalu juga.... An¬dika

lega. Cepat-cepat diturunkannya tubuh nenek uzur di

punggungnya.

Berdiri di tanah, Nyai Silili-lilu lantas saja menggeliat-

geliatkan pinggang ke kiri dan kanan.

"Uuuh, pegalnya...," keluhnya enak sekali. Padahal

mestinya tindakan itu jadi bagian Pendekar Slebor yang

hampir seharian menggendongnya. Dalam hati, Andika

memaki-maki. Dia tambah merutuk sebal menyaksikan

adegan mesra antara dua manusia langka tadi.

Pasalnya, Nyai Silili-lilu dan si Tua Buncit

menghambur berbarengan. Mereka berangkulan sambil

berputar-putar. Berteriak-teriak lebih ramai dari

gwedumprangan kaleng rombeng. Lagak keduanya sudah

seperti remaja yang sedang dijangkit kasmaran. Dasar

tidak tahu diri, cemooh Andika. Sudah bau tanah saja

masih bertingkah!

"Apa lihat-lihat?!"

Andika dibentak Nyai Silili-lilu. Nenek peot itu

rupanya jeli juga menangkap sinar mencemooh di mata si

anak muda sakti.

"Kau tak redho kalau kami berangkulan? Tak

ikhlas?"

Andika menggelengkan kepala. Celakanya, bibir

pendekar muda itu malah mencibir.

Kontan saja Nyai Silili-lilubertolak pinggang. Bibir

sekendor gombalnya menyemburkan khotbah panjang,

yang sumpah mampus bisa membuat seekor keledai

terpeleset!

"O, iya. Kenalkan... mantan kekasihku! Hik hik hik."

Dengan aneh dan sulit dimengerti, perempuan uzur itu

mendadak mengerem omelannya. Wajahnya tahu-tahu

berubah manis sekali. Pada Pendekar Slebor,

diperkenalkannya orang tua berperut buncit.

"Masih ngganteng, ya...?"

Ganteng? Jakun Andika melompat-lompat di tempat.

Rasanya dia ingin terbahak-bahak di tempat. Kalau tak

takut Nyai Silili-lilu ngamuk besar, dia akan tertawa sepuas-

puasnya.

"Nan Buncit Sayang...," Nyai Silili-lilu mengalihkan

pandangan ke arah Andika. "Anak muda kunyuk ini yang

disebut-sebut sebagai Pendekar Slebor! Jelek-jelek begini,

cicit kemenakanku, lho! Hik hik hik!" Lalu Nyai Silili-lilu

membusungkan dada, membanggakan cicit

kemenakannya. Usaha yang agak sembelit sebenarnya,

mengingat betapa melengkung punggung si nenek itu.

Andika tak sudi dikatakan jelek. Mestinya dia yang

pantas mengatakan, 'jelek-jelek begini, dia itu Uwak

buyutku, lho!

"Kau anak muda! Sungkem sama mantan

kekasihku!" perintah Nyai Silili-lilu lebih lanjut.

"Sekarang?" Andika meringis sengsara.

"Sekarang!"

Mau rasanya Pendekar Slebor saat itu berteriak

sekuat-kuatnya. Tidak apa-apa dianggap gila!


8


Desas-desus yang ditebarkan mulut seorang

pemuda beberapa waktu lalu bukan sekadar bualan.

Dalam beberapa hari, dunia persilatan benar-benar

dihantam kenyataan sesungguhnya. Semua yang pernah

diocehkan si pemuda benar-benar nyata!

Sehari setelah si anak muda menyebarkan berita

saja, sudah terdengar kabar sengit tentang pembunuhan

seorang ketua perguruan silat aliran putih di sekitar

wilayah Wetan Jawa. Tokoh yang mati bukan cecoro

persilatan. Dia termasuk salah satu tokoh yang disegani. Di

samping karena menjadi ketua perguruan besar aliran

putih, juga kesaktiannya sudah teruji dalam berpuluh

pertarungan dengan orang-orang atas golongan sesat.

Beberapa murid perguruan itu yang sempat

menyaksikan kejadian bertingkah serupa dengan pemuda

pembawa kabar sebelumnya. Mereka seperti setengah gila.

Cara bicara mereka meledak-ledak sarat ketakutan.

Meski tak begitu jelas, ucapan mereka masih bisa

ditangkap. Kata mereka, mereka menyaksikan seekor

macan berkepala ular membantai guru besar mereka

dengan cara telengas.

Berturut-turut setelahnya, terjadi kejadian serupa.

Empat tokoh sesat tergabung dalam kawanan begal

berkesaktian tinggi mati tercabik-cabik. Salah seorang di

antara mereka mati dengan mayat hangus membiru.

Dalam empat hari sudah jatuh korban tujuh orang

warga dunia persilatan. Tiga di antaranya dari golongan

lurus. Sisanya dari golongan sesat

Dunia persilatan mulai dibuat bertanya-tanya. Siapa

sesungguhnya manusia sakti yang bisa menjelma menjadi

macan berkepala ular itu? Mengapa dia membunuh tak

pandang bulu? Tak peduli dari golongan hitam atau lurus.

Apakah Pendagel Setan telah bangkit kembali? Beberapa

waktu lalu, dunia persilatan pun dihebohkan oleh

kemunculan Pendagel Setan. Lelaki itu pun membunuh

tanpa pernah memandang bulu (Untuk jelasnya, bacalah

episode: "Pendagel Setan")! Tapi, Pendagel Setan bukan

seorang yang memiliki kesaktian seperti itu. Dia tak pernah

bisa mengubah wujudnya menjadi binatang mengerikan.

Lagi pula, bukankah Pendekar Slebor telah

menyingkirkannya?

Ataukah ini bagian dari murka Tuhan terhadap

penduduk tanah Jawa yang sudah terlalu mabuk pada

kenikmatan dunia? Setelah sebelumnya mengirim

kemarau berkepanjangan, mungkinkah sang Penguasa

mengutus utusan dari neraka?

"Aku sudah pernah mendengar berita itu sebelumnya

dari seorang pemuda," ucap si Tua Buncit pada Andika dan

Nyai Silili-lilu. Saat itu mereka berniat mengisi perut dengan

kelinci bakar.

Untuk urusan memburu, menyiangi dan membakar

kelinci, Andika bagiannya. Nyai SiUli-lilu mana mau

melakukannya! Dia malah sedang asyik duduk

bergandengan tangan di bawah pohon asam. Perempuan

uzur besar adat itu pula yang memerintah Andika. Untung

saja saat itu Pendekar Slebor tidak terpikir untuk memberi

racun pada daging panggang kelinci bakar!

"Hey, Anak Muda...," lanjut si Tua Buncit pada

Andika.

Andika menoleh malas-malas ke belakang.

"Menurut anak mudayang kutemui beberapa hari

lalu, manusia jejadian itu mencari dirimu!"

Dari jongkoknya, Pendekar Slebor berdiri. Di-

terbengkalaikannya panggangan daging kelinci. Bau

mengait selera sudah menebari udara. Andika tak peduli.

"Kau sungguh-sungguh, Pak Tua?"

"Kau pikir aku sedang bergurau, heh?!"

Andika mengangkat bahu. Dia masih sulit percaya,

mengingat si orang tua buncit adalah kekasih Nyai Silili-lilu.

Siapa tahu dia sama tengik dengan perempuan uzur itu.

"Kalau ternyata semua berita itu benar, dan

ucapanmu juga benar...."

"Maka tidak ada yang salah!" sela Nyai Silili-lilu.

"Kamu masih muda, tapi bicaramu membingungkan!"

"Maksudku, kalau semuanya benar, kenapa manusia

itu mencariku?"

"Ah, orang sepertimu tentu saja banyak yang

memusuhi Anak Muda. Apa kau lupa. Orang-orang sesat

tak akan pernah lega kalau ksatria sejati macam dirimu

masih bernapas!" tukas si Tua Buncit.

"Apa mungkin dia salah seorang musuh yang

memendam dendam terhadapku?" gumam Andika.

Sebentar diingat-ingatnya beberapa orang musuh lamanya

yang mungkin masih hidup. Terlalu sulit. Banyak yang

masih hidup di antara mereka.

"Ah, aku tidak tahu," keluh Andika.

"Jangan dulu berpikir terlalu jauh! Urusan kecilmu

saja belum kau selesaikan!" sela Nyai Silili-lilu sambil

menimpuk kepala cicit kemenakannya dengan ranting

kering.

Andika menepuk kening. Bukan karena baru terkena

timpukan. Dia ingat sekarang mengenai kalung yang

ditemukannya di genggaman tangan mayat Neelam. Nyai

Silili-lilu ternyata ada gunanya juga telah mengingatkannya.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Andika jadi lupa pada kalung itu

justru karena tingkah Nyai Silili-lilu yang kelewatan

padanya. Jadi anggap saja impas!

"Nih!"

Perempuan tua itu melempar kalung yang masih

dipegangnya pada Pendekar Slebor.

"Bagaimana, Wak? Katanya kau ingin mengantarku

pada orang yang bisa kutanyakan tentang kalung ini?!"

Andika mengingatkan Nyai Silili-lilu.

"Hoek... cuih! Aku tak pernah ingkar pada ucapanku

sendiri! Kau bisa tanyakan benda itu pada mantan

kekasihku ini!" jawab Nyai Silili-lilu seraya menepuk-nepuk

kepala si Tua Buncit seenak dengkul.

"Lho, bukankah ini kalung murid-muridku? Selama

ini aku sedang mencari-cari mereka! Dari mana kau

temukan kalung ini, Anak Muda?" tanya si Tua Buncit

setelah meneliti sejenak.

"Aku menemukannya di tangan seorang wanita India

yang mati terbunuh?"

"Terbunuh? Eh, apa yang akan mereka kerjakan

sesungguhnya? Kenapa wanita India itu dibunuh?"

"Itu yang ingin kuketahui."

Sementara si Tua Buncit bangkit, Andika teringat

sesuatu.

"O, iya Pak Tua. Apakah kau memiliki murid seorang

bocah kecil?" lanjut Pendekar Slebor.

"Murid seorang bocah kecil?"

"Ya. Aku melihat sebentuk pukulan tenaga dalam

luar biasa telah menyebabkan kematian wanita India itu.

Dari bentuk kepalan tinjunya yang kecil, aku beranggapan

kalau si pembunuh seorang bocah kecil."

"Ha ha ha! Kau keliru, Anak Muda! Tak ada muridku

seperti kau katakan. Tapi kalau seorang cebol memang,

Katak Merah julukannya."

"Sekarang jadi jelas," gumam Pendekar Slebor.

Kepalanya mengangguk-angguk samar. "Lalu, kenapa kau

mencarinya, Pak Tua?" sambungnya. Wajah orang tua

buncit itu menampakkan kemarahan besar. Wajahnya

memerah matang. Dengan wajah seperti itu, sepertinya

setiap saat dia bisa melabrak apa saja, siapa saja di

dekatnya. Dua telapaknya membentuk tinju, geram-geram.

"Mereka murid-murid murtad! Hmrrr!"

"Apa yang mereka perbuat?"

"Mereka memasuki tempat semadiku. Padahal aku

telah melarang mereka keras-keras."

"Ah, kukira apa. Kalau cuma itu, menurutku tidak

terlalu berat pelanggaran mereka...."

"Kau sok pintar, Anak Muda! Mereka menguras tiga

kitab sakti dari tempat semadiku. Sementara aku sendiri

belum sempat mempelajari kitab sakti itu!" Murka si Tua

Buncit membuncah dalam setiap kalimatnya.

Andika kecut juga.

"Ooo, kalau begitu pantas saja. Mereka memang

harus dihukum berat," timpal Andika, berusaha

membetulkan kesalahan ucapan sebelumnya. Anak muda

itu khawatir dirinya jadi pelampiasan kemurkaan si Tua

Buncit. Kalau terjadi perselisihan, dia tak bisa menjamin

Nyai Silili-lilu memihaknya, biar pun Andika adalah cicit

kemenakannya sendiri. Siapa tahu perempuan uzur kepala

batu itu justru memihak mantan kekasihnya. Kalau sudah

begitu, aku cuma akan jadi bulan-bulanan. Tak usah ya!

Ceracau Andika membatin.

"Mereka itu.... Hmmrr hmrrr hmrrr!" si Tua Buncit

memperpanjang lagi kegeramannya. Belum selesai satu

kalimat, tangannya sudah meninju telapak sendiri. Berkali-

kali Andika jadi makin kecut. Lalu orang tua berperut

sebesar gentong ajaib itu mulai berjalan hilir mudik,

membuat Andika yang mengawasinya menjadi tujuh

keliling dibuatnya.

"Padahal aku sudah wanti-wanti pada mereka. Aku

akan menurunkan semua kesaktian yang kumiliki. Tapi

mereka tak sabar. Dasarnya mereka bejat, brengsek,

slompret, tak tahu adat—"

"Kadal bau!" sela Andika, melengkapi. "Kenapa kau

belum mempelajari kitab-kitab yang mereka curi, Pak Tua?"

tanyanya lagi.

"Karena kitab-kitab itu berisi ilmu kanuragan sesat!

Semuanya kudapatkan dari tiga tokoh sesat kelas atas

yang pernah kukalahkan!"

"Mereka memberikannya begitu saja padamu?"

"Ya, tentu tidak! Aku bertaruh dengan mereka. Kami

bertarung lebih dahulu. Siapa yang menang, akan

mendapatkan kitab sakti milik lawannya. Itu kerjaku sejak

dulu. Makanya, aku lebih dikenal dunia persilatan dengan

julukan...."

"Petaruh Sakti Perut Buncit!" sambar Nyai Silili-lilu di

bawah pohon asam

"Kalau kau memiliki kitab atau senjata pusaka, kau

bisa menantangku untuk bertaruh?!" tantang orang tua

berjuluk Petaruh Sakti Perut Buncit.

Andika menggelengkan kepala. Bibirnya meringis.

Pekerjaan sinting orang-orang tak punya kerjaan, pikir

Andika.

"Aturannya, kita akan bertarung seratus lima puluh

jurus..."

"Tidak perlu, Pak Tua!" sergah Pendekar Slebor. Tapi,

Petaruh Sakti Perut Buncit terus saja nyerocos.

"Kalau ada yang jatuh terlebih dahulu sebelum

seratus lima puluh jurus, maka dia menjadi pihak yang

kalah.... Di samping mempertaruhkan kitab-kitab sakti dan

senjata pusaka, tentunya ada kemungkinan kita

mempertaruhkan nyawa!"

"Tidak... tidak... tidak perlu, Pak Tua!"

"Tidak perlu?"

Pendekar Slebor menggeleng cepat-cepat, mumpung

orang tua gila bertaruh itu belum melanjutkan

ocehannya tentang tektek bengek aturan

pertaruhan.

"Kalau begitu, ya sudah! Aku cuma menantang

bertaruh orang-orang yang mau bertaruh! Kau memang

'kadal bau'!" semprot Petaruh Sakti Perut Buncit.

"Senjata makan tuan," gerutu Andika.

"Sekarang, bisakah kau menjelaskan padaku apa

saja isi ketiga kitab sesat yang dicuri murid-murid-mu?"

Andika berusaha mengarahkan kembali pembicaraan ke

masalah sebelumnya. Kalau terus melantur, semuanya

bisa jadi ngaw ur.

Petaruh Sakti Perut Buncit mendelik.

"Kau bilang cicit kemenakanmu punya otak seencer

bubur bayi. Tapi kenapa dia jadi bodoh begini, Sayang...,"

tukas si Tua Buncit pada Nyai Silili-lilu. "Mana aku tahu soal

isi kitab itu. Bukankah aku sudah bilang tadi, aku belum

sempat mempelajarinya. Mencolek saja pun tidak!"

'Ya, jangan gusar begitu Pak Tua. Aku kan c uma

bertanya," bujuk Andika.

"Aku tidak gusar...," kata Petaruh Sakti Perut Buncit

seraya menjulurkan leher pendeknya ke atas.

Andika lega. Syukurlah kalau manusia berotak

sedikit miring ini tidak gusar....

"Tapi aku dongkol setengah edan, tahu!" ledek si Tua

Buncit mendadak.

Pendekar Slebor mencelat ke belakang. Jan-tungnya

nyaris rontok! Aku kaget setengah edan, tahu! Umpatnya,

hanya berani dalam hati.

***

9


Musyawarah untuk mencapai mufakat, rupanya tidak

hanya berlaku untuk orang-orang berpikiran waras. Bagi

orang-orang yang berpikiran setengah sinting pun masih

bisa. Setidak-tidaknya musyawarah setengah sinting pula.

Setelah debat punya debat, setelah saling teriak-

teriak sampai mau serak, setelah ngotot sambil mencak-

mencak (yang begini ini apa masih bisa disebut

musyawarah?), akhirnya Nyai Silili-lilu, PetaruhSakti Perut

Buncit, dan Pendekar Slebor sepakat untuk mencari

manusia yang dapat menjelma menjadi macan jejadian

dahulu.

Pendekar Slebor sendiri lebih setuju untuk menemui

manusia yang mampu menjelma menjadi macan jejadian.

Dia tak ingin lebih banyak korban hanya karena kesalah

pahaman. Menurut dugaannya, tentu orang itu hanya

hendak mencari dirinya. Terbukti dari selentingan kabar

yang didengar, orang itu selalu menanyakan Pendekar

Slebor terlebih dahulu sebelum membantai para

korbannya.

Jalan pikirannya mungkin tak beda dengan Pendagel

Setan. Makanya, Andika tak sulit menerka seperti itu.

Meski sampai saat ini dia tak bisa menduga secara pasti

siapa sesungguhnya manusia biadab itu.

Lepas dari kesepakatan yang lebih banyak menguras

kejengkelan itu, Pendekar Slebor masih digerayangi tanda

tanya tak terjawab. Apa hubungannya murid-murid murtad

si Tua Buncit dengan wanita India yang dibunuh mereka?

Apa tujuan mereka membunuh wanita itu? Karena

sepanjang pengamat-an jeli Pendekar Slebor, wanita yang

terbunuh bukanlah orang persilatan. Dari pakaiannya, dia

lebih pantas untuk dikatakan sebagai penduduk desa

bia....

"Kau mau ikut atau tidak?!" seru Nyai Silili-lilu,

mendapati cicit kemenakannya terpaku di belakang.

"Mau...," jawab Pendekar Slebor.

"Ya, tentu saja kau harus mau! Bukankah memang

kau yang dicari oleh manusia jejadian itu!"

"Apa pun katamu, Wak...," bisik Pendekar Slebor

pasrah.

Sebelum mereka meneruskan langkah, ketiganya

dihambat oleh labrakan sesosok tubuh dari semak.

Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit sudah

mau mengangkat tangan. Hendak mereka hajar manusia

tak tahu adat yang mencoba membokong mereka.

Anggapan keduanya keliru besar. Orang itu tidak hendak

membokong.

Pendekar Slebor yang berada di belakang mereka

dan jelas menyaksikan keadaan orang itu cepat-cepat

mencegah tindakan Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut

Buncit.

"Tunggu! Dia tidak ingin menyerang kalian! Dia

terjerembab dalam keadaan terluka parah!"

Kedua tua bangka yang selalu mau bergandengan

mesra itu cemberut. Rasanya mereka tak begitu suka ada

anak muda yang dianggap bau kencur seperti Andika

memberitahu mereka. Gengsi!

Tak peduli pada paras dua tua bangka tadi,

Pendekar Slebor bergegas mendekati orang yang

terjerembab. Tubuh yang tertelungkup segera dibalikkan.

Dengan pahanya, Andika menyangga kepala orang tadi.

Menyaksikan wajahnya, Pendekar Slebor jadi

mengernyitkan kening. Orang keturunan India lagi, pikirnya.

Ada apa sebenarnya sampai belakangan ini dia banyak

berurusan dengan para perantau dari negeri seberang itu?

"Apa yang terjadi dengan dirimu, Saudara?" tanya

Andika.

Lelaki India tadi berusaha menjawab dengan napas

terputus-putus. Nyawanya dalam keadaan genting.

Sekarat. Mungkin hanya beberapa tarikan napas lagi dia

akan segera menemui ajal.

Lelaki itulahyang beberapa waktu lalu dijadikan

bulan-bulanan tiga orang di telaga Kadipaten Karang

Gantung. Dia sebenarnya sudah terlalu payah. Hanya

karena ada sesuatu tersembunyi dalam benaknya yang

harus disampaikan pada orang dari golongan putih,

membuat dia berjuang sekuat tenaga untuk

mempertahankan selembar nyawanya.

"Mereka hendak membentuk Perserikatan Setan...,"

lirihnya samar.

"Mereka? Mereka siapa?" susul Andika, tak ingin

kehilangan waktu sekejap pun mengingat keadaan si lelaki

India sudah begitu mengkhawatirkan.

Di antara tarikan napas yang tersandung-sandung,

orang sekarat tadi melanjutkan.

"Dua lelaki dan satu wanita.... Satu orang cebol, satu

orang berwajah seram.... Mereka ingin mengumpulkan

tokoh-tokoh sesat kalangan atas untuk membentuk laskar

sesat.... Per...."

Tak sampai menyelesaikan kalimat sendiri, nyawa si

lelaki India melayang sudah. Tampaknya kehendak hati

yang menyebabkan nyawanya masih bisa bertahan telah

terpenuhi. Dia mati dengan garis wajah lega.

"Perserikatan Setan...," desis Pendekar Slebor,

menyambung kata terakhir yang tak sempat dicetuskan si

lelaki India.

"Itu murid-muridku! Aku yakin itu murid-murid

murtadku!"

Di belakang Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut

Buncit mencak-mencak.

"Ya. Tampaknya begitu Pak Tua...," desah Pendekar

Slebor. Pandangannya terlepas jauh. Dia sedang

memikirkan sesuatu. "Rasanya aku bisa mengerti kenapa

murid-murid murtadmu membunuh wanita India waktu

itu...," gumamnya kemudian.

"Apa? Apa? Ayo katakan padaku, apa?!" serobot

Petaruh Sakti Perut Buncit tak sabaran.

"Mereka merencanakan membentuk satu

perserikatan yang menyatukan tokoh-tokoh sakti golongan

sesat. Mungkin lelaki malang ini mendengar rencana

rahasia mereka. Karena tak ingin rencana besar itu

diketahui orang-orang golongan putih sebelum terwujud,

mereka memburu lelaki malang ini. Sementara, untuk

menemukan perantau dari India ini, mereka mengira dapat

mengorek keterangan dari orang-orang satu negeri

dengannya. Itu sebabnya mereka mendatangi wanita India

yang mayatnya kutemukan waktu itu...," papar Pendekar

Slebor, panjang lebar dan tuntas.

"Nah, bukankah sudah kubilang padamu sejak mula,

cicit kemenakanku memang berotak seencer bubur bayi!"

seru Nyai Silili-lilu seraya menepak jidat mantan

kekasihnya kuat-kuat.

***

Di tempat lain, tepatnya di sekitar batas Kadipaten

Karang Gantung tampak sebuah bangunan tua

menebarkan cahaya api dari ruang dalamnya. Bangunan

tua berupa pendapa yang sudah dimakan rayap pada

beberapa bagian itu tampak demikian terbeng-kalai.

Mungkin telah tak didiami selama bertahun-tahun. Di

halaman depannya tumbuh ilalang liar, tanaman yang

masih kuat bertahan dalam kemarau panjang seperti

sekarang. Tingginya nyaris menyamai kepala. Cahaya redup

dari satu ruangan bangunan tua terengah-engah

menerobos kegelapan malam dan sekian ubun-ubun alang-

alang.

Di dalam sana, terdengar suara beberapa orang. Ada

suara perempuan. Juga ada suara lelaki. Semuanya

terdengar bergiliran, teratur. Tampaknya orang-orang itu

sedang mengadakan rapat rahasia.

Masuk ke ruangan tengah besar, tampak hadir

sepuluh orang. Semuanya duduk bersila di atas tikar lebar.

Tujuh orang lelaki. Sisanya wanita. Tiga orang di antaranya

adalah orang-orang yang beberapa waktu lalu memburu

lelaki India di telaga Kadipaten Karang Gantung.

Merekalah Dewi Kecubung, Katak Merah, dan Mata Dewa

Kematian.

Malam ini, mereka sebagai pencetus rencana besar

pembentukan Perserikatan Setan telah kedatangan tamu

tujuh tokoh golongan sesat. Dalam minggu-minggu

terakhir, undangan telah disebar secara rahasia oleh tiga

orang murid murtad Petaruh Sakti Perut Buncit. Dari lima

belas undangan yang tersebar, hanya tujuh yang mendapat

sambutan.

Tak ada seorang golongan putih pun yang tak akan

terkejut jika menyaksikan ketujuh orang yang datang

memenuhi undangan. Mereka rata-rata adalah datuk-datuk

sesat dunia persilatan. Kesohoran mereka sudah

menyerupai momok menakutkan. Di mana pun dan kapan

pun julukan mereka disebutkan orang, ketika itulah

ketakutan menghantui.

Sesungguhnya, teramat sulit untuk mengundang

mereka. Apalagi pengundangnya cuma tiga orang yang

belum cukup punya nama besar. Namun, akal licin Dewi

Kecubung membuat semuanya berjalan mulus. Disebut-

sebutnya dalam undangan bahwa Perserikatan Setan

mempunyai tujuan utama untuk menyingkirkan satu-

satunya penghalang terbesar bagi kaum sesat saat itu....

Pendekar Slebor!

'Bumbu' itu membawa hasil. Dengan cukup

bersemangat, mereka tiba dan langsung menanyakan

apakah Perserikatan Setan yang akan dibentuk

mempunyai tujuan pertama da., utama untuk

menyingkirkan pendekar muda sakti itu.

Di antara ketujuh datuk sesat dunia persilatan itu,

telah hadir orang-orang yang pernah berurusan langsung

dengan Pendekar Slebor.

Seorang di antaranya adalah si Gila Petualang.

Tokoh tua yang dalam kepalanya terpendam dendam

berkarat pada Pendekar Slebor karena rencananya di

Piramida Tonggak Osiris digagalkan mentah-mentah.

(Untuk lebih jelasnya, bacalah tiga episode: "Undangan

Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Warisan RatupMesir")!

Berseberangan dengan si Gila Petualang, duduk

seorang berusia amat uzur, berjenggot amat panjang

sampai menutupi seluruh bagian bawah tubuhnya.

Berpakaian kain kafan dekil berlumur tanah tercabik-cabik.

Rambutnya sepanjang jenggot. Wajahnya tertutup rambut

kotor dan kumal itu. Dialah Hakim Tanpa Wajah. (Untuk

mengetahui kisahnya bacalah episode: "Manusia Dari

Pusat Bumi" dan Tengadilan Perut Bumi")!

Dua kali di samping kanan si Gila Petualang, duduk

seorang lelaki berjenggot seperti kambing gunung. Usianya

sekitar delapan puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat,

menaungi sepasang mata seta-jam sembilu. Meski usianya

tua, masih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu

lebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.

Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya tinggi

besar dan berotot. Padakulit dari bagian leher ke bawah,

selu-ruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan karet terba-kar

dengan warna merah kehitaman. Lelaki yang ini adalah

musuh lama Pendekar Slebor pula. Julukannya Pangeran

Neraka. Lelaki terlicik yang pernah berhadapan dengansi

pendekar muda berotak encer! (Baca kisahnya dalam

episode: "Pendekar Wanita Tanah Buangan" dan

"Sepasang Bidadari Merah").

Duduk di dekat mulut pintu masuk seorang lelaki

gagah berperawakan seperti Bima, tokoh pewayangan.

Wajah memikatnya dihias cambang tipis serta kumis lebat

melintang. Bersit matanya kasar, bengis, dan telengas.

Pakaian rompi kulit macan menutupi dada bidang berbulu

lebatnya. Tokoh satu ini pernah pula berurusan dengan

Pendekar Slebor. Dia tak lain, si Pencuri Ilmu. (Tentang

tokoh ini bisa dibaca pada episode: "Peta Rahasia Lembah

Kutukan").

Sebenarnya, kalau keempat tokoh itu saja

bergabung menjadi satu, maka dunia persilatan akan

mendapat kesulitan maha besar. Dengan kelicikan

Pangeran Neraka, kesaktian Hakim Tanpa Wajah,

pengalaman si Gila Petualang yang pernah didapatnya

selama bertualang, dan kehebatan Pencuri Ilmu

mengambil alih jurus-jurus lawan, mereka akan menjadi

empat tokoh pemegang kendali napas dunia persilatan.

Kini, ada tiga tokoh sesat kelas atas lain. Ditambah

tiga pencetus rencana pendirian Perserikatan Setan. Lalu,

bagaimana jadinya bila mereka semua benar-benar

bersepakat untuk mewujudkan cita-cita sesat mereka?

Bukankah dunia persilatan sama saja menanti prahara

dahsyat?

Sementara itu, tentu saja akan ada tantangan maut

yang belum pernah dihadapi Pendekar Slebor selama ini,

dan seberat kali ini....

"Sebaiknya, kau tak usah bertele-tele lagi,

Perempuan Muda! Jelaskan secara gamblang apa rencana

besar kalian sebenarnya?" si Gila Petualang saat itu

memotong ucapan pembukaan Dewi Kecubung. Dia tak

begitu suka mendengarkan orang bicara terlalu banyak.

"He he he! Betul, aku setuju!" timpal Hakim Tanpa

Wajah.

Wajah Dewi Kecubung memerah Dia gusar juga.

Kalau tak memikirkan rencana besarnya sendiri, dia ingin

sekali melabrak orang tua pengelana sesat itu. Tak peduli

seberapa hebat kesaktiannya.

"Baiklah, sebaiknya aku yang akan menjelaskan!"

sambar Mata Dewa Kematian, mengambii alih

pembicaraan ketika melihat gelagat tak baik Dewi

Kecubung.

Lelaki itu berdiri dari silanya. Dia melangkah ke

tengah lingkaran. Dengan tangan disilangkan di belakang

punggung, dimulainya penjelasan.

"Seperti kita semua tahu, Dunia persilatan sekarang

ini belum memiliki satu kekuatan besar yang menjadi

pucuk pimpinan kekuasaan. Kekuasaan terpecah-pecah

dalam orang perorangan, Masing-masing saling unjuk gigi

untuk dikatakan berkuasa. Tapi sesungguhnya, tak pernah

ada yang benar-benar

menggenggam kekuasaan tertinggi dunia persilatan

itu sendiri. Kami bertiga, aku Mata Dewa Kematian, Dewi

Kecubung, dan Katak Merah, mempunyai pikiran untuk

mulai menata sumber-sumber kekuasaan dunia persilatan

yang selama ini terpecah-pecah. Khususnya bagi orang-

orang yang merasa dirinya menjadi warga persilatan

golongan sesat. Untuk itu, kami mengundang saudara-

saudara semua selakupe-megang kekuasaan-kekuasaan

yang masih tercerai-berai itu. Kebesaran julukan kalian

adalah satu jaminan bagi kita untuk membentuk kesatuan

kekuasaan. Di mana penyatuan kekuasaan itu akan

membentuk kekuasaan tertinggi yang akan kita pegang

bersama. Dengan begitu, hanya ada satu-satunya

penguasa yang menggenggam napas dunia persilatan.

Penguasa itu akan tergabung dalam Perserikatan Setan!"

Mata Dewa Kematian berhenti sejenak. Wajahnya

berubah mengeras. Sepasang mata merah darahnya

menyipit.

"Mencapai cita-cita besar kita itu, tak menjadi akan

mudah. Kita semua tahu, beberapa tokoh-tokoh golongan

lurus selalu menjadi penghalang semua kehendak kita,

semua tindak-tanduk kita, semua kerja kita! Sampai kala

ini, tak ada seorang pun dari tokoh-tokoh golongan sesat

kalangan atas membentuk persatuan. Mereka akan kita

singkirkan dengan kekekuatan yang kita gabungkan

bersama. Salah seorang tokoh itu adalah satu-satunya

penghalang besar kita saat ini. Siapa dia? Kita semua me-

ngenal satu nama... Pendekar Slebor. Entah sudah berapa

tokoh golongan hitam yang disingkirkan olehnya. Jika kita

berhasil membentuk Perserikatan Setan itu. terwujud,

maka tak akan ada lagi tokoh golongan lurus menghalangi

seluruh sepak terjang kita mengangkangi dunia persilatan.

Tidak ada! Tidak juga Pendekar Slebor! Karena akan tiba

bagi pendekar keparat itu saat ajalnya di telapak kaki

orang-orang Perserikatan Setan!"

Mata Dewa Kematian mengakhiri khotbah berapi-

apinya. Tak ada seorang undangan pun memberi

sambutan. Hanya Dewi Kecubung dan Katak Merah yang

tampak bertepuk tangan lambat Namun begitu, bukan

berarti para undangan tak terpincut dengan seluruh

pemaparan tadi. Di balik wajah keras mereka masing-

masing, tersembul lamat senyum menyerupai seringai.

Mereka kini turut menginginkan Perserikatan Setan cepat-

cepat berdiri. Seperti mereka begitu berhasrat untuk

mencabik-cabik nama besar Pendekar Slebor sekaligus

tubuhnya...!

***

10


Matahari menyembul kembali di ufuk timur. Sinar

merah tembaganya belum terlalu menjerang. Lamat,

ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum siang nanti

menjadi hembusan kering tak bersahabat.

Ladang jagung kering di salah satu wilayah Wetan

Jawa dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu

menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Kalau

siang daerah itu memang demikian panas, malam justru

sebaliknya. Dingin terlalu merasuk kulit. Bahkan terasa

menyiksa.

Pendekar Slebor tiba di sana. Sesuai beberapa

petunjuk yang didapat selama perjalanan, menurut

beberapa orang tempat itulah orang berkesaktian sesat

telah menanti Pendekar Slebor selama berhari-hari.

Semalam, di tengah perjalanan, dua pasangan

bangkotan yang semula setuju untuk turut malah berubah

pikiran. Nyai Silili-lilu dan Petarung Sakti Perut Buncit tahu-

tahu mengatakan pada Andika mereka hendak mencari

tiga murid murtad.

Andika tak mau banyak tanya. Justru dia gembira

setengah modar kalau orang-orang uzur berotak sedikit

miring itu tidak lagi bersamanya. Bersama mereka seperti

dikuntit kesialan sebesar biang dari segala biang badak!

Lebih mengerikan ketimbang dijerumuskan ke istana

kepinding!

Kini, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar

Lembah Kutukan itu berjalan menyusuri jalan pembelah

hamparan padang luas terbengkalai. Disiapkannya

segenap kesiagaan. Matanya diusahakan untuk tidak

berkedip. Bahkan kalau bisa, napas pun ditahannya.

Di dekat sebuah gubuk yang dijadikan tempat

beristirahat para petani selama menggarap ladang

sebelum musim kemarau panjang melibat, Pendekar

Slebor merasakan ada hawa aneh merasuk kulitnya.

"Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Andika

pada diri sendiri. Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti

keanehan apa gerangan. Panca inderanya sendiri tak

menangkap keganjilan apa-apa. Tidak matanya, telinganya,

hidungnya, tak juga kulitnya.

Perasaan serupa pernah hadir ketika pendekar

muda itu berurusan dengan Manusia Dari Pusat Bumi. Kala

itu dia hendak mengejar si manusia dedemit ke alam gaib.

Di gerbang alam gaib yang tersembunyi di balik jasad

pohon raksasa, perasaan seperti kini pun menyerangnya

(Untuk mengetahuinya bacalah episode: "Bayang- Bayang

Gaib")!

Karena hal itu, Pendekar Slebor menghentikan

langkah. Dia diam. Tak ada niat baginya untuk

menggerakkan bagian tubuh mana pun, kecuali kedua bola

matanya. Diperhatikannya sekeliling dengan rasa waswas

yang menjangkit cepat. Telinganya dipasang sekuat

mungkin. Siapa tahu dia mendengar suara angin bokongan

dari belakang.

Menanti sekian lama, tak muncul satu serangan pun.

Pendekar Slebor mulai meragukan perasaannya sendiri.

"Apakah karena ketakutanku aku mulai merasakan

perasaan-perasaan aneh?" bisiknya lagi pada diri sendiri.

"Tapi, aku yakin ada orang yang sedang mengawasiku...."

Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspadaannya

secuil pun, Andika mencoba menggerakkan kaki lagi. Tak

sampaikakinya menjejak ke depan, mendadak saja ada

sekelebat bayangan menerkam amat cepat dari atap

gubuk.

Mula-mula bayangan itu menerobos atap daun

kelapa kering. Membuat potongan-potongan atap

berhamburan ke udara bagai dihempas topan. Andika saat

itu terkesiap. Seluruh jaringan tubuhnya menegang,

mengejang, mengencang. Tangannya mengepal keras,

terangkat ke depan.

Dari atap gubuk yang berhamburan, kelebatan

bayangan tadi bergerak cepat dan lurus ke arah Pendekar

Slebor. Jarak Andika dengan gubuk cukup jauh. Ada sekitar

lima belas tombak. Semestinya gerak lompatan bayangan

itu agak terhambat gaya tarik bumi

Tapi yang disaksikan Pendekar Slebor sekelebatan

sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagaimana

tidak? Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak

terpengaruh sedikit pun oleh gaya tarik bumi. Meluncur

lurus bagai terbang. Ringan, seolah menunggangi angin!

Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor bertanya

dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihadapi?

Wrrr!

Berkawal deru santer mirip geletaran kain, kelebatan

bayangan tadi sampai di depan Pendekar Slebor.

Kesiagaan yang telah terjaga selama ini tak cukup

membawa hasil memuaskan bagi Pendekar Slebor. Dia

sudah berusaha berkelit dari terkaman ganas itu.

Sayangnya, kecepatan kelitannya ternyata kurang unggul

dibanding sambaran kelebatan bayangan tadi.

Tak ayal lagi...

Srat!

Ada sesuatu terkoyak. Pendekar Slebor cepat melirik

bagian bahu kanannya. Dilihatnya pakaian di bagian itu

tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa menilai

benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya. Sebuah

cakar tajam!

Pendekar Slebor cukup lega mengetahui kulit

tubuhnya tak ikut terkoyak. Bisa dibayangkan bagaimana

jika dia benar-benar tersambar cakar kelebatan bayangan

tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, mencabik daging di

dalamnya, dan memperlihatkan tu-lang di bagian dalam. Itu

sungguh menggidikkan!

Untuk benar-benar lega, Pendekar Slebor belum

bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan

bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering,

menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan

gerakyang dilakukannya demikian memukau.

Pendekar Slebor sendiri, dalam hal kecepatan

adalah salah satu tokoh yang paling dikagumi di dunia

persilatan. Kalangan persilatan menganggap kecepatan

geraknya seperti siluman. Membandingkan kehebatan

kecepatannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak

muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu

jadi kurang yakin apakah kecepatannya sanggup

mengimbangi kelincahan gerak kelebatan bayangan yang

sampai saat itu tak jelas bentuk rupanya...

Sambaran berikutnya tak kalah cepat, beringas dan

ganas. Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang

angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher

Pendekar Slebor.

Karena sudah masuk dalam kegentingan

sebelumnya, kepekaan naluri Pendekar Slebor menjadi

meningkat Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun

setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu peringan

tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dimilikinya.

Agak kehilangan keseimbangan karena mendorong

tubuh terlalu kuat, Pendekar Slebor membuat satu putaran

salto. Dia menjejakkan kaki sebelas depa dari bayangan

tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah pula berdiri.

Di antara banyak pengalaman terburuk yang pernah

dialaminya, kali ini adalah salah satu pengalaman bagi

Pendekar Slebor disuguhkan pemandangan yang memaksa

mulutnya ternganga. Matanya tak berkedip. Anak muda itu

berdiri kaku seperti terserang tenung.

Disaksikannya seekor macanberkepala puluhan ular

sendok siap menerkamnya kembali....

"Jadi semua desas-desus itu benar...," desis si anak

muda takjub. "Kalau begitu, kemungkinan besar memang

benar pula desas-desus yang menyebutkan kalau aku yang

diinginkan macan jejadian ini. Tapi kenapa aku? Ada

urusan apa manusia berilmu sesat itu padaku?"

Pertanyaan yang tak akan pernah menemukan

jawaban selama Andika hanya terpaku bisu seperti itu. Dan

mungkin selamanya tak akan pernah terjawab kalau dia

tak segera tersadar dari ketertegunan. Karena macan

berwujud menggidikkan sebelas depa di depannya mulai

memperdengarkan dengung mengancam.

***

Di tempat berbeda, namun di waktu yang sama,

pertemuan para datuk golongan sesat mencapai ujung

penyelesaian. Kesepuluh orang di dalam rumah

terbengkalai telah mencapai kesepakatan. Mereka setuju

untuk membentuk Perserikatan Setan!

Setelah meminum arak sebagai tanda keberhasilan

bagi kebanyakan orang-orang sesat, Bureksa alias

Pangeran Neraka bangkit berdiri.

Diangkatnya tabung bambu berisi arak. Entah sudah

berapa tabung arak ditenggaknya. Sampai saat itu, tak

terlihat dia kehilangan kesadaran.

"Untuk keberhasilan kita! Hu hu huuu!" serunya

serakberkawal tawa anehnya.

Yang lain turut mengangkat tabung arak meng-

angkat tabung bambu di tangan masing-masing. Hanya si

Gila Petualang dan Hakim Tanpa Wajah yang tidak. si Gila

Petualang memang sudah pernah menyentuh minuman

seperti itu. Dia tak ingin membuat tubuh dan

keseimbangannya menjadi rusak karena pengaruh

minuman keras. Baginya untuk menguasai dunia

persilatan, dia harus benar-benar menjadi keadaan dirinya

sesempurna mungkin. Sedangkan Hakim Tanpa Wajah

bukannya tak turut minum. Di tangannya ada juga tabung

arak. Cuma dia tak ingin terbawa wibawa Pangeran Neraka.

Dia lebih suka acuh dengan diamnya yang beku.

"Saudaraku segolongan sekalian! Karena kita telah

menyetujui pembentukan Perserikatan Setan ini. Maka,

aku... Pangeran Neraka akan lebih dahulu

menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan perserikatan

kita! Aku bersedia membuat rencana sempurna untuk

menjerat nyawa Pendekar Slebor ke dalam genggaman

kita! Akan kususun siasat paling licin yang mungkin akan

mengecohkan akal cemerlang anak muda keparat itu! Hu

hu hu huuu!"

"Heh, kau terlalu meremehkan kemampuan otak

anak keparat itu, Pangeran Neraka," cibir si Gila Petualang

berat.

"Kau bicara apa?!" sentak Pangeran Neraka.

"Kau pikir, aku tak pernah merencanakan siasat

yang demikian sempurna untuk menjebaknya?" lanjut si

Gila Petualang tanpa sudi menatap Pangeran Neraka.

Kesannya angkuh.

"Ya... ya... ya, kau gagal karena otakmu kalah

cemerlang dengan anak muda keparat itu! Hu hu huuu!"

balas Pangeran Neraka mengejek.

"Kau ingin menyebutku dungu, Pangeran Neraka?

Begitu maksudmu?!" Suara si Gila Petualang yang semula

datar mendadak menanjak. Matanya menerkam ke arah

Pangeran Neraka. Kegusarannya terpancing.

Menyaksikan suasana akan semakin panas kalau

terus begitu, Mata Dewa Kematian segera bangkit

menengahi.

"Tenang... tenang.... Aku yakin tak ada yang dungu di

antara kita. Harus diakui, Pendekar Slebor memang bukan

anak kemarin sore yang mudah dipecundangi. Untuk itulah

kita bersatu! Dan aku yakin, dengan ketajaman akal

Pangeran Neraka dan pengalaman hebat Pak Tua Gila

Petualang, kita akan bisa menjadikan pendekar keparat

itu...."

"Menemui ajalnya!"

Kalimat Mata Dewa Kematian terpancing suara

menggelegar dari luar bangunan. Dinding batu rumah

besar itu terguncang seakan dilanda gempa. Serpihan atas

bangunan bertaburan ke bawah. Dinding pun retak. Kusen

pintu terpatah.

Mengekori sambaran suara tadi, berpendar cahaya

amat terang di awal pagi muda yang belum lagi cukup

punya cahaya. Sinar merah saga mentari seperti tertelan

pendar cahaya yang membersit dari langit itu....

***

Satu pertarungan ganjil tampaknya akan segera

meletus. Bukan cuma pertarungan itu sendiri yang ganjil,

namun pihak yang berseteru pun ganjil. Satu pihak adalah

seorang pemuda tampan berperawakan gagah. Kekar.

Nyata sekali kesempurnaan zahirnya, meski otaknya

terkadang sengaja dibuat 'ngadat', lebih sinting dari orang

sinting.

Di lain pihak, lawannya adalah sosok yang benar-

benar mehggetarkan nyali. Bahkan untuk seorang ksatria

sejati macam Pendekar Slebor sekalipun. Seekor macan

berkepala puluhan ular sendok! Di sanalah letak seluruh

keganjilan jalannya pertarungan ini....

Ketika itu, Andika si Pendekar Slebor dalam

kungkungan keterpanaan luar biasa. Dia bagai patung

bernapas mendapati lawan yang belum lama me-

nyerangnya dalam kelebatan bayangan yang demikian

cepat. Bahkan mungkin melebihi kecepatannya yang

selama ini dikagumi banyak kalangan persilatan.

Seluruh serat tubuhnya mengejang tegang.

Bagaimana. tidak, kalau lawan yang harus dihadapinya kini

memiliki wujud yang selama hidup baru disaksikan?

Segunung pengalaman pahit getir, setimbun asam garam

dunia persilatan pernah dicicipi pendekar muda ini. Bahkan

dia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sesat kelas atas

datuk penguasa beberapa wilayah. Mereka tak jarang

begitu aneh, begitu ganjil untuk pikiran seorang yang

waras.

Tapi lawan yang mesti dihadapinya kali ini benar-

benar ganjil. Kalau ada yang bertanya, Andika sendiri sulit

menggambarkan dengan kata.

Bahkan menurut pikiran Pendekar Slebor, Manusia

Dari Pusat Bumi, lawan setengah dedemitnya pun tak

begitu membuncahkan keterperangahannya sedemikian

hebat. (Baca episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan

"Pengadilan Perut Bumi")! Tidak juga si Setan Laut, si

Penguasa Laut Selatan yang nyaris menjelma menjadi

makhluk menyeramkan penghuni lautan. (Baca episode:"Perompak-Perompak Laut Cina")!

Selama melihat dengan sejelas-jelasnya wujud

lawan, mengalir deras bagai terjangan air bah seruntun

pertanyaan dalam diri si pendekar muda. Siapa yang

sesungguhnya yang dihadapi? Manusiakah dia? Atau dia

sedang berhadapan dengan sejenis dedemit dasar bumi?

Atau manusia sesat setengah dedemit seperti Manusia

Dari Pusat Bumi? Apa yang menyebabkan makhluk jejadian

ini menginginkan dirinya?

Segala macam pertanyaan bertubi-tubi tadi

mendapat jawaban berbeda dari lawan.

Dzzzgggg!

Sehimpun desis membentuk dengung samar

na¬mun menggaung jauh. Puluhan ular di tubuh macan tak

berkepala di depan sana memperdengarkan desis maut,

menebar ancaman. Mata mereka berpendar seolah

menyimpan bara. Aneh, Andika bisa mengartikan bersit

sejumlah pasang mata itu sebagai cerminan dendam.

"Dendam?" hati Pendekar Slebor berbisik. "Kenapa

di mata puluhan kepala ular itu terpancar dendam pada

diriku?" meruyak kembali pertanyaan- pertanyaan tak

terjawab dalam dirinya.

Untuk kedua kalinya, jawaban yang didapat berbeda

dari harapan. Dengan tiba-tiba, wujud macan jejadian di

depannya menerkam kembali.

Untuk terkaman kali ini, Pendekar Slebor dipaksa

terperangah hebat. Sebab, manakala wujud macan

jejadian tadi berkelebat ke arah dirinya, terlihat samar-

samar wujud seseorang yang pernah disaksikannya

beberapa waktu belakangan membayang di antara wujud

macan jejadian! Sekilas benak Pendekar Slebor merasa

mengenali bayangan orang tadi. Sekilasan berikutnya, dia

tak memiliki waktu lagi untuk memikirkan. Karena....

Wsss! Crsh!

Satu sabetan cakar membuyarkan bayangan di

benak Pendekar Slebor. Kalau cakaran pertama hanya

berhasil mengoyak pakaiannya, sekali ini kulit pangkal

lengannya turut tercabik. Andika merasakan pedih luar

biasa. Rasanya lebih hebat dari sayatan sembilu ditetesi

perahan jeruk nipis!

Darah mengalir dari tiga sayatan dalam sepanjang

rata-rata sepertiga jengkal.

Biarpun Pendekar Slebor sudah menghindar cukup

cepat, namun tampaknya kesalahan telah dibuat Dia

terlalu jauh terkesima dengan wujud lawan. Juga dengan

bayangan seseorang yang tahu-tahu tertang-kap di antara

kelebatan gerak terkaman tadi.

Cukup sudah! Kutuk Andika, membodoh-bodohi diri

sendiri. Dia tak boleh lengah lagi. Tak boleh, Tak mungkin!

Kecuali kalau dia ingin nyawanya cepat melayang di ujung

cakar ganas makhluk jejadian laknat itu! O, maaf-maaf

saja, cibir Pendekar Slebor.

"Kau...." Pendekar Slebor baru hendak mengoceh.

Dalam beberapa keadaan, mulut ceriwisnya memang tak

bisa ditahan-tahan. Ibarat orang kebelet buang air! Tapi

belum lagi lebar mulutnya menganga, lawan sudah

mencelat kembali dari tempatnya.

Dzzzng!

Wukh!

"Wuih!"

Andika cuma bisa ber'wuih' sambil menyingkirkan

posisi berdirinya jauh-jauh di sisi kiri. Tiga jumpa-litan

lincah dibuatnya. Sialan juga pikirnya. Dia se-pertinya

hendak dijadikan sekadar bulan-bulanan empuk. Siapa

yang sudi diperlakukan begitu? Sekali lagi dan seterusnya,

maaf-maaf saja....

"Ayo sekarang serang aku lagi, biang ketorabe!"

rutuk Pendekar Slebor dalam hati. Dengan satu tangan,

diremasnya ujung kain pusaka bercorak catur. Jika nanti

makhluk jejadian itu menyerang kembali, Andika akan

menyongsongnya dengan sabetan bertenaga penuh! Untuk

itu Pendekar Slebor meningkatkan sepenuhnya

kewaspadaan. Selain itu, disiapkannya pula pengerahan

tenaga sakti warisan buyutnya Pendekar Lembah Kutukan

hingga tingkat kesepuluh. Matanya mengawasi tajam-tajam

ke arah lawan, bersiap-siap kalau-kalau lawan berkelebat

kembali ke arah dirinya. Seluruh serat di tubuhnya mene-

gang. Terlebih tanganyang menggenggam ujung kain

pusaka

Di depan sana, si makhluk menyeramkan belum juga

memperlihatkan tanda-tanda hendak menerjang kembali.

Suara desis berdengungnya memang. Tapi tidak tubuhnya.

Binatang laknat dasar neraka itu seperti mematung.

"Monyet kau!" Pendekar Slebor memaki. Gusar sekali

dia. "Ayo serang aku lagi! Serang! Apa Bapak Moyangmu

cuma mengajarkan berdiri kaku seperti bangkai itu?!"

Sang makhluk jejadian tetap tak bergemik.

Pendekar Slebor makin sewot.

"Hei, kau tak merasa tersinggung setelah kusebut-

sebut Bapak Moyangmu? Apa kau memang tak punya

Bapak Moyang?"

Macan jejadian tetap diam.

Pendekar Slebor mulai kebingungan sendiri dengan

segala caci-makinya. Selama ini, justru 'ajian sakti' itu yang

diandalkan untuk mempermainkan ke-marahan lawan. Dia

mulai menggaruk-garuk kening sendiri.

"Apa caci-makiku ada yang keliru?" gumamnya

kebodoh-bodohan.

Sedang sibuknya Andika bersungut-sungut, tanpa

mempedulikan rasa pedih luka di pangkal lengan,

terdengar suara seseorang berkata sarat dendam.

Terdengar terpendam dalam. Seolah datang dari tempat

tersembunyi. Sebaliknya amat jelas untuk telinga Pendekar

Slebor. Untuk beberapa saat dengung aneh dari binatang

jejadian bahkan ditenggelamkannya.

"Waktunya kau membayar hutang nyawa!"

Andika menaikkan sudut bibir. Menaikkan pula

sebelah alisnya. Kalau bisa, dia ingin juga menaikkan

sebelah bulu-bulu ketiaknya. Pendekar muda itu tak habis

pikir dengan semua kejadian ini. Macan jejadian, bayangan

seseorang yang serasa pernah dikenalnya, kini suara yang

dia yakin berasal pula dari si binatang jejadian. Hutang

nyawa? Hutang nyawa siapa? Pikirnya mumet.

"Sebenarnya, siapa kau sesungguhnya?" Pendekar

Slebor memutuskan untuk mulai mengorek keterangan.

Kalau terus begitu, dia bisa benar-benar jadi orang tolol.

Suara terpendam tadi tak terdengar beberapa saat.

Lalu terdengar kembali.

"Aku? Kau bertanya siapa aku? Kau pikir siapa,

heh?"

Biang panu! Aku tadi bertanya. Kenapa dia malah

balik bertanya, kutuk Pendekar Slebor membatin.

"Aku tak tahu. Justru itu aku bertanya padamu?

Kenapa kau memusuhiku? Apa pernah ada sangkut antara

aku dan kau?" lanjut Andika.

"Kau jangan berpura-pura! Aku tak akan bisa

melupakan wajahmu. Aku tak mungkin melupakan wajah

pembunuh istriku!"

Andika meringis. Istrinya? Weleh, kapan aku pernah

membunuh istri orang? Jangankan membunuh, membawa

lari istri orang pun belum pernah. Maaf saja... kecuali

kepepet! Kicau hati si pemuda pewaris kesaktian Pendekar

Lembah Kutukan, ngaco.

"Tunggu dulu. Kau tak bisa menuduh orang

sembarangan seperti itu... Siapa pun kau, apa pun

kau,biang borok atau nenek moyang ketombe!"

Mendengar sangkalan Pendekar Slebor, hewan ganjil

di depan sana memperlihatkan perubahan wujud.

Perlahan-lahan bentuknya mengabur. Bersama tebaran

cahaya lamat berwima kemerahan, terbentuklah wujud

sosok manusia.

"Lho, rupanya si India sial itu...," gumam Pendekar

Slebor menyaksikan rupa yang telah sempurna di

depannya. Pantas dia merasa pernah mengenal bayangan

samar yang disaksikan sebelumnya di antara kelebatan

bayangan hewan jejadian tadi. Ya, orang itu adalah Amitha.

Lelaki India yang diperbudak dendam. Dan merelakan

dirinya menjadi Sekutu Sang Durjana!

Mungkinkah macan jejadian mengerikan itu adalah

Amitha? Jika macan jejadian yang dihadapi benar-benar

Amitha, bisakah Pendekar Slebor membunuhnya?

Tentu akan ada bahaya teramat besar yang

mengancam Pendekar Slebor sekaligus dunia persilatan.

Bacalah ketegangan berikutnya, sekaligus untuk

mengetahui siapa sesungguhnya sosok cahaya yang

datang ke gedung tua tempat pertemuan para datuk sesat.



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive