PETA RAHASIA
LEMBAH KUTUKAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Bagian kedai di pinggiran Kota Karisidenan Kara-
wang ini kelihatan kekeringan pengunjung. Hanya ada
lima orang. Tiga di antaranya lelaki. Sisanya wanita. Me-
reka duduk terpisah di meja masing-masing. Wajah ke-
limanya menampakkan keletihan. Dan rata-rata berpe-
nampilan begitu semrawut. Kemungkinan besar, mereka
adalah pendatang yang baru tiba setelah melakukan
perjalanan jauh.
Sudut meja sebelah timur ditempati seorang pe-
muda berpakaian yang benar-benar tak sedap dipan-
dang. Kata 'kumal' rasanya belum cukup untuk meng-
gambarkan penampilannya. Pada beberapa bagian baju
yang berwarna coklat muram terlihat tambalan-
tambalan. Rambutnya agak ikal, cukup panjang ber-
warna kemerahan dikepang dua. Dari seluruh tamu
yang rata-rata lusuh, dialah yang paling lusuh.
Itu penampilannya. Sebaliknya untuk wajah, pemuda
itulah yang lelaki paling rupawan. Dagunya yang ditum-
buhi brewok tipis memperlihatkan kejantanannya. Sinar
matanya membersitkan ketegasan dan ketegaran. Selain
itu, cara menatapnya sangat berwibawa disamping
berkesan sedikit angkuh.
Ada yang menarik dari sikap pemuda satu ini. Bi-
ar pun wajahnya tetap dingin, namun jarinya terus saja
mengetuk-ngetuk permukaan meja secara tak teratur.
Agaknya, ada yang membuatnya begitu gelisah. Entah
apa. Sesekali pandangannya lepas ke luar kedai dengan
gerak mata tajam.
Sementara dua lelaki lain duduk pada deretan
bangku dekat dinding pintu masuk. Bertolak belakang
dengan pemuda tadi, dua lelaki ini jauh dari rupawan.
Satu di antaranya bahkan berwajah cacat. Bekas saya
tan besar tampak menyilang wajahnya. Sebagian cuping
hidungnya telah terpotong hingga menampakkan lubang
agak besar di wajah beringasnya.
Lelaki ini terus saja menenggak dan menenggak
lagi arak dari wadah bambunya. Ketika isi wadahnya
sudah terkuras, di tuangnya kembali arak dari guci. Se-
pertinya, dia tak peduli apakah perutnya yang buncit
nanti bakal meledak. Tepat di depan mejanya, tergeletak
sebatang toya dari bambu kuning tipis. Orang yang me-
lihat sekilas tentu menganggap benda itu sekadar kayu
untuk memancing. Sebenarnya, justru benda itu adalah
senjata yang paling ampuh bila sudah berada di tangan
lelaki berwajah cacat ini.
Lelaki satu lagi berperawakan biasa. Jeleknya tak
kalah dengan lelaki berwajah cacat tadi. Kumisnya yang
tipis panjang seperti tikus. Dan mulutnya pun semaju
moncong binatang pengerat itu. Dengan rakus, di san-
tapnya makanan yang memenuhi meja. Dari petai rebus
sampai semur jengkol ada di depannya. Sementara tan-
gannya sibuk menyuap nasi ke dalam mulut dengan su-
apan besar, tangan yang lain sibuk pula menggaruk-
garuk kepala atau menggeser-geser kain batik penutup
kepala. Seisi kedai jadi riuh oleh suara kecapan yang la-
hir dari mulutnya.
Sementara itu dua wanita di dua meja lain terlihat
lebih tenang. Mereka duduk tanpa banyak tingkah. Seo-
rang tergolong manis, jika diamat-amati. Sedang yang
lain tak cantik. Malah dari gambaran wajahnya terbersit
kesan keculasan. Biar pun pakaian mereka lusuh, tetapi
bahannya bukan barang murahan. Setidak-tidaknya,
harga pakaian itu sebanding harga dua ekor kuda jan-
tan.
Perempuan berwajah cukup manis yang duduk di
meja sebelah kiri terlihat hanya mengangkat gelas air
sesekali. Meneguk isinya perlahan, lalu membuka-buka
gulungan kulit berisi peta di atas meja. Setelah lama
memperhatikan, baru araknya diteguk kembali.
Dari penampilannya, mengesankan kalau wanita
berwajah manis ini pun adalah orang persilatan, seperti
empat orang di sekitarnya. Tubuh sintalnya dibalut pa-
kaian berwarna jingga tua. Di belakang punggungnya,
tergantung caping lebar yang beratnya tak wajar. Seper-
tinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalam caping
tersebut.
Sedangkan wanita yang satu lagi terpaku diam.
Seolah-olah dia sedang bersemadi dengan mata terbuka.
Wajahnya dipenuhi jerawat. Rambutnya dipangkas me-
nyerupai lelaki. Satu tangannya terus lekat pada gagang
senjata berbentuk tongkat pendek di ikatan pinggang-
nya. Wajahnya agak pucat, dan terlihat letih. Jelas seka-
li dia baru saja menjalani suatu yang begitu menguras
tenaga beberapa waktu lalu. Pada pelayan, dia hanya
minta disediakan secangkir air bening.
Kelima pengunjung terus terlena oleh keasyikan
masing-masing, sampai datang seorang pengunjung
lain. Cara mendatanginya sama sekali tak pantas seba-
gai seorang pengunjung kedai!
"Aku menang! Aku menang!"
Orang itu berteriak-teriak tanpa juntrungan. Tan-
gannya dipenuhi kantong-kantong yang di acung-
acungkannya ke atas.
Pengunjung baru itu mengambil tempat di salah
satu meja kosong.
"Pak Kedai! Sediakan aku makanan-makanan
enak dan paling mahal yang kau punya!" teriak pengu-
jung baru, seorang lelaki berpakaian perlente dengan
kumis terpangkas rapi.
Lima orang di sekitarnya sesaat seperti melirik
sebentar, selanjutnya kembali meneruskan keasyikan
masing-masing. Agaknya, hanya pemuda kumal yang
tampaknya masih menyimpan kedongkolan. Teriakan le-
laki berpakaian perlente itu dianggap telah lancang
mengusik. Apalagi saat itu dia sedang begitu resah me-
nanti sesuatu.
Akibat dorongan rasa gusar, tanpa disadari ketu-
kan jari jemari pemuda kumal pada permukaan meja
menjadi tak terkendali lagi. Mendadak terpercik suara
kecil. Kayu jati meja itu bukan hanya gompal, tapi juga
telah berlubang-lubang!
Kejadian kecil namun luar biasa itu agaknya luput
dari pengamatan pengunjung berpenampilan perlente.
Lelaki berwajah panjang yang berusaha tampil menawan
tapi tetap tak sedap dipandang itu terus saja tertawa-
tawa seenaknya. Dia merasa wajib melakukannya. Se-
lama tujuh tahun bermain judi, baru kali ini meme-
nangkan hasil begitu melimpah! Dan tawa lancangnya
pun makin seenaknya saja ketika anak gadis pemilik
kedai mendatangi mejanya.
"Suminah! Mau minta beli apa, hah?! Minta apa,
ayo?! Minta... jangan malu-malu! Kakang punya duit
banyak hari ini, Minah!" umbar lelaki perlente ini lupa
diri. Dengan kurang ajar, dirangkulnya pinggul gadis
remaja yang baru besar itu.
"Auwww...!"
Suminah kontan menjerit. Bukannya agak kaget
dengan kelancangan tangan lelaki ini, namun wanita
baru mekar itu hanya jijik. Dia tak sudi diperlakukan
seperti perempuan murahan!
Pemuda kumal disudut makin mual saja. Namun
baru saja dia hendak bangkit untuk memberi sedikit ke-
palan ke bacot lelaki perlente tadi, dari pintu kedai ma-
suk lagi tiga orang kasar sambil mengacungkan golok
besar di tangan masing-masing. Mata ketiganya merah,
akibat pengaruh arak yang ditenggak.
"Dasar kutu kupret lu, ya! Menang ya menang. Tapi jangan pergi seenaknya!" bentak salah seorang seraya
terus mendekati lelaki perlente yang sesumbar tadi.
"Apa lu nggak tahu? Gua udah ngejual bini gua
sama Juragan Kontet buat main! Lu mesti tahu itu!"
damprat yang lain berang sekali.
"Hei hei! Kalian jangan macam-macam! Kalau su-
dah kalah, ya kalah! Apa yang diharapkan lagi? Kalian
mau aku memulangkan uang kalian? Kalau begitu
maunya, kenapa main judi?! Keparat sekali!" balas lelaki
perlente.
"Lu jangan buang bacot seenak dengkul! Gua mau,
lu main lagi. Sampai semua dari kita benar-benar lu bi-
kin bures. Gua belum kalah. Gua masih bisa menangin
duit gua yang ada sama elu! Makdekipe banget!"
Si lelaki perlente bangkit. Dadanya di busungkan
di depan wajah-wajah berang itu.
"Jadi kalian mau memaksa aku, hen?!"
"Lu pikir apa, hah?!"
Lelaki yang tadi maju lebih dahulu makin sewot.
Dicengkeramnya kerah baju lelaki perlente. Ujung go-
loknya disodorkan ke leher lelaki di depannya.
"Kalau lu nggak mau main lagi, kepala lu gua jamin
bakal ngegantiin semur ceker ayam di nih piring!"
Prak!
Tepat di ujung ucapannya, golok lelaki itu terayun
ke piring tanah liat di atas meja. Pecahannya kontan
berhamburan. Tak ada tanda-tanda kalau tindakan itu
dilakukan dengan tenaga dalam. Jangankan dia, bocah
belum makan pun sanggup!
"Lepaskan aku! Kalau tidak...," dengus si lelaki per-
lente. Hidungnya terangkat. Barangkali mau sedikit
menggertak.
"Kalau nggak apa, hah?!" serobot lelaki yang lain.
Dengan tak kalah gaya, di sabetkannya pula golok ke
atas meja.
Bletak!
"Wadow wadow! Makdirabut lu! Masa' tangan gua
lu embat juga?!" teriak lelaki lain yang kebetulan tan-
gannya berada di atas meja sehingga termakan gagang
golok kawannya sendiri. Habis sudah mulutnya maju
mundur meniup-niup tangannya yang mendadak beng-
kak.
"Jadi lu mau main lagi apa nggak, nih?!" ancam le-
laki yang masih mencengkeram si perlente.
Si perlente menggeleng.
"Tidak!" jawab lelaki perlente tegas. Sok jumawa
pula dia. Padahal hatinya kebat-kebit tak ketolongan.
"Eeehh! Berani lu, ya?!"
"Iya. Memangnya aku takut?"
"Curut Buduk! Biar lu telan nih ujung golok gua....
Hih!"
Golok terayun. Sampai di situ, baru si lelaki per-
lente tahu, bagaimana mengerikannya kerjapan sinar
golok. Baru melihat pantulan sinarnya saja sudah ngeri
begitu. Apalagi kalau sudah tertebas?
"Eee, tunggu!" tahan lelaki perlente cepat. Matanya
sudah menyipit ketat.
"Ahhh! Gua udah telanjur ngayunin golok!" bentak
lelaki yang mengayunkan senjatanya.
Golok itu terus melaju. Senjata yang tidak pernah
alpa diasah tiap malam Jum'at Kliwon itu bakal membe-
lah tempurung kepala si lelaki perlente. Namun....
Trang!
Golok yang siap membelah kepala itu terpental,
seperti tanpa sebab. Jelas, seseorang telah campur tan-
gan!
"Aku tak suka kalian bikin kacau di tempat ma-
kanku!"
Terdengar suara seseorang begitu dalam dan, datar.
Ketiga lelaki yang kalap menoleh bersamaan. Me-
reka melihat lelaki berwajah tikus sudah berdiri sambil
mengusap-usap perutnya. Kekenyangan dia. Santapan
kelewat banyak baru saja diselesaikan. Ternyata tulang
ayam terakhirnya tadi, dijadikan alat untuk menahan
ayunan golok.
"Eeh, siapa lu?! Berani-beraninya unjuk congor ti-
kus di depan gua. Nih, jawara daerah sini!"
"Bilang siapa nama lu. Biar dia ngeper!" sokong le-
laki lain di belakang.
"Nih, gua Sape'i yang nguasain seluruh janda dari
kampung itu ke kampung ini!"
Dengan golok, lelaki yang mengaku bernama Sape'i
menepuk dadanya yang kekurangan daging itu.
"Jeee elu,! Masa janda?"
"Eh! Maksud gua, yang nguasain kampung-kam-
pung yang banyak jandanya" ralat Sape'i.
"Jeee... janda lagi…"
"Ah! Udah diam lu!"
"Keluar!" ujar lelaki berwajah tikus, singkat.
"Gila juga tuh orang! Masa' lu diusir gitu aja? Ma-
rah dah, marah.... Kalau gua sih, pasti marah digituin!"
timpal teman Sape'i yang lain membakar semangat.
"Jadi gua marah, nih?" kata Sape'i, meminta pen-
dapat temannya.
Kedua temannya membulatkan bibir.
"Dooo, marah aja dah!" sambut mereka berseman-
gat.
Sape'i merasa disemangati. Secepat kilat dipa-
sangnya wajah berang. Kalau sudah begitu, pantasnya
nama Sape'i diganti menjadi Sapi-ih! Masalahnya jelek-
nya jadi mirip sapi!
"Udah, tunggu apa lagi?! Bacok aja!"
Sape'i mendongakkan dagu berlagak jumawa.
"Bikin kolak kurang santennya. Pisang kepok di
kebon kelapa. Lu orang banyak suara. Gua tebas..., bas!
Hang kepala!" Bukannya cepat-cepat menerjang, Sape'i
malah berpantun.
"Lu mau gebrak apa mau lenong?!" sungut teman-
nya kesal.
"Lu diam aja dah! Yang penting gaya dulu, Bego!"
"Sat, sat, sat!"
Sape'i mulai mengayun-ayunkan golok. Jurusnya
bukan tak hanya berantakan, tapi juga tanpa juntrun-
gan. Biar terlihat lebih menggidikkan, mulutnya sengaja
bersat-sut-sat-sut. Maksudnya, biar disangka suara dari
sabetan goloknya.
"Tunggu dulu!" cegah seorang temannya.
"Apaan lagi? Pan, tadi elu juga yang nyuruh gua
ngembat tuh orang?" gerutu Sape'i dongkol.
"Lihat golok lu tuh! Kayaknya tadi masih leng-
kap...."
Sape'i melirik goloknya. Bujubuneng! Sape'i mengu-
tuk dalam hati. Goloknya sekarang sudah tinggal sepo-
tong! Pasti telah disunat sewaktu calon lawannya me-
lempar tulang ayam ke golok itu.
Pikir punya pikir Sape'i mulai mengendusi kalau ca-
lon lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti, dari
perubahan lipatan wajahnya. Mulutnya mulai meringis
tak karuan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Jeee, kenapa nggak diserimpung tuh orang, !" usik
temannya.
Sape'i nyengir sebentar.
"Nggak usah, dah. Gua jadi nggak tega juga nih...,"
kilah Sape'i cengengesan. Buru-buru golok cacatnya di-
masukkan ke dalam sarung.
"Nah lu! Tumben lu bisa kasihan sama orang?"
"Sekali-sekali kan nggak dosa!" tukas Sape'i buat
menyelamatkan muka. "Udah, lu seret aja tuh si per-
lente. Bawa ke meja judi kita lagi!"
"Nyok, dah!"
***
2
Sepeninggal tiga bajingan tengik tadi, lelaki berwa-
jah tikus duduk kembali. Sementara, wanita berpakaian
jingga tua yang sejak tadi memperhatikan peta kulit bi-
natang menghampirinya.
"Tuan, boleh aku bertanya?" kata wanita ini cukup
hormat.
Si wajah tikus melirik sebentar.
"Ha... ha... ha...!"
Tanpa berniat menjawab, lelaki berwajah tikus ini
berdahak keras-keras. Lebih tak tahu adat lagi, di teng-
gaknya arak langsung dari guci. Seolah-olah, si wanita
di dekatnya tak pernah ada.
"Tuan, bisa aku minta tolong?" ulang si wanita
mencoba lagi. Diperlakukan seperti itu, tidak cepat
membuatnya jadi berang. Wajahnya pun tak berubah.
Si wajah tikus tetap tak menggubris.
Wanita ini tak terlalu mempersoalkan. Dia hanya
mengungkit bahu sejenak, lalu mulai beranjak ke lelaki
lain yang duduk di meja sebelah. Kali ini, didekatinya le-
laki berwajah cacat yang masih sibuk menguras guci-
guci tuak di meja.
"Tuan...," sebut wanita itu.
"Ya, silakan Nona!"
Belum juga si wanita menyelesaikan pertanyaan-
nya, lelaki cacat itu sudah mempersilakan.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?" lanjut lelaki ini
lembut dan teratur.
Sikap lelaki ini bertolak belakang sekali dengan penampilan kasarnya. Cara bicaranya justru penuh tata
krama. Meskipun sudah beberapa guci arak masuk ke
dalam perut buncitnya, dia tak kelihatan mabuk.
Wanita ini tersenyum.
"Aku ingin bertanya wilayah ini, Tuan," katanya se-
raya membuka peta dari kulit di depan lelaki buncit. Di
tunjuknya satu bagian gambar dari peta.
"Apa Tuan tahu, aku bisa datang ke tempat ini pal-
ing cepat melalui jalur mana?"
Mata lelaki berwajah cacat agak membeliak ketika
melihat daerah yang ditunjuk tadi di dalam peta.
"Apa Nona sungguh-sungguh?" tanya lelaki ini pada
si wanita.
Pertanyaan itu mendapat anggukan pasti.
"Apa Nona tahu ini tempat apa?" Lagi-lagi si wajah
cacat seperti tak yakin.
"Lembah Kutukan...," sahut si wanita enteng. Em-
pat orang lain di dalam kedai langsung menoleh berba-
rengan. Mereka seperti mendengar suara gaib yang me-
maksa untuk melupakan sejenak urusan masing-
masing.
Si wajah cacat menatap perempuan di depannya.
"Ada urusan apa Nona menanyakan tempat itu?"
tanya si wajah cacat.
Tak ada jawaban.
"Ah! Maaf, Nona. Aku jadi terlalu mencampuri uru-
san Nona. Aku cuma...."
"Cuma heran?" sela si wanita.
Lelaki tadi mengangguk.
"Duduklah dulu, Nona...," hatur lelaki yang di ba-
lik wajah bengisnya memendam kelembutan itu.
Perlahan-lahan perempuan itu menurunkan pan-
tatnya ke kursi. Namun gerak turun yang sesungguhnya
tergolong manis jika diperhatikan urung tiba di kursi,
ketika…
Wesss...!
Prakk...!
Mendadak saja sebentuk angin mendesir dari ba-
wah, menyusul bunyi derak kursi bagai baru dihantam
kaki seekor gajah jantan.
"Berikan peta itu padaku, Nona!" perintah pemu-
da tampan berpakaian kumal di seberang.
Kini pemuda itu sudah berdiri pula. Matanya te-
rus saja menyiratkan keangkuhan kala menatap perem-
puan yang dibentaknya.
"Kenapa aku mesti memberikan peta ini pada-
mu?" tanya wanita itu tanpa menoleh. Nada suaranya
terdengar menantang.
Pemuda berpakaian kumal mendengus. "Kalau kau
tak memberikannya padaku, itu sama artinya mencari
mampus!"
"Tunggu! Tunggu dulu, Tuan Muda...," tukas si wa-
jah cacat seraya bangkit dari kursi. Meja di depannya
sampai terserempet permukaan perut buncitnya. "Bisa
dijelaskan kenapa tiba-tiba saja kau menjadi sekasar itu
pada Nona ini?"
Merasa tak setuju dengan kekasaran di depan ma-
tanya, si wajah cacat ini buru-buru menanggapi. Apalagi
terhadap seorang wanita yang menurutnya patut dihor-
mati pula.
"Aku tak punya urusan denganmu. Lebih baik jan-
gan ikut campur!" tandas pemuda kumal ini.
Si wajah cacat tersenyum mengejek. Di liriknya
nona manis di sebelahnya.
"Apa Nona keberatan kalau aku membenahi mulut
lancang bocah ini?" tanya si wajah cacat.
Perempuan yang ditanya tak menginginkan terjadi
keributan di dalam kedai. Dia sama sekali tak ingin ada
orang kecil yang menjadi korban, seperti pemilik kedai
ini.
"Bukankah Tuan tak ingin terjadi keributan di sini,
bukan?" ujar perempuan itu menyabarkan.
"Sebaiknya kau katakan pula pada manusia jelek
itu, Nona. Dia belum cukup memiliki kepandaian untuk
menghadapiku... Tendangan Bayangan Seribu," sesum-
bar si pemuda kumal.
"O, rupanya kau orangnya! Kalau tak salah,
'Tendangan Bayangan Seribu' mu telah berhasil melem-
par seribu lalat ke neraka, bukan?" ejek lelaki buncit
berwajah cacat.
Muak bukan main lelaki cacat ini melihat keang-
kuhan pemuda di depannya. Dia cukup tahu pamor
Tendangan Bayangan Seribu. Tapi sepanjang pengeta-
huannya, nama itu besar di dunia persilatan oleh kehe-
batan seorang setengah umur. Bukan oleh pemuda bau
kencur itu! Mungkin, anak ini hanya murid Tendangan
Bayangan Seribu yang mencoba mendompleng ketena-
ran gurunya. Begitu dugaan lelaki berwajah cacat ini.
"Keparat!"
Pemuda yang mengaku sebagai Tendangan Bayan-
gan Seribu seketika melepas sabetan tangan ke udara
dari tempatnya. Hanya cukup dari tempatnya, dia coba
menghantam dari jarak cukup jauh.
Wuttt...!
Seberkas pukulan tipis berupa bayangan hitam
berkelebat cepat.
"Cukup!" bentak wanita berpakaian jingga tua. Da-
lam waktu bersamaan, tangannya melepas caping dari
punggung. Lalu dilemparkannya.
Sat!
Caping itu terus melesat, melabrak bayangan hitam
ketika melintas di depan perempuan ini.
Dasss...!
Bagai tak mengeluarkan tenaga, pukulan bayangan
yang belum lama memporakkan kursi kayu kokoh seperti kerupuk, dapat dimentahkan. Tenaga perusak
yang terkandung di dalamnya melepus begitu saja.
Begitu habis mementahkan serangan, caping itu
melayang balik ke arah pemiliknya.
Tap!
Manis sekali perempuan itu menangkap, dan lang-
sung memasangnya lagi di punggung.
"Aku tak suka ada keributan di tempat ini!" hardik
si perempuan lagi pada pemuda kumal berjuluk Ten-
dangan Bayangan Seribu. Kalau semula begitu lembut,
kini berubah sekeras baja, segarang jilatan api. "Sebaik-
nya cepat tinggalkan tempat ini, Tuan!"
Di tangan wanita itu sekarang sudah tergenggam
semacam cakram berbentuk piringan yang tengahnya
berlubang. Melihat hal itu, sadarlah lelaki berwajah ca-
cat, siapa sesungguhnya yang berdiri di depannya.
"Bidadari Cakram Terbang...," bisik lelaki berwajah
cacat, pelan sekali.
Bidadari Cakram Terbang sebenarnya adalah to-
koh wanita yang menggegerkan kalangan atas dunia
persilatan, pada dasawarsa silam. Kemunculannya sela-
lu disertai senjata khasnya, Cakram Terbang. Senjata
yang selalu tersembunyi di balik caping jika tak diperlu-
kan.
Sejak berhasil menyingkirkan musuh besarnya,
pendekar wanita itu menghilang. Menurut kabar bu-
rung, luka parah yang diderita memaksanya menyingkir
dari hingar-bingar dunia persilatan. Di tempat penga-
singannya dia mengobati diri, sekaligus menyempurna-
kan kedigdayaannya.
Pendekar wanita rendah hati ini membuat kegem-
paran lebih dahulu dibanding Pendekar Slebor. Ada se-
lang waktu sekitar enam tahun, sebelum anak muda
sakti itu muncul dari masa penyempurnaannya di Lem-
bah Kutukan.
Saat pertama kali muncul, usia Bidadari Cakram
Terbang sangat muda. Tak lebih dari enam belas tahun!
Itulah salah satu keistimewaannya menurut kalangan
persilatan. Dan jika kini keluar kembali ke dunia persi-
latan, artinya usianya menjelang dua puluh enam ta-
hun.
Begal Ireng musuh besar Pendekar Slebor, pernah
mengirim orang kepercayaannya untuk membunuh Bi-
dadari Cakram Terbang. Sepak terjang wanita muda itu
di wilayah selatan memang telah menghambat banyak
gerakan kejahatan antek-anteknya waktu itu. Orang ke-
percayaan Begal Ireng ini malah tak pernah kembali.
Mereka mati di tangan gadis muda perkasa itu.
Sampai akhirnya, Bidadari Cakram Terbang ber-
hadapan dengan tokoh hitam kelas atas yang telah
membunuh gurunya. Kedua tokoh tua itu telah bermu-
suhan selama puluhan tahun. Kemudian Bidadari Ca-
kram Terbang datang untuk menuntut balas atas kema-
tian guru wanitanya. Saat itulah dia mengalami luka
amat berat. Sehingga, mengharuskannya mengundur-
kan diri lagi dari dunia persilatan.
"Sulit kupercaya kalau kau...." Ucapan bernada
takjub lelaki berwajah cacat dicegah isyarat tangan Bi-
dadari Cakram Terbang. Wanita itu tampaknya tak mau
kemunculan keduanya diketahui kalangan persilatan.
"Sebaiknya kau menuruti kata Nona ini, Anak Mu-
da...," lanjut lelaki berwajah cacat, beralih pada Tendan-
gan Bayangan Seribu.
Lelaki ini merasa harus mengatakannya pada si
pemuda. Sebab dia tahu bagaimana kesaktian pendekar
wanita di depannya. Sepuluh tahun lalu saja, kesak-
tiannya sudah begitu membuat kelimpungan tokoh du-
nia hitam. Apalagi setelah menjalani pengasingan diri
selama dasawarsa terakhir? Semuanya diketahui betul
oleh lelaki berwajah cacat ini.
Bukannya menyingkir, pemuda kumal itu malah
tertawa pongah. Rupanya, dia belum mendengar nama
besar Bidadari Cakram Terbang pada sepuluh tahun si-
lam. Benar, penilaian lelaki berwajah cacat. Anak muda
itu tak lebih dari salah satu warga bau kencur dunia
persilatan. Nama besar yang di sandangnya pun, tak le-
bih dari mendompleng kesohoran gurunya.
"Kau pikir, bisa apa wanita seperti dia padaku?"
cemooh Tendangan Bayangan Seribu. "Kalau pun
'Pukulan Bayangan'-ku dapat di mentahkannya, tidak
berarti dia cukup hebat berhadapan denganku"
"Lelaki berwajah cacat menggeleng-gelengkan ke-
pala mendengarkan sesumbar pemuda itu. Sementara
itu, Bidadari Cakram Terbang mencoba menguasai diri.
Cakram di tangannya disisipkan kembali di bawah ca-
pingnya.
"Kalau dia tak mau menyingkir, lebih baik aku
yang mengalah," kata Bidadari Cakram Terbang meren-
dah.
Wanita perkasa rendah hati itu pun melangkah,
meninggalkan kedai. Sebelumnya, dia melempar uang
logam ke meja tempatnya, membayar arak yang telah
diminum.
"Nah! Kau lihat, bukan? Dia tak berani menghada-
piku?" kata Tendangan Bayangan Seribu lagi, pongah.
Bidadari Cakram Terbang tak menggubris. Sampai
di pintu kedai, langkahnya tertahan. Dirasakannya ada
angin pukulan yang sama seperti sebelumnya. merang-
sek dari belakang.
"Haiiit!"
Secepat gerak camar meliuk ke udara, tubuh pen-
dekar wanita itu melenting. Sementara cakramnya telah
dilempar lebih dulu tanpa terlihat. Tubuh perempuan
itu meluncur di udara begitu menginjak cakram.
Pada pohon beringin besar jauh di sebarang kedai,
senjata terbang itu menancap sebagian. Sedang bagian
lain tetap dijadikan pijakan.
"Apa maumu sebenarnya Tuan?" tanya Bidadari
Cakram Terbang dengan suara tetap datar, di atas ca-
kram yang tertancap di batang beringin besar.
Tendangan Bayangan Seribu yang tadi membo-
kongnya menyusul ke luar kedai dengan langkah ang-
kuhnya.
"Apa kau tuli, Nona? Aku meminta peta mu tadi...,"
ucap pemuda kumal itu, di luar kedai.
"Kau rupanya terlalu memaksa, Tuan. Kalau itu
maumu...."
Bidadari Cakram Terbang turun. Dengan gerakan
indah tubuhnya berputar sebentar di udara, sambil
mencabut cakramnya. Selang berikutnya, dia sudah
berdiri dengan sikap siap tarung.
"Izinkan aku menghajar anak muda tak tahu adat
ini, Nona Pendekar...!"
***
3
Pertarungan tak bisa dicegah lagi. Apalagi ditunda.
Namun bukan antara Bidadari Cakram Terbang dengan
Tendangan Bayangan Seribu. Karena sebelum wanita
yang pernah membuat kegemparan sepuluh tahun silam
itu berniat memberi pelajaran, lelaki berwajah cacat su-
dah maju siap menyerang.
Merasa tak perlu lagi banyak cakap, lelaki berwa-
jah cacat itu langsung berdiri menghadap Tendangan
Bayangan Seribu. Ditantangnya anak muda itu dengan
gelegak panas di ubun-ubun.
"Perlihatkan kehebatan 'Tendangan Bayangan'-mu,
anak muda tak tahu diri," tantang lelaki berwajah cacat.
"Sebutkan namamu, Orang Jelek! Aku tak suka
bertarung melawan orang yang tak kukenal. Lagi pula,
kalau kau nanti mampus, harus kutulis nama apa di
batu nisan mu...," sesumbar Tendangan Bayangan Seri-
bu makin menjadi.
Lelaki berperut buncit yang berdiri enam depa di
depan Tendangan Bayangan Seribu tertawa terbahak.
Dia merasa lucu mendengar kepongahan yang terulur
dari mulut anak itu. Di cibirkannya bibir berbareng ge-
lengan kepala sarat cemoohan.
"Kasihan sekali kau, Anak Muda. Rupanya kau
masih terlalu hijau di dunia persilatan sampai tak men-
genal siapa yang kini berdiri di hadapanmu," sela seben-
tuk suara camprang dari arah kedai.
Wanita berambut seperti lelaki yang sebelumnya
berada dalam kedai ternyata sudah keluar pula. Tak
jauh darinya, si lelaki bertampang tikus sudah pula ber-
tengger di jendela besar kedai. Dia duduk beruncang
kaki seperti tengah menonton pertunjukan ludruk.
Terbakar oleh perkataan tadi, pemuda berjuluk
Tendangan Bayangan Seribu menoleh. Tatapannya me-
meram nafsu membunuh. Dia beranggapan siapa pun
tak bisa selancang itu pada dirinya.
"O.... Sepertinya ada rencana untuk mengeroyok-
ku...," leceh Tendangan Bayangan Seribu.
Masih juga pemuda kumal ini mengumbar keang-
kuhannya. Pepatah memang tak salah. Air laut, siapa
yang membuat asin, kalau bukan laut itu sendiri. Anak
muda itu pun demikian. Kesaktiannya dianggap sudah
cukup tangguh untuk menghadapi tiga orang yang kini
mengepungnya dengan tatapan sembilu. Hanya lelaki
bertampang tikus yang tampaknya tak mau banyak
urusan.
Padahal, dugaan lelaki berwajah cacat sama sekali
bertolak belakang. Si wajah cacat melihat nama besar
yang dibangun guru Tendangan Bayangan Seribu selaku
tokoh disegani kalangan lurus. Jelas hendak disalahgu-
nakan untuk hal yang tengik.
"Ayo! Tunggu apa lagi? Siapa di antara kalian yang
ingin mendapat sial terlebih dahulu?" tantang Tendan-
gan Bayangan Seribu.
"Aku," terabas lelaki berwajah cacat. tak lagi bisa
menunda kesabarannya mendengar seluruh ucapan
memuakkan anak muda itu.
Sekejap, lelaki berwajah cacat itu berdahak. Pan-
jang dan bersambungan. Aneh. Semestinya hal itu terja-
di saat menenggak belasan guci arak. Sebaliknya. sela-
ma menenggak belasan guci arak, dahaknya tak kun-
jung menyembul meski sepelan dengkur anak monyet.
Di akhir dahaknya yang panjang, tubuh si buncit
berwajah cacat mulai bergerak. Irama gerak tubuhnya
begitu lamban dan lembut. Selamban tarian wanita
penghibur. Selembut ayunan perahu di permukaan tela-
ga.
Biar begitu, tak ada keteraturan dalam geraknya.
Langkah kakinya pun begitu ngawur. Satu langkah ke
depan. Dua langkah berikutnya terhuyung ke belakang.
Kedua tangannya mengimbangi ayunan kaki. Setiap sa-
tu kaki bergerak, tangannya melambai maju mundur.
Seluruh kembangan jurus lelaki berwajah cacat ini
tak jauh beda dengan tingkah orang mabuk. Di dunia
persilatan, hanya ada satu-satunya tokoh yang memiliki
jurus itu.
"Kau sedang berhadapan dengan Raja Arak, Anak
Muda," kata Bidadari Cakram Terbang seperti mempe-
ringatkan seraya tersenyum. Dia memang merasa men-
genali jurus khas itu.
Dulu, ketika wanita itu pertama kali mengobrak-
abrik kalangan hitam untuk yang pertama, dia sering
ingin berjumpa tokoh satu ini.
Tokoh berjuluk Raja Arak sering disebut-sebut ju-
ga Si Pemabuk Bijak. Bukan hanya kaya dengan jurus
sakti, tapi juga kaya hikmah hidup. Kerap kali dia men-
jadi tempat menimba nasihat bagi kalangan lurus. He-
ran. Namanya pemabuk, kok bisa memberi nasihat, ya?
Hanya karena Si Pemabuk Bijak tak mau menon-
jolkan diri, dia sering bersembunyi mati-matian jika ada
yang merasa harus meminta nasihatnya. Tak jarang ha-
rus berpura-pura dengan seribu satu tambah seribu sa-
tu, cara agar tak terlalu disanjung sebagai orang bijak.
Baginya, pemabuk tetap pemabuk. Dia menganggap di-
rinya masih berlumur lumpur pekat. untuk dijadikan
orang yang diharapkan nasihatnya.
Dan semakin tokoh ini buron dari kejaran. sema-
kin penasaran berbondong-bondong orang yang haus
petuah dan hikmah ingin menemuinya.
Jika Si Pemabuk Bijak berkata dirinya tak lebih
dari seorang pemabuk kotor, maka orang-orang pun
akan berkilah, dari mulut pemabuk pun kalau nyatanya
mengalir kebijakan, kenapa tak didengarkan? Bahkan
seandainya kata-kata bijak itu keluar dari moncong anj-
ing sekalipun....
Lalu, apa yang mau dikatakan lagi?
"O, jadi inikah Raja Arak itu?" leceh Tendangan
Bayangan Seribu.
Di ujung kalimatnya, pemuda besar kepala itu ha-
rus melakukan tangkisan, karena Raja Arak alis Si Pe-
mabuk Bijak telah menyerobot bagian dadanya dengan
sodokan jari telunjuk.
Gempuran tak putus sampai di situ. Raja Arak
mengirim lagi sapuan kaki sambil berputar. Debu men-
gepul sepanjang sapuan kakinya yang terseret di tanah
kering. Terpaksa pemuda jumawa itu meloncat-loncat ke
belakang.
Jika tendangan Tendangan Bayangan Seribu lambat se-
dikit saja, pasti akan terpelanting ke belakang. Derasnya
sapuan lelaki berwajah cacat itu terlalu luar biasa. Bu-
kan tak mustahil akan diterimanya juga akibat lain jika
terkena. Persendian kakinya bisa langsung terpatah
dua!
Tendangan Bayangan Seribu tak mau terus dikejar
serangan. Begitu mendapat kesempatan, dia mulai balas
menyerang. Begitu mencelat, kakinya adu cepat dengan
sapuan Raja Arak. Namun arahnya bergerak mendepak
ke atas. Tumitnya mencoba meremukkan pelipis lelaki
berwajah cacat itu. Tendangan anak muda itu patut di-
beri decakan kagum. Sebab, meski tubuhnya sedang
mencelat masih mampu melepas tendangan bertenaga,
sekaligus amat cepat. Kandungan tenaga dalam tingkat
tinggi dalam tendangannya tersembul dari bunyi santer
yang tercipta.
Wukh!
Namun Raja Arak bukan bocah kemarin sore.
Menghadapi serangan balik dia tak menjadi gelagapan.
Tetap dengan kuda-kuda seperti orang mabuk, tubuh-
nya sempoyongan ke belakang. Sepertinya, tindakan itu
tak disengaja. Namun hasilnya cukup untuk membuat
dongkelan kaki pemuda itu hanya memangsa angin.
Kaki Tendangan Bayangan Seribu berusaha men-
gejar. Begitu satu kakinya bisa menjejak bumi dengan
kokoh, kesempatan untuk melancarkan jurus mautnya
pun terkuak lebar-lebar. Tanpa ada sekerdipan mata,
sebelah kakinya membuat sepuluh tendangan sekaligus.
Dalam satu kelebatan dengan sepuluh titik di tubuh la-
wan!
Deb! Deb! Deb!
Sebelah kaki Tendangan Bayangan Seribu menjel-
ma menjadi seperti belalai gurita raksasa dari dasar
laut, mengancam dari segala penjuru. Orang yang menyaksikannya hanya akan melihat bayangan kaki itu
menjadi berlipat ganda.
Empat lima tendangan masih bisa dihindari Raja
Arak. Seperti seseorang kehilangan keseimbangan. Lela-
ki buncit itu terhuyung-huyung limbung kian kemari,
dalam irama menakjubkan!
Sisa ranting tendangan Tendangan Bayangan Se-
ribu sayangnya tak bisa dimentahkan dengan mudah.
Meski Raja Arak sudah mengempos segenap kecepatan
tangannya untuk memapak, tapi....
Desss...! Desss...! Desss!
"Aaakh...!"
Tak urung tiga hantamam kaki Tendangan
Bayangan Seribu mendera tubuh lelaki berperut buncit
dalam satu rangkai gerak yang menyatu! Akibatnya, Ra-
ja Arak dipaksa memekik nyeri. Dada, bahu, dan pang-
kal kaki kirinya seperti baru saja digempur godam rak-
sasa dari baja. Sekujur tubuhnya berdenyar, mengiringi
rasa nyeri sebelumnya.
Saat itu juga Raja Arak meluruk deras ke bela-
kang. Dia hampir saja jatuh, tapi untung jurus-jurusnya
memang terbiasa dalam menjaga ketidakseimbangan.
Hingga dengan agak susah payah kuda-kudanya dapat
dikuasainya kembali. Tampak darah mengalir dari sudut
bibirnya. Pekat.
Dan belum sempat Raja Arak menepis siksaan dari
tiga tempat di tubuhnya. Tendangan Bayangan Seribu
sudah memburunya penuh nafsu. Tendangan terbang
yang paling disegani di dunia persilatan seketika di per-
tunjukkannya.
"Hiaaa...!"
Berkawal teriakan mencerabut nyali, tubuh anak
muda itu melayang. Satu kakinya membentang ke de-
pan. Yang lain terlipat rapat. Empat tombak dari laju
luncurannya, kaki yang belum lama memangsa tubuh
lawan, kembali berkelebat membentuk bayangan berli-
pat ganda.
Deb! Deb! Deb...!
Dalam keadaan yang jelas-jelas tak menguntung-
kan, amat tolol kalau Raja Arak bersikeras memapaki.
Yang paling baik untuknya adalah menghindar sejauh
mungkin, sejauh kaki pemangsa tak lagi bisa menjang-
kaunya.
Maka, Raja Arak melompat menghindar. Tubuh
buntalnya tak membuatnya sulit melakukan lompatan
tinggi serta jauh. Dia telah berhasil, mengambil jarak.
"Hai, Orang Jelek! Kenapa kau mundur? Apa kau
terkejut dengan tendangan ku tadi?" ejek Tendangan
Bayangan Seribu, membentak.
Tanpa menggubris cemoohan, Raja Arak memain-
mainkan bola matanya. Biji mata besarnya berputar-
putar tak karuan. Dengan cara itu, lelaki buncit jago
mabuk itu berusaha membuat dirinya sepusing mung-
kin. Baginya, semakin kepalanya memberat, akan se-
makin lancar jurus-jurus tingkat tingginya mengalir ke-
luar.
Terbukti begitu melancarkan serangan, gerakan
Raja Arak jadi kian hebat. Deru yang dihasilkan gerak-
nya bertambah kencang. Kesinambungan jurusnya pun
kian meninggi. Meski begitu, semuanya tetap terlihat
kacau tak beda sebelumnya. Jelas, jurus 'Pemabuk
Mengencani Angin' telah menampakkan bentuknya!
Sementara, Bidadari Cakram Terbang merasa agak
heran menyaksikan tindakan Raja Arak. Bukan sifatnya
kalau jurusnya diperas hanya untuk perkara kecil tak
berarti terhadap seorang pemuda yang pongah. Kalau
kini lelaki yang memiliki daya pikat tersendiri di dunia
persilatan itu mengerahkan salah satu jurus andalan-
nya, apakah tidak aneh?
Sebenarnya sifat Raja Arak yang dikenal Bidadari
Cakram Terbang tidak begitu. Biasanya lelaki berpikiran
bijak ini lebih suka menyingkir untuk perkara sepele.
Namun kenapa kali ini tidak? Apa ada sesuatu yang ti-
dak beres? Mungkinkah dia bukan Raja Arak sesung-
guhnya?
Runtunan pertanyaan dalam benak wanita itu tak
sempat mendapat jawaban, karena perhatiannya kini
tersita pada dua petarung tingkat tinggi yang sudah siap
bertukar jurus kembali di depan sana....
Werrr...!
Tiba-tiba memporakkan segalanya ketika tahu-
tahu berkelebat bayangan tinggi besar yang menerabas
deras. Memporakkan hati Bidadari Cakram Terbang.
Memporakkan pula keasyikan orang-orang yang me-
nyaksikan pertarungan.
Gerakan bayangan itu tak terduga dan tak terhindarkan
lagi, dari arah matahari siap bertelungkup. Kelebatan-
nya menggiring angin besar di sisi-sisinya, menerbang-
kan debu dan dedaunan kering. Menggeleparkan pa-
kaian kelima orang-orang yang ada di sana. Begitu tiba,
semuanya terjadi begitu cepat
Desss...!
"Hekh...!"
Raja Arak mendadak tersentak di tempat dengan
keluhan tertahan. Kembangan jurus yang mengalir ter-
penggal seketika. Tubuhnya mengejang sebentar. Ma-
tanya membesar. Segenap urat-urat wajah dan tubuh-
nya meregang bersamaan.
Sesudahnya. langkah Raja Arak menjadi demikian
limbung. Bukan lagi karena jurus-jurus mabuknya, me-
lainkan ada sesuatu yang menghantam tubuhnya demi-
kian telak tak terhindari.
Tiga-empat langkah ke belakang, Raja Arak tersu-
rut. Wajahnya menjadi pucat sekali. Darah di wajahnya
seperti baru saja terperas sekian kejap yang lalu.
"Hoeeekkk...!"
Menyusul kejadian itu, dari mulut Raja Arak ter-
muntahkan darah kental kehitaman. Simbahannya me-
nyiram tanah kering di bawah kaki. Dari telinga dan hi-
dungnya pun mengalir darah encer menyertai muntah
darahnya.
Kelebatan tadi benar-benar menjinjing bahaya tak
terduga. Tak hanya bagi Raja Arak, juga bagi Bidadari
Cakram Terbang. Dalam selang waktu yang terlalu tipis
untuk dihindari, kelebatan bayangan tadi telah pula tiba
tepat di dekat wanita itu.
Kalau Raja Arak tak mampu membendung anca-
man yang menghampiri, Bidadari Cakram Terbang tidak
begitu. Wanita ini masih sempat menyadari. Dengan na-
luri tajamnya, perempuan itu berusaha menepis bahaya.
Tak kalah cepat dengan kelebatan bayangan tadi, di
pompanya tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Wak-
tunya demikian ketat baginya untuk membuat tindakan
seperti itu. Jelas akan menjadi tindakan teramat sulit.
Tapi dia harus melakukannya. Kemudian.... Dash!
Terdengar benturan tenaga dalam berkekuatan
dahsyat. Seperti keadaan Raja Arak barusan, tubuh Bi-
dadari Cakram Terbang pun tersentak seketika. Tenaga
dalamnya sudah tersalur sempurna ke sekujur tubuh-
nya, ketika bayangan tadi tiba. Tangannya pun berhasil
memapak serangan gelap dengan kandungan tenaga da-
lam tingkat tinggi. Tapi nyatanya, itu sama sekali tak
menjamin dirinya luput dari bahaya.
Sebentar kemudian, keadaan wanita itu tak jauh
beda dengan Raja Arak. Wajahnya memucat. Tubuhnya
terhuyung limbung. Mulut, hidung, dan telinganya ber-
simbah darah! Padahal dua tokoh yang baru terpedaya
ini adalah orang-orang kawakan yang terbilang disegani!
Kedigdayaan mereka tak diragukan lagi. Banyak tokoh
sesat tingkat atas yang mesti kehilangan nyawa di tangan mereka.
Sekali ini, mereka tampaknya berhadapan dengan
tokoh biangnya tingkat atas. Sesepuh sakti yang belum
lagi diketahui. Namun telah jelas bagi keduanya kalau
orang itu adalah tokoh sesat berperangai iblis!
Apa yang sesungguhnya terjadi? Begitu tanya wa-
nita berambut pendek dan si wajah tikus di muka kedai.
Mereka dibuat terperangah oleh kenyataan di depan ma-
ta. Bahkan beberapa saat kemudian, baru disadari ka-
lau seseorang telah datang melakukan serangan.
Untuk keadaan yang bisa saja mendongkel nyawa
keluar dari raga, Raja Arak dan Bidadari Cakram Ter-
bang tak ingin lama-lama mendiamkannya. Dengan su-
sah payah mereka menghempos hawa murni dalam tu-
buh. Luka yang diderita menggerogot secara cepat. Ter-
lambat dalam hitungan helaan napas saja, bisa beraki-
bat konyol.
Sementara lelaki dan perempuan yang tengah ber-
kutat mengatasi luka dalam, lelaki dan perempuan lain
di muka kedai masih dipaksa terpana melihat sosok lain
di sisi Tendangan Bayangan Seribu. Di Sana, telah ber-
diri sosok angker bertubuh besar seperti gambaran to-
koh Bima dalam pewayangan. Wajahnya amat memikat,
berhias cambang tipis serta lintangan kumis lebat. Ber-
sit matanya kasar, bengis dan telengas. Pakaian rompi
kulit macan menutupi sebagian dadanya yang kekar
berbulu. Dengan berdiri memancang tubuh perkasa,
pendatang baru itu memainkan peta kulit binatang yang
sudah berada di tangannya.
Kedua mata Bidadari Cakram Terbang menyempil
menyaksikan orang itu. Ada kecamuk amarah yang ber-
gejolak dalam dirinya. Bukan hanya soal peta yang dire-
but secara menakjubkan saja penyebabnya. Tapi, kare-
na wajah itu pernah dikenalnya....
***
4
Permainan judi koprok sedang seru-serunya di se-
buah gubuk reyot, tak terlalu jauh dari depan kedai
tempat pertarungan antara Raja Arak dan Bidadari Ca-
kram Terbang melawan Tendangan Bayangan Seribu
yang kini dibantu sosok bertubuh tinggi besar.
Tiga lelaki tengik yang petantang-petenteng di kedai kini
mulai dibuai kesenangan. Urat leher mereka mengge-
lembung, disesaki tawa penat atau teriakan menggila.
Rupanya uang mereka telah berhasil dimenangkan
kembali dari kantong uang lelaki berpakaian perlente.
Batok kelapa pengocok dadu dibuka untuk kese-
kian kali. Tiga dadu di atas piring kayu memperlihatkan
beberapa angka.
"Aku dapat!"
Satu orang lelaki tengik berseru serak, nyaris keke-
ringan suara sendiri. Lalu di raupnya keping-keping
uang di atas meja penuh kerakusan. Matanya berbinar-
binar, seakan memantulkan cahaya ketamakan dari se-
tiap keping uang yang didapatnya.
Sementara lelaki perlente bertubuh kurus melipat wa-
jahnya. Pundi uang yang sebelumnya dimenangkan su-
dah ludes kembali. Tiga lelaki bertampang sial di depan-
nya telah berhasil menguras kemenangan. Sekarang dia
akan miskin lagi. Benar-benar terkapar miskin. Sebab,
pundi uang itu adalah modal terakhirnya setelah men-
jual seluruh harta kekayaannya!
Saat keping-keping uangnya kian menipis, terlintas
di benak lelaki perlente itu untuk mencari modal baru.
Modal yang harus lebih besar, agar nanti mengeruk
keuntungan sebakul.
Namun belum juga lelaki perlente ini menemukan
jalan, seorang pemuda masuk dengan lagak serampan-
gan. Kursi sarang kepinding di sisi meja bundar di tem-
patinya. tanpa mempedulikan tatapan keempat para
penjudi. Wajahnya keningratan. Tapi jika melihat pe-
nampilannya, orang lebih suka menganggapnya gelan-
dangan. Lusuh, tak terurus dengan pakaian hijau pu-
pus. Belum lagi rambutnya yang panjang sebahu. Kain
bercorak catur di bahunya dikibas-kibaskan untuk
mengusir gerah.
"Kocok lagi," ujar pemuda itu enteng pada Bandar
bergigi keropos kehitaman.
"Mau ikut main?" tanya lelaki bertampang jelek di
sebelahnya.
Si pemuda menggeleng. Mulutnya cengengesan.
"Kalau ikut main, aku pasti menang," tukas pemuda ini
acuh, penuh keyakinan.
"Mana modal mu?" tanya lelaki lain, panas seperti
menantang.
Pemuda berbaju hijau pupus itu mengeluarkan
kantong uang sebesar kepalan tangan. Diletakkannya
kantong itu lambat-lambat di sisi meja. Begitu tangan
lelaki di dekatnya hendak meraih....
Slap!
"Hah?!"
Kantong itu tahu-tahu sudah menghilang. Keempat
lelaki di dekat pemuda itu terperanjat. Mereka tak men-
gerti, bagaimana kantong uang bisa hilang begitu saja?
"Jangan bingung," ujar si pemuda, masih menjaga keen-
tengan ucapannya.
Pemuda ini membuka tangan kanan. Nyatanya kan-
tong uang itu telah berada di sana.
"Aku tak akan membiarkan uangku keluar dari
kantong ini, kalau tak kalah dalam permainan koprok
kalian. Kalian mengerti?" kata pemuda itu lagi, agak
sombong.
Dengan kebodoh-bodohan, keempat lelaki di seki-
tarnya mengangguk-angguk seperti sapi di cocok hi-
dungnya.
"Ayo, kocok lagi! Tunggu apa lagi?!" bentak pemuda
ini, membuat keempat lelaki tadi hampir saja meloncat
dari kursi masing-masing. Permainan dimulai lagi.
Dalam berjudi, kecurangan bukan hal aneh. Selama
tidak diketahui, tindakan itu tak akan jadi persoalan.
Lain lagi jika kelicikan itu terendusi.
Bandar berwajah brewok yang tak pernah putus
mengisap rokok kawungnya dalam beberapa kesempa-
tan, melakukan kecurangan. Satu orang sudah hampir
sekarat kehabisan uang. Dua yang lain memang masih
cukup mendapat kemenangan. Namun kalau hendak
melihat hasil. Bandar itu yang paling banyak mengeruk
kemenangan. Tumpukan uangnya terus meninggi. Kalau
kecurangannya terus berjalan, bisa dipastikan seluruh
uang penjudi bakal di ludeskannya.
Namun akankah Bandar brewok itu terus begitu. Se-
bab,. anak muda yang baru datang agaknya tak gam-
pang dikelabui. Matanya yang bergaris tajam sejeli tata-
pan elang, bisa menangkap ketidakberesan kocokan
Bandar.
Tiga dadu dalam tempurung kelapa tidak bisa saja
bergulir menentukan angka. Si Bandar, rupanya turut
campur dalam penentuan. Dengan kelihaiannya me-
mainkan tenaga dalam, diaturnya biji dadu untuk keun-
tungannya.
Sementara, pemuda berpakaian hijau pupus mulai
memasang taruhannya. Dua keping uang perak dikelua-
rkan. Hanya dua keping. Itu pun tidak dikeluarkan dari
kantong uang yang sebelumnya diperlihatkan, melain-
kan dari ikatan pinggangnya. Lambat, digesernya dua
keping uang logam itu ke satu angka di atas meja.
Bandar melirik pemuda itu. Sambil melirik, tan-
gannya terus memutar batok kelapa di tangan.
Penjudi lain tak ketinggalan memasang. Pada meja
yang sama, pada angka berbeda.
Selanjutnya....
Prak!
Batok kelapa telah ditelungkupkan di atas meja.
Tangan sang Bandar siap mengangkatnya. Penjudi lain,
termasuk pemuda berbaju hijau pupus boleh menunggu
angka berapa yang bakal keluar. Yang lain mungkin
menatap dengan mata sesak harap. Namun tidak untuk
si anak muda. Dia tenang-tenang saja memainkan kan-
tong uang di depannya.
Mata sang Bandar melirik sebentar ke angka-
angka di atas meja.
Sedangkan pemuda berpakaian hijau pupus justru
melirik wajah lelaki Bandar yang memegang batok kela-
pa. Bibirnya sedikit terungkit manakala menyaksikan
bersit kecurangan melintas di mata orang yang dilirik.
Pada saat itu, sang Bandar memang sedang me-
nyalurkan tenaga dalam ke tangan. Pendengarannya
yang cukup tajam dimanfaatkan untuk menentukan su-
ara amat halus yang begitu di hapalnya. Perbedaan sua-
ra gesekan permukaan dadu pada meja, membuatnya
sanggup menentukan angka mana yang bakal muncul.
Selain sang Bandar dan pemuda berbaju hijau pupus,
tak ada yang bisa menangkap gesekan sehalus itu. Bu-
nyinya bahkan lebih lembut dari suara sayap seekor le-
bah kecil.
"Angkatlah!" ujar si perlente tak sabar.
Di antara yang Iain, wajah lelaki ini paling tegang.
Sebab, ini taruhan terakhirnya. Kalau tak berhasil me-
nang, habislah harapannya. Istrinya yang menumpang
di rumah mertua bakal menceramahinya seumur hidup.
Batok kelapa dibuka.
Bukan alang kepalang terperanjatnya Bandar dan
tiga lelaki di dekat pemuda berbaju hijau menyaksikan
biji-biji dadu masih berputaran liar. Berputar pelan saja
sudah mustahil. Apalagi berputarnya demikian cepat!
Cepat sang Bandar menyadari, ada seseorang yang
mengusili siasatnya. Kecurangannya diketahui. Dan ca-
ra itu pasti untuk menelanjangi kelicikannya.
Dari biji-biji dadu yang masih berpusing liar, mata
sang Bandar beralih pada anak muda yang justru me-
masang wajah tak bersalah. Begitu asyik putaran dadu
diperhatikan dengan bibir tak lekang dari senyum.
Tahulah kini sang Bandar kalau anak muda itulah
yang menjajal tenaga dalamnya. Geram sekali hatinya.
Tanpa terlihat, disalurkannya lagi tenaga dalam dari te-
lapak tangannya.
Putaran dadu melambat. Melambat dan kian me-
lambat. Sang Bandar ganti tersenyum, mengejek pemu-
da berpakaian hijau. Dikiranya dadu akan segera ber-
henti pada angka yang ditentukan. Itu artinya dua ke-
menangan. Satu untuk kemenangan pamer kekuatan,
dua untuk kemenangan taruhan.
Namun bila sang Bandar mengira bakal unggul yang je-
las keliru! Begitu ketiga dadu hampir berhenti berputar,
mendadak saja putarannya meningkat kembali. Lebih
menggila dari sebelumnya. Lebih hebat dari putaran
gangsing.
"Bangsat...," desis sang Bandar dalam hati. Ra-
sanya dia begitu ditantang oleh anak muda di dekatnya.
Untuk kedua kalinya, sang Bandar memompa te-
naga dalam ke dadu melalui meja. Sebelumnya memang
terlihat putaran dadu melambat. Sekali ini, malah tidak.
Dicobanya lagi. Putaran dadu hanya berubah sesaat. Se-
lanjutnya makin tak terkendali!
Sang Badar penasaran. Kekuatan tenaga dalamnya
merasa ditantang habis-habisan. Maka habis-habisan
pula dikerahkannya.
Tiga lelaki lain terpana-pana menyaksikan keganji-
lan di atas meja. Wajar saja, karena ketiganya memang
sama sekali awam dengan tenaga dalam.
Pengerahan tenaga dalam yang terus digenjot oleh
sang Bandar tak cukup berarti. Ketiga dadu di atas pir-
ing kayu malah makin hebat berpusing.
Sang Bandar berkutat dengan tenaga dalamnya
sendiri.
Sementara itu pemuda berbaju hijau tak tampak
melakukan apa-apa. Sikapnya masih tetap tenang sam-
bil memainkan sudut bibirnya. Bahkan mulai pula men-
cukil-cukil telinga dengan jari kelingking.
Sedang buat sang Bandar sendiri, keringat sebesar
ujung kelingking perlahan bersembulan, membanjiri
kening dan lehernya. Tenaga dalamnya benar-benar ha-
bis-habisan dikerahkan. Sesaat lagi, pengerahannya
akan sampai puncak. Tapi, tak ada yang berubah. Da-
lam hati, di kutuknya pemuda itu dengan serangkai caci
maki terkotor. Siapa anak muda ini? Kenapa begitu en-
teng menghadapi tenaga dalam yang sudah nyaris di ku-
rasnya?
Sampai akhirnya, mulai merebak asap tipis di seke-
liling dadu. Kekuatan putaran itu telah membuat gese-
kan hebat antara dadu dengan piring kayu. Bila gesekan
makin sengit, maka panas pun menanjak terus. Tak he-
ran bila asap tipis muncul.
Tak lama berikutnya, bukan lagi asap tipis yang menge-
pul.
Bressshhh!
Dalam sekejap, api telah memangsa ketiga dadu.
Piring kayu telah berlubang pada tiga bagian yang mas-
ing-masing api menjilat kecil.
"Utsss...!"
Brakkk...!
Kala yang bersamaan, sang Bandar tersentak ke be-
lakang. Kursinya ambruk terpatah. Dia terpuruk di lan-
tai. Nafasnya terengah-engah tak beraturan. Dengan ra-
sa lemas menggerayangi segenap persendian, dia bang-
kit susah payah.
"Heiii, aku menang!" seru pemuda berbaju hijau
seraya melonjak girang.
Tiga dadu yang hampir hangus telah memperli-
hatkan angka. Tentunya, angka yang dipasang pemuda
itu. Lalu, diraup keping-keping uang di atas meja, di
bawah tatapan kosong ketololan tiga lelaki di sekeliling-
nya.
"Siapa kau?" tanya sang Bandar.
Bandar ini mulai menyadari kalau dirinya tengah
berhadapan dengan salah satu 'naga' dunia persilatan.
Sementara dia sendiri bukanlah apa-apa. Tenaga da-
lamnya mungkin hanya seujung kuku kemampuan si
pemuda.
Pertanyaan sang Bandar tak mendapat sambutan.
Di samping pemuda itu tak mau menjawab, ada pula
sebab lain. Pintu gubuk reot tiba-tiba ambrol secara
aneh. Pecahan daun pintu berhamburan ke luar ruan-
gan. Jelas, ada tenaga yang menghantamnya dari luar.
Dan semestinya, daun pintu terhambur ke bagian dalam
ruangan.
Hanya satu pikiran yang terbetik di benak pemuda
berbaju hijau. Ada orang lain yang mau turut ambil ba-
gian dalam unjuk kesaktian di gubuk reot itu....
***
5
Dua sosok memasuki gubuk perjudian. Kesemua-
nya lelaki. Mereka tak lain Tendangan Bayangan Seribu
dengan lelaki tinggi besar yang telah mencederai Bida-
dari Cakram Terbang dan Raja Arak.
Dari wajah, tampak betapa yakinnya mereka ma-
suk tempat perjudian ini. Seakan, mereka tahu sesuatu
yang dikehendaki berada di sana.
Semua orang di pinggir meja judi mengalihkan
pandangan. Bersamaan mereka menatap kedua lelaki
pendatang baru. Suasana jadi legang mencekik. Sepi.
Bahkan sisa debu kayu jatuh pun mungkin terdengar
gemerisiknya.
Kecuali pemuda berpakaian hijau, lelaki di meja ju-
di terpaksa harus lebih lama terpana. Sebelumnya me-
reka terbengong-bengong menyaksikan dadu 'ajaib'. Se-
karang menyaksikan pintu berantakan secara 'ajaib' pu-
la. Takutnya, di antara mereka ada yang sakit jantung.
Bisa-bisa mati berdiri dengan mata membeliak dan mu-
lut menganga.
Kesialan tiga bajingan buduk yang petantang-
petenteng di kedai tadi belum selesai. Selagi mematung
dengan raut wajah tolol kelewatan, tangan besar lelaki
seperti Bima mencengkeram kerah baju mereka satu
persatu, lalu dilempar ke luar gubuk. Enteng, bagai me-
lempar sekaleng kerupuk kulit.
"Wuaaa!"
Di luar, terdengar teriakan kacau. Mereka kontan
pontang-panting melarikan diri sambil terus menjerit-
jerit tak karuan. Mudah-mudahan tak ada yang jadi
sinting!
Sementara lelaki perlente dan sang Bandar pun
bakal mendapat giliran. Begitu tiba giliran lelaki perlente, orang kurus berpakaian mencolok itu mengangkat
tangan tinggi-tinggi.
Terima kasih, terima kasih! Aku bisa melakukan-
nya sendiri!" ucap lelaki perlente, cengengesan seraya
berlari keluar.
Sebelum tiba di pintu, lelaki itu melompat seken-
cang-kencangnya, kemudian jatuh berdebam di luar.
Dia lebih suka membuang diri sendiri, ketimbang harus
dilempar keluar secara mengerikan seperti yang lain.
Kini tinggal pemuda berpakaian hijau. Sikapnya tetap
tak peduli. Terus saja telinganya dikorek-korek dengan
asyik. Wajahnya meringis-ringis sesekali.
"Cara kalian masuk tak punya tata krama," kata
pemuda ini.
Dua lelaki itu menatapnya. Tajam-tajam, seakan
ingin menelannya hidup-hidup.
"Apa kalian tak bisa mengetuk pintu dulu? Atau,
kalian ingin agar aku mengajari kalian sedikit sopan-
santun?"
Ucapan pemuda itu tetap tak digubris.
"Hei, hei!" Dengan lagak tengik, pemuda ini me-
lambai-lambaikan tepat di depan wajah dua lelaki yang
terus mengawasinya tanpa gemik.
"Aku tidak bicara dengan monyet-monyet hilang
ingatan, bukan?" tukasnya meninggi.
Dongkol juga rupanya anak muda itu, karena di-
anggap sekadar kentut.
Dari diamnya, si lelaki tinggi besar mendadak
membuat gerakan. Telapak tangannya dihadapkan ke
arah meja judi. Saat itu juga, meja bergeser ganas. Bah-
kan mencoba menanduk si pemuda. Jarak yang demi-
kian dekat, membuat pemuda itu tak bisa lagi menghin-
dar. Tubuhnya terseret cepat.
Brak!
Bersama meja. pemuda berpakaian hijau menjebol
dinding kayu gubuk. Tubuhnya terus terbawa sampai di
dekat pohon besar, lalu terjepit. Himpitan meja teramat
kuat. Pada jarak yang begitu jauh, lelaki tinggi besar
masih bisa mengatur tenaga dalamnya pada meja.
Sungguh permainan kekuatan yang luar biasa!
Sementara, pemuda berpakaian hijau meringis da-
lam himpitan pohon besar dengan meja di perutnya.
"Hei? Apa kalian hendak menggagahi ku. Sebaiknya
kalian kuberitahu, aku ini lelaki lho!" celoteh si pemuda
seenak perut. Rasa sakit luar biasa di perutnya seperti
tak pernah dirasakan. Matanya kemudian terpejam. Tak
lama berselang, meja judi yang menjepit meluncur kem-
bali ke tempat semula. Geraknya tersendat-sendat. Se-
bentar meluncur ke arah gubuk, sebentar kemudian me-
luncur kembali ke arahnya.
Tak pelak lagi, adu tenaga dalam terjadi. Berbeda den-
gan kejadian dadu di atas meja, sabung tenaga dalam
kali ini tidak main-main. Dua kekuatan tenaga dalam
tingkat tinggi sedang berlangsung.
***
Sabung tenaga dalam antara anak muda berpa-
kaian hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor mela-
wan lelaki tinggi besar di kedai masih berlangsung. Ja-
rak yang cukup berjauhan, tak menyulitkan keduanya
untuk saling menyalurkan tenaga dalam ke meja.
Ajang adu kesaktian makin memuncak. Sementara
tekanan berat dari dua arah berlawanan, menyebabkan
meja tak kuat bertahan lebih lama. Lalu....
Brak!
Hancurlah meja bundar untuk ajang perjudian itu.
Kepingannya berhamburan sederas peluru. Sebagian
menancap di dinding gubuk, sebagian lain menembus
pepohonan. Kalau saja ada orang tak cukup memiliki
ilmu kedigdayaan, tentu akan menjadi korban.
"Nah! Selesai sudah main-main kita," ujar Pende-
kar Slebor.
Keringat mengkuyupi sebagian pakaian Andika. Di-
akui, tenaga dalam lelaki tinggi besar barusan tergolong
amat sulit dilawan. Pengerahan tenaga dalam warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh telah dike-
rahkan. Namun tak ada tanda-tanda lawan akan terde-
sak. Kalau lebih dari setengah kemampuan tenaga da-
lamnya sudah dikerahkan seperti itu, bisa dinilai kehe-
batan lawannya yang mungkin setingkat dengan tokoh-
tokoh jajaran atas. Atau malah lebih tinggi. Andika ma-
sih sulit menentukan.
Sementara dari gubuk tak mengeluarkan seorang
pun dari sana.
Andika bersiaga. Dikiranya lawan akan melakukan
sesuatu yang gila lagi. Mungkin serangan susulan yang
lebih hebat. Serangan yang bisa membuatnya cukup ka-
lang-kabut, mengingat kesaktian lawan masih belum
dapat di ukurnya.
Ditunggu sekian lama, tak juga ada serangan. Ba-
tang hidung dua lelaki tadi pun tak dilihatnya.
Si pendekar muda godokan Lembah Kutukan jadi
tak sabar.
"Kalian rupanya mau main kucing-kucingan, heh!"
rutuk Andika dongkol setengah mampus.
Sifat usil Pendekar Slebor pun menjangkit. Otak-
nya berkutat sejenak. Dan ditemukannya cara konyol
untuk mengakhiri kucing-kucingan menyebalkan itu.
"Heaaa!"
Sekuat tenaga pemuda urakan itu meregangkan
otot tenggorokannya. Wajahnya sampai mematang kare-
nanya. Siapa pun yang mendengar teriakan menggelegar
barusan akan menyangka pemiliknya sedang murka.
Tentu pula akan disusul amukan menggila.
Tapi, yang dilakukan Pendekar Slebor selanjutnya
justru tak ada. Dia hanya berteriak panjang dan keras di
tempatnya berdiri. Lalu dengan sedikit mengatur tenaga
dalam, Andika membuat teriakan-nya bergerak ke arah
gubuk. Dengan cara itu, ada kesan kalau dirinya sedang
berlari liar menuju gubuk.
Brosss...! Brosss...!
Akal bulus Andika membawa hasil. Dua lelaki di
dalam sana mendadak saja keluar menjebol wuwungan.
Sungguh mati, disangka akan ada serangan maha hebat
menuju mereka. Karena itu mereka berusaha menghin-
dar dengan melompat sebisa-bisanya ke atas.
"He he he!"
Pendekar Slebor terkekeh menyaksikan dua lelaki
bertengger di atas wuwungan dengan wajah agak terhe-
ran-heran. Selanjutnya wajah mereka berubah gusar,
setelah tahu kalau baru saja dikadali pendekar muda
berotak encer!
"Ngomong-ngomong, kalian ini siapa? Kenapa tiba-
tiba saja mengusili keasyikan ku?" tanya Andika. La-
gaknya seolah-olah tak punya dosa.
"Kami tak butuh untuk memperkenalkan diri pa-
damu, Pendekar Slebor!" seru Tendangan Bayangan Se-
ribu, pongah.
"Hei? Rupanya kau kenal aku! Pasti kau salah seo-
rang pengagum ku, bukan?!"
"Kami punya kepentingan padamu, Pendekar Sle-
bor!" terabas lelaki berperawakan seperti Bima, tak ingin
menggubris ocehan ngawur Andika.
"Kalian punya kepentingan? Ah! Kalau aku sih ti-
dak!"
"Jangan main-main! Kami minta kau mengantar
kami ke Lembah Kutukan!"
"Kalian pasti sinting! Kenal saja belum, tapi bisa
bisanya yakin kalau aku akan mengantarkan kalian ke
Lembah Kutukan...."
Wajah Andika tiba-tiba terbengong. Anak sapi ma-
sih kalah jelek dari tampangnya saat itu.
"Kalian tadi bilang Lembah Kutukan?" tanya Pen-
dekar Slebor, baru terperangah karena telat mikir. "Apa
kalian mengigau? Ya ya, pasti kalian mengigau di siang
bolong!"
Memang, Lembah Kutukan bukan tempat asing
buat Pendekar Slebor. Di sanalah penyempurnaan ke-
pendekarannya dijalani. Di sana pula dia dipaksa amu-
kan lidah petir untuk menciptakan jurus-jurus anehnya.
Juga, di tempat tersebut Andika memakan buah 'inti pe-
tir' yang menyebabkan tubuhnya bisa menyerap kekua-
tan petir!
Biar bagaimanapun, tempat itu telah membuat
Andika kapok. Biar dipaksa setan belang sekalipun, tak
bakalan sudi kembali ke sana. Sebab, hanya orang tak
waras yang berniat datang ke tempat itu. Begitu pikir
Andika. Kalaupun dulu didatanginya juga, itu semata
karena mesti menjalani penyempurnaan kesaktian. (Un-
tuk lebih jelasnya; baca episode 'Dendam dan Asmara')
"Hei, aku ingat sekarang! Kalau begitu, kalianlah
yang mengundang aku untuk datang ke tempat ini!" tu-
kas Andika begitu terbersit ingatan di benaknya.
Tiga hari lalu, Pendekar Slebor memang telah
mendapat kabar dari seorang utusan tak dikenal untuk
datang ke tempatnya sekarang di pinggiran Karisidenan
Karawang. Kata utusan itu, ada hal amat mendesak
yang harus diketahui. Maka Andika pun berusaha da-
tang, dan sampai ini hari.
"Bukan urusanmu, apakah kami mengundangmu
atau tidak! Sekarang, jawab permintaan kami. Apakah
kau akan mengantar kami memasuki Lembah Kutu-
kan?!" tukas lelaki seperti Bima.
"Ooo," Andika menggelengkan kepala berkali-kali
dengan mulut monyong. "Aku tak akan datang lagi ke
sana. Aku sudah bersumpah. Sampai mampus tak sudi
lagi kembali ke sana!"
"Kalau begitu, kau akan kami paksa!" tandas Ten-
dangan Bayangan Seribu. Andika terkekeh.
"Memaksa?" tanya Andika dengan wajah mence-
mooh.
"Ya!"
Andika terkekeh lagi. Makin menjengkelkan.
"Jangan...," katanya. "Kalian akan membuang te-
naga percuma memaksaku memasuki tempat itu. Aku
sudah kapok! Kapok, tahu?!"
Si anak muda urakan, terlihat sengit sekali. Wa-
jahnya cepat berubah, menampakkan kedongkolan.
"Kalau kalian mau pergi ke sana, pergilah sendiri.
Kalau kalian mau menjadi gila, kusarankan masuklah
ke tempat itu. Tempatnya... ihhh...."
Andika bergidik. Bahunya terangkat. Nyalinya se-
bagai seorang pendekar memang besar. Tapi untuk uru-
san satu itu, dia sudi dibilang pengecut sekalipun!
"Kalau begitu, aku permisi dulu ah...," kata anak
muda itu acuh, hendak beranjak seenak perutnya. Ta-
pi....
Wrrr! Jleg!
Tendangan Bayangan Seribu sudah berkelebat dan
berdiri menghadang Andika. Dari sikap berdirinya tam-
pak sekali kalau pemuda sebaya Andika itu sudah siap
tarung.
"Kau...," sungut Andika. "Jangan halangi jalanku!"
"Antarkan kami memasuki Lembah Kutukan. Sete-
lah itu, barulah kau akan bebas!"
Andika melotot.
"Apa ibumu lupa membersihkan telingamu waktu
kau kecil?" tanya Andika sambil menggeleng-geleng.
Pendekar Slebor lantas maju satu tindak, sambil
memajukan wajahnya. Telapak tangannya ditegakkan di
samping mulut. Lalu....
"Aku tidak mau mengantar kalian ke tempat itu!"
teriak Andika.
Pendekar muda yang sulit ditebak itu lantas hen-
dak melangkah lagi.
"Kau terlalu memaksa, Pendekar Slebor. Hih!"
Mendadak saja, Tendangan Bayangan Seribu men-
jegal langkah Pendekar Slebor. Kakinya membabat me-
nyamping ke arah leher. Cepatnya seperti sapuan kilat.
Wukh!
Namun Andika bukan bocah buduk. Jangankan
tendangan kilat. Kilat sebenarnya saja sudah pernah di-
hadapinya, sewaktu di Lembah Kutukan, tempat yang
membuatnya kapok itu. Dengan sekali beringsut ke ba-
wah, tendangan itu sudah berhasil dihindari.
"Menurutmu, aku yang terlalu memaksa atau ka-
lian?" tanya Pendekar Slebor masih dalam keadaan ber-
jongkok.
"Keparat!"
Wukh, wukh!
Seruntun tendangan pemuda berbaju kumal men-
cecar Pendekar Slebor. Dengan tangan di belakang tu-
buh, Andika berkelit ringan kian-kemari. Sementara itu,
mulutnya terus mengoceh.
"Tendangan mu sudah bagus. Tapi kalau kau beri
tekanan sedikit pada kuda-kudamu, pasti akan lebih
bagus," puji Pendekar Slebor, namun seperti mendikte
ketika suatu kali lawan menghentakkan kaki ke arah
kepalanya.
Dari bertahannya, Pendekar Slebor menggebrak.
Kakinya bergerak cepat, menandingi kecepatan kaki an-
dalan Tendangan Bayangan Seribu. Hasilnya....
Desss...!
Brukkk!
Tendangan Bayangan Seribu ambruk. Sebelah kaki
pertahanannya berhasil disapu Andika. Keseimbangan-
nya jadi hilang. Dan mulutnya hanya mendesis geram.
"Tuh.... Ku bilang juga apa...," kata Pendekar Slebor
santai.
"Keparat!"
Tendangan Bayangan Seribu mengkelap. Dia mera-
sa benar-benar dilecehkan. Cepat-cepat pemuda kumal
ini bangkit. Hendak di genjotnya jurus-jurus andalan.
Maka, jurus-jurus berbahaya yang dipergunakan
Tendangan Bayangan Seribu untuk menggempur Raja
Arak pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kemban-
gannya dimainkan teramat cepat dan lincah.
Sementara Andika sempat kagum juga melihatnya.
Tentu tak akan mudah untuk menghadapi jurus sema-
cam itu.
"Heeeaaa!"
Tendangan Bayangan Seribu menghambur lagi. Ke-
dahsyatan serangannya sudah berlipat ganda dari se-
mula. Sepasang kakinya berubah menjadi senjata maut.
Setiap kibasan, bisa menghancurkan batuan sungai!
Serangan baru pemuda itu dilakukan dengan mele-
pas tendangan ganda ke beberapa bagian tubuh lawan
yang mematikan. Untuk serangan itu, tentu saja cukup
menyulitkan Pendekar Slebor. Jika satu titik tubuhnya
bisa diselamatkan, maka titik lain akan terancam dalam
selang waktu sedemikian sempit.
Namun, perhitungan Tendangan Bayangan Seribu ma-
sih terlalu mentah. Salah satu kemampuan
Pendekar Slebor yang justru dikagumi dunia persilatan
adalah kecepatan bergeraknya yang menakjubkan. Ba-
nyak yang membanding-bandingkan kecepatannya den-
gan kecepatan dedemit telat buang air!
Kalau musuh lain mungkin menghindar sekaligus
membuang diri sejauh-jauhnya dari jarak jangkauan
kaki Tendangan Bayangan Seribu. Maka Pendekar Sle-
bor malah sengaja diam di tempat. Hanya tangan dan
kakinya yang berkelebatan ngabur. Andika tak menge-
luarkan jurus apa-apa. Tidak juga jurus sakti yang ter-
cipta di Lembah Kutukan. Yang dilakukan hanya me-
musatkan ingatannya pada saat dia sungsal-sumbel
menyelamatkan diri dari gempuran lidah petir di Lem-
bah Kutukan.
Dan itu menghasilkan jurus dadakan yang ganjil
sama sekali. Kaki dan tangannya seperti hendak kusut
saat itu juga. Tapi anehnya, tak ada satu pun tendangan
kilat lawan yang berhasil menembus!
Sebelum kekalapan Tendangan Bayangan Seribu ter-
lampiaskan, lelaki seperti Bima di atas wuwungan ber-
suit nyaring!
Wajah pemuda kalap tadi menjadi ketat. Giginya
bergemeretuk. Suitan tadi isyarat dari kawannya untuk
pergi dari tempat ini secepatnya. Padahal, darahnya su-
dah sampai ke ubun-ubun.
Terpaksa akhirnya Tendangan Bayangan Seribu
menyingkir juga dari tempat itu. Pergi, sebelum keingi-
nannya terpenuhi.
***
6
Apa yang menyebabkan dua lelaki bejat tadi me-
nyingkir? Pendekar Slebor baru menyadari setelah da-
tang tiga orang dari arah berbeda.
Dua orang datang bersama-sama. Mereka tak lain
Bidadari Cakram Terbang dan si Raja Arak. Tubuh mereka masih limbung akibat luka dalam. Darah di pa-
kaian sudah mengering. Tampaknya selama Andika be-
rurusan dengan dua lelaki tadi, mereka berusaha men-
gatasi luka dalam masing-masing.
Seorang lagi dari arah berbeda belum lagi diketahui.
Tapi kelihatannya adalah lelaki uzur. Itu terlihat dari
rambut panjang berbalut kain putih dan jenggot yang te-
lah memutih rata. Pakaiannya seperti jubah biksu.
Hanya warnanya coklat, sudah agak kusam.
"Kau yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak Muda?"
sapa orang tua berjubah biksu.
Sementara Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak
pun mengajukan pertanyaan sama.
Andika melirik sebentar.
"Mimpi apa aku semalam? Kenapa hari ini tiba-tiba
saja banyak orang yang mencariku? Apa ada tengkulak
kolang-kaling yang mengaku-aku dengan julukanku?
Slompret sekali!" gumam Andika.
"Anak muda! Apa kau Pendekar Slebor?" ulang
orang tua berjubah biksu.
"Ya ya ya...," sahut Andika akhirnya, ogah-ogahan.
"Bagus!"
"Bagus apanya?" gerutu Andika, sebal. Kalau terus
begini, Andika merasa jadi tak leluasa bergerak. Ke sana
sulit. Ke sini sulit.
"Perkenalkan.... Aku Kaki Angin Barat!" lanjut
orang tua berjubah biksu.
Raja Arak yang baru tiba pun terkejut. "Kau Kaki
Angin Barat? Ki Mahesa? Guru Tendangan Bayangan
Seribu?" tanya lelaki buncit itu beruntun seperti tak
percaya.
"Ya, Saudara. Kau ini siapa?" Kaki Angin Barat
atau Ki Mahesa balik bertanya.
"Ah! Aku bukan siapa-siapa. Yang jelas, aku hanya
orang persilatan yang merasa mendapatkan kehormatan
biasa berjumpa dengan dua tokoh besar sekaligus. Kau,
Ki Mahesa. Dan Saudara Pendekar Slebor...."
Andika sekarang melirik Raja Arak. Bisa-bisanya
dia memuji, sungut Andika membatin.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Andi-
ka dengan keingintahuan yang sudah sejak tadi mem-
bludak. Maka begitu ada kesempatan untuk bertanya
pada orang yang sedikit lebih bersahabat, langsung di-
lakoninya.
"Biar aku jelaskan, Saudara Andika." sela Bidadari
Cakram Terbang.
"Kau siapa?"
Andika menemukan wajah manis wanita itu. Si-
kapnya dijamin berubah sempurna. Dari wajah jengkel,
sekarang sarat dengan senyum ramah. Memang begitu
adatnya!
"Panggil aku Kemuning," jawab Bidadari Cakram
Terbang, menyebutkan nama aslinya.
"Nama bagus. Di mana tinggalmu? Kalau boleh, aku
bisa mengantarmu pulang. Kau sudah punya suami?
Kuharap belum, ya?" cerocos Andika, mulai ngelantur.
"Maaf, Saudara. Kita tidak ada waktu untuk bergu-
rau," tepis Kemuning tegas.
"Wah! Bisa galak juga rupanya!" gumam Andika di
hati.
"Akulah yang telah mengundang Saudara ke tempat
ini," aku Kemuning.
"Mmm.... Kukira dua manusia slompret tadi. Apa
maksudmu mengundangku?" Andika mulai bersungguh-
sungguh.
"Berkaitan dengan Lembah Kutukan."
"Itu lagi...," sungut Andika. "Sial! Kenapa dengan
tempat itu sebenarnya?"
"Sebelum kuberitahu, sebaiknya aku memperkenal-
kan diri."
"Sudah tadi."
"Maksudku asal-usulku."
"Aku tak begitu berminat. Bagaimana kalau soal
tempat tinggalmu?"
Kemuning menarik napas. Benar juga desas-desus
yang didengarnya dari banyak sumber. Pendekar satu
ini memang urakan. Saking urakannya. Hatinya jadi di-
buat mangkel.
"Saudara Pendekar, Nona ini ingin bicara sungguh-
sungguh," sela Raja Arak, memohon.
"Silakan. Apa aku melarangnya?" tukas Andika,
cengar-cengir.
"Aku sebenarnya masih mempunyai ikatan persau-
daraan denganmu," lanjut Kemuning.
"Apa?!" Andika terlonjak. Matanya berbinar. Rezeki
besar menimpanya! Tak disangka kalau dirinya masih
mempunyai saudara seelok Kemuning.
"Ayahku adalah cucu kemenakan Ki Saptacakra,
Pendekar Lembah Kutukan."
Andika terus mengamati wajah halus Kemuning.
Dia masih belum percaya.
"Kenapa orang tua sableng itu tak mengatakan ka-
lau memiliki cicit kemenakan sebagus ini," gumam Pen-
dekar Slebor menyumpahi Ki Saptacakra, buyutnya
sendiri.
"Saudara Andika...," tegur Kemuning ketika Andika
terus saja mendeliki wajahnya.
"Ya. Itu namaku," gumam Andika.
"Ehem!"
Raja Arak terpaksa berdehem kencang-kencang.
Kalau tidak dibegitukan, Andika bisa terus terbengong-
bengong.
"Oh, iya. Apa kau bilang tadi?"
"Aku cicit kemenakan Ki Saptacakra."
"Yang itu aku sudah dengar. Soal Lembah Kutukan
tadi. Apa maksudmu? Kau tak ingin aku mengantar
memasuki tempat itu juga, bukan?"
Kemuning menggeleng.
"Bagus!" Andika lega. Memang, hatinya selalu ngeri
membayangkan keadaan di Lembah Kutukan.
"Aku tak ingin kau mengantarku ke Lembah Kutu-
kan. Aku ingin, kau ikut denganku ke dalam sana,"
tambah Kemuning, memberi tekanan.
Andika mendeliki Kemuning lagi. Kenapa mulai
banyak orang yang bosan hidup? Sayang kalau perem-
puan sebagus dia mau cari mati di sana. Andika jadi
berkasak-kusuk dalam hati.
"Saudara Andika. Cerita ku belum selesai. Kemun-
ing meneruskan penuturan. Kakek Kemuning, kemena-
kan langsung Ki Saptacakra, menerima amanat dari to-
koh yang sudah menjadi cerita rakyat itu berupa peti
tua terkunci. Peti itu hanya boleh dibuka, jika sudah
ada salah seorang dari keturunan Ki Saptacakra mewa-
risi kesaktiannya.
Sewaktu Ki Lantanggeni yang merupakan kakek
Andika mewarisi kesaktian tersebut, peti itu urung di-
buka. Letusan gunung merapi telah mengubur kotak
itu. Sampai akhirnya, kakek Kemuning memerintah mu-
rid-muridnya untuk mencari.
Menjelang masa pencarian ke empat puluh tahun,
kotak itu baru bisa ditemukan kembali. Namun kakek
Kemuning sudah tak ada umur. Seperti juga Ki Lan-
tanggeni, dari sang kakek peti kecil tua itu di wariskan
kepada sang anak. Sampai akhirnya Kemuning pun me-
nerimanya.
Beberapa waktu lalu sesuai pesan mendiang ayah-
nya, Kemuning memberanikan diri untuk membuka peti
tersebut. Ternyata di dalamnya hanya ditemukan se-
lembar kulit binatang bergambar peta.
Semula, Kemuning tak mengerti. Namun setelah
beberapa lama meneliti, didapat jawaban kalau peta itu
adalah petunjuk menuju tempat penyimpanan benda-
benda berharga milik Ki Saptacakra. Dari sandi berupa
gambar dalam peta, bisa diketahui kalau di samping
harta berlimpah, di Lembah Kutukan juga tersimpan
senjata-senjata pusaka hasil rampasan Ki Saptacakra,
dari musuh-musuh yang dikalahkannya.
Setelah mengasingkan diri sekian lama, Kemuning
memutuskan untuk menjumpai Andika, sebagai salah
seorang pewaris kesaktian keluarga Pendekar Lembah
Kutukan.
Dengan mengutus seorang utusan, Kemuning
mencoba menemui Andika. Pemuda itu hendak diajak-
nya untuk mengambil seluruh benda berharga yang kini
menjadi milik keturunan Ki Saptacakra.
"Aku sudah tahu kalau di sana ada harta berlim-
pah. Berpeti-peti. Aku memang pernah ke sana," ucap
Andika, menanggapi cerita Kemuning.
"Karena itu aku ingin meminta tolong padamu un-
tuk menyertaiku ke sana."
"Aku tidak mau. Dan tidak akan mau!" tegas An-
dika.
Bukan masalah kepala batu Pendekar Slebor saja
yang membuatnya bersikeras. Yang jelas, dia tak sudi
dihujani lidah petir. Tak sudi berhari-hari mencari jalan
keluar. Tak sudi hanya makan buah aneh yang hanya
tumbuh di sana. Dan tak ketidaksudian lain berjejer di
kepalanya.
"Bukannya aku takut." tukas Andika ngibul. "Lagi
pula apa hidup harus dengan harta berlimpah? Jalan
hidupku adalah jalan ksatria. Hidup seadanya sudah le-
bih dari cukup. Banyak harta, tak selalu membuat se-
seorang lebih baik...."
Kemuning melirik Raja Arak. Di dunia persilatan,
Raja Arak adalah raja kebijakan kalau pikirannya sedang benar. Tapi mendengar kalimat arif yang begitu en-
teng mengalir dari mulut pemuda itu, mau tak mau Raja
Arak jadi memuji dalam hati.
"Ini bukan masalah harta, Andika," Kemuning
mencoba menjelaskan. "Sudah kubilang, ini soal senja-
ta-senjata pusaka yang berbahaya bila jatuh di tangan
orang keliru."
"Aku tetap tidak mau," tandas Andika. Dasar kepa-
la batu!
***
Hari makin beranjak. Siang makin kehilangan ke-
kuatan. Sore turun sebentar lagi. Di sapuan warna lan-
git yang sedikit menguning, dua sosok tubuh mengha-
dang jalan Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya.
"Berhenti kalian!" bentak salah satu sosok.
Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya ber-
henti. Bukan hendak menuruti bentakan suara kasar
tadi, melainkan hanya ingin tahu siapa orang yang lan-
cang terhadap mereka.
Di depan mereka berdiri seorang lelaki berwajah tikus
dan perempuan berambut pendek yang terlihat pula se-
belumnya di muka kedai. Agaknya lelaki dan perempuan
itu telah sepakat untuk bekerja sama merebut peta har-
ta Lembah Kutukan dari tangan dua orang yang diha-
dang.
"Serahkan peta harta Lembah Kutukan itu pada
kami!"
Dua lelaki yang dihadang mendengus.
"Kalian kira siapa diri kalian'?! Berani benar kalian
menghadang perjalananku?" geram lelaki seperti Bima.
Wajahnya cepat terbakar. Merah penat.
"Nama besarmu tak akan membuat nyali ku men-
ciut, Dewa Pencuri Ilmu!" tegas lelaki berwajah tikus,
seperti menantang. "Aku Kera Bukit Tengkorak tak akan
mundur menghadapimu!"
"Rupanya kau yang berjuluk Kera Bukit Tengkorak
itu?" kata lelaki tinggi besar yang ternyata dikenal seba-
gai Dewa Pencuri Ilmu, meremehkan.
Di dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu dikenal da-
ri golongan hitam. Julukan yang disematkan, karena
kebiasaannya mencuri ilmu dari satu perguruan besar
ke perguruan besar lain, dari satu orang ke orang lain.
Sementara, pemuda yang mengaku Tendangan
Bayangan Seribu tak lebih dari muridnya. Pemuda itu
mencoba mengaku-aku sebagai salah seorang tokoh dis-
egani yang berjuluk Tendangan Bayangan Seribu, kare-
na telah berhasil mencuri jurus inti 'Tendangan Bayan-
gan'.
"Dan kau perempuan buruk. Aku kenal kau. Si
Hantu Tongkat Pendek, bukan? Hm.... Aku tau, kalian
hendak bersekongkol merebut peta harta Lembah Kutu-
kan dari tanganku?"
Dewa Pencuri Ilmu terbahak pendek. Sebentar ke-
mudian, wajahnya tegang kembali. "Kalian hanya mim-
pi!" dengusnya, lantang.
"Kalau begitu, kami akan memaksamu menyerah-
kannya pada kami! Heaaa...!"
***
7
Hari terpuruk makin lelah. Dalam kepayahan ma-
tahari senja yang melempar sinarnya dari hadangan pe-
lipis bumi barat, pertarungan antara Dewa Pencuri Ilmu
dan muridnya melawan Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek mulai mendekati puncak.
Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek
jelas-jelas bukan tandingan kedua lawannya. Jangan-
kan menghadapi guru dan murid itu sekaligus, meng-
hadapi Dewa Pencuri Ilmu sendiri saja, mungkin mereka
masih sulit menang.
Di gelanggang dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu
memang berada beberapa tingkat di atas Kera Bukit
Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek. Menyadari hal
itu, maka Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat
Pendek mengadakan kesepakatan di kedai untuk berse-
kongkol.
Apalagi ketika mereka menyaksikan, bagaimana
Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak dapat dilukai
begitu saja oleh Dewa Pencuri Ilmu dalam sekali gebrak!
Satu hal yang terlupakan, bahwa Dewa Pencuri Il-
mu bukan hanya unggul dalam kedigdayaan, tapi juga
unggul dalam pengalaman. Dewa Pencuri Ilmu lebih tua
satu angkatan ketimbang mereka. Memang, wajah dan
penampilannya tak mengundang dugaan orang kalau
usianya sudah cukup lanjut.
Hanya karena nafsu keserakahan, memungkinkan
Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek men-
jadi mata gelap. Ada ibarat yang tepat untuk itu. Semut
di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tak
disadari. Dan kealpaan mereka membawa akibat yang
harus diterima.
Weshhh!
Degh!
"Aaa...!"
Satu sambaran berkecepatan angin melabrak Han-
tu Tongkat Pendek. Senjatanya kalah cepat dibanding
tandukan bahu Dewa Pencuri Ilmu ke bagian buah da-
danya.
Tubuh perempuan berambut cepak itu terlempar
disertai jeritan kesakitan. Buah dadanya mungkin han-
cur, sekaligus bagian tubuh dalamnya. Dewa Pencuri
Ilmu memang mempergunakan sebisa-bisanya seluruh
anggota tubuh, untuk dijadikan senjata. Gerakannya
memang mengagumkan. Dengan kemampuan seperti
itu, dia mampu menggunakannya untuk mencuri jurus-
jurus sakti.
Maka tak heran bila jurus-jurusnya jadi campur
aduk.
Hantu Tongkat Pendek tergeletak berlumur darah.
Wanita buruk itu mati seketika, selang sekejap dari jeri-
tan menyayatnya.
Kini tinggallah Kera Bukit Tengkorak seorang diri.
Meski masih dibakar nafsu menguasai peta harta Lem-
bah Kutukan, otaknya masih bisa menyadari kalau kea-
daan sudah tak menguntungkan lagi. Menghadapi Dewa
Pencuri Ilmu sendiri saja sudah sulit. Apalagi harus
menghadapi guru dan murid itu.
Maka pikir punya pikir, begitu melihat Hantu
Tongkat Pendek terkapar, lelaki berwajah tikus itu ber-
balik dan langsung melarikan diri. Lain hari, lain ke-
sempatan, dia bisa membuat rencana lagi untuk mere-
but benda berharga itu secepatnya. Kalau pun tidak, dia
toh masih cukup waras untuk lebih mengutamakan
nyawanya yang tak bisa dicari di kedai mana pun. se-
perti mencari kerupuk!
Tuntas satu masalah lagi, membuat Dewa Pencuri Ilmu
dan muridnya lega. Mereka bisa secepatnya menyingkir
sementara. Akan mereka cari tempat tersembunyi yang
mungkin tak akan ditemukan seorang pun. Kalau nanti
sudah mendapat rencana baru, mereka bisa langsung
bergerak.
Semula untuk mempercepat mendapatkan seluruh
benda berharga di Lembah Kutukan, mereka mencoba
memaksa Pendekar Slebor untuk menjadi petunjuk jalan. Dari mencuri berita di beberapa tempat, murid Ten-
dangan Bayangan Seribu mengetahui Andika diundang
seseorang ke suatu tempat.
Karenanya, guru dan murid itu segera mendatangi
Andika di tempat gubuk perjudian reot berdiri. Sesung-
guhnya, bukan hal main-main jika seorang dari dunia
persilatan mencoba menantang Pendekar Slebor. Seti-
daknya, orang itu harus memiliki bekal kesaktian ting-
kat tinggi. Hanya dengan itu bisa di-dapat kesempatan
untuk mengalahkan kesaktian si anak muda pewaris il-
mu Pendekar Lembah Kutukan. Dan Dewa Pencuri Ilmu
merasa memiliki syarat untuk itu.
Namun, karena kini Pendekar Slebor tak sendiri la-
gi, mereka akhirnya memutuskan untuk menyusun ren-
cana lain.
Jika seluruh rencana terlaksana, mungkin pencu-
rian kali ini akan menjadi pencurian paling besar sepan-
jang hidup mereka. Bagaimana tidak? Di samping nanti
akan mendapatkan limpahan emas permata, mereka
pun akan memiliki sekian senjata pusaka. Bahkan tak
mustahil pula kitab-kitab kuno sakti! Mereka sudah
membangun seluruh mimpi dalam benak.
"Ayo kita segera pergi dari tempat ini!" ujar Dewa
Pencuri Ilmu pada sang murid.
***
"Tak semudah itu mereka lari dari tuntutan ku! Me-
reka telah menganiaya muridku. Tendangan Bayangan
Seribu. Bahkan mencuri pula jurus-jurus inti
'Tendangan Bayangan' ku. Padahal muridku saja, belum
pernah kuajarkan! Sekarang, pemuda itu telah berani
pula memakainya untuk kepentingan perut sendiri!" de-
sis Ki Mahesa menggertak gigi.
Orang tua yang tergolong sesepuh persilatan itu baru saja selesai menuturkan maksudnya turun gunung.
"Jadi kau bukan eyang guru dari pemuda yang
mengaku-aku sebagai Tendangan Bayangan Seribu?"
Raja Arak melengak. Sama sekali dugaannya meleset.
"Bagaimana dengan nasib muridmu, Tendangan
Bayangan Seribu yang asli?" susul Raja Arak.
"Mali sepekan lalu, setelah cukup lama menderita
dalam sekaratnya...."
Wajah Raja Arak menjadi mendung. Dia ikut priha-
tin mengingat nasib Tendangan Bayangan Seribu yang
dikenalnya adalah ksatria sejati.
"Bukan salah Tuhan mengatur kehidupan," kata
Raja Arak lirih. "Banyak orang baik harus pulang
ke pangkuan-Nya lebih dahulu. Itu semata, Dia menga-
sihi mereka. Mungkin Dia tak ingin mereka lebih lama
hidup tersiksa di dunia yang begitu kotor ini. Bukankah
dunia semata penjara bagi orang-orang baik seperti me-
reka?"
Andika yang mendengar ucapan mendalam lelaki
buncit itu menjadi tersentuh. Bahkan untuk seorang
tua seperti Ki Mahesa sekalipun. Pantas saja Raja Arak
mendapat sebutan terhormat sebagai raja kebijakan.
Walau dia sendiri sampai mati tak akan mengakuinya.
"Ah! Aku jadi malu padamu, Raja Arak...," kata Ki
Mahesa. Ledakan-ledakan ucapannya tak ada lagi. Sua-
ranya kini melandai.
"Kenapa, Ki?"
"Kau jadi menyadarkan aku. Mestinya aku tahu
kalau semua ini kehendak Gusti.... Aku yang sudah
hampir masuk liang kubur mestinya tak mengikuti den-
dam ku."
"Tak mengapa, Ki. Setua-tuanya manusia, tak
menjamin luput dari kekhilafan," hibur Raja Arak.
Kalau tak sedang mabuk. lelaki buncit ini bisa
berpikir seperti seorang paderi.
"Kalau begitu, sebaiknya aku kembali ke tempat
pengasingan ku," putus Ki Mahesa.
"Lalu, bagaimana dengan tanggungjawab mereka
terhadap kejahatan pada muridmu, Orang Tua?" sela
Andika.
Sebagai anak muda yang darahnya masih penuh
gejolak, Pendekar Slebor tak setuju dengan pengundu-
ran diri Ki Mahesa.
Ki Mahesa tertawa kecil.
"Bagaimana kalau aku minta tolong padamu untuk
menuntut tanggungjawab mereka?!"
Andika melengak. Bibirnya memancung.
"Terima kasih..., terima kasih, Orang Tua. Urusan
perempuan satu ini saja belum lagi terurus," tampik An-
dika, seraya menuding Kemuning seenaknya.
"Ah! Aku sering mendengar sifatmu dari banyak
orang. Aku tahu kau pasti akan menerima!" tandas Ki
Mahesa.
Wajah Andika semrawut.
"Aku pamit dulu, kalau begitu," ucap Ki Mahesa
seraya beranjak.
"Orang Tua, tunggu dulu!" cegah Andika.
Tapi lelaki tua itu sudah menghilang di balik le-
batnya pepohonan.
"Sialan...," gerutu Andika.
"Jadi, bagaimana tindakan kita selanjutnya, Andi-
ka? Peta itu telah berada di tangan Dewa Pencuri Ilmu
dan muridnya," Kemuning mulai angkat bicara lagi.
"Apa kau bilang?! Apa aku tak salah dengar? Jadi
peta itu telah direbut dua kecoa busuk itu?" sembur
Andika.
Memang baru sekarang Kemuning mengatakan ka-
lau peta amanat Ki Saptacakra telah tak ada lagi di tan-
gannya.
"Itu sebabnya...."
"Itu sebabnya apa?!" Andika sewot. "Benda itu bu-
kan hanya berharga. Tapi, juga bisa sangat berbahaya
jika dimanfaatkan manusia busuk semacam mereka!"
"Maafkan aku, Andika!" "Ah!"
Andika berbalik. Pandangannya dibuang jauh-
jauh. Entah bagaimana parasnya saat sedang dilanda
kegusaran memuncak seperti itu.
Kemuning tertunduk. Amat dalam. Matanya agak
digenangi garis bening.
***
Malam mulai menyelimuti. Kegelapan merayap la-
mat. Dingin sekali udara saat ini. Karena hari gelap, An-
dika, Raja Arak, dan Bidadari Cakram Terbang memu-
tuskan untuk meneruskan pengejaran esok hari nya.
Andika membuat api unggun untuk sekadar men-
genyahkan rasa dingin yang merasuk tulang. Sudah cu-
kup lama lidah api menari-nari menjilat kayu bakar
yang sebagian sudah menjadi arang.
Kemuning menyendiri di dekat sebatang pohon tua
tumbang. Tangannya terlipat di dada. Pakaian jingga tu-
anya tak cukup hangat. Sejak Andika membentaknya
tadi siang, dia terus diam. Tak bicara sepatah pun. Wa-
jahnya dikepung kemurungan.
Andika duduk dekat Raja Arak. Ditatapinya jilatan
api yang mencoba menggapai langit, tapi tak bakal
mampu. Pikirannya melanglang entah ke mana. Hatinya
begitu khawatir dengan peta rahasia di tangan Dewa
Pencuri Ilmu dan muridnya. Memang, salah satu yang
paling ditakuti seorang berjiwa ksatria adalah keterlam-
batan untuk mencegah sebentuk kezaliman.
Sementara lelaki buncit di dekat Pendekar Slebor tak
suka diam seperti itu. Dia lebih suka menenggak arak
yang dibawanya dalam guci logam besar. Hampir seten
gah isi guci telah masuk ke perutnya. Sampai sejauh
itu, tak kelihatan kalau dia mabuk.
Andika mengalihkan pandangan ke arah Kemun-
ing. Tampak perempuan itu duduk termenung. Lama
menatap kemurungannya, Andika jadi merasa kasihan.
Anak muda itu tahu, sikap Kemuning pasti berkaitan
dengan kemarahannya siang tadi. Dia jadi merasa ber-
salah. Maka didekatinya Kemuning. Lalu duduk di atas
batang pohon tumbang tepat di sampingnya.
"Maafkan kekasaran ku tadi siang, Kemuning,"
ucap Andika perlahan.
Dengan mata terus mengamati gerak liar jilatan
api unggun, Kemuning mendesah
"Kau benar, Andika. Aku memang pantas diperlakukan
seperti itu. Kalau mereka berhasil sampai di Lembah
Kutukan dan mendapatkan seluruh pusaka keramat di
sana, tentu banyak orang akan terancam bahaya," tutur
Kemuning.
"Tapi aku tetap menyesal telah berlaku kasar."
"Ya, aku mengerti."
"Kau mau memaafkan ku?" pinta Andika. Ditatap-
nya perempuan manis yang kian memikat dalam per-
mainan cahaya redup api unggun.
Kemuning mengangguk lamat.
Andika tersenyum. Dilepasnya kain dari bahu.
Diselimutinya tubuh Kemuning dengan kainnya.
"Tidurlah," ujar Andika lagi. "Besok pagi-pagi sekali
kita akan mencari Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya"
***
8
Tengah malam.
Andika sudah terkantuk-kantuk. Sementara Ke-
muning tertidur berselimut kain pusaka bercorak catur.
Sedangkan Raja Arak pun tak beda. Rupanya setelah
puas menenggak seluruh isi guci besarnya, barulah ke-
palanya memberat. Dia tertidur dengan dengkurannya
yang melata ke mana-mana.
Pada saat sudah merasa tak sanggup lagi mengua-
sai serangan kantuk, Andika segera memperbaiki sikap
duduknya. Dia bersila. Matanya dipejamkan. Bukan un-
tuk tidur, melainkan bersemadi. Dalam keadaan seperti
ini, Pendekar Slebor memang tak mau tertidur. Kalau itu
sampai terjadi, berarti akan ada kelengahan. Sebab, na-
luri kependekaran pemuda itu merasa akan ada sesuatu
terjadi malam ini.
Udara kian dingin. Malam semakin matang. Tepat
ketika kabut mulai menyatroni tempat mereka, telinga
Pendekar Slebor menangkap gerakan mencurigakan dari
arah belukar lebat. Seketika kelopak matanya membuka
siaga. Kantuknya terberantas cepat. Mata yang semula
berat bagai diganduli batu, kini berkeliaran nyalang.
Arah suara mencurigakan menjadi pusat perhatian
utamanya. Mendadak....
Srak!
Suara baru tertangkap telinga Pendekar Slebor. Su-
ara yang tipis berdesing mengikuti bunyi semak baru-
san. Andika cukup hapal dengan bunyi semacam itu.
Seperti suara yang dihasilkan kelebatan logam tipis dan
tajam.
Sekali bergerak saja, pendekar muda itu sudah
berdiri. Langsung disambarnya ranting pohon kering,
dan segera disapukan dalam gerakan kilat.
Wukh!
Trang!
Selanjutnya, terdengar makian jengkel seseorang
di balik semak yang dicurigai Pendekar Slebor.
Andika tak ingin membiarkan pembokong itu bu-
ron begitu saja. Tapi, tanpa harus mengejar pun orang
itu keluar juga. Bukan untuk menyerahkan diri. Malah
lebih tepat jika disebut ingin melakukan serangan susu-
lan.
"Heaaa!"
Sosok kekar menyeruak dari semak-semak. Tu-
buhnya melayang deras menuju Pendekar Slebor di uda-
ra. Kakinya mengejang lurus ke depan. Mata jeli pende-
kar urakan ini mengenal tendangan semacam itu sebe-
lumnya.
Bahaya mengancam seperti itu tak bisa didiamkan.
Andika cepat menangkis. Plak!
Tendangan pertama dapat dimentahkan Andika. Namun
secepatnya kaki penyerang gelap itu membangun satu
sentakan baru dengan selang waktu yang demikian ce-
pat.
Dash!
"Aaakh...!"
Keadaan yang tak menguntungkan di udara, juga
serangan tak terduga, membuat Andika kecolongan. Da-
danya telak terhantam telapak kaki si penyerang. Kalau
melihat bagaimana tubuhnya terpental deras ke bela-
kang disertai keluhan tertahan, bisa dibayangkan ba-
gaimana sesaknya dada anak muda itu. Nafasnya seje-
nak seperti terhenti. Meski tubuhnya sudah jatuh ber-
gulingan di tanah, rasa sesak itu terus mengunci perna-
pasannya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak muda kepala ba-
tu dan berhati baja tak mau menyerah begitu saja. Tak
dipedulikannya rasa sesak masih meruyak. Dia bersikeras bangkit. Diusahakannya menyentak tubuh, agar bi-
sa berdiri.
Tak sampai tubuh Pendekar Slebor tegak, hanta-
man kaki tiba kembali di tubuhnya.
Degh!
"Ughhh...!"
Tetap di tempat yang sama, tendangan lawan
menghajar dada anak muda itu kembali. Tentu saja se-
saknya kian menjadi. Rasanya, dadanya mau hancur
saat itu juga. Tulang rusuknya terasa terlepasan.
Untuk semua itu, Andika kembali dipaksa menge-
rang tertahan. Andika ambruk lagi. Tendangan susulan
tadi sama kuatnya dengan yang pertama. Itu pula se-
babnya tubuh si pendekar muda dari Lembah Kutukan
ini terjengkang hebat lagi ke belakang.
Dengan bersandar pada sebatang pohon, Pendekar
Slebor berusaha bangkit. Untuk yang kedua kalinya.
"Heaaa!"
Sementara tendangan secepat bayangan hantu te-
rus memburu Andika. Cepat dan buas.
Dighh...!
Rahang kekar Pendekar Slebor berderak terhajar.
Bagian itu sebenarnya bagian yang paling rawan untuk
kesadaran si pemuda. Persendian tulang rahang amat
dekat dengan pusat kesadaran di belakang kepala. Pen-
dekar Slebor mungkin bisa langsung tak sadarkan diri
mendapat hantaman keras barusan.
Namun Pendekar Slebor tetap Pendekar Slebor. Dia
adalah sosok pribadi yang dibentuk oleh kerasnya kehi-
dupan kotapraja. Selaku bocah gelandangan dulu, rasa
sakit adalah santapan kesehariannya. Dan kekerasan
itu justru kini membentuk kekerasan dalam kehendak-
nya.
Semestinya, pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Na-
mun karena tekad untuk menyelamatkan nyawa begitu
membaja, Andika mati-matian bertahan. Matanya ber-
kunang-kunang. Perutnya seperti diaduk-aduk ratusan
tangan makhluk halus. Matanya hampir tak bisa meli-
hat sama sekali. Gelap. Yang ada di matanya hanya ge-
lap. Tapi, dia tetap berusaha bertahan untuk tidak kehi-
langan kesadaran.
"Hih!"
Dagh!
Des!
Beberapa kali hajaran susulan mengganyang tubuh
Pendekar Slebor. Benteng kesadarannya makin rapuh.
Kalau tokoh berkepandaian rendah, mungkin sudah tak
sadarkan diri sejak tadi. Tapi, sekali lagi, Andika tetap-
lah Andika. Dia tetap bertahan!
Sampai suatu saat, meruyaklah kemarahan dari
dasar hati anak muda itu. Tubuhnya tak bisa dibiarkan
terus dijadikan bulan-bulanan. Lawan pun tak bisa di-
biarkan seenaknya menggebuki. Andika bukan benda
mati. Dia harus melawan, dan harus bisa.
Kemurkaan pun meledak, menerabas deras ke
ubun-ubun Pendekar Slebor. Saat-saat seperti itu sege-
nap kekuatan sakti warisan buyutnya yang berjuluk
Pendekar Lembah Kutukan terbangkit serentak. Semua-
nya terpusat dalam amukan gelombang kemarahan tak
terhingga pemuda berpakaian hijau itu.
"Huaaa!"
Dari tenggorokan Pendekar Slebor, teriakan me-
lengking menerabas dinginnya udara malam. Urat-urat
lehernya menggelembung. Juga urat-urat di sekujur tu-
buhnya. Otot-ototnya meregang tegang, setegang kawat
baja terentang!
Saat-saat selanjutnya, pancaran cahaya putih kepe-
rakan telah menyelubungi tubuh Pendekar Slebor. Putih
keperakan seakan ada kabut berserat menjerat dirinya.
Itulah pembentukan benteng tembus padang akibat
terpusatnya segenap kekuatan langka warisan Pendekar
Lembah Kutukan! Benteng itu tanpa disadari memben-
tuk, siap melindungi tubuh pemiliknya dari terjangan
seratus banteng, hantaman ombak setinggi gunung,
bahkan serempetan lidah petir sekalipun!
Adalah kesalahan besar bagi siapa pun lawannya
untuk melakukan serangan pada kala itu. Cahaya putih
keperakan itu bukan sekadar membangun benteng te-
ramat kokoh, melainkan juga merupakan pusaran tena-
ga dalam tak terukur. Bahkan dapat mencederai dalam
sekedip mata manusia berotot kawat bertulang baja se-
kalipun.
Dan nyatanya, kesalahan itu dibuat oleh sosok pe-
nyerang. Nafsu terlalu menghasutnya untuk memper-
mak Pendekar Slebor. Tak dihiraukannya keganjilan
yang meliputi lawan, sosok itu pun menerjang.
"Hiahhh!"
Blappp!
Letupan suara seperti mercon besar yang luput
meledak karena lembab terdengar meruyaki udara, tepat
saat kaki penyerang gelap menyentuh dinding cahaya
putih keperakan Pendekar Slebor.
"Akh!"
Hanya teriakan pendek yang terdengar dari mulut
si penyerang. Tubuhnya terlalu kencang terlempar ke
belakang untuk bisa berteriak panjang. Dan usianya
pun terlalu singkat untuk memperdengarkan keluhan.
Begitu jatuh tersangkut di satu batang pohon besar dia
langsung mati dengan tulang tubuh hancur. Beberapa
saat terlihat tangan dan kakinya menjuntai-juntai tanpa
daya. Tak bedanya potongan tubuh seekor ular pohon
besar.
Ternyata lelaki itu adalah murid Dewa Pencuri Il-
mu yang belum lama mengaku-aku sebagai Tendangan
Bayangan Seribu. Pencuri yang telah membunuh Tendangan Bayangan Seribu, dan melarikan jurus-jurus inti
'Tendangan Bayangan' bersama gurunya, kini telah me-
nemui ajal tak kalah mengenaskan dengan korbannya.
Di mana Dewa Pencuri Ilmu? Apakah si murid da-
tang sendiri? Ataukah serangan tiba-tiba itu memang
menjadi bagian dari rencana mereka?
***
"Andika.... Bangun, Andika...." Lamat-lamat kesa-
daran Andika beranjak kembali, ketika sayup-sayup te-
linganya mendengar suara seseorang yang coba menya-
darkannya.
Dengan wajah terlipat dan tangan mendekap dada,
Pendekar Slebor bangkit terbatuk-batuk. Hari belum be-
rubah. Masih tetap malam. Masih tetap dingin. Kabut
terus saja menggerayang.
Andika mengerjap-ngerjapkan matanya. Pandan-
gannya masih berkunang-kunang. Cukup berat pula ba-
ginya untuk memusatkan pandangan saat itu. Begitu
pandangannya cukup lumayan tak ditemuinya seorang
pun. Andika merasa semata karena penglihatannya be-
lum pulih benar. Maka dia pun berusaha memusatkan
pandangan kembali. Seluruh penjuru di liriknya. Namun
orang yang menyadarkannya tak terlihat juga. Siapa
dia? Bisik hati Andika penasaran. "Hei siapa kau?!" seru
Andika. Tak ada sahutan.
"Slompret! Ini pasti hanya karena pengaruh rasa
sakit yang ku derita," simpul anak muda itu akhirnya.
Pendekar Slebor bergegas menggerakkan tubuh-
nya. Dia harus segera bangkit dan mencari tahu kea-
daan Kemuning serta Raja Arak.
Di sana, di tempat yang sama, si pendekar sakti
hanya menemukan tubuh murid Dewa Pencuri Ilmu
menggelantung di dahan pohon. Raja Arak maupun Bidadari Cakram Terbang sudah tak ada di tempatnya
Api unggun masih terus menggeliat. Kayu bakar
belum lagi menjadi arang. Itu berarti, keduanya menghi-
lang belum lama. Di dekatnya, kain pusaka bercorak ca-
turnya tergeletak. Tanpa Kemuning.
"Hai? Apa yang kau cari, Bocah Tolol!"
Kembali suara yang membangunkan Andika belum
lama, terdengar lagi. Andika bersiaga.
"Hei! Siapa kau?!" tanya Pendekar Slebor, mem-
bentak.
"Jangan pakai banyak tanya segala. Mulutmu ce-
rewet seperti banci. Kau tunggu apa lagi? Mau mengha-
rapkan peri hutan mengantarkan kopi buatmu?! Dasar
bocah gendeng! Ayo, cepat cari cah ayu itu!"
Andika terbengong-bengong. Sama sekali tak terlihat
seorang pun di sana. Seperti juga sebelumnya. Kalau
ucapan itu semacam suara yang dikirim dari jarak jauh
dengan tenaga dalam, Andika pasti mengetahuinya. Ta-
pi, ini aneh. Dia merasa mendengarnya tak melalui te-
linga lagi. Melainkan, langsung sampai di benaknya.
Andika mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan
mambang penguasa wilayah ini! Sampai.... Bletak!
Mendadak kepala Pendekar Slebor seperti ada
yang menjitaknya dari belakang. Andika sampai tersu-
ruk beberapa tindak ke depan seperti bocah dungu kehi-
langan keseimbangan. Begitu menoleh, tak juga terlihat
siapa pun.
"Apa kau minta yang lebih keras?! Kenapa masih
berdiri di situ?! Ayo cepat cari Kemuning, Bocah Gen-
deng!"
Andika tak mau ambil bahaya yang siap menjitak-
nya lagi. Dia cepat-cepat blingsatan dari tempat itu.
***
Mengejar seseorang tanpa jejak memang sama su-
litnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Andi-
ka tak mau lagi, siapa yang berbicara padanya secara
membingungkan.
Yang dipikirkan hanya satu. Nasib Kemuning. Se-
hebat-hebatnya perempuan itu, sebesar-besarnya julu-
kan Bidadari Cakram Terbang, dia tetap wanita. Andika
merasa harus melindunginya. Soal Raja Arak, tak terlalu
dipedulikannya. Kalau Kemuning selamat, baru giliran
lelaki buncit pemabuk itu dicari.
Andika yakin. Yakin sekali kalau Kemuning diIari-
kan Dewa Pencuri Ilmu. Raja Arak telah cerita padanya
tentang luka yang sebelumnya diderita akibat pukulan
tak terduga Dewa Pencuri Ilmu. Dari situ, diyakini kalau
Kemuning yang besar dengan julukan Bidadari Cakram
Terbang bukan tandingan Dewa Pencuri Ilmu. Jadi, tak
terlalu mustahil kalau Kemuning diperdayai saat Andika
kewalahan menghadapi muridnya. Lalu, perempuan itu
pun dilarikan.
Apa tujuannya? Niat busuk lama! Tentu saja perempuan
itu akan dijadikan sebagai jaminan agar Andika mau
mengantar ke Lembah Kutukan.
Masalahnya kini, ke arah mana Andika mencari Kemun-
ing?
***
Di lain tempat pada waktu yang sama. Raja Arak
sedang mati-matian menghadapi gempuran Dewa Pen-
curi Ilmu. Sewaktu murid Dewa Pencuri Ilmu melaku-
kan gempuran gencar pada Pendekar Slebor, Dewa Pen-
curi Ilmu datang dengan gerakan tak terduga. Bidadari
Cakram Terbang yang sedang terlelap tanpa menemui
kesulitan ditotoknya.
Raja Arak tersentak mendengar teriakan. Nalu-
rinya masih sempat menyadari bahaya. Sewaktu melihat
Dewa Pencuri Ilmu membopong tubuh Kemuning, ber-
gegas dia bangkit. Langsung diserangnya tokoh berpe-
rawakan seperti Bima itu.
Pertarungan terjadi.
Kebetulan sekali, saat itu pengaruh arak yang di-
minumnya masih begitu kuat. Saat mabuk berat seperti
itu, tentu saja jurus- jurusnya justru jadi lebih mantap.
Itu sebabnya untuk sekian lama Raja Arak mampu
mengimbangi permainan jurus Dewa Pencuri Ilmu.
Dengan adanya tubuh Bidadari Cakram Terbang di
bahu Dewa Pencuri Ilmu, Raja Arak memang bisa me-
metik keuntungan. Gerakan lawan jadi tak leluasa. Na-
mun begitu, ada pula kesulitannya. Raja Arak jadi tak
bisa sembarangan melancarkan serangan. Bisa-bisa ma-
lah Kemuning yang menjadi korban.
Pertarungan berjalan alot. Meskipun pada dasar-
nya kesaktian Raja Arak berada di bawah lawan, namun
dengan keadaan seperti tadi dia masih bisa bertahan.
Seluruh jurus mabuknya mengalir lancar. Bagaimana
tidak lancar, kalau semalaman itu saja satu guci besar
arak telah di tenggaknya.
Dari tempat awal, pertarungan mereka merambat
dan terus merambat. Hingga memasuki jurus ke sembi-
lan puluh, keduanya sudah berada amat jauh dari tem-
pat sebelumnya.
Baik Raja Arak maupun Dewa Pencuri Ilmu sama-
sama sengit mengerahkan jurus masing-masing. Semen-
tara lelaki seperti Bima itu terus saja mengeluarkan ju-
rus demi jurus hasil curian. Gempurannya jadi begitu
timpang tindih.
Di lain sisi, Raja Arak habis-habisan mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Semakin terlarut dalam me-
mainkan jurus, gerakannya akan semakin kacau balau.
Sebentar tubuhnya limbung ke sana, sebentar limbung
ke sini. Sebentar memukul, saat yang lain berguling.
Jadilah pertarungan itu seperti sabung jurus yang
semrawut! Namun tetap memperlihatkan keganasan,
kehebatan dan kekuatan keduanya.
Hingga suatu saat. Dewa Pencuri Ilmu merasa ha-
rus mengeluarkan satu jurus yang menurutnya bisa di-
andalkan, Jurus itu belum lama dipelajarinya dari kitab
inti Tendangan Bayangan milik Ki Mahesa yang berhasil
dicurinya.
"Mampuslah kau, Pemabuk!" dengus Dewa Pencu-
ri Ilmu seraya melepas kembangan pembuka jurus inti
'Tendangan Bayangan'. "Belum ada satu tokoh pun se-
macammu yang bisa selamat dari jurus dan ajian inti
'Tendangan Bayangan'!"
Kalau saja Raja Arak dalam keadaan sadar, tentu
akan berpikir seratus kali untuk menghadapi jurus dan
ajian yang disebutkan lawan. Jurus inti 'Tendangan
Bayangan' hanya dimiliki oleh satu-satunya orang yang
bisa dianggap sebagai dedengkot persilatan, Ki Mahesa.
Memang, jurus inti Tendangan Bayangan' sangat mema-
tikan, sehingga tak dapat membiarkan lawan selamat
dari rejangan tangan maut!
Ancaman maut bisa disaksikan dari perubahan
kulit kaki Dewa Pencuri Ilmu yang menghitam kebiruan.
Dan ini mengawali kembangan pemuka jurus inti ‘Ten-
dangan Bayangan'.
Hanya karena Raja Arak masih dalam pengaruh
arak, tak dipedulikannya semua itu. Dia terus mener-
jang, menyerang, menerkam....
"Huih!"
Pada satu kesempatan. Raja Arak meliuk ke muka.
Tangannya mematuk ke arah kening.
Cepat Dewa Pencuri Ilmu menggerakkan kakinya
tinggi-tinggi. Patukan penuh kekuatan Raja Arak dapat
ditangkisnya dengan tulang kering.
Tak!
Dan begitu Raja Arak hendak menangkap kakinya,
Dewa Pencuri Ilmu membuat gerakan yang sesungguh-
nya amat sulit dilakukan pada saat sedang dibebani tu-
buh Kemuning. Sebelah kakinya yang masih di udara
cepat ditarik. Sementara kaki yang lain menghentak da-
lam waktu bersamaan. Kalau salah perhitungan, tu-
buhnya bisa kehilangan keseimbangan. Namun....
Dagh!
"Aaakh...!"
Dagu Raja Arak mendadak terdongkel ujung kaki
Dewa Pencuri Ilmu. Lelaki buncit itu terdengak. Berba-
rengan dengan itu, darah segar tersembur. Sekali.
Hanya sekali ajian inti 'Tendangan Bayangan' mengenai
Raja Arak, tapi hasilnya sudah begitu hebat!
Dewa Pencuri Ilmu tak memberinya kesempatan.
Bersama satu kelebatan, kakinya mendaratkan tendan-
gan bertubi-tubi.
Desss! Desss!
Tubuh Raja Arak tersentak-sentak mundur. sam-
pai tak kuasa lagi untuk bertahan.
***
Pucuk di cinta ulam tiba, sorak Pendekar Slebor
dalam hati. Selagi anak muda itu mandeg di tengah ja-
lan tanpa arah pasti, Raja Arak datang terhuyung-
huyung. Rasanya, Andika tahu bukan karena pengaruh
arak. Wajah tembam lelaki pemabuk itu memar-memar.
Bibirnya pecah berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan
darah. Luka dalam tampaknya.
Andika mencegah Raja Arak terpuruk. Di sang-
ganya tubuh seberat anak badak itu.
"Apa yang terjadi pada Kemuning?" tanya Andika
tergesa.
Raja Arak tergagap. Dia hendak cepat bicara, tapi
dadanya demikian sakit.
"Kemuning dibawa lari Dewa Pencuri Ilmu," lapor
lelaki buncit ini tersendat dan lirih. Tergambar bagai-
mana penderitaannya dari suaranya. "Cepat tolong
dia...."
Hati lelaki itu memang agung, memikat. Tak sama
dengan penampilannya yang membuat perawan kam-
pung lari terbirit-birit. Biar pun nyaris sekarat, dia tetap
mengkhawatirkan orang lain.
"Ke arah mana kunyuk itu pergi?" tanya Pendekar
Slebor.
Raja Arak menunjuk ke arah matahari mulai me-
nyembul. Warna jingganya mestinya bisa dinikmati saat
itu, kalau saja keadaan tak segenting sekarang.
"Kau tak apa-apa bila ditinggal?" tanya Andika.
Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor tak tega juga
pada keadaan Raja Arak.
"Pergi. Cepat kejar Dewa Pencuri Ilmu. Jangan pi-
kirkan aku. Aku tak apa-apa."
Tak apa-apa katanya? Napas saja sudah Senin tak
ketemu Kamis! Tapi karena Raja Arak bersikeras dan
keselamatan Kemuning juga dikhawatirkan, pendekar
muda itu akhirnya beranjak juga.
Anak muda sakti itu melesat seperti menunggang
angin ribut ke arah matahari mulai menampakkan diri.
Segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang
amat dikagumi di seantero dunia persilatan dikerahkan.
Dewa Pencuri Ilmu harus didapatnya!
***
9
Matahari menyembul pongah. Setengah wajah ta-
jamnya sudah muncul menyengat. Warna jingga tak ada
lagi, tersingkir oleh sinar terang menyilaukan mata. Dan
bumi pun mulai memanas.
Sesaat lagi hari akan menjerang. Panasnya terus
menjangkit.
Di satu tempat bertebing lurus dan curam seperti
dinding beton alam yang menjulang membentuk celah
selebar lima depa, Dewa Pencuri Ilmu terlihat berkelebat
sambil membopong tubuh seorang wanita. Siapa lagi ka-
lau bukan Bidadari Cakram Terbang, wanita bernama
Kemuning yang mengaku masih memiliki hubungan ke-
luarga dengan Pendekar Slebor.
"Pendekar Slebor! Dengan perempuan ini di tan-
ganku, kau tak bisa lagi menolak untuk membawaku ke
Lembah Kutukan. Dan aku akan menjadi penguasa du-
nia persilatan! Hm..hm..hm..!"
Mulut lelaki yang tergolong tampan di antara garis-
garis kebengisan wajahnya itu bergumam sendiri. Dia
begitu yakin kalau rencananya kali ini akan berjalan
semulus permukaan cermin.
"Biar muridku mati saja," gumam Dewa Pencuri
Ilmu lagi.
Tak ada betik penyesalan dalam kalimat lelaki ini baru-
san. Seolah-olah kehilangan nyawa seorang yang dekat
dengannya, tak pernah menjadi masalah. Asal, matinya
demi kepentingan Dewa Pencuri Ilmu.
Di salah satu ceruk dinding karang yang terlin-
dung dari gempuran sinar matahari atau pun pandan-
gan orang lain. Dewa Pencuri Ilmu meletakkan tubuh
molek Kemuning.
Sebentar lelaki menghempas napas puas. Di tatapnya wajah Kemuning lekat-lekat. Wajah menawan itu
begitu menggetarkan. Tapi tunggu...! Hati lelaki ini teru-
sik. Dia merasa pernah melihat garis dan lekuk wajah
itu. Tapi di mana? Dewa Pencuri Ilmu tak bisa mengin-
gatnya. Sudah terlalu dalam ingatan itu terkubur di da-
sar benaknya.
Pertanyaan-pertanyaan dalam hati Dewa Pencuri
Ilmu terpenggal ketika melihat tubuh berlekuk luar bi-
asa milik Kemuning. Tanpa sengaja belahan baju jingga
tua perempuan elok itu tersingkap di bagian dada. Ada
benda halus menyembul, memanggil-manggil birahi se-
tiap mata pria yang menemukannya.
Dua sembulan itu begitu padat. Di antara cahaya
pantulan lembut sinar matahari dari permukaan ka-
rang, kehalusannya menjadi demikian mempesona. Se-
kaligus, menyiramkan rasa panas menggejolak dalam
dada Dewa Pencuri Ilmu.
Setua apa pun dia, orang sesat itu tetap lelaki wa-
ras. Menyaksikan pemandangan luar biasa di depan,
naik pula keinginan-keinginan liar ke balik bubur otak
warasnya.
Dewa Pencuri Ilmu membuka mulut. Bibirnya ber-
gerak-gerak, menelan air liur sendiri. Tingkahnya seperti
seekor serigala lapar mendapatkan mangsa empuk.
“Denok.... Sudah lama aku tak pernah mencicipi
perempuan sedenok mu...," desis lelaki ini seraya men-
dekat jalang.
Tangan Dewa Pencuri Ilmu mulai menelusuri per-
mukaan halus kulit paha padat Kemuning. Jalang, liar,
dan meletup-letup. Matanya terus melalapi sembulan
padat di celah baju perempuan yang tergolek tanpa daya
itu.
Hasrat si lelaki sesat ini kian tak terkendali. Me-
nanjak terus tak tertahan. Mendebur-debur, menghan-
tami keperkasaannya. Lalu, didekatkannya kepala kearah benda padat mengundang itu. Mulutnya menelan
ludah lagi. Dengan napas mendengus-dengus menerpa
kulit kekuningan kepadatan dada Kemuning, lidahnya
siap menjulur. Benar-benar seperti binatang lapar. Ma-
tanya pun terpejam, ingin menikmatinya dengan selu-
ruh rasa yang bergejolak.
Begitu sampai, Dewa Pencuri Ilmu merasa ada sesuatu
yang ganjil. Kenapa dada padat sekal perempuan di de-
pannya terasa kasar? Apa ada yang salah?
Ketika mata lelaki ini membuka. setengah mampus
jadi terperangah. Yang di jamah lidahnya ternyata pung-
gung kaki seseorang!
"He he he.... Geli, ah...!" kata orang yang baru hadir
tempat di dekatnya. Sementara perempuan berpakaian
jingga tua sudah tak ada lagi di tempatnya.
Tubuh Dewa Pencuri Ilmu terlonjak. Cepat dia me-
loncat ke belakang, menyiapkan kuda-kuda. Ditatapnya
anak muda yang tak mungkin di lupa. Pendekar Slebor!
"Apa kabar? Kau pasti terlalu rindu padaku, sam-
pai-sampai tak dapat menahan diri untuk.... He he
he...."
Andika terkekeh-kekeh tak karuan. Kemuning su-
dah berada di punggungnya. Mata Dewa Pencuri Ilmu
dipaksa terbeliak. Tak pernah diduga kalau si anak mu-
da ksatria bisa mengejarnya sampai ke tempat terpencil
itu. Sepanjang pengetahuannya, Pendekar Slebor tak
sempat mengejar saat muridnya terus menghantami.
Jadi bagaimana mungkin? Dewa Pencuri Ilmu tetap
tak percaya. Memang sebelumnya tak disadarinya kalau
Raja Arak yang dianggap telah mati di tangannya, se-
sungguhnya tak benar-benar mati. Dengan satu keah-
lian tertentu yang jarang dimiliki, lelaki pemabuk itu
mengecoh Dewa Pencuri Ilmu. Dia pura-pura seperti be-
nar-benar tewas. Padahal tidak.
"Kau masih ingin kuantar ke Lembah Kutukan?"
tukas Andika acuh tak acuh. "Kenapa harus pakai men-
culik perempuan ini jika berurusan denganku?
Apa kau pikir aku tak menggairahkan dia?"
Dewa Pencuri Ilmu menggeram, mendengar celote-
han Pendekar Slebor yang terus memancing-mancing
amarahnya.
"Jangan anggap dirimu sudah terlalu sakti, Anak
Muda! Aku bukannya takut menjajal kesaktianmu yang
terlalu digembar-gemborkan banyak orang! Aku hanya
ingin menghemat waktu dan tenaga dengan menculik
perempuan itu!" sembur Dewa Pencuri Ilmu.
Di samping gusar karena kedatangan Andika yang
tak terduga, lelaki ini juga gusar bukan main karena ha-
sratnya mendadak terpenggal.
"Ah, masa'?" usik Andika.
"Kau...."
Dewa Pencuri Ilmu makin geram. Jakunnya turun
naik lagi. Kepalannya terbentuk.
"Aku tahu, kau memang segan berurusan den-
ganku. Jujur saja.... Siapa tahu kejujuranmu bisa sedi-
kit merontokkan dosa."
"Kunyuk!"
"Ah! Apa benar begitu?" sergah Andika. Mata Pen-
dekar Slebor membeliak. Wajahnya makin dibuat-buat.
Begitu juga tingkahnya.
"Selama ini, aku tahu kau manusia. Kenapa seka-
rang mengaku-aku kunyuk?" tambah Andika, masih
dengan wajah memperlihatkan keterperangahan.
Darah Dewa Pencuri Ilmu mendidih karenanya.
Sudah sering didengarnya, bagaimana Pendekar Slebor
begitu lihai mempermainkan kemarahan lawan dengan
segala tetek-bengeknya yang tengik. Padahal, dia sudah
merasa siap untuk itu. Tapi ketika harus benar-benar
menghadapinya kini, kemarahannya tak bisa dikuasai
juga. Bagaimana bisa?
Sementara Dewa Pencuri Ilmu sendiri tak pernah
menyadari. Ocehan Pendekar Slebor tak semata-mata
hendak memancing kemarahannya. Anak muda cerdik
itu juga sengaja mengulur-ulur waktu. Dengan begitu
hawa murni bisa disalurkan ke dalam tubuh Kemuning
di bahunya, supaya pengaruh totokan Dewa Pencuri Il-
mu perlahan terbebaskan. Cerdik bukan?
Hasilnya, tak begitu lama kemudian Kemuning
mulai tampak bergerak.
"Turunkan aku, Andika." pintanya pada Andika.
Andika menurunkan.
"Ah, kau sadar juga rupanya...." sambut Pendekar
Slebor. Diturunkannya tubuh perempuan itu.
Dewa Pencuri Ilmu menyadari ketololannya. Wa-
jahnya menyeringai. Gusar luar biasa.
"Di mana aku?" tanya Kemuning. Perempuan ber-
juluk Bidadari Cakram Terbang berdiri. Masih agak ter-
huyung limbung.
Andika melirik calon musuhnya di depan sana.
"Sepertinya kau berada di 'istana kebesaran' Tuan besar
itu," sahut Andika seenaknya sambil menuding Dewa
Pencuri Ilmu dengan bibir. Menjengkelkan sekali! "Kau
tahu, hampir saja ada seseorang menjadi korban...."
Kemuning menatap Andika sungguh-sungguh.
"Apa orang itu baik-baik saja? Tak kehilangan nyawa?"
tanya perempuan itu ingin tahu. Bibir Andika membu-
lat.
"Wooo.... Tepat pada saat menegangkan, ada
'benda ajaib' telah menyelamatkannya!" seru Pendekar
Slebor urakan.
Siapa lelaki yang tak jadi beringas mendengar se-
mua ocehan itu? Telinga orang waras mana yang tak
merah? Hati manusia mana yang tak terbakar?
Di sana Dewa Pencuri Ilmu mengeraskan rahang.
Gigi-giginya bergemeletukan. Otot-otot tangannya mengejang, menandai puncak kemurkaan.
"Hari ini, kau akan mampus di tanganku, Pendekar
Slebor!" desis Dewa Pencuri Ilmu, menggeram.
Andika cengengesan. Dia maju dengan langkah
mantap.
"Kalau begitu, mari kita buktikan...."
***
Di lain tempat, Raja Arak masih berkutat dengan
luka dalamnya. Semenjak Pendekar Slebor pergi, lelaki
buncit itu mencoba bersemadi. Dicobanya menyembuh-
kan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni.
Cukup lama Raja Arak berusaha. Hasilnya belum
juga didapat. Tubuhnya kian melemah. Darah kental
kehitaman terus saja mengalir dari mulutnya. Entah,
pukulan apa yang telah disarangkan Dewa Pencuri Ilmu.
Di tengah kepasrahannya, seorang lelaki tua mun-
cul dari kegelapan. Didekatinya Raja Arak. Langkahnya
teramat ringan. Telinga yang terlatih pun masih terlalu
sulit menangkap jejak halus langkahnya.
Itu pula sebabnya Raja Arak tak menyadari sama
sekali ada orang mendatangi. Dia tetap bersila. Matanya
terus terpejam.
Kalau saja saat itu, si orang tua berniat jahat, ten-
tu Raja Arak akan sangat mudah dilemparkan ke kerak
neraka. Nampaknya, niat orang tua itu tidak begitu. Per-
lahan tangannya menyentuh bahu Raja Arak.
Sentuhan itu begitu sejuk. Ada rasa aneh yang me-
resap ke seluruh tubuh Raja Arak, manakala tangan itu
menyentuhnya. Dirasakannya suatu perlindungan, bu-
kan ancaman. Karenanya, Raja Arak membuka mata
perlahan. Tak ada kesan kalau lelaki berperut buncit itu
terkejut.
"Ki Mahesa?" tanya Raja Arak, menduga. Orang
tua di depan lelaki buncit ini menggeleng.
"Siapa kau?" susul Raja Arak.
"Sebaiknya jangan dulu banyak tanya," ucap orang
tua di depannya, mantap dan berwibawa. Getar sua-
ranya seperti menebar kekuatan yang menenteramkan.
"Kau baru saja terkena jurus inti 'Tendangan
Bayangan'. Jurus dan ajian itu sangat berbahaya jika ti-
dak segera mendapat pertolongan. Semakin lukamu di-
lawan dengan hawa murni mu, semakin cepat tubuhmu
akan digerogoti...."
"O.... Jadi itu sebabnya Ki Mahesa tak mengajar-
kan pada siapa pun. bahkan pada muridnya sendiri?"
ungkap Raja Arak teringat ucapan Ki Mahesa.
Pertanyaan lelaki buncit itu mendapat anggukan.
"Tapi bukan itu saja yang mengkhawatirkan Mahe-
sa." sergah orang tua itu lagi.
Dari caranya menyebut Ki Mahesa tanpa kata 'Ki',
kentara sekali kalau orang tua ini cukup dekat dengan
guru besar Tendangan Bayangan Seribu.
"Apa yang kau ketahui Orang Tua?" tanya Raja
Arak.
"Jurus inti "Tendangan Bayangan' juga dapat
membahayakan pemiliknya. Jika saat jurus dimainkan
dan ajian dikerahkan dalam keadaan penuh nafsu
membunuh, maka akan memakan si pemiliknya sendi-
ri...," jelas orang tua tak dikenal itu.
Raja Arak manggut-manggut tanda mengerti. "Itu
pula yang membuat Mahesa mempertimbangkan untuk
memberikan kitab sakti inti Tendangan bayangan kepa-
da muridnya, setelah dirasa sudah siap. Sayang, sebe-
lum semuanya terlaksana, Dewa Pencuri Ilmu berhasil
mencuri kitab sekaligus membunuh muridnya. Mahesa
malang...," lanjut si orang tua.
"Andai saja aku tak terluka, akan ku usahakan
untuk mengambil kitab itu dari tangan Dewa Pencuri
Ilmu dan mengembalikannya kepada Ki Mahesa," desah
lelaki buncit yang tengah terluka dalam ini.
Raja Arak kini menggeleng kepala perlahan. Dia
menyesal tak dapat berbuat banyak.
'Tak perlu," tepis orang tua tak dikenal.
"Kenapa begitu?"
"Nanti kau pun tahu. Sekarang, kosongkan piki-
ranmu," perintah orang tua tak dikenal tadi.
Segera orang tua itu ikut duduk bersila di depan
tubuh Raja Arak.
"Aku akan berusaha menyingkirkan jurus inti
'Tendangan Bayangan' yang bersarang di tubuhmu...."
Usai berkata, telapak tangan lelaki tua itu ditem-
pelkan pada sisi-sisi rusuk Raja Arak. Matanya lang-
sung terpejam.
Tak lama kemudian. Raja Arak merasakan sesua-
tu yang sejuk mengaliri kembali seluruh tubuhnya se-
perti sebelumnya. Hanya saja, kali ini lebih kuat. Kemu-
dian tampak mengepul asap tipis mengambang dari se-
la-sela telapak tangan si orang tua.
Sampai akhirnya Raja Arak merasakan ada sesuatu
yang lain bergerak berlawanan dengan rasa sejuk. Sesu-
atu itu seperti tersedot telapak tangan orang tua di de-
pannya.
Sss!
Desis kecil terdengar, diikuti rasa lega luar biasa di-
rasa Raja Arak. Rasa sakit yang tak kepalang kini hi-
lang. Dan orang tua tadi pun turut menghilang.
"Siapa dia?" tanya Raja Arak bergumam.
***
10
"Jurus apa yang mesti kuhadiahkan terlebih dahu-
lu padamu?" tantang Andika pada Dewa Pencuri Ilmu.
Kedua tokoh itu berdiri berjauhan dalam jarak se-
kitar sebelas tombak. Celah dinding karang tegak lurus
di sisi kiri dan kanan mereka seperti membatasi, sekali-
gus menjadi saksi bisu sabung nyawa yang bakal mele-
dak. Dewa Pencuri Ilmu berdiri tegak di sebelah utara
celah dinding karang. Andika di sebelah selatan. Ke-
muning alias Bidadari Cakram Terbang berdiri di tempat
yang cukup aman dari medan laga, beberapa depa di be-
lakang Pendekar Slebor.
"Kau kupersilahkan menguras seluruh kehebatan
yang terlalu besar digembar-gemborkan itu." balas Dewa
Pencuri Ilmu, balik menantang.
"O...."
Andika memonyongkan mulutnya. Telapak tan-
gannya diusap-usapkan satu sama lain. Sikapnya seper-
ti menganggap pertarungan nanti hanya dolanan iseng.
"Tapi sebelum dimulai, sebaiknya kita membuat
kesepakatan. Ku tantang kau selaku ksatria sejati, Pen-
dekar Slebor!' kata Dewa Pencuri Ilmu, memberi pena-
waran.
"Kesepakatan macam apa lagi? Kalau kau kalah,
sudi mencium kaki bau ku tujuh kali setiap malam
Jum'at Kliwon?" oceh Pendekar Slebor.
Dewa Pencuri Ilmu tak menanggapi. Di benaknya
hanya ada satu pikiran untuk diutarakan pada calon
lawan.
"Kau akan mengantarku ke Lembah Kutukan. dan
membantuku menemui tempat penyimpanan harta pe-
ninggalan Pendekar Lembah Kutukan, jika berhasil ku-
kalahkan."
"Bicaramu seolah yakin akan menang! Bagaimana
bila keok?" tukas Pendekar Slebor.
"Akan kuserahkan kembali peta rahasia itu."
"Tak cukup adil!"
"Baik! Apa maumu?"
"Bagaimana kalau kau kembalikan juga Kitab Inti
Tendangan Bayangan yang kau curi!"
Bukan. Bukan Andika yang menyahuti. Itu adalah
suara seseorang dari ubun-ubun dinding karang seting-
gi seratus kaki yang menyahuti.
Andika mendongak. Terabasan sinar matahari menje-
lang tengah hari membuatnya tak begitu jelas mengenali
orang yang bersuara barusan. Tapi anak muda itu ma-
sih ingat betul jenis suaranya. Padat, wibawa, dan da-
lam.
"Kutu bengek!" serapah Andika dalam hati.
Andika baru ingat kalau itu suara yang menyu-
ruhnya menyelamatkan Kemuning! Jadi waktu itu bu-
kan ocehan dedemit? Andika jadi agak mangkel. Dia te-
lah dikerjai.
"Siapa kau?" teriak Pendekar Slebor. Tangannya
diangkat ke depan mata, mencoba menahan terjangan
sinar matahari siang yang menyengat.
"Diam kau, Bocah Gendeng! Aku tak bicara den-
ganmu!" bentak suara itu.
Bocah katanya? Andika makin yakin memang
orang satu ini yang mengerjainya semalam. Bukankah
suara tanpa orang yang didengarnya waktu itu juga me-
nyebutnya 'bocah gendeng'?
"Bagaimana?" ulang orang di atas dinding karang.
menawarkan sekali lagi pada Dewa Pencuri Ilmu.
"Hei, ini pertarungan ku! Bisa-bisanya kau me-
nentukan syarat seenak dengkul!" teriak Andika sewot.
"Kubilang diam, diam kau! Apa perlu mulut ceri-
wis mu ku sumpal dengan batu karang sebesar anak
monyet?!" hardik orang itu lagi.
Aneh. Saat itu juga Andika merasa jantungnya
berdebar keras. Suara itu begitu memiliki kekuatan. Tak
ada tenaga dalam yang dirasa Andika pada hardikan ta-
di. Lalu, karena apa? Sulit dia menduga.
Biasanya kalau mulut serampangan Pendekar Sle-
bor sudah mulai mengoceh, siapa pun akan sulit untuk
memerintah menghentikannya. Tapi untuk orang satu
ini, Andika benar-benar tak ingin membuka mulut lagi.
Dia sungguh tak habis pikir.
"Aku tak punya urusan denganmu. Dan aku hanya
membuat kesepakatan dengan Pendekar Slebor!" jawab
Dewa Pencuri Ilmu, lantang.
"Kalau begitu, aku akan mewakili pendekar muda
cerewet itu untuk membuat kesepakatan denganmu!"
Andika mulai sewot lagi. Orang ini makin lancang
saja, pikirnya. Manakala mulutnya baru hendak men-
ganga, tangan lelaki di atas sana menuding ke arahnya.
"Kubilang diam!"
Saat itu juga rahang Andika terkunci. Sungguh-
sungguh terkunci! Andika coba membebaskan dengan
mengerahkan tenaga dalam. Tak berhasil. Bahkan telah
pula mengerahkan tenaga dalam sampai beberapa ting-
kat.
Slompret benar! Siapa orang itu sebenarnya? Rutuk
anak muda urakan itu dalam hati. Kalau melihat pera-
wakannya, orang itu sudah uzur. Tampak sekali dari
tubuhnya yang agak bungkuk. Tingginya hampir sama
dengan Ki Mahesa. Apa mungkin Ki Mahesa? Bukankah
barusan dia menyebut-nyebut soal Kitab Inti Tendangan
Bayangan? Sepanjang pengetahuannya, kitab itu me-
mang milik Ki Mahesa. Tapi, warna suara Ki Mahesa tak
seperti itu.
Andai saja matahari agak condong sedikit, tentu
Andika bisa melihat lebih jelas wajah orang itu.
"Bagaimana?!"
Terdengar lagi pertanyaan diajukan si orang tak di-
kenal di atas dinding tebing.
"Baik! Tapi, bagaimana aku tahu kalau Pendekar
Slebor pun setuju dengan ketentuan yang kau berikan?"
"Dia akan setuju!" tandas orang itu lagi.
Hati Andika makin mangkel saja. Mau menyumpah-
nyumpah, sayangnya tak mampu. Sewaktu orang tua
semena-mena itu menanyakan persetujuannya, mau tak
mau Andika mengangguk.
"Bagus! Nah, Bocah Gendeng! Tugasmu adalah
meminta Kitab Inti Tendangan Bayangan padanya, jika
kau menang. Dan aku tak mau kau kalah! Itu akan
membuatku malu!"
Malu? Bagaimana dia bisa mengatakan begitu?
"Hm.... Apa hubungannya denganku?"
Hati Andika kasak-kusuk penasaran. Namun lamat-
lamat, di benaknya muncul juga bayangan seorang to-
koh yang sudah begitu lama ditemuinya. Ya, rasanya
kini Andika mulai bisa meraba siapa sesungguhnya
orang tua brengsek ini. Dia pasti....
Andika hendak berseru menyebut nama orang tua
itu ketika rahangnya terasa mengendur lagi. Tanpa
sempat terlempar satu kata pun dari mulutnya, orang
tua itu sudah tak terlihat lagi di ubun-ubun dinding ka-
rang. Entah ke mana.
Ajang sabung nyawa pun mulai digelar antara dua
tokoh beda usia. Dewa Pencuri Ilmu setingkat lebih tua
dibanding Pendekar Slebor. Kesaktian dan pengalaman-
nya tidak diragukan.
Pendekar Slebor sendiri adalah salah satu dari to-
koh yang paling ditakuti kalangan sesat. Usianya me-
mang muda. Tapi tak berarti pengalamannya tak lebih
menggunung dibanding calon lawan.
Medan laga yang akan digelar bukan untuk pertarungan biasa. Keduanya telah mengambil kesepakatan
lagi, untuk melaksanakan adu kekuatan. Dalam hal ini,
tak diperlukan satu jurus pun. Mereka hanya mengan-
dalkan tenaga dalam dan kemantapan ajian benteng
pertahanan.
"Kau lihat kain ini," ujar Pendekar Slebor, memulai.
Pemuda berpakaian hijau pupus dan Dewa Pencuri
Ilmu kini berdiri lebih berdekatan.
"Kain ini memiliki kealotan luar biasa. Andai sera-
tus banteng ditambah seratus lagi dipaksa untuk mero-
bek secara bersama, kain ini tetap utuh," lanjut Andika.
Tak ada kesan main-main lagi dalam setiap bilah
kata Pendekar Slebor. Parasnya membatu, dengan tata-
pan sembilu di mata elangnya.
"Kau tak usah berbelit-belit!" sentak Dewa Pencuri
Ilmu tak sabar.
"Baik-baik!" sengit Andika. "Kita akan menjadi-kan
kain pusakaku ini ajang adu kekuatan."
"Aku belum mengerti."
"Otakmu pasti tak seencer bubur. Sekali-sekali, go-
doklah lebih lama!"
Andika jadi muak. Berpanjang kata hanya akan
menimbun kemuakan lebih banyak dalam diri anak
muda itu. Karenanya langsung saja dia bertindak.
Pendekar Slebor kini membentangkan kain pusaka
bercorak catur ke tanah. Satu ujungnya diikatkan ke
sebelah kaki dengan ikatan dibuat kuat-kuat.
"Ikatkan ujung kain itu pada kakimu," perintah An-
dika pada calon lawan.
Dewa Pencuri Ilmu memang sudah tak sabar ingin
membuktikan keunggulan kesaktiannya. Tanpa banyak
tanya lagi, di turutinya perintah Pendekar Slebor tanpa
kecurigaan. Baginya, nama besar Pendekar Slebor su-
dah bisa dijadikan jaminan kalau tak akan dicurangi.
Kini sebelah kaki mereka telah dihubungkan dengan
kain pusaka bercorak catur.
"Kita akan mengadu tenaga dengan sebelah kaki
terikat satu sama lain. Kau tahu, apa artinya? Artinya,
nyawa kita adalah taruhannya. di samping kesepakatan
yang telah dibuat. Jika tak ada kata menyerah di antara
kita, maka satu-satunya pilihan bagi yang kalah ada-
lah..., terbelah menjadi dua!"
Andika menatap lekat-lekat mata menantang Dewa Pen-
curi Ilmu. Untuk terakhir kalinya, Andika ingin menge-
jek lawan. Lidahnya masih gatal.
"Kau yakin hendak melakukannya?" kata Pendekar_
Slebor meremehkan. Bibirnya pun memperlihatkan cen-
giran jelek.
"Kau banyak omong! Hiaaa!" Penuh teriakan nafsu,
Dewa Pencuri Ilmu langsung mengempos tenaga dalam-
nya. Bukan main-main tenaga dalam yang dikerahkan-
nya saat itu. Bisa saja tenaga dalam pada tingkat yang
sanggup menghempas batu gunung sebesar gajah!
Andika meskipun didahului. tidak menjadi gentar.
Disambutnya teriakan menggelegar lawan dengan sen-
takan napas mendadak.
"Hehhh!"
Tep!
Telapak tangan keduanya bertemu. Maka, segenap
tenaga sakti dari dua sumber berbeda mengalir deras,
lalu bertumbukan di satu titik.... Telapak tangan mere-
ka!
Beberapa lama mereka berkutat. Sebentar tangan
salah seorang terdorong mundur. Kala yang lain, tangan
mereka sama-sama terangkat. Kian merangkak waktu,
kian bergeletaran tubuh masing-masing.
Keringat cepat membanjiri pakaian masing-masing.
Otot-otot dua lelaki perkasa itu bagai di regang paksa
oleh tarikan sejuta prajurit paling gagah!
Kejap demi kejap, benturan maha hebat dalam satu
ajang adu kesaktian terus mematangkan saat-saat
maut.
Dari hidung Dewa Pencuri Ilmu mulai mengalir da-
rah segar yang mengepulkan uap tipis. Panas luar biasa
yang menggelegak dalam tubuhnya. telah pula mendi-
dihkan darahnya. Lalu darah merambat keluar dari lu-
bang-lubang telinga. Bahkan buliran keringatnya pun
kini memerah.
Di lain pihak, keadaan Pendekar Slebor tak kalah parah.
Hanya saja darah mengalir dari hidung dan telinganya
lebih lambat daripada lawan.
Menanjak kian menanjak. Ketegangan pun menjadi-
jadi.
Kemuning yang menyaksikan peristiwa itu menyipitkan
matanya. Dia bergidik jika membayangkan salah seo-
rang dari mereka tersentak amat kuat, dan tubuhnya
terbelah menjadi dua.
Sekarang, pori-pori kedua petarung tak lagi menge-
luarkan keringat, melainkan darah kental! Tampaknya
tangan-tangan maut kian mendekat ke arah keduanya.
Jangan ditanya, betapa tersiksanya mereka. Tubuh
seperti digodok dalam kuali pasir panas. Sendi-sendi
dan otot pun bagai ditusuki ratusan paku. Kepala mere-
ka terasa hendak meledak saat itu juga.
Kejap-kejap paling rawan mulai mendekat, manaka-
la tubuh mereka sedikit demi sedikit menjauh satu den-
gan yang lain. Sementara itu, udara di sekitar ajang adu
kesaktian menjadi begitu membakar! Serangga naas
yang tak sengaja melewatinya, mendadak hangus ter-
panggang!
Kuda-kuda dua tokoh berilmu tinggi itu perlahan tak la-
gi menjejak di bumi. Benturan teramat dahsyat men-
gungkit tubuh keduanya ke atas. Sedikit demi sedikit.
Sejengkal dari tanah, gerak naik mereka terhenti.
Darah tampak menetes-netes dari ujung jari kaki
keduanya. Darah yang terus mengepulkan asap tipis.
"Hiaaa...!"
Pada puncaknya, Andika berteriak! Pengurasan te-
naga sakti mengakibatkan daya mukjizat buah 'Inti Pe-
tir' menggelembung di sekujur aliran darahnya. Sakit
yang diderita menjadi berpuluh kali lipat. Dia nyaris tak
kuasa lagi bertahan.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang buah 'Inti Petir',
bacalah episode: 'Dendam dan Asmara')
Sebaliknya, tenaga sakti Pendekar Slebor pun ber-
lipat mendadak menjadi puluhan kali.
Perubahan mendadak ini sungguh menghentak
nyali lawan. Dewa Pencuri Ilmu merasakan tubuhnya
makin menjauh dari pemuda itu. Tenaga dalamnya per-
lahan tertelan dan tertelan.
Pendekar Slebor terus memekik. Dia tersiksa, tapi
tak bisa berhenti hingga di situ. Untuk menyerah adalah
hal yang paling dipantang baginya! Akhirnya....
"Cukkkuuup! Aku tak kuat lagi! Aku menyerah!"
Teriakan Dewa Pencuri Ilmu melabrak angkasa di
antara jeritan tinggi Pendekar Slebor. Kaki lelaki sesat
itu sudah hampir terlepas dari pangkal pahanya!
Mendengar kalimat menyerah, Andika sebisanya
mengalihkan tenaga ke arah lain. Melipatnya tenaga
sakti, menyebabkan Andika sulit mengendalikan lagi.
Kalau terlambat sekedip mata saja, tenaga saktinya
akan mengoyak tubuh Dewa Pencuri Ilmu dalam seke-
jap! Dan seandainya Dewa Pencuri Ilmu selamat pun,
rasanya perlu sepuluh tahun untuk mengembalikan te-
naga dalamnya!
"Akhu... mengaku khalahhh...," Dewa Pencuri Ilmu
terengah-engah di bawah kaki Pendekar Slebor.
Sementara anak muda itu masih sanggup berdiri di
atas kuda-kudanya meskipun tergetar.
Di saat yang lemah itu, telinga Andika menangkap
bahaya lain melesat menuju mereka. Andika kembali
menghidupkan sisa-sisa tenaga.
Sing!
Trap!
Satu pergelangan tangan halus dicengkeram Pende-
kar Slebor.
"Kemuning? Apa-apaan ini? Apa yang hendak kau
lakukan?" tanya Andika gusar.
Perempuan itu rupanya mencoba menghabisi nyawa
Dewa Pencuri Ilmu saat itu juga. Andika jelas tak akan
membiarkannya. Bagi seorang ksatria seperti dia, pan-
tang untuk membunuh lawan dalam keadaan lemah.
Kemuning terisak. Tangan yang masih menggeng-
gam cakram turun perlahan.
"Lelaki itu harus mati, Andika," desah perempuan
ini memelas.
"Kenapa?"
"Manusia laknat inilah yang telah membuatku
hingga mengasingkan diri selama sepuluh tahun! Dia
tak hanya mempecundangi ku, tapi juga memperkosa-
ku! Laknat! Aku tahu, meski aku melatih diri sepuluh
tahun lagi, tetap tak bisa menandingi kesaktiannya. Ka-
rena itu. aku...," tutur Kemuning di geletari isak kecil.
"Apa yang hendak kau katakan, Kemuning?"
Kemuning tak bisa menjawab. Malah tangisnya ma-
kin terseguk-seguk. Sesaat kemudian, dia berontak dari
cekalan tangan Andika. Lalu, ditinggalkannya tempat
itu. Isaknya masih terdengar sayup-sayup ketika tubuh
sintalnya terus menjauh.
"Dendam memang selalu buta. Bukan begitu, Andi-
ka?"
Andika menoleh begitu terdengar suara. Ternyata
orang tua yang sebelumnya berdiri di puncak dinding
karang telah berdiri di belakang.
Andika perlahan berbalik. Seluruh tubuhnya terlalu
lemas untuk berbalik cepat lagi. Bibir berlumur darah-
nya pun tersenyum menyaksikan orang tua ini.
"Sudah kuduga, kaulah orangnya. Apa kabar Ki
Saptacakra?" sapa Pendekar Slebor.
Ya! Orang tua itu memang Ki Saptacakra alias Pen-
dekar Lembah Kutukan. Dia adalah buyut Andika yang
pernah dikira mati oleh anak muda itu.
Kemuning menurut Ki Saptacakra memang masih
keturunannya. Namun dia tak pernah memiliki peta ra-
hasia penyimpanan benda berharga di Lembah Kutu-
kan. Semua itu hanya rencana Kemuning untuk mem-
balas dendam terhadap Dewa Pencuri Ilmu. Dengan
mencoba memperalat Pendekar Slebor, Kemuning ber-
harap memiliki kesempatan untuk membunuh musuh-
nya.
Rencana Kemuning berjalan mulus dalam memanc-
ing keluar Dewa Pencuri Ilmu. Disebarnya desas-desus
tentang peta yang dimilikinya. Dengan desas-desusnya,
dia mengatakan akan datang di sebuah kedai di pinggi-
ran Kota Karisidenan Karawang. Maka tak heran kalau
murid Dewa Pencuri Ilmu ada pula di tempat itu. Sang
murid memang ditugaskan Dewa Pencuri Ilmu untuk
memantau gerak-gerik Kemuning. Sedang tokoh sesat
itu mengamati dari jarak jauh.
Dalam rencana Kemuning, dia pun mengundang
Andika ke tempat yang sama.
Sayang, sewaktu kesempatan itu terbuka, timbul
rasa bersalahnya pada diri Andika. Anak muda yang se-
lama ini dikenalnya telah mengunci hati terhadap wani-
ta dengan perasaan yang sulit dijelaskan....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar