SATU
Gerimis masih terus turun. Tak ada tanda-tanda kalau
limpahan air dari langit itu akan segera reda. Padahal
telah hampir setengah harian hamparan tanah di-
basahinya. Salakan guntur dan kerjapan kilat mem-
bungkam seluruh senandung satwa malam.
Yang kini terdengar rinai rintik air yang menimpa
daun pepohonan, atau meninju atap-atap rumbia
rumah penduduk. Sesekali desah angin dingin ikut
memeriahkan tarian titik-titik air yang bagai jarum-
jarum halus di angkasa. Saat itulah, langit yang gelap
pekat karena malam, bagai hendak dibelah selarik
cahaya merah bara.
Selubung udara ditembusnya dalam kecepatan
yang amat dahsyat. Cahayanya yang terang berbentuk
memanjang, seperti kelebatan seekor naga api.
Sementara, bulatan di ujung depan memperlihatkan
cahaya merah yang lebih terang daripada bagian lain.
Tanpa terlihat oleh siapa pun, benda angkasa itu
terus meluncur deras dalam suatu tukikan tajam.
Dengan sinarnya yang kemerahan benda itu melintasi
beberapa daerah membuat garis memanjang. Akhir-
nya dalam sekejap benda itu lenyap, tenggelam
dalam sebuah danau besar, Danau Panca Warna!
Benda apakah itu?
Mungkin tak ada seorang pun yang bisa meng-
ungkapkannya, sehingga mengundang teka-teki.
Kini benda angkasa itu tergolek di dasar Danau
Panca Warna. Dingin air danau yang bisa membunuh
seseorang di malam hari, ternyata tak mampu
meredam cahayanya yang memerah bagai bara.
Sebagian dasar danau malah menjadi terang
benderang oleh warna merah kemilau.
Benda angkasa itu pun tergolek dengan kebisuan-
nya. Tidak seorang pun yang tahu, benda apa itu. Tapi
bisa jadi benda itu bakal membuat kegemparan di
dunia persilatan.
Hari bergulir dalam putaran waktu. Dua purnama
telah berlalu, sejak jatuhnya benda angkasa ke dalam
Danau Panca Warna. Seperti biasa penduduk di desa
sekitar danau itu melakukan kegiatan sehari-hari.
Belum ada pengaruh yang berarti bagi mereka.
Apalagi mereka tidak pernah menyadari adanya
sebuah kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam
benda angkasa itu.
Jantung Desa Ambangan tampak sibuk hari ini.
Tidak mengherankan, pusat desa dijadikan pasar,
tempat warga desa mengeruk nafkah atau membeli
kebutuhan sehari-hari.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pasar di Desa
Ambangan pun begitu ramai. Ada-ada saja suara ribut
yang terdengar. Satu sama lain saling tindih, seperti
sebuah paduan suara tak beraturan.
Matahari terus merambat hingga tepat di atas
kepala. Kini semakin siang, suasana pasar semakin
tidak nyaman. Kebisingan bukannya mereda, malah
makin memuncak. Sengatan matahari pun makin
ngotot menggigit ubun-ubun kepala. Tapi orang-orang
di pasar tidak ambil peduli sama sekali. Mereka terus
melakukan kegiatan masing-masing.
Sampai akhirnya,
“Hiii... haaa...!”
Sebuah teriakan lantang membahana tiba-tiba
menghentikan kesibukan mereka serempak.
Dengan tatapan bingung, para pengunjung
menoleh berbarengan ke asal teriakan. Kini semua
orang melihat sosok lelaki hitam bertubuh kekar, tapi
pendek. Dia mengenakan celana pendek dengan
baju. Kulitnya yang hitam, terlihat berkilatan dijilati
cahaya matahari. Begitu juga kulit wajahnya. Tak ada
yang pantas dilihat dari lelaki berumur tua itu.
Tubuhnya kumal dan rambutnya kotor bergulung.
“Siapa dia?” bisik seorang pedagang.
“Tidak tahu. Barangkali orang gila nyasar,” jawab
orang yang ditanya. “Tapi kalau diperhatikan, seperti-
nya aku pernah melihat wajahnya....”
“Iya! Aku juga begitu. Tapi siapa ya?”
Sementara, penghuni pasar mulai kasak-kusuk tak
menentu membicarakan orang yang baru saja ber-
teriak tadi, tapi ada juga yang kembali meneruskan
pekerjaannya, karena menganggap lelaki itu hanya
orang gila.
“Oooi! Apa kalian semua tidak tahu ada benda
langit maha dahsyat jatuh ke desa kita?! Benda langit
bercahaya, yang menyimpan kekuatan bintang!
Kekuatan amat dahsyat! Hua ha ha...! Kalau aku yang
memilikinya, tentu akan menjadi tokoh nomor satu
dunia persilatan. Aku akan menjadi sakti
mandraguna. Kalau aku sudah sakti, akan kukawini
sembilan puluh sembilan janda desa ini! Aminah,
Tukiyem, Samijah, Jinten, Rokayah... ng, siapa lagi, ya!
O, iya... Sulastri, Iyam, Diding..., eh! Si Diding kan
bukan janda, dia kan duda? Masa' aku mesti kawin
sama lelaki buduk itu? Hi hi hi...! Tak usah, ya...,”
oceh laki-laki berkulit hitam itu.
Di sebuah kedai, beberapa lelaki muda yang
mendengar teriakan kacau orang itu menoleh ke
arahnya. Ucapannya barusan sedikit memancing rasa
ingin tahu mereka, selaku warga dunia persilatan.
“Apa aku tak salah dengar tadi?” tanya seorang
lelaki berjubah biru tua.
Wajah orang itu tak sebagus pakaiannya. Malah
boleh dikatakan pasaran. Rambutnya digelung
dengan sisiran rapi. Sedang di punggungnya tampak
sebatang toya pendek.
“Jangan ikut-ikutan gila, Paksi! Kenapa kau harus
percaya pada omongan orang sinting itu?!” sergah
lelaki yang duduk di depan lelaki bernama Paksi tadi.
Sama seperti Paksi, laki-laki itu pun mengenakan
jubah biru tua. Wajahnya amat menawan. Kulitnya
putih dan berkumis tipis. Rambutnya dibiarkan terurai
lepas, tapi tetap tertata rapi. Dia sering dipanggil
dengan nama Rudapaksa. Sebagai kakak seper-
guruan Paksi atau bernama lengkap Rudapaksi cukup
wajar kalau berani menegurnya agak keras.
“Tapi mungkin saja dia memang pernah melihat
benda keramat yang dimaksud, Kang,” bantah Paksi,
takut-takut.
Rudapaksa kali ini tertawa ringan.
“Ya! Tapi, hanya dalam angan-angan. Sudahlah,
Paksi. Habiskan saja makananmu itu. Tugas kita
untuk menyampaikan amanat Guru mesti didahulu-
kan.”
Rudapaksi menaikkan sudut bibirnya. Dia agak
kesal juga pada sikap kakak seperguruannya. Tapi
biar begitu, ucapan Rudapaksa tetap juga dituruti.
Mereka mulai melanjutkan makan yang terpenggal
beberapa saat tadi. Tapi baru saja mulai mengunyah
beberapa kali, kembali keduanya terhenti oleh
kericuhan yang terjadi di tengah pasar. Rupanya
teriakan itu berasal dari orang gila tadi, yang kini
kedua tangannya dipegangi dua orang kekar berkulit
hitam juga.
“Lepaskan aku! Lepas! Kalau tidak, akan kukutuk
kalian menjadi kodok bunting! Ah! Kodok bunting
kurang bagus. Sebaiknya kalian kukutuk menjadi
tikus bingung. Hua ha ha... tikus bingung... ngung...
ngung!”
“Ayo, Buntar! Kau harus pulang. Jangan bikin
keributan di pasar!” bujuk lelaki yang ada di kanan
orang gila bernama Buntar itu. Nadanya seperti
rayuan seorang ibu kepada anak bungsunya yang
merajuk minta dibelikan mainan.
“Benar, Bun. Ibumu di rumah menunggu. Istri dan
anakmu juga,” timpal lelaki yang ada di kiri Buntar.
“Huh! Aku tak peduli mereka. Aku hanya ingin
memiliki benda sakti itu!” bentak Buntar. Matanya
mendelik bagai hendak meloncat dari ceruknya.
“Mana ada benda yang kau sebutkan itu! Kau
hanya dicolek setan danau!” balas lelaki di kanan
Buntar.
Buntar makin mendelik. Sepertinya, dia akan
menelan bulat-bulat kepala lelaki di kanannya itu.
“Siapa yang bilang begitu?!” hardik Buntar keras.
Sampai-sampai, air liur terciprat ke mana-mana.
“Sialan,” gerutu orang yang mendapat bagian
cipratan air liur Buntar.
“Kau, sih! Jangan bilang begitu, Somad! Bilang saja
benda itu ada di rumahnya. Pasti dia mau pulang
tanpa dipaksa,” bisik lelaki yang ada di kiri Buntar
hati-hati sekali.
“Kami sudah mendapatkan benda angkasa itu,
Bun. Sekarang ada di meja makan rumahmu,” ucap
lelaki yang dipanggil Somad tadi.
“Kok di meja makan, Mad. Memangnya kerupuk?!”
sergah lelaki teman Somad dengan wajah bersungut
sungut.
“Biar saja, Rimang. Yang penting dia mau pulang!
Kenapa kau jadi goblok, sih?” hardik Somad.
“O. Iya, Bun. Kerupuk itu, eh! Benda angkasa itu
sudah ada di meja makanmu. Wah! Bagus, lho! Kalah
perkedel gosong!” kata lelaki yang dipanggil Rimang,
kebodoh-bodohan.
“Kalian bohong! Kalian akan dustai aku! Tidak! Aku
tidak mau pulang, sebelum mendapat benda sakti
itu!” teriak Buntar kalap.
Laki-laki pendek itu melonjak-lonjak liar. Sekuat
tenaga lelaki gila itu berontak dari cekalan Rimang
dan Somad. Tingkahnya sudah seperti kuda liar yang
sulit dikendalikan. Sehingga meski sudah sepenuh
tenaga lengan laki-laki gila itu dipegangi, tetap saja
mereka terhempas juga oleh tenaga amukannya.
Buk! Buk!
Tubuh Rimang dan Somad langsung menghantam
tanah berbatu. Begitu bangkit, mereka meringis-ringis
menahan sakit tak kepalang tanggung di bagian
bokong. Sementara puluhan orang di pasar malah
menertawakan mereka. Padahal, kedua lelaki itu
bukan tontonan kuda lumping!
“Kalian tidak punya kerjaan, ya? Masa' orang gila
dilayani...,” celoteh seorang lelaki tua yang biasa
menyabung ayam di pasar.
“Ah! Apa pedulimu, Ki!” sergah Somad sambil
menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya, untuk
mengenyahkan debu. Kemudian kembali dicobanya
menggiring pulang Buntar bersama Rimang.
Sebelum mereka sempat mencekal pergelangan
tangan Buntar, tiba-tiba keganjilan terjadi. Buntar
mendadak ambruk bergelinjang liar di atas tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan tak karuan. Sesekali
tangannya mengejang keras, lalu mencakar-cakar
permukaan jalan.
Hal itu tentu saja membuat Rimang dan Somad
terbengong, layaknya sapi ompong. Bibir mereka yang
kebetulan sama-samar dower, terayun-ayun begitu
saja. Sama sekali tidak disangka kalau Buntar akan
menjadi liar seperti itu. Selama ini, mereka hanya
tahu kalau lelaki itu lebih banyak berbicara simpang
siur daripada mengamuk seperti ini.
“Nah, lo. Kenapa dia, Mat?” tanya Rimang. Somad
hanya bisa mengangkat bahu. Sementara, wajah
hitamnya diliputi keheranan luar biasa.
Belum lagi keheranan dua lelaki itu terjawab,
Buntar bangkit tiba-tiba. Matanya jalang, mengawasi
sekeliling pasar. Wajahnya yang semula lugu, kini
berubah bengis. Otot-otot wajahnya menegang
sedemikian rupa, dengan sepasang alis terpaut ketat.
Sesaat kemudian, mulut orang gila itu menggeram.
Suara yang dihasilkan tenggorokannya terdengar
bagai auman serigala. Bahkan tangan Buntar
mengejang dengan jari-jari langsung membentuk
cakar. Perlahan-lahan tubuhnya membungkuk,
seakan siap menerkam.
“Aaargkh...!”
Berbareng satu erangan mengerikan, tubuh Buntar
menerjang kedua kawannya penuh kebengisan.
“Wuaaa!”
Sambil menjerit sejadi-jadinya, Somad menubruk
tubuh kawannya yang berdiri termangu-mangu di
sisinya. Ketakutan yang teramat sangat membuatnya
mampu bergerak tanpa sadar. Dan hasilnya, mereka
memang bisa lolos dari terkaman ganas Buntar,
meski harus berguling-gulingan di tanah berdebu.
Sementara, Buntar sendiri langsung menabrak
tiang kayu penyangga kedai yang berdiri tak jauh dari
situ. Tiang kayu jati itu langsung dijadikan sasaran
kebuasan Buntar. Tangannya mencabik-cabik kayu
sebesar paha manusia, seperti mencabik-cabik
batang pohon pisang.
Dua lelaki yang mencoba membawa Buntar jadi
menelan ludah menyaksikan kejadian itu. Di samping
ngeri saat membayangkan bila jadi sasaran amukan
Buntar, mereka juga terperangah bingung. Selama ini,
Buntar dikenal sebagai laki-laki yang tidak pernah
memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Apalagi
sampai mampu mengoyak-ngoyak kayu jati seperti
itu. Tapi kini yang disaksikan ternyata bertolak
belakang dari kenyataan yang diketahui selama ini.
Dari mana kekuatan Buntar ini? Mereka tak bisa
menjawab pertanyaan yang menggayut di benak.
Bagaimana mungkin kekuatan Buntar bisa bagai
sepuluh ekor singa jantan, sementara tak pernah
terlihat berguru pada guru mana pun?
Sesaat berikutnya, mata Buntar beralih kembali
pada Rimang dan Somad. Bahkan kali ini berkilat-kilat
lebih menggidikkan. Dua lelaki hitam itu tercekat.
Jantung mereka seperti hendak pensiun saat itu juga.
***
DUA
Somad dan Rimang, menjerit bersahut-sahutan
seperti dua orang yang menyaksikan setan di siang
bolong, saat Buntar menerkam. Tentu saja mereka
tak pernah berharap menjadi sasaran cabikan jari-jari
laki-laki gila itu.
“Wuaaa! Kita akhirnya mondar juga. Mad!” teriak
Rimang kalang kabut.
“Buntar! Ampun, Tar! Biar Rimang saja yang kau
cakar-cakar!” jerit Somad, tak kalah bingung.
Buntar tak mempedulikan teriakan-teriakan
mereka. Tubuhnya melaju deras, laksana kuda binal
menuju Somad dan Rimang. Kali ini tampaknya calon
korbannya tak berniat dibiarkan lolos begitu saja. Itu
terlihat dari sinar merah matanya yang menancap,
tepat pada kedua calon korbannya.
Sesaat lagi Somad dan Rimang menjadi korban
terkaman Buntar, saat yang bersamaan meluruk
serangkum angin pukulan jarak jauh. Angin itu terus
mendesir cepat, ke arah lelaki gila yang sudah sebuas
singa lapar. Dan.... Buk!
“Aaargkh!”
Berbareng satu erangan mendirikan bulu roma,
tubuh Buntar terpental lima tombak ke samping.
Diiringi bunyi keras berdebam, Buntar jatuh ke tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan beberapa saat, ber-
gerak deras. Kemudian tubuhnya menghantam kaki
meja dagangan seorang penjual batik. Brak!
Para penghuni pasar yang menyaksikan seluruh
kejadian langsung berteriak kalang kabut. Apalagi
pedagang batik yang merasa dagangannya jadi kacau
balau tak karuan. Demikian pula wanita-wanita yang
kebetulan sedang berbelanja di pasar itu.
“Kalem..., kalem!” seru seorang pemuda tampan
dari satu sudut pasar. “Kalau kalian berteriak-teriak
seperti itu, pasar ini akan mirip tempat penampungan
orang-orang sinting.”
Pemuda tampan itu berpakaian hijau muda.
Perawakannya tegap dan gagah. Rambutnya yang
panjang sebatas bahu, tertata rapi. Sementara di
bahu kekarnya tersampir sehelai kain bercorak papan
catur.
Dengan langkah santai serta alis legam yang
terungkit tinggi-tinggi, pemuda tampan itu mendekati
Somad dan Rimang. Mereka masih berpelukan satu
sama lain. Sementara, Rimang pucat pasi seperti
mayat. Kakinya tertekuk lemas dan bergetar hebat.
Sedang Somad malah lebih parah lagi. Celana
kumalnya malah sudah dibanjiri cairan basah berbau
pesing.
“Kenapa dia?” tanya pemuda yang baru datang itu.
“Tit..., tidak tahu. Sejak dia terakhir mengambil
pasir di dasar Danau Panca Warna, tahu-tahu jadi
begini,” jawab Somad tersendat, seraya memiringkan
jari telunjuk di dahinya.
“Kalian pencari pasir di danau itu?” tanya pemuda
itu lebih lanjut.
“Benar,” jawab Rimang ikut bicara. “Kami mencari
makan dari hasil menjual pasir. Tapi sejak Buntar
seperti itu, keluarganya tidak ada yang kasih makan
lagi. Kasihan, ya Den? Sekarang, kesintingannya
makin gawat. Bagaimana, Den.... Apa bisa menolong
kami?”
Pemuda berpakaian hijau muda termangu di
tempat. Matanya memperhatikan Buntar yang masih
bergelinjangan di tanah lekat-lekat. Sinar ke-
prihatinan tampak di matanya melihat nasib lelaki gila
itu.
Sementara itu, Buntar mulai berusaha bangkit,
walaupun terhuyung-huyung. Pukulan jarak jauh yang
beberapa lama melumpuhkan kekuatannya, kini
mulai dapat dikuasai. Matanya tetap berkilat jalang,
siap menerkam orang yang telah menyerangnya.
“Tuh.... Tuh, Den! Si Buntar bangun lagi, tuh!” seru
Rimang kelimpungan. Matanya yang sudah besar kian
membesar seperti jengkol matang.
“Kalian lebih baik menyingkir dulu ke tepi jalan,”
ucap si Pemuda tampan datar. “Biar kucoba
mengurus kawanmu....”
Tanpa menyahut lagi, Somad dan Rimang
langsung lari tunggang langgang ke tepi jalan. Tentu
saja, mereka tidak akan sudi isi perut mereka
dikorek-korek jari Buntar.
Diamati puluhan pasang mata. Pemuda yang
ternyata Andika dan amat tersohor dengan julukan
Pendekar Slebor, tegak mematung di jalanan pasar.
Sebelas tombak di depannya, Buntar telah siap
menerjang. Sasarannya kali ini adalah Andika. Untuk
beberapa saat, keduanya hanya bertatapan. Mata
merah Buntar menghujam tajam, ke manik-manik
mata laki-laki berjuluk Pendekar Slebor yang mem-
balasnya dengan tatapan iba.
“Aaargkh!”
Buntar kini melesat menerkam Pendekar Slebor.
Kebuasan serangannya terlihat jelas pada jari-
jemarinya yang meregang membentuk cakar.
Wusss!
Dengan tenaga meledak-ledak, cakaran Buntar
mencoba merobek wajah Pendekar Slebor. Namun
hanya sedikit Andika melengos ke samping,
sambaran tangan itu pun luput begitu saja di
sampingnya.
Mendapati kegagalan pada serangan pertama,
tentu saja Buntar jadi kalap. Dua tangannya segera
bergerak sekaligus, untuk mencabik-cabik wajah
Pendekar Slebor bagai gerakan seekor kera yang
hendak menyambar buah.
Sekali lagi Andika dapat meredam serangan,
dengan memiringkan sedikit kepalanya ke belakang.
Sementara, tubuhnya tetap pada tempat semula.
Sementara, orang-orang di pasar berseru kagum
melihat gerakan Andika yang berkesan gesit dan
berani. Namun, lain halnya Somad dan Rimang
mereka malah seperti orang latah. Karena terlalu
ngerinya melihat serangan buas Buntar, keduanya
jadi mengikuti gerakan Pendekar Slebor tanpa sadar.
Mereka ikut memiringkan kepala berbarengan,
kemudian bergerak ke arah yang saling bertemu.
Dan....
“Adow!” seru keduanya, seakan yang sedang
diserang.
Berbarengan dengan itu, wajah mereka tampak
meringis-ringis tak karuan. Ternyata kepala mereka
saling berbenturan.
Di arena pertarungan, Buntar makin binal men-
cecar Pendekar Slebor. Bukan hanya tangannya yang
mencoba merencah tubuh Andika. Kini, kedua kaki-
nya pun turut ambil bagian.
Deb! Deb!
Dua kali tendangan ganas yang terlihat liar,
memapas ke arah dada Pendekar Slebor. Gerakannya
seperti seseorang yang hendak melempar tubuh
Andika dengan hentakan telapak kakinya.
Sampai saat ini, Pendekar Slebor sendiri hanya
berkelit untuk menghadapi setiap serangan. Dia
memang masih menimbang berkali-kali untuk me-
lancarkan serangan balasan. Apalagi lawan yang di-
hadapinya kali ini bukan tokoh jahat yang haus darah.
Melainkan, hanya seorang pencari pasir malang yang
sedang dipengaruhi satu kekuatan ganjil. Meski
sampai saat itu Andika belum tahu, kekuatan apa
yang mempengaruhi, namun bisa diyakini kalau
kekuatan itu memiliki daya cengkeram luar biasa
pada diri seseorang. Bahkan mampu membuat orang
yang dirasukinya menjadi sebuas singa lapar dan
sekuat seekor gajah jantan!
Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Pendekar
Slebor menotok Buntar agar tenaganya lumpuh.
Untuk melumpuhkannya, Andika harus menotok
jaring saraf di bagian punggung. Tapi sampai sejauh
itu, memang belum ada kesempatan. Buntar selalu
saja bisa menutup kesempatan gerak Andika dengan
kibasan tangan yang liar. Itu sebabnya, Andika belum
dapat menotoknya.
Sampai suatu saat, Buntar melakukan terkaman
bernafsu ke arah Pendekar Slebor. Maka, mata jeli
Andika dapat melihat kalau saat itu adalah
kesempatan baik untuk melakukan totokan. Selincah
macan kumbang, tubuhnya cepat melenting ke depan
dengan arah yang berlawanan dengan gerak Buntar.
Sehingga, tubuh masing-masing seperti dua batang
tombak yang dilempar dari arah berbeda. Andika
meluncur di atas, sedang Buntar meluncur di bawah.
“Hup!”
Tiba-tiba Pendekar Slebor berputaran di tanah
berdebu, bagai sebuah bola bergulir. Sebelum guliran
tubuhnya terhenti, sepasang kakinya menghentak ke
tanah. Bersama kepulan debu yang menyebar di
udara, Pendekar Slebor kembali melenting ringan
dengan satu gerakan menawan, sehingga membuat
semua mata yang menyaksikan menjadi terbengong-
bengong kagum. Tubuhnya lantas berputaran di
udara bagaikan seutas cemeti yang dilempar, lalu
meluruk membawa satu serangan menakjubkan.
“Hup!”
Tanpa memberi kesempatan pada laki-laki gila itu
untuk berbalik, Andika telah tiba tepat di belakang-
nya. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti mata awam,
tangannya mengirim satu totokan ke bagian bawah
tengkuk Buntar.
Tuk!
Bruk!
Tanpa dapat melontarkan suara sedikit pun,
Buntar menggeloso di jalanan pasar. Seluruh
kerangka tubuhnya seakan dilolosi tanpa sisa. Dan
ketika tubuhnya menghantam tanah, terciptalah
kepulan debu tebal yang merambah di sekitarnya.
“Fhuih....”
Andika membuang napas lega. Rasanya dia seperti
baru saja melepas beban amat berat yang meng-
gelayuti pundaknya. Bertempur dengan orang tak
berdosa seperti Buntar, baginya lebih berat
ketimbang harus bertempur melawan tokoh sesat
golongan atas. Bukan karena tingkat kepandaian
atau kebuasan yang telah diperlihatkan Buntar.
Melainkan, karena beban batin yang amat berat jika
menurunkan tangan kejam pada orang yang sebenar-
nya tidak tahu apa-apa.
Somad dan Rimang lantas bertepuk tangan
menyaksikan keberhasilan Andika melumpuhkan
Buntar. Wajah mereka langsung cerah ceria, tak beda
wajah kuli pelabuhan yang baru mendapat upah. Bibir
mereka bahkan sampai bergerak maju mundur
saking senangnya.
“Hebat, Den!” seru Rimang.
Andika yang merasa mendapat sanjungan lugu,
jadi tersenyum-senyum dalam hati.
“Yah, sudahlah.... Kisanak berdua lebih baik mem-
bawa teman Kisanak pulang,” ujar Andika seraya
menggandeng bahu kedua lelaki itu.
Rimang dan Somad mengangguk-angguk ber-
barengan. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-
kali sambil menawarkan Andika singgah ke rumah
mereka, Somad dan Rimang akhirnya membawa
Buntar pulang.
***
Desa Ambangan terletak tak jauh dari Bandar
Sunda Kelapa, salah satu bandar yang cukup ramai di
Pulau Jawa Dwipa. Banyak pedagang dari Malaka
yang singgah ke sana untuk melanjutkan pelayaran
ke Maluku. Ada pula para saudagar dari Tiongkok,
Arab, Gujarat, Persi, dan saudagar dari negeri lain.
Sehari setelah kejadian di pasar Desa Ambangan,
Andika semula berniat mengunjungi beberapa negeri
di kawasan nusantara dengan menumpang kapal
dagang para saudagar. Namun sejak berurusan
dengan lelaki gila kemarin, niatnya akhirnya diurung-
kan. Meski demikian, Andika tetap menyinggahi
Bandar Sunda Kelapa. Sekadar untuk melihat-lihat
keadaan.
Saat ini kapal dagang dari Maluku merapat di
dermaga. Para kuli kapal tampak sibuk menurunkan
rempah-rempahan dari lambung kapal. Semangat
kerja mereka menciptakan keriuhan yang sampai di
telinga Andika. Padahal, dia berdiri dalam jarak yang
cukup jauh.
Sementara di tepi dermaga, seorang syahbandar
sedang berbincang dengan Saudagar Ternate pemilik
kapal. Dari cara berbicara, tampaknya mereka
sedang membahas sesuatu yang penting, berkaitan
dengan denyut perdagangan di bandar ini.
Ketika pandangan Andika beredar ke arah lain,
matanya melihat lelaki berperawakan kekar dan ber-
pakaian pendekar turun dari geladak kapal. Pakaian-
nya memperlihatkan ciri khas kstaria Tiongkok.
Bajunya yang memanjang ke lutut, memiliki belahan
pada sisi-sisinya. Kalau bajunya berwarna merah
darah, maka celananya yang memanjang berwarna
hitam hingga tertutup lilitan tali sepatunya. Di tepi
lengan bajunya, terdapat rajutan dari benang ber-
sepuh emas. Ini menandakan kalau lelaki itu bukan
rakyat jelata. Malah bisa jadi seorang terhormat di
negerinya.
Sebagaimana orang Tiongkok, kulitnya begitu
kuning. Apalagi ketika wajahnya disengat sinar
mentari. Matanya yang segaris terlihat makin menyipit
kala mentari di ubun-ubun Bandar Sunda Kelapa
mengusik dengan sengatannya yang terik.
Kaki orang Tiongkok itu menuruni jembatan
menuju tepi dermaga dengan langkah mantap.
Dengan mantap pula kakinya melangkah menjauhi
dermaga ke arah Andika berdiri. Ketika makin dekat
ke arah Pendekar Slebor, bisa ditangkap ketampanan
wajah lelaki Tiongkok itu. Dengan ikatan rambut di
atas kepala, dia terlihat lebih muda dari pada usianya
yang berkisar antara tiga puluh, hingga tiga puluh
lima tahun.
Sekitar tiga puluh tombak dari tempat Andika, dua
lelaki lain datang menyambutnya. Kalau melihat ciri-
cirinya, mereka adalah Rudapaksi dan Rudapaksa,
dua pendekar muda yang terlihat di sebuah kedai di
pasar Desa Ambangan.
“Selamat datang di Sunda Kelapa, Saudagar Chin
Liong!” sambung Rudapaksa, lelaki yang tertua.
Sikapnya penuh keramahan serta kehangatan.
Sambil tetap tersenyum, tangan kanannya diulurkan.
Berbeda dengan sikap Rudapaksa, lelaki Tiongkok
bernama Chin Liong tak memperlihatkan kehangatan.
Dia memang menjabat uluran tangan Rudapaksa.
Namun, wajahnya sedikit pun tak menampakkan
seulas senyum.
“Ah, ya. Ini adik seperguruanku. Namanya,
Rudapaksi,” lanjut Rudapaksa, tak mau memper-
besar hal sepele dari sikap Chin Liong.
Rudapaksi ikut menjulurkan tangan kanan. Lalu
disambut Chin Liong dengan wajah tetap dingin.
“Kenapa saudara Chin Liong begitu terlambat dari
rencana semula?” tanya Rudapaksa selanjutnya.
“Mmm, aku terpaksa melalui jalur Maluku, karena
musuh kerajaan kami tentu sudah mempersiapkan
penyerangan di sekitar Selat Malaka yang biasa kami
lalui... jadi meski agak jauh, aku harus menempuh
Laut Tiongkok Selatan,” tutur Chin Liong dengan
bahasa Melayu terpatah-patah.
“Musuh kerajaan?” tanya Rudapaksi agak heran.
“Apa mereka menginginkan benda itu juga?”
Sesaat Chin Liong menatap Rudapaksi lekat-lekat.
“Ya. Mereka bahkan bersedia memenggal kepala
rakyat tak berdosa, untuk mendapatkan benda ini.”
Rudapaksa dan Rudapaksi menautkan alis berbareng. Rupanya, mereka mendapat tugas yang tidak
main-main dari guru mereka!
***
Sementara itu, ada hal-hal yang mengundang teka-
teki di daerah Pesisir Utara Pulau Jawa Dwipa ini, bagi
Andika. Pertama kali menjejakkan kaki, Pendekar
Slebor sudah dihadang pada kejadian aneh. Tentang
orang yang tiba-tiba menjadi hilang ingatan, lalu
memiliki kekuatan raksasa dan bertingkah buas.
Sehari berikutnya, Andika dibuat penasaran oleh
pertemuan tiga lelaki di Bandar Sunda Kelapa yang
hati-hati memperbincangkan tentang sesuatu.
Bahkan tampaknya akan mengakibatkan per-
tumpahan darah!
“Aku harus menyelidiki semua itu agar semuanya
menjadi jelas,” bisik Andika perlahan.
Untuk itu Pendekar Slebor harus pergi ke Danau
Panca Warna, sebagaimana disebutkan kawan
Buntar.
Matahari mulai tersuruk di barat cakrawala. Andika
pun mengayunkan kakinya, meninggalkan Bandar
Sunda Kelapa yang tetap berdenyut dengan
kesibukannya, kembali ke Desa Ambangan.
***
TIGA
Di Desa Ambangan, Andika langsung menanyakan
letak Danau Panca Warna pada seorang penduduk
yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan.
Setelah mengetahui letak danau itu, Andika me-
lanjutkan langkahnya. Namun baru saja kakinya
terayun dua tindak, pemuda desa yang ditanyainya
tadi menahannya.
“Tunggu, Kang!” panggil pemuda itu. Andika
menoleh.
“Ada apa, Kisanak?” tanya Pendekar Slebor seraya
berbalik, dengan penasaran.
“Sebaiknya Kakang jangan ke tempat itu,” lanjut
pemuda tadi. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh,
saat mengucapkan kalimat terakhir.
“Kenapa, Kisanak?” tanya Andika lagi. Wajahnya
makin dipulas warna penasaran.
“Apa kau tidak tahu danau itu kini sudah dihuni
mambang jahat?” pemuda itu malah balik bertanya.
Mendengar penjelasan pemuda itu, Andika jadi
melepas tawa ringan. Memang, masyarakat Jawa
Dwipa seringkali menghubung-hubungkan satu
kejadian dengan hal-hal berbau takhayul. Bisa jadi,
mungkin karena pengaruh kepercayaan nenek
moyang.
“Mambang jahatnya pakai brewok, ya,” seloroh
Andika tanpa maksud mengejek.
Maksudnya, Andika sekadar berkelakar. Tapi
kepercayaan seseorang, rupanya terlalu peka untuk
dijadikan sedikit gurauan. Buktinya, pemuda itu
langsung memperlihatkan wajah tak senang pada
Pendekar Slebor. Andika akhirnya hanya bisa meng-
angkat bahu tinggi-tinggi.
“Kenapa Kisanak bisa berkata seperti itu?”
“Sampai hari ini, sudah lima orang penggali pasir
yang tiba-tiba gila setelah menyelam ke dasar
danau...,” jelas pemuda itu.
“Lima orang?” penggal Andika tanpa sadar. Tentu
saja Pendekar Slebor menjadi terkejut, sebab yang
diketahui hanya Buntar.
“Ya! Kemarin sore empat penggali pasir menjadi
hilang ingatan secara bersamaan. Mereka mengoceh-
kan sesuatu yang mereka lihat di dasar danau. Entah,
benda apa. Apa kau belum mendengar berita itu?”
tanya pemuda itu. Kata-kata yang terlontar dari mulut-
nya terdengar tertahan-tahan. Ada kesan ketakutan
dalam dirinya.
Andika hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Sementara itu, tangannya mengusap-usap dagu
perlahan. Tampaknya, berita yang keluar dari mulut
Buntar sinting tak bisa dianggap main-main lagi!
“Jadi, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk pergi
ke Danau Panca Warna. Para penggali pasir saja tak
sudi lagi menjadikan tempat itu sebagai mata pen-
caharian sejak hari ini,” lanjut pemuda itu, mem-
peringati.
Andika mengangguk-angguk. Bisa dimaklumi per-
hatian penduduk desa seperti pemuda di hadapan-
nya. Sifat tolong menolong penduduk desa memang
masih berakar kuat.
“Terima kasih atas nasihatnya, Kisanak,” ucap
Andika tulus.
Pemuda itu hanya membalas ucapan terima kasih
Andika dengan senyum ramah dan tulus pula.
“Kalau begitu, aku mohon pamit,” tutur pemuda itu
sopan seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Silakan,” sahut Andika, juga mengangkat tangan.
Pemuda desa itu melangkah, meninggalkan Andika
yang masih terpaku di tengah jalan setapak. Ketika
dia sudah berjalan sepuluh tombak, Andika segera
menggenjot ilmu meringankan tubuhnya untuk segera
tiba di Danau Panca Warna. Itu sebabnya, ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada
tingkat yang paling tinggi.
Dalam sekerdipan mata, tubuh Andika sudah
lenyap dari tempat berdiri semula. Bumi seakan
menelannya begitu saja. Sementara pada saat yang
bersamaan, pemuda desa tadi menoleh ke arah
tempat Andika berdiri. Dia ingin memastikan apakah
Andika melangkah menuju Danau Panca Warna.
Melihat tubuh Andika tiba-tiba hilang tanpa bekas
di depannya, biji mata pemuda desa itu langsung
terbelalak tak tanggung-tanggung. Sepasang bola
matanya seakan hendak melompat keluar. Beberapa
saat dia tampak tergagap-gagap. Seluruh wajahnya
saat itu pula seperti kehilangan darah. Tak lama
kemudian, dia lari tunggang langgang dengan wajah
seputih mayat.
“Tolooong! Ada mambang danau!” jerit pemuda itu
terseok-seok.
***
Cakrawala telah diselimuti lembayung, ketika
Andika tiba di Danau Panca Warna. Hari menjelang
senja. Matahari tampak memudar berwarna jingga di
atas permukaan danau. Kemilau bayangannya
tampak menari-nari bersama riak halus air danau.
Jika diperhatikan sepintas, danau itu berkesan
damai. Panorama sore yang melingkupinya, mampu
menyejukkan hati setiap insan yang menikmatinya.
Tidak hanya itu. Kulit pun seperti dimanja dengan
hembusan angin sepoi-sepoi basah yang sesekali
berlari di permukaan danau.
Namun di balik kedamaian itu, sebenarnya ter-
sembunyi sebuah kekuatan dari luar bumi pembawa
bencana pertumpahan darah. Dan Andika bisa
merasakannya, meski belum bisa menduga lebih jauh
akan akibat yang bakal menimpa dunia persilatan
oleh kehadiran benda asing di dasar danau ini.
Pada dasarnya, Pendekar Slebor sudah cukup
yakin oleh berita yang disampaikan Buntar melalui
setiap ocehannya. Tak mungkin orang awam seperti
Buntar mendadak memiliki kekuatan raksasa kalau
tak ada sesuatu yang mempengaruhinya. Namun
begitu, Andika tetap merasa penasaran untuk melihat
sendiri benda yang dimaksud Buntar dengan mata
kepala sendiri.
Maka tanpa berpikir untuk kedua kali, pendekar
muda itu langsung melempar diri ke dalam danau.
Rasa penasarannya yang makin membludak, mem-
buatnya tak sempat berpikir untuk membuka
pakaian.
Byur!
Air dingin Danau Panca Warna menusuk seluruh
permukaan kulit Andika. Sesaat bisa dinikmati
kesegaran alami, mengenyahkan kepenatan yang
sejak siang tadi menggelayuti tubuhnya. Setelah
mengisi penuh paru-parunya dengan udara di per-
mukaan danau, Andika langsung menyelam.
Cahaya senja ternyata masih cukup mampu
menembus ke dalam danau. Bahkan masih bisa
menerangi dasarnya, biarpun kilaunya sudah redup.
Perlahan-lahan Pendekar Slebor menyelam menuju
dasar danau sedalam sekitar sepuluh tombak. Makin
menembus ke dalam, air makin terasa dingin
menggigit. Dan tekanan pun makin memberat di
sekitar dadanya.
Saat matanya sudah dapat menangkap per-
mukaan dasar danau, Pendekar Slebor mulai
menelusuri dari satu bagian ke bagian lainnya. Indra
penglihatannya saat ini benar-benar dipertajam, agar
mampu menangkap keganjilan keganjilan yang ada.
Namun sampai sejauh itu tak juga ditemukan benda
yang dimaksud. Yang terlihat hanya hamparan pasir
danau, batu-batu alam, tumbuhan danau, dan ikan-
ikan yang riang bebas di dalamnya.
Sementara itu, dada Pendekar Slebor mulai terasa
sesak. Sudah beberapa kali napasnya dihembuskan
sedikit demi sedikit. Kini, persediaan udara dalam
paru-paru benar-benar telah menipis. Andika harus
kembali ke permukaan dulu untuk mengambil napas
kembali, lalu menyelam lagi.
Dan baru saja Andika hendak membuang sisa
udara pernapasannya, tiba-tiba saja matanya
menangkap sesuatu yang amat menarik. Suatu
kilauan cahaya merah bara!
Andika memekik girang dalam hati. Pasti, benda ini
yang dimaksud Buntar tempo hari! Maka tanpa
mempedulikan sesak di dadanya, mulai didekatinya
benda bercahaya yang berjarak sekitar tujuh tombak
dari tempatnya.
Andika makin dekat. Dan matanya pun terus
menyipit, karena terpaan cahaya menyilaukan dari
benda asing itu. Anehnya cahaya merah bara
menyilaukan itu terasa seperti mengirimkan getaran
ke dalam diri Andika. Suatu getaran yang makin
menarik dirinya, untuk terus mendekati.
Menyadari hal itu, dada Andika mulai berdegup-
degup kencang. Dan ini tentu saja menyebabkan
persediaan udara dalam paru-parunya menjadi cepat
terkuras. Apalagi, dia hanya mengandalkan sisa
udara saja. Semua itu benar-benar di luar per-
hitungan. Biarpun telah memiliki pengalaman matang
dalam dunia persilatan, namun dalam menghadapi
keganjilan benda itu Andika tak mau ambil resiko.
Segera Andika memutuskan kembali ke per-
mukaan, untuk menghirup udara segar. Setelah itu,
dia akan kembali lagi. Tapi, maksud itu hanya sempat
terpercik di benaknya. Sebab satu tarikan tiba-tiba
saja membetot tubuhnya! Kekuatannya lebih kuat
daripada cengkeraman tangan-tangan sepuluh gurita
raksasa!
Andika tergagap. Dalam keterkejutannya, air
danau jadi tertelan. Tentu saja hal itu membuatnya
makin blingsatan.
Andika sedikit menenangkan hatinya, tapi itu pun
tak menolong. Bahkan ketika dicoba untuk mengerah-
kan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan, hasilnya tetap nihil.
“Gila!” maki pemuda itu dalam hati.
Bagaimana dia tidak memaki, kalau kekuatan
tarikan tadi seperti menelan kekuatan sakti miliknya?
Sebagai pendekar keras kepala, Andika tidak mau
menyerah begitu saja. Sekali lagi, tenaga sakti
miliknya dikerahkan. Bahkan sampai sehabis-
habisnya.
Glrrrblb... blp!
Sekejap, tercipta suatu pusaran besar yang
diramaikan oleh beribu-ribu gelembung udara. Itu pun
masih ditingkahi kerjapan sinar menyilaukan akibat
benturan tenaga sakti Andika dengan tenaga tarikan
benda aneh itu.
Setelah itu, semuanya bagai tersapu begitu saja.
Sinar menyilaukan yang tadi tercipta, pusaran air, dan
ribuan gelembung, lenyap tanpa bekas. Hanya sisa-
sisa pasir yang bertebaran tak beraturan di sekitar
tempat itu. Sementara Andika kembali dikekang
tenaga tarikan yang tak bisa dipahaminya.
Andika kian gelagapan. Dan ini amat mem-
bahayakan bagi dirinya. Maka tanpa dapat ditahan
lagi, pernapasannya menarik air danau dalam satu
sedotan tak disengaja. Air pun merambah ke saluran
pernapasan pendekar muda ini, sehingga membuat
dadanya bagai dicabik-cabik sekawanan serigala.
Sesaat kemudian kepalanya berdenyut amat keras,
menyusul rasa sakit seakan dihimpit dua gunung
raksasa.
Tubuh Andika kejang. Kesadarannya perlahan
mengabur. Begitu pula pandangannya. Sampai
akhirnya, dia tak ingat apa-apa lagi. Pingsan!
***
EMPAT
Seseorang tampak berdiri mematung dalam
kegelapan malam di tepian Danau Panca Warna. Cara
berdirinya seperti menantang rembulan yang bagai
mengambang sepenggalan di atas permukaan air
Danau Panca Warna. Pakaiannya berwarna biru tua
ketat. Rambutnya pendek dengan ikat kepala yang
sewarna pakaiannya. Di pinggangnya terselip dua
toya pendek sepanjang lengan.
Entah, apa yang sedang diperbuat orang itu di tepi
danau yang kini dijauhi penduduk. Yang pasti,
matanya jatuh lurus pada bayangan lembut rembulan
di permukaan air. Sesaat kemudian terdengar
keluhan dari mulutnya. Setelah itu, ditariknya napas
dalam-dalam, dan dihempaskannya keras. Seakan,
dirinya sedang dirasuki kejengkelan.
Rupanya orang itu telah puas memandang per-
mukaan danau. Setelah sekian lama hanya berdiam
tanpa bergerak, kini tubuhnya dipalingkan untuk
segera berlalu dari tempat sunyi ini. Tapi niat untuk
pergi mendadak diurungkan, manakala matanya
menangkap sesuatu terapung lamban di tengah
danau.
Orang itu menyipitkan matanya, berusaha mem-
perjelas pandangan. Bisa jadi, dia telah salah lihat.
Namun semakin ditatapnya lebih jelas, malah hatinya
semakin yakin kalau pandangannya tidak keliru.
Yang dilihatnya adalah tubuh seseorang berbaju
hijau muda.
“Ya, Tuhan...,” desis orang itu meninggi, disergap
keterkejutan. “Aku harus segera menolongnya.
Mudah-mudahan masih bernapas!”
Orang itu lantas berlari menuju sebuah sampan
kecil yang tertambat tak jauh dari tempatnya. Dengan
sigap, dia melompat ke lambung sampan. Gerakan-
nya terlihat amat ringan. Sehingga sampan itu tidak
terbalik meski kakinya menjejak di sisinya. Diambil-
nya pengayuh yang tergeletak di lambung sampan.
Lalu dikayuhnya sampan itu penuh ketergesa-gesaan.
Tanpa banyak memakan waktu, orang itu telah
sampai di dekat tubuh yang terapung tadi. Segera
diangkatnya tubuh itu ke atas sampan. Setelah
berada di pangkuan, diperiksanya denyut nadi lelaki
malang yang ternyata Andika.
“Ahhh,” desah orang itu lega. “Untunglah masih
bernyawa. Rupanya, kau memiliki nasib cukup baik,
Kisanak. Kalau saja terapung dalam keadaan ter-
telungkup, tentu nyawamu sudah ditunggu para
penghuni kubur.”
***
Pagi telah menjelang, beriring kicau burung di
pucuk-pucuk pepohonan. Kabut tipis tampak me-
rambat lamban, diiringi alunan kokok ayam jantan di
kejauhan. Sementara terabasan sinar tipis di sela-
sela dedaunan bagai menghiasi garis-garis ke-
hidupan.
Setelah semalaman tak sadarkan diri, kini Andika
siuman. Kelopak matanya terbuka perlahan, lalu
mengerjap-ngerjap sesaat.
“Di mana aku?” desah Pendekar Slebor, masih
dalam keadaan telentang.
Perlahan pemuda itu bangkit, lalu duduk lemah di
bibir balai-balai bambu tempatnya terbaring. Sambil
menarik napas berkali-kali, pandangannya beredar ke
sekeliling ruangan.
Ternyata, Andika berada dalam sebuah gubuk kecil
yang terbilang kotor. Di sana sini terlihat sarang laba-
laba serta debu tebal. Di lantai tanah, tampak bekas
api unggun yang masih mengepulkan asap tipis.
Sementara, jendela yang hanya satu-satunya di gubuk
bilik itu sedikit terkuak, membiarkan cahaya matahari
menerobos masuk.
“Ke mana tuan rumah yang jorok ini!” gerutu
Andika.
Andika segera bangkit, dan melangkah menuju
pintu gubuk yang sudah berlubang-lubang dimakan
rayap. Matanya lantas mengerut, tatkala sinar
matahari menimpa wajahnya yang agak pucat.
Dengan tangan kanan, dia berusaha menghalangi
cahaya matahari yang langsung menimpa matanya.
Setelah dapat menguasai silau, matanya mulai
mencari-cari. Tentu saja hendak mencari pemilik
gubuk yang seperti kandang setan itu.
“Oi, Kisanak!” seru Pendekar Slebor tatkala
matanya telah menemukan seseorang berbaju biru
tua sedang memancing.
Dengan agak tertatih, gubuk di tepi danau tadi
ditinggalkannya untuk menghampiri orang berbaju
biru yang membelakanginya.
“Kisanak,” tegur Andika sekali lagi, karena orang
itu sama sekali tidak menoleh waktu diteriakinya tadi.
Tangannya dijulurkan ke bahu orang berambut
pendek itu, lalu disentuhnya.
Orang yang ditegur akhirnya menoleh juga. Dan
betapa terperanjatnya Andika, ketika melihat wajah
orang berambut pendek yang ternyata seorang
wanita.
Sedikit gelagapan, Andika segera menarik
tangannya dari bahu wanita itu.
“Ma.... maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud kurang
ajar. Kukira kau...,” ucap Andika terbata.
“Lelaki?” terabas wanita itu, seperti tidak mem-
pedulikan ucapan Andika. “Atau memang kau
berpura-pura tidak tahu, agar dapat menyentuh
tubuhku?”
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Apalagi yang meski dikatakan kalau menghadapi
wanita kenes macam ini.
“Kenapa aku berada di gubukmu?” tanya Andika
lagi.
“Itu bukan milikku, tapi hanya gubuk terbengkalai
di tepi danau ini. Tapi yang penting bisa dimanfaatkan
untuk bermalam,” sahut wanita tadi, acuh. Kemudian
dia terlihat asyik kembali dengan kailnya.
“Jadi, kenapa aku berada di gubuk itu?” ulang
Andika, sedikit memperbaiki kalimatnya.
“Kau sendiri kenapa berada di danau ini?” wanita
itu balik bertanya, tanpa berpaling.
“Aku?” Andika tergugu.
Entah kenapa, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa
lagi. Tentang kejadian yang kemarin sore dialaminya
pun tidak ada di benaknya. Itu sebabnya, dia tak
mengerti maksud ucapan wanita di depannya.
“Kenapa aku ada di danau ini?” tanya Andika
kebodoh-bodohan.
Ucapan Andika barusan tentu saja memancing
kejengkelan wanita berambut pendek ini.
“Kau orang dungu atau pemuda pikun?” ledek
wanita itu memalingkan tubuhnya ke arah Andika.
“Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa.
Apa kau sudi menjelaskan padaku?” pinta Andika.
Wajahnya tampak sulit dijelaskan, dengan alis
terangkat kecil.
Wanita itu menatap Andika lekat-lekat. Kelopak
matanya yang berhias bulu mata lentik berwarna
legam, tampak mengerut. Begitu juga kening di
wajahnya. Setelah menemukan kesungguhan di
wajah Andika, wanita itu tersenyum tipis.
“Aku menemukanmu terapung di danau ini tadi
malam.”
“Aku? Terapung? Kenapa begitu?” tanya Andika
beruntun.
Pendekar muda itu benar-benar diombang-ambing
kebingungan. Tak ada sedikit pun ingatan yang
tertinggal di kepalanya.
“Mana aku tahu!” sahut wanita itu cepat. Kembali
dia jengkel. Lalu, tubuhnya berbalik lagi. Kailnya kali
ini rupanya mendapat mangsa.
“Hih!”
Berbareng dengan satu teriakan kecil, wanita itu
menarik kail yang bergerak-gerak. Tapi yang terkait di
mata kail membuat wanita itu tertawa renyah.
“Hi hi hi...! Kukira mendapat ikan besar, tak
tahunya hanya kain gombal!” ujar wanita itu diselingi
tawa sambil menggoyang-goyangkan kail yang kini
digelayuti kain bercorak catur.
Sementara dia sibuk tertawa, Andika malah
menatap kain itu penuh perhatian. Kain itu meng-
ingatkannya pada sesuatu. Tapi, entah apa. Pendekar
Slebor sendiri masih samar.
“Hey? Kenapa kau tidak tertawa?” sentak wanita
berambut pendek ini pada Andika. “Apa kau tidak
berselera untuk berguyon?”
Andika menyahuti hanya dengan gelengkan
kepala.
“Huh! Rupanya aku telah menolong pemuda
bodoh,” rutuk wanita itu dongkol.
Andika tak mempedulikan. Malah kakinya me-
langkah kembali menuju gubuk dengan kepala
tertunduk. Benaknya masih tidak habis pikir, kenapa
ingatannya hilang begitu saja.
“Apakah aku memang pemuda bodoh seperti
disebut wanita itu? Lalu, siapa aku? Siapa namaku?
Dan, kenapa aku berada di sini?” kata batin Pendekar
Slebor, bertanya pada diri sendiri.
“Hey!” panggil wanita tadi. “Kau tidak tersinggung
dengan ucapanku tadi, kan?”
Andika menoleh, lalu menggeleng.
“Aku Ratna Kumala. Kau boleh memanggilku
Ratna. Siapa namamu?” lanjut wanita itu bersama
sebaris senyum tipis sebagai permohonan per-
sahabatan.
Andika menaikkan keningnya. “Aku tidak tahu,”
jawab pemuda itu perlahan. Ratna Kumala merengut
lagi. “Nisanak! Boleh aku minta kain itu?” pinta
Andika.
“Untuk apa gombal ini?” tukas Ratna Kumala,
sambil menahan tawa.
“Aku tidak tahu. Rasanya kain itu ingin kumiliki.”
Ratna Kumala tertawa. Kali ini lebih nyaring, dan
terdengar riang.
“Kau bisa menjengkelkan, sekaligus lucu! Nih!
Ambillah!”
Ratna Kumala melempar kain bercorak catur
basah pada Andika. Dan seketika Pendekar Slebor
pun menangkapnya.
“Terima kasih,” hatur Andika.
Kemudian Pendekar Slebor melanjutkan langkah
nya, meninggalkan wanita itu.
“Hey! Jangan panggil aku Nisanak lagi, ya! Apalagi
Kisanak!”
Andika tak menyahut, dan terus berjalan sambil
terus mengamati kain bercorak catur di tangannya.
***
Desa Ambangan kini telah dibanjiri pendatang dari
berbagai daerah. Mereka rata-rata tokoh persilatan,
baik dari golongan putih atau hitam, dari kelas bawah
hingga kelas atas.
Orang-orang itu layaknya semut yang mendatangi
gula. Ya! Desa Ambangan belakangan ini menjadi
gula bagi seluruh kalangan persilatan, setelah tersiar
kabar tentang benda sakti di dasar Danau Panca
Warna.
Tujuan utama mereka tentu saja untuk men-
dapatkan benda sakti itu. Di samping, ada pula yang
hendak bertemu rekan segolongan, yang pada umum-
nya dilakukan oleh para pendekar golongan putih.
Sementara ada pula yang berniat mencari guru atau
menjajal ilmu yang sudah dimiliki.
Dan pagi ini, datang lagi tiga orang berpenampilan
sangar. Yang seorang adalah laki-laki berwajah penuh
brewok kasar. Rambutnya berdiri tegak, seperti duri
landak. Matanya memancarkan sinar kekejaman
dengan alis yang tumbuh samar-samar. Hidungnya
pesek. Wajahnya yang berbentuk persegi, menampak-
kan rahangnya yang kokoh. Lelaki berperawakan
tinggi besar itu dikenal dengan nama Atma Sungsang.
Yang berjalan di tengah bernama Kebo Ireng. Jika
mendengar namanya, bisa terbayang kalau
perawakannya besar dan kekar. Padahal sebaliknya,
justru lelaki itu berbadan kerempeng. Dan tubuhnya
paling tinggi dibanding dua temannya. Wajahnya tirus,
sebagaimana orang kurus. Hidungnya lancip dan
matanya cekung. Sejumput jenggot ikut menghiasi
wajahnya yang mirip tikus.
Yang terakhir bernama Jarjaran. Melihat penam-
pilannya yang mirip Atma Sungsang, sudah bisa
dipastikan kalau dia masih bersaudara dengannya.
Bedanya, Jarjaran tidak memelihara brewok. Dagunya
tampak licin, karena sering dipangkas dengan
goloknya.
Mereka bertiga mengenakan pakaian sewarna.
Hitam. Celananya sebatas lutut. Laki-laki bernama
Atma Sungsang menyandang parang berukuran besar
pada pinggangnya. Sedangkan Kebo Ireng membawa
senjata berbentuk kipas.
Ketiga lelaki sangar itu kini memasuki sebuah
penginapan. Sebagaimana desa yang dekat bandar,
penginapan itu diramaikan oleh para pendatang dari
beberapa negeri yang menginap untuk menunggu
bongkar muat barang di kapalnya. Namun mulai tiga
hari yang lalu, penginapan ini juga dipenuhi para
pendekar yang mengisi kamar demi kamar di sana.
Kebo Ireng selaku lelaki tertua, memasuki ruang
tengah penginapan lebih dahulu. Langkahnya terlihat
angkuh. Tak beda Atma Sungsang dan Jarjaran di
belakangnya.
“Kami pesan tiga kamar,” ucap Kebo Ireng dingin
pada pemilik penginapan di meja penerimaan tamu.
“Aduh.... Sayang sekali, Tuan. Kami hanya punya
sisa dua kamar,” jawab pemilik penginapan ramah.
“Tiga!” terabas Kebo Ireng, keras.
“Wah! Kalau Tuan menghendaki tiga kamar,
sebaiknya cari di penginapan lain saja. Barangkali di
sana masih banyak kamar, Tuan...,” usul pemilik
penginapan, sambil tersenyum sopan.
“Jangan bertele-tele! Menyediakan tiga kamar,
atau ditukar nyawamu?!” ancam Kebo Ireng, tetap
dingin.
Diancam seperti itu, laki-laki tua pemilik
penginapan ini jadi mengerut. Wajahnya berubah pias
pasi.
“Ma..., af, Tuan. Kami sungguh-sungguh hanya
punya dua kamar. Kamar lain sudah terisi semua,”
ucap laki-laki tua itu agak memelas.
Brakkk!
Baru saja ucapan pemilik penginapan itu selesai
mendadak saja Kebo Ireng menggebrak meja setinggi
pinggang di depannya.
Gebrakannya terlihat ringan. Tapi akibatnya tidak
pernah diduga. Meja jati itu langsung jebol berkeping-
keping. Padahal tebalnya hampir sejari telunjuk.
Pemilik penginapan tersentak ke belakang. Wajah-
nya makin memucat. Bulir-bulir keringat dingin pun
sudah membasahi keningnya.
“Apa kau tak punya otak?! Kenapa tak diusir saja
seorang tamu yang menempati kamarmu?” dengus
Kebo Ireng tanpa perubahan pada wajahnya. Wajah
dan bicaranya tetap dingin. Sedangkan matanya
memandang penuh ancaman.
“Ba..., bagaimana aku harus mengusir tamuku
sendiri, Tuan?” jawab pemilik kedai, masih berusaha
menolak.
“Kau bertele-tele sekali, Bangsat!” hardik Atma
Sungsang dari belakang Kebo Ireng.
Lelaki ini rupanya sudah tidak sabar lagi. Gagang
parang di pinggangnya bahkan sudah diangkat.
Namun, Kebo Ireng mengangkat tangan kanannya,
memberi isyarat pada Atma Sungsang untuk tetap
tenang.
“Jangan sia-siakan nyawamu...,” ujar Kebo Ireng
setengah berbisik pada pemilik penginapan. “Toh
lebih baik kau kehilangan seorang pelangganmu,
ketimbang mesti kehilangan nyawa?”
“Baik..., baiklah,” sahut pemilik penginapan ter-
bata-bata.
Kemudian laki-laki tua itu segera meninggalkan
meja penerima tamu. Dia naik ke lantai atas dengan
setengah berlari.
Sementara tiga lelaki sangar itu hanya tertawa
terbahak-bahak melihat tingkah pemilik kedai yang
terlihat bagai tikus comberan di mata mereka. Dan
tawa mereka langsung putus ketika....
“Kunyuk! Apa kau kira aku ini anjing yang bisa kau
usir seenaknya, hah!”
Terdengar keributan dari lantai atas. Rupanya
pelanggan yang hendak diminta keluar oleh pemilik
penginapan, tidak bisa menerima perlakuan itu begitu
saja. Kemudian terdengar suara langkah berlari,
diselingi makian-makian kasar.
Pemilik penginapan itu berlari serabutan menuruni
anak tangga penginapan yang terbuat dari kayu yang
disusun berputar pada satu tiang. Sementara seorang
lelaki setengah baya berbadan tegap menyusul di
belakangnya, dengan mengacung-acungkan samurai.
“Ampun, Tuan.... Ampun!” teriak si pemilik
penginapan mengiba-iba sambil tetap berlari.
“Berhenti!” bentak Jarjaran.
Kedua yang tengah kejar-kejaran berhenti tiba-tiba
begitu mendengar bentakan yang terasa meng-
getarkan dinding kayu penginapan.
“Kisanak! Kuminta kau meninggalkan penginapan
ini. Kamarmu akan kami pergunakan,” sentak Kebo
Ireng lantang dari lantai bawah.
“Apa?!” balas lelaki yang memegang samurai.
Wajahnya yang hitam tampak semakin matang ter-
bakar kegusaran. “Seenak dengkulmu saja bicara.
Kau pikir dirimu raja?!”
Sementara Kebo Ireng menatap laki-laki itu di-
sertai sebaris senyum sinis. Sikapnya begitu
mengejek, seolah-olah menganggap kemarahan lelaki
setengah baya itu hanya sebagai tontonan meng-
asyikkan.
“Jangan menatapku seperti itu, Kunyuk!”
Kebo Ireng malah terkekeh.
“Kau terlalu banyak bacot, Kisanak,” cemooh Kebo
Ireng seraya menjentik pecahan meja jati di depan-
nya.
Zing!
Mendadak melesat sesuatu dari tangan Kebo
Ireng. Begitu cepatnya, sehingga laki-laki yang
memegang samurai tak menduga sama sekali. Dan....
Jep!
“Wuaaa...!”
Lengkingan panjang terdengar dari mulut lelaki
setengah baya malang itu. Tanpa pernah diduga,
pecahan kayu itu ternyata langsung menembus
perutnya. Dari sini bisa diukur, betapa dahsyatnya
tenaga dalam Kebo Ireng.
“Satu... dua,” dengan santai Kebo Ireng meng-
hitung. “Tiga...”
Bersamaan dengan berhentinya hitungan Kebo
Ireng, tubuh lelaki itu ambruk, lalu menggelinding di
atas anak tangga.
Brak!
Tubuh laki-laki itu baru berhenti bergulir, setelah
menabrak dinding ruangan di bawah. Tak ada
gerakan sedikit pun di tubuhnya. Tampak darah
mengalir dari lukanya akibat terjangan pecahan kayu.
Sementara, semua mata memandang ke arah
sosok yang telah diam tak berkutik lagi. Sedangkan
mata Kebo Ireng telah tertuju pada pemilik
penginapan.
“Nah! Sekarang, kami bisa mendapat kamar,
bukan?” kata Kebo Ireng pada pemilik penginapan.
Pemilik penginapan tak bisa menyahut. Tubuhnya
masih mengejang kaku, setelah menyaksikan satu
kejadian mengerikan. Bibirnya bergetar hebat, seakan
hendak mengucapkan sesuatu yang tak bisa di-
keluarkannya.
“Tidak perlu, Ki. Beri saja mereka kandang
kambing!” tiba-tiba terdengar suara wanita yang
berasal dari pintu masuk penginapan.
***
LIMA
“Siapa yang berani bertingkah di hadapan Tiga Setan
Selatan?!”
Kali ini Atma Sungsang yang membentak. Tubuh-
nya segera berbalik, menghadap pintu masuk. Kini
terlihatlah seorang gadis berambut pendek ber-
pakaian biru tua tengah berdiri santai tepat di mulut
pintu. Dan gadis itu memang Ratna Kumala.
Sementara itu para penghuni kamar lain ber-
munculan di dekat pintu masing-masing setelah
mendengar jeritan tadi. Di antaranya, malah sudah
menyiapkan senjata di tangan. Mereka adalah
beberapa tokoh persilatan yang selalu siaga terhadap
kekacauan. Namun belum ada satu pun yang hendak
turun tangan.
“Ooo, Tiga Setan Kurapan?” ejek Ratna Kumala
acuh tak acuh.
“Perempuan keparat! Rupanya dia minta di-
cincang, Kang,” dengus Jarjaran amat geram.
Meski mata ketiga lelaki yang memperkenalkan
diri sebagai Tiga Setan Selatan itu menghujam lurus-
lurus ke arahnya, namun Ratna Kumala tetap ber-
sikap santai. Malah dengan tenang kakinya me-
langkah ke dalam ruangan sambil menoleh ke sana
kemari, melihat-lihat keadaan penginapan. Seakan-
akan tak dipedulikannya Tiga Setan Selatan yang
begitu muak melihat tingkahnya.
“Hm.... Para tamu terhormat. Para saudagar dan
para pendekar. Penginapan ini rupanya telah di-
masuki tiga ekor kecoa mabok. Tapi, percayalah
padaku. Mereka tak akan senang ditonton seperti
itu,” celoteh Ratna Kumala.
Kebo Ireng berusaha menahan diri agar tak kalap
menerima ejekan habis-habisan dari Ratna Kumala.
Namun beda dengan Atma Sungsang. Seluruh wajah
lelaki itu langsung matang. Rahangnya bergemelutuk,
memperlihatkan tarikan otot kegeraman. Dari hidung-
nya yang pesek terdengar dengusan napas se-
bagaimana banteng murka. Maka tanpa meminta
pertimbangan Kebo Ireng lagi, Atma Sungsang
menerjang Ratna Kumala dengan parang besar di
tangan disertai makian yang menggelegar ke seluruh
ruangan.
Kemarahannya yang memuncak membuat Atma
Sungsang ingin secepatnya menghabisi gadis itu,
maka senjatanya langsung diarahkan ke kepala
wanita yang membuat ubun-ubunnya hendak
meledak ini.
Wet
“Heit!”
Ratna Kumala bertindak cepat dalam menghadapi
sabetan parang yang bergerak dahsyat. Tubuhnya
langsung bersalto ke belakang. Namun, serangan
Atma Sungsang memang tak tanggung-tanggung.
Sebelum kaki gadis itu mendarat mantap di tanah,
parangnya sudah diayunkan kembali dalam
kecepatan luar biasa.
“Heaaa!”
Wet! Wet!
Mau tak mau, Ratna bersalto ke belakang kembali.
Bahkan sampai tubuhnya hampir mencapai pintu
keluar, Atma Sungsang tetap memburu bagai
kerasukan.
Pada saat bersamaan, mendadak seseorang
masuk ke rumah penginapan ini. Begitu asyiknya dia
memperhatikan sesuatu di tangannya, sampai-
sampai tak menyadari kalau tubuh Ratna Kumala
berputar deras ke arahnya. Dan....
Buk!
“Adaow!”
Orang itu berteriak nyaring, begitu kaki Ratna
Kumala mendepaknya tanpa sengaja. Orang yang
ternyata pemuda berpakaian hijau itu tak lain Andika
alias Pendekar Slebor. Kini pendekar ini telah
kehilangan seluruh ingatannya akibat gangguan pada
otak besarnya, ketika mengalami cidera di dasar
Danau Panca Warna.
Andika langsung tersuruk mendapat hantaman
keras tadi. Kain bercorak catur yang menjadi pusat
perhatiannya tadi terlempar dari tangannya. Dan
memang, kain itu sampai saat ini masih menjadi
bahan pemikirannya.
“Sialan! Tengik sekali kau, Ratna!” maki pemuda
itu pada Ratna Kumala yang sudah berdiri di sisinya.
Andika segera bangkit dengan wajah bersungut-
sungut. “Kenapa kau bercanda keterlaluan dengan
lelaki bengkak itu, sih?”
Mendengar kicauan jengkel Andika, Ratna Kumala
jadi tertawa geli. Matanya melirik Atma Sungsang
yang lantas mendelik mendengar ucapan Andika.
“Tadi kau meninggalkanku begitu saja. Setelah
kutemui, malah menabrakku tanpa permisi!” rutuk
Andika.
“Hey, Pemuda Dungu!” hardik Atma Sungsang.
Atma Sungsang benar-benar jengkel disebut lelaki
bengkak. Apalagi, dia memang sedang diamuk
kemarahan oleh ulah Ratna Kumala.
“Hah?! Apa?” tanya Andika, seraya mengangkat
wajah kebodoh-bodohan.
“Apa? Kau tadi menyebutku apa?!”
“Lelaki bengkak,” sahut Andika, seperti tak merasa
salah.
“Keppparaaat...!” desis Atma Sungsang. Hidungnya
sudah kembang kempis karena gusar.
Di lain pihak, Andika malah sibuk mencari-cari kain
bercorak caturnya. Matanya jelalatan ke sana kemari,
sampai akhirnya kain yang dicari ditemukan tengah
berada di bawah kaki Atma Sungsang.
“Na, itu dia!” seru pemuda itu tertahan.
Lalu Andika menghampiri kain itu tanpa mem-
pedulikan Atma Sungsang. Padahal, lelaki tinggi besar
itu sudah ingin mengunyahnya hidup-hidup.
“Den Gemuk! Permisi, ya. Apa kakinya bisa
diangkat?” kata Andika kalem. Sementara tangannya
sudah siap menarik kain bercorak catur di kaki Atma
Sungsang.
“Babi! Rupanya, kau memang minta mampus!”
hardik Atma Sungsang. Tangannya pun terangkat
tinggi-tinggi, untuk membenamkan ujung parangnya
ke punggung Andika yang sedang merunduk.
Wet!
“Awas!” pekik Ratna Kumala, memperingati.
Teriakan Ratna Kumala begitu melengking nyaring,
membuat telinga Andika bagai ditusuk sebatang lidi.
Bukan itu saja. Pendekar muda yang sedang meng-
alami gangguan ingatan itu jadi tersentak tak alang
kepalang. Dan seketika kain bercorak catur yang
sudah dipegangnya ditarik mendadak. Akibatnya....
Bruk!
Atma Sungsang kontan jatuh berdebam di lantai
penginapan. Tubuhnya yang tambun menciptakan
getaran kecil pada tiang dan dinding kayu
penginapan.
“Aduh.... Maaf ya, Den Gemuk. Aku tak sengaja,”
ucap Andika tergesa-gesa. Bibirnya meringis-ringis
melihat Atma Sungsang jatuh. Padahal yang me-
rasakan sakit bukan dia.
“Babi! Babi! Babi!” maki Atma Sungsang gencar.
Segera laki-laki itu mencelat bangkit. Ke-
kalapannya kini benar-benar membuatnya nyaris
edan. Dia berteriak sekuat-kuatnya, tatkala melabrak
Andika kembali.
“Khuaaa...!”
Wet! Wet!
Dua tebasan Atma Sungsang sekaligus hendak
memotong lutut dan leher Andika. Gerakannya benar-
benar sudah membabi buta. Tak dipedulikan lagi,
apakah lawannya nanti bakal menjadi daging cincang
atau perkedel.
“Mak! Mat..!”
Andika melompat tak karuan. Tangannya men-
dekap wajahnya sendiri, mirip anak kecil yang hendak
dipukuli ibunya,
Sebelumnya, Ratna Kumala sudah mengira riwayat
Andika akan tamat di ujung parang Atma Sungsang.
Bagaimana perkiraan itu tidak muncul, kalau
serangan Atma Sungsang demikian cepat meng-
ancam tubuh Andika. Padahal selama ini yang
diketahuinya, Andika hanyalah pemuda bodoh yang
pikun! Kini, gadis itu boleh ternganga. Nyatanya,
pemuda yang dianggap bodoh itu mampu me-
mentahkan tebasan Atma Sungsang dengan gerakan
cepat luar biasa. Meski terlihat tolol.
“Hiaaa!”
Wet! Deb!
Serangan susulan Atma Sungsang yang berupa
tebasan-tebasan parang, disertai tendangan-
tendangan dengan ganas ke beberapa bagian tubuh
Andika. Terkadang, menyapu gencar ke kepala.
Sesekali menotok. Malah tak jarang pula mencoba
menghantam selangkangan. Namun semua itu
dengan mudah dihindari Andika. Sampai suatu saat,
tubuhnya seperti berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain.
Sementara itu, Ratna Kumala makin terpana.
Sungguh tak dikira kalau pemuda tolol itu akan
melakukan gerakan mengagumkan?
Tak hanya Ratna Kumala terkagum-kagum melihat
setiap kelitan Andika. Bahkan tamu penginapan pun
sampai berdecak-decak kagum Meski di antara
mereka terdapat tokoh berkepandaian cukup tinggi,
tak urung mereka sampai terlongong bengong.
Di ruang tengah, pertarungan berjalan kian sengit.
Tapi sampai sejauh itu, Pendekar Slebor belum
tampak hendak balas menyerang. Sampai suatu saat,
tubuhnya melenting gesit ke udara. Setelah beberapa
kali berputaran, kakinya menjejak ringan sejauh
enam tombak di depan Atma Sungsang.
Di lain pihak, Atma Sungsang tampak tersengal-
sengal kehabisan napas. Hampir seluruh tenaga
dalam, kecepatan, dan jurus-jurus dahsyat dikerah-
kannya. Namun, Pendekar Slebor tetap biasa-biasa
saja.
Kini, Atma Sungsang menatap jalang pada Andika
dengan napas senin-kemis. Sedangkan Andika
bergerak kian kemari, memperlihatkan kembangan
jurus yang terlihat ganjil. Setiap kali tubuhnya
bergerak, bayangannya yang terlihat. Gerakannya
benar-benar bagai sambaran kilat. Tak ada yang
indah dari jurus-jurusnya. Tapi, mata para tokoh yang
sudah banyak makan asam garam akan segera tahu
kalau gerakan itu merupakan gerakan tangguh yang
amat sulit ditembus. Itulah jurus ketiga puluh dari
rangkaian jurus 'Memapak Petir Membabi Buta'.
Entah bagaimana jurus-jurus yang tercipta di
Lembah Kutukan masih melekat kuat dalam otaknya.
Padahal buat Andika sendiri, seperti asal gerak saja.
Bisa jadi setiap jurus ciptaannya sudah begitu
menyatu dalam dirinya, sehingga kelumpuhan ingatan
yang dialami tak sedikit pun mempengaruhi jurus-
jurusnya.
Melihat jurus-jurus Andika, Atma Sungsang jadi
tercekat. Tak mungkin seorang berkepandaian
tanggung dapat melakukannya. Bahkan Kebo Ireng
yang berkepadaian lebih tinggi dari dirinya pun, tidak
bakalan mampu.
Dan tiba-tiba saja, Atma Sungsang menyadari
kalau dirinya tengah berhadapan dengan tokoh kelas
atas dunia persilatan. Padahal, dirinya sendiri? Hanya
bajingan tengik yang masih perlu mencari guru!
Tanpa disadari, kaki Atma Sungsang tersurut dua
langkah. Pada saat itu pula dia ingat desas-desus
tentang seorang pendekar kalangan atas yang
mampu melakukan gerakan secepat kerjapan kilat.
“Pendekar Slebor...,” desah Atma Sungsang cukup
keras bersama wajahnya yang memucat.
Tak lama kemudian, Atma Sungsang berbalik,
lantas mengambil langkah seribu. Dia berlarian
menuju jendela besar penginapan. Dan langsung
diterjangnya jendela agar bisa cepat tiba di luar.
Sementara, Kebo Ireng dan Jarjaran telah
menyusut di sudut meja penerimaan tamu yang
sudah berlubang pada bagian tengahnya. Sama
seperti Atma Sungsang, mereka pun teringat pada
kebesaran nama Pendekar Slebor. Mendengar nama
besar itu, nyali mereka langsung menciut.
“Loh?! Den Gemuk tadi ke mana?” tanya Andika
dengan wajah bingung ketika gerakannya berhenti
perlahan-lahan.
Pendekar Slebor jadi celingukan ke sana kemari,
mencari-cari lawannya tadi.
“Wah, Den Gemuk.... Rupanya dia lupa kalau pintu
keluar ada di belakang sana,” gumam Andika saat
matanya menemukan jendela besar di sudut timur
porak poranda.
“Pemuda tak tahu diri! Jadi selama ini kau hanya
mau mempermainkan aku, ya?!”
Tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita di
belakang Pendekar Slebor.
Andika cepat menoleh. Rupanya, Ratna Kumala
sedang menghampirinya dengan wajah garang.
Tangan lentiknya bahkan menuding-nuding kasar.
“Ada apa, Ratna?” tanya Andika heran.
Pemuda itu bingung, tahu-tahu wanita jelita yang
dikenalnya beberapa hari ini membentak-bentak tak
karuan.
“Kenapa? Jangan berpura-pura lagi padaku! Apa
kau pikir telingaku tuli? Aku dengar ucapan lelaki
bajingan tadi!” dengus Ratna Kumala.
“Ucapan apa?”
“Apa?” mata Ratna Kumala mendelik sejadi-
jadinya. “Lelaki tadi mengatakan kalau kau adalah
Pendekar Slebor, yang sakti dan suka menipu
wanita!”
“Siapa Pendekar Slebor?” tanya Andika lagi, benar-
benar menjengkelkan Ratna Kumala.
“Siapa? Ya, kau! Kau telah berpura-pura tolol
untuk mempermainkan aku. Kau mencoba memperolok-olok aku, heh. Kau... penipu!”
Andika melongo. Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
“Mulai sekarang, jangan pernah dekati aku lagi.
Anggap saja aku tak pernah menolongmu. Dan, aku
tak pernah kenal padamu! Apa dikira aku akan
memelas padamu agar aku tetap dekat padamu?!
O.... Terima kasih, Pendekar Muda...,” cecar Ratna
Kumala lagi.
Andika makin melongo seperti sapi ompong.
“Ratna, tunggu!” tahan Andika ketika Ratna
Kumala berbalik pergi.
Langkah gadis itu terbanting-banting keras di
lantai penginapan. Tampaknya hatinya begitu kesal
dengan pemuda ganteng di belakangnya.
“Ratna!”
Terdengar panggilan sekali lagi. Tapi, kali ini bukan
berasal dari mulut Andika.
***
ENAM
“Tak patut kau bersikap seperti itu pada pendekar
terhormat seperti dia!”
Terdengar kembali suara lelaki dari arah tangga.
Suaranya terdengar berwibawa. Dan dari nadanya,
terkesan kalau lelaki itu kenal baik pada Ratna.
Sesaat Ratna terdiam di tempat. Kemudian tubuh-
nya berbalik. Wajahnya tampak terlihat jengkel ber-
campur gembira.
“O, jadi kau menginap di tempat ini rupanya,
Kakang Rudapaksa?” ucap gadis itu seraya
memandang lelaki di tangga penginapan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Ratna! Kau
harus minta maaf pada Pendekar Slebor,” ujar lelaki
berjubah biru tua bernada memerintah. Wajahnya
yang tampan menawan, dihiasi sebaris kumis tipis
memperlihatkan kesungguhan. Dan dia memang
Rudapaksa.
“Mana Kakang Rudapaksi?” tanya Ratna Kumala,
mencoba mengalihkan pembicaraan lagi.
Ratna Kumala dan Rudapaksa memang satu
perguruan. Begitu juga Rudapaksi. Mereka adalah
murid-murid terbaik Ki Kenaka, guru besar Perguruan
Topan Utara.
“Rupanya kau tak mendengarku, ya? Kuperingat-
kan, kau harus minta maaf pada pendekar itu!”
hardik Rudapaksa.
Dihardik seperti itu, wajah Ratna Kumala jadi
memerah. Perlakuan kakak seperguruannya sama
sekali tidak membuatnya untuk segera meminta maaf
pada Andika. Malah hatinya bertambah kesal. Sambil
menggerutu, tubuhnya berbalik kembali ke arah
pintu.
“Biar namanya selebar jagad sekalipun, aku tak
sudi meminta maaf padanya!” dengus gadis itu
seraya melangkah pergi.
“Ratna!”
Rudapaksa berusaha menahannya. Tapi, Ratna
Kumala sudah menghilang di sisi pintu keluar. Dan ini
membuat Rudapaksa menggeleng-geleng kepala.
“Dasar anak keras kepala,” rutuk pemuda itu
perlahan.
Rudapaksa lalu berbalik menghadap Pendekar
Slebor. Dihampirinya pendekar muda yang sudah
kondang namanya ini.
“Maafkan adik seperguruanku itu, Tuan
Pendekar,” ucap pemuda itu.
Sementara pendekar muda yang ditegur masih
berdiri terpaku menatap pintu keluar, tempat Ratna
Kumala menghilang.
“Tuan Pendekar,” sapa Rudapaksa sekali lagi.
“Eh, apa? Tuan berbicara denganku?” tanya
Andika, setelah tersadar dari keterpakuannya.
“Ya,” jawab Rudapaksa seraya tersenyum. “Maaf-
kan adik seperguruanku tadi.”
“Tak apa-apa,” jawab Andika singkat, kemudian
berbalik. Sebentar saja dia sudah meninggalkan
penginapan untuk menyusul Ratna Kumala.
***
Malam turun merambah di Desa Ambangan. Bulan
sabit tampak mengambang hening di angkasa
berawan tipis. Satwa malam mulai memperdengarkan
senandungnya di sela-sela kegelapan.
Di atas sebatang pohon meranti yang tumbang di
pinggir jalan setapak, Ratna Kumala membisu.
Matanya memandang lurus pada kepingan rembulan
pucat di atas sana. Pikirannya sendiri mengembara
pada kejadian beberapa hari lalu, saat menolong
Andika di Danau Panca Warna.
Sewaktu tubuh pemuda tampan itu diangkat dari
dinginnya air danau, entah kenapa Ratna Kumala
menatapnya lama-lama. Ada semacam keter-
pesonaan yang sulit dijabarkan kata-kata, ketika men-
dapati gurat-gurat ketampanan wajah Andika. Garis
dan lekuk wajah itu membuat hatinya bergetar halus.
Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa itu.
Dan ketika hari-hari dilalui bersama pemuda itu,
perasaan yang menyeruak saat pertama kalinya
menatap tidak juga pupus. Hari memang terus
berlalu. Tapi, getaran itu malah kian menguat men-
cengkeram rongga batin Ratna Kumala.
“Kenapa dengan diriku ini?” desah batin gadis itu.
Baru pertama kali ini dia menemukan gejolak aneh
saat bertemu seorang pemuda. Apakah ini cinta
buta? Atau sekadar kekaguman? Tanpa disadari,
kepalanya menggeleng-geleng perlahan-lahan. Dia
tidak bisa mengatakan kalau itu hanya sekadar rasa
kagum.
Kalau hanya kagum, kenapa Ratna Kumala harus
merasa kecewa tatkala dibohongi Andika? Apakah ini
pertanda kekhawatirannya jika harus kehilangan,
setelah diketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar
Slebor? Apalagi, seorang pendekar adalah milik
semua orang lemah, bukan milik dirinya.
“Apa mungkin aku telah jatuh hati padamu,
sementara namamu pun belum sempat kuketahui?”
bisik Ratna Kumala perlahan.
“Ratna....”
Lamunan Ratna Kumala buyar seketika, begitu
terdengar suara halus di belakangnya. Cepat
kepalanya menoleh ke asal suara tadi. Ternyata
Andika sudah berdiri di sana dengan mata lekat
menatapnya. Seketika wajah Ratna Kumala bersemu.
Tanpa diduga pemuda yang sedang mengisi benak-
nya tiba-tiba berada di belakangnya.
“Kenapa kau dekati aku lagi? Bukankah sudah
kukatakan, jangan coba....”
“Ratna...,” sela Andika. “Kalau kau marah karena
kesalahanku, maafkanlah. Tapi bisakah kau jelaskan
padaku, apa salahku?”
Ratna Kumala tak menyahut, tapi diam dalam
seribu bahasa.
“Apa kau tak merasa telah mempermainkanku?”
tanya Ratna Kumala akhirnya, setelah cukup lama
berdiam diri.
“Mempermainkanmu bagaimana?” tanya Andika
tak mengerti.
“Kau tak pernah mengatakan padaku kalau dirimu
adalalah Pendekar Slebor,” sahut Ratna Kumala
tanpa menoleh.
Kali ini Andika yang membisu. Matanya menancap
lurus ke rerumputan berembun.
“Aku sendiri tak tahu, apakah aku adalah orang
yang kau sebutkan tadi,” balas Andika, nyaris men-
desah.
“Kau mulai berpura-pura lagi padaku,” ujar Ratna
Kumala kesal.
Andika menarik napas dalam-dalam.
“Ratna pandangah aku,” pinta Andika penuh
harap.
Ratna Kumala tak mempedulikan.
“Ratna...,” ulang Andika sambil menatap punggung
Ratna Kumala.
Pemuda itu melangkah dan langsung memegang
bahu gadis muda yang berusia sebaya dengannya.
Lalu, perlahan diputarnya tubuh Ratna Kumala agar
menghadap dirinya.
“Lihallah aku. Rat. Tatap mataku. Apakah aku
terlihat berpura-pura padamu?” sangkal Andika
lembut. Matanya terarah tepat di manik mata indah
gadis berambut pendek di depannya
Sementara, Ratna Kumala sledikit pun tak
sanggup membalas tatapan Iembut itu. Entah
kenapa, wajahnya kini terasa hangat. Itu sebabnya,
wajahnya tak mau diperlihatkan. Dia khawatir
perubahan wajahnya diketahui Andika.
Sesaat kemudian Andika melepas pegangannya
pada bahu Ratna Kumala, lalu berbalik. Kini,
dihadapinya temaram cahaya rembulan yang
menyapu wajah jantannya.
“Percayalah padaku, Rat. Aku tak pernah ber-
maksud membohongimu. Apalagi, mempermainkan-
mu. Ingatanku benar-benar lenyap begitu saja. Aku
tak tahu, kenapa tiba-tiba berada di gubuk tepi danau
itu. Dan aku juga tak tahu, kalau kau menyelamatkan-
ku. Kini bahkan aku tidak tahu siapa diriku, dan siapa
namaku,” tutur Andika di sela-sela desau angin yang
bertiup dan suara jangkrik.
Keduanya kini terdiam. Mereka berdiri saling mem-
belakangi, sibuk dengan isi benak masing-masing.
Entah, apa yang saat ini tengah mereka pikirkan.
Hanya mereka yang tahu.
Sekian lama sunyi....
“Maafkan aku.... Aku telah menuduhmu yang tidak-
tidak,” akhirnya Ratna Kumala membuka suara,
walau hampir berbisik dengan kepala tertunduk.
“Aku bisa maklum. Kesalahan memang bagian dari
diri kita.”
Ratna Kumala tergugu. Segera direnunginya kata-
kata bijak dari hati arif seorang pemuda tampan di
dekatnya.
***
Hari bergulir tanpa kenal letih. Dan waktu jualah
yang mengakrabkan Ratna Kumala dan Andika. Nama
Andika yang masih belum diketahui Ratna Kumala,
kini sudah tidak menjadi persoalan. Dan Andika
sendiri bersedia dipanggil apa saja oleh Ratna
Kumala, berhubung dia sendiri lupa pada namanya.
Akhirnya, Ratna Kumala memutuskan untuk
memanggil dengan sebutan Slebor.
Hari-hari dilalui Andika di gubuk, di tepi Danau
Panca Warna. Di sini, dia mencoba mengembalikan
semua ingatannya. Meski tetap sulit. Tapi terus
berusaha. Di samping karena sifat kepala batu yang
membuatnya tak mudah menyerah, juga karena
Ratna Kumala pun terus mendorong semangatnya.
Di kala senggang, Ratna Kumala bercerita kalau
dirinya adalah adik seperguruan Rudapaksa dan
Rudapaksi. Beberapa bulan lalu, guru mereka mem-
beri tugas penting pada kedua kakak seperguruan-
nya. Ratna Kumala yang tak dipilih untuk men-
jalankan tugas, tentu saja menjadi iri. Apalagi dia pun
salah satu murid terbaik Ki Kenaka, Ketua Perguruan
Topan Utara. Menurutnya, gurunya pilih kasih pada
murid lelaki. Lalu karena kesal, diputuskan untuk
pergi dari perguruan tanpa pamit pada Ki Kenaka.
Tujuannya tentu saja hendak ikut menjalankan tugas
bersama Rudapaksa dan Rudapaksi. Tapi hingga
sejauh itu, kedua kakak seperguruannya malah
menyuruhnya pulang ke perguruan.
“Itu sebabnya aku pergi ke tepi danau ini, untuk
melepas kejengkelanku pada malam kau terapung,”
jelas Ratna Kumala, mengakhiri ceritanya.
Tapi baru saja Ratna Kumala bercerita.....
“Aaa...!”
Tiba-tiba teriakan menyayat hati terdengar. Andika
terkesiap. Sama halnya Ratna Kumala. Seketika
mereka saling bertatapan, seakan tidak mempercayai
apa yang didengar barusan. Dan belum lagi keduanya
memutuskan untuk melihat apa yang terjadi, sudah
terdengar lagi satu teriakan membahana.
“Huaaa!”
Kali ini mereka tak menunggu lebih lama. Andika
segera menggenjot tubuhnya. Langsung melesat
bagaikan kilat menuju arah datangnya suara. Sedang-
kan Ratna Kumala menyusul di belakangnya. Meski
agak jauh tertinggal karena ilmu lari cepat Andika
jauh di atasnya, Ratna Kumala berusaha untuk terus
mengikuti.
Tak lama, Andika sudah menghentikan larinya, dan
langsung berdiri mematung sambil menatap sesuatu
di tanah.
“Apa yang terjadi, Slebor?” tanya Ratna Kumala
setelah kakinya menjejak di belakang Andika.
Andika tak segera menjawab, karena tahu Ratna
Kumala akan segera menyaksikan apa yang dilihat-
nya.
Di tanah berumput yang tak jauh dari danau,
tampak tergeletak bermandikan darah dua mayat
yang amat dikenal Ratna Kumala. Masing-masing di
kening mayat itu terdapat lubang sebesar ibu jari.
Sedangkan di tubuh dan pakaian terdapat sayatan
kasar.
“Kakang Rudapaksa.... Kakang Rudapaksi,” desis
Ratna Kumala.
Nyaris gadis itu menjerit, saat mengenali kedua
mayat yang terbujur kaku di depannya. Kejengkelan
terhadap kedua kakak seperguruannya memang
timbul belakangan ini. Namun tak urung perasaannya
seperti tercabik-cabik mendapati kenyataan itu. Biar
bagaimanapun, mereka tetap kakak seperguruan
yang dicintainya.
“Bedebah keji! Siapa yang telah melakukan ini?!”
dengus gadis itu dengan mata mencari-cari jalang. Di
bawah kelopak matanya yang berbulu lentik tampak
menggenang segaris air mata.
Dengan lembut Andika memegang kedua pangkal
lengan Ratna Kumala. Lalu, dibangunkannya gadis itu
dari bersimpuhnya.
“Aku turut menyesal atas kejadian ini, Rat,” ucap
pemuda itu perlahan
Tatkala Ratna kumala membenamkan wajah di
dada bidang Andika untuk melepas kesedihannya,
tiba-tiba saja....
“Serbuuu!”
Bagai aliran air bah, diiringi teriakan menggelegar
sepasukan berseragam merah mendadak menyerbu
Andika dan Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah
puluhan orang itu mengenakan penutup kepala
merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju
mereka yang memanjang hingga ke lutut, terdapat
tulisan Tiongkok berbentuk elang. Celana mereka
yang juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang
di bagian betis.
Entah, bagaimana cara mereka bersembunyi di
dalam semak dan pepohonan. Sampai-sampai pen-
dengaran Andika yang terlatih, tidak bisa menangkap
desah napas mereka sedikit pun. Dari cara me-
lompat, Andika tahu kalau mereka adalah pendekar-
pendekar Tiongkok berkepandaian tinggi.
“Pasukan Tiongkok dari mana ini?!” tanya Ratna
Kumala garang.
Benak gadis itu langsung bisa menduga kalau para
pengepungnya adalah yang menghabisi nyawa dua
saudara seperguruannya.
“Sudah pasti dari negeri Tiongkok,” sahut Andika
setengah berkelakar. Namun demikian, matanya
tetap bergerak waspada. “Yang pasti pula, mereka
berniat merencah kita berdua.”
Ucapan Andika barusan sepertinya tidak meleset.
Setelah memutari Andika dan Ratna Kumala be-
berapa lama, puluhan lelaki bermata sipit itu
berhamburan dalam terjangan dahsyat.
“Hiaaa!”
Mulut Andika seketika berteriak menggelegar.
Berbareng dengan itu, tubuhnya cepat melenting ke
udara sambil menyambar pinggang Ratna Kumala.
Tapi lompatan Pendekar Slebor tidak dibiarkan
pasukan dari Tiongkok itu. Dengan sigap, para
penyerbu bersenjatakan tombak itu mengangkat
senjata ke atas. Lalu dengan serentak tombak itu
ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang
melayang di udara.
Andika tentu saja tak membiarkan tubuhnya
dicabik-cabik puluhan tombak. Maka tanpa sempat
tertangkap mata pasukan itu, tangan kirinya yang
masih bebas menyambar kain bercorak catur dari
pundak dan langsung dikebutkannya.
Bet! Bet!
Trak! Trak!
Puluhan tombak setajam taring-taring serigala
seketika tersambar Kain Pusaka Pendekar Slebor,
hingga berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian
malah ada yang tersasar ke tubuh kawan mereka
sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok ini
memiliki kepandaian tinggi, maka tombak yang
tersasar itu dapat segera dikuasai dengan baik.
Sementara Pendekar Slebor langsung melenting
tinggi-tinggi, sambil berputaran di udara.
“Sial!” maki Andika, begitu hinggap di sebuah
batang pohon besar. “Mereka rupanya tidak sudi
mengongkosi kawan sendiri ke neraka.”
Belum sempat Andika bernapas lega, empat orang
Tiongkok ini serempak menyusul ke dahan pohon.
Setelah berputar di udara beberapa kali, dua orang
menjejakkan kaki disisi Andika dan Ratna Kumala.
Sedangkan, dua orang lain hinggap di dahan yang
berhadapan.
“Haiii!”
Seorang di sisi kiri Andika mengayunkan pangkal
tombak ke kepala Andika dengan tenaga dalam
tinggi. Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang
menderu kencang.
Wesss!
“Hih!”
Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Slebor
melecutkan kain pusaka di tangan kirinya. Cletar!
Krak!
Pangkal tombak lawan langsung terpatah dua.
Sementara itu, Ratna Kumala yang berada dalam
rangkulan Andika harus menghadapi lawan di sisinya.
Gadis yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata
cukup mampu mengimbangi setiap serangan.
Kini dua orang lawan di depan tak mau tinggal
diam. Mereka segera memutar tombak masing-
masing, bersiap memperkuat serangan.
“Hih!”
Salah seorang menghentikan putaran tombak
secara mendadak. Lalu tiba-tiba tombaknya ditusuk-
kan ke dada Pendekar Slebor dengan tenaga penuh.
Menurut perkiraannya, dia akan segera menamatkan
pendekar muda itu di ujung senjatanya. Tapi, dugaan-
nya meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar
Slebor bisa melihat kesempatan bagus.
“Bhaaa!”
Dengan satu gerakan tak terduga, Andika melesat
ke arah salah seorang lawan yang kehilangan
tombak, dan sedang melepaskan pukulan. Secepat
kilat, ditariknya tangan orang itu ke arahnya.
Sehingga....
Jep!
“Aaa!”
Tombak lawan di depan yang tertuju pada Andika,
kontan menembus pinggang orang yang tangannya
ditarik untuk dijadikan tameng.
“Wah! Tega nian kau membunuh kawan sendiri,”
seloroh Pendekar Slebor. “Lain kali, lebih baik
meminta izin dulu pada kawanmu itu.”
Andika langsung menggejot tubuhnya, hingga
melayang kembali di udara bersama Ratna Kumala
dalam rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak
daun pepohonan, hingga merontokkan yang kering.
Pada pucuk satu pohon, Pendekar Slebor men-
jejak. Kemudian tubuhnya digenjot kembali. Tubuh-
nya melesat dari satu pucuk ke pucuk pohon lain
dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya, pasukan
dari Tiongkok itu hanya bisa menggerutu kesal ketika
tubuh mereka lenyap.
***
TUJUH
Dua hari setelah terbunuhnya Rudapaksa dan
Rudapaksi, Danau Panca Warna didatangi ratusan
tokoh persilatan dari seluruh penjuru baik secara
perorangan, maupun perkelompok.
Sedikit demi sedikit, mereka telah berkumpul di
sekitar Danau Panca Warna membentuk lingkaran
yang kian membesar. Entah siapa yang memberi
petunjuk, yang jelas mereka berkumpul serempak
setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar
Danau Panca Warna dari penduduk desa tempat
mereka menginap.
Dalam beragam pakaian dan senjata, seluruh
tokoh itu menatap tegang ke permukaan air danau.
Sesekali mata mereka melirik waspada satu dengan
yang lain. Sikap curiga seperti itu terutama diper-
lihatkan orang-orang pada barisan terdepan. Mereka
umumnya adalah tokoh-tokoh golongan sesat yang
begitu berhasrat untuk menguasai benda pusaka di
dasar Danau Panca Warna ini.
Sementara, para pendekar aliran putih lebih suka
mengambil tempat yang agak jauh dari tepi danau.
Tujuan mereka memang bukan hendak menguasai-
nya, tapi hendak menyelamatkan. Mereka takut,
pusaka yang hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke
tangan para durjana.
Di beberapa tempat lain yang terbilang jauh dari
danau, beberapa orang tampak berkerumun untuk
menyaksikan peristiwa hebat yang tampaknya akan
segera meletus.
Dari sekian banyak tokoh, beberapa orang tampak
menonjol. Di antaranya adalah lelaki berpenampilan
menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi
ditutup pakaian padri berwarna putih. Pakaiannya
pun masih digabung kain hitam bertotol putih
berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke
pinggang kanan. Orang persilatan mengenalnya
sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah
Kudungga.
Sebagaimana seorang padri, kepala Kudungga
gundul dengan beberapa titik hitam di ubun-ubunnya.
Kesan menyeramkan tergambar di wajah yang
ditumbuhi brewok lebat dan kasar. Sedangkan
matanya yang bulat tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia
tak tampak membawa senjata, kecuali tasbih berbiji
sebesar buah duku di tangan kanannya yang kekar
berbulu.
Sementara di sebelah timur danau, tampak lelaki
tua berwajah culas. Kumis dan janggut putihnya
tergerai tipis, hingga ke dadanya yang cekung.
Rambutnya juga sudah berwarna putih. Tanpa alis,
matanya terlihat tajam. Dia mengenakan celana
pangsi hitam. Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-
apa.
Bibir lelaki tua itu terus menyeringai kejam.
Sementara, kedua tangannya menepuk-nepuk kecapi
kayu. Orang persilatan mengenalnya sebagai
Dedengkot Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak
pernah diketahui.
Di sebelah selatan danau, berdiri mematung
seorang lelaki berpenampilan perlente yang dikenal
bernama Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal
sebagai Kumbang Bengis Dari Timur. Sesuai
namanya, dia memang gemar memetik 'bunga' desa
yang tak berdosa. Sifatnya kejam. Itu terlihat dari
wajahnya yang begitu dingin. Rambutnya tersisir rapi
dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan,
meski telah disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu
berpakaian seorang bangsawan dengan kancing dan
berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain
batik sebatas lutut.
Ketiga lelaki itu memang tokoh kelas atas
golongan sesat yang amat ditakuti di tanah Jawa
Dwipa.
Sementara, jauh di lereng bukit yang memagari
danau, Andika dan Ratna Kumala sedang mem-
perhatikan seluruh tokoh persilatan itu. Keduanya
bersembunyi di balik sebongkah batu sebesar kerbau.
“Aku tak mengerti, kenapa mereka berkumpul
seperti orang yang hendak nonton pertujukan
ludruk?” tanya Andika. Ingatannya yang hilang
membuatnya melupakan benda pusaka di dasar
danau yang menyebabkan dirinya sampai menjadi
pikun seperti sekarang ini.
“Apa kau belum mendengar berita santer itu?”
tanya Ratna Kumala agak heran karena tokoh kelas
satu seperti Andika bisa luput dari desas-desus
tersebut.
“Aku tak tahu,” jawab Andika sambil melirik Ratna.
“O, iya,” sergah Ratna Kumala cepat-cepat.
Kepalanya mengangguk-angguk. “Aku lupa kalau kau
kehilangan ingatan.”
“Kehilangan ingatan? Apa kau menganggapku
gila? Sinting? Sableng?” cecar Andika, tak senang
mendengar ucapan Ratna Kumala.
“Ei, ei! Tentu saja kau tidak gila. Maksudku, kau
mengalami....”
“Ya! Aku sudah tahu,” potong Andika bersungut
sungut.
Melihat tingkah pemuda di sisinya barusan, Ratna
Kumala jadi tersenyum-senyum kecil.
“Kenapa?” tanya Andika. Matanya membesar pada
Ratna Kumala.
“Sebenarnya sulit mengatakan kalau kau tidak
sinting. Sebab, tingkahmu lebih ngaco dibandingkan
orang sinting.”
Usai berkata begitu. Ratna Kumala tertawa
tertahan. Tangannya lantas menutup bibirnya yang
merah ranum.
“Sialan!” maki Andika.
Ratna Kumala terus tertawa.
“Sudah... sudah! Kau ingin meledekku terus, atau
ingin menceritakan kenapa mereka berkumpul di
danau itu?!” sergah Andika.
“Baik..., baik,” ucap Ratna Kumala sambil meng-
hentikan tawa. “Apa kau masih ingat ketika kita
singgah di Desa Ambangan untuk mencari makanan
mentah?”
“Tentu saja ingat. Kau pikir, aku pikun?” selak
Andika cepat.
Setelah itu, Andika jadi tersenyum-senyum malu
setelah sadar kalau dirinya saat ini memang pikun
minta ampun.
Setelah tersenyum sejenak, Ratna Kumala
meneruskan ucapan.
“Waktu itu, aku dengar dari percakapan orang di
kedai kalau di dasar Danau Panca Warna ada benda
sakti yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya
Pusaka Langit....”
“Benda sakti? Pusaka Langit?” bisik Andika, tanpa
maksud bertanya.
Samar-samar benak Andika dilintasi bayangan
kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna
beberapa waktu lalu. Tentang pasir danau, tentang
cahaya merah bara menyilaukan, dan tentang
pusaran air. Setelah itu, semuanya seperti sirna
kembali dari kepalanya.
“Andika!” sapa Ratna Kumala perlahan.
Andika tersadar. Kepalanya lantas menoleh pada
Ratna Kumala.
“Siapa Andika?” tanya pemuda itu bodoh.
Ratna Kumala tersenyum kembali. Kali ini ter-
simpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan senyumnya
pun menyimpan makna khusus.
“Ya, kau...,” jawab Ratna Kumala agak tersipu,
ketika mata elang Andika memergoki pandangan
hangatnya.
“Aku? Jadi, namaku Andika? Dari mana kau tahu?”
tanya Andika heran.
“Aku..., aku, akh! Apa itu penting?”
“Terserahmu. Apa kau anggap itu penting?” Andika
malah balik bertanya.
“Ng..., aku ke Desa Ambangan kemarin. Di sana,
kucoba mengorek keterangan tentang dirimu. Ter-
masuk, namamu dari beberapa orang persilatan....”
“Apa?! Hanya untuk itu kau singgah ke sana?! Apa
kau sinting? Mestinya kau tahu, itu akan mem-
bahayakan dirimu. Karena, pembunuh kakak seper-
guruanmu tentu berniat menghabisimu pula!” kata
Andika panjang lebar.
Wajah Ratna Kumala dalam sekejap berubah
memerah. Matanya pun berkilat-kilat kesal.
“Kau memang tak tahu berterima kasih. Belum lagi
berterima kasih karena telah kuselamatkan, kini
malah membentak-bentakku karena telah berusaha
menolongmu, agar kau ingat pada dirimu sendiri,”
sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi
lain.
“Baik! Terima kasih.... Terima kasih banyak!
Cukup? Tapi, tetap saja aku tak setuju dengan
tindakanmu ke desa itu! Toh, aku akan ingat kembali
pada namaku suatu saat. Aku yakin itu!” ucap Andika.
“Tapi, aku tak suka memanggilmu dengan sebutan
Slebor!” bentak Ratna Kumala di depan hidung
Andika.
“Kenapa?! Aku sendiri tak punya masalah. Lantas
kenapa tiba-tiba kau yang mesti tak suka? Kenapa,
Ratna?” desak Andika.
Ratna Kumala mati kutu. Kenapa? Tentu saja
gadis itu tak sudi memanggil orang yang telah
menawan hatinya dengan sebutan dungu seperti itu.
Tapi alasan itu tentu saja tak dikatakannya, dan
hanya disembunyikan di sudut hatinya yang terdalam.
“Ah, sudahlah,” tukas Andika. “Kenapa aku harus
meributkan soal itu. Toh kau masih sehat walafiat...”
Ratna Kumala langsung lega, karena Andika tidak
mendesaknya. Meskipun hatinya masih agak jengkel.
***
Sementara jauh di bawah sana, para pendatang
tampak sudah memulai acara dahsyat yang akan
segera terjadi.
“Hari ini kita berkumpul,” kata Lodaya Burang,
membuka keheningan. “Dan kita semua tahu, benda
sakti yang bersemayam di dasar danau inilah yang
mengundang kita semua untuk memilikinya. Tapi, tak
mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang jelas,
harus ada satu orang yang benar-benar menjadi
pemilik tunggal Pusaka Langit! Dan orang itu harus
benar-benar pantas memilikinya! Untuk itu, kita harus
melakukan pertandingan, agar dapat mengambil
Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang
berhak menyelam ke dasar Danau Panca Warna.”
Semua orang yang mendengar suara Lodaya
Burang termanggut-manggut. Entah menyetujui usul
itu, atau tidak. Yang jelas, bagi mereka yang ber-
kepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke
belakang, lalu hilang entah ke mana.
“Jika ada yang ingin memulai, kupersilakan meng-
hadapiku. Dengan satu syarat, kita bertaruh nyawa!”
tantang Lodaya Burang.
Tampaknya, laki-laki perlente itu benar-benar ber-
nafsu memiliki Pusaka Langit, sehingga lebih dahulu
mengajukan tanding.
“Ha ha ha..., Kumbang Perlente! Mana ada yang
berani menyambut tantanganmu, kecuali aku!” tiba-
tiba Dedengkot Iblis menyelak disertai tenaga dalam.
Sehingga, permukaan air danau terlihat beriak.
“Ooo! Rupanya kau, Tua Bangka. Apa tidak
sebaiknya kau memikirkan dirimu yang sudah dekat
liang kubur, daripada ikut memperebutkan Pusaka
Langit?” ejek Lodaya Burang dengan wajah dingin.
Sebagai tokoh yang sudah bulukan dalam dunia
persilatan, Dedengkot Iblis tak terpancing ejekan
Lodaya Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh
macam Lodaya Burang yang ingin memancing
kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali.
“Ah! Jangan terlalu banyak basa-basi, Kumbang
Bengis dari Timur. Apa kau tak berani menghadapiku,
sehingga menyarankan agar aku mundur?” tukas
Dedengkot Iblis, balik mengejek.
Lodaya Burang jadi termakan ucapannya sendiri.
Lelaki perlente itu malah terpancing ucapan
Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang.
“Hhh, Bajingan Tua! Mari kita buktikan saja!”
bentak laki-laki perlente itu seraya melompat tinggi ke
dataran kosong.
Seketika itu pula Dedengkot Iblis menyusul.
Dan tanpa ingin menunggu lebih lama, Kumbang
Bengis melancarkan serangan pembuka.
“Khiaaa!”
Tapak Maut yang di kalangan persilatan begitu ter-
kenal kejam dari Kumbang Bengis, menerabas deras
ke dada Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika
menimbulkan suara menderu-deru.
Deb! Wut! Wut! Deb!
Tentu saja Dedengkot Iblis tak mau terhantam
begitu saja. Tubuhnya langsung melengos ke kiri dan
kanan, bagai gerakan seekor cengcorang. Kemudian,
kecapi di kedua tangannya diangkat dengan gerakan
menebas ke atas.
Dreng!
Bunyi getaran senar kecapi milik laki-laki tua itu
terdengar melengking ketika berbenturan dengan
tangan Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi
yang disalurkan pada masing-masing tangan mereka,
membuat lengkingan tali senar kecapi Dedengkot
Iblis mampu memecahkan gendang telinga orang
yang berilmu cekak. Terbukti, beberapa orang yang
berada di sekitar arena pertarungan berjatuhan
sambil mendekap telinga masing-masing.
Kini Dedengkot Iblis balas menyerang. Kecapinya
diayunkan ke samping, terarah pada rusuk sebelah
kiri Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu
mengetahui ancaman yang datang ke arahnya.
Segera kakinya diangkat berbarengan dengan
gerakan tubuhnya ke belakang.
Dreng!
Sekali lagi, bunyi melengking terdengar ketika lutut
Kumbang bengis bertumbukan dengan sisi kecapi
Dedengkot Iblis.
“Hiaaat!”
Berbareng satu teriakan garang, tubuh Dedengkot
Iblis langsung berputar cepat. Kaki kanannya ter-
bentang tinggi, bermaksud memecahkan kepala
Kumbang Bengis dengan satu sapuan dahsyat.
Namun, mata jeli Kumbang Bengis masih mampu
menangkap gerakan kilat Dedengkot Iblis. Segera dia
menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan
sapuan kaki Dedengkot Iblis. Setelah itu tubuhnya
bergulingan, tangannya menghentak tanah untuk
kemudian bergegas bangkit.
Kumbang Bengis menjejakkan kakinya, sepuluh
tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak ada sekerdip
mata setelah menyentuh tanah, dia sudah mem-
persiapkan kuda-kuda kembali.
“Jurus-jurusmu rupanya masih cukup bagus, meski
semakin peot, Tua Bangka!” ledek Lodaya Burang
bersama tatapan matanya yang dingin.
“Tak perlu banyak memuji, Mata Keranjang!
Karena, hanya aku yang pantas mendapat Pusaka
Langit!” balas Dedengkot Iblis.
Selesai berkata demikian, lelaki tua sakti itu
menerjang Kumbang Bengis.
“Haaat!”
“Tunggu!” cegah Lodaya Burang tiba-tiba.
Dedengkot Iblis sebenarnya tak mengerti, kenapa
Lodaya Burang mendadak menahan serangannya. Di
kalangan tokoh kelas satu, pantang untuk meng-
hentikan pertarungan jika belum ada yang tewas.
Namun begitu, Dedengkot Iblis cepat menghentikan
juga terjangannya.
“Ada seseorang yang hendak berbuat
kecurangan!” kata Lodaya Burang seraya menunjuk
ke seberang danau yang dibatasi bukit cemara.
Di sana, memang terlihat seseorang berpakaian
hijau dan bertopeng kain warna hijau pula. Dia
tampak sedang bersiap terjun ke Danau Panca
Warna.
“Bangsat! Pengecut dari mana yang hendak
mendahului kita itu?” hardik Dedengkot Iblis geram.
Sementara itu orang di seberang sana telah
melompat ke danau.
“Aku tidak ingin didahului!” teriak Dedengkot Iblis
penuh kemurkaan.
Tanpa mengindahkan Lodaya Burang lagi, dia
bergegas menggenjot tubuhnya ke udara. Gerakannya
begitu indah di udara. Tubuh lelaki tua itu berputaran
dengan tangan terbentang. Sementara kecapinya
yang telah ditautkan ke punggung, memperdengarkan
bunyi mendesing. Tak lama, Dedengkot Iblis
menembus permukaan air danau bagai sebatang
tombak. Byur!
Tak ada seorang tokoh kelas atas golongan sesat
pun yang tidak berhasrat memiliki Pusaka Langit.
Memang, suatu keharusan bagi mereka untuk
memiliki benda pusaka apa pun yang sanggup
melambungkan nama ke puncak kekuasaan dunia
persilatan. Meskipun, itu hanya baru kabar angin dari
mulut ke mulut. Lodaya Burang sebagai seorang
tokoh kelas atas golongan sesat menyadari benar hal
itu. Itu sebabnya, dia tak sudi membiarkan seorang
pun mendahuluinya untuk mendapatkan Pusaka
Langit. Sesaat setelah Dedengkot Iblis menyelam, dia
pun memburu ke arah danau.
Byur!
Lodaya Burang menyusul ke dalam Danau Panca
Warna.
Menyaksikan dua saingannya telah masuk ke
dalam danau, Kudungga yang dikenal sebagai si Padri
Sesat secepatnya melakukan tindakan sama. Dari
tempatnya berdiri, segera kakinya bergerak.
Kehandalan ilmu meringankan tubuhnya, membuat
gerakan kaki Kudungga terlihat menjadi puluhan. Dan
dalam sekejap, lelaki kasar itu telah tiba pula di bibir
danau. Lalu.....
Byur!
Tubuh tinggi gempal Kudungga seketika me-
nampar permukaan air danau, menciptakan percikan
air yang tinggi.
Kini, tiga tokoh sakti aliran sesat telah siap berlaga
bertaruh nyawa dalam dinginnya dasar Danau Panca
Warna. Ditambah, seseorang yang hendak melakukan
kecurangan....
***
DELAPAN
Selang beberapa saat, setelah ketiga tokoh kelas
satu golongan sesat itu tertelan Danau Panca Warna,
permukaan danau menjadi tenang kembali. Hanya
tersisa riak kecil yang berkejar-kejaran menuju tepian.
Sementara suasana menjadi sepi. Sedangkan
tokoh lain seperti tidak mau bertindak apa-apa. Di
antara mereka tak ada yang mau mengantar bahaya
untuk ikut menyelam ke danau. Sebagian berpikir,
jika mereka ikut masuk ke danau, itu sama artinya
mencari mati. Karena, harus menghadapi tiga tokoh
kejam! Di samping itu mereka juga sudah mendengar
bagaimana kekuatan pengaruh Pusaka Langit bagi
orang-orang berkepandaian tanggung. Bahkan
sebagian yang lain hanya ingin menunggu apa yang
akan terjadi. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan
putih.
Ketegangan menyelimuti diri para tokoh persilatan
lain. Hati mereka semua seperti tak henti bertanya,
apa yang akan terjadi kemudian. Dan ketegangan pun
membuat mereka bagai patung tak bernyawa.
Bahkan rasanya mereka ingin menahan napas saat
menanti kejadian berikutnya. Sementara, desau angin
yang berjinjit di permukaan air danau, makin mem-
bangun suasana mencekam.
Sesaat demi sesaat mereka menanti, namun
belum ada tanda-tanda kalau ketiga tokoh sesat dan
seorang yang wajahnya tertutup itu akan segera
muncul. Padahal, daya tahan pernapasan seseorang
sudah mengalami saat-saat amat membahayakan
dalam waktu selama itu.
Sampai akhirnya....
Blup! Blup! Blup...!
Mendadak sesosok tubuh muncul ke permukaan
danau dalam keadaan mengerikan. Sayatan-sayatan
kasar merencah sekitar badan orang itu, hingga
pakaiannya terserpih. Di keningnya terdapat lubang
sebesar jari. Sementara, air disekitarnya berubah
merah. Ternyata, lelaki itu Lodaya Burang!
Blup! Blup! Blup...!
Tak lama berikutnya, Dedengkot Iblis menyusul.
Keadaannya juga mengerikan! Selanjutnya, giliran si
Padri Sesat. Keadaannya pun tak kalah mengerikan
dengan dua orang sebelumnya.
Kini seluruh orang yang berada di pinggir danau
terperangah. Kelopak mata mereka membesar
tegang. Tak pernah ada yang menyangka kalau tiga
tokoh aliran sesat itu akan mengalami nasib begitu
menggiriskan! Keterkejutan tak luput melanda diri
Andika dan Ratna Kumala di tempat persembunyian.
Berbeda dengan mereka yang berada di sekitar
danau, kedua anak muda itu terkejut karena
menyaksikan luka di kening ketiga mayat dari
kejauhan.
“Apakah aku tidak salah lihat, Andika?” gumam
Ratna Kumala.
“Tampaknya, kita akan segera bertemu pembunuh
kedua saudara seperguruanmu...,” tanggap Andika
tanpa melepaskan pandangan dari tiga mayat yang
terapung di danau.
“Aku tidak mengerti, kenapa bajingan itu mem-
bunuh kakak seperguruanku. Dan, kenapa pula
mereka membunuh tiga tokoh sakti aliran sesat?”
tanya Ratna Kumala, masih terdengar bergumam.
“Aku juga tidak mengerti. Yang pasti, orang itu
membunuh bukan karena kurang kerjaan,” tukas
Andika seraya bangkit dari duduknya.
“Hendak ke mana kau?” tanya Ranta Kumala
cemas.
Andika mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Kau ingin tahu alasan orang itu membunuh kedua
kakak seperguruanmu dan tiga orang tokoh sesat itu,
atau tidak?”
Kaki Pendekar Slebor melangkah, menuju jalan
setapak yang menurun ke arah Danau Panca Warna.
“Apa maksudmu?” tanya Ratna Kumala, seraya
ikut bangkit.
“Akan kuringkus orang itu.”
“Aku ikut!”
Sepasang alis sayap elang milik Andika merapat.
Tampaknya dia tak begitu suka oleh ucapan terakhir
Ratna Kumala. Ditatapnya gadis berambut pendek itu
lekat-lekat, dengan kelopak mata agak mengerut.
“Apa kau pikir orang yang akan kuhadapi nanti
centeng pasar berkepandaian tanggung? Apa
kematian ketiga tokoh aliran sesat itu tidak membuka
matamu?” tegas Andika.
Ratna Kumala menaikkan wajahnya tinggi-tinggi.
“Apa kau kira aku takut?” ujarnya agak ter-
singgung.
“Aku yakin kau tidak akan takut. Karena, kau
memang perempuan nekat yang tidak bisa berpikir
jernih,” sindir Andika, seraya menaikkan sudut bibir.
“Apa maksudmu?”
“Kau tidak mengerti? Apa otakmu sudah digadai-
kan? Ini bukan masalah takut atau tidak, Ratna. Ini
masalah hidup-mati. Mengerti?!” sambut Andika.
Mata Ratna Kumala membesar sejadi-jadinya.
Gadis yang juga keras kepala itu mulai jengkel men-
dengar ucapan Andika yang terdengar ceplas-ceplos
tadi.
“Sudah kubilang, aku tidak takut! Apa kau pikir
seorang pengecut tidak akan mati? Semua orang
pasti akan mati, Andika. Kalau aku mesti mati hari ini
di tangan bajingan itu, apa bedanya? Mati toh hanya
masalah waktu. Aku bahkan lebih suka mati dalam
perjuangan, ketimbang mati penasaran atau mati
ketakutan...,” sergah Ratna Kumala panjang.
Andika berdecak jengkel. Tangannya lantas meng-
garuk-garuk kepala. Dia mati kutu menghadapi gadis
jelita satu ini. Dihelanya napas dalam-dalam,
mencoba mengenyahkan kedongkolan yang mulai
menggelayuti tenggorokan.
“Baiklah,” Andika menyerah. “Tapi kau harus
menunggu di tepi danau. Biar aku saja yang
menyelam.”
Kini, Ratna Kumala mengangguk puas.
Kemudian, mereka segera turun dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Maka
sebentar saja mereka telah tiba di bibir danau.
Dan tanpa mempedulikan puluhan pasang mata
yang menatap dan puluhan mulut yang kasak-kusuk
melihat kehadirannya, Andika langsung loncat ke
dalam Danau Panca Warna.
Byur!
Rasa dingin langsung merambah sekujur tubuh
Andika. Gelembung-gelembung kecil yang diciptakan
sibakan air, menari-nari di sekitar wajahnya. Untuk
kedua kalinya, dia akan menyelam ke dalam danau
berair bening, namun selalu siap membawa hawa
maut.
Sempat pula ingatan pendekar muda itu ber
kelebat tentang kejadian-kejadian yang pernah
menimpanya. Terutama saat melakukan penyelaman
pertama, hingga menemukan benda sakti yang kini
disebut-sebut orang dunia persilatan bernama
Pusaka Langit. Sekilas tergambar di kepalanya,
bagaimana rasa sesak yang melanda dadanya kala
sinar merah bara menyilaukan menyedot dirinya.
Setelah itu, ingatannya pun pupus kembali.
Kejadian yang tersembul sesaat di benaknya,
membuat Andika terpaku. Untunglah, dinginnya air
danau segera menyadarkannya.
Kini Andika menggerakkan kakinya, mengayuh
untuk menyelam ke dasar Danau Panca Warna.
Setelah dasar danau terlihat, penyelaman diteruskan
ke sekitarnya. Tumbuhan danau yang menggapai-
gapai lemah gemulai, disibakkan dengan kedua
tangannya. Perlahan Andika maju. Seluruh
kemampuan indra pengelihatannya dikerahkan untuk
menebus keremangan dasar danau.
Beberapa saat kemudian, mata Pendekar Slebor
menangkap sesosok tubuh berpakaian serba hijau
sedang berenang menuju permukaan.
“Akhirnya kau kutemukan juga kunyuk busuk itu!”
kutuk hati Andika.
Wrrr!
Tanpa menunggu lebih lama, Andika mengirim
pukulan jarak jauhnya. Saat telapak tangannya
terdorong ke depan, segulungan gelembung udara
yang memanjang meluncur ke arah sasaran.
Bentuknya seperti rentangan tambang yang tembus
pandang.
Sebenarnya, pantang bagi seorang pendekar
seperti Andika melakukan bokongan. Namun, semua-
nya sudah matang dipertimbangannya. Dia tahu,
pukulan jarak jauh akan melemah jika dilakukan
dalam air. Di samping itu, orang yang dituju pun
cukup jauh dari tempatnya. Kalau pun bokongannya
akan mengenai sasaran, pasti tidak akan berakibat
parah. Tujuan Andika memang bukan hendak
melumpuhkan, melainkan sedikit memberi per-
ingatan.
Mendengar bunyi ganjil di belakangnya, orang
berpakaian serba hijau itu bergerak siaga. Tangannya
cepat mengayuh ke depan, sehingga tubuhnya
terdorong cepat ke belakang. Maka pukulan jarak
jauh Andika hanya melintas di depan dadanya.
Saat orang berpakaian serba hijau itu berbalik,
pada tangan kirinya terlihat kain putih tembus
pandang yang didalamnya terdapat batu sebesar
kepala bayi, memancarkan sinar merah bara
menyilaukan!
Hal itu langsung menusuk benak Andika. Secara
samar-samar, bayangan kejadian beberapa waktu
lalu terbersit kembali. Keningnya berkerut. Andika
berusaha mempertahankan bayangan itu. Beberapa
saat ia hampir berhasil. Bayangan kejadian berupa
cahaya merah bara seperti yang baru saja dilihatnya
di tangan orang itu makin menjelas di benaknya.
Sebelum semuanya menjadi benar-benar jelas, tiba-
tiba telinganya menangkap suara sumbang meng-
getarkan.
Wrrr...!
Pendekar Slebor terkesiap. Secepatnya disadari
kalau sosok berpakaian serba hijau itu telah
melakuan serangan balik berupa pukulan jarak jauh
kini mengancam.
“Arrrgkh!”
Andika berteriak keras seraya berputaran di dalam
air. Suaranya yang disertai gelembung udara ter-
dengar aneh dan menyeramkan. Teriakannya mem-
buat Andika mampu menghindari terjangan tenaga
pukulan yang jauh lebih dahsyat dari pukulannya.
“Gila! Pukulan macam apa itu?!” Serapahnya
dalam hati.
Nyaris Pendekar Slebor tak mempercayai kejadian
di depan matanya tadi. Bagaimana mungkin orang itu
bisa mengirimkan pukulan yang mampu menciptakan
pusaran sebesar kerbau di sekitar tubuhnya?
Ketika mata elangnya tertumbuk kembali pada
batu merah bara di tangan orang itu, Pendekar Slebor
langsung teringat pada cerita Ratna Kumala tentang
benda pusaka dari langit.... Pusaka Langit!
Hanya ada satu dugaan di kepala Andika saat itu.
Dia yakin, benda pusaka itulah yang telah mem-
perkuat tenaga pukulan orang. Jadi, Pusaka Langit
benar-benar nyata dan bukan bualan belaka orang-
orang persilatan!
Memang pantas jika hati Andika berkata seperti
itu. Karena, dia tidak lagi ingat tentang kehebohan
Pusaka Langit, sampai Ratna Kumala menceritakan
semuanya. Padahal sebelumnya, dia tidak mem-
percayai. Meskipun, beberapa kali bayangan kejadian
berapa waktu lalu terbersit samar dalam ingatannya.
Kalau di dalam air saja benda itu mampu melipat-
gandakan kekuatan seseorang, apa lagi jika di
daratan? Tentu orang yang memilikinya akan mampu
membelah gunung karang!
Menyadari bahaya yang akan mengancam dunia
persilatan bila benda pusaka itu berada di tangan
orang sebengis lelaki berbaju hijau, Andika
memutuskan untuk menghadapinya habis-habisan.
Dia tak mau sungkan-sungkan lagi melepas pukulan
pamungkasnya sekalipun. Maka tangannya cepat
bergerak dari depan dada, membentang ke samping
dengan telapak terbuka lebar. Perlahan sepasang
tangan pendekar muda itu terangkat, lalu kembali ke
depan dada. Setelah menyatukan kedua telapak
tangan, matanya terpejam. Sesaat berikutnya....
Wrrr...!
Satu pukulan jarak jauh yang lebih kuat
dilancarkan Pendekar Slebor. Seperti serangan
sebelumnya, pukulannya kali ini pun menimbulkan
gelembung-gelembung udara memanjang yang
terbentang ke arah orang berbaju serba hijau itu.
Bedanya, kali ini gelembung-gelembung udara itu
lebih besar dan bergerak berputar di sekitar tenaga
pukulannya.
Orang berbaju serba hijau yang menyaksikan
pukulan Pendekar Slebor berniat mementahkannya.
Bahkan sekaligus menguji keampuhan Pusaka Langit
yang terbungkus kain putih tembus pandang di
tangannya.
Bersamaan tindakan itu, Andika segera merang-
seknya. Seketika sepasang kaki dan tangannya
dikayuh sekuat tenaga. Maka pengerahan tenaga
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan membuat
tubuhnya meluncur bagai seekor hiu memburu
mangsa.
Di pihak lain, orang berpakaian serba hijau juga
melakukan hal yang luar biasa. Pukulan sakti
Pendekar Slebor yang bisa meremuk redamkan
bongkahan karang sebesar kerbau, ternyata dapat
dibelokkan ke arah lain dengan sabetan kain berisi
Pusaka Langit!
Pendekar Slebor tentu saja dibuat tersentak
melihat kenyataan di depan matanya barusan. Tapi
karena tubuhnya sudah telanjur meluncur deras ke
arah lawan, tidak dipedulikan lagi kekuatan maha
dahsyat dalam Pusaka Langit. Yang ada dalam
kepalanya hanya tekad untuk merebut pusaka itu
agar dapat diamankan dari tangan keji.
Wrrr...!
Dalam terjangannya, tangan Pendekar Slebor
membentang ke depan, mengarah ke dada orang
berbaju hijau yang masih lengah.
Deb!
Terdengar bunyi tertahan, ketika jari-jari
mengejang Andika menotok tulang dada orang
berbaju hijau yang langsung terdorong deras ke
belakang. Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika
punggungnya menimpa batu cadas besar di
belakangnya.
Grrr...!
Batu cadas yang menjulang ke permukaan kontan
remuk di bagian yang terhajar punggung lelaki itu.
Tapi orang bertopeng kain hijau ini tampak tidak
mengalami sesuatu yang berarti. Dengan tenang,
kakinya menjejak ke batu cadas, lalu berenang
menuju Pendekar Slebor.
Mata Pendekar Slebor jadi membesar, karena baru
kali ini menemukan orang yang bisa menahan
pukulan pamungkas warisan Pendekar Lembah
Kutukan. Apalagi, tetap sehat walafiat seperti lelaki
itu.
Sementara itu, mata orang berbaju serba hijau itu
tampak berbinar angkuh. Kalau saja wajahnya tak
tertutup, tentu Pendekar Slebor akan menyaksikan
senyum penuh ejekan lawannya.
Lelaki bertopeng kain hijau itu makin dekat ke
arah Pendekar Slebor. Sementara itu, tangannya
sudah siap melancarkan jurus yang mungkin men-
ciptakan pusaran air raksasa karena daya sakti dari
Pusaka Langit....
***
SEMBILAN
Sekujur tubuh Pendekar Slebor jadi mengejang
karena tegang. Biarpun sudah banyak menelan asam
garam rimba persilatan, tapi tak luput pula dicekam
ketegangan. Seumur hidupnya, baru kali ini menjalani
pertarungan maut di bawah air. Terlebih, kesaktian
orang berbaju serba hijau itu sulit diukur akibat
pangaruh kekuatan Pusaka Langit.
Bahkan kini dada Pendekar Slebor mulai terasa
sesak. Entah sudah berapa lama berada di bawah air,
dia sendiri tidak tahu. Yang pasti, paru-parunya harus
diisi udara baru, kalau tidak ingin dadanya pecah.
Namun, Pendekar Slebor tidak bisa begitu saja
melayang ke permukaan. Baru saja sepasang kakinya
hendak dikayuh ke atas, orang berpakaian serba
hijau itu telah tiba di depannya.
Srrr...!
Tangan kanan lelaki bertopeng bergerak menyapu
ke perut Pendekar Slebor. Untunglah, pada saat yang
gawat pendekar muda itu mampu melakukan
gerakan kecil ke belakang. Sehingga, tangan lawan-
nya lewat beberapa rambut dari perutnya. Kalau saja
Pendekar Slebor kalah cepat, bisa dipastikan isi
perutnya akan ambrol saat itu juga, terkena tombak
kecil bermata tiga di tangan lawannya. Rupanya orang
berpakaian serba hijau itu mengeluarkan senjata saat
Andika lengah
Selesai dengan satu sabetan, lelaki bertopeng
hijau itu mengirimkan tebasan dan tusukan susulan.
Senjatanya berpindah-pindah sasaran. Dari dada, ke
kepala, lalu sesekali ke leher Pendekar Slebor.
Serangan bertubi-tubi ini membuat Pendekar
Slebor kewalahan. Di samping pernapasannya yang
sudah tak memungkinkan, gerakan lawannya pun
menggila. Kalau saja kecepatan sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tidak menyatu dalam
dirinya, sulit dibayangkan lagi bagaimana keadaan-
nya. Tubuhnya pasti akan tercabik senjata lawan.
Saat berikutnya, lelaki bertopeng itu mulai pula
memanfaatkan Pusaka Langit sebagai senjata. Tanpa
memberi kesempatan secuil pun pada Pendekar
Slebor, tangannya yang menggenggam kain tembus
pandang berisi Pusaka Langit segera diayunkan.
Srrr...!
Bagai palu aneh, batu merah bara dalam
bungkusan kain tembus pandang itu menderu ke
kepala Andika. Sekejap lagi, kepalanya tentu akan
remuk. Namun, keadaan terdesak seperti itu mampu
membuat Pendekar Slebor melakuan hal yang
sebenarnya sudah tidak mungkin. Entah, naluri
macam apa yang menuntun tubuhnya hingga bisa
bergeser ke belakang tanpa disadari.
Sekali lagi, serangan orang berbaju serba hijau itu
luput. Tapi bukan berarti Pendekar Slebor tidak
menerima akibat lain yang tak kalah parah. Pusaka
Langit ternyata telah melipatgandakan tenaga
dorongan berbentuk gelombang dalam air akibat
hantaman tadi.
Pendekar yang mengalami gangguan pada ingatan-
nya itu langsung terdorong deras ke belakang, meski
di dalam air. Tubuhnya baru berhenti meluncur,
setelah menghantam batu cadas besar.
Grrrgh...!
Cadas yang menjadi sasaran tubuh Andika kontan
menjadi gompal! Pecahannya pun berhamburan di
dasar danau berpasir. Andika sendiri mengalami
akibat yang tak kalah hebat. Dari mulutnya keluar
cairan merah kental. Yang kemudian melayang bagai
asap merah dalam air. Sementara, rasa sesak yang
mendera punggung memaksanya melepas per-
napasan. Maka air pun cepat merasuk ke saluran
napasnya. Dan ini membuat Pendekar Slebor jadi
gelagapan.
Kesempatan itu cepat digunakan sebaik-baiknya
oleh orang berbaju serba hijau itu. Kembali dilabrak-
nya Pendekar Slebor. Setelah mengayun kaki dan
tangannya sekuat tenaga, tubuhnya meluncur deras
dengan kaki kanan mengarah ke dada Andika.
Bekh!
“Aaargkh!
Andika langsung memekik dalam air. Namun
suaranya yang terlontar kuat, teredam begitu saja.
Sementara, terjangan air ke dalam jalan napasnya
kian parah. Wajah tampan pendekar muda itu tampak
mengejang dalam bias air danau. Matanya mem-
belalak, menahan sakit tak terkira. Perlahan-lahan
pandangannya mengabur. Sebelum seluruh
kesadarannya lenyap, tangan kekarnya men-
cengkeram orang berbaju hijau itu dengan sisa
tenaga terakhir.
Srrrt...!
Serangan balasan terakhir Pendekar Slebor
ternyata hanya mampu menyambar topeng kain
berwarna hijau dan baju bagian depan lawan. Kini,
pandangan yang mengabur dapat menyaksikan wajah
lawannya. Sekaligus, melihat tanda tubuh berwarna
hitam berbentuk bayangan ular di dada.
Setelah itu, semuanya hilang. Pendekar Slebor
telah tak sadarkan diri.
Tubuh tegapnya langsung mengapung lamban
dalam dekapan dingin air Danau Panca Warna.
Pakaian hijau-hijau dan kain bercorak caturnya
melambai-lambai lemah, selemah tubuhnya saat ini.
***
Matahari pagi mendaki sepenggalan di cakrawala.
Cahayanya yang kemerahan telah memudar sejak
tadi. Perlahan benda alam raksasa itu mengirim
kehangatan ke wajah bumi. Begitu juga di sekitar
Dana Panca Warna.
Beriring terusirnya kabut, Andika alias Pendekar
Slebor siuman dari pingsannya. Tubuhnya tergeletak
lemah di bibir danau berpasir lembut, beberapa
tombak dari permukaan. Mata elangnya mengerjap-
ngerjap silau, diterkam sinar matahari. Kepalanya
bergerak lambat.
“Kenapa aku bisa berada di luar danau?” desah
Pendekar Slebor seraya mencoba bangkit.
Andika segera mendekap dada dengan kedua
tangannya ketika dirambati rasa nyeri hebat, akibat
luka yang dialami dalam pertempuran kemarin.
Begitu pula bagian punggungnya. Bahkan sekujur
badannya terasa bagai direncah beribu sembilu.
Merasa dirinya tak mungkin berada di tempat itu
tanpa bantuan seseorang, Andika menoleh ke kanan
dan kiri. Tanpa susah payah mencari, matanya telah
menemukan seseorang berbaju koko kuning yang
dipadu celana pangsi hitam. Dia berdiri mem-
belakangi Andika. Dari bentuk tubuh dan warna putih
rambutnya, bisa diduga kalau lelaki itu sudah
berumur lanjut. Rambutnya yang digelung ke atas,
diikat kain warna biru tua. Meski kelihatan tua, cara
berdirinya tampak gagah. Satu tanda kalau dia
terbiasa melatih diri dengan ilmu olah kanuragan.
“Kau sudah siuman, Anak Muda?” sapa orang tua
itu tanpa berbalik.
“Begitulah, Ki. Semula kupikir aku sudah melayat
ke akherat menemui arwah para leluhur,” sahut
Andika mencoba akrab, meski hatinya masih diliputi
tanda tanya. “Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, siapa kau
sebenarnya?” Andika berusaha bangkit meski agak
terseok.
“Aku hanya seorang lelaki tua tak berarti,” jawab
lelaki itu, sedikit pun tidak memuaskan Andika.
“Tentu saja aku tahu kalau kau lelaki, Ki. Karena
pinggulmu memang tak besar seperti milik
perempuan,” kelakar Andika. “Tapi, aku tak tahu
namamu. Tak mungkin aku memanggilmu hanya
dengan sebutan saja. Sebab, kau telah menolongku.”
“Anak muda..., Anak Muda. Tak perlu kau ikuti
anggapan orang banyak bahwa seorang menolong
mengharapkan penghormatan dan sanjungan nama.
Dunia memang seringkali brengsek. Nilai-nilai suci
seperti pertolongan tanpa pamrih, selalu saja hendak
diganti nilai-nilai yang mengharuskan seseorang
menuntut pamrih pada orang yang ditolongnya,” tutur
lelaki itu bijak, masih belum juga menoleh.
“Ah! Kau ini, Ki. Bikin aku malu saja,” ujar Andika.
Mulut Pendekar Slebor jadi meringis-ringis. Entah
karena malu oleh ucapan lelaki tua di depannya, atau
karena sakit di tubuhnya.
“Tapi, bukankah tidak salah kalau aku mengetahui
namamu?” lanjut Andika.
“Memang tidak.”
“Nah! Jadi, boleh aku tahu siapa namamu, Ki?”
Kalingga?” tanya Andika, ingin tahu.
“Itu salah satu tujuanku.”
“Maksudmu, kau punya tujuan lain?”
“Tepat.”
Andika tak melanjutkan pertanyaan, karena
merasa pertanyaannya terlalu beruntun untuk
masalah pribadi lelaki tua itu. Padahal, sungguh tidak
pantas seseorang terlalu ingin turut campur dalam
urusan pribadi orang lain.
“Kenapa kau tak bertanya lagi?” usik Ki Kalingga,
saat mendapati wajah penasaran pemuda di
depannya.
“Kau tidak keberatan, Ki?”
“Aku bahkan berharap, kau bertanya lebih jauh.”
“Ooo....”
Andika memajukan bibir bulat-bulat. Sementara,
benaknya bertanya-tanya heran. Kenapa lelaki tua ini
menginginkan dia bertanya lebih jauh? Apakah ada
maksud tertentu?
“Mana pertanyaanmu?” tegur Ki Kalingga,
menyadarkan ketercenungan Andika.
“O, ya. Aku lupa. Apa tujuanmu, selain mencari
Ratna, Ki Kalingga?”
“Aku tak akan menjawabnya sekarang. Kecuali,
bila kau sudi menukarnya dengan jawabanmu,” kilah
Ki Kalingga, dibarengi sebaris senyum tipis yang
ramah.
Mata Andika jadi menyipit. Dalam hati, dia agak
menggerutu dengan jawaban konyol Ki Kalingga
terhadapnya. Benar-benar orangtua aneh! Dia tak
ingat kalau dirinya lebih aneh lagi. Sehingga, kaum
persilatan menjulukinya Pendekar Slebor.
“Baik..., baik, Ki. Terserah kau sajalah,” ucap
Andika seraya melepas napas. “Kau ingin menanya
kan apa padaku?”
“Siapa namamu? Dan, apa tujuanmu?”
“Aku..., ah! Apa itu perlu, Ki?”
“Perlu,” terabas Ki Kalingga cepat.
“Aku Andika. Kaum persilatan menjulukiku
Pendekar Slebor. Tapi kau tak perlu memuji lantaran
aku keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang
sudah menjadi cerita rakyat. Karena aku sendiri tak
ingin....”
Ucapan Pendekar Slebor terputus. Ada hal aneh
yang tiba-tiba dirasakannya. Sesaat dia memikirkan
keanehan itu. Sampai akhirnya....
“Kodok buduk! Kutu kupret! Monyet ngantuk!
Rupanya ingatanku sudah kembali!” seru Andika,
girang bukan alang kepalang.
“Kenapa?” tanya Ki Kalingga, karena tak mengerti
permasalahannya.
“Tidak apa-apa, Ki. Aku baru saja mendapat
anugerahTuhan...”
“Ooo...”
Kali ini Ki Kalingga yang memajukan bibir bulat-
bulat. Padahal, hatinya kebingungan. Baru kali ini
ditemukannya orang aneh yang menyumpah-
nyumpah sewaktu mendapat anugerah Tuhan.
Namun tanpa diketahui, dalam hati terdalam
Andika terpercik serangkai puji syukur kepada-Nya.
Dan memang wajar bila dia memanjat syukur dalam
hati. Karena, kesembuhan ingatannya begitu tiba-
tiba. Barangkali karena hantaman kedua sinar
Pusaka Langit yang melabrak matanya, saat ber-
tempur melawan lelaki bertopeng di dasar danau
kemarin.
Ingat pertempuran kemarin, Andika jadi terbayang
wajah lawannya yang sempat dilihatnya sebelum
pingsan. Rasanya, dia pernah melihat wajah lelaki itu.
Tapi, entah di mana.
“Bisa kembali ke percakapan kita?” tegur Ki
Kalingga ketika melihat Andika tercenung.
“Oh! Tentu saja bisa, Ki. Jadi apa tujuanmu yang
lain?”
“Sebelum kujawab, akan kuceritakan sebuah kisah
padamu,” kata Ki Kalingga memulai. “Lima ratus
tahun yang lalu, ada sebuah benda langit yang
menembus lapisan udara bumi, dan jatuh ke hulu
Sungai Kuning di Cina. Seorang sakti yang hidup di
masa Dinasti Ming tahu kalau benda itu memiliki
kekuatan bintang yang sangat dahsyat, dari wangsit
saat bertapa.”
Andika manggut-manggut dengan kening berkerut.
Rupanya dia benar-benar tertarik mendengarnya.
“Dia pun menelusuri hulu Sungai Kuning, untuk
mencari benda langit itu. Ketika benda itu ditemukan
dia mendapat kesulitan, karena ternyata mampu
memancarkan kekuatan yang mempengaruhi diri
seseorang. Itu sebabnya, ia menangguhkan untuk
mengambilnya. Lalu, dia bertapa kembali untuk
memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, untuk
mengetahui bagaimana cara menangkal kekuatan
benda itu, hingga bisa diambilnya. Sampai suatu
malam, dia kembali mendapat wangsit. Dalam
wangsit itu, dia diberi petunjuk untuk membuat
sehelai selendang dari serat pohon yang hanya
tumbuh di suatu goa angker, di suatu pegunungan
tertinggi di Tibet,” lanjut Ki Kalingga.
Andika makin tertarik. Bahkan pandangannya kali
ini tak beralih dari wajah Ki Kalingga.
“Meski mendapat halangan yang nyaris merengut
jiwanya, akhirnya dia bisa juga mendapatkan serat
pohon, yang kemudian dijadikan selendang putih
tembus pandang. Dengan selendang itulah ia berhasil
mengambil benda langit tersebut. Dan dengan
kesaktiannya, benda angkasa raya itu dijadikan
pedang pusaka tak tertandingi.”
Sebentar Ki Kalingga menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia ingin mencari kata-kata yang tepat
untuk menuturkan ceritanya.
“Empat ratus tahun kemudian, setelah berpindah
tangan dari satu keturunan ke keturunan berikutnya,
pedang pusaka itu melebur, layaknya lilin terbakar
api. Dan leburannya lalu menyatu dengan bumi. Yang
tertinggal hanya gagangnya saja. Tapi rupanya,
kekuatan benda angkasa yang menjadi bahan
pedang, lenyap setelah empat ratus tahun kemudian.
Sementara selendang penjinak kekuatan benda langit
dan gagang pedang pusaka itu, lima puluh tujuh
tahun yang lalu dititipkan pada seorang keturunan si
Pertapa Sakti itu kepadaku. Menurut buyutnya, benda
angkasa seperti itu akan jatuh ke bumi kembali,
setiap lima ratus tahun sekali. Dan ketika lima ratus
tahun sejak benda langit pertama ditemukan,
amanatnya yang dititipkan padaku hendak diambilnya
kembali,” Ki Kalingga menyelesaikan ceritanya.
“Lalu, apa hubungannya dengan diriku. Sampai-
sampai, kau merasa perlu menanyakan nama dan
julukanku?” tanya Andika tidak mengerti.
“Aku berharap, kau sudi menolongku menyelamat-
kan benda angkasa sakti itu dari tangan orang-orang
berhati iblis.”
“O. Jadi, itu tujuanmu selain mencari Ratna?”
“Ya.”
“Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?”
“Aku sudah tua. Sudah jenuh oleh gelora dunia
persilatan yang selalu berbau anyir darah. Aku
berharap, kau sebagai tokoh muda yang disegani,
sudi melanjutkan perjuanganku. Kini, aku hanya ingin
mendidik murid-muridku menjadi orang berguna bagi
rakyat, bagi orang banyak,” tutur Ki Kalingga
perlahan, namun tetap berkesan tegas berwibawa.
“Nah! Kurasa aku sudah cukup menyampaikan
amanatku padamu, Pendekar Slebor. Terima kasih
atas kesediaanmu meneruskan perjuanganku,” lanjut
Ki Kalinga, seraya menepuk bahu kekar Andika.
“Tapi, Ki....”
Belum sempat Andika melanjutkan ucapan, lelaki
tua itu sudah melesat cepat bagai tersapu angin.
Tampak jelas, bagaimana tingginya ilmu meringankan
tubuh Ki Kalingga. Mungkin hanya segelintir orang
yang mampu melakukannya, termasuk Andika sendiri.
Setelah Ki Kalinga pergi, Andika tercenung.
Ingatannya yang mulai pulih, membuatnya cepat
terbayang pada kematian dua murid terbaik Ki
Kalingga, Rudapaksa dan Rudapaksi.
“Kalau gurunya sudah sesakti itu, murid terbaiknya
tentu tak kalah hebat. Tapi, bagaimana kedua murid
pilihan itu dapat dibunuh dengan mudah? Musuh
macam apa yang mesti kuhadapi ini?” desis Andika
dengan alis bertaut rapat.
Cukup lama Andika terdiam, memikirkan lawan
yang akan dihadapi. Sampai akhirnya, dia teringat
pada lelaki bertopeng di dasar danau.
“Diakah orangnya?” gumam Andika.
Andika berusaha mengingat-ingat wajah yang
sempat dilihatnya secara sekilas itu. Ya! Dia yakin
pernah melihat wajah itu. Di mana dan kapan ter-
lihatnya, belum begitu jelas. Karena, setiap kali meng-
ingat, luka dalam yang diderita membuat daya
ingatannya buyar seketika.
Akhirnya, diputuskan untuk menyembuhkan luka
dalamnya lebih dahulu. Andika lalu bersila di tanah.
Matanya perlahan-lahan terperjam. Sedang sepasang
tangannya bersidekap di depan dada. Dia memulai
semadi untuk menyalurkan hawa murni ke bagian
tubuhnya yang terluka.
Lambat laun, tubuh Pendekar Slebor mulai terasa
segar kembali. Maka Andika pun memenggal semadi-
nya. Berbareng dengan gerakan tangan untuk meng-
hapus peluh yang membasahi keningnya, dia mulai
mengingat kembali lelaki yang dihadapi di dasar
Danau Panca Warna.
Dan tiba-tiba gangguan datang lagi tanpa di-
sangka-sangka. Telinga tajamnya menangkap desir
lembut dari arah belakang.
Zing...!
“Hiaaah!”
Tanpa mau menoleh ke belakang lagi, tubuh
Pendekar Slebor melenting ringan ke atas. Andika
sudah sering mendengar suara seperti itu. Bahkan
bisa dibilang sudah begitu akrab selama mengarungi
buasnya rimba persilatan. Desing itu adalah suara
yang ditimbulkan luncuran senjata tajam kecil.
Dugaan Andika tidak meleset sedikit pun. Tampak
sebilah pisau belati hendak memangsa punggungnya.
Jlep!
Luput dari sasaran, belati itu menembus batang
pohon cemara lima belas tombak di depan Andika.
“Kutu koreng!” maki Andika di udara.
Setelah berputaran beberapa kali, tubuh Pendekar
Slebor meluncur turun kembali. Sepasang kakinya
ringan sekali menjejak tanah berpasir tanpa
kesulitan.
“Siapa manusia biang kurap yang coba-coba main-
main?!” bentak Andika jengkel, seraya mengedarkan
pandangan liar ke sekitar tempatnya berdiri.
Tak terdengar jawaban. Bahkan desahan napas
sekalipun. Tampaknya, si Pembokong telah melarikan
diri ketika Andika sibuk menghindari serangan gelap
tadi.
Dengan bibir bergerak-gerak menggerutu, Andika
mengalihkan pandangan ke belati di pohon cemara.
Di gagangnya, terdapat sehelai daun lontar yang
diikat seutas tali.
“Permainan macam apa lagi itu?” gerutu Pendekar
Slebor dongkol.
Kakinya lantas melangkah menuju pohon cemara
sasaran belati itu. Setibanya di dekat pohon itu,
Andika mencabut belati. Kemudian, ikatannya dibuka.
Dibentangnya daun lontar yang terdapat di belati, lalu
terlihat tulisan di dalamnya.
Maafkan aku bila menyuruh seseorang
menyampaikan pesanku ini, meski sebenarnya lebih
pantas disampaikan langsung. Tuan Pendekar,
kulihat kau sudah cukup akrab dengan adik
seperguruanku Ratna Kumala. Untuk itu, aku
meminta tolong pada Tuan untuk menjaga
keselamatannya.
Tugas yang kami jalankan amat berbahaya. Bisa
saja kami akan terbunuh suatu saat. Jadi, untuk
kedua kalinya aku memohon pertolongan Tuan. Bila
ternyata kami memang terbunuh, sudilah kiranya
Tuan Pendekar menyelamatkan gagang pedang yang
kami simpan di satu tiang Penginapan Mekar Harum
di Desa Ambangan.
Tertanda, Rudapaksa.
Andika menutup daun lontar itu. Lalu tanpa sadar,
diremas-remasnya. Persoalan kini mulai menjadi jelas
bagi dirinya. Bahkan sekarang bisa teringat jelas,
siapa lelaki yang bertarung dengannya di dasar danau
kemarin, setelah surat itu menyebut-nyebut tentang
tugas yang diemban Rudapaksa dan Rudapaksi.
Wajah lawannya memang wajah lelaki dari Tiongkok
yang dilihatnya di Bandar Sunda Kelapa, bersama
Rudapaksa dan Rudapaksi beberapa saat lalu.... Ya!
Chin Liong!
Lalu, ke mana Ratna? Pertanyaan yang sempat
diajukan pada Ki Kalingga kini tersembul lagi di
lerung benaknya. Andika terpaku memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diri
gadis kepala batu itu.
Plok!
Tiba-tiba, Andika menepuk keningnya keras.
“Mengapa aku lamban sekali berpikir! Tentu saja
Chin Liong telah menculiknya, karena mengira Ratna
Kumala tahu tempat persembunyian gagang pedang
pusaka yang disebut Rudapaksa dalam suratnya!”
cetus hati Andika. “Heh! Rupanya lelaki itu sudah
mengkhianati Rudapaksa dan Rudapaksi untuk
menguasai selendang penjinak Pusaka Langit,
sekaligus ingin mendapatkan benda angkasa raya
dan gagang pedang pusaka itu!”
Bibir Pendekar Slebor tampak menyeringai, antara
senang karena berhasil memecahkan teka-teki,
dengan kegusaran atas pengkhianatan Chin Liong.
“Seujung rambut saja gadis itu terusik kau akan
kubuat hancur seperti sambal terasi, Chin Liong...!”
Selesai mengucapkan kalimat terakhir, Andika
melesat dari tempat itu.
Kini tepian Danau Panca Warna sunyi. Desir angin
yang membelai permukaan danau terdengar men-
dayu. Tanpa diketahui Andika, beberapa depa dari
tempatnya berdiri teronggok dua timbunan tanah
yang cukup besar. Pada satu ujung timbunan, ter-
tancap batang pohon kering. Di dalamnya ber-
semayam puluhan mayat yang dibantai sepasukan
orang berpakaian merah, bersama lelaki biadab yang
membawa selendang berisi Pusaka Langit.... Salah
seorang di antara mayat-mayat itu adalah Ratna
Kumala!
***
SEPULUH
Karena letaknya tak jauh dari pusat perniagaan
Bandar Sunda Kelapa, Desa Ambangan tak pernah
mati dari kesibukan. Pasar di desa itu terus berdenyut
siang dan malam, tak seperti pasar di tempat lain
yang baru ramai jika jatuh hari pasaran. Hal itu wajar
saja, jika memperhatikan bagaimana barang-barang
yang dibongkar muat di Bandar Sunda Kelapa,
sebagian dibawa ke pasar tersebut untuk dijual.
Sementara, kapal-kapal niaga yang membawa barang
tak pernah kenal kata siang atau malam untuk
berlabuh di bandar.
Malam itu, Andika tiba di pusat Desa Ambangan.
Mestinya, dia bisa tiba lebih awal di sana. Karena,
jarak antara Danau Panca Warna dengan pusat desa
hanya berjarak sepeminum teh. Namun, penduduk
desa tentu akan mengenalinya sebagai seorang
pendekar yang menolong Buntar waktu itu. Akibatnya,
kedatangannya di desa itu akan cepat tercium lawan
yang bisa saja menguping dari obrolan penduduk. Itu
sebabnya, diputuskannya untuk datang malam hari.
Tempat yang dituju Pendekar Slebor adalah
Penginapan Mekar Harum, tempat di mana
Rudapaksa menyembunyikan gagang pedang pusaka
dari Tiongkok pada satu tiangnya. Agar tak mudah
dikenali, sengaja dia mengenakan caping lebar dan
berjalan pada tempat-tempat yang tak terlalu terang.
Sementara, matanya terus mengawasi kian kemari.
Siapa tahu saat itu dia bisa menemukan Chin Liong!
Saat Pendekar Slebor melintasi satu kelontong
yang cukup terang oleh cahaya lampu minyak,
seseorang yang dikenalnya melintas tepat di depan-
nya. Langkah Andika bergegas berhenti. Tangannya
cepat-cepat menurunkan caping ke depan. Andika
amat hafal wajah lelaki desa yang bernama Diding itu.
Dia adalah kawan Buntar, orang yang ditolongnya
tempo hari. Kalau cahaya dari lampu minyak
kelontong dibiarkan menerpa wajah, tentu Diding
akan mengenalinya pula.
Setelah Diding lewat beberapa langkah darinya,
Andika meliriknya. Dia hanya ingin meyakinkan kalau
Diding tidak menoleh ke belakang. Yakin kalau lelaki
desa itu tidak akan menoleh, Andika segera
melanjutkan langkahnya.
Tapi baru dua tindak kakinya bergerak....
“Lho, Den Pendekar! Mau ke mana?!”
Terdengar panggilan Diding di belakangnya.
“Benar-benar apes,” rutuk Andika membatin.
“Matamu jeli juga, Kang,” ujar Andika, setengah
menggerutu ketika Diding sudah berdiri di hadapan-
nya. Mata besar Diding berbinar-binar senang bisa
bertemu kembali pendekar sebaik Andika.
“O, jelas...,” tukas Diding bangga. Hidungnya
kembang-kempis merasa dipuji. “Den Pendekar mau
ke mana?”
Bukannya menjawab, Andika malah meraih per-
gelangan tangan lelaki desa itu.
“Ikut aku,” bisik Andika, seraya menarik Diding ke
satu lorong di antara dua bangunan kelontong.
“Eh, eh...! Jangan narik-narik seperti ini, Den. Nanti
aku dikira pencopet yang ketangkap basah,” kicau
Diding.
“Diam!”
Mendapat bentakan Andika, mulut Diding yang
berbibir setebal tahu langsung saja terkatup rapat-
rapat.
“Kuminta, kau tidak berbicara pada siapa pun
kalau aku ada di desa ini,” ujar Andika di sudut
lorong. Matanya terpaut erat pada mata Diding,
sebagai isyarat kalau pembicaraannya sangat
penting.
Diding mengangguk-angguk tergesa dengan alis
terangkat tinggi-tinggi.
“Ho-oh... ho-oh,” ucap Diding ketolol-tololan.
“Dan satu lagi....”
“Apa, Den?”
“Apa kau melihat lelaki Tiongkok?”
Kening Diding berkerut.
“Lihat, Den...,” jawab Diding.
“Bagus. Di mana dia?” lanjut Andika.
“Itu, tuh! Di perkampungan Tiongkok di ujung
pasar. Ada Bun li, ada Bo Liang, Mei Lan, Ling ling.
Mpeh Lim Giok yang perutnya sebesar tong juga
ada....”
Andika menarik napas kesal. Yang ditanya lain,
yang dijawab lain lagi. Andika jadi menggerutu dalam
hati.
“Aku tak menanyakan para pendatang dari negeri
Tiongkok yang menetap di daerah ini.”
“Jadi yang mana, Den?”
“Lelaki Tiongkok berwajah tampan yang baru
datang saat ada kegemparan benda langit yang jatuh
ke danau. Pakaiannya berwarna merah, dan ter-
kadang mengenakan pakaian warna hijau,” urai
Andika, menjelaskan ciri-ciri Chin Liong.
Kembali kening Diding berkerut. Kali ini, benaknya
sungguh-sungguh mengingat lelaki pendatang dari
Tiongkok yang sampai di desanya belakangan ini.
“O, iya Den. Aku pernah lihat lelaki Tiongkok yang
seperti Aden gambarkan....”
“Di mana?” sela Andika cepat.
“Di... mmm, penginapan Mekar Harum!”
“Penginapan Mekar Harum,” gumam Andika, tak
kentara.
Terbersit pikiran dalam benak Pendekar Slebor
kalau Chin Liong telah mendahuluinya. Meskipun,
belum diyakini benar apakah Chin Liong telah
mendapatkan gagang pedang pusaka itu atau belum.
“Aku harus segera ke sana...,” bisik Andika.
“Ah! Aku sih tidak perlu diajak, Den,” tukas Diding.
“Siapa yang mengajakmu?” tanya Andika, seraya
memberi senyum sebagai tanda terima kasih.
Diding cengar-cengir tak karuan.
“O, kukira mau ngajakku, he he he.”
“Kalau mau ikut, ya boleh saja. Tapi asal berani
mati.”
“Kok?”
“Aku bukan mau menginap di sana, tapi mau
mencari seorang pembunuh berdarah dingin. Mau
ikut?”
“Ah-ah! Terima kasih banyak kalau gitu!”
Sekali lagi, Andika tersenyum. Setelah mengucap-
kan terima kasih, Andika berlalu dari lorong itu.
Tinggal Diding yang mengedik-ngedikkan bahu kalau
ngeri membayangkan dirinya harus berhadapan
dengan pembunuh berdarah dingin.
“Hiiiy, amit-amit!” desis laki-laki itu.
***
Penginapan Mekar Harum kini terselimut sepi.
Para pendekar yang beberapa hari lalu menginap di
sana, sejak kemarin mulai pergi satu persatu. Mereka
sudah kehilangan keberanian untuk mendapatkan
Pusaka Langit, setelah tiga tokoh utama aliran sesat
terbantai oleh orang aneh dalam sekali tepuk.
Kini penginapan itu ibarat kembang desa yang
kehilangan kecantikannya. Tak ada lagi yang mau
bertandang ke sana. Sementara, para pedagang dari
negeri lain tidak begitu berminat menyewa kamar di
sana, karena terletak begitu terpencil di sudut desa.
Suasana Penginapan Mekar Harum memang sama
sekali tidak menarik. Bahkan boleh dibilang agak
berkesan angker. Letaknya persis di bibir tebing yang
menghadap Danau Panca Warna. Bangunannya
tampak kuno, berdiri di ketinggian dengan kawalan
pepohonan cemara yang besar dan rimbun.
Keangkeran juga terlihat pada bangunannya. Pintu
utamanya terbuat dari kayu meranti berwarna merah
kusam, bagai darah mengering. Di beberapa bagian
dindingnya, lumut meranggas liar ditambah beberapa
bagian lain yang sempal. Atapnya terbuat dari genting
beton dan dihiasi patung besar berbentuk buto ijo
pada ujung-ujungnya.
Di ruang tengah bangunan itu, tampak seseorang
berpakaian merah duduk menyendiri di satu kursi
bermeja. Kedua tangannya tampak memutar-mutar
cangkir bambu berisi tuak. Sesekali, tangannya
terangkat untuk meneguk isinya. Setelah tuak dalam
bambu habis, dituangnya kembali tuak dari tabung
bambu panjang yang disandarkan di sisi meja.
Tampaknya, hanya lelaki itu yang masih berminat
menyewa kamar di Penginapan Mekar Sari. Karena,
tak ada satu orang pun terlihat selain dia dan pemilik
penginapan tua yang duduk terkantuk-kantuk dibelai
angin malam.
Chin Liong tak melontarkan sepatah kata pun
untuk menanggapi ucapan terakhir Andika. Malah dia
berdiri dari kursinya.
“Kurasa kau berbicara pada orang yang tidak
tepat. Ada baiknya, aku masuk kamar. Aku perlu
istirahat. Jadi aku mohon pamit, Kisanak,” tutur Chin
Liong dengan kalimat terputus-putus dan kaku. Dia
memang belum begitu menguasai bahasa Melayu.
“Tunggu, Bajingan Bau!” bentak Andika tiba-tiba.
Lelaki tua pemilik penginapan yang semula meng-
angguk-angguk dipermainkan kantuk, mendadak saja
tersentak. Matanya terbelalak karena begitu kaget-
nya.
Sementara, Chin Liong mengurungkan niat untuk
masuk kamarnya. Dia berdiri tanpa gerak, tepat di
antara meja dan kursi yang didudukinya tadi.
“Ada apa lagi, Kisanak?” tanya Chin Liong tetap
datar.
“Di mana kau sembunyikan wanita yang kau culik
itu?!”
Chin Liong menoleh. Matanya bertumbukan
langsung pada Andika. Wajah tampan lelaki Tiongkok
itu tak terlihat berubah sedikit pun. Tetap dingin.
“Wanita?” tanya Chin Liong singkat.
“Jangan coba-coba bermain-main denganku, Chin
Liong!” hardik Andika, mulai gusar.
Bagaimana tidak gusar hati Andika kalau wanita
yang telah menyelamatkannya, dan menjadi kawan
baiknya belakangan ini dalam ancaman tangan keji
Chin Liong?
“Kau sungguh aneh, Kisanak. Aku bahkan tidak
mengenalmu. Tapi, tiba-tiba saja kau menuduhku
menyembunyikan seorang wanita...,” sangkal Chin
Liong tenang.
“Kau..., benar-benar tai kucing!” maki Andika.
Kegusaran Pendekar Slebor sudah tiba di ubun-
ubun. Pendekar muda itu merasa dirinya sedang
dipermainkan.
“Aku sudah tak mau banyak basa-basi lagi, Chin
Liong! Katakan, di mana wanita itu! Kalau tak kau
serahkan, terpaksa kita harus bersabung nyawa
kembali seperti di dasar danau,” ancam Andika
dengan mata terbakar merah.
Menanggapi ancaman Andika, Chin Liong malah
tersenyum tipis dan sinis. Kepalanya menggeleng-
gelengkan perlahan. Di mata Andika, sikapnya seperti
sedang mengejek.
“Telor busuk! Kentut busuk! Bubur busuk!” maki
Andika kalap, sekalap kakek-kakek kehilangan
cangklong kesayangan.
Usai menyemprotkan sumpah serapahnya,
Pendekar Slebor langsung menerjang Chin Liong.
“Khiaaah!”
Beriring teriakan menggeledek, tubuh Andika
meluncur secepat kilat ke arah Chin Liong. Satu
tendangan dilancarkan ke dada laki-laki Tiongkok itu.
“Hih!”
Kecepatan gerak Andika yang hanya dimiliki para
Pendekar Lembah Kutukan, memaksa Chin Liong
membuang diri ke samping secepat mungkin.
Brak!
Kaki Chin Liong membentur meja kayu enam
tombak dari tempatnya semula, hingga langsung
hancur berkeping-keping. Setelah berguling di lantai
beberapa kali, kakinya menjejak lantai. Sekejap tubuh
lelaki Tiongkok itu berputar di udara, lalu mendarat
mantap di satu meja lain.
Andika memburu kembali. Didekatinya laki-laki
sipit itu dengan bersalto melewati pecahan kayu
meja. Setibanya di dekat lawan, kaki tangannya
diputar untuk menyapu kepala.
Serangan Andika kali ini tidak berusaha dihindari.
Dipapakinya tendangan Andika dengan tangan kiri.
Des!
Sementara tangan kanan Chin Liong yang bebas,
segera mengirim serangan balasan ke perut Andika
yang masih di udara.
“Hih!”
Bet!
Pendekar Slebor tak ingin perutnya jadi sasaran
empuk pukulan lawan. Segera kedua tangannya
membentuk silang untuk menangkis pukulan Chin
Liong.
Des!
Pukulan Chin Liong dapat dimentahkan Pendekar
Slebor. Kini, tubuh Chin Liong meluncur turun dan
tiba di sisi meja tempat Andika berdiri. Melihat kaki
Chin Liong berada tepat di depannya, Pendekar
Slebor menyentak sepasang tangan dengan telapak
membentuk cakar.
“Haih!”
Jep! Jep!
Lagi-lagi, gempuran Pendekar Slebor tak menemui
sasaran. Karena, Chin Liong melompat ke lantai yang
tak kalah cepat dengan sentakan tangannya.
Sementara itu, lelaki tua pemilik penginapan
menjadi kalang kabut. Terbungkuk-bungkuk dia
berlari kelimpungan kian kemari, mengkhawatirkan
meja-mejanya yang mulai berantakan akibat per-
tempuran dua lelaki muda tangguh itu.
“Hey., hey! Kalian jangan bercanda di sini!” bentak
laki-laki tua itu seraya mengacung-acungkan tongkat.
“Kali ini, jangan berharap kau akan mem-
pecundangi aku!”
Terdengar seruan Pendekar Slebor di sela-sela
teriakan jengkel si pemilik penginapan.
“Keluarkan Pusaka Langit itu! Aku tak gentar
dengan benda seperti itu!'
Lelaki yang diteriaki hanya menatap Pendekar
Slebor dengan mata kian menyipit. Meski sudah
memulai pertarungan, wajahnya tetap tak me-
nunjukkan perubahan. Seakan wajah lelaki Tiongkok
itu terbuat dari potongan arca saja!
“Ayo, tunggu apa lagi?! Serang aku dengan senjata
yang paling hebat sekalipun,” tantang Andika dengan
wajah matang.
Tetap saja Chin Liong berdiri dalam kuda-kuda
tanpa bergerak-gerak. Tentu saja hal itu membuat
Pendekar Slebor makin diberangus kegusaran.
“Kau memang....”
Andika kehabisan kata-kata untuk memancing
kemarahan lawan. Bibirnya terkatup. Sedangkan
rahangnya mengeras.
Merasa tak ada gunanya lagi banyak bicara,
Pendekar Slebor mulai membuka jurus baru. Tubuh
Andika mulai bergerak ke sana kemari, seperti
kehilangan keseimbangan. Namun, bukan berarti
gerakannya tidak mengandung maut.
Sedangkan Chin Liong sendiri bisa menilai, bagai-
mana dahsyatnya gerakan yang sedang diperlihatkan
Pendekar Slebor. Seumur hidup, belum pernah dia
melihat jurus serupa itu. Jurus yang luar biasa cepat,
dan liar. Malah dalam setiap pergantian gerakan,
tercipta berpuluh bayangan kaki atau tangan lawan-
nya.
Pendekar Slebor rupanya sudah tak ingin
membuang waktu lagi. Hingga telah mengerahkan
jurus 'Mengubak Hujanan Petir', jurus keseratus dari
rangkaian jurus yang diciptakannya di Lembah
Kutukan.
Kedahsyatan jurus itu terletak pada dinding
kekuatan yang tercipta di sekitar tubuh Pendekar
Slebor. Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini
Pendekar Slebor mengeluarkan jurus 'Mengubak
Hujanan Petir'. Karena, Andika berpikir kalau lawan
akan segera mengeluarkan Pusaka Langit ber-
kekuatan bintang. Jurus 'Mengubak Hujanan Petir'
mungkin bisa menandinginya. Karena, Andika pernah
melindungi diri dengan kekuatan jurus tersebut,
ketika menjalani penyempurnaan di Lembah
Kutukan. Saat itu rentetan lidah petir bagai
membentur dinding tak terlihat, hendak menyambar
tubuh Pendekar Slebor. Akibat yang terjadi sungguh
menakjubkan! Sekitar tubuhnya berpendar cahaya
terang benderang yang mampu membutakan mata
seseorang!
Menyadari lawan mengerahkan jurus ampuh, Chin
Liong tak mau kalah bahaya. Tak ada waktu lagi
baginya untuk menimbang lebih lama. Segera
dipersiapkannya jurus andalan. Disatukannya telapak
tangan di depan dada. Sepasang kelopak matanya
mengatup. Lalu terdengar tarikan napas panjangnya.
Beberapa saat napasnya diatur tarikan demi tarikan,
hembusan demi hembusan. Sampai akhirnya, dia
mendorong kedua tangan ke depan dengan telapak
mengejang bersama hembusan napas keras.
“Hsss....”
Chin Liong kini siap memainkan jurus 'Naga
Menerjang Badai'. Suatu jurus yang diimbangi
pengerahan tenaga geledek dalam tubuh melalui
pernapasan. Terciptanya pemusatan tenaga geledek
pada sepasang tangannya, membuat tangan lelaki
Tiongkok mengeluarkan percikan api. Bentuknya
bagai bunga yang berpijar indah. Namun, di balik itu
terpendam kekuatan yang mampu menjebol gulungan
ombak laut sebesar gunung!
Kemudian, sepasang tangan laki-laki Tiongkok itu
mulai berputar teratur dan lamban. Gerakannya
seperti seseorang yang sedang menggapai seluruh
udara dalam ruangan tersebut. Dan tiba-tiba saja....
Sret! Sret!
Terjulur lidah-lidah geledek ke seluruh ruangan.
Seakan dalam ruang ini sedang terjadi badai petir.
“Khiaaa!”
Dimulai satu bentakan membahana, Chin Liong
meluruk menuju Andika. Sepasang tangannya tetap
berputar, namun lebih cepat dari sebelumnya. Setiba-
nya di dekat Pendekar Slebor, kedua tangannya
meng-hentak dari samping kiri.
“Hsss...!”
Web! Sret! Sret!
Dalam luncuran teramat deras, tangan Chin Liong
mengancam kedua sisi dada Andika. Namun
Pendekar Slebor yang sudah siap sejak tadi, tak sudi
dadanya dijebol tangan lawan. Dengan sigap, kedua
tangan dinaikkan dari bawah dengan tenaga penuh
untuk membentengi dada.
Dret!
Percikan bunga api raksasa langsung membersit,
manakala tangan mereka berbenturan. Kalau tangan
Pendekar Slebor masih terpaku pada keadaan
semula, maka tangan Chin Liong terhentak ke
belakang, seakan baru menimpa dinding karet kuat
yang tak terlihat.
Chin Liong sempat terkesiap melihat kenyataan itu.
Dengan wajah yang sukar dilukiskan, kakinya tersurut
tiga langkah ke belakang, akibat dorongan kuat pada
sepasang tangannya. Tapi sebagai tokoh sakti yang
amat disegani di seluruh daratan Tiongkok, dia tak
pernah berpikir untuk mengurungkan serangan
berikutnya.
“Khaaaih!”
Entah apa yang hendak dilakukannya saat itu,
Pendekar Slebor sendiri tidak mengerti. Tubuhnya
mendadak saja melenting ke belakang, bagai
sebatang tombak melengkung. Di udara, dia memutar
tubuhnya sehingga kakinya meluncur lebih dahulu.
Srrr...! Tep!
Pada satu tiang penyangga bangunan, kaki Chin
Liong menjejak. Lalu saat berikutnya, kakinya
dihentakkan. Kemudian tubuhnya meluncur kembali,
kali ini dengan tangan yang menyilang di atas kepala
serta putaran tubuh, membentuk sebuah pengebor
hidup!
“Khaaaih!”
Teriakan dan lidah geledek milik Chin Liong,
seperti hendak melantakkan ruangan penginapan.
Bukan cuma itu. Gerak aneh yang sedang dilakukan-
nya pun tampak hendak melantakkan dinding
kekuatan Pendekar Slebor.
Sementara itu, Andika membengkokkan kedua
lutut dengan kaki terpentang. Sepasang tangannya
mengepal kejang di sisi-sisi pinggang. Pendekar
Slebor sedang mencoba membuat kuda-kuda
bertahan, karena ia tahu kalau lawan hendak
mengadu tenaga.
Sambil mengimbangi teriakan mengguntur Chin
Liong, Pendekar Slebor menarik seluruh otot-otot
dadanya. Dada bidangnya seketika mengeras, mem-
perlihatkan garis-garis otot yang menojol.
“Khaaah!”
Drarrr!
Gemuruh besar tercipta saat tangan Chin Liong
mampu menguak dinding pertahanan Pendekar
Slebor. Bahkan tangannya yang berputar mampu
mendarat telak di dada Andika. Dan itu terjadi karena
pendekar muda kesohor itu memang sengaja mem-
buka dadanya.
Kenyataannya, akibat yang menimpa Chin Liong
sungguh luar biasa. Kulit di sekujur tubuhnya tiba-tiba
memerah dan terbakar. Sedangkan tubuhnya ter-
lontar ke belakang, bagai terseret di udara.
“Wuaaa!”
Duk! Brak!
Tiang besar yang semula berdiri kokoh dan
angkuh, menjadi porak poranda terhajar tubuh Chin
Liong. Andai tidak ada tiang lain, tentu bangunan
penginapan itu akan segera runtuh!
Sementara itu Pendekar Slebor masih tertancap
tegak dalam kuda-kudanya. Tapi, hal itu bukan berarti
tidak mengalami akibat dari pertumbukan dua
kekuatan liar tadi. Dari lubang hidung dan mulutnya
mengalir darah kental kehitaman. Darah itu terus
mengalir lambat melalui dagu Andika, lalu menetes di
kain bercorak catur yang melingkari pundaknya.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu bergetar
seperti kehilangan tenaga. Dia yakin, dirinya telah
mengalami luka dalam. Itu sebabnya, segera dilepas-
kannya kekuatan sakti yang memperkuat jurus
'Mengubak Hujanan Petir'nya. Lalu, dia segera
mengerahkan hawa murni untuk mengobati luka
dalam yang diderita.
Terdengar pengaturan napas Andika. Sepasang
matanya terpejam rapat. Sementara, sepasang
tangannya disatukan oleh ujung jari tengah di depan
dada.
Tak lama kemudian, suasana menjadi hening.
Pendekar Slebor telah menyelesaikan pengerahan
hawa murni dalam tubuhnya. Sedang tujuh tombak di
depannya, Chin Liong tergeletak tanpa gerak.
Badannya tertelungkup, menutupi pecahan-
pecahan tiang bangunan.
“Kau terlalu rakus untuk memiliki Pusaka Langit,
Sobat,” desah Andika perlahan. “Rupanya, kau tak
ingin membiarkan aku merebut benda sakti itu dari
tanganmu. Sehingga, kau lebih rela kehilangan nyawa
ketimbang mempergunakan benda itu untuk
melawanku.”
Di salah satu sudut ruangan, lelaki tua pemilik
penginapan meringkuk seperti tikus kehilangan akal.
Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat.
“Tolong..., tolong! Ada dua orang gila ingin meng-
hancurkan penginapanku satu-satunya,” lirih orang
tua itu seperti sedang sekarat.
Selanjutnya, terdengar langkah ringan Andika.
Didekatinya tubuh Chin Liong yang tergolek. Darah
kental kehitaman menodai lantai. Andika berharap
lawannya belum mati. Masih ada satu urusan yang
mesti diselesaikan. Ya! Dia belum tahu, di mana
Ratna Kumala. Menurutnya, Ratna Kumala disandera
Chin Liong. Oleh karena itu, dia ingin menanyakannya
pada lelaki Tiongkok itu. Itu pun kalau masih hidup.
“Chin Liong...,” sapa Andika seraya membalik
tubuh lelaki itu dengan kedua tangannya.
Saat itulah mata Andika tertumbuk pada suatu
yang membuatnya amat terkesiap. Tidak, dia tidak
melihat gagang pedang pusaka seperti yang disebut-
kan Rudapaksa dalam suratnya. Nyatanya, dada Chin
Liong tak memiliki tanda tubuh berbentuk bayangan
ular seperti yang dilihatnya, ketika bertempur di dasar
Danau Panca Warna.
Jantung pemuda itu mendadak hendak berhenti
berdenyut. Bulu halus di tengkuknya meremang
hebat, dirayapi kekhawatiran yang menyeruak dirinya.
“Dia bukan lelaki yang bertempur denganku di
dasar danau itu...,” desis Andika. “Ya, Tuhan....
Tampaknya aku telah salah tangan....”
Pada waktu yang bersamaan, terdengar tawa
lantang seseorang yang menggema liar di sekitar
ruangan besar itu.
“Hua ha ha...! Bagaimana Pendekar Slebor yang
juga bodoh? Apakah kau sudah menyadari dirimu
telah kupermainkan? Begitu mengasyikan permainan-
ku, bukan? Tentang surat palsu dari Rudapaksa yang
kubuat dengan tanganku. Juga, tentang cerita bohong
mengenai gagang pedang pusaka yang tersimpan di
satu tiang bangunan ini. Kau telah terkecoh, Babi
Bodoh! Hua ha ha.... Kau hendak mencari teman
wanitamu itu, bukan? Carilah dia di antara puluhan
mayat yang telah terbantai di tepi Danau Panca
Warna tempo hari. Hua ha ha...! Selamat tinggal,
Pendekar Bodoh!”
Tubuh Andika mengejang. Tak ada sepatah kata
pun yang bisa diucapkan. Lidahnya kelu. Seluruh
sendinya kaku. Dia tak bisa berbuat apa-apa, karena
begitu terpukul oleh rasa bersalah yang men-
cengkeramnya saat itu.
***
Siapakah lelaki yang telah mempermainkan
Andika? Bagaimana dengan Pusaka Langit? Benarkah
cerita Ki Kalingga mengenai benda langit yang pernah
turun lima ratus tahun lalu? Apa yang akan diperbuat
Andika selanjutnya? Matikah Chin Liong, lelaki
Tiongkok yang menjadi korban fitnahan lelaki
terselubung teka-teki?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
PENGEJARAN KE CINA
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar