..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 07 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PUSAKA LANG9

Pusaka Langit


 

SATU


Gerimis masih terus turun. Tak ada tanda-tanda kalau 

limpahan air dari langit itu akan segera reda. Padahal 

telah hampir setengah harian hamparan tanah di-

basahinya. Salakan guntur dan kerjapan kilat mem-

bungkam seluruh senandung satwa malam. 

Yang kini terdengar rinai rintik air yang menimpa 

daun pepohonan, atau meninju atap-atap rumbia 

rumah penduduk. Sesekali desah angin dingin ikut 

memeriahkan tarian titik-titik air yang bagai jarum-

jarum halus di angkasa. Saat itulah, langit yang gelap 

pekat karena malam, bagai hendak dibelah selarik 

cahaya merah bara. 

Selubung udara ditembusnya dalam kecepatan 

yang amat dahsyat. Cahayanya yang terang berbentuk 

memanjang, seperti kelebatan seekor naga api. 

Sementara, bulatan di ujung depan memperlihatkan 

cahaya merah yang lebih terang daripada bagian lain. 

Tanpa terlihat oleh siapa pun, benda angkasa itu 

terus meluncur deras dalam suatu tukikan tajam. 

Dengan sinarnya yang kemerahan benda itu melintasi 

beberapa daerah membuat garis memanjang. Akhir-

nya dalam sekejap benda itu lenyap, tenggelam 

dalam sebuah danau besar, Danau Panca Warna! 

Benda apakah itu? 

Mungkin tak ada seorang pun yang bisa meng-

ungkapkannya, sehingga mengundang teka-teki. 

Kini benda angkasa itu tergolek di dasar Danau 

Panca Warna. Dingin air danau yang bisa membunuh 

seseorang di malam hari, ternyata tak mampu

meredam cahayanya yang memerah bagai bara. 

Sebagian dasar danau malah menjadi terang 

benderang oleh warna merah kemilau. 

Benda angkasa itu pun tergolek dengan kebisuan-

nya. Tidak seorang pun yang tahu, benda apa itu. Tapi 

bisa jadi benda itu bakal membuat kegemparan di 

dunia persilatan. 

Hari bergulir dalam putaran waktu. Dua purnama 

telah berlalu, sejak jatuhnya benda angkasa ke dalam 

Danau Panca Warna. Seperti biasa penduduk di desa 

sekitar danau itu melakukan kegiatan sehari-hari. 

Belum ada pengaruh yang berarti bagi mereka. 

Apalagi mereka tidak pernah menyadari adanya 

sebuah kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam 

benda angkasa itu. 

Jantung Desa Ambangan tampak sibuk hari ini. 

Tidak mengherankan, pusat desa dijadikan pasar, 

tempat warga desa mengeruk nafkah atau membeli 

kebutuhan sehari-hari. 

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pasar di Desa 

Ambangan pun begitu ramai. Ada-ada saja suara ribut 

yang terdengar. Satu sama lain saling tindih, seperti 

sebuah paduan suara tak beraturan. 

Matahari terus merambat hingga tepat di atas 

kepala. Kini semakin siang, suasana pasar semakin 

tidak nyaman. Kebisingan bukannya mereda, malah 

makin memuncak. Sengatan matahari pun makin 

ngotot menggigit ubun-ubun kepala. Tapi orang-orang 

di pasar tidak ambil peduli sama sekali. Mereka terus 

melakukan kegiatan masing-masing. 

Sampai akhirnya, 

“Hiii... haaa...!” 

Sebuah teriakan lantang membahana tiba-tiba 

menghentikan kesibukan mereka serempak.

Dengan tatapan bingung, para pengunjung 

menoleh berbarengan ke asal teriakan. Kini semua 

orang melihat sosok lelaki hitam bertubuh kekar, tapi 

pendek. Dia mengenakan celana pendek dengan 

baju. Kulitnya yang hitam, terlihat berkilatan dijilati 

cahaya matahari. Begitu juga kulit wajahnya. Tak ada 

yang pantas dilihat dari lelaki berumur tua itu. 

Tubuhnya kumal dan rambutnya kotor bergulung. 

“Siapa dia?” bisik seorang pedagang. 

“Tidak tahu. Barangkali orang gila nyasar,” jawab 

orang yang ditanya. “Tapi kalau diperhatikan, seperti-

nya aku pernah melihat wajahnya....” 

“Iya! Aku juga begitu. Tapi siapa ya?” 

Sementara, penghuni pasar mulai kasak-kusuk tak 

menentu membicarakan orang yang baru saja ber-

teriak tadi, tapi ada juga yang kembali meneruskan 

pekerjaannya, karena menganggap lelaki itu hanya 

orang gila. 

“Oooi! Apa kalian semua tidak tahu ada benda 

langit maha dahsyat jatuh ke desa kita?! Benda langit 

bercahaya, yang menyimpan kekuatan bintang! 

Kekuatan amat dahsyat! Hua ha ha...! Kalau aku yang 

memilikinya, tentu akan menjadi tokoh nomor satu 

dunia persilatan. Aku akan menjadi sakti 

mandraguna. Kalau aku sudah sakti, akan kukawini 

sembilan puluh sembilan janda desa ini! Aminah, 

Tukiyem, Samijah, Jinten, Rokayah... ng, siapa lagi, ya! 

O, iya... Sulastri, Iyam, Diding..., eh! Si Diding kan 

bukan janda, dia kan duda? Masa' aku mesti kawin 

sama lelaki buduk itu? Hi hi hi...! Tak usah, ya...,” 

oceh laki-laki berkulit hitam itu. 

Di sebuah kedai, beberapa lelaki muda yang 

mendengar teriakan kacau orang itu menoleh ke 

arahnya. Ucapannya barusan sedikit memancing rasa

ingin tahu mereka, selaku warga dunia persilatan. 

“Apa aku tak salah dengar tadi?” tanya seorang 

lelaki berjubah biru tua. 

Wajah orang itu tak sebagus pakaiannya. Malah 

boleh dikatakan pasaran. Rambutnya digelung 

dengan sisiran rapi. Sedang di punggungnya tampak 

sebatang toya pendek. 

“Jangan ikut-ikutan gila, Paksi! Kenapa kau harus 

percaya pada omongan orang sinting itu?!” sergah 

lelaki yang duduk di depan lelaki bernama Paksi tadi. 

Sama seperti Paksi, laki-laki itu pun mengenakan 

jubah biru tua. Wajahnya amat menawan. Kulitnya 

putih dan berkumis tipis. Rambutnya dibiarkan terurai 

lepas, tapi tetap tertata rapi. Dia sering dipanggil 

dengan nama Rudapaksa. Sebagai kakak seper-

guruan Paksi atau bernama lengkap Rudapaksi cukup 

wajar kalau berani menegurnya agak keras. 

“Tapi mungkin saja dia memang pernah melihat 

benda keramat yang dimaksud, Kang,” bantah Paksi, 

takut-takut. 

Rudapaksa kali ini tertawa ringan. 

“Ya! Tapi, hanya dalam angan-angan. Sudahlah, 

Paksi. Habiskan saja makananmu itu. Tugas kita 

untuk menyampaikan amanat Guru mesti didahulu-

kan.” 

Rudapaksi menaikkan sudut bibirnya. Dia agak 

kesal juga pada sikap kakak seperguruannya. Tapi 

biar begitu, ucapan Rudapaksa tetap juga dituruti. 

Mereka mulai melanjutkan makan yang terpenggal 

beberapa saat tadi. Tapi baru saja mulai mengunyah 

beberapa kali, kembali keduanya terhenti oleh 

kericuhan yang terjadi di tengah pasar. Rupanya 

teriakan itu berasal dari orang gila tadi, yang kini 

kedua tangannya dipegangi dua orang kekar berkulit

hitam juga. 

“Lepaskan aku! Lepas! Kalau tidak, akan kukutuk 

kalian menjadi kodok bunting! Ah! Kodok bunting 

kurang bagus. Sebaiknya kalian kukutuk menjadi 

tikus bingung. Hua ha ha... tikus bingung... ngung... 

ngung!” 

“Ayo, Buntar! Kau harus pulang. Jangan bikin 

keributan di pasar!” bujuk lelaki yang ada di kanan 

orang gila bernama Buntar itu. Nadanya seperti 

rayuan seorang ibu kepada anak bungsunya yang 

merajuk minta dibelikan mainan. 

“Benar, Bun. Ibumu di rumah menunggu. Istri dan 

anakmu juga,” timpal lelaki yang ada di kiri Buntar. 

“Huh! Aku tak peduli mereka. Aku hanya ingin 

memiliki benda sakti itu!” bentak Buntar. Matanya 

mendelik bagai hendak meloncat dari ceruknya. 

“Mana ada benda yang kau sebutkan itu! Kau 

hanya dicolek setan danau!” balas lelaki di kanan 

Buntar. 

Buntar makin mendelik. Sepertinya, dia akan 

menelan bulat-bulat kepala lelaki di kanannya itu. 

“Siapa yang bilang begitu?!” hardik Buntar keras. 

Sampai-sampai, air liur terciprat ke mana-mana. 

“Sialan,” gerutu orang yang mendapat bagian 

cipratan air liur Buntar. 

“Kau, sih! Jangan bilang begitu, Somad! Bilang saja 

benda itu ada di rumahnya. Pasti dia mau pulang 

tanpa dipaksa,” bisik lelaki yang ada di kiri Buntar 

hati-hati sekali. 

“Kami sudah mendapatkan benda angkasa itu, 

Bun. Sekarang ada di meja makan rumahmu,” ucap 

lelaki yang dipanggil Somad tadi. 

“Kok di meja makan, Mad. Memangnya kerupuk?!” 

sergah lelaki teman Somad dengan wajah bersungut

sungut. 

“Biar saja, Rimang. Yang penting dia mau pulang! 

Kenapa kau jadi goblok, sih?” hardik Somad. 

“O. Iya, Bun. Kerupuk itu, eh! Benda angkasa itu 

sudah ada di meja makanmu. Wah! Bagus, lho! Kalah 

perkedel gosong!” kata lelaki yang dipanggil Rimang, 

kebodoh-bodohan. 

“Kalian bohong! Kalian akan dustai aku! Tidak! Aku 

tidak mau pulang, sebelum mendapat benda sakti 

itu!” teriak Buntar kalap. 

Laki-laki pendek itu melonjak-lonjak liar. Sekuat 

tenaga lelaki gila itu berontak dari cekalan Rimang 

dan Somad. Tingkahnya sudah seperti kuda liar yang 

sulit dikendalikan. Sehingga meski sudah sepenuh 

tenaga lengan laki-laki gila itu dipegangi, tetap saja 

mereka terhempas juga oleh tenaga amukannya. 

Buk! Buk! 

Tubuh Rimang dan Somad langsung menghantam 

tanah berbatu. Begitu bangkit, mereka meringis-ringis 

menahan sakit tak kepalang tanggung di bagian 

bokong. Sementara puluhan orang di pasar malah 

menertawakan mereka. Padahal, kedua lelaki itu 

bukan tontonan kuda lumping! 

“Kalian tidak punya kerjaan, ya? Masa' orang gila 

dilayani...,” celoteh seorang lelaki tua yang biasa 

menyabung ayam di pasar. 

“Ah! Apa pedulimu, Ki!” sergah Somad sambil 

menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya, untuk 

mengenyahkan debu. Kemudian kembali dicobanya 

menggiring pulang Buntar bersama Rimang. 

Sebelum mereka sempat mencekal pergelangan 

tangan Buntar, tiba-tiba keganjilan terjadi. Buntar 

mendadak ambruk bergelinjang liar di atas tanah. 

Tubuhnya berguling-gulingan tak karuan. Sesekali

tangannya mengejang keras, lalu mencakar-cakar 

permukaan jalan. 

Hal itu tentu saja membuat Rimang dan Somad 

terbengong, layaknya sapi ompong. Bibir mereka yang 

kebetulan sama-samar dower, terayun-ayun begitu 

saja. Sama sekali tidak disangka kalau Buntar akan 

menjadi liar seperti itu. Selama ini, mereka hanya 

tahu kalau lelaki itu lebih banyak berbicara simpang 

siur daripada mengamuk seperti ini. 

“Nah, lo. Kenapa dia, Mat?” tanya Rimang. Somad 

hanya bisa mengangkat bahu. Sementara, wajah 

hitamnya diliputi keheranan luar biasa. 

Belum lagi keheranan dua lelaki itu terjawab, 

Buntar bangkit tiba-tiba. Matanya jalang, mengawasi 

sekeliling pasar. Wajahnya yang semula lugu, kini 

berubah bengis. Otot-otot wajahnya menegang 

sedemikian rupa, dengan sepasang alis terpaut ketat. 

Sesaat kemudian, mulut orang gila itu menggeram. 

Suara yang dihasilkan tenggorokannya terdengar 

bagai auman serigala. Bahkan tangan Buntar 

mengejang dengan jari-jari langsung membentuk 

cakar. Perlahan-lahan tubuhnya membungkuk, 

seakan siap menerkam. 

“Aaargkh...!” 

Berbareng satu erangan mengerikan, tubuh Buntar 

menerjang kedua kawannya penuh kebengisan. 

“Wuaaa!” 

Sambil menjerit sejadi-jadinya, Somad menubruk 

tubuh kawannya yang berdiri termangu-mangu di 

sisinya. Ketakutan yang teramat sangat membuatnya 

mampu bergerak tanpa sadar. Dan hasilnya, mereka 

memang bisa lolos dari terkaman ganas Buntar, 

meski harus berguling-gulingan di tanah berdebu. 

Sementara, Buntar sendiri langsung menabrak

tiang kayu penyangga kedai yang berdiri tak jauh dari 

situ. Tiang kayu jati itu langsung dijadikan sasaran 

kebuasan Buntar. Tangannya mencabik-cabik kayu 

sebesar paha manusia, seperti mencabik-cabik 

batang pohon pisang. 

Dua lelaki yang mencoba membawa Buntar jadi 

menelan ludah menyaksikan kejadian itu. Di samping 

ngeri saat membayangkan bila jadi sasaran amukan 

Buntar, mereka juga terperangah bingung. Selama ini, 

Buntar dikenal sebagai laki-laki yang tidak pernah 

memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Apalagi 

sampai mampu mengoyak-ngoyak kayu jati seperti 

itu. Tapi kini yang disaksikan ternyata bertolak 

belakang dari kenyataan yang diketahui selama ini. 

Dari mana kekuatan Buntar ini? Mereka tak bisa 

menjawab pertanyaan yang menggayut di benak. 

Bagaimana mungkin kekuatan Buntar bisa bagai 

sepuluh ekor singa jantan, sementara tak pernah 

terlihat berguru pada guru mana pun? 

Sesaat berikutnya, mata Buntar beralih kembali 

pada Rimang dan Somad. Bahkan kali ini berkilat-kilat 

lebih menggidikkan. Dua lelaki hitam itu tercekat. 

Jantung mereka seperti hendak pensiun saat itu juga. 

***

DUA


Somad dan Rimang, menjerit bersahut-sahutan 

seperti dua orang yang menyaksikan setan di siang 

bolong, saat Buntar menerkam. Tentu saja mereka 

tak pernah berharap menjadi sasaran cabikan jari-jari 

laki-laki gila itu. 

“Wuaaa! Kita akhirnya mondar juga. Mad!” teriak 

Rimang kalang kabut. 

“Buntar! Ampun, Tar! Biar Rimang saja yang kau 

cakar-cakar!” jerit Somad, tak kalah bingung. 

Buntar tak mempedulikan teriakan-teriakan 

mereka. Tubuhnya melaju deras, laksana kuda binal 

menuju Somad dan Rimang. Kali ini tampaknya calon 

korbannya tak berniat dibiarkan lolos begitu saja. Itu 

terlihat dari sinar merah matanya yang menancap, 

tepat pada kedua calon korbannya. 

Sesaat lagi Somad dan Rimang menjadi korban 

terkaman Buntar, saat yang bersamaan meluruk 

serangkum angin pukulan jarak jauh. Angin itu terus 

mendesir cepat, ke arah lelaki gila yang sudah sebuas 

singa lapar. Dan.... Buk! 

“Aaargkh!” 

Berbareng satu erangan mendirikan bulu roma, 

tubuh Buntar terpental lima tombak ke samping. 

Diiringi bunyi keras berdebam, Buntar jatuh ke tanah. 

Tubuhnya berguling-gulingan beberapa saat, ber-

gerak deras. Kemudian tubuhnya menghantam kaki 

meja dagangan seorang penjual batik. Brak! 

Para penghuni pasar yang menyaksikan seluruh 

kejadian langsung berteriak kalang kabut. Apalagi

pedagang batik yang merasa dagangannya jadi kacau 

balau tak karuan. Demikian pula wanita-wanita yang 

kebetulan sedang berbelanja di pasar itu. 

“Kalem..., kalem!” seru seorang pemuda tampan 

dari satu sudut pasar. “Kalau kalian berteriak-teriak 

seperti itu, pasar ini akan mirip tempat penampungan 

orang-orang sinting.” 

Pemuda tampan itu berpakaian hijau muda. 

Perawakannya tegap dan gagah. Rambutnya yang 

panjang sebatas bahu, tertata rapi. Sementara di 

bahu kekarnya tersampir sehelai kain bercorak papan 

catur. 

Dengan langkah santai serta alis legam yang 

terungkit tinggi-tinggi, pemuda tampan itu mendekati 

Somad dan Rimang. Mereka masih berpelukan satu 

sama lain. Sementara, Rimang pucat pasi seperti 

mayat. Kakinya tertekuk lemas dan bergetar hebat. 

Sedang Somad malah lebih parah lagi. Celana 

kumalnya malah sudah dibanjiri cairan basah berbau 

pesing. 

“Kenapa dia?” tanya pemuda yang baru datang itu. 

“Tit..., tidak tahu. Sejak dia terakhir mengambil 

pasir di dasar Danau Panca Warna, tahu-tahu jadi 

begini,” jawab Somad tersendat, seraya memiringkan 

jari telunjuk di dahinya. 

“Kalian pencari pasir di danau itu?” tanya pemuda 

itu lebih lanjut. 

“Benar,” jawab Rimang ikut bicara. “Kami mencari 

makan dari hasil menjual pasir. Tapi sejak Buntar 

seperti itu, keluarganya tidak ada yang kasih makan 

lagi. Kasihan, ya Den? Sekarang, kesintingannya 

makin gawat. Bagaimana, Den.... Apa bisa menolong 

kami?” 

Pemuda berpakaian hijau muda termangu di

tempat. Matanya memperhatikan Buntar yang masih 

bergelinjangan di tanah lekat-lekat. Sinar ke-

prihatinan tampak di matanya melihat nasib lelaki gila 

itu. 

Sementara itu, Buntar mulai berusaha bangkit, 

walaupun terhuyung-huyung. Pukulan jarak jauh yang 

beberapa lama melumpuhkan kekuatannya, kini 

mulai dapat dikuasai. Matanya tetap berkilat jalang, 

siap menerkam orang yang telah menyerangnya. 

“Tuh.... Tuh, Den! Si Buntar bangun lagi, tuh!” seru 

Rimang kelimpungan. Matanya yang sudah besar kian 

membesar seperti jengkol matang. 

“Kalian lebih baik menyingkir dulu ke tepi jalan,” 

ucap si Pemuda tampan datar. “Biar kucoba 

mengurus kawanmu....” 

Tanpa menyahut lagi, Somad dan Rimang 

langsung lari tunggang langgang ke tepi jalan. Tentu 

saja, mereka tidak akan sudi isi perut mereka 

dikorek-korek jari Buntar. 

Diamati puluhan pasang mata. Pemuda yang 

ternyata Andika dan amat tersohor dengan julukan 

Pendekar Slebor, tegak mematung di jalanan pasar. 

Sebelas tombak di depannya, Buntar telah siap 

menerjang. Sasarannya kali ini adalah Andika. Untuk 

beberapa saat, keduanya hanya bertatapan. Mata 

merah Buntar menghujam tajam, ke manik-manik 

mata laki-laki berjuluk Pendekar Slebor yang mem-

balasnya dengan tatapan iba. 

“Aaargkh!” 

Buntar kini melesat menerkam Pendekar Slebor. 

Kebuasan serangannya terlihat jelas pada jari-

jemarinya yang meregang membentuk cakar. 

Wusss! 

Dengan tenaga meledak-ledak, cakaran Buntar

mencoba merobek wajah Pendekar Slebor. Namun 

hanya sedikit Andika melengos ke samping, 

sambaran tangan itu pun luput begitu saja di 

sampingnya. 

Mendapati kegagalan pada serangan pertama, 

tentu saja Buntar jadi kalap. Dua tangannya segera 

bergerak sekaligus, untuk mencabik-cabik wajah 

Pendekar Slebor bagai gerakan seekor kera yang 

hendak menyambar buah. 

Sekali lagi Andika dapat meredam serangan, 

dengan memiringkan sedikit kepalanya ke belakang. 

Sementara, tubuhnya tetap pada tempat semula. 

Sementara, orang-orang di pasar berseru kagum 

melihat gerakan Andika yang berkesan gesit dan 

berani. Namun, lain halnya Somad dan Rimang 

mereka malah seperti orang latah. Karena terlalu 

ngerinya melihat serangan buas Buntar, keduanya 

jadi mengikuti gerakan Pendekar Slebor tanpa sadar. 

Mereka ikut memiringkan kepala berbarengan, 

kemudian bergerak ke arah yang saling bertemu. 

Dan.... 

“Adow!” seru keduanya, seakan yang sedang 

diserang. 

Berbarengan dengan itu, wajah mereka tampak 

meringis-ringis tak karuan. Ternyata kepala mereka 

saling berbenturan. 

Di arena pertarungan, Buntar makin binal men-

cecar Pendekar Slebor. Bukan hanya tangannya yang 

mencoba merencah tubuh Andika. Kini, kedua kaki-

nya pun turut ambil bagian. 

Deb! Deb! 

Dua kali tendangan ganas yang terlihat liar, 

memapas ke arah dada Pendekar Slebor. Gerakannya 

seperti seseorang yang hendak melempar tubuh

Andika dengan hentakan telapak kakinya. 

Sampai saat ini, Pendekar Slebor sendiri hanya 

berkelit untuk menghadapi setiap serangan. Dia 

memang masih menimbang berkali-kali untuk me-

lancarkan serangan balasan. Apalagi lawan yang di-

hadapinya kali ini bukan tokoh jahat yang haus darah. 

Melainkan, hanya seorang pencari pasir malang yang 

sedang dipengaruhi satu kekuatan ganjil. Meski 

sampai saat itu Andika belum tahu, kekuatan apa 

yang mempengaruhi, namun bisa diyakini kalau 

kekuatan itu memiliki daya cengkeram luar biasa 

pada diri seseorang. Bahkan mampu membuat orang 

yang dirasukinya menjadi sebuas singa lapar dan 

sekuat seekor gajah jantan! 

Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Pendekar 

Slebor menotok Buntar agar tenaganya lumpuh. 

Untuk melumpuhkannya, Andika harus menotok 

jaring saraf di bagian punggung. Tapi sampai sejauh 

itu, memang belum ada kesempatan. Buntar selalu 

saja bisa menutup kesempatan gerak Andika dengan 

kibasan tangan yang liar. Itu sebabnya, Andika belum 

dapat menotoknya. 

Sampai suatu saat, Buntar melakukan terkaman 

bernafsu ke arah Pendekar Slebor. Maka, mata jeli 

Andika dapat melihat kalau saat itu adalah 

kesempatan baik untuk melakukan totokan. Selincah 

macan kumbang, tubuhnya cepat melenting ke depan 

dengan arah yang berlawanan dengan gerak Buntar. 

Sehingga, tubuh masing-masing seperti dua batang 

tombak yang dilempar dari arah berbeda. Andika 

meluncur di atas, sedang Buntar meluncur di bawah. 

“Hup!” 

Tiba-tiba Pendekar Slebor berputaran di tanah 

berdebu, bagai sebuah bola bergulir. Sebelum guliran

tubuhnya terhenti, sepasang kakinya menghentak ke 

tanah. Bersama kepulan debu yang menyebar di 

udara, Pendekar Slebor kembali melenting ringan 

dengan satu gerakan menawan, sehingga membuat 

semua mata yang menyaksikan menjadi terbengong-

bengong kagum. Tubuhnya lantas berputaran di 

udara bagaikan seutas cemeti yang dilempar, lalu 

meluruk membawa satu serangan menakjubkan. 

“Hup!” 

Tanpa memberi kesempatan pada laki-laki gila itu 

untuk berbalik, Andika telah tiba tepat di belakang-

nya. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti mata awam, 

tangannya mengirim satu totokan ke bagian bawah 

tengkuk Buntar. 

Tuk! 

Bruk! 

Tanpa dapat melontarkan suara sedikit pun, 

Buntar menggeloso di jalanan pasar. Seluruh 

kerangka tubuhnya seakan dilolosi tanpa sisa. Dan 

ketika tubuhnya menghantam tanah, terciptalah 

kepulan debu tebal yang merambah di sekitarnya. 

“Fhuih....” 

Andika membuang napas lega. Rasanya dia seperti 

baru saja melepas beban amat berat yang meng-

gelayuti pundaknya. Bertempur dengan orang tak 

berdosa seperti Buntar, baginya lebih berat 

ketimbang harus bertempur melawan tokoh sesat 

golongan atas. Bukan karena tingkat kepandaian 

atau kebuasan yang telah diperlihatkan Buntar. 

Melainkan, karena beban batin yang amat berat jika 

menurunkan tangan kejam pada orang yang sebenar-

nya tidak tahu apa-apa. 

Somad dan Rimang lantas bertepuk tangan 

menyaksikan keberhasilan Andika melumpuhkan

Buntar. Wajah mereka langsung cerah ceria, tak beda 

wajah kuli pelabuhan yang baru mendapat upah. Bibir 

mereka bahkan sampai bergerak maju mundur 

saking senangnya. 

“Hebat, Den!” seru Rimang. 

Andika yang merasa mendapat sanjungan lugu, 

jadi tersenyum-senyum dalam hati. 

“Yah, sudahlah.... Kisanak berdua lebih baik mem-

bawa teman Kisanak pulang,” ujar Andika seraya 

menggandeng bahu kedua lelaki itu. 

Rimang dan Somad mengangguk-angguk ber-

barengan. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-

kali sambil menawarkan Andika singgah ke rumah 

mereka, Somad dan Rimang akhirnya membawa 

Buntar pulang. 

*** 

Desa Ambangan terletak tak jauh dari Bandar 

Sunda Kelapa, salah satu bandar yang cukup ramai di 

Pulau Jawa Dwipa. Banyak pedagang dari Malaka 

yang singgah ke sana untuk melanjutkan pelayaran 

ke Maluku. Ada pula para saudagar dari Tiongkok, 

Arab, Gujarat, Persi, dan saudagar dari negeri lain. 

Sehari setelah kejadian di pasar Desa Ambangan, 

Andika semula berniat mengunjungi beberapa negeri 

di kawasan nusantara dengan menumpang kapal 

dagang para saudagar. Namun sejak berurusan 

dengan lelaki gila kemarin, niatnya akhirnya diurung-

kan. Meski demikian, Andika tetap menyinggahi 

Bandar Sunda Kelapa. Sekadar untuk melihat-lihat 

keadaan. 

Saat ini kapal dagang dari Maluku merapat di 

dermaga. Para kuli kapal tampak sibuk menurunkan

rempah-rempahan dari lambung kapal. Semangat 

kerja mereka menciptakan keriuhan yang sampai di 

telinga Andika. Padahal, dia berdiri dalam jarak yang 

cukup jauh. 

Sementara di tepi dermaga, seorang syahbandar 

sedang berbincang dengan Saudagar Ternate pemilik 

kapal. Dari cara berbicara, tampaknya mereka 

sedang membahas sesuatu yang penting, berkaitan 

dengan denyut perdagangan di bandar ini. 

Ketika pandangan Andika beredar ke arah lain, 

matanya melihat lelaki berperawakan kekar dan ber-

pakaian pendekar turun dari geladak kapal. Pakaian-

nya memperlihatkan ciri khas kstaria Tiongkok. 

Bajunya yang memanjang ke lutut, memiliki belahan 

pada sisi-sisinya. Kalau bajunya berwarna merah 

darah, maka celananya yang memanjang berwarna 

hitam hingga tertutup lilitan tali sepatunya. Di tepi 

lengan bajunya, terdapat rajutan dari benang ber-

sepuh emas. Ini menandakan kalau lelaki itu bukan 

rakyat jelata. Malah bisa jadi seorang terhormat di 

negerinya. 

Sebagaimana orang Tiongkok, kulitnya begitu 

kuning. Apalagi ketika wajahnya disengat sinar 

mentari. Matanya yang segaris terlihat makin menyipit 

kala mentari di ubun-ubun Bandar Sunda Kelapa 

mengusik dengan sengatannya yang terik. 

Kaki orang Tiongkok itu menuruni jembatan 

menuju tepi dermaga dengan langkah mantap. 

Dengan mantap pula kakinya melangkah menjauhi 

dermaga ke arah Andika berdiri. Ketika makin dekat 

ke arah Pendekar Slebor, bisa ditangkap ketampanan 

wajah lelaki Tiongkok itu. Dengan ikatan rambut di 

atas kepala, dia terlihat lebih muda dari pada usianya 

yang berkisar antara tiga puluh, hingga tiga puluh

lima tahun. 

Sekitar tiga puluh tombak dari tempat Andika, dua 

lelaki lain datang menyambutnya. Kalau melihat ciri-

cirinya, mereka adalah Rudapaksi dan Rudapaksa, 

dua pendekar muda yang terlihat di sebuah kedai di 

pasar Desa Ambangan. 

“Selamat datang di Sunda Kelapa, Saudagar Chin 

Liong!” sambung Rudapaksa, lelaki yang tertua. 

Sikapnya penuh keramahan serta kehangatan. 

Sambil tetap tersenyum, tangan kanannya diulurkan. 

Berbeda dengan sikap Rudapaksa, lelaki Tiongkok 

bernama Chin Liong tak memperlihatkan kehangatan. 

Dia memang menjabat uluran tangan Rudapaksa. 

Namun, wajahnya sedikit pun tak menampakkan 

seulas senyum. 

“Ah, ya. Ini adik seperguruanku. Namanya, 

Rudapaksi,” lanjut Rudapaksa, tak mau memper-

besar hal sepele dari sikap Chin Liong. 

Rudapaksi ikut menjulurkan tangan kanan. Lalu 

disambut Chin Liong dengan wajah tetap dingin. 

“Kenapa saudara Chin Liong begitu terlambat dari 

rencana semula?” tanya Rudapaksa selanjutnya. 

“Mmm, aku terpaksa melalui jalur Maluku, karena 

musuh kerajaan kami tentu sudah mempersiapkan 

penyerangan di sekitar Selat Malaka yang biasa kami 

lalui... jadi meski agak jauh, aku harus menempuh 

Laut Tiongkok Selatan,” tutur Chin Liong dengan 

bahasa Melayu terpatah-patah. 

“Musuh kerajaan?” tanya Rudapaksi agak heran. 

“Apa mereka menginginkan benda itu juga?” 

Sesaat Chin Liong menatap Rudapaksi lekat-lekat. 

“Ya. Mereka bahkan bersedia memenggal kepala 

rakyat tak berdosa, untuk mendapatkan benda ini.” 

Rudapaksa dan Rudapaksi menautkan alis berbareng. Rupanya, mereka mendapat tugas yang tidak 

main-main dari guru mereka! 

*** 

Sementara itu, ada hal-hal yang mengundang teka-

teki di daerah Pesisir Utara Pulau Jawa Dwipa ini, bagi 

Andika. Pertama kali menjejakkan kaki, Pendekar 

Slebor sudah dihadang pada kejadian aneh. Tentang 

orang yang tiba-tiba menjadi hilang ingatan, lalu 

memiliki kekuatan raksasa dan bertingkah buas. 

Sehari berikutnya, Andika dibuat penasaran oleh 

pertemuan tiga lelaki di Bandar Sunda Kelapa yang 

hati-hati memperbincangkan tentang sesuatu. 

Bahkan tampaknya akan mengakibatkan per-

tumpahan darah! 

“Aku harus menyelidiki semua itu agar semuanya 

menjadi jelas,” bisik Andika perlahan. 

Untuk itu Pendekar Slebor harus pergi ke Danau 

Panca Warna, sebagaimana disebutkan kawan 

Buntar. 

Matahari mulai tersuruk di barat cakrawala. Andika 

pun mengayunkan kakinya, meninggalkan Bandar 

Sunda Kelapa yang tetap berdenyut dengan 

kesibukannya, kembali ke Desa Ambangan. 

***

TIGA


Di Desa Ambangan, Andika langsung menanyakan 

letak Danau Panca Warna pada seorang penduduk 

yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. 

Setelah mengetahui letak danau itu, Andika me-

lanjutkan langkahnya. Namun baru saja kakinya 

terayun dua tindak, pemuda desa yang ditanyainya 

tadi menahannya. 

“Tunggu, Kang!” panggil pemuda itu. Andika 

menoleh. 

“Ada apa, Kisanak?” tanya Pendekar Slebor seraya 

berbalik, dengan penasaran. 

“Sebaiknya Kakang jangan ke tempat itu,” lanjut 

pemuda tadi. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh, 

saat mengucapkan kalimat terakhir. 

“Kenapa, Kisanak?” tanya Andika lagi. Wajahnya 

makin dipulas warna penasaran. 

“Apa kau tidak tahu danau itu kini sudah dihuni 

mambang jahat?” pemuda itu malah balik bertanya. 

Mendengar penjelasan pemuda itu, Andika jadi 

melepas tawa ringan. Memang, masyarakat Jawa 

Dwipa seringkali menghubung-hubungkan satu 

kejadian dengan hal-hal berbau takhayul. Bisa jadi, 

mungkin karena pengaruh kepercayaan nenek 

moyang. 

“Mambang jahatnya pakai brewok, ya,” seloroh 

Andika tanpa maksud mengejek. 

Maksudnya, Andika sekadar berkelakar. Tapi 

kepercayaan seseorang, rupanya terlalu peka untuk 

dijadikan sedikit gurauan. Buktinya, pemuda itu

langsung memperlihatkan wajah tak senang pada 

Pendekar Slebor. Andika akhirnya hanya bisa meng-

angkat bahu tinggi-tinggi. 

“Kenapa Kisanak bisa berkata seperti itu?” 

“Sampai hari ini, sudah lima orang penggali pasir 

yang tiba-tiba gila setelah menyelam ke dasar 

danau...,” jelas pemuda itu. 

“Lima orang?” penggal Andika tanpa sadar. Tentu 

saja Pendekar Slebor menjadi terkejut, sebab yang 

diketahui hanya Buntar. 

“Ya! Kemarin sore empat penggali pasir menjadi 

hilang ingatan secara bersamaan. Mereka mengoceh-

kan sesuatu yang mereka lihat di dasar danau. Entah, 

benda apa. Apa kau belum mendengar berita itu?” 

tanya pemuda itu. Kata-kata yang terlontar dari mulut-

nya terdengar tertahan-tahan. Ada kesan ketakutan 

dalam dirinya. 

Andika hanya menggeleng sebagai jawabannya. 

Sementara itu, tangannya mengusap-usap dagu 

perlahan. Tampaknya, berita yang keluar dari mulut 

Buntar sinting tak bisa dianggap main-main lagi! 

“Jadi, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk pergi 

ke Danau Panca Warna. Para penggali pasir saja tak 

sudi lagi menjadikan tempat itu sebagai mata pen-

caharian sejak hari ini,” lanjut pemuda itu, mem-

peringati. 

Andika mengangguk-angguk. Bisa dimaklumi per-

hatian penduduk desa seperti pemuda di hadapan-

nya. Sifat tolong menolong penduduk desa memang 

masih berakar kuat. 

“Terima kasih atas nasihatnya, Kisanak,” ucap 

Andika tulus. 

Pemuda itu hanya membalas ucapan terima kasih 

Andika dengan senyum ramah dan tulus pula.

“Kalau begitu, aku mohon pamit,” tutur pemuda itu 

sopan seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. 

“Silakan,” sahut Andika, juga mengangkat tangan. 

Pemuda desa itu melangkah, meninggalkan Andika 

yang masih terpaku di tengah jalan setapak. Ketika 

dia sudah berjalan sepuluh tombak, Andika segera 

menggenjot ilmu meringankan tubuhnya untuk segera 

tiba di Danau Panca Warna. Itu sebabnya, ilmu 

meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada 

tingkat yang paling tinggi. 

Dalam sekerdipan mata, tubuh Andika sudah 

lenyap dari tempat berdiri semula. Bumi seakan 

menelannya begitu saja. Sementara pada saat yang 

bersamaan, pemuda desa tadi menoleh ke arah 

tempat Andika berdiri. Dia ingin memastikan apakah 

Andika melangkah menuju Danau Panca Warna. 

Melihat tubuh Andika tiba-tiba hilang tanpa bekas 

di depannya, biji mata pemuda desa itu langsung 

terbelalak tak tanggung-tanggung. Sepasang bola 

matanya seakan hendak melompat keluar. Beberapa 

saat dia tampak tergagap-gagap. Seluruh wajahnya 

saat itu pula seperti kehilangan darah. Tak lama 

kemudian, dia lari tunggang langgang dengan wajah 

seputih mayat. 

“Tolooong! Ada mambang danau!” jerit pemuda itu 

terseok-seok. 

*** 

Cakrawala telah diselimuti lembayung, ketika 

Andika tiba di Danau Panca Warna. Hari menjelang 

senja. Matahari tampak memudar berwarna jingga di 

atas permukaan danau. Kemilau bayangannya 

tampak menari-nari bersama riak halus air danau.

Jika diperhatikan sepintas, danau itu berkesan 

damai. Panorama sore yang melingkupinya, mampu 

menyejukkan hati setiap insan yang menikmatinya. 

Tidak hanya itu. Kulit pun seperti dimanja dengan 

hembusan angin sepoi-sepoi basah yang sesekali 

berlari di permukaan danau. 

Namun di balik kedamaian itu, sebenarnya ter-

sembunyi sebuah kekuatan dari luar bumi pembawa 

bencana pertumpahan darah. Dan Andika bisa 

merasakannya, meski belum bisa menduga lebih jauh 

akan akibat yang bakal menimpa dunia persilatan 

oleh kehadiran benda asing di dasar danau ini. 

Pada dasarnya, Pendekar Slebor sudah cukup 

yakin oleh berita yang disampaikan Buntar melalui 

setiap ocehannya. Tak mungkin orang awam seperti 

Buntar mendadak memiliki kekuatan raksasa kalau 

tak ada sesuatu yang mempengaruhinya. Namun 

begitu, Andika tetap merasa penasaran untuk melihat 

sendiri benda yang dimaksud Buntar dengan mata 

kepala sendiri. 

Maka tanpa berpikir untuk kedua kali, pendekar 

muda itu langsung melempar diri ke dalam danau. 

Rasa penasarannya yang makin membludak, mem-

buatnya tak sempat berpikir untuk membuka 

pakaian. 

Byur! 

Air dingin Danau Panca Warna menusuk seluruh 

permukaan kulit Andika. Sesaat bisa dinikmati 

kesegaran alami, mengenyahkan kepenatan yang 

sejak siang tadi menggelayuti tubuhnya. Setelah 

mengisi penuh paru-parunya dengan udara di per-

mukaan danau, Andika langsung menyelam. 

Cahaya senja ternyata masih cukup mampu 

menembus ke dalam danau. Bahkan masih bisa

menerangi dasarnya, biarpun kilaunya sudah redup. 

Perlahan-lahan Pendekar Slebor menyelam menuju 

dasar danau sedalam sekitar sepuluh tombak. Makin 

menembus ke dalam, air makin terasa dingin 

menggigit. Dan tekanan pun makin memberat di 

sekitar dadanya. 

Saat matanya sudah dapat menangkap per-

mukaan dasar danau, Pendekar Slebor mulai 

menelusuri dari satu bagian ke bagian lainnya. Indra 

penglihatannya saat ini benar-benar dipertajam, agar 

mampu menangkap keganjilan keganjilan yang ada. 

Namun sampai sejauh itu tak juga ditemukan benda 

yang dimaksud. Yang terlihat hanya hamparan pasir 

danau, batu-batu alam, tumbuhan danau, dan ikan-

ikan yang riang bebas di dalamnya. 

Sementara itu, dada Pendekar Slebor mulai terasa 

sesak. Sudah beberapa kali napasnya dihembuskan 

sedikit demi sedikit. Kini, persediaan udara dalam 

paru-paru benar-benar telah menipis. Andika harus 

kembali ke permukaan dulu untuk mengambil napas 

kembali, lalu menyelam lagi. 

Dan baru saja Andika hendak membuang sisa 

udara pernapasannya, tiba-tiba saja matanya 

menangkap sesuatu yang amat menarik. Suatu 

kilauan cahaya merah bara! 

Andika memekik girang dalam hati. Pasti, benda ini 

yang dimaksud Buntar tempo hari! Maka tanpa 

mempedulikan sesak di dadanya, mulai didekatinya 

benda bercahaya yang berjarak sekitar tujuh tombak 

dari tempatnya. 

Andika makin dekat. Dan matanya pun terus 

menyipit, karena terpaan cahaya menyilaukan dari 

benda asing itu. Anehnya cahaya merah bara 

menyilaukan itu terasa seperti mengirimkan getaran

ke dalam diri Andika. Suatu getaran yang makin 

menarik dirinya, untuk terus mendekati. 

Menyadari hal itu, dada Andika mulai berdegup-

degup kencang. Dan ini tentu saja menyebabkan 

persediaan udara dalam paru-parunya menjadi cepat 

terkuras. Apalagi, dia hanya mengandalkan sisa 

udara saja. Semua itu benar-benar di luar per-

hitungan. Biarpun telah memiliki pengalaman matang 

dalam dunia persilatan, namun dalam menghadapi 

keganjilan benda itu Andika tak mau ambil resiko. 

Segera Andika memutuskan kembali ke per-

mukaan, untuk menghirup udara segar. Setelah itu, 

dia akan kembali lagi. Tapi, maksud itu hanya sempat 

terpercik di benaknya. Sebab satu tarikan tiba-tiba 

saja membetot tubuhnya! Kekuatannya lebih kuat 

daripada cengkeraman tangan-tangan sepuluh gurita 

raksasa! 

Andika tergagap. Dalam keterkejutannya, air 

danau jadi tertelan. Tentu saja hal itu membuatnya 

makin blingsatan. 

Andika sedikit menenangkan hatinya, tapi itu pun 

tak menolong. Bahkan ketika dicoba untuk mengerah-

kan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah 

Kutukan, hasilnya tetap nihil. 

“Gila!” maki pemuda itu dalam hati. 

Bagaimana dia tidak memaki, kalau kekuatan 

tarikan tadi seperti menelan kekuatan sakti miliknya? 

Sebagai pendekar keras kepala, Andika tidak mau 

menyerah begitu saja. Sekali lagi, tenaga sakti 

miliknya dikerahkan. Bahkan sampai sehabis-

habisnya. 

Glrrrblb... blp! 

Sekejap, tercipta suatu pusaran besar yang 

diramaikan oleh beribu-ribu gelembung udara. Itu pun

masih ditingkahi kerjapan sinar menyilaukan akibat 

benturan tenaga sakti Andika dengan tenaga tarikan 

benda aneh itu. 

Setelah itu, semuanya bagai tersapu begitu saja. 

Sinar menyilaukan yang tadi tercipta, pusaran air, dan 

ribuan gelembung, lenyap tanpa bekas. Hanya sisa-

sisa pasir yang bertebaran tak beraturan di sekitar 

tempat itu. Sementara Andika kembali dikekang 

tenaga tarikan yang tak bisa dipahaminya. 

Andika kian gelagapan. Dan ini amat mem-

bahayakan bagi dirinya. Maka tanpa dapat ditahan 

lagi, pernapasannya menarik air danau dalam satu 

sedotan tak disengaja. Air pun merambah ke saluran 

pernapasan pendekar muda ini, sehingga membuat 

dadanya bagai dicabik-cabik sekawanan serigala. 

Sesaat kemudian kepalanya berdenyut amat keras, 

menyusul rasa sakit seakan dihimpit dua gunung 

raksasa. 

Tubuh Andika kejang. Kesadarannya perlahan 

mengabur. Begitu pula pandangannya. Sampai 

akhirnya, dia tak ingat apa-apa lagi. Pingsan! 

***

EMPAT


Seseorang tampak berdiri mematung dalam 

kegelapan malam di tepian Danau Panca Warna. Cara 

berdirinya seperti menantang rembulan yang bagai 

mengambang sepenggalan di atas permukaan air 

Danau Panca Warna. Pakaiannya berwarna biru tua 

ketat. Rambutnya pendek dengan ikat kepala yang 

sewarna pakaiannya. Di pinggangnya terselip dua 

toya pendek sepanjang lengan. 

Entah, apa yang sedang diperbuat orang itu di tepi 

danau yang kini dijauhi penduduk. Yang pasti, 

matanya jatuh lurus pada bayangan lembut rembulan 

di permukaan air. Sesaat kemudian terdengar 

keluhan dari mulutnya. Setelah itu, ditariknya napas 

dalam-dalam, dan dihempaskannya keras. Seakan, 

dirinya sedang dirasuki kejengkelan. 

Rupanya orang itu telah puas memandang per-

mukaan danau. Setelah sekian lama hanya berdiam 

tanpa bergerak, kini tubuhnya dipalingkan untuk 

segera berlalu dari tempat sunyi ini. Tapi niat untuk 

pergi mendadak diurungkan, manakala matanya 

menangkap sesuatu terapung lamban di tengah 

danau. 

Orang itu menyipitkan matanya, berusaha mem-

perjelas pandangan. Bisa jadi, dia telah salah lihat. 

Namun semakin ditatapnya lebih jelas, malah hatinya 

semakin yakin kalau pandangannya tidak keliru. 

Yang dilihatnya adalah tubuh seseorang berbaju 

hijau muda. 

“Ya, Tuhan...,” desis orang itu meninggi, disergap

keterkejutan. “Aku harus segera menolongnya. 

Mudah-mudahan masih bernapas!” 

Orang itu lantas berlari menuju sebuah sampan 

kecil yang tertambat tak jauh dari tempatnya. Dengan 

sigap, dia melompat ke lambung sampan. Gerakan-

nya terlihat amat ringan. Sehingga sampan itu tidak 

terbalik meski kakinya menjejak di sisinya. Diambil-

nya pengayuh yang tergeletak di lambung sampan. 

Lalu dikayuhnya sampan itu penuh ketergesa-gesaan. 

Tanpa banyak memakan waktu, orang itu telah 

sampai di dekat tubuh yang terapung tadi. Segera 

diangkatnya tubuh itu ke atas sampan. Setelah 

berada di pangkuan, diperiksanya denyut nadi lelaki 

malang yang ternyata Andika. 

“Ahhh,” desah orang itu lega. “Untunglah masih 

bernyawa. Rupanya, kau memiliki nasib cukup baik, 

Kisanak. Kalau saja terapung dalam keadaan ter-

telungkup, tentu nyawamu sudah ditunggu para 

penghuni kubur.” 

*** 

Pagi telah menjelang, beriring kicau burung di 

pucuk-pucuk pepohonan. Kabut tipis tampak me-

rambat lamban, diiringi alunan kokok ayam jantan di 

kejauhan. Sementara terabasan sinar tipis di sela-

sela dedaunan bagai menghiasi garis-garis ke-

hidupan. 

Setelah semalaman tak sadarkan diri, kini Andika 

siuman. Kelopak matanya terbuka perlahan, lalu 

mengerjap-ngerjap sesaat. 

“Di mana aku?” desah Pendekar Slebor, masih 

dalam keadaan telentang. 

Perlahan pemuda itu bangkit, lalu duduk lemah di

bibir balai-balai bambu tempatnya terbaring. Sambil 

menarik napas berkali-kali, pandangannya beredar ke 

sekeliling ruangan. 

Ternyata, Andika berada dalam sebuah gubuk kecil 

yang terbilang kotor. Di sana sini terlihat sarang laba-

laba serta debu tebal. Di lantai tanah, tampak bekas 

api unggun yang masih mengepulkan asap tipis. 

Sementara, jendela yang hanya satu-satunya di gubuk 

bilik itu sedikit terkuak, membiarkan cahaya matahari 

menerobos masuk. 

“Ke mana tuan rumah yang jorok ini!” gerutu 

Andika. 

Andika segera bangkit, dan melangkah menuju 

pintu gubuk yang sudah berlubang-lubang dimakan 

rayap. Matanya lantas mengerut, tatkala sinar 

matahari menimpa wajahnya yang agak pucat. 

Dengan tangan kanan, dia berusaha menghalangi 

cahaya matahari yang langsung menimpa matanya. 

Setelah dapat menguasai silau, matanya mulai 

mencari-cari. Tentu saja hendak mencari pemilik 

gubuk yang seperti kandang setan itu. 

“Oi, Kisanak!” seru Pendekar Slebor tatkala 

matanya telah menemukan seseorang berbaju biru 

tua sedang memancing. 

Dengan agak tertatih, gubuk di tepi danau tadi 

ditinggalkannya untuk menghampiri orang berbaju 

biru yang membelakanginya. 

“Kisanak,” tegur Andika sekali lagi, karena orang 

itu sama sekali tidak menoleh waktu diteriakinya tadi. 

Tangannya dijulurkan ke bahu orang berambut 

pendek itu, lalu disentuhnya. 

Orang yang ditegur akhirnya menoleh juga. Dan 

betapa terperanjatnya Andika, ketika melihat wajah 

orang berambut pendek yang ternyata seorang

wanita. 

Sedikit gelagapan, Andika segera menarik 

tangannya dari bahu wanita itu. 

“Ma.... maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud kurang 

ajar. Kukira kau...,” ucap Andika terbata. 

“Lelaki?” terabas wanita itu, seperti tidak mem-

pedulikan ucapan Andika. “Atau memang kau 

berpura-pura tidak tahu, agar dapat menyentuh 

tubuhku?” 

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

Apalagi yang meski dikatakan kalau menghadapi 

wanita kenes macam ini. 

“Kenapa aku berada di gubukmu?” tanya Andika 

lagi. 

“Itu bukan milikku, tapi hanya gubuk terbengkalai 

di tepi danau ini. Tapi yang penting bisa dimanfaatkan 

untuk bermalam,” sahut wanita tadi, acuh. Kemudian 

dia terlihat asyik kembali dengan kailnya. 

“Jadi, kenapa aku berada di gubuk itu?” ulang 

Andika, sedikit memperbaiki kalimatnya. 

“Kau sendiri kenapa berada di danau ini?” wanita 

itu balik bertanya, tanpa berpaling. 

“Aku?” Andika tergugu. 

Entah kenapa, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa 

lagi. Tentang kejadian yang kemarin sore dialaminya 

pun tidak ada di benaknya. Itu sebabnya, dia tak 

mengerti maksud ucapan wanita di depannya. 

“Kenapa aku ada di danau ini?” tanya Andika 

kebodoh-bodohan. 

Ucapan Andika barusan tentu saja memancing 

kejengkelan wanita berambut pendek ini. 

“Kau orang dungu atau pemuda pikun?” ledek 

wanita itu memalingkan tubuhnya ke arah Andika. 

“Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa.

Apa kau sudi menjelaskan padaku?” pinta Andika. 

Wajahnya tampak sulit dijelaskan, dengan alis 

terangkat kecil. 

Wanita itu menatap Andika lekat-lekat. Kelopak 

matanya yang berhias bulu mata lentik berwarna 

legam, tampak mengerut. Begitu juga kening di 

wajahnya. Setelah menemukan kesungguhan di 

wajah Andika, wanita itu tersenyum tipis. 

“Aku menemukanmu terapung di danau ini tadi 

malam.” 

“Aku? Terapung? Kenapa begitu?” tanya Andika 

beruntun. 

Pendekar muda itu benar-benar diombang-ambing 

kebingungan. Tak ada sedikit pun ingatan yang 

tertinggal di kepalanya. 

“Mana aku tahu!” sahut wanita itu cepat. Kembali 

dia jengkel. Lalu, tubuhnya berbalik lagi. Kailnya kali 

ini rupanya mendapat mangsa. 

“Hih!” 

Berbareng dengan satu teriakan kecil, wanita itu 

menarik kail yang bergerak-gerak. Tapi yang terkait di 

mata kail membuat wanita itu tertawa renyah. 

“Hi hi hi...! Kukira mendapat ikan besar, tak 

tahunya hanya kain gombal!” ujar wanita itu diselingi 

tawa sambil menggoyang-goyangkan kail yang kini 

digelayuti kain bercorak catur. 

Sementara dia sibuk tertawa, Andika malah 

menatap kain itu penuh perhatian. Kain itu meng-

ingatkannya pada sesuatu. Tapi, entah apa. Pendekar 

Slebor sendiri masih samar. 

“Hey? Kenapa kau tidak tertawa?” sentak wanita 

berambut pendek ini pada Andika. “Apa kau tidak 

berselera untuk berguyon?” 

Andika menyahuti hanya dengan gelengkan

kepala. 

“Huh! Rupanya aku telah menolong pemuda 

bodoh,” rutuk wanita itu dongkol. 

Andika tak mempedulikan. Malah kakinya me-

langkah kembali menuju gubuk dengan kepala 

tertunduk. Benaknya masih tidak habis pikir, kenapa 

ingatannya hilang begitu saja. 

“Apakah aku memang pemuda bodoh seperti 

disebut wanita itu? Lalu, siapa aku? Siapa namaku? 

Dan, kenapa aku berada di sini?” kata batin Pendekar 

Slebor, bertanya pada diri sendiri. 

“Hey!” panggil wanita tadi. “Kau tidak tersinggung 

dengan ucapanku tadi, kan?” 

Andika menoleh, lalu menggeleng. 

“Aku Ratna Kumala. Kau boleh memanggilku 

Ratna. Siapa namamu?” lanjut wanita itu bersama 

sebaris senyum tipis sebagai permohonan per-

sahabatan. 

Andika menaikkan keningnya. “Aku tidak tahu,” 

jawab pemuda itu perlahan. Ratna Kumala merengut 

lagi. “Nisanak! Boleh aku minta kain itu?” pinta 

Andika. 

“Untuk apa gombal ini?” tukas Ratna Kumala, 

sambil menahan tawa. 

“Aku tidak tahu. Rasanya kain itu ingin kumiliki.” 

Ratna Kumala tertawa. Kali ini lebih nyaring, dan 

terdengar riang. 

“Kau bisa menjengkelkan, sekaligus lucu! Nih! 

Ambillah!” 

Ratna Kumala melempar kain bercorak catur 

basah pada Andika. Dan seketika Pendekar Slebor 

pun menangkapnya. 

“Terima kasih,” hatur Andika. 

Kemudian Pendekar Slebor melanjutkan langkah

nya, meninggalkan wanita itu. 

“Hey! Jangan panggil aku Nisanak lagi, ya! Apalagi 

Kisanak!” 

Andika tak menyahut, dan terus berjalan sambil 

terus mengamati kain bercorak catur di tangannya. 

*** 

Desa Ambangan kini telah dibanjiri pendatang dari 

berbagai daerah. Mereka rata-rata tokoh persilatan, 

baik dari golongan putih atau hitam, dari kelas bawah 

hingga kelas atas. 

Orang-orang itu layaknya semut yang mendatangi 

gula. Ya! Desa Ambangan belakangan ini menjadi 

gula bagi seluruh kalangan persilatan, setelah tersiar 

kabar tentang benda sakti di dasar Danau Panca 

Warna. 

Tujuan utama mereka tentu saja untuk men-

dapatkan benda sakti itu. Di samping, ada pula yang 

hendak bertemu rekan segolongan, yang pada umum-

nya dilakukan oleh para pendekar golongan putih. 

Sementara ada pula yang berniat mencari guru atau 

menjajal ilmu yang sudah dimiliki. 

Dan pagi ini, datang lagi tiga orang berpenampilan 

sangar. Yang seorang adalah laki-laki berwajah penuh 

brewok kasar. Rambutnya berdiri tegak, seperti duri 

landak. Matanya memancarkan sinar kekejaman 

dengan alis yang tumbuh samar-samar. Hidungnya 

pesek. Wajahnya yang berbentuk persegi, menampak-

kan rahangnya yang kokoh. Lelaki berperawakan 

tinggi besar itu dikenal dengan nama Atma Sungsang. 

Yang berjalan di tengah bernama Kebo Ireng. Jika 

mendengar namanya, bisa terbayang kalau 

perawakannya besar dan kekar. Padahal sebaliknya,

justru lelaki itu berbadan kerempeng. Dan tubuhnya 

paling tinggi dibanding dua temannya. Wajahnya tirus, 

sebagaimana orang kurus. Hidungnya lancip dan 

matanya cekung. Sejumput jenggot ikut menghiasi 

wajahnya yang mirip tikus. 

Yang terakhir bernama Jarjaran. Melihat penam-

pilannya yang mirip Atma Sungsang, sudah bisa 

dipastikan kalau dia masih bersaudara dengannya. 

Bedanya, Jarjaran tidak memelihara brewok. Dagunya 

tampak licin, karena sering dipangkas dengan 

goloknya. 

Mereka bertiga mengenakan pakaian sewarna. 

Hitam. Celananya sebatas lutut. Laki-laki bernama 

Atma Sungsang menyandang parang berukuran besar 

pada pinggangnya. Sedangkan Kebo Ireng membawa 

senjata berbentuk kipas. 

Ketiga lelaki sangar itu kini memasuki sebuah 

penginapan. Sebagaimana desa yang dekat bandar, 

penginapan itu diramaikan oleh para pendatang dari 

beberapa negeri yang menginap untuk menunggu 

bongkar muat barang di kapalnya. Namun mulai tiga 

hari yang lalu, penginapan ini juga dipenuhi para 

pendekar yang mengisi kamar demi kamar di sana. 

Kebo Ireng selaku lelaki tertua, memasuki ruang 

tengah penginapan lebih dahulu. Langkahnya terlihat 

angkuh. Tak beda Atma Sungsang dan Jarjaran di 

belakangnya. 

“Kami pesan tiga kamar,” ucap Kebo Ireng dingin 

pada pemilik penginapan di meja penerimaan tamu. 

“Aduh.... Sayang sekali, Tuan. Kami hanya punya 

sisa dua kamar,” jawab pemilik penginapan ramah. 

“Tiga!” terabas Kebo Ireng, keras. 

“Wah! Kalau Tuan menghendaki tiga kamar, 

sebaiknya cari di penginapan lain saja. Barangkali di

sana masih banyak kamar, Tuan...,” usul pemilik 

penginapan, sambil tersenyum sopan. 

“Jangan bertele-tele! Menyediakan tiga kamar, 

atau ditukar nyawamu?!” ancam Kebo Ireng, tetap 

dingin. 

Diancam seperti itu, laki-laki tua pemilik 

penginapan ini jadi mengerut. Wajahnya berubah pias 

pasi. 

“Ma..., af, Tuan. Kami sungguh-sungguh hanya 

punya dua kamar. Kamar lain sudah terisi semua,” 

ucap laki-laki tua itu agak memelas. 

Brakkk! 

Baru saja ucapan pemilik penginapan itu selesai 

mendadak saja Kebo Ireng menggebrak meja setinggi 

pinggang di depannya. 

Gebrakannya terlihat ringan. Tapi akibatnya tidak 

pernah diduga. Meja jati itu langsung jebol berkeping-

keping. Padahal tebalnya hampir sejari telunjuk. 

Pemilik penginapan tersentak ke belakang. Wajah-

nya makin memucat. Bulir-bulir keringat dingin pun 

sudah membasahi keningnya. 

“Apa kau tak punya otak?! Kenapa tak diusir saja 

seorang tamu yang menempati kamarmu?” dengus 

Kebo Ireng tanpa perubahan pada wajahnya. Wajah 

dan bicaranya tetap dingin. Sedangkan matanya 

memandang penuh ancaman. 

“Ba..., bagaimana aku harus mengusir tamuku 

sendiri, Tuan?” jawab pemilik kedai, masih berusaha 

menolak. 

“Kau bertele-tele sekali, Bangsat!” hardik Atma 

Sungsang dari belakang Kebo Ireng. 

Lelaki ini rupanya sudah tidak sabar lagi. Gagang 

parang di pinggangnya bahkan sudah diangkat. 

Namun, Kebo Ireng mengangkat tangan kanannya,

memberi isyarat pada Atma Sungsang untuk tetap 

tenang. 

“Jangan sia-siakan nyawamu...,” ujar Kebo Ireng 

setengah berbisik pada pemilik penginapan. “Toh 

lebih baik kau kehilangan seorang pelangganmu, 

ketimbang mesti kehilangan nyawa?” 

“Baik..., baiklah,” sahut pemilik penginapan ter-

bata-bata. 

Kemudian laki-laki tua itu segera meninggalkan 

meja penerima tamu. Dia naik ke lantai atas dengan 

setengah berlari. 

Sementara tiga lelaki sangar itu hanya tertawa 

terbahak-bahak melihat tingkah pemilik kedai yang 

terlihat bagai tikus comberan di mata mereka. Dan 

tawa mereka langsung putus ketika.... 

“Kunyuk! Apa kau kira aku ini anjing yang bisa kau 

usir seenaknya, hah!” 

Terdengar keributan dari lantai atas. Rupanya 

pelanggan yang hendak diminta keluar oleh pemilik 

penginapan, tidak bisa menerima perlakuan itu begitu 

saja. Kemudian terdengar suara langkah berlari, 

diselingi makian-makian kasar. 

Pemilik penginapan itu berlari serabutan menuruni 

anak tangga penginapan yang terbuat dari kayu yang 

disusun berputar pada satu tiang. Sementara seorang 

lelaki setengah baya berbadan tegap menyusul di 

belakangnya, dengan mengacung-acungkan samurai. 

“Ampun, Tuan.... Ampun!” teriak si pemilik 

penginapan mengiba-iba sambil tetap berlari. 

“Berhenti!” bentak Jarjaran. 

Kedua yang tengah kejar-kejaran berhenti tiba-tiba 

begitu mendengar bentakan yang terasa meng-

getarkan dinding kayu penginapan. 

“Kisanak! Kuminta kau meninggalkan penginapan

ini. Kamarmu akan kami pergunakan,” sentak Kebo 

Ireng lantang dari lantai bawah. 

“Apa?!” balas lelaki yang memegang samurai. 

Wajahnya yang hitam tampak semakin matang ter-

bakar kegusaran. “Seenak dengkulmu saja bicara. 

Kau pikir dirimu raja?!” 

Sementara Kebo Ireng menatap laki-laki itu di-

sertai sebaris senyum sinis. Sikapnya begitu 

mengejek, seolah-olah menganggap kemarahan lelaki 

setengah baya itu hanya sebagai tontonan meng-

asyikkan. 

“Jangan menatapku seperti itu, Kunyuk!” 

Kebo Ireng malah terkekeh. 

“Kau terlalu banyak bacot, Kisanak,” cemooh Kebo 

Ireng seraya menjentik pecahan meja jati di depan-

nya. 

Zing! 

Mendadak melesat sesuatu dari tangan Kebo 

Ireng. Begitu cepatnya, sehingga laki-laki yang 

memegang samurai tak menduga sama sekali. Dan.... 

Jep! 

“Wuaaa...!” 

Lengkingan panjang terdengar dari mulut lelaki 

setengah baya malang itu. Tanpa pernah diduga, 

pecahan kayu itu ternyata langsung menembus 

perutnya. Dari sini bisa diukur, betapa dahsyatnya 

tenaga dalam Kebo Ireng. 

“Satu... dua,” dengan santai Kebo Ireng meng-

hitung. “Tiga...” 

Bersamaan dengan berhentinya hitungan Kebo 

Ireng, tubuh lelaki itu ambruk, lalu menggelinding di 

atas anak tangga. 

Brak! 

Tubuh laki-laki itu baru berhenti bergulir, setelah

menabrak dinding ruangan di bawah. Tak ada 

gerakan sedikit pun di tubuhnya. Tampak darah 

mengalir dari lukanya akibat terjangan pecahan kayu. 

Sementara, semua mata memandang ke arah 

sosok yang telah diam tak berkutik lagi. Sedangkan 

mata Kebo Ireng telah tertuju pada pemilik 

penginapan. 

“Nah! Sekarang, kami bisa mendapat kamar, 

bukan?” kata Kebo Ireng pada pemilik penginapan. 

Pemilik penginapan tak bisa menyahut. Tubuhnya 

masih mengejang kaku, setelah menyaksikan satu 

kejadian mengerikan. Bibirnya bergetar hebat, seakan 

hendak mengucapkan sesuatu yang tak bisa di-

keluarkannya. 

“Tidak perlu, Ki. Beri saja mereka kandang 

kambing!” tiba-tiba terdengar suara wanita yang 

berasal dari pintu masuk penginapan. 

***

LIMA


“Siapa yang berani bertingkah di hadapan Tiga Setan 

Selatan?!” 

Kali ini Atma Sungsang yang membentak. Tubuh-

nya segera berbalik, menghadap pintu masuk. Kini 

terlihatlah seorang gadis berambut pendek ber-

pakaian biru tua tengah berdiri santai tepat di mulut 

pintu. Dan gadis itu memang Ratna Kumala. 

Sementara itu para penghuni kamar lain ber-

munculan di dekat pintu masing-masing setelah 

mendengar jeritan tadi. Di antaranya, malah sudah 

menyiapkan senjata di tangan. Mereka adalah 

beberapa tokoh persilatan yang selalu siaga terhadap 

kekacauan. Namun belum ada satu pun yang hendak 

turun tangan. 

“Ooo, Tiga Setan Kurapan?” ejek Ratna Kumala 

acuh tak acuh. 

“Perempuan keparat! Rupanya dia minta di-

cincang, Kang,” dengus Jarjaran amat geram. 

Meski mata ketiga lelaki yang memperkenalkan 

diri sebagai Tiga Setan Selatan itu menghujam lurus-

lurus ke arahnya, namun Ratna Kumala tetap ber-

sikap santai. Malah dengan tenang kakinya me-

langkah ke dalam ruangan sambil menoleh ke sana 

kemari, melihat-lihat keadaan penginapan. Seakan-

akan tak dipedulikannya Tiga Setan Selatan yang 

begitu muak melihat tingkahnya. 

“Hm.... Para tamu terhormat. Para saudagar dan 

para pendekar. Penginapan ini rupanya telah di-

masuki tiga ekor kecoa mabok. Tapi, percayalah

padaku. Mereka tak akan senang ditonton seperti 

itu,” celoteh Ratna Kumala. 

Kebo Ireng berusaha menahan diri agar tak kalap 

menerima ejekan habis-habisan dari Ratna Kumala. 

Namun beda dengan Atma Sungsang. Seluruh wajah 

lelaki itu langsung matang. Rahangnya bergemelutuk, 

memperlihatkan tarikan otot kegeraman. Dari hidung-

nya yang pesek terdengar dengusan napas se-

bagaimana banteng murka. Maka tanpa meminta 

pertimbangan Kebo Ireng lagi, Atma Sungsang 

menerjang Ratna Kumala dengan parang besar di 

tangan disertai makian yang menggelegar ke seluruh 

ruangan. 

Kemarahannya yang memuncak membuat Atma 

Sungsang ingin secepatnya menghabisi gadis itu, 

maka senjatanya langsung diarahkan ke kepala 

wanita yang membuat ubun-ubunnya hendak 

meledak ini. 

Wet 

“Heit!” 

Ratna Kumala bertindak cepat dalam menghadapi 

sabetan parang yang bergerak dahsyat. Tubuhnya 

langsung bersalto ke belakang. Namun, serangan 

Atma Sungsang memang tak tanggung-tanggung. 

Sebelum kaki gadis itu mendarat mantap di tanah, 

parangnya sudah diayunkan kembali dalam 

kecepatan luar biasa. 

“Heaaa!” 

Wet! Wet! 

Mau tak mau, Ratna bersalto ke belakang kembali. 

Bahkan sampai tubuhnya hampir mencapai pintu 

keluar, Atma Sungsang tetap memburu bagai 

kerasukan. 

Pada saat bersamaan, mendadak seseorang

masuk ke rumah penginapan ini. Begitu asyiknya dia 

memperhatikan sesuatu di tangannya, sampai-

sampai tak menyadari kalau tubuh Ratna Kumala 

berputar deras ke arahnya. Dan.... 

Buk! 

“Adaow!” 

Orang itu berteriak nyaring, begitu kaki Ratna 

Kumala mendepaknya tanpa sengaja. Orang yang 

ternyata pemuda berpakaian hijau itu tak lain Andika 

alias Pendekar Slebor. Kini pendekar ini telah 

kehilangan seluruh ingatannya akibat gangguan pada 

otak besarnya, ketika mengalami cidera di dasar 

Danau Panca Warna. 

Andika langsung tersuruk mendapat hantaman 

keras tadi. Kain bercorak catur yang menjadi pusat 

perhatiannya tadi terlempar dari tangannya. Dan 

memang, kain itu sampai saat ini masih menjadi 

bahan pemikirannya. 

“Sialan! Tengik sekali kau, Ratna!” maki pemuda 

itu pada Ratna Kumala yang sudah berdiri di sisinya. 

Andika segera bangkit dengan wajah bersungut-

sungut. “Kenapa kau bercanda keterlaluan dengan 

lelaki bengkak itu, sih?” 

Mendengar kicauan jengkel Andika, Ratna Kumala 

jadi tertawa geli. Matanya melirik Atma Sungsang 

yang lantas mendelik mendengar ucapan Andika. 

“Tadi kau meninggalkanku begitu saja. Setelah 

kutemui, malah menabrakku tanpa permisi!” rutuk 

Andika. 

“Hey, Pemuda Dungu!” hardik Atma Sungsang. 

Atma Sungsang benar-benar jengkel disebut lelaki 

bengkak. Apalagi, dia memang sedang diamuk 

kemarahan oleh ulah Ratna Kumala. 

“Hah?! Apa?” tanya Andika, seraya mengangkat

wajah kebodoh-bodohan. 

“Apa? Kau tadi menyebutku apa?!” 

“Lelaki bengkak,” sahut Andika, seperti tak merasa 

salah. 

“Keppparaaat...!” desis Atma Sungsang. Hidungnya 

sudah kembang kempis karena gusar. 

Di lain pihak, Andika malah sibuk mencari-cari kain 

bercorak caturnya. Matanya jelalatan ke sana kemari, 

sampai akhirnya kain yang dicari ditemukan tengah 

berada di bawah kaki Atma Sungsang. 

“Na, itu dia!” seru pemuda itu tertahan. 

Lalu Andika menghampiri kain itu tanpa mem-

pedulikan Atma Sungsang. Padahal, lelaki tinggi besar 

itu sudah ingin mengunyahnya hidup-hidup. 

“Den Gemuk! Permisi, ya. Apa kakinya bisa 

diangkat?” kata Andika kalem. Sementara tangannya 

sudah siap menarik kain bercorak catur di kaki Atma 

Sungsang. 

“Babi! Rupanya, kau memang minta mampus!” 

hardik Atma Sungsang. Tangannya pun terangkat 

tinggi-tinggi, untuk membenamkan ujung parangnya 

ke punggung Andika yang sedang merunduk. 

Wet! 

“Awas!” pekik Ratna Kumala, memperingati. 

Teriakan Ratna Kumala begitu melengking nyaring, 

membuat telinga Andika bagai ditusuk sebatang lidi. 

Bukan itu saja. Pendekar muda yang sedang meng-

alami gangguan ingatan itu jadi tersentak tak alang 

kepalang. Dan seketika kain bercorak catur yang 

sudah dipegangnya ditarik mendadak. Akibatnya.... 

Bruk! 

Atma Sungsang kontan jatuh berdebam di lantai 

penginapan. Tubuhnya yang tambun menciptakan 

getaran kecil pada tiang dan dinding kayu

penginapan. 

“Aduh.... Maaf ya, Den Gemuk. Aku tak sengaja,” 

ucap Andika tergesa-gesa. Bibirnya meringis-ringis 

melihat Atma Sungsang jatuh. Padahal yang me-

rasakan sakit bukan dia. 

“Babi! Babi! Babi!” maki Atma Sungsang gencar. 

Segera laki-laki itu mencelat bangkit. Ke-

kalapannya kini benar-benar membuatnya nyaris 

edan. Dia berteriak sekuat-kuatnya, tatkala melabrak 

Andika kembali. 

“Khuaaa...!” 

Wet! Wet! 

Dua tebasan Atma Sungsang sekaligus hendak 

memotong lutut dan leher Andika. Gerakannya benar-

benar sudah membabi buta. Tak dipedulikan lagi, 

apakah lawannya nanti bakal menjadi daging cincang 

atau perkedel. 

“Mak! Mat..!” 

Andika melompat tak karuan. Tangannya men-

dekap wajahnya sendiri, mirip anak kecil yang hendak 

dipukuli ibunya, 

Sebelumnya, Ratna Kumala sudah mengira riwayat 

Andika akan tamat di ujung parang Atma Sungsang. 

Bagaimana perkiraan itu tidak muncul, kalau 

serangan Atma Sungsang demikian cepat meng-

ancam tubuh Andika. Padahal selama ini yang 

diketahuinya, Andika hanyalah pemuda bodoh yang 

pikun! Kini, gadis itu boleh ternganga. Nyatanya, 

pemuda yang dianggap bodoh itu mampu me-

mentahkan tebasan Atma Sungsang dengan gerakan 

cepat luar biasa. Meski terlihat tolol. 

“Hiaaa!” 

Wet! Deb! 

Serangan susulan Atma Sungsang yang berupa

tebasan-tebasan parang, disertai tendangan-

tendangan dengan ganas ke beberapa bagian tubuh 

Andika. Terkadang, menyapu gencar ke kepala. 

Sesekali menotok. Malah tak jarang pula mencoba 

menghantam selangkangan. Namun semua itu 

dengan mudah dihindari Andika. Sampai suatu saat, 

tubuhnya seperti berpindah-pindah dari satu tempat 

ke tempat lain. 

Sementara itu, Ratna Kumala makin terpana. 

Sungguh tak dikira kalau pemuda tolol itu akan 

melakukan gerakan mengagumkan? 

Tak hanya Ratna Kumala terkagum-kagum melihat 

setiap kelitan Andika. Bahkan tamu penginapan pun 

sampai berdecak-decak kagum Meski di antara 

mereka terdapat tokoh berkepandaian cukup tinggi, 

tak urung mereka sampai terlongong bengong. 

Di ruang tengah, pertarungan berjalan kian sengit. 

Tapi sampai sejauh itu, Pendekar Slebor belum 

tampak hendak balas menyerang. Sampai suatu saat, 

tubuhnya melenting gesit ke udara. Setelah beberapa 

kali berputaran, kakinya menjejak ringan sejauh 

enam tombak di depan Atma Sungsang. 

Di lain pihak, Atma Sungsang tampak tersengal-

sengal kehabisan napas. Hampir seluruh tenaga 

dalam, kecepatan, dan jurus-jurus dahsyat dikerah-

kannya. Namun, Pendekar Slebor tetap biasa-biasa 

saja. 

Kini, Atma Sungsang menatap jalang pada Andika 

dengan napas senin-kemis. Sedangkan Andika 

bergerak kian kemari, memperlihatkan kembangan 

jurus yang terlihat ganjil. Setiap kali tubuhnya 

bergerak, bayangannya yang terlihat. Gerakannya 

benar-benar bagai sambaran kilat. Tak ada yang 

indah dari jurus-jurusnya. Tapi, mata para tokoh yang

sudah banyak makan asam garam akan segera tahu 

kalau gerakan itu merupakan gerakan tangguh yang 

amat sulit ditembus. Itulah jurus ketiga puluh dari 

rangkaian jurus 'Memapak Petir Membabi Buta'. 

Entah bagaimana jurus-jurus yang tercipta di 

Lembah Kutukan masih melekat kuat dalam otaknya. 

Padahal buat Andika sendiri, seperti asal gerak saja. 

Bisa jadi setiap jurus ciptaannya sudah begitu 

menyatu dalam dirinya, sehingga kelumpuhan ingatan 

yang dialami tak sedikit pun mempengaruhi jurus-

jurusnya. 

Melihat jurus-jurus Andika, Atma Sungsang jadi 

tercekat. Tak mungkin seorang berkepandaian 

tanggung dapat melakukannya. Bahkan Kebo Ireng 

yang berkepadaian lebih tinggi dari dirinya pun, tidak 

bakalan mampu. 

Dan tiba-tiba saja, Atma Sungsang menyadari 

kalau dirinya tengah berhadapan dengan tokoh kelas 

atas dunia persilatan. Padahal, dirinya sendiri? Hanya 

bajingan tengik yang masih perlu mencari guru! 

Tanpa disadari, kaki Atma Sungsang tersurut dua 

langkah. Pada saat itu pula dia ingat desas-desus 

tentang seorang pendekar kalangan atas yang 

mampu melakukan gerakan secepat kerjapan kilat. 

“Pendekar Slebor...,” desah Atma Sungsang cukup 

keras bersama wajahnya yang memucat. 

Tak lama kemudian, Atma Sungsang berbalik, 

lantas mengambil langkah seribu. Dia berlarian 

menuju jendela besar penginapan. Dan langsung 

diterjangnya jendela agar bisa cepat tiba di luar. 

Sementara, Kebo Ireng dan Jarjaran telah 

menyusut di sudut meja penerimaan tamu yang 

sudah berlubang pada bagian tengahnya. Sama 

seperti Atma Sungsang, mereka pun teringat pada

kebesaran nama Pendekar Slebor. Mendengar nama 

besar itu, nyali mereka langsung menciut. 

“Loh?! Den Gemuk tadi ke mana?” tanya Andika 

dengan wajah bingung ketika gerakannya berhenti 

perlahan-lahan. 

Pendekar Slebor jadi celingukan ke sana kemari, 

mencari-cari lawannya tadi. 

“Wah, Den Gemuk.... Rupanya dia lupa kalau pintu 

keluar ada di belakang sana,” gumam Andika saat 

matanya menemukan jendela besar di sudut timur 

porak poranda. 

“Pemuda tak tahu diri! Jadi selama ini kau hanya 

mau mempermainkan aku, ya?!” 

Tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita di 

belakang Pendekar Slebor. 

Andika cepat menoleh. Rupanya, Ratna Kumala 

sedang menghampirinya dengan wajah garang. 

Tangan lentiknya bahkan menuding-nuding kasar. 

“Ada apa, Ratna?” tanya Andika heran. 

Pemuda itu bingung, tahu-tahu wanita jelita yang 

dikenalnya beberapa hari ini membentak-bentak tak 

karuan. 

“Kenapa? Jangan berpura-pura lagi padaku! Apa 

kau pikir telingaku tuli? Aku dengar ucapan lelaki 

bajingan tadi!” dengus Ratna Kumala. 

“Ucapan apa?” 

“Apa?” mata Ratna Kumala mendelik sejadi-

jadinya. “Lelaki tadi mengatakan kalau kau adalah 

Pendekar Slebor, yang sakti dan suka menipu 

wanita!” 

“Siapa Pendekar Slebor?” tanya Andika lagi, benar-

benar menjengkelkan Ratna Kumala. 

“Siapa? Ya, kau! Kau telah berpura-pura tolol 

untuk mempermainkan aku. Kau mencoba memperolok-olok aku, heh. Kau... penipu!” 

Andika melongo. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala. 

“Mulai sekarang, jangan pernah dekati aku lagi. 

Anggap saja aku tak pernah menolongmu. Dan, aku 

tak pernah kenal padamu! Apa dikira aku akan 

memelas padamu agar aku tetap dekat padamu?! 

O.... Terima kasih, Pendekar Muda...,” cecar Ratna 

Kumala lagi. 

Andika makin melongo seperti sapi ompong. 

“Ratna, tunggu!” tahan Andika ketika Ratna 

Kumala berbalik pergi. 

Langkah gadis itu terbanting-banting keras di 

lantai penginapan. Tampaknya hatinya begitu kesal 

dengan pemuda ganteng di belakangnya. 

“Ratna!” 

Terdengar panggilan sekali lagi. Tapi, kali ini bukan 

berasal dari mulut Andika. 

***

ENAM


“Tak patut kau bersikap seperti itu pada pendekar 

terhormat seperti dia!” 

Terdengar kembali suara lelaki dari arah tangga. 

Suaranya terdengar berwibawa. Dan dari nadanya, 

terkesan kalau lelaki itu kenal baik pada Ratna. 

Sesaat Ratna terdiam di tempat. Kemudian tubuh-

nya berbalik. Wajahnya tampak terlihat jengkel ber-

campur gembira. 

“O, jadi kau menginap di tempat ini rupanya, 

Kakang Rudapaksa?” ucap gadis itu seraya 

memandang lelaki di tangga penginapan. 

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Ratna! Kau 

harus minta maaf pada Pendekar Slebor,” ujar lelaki 

berjubah biru tua bernada memerintah. Wajahnya 

yang tampan menawan, dihiasi sebaris kumis tipis 

memperlihatkan kesungguhan. Dan dia memang 

Rudapaksa. 

“Mana Kakang Rudapaksi?” tanya Ratna Kumala, 

mencoba mengalihkan pembicaraan lagi. 

Ratna Kumala dan Rudapaksa memang satu 

perguruan. Begitu juga Rudapaksi. Mereka adalah 

murid-murid terbaik Ki Kenaka, guru besar Perguruan 

Topan Utara. 

“Rupanya kau tak mendengarku, ya? Kuperingat-

kan, kau harus minta maaf pada pendekar itu!” 

hardik Rudapaksa. 

Dihardik seperti itu, wajah Ratna Kumala jadi 

memerah. Perlakuan kakak seperguruannya sama 

sekali tidak membuatnya untuk segera meminta maaf

pada Andika. Malah hatinya bertambah kesal. Sambil 

menggerutu, tubuhnya berbalik kembali ke arah 

pintu. 

“Biar namanya selebar jagad sekalipun, aku tak 

sudi meminta maaf padanya!” dengus gadis itu 

seraya melangkah pergi. 

“Ratna!” 

Rudapaksa berusaha menahannya. Tapi, Ratna 

Kumala sudah menghilang di sisi pintu keluar. Dan ini 

membuat Rudapaksa menggeleng-geleng kepala. 

“Dasar anak keras kepala,” rutuk pemuda itu 

perlahan. 

Rudapaksa lalu berbalik menghadap Pendekar 

Slebor. Dihampirinya pendekar muda yang sudah 

kondang namanya ini. 

“Maafkan adik seperguruanku itu, Tuan 

Pendekar,” ucap pemuda itu. 

Sementara pendekar muda yang ditegur masih 

berdiri terpaku menatap pintu keluar, tempat Ratna 

Kumala menghilang. 

“Tuan Pendekar,” sapa Rudapaksa sekali lagi. 

“Eh, apa? Tuan berbicara denganku?” tanya 

Andika, setelah tersadar dari keterpakuannya. 

“Ya,” jawab Rudapaksa seraya tersenyum. “Maaf-

kan adik seperguruanku tadi.” 

“Tak apa-apa,” jawab Andika singkat, kemudian 

berbalik. Sebentar saja dia sudah meninggalkan 

penginapan untuk menyusul Ratna Kumala. 

*** 

Malam turun merambah di Desa Ambangan. Bulan 

sabit tampak mengambang hening di angkasa 

berawan tipis. Satwa malam mulai memperdengarkan

senandungnya di sela-sela kegelapan. 

Di atas sebatang pohon meranti yang tumbang di 

pinggir jalan setapak, Ratna Kumala membisu. 

Matanya memandang lurus pada kepingan rembulan 

pucat di atas sana. Pikirannya sendiri mengembara 

pada kejadian beberapa hari lalu, saat menolong 

Andika di Danau Panca Warna. 

Sewaktu tubuh pemuda tampan itu diangkat dari 

dinginnya air danau, entah kenapa Ratna Kumala 

menatapnya lama-lama. Ada semacam keter-

pesonaan yang sulit dijabarkan kata-kata, ketika men-

dapati gurat-gurat ketampanan wajah Andika. Garis 

dan lekuk wajah itu membuat hatinya bergetar halus. 

Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa itu. 

Dan ketika hari-hari dilalui bersama pemuda itu, 

perasaan yang menyeruak saat pertama kalinya 

menatap tidak juga pupus. Hari memang terus 

berlalu. Tapi, getaran itu malah kian menguat men-

cengkeram rongga batin Ratna Kumala. 

“Kenapa dengan diriku ini?” desah batin gadis itu. 

Baru pertama kali ini dia menemukan gejolak aneh 

saat bertemu seorang pemuda. Apakah ini cinta 

buta? Atau sekadar kekaguman? Tanpa disadari, 

kepalanya menggeleng-geleng perlahan-lahan. Dia 

tidak bisa mengatakan kalau itu hanya sekadar rasa 

kagum. 

Kalau hanya kagum, kenapa Ratna Kumala harus 

merasa kecewa tatkala dibohongi Andika? Apakah ini 

pertanda kekhawatirannya jika harus kehilangan, 

setelah diketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar 

Slebor? Apalagi, seorang pendekar adalah milik 

semua orang lemah, bukan milik dirinya. 

“Apa mungkin aku telah jatuh hati padamu, 

sementara namamu pun belum sempat kuketahui?”

bisik Ratna Kumala perlahan. 

“Ratna....” 

Lamunan Ratna Kumala buyar seketika, begitu 

terdengar suara halus di belakangnya. Cepat 

kepalanya menoleh ke asal suara tadi. Ternyata 

Andika sudah berdiri di sana dengan mata lekat 

menatapnya. Seketika wajah Ratna Kumala bersemu. 

Tanpa diduga pemuda yang sedang mengisi benak-

nya tiba-tiba berada di belakangnya. 

“Kenapa kau dekati aku lagi? Bukankah sudah 

kukatakan, jangan coba....” 

“Ratna...,” sela Andika. “Kalau kau marah karena 

kesalahanku, maafkanlah. Tapi bisakah kau jelaskan 

padaku, apa salahku?” 

Ratna Kumala tak menyahut, tapi diam dalam 

seribu bahasa. 

“Apa kau tak merasa telah mempermainkanku?” 

tanya Ratna Kumala akhirnya, setelah cukup lama 

berdiam diri. 

“Mempermainkanmu bagaimana?” tanya Andika 

tak mengerti. 

“Kau tak pernah mengatakan padaku kalau dirimu 

adalalah Pendekar Slebor,” sahut Ratna Kumala 

tanpa menoleh. 

Kali ini Andika yang membisu. Matanya menancap 

lurus ke rerumputan berembun. 

“Aku sendiri tak tahu, apakah aku adalah orang 

yang kau sebutkan tadi,” balas Andika, nyaris men-

desah. 

“Kau mulai berpura-pura lagi padaku,” ujar Ratna 

Kumala kesal. 

Andika menarik napas dalam-dalam. 

“Ratna pandangah aku,” pinta Andika penuh 

harap.


Ratna Kumala tak mempedulikan. 

“Ratna...,” ulang Andika sambil menatap punggung 

Ratna Kumala. 

Pemuda itu melangkah dan langsung memegang 

bahu gadis muda yang berusia sebaya dengannya. 

Lalu, perlahan diputarnya tubuh Ratna Kumala agar 

menghadap dirinya. 

“Lihallah aku. Rat. Tatap mataku. Apakah aku 

terlihat berpura-pura padamu?” sangkal Andika 

lembut. Matanya terarah tepat di manik mata indah 

gadis berambut pendek di depannya 

Sementara, Ratna Kumala sledikit pun tak 

sanggup membalas tatapan Iembut itu. Entah 

kenapa, wajahnya kini terasa hangat. Itu sebabnya, 

wajahnya tak mau diperlihatkan. Dia khawatir 

perubahan wajahnya diketahui Andika. 

Sesaat kemudian Andika melepas pegangannya 

pada bahu Ratna Kumala, lalu berbalik. Kini, 

dihadapinya temaram cahaya rembulan yang 

menyapu wajah jantannya. 

“Percayalah padaku, Rat. Aku tak pernah ber-

maksud membohongimu. Apalagi, mempermainkan-

mu. Ingatanku benar-benar lenyap begitu saja. Aku 

tak tahu, kenapa tiba-tiba berada di gubuk tepi danau 

itu. Dan aku juga tak tahu, kalau kau menyelamatkan-

ku. Kini bahkan aku tidak tahu siapa diriku, dan siapa 

namaku,” tutur Andika di sela-sela desau angin yang 

bertiup dan suara jangkrik. 

Keduanya kini terdiam. Mereka berdiri saling mem-

belakangi, sibuk dengan isi benak masing-masing. 

Entah, apa yang saat ini tengah mereka pikirkan. 

Hanya mereka yang tahu. 

Sekian lama sunyi....

“Maafkan aku.... Aku telah menuduhmu yang tidak-

tidak,” akhirnya Ratna Kumala membuka suara, 

walau hampir berbisik dengan kepala tertunduk. 

“Aku bisa maklum. Kesalahan memang bagian dari 

diri kita.” 

Ratna Kumala tergugu. Segera direnunginya kata-

kata bijak dari hati arif seorang pemuda tampan di 

dekatnya. 

*** 

Hari bergulir tanpa kenal letih. Dan waktu jualah 

yang mengakrabkan Ratna Kumala dan Andika. Nama 

Andika yang masih belum diketahui Ratna Kumala, 

kini sudah tidak menjadi persoalan. Dan Andika 

sendiri bersedia dipanggil apa saja oleh Ratna 

Kumala, berhubung dia sendiri lupa pada namanya. 

Akhirnya, Ratna Kumala memutuskan untuk 

memanggil dengan sebutan Slebor. 

Hari-hari dilalui Andika di gubuk, di tepi Danau 

Panca Warna. Di sini, dia mencoba mengembalikan 

semua ingatannya. Meski tetap sulit. Tapi terus 

berusaha. Di samping karena sifat kepala batu yang 

membuatnya tak mudah menyerah, juga karena 

Ratna Kumala pun terus mendorong semangatnya. 

Di kala senggang, Ratna Kumala bercerita kalau 

dirinya adalah adik seperguruan Rudapaksa dan 

Rudapaksi. Beberapa bulan lalu, guru mereka mem-

beri tugas penting pada kedua kakak seperguruan-

nya. Ratna Kumala yang tak dipilih untuk men-

jalankan tugas, tentu saja menjadi iri. Apalagi dia pun 

salah satu murid terbaik Ki Kenaka, Ketua Perguruan 

Topan Utara. Menurutnya, gurunya pilih kasih pada 

murid lelaki. Lalu karena kesal, diputuskan untuk

pergi dari perguruan tanpa pamit pada Ki Kenaka. 

Tujuannya tentu saja hendak ikut menjalankan tugas 

bersama Rudapaksa dan Rudapaksi. Tapi hingga 

sejauh itu, kedua kakak seperguruannya malah 

menyuruhnya pulang ke perguruan. 

“Itu sebabnya aku pergi ke tepi danau ini, untuk 

melepas kejengkelanku pada malam kau terapung,” 

jelas Ratna Kumala, mengakhiri ceritanya. 

Tapi baru saja Ratna Kumala bercerita..... 

“Aaa...!” 

Tiba-tiba teriakan menyayat hati terdengar. Andika 

terkesiap. Sama halnya Ratna Kumala. Seketika 

mereka saling bertatapan, seakan tidak mempercayai 

apa yang didengar barusan. Dan belum lagi keduanya 

memutuskan untuk melihat apa yang terjadi, sudah 

terdengar lagi satu teriakan membahana. 

“Huaaa!” 

Kali ini mereka tak menunggu lebih lama. Andika 

segera menggenjot tubuhnya. Langsung melesat 

bagaikan kilat menuju arah datangnya suara. Sedang-

kan Ratna Kumala menyusul di belakangnya. Meski 

agak jauh tertinggal karena ilmu lari cepat Andika 

jauh di atasnya, Ratna Kumala berusaha untuk terus 

mengikuti. 

Tak lama, Andika sudah menghentikan larinya, dan 

langsung berdiri mematung sambil menatap sesuatu 

di tanah. 

“Apa yang terjadi, Slebor?” tanya Ratna Kumala 

setelah kakinya menjejak di belakang Andika. 

Andika tak segera menjawab, karena tahu Ratna 

Kumala akan segera menyaksikan apa yang dilihat-

nya. 

Di tanah berumput yang tak jauh dari danau, 

tampak tergeletak bermandikan darah dua mayat

yang amat dikenal Ratna Kumala. Masing-masing di 

kening mayat itu terdapat lubang sebesar ibu jari. 

Sedangkan di tubuh dan pakaian terdapat sayatan 

kasar. 

“Kakang Rudapaksa.... Kakang Rudapaksi,” desis 

Ratna Kumala. 

Nyaris gadis itu menjerit, saat mengenali kedua 

mayat yang terbujur kaku di depannya. Kejengkelan 

terhadap kedua kakak seperguruannya memang 

timbul belakangan ini. Namun tak urung perasaannya 

seperti tercabik-cabik mendapati kenyataan itu. Biar 

bagaimanapun, mereka tetap kakak seperguruan 

yang dicintainya. 

“Bedebah keji! Siapa yang telah melakukan ini?!” 

dengus gadis itu dengan mata mencari-cari jalang. Di 

bawah kelopak matanya yang berbulu lentik tampak 

menggenang segaris air mata. 

Dengan lembut Andika memegang kedua pangkal 

lengan Ratna Kumala. Lalu, dibangunkannya gadis itu 

dari bersimpuhnya. 

“Aku turut menyesal atas kejadian ini, Rat,” ucap 

pemuda itu perlahan 

Tatkala Ratna kumala membenamkan wajah di 

dada bidang Andika untuk melepas kesedihannya, 

tiba-tiba saja.... 

“Serbuuu!” 

Bagai aliran air bah, diiringi teriakan menggelegar 

sepasukan berseragam merah mendadak menyerbu 

Andika dan Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah 

puluhan orang itu mengenakan penutup kepala 

merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju 

mereka yang memanjang hingga ke lutut, terdapat 

tulisan Tiongkok berbentuk elang. Celana mereka 

yang juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang

di bagian betis. 

Entah, bagaimana cara mereka bersembunyi di 

dalam semak dan pepohonan. Sampai-sampai pen-

dengaran Andika yang terlatih, tidak bisa menangkap 

desah napas mereka sedikit pun. Dari cara me-

lompat, Andika tahu kalau mereka adalah pendekar-

pendekar Tiongkok berkepandaian tinggi. 

“Pasukan Tiongkok dari mana ini?!” tanya Ratna 

Kumala garang. 

Benak gadis itu langsung bisa menduga kalau para 

pengepungnya adalah yang menghabisi nyawa dua 

saudara seperguruannya. 

“Sudah pasti dari negeri Tiongkok,” sahut Andika 

setengah berkelakar. Namun demikian, matanya 

tetap bergerak waspada. “Yang pasti pula, mereka 

berniat merencah kita berdua.” 

Ucapan Andika barusan sepertinya tidak meleset. 

Setelah memutari Andika dan Ratna Kumala be-

berapa lama, puluhan lelaki bermata sipit itu 

berhamburan dalam terjangan dahsyat. 

“Hiaaa!” 

Mulut Andika seketika berteriak menggelegar. 

Berbareng dengan itu, tubuhnya cepat melenting ke 

udara sambil menyambar pinggang Ratna Kumala. 

Tapi lompatan Pendekar Slebor tidak dibiarkan 

pasukan dari Tiongkok itu. Dengan sigap, para 

penyerbu bersenjatakan tombak itu mengangkat 

senjata ke atas. Lalu dengan serentak tombak itu 

ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang 

melayang di udara. 

Andika tentu saja tak membiarkan tubuhnya 

dicabik-cabik puluhan tombak. Maka tanpa sempat 

tertangkap mata pasukan itu, tangan kirinya yang 

masih bebas menyambar kain bercorak catur dari

pundak dan langsung dikebutkannya. 

Bet! Bet! 

Trak! Trak! 

Puluhan tombak setajam taring-taring serigala 

seketika tersambar Kain Pusaka Pendekar Slebor, 

hingga berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian 

malah ada yang tersasar ke tubuh kawan mereka 

sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok ini 

memiliki kepandaian tinggi, maka tombak yang 

tersasar itu dapat segera dikuasai dengan baik. 

Sementara Pendekar Slebor langsung melenting 

tinggi-tinggi, sambil berputaran di udara. 

“Sial!” maki Andika, begitu hinggap di sebuah 

batang pohon besar. “Mereka rupanya tidak sudi 

mengongkosi kawan sendiri ke neraka.” 

Belum sempat Andika bernapas lega, empat orang 

Tiongkok ini serempak menyusul ke dahan pohon. 

Setelah berputar di udara beberapa kali, dua orang 

menjejakkan kaki disisi Andika dan Ratna Kumala. 

Sedangkan, dua orang lain hinggap di dahan yang 

berhadapan. 

“Haiii!” 

Seorang di sisi kiri Andika mengayunkan pangkal 

tombak ke kepala Andika dengan tenaga dalam 

tinggi. Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang 

menderu kencang. 

Wesss! 

“Hih!” 

Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Slebor 

melecutkan kain pusaka di tangan kirinya. Cletar! 

Krak! 

Pangkal tombak lawan langsung terpatah dua. 

Sementara itu, Ratna Kumala yang berada dalam 

rangkulan Andika harus menghadapi lawan di sisinya.

Gadis yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata 

cukup mampu mengimbangi setiap serangan. 

Kini dua orang lawan di depan tak mau tinggal 

diam. Mereka segera memutar tombak masing-

masing, bersiap memperkuat serangan. 

“Hih!” 

Salah seorang menghentikan putaran tombak 

secara mendadak. Lalu tiba-tiba tombaknya ditusuk-

kan ke dada Pendekar Slebor dengan tenaga penuh. 

Menurut perkiraannya, dia akan segera menamatkan 

pendekar muda itu di ujung senjatanya. Tapi, dugaan-

nya meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar 

Slebor bisa melihat kesempatan bagus. 

“Bhaaa!” 

Dengan satu gerakan tak terduga, Andika melesat 

ke arah salah seorang lawan yang kehilangan 

tombak, dan sedang melepaskan pukulan. Secepat 

kilat, ditariknya tangan orang itu ke arahnya. 

Sehingga.... 

Jep! 

“Aaa!” 

Tombak lawan di depan yang tertuju pada Andika, 

kontan menembus pinggang orang yang tangannya 

ditarik untuk dijadikan tameng. 

“Wah! Tega nian kau membunuh kawan sendiri,” 

seloroh Pendekar Slebor. “Lain kali, lebih baik 

meminta izin dulu pada kawanmu itu.” 

Andika langsung menggejot tubuhnya, hingga 

melayang kembali di udara bersama Ratna Kumala 

dalam rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak 

daun pepohonan, hingga merontokkan yang kering. 

Pada pucuk satu pohon, Pendekar Slebor men-

jejak. Kemudian tubuhnya digenjot kembali. Tubuh-

nya melesat dari satu pucuk ke pucuk pohon lain

dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya, pasukan 

dari Tiongkok itu hanya bisa menggerutu kesal ketika 

tubuh mereka lenyap. 

***

TUJUH


Dua hari setelah terbunuhnya Rudapaksa dan 

Rudapaksi, Danau Panca Warna didatangi ratusan 

tokoh persilatan dari seluruh penjuru baik secara 

perorangan, maupun perkelompok. 

Sedikit demi sedikit, mereka telah berkumpul di 

sekitar Danau Panca Warna membentuk lingkaran 

yang kian membesar. Entah siapa yang memberi 

petunjuk, yang jelas mereka berkumpul serempak 

setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar 

Danau Panca Warna dari penduduk desa tempat 

mereka menginap. 

Dalam beragam pakaian dan senjata, seluruh 

tokoh itu menatap tegang ke permukaan air danau. 

Sesekali mata mereka melirik waspada satu dengan 

yang lain. Sikap curiga seperti itu terutama diper-

lihatkan orang-orang pada barisan terdepan. Mereka 

umumnya adalah tokoh-tokoh golongan sesat yang 

begitu berhasrat untuk menguasai benda pusaka di 

dasar Danau Panca Warna ini. 

Sementara, para pendekar aliran putih lebih suka 

mengambil tempat yang agak jauh dari tepi danau. 

Tujuan mereka memang bukan hendak menguasai-

nya, tapi hendak menyelamatkan. Mereka takut, 

pusaka yang hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke 

tangan para durjana. 

Di beberapa tempat lain yang terbilang jauh dari 

danau, beberapa orang tampak berkerumun untuk 

menyaksikan peristiwa hebat yang tampaknya akan 

segera meletus.

Dari sekian banyak tokoh, beberapa orang tampak 

menonjol. Di antaranya adalah lelaki berpenampilan 

menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi 

ditutup pakaian padri berwarna putih. Pakaiannya 

pun masih digabung kain hitam bertotol putih 

berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke 

pinggang kanan. Orang persilatan mengenalnya 

sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah 

Kudungga. 

Sebagaimana seorang padri, kepala Kudungga 

gundul dengan beberapa titik hitam di ubun-ubunnya. 

Kesan menyeramkan tergambar di wajah yang 

ditumbuhi brewok lebat dan kasar. Sedangkan 

matanya yang bulat tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia 

tak tampak membawa senjata, kecuali tasbih berbiji 

sebesar buah duku di tangan kanannya yang kekar 

berbulu. 

Sementara di sebelah timur danau, tampak lelaki 

tua berwajah culas. Kumis dan janggut putihnya 

tergerai tipis, hingga ke dadanya yang cekung. 

Rambutnya juga sudah berwarna putih. Tanpa alis, 

matanya terlihat tajam. Dia mengenakan celana 

pangsi hitam. Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-

apa. 

Bibir lelaki tua itu terus menyeringai kejam. 

Sementara, kedua tangannya menepuk-nepuk kecapi 

kayu. Orang persilatan mengenalnya sebagai 

Dedengkot Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak 

pernah diketahui. 

Di sebelah selatan danau, berdiri mematung 

seorang lelaki berpenampilan perlente yang dikenal 

bernama Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal 

sebagai Kumbang Bengis Dari Timur. Sesuai 

namanya, dia memang gemar memetik 'bunga' desa

yang tak berdosa. Sifatnya kejam. Itu terlihat dari 

wajahnya yang begitu dingin. Rambutnya tersisir rapi 

dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan, 

meski telah disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu 

berpakaian seorang bangsawan dengan kancing dan 

berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain 

batik sebatas lutut. 

Ketiga lelaki itu memang tokoh kelas atas 

golongan sesat yang amat ditakuti di tanah Jawa 

Dwipa. 

Sementara, jauh di lereng bukit yang memagari 

danau, Andika dan Ratna Kumala sedang mem-

perhatikan seluruh tokoh persilatan itu. Keduanya 

bersembunyi di balik sebongkah batu sebesar kerbau. 

“Aku tak mengerti, kenapa mereka berkumpul 

seperti orang yang hendak nonton pertujukan 

ludruk?” tanya Andika. Ingatannya yang hilang 

membuatnya melupakan benda pusaka di dasar 

danau yang menyebabkan dirinya sampai menjadi 

pikun seperti sekarang ini. 

“Apa kau belum mendengar berita santer itu?” 

tanya Ratna Kumala agak heran karena tokoh kelas 

satu seperti Andika bisa luput dari desas-desus 

tersebut. 

“Aku tak tahu,” jawab Andika sambil melirik Ratna. 

“O, iya,” sergah Ratna Kumala cepat-cepat. 

Kepalanya mengangguk-angguk. “Aku lupa kalau kau 

kehilangan ingatan.” 

“Kehilangan ingatan? Apa kau menganggapku 

gila? Sinting? Sableng?” cecar Andika, tak senang 

mendengar ucapan Ratna Kumala. 

“Ei, ei! Tentu saja kau tidak gila. Maksudku, kau 

mengalami....” 

“Ya! Aku sudah tahu,” potong Andika bersungut

sungut. 

Melihat tingkah pemuda di sisinya barusan, Ratna 

Kumala jadi tersenyum-senyum kecil. 

“Kenapa?” tanya Andika. Matanya membesar pada 

Ratna Kumala. 

“Sebenarnya sulit mengatakan kalau kau tidak 

sinting. Sebab, tingkahmu lebih ngaco dibandingkan 

orang sinting.” 

Usai berkata begitu. Ratna Kumala tertawa 

tertahan. Tangannya lantas menutup bibirnya yang 

merah ranum. 

“Sialan!” maki Andika. 

Ratna Kumala terus tertawa. 

“Sudah... sudah! Kau ingin meledekku terus, atau 

ingin menceritakan kenapa mereka berkumpul di 

danau itu?!” sergah Andika. 

“Baik..., baik,” ucap Ratna Kumala sambil meng-

hentikan tawa. “Apa kau masih ingat ketika kita 

singgah di Desa Ambangan untuk mencari makanan 

mentah?” 

“Tentu saja ingat. Kau pikir, aku pikun?” selak 

Andika cepat. 

Setelah itu, Andika jadi tersenyum-senyum malu 

setelah sadar kalau dirinya saat ini memang pikun 

minta ampun. 

Setelah tersenyum sejenak, Ratna Kumala 

meneruskan ucapan. 

“Waktu itu, aku dengar dari percakapan orang di 

kedai kalau di dasar Danau Panca Warna ada benda 

sakti yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya 

Pusaka Langit....” 

“Benda sakti? Pusaka Langit?” bisik Andika, tanpa 

maksud bertanya. 

Samar-samar benak Andika dilintasi bayangan

kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna 

beberapa waktu lalu. Tentang pasir danau, tentang 

cahaya merah bara menyilaukan, dan tentang 

pusaran air. Setelah itu, semuanya seperti sirna 

kembali dari kepalanya. 

“Andika!” sapa Ratna Kumala perlahan. 

Andika tersadar. Kepalanya lantas menoleh pada 

Ratna Kumala. 

“Siapa Andika?” tanya pemuda itu bodoh. 

Ratna Kumala tersenyum kembali. Kali ini ter-

simpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan senyumnya 

pun menyimpan makna khusus. 

“Ya, kau...,” jawab Ratna Kumala agak tersipu, 

ketika mata elang Andika memergoki pandangan 

hangatnya. 

“Aku? Jadi, namaku Andika? Dari mana kau tahu?” 

tanya Andika heran. 

“Aku..., aku, akh! Apa itu penting?” 

“Terserahmu. Apa kau anggap itu penting?” Andika 

malah balik bertanya. 

“Ng..., aku ke Desa Ambangan kemarin. Di sana, 

kucoba mengorek keterangan tentang dirimu. Ter-

masuk, namamu dari beberapa orang persilatan....” 

“Apa?! Hanya untuk itu kau singgah ke sana?! Apa 

kau sinting? Mestinya kau tahu, itu akan mem-

bahayakan dirimu. Karena, pembunuh kakak seper-

guruanmu tentu berniat menghabisimu pula!” kata 

Andika panjang lebar. 

Wajah Ratna Kumala dalam sekejap berubah 

memerah. Matanya pun berkilat-kilat kesal. 

“Kau memang tak tahu berterima kasih. Belum lagi 

berterima kasih karena telah kuselamatkan, kini 

malah membentak-bentakku karena telah berusaha 

menolongmu, agar kau ingat pada dirimu sendiri,”

sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi 

lain. 

“Baik! Terima kasih.... Terima kasih banyak! 

Cukup? Tapi, tetap saja aku tak setuju dengan 

tindakanmu ke desa itu! Toh, aku akan ingat kembali 

pada namaku suatu saat. Aku yakin itu!” ucap Andika. 

“Tapi, aku tak suka memanggilmu dengan sebutan 

Slebor!” bentak Ratna Kumala di depan hidung 

Andika. 

“Kenapa?! Aku sendiri tak punya masalah. Lantas 

kenapa tiba-tiba kau yang mesti tak suka? Kenapa, 

Ratna?” desak Andika. 

Ratna Kumala mati kutu. Kenapa? Tentu saja 

gadis itu tak sudi memanggil orang yang telah 

menawan hatinya dengan sebutan dungu seperti itu. 

Tapi alasan itu tentu saja tak dikatakannya, dan 

hanya disembunyikan di sudut hatinya yang terdalam. 

“Ah, sudahlah,” tukas Andika. “Kenapa aku harus 

meributkan soal itu. Toh kau masih sehat walafiat...” 

Ratna Kumala langsung lega, karena Andika tidak 

mendesaknya. Meskipun hatinya masih agak jengkel. 

*** 

Sementara jauh di bawah sana, para pendatang 

tampak sudah memulai acara dahsyat yang akan 

segera terjadi. 

“Hari ini kita berkumpul,” kata Lodaya Burang, 

membuka keheningan. “Dan kita semua tahu, benda 

sakti yang bersemayam di dasar danau inilah yang 

mengundang kita semua untuk memilikinya. Tapi, tak 

mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang jelas, 

harus ada satu orang yang benar-benar menjadi 

pemilik tunggal Pusaka Langit! Dan orang itu harus

benar-benar pantas memilikinya! Untuk itu, kita harus 

melakukan pertandingan, agar dapat mengambil 

Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang 

berhak menyelam ke dasar Danau Panca Warna.” 

Semua orang yang mendengar suara Lodaya 

Burang termanggut-manggut. Entah menyetujui usul 

itu, atau tidak. Yang jelas, bagi mereka yang ber-

kepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke 

belakang, lalu hilang entah ke mana. 

“Jika ada yang ingin memulai, kupersilakan meng-

hadapiku. Dengan satu syarat, kita bertaruh nyawa!” 

tantang Lodaya Burang. 

Tampaknya, laki-laki perlente itu benar-benar ber-

nafsu memiliki Pusaka Langit, sehingga lebih dahulu 

mengajukan tanding. 

“Ha ha ha..., Kumbang Perlente! Mana ada yang 

berani menyambut tantanganmu, kecuali aku!” tiba-

tiba Dedengkot Iblis menyelak disertai tenaga dalam. 

Sehingga, permukaan air danau terlihat beriak. 

“Ooo! Rupanya kau, Tua Bangka. Apa tidak 

sebaiknya kau memikirkan dirimu yang sudah dekat 

liang kubur, daripada ikut memperebutkan Pusaka 

Langit?” ejek Lodaya Burang dengan wajah dingin. 

Sebagai tokoh yang sudah bulukan dalam dunia 

persilatan, Dedengkot Iblis tak terpancing ejekan 

Lodaya Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh 

macam Lodaya Burang yang ingin memancing 

kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali. 

“Ah! Jangan terlalu banyak basa-basi, Kumbang 

Bengis dari Timur. Apa kau tak berani menghadapiku, 

sehingga menyarankan agar aku mundur?” tukas 

Dedengkot Iblis, balik mengejek. 

Lodaya Burang jadi termakan ucapannya sendiri. 

Lelaki perlente itu malah terpancing ucapan

Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang. 

“Hhh, Bajingan Tua! Mari kita buktikan saja!” 

bentak laki-laki perlente itu seraya melompat tinggi ke 

dataran kosong. 

Seketika itu pula Dedengkot Iblis menyusul. 

Dan tanpa ingin menunggu lebih lama, Kumbang 

Bengis melancarkan serangan pembuka. 

“Khiaaa!” 

Tapak Maut yang di kalangan persilatan begitu ter-

kenal kejam dari Kumbang Bengis, menerabas deras 

ke dada Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika 

menimbulkan suara menderu-deru. 

Deb! Wut! Wut! Deb! 

Tentu saja Dedengkot Iblis tak mau terhantam 

begitu saja. Tubuhnya langsung melengos ke kiri dan 

kanan, bagai gerakan seekor cengcorang. Kemudian, 

kecapi di kedua tangannya diangkat dengan gerakan 

menebas ke atas. 

Dreng! 

Bunyi getaran senar kecapi milik laki-laki tua itu 

terdengar melengking ketika berbenturan dengan 

tangan Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi 

yang disalurkan pada masing-masing tangan mereka, 

membuat lengkingan tali senar kecapi Dedengkot 

Iblis mampu memecahkan gendang telinga orang 

yang berilmu cekak. Terbukti, beberapa orang yang 

berada di sekitar arena pertarungan berjatuhan 

sambil mendekap telinga masing-masing. 

Kini Dedengkot Iblis balas menyerang. Kecapinya 

diayunkan ke samping, terarah pada rusuk sebelah 

kiri Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu 

mengetahui ancaman yang datang ke arahnya. 

Segera kakinya diangkat berbarengan dengan 

gerakan tubuhnya ke belakang.

Dreng! 

Sekali lagi, bunyi melengking terdengar ketika lutut 

Kumbang bengis bertumbukan dengan sisi kecapi 

Dedengkot Iblis. 

“Hiaaat!” 

Berbareng satu teriakan garang, tubuh Dedengkot 

Iblis langsung berputar cepat. Kaki kanannya ter-

bentang tinggi, bermaksud memecahkan kepala 

Kumbang Bengis dengan satu sapuan dahsyat. 

Namun, mata jeli Kumbang Bengis masih mampu 

menangkap gerakan kilat Dedengkot Iblis. Segera dia 

menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan 

sapuan kaki Dedengkot Iblis. Setelah itu tubuhnya 

bergulingan, tangannya menghentak tanah untuk 

kemudian bergegas bangkit. 

Kumbang Bengis menjejakkan kakinya, sepuluh 

tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak ada sekerdip 

mata setelah menyentuh tanah, dia sudah mem-

persiapkan kuda-kuda kembali. 

“Jurus-jurusmu rupanya masih cukup bagus, meski 

semakin peot, Tua Bangka!” ledek Lodaya Burang 

bersama tatapan matanya yang dingin. 

“Tak perlu banyak memuji, Mata Keranjang! 

Karena, hanya aku yang pantas mendapat Pusaka 

Langit!” balas Dedengkot Iblis. 

Selesai berkata demikian, lelaki tua sakti itu 

menerjang Kumbang Bengis. 

“Haaat!” 

“Tunggu!” cegah Lodaya Burang tiba-tiba. 

Dedengkot Iblis sebenarnya tak mengerti, kenapa 

Lodaya Burang mendadak menahan serangannya. Di 

kalangan tokoh kelas satu, pantang untuk meng-

hentikan pertarungan jika belum ada yang tewas. 

Namun begitu, Dedengkot Iblis cepat menghentikan

juga terjangannya. 

“Ada seseorang yang hendak berbuat 

kecurangan!” kata Lodaya Burang seraya menunjuk 

ke seberang danau yang dibatasi bukit cemara. 

Di sana, memang terlihat seseorang berpakaian 

hijau dan bertopeng kain warna hijau pula. Dia 

tampak sedang bersiap terjun ke Danau Panca 

Warna. 

“Bangsat! Pengecut dari mana yang hendak 

mendahului kita itu?” hardik Dedengkot Iblis geram. 

Sementara itu orang di seberang sana telah 

melompat ke danau. 

“Aku tidak ingin didahului!” teriak Dedengkot Iblis 

penuh kemurkaan. 

Tanpa mengindahkan Lodaya Burang lagi, dia 

bergegas menggenjot tubuhnya ke udara. Gerakannya 

begitu indah di udara. Tubuh lelaki tua itu berputaran 

dengan tangan terbentang. Sementara kecapinya 

yang telah ditautkan ke punggung, memperdengarkan 

bunyi mendesing. Tak lama, Dedengkot Iblis 

menembus permukaan air danau bagai sebatang 

tombak. Byur! 

Tak ada seorang tokoh kelas atas golongan sesat 

pun yang tidak berhasrat memiliki Pusaka Langit. 

Memang, suatu keharusan bagi mereka untuk 

memiliki benda pusaka apa pun yang sanggup 

melambungkan nama ke puncak kekuasaan dunia 

persilatan. Meskipun, itu hanya baru kabar angin dari 

mulut ke mulut. Lodaya Burang sebagai seorang 

tokoh kelas atas golongan sesat menyadari benar hal 

itu. Itu sebabnya, dia tak sudi membiarkan seorang 

pun mendahuluinya untuk mendapatkan Pusaka 

Langit. Sesaat setelah Dedengkot Iblis menyelam, dia 

pun memburu ke arah danau.

Byur! 

Lodaya Burang menyusul ke dalam Danau Panca 

Warna. 

Menyaksikan dua saingannya telah masuk ke 

dalam danau, Kudungga yang dikenal sebagai si Padri 

Sesat secepatnya melakukan tindakan sama. Dari 

tempatnya berdiri, segera kakinya bergerak. 

Kehandalan ilmu meringankan tubuhnya, membuat 

gerakan kaki Kudungga terlihat menjadi puluhan. Dan 

dalam sekejap, lelaki kasar itu telah tiba pula di bibir 

danau. Lalu..... 

Byur! 

Tubuh tinggi gempal Kudungga seketika me-

nampar permukaan air danau, menciptakan percikan 

air yang tinggi. 

Kini, tiga tokoh sakti aliran sesat telah siap berlaga 

bertaruh nyawa dalam dinginnya dasar Danau Panca 

Warna. Ditambah, seseorang yang hendak melakukan 

kecurangan.... 

***

DELAPAN


Selang beberapa saat, setelah ketiga tokoh kelas 

satu golongan sesat itu tertelan Danau Panca Warna, 

permukaan danau menjadi tenang kembali. Hanya 

tersisa riak kecil yang berkejar-kejaran menuju tepian. 

Sementara suasana menjadi sepi. Sedangkan 

tokoh lain seperti tidak mau bertindak apa-apa. Di 

antara mereka tak ada yang mau mengantar bahaya 

untuk ikut menyelam ke danau. Sebagian berpikir, 

jika mereka ikut masuk ke danau, itu sama artinya 

mencari mati. Karena, harus menghadapi tiga tokoh 

kejam! Di samping itu mereka juga sudah mendengar 

bagaimana kekuatan pengaruh Pusaka Langit bagi 

orang-orang berkepandaian tanggung. Bahkan 

sebagian yang lain hanya ingin menunggu apa yang 

akan terjadi. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan 

putih. 

Ketegangan menyelimuti diri para tokoh persilatan 

lain. Hati mereka semua seperti tak henti bertanya, 

apa yang akan terjadi kemudian. Dan ketegangan pun 

membuat mereka bagai patung tak bernyawa. 

Bahkan rasanya mereka ingin menahan napas saat 

menanti kejadian berikutnya. Sementara, desau angin 

yang berjinjit di permukaan air danau, makin mem-

bangun suasana mencekam. 

Sesaat demi sesaat mereka menanti, namun 

belum ada tanda-tanda kalau ketiga tokoh sesat dan 

seorang yang wajahnya tertutup itu akan segera 

muncul. Padahal, daya tahan pernapasan seseorang 

sudah mengalami saat-saat amat membahayakan

dalam waktu selama itu. 

Sampai akhirnya.... 

Blup! Blup! Blup...! 

Mendadak sesosok tubuh muncul ke permukaan 

danau dalam keadaan mengerikan. Sayatan-sayatan 

kasar merencah sekitar badan orang itu, hingga 

pakaiannya terserpih. Di keningnya terdapat lubang 

sebesar jari. Sementara, air disekitarnya berubah 

merah. Ternyata, lelaki itu Lodaya Burang! 

Blup! Blup! Blup...! 

Tak lama berikutnya, Dedengkot Iblis menyusul. 

Keadaannya juga mengerikan! Selanjutnya, giliran si 

Padri Sesat. Keadaannya pun tak kalah mengerikan 

dengan dua orang sebelumnya. 

Kini seluruh orang yang berada di pinggir danau 

terperangah. Kelopak mata mereka membesar 

tegang. Tak pernah ada yang menyangka kalau tiga 

tokoh aliran sesat itu akan mengalami nasib begitu 

menggiriskan! Keterkejutan tak luput melanda diri 

Andika dan Ratna Kumala di tempat persembunyian. 

Berbeda dengan mereka yang berada di sekitar 

danau, kedua anak muda itu terkejut karena 

menyaksikan luka di kening ketiga mayat dari 

kejauhan. 

“Apakah aku tidak salah lihat, Andika?” gumam 

Ratna Kumala. 

“Tampaknya, kita akan segera bertemu pembunuh 

kedua saudara seperguruanmu...,” tanggap Andika 

tanpa melepaskan pandangan dari tiga mayat yang 

terapung di danau. 

“Aku tidak mengerti, kenapa bajingan itu mem-

bunuh kakak seperguruanku. Dan, kenapa pula 

mereka membunuh tiga tokoh sakti aliran sesat?” 

tanya Ratna Kumala, masih terdengar bergumam.


“Aku juga tidak mengerti. Yang pasti, orang itu 

membunuh bukan karena kurang kerjaan,” tukas 

Andika seraya bangkit dari duduknya. 

“Hendak ke mana kau?” tanya Ranta Kumala 

cemas. 

Andika mengangkat bahu acuh tak acuh. 

“Kau ingin tahu alasan orang itu membunuh kedua 

kakak seperguruanmu dan tiga orang tokoh sesat itu, 

atau tidak?” 

Kaki Pendekar Slebor melangkah, menuju jalan 

setapak yang menurun ke arah Danau Panca Warna. 

“Apa maksudmu?” tanya Ratna Kumala, seraya 

ikut bangkit. 

“Akan kuringkus orang itu.” 

“Aku ikut!” 

Sepasang alis sayap elang milik Andika merapat. 

Tampaknya dia tak begitu suka oleh ucapan terakhir 

Ratna Kumala. Ditatapnya gadis berambut pendek itu 

lekat-lekat, dengan kelopak mata agak mengerut. 

“Apa kau pikir orang yang akan kuhadapi nanti 

centeng pasar berkepandaian tanggung? Apa 

kematian ketiga tokoh aliran sesat itu tidak membuka 

matamu?” tegas Andika. 

Ratna Kumala menaikkan wajahnya tinggi-tinggi. 

“Apa kau kira aku takut?” ujarnya agak ter-

singgung. 

“Aku yakin kau tidak akan takut. Karena, kau 

memang perempuan nekat yang tidak bisa berpikir 

jernih,” sindir Andika, seraya menaikkan sudut bibir. 

“Apa maksudmu?” 

“Kau tidak mengerti? Apa otakmu sudah digadai-

kan? Ini bukan masalah takut atau tidak, Ratna. Ini 

masalah hidup-mati. Mengerti?!” sambut Andika. 

Mata Ratna Kumala membesar sejadi-jadinya.

Gadis yang juga keras kepala itu mulai jengkel men-

dengar ucapan Andika yang terdengar ceplas-ceplos 

tadi. 

“Sudah kubilang, aku tidak takut! Apa kau pikir 

seorang pengecut tidak akan mati? Semua orang 

pasti akan mati, Andika. Kalau aku mesti mati hari ini 

di tangan bajingan itu, apa bedanya? Mati toh hanya 

masalah waktu. Aku bahkan lebih suka mati dalam 

perjuangan, ketimbang mati penasaran atau mati 

ketakutan...,” sergah Ratna Kumala panjang. 

Andika berdecak jengkel. Tangannya lantas meng-

garuk-garuk kepala. Dia mati kutu menghadapi gadis 

jelita satu ini. Dihelanya napas dalam-dalam, 

mencoba mengenyahkan kedongkolan yang mulai 

menggelayuti tenggorokan. 

“Baiklah,” Andika menyerah. “Tapi kau harus 

menunggu di tepi danau. Biar aku saja yang 

menyelam.” 

Kini, Ratna Kumala mengangguk puas. 

Kemudian, mereka segera turun dengan 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Maka 

sebentar saja mereka telah tiba di bibir danau. 

Dan tanpa mempedulikan puluhan pasang mata 

yang menatap dan puluhan mulut yang kasak-kusuk 

melihat kehadirannya, Andika langsung loncat ke 

dalam Danau Panca Warna. 

Byur! 

Rasa dingin langsung merambah sekujur tubuh 

Andika. Gelembung-gelembung kecil yang diciptakan 

sibakan air, menari-nari di sekitar wajahnya. Untuk 

kedua kalinya, dia akan menyelam ke dalam danau 

berair bening, namun selalu siap membawa hawa 

maut. 

Sempat pula ingatan pendekar muda itu ber

kelebat tentang kejadian-kejadian yang pernah 

menimpanya. Terutama saat melakukan penyelaman 

pertama, hingga menemukan benda sakti yang kini 

disebut-sebut orang dunia persilatan bernama 

Pusaka Langit. Sekilas tergambar di kepalanya, 

bagaimana rasa sesak yang melanda dadanya kala 

sinar merah bara menyilaukan menyedot dirinya. 

Setelah itu, ingatannya pun pupus kembali. 

Kejadian yang tersembul sesaat di benaknya, 

membuat Andika terpaku. Untunglah, dinginnya air 

danau segera menyadarkannya. 

Kini Andika menggerakkan kakinya, mengayuh 

untuk menyelam ke dasar Danau Panca Warna. 

Setelah dasar danau terlihat, penyelaman diteruskan 

ke sekitarnya. Tumbuhan danau yang menggapai-

gapai lemah gemulai, disibakkan dengan kedua 

tangannya. Perlahan Andika maju. Seluruh 

kemampuan indra pengelihatannya dikerahkan untuk 

menebus keremangan dasar danau. 

Beberapa saat kemudian, mata Pendekar Slebor 

menangkap sesosok tubuh berpakaian serba hijau 

sedang berenang menuju permukaan. 

“Akhirnya kau kutemukan juga kunyuk busuk itu!” 

kutuk hati Andika. 

Wrrr! 

Tanpa menunggu lebih lama, Andika mengirim 

pukulan jarak jauhnya. Saat telapak tangannya 

terdorong ke depan, segulungan gelembung udara 

yang memanjang meluncur ke arah sasaran. 

Bentuknya seperti rentangan tambang yang tembus 

pandang. 

Sebenarnya, pantang bagi seorang pendekar 

seperti Andika melakukan bokongan. Namun, semua-

nya sudah matang dipertimbangannya. Dia tahu,

pukulan jarak jauh akan melemah jika dilakukan 

dalam air. Di samping itu, orang yang dituju pun 

cukup jauh dari tempatnya. Kalau pun bokongannya 

akan mengenai sasaran, pasti tidak akan berakibat 

parah. Tujuan Andika memang bukan hendak 

melumpuhkan, melainkan sedikit memberi per-

ingatan. 

Mendengar bunyi ganjil di belakangnya, orang 

berpakaian serba hijau itu bergerak siaga. Tangannya 

cepat mengayuh ke depan, sehingga tubuhnya 

terdorong cepat ke belakang. Maka pukulan jarak 

jauh Andika hanya melintas di depan dadanya. 

Saat orang berpakaian serba hijau itu berbalik, 

pada tangan kirinya terlihat kain putih tembus 

pandang yang didalamnya terdapat batu sebesar 

kepala bayi, memancarkan sinar merah bara 

menyilaukan! 

Hal itu langsung menusuk benak Andika. Secara 

samar-samar, bayangan kejadian beberapa waktu 

lalu terbersit kembali. Keningnya berkerut. Andika 

berusaha mempertahankan bayangan itu. Beberapa 

saat ia hampir berhasil. Bayangan kejadian berupa 

cahaya merah bara seperti yang baru saja dilihatnya 

di tangan orang itu makin menjelas di benaknya. 

Sebelum semuanya menjadi benar-benar jelas, tiba-

tiba telinganya menangkap suara sumbang meng-

getarkan. 

Wrrr...! 

Pendekar Slebor terkesiap. Secepatnya disadari 

kalau sosok berpakaian serba hijau itu telah 

melakuan serangan balik berupa pukulan jarak jauh 

kini mengancam. 

“Arrrgkh!” 

Andika berteriak keras seraya berputaran di dalam

air. Suaranya yang disertai gelembung udara ter-

dengar aneh dan menyeramkan. Teriakannya mem-

buat Andika mampu menghindari terjangan tenaga 

pukulan yang jauh lebih dahsyat dari pukulannya. 

“Gila! Pukulan macam apa itu?!” Serapahnya 

dalam hati. 

Nyaris Pendekar Slebor tak mempercayai kejadian 

di depan matanya tadi. Bagaimana mungkin orang itu 

bisa mengirimkan pukulan yang mampu menciptakan 

pusaran sebesar kerbau di sekitar tubuhnya? 

Ketika mata elangnya tertumbuk kembali pada 

batu merah bara di tangan orang itu, Pendekar Slebor 

langsung teringat pada cerita Ratna Kumala tentang 

benda pusaka dari langit.... Pusaka Langit! 

Hanya ada satu dugaan di kepala Andika saat itu. 

Dia yakin, benda pusaka itulah yang telah mem-

perkuat tenaga pukulan orang. Jadi, Pusaka Langit 

benar-benar nyata dan bukan bualan belaka orang-

orang persilatan! 

Memang pantas jika hati Andika berkata seperti 

itu. Karena, dia tidak lagi ingat tentang kehebohan 

Pusaka Langit, sampai Ratna Kumala menceritakan 

semuanya. Padahal sebelumnya, dia tidak mem-

percayai. Meskipun, beberapa kali bayangan kejadian 

berapa waktu lalu terbersit samar dalam ingatannya. 

Kalau di dalam air saja benda itu mampu melipat-

gandakan kekuatan seseorang, apa lagi jika di 

daratan? Tentu orang yang memilikinya akan mampu 

membelah gunung karang! 

Menyadari bahaya yang akan mengancam dunia 

persilatan bila benda pusaka itu berada di tangan 

orang sebengis lelaki berbaju hijau, Andika 

memutuskan untuk menghadapinya habis-habisan. 

Dia tak mau sungkan-sungkan lagi melepas pukulan

pamungkasnya sekalipun. Maka tangannya cepat 

bergerak dari depan dada, membentang ke samping 

dengan telapak terbuka lebar. Perlahan sepasang 

tangan pendekar muda itu terangkat, lalu kembali ke 

depan dada. Setelah menyatukan kedua telapak 

tangan, matanya terpejam. Sesaat berikutnya.... 

Wrrr...! 

Satu pukulan jarak jauh yang lebih kuat 

dilancarkan Pendekar Slebor. Seperti serangan 

sebelumnya, pukulannya kali ini pun menimbulkan 

gelembung-gelembung udara memanjang yang 

terbentang ke arah orang berbaju serba hijau itu. 

Bedanya, kali ini gelembung-gelembung udara itu 

lebih besar dan bergerak berputar di sekitar tenaga 

pukulannya. 

Orang berbaju serba hijau yang menyaksikan 

pukulan Pendekar Slebor berniat mementahkannya. 

Bahkan sekaligus menguji keampuhan Pusaka Langit 

yang terbungkus kain putih tembus pandang di 

tangannya. 

Bersamaan tindakan itu, Andika segera merang-

seknya. Seketika sepasang kaki dan tangannya 

dikayuh sekuat tenaga. Maka pengerahan tenaga 

sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan membuat 

tubuhnya meluncur bagai seekor hiu memburu 

mangsa. 

Di pihak lain, orang berpakaian serba hijau juga 

melakukan hal yang luar biasa. Pukulan sakti 

Pendekar Slebor yang bisa meremuk redamkan 

bongkahan karang sebesar kerbau, ternyata dapat 

dibelokkan ke arah lain dengan sabetan kain berisi 

Pusaka Langit! 

Pendekar Slebor tentu saja dibuat tersentak 

melihat kenyataan di depan matanya barusan. Tapi

karena tubuhnya sudah telanjur meluncur deras ke 

arah lawan, tidak dipedulikan lagi kekuatan maha 

dahsyat dalam Pusaka Langit. Yang ada dalam 

kepalanya hanya tekad untuk merebut pusaka itu 

agar dapat diamankan dari tangan keji. 

Wrrr...! 

Dalam terjangannya, tangan Pendekar Slebor 

membentang ke depan, mengarah ke dada orang 

berbaju hijau yang masih lengah. 

Deb! 

Terdengar bunyi tertahan, ketika jari-jari 

mengejang Andika menotok tulang dada orang 

berbaju hijau yang langsung terdorong deras ke 

belakang. Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika 

punggungnya menimpa batu cadas besar di 

belakangnya. 

Grrr...! 

Batu cadas yang menjulang ke permukaan kontan 

remuk di bagian yang terhajar punggung lelaki itu. 

Tapi orang bertopeng kain hijau ini tampak tidak 

mengalami sesuatu yang berarti. Dengan tenang, 

kakinya menjejak ke batu cadas, lalu berenang 

menuju Pendekar Slebor. 

Mata Pendekar Slebor jadi membesar, karena baru 

kali ini menemukan orang yang bisa menahan 

pukulan pamungkas warisan Pendekar Lembah 

Kutukan. Apalagi, tetap sehat walafiat seperti lelaki 

itu. 

Sementara itu, mata orang berbaju serba hijau itu 

tampak berbinar angkuh. Kalau saja wajahnya tak 

tertutup, tentu Pendekar Slebor akan menyaksikan 

senyum penuh ejekan lawannya. 

Lelaki bertopeng kain hijau itu makin dekat ke 

arah Pendekar Slebor. Sementara itu, tangannya

sudah siap melancarkan jurus yang mungkin men-

ciptakan pusaran air raksasa karena daya sakti dari 

Pusaka Langit.... 

***

SEMBILAN


Sekujur tubuh Pendekar Slebor jadi mengejang 

karena tegang. Biarpun sudah banyak menelan asam 

garam rimba persilatan, tapi tak luput pula dicekam 

ketegangan. Seumur hidupnya, baru kali ini menjalani 

pertarungan maut di bawah air. Terlebih, kesaktian 

orang berbaju serba hijau itu sulit diukur akibat 

pangaruh kekuatan Pusaka Langit. 

Bahkan kini dada Pendekar Slebor mulai terasa 

sesak. Entah sudah berapa lama berada di bawah air, 

dia sendiri tidak tahu. Yang pasti, paru-parunya harus 

diisi udara baru, kalau tidak ingin dadanya pecah. 

Namun, Pendekar Slebor tidak bisa begitu saja 

melayang ke permukaan. Baru saja sepasang kakinya 

hendak dikayuh ke atas, orang berpakaian serba 

hijau itu telah tiba di depannya. 

Srrr...! 

Tangan kanan lelaki bertopeng bergerak menyapu 

ke perut Pendekar Slebor. Untunglah, pada saat yang 

gawat pendekar muda itu mampu melakukan 

gerakan kecil ke belakang. Sehingga, tangan lawan-

nya lewat beberapa rambut dari perutnya. Kalau saja 

Pendekar Slebor kalah cepat, bisa dipastikan isi 

perutnya akan ambrol saat itu juga, terkena tombak 

kecil bermata tiga di tangan lawannya. Rupanya orang 

berpakaian serba hijau itu mengeluarkan senjata saat 

Andika lengah 

Selesai dengan satu sabetan, lelaki bertopeng 

hijau itu mengirimkan tebasan dan tusukan susulan. 

Senjatanya berpindah-pindah sasaran. Dari dada, ke

kepala, lalu sesekali ke leher Pendekar Slebor. 

Serangan bertubi-tubi ini membuat Pendekar 

Slebor kewalahan. Di samping pernapasannya yang 

sudah tak memungkinkan, gerakan lawannya pun 

menggila. Kalau saja kecepatan sakti warisan 

Pendekar Lembah Kutukan tidak menyatu dalam 

dirinya, sulit dibayangkan lagi bagaimana keadaan-

nya. Tubuhnya pasti akan tercabik senjata lawan. 

Saat berikutnya, lelaki bertopeng itu mulai pula 

memanfaatkan Pusaka Langit sebagai senjata. Tanpa 

memberi kesempatan secuil pun pada Pendekar 

Slebor, tangannya yang menggenggam kain tembus 

pandang berisi Pusaka Langit segera diayunkan. 

Srrr...! 

Bagai palu aneh, batu merah bara dalam 

bungkusan kain tembus pandang itu menderu ke 

kepala Andika. Sekejap lagi, kepalanya tentu akan 

remuk. Namun, keadaan terdesak seperti itu mampu 

membuat Pendekar Slebor melakuan hal yang 

sebenarnya sudah tidak mungkin. Entah, naluri 

macam apa yang menuntun tubuhnya hingga bisa 

bergeser ke belakang tanpa disadari. 

Sekali lagi, serangan orang berbaju serba hijau itu 

luput. Tapi bukan berarti Pendekar Slebor tidak 

menerima akibat lain yang tak kalah parah. Pusaka 

Langit ternyata telah melipatgandakan tenaga 

dorongan berbentuk gelombang dalam air akibat 

hantaman tadi. 

Pendekar yang mengalami gangguan pada ingatan-

nya itu langsung terdorong deras ke belakang, meski 

di dalam air. Tubuhnya baru berhenti meluncur, 

setelah menghantam batu cadas besar. 

Grrrgh...! 

Cadas yang menjadi sasaran tubuh Andika kontan

menjadi gompal! Pecahannya pun berhamburan di 

dasar danau berpasir. Andika sendiri mengalami 

akibat yang tak kalah hebat. Dari mulutnya keluar 

cairan merah kental. Yang kemudian melayang bagai 

asap merah dalam air. Sementara, rasa sesak yang 

mendera punggung memaksanya melepas per-

napasan. Maka air pun cepat merasuk ke saluran 

napasnya. Dan ini membuat Pendekar Slebor jadi 

gelagapan. 

Kesempatan itu cepat digunakan sebaik-baiknya 

oleh orang berbaju serba hijau itu. Kembali dilabrak-

nya Pendekar Slebor. Setelah mengayun kaki dan 

tangannya sekuat tenaga, tubuhnya meluncur deras 

dengan kaki kanan mengarah ke dada Andika. 

Bekh! 

“Aaargkh! 

Andika langsung memekik dalam air. Namun 

suaranya yang terlontar kuat, teredam begitu saja. 

Sementara, terjangan air ke dalam jalan napasnya 

kian parah. Wajah tampan pendekar muda itu tampak 

mengejang dalam bias air danau. Matanya mem-

belalak, menahan sakit tak terkira. Perlahan-lahan 

pandangannya mengabur. Sebelum seluruh 

kesadarannya lenyap, tangan kekarnya men-

cengkeram orang berbaju hijau itu dengan sisa 

tenaga terakhir. 

Srrrt...! 

Serangan balasan terakhir Pendekar Slebor 

ternyata hanya mampu menyambar topeng kain 

berwarna hijau dan baju bagian depan lawan. Kini, 

pandangan yang mengabur dapat menyaksikan wajah 

lawannya. Sekaligus, melihat tanda tubuh berwarna 

hitam berbentuk bayangan ular di dada. 

Setelah itu, semuanya hilang. Pendekar Slebor

telah tak sadarkan diri. 

Tubuh tegapnya langsung mengapung lamban 

dalam dekapan dingin air Danau Panca Warna. 

Pakaian hijau-hijau dan kain bercorak caturnya 

melambai-lambai lemah, selemah tubuhnya saat ini. 

*** 

Matahari pagi mendaki sepenggalan di cakrawala. 

Cahayanya yang kemerahan telah memudar sejak 

tadi. Perlahan benda alam raksasa itu mengirim 

kehangatan ke wajah bumi. Begitu juga di sekitar 

Dana Panca Warna. 

Beriring terusirnya kabut, Andika alias Pendekar 

Slebor siuman dari pingsannya. Tubuhnya tergeletak 

lemah di bibir danau berpasir lembut, beberapa 

tombak dari permukaan. Mata elangnya mengerjap-

ngerjap silau, diterkam sinar matahari. Kepalanya 

bergerak lambat. 

“Kenapa aku bisa berada di luar danau?” desah 

Pendekar Slebor seraya mencoba bangkit. 

Andika segera mendekap dada dengan kedua 

tangannya ketika dirambati rasa nyeri hebat, akibat 

luka yang dialami dalam pertempuran kemarin. 

Begitu pula bagian punggungnya. Bahkan sekujur 

badannya terasa bagai direncah beribu sembilu. 

Merasa dirinya tak mungkin berada di tempat itu 

tanpa bantuan seseorang, Andika menoleh ke kanan 

dan kiri. Tanpa susah payah mencari, matanya telah 

menemukan seseorang berbaju koko kuning yang 

dipadu celana pangsi hitam. Dia berdiri mem-

belakangi Andika. Dari bentuk tubuh dan warna putih 

rambutnya, bisa diduga kalau lelaki itu sudah 

berumur lanjut. Rambutnya yang digelung ke atas,

diikat kain warna biru tua. Meski kelihatan tua, cara 

berdirinya tampak gagah. Satu tanda kalau dia 

terbiasa melatih diri dengan ilmu olah kanuragan. 

“Kau sudah siuman, Anak Muda?” sapa orang tua 

itu tanpa berbalik. 

“Begitulah, Ki. Semula kupikir aku sudah melayat 

ke akherat menemui arwah para leluhur,” sahut 

Andika mencoba akrab, meski hatinya masih diliputi 

tanda tanya. “Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau 

sebenarnya?” Andika berusaha bangkit meski agak 

terseok. 

“Aku hanya seorang lelaki tua tak berarti,” jawab 

lelaki itu, sedikit pun tidak memuaskan Andika. 

“Tentu saja aku tahu kalau kau lelaki, Ki. Karena 

pinggulmu memang tak besar seperti milik 

perempuan,” kelakar Andika. “Tapi, aku tak tahu 

namamu. Tak mungkin aku memanggilmu hanya 

dengan sebutan saja. Sebab, kau telah menolongku.” 

“Anak muda..., Anak Muda. Tak perlu kau ikuti 

anggapan orang banyak bahwa seorang menolong 

mengharapkan penghormatan dan sanjungan nama. 

Dunia memang seringkali brengsek. Nilai-nilai suci 

seperti pertolongan tanpa pamrih, selalu saja hendak 

diganti nilai-nilai yang mengharuskan seseorang 

menuntut pamrih pada orang yang ditolongnya,” tutur 

lelaki itu bijak, masih belum juga menoleh. 

“Ah! Kau ini, Ki. Bikin aku malu saja,” ujar Andika. 

Mulut Pendekar Slebor jadi meringis-ringis. Entah 

karena malu oleh ucapan lelaki tua di depannya, atau 

karena sakit di tubuhnya. 

“Tapi, bukankah tidak salah kalau aku mengetahui 

namamu?” lanjut Andika. 

“Memang tidak.” 

“Nah! Jadi, boleh aku tahu siapa namamu, Ki?”

Kalingga?” tanya Andika, ingin tahu. 

“Itu salah satu tujuanku.” 

“Maksudmu, kau punya tujuan lain?” 

“Tepat.” 

Andika tak melanjutkan pertanyaan, karena 

merasa pertanyaannya terlalu beruntun untuk 

masalah pribadi lelaki tua itu. Padahal, sungguh tidak 

pantas seseorang terlalu ingin turut campur dalam 

urusan pribadi orang lain. 

“Kenapa kau tak bertanya lagi?” usik Ki Kalingga, 

saat mendapati wajah penasaran pemuda di 

depannya. 

“Kau tidak keberatan, Ki?” 

“Aku bahkan berharap, kau bertanya lebih jauh.” 

“Ooo....” 

Andika memajukan bibir bulat-bulat. Sementara, 

benaknya bertanya-tanya heran. Kenapa lelaki tua ini 

menginginkan dia bertanya lebih jauh? Apakah ada 

maksud tertentu? 

“Mana pertanyaanmu?” tegur Ki Kalingga, 

menyadarkan ketercenungan Andika. 

“O, ya. Aku lupa. Apa tujuanmu, selain mencari 

Ratna, Ki Kalingga?” 

“Aku tak akan menjawabnya sekarang. Kecuali, 

bila kau sudi menukarnya dengan jawabanmu,” kilah 

Ki Kalingga, dibarengi sebaris senyum tipis yang 

ramah. 

Mata Andika jadi menyipit. Dalam hati, dia agak 

menggerutu dengan jawaban konyol Ki Kalingga 

terhadapnya. Benar-benar orangtua aneh! Dia tak 

ingat kalau dirinya lebih aneh lagi. Sehingga, kaum 

persilatan menjulukinya Pendekar Slebor. 

“Baik..., baik, Ki. Terserah kau sajalah,” ucap 

Andika seraya melepas napas. “Kau ingin menanya

kan apa padaku?” 

“Siapa namamu? Dan, apa tujuanmu?” 

“Aku..., ah! Apa itu perlu, Ki?” 

“Perlu,” terabas Ki Kalingga cepat. 

“Aku Andika. Kaum persilatan menjulukiku 

Pendekar Slebor. Tapi kau tak perlu memuji lantaran 

aku keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang 

sudah menjadi cerita rakyat. Karena aku sendiri tak 

ingin....” 

Ucapan Pendekar Slebor terputus. Ada hal aneh 

yang tiba-tiba dirasakannya. Sesaat dia memikirkan 

keanehan itu. Sampai akhirnya.... 

“Kodok buduk! Kutu kupret! Monyet ngantuk! 

Rupanya ingatanku sudah kembali!” seru Andika, 

girang bukan alang kepalang. 

“Kenapa?” tanya Ki Kalingga, karena tak mengerti 

permasalahannya. 

“Tidak apa-apa, Ki. Aku baru saja mendapat 

anugerahTuhan...” 

“Ooo...” 

Kali ini Ki Kalingga yang memajukan bibir bulat-

bulat. Padahal, hatinya kebingungan. Baru kali ini 

ditemukannya orang aneh yang menyumpah-

nyumpah sewaktu mendapat anugerah Tuhan. 

Namun tanpa diketahui, dalam hati terdalam 

Andika terpercik serangkai puji syukur kepada-Nya. 

Dan memang wajar bila dia memanjat syukur dalam 

hati. Karena, kesembuhan ingatannya begitu tiba-

tiba. Barangkali karena hantaman kedua sinar 

Pusaka Langit yang melabrak matanya, saat ber-

tempur melawan lelaki bertopeng di dasar danau 

kemarin. 

Ingat pertempuran kemarin, Andika jadi terbayang 

wajah lawannya yang sempat dilihatnya sebelum

pingsan. Rasanya, dia pernah melihat wajah lelaki itu. 

Tapi, entah di mana. 

“Bisa kembali ke percakapan kita?” tegur Ki 

Kalingga ketika melihat Andika tercenung. 

“Oh! Tentu saja bisa, Ki. Jadi apa tujuanmu yang 

lain?” 

“Sebelum kujawab, akan kuceritakan sebuah kisah 

padamu,” kata Ki Kalingga memulai. “Lima ratus 

tahun yang lalu, ada sebuah benda langit yang 

menembus lapisan udara bumi, dan jatuh ke hulu 

Sungai Kuning di Cina. Seorang sakti yang hidup di 

masa Dinasti Ming tahu kalau benda itu memiliki 

kekuatan bintang yang sangat dahsyat, dari wangsit 

saat bertapa.” 

Andika manggut-manggut dengan kening berkerut. 

Rupanya dia benar-benar tertarik mendengarnya. 

“Dia pun menelusuri hulu Sungai Kuning, untuk 

mencari benda langit itu. Ketika benda itu ditemukan 

dia mendapat kesulitan, karena ternyata mampu 

memancarkan kekuatan yang mempengaruhi diri 

seseorang. Itu sebabnya, ia menangguhkan untuk 

mengambilnya. Lalu, dia bertapa kembali untuk 

memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, untuk 

mengetahui bagaimana cara menangkal kekuatan 

benda itu, hingga bisa diambilnya. Sampai suatu 

malam, dia kembali mendapat wangsit. Dalam 

wangsit itu, dia diberi petunjuk untuk membuat 

sehelai selendang dari serat pohon yang hanya 

tumbuh di suatu goa angker, di suatu pegunungan 

tertinggi di Tibet,” lanjut Ki Kalingga. 

Andika makin tertarik. Bahkan pandangannya kali 

ini tak beralih dari wajah Ki Kalingga. 

“Meski mendapat halangan yang nyaris merengut 

jiwanya, akhirnya dia bisa juga mendapatkan serat

pohon, yang kemudian dijadikan selendang putih 

tembus pandang. Dengan selendang itulah ia berhasil 

mengambil benda langit tersebut. Dan dengan 

kesaktiannya, benda angkasa raya itu dijadikan 

pedang pusaka tak tertandingi.” 

Sebentar Ki Kalingga menghentikan ceritanya. 

Sepertinya, dia ingin mencari kata-kata yang tepat 

untuk menuturkan ceritanya. 

“Empat ratus tahun kemudian, setelah berpindah 

tangan dari satu keturunan ke keturunan berikutnya, 

pedang pusaka itu melebur, layaknya lilin terbakar 

api. Dan leburannya lalu menyatu dengan bumi. Yang 

tertinggal hanya gagangnya saja. Tapi rupanya, 

kekuatan benda angkasa yang menjadi bahan 

pedang, lenyap setelah empat ratus tahun kemudian. 

Sementara selendang penjinak kekuatan benda langit 

dan gagang pedang pusaka itu, lima puluh tujuh 

tahun yang lalu dititipkan pada seorang keturunan si 

Pertapa Sakti itu kepadaku. Menurut buyutnya, benda 

angkasa seperti itu akan jatuh ke bumi kembali, 

setiap lima ratus tahun sekali. Dan ketika lima ratus 

tahun sejak benda langit pertama ditemukan, 

amanatnya yang dititipkan padaku hendak diambilnya 

kembali,” Ki Kalingga menyelesaikan ceritanya. 

“Lalu, apa hubungannya dengan diriku. Sampai-

sampai, kau merasa perlu menanyakan nama dan 

julukanku?” tanya Andika tidak mengerti. 

“Aku berharap, kau sudi menolongku menyelamat-

kan benda angkasa sakti itu dari tangan orang-orang 

berhati iblis.” 

“O. Jadi, itu tujuanmu selain mencari Ratna?” 

“Ya.” 

“Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?” 

“Aku sudah tua. Sudah jenuh oleh gelora dunia

persilatan yang selalu berbau anyir darah. Aku 

berharap, kau sebagai tokoh muda yang disegani, 

sudi melanjutkan perjuanganku. Kini, aku hanya ingin 

mendidik murid-muridku menjadi orang berguna bagi 

rakyat, bagi orang banyak,” tutur Ki Kalingga 

perlahan, namun tetap berkesan tegas berwibawa. 

“Nah! Kurasa aku sudah cukup menyampaikan 

amanatku padamu, Pendekar Slebor. Terima kasih 

atas kesediaanmu meneruskan perjuanganku,” lanjut 

Ki Kalinga, seraya menepuk bahu kekar Andika. 

“Tapi, Ki....” 

Belum sempat Andika melanjutkan ucapan, lelaki 

tua itu sudah melesat cepat bagai tersapu angin. 

Tampak jelas, bagaimana tingginya ilmu meringankan 

tubuh Ki Kalingga. Mungkin hanya segelintir orang 

yang mampu melakukannya, termasuk Andika sendiri. 

Setelah Ki Kalinga pergi, Andika tercenung. 

Ingatannya yang mulai pulih, membuatnya cepat 

terbayang pada kematian dua murid terbaik Ki 

Kalingga, Rudapaksa dan Rudapaksi. 

“Kalau gurunya sudah sesakti itu, murid terbaiknya 

tentu tak kalah hebat. Tapi, bagaimana kedua murid 

pilihan itu dapat dibunuh dengan mudah? Musuh 

macam apa yang mesti kuhadapi ini?” desis Andika 

dengan alis bertaut rapat. 

Cukup lama Andika terdiam, memikirkan lawan 

yang akan dihadapi. Sampai akhirnya, dia teringat 

pada lelaki bertopeng di dasar danau. 

“Diakah orangnya?” gumam Andika. 

Andika berusaha mengingat-ingat wajah yang 

sempat dilihatnya secara sekilas itu. Ya! Dia yakin 

pernah melihat wajah itu. Di mana dan kapan ter-

lihatnya, belum begitu jelas. Karena, setiap kali meng-

ingat, luka dalam yang diderita membuat daya

ingatannya buyar seketika. 

Akhirnya, diputuskan untuk menyembuhkan luka 

dalamnya lebih dahulu. Andika lalu bersila di tanah. 

Matanya perlahan-lahan terperjam. Sedang sepasang 

tangannya bersidekap di depan dada. Dia memulai 

semadi untuk menyalurkan hawa murni ke bagian 

tubuhnya yang terluka. 

Lambat laun, tubuh Pendekar Slebor mulai terasa 

segar kembali. Maka Andika pun memenggal semadi-

nya. Berbareng dengan gerakan tangan untuk meng-

hapus peluh yang membasahi keningnya, dia mulai 

mengingat kembali lelaki yang dihadapi di dasar 

Danau Panca Warna. 

Dan tiba-tiba gangguan datang lagi tanpa di-

sangka-sangka. Telinga tajamnya menangkap desir 

lembut dari arah belakang. 

Zing...! 

“Hiaaah!” 

Tanpa mau menoleh ke belakang lagi, tubuh 

Pendekar Slebor melenting ringan ke atas. Andika 

sudah sering mendengar suara seperti itu. Bahkan 

bisa dibilang sudah begitu akrab selama mengarungi 

buasnya rimba persilatan. Desing itu adalah suara 

yang ditimbulkan luncuran senjata tajam kecil. 

Dugaan Andika tidak meleset sedikit pun. Tampak 

sebilah pisau belati hendak memangsa punggungnya. 

Jlep! 

Luput dari sasaran, belati itu menembus batang 

pohon cemara lima belas tombak di depan Andika. 

“Kutu koreng!” maki Andika di udara. 

Setelah berputaran beberapa kali, tubuh Pendekar 

Slebor meluncur turun kembali. Sepasang kakinya 

ringan sekali menjejak tanah berpasir tanpa 

kesulitan.

“Siapa manusia biang kurap yang coba-coba main-

main?!” bentak Andika jengkel, seraya mengedarkan 

pandangan liar ke sekitar tempatnya berdiri. 

Tak terdengar jawaban. Bahkan desahan napas 

sekalipun. Tampaknya, si Pembokong telah melarikan 

diri ketika Andika sibuk menghindari serangan gelap 

tadi. 

Dengan bibir bergerak-gerak menggerutu, Andika 

mengalihkan pandangan ke belati di pohon cemara. 

Di gagangnya, terdapat sehelai daun lontar yang 

diikat seutas tali. 

“Permainan macam apa lagi itu?” gerutu Pendekar 

Slebor dongkol. 

Kakinya lantas melangkah menuju pohon cemara 

sasaran belati itu. Setibanya di dekat pohon itu, 

Andika mencabut belati. Kemudian, ikatannya dibuka. 

Dibentangnya daun lontar yang terdapat di belati, lalu 

terlihat tulisan di dalamnya. 

Maafkan aku bila menyuruh seseorang 

menyampaikan pesanku ini, meski sebenarnya lebih 

pantas disampaikan langsung. Tuan Pendekar, 

kulihat kau sudah cukup akrab dengan adik 

seperguruanku Ratna Kumala. Untuk itu, aku 

meminta tolong pada Tuan untuk menjaga 

keselamatannya. 

Tugas yang kami jalankan amat berbahaya. Bisa 

saja kami akan terbunuh suatu saat. Jadi, untuk 

kedua kalinya aku memohon pertolongan Tuan. Bila 

ternyata kami memang terbunuh, sudilah kiranya 

Tuan Pendekar menyelamatkan gagang pedang yang 

kami simpan di satu tiang Penginapan Mekar Harum 

di Desa Ambangan. 

Tertanda, Rudapaksa.

Andika menutup daun lontar itu. Lalu tanpa sadar, 

diremas-remasnya. Persoalan kini mulai menjadi jelas 

bagi dirinya. Bahkan sekarang bisa teringat jelas, 

siapa lelaki yang bertarung dengannya di dasar danau 

kemarin, setelah surat itu menyebut-nyebut tentang 

tugas yang diemban Rudapaksa dan Rudapaksi. 

Wajah lawannya memang wajah lelaki dari Tiongkok 

yang dilihatnya di Bandar Sunda Kelapa, bersama 

Rudapaksa dan Rudapaksi beberapa saat lalu.... Ya! 

Chin Liong! 

Lalu, ke mana Ratna? Pertanyaan yang sempat 

diajukan pada Ki Kalingga kini tersembul lagi di 

lerung benaknya. Andika terpaku memikirkan 

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diri 

gadis kepala batu itu. 

Plok! 

Tiba-tiba, Andika menepuk keningnya keras. 

“Mengapa aku lamban sekali berpikir! Tentu saja 

Chin Liong telah menculiknya, karena mengira Ratna 

Kumala tahu tempat persembunyian gagang pedang 

pusaka yang disebut Rudapaksa dalam suratnya!” 

cetus hati Andika. “Heh! Rupanya lelaki itu sudah 

mengkhianati Rudapaksa dan Rudapaksi untuk 

menguasai selendang penjinak Pusaka Langit, 

sekaligus ingin mendapatkan benda angkasa raya 

dan gagang pedang pusaka itu!” 

Bibir Pendekar Slebor tampak menyeringai, antara 

senang karena berhasil memecahkan teka-teki, 

dengan kegusaran atas pengkhianatan Chin Liong. 

“Seujung rambut saja gadis itu terusik kau akan 

kubuat hancur seperti sambal terasi, Chin Liong...!” 

Selesai mengucapkan kalimat terakhir, Andika 

melesat dari tempat itu. 

Kini tepian Danau Panca Warna sunyi. Desir angin

yang membelai permukaan danau terdengar men-

dayu. Tanpa diketahui Andika, beberapa depa dari 

tempatnya berdiri teronggok dua timbunan tanah 

yang cukup besar. Pada satu ujung timbunan, ter-

tancap batang pohon kering. Di dalamnya ber-

semayam puluhan mayat yang dibantai sepasukan 

orang berpakaian merah, bersama lelaki biadab yang 

membawa selendang berisi Pusaka Langit.... Salah 

seorang di antara mayat-mayat itu adalah Ratna 

Kumala! 

***

SEPULUH


Karena letaknya tak jauh dari pusat perniagaan 

Bandar Sunda Kelapa, Desa Ambangan tak pernah 

mati dari kesibukan. Pasar di desa itu terus berdenyut 

siang dan malam, tak seperti pasar di tempat lain 

yang baru ramai jika jatuh hari pasaran. Hal itu wajar 

saja, jika memperhatikan bagaimana barang-barang 

yang dibongkar muat di Bandar Sunda Kelapa, 

sebagian dibawa ke pasar tersebut untuk dijual. 

Sementara, kapal-kapal niaga yang membawa barang 

tak pernah kenal kata siang atau malam untuk 

berlabuh di bandar. 

Malam itu, Andika tiba di pusat Desa Ambangan. 

Mestinya, dia bisa tiba lebih awal di sana. Karena, 

jarak antara Danau Panca Warna dengan pusat desa 

hanya berjarak sepeminum teh. Namun, penduduk 

desa tentu akan mengenalinya sebagai seorang 

pendekar yang menolong Buntar waktu itu. Akibatnya, 

kedatangannya di desa itu akan cepat tercium lawan 

yang bisa saja menguping dari obrolan penduduk. Itu 

sebabnya, diputuskannya untuk datang malam hari. 

Tempat yang dituju Pendekar Slebor adalah 

Penginapan Mekar Harum, tempat di mana 

Rudapaksa menyembunyikan gagang pedang pusaka 

dari Tiongkok pada satu tiangnya. Agar tak mudah 

dikenali, sengaja dia mengenakan caping lebar dan 

berjalan pada tempat-tempat yang tak terlalu terang. 

Sementara, matanya terus mengawasi kian kemari. 

Siapa tahu saat itu dia bisa menemukan Chin Liong! 

Saat Pendekar Slebor melintasi satu kelontong

yang cukup terang oleh cahaya lampu minyak, 

seseorang yang dikenalnya melintas tepat di depan-

nya. Langkah Andika bergegas berhenti. Tangannya 

cepat-cepat menurunkan caping ke depan. Andika 

amat hafal wajah lelaki desa yang bernama Diding itu. 

Dia adalah kawan Buntar, orang yang ditolongnya 

tempo hari. Kalau cahaya dari lampu minyak 

kelontong dibiarkan menerpa wajah, tentu Diding 

akan mengenalinya pula. 

Setelah Diding lewat beberapa langkah darinya, 

Andika meliriknya. Dia hanya ingin meyakinkan kalau 

Diding tidak menoleh ke belakang. Yakin kalau lelaki 

desa itu tidak akan menoleh, Andika segera 

melanjutkan langkahnya. 

Tapi baru dua tindak kakinya bergerak.... 

“Lho, Den Pendekar! Mau ke mana?!” 

Terdengar panggilan Diding di belakangnya. 

“Benar-benar apes,” rutuk Andika membatin. 

“Matamu jeli juga, Kang,” ujar Andika, setengah 

menggerutu ketika Diding sudah berdiri di hadapan-

nya. Mata besar Diding berbinar-binar senang bisa 

bertemu kembali pendekar sebaik Andika. 

“O, jelas...,” tukas Diding bangga. Hidungnya 

kembang-kempis merasa dipuji. “Den Pendekar mau 

ke mana?” 

Bukannya menjawab, Andika malah meraih per-

gelangan tangan lelaki desa itu. 

“Ikut aku,” bisik Andika, seraya menarik Diding ke 

satu lorong di antara dua bangunan kelontong. 

“Eh, eh...! Jangan narik-narik seperti ini, Den. Nanti 

aku dikira pencopet yang ketangkap basah,” kicau 

Diding. 

“Diam!” 

Mendapat bentakan Andika, mulut Diding yang

berbibir setebal tahu langsung saja terkatup rapat-

rapat. 

“Kuminta, kau tidak berbicara pada siapa pun 

kalau aku ada di desa ini,” ujar Andika di sudut 

lorong. Matanya terpaut erat pada mata Diding, 

sebagai isyarat kalau pembicaraannya sangat 

penting. 

Diding mengangguk-angguk tergesa dengan alis 

terangkat tinggi-tinggi. 

“Ho-oh... ho-oh,” ucap Diding ketolol-tololan. 

“Dan satu lagi....” 

“Apa, Den?” 

“Apa kau melihat lelaki Tiongkok?” 

Kening Diding berkerut. 

“Lihat, Den...,” jawab Diding. 

“Bagus. Di mana dia?” lanjut Andika. 

“Itu, tuh! Di perkampungan Tiongkok di ujung 

pasar. Ada Bun li, ada Bo Liang, Mei Lan, Ling ling. 

Mpeh Lim Giok yang perutnya sebesar tong juga 

ada....” 

Andika menarik napas kesal. Yang ditanya lain, 

yang dijawab lain lagi. Andika jadi menggerutu dalam 

hati. 

“Aku tak menanyakan para pendatang dari negeri 

Tiongkok yang menetap di daerah ini.” 

“Jadi yang mana, Den?” 

“Lelaki Tiongkok berwajah tampan yang baru 

datang saat ada kegemparan benda langit yang jatuh 

ke danau. Pakaiannya berwarna merah, dan ter-

kadang mengenakan pakaian warna hijau,” urai 

Andika, menjelaskan ciri-ciri Chin Liong. 

Kembali kening Diding berkerut. Kali ini, benaknya 

sungguh-sungguh mengingat lelaki pendatang dari 

Tiongkok yang sampai di desanya belakangan ini.

“O, iya Den. Aku pernah lihat lelaki Tiongkok yang 

seperti Aden gambarkan....” 

“Di mana?” sela Andika cepat. 

“Di... mmm, penginapan Mekar Harum!” 

“Penginapan Mekar Harum,” gumam Andika, tak 

kentara. 

Terbersit pikiran dalam benak Pendekar Slebor 

kalau Chin Liong telah mendahuluinya. Meskipun, 

belum diyakini benar apakah Chin Liong telah 

mendapatkan gagang pedang pusaka itu atau belum. 

“Aku harus segera ke sana...,” bisik Andika. 

“Ah! Aku sih tidak perlu diajak, Den,” tukas Diding. 

“Siapa yang mengajakmu?” tanya Andika, seraya 

memberi senyum sebagai tanda terima kasih. 

Diding cengar-cengir tak karuan. 

“O, kukira mau ngajakku, he he he.” 

“Kalau mau ikut, ya boleh saja. Tapi asal berani 

mati.” 

“Kok?” 

“Aku bukan mau menginap di sana, tapi mau 

mencari seorang pembunuh berdarah dingin. Mau 

ikut?” 

“Ah-ah! Terima kasih banyak kalau gitu!” 

Sekali lagi, Andika tersenyum. Setelah mengucap-

kan terima kasih, Andika berlalu dari lorong itu. 

Tinggal Diding yang mengedik-ngedikkan bahu kalau 

ngeri membayangkan dirinya harus berhadapan 

dengan pembunuh berdarah dingin. 

“Hiiiy, amit-amit!” desis laki-laki itu. 

*** 

Penginapan Mekar Harum kini terselimut sepi. 

Para pendekar yang beberapa hari lalu menginap di

sana, sejak kemarin mulai pergi satu persatu. Mereka 

sudah kehilangan keberanian untuk mendapatkan 

Pusaka Langit, setelah tiga tokoh utama aliran sesat 

terbantai oleh orang aneh dalam sekali tepuk. 

Kini penginapan itu ibarat kembang desa yang 

kehilangan kecantikannya. Tak ada lagi yang mau 

bertandang ke sana. Sementara, para pedagang dari 

negeri lain tidak begitu berminat menyewa kamar di 

sana, karena terletak begitu terpencil di sudut desa. 

Suasana Penginapan Mekar Harum memang sama 

sekali tidak menarik. Bahkan boleh dibilang agak 

berkesan angker. Letaknya persis di bibir tebing yang 

menghadap Danau Panca Warna. Bangunannya 

tampak kuno, berdiri di ketinggian dengan kawalan 

pepohonan cemara yang besar dan rimbun. 

Keangkeran juga terlihat pada bangunannya. Pintu 

utamanya terbuat dari kayu meranti berwarna merah 

kusam, bagai darah mengering. Di beberapa bagian 

dindingnya, lumut meranggas liar ditambah beberapa 

bagian lain yang sempal. Atapnya terbuat dari genting 

beton dan dihiasi patung besar berbentuk buto ijo 

pada ujung-ujungnya. 

Di ruang tengah bangunan itu, tampak seseorang 

berpakaian merah duduk menyendiri di satu kursi 

bermeja. Kedua tangannya tampak memutar-mutar 

cangkir bambu berisi tuak. Sesekali, tangannya 

terangkat untuk meneguk isinya. Setelah tuak dalam 

bambu habis, dituangnya kembali tuak dari tabung 

bambu panjang yang disandarkan di sisi meja. 

Tampaknya, hanya lelaki itu yang masih berminat 

menyewa kamar di Penginapan Mekar Sari. Karena, 

tak ada satu orang pun terlihat selain dia dan pemilik 

penginapan tua yang duduk terkantuk-kantuk dibelai 

angin malam.

Chin Liong tak melontarkan sepatah kata pun 

untuk menanggapi ucapan terakhir Andika. Malah dia 

berdiri dari kursinya. 

“Kurasa kau berbicara pada orang yang tidak 

tepat. Ada baiknya, aku masuk kamar. Aku perlu 

istirahat. Jadi aku mohon pamit, Kisanak,” tutur Chin 

Liong dengan kalimat terputus-putus dan kaku. Dia 

memang belum begitu menguasai bahasa Melayu. 

“Tunggu, Bajingan Bau!” bentak Andika tiba-tiba. 

Lelaki tua pemilik penginapan yang semula meng-

angguk-angguk dipermainkan kantuk, mendadak saja 

tersentak. Matanya terbelalak karena begitu kaget-

nya. 

Sementara, Chin Liong mengurungkan niat untuk 

masuk kamarnya. Dia berdiri tanpa gerak, tepat di 

antara meja dan kursi yang didudukinya tadi. 

“Ada apa lagi, Kisanak?” tanya Chin Liong tetap 

datar. 

“Di mana kau sembunyikan wanita yang kau culik 

itu?!” 

Chin Liong menoleh. Matanya bertumbukan 

langsung pada Andika. Wajah tampan lelaki Tiongkok 

itu tak terlihat berubah sedikit pun. Tetap dingin. 

“Wanita?” tanya Chin Liong singkat. 

“Jangan coba-coba bermain-main denganku, Chin 

Liong!” hardik Andika, mulai gusar. 

Bagaimana tidak gusar hati Andika kalau wanita 

yang telah menyelamatkannya, dan menjadi kawan 

baiknya belakangan ini dalam ancaman tangan keji 

Chin Liong? 

“Kau sungguh aneh, Kisanak. Aku bahkan tidak 

mengenalmu. Tapi, tiba-tiba saja kau menuduhku 

menyembunyikan seorang wanita...,” sangkal Chin 

Liong tenang.

“Kau..., benar-benar tai kucing!” maki Andika. 

Kegusaran Pendekar Slebor sudah tiba di ubun-

ubun. Pendekar muda itu merasa dirinya sedang 

dipermainkan. 

“Aku sudah tak mau banyak basa-basi lagi, Chin 

Liong! Katakan, di mana wanita itu! Kalau tak kau 

serahkan, terpaksa kita harus bersabung nyawa 

kembali seperti di dasar danau,” ancam Andika 

dengan mata terbakar merah. 

Menanggapi ancaman Andika, Chin Liong malah 

tersenyum tipis dan sinis. Kepalanya menggeleng-

gelengkan perlahan. Di mata Andika, sikapnya seperti 

sedang mengejek. 

“Telor busuk! Kentut busuk! Bubur busuk!” maki 

Andika kalap, sekalap kakek-kakek kehilangan 

cangklong kesayangan. 

Usai menyemprotkan sumpah serapahnya, 

Pendekar Slebor langsung menerjang Chin Liong. 

“Khiaaah!” 

Beriring teriakan menggeledek, tubuh Andika 

meluncur secepat kilat ke arah Chin Liong. Satu 

tendangan dilancarkan ke dada laki-laki Tiongkok itu. 

“Hih!” 

Kecepatan gerak Andika yang hanya dimiliki para 

Pendekar Lembah Kutukan, memaksa Chin Liong 

membuang diri ke samping secepat mungkin. 

Brak! 

Kaki Chin Liong membentur meja kayu enam 

tombak dari tempatnya semula, hingga langsung 

hancur berkeping-keping. Setelah berguling di lantai 

beberapa kali, kakinya menjejak lantai. Sekejap tubuh 

lelaki Tiongkok itu berputar di udara, lalu mendarat 

mantap di satu meja lain. 

Andika memburu kembali. Didekatinya laki-laki

sipit itu dengan bersalto melewati pecahan kayu 

meja. Setibanya di dekat lawan, kaki tangannya 

diputar untuk menyapu kepala. 

Serangan Andika kali ini tidak berusaha dihindari. 

Dipapakinya tendangan Andika dengan tangan kiri. 

Des! 

Sementara tangan kanan Chin Liong yang bebas, 

segera mengirim serangan balasan ke perut Andika 

yang masih di udara. 

“Hih!” 

Bet! 

Pendekar Slebor tak ingin perutnya jadi sasaran 

empuk pukulan lawan. Segera kedua tangannya 

membentuk silang untuk menangkis pukulan Chin 

Liong. 

Des! 

Pukulan Chin Liong dapat dimentahkan Pendekar 

Slebor. Kini, tubuh Chin Liong meluncur turun dan 

tiba di sisi meja tempat Andika berdiri. Melihat kaki 

Chin Liong berada tepat di depannya, Pendekar 

Slebor menyentak sepasang tangan dengan telapak 

membentuk cakar. 

“Haih!” 

Jep! Jep! 

Lagi-lagi, gempuran Pendekar Slebor tak menemui 

sasaran. Karena, Chin Liong melompat ke lantai yang 

tak kalah cepat dengan sentakan tangannya. 

Sementara itu, lelaki tua pemilik penginapan 

menjadi kalang kabut. Terbungkuk-bungkuk dia 

berlari kelimpungan kian kemari, mengkhawatirkan 

meja-mejanya yang mulai berantakan akibat per-

tempuran dua lelaki muda tangguh itu. 

“Hey., hey! Kalian jangan bercanda di sini!” bentak 

laki-laki tua itu seraya mengacung-acungkan tongkat.

“Kali ini, jangan berharap kau akan mem-

pecundangi aku!” 

Terdengar seruan Pendekar Slebor di sela-sela 

teriakan jengkel si pemilik penginapan. 

“Keluarkan Pusaka Langit itu! Aku tak gentar 

dengan benda seperti itu!' 

Lelaki yang diteriaki hanya menatap Pendekar 

Slebor dengan mata kian menyipit. Meski sudah 

memulai pertarungan, wajahnya tetap tak me-

nunjukkan perubahan. Seakan wajah lelaki Tiongkok 

itu terbuat dari potongan arca saja! 

“Ayo, tunggu apa lagi?! Serang aku dengan senjata 

yang paling hebat sekalipun,” tantang Andika dengan 

wajah matang. 

Tetap saja Chin Liong berdiri dalam kuda-kuda 

tanpa bergerak-gerak. Tentu saja hal itu membuat 

Pendekar Slebor makin diberangus kegusaran. 

“Kau memang....” 

Andika kehabisan kata-kata untuk memancing 

kemarahan lawan. Bibirnya terkatup. Sedangkan 

rahangnya mengeras. 

Merasa tak ada gunanya lagi banyak bicara, 

Pendekar Slebor mulai membuka jurus baru. Tubuh 

Andika mulai bergerak ke sana kemari, seperti 

kehilangan keseimbangan. Namun, bukan berarti 

gerakannya tidak mengandung maut. 

Sedangkan Chin Liong sendiri bisa menilai, bagai-

mana dahsyatnya gerakan yang sedang diperlihatkan 

Pendekar Slebor. Seumur hidup, belum pernah dia 

melihat jurus serupa itu. Jurus yang luar biasa cepat, 

dan liar. Malah dalam setiap pergantian gerakan, 

tercipta berpuluh bayangan kaki atau tangan lawan-

nya. 

Pendekar Slebor rupanya sudah tak ingin

membuang waktu lagi. Hingga telah mengerahkan 

jurus 'Mengubak Hujanan Petir', jurus keseratus dari 

rangkaian jurus yang diciptakannya di Lembah 

Kutukan. 

Kedahsyatan jurus itu terletak pada dinding 

kekuatan yang tercipta di sekitar tubuh Pendekar 

Slebor. Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini 

Pendekar Slebor mengeluarkan jurus 'Mengubak 

Hujanan Petir'. Karena, Andika berpikir kalau lawan 

akan segera mengeluarkan Pusaka Langit ber-

kekuatan bintang. Jurus 'Mengubak Hujanan Petir' 

mungkin bisa menandinginya. Karena, Andika pernah 

melindungi diri dengan kekuatan jurus tersebut, 

ketika menjalani penyempurnaan di Lembah 

Kutukan. Saat itu rentetan lidah petir bagai 

membentur dinding tak terlihat, hendak menyambar 

tubuh Pendekar Slebor. Akibat yang terjadi sungguh 

menakjubkan! Sekitar tubuhnya berpendar cahaya 

terang benderang yang mampu membutakan mata 

seseorang! 

Menyadari lawan mengerahkan jurus ampuh, Chin 

Liong tak mau kalah bahaya. Tak ada waktu lagi 

baginya untuk menimbang lebih lama. Segera 

dipersiapkannya jurus andalan. Disatukannya telapak 

tangan di depan dada. Sepasang kelopak matanya 

mengatup. Lalu terdengar tarikan napas panjangnya. 

Beberapa saat napasnya diatur tarikan demi tarikan, 

hembusan demi hembusan. Sampai akhirnya, dia 

mendorong kedua tangan ke depan dengan telapak 

mengejang bersama hembusan napas keras. 

“Hsss....” 

Chin Liong kini siap memainkan jurus 'Naga 

Menerjang Badai'. Suatu jurus yang diimbangi 

pengerahan tenaga geledek dalam tubuh melalui

pernapasan. Terciptanya pemusatan tenaga geledek 

pada sepasang tangannya, membuat tangan lelaki 

Tiongkok mengeluarkan percikan api. Bentuknya 

bagai bunga yang berpijar indah. Namun, di balik itu 

terpendam kekuatan yang mampu menjebol gulungan 

ombak laut sebesar gunung! 

Kemudian, sepasang tangan laki-laki Tiongkok itu 

mulai berputar teratur dan lamban. Gerakannya 

seperti seseorang yang sedang menggapai seluruh 

udara dalam ruangan tersebut. Dan tiba-tiba saja.... 

Sret! Sret! 

Terjulur lidah-lidah geledek ke seluruh ruangan. 

Seakan dalam ruang ini sedang terjadi badai petir. 

“Khiaaa!” 

Dimulai satu bentakan membahana, Chin Liong 

meluruk menuju Andika. Sepasang tangannya tetap 

berputar, namun lebih cepat dari sebelumnya. Setiba-

nya di dekat Pendekar Slebor, kedua tangannya 

meng-hentak dari samping kiri. 

“Hsss...!” 

Web! Sret! Sret! 

Dalam luncuran teramat deras, tangan Chin Liong 

mengancam kedua sisi dada Andika. Namun 

Pendekar Slebor yang sudah siap sejak tadi, tak sudi 

dadanya dijebol tangan lawan. Dengan sigap, kedua 

tangan dinaikkan dari bawah dengan tenaga penuh 

untuk membentengi dada. 

Dret! 

Percikan bunga api raksasa langsung membersit, 

manakala tangan mereka berbenturan. Kalau tangan 

Pendekar Slebor masih terpaku pada keadaan 

semula, maka tangan Chin Liong terhentak ke 

belakang, seakan baru menimpa dinding karet kuat 

yang tak terlihat.

Chin Liong sempat terkesiap melihat kenyataan itu. 

Dengan wajah yang sukar dilukiskan, kakinya tersurut 

tiga langkah ke belakang, akibat dorongan kuat pada 

sepasang tangannya. Tapi sebagai tokoh sakti yang 

amat disegani di seluruh daratan Tiongkok, dia tak 

pernah berpikir untuk mengurungkan serangan 

berikutnya. 

“Khaaaih!” 

Entah apa yang hendak dilakukannya saat itu, 

Pendekar Slebor sendiri tidak mengerti. Tubuhnya 

mendadak saja melenting ke belakang, bagai 

sebatang tombak melengkung. Di udara, dia memutar 

tubuhnya sehingga kakinya meluncur lebih dahulu. 

Srrr...! Tep! 

Pada satu tiang penyangga bangunan, kaki Chin 

Liong menjejak. Lalu saat berikutnya, kakinya 

dihentakkan. Kemudian tubuhnya meluncur kembali, 

kali ini dengan tangan yang menyilang di atas kepala 

serta putaran tubuh, membentuk sebuah pengebor 

hidup! 

“Khaaaih!” 

Teriakan dan lidah geledek milik Chin Liong, 

seperti hendak melantakkan ruangan penginapan. 

Bukan cuma itu. Gerak aneh yang sedang dilakukan-

nya pun tampak hendak melantakkan dinding 

kekuatan Pendekar Slebor. 

Sementara itu, Andika membengkokkan kedua 

lutut dengan kaki terpentang. Sepasang tangannya 

mengepal kejang di sisi-sisi pinggang. Pendekar 

Slebor sedang mencoba membuat kuda-kuda 

bertahan, karena ia tahu kalau lawan hendak 

mengadu tenaga. 

Sambil mengimbangi teriakan mengguntur Chin 

Liong, Pendekar Slebor menarik seluruh otot-otot

dadanya. Dada bidangnya seketika mengeras, mem-

perlihatkan garis-garis otot yang menojol. 

“Khaaah!” 

Drarrr! 

Gemuruh besar tercipta saat tangan Chin Liong 

mampu menguak dinding pertahanan Pendekar 

Slebor. Bahkan tangannya yang berputar mampu 

mendarat telak di dada Andika. Dan itu terjadi karena 

pendekar muda kesohor itu memang sengaja mem-

buka dadanya. 

Kenyataannya, akibat yang menimpa Chin Liong 

sungguh luar biasa. Kulit di sekujur tubuhnya tiba-tiba 

memerah dan terbakar. Sedangkan tubuhnya ter-

lontar ke belakang, bagai terseret di udara. 

“Wuaaa!” 

Duk! Brak! 

Tiang besar yang semula berdiri kokoh dan 

angkuh, menjadi porak poranda terhajar tubuh Chin 

Liong. Andai tidak ada tiang lain, tentu bangunan 

penginapan itu akan segera runtuh! 

Sementara itu Pendekar Slebor masih tertancap 

tegak dalam kuda-kudanya. Tapi, hal itu bukan berarti 

tidak mengalami akibat dari pertumbukan dua 

kekuatan liar tadi. Dari lubang hidung dan mulutnya 

mengalir darah kental kehitaman. Darah itu terus 

mengalir lambat melalui dagu Andika, lalu menetes di 

kain bercorak catur yang melingkari pundaknya. 

Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu bergetar 

seperti kehilangan tenaga. Dia yakin, dirinya telah 

mengalami luka dalam. Itu sebabnya, segera dilepas-

kannya kekuatan sakti yang memperkuat jurus 

'Mengubak Hujanan Petir'nya. Lalu, dia segera 

mengerahkan hawa murni untuk mengobati luka 

dalam yang diderita.

Terdengar pengaturan napas Andika. Sepasang 

matanya terpejam rapat. Sementara, sepasang 

tangannya disatukan oleh ujung jari tengah di depan 

dada. 

Tak lama kemudian, suasana menjadi hening. 

Pendekar Slebor telah menyelesaikan pengerahan 

hawa murni dalam tubuhnya. Sedang tujuh tombak di 

depannya, Chin Liong tergeletak tanpa gerak. 

Badannya tertelungkup, menutupi pecahan-

pecahan tiang bangunan. 

“Kau terlalu rakus untuk memiliki Pusaka Langit, 

Sobat,” desah Andika perlahan. “Rupanya, kau tak 

ingin membiarkan aku merebut benda sakti itu dari 

tanganmu. Sehingga, kau lebih rela kehilangan nyawa 

ketimbang mempergunakan benda itu untuk 

melawanku.” 

Di salah satu sudut ruangan, lelaki tua pemilik 

penginapan meringkuk seperti tikus kehilangan akal. 

Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat. 

“Tolong..., tolong! Ada dua orang gila ingin meng-

hancurkan penginapanku satu-satunya,” lirih orang 

tua itu seperti sedang sekarat. 

Selanjutnya, terdengar langkah ringan Andika. 

Didekatinya tubuh Chin Liong yang tergolek. Darah 

kental kehitaman menodai lantai. Andika berharap 

lawannya belum mati. Masih ada satu urusan yang 

mesti diselesaikan. Ya! Dia belum tahu, di mana 

Ratna Kumala. Menurutnya, Ratna Kumala disandera 

Chin Liong. Oleh karena itu, dia ingin menanyakannya 

pada lelaki Tiongkok itu. Itu pun kalau masih hidup. 

“Chin Liong...,” sapa Andika seraya membalik 

tubuh lelaki itu dengan kedua tangannya. 

Saat itulah mata Andika tertumbuk pada suatu 

yang membuatnya amat terkesiap. Tidak, dia tidak

melihat gagang pedang pusaka seperti yang disebut-

kan Rudapaksa dalam suratnya. Nyatanya, dada Chin 

Liong tak memiliki tanda tubuh berbentuk bayangan 

ular seperti yang dilihatnya, ketika bertempur di dasar 

Danau Panca Warna. 

Jantung pemuda itu mendadak hendak berhenti 

berdenyut. Bulu halus di tengkuknya meremang 

hebat, dirayapi kekhawatiran yang menyeruak dirinya. 

“Dia bukan lelaki yang bertempur denganku di 

dasar danau itu...,” desis Andika. “Ya, Tuhan.... 

Tampaknya aku telah salah tangan....” 

Pada waktu yang bersamaan, terdengar tawa 

lantang seseorang yang menggema liar di sekitar 

ruangan besar itu. 

“Hua ha ha...! Bagaimana Pendekar Slebor yang 

juga bodoh? Apakah kau sudah menyadari dirimu 

telah kupermainkan? Begitu mengasyikan permainan-

ku, bukan? Tentang surat palsu dari Rudapaksa yang 

kubuat dengan tanganku. Juga, tentang cerita bohong 

mengenai gagang pedang pusaka yang tersimpan di 

satu tiang bangunan ini. Kau telah terkecoh, Babi 

Bodoh! Hua ha ha.... Kau hendak mencari teman 

wanitamu itu, bukan? Carilah dia di antara puluhan 

mayat yang telah terbantai di tepi Danau Panca 

Warna tempo hari. Hua ha ha...! Selamat tinggal, 

Pendekar Bodoh!” 

Tubuh Andika mengejang. Tak ada sepatah kata 

pun yang bisa diucapkan. Lidahnya kelu. Seluruh 

sendinya kaku. Dia tak bisa berbuat apa-apa, karena 

begitu terpukul oleh rasa bersalah yang men-

cengkeramnya saat itu. 

***

Siapakah lelaki yang telah mempermainkan 

Andika? Bagaimana dengan Pusaka Langit? Benarkah 

cerita Ki Kalingga mengenai benda langit yang pernah 

turun lima ratus tahun lalu? Apa yang akan diperbuat 

Andika selanjutnya? Matikah Chin Liong, lelaki 

Tiongkok yang menjadi korban fitnahan lelaki 

terselubung teka-teki? 

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : 


PENGEJARAN KE CINA 


                          SELESAI 

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar