DEWI ULAR HITAM
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode :
Dewi Ular Hitam
1
Siang meranggas, membakar
pepohonan, tanah kering dan tandus.
Angin seperti helaan dari neraka,
membuat dedaunan berguguran dan
mengering. Bumi berada dalam satu
penderitaan yang sangat hebat. Matahari
begitu garang menyengat hingga saking
panasnya dari ubun-ubun bagai
mengeluarkan asap.
Dari panas yang membakar, nampak dua
bayangan berkelebat, melewati belantara
tandus. Baju warna jingga, dengan ikat
pinggang berwarna merah yang mereka
kenakan, berkilat-kilat ditimpa cahaya
matahari. Diikat pinggang masing-masing
terselip sebatang clurit. Yang berambut
acak-acakan berwajah tirus, dengan mata
melengkung ke bawah. Alisnya hanya
merupakan jajaran tipis saja. Sedangkan
yang berambut pendek itu berwajah bulat,
matanya bergelambir. Alisnya tebal.
Meskipun wajahnya bulat, tetapi tubuhnya
langsing. Kedua sosok itu berasal dari
Madura. Dan keduanya berusia sekitar
tiga puluh tahun.
"Radanara, sudah lima hari kita
berada di tanah Jawa ini, namun sampai
hari ini kita belum mendapat-kan
keterangan yang berarti tentang Dewi
Ular Hitam," kata yang berambut pendek
sambil terus berkelebat. Keringat
mengaliri wajahnya. Tetapi ia letap
kelihatan tegar.
Laki-laki yang disebut Radanara
mengalami hal yang sama. Kalau bukan
orang-orang yang memiliki ilmu cukup
tinggi, bisa jadi kedua belah kaki mereka
akan segera melepuh begitu menginjakkan
kaki di daerah tandus dan panas yang
menyengat ini.
"Aku sudah tak sabar ingin membunuh
manusia keparat itu!" sahut Radanara
dengan suaranya menggeram, menandakan
amarah dan dendam menggelegak di
dadanya.
"Biar bagaimana susahnya, sampai
dunia kiamat sekali pun, manusia keparat
itu harus mampus! Ia harus menerima
balasan atas kematian Guru! Kita harus
secepatnya menemukan manusia keparat
itu, Ardinara!"
Keduanya terus berkelebat dengan
pikiran yang berkecamuk dan dada
bergelora penuh dendam membara. Sejauh
mata memandang, hanya daerah tandus itu
yang ada di matanya.
Jarak seratus tombak ketika mereka
akan meng-akhiri kelebatan tubuh dari
tanah tandus dan tiba di sebuah hutan
yang sudah terpampang, tiba-tiba saja
keduanya merasakan angin kencang
berkesiur ke arahnya. Kalau sejak tadi
keduanya merasakan angin itu berhembus
panas, kali ini dirasakan angin dingin
yang meluncur. Derasnya angin itu lain
dengan yang sejak tadi mereka rasakan.
Menyadari perubahan angin yang
datang itu, keduanya serentak melompat
ke kanan dan ke kiri. Angin yang menderu
kencang itu melewati tempat di mana
keduanya tadi berlari.
Menghantam tanah yang segera
menghamburkan debu-debu panas. Ketika
debu yang beterbangan itu menghilang, di
tempat yang mereka pijak tadi sudah
terbentuk sebuah lubang besar menganga.
"Hhhh! Orang iseng mana yang nekat
mencari mampus?" seru Radanara dengan
bersiaga. Begitu pula Ardinara yang
tegak dengan tatapan waspada.
"Hik.. hik.. hik:.. hebat-hebat
sekali. Kalau gurunya telah mampus,
rupanya muridnya ingin mampus pula!"
terdengar suara mengikik penuh ejekan
dari satu tempat.
Keduanya menoleh ke arah asal suara
itu. Yang mengejutkan, tak ada seorang
pun di sana, kecuali sebuah batu besar.
Radanara menggerakkan tangannya
dengan geram. Serangkum angin laksana
topan menderu ke arah batu besar itu.
Bummm!!
Batu sebesar kerbau itu berantakan
menjadi kerikil. Tetapi tak satu sosok
tubuh pun yang muncul atau mencelat dari
balik batu besar itu. Hanya suara wanita,
serak, kembali terdengar,
"Hik... hik... hik.. boleh juga
pukulan jarak jauhmu itu, Radanara...."
"Keparat busuk! Kalau kau memang
punya wajah, silakan tampil! Jangan
bisanya cuma membokong dari belakang!!"
bentak Radanara. Pandangannya tajam dan
sengit.
"Kalau itu permintaanmu, baik,
baik!!" Setelah kata-kata itu habis,
dikawal suara mengikik muncullah satu
sosok tubuh dari satu tempat yang tak
terlihat. Ketika hinggap dengan
ringannya di depan keduanya, sosok itu
kembali mengikik, lebih kencang.
"Nah, apakah kalau sudah melihat
rupaku yang cantik ini kalian akan segera
bersujud? Atau, jatuh cinta?"
Dua lelaki itu mengeluarkan suara
mendengus bersamaan, memperhatikan satu
sosok tubuh mengenakan pakaian berwarna
hitam pekat. Kain batik butut dikenakan
oleh wanita tua itu untuk menutupi bagian
bawah tubuhnya.
"Apakah kau yang berjuluk Dewi Ular
Hitam?" bentak Ardinara dengan tatapan
menyipit. Orang yang hadir dengan cara
seperti itu, bisa dipastikan ia adalah
orang jahat. Dan karena yang sedang
dicarinya adalah Dewi Ular Hitam, maka
pertanyaan yang terlontar dari mulut
Radanara seperti itu.
Sosok itu terkikik-kikik.
"Kau tak salah, Radanara."
Mendengar jawaban itu, Radanara
menggeram berat. Kedua tangannya
terkepal.
"Wanita tua hina dina! Kematian
sudah tiba untukmu!"
Dewi Ular Hitam kembali
mengeluarkan suara terkikik. Parasnya
boleh dikatakan tidak cantik sama
sekali. Malah mengerikan. Kerutan nampak
menghiasi wajah dan seluruh tubuhnya.
Hidungnya bagaikan melesat ke dalam.
Matanya turun dengan bola mata berwarna
kelabu. Yang unik lagi, seluruh giginya
sudah ompong. Tubuhnya agak membungkuk
sedikit. Usianya sekitar tujuh puluh
tahun. Di lehernya melilit seekor ular
hitam yang mendesis-desis mengerikan.
"Bagus, bagus.. kalau kau berkata
terus terang. Sayangnya, kalian hanya
membuang nyawa percuma!"
"Keparat!!" Sehabis membentak
begitu, tubuh Radanara melesat cepat ke
arah Dewi Ular Hitam yang masih
terkikik-kikik. Serangkum tenaga hebat
telah terjalin di kedua tangannya.
Wuuuttt!
Radanara terperangah, karena
serangannya hanya mengenai angin.
Sejenak ia celingukan. Ketika ia
menoleh, dilihatnya Dewi Ular Hitam
tengah terkikik-kikik di belakangnya.
Murkalah Radanara. Ia mengempos
lagi tubuhnya sambil melancarkan
serangan. Lagi-lagi sosok wanita tua
berbaju hitam itu tak ada di tempatnya.
Hal ini semakin membuat amarah Radanara
menjadi naik meskipun sadar kalau lawan
bukanlah orang sembarangan. Membunuh
guru mereka, Dewa Muka Singa, bukanlah
hal yang mudah.
Ardinara langsung menderu begitu
dilihatnya Dewi Ular Hitam berada di
belakang Radanara.
"Bangsat busuk! Aku pun ingin
merasakan kehebatanmu!!" geramnya
membahana.
Wuusss!!
Kembali tubuh Dewi Ular Hitam lenyap
dari pandangan, serangan Ardinara hanya
mengenai angin. Radanara segera
mendekatinya.
"Kita tak boleh lengah! Guru saja
bisa dipercundanginya!" serunya
berhati-hati
"Sayangnya, kalian pun akan
mampus!" tiba-tiba terdengar suara
dingin itu dari belakang mereka, yang
membuat keduanya segera bergulingan
ketika merasa angin menderu ke arah
mereka.
"Bagus, bagus sekali! Tetapi ingat,
kalian hanya kuberi bernapas dalam satu
jurus!"
Wajah keduanya memerah. Di samping
sengatan matahari, juga karena mendengar
ejekan Dewi Ular Hitam. Serempak mereka
bergerak kembali.
Kali ini dengan suara gerengan
seekor singa luka dan kedua tangan
membentuk cakar yang mengebut ke sana
kemari, namun lagi-lagi tubuh lawan
lenyap begitu saja. Bahkan...
Des!!
Tubuh Radanara terjajar ke
belakang. Dadanya bagai dihantam oleh
godam yang sangat besar. Melihat hal itu,
Ardinara menggeram keras. Celingukan ia
mencari Dewi Ular Hitam. Begitu nampak di
matanya, dicabutnya cluritnya yang
berkilat-kilat.
Dihantamkannya berkali-kali,
tetapi yang termakan hanyalah angin
belaka. Selebihnya, ia merasakan
punggungnya terhantam pukulan yang
sangat keras sekali.
Seketika ia tersuruk ke tanah. Debu
panas segera menyengat wajahnya,
membuatnya menjerit-jerit. Radanara
yang melihat bahaya mengancam saudara
seperguruannya melakukan gerakan yang
sangat luar biasa beraninya. Karena, ia
memotong serangan yang sedang
dilancarkan oleh wanita kejam itu pada
Ardinara.
Akan tetapi, sudah jelas kalau Dewi
Ular Hitam memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari keduanya. Masih berusaha
untuk menginjak kepala Ardinara, ia
mengibaskan tangan kirinya menggebuk
tubuh Radanara.
Des!
Radanara terjajar ke belakang
dengan perut yang terasa mulas. Dari
mulutnya terdengar keluhan pendek. Saat
itulah Dewi Ular Hitam melakukan
keinginannya. Ardinara memekik dengan
wajah pias.
"Hik... hik... hik... kupilih kau
untuk mampus!" kikiknya dan dengan
bengisnya ia mengangkat kaki kirinya,
siap menginjak kepala Ardinara
Menyadari maut akan datang,
Ardinara bergulingan. Panasnya debu dan
kerikil sungguh menyiksa. Tetapi, maut
di depan mata harus dihindari.
Dewi Ular Hitam perlihatkan
kelasnya. Selagi Ardinara bergulingan
dan coba untuk bangkit, ia menerjang
cepat. Kaki kirinya menghantam kaki
kanan Ardinara. Keluhan pendek terdengar
bersama suara tulang patah. Menyusul
tendangan berikutnya, telak menghantam
dadanya.
Prak!
Ardinara ambruk. Tulang iganya
patah. Sakit bukan alang kepalang. Ia
mengeluh tertahan dengan aliran darah
kacau. Pusing melanda dirinya, hingga
penglihatannya nanar.
Melihat hal itu, Radanara yang
sedang berusaha untuk bangkit, menggeram
marah dengan teriakan keras setinggi
langit.
"Monyet tua hina dina! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!!"
Tubuhnya melesat dengan gerakan
menerkam seekor singa yang melihat
mangsa. Dewi Ular Hitam hanya terkikik
melihatnya. Begitu serangan yang
dilakukan oleh Radanara mendekat,
tangannya mengibas.
Des!
Pukulan Radanara dipapaki, menyusul
satu gedoran kencang dari bawah.
Tanpa ampun lagi tubuh Radanara
terlontar lima tombak ke belakang. Dari
mulut dan hidungnya mengalir darah
segar. Dipegang dada dengan mata melotot
gusar.
"Hik... hik... hik... kau kubiarkan
hidup, karena aku masih bermurah hati!
Kasihan melihat kau yang datang dari jauh
tetapi tak mampu membunuhku!"
Tiba-tiba saja Dewi Ular Hitam,
memegang ular hitam yang selalu mendesis
dari lehernya. Dilepaskannya ular itu ke
arah Ardinara.
"Kau mendapatkan jatah yang lumayan
enak, Manis!"
Ular itu meluncur deras dan....
Crass!
Menembus jantung Ardinara yang
melolong setinggi langit Di detik Iain,
ular itu telah mencelat keluar dengan
mulut penuh darah. Melilit kembali ke
leher Dewi Ular Hitam yang terkikik
keras.
Melihat maut datang mengerikan pada
Ardinara, Radanara menggeram dahsyat.
Mengempos tubuhnya dengan sisa
tenaganya. Namun tubuh Dewi Ular Hitam
telah lenyap dari pandangan.
Plass!
Hanya tawanya yang mengumandang ke
sekitar lembah tandus. Keras, menggema,
dan bertalu-talu. Radanara menggeram dan
berteriak murka.
"Dewi Ular Hitam!! Sampai kapan pun
juga kau akan kukejar!!"
Radanara masih berteriak-teriak
keras. Untuk melampiaskan rasa kesalnya,
ia melepaskan pukulan jarak jauhnya
beberapa kali. Debu-debu panas
beterbangan.
Setelah itu ia menjadi kelelahan
sendiri. Dihampirinya mayat Ardinara
dengan kepiluan dalam. Dilihatnya mayat
yang ditemukan itu tak beda dengan mayat
gurunya. Rubuh, penuh darah, dan tanpa
jantung lagi.
"Maafkan aku... tetapi percayalah,
akan kubalas sakit hatimu ini.... Juga
sakit hati Guru."
Disingsingkan lengan bajunya. Tanpa
mempedulikan betapa panasnya debu-debu
itu, digalinya tanah di sana dengan kedua
tangannya.
Setelah dirasakan cukup, dikuburnya
mayat Ardinara.
Selesai menguburkan mayat Ardinara,
Radanara berdiri. Wajahnya memancarkan
kegeraman.
"Akan kubuat perhitungan nanti
untukmu, Ardinara!!" desisnya.
Tiba-tiba ia menjerit keras.
"Dewi Ular Hitaaaammm! Kau akan
mampusss!!"
Tangannya mengibas ke sana kemari.
Tempat itu tiba-tiba bagai diserang oleh
puluhan gajah yang mengamuk. Pohon-pohon
bertumbangan setelah terhantam oleh
pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh
Radanara.
***
2
Lain suasana panas di daerah tandus
itu, lain pula dengan sebuah lembah yang
berjarak ribuan tombak dari sana. Lembah
yang dibentengi perbukitan teduh itu,
bagai sebuah permata yang ada di tangan
para da-yang.
Angin semilir berhembus. Di ufuk
timur sana, bias-bias sang Fajar mulai
nampak. Di lembah yang permai itu, di
sisi sebelah utara, terdapat sebuah
sungai yang mengalir jernih. Alirannya
bagai melewati sebuah lorong yang entah
bagaimana terbentuknya di perbukitan
sebelah kiri.
Mendadak dari dalam sungai
terdengar satu suara....
"Huaaaahhh!" bersamaan itu muncul
satu kepala berambut gondrong. Air
sungai memenuhi kepala hingga tubuhnya.
Sebagian tubuhnya masih beren-dam di
air.
"Hiiii! Dingin! Tetapi asyik ah!"
Lalu dengan konyolnya wajah tampan
dengan rambut gondrong yang basah itu
menyelam lagi. Cukup lama dan menyembul
dengan satu teriakan lagi.
"Asyiiiikkkk!"
Seperti orang yang sudah sebulan
tidak bertemu air, pemuda konyol itu
berenang-renang ke sana ke-mari. Pagi
baru saja datang. Sang Fajar semakin
menampakkan ujung jarinya, dan membulat
memperlihatkan sekujur tubuhnya.
Pemuda yang asyik berenang itu
menghentikan mandinya. Ia celingukan
sejenak. Kabut masih cukup tebal
menyelimuti alam. Lalu setengah
berjingkat dia keluar dan berlari ke
balik batu besar di mana diletakkan
pakaiannya tadi.
Buru-buru dikenakan pakaian hijau
pupus. Lalu disampirkannya sehelai kain
bercorak catur di lehernya. Rambutnya
digoyang-goyangkan. Air yang masih
menempel di rambutnya berlompatan.
"Nyaman sekali tubuhku ini!"
desisnya sambil mencoba menembus kabut
tebal.
"Hrara... kalau kabut sudah agak
menghilang, aku akan keluar dari lembah
ini. Sayang sebenarnya. Ih! Kalau aku
punya anak dan istri... pasti tempat ini
akan kujadikan tempat tinggal. Tetapi,
apa iya ada yang mau denganku? Masa
bodoh, ah! Yang penting, aku harus
mengisi perut dulu!"
Selagi si pemuda masih berada dalam
rangkulan kabut, mendadak terdengar satu
suara,
"Ada orang sinting yang mandi di
tengah dingin membuta ini"
Cepat si pemuda itu menoleh. Matanya
mencari dari mana asal suara itu. Samar
dilihatnya satu sosok tubuh di
belakangnya. Duduk mencangkung di batu
besar di mana dia mengenakan pakaian
tadi.
"Busyet!" si pemuda menggaruk-garuk
kepalanya. "Rupanya ada monyet nangkring
di situ! Hebat sekali hingga aku tidak
tahu dia berada di batu besar itu."
Si pemuda menatap lelaki berbaju
compang-camping dengan rambut dan
jenggot putih. Di sisinya terletak
sebatang tongkat putih yang mengkilat
"Hei, Kek! Nekat juga kau ya,
mengintip laki-laki mandi!"
"Siapa yang menyuruhmu mandi? Sejak
semalam aku sudah berada di sini. Kau
tidak menyapa, aku pun tidak menyapa."
Andika kembali menggaruk-garuk
kepalanya.
"Siapa sebenarnya laki-laki tua
ini? Sejak semalam aku berada di sini,
tetapi tak mengetahui kehadirannya.
Apakah dia lebih dulu datang ataukah aku
yang lebih dulu datang?" pikir si pemuda
dengan kening berkerut. Lalu dia
berkata, "Hebat juga kau, Kek! Aku tidak
tahu kehadiranmu itu!"
"Hhhh! Siapa yang hebat, hah? Siapa
yang tidak mengenal pemuda konyol dari
Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar
Slebor?" balas si kakek. Matanya tak
sekali pun melihat ke arah si pemuda yang
lagi-lagi terkejut.
"Kakek itu tahu siapa aku. Siapa dia
sebenarnya? Dan mau apa berada di sini?"
pikir si pemuda yang tak lain adalah
Andika alias Pendekar Slebor.
"Berada di sini saja aku tidak
sengaja. Apakah dia memang ingin
mendatangi tempat ini, ataukah dia
memang tidak sengaja tiba di sini seperti
aku?" Masih memperhatikan si kakek yang
menatap kejauhan, Andika berkata lagi,
"Kau sudah tahu siapa aku tanpa kuberi
tahu. Lancangkah bila aku mengetahui
siapa kau, Kek?"
"Untuk apa?"
"Untuk apa?" ulang Andika bingung.
"Ya... barangkali saja nanti kau
meminta-minta dan kebetulan aku lewat.
Masa iya sih aku tega tidak memberimu
sedekah?"
Bukannya marah mendengar selorohan
Andika, si kakek yang masih mencangkung
di batu itu perdengarkan tawanya.
Sungguh bukan buatan kerasnya. Menggema
dan memantul di dinding perbukitan.
"Akhir-akhir ini memang kudengar
sepak terjang pendekar urakan dari
Lembah Kutukan. Hampir tak percaya bila
aku tak mendengarnya sendiri."
"Kau belum menjawab pertanyaanku,
Kek."
"Hhmm... namaku sendiri aku tidak
ingat lagi. Mungkin aku lahir tanpa nama.
Tetapi, orang-orang menjulukiku
Pendekar Jari Delapan. Karena, jari
kelingking kedua tanganku putus. Aku
lupa apa penyebab putusnya kedua
kelingkingku ini."
Andika melihat si kakek membuka
kedua tangannya. Lalu dia bergumam,
"Pendekar Jari Delapan. Rasa-rasanya aku
pernah mendengar julukan itu." Andika
menatap si kakek yang mengaku berjuluk
Pendekar Tangan Delapan yang kini
menatapnya. "Lalu, mau apa kau singgah di
tempat ini, Kek?"
"Tempat ini puluhan tahun yang lalu
selalu kujadikan tempat merenung. Dan
semalam pun aku datang ke sini untuk
merenung."
Andika tertawa.
"Merenung mengapa usiamu
bertambah?"
"Omonganmu seenak pantatmu saja!
Tetapi, kehadiranmu di sini justru
membuang segala kepenatan yang ada di
otakku."
"Apakah Pendekar Jari Delapan
sedang mengalami satu masalah?" desis
Andika dalam hati. "Kek... bisakah
kutahu apa yang menjadi kepenatan otakmu
itu?"
"Apa perlumu?"
"Barangkali, dengan membagi cerita
kau tak lagi mengalami kepusingan."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak. "Rupanya kau tergolong
orang usilan juga. Persis seperti yang
kulakukan ketika aku seusiamu."
Andika nyengir. Teringat masa
kecilnya di mana dia menjadi pencuri di
kotapraja. Tetapi, yang selalu dicuri
adalah uang orang-orang kaya yang rakus
(Untuk mengetahui asal usul Pendekar
Slebor, silakan baca episode: "Lembah
Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
"Ceritakanlah apa yang ingin kau
ceritakan, Kek."
"Apakah kau akan berdiri terus
menerus di situ?"
"Bila kau bersedia aku duduk di
sampingmu, sudah kulakukan sejak tadi."
"Duduklah."
Andika melompat. Tetapi, anehnya
tubuhnya tak bisa digerakkan. Kedua
kakinya bagai terpantek di tanah. Dia
mendengus. "Hhh! Siapa lagi yang usil
kalau bukan manusia keropos ini?"
Dilihatnya Pendekar Jari Delapan
masih bersikap tak acuh. Bahkan seolah
tak tahu apa kesulitan Andika sekarang.
Ngotot, Andika mengerahkan tenaga
dalamnya. Tetapi, makin dia mengerahkan,
makin kuat kakinya melekat di tanah.
"Kura-kura buduk! Aku tak
sungkan-sungkan lagi sekarang!" gerutu
Andika dan mengerahkan sedikit tenaga
'inti petir' pada kedua kakinya. Lalu
menghentak dan... hup! Dia telah duduk di
hadapan si kakek. Seolah tak ada masalah
yang mengganggunya dia berkata, "Aku
sudah siap untuk mendengarkan ceritamu
itu. Asal jangan cerita ngawur saja."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak. "Ash. Ash manusia jelek
yang ada di hadapanku ini berasal dari
Lembah Kutukan. Tenaga 'inti petir' yang
kau perlihatkan memang berasal dari buah
legenda buah 'inti petir'."
"Sudahlah, Kek. Tidak usah
basa-basi. Nanti jadi basi beneran."
Pendekar Jari Delapan menarik napas
panjang. Sementara kabut mulai menipis.
Matahari sudah sepenggalah. Dua anak
manusia berbeda usia itu duduk
berhadapan. Lalu meluncurlah kata-kata
dari Pendekar Tangan Delapan.
Andika terdiam mendengarkan cerita
itu sampai usai.
"Apakah Dewi Ular Hitam sudah mati
saat itu, Kek?"
"Tidak. Meskipun saat itu kami
bertiga memburunya untuk menghabisinya,
tetapi ia lebih cepat bergerak.
Gerakannya tak lebih dari hantu belaka.
Begitu cepat sekali, apalagi saat itu
kami juga dalam ke-adaan terluka. Di saat
kami masih mencari-carinya, tiba-tiba
terdengar ancamannya yang merontokkan
jantung. Ia mengancam akan muncul lagi
tiga puluh tahun kemudian. Dugaanku,
sekaranglah Dewi Ular Hitam akan muncul
memenuhi ancamannya."
"Sampai sekarang, apakah engkau
pernah berjumpa dengannya, Kek?"
Si orang tua menggelengkan
kepalanya.
"Tidak, aku tidak pernah berjumpa
dengannya lagi."
"Di manakah wanita yang berjuluk
Dewi Ular Hitam itu tinggal?" tanya
Andika yang semakin tertarik untuk
menelusuri masa lalu Pendekar Jari Dela-
pan.
"Aku tidak tahu. Setelah peristiwa
itu, aku kemudian menyepi di Bukit
Lingkar sekaligus menyembuhkan
luka-lukaku. Sementara Dewa Muka Singa
berdiam di Madura dan Manusia Muka Putih
berada di ujung Pelabuhan Ratu. Ah,
kuharap mereka tak melupakan peristiwa
lalu itu. Karena, Dewi Ular Hitam pasti
akan melakukan ancamannya."
Andika terdiam, memperhatikan wajah
kurus di hadapannya. Terpekur seperti
membayangkan masa lalunya yang mungkin
menari-nari di benaknya. Dilihatnya pula
laki-laki itu menghela napas
berkali-kali.
"Aku tidak tahu siapakah yang
pertama akan didatangi oleh Dewi Ular
Hitam. Karena, ia bisa saja berada di
hadapanku terlebih dahulu, mungkin pula
muncul di depan Dewa Muka Singa, atau
Manusia Muka Putih. Yang pasti, aku
yakin... ia akan muncul, untuk
membalaskan sakit hatinya."
"Tanganku menjadi gatal bila
mendengar ada manusia-manusia mempunyai
niat busuk yang selalu mengorbankan
orang lain. Bahkan rela mencabut nyawa
orang lain demi ambisinya."
Pendekar Jari Delapan tersenyum.
"Tidak usah. Ini urusan kami bertiga. Tak
ada sangkut pautnya denganmu, Pendekar
Slebor."
"Pada kenyataannya, aku jadi
penasaran ingin mengetahui siapakah
gerangan Dewi Ular Hitam”.
Bukan aku merasa kepandaianku sudah
cukup untuk menghalangi perbuatannya.
Namun biar bagaimanapun saatnya,
keinginan busuk dari Dewi Ular Hitam
harus dihentikan. Dan aku yakin, siapa
pun yang berada dalam golongan lurus,
pasti akan melakukan hal itu. Bukan untuk
mencari nama, bukan untuk mendapat
pujian, tetapi memang itulah kenyataan
yang ada di setiap hati orang-orang dari
golongan lurus."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak.
"Kau benar. Memang sudah selayaknya
kita bersikap seperti itu. Dan sepak
terjangmu yang menghalangi keangkara
murkaan dan mengkandaskan keinginan
manusia-manusia busuk seperti Dewi Ular
Hitam, sudah menjadi sebuah ukuran pada
dirimu. Kuhargai tawaran bantuanmu itu,
Andika. Bila kau memang ingin
membantuku, tolong kabarkan berita ini
pada Manusia Muka Putih di Pelabuhan
Ratu."
"Bagaimana dengan Dewa Muka Singa?"
tanya Andika sambil menatap wajah di
hadapannya.
"Kepergianku dari Bukit Lingkar
ini, adalah untuk menemuinya."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan
segera melakukannya. Akan ku jumpai
Manusia Muka Putih secepatnya."
Pendekar Jari Delapan
terbahak-bahak lagi. Wajah kurusnya jadi
mengerikan.
"Ingat, aku tak bisa memberikanmu
apa-apa sebagai upah. Kalau kau mau
kentutku, akan kuberikan?"
"Justru aku ingin memberikannya
lebih dulu padamu, Kek," balas Andika.
Tak heran baginya, bila tokoh rimba
persilatan bersikap aneh dan rada-rada
gila seperti itu.
"Satu hal yang perlu kau ingat,
kesaktian Dewi Ular Hitam pada saat tiga
puluh tahun yang lalu sangat sukar dicari
tandingannya. Karena kami bersatu padu,
sehingga wanita keparat itu bisa
dikalahkan. Dan aku yakin, selama tiga
puluh tahun itu ia sudah melatih dirinya
dengan ilmu-ilmu yang sangat dahsyat.
Aku tak bisa memperkirakan kesaktiannya
untuk masa-masa sekarang ini. Yang perlu
kau ingat, ular hitam yang selalu melilit
di lehernya itu sangat berbahaya. Aku
tidak tahu apakah ular itu sudah mati,
atau panjang umur seperti majikannya."
"Akan kuingat nasihatmu itu, Kek.
Seperti apa sih Dewi Ular Hitam itu? Hhh!
Ingin kujitak kepalanya!"
Makin keras tawa Pendekar Jari
Delapan mendengar selorohan Andika.
Sungguh, dia tak menyangka akan berjumpa
dengan pendekar yang namanya akhir-akhir
ini terdengar, perlahan dan makin
menjulang.
"Kalau saja kau belum mewarisi ilmu
Pendekar Lembah Kutukan, aku mau
menurunkan ilmuku yang tak seberapa ini
padamu. Tetapi, aku tak mau melancangi
pendekar legendaris Saptacakra. Nah,
Andika... kita berpisah di sini."
Habis berkata begitu, tubuh
Pendekar Jari Delapan bagai lenyap
ditelan bumi. Tak ada angin yang
berkesiur. Tak ada angin yang
menghembus. Tubuh itu tahu-tahu lenyap.
Yang ada, sebuah goresan menembus tiga
senti di batu besar di bagian di mana
Pendekar Jari Delapan duduk.
“Terima kasih atas bantuanmu”.
Andika mendesah pendek. Kesaktian
yang dimiliki Pendekar Jari Delapan
demikian tinggi, tetapi dia harus bahu
membahu bersama Dewa Muka Singa dan
Manusia Muka putih untuk mengalahkan
Dewi Ular Hitam.
Kalau begitu, seperti apa kehebatan
Dewi Ular Hitam?
Andika menengadah. Matahari mulai
menyengat. Angin semilir menghembus
rambutnya. "Aku ingin tahu siapa Dewi
Ular Hitam itu."
***
Pelabuhan Ratu, bukanlah tempat
yang berjarak dekat. Kalau ingin tiba di
sana dengan segera, Andika memang harus
mengeluarkan ilmu larinya yang tersohor.
Dini hari telah tiba, saat Andika
menghentikan larinya, Meski tak terasa
penat, namun perjalanan memang harus
dihentikan. Memulihkan tenaga dengan
cara tidur, suatu cara yang sangat
berguna sekali.
Andika memutuskan untuk tidur dan
melanjutkan perjalanan ketika terdengar
ayam jantan berkokok panjang.
Bersahutan, memberitakan pagi sebentar
lagi akan tiba.
Dalam hari yang masih gelap dan
matahari belum beranjak dari sudut
timur, Andika berkelebat kembali.
Sungguh, hatinya dibuat penasaran oleh
cerita Pendekar Jari Delapan.
Dewi Ular Hitam, tokoh semacam
apakah dia? Hingga seorang tokoh seperti
Pendekar Jari Delapan meskipun
memperlihatkan ketenangannya, namun
Andika bisa menangkap getar kecemasan
dari raut wajahnya.
Dari julukan yang berkesan angker
itu, Andika sebenarnya bisa menangkap
kesaktian macam apa yang dimiliki Dewi
Ular Hitam. Bukan penasaran ingin
menjajaki kesaktian Dewi Ular Hitam,
melainkan semua ini dikarenakan
panggilan hati nuraninya yang tak senang
keangkaramurkaan terjadi.
"Setinggi apa pun kesaktian si Dewi
Ular Hitam, aku akan berusaha
menghentikan sepak terjangnya," desis
Andika tanpa menghentikan larinya.
* * *
3
"Aku tak pernah akan kembali ke
Pelabuhan Ratu bila belum membunuh
wanita kejam yang berjuluk Dewi Ular
Hitam," geraman itu berasal dari mulut
seorang laki-laki gagah berwajah tampan.
Tangan yang terdapat gelang-gelang
berjajar dari pangkal tangan hingga ke
siku, terkepal penuh amarah. Rahangnya
mengatup, dengusannya terdengar
berkali-kali. Di punggungnya terdapat
sebilah pedang yang tajam. Ia mengenakan
pakaian berwarna putih. Di belakangnya,
tiga orang pemuda yang sebaya dengannya
menyetujui hal itu. Di punggung
masing-masing terdapat sebilah pedang.
"Tetapi, Kakang... sampai saat ini
kita belum tahu di mana wanita iblis itu
berada."
"Kau benar, Gumilar," sahut
laki-laki yang ber-nama Brajaseta itu.
"Tetapi biar bagaimana juga, ia tak akan
pernah kulepaskan. Paling tidak, kita
jalankan dulu amanat Guru yang ditujukan
pada Pendekar Jari Delapan. Hhh! Rasanya
masih jauh Bukit Lingkar dari tempat kita
sekarang ini."
Tak ada yang bersuara saat
meneruskan langkah. Terbayang di mata
Brajaseta bagaimana guru mereka yang
berjuluk Manusia Muka Putih luka parah di
tangan Dewi Ular Hitam. Dan ini semakin
membuatnya murka. Apalagi bila mengingat
sekitar lima orang saudara seperguruan
mereka tewas dengan dada bolong dan
jantung tak ada di tempatnya. Disesali
dirinya mengapa saat itu dia bersama
ketiga temannya pergi ke kotapraja untuk
berbelanja.
Memang, karena untuk keperluan
sehari-hari, mereka secara bergiliran
berbelanja. Dan saat itu, tiba giliran
Brajaseta dan ketiga temannya. Penuh
sakit hati, ia berhasil mengobati
keadaan gurunya.
Setengah membujuk, Brajaseta
akhirnya berhasil mengetahui siapa yang
melakukan semua itu. Bahkan gurunya,
menyuruhnya untuk mengabarkan
kedatangan Dewi Ular Hitam pada Pendekar
Jari Delapan yang berdiam di Bukit
Lingkar.
Di sebuah hutan kecil Brajaseta
meminta mereka untuk beristirahat.
Mereka menikmati daging ayam hutan
panggang yang dicari oleh Gumilar. Belum
lagi daging panggang yang mereka makan
habis, terdengar bentakan diiringi suara
cekikikanyang sangat keras.
Menggugurkan dedaunan di sekitar mereka,
menandakan yang berkata itu memiliki
tenaga dalam tinggi.
"Rupanya ada pesta yang
mengasyikkan di sini. Perutku jadi
terasa lapar mencium aroma yang sedap!
Sayangnya, aku tak berniat untuk
menikmati daging ayam panggang itu!
Justru kalian yang akan menjadi penyedap
kesenanganku ini!"
***
Mendengar hal itu, keempatnya
menjadi bersiaga dengan mata tajam
berkeliling. Tak menghiraukan lagi sisa
daging panggang yang masih cukup banyak.
"Jangan menjadi pengecut! Silakan
keluar!" bentak Brajaseta sambil
celingukan.
"Keberanian yang dilontarkan secara
dipaksakan, akan membawa akibat yang
buruk!" seruan itu terdengar kembali.
Kali ini terasa sangat menyakitkan
telinga. Bila saja keempatnya tidak
memiliki tenaga dalam yang lumayan, bisa
dipastikan mereka akan ambruk seketika.
"Kakang... manusia yang berseru itu
pasti bermaksud tidak baik," bisik
Gumilar.
"Kau benar. Dan kita harus
bersiaga," balas Brajaseta dalam
bisikan. Lalu ia membentak lagi, "Ru-
panya wajahmu sedemikian buruk hingga
kau takut untuk muncul! Aku yakin,
keburukanmu lebih mengerikan daripada
setan neraka!"
"Hik... hik... hik.. aku yakin,
kalian akan jatuh cinta bila melihat
wajahku!"
Bersamaan angin yang berkesiur
kencang, muncul di hadapan mereka satu
sosok tubuh berpakaian warna hitam
pekat. Sikapnya begitu dingin dan masih
cekikikan.
Brajaseta tak berkedip menatap
wanita berwajah mengerikan yang berdiri
tiga tombak di hadapannya. Ada seekor
ular hitam mendesis-desis di leher kurus
wanita itu.
"Hmmm, kalau memang ingin ikut serta
dalam pesta kelinci panggang ini,
silakan datang," katanya dengan suara
ditekan.
"Tak pernah kusangka, murid-murid
Manusia Muka Putih memiliki sopan-santun
yang tinggi." Brajaseta tersentak.
"Siapakah kau sebenarnya, Orang
Tua?" bentaknya yang heran mengapa
wanita tua itu mengenali mereka sebagai
murid-murid Manusia Muka Putih.
"Setan belang! Kau menyebutku orang
tua?! Heh! Brajaseta, apakah kau
menyangsikan kalau aku masih mampu
membuatmu bergairah?" seru wanita itu
dengan tatapan memicing. Ia paling tidak
suka dikatakan kalau ia sudah tua.
Mendengar kata-katanya, Brajaseta
terbahak-bahak.
"Jangan kata kami, kambing pun tak
akan mau mendekatimu!!" seru Longgoro
yang bertubuh tinggi besar.
Kata-katanya itu disambut tawa oleh
teman-temannya.
Dari picingan matanya, sinar mata
wanita itu memancarkan kemarahan.
Tiba-tiba saja, tanpa diketahui
bagaimana ia bergerak, tubuh Longgom
telah ambruk dengan sebilah pedang
menancap di keningnya. Pedangnya
sendiri!!
"Bangsat!!" geram Brajaseta
tercekat, sambil meloloskan pedangnya ia
meluncur ke arah wanita itu yang
tiba-tiba saja menghilang. Dan
membuatnya celingukan. Masih tidak
mengerti bagaimana tahu-tahu Longgom
sudah menemui ajal.
"Gurunya saja dapat kukalahkan,
apalagi kalian!!" terdengar satu suara
dari atas pohon.
Brajaseta mengangkat kepalanya
dengan tatapan marah. Dilihatnya wanita
itu tengah uncang-uncang kaki di sebuah
ranting kecil. Bisa dipastikan kalau
ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi.
Gerakannya tak lebih dari bayangan
belaka!
"Anjing buduk! Aku yakin, kaulah
yang berjuluk Dewi Ular Hitam!"
bentaknya semakin sengit begitu
menyadari siapa wanita setan itu.
"Kalau kau sudah mengenaliku,
mengapa tidak segera bersujud, hah?"
ejek wanita tua yang tak lain memang Dewi
Ular Hitam
"Wanita peot bau tanah! Kau harus
mampus!!"
Siing! Siingg! Siingg!!
Tiga buah gelangnya lolos dan
menderu ke arah Dewi Ular Hitam. Namun
hanya menggerakkan telunjuknya saja,
ketiga gelang itu mencelat kembali ke
pemiliknya. Membuat Brajaseta melompat
sambil mendengus.
Dan serangan berikutnya datang ke
arah Dewi Ular Hitam. Gumilar dan Kartolo
mencelat dengan dua serangan ganas.
Namun yang mereka hadapi ini adalah
Dewi Ular Hitam yang telah mencelakakan
guru mereka, Gempuran kedua murid
Manusia Muka Putih dihindari sambil
tertawa. Bahkan dengan enaknya Dewi Ular
Hitam, duduk kembali di dahan pohon yang
tadi didudukinya.
Melihat hal itu, keduanya langsung
meloloskan pedang di punggung
masing-masing. Dipadukan dengan jurus
tangan kosong mereka menyerang kembali.
Begitu pedang diayunkan menimbulkan
angin dingin yang cukup kencang.
CraklCrak!!
Dua pedang itu menghantam ranting
yang tadi diduduki oleh Dewi Ular Hitam.
Namun yang membuat mereka terkejut,
karena ketika hinggap di bumi dilihatnya
Dewi Ular Hitam tengah menggempur
Brajaseta.
Panas, mereka mengurung Dewi Ular
Hitam dan melancarkan serangan secara
serempak.
Namun tanpa terlihat bagaimana cara
lawan menghindar, tubuhnya tahu-tahu
lenyap. Mendadak saja ketiganya
merasakan bumi yang dipijaknya bergetar.
Rupanya Dewi Ular Hitam tengah
menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya
dengan sekali meng-hentakkan kaki pada
bumi.
Ketiganya segera mengalirkan tenaga
dalam mereka ke kedua kaki, untuk
menguasai keseimbangan mereka agar tidak
hilang. Belum lagi mereka menyadari apa
yang terjadi, dikawal angin kencang Dewi
Ular Hitam telah menderu dengan cepat.
Gumilar dan Kartolo langsung
tersuruk ke belakang dengan nyawa putus.
Melihat hal itu Brajaseta menggeram
marah. "Kunyuk! Biar kau memiliki ke-
saktian setinggi langit, aku tak akan
mundur!"
Terkikik Dewi Ular Hitam mengempos
tubuhnya menghindari serangan
Brajaseta. Lalu dengan gerakan yang tak
terlihat, tangannya mengibas. Mengenai
dada Brajaseta. Tubuhnya terpental ke
belakang, muntah darah.
Tulang-tulangnya seperti patah.
"Dengan ilmu seperti itu, kalian
ingin membalas dendam?" ejek wanita tua
kejain itu sambil menggeleng-gelengkan
kepala dengan sikap meremehkan.
"Sayang sekali, kalian hanya
membuang nyawa sia-sia!"
"Persetan dengan ucapanmu!!"
Mendadak saja ia kehilangan
keseimbangannya karena bumi yang
dipijaknya bergetar. Kaki kanan Dewi
Ular Hitam sudah menghentak kuat.
"Hik... hik... lebih baik kau pulang
saja menetek pada ibumu, Brajaseta!!"
ejek Dewi Ular Hitam yang menggeduk
kakinya tadi. "Atau„. kau memang sudah
tidak tahan ingin berjumpa dengan gurumu
di alam baka?"
Brajaseta memaksakan dirinya untuk
bangkit meskipun sangat sulit. Agak
bersyukur ia karena dengan perkataan
seperti itu, menunjukkan bahwa Dewi Ular
Hitam tidak tahu kalau gurunya berhasil
diselamatkan. Amarah yang semakin
menjalari hatinya, seolah menambah
tenaganya untuk bangkit.
Melihat hal itu, tawa Dewi Ular
Hitam dikawal ejekan yang menyakitkan
telinga terdengar, "Kalau kau sudah tak
mampu ya sudahlah. Kasihan kau yang
datang dari jauh tak pernah akan membalas
dendam gurumu!!"
"Keparat hina!! Aku akan mengadu
jiwa denganmu!!" bentak Brajaseta, namun
dirasakannya sekujur tubuhnya semakin
bergetar. Jantungnya dirasakan sesekali
berdenyut dan sesekali berhenti Sangat
menyulitkannya untuk menyerang.
Jangankan melakukan satu serangan,
memulihkan keseimbangannya saja sudah
harus kalang kabut.
Dengan mencoba mengerahkan sisa
tenaganya, Brajaseta menyerang ke arah
Dewi Ular Hitam yang terkikik keras.
Namun serangan itu kandas dengan
sendirinya, karena tenaga Brajaseta
memang sudah terkuras. Ia ambruk dengan
keluhan panjang dan diiringi tawa keras
lawan.
Lalu dengan langkah maut dan
seringaian lebar, Dewi Ular Hitam
mendekati Brajaseta. Tangannya
terangkat bersamaan kikikannya yang
keras sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Bergegaslah menyusul teman-teman
dan gurumu itu ke neraka! Heaaaa!!"
Namun, sebelum ajal menjemput
Brajaseta, mendadak saja sosok yang
pingsan itu lenyap begitu saja. Dewi Ular
Hitam terkejut bukan main. Ada orang yang
menyelamatkan Brajaseta dari maut, namun
ia tak melihat sosok orang itu. Bahkan
gerakannya saja tidak. Ini benar-benar
aneh, pikir wanita kejam itu menggeram.
***
Malah ditolehkan kepalanya ke kiri.
Mata kelabunya melotot melihat satu
sosok tubuh berpakaian hijau pupus dan
kain bercorak catur yang tersampir di
bahunya sedang cengar-cengir di
hadapannya. Dan dengan santainya, si
pemuda tampan menurunkan Brajaseta yang
pingsan dari pundaknya.
"Heran, sudah peot begitu masih
kejam juga!! Apa kau tidak sadar kalau
tubuhmu yang renta itu sudah bau tanah?"
ejekan itu tcuimbar.
"Orang muda, kau lancang telah
menghalangi
Aku datang untuk menyampaikan saiam
Pendekar Jari Delapan padamu!!"
Begitu nama itu disebutkan, tubuh
Dewi Ular Hitam bergerak laksana hantu.
Emposan tubuhnya menggetarkan bumi
hingga tubuh Andika bergetar.
Wuuuuttt!
"Uts!"
Andika bergulingan, namun tubuh
lawan terus menderu ke arahnya.
Gelagapan Andika mendapat serangan aneh
yang gencar itu.
Tubuhnya terjajar ke belakang
terkena tendangan keras Dewi Ular Hitam.
"Tahan!!" seru Andika sambil
menahan sakit. Cukup tercekat melihat
serangan yang cepat itu. Bagaimana ia
bisa menenangkan Dewi Ular Hitam agar
tidak terjerat oleh dendamnya. Bila
melihat apa yang telah dilakukan oleh
wanita itu, bisa dipastikan ia hendak
mengulangi sejarah yang dulu. "Apakah
kau tak ingin mendengar amanat yang
hendak kusampaikan? Aku orang baik biar
kuberi tahu! Pendekar Jari Delapan ingin
kau mampus! Dan yang perlu kau ketahui,
aku pun menghendaki seperti itu dan tak
akan membiarkanmu menurunkan tangan
telengas lebih lama lagi!"
"Sesumbarmu sudah kebanyakan,
Pendekar Slebor!" Dewi Ular Hitam
menggeser kaki kiri dua tindak ke
belakang. Tubuhnya agak menekuk
pandangannya tajam, tak berkesip.
Menyadari lawan siap menyerang,
Andika justru masih berdiri tegak di
tempatnya. Sikapnya masih urakan seperti
biasa. Sedangkan Dewi Ular Hitam, Mata
celong itu bagai melompat, dengan mulut
yang membentuk kerucut.
Pemuda berbaju hijau pupus yang tak
lain Pendekar Slebor, terhenyak dengan
kening berkerut. Selorohan yang siap
dilontarkan lagi, terkunci erat.
Diperhatikannya wanita yang sedang
memaki-makinya itu dengan saksama.
Diakah wanita yang berjuluk Dewi Ular
Hitam? batinnya bertanya sambil mencoba
menjajaki tingkat kesaktian wanita tua
peot di hadapannya. Mengingat ciri yang
dikatakan Pendekar Jari Delapan, Andika
yakin wanita tua ini lah yang memang
sedang dicarinya.
"Wah, wah... rupanya kau orang yang
berjuluk Monyet Jelek Kaki Buduk! Bagus
sekali!"
Wajah Dewi Ular Hitam memerah.
"Orang muda, kau terlalu lancang berkata
seperti itu! Sebutkan siapa dirimu?"
"Aku?" Andika menunjuk dadanya
sendiri dengan sikap lucu. "O... kalau
kau ingin tahu aku yang ganteng, tampan,
keren, dan kesohor ini sudah tentu aku
akan memberitahukannya. Masa sih, aku
tega membiarkan wanita tua yang sudah mau
mampus sepertimu itu, harus penasaran.
Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku
Pendekar Slebor! Apakah kau sudah puas?
Atau, kau sudah siap untuk kuberikan
tanda tangan?"
Dewi Ular Hitam menggeram. "Hhh!
Namamu memang telah kudengar beberapa
tahun belakangan ini! Dan berlagak
menjadi pahlawan kesiangan! Minggir
kalau kau tidak ingin mampus!"
"Sayangnya, aku tak akan menyingkir
dari sini.
"Ingat-ingat, gayamu seperti itu
kayak orang terlambat buang hajat!"
seringainya lebar. Padahal hatinya
kebat-kebit tak karuan.
Dewi Ular Hitam tak mau buang tempo.
Dikawal gerengan setinggi langit,
tubuhnya berkelebat. Bukan buatan
cepatnya, hingga Andika terkesiap
melihatnya. Dengan pencalan satu kaki
Andika buang tubuh ke kanan.
Wuuuss!
Menyusul satu tendangan yang
diarahkan ke kepala Andika. Cepat pemuda
urakan itu merunduk, dan kirim satu
jotosan sebagai balasan.
Des!
Pukulan Andika dipapaki oleh Dewi
Ular Hitam, dengan cara menekuk siku. Dan
membuat Pendekar Slebor tersentak ke
belakang dan hinggap hampir kehilangan
keseimbangannya. Belum lagi ia bisa
menguasai keseimbangannya, ganti satu
serangan me- ke arah kepala Pendekar
Slebor.
"Gila! Apa yang dikatakan Pendekar
Jari Delapan tentang Dewi Ular Hitam
memang benar. Gerakannya seperti
bayangan belaka!!" dengusnya sambil
kembali menghindari serangan itu. Kali
ini tenaga 'inti petir' tingkat
kesepuluh dipergunakan. Dia tahu lawan
memiliki tenaga dalam kuat. Melihat
perubahan angin yang dilakukan oleh
Andika, sadarlah Dewi Ular Hitam kalau
lawan telah meningkatkan tenaga
dalamnya.
Dia pun menambah tenaga dalam dan
kecepatannya. Gempurannya semakin
berbahaya dan mengerikan. Angin panas
bagai mengejar Andika
Mengandalkan kecepatannya, Andika
mengirimkan serangan balasan dengan
tenaga 'inti petir' tingkat kedua.
Dewi Ular Hitam terkejut menerima
serangan seperti itu.
"Hhhh! Kini kuakui, sebagai pewaris
ilmu Lembah Kutukan kau tidak sia-sia,
Andika!! Sayangnya, kau tak akan bisa
berbuat banyak!"
"Hehehe... kalau kau ingin belajar,
cium dulu kentutku!!" ledek Andika,
padahal hatinya kebat-kebit.
Wajah Dewi Ular Hitam memerah.
"Jangan kau pikir kau bisa
mengalahkan aku, Andika!!" serunya
geram. Tiba-tiba saja ia menyatukan
telapak tangannya dan menggosoknya
berkali-kali. Terlihatlah asap tebal
yang mengepul dari sana. Lalu serunya,
"Nah, cobalah kau nikmati ajian 'Titik
Hitam'-ku ini, yang kupersiapkan untuk
membunuh manusia-manusia keparat
seperti Pendekar Jari Delapan!!"
Menangkap isyarat bahaya, Andika
merangkum ajian 'Guntur Selaksa' salah
satu ajian kebanggaannya dari Lembah
Kutukan.
Tetapi sebelumnya ia berkata, "Dewi
Ular Hitam.... Lebih baik kau
menyerahkan diri untuk diadili oleh para
pendekar kenamaan."
"Hihihi... rupanya Pendekar Slebor
pandai melihat gelagat. Kalau kau takut,
mengapa kau masih berada di sini, hah?"
ejek Dewi Ular Hitam.
Mendengar kata-kata itu Andika
mendengus.
"Karena wajahmu yang jelek itu masih
ada di sini!!" sentaknya.
Dewi Ular Hitam menggereng setinggi
langit. Dengan seruan keras ia menderu
dengan ajian 'Titik Hitam'-nya. Andika
tercekat melihatnya. Karena serangan itu
bagaikan sebuah pukulan jarak jauh.
Hanya bedanya, kalau pukulan jarak jauh
terasa ada angin yang menderu kencang.
Sementara yang dilakukan oleh Dewi Ular
Hitam tak terasa apa-apa. Bahkan angin
pun tak ada. Tetapi Andika yakin, se-
rangan yang tak terasa itu justru sangat
berbahaya.
Ia pun menghindar!
Duaaarrr!
Tiba-tiba saja tanah tandus yang
berjarak dua puluh tombak dari tempat
pertarungan mereka terdengar ledakan.
Debu-debu beterbangan deras.Di tempat
yang terkena ledakan itu menjadi bolong
dan di sekitarnya terdapat titik-titik
hitam berbentuk lingkaran.
Senja semakin menurun.
Sejak tadi yang dipikirkan Andika,
jalan satu-satunya untuk mengatasi
serangan Dewi Ular Hitam hanyalah
menembus serangan sekaligus
pertahanannya. Dan waktuyang tepat
adalah saat Dewi Ular Hitam menyerang.
Begitu ia melihat celah, Pendekar Slebor
segera menderu.
Dewi Ular Hitam tak kalah dahsyat
bergerak. Dua benturan hebat terjadi.
Tubuh Andika terpental beberapa tombak
dan dari mulut serta hidungnya mengalir
darah segar, sementara Dewi Ular Hitam
masih berdiri tegak.
"Gila! Ajian 'Guntur Selaksa' tak
mampu berbuat banyak! Bisa konyol!"
desis Andika dalam hati.
Pontang-panting Andika berusaha
menghindari serangan aneh yang dilakukan
oleh Dewi Ular Hitam. Setiap kali dia
menghindar, setiap kali pula terdengar
suara ledakan yang menghancurkan
pepohonan. Bulu kuduk Andika meremang
membayangkan betapa dahsyatnya serangan
lawan.
"Ku ampuni nyawamu, Pendekar
Slebor! Karena, aku ingin kau melihat
bagaimana si tua keparat itu mampus di
tanganku!" Lalu diiringi dengan tawanya
yang keras, Dewi Ular Hitam melesat dan
lenyap hanya dalam sekejapan mata.
Andika mendesah pendek. Ia mengatur
pernapasannya kembali. la tak akan
berhenti sampai disini. Dari kata-kata
Dewi Ular Hitam, dua tokoh muka dunia
persilatan telah tewas di tangannya, itu
menandakan kekejamannya yang tak
mustahil akan mengincar lagi kedudukan
sebagai orang nomor satu di rimba
persilatan.
Lalu ia menghampiri Brajaseta yang
masih pingsan. Pendekar Slebor mendesah
panjang melihat luka yang diderita
Brajaseta. "Sangat mengerikan sekali.
Lukanya begitu parah. Bisa kubayangkan
betapa tingginya ilmu yang dimiJiki
wanita jelek bau tanah itu. Dewi Ular
Hitam, tak akan kubiarkan kau meraih
cita-cita busukmu itu."
Perlahan, mulailah Andika melakukan
pengobatan pada Brajaseta yang masih
tergolek pingsan.
* * *
4
Pagi mulai merayap sejak ayam jantan
hutan berkokok panjang. Sinar matahari
memberikan penerangan yang benar-benar
nyaman. Di saat matahari sepenggalah,
rasanya orang ingin berlama-lama berada
di bawah sinarnya. Tetapi bila sudah
seubun-ubun, orang-orang merasa lebih
baik menghindari-nya.
Sosok Brajaseta yang pingsan, mulai
bergerak. Sejenak dirasakan sekujur
tubuhnya linu. Dicobanya untuk membuka
mata. Tetapi langsung dikatupkan kembali
ketika sinar matahari dirasakan
menyengat. Saat membuka matanya tadi,
masih sempat dilihatnya satu sosok tubuh
berpakaian hijau pupus sedang
terkantuk-kantuk dengan kedua lutut
ditekuk
Otak Brajaseta mulai normal
kembali. Dia ber-ikir siapakah gerangan
sosok berbaju hijau pupus itu. Lawan
ataukah kawan? Namun tiba-tiba saja dia
bangkit dan melancarkan satu serangan
keras ke arah sosok berambut gondrong
itu.
Wusss!
"Tahan!!" seru Pendekar Slebor yang
menangkap desingan maut mengarah padanya
sambil menggerakkan tangannya. Meskipun
matanya sudah mengantuk namun naluri
kependekarannya selalu terjaga.
Serangan yang dilakukan oleh Brajaseta
terhalang ketika dikibaskan tangannya,
sementara Brajaseta sendiri merasakan
tangannya bergerar. Dilihatnya
lengannya membiru. Dirasakannya tubuh
semakin linu. Dia sempoyongan.
Andika dengan cepat menyambar
tubuhnya. "Orang gagah, kau masih luka
parah. Jangan terlalu banyak bergerak,"
katanya pelan.
Brajaseta mendesah. Bila melihat
sikap pemuda ini, jelas sekali kalau dia
tidak bermaksud jahat. Karena bila
pemuda berbaju hijau pupus ini orang
jahat, maka dengan mudahnya ia bisa
dihabisi. Justru sekarang yang dilihat
dan didengarnya adalah sikap yang baik,
sopan, dan penuh persahabatan.
Diturutinya saja ketika pemuda itu
mendudukkannya bersandar di sebatang
pohon. Dia maklum, meskipun usianya tak
jauh berbeda dengan pemuda yang memiliki
mata setajam elang ini, namun ilmu yang
dimilikinya jauh berada di bawah si
pemuda. "Maafkan aku...," desisnya
pelan.
"Ini hanya salah paham saja." Andika
tersenyum. Tetapi dalam hatinya
menggerutu, enak saja main serang
begitu! Ia melihat laki-laki itu
tiba-tiba celinguk-an. "Kalau yang kau
cari adalah mayat tiga orang itu, sudah
kukuburkan."
Brajaseta menarik napas panjang.
Kelu ia menundukkan kepala. Kepedihan
begitu terasa. Tetapi, sebagai seorang
ksatria, Brajaseta tak mau terlalu lama
larut dalam kesedihannya.
"Orang muda... siapakah kau
adanya?" tanyanya pelan sambil
memejamkan mata. Bukan karena menahan
rasa linu kembali, melainkan lebih
banyak menutupi rasa malu pada dirinya
sendiri. Amanat gurunya belum
disampaikan, namun ia telah
dipercundangi dengan mudah oleh Dewi
Ular Hitam. Ini sungguh menyakitkan!
"Namaku Andika...."
"Bolehkah aku mengetahui
julukanmu?"
Andika cengar-cengir sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Wah, kalau itu tidak usah saja,"
seringainya jelek. "Tetapi, kalau kau
memaksa ya sudah. Orang-orang rimba
persilatan menjulukiku Pendekar Slebor.
Padahal aku tidak slebor Iho...," kata
Andika sambil tertawa. Justru ia
menunjukkan sifat kesleborannya!
Bah!
Mendengar julukan itu, Brajaseta
tersentak. Serius lelaki itu menatap
Andika. Masih lekat pandangannya pada
Andika, ia berkata, agak bergetar,
"Rupanya.... Pendekar Slebor yang
menolongku dan menguburkan tiga temanku
yang telah menjadi mayat. Agak
terhormat, meskipun peristiwa
mengerikan telah menghampar."
"Aku cuma kebetulan lewat, dan
kebetulan pula, aku memang sedang
mencari wanita kejam yang berjuluk Dewi
Ular Hitam."
"Mengapa kau mencarinya?"
"Tak sengaja aku bertemu dengan
Pendekar Jari Delapan. Darinyalah aku
mengetahui tentang kembalinya Dewi Ular
Hitam di rimba persilatan ini...."
"Oh, Tuhan.... Pendekar Jari
Delapan?"
"Kau mengenalnya?"
"Kemunculanku di sini, untuk
menunaikan amanat guruku, tentang
kedatangan Dewi Ular Hitam yang hendak
kusampaikan pada Pendekar Jari Delapan."
"Siapa gurumu?"
"Beliau berjuluk Manusia Muka
Putih." Andika mendesah.
"Maaf... aku turut berbelasungkawa
atas...."
"Pendekar Slebor... guruku belum
tewas, meskipun sewaktu kutemui ia
sedang sakarat."
Mata Andika lebih terbuka.
"Benarkah yang kau katakan itu?" *
Brajaseta menganggukkan kepala.
"Kini Guru mengasingkan diri di
Pesanggrahan Putih. Sebuah tempat
rahasia di mana Guru pernah melatihku."
Desahan napas Andika terdengar
lebih lega, "Berarti, hanya Dewa Muka
Singa yang telah tewas. Dari kata-kata
Dewi Ular Hitam, manusia keparat itu
menyangka Manusia Muka Putih telah
tewas. Ku akui, kesaktian wanita itu
sangat tinggi. Tadi aku sempat bentrok
dengannya!"
Brajaseta mengangguk-anggukkan
kepala. Didengarnya lagi suara Andika,
"Brajaseta, apakah kau sudah merasa kuat
untuk berjalan?"
Brajaseta menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, jaga dirimu
baik-baik. Aku harus segera menyusul
Dewi Ular Hitam sebelum dia menurunkan
tangan telengasnya lagi. O ya, amanat gu-
rumu, secara tidak langsung sudah sampai
di telinga Pendekar Jari Delapan.
Karena, beliau menyuruhku untuk
menyampaikan berita tentang munculnya
Dewi Ular Hitam pada gurumu."
"Andika... aku juga mempunyai
kepentingan yang sama denganmu. Bisakah
aku ikut denganmu?"
Andika cuma tersenyum.
"Kalau kau tak merepotkanku, aku
bersedia."
Brajaseta bangkit perlahan-lahan,
"Aku berjanji tidak akan menyulitkanmu."
"Bila kau justru menyulitkanku,
kusepak pantat mu."
Brajaseta cuma tersenyum tipis
mendengar ancaman yang diserukan oleh
Pendekar Slebor sambil terbahak-bahak.
***
Tiga orang penunggang kuda yang
memakai pakaian ala orang-orang keraton
itu menghentikan laju kudanya. Tiga
pasang mata menatap tanah tandus di
hadapan mereka. Masing-masing
mengenakan blangkon berlurik dengan
sebuah keris di pinggang. Pada kala itu,
mereka dikenal dengan julukan Tiga
Pangeran dari Selatan. Karena, mereka
selalu mengenakan pakaian ala pangeran
dari sebuah keraton.
Bila melihat sekilas, wajah
ketiganya nampak mirip satu sama lain.
Mereka adalah kakak beradik yang cukup
disegani di daerah selatan.
"Kakang Naga Wulung, di mana lagi
kita harus mencari Dewi Ular Hitam yang
telah membuat onar dan mengatakan
dirinya adalah orang nomor satu dirimba
persilatan ini?" tanya salah seorang
yang menunggang kuda berwarna coklat.
Naga Wulung yang menunggang kuda
berwarna putih terdiam. Lalu katanya,
"Sulit menentukan di mana wanita iblis
itu berada. Tetapi, kita harus mencari
wanita keparat itu! Tak akan kubiarkan ia
menguasai rimba persilatan ini selama
Tiga Pangeran dari Selatan masih hidup!"
Kembali ketiganya terdiam. Mata
mereka silau menatap luasnya tanah
tandus, panas, dan menebarkan udara
melesak ke tulang.
"Lebih baik kita beristirahat saja
dulu!" usul Harimau Wulung yang
menunggang kuda hitam.
Usulnya itu disetujui, ketiganya
segera menggebrak kuda, memasuki hutan
yang tak jauh dari sana. Panas yang
menyengat tak terlalu menggila lagi. Ke-
tiganya duduk beristirahat sementara
kuda-kuda mereka asyik makan rumput yang
banyak tumbuh di sana.
"Kakang Naga Wulung... apakah kau
masih ingat peristiwa tiga puluh tahun
yang lalu itu?" tanya Elang Wulung.
"Ya, meskipun kita hanya mendengar
ceritanya saja, karena saat itu kita
masih kecil. Hhh! Mudah-mudahan Tiga
Penghulu Kebenaran masih hidup dan bisa
bersatu kembali untuk menghabisi nyawa
wanita busuk itu! Akan tetapi, kita tak
perlu menunggu kehadiran mereka! Karena,
Dewi Ular Hitam akan mampus di tangan
kita!"
Sehabis berkata begitu, Naga Wulung
tiba-tiba melompat dari duduknya, ketika
dirasakan angin panas menderu dahsyat ke
arahnya, dengan seruan tertahan. Begitu
ia hinggap di tanah, dilihatnya tempat
yang didudukinya tadi hangus seketika.
"Keparat! Keluar kau!!" bentaknya
sementara Elang Wulung dan Harimau
Wulung bersiap pula.
"Tidak sabaran benar rupanya! Baik,
baik aku akan keluar!!" terdengar suara
itu diiringi suara dengusan.
Tiga Pangeran dari Selatan memicing
mata melihat satu sosok tinggi besar
melangkah dengan santainya. Di mulutnya
terdapat sebuah pipa yang sangat besar
Asap yang keluar dari sana mengeluarkan
bau busuk yang menyengat dan tak
mengenakan penciuman.
Wajah sosok tinggi besar itu cukup
menyeramkan. Rambut kepalanya hanya
sejumput saja. Terletak di tengah dan
dikuncir ekor kuda. Selebihnya botak.
Mulut dan hidungnya besar.
Tiga Pangeran dari Selatan tahu
siapa yang hadir di sini.
"Sindung Ludiro, atau yang dikenal
dengan julukan Setan Asap Batu Karang!
Hhhh! Kupikir kau sudah mampus di tangan
Pendekar Jari Delapan, lima belas tahun
yang lalu!!" seru Naga Wulung.
"Ha! Kau benar itu! Aku memang
hendak mampus dibuatnya! Tetapi...
hehehe... buktinya aku masih hidup,
bukan? Memang kurang ajar sekali
Pendekar Jari Delapan! Dipikirnya dia
saja yang benar! Hhhh! Hei, kenapa kalian
tidak segera menyerah atau membunuh diri
saja! Kudengar tadi kalian
menyebut-nyebut sahabatku Dewi Ular
Hitam! Sebentar lagi ia akan menguasai
rimba persilatan ini! Menyenangkan
sekali mendengar keberhasilan seorang
sahabat yang hendak memenuhi ambisinya!"
Mendengar kata-kata yang bernada
merendahkan itu, Elang Wulung dan
Harimau Wulung dengan serentak segera
menyerbu seraya meloloskan kerisnya.
Setan Asap Batu Karang cuma tertawa-tawa
saja. Dan secara tiba-tiba ia menyedot
pipinya dalam-dalam, dalam detik
berikutnya, dihembuskan kuat-kuat
kepada Harimau Wulung dan Naga Wulung.
Asap warna putih yang
mengepul-ngepul itu menerpa keduanya
yang langsung terpental ke belakang.
"Kalian sia-sia menghadapiku! Cepat
kalian membunuh diri! Biarkan sahabatku
melakukan keinginannya!!"
Harimau Wulung dan Naga Wulung
benar-benar tak menyangka kalau hanya
dengan asap saja tubuh mereka bisa
terpental ke belakang. Serentak mereka
bangkit, menghimpun seluruh kekuatan,
dan kembali menderu.
Namun lagi-lagi dengan asap yang
dihembuskan oleh Setan Asap Batu Karang,
keduanya kembali terpental. Bahkan kali
ini harus terguling-guling dengan dada
yang terasa nyeri.
Melihat hal itu, Naga Wulung
melompat ke depan. Lalu dengan gerengan
keras ia membentak,
"Nama besar Setan Asap Batu Karang
sudah lama kudengar! Aku ingin melihat
kehebatanmu! Harimau dan Elang Wulung!
Susun pormasi 'Tiga Pangeran Menguasai
Gunung'!"
Yang dipanggil tadi, masih menahan
sakit, serentak melompat ke sisi kanan
dan kiri Naga Wulung. Lalu keduanya
membuka jurus masing-masing. Sementara
Naga Wulung menyilangkan tangan di
de-pan dada. Satu kekuatan dipadukan.
"Permainan apa lagi yang kalian
perlihatkan?" seru Setan Asap Batu
Karang sambil tertawa-tawa.
"Jangan banyak bacot! Ucapkan salam
terakhirmu untuk Dewi Ular Hitam, karena
ajal sudah tiba di hadapanmu!! Heaaaat"
seru Naga Wulung keras dan bentakan itu
merupakan sebuah komando tanda
penyerangan segera dimulai.
Tiga sosok tubuh berkelebat
sekaligus, sementara lawan masih
tenang-tenang saja di tempatnya. Ketika
tubuh Tiga Pangeran dari Selatan itu
hampir mendekat, tiba-tiba saja orang
tua kerdil berkepala botak, mencabut
pipa besar yang masih mengepulkan asap di
mulutnya. Lalu mengebut-ngebutnya
hingga asap busuk yang keluar semakin
menguar keras.
Anehnya, asap itu membentuk kepalan
tangan raksasa yang bergerak ke arah Tiga
Pangeran dari Selatan, cepat, dahsyat
sekaligus mengerikan.
Terkejut ketiganya membuang tubuh.
Satu gerakan salto ke belakang yang
dilakukan oleh Naga Wulung dan ke kanan
kiri dilakukan Harimau dan Elang Wulung.
Masih merupakan rangkaian dari jurus
'Tiga Pengeran Menguasai Gunung'.
Bersamaan dengan itu, melalui pencalan
satu kaki, ketiganya siap mengirimkan
serangan balasan.
Kepalan tangan raksasa dari asap itu
menderu, menggemuruh dan merentang
dengan kibasan hebat.
Des! Des! Des!
Luar biasa! Tubuh'Tiga Pangeran
dari Selatan yang sedang melakukan
gempuran, terpental secara bersamaan.
Hantaman kepalan tinju yang tercipta
dari asap, benar-benar luar biasa.
Menyusul kibasan dikawal angin bak topan
prahara. Ketiganya memang berhasil
meloloskan diri, tetapi akibatnya lain
bagi pohon-pohon yang tumbuh di sana.
Pohon-pohon itu bagai dicabut paksa dan
terpental sejauh sepuluh tombak.
"Hehehe... kalian yang masih bau
kencur begini mau menghalangi keinginan
sahabatku? Sayang sekali! Kalian tak
pernah tahu betapa tingginya langit!"
"Manusia anjing!"
"Menghadapiku saja kalian tidak
mampu, bagaimana mungkin bisa
mengalahkan Dewi Ular Hitam?" ejekan itu
makin menyusup di telinga Tiga Pangeran
dari Selatan. Wajah mereka seketika
memerah, meskipun mereka membenarkan
kata-kata lawan.
"Jangan kau anggap karena kau
berhasil menjatuhkan kami sekarang ini,
kau sudah merasa besar hati!" bentak Naga
Wulung. "Kau belum melihat kelihaian
kami berikutnya!"
"Manusia-manusia besar mulut!
Mencabut nyawa kalian semudah
membalikkan telapak tanganku!
Menyingkir dari tempat ini sekarang
juga! Urungkan niat kalian untuk mencari
sahabatku! Biarkan ia melakukan apa yang
diinginkannya. Kalian tak perlu ikut
campur karena kalian hanya membuang
nyawa percuma! Nyawa kalian kuampuni
saat ini, dengan maksud, agar kalian bisa
berpikir dengan jernih! Ikut bergabung
denganku, atau kalian akan mampus dengan
cara yang sangat mengerikan! Ini
peringatan pertama dan terakhir dariku!"
Dikawal tawa yang keras, Setan Asap
Batu Karang berkelebat meninggalkan
tempat itu. Tinggal Tiga Pangeran dari
Selatan itu menggeram marah.
"Keparat! Ke mana pun kau pergi akan
kami cari!!" seru Naga Wulung geram. Ia
melompat ke kudanya. Namun sejurus
kemudian ia memaki-maki penuh kegeraman,
karena kudanya tak bergerak sama sekali.
"Kakang... waktu kita sangat mepet!
Setan Asap Batu Karang pasti sedang
mengarah pada Dewi Ular Hitam!" seru
Harimau Wulung.
Naga Wulung cuma mendengus saja. Ia
berusaha mencari di urat mana kudanya
ditotok. Setelah ditemukan, dikerahkan
tenaga dalamnya, ia berhasil membebaskan
totokan pada kudanya.
Harimau Wulung dan Naga Wulung pun
berbuat yang sama. Setelah itu ketiganya
melompat ke kuda masing-masing.
Menggebrak, dengan kemarahan
menjadi-jadi.
* * *
5
Andika mendesah panjang sambil
merebahkan tubuhnya di rerumputan. Di
sekelilingnya, berdiri pohon-pohon
besar. Diliriknya Brajaseta yang sudah
terlelap. Lelaki itu lebih cepat tidur
karena tenaganya belum pulih benar.
Malam semakin merambat. Hewan malam
unjuk gigi, bersuara nyaring,
bersahutan.
Masih dipikirkan tentang kejadian
yang dialami. Begitu banyak manusia yang
tak pernah puas dengan dirinya sendiri.
Banyak yang tak menyadari, betapa di atas
langit masih ada langit. Seperti halnya
Dewi Ular Hitam yang termakan dendam tiga
puluh tahun lalu, dan bercita-cita
menguasai rimba persilatan dengan
menurunkan tangan telengas.
"Kesaktian Dewi Ular Hitam ternyata
lebih dahsyat dari yang diceritakan oleh
Pendekar Jari Delapan," desisnya pelan.
"Aku tak boleh membuang waktu. Sebaiknya
kubangunkan saja Brajaseta sekarang
untuk melanjutkan perjalanan mencari
wanita keparat itu? Atau... kutinggal
saja dia di sini?"
Belum lagi Andika memutuskan,
didengarnya suara berkelebat cepat.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu langsung berdiri sigap.
Memperhatikan sekelilingnya. Malam
semakin membentang. Rembulan tersaput
awan hitam. Di kejauhan berjajar
bukit-bukit bagaikan raksasa yang tengah
tertidur.
"Manusia iseng mana yang keluyuran
seperti hantu malam?!" dengusnya.
Tiba-tiba pendengaran Andika yang
terlatih menangkap tiga buah desingan
halus ke arahnya. Pemuda pewaris ilmu
Lembah Kutukan itu mendengus keras
sambil melenting menghindari serangan
gelap. Begitu hinggap kembali di tanah,
ia mendengus ketika melihat apa yang
menyerangnya tadi. Tiga lembar daun!
Seketika rasa kesal menjalari hatinya,
"Kurang ajar! Manusia pengecut yang
takpunya nyali! Keluar kau biar
kupatah-patahkan seluruh
tulang-belulang tubuhmu!!"
Hening. Andika melompat ke sebuah
pohon. Dari atas dipicingkan matanya.
"Manusia ini pasti berilmu tinggi. Aku
tak bisa menduga di mana ia bersembunyi."
Ia membentak,
"Hoi! Manusia setan! Ini aku! Kalau
kau jantan atau betina, muncul di
hadapanku!!"
Sebagai jawaban atas bentakan
Pendekar Slebor, suatu benda berwarna
kuning keemasan melesat ke arahnya dari
sebelah kiri.
***
"Kodok bau! Buaya mabuk!" Andika
cepat melompat sambil memaki-maki.
Sreeett!
Prak!!
Benda yang melayang menancap tepat
di dahan di mana Andika berdiri tadi.
Sebuah pisau. Hebatnya, pisau berwarna
keemasan itu langsung meluncur deras
setelah menembus dahan yang dipijak
Andika, menandakan tenaga dalam yang
dimiliki si pelempar gelap sangat
tinggi.
"Gila! Kutu busuk mana yang sedang
memamerkan tenaga dalamnya!" dengus
Andika lagi. Rasa, jengkel karena
dipermainkan seperti itu, membuatnya
membentak kembali, "Pembokong busuk! Apa
kau memang hanya seorang pengecut yang
tak berani memperlihatkan diri?!!"
Baru saja Andika berteriak begitu,
tiba-tiba saja....
Srrrtt!
Srrrtt!
Dua buah pisau berwarna keemasan
kembali melesat dalam gelapnya malam,
dan kembali menembus dahan di mana Andika
berdiri tadi Dan hampir saja lesatan
pisau yang kedua memakan kaki Andika.
Meskipun penasaran dengan orang
yang membokong, tak urung Andika menjadi
meremang pula bulu kuduknya. Jelas yang
melakukan serangan itu bukanlah orang
sembarangan. Meskipun ia dapat menangkap
desiran angin ketika pisau-pisau itu me-
lesat, namun sulit baginya untuk
menentukan dari mana arah datangnya
pisau-pisau keemasan itu.
Tiba-tiba saja pisau-pisau berwarna
keemasan itu menderu lagi ke arahnya.
Kali ini tidak tanggung, sebanyak
sepuluh buah. Sambil menggertakkan
giginya, Andika melompat ke kanan dan ke
kiri menghindari serbuan pisau-pisau
tajam itu.
Andika jengkel. Masih melayang di
udara Andika membuat gerakan jungkir
balik. Kedua tangannya segera dikibaskan
dan keluarlah desiran angin yang sangat
deras. Menghantam pisau-pisau itu.
"Manusia setan itu rupanya benar-benar
menginginkan nyawaku. Sialan! Siapa
sebenarnya dia? Kaki tangan Dewi Ular
Hitam, ataukah Dewi Ular Hitam sendiri?
Tetapi, mengapa dia mempergunakan
pisau-pisau emas ini?"
Tiba-tiba saja Andika kembali
mengibaskan tangannya ke kanan dan ke
kiri. Desiran angin bak topan
menderu-deru, menghantam beberapa
tempat. Perbuatannya membangunkan
Brajaseta yang menjadi bersiaga dan
melihat Andika seperti mengamuk, apalagi
menyadari tak ada yang keluar dari sana.
"Kutu kupret! Di mana manusia
slompret ini bersembunyi?" bentak Andika
keras sambil melompat ke tanah.
Pikirnya, bila ia berada di bawah, ini
akan lebih memudahkan baginya untuk
menghindari setiap serangan gelap yang
datang.
Begitu kakinya hinggap di tanah,
tiga buah pisau keemasan itu meluncur
deras dari atas. Menuju ke ubun-ubunnya.
Kembali Pendekar Slebor membuat gerakan
jungkir balik, disambarnya tiga buah
kerikil, dan dilemparnya dengan
kecepatan dan kekuatan tinggi.
Prak! Prak! Prak!
Tiga pisau yang meluncur itu patah
terhantam luncuran kerikil yang dilempar
Andika. Namun tidak sampai di sana saja
keterkejutan Andika, karena tiba-tiba
saja sebuah pisau meluncur ke arahnya.
"Kutu monyet! Anjing gila! Orang
udik!" makinya
"Benar-benar bisa mati kutu aku!!
Tidak boleh dibiarkan!" makinya dan
membuat gerakan yang menakjubkan.
Disongsongnya pisau yang menderu ke
arahnya. Namun anehnya, begitu tangan
Andika siap menangkap, tiba-tiba saja
pisau-pisau itu bagai memiliki mata.
Berkelit. "Busyet! Pamer tenaga dalam di
depanku!!" makinya dan menambah emposan
tubuhnya untuk mencoba kembali menangkap
pisau yang melayang-layang itu mengancam
beberapa bagian tubuhnya.
Tetapi pisau itu tetap tak bisa
ditangkap. Selagi Andika menggeram hebat
dengan kemarahan tinggi, tiba-tiba saja
pisau itu jatuh bagaikan tak bertenaga.
Dengan jengkel Andika mengangkat
sebelah kakinya untuk menginjak hancur
pisau yang tergeletak di tanah. Tetapi ia
urung untuk melakukannya ketika
terdengar suara, "Kuakui kau memiliki
ilmu yang tinggi, Pendekar Slebor!
Tetapi untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam
yang kini dibantu oleh Setan Asap Batu
Karang, kau akan menjadi bulan-bulanan
mereka!"
Suara perempuan. "Hei, Kuntilanak
Kesiangan! Kenapa kau memberitahukan
soal itu, hah? Ini urusanku! Urus saja
dirimu sendiri!" bentaknya sambil
memasang mata dan telinganya untuk
mengetahui dari mana suara itu berasal.
Namun suara itu berpindah-pindah.
"Kusarankan kepadamu, untuk tidak
bertindak gegabah! Karena, saat ini Dewi
Ular Hitam dan Setan Asap Batu Karang,
sedang melakukan tindakan ke-kerasan di
dusun sebelah barat!"
"Kalau kau memang orang dari
golongan lurus, mengapa kau
meninggalkannya, hah? Mengapa kau tak
menghentikan mereka?" bentak Andika dan
berusaha mencari tahu di mana manusia itu
berada.
"Bodoh! Aku pun tak sanggup untuk
mengalahkan keduanya! Makanya, aku
datang untuk meminta bantuanmu?"
"Dengan cara membokongku seperti
itu, hah?"
"Aku harus mengetahui kehebatan
orang yang ingin kuminta bantuannya."
"Bantuan apa yang kau maksud? Untuk
menciummu?" seloroh Andika.
"Pemuda kurang ajar! Kutampar
mencong mulutmu!"
"Belum tentu aku mau menciummu! Kau
selalu bersembunyi, apakah wajahmu
buruk, hah?" balas Andika yang memancing
ingin tahunya supaya orang di balik
kegelapan itu menampakkan diri. Sadar
Andika sekarang, kalau sejak tadi
pisau-pisau emas itu mengarah padanya.
Tak satu pun yang mengarah pada
Brajaseta. Kemungkinannya, jelas yang
datang itu bukanlah orang yang
menghendaki nyawanya, tetapi ingin
melihat kepandaiannya. "Aku yakin,
wajahmu tak lebih dari kucing yang sedang
buang hajat! Rugi kalau memang kau
ternyata memintaku untuk menciummu!"
"Dengar kata-kataku! Bila kita
bersatu, lebih mudah kita mengalahkan
Dewi Ular Hitam dan Setan Asap Batu
Karang. Kau ingat, bukan? Pendekar Jari
Delapan harus bahu membahu dengan Dewa
Muka Singa dan Manusia Muka Putih tiga
puluh tahun lalu."
"Mana sudi aku bahu membahu dengan
orang jelek sepertimu!" seru Andika yang
mengulur waktu untuk mengetahui siapa
orang yang berada dalam kegelapan.
"Kau tak akan mampu mengalahkan
mereka!"
"Persetan dengan saranmu!" Lalu
Andika melangkah acuh tak acuh.
Brajaseta masih berdiri tegang dengan
kedua mata yang masih agak mengantuk.
Tiba-tiba melesat tiga buah pisau
keemasan bagai lesatan meteor ke arah
Andika. Dalam sekali tangkap, telinga
Andika bisa mendengar desingan itu. Ia
berbalik dan dikibaskan tangannya.
Tenaga 'inti petir' tingkat kesepuiuh
menderu dan mematahkan pisau-pisau yang
menderu ke arahnya itu.
"Pemuda sok tahu! Apakah kau tak
pernah mendengar kata-kata orang lain?"
"Dan apakah aku harus menerima saran
konyolmu itu yang disampaikan dengan
cara busuk seperti itu?" balas Andika
jengkel dan masih mereka-reka di mana
gadis itu berada.
"Sudah kukatakan tadi, aku harus
melihat kehebatan orang yang hendak
kuminta bantuan!"
"Cari saja yang lain!"
"Kesombonganmu, akan kau bayar
mahal, Pendekar Slebor!"
"Mau mahal kek, murah kek, aku tak
peduli! Malah aku yakin, justru wajahmu
yang obralan!"
"Konyol!" Dua buah pisau emas
berkelebat deras ke arah Andika yang
lagi-lagi dengan lincahnya menghindar
dan menyepak dua pisau emas itu dengan
kaki kanannya hingga tembus ke batang
pohon. "Monyet pitak! Siapa sih kau ini?
Kau bisa membunuhku dengan
lemparan-lemparan sialanmu ini!"
"Ingat pesanku itu!"
"Hei, siapa kau adanya?"
"Panggil aku dengan sebutan
Bidadari Pisau Emas!" Selebihnya sunyi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya
tak mengerti. "Siapa gadis ilu
sebenarnya? Cara ia melem-par
pisau-pisau emasnya sangat terlatih
sekali. Hmm, Bidadari Pisau Emas... baru
kali ini kudengar julukan seperti itu."
Brajaseta mengham pirinya.
"Siapa dia, Andika?" tanyanya yang
agak tegang tadi.
"Aku tidak tahu. Dan kalau kau tidak
tuli, pasti kau mendengar julukannya."
Brajaseta mendengus mendengar
kata-kata Andika.
"Lalu apa yang akan kita lakukan
sekarang, Andika?" tanyanya, biar
bagaimanapun sikap Andika padanya,
Brajaseta tetap menghormatinya.
Andika terdiam sesaat. "Wanita yang
mengaku berjuluk Bidadari Pisau Emas
mengatakan, kalau Dewi Ular Hitam telah
bergabung dengan kambratnya yang
berjuluk Setan Asap Batu Karang kekuatan
yang mereka miliki semakin bertambah
dahsyat! Aku pernah pula mendengar
julukan Setan Asap Batu Karang yang
berasal dari Bukit Batu Karang! Orang
kejam dari golongan hitam!"
"Lalu?"
"Kita tinggalkan tempat ini! Kita
menuju ke barat!"
***
Udara berhembus, menyeret senja
yang mulai datang, agak dingin. Sang
surya mulai mengalah menghadapi Raja
Waktu. Siap masuk ke peraduan dan
digantikan Dewi Malam.
Pendekar Jari Delapan tiba di sebuah
tempat yang cukup sunyi. Tempat itu tak
banyak ditumbuhi pohon-pohon besar,
namun ilalang yang tumbuh di sana cukup
lebat.
Belum lagi diteruskan langkah,
tiba-tiba terdengar derap langkah kuda
dan berhenti di depannya. Salah seorang
dari penunggang kuda itu langsung
melompat dan bergerak bagai menyembah.
"Salam untuk, Pendekar Jari
Delapan...."
"Aha, Tiga Pangeran dari Selatan
nampaknya. Bagaimana kabar Mamak Ajengan
Surya Purnama?" sahut Pendekar Jari
Delapan setelah mengenali ketiganya,
sementara Harimau Wulung dan Elang Wu-
lung pun melakukan sembah yang dilakukan
oleh Naga Wulung.
"Beliau selalu sehat, Ki, meskipun
dua tahun yang lalu kami menyambangi Guru
di Goa Maut."
"Bila kalian datang, sampaikan
salam hormatku padanya."
"Kami akan melakukannya, Ki."
"Sudahlah, bersikaplah seperti
orang biasa. Tak perlu melakukan sembah
seperti itu, Naga Wulung."
Tiga Pangeran dari Selatan yang
sedang mengejar ke mana perginya Setan
Pendekar Jari Delapan tiba di sebuah
tempat yang cukup sunyi. Tempat itu tak
banyak ditumbuhi pohon-pohon besar,
namun ilalang yang tumbuh di sana cukup
lebat.
Belum lagi diteruskan langkah,
tiba-tiba terdengar derap langkah kuda
dan berhenti di depannya. Salah seorang
dari penunggang kuda itu langsung
melompat dan bergerak bagai menyembah.
"Salam untuk, Pendekar Jari
Delapan...."
"Aha, Tiga Pangeran dari Selatan
nampaknya. Bagaimana kabar Mamak Ajengan
Surya Purnama?" sahut Pendekar Jari
Delapan setelah mengenali ketiganya,
sementara Harimau Wulung dan Elang Wu-
lung pun melakukan sembah yang dilakukan
oleh Naga Wulung.
"Beliau selalu sehat, Ki, meskipun
dua tahun yang lalu kami menyambangi Guru
di Goa Maut."
"Bila kalian datang, sampaikan
salam hormatku padanya."
"Kami akan melakukannya, Ki."
"Sudahlah, bersikaplah seperti
orang biasa. Tak perlu melakukan sembah
seperti itu, Naga Wulung."
Tiga Pangeran dari Selatan yang
sedang mengejar ke mana perginya Setan
Asap Batu Karang mengubah sikap mereka.
Naga Wulung menceritakan apa yang telah
terjadi. Mendengar cerita itu, Pendekar
Jari Delapan cuma mengangkat bahunya
saja.
"Keadaan bisa bertambah kacau bila
keduanya sudah bersatu. Hhh! Semakin
sulit untuk mengalahkan Dewi Ular
Hitam."
"Kami pun menduga seperti itu, Ki,"
kata Naga Wulung.
"Aku sudah tua," tahu-tahu Pendekar
Jari Delapan berkata begitu. "Usiaku
makin menggerogoti jasadku. Rupanya,
ketenangan yang kuinginkan tak pernah
bisa kudapatkan. Urusan duniawi rupanya
masih harus kujajaki."
"Hendak ke manakah kau sebenarnya,
Ki?"
"Sudah tentu hendak mencari Dewi
Ular Hitam! Wanita keparat itu pasti akan
semakin mengacau di rimba persilatan,
Sebaiknya, kita berpisah di sini."
Sebelum Tiga Pangeran dari Selatan
ada yang menyahut, tubuh Pendekar Jari
Delapan sudah menghilang dari pandangan
mereka.
Ketiganya mendesah melihat
kehebatan dan ketinggian ilmu yang
diperlihatkan oleh Pendekar Jari
Delapan. Ketiganya segera menggebrak
kuda masing-masingdan meneruskan
perjalanan untuk mencari Setan Asap Batu
Karang, yang mereka duga akan membawa
mereka pada Dewi Ular Hitam.
Tiga jam kemudian, Pendekar Jari
Delapan tiba di sebuah tempat yang cukup
tandus. Saat ini senja sudah mulai
menurun, namun suasana di tempat itu
masih panas menyengat. Mata tuanya
memandang kejauhan. Alam sangat Suas
sekali. Perjalanan waktu usia seorang
manusia tak akan mampu menjelajahi alam
semesta.
Tiba-tiba saja ia melompat ketika
menyadari satu dorongan angin dingin
menderu ke arahnya.
"Datang tak permisi, langsung
menyerang tindakan pengecut. Namun diri
tetap berisi, tak pantang menjadi
kecut!" seru Pendekar Jari Delapan.
Dua sosok tubuh tiba-tiba saja sudah
berada di madapannya. Keduanya bertubuh
tambun dengan baju warna merah yang tak
sanggup menutupi perut mereka. Kepala
keduanya lonjong, dengan rambut sedikit,
ditengah. Di tangan mereka terdapat
senjata berbentuk lingkaran bergerigi.
"Orang tua kerempeng yang sudah bau
kuburan, hebat sekali lompatan yang kau
perlihatkan tadi!" seru salah seorang
sambil tertavva. Wajah keduanya serupa
sekali.
"Hanya sedikit yang kuperlihatkan,"
sahut Pendekar Jari Delapan sambil
tersenyum.
Wajah yang berbicara tadi memerah
karena bagai ditembak oleh kata-kata Ki
Abdi Kartwa. "Aku tak suka basa-basi!
Apakah kau mengetahui di mana seorang
pemuda urakan yang berjuluk Pendekar
Slebor?"
"Aku telah sering mendengar nama
pemuda gagah yang menjadi momok bagi
orang-orang golongan hitam! Mengapa
kalian mencarinya?"
"Pendekar Slebor harus mampus!"
"Luar biasa! Kata-kata itu sangat
menyengat sekali! Hanya sayangnya,
diucapkan tidak dihadapan Pendekar
Slebor sendiri! Apakah keberanian kalian
hanya berada di belakangnya?"
"Setan tua keparat! Kau tak tahu
berhadapan dengan siapa?!" Orang itu
semakin sengit sementara yang satu lagi
sudah gatal tangannya untuk menghajar
Pendekar Jari Delapan.
"Bila kalian punya nama, mengapa
tidak segera dikatakan? Bukannya
mengancam hanya dengan gelar yang
sebenarnya cuma pepesan kosong!"
"Setan alas! Kusobek mulutmu!!"
Orang itu sudah menerjang dengan
ganasnya. Tubuhnya yang tambun ternyata
tak mengurangi kehebatannya saat
menyerang. Begitu ringan sekali, seolah
tak merasa terganggu dengan bobot
tubuhnya. Bahkan saat tubuhnya melesat,
hawa panas terasa menderu.
Dalam sekali lihat saja, Pendekar
Jari Delapan yakin kalau serangan itu
sangat berbahaya. Ia tidak mau memapaki
sebelum mengetahui benar jenis serangan
itu. Maka dengan gerakan yang tak kalah
hebatnya, lelaki tua compang-camping itu
membuang tubuhnya ke kiri dan
melancarkan satu tendangan.
Buk!
Tendangannya dihalau pukulan yang
cukup hebat. Pendekar Jari Delapan
merasa tangannya bergetar, sementara
lawannya surut tiga tindak. Ketika ia
melihat, tangannya telah membiru.
"Setan! Katakan siapa kau, hah?!"
Pendekar Jari Delapan tersenyum.
"Bukankah tadi kau yang hendak
memperkenalkan diri? Mengapa sekarang
jadi berbalik? Apakah kalian kini
menjadi malu dengan yang kukatakan tadi,
kalau julukan yang akan kalian katakan
cuma pepesan kosong belaka?" serunya
mengejek diiringi dengan senyum yang tak
putus.
Wajah orang itu bertambah memerah.
Lalu ia berkata dengan nada keres,
"Namaku Dojo! Dan ia kakak kembarku yang
bernama Mojo! Dan kau akan lari
terkencing-kencing bila mengetahui
julukan kami! Dua Iblis Gerigi Maut!!"
Bukannya ketakutan, Pendekar Jari
Delapan malah terbahak-bahak. "Kau
benar, aku jadi terkencing-kencing
karena merasa lucu mendengar julukan
itu! Aku jadi 'takut' mendengarnya!"
"Monyet tua! Kau akan merasakan
akibatnya dari ejekanmu itu! Katakan, di
mana Pendekar Slebor berada! Ia harus
mampus karena telah mempermalukan
saudara seperguruan kami, Manusia
Jenggot Merah!!" bentak Dojo dengan
mulut yang menggembung. Gembungan itu
terjadi bukan hanya karena ia menjadi
marah melihat sikap Pendekar Jari
Delapan yang mengejeknya, namun karena
pipi keduanya yang sebulat bakpau.
Lelaki tua compang-camping itu
terdiam. Manusia Jenggot Merah. Dia
tahu, ketika Pendekar Slebor terdampar
di dunia gaib yang disebut Gerbang
Neraka. Dengan sebuah kelicikan, Manusia
Jenggot Merah hadir pula di sana untuk
merebut Bunga Neraka. Bahkan, menurut
cerita Pendekar Slebor, Manusia Jenggot
Merah telah tewas di sana (Untuk me-
ngetahui hal itu, silakan baca: "Bunga
Neraka").
"Sinting! Justru kalian mencari
penyakit untuk membunuh Pendekar Slebor!
Dengan kemampuan yang seperti kacang
goreng itu, kalian hanya bisa
melaksanakan keinginan kosong!"
"Setan tua keparat! Mampuslah
kau!!" bentak Dojo dan bersama kakak
kembarnya ia menyerang Pendekar Jari
Delapan yang masih terbahak-bahak
Serentak kedua laki-laki bertubuh
tambun baju merah, menerjang dengan
serangan serempak Gerakan mereka sungguh
sukar dibayangkan bila sebelumnya
melihat tubuh tambun masing-masing.
Tubuh sebesar tong itu bukanlah suatu
hambatan saat masing-masing
memperlihatkan kelincahan mereka.
Bagaikan desingan angin yang datang
berkali-kali.
Pendekar Jari Delapan mengeluarkan
suara mendengus. Lalu berkelebat
menghadapi serangan-serangan ganas yang
datang. Tubuhnya tiba-tiba menukik
ketika kaki Dojo menyambar dengan menge-
luarkan angin yang menggebubu tinggi.
Bersamaan dengan menukiknya tubuh
Pendekar Jari Delapan, tangan kanannya
menghantam kaki Dojo yang mengarah pada
perutnya, disusul dengan tendangan kaki
kiri dan kanan.
Buk! Buk! Buk!
Tendangan yang dilakukan secara
beruntun itu mampir dengan telak di dada
Dojo yang terpekik dan terpental ke
belakang. Untuk sesaat dirasakan sakit
yang cukup hebat di dadanya, namun
kemarahannya telah membuatnya ia
bangkit.
Melihat hal itu, Mojo menggeram
murka dan menyerang membabi-buta dengan
senjata lingkaran berbentuk gerigi.
Setiap kali ia melakukannya, angin
dingin menyambar, Bulu kuduk Pendekar
Jari Delapan meremang, apalagi ketika
Dojo membantu dengan gerakan yang tak
kalah cepatnya.
Dua Iblis Gerigi Maut menginginkan
kematian Pendekar Jari Delapan
secepatnya. Terutama serangan yang
dilakukan Dojo yang ingin membalas
tendangan yang dilakukan oleh Pendekar
Jari Delapan tadi. Sangat berbahaya dan
datang bertubi-tubi.
Lelaki tua compang-camping itu
mendengus lagi. Gerakan kedua lawan
bagai setan. Dia berkelebat ke sana
kemari mencari sela. Namun
serangan-serangan itu bagai mengurung
setiap langkahnya. Belum lagi ketika
keduanya melemparkan senjata berbentuk
gerigi yang bagai bumerang berkelebat
menyambar leher Pendekar Jari Delapan
dengan suara desingan menggidikkan.
Hal ini jadi merepotkan Pendekar
Jari Delapan. Namun tiba-tiba saja ia
mmbentak keras, "Kalian akan menyesali
diri berbuat lancang seperti ini!"
Tiba-tiba saja tongkat putihnya
diputar. Sekali putar saja, gemuruh
angin raksasa keluar dan semakin lama
putaran tongkat itu semakin mengencang,
semakin kencang pula angin yang terjadi.
Pohon-pohon di sekitar sana tumbang
ilalang beterbangan.
Dua Iblis Gerigi Maut tercekat
melihatnya. Mereka yang semula sudah
menyerang dengan dahsyat dan tak ingin
memberi kesempatan pada Pendekar Jari
Delapan, menjadi melompat mundur dan
berdiri tegak dengan mengalirkan tenaga
dalamnya ke dada kalau tidak ingin
diterbangkan oleh angin ciptaan lawan.
Namun dahsyatnya angin yang
ditimbulkan akibat putaran tongkat
Pendekar Jari Delapan, membuatnya
terpental ke belakang dan berdiri tegak
dengan tubuh bergetar dan darah mengalir
dari mulut, hidung, dan telinga.
Kedua senjata mereka yang sejak tadi
bagai mempunyai mata, telah menancap ke
batang pohon begitu tersambar pusaran
angin yang dilakukan oleh lawan.
Melihat hal itu, Pendekar Jari
Delapan yang masih memutar-mutar
tongkatnya berpikir, lebih baik
meninggalkan mereka. Karena dianggapnya
Dewi Ular Hitam lebih berharga daripada
mereka.
"Aku tahu, kalau saat ini nyawa
Pendekar Slebor dalam intaian bahaya.
Tetapi, mengapa perasaanku mengatakan
akan terjadi sesuatu di Bukit Lingkar.
Sebaiknya, aku menuju ke sana saja.
Barangkali Dewi Ular Hitam memang sudah
mengarah ke sana," desisnya lalu
berkelebat secepat angin meninggalkan
tempat itu.
Ketika angin dahsyat itu berhenti,
Dua Iblis Gerigi Maut tercekat ketika tak
lagi melihat tubuh Pendekar Jari
Delapan.
"Keparat!" maki Mojo. "Tak akan
kubiarkan manusia itu hidup!"
"Aku yakin, ia mengenai Pendekar
Slebor! Meskipun kita tak tahu siapa nama
atau julukannya, sebaiknya kita buntuti
saja dia! Siapa tahu akan membawa kita
pada Pendekar Slebor!!" sahut Dojo de-
ngan kegeraman yang besar.
Lalu keduanya melesat meninggalkan
tempat itu yang sudah porak-poranda.
* * *
6
Apa yang dikatakan si gadis
misterius yang berjuluk Bidadari Pisau
Emas itu memang benar. Ketika Andika dan
Brajaseta tiba di sebuah dusun di lereng
Gunung Halimun, keadaan di sana sudah
porak-poranda. Lima sosok tubuh telah
menjadi mayat. Sepi menggigit. Tak ada
tanda manusia lain di sana.
Andika mendesah panjang. "Aku
menyesali tindakan Bidadari Pisau Emas
yang meninggalkan mereka, meskipun aku
bisa menerima alasannya karena bila ia
berada di sini seorang diri, tak mustahil
justru nyawanya yang akan terenggut,"
"Siapa dia sebenarnya?"
"Bego! Mana aku tahu? Kudengar
julukannya saja juga baru sekarang ini!
Kau sendiri kan tahu kalau ia tidak mau
menampakkan diri?"
Brajaseta cuma tersenyum saja
dibentak seperti itu. Namun diperlakukan
seperti itu pun ia merasa senang saja.
"Apa yang akan kita lakukan
sekarang?"
"Sebaiknya kita kuburkan
mayat-mayat ini. Agar burung-burung
bangkai tak melahap mayat-mayat yang tak
berdosa."
Keduanya pun segera menguburkan
mayat-mayat itu. Hanya dalam waktu
singkat, pekerjaan itu pun selesai.
"Benar bukan apa yang kukatakan?
Sebaiknya kita bekerja sama untuk
membasmi Dewi Ular Hitam dan Setan Asap
Batu Karang!" suara yang mulai dikenal
Andika itu terdengar kembali, sangat
keras. Dan susah ditentukan dari mana
asalnya.
"Siapa sih sebenarnya kau ini?
Julukanmu memang bagus, Bidadari Pisau
Emas! Apakah wajahmu secantik bidadari?"
dengus Andika kesal. Ia kesal k-rena
terlambat mengetahui kejadian ini. Dan
kekesalannya itu beralih pada Bidadari
Pisau Emas yang sudah mengetahui
kejadian ini namun tidak segera
bertindak.
"Terlalu banyak omong! Katakan, kau
mau bekerja sama denganku untuk membasmi
monyet-monyet busuk itu atau tidak?"
bentakan itu terdengar lebih keras.
"Para penduduk yang lainnya kini aman di
sebuah tempat!"
"Dari ucapanmu yang keren itu, aku
menangkap seolah-olah kau memiliki
kesaktian yang tinggi!" bentak Andika
dengan mata menyipit. Berusaha menemukan
di mana wanita yang bersuara itu berada.
Namun, sampai sejauh itu ia belum bisa
menebaknya. "Tong kosong memang selalu
nyaring bunyinya, bukan? Dueeeng!!"
"Kalau aku merasa seperti itu, tak
akan pernah kuminta bantuanmu!"
"Kau harus bertanggung jawab atas
semua ini!"
"Meskipun aku hadir di sini untuk
menolong para penduduk dari perbuatan
dajal kedua manusia keparat itu, justru
aku hanya menjadi korban di sini! Dan
sudah tentu aku pun tak akan mungkin
menyelamatkan mereka!"
"Dan aku tak terlalu sulit untuk
melempar mayatmu yang pengecut itu
menjadi satu dengan mayat-mayat yang tak
berdosa itu!" bentak Pendekar Slebor
yang sudah kesal sekali.
"Kurobek mulutmu!!"
Tiba-tiba saja entah bagaimana cara
melakukannya, tiga buah pisau emas dari
arah yang berlainan menderu ke arah
Andika. Desingannya sangat cepat sekali.
Bersamaan dengan itu, Andika melompat ke
kiri dan langsung mengibaskan tangannya
dua kali! Dua buah pisau terpental entah
ke mana dan yang sebuah lagi langsung
ditangkapnya dengan tangan kirinya!
"Apakah kau merasa lebih hebat
dariku?" bentaknya jengkel dengan mata
berkeliling.
"Karena kuketahui kehebatanmu
itulah maka aku minta bantuanmu untuk
menghabisi manusia-manusia keparat itu!
Dan bodohnya, kau tak mau juga mengiyakan
kesediaanmu untuk bersama-sama membasmi
kedua manusia terkutuk itu!"
"Aku tak pernah suka bekerja sama
dengan orang yang selalu bersembunyi!"
"Akan kuperlihatkan wujudku bila
kau sudah menyetujui usulku!"
"Persetan dengan usulmu itu!"
bentak Andika. Ia mendengar suara
dengusan jengkel namun tak
dipedulikannya. Ia berkata pada
Brajaseta, "Ayo, Brajaseta! Kita
tinggalkan gadis konyol itu!!"
"Tetapi, Andika...." Brajaseta yang
merasa lebih baik Andika menerima
tawaran kerja sama itu menjadi
ragu-ragu.
"Kenapa kau, hah?" bentak Andika
keras. "Apakah kau sudah melupakan
janjimu untuk tidak menyulitkan aku?!
Atau kau memang ingin kusepak pantatmu,
hah?!"
"Bukan itu maksudku, tetapi...."
"Keparat!" Andika sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu dengan cepatnya.
Brajaseta memanggilnya, namun
sosoknya telah lenyap. Ia merasa tidak
enak sekarang. Di satu segi, ia ingat
akan janjinya pada Andika untuk tidak
menyulitkan pendekar pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu. Namun di
segi lain, diharapkannya Andika menerima
tawaran kerja sama dari gadis misterius
yang berjuluk Bidadari Pisau Emas.
Lalu ia berkata, "Bidadari Pisau
Emas! Siapa pun adanya kau ini, aku yakin
kau adalah orang baik-baik! Aku bersedia
bekerja sama denganmu!"
Terdengar suara dengusan yang sukar
sekali di-tebak dari mana asalnya.
"Yang kubutuhkan adalah tenaga
Pendekar Slebor! Bukan tenagamu!"
Brajaseta menggeram pelan. "Aku pun
mempunyai urusan pada wanita iblisyang
berjuluk Dewi Ular Hitam! Ia telah
melukai guruku!"
"Siapa gurumu?"
"Manusia Muka Putih!"
Terdengar suara tertahan. "Katakan,
siapa gurumu itu?"
Brajaseta mengulanginya, kali ini
dengan agak keheranan mendengar suara
tertahan Bidadari Pisau Emas yang tidak
diketahui berada di mana.
"Manusia Muka Putih!"
"Pemuda sinting! Berani-beraninya
kau mengakui Manusia Muka Putih adalah
gurumu!"
"Itulah yang sebenarnya!" balas
Brajaseta yang mulai jengkel. Ia
membenarkan sikap Andika yang menolak
bekerja sama dengan gadis yang menjuluki
dirinya Bidadari Pisau Emas. "Mengapa
kau berkata begitu, hah?"
"Manusia Muka Putih adalah sahabat
guruku! Dan gurukulah yang menyuruhku
untuk menghentikan sepak terjang laknat
wanita iblis yang berjuluk Dewi Ular
Hitam! Karena, Guru tahu akan peristiwa
tiga puluh tahun yang lalu!"
"Siapakah gurumu itu?"
"Mulut kurang ajar yang tak tahu
sopan santun! Begitu enaknya kau
bertanya dengan nada mere-dahkan!"
Brajaseta yang menjadi jengkel
dengan seruan-seruan Bidadari Pisau Emas
yang selalu diiringi makian, mencoba tak
mempedulikan bentakannya itu.
"Kalau begitu, kita pun bersahabat!
Dan kita bisa bekerja sama, bukan?"'
Tak terdengar sahutan untuk
beberapa saat.
"Apakah kau mendadak jadi tuli?"
"Sekali lagi kau lancang bicara,
kusobek mulutmu!"
Brajaseta semakin jengkel. Namun ia
tak mau mengambil tindakan seperti yang
dilakukan Pendekar Slebor. Karena
menurutnya, bila bahu membahu,
kemungkinan untuk mengalahkan Dewi Ular
Hitam yang telah bersatu dengan Setan
Asap Batu Karang akan semakin ringan.
Ia mengulangi lagi kata-katanya.
Kembali kesunyian melanda, hanya
terdengar gesek dedaunan ditiup angin.
Lalu terdengar kembali suara Bidadari
Pisau Emas, "Baiklah. Aku setuju untuk
bekerja sama denganmu! Kita biarkan saja
Pendekar Slebor yang sombong itu!"
"Dan apakah kerja sama kita ini
harus seperti ini? Maksudku kau berada di
balik kegelapan yang aku tidak tahu di
mana dan membuatku bertanya-tanya siapa
kau sebenarnya? Atau, kau memang senang
bersikap seperti itu? Dan pada akhirnya,
engkaulah yang sombong, bukan Pendekar
Slebor seperti yang kau katakan tadi!"
"Banyak omong! Kau tak bedanya
dengan Pendekar Slebor!" bentakan itu
terdengar keras. Lalu tiba-tiba saja
Brajaseta mendengar suara deru dari
timur, namun kemudian dari barat,
danberulang-ulang hal itu terjadi. Ia
masih celingukan berkali-kali ketika
terdengar suara di belakangnya, "Kau
mencari apa, pemuda bodoh?"
Secepat kilat Brajaseta berbalik
dan ia mengeluarkan desisan terperangah
dengan mata terbelalak, "Kau... kaukah
yang berjuluk Bidadari Pisau Emas?"
"Jangan konyol!" bentak gadis di
hadapannya itu. Wajahnya luar biasa
jelitanya dengan kulit yang halus dan
sepasang mata hitam yang jernih.
Mulutnya tipis membasah dengan hidung
bangir. Rambutnya tergerai hingga ke
bahu. Pakaiannya berwarna biru dengan
celana hitam. Di ikat pinggangnya
terdapat sehelai selendang berwarna
keemasan. Dari tubuhnya mengeluar bau
harum yang sangat terasa. Tetapi di mana
pisau-pisau emasnya itu? "Hei, apakah
kau jadi sapi ompong sekarang?"
Brajaseta gelagapan dibentak
seperti itu.
"Aku...."
"Sialan! Aku justru berhadapan
dengan pemuda tolol yang mirip sapi
ompong! Apakah aku harus bekerja sama
dengan sapi ompong semacammu?"
"Ya, ya... kau menjadi sapi ompong
sekarang hanya gara-gara wajahnya memang
cantik jelita? Ya, kuakui, ia memang
cantik sekali!" terdengar seruan itu
diiiingi tawa mengekeh.
***
Gadis yang berjuluk Bidadari Pisau
Emas itu mendongak dan melihat Pendekar
Slebor sedang duduk-duduk di sebuah
dahan pohon sambil menguncang-guncang
kakinya.
"Konyol! Apa-apaan kau datang lagi,
hah?" bentaknya jengkel dengan sepasang
mata yang bagus bergerak-gerak lebih
cepat.
"Siapa yang datang lagi?" sahut
Andika santai. Ia menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum yang
menurutnya sangat manis sekali pada
Bidadari Pisau Emas yang menggeram,
"Sejak tadi aku berada di sini!"
"Kurang ajar!"
"Hei, kau mempermainkan aku
berkali-kali! Mengapa selagi kubalas kau
menjadi marah? Kalau memang begitu,
siapakah yang patut dikatakan kurang
ajar?" seru Andika melotot.
Bidadari Pisau Emas menggeram,
namun membenarkan kata-kata Andika.
Rupanya kemarahan yang diperlihatkan
Pendekar Slebor tadi hanya berpura-pura,
semata untuk mencari di mana Bidadari
Pisau Emas bersembunyi. Namun tidak
tahunya, kata-kata Brajaseta itu justru
yang memancingnya keluar.
"Apakah kau tidak melanjutkan lagi
tawaran kerja samamu tadi?"
"Untuk apa aku melakukan tindakan
bodoh itu?"
Andika tertawa, lalu melompat
dengan ringannya di tanah sambil
mengangkat kedua alis matanya yang
seperti kepakan sayap elang dengan sikap
lucu.
"Sebenarnya, aku tak mau bekerja
sama denganmu. Tetapi setelah kulihat
siapa dirimu, ya terpaksalah. Rugi
sedikit tidak apa-apa kan?" katanya yang
disusul dengan tawanya.
Bidadari Pisau Emas menghentakkan
kakinya jengkel, sementara Brajaseta
yang sudah pulih dari ketersimaannya
melihat wajah Bidadari Pisau Emas, kini
tertawa melihat sikap yang diperlihatkan
oleh Pendekar Slebor. Rupanya ia hanya
berpura-pura meninggalkan tempat itu,
dan justru melakukan sesuatu yang tak
terduga.
"Kau mempermainkan aku, hah!"
"Kalau ada manusia yang senang
mempermainkan orang dan tidak senang
dipermainkan orang, ya kau ini orangnya!
Apakah kau tidak sadar akan hal itu,
hah?" kata Andika santai.
"Masa bodoh dengan ucapanmu!"
bentak Bidadari Pisau Emas yang menjadi
marah bukan karena merasa dipermainkan,
namun justru ia sendiri yang membuka
rahasia siapa dirinya. Lalu tanpa
mempedulikan Andika dan Brajaseta lagi,
ia meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana?"
Tetapi ia tidak menjawab. Justru
Andika yang tertawa. Ia tahu meskipun
gadis cantik itu menekuk wajahnya, namun
ia senang karena Andika menyetujui
usulnya. Lalu dengan lagak yang sengak
Andika berkata pada Brajaseta yang masih
tersenyum-senyum, Tuh, kau lihat sendiri
sifat perempuan, Brajaseta! Perempuan
itu memusingkan! Tetapi... hehehe...
juga mengasyikkan!"
Brajaseta cuma tertawa saja.
* * *
7
Radanara menghentikan langkahnya
dengan menajamkan pendengaran. Dari
kejauhan terdengar suara gemuruh sungai
yang cukup keras. Di sisi kanan kirinya
terdapat ilalang yang tumbuh lebat.
Jalan setapak yang dilaluinya sunyi.
"Hhh! Hanya dua ekor kelinci yang
menimbulkan suara!" dengusnya sementara
dua kelinci yang muncul dari rimbunnya
semak, terus berlarian. Radanara
memperhatikan sekelilingnya. Dia
memutuskan untuk melangkah lagi, namun
urung. Kali ini meno-leh ke belakangnya.
Tak ada apa-apa yang nampak kecuali jalan
yang dilaluinya tadi. "Apakah hanya
perasaanku saja? Tetapi, hatiku jadi
berdebar tak menentu sekarang."
Belum Radanara bisa menebak apa yang
membuatnya berdebar, mendadak dia
bergulingan ketika dirasakan angin panas
menderu ke arahnya. Saat dia bangkit
kembali, dilihatnya dua orang laki-laki
bertu-buh tambun dengan kepala lonjong
dan sedikit rambut di tengah.
"Gila! Siang-siang begini aku
melihat setan gentayangan!" pikirnya
terbelalak. Perut keduanya seperti tong
dengan pipi tembem. Dan kepala mereka,
ajaib! Seperti badut kemalaman di
kotapraja!"
Yang hadir itu adalah Dua Iblis
Gerigi Maut yang sedang mencari Pendekar
Slebor. Mereka gagal mengikuti jejak
Pendekar Jari Delapan. Seperti yang
mereka lakukan pada Pendekar Jari
Delapan sebelumnya, Dojo berseru,
"Manusia jelek! Apakah kau tahu di mana
Pendekar Slebor berada?"
Radanara pernah mendengar julukan
yang menggegerkan hati golongan hitam
itu. Kalau orang bertanya dengan nada
membentak seperti itu, bisa dipastikan
dia bukan orang baik-baik. Radanara
tidak pernah berjumpa dengan Pendekar
Slebor, namun dia tidak suka
diperlakukan dengan cara kurang ajar
seperti itu.
"Setan-setan tubuh tong! Bertanya
mempunyai adat! Menjawab melalui adat!
Bertanya yang kau lakukan menunjukkan
sikap kurang ajar, hingga tangan gatal
untuk menghajar!"
Setan keparat!" Dojo menderu dengan
kepalan penuh tenaga dalam. Radanara
mengeluarkan suara tertahan, karena
dirasakan angin panas yang cukup
menyesakkan dada.
Sigap dia bergulingan dan langsung
melompat mengirim serangan balasan
melalui satu tendangan.
Buk!
Tendangannya ditangkis pukulan
Dojo, dan membuat kaki Radanara,
bergetar. Apa yang dilakukannya, membuat
Dojo menjadi murka.
"Orang-orang sepeiti kau yang
justru membuang waktuku! Mampuslah
kau!!"
Dengan kemarahan tinggi, Dojo
menderu kembali. Radanara menjadi pias.
Tak disangkanya kalau manusia-manusia
bertubuh tambun ini memiliki kemampuan
yang hebat. Geram, segera dicabut
cluritnya. Namun dengan satu sontekan
saja, cluritnya terlepas dari tangannya.
Dan senjata gerigi di tangan Dojo menderu
mencecar leher Radanara yang semakin
pias.
"Mampuslah kau!'" . Namun belum
lagi senjata Dojo mencacah lehernya,
satu sosok tubuh berkelebat dan
menendang salah seorang dari Dua Iblis
Gerigi Maut itu.
Buk!
***
Tubuh Dojo terhuyung ke belakang.
Dadanya terasa melesak ke dalam menerima
hantaman keras itu. Gusar dilihatnya
satu sosok tubuh berbaju hijau pupus
dengan kain bercorak catur tersampir di
leher-nya sedang menolong Radanara untuk
bangkit. Dilihatnya juga dua sosok tubuh
muncul dari balik ilalang.
"Monyet hijau keparat! Kau mencari
mampus!!" bentak Mojo yang melihat
bagaimana saudara kem-barnya
dipercundangi dengan sekali tendang.
Andika berbalik dan tertawa.
"Heran, siang begini ada tuyul!
Tetapi setahuku, tuyul itu kecil,
mengapa sekarang yang kutemui kayak tong
sampah? Jangan-jangan, kalian ini
rajanya tuyul, ya?"'
"Keparat!" Mojo menggeram. Dari
geramannya mendadak dia terbahak-bahak,
demikian kerasnya hingga dauu-daun
berguguran. "Rupanya yang muncul manusia
yang telah berbulan-bulan kami cari!"
"Lho, kenapa kalian mencariku?
Ala... kalau ingin berkenalan, kalian
kan bisa berkirim surat? Aku yakin, para
kurir surat bisa menyampaikannya
kepadaku! Cuma sayangnya, alamatku susah
dicaril Nah, ke sinilah kalian! Ayo,
bersalaman denganku kalau ingin
berkenalan!"
Wajah Dua Iblis Gerigi Maut memerah,
sementara Brajaseta terbahak-bahak dan
Bidadari Pisau Emas hanya tersenyum
kecil melihat sikap Andika.
"Kau harus membayar nyawa Manusia
Jenggot Merah, Pendekar Slebor!"
"Manusia Jenggot Merah? Oh, aku
ingat! Bukankah dia manusia jelek yang
mampus di Gerbang Neraka? Jadi kalian ini
kenal dengannya, ya? Menyenangkan, jadi
aku tak terlalu keberatan untuk menjitak
kepala kalian! Atau... bila kalian
nekat, aku rela membikin kalian menyusul
manusia keparat itu!"
Bagai disepakati, Dua Iblis Gerigi
Maut langsung menderu cepat. Mereka
langsung mempergunakan senjata
berbentuk gerigi yang sangat tajam.
Menyadari serangan yang dilakukan
keduanya sangat kejam, Pendekar Slebor
berkelebat ke sana kemari dengan
gesitnya. Hingga yang terlihat hanya
bayangan hijau muda belaka. Selama lima
jurus di-serang seperti itu dan dibalas
oleh Andika dengan gerakan yang sama,
pada jurus ketujuh tiba-tiba saja Andika
menukik dengan teriakan yang cukup keras
dan tangannya mengibas.
Mojo yang berada di dekatnya memekik
keras dan langsung bergulingan ketika
dirasakan angin raksasa menderu ke
arahnya. Dan serangan balasan yang
dilakukan Andika pun dilakukan secara
beruntun pada Mojo yang harus menghindar
bila tak mau tubuhnya terhantam.
Dojo yang tidak diserang oleh Andika
dan merasa bebas, langsung membokong
untuk memapasi serangan Andika pada
saudara kembarnya. Terutama dilakukan
karena kemarahannya akibat serang-annya
pada Radanara diputuskan Andika.
Namun diluar dugaannya, Andika
justru bergulingan ke arahnya dan
menghantamkan tangannya yang sudah
dialiri tenaga 'inti petir'.
Terdengar suara salakan yang cukup
keras, disusul dengan tubuh Dojo yang
terhuyung ke belakang dan bersamaan
dengan itu Andika berkelebat ke arah Mojo
yang sedang berusaha bangkit.
Des!
Dada Mojo pun terhantam pukulan yang
keras.
Andika memutar tubuh ke belakang,
menghentikan serangan dan berdiri sambil
tersenyum, "Jadi cuma begini saja
kehebatan sahabat Manusia Jenggot
Merah?! Sayangnya, aku melihat kalian
cuma mampu menjadi pengemis di
kotapraja!"
Sementara itu diam-diam Bidadari
Pisau Emas menarik-napas. Dia merasa
beruntung karena bisa berkenalan dengan
Pendekar Slebor yang kesohor itu dan
secara tidak langsung membenarkan apa
yang digembar-gemborkan orang-orang
rimba persilatan akan kesaktian pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
"Bangsat sialan! Lihat serangan!!"
seru Dojo dan Mojo bersamaan, dan secara
bersamaan pula senjata lingkaran
bergerigi itu berputar di tangan
keduanya, menimbulkan suara yang cukup
keras. Lalu diiringi dengan gerengan
yang keras keduanya menderu ke arah
Andika.
Kali ini Andika tercekat
melihatnya. Karena, serangan itu bukan
hanya mengincar bagian-bagian dari
tubuhnya yang mematikan, namun juga
tiba-tiba menderu dahsyat dan kembali
dengan anehnya pada pemiliknya.
Berulang kali Andika harus
menyelamatkan diri dengan susah payah.
Berkali-kali pula tubuhnya hampir
menjadi sasaran empuk dari senjata
berbentuk gerigi. Dan bukan hanya sampai
di sana saja serangan yang dilakukan oleh
Dua Iblis Gerigi Maut. Kaki dan tangan
mereka pun menderu mencari sasaran. Dua
kali Andika terhantam tubuhnya secara
beruntun.
"Apakah tak terbalik ucapan
sombongmu itu, Pendekar Slebor? Di
neraka sana, Manusia Jenggot Merah
terbahak-bahak melihat kematianmu!"
bentak Mojo dan menyerang bertambah
ganas.
Suasana di tempat itu bagai
diguncang oleh kaki-kaki raksasa.
Brajaseta hanya menahan napas. Radanara
yang baru kali ini bertemu dengan
Pendekar Slebor dan langsung
menolongnya, ,berdoa agar pemuda perkasa
itu bisa memenangkan pertarungan. Semen-
tara Bidadari Pisau Emas nampak hanya
tenang-tenang saja.
"Bila Andika memiliki senjata
sebilah pedang, dalam satu jurus
berikutnya, Andika bisa mengalahkan
mereka."
Namun tanpa perlu pedang pun Andika
berhasil mengubah taktiknya. Dari
menghindar dia langsung melakukan
penyerangan. Entah bagaimana caranya,
tahu-tahu kain bercorak catur yang
tersampir di bahunya sudah berada di
tangannya. Sekali dikibaskan, terdengar
suara bagai ribuan tawon marah dan angin
laksana topan badai menggebubu dahsyat.
Mojo merasa wajahnya bagai ditampar
ketika angin sambaran kain bercorak
catur mengarah padanya. Keseimbangannya
sedikit goyah karena dorong-an angin itu
cukup kuat. Andika langsung meluncur
dengan satu pukulan telak di dadanya.
Des!
Bersamaan dengan tubuhnya terhantam
pukulan Andika, Mojo melemparkan
senjatanya.
Wuuunggg!
Wuss!
Bret!
Andika yang sudah memperhitungkan
soal itu, langsung mengibaskan
tangannya. Senjata gerigi tajam milik
Mojo terlilit oleh kain pusaka warisan Ki
Saptacakra. Hebatnya, kain pusaka itu
tak koyak sedikit pun padahal tenaga
lemparan Mojo sangat kuat. Dan bersamaan
dengan itu, Andika mengibaskan tangannya
lagi. Dojo yang sedang menyerang dari
samping terpekik karena tubuhnya bagai
menyongsong serangan Andika.
Dia berasaha untuk menghindar,
namun sambaran kain pusaka yang sudah
melilit senjata Mojo lebih cepat
datangnya. Dan....
Cras!
Sekali tarik saja, lengan kanan Dojo
putus memuncratkan darah. Senjatanya
terlepas dan seketika raungannya
terdengar setinggi langit.
Mojo yang meskipun masih merasakan
sakit di dadanya, tak mempedulikan lagi
dirirya. Penuh dendam tinggi dia menderu
ke arah Andika melihat nasib yang dialami
oleh saudara kembarnya. Akan tetapi,
kesalahanlah yang dibuatnya. Karena
begitu menyambar Dojo, Andika langsung
mengibaskan tangannya dan menarik cepat
hingga senjata gerigi itu terlepas dari
lilitan kain pusakanya dan meluncur ke
arah Mojo.
Cras!
Senjata gerigi itu tepat menghantam
dada si pemiliknya yang ambruk setelah
menjerit keras.
"Luar biasa!" desis Bidadari Pisau
Emas.
Andika saat ini sedang mendesah
pendek. Ia menghampiri Dojo yang bagai
sakarat, "Tinggalkan tempat ini, sebelum
aku merubah pikiran!"
Laki-laki berkepala botak itu jadi
putus nyalinya. Susah payah dan
tertatih-tatih dia bangkit menghampiri
mayat Mojo. Wajahnya begitu geram saat
memandang Andika.
"Semuanya masih akan berlanjut,
Pendekar Slebor."
"Aku masih menunggu," sahut Andika
tenang yang sudah menyampirkan kembali
kain bercorak caturnya. "Hei, apakah kau
tidak membawa mayat saudara kembarmu
itu? Atau, kau membiarkannya menjadi
santapan serigala lapar atau
burung-burung bangkai?"
Namun Dojo yang sudah tidak memiliki
sebelah lengan dan banyak mengeluarkan
darah, tak mempedulikannya. Dia
melontarkan ancaman sebelum me
ninggalkan tempat itu, "Suatu saat,
Pendekar Slebor! Suatu saat!!"
"Kapan saja deh kalau kau mau!"
***
Bidadari Pisau Emas berkata, "Tak
salah bila kuminta bantuanmu untuk
menghentikan sepak terjang manusia busuk
yang berjuluk Dewi Ular Hitam dan Setan
Asap Batu Karang, Pendekar Slebor!"
Pujian itu justru dibalas Andika
dengan bentakan, "Enaknya kau ngomong!
Aku bisa mampus tadi!"
"Tetapi, kau berhasil mengalahkan
mereka!"
"Kau ini sahabat macam apa sih? Kok
melihat sahabatnya sudah kalang kabut
kau diamkan saja? Apa begini sikapmu
terhadap sahabat yang sudah di ujung
maut?"
"Kau baru di ujungnya, belum paling
ujung!"
"Enaknya kau ngomong! Percuma
bersahabat denganmu!"
"Brengsek! Main membentakku!" balas
Bidadari Pisau Emas. "Karena aku tahu
kemampuanmu, makanya aku diam saja! Lagi
pula. aku tak ada urusan dengan dua
manusia botak itu!" Ianjut Bidadari
Pisau Emas enak saja. "Kau mau mampus
atau tidak ya urusanmu! Mengapa jadi
sewot padaku?"
Andika tak mempedulikannya.
Sebenarnya, sangat disesalinya mengapa
dia harus menurunkan tangan pada
lawan-lawannya tadi. Semua dikarenakan,
dia harus membela diri. Padahal bagi
Andika, sangat hina ilmu yang dimiliki
seseorang bila dipergunakan untuk
membalas dendam.
Dikuburnya mayat Mojo. Yang
memperhatikan diam-diam trenyuh melihat
welas asih Pendekar Slebor yang mau
menguburkan mayat bekas lawannya. Itu
menandakan betapa tinggi sifat mulia di
hati Pendekar Slebor.
Selesai menguburkan mayat Mojo,
dihampirinya Radanara yang tersenyum
padanya. Diperiksanya tubuh Radanara.
Setelah itu dia bertanya, "Sobat... sia-
pakah kau adanya?"
Radanara menceritakan yang
dialaminya. Diceritakan pula apa yang
sedang dilakukannya saat ini.
"Dan aku tak akan pernah puas
sebelum melihat Dewi Ular Hitam terkapar
mampus! Karena aku yakin, arwah guruku,
Dewa Muka Singa dan saudara
seperguruanku Ardinara, tak akan pernah
tenang."
"Dewa Muka Singa ternyata gurumu,"
kata Andika bagai mendesah. "Kita
mempunyai niat yang sama untuk
menghancurkan manusia-manusia busuk
yang bergelar Dewi Ular Hitam dan kambrat
nya yang berjuluk Setan Asap Batu Karang.
Namaku Andika. Ini Brajaseta, dan yang
cantik jelita namun cerewet dan
kadang-kadang menjengkelkan itu
berjuluk Bidadari Pisau Emas! Kalau kau
tanya namanya, aku tidak tahu! Tetapi
kukira untuk gadis secantik dia pantas
memakai nama Tukiyem atau Sarinem!"
Andika terbahak-bahak melihat wajah
Bidadari Pisau Emas meradang.
"Kalau begitu... apakah aku
diperkenankan bersama-sama kalian untuk
mencari Dewi Ular Hitam?" tanya Radanara
penuh harap. Dia sempat tersenyum kecil
ketika mendengar selorohan Andika tadi.
"Boleh saja! Tetapi kalau kita
melanjutkan perjalanan dengan
menggerombol begini, bisa-bisa kita
disangka gerombolan perampok! Dan enak
buatmu, Bidadari Pisau Emas!"
"Hah! Apa hubungannya denganku?"
sahut Bidadari Pisau Emas melengak
karena dibentak seperti itu.
"Ya, jangan-jangan orang-orang yang
melihat kita akan menyangka kalau kita
bertiga ini sedang memperebutkanmu! Nah,
kau jadi bangga, bukan?"
"Setan kurang ajar!"
"Jadi kupikir, biar kalian bertiga
dan aku sendiri! Kita berpisah di sini!
lalu tanpa mempedulikan mereka,
Andika.sudah berkelebat secepat kilat.
"Andika!" seru Bidadari Pisau Emas
dan mengibaskan tangannya. Empat buah
pisau emasnya meluncur ke arah ke mana
Andika lari dengan lesatan mirip anak
panah yang dilepaskan dari busurnya.
Namun yang terdengar hanya suara trak
sebanyak empat kali.
Bidadari Pisau Emas mendengus
karena menyadari kalau Andika telah
mematahkan serangannya itu. Hanya dengan
empat butir batu kecil!
Masih mendengus dia menoleh pada
Brajaseta dan Radanara.
"Kita tidak boleh berdiam di sini
terus. Barangkali saja Pendekar Slebor
mempunyai rencana lain!"
"Lalu apa yang kita lakukan?" tanya
Brajaseta.
"Bodoh! Apakah kau tidak mendengar
kata-kataku tadi? Tinggal Pendekar Jari
Delapan yang belum mendapatkan dendam
Dewi Ular Hitam. Berarti, kita harus
menuju Bukit Lingkar!"
* * *
8
Di dekat sebuah sungai kecil,
terdengar suara tawa dari sebuah gubuk
yang ada di sana. Gubuk itu dikelilingi
semak yang cukup lebat. Tengah malam te-
lah lenyap. Kokok ayam jantan bersahutan
di sebelah barat. Angin merayap dari satu
pohon ke pohon lain. Berdesir di atas
gubuk itu.
"Kau memang tak akan terkalahkan,
Dewi," suara penuh rasa hormat itu
terdengar lagi dari dalam gubuk. "Kau
patut dianggap sebagai orang nomor satu
di rimba persilatari ini! Hanya
orang-orang bodoh yang tak mau menerirna
keberadaanmu ini, Dewi Ular Hitam!"
Dewi Ular Hitam hanya tersenyum
tipis mendengar pujian itu. Dia tahu,
pujian itu lebih mengarah pada menjilat.
Bentakannya yang keras cukup
menggegerkan hati Setan Asap Batu
Karang, "Aku tak akan pernah merasa
menguasai rimba persilatan ini sebelum
Pendekar Jari Delapan salah seorang yang
tinggal dari tiga pengeroyokku tiga
puluh tahun lalu tewas!"
"Sebentar lagi kau akan membuatnya
meninggalkan dunia ini menyusul dua
sahabatnya! Tetapi aku yakin, dengan
kesaktianmu yang semakin bertambah, kau
akan mampu mengatasinya!" Sosok tinggi
besar itu semakin menjilat sambil
mengepulkan asap yang keluar dari pipa
besamya.
Dewi Ular Hitam mengangguk-anggukan
kepalanya. Nampak ada sesuatu yang
dipikirkannya.
"Adakah yang kau pikirkan?" tanya
Setan Asap Batu Karang dengan suara
hati-hati.
"Ya. Setan keparat yang berjuluk
Pendekar Slebor! Aku yakin, dia akan
memperlambatkan keinginanku untuk
membunuh Pendekar Jati Delapan! Hhh!
Manusia urakan dari Lembah Kutukan itu
rupanya memang sudah bosan hidup!"
"Pendekar Slebor, biar aku yang
urus!" kata Setan Asap Batu Karang yang
merasa hal itu lebih baik. Dia menduga
kalau kesaktian yang dimiliki Pendekar
Slebor jauh berada di bawah Pendekar Jari
Delapan, sehingga kemungkinan untuk
mengalahkannya akan jauh lebih mudah.
"Aku juga ingin tahu kehebatan pendekar
muda yang banyak disebut-sebut orang!
Akan kubuat pepes tahu tubuhnya!"
Dewi Ular Hitam terbahak-bahak.
"Aku menyukai kata-katamu itu! Kuakui,
meskipun kau cuma menjilat di depanku,
tetapi aku menyenangimu!"
Setan Asap Batu Karang cuma
mengangkat bahunya dengan wajah memerah.
Dalam hati ia menggerutu, "Kalau tidak
kubutuhkan tenaganya untuk memusnahkan
musuh bebuyutanku pula, sudah
kutinggalkan wanita keparat ini."
Menahan kesalnya, Setan Asap Batu
Karang tersenyum. "Itulah kelebihanku."
"Tak kusangka kalau kita bisa
bertemu lagi."
"Nampaknya, kekuasaan nomor satu
akan ada di tanganmu Dewi Ular Hitam,
sementara, tentunya kau akan memberikan
kedudukan untukku di sampingmu."
Dewi Ular Hitam terbahak-bahak.
“Penjilat semacam kau memang cocok
bergabung denganku! Aku menyukaimu!"
Kembali sosok di hadapannya menjadi
jengkel mendengar kata-kata itu. Tetapi
guna menutupi kejengkelannya, dia
terbahak-bahak.
Mendadak Dewi Ular Hitam mendekap
mulut Setan Asap Batu Karang yang hendak
berkata. "Diam!" desisnya.
Pendengarannya yang tajam mendengar
derap langkah kuda yang sangat cepat.
"Ada tiga ekor kuda menuju kemari! Ingin
kutahu siapa yang muncul, sebelum
kukepruk kepalanya sampai hancur!"
Secepat kilat, keduanya keluar dari
gubuk
Apa yang diduga oleh Dewi Ular Hitam
memang benar, karena tiga ekor kuda
dengan penunggangnya yang berpakaian ala
orang-orang keraton tiba di sana. Mereka
adalah Tiga Pangeran dari Selatan.
"Kakang Naga Wulung, apa yang akan
kita lakukan sekarang? Sudah cukup lama
kita mencari jejak manusia keparat itu.
Tetapi sampai sekarang, belum ada jejak
berarti yang kita dapatkan," kata Ha-
rimau Wulung sambil memandang
berkeliling.
Naga Wulung mengiyakan
kata-katanya. "Kau memang benar.
Rasanya, aku sudah tidak sabar untuk
bertemu dengan wanita keparat berhati
iblis itu! Juga manusia busuk penghisap
cangklong busuk!"
Di tempat persembunyiannya, Setan
Asap Batu Karang gertakkan gigi. Matanya
mendelik penuh amarah.
"Apa yang telah dikatakan Pendekar
Jari Delapan memang benar. Kita harus
berhati-hati menghadapi manusia iblis
itu! Dan saat ini, sebenarnya ada yang
kuinginkan sekali," kata Naga Wulung.
"Apakah itu, Kakang Naga Wulung?"
tanya Elang Wulung.
"Pendekar Slebor! Aku ingin sekali
bertemu dengannya untuk meminta
bantuannya! Tak kusangka, kalau pendekar
yang menggegerkan dunia persilatan ini
menurut Pendekar Jari Delapan masih
begitu muda. Aku yakin, dalam waktu yang
singkat, bila ia menginginkannya,
Pendekar Slebor akan menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan ini."
Sehabis Naga Wulung berkata begitu,
tiba-tiba saja serangkum angin menderu
dahsyat mengelebatkan sinar berhawa
panas. Serentak Naga Wulung melompat
dari kudanya dan akibatnya, kudanya mati
seketika dengan tubuh bolong di bagian
tengah.
"Setan keparat! Manusia hina dina,
silakan keluar!!" bentak Naga Wulung
dengan wajah sedikit pias. Sementara
Harimau Wulung dan Elang Wulung sudah
melompat dari kuda masing-masing dan
ber-siaga penuh.
Satu sosok tubuh melesat keluar
dengan deras-nya. Bersamaan lesatan
tubuh itu, sebuah tenaga dahsyat menderu
ke arah ketiganya yang langsung
berlompatan berpencar. Terdengar suara
bagai ledakan tiga kali berturut-turut.
Akibatnya, tempat di mana mereka berdiri
terbentuk tiga buah lubang yang menganga
cukup besar.
Lalu sosok yang berkelebat itu
hinggap di depan mereka dengan tawa yang
keras sekali hingga merontokkan
dedaunan.
"Dewi Ular Hitam!" Tiga Pangeran
dari Selatan seketika berseru dan segera
mempersiapkandiri. Naga Wulung
membentak, "Sekian lama dicari tak
pernah jumpa, akhirnya muncul sendiri
mencari petaka!"
"Hhh! Siapa yang tidak mengenal Tiga
Pangeran dari Selatan?" bentak Dewi Ular
Hitam dengan pandangan menusuk. Ular
yang melilit di lehernya mendesis-desis
menjulurkan lidah. "Hanya sayangnya,
hari. ini nama Tiga Pangeran dari Selatan
sudah harus dihapus dari dunia
persilatan!"
"Wanita peot berhati iblis! Kau
pikir kau akan mudah melakukannya, hah?"
bentak Harimau Wulung.
Sebelum Dewi Ular Hiram menyahut,
terdengar suara di belakangnya bersamaan
munculnya satu sosok tubuh, "Kau memang
hebat, Dewi. Gerakan yang kau lakukan
tadi sampai-sampai aku tak melihatnya!
Tetapi untuk menjaluhkan nama Tiga
Pangeran dari Selatan, rasanya kau tak
perlu bersusah payah melakukannya!"
"Manusia penjilat seperti monyet,
rupanya kau masih punya nyali
untuk-berhadapan dengan kami!" bentak
Elang Wulung.
Setan Asap Batu Karang menyipitkan
mata dan berkata dingin, "Kalau waktu itu
kalian kulepaskan, karena aku masih
ingin kalian menikmati hidup lebih lama
lagi! Tetapi sekarang, nampaknya ajal
sudah di depan mata!" Lalu dihembuskan
asap pipanya yang mengeluarkan bau
busuk.
"Setan alas!" Elang Wulung sudah
menderu dahsyat dengan pedangnya yang
berkelebat cepat. Bersamaan tubuhnya
menerjang, lawannya bergulingan dan
melancarkan satu serangan pendek melalui
gebrakan kaki kanan dan kiri yang sangat
cepat.
Des!
Tahu-tahu entah bagaimana caranya,
Elang Wulung merasa perutnya sesak
karena dihantam tendangan yang cukup
keras. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Melihat hal itu, Naga Wulung dan Harimau
Wulung segera menyerang dahsyat.
Dewi Ular Hitam mendengus. "Setan
Asap Batu Karang! Bunuh tiga manusia
sialan ini! Aku hendak mendahuluimu ke
Bukit Lingkar! Bila sudah beres, kau
susul aku!!"
"Itu soal mudah! Bunuh Pendekar Jari
Delapan dan kau akan menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan ini!" sahut
kambratnya sambil menghindar dan
menyerang.
Naga Wulung yang melihat Dewi Ular
Hitam berkelebat, menggebrak tubuhnya
dengan kecepatan penuh. Tubuhnya meluruk
dengan pedang ke depan.
Namun tanpa menoleh sedikit pun,
Dewi Ular Hitam mengangkat kakinya dan
menyepak.
Des!
Tangan Naga Wulung bagai terhantam
besi yang sangat kuat sehingga
membuatnya mengaduh dan pedang di
tangannya terlepas. Lalu sosok wanita
tua berhati kejam itu menghilang dari
pandangan.
Setan Asap Batu Karang saat ini
sedang menggempur Elang Wulung dan
Harimau Wulung dengan
serangan-serangannya yang aneh namun
mematikan. Setiap kali ia bergerak,
tempat itu bagaikan bergetar hebat.
Namun dua dari Tiga Pangeran dari Selatan
itu tak pantang mundur. Keduanya bahu
membahu menyerang lawan yang menghindar
dan membalas sambil mengisap pipa
besarnya. Serangan mereka bertambah kuat
ketika Naga Wulung sudah memasuki kancah
pertempuran.
Namun memasuki jurus kelima belas,
Setan Asap Batu Karang memperlihatkan
kelasnya yang lebih unggui satu tingkat.
Didahului dengan menghembuskan asapnya
yang mendadak membentuk kepalan tangan
raksasa dan membuat ketiga lawannya
berlompatan menghindar, mendadak dia
berguling laksana bola dengan cepatnya
ke sana kemari. Menderu dahsyat dengan
mengeluarkan angin menggidikkan.
Harimau Wulung terhuyung ketika
kakinya dihantam telak. Elang Wulung
mengerang ketika punggungnya terkena
tendangan yang sangat keras. Naga Wulung
harus bersusah payah mempertahankan diri
Tetapi....
"Terlalu enak bila manusia-manusia
itu langsung mampus!" terdengar suara
nyaring yang berbalur dengan kegeraman.
"Sebaiknya, kita siksa manusia-manusia
itu terlebih dulu! Biar mereka tahu rasa
dari menghentikan kelancangan mereka
yang mencoba menghalangi sepak
terjangku!"
Setan Asap Batu Karang urung
menurunkan tangan telengasnya,
Ditolehkan kepala ke atas dan dilihatnya
Dewi Ular Hitam sedang diiduk
beruncang-uncang kaki di sebuah dahan
pohon.
"Hei, mengapa kau masih berada di
sini, Dewi?" serunya heran.
"Jangan bersikap kurang ajar
padaku! Kalau aku belum juga berangkat,
apa urusannya denganmu, hah?! Aku ingin
melihat kehebatanmu mengalahkan Tiga
Pangeran dari Selatan! Aku paling tidak
suka orang yang banyak omong namun tak
memiliki kemampuan yang berarti! Tetapi
yang kau katakan me-mang benar! Dan kini
aku percaya sepenuhnya akan
kemampuanmu!"
Hidung besar Setan Asap Batu Karang
kembang-kempis. Dadanya membuncah
mendengar pujian itu. Pada dasarnya dia
memang memiliki sifat menjilat makanya
ucapannya yang keluar pun bernada
menjilat pula.
"Menghadapi tiga keroco macam
begini, bukanlah hal yang sulit!"
katanya memasang seringaian di bibir.
"Apalagi, aku sudah memutuskan untuk
sepenuhnya bergabung denganmu, Dewi!
Nah, apa yang ingin kau lakukan pada
mereka?"
"Cari tali dan ikat mereka!!"
Setan Asap Batu Karang
terbahak-bahak, lalu berkelebat dan
kembali lagi dengan membawa oyot akar
pohon yang banyak terdapat di sana. Lalu
diikatnya Tiga Pangeran dari Selatan
dengan ikatan yang sangat kuat menjadi
satu.
"Apa lagi?" tanyanya setelah
selesai.
"Totok mereka! Jangan sampai ada
yang ribut dan mampu bergerak!" suara
yang nyaring itu terdengar lagi.
Diiringi kekehan keras.
"Manusia setan peot! Lepaskan kami!
Bila kau berani, hadapi kami!" bentak
Naga Wulung pada Dewi Ular Hitam yang
masih asyik duduk menjuntai. Namun hanya
itu yang bisa dilakukannya karena detik
berikutnya totokan Setan Asap Batu
Karang telah menutup jalan suaranya.
Bahkan ia tak mampu bergerak. Begitu pula
yang dialami oleh dua saudaranya.
"Apakah aku harus menempeleng
mereka satu persatu karena kelancangan
bacot mereka yang kurang ajar?" seru
Setan Asap Batu Karang sambil menatap
Naga Wulung sengit.
"Kupikir, yang kau lakukan sudah
cukup! Dan apa yang telah kau lakukan
membuatku semakin yakin kalau kau memang
patut menjadi pembantuku!"
Setan Asap tersenyum bangga.
Senangnya bukan main mendengar pujian
itu meskipun dikatakan cuma sebagai
pembantu belaka.
"Apa yang kau inginkan, pasti akan
kulakukan! Apa pun yang kau perintahkan,
akan kulaksanakan," katanya patuh
padahal dalam hatinya ia berkata, "Bila
kau sudah membunuh Pendekar Jari
Delapan, aku akan meninggalkanmu
daripada diburu oleh orang-orang
golongan putih! Toh, dendamku sudah
terbalas bila melihat Pendekar Jari
Delapan terkapar."
Dewi Ular Hitam melompat dengan
ringannya dari dahan pohon yang
didudukinya. Berdiri dua tombak di sisi
Setan Asap Batu Karang. "Sebelum kita
membunuh Pendekar Jari Delapan, kita
harus mencari Pendekar Slebor! Karena,
ia akan menjadi duri yang sangat tajam
untuk kita!"
"Akan kubuktikan lagi padamu
kata-kataku untuk menamatkan riwayat
Pendekar Slebor!"
"Bagus!" Dewi Ular Hitam melangkah
menghampiri Tiga Pangeran dari Selatan
yang mendelik gusar. "Menyenangkan
sekali bertemu kalian,
Pahlawan-pahlawan busuk! Sayangnya,
kalian akan menjadi santapan serigala
lapar di sini!"
Sebagai jawaban atas ejekannya,
tiga pasang mata semakin tajam mendelik
yang disambut dengan tawa mengejek yang
menyakitkan dari Dewi Ular Hitam.
"Setan Asap! Kita segera mencari
Pendekar Jari Delapan! Ingin
kucabik-cabik tubuh laki-laki tua ke-
parat itu!" kata Dewi Ular Hitam sambil
berbalik lagi pada Setan Asap Batu
Karang. Yang dipandangnya sedang
tertegun, seperti memikirkan sesuatu.
"Manusia sialan! Apa yang kau lihat,
hah?" bentak wanita tua berbaju
keperakan itu dengan mata melotot.
"Jangan berpikir jorok kepadaku, kalau
tidak ingin kuterbalikkan tubuhmu yang
kerdil jelek itu!"
"Maaf...." desis Setan Asap Batu
Karang seperti ragu-ragu. "Ke manakah
ular hitam peliharaanmu itu, Dewi?
Seingatku, ular itu tak pernah lepas dari
lehermu."
Bagai baru menyadari apa yang
terjadi, Dewi Ular Hitam tersentak
Memegang lehernya.
"Oh! Ularku! Ularku!" serunya
kalang kabut. "Dimana ularku? Manis...
ke mana kau? Ke mana?"
Kalang kabutnya Dewi Ular Hitam
membuat Setan Asap Batu Karang agak
panik. Dia mendekati Dewi Ular Hitam.
"Ke mana kau pergi tadi, Dewi?"
tanyanya. Dalam pikirannya, dia akan
mencoba menemukan ular hitam kesayangan
wanita tua itu. Bila dia berhasil
menemukannya, berarti ada nilai lebih
yang diinginkannya dari Dewi Ular Hitam.
"Aku... aku.. oh, ularku! Ularku!"
"Dewi... biar kucari ular
peliharaanmu itu!"
"Cepat! Cepat! Kau harus
menemukannya! Aku pergi ke arah timur
tadi, barangkali saja ular kesayanganku
masih ada!"
Setan Asap Batu Karang
menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum
dia bergerak....
Tuk!Tuk!Tuk!
Tiga totokan serentak dilakukan
sekaligus. Setan Asap Batu Karang rubuh
dengan kedua lutut tertekuk dan mulut
yang terkunci.
"Sialan!" memaki Dewi Ular Hitam
dengan suara yang terdengar lain. Tak
lagi nampak kecemasan karena ularnya
hilang. Tidak nyaring dan selalu meng-
geram. "Hampir saja penyamaranku
terbuka! Habisnya... susah sekali kucari
ular hitam biar bisa menyempurnakan
penyamaranku. Kalau pun ada, aku bisa
dicatek! Mati dicatek ular? Nanti dulu!
Aku belum kawin!"
Bukan hanya Tiga Pangeran dari
Selatan yang terheran-heran melihat
perubahan sikap dan suara itu, tetapi
Setan Asap Batu Karang yang dalam keadaan
tertotok pun tak mengerti apa yang telah
terjadi.
***
Tiba-tiba saja kedua tangan Dewi
Ular Hitam membukai pakaian yang
dikenakannya satu persatu, hingga
tampaklah pakaian berwarna hijau pupus
di dalamnya. Di pinggangnya terdapat
kain bercorak catur yang segera
disampirkan dibahu. Lalu ditariknya
rambut palsu dari kepalanya dan
diusapnya pupur yang tebal dan membentuk
goresan alami di wajahnya.
"Sialan! Kalau begini caranya, aku
gagal melakukan penyamaran!" maki sosok
itu yang tak lain adalah Andika alias
Pendekar Slebor. Dari memaki sendiri
tiba-tiba ia tertawa bagai digoda setan
kesiangan. "Tetapi keahlianku menyamar
tak bisa dikalahkan kecuali oleh Raja
Penyamar. Biar bagaimanapun juga, Raja
Penyamar secara tidak langsung adalah
guruku yang mengajarkan bagaimana cara
menyamar yang baik."
Penyamaran yang dilakukan oleh
Andika memang harus dibuka, karena sulit
baginya menemukan ular hitam agar
penyamarannya sebagai Dewi Ular Hitam
pas. Dalam hal menyamar, keahlian Andika
memang hanya bisa ditandingi oleh Raja
Penyamar, yang pernah mengajarinya dalam
soal penyamaran. Apa saja bisa
disamarkannya, kecuali tuyul!
Ia menyamar, semata untuk
mengelabui Setan Asap Batu Karang.
Karena menurut dugaannya, lelaki besar
itu pasti berada di bawah perintah Dewi
Ular Hitam. Tak disangkanya saat dia
dalam penyamaran sebagai Dewi Ular
Hitam, dilihatnya Setan Asap Batu Karang
sedang bersiap menurunkan tangan pada
tiga lelaki berpakaian keraton.
Sekarang sambil tertawa Andika
mendekati Setan Asap Batu Karang yang
mendelik gusar. "Hhh! Yang kayak begini
yang berani menantangku! Tetapi kuakui
penglihatanmu cukup jeli juga!
Sesumbarmu untuk mengalahkah aku boleh
juga! Tetapi sayangnya, aku geli untuk
bertarung denganmu!"
Lalu Andika berbalik ke arah Tiga
Pangeran dari Selatan yang kali ini
berwajah agak cerah. Dibukanya ikatan
tali oyot akar pohon pada mereka. Lalu
dibukanya totokan pada tubuh
masing-masing yang dilakukan oleh Setan
Asap tadi. Ketiganya mengejut sejenak
dengan keluhan pendek ketika Andika
melepaskan totokan yang ada pada mereka.
Naga Wulung berkata, "Tak
kusangka... orang yang baru saja kami
bicarakan sudah muncul di sini. Terima
kasih atas bantuanmu, Pendekar Slebor."
Andika cuma tertawa. Ia rasa risih
bersikap sopan santun seperti itu.
"Ke manakah Dewi Ular Hitam pergi?"
tanyanya kemudian.
"Ia sedang menuju ke Bukit Lingkar,
Pendekar Slebor."
"Panggil aku dengan nama Andika.
Sudah berapa lama dia berlalu dari sini?"
"Sekitar sepeminuman teh!"
Andika menimbang-nimbang. "Hmm...
kalau begitu, aku harus secepatnya
menyusul wanita iblis itu sebelum
terjadi sesuatu pada Pendekar Jari Dela-
pan."
"Kami ingin turut serta!"
"Tidak usah. Kulihat kalian masih
terluka dalam. Lebih baik, kalian
tinggalkan tempat ini. Selain untuk
mengobati luka dalam kalian, juga bawa
manusia jelek itu untuk diadili oleh para
tokoh golongan putih akibat perbuatannya
membantu keangkara murkaan. Tiga
Pangeran dari Selatan, sampai ketemu
lagi!"
Wusss!!
Tubuh Andika tiba-tiba saja lenyap
dari pandangan.
Naga Wulung mendesah pendek.
"Semakin sadar aku apa yang dikatakan
oleh orang-orang rimba persilatan
tentang Pendekar Slebor. Kesaktiannya
memang tinggi sekali dan usianya masih
sangat muda."
"Apa yang kita lakukan sekarang,
Kakang Naga Wulung?" tanya Harimau
Wulung.
"Seperti petunjuk Pendekar Slebor
tadi, kita harus membawa manusia durjana
ini untuk diadili." Lalu Naga Wulung
menghampiri Setan Asap Batu Karang yang
sangat gusar sekali karena tertipu oleh
penyamaran Pendekar Slebor.
Naga Wulung mengangkat tubuh Setan
Asap dan diletakkannya di atas kuda
Harimau Wulung dengan posisi
menelungkup. Sementara ia sendiri naik
di kuda Elang Wulung. Lalu kedua kuda itu
berbalik arah dan digebrak cepat.
* * *
9
Bukit Lingkar. Sebuah bukit yang
berbentuk seperti bola. Bukan merupakan
deretan perbukitan biasa yang menjulang.
Melainkan sebuah bukit bundar, dipenuhi
pepohonan tinggi.
Malam sudah mulai datang. Suasana
yang sepi dan pohon-pohon besar yang
tumbuh di sana, rnenambah keangkeran
Bukit Lingkar. Rembulan di atas sana
redup. Tersaput awan hitam tebal.
Namun sosok berbaju hitam yang
menambah sosoknya tak terlihat karena
gelapnya malam, tak menghiraukan betapa
sepi dan angkernya hutan itu. Terus
berkelebat dengan sejuta dendam di dada.
"Kau tak akan pernah lepas dari tanganku,
Pendekar Jari Delapan!"
Tubuhnya terus meluncur bagai tak
menginjak tanah. Kecepatan ilmu lari
yang dimilikinya membuatnya bagai hantu
belaka saat berlari. Tak lama kemudian ia
tiba di sebuah tempat yang sedikit
terbuka. Pandangannya menyipit melihat
gubuk di depannya. Tak ada lentera yang
menyala di sana. Dan kegeramannya
semakin menjadi-jadi.
"Hhhh! Mau main kucing-kucingan
denganku!" mendengus sosok keperakan
yang tak lain adalah Dewi Ular Hitam.
"Jangan kau kira aku tidak tahu kalau kau
bersembunyi di gubukmu yang jelek itu,
Pendekar Jari Delapan."
Tiba-tiba saja tangannya diputar,
semakin lama semakin mengencang dan
angin yang ditimbulkan tak ubahnya topan
mengamuk. Kumpulan angin dahsyat itu
menderu ke arah gubuk reyot milik
Pendekar Jari Delapan ketika tangan
kanan yang diputar itu, diarahkan ke
gubuk. Seketika bagai sehelai daun,
gubuk itu terbongkar. Bahkan batu-batu
yang berada di sekitarnya beterbangan.
Tak satu sosok tubuh pun yang
keluar, padahal Dewi Ular Hitam sudah
bersiap untuk mengirimkan satu serangan
yang tak kalah dahsyatnya. Sejenakdia
menunggu dengan pandangan menyipit.
Sepasang mata kelabunya tak berkesip
memandang ke depan. Namun sosok Pendekar
Jari Delapan yang diharapkan muncul, tak
nampak di depannya.
"Orang tua yang sudah bau tanah!
Apakah kau sudah menjadi pengecut
sekarang?!" bentaknya dan menggema di
seluruh Bukit Lingkar. "Keluar kau
monyet hina! Kau harus menyusul dua
kawanmu yang sudah mampus di tanganku!"
Namun sosok Pendekar Jari Delapan
tak nampak di depan matanya. Dewi Ular
Hitam menjadi geram luar biasa. Ia
memutar lagi tangannya, kali ini tangan
kanan dan kiri, hingga angin dahsyat
kembali terjadi dan menghantam
pohon-pohon yang langsung tumbang.
Dan amukannya karena orang yang
dicarinya tak ada di tempat terhenti
dengan satu sentakan kuat yang dilakukan
olehnya. Angin dahsyat yang ditimbulkan
dari putaran tangannya menghantam lima
buah benda yang meluncur ke arahnya.
"Setan alas! Manusia mana yang mau
cari mampus!" bentaknya begitu melihat
benda apa yang kini berjatuhan di tanah.
Lima buah pisau emas.
Tiba-tiba saja di hadapannya muncul
tiga sosok tubuh yang memandang ke
arahnya tak berkesip. Melihat hal itu,
Dewi Ular Hitam umbar tawanya yang keras.
"Kecoa-kecoa busuk yang sudah bosan
hidup!" bentaknya. "Hhh! Kulihat kau
Radanara, apakah kau sudah bersiap untuk
menyusul kepergian guru dan adik
seperguruanmu?!"
Yang hadir itu tak lain adalah
Radanara, Brajaseta, dan Bidadari Pisau
Emas. Gadis jelita itulah yang
melemparkan lima buah pisau emasnya ke
arah Dewi Ular Hitam.
Radanara merandek gusar. "Nenek
peot bau tanah, hari ini akan tamat
riwayatmu!"
Meskipun wajahnya memerah mendengar
kata-kata Radanara yang hern ada
merendahkan, Dewi Ular Hitam kembali
mengumbar tawa.
"Besar juga nyalimu sekarang,
Radanara! Apakah kau pikir bersama dua
temanmu yang kulihat juga sudah bosan
hidup, kau merasa lebih besar? Hanya
membuang waktu! Kini giliran Pendekar
Jari Delapan untuk mampus setelah Dewa
Muka Singa dan Manusia Muka Putih!"
Brajaseta berkata dingin, "Wanita
tua keparat! Kau salah dalam satu hal!
Guruku, Manusia Muka Putih belum mati
seperti yang kau duga!! Dia mengirim
salam mengiringi kematianmu!"
Dewi Ular Hitam merandek, "Omong
kosong! Manusia itu sudah sakarat ketika
kutinggalkan! Aku ingin ia menikmati
kematiannya secara menyedihkan!"
"Kau salah! Karena, aku telah
berhasil menyelamatkan guruku dari
tangan sialanmu itu! Kau tak akan bisa
menurunkan tangan telengasmu lagi, kare-
na kini ajal telah membentang!"
Memerah wajah Dewi Ular Hitam.
Radanara yang sangat mendendam
sekali pada Dewi Ular Hitam, langsung
mencabut cluritnya dan menggebah kencang
ke arah wanita tua berbaju perak yang
tengah terdiam dan tak bergerak sama
sekali dari tempatnya.
Wuuut!
Dess!
Clurit yang menggebah dahsyat itu
hanya dihindari dengan cara memiringkan
tubuh dan tangannya dengan gerakan yang
sukar diikuti oleh mata biasa,
menghantam rusuk Radanara hingga
laki-laki itu mengaduh dan terhuyung ke
belakang. Dua tulang rusuknya patah saat
itu juga.
"Persetan dengan Manusia Muka
Putih! Setelah semuanya kubereskan, dia
pun akan mampus!"
Brajaseta berseru, "Berarti,
kesaktianmu masih tak ada apa-apanya!"
Dewi Ular Hitam menggeram. Sasaran
serangannya masih Radanara yang berusaha
sedang bangkit. Melihat nasib Radanara
sudah di ujung tanduk, Brajaseta melesat
dengan pedang di tangannya.
"Guruku akan tertawa melihat
kedunguanmu, Wanita Iblis!!"
Wuuut!
Dewi Ular Hitam menghentikan
serangannya pada Radanara. Sambaran
pedang Brajaseta dielak-kan oleh Dewi
Ular Hitam dengan hanya memiringkan
tubuh, bahkan saat menghindar kakinya
meluncur ke arah Brajaseta yang
terperangah.
"Gila!" memekik Brajaseta sambil
berusaha menghindar dengan jalan
bergulingan, akan tetapi kaki Dewi Ular
Hitam terus mencecarnya. Bila saja
Bidadari Pisau Emas tak segera mengambil
tindakah, bisa dipastikan
tulang-belulang Brajaseta akan remuk
seketika.
"Gadis keparat!" maki Dewi Ular
Hitam ketika hinggap lagi di tanah
setelah menghindari sambaran dua buah
pisau yang dilepaskan oleh Bidadari
Pisau Emas. "Gerakanmu sungguh hebat
sekali! Tetapi berani bermain api dengan
Dewi Ular Hitam, maka bisa terbakar
sekujur tubuh!"
"Justru aku akan membakar tubuhmu!"
bentak Bidadari Pisau Emas dan mencelat
ke depan. Sementara Brajaseta yang baru
sajaselamat dari maut menghampiri
Radanara yang sedang merintih kesakitan.
Serangan yang dilakukan oleh
Bidadari Pisau Emas dianggap ringan oleh
Dewi Ular Hitam. Namun dia terkejut
ketika tangan kanannya beradu dengan
tangan kanan Bidadari Pisau Emas dan
surut dua langkah. Mukanya yang congkak
nampak berubah dengan sepasang mata yang
bergerak cepat. Walau tangannya tidak
cedera, namun akibat bentrokan tadi ia
bisa menduga, kalau lawannya yang masih
muda itu memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Ketika Bidadari Pisau Emas
menyerang lagi, Dewi Ular Hitam berpikir
dua kali untuk memapakinya.
Dihindarinya dan melancarkan
serangan balasan. Satu gelombang angin
menderu ke arah Bidadari Pisau Emas yang
membuatnya berteriak keras dan me-lompat
ke atas. Dari atas dilemparnya tiga buah
pisau emasnya yang entah diletakkan di
mana, meluncur deras dan yang diarah
kepala Dewi Ular Hitam. Mendengus, Dewi
Ular Hitam langsung menghantamkan
tangannya ke atas.
Angin laksana topan badai menderu
menghantam tiga buah pisau emas yang
dilemparkan oleh dara jelita itu.
Pisau-pisau itu bukan hanya terpental
tetapi juga patah dua, sementara angin
pukulan yang dilepaskan oleh Dewi Ular
Hitam terus menderu ke arah Bidadari
Pisau Emas yang terpekik kaget. Dia cepat
berputar, walaupun sempat menghindari
namun tak urung kakinya terhantam pula
dan membuatnya sedikit terhuyung.
Belum lagi Bidadari Pisau Emas bisa
berdiri dengan tegak dalam keseimbangan
yang normal, menyusul serangan tangan
kosong yang mengandung tenaga dalam
tinggi.
Wuuuuttt!!
Bidadari Pisau Emas melompat ke
kiri, sayangnya keseimbangannya belum
normal seutuhnya hingga gerakannya
menjadi goyah. Maka tak ampun lagi,
diiringi teriakan kesakitan dari
Bidadari Pisau Emas, tubuhnya terlontar
ke belakang ketika kaki Dewi Ular Hitam
memburu dan menghantam telak
pinggangnya. Sebagian tubuhnya
dirasakan remuk saat itu juga.
"Hhh! Kau hanya pandai bermain
akrobat saat melempar pisau-pisau emasmu
itu, gadis sialan!" Dewi Ular Hitam
berkelebat cepat dan meluncur ke arah
Bidadari Pisau Emas yang sedang menahan
sakit. Kedua tangannya siap mencengkeram
leher gadis itu.
Meskipun nyawanya sudah di ujung
tanduk, Bidadari Pisau Emas masih
berusaha mempertahankannya. Tangannya
tiba-tiba mengibas. Kali ini tidak
tanggung lagi, sepuluh buah pisau emas
meluncur ke arah lawan yang langsung
menghentikan serangan dan menghindar
sambil memaki-maki.
Saat ia menghindar itu, Brajaseta
yang memang sedang menunggu kesempatan
menderu dengan pedang di tangannya.
Namun itu adalah kesalahan yang fatal.
Karena di saat tubuhnya masih melayang di
udara, Dewi Ular Hitam masih peka
terhadap serangan yang datang. Dia
berputar dua kali dan mengibaskan
kakinya.
Plakl
Des!
Tanpa ampun lagi tubuh Brajaseta
terlontar deras terhantam tendangannya
dan pingsan seketika.
Di saat itu, Bidadari Pisau Emas
sedang menelan obat penahan rasa sakit.
Tubuhnya kini dirasakan mulai segar
kembali meskipun kaki kirinya masih agak
sukar untuk digerakkan. Ia berdiri
meskipun tidak tegak ketika Dewi Ular
Hitam berbalik padanya dan menggeram
dahsyat.
"Kini, tiba saatnya kau untuk
mampus!!"
"Kematian ada di tangan Tuhan!
Dicari sampai pelosok negeri tak ketemu,
justru datang ke rumahku untuk bertamu.
Rasanya aku jadi malu, karena tamu tak
diberi suguh!"
***
Serentak wanita kejam yang siap
mencabut nyawa Dewi Ular Hitam menoleh,
dan seketika dia mendesis geram dengan
mata menyipit tajam begitu melihat siapa
yang muncul.
"Akhirnya kau muncul sekarang! Dan
ajal pun sudah menjelang!"
Yang hadir di sana adalah Pendekar
Jari Delapan yang sedang memandang Dewi
Ular Hitam sambil menggeleng-geleng
kepala.
"Kekejamanmu tiga puluh tahun yang
lalu dapat dihentikan, dan kini
kekejaman itu rupanya berlanjut! Aku
yakin, kesaktianmu sudah semakin tinggi!
Tanganku jadi gatal untuk
membuktikannya!"
"Setan tua keparat! Kau harus
mampus!!" sambil mengeluarkan suara
menggembor keras, Dewi Ular Hitam
melesat cepat ke arah Pendekar Jari
Delapan yang masih menggeleng-gelengkan
kepala.
Dalam jarak tiga tombak sebelum
tubuh lawan mendekatinya, Pendekar Jari
Delapan sudah bergulingan ke samping.
Dua buah pohon besar yang berada di
belakangnya hancur lebur terhantam pu-
kulan tak terlihat yang dilontarkan oleh
Dewi Ular Hitam yang telah melepaskan
ajian pamungkasnya, ajian 'Titik Hitam'
yang berhasil diciptakannya.
"Hik hik hik... kulihat wajahmu
menjadi pias, Orang Tua Keparat! Apakah
kini kau jeri menghadapiku!"
"Kuakui apa yang barusan kau lakukan
begitu hebat sekali! Sudikah kau
mengatakan ajian apa yang kau lontarkan
itu?" seru Pendekar Jari Delapan dengan
ketenangan yang luar biasa.
"Itulah ajian 'Titik Hitam' yang
berhasil kuciptakan! Lebih baik kau
berlutut di hadapanku sebelum tubuhmu
hancur lebur berantakan dan meninggalkan
titik-titik hitam yang mengerikan!"
terkikik Dewi Ular Hitam dengan mata yang
masih menyorot tajam. "Hhh! Keluarkan
ajian 'Jari Delapan'-mu yang sangat kau
banggakan, Lelaki Keparat!"
Pendekar Jari Delapan cuma
tersenyum saja. "Aku ingin lihat
kelanjutannya!!"
Mendengar kata-kata yang bernada
meremehkan, Dewi Ular Hitam semakin
panas. Serangannya bertambah gencar.
Luar biasa gencarnya sehingga banyak
pohon di sana yang bertumbangan.
Bidadari Pisau Emas sudah menyambar
tubuh Brajaseta yang pingsan untuk
menjauh dari sana. Begitu pula yang
dilakukan oleh Radanara.
Kesulitan dialami oleh Pendekar
Jari Delapan, karena serangan yang
dilakukan oleh Dewi Ular Hitam tak nampak
sama sekali. Bahkan setiap kali dia
melepaskan ajian 'Titik Hitam'-nya tak
ada angin yang menderu, bahkan berhembus
lembut sekalipun. Hingga membuatnya
harus menebak-nebak untuk menghindar.
"Apakah kau cuma bisa menjadi monyet
liar belaka, hah?!"
"Aku ingin membuatmu senang lebih
dulu!" sahut Pendekar Jari Delapan,
padahal hatinya kebat-kebit. Aliran
darahnya jadi kacau mendadak. Namun
sebagai tokoh yang sudah banyak mengenal
pahit manisnya kehidupan ini, dia masih
bisa berusaha untuk menghindar.
Dan yang membuat Bidadari Pisau Emas
terpekik, ketika dilihatnya Pendekar
Jari Delapan justru menyongsong serangan
Dewi Ular Hitam. Bidadari Pisau Emas
hendak melemparkan pisau-pisau emasnya,
namun urung karena jarak keduanya begitu
dekat.
Dan benturan terjadi dengan
kuatnya, membuat tempat itu bagai
bergoncang. Sinar merah yang menaungi
tubuh Pendekar Jari Delapan beradu keras
dengan sinar hitam yang dilepaskan oleh
Dewi Ular Hitam. Membuyar dan menerangi
tempat itu.
Tubuh Pendekar Jari Delapan
terlempar ke belakang dengan derasnya
dan terhenti ketika mena-brak sebuah
pohon besar. Sementara Dewi Ular Hitam
hanya surut lima tombak dengan mulut
mengalirkan darah.
"Kau lihat sendiri sekarang, Monyet
Tua! Bukankah jurus kebanggaanmu 'Jari
Delapan' tak berguna menghadapi ajian
'Titik Hitam'-ku?!!"
Pendekar Jari Delapan tersenyum
tipis. Dirasakan dadanya remuk ketika
benturan itu terjadi. Dia memang sudah
melepaskan ajian 'Jari Delapan'-nya yang
kesohor tiga puluh tahun lalu. Sebuah
ajian kebanggaannya yang mampu menyerap
tenaga lawan dan membalikkannya.
Namun yang terjadi barusan
membuatnya sadar kalau jurus itu tak
banyak gunanya menghadapi Dewi Ular
Hitam. Bahkan kni dirasakan napasnya
sesak sekali. Dia yakin, bila Dewi Ular
Hitam akan menghabisinya sekarang juga,
dia tak akan mampu menahan lagi. Kalaupun
dia menggebrak atau menyongsong, sudah
bisa dipastikan tubuhnya akan hancur
berantakan. Bila dia berusaha
menghindar, tak mungkin lagi dia bisa
melakukannya seperti biasa. Karena,
kecepatannya sekarang ini bagai
terhalang oleh dadanya yang terasa
remuk.
Melihat hal itu, Dewi Ular Hitam
terkikik kencang hingga daun-daun
berguguran.
"Sangat menyenangkan sekali! Tiga
puluh tahun aku menunggu masa-masa yang
menggembirakan seperti ini, melihat satu
persatu monyet-monyet tua mampus di
tanganku! Monyet tua keparat, terimalah
kematianmu sekarang ini!!" bersamaan
dengan itu, tubuh Dewi Ular Hitam
menderu.
Bersamaan dengan tubuhnya yang
menggebah, berkelebat satu bayangan
hijau menyambar tubuh Pendekar Jari
Delapan yang sedang berusaha untuk
bangkit. Gerakan yang dilakukan oleh
bayangan hijau itu laksana kilat
cepatnya, karena bila ia terlambat
sedetik saja menyambar tubuh Pendekar
Jari Delapan, bukan hanya tubuh lelaki
tua gagah itu saja yang aksn hancur
lebur. Tubuhnya pun akan punah saat itu
juga!
"Anjing keparat sialan!!" membentak
Dewi Ular Hitam sambil merabuang
tubuhnya ke samping. Dia berdiri dengan
kedua kaki terbuka dan pandangan
nyalang, tak berkesip pada satu sosok
tubuh berpakaian hijau pupus yang sedang
meletakkan tubuh Pendekar Jari Delapan
di tanah.
"Sialan betul, aku tidak diajak
untuk menkmati hari yang menggembirakan
ini!" bentak sosok itu sambil berdiri
tegak. Matanya yang tajam menyorot
mengerikan, namun karena sikapnya yang
menggaruk-garuk kepalanya padahal tidak
gatal, kegarangannya itu jadi sedikit
luntur. Dia adalah pemuda urakan dari
Lembah Kutukan yang dalam suasana apa pun
tak lepas dari sikapnya yang urakan!
* * *
10
Melihat siapa yang muncul,
kemarahan Dewi Ular Hitam makin
membuncah. Tanpa membuang tempo lagi,
wanita berwajah tirus dan baju hitam
pekat itu menderu ke arah Pendekar Slebor
dengan kecepatan tak ubahnya hantu
belaka. Ajian 'Titik Hitam'-nya yang
dahsyat sudah terangkum di kedua ta-
ngannya, berada pada titik terakhir
karena kedua tangannya itu berubah
menjadi hitam legam.
"Eit, eit! Bukankah waktu itu kau
bilang, kalau kau memberiku kesempatan
untuk melihat Pendekar Jari Delapan!
Tetapi kayaknya, justru Pendekar Jari
Delapan yang kuberikan kesempatan untuk
melihatmu berkalang tanah!" seloroh
Andika sambil melentingkan tubuhnya.
Andika yang sudah pernah melihat
kehebatan ajian 'Titik Hitam' yang
dilepaskan oleh lawan, tak berani untuk
memapaki. Hanya mengandalkan
kecepatannya untuk menghindari setiap
serangan maut yang datang. Namun sama
seperti halnya yang dialami oleh
Pendekar Jari Delapan, Andika pun
mengalami kesulitan untuk menebak apakah
saat itu lawan melepaskan ajian 'Titik
Hitam'-nya atau belum.
Dalam menghadapi gempuran Dewi Ular
Hitam, Andika semata-mata mengandalkan
naluri kependekarannya. Tempat di sana
bukan alang kepalang lagi, hancur
berantakan. Pohon-pohon bertumbangan
dan hangus meninggalkan noda titik-titik
hitam. Sementara Dewi Ular Hitam semakin
bernafsu untuk menghabisi Andika.
Pada saat itu, meskipun telah
terluka, Bidadari Pisau Emas melesat
masuk kekalangan dengan melepaskan
sepuluh buah sekaligus pisau emasnya.
Dia gembira melihat kedatangan Pendekar
Slebor. Namun kesepuluh pisau itu hangus
luruh, ketika tangan Dewi Ular Hitam
mengibas.
"Miriggir!" bentak Andika ketika
melihat Bidadari Pisau Emas semakin
menambah kecepatannya untuk mengurung
gerak Dewi Ular Hitam.
"Peduli setan dengan ucapanmu!
Wanita ini haras mampus!" sera Bidadari
Pisau Emas yang akhirnya menjadi kalang
kabut sendiri menerima
serang-an-serangan dahsyat dari Dewi
Ular Hitam. Menyusul ular hitam yang
terlilit di lehernya menerjang
mengerikan ke arah Bidadari Pisau Emas.
Andika yang masih berusaha menebak
ke arah mana serangan yang dilakukan oleh
Dewi Ular Hitam, tak berani mengambil
risiko akan nyawa Bidadari Pisau Emas.
Tiba-tiba saja dia melompat dan
mendorong tubuh Bidadari Pisau Emas yang
sedang berjumpalitan. Lalu dengan
gerakan cepat, tangan kanannya sudah
memegang kain pusaka bercorak catur.
Dikibaskarinya pada ular hitam yang siap
menghabisi nyawa Bidadari Pisau Emas.
Beeettt!
"Kembali”
Maps!"
Ular hitam itu melompat menghindari
kibasan kain pusaka Andika dan rnelilit
lagi di leher Dewi Ular Hitam.
"Kutu monyet!" maki Andika geram,
sementara Bidadari Pisau Emas sedang
melempar lima buah pisau emasnya
sekaligus dan begitu pisaunya terlontar,
ia duduk bersila dengan kedua tangan
mengatup di dada.
Dewi Ular Hitam langsung
mengibaskan tangannya ke arah lima buah
pisau itu. Namun anehnya, kalau tadi
dengan mudah dia bisa meruntuhkan
serangan Bidadari Pisau Emas, kali ini
kelima buah pisau emas yang dilepaskan
oleh gadis jelita itu bagai memiliki mata
dan mempunyai naluri menghindar. Kelima
pisau itu melayang menghindari papasan
Dewi Ular Hitam dan menggebubu kembali ke
arahnya.
Andika yang sadar kalau Bidadari
Pisau Emas sedang mengendalikan
pisau-pisaunya, berusaha untuk tidak
menjauh darinya. Karena, selagi Bidadari
Pisau Emas mengendalikan pisau-pisaunya
dengan tenaga dalamnya, kemungkinan
bahaya yang siap dilepaskan Dewi Ular
Hitam menyergapnya.
Tetapi sekianmenit ditunggu, justru
yang dilihatnya Dewi Ular Hitam menjadi
kalang kabut dengan serangan-serangan
aneh pisau-pisau itu yang menderu ke
arahnya dari arah berlainan dengan
kecepatan Iuar biasa.
Dewi Ular Hitam memang mempunyai
niat untuk menghancurkan Bidadari Pisau
Emas yang sedang duduk mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mengendalikan
pisau-pisaunya, namun setiap kali ia
mencoba mendekati Bidadari Pisau Emas,
pisau-pisau itu menderu menghalangi
setiap gerakannya. Ia geram ketika
memikirkan tentang Setan Asap Batu
Karang yang sampai saat ini belum juga
muncul.
Menyadari kalau gerakan Dewi Ular
Hitam selalu terhalang oleh lima pisau
emas dari gadis jelita itu, Pendekar
Slebor merasa tak perlu untuk menjaga
Bidadari Pisau Emas. "Mungkin ini lah
yang dimaksudkannya kalau aku dan
dirinya mampu mengalahkan wanita
keparat. ini," pikir Andika dan langsung
menyerbu Dewi Ular Hitam yang sedang
memaki-maki sambil berusaha mengatasi
pisau-pisau itu.
"Kurang ajar! Ke mana perginya Setan
Asap Batu Karang!" makinya kalap.
"Kalau kau ingin tahu tentang
kambratmu itu, mungkin saat ini ia tengah
diadili oleh para tokoh rimba
persilatan!" seru Pendekar Slebor. "Dan
sebentar lagi, engkaulah yang akan
diadili oleh mereka!"
Ajian 'Guntur Selaksa' sudah
dipergunakan oleh Andika. Dengan
kecepatan luar biasa, ia meluruk masuk
bagai gerakan meluncur. Tetapi,
gerakannya terhalang karena ular hitam
di leher wanita tua itu meluncur.
"Kadal buntung!" maki Andika sambil
melenting satu kali. Masih di udara cepat
disambar kain pusa-kanya. Dan
dikibaskan.
Beeet!
Peak!
Ular yang sedang meluncur itu, pecah
kepalanya terhantam kibasan kain
bercorak catur.
Meloiong setinggi langit Dewi Ular
Hitam melihat binatang peliharaarmya
jatuh ke tanah dengan kepala tak
berbentuk.
"Kau harus membayar dengan nyawamu,
Pendekar keparat!!"
Penuh kemarahan, Dewi Ular Hitam
menerjang. Kali ini lebih gila lagi. Tak
dihiraukan serangan lima pisau emas.
Justru disongsongnya.
Prak! Prak! Prak! Prak! Prak!
Lima pisau emas itu langsung jatuh
terpecah dua begitu terhantam-tendangan
dan pukulannya. Me-nyusul gempuran
dahsyat ke arah Andika.
Dalam keadaan kalap seperti itu,
sangat menguntungkan Andika.
Mengandalkan kecepatan dan nalurinya dia
menghindari hantaman serangan Dewi Ular
Hitam. Dan mendadak dilemparnya kain
pusakanya
Pluk!
Tepat menutupi wajah Dewi Ular Hitam
yang merasa bagai dihantam angin keras.
Menyusul, satu hantaman telak mampir di
dadanya. Ajian 'Guntur Selaksa' yang
dilepaskan Andika, menimbulkan salakan
keras.
Tubuh wanita itu terhuyung ke
belakang. Justru Andika yang terkejut
melihatnya.
"Gila! Kedot sekali daging-daging
keriput di tubuh wanita tua jelek itu!
Ajian 'Guntur Selaksa' hanya membuatnya
terhuyung sejenak!"
Sementara Dewi Ular Hitam sedang
menggeram setinggi langit. Apalagi
ketika tubuhnya terhuyung kesigapannya
menjadi sedikit hilang. Sebuah pisau
emas yang telah dilepaskan lagi dan
dikendalikan dari jarak jauh oleh
Bidadari Pisau Emas, menancap ke
punggungnya. Dan menebarkan hawa panas
yang menyakitkan.
Wanita itu menggeram keras.
"Keparat! Kalian harus mampus
semuanya!!"
Tiba-tiba saja tubuhnya menderu ke
arah Pendekar Slebor yang masih terpaku
tak percaya melihat ajian 'Guntur
Selaksa' tak berarti apa-apa bagi Dewi
Ular Hitam.
"Kau bisa mati bila kau tak segera
bergerak, Pendekar Slebor!!" terdengar
seruan Pendekar Jari Delapan sambil
melemparkan tongkatnya.
Wusss!
Bagai luncuran anak panah yang
dilepaskan dengan kekuatan penuh,
tongkat itu memotong gerak Dewi Ular
Hitam yang dengan Iincahnya masih bisa
melepaskan satu tendangan. Tongkat putih
yang terbuat dari kayu jati sangat keras
itu, patah menjadi tiga bagian.
Bersamaan dengan itu, sebuah pisau
emas yang dikendalikan oleh Bidadari
Pisau Emas menyerempet kakinya.
Cras!
Darah mengalir dari kakinya dan
serangannya pada Andika jadi terhenti.
Justru pada saat itu Andika sedang
meluncur kembali dengan memadukan ajian
'Guntur Selaksa' dengan tenaga 'inti
petir' tingkat pamungkas!
Dewi Ular Hitam terpekik
melihatnya. Ia hanya bisa mencoba
menghalau dengan gerakan tangannya.
Namun gerakannya sendiri menjadi kacau,
karena pisau-pisau yang dikendalikan
oleh Bidadari Pisau Emas semakin
bertambah gencar mengarah padanya.
Akibatnya, ia jadi terbengong melihat
serangan Andika yang datang.
Des!
Tanpa ampun lagi, hantaman kekuatan
tinggi yang dilakukan oleh Pendekar
Slebor menghajar telak tubuhnya. Kali
ini dia terlempar lima tombak ke
belakang. Dan bersamaan dengan itu,
pisau-pisau yang dikendalikan oleh
Bidadari Pisau Emas mengarah padanya.
Namun yang terjadi kemudian sungguh
di luar dugaan siapa pun yang berada di
sana. Karena, meskipun tubuhnya sudah
ambruk ke tanah, dengan gerakan yang luar
biasa cepatnya, kaki kanan dan kiri Dewi
Ular Hitam bergerak.
Plak! Plak!
Dua pisau emas yang meluncur ke
arahnya terpental dan menancap dalam
hingga tak terlihat lagi di sebuah batang
pohon. Sementara dua pisau emas lagi yang
menderu ke arahnya, seketika luruh
ketika kedua tangannya mengibas.
Andika sampai mendesis melihatnya,
"Edan! Wanita ini memiliki kesaktian
yang luar biasa! Ajian 'Guntur Selaksa'
yang kupadukan dengan tenaga 'inti
petir' tingkat pamungkas pun tak
bergeming menghadapinya. Benar-benar
edan manusia jelek ini! Padahal
punggungnya sudah tertanam sebuah pisau
emas milik Bidadari Pisau Emas, namun
masih kedot juga!"
Dan keheranan Pendekar Slebor
semakin ber
lanjut, ketika tiba-tiba saja Dewi
Ular Hitam meluruk ke arahnya dengan
kedua tangan yang telah berubah menjadi
hitam legam menandakan betapa tingginya
ajian 'Titik Hitam' yang dikerahkannya,
berbentuk cengkeraman!
***
Bila saja Andika tidak segera
bergulingan, bisa dipastikan lehernya
akan remuk terkena hantaman dahsyat itu.
Dan nasibnya berada di ujung tanduk, ka-
rena ketika dia bergulingan, tubuh lawan
sudah menderu dengan menimbulkan angin
yang besar.
Dalam keadaan kritis, lagi-lagi
Andika melemparkan kain pusaka warisan
Ki Saptacakra.
Plup!
Kain yang dilempar dengan tenaga
dalam penuh, membuat kain itu meluncur
bagai anak panah. Menyambar kepala Dewi
Ular Hitam dan menutupi wajahnya. Hingga
ia menjadi gelagapan dan serangannya pun
kacau.
Secepat itu pula Andika melompat dan
menyambar kain pusakanya, lalu
menariknya hingga kepala Dewi Ular Hitam
yang masih tertutup kain pusaka itu
tertarik ke belakang. Pada saat itu,
Bidadari Pisau Emas tengah melemparkan
tiga buah pisau emasnya.
Singg! Singg! Siingg!
Dewi Ular Hitam masih sempat
menangkap deru cepat ke arahnya.
Sebisanya digerakkan seluruh anggota
tubuhnya. Namun karena saat itu
keseimbangannya sudah benar-benar
hilang akibat tarikan Andika, membuatnya
tak mampu untuk menghindari tiga buah
pisau emas yang meluncur ke arahnya.
Maka tanpa ampun lagi, pisau-pisau
itu menancap pada kaki kanan dan kirinya,
dan sebuah lagi menancap di pinggangnya.
Hawa panas seketika menjalari tubuhnya,
kali ini membuatnya berteriak setinggi
langit. Dia mengamuk tak karuan. Ajian
'Titik Hi-tam'-nya dilepaskan dengan
amarah yang tinggi.
Serentak yang berada di sana,
berlompatan menyelamatkan diri
menghindari amukan Dewi Ular Hitam.
Pohon-pohon yang berada di sana menjadi
sasaran yang hangus seketika. Ilalang
berantakan. Debu dan kerikil
beterbangan.
Andika bergulingan mengambil tiga
buah batu kerikil. Dilemparnya dengan
mempergunakan tenaga 'inti petir'.
Dua buah kerikil lolos dari sasaran
yang diinginkannya, dan sebuah lagi
tepat mengenai pangkal lengan kanan
wanita kejam yang sedang mengamuk itu.
Tuk!
Tubuh wanita berbaju perak yang
diamuk amarah itu terhuyung dan matanya
terasa gelap sejenak. Lalu menggelosoh
ambruk tanpa bisa menggerakkan anggota
tubuhnya.
Andika mendesah lega. Padahal
totokan jarak jauh yang dilakukannya,
hanya untung-untungan saja.
Terburu-buru Andika menghampiri Dewi
Ular Hitam yang terkapar dalam keadaan
luka parah. Tubuhnya nampak memerah
akibat hawa panas dari pisau emas yang
tertancap di anggota tubuhnya. Meskipun
keadaannya sangat parah, namun sinar
matanya memancarkan amarah yang luar
biasa.
"Pemuda hina dina! Aku tak akan
pernah melupakan kejadian ini!"
bentaknya pada Pendekar Slebor yang cuma
tersenyum-senyum saja.
"Jelas dong kau tidak bisa
melupakannya? Karena apa, aku yakin kau
pasti setuju dengan yang lainnya yang
mengatakan aku ini sangat tampan."
"Keparat!"
"Busyet, dalam keadaan sakarat kau
masih bisa membentak juga! Hatimu itu
terbuat dari apa sih kok maunya
marah-marah terus?"
Pendekar Jari Delapan yang juga
terluka dalam, melangkah menghampiri
Dewi Ular Hitam yang membentak, "Keparat
tua! Kau masih beruntung karena nyawamu
masih melekat dalam dada, tetapi
percayalah... aku pasti akan muncul
kembali!!"
"Apa yang hendak kau lakukan,
lakukanlah. Sulit untuk mengubah watakmu
yang busuk itu," sahut Pendekar Jari
Delapan.
"Apa pedulimu, hah? Dan kau Bidadari
Pisau Emas!" bentaknya yang melihat
Bidadari Pisau Emas melangkah setelah
menelan obatnya tiga butir sekaligus.
"Melihat senjata yang kau miliki dan
kemampuanmu melemparkannya, aku yakin,
kau adalah murid dari Ratu Emas Pulau
Bunga!"
"Tak perlu kau pikirkan, yang perlu
kau pikirkan, apakah kau masih bisa hidup
atau tidak!" sahut Bidadari Pisau Emas
sementara Andika sedikit tercekat
mendengarnya. Julukan Ratu Emas Pulau
Bunga itu pernah pula didengarnya. Tak
heran kalau kemampuan Bidadari Pisau
Emas dalam hal mempergunakan
senjata-senjatanya sangat tinggi.
"Setan semuanya! Setan!!" maki Dewi
Ular Hitam keras, menyesali
kekalahannya. Pandangan tajamnya
berulang kali diarahkan pada Pendekar
Slebor, dan Pendekar Jari Delapan.
"Apa yang harus kita lakukan, Kek?"
tanya Pendekar Slebor pada Pendekar Jari
Delapan.
"Aku tak pernah menghabisi orang
yang sudah . Kalaupun wanita ini kita
bawa untuk diadili oleh para tokoh rimba
persilatan, nampaknya juga percuma. Dia
sudah tak berdaya. Lagi pula, dia
terbakar dendam tinggi. Kuharap, apa
yang dialaminya hari ini, membuatnya
jera dan melupakan seluruh dendamnya."
"Aku setuju dengan pendapatmu. Kau
bagaimana, Bidadari Pisau Emas?"
"Meskipun darah yang tertumpah dan
nyawa yang putus begitu banyaknya akibat
ulah wanita busuk ini, namun aku pun tak
pernah melakukannya."
"Kau bagaimana, Brajaseta? Dan kau
Radanara?" tanya Pendekar Slebor ketika
melihat keduanya sudah berada di
dekatnya. Radanara kelihatan masih
pusing, sementara Brajaseta menahan
nyeri di dadanya.
"Apa pun keputusan yang diambil, aku
setuju meskipun manusia laknat itu telah
membuat onar," kata Brajaseta.
"Begitu pula denganku," sambung
Radanara, "Meskipun guruku tewas di
tangannya."
"Kalau begitu, kita tinggalkan ia di
sini. Biar setan-setan tempat ini yang
akan membinasakannya!"
Brajaseta dan Radanara segera
pamit. Keduanya akan kembali ke
Pelabuhan Ratu dan Madura. Sementara
Pendekar Jari Delapan berkata, "Teiima
kasih atas bantuanmu, Pendekar Slebor."
"Tanpa kau turun tangan, aku pun tak
banyak memiliki arti, Kek."
Pendekar Jari Delapan tersenyum. Ia
berkata pada Bidadari Pisau Emas,
"Sampaikan salamku pada Ratu Emas Pulau
Bunga."
Bidadari Pisau Emas menganggukkan
kepalanya.
"Akan kusampaikan, Kek."
Pendekar Jari Delapan tak berkata
apa-apa lagi. Tahu-tahu tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan. Hanya suaranya
yang terdengar, "Aku tak pernah lagi
turut campur dalam kehidupan dunia
kasar! Bukit Lingkar akan kutinggalkan!"
Pendekar Slebor mendesah pendek.
Bidadari Pisau Emas berkata,
"Terima kasih atas bantuanmu yang mau
bahu membahu denganku untuk mengalahkan
Dewi ular Hitam."
"Tanpa bantuanmu pun, sangat sulit
untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam. O ya,
boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
"Katakan."
"Di mana kau menyimpan pisau-pisau
emasmu itu?"
Bidadari Pisau Emas tersenyum "Kau
tebaklah sendiri."
"Justru aku semakin penasaran."
"Suatu saat, aku akan
mengatakannya, atau kaulah yang bisa
menebaknya."
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Suatu saat. Apakah kita... hei!" Andika
celingukan karena tahu-tahu sosok
Bidadari Pisau Emas sudah tak ada di
hadapannya. "Sialan! Kau mau kemana,
Gadis can-tik?!" teriaknya asal saja.
"Ada urusan yang harus aku
selesaikan! Tugas yang diberikan guruku
ada dua buah! Yang sebuah sudah
kutunaikan untuk menghentikan sepak
terjang Dewi Ular Hitam!" terdengar
sahutan Bidadari Pisau Emas yang entah
dari mana asalnya.
"Katakan padaku!"
"Wah! Apakah aku harus mengatakan,
pada orang yang memakai celana saja tidak
benar?!"
Segera Andika melihat ke celananya.
Ia terpekik sendiri. Celananya sudah
turun hingga ke mata kakinya. Ia mendumal
sambil menaikkannya. "Sialan, rupanya
gadis itu ingin main-main denganku!
Tetapi kuakui,. gerakannya sangat cepat
sekali! Hoooii! Tunggu aku!!"
"Kejarlah kalau kau mampu, Pendekar
Slebor!!"
Andika pun berkelebat.
Sementara Dewi Ular Hitam masih
terbaring dalam keadaan tertotok dan
tubuh luka parah. Dendam di hatinya makin
bertambah. Kali ini terhadap Pendekar
Slebor.
Dia bertekad untuk mencarinya!
Dikerahkan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya. Dan tubuhnya mengejut
sebentar serta menghela napas lega
ketika dia berhasil melepaskan diri dari
totokan Pendekar Slebor. Dicabutnya
dengan rasa sakit yang tak tertahankan
pisau-pisau emas yang menancap di tubuh-
nya.
Lalu dengan langkah terseret,
ditinggalkannya tempat itu.
SELESAI
Segera hadir!!!
Serial Pendekar Slebor dalam
episode:
RAHASIA PERMATA SAKTI
0 comments:
Posting Komentar