"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 16 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PETA RAHASIA LEMBAH KUTUKAN

Peta Rahasia Lembah Kutukan

 

PETA RAHASIA 

LEMBAH KUTUKAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Bagian kedai di pinggiran Kota Karisidenan Kara-

wang ini kelihatan kekeringan pengunjung. Hanya ada 

lima orang. Tiga di antaranya lelaki. Sisanya wanita. Me-

reka duduk terpisah di meja masing-masing. Wajah ke-

limanya menampakkan keletihan. Dan rata-rata berpe-

nampilan begitu semrawut. Kemungkinan besar, mereka 

adalah pendatang yang baru tiba setelah melakukan 

perjalanan jauh.

Sudut meja sebelah timur ditempati seorang pe-

muda berpakaian yang benar-benar tak sedap dipan-

dang. Kata 'kumal' rasanya belum cukup untuk meng-

gambarkan penampilannya. Pada beberapa bagian baju 

yang berwarna coklat muram terlihat tambalan-

tambalan. Rambutnya agak ikal, cukup panjang ber-

warna kemerahan dikepang dua. Dari seluruh tamu 

yang rata-rata lusuh, dialah yang paling lusuh.

Itu penampilannya. Sebaliknya untuk wajah, pemuda 

itulah yang lelaki paling rupawan. Dagunya yang ditum-

buhi brewok tipis memperlihatkan kejantanannya. Sinar 

matanya membersitkan ketegasan dan ketegaran. Selain 

itu, cara menatapnya sangat berwibawa disamping 

berkesan sedikit angkuh.

Ada yang menarik dari sikap pemuda satu ini. Bi-

ar pun wajahnya tetap dingin, namun jarinya terus saja 

mengetuk-ngetuk permukaan meja secara tak teratur. 

Agaknya, ada yang membuatnya begitu gelisah. Entah 

apa. Sesekali pandangannya lepas ke luar kedai dengan 

gerak mata tajam.

Sementara dua lelaki lain duduk pada deretan 

bangku dekat dinding pintu masuk. Bertolak belakang 

dengan pemuda tadi, dua lelaki ini jauh dari rupawan. 

Satu di antaranya bahkan berwajah cacat. Bekas saya

tan besar tampak menyilang wajahnya. Sebagian cuping 

hidungnya telah terpotong hingga menampakkan lubang 

agak besar di wajah beringasnya.

Lelaki ini terus saja menenggak dan menenggak 

lagi arak dari wadah bambunya. Ketika isi wadahnya 

sudah terkuras, di tuangnya kembali arak dari guci. Se-

pertinya, dia tak peduli apakah perutnya yang buncit 

nanti bakal meledak. Tepat di depan mejanya, tergeletak 

sebatang toya dari bambu kuning tipis. Orang yang me-

lihat sekilas tentu menganggap benda itu sekadar kayu 

untuk memancing. Sebenarnya, justru benda itu adalah 

senjata yang paling ampuh bila sudah berada di tangan 

lelaki berwajah cacat ini.

Lelaki satu lagi berperawakan biasa. Jeleknya tak 

kalah dengan lelaki berwajah cacat tadi. Kumisnya yang 

tipis panjang seperti tikus. Dan mulutnya pun semaju 

moncong binatang pengerat itu. Dengan rakus, di san-

tapnya makanan yang memenuhi meja. Dari petai rebus 

sampai semur jengkol ada di depannya. Sementara tan-

gannya sibuk menyuap nasi ke dalam mulut dengan su-

apan besar, tangan yang lain sibuk pula menggaruk-

garuk kepala atau menggeser-geser kain batik penutup 

kepala. Seisi kedai jadi riuh oleh suara kecapan yang la-

hir dari mulutnya.

Sementara itu dua wanita di dua meja lain terlihat 

lebih tenang. Mereka duduk tanpa banyak tingkah. Seo-

rang tergolong manis, jika diamat-amati. Sedang yang 

lain tak cantik. Malah dari gambaran wajahnya terbersit 

kesan keculasan. Biar pun pakaian mereka lusuh, tetapi 

bahannya bukan barang murahan. Setidak-tidaknya, 

harga pakaian itu sebanding harga dua ekor kuda jan-

tan.

Perempuan berwajah cukup manis yang duduk di 

meja sebelah kiri terlihat hanya mengangkat gelas air 

sesekali. Meneguk isinya perlahan, lalu membuka-buka

gulungan kulit berisi peta di atas meja. Setelah lama 

memperhatikan, baru araknya diteguk kembali.

Dari penampilannya, mengesankan kalau wanita 

berwajah manis ini pun adalah orang persilatan, seperti 

empat orang di sekitarnya. Tubuh sintalnya dibalut pa-

kaian berwarna jingga tua. Di belakang punggungnya, 

tergantung caping lebar yang beratnya tak wajar. Seper-

tinya, ada sesuatu yang tersembunyi di dalam caping 

tersebut.

Sedangkan wanita yang satu lagi terpaku diam. 

Seolah-olah dia sedang bersemadi dengan mata terbuka. 

Wajahnya dipenuhi jerawat. Rambutnya dipangkas me-

nyerupai lelaki. Satu tangannya terus lekat pada gagang 

senjata berbentuk tongkat pendek di ikatan pinggang-

nya. Wajahnya agak pucat, dan terlihat letih. Jelas seka-

li dia baru saja menjalani suatu yang begitu menguras 

tenaga beberapa waktu lalu. Pada pelayan, dia hanya 

minta disediakan secangkir air bening.

Kelima pengunjung terus terlena oleh keasyikan 

masing-masing, sampai datang seorang pengunjung 

lain. Cara mendatanginya sama sekali tak pantas seba-

gai seorang pengunjung kedai!

"Aku menang! Aku menang!"

Orang itu berteriak-teriak tanpa juntrungan. Tan-

gannya dipenuhi kantong-kantong yang di acung-

acungkannya ke atas.

Pengunjung baru itu mengambil tempat di salah 

satu meja kosong.

"Pak Kedai! Sediakan aku makanan-makanan 

enak dan paling mahal yang kau punya!" teriak pengu-

jung baru, seorang lelaki berpakaian perlente dengan 

kumis terpangkas rapi.

Lima orang di sekitarnya sesaat seperti melirik 

sebentar, selanjutnya kembali meneruskan keasyikan 

masing-masing. Agaknya, hanya pemuda kumal yang

tampaknya masih menyimpan kedongkolan. Teriakan le-

laki berpakaian perlente itu dianggap telah lancang 

mengusik. Apalagi saat itu dia sedang begitu resah me-

nanti sesuatu.

Akibat dorongan rasa gusar, tanpa disadari ketu-

kan jari jemari pemuda kumal pada permukaan meja 

menjadi tak terkendali lagi. Mendadak terpercik suara 

kecil. Kayu jati meja itu bukan hanya gompal, tapi juga 

telah berlubang-lubang!

Kejadian kecil namun luar biasa itu agaknya luput 

dari pengamatan pengunjung berpenampilan perlente. 

Lelaki berwajah panjang yang berusaha tampil menawan 

tapi tetap tak sedap dipandang itu terus saja tertawa-

tawa seenaknya. Dia merasa wajib melakukannya. Se-

lama tujuh tahun bermain judi, baru kali ini meme-

nangkan hasil begitu melimpah! Dan tawa lancangnya 

pun makin seenaknya saja ketika anak gadis pemilik 

kedai mendatangi mejanya.

"Suminah! Mau minta beli apa, hah?! Minta apa, 

ayo?! Minta... jangan malu-malu! Kakang punya duit 

banyak hari ini, Minah!" umbar lelaki perlente ini lupa 

diri. Dengan kurang ajar, dirangkulnya pinggul gadis 

remaja yang baru besar itu.

"Auwww...!"

Suminah kontan menjerit. Bukannya agak kaget 

dengan kelancangan tangan lelaki ini, namun wanita 

baru mekar itu hanya jijik. Dia tak sudi diperlakukan 

seperti perempuan murahan!

Pemuda kumal disudut makin mual saja. Namun 

baru saja dia hendak bangkit untuk memberi sedikit ke-

palan ke bacot lelaki perlente tadi, dari pintu kedai ma-

suk lagi tiga orang kasar sambil mengacungkan golok 

besar di tangan masing-masing. Mata ketiganya merah, 

akibat pengaruh arak yang ditenggak.

"Dasar kutu kupret lu, ya! Menang ya menang. Tapi jangan pergi seenaknya!" bentak salah seorang seraya 

terus mendekati lelaki perlente yang sesumbar tadi.

"Apa lu nggak tahu? Gua udah ngejual bini gua 

sama Juragan Kontet buat main! Lu mesti tahu itu!" 

damprat yang lain berang sekali.

"Hei hei! Kalian jangan macam-macam! Kalau su-

dah kalah, ya kalah! Apa yang diharapkan lagi? Kalian 

mau aku memulangkan uang kalian? Kalau begitu 

maunya, kenapa main judi?! Keparat sekali!" balas lelaki 

perlente.

"Lu jangan buang bacot seenak dengkul! Gua mau, 

lu main lagi. Sampai semua dari kita benar-benar lu bi-

kin bures. Gua belum kalah. Gua masih bisa menangin 

duit gua yang ada sama elu! Makdekipe banget!"

Si lelaki perlente bangkit. Dadanya di busungkan 

di depan wajah-wajah berang itu.

"Jadi kalian mau memaksa aku, hen?!" 

"Lu pikir apa, hah?!"

Lelaki yang tadi maju lebih dahulu makin sewot. 

Dicengkeramnya kerah baju lelaki perlente. Ujung go-

loknya disodorkan ke leher lelaki di depannya.

"Kalau lu nggak mau main lagi, kepala lu gua jamin 

bakal ngegantiin semur ceker ayam di nih piring!"

Prak!

Tepat di ujung ucapannya, golok lelaki itu terayun 

ke piring tanah liat di atas meja. Pecahannya kontan 

berhamburan. Tak ada tanda-tanda kalau tindakan itu 

dilakukan dengan tenaga dalam. Jangankan dia, bocah

belum makan pun sanggup!

"Lepaskan aku! Kalau tidak...," dengus si lelaki per-

lente. Hidungnya terangkat. Barangkali mau sedikit 

menggertak.

"Kalau nggak apa, hah?!" serobot lelaki yang lain. 

Dengan tak kalah gaya, di sabetkannya pula golok ke 

atas meja.

Bletak!

"Wadow wadow! Makdirabut lu! Masa' tangan gua 

lu embat juga?!" teriak lelaki lain yang kebetulan tan-

gannya berada di atas meja sehingga termakan gagang 

golok kawannya sendiri. Habis sudah mulutnya maju 

mundur meniup-niup tangannya yang mendadak beng-

kak.

"Jadi lu mau main lagi apa nggak, nih?!" ancam le-

laki yang masih mencengkeram si perlente.

Si perlente menggeleng.

"Tidak!" jawab lelaki perlente tegas. Sok jumawa 

pula dia. Padahal hatinya kebat-kebit tak ketolongan.

"Eeehh! Berani lu, ya?!"

"Iya. Memangnya aku takut?"

"Curut Buduk! Biar lu telan nih ujung golok gua.... 

Hih!"

Golok terayun. Sampai di situ, baru si lelaki per-

lente tahu, bagaimana mengerikannya kerjapan sinar 

golok. Baru melihat pantulan sinarnya saja sudah ngeri 

begitu. Apalagi kalau sudah tertebas?

"Eee, tunggu!" tahan lelaki perlente cepat. Matanya 

sudah menyipit ketat.

"Ahhh! Gua udah telanjur ngayunin golok!" bentak 

lelaki yang mengayunkan senjatanya.

Golok itu terus melaju. Senjata yang tidak pernah 

alpa diasah tiap malam Jum'at Kliwon itu bakal membe-

lah tempurung kepala si lelaki perlente. Namun....

Trang!

Golok yang siap membelah kepala itu terpental, 

seperti tanpa sebab. Jelas, seseorang telah campur tan-

gan!

"Aku tak suka kalian bikin kacau di tempat ma-

kanku!"

Terdengar suara seseorang begitu dalam dan, datar.

Ketiga lelaki yang kalap menoleh bersamaan. Me-

reka melihat lelaki berwajah tikus sudah berdiri sambil 

mengusap-usap perutnya. Kekenyangan dia. Santapan 

kelewat banyak baru saja diselesaikan. Ternyata tulang 

ayam terakhirnya tadi, dijadikan alat untuk menahan 

ayunan golok.

"Eeh, siapa lu?! Berani-beraninya unjuk congor ti-

kus di depan gua. Nih, jawara daerah sini!"

"Bilang siapa nama lu. Biar dia ngeper!" sokong le-

laki lain di belakang.

"Nih, gua Sape'i yang nguasain seluruh janda dari 

kampung itu ke kampung ini!"

Dengan golok, lelaki yang mengaku bernama Sape'i 

menepuk dadanya yang kekurangan daging itu.

"Jeee elu,! Masa janda?"

"Eh! Maksud gua, yang nguasain kampung-kam-

pung yang banyak jandanya" ralat Sape'i.

"Jeee... janda lagi…"

"Ah! Udah diam lu!"

"Keluar!" ujar lelaki berwajah tikus, singkat.

"Gila juga tuh orang! Masa' lu diusir gitu aja? Ma-

rah dah, marah.... Kalau gua sih, pasti marah digituin!" 

timpal teman Sape'i yang lain membakar semangat.

"Jadi gua marah, nih?" kata Sape'i, meminta pen-

dapat temannya.

Kedua temannya membulatkan bibir.

"Dooo, marah aja dah!" sambut mereka berseman-

gat.

Sape'i merasa disemangati. Secepat kilat dipa-

sangnya wajah berang. Kalau sudah begitu, pantasnya 

nama Sape'i diganti menjadi Sapi-ih! Masalahnya jelek-

nya jadi mirip sapi!

"Udah, tunggu apa lagi?! Bacok aja!"

Sape'i mendongakkan dagu berlagak jumawa.

"Bikin kolak kurang santennya. Pisang kepok di

kebon kelapa. Lu orang banyak suara. Gua tebas..., bas! 

Hang kepala!" Bukannya cepat-cepat menerjang, Sape'i 

malah berpantun.

"Lu mau gebrak apa mau lenong?!" sungut teman-

nya kesal.

"Lu diam aja dah! Yang penting gaya dulu, Bego!"

"Sat, sat, sat!"

Sape'i mulai mengayun-ayunkan golok. Jurusnya 

bukan tak hanya berantakan, tapi juga tanpa juntrun-

gan. Biar terlihat lebih menggidikkan, mulutnya sengaja 

bersat-sut-sat-sut. Maksudnya, biar disangka suara dari 

sabetan goloknya.

"Tunggu dulu!" cegah seorang temannya.

"Apaan lagi? Pan, tadi elu juga yang nyuruh gua 

ngembat tuh orang?" gerutu Sape'i dongkol.

"Lihat golok lu tuh! Kayaknya tadi masih leng-

kap...."

Sape'i melirik goloknya. Bujubuneng! Sape'i mengu-

tuk dalam hati. Goloknya sekarang sudah tinggal sepo-

tong! Pasti telah disunat sewaktu calon lawannya me-

lempar tulang ayam ke golok itu.

Pikir punya pikir Sape'i mulai mengendusi kalau ca-

lon lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti, dari 

perubahan lipatan wajahnya. Mulutnya mulai meringis 

tak karuan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Jeee, kenapa nggak diserimpung tuh orang, !" usik 

temannya.

Sape'i nyengir sebentar.

"Nggak usah, dah. Gua jadi nggak tega juga nih...," 

kilah Sape'i cengengesan. Buru-buru golok cacatnya di-

masukkan ke dalam sarung.

"Nah lu! Tumben lu bisa kasihan sama orang?"

"Sekali-sekali kan nggak dosa!" tukas Sape'i buat 

menyelamatkan muka. "Udah, lu seret aja tuh si per-

lente. Bawa ke meja judi kita lagi!"

"Nyok, dah!"

***

2


Sepeninggal tiga bajingan tengik tadi, lelaki berwa-

jah tikus duduk kembali. Sementara, wanita berpakaian 

jingga tua yang sejak tadi memperhatikan peta kulit bi-

natang menghampirinya.

"Tuan, boleh aku bertanya?" kata wanita ini cukup 

hormat.

Si wajah tikus melirik sebentar.

"Ha... ha... ha...!"

Tanpa berniat menjawab, lelaki berwajah tikus ini 

berdahak keras-keras. Lebih tak tahu adat lagi, di teng-

gaknya arak langsung dari guci. Seolah-olah, si wanita 

di dekatnya tak pernah ada.

"Tuan, bisa aku minta tolong?" ulang si wanita 

mencoba lagi. Diperlakukan seperti itu, tidak cepat 

membuatnya jadi berang. Wajahnya pun tak berubah.

Si wajah tikus tetap tak menggubris.

Wanita ini tak terlalu mempersoalkan. Dia hanya 

mengungkit bahu sejenak, lalu mulai beranjak ke lelaki 

lain yang duduk di meja sebelah. Kali ini, didekatinya le-

laki berwajah cacat yang masih sibuk menguras guci-

guci tuak di meja.

"Tuan...," sebut wanita itu.

"Ya, silakan Nona!"

Belum juga si wanita menyelesaikan pertanyaan-

nya, lelaki cacat itu sudah mempersilakan.

"Ada yang bisa kubantu, Nona?" lanjut lelaki ini 

lembut dan teratur.

Sikap lelaki ini bertolak belakang sekali dengan penampilan kasarnya. Cara bicaranya justru penuh tata 

krama. Meskipun sudah beberapa guci arak masuk ke 

dalam perut buncitnya, dia tak kelihatan mabuk.

Wanita ini tersenyum.

"Aku ingin bertanya wilayah ini, Tuan," katanya se-

raya membuka peta dari kulit di depan lelaki buncit. Di 

tunjuknya satu bagian gambar dari peta.

"Apa Tuan tahu, aku bisa datang ke tempat ini pal-

ing cepat melalui jalur mana?"

Mata lelaki berwajah cacat agak membeliak ketika 

melihat daerah yang ditunjuk tadi di dalam peta.

"Apa Nona sungguh-sungguh?" tanya lelaki ini pada 

si wanita.

Pertanyaan itu mendapat anggukan pasti. 

"Apa Nona tahu ini tempat apa?" Lagi-lagi si wajah 

cacat seperti tak yakin. 

"Lembah Kutukan...," sahut si wanita enteng. Em-

pat orang lain di dalam kedai langsung menoleh berba-

rengan. Mereka seperti mendengar suara gaib yang me-

maksa untuk melupakan sejenak urusan masing-

masing.

Si wajah cacat menatap perempuan di depannya.

"Ada urusan apa Nona menanyakan tempat itu?" 

tanya si wajah cacat.

Tak ada jawaban.

"Ah! Maaf, Nona. Aku jadi terlalu mencampuri uru-

san Nona. Aku cuma...."

"Cuma heran?" sela si wanita.

Lelaki tadi mengangguk.

"Duduklah dulu, Nona...," hatur lelaki yang di ba-

lik wajah bengisnya memendam kelembutan itu.

Perlahan-lahan perempuan itu menurunkan pan-

tatnya ke kursi. Namun gerak turun yang sesungguhnya 

tergolong manis jika diperhatikan urung tiba di kursi, 

ketika…

Wesss...!

Prakk...!

Mendadak saja sebentuk angin mendesir dari ba-

wah, menyusul bunyi derak kursi bagai baru dihantam 

kaki seekor gajah jantan.

"Berikan peta itu padaku, Nona!" perintah pemu-

da tampan berpakaian kumal di seberang.

Kini pemuda itu sudah berdiri pula. Matanya te-

rus saja menyiratkan keangkuhan kala menatap perem-

puan yang dibentaknya.

"Kenapa aku mesti memberikan peta ini pada-

mu?" tanya wanita itu tanpa menoleh. Nada suaranya 

terdengar menantang.

Pemuda berpakaian kumal mendengus. "Kalau kau 

tak memberikannya padaku, itu sama artinya mencari 

mampus!"

"Tunggu! Tunggu dulu, Tuan Muda...," tukas si wa-

jah cacat seraya bangkit dari kursi. Meja di depannya 

sampai terserempet permukaan perut buncitnya. "Bisa 

dijelaskan kenapa tiba-tiba saja kau menjadi sekasar itu 

pada Nona ini?"

Merasa tak setuju dengan kekasaran di depan ma-

tanya, si wajah cacat ini buru-buru menanggapi. Apalagi 

terhadap seorang wanita yang menurutnya patut dihor-

mati pula.

"Aku tak punya urusan denganmu. Lebih baik jan-

gan ikut campur!" tandas pemuda kumal ini.

Si wajah cacat tersenyum mengejek. Di liriknya 

nona manis di sebelahnya.

"Apa Nona keberatan kalau aku membenahi mulut 

lancang bocah ini?" tanya si wajah cacat.

Perempuan yang ditanya tak menginginkan terjadi 

keributan di dalam kedai. Dia sama sekali tak ingin ada 

orang kecil yang menjadi korban, seperti pemilik kedai 

ini.

"Bukankah Tuan tak ingin terjadi keributan di sini, 

bukan?" ujar perempuan itu menyabarkan.

"Sebaiknya kau katakan pula pada manusia jelek 

itu, Nona. Dia belum cukup memiliki kepandaian untuk 

menghadapiku... Tendangan Bayangan Seribu," sesum-

bar si pemuda kumal.

"O, rupanya kau orangnya! Kalau tak salah, 

'Tendangan Bayangan Seribu' mu telah berhasil melem-

par seribu lalat ke neraka, bukan?" ejek lelaki buncit 

berwajah cacat.

Muak bukan main lelaki cacat ini melihat keang-

kuhan pemuda di depannya. Dia cukup tahu pamor 

Tendangan Bayangan Seribu. Tapi sepanjang pengeta-

huannya, nama itu besar di dunia persilatan oleh kehe-

batan seorang setengah umur. Bukan oleh pemuda bau 

kencur itu! Mungkin, anak ini hanya murid Tendangan 

Bayangan Seribu yang mencoba mendompleng ketena-

ran gurunya. Begitu dugaan lelaki berwajah cacat ini.

"Keparat!"

Pemuda yang mengaku sebagai Tendangan Bayan-

gan Seribu seketika melepas sabetan tangan ke udara 

dari tempatnya. Hanya cukup dari tempatnya, dia coba 

menghantam dari jarak cukup jauh.

Wuttt...!

Seberkas pukulan tipis berupa bayangan hitam 

berkelebat cepat.

"Cukup!" bentak wanita berpakaian jingga tua. Da-

lam waktu bersamaan, tangannya melepas caping dari 

punggung. Lalu dilemparkannya.

Sat!

Caping itu terus melesat, melabrak bayangan hitam 

ketika melintas di depan perempuan ini.

Dasss...!

Bagai tak mengeluarkan tenaga, pukulan bayangan 

yang belum lama memporakkan kursi kayu kokoh seperti kerupuk, dapat dimentahkan. Tenaga perusak 

yang terkandung di dalamnya melepus begitu saja.

Begitu habis mementahkan serangan, caping itu 

melayang balik ke arah pemiliknya. 

Tap!

Manis sekali perempuan itu menangkap, dan lang-

sung memasangnya lagi di punggung.

"Aku tak suka ada keributan di tempat ini!" hardik 

si perempuan lagi pada pemuda kumal berjuluk Ten-

dangan Bayangan Seribu. Kalau semula begitu lembut, 

kini berubah sekeras baja, segarang jilatan api. "Sebaik-

nya cepat tinggalkan tempat ini, Tuan!"

Di tangan wanita itu sekarang sudah tergenggam 

semacam cakram berbentuk piringan yang tengahnya 

berlubang. Melihat hal itu, sadarlah lelaki berwajah ca-

cat, siapa sesungguhnya yang berdiri di depannya.

"Bidadari Cakram Terbang...," bisik lelaki berwajah 

cacat, pelan sekali.

Bidadari Cakram Terbang sebenarnya adalah to-

koh wanita yang menggegerkan kalangan atas dunia 

persilatan, pada dasawarsa silam. Kemunculannya sela-

lu disertai senjata khasnya, Cakram Terbang. Senjata 

yang selalu tersembunyi di balik caping jika tak diperlu-

kan.

Sejak berhasil menyingkirkan musuh besarnya, 

pendekar wanita itu menghilang. Menurut kabar bu-

rung, luka parah yang diderita memaksanya menyingkir 

dari hingar-bingar dunia persilatan. Di tempat penga-

singannya dia mengobati diri, sekaligus menyempurna-

kan kedigdayaannya.

Pendekar wanita rendah hati ini membuat kegem-

paran lebih dahulu dibanding Pendekar Slebor. Ada se-

lang waktu sekitar enam tahun, sebelum anak muda 

sakti itu muncul dari masa penyempurnaannya di Lem-

bah Kutukan.

Saat pertama kali muncul, usia Bidadari Cakram 

Terbang sangat muda. Tak lebih dari enam belas tahun! 

Itulah salah satu keistimewaannya menurut kalangan 

persilatan. Dan jika kini keluar kembali ke dunia persi-

latan, artinya usianya menjelang dua puluh enam ta-

hun.

Begal Ireng musuh besar Pendekar Slebor, pernah 

mengirim orang kepercayaannya untuk membunuh Bi-

dadari Cakram Terbang. Sepak terjang wanita muda itu 

di wilayah selatan memang telah menghambat banyak 

gerakan kejahatan antek-anteknya waktu itu. Orang ke-

percayaan Begal Ireng ini malah tak pernah kembali. 

Mereka mati di tangan gadis muda perkasa itu.

Sampai akhirnya, Bidadari Cakram Terbang ber-

hadapan dengan tokoh hitam kelas atas yang telah 

membunuh gurunya. Kedua tokoh tua itu telah bermu-

suhan selama puluhan tahun. Kemudian Bidadari Ca-

kram Terbang datang untuk menuntut balas atas kema-

tian guru wanitanya. Saat itulah dia mengalami luka 

amat berat. Sehingga, mengharuskannya mengundur-

kan diri lagi dari dunia persilatan. 

"Sulit kupercaya kalau kau...." Ucapan bernada 

takjub lelaki berwajah cacat dicegah isyarat tangan Bi-

dadari Cakram Terbang. Wanita itu tampaknya tak mau 

kemunculan keduanya diketahui kalangan persilatan.

"Sebaiknya kau menuruti kata Nona ini, Anak Mu-

da...," lanjut lelaki berwajah cacat, beralih pada Tendan-

gan Bayangan Seribu.

Lelaki ini merasa harus mengatakannya pada si 

pemuda. Sebab dia tahu bagaimana kesaktian pendekar 

wanita di depannya. Sepuluh tahun lalu saja, kesak-

tiannya sudah begitu membuat kelimpungan tokoh du-

nia hitam. Apalagi setelah menjalani pengasingan diri 

selama dasawarsa terakhir? Semuanya diketahui betul 

oleh lelaki berwajah cacat ini.

Bukannya menyingkir, pemuda kumal itu malah 

tertawa pongah. Rupanya, dia belum mendengar nama 

besar Bidadari Cakram Terbang pada sepuluh tahun si-

lam. Benar, penilaian lelaki berwajah cacat. Anak muda 

itu tak lebih dari salah satu warga bau kencur dunia 

persilatan. Nama besar yang di sandangnya pun, tak le-

bih dari mendompleng kesohoran gurunya.

"Kau pikir, bisa apa wanita seperti dia padaku?" 

cemooh Tendangan Bayangan Seribu. "Kalau pun 

'Pukulan Bayangan'-ku dapat di mentahkannya, tidak 

berarti dia cukup hebat berhadapan denganku"

"Lelaki berwajah cacat menggeleng-gelengkan ke-

pala mendengarkan sesumbar pemuda itu. Sementara 

itu, Bidadari Cakram Terbang mencoba menguasai diri. 

Cakram di tangannya disisipkan kembali di bawah ca-

pingnya.

"Kalau dia tak mau menyingkir, lebih baik aku 

yang mengalah," kata Bidadari Cakram Terbang meren-

dah.

Wanita perkasa rendah hati itu pun melangkah, 

meninggalkan kedai. Sebelumnya, dia melempar uang 

logam ke meja tempatnya, membayar arak yang telah 

diminum.

"Nah! Kau lihat, bukan? Dia tak berani menghada-

piku?" kata Tendangan Bayangan Seribu lagi, pongah.

Bidadari Cakram Terbang tak menggubris. Sampai 

di pintu kedai, langkahnya tertahan. Dirasakannya ada 

angin pukulan yang sama seperti sebelumnya. merang-

sek dari belakang.

"Haiiit!"

Secepat gerak camar meliuk ke udara, tubuh pen-

dekar wanita itu melenting. Sementara cakramnya telah 

dilempar lebih dulu tanpa terlihat. Tubuh perempuan 

itu meluncur di udara begitu menginjak cakram.

Pada pohon beringin besar jauh di sebarang kedai,

senjata terbang itu menancap sebagian. Sedang bagian 

lain tetap dijadikan pijakan.

"Apa maumu sebenarnya Tuan?" tanya Bidadari 

Cakram Terbang dengan suara tetap datar, di atas ca-

kram yang tertancap di batang beringin besar.

Tendangan Bayangan Seribu yang tadi membo-

kongnya menyusul ke luar kedai dengan langkah ang-

kuhnya.

"Apa kau tuli, Nona? Aku meminta peta mu tadi...," 

ucap pemuda kumal itu, di luar kedai.

"Kau rupanya terlalu memaksa, Tuan. Kalau itu 

maumu...."

Bidadari Cakram Terbang turun. Dengan gerakan 

indah tubuhnya berputar sebentar di udara, sambil 

mencabut cakramnya. Selang berikutnya, dia sudah 

berdiri dengan sikap siap tarung.

"Izinkan aku menghajar anak muda tak tahu adat 

ini, Nona Pendekar...!"

***

3


Pertarungan tak bisa dicegah lagi. Apalagi ditunda. 

Namun bukan antara Bidadari Cakram Terbang dengan 

Tendangan Bayangan Seribu. Karena sebelum wanita 

yang pernah membuat kegemparan sepuluh tahun silam 

itu berniat memberi pelajaran, lelaki berwajah cacat su-

dah maju siap menyerang.

Merasa tak perlu lagi banyak cakap, lelaki berwa-

jah cacat itu langsung berdiri menghadap Tendangan 

Bayangan Seribu. Ditantangnya anak muda itu dengan 

gelegak panas di ubun-ubun.

"Perlihatkan kehebatan 'Tendangan Bayangan'-mu,

anak muda tak tahu diri," tantang lelaki berwajah cacat.

"Sebutkan namamu, Orang Jelek! Aku tak suka 

bertarung melawan orang yang tak kukenal. Lagi pula, 

kalau kau nanti mampus, harus kutulis nama apa di 

batu nisan mu...," sesumbar Tendangan Bayangan Seri-

bu makin menjadi.

Lelaki berperut buncit yang berdiri enam depa di 

depan Tendangan Bayangan Seribu tertawa terbahak. 

Dia merasa lucu mendengar kepongahan yang terulur 

dari mulut anak itu. Di cibirkannya bibir berbareng ge-

lengan kepala sarat cemoohan.

"Kasihan sekali kau, Anak Muda. Rupanya kau 

masih terlalu hijau di dunia persilatan sampai tak men-

genal siapa yang kini berdiri di hadapanmu," sela seben-

tuk suara camprang dari arah kedai.

Wanita berambut seperti lelaki yang sebelumnya 

berada dalam kedai ternyata sudah keluar pula. Tak 

jauh darinya, si lelaki bertampang tikus sudah pula ber-

tengger di jendela besar kedai. Dia duduk beruncang

kaki seperti tengah menonton pertunjukan ludruk.

Terbakar oleh perkataan tadi, pemuda berjuluk 

Tendangan Bayangan Seribu menoleh. Tatapannya me-

meram nafsu membunuh. Dia beranggapan siapa pun 

tak bisa selancang itu pada dirinya.

"O.... Sepertinya ada rencana untuk mengeroyok-

ku...," leceh Tendangan Bayangan Seribu.

Masih juga pemuda kumal ini mengumbar keang-

kuhannya. Pepatah memang tak salah. Air laut, siapa 

yang membuat asin, kalau bukan laut itu sendiri. Anak 

muda itu pun demikian. Kesaktiannya dianggap sudah 

cukup tangguh untuk menghadapi tiga orang yang kini 

mengepungnya dengan tatapan sembilu. Hanya lelaki 

bertampang tikus yang tampaknya tak mau banyak 

urusan.

Padahal, dugaan lelaki berwajah cacat sama sekali

bertolak belakang. Si wajah cacat melihat nama besar 

yang dibangun guru Tendangan Bayangan Seribu selaku 

tokoh disegani kalangan lurus. Jelas hendak disalahgu-

nakan untuk hal yang tengik.

"Ayo! Tunggu apa lagi? Siapa di antara kalian yang 

ingin mendapat sial terlebih dahulu?" tantang Tendan-

gan Bayangan Seribu.

"Aku," terabas lelaki berwajah cacat. tak lagi bisa 

menunda kesabarannya mendengar seluruh ucapan 

memuakkan anak muda itu.

Sekejap, lelaki berwajah cacat itu berdahak. Pan-

jang dan bersambungan. Aneh. Semestinya hal itu terja-

di saat menenggak belasan guci arak. Sebaliknya. sela-

ma menenggak belasan guci arak, dahaknya tak kun-

jung menyembul meski sepelan dengkur anak monyet.

Di akhir dahaknya yang panjang, tubuh si buncit 

berwajah cacat mulai bergerak. Irama gerak tubuhnya 

begitu lamban dan lembut. Selamban tarian wanita 

penghibur. Selembut ayunan perahu di permukaan tela-

ga.

Biar begitu, tak ada keteraturan dalam geraknya. 

Langkah kakinya pun begitu ngawur. Satu langkah ke 

depan. Dua langkah berikutnya terhuyung ke belakang. 

Kedua tangannya mengimbangi ayunan kaki. Setiap sa-

tu kaki bergerak, tangannya melambai maju mundur.

Seluruh kembangan jurus lelaki berwajah cacat ini 

tak jauh beda dengan tingkah orang mabuk. Di dunia 

persilatan, hanya ada satu-satunya tokoh yang memiliki 

jurus itu.

"Kau sedang berhadapan dengan Raja Arak, Anak 

Muda," kata Bidadari Cakram Terbang seperti mempe-

ringatkan seraya tersenyum. Dia memang merasa men-

genali jurus khas itu.

Dulu, ketika wanita itu pertama kali mengobrak-

abrik kalangan hitam untuk yang pertama, dia sering

ingin berjumpa tokoh satu ini.

Tokoh berjuluk Raja Arak sering disebut-sebut ju-

ga Si Pemabuk Bijak. Bukan hanya kaya dengan jurus 

sakti, tapi juga kaya hikmah hidup. Kerap kali dia men-

jadi tempat menimba nasihat bagi kalangan lurus. He-

ran. Namanya pemabuk, kok bisa memberi nasihat, ya?

Hanya karena Si Pemabuk Bijak tak mau menon-

jolkan diri, dia sering bersembunyi mati-matian jika ada 

yang merasa harus meminta nasihatnya. Tak jarang ha-

rus berpura-pura dengan seribu satu tambah seribu sa-

tu, cara agar tak terlalu disanjung sebagai orang bijak. 

Baginya, pemabuk tetap pemabuk. Dia menganggap di-

rinya masih berlumur lumpur pekat. untuk dijadikan 

orang yang diharapkan nasihatnya.

Dan semakin tokoh ini buron dari kejaran. sema-

kin penasaran berbondong-bondong orang yang haus 

petuah dan hikmah ingin menemuinya.

Jika Si Pemabuk Bijak berkata dirinya tak lebih 

dari seorang pemabuk kotor, maka orang-orang pun 

akan berkilah, dari mulut pemabuk pun kalau nyatanya 

mengalir kebijakan, kenapa tak didengarkan? Bahkan 

seandainya kata-kata bijak itu keluar dari moncong anj-

ing sekalipun....

Lalu, apa yang mau dikatakan lagi?

"O, jadi inikah Raja Arak itu?" leceh Tendangan 

Bayangan Seribu.

Di ujung kalimatnya, pemuda besar kepala itu ha-

rus melakukan tangkisan, karena Raja Arak alis Si Pe-

mabuk Bijak telah menyerobot bagian dadanya dengan 

sodokan jari telunjuk.

Gempuran tak putus sampai di situ. Raja Arak 

mengirim lagi sapuan kaki sambil berputar. Debu men-

gepul sepanjang sapuan kakinya yang terseret di tanah 

kering. Terpaksa pemuda jumawa itu meloncat-loncat ke 

belakang.

Jika tendangan Tendangan Bayangan Seribu lambat se-

dikit saja, pasti akan terpelanting ke belakang. Derasnya 

sapuan lelaki berwajah cacat itu terlalu luar biasa. Bu-

kan tak mustahil akan diterimanya juga akibat lain jika 

terkena. Persendian kakinya bisa langsung terpatah 

dua!

Tendangan Bayangan Seribu tak mau terus dikejar 

serangan. Begitu mendapat kesempatan, dia mulai balas 

menyerang. Begitu mencelat, kakinya adu cepat dengan 

sapuan Raja Arak. Namun arahnya bergerak mendepak 

ke atas. Tumitnya mencoba meremukkan pelipis lelaki 

berwajah cacat itu. Tendangan anak muda itu patut di-

beri decakan kagum. Sebab, meski tubuhnya sedang 

mencelat masih mampu melepas tendangan bertenaga, 

sekaligus amat cepat. Kandungan tenaga dalam tingkat 

tinggi dalam tendangannya tersembul dari bunyi santer

yang tercipta.

Wukh!

Namun Raja Arak bukan bocah kemarin sore. 

Menghadapi serangan balik dia tak menjadi gelagapan. 

Tetap dengan kuda-kuda seperti orang mabuk, tubuh-

nya sempoyongan ke belakang. Sepertinya, tindakan itu 

tak disengaja. Namun hasilnya cukup untuk membuat 

dongkelan kaki pemuda itu hanya memangsa angin.

Kaki Tendangan Bayangan Seribu berusaha men-

gejar. Begitu satu kakinya bisa menjejak bumi dengan 

kokoh, kesempatan untuk melancarkan jurus mautnya 

pun terkuak lebar-lebar. Tanpa ada sekerdipan mata, 

sebelah kakinya membuat sepuluh tendangan sekaligus.

Dalam satu kelebatan dengan sepuluh titik di tubuh la-

wan!

Deb! Deb! Deb!

Sebelah kaki Tendangan Bayangan Seribu menjel-

ma menjadi seperti belalai gurita raksasa dari dasar 

laut, mengancam dari segala penjuru. Orang yang menyaksikannya hanya akan melihat bayangan kaki itu 

menjadi berlipat ganda.

Empat lima tendangan masih bisa dihindari Raja 

Arak. Seperti seseorang kehilangan keseimbangan. Lela-

ki buncit itu terhuyung-huyung limbung kian kemari, 

dalam irama menakjubkan!

Sisa ranting tendangan Tendangan Bayangan Se-

ribu sayangnya tak bisa dimentahkan dengan mudah. 

Meski Raja Arak sudah mengempos segenap kecepatan 

tangannya untuk memapak, tapi....

Desss...! Desss...! Desss!

"Aaakh...!"

Tak urung tiga hantamam kaki Tendangan 

Bayangan Seribu mendera tubuh lelaki berperut buncit 

dalam satu rangkai gerak yang menyatu! Akibatnya, Ra-

ja Arak dipaksa memekik nyeri. Dada, bahu, dan pang-

kal kaki kirinya seperti baru saja digempur godam rak-

sasa dari baja. Sekujur tubuhnya berdenyar, mengiringi 

rasa nyeri sebelumnya.

Saat itu juga Raja Arak meluruk deras ke bela-

kang. Dia hampir saja jatuh, tapi untung jurus-jurusnya 

memang terbiasa dalam menjaga ketidakseimbangan. 

Hingga dengan agak susah payah kuda-kudanya dapat 

dikuasainya kembali. Tampak darah mengalir dari sudut 

bibirnya. Pekat.

Dan belum sempat Raja Arak menepis siksaan dari 

tiga tempat di tubuhnya. Tendangan Bayangan Seribu 

sudah memburunya penuh nafsu. Tendangan terbang

yang paling disegani di dunia persilatan seketika di per-

tunjukkannya.

"Hiaaa...!"

Berkawal teriakan mencerabut nyali, tubuh anak 

muda itu melayang. Satu kakinya membentang ke de-

pan. Yang lain terlipat rapat. Empat tombak dari laju 

luncurannya, kaki yang belum lama memangsa tubuh

lawan, kembali berkelebat membentuk bayangan berli-

pat ganda.

Deb! Deb! Deb...!

Dalam keadaan yang jelas-jelas tak menguntung-

kan, amat tolol kalau Raja Arak bersikeras memapaki. 

Yang paling baik untuknya adalah menghindar sejauh 

mungkin, sejauh kaki pemangsa tak lagi bisa menjang-

kaunya.

Maka, Raja Arak melompat menghindar. Tubuh 

buntalnya tak membuatnya sulit melakukan lompatan 

tinggi serta jauh. Dia telah berhasil, mengambil jarak.

"Hai, Orang Jelek! Kenapa kau mundur? Apa kau 

terkejut dengan tendangan ku tadi?" ejek Tendangan 

Bayangan Seribu, membentak.

Tanpa menggubris cemoohan, Raja Arak memain-

mainkan bola matanya. Biji mata besarnya berputar-

putar tak karuan. Dengan cara itu, lelaki buncit jago 

mabuk itu berusaha membuat dirinya sepusing mung-

kin. Baginya, semakin kepalanya memberat, akan se-

makin lancar jurus-jurus tingkat tingginya mengalir ke-

luar.

Terbukti begitu melancarkan serangan, gerakan 

Raja Arak jadi kian hebat. Deru yang dihasilkan gerak-

nya bertambah kencang. Kesinambungan jurusnya pun 

kian meninggi. Meski begitu, semuanya tetap terlihat 

kacau tak beda sebelumnya. Jelas, jurus 'Pemabuk 

Mengencani Angin' telah menampakkan bentuknya!

Sementara, Bidadari Cakram Terbang merasa agak 

heran menyaksikan tindakan Raja Arak. Bukan sifatnya 

kalau jurusnya diperas hanya untuk perkara kecil tak 

berarti terhadap seorang pemuda yang pongah. Kalau 

kini lelaki yang memiliki daya pikat tersendiri di dunia 

persilatan itu mengerahkan salah satu jurus andalan-

nya, apakah tidak aneh?

Sebenarnya sifat Raja Arak yang dikenal Bidadari

Cakram Terbang tidak begitu. Biasanya lelaki berpikiran 

bijak ini lebih suka menyingkir untuk perkara sepele. 

Namun kenapa kali ini tidak? Apa ada sesuatu yang ti-

dak beres? Mungkinkah dia bukan Raja Arak sesung-

guhnya?

Runtunan pertanyaan dalam benak wanita itu tak 

sempat mendapat jawaban, karena perhatiannya kini 

tersita pada dua petarung tingkat tinggi yang sudah siap 

bertukar jurus kembali di depan sana....

Werrr...!

Tiba-tiba memporakkan segalanya ketika tahu-

tahu berkelebat bayangan tinggi besar yang menerabas 

deras. Memporakkan hati Bidadari Cakram Terbang. 

Memporakkan pula keasyikan orang-orang yang me-

nyaksikan pertarungan.

Gerakan bayangan itu tak terduga dan tak terhindarkan 

lagi, dari arah matahari siap bertelungkup. Kelebatan-

nya menggiring angin besar di sisi-sisinya, menerbang-

kan debu dan dedaunan kering. Menggeleparkan pa-

kaian kelima orang-orang yang ada di sana. Begitu tiba, 

semuanya terjadi begitu cepat

Desss...!

"Hekh...!"

Raja Arak mendadak tersentak di tempat dengan 

keluhan tertahan. Kembangan jurus yang mengalir ter-

penggal seketika. Tubuhnya mengejang sebentar. Ma-

tanya membesar. Segenap urat-urat wajah dan tubuh-

nya meregang bersamaan.

Sesudahnya. langkah Raja Arak menjadi demikian 

limbung. Bukan lagi karena jurus-jurus mabuknya, me-

lainkan ada sesuatu yang menghantam tubuhnya demi-

kian telak tak terhindari.

Tiga-empat langkah ke belakang, Raja Arak tersu-

rut. Wajahnya menjadi pucat sekali. Darah di wajahnya 

seperti baru saja terperas sekian kejap yang lalu.

"Hoeeekkk...!"

Menyusul kejadian itu, dari mulut Raja Arak ter-

muntahkan darah kental kehitaman. Simbahannya me-

nyiram tanah kering di bawah kaki. Dari telinga dan hi-

dungnya pun mengalir darah encer menyertai muntah 

darahnya.

Kelebatan tadi benar-benar menjinjing bahaya tak 

terduga. Tak hanya bagi Raja Arak, juga bagi Bidadari 

Cakram Terbang. Dalam selang waktu yang terlalu tipis 

untuk dihindari, kelebatan bayangan tadi telah pula tiba 

tepat di dekat wanita itu.

Kalau Raja Arak tak mampu membendung anca-

man yang menghampiri, Bidadari Cakram Terbang tidak 

begitu. Wanita ini masih sempat menyadari. Dengan na-

luri tajamnya, perempuan itu berusaha menepis bahaya. 

Tak kalah cepat dengan kelebatan bayangan tadi, di 

pompanya tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Wak-

tunya demikian ketat baginya untuk membuat tindakan 

seperti itu. Jelas akan menjadi tindakan teramat sulit. 

Tapi dia harus melakukannya. Kemudian.... Dash!

Terdengar benturan tenaga dalam berkekuatan 

dahsyat. Seperti keadaan Raja Arak barusan, tubuh Bi-

dadari Cakram Terbang pun tersentak seketika. Tenaga 

dalamnya sudah tersalur sempurna ke sekujur tubuh-

nya, ketika bayangan tadi tiba. Tangannya pun berhasil 

memapak serangan gelap dengan kandungan tenaga da-

lam tingkat tinggi. Tapi nyatanya, itu sama sekali tak 

menjamin dirinya luput dari bahaya.

Sebentar kemudian, keadaan wanita itu tak jauh 

beda dengan Raja Arak. Wajahnya memucat. Tubuhnya 

terhuyung limbung. Mulut, hidung, dan telinganya ber-

simbah darah! Padahal dua tokoh yang baru terpedaya 

ini adalah orang-orang kawakan yang terbilang disegani! 

Kedigdayaan mereka tak diragukan lagi. Banyak tokoh 

sesat tingkat atas yang mesti kehilangan nyawa di tangan mereka.

Sekali ini, mereka tampaknya berhadapan dengan 

tokoh biangnya tingkat atas. Sesepuh sakti yang belum 

lagi diketahui. Namun telah jelas bagi keduanya kalau 

orang itu adalah tokoh sesat berperangai iblis!

Apa yang sesungguhnya terjadi? Begitu tanya wa-

nita berambut pendek dan si wajah tikus di muka kedai. 

Mereka dibuat terperangah oleh kenyataan di depan ma-

ta. Bahkan beberapa saat kemudian, baru disadari ka-

lau seseorang telah datang melakukan serangan.

Untuk keadaan yang bisa saja mendongkel nyawa 

keluar dari raga, Raja Arak dan Bidadari Cakram Ter-

bang tak ingin lama-lama mendiamkannya. Dengan su-

sah payah mereka menghempos hawa murni dalam tu-

buh. Luka yang diderita menggerogot secara cepat. Ter-

lambat dalam hitungan helaan napas saja, bisa beraki-

bat konyol.

Sementara lelaki dan perempuan yang tengah ber-

kutat mengatasi luka dalam, lelaki dan perempuan lain 

di muka kedai masih dipaksa terpana melihat sosok lain 

di sisi Tendangan Bayangan Seribu. Di Sana, telah ber-

diri sosok angker bertubuh besar seperti gambaran to-

koh Bima dalam pewayangan. Wajahnya amat memikat, 

berhias cambang tipis serta lintangan kumis lebat. Ber-

sit matanya kasar, bengis dan telengas. Pakaian rompi 

kulit macan menutupi sebagian dadanya yang kekar 

berbulu. Dengan berdiri memancang tubuh perkasa, 

pendatang baru itu memainkan peta kulit binatang yang 

sudah berada di tangannya.

Kedua mata Bidadari Cakram Terbang menyempil 

menyaksikan orang itu. Ada kecamuk amarah yang ber-

gejolak dalam dirinya. Bukan hanya soal peta yang dire-

but secara menakjubkan saja penyebabnya. Tapi, kare-

na wajah itu pernah dikenalnya....

***

4

Permainan judi koprok sedang seru-serunya di se-

buah gubuk reyot, tak terlalu jauh dari depan kedai 

tempat pertarungan antara Raja Arak dan Bidadari Ca-

kram Terbang melawan Tendangan Bayangan Seribu 

yang kini dibantu sosok bertubuh tinggi besar.

Tiga lelaki tengik yang petantang-petenteng di kedai kini 

mulai dibuai kesenangan. Urat leher mereka mengge-

lembung, disesaki tawa penat atau teriakan menggila. 

Rupanya uang mereka telah berhasil dimenangkan 

kembali dari kantong uang lelaki berpakaian perlente.

Batok kelapa pengocok dadu dibuka untuk kese-

kian kali. Tiga dadu di atas piring kayu memperlihatkan 

beberapa angka. 

"Aku dapat!"

Satu orang lelaki tengik berseru serak, nyaris keke-

ringan suara sendiri. Lalu di raupnya keping-keping 

uang di atas meja penuh kerakusan. Matanya berbinar-

binar, seakan memantulkan cahaya ketamakan dari se-

tiap keping uang yang didapatnya.

Sementara lelaki perlente bertubuh kurus melipat wa-

jahnya. Pundi uang yang sebelumnya dimenangkan su-

dah ludes kembali. Tiga lelaki bertampang sial di depan-

nya telah berhasil menguras kemenangan. Sekarang dia 

akan miskin lagi. Benar-benar terkapar miskin. Sebab, 

pundi uang itu adalah modal terakhirnya setelah men-

jual seluruh harta kekayaannya!

Saat keping-keping uangnya kian menipis, terlintas 

di benak lelaki perlente itu untuk mencari modal baru. 

Modal yang harus lebih besar, agar nanti mengeruk 

keuntungan sebakul.

Namun belum juga lelaki perlente ini menemukan 

jalan, seorang pemuda masuk dengan lagak serampan-

gan. Kursi sarang kepinding di sisi meja bundar di tem-

patinya. tanpa mempedulikan tatapan keempat para 

penjudi. Wajahnya keningratan. Tapi jika melihat pe-

nampilannya, orang lebih suka menganggapnya gelan-

dangan. Lusuh, tak terurus dengan pakaian hijau pu-

pus. Belum lagi rambutnya yang panjang sebahu. Kain 

bercorak catur di bahunya dikibas-kibaskan untuk 

mengusir gerah.

"Kocok lagi," ujar pemuda itu enteng pada Bandar 

bergigi keropos kehitaman.

"Mau ikut main?" tanya lelaki bertampang jelek di 

sebelahnya.

Si pemuda menggeleng. Mulutnya cengengesan. 

"Kalau ikut main, aku pasti menang," tukas pemuda ini 

acuh, penuh keyakinan.

"Mana modal mu?" tanya lelaki lain, panas seperti 

menantang.

Pemuda berbaju hijau pupus itu mengeluarkan 

kantong uang sebesar kepalan tangan. Diletakkannya 

kantong itu lambat-lambat di sisi meja. Begitu tangan 

lelaki di dekatnya hendak meraih....

Slap!

"Hah?!"

Kantong itu tahu-tahu sudah menghilang. Keempat 

lelaki di dekat pemuda itu terperanjat. Mereka tak men-

gerti, bagaimana kantong uang bisa hilang begitu saja?

"Jangan bingung," ujar si pemuda, masih menjaga keen-

tengan ucapannya.

Pemuda ini membuka tangan kanan. Nyatanya kan-

tong uang itu telah berada di sana.

"Aku tak akan membiarkan uangku keluar dari 

kantong ini, kalau tak kalah dalam permainan koprok 

kalian. Kalian mengerti?" kata pemuda itu lagi, agak

sombong.

Dengan kebodoh-bodohan, keempat lelaki di seki-

tarnya mengangguk-angguk seperti sapi di cocok hi-

dungnya.

"Ayo, kocok lagi! Tunggu apa lagi?!" bentak pemuda 

ini, membuat keempat lelaki tadi hampir saja meloncat 

dari kursi masing-masing. Permainan dimulai lagi.

Dalam berjudi, kecurangan bukan hal aneh. Selama 

tidak diketahui, tindakan itu tak akan jadi persoalan. 

Lain lagi jika kelicikan itu terendusi.

Bandar berwajah brewok yang tak pernah putus 

mengisap rokok kawungnya dalam beberapa kesempa-

tan, melakukan kecurangan. Satu orang sudah hampir 

sekarat kehabisan uang. Dua yang lain memang masih 

cukup mendapat kemenangan. Namun kalau hendak 

melihat hasil. Bandar itu yang paling banyak mengeruk 

kemenangan. Tumpukan uangnya terus meninggi. Kalau 

kecurangannya terus berjalan, bisa dipastikan seluruh 

uang penjudi bakal di ludeskannya.

Namun akankah Bandar brewok itu terus begitu. Se-

bab,. anak muda yang baru datang agaknya tak gam-

pang dikelabui. Matanya yang bergaris tajam sejeli tata-

pan elang, bisa menangkap ketidakberesan kocokan 

Bandar.

Tiga dadu dalam tempurung kelapa tidak bisa saja 

bergulir menentukan angka. Si Bandar, rupanya turut 

campur dalam penentuan. Dengan kelihaiannya me-

mainkan tenaga dalam, diaturnya biji dadu untuk keun-

tungannya.

Sementara, pemuda berpakaian hijau pupus mulai 

memasang taruhannya. Dua keping uang perak dikelua-

rkan. Hanya dua keping. Itu pun tidak dikeluarkan dari 

kantong uang yang sebelumnya diperlihatkan, melain-

kan dari ikatan pinggangnya. Lambat, digesernya dua 

keping uang logam itu ke satu angka di atas meja.

Bandar melirik pemuda itu. Sambil melirik, tan-

gannya terus memutar batok kelapa di tangan.

Penjudi lain tak ketinggalan memasang. Pada meja 

yang sama, pada angka berbeda.

Selanjutnya....

Prak!

Batok kelapa telah ditelungkupkan di atas meja. 

Tangan sang Bandar siap mengangkatnya. Penjudi lain, 

termasuk pemuda berbaju hijau pupus boleh menunggu 

angka berapa yang bakal keluar. Yang lain mungkin 

menatap dengan mata sesak harap. Namun tidak untuk 

si anak muda. Dia tenang-tenang saja memainkan kan-

tong uang di depannya.

Mata sang Bandar melirik sebentar ke angka-

angka di atas meja.

Sedangkan pemuda berpakaian hijau pupus justru 

melirik wajah lelaki Bandar yang memegang batok kela-

pa. Bibirnya sedikit terungkit manakala menyaksikan 

bersit kecurangan melintas di mata orang yang dilirik.

Pada saat itu, sang Bandar memang sedang me-

nyalurkan tenaga dalam ke tangan. Pendengarannya 

yang cukup tajam dimanfaatkan untuk menentukan su-

ara amat halus yang begitu di hapalnya. Perbedaan sua-

ra gesekan permukaan dadu pada meja, membuatnya 

sanggup menentukan angka mana yang bakal muncul.

Selain sang Bandar dan pemuda berbaju hijau pupus, 

tak ada yang bisa menangkap gesekan sehalus itu. Bu-

nyinya bahkan lebih lembut dari suara sayap seekor le-

bah kecil.

"Angkatlah!" ujar si perlente tak sabar.

Di antara yang Iain, wajah lelaki ini paling tegang. 

Sebab, ini taruhan terakhirnya. Kalau tak berhasil me-

nang, habislah harapannya. Istrinya yang menumpang 

di rumah mertua bakal menceramahinya seumur hidup.

Batok kelapa dibuka.

Bukan alang kepalang terperanjatnya Bandar dan 

tiga lelaki di dekat pemuda berbaju hijau menyaksikan 

biji-biji dadu masih berputaran liar. Berputar pelan saja 

sudah mustahil. Apalagi berputarnya demikian cepat!

Cepat sang Bandar menyadari, ada seseorang yang 

mengusili siasatnya. Kecurangannya diketahui. Dan ca-

ra itu pasti untuk menelanjangi kelicikannya.

Dari biji-biji dadu yang masih berpusing liar, mata 

sang Bandar beralih pada anak muda yang justru me-

masang wajah tak bersalah. Begitu asyik putaran dadu

diperhatikan dengan bibir tak lekang dari senyum.

Tahulah kini sang Bandar kalau anak muda itulah 

yang menjajal tenaga dalamnya. Geram sekali hatinya. 

Tanpa terlihat, disalurkannya lagi tenaga dalam dari te-

lapak tangannya.

Putaran dadu melambat. Melambat dan kian me-

lambat. Sang Bandar ganti tersenyum, mengejek pemu-

da berpakaian hijau. Dikiranya dadu akan segera ber-

henti pada angka yang ditentukan. Itu artinya dua ke-

menangan. Satu untuk kemenangan pamer kekuatan, 

dua untuk kemenangan taruhan.

Namun bila sang Bandar mengira bakal unggul yang je-

las keliru! Begitu ketiga dadu hampir berhenti berputar, 

mendadak saja putarannya meningkat kembali. Lebih 

menggila dari sebelumnya. Lebih hebat dari putaran 

gangsing.

"Bangsat...," desis sang Bandar dalam hati. Ra-

sanya dia begitu ditantang oleh anak muda di dekatnya.

Untuk kedua kalinya, sang Bandar memompa te-

naga dalam ke dadu melalui meja. Sebelumnya memang 

terlihat putaran dadu melambat. Sekali ini, malah tidak. 

Dicobanya lagi. Putaran dadu hanya berubah sesaat. Se-

lanjutnya makin tak terkendali!

Sang Badar penasaran. Kekuatan tenaga dalamnya 

merasa ditantang habis-habisan. Maka habis-habisan

pula dikerahkannya.

Tiga lelaki lain terpana-pana menyaksikan keganji-

lan di atas meja. Wajar saja, karena ketiganya memang 

sama sekali awam dengan tenaga dalam.

Pengerahan tenaga dalam yang terus digenjot oleh 

sang Bandar tak cukup berarti. Ketiga dadu di atas pir-

ing kayu malah makin hebat berpusing.

Sang Bandar berkutat dengan tenaga dalamnya 

sendiri.

Sementara itu pemuda berbaju hijau tak tampak 

melakukan apa-apa. Sikapnya masih tetap tenang sam-

bil memainkan sudut bibirnya. Bahkan mulai pula men-

cukil-cukil telinga dengan jari kelingking.

Sedang buat sang Bandar sendiri, keringat sebesar 

ujung kelingking perlahan bersembulan, membanjiri 

kening dan lehernya. Tenaga dalamnya benar-benar ha-

bis-habisan dikerahkan. Sesaat lagi, pengerahannya 

akan sampai puncak. Tapi, tak ada yang berubah. Da-

lam hati, di kutuknya pemuda itu dengan serangkai caci 

maki terkotor. Siapa anak muda ini? Kenapa begitu en-

teng menghadapi tenaga dalam yang sudah nyaris di ku-

rasnya?

Sampai akhirnya, mulai merebak asap tipis di seke-

liling dadu. Kekuatan putaran itu telah membuat gese-

kan hebat antara dadu dengan piring kayu. Bila gesekan 

makin sengit, maka panas pun menanjak terus. Tak he-

ran bila asap tipis muncul.

Tak lama berikutnya, bukan lagi asap tipis yang menge-

pul.

Bressshhh!

Dalam sekejap, api telah memangsa ketiga dadu. 

Piring kayu telah berlubang pada tiga bagian yang mas-

ing-masing api menjilat kecil.

"Utsss...!"

Brakkk...!

Kala yang bersamaan, sang Bandar tersentak ke be-

lakang. Kursinya ambruk terpatah. Dia terpuruk di lan-

tai. Nafasnya terengah-engah tak beraturan. Dengan ra-

sa lemas menggerayangi segenap persendian, dia bang-

kit susah payah.

"Heiii, aku menang!" seru pemuda berbaju hijau 

seraya melonjak girang.

Tiga dadu yang hampir hangus telah memperli-

hatkan angka. Tentunya, angka yang dipasang pemuda 

itu. Lalu, diraup keping-keping uang di atas meja, di 

bawah tatapan kosong ketololan tiga lelaki di sekeliling-

nya.

"Siapa kau?" tanya sang Bandar.

Bandar ini mulai menyadari kalau dirinya tengah 

berhadapan dengan salah satu 'naga' dunia persilatan. 

Sementara dia sendiri bukanlah apa-apa. Tenaga da-

lamnya mungkin hanya seujung kuku kemampuan si 

pemuda.

Pertanyaan sang Bandar tak mendapat sambutan. 

Di samping pemuda itu tak mau menjawab, ada pula 

sebab lain. Pintu gubuk reot tiba-tiba ambrol secara 

aneh. Pecahan daun pintu berhamburan ke luar ruan-

gan. Jelas, ada tenaga yang menghantamnya dari luar. 

Dan semestinya, daun pintu terhambur ke bagian dalam 

ruangan.

Hanya satu pikiran yang terbetik di benak pemuda 

berbaju hijau. Ada orang lain yang mau turut ambil ba-

gian dalam unjuk kesaktian di gubuk reot itu....

***

5


Dua sosok memasuki gubuk perjudian. Kesemua-

nya lelaki. Mereka tak lain Tendangan Bayangan Seribu 

dengan lelaki tinggi besar yang telah mencederai Bida-

dari Cakram Terbang dan Raja Arak.

Dari wajah, tampak betapa yakinnya mereka ma-

suk tempat perjudian ini. Seakan, mereka tahu sesuatu 

yang dikehendaki berada di sana. 

Semua orang di pinggir meja judi mengalihkan 

pandangan. Bersamaan mereka menatap kedua lelaki 

pendatang baru. Suasana jadi legang mencekik. Sepi. 

Bahkan sisa debu kayu jatuh pun mungkin terdengar 

gemerisiknya.

Kecuali pemuda berpakaian hijau, lelaki di meja ju-

di terpaksa harus lebih lama terpana. Sebelumnya me-

reka terbengong-bengong menyaksikan dadu 'ajaib'. Se-

karang menyaksikan pintu berantakan secara 'ajaib' pu-

la. Takutnya, di antara mereka ada yang sakit jantung. 

Bisa-bisa mati berdiri dengan mata membeliak dan mu-

lut menganga.

Kesialan tiga bajingan buduk yang petantang-

petenteng di kedai tadi belum selesai. Selagi mematung 

dengan raut wajah tolol kelewatan, tangan besar lelaki 

seperti Bima mencengkeram kerah baju mereka satu 

persatu, lalu dilempar ke luar gubuk. Enteng, bagai me-

lempar sekaleng kerupuk kulit.

"Wuaaa!"

Di luar, terdengar teriakan kacau. Mereka kontan 

pontang-panting melarikan diri sambil terus menjerit-

jerit tak karuan. Mudah-mudahan tak ada yang jadi 

sinting!

Sementara lelaki perlente dan sang Bandar pun 

bakal mendapat giliran. Begitu tiba giliran lelaki perlente, orang kurus berpakaian mencolok itu mengangkat 

tangan tinggi-tinggi.

Terima kasih, terima kasih! Aku bisa melakukan-

nya sendiri!" ucap lelaki perlente, cengengesan seraya 

berlari keluar.

Sebelum tiba di pintu, lelaki itu melompat seken-

cang-kencangnya, kemudian jatuh berdebam di luar. 

Dia lebih suka membuang diri sendiri, ketimbang harus 

dilempar keluar secara mengerikan seperti yang lain.

Kini tinggal pemuda berpakaian hijau. Sikapnya tetap 

tak peduli. Terus saja telinganya dikorek-korek dengan 

asyik. Wajahnya meringis-ringis sesekali.

"Cara kalian masuk tak punya tata krama," kata 

pemuda ini.

Dua lelaki itu menatapnya. Tajam-tajam, seakan 

ingin menelannya hidup-hidup.

"Apa kalian tak bisa mengetuk pintu dulu? Atau, 

kalian ingin agar aku mengajari kalian sedikit sopan-

santun?"

Ucapan pemuda itu tetap tak digubris. 

"Hei, hei!" Dengan lagak tengik, pemuda ini me-

lambai-lambaikan tepat di depan wajah dua lelaki yang 

terus mengawasinya tanpa gemik.

"Aku tidak bicara dengan monyet-monyet hilang 

ingatan, bukan?" tukasnya meninggi.

Dongkol juga rupanya anak muda itu, karena di-

anggap sekadar kentut.

Dari diamnya, si lelaki tinggi besar mendadak 

membuat gerakan. Telapak tangannya dihadapkan ke 

arah meja judi. Saat itu juga, meja bergeser ganas. Bah-

kan mencoba menanduk si pemuda. Jarak yang demi-

kian dekat, membuat pemuda itu tak bisa lagi menghin-

dar. Tubuhnya terseret cepat. 

Brak!

Bersama meja. pemuda berpakaian hijau menjebol

dinding kayu gubuk. Tubuhnya terus terbawa sampai di 

dekat pohon besar, lalu terjepit. Himpitan meja teramat 

kuat. Pada jarak yang begitu jauh, lelaki tinggi besar 

masih bisa mengatur tenaga dalamnya pada meja. 

Sungguh permainan kekuatan yang luar biasa!

Sementara, pemuda berpakaian hijau meringis da-

lam himpitan pohon besar dengan meja di perutnya.

"Hei? Apa kalian hendak menggagahi ku. Sebaiknya 

kalian kuberitahu, aku ini lelaki lho!" celoteh si pemuda 

seenak perut. Rasa sakit luar biasa di perutnya seperti 

tak pernah dirasakan. Matanya kemudian terpejam. Tak 

lama berselang, meja judi yang menjepit meluncur kem-

bali ke tempat semula. Geraknya tersendat-sendat. Se-

bentar meluncur ke arah gubuk, sebentar kemudian me-

luncur kembali ke arahnya.

Tak pelak lagi, adu tenaga dalam terjadi. Berbeda den-

gan kejadian dadu di atas meja, sabung tenaga dalam 

kali ini tidak main-main. Dua kekuatan tenaga dalam 

tingkat tinggi sedang berlangsung.

***

Sabung tenaga dalam antara anak muda berpa-

kaian hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor mela-

wan lelaki tinggi besar di kedai masih berlangsung. Ja-

rak yang cukup berjauhan, tak menyulitkan keduanya 

untuk saling menyalurkan tenaga dalam ke meja.

Ajang adu kesaktian makin memuncak. Sementara 

tekanan berat dari dua arah berlawanan, menyebabkan 

meja tak kuat bertahan lebih lama. Lalu....

Brak!

Hancurlah meja bundar untuk ajang perjudian itu. 

Kepingannya berhamburan sederas peluru. Sebagian 

menancap di dinding gubuk, sebagian lain menembus

pepohonan. Kalau saja ada orang tak cukup memiliki 

ilmu kedigdayaan, tentu akan menjadi korban.

"Nah! Selesai sudah main-main kita," ujar Pende-

kar Slebor.

Keringat mengkuyupi sebagian pakaian Andika. Di-

akui, tenaga dalam lelaki tinggi besar barusan tergolong 

amat sulit dilawan. Pengerahan tenaga dalam warisan 

Pendekar Lembah Kutukan tingkat sepuluh telah dike-

rahkan. Namun tak ada tanda-tanda lawan akan terde-

sak. Kalau lebih dari setengah kemampuan tenaga da-

lamnya sudah dikerahkan seperti itu, bisa dinilai kehe-

batan lawannya yang mungkin setingkat dengan tokoh-

tokoh jajaran atas. Atau malah lebih tinggi. Andika ma-

sih sulit menentukan.

Sementara dari gubuk tak mengeluarkan seorang 

pun dari sana.

Andika bersiaga. Dikiranya lawan akan melakukan 

sesuatu yang gila lagi. Mungkin serangan susulan yang 

lebih hebat. Serangan yang bisa membuatnya cukup ka-

lang-kabut, mengingat kesaktian lawan masih belum 

dapat di ukurnya.

Ditunggu sekian lama, tak juga ada serangan. Ba-

tang hidung dua lelaki tadi pun tak dilihatnya.

Si pendekar muda godokan Lembah Kutukan jadi 

tak sabar.

"Kalian rupanya mau main kucing-kucingan, heh!" 

rutuk Andika dongkol setengah mampus.

Sifat usil Pendekar Slebor pun menjangkit. Otak-

nya berkutat sejenak. Dan ditemukannya cara konyol 

untuk mengakhiri kucing-kucingan menyebalkan itu. 

"Heaaa!"

Sekuat tenaga pemuda urakan itu meregangkan 

otot tenggorokannya. Wajahnya sampai mematang kare-

nanya. Siapa pun yang mendengar teriakan menggelegar 

barusan akan menyangka pemiliknya sedang murka.

Tentu pula akan disusul amukan menggila.

Tapi, yang dilakukan Pendekar Slebor selanjutnya 

justru tak ada. Dia hanya berteriak panjang dan keras di 

tempatnya berdiri. Lalu dengan sedikit mengatur tenaga 

dalam, Andika membuat teriakan-nya bergerak ke arah 

gubuk. Dengan cara itu, ada kesan kalau dirinya sedang 

berlari liar menuju gubuk.

Brosss...! Brosss...!

Akal bulus Andika membawa hasil. Dua lelaki di 

dalam sana mendadak saja keluar menjebol wuwungan. 

Sungguh mati, disangka akan ada serangan maha hebat 

menuju mereka. Karena itu mereka berusaha menghin-

dar dengan melompat sebisa-bisanya ke atas.

"He he he!"

Pendekar Slebor terkekeh menyaksikan dua lelaki 

bertengger di atas wuwungan dengan wajah agak terhe-

ran-heran. Selanjutnya wajah mereka berubah gusar, 

setelah tahu kalau baru saja dikadali pendekar muda 

berotak encer!

"Ngomong-ngomong, kalian ini siapa? Kenapa tiba-

tiba saja mengusili keasyikan ku?" tanya Andika. La-

gaknya seolah-olah tak punya dosa.

"Kami tak butuh untuk memperkenalkan diri pa-

damu, Pendekar Slebor!" seru Tendangan Bayangan Se-

ribu, pongah.

"Hei? Rupanya kau kenal aku! Pasti kau salah seo-

rang pengagum ku, bukan?!"

"Kami punya kepentingan padamu, Pendekar Sle-

bor!" terabas lelaki berperawakan seperti Bima, tak ingin 

menggubris ocehan ngawur Andika.

"Kalian punya kepentingan? Ah! Kalau aku sih ti-

dak!"

"Jangan main-main! Kami minta kau mengantar 

kami ke Lembah Kutukan!"

"Kalian pasti sinting! Kenal saja belum, tapi bisa

bisanya yakin kalau aku akan mengantarkan kalian ke 

Lembah Kutukan...."

Wajah Andika tiba-tiba terbengong. Anak sapi ma-

sih kalah jelek dari tampangnya saat itu.

"Kalian tadi bilang Lembah Kutukan?" tanya Pen-

dekar Slebor, baru terperangah karena telat mikir. "Apa 

kalian mengigau? Ya ya, pasti kalian mengigau di siang 

bolong!"

Memang, Lembah Kutukan bukan tempat asing 

buat Pendekar Slebor. Di sanalah penyempurnaan ke-

pendekarannya dijalani. Di sana pula dia dipaksa amu-

kan lidah petir untuk menciptakan jurus-jurus anehnya. 

Juga, di tempat tersebut Andika memakan buah 'inti pe-

tir' yang menyebabkan tubuhnya bisa menyerap kekua-

tan petir!

Biar bagaimanapun, tempat itu telah membuat 

Andika kapok. Biar dipaksa setan belang sekalipun, tak 

bakalan sudi kembali ke sana. Sebab, hanya orang tak 

waras yang berniat datang ke tempat itu. Begitu pikir 

Andika. Kalaupun dulu didatanginya juga, itu semata 

karena mesti menjalani penyempurnaan kesaktian. (Un-

tuk lebih jelasnya; baca episode 'Dendam dan Asmara')

"Hei, aku ingat sekarang! Kalau begitu, kalianlah 

yang mengundang aku untuk datang ke tempat ini!" tu-

kas Andika begitu terbersit ingatan di benaknya.

Tiga hari lalu, Pendekar Slebor memang telah 

mendapat kabar dari seorang utusan tak dikenal untuk 

datang ke tempatnya sekarang di pinggiran Karisidenan 

Karawang. Kata utusan itu, ada hal amat mendesak 

yang harus diketahui. Maka Andika pun berusaha da-

tang, dan sampai ini hari.

"Bukan urusanmu, apakah kami mengundangmu 

atau tidak! Sekarang, jawab permintaan kami. Apakah 

kau akan mengantar kami memasuki Lembah Kutu-

kan?!" tukas lelaki seperti Bima.

"Ooo," Andika menggelengkan kepala berkali-kali 

dengan mulut monyong. "Aku tak akan datang lagi ke 

sana. Aku sudah bersumpah. Sampai mampus tak sudi 

lagi kembali ke sana!"

"Kalau begitu, kau akan kami paksa!" tandas Ten-

dangan Bayangan Seribu. Andika terkekeh.

"Memaksa?" tanya Andika dengan wajah mence-

mooh. 

"Ya!"

Andika terkekeh lagi. Makin menjengkelkan.

"Jangan...," katanya. "Kalian akan membuang te-

naga percuma memaksaku memasuki tempat itu. Aku 

sudah kapok! Kapok, tahu?!"

Si anak muda urakan, terlihat sengit sekali. Wa-

jahnya cepat berubah, menampakkan kedongkolan.

"Kalau kalian mau pergi ke sana, pergilah sendiri. 

Kalau kalian mau menjadi gila, kusarankan masuklah 

ke tempat itu. Tempatnya... ihhh...."

Andika bergidik. Bahunya terangkat. Nyalinya se-

bagai seorang pendekar memang besar. Tapi untuk uru-

san satu itu, dia sudi dibilang pengecut sekalipun!

"Kalau begitu, aku permisi dulu ah...," kata anak 

muda itu acuh, hendak beranjak seenak perutnya. Ta-

pi....

Wrrr! Jleg!

Tendangan Bayangan Seribu sudah berkelebat dan 

berdiri menghadang Andika. Dari sikap berdirinya tam-

pak sekali kalau pemuda sebaya Andika itu sudah siap 

tarung.

"Kau...," sungut Andika. "Jangan halangi jalanku!"

"Antarkan kami memasuki Lembah Kutukan. Sete-

lah itu, barulah kau akan bebas!" 

Andika melotot.

"Apa ibumu lupa membersihkan telingamu waktu 

kau kecil?" tanya Andika sambil menggeleng-geleng.

Pendekar Slebor lantas maju satu tindak, sambil 

memajukan wajahnya. Telapak tangannya ditegakkan di 

samping mulut. Lalu....

"Aku tidak mau mengantar kalian ke tempat itu!" 

teriak Andika.

Pendekar muda yang sulit ditebak itu lantas hen-

dak melangkah lagi.

"Kau terlalu memaksa, Pendekar Slebor. Hih!"

Mendadak saja, Tendangan Bayangan Seribu men-

jegal langkah Pendekar Slebor. Kakinya membabat me-

nyamping ke arah leher. Cepatnya seperti sapuan kilat.

Wukh!

Namun Andika bukan bocah buduk. Jangankan 

tendangan kilat. Kilat sebenarnya saja sudah pernah di-

hadapinya, sewaktu di Lembah Kutukan, tempat yang 

membuatnya kapok itu. Dengan sekali beringsut ke ba-

wah, tendangan itu sudah berhasil dihindari.

"Menurutmu, aku yang terlalu memaksa atau ka-

lian?" tanya Pendekar Slebor masih dalam keadaan ber-

jongkok.

"Keparat!"

Wukh, wukh!

Seruntun tendangan pemuda berbaju kumal men-

cecar Pendekar Slebor. Dengan tangan di belakang tu-

buh, Andika berkelit ringan kian-kemari. Sementara itu, 

mulutnya terus mengoceh.

"Tendangan mu sudah bagus. Tapi kalau kau beri 

tekanan sedikit pada kuda-kudamu, pasti akan lebih 

bagus," puji Pendekar Slebor, namun seperti mendikte 

ketika suatu kali lawan menghentakkan kaki ke arah 

kepalanya.

Dari bertahannya, Pendekar Slebor menggebrak. 

Kakinya bergerak cepat, menandingi kecepatan kaki an-

dalan Tendangan Bayangan Seribu. Hasilnya....

Desss...!

Brukkk! 

Tendangan Bayangan Seribu ambruk. Sebelah kaki 

pertahanannya berhasil disapu Andika. Keseimbangan-

nya jadi hilang. Dan mulutnya hanya mendesis geram.

"Tuh.... Ku bilang juga apa...," kata Pendekar Slebor 

santai.

"Keparat!"

Tendangan Bayangan Seribu mengkelap. Dia mera-

sa benar-benar dilecehkan. Cepat-cepat pemuda kumal 

ini bangkit. Hendak di genjotnya jurus-jurus andalan.

Maka, jurus-jurus berbahaya yang dipergunakan 

Tendangan Bayangan Seribu untuk menggempur Raja 

Arak pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kemban-

gannya dimainkan teramat cepat dan lincah.

Sementara Andika sempat kagum juga melihatnya. 

Tentu tak akan mudah untuk menghadapi jurus sema-

cam itu.

"Heeeaaa!"

Tendangan Bayangan Seribu menghambur lagi. Ke-

dahsyatan serangannya sudah berlipat ganda dari se-

mula. Sepasang kakinya berubah menjadi senjata maut. 

Setiap kibasan, bisa menghancurkan batuan sungai!

Serangan baru pemuda itu dilakukan dengan mele-

pas tendangan ganda ke beberapa bagian tubuh lawan 

yang mematikan. Untuk serangan itu, tentu saja cukup 

menyulitkan Pendekar Slebor. Jika satu titik tubuhnya 

bisa diselamatkan, maka titik lain akan terancam dalam 

selang waktu sedemikian sempit.

Namun, perhitungan Tendangan Bayangan Seribu ma-

sih terlalu mentah. Salah satu kemampuan

Pendekar Slebor yang justru dikagumi dunia persilatan 

adalah kecepatan bergeraknya yang menakjubkan. Ba-

nyak yang membanding-bandingkan kecepatannya den-

gan kecepatan dedemit telat buang air!

Kalau musuh lain mungkin menghindar sekaligus

membuang diri sejauh-jauhnya dari jarak jangkauan 

kaki Tendangan Bayangan Seribu. Maka Pendekar Sle-

bor malah sengaja diam di tempat. Hanya tangan dan

kakinya yang berkelebatan ngabur. Andika tak menge-

luarkan jurus apa-apa. Tidak juga jurus sakti yang ter-

cipta di Lembah Kutukan. Yang dilakukan hanya me-

musatkan ingatannya pada saat dia sungsal-sumbel 

menyelamatkan diri dari gempuran lidah petir di Lem-

bah Kutukan.

Dan itu menghasilkan jurus dadakan yang ganjil 

sama sekali. Kaki dan tangannya seperti hendak kusut 

saat itu juga. Tapi anehnya, tak ada satu pun tendangan 

kilat lawan yang berhasil menembus!

Sebelum kekalapan Tendangan Bayangan Seribu ter-

lampiaskan, lelaki seperti Bima di atas wuwungan ber-

suit nyaring!

Wajah pemuda kalap tadi menjadi ketat. Giginya 

bergemeretuk. Suitan tadi isyarat dari kawannya untuk 

pergi dari tempat ini secepatnya. Padahal, darahnya su-

dah sampai ke ubun-ubun.

Terpaksa akhirnya Tendangan Bayangan Seribu 

menyingkir juga dari tempat itu. Pergi, sebelum keingi-

nannya terpenuhi.

***

6


Apa yang menyebabkan dua lelaki bejat tadi me-

nyingkir? Pendekar Slebor baru menyadari setelah da-

tang tiga orang dari arah berbeda.

Dua orang datang bersama-sama. Mereka tak lain 

Bidadari Cakram Terbang dan si Raja Arak. Tubuh mereka masih limbung akibat luka dalam. Darah di pa-

kaian sudah mengering. Tampaknya selama Andika be-

rurusan dengan dua lelaki tadi, mereka berusaha men-

gatasi luka dalam masing-masing.

Seorang lagi dari arah berbeda belum lagi diketahui. 

Tapi kelihatannya adalah lelaki uzur. Itu terlihat dari 

rambut panjang berbalut kain putih dan jenggot yang te-

lah memutih rata. Pakaiannya seperti jubah biksu. 

Hanya warnanya coklat, sudah agak kusam.

"Kau yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak Muda?" 

sapa orang tua berjubah biksu.

Sementara Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak 

pun mengajukan pertanyaan sama.

Andika melirik sebentar.

"Mimpi apa aku semalam? Kenapa hari ini tiba-tiba 

saja banyak orang yang mencariku? Apa ada tengkulak 

kolang-kaling yang mengaku-aku dengan julukanku? 

Slompret sekali!" gumam Andika.

"Anak muda! Apa kau Pendekar Slebor?" ulang 

orang tua berjubah biksu.

"Ya ya ya...," sahut Andika akhirnya, ogah-ogahan.

"Bagus!"

"Bagus apanya?" gerutu Andika, sebal. Kalau terus 

begini, Andika merasa jadi tak leluasa bergerak. Ke sana 

sulit. Ke sini sulit.

"Perkenalkan.... Aku Kaki Angin Barat!" lanjut 

orang tua berjubah biksu.

Raja Arak yang baru tiba pun terkejut. "Kau Kaki 

Angin Barat? Ki Mahesa? Guru Tendangan Bayangan 

Seribu?" tanya lelaki buncit itu beruntun seperti tak 

percaya.

"Ya, Saudara. Kau ini siapa?" Kaki Angin Barat 

atau Ki Mahesa balik bertanya.

"Ah! Aku bukan siapa-siapa. Yang jelas, aku hanya 

orang persilatan yang merasa mendapatkan kehormatan

biasa berjumpa dengan dua tokoh besar sekaligus. Kau, 

Ki Mahesa. Dan Saudara Pendekar Slebor...."

Andika sekarang melirik Raja Arak. Bisa-bisanya 

dia memuji, sungut Andika membatin.

"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Andi-

ka dengan keingintahuan yang sudah sejak tadi mem-

bludak. Maka begitu ada kesempatan untuk bertanya 

pada orang yang sedikit lebih bersahabat, langsung di-

lakoninya.

"Biar aku jelaskan, Saudara Andika." sela Bidadari 

Cakram Terbang.

"Kau siapa?"

Andika menemukan wajah manis wanita itu. Si-

kapnya dijamin berubah sempurna. Dari wajah jengkel, 

sekarang sarat dengan senyum ramah. Memang begitu 

adatnya!

"Panggil aku Kemuning," jawab Bidadari Cakram 

Terbang, menyebutkan nama aslinya.

"Nama bagus. Di mana tinggalmu? Kalau boleh, aku 

bisa mengantarmu pulang. Kau sudah punya suami? 

Kuharap belum, ya?" cerocos Andika, mulai ngelantur.

"Maaf, Saudara. Kita tidak ada waktu untuk bergu-

rau," tepis Kemuning tegas.

"Wah! Bisa galak juga rupanya!" gumam Andika di 

hati.

"Akulah yang telah mengundang Saudara ke tempat 

ini," aku Kemuning.

"Mmm.... Kukira dua manusia slompret tadi. Apa 

maksudmu mengundangku?" Andika mulai bersungguh-

sungguh.

"Berkaitan dengan Lembah Kutukan." 

"Itu lagi...," sungut Andika. "Sial! Kenapa dengan 

tempat itu sebenarnya?"

"Sebelum kuberitahu, sebaiknya aku memperkenal-

kan diri."

"Sudah tadi." 

"Maksudku asal-usulku."

"Aku tak begitu berminat. Bagaimana kalau soal 

tempat tinggalmu?"

Kemuning menarik napas. Benar juga desas-desus 

yang didengarnya dari banyak sumber. Pendekar satu 

ini memang urakan. Saking urakannya. Hatinya jadi di-

buat mangkel.

"Saudara Pendekar, Nona ini ingin bicara sungguh-

sungguh," sela Raja Arak, memohon.

"Silakan. Apa aku melarangnya?" tukas Andika, 

cengar-cengir.

"Aku sebenarnya masih mempunyai ikatan persau-

daraan denganmu," lanjut Kemuning.

"Apa?!" Andika terlonjak. Matanya berbinar. Rezeki 

besar menimpanya! Tak disangka kalau dirinya masih 

mempunyai saudara seelok Kemuning.

"Ayahku adalah cucu kemenakan Ki Saptacakra, 

Pendekar Lembah Kutukan."

Andika terus mengamati wajah halus Kemuning. 

Dia masih belum percaya.

"Kenapa orang tua sableng itu tak mengatakan ka-

lau memiliki cicit kemenakan sebagus ini," gumam Pen-

dekar Slebor menyumpahi Ki Saptacakra, buyutnya 

sendiri.

"Saudara Andika...," tegur Kemuning ketika Andika 

terus saja mendeliki wajahnya.

"Ya. Itu namaku," gumam Andika.

"Ehem!"

Raja Arak terpaksa berdehem kencang-kencang. 

Kalau tidak dibegitukan, Andika bisa terus terbengong-

bengong.

"Oh, iya. Apa kau bilang tadi?"

"Aku cicit kemenakan Ki Saptacakra."

"Yang itu aku sudah dengar. Soal Lembah Kutukan

tadi. Apa maksudmu? Kau tak ingin aku mengantar 

memasuki tempat itu juga, bukan?"

Kemuning menggeleng.

"Bagus!" Andika lega. Memang, hatinya selalu ngeri 

membayangkan keadaan di Lembah Kutukan.

"Aku tak ingin kau mengantarku ke Lembah Kutu-

kan. Aku ingin, kau ikut denganku ke dalam sana," 

tambah Kemuning, memberi tekanan.

Andika mendeliki Kemuning lagi. Kenapa mulai 

banyak orang yang bosan hidup? Sayang kalau perem-

puan sebagus dia mau cari mati di sana. Andika jadi 

berkasak-kusuk dalam hati.

"Saudara Andika. Cerita ku belum selesai. Kemun-

ing meneruskan penuturan. Kakek Kemuning, kemena-

kan langsung Ki Saptacakra, menerima amanat dari to-

koh yang sudah menjadi cerita rakyat itu berupa peti 

tua terkunci. Peti itu hanya boleh dibuka, jika sudah 

ada salah seorang dari keturunan Ki Saptacakra mewa-

risi kesaktiannya.

Sewaktu Ki Lantanggeni yang merupakan kakek 

Andika mewarisi kesaktian tersebut, peti itu urung di-

buka. Letusan gunung merapi telah mengubur kotak 

itu. Sampai akhirnya, kakek Kemuning memerintah mu-

rid-muridnya untuk mencari.

Menjelang masa pencarian ke empat puluh tahun, 

kotak itu baru bisa ditemukan kembali. Namun kakek 

Kemuning sudah tak ada umur. Seperti juga Ki Lan-

tanggeni, dari sang kakek peti kecil tua itu di wariskan

kepada sang anak. Sampai akhirnya Kemuning pun me-

nerimanya.

Beberapa waktu lalu sesuai pesan mendiang ayah-

nya, Kemuning memberanikan diri untuk membuka peti 

tersebut. Ternyata di dalamnya hanya ditemukan se-

lembar kulit binatang bergambar peta.

Semula, Kemuning tak mengerti. Namun setelah

beberapa lama meneliti, didapat jawaban kalau peta itu 

adalah petunjuk menuju tempat penyimpanan benda-

benda berharga milik Ki Saptacakra. Dari sandi berupa 

gambar dalam peta, bisa diketahui kalau di samping 

harta berlimpah, di Lembah Kutukan juga tersimpan

senjata-senjata pusaka hasil rampasan Ki Saptacakra, 

dari musuh-musuh yang dikalahkannya.

Setelah mengasingkan diri sekian lama, Kemuning 

memutuskan untuk menjumpai Andika, sebagai salah 

seorang pewaris kesaktian keluarga Pendekar Lembah 

Kutukan.

Dengan mengutus seorang utusan, Kemuning 

mencoba menemui Andika. Pemuda itu hendak diajak-

nya untuk mengambil seluruh benda berharga yang kini 

menjadi milik keturunan Ki Saptacakra.

"Aku sudah tahu kalau di sana ada harta berlim-

pah. Berpeti-peti. Aku memang pernah ke sana," ucap 

Andika, menanggapi cerita Kemuning.

"Karena itu aku ingin meminta tolong padamu un-

tuk menyertaiku ke sana."

"Aku tidak mau. Dan tidak akan mau!" tegas An-

dika.

Bukan masalah kepala batu Pendekar Slebor saja 

yang membuatnya bersikeras. Yang jelas, dia tak sudi 

dihujani lidah petir. Tak sudi berhari-hari mencari jalan 

keluar. Tak sudi hanya makan buah aneh yang hanya 

tumbuh di sana. Dan tak ketidaksudian lain berjejer di 

kepalanya.

"Bukannya aku takut." tukas Andika ngibul. "Lagi 

pula apa hidup harus dengan harta berlimpah? Jalan 

hidupku adalah jalan ksatria. Hidup seadanya sudah le-

bih dari cukup. Banyak harta, tak selalu membuat se-

seorang lebih baik...."

Kemuning melirik Raja Arak. Di dunia persilatan, 

Raja Arak adalah raja kebijakan kalau pikirannya sedang benar. Tapi mendengar kalimat arif yang begitu en-

teng mengalir dari mulut pemuda itu, mau tak mau Raja 

Arak jadi memuji dalam hati.

"Ini bukan masalah harta, Andika," Kemuning 

mencoba menjelaskan. "Sudah kubilang, ini soal senja-

ta-senjata pusaka yang berbahaya bila jatuh di tangan 

orang keliru."

"Aku tetap tidak mau," tandas Andika. Dasar kepa-

la batu!

***

Hari makin beranjak. Siang makin kehilangan ke-

kuatan. Sore turun sebentar lagi. Di sapuan warna lan-

git yang sedikit menguning, dua sosok tubuh mengha-

dang jalan Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya.

"Berhenti kalian!" bentak salah satu sosok.

Tendangan Bayangan Seribu dan kawannya ber-

henti. Bukan hendak menuruti bentakan suara kasar 

tadi, melainkan hanya ingin tahu siapa orang yang lan-

cang terhadap mereka.

Di depan mereka berdiri seorang lelaki berwajah tikus 

dan perempuan berambut pendek yang terlihat pula se-

belumnya di muka kedai. Agaknya lelaki dan perempuan 

itu telah sepakat untuk bekerja sama merebut peta har-

ta Lembah Kutukan dari tangan dua orang yang diha-

dang.

"Serahkan peta harta Lembah Kutukan itu pada 

kami!"

Dua lelaki yang dihadang mendengus.

"Kalian kira siapa diri kalian'?! Berani benar kalian 

menghadang perjalananku?" geram lelaki seperti Bima. 

Wajahnya cepat terbakar. Merah penat.

"Nama besarmu tak akan membuat nyali ku men-

ciut, Dewa Pencuri Ilmu!" tegas lelaki berwajah tikus,

seperti menantang. "Aku Kera Bukit Tengkorak tak akan 

mundur menghadapimu!"

"Rupanya kau yang berjuluk Kera Bukit Tengkorak 

itu?" kata lelaki tinggi besar yang ternyata dikenal seba-

gai Dewa Pencuri Ilmu, meremehkan.

Di dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu dikenal da-

ri golongan hitam. Julukan yang disematkan, karena 

kebiasaannya mencuri ilmu dari satu perguruan besar 

ke perguruan besar lain, dari satu orang ke orang lain.

Sementara, pemuda yang mengaku Tendangan 

Bayangan Seribu tak lebih dari muridnya. Pemuda itu 

mencoba mengaku-aku sebagai salah seorang tokoh dis-

egani yang berjuluk Tendangan Bayangan Seribu, kare-

na telah berhasil mencuri jurus inti 'Tendangan Bayan-

gan'.

"Dan kau perempuan buruk. Aku kenal kau. Si 

Hantu Tongkat Pendek, bukan? Hm.... Aku tau, kalian 

hendak bersekongkol merebut peta harta Lembah Kutu-

kan dari tanganku?"

Dewa Pencuri Ilmu terbahak pendek. Sebentar ke-

mudian, wajahnya tegang kembali. "Kalian hanya mim-

pi!" dengusnya, lantang.

"Kalau begitu, kami akan memaksamu menyerah-

kannya pada kami! Heaaa...!"

***

7


Hari terpuruk makin lelah. Dalam kepayahan ma-

tahari senja yang melempar sinarnya dari hadangan pe-

lipis bumi barat, pertarungan antara Dewa Pencuri Ilmu 

dan muridnya melawan Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek mulai mendekati puncak.

Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek 

jelas-jelas bukan tandingan kedua lawannya. Jangan-

kan menghadapi guru dan murid itu sekaligus, meng-

hadapi Dewa Pencuri Ilmu sendiri saja, mungkin mereka 

masih sulit menang.

Di gelanggang dunia persilatan, Dewa Pencuri Ilmu 

memang berada beberapa tingkat di atas Kera Bukit 

Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek. Menyadari hal 

itu, maka Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat 

Pendek mengadakan kesepakatan di kedai untuk berse-

kongkol.

Apalagi ketika mereka menyaksikan, bagaimana 

Bidadari Cakram Terbang dan Raja Arak dapat dilukai 

begitu saja oleh Dewa Pencuri Ilmu dalam sekali gebrak!

Satu hal yang terlupakan, bahwa Dewa Pencuri Il-

mu bukan hanya unggul dalam kedigdayaan, tapi juga 

unggul dalam pengalaman. Dewa Pencuri Ilmu lebih tua 

satu angkatan ketimbang mereka. Memang, wajah dan 

penampilannya tak mengundang dugaan orang kalau 

usianya sudah cukup lanjut.

Hanya karena nafsu keserakahan, memungkinkan 

Kera Bukit Tengkorak dan Hantu Tongkat Pendek men-

jadi mata gelap. Ada ibarat yang tepat untuk itu. Semut 

di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata tak 

disadari. Dan kealpaan mereka membawa akibat yang 

harus diterima.

Weshhh!

Degh!

"Aaa...!"

Satu sambaran berkecepatan angin melabrak Han-

tu Tongkat Pendek. Senjatanya kalah cepat dibanding 

tandukan bahu Dewa Pencuri Ilmu ke bagian buah da-

danya.

Tubuh perempuan berambut cepak itu terlempar

disertai jeritan kesakitan. Buah dadanya mungkin han-

cur, sekaligus bagian tubuh dalamnya. Dewa Pencuri 

Ilmu memang mempergunakan sebisa-bisanya seluruh 

anggota tubuh, untuk dijadikan senjata. Gerakannya 

memang mengagumkan. Dengan kemampuan seperti 

itu, dia mampu menggunakannya untuk mencuri jurus-

jurus sakti.

Maka tak heran bila jurus-jurusnya jadi campur 

aduk.

Hantu Tongkat Pendek tergeletak berlumur darah. 

Wanita buruk itu mati seketika, selang sekejap dari jeri-

tan menyayatnya.

Kini tinggallah Kera Bukit Tengkorak seorang diri. 

Meski masih dibakar nafsu menguasai peta harta Lem-

bah Kutukan, otaknya masih bisa menyadari kalau kea-

daan sudah tak menguntungkan lagi. Menghadapi Dewa 

Pencuri Ilmu sendiri saja sudah sulit. Apalagi harus 

menghadapi guru dan murid itu.

Maka pikir punya pikir, begitu melihat Hantu 

Tongkat Pendek terkapar, lelaki berwajah tikus itu ber-

balik dan langsung melarikan diri. Lain hari, lain ke-

sempatan, dia bisa membuat rencana lagi untuk mere-

but benda berharga itu secepatnya. Kalau pun tidak, dia 

toh masih cukup waras untuk lebih mengutamakan 

nyawanya yang tak bisa dicari di kedai mana pun. se-

perti mencari kerupuk!

Tuntas satu masalah lagi, membuat Dewa Pencuri Ilmu 

dan muridnya lega. Mereka bisa secepatnya menyingkir 

sementara. Akan mereka cari tempat tersembunyi yang 

mungkin tak akan ditemukan seorang pun. Kalau nanti 

sudah mendapat rencana baru, mereka bisa langsung 

bergerak.

Semula untuk mempercepat mendapatkan seluruh 

benda berharga di Lembah Kutukan, mereka mencoba 

memaksa Pendekar Slebor untuk menjadi petunjuk jalan. Dari mencuri berita di beberapa tempat, murid Ten-

dangan Bayangan Seribu mengetahui Andika diundang 

seseorang ke suatu tempat.

Karenanya, guru dan murid itu segera mendatangi 

Andika di tempat gubuk perjudian reot berdiri. Sesung-

guhnya, bukan hal main-main jika seorang dari dunia 

persilatan mencoba menantang Pendekar Slebor. Seti-

daknya, orang itu harus memiliki bekal kesaktian ting-

kat tinggi. Hanya dengan itu bisa di-dapat kesempatan 

untuk mengalahkan kesaktian si anak muda pewaris il-

mu Pendekar Lembah Kutukan. Dan Dewa Pencuri Ilmu 

merasa memiliki syarat untuk itu.

Namun, karena kini Pendekar Slebor tak sendiri la-

gi, mereka akhirnya memutuskan untuk menyusun ren-

cana lain.

Jika seluruh rencana terlaksana, mungkin pencu-

rian kali ini akan menjadi pencurian paling besar sepan-

jang hidup mereka. Bagaimana tidak? Di samping nanti 

akan mendapatkan limpahan emas permata, mereka 

pun akan memiliki sekian senjata pusaka. Bahkan tak 

mustahil pula kitab-kitab kuno sakti! Mereka sudah 

membangun seluruh mimpi dalam benak.

"Ayo kita segera pergi dari tempat ini!" ujar Dewa 

Pencuri Ilmu pada sang murid.

***

"Tak semudah itu mereka lari dari tuntutan ku! Me-

reka telah menganiaya muridku. Tendangan Bayangan 

Seribu. Bahkan mencuri pula jurus-jurus inti 

'Tendangan Bayangan' ku. Padahal muridku saja, belum 

pernah kuajarkan! Sekarang, pemuda itu telah berani 

pula memakainya untuk kepentingan perut sendiri!" de-

sis Ki Mahesa menggertak gigi.

Orang tua yang tergolong sesepuh persilatan itu baru saja selesai menuturkan maksudnya turun gunung.

"Jadi kau bukan eyang guru dari pemuda yang 

mengaku-aku sebagai Tendangan Bayangan Seribu?" 

Raja Arak melengak. Sama sekali dugaannya meleset.

"Bagaimana dengan nasib muridmu, Tendangan 

Bayangan Seribu yang asli?" susul Raja Arak.

"Mali sepekan lalu, setelah cukup lama menderita 

dalam sekaratnya...."

Wajah Raja Arak menjadi mendung. Dia ikut priha-

tin mengingat nasib Tendangan Bayangan Seribu yang 

dikenalnya adalah ksatria sejati.

"Bukan salah Tuhan mengatur kehidupan," kata

Raja Arak lirih. "Banyak orang baik harus pulang 

ke pangkuan-Nya lebih dahulu. Itu semata, Dia menga-

sihi mereka. Mungkin Dia tak ingin mereka lebih lama 

hidup tersiksa di dunia yang begitu kotor ini. Bukankah 

dunia semata penjara bagi orang-orang baik seperti me-

reka?"

Andika yang mendengar ucapan mendalam lelaki 

buncit itu menjadi tersentuh. Bahkan untuk seorang 

tua seperti Ki Mahesa sekalipun. Pantas saja Raja Arak 

mendapat sebutan terhormat sebagai raja kebijakan. 

Walau dia sendiri sampai mati tak akan mengakuinya.

"Ah! Aku jadi malu padamu, Raja Arak...," kata Ki 

Mahesa. Ledakan-ledakan ucapannya tak ada lagi. Sua-

ranya kini melandai.

"Kenapa, Ki?"

"Kau jadi menyadarkan aku. Mestinya aku tahu 

kalau semua ini kehendak Gusti.... Aku yang sudah 

hampir masuk liang kubur mestinya tak mengikuti den-

dam ku."

"Tak mengapa, Ki. Setua-tuanya manusia, tak 

menjamin luput dari kekhilafan," hibur Raja Arak.

Kalau tak sedang mabuk. lelaki buncit ini bisa 

berpikir seperti seorang paderi.

"Kalau begitu, sebaiknya aku kembali ke tempat 

pengasingan ku," putus Ki Mahesa.

"Lalu, bagaimana dengan tanggungjawab mereka 

terhadap kejahatan pada muridmu, Orang Tua?" sela 

Andika.

Sebagai anak muda yang darahnya masih penuh 

gejolak, Pendekar Slebor tak setuju dengan pengundu-

ran diri Ki Mahesa.

Ki Mahesa tertawa kecil.

"Bagaimana kalau aku minta tolong padamu untuk 

menuntut tanggungjawab mereka?!"

Andika melengak. Bibirnya memancung.

"Terima kasih..., terima kasih, Orang Tua. Urusan 

perempuan satu ini saja belum lagi terurus," tampik An-

dika, seraya menuding Kemuning seenaknya.

"Ah! Aku sering mendengar sifatmu dari banyak 

orang. Aku tahu kau pasti akan menerima!" tandas Ki 

Mahesa.

Wajah Andika semrawut.

"Aku pamit dulu, kalau begitu," ucap Ki Mahesa 

seraya beranjak.

"Orang Tua, tunggu dulu!" cegah Andika.

Tapi lelaki tua itu sudah menghilang di balik le-

batnya pepohonan.

"Sialan...," gerutu Andika.

"Jadi, bagaimana tindakan kita selanjutnya, Andi-

ka? Peta itu telah berada di tangan Dewa Pencuri Ilmu 

dan muridnya," Kemuning mulai angkat bicara lagi.

"Apa kau bilang?! Apa aku tak salah dengar? Jadi 

peta itu telah direbut dua kecoa busuk itu?" sembur 

Andika.

Memang baru sekarang Kemuning mengatakan ka-

lau peta amanat Ki Saptacakra telah tak ada lagi di tan-

gannya.

"Itu sebabnya...."

"Itu sebabnya apa?!" Andika sewot. "Benda itu bu-

kan hanya berharga. Tapi, juga bisa sangat berbahaya 

jika dimanfaatkan manusia busuk semacam mereka!"

"Maafkan aku, Andika!" "Ah!"

Andika berbalik. Pandangannya dibuang jauh-

jauh. Entah bagaimana parasnya saat sedang dilanda 

kegusaran memuncak seperti itu.

Kemuning tertunduk. Amat dalam. Matanya agak 

digenangi garis bening.

***

Malam mulai menyelimuti. Kegelapan merayap la-

mat. Dingin sekali udara saat ini. Karena hari gelap, An-

dika, Raja Arak, dan Bidadari Cakram Terbang memu-

tuskan untuk meneruskan pengejaran esok hari nya.

Andika membuat api unggun untuk sekadar men-

genyahkan rasa dingin yang merasuk tulang. Sudah cu-

kup lama lidah api menari-nari menjilat kayu bakar 

yang sebagian sudah menjadi arang.

Kemuning menyendiri di dekat sebatang pohon tua 

tumbang. Tangannya terlipat di dada. Pakaian jingga tu-

anya tak cukup hangat. Sejak Andika membentaknya 

tadi siang, dia terus diam. Tak bicara sepatah pun. Wa-

jahnya dikepung kemurungan.

Andika duduk dekat Raja Arak. Ditatapinya jilatan 

api yang mencoba menggapai langit, tapi tak bakal 

mampu. Pikirannya melanglang entah ke mana. Hatinya 

begitu khawatir dengan peta rahasia di tangan Dewa 

Pencuri Ilmu dan muridnya. Memang, salah satu yang 

paling ditakuti seorang berjiwa ksatria adalah keterlam-

batan untuk mencegah sebentuk kezaliman.

Sementara lelaki buncit di dekat Pendekar Slebor tak 

suka diam seperti itu. Dia lebih suka menenggak arak 

yang dibawanya dalam guci logam besar. Hampir seten

gah isi guci telah masuk ke perutnya. Sampai sejauh 

itu, tak kelihatan kalau dia mabuk.

Andika mengalihkan pandangan ke arah Kemun-

ing. Tampak perempuan itu duduk termenung. Lama 

menatap kemurungannya, Andika jadi merasa kasihan. 

Anak muda itu tahu, sikap Kemuning pasti berkaitan 

dengan kemarahannya siang tadi. Dia jadi merasa ber-

salah. Maka didekatinya Kemuning. Lalu duduk di atas 

batang pohon tumbang tepat di sampingnya.

"Maafkan kekasaran ku tadi siang, Kemuning," 

ucap Andika perlahan.

Dengan mata terus mengamati gerak liar jilatan 

api unggun, Kemuning mendesah

"Kau benar, Andika. Aku memang pantas diperlakukan 

seperti itu. Kalau mereka berhasil sampai di Lembah 

Kutukan dan mendapatkan seluruh pusaka keramat di 

sana, tentu banyak orang akan terancam bahaya," tutur 

Kemuning.

"Tapi aku tetap menyesal telah berlaku kasar."

"Ya, aku mengerti."

"Kau mau memaafkan ku?" pinta Andika. Ditatap-

nya perempuan manis yang kian memikat dalam per-

mainan cahaya redup api unggun.

Kemuning mengangguk lamat.

Andika tersenyum. Dilepasnya kain dari bahu. 

Diselimutinya tubuh Kemuning dengan kainnya.

"Tidurlah," ujar Andika lagi. "Besok pagi-pagi sekali 

kita akan mencari Dewa Pencuri Ilmu dan muridnya"

***

8


Tengah malam.

Andika sudah terkantuk-kantuk. Sementara Ke-

muning tertidur berselimut kain pusaka bercorak catur. 

Sedangkan Raja Arak pun tak beda. Rupanya setelah 

puas menenggak seluruh isi guci besarnya, barulah ke-

palanya memberat. Dia tertidur dengan dengkurannya 

yang melata ke mana-mana.

Pada saat sudah merasa tak sanggup lagi mengua-

sai serangan kantuk, Andika segera memperbaiki sikap

duduknya. Dia bersila. Matanya dipejamkan. Bukan un-

tuk tidur, melainkan bersemadi. Dalam keadaan seperti 

ini, Pendekar Slebor memang tak mau tertidur. Kalau itu 

sampai terjadi, berarti akan ada kelengahan. Sebab, na-

luri kependekaran pemuda itu merasa akan ada sesuatu 

terjadi malam ini.

Udara kian dingin. Malam semakin matang. Tepat 

ketika kabut mulai menyatroni tempat mereka, telinga 

Pendekar Slebor menangkap gerakan mencurigakan dari 

arah belukar lebat. Seketika kelopak matanya membuka 

siaga. Kantuknya terberantas cepat. Mata yang semula 

berat bagai diganduli batu, kini berkeliaran nyalang. 

Arah suara mencurigakan menjadi pusat perhatian 

utamanya. Mendadak.... 

Srak!

Suara baru tertangkap telinga Pendekar Slebor. Su-

ara yang tipis berdesing mengikuti bunyi semak baru-

san. Andika cukup hapal dengan bunyi semacam itu. 

Seperti suara yang dihasilkan kelebatan logam tipis dan 

tajam.

Sekali bergerak saja, pendekar muda itu sudah 

berdiri. Langsung disambarnya ranting pohon kering, 

dan segera disapukan dalam gerakan kilat.

Wukh!

Trang!

Selanjutnya, terdengar makian jengkel seseorang 

di balik semak yang dicurigai Pendekar Slebor.

Andika tak ingin membiarkan pembokong itu bu-

ron begitu saja. Tapi, tanpa harus mengejar pun orang 

itu keluar juga. Bukan untuk menyerahkan diri. Malah 

lebih tepat jika disebut ingin melakukan serangan susu-

lan.

"Heaaa!"

Sosok kekar menyeruak dari semak-semak. Tu-

buhnya melayang deras menuju Pendekar Slebor di uda-

ra. Kakinya mengejang lurus ke depan. Mata jeli pende-

kar urakan ini mengenal tendangan semacam itu sebe-

lumnya.

Bahaya mengancam seperti itu tak bisa didiamkan. 

Andika cepat menangkis. Plak!

Tendangan pertama dapat dimentahkan Andika. Namun 

secepatnya kaki penyerang gelap itu membangun satu 

sentakan baru dengan selang waktu yang demikian ce-

pat.

Dash!

"Aaakh...!"

Keadaan yang tak menguntungkan di udara, juga 

serangan tak terduga, membuat Andika kecolongan. Da-

danya telak terhantam telapak kaki si penyerang. Kalau 

melihat bagaimana tubuhnya terpental deras ke bela-

kang disertai keluhan tertahan, bisa dibayangkan ba-

gaimana sesaknya dada anak muda itu. Nafasnya seje-

nak seperti terhenti. Meski tubuhnya sudah jatuh ber-

gulingan di tanah, rasa sesak itu terus mengunci perna-

pasannya.

Dalam keadaan seperti itu, si anak muda kepala ba-

tu dan berhati baja tak mau menyerah begitu saja. Tak 

dipedulikannya rasa sesak masih meruyak. Dia bersikeras bangkit. Diusahakannya menyentak tubuh, agar bi-

sa berdiri.

Tak sampai tubuh Pendekar Slebor tegak, hanta-

man kaki tiba kembali di tubuhnya.

Degh!

"Ughhh...!"

Tetap di tempat yang sama, tendangan lawan 

menghajar dada anak muda itu kembali. Tentu saja se-

saknya kian menjadi. Rasanya, dadanya mau hancur 

saat itu juga. Tulang rusuknya terasa terlepasan.

Untuk semua itu, Andika kembali dipaksa menge-

rang tertahan. Andika ambruk lagi. Tendangan susulan 

tadi sama kuatnya dengan yang pertama. Itu pula se-

babnya tubuh si pendekar muda dari Lembah Kutukan 

ini terjengkang hebat lagi ke belakang.

Dengan bersandar pada sebatang pohon, Pendekar 

Slebor berusaha bangkit. Untuk yang kedua kalinya.

"Heaaa!"

Sementara tendangan secepat bayangan hantu te-

rus memburu Andika. Cepat dan buas. 

Dighh...!

Rahang kekar Pendekar Slebor berderak terhajar. 

Bagian itu sebenarnya bagian yang paling rawan untuk 

kesadaran si pemuda. Persendian tulang rahang amat 

dekat dengan pusat kesadaran di belakang kepala. Pen-

dekar Slebor mungkin bisa langsung tak sadarkan diri 

mendapat hantaman keras barusan.

Namun Pendekar Slebor tetap Pendekar Slebor. Dia 

adalah sosok pribadi yang dibentuk oleh kerasnya kehi-

dupan kotapraja. Selaku bocah gelandangan dulu, rasa 

sakit adalah santapan kesehariannya. Dan kekerasan 

itu justru kini membentuk kekerasan dalam kehendak-

nya.

Semestinya, pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Na-

mun karena tekad untuk menyelamatkan nyawa begitu

membaja, Andika mati-matian bertahan. Matanya ber-

kunang-kunang. Perutnya seperti diaduk-aduk ratusan 

tangan makhluk halus. Matanya hampir tak bisa meli-

hat sama sekali. Gelap. Yang ada di matanya hanya ge-

lap. Tapi, dia tetap berusaha bertahan untuk tidak kehi-

langan kesadaran. 

"Hih!" 

Dagh! 

Des!

Beberapa kali hajaran susulan mengganyang tubuh 

Pendekar Slebor. Benteng kesadarannya makin rapuh. 

Kalau tokoh berkepandaian rendah, mungkin sudah tak 

sadarkan diri sejak tadi. Tapi, sekali lagi, Andika tetap-

lah Andika. Dia tetap bertahan!

Sampai suatu saat, meruyaklah kemarahan dari 

dasar hati anak muda itu. Tubuhnya tak bisa dibiarkan 

terus dijadikan bulan-bulanan. Lawan pun tak bisa di-

biarkan seenaknya menggebuki. Andika bukan benda 

mati. Dia harus melawan, dan harus bisa.

Kemurkaan pun meledak, menerabas deras ke 

ubun-ubun Pendekar Slebor. Saat-saat seperti itu sege-

nap kekuatan sakti warisan buyutnya yang berjuluk

Pendekar Lembah Kutukan terbangkit serentak. Semua-

nya terpusat dalam amukan gelombang kemarahan tak 

terhingga pemuda berpakaian hijau itu.

"Huaaa!"

Dari tenggorokan Pendekar Slebor, teriakan me-

lengking menerabas dinginnya udara malam. Urat-urat 

lehernya menggelembung. Juga urat-urat di sekujur tu-

buhnya. Otot-ototnya meregang tegang, setegang kawat 

baja terentang!

Saat-saat selanjutnya, pancaran cahaya putih kepe-

rakan telah menyelubungi tubuh Pendekar Slebor. Putih 

keperakan seakan ada kabut berserat menjerat dirinya.

Itulah pembentukan benteng tembus padang akibat

terpusatnya segenap kekuatan langka warisan Pendekar 

Lembah Kutukan! Benteng itu tanpa disadari memben-

tuk, siap melindungi tubuh pemiliknya dari terjangan

seratus banteng, hantaman ombak setinggi gunung, 

bahkan serempetan lidah petir sekalipun!

Adalah kesalahan besar bagi siapa pun lawannya 

untuk melakukan serangan pada kala itu. Cahaya putih 

keperakan itu bukan sekadar membangun benteng te-

ramat kokoh, melainkan juga merupakan pusaran tena-

ga dalam tak terukur. Bahkan dapat mencederai dalam 

sekedip mata manusia berotot kawat bertulang baja se-

kalipun.

Dan nyatanya, kesalahan itu dibuat oleh sosok pe-

nyerang. Nafsu terlalu menghasutnya untuk memper-

mak Pendekar Slebor. Tak dihiraukannya keganjilan 

yang meliputi lawan, sosok itu pun menerjang.

"Hiahhh!"

Blappp!

Letupan suara seperti mercon besar yang luput 

meledak karena lembab terdengar meruyaki udara, tepat 

saat kaki penyerang gelap menyentuh dinding cahaya 

putih keperakan Pendekar Slebor.

"Akh!"

Hanya teriakan pendek yang terdengar dari mulut 

si penyerang. Tubuhnya terlalu kencang terlempar ke 

belakang untuk bisa berteriak panjang. Dan usianya 

pun terlalu singkat untuk memperdengarkan keluhan. 

Begitu jatuh tersangkut di satu batang pohon besar dia 

langsung mati dengan tulang tubuh hancur. Beberapa 

saat terlihat tangan dan kakinya menjuntai-juntai tanpa 

daya. Tak bedanya potongan tubuh seekor ular pohon 

besar.

Ternyata lelaki itu adalah murid Dewa Pencuri Il-

mu yang belum lama mengaku-aku sebagai Tendangan 

Bayangan Seribu. Pencuri yang telah membunuh Tendangan Bayangan Seribu, dan melarikan jurus-jurus inti 

'Tendangan Bayangan' bersama gurunya, kini telah me-

nemui ajal tak kalah mengenaskan dengan korbannya.

Di mana Dewa Pencuri Ilmu? Apakah si murid da-

tang sendiri? Ataukah serangan tiba-tiba itu memang 

menjadi bagian dari rencana mereka?

***

"Andika.... Bangun, Andika...." Lamat-lamat kesa-

daran Andika beranjak kembali, ketika sayup-sayup te-

linganya mendengar suara seseorang yang coba menya-

darkannya.

Dengan wajah terlipat dan tangan mendekap dada, 

Pendekar Slebor bangkit terbatuk-batuk. Hari belum be-

rubah. Masih tetap malam. Masih tetap dingin. Kabut 

terus saja menggerayang.

Andika mengerjap-ngerjapkan matanya. Pandan-

gannya masih berkunang-kunang. Cukup berat pula ba-

ginya untuk memusatkan pandangan saat itu. Begitu 

pandangannya cukup lumayan tak ditemuinya seorang 

pun. Andika merasa semata karena penglihatannya be-

lum pulih benar. Maka dia pun berusaha memusatkan 

pandangan kembali. Seluruh penjuru di liriknya. Namun 

orang yang menyadarkannya tak terlihat juga. Siapa 

dia? Bisik hati Andika penasaran. "Hei siapa kau?!" seru 

Andika. Tak ada sahutan.

"Slompret! Ini pasti hanya karena pengaruh rasa 

sakit yang ku derita," simpul anak muda itu akhirnya.

Pendekar Slebor bergegas menggerakkan tubuh-

nya. Dia harus segera bangkit dan mencari tahu kea-

daan Kemuning serta Raja Arak.

Di sana, di tempat yang sama, si pendekar sakti 

hanya menemukan tubuh murid Dewa Pencuri Ilmu 

menggelantung di dahan pohon. Raja Arak maupun Bidadari Cakram Terbang sudah tak ada di tempatnya

Api unggun masih terus menggeliat. Kayu bakar 

belum lagi menjadi arang. Itu berarti, keduanya menghi-

lang belum lama. Di dekatnya, kain pusaka bercorak ca-

turnya tergeletak. Tanpa Kemuning.

"Hai? Apa yang kau cari, Bocah Tolol!"

Kembali suara yang membangunkan Andika belum 

lama, terdengar lagi. Andika bersiaga.

"Hei! Siapa kau?!" tanya Pendekar Slebor, mem-

bentak.

"Jangan pakai banyak tanya segala. Mulutmu ce-

rewet seperti banci. Kau tunggu apa lagi? Mau mengha-

rapkan peri hutan mengantarkan kopi buatmu?! Dasar 

bocah gendeng! Ayo, cepat cari cah ayu itu!"

Andika terbengong-bengong. Sama sekali tak terlihat 

seorang pun di sana. Seperti juga sebelumnya. Kalau 

ucapan itu semacam suara yang dikirim dari jarak jauh 

dengan tenaga dalam, Andika pasti mengetahuinya. Ta-

pi, ini aneh. Dia merasa mendengarnya tak melalui te-

linga lagi. Melainkan, langsung sampai di benaknya.

Andika mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan 

mambang penguasa wilayah ini! Sampai.... Bletak!

Mendadak kepala Pendekar Slebor seperti ada 

yang menjitaknya dari belakang. Andika sampai tersu-

ruk beberapa tindak ke depan seperti bocah dungu kehi-

langan keseimbangan. Begitu menoleh, tak juga terlihat 

siapa pun.

"Apa kau minta yang lebih keras?! Kenapa masih 

berdiri di situ?! Ayo cepat cari Kemuning, Bocah Gen-

deng!"

Andika tak mau ambil bahaya yang siap menjitak-

nya lagi. Dia cepat-cepat blingsatan dari tempat itu.

***

Mengejar seseorang tanpa jejak memang sama su-

litnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Andi-

ka tak mau lagi, siapa yang berbicara padanya secara 

membingungkan.

Yang dipikirkan hanya satu. Nasib Kemuning. Se-

hebat-hebatnya perempuan itu, sebesar-besarnya julu-

kan Bidadari Cakram Terbang, dia tetap wanita. Andika 

merasa harus melindunginya. Soal Raja Arak, tak terlalu 

dipedulikannya. Kalau Kemuning selamat, baru giliran 

lelaki buncit pemabuk itu dicari.

Andika yakin. Yakin sekali kalau Kemuning diIari-

kan Dewa Pencuri Ilmu. Raja Arak telah cerita padanya 

tentang luka yang sebelumnya diderita akibat pukulan 

tak terduga Dewa Pencuri Ilmu. Dari situ, diyakini kalau 

Kemuning yang besar dengan julukan Bidadari Cakram 

Terbang bukan tandingan Dewa Pencuri Ilmu. Jadi, tak 

terlalu mustahil kalau Kemuning diperdayai saat Andika 

kewalahan menghadapi muridnya. Lalu, perempuan itu 

pun dilarikan.

Apa tujuannya? Niat busuk lama! Tentu saja perempuan 

itu akan dijadikan sebagai jaminan agar Andika mau 

mengantar ke Lembah Kutukan.

Masalahnya kini, ke arah mana Andika mencari Kemun-

ing?

***

Di lain tempat pada waktu yang sama. Raja Arak 

sedang mati-matian menghadapi gempuran Dewa Pen-

curi Ilmu. Sewaktu murid Dewa Pencuri Ilmu melaku-

kan gempuran gencar pada Pendekar Slebor, Dewa Pen-

curi Ilmu datang dengan gerakan tak terduga. Bidadari 

Cakram Terbang yang sedang terlelap tanpa menemui 

kesulitan ditotoknya.

Raja Arak tersentak mendengar teriakan. Nalu-

rinya masih sempat menyadari bahaya. Sewaktu melihat 

Dewa Pencuri Ilmu membopong tubuh Kemuning, ber-

gegas dia bangkit. Langsung diserangnya tokoh berpe-

rawakan seperti Bima itu.

Pertarungan terjadi.

Kebetulan sekali, saat itu pengaruh arak yang di-

minumnya masih begitu kuat. Saat mabuk berat seperti 

itu, tentu saja jurus- jurusnya justru jadi lebih mantap. 

Itu sebabnya untuk sekian lama Raja Arak mampu 

mengimbangi permainan jurus Dewa Pencuri Ilmu.

Dengan adanya tubuh Bidadari Cakram Terbang di 

bahu Dewa Pencuri Ilmu, Raja Arak memang bisa me-

metik keuntungan. Gerakan lawan jadi tak leluasa. Na-

mun begitu, ada pula kesulitannya. Raja Arak jadi tak 

bisa sembarangan melancarkan serangan. Bisa-bisa ma-

lah Kemuning yang menjadi korban.

Pertarungan berjalan alot. Meskipun pada dasar-

nya kesaktian Raja Arak berada di bawah lawan, namun 

dengan keadaan seperti tadi dia masih bisa bertahan. 

Seluruh jurus mabuknya mengalir lancar. Bagaimana 

tidak lancar, kalau semalaman itu saja satu guci besar 

arak telah di tenggaknya.

Dari tempat awal, pertarungan mereka merambat 

dan terus merambat. Hingga memasuki jurus ke sembi-

lan puluh, keduanya sudah berada amat jauh dari tem-

pat sebelumnya.

Baik Raja Arak maupun Dewa Pencuri Ilmu sama-

sama sengit mengerahkan jurus masing-masing. Semen-

tara lelaki seperti Bima itu terus saja mengeluarkan ju-

rus demi jurus hasil curian. Gempurannya jadi begitu 

timpang tindih.

Di lain sisi, Raja Arak habis-habisan mengerahkan 

jurus-jurus andalannya. Semakin terlarut dalam me-

mainkan jurus, gerakannya akan semakin kacau balau.

Sebentar tubuhnya limbung ke sana, sebentar limbung 

ke sini. Sebentar memukul, saat yang lain berguling.

Jadilah pertarungan itu seperti sabung jurus yang 

semrawut! Namun tetap memperlihatkan keganasan, 

kehebatan dan kekuatan keduanya.

Hingga suatu saat. Dewa Pencuri Ilmu merasa ha-

rus mengeluarkan satu jurus yang menurutnya bisa di-

andalkan, Jurus itu belum lama dipelajarinya dari kitab

inti Tendangan Bayangan milik Ki Mahesa yang berhasil 

dicurinya.

"Mampuslah kau, Pemabuk!" dengus Dewa Pencu-

ri Ilmu seraya melepas kembangan pembuka jurus inti 

'Tendangan Bayangan'. "Belum ada satu tokoh pun se-

macammu yang bisa selamat dari jurus dan ajian inti 

'Tendangan Bayangan'!"

Kalau saja Raja Arak dalam keadaan sadar, tentu 

akan berpikir seratus kali untuk menghadapi jurus dan 

ajian yang disebutkan lawan. Jurus inti 'Tendangan 

Bayangan' hanya dimiliki oleh satu-satunya orang yang 

bisa dianggap sebagai dedengkot persilatan, Ki Mahesa. 

Memang, jurus inti Tendangan Bayangan' sangat mema-

tikan, sehingga tak dapat membiarkan lawan selamat 

dari rejangan tangan maut!

Ancaman maut bisa disaksikan dari perubahan 

kulit kaki Dewa Pencuri Ilmu yang menghitam kebiruan. 

Dan ini mengawali kembangan pemuka jurus inti ‘Ten-

dangan Bayangan'.

Hanya karena Raja Arak masih dalam pengaruh 

arak, tak dipedulikannya semua itu. Dia terus mener-

jang, menyerang, menerkam....

"Huih!"

Pada satu kesempatan. Raja Arak meliuk ke muka. 

Tangannya mematuk ke arah kening.

Cepat Dewa Pencuri Ilmu menggerakkan kakinya 

tinggi-tinggi. Patukan penuh kekuatan Raja Arak dapat

ditangkisnya dengan tulang kering.

Tak!

Dan begitu Raja Arak hendak menangkap kakinya, 

Dewa Pencuri Ilmu membuat gerakan yang sesungguh-

nya amat sulit dilakukan pada saat sedang dibebani tu-

buh Kemuning. Sebelah kakinya yang masih di udara 

cepat ditarik. Sementara kaki yang lain menghentak da-

lam waktu bersamaan. Kalau salah perhitungan, tu-

buhnya bisa kehilangan keseimbangan. Namun.... 

Dagh! 

"Aaakh...!"

Dagu Raja Arak mendadak terdongkel ujung kaki 

Dewa Pencuri Ilmu. Lelaki buncit itu terdengak. Berba-

rengan dengan itu, darah segar tersembur. Sekali. 

Hanya sekali ajian inti 'Tendangan Bayangan' mengenai 

Raja Arak, tapi hasilnya sudah begitu hebat!

Dewa Pencuri Ilmu tak memberinya kesempatan. 

Bersama satu kelebatan, kakinya mendaratkan tendan-

gan bertubi-tubi.

Desss! Desss!

Tubuh Raja Arak tersentak-sentak mundur. sam-

pai tak kuasa lagi untuk bertahan.

***

Pucuk di cinta ulam tiba, sorak Pendekar Slebor 

dalam hati. Selagi anak muda itu mandeg di tengah ja-

lan tanpa arah pasti, Raja Arak datang terhuyung-

huyung. Rasanya, Andika tahu bukan karena pengaruh

arak. Wajah tembam lelaki pemabuk itu memar-memar. 

Bibirnya pecah berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan 

darah. Luka dalam tampaknya.

Andika mencegah Raja Arak terpuruk. Di sang-

ganya tubuh seberat anak badak itu.

"Apa yang terjadi pada Kemuning?" tanya Andika

tergesa.

Raja Arak tergagap. Dia hendak cepat bicara, tapi 

dadanya demikian sakit.

"Kemuning dibawa lari Dewa Pencuri Ilmu," lapor 

lelaki buncit ini tersendat dan lirih. Tergambar bagai-

mana penderitaannya dari suaranya. "Cepat tolong 

dia...."

Hati lelaki itu memang agung, memikat. Tak sama 

dengan penampilannya yang membuat perawan kam-

pung lari terbirit-birit. Biar pun nyaris sekarat, dia tetap 

mengkhawatirkan orang lain.

"Ke arah mana kunyuk itu pergi?" tanya Pendekar 

Slebor.

Raja Arak menunjuk ke arah matahari mulai me-

nyembul. Warna jingganya mestinya bisa dinikmati saat 

itu, kalau saja keadaan tak segenting sekarang.

"Kau tak apa-apa bila ditinggal?" tanya Andika.

Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor tak tega juga 

pada keadaan Raja Arak.

"Pergi. Cepat kejar Dewa Pencuri Ilmu. Jangan pi-

kirkan aku. Aku tak apa-apa."

Tak apa-apa katanya? Napas saja sudah Senin tak 

ketemu Kamis! Tapi karena Raja Arak bersikeras dan 

keselamatan Kemuning juga dikhawatirkan, pendekar 

muda itu akhirnya beranjak juga.

Anak muda sakti itu melesat seperti menunggang 

angin ribut ke arah matahari mulai menampakkan diri. 

Segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang 

amat dikagumi di seantero dunia persilatan dikerahkan.

Dewa Pencuri Ilmu harus didapatnya!

***

9


Matahari menyembul pongah. Setengah wajah ta-

jamnya sudah muncul menyengat. Warna jingga tak ada 

lagi, tersingkir oleh sinar terang menyilaukan mata. Dan 

bumi pun mulai memanas.

Sesaat lagi hari akan menjerang. Panasnya terus 

menjangkit.

Di satu tempat bertebing lurus dan curam seperti 

dinding beton alam yang menjulang membentuk celah 

selebar lima depa, Dewa Pencuri Ilmu terlihat berkelebat 

sambil membopong tubuh seorang wanita. Siapa lagi ka-

lau bukan Bidadari Cakram Terbang, wanita bernama 

Kemuning yang mengaku masih memiliki hubungan ke-

luarga dengan Pendekar Slebor.

"Pendekar Slebor! Dengan perempuan ini di tan-

ganku, kau tak bisa lagi menolak untuk membawaku ke 

Lembah Kutukan. Dan aku akan menjadi penguasa du-

nia persilatan! Hm..hm..hm..!"

Mulut lelaki yang tergolong tampan di antara garis-

garis kebengisan wajahnya itu bergumam sendiri. Dia 

begitu yakin kalau rencananya kali ini akan berjalan 

semulus permukaan cermin.

"Biar muridku mati saja," gumam Dewa Pencuri

Ilmu lagi.

Tak ada betik penyesalan dalam kalimat lelaki ini baru-

san. Seolah-olah kehilangan nyawa seorang yang dekat 

dengannya, tak pernah menjadi masalah. Asal, matinya 

demi kepentingan Dewa Pencuri Ilmu.

Di salah satu ceruk dinding karang yang terlin-

dung dari gempuran sinar matahari atau pun pandan-

gan orang lain. Dewa Pencuri Ilmu meletakkan tubuh 

molek Kemuning.

Sebentar lelaki menghempas napas puas. Di tatapnya wajah Kemuning lekat-lekat. Wajah menawan itu 

begitu menggetarkan. Tapi tunggu...! Hati lelaki ini teru-

sik. Dia merasa pernah melihat garis dan lekuk wajah 

itu. Tapi di mana? Dewa Pencuri Ilmu tak bisa mengin-

gatnya. Sudah terlalu dalam ingatan itu terkubur di da-

sar benaknya.

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati Dewa Pencuri 

Ilmu terpenggal ketika melihat tubuh berlekuk luar bi-

asa milik Kemuning. Tanpa sengaja belahan baju jingga 

tua perempuan elok itu tersingkap di bagian dada. Ada 

benda halus menyembul, memanggil-manggil birahi se-

tiap mata pria yang menemukannya.

Dua sembulan itu begitu padat. Di antara cahaya 

pantulan lembut sinar matahari dari permukaan ka-

rang, kehalusannya menjadi demikian mempesona. Se-

kaligus, menyiramkan rasa panas menggejolak dalam 

dada Dewa Pencuri Ilmu.

Setua apa pun dia, orang sesat itu tetap lelaki wa-

ras. Menyaksikan pemandangan luar biasa di depan, 

naik pula keinginan-keinginan liar ke balik bubur otak 

warasnya.

Dewa Pencuri Ilmu membuka mulut. Bibirnya ber-

gerak-gerak, menelan air liur sendiri. Tingkahnya seperti 

seekor serigala lapar mendapatkan mangsa empuk.

“Denok.... Sudah lama aku tak pernah mencicipi 

perempuan sedenok mu...," desis lelaki ini seraya men-

dekat jalang.

Tangan Dewa Pencuri Ilmu mulai menelusuri per-

mukaan halus kulit paha padat Kemuning. Jalang, liar, 

dan meletup-letup. Matanya terus melalapi sembulan 

padat di celah baju perempuan yang tergolek tanpa daya 

itu.

Hasrat si lelaki sesat ini kian tak terkendali. Me-

nanjak terus tak tertahan. Mendebur-debur, menghan-

tami keperkasaannya. Lalu, didekatkannya kepala kearah benda padat mengundang itu. Mulutnya menelan 

ludah lagi. Dengan napas mendengus-dengus menerpa 

kulit kekuningan kepadatan dada Kemuning, lidahnya 

siap menjulur. Benar-benar seperti binatang lapar. Ma-

tanya pun terpejam, ingin menikmatinya dengan selu-

ruh rasa yang bergejolak.

Begitu sampai, Dewa Pencuri Ilmu merasa ada sesuatu 

yang ganjil. Kenapa dada padat sekal perempuan di de-

pannya terasa kasar? Apa ada yang salah?

Ketika mata lelaki ini membuka. setengah mampus 

jadi terperangah. Yang di jamah lidahnya ternyata pung-

gung kaki seseorang!

"He he he.... Geli, ah...!" kata orang yang baru hadir 

tempat di dekatnya. Sementara perempuan berpakaian 

jingga tua sudah tak ada lagi di tempatnya.

Tubuh Dewa Pencuri Ilmu terlonjak. Cepat dia me-

loncat ke belakang, menyiapkan kuda-kuda. Ditatapnya 

anak muda yang tak mungkin di lupa. Pendekar Slebor!

"Apa kabar? Kau pasti terlalu rindu padaku, sam-

pai-sampai tak dapat menahan diri untuk.... He he 

he...."

Andika terkekeh-kekeh tak karuan. Kemuning su-

dah berada di punggungnya. Mata Dewa Pencuri Ilmu 

dipaksa terbeliak. Tak pernah diduga kalau si anak mu-

da ksatria bisa mengejarnya sampai ke tempat terpencil 

itu. Sepanjang pengetahuannya, Pendekar Slebor tak 

sempat mengejar saat muridnya terus menghantami.

Jadi bagaimana mungkin? Dewa Pencuri Ilmu tetap 

tak percaya. Memang sebelumnya tak disadarinya kalau 

Raja Arak yang dianggap telah mati di tangannya, se-

sungguhnya tak benar-benar mati. Dengan satu keah-

lian tertentu yang jarang dimiliki, lelaki pemabuk itu 

mengecoh Dewa Pencuri Ilmu. Dia pura-pura seperti be-

nar-benar tewas. Padahal tidak.

"Kau masih ingin kuantar ke Lembah Kutukan?"

tukas Andika acuh tak acuh. "Kenapa harus pakai men-

culik perempuan ini jika berurusan denganku?

Apa kau pikir aku tak menggairahkan dia?"

Dewa Pencuri Ilmu menggeram, mendengar celote-

han Pendekar Slebor yang terus memancing-mancing 

amarahnya.

"Jangan anggap dirimu sudah terlalu sakti, Anak 

Muda! Aku bukannya takut menjajal kesaktianmu yang 

terlalu digembar-gemborkan banyak orang! Aku hanya 

ingin menghemat waktu dan tenaga dengan menculik 

perempuan itu!" sembur Dewa Pencuri Ilmu.

Di samping gusar karena kedatangan Andika yang 

tak terduga, lelaki ini juga gusar bukan main karena ha-

sratnya mendadak terpenggal.

"Ah, masa'?" usik Andika.

"Kau...."

Dewa Pencuri Ilmu makin geram. Jakunnya turun 

naik lagi. Kepalannya terbentuk.

"Aku tahu, kau memang segan berurusan den-

ganku. Jujur saja.... Siapa tahu kejujuranmu bisa sedi-

kit merontokkan dosa."

"Kunyuk!"

"Ah! Apa benar begitu?" sergah Andika. Mata Pen-

dekar Slebor membeliak. Wajahnya makin dibuat-buat. 

Begitu juga tingkahnya.

"Selama ini, aku tahu kau manusia. Kenapa seka-

rang mengaku-aku kunyuk?" tambah Andika, masih 

dengan wajah memperlihatkan keterperangahan.

Darah Dewa Pencuri Ilmu mendidih karenanya. 

Sudah sering didengarnya, bagaimana Pendekar Slebor 

begitu lihai mempermainkan kemarahan lawan dengan 

segala tetek-bengeknya yang tengik. Padahal, dia sudah 

merasa siap untuk itu. Tapi ketika harus benar-benar 

menghadapinya kini, kemarahannya tak bisa dikuasai 

juga. Bagaimana bisa?

Sementara Dewa Pencuri Ilmu sendiri tak pernah 

menyadari. Ocehan Pendekar Slebor tak semata-mata 

hendak memancing kemarahannya. Anak muda cerdik 

itu juga sengaja mengulur-ulur waktu. Dengan begitu 

hawa murni bisa disalurkan ke dalam tubuh Kemuning 

di bahunya, supaya pengaruh totokan Dewa Pencuri Il-

mu perlahan terbebaskan. Cerdik bukan?

Hasilnya, tak begitu lama kemudian Kemuning 

mulai tampak bergerak.

"Turunkan aku, Andika." pintanya pada Andika.

Andika menurunkan.

"Ah, kau sadar juga rupanya...." sambut Pendekar 

Slebor. Diturunkannya tubuh perempuan itu.

Dewa Pencuri Ilmu menyadari ketololannya. Wa-

jahnya menyeringai. Gusar luar biasa. 

"Di mana aku?" tanya Kemuning. Perempuan ber-

juluk Bidadari Cakram Terbang berdiri. Masih agak ter-

huyung limbung.

Andika melirik calon musuhnya di depan sana. 

"Sepertinya kau berada di 'istana kebesaran' Tuan besar 

itu," sahut Andika seenaknya sambil menuding Dewa 

Pencuri Ilmu dengan bibir. Menjengkelkan sekali! "Kau 

tahu, hampir saja ada seseorang menjadi korban...."

Kemuning menatap Andika sungguh-sungguh. 

"Apa orang itu baik-baik saja? Tak kehilangan nyawa?" 

tanya perempuan itu ingin tahu. Bibir Andika membu-

lat.

"Wooo.... Tepat pada saat menegangkan, ada 

'benda ajaib' telah menyelamatkannya!" seru Pendekar 

Slebor urakan.

Siapa lelaki yang tak jadi beringas mendengar se-

mua ocehan itu? Telinga orang waras mana yang tak 

merah? Hati manusia mana yang tak terbakar?

Di sana Dewa Pencuri Ilmu mengeraskan rahang. 

Gigi-giginya bergemeletukan. Otot-otot tangannya mengejang, menandai puncak kemurkaan.

"Hari ini, kau akan mampus di tanganku, Pendekar 

Slebor!" desis Dewa Pencuri Ilmu, menggeram.

Andika cengengesan. Dia maju dengan langkah 

mantap.

"Kalau begitu, mari kita buktikan...."

***

Di lain tempat, Raja Arak masih berkutat dengan 

luka dalamnya. Semenjak Pendekar Slebor pergi, lelaki 

buncit itu mencoba bersemadi. Dicobanya menyembuh-

kan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni.

Cukup lama Raja Arak berusaha. Hasilnya belum 

juga didapat. Tubuhnya kian melemah. Darah kental 

kehitaman terus saja mengalir dari mulutnya. Entah, 

pukulan apa yang telah disarangkan Dewa Pencuri Ilmu.

Di tengah kepasrahannya, seorang lelaki tua mun-

cul dari kegelapan. Didekatinya Raja Arak. Langkahnya 

teramat ringan. Telinga yang terlatih pun masih terlalu 

sulit menangkap jejak halus langkahnya.

Itu pula sebabnya Raja Arak tak menyadari sama 

sekali ada orang mendatangi. Dia tetap bersila. Matanya 

terus terpejam.

Kalau saja saat itu, si orang tua berniat jahat, ten-

tu Raja Arak akan sangat mudah dilemparkan ke kerak 

neraka. Nampaknya, niat orang tua itu tidak begitu. Per-

lahan tangannya menyentuh bahu Raja Arak.

Sentuhan itu begitu sejuk. Ada rasa aneh yang me-

resap ke seluruh tubuh Raja Arak, manakala tangan itu 

menyentuhnya. Dirasakannya suatu perlindungan, bu-

kan ancaman. Karenanya, Raja Arak membuka mata 

perlahan. Tak ada kesan kalau lelaki berperut buncit itu 

terkejut.

"Ki Mahesa?" tanya Raja Arak, menduga. Orang

tua di depan lelaki buncit ini menggeleng. 

"Siapa kau?" susul Raja Arak. 

"Sebaiknya jangan dulu banyak tanya," ucap orang 

tua di depannya, mantap dan berwibawa. Getar sua-

ranya seperti menebar kekuatan yang menenteramkan. 

"Kau baru saja terkena jurus inti 'Tendangan 

Bayangan'. Jurus dan ajian itu sangat berbahaya jika ti-

dak segera mendapat pertolongan. Semakin lukamu di-

lawan dengan hawa murni mu, semakin cepat tubuhmu

akan digerogoti...."

"O.... Jadi itu sebabnya Ki Mahesa tak mengajar-

kan pada siapa pun. bahkan pada muridnya sendiri?" 

ungkap Raja Arak teringat ucapan Ki Mahesa.

Pertanyaan lelaki buncit itu mendapat anggukan.

"Tapi bukan itu saja yang mengkhawatirkan Mahe-

sa." sergah orang tua itu lagi.

Dari caranya menyebut Ki Mahesa tanpa kata 'Ki', 

kentara sekali kalau orang tua ini cukup dekat dengan 

guru besar Tendangan Bayangan Seribu.

"Apa yang kau ketahui Orang Tua?" tanya Raja 

Arak.

"Jurus inti "Tendangan Bayangan' juga dapat 

membahayakan pemiliknya. Jika saat jurus dimainkan 

dan ajian dikerahkan dalam keadaan penuh nafsu 

membunuh, maka akan memakan si pemiliknya sendi-

ri...," jelas orang tua tak dikenal itu.

Raja Arak manggut-manggut tanda mengerti. "Itu 

pula yang membuat Mahesa mempertimbangkan untuk 

memberikan kitab sakti inti Tendangan bayangan kepa-

da muridnya, setelah dirasa sudah siap. Sayang, sebe-

lum semuanya terlaksana, Dewa Pencuri Ilmu berhasil 

mencuri kitab sekaligus membunuh muridnya. Mahesa 

malang...," lanjut si orang tua.

"Andai saja aku tak terluka, akan ku usahakan 

untuk mengambil kitab itu dari tangan Dewa Pencuri

Ilmu dan mengembalikannya kepada Ki Mahesa," desah 

lelaki buncit yang tengah terluka dalam ini.

Raja Arak kini menggeleng kepala perlahan. Dia 

menyesal tak dapat berbuat banyak.

'Tak perlu," tepis orang tua tak dikenal.

"Kenapa begitu?"

"Nanti kau pun tahu. Sekarang, kosongkan piki-

ranmu," perintah orang tua tak dikenal tadi.

Segera orang tua itu ikut duduk bersila di depan 

tubuh Raja Arak.

"Aku akan berusaha menyingkirkan jurus inti 

'Tendangan Bayangan' yang bersarang di tubuhmu...."

Usai berkata, telapak tangan lelaki tua itu ditem-

pelkan pada sisi-sisi rusuk Raja Arak. Matanya lang-

sung terpejam.

Tak lama kemudian. Raja Arak merasakan sesua-

tu yang sejuk mengaliri kembali seluruh tubuhnya se-

perti sebelumnya. Hanya saja, kali ini lebih kuat. Kemu-

dian tampak mengepul asap tipis mengambang dari se-

la-sela telapak tangan si orang tua.

Sampai akhirnya Raja Arak merasakan ada sesuatu 

yang lain bergerak berlawanan dengan rasa sejuk. Sesu-

atu itu seperti tersedot telapak tangan orang tua di de-

pannya.

Sss!

Desis kecil terdengar, diikuti rasa lega luar biasa di-

rasa Raja Arak. Rasa sakit yang tak kepalang kini hi-

lang. Dan orang tua tadi pun turut menghilang.

"Siapa dia?" tanya Raja Arak bergumam.

***

10


"Jurus apa yang mesti kuhadiahkan terlebih dahu-

lu padamu?" tantang Andika pada Dewa Pencuri Ilmu.

Kedua tokoh itu berdiri berjauhan dalam jarak se-

kitar sebelas tombak. Celah dinding karang tegak lurus 

di sisi kiri dan kanan mereka seperti membatasi, sekali-

gus menjadi saksi bisu sabung nyawa yang bakal mele-

dak. Dewa Pencuri Ilmu berdiri tegak di sebelah utara 

celah dinding karang. Andika di sebelah selatan. Ke-

muning alias Bidadari Cakram Terbang berdiri di tempat 

yang cukup aman dari medan laga, beberapa depa di be-

lakang Pendekar Slebor.

"Kau kupersilahkan menguras seluruh kehebatan 

yang terlalu besar digembar-gemborkan itu." balas Dewa 

Pencuri Ilmu, balik menantang.

"O...."

Andika memonyongkan mulutnya. Telapak tan-

gannya diusap-usapkan satu sama lain. Sikapnya seper-

ti menganggap pertarungan nanti hanya dolanan iseng.

"Tapi sebelum dimulai, sebaiknya kita membuat 

kesepakatan. Ku tantang kau selaku ksatria sejati, Pen-

dekar Slebor!' kata Dewa Pencuri Ilmu, memberi pena-

waran.

"Kesepakatan macam apa lagi? Kalau kau kalah, 

sudi mencium kaki bau ku tujuh kali setiap malam 

Jum'at Kliwon?" oceh Pendekar Slebor.

Dewa Pencuri Ilmu tak menanggapi. Di benaknya 

hanya ada satu pikiran untuk diutarakan pada calon 

lawan.

"Kau akan mengantarku ke Lembah Kutukan. dan 

membantuku menemui tempat penyimpanan harta pe-

ninggalan Pendekar Lembah Kutukan, jika berhasil ku-

kalahkan."

"Bicaramu seolah yakin akan menang! Bagaimana 

bila keok?" tukas Pendekar Slebor.

"Akan kuserahkan kembali peta rahasia itu."

"Tak cukup adil!"

"Baik! Apa maumu?"

"Bagaimana kalau kau kembalikan juga Kitab Inti 

Tendangan Bayangan yang kau curi!"

Bukan. Bukan Andika yang menyahuti. Itu adalah 

suara seseorang dari ubun-ubun dinding karang seting-

gi seratus kaki yang menyahuti.

Andika mendongak. Terabasan sinar matahari menje-

lang tengah hari membuatnya tak begitu jelas mengenali 

orang yang bersuara barusan. Tapi anak muda itu ma-

sih ingat betul jenis suaranya. Padat, wibawa, dan da-

lam.

"Kutu bengek!" serapah Andika dalam hati.

Andika baru ingat kalau itu suara yang menyu-

ruhnya menyelamatkan Kemuning! Jadi waktu itu bu-

kan ocehan dedemit? Andika jadi agak mangkel. Dia te-

lah dikerjai.

"Siapa kau?" teriak Pendekar Slebor. Tangannya 

diangkat ke depan mata, mencoba menahan terjangan 

sinar matahari siang yang menyengat.

"Diam kau, Bocah Gendeng! Aku tak bicara den-

ganmu!" bentak suara itu.

Bocah katanya? Andika makin yakin memang 

orang satu ini yang mengerjainya semalam. Bukankah 

suara tanpa orang yang didengarnya waktu itu juga me-

nyebutnya 'bocah gendeng'?

"Bagaimana?" ulang orang di atas dinding karang. 

menawarkan sekali lagi pada Dewa Pencuri Ilmu.

"Hei, ini pertarungan ku! Bisa-bisanya kau me-

nentukan syarat seenak dengkul!" teriak Andika sewot.

"Kubilang diam, diam kau! Apa perlu mulut ceri-

wis mu ku sumpal dengan batu karang sebesar anak

monyet?!" hardik orang itu lagi.

Aneh. Saat itu juga Andika merasa jantungnya 

berdebar keras. Suara itu begitu memiliki kekuatan. Tak 

ada tenaga dalam yang dirasa Andika pada hardikan ta-

di. Lalu, karena apa? Sulit dia menduga.

Biasanya kalau mulut serampangan Pendekar Sle-

bor sudah mulai mengoceh, siapa pun akan sulit untuk 

memerintah menghentikannya. Tapi untuk orang satu 

ini, Andika benar-benar tak ingin membuka mulut lagi. 

Dia sungguh tak habis pikir.

"Aku tak punya urusan denganmu. Dan aku hanya 

membuat kesepakatan dengan Pendekar Slebor!" jawab 

Dewa Pencuri Ilmu, lantang.

"Kalau begitu, aku akan mewakili pendekar muda 

cerewet itu untuk membuat kesepakatan denganmu!"

Andika mulai sewot lagi. Orang ini makin lancang 

saja, pikirnya. Manakala mulutnya baru hendak men-

ganga, tangan lelaki di atas sana menuding ke arahnya.

"Kubilang diam!"

Saat itu juga rahang Andika terkunci. Sungguh-

sungguh terkunci! Andika coba membebaskan dengan 

mengerahkan tenaga dalam. Tak berhasil. Bahkan telah 

pula mengerahkan tenaga dalam sampai beberapa ting-

kat.

Slompret benar! Siapa orang itu sebenarnya? Rutuk 

anak muda urakan itu dalam hati. Kalau melihat pera-

wakannya, orang itu sudah uzur. Tampak sekali dari 

tubuhnya yang agak bungkuk. Tingginya hampir sama 

dengan Ki Mahesa. Apa mungkin Ki Mahesa? Bukankah 

barusan dia menyebut-nyebut soal Kitab Inti Tendangan 

Bayangan? Sepanjang pengetahuannya, kitab itu me-

mang milik Ki Mahesa. Tapi, warna suara Ki Mahesa tak 

seperti itu.

Andai saja matahari agak condong sedikit, tentu 

Andika bisa melihat lebih jelas wajah orang itu.

"Bagaimana?!"

Terdengar lagi pertanyaan diajukan si orang tak di-

kenal di atas dinding tebing.

"Baik! Tapi, bagaimana aku tahu kalau Pendekar 

Slebor pun setuju dengan ketentuan yang kau berikan?"

"Dia akan setuju!" tandas orang itu lagi.

Hati Andika makin mangkel saja. Mau menyumpah-

nyumpah, sayangnya tak mampu. Sewaktu orang tua 

semena-mena itu menanyakan persetujuannya, mau tak 

mau Andika mengangguk.

"Bagus! Nah, Bocah Gendeng! Tugasmu adalah 

meminta Kitab Inti Tendangan Bayangan padanya, jika 

kau menang. Dan aku tak mau kau kalah! Itu akan 

membuatku malu!"

Malu? Bagaimana dia bisa mengatakan begitu?

"Hm.... Apa hubungannya denganku?"

Hati Andika kasak-kusuk penasaran. Namun lamat-

lamat, di benaknya muncul juga bayangan seorang to-

koh yang sudah begitu lama ditemuinya. Ya, rasanya 

kini Andika mulai bisa meraba siapa sesungguhnya 

orang tua brengsek ini. Dia pasti....

Andika hendak berseru menyebut nama orang tua 

itu ketika rahangnya terasa mengendur lagi. Tanpa 

sempat terlempar satu kata pun dari mulutnya, orang 

tua itu sudah tak terlihat lagi di ubun-ubun dinding ka-

rang. Entah ke mana.

Ajang sabung nyawa pun mulai digelar antara dua 

tokoh beda usia. Dewa Pencuri Ilmu setingkat lebih tua 

dibanding Pendekar Slebor. Kesaktian dan pengalaman-

nya tidak diragukan.

Pendekar Slebor sendiri adalah salah satu dari to-

koh yang paling ditakuti kalangan sesat. Usianya me-

mang muda. Tapi tak berarti pengalamannya tak lebih 

menggunung dibanding calon lawan.

Medan laga yang akan digelar bukan untuk pertarungan biasa. Keduanya telah mengambil kesepakatan 

lagi, untuk melaksanakan adu kekuatan. Dalam hal ini, 

tak diperlukan satu jurus pun. Mereka hanya mengan-

dalkan tenaga dalam dan kemantapan ajian benteng 

pertahanan.

"Kau lihat kain ini," ujar Pendekar Slebor, memulai.

Pemuda berpakaian hijau pupus dan Dewa Pencuri 

Ilmu kini berdiri lebih berdekatan.

"Kain ini memiliki kealotan luar biasa. Andai sera-

tus banteng ditambah seratus lagi dipaksa untuk mero-

bek secara bersama, kain ini tetap utuh," lanjut Andika.

Tak ada kesan main-main lagi dalam setiap bilah 

kata Pendekar Slebor. Parasnya membatu, dengan tata-

pan sembilu di mata elangnya.

"Kau tak usah berbelit-belit!" sentak Dewa Pencuri 

Ilmu tak sabar.

"Baik-baik!" sengit Andika. "Kita akan menjadi-kan 

kain pusakaku ini ajang adu kekuatan."

"Aku belum mengerti."

"Otakmu pasti tak seencer bubur. Sekali-sekali, go-

doklah lebih lama!"

Andika jadi muak. Berpanjang kata hanya akan 

menimbun kemuakan lebih banyak dalam diri anak 

muda itu. Karenanya langsung saja dia bertindak.

Pendekar Slebor kini membentangkan kain pusaka 

bercorak catur ke tanah. Satu ujungnya diikatkan ke 

sebelah kaki dengan ikatan dibuat kuat-kuat.

"Ikatkan ujung kain itu pada kakimu," perintah An-

dika pada calon lawan.

Dewa Pencuri Ilmu memang sudah tak sabar ingin 

membuktikan keunggulan kesaktiannya. Tanpa banyak 

tanya lagi, di turutinya perintah Pendekar Slebor tanpa 

kecurigaan. Baginya, nama besar Pendekar Slebor su-

dah bisa dijadikan jaminan kalau tak akan dicurangi.

Kini sebelah kaki mereka telah dihubungkan dengan

kain pusaka bercorak catur.

"Kita akan mengadu tenaga dengan sebelah kaki 

terikat satu sama lain. Kau tahu, apa artinya? Artinya, 

nyawa kita adalah taruhannya. di samping kesepakatan 

yang telah dibuat. Jika tak ada kata menyerah di antara 

kita, maka satu-satunya pilihan bagi yang kalah ada-

lah..., terbelah menjadi dua!"

Andika menatap lekat-lekat mata menantang Dewa Pen-

curi Ilmu. Untuk terakhir kalinya, Andika ingin menge-

jek lawan. Lidahnya masih gatal.

"Kau yakin hendak melakukannya?" kata Pendekar_ 

Slebor meremehkan. Bibirnya pun memperlihatkan cen-

giran jelek.

"Kau banyak omong! Hiaaa!" Penuh teriakan nafsu, 

Dewa Pencuri Ilmu langsung mengempos tenaga dalam-

nya. Bukan main-main tenaga dalam yang dikerahkan-

nya saat itu. Bisa saja tenaga dalam pada tingkat yang 

sanggup menghempas batu gunung sebesar gajah!

Andika meskipun didahului. tidak menjadi gentar. 

Disambutnya teriakan menggelegar lawan dengan sen-

takan napas mendadak.

"Hehhh!"

Tep!

Telapak tangan keduanya bertemu. Maka, segenap 

tenaga sakti dari dua sumber berbeda mengalir deras, 

lalu bertumbukan di satu titik.... Telapak tangan mere-

ka!

Beberapa lama mereka berkutat. Sebentar tangan 

salah seorang terdorong mundur. Kala yang lain, tangan 

mereka sama-sama terangkat. Kian merangkak waktu, 

kian bergeletaran tubuh masing-masing.

Keringat cepat membanjiri pakaian masing-masing. 

Otot-otot dua lelaki perkasa itu bagai di regang paksa 

oleh tarikan sejuta prajurit paling gagah!

Kejap demi kejap, benturan maha hebat dalam satu

ajang adu kesaktian terus mematangkan saat-saat 

maut.

Dari hidung Dewa Pencuri Ilmu mulai mengalir da-

rah segar yang mengepulkan uap tipis. Panas luar biasa 

yang menggelegak dalam tubuhnya. telah pula mendi-

dihkan darahnya. Lalu darah merambat keluar dari lu-

bang-lubang telinga. Bahkan buliran keringatnya pun 

kini memerah.

Di lain pihak, keadaan Pendekar Slebor tak kalah parah. 

Hanya saja darah mengalir dari hidung dan telinganya 

lebih lambat daripada lawan.

Menanjak kian menanjak. Ketegangan pun menjadi-

jadi.

Kemuning yang menyaksikan peristiwa itu menyipitkan 

matanya. Dia bergidik jika membayangkan salah seo-

rang dari mereka tersentak amat kuat, dan tubuhnya 

terbelah menjadi dua.

Sekarang, pori-pori kedua petarung tak lagi menge-

luarkan keringat, melainkan darah kental! Tampaknya 

tangan-tangan maut kian mendekat ke arah keduanya.

Jangan ditanya, betapa tersiksanya mereka. Tubuh 

seperti digodok dalam kuali pasir panas. Sendi-sendi 

dan otot pun bagai ditusuki ratusan paku. Kepala mere-

ka terasa hendak meledak saat itu juga.

Kejap-kejap paling rawan mulai mendekat, manaka-

la tubuh mereka sedikit demi sedikit menjauh satu den-

gan yang lain. Sementara itu, udara di sekitar ajang adu 

kesaktian menjadi begitu membakar! Serangga naas 

yang tak sengaja melewatinya, mendadak hangus ter-

panggang!

Kuda-kuda dua tokoh berilmu tinggi itu perlahan tak la-

gi menjejak di bumi. Benturan teramat dahsyat men-

gungkit tubuh keduanya ke atas. Sedikit demi sedikit. 

Sejengkal dari tanah, gerak naik mereka terhenti.

Darah tampak menetes-netes dari ujung jari kaki

keduanya. Darah yang terus mengepulkan asap tipis.

"Hiaaa...!"

Pada puncaknya, Andika berteriak! Pengurasan te-

naga sakti mengakibatkan daya mukjizat buah 'Inti Pe-

tir' menggelembung di sekujur aliran darahnya. Sakit 

yang diderita menjadi berpuluh kali lipat. Dia nyaris tak 

kuasa lagi bertahan.

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang buah 'Inti Petir', 

bacalah episode: 'Dendam dan Asmara')

Sebaliknya, tenaga sakti Pendekar Slebor pun ber-

lipat mendadak menjadi puluhan kali.

Perubahan mendadak ini sungguh menghentak 

nyali lawan. Dewa Pencuri Ilmu merasakan tubuhnya 

makin menjauh dari pemuda itu. Tenaga dalamnya per-

lahan tertelan dan tertelan.

Pendekar Slebor terus memekik. Dia tersiksa, tapi 

tak bisa berhenti hingga di situ. Untuk menyerah adalah 

hal yang paling dipantang baginya! Akhirnya....

"Cukkkuuup! Aku tak kuat lagi! Aku menyerah!"

Teriakan Dewa Pencuri Ilmu melabrak angkasa di 

antara jeritan tinggi Pendekar Slebor. Kaki lelaki sesat 

itu sudah hampir terlepas dari pangkal pahanya!

Mendengar kalimat menyerah, Andika sebisanya 

mengalihkan tenaga ke arah lain. Melipatnya tenaga 

sakti, menyebabkan Andika sulit mengendalikan lagi. 

Kalau terlambat sekedip mata saja, tenaga saktinya 

akan mengoyak tubuh Dewa Pencuri Ilmu dalam seke-

jap! Dan seandainya Dewa Pencuri Ilmu selamat pun, 

rasanya perlu sepuluh tahun untuk mengembalikan te-

naga dalamnya!

"Akhu... mengaku khalahhh...," Dewa Pencuri Ilmu 

terengah-engah di bawah kaki Pendekar Slebor.

Sementara anak muda itu masih sanggup berdiri di 

atas kuda-kudanya meskipun tergetar.

Di saat yang lemah itu, telinga Andika menangkap

bahaya lain melesat menuju mereka. Andika kembali 

menghidupkan sisa-sisa tenaga.

Sing!

Trap!

Satu pergelangan tangan halus dicengkeram Pende-

kar Slebor.

"Kemuning? Apa-apaan ini? Apa yang hendak kau 

lakukan?" tanya Andika gusar.

Perempuan itu rupanya mencoba menghabisi nyawa 

Dewa Pencuri Ilmu saat itu juga. Andika jelas tak akan 

membiarkannya. Bagi seorang ksatria seperti dia, pan-

tang untuk membunuh lawan dalam keadaan lemah.

Kemuning terisak. Tangan yang masih menggeng-

gam cakram turun perlahan.

"Lelaki itu harus mati, Andika," desah perempuan 

ini memelas. 

"Kenapa?"

"Manusia laknat inilah yang telah membuatku 

hingga mengasingkan diri selama sepuluh tahun! Dia 

tak hanya mempecundangi ku, tapi juga memperkosa-

ku! Laknat! Aku tahu, meski aku melatih diri sepuluh 

tahun lagi, tetap tak bisa menandingi kesaktiannya. Ka-

rena itu. aku...," tutur Kemuning di geletari isak kecil.

"Apa yang hendak kau katakan, Kemuning?"

Kemuning tak bisa menjawab. Malah tangisnya ma-

kin terseguk-seguk. Sesaat kemudian, dia berontak dari 

cekalan tangan Andika. Lalu, ditinggalkannya tempat 

itu. Isaknya masih terdengar sayup-sayup ketika tubuh 

sintalnya terus menjauh.

"Dendam memang selalu buta. Bukan begitu, Andi-

ka?"

Andika menoleh begitu terdengar suara. Ternyata 

orang tua yang sebelumnya berdiri di puncak dinding 

karang telah berdiri di belakang.

Andika perlahan berbalik. Seluruh tubuhnya terlalu

lemas untuk berbalik cepat lagi. Bibir berlumur darah-

nya pun tersenyum menyaksikan orang tua ini.

"Sudah kuduga, kaulah orangnya. Apa kabar Ki 

Saptacakra?" sapa Pendekar Slebor.

Ya! Orang tua itu memang Ki Saptacakra alias Pen-

dekar Lembah Kutukan. Dia adalah buyut Andika yang 

pernah dikira mati oleh anak muda itu.

Kemuning menurut Ki Saptacakra memang masih 

keturunannya. Namun dia tak pernah memiliki peta ra-

hasia penyimpanan benda berharga di Lembah Kutu-

kan. Semua itu hanya rencana Kemuning untuk mem-

balas dendam terhadap Dewa Pencuri Ilmu. Dengan 

mencoba memperalat Pendekar Slebor, Kemuning ber-

harap memiliki kesempatan untuk membunuh musuh-

nya.

Rencana Kemuning berjalan mulus dalam memanc-

ing keluar Dewa Pencuri Ilmu. Disebarnya desas-desus 

tentang peta yang dimilikinya. Dengan desas-desusnya, 

dia mengatakan akan datang di sebuah kedai di pinggi-

ran Kota Karisidenan Karawang. Maka tak heran kalau 

murid Dewa Pencuri Ilmu ada pula di tempat itu. Sang 

murid memang ditugaskan Dewa Pencuri Ilmu untuk 

memantau gerak-gerik Kemuning. Sedang tokoh sesat 

itu mengamati dari jarak jauh.

Dalam rencana Kemuning, dia pun mengundang 

Andika ke tempat yang sama.

Sayang, sewaktu kesempatan itu terbuka, timbul 

rasa bersalahnya pada diri Andika. Anak muda yang se-

lama ini dikenalnya telah mengunci hati terhadap wani-

ta dengan perasaan yang sulit dijelaskan....



                   SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive