"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 29 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DEWI ULAR HITAM

Dewi Ular Hitam


DEWI ULAR HITAM 

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Dewi Ular Hitam


1


Siang meranggas, membakar 

pepohonan, tanah kering dan tandus. 

Angin seperti helaan dari neraka, 

membuat dedaunan berguguran dan 

mengering. Bumi berada dalam satu 

penderitaan yang sangat hebat. Matahari 

begitu garang menyengat hingga saking 

panasnya dari ubun-ubun bagai 

mengeluarkan asap.

Dari panas yang membakar, nampak dua 

bayangan berkelebat, melewati belantara 

tandus. Baju warna jingga, dengan ikat 

pinggang berwarna merah yang mereka 

kenakan, berkilat-kilat ditimpa cahaya 

matahari. Diikat pinggang masing-masing 

terselip sebatang clurit. Yang berambut 

acak-acakan berwajah tirus, dengan mata 

melengkung ke bawah. Alisnya hanya

merupakan jajaran tipis saja. Sedangkan

yang berambut pendek itu berwajah bulat, 

matanya bergelambir. Alisnya tebal. 

Meskipun wajahnya bulat, tetapi tubuhnya 

langsing. Kedua sosok itu berasal dari 

Madura. Dan keduanya berusia sekitar 

tiga puluh tahun.

"Radanara, sudah lima hari kita 

berada di tanah Jawa ini, namun sampai 

hari ini kita belum mendapat-kan 

keterangan yang berarti tentang Dewi 

Ular Hitam," kata yang berambut pendek 

sambil terus berkelebat. Keringat 

mengaliri wajahnya. Tetapi ia letap 

kelihatan tegar.

Laki-laki yang disebut Radanara 

mengalami hal yang sama. Kalau bukan 

orang-orang yang memiliki ilmu cukup 

tinggi, bisa jadi kedua belah kaki mereka 

akan segera melepuh begitu menginjakkan 

kaki di daerah tandus dan panas yang 

menyengat ini.

"Aku sudah tak sabar ingin membunuh 

manusia keparat itu!" sahut Radanara 

dengan suaranya menggeram, menandakan 

amarah dan dendam menggelegak di 

dadanya. 

"Biar bagaimana susahnya, sampai 

dunia kiamat sekali pun, manusia keparat 

itu harus mampus! Ia harus menerima 

balasan atas kematian Guru! Kita harus 

secepatnya menemukan manusia keparat 

itu, Ardinara!"

Keduanya terus berkelebat dengan 

pikiran yang berkecamuk dan dada 

bergelora penuh dendam membara. Sejauh

mata memandang, hanya daerah tandus itu 

yang ada di matanya.

Jarak seratus tombak ketika mereka 

akan meng-akhiri kelebatan tubuh dari 

tanah tandus dan tiba di sebuah hutan 

yang sudah terpampang, tiba-tiba saja 

keduanya merasakan angin kencang 

berkesiur ke arahnya. Kalau sejak tadi 

keduanya merasakan angin itu berhembus 

panas, kali ini dirasakan angin dingin 

yang meluncur. Derasnya angin itu lain 

dengan yang sejak tadi mereka rasakan.

Menyadari perubahan angin yang 

datang itu, keduanya serentak melompat 

ke kanan dan ke kiri. Angin yang menderu 

kencang itu melewati tempat di mana 

keduanya tadi berlari.

Menghantam tanah yang segera 

menghamburkan debu-debu panas. Ketika 

debu yang beterbangan itu menghilang, di 

tempat yang mereka pijak tadi sudah 

terbentuk sebuah lubang besar menganga.

"Hhhh! Orang iseng mana yang nekat 

mencari mampus?" seru Radanara dengan 

bersiaga. Begitu pula Ardinara yang 

tegak dengan tatapan waspada.

"Hik.. hik.. hik:.. hebat-hebat 

sekali. Kalau gurunya telah mampus, 

rupanya muridnya ingin mampus pula!"

terdengar suara mengikik penuh ejekan 

dari satu tempat.

Keduanya menoleh ke arah asal suara 

itu. Yang mengejutkan, tak ada seorang 

pun di sana, kecuali sebuah batu besar.

Radanara menggerakkan tangannya 

dengan geram. Serangkum angin laksana 

topan menderu ke arah batu besar itu.

Bummm!!

Batu sebesar kerbau itu berantakan 

menjadi kerikil. Tetapi tak satu sosok 

tubuh pun yang muncul atau mencelat dari 

balik batu besar itu. Hanya suara wanita, 

serak, kembali terdengar, 

"Hik... hik... hik.. boleh juga 

pukulan jarak jauhmu itu, Radanara...."

"Keparat busuk! Kalau kau memang 

punya wajah, silakan tampil! Jangan 

bisanya cuma membokong dari belakang!!" 

bentak Radanara. Pandangannya tajam dan 

sengit.

"Kalau itu permintaanmu, baik, 

baik!!" Setelah kata-kata itu habis, 

dikawal suara mengikik muncullah satu 

sosok tubuh dari satu tempat yang tak 

terlihat. Ketika hinggap dengan 

ringannya di depan keduanya, sosok itu 

kembali mengikik, lebih kencang.

"Nah, apakah kalau sudah melihat 

rupaku yang cantik ini kalian akan segera 

bersujud? Atau, jatuh cinta?"

Dua lelaki itu mengeluarkan suara 

mendengus bersamaan, memperhatikan satu 

sosok tubuh mengenakan pakaian berwarna 

hitam pekat. Kain batik butut dikenakan 

oleh wanita tua itu untuk menutupi bagian 

bawah tubuhnya.

"Apakah kau yang berjuluk Dewi Ular 

Hitam?" bentak Ardinara dengan tatapan 

menyipit. Orang yang hadir dengan cara 

seperti itu, bisa dipastikan ia adalah 

orang jahat. Dan karena yang sedang 

dicarinya adalah Dewi Ular Hitam, maka 

pertanyaan yang terlontar dari mulut 

Radanara seperti itu.

Sosok itu terkikik-kikik.

"Kau tak salah, Radanara."

Mendengar jawaban itu, Radanara 

menggeram berat. Kedua tangannya 

terkepal. 

"Wanita tua hina dina! Kematian 

sudah tiba untukmu!"

Dewi Ular Hitam kembali 

mengeluarkan suara terkikik. Parasnya 

boleh dikatakan tidak cantik sama 

sekali. Malah mengerikan. Kerutan nampak 

menghiasi wajah dan seluruh tubuhnya. 

Hidungnya bagaikan melesat ke dalam.

Matanya turun dengan bola mata berwarna 

kelabu. Yang unik lagi, seluruh giginya 

sudah ompong. Tubuhnya agak membungkuk 

sedikit. Usianya sekitar tujuh puluh 

tahun. Di lehernya melilit seekor ular 

hitam yang mendesis-desis mengerikan.

"Bagus, bagus.. kalau kau berkata 

terus terang. Sayangnya, kalian hanya 

membuang nyawa percuma!"

"Keparat!!" Sehabis membentak 

begitu, tubuh Radanara melesat cepat ke 

arah Dewi Ular Hitam yang masih 

terkikik-kikik. Serangkum tenaga hebat 

telah terjalin di kedua tangannya.

Wuuuttt!

Radanara terperangah, karena 

serangannya hanya mengenai angin. 

Sejenak ia celingukan. Ketika ia 

menoleh, dilihatnya Dewi Ular Hitam 

tengah terkikik-kikik di belakangnya.

Murkalah Radanara. Ia mengempos 

lagi tubuhnya sambil melancarkan 

serangan. Lagi-lagi sosok wanita tua 

berbaju hitam itu tak ada di tempatnya. 

Hal ini semakin membuat amarah Radanara 

menjadi naik meskipun sadar kalau lawan 

bukanlah orang sembarangan. Membunuh 

guru mereka, Dewa Muka Singa, bukanlah 

hal yang mudah.

Ardinara langsung menderu begitu 

dilihatnya Dewi Ular Hitam berada di 

belakang Radanara.

"Bangsat busuk! Aku pun ingin 

merasakan kehebatanmu!!" geramnya 

membahana.

Wuusss!!

Kembali tubuh Dewi Ular Hitam lenyap 

dari pandangan, serangan Ardinara hanya 

mengenai angin. Radanara segera 

mendekatinya.

"Kita tak boleh lengah! Guru saja 

bisa dipercundanginya!" serunya 

berhati-hati

"Sayangnya, kalian pun akan 

mampus!" tiba-tiba terdengar suara 

dingin itu dari belakang mereka, yang 

membuat keduanya segera bergulingan 

ketika merasa angin menderu ke arah 

mereka.

"Bagus, bagus sekali! Tetapi ingat, 

kalian hanya kuberi bernapas dalam satu 

jurus!"

Wajah keduanya memerah. Di samping 

sengatan matahari, juga karena mendengar 

ejekan Dewi Ular Hitam. Serempak mereka 

bergerak kembali.

Kali ini dengan suara gerengan 

seekor singa luka dan kedua tangan 

membentuk cakar yang mengebut ke sana

kemari, namun lagi-lagi tubuh lawan 

lenyap begitu saja. Bahkan... 

Des!!

Tubuh Radanara terjajar ke 

belakang. Dadanya bagai dihantam oleh 

godam yang sangat besar. Melihat hal itu, 

Ardinara menggeram keras. Celingukan ia 

mencari Dewi Ular Hitam. Begitu nampak di 

matanya, dicabutnya cluritnya yang 

berkilat-kilat.

Dihantamkannya berkali-kali, 

tetapi yang termakan hanyalah angin 

belaka. Selebihnya, ia merasakan 

punggungnya terhantam pukulan yang 

sangat keras sekali.

Seketika ia tersuruk ke tanah. Debu 

panas segera menyengat wajahnya, 

membuatnya menjerit-jerit. Radanara 

yang melihat bahaya mengancam saudara 

seperguruannya melakukan gerakan yang 

sangat luar biasa beraninya. Karena, ia 

memotong serangan yang sedang 

dilancarkan oleh wanita kejam itu pada 

Ardinara.

Akan tetapi, sudah jelas kalau Dewi 

Ular Hitam memiliki ilmu yang lebih 

tinggi dari keduanya. Masih berusaha 

untuk menginjak kepala Ardinara, ia 

mengibaskan tangan kirinya menggebuk 

tubuh Radanara.

Des!

Radanara terjajar ke belakang 

dengan perut yang terasa mulas. Dari 

mulutnya terdengar keluhan pendek. Saat 

itulah Dewi Ular Hitam melakukan 

keinginannya. Ardinara memekik dengan 

wajah pias.

"Hik... hik... hik... kupilih kau 

untuk mampus!" kikiknya dan dengan 

bengisnya ia mengangkat kaki kirinya, 

siap menginjak kepala Ardinara

Menyadari maut akan datang, 

Ardinara bergulingan. Panasnya debu dan 

kerikil sungguh menyiksa. Tetapi, maut 

di depan mata harus dihindari.

Dewi Ular Hitam perlihatkan 

kelasnya. Selagi Ardinara bergulingan 

dan coba untuk bangkit, ia menerjang 

cepat. Kaki kirinya menghantam kaki 

kanan Ardinara. Keluhan pendek terdengar 

bersama suara tulang patah. Menyusul 

tendangan berikutnya, telak menghantam 

dadanya.

Prak!

Ardinara ambruk. Tulang iganya 

patah. Sakit bukan alang kepalang. Ia 

mengeluh tertahan dengan aliran darah 

kacau. Pusing melanda dirinya, hingga 

penglihatannya nanar.

Melihat hal itu, Radanara yang 

sedang berusaha untuk bangkit, menggeram 

marah dengan teriakan keras setinggi 

langit.

"Monyet tua hina dina! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!!"

Tubuhnya melesat dengan gerakan 

menerkam seekor singa yang melihat 

mangsa. Dewi Ular Hitam hanya terkikik 

melihatnya. Begitu serangan yang 

dilakukan oleh Radanara mendekat, 

tangannya mengibas.

Des!

Pukulan Radanara dipapaki, menyusul 

satu gedoran kencang dari bawah.

Tanpa ampun lagi tubuh Radanara 

terlontar lima tombak ke belakang. Dari 

mulut dan hidungnya mengalir darah 

segar. Dipegang dada dengan mata melotot 

gusar.

"Hik... hik... hik... kau kubiarkan 

hidup, karena aku masih bermurah hati! 

Kasihan melihat kau yang datang dari jauh 

tetapi tak mampu membunuhku!"

Tiba-tiba saja Dewi Ular Hitam, 

memegang ular hitam yang selalu mendesis 

dari lehernya. Dilepaskannya ular itu ke 

arah Ardinara.

"Kau mendapatkan jatah yang lumayan 

enak, Manis!"

Ular itu meluncur deras dan....

Crass!

Menembus jantung Ardinara yang 

melolong setinggi langit Di detik Iain, 

ular itu telah mencelat keluar dengan 

mulut penuh darah. Melilit kembali ke 

leher Dewi Ular Hitam yang terkikik 

keras.

Melihat maut datang mengerikan pada 

Ardinara, Radanara menggeram dahsyat. 

Mengempos tubuhnya dengan sisa 

tenaganya. Namun tubuh Dewi Ular Hitam 

telah lenyap dari pandangan.

Plass!

Hanya tawanya yang mengumandang ke 

sekitar lembah tandus. Keras, menggema, 

dan bertalu-talu. Radanara menggeram dan 

berteriak murka.

"Dewi Ular Hitam!! Sampai kapan pun 

juga kau akan kukejar!!"

Radanara masih berteriak-teriak 

keras. Untuk melampiaskan rasa kesalnya, 

ia melepaskan pukulan jarak jauhnya 

beberapa kali. Debu-debu panas 

beterbangan.

Setelah itu ia menjadi kelelahan 

sendiri. Dihampirinya mayat Ardinara 

dengan kepiluan dalam. Dilihatnya mayat 

yang ditemukan itu tak beda dengan mayat

gurunya. Rubuh, penuh darah, dan tanpa 

jantung lagi.

"Maafkan aku... tetapi percayalah, 

akan kubalas sakit hatimu ini.... Juga 

sakit hati Guru."

Disingsingkan lengan bajunya. Tanpa 

mempedulikan betapa panasnya debu-debu 

itu, digalinya tanah di sana dengan kedua 

tangannya.

Setelah dirasakan cukup, dikuburnya 

mayat Ardinara.

Selesai menguburkan mayat Ardinara, 

Radanara berdiri. Wajahnya memancarkan 

kegeraman.

"Akan kubuat perhitungan nanti 

untukmu, Ardinara!!" desisnya. 

Tiba-tiba ia menjerit keras. 

"Dewi Ular Hitaaaammm! Kau akan

mampusss!!"

Tangannya mengibas ke sana kemari. 

Tempat itu tiba-tiba bagai diserang oleh 

puluhan gajah yang mengamuk. Pohon-pohon 

bertumbangan setelah terhantam oleh 

pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh 

Radanara.

***

2


Lain suasana panas di daerah tandus 

itu, lain pula dengan sebuah lembah yang 

berjarak ribuan tombak dari sana. Lembah 

yang dibentengi perbukitan teduh itu, 

bagai sebuah permata yang ada di tangan 

para da-yang.

Angin semilir berhembus. Di ufuk 

timur sana, bias-bias sang Fajar mulai 

nampak. Di lembah yang permai itu, di 

sisi sebelah utara, terdapat sebuah 

sungai yang mengalir jernih. Alirannya 

bagai melewati sebuah lorong yang entah 

bagaimana terbentuknya di perbukitan 

sebelah kiri.

Mendadak dari dalam sungai

terdengar satu suara....

"Huaaaahhh!" bersamaan itu muncul 

satu kepala berambut gondrong. Air 

sungai memenuhi kepala hingga tubuhnya. 

Sebagian tubuhnya masih beren-dam di 

air. 

"Hiiii! Dingin! Tetapi asyik ah!" 

Lalu dengan konyolnya wajah tampan 

dengan rambut gondrong yang basah itu 

menyelam lagi. Cukup lama dan menyembul 

dengan satu teriakan lagi.

"Asyiiiikkkk!"

Seperti orang yang sudah sebulan 

tidak bertemu air, pemuda konyol itu 

berenang-renang ke sana ke-mari. Pagi 

baru saja datang. Sang Fajar semakin 

menampakkan ujung jarinya, dan membulat 

memperlihatkan sekujur tubuhnya.

Pemuda yang asyik berenang itu 

menghentikan mandinya. Ia celingukan 

sejenak. Kabut masih cukup tebal 

menyelimuti alam. Lalu setengah 

berjingkat dia keluar dan berlari ke 

balik batu besar di mana diletakkan 

pakaiannya tadi.

Buru-buru dikenakan pakaian hijau 

pupus. Lalu disampirkannya sehelai kain 

bercorak catur di lehernya. Rambutnya 

digoyang-goyangkan. Air yang masih 

menempel di rambutnya berlompatan.

"Nyaman sekali tubuhku ini!" 

desisnya sambil mencoba menembus kabut 

tebal. 

"Hrara... kalau kabut sudah agak 

menghilang, aku akan keluar dari lembah 

ini. Sayang sebenarnya. Ih! Kalau aku 

punya anak dan istri... pasti tempat ini 

akan kujadikan tempat tinggal. Tetapi, 

apa iya ada yang mau denganku? Masa 

bodoh, ah! Yang penting, aku harus 

mengisi perut dulu!"

Selagi si pemuda masih berada dalam 

rangkulan kabut, mendadak terdengar satu 

suara, 

"Ada orang sinting yang mandi di 

tengah dingin membuta ini"

Cepat si pemuda itu menoleh. Matanya

mencari dari mana asal suara itu. Samar 

dilihatnya satu sosok tubuh di 

belakangnya. Duduk mencangkung di batu 

besar di mana dia mengenakan pakaian 

tadi.

"Busyet!" si pemuda menggaruk-garuk 

kepalanya. "Rupanya ada monyet nangkring 

di situ! Hebat sekali hingga aku tidak 

tahu dia berada di batu besar itu." 

Si pemuda menatap lelaki berbaju 

compang-camping dengan rambut dan 

jenggot putih. Di sisinya terletak 

sebatang tongkat putih yang mengkilat 

"Hei, Kek! Nekat juga kau ya, 

mengintip laki-laki mandi!"

"Siapa yang menyuruhmu mandi? Sejak 

semalam aku sudah berada di sini. Kau 

tidak menyapa, aku pun tidak menyapa."

Andika kembali menggaruk-garuk 

kepalanya.

"Siapa sebenarnya laki-laki tua 

ini? Sejak semalam aku berada di sini, 

tetapi tak mengetahui kehadirannya. 

Apakah dia lebih dulu datang ataukah aku

yang lebih dulu datang?" pikir si pemuda 

dengan kening berkerut. Lalu dia 

berkata, "Hebat juga kau, Kek! Aku tidak 

tahu kehadiranmu itu!"

"Hhhh! Siapa yang hebat, hah? Siapa 

yang tidak mengenal pemuda konyol dari 

Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar 

Slebor?" balas si kakek. Matanya tak 

sekali pun melihat ke arah si pemuda yang 

lagi-lagi terkejut.

"Kakek itu tahu siapa aku. Siapa dia 

sebenarnya? Dan mau apa berada di sini?" 

pikir si pemuda yang tak lain adalah 

Andika alias Pendekar Slebor. 

"Berada di sini saja aku tidak 

sengaja. Apakah dia memang ingin 

mendatangi tempat ini, ataukah dia 

memang tidak sengaja tiba di sini seperti 

aku?" Masih memperhatikan si kakek yang 

menatap kejauhan, Andika berkata lagi, 

"Kau sudah tahu siapa aku tanpa kuberi 

tahu. Lancangkah bila aku mengetahui 

siapa kau, Kek?"

"Untuk apa?"

"Untuk apa?" ulang Andika bingung. 

"Ya... barangkali saja nanti kau 

meminta-minta dan kebetulan aku lewat. 

Masa iya sih aku tega tidak memberimu 

sedekah?"

Bukannya marah mendengar selorohan 

Andika, si kakek yang masih mencangkung 

di batu itu perdengarkan tawanya. 

Sungguh bukan buatan kerasnya. Menggema 

dan memantul di dinding perbukitan.

"Akhir-akhir ini memang kudengar 

sepak terjang pendekar urakan dari 

Lembah Kutukan. Hampir tak percaya bila 

aku tak mendengarnya sendiri."

"Kau belum menjawab pertanyaanku, 

Kek."

"Hhmm... namaku sendiri aku tidak 

ingat lagi. Mungkin aku lahir tanpa nama. 

Tetapi, orang-orang menjulukiku 

Pendekar Jari Delapan. Karena, jari 

kelingking kedua tanganku putus. Aku 

lupa apa penyebab putusnya kedua 

kelingkingku ini."

Andika melihat si kakek membuka 

kedua tangannya. Lalu dia bergumam, 

"Pendekar Jari Delapan. Rasa-rasanya aku 

pernah mendengar julukan itu." Andika 

menatap si kakek yang mengaku berjuluk 

Pendekar Tangan Delapan yang kini 

menatapnya. "Lalu, mau apa kau singgah di 

tempat ini, Kek?"

"Tempat ini puluhan tahun yang lalu 

selalu kujadikan tempat merenung. Dan 

semalam pun aku datang ke sini untuk 

merenung."

Andika tertawa.

"Merenung mengapa usiamu 

bertambah?"

"Omonganmu seenak pantatmu saja! 

Tetapi, kehadiranmu di sini justru 

membuang segala kepenatan yang ada di 

otakku."

"Apakah Pendekar Jari Delapan 

sedang mengalami satu masalah?" desis 

Andika dalam hati. "Kek... bisakah 

kutahu apa yang menjadi kepenatan otakmu 

itu?"

"Apa perlumu?"

"Barangkali, dengan membagi cerita 

kau tak lagi mengalami kepusingan."

Pendekar Jari Delapan 

terbahak-bahak. "Rupanya kau tergolong 

orang usilan juga. Persis seperti yang 

kulakukan ketika aku seusiamu."

Andika nyengir. Teringat masa 

kecilnya di mana dia menjadi pencuri di 

kotapraja. Tetapi, yang selalu dicuri 

adalah uang orang-orang kaya yang rakus 

(Untuk mengetahui asal usul Pendekar 

Slebor, silakan baca episode: "Lembah 

Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").

"Ceritakanlah apa yang ingin kau 

ceritakan, Kek."

"Apakah kau akan berdiri terus 

menerus di situ?"

"Bila kau bersedia aku duduk di 

sampingmu, sudah kulakukan sejak tadi." 

"Duduklah."

Andika melompat. Tetapi, anehnya 

tubuhnya tak bisa digerakkan. Kedua 

kakinya bagai terpantek di tanah. Dia 

mendengus. "Hhh! Siapa lagi yang usil 

kalau bukan manusia keropos ini?"

Dilihatnya Pendekar Jari Delapan 

masih bersikap tak acuh. Bahkan seolah 

tak tahu apa kesulitan Andika sekarang. 

Ngotot, Andika mengerahkan tenaga 

dalamnya. Tetapi, makin dia mengerahkan, 

makin kuat kakinya melekat di tanah.

"Kura-kura buduk! Aku tak 

sungkan-sungkan lagi sekarang!" gerutu 

Andika dan mengerahkan sedikit tenaga 

'inti petir' pada kedua kakinya. Lalu 

menghentak dan... hup! Dia telah duduk di 

hadapan si kakek. Seolah tak ada masalah 

yang mengganggunya dia berkata, "Aku 

sudah siap untuk mendengarkan ceritamu 

itu. Asal jangan cerita ngawur saja."

Pendekar Jari Delapan 

terbahak-bahak. "Ash. Ash manusia jelek 

yang ada di hadapanku ini berasal dari 

Lembah Kutukan. Tenaga 'inti petir' yang 

kau perlihatkan memang berasal dari buah 

legenda buah 'inti petir'."

"Sudahlah, Kek. Tidak usah 

basa-basi. Nanti jadi basi beneran."

Pendekar Jari Delapan menarik napas 

panjang. Sementara kabut mulai menipis. 

Matahari sudah sepenggalah. Dua anak 

manusia berbeda usia itu duduk 

berhadapan. Lalu meluncurlah kata-kata 

dari Pendekar Tangan Delapan.

Andika terdiam mendengarkan cerita 

itu sampai usai.

"Apakah Dewi Ular Hitam sudah mati 

saat itu, Kek?"

"Tidak. Meskipun saat itu kami 

bertiga memburunya untuk menghabisinya, 

tetapi ia lebih cepat bergerak. 

Gerakannya tak lebih dari hantu belaka. 

Begitu cepat sekali, apalagi saat itu 

kami juga dalam ke-adaan terluka. Di saat 

kami masih mencari-carinya, tiba-tiba 

terdengar ancamannya yang merontokkan 

jantung. Ia mengancam akan muncul lagi 

tiga puluh tahun kemudian. Dugaanku, 

sekaranglah Dewi Ular Hitam akan muncul 

memenuhi ancamannya."

"Sampai sekarang, apakah engkau 

pernah berjumpa dengannya, Kek?"

Si orang tua menggelengkan 

kepalanya.

"Tidak, aku tidak pernah berjumpa 

dengannya lagi."

"Di manakah wanita yang berjuluk 

Dewi Ular Hitam itu tinggal?" tanya 

Andika yang semakin tertarik untuk 

menelusuri masa lalu Pendekar Jari Dela-

pan.

"Aku tidak tahu. Setelah peristiwa 

itu, aku kemudian menyepi di Bukit 

Lingkar sekaligus menyembuhkan 

luka-lukaku. Sementara Dewa Muka Singa 

berdiam di Madura dan Manusia Muka Putih 

berada di ujung Pelabuhan Ratu. Ah, 

kuharap mereka tak melupakan peristiwa 

lalu itu. Karena, Dewi Ular Hitam pasti 

akan melakukan ancamannya."

Andika terdiam, memperhatikan wajah 

kurus di hadapannya. Terpekur seperti 

membayangkan masa lalunya yang mungkin 

menari-nari di benaknya. Dilihatnya pula 

laki-laki itu menghela napas 

berkali-kali.

"Aku tidak tahu siapakah yang 

pertama akan didatangi oleh Dewi Ular 

Hitam. Karena, ia bisa saja berada di 

hadapanku terlebih dahulu, mungkin pula 

muncul di depan Dewa Muka Singa, atau 

Manusia Muka Putih. Yang pasti, aku 

yakin... ia akan muncul, untuk 

membalaskan sakit hatinya."

"Tanganku menjadi gatal bila 

mendengar ada manusia-manusia mempunyai

niat busuk yang selalu mengorbankan 

orang lain. Bahkan rela mencabut nyawa 

orang lain demi ambisinya."

Pendekar Jari Delapan tersenyum. 

"Tidak usah. Ini urusan kami bertiga. Tak 

ada sangkut pautnya denganmu, Pendekar 

Slebor."

"Pada kenyataannya, aku jadi 

penasaran ingin mengetahui siapakah 

gerangan Dewi Ular Hitam”.

Bukan aku merasa kepandaianku sudah 

cukup untuk menghalangi perbuatannya. 

Namun biar bagaimanapun saatnya, 

keinginan busuk dari Dewi Ular Hitam 

harus dihentikan. Dan aku yakin, siapa 

pun yang berada dalam golongan lurus, 

pasti akan melakukan hal itu. Bukan untuk 

mencari nama, bukan untuk mendapat 

pujian, tetapi memang itulah kenyataan 

yang ada di setiap hati orang-orang dari 

golongan lurus."

Pendekar Jari Delapan 

terbahak-bahak.

"Kau benar. Memang sudah selayaknya 

kita bersikap seperti itu. Dan sepak 

terjangmu yang menghalangi keangkara

murkaan dan mengkandaskan keinginan 

manusia-manusia busuk seperti Dewi Ular 

Hitam, sudah menjadi sebuah ukuran pada 

dirimu. Kuhargai tawaran bantuanmu itu,

Andika. Bila kau memang ingin 

membantuku, tolong kabarkan berita ini 

pada Manusia Muka Putih di Pelabuhan 

Ratu."

"Bagaimana dengan Dewa Muka Singa?" 

tanya Andika sambil menatap wajah di 

hadapannya.

"Kepergianku dari Bukit Lingkar 

ini, adalah untuk menemuinya."

"Baiklah kalau begitu. Aku akan 

segera melakukannya. Akan ku jumpai 

Manusia Muka Putih secepatnya."

Pendekar Jari Delapan 

terbahak-bahak lagi. Wajah kurusnya jadi 

mengerikan.

"Ingat, aku tak bisa memberikanmu 

apa-apa sebagai upah. Kalau kau mau 

kentutku, akan kuberikan?"

"Justru aku ingin memberikannya 

lebih dulu padamu, Kek," balas Andika. 

Tak heran baginya, bila tokoh rimba

persilatan bersikap aneh dan rada-rada 

gila seperti itu.

"Satu hal yang perlu kau ingat, 

kesaktian Dewi Ular Hitam pada saat tiga 

puluh tahun yang lalu sangat sukar dicari 

tandingannya. Karena kami bersatu padu, 

sehingga wanita keparat itu bisa 

dikalahkan. Dan aku yakin, selama tiga 

puluh tahun itu ia sudah melatih dirinya

dengan ilmu-ilmu yang sangat dahsyat. 

Aku tak bisa memperkirakan kesaktiannya 

untuk masa-masa sekarang ini. Yang perlu 

kau ingat, ular hitam yang selalu melilit 

di lehernya itu sangat berbahaya. Aku 

tidak tahu apakah ular itu sudah mati, 

atau panjang umur seperti majikannya."

"Akan kuingat nasihatmu itu, Kek. 

Seperti apa sih Dewi Ular Hitam itu? Hhh! 

Ingin kujitak kepalanya!"

Makin keras tawa Pendekar Jari 

Delapan mendengar selorohan Andika. 

Sungguh, dia tak menyangka akan berjumpa 

dengan pendekar yang namanya akhir-akhir 

ini terdengar, perlahan dan makin 

menjulang.

"Kalau saja kau belum mewarisi ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan, aku mau 

menurunkan ilmuku yang tak seberapa ini 

padamu. Tetapi, aku tak mau melancangi 

pendekar legendaris Saptacakra. Nah, 

Andika... kita berpisah di sini."

Habis berkata begitu, tubuh 

Pendekar Jari Delapan bagai lenyap 

ditelan bumi. Tak ada angin yang 

berkesiur. Tak ada angin yang 

menghembus. Tubuh itu tahu-tahu lenyap. 

Yang ada, sebuah goresan menembus tiga 

senti di batu besar di bagian di mana 

Pendekar Jari Delapan duduk.

“Terima kasih atas bantuanmu”.

Andika mendesah pendek. Kesaktian 

yang dimiliki Pendekar Jari Delapan 

demikian tinggi, tetapi dia harus bahu 

membahu bersama Dewa Muka Singa dan 

Manusia Muka putih untuk mengalahkan 

Dewi Ular Hitam.

Kalau begitu, seperti apa kehebatan 

Dewi Ular Hitam?

Andika menengadah. Matahari mulai 

menyengat. Angin semilir menghembus 

rambutnya. "Aku ingin tahu siapa Dewi 

Ular Hitam itu."

***

Pelabuhan Ratu, bukanlah tempat 

yang berjarak dekat. Kalau ingin tiba di 

sana dengan segera, Andika memang harus 

mengeluarkan ilmu larinya yang tersohor.

Dini hari telah tiba, saat Andika 

menghentikan larinya, Meski tak terasa 

penat, namun perjalanan memang harus 

dihentikan. Memulihkan tenaga dengan 

cara tidur, suatu cara yang sangat 

berguna sekali.

Andika memutuskan untuk tidur dan 

melanjutkan perjalanan ketika terdengar 

ayam jantan berkokok panjang.

Bersahutan, memberitakan pagi sebentar 

lagi akan tiba.

Dalam hari yang masih gelap dan 

matahari belum beranjak dari sudut 

timur, Andika berkelebat kembali. 

Sungguh, hatinya dibuat penasaran oleh 

cerita Pendekar Jari Delapan.

Dewi Ular Hitam, tokoh semacam 

apakah dia? Hingga seorang tokoh seperti 

Pendekar Jari Delapan meskipun 

memperlihatkan ketenangannya, namun 

Andika bisa menangkap getar kecemasan 

dari raut wajahnya.

Dari julukan yang berkesan angker 

itu, Andika sebenarnya bisa menangkap 

kesaktian macam apa yang dimiliki Dewi 

Ular Hitam. Bukan penasaran ingin 

menjajaki kesaktian Dewi Ular Hitam, 

melainkan semua ini dikarenakan 

panggilan hati nuraninya yang tak senang 

keangkaramurkaan terjadi.

"Setinggi apa pun kesaktian si Dewi 

Ular Hitam, aku akan berusaha 

menghentikan sepak terjangnya," desis 

Andika tanpa menghentikan larinya.

* * *

3


"Aku tak pernah akan kembali ke 

Pelabuhan Ratu bila belum membunuh 

wanita kejam yang berjuluk Dewi Ular 

Hitam," geraman itu berasal dari mulut 

seorang laki-laki gagah berwajah tampan. 

Tangan yang terdapat gelang-gelang 

berjajar dari pangkal tangan hingga ke 

siku, terkepal penuh amarah. Rahangnya 

mengatup, dengusannya terdengar 

berkali-kali. Di punggungnya terdapat 

sebilah pedang yang tajam. Ia mengenakan 

pakaian berwarna putih. Di belakangnya, 

tiga orang pemuda yang sebaya dengannya 

menyetujui hal itu. Di punggung 

masing-masing terdapat sebilah pedang.

"Tetapi, Kakang... sampai saat ini 

kita belum tahu di mana wanita iblis itu 

berada."

"Kau benar, Gumilar," sahut 

laki-laki yang ber-nama Brajaseta itu. 

"Tetapi biar bagaimana juga, ia tak akan 

pernah kulepaskan. Paling tidak, kita 

jalankan dulu amanat Guru yang ditujukan 

pada Pendekar Jari Delapan. Hhh! Rasanya 

masih jauh Bukit Lingkar dari tempat kita 

sekarang ini."

Tak ada yang bersuara saat 

meneruskan langkah. Terbayang di mata 

Brajaseta bagaimana guru mereka yang 

berjuluk Manusia Muka Putih luka parah di 

tangan Dewi Ular Hitam. Dan ini semakin 

membuatnya murka. Apalagi bila mengingat 

sekitar lima orang saudara seperguruan 

mereka tewas dengan dada bolong dan 

jantung tak ada di tempatnya. Disesali 

dirinya mengapa saat itu dia bersama 

ketiga temannya pergi ke kotapraja untuk 

berbelanja.

Memang, karena untuk keperluan 

sehari-hari, mereka secara bergiliran 

berbelanja. Dan saat itu, tiba giliran 

Brajaseta dan ketiga temannya. Penuh 

sakit hati, ia berhasil mengobati 

keadaan gurunya.

Setengah membujuk, Brajaseta 

akhirnya berhasil mengetahui siapa yang 

melakukan semua itu. Bahkan gurunya, 

menyuruhnya untuk mengabarkan 

kedatangan Dewi Ular Hitam pada Pendekar 

Jari Delapan yang berdiam di Bukit 

Lingkar.

Di sebuah hutan kecil Brajaseta 

meminta mereka untuk beristirahat. 

Mereka menikmati daging ayam hutan 

panggang yang dicari oleh Gumilar. Belum 

lagi daging panggang yang mereka makan

habis, terdengar bentakan diiringi suara 

cekikikanyang sangat keras. 

Menggugurkan dedaunan di sekitar mereka, 

menandakan yang berkata itu memiliki 

tenaga dalam tinggi.

"Rupanya ada pesta yang 

mengasyikkan di sini. Perutku jadi

terasa lapar mencium aroma yang sedap! 

Sayangnya, aku tak berniat untuk 

menikmati daging ayam panggang itu! 

Justru kalian yang akan menjadi penyedap 

kesenanganku ini!"

***

Mendengar hal itu, keempatnya 

menjadi bersiaga dengan mata tajam 

berkeliling. Tak menghiraukan lagi sisa 

daging panggang yang masih cukup banyak.

"Jangan menjadi pengecut! Silakan 

keluar!" bentak Brajaseta sambil 

celingukan.

"Keberanian yang dilontarkan secara 

dipaksakan, akan membawa akibat yang 

buruk!" seruan itu terdengar kembali. 

Kali ini terasa sangat menyakitkan 

telinga. Bila saja keempatnya tidak 

memiliki tenaga dalam yang lumayan, bisa 

dipastikan mereka akan ambruk seketika.

"Kakang... manusia yang berseru itu 

pasti bermaksud tidak baik," bisik 

Gumilar.

"Kau benar. Dan kita harus 

bersiaga," balas Brajaseta dalam 

bisikan. Lalu ia membentak lagi, "Ru-

panya wajahmu sedemikian buruk hingga 

kau takut untuk muncul! Aku yakin, 

keburukanmu lebih mengerikan daripada 

setan neraka!"

"Hik... hik... hik.. aku yakin, 

kalian akan jatuh cinta bila melihat 

wajahku!"

Bersamaan angin yang berkesiur 

kencang, muncul di hadapan mereka satu 

sosok tubuh berpakaian warna hitam 

pekat. Sikapnya begitu dingin dan masih 

cekikikan.

Brajaseta tak berkedip menatap 

wanita berwajah mengerikan yang berdiri 

tiga tombak di hadapannya. Ada seekor 

ular hitam mendesis-desis di leher kurus 

wanita itu.

"Hmmm, kalau memang ingin ikut serta 

dalam pesta kelinci panggang ini, 

silakan datang," katanya dengan suara 

ditekan.

"Tak pernah kusangka, murid-murid 

Manusia Muka Putih memiliki sopan-santun 

yang tinggi." Brajaseta tersentak.

"Siapakah kau sebenarnya, Orang 

Tua?" bentaknya yang heran mengapa 

wanita tua itu mengenali mereka sebagai 

murid-murid Manusia Muka Putih.

"Setan belang! Kau menyebutku orang 

tua?! Heh! Brajaseta, apakah kau 

menyangsikan kalau aku masih mampu 

membuatmu bergairah?" seru wanita itu 

dengan tatapan memicing. Ia paling tidak 

suka dikatakan kalau ia sudah tua.

Mendengar kata-katanya, Brajaseta 

terbahak-bahak.

"Jangan kata kami, kambing pun tak 

akan mau mendekatimu!!" seru Longgoro 

yang bertubuh tinggi besar.

Kata-katanya itu disambut tawa oleh 

teman-temannya.

Dari picingan matanya, sinar mata 

wanita itu memancarkan kemarahan. 

Tiba-tiba saja, tanpa diketahui 

bagaimana ia bergerak, tubuh Longgom 

telah ambruk dengan sebilah pedang 

menancap di keningnya. Pedangnya 

sendiri!!

"Bangsat!!" geram Brajaseta 

tercekat, sambil meloloskan pedangnya ia 

meluncur ke arah wanita itu yang 

tiba-tiba saja menghilang. Dan 

membuatnya celingukan. Masih tidak

mengerti bagaimana tahu-tahu Longgom 

sudah menemui ajal.

"Gurunya saja dapat kukalahkan, 

apalagi kalian!!" terdengar satu suara 

dari atas pohon.

Brajaseta mengangkat kepalanya 

dengan tatapan marah. Dilihatnya wanita 

itu tengah uncang-uncang kaki di sebuah 

ranting kecil. Bisa dipastikan kalau 

ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. 

Gerakannya tak lebih dari bayangan 

belaka!

"Anjing buduk! Aku yakin, kaulah 

yang berjuluk Dewi Ular Hitam!" 

bentaknya semakin sengit begitu 

menyadari siapa wanita setan itu.

"Kalau kau sudah mengenaliku, 

mengapa tidak segera bersujud, hah?" 

ejek wanita tua yang tak lain memang Dewi 

Ular Hitam

"Wanita peot bau tanah! Kau harus 

mampus!!"

Siing! Siingg! Siingg!!

Tiga buah gelangnya lolos dan 

menderu ke arah Dewi Ular Hitam. Namun

hanya menggerakkan telunjuknya saja, 

ketiga gelang itu mencelat kembali ke 

pemiliknya. Membuat Brajaseta melompat 

sambil mendengus.

Dan serangan berikutnya datang ke 

arah Dewi Ular Hitam. Gumilar dan Kartolo 

mencelat dengan dua serangan ganas.

Namun yang mereka hadapi ini adalah 

Dewi Ular Hitam yang telah mencelakakan 

guru mereka, Gempuran kedua murid 

Manusia Muka Putih dihindari sambil 

tertawa. Bahkan dengan enaknya Dewi Ular 

Hitam, duduk kembali di dahan pohon yang 

tadi didudukinya.

Melihat hal itu, keduanya langsung 

meloloskan pedang di punggung 

masing-masing. Dipadukan dengan jurus 

tangan kosong mereka menyerang kembali. 

Begitu pedang diayunkan menimbulkan 

angin dingin yang cukup kencang.

CraklCrak!!

Dua pedang itu menghantam ranting 

yang tadi diduduki oleh Dewi Ular Hitam. 

Namun yang membuat mereka terkejut, 

karena ketika hinggap di bumi dilihatnya 

Dewi Ular Hitam tengah menggempur 

Brajaseta.

Panas, mereka mengurung Dewi Ular 

Hitam dan melancarkan serangan secara 

serempak.

Namun tanpa terlihat bagaimana cara 

lawan menghindar, tubuhnya tahu-tahu 

lenyap. Mendadak saja ketiganya 

merasakan bumi yang dipijaknya bergetar.

Rupanya Dewi Ular Hitam tengah 

menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya 

dengan sekali meng-hentakkan kaki pada 

bumi.

Ketiganya segera mengalirkan tenaga 

dalam mereka ke kedua kaki, untuk 

menguasai keseimbangan mereka agar tidak 

hilang. Belum lagi mereka menyadari apa 

yang terjadi, dikawal angin kencang Dewi 

Ular Hitam telah menderu dengan cepat.

Gumilar dan Kartolo langsung 

tersuruk ke belakang dengan nyawa putus. 

Melihat hal itu Brajaseta menggeram 

marah. "Kunyuk! Biar kau memiliki ke-

saktian setinggi langit, aku tak akan 

mundur!"

Terkikik Dewi Ular Hitam mengempos 

tubuhnya menghindari serangan 

Brajaseta. Lalu dengan gerakan yang tak 

terlihat, tangannya mengibas. Mengenai

dada Brajaseta. Tubuhnya terpental ke 

belakang, muntah darah. 

Tulang-tulangnya seperti patah.

"Dengan ilmu seperti itu, kalian 

ingin membalas dendam?" ejek wanita tua 

kejain itu sambil menggeleng-gelengkan 

kepala dengan sikap meremehkan.

"Sayang sekali, kalian hanya 

membuang nyawa sia-sia!"

"Persetan dengan ucapanmu!!"

Mendadak saja ia kehilangan 

keseimbangannya karena bumi yang 

dipijaknya bergetar. Kaki kanan Dewi 

Ular Hitam sudah menghentak kuat.

"Hik... hik... lebih baik kau pulang 

saja menetek pada ibumu, Brajaseta!!" 

ejek Dewi Ular Hitam yang menggeduk 

kakinya tadi. "Atau„. kau memang sudah 

tidak tahan ingin berjumpa dengan gurumu 

di alam baka?"

Brajaseta memaksakan dirinya untuk 

bangkit meskipun sangat sulit. Agak 

bersyukur ia karena dengan perkataan 

seperti itu, menunjukkan bahwa Dewi Ular 

Hitam tidak tahu kalau gurunya berhasil 

diselamatkan. Amarah yang semakin 

menjalari hatinya, seolah menambah 

tenaganya untuk bangkit.

Melihat hal itu, tawa Dewi Ular 

Hitam dikawal ejekan yang menyakitkan 

telinga terdengar, "Kalau kau sudah tak 

mampu ya sudahlah. Kasihan kau yang 

datang dari jauh tak pernah akan membalas 

dendam gurumu!!"

"Keparat hina!! Aku akan mengadu 

jiwa denganmu!!" bentak Brajaseta, namun 

dirasakannya sekujur tubuhnya semakin 

bergetar. Jantungnya dirasakan sesekali 

berdenyut dan sesekali berhenti Sangat 

menyulitkannya untuk menyerang.

Jangankan melakukan satu serangan, 

memulihkan keseimbangannya saja sudah 

harus kalang kabut.

Dengan mencoba mengerahkan sisa 

tenaganya, Brajaseta menyerang ke arah 

Dewi Ular Hitam yang terkikik keras. 

Namun serangan itu kandas dengan 

sendirinya, karena tenaga Brajaseta 

memang sudah terkuras. Ia ambruk dengan 

keluhan panjang dan diiringi tawa keras 

lawan.

Lalu dengan langkah maut dan 

seringaian lebar, Dewi Ular Hitam 

mendekati Brajaseta. Tangannya 

terangkat bersamaan kikikannya yang 

keras sambil menggeleng-gelengkan 

kepalanya.

"Bergegaslah menyusul teman-teman 

dan gurumu itu ke neraka! Heaaaa!!"

Namun, sebelum ajal menjemput 

Brajaseta, mendadak saja sosok yang 

pingsan itu lenyap begitu saja. Dewi Ular 

Hitam terkejut bukan main. Ada orang yang 

menyelamatkan Brajaseta dari maut, namun 

ia tak melihat sosok orang itu. Bahkan 

gerakannya saja tidak. Ini benar-benar 

aneh, pikir wanita kejam itu menggeram.

***

Malah ditolehkan kepalanya ke kiri. 

Mata kelabunya melotot melihat satu 

sosok tubuh berpakaian hijau pupus dan 

kain bercorak catur yang tersampir di 

bahunya sedang cengar-cengir di 

hadapannya. Dan dengan santainya, si 

pemuda tampan menurunkan Brajaseta yang 

pingsan dari pundaknya.

"Heran, sudah peot begitu masih 

kejam juga!! Apa kau tidak sadar kalau 

tubuhmu yang renta itu sudah bau tanah?" 

ejekan itu tcuimbar.

"Orang muda, kau lancang telah 

menghalangi

Aku datang untuk menyampaikan saiam 

Pendekar Jari Delapan padamu!!"

Begitu nama itu disebutkan, tubuh 

Dewi Ular Hitam bergerak laksana hantu. 

Emposan tubuhnya menggetarkan bumi 

hingga tubuh Andika bergetar.

Wuuuuttt!

"Uts!"

Andika bergulingan, namun tubuh 

lawan terus menderu ke arahnya. 

Gelagapan Andika mendapat serangan aneh 

yang gencar itu.

Tubuhnya terjajar ke belakang 

terkena tendangan keras Dewi Ular Hitam.

"Tahan!!" seru Andika sambil 

menahan sakit. Cukup tercekat melihat

serangan yang cepat itu. Bagaimana ia 

bisa menenangkan Dewi Ular Hitam agar 

tidak terjerat oleh dendamnya. Bila 

melihat apa yang telah dilakukan oleh 

wanita itu, bisa dipastikan ia hendak 

mengulangi sejarah yang dulu. "Apakah 

kau tak ingin mendengar amanat yang 

hendak kusampaikan? Aku orang baik biar 

kuberi tahu! Pendekar Jari Delapan ingin 

kau mampus! Dan yang perlu kau ketahui, 

aku pun menghendaki seperti itu dan tak 

akan membiarkanmu menurunkan tangan 

telengas lebih lama lagi!"

"Sesumbarmu sudah kebanyakan, 

Pendekar Slebor!" Dewi Ular Hitam 

menggeser kaki kiri dua tindak ke 

belakang. Tubuhnya agak menekuk 

pandangannya tajam, tak berkesip.

Menyadari lawan siap menyerang, 

Andika justru masih berdiri tegak di 

tempatnya. Sikapnya masih urakan seperti 

biasa. Sedangkan Dewi Ular Hitam, Mata 

celong itu bagai melompat, dengan mulut 

yang membentuk kerucut.

Pemuda berbaju hijau pupus yang tak 

lain Pendekar Slebor, terhenyak dengan 

kening berkerut. Selorohan yang siap 

dilontarkan lagi, terkunci erat.

Diperhatikannya wanita yang sedang 

memaki-makinya itu dengan saksama.

Diakah wanita yang berjuluk Dewi Ular

Hitam? batinnya bertanya sambil mencoba 

menjajaki tingkat kesaktian wanita tua 

peot di hadapannya. Mengingat ciri yang 

dikatakan Pendekar Jari Delapan, Andika 

yakin wanita tua ini lah yang memang 

sedang dicarinya.

"Wah, wah... rupanya kau orang yang 

berjuluk Monyet Jelek Kaki Buduk! Bagus 

sekali!"

Wajah Dewi Ular Hitam memerah. 

"Orang muda, kau terlalu lancang berkata 

seperti itu! Sebutkan siapa dirimu?"

"Aku?" Andika menunjuk dadanya 

sendiri dengan sikap lucu. "O... kalau 

kau ingin tahu aku yang ganteng, tampan, 

keren, dan kesohor ini sudah tentu aku 

akan memberitahukannya. Masa sih, aku 

tega membiarkan wanita tua yang sudah mau 

mampus sepertimu itu, harus penasaran. 

Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku 

Pendekar Slebor! Apakah kau sudah puas? 

Atau, kau sudah siap untuk kuberikan 

tanda tangan?"

Dewi Ular Hitam menggeram. "Hhh! 

Namamu memang telah kudengar beberapa 

tahun belakangan ini! Dan berlagak 

menjadi pahlawan kesiangan! Minggir 

kalau kau tidak ingin mampus!"

"Sayangnya, aku tak akan menyingkir 

dari sini.

"Ingat-ingat, gayamu seperti itu 

kayak orang terlambat buang hajat!" 

seringainya lebar. Padahal hatinya 

kebat-kebit tak karuan.

Dewi Ular Hitam tak mau buang tempo. 

Dikawal gerengan setinggi langit, 

tubuhnya berkelebat. Bukan buatan 

cepatnya, hingga Andika terkesiap 

melihatnya. Dengan pencalan satu kaki 

Andika buang tubuh ke kanan.

Wuuuss!

Menyusul satu tendangan yang 

diarahkan ke kepala Andika. Cepat pemuda 

urakan itu merunduk, dan kirim satu 

jotosan sebagai balasan.

Des!

Pukulan Andika dipapaki oleh Dewi 

Ular Hitam, dengan cara menekuk siku. Dan 

membuat Pendekar Slebor tersentak ke

belakang dan hinggap hampir kehilangan 

keseimbangannya. Belum lagi ia bisa 

menguasai keseimbangannya, ganti satu 

serangan me- ke arah kepala Pendekar 

Slebor.

"Gila! Apa yang dikatakan Pendekar 

Jari Delapan tentang Dewi Ular Hitam 

memang benar. Gerakannya seperti 

bayangan belaka!!" dengusnya sambil

kembali menghindari serangan itu. Kali 

ini tenaga 'inti petir' tingkat 

kesepuluh dipergunakan. Dia tahu lawan 

memiliki tenaga dalam kuat. Melihat 

perubahan angin yang dilakukan oleh 

Andika, sadarlah Dewi Ular Hitam kalau 

lawan telah meningkatkan tenaga 

dalamnya.

Dia pun menambah tenaga dalam dan 

kecepatannya. Gempurannya semakin 

berbahaya dan mengerikan. Angin panas 

bagai mengejar Andika

Mengandalkan kecepatannya, Andika 

mengirimkan serangan balasan dengan 

tenaga 'inti petir' tingkat kedua.

Dewi Ular Hitam terkejut menerima 

serangan seperti itu.

"Hhhh! Kini kuakui, sebagai pewaris 

ilmu Lembah Kutukan kau tidak sia-sia, 

Andika!! Sayangnya, kau tak akan bisa 

berbuat banyak!"

"Hehehe... kalau kau ingin belajar, 

cium dulu kentutku!!" ledek Andika, 

padahal hatinya kebat-kebit.

Wajah Dewi Ular Hitam memerah.

"Jangan kau pikir kau bisa 

mengalahkan aku, Andika!!" serunya 

geram. Tiba-tiba saja ia menyatukan 

telapak tangannya dan menggosoknya 

berkali-kali. Terlihatlah asap tebal

yang mengepul dari sana. Lalu serunya, 

"Nah, cobalah kau nikmati ajian 'Titik 

Hitam'-ku ini, yang kupersiapkan untuk 

membunuh manusia-manusia keparat 

seperti Pendekar Jari Delapan!!"

Menangkap isyarat bahaya, Andika 

merangkum ajian 'Guntur Selaksa' salah 

satu ajian kebanggaannya dari Lembah 

Kutukan.

Tetapi sebelumnya ia berkata, "Dewi 

Ular Hitam.... Lebih baik kau 

menyerahkan diri untuk diadili oleh para 

pendekar kenamaan."

"Hihihi... rupanya Pendekar Slebor 

pandai melihat gelagat. Kalau kau takut, 

mengapa kau masih berada di sini, hah?" 

ejek Dewi Ular Hitam.

Mendengar kata-kata itu Andika 

mendengus.

"Karena wajahmu yang jelek itu masih 

ada di sini!!" sentaknya.

Dewi Ular Hitam menggereng setinggi 

langit. Dengan seruan keras ia menderu 

dengan ajian 'Titik Hitam'-nya. Andika 

tercekat melihatnya. Karena serangan itu 

bagaikan sebuah pukulan jarak jauh. 

Hanya bedanya, kalau pukulan jarak jauh 

terasa ada angin yang menderu kencang. 

Sementara yang dilakukan oleh Dewi Ular 

Hitam tak terasa apa-apa. Bahkan angin

pun tak ada. Tetapi Andika yakin, se-

rangan yang tak terasa itu justru sangat 

berbahaya.

Ia pun menghindar!

Duaaarrr!

Tiba-tiba saja tanah tandus yang 

berjarak dua puluh tombak dari tempat 

pertarungan mereka terdengar ledakan. 

Debu-debu beterbangan deras.Di tempat 

yang terkena ledakan itu menjadi bolong 

dan di sekitarnya terdapat titik-titik 

hitam berbentuk lingkaran.

Senja semakin menurun.

Sejak tadi yang dipikirkan Andika, 

jalan satu-satunya untuk mengatasi 

serangan Dewi Ular Hitam hanyalah 

menembus serangan sekaligus 

pertahanannya. Dan waktuyang tepat 

adalah saat Dewi Ular Hitam menyerang. 

Begitu ia melihat celah, Pendekar Slebor 

segera menderu.

Dewi Ular Hitam tak kalah dahsyat 

bergerak. Dua benturan hebat terjadi. 

Tubuh Andika terpental beberapa tombak 

dan dari mulut serta hidungnya mengalir 

darah segar, sementara Dewi Ular Hitam 

masih berdiri tegak.

"Gila! Ajian 'Guntur Selaksa' tak 

mampu berbuat banyak! Bisa konyol!" 

desis Andika dalam hati.

Pontang-panting Andika berusaha 

menghindari serangan aneh yang dilakukan 

oleh Dewi Ular Hitam. Setiap kali dia 

menghindar, setiap kali pula terdengar 

suara ledakan yang menghancurkan 

pepohonan. Bulu kuduk Andika meremang 

membayangkan betapa dahsyatnya serangan 

lawan.

"Ku ampuni nyawamu, Pendekar 

Slebor! Karena, aku ingin kau melihat 

bagaimana si tua keparat itu mampus di 

tanganku!" Lalu diiringi dengan tawanya 

yang keras, Dewi Ular Hitam melesat dan 

lenyap hanya dalam sekejapan mata.

Andika mendesah pendek. Ia mengatur 

pernapasannya kembali. la tak akan

berhenti sampai disini. Dari kata-kata 

Dewi Ular Hitam, dua tokoh muka dunia 

persilatan telah tewas di tangannya, itu 

menandakan kekejamannya yang tak 

mustahil akan mengincar lagi kedudukan 

sebagai orang nomor satu di rimba 

persilatan.

Lalu ia menghampiri Brajaseta yang 

masih pingsan. Pendekar Slebor mendesah 

panjang melihat luka yang diderita 

Brajaseta. "Sangat mengerikan sekali. 

Lukanya begitu parah. Bisa kubayangkan 

betapa tingginya ilmu yang dimiJiki 

wanita jelek bau tanah itu. Dewi Ular

Hitam, tak akan kubiarkan kau meraih 

cita-cita busukmu itu."

Perlahan, mulailah Andika melakukan 

pengobatan pada Brajaseta yang masih 

tergolek pingsan.

* * *

4


Pagi mulai merayap sejak ayam jantan 

hutan berkokok panjang. Sinar matahari 

memberikan penerangan yang benar-benar 

nyaman. Di saat matahari sepenggalah, 

rasanya orang ingin berlama-lama berada 

di bawah sinarnya. Tetapi bila sudah 

seubun-ubun, orang-orang merasa lebih 

baik menghindari-nya. 

Sosok Brajaseta yang pingsan, mulai 

bergerak. Sejenak dirasakan sekujur 

tubuhnya linu. Dicobanya untuk membuka 

mata. Tetapi langsung dikatupkan kembali 

ketika sinar matahari dirasakan 

menyengat. Saat membuka matanya tadi, 

masih sempat dilihatnya satu sosok tubuh 

berpakaian hijau pupus sedang

terkantuk-kantuk dengan kedua lutut 

ditekuk

Otak Brajaseta mulai normal 

kembali. Dia ber-ikir siapakah gerangan 

sosok berbaju hijau pupus itu. Lawan 

ataukah kawan? Namun tiba-tiba saja dia 

bangkit dan melancarkan satu serangan 

keras ke arah sosok berambut gondrong 

itu. 

Wusss!

"Tahan!!" seru Pendekar Slebor yang 

menangkap desingan maut mengarah padanya 

sambil menggerakkan tangannya. Meskipun 

matanya sudah mengantuk namun naluri 

kependekarannya selalu terjaga. 

Serangan yang dilakukan oleh Brajaseta 

terhalang ketika dikibaskan tangannya, 

sementara Brajaseta sendiri merasakan 

tangannya bergerar. Dilihatnya 

lengannya membiru. Dirasakannya tubuh 

semakin linu. Dia sempoyongan.

Andika dengan cepat menyambar 

tubuhnya. "Orang gagah, kau masih luka 

parah. Jangan terlalu banyak bergerak," 

katanya pelan.

Brajaseta mendesah. Bila melihat 

sikap pemuda ini, jelas sekali kalau dia 

tidak bermaksud jahat. Karena bila 

pemuda berbaju hijau pupus ini orang 

jahat, maka dengan mudahnya ia bisa

dihabisi. Justru sekarang yang dilihat 

dan didengarnya adalah sikap yang baik, 

sopan, dan penuh persahabatan.

Diturutinya saja ketika pemuda itu 

mendudukkannya bersandar di sebatang 

pohon. Dia maklum, meskipun usianya tak 

jauh berbeda dengan pemuda yang memiliki 

mata setajam elang ini, namun ilmu yang 

dimilikinya jauh berada di bawah si 

pemuda. "Maafkan aku...," desisnya 

pelan. 

"Ini hanya salah paham saja." Andika 

tersenyum. Tetapi dalam hatinya 

menggerutu, enak saja main serang

begitu! Ia melihat laki-laki itu 

tiba-tiba celinguk-an. "Kalau yang kau 

cari adalah mayat tiga orang itu, sudah 

kukuburkan."

Brajaseta menarik napas panjang. 

Kelu ia menundukkan kepala. Kepedihan 

begitu terasa. Tetapi, sebagai seorang 

ksatria, Brajaseta tak mau terlalu lama 

larut dalam kesedihannya.

"Orang muda... siapakah kau 

adanya?" tanyanya pelan sambil 

memejamkan mata. Bukan karena menahan 

rasa linu kembali, melainkan lebih 

banyak menutupi rasa malu pada dirinya 

sendiri. Amanat gurunya belum 

disampaikan, namun ia telah

dipercundangi dengan mudah oleh Dewi 

Ular Hitam. Ini sungguh menyakitkan!

"Namaku Andika...."

"Bolehkah aku mengetahui 

julukanmu?" 

Andika cengar-cengir sambil 

menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Wah, kalau itu tidak usah saja," 

seringainya jelek. "Tetapi, kalau kau 

memaksa ya sudah. Orang-orang rimba 

persilatan menjulukiku Pendekar Slebor. 

Padahal aku tidak slebor Iho...," kata 

Andika sambil tertawa. Justru ia 

menunjukkan sifat kesleborannya!

Bah!

Mendengar julukan itu, Brajaseta

tersentak. Serius lelaki itu menatap 

Andika. Masih lekat pandangannya pada 

Andika, ia berkata, agak bergetar, 

"Rupanya.... Pendekar Slebor yang 

menolongku dan menguburkan tiga temanku 

yang telah menjadi mayat. Agak 

terhormat, meskipun peristiwa 

mengerikan telah menghampar."

"Aku cuma kebetulan lewat, dan 

kebetulan pula, aku memang sedang 

mencari wanita kejam yang berjuluk Dewi 

Ular Hitam."

"Mengapa kau mencarinya?"

"Tak sengaja aku bertemu dengan 

Pendekar Jari Delapan. Darinyalah aku 

mengetahui tentang kembalinya Dewi Ular 

Hitam di rimba persilatan ini...."

"Oh, Tuhan.... Pendekar Jari 

Delapan?"

"Kau mengenalnya?"

"Kemunculanku di sini, untuk 

menunaikan amanat guruku, tentang 

kedatangan Dewi Ular Hitam yang hendak 

kusampaikan pada Pendekar Jari Delapan."

"Siapa gurumu?"

"Beliau berjuluk Manusia Muka 

Putih." Andika mendesah.

"Maaf... aku turut berbelasungkawa 

atas...."

"Pendekar Slebor... guruku belum 

tewas, meskipun sewaktu kutemui ia 

sedang sakarat."

Mata Andika lebih terbuka. 

"Benarkah yang kau katakan itu?" *

Brajaseta menganggukkan kepala. 

"Kini Guru mengasingkan diri di 

Pesanggrahan Putih. Sebuah tempat 

rahasia di mana Guru pernah melatihku."

Desahan napas Andika terdengar 

lebih lega, "Berarti, hanya Dewa Muka 

Singa yang telah tewas. Dari kata-kata 

Dewi Ular Hitam, manusia keparat itu 

menyangka Manusia Muka Putih telah

tewas. Ku akui, kesaktian wanita itu 

sangat tinggi. Tadi aku sempat bentrok 

dengannya!"

Brajaseta mengangguk-anggukkan 

kepala. Didengarnya lagi suara Andika, 

"Brajaseta, apakah kau sudah merasa kuat 

untuk berjalan?"

Brajaseta menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, jaga dirimu 

baik-baik. Aku harus segera menyusul 

Dewi Ular Hitam sebelum dia menurunkan 

tangan telengasnya lagi. O ya, amanat gu-

rumu, secara tidak langsung sudah sampai 

di telinga Pendekar Jari Delapan. 

Karena, beliau menyuruhku untuk 

menyampaikan berita tentang munculnya 

Dewi Ular Hitam pada gurumu."

"Andika... aku juga mempunyai 

kepentingan yang sama denganmu. Bisakah 

aku ikut denganmu?"

Andika cuma tersenyum.

"Kalau kau tak merepotkanku, aku 

bersedia."

Brajaseta bangkit perlahan-lahan, 

"Aku berjanji tidak akan menyulitkanmu."

"Bila kau justru menyulitkanku, 

kusepak pantat mu."

Brajaseta cuma tersenyum tipis 

mendengar ancaman yang diserukan oleh 

Pendekar Slebor sambil terbahak-bahak.

***

Tiga orang penunggang kuda yang 

memakai pakaian ala orang-orang keraton 

itu menghentikan laju kudanya. Tiga 

pasang mata menatap tanah tandus di 

hadapan mereka. Masing-masing 

mengenakan blangkon berlurik dengan 

sebuah keris di pinggang. Pada kala itu, 

mereka dikenal dengan julukan Tiga 

Pangeran dari Selatan. Karena, mereka 

selalu mengenakan pakaian ala pangeran 

dari sebuah keraton.

Bila melihat sekilas, wajah 

ketiganya nampak mirip satu sama lain. 

Mereka adalah kakak beradik yang cukup 

disegani di daerah selatan.

"Kakang Naga Wulung, di mana lagi 

kita harus mencari Dewi Ular Hitam yang 

telah membuat onar dan mengatakan 

dirinya adalah orang nomor satu dirimba 

persilatan ini?" tanya salah seorang 

yang menunggang kuda berwarna coklat.

Naga Wulung yang menunggang kuda 

berwarna putih terdiam. Lalu katanya, 

"Sulit menentukan di mana wanita iblis 

itu berada. Tetapi, kita harus mencari 

wanita keparat itu! Tak akan kubiarkan ia

menguasai rimba persilatan ini selama 

Tiga Pangeran dari Selatan masih hidup!"

Kembali ketiganya terdiam. Mata 

mereka silau menatap luasnya tanah 

tandus, panas, dan menebarkan udara 

melesak ke tulang.

"Lebih baik kita beristirahat saja 

dulu!" usul Harimau Wulung yang 

menunggang kuda hitam.

Usulnya itu disetujui, ketiganya 

segera menggebrak kuda, memasuki hutan 

yang tak jauh dari sana. Panas yang 

menyengat tak terlalu menggila lagi. Ke-

tiganya duduk beristirahat sementara 

kuda-kuda mereka asyik makan rumput yang 

banyak tumbuh di sana.

"Kakang Naga Wulung... apakah kau 

masih ingat peristiwa tiga puluh tahun 

yang lalu itu?" tanya Elang Wulung.

"Ya, meskipun kita hanya mendengar 

ceritanya saja, karena saat itu kita 

masih kecil. Hhh! Mudah-mudahan Tiga 

Penghulu Kebenaran masih hidup dan bisa 

bersatu kembali untuk menghabisi nyawa 

wanita busuk itu! Akan tetapi, kita tak 

perlu menunggu kehadiran mereka! Karena, 

Dewi Ular Hitam akan mampus di tangan 

kita!"

Sehabis berkata begitu, Naga Wulung 

tiba-tiba melompat dari duduknya, ketika

dirasakan angin panas menderu dahsyat ke 

arahnya, dengan seruan tertahan. Begitu 

ia hinggap di tanah, dilihatnya tempat 

yang didudukinya tadi hangus seketika.

"Keparat! Keluar kau!!" bentaknya 

sementara Elang Wulung dan Harimau 

Wulung bersiap pula.

"Tidak sabaran benar rupanya! Baik, 

baik aku akan keluar!!" terdengar suara 

itu diiringi suara dengusan.

Tiga Pangeran dari Selatan memicing 

mata melihat satu sosok tinggi besar 

melangkah dengan santainya. Di mulutnya 

terdapat sebuah pipa yang sangat besar 

Asap yang keluar dari sana mengeluarkan 

bau busuk yang menyengat dan tak 

mengenakan penciuman.

Wajah sosok tinggi besar itu cukup 

menyeramkan. Rambut kepalanya hanya 

sejumput saja. Terletak di tengah dan 

dikuncir ekor kuda. Selebihnya botak. 

Mulut dan hidungnya besar.

Tiga Pangeran dari Selatan tahu 

siapa yang hadir di sini.

"Sindung Ludiro, atau yang dikenal 

dengan julukan Setan Asap Batu Karang! 

Hhhh! Kupikir kau sudah mampus di tangan 

Pendekar Jari Delapan, lima belas tahun 

yang lalu!!" seru Naga Wulung.

"Ha! Kau benar itu! Aku memang 

hendak mampus dibuatnya! Tetapi... 

hehehe... buktinya aku masih hidup, 

bukan? Memang kurang ajar sekali 

Pendekar Jari Delapan! Dipikirnya dia 

saja yang benar! Hhhh! Hei, kenapa kalian 

tidak segera menyerah atau membunuh diri 

saja! Kudengar tadi kalian 

menyebut-nyebut sahabatku Dewi Ular 

Hitam! Sebentar lagi ia akan menguasai 

rimba persilatan ini! Menyenangkan 

sekali mendengar keberhasilan seorang 

sahabat yang hendak memenuhi ambisinya!"

Mendengar kata-kata yang bernada 

merendahkan itu, Elang Wulung dan 

Harimau Wulung dengan serentak segera 

menyerbu seraya meloloskan kerisnya. 

Setan Asap Batu Karang cuma tertawa-tawa 

saja. Dan secara tiba-tiba ia menyedot 

pipinya dalam-dalam, dalam detik 

berikutnya, dihembuskan kuat-kuat 

kepada Harimau Wulung dan Naga Wulung.

Asap warna putih yang 

mengepul-ngepul itu menerpa keduanya 

yang langsung terpental ke belakang.

"Kalian sia-sia menghadapiku! Cepat 

kalian membunuh diri! Biarkan sahabatku 

melakukan keinginannya!!"

Harimau Wulung dan Naga Wulung 

benar-benar tak menyangka kalau hanya

dengan asap saja tubuh mereka bisa 

terpental ke belakang. Serentak mereka 

bangkit, menghimpun seluruh kekuatan, 

dan kembali menderu.

Namun lagi-lagi dengan asap yang 

dihembuskan oleh Setan Asap Batu Karang, 

keduanya kembali terpental. Bahkan kali 

ini harus terguling-guling dengan dada 

yang terasa nyeri.

Melihat hal itu, Naga Wulung 

melompat ke depan. Lalu dengan gerengan 

keras ia membentak,

"Nama besar Setan Asap Batu Karang 

sudah lama kudengar! Aku ingin melihat 

kehebatanmu! Harimau dan Elang Wulung! 

Susun pormasi 'Tiga Pangeran Menguasai 

Gunung'!"

Yang dipanggil tadi, masih menahan 

sakit, serentak melompat ke sisi kanan 

dan kiri Naga Wulung. Lalu keduanya 

membuka jurus masing-masing. Sementara 

Naga Wulung menyilangkan tangan di 

de-pan dada. Satu kekuatan dipadukan. 

"Permainan apa lagi yang kalian 

perlihatkan?" seru Setan Asap Batu 

Karang sambil tertawa-tawa.

"Jangan banyak bacot! Ucapkan salam 

terakhirmu untuk Dewi Ular Hitam, karena 

ajal sudah tiba di hadapanmu!! Heaaaat" 

seru Naga Wulung keras dan bentakan itu

merupakan sebuah komando tanda 

penyerangan segera dimulai.

Tiga sosok tubuh berkelebat 

sekaligus, sementara lawan masih 

tenang-tenang saja di tempatnya. Ketika 

tubuh Tiga Pangeran dari Selatan itu 

hampir mendekat, tiba-tiba saja orang 

tua kerdil berkepala botak, mencabut

pipa besar yang masih mengepulkan asap di 

mulutnya. Lalu mengebut-ngebutnya 

hingga asap busuk yang keluar semakin 

menguar keras.

Anehnya, asap itu membentuk kepalan 

tangan raksasa yang bergerak ke arah Tiga 

Pangeran dari Selatan, cepat, dahsyat 

sekaligus mengerikan.

Terkejut ketiganya membuang tubuh. 

Satu gerakan salto ke belakang yang 

dilakukan oleh Naga Wulung dan ke kanan 

kiri dilakukan Harimau dan Elang Wulung.

Masih merupakan rangkaian dari jurus 

'Tiga Pengeran Menguasai Gunung'. 

Bersamaan dengan itu, melalui pencalan 

satu kaki, ketiganya siap mengirimkan 

serangan balasan.

Kepalan tangan raksasa dari asap itu 

menderu, menggemuruh dan merentang 

dengan kibasan hebat.

Des! Des! Des!

Luar biasa! Tubuh'Tiga Pangeran 

dari Selatan yang sedang melakukan 

gempuran, terpental secara bersamaan. 

Hantaman kepalan tinju yang tercipta 

dari asap, benar-benar luar biasa. 

Menyusul kibasan dikawal angin bak topan

prahara. Ketiganya memang berhasil 

meloloskan diri, tetapi akibatnya lain 

bagi pohon-pohon yang tumbuh di sana. 

Pohon-pohon itu bagai dicabut paksa dan 

terpental sejauh sepuluh tombak.

"Hehehe... kalian yang masih bau 

kencur begini mau menghalangi keinginan 

sahabatku? Sayang sekali! Kalian tak 

pernah tahu betapa tingginya langit!"

"Manusia anjing!"

"Menghadapiku saja kalian tidak 

mampu, bagaimana mungkin bisa 

mengalahkan Dewi Ular Hitam?" ejekan itu 

makin menyusup di telinga Tiga Pangeran 

dari Selatan. Wajah mereka seketika 

memerah, meskipun mereka membenarkan 

kata-kata lawan.

"Jangan kau anggap karena kau 

berhasil menjatuhkan kami sekarang ini, 

kau sudah merasa besar hati!" bentak Naga 

Wulung. "Kau belum melihat kelihaian 

kami berikutnya!"

"Manusia-manusia besar mulut! 

Mencabut nyawa kalian semudah

membalikkan telapak tanganku! 

Menyingkir dari tempat ini sekarang 

juga! Urungkan niat kalian untuk mencari 

sahabatku! Biarkan ia melakukan apa yang 

diinginkannya. Kalian tak perlu ikut 

campur karena kalian hanya membuang 

nyawa percuma! Nyawa kalian kuampuni 

saat ini, dengan maksud, agar kalian bisa

berpikir dengan jernih! Ikut bergabung 

denganku, atau kalian akan mampus dengan 

cara yang sangat mengerikan! Ini 

peringatan pertama dan terakhir dariku!"

Dikawal tawa yang keras, Setan Asap 

Batu Karang berkelebat meninggalkan 

tempat itu. Tinggal Tiga Pangeran dari 

Selatan itu menggeram marah.

"Keparat! Ke mana pun kau pergi akan 

kami cari!!" seru Naga Wulung geram. Ia 

melompat ke kudanya. Namun sejurus 

kemudian ia memaki-maki penuh kegeraman, 

karena kudanya tak bergerak sama sekali.

"Kakang... waktu kita sangat mepet! 

Setan Asap Batu Karang pasti sedang 

mengarah pada Dewi Ular Hitam!" seru 

Harimau Wulung.

Naga Wulung cuma mendengus saja. Ia 

berusaha mencari di urat mana kudanya 

ditotok. Setelah ditemukan, dikerahkan 

tenaga dalamnya, ia berhasil membebaskan 

totokan pada kudanya.

Harimau Wulung dan Naga Wulung pun 

berbuat yang sama. Setelah itu ketiganya 

melompat ke kuda masing-masing. 

Menggebrak, dengan kemarahan 

menjadi-jadi.

* * *

5


Andika mendesah panjang sambil 

merebahkan tubuhnya di rerumputan. Di 

sekelilingnya, berdiri pohon-pohon 

besar. Diliriknya Brajaseta yang sudah 

terlelap. Lelaki itu lebih cepat tidur 

karena tenaganya belum pulih benar. 

Malam semakin merambat. Hewan malam 

unjuk gigi, bersuara nyaring, 

bersahutan.

Masih dipikirkan tentang kejadian 

yang dialami. Begitu banyak manusia yang 

tak pernah puas dengan dirinya sendiri. 

Banyak yang tak menyadari, betapa di atas 

langit masih ada langit. Seperti halnya 

Dewi Ular Hitam yang termakan dendam tiga 

puluh tahun lalu, dan bercita-cita 

menguasai rimba persilatan dengan 

menurunkan tangan telengas.

"Kesaktian Dewi Ular Hitam ternyata 

lebih dahsyat dari yang diceritakan oleh 

Pendekar Jari Delapan," desisnya pelan. 

"Aku tak boleh membuang waktu. Sebaiknya 

kubangunkan saja Brajaseta sekarang 

untuk melanjutkan perjalanan mencari 

wanita keparat itu? Atau... kutinggal 

saja dia di sini?"

Belum lagi Andika memutuskan, 

didengarnya suara berkelebat cepat. 

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan itu langsung berdiri sigap. 

Memperhatikan sekelilingnya. Malam 

semakin membentang. Rembulan tersaput 

awan hitam. Di kejauhan berjajar 

bukit-bukit bagaikan raksasa yang tengah 

tertidur.

"Manusia iseng mana yang keluyuran 

seperti hantu malam?!" dengusnya.

Tiba-tiba pendengaran Andika yang 

terlatih menangkap tiga buah desingan 

halus ke arahnya. Pemuda pewaris ilmu 

Lembah Kutukan itu mendengus keras 

sambil melenting menghindari serangan 

gelap. Begitu hinggap kembali di tanah, 

ia mendengus ketika melihat apa yang 

menyerangnya tadi. Tiga lembar daun! 

Seketika rasa kesal menjalari hatinya, 

"Kurang ajar! Manusia pengecut yang 

takpunya nyali! Keluar kau biar

kupatah-patahkan seluruh 

tulang-belulang tubuhmu!!"

Hening. Andika melompat ke sebuah 

pohon. Dari atas dipicingkan matanya. 

"Manusia ini pasti berilmu tinggi. Aku 

tak bisa menduga di mana ia bersembunyi." 

Ia membentak, 

"Hoi! Manusia setan! Ini aku! Kalau 

kau jantan atau betina, muncul di 

hadapanku!!"

Sebagai jawaban atas bentakan 

Pendekar Slebor, suatu benda berwarna 

kuning keemasan melesat ke arahnya dari 

sebelah kiri.

***

"Kodok bau! Buaya mabuk!" Andika 

cepat melompat sambil memaki-maki. 

Sreeett! 

Prak!!

Benda yang melayang menancap tepat 

di dahan di mana Andika berdiri tadi. 

Sebuah pisau. Hebatnya, pisau berwarna 

keemasan itu langsung meluncur deras 

setelah menembus dahan yang dipijak 

Andika, menandakan tenaga dalam yang 

dimiliki si pelempar gelap sangat 

tinggi.

"Gila! Kutu busuk mana yang sedang 

memamerkan tenaga dalamnya!" dengus 

Andika lagi. Rasa, jengkel karena 

dipermainkan seperti itu, membuatnya 

membentak kembali, "Pembokong busuk! Apa 

kau memang hanya seorang pengecut yang 

tak berani memperlihatkan diri?!!"

Baru saja Andika berteriak begitu, 

tiba-tiba saja....

Srrrtt! 

Srrrtt!

Dua buah pisau berwarna keemasan 

kembali melesat dalam gelapnya malam, 

dan kembali menembus dahan di mana Andika 

berdiri tadi Dan hampir saja lesatan 

pisau yang kedua memakan kaki Andika.

Meskipun penasaran dengan orang 

yang membokong, tak urung Andika menjadi 

meremang pula bulu kuduknya. Jelas yang 

melakukan serangan itu bukanlah orang 

sembarangan. Meskipun ia dapat menangkap 

desiran angin ketika pisau-pisau itu me-

lesat, namun sulit baginya untuk 

menentukan dari mana arah datangnya 

pisau-pisau keemasan itu.

Tiba-tiba saja pisau-pisau berwarna 

keemasan itu menderu lagi ke arahnya. 

Kali ini tidak tanggung, sebanyak 

sepuluh buah. Sambil menggertakkan 

giginya, Andika melompat ke kanan dan ke

kiri menghindari serbuan pisau-pisau 

tajam itu.

Andika jengkel. Masih melayang di 

udara Andika membuat gerakan jungkir 

balik. Kedua tangannya segera dikibaskan 

dan keluarlah desiran angin yang sangat 

deras. Menghantam pisau-pisau itu. 

"Manusia setan itu rupanya benar-benar 

menginginkan nyawaku. Sialan! Siapa 

sebenarnya dia? Kaki tangan Dewi Ular 

Hitam, ataukah Dewi Ular Hitam sendiri? 

Tetapi, mengapa dia mempergunakan 

pisau-pisau emas ini?"

Tiba-tiba saja Andika kembali 

mengibaskan tangannya ke kanan dan ke 

kiri. Desiran angin bak topan 

menderu-deru, menghantam beberapa 

tempat. Perbuatannya membangunkan 

Brajaseta yang menjadi bersiaga dan 

melihat Andika seperti mengamuk, apalagi 

menyadari tak ada yang keluar dari sana.

"Kutu kupret! Di mana manusia 

slompret ini bersembunyi?" bentak Andika 

keras sambil melompat ke tanah. 

Pikirnya, bila ia berada di bawah, ini 

akan lebih memudahkan baginya untuk 

menghindari setiap serangan gelap yang 

datang.

Begitu kakinya hinggap di tanah, 

tiga buah pisau keemasan itu meluncur

deras dari atas. Menuju ke ubun-ubunnya. 

Kembali Pendekar Slebor membuat gerakan 

jungkir balik, disambarnya tiga buah 

kerikil, dan dilemparnya dengan 

kecepatan dan kekuatan tinggi.

Prak! Prak! Prak!

Tiga pisau yang meluncur itu patah 

terhantam luncuran kerikil yang dilempar 

Andika. Namun tidak sampai di sana saja 

keterkejutan Andika, karena tiba-tiba 

saja sebuah pisau meluncur ke arahnya.

"Kutu monyet! Anjing gila! Orang 

udik!" makinya

"Benar-benar bisa mati kutu aku!! 

Tidak boleh dibiarkan!" makinya dan 

membuat gerakan yang menakjubkan. 

Disongsongnya pisau yang menderu ke 

arahnya. Namun anehnya, begitu tangan 

Andika siap menangkap, tiba-tiba saja 

pisau-pisau itu bagai memiliki mata. 

Berkelit. "Busyet! Pamer tenaga dalam di 

depanku!!" makinya dan menambah emposan 

tubuhnya untuk mencoba kembali menangkap 

pisau yang melayang-layang itu mengancam 

beberapa bagian tubuhnya.

Tetapi pisau itu tetap tak bisa 

ditangkap. Selagi Andika menggeram hebat 

dengan kemarahan tinggi, tiba-tiba saja 

pisau itu jatuh bagaikan tak bertenaga.

Dengan jengkel Andika mengangkat 

sebelah kakinya untuk menginjak hancur 

pisau yang tergeletak di tanah. Tetapi ia 

urung untuk melakukannya ketika 

terdengar suara, "Kuakui kau memiliki 

ilmu yang tinggi, Pendekar Slebor! 

Tetapi untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam 

yang kini dibantu oleh Setan Asap Batu 

Karang, kau akan menjadi bulan-bulanan 

mereka!"

Suara perempuan. "Hei, Kuntilanak 

Kesiangan! Kenapa kau memberitahukan 

soal itu, hah? Ini urusanku! Urus saja 

dirimu sendiri!" bentaknya sambil 

memasang mata dan telinganya untuk 

mengetahui dari mana suara itu berasal.

Namun suara itu berpindah-pindah.

"Kusarankan kepadamu, untuk tidak 

bertindak gegabah! Karena, saat ini Dewi 

Ular Hitam dan Setan Asap Batu Karang, 

sedang melakukan tindakan ke-kerasan di 

dusun sebelah barat!"

"Kalau kau memang orang dari 

golongan lurus, mengapa kau 

meninggalkannya, hah? Mengapa kau tak 

menghentikan mereka?" bentak Andika dan 

berusaha mencari tahu di mana manusia itu 

berada.

"Bodoh! Aku pun tak sanggup untuk 

mengalahkan keduanya! Makanya, aku 

datang untuk meminta bantuanmu?"

"Dengan cara membokongku seperti 

itu, hah?"

"Aku harus mengetahui kehebatan 

orang yang ingin kuminta bantuannya."

"Bantuan apa yang kau maksud? Untuk 

menciummu?" seloroh Andika.

"Pemuda kurang ajar! Kutampar 

mencong mulutmu!"

"Belum tentu aku mau menciummu! Kau 

selalu bersembunyi, apakah wajahmu 

buruk, hah?" balas Andika yang memancing 

ingin tahunya supaya orang di balik 

kegelapan itu menampakkan diri. Sadar 

Andika sekarang, kalau sejak tadi 

pisau-pisau emas itu mengarah padanya. 

Tak satu pun yang mengarah pada 

Brajaseta. Kemungkinannya, jelas yang 

datang itu bukanlah orang yang 

menghendaki nyawanya, tetapi ingin 

melihat kepandaiannya. "Aku yakin, 

wajahmu tak lebih dari kucing yang sedang 

buang hajat! Rugi kalau memang kau 

ternyata memintaku untuk menciummu!"

"Dengar kata-kataku! Bila kita 

bersatu, lebih mudah kita mengalahkan

Dewi Ular Hitam dan Setan Asap Batu 

Karang. Kau ingat, bukan? Pendekar Jari

Delapan harus bahu membahu dengan Dewa 

Muka Singa dan Manusia Muka Putih tiga 

puluh tahun lalu."

"Mana sudi aku bahu membahu dengan 

orang jelek sepertimu!" seru Andika yang 

mengulur waktu untuk mengetahui siapa 

orang yang berada dalam kegelapan.

"Kau tak akan mampu mengalahkan 

mereka!"

"Persetan dengan saranmu!" Lalu 

Andika melangkah acuh tak acuh. 

Brajaseta masih berdiri tegang dengan 

kedua mata yang masih agak mengantuk.

Tiba-tiba melesat tiga buah pisau 

keemasan bagai lesatan meteor ke arah 

Andika. Dalam sekali tangkap, telinga 

Andika bisa mendengar desingan itu. Ia 

berbalik dan dikibaskan tangannya. 

Tenaga 'inti petir' tingkat kesepuiuh 

menderu dan mematahkan pisau-pisau yang 

menderu ke arahnya itu.

"Pemuda sok tahu! Apakah kau tak 

pernah mendengar kata-kata orang lain?"

"Dan apakah aku harus menerima saran 

konyolmu itu yang disampaikan dengan 

cara busuk seperti itu?" balas Andika 

jengkel dan masih mereka-reka di mana 

gadis itu berada.

"Sudah kukatakan tadi, aku harus 

melihat kehebatan orang yang hendak 

kuminta bantuan!"

"Cari saja yang lain!"

"Kesombonganmu, akan kau bayar 

mahal, Pendekar Slebor!"

"Mau mahal kek, murah kek, aku tak 

peduli! Malah aku yakin, justru wajahmu 

yang obralan!"

"Konyol!" Dua buah pisau emas 

berkelebat deras ke arah Andika yang 

lagi-lagi dengan lincahnya menghindar 

dan menyepak dua pisau emas itu dengan 

kaki kanannya hingga tembus ke batang 

pohon. "Monyet pitak! Siapa sih kau ini? 

Kau bisa membunuhku dengan 

lemparan-lemparan sialanmu ini!"

"Ingat pesanku itu!"

"Hei, siapa kau adanya?"

"Panggil aku dengan sebutan 

Bidadari Pisau Emas!" Selebihnya sunyi.

Andika menggaruk-garuk kepalanya 

tak mengerti. "Siapa gadis ilu 

sebenarnya? Cara ia melem-par 

pisau-pisau emasnya sangat terlatih 

sekali. Hmm, Bidadari Pisau Emas... baru 

kali ini kudengar julukan seperti itu."

Brajaseta mengham pirinya.

"Siapa dia, Andika?" tanyanya yang 

agak tegang tadi.

"Aku tidak tahu. Dan kalau kau tidak 

tuli, pasti kau mendengar julukannya."

Brajaseta mendengus mendengar 

kata-kata Andika.

"Lalu apa yang akan kita lakukan 

sekarang, Andika?" tanyanya, biar 

bagaimanapun sikap Andika padanya, 

Brajaseta tetap menghormatinya.

Andika terdiam sesaat. "Wanita yang 

mengaku berjuluk Bidadari Pisau Emas 

mengatakan, kalau Dewi Ular Hitam telah 

bergabung dengan kambratnya yang 

berjuluk Setan Asap Batu Karang kekuatan 

yang mereka miliki semakin bertambah 

dahsyat! Aku pernah pula mendengar 

julukan Setan Asap Batu Karang yang 

berasal dari Bukit Batu Karang! Orang 

kejam dari golongan hitam!"

"Lalu?"

"Kita tinggalkan tempat ini! Kita 

menuju ke barat!"

***

Udara berhembus, menyeret senja 

yang mulai datang, agak dingin. Sang 

surya mulai mengalah menghadapi Raja 

Waktu. Siap masuk ke peraduan dan 

digantikan Dewi Malam.

Pendekar Jari Delapan tiba di sebuah 

tempat yang cukup sunyi. Tempat itu tak 

banyak ditumbuhi pohon-pohon besar, 

namun ilalang yang tumbuh di sana cukup 

lebat.

Belum lagi diteruskan langkah, 

tiba-tiba terdengar derap langkah kuda 

dan berhenti di depannya. Salah seorang 

dari penunggang kuda itu langsung 

melompat dan bergerak bagai menyembah.

"Salam untuk, Pendekar Jari 

Delapan...."

"Aha, Tiga Pangeran dari Selatan 

nampaknya. Bagaimana kabar Mamak Ajengan 

Surya Purnama?" sahut Pendekar Jari 

Delapan setelah mengenali ketiganya, 

sementara Harimau Wulung dan Elang Wu-

lung pun melakukan sembah yang dilakukan 

oleh Naga Wulung.

"Beliau selalu sehat, Ki, meskipun 

dua tahun yang lalu kami menyambangi Guru 

di Goa Maut."

"Bila kalian datang, sampaikan 

salam hormatku padanya."

"Kami akan melakukannya, Ki."

"Sudahlah, bersikaplah seperti 

orang biasa. Tak perlu melakukan sembah 

seperti itu, Naga Wulung."

Tiga Pangeran dari Selatan yang 

sedang mengejar ke mana perginya Setan

Pendekar Jari Delapan tiba di sebuah 

tempat yang cukup sunyi. Tempat itu tak 

banyak ditumbuhi pohon-pohon besar, 

namun ilalang yang tumbuh di sana cukup 

lebat.

Belum lagi diteruskan langkah, 

tiba-tiba terdengar derap langkah kuda 

dan berhenti di depannya. Salah seorang 

dari penunggang kuda itu langsung 

melompat dan bergerak bagai menyembah.

"Salam untuk, Pendekar Jari 

Delapan...."

"Aha, Tiga Pangeran dari Selatan 

nampaknya. Bagaimana kabar Mamak Ajengan 

Surya Purnama?" sahut Pendekar Jari 

Delapan setelah mengenali ketiganya, 

sementara Harimau Wulung dan Elang Wu-

lung pun melakukan sembah yang dilakukan 

oleh Naga Wulung.

"Beliau selalu sehat, Ki, meskipun 

dua tahun yang lalu kami menyambangi Guru 

di Goa Maut."

"Bila kalian datang, sampaikan 

salam hormatku padanya."

"Kami akan melakukannya, Ki."

"Sudahlah, bersikaplah seperti 

orang biasa. Tak perlu melakukan sembah 

seperti itu, Naga Wulung."

Tiga Pangeran dari Selatan yang 

sedang mengejar ke mana perginya Setan

Asap Batu Karang mengubah sikap mereka. 

Naga Wulung menceritakan apa yang telah 

terjadi. Mendengar cerita itu, Pendekar 

Jari Delapan cuma mengangkat bahunya 

saja.

"Keadaan bisa bertambah kacau bila 

keduanya sudah bersatu. Hhh! Semakin 

sulit untuk mengalahkan Dewi Ular 

Hitam."

"Kami pun menduga seperti itu, Ki," 

kata Naga Wulung.

"Aku sudah tua," tahu-tahu Pendekar 

Jari Delapan berkata begitu. "Usiaku 

makin menggerogoti jasadku. Rupanya, 

ketenangan yang kuinginkan tak pernah 

bisa kudapatkan. Urusan duniawi rupanya 

masih harus kujajaki."

"Hendak ke manakah kau sebenarnya, 

Ki?"

"Sudah tentu hendak mencari Dewi 

Ular Hitam! Wanita keparat itu pasti akan 

semakin mengacau di rimba persilatan, 

Sebaiknya, kita berpisah di sini."

Sebelum Tiga Pangeran dari Selatan 

ada yang menyahut, tubuh Pendekar Jari 

Delapan sudah menghilang dari pandangan 

mereka.

Ketiganya mendesah melihat 

kehebatan dan ketinggian ilmu yang 

diperlihatkan oleh Pendekar Jari

Delapan. Ketiganya segera menggebrak 

kuda masing-masingdan meneruskan 

perjalanan untuk mencari Setan Asap Batu 

Karang, yang mereka duga akan membawa 

mereka pada Dewi Ular Hitam.

Tiga jam kemudian, Pendekar Jari 

Delapan tiba di sebuah tempat yang cukup 

tandus. Saat ini senja sudah mulai 

menurun, namun suasana di tempat itu 

masih panas menyengat. Mata tuanya 

memandang kejauhan. Alam sangat Suas 

sekali. Perjalanan waktu usia seorang 

manusia tak akan mampu menjelajahi alam 

semesta.

Tiba-tiba saja ia melompat ketika 

menyadari satu dorongan angin dingin 

menderu ke arahnya.

"Datang tak permisi, langsung 

menyerang tindakan pengecut. Namun diri

tetap berisi, tak pantang menjadi 

kecut!" seru Pendekar Jari Delapan.

Dua sosok tubuh tiba-tiba saja sudah 

berada di madapannya. Keduanya bertubuh 

tambun dengan baju warna merah yang tak 

sanggup menutupi perut mereka. Kepala 

keduanya lonjong, dengan rambut sedikit, 

ditengah. Di tangan mereka terdapat 

senjata berbentuk lingkaran bergerigi.

"Orang tua kerempeng yang sudah bau 

kuburan, hebat sekali lompatan yang kau

perlihatkan tadi!" seru salah seorang 

sambil tertavva. Wajah keduanya serupa 

sekali.

"Hanya sedikit yang kuperlihatkan," 

sahut Pendekar Jari Delapan sambil 

tersenyum.

Wajah yang berbicara tadi memerah 

karena bagai ditembak oleh kata-kata Ki 

Abdi Kartwa. "Aku tak suka basa-basi! 

Apakah kau mengetahui di mana seorang 

pemuda urakan yang berjuluk Pendekar 

Slebor?"

"Aku telah sering mendengar nama 

pemuda gagah yang menjadi momok bagi 

orang-orang golongan hitam! Mengapa 

kalian mencarinya?"

"Pendekar Slebor harus mampus!"

"Luar biasa! Kata-kata itu sangat 

menyengat sekali! Hanya sayangnya, 

diucapkan tidak dihadapan Pendekar 

Slebor sendiri! Apakah keberanian kalian 

hanya berada di belakangnya?"

"Setan tua keparat! Kau tak tahu 

berhadapan dengan siapa?!" Orang itu 

semakin sengit sementara yang satu lagi 

sudah gatal tangannya untuk menghajar 

Pendekar Jari Delapan.

"Bila kalian punya nama, mengapa 

tidak segera dikatakan? Bukannya

mengancam hanya dengan gelar yang 

sebenarnya cuma pepesan kosong!"

"Setan alas! Kusobek mulutmu!!" 

Orang itu sudah menerjang dengan 

ganasnya. Tubuhnya yang tambun ternyata 

tak mengurangi kehebatannya saat 

menyerang. Begitu ringan sekali, seolah 

tak merasa terganggu dengan bobot 

tubuhnya. Bahkan saat tubuhnya melesat, 

hawa panas terasa menderu.

Dalam sekali lihat saja, Pendekar 

Jari Delapan yakin kalau serangan itu 

sangat berbahaya. Ia tidak mau memapaki 

sebelum mengetahui benar jenis serangan 

itu. Maka dengan gerakan yang tak kalah 

hebatnya, lelaki tua compang-camping itu 

membuang tubuhnya ke kiri dan 

melancarkan satu tendangan.

Buk!

Tendangannya dihalau pukulan yang 

cukup hebat. Pendekar Jari Delapan 

merasa tangannya bergetar, sementara 

lawannya surut tiga tindak. Ketika ia 

melihat, tangannya telah membiru.

"Setan! Katakan siapa kau, hah?!"

Pendekar Jari Delapan tersenyum.

"Bukankah tadi kau yang hendak

memperkenalkan diri? Mengapa sekarang 

jadi berbalik? Apakah kalian kini 

menjadi malu dengan yang kukatakan tadi,

kalau julukan yang akan kalian katakan 

cuma pepesan kosong belaka?" serunya 

mengejek diiringi dengan senyum yang tak 

putus.

Wajah orang itu bertambah memerah. 

Lalu ia berkata dengan nada keres, 

"Namaku Dojo! Dan ia kakak kembarku yang 

bernama Mojo! Dan kau akan lari 

terkencing-kencing bila mengetahui 

julukan kami! Dua Iblis Gerigi Maut!!"

Bukannya ketakutan, Pendekar Jari 

Delapan malah terbahak-bahak. "Kau 

benar, aku jadi terkencing-kencing 

karena merasa lucu mendengar julukan 

itu! Aku jadi 'takut' mendengarnya!"

"Monyet tua! Kau akan merasakan 

akibatnya dari ejekanmu itu! Katakan, di 

mana Pendekar Slebor berada! Ia harus

mampus karena telah mempermalukan 

saudara seperguruan kami, Manusia 

Jenggot Merah!!" bentak Dojo dengan 

mulut yang menggembung. Gembungan itu 

terjadi bukan hanya karena ia menjadi 

marah melihat sikap Pendekar Jari 

Delapan yang mengejeknya, namun karena 

pipi keduanya yang sebulat bakpau.

Lelaki tua compang-camping itu 

terdiam. Manusia Jenggot Merah. Dia 

tahu, ketika Pendekar Slebor terdampar 

di dunia gaib yang disebut Gerbang

Neraka. Dengan sebuah kelicikan, Manusia 

Jenggot Merah hadir pula di sana untuk 

merebut Bunga Neraka. Bahkan, menurut 

cerita Pendekar Slebor, Manusia Jenggot 

Merah telah tewas di sana (Untuk me-

ngetahui hal itu, silakan baca: "Bunga 

Neraka").

"Sinting! Justru kalian mencari 

penyakit untuk membunuh Pendekar Slebor! 

Dengan kemampuan yang seperti kacang 

goreng itu, kalian hanya bisa 

melaksanakan keinginan kosong!"

"Setan tua keparat! Mampuslah 

kau!!" bentak Dojo dan bersama kakak 

kembarnya ia menyerang Pendekar Jari 

Delapan yang masih terbahak-bahak

Serentak kedua laki-laki bertubuh 

tambun baju merah, menerjang dengan 

serangan serempak Gerakan mereka sungguh 

sukar dibayangkan bila sebelumnya 

melihat tubuh tambun masing-masing. 

Tubuh sebesar tong itu bukanlah suatu 

hambatan saat masing-masing 

memperlihatkan kelincahan mereka. 

Bagaikan desingan angin yang datang 

berkali-kali.

Pendekar Jari Delapan mengeluarkan 

suara mendengus. Lalu berkelebat 

menghadapi serangan-serangan ganas yang 

datang. Tubuhnya tiba-tiba menukik

ketika kaki Dojo menyambar dengan menge-

luarkan angin yang menggebubu tinggi.

Bersamaan dengan menukiknya tubuh 

Pendekar Jari Delapan, tangan kanannya 

menghantam kaki Dojo yang mengarah pada 

perutnya, disusul dengan tendangan kaki 

kiri dan kanan.

Buk! Buk! Buk!

Tendangan yang dilakukan secara 

beruntun itu mampir dengan telak di dada 

Dojo yang terpekik dan terpental ke 

belakang. Untuk sesaat dirasakan sakit 

yang cukup hebat di dadanya, namun 

kemarahannya telah membuatnya ia 

bangkit.

Melihat hal itu, Mojo menggeram 

murka dan menyerang membabi-buta dengan 

senjata lingkaran berbentuk gerigi. 

Setiap kali ia melakukannya, angin 

dingin menyambar, Bulu kuduk Pendekar 

Jari Delapan meremang, apalagi ketika 

Dojo membantu dengan gerakan yang tak 

kalah cepatnya.

Dua Iblis Gerigi Maut menginginkan 

kematian Pendekar Jari Delapan 

secepatnya. Terutama serangan yang

dilakukan Dojo yang ingin membalas 

tendangan yang dilakukan oleh Pendekar 

Jari Delapan tadi. Sangat berbahaya dan 

datang bertubi-tubi.

Lelaki tua compang-camping itu 

mendengus lagi. Gerakan kedua lawan 

bagai setan. Dia berkelebat ke sana 

kemari mencari sela. Namun 

serangan-serangan itu bagai mengurung 

setiap langkahnya. Belum lagi ketika 

keduanya melemparkan senjata berbentuk 

gerigi yang bagai bumerang berkelebat 

menyambar leher Pendekar Jari Delapan 

dengan suara desingan menggidikkan.

Hal ini jadi merepotkan Pendekar 

Jari Delapan. Namun tiba-tiba saja ia 

mmbentak keras, "Kalian akan menyesali 

diri berbuat lancang seperti ini!"

Tiba-tiba saja tongkat putihnya 

diputar. Sekali putar saja, gemuruh 

angin raksasa keluar dan semakin lama 

putaran tongkat itu semakin mengencang, 

semakin kencang pula angin yang terjadi. 

Pohon-pohon di sekitar sana tumbang 

ilalang beterbangan.

Dua Iblis Gerigi Maut tercekat 

melihatnya. Mereka yang semula sudah 

menyerang dengan dahsyat dan tak ingin 

memberi kesempatan pada Pendekar Jari 

Delapan, menjadi melompat mundur dan 

berdiri tegak dengan mengalirkan tenaga 

dalamnya ke dada kalau tidak ingin 

diterbangkan oleh angin ciptaan lawan.

Namun dahsyatnya angin yang 

ditimbulkan akibat putaran tongkat 

Pendekar Jari Delapan, membuatnya 

terpental ke belakang dan berdiri tegak 

dengan tubuh bergetar dan darah mengalir 

dari mulut, hidung, dan telinga.

Kedua senjata mereka yang sejak tadi 

bagai mempunyai mata, telah menancap ke 

batang pohon begitu tersambar pusaran 

angin yang dilakukan oleh lawan.

Melihat hal itu, Pendekar Jari 

Delapan yang masih memutar-mutar 

tongkatnya berpikir, lebih baik 

meninggalkan mereka. Karena dianggapnya 

Dewi Ular Hitam lebih berharga daripada 

mereka.

"Aku tahu, kalau saat ini nyawa 

Pendekar Slebor dalam intaian bahaya. 

Tetapi, mengapa perasaanku mengatakan 

akan terjadi sesuatu di Bukit Lingkar. 

Sebaiknya, aku menuju ke sana saja. 

Barangkali Dewi Ular Hitam memang sudah 

mengarah ke sana," desisnya lalu 

berkelebat secepat angin meninggalkan 

tempat itu.

Ketika angin dahsyat itu berhenti, 

Dua Iblis Gerigi Maut tercekat ketika tak 

lagi melihat tubuh Pendekar Jari 

Delapan.

"Keparat!" maki Mojo. "Tak akan 

kubiarkan manusia itu hidup!"

"Aku yakin, ia mengenai Pendekar 

Slebor! Meskipun kita tak tahu siapa nama 

atau julukannya, sebaiknya kita buntuti 

saja dia! Siapa tahu akan membawa kita 

pada Pendekar Slebor!!" sahut Dojo de-

ngan kegeraman yang besar.

Lalu keduanya melesat meninggalkan 

tempat itu yang sudah porak-poranda.

* * *

6


Apa yang dikatakan si gadis 

misterius yang berjuluk Bidadari Pisau 

Emas itu memang benar. Ketika Andika dan 

Brajaseta tiba di sebuah dusun di lereng 

Gunung Halimun, keadaan di sana sudah 

porak-poranda. Lima sosok tubuh telah 

menjadi mayat. Sepi menggigit. Tak ada 

tanda manusia lain di sana.

Andika mendesah panjang. "Aku 

menyesali tindakan Bidadari Pisau Emas 

yang meninggalkan mereka, meskipun aku 

bisa menerima alasannya karena bila ia

berada di sini seorang diri, tak mustahil 

justru nyawanya yang akan terenggut,"

"Siapa dia sebenarnya?"

"Bego! Mana aku tahu? Kudengar 

julukannya saja juga baru sekarang ini! 

Kau sendiri kan tahu kalau ia tidak mau 

menampakkan diri?"

Brajaseta cuma tersenyum saja 

dibentak seperti itu. Namun diperlakukan 

seperti itu pun ia merasa senang saja.

"Apa yang akan kita lakukan 

sekarang?"

"Sebaiknya kita kuburkan 

mayat-mayat ini. Agar burung-burung 

bangkai tak melahap mayat-mayat yang tak 

berdosa."

Keduanya pun segera menguburkan 

mayat-mayat itu. Hanya dalam waktu 

singkat, pekerjaan itu pun selesai.

"Benar bukan apa yang kukatakan? 

Sebaiknya kita bekerja sama untuk 

membasmi Dewi Ular Hitam dan Setan Asap 

Batu Karang!" suara yang mulai dikenal 

Andika itu terdengar kembali, sangat 

keras. Dan susah ditentukan dari mana 

asalnya.

"Siapa sih sebenarnya kau ini? 

Julukanmu memang bagus, Bidadari Pisau 

Emas! Apakah wajahmu secantik bidadari?" 

dengus Andika kesal. Ia kesal k-rena

terlambat mengetahui kejadian ini. Dan 

kekesalannya itu beralih pada Bidadari 

Pisau Emas yang sudah mengetahui 

kejadian ini namun tidak segera 

bertindak.

"Terlalu banyak omong! Katakan, kau 

mau bekerja sama denganku untuk membasmi 

monyet-monyet busuk itu atau tidak?" 

bentakan itu terdengar lebih keras. 

"Para penduduk yang lainnya kini aman di 

sebuah tempat!"

"Dari ucapanmu yang keren itu, aku 

menangkap seolah-olah kau memiliki 

kesaktian yang tinggi!" bentak Andika 

dengan mata menyipit. Berusaha menemukan 

di mana wanita yang bersuara itu berada. 

Namun, sampai sejauh itu ia belum bisa 

menebaknya. "Tong kosong memang selalu 

nyaring bunyinya, bukan? Dueeeng!!"

"Kalau aku merasa seperti itu, tak 

akan pernah kuminta bantuanmu!"

"Kau harus bertanggung jawab atas 

semua ini!"

"Meskipun aku hadir di sini untuk 

menolong para penduduk dari perbuatan 

dajal kedua manusia keparat itu, justru 

aku hanya menjadi korban di sini! Dan 

sudah tentu aku pun tak akan mungkin 

menyelamatkan mereka!"

"Dan aku tak terlalu sulit untuk 

melempar mayatmu yang pengecut itu 

menjadi satu dengan mayat-mayat yang tak 

berdosa itu!" bentak Pendekar Slebor 

yang sudah kesal sekali.

"Kurobek mulutmu!!"

Tiba-tiba saja entah bagaimana cara 

melakukannya, tiga buah pisau emas dari 

arah yang berlainan menderu ke arah 

Andika. Desingannya sangat cepat sekali. 

Bersamaan dengan itu, Andika melompat ke 

kiri dan langsung mengibaskan tangannya 

dua kali! Dua buah pisau terpental entah 

ke mana dan yang sebuah lagi langsung 

ditangkapnya dengan tangan kirinya!

"Apakah kau merasa lebih hebat 

dariku?" bentaknya jengkel dengan mata 

berkeliling.

"Karena kuketahui kehebatanmu 

itulah maka aku minta bantuanmu untuk 

menghabisi manusia-manusia keparat itu! 

Dan bodohnya, kau tak mau juga mengiyakan 

kesediaanmu untuk bersama-sama membasmi 

kedua manusia terkutuk itu!"

"Aku tak pernah suka bekerja sama 

dengan orang yang selalu bersembunyi!"

"Akan kuperlihatkan wujudku bila 

kau sudah menyetujui usulku!"

"Persetan dengan usulmu itu!" 

bentak Andika. Ia mendengar suara

dengusan jengkel namun tak 

dipedulikannya. Ia berkata pada 

Brajaseta, "Ayo, Brajaseta! Kita 

tinggalkan gadis konyol itu!!"

"Tetapi, Andika...." Brajaseta yang 

merasa lebih baik Andika menerima 

tawaran kerja sama itu menjadi 

ragu-ragu.

"Kenapa kau, hah?" bentak Andika 

keras. "Apakah kau sudah melupakan 

janjimu untuk tidak menyulitkan aku?! 

Atau kau memang ingin kusepak pantatmu, 

hah?!"

"Bukan itu maksudku, tetapi...."

"Keparat!" Andika sudah berkelebat 

meninggalkan tempat itu dengan cepatnya.

Brajaseta memanggilnya, namun 

sosoknya telah lenyap. Ia merasa tidak 

enak sekarang. Di satu segi, ia ingat 

akan janjinya pada Andika untuk tidak 

menyulitkan pendekar pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan itu. Namun di 

segi lain, diharapkannya Andika menerima 

tawaran kerja sama dari gadis misterius 

yang berjuluk Bidadari Pisau Emas.

Lalu ia berkata, "Bidadari Pisau 

Emas! Siapa pun adanya kau ini, aku yakin 

kau adalah orang baik-baik! Aku bersedia 

bekerja sama denganmu!"

Terdengar suara dengusan yang sukar 

sekali di-tebak dari mana asalnya.

"Yang kubutuhkan adalah tenaga 

Pendekar Slebor! Bukan tenagamu!"

Brajaseta menggeram pelan. "Aku pun 

mempunyai urusan pada wanita iblisyang 

berjuluk Dewi Ular Hitam! Ia telah 

melukai guruku!"

"Siapa gurumu?"

"Manusia Muka Putih!"

Terdengar suara tertahan. "Katakan, 

siapa gurumu itu?"

Brajaseta mengulanginya, kali ini 

dengan agak keheranan mendengar suara 

tertahan Bidadari Pisau Emas yang tidak 

diketahui berada di mana. 

"Manusia Muka Putih!"

"Pemuda sinting! Berani-beraninya 

kau mengakui Manusia Muka Putih adalah 

gurumu!"

"Itulah yang sebenarnya!" balas 

Brajaseta yang mulai jengkel. Ia 

membenarkan sikap Andika yang menolak 

bekerja sama dengan gadis yang menjuluki 

dirinya Bidadari Pisau Emas. "Mengapa 

kau berkata begitu, hah?"

"Manusia Muka Putih adalah sahabat 

guruku! Dan gurukulah yang menyuruhku 

untuk menghentikan sepak terjang laknat 

wanita iblis yang berjuluk Dewi Ular

Hitam! Karena, Guru tahu akan peristiwa 

tiga puluh tahun yang lalu!"

"Siapakah gurumu itu?"

"Mulut kurang ajar yang tak tahu 

sopan santun! Begitu enaknya kau 

bertanya dengan nada mere-dahkan!"

Brajaseta yang menjadi jengkel 

dengan seruan-seruan Bidadari Pisau Emas 

yang selalu diiringi makian, mencoba tak 

mempedulikan bentakannya itu.

"Kalau begitu, kita pun bersahabat! 

Dan kita bisa bekerja sama, bukan?"'

Tak terdengar sahutan untuk 

beberapa saat.

"Apakah kau mendadak jadi tuli?"

"Sekali lagi kau lancang bicara, 

kusobek mulutmu!"

Brajaseta semakin jengkel. Namun ia 

tak mau mengambil tindakan seperti yang 

dilakukan Pendekar Slebor. Karena 

menurutnya, bila bahu membahu, 

kemungkinan untuk mengalahkan Dewi Ular 

Hitam yang telah bersatu dengan Setan 

Asap Batu Karang akan semakin ringan.

Ia mengulangi lagi kata-katanya.

Kembali kesunyian melanda, hanya 

terdengar gesek dedaunan ditiup angin. 

Lalu terdengar kembali suara Bidadari 

Pisau Emas, "Baiklah. Aku setuju untuk

bekerja sama denganmu! Kita biarkan saja 

Pendekar Slebor yang sombong itu!"

"Dan apakah kerja sama kita ini 

harus seperti ini? Maksudku kau berada di 

balik kegelapan yang aku tidak tahu di 

mana dan membuatku bertanya-tanya siapa 

kau sebenarnya? Atau, kau memang senang 

bersikap seperti itu? Dan pada akhirnya, 

engkaulah yang sombong, bukan Pendekar 

Slebor seperti yang kau katakan tadi!"

"Banyak omong! Kau tak bedanya 

dengan Pendekar Slebor!" bentakan itu 

terdengar keras. Lalu tiba-tiba saja 

Brajaseta mendengar suara deru dari 

timur, namun kemudian dari barat, 

danberulang-ulang hal itu terjadi. Ia 

masih celingukan berkali-kali ketika 

terdengar suara di belakangnya, "Kau 

mencari apa, pemuda bodoh?"

Secepat kilat Brajaseta berbalik 

dan ia mengeluarkan desisan terperangah 

dengan mata terbelalak, "Kau... kaukah 

yang berjuluk Bidadari Pisau Emas?"

"Jangan konyol!" bentak gadis di 

hadapannya itu. Wajahnya luar biasa 

jelitanya dengan kulit yang halus dan 

sepasang mata hitam yang jernih. 

Mulutnya tipis membasah dengan hidung 

bangir. Rambutnya tergerai hingga ke 

bahu. Pakaiannya berwarna biru dengan

celana hitam. Di ikat pinggangnya 

terdapat sehelai selendang berwarna 

keemasan. Dari tubuhnya mengeluar bau 

harum yang sangat terasa. Tetapi di mana 

pisau-pisau emasnya itu? "Hei, apakah 

kau jadi sapi ompong sekarang?"

Brajaseta gelagapan dibentak 

seperti itu.

"Aku...."

"Sialan! Aku justru berhadapan 

dengan pemuda tolol yang mirip sapi 

ompong! Apakah aku harus bekerja sama 

dengan sapi ompong semacammu?"

"Ya, ya... kau menjadi sapi ompong 

sekarang hanya gara-gara wajahnya memang 

cantik jelita? Ya, kuakui, ia memang 

cantik sekali!" terdengar seruan itu 

diiiingi tawa mengekeh.

***

Gadis yang berjuluk Bidadari Pisau 

Emas itu mendongak dan melihat Pendekar 

Slebor sedang duduk-duduk di sebuah 

dahan pohon sambil menguncang-guncang 

kakinya.

"Konyol! Apa-apaan kau datang lagi, 

hah?" bentaknya jengkel dengan sepasang 

mata yang bagus bergerak-gerak lebih 

cepat.

"Siapa yang datang lagi?" sahut 

Andika santai. Ia menganggukkan 

kepalanya sambil tersenyum yang 

menurutnya sangat manis sekali pada 

Bidadari Pisau Emas yang menggeram, 

"Sejak tadi aku berada di sini!"

"Kurang ajar!"

"Hei, kau mempermainkan aku 

berkali-kali! Mengapa selagi kubalas kau 

menjadi marah? Kalau memang begitu, 

siapakah yang patut dikatakan kurang 

ajar?" seru Andika melotot.

Bidadari Pisau Emas menggeram, 

namun membenarkan kata-kata Andika. 

Rupanya kemarahan yang diperlihatkan 

Pendekar Slebor tadi hanya berpura-pura, 

semata untuk mencari di mana Bidadari 

Pisau Emas bersembunyi. Namun tidak 

tahunya, kata-kata Brajaseta itu justru 

yang memancingnya keluar.

"Apakah kau tidak melanjutkan lagi 

tawaran kerja samamu tadi?"

"Untuk apa aku melakukan tindakan 

bodoh itu?"

Andika tertawa, lalu melompat 

dengan ringannya di tanah sambil 

mengangkat kedua alis matanya yang 

seperti kepakan sayap elang dengan sikap 

lucu.

"Sebenarnya, aku tak mau bekerja 

sama denganmu. Tetapi setelah kulihat 

siapa dirimu, ya terpaksalah. Rugi 

sedikit tidak apa-apa kan?" katanya yang 

disusul dengan tawanya.

Bidadari Pisau Emas menghentakkan 

kakinya jengkel, sementara Brajaseta 

yang sudah pulih dari ketersimaannya 

melihat wajah Bidadari Pisau Emas, kini 

tertawa melihat sikap yang diperlihatkan 

oleh Pendekar Slebor. Rupanya ia hanya 

berpura-pura meninggalkan tempat itu, 

dan justru melakukan sesuatu yang tak 

terduga.

"Kau mempermainkan aku, hah!"

"Kalau ada manusia yang senang 

mempermainkan orang dan tidak senang 

dipermainkan orang, ya kau ini orangnya! 

Apakah kau tidak sadar akan hal itu, 

hah?" kata Andika santai.

"Masa bodoh dengan ucapanmu!" 

bentak Bidadari Pisau Emas yang menjadi 

marah bukan karena merasa dipermainkan, 

namun justru ia sendiri yang membuka 

rahasia siapa dirinya. Lalu tanpa 

mempedulikan Andika dan Brajaseta lagi, 

ia meninggalkan tempat itu.

"Hei, mau ke mana?"

Tetapi ia tidak menjawab. Justru 

Andika yang tertawa. Ia tahu meskipun

gadis cantik itu menekuk wajahnya, namun 

ia senang karena Andika menyetujui 

usulnya. Lalu dengan lagak yang sengak 

Andika berkata pada Brajaseta yang masih 

tersenyum-senyum, Tuh, kau lihat sendiri 

sifat perempuan, Brajaseta! Perempuan

itu memusingkan! Tetapi... hehehe... 

juga mengasyikkan!"

Brajaseta cuma tertawa saja.

* * *

7


Radanara menghentikan langkahnya 

dengan menajamkan pendengaran. Dari 

kejauhan terdengar suara gemuruh sungai 

yang cukup keras. Di sisi kanan kirinya 

terdapat ilalang yang tumbuh lebat. 

Jalan setapak yang dilaluinya sunyi.

"Hhh! Hanya dua ekor kelinci yang 

menimbulkan suara!" dengusnya sementara 

dua kelinci yang muncul dari rimbunnya 

semak, terus berlarian. Radanara 

memperhatikan sekelilingnya. Dia 

memutuskan untuk melangkah lagi, namun 

urung. Kali ini meno-leh ke belakangnya. 

Tak ada apa-apa yang nampak kecuali jalan

yang dilaluinya tadi. "Apakah hanya 

perasaanku saja? Tetapi, hatiku jadi 

berdebar tak menentu sekarang."

Belum Radanara bisa menebak apa yang 

membuatnya berdebar, mendadak dia 

bergulingan ketika dirasakan angin panas 

menderu ke arahnya. Saat dia bangkit 

kembali, dilihatnya dua orang laki-laki 

bertu-buh tambun dengan kepala lonjong 

dan sedikit rambut di tengah.

"Gila! Siang-siang begini aku 

melihat setan gentayangan!" pikirnya 

terbelalak. Perut keduanya seperti tong 

dengan pipi tembem. Dan kepala mereka, 

ajaib! Seperti badut kemalaman di 

kotapraja!"

Yang hadir itu adalah Dua Iblis 

Gerigi Maut yang sedang mencari Pendekar 

Slebor. Mereka gagal mengikuti jejak 

Pendekar Jari Delapan. Seperti yang 

mereka lakukan pada Pendekar Jari 

Delapan sebelumnya, Dojo berseru, 

"Manusia jelek! Apakah kau tahu di mana 

Pendekar Slebor berada?"

Radanara pernah mendengar julukan 

yang menggegerkan hati golongan hitam 

itu. Kalau orang bertanya dengan nada

membentak seperti itu, bisa dipastikan 

dia bukan orang baik-baik. Radanara 

tidak pernah berjumpa dengan Pendekar

Slebor, namun dia tidak suka 

diperlakukan dengan cara kurang ajar 

seperti itu.

"Setan-setan tubuh tong! Bertanya 

mempunyai adat! Menjawab melalui adat! 

Bertanya yang kau lakukan menunjukkan 

sikap kurang ajar, hingga tangan gatal 

untuk menghajar!"

Setan keparat!" Dojo menderu dengan 

kepalan penuh tenaga dalam. Radanara 

mengeluarkan suara tertahan, karena 

dirasakan angin panas yang cukup 

menyesakkan dada.

Sigap dia bergulingan dan langsung 

melompat mengirim serangan balasan 

melalui satu tendangan.

Buk!

Tendangannya ditangkis pukulan 

Dojo, dan membuat kaki Radanara, 

bergetar. Apa yang dilakukannya, membuat 

Dojo menjadi murka.

"Orang-orang sepeiti kau yang 

justru membuang waktuku! Mampuslah 

kau!!"

Dengan kemarahan tinggi, Dojo 

menderu kembali. Radanara menjadi pias. 

Tak disangkanya kalau manusia-manusia 

bertubuh tambun ini memiliki kemampuan 

yang hebat. Geram, segera dicabut 

cluritnya. Namun dengan satu sontekan

saja, cluritnya terlepas dari tangannya. 

Dan senjata gerigi di tangan Dojo menderu 

mencecar leher Radanara yang semakin 

pias.

"Mampuslah kau!'" . Namun belum 

lagi senjata Dojo mencacah lehernya, 

satu sosok tubuh berkelebat dan 

menendang salah seorang dari Dua Iblis 

Gerigi Maut itu.

Buk!

***

Tubuh Dojo terhuyung ke belakang. 

Dadanya terasa melesak ke dalam menerima 

hantaman keras itu. Gusar dilihatnya 

satu sosok tubuh berbaju hijau pupus

dengan kain bercorak catur tersampir di 

leher-nya sedang menolong Radanara untuk 

bangkit. Dilihatnya juga dua sosok tubuh 

muncul dari balik ilalang.

"Monyet hijau keparat! Kau mencari 

mampus!!" bentak Mojo yang melihat 

bagaimana saudara kem-barnya 

dipercundangi dengan sekali tendang.

Andika berbalik dan tertawa.

"Heran, siang begini ada tuyul! 

Tetapi setahuku, tuyul itu kecil, 

mengapa sekarang yang kutemui kayak tong 

sampah? Jangan-jangan, kalian ini 

rajanya tuyul, ya?"'

"Keparat!" Mojo menggeram. Dari 

geramannya mendadak dia terbahak-bahak, 

demikian kerasnya hingga dauu-daun 

berguguran. "Rupanya yang muncul manusia 

yang telah berbulan-bulan kami cari!"

"Lho, kenapa kalian mencariku? 

Ala... kalau ingin berkenalan, kalian 

kan bisa berkirim surat? Aku yakin, para 

kurir surat bisa menyampaikannya 

kepadaku! Cuma sayangnya, alamatku susah 

dicaril Nah, ke sinilah kalian! Ayo, 

bersalaman denganku kalau ingin 

berkenalan!"

Wajah Dua Iblis Gerigi Maut memerah, 

sementara Brajaseta terbahak-bahak dan 

Bidadari Pisau Emas hanya tersenyum 

kecil melihat sikap Andika.

"Kau harus membayar nyawa Manusia 

Jenggot Merah, Pendekar Slebor!"

"Manusia Jenggot Merah? Oh, aku 

ingat! Bukankah dia manusia jelek yang 

mampus di Gerbang Neraka? Jadi kalian ini 

kenal dengannya, ya? Menyenangkan, jadi 

aku tak terlalu keberatan untuk menjitak 

kepala kalian! Atau... bila kalian 

nekat, aku rela membikin kalian menyusul 

manusia keparat itu!"

Bagai disepakati, Dua Iblis Gerigi 

Maut langsung menderu cepat. Mereka

langsung mempergunakan senjata 

berbentuk gerigi yang sangat tajam.

Menyadari serangan yang dilakukan 

keduanya sangat kejam, Pendekar Slebor 

berkelebat ke sana kemari dengan 

gesitnya. Hingga yang terlihat hanya 

bayangan hijau muda belaka. Selama lima 

jurus di-serang seperti itu dan dibalas

oleh Andika dengan gerakan yang sama, 

pada jurus ketujuh tiba-tiba saja Andika 

menukik dengan teriakan yang cukup keras 

dan tangannya mengibas.

Mojo yang berada di dekatnya memekik 

keras dan langsung bergulingan ketika 

dirasakan angin raksasa menderu ke 

arahnya. Dan serangan balasan yang 

dilakukan Andika pun dilakukan secara 

beruntun pada Mojo yang harus menghindar 

bila tak mau tubuhnya terhantam.

Dojo yang tidak diserang oleh Andika 

dan merasa bebas, langsung membokong 

untuk memapasi serangan Andika pada 

saudara kembarnya. Terutama dilakukan 

karena kemarahannya akibat serang-annya 

pada Radanara diputuskan Andika.

Namun diluar dugaannya, Andika 

justru bergulingan ke arahnya dan 

menghantamkan tangannya yang sudah 

dialiri tenaga 'inti petir'.

Terdengar suara salakan yang cukup 

keras, disusul dengan tubuh Dojo yang 

terhuyung ke belakang dan bersamaan 

dengan itu Andika berkelebat ke arah Mojo 

yang sedang berusaha bangkit.

Des!

Dada Mojo pun terhantam pukulan yang 

keras.

Andika memutar tubuh ke belakang, 

menghentikan serangan dan berdiri sambil 

tersenyum, "Jadi cuma begini saja 

kehebatan sahabat Manusia Jenggot 

Merah?! Sayangnya, aku melihat kalian 

cuma mampu menjadi pengemis di 

kotapraja!"

Sementara itu diam-diam Bidadari 

Pisau Emas menarik-napas. Dia merasa 

beruntung karena bisa berkenalan dengan 

Pendekar Slebor yang kesohor itu dan 

secara tidak langsung membenarkan apa 

yang digembar-gemborkan orang-orang 

rimba persilatan akan kesaktian pemuda 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.

"Bangsat sialan! Lihat serangan!!" 

seru Dojo dan Mojo bersamaan, dan secara 

bersamaan pula senjata lingkaran 

bergerigi itu berputar di tangan 

keduanya, menimbulkan suara yang cukup 

keras. Lalu diiringi dengan gerengan

yang keras keduanya menderu ke arah 

Andika.

Kali ini Andika tercekat 

melihatnya. Karena, serangan itu bukan 

hanya mengincar bagian-bagian dari 

tubuhnya yang mematikan, namun juga 

tiba-tiba menderu dahsyat dan kembali 

dengan anehnya pada pemiliknya.

Berulang kali Andika harus 

menyelamatkan diri dengan susah payah.

Berkali-kali pula tubuhnya hampir 

menjadi sasaran empuk dari senjata 

berbentuk gerigi. Dan bukan hanya sampai 

di sana saja serangan yang dilakukan oleh 

Dua Iblis Gerigi Maut. Kaki dan tangan 

mereka pun menderu mencari sasaran. Dua 

kali Andika terhantam tubuhnya secara 

beruntun.

"Apakah tak terbalik ucapan 

sombongmu itu, Pendekar Slebor? Di 

neraka sana, Manusia Jenggot Merah 

terbahak-bahak melihat kematianmu!" 

bentak Mojo dan menyerang bertambah 

ganas.

Suasana di tempat itu bagai 

diguncang oleh kaki-kaki raksasa. 

Brajaseta hanya menahan napas. Radanara 

yang baru kali ini bertemu dengan 

Pendekar Slebor dan langsung 

menolongnya, ,berdoa agar pemuda perkasa

itu bisa memenangkan pertarungan. Semen-

tara Bidadari Pisau Emas nampak hanya 

tenang-tenang saja.

"Bila Andika memiliki senjata 

sebilah pedang, dalam satu jurus 

berikutnya, Andika bisa mengalahkan 

mereka."

Namun tanpa perlu pedang pun Andika 

berhasil mengubah taktiknya. Dari 

menghindar dia langsung melakukan 

penyerangan. Entah bagaimana caranya, 

tahu-tahu kain bercorak catur yang 

tersampir di bahunya sudah berada di 

tangannya. Sekali dikibaskan, terdengar 

suara bagai ribuan tawon marah dan angin 

laksana topan badai menggebubu dahsyat.

Mojo merasa wajahnya bagai ditampar 

ketika angin sambaran kain bercorak 

catur mengarah padanya. Keseimbangannya 

sedikit goyah karena dorong-an angin itu 

cukup kuat. Andika langsung meluncur 

dengan satu pukulan telak di dadanya.

Des!

Bersamaan dengan tubuhnya terhantam 

pukulan Andika, Mojo melemparkan 

senjatanya. 

Wuuunggg! 

Wuss! 

Bret!

Andika yang sudah memperhitungkan 

soal itu, langsung mengibaskan 

tangannya. Senjata gerigi tajam milik 

Mojo terlilit oleh kain pusaka warisan Ki 

Saptacakra. Hebatnya, kain pusaka itu 

tak koyak sedikit pun padahal tenaga 

lemparan Mojo sangat kuat. Dan bersamaan 

dengan itu, Andika mengibaskan tangannya 

lagi. Dojo yang sedang menyerang dari 

samping terpekik karena tubuhnya bagai 

menyongsong serangan Andika.

Dia berasaha untuk menghindar, 

namun sambaran kain pusaka yang sudah 

melilit senjata Mojo lebih cepat 

datangnya. Dan....

Cras!

Sekali tarik saja, lengan kanan Dojo 

putus memuncratkan darah. Senjatanya 

terlepas dan seketika raungannya 

terdengar setinggi langit.

Mojo yang meskipun masih merasakan 

sakit di dadanya, tak mempedulikan lagi 

dirirya. Penuh dendam tinggi dia menderu 

ke arah Andika melihat nasib yang dialami 

oleh saudara kembarnya. Akan tetapi, 

kesalahanlah yang dibuatnya. Karena 

begitu menyambar Dojo, Andika langsung 

mengibaskan tangannya dan menarik cepat 

hingga senjata gerigi itu terlepas dari

lilitan kain pusakanya dan meluncur ke 

arah Mojo.

Cras!

Senjata gerigi itu tepat menghantam 

dada si pemiliknya yang ambruk setelah 

menjerit keras.

"Luar biasa!" desis Bidadari Pisau 

Emas.

Andika saat ini sedang mendesah 

pendek. Ia menghampiri Dojo yang bagai 

sakarat, "Tinggalkan tempat ini, sebelum 

aku merubah pikiran!"

Laki-laki berkepala botak itu jadi 

putus nyalinya. Susah payah dan 

tertatih-tatih dia bangkit menghampiri 

mayat Mojo. Wajahnya begitu geram saat 

memandang Andika.

"Semuanya masih akan berlanjut, 

Pendekar Slebor."

"Aku masih menunggu," sahut Andika 

tenang yang sudah menyampirkan kembali 

kain bercorak caturnya. "Hei, apakah kau 

tidak membawa mayat saudara kembarmu 

itu? Atau, kau membiarkannya menjadi 

santapan serigala lapar atau 

burung-burung bangkai?"

Namun Dojo yang sudah tidak memiliki 

sebelah lengan dan banyak mengeluarkan 

darah, tak mempedulikannya. Dia 

melontarkan ancaman sebelum me

ninggalkan tempat itu, "Suatu saat, 

Pendekar Slebor! Suatu saat!!"

"Kapan saja deh kalau kau mau!"

***

Bidadari Pisau Emas berkata, "Tak 

salah bila kuminta bantuanmu untuk 

menghentikan sepak terjang manusia busuk 

yang berjuluk Dewi Ular Hitam dan Setan 

Asap Batu Karang, Pendekar Slebor!"

Pujian itu justru dibalas Andika 

dengan bentakan, "Enaknya kau ngomong! 

Aku bisa mampus tadi!"

"Tetapi, kau berhasil mengalahkan 

mereka!"

"Kau ini sahabat macam apa sih? Kok 

melihat sahabatnya sudah kalang kabut 

kau diamkan saja? Apa begini sikapmu 

terhadap sahabat yang sudah di ujung

maut?"

"Kau baru di ujungnya, belum paling 

ujung!" 

"Enaknya kau ngomong! Percuma 

bersahabat denganmu!"

"Brengsek! Main membentakku!" balas 

Bidadari Pisau Emas. "Karena aku tahu 

kemampuanmu, makanya aku diam saja! Lagi 

pula. aku tak ada urusan dengan dua

manusia botak itu!" Ianjut Bidadari 

Pisau Emas enak saja. "Kau mau mampus 

atau tidak ya urusanmu! Mengapa jadi 

sewot padaku?"

Andika tak mempedulikannya. 

Sebenarnya, sangat disesalinya mengapa 

dia harus menurunkan tangan pada 

lawan-lawannya tadi. Semua dikarenakan, 

dia harus membela diri. Padahal bagi 

Andika, sangat hina ilmu yang dimiliki 

seseorang bila dipergunakan untuk 

membalas dendam.

Dikuburnya mayat Mojo. Yang 

memperhatikan diam-diam trenyuh melihat 

welas asih Pendekar Slebor yang mau 

menguburkan mayat bekas lawannya. Itu 

menandakan betapa tinggi sifat mulia di 

hati Pendekar Slebor.

Selesai menguburkan mayat Mojo, 

dihampirinya Radanara yang tersenyum 

padanya. Diperiksanya tubuh Radanara. 

Setelah itu dia bertanya, "Sobat... sia-

pakah kau adanya?"

Radanara menceritakan yang 

dialaminya. Diceritakan pula apa yang 

sedang dilakukannya saat ini.

"Dan aku tak akan pernah puas 

sebelum melihat Dewi Ular Hitam terkapar 

mampus! Karena aku yakin, arwah guruku,

Dewa Muka Singa dan saudara

seperguruanku Ardinara, tak akan pernah 

tenang."

"Dewa Muka Singa ternyata gurumu," 

kata Andika bagai mendesah. "Kita 

mempunyai niat yang sama untuk 

menghancurkan manusia-manusia busuk 

yang bergelar Dewi Ular Hitam dan kambrat

nya yang berjuluk Setan Asap Batu Karang. 

Namaku Andika. Ini Brajaseta, dan yang

cantik jelita namun cerewet dan 

kadang-kadang menjengkelkan itu 

berjuluk Bidadari Pisau Emas! Kalau kau 

tanya namanya, aku tidak tahu! Tetapi 

kukira untuk gadis secantik dia pantas 

memakai nama Tukiyem atau Sarinem!" 

Andika terbahak-bahak melihat wajah 

Bidadari Pisau Emas meradang.

"Kalau begitu... apakah aku 

diperkenankan bersama-sama kalian untuk 

mencari Dewi Ular Hitam?" tanya Radanara 

penuh harap. Dia sempat tersenyum kecil 

ketika mendengar selorohan Andika tadi.

"Boleh saja! Tetapi kalau kita 

melanjutkan perjalanan dengan 

menggerombol begini, bisa-bisa kita 

disangka gerombolan perampok! Dan enak 

buatmu, Bidadari Pisau Emas!"

"Hah! Apa hubungannya denganku?" 

sahut Bidadari Pisau Emas melengak 

karena dibentak seperti itu.

"Ya, jangan-jangan orang-orang yang 

melihat kita akan menyangka kalau kita 

bertiga ini sedang memperebutkanmu! Nah, 

kau jadi bangga, bukan?"

"Setan kurang ajar!"

"Jadi kupikir, biar kalian bertiga 

dan aku sendiri! Kita berpisah di sini!

lalu tanpa mempedulikan mereka, 

Andika.sudah berkelebat secepat kilat.

"Andika!" seru Bidadari Pisau Emas 

dan mengibaskan tangannya. Empat buah 

pisau emasnya meluncur ke arah ke mana 

Andika lari dengan lesatan mirip anak 

panah yang dilepaskan dari busurnya. 

Namun yang terdengar hanya suara trak 

sebanyak empat kali.

Bidadari Pisau Emas mendengus 

karena menyadari kalau Andika telah 

mematahkan serangannya itu. Hanya dengan 

empat butir batu kecil!

Masih mendengus dia menoleh pada 

Brajaseta dan Radanara.

"Kita tidak boleh berdiam di sini 

terus. Barangkali saja Pendekar Slebor 

mempunyai rencana lain!"

"Lalu apa yang kita lakukan?" tanya 

Brajaseta.

"Bodoh! Apakah kau tidak mendengar 

kata-kataku tadi? Tinggal Pendekar Jari 

Delapan yang belum mendapatkan dendam

Dewi Ular Hitam. Berarti, kita harus 

menuju Bukit Lingkar!"

* * *

8


Di dekat sebuah sungai kecil, 

terdengar suara tawa dari sebuah gubuk 

yang ada di sana. Gubuk itu dikelilingi 

semak yang cukup lebat. Tengah malam te-

lah lenyap. Kokok ayam jantan bersahutan 

di sebelah barat. Angin merayap dari satu

pohon ke pohon lain. Berdesir di atas 

gubuk itu.

"Kau memang tak akan terkalahkan, 

Dewi," suara penuh rasa hormat itu 

terdengar lagi dari dalam gubuk. "Kau 

patut dianggap sebagai orang nomor satu 

di rimba persilatari ini! Hanya 

orang-orang bodoh yang tak mau menerirna 

keberadaanmu ini, Dewi Ular Hitam!"

Dewi Ular Hitam hanya tersenyum 

tipis mendengar pujian itu. Dia tahu, 

pujian itu lebih mengarah pada menjilat. 

Bentakannya yang keras cukup 

menggegerkan hati Setan Asap Batu 

Karang, "Aku tak akan pernah merasa

menguasai rimba persilatan ini sebelum 

Pendekar Jari Delapan salah seorang yang 

tinggal dari tiga pengeroyokku tiga 

puluh tahun lalu tewas!"

"Sebentar lagi kau akan membuatnya 

meninggalkan dunia ini menyusul dua 

sahabatnya! Tetapi aku yakin, dengan 

kesaktianmu yang semakin bertambah, kau 

akan mampu mengatasinya!" Sosok tinggi 

besar itu semakin menjilat sambil 

mengepulkan asap yang keluar dari pipa 

besamya.

Dewi Ular Hitam mengangguk-anggukan 

kepalanya. Nampak ada sesuatu yang 

dipikirkannya.

"Adakah yang kau pikirkan?" tanya 

Setan Asap Batu Karang dengan suara 

hati-hati.

"Ya. Setan keparat yang berjuluk 

Pendekar Slebor! Aku yakin, dia akan 

memperlambatkan keinginanku untuk 

membunuh Pendekar Jati Delapan! Hhh! 

Manusia urakan dari Lembah Kutukan itu 

rupanya memang sudah bosan hidup!"

"Pendekar Slebor, biar aku yang 

urus!" kata Setan Asap Batu Karang yang 

merasa hal itu lebih baik. Dia menduga 

kalau kesaktian yang dimiliki Pendekar 

Slebor jauh berada di bawah Pendekar Jari 

Delapan, sehingga kemungkinan untuk

mengalahkannya akan jauh lebih mudah. 

"Aku juga ingin tahu kehebatan pendekar 

muda yang banyak disebut-sebut orang! 

Akan kubuat pepes tahu tubuhnya!"

Dewi Ular Hitam terbahak-bahak. 

"Aku menyukai kata-katamu itu! Kuakui, 

meskipun kau cuma menjilat di depanku, 

tetapi aku menyenangimu!"

Setan Asap Batu Karang cuma 

mengangkat bahunya dengan wajah memerah. 

Dalam hati ia menggerutu, "Kalau tidak 

kubutuhkan tenaganya untuk memusnahkan 

musuh bebuyutanku pula, sudah 

kutinggalkan wanita keparat ini."

Menahan kesalnya, Setan Asap Batu 

Karang tersenyum. "Itulah kelebihanku."

"Tak kusangka kalau kita bisa 

bertemu lagi."

"Nampaknya, kekuasaan nomor satu 

akan ada di tanganmu Dewi Ular Hitam, 

sementara, tentunya kau akan memberikan 

kedudukan untukku di sampingmu."

Dewi Ular Hitam terbahak-bahak.

“Penjilat semacam kau memang cocok 

bergabung denganku! Aku menyukaimu!"

Kembali sosok di hadapannya menjadi 

jengkel mendengar kata-kata itu. Tetapi 

guna menutupi kejengkelannya, dia 

terbahak-bahak.

Mendadak Dewi Ular Hitam mendekap 

mulut Setan Asap Batu Karang yang hendak 

berkata. "Diam!" desisnya. 

Pendengarannya yang tajam mendengar 

derap langkah kuda yang sangat cepat. 

"Ada tiga ekor kuda menuju kemari! Ingin 

kutahu siapa yang muncul, sebelum 

kukepruk kepalanya sampai hancur!"

Secepat kilat, keduanya keluar dari 

gubuk

Apa yang diduga oleh Dewi Ular Hitam 

memang benar, karena tiga ekor kuda 

dengan penunggangnya yang berpakaian ala 

orang-orang keraton tiba di sana. Mereka 

adalah Tiga Pangeran dari Selatan.

"Kakang Naga Wulung, apa yang akan 

kita lakukan sekarang? Sudah cukup lama 

kita mencari jejak manusia keparat itu. 

Tetapi sampai sekarang, belum ada jejak 

berarti yang kita dapatkan," kata Ha-

rimau Wulung sambil memandang 

berkeliling.

Naga Wulung mengiyakan 

kata-katanya. "Kau memang benar.

Rasanya, aku sudah tidak sabar untuk 

bertemu dengan wanita keparat berhati 

iblis itu! Juga manusia busuk penghisap 

cangklong busuk!"

Di tempat persembunyiannya, Setan 

Asap Batu Karang gertakkan gigi. Matanya 

mendelik penuh amarah.

"Apa yang telah dikatakan Pendekar 

Jari Delapan memang benar. Kita harus 

berhati-hati menghadapi manusia iblis 

itu! Dan saat ini, sebenarnya ada yang 

kuinginkan sekali," kata Naga Wulung.

"Apakah itu, Kakang Naga Wulung?" 

tanya Elang Wulung.

"Pendekar Slebor! Aku ingin sekali 

bertemu dengannya untuk meminta 

bantuannya! Tak kusangka, kalau pendekar 

yang menggegerkan dunia persilatan ini 

menurut Pendekar Jari Delapan masih 

begitu muda. Aku yakin, dalam waktu yang 

singkat, bila ia menginginkannya, 

Pendekar Slebor akan menjadi orang nomor 

satu di rimba persilatan ini."

Sehabis Naga Wulung berkata begitu, 

tiba-tiba saja serangkum angin menderu 

dahsyat mengelebatkan sinar berhawa 

panas. Serentak Naga Wulung melompat 

dari kudanya dan akibatnya, kudanya mati 

seketika dengan tubuh bolong di bagian 

tengah.

"Setan keparat! Manusia hina dina, 

silakan keluar!!" bentak Naga Wulung 

dengan wajah sedikit pias. Sementara 

Harimau Wulung dan Elang Wulung sudah

melompat dari kuda masing-masing dan 

ber-siaga penuh.

Satu sosok tubuh melesat keluar 

dengan deras-nya. Bersamaan lesatan 

tubuh itu, sebuah tenaga dahsyat menderu 

ke arah ketiganya yang langsung 

berlompatan berpencar. Terdengar suara 

bagai ledakan tiga kali berturut-turut. 

Akibatnya, tempat di mana mereka berdiri 

terbentuk tiga buah lubang yang menganga 

cukup besar.

Lalu sosok yang berkelebat itu 

hinggap di depan mereka dengan tawa yang 

keras sekali hingga merontokkan 

dedaunan.

"Dewi Ular Hitam!" Tiga Pangeran 

dari Selatan seketika berseru dan segera 

mempersiapkandiri. Naga Wulung 

membentak, "Sekian lama dicari tak 

pernah jumpa, akhirnya muncul sendiri

mencari petaka!"

"Hhh! Siapa yang tidak mengenal Tiga 

Pangeran dari Selatan?" bentak Dewi Ular 

Hitam dengan pandangan menusuk. Ular 

yang melilit di lehernya mendesis-desis 

menjulurkan lidah. "Hanya sayangnya, 

hari. ini nama Tiga Pangeran dari Selatan 

sudah harus dihapus dari dunia 

persilatan!"

"Wanita peot berhati iblis! Kau 

pikir kau akan mudah melakukannya, hah?" 

bentak Harimau Wulung.

Sebelum Dewi Ular Hiram menyahut, 

terdengar suara di belakangnya bersamaan 

munculnya satu sosok tubuh, "Kau memang 

hebat, Dewi. Gerakan yang kau lakukan 

tadi sampai-sampai aku tak melihatnya! 

Tetapi untuk menjaluhkan nama Tiga 

Pangeran dari Selatan, rasanya kau tak 

perlu bersusah payah melakukannya!"

"Manusia penjilat seperti monyet, 

rupanya kau masih punya nyali 

untuk-berhadapan dengan kami!" bentak 

Elang Wulung.

Setan Asap Batu Karang menyipitkan 

mata dan berkata dingin, "Kalau waktu itu 

kalian kulepaskan, karena aku masih 

ingin kalian menikmati hidup lebih lama 

lagi! Tetapi sekarang, nampaknya ajal 

sudah di depan mata!" Lalu dihembuskan 

asap pipanya yang mengeluarkan bau 

busuk.

"Setan alas!" Elang Wulung sudah 

menderu dahsyat dengan pedangnya yang 

berkelebat cepat. Bersamaan tubuhnya 

menerjang, lawannya bergulingan dan 

melancarkan satu serangan pendek melalui 

gebrakan kaki kanan dan kiri yang sangat 

cepat.

Des!

Tahu-tahu entah bagaimana caranya, 

Elang Wulung merasa perutnya sesak 

karena dihantam tendangan yang cukup 

keras. Tubuhnya terhuyung ke belakang. 

Melihat hal itu, Naga Wulung dan Harimau 

Wulung segera menyerang dahsyat.

Dewi Ular Hitam mendengus. "Setan 

Asap Batu Karang! Bunuh tiga manusia 

sialan ini! Aku hendak mendahuluimu ke 

Bukit Lingkar! Bila sudah beres, kau

susul aku!!"

"Itu soal mudah! Bunuh Pendekar Jari 

Delapan dan kau akan menjadi orang nomor 

satu di rimba persilatan ini!" sahut 

kambratnya sambil menghindar dan 

menyerang.

Naga Wulung yang melihat Dewi Ular 

Hitam berkelebat, menggebrak tubuhnya 

dengan kecepatan penuh. Tubuhnya meluruk 

dengan pedang ke depan.

Namun tanpa menoleh sedikit pun, 

Dewi Ular Hitam mengangkat kakinya dan 

menyepak.

Des!

Tangan Naga Wulung bagai terhantam 

besi yang sangat kuat sehingga 

membuatnya mengaduh dan pedang di 

tangannya terlepas. Lalu sosok wanita

tua berhati kejam itu menghilang dari 

pandangan.

Setan Asap Batu Karang saat ini 

sedang menggempur Elang Wulung dan 

Harimau Wulung dengan 

serangan-serangannya yang aneh namun 

mematikan. Setiap kali ia bergerak, 

tempat itu bagaikan bergetar hebat. 

Namun dua dari Tiga Pangeran dari Selatan 

itu tak pantang mundur. Keduanya bahu 

membahu menyerang lawan yang menghindar 

dan membalas sambil mengisap pipa 

besarnya. Serangan mereka bertambah kuat 

ketika Naga Wulung sudah memasuki kancah 

pertempuran.

Namun memasuki jurus kelima belas, 

Setan Asap Batu Karang memperlihatkan 

kelasnya yang lebih unggui satu tingkat. 

Didahului dengan menghembuskan asapnya 

yang mendadak membentuk kepalan tangan

raksasa dan membuat ketiga lawannya 

berlompatan menghindar, mendadak dia 

berguling laksana bola dengan cepatnya 

ke sana kemari. Menderu dahsyat dengan 

mengeluarkan angin menggidikkan.

Harimau Wulung terhuyung ketika 

kakinya dihantam telak. Elang Wulung 

mengerang ketika punggungnya terkena 

tendangan yang sangat keras. Naga Wulung 

harus bersusah payah mempertahankan diri

Tetapi....

"Terlalu enak bila manusia-manusia 

itu langsung mampus!" terdengar suara 

nyaring yang berbalur dengan kegeraman. 

"Sebaiknya, kita siksa manusia-manusia 

itu terlebih dulu! Biar mereka tahu rasa 

dari menghentikan kelancangan mereka 

yang mencoba menghalangi sepak 

terjangku!"

Setan Asap Batu Karang urung 

menurunkan tangan telengasnya, 

Ditolehkan kepala ke atas dan dilihatnya 

Dewi Ular Hitam sedang diiduk 

beruncang-uncang kaki di sebuah dahan 

pohon.

"Hei, mengapa kau masih berada di 

sini, Dewi?" serunya heran.

"Jangan bersikap kurang ajar 

padaku! Kalau aku belum juga berangkat, 

apa urusannya denganmu, hah?! Aku ingin 

melihat kehebatanmu mengalahkan Tiga 

Pangeran dari Selatan! Aku paling tidak

suka orang yang banyak omong namun tak 

memiliki kemampuan yang berarti! Tetapi 

yang kau katakan me-mang benar! Dan kini 

aku percaya sepenuhnya akan 

kemampuanmu!"

Hidung besar Setan Asap Batu Karang 

kembang-kempis. Dadanya membuncah 

mendengar pujian itu. Pada dasarnya dia

memang memiliki sifat menjilat makanya 

ucapannya yang keluar pun bernada 

menjilat pula.

"Menghadapi tiga keroco macam 

begini, bukanlah hal yang sulit!" 

katanya memasang seringaian di bibir. 

"Apalagi, aku sudah memutuskan untuk 

sepenuhnya bergabung denganmu, Dewi! 

Nah, apa yang ingin kau lakukan pada 

mereka?"

"Cari tali dan ikat mereka!!"

Setan Asap Batu Karang 

terbahak-bahak, lalu berkelebat dan 

kembali lagi dengan membawa oyot akar 

pohon yang banyak terdapat di sana. Lalu 

diikatnya Tiga Pangeran dari Selatan 

dengan ikatan yang sangat kuat menjadi 

satu.

"Apa lagi?" tanyanya setelah 

selesai.

"Totok mereka! Jangan sampai ada 

yang ribut dan mampu bergerak!" suara 

yang nyaring itu terdengar lagi. 

Diiringi kekehan keras.

"Manusia setan peot! Lepaskan kami! 

Bila kau berani, hadapi kami!" bentak 

Naga Wulung pada Dewi Ular Hitam yang 

masih asyik duduk menjuntai. Namun hanya 

itu yang bisa dilakukannya karena detik 

berikutnya totokan Setan Asap Batu

Karang telah menutup jalan suaranya. 

Bahkan ia tak mampu bergerak. Begitu pula 

yang dialami oleh dua saudaranya.

"Apakah aku harus menempeleng 

mereka satu persatu karena kelancangan 

bacot mereka yang kurang ajar?" seru 

Setan Asap Batu Karang sambil menatap 

Naga Wulung sengit.

"Kupikir, yang kau lakukan sudah 

cukup! Dan apa yang telah kau lakukan 

membuatku semakin yakin kalau kau memang 

patut menjadi pembantuku!"

Setan Asap tersenyum bangga. 

Senangnya bukan main mendengar pujian 

itu meskipun dikatakan cuma sebagai 

pembantu belaka.

"Apa yang kau inginkan, pasti akan 

kulakukan! Apa pun yang kau perintahkan, 

akan kulaksanakan," katanya patuh 

padahal dalam hatinya ia berkata, "Bila 

kau sudah membunuh Pendekar Jari 

Delapan, aku akan meninggalkanmu 

daripada diburu oleh orang-orang 

golongan putih! Toh, dendamku sudah 

terbalas bila melihat Pendekar Jari 

Delapan terkapar."

Dewi Ular Hitam melompat dengan 

ringannya dari dahan pohon yang 

didudukinya. Berdiri dua tombak di sisi 

Setan Asap Batu Karang. "Sebelum kita

membunuh Pendekar Jari Delapan, kita 

harus mencari Pendekar Slebor! Karena, 

ia akan menjadi duri yang sangat tajam 

untuk kita!"

"Akan kubuktikan lagi padamu 

kata-kataku untuk menamatkan riwayat 

Pendekar Slebor!"

"Bagus!" Dewi Ular Hitam melangkah 

menghampiri Tiga Pangeran dari Selatan 

yang mendelik gusar. "Menyenangkan 

sekali bertemu kalian, 

Pahlawan-pahlawan busuk! Sayangnya, 

kalian akan menjadi santapan serigala 

lapar di sini!"

Sebagai jawaban atas ejekannya, 

tiga pasang mata semakin tajam mendelik 

yang disambut dengan tawa mengejek yang 

menyakitkan dari Dewi Ular Hitam.

"Setan Asap! Kita segera mencari 

Pendekar Jari Delapan! Ingin 

kucabik-cabik tubuh laki-laki tua ke-

parat itu!" kata Dewi Ular Hitam sambil 

berbalik lagi pada Setan Asap Batu 

Karang. Yang dipandangnya sedang 

tertegun, seperti memikirkan sesuatu. 

"Manusia sialan! Apa yang kau lihat, 

hah?" bentak wanita tua berbaju 

keperakan itu dengan mata melotot. 

"Jangan berpikir jorok kepadaku, kalau

tidak ingin kuterbalikkan tubuhmu yang 

kerdil jelek itu!"

"Maaf...." desis Setan Asap Batu 

Karang seperti ragu-ragu. "Ke manakah 

ular hitam peliharaanmu itu, Dewi? 

Seingatku, ular itu tak pernah lepas dari 

lehermu."

Bagai baru menyadari apa yang 

terjadi, Dewi Ular Hitam tersentak 

Memegang lehernya.

"Oh! Ularku! Ularku!" serunya 

kalang kabut. "Dimana ularku? Manis... 

ke mana kau? Ke mana?"

Kalang kabutnya Dewi Ular Hitam 

membuat Setan Asap Batu Karang agak 

panik. Dia mendekati Dewi Ular Hitam.

"Ke mana kau pergi tadi, Dewi?" 

tanyanya. Dalam pikirannya, dia akan 

mencoba menemukan ular hitam kesayangan 

wanita tua itu. Bila dia berhasil 

menemukannya, berarti ada nilai lebih 

yang diinginkannya dari Dewi Ular Hitam.

"Aku... aku.. oh, ularku! Ularku!" 

"Dewi... biar kucari ular 

peliharaanmu itu!" 

"Cepat! Cepat! Kau harus 

menemukannya! Aku pergi ke arah timur 

tadi, barangkali saja ular kesayanganku 

masih ada!"

Setan Asap Batu Karang 

menganggukkan kepalanya. Tetapi sebelum 

dia bergerak.... 

Tuk!Tuk!Tuk!

Tiga totokan serentak dilakukan 

sekaligus. Setan Asap Batu Karang rubuh 

dengan kedua lutut tertekuk dan mulut 

yang terkunci.

"Sialan!" memaki Dewi Ular Hitam 

dengan suara yang terdengar lain. Tak 

lagi nampak kecemasan karena ularnya 

hilang. Tidak nyaring dan selalu meng-

geram. "Hampir saja penyamaranku 

terbuka! Habisnya... susah sekali kucari 

ular hitam biar bisa menyempurnakan 

penyamaranku. Kalau pun ada, aku bisa 

dicatek! Mati dicatek ular? Nanti dulu! 

Aku belum kawin!"

Bukan hanya Tiga Pangeran dari 

Selatan yang terheran-heran melihat 

perubahan sikap dan suara itu, tetapi 

Setan Asap Batu Karang yang dalam keadaan 

tertotok pun tak mengerti apa yang telah 

terjadi.

***

Tiba-tiba saja kedua tangan Dewi 

Ular Hitam membukai pakaian yang 

dikenakannya satu persatu, hingga 

tampaklah pakaian berwarna hijau pupus

di dalamnya. Di pinggangnya terdapat 

kain bercorak catur yang segera 

disampirkan dibahu. Lalu ditariknya 

rambut palsu dari kepalanya dan 

diusapnya pupur yang tebal dan membentuk 

goresan alami di wajahnya.

"Sialan! Kalau begini caranya, aku 

gagal melakukan penyamaran!" maki sosok 

itu yang tak lain adalah Andika alias 

Pendekar Slebor. Dari memaki sendiri 

tiba-tiba ia tertawa bagai digoda setan 

kesiangan. "Tetapi keahlianku menyamar 

tak bisa dikalahkan kecuali oleh Raja

Penyamar. Biar bagaimanapun juga, Raja 

Penyamar secara tidak langsung adalah 

guruku yang mengajarkan bagaimana cara 

menyamar yang baik."

Penyamaran yang dilakukan oleh 

Andika memang harus dibuka, karena sulit 

baginya menemukan ular hitam agar 

penyamarannya sebagai Dewi Ular Hitam 

pas. Dalam hal menyamar, keahlian Andika 

memang hanya bisa ditandingi oleh Raja 

Penyamar, yang pernah mengajarinya dalam 

soal penyamaran. Apa saja bisa 

disamarkannya, kecuali tuyul!

Ia menyamar, semata untuk 

mengelabui Setan Asap Batu Karang. 

Karena menurut dugaannya, lelaki besar 

itu pasti berada di bawah perintah Dewi

Ular Hitam. Tak disangkanya saat dia 

dalam penyamaran sebagai Dewi Ular 

Hitam, dilihatnya Setan Asap Batu Karang 

sedang bersiap menurunkan tangan pada 

tiga lelaki berpakaian keraton.

Sekarang sambil tertawa Andika 

mendekati Setan Asap Batu Karang yang 

mendelik gusar. "Hhh! Yang kayak begini 

yang berani menantangku! Tetapi kuakui 

penglihatanmu cukup jeli juga! 

Sesumbarmu untuk mengalahkah aku boleh 

juga! Tetapi sayangnya, aku geli untuk 

bertarung denganmu!"

Lalu Andika berbalik ke arah Tiga 

Pangeran dari Selatan yang kali ini 

berwajah agak cerah. Dibukanya ikatan 

tali oyot akar pohon pada mereka. Lalu 

dibukanya totokan pada tubuh 

masing-masing yang dilakukan oleh Setan 

Asap tadi. Ketiganya mengejut sejenak 

dengan keluhan pendek ketika Andika 

melepaskan totokan yang ada pada mereka.

Naga Wulung berkata, "Tak 

kusangka... orang yang baru saja kami 

bicarakan sudah muncul di sini. Terima 

kasih atas bantuanmu, Pendekar Slebor."

Andika cuma tertawa. Ia rasa risih

bersikap sopan santun seperti itu.

"Ke manakah Dewi Ular Hitam pergi?" 

tanyanya kemudian.

"Ia sedang menuju ke Bukit Lingkar, 

Pendekar Slebor."

"Panggil aku dengan nama Andika. 

Sudah berapa lama dia berlalu dari sini?"

"Sekitar sepeminuman teh!"

Andika menimbang-nimbang. "Hmm... 

kalau begitu, aku harus secepatnya 

menyusul wanita iblis itu sebelum 

terjadi sesuatu pada Pendekar Jari Dela-

pan."

"Kami ingin turut serta!"

"Tidak usah. Kulihat kalian masih 

terluka dalam. Lebih baik, kalian 

tinggalkan tempat ini. Selain untuk 

mengobati luka dalam kalian, juga bawa 

manusia jelek itu untuk diadili oleh para 

tokoh golongan putih akibat perbuatannya 

membantu keangkara murkaan. Tiga 

Pangeran dari Selatan, sampai ketemu 

lagi!"

Wusss!!

Tubuh Andika tiba-tiba saja lenyap 

dari pandangan.

Naga Wulung mendesah pendek. 

"Semakin sadar aku apa yang dikatakan 

oleh orang-orang rimba persilatan 

tentang Pendekar Slebor. Kesaktiannya 

memang tinggi sekali dan usianya masih 

sangat muda."

"Apa yang kita lakukan sekarang, 

Kakang Naga Wulung?" tanya Harimau 

Wulung.

"Seperti petunjuk Pendekar Slebor 

tadi, kita harus membawa manusia durjana 

ini untuk diadili." Lalu Naga Wulung 

menghampiri Setan Asap Batu Karang yang 

sangat gusar sekali karena tertipu oleh 

penyamaran Pendekar Slebor.

Naga Wulung mengangkat tubuh Setan 

Asap dan diletakkannya di atas kuda 

Harimau Wulung dengan posisi 

menelungkup. Sementara ia sendiri naik 

di kuda Elang Wulung. Lalu kedua kuda itu 

berbalik arah dan digebrak cepat.

* * *

9


Bukit Lingkar. Sebuah bukit yang 

berbentuk seperti bola. Bukan merupakan

deretan perbukitan biasa yang menjulang. 

Melainkan sebuah bukit bundar, dipenuhi 

pepohonan tinggi.

Malam sudah mulai datang. Suasana 

yang sepi dan pohon-pohon besar yang 

tumbuh di sana, rnenambah keangkeran

Bukit Lingkar. Rembulan di atas sana 

redup. Tersaput awan hitam tebal.

Namun sosok berbaju hitam yang 

menambah sosoknya tak terlihat karena 

gelapnya malam, tak menghiraukan betapa 

sepi dan angkernya hutan itu. Terus 

berkelebat dengan sejuta dendam di dada. 

"Kau tak akan pernah lepas dari tanganku, 

Pendekar Jari Delapan!"

Tubuhnya terus meluncur bagai tak 

menginjak tanah. Kecepatan ilmu lari 

yang dimilikinya membuatnya bagai hantu 

belaka saat berlari. Tak lama kemudian ia 

tiba di sebuah tempat yang sedikit 

terbuka. Pandangannya menyipit melihat 

gubuk di depannya. Tak ada lentera yang 

menyala di sana. Dan kegeramannya 

semakin menjadi-jadi.

"Hhhh! Mau main kucing-kucingan 

denganku!" mendengus sosok keperakan 

yang tak lain adalah Dewi Ular Hitam. 

"Jangan kau kira aku tidak tahu kalau kau 

bersembunyi di gubukmu yang jelek itu, 

Pendekar Jari Delapan."

Tiba-tiba saja tangannya diputar, 

semakin lama semakin mengencang dan 

angin yang ditimbulkan tak ubahnya topan 

mengamuk. Kumpulan angin dahsyat itu 

menderu ke arah gubuk reyot milik 

Pendekar Jari Delapan ketika tangan

kanan yang diputar itu, diarahkan ke 

gubuk. Seketika bagai sehelai daun, 

gubuk itu terbongkar. Bahkan batu-batu

yang berada di sekitarnya beterbangan.

Tak satu sosok tubuh pun yang 

keluar, padahal Dewi Ular Hitam sudah 

bersiap untuk mengirimkan satu serangan

yang tak kalah dahsyatnya. Sejenakdia 

menunggu dengan pandangan menyipit. 

Sepasang mata kelabunya tak berkesip 

memandang ke depan. Namun sosok Pendekar 

Jari Delapan yang diharapkan muncul, tak 

nampak di depannya.

"Orang tua yang sudah bau tanah! 

Apakah kau sudah menjadi pengecut 

sekarang?!" bentaknya dan menggema di 

seluruh Bukit Lingkar. "Keluar kau 

monyet hina! Kau harus menyusul dua 

kawanmu yang sudah mampus di tanganku!"

Namun sosok Pendekar Jari Delapan 

tak nampak di depan matanya. Dewi Ular

Hitam menjadi geram luar biasa. Ia 

memutar lagi tangannya, kali ini tangan 

kanan dan kiri, hingga angin dahsyat 

kembali terjadi dan menghantam 

pohon-pohon yang langsung tumbang.

Dan amukannya karena orang yang 

dicarinya tak ada di tempat terhenti 

dengan satu sentakan kuat yang dilakukan 

olehnya. Angin dahsyat yang ditimbulkan

dari putaran tangannya menghantam lima 

buah benda yang meluncur ke arahnya.

"Setan alas! Manusia mana yang mau 

cari mampus!" bentaknya begitu melihat 

benda apa yang kini berjatuhan di tanah. 

Lima buah pisau emas.

Tiba-tiba saja di hadapannya muncul 

tiga sosok tubuh yang memandang ke 

arahnya tak berkesip. Melihat hal itu, 

Dewi Ular Hitam umbar tawanya yang keras.

"Kecoa-kecoa busuk yang sudah bosan 

hidup!" bentaknya. "Hhh! Kulihat kau 

Radanara, apakah kau sudah bersiap untuk 

menyusul kepergian guru dan adik 

seperguruanmu?!"

Yang hadir itu tak lain adalah 

Radanara, Brajaseta, dan Bidadari Pisau 

Emas. Gadis jelita itulah yang 

melemparkan lima buah pisau emasnya ke 

arah Dewi Ular Hitam.

Radanara merandek gusar. "Nenek 

peot bau tanah, hari ini akan tamat 

riwayatmu!"

Meskipun wajahnya memerah mendengar 

kata-kata Radanara yang hern ada 

merendahkan, Dewi Ular Hitam kembali 

mengumbar tawa.

"Besar juga nyalimu sekarang, 

Radanara! Apakah kau pikir bersama dua 

temanmu yang kulihat juga sudah bosan

hidup, kau merasa lebih besar? Hanya 

membuang waktu! Kini giliran Pendekar 

Jari Delapan untuk mampus setelah Dewa 

Muka Singa dan Manusia Muka Putih!"

Brajaseta berkata dingin, "Wanita 

tua keparat! Kau salah dalam satu hal! 

Guruku, Manusia Muka Putih belum mati 

seperti yang kau duga!! Dia mengirim 

salam mengiringi kematianmu!"

Dewi Ular Hitam merandek, "Omong 

kosong! Manusia itu sudah sakarat ketika 

kutinggalkan! Aku ingin ia menikmati 

kematiannya secara menyedihkan!"

"Kau salah! Karena, aku telah 

berhasil menyelamatkan guruku dari 

tangan sialanmu itu! Kau tak akan bisa 

menurunkan tangan telengasmu lagi, kare-

na kini ajal telah membentang!"

Memerah wajah Dewi Ular Hitam.

Radanara yang sangat mendendam

sekali pada Dewi Ular Hitam, langsung 

mencabut cluritnya dan menggebah kencang 

ke arah wanita tua berbaju perak yang 

tengah terdiam dan tak bergerak sama 

sekali dari tempatnya.

Wuuut!

Dess!

Clurit yang menggebah dahsyat itu 

hanya dihindari dengan cara memiringkan 

tubuh dan tangannya dengan gerakan yang

sukar diikuti oleh mata biasa, 

menghantam rusuk Radanara hingga 

laki-laki itu mengaduh dan terhuyung ke 

belakang. Dua tulang rusuknya patah saat 

itu juga.

"Persetan dengan Manusia Muka 

Putih! Setelah semuanya kubereskan, dia 

pun akan mampus!"

Brajaseta berseru, "Berarti, 

kesaktianmu masih tak ada apa-apanya!"

Dewi Ular Hitam menggeram. Sasaran 

serangannya masih Radanara yang berusaha 

sedang bangkit. Melihat nasib Radanara 

sudah di ujung tanduk, Brajaseta melesat 

dengan pedang di tangannya.

"Guruku akan tertawa melihat 

kedunguanmu, Wanita Iblis!!"

Wuuut!

Dewi Ular Hitam menghentikan 

serangannya pada Radanara. Sambaran 

pedang Brajaseta dielak-kan oleh Dewi 

Ular Hitam dengan hanya memiringkan 

tubuh, bahkan saat menghindar kakinya 

meluncur ke arah Brajaseta yang 

terperangah.

"Gila!" memekik Brajaseta sambil 

berusaha menghindar dengan jalan 

bergulingan, akan tetapi kaki Dewi Ular 

Hitam terus mencecarnya. Bila saja 

Bidadari Pisau Emas tak segera mengambil

tindakah, bisa dipastikan 

tulang-belulang Brajaseta akan remuk 

seketika.

"Gadis keparat!" maki Dewi Ular 

Hitam ketika hinggap lagi di tanah 

setelah menghindari sambaran dua buah 

pisau yang dilepaskan oleh Bidadari 

Pisau Emas. "Gerakanmu sungguh hebat 

sekali! Tetapi berani bermain api dengan 

Dewi Ular Hitam, maka bisa terbakar 

sekujur tubuh!"

"Justru aku akan membakar tubuhmu!" 

bentak Bidadari Pisau Emas dan mencelat 

ke depan. Sementara Brajaseta yang baru 

sajaselamat dari maut menghampiri 

Radanara yang sedang merintih kesakitan.

Serangan yang dilakukan oleh 

Bidadari Pisau Emas dianggap ringan oleh 

Dewi Ular Hitam. Namun dia terkejut 

ketika tangan kanannya beradu dengan 

tangan kanan Bidadari Pisau Emas dan 

surut dua langkah. Mukanya yang congkak 

nampak berubah dengan sepasang mata yang 

bergerak cepat. Walau tangannya tidak 

cedera, namun akibat bentrokan tadi ia 

bisa menduga, kalau lawannya yang masih 

muda itu memiliki tenaga dalam yang 

tinggi. Ketika Bidadari Pisau Emas 

menyerang lagi, Dewi Ular Hitam berpikir 

dua kali untuk memapakinya.

Dihindarinya dan melancarkan 

serangan balasan. Satu gelombang angin 

menderu ke arah Bidadari Pisau Emas yang 

membuatnya berteriak keras dan me-lompat 

ke atas. Dari atas dilemparnya tiga buah 

pisau emasnya yang entah diletakkan di 

mana, meluncur deras dan yang diarah 

kepala Dewi Ular Hitam. Mendengus, Dewi 

Ular Hitam langsung menghantamkan 

tangannya ke atas.

Angin laksana topan badai menderu 

menghantam tiga buah pisau emas yang 

dilemparkan oleh dara jelita itu. 

Pisau-pisau itu bukan hanya terpental 

tetapi juga patah dua, sementara angin 

pukulan yang dilepaskan oleh Dewi Ular 

Hitam terus menderu ke arah Bidadari 

Pisau Emas yang terpekik kaget. Dia cepat 

berputar, walaupun sempat menghindari 

namun tak urung kakinya terhantam pula 

dan membuatnya sedikit terhuyung.

Belum lagi Bidadari Pisau Emas bisa 

berdiri dengan tegak dalam keseimbangan 

yang normal, menyusul serangan tangan 

kosong yang mengandung tenaga dalam 

tinggi.

Wuuuuttt!!

Bidadari Pisau Emas melompat ke 

kiri, sayangnya keseimbangannya belum 

normal seutuhnya hingga gerakannya

menjadi goyah. Maka tak ampun lagi, 

diiringi teriakan kesakitan dari 

Bidadari Pisau Emas, tubuhnya terlontar 

ke belakang ketika kaki Dewi Ular Hitam 

memburu dan menghantam telak 

pinggangnya. Sebagian tubuhnya 

dirasakan remuk saat itu juga.

"Hhh! Kau hanya pandai bermain 

akrobat saat melempar pisau-pisau emasmu 

itu, gadis sialan!" Dewi Ular Hitam 

berkelebat cepat dan meluncur ke arah 

Bidadari Pisau Emas yang sedang menahan 

sakit. Kedua tangannya siap mencengkeram 

leher gadis itu.

Meskipun nyawanya sudah di ujung 

tanduk, Bidadari Pisau Emas masih 

berusaha mempertahankannya. Tangannya 

tiba-tiba mengibas. Kali ini tidak 

tanggung lagi, sepuluh buah pisau emas 

meluncur ke arah lawan yang langsung 

menghentikan serangan dan menghindar 

sambil memaki-maki.

Saat ia menghindar itu, Brajaseta 

yang memang sedang menunggu kesempatan 

menderu dengan pedang di tangannya. 

Namun itu adalah kesalahan yang fatal. 

Karena di saat tubuhnya masih melayang di 

udara, Dewi Ular Hitam masih peka 

terhadap serangan yang datang. Dia

berputar dua kali dan mengibaskan 

kakinya.

Plakl

Des!

Tanpa ampun lagi tubuh Brajaseta 

terlontar deras terhantam tendangannya 

dan pingsan seketika.

Di saat itu, Bidadari Pisau Emas 

sedang menelan obat penahan rasa sakit. 

Tubuhnya kini dirasakan mulai segar 

kembali meskipun kaki kirinya masih agak 

sukar untuk digerakkan. Ia berdiri 

meskipun tidak tegak ketika Dewi Ular 

Hitam berbalik padanya dan menggeram 

dahsyat.

"Kini, tiba saatnya kau untuk 

mampus!!"

"Kematian ada di tangan Tuhan! 

Dicari sampai pelosok negeri tak ketemu, 

justru datang ke rumahku untuk bertamu. 

Rasanya aku jadi malu, karena tamu tak 

diberi suguh!"

***

Serentak wanita kejam yang siap 

mencabut nyawa Dewi Ular Hitam menoleh, 

dan seketika dia mendesis geram dengan

mata menyipit tajam begitu melihat siapa 

yang muncul.

"Akhirnya kau muncul sekarang! Dan 

ajal pun sudah menjelang!"

Yang hadir di sana adalah Pendekar 

Jari Delapan yang sedang memandang Dewi 

Ular Hitam sambil menggeleng-geleng 

kepala.

"Kekejamanmu tiga puluh tahun yang 

lalu dapat dihentikan, dan kini 

kekejaman itu rupanya berlanjut! Aku 

yakin, kesaktianmu sudah semakin tinggi! 

Tanganku jadi gatal untuk 

membuktikannya!"

"Setan tua keparat! Kau harus 

mampus!!" sambil mengeluarkan suara 

menggembor keras, Dewi Ular Hitam 

melesat cepat ke arah Pendekar Jari 

Delapan yang masih menggeleng-gelengkan 

kepala.

Dalam jarak tiga tombak sebelum 

tubuh lawan mendekatinya, Pendekar Jari 

Delapan sudah bergulingan ke samping. 

Dua buah pohon besar yang berada di 

belakangnya hancur lebur terhantam pu-

kulan tak terlihat yang dilontarkan oleh 

Dewi Ular Hitam yang telah melepaskan 

ajian pamungkasnya, ajian 'Titik Hitam' 

yang berhasil diciptakannya.

"Hik hik hik... kulihat wajahmu 

menjadi pias, Orang Tua Keparat! Apakah 

kini kau jeri menghadapiku!"

"Kuakui apa yang barusan kau lakukan 

begitu hebat sekali! Sudikah kau 

mengatakan ajian apa yang kau lontarkan 

itu?" seru Pendekar Jari Delapan dengan 

ketenangan yang luar biasa.

"Itulah ajian 'Titik Hitam' yang

berhasil kuciptakan! Lebih baik kau 

berlutut di hadapanku sebelum tubuhmu 

hancur lebur berantakan dan meninggalkan 

titik-titik hitam yang mengerikan!" 

terkikik Dewi Ular Hitam dengan mata yang 

masih menyorot tajam. "Hhh! Keluarkan 

ajian 'Jari Delapan'-mu yang sangat kau 

banggakan, Lelaki Keparat!"

Pendekar Jari Delapan cuma 

tersenyum saja. "Aku ingin lihat 

kelanjutannya!!"

Mendengar kata-kata yang bernada 

meremehkan, Dewi Ular Hitam semakin 

panas. Serangannya bertambah gencar. 

Luar biasa gencarnya sehingga banyak 

pohon di sana yang bertumbangan. 

Bidadari Pisau Emas sudah menyambar 

tubuh Brajaseta yang pingsan untuk 

menjauh dari sana. Begitu pula yang 

dilakukan oleh Radanara.

Kesulitan dialami oleh Pendekar 

Jari Delapan, karena serangan yang 

dilakukan oleh Dewi Ular Hitam tak nampak 

sama sekali. Bahkan setiap kali dia 

melepaskan ajian 'Titik Hitam'-nya tak 

ada angin yang menderu, bahkan berhembus 

lembut sekalipun. Hingga membuatnya 

harus menebak-nebak untuk menghindar.

"Apakah kau cuma bisa menjadi monyet 

liar belaka, hah?!"

"Aku ingin membuatmu senang lebih 

dulu!" sahut Pendekar Jari Delapan, 

padahal hatinya kebat-kebit. Aliran 

darahnya jadi kacau mendadak. Namun 

sebagai tokoh yang sudah banyak mengenal 

pahit manisnya kehidupan ini, dia masih 

bisa berusaha untuk menghindar.

Dan yang membuat Bidadari Pisau Emas 

terpekik, ketika dilihatnya Pendekar 

Jari Delapan justru menyongsong serangan 

Dewi Ular Hitam. Bidadari Pisau Emas 

hendak melemparkan pisau-pisau emasnya, 

namun urung karena jarak keduanya begitu 

dekat.

Dan benturan terjadi dengan 

kuatnya, membuat tempat itu bagai 

bergoncang. Sinar merah yang menaungi 

tubuh Pendekar Jari Delapan beradu keras 

dengan sinar hitam yang dilepaskan oleh

Dewi Ular Hitam. Membuyar dan menerangi 

tempat itu.

Tubuh Pendekar Jari Delapan 

terlempar ke belakang dengan derasnya 

dan terhenti ketika mena-brak sebuah 

pohon besar. Sementara Dewi Ular Hitam 

hanya surut lima tombak dengan mulut 

mengalirkan darah.

"Kau lihat sendiri sekarang, Monyet 

Tua! Bukankah jurus kebanggaanmu 'Jari 

Delapan' tak berguna menghadapi ajian 

'Titik Hitam'-ku?!!"

Pendekar Jari Delapan tersenyum 

tipis. Dirasakan dadanya remuk ketika 

benturan itu terjadi. Dia memang sudah 

melepaskan ajian 'Jari Delapan'-nya yang 

kesohor tiga puluh tahun lalu. Sebuah 

ajian kebanggaannya yang mampu menyerap 

tenaga lawan dan membalikkannya.

Namun yang terjadi barusan 

membuatnya sadar kalau jurus itu tak

banyak gunanya menghadapi Dewi Ular 

Hitam. Bahkan kni dirasakan napasnya 

sesak sekali. Dia yakin, bila Dewi Ular 

Hitam akan menghabisinya sekarang juga, 

dia tak akan mampu menahan lagi. Kalaupun 

dia menggebrak atau menyongsong, sudah 

bisa dipastikan tubuhnya akan hancur 

berantakan. Bila dia berusaha 

menghindar, tak mungkin lagi dia bisa

melakukannya seperti biasa. Karena, 

kecepatannya sekarang ini bagai 

terhalang oleh dadanya yang terasa 

remuk.

Melihat hal itu, Dewi Ular Hitam 

terkikik kencang hingga daun-daun 

berguguran.

"Sangat menyenangkan sekali! Tiga 

puluh tahun aku menunggu masa-masa yang 

menggembirakan seperti ini, melihat satu 

persatu monyet-monyet tua mampus di 

tanganku! Monyet tua keparat, terimalah 

kematianmu sekarang ini!!" bersamaan 

dengan itu, tubuh Dewi Ular Hitam 

menderu.

Bersamaan dengan tubuhnya yang 

menggebah, berkelebat satu bayangan 

hijau menyambar tubuh Pendekar Jari 

Delapan yang sedang berusaha untuk 

bangkit. Gerakan yang dilakukan oleh 

bayangan hijau itu laksana kilat 

cepatnya, karena bila ia terlambat 

sedetik saja menyambar tubuh Pendekar 

Jari Delapan, bukan hanya tubuh lelaki 

tua gagah itu saja yang aksn hancur 

lebur. Tubuhnya pun akan punah saat itu 

juga!

"Anjing keparat sialan!!" membentak 

Dewi Ular Hitam sambil merabuang 

tubuhnya ke samping. Dia berdiri dengan

kedua kaki terbuka dan pandangan 

nyalang, tak berkesip pada satu sosok 

tubuh berpakaian hijau pupus yang sedang 

meletakkan tubuh Pendekar Jari Delapan 

di tanah.

"Sialan betul, aku tidak diajak 

untuk menkmati hari yang menggembirakan 

ini!" bentak sosok itu sambil berdiri

tegak. Matanya yang tajam menyorot 

mengerikan, namun karena sikapnya yang 

menggaruk-garuk kepalanya padahal tidak 

gatal, kegarangannya itu jadi sedikit 

luntur. Dia adalah pemuda urakan dari 

Lembah Kutukan yang dalam suasana apa pun 

tak lepas dari sikapnya yang urakan!

* * *

10


Melihat siapa yang muncul, 

kemarahan Dewi Ular Hitam makin 

membuncah. Tanpa membuang tempo lagi, 

wanita berwajah tirus dan baju hitam 

pekat itu menderu ke arah Pendekar Slebor 

dengan kecepatan tak ubahnya hantu 

belaka. Ajian 'Titik Hitam'-nya yang

dahsyat sudah terangkum di kedua ta-

ngannya, berada pada titik terakhir 

karena kedua tangannya itu berubah 

menjadi hitam legam.

"Eit, eit! Bukankah waktu itu kau

bilang, kalau kau memberiku kesempatan 

untuk melihat Pendekar Jari Delapan! 

Tetapi kayaknya, justru Pendekar Jari 

Delapan yang kuberikan kesempatan untuk 

melihatmu berkalang tanah!" seloroh 

Andika sambil melentingkan tubuhnya.

Andika yang sudah pernah melihat 

kehebatan ajian 'Titik Hitam' yang 

dilepaskan oleh lawan, tak berani untuk 

memapaki. Hanya mengandalkan 

kecepatannya untuk menghindari setiap 

serangan maut yang datang. Namun sama 

seperti halnya yang dialami oleh 

Pendekar Jari Delapan, Andika pun 

mengalami kesulitan untuk menebak apakah 

saat itu lawan melepaskan ajian 'Titik 

Hitam'-nya atau belum.

Dalam menghadapi gempuran Dewi Ular 

Hitam, Andika semata-mata mengandalkan 

naluri kependekarannya. Tempat di sana 

bukan alang kepalang lagi, hancur 

berantakan. Pohon-pohon bertumbangan 

dan hangus meninggalkan noda titik-titik 

hitam. Sementara Dewi Ular Hitam semakin 

bernafsu untuk menghabisi Andika.

Pada saat itu, meskipun telah 

terluka, Bidadari Pisau Emas melesat 

masuk kekalangan dengan melepaskan 

sepuluh buah sekaligus pisau emasnya. 

Dia gembira melihat kedatangan Pendekar 

Slebor. Namun kesepuluh pisau itu hangus 

luruh, ketika tangan Dewi Ular Hitam 

mengibas.

"Miriggir!" bentak Andika ketika 

melihat Bidadari Pisau Emas semakin 

menambah kecepatannya untuk mengurung 

gerak Dewi Ular Hitam.

"Peduli setan dengan ucapanmu! 

Wanita ini haras mampus!" sera Bidadari 

Pisau Emas yang akhirnya menjadi kalang 

kabut sendiri menerima 

serang-an-serangan dahsyat dari Dewi 

Ular Hitam. Menyusul ular hitam yang 

terlilit di lehernya menerjang 

mengerikan ke arah Bidadari Pisau Emas.

Andika yang masih berusaha menebak 

ke arah mana serangan yang dilakukan oleh 

Dewi Ular Hitam, tak berani mengambil 

risiko akan nyawa Bidadari Pisau Emas. 

Tiba-tiba saja dia melompat dan 

mendorong tubuh Bidadari Pisau Emas yang 

sedang berjumpalitan. Lalu dengan 

gerakan cepat, tangan kanannya sudah 

memegang kain pusaka bercorak catur.

Dikibaskarinya pada ular hitam yang siap 

menghabisi nyawa Bidadari Pisau Emas. 

Beeettt!

"Kembali”

Maps!"

Ular hitam itu melompat menghindari 

kibasan kain pusaka Andika dan rnelilit 

lagi di leher Dewi Ular Hitam.

"Kutu monyet!" maki Andika geram, 

sementara Bidadari Pisau Emas sedang 

melempar lima buah pisau emasnya 

sekaligus dan begitu pisaunya terlontar, 

ia duduk bersila dengan kedua tangan 

mengatup di dada.

Dewi Ular Hitam langsung 

mengibaskan tangannya ke arah lima buah 

pisau itu. Namun anehnya, kalau tadi 

dengan mudah dia bisa meruntuhkan 

serangan Bidadari Pisau Emas, kali ini 

kelima buah pisau emas yang dilepaskan 

oleh gadis jelita itu bagai memiliki mata 

dan mempunyai naluri menghindar. Kelima 

pisau itu melayang menghindari papasan 

Dewi Ular Hitam dan menggebubu kembali ke 

arahnya.

Andika yang sadar kalau Bidadari 

Pisau Emas sedang mengendalikan 

pisau-pisaunya, berusaha untuk tidak 

menjauh darinya. Karena, selagi Bidadari 

Pisau Emas mengendalikan pisau-pisaunya

dengan tenaga dalamnya, kemungkinan 

bahaya yang siap dilepaskan Dewi Ular 

Hitam menyergapnya.

Tetapi sekianmenit ditunggu, justru 

yang dilihatnya Dewi Ular Hitam menjadi 

kalang kabut dengan serangan-serangan 

aneh pisau-pisau itu yang menderu ke 

arahnya dari arah berlainan dengan 

kecepatan Iuar biasa.

Dewi Ular Hitam memang mempunyai 

niat untuk menghancurkan Bidadari Pisau 

Emas yang sedang duduk mengerahkan 

tenaga dalamnya untuk mengendalikan 

pisau-pisaunya, namun setiap kali ia 

mencoba mendekati Bidadari Pisau Emas, 

pisau-pisau itu menderu menghalangi 

setiap gerakannya. Ia geram ketika 

memikirkan tentang Setan Asap Batu 

Karang yang sampai saat ini belum juga 

muncul.

Menyadari kalau gerakan Dewi Ular 

Hitam selalu terhalang oleh lima pisau 

emas dari gadis jelita itu, Pendekar 

Slebor merasa tak perlu untuk menjaga 

Bidadari Pisau Emas. "Mungkin ini lah 

yang dimaksudkannya kalau aku dan 

dirinya mampu mengalahkan wanita 

keparat. ini," pikir Andika dan langsung 

menyerbu Dewi Ular Hitam yang sedang

memaki-maki sambil berusaha mengatasi 

pisau-pisau itu.

"Kurang ajar! Ke mana perginya Setan 

Asap Batu Karang!" makinya kalap.

"Kalau kau ingin tahu tentang 

kambratmu itu, mungkin saat ini ia tengah 

diadili oleh para tokoh rimba 

persilatan!" seru Pendekar Slebor. "Dan 

sebentar lagi, engkaulah yang akan 

diadili oleh mereka!"

Ajian 'Guntur Selaksa' sudah 

dipergunakan oleh Andika. Dengan 

kecepatan luar biasa, ia meluruk masuk 

bagai gerakan meluncur. Tetapi, 

gerakannya terhalang karena ular hitam 

di leher wanita tua itu meluncur.

"Kadal buntung!" maki Andika sambil 

melenting satu kali. Masih di udara cepat 

disambar kain pusa-kanya. Dan 

dikibaskan.

Beeet!

Peak!

Ular yang sedang meluncur itu, pecah 

kepalanya terhantam kibasan kain 

bercorak catur.

Meloiong setinggi langit Dewi Ular 

Hitam melihat binatang peliharaarmya 

jatuh ke tanah dengan kepala tak 

berbentuk.

"Kau harus membayar dengan nyawamu, 

Pendekar keparat!!"

Penuh kemarahan, Dewi Ular Hitam 

menerjang. Kali ini lebih gila lagi. Tak 

dihiraukan serangan lima pisau emas. 

Justru disongsongnya.

Prak! Prak! Prak! Prak! Prak!

Lima pisau emas itu langsung jatuh 

terpecah dua begitu terhantam-tendangan 

dan pukulannya. Me-nyusul gempuran 

dahsyat ke arah Andika.

Dalam keadaan kalap seperti itu, 

sangat menguntungkan Andika. 

Mengandalkan kecepatan dan nalurinya dia 

menghindari hantaman serangan Dewi Ular 

Hitam. Dan mendadak dilemparnya kain 

pusakanya

Pluk!

Tepat menutupi wajah Dewi Ular Hitam 

yang merasa bagai dihantam angin keras. 

Menyusul, satu hantaman telak mampir di 

dadanya. Ajian 'Guntur Selaksa' yang 

dilepaskan Andika, menimbulkan salakan 

keras.

Tubuh wanita itu terhuyung ke 

belakang. Justru Andika yang terkejut 

melihatnya.

"Gila! Kedot sekali daging-daging 

keriput di tubuh wanita tua jelek itu!

Ajian 'Guntur Selaksa' hanya membuatnya 

terhuyung sejenak!"

Sementara Dewi Ular Hitam sedang 

menggeram setinggi langit. Apalagi 

ketika tubuhnya terhuyung kesigapannya 

menjadi sedikit hilang. Sebuah pisau 

emas yang telah dilepaskan lagi dan 

dikendalikan dari jarak jauh oleh 

Bidadari Pisau Emas, menancap ke 

punggungnya. Dan menebarkan hawa panas 

yang menyakitkan.

Wanita itu menggeram keras. 

"Keparat! Kalian harus mampus 

semuanya!!"

Tiba-tiba saja tubuhnya menderu ke 

arah Pendekar Slebor yang masih terpaku 

tak percaya melihat ajian 'Guntur 

Selaksa' tak berarti apa-apa bagi Dewi 

Ular Hitam.

"Kau bisa mati bila kau tak segera 

bergerak, Pendekar Slebor!!" terdengar 

seruan Pendekar Jari Delapan sambil 

melemparkan tongkatnya.

Wusss!

Bagai luncuran anak panah yang 

dilepaskan dengan kekuatan penuh, 

tongkat itu memotong gerak Dewi Ular 

Hitam yang dengan Iincahnya masih bisa 

melepaskan satu tendangan. Tongkat putih

yang terbuat dari kayu jati sangat keras 

itu, patah menjadi tiga bagian.

Bersamaan dengan itu, sebuah pisau 

emas yang dikendalikan oleh Bidadari 

Pisau Emas menyerempet kakinya.

Cras!

Darah mengalir dari kakinya dan 

serangannya pada Andika jadi terhenti. 

Justru pada saat itu Andika sedang 

meluncur kembali dengan memadukan ajian 

'Guntur Selaksa' dengan tenaga 'inti 

petir' tingkat pamungkas!

Dewi Ular Hitam terpekik 

melihatnya. Ia hanya bisa mencoba 

menghalau dengan gerakan tangannya. 

Namun gerakannya sendiri menjadi kacau, 

karena pisau-pisau yang dikendalikan 

oleh Bidadari Pisau Emas semakin 

bertambah gencar mengarah padanya. 

Akibatnya, ia jadi terbengong melihat 

serangan Andika yang datang.

Des!

Tanpa ampun lagi, hantaman kekuatan 

tinggi yang dilakukan oleh Pendekar 

Slebor menghajar telak tubuhnya. Kali 

ini dia terlempar lima tombak ke 

belakang. Dan bersamaan dengan itu, 

pisau-pisau yang dikendalikan oleh 

Bidadari Pisau Emas mengarah padanya.

Namun yang terjadi kemudian sungguh 

di luar dugaan siapa pun yang berada di 

sana. Karena, meskipun tubuhnya sudah 

ambruk ke tanah, dengan gerakan yang luar 

biasa cepatnya, kaki kanan dan kiri Dewi 

Ular Hitam bergerak.

Plak! Plak!

Dua pisau emas yang meluncur ke 

arahnya terpental dan menancap dalam 

hingga tak terlihat lagi di sebuah batang 

pohon. Sementara dua pisau emas lagi yang 

menderu ke arahnya, seketika luruh 

ketika kedua tangannya mengibas.

Andika sampai mendesis melihatnya, 

"Edan! Wanita ini memiliki kesaktian 

yang luar biasa! Ajian 'Guntur Selaksa' 

yang kupadukan dengan tenaga 'inti 

petir' tingkat pamungkas pun tak 

bergeming menghadapinya. Benar-benar 

edan manusia jelek ini! Padahal 

punggungnya sudah tertanam sebuah pisau 

emas milik Bidadari Pisau Emas, namun 

masih kedot juga!"

Dan keheranan Pendekar Slebor 

semakin ber

lanjut, ketika tiba-tiba saja Dewi 

Ular Hitam meluruk ke arahnya dengan 

kedua tangan yang telah berubah menjadi 

hitam legam menandakan betapa tingginya

ajian 'Titik Hitam' yang dikerahkannya, 

berbentuk cengkeraman!

***

Bila saja Andika tidak segera 

bergulingan, bisa dipastikan lehernya 

akan remuk terkena hantaman dahsyat itu. 

Dan nasibnya berada di ujung tanduk, ka-

rena ketika dia bergulingan, tubuh lawan 

sudah menderu dengan menimbulkan angin 

yang besar.

Dalam keadaan kritis, lagi-lagi 

Andika melemparkan kain pusaka warisan 

Ki Saptacakra.

Plup!

Kain yang dilempar dengan tenaga 

dalam penuh, membuat kain itu meluncur 

bagai anak panah. Menyambar kepala Dewi 

Ular Hitam dan menutupi wajahnya. Hingga 

ia menjadi gelagapan dan serangannya pun 

kacau.

Secepat itu pula Andika melompat dan 

menyambar kain pusakanya, lalu 

menariknya hingga kepala Dewi Ular Hitam 

yang masih tertutup kain pusaka itu 

tertarik ke belakang. Pada saat itu, 

Bidadari Pisau Emas tengah melemparkan 

tiga buah pisau emasnya.

Singg! Singg! Siingg!

Dewi Ular Hitam masih sempat 

menangkap deru cepat ke arahnya. 

Sebisanya digerakkan seluruh anggota 

tubuhnya. Namun karena saat itu 

keseimbangannya sudah benar-benar 

hilang akibat tarikan Andika, membuatnya 

tak mampu untuk menghindari tiga buah 

pisau emas yang meluncur ke arahnya.

Maka tanpa ampun lagi, pisau-pisau 

itu menancap pada kaki kanan dan kirinya, 

dan sebuah lagi menancap di pinggangnya. 

Hawa panas seketika menjalari tubuhnya, 

kali ini membuatnya berteriak setinggi 

langit. Dia mengamuk tak karuan. Ajian 

'Titik Hi-tam'-nya dilepaskan dengan 

amarah yang tinggi.

Serentak yang berada di sana, 

berlompatan menyelamatkan diri 

menghindari amukan Dewi Ular Hitam. 

Pohon-pohon yang berada di sana menjadi 

sasaran yang hangus seketika. Ilalang 

berantakan. Debu dan kerikil 

beterbangan.

Andika bergulingan mengambil tiga 

buah batu kerikil. Dilemparnya dengan 

mempergunakan tenaga 'inti petir'.

Dua buah kerikil lolos dari sasaran 

yang diinginkannya, dan sebuah lagi 

tepat mengenai pangkal lengan kanan 

wanita kejam yang sedang mengamuk itu.

Tuk!

Tubuh wanita berbaju perak yang 

diamuk amarah itu terhuyung dan matanya 

terasa gelap sejenak. Lalu menggelosoh 

ambruk tanpa bisa menggerakkan anggota 

tubuhnya.

Andika mendesah lega. Padahal 

totokan jarak jauh yang dilakukannya, 

hanya untung-untungan saja. 

Terburu-buru Andika menghampiri Dewi 

Ular Hitam yang terkapar dalam keadaan 

luka parah. Tubuhnya nampak memerah 

akibat hawa panas dari pisau emas yang 

tertancap di anggota tubuhnya. Meskipun 

keadaannya sangat parah, namun sinar 

matanya memancarkan amarah yang luar 

biasa.

"Pemuda hina dina! Aku tak akan 

pernah melupakan kejadian ini!" 

bentaknya pada Pendekar Slebor yang cuma 

tersenyum-senyum saja.

"Jelas dong kau tidak bisa 

melupakannya? Karena apa, aku yakin kau 

pasti setuju dengan yang lainnya yang 

mengatakan aku ini sangat tampan."

"Keparat!"

"Busyet, dalam keadaan sakarat kau 

masih bisa membentak juga! Hatimu itu 

terbuat dari apa sih kok maunya 

marah-marah terus?"

Pendekar Jari Delapan yang juga 

terluka dalam, melangkah menghampiri 

Dewi Ular Hitam yang membentak, "Keparat 

tua! Kau masih beruntung karena nyawamu 

masih melekat dalam dada, tetapi 

percayalah... aku pasti akan muncul 

kembali!!"

"Apa yang hendak kau lakukan, 

lakukanlah. Sulit untuk mengubah watakmu 

yang busuk itu," sahut Pendekar Jari 

Delapan.

"Apa pedulimu, hah? Dan kau Bidadari 

Pisau Emas!" bentaknya yang melihat 

Bidadari Pisau Emas melangkah setelah 

menelan obatnya tiga butir sekaligus. 

"Melihat senjata yang kau miliki dan 

kemampuanmu melemparkannya, aku yakin, 

kau adalah murid dari Ratu Emas Pulau 

Bunga!"

"Tak perlu kau pikirkan, yang perlu 

kau pikirkan, apakah kau masih bisa hidup 

atau tidak!" sahut Bidadari Pisau Emas 

sementara Andika sedikit tercekat 

mendengarnya. Julukan Ratu Emas Pulau 

Bunga itu pernah pula didengarnya. Tak 

heran kalau kemampuan Bidadari Pisau 

Emas dalam hal mempergunakan 

senjata-senjatanya sangat tinggi.

"Setan semuanya! Setan!!" maki Dewi 

Ular Hitam keras, menyesali

kekalahannya. Pandangan tajamnya 

berulang kali diarahkan pada Pendekar 

Slebor, dan Pendekar Jari Delapan.

"Apa yang harus kita lakukan, Kek?" 

tanya Pendekar Slebor pada Pendekar Jari 

Delapan.

"Aku tak pernah menghabisi orang 

yang sudah . Kalaupun wanita ini kita 

bawa untuk diadili oleh para tokoh rimba 

persilatan, nampaknya juga percuma. Dia 

sudah tak berdaya. Lagi pula, dia 

terbakar dendam tinggi. Kuharap, apa 

yang dialaminya hari ini, membuatnya 

jera dan melupakan seluruh dendamnya."

"Aku setuju dengan pendapatmu. Kau 

bagaimana, Bidadari Pisau Emas?"

"Meskipun darah yang tertumpah dan 

nyawa yang putus begitu banyaknya akibat 

ulah wanita busuk ini, namun aku pun tak 

pernah melakukannya."

"Kau bagaimana, Brajaseta? Dan kau 

Radanara?" tanya Pendekar Slebor ketika 

melihat keduanya sudah berada di 

dekatnya. Radanara kelihatan masih 

pusing, sementara Brajaseta menahan 

nyeri di dadanya.

"Apa pun keputusan yang diambil, aku 

setuju meskipun manusia laknat itu telah 

membuat onar," kata Brajaseta.

"Begitu pula denganku," sambung 

Radanara, "Meskipun guruku tewas di 

tangannya."

"Kalau begitu, kita tinggalkan ia di 

sini. Biar setan-setan tempat ini yang 

akan membinasakannya!"

Brajaseta dan Radanara segera

pamit. Keduanya akan kembali ke 

Pelabuhan Ratu dan Madura. Sementara 

Pendekar Jari Delapan berkata, "Teiima 

kasih atas bantuanmu, Pendekar Slebor."

"Tanpa kau turun tangan, aku pun tak 

banyak memiliki arti, Kek."

Pendekar Jari Delapan tersenyum. Ia 

berkata pada Bidadari Pisau Emas, 

"Sampaikan salamku pada Ratu Emas Pulau 

Bunga."

Bidadari Pisau Emas menganggukkan 

kepalanya.

"Akan kusampaikan, Kek."

Pendekar Jari Delapan tak berkata 

apa-apa lagi. Tahu-tahu tubuhnya sudah 

lenyap dari pandangan. Hanya suaranya 

yang terdengar, "Aku tak pernah lagi 

turut campur dalam kehidupan dunia 

kasar! Bukit Lingkar akan kutinggalkan!"

Pendekar Slebor mendesah pendek.

Bidadari Pisau Emas berkata, 

"Terima kasih atas bantuanmu yang mau

bahu membahu denganku untuk mengalahkan

Dewi ular Hitam."

"Tanpa bantuanmu pun, sangat sulit 

untuk mengalahkan Dewi Ular Hitam. O ya, 

boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Katakan."

"Di mana kau menyimpan pisau-pisau 

emasmu itu?"

Bidadari Pisau Emas tersenyum "Kau 

tebaklah sendiri."

"Justru aku semakin penasaran."

"Suatu saat, aku akan 

mengatakannya, atau kaulah yang bisa 

menebaknya."

Andika menggaruk-garuk kepalanya. 

"Suatu saat. Apakah kita... hei!" Andika 

celingukan karena tahu-tahu sosok 

Bidadari Pisau Emas sudah tak ada di 

hadapannya. "Sialan! Kau mau kemana, 

Gadis can-tik?!" teriaknya asal saja.

"Ada urusan yang harus aku 

selesaikan! Tugas yang diberikan guruku 

ada dua buah! Yang sebuah sudah 

kutunaikan untuk menghentikan sepak 

terjang Dewi Ular Hitam!" terdengar 

sahutan Bidadari Pisau Emas yang entah 

dari mana asalnya.

"Katakan padaku!"

"Wah! Apakah aku harus mengatakan, 

pada orang yang memakai celana saja tidak 

benar?!"

Segera Andika melihat ke celananya. 

Ia terpekik sendiri. Celananya sudah 

turun hingga ke mata kakinya. Ia mendumal 

sambil menaikkannya. "Sialan, rupanya 

gadis itu ingin main-main denganku! 

Tetapi kuakui,. gerakannya sangat cepat 

sekali! Hoooii! Tunggu aku!!"

"Kejarlah kalau kau mampu, Pendekar 

Slebor!!"

Andika pun berkelebat.

Sementara Dewi Ular Hitam masih 

terbaring dalam keadaan tertotok dan 

tubuh luka parah. Dendam di hatinya makin 

bertambah. Kali ini terhadap Pendekar 

Slebor.

Dia bertekad untuk mencarinya! 

Dikerahkan sisa-sisa tenaga yang 

dimilikinya. Dan tubuhnya mengejut 

sebentar serta menghela napas lega 

ketika dia berhasil melepaskan diri dari 

totokan Pendekar Slebor. Dicabutnya 

dengan rasa sakit yang tak tertahankan 

pisau-pisau emas yang menancap di tubuh-

nya.

Lalu dengan langkah terseret, 

ditinggalkannya tempat itu.


                         SELESAI



Segera hadir!!!

Serial Pendekar Slebor dalam 

episode:

RAHASIA PERMATA SAKTI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive