"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 28 Juli 2025

SLEBOR EPISODE BAYANGAN KEMATIAN

Bayangan Kematian


 

1


Jalan setapak berliku itu sepi sekali.. Angin menghampar 

dan. berlari dari satu pohon ke pohon lain. Tak ada suara 

burung berkicau. Suasana hening dan angker. Di belakang 

jalan setapak itu, berdiri perbukitan menghijau. Meskipun 

demikian, bukit itu bagai mati belaka. Penuh misteri. 

Tetapi, satu sosok tubuh ramping dengan wajah cantik 

jelita, berjalan tenang. Dari cara berjalannya yang 

melonjak-lonjak, menandakan ia seorang gadis yang riang. 

Rambutnya beriap dan sesekali melompat. Wajah bulat 

telur gadis itu sungguh menggemaskan dengan pakaian 

warna merah muda. Di pinggangnya terdapat sebuah 

selendang berwarna kuning. Sungguh kontras sebenarnya, 

dan membuat kecantikan wajah serta kerampingan 

tubuhnya semakin nampak. 

Sesekali ia berhenti melangkah. Bukan semata untuk 

menikmati suasana yang benar-benar tak menyenangkan. 

Tetapi sepertinya ia sedang mengira-ngira jalan mana yang 

sedang ditujunya. 

Siapa gadis berpakaian ala orang-orang rimba persilatan? 

Ayu, namanya. Seorang gadis yang memiliki kesaktian 

tinggi. Datang dari lereng Gunung Karimun, Ia memang 

belum dikenal oleh orang-orang rimba persilatan. Karena, 

baru kali ini ia turun gunung. 

Sebenarnya, Ayu berasal dari sebuah desa yang jauh dari 

Gunung Karimun. Desa Sawo Luwih yang cukup ramai. 

Selama lima tahun - semenjak ia berusia dua belas tahun ia 

diambil oleh seorang nenek yang berjuluk Beruang Gunung 

Karimun, yang sekali waktu bertandang ke Desa Sawo 

Luwih.

Saat itu, Ayu sedang bermain lompat tali bersama teman-

temannya. Beruang Gunung Karimun, yang nama aslinya 

ia sendiri sudah lupa, tertarik melihat betapa cekatannya 

gadis kecil itu. Matanya yang agak masuk ke dalam tak 

luput sekali pun memperhatikan gadis itu. 

“Ia memiliki susunan tulang yang bagus. Rasanya, inilah 

waktu yang tepat bagiku untuk memiliki seorang murid. 

Selama tiga tahun aku keluar dari Gunung Karimun untuk 

mencari murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu yang 

kumiliki. Gadis kecil itu cocok untukku," desis nenek 

bersanggul kecil yang diberi tiga buah tusuk konde warna 

perak. 

Saat itu senja semakin turun, Ayu memutuskan untuk 

selesai bermain. Ia berlari pulang. Beruang Gunung 

Karimun tak berkesip menatap kepergiannya yang seperti 

seekor kijang muda yang lincah. Rasa ingin tahunya dan 

ingin memiliki bocah kecil itu sebagai muridnya semakin 

membesar. Ia pun melangkah untuk mengikuti ke mana 

Ayu pergi. 

Dilihatnya Ayu memasuki rumah yang sederhana, 

terletak agak menepi dari keramaian desa. Lampu sentir di 

depan rumah itu sudah dinyalakan. Dari kejauhan, Beruang 

Gunting Karimun bisa menebak kenyamanan yang ada di 

rumah itu. 

Didengarnya suara lembut dan dalam rumah itu, 

"Mengapa begitu senja kau baru pulang, Ayu!" 

"Maafkan aku, Ibu. Aku asyik bermain dengan teman-

teman sampai lupa waktu. Lain kali, aku tidak akan 

melakukannya lagi, bu," jawab Ayu sambil menundukkan 

kepala.

Ibunya tersenyum. Tak mau membuat anaknya menjadi 

merasa bersalah. "Sudahlah. Pergi mandilah. Setelah itu, 

kita makan bersama, Ayu." 

"Bapak sudah pulang, Ibu?" 

"Sebentar lagi. Biasanya, sebelum, magrib bapakmu 

sudah berada di rumah, bukan?" 

Beruang Gunung Karimun yang mendengarkan semua 

itu dari sebuah dahan pohon yang rimbun, di kejauhan 

tampak terlihat seorang laki-laki berwajah sekitar dua puluh 

tujuh tahun pulang dengan membawa cangkul di bahunya. 

Ia bisa melihat dari mana sunan tulang yang dimiliki gadis 

kecil itu berasal. 

Laki-laki yang diyakininya ayahnya gadis bernama Ayu 

itu, memiliki pula susunan tulang yang baik. Tetapi dalam 

sekali lihat saja Beruang Gunung Karimun yang memiliki 

kesaktian tinggi bisa menebak kalau laki-laki itu tak 

memiliki ilmu kanuragan. 

"Aku yakin, meminta pada kedua orangtua gadis kecil 

itu, tak akan pernah dikabulkan. Masa bodoh! Aku harus 

mendapatkan gadis itu sebagai muridku. Pilihanku telah 

jatuh padanya." 

Memikir demikian, Beruang Gunung Karimun 

menunggu sampai tengah malam tiba di sebuah pohon 

besar yang tak jauh dari tempat tinggal Ayu. Lewat tengah 

malam, nenek bertusuk konde perak itu pun melompat 

ringan ke tanah. Dan melesat bagai bayangan ke pintu 

rumah Ayu. 

Mempergunakan kesaktiannya, dengan mudah ia bisa 

berada di dalam. Sejenak diperhatikannya gadis kecil yang 

telah membuatnya jatuh hati tadi sedang tertidur di balai

balai Keinginannya untuk mendapatkan gadis itu semakin 

membesar. 

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Beruang Gunung 

Karimun sangat tinggi, hingga saat ia membopong Ayu 

keluar, tak sedikit pun Suara terdengar. 

"Akan kukabarkan pada kedua orangtua gadis kecil ini, 

kalau anaknya kuambil untuk sementara waktu. Dan akan 

kupulangkan setelah lima tahun mendatang." 

Ia pun melesat cepat kembali ke tempat asalnya yang 

berjarak sangat jauh dari Desa Sawo Luwih. Desa yang 

cukup nyaman. itu pun menjadi gempar keesokan paginya. 

Bermula Rokayah yang ketika terbangun dari tidur tak 

melihat putrinya. Dalam pikirnya, Ayu sudah bangun lebih 

dulu. Tetapi ketika melihat keluar, gelap masih menyelimuti 

alam, wanita itu tak yakin Ayu sudah bermain-main di luar. 

Apakah ia ke kamar mandi? pikirnya, Bergegas Rokayah 

menuju ke sana. Tak ada tanda-tanda Ayu di sana. 

Kepanikan mulai melanda diri wanita itu. 

Dibangunkan suaminya yang tak kalah terkejut 

mendengar penuturannya. Sigap Rahmat bergerak, mencari 

putrinya. Sampai matahari sepenggalah ia tak menemukan 

di mana putrinya. 

Sementara Rokayah sudah menangis berkepanjangan. 

Para tetangga berdatangan dan membantu Rahmat mencari 

Ayu. 

Setelah tiga hari lamanya, tak ada kabar yang 

memuaskan. Ayu dinyatakan lenyap begitu saja. Ada yang 

mengatakan, Ayu dibawa penunggu Serean Salehraga. Ada 

yang mengatakan, Ayu diculik. Dan bermacam dugaan 

yang datang.

Sampai dua hari kemudian, ketika Rahmat hendak ke 

kamar mandi pagi hari, ia merasa ada sesuatu yang jatuh 

dari atas, menimpa wajahnya. 

Yang jatuh itu ternyata sebuah daun lontar. Rasa heran 

menyelimutinya mengingat tak ada pohon lontar di sana. 

Diambilnya daun itu. Yang lebih menarik perhatiannya, 

ada tulisan di sana. 

Sungguh, aku tak bermaksud merepotkan. Putrimu ada 

bersamaku. Kupinjam untuk kuturunkan semua ilmu yang 

kumiliki. Lima tahun mendatang, ia akan kukembalikan lagi. 

Beruang Gunung Karimun 

Sejenak Rahmat terdiam. Putrinya yang dinyatakan 

hilang bersama Beruang Gunung Karimun? Siapakah orang 

yang berjuluk Beruang Gunung Karimun? 

Tetapi sedetik kemudian, ia sudah masuk lagi ke 

rumahnya. Keinginannya untuk buang air lenyap sudah. 

Dikabarkannya pemberitahuan itu pada istrinya yang 

nampak semakin hari bertambah payah memikirkan putri 

mereka. 

Mengetahui kalau putrinya baik-baik saja, Rokayah 

mendesah panjang. 

"Istriku... aku yakin, orang yang berjuluk Beruang 

Gunung Karimun akan mengembalikan putri kita." 

"Lima tahun, Kang? Lima tahun cukup lama...,” desis 

Rokayah pelan, namun hatinya agak tenang, senang. 

Di Gunung Karimun, Beruang Gunung Karimun 

menggembleng Ayu untuk mempelajari seluruh ilmu yang 

dimilikinya. Semakin hari ia semakin sayang pada gadis itu, 

meskipun terkadang harus membujuk Ayu bila gadis kecil 

itu menangis karena rindu pada kedua orangtuanya.

"Bapak dan Ibumu menyuruhku untuk mendidikmu, 

Ayu...." 

"Tetapi, Nek... mengapa mereka tidak pernah datang 

menjengukku?" tanya Ayu sambil menatap Beruang 

Gunung Karimun dengan pandangannya yang bundar. 

"Karena, mereka tak mau mengganggumu yang sedang 

belajar padaku." 

"Ih! Aku kangen mereka sekali, Nek!" 

"Mereka menginginkan kau untuk belajar dengan tekun 

dan menunggumu pulang.” 

Wajah Ayu jadi berseri-seri. "Kalau begitu, aku akan 

semakin tekun berlatih, Nek." 

Ganti wajah Beruang Gunung Karimun yang berseri-seri. 

Pelajaran demi pelajaran yang diberikannya diterima 

Ayu dengan cepat. Setelah satu setengah tahun berlalu, 

Beruang Gunung Karimun pergi ke Desa Sawo Luwih 

menemui kedua orangtua Ayu. 

"Percayalah... Ayu dalam keadaan baik-baik." 

Rokayah menggenggam erat tangan suaminya. Sungguh 

gembira ia mendengar kabar itu. 

"Kami menunggu ia pulang, Nek." 

"Tiga setengah tahun lagi, ia akan kembali pada kalian. " 

"Kami menitip salam untuknya. Dan kami berharap kau 

menjaganya sepenuhnya, Nek." 

Beruang Gunung Karimun hanya menganggukkan 

kepala. 

Dan tiga setengah tahun pun berlalu tanpa terasa. Kini 

Ayu bukanlah gadis kecil seperti lima tahun yang lalu. Kini

telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja berwajah cantik 

jelita. Memiliki perawakan ramping dan budi pekerti yang 

sopan. Karena selain ilmu kanuragan yang diajarkan 

Beruang Gunung Karimun, wanita tua itu pun mengajarkan 

bagaimana cara beradab. 

Seperti janjinya pada kedua orangtua Ayu, Beruang 

Gunung Karimun pun menyuruh Ayu untuk kembali 

kepada mereka. Di Desa Sawo Luwih. Ia memang sengaja 

melepas Ayu seorang diri, semata untuk melihat keberanian 

gadis itu. 


-0o-dw-ray-o0- 


Gadis berbaju merah muda itu terus melangkah dengan 

tenangnya. Samar dalam bayangannya ia teringat kembali 

pada kedua orangtuanya. Rasa rindu pun semakin 

menyesakkan dada. 

"Bapak dan Ibu... kini aku pulang," desisnya riang. 

Gadis itu menengadah. Menatap langit yang mulai 

kelam. Malam sebenar lagi akan datang. Angin berhembus 

dingin, membelai rambutnya yang panjang beriap. 

"Sebenar lagi pasti akan turun hujan, aku harus 

meninggalkan jalan setapak ini," membatin gadis itu. 

Sebelum Ayu melakukan maksudnya.... 

“Berhenti!!” 

Segala yang diniatkannya pupus seketika begitu 

mendengar bentakan bernada kasar dari belakangnya. 

Kepalanya cepat menoleh. Ia melihat seorang laki-laki 

bertampang kasar dengan wajah mengerikan berdiri sambil 

menatapnya dengan tatapan nyalang. 

Laki-laki itu tinggi besar dengan perawakan tegap. 

Pakaiannya berwarna hitam terbuka di dada yang

memperlihatkan dada bidang disertai bulu yang lebat. 

Celana pangsi hitam yang agak kumal dikenakan. Kumis 

dan cambangnya menghiasi wajahnya yang lonjong. 

Hidungnya cukup bagus sebenarnya, tetapi karena bibir 

bagian bawahnya agak turun, membuat laki-laki itu jadi 

begitu mengerikan. Rambutnya diikat ekor kuda. 

Sejenak Ayu memperhatikan laki-laki itu sebelum 

berkata, "Siapa kau adanya? Mengapa membentakku 

sedemikian rupa?" 

Bukannya segera menyahut, laki-laki itu justru 

perdengarkan tawanya yang menyakitkan telinga. 

"Hmm... sedang pamer tenaga dalam rupanya,” desis 

Ayu sambil mengerahkan tenaga dalamnya. 

"Nona manis... kau beruntung berjumpa denganku 

Maharaja Langit Hitam. Tak seorang pun yang berjumpa 

denganku akan kubiarkan hidup. Tetapi untukmu, suatu 

pengecualian.” 

Pada dasarnya Ayu memang memiliki kesopanan yang 

tinggi. Meskipun ia tidak suka mendengar kata-kata 

bernada penghinaan dari laki-laki yang mengaku berjuluk 

Maharaja Langit Hitam, namun ia tetap menyahut sopan, 

"Kuterima pengecualianmu itu. Dan kuhaturkan terima 

kasih. Tetapi maaf, karena aku agak tergesa, aku akan 

segera meninggalkanmu." 

Setelah berkata begitu, tanpa menunggu jawaban 

Maharaja Langit Hitam, Ayu segera berbalik dan siap 

berlari. 

"Berhenti!!" bentakan sekeras guntur itu kembali 

terdengar. Rumput kering beterbangan bagai digebah. 

Beberapa hewan malam yang muncul kembali masuk ke 

sarang.

Ayu kembali memutar tubuh. "Sebuah pameran tenaga 

dalam yang cukup tinggi," desisnya. Lalu ia berkata, "Tak 

ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?" 

Wajah Marahaja Langit Hitam menjadi kelam. Selama 

hidupnya, tak sekali pun ia pernah mendengar ada yang 

berani membantah ucapannya, bahkan membantah 

perintahnya. Laki-laki berwajah mengerikan yang berasal 

dari Goa Setan itu memang memiliki nama angker yang 

menakutkan. Ia berasal dari golongan hitam yang tak segan-

segan menyiksa lawannya. 

"Aku menginginkanmu!" suaranya mengguntur kembali. 

Sekalipun Ayu tak memperlihatkan rasa takutnya. Ia 

tetap tenang bahkan senyuman tersungging di bibirnya. 

"Maafkan aku... aku tak punya waktu untuk 

meladenimu." 

"Setan alas!!" Tangan Maharaja Langit Hitam yang 

dilingkari gelang bahar besar mengibas ke arah Ayu. 

Kibasan itu bukan kibasan biasa, mengandung tenaga 

dalam yang tinggi. Dalam sekali kibas, angin yang menderu 

dahsyat ke arah Ayu akan mampu menerbangkannya. 

Tetapi pada kenyataannya, murid Beruang Gunung 

Karimun hanya terdiam di tempatnya tak bergeser sedikit 

pun. Hanya saja, ketika angin dahsyat itu dirasakan sudah 

mendekat, ia membuat gerakkan dengan tangan kanan. 

Memutar dua kali. 

Angin dahsyat itu mengeluarkan suara yang cukup keras 

seperti membentur sebuah dinding yang sangat tebal. 

Maharaja Langit Hitam tercekat melihatnya. Ia tidak 

percaya gadis muda itu mampu menahan gebrakan 

pertamanya.

"Kau?!" geramnya dengan tubuh menggigil. 

Ayu yang merasa tak perlu meladeni laki-laki itu tak 

menghentikan gerakannya. Dan gerakan memutar tadi, ia 

menggerakkan tangan kanannya ke depan, dengan telapak 

tangan terbuka. 

Wuss! 

Satu serangan penuh tenaga dalam telah melesat ke arah 

Maharaja Langit Hitam yang mengeluarkan seruan tertahan 

dan melompat menghindar. 

"Keparat!!" makinya dan terus hinggap di tanah. Namun 

ia terbelalak dengan kegusaran yang tinggi ketika melihat 

gadis itu sudah tak ada di hadapannya. 

"Tak kusangka gadis semuda itu mampu menahan 

seranganku. Hhh! Dialah calon istriku yang selama ini 

kucari-cari! Aku tak akan melepaskannya!” 

Tak lama kemudian, sosok tinggi besar itu pun 

berkelebat untuk menyusul ke mana Ayu pergi.


0o-dw-ray-o0


2


Desa Sawo Luwih tempat kelahiran Ayu, sejak tiga 

tahun terakhir ini, bukanlah sebuah desa yang nyaman lagi. 

Setelah dua tahun kepergian Ayu, desa itu didatangi 

gerombolan kejam yang menamakan diri Serikat Baju 

Merah. 

Mereka datang dengan niat jahat untuk menguasai Desa 

itu. Para penduduk sudah tentu tidak menerima keinginan 

orang-orang itu. Dengan gagah berani mereka angkat 

senjata mempertahankan tanah leluhur. Namun Serikat

Baju Merah yang berjumlah sebelas orang, rata-rata 

memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan mudahnya 

mereka membantai habis seluruh perlawanan yang 

diberikan para penduduk desa. Sementara yang masih 

sayang nyawanya, harus merelakan diri menjadi abdi dari 

Serikat Baju Merah dengan menahan sakit hati dalam-

dalam. 

Gerombolan itu dipimpin oleh seorang laki-laki yang 

berwajah bulat. Dua buah codet di pipi kanan kirinya 

membuat tampangnya begitu menakutkan. 

Rambutnya panjang tak beraturan. Di bahunya tersampir 

dua buah kain berselempangan berwarna hitam. Ia bernama 

Singgih Murka. 

Mereka menempati tempat tinggal kepala desa yang mati 

terbunuh saat memimpin gerakan mempertahankan desa. 

Sungguh malang nasib yang dialami istri dan anak 

gadisnya. Mereka kini menjadi sapi perahan dari Singgih 

Murka. 

Kehadiran Serikat Baju Merah yang menguasai Desa 

Sawo Luwih membuat desa itu bertahun-tahun bagai 

berubah menjadi neraka. Orang-orang kejam itu melakukan 

apa saja yang mereka inginkan. Dan tak segan-segan 

mencabut nyawa para penduduk yang mencoba menentang, 

hingga banyak yang mengurungkan diri untuk diam-diam 

melarikan diri. Karena, gerombolan itu bagai memiliki mata 

yang sangat banyak. Mereka seperti tahu bila ada penduduk 

yang nekat melarikan diri. 

Bahkan tiga orang yang mencoba melarikan diri, harus 

menerima nasib yang mengenaskan. Mereka dibunuh 

dengan kejam dan mayat mereka digantung di tengah alun-

alun. Sebagai peringatan bagi yang lainnya agar tidak 

melakukan tindakan konyol yang memancing kemarahan

para anggota gerombolan. Tak ada yang berani menentang. 

Tak ada yang berani melarikan diri untuk melaporkan hal 

itu ke Kadipaten Karang Sutra yang selama ini dikenal 

selalu melindungi desa, tak terkecuali Desa Sawo Luwih, 

Di rumahnya, Rahmat terpekur dengan wajah kelu. 

Lima tahun telah banyak membawa perubahan pada 

dirinya. Tubuhnya yang dulu tegap, kini menjadi kurus 

kering. Wajahnya yang selalu segar menjadi tirus dengan 

rambut tak beraturan. 

Tiga tahun berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah, 

membuatnya terasa hilang sukmanya. Lebih-lebih 

menyaksikan bagaimana Rokayah diseret oleh tiga orang 

anggota Serikat Baju Merah dan diperkosa di satu tempat. 

Lalu dikembalikan dengan tubuh kuyu dan wajah sembab. 

Rahmat mendesah pendek. Ia menyesali mengapa ia tak 

mampu mencegah perbuatan keji orang-orang itu pada 

istrinya. Karena saat itu, Rahmat sendiri dalam keadaan 

pingsan setelah dihajar anggota gerombolan karena 

sebelumnya ia mencoba mempertahankan istrinya. 

Sejak perlakuan tak senonoh terhadap istrinya, Rokayah 

benar-benar menjadi seperti orang mati suri. Ia tak pernah 

beranjak dari pembaringannya. Batin wanita itu terinjak-

injak penuh kenistaan. Dengan penuh kasih sayang, 

Rahmat mengurus segala sesuatunya. 

Ingatan Rahmat saat ini berpulang pada Ayu, putrinya 

yang dibawa oleh Beruang Gunung Karimun. Hari demi 

hari ia selalu menghitung. Menurut perhitungannya, lima 

tahun sudah berlalu. Dan sudah tiba saatnya putrinya akan 

pulang. 

"Ini mungkin hikmah dari keinginan Beruang Gunung 

Karimun membawa Ayu pergi. Bila saja Ayu masih berada 

di sini, sudah tentu ia akan menjadi korban kebuasan para

gerombolan yang tak pernah pandang bulu bila 

menginginkan seseorang," desisnya kelu. "Ayu, aku 

berharap Beruang Gunung Karimun memenuhi janjinya. 

Menggemblengmu menjadi seorang pendekar wanita yang 

bisa menghentikan kezaliman ini." 

Lagi Rahmat terpekur dengan tubuh kuyu. Ia telah letih 

bekerja. Karena tiga bulan belakangan ini, Singgih Murka 

berkenan membangun sebuah tempat tinggal yang sangat 

megah untuknya. Dan ia memeras tenaga rakyat untuk 

mewujudkan keinginannya itu. Bagi yang menolak, tak ada 

imbalan lain keeuali mati. Bagi yang bersedia 

melakukannya pun tak ada imbalan apa-apa, kecuali rasa 

letih yang bertambah menyiksa. Karena, hanya sekali 

mereka diperkenankan beristirahat. Itu pun tak 

mendapatkan makanan atau minuman apa-apa. Setelah itu, 

bagai seekor kuda tenaga mereka dipacu untuk segera 

menuntaskan bangunan besar itu. 

Brak! 

Rahmat tersentak ketika mendengar pintu didobrak 

dengan kerasnya dari luar. Dinding rumahnya yang terbuat 

dari bilik bambu bagai bergoyang. 

Ia cepat-cepat berdiri dan pandangannya melihat,dua 

orang anggota Serikat Baju Merah muncul sambil terbahak-

bahak. Kemarahan mulai naik di hatinya. 

"Mau... mau apa kalian?" sentaknya terbata. Meskipun 

merasa tak akan mampu menghadapi keduanya, namun 

Rahmat memiliki nyali yang tinggi. 

Kedua anggota Serikat Baju Merah yang baru muncul itu 

saling berpandangan dan sama-sama tertawa.

"Tikus ini masih memiliki nyali!" kata yang seorang 

berwajah tirus dengan mata culas. "Minggir! Aku 

menginginkan istrimu!" 

"Oh, Tuhan... di mana perikemanusiaan yang kalian 

miliki? Istriku sudah kalian hina habis-habisan sehingga ia 

jatuh sakit! Apakah kalian masih tega untuk menghinanya 

lagi?" seru Rahmat dengan suara lantang. Seluruh sakit 

hatinya bagai tercurah had ini. 

"Persetan dengan ucapanmu! Minggir bila masih sayang 

dengan nyawamu!!" Laki-laki itu meloloskan parang 

besarnya. Dan mengayun-ayunkannya di wajah Rahmat. 

"Hari ini aku masih bersedia mengampunimu, asalkan kau 

tarik ucapan sialmu itu!" 

"Tidak!" seru Rahmat gagah. "Tak akan pernah 

kubiarkan lagi kalian menjamah istriku!!" 

"Keparat!!" Laki-laki itu mengayunkan parangnya 

dengan cepat. 

Rahmat merundukkan tubuhnya. Gerakan yang 

dilakukannya hingga serangan itu luput bukanlah karena 

Rahmat memiliki kepandaian bela diri. Hal itu dilakukan 

hanya karena naluri pertahanannya saja. Tetapi tendangan 

yang dilakukan laki-laki berwajah tirus itu membuatnya 

tersuruk ke belakang. 

"Setan! Kau memancing kemarahanku!" 

"Habisi saja, Dul!" seru temannya yang bernama Marta. 

Gandul menyeringai "Aku menyukai pekerjaan ini!!" 

Dengan langkah angker ia menghampiri Rahmat yang 

mencoba untuk bangkit. Tetapi tendangan keras yang 

dirasakannya dan membuat perutnya sakit luar biasa, tak 

mampu membuatnya untuk bangkit.

"Hhh! Hanya kematianlah upah dari orang-orang dungu 

seperti kau ini yang mencoba menentang keinginan Serikat 

Baju Merah!!" seru Gandul dengan seringaian seperti seekor 

serigala yang melihat mangsanya. 

Tetapi dengan penuh keberanian Rahmat membuka lebih 

lebar kedua matanya. Matanya bagai siap-siap 

menyongsong kematian. Gandul menjadi jengkel melihat 

keberanian yang diperlihatkan Rahmat. Ia menggeram 

keras. 

Rahmat tak peduli. Dilihatnya parang yang berkilat itu 

bergerak ke arah kepalanya. 

Crok! 

Tanpa ampun lagi kepalanya pun pecah. Darah 

bersimbah. Tak ada suara keluhan atau jeritan yang 

terdengar. Tubuh Rahmat ambruk dengan nyawa putus. 

Gandul terbahak-bahak sambil menjilat parangnya yang 

penuh darah. 

"Itulah akibatnya berani menantangku! Ayo, Marta! Kita 

sikat bininya! Peduli ia lagi sakit atau tidak!!" 

Dengan serentak keduanya menyingkap tirai kamar dan 

melihat Rokayah yang terbaring lemah. Keduanya 

mendekat sambil tertawa-tawa. Tanpa membuang waktu 

lagi, mereka menjalankan niat busuk yang sudah tak 

tertahankan. Selang beberapa lama keduanya selesai dengan 

tubuh penuh dibasahi peluh. 

"Biar sedang sakit... wanita ini masih memiliki Tubuh 

yang menggairahkan," kata Gandul. 

"Apa iya begitu?" 

Gandul seketika menoleh karena bukan suara Marta 

yang didengarnya. Marta pun melakukan hal yang sama.

Keduanya melihat seorang bocah sedang duduk di kursi di 

sisi pintu sambil mengangkat satu kaki di kursi. 


-0o-dw-ray-o0


Keduanya berpandangan dengan kening berkerut. Tak 

mengerti mengapa tahu-tahu bocah itu berada di sana. 

"Kenapa pada bengong? Asyik juga ya melihat kalian 

menggeluti wanita itu?" kata si bocah yang bertampang 

lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor. 

Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian. 

Celana panjang hitamnya begitu kotor, sekotor 

penampilannya. Wajahnya bulat telur menggemasnya. 

Hidungnya bangir dengan bibir tipis yang agak kemerahan. 

Namun di balik penampilannya yang lusuh itu, wajah si 

bocah nampak tersenyum-senyum, Matanya berkilat-kilat 

jenaka. Dan aksi sekali gayanya saat duduk begitu. 

"Setan! Anak siapa kau, Bocah?" maki Gandul keras. 

Matanya bagai hendak melompat keluar karena ia sama 

sekali tidak mendengar kehadiran bocah itu. 

Bocah itu cuma mengangkat bahunya. Lalu berkata 

dengan sikap mengejek, "Anak siapa ya? Aku juga tidak 

tahu, kok. Apa kau mau menjadi bapakku? tidak usah ya! 

Mana sudi aku memiliki bapak bau berhati jahat seperti kau 

ini!" 

Sudah tentu bukan buatan kemarahan Gandul. Ia 

menggerakkan kakinya dengan cepat. 

Wusss! 

Brak! 

Tendangannya itu menghancurkan kursi di mana si 

bocah duduk. Tetapi Gandul tak merasa menghantam

bocah, itu. Justru ia terbelalak melihat bocah itu berdiri di 

ambang pintu sambil mengangkat sebelah alisnya. 

"Sakit kakimu, ya?" 

"Bocah keparat! Siapa kau sebenarnya?" maki Gandul 

tak mengerti. Matanya nanar menatap bocah itu yang 

masih tersenyum-senyum. 

Bocah itu tak berkata apa-apa. Cuma matanya yang 

jenaka berkedip-kedip. Marta yang sejak tadi menahan 

geram, segera cabut parangnya. 

Srat! 

Suara tarikan senjata terdengar keras. Sambil 

menggeram, Marta mengibaskan parangnya. Membabi-

buta. Di samping jengkel melihat kehadiran bocah itu, juga 

geram karena dengan mudahnya serangan Gandul diatasi. 

Tetapi serangannya pun tak mengenai sasaran apa-apa. 

Karena tanpa bisa terlihat oleh mata bocah itu menghindari 

setiap kibasan parangnya, sampai akhirnya ia justru 

kehabisan napas. Bocah itu tertawa-tawa, "Yang beginian 

ini ya anggota Serikat Baju Merah? Wah, lebih baik kalian 

minggat saja!" 

Gandul hanya terpaku menatap bagaimana bocah itu 

menghindari serangan Marta. Tiba-tiba Darahnya naik ke 

ubun-ubun. 

"Bocah setan! Kulumat kau!" 

"Heit!" Bocah itu mengangkat kedua tangannya. Gandul 

jadi ngeri sendiri, karena disangkanya bocah itu kan 

menyerangnya. Tetapi bocah itu tetap berdiri di tempatnya 

dengan kilatan mata jenaka. "Masa kalian marah? Aku kan 

masih kecil. Boleh saja kan melihat bagaimana kalian asyik 

menggeluti wanita malang itu? Tetapi, apa kalian tidak

salah memilih? Sebenarnya wanita atau batang kayu yang 

kalian geluti?" 

Bagai diperintah, Gandul dan Marta menoleh ke arah 

pembaringan. Keduanya terbelalak dengan jeritan kecil. 

Karena ketika melihat ke pembaringan, sosok wanita yang 

mereka geluti tadi ternyata hanya batang kayu belaka. 

"Gila! Bagaimana bisa begini?" sentak Gandul dan tanpa 

disadarinya kakinya mundur satu langkah. 

"Setan! Ini pasti ulah setan!" seru Marta gelagapan. 

Bocah itu tertawa lagi. "Kasihan, ya?" ejeknya, Lalu 

seperti melihat suatu kejadian yang menyedihkan bocah itu 

berkata menyentak, “Ya ampun! Mengapa celana kalian 

mengeluarkan darah begitu?" 

Bagai mendengar sebuah peringatan, keduanya melihat 

ke bagian selangkangan mereka. Dan keduanya menjerit 

kaget karena memang ada darah yang merembes di sana. 

Tiba-tiba pula mereka merasakan batang kemaluan mereka 

kesakitan. Tahu-tahu keduanya menjerit keras dan pingsan. 

Bocah itu tertawa. "Salah sendiri? Batang kayu kok 

digeluti?" 

"Kalau bukan bocah 'palsu' yang bernama Walet, siapa 

lagi yang bisa melakukan hal itu?" 

Walet menoleh begitu mendengar suara seorang pemuda 

dari belakangnya. Seketika ia nyengir sambil garuk-garuk 

kepalanya begitu melihat pemuda tampan berbaju hijau 

pupus dengan kain bercorak catur di bahunya yang sedang 

berdiri dengan tangan bersandar ke palang pintu. 

"Wah! Aku jadi heran, mengapa bisa bertemu lagi 

denganmu, Kang Andika?" seloroh bocah yang disebut 

Walet.

Pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan itu 

tertawa, lalu membalas selorohan Walet, "Bukan hanya kau 

saja yang heran, aku sendiri tak pernah mengerti. Padahal 

aku sama sekali tidak mengharapkannya, lho. Memang 

benar orang pintar berkata, dunia ini bulat." 

Walet tertawa dan berlari merangkul si pemuda yang tak 

lain Andika alias Pendekar Slebor. 

"Bagaimana kabar Kang Andika?" tanyanya kemudian. 

"Baik-baik saja. 0 ya, di mana suami-istri itu kau 

sembunyikan?" 

"Lho? Kang Andika melihat semuanya, ya! Curang! Aku 

kok tidak tahu sih? Tetapi dasar bodoh, cuma Kang 

Andikalah yang bisa melihat kekuatan batin yang 

kukerahkan," sahut Walet dan dengan gaya soknya yang 

membuat Andika ingin tertawa ia mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Lalu menyahuti pertanyaan Andika tadi tentang 

suami-istri atau kedua orangtua Ayu. "Aman. Mereka 

aman. Hampir saja aku terlambat menolong mereka tadi, 

Kang." 

"Aku pun tadi ingin menolong mereka. Tetapi ketika 

kulihat kau masuk tadi dan kuyakini yang muncul seorang 

pangeran, aku membiarkan saja.” 

"Brengsek!" maki Walet. (Untuk mengetahui siapa Walet 

adanya, silakan baca : "Mustika Putri Terkutuk", "Cermin 

Alam Gaib", dan "Bayang-Bayang Gaib"). 

Memang, ketika dua orang anggota Serikat Baju Merah 

Itu muncul dan hendak menjalankan maksud jahatnya pada 

Rokayah, Walet sebenarnya sudah melihat dia bisa meraba 

kejadian selanjutnya. Saat Gandul mengayunkan parangnya 

pada Rahmat yang tak berdaya, cepat ia mempergunakan 

kekuatan batinnya untuk mengubah sosok Rahmat menjadi

batang pisang. Dalam pandangan Gandul dan Marta, 

tetaplah tubuh Rahmat. Jadi yang dibacok oleh Gandul itu 

tak lain batang pisang belaka. 

Begitu pula ketika keduanya menjalankan niat jahat pada 

Rokayah. Lagi-lagi Walet mengubah Rokayah menjadi 

batang kayu. Akibatnya, kini keduanya pingsan dan 

lumpuh kejantanannya selama-lamanya. 

Saat Walet mengubah Rahmat menjadi batang pisang 

itulah Andika muncul dan hanya tersenyum saja 

memperhatikannya. Andika alias Pendekar Slebor memang 

mampu menembus ilmu batin yang dimiliki Walet atau 

yang lebih dikenal dengan sebutan Bocah Ajaib. 

Walet keluar dan muncul lagi dengan dua sosok tubuh 

yang dipanggul demikian ringannya. dibantu Andika, ia 

meletakkan Rahmat dan Rokayah yang pingsan ke 

pembaringan. Andika memeriksa tubuh keduanya. Lalu 

memijat di beberapa bagian tubuh keduanya. 

"Mereka akan siuman beberapa menit lagi. Hmm... 

ceritakan siapa kedua manusia yang pingsan itu." 

"Aku hanya tahu mereka anggota Serikat Baju Merah, 

Kang Andika. Tetapi... ada hal yang penting yang hendak 

kukatakan padamu," kata Walet. 

Andika mengerutkan keningnya. 

"Apakah itu?' 

"Seekor merpati akan pulang kandang. Ia akan dibunuh 

oleh seekor harimau. Hanya pendekar ugal-ugalan yang 

mampu menghalang, " kata Walet seperti berpantun. 

Andika tertawa mendengarnya. "Sok benar kata-katamu 

itu!" Meskipun ia berkata demikian, tetapi hati Andika 

bertanya-tanya. Apa maksud Walet sebenarnya? Tetapi

seperti yang pernah dialaminya lalu-lalu. Walet alias titisan 

seorang pangeran yang meninggal dengan membawa benih 

cinta paling dalam pada kekasihnya, tak akan pernah mau 

memecahkan apa yang dimaksudnya. Jadi, Andika harus 

memeras otaknya memikirkan kemungkinan jawaban dari 

kata-kata Walet. 

"Kang... aku permisi dulu," kata Walet tiba-tiba. 

Andika melongo. 

"Kau mau ke mana?'" 

“Ada urusan yang harus kukerjakan." 

"Busyet! Lagakmu sok kayak orang penting!" 

Walet membusungkan dadanya. "Waleeeettt!" desisnya 

sambil menepuk dadanya sendiri. 

Andika cuma tertawa-tawa saja. Padahal lagi-lagi ia 

penasaran untuk mengetahui apa yang akan dilakukan 

Walet sebenarnya. Sesungguhnya, ia juga tak menyangka 

akan berjumpa dengan Walet kembali. 

Walet melangkah dengan kepala mendongak. Andika 

menjadi gemas. Ia ingin menjitak kepala bocah itu. 

Sesaat, diperhatikannya dua anggota Serikat Baju,Merah 

yang pingsan. 

"Kini giliranku untuk memberi pelajaran pada anggota 

yang lainnya," lalu dipanggulnya Gandul dan Marta yang 

masih pingsan. 


-0o-dw-ray-o0- 


3


Pagi beranjak pergi, matahari siap menjalankan tugasnya 

seperti sediakala dan siap menaungi seluruh persada. Di 

bawah naungan sinar matahari yang memancarkan sinar 

keemasan itu, di Kadipaten Karang Sutra, Adipati Ganda 

Manikam sedang mendapat laporan dari seorang anak 

buahnya tentang kejahatan yang dilakukan oleh Serikat 

Baju Merah. 

Adipati Ganda Manikam berwajah tampan dengan 

kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kecerdikan. 

Pakaiannya begitu indah berlapis sutera. Ia memiliki dua 

orang istri, tetapi tak seorang pun dari istrinya yang 

melahirkan anak-anaknya. 

Ia mengangguk-anggukkan kepalanya menyahuti laporan 

seorang anak buahnya. 

"Siapa sebenarnya mereka?" 

"Hamba kurang jelas mengenai mereka, Gusti Yang 

Agung. Tetapi, saat hamba berpatroli bersama Hardigala, 

hamba bisa melihat keadaan Desa Sawo Luwih yang porak-

poranda. Lalu bersama Hardigala hamba menyamar 

sebagai pekerja kasar yang sedang membangun sebuah 

bangunan besar yang diperuntukkan sebagai markas Serikat 

Baju Merah." 

"Kau melihat ketua gerombolan itu?" 

"Maafkan hamba, Gusti Yang Agung. Hamba dan 

Hardigala tidak melihatnya. Karena, hamba pun 

memikirkan cara keluar dari sana. Ketika malam larut dan 

anggota serikat Baju Merah sedang lengah, hamba dan 

Hardigala berhasil meloloskan diri dengan kuda yang kami 

tinggalkan di sebelah barat sana." 

Adipati Ganda Manikam mengangguk-anggukkan 

kepalanya kembali.

"Ini tidak boleh dibiarkan. Desa Sawo Luwih berada 

dalam pengamanan kita pula. Kerahkan dua puluh prajurit 

untuk mengusir Serikat Baju Merah,” katanya penuh 

wibawa. 

"Baik, Tuanku." 

Sepeninggal anak buahnya, Adipati Ganda Manikam 

mengusap wajahnya perlahan. Nampak ada sesuatu yang 

menjadi bahan pikirannya. 

-0o-dw-ray-o0- 

Seorang gadis berpakaian merah muda berhenti di ujung 

Desa Sawo Luwih. Sejenak gejolak rindu di hatinya 

berderai-derai. Matanya yang bening mengalirkan air mata 

keharuan. 

"Kini aku telah tiba di tanah kelahiranku sendiri Nenek 

Beruang Gunung Karimun... sebentar lagi aku akan 

bertemu dengan kedua orangtuaku. Salammu akan 

kusampaikan pada mereka," desisnya dalam hati. 

Lalu dengan langkah ringan sementara kerinduan 

semakin menyesakkan dada, Ayu mulai melangkah 

memasuki desanya. Namun semakin ia melangkah, di 

hatinya bertalu keheranan yang membuatnya harus 

mengerutkan kening. Ia melihat perubahan yang sangat 

jelas sekali pada desanya. Bukan perubahan ke arah yang 

lebih baik, tetapi perubahan pada kemunduran. . 

"Ada apa ini? Apakah para penduduk desaku ini sudah 

malas semua? Mengapa jalan menjadi kotor? Semuanya 

kusam. Duh, selokan itu begitu berbau busuk. Mengapa jadi 

seperti ini?" 

Selagi gadis itu masih memikirkan perubahan yang 

nampak di depan matanya, mendadak saja terdengar suara 

tawa dari belakang. Seketika Ayu menoleh. Keningnya

makin berkerut menyadari karena ia tak pernah mengenal 

ketiga laki-laki ini. Tetapi, pada dasarnya Ayu adalah gadis 

yang sopan, ia hanya menganggukkan kepalanya dan 

meneruskan langkah. Justru sikapnya yang sopan itu 

diartikan sebuah undangan oleh ketiga laki-laki yang tak 

lain anggota Serikat Baju Merah, jelas dengan tanda baju 

merah yang dikenakan dan rajutan warna hitam di dada 

sebelah kiri bermotifkan wajah setan dengan taring panjang 

dan kuping lebar. 

Mereka mengejar dan menahan langkah Ayu. 

"Tunggu, Adik Manis!" 

Ayu menghentikan langkahnya lagi. Kali ini ia tak perlu 

menoleh, karena ketiga laki-laki itu telah melewatinya dan 

berdiri di hadapannya dengan seringaian busuk. 

Sejenak pertanyaan melintas lagi di benak Ayu. "Mau 

apa mereka? Bila melihat gelagat, mereka tentunya 

bermaksud tidak baik. Tetapi aku tidak ingin mencari 

masalah. Aku ingin menemui kedua orang tuaku." 

Salah seorang dari ketiga anggota Serikat Baju Merah 

berkata sambil memilin kumisnya yang baplang. Tangan 

kirinya dengan sikap gagah diletakkan di pangkal 

parangnya. 

"Rasanya, baru kali ini aku melihat ada sekuntum mawar 

yang terbang dipermainkan angin dan jatuh di tempat 

tandus semacam ini," katanya yang disambut tawa oleh 

kedua temannya. 

Ayu membatin lagi, "Benar dugaanku." 

"Adik manis... siapakah kau gerangan?" 

Pada mulanya, Ayu enggan untuk menanggapi sikap 

ketiga laki-laki tengik ini. Tetapi menyadari kalau sejak

awal tadi saat ia tiba di desa ini begitu terasa asing bahkan 

tak ada tanda-tanda yang membuatnya masih merasa akrab 

dengan tanah kelahirannya ia jadi ingin mengetahui apa 

yang terjadi. Terutama, siapakah ketiga laki-laki berbaju 

merah ini? 

Lalu dengan sopan Ayu menyahut, "Namaku Ayu. Aku 

datang dari jauh." 

Mendapat sahutan seperti itu, sudah tentu si kumis 

baplang yang bernama Jagalolo seperti mendapat lotre. 

Keceriwisannya semakin menjadi-jadi, kali ini ditunjukkan 

dengan tatapan mata kurang ajar. 

“Tentunya kau lelah, bukan? Bagaimana bila kau kami 

ajak bersenang-senang? Sekaligus menghibur diri dari 

kepenatan." 

Ayu masih berusaha menahan diri dari kemarahan yang 

mulai membersit. "Maafkan aku.... Kakiku untuk saat ini 

belum mau diajak berhenti. Lain kali, kita bisa 

membicarakannya." 

Tetapi, sebelum murid Beruang Gunung Karimun itu 

meneruskan langkah mendadak saja terdengar teriakan 

keras dari belakang ketiga laki-laki berbaju merah. Seorang 

laki-laki setengah baya bertelanjang baju berlari dengan 

golok di tangan, Manusia-manusia biadab! Kalian telah 

menghancurkan kehidupan desa ini! Pergilah kalian ke 

neraka!!" 

Wuuuttt! 

Golok itu mengarah pada Jagalolo yang dengan sigapnya 

memiringkan tubuhnya. Lalu menggerakkan tangannya 

dengan gerakan cepat. 

Des!

Pukulan keras itu menghantam punggung laki-laki 

setengah baya yang kalap, hingga jatuh tersungkur. Lalu 

dengan kejamnya Jagalolo menginjak kepala laki-laki itu 

hingga pecah. 

Prak! 

Ayu terperangah melihatnya. Sungguh, kejadian itu 

begitu cepat sehingga ia terlambat turun tangan. Hal itu 

lebih banyak disebabkan karena ia masih memikirkan siapa 

ketiga laki-laki ini dan mengapa terjadi perubahan pada 

desanya. 

"Kau?!" Ia mendesis dengan tubuh menggigil. 

Jagalolo memperlihatkan seringaiannya. 

"Itulah upah bagi yang menentang kami!" 

"Siapa kalian sebenarnya?" bentak Ayu dengan mata 

memicing. 

"Kami?” Jagalolo tertawa mengejek. "Sebaiknya, kau 

ikut dengan kami, Adik Manis! Setelah kau hibur kami, 

maka kami akan menjelaskan siapa kami sebenarnya!" 

Ayu menggeram dalam hati. Rasa marahnya mulai naik. 

Ia memutuskan untuk tidak banyak bicara lagi. Dengan hati 

masih geram karena tindakan keji di depan matanya ia 

terlambat menahan, ia melangkah lagi. Tetapi si kumis 

baplang justru menangkap tangan Ayu sambil tertawa-tawa. 

"Maaf, lepaskan tanganku," kali ini Ayu mulai bersuara 

dingin. Ia tak menatap Jagalolo. Justru menatap ke depan. 

Jagalolo terbahak-bahak mendengar kata-kata itu. "Kau 

pikir, kami begitu bodoh untuk melepaskan kau, Adik 

Manis? Setelah kau menghibur kami, kau akan kami 

lepaskan ke mana kau suka."

Ayu menggeram dalam hati. Ia semakin yakin kalau 

perubahan desanya yang menjadi kotor dan asing ini salah 

satunya disebabkan oleh ketiga laki-laki berbaju merah ini. 

Masih adakah anggotanya yang lain? desisnya dalam hati. 

Ayu menoleh. Tatapannya nyalang setajam serigala. 

Tahu-tahu ia menggerakkan tangannya. Gerakannya sangat 

aneh sekali dan begitu cepat. Jagalolo sendiri sampai 

terkejut, ketika merasakan tangannya bergetar. 

Dan ia baru sadar ketika gadis itu sudah menjauh dalam 

jarak sepuluh tombak. Kekesalannya beralih pada kedua 

temannya yang tak menyangka hal itu akan terjadi. 

"Bodoh! Tangkap gadis sialan itu!!" 

Serentak Sentiko dan Kalimonto berlari seraya 

meloloskan parangnya mengejar Ayu. Tanpa melihat pun 

pendengaran Ayu yang terlatih bisa menangkap kalau ada 

yang mengejarnya. 

Ia berhenti melangkah dan berbalik dengan tatapan 

nyalang. 

"Jangan membuat kemarahanku bertambah naik! 

Perbuatan kalian membunuh laki-laki malang itu 

sebenarnya tak bisa kuampuni! Cukup dengan mengatakan 

siapa kalian, maka nyawa kalian masih menempel di jasad!" 

Sentiko dan Kalimonto berpandangan. Seperti 

dikomando keduanya menggerakkan tangan dengan posisi 

membacok. 

Wuttt! Wuuut! 

Dua parang tajam itu berkelebat ke arah Ayu yang 

dengan memiringkan tubuhnya berhasil menghindari 

serangan. Kaki kirinya yang ditekuk tadi melurus kembali,

kaki kanannya maju satu tindak dan bersamaan dengan 

gerakan itu tangannya bergerak. 

Tap! Tap! 

Pergelangan tangan kedua lawannya ditangkap. Bagai 

sebuah capitan tang yang sangat keras, Ayu memuntir 

tangan kedua lawannya yang menjerit keras dan parang 

yang mereka pegang terlepas. 

Kaki kanan Ayu bergerak begitu cepat. Membuat dua 

gerakan sekaligus. 

Des! Des! 

Tubuh Sentiko dan Kalimonto terlempar tiga tombak ke 

belakang. Sementara itu, Jagalolo yang melihatnya 

terbengong-bengong. la sama sekali tak menyangka gadis 

jelita itu memiliki ilmu yang tinggi. 

Namun laki-laki yang hanya mengandalkan tenaganya 

saja tanpa banyak mempergunakan otaknya, segera 

mencabut parangnya kembali yang tadi dipergunakan untuk 

membunuh laki-laki setengah baya yang malang. 

Ia menggerakkan tangannya yang memegang parang 

berkali-kali. 

Wutt! Wuuut! 

Angin yang keluar dari kibasan parang itu cukup kuat. 

Tetapi Ayu hanya menatap dingin. "Untukmu terpaksa aku 

memberi pelajaran sebagai ganjaran dari perbuatanmu 

barusan!!" 

"Setan! Kucabik-cabik tubuhmu!!" 

Lalu dengan gerakan yang cepat Jagalolo menyerang. 

Parangnya ditusukkan turus. Begitu Ayu menghindar 

dengan hanya mengubah posisi kaki kanannya yang tadi 

berada di depan dan ditarik ke belakang, Jagalolo

meneruskan serangannya. Dari gerakan menusuk tadi, kini 

membacok. 

Wuuut! 

Angin cukup keras melewati wajah Ayu yang menjadi 

bertambah geram. Mengingat ia tak sempat menolong laki-

laki setengah baya yang malang, mendadak saja sambil 

memiringkan tubuhnya tadi, Ayu membuat satu gerakan 

memutar. Kakinya menendang. 

Des! 

Tepat menghantam dada Jagalolo. Menyusul satu 

tendangan keras menghantam wajah Jagalolo. Giginya 

tanggal tiga buah. Hidungnya mengalirkan darah. Dan ia 

ambruk dengan kerasnya. 

"Kau?" desisnya sambil menahan sakit. 

"Seharusnya nyawamu kucabut!" geram Ayu sambil 

mendekat. "Tetapi, aku masih bermurah hati! Siapa kalian 

sebenarnya?" 

Laki-laki yang hanya mempergunakan tenaganya saja 

menyeringai. "Kami adalah anggota Serikat Baju Merah," 

katanya dan dalam sangkanya Ayu akan jeri mendengar 

nama gerombolannya disebutkan, tetapi gadis itu justru 

mengerutkan keningnya. 

"Apa kerja kalian di sini?" 

"Hhh! Kau akan menyesal, Gadis Manis! Desa ini sudah 

berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah! Ingat, teman-

temanku tak akan pernah melepaskanmu!" 

"Pantas keadaan begitu kacau sekali dan asing," pikir 

Ayu. "Rupanya, gerombolan ini sudah menguasai desa. Oh, 

Tuhan... sudah berapa lamakah mereka melakukan hal itu?"

Tiba-tiba Ayu teringat pada kedua orangtuanya. 

"Bagaimanakah keadaan mereka?" 

Melihat gadis itu terdiam, Jagalolo yang menyangka 

kalau gadis itu menjadi ketakutan berkata lagi dengan 

pongah, "Tak akan lama lagi kau akan menjadi hiburan 

kami, Gadis Manis!" 

Tanpa menoleh pada Jagalolo, tangan Ayu bergerak 

cepat. Menangkap tangan kanan Jagalolo. Lalu meremas 

jemarinya hingga remuk. Jagalolo yang tak menyangka hal 

itu menjadi pias saat jemarinya dipegang dan melolong 

seperti serigala lapar ketika jemarinya diremas hingga 

remuk. 

Ayu tak mempedulikannya lagi. Pikirannya dipenuhi 

dengan kecemasan terhadap kedua orangtuanya. Ia 

memutuskan untuk segera tiba di rumahnya. 

Lalu tubuh gadis itu pun berkelebat cepat. 


-0o-dw-ray-o0


Tanpa sepengetahuan Ayu, hal itu rupanya diperhatikan 

sejak tadi oleh sepasang mata yang duduk santai di sebuah 

batang pohon. Selain tubuhnya tertutup oleh rimbunnya 

dedaunan, ilmu meringankan tubuh yang dikerahkannya 

tak akan membuat orang lain mendengar. Itu menandakan 

ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Si pengintip berbaju 

hijau pupus tinggi sekali. 

“Hmmm... siapa gadis itu sebenarnya? Kemunculannya 

sejak di batas desa tadi aku sudah melihat. Bila melihat 

gerakannya, ia bukanlah gadis sembarangan. Bahkan aku 

yakin, ia memiliki ilmu yang tinggi. Sepak terjangnya 

barusan memang menakjubkan. Bila melihat sikapnya sejak 

pertama muncul tadi, ia nampak seperti keheranan. Apakah 

gadis itu pernah tinggal di desa ini sebelumnya dan

sekarang datang kembali? Ataukah ia memang hanya 

seorang pengembara yang tak sengaja tiba di sini?" 

Sosok berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak 

catur di punggungnya itu tak lain adalah Pendekar Slebor. 

Setelah pertemuannya dengan Walet di rumah Rahmat, 

Andika memang hendak menyelidiki siapa dua orang laki-

laki berbaju merah yang dipermainkan Walet. 

Walet mengatakan mereka adalah anggota serikat Baju 

Merah. Makanya, Andika segera membawa dua laki-laki 

yang pingsan dan hancur kejantanan mereka akibat 

'kenakalan' Walet. Andika bermaksud untuk mencari di 

mana anggota gerombolan yang lainnya berdiam. 

Ia memang telah menemukannya dan melihat para 

penduduk bekerja bakti membuat sebuah bangunan yang 

cukup besar di sebelah timur dari desa itu. Di sana Andika 

melihat para laki-laki yang berpakaian merah pula. 

Andika berkeyakinan kalau tempat yang dibangun itu 

adalah tempat yang hendak dijadikan markas. Tetapi di 

mana mereka berdiam sebelumnya? 

Andika pun kembali lagi untuk membawa dua laki-laki 

yang pingsan. Ia akan membuat kejutan di sana. Makanya, 

ia menunggu sampai besok pagi. Ketika menjelang 

matahari terbit Andika membawa dua laki-laki anggota 

Serikat Baju Merah yang masih pingsan, ia melihat seorang 

gadis datang. Sejenak dikaguminya kecantikan gadis itu. 

Dan diperhatikannya bagaimana gadis itu seperti terheran-

heran melihat keadaan sekitarnya. Tetapi kemudian ia tak 

mempedulikannya, karena ia hendak menjalankan 

rencananya.. 

Hanya saja, ketika dilihatnya tiga orang laki-laki berbaju 

merah muncul, Andika memutuskan untuk bersembunyi di 

sebuah batang pohon. Ia akan menolong bila gadis itu

diperlakukan tidak senonoh. Tetapi kenyataannya, gadis itu 

justru membuat ketiga laki-laki berbaju merah itu tunggang-

langgang dan sekarang gadis itu sudah lenyap dari 

pandangannya. 

"Siapa sebenarnya dia?" desisnya sambil berpikir. 

Kata-kata aneh yang dikemukakan Walet masih 

membuatnya bingung. Andika melirik dua anggota Serikat 

Baju Merah yang masih pingsan yang tergolek di cabang 

pohon di mana ia bersembunyi. 

“Hmmm... tak lama lagi pasti keduanya ini akan mati. 

Melihat dari luka yang mereka derita pada bagian yang 

fatal, sangat sulit untuk hidup lebih lama." Andika 

tersenyum. "Walet memang nakal. Tetapi sebaiknya, biar 

aku kejutkan Serikat Baju Merah lebih dulu. Sementara 

setelah itu akan kucari gadis berbaju merah muda itu. Siapa 

dia sebenarnya?" 

Memikir sampai di situ, Andika pun mengangkat tubuh 

kedua laki-laki yang pingsan. Ia bersiap untuk melompat. 

Tetapi gerakannya menjadi urung, ketika mendengar suara 

kuda digebah dari kejauhan. 


-0o-dw-ray-o0


4


Suara kuda menggebah yang didengar Andika semakin 

lama semakin dekat, berisik dan menarik perhatian. Dari 

tempatnya bersembunyi, Andika bisa melihat kalau para 

penunggang kuda rata-rata mengenakan pakaian orang-

orang kadipaten. Kuda yang mereka tunggangi rata-rata 

berwarna hitam, di punggung kuda ada sehelai kain yang di 

setiap sisinya berajut benang emas.

Melihat dari cara berpakaian para penunggang kuda itu, 

dalam hanya sekali lihat Andika bisa menebak siapa mereka 

dan apa maksud kedatangan mereka ke Desa Sawo Luwih 

ini. . 

“Hmm... kiranya berita tentang Serikat Baju Merah 

sudah masuk ke kadipaten. Bagus kalau begitu. Aku tak 

perlu lagi mengurus soal ini untuk sementara. Biar kutinggal 

saja dua anggota serikat Baju Merah ini dan sekarang aku 

mencari tahu siapa' gadis berbaju merah muda tadi." 

Andika melihat rombongan berkuda itu semakin dekat 

dengan pohon di mana ia bersembunyi. Ia melihat salah 

seorang di antara mereka mengangkat tangannya, seketika 

gerakan kuda-kuda itu terhenti. 

Pandangan mata yang mengangkat tangan tadi, 

menjurus pada tiga anggota Serikat Baju Merah yang 

pingsan dihajar Ayu. 

"Angkat ketiga manusia celaka dan seorang laki-laki tua 

yang malang itu! Amankan mereka! Kita terus bergerak 

untuk membasmi yang lain!!" 

Empat orang anak buahnya bergerak sigap. Lalu 

membopong dan meletakkan orang-orang itu ke punggung 

kuda masing-masing. Mereka langsung menggebah kuda ke 

arah dari mana mereka datang. Bermaksud meletakkan 

empat sosok laki-laki yang tergolek tak berdaya di 

punggung kuda masing-masing di tempat yang aman. 

"Berpencar!" seru yang pertama tadi memberi komando. 

Seketika mereka berpencar. Andika yang memperhatikan 

kesibukan para prajurit kadipaten berkata sendiri, "Menilik 

dari keadaan ini, nampaknya Serikat Baju Merah tidak 

mengetahui kedatangan mereka. Aku yakin, mereka masih 

berada pada bangunan yang sedang dibuat. Hmm, letaknya

cukup lumayan dari tempat ini. Sebaiknya sekarang saja 

aku mencari gadis itu sebelum kehilangan jejak." 

Setelah para prajurit Kadipetan berpencar, dengan 

mempergunakan ilmu larinya Andika berkelebat ke arah di 

mana Ayu bergerak tadi. 

-0o-dw-ray-o0- 

Di depan sebuah rumah yang menurut Ayu tak pernah 

berubah, murid Beruang Gunung Karimun itu berdiri. 

Matanya tak berkesip menatap rumahnya. Memang tak ada 

perubahan pada rumah itu, seperti ketika la 

meninggalkannya dulu. Tetapi kekotorannya sangat 

menjijikkan. 

Ayu juga melihat pintu rumahnya melompong. Ia 

menjadi cemas sekarang. Cepat ia berkelebat ke rumahnya. 

"Bapak! Ibu!!" 

Dalam sekali berkelebat saja Ayu sudah tiba di dalam 

rumahnya. Ia berteriak lagi. Tetapi sebuah batuk di sebuah 

kamar, membuatnya cepat ke sana. 

Disingkapnya gorden kamar. Dilihatnya seorang wanita 

yang lebih tua dan usia yang sebenarnya sedang tergolek tak 

berdaya dan seorang laki-laki yang nampak mengantuk. 

Batuk itu berasal dari wanita lemah itu. 

Batin Ayu bergetar. “Inikah kedua orangtuaku? Oh, 

Tuhan... Serikat Baju Merah pasti yang melakukan semua 

ini. Lalu ia memanggil perlahan "Bapak... Ibu...." 

Rahmat yang sedang mengantuk dengan perut lapar 

mengangkat kepalanya. Sejenak ia mengerutkan keningnya 

melihat seorang gadis jelita berada di depannya. 

Batin Ayu makin bergetar. "Bapak... ini aku, Ayu...”

"Oh, Tuhan!" Bagai memiliki tenaga kembali, Rahmat 

berdiri. Ayu... kau Ayu?" desisnya gembira. 

Ayu menganggukkan kepalanya dengan keharuan yang 

menjadi-jadi. 

"Oh Tuhan! Ayu, kau memang Ayu!” 

Rahmat berlari merangkul anaknya dengan penuh 

sukacita. Ayu membenamkan kepalanya dalam-dalam. 

Ditahannya keharuan yang muncul. Ditahannya kegeraman 

yang menjadi-jadi pada Serikat Baju Merah. 

Rahmat berlari mendapati istrinya sambil menarik 

tangan putrinya. Ia berkata penuh kegembiraan. "Bu... ini 

Ayu, Bu. Ayu....” 

Perempuan lemah yang kini jarang bicara itu, bagai 

melihat sebuah cahaya di depan matanya. Perlahan-lahan ia 

menoleh. Kembali Ayu harus menahan semua perasaannya 

melihat keadaan yang mengibakan ini. 

"Ayu...," suara Rokayah bergetar. 

Ayu menganggukkan kepalanya. Mencium kening 

ibunya. "Aku kembali, Bu...." . . 

“Terima kasih, Tuhan Kau cantik sekali, Ayu...” 

Ayu tersenyum. "Ibu sedang sakit?” 

Rokayah menganggukkan kepalanya sambil terbatuk. 

"Duduklah, Ayu... kau pasti lelah.” 

Ayu menoleh pada ayahnya, "Bapak... apakah semua ini 

perbuatan dari Serikat Baju Merah?” 

Kegembiraan Rahmat menjadi surut kembali ketika 

mendengar gerombolan itu disebutkan. Ia menganggukkan 

kepalanya seraya duduk kembali.

"Kau benar! Manusia-manusia biadab itu datang 

membawa petaka di desa kita, Ayu.... Kau jangan sampai 

berjumpa dengannya." 

"Aku sudah berjumpa dengan tiga orang dari mereka, 

Bapak." 

"Oh! Lalu apa yang terjadi?" 

"Berkat ilmu yang diajarkan oleh Nenek Beruang 

Gunung Karimun, aku berhasil menghajar mereka, Bapak." 

Kali ini kegembiraan Rahmat nampak kembali. 

"Bagus! Mereka memang perlu dihajar, Ayu!" 

"Benar, Bapak... aku akan memberi pelajaran pada 

mereka. Sebaiknya, aku mencari mereka sekarang." 

"Untuk saat ini, hal itu tidak usah dilakukan. Orang-

orang Kadipaten Karang Sutra sedang menumpas 

gerombolan itu," terdengar seorang dari belakang mereka. 

Ayu seketika berdiri. Ia melihat seorang pemuda tampan 

berbaju hijau pupus sedang berdiri diambang pintu. 

"Siapakah kau. Orang Muda?" tanya Ayu tanpa 

meninggalkan kesopanannya. 

Pemuda yang muncul yang tak lain Pendekar Slebor 

tersenyum. Andika membatin, "Dari jarak sedekat ini, 

kecantikan gadis ini semakin nyata sekali." 

Lalu ia berkata menyahuti pertanyaan Ayu, "Maafkan 

kelancanganku masuk ke rumah ini tanpa permisi. Tetapi, 

aku penasaran ingin mengetahui siapa kau adanya, Nona. 0 

ya, namaku Andika... orang- orang menjulukiku Pendekar 

Slebor."

Ayu menatap Andika dari ujung kaki sampai kepala. 

Andika jadi risih sebenarnya ditatap sedemikian rupa oleh 

seorang gadis cantik seperti Ayu. 

“Kau? Kaukah yang berjuluk Pendekar Slebor?” kata 

gadis itu pelan. Matanya tak berkesip menatap pendekar 

muda pewaris ilmu pendekar Lembah Kutukan yang berdiri 

di hadapannya. 

Andika cuma mengangkat alisnya. “begitulah orang-

orang rimba persilatan menjulukiku. Sebuah julukan 

yang...” 

“Yang sangat luar biasa,” sambung Ayu. Ia teringat 

sebelum turun gunung kembali ke rumahnya, gurunya 

pernah menceritakan seorang pendekar muda yang berasal 

dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor. 

Nenek Beruang Gunung Karimu memang belum pernah 

bersua dengan Pendekar Slebor, hingga ia tak bisa 

menggambarkan sosok Pendekar Slebor. Dan yang tak 

disangka Ayu, kalau pendekar Slebor masih muda seperti 

ini. paling tidak lebih tua beberapa tahun dari umurnya. 

“guruku pernah menceritakan tentang dirimu.” 

“O ya? Mudah-mudahan cerita yang baik. Boleh kutahu 

gurumu?” 

“Beliau berjuluk Beruang Gunung karimu.” 

Andika tersenyum. “Aku pernah pula mendengar 

julukan itu. Tetapi sayangnya, aku belum pernah berjumpa 

dengannya.” 

Rahmat mempersilakan Andika duduk di ruang dalam 

ketika mendengar istrinya terbatuk. Sementara Ayu 

menemani Andika, ia sendiri kembali menemani istrinya 

yang kini mulai tersenyum. Ia bahagia sekali melihat 

keadaan istrinya yang mendadak lebih baik setelah bertemu

dengan Ayu. Ia tak ingin menceritakan kejadian buruk yang 

menimpa istrinya pada putrinya. 

Sementara di ruang dalam Ayu sedang bertanya, "Kang 

Andika... apa maksudmu agar aku tak perlu menumpas 

Serikat Baju Merah?" 

"Kenyataannya memang seperti itu. Dua puluh prajurit 

kadipaten sedang menumpas mereka. Aku yakin, mereka 

akan berhasil melakukannya karena tentunya, para prajurit 

yang dikirim bukanlah prajurit sembarangan!" 

"Baguslah kalau begitu. Kupikir, gerombolan itu 

memang sangat kejam, Kang Andika." 

Sambil meneruskan percakapan, sebenarnya Andika 

berusaha memecahkan pula kata-kata Walet. Ia penasaran 

di mana sekarang bocah yang dititisi oleh seorang pangeran 

itu berada. Ia pun menyesal mengapa tidak menahannya 

kemarin. 

Ia bertanya pada Ayu, "Berapa lama kau berguru pada 

Nenek Beruang Gunung Karimun, Ayu?" 

"Lima tahun, Kang Andika." 

"Lima tahun," Andika bergumam pelan. Ia teringat akan 

kata-kata perlama dari Walet. Seekor merpati akan pulang 

kandang. Ayu - kali yang dimaksud oleh Walet sebagai 

seekor merpati? Dan merpati itu berada dalam ancaman 

maut seekor harimau, seperti kiasan yang dilakukan Walet. 

Hanya pendekar ugal-ugalan yang mampu menghalang. 

Andika mendengus ketika tiba pada kesimpulan kalau 

pendekar ugal-ugalan yang dimaksud Walet adalah dirinya. 

Kalau memang benar itulah jawaban dan pernyataan 

Walet, berarti Ayu dalam bahaya.

Ayu yang melihat Andika terdiam berkata sambil lurus 

menatapnya, "Mengapa kan seperti tertegun Kang Andika? 

Adakah sesuatu yang pikirkan?” 

Andika tersenyum. "Hanya sedikit.” 

"Soal apa?" 

"Sebaiknya Ayu tidak perlu mengetahui hal itu dulu" 

kata Andika dalam hati. "Biar kupendam dulu, sampai 

kuketahui siapa yang berniat untuk membunuh gadis jelita 

ini." Lalu ia berkata sambil tersenyum, "Tidakkah kau ingin 

kita melihat hasil kerja para pasukan kadipaten, Ayu?” 

Andika melihat wajah Ayu menggeram. “Ayolah! 

Manusia-manusia dajal itu memang sudah seharusnya 

meninggalkan desa yang dulu nyaman ini!” 

Sebelum mereka berangkat, Andika mengusulkan untuk 

memindahkan kedua orangtua Ayu ke tempat yang lebih 

aman. “Bukannya aku khawatir ada anggota Serikat Baju 

Merah yang masih hidup, melainkan kupikir lebih baik bila 

kita melakukannya. Sebelum aku tiba di desa ini, di sebelah 

selatan desa ini ada sebuah lembah kecil. Di sana pula 

kutemui sebuah bangunan yang masih bisa dipergunakan 

untuk tempat tinggal kedua orangtuamu sementara.” 

Ayu menimbang-nimbang usul itu. Lalu ia mengangguk. 

"Baik! Kupikir itu pun yang terbaik!" 

Ayu mengatakan semua itu pada ayahnya yang hanya 

menganggukkan kepala. Sambil mengucapkan 'maaf’ 

Andika memegang tangan Rahmat dan tubuhnya berkelebat 

hingga Rahmat menjerit lirih karena bagai diterbangkan 

oleh angin. Sementara Ayu membopong ibunya. Dengan 

gerakan yang cepat pula ia membawa ibunya menyusul 

Andika. 


-0o-dw-ray-o


Kedatangan para pasukan kadipaten ternyata membawa 

petaka bagi orang-orang Serikat Baju Merah. Dalam waktu 

hanya lima kali penanakan nasi, seluruh anggota manusia 

dajal itu berhasil ditumpas. 

Wisnusesa yang memimpin gerakan itu tersenyum puas, 

melihat teman-temannya mengumpulkan mayat-mayat 

yang rata-rata berbaju merah dengan sulaman sebuah wajah 

yang mengerikan pada dada kanan mereka. 

Sementara ia melihat para penduduk desa yang ketika 

mereka datang sedang mengerjakan sebuah bangunan besar, 

duduk berlutut. Anehnya, tak seorang pun yang 

menunjukkan wajah gembira. Keanehan itu pun tak luput 

dari pandangan Pendekar Slebor yang kini mengintip dari 

sebatang pohon besar bersama Ayu. 

Hati Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti. 

"Mengapa mereka bukannya gembira melihat pasukan 

kadipaten memusnahkan para gerombolan? Mengapa 

mereka begitu muram. Bahkan tak terdengar suara apa-

apa." 

Ayu yang ingin segera turun menjumpai orang-orang itu 

ditahannya. ' 

Ia menoleh pada Andika tak mengerti. "Mengapa, 

Kang?" 

"Tunggu dulu, Ayu. Kita tahan rasa ingin tahu kita 

untuk melihat ke bawah." 

"Ada apa?" tanya Ayu mendapati Andika menjawab 

tanpa menoleh sedikit pun padanya. 

"Tidakkah kau perhatikan wajah para penduduk, Ayu?" 

Andika berkata sambil mengerutkan keningnya. 

Ayu menoleh ke bawah. "Apa maksud, Kang Andika?" .

"Apa yang akan kau lakukan bila kau melihat kezaliman 

berhasil diatasi?" 

"Aku akan gembira." 

"Begitu pula denganku. Tetapi, tidakkah kau melihat 

kalau para penduduk justru kelihatan tegang?” 

Ayu memperhatikan sekali lagi kata-kata Andika. Ia pun 

kini merasa keheranan mendapati apa yang dikatakan 

Andika benar adanya. 

"Mengapa mereka bersikap seperti itu?" 

"Aku tidak tahu. Tetapi ada sesuatu yang janggal 

kurasakan. Ayu, dapatkah kau mengenali seluruh warga 

desamu ini?" 

Ayu menggelengkan kepala. "Tidak semua. Mungkin 

saja sepeninggalku dari desa ini, ada pendatang yang 

bermukim di sini. Mungkin pula di antara para laki-laki itu, 

ada penduduk seberang yang kebetulan menikah dengan 

wanita dari desa ini." 

Andika manggut-manggut. Ia masih memandang tak 

berkesip ke bawah. Pikirannya dikerahkan untuk 

memecahkan masalah yang mengganggunya. 

Tetapi sampai para prajurit kadipaten membawa mayat-

mayat itu yang diseret di belakang beberapa ekor kuda, 

Andika belum juga berhasil memecahkan kebingungannya. 

Ia tetap menahan Ayu agar tidak bergerak dari tempat 

mereka. Setelah beberapa saat berlalu, dua orang dari para 

penduduk yang duduk berlutut itu berdiri. Salah seorang 

berteriak, "Kawan-kawan! Kita bebas sekarang! Manusia-

manusia itu telah kembali ke kadipaten dengan membawa 

buruannya! Sang Ketua memang cerdik! Manusia-manusia 

bodoh itu telah membuat kekeliruan!!"

Hanya beberapa orang saja yang kemudian berdiri dan 

menyahuti kata-kata itu dengan sorak keras. Selebihnya 

hanya terdiam sesaat. 

Andika mendesah sambil menepuk keningnya. 

"Aku tahu sekarang. Aku tahu. Pantas, aku tidak melihat 

penjagaan ketat yang dilakukan oleh para gerombolan itu." 

Ayu menoleh tak mengerti. "Maksud Kang Andika 

bagaimana?" 

“Rupanya, penyerangan yang dilakukan oleh para 

prajurit kadipetan bocor." 

“Aku tak mengerti." 

"Dengar baik-baik, Ayu.... Mayat-mayat yang diseret 

kuda oleh para prajurit Kadipaten Karang Sutra, bukanlah 

mayat para Serikat Baju Merah." 

"Oh Tuhan! Maksud mu..." 

"Ya! Rencana penyerangan ini rupanya bocor. Sehingga 

para anggota Serikat Baju Merah masih sempat 

menukarkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian 

beberapa penduduk. Lalu mereka pun bersikap seperti 

layaknya para penduduk desa itu dan tentunya memaksa 

para penduduk yang sudah mengenakan pakaian yang 

mereka kenakan sebelumnya berdiri tegak mengawasi 

layaknya mereka sendiri. Para prajurit kadipaten sudah 

tentu tak akan bisa mengenali siapa lawan dan yang mana 

kawan. Yang mereka jadikan patokan sudah tentu pakaian 

warna merah yang dikenakan oleh orang-orang yang 

mereka cari itu.” 

"Licik sekaligus kejam!" Ayu menggeram. 

"Mereka sangat pintar. Hanya saja, bagaimana rencana 

penyerangan itu berhasil diketahui mereka?"

Tak ada yang menjawab. Di bawah, lima orang laki-laki 

yang bertampang kejam, telah mengambil parang mereka 

yang tadi disembunyikan di balik semak. Mereka 

mengenakan lagi sabuk parang itu. Dan dengan geramnya, 

menendang-nendang dengan makian yang keras pada para 

penduduk yang memperhatikan mereka dengan tatapan 

marah. Namun mereka tadi tak ada yang berani 

mengatakan siapa orang-orang yang dihajar oleh pasukan 

kadipaten, karena ancaman kematian sudah ditebarkan oleh 

anggota Serikat Baju Merah sebelum mengganti pakaian 

yang mereka kenakan dengan pakaian lima orang teman 

mereka. Bahkan lima orang lagi dipaksa untuk mengenakan 

pakaian yang sama yang baru diambil dari tempat yang 

tersembunyi oleh yang berhidung besar. 

“Kerja kalian! Teruskan kerja lagi!" 

"Apakah kalian ingin mampus, hah?!" 

Hiruk-pikuk kembali mewarnai tempat itu. Sampai tiba-

tiba terdengar bentakan keras, "Bodoh kalian semua! Di 

mana yang lainnya, hah?!" 

Andika dan Ayu melihat seorang laki-laki tinggi besar 

yang berdiri di wuwungan sebuah rumah. Mereka melihat 

kelima orang yang tadi membentak-bentak para penduduk 

langsung jatuhkan diri dengan sikap hormat. 

"Cari kelima manusia itu! Mereka pantas dihukum 

karena pergi tanpa memberi kabar!! Kalian harus 

berkumpul besok sore! Karena, seorang kambratku, bila 

tidak ada halangan yang terlalu mengganggu, akan tiba di 

sini besok sore!" 

Sehabis berkata begitu, orang yang berteriak keras yang 

tak lain adalah Singgih Murka, mendadak saja menghilang. 

Kelima orang yang diperintah itu berdiri kembali. Mereka

berpandangan, seolah baru menyadari kalau lima orang 

anggota mereka lainnya, tidak ada di tempat. 

Salah seorang berteriak, "Cari mereka sampai dapat!! 

Jangan-jangan mereka teler di rumah para janda!" 

Empat orang pun berkelebat cepat. 

"Untungnya, kedua orangtuaku telah kita pindahkah, 

Kang Andika," Kata Ayu, kali ini disertai dengan tatapan 

kagum atas kecerdikan Andika. Andika pula yang bisa 

menebak kalau keadaan justru berbalik dari yang 

diharapkan. Kenyataan para gerombolan itu menukarkan 

pakaian mereka dengan pakaian para penduduk, sebuah 

jalan keluar yang sangat licik namun cerdik. 

"Siapa yang dimaksud oleh laki-laki tinggi besar itu?" 

gumam Andika. "Kupikir, desa ini memang akan dijadikan 

sebuah tempat untuk bermukim, atau merencanakan sebuah 

kejahatan. Apa yang hendak mereka lakukan sebenarnya?" 

Kali ini Ayu tak banyak bertanya. Ia hanya 

mendengarkan saja kata-kata Andika yang sebenarnya lebih 

banyak ditujukan pada diri Andika sendiri. 

"Ayu... sebaiknya, kita tunda keinginan kita untuk 

menghancurkan manusia-manusia dajal ini untuk 

sementara. Aku ingin mengetahui siapa kawan manusia 

durjana itu yang akan datang ke sini dan apa yang sedang 

direncanakan mereka." 

Ayu hanya menganggukkan kepalanya, padahal ia sudah 

tidak sabar untuk menurunkan tangan pada manusia-

manusia itu. 

Andika bertanya, "Kenalkah kau dengan seorang bocah 

yang bernama Walet, Ayu?"

"Walet? Tidak. Namanya saja baru kudengar sekarang. 

Mengapa, Kang Andika?" 

"Tidak apa-apa. Sebaiknya, kita berjaga-jaga saja. 

Hmmm... aku mempunyai sebuah rencana yang menarik 

sambil menunggu kedatangan kambrat manusia keparat 

itu.”

 

0o-dw-ray-o0


5


Dua orang anggota Serikat Baju Merah yang mencari 

lima temannya yang menghilang, bertemu di tengah desa. 

Keduanya saling menggelengkan kepala. "Setan! Ke mana 

mereka?" maki yang berambut panjang dan berhidung 

besar. 

“Aku hanya tahu soal Gandul dari Marta," kata 

kawannya yang bernama Jereng. "Mereka sedang menuju 

ke rumah yang terletak di tepi desa sebelah yang istrinya 

kita gilir waktu itu. Tetapi, ketika kudatangi rumah itu, tak 

ada siapa pun di sana. Ku pikir Gandul dan Marta pasti 

telah membunuhnya.” 

"Setan alas! Bagaimana dengan yang lain. 

"Aku tidak tahu." 

"Hhhh! Sebaiknya, kita menemui yang lainnya, 

barangkali saja mereka sudah menemukan setan-setan itu!!" 

"Sebaiknya, kalian berada di sini saja. Karena, ada yang 

ingin kutanya kan," terdengar suara itu di belakang 

keduanya yang seketika menoleh dan mengerutkan kening.

"Siapa kau?" bentak si hidung besar begitu melihat satu 

sosok tubuh berbaju hijau pupus dengan sehelai kain 

bercorak catur yang tersampir di bahunya. 

"Aku?" Orang yang baru muncul yang tak lain Andika 

menunjuk dirinya sendiri. "0... kalau aku ya aku. Kalau 

kalian sudah pasti monyet bukan?" 

Wajah si hidung besar kelam seketika. Ia menggeram, 

"Sialan! Kau hanya mencari mampus!" 

"Wadaowww!" jerit Andika konyol. “Jangan... jangan 

kau bunuh aku! Aku masih doyan makan ubi!" 

Si hidung besar rupanya memiliki sifat pemarah. Ia 

langsung menarik parangnya dengan geram. 

Sraaat! 

"Kapan kau terakhir makan ubi?" 

Andika menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap 

konyol. "Kapan ya? Aku tak ingat lagi." 

"Kau tak akan pernah ingat lagi!" maki si hidung besar 

sambil menyerang dengan parangnya. Si Jereng pun tak 

mau ketinggalan. Ia pun menyerang dengan ganas pula. 

Dua buah parang menderu mengeluarkan angin dahsyat. 

Menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga. 

Tetapi, yang mereka hadapi bukanlah begundal banyak 

omong. melainkan Pendekar Slebor yang disegani oleh 

orang-orang rimba persilatan. 

Hanya dalam dua gebrakan saja, Andika sudah merebut 

parang dari kedua lawannya. Lalu seperti mematahkan 

sebuah ranting, dua parang itu dipatahkan sekaligus, hanya 

dengan mempergunakan ibu jari dan telunjuk. 

Kedua lawannya terperangah melihatnya.

"Siapa kau sebenarnya?" ., 

"Lho, jadi bertanya nih? Namaku Andika... Julukanku 

Pendekar Slebor!!" 

Mendengar julukan itu disebutkan, keduanya tanpa sadar 

mundur satu langkah. Mereka teringat akan kata-kata 

Singgih Murka, tentang seorang pendekar muda yang 

berjuluk Pendekar Slebor yang kemungkinan besar bisa 

menggagalkan rencana yang telah dijalankan sebagian. 

Meskipun Singgih Murka mengatakan Pendekar Slebor 

tidak akan pernah tiba di desa ini, sungguh terkejut bukan 

buatan keduanya menyadari kalau hal itu merupakan 

kekeliruan besar. 

Memang, karena langkah Pendekar Slebor begitu 

panjang. 

"Setan keparat! Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar 

Slebor! Menyerahlah untuk kami bawa ke kaki pimpinan!" 

maki si hidung besar. 

Andika terbahak-bahak sampai perutnya bergoncang. 

"Enak benar ngomong! Nyali tikus yang kalian miliki masih 

kalian coba samarkan dengan menunjukkan nyali serigala! 

Sudah tentu aku jadi ketakutan, nih!" 

Keduanya saling pandang. Dan bersamaan dengan 

teriakan yang keras. keduanya menerjang kembali. Sungguh 

keduanya berotak bebal, tidak mengetahui siapa yang 

mereka hadapi. Hanya dengan menggerakkan tubuh sekali 

saja dan menggerakkan tangan dua kali, keduanya telah 

kaku tertotok. 

Andika menjitak kepala keduanya yang melotot tetapi 

tak bisa bergerak. 

"Kalian diam-diam saja dulu. Biar urusan yang lainnya 

kalian terpaksa tidak ikut."

“Manu....” 

Tuk! 

“Nah, kubilang diam kan? Terpaksa aku harus menotok 

urat leher kalian? Yuk, kita cari tempat yang aman!" Seperti 

bersikap dengan temannya, Andika membopong keduanya 

dan membawanya ke tempat persembunyian yang 

ditemukannya. "Kalian diam-diam saja di sini! Pokoknya, 

kalian aman. Cuma ya... terhadap ular berbisa yang akan 

menggerogoti kalian aku tidak berjanji, ya?" selorohnya 

sambil ngeloyor pergi. 

Tak dihiraukan kedua lawannya yang tak berdaya itu 

melotot sengit. 

Andika melangkahkan kakinya lagi menuju Desa Sawo 

Luwih. Sebenarnya, ia masih memikirkan kebenaran 

kemungkinan jawaban atas pernyataan Walet. 

Kalau memang yang diduganya itu benar berarti 

memang ia harus selalu berada di dekat Ayu. 

"Sial!" rutuk Andika tiba-tiba. "Ke mana sih si Bocah 

Ajaib itu?" 

Andika berhenti melangkah. Membetulkan letak kain 

pusakanya yang agak miring. Gerakan yang dilakukannya 

itu sebenarnya tidak perlu. Karena posisi kain pusakanya 

seperti biasa terletak pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu 

yang menarik perhatian pendekar pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan itu. 

Sambil berlagak menyampirkan kembali kain pusakanya, 

Andika mendesis dalam hati. "Hmmm... ada anak monyet 

yang sejak tadi mengintip dari pohon tiga tombak dari 

hadapanku ini. Siapa manusia itu? Biar kucari tahu siapa 

dia."

Setelah berpikir begitu, dengan santai Andika 

melanjutkan langkah lagi. Nalurinya yang tajam 

mengatakan kalau sosok tubuh yang bersembunyi di balik 

pohon itu sedang memperhatikannya. 

"Akan kukecoh dia." 

Tiba-tiba saja Andika berkelebat cepat. 

Wuss! 

Tubuhnya melompat ke kiri, masuk ke balik semak. Dari 

semak yang setinggi dada manusia itu ia melihat sosok 

berpakaian hitam-hitam dengan dada terbuka celingukan 

memperhatikannya. Begitu, si pengintip melompat turun, 

Andika berkelebat menjauh. Ia ingin membuktikan apakah 

manusia itu memang sengaja memperhatikannya atau 

tidak. 

Pada kenyataannya, laki-laki berbaju hitam itu memang 

mengikutinya. Andika terus bergerak laksana kilat. 

Gerakannya memang sangat terlatih. 

Di sebuah tempat terbuka yang agak jauh dari Desa 

Sawo Luwih, laki-laki tinggi besar berbaju hitam-hitam itu 

berhenti. Ia celingukan dengan gertakan keras. 

"Setan! Aku yakin pemuda itu Pendekar Slebor, sesuai 

dengan ciri yang selama ini kudengar! Aku jadi teringat 

tentang sahabatku si Dewa Api, yang tewas di tangan 

pendekar urakan itu! Hhh! Keinginanku untuk mencari 

gadis berbaju merah muda, bisa kutunda dulu untuk 

menyelesaikan masalah Dewa Api!" Orang yang tak lain 

Maharaja Langit Hitam menggeram. Ia mencari di 

beberapa tempat, tetapi sosok Pendekar Slebor tidak 

ditemukan. Lalu ia pun bermaksud untuk meninggalkan 

tempat itu. 

Tetapi....

"Busyet! Jadi bangga nih dengan diriku sendiri! Kalau 

aku bermain petak umpet, selama sebulan penuh pasti kau 

tak bisa menemukanku, ya?" suara itu terdengar dari 

sebatang pohon. 

Maharaja Langit Hitam mendongak. Sejenak ia 

melengak kaget melihat Pendekar Slebor sedang duduk di 

sebuah dahan pohon dengan kedua kaki menjuntai. 

"Setan alas! Manusia semacam kau sudah selayaknya 

mati!" makinya dengan wajah tertarik ke dalam. Bibirnya 

yang turun di bagian bawah nampak mengerikan dan 

bergoyang-goyang saat ia memaki tadi. 

Andika cuma nyengir saja. "Dugaanku benar ia memang 

sengaja mengikutiku. Hhh! Siapa dia sebenarnya? Kalau 

mendengar geramannya tadi ia pasti sahabat si Dewa Api. 

Tetapi apakah ia orang yang ditunggu Singgih Murka? Hhh! 

Tadi pun akan menyelidiki tentang Singgih Murka, tetapi 

tak kuketahui di mana ia berada?” Setelah mendesis dalam 

hati Andika berkata konyol, "Mati itu sih gampang kalau 

memang ajal sudah tiba. Tetapi apa tidak sebaliknya, justru 

kau yang akan mati?" 

Kelam wajah Maharaja Langit Hitam. Ia membentak 

dengan tangan menuding, “Kau harus membayar nyawa 

sahabatku si Dewa Api, Pendekar Slebor!” 

"Busyet, urusan ini jadi panjang, padahal aku harus 

menemui Ayu,” membatin Andika. Lalu, “O...Jadi kau ini 

sahabatnya ya? Siapa sih kau ini?” 

"Julukanku Maharaja Langit Hitam! Cepat kau bersujud 

sebelum kucabut nyawamu!" 

“Busyet! Hebat sekali gayamu itu, ya? seloroh Andika 

kocak. "Sebenarnya, kau yang mau sujud, kan? Mau sujud 

saja? Apa kau mau kukentuti?”

Maharaja Langit Hitam tak bisa menahan diri lagi. 

Kegeramannya setelah mengingat Dewa Api mati di tangan 

Pendekar Slebor, membuatnya segera mengibaskan tangan. 

Wusss! 

Serangkum angin dingin menderu ke arah Andika yang 

dengan sigapnya bersamaan tangan Maharaja Langit Hitam 

bergerak, ia pun bergerak pula. 

Serangan dahsyat itu meleset. 

Akibatnya, bukan hanya dahan yang didudukinya saja 

yang hancur, batang pohon bagian atas pun pecah dan 

tumbang menimbulkan suara yang cukup keras. 

Plok! Plok! Plok! 

Andika bertepuk tangan. "Hebat, hebat sekali!" 

Tetapi manusia dajal itu tak mau bertindak ayal. 

Menyusul satu rangkaian serangan yang mengandung hawa 

dingin luar biasa, menyerbu ke arah Andika. Pendekar 

urakan yang siap untuk menghindari serangan itu menjadi 

terkejut sendiri, ketika merasa sekujur tubuhnya bagai 

membeku. 

"Busyet! Apa-apaan ini?" makinya kaget dan tak ada 

jalan lain kecuali membanting tubuhnya sendiri 

menghindari serangan aneh itu. 

Wusss! 

Serangan itu meleset kembali. Tetapi kaki kanan 

Maharaja Langit Hitam sudah siap menjejak di dada 

Andika. Siap bikin ambrol, tembus dan jantung Andika bisa 

remuk seketika. Tetapi, rupanya di saat yang kritis itu, 

dalam keadaan tubuh yang bagai membeku, Andika telah 

mengalirkan sebagian hawa tenaga 'inti petir' hingga 

tubuhnya menjadi normal kembali.

Bersamaan kaki Maharaja Langit Hitam menjejak, ia 

menendang keras. 

Buk! 

Benturan tenaga itu terjadi. Tubuh Maharaja Langit 

Hitam bergetar, sementara Andika cepat berdiri meskipun 

kakinya dirasakan sakit pula. 

"Pukulannya mengingatkan aku pada Ratu Mesir yang 

merasuki diri Nofret," pikir Andika sambil bersiaga. "Hanya 

saja, pukulan yang dilakukan Maharaja Langit Hitam, 

belum sedahsyat tenaga 'Inti Es' Ratu Mesir." (Untuk 

mengetahui hal itu, silakan baca : "Warisan Ratu Mesir"). 

Sementara itu, Maharaja Langit Hitam sudah dalam 

keadaan sempurna kembali. Ia cukup digetarkan dengan 

tenaga dalam yang dirasakan tadi. "Tak mustahil bila Dewa 

Api bisa tewas di tangan Pendekar Slebor. Biar kucoba 

sekali lagi!" 

Dengan gerakan aneh, bagai melompat-lompat, 

Maharaja Langit Hitam menyerang kembali. Andika 

membalas dengan gempuran tak kalah hebat. 

Tak terasa lima belas jurus sudah berlalu begitu cepat. 

Tempat di mana mereka bertempur bagai diamuk puluhan 

banteng liar. Mendadak satu ketika, setelah menyerang 

namun gagal dengan kakinya, tubuh Maharaja Langit 

Hitam berkelebat ke belakang, berdiri dalam jarak tiga 

tombak. 

"Kau akan merasakan ilmu yang kumiliki ini, Pendekar 

Siebor." 

Meskipun tahu lawan sedang kerakan ilmunya yang 

paling hebat, Andika tetaplah Andika, yang memiliki sejuta 

akal cerdik dan sifat urakan yang terkadang tidak 

ketolongan.

"Aku memang belum merasakan apa-apa, kok. Cuma 

kayaknya seperti menghadapi anak kecil saja. Makanya dari 

tadi aku belum memukul. Bukan tidak bisa, tetapi tidak 

tega. Nah, ayo ucapkan terima kasihmu!" 

Gusar bukan buatan Maharaja Langit Hitam. Ia 

menggeram setinggi langit, membuncah keras bagai riak 

yang meluncur dari dasar laut. Kedua tangannya menyilang 

dahsyat. Gerakannya bagai tak beraturan, tetapi akibatnya, 

Andika bisa merasakan perubahan udara di sekelilingnya. 

Tiba-tiba bagai membengkak dalam dingin yang tinggi. 

Andika lagi-lagi terkejut. Ia menambah aliran hawa 

panas dalam tubuhnya. Maharaja Langit Hitam tak mau 

membuang waktu lagi. ajian ‘Menghampar Gunung Es' 

sebuah jurus yang sangat dahsyat. 

Tubuh Marahaja Langit Hitam berkelebat dengan 

gerengan yang menjurus. Keras. Membahana. Sekaligus 

mengerikan. Dingin berkebyar-kebyar. 

Pendekar Slebor tak memapaki serangan itu. Ia coba 

menjajaki kekuatan yang terpancar dari setiap serangan 

Maharaja Langit Hitam. 

Sambil menghindar ia mencoha menemukan titik lemah 

dari ajian Maharaja Langit Hitam. Serangan susulan datang 

kembali ke arahnya. Lebih ganas, lebih cepat dan lebih 

mengerikan. Dingin bukan hanya berkebyar, tetapi juga 

mendera tubuh Andika hingga gerakannya jadi sedikit 

lambat. 

"Tak ubahnya dengan ajian 'Inti Es' milik Ratu Mesir!" 

makinya keras. Tubuh Maharaja Langit Hitam bukan 

hanya berkelebat, tetapi juga bergulingan sembari kirimkan 

serangan. Begitu cepat, mengerikan sekaligus mematikan. 

Des!

Kaki kanan Andika terkena hantamannya. Andika 

merasa aliran dingin begitu cepat naik ke sekujur tubuhnya 

melalui kaki kanan. 

"Kacau! Aku harus cepat memusnahkan tenaga celaka 

ini kalau tidak ingin mati konyol!" 

Tetapi terlambat, karena Maharaja Langit Hitam telah 

menghantam tubuhnya empat kali. Tubuh Andika bukan 

hanya terasa dingin, tetapi juga membeku. Dan ambruk tak 

ubahnya batang kayu. 

Maharajd Langit Hitam menghentikan serangannya Ia 

meludah seraya berkata, "Tak perlu membunuhmu. Karena, 

dalam waktu sepeminuman teh, kau akan mampus, 

Pendekar Slebor. Dengan tubuh dan aliran darah yang 

membeku! Hmm... sebaiknya, aku mendatangi Singgih 

Murka sekarang. Ia pasti sedang menungguku!" 

Tubuh Maharaja Langit Hitam pun menghilang dengan 

membawa senyum puas karena berhasil membunuh 

Pendekar Slebor. 

Tamatkah riwayat Pendekar Slebor? 

Tidak, karena satu sosok tubuh kecil muncul dari balik 

pohon sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menoleh 

pada Andika yang sedang bersemadi di balik rimbunnya 

semak. 

Bocah itu tak lain adalah Walet, yang muncul di saat 

keadaan menjadi kritis bagi Andika. Dengan ilmu batin 

yang dimilikinya ia mengubah tubuh Andika menjadi 

sebatang kayu, sekaligus membalikkan mata Maharaja 

Langit Hitam yang begitu bangganya menghajar Andika 

yang ternyata hanya sebatang kayu. 

Dengan langkah pongah Walet mendekati Andika yang 

sedang bersemadi.

"Kang Andika lengah!” katanya seperti seorang ayah 

pada anaknya. "Seharusnya Kang Andika bisa 

mengalahkan manusia jelek itu!" 

Andika cuma tersenyum. "Aku berhutang budi padamu." 

"Tidak ada Budi! Yang ada Walet!" 

Andika tertawa. Selagi ia cari Walet tidak ditemukan, 

selagi tidak dicari bocah ajaib itu justru nongol sendiri. 

"Kau ini keturunan tolol juga rupanya? Yang kumaksud 

dengan budi itu bukan nama orang!" 

Walet nyengir. 

"Kenapa Kang Andika lengah?" 

"Aku masih memikirkan ajian yang dilakukan oleh 

Maharaja Langit Hitam. Pikiranku tak lepas dari ajian 'Inti 

Es' milik Ratu Mesir, yang ternyata justru ilmu yang 

dimiliki oleh si Gila Petualang yang mendendam pada 

dunia persilatan." 

"Ada titik lemah dari ajian yang dimiliki manusia jelek 

itu." 

Kalau Walet berkata begitu, Andika percaya. Ia 

menatapnya lekat-lekat. 

"Katakan." 

"Katanya cerdik, mengapa tidak memecahkan saja?" 

Andika tertawa. "Brengsek kau ini, ya? Eh, Let! Apakah 

merpati yang kau maksudkan itu...." 

"Maaf ya, Kang... aku ada urusan!" potong Walet tiba-

tiba dan sambil bersiul-siul meninggalkan Andika yang 

melongo. Lenggangnya enak saja, seolah tak peduli Andika 

mau bersikap bagaimana.

"Busyet! Brengsek juga tuh bocah!" maki Andika sambil 

berdiri. Tetapi lagi-lagi ia tak bermaksud untuk mengejar 

Walet meyakini dugaannya. "Hmm... aku masih yakin, 

merpati yang dimaksud Walet adalah Ayu. Tetapi siapa 

yang dimaksudkan dengan serigala oleh Walet!" 

Andika terdiam sejenak dengan kening berkerut. Lalu ia 

memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, mencari 

Maharaja Langit Hitam dan menuntaskan teka-teki yang 

berlarian di benaknya. Apalagi ketika ia teringat, Ayu pasti 

telah menunggu di tempat yang telah ditentukan sesuai 

dengan rencana. Dalam hati kecilnya, Andika khawatir 

kalau rencananya itu akan gagal. 


-0o-dw-ray-o0


6


Ayu mengendap di balik semal. Malam telah lewat 

beberapa jam. Sang Ratu Malam telah berada di sepertiga 

perjalanan menyongsong pagi. 

"Hmm... mengapa Kang Andika belum muncul juga!" 

desisnya sambil memperhatikan bangunan besar tak 

ubahnya seorang raksasa yang tengah berlutut. "Seharusnya 

ia sudah tiba sejak tadi di sini. Ke mana dia?" 

Selagi Ayu memikirkan soal Andika, tiba-tiba 

pendengarannya menangkap suara di belakangnya. Sigap ia 

menoleh. Dilihatnya satu sosok tinggi menyeramkan berada 

di hadapannya. Mata orang itu tak berkesip menatapnya, 

sejurus kemudian terdengar tawa membuncah yang 

membuat Ayu mendadak sakit perut. 

"Hahaha... kita berjumpa kembali, Manis. Mau apa kau 

mengintip kediaman sahabatku, hah?"

Ayu ingat siapa laki-laki jelek di hadapannya ini. 

Maharaja Langit Hitam. Apa maksudnya dengan tempat 

kediaman sahabatnya? Otak gadis yang cerdik itu bisa 

langsung menemukan jawaban, "Manusia keparat inilah 

yang ditunggu oleh Singgih Murka." 

Perlahan-lahan ia berdiri dengan sikap tenang namun 

waspada. Ketenangannya itu benar-benar mewarisi 

ketenangan gurunya dalam menghadapi masalah. 

"Kau sendiri mau apa ke sini, hah?" 

“Pertama, aku hendak menjumpai sahabatku, Singgih 

Murka. Kedua, sudah tentu untuk menemuimu. Kau harus 

menjadi istriku!" seru Maharaja Langit Hitam sambil 

perdengarkan tawanya lagi. Di matanya, Ayu tak ubahnya 

bagai seekor kelinci belaka. 

Wajah Ayu memerah. Dugaannya memang benar. 

Manusia itulah yang ditunggu Singgih Murka. Bisa berabe 

kalau begini. Ayu menimbang kedudukannya sekarang. 

"Kau hanya membuang waktu untuk mendapatku 

menjadi istrimu!" katanya gagah. "Seharusnya kau 

menikahi kambing yang diberi obat perangsang!" 

Maharaja Langit Hitam terbahak-bahak. 

"Kita lihat!" 

Gerakan cepat dengan posisi kedua tangan membuka 

siap mencengkeram diperlihatkan Maharaja Langit Hitam. 

Ayu yang sudah bersiaga sejak tadi, menghindari serangan 

itu dengan mudah. Bahkan dengan menekuk lututnya, ia 

melepaskan satu pukulan yang dipapaki dengan tekukan 

siku lawan. 

"Hebat! Kau memang pantas menjadi istriku!" 

"Omongan busuk!"

Kali ini Ayu mendahului menyerang. Jurus-jurus, yang 

diajarkan oleh Nenek Beruang Gunung Karimun 

diperlihatkan. Gerengannya terdengar tak ubahnya beruang 

marah. Gerakannya lincah, cepat, dan berbahaya. 

Maharaja Langit Hitam yang pernah melihat gerakan 

cepat di!akukan Ayu waktu itu, dilakukan pula gerakan 

yang tak kalah cepatnya. Ia mengagumi tenaga dalam yang 

dimiliki oleh lawan. Cukup kuat dan mematikan. 

Bahkan dua kali ia terkena gedoran kaki kanan Ayu yang 

cepat, membuatnya naik darah. Ia menerjang dengan 

gempuran yang tak kalah berbahaya, yang dibalas Ayu 

dengan tak kalah lincah. Pertempuran sengit itu pun 

berlangsung begitu cepat. Saling serang dengan gerakan 

tipuan telah dipamerkan. 

Tetapi bagi laki-laki berbibir turun itu, serangkaian 

serangan yang dilakukan Ayu bukanlah serangan yang 

terlalu mengerikan. Apalagi bagi Ayu sendiri, semenjak 

turun gunung dan menuntaskan pelajarannya, baru kali ini 

ia bertarung dengan seorang lawan. Hingga pengalamannya 

masih sangat sedikit sekali. Ia belum tahu bagaimana 

kelicikan dan kecurangan bisa dipergunakan saat bertarung 

semacam ini. 

Dengan mempergunakan ajian yang telah memperdaya 

Pendekar Slebor, dalam tiga gebrak berikutnya, Ayu sudah 

berhasil dikalahkan. 

Gadis itu memaki jengkel dengan tubuh terbujur di 

tanah. Kedua kakinya tak bisa digerakkan sama sekali. 

Aliran darahnya seolah mati. Wajahnya pucat. 

Namun kekenisan hatinya masih memaksanya untuk 

membuka jalan darahnya. Tetapi hal itu tak bisa dilakukan. 

Sambil tertawa, Maharaja Langit Hitam menotoknya. Lalu 

membopongnya menuju kediaman sahabatnya.


0o-dw-ray-o0- 


Singgih Murka menyambut kedatangan sahabatnya 

sambil terbahak-bahak. 

"Kupikir, baru besok siang kau datang.” 

"Aku tak sabar untuk melihat hasil kerjamu. Bagaimana 

dengan Pimpinan?" kata Maharaja Langit Hitam sambil 

mengedarkan pandangan pada bangunan besar yang baru 

saja selesai dibangun. Tetapi bagian belakang masih 

melompong. 

"Semuanya berjalan baik. Kau membawa seekor kelinci 

gemuk rupanya?" Singgih Murka tertawa. 

Maharaja Langit Hitam menyeringai, ”Kau benar. Aku 

bukan hanya ingin memelihara kelinci ini, tetapi juga 

mengawininya. Ia milikku.” 

"Kau akan mendapat kepercayaanku.” 

"Di mana aku bisa meletakkan kelinci ini?" 

"Kamarmu sudah kupersiapkan." Singgih Murka 

menepuk tangannya dua kali. Dua orang gadis jelita namun 

berwajah murung muncul dengan sikap hormat. Jelas sekali 

kalau keduanya terpaksa melakukan hal itu. Karena, 

keduanya memang gadis yang berasal dari Desa Sawo 

Luwih. "Tunjukkan kamar pada Maharaja Langit Hitam." 

Kedua gadis itu membawa Maharaja Langit Hitam ke 

kamar yang bagus dan wangi. Sambil tertawa laki-laki itu 

meletakkan tubuh Ayu di pembaringan. 

"Kau tunggu di sini, ada yang harus kubicarakan dengan 

Singgih Murka. Selebihnya. kita akan bertamasya ke alam 

jauh dari dunia."


Tertawa dan tak menghiraukan pelolotan Ayu, Maharaja 

Langit Hitam menemui Singgih Murka lagi. Kali ini di meja 

sudah terdapat tuak dan buah-buahan segar. 

"Silakan duduk. Apakah kau sudah menjalankan tugas 

dari Pimpinan?" 

"Aku belum berhasil menemukan Beruang Gunung 

Karimun. Entah di mana wanita tua itu bersembunyi," 

sahut Maharaja Langit Hitam sambil menenggak langsung 

tuak dari kendi. Lalu mengusapnya dengan punggung 

tangan kiri sambil mendesah puas. "Bukan main! Kau 

begitu enak tinggal di sini!" 

"Menurut Pimpinan, Beruang Gunung Karimun adalah 

orang pertama yang harus kita bunuh," kata Singgih Murka 

tak menghiraukan kata-kata sahabatnya. 

"Kau benar. Tetapi, aku belum berhasil menemukannya. 

Kesulitanku pertama, aku belum mengenal Beruang 

Gunung Karimun. Pimpinan hanya mengatakan ciri-

cirinya. Bahkan kemampuan yang dimiliki Beruang 

Gunung Karimun saja aku belum pernah menjajaki. Kedua, 

aku memang tak menemui seorang pun di Gunung 

Karimun. Entah di mana ia bersembunyi. Justru aku telah 

berhasil membunuh Pendekar Slebor," kata Maharaja 

Langit Hitam dengan bangga. 

"Kau?" Mata Singgih Murka membulat. Tak percaya. 

"Tamat sudah riwayat Pendekar Slebor. Kupikir, ia 

sekarang sudah menjadi mayat membeku. Dendam 

sahabatku Dewa Api sudah tuntas. Sungguh menyenangkan 

karena aku tak sengaja bertemu dengan Pendekar Slebor." 

Singgih Murka tertawa. "Bagus kalau begitu. Semalam 

aku mendapat kabar dari Pimpinan kalau ia juga melihat

kemunculan Pendekar Slebor. Kau sudah menjalankan 

tugas sebelum diperintahkan." 

"Sangat menyenangkan sekali. Lalu apa tindakan kita 

selanjutnya?" 

"Pimpinan menginginkan tempat ini menjadi markas 

candu yang hendak diedarkan. Karena letaknya cukup 

tersembunyi. Aku juga sudah mengundang beberapa 

kambrat yang lain untuk datang membantu kita. Hanya 

saja, keanehan terjadi. Anak buahku tinggal seorang tanpa 

kuketahui siapa pelakunya. Bahkan dua orang mati di 

depan mata kepalaku sendiri. Di saat aku sedang menerima 

laporan mereka tentang menghilangnya anak buahku yang 

lain. Tak bisa kuduga siapa yang melakukannya. 

Kelebatannya laksana setan. Tentunya, ia memiliki 

kesaktian yang tinggi." 

Maharaja Langit Hitam menggeram. "Manusia keparat 

itu harus diberi pelajaran!" 

"Kita tunggu sampai kambratku datang!" 

"Bagus! Malam makin dingin. Aku harus menikmati 

hidangan yang tersedia." 

Singgih Murka cuma menganggukkan kepala. Maharaja 

Langit Hitam melangkah ke kamar yang disediakan Singgih 

Murka dengan tak sabar 

“Aku datang untuk... gila! Keparat!!” laki-laki tinggi 

besar itu menggeram seraya menghantam sebuah kursi. “Ke 

mana gadis itu, hah?!” 

-0o-dw-ray-o0- 

Bentakannya terdengar oleh Singgih Murka yang segera 

mendekat. 

“Ada apa?"

“Setan alas! Bagaimana mungkin gadis itu bisa 

meloloskan diri hah? Ia dalam keadaan tertotok. Kedua 

kakinya masih membeku akibat tenaga esku. Tak mungkin 

ia bisa melepaskan semua itu kalau tida ada yang 

menolong?" 

"Tetapi, bagaimana cara orang itu menolongnya? Kau 

lihat sendiri, tidak ada jendela di sini! Pintu dalam keadaan 

terkunci. Kau sendiri yang memegang kuncinya!” 

Maharaja langit hitam menggeram, jengkel luar biasa, 

wajahnya kelam dengan bibir bergetar. 

“Keparat!” makinya. 

Singgih Murka berkata,” bagaimana dengan orang yang 

seperti setan yang membunuh kedua anak buahku? Bisa jadi 

ia yang melakukan hal ini pula!” 

“Kita cari manusia itu! Pasti ia masih berada di sekitar 

sini!” 

Maharaja Langit Hitam mendahului dengan kegeraman 

yang sudah singgah di ubun-ubun. 


-0o-dw-ray-o0- 


"Let... sebenarnya, ada apa dengan semua ini?" tanya 

Andika selesai memusnahkan tenaga es yang membelenggu 

kedua kaki Ayu dan melepaskan totokan yang dilakukan 

oleh Maharaja Langit Hitam. Ia tahu, kalau rencana yang 

disusunnya gagal total. Setelah mematikan langkah 

beberapa anak buah Serikat Baju Merah, seharusnya 

Andika menjumpai Ayu yang memata-matai keadaan. 

Setelah itu, bersama-sama mereka akan menyerbu ke sana. 

Ayu bertugas menyelamatkan para penduduk, sementara 

Andika mencari Singgih Murka. Tetapi rencana itu gagal 

karena kehadiran Maharaja Langit Hitam yang di luar 

perhitungan Andika.

Walet tengah asyik menghisap-hisap rumput Manis. 

"Tidak tahu, ya? Aku kan cuma membantu saja." 

"Kalau tidak kau bantu, sangat sulit untuk menemukan 

di mana Ayu saat itu berada. Kau dengan cerdiknya telah 

menolongnya. Bahkan selagi kedua manusia itu berada di 

kamar. kau dan Ayu masih berada di sana. Tetapi dengan 

kekuatan batinmu itu kau bisa mengelabui mata keduanya 

hingga tak bisa melihat kau dan Ayu. Nah, katakan 

sekarang...." 

"Maaf, Kang Andika.... Sebenarnya, ini urusan 

pribadiku," sahut Walet masih asyik menghisap rasa manis 

dari pangkal rumput. 

"Tetapi aku tak mengerti dengan semua ini. teka-teki 

yang bisa kupecahkan sekarang, merpati yang kau maksud 

adalah Ayu. Dan manusia yang menginginkannya adalah 

Maharaja Langit Hitam. Masih ada teka-teki lain yang 

masih melingkar di benakku. Kali ini, aku akan 

menahanmu bila kau tidak segera menjawabnya, Walet.” 

Walet Cuma nyengir saja mendengar kata-kata Andika. 

“Jangan memaksa dong, kang Andika. Aku sendiri tidak 

tahu apa-apa.” 

Pendekar Slebor yang memiliki sejuta kecerdikan tahu 

kalau walet sebenarnya justru mengetahui teka-teki di balik 

semua ini. ia berkata lagi memancing jawaban Walet, 

“Masihkah kau menganggapku sebagai seorang sahabat?” 

“Sudah tentu. Sampai dunia kiamat. Kita tetap 

bersahabat kan, kang Andika?” 

“Mengapa sebagai sahabat kau justru tidak mau 

mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi?”

Kali ini walet menunduk. Tak acuh lagi sambil 

menghisap rumput yang dipegangnya, 

“Justru aku ingin meminta bantuanmu, kang Andika.” 

“Kalau kau memang meminta bantuanku, mengapa kau 

tidak mengatakan yang sebenarnya?” 

“Belum saatnya, kang Andika. Ini masih menjadi urusan 

pribadiku. Aku hanya meminta kau untuk memantau 

keadaan saja. Selebihnya, aku akan menyelesaikan urusan 

ini.” 

“Sejak tadi kau berkata urusan pribadi,” kata Andika 

dongkol, “Kau hendak meminta bantuanku, tapi justru aku 

yang kau bingungkan dengan teka-teki ini.” 

“Pecahkanlah Kang Andika,” kali ini Walet berdiri dan 

dengan tak acuhnya ia melangkah meninggalkan Andika 

yang tidak menahan. 

Tetapi Ayu lebih dulu berkata, ”biarkan saja dulu, kang. 

Barangkali memang ada masalah pribadi yang tak boleh 

diketahui orang lain.” 

Andika cuma mangut-mangut seperti burung pelatuk. 

“Memang, Walet selalu menimbulkan teka-teki bagiku.” 

“Kang Andika... saat aku tertawan, aku mendapat 

sebuah keterangan yang cukup berarti,” kata Ayu. 

Andika menoleh dan menatap gadis jelita yang menjadi 

agak risih ditatap seperti itu. Menyadari kalau tatapannya 

terlalu menyolok Andika nyengir. 

“Apa itu?” 

“Mengapa Serikat Baju Merah menyerang desaku ini? 

dikarenakan, mereka akan menjadikan desa ini sebagai 

markas tempat penyimpanan dan jalur pengedaran candu.”

“Kurang ajar!” Andika menggeram. 

“Satu hal lagi, maharaja Langit Hitam ternyata 

mendapat tugas dari sang pemimpin untuk membunuh 

guruku." 

"Siapakah pimpinan yang dimaksud itu, Ayu?" Ayu 

menggelengkan kepala. 

"Sayangnya aku tidak tahu soal itu. Tetapi, keduanya 

bukanlah orang yang menginginkan semua ini. Mereka 

adalah kaki tangan dari sang Pimpinan." 

"Kita harus mencari pimpinan itu, Ayu!" 

"Kau benar, Kang Andika. Tetapi, Singgih Murka 

mengatakan ia telah mengundang beberapa kambratnya 

untuk bergabung." 

“Berbahaya kalau begini. Hmm... berapa jalan masuk ke 

desa ini, Ayu?" 

"Tiga. Dari selatan, barat, dan timur. Bagian utara 

sebuah hutan belantara yang lebat. Dan sangat sulit bila 

orang hendak mendatangi desa ini melalui jalan itu!" 

Andika terdiam. Otaknya tengah berpikir. Lalu katanya, 

"Sebaiknya, kita cegat mereka di jalan masuk ke desa ini. 

Karena bila mereka telah bergabung, kekuatan dari Singgih 

Murka dan Maharaja Langit Hitam akan bertambah. 

Sebaiknya, kita singkirkan satu persatu. Aku ke selatan dan 

kau ke barat." 

"Bagaimana bila mereka masuk dari arah timur?" 

Andika terdiam lagi. "Biar, aku yang mengurus." 

Padahal dalam hati Andika, justru bagian utaralah yang 

harus diperhatikan. Karena, tak mustahil para kambrat dari 

Singgih Murka tak mau diketahui kedatangan mereka.

"Kalau begitu, sebaiknya kita mulai berjaga-jaga, Kang 

Andika." 

"Kau benar. Ayu.. hati-hati." 

Ayu menunduk. Dadanya bergetar. suara Andika bagai 

menyapu lembut relung hatinya. Lalu sahutnya pelan, “Kau 

juga, Kang...” 

Andika menggenggam tangan gadis itu yang di rasakan 

bergetar. "Setelah itu, kita bertemu lagi tempat ini." 

Lalu Andika pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali 

kelebat saja pemuda yang memiliki ilmu lari tersohor itu 

sudah hilang dari pandangan Ayu. 

Gadis jelita murid Beruang Gunung Karimun mendesah 

panjang. Entah mengapa sekian tahun hatinya tak pernah 

merasakan sebuah getaran aneh, kali ini justru bergetar. 

Bahkan semakin menghebat bila dekat dengan Andika. 

Ayu segera membuang perasaannya itu. Ia pun 

berkelebat menuju sasarannya. 


-0o-dw-ray-o0


7


Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan naik menuju 

tingkat tertinggi singgasananya. Sinarnya cukup menyengat 

pandangan. Pepohonan agak sedikit meranggas, karena 

kemarau mulai datang kembali. 

Di hutan sebelah utara Desa Sawo Luwih, Andika masih 

menunggu, duduk di sebuah pohon tinggi. Hutan itu 

tergolong hutan yang cukup lebat. Pepohonan tinggi 

berjajar. Semalaman ia tak memejamkan matanya barang

sejenak. Tetapi, sampai awal siang ini, Andika belum 

melihat ada yang datang. 

Sejenak ia jadi ragu akan pikirannya sendiri. 

"Jangan-jangan, para kambrat Singgih Murka justru 

mengambil jalan nyata, tidak perlu melalui jalan ini menuju 

Desa Sawo Luwih. Hhh! Seharusnya aku memperhitungkan 

pula hal itu. Sebaiknya, aku mengecek saja ke selatan!" 

Tetapi sebelum Andika melompat, dilihatnya dua sosok 

tubuh berpakaian hitam berkelebat laksana setan, melewati 

satu pohon ke pohon lain, berzig-zag begitu cepat. 

Andika urung meneruskan niatnya. Ia picingkah mata 

menatap kejauhan. 

"Hmmm... merekakah tamu yang diundang oleh Singgih 

Murka?" desis Andika. "Bila melihat dari cara keduanya 

berlari, jelas bukan orang sembarangan. Hmmm... aku tak 

boleh buang tempo lagi. Sebaiknya, aku hadang saja 

mereka!" 

Memikir sampai di situ, dengan sekali emposan Andika 

sudah melompat turun, berdiri, tepat ketika keduanya 

berada dalam jarak tiga tombak di depannya. 

Keduanya menghentikan langkah. Dari dekat, Andika 

bisa melihat kalau keduanya sepasang manusia. Yang laki-

laki berwajah tirus dengan rambut panjang. Wajahnya 

cukup tampan, namun keculasan matanya begitu 

mengerikan. Sedangkan yang perempuan jauh sekali 

dikatakan cantik. Wajahnya penuh jerawat memerah. 

Rambutnya kotor sekali Tetapi yang membuat Andika mau 

tertawa, ketika melihat betapa tipisnya pakaian yang 

dikenakan wanita itu. Samar menampakkan buah dadanya 

yang tak tertutup apa-apa. Sementara pakaian bawahnya, 

sebuah celana pangsi yang agak tinggi. Hitam dan kotor.

Sungguh, sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat 

sebenarnya. 

"Siapa kau yang berani menghadang Harimau Tapa dan 

Dewi Intan?" terdengar suara si laki-laki angker. 

Andika bisa merasakan getaran tenaga dalam yang 

dipancarkan melalui suara itu, meskipun ia merasa masih 

jauh dari tenaga dalam yang dimilikinya. 

Nama Harimau Tapa dan Dewi Intan, sungguh baru kali 

ini didengarnya. 

Ia cuma tersenyum. "Aku bertanya pada kalian, tahukah 

di mana Singgih Murka berada?" 

"Siapa kau?" Harimau Tapa memicingkan mata, 

menatap sosok tampan. di hadapannya. 

"Aku salah seorang kambratnya yang diundang 

olehnya!" 

Harimau Tapa mengubah sikapnya, memikir kalau 

pemuda di hadapannya ini memiliki tujuan yang sama. Ia 

tahu Singgih Murka banyak memiliki sahabat, dan tak 

semua sahabat dari Singgih Murka dikenalnya. "Kami pun 

begitu adanya, tengah mencari Singgih Murka pula! 

Selamat bertemu! Sebutkan julukan!" 

"Aku tak mempunyai julukan!" desis Andika dan dalam 

hati berkata, "Jelas keduanya undangan dari Singgih 

Murka. Hmm, aku harus berhati-hati menghadapi mereka." 

"Bagus! Kita bisa jalan bersama!" kata Harimau Tapa. 

"Tunggu!" tahan Andika. "Ada apa sebenarnya Singgih 

Murka mengundang kita?" 

"Aku tidak tahu. Tetapi, aku yakin, sebuah kesenangan 

yang akan kita dapatkan. Kita harus menjumpainya

sekarang! Dalam pesannya, ia mengatakan telah berhasil 

menguasai Desa Sawo Luwih!" 

“Bagus kalau begitu! Tetapi, lebih baik kalian tinggal di 

sini saja!" sehabis berkata begitu, Andika menerjang cepat. 

Harimau Tapa dan Dewi Intan terkejut melihatnya. 

Keduanya cepat kibaskan tangan. 

Des! Des! 

Selagi serangannya ditangkis, Andika meneruskannya 

dengan mengirimkan dua buah tendangan sekaligus. 

Buk! Buk! 

Tendangan keras itu tepat menghantam dada keduanya, 

yang terhuyung, segera mengalirkan tenaga dalam dan 

bangkit dengan tatapan gusar. 

"Setan alas! Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak 

Harimau Tapa keras. 

Andika nyengir. "Namaku Andika. Julukanku Pendekar 

Slebor! Kalian tak akan pernah menemui Singgih Murka!" 

"Keparat! Ingin kulihat kehebatan Pendekar Slebor!" 

Dewi Intan sudah menderu dengan satu terjangan aneh. 

Bagai melompat, namun mengerikan. Dalam setiap 

lompatannya ia mengirimkan pukulan berhawa panas. 

Andika terkejut melihat serangan itu. Sejenak ia 

mengendalikan serangannya mencecar bagian kaki Dewi 

Intan, karena dalam sekali lihat Andika bisa tahu kalau 

kedua kaki Dewi Intan merupakan sebuah tumpuan yang 

dahsyat. 

Mendapati kelemahan lawan, ia pun membalas dengan 

tak kalah hebatnya. Harimau Tapa sudah menderu pula 

dengan jurus-jurus harimaunya yang mengerikan. Setiap

kali tangannya yang membentuk cakar mengibas, angin 

dingin dirasakan Andika. 

Meskipun untuk sesaat Andika cukup dikejutkan dengan 

dua serangan sekaligus, tetapi keduanya bukanlah kelas 

Andika. Dalam waktu lima jurus, keduanya sudah dibuat 

tak berkutik. Terkulai dengan tubuh tertotok. 

"Keparat! Kita bertarung sampai mampus!" maki 

Harimau Tapa gusar. 

Maaf, aku terpaksa harus membungkam kalian!” 

Diangkatnya tubuh Harimau Tapa dan dibawanya ke 

sebuah pohon. Diletakkannya tubuh kaku itu di sana. 

Begitu pula yang dilakukannya pada Dewi Intan. 

“Bukankah di sini lebih nyaman? Sebaiknya kalian jangan 

bergerak karena kalau jatuh aku tidak tanggung!” Lalu 

tangannya menotok urat suara keduanya. "Maaf, terpaksa 

aku harus meninggalkan kalian dulu di sini." 

Dan Andika pun bergegas untuk menjumpai Ayu. 


-0o-dw-ray-o0- 


Ayu sendiri juga telah mengalahkan lawannya yang 

memang seorang kambrat dari Singgih Murka. Bahkan Ia 

telah mematahkan kedua kaki lawannya yang berjuluk 

Hantu Bayangan, yang begitu Ayu muncul tadi sudah 

memancarkan sinar gairah melihat betapa jelitanya gadis di 

hadapannya. 

Namun ia terkejut ketika Ayu menghindari terkamannya 

yang memang tak boleh melihat gadis cantik. Seketika ia 

menjadi marah. Tetapi, murid Beruang Gunung Karimun 

yang telah mendapatkan pengalaman bertempur 

menghadapi Maharaja Langit Hitam, bisa mengendalikan 

nafsunya untuk berhati-hati. Bahkan dalam sepuluh jurus 

berikutnya Ayu berhasil menjatuhkan lawan.

Andika tiba di sana. 

"Beres?" 

"Ya. Semuanya sudah selesai. Bagaimana dengan Kang 

Andika sendiri?" tanya Ayu sambil menghapus keringatnya. 

Pertarungan itu sungguh bukan buatan hebatnya. Andika 

melihat beberapa pohon tumbang di dekat Ayu. 

"Sama. Ayu, kita sembunyikan manusia yang pingsan 

itu. Totok urat kaku dan suaranya, setelah itu, kita langsung 

menyerbu Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam. 

Terus terang, aku penasaran ingin mengetahui siapa yang 

dimaksudkan dengan pimpinan oleh keduanya!" 

Ayu menyetujui usul itu. Setelah melakukan perintah 

Andika, keduanya pun berkelebat menuju bangunan besar 

di mana mereka yakin Singgih Murka yang selama ini tidak 

diketahui tempatnya berada bersama sahabatnya, si 

Maharaja Langit Hitam. 

Tetapi ketika sampai di sana, justru yang mereka lihat 

lima belas prajurit kadipaten, tiga kereta kuda dan sebuah 

kereta kuda yang sangat indah sekali Sedang berjaga-jaga di 

depan bangunan besar itu. Tak ada para penduduk yang 

biasanya bekerja paksa untuk meneruskan mengerjakan 

bangunan besar itu. 

"Kita lihat dari sini saja," kata Andika mengerutkan 

kening. Batinnya mengatakan sesuatu telah terjadi. Entah 

apa. Menghadapi keanehan itu, ia mengajak Ayu untuk 

bersembunyi dulu di balik semak, menunggu apa yang 

tengah terjadi di hadapan mereka berjarak sepuluh tombak. 

Selang beberapa saat, mereka melihat seorang laki-laki 

berpakaian indah dan mempesona, keluar dari bangunan itu 

dengan dikawal lima orang prajurit gagah bersenjata 

tombak.

"Kau benar, Hardigala. Keadaan aman! Serikat Baju 

Merah memang sudah tumpas!" kata orang itu yang tak lain 

Adipati Ganda Manikam. "Kita kembali dan nyatakan 

tempat ini sebagai tempat yang aman. 

Barang-barang yang kita bawa tadi, sudah aman di 

tempatnya, bukan? Itu adalah persenjataan kita, karena aku 

menginginkan tempat ini pun dijadikan bangsal kekuasaan 

Kadipaten Karang Sutra!" 

"Tunggu, Adipati!" seruan itu terdengar bersaman dua 

sosok tubuh yang melompat ke depan. 

Andika dan Ayu menjura di hadapan Adipati Ganda 

Manikam yang menjadi keheranan. 

"Siapa kalian?" 

"Maafkan kami," kata Andika menjura. Lalu 

mengangkat wajahnya menatap adipati yang nampak 

geram. Sesaat Andika terkejut melihat sosok di 

hadapannya. Rasa-rasanya ia tak begitu asing dengan sosok 

Adipati Ganda Manikam. Tetapi kemudian, diyakininya 

kalau ia belum pernah bertemu dengan Adipati Ganda 

Manikam. "Bukan maksud kami lancang menahan Adipati 

di sini. Tetapi, saya tidak percaya kalau tidak ada lagi sisa-

sisa dari Serikat Baju Merah." 

Adipati Ganda Manikam mengerutkan keningnya. “Apa 

maksud perkataanmu itu?" 

Andika menceritakan bagaimana kalau para prajurit 

kadipaten telah tertipu oleh kelicikan Singgih Murka 

sewaktu mengadakan penyerangan pertama. 

"Tidak mungkin!" seru adipati dengan wajah merah. 

Kata-kata Andika barusan bagai sebuah tampan keras di 

pipinya. "Para prajuritku adalah prajurit pilihan. Mereka 

tak akan bisa tertipu dengan akal licik semacam itu."

Andika bisa memahami keadaan itu. Ia pun mengambil 

sikap lebih berhati-hati. 

"Sekali lagi maafkan, Adipati. Pada kenyataannya, 

memang hal itulah yang terjadi. Dan saya yakin, apa yang 

Adipati katakan tadi belum tuntas. Karena, saya tahu 

Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam masih berada di 

bangunan." 

"Kau periksa sendiri! Tak ada kedua manusia bangsat 

yang menyebabkan teror di desa ini!" . 

"Mereka pasti bersembunyi di sebuah tempat." 

"Tempat ini sudah digeledah! Jangan sembarangan 

bicara dan mempermalukanku, Anak Muda!" 

Wajah Andika kelam. Hatinya panas dimaki seperti itu. 

Tetapi ia bisa menahan diri dan maklum mengapa Adipati 

Ganda Manikam berkata agak keras. 

"Tanpa mengurangi kesopanan dan rasa hormat saya 

pada Adipati, saya mohon izin untuk mengecek bangunan 

itu," kata Andika sopan. Padahal, ia tak senang sama sekali 

dengan tetek bengek kesopanan semacam itu. Karena 

baginya, derajat manusia itu sama. Tak ada bedanya baik 

misalnya ia seorang adipati, pangeran, raja, ataupun kaum 

bawah sekalipun. 

Adipati Ganda Manikam cuma mendengus. 

"Silakan!" . 

Andika menjura sekali lagi. Kesempatan itu harus 

dipergunakan sebaik-baiknya. Ia memasuki bangunan besar 

itu. Namun seperti yang dikatakan oleh adipati tadi, 

memang tak ada tanda-tanda kedua manusia itu berada di 

sana. Penasaran Andika mengeceknya sekah lagi. Tetapi 

hasilnya nihil.

"Hmm.... pasti ada, tempat tersembunyi di bangunan ini. 

Seperti semula tak bisa diketahui di mana Singgih Murka 

berada. Akan kucari lagi nanti malam.” 

Lalu Andika pun keluar. Adipati Ganda Manikam 

bertanya dengan mata membesar, "Bagaimana?" 

"Apa yang Adipati katakan itu memang benar." 

Tak ada sahutan dari adipati selain menaiki kereta 

kudanya. Lalu ia memerintahkan kusir untuk 

menjalakannya. Salah seorang dari prajurit itu, yaitu 

Hardigala mendekati Andika dan berkata sinis, "Beruntung 

kau tidak digantung!!" 

Lalu ia menyusul rombongan itu. 

Sepeninggal mereka, Andika masih terdiam dengan 

kening berkerut. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang 

aneh dalam hal ini. 

Ayu berkata, "Kau tak menemukan siapa pun juga di 

sana, Kang Andika?" 

"Tidak. Tidak sama sekali. Bahkan yang 

mengherankanku, para penduduk yang dipaksa bekerja di 

tempat ini seolah tak mau bekerja lagi. Ini berarti, Singgih 

Murka sudah mengetahui akan kedatangangan Adipati. 

Kau lihatlah Ayu, suasana sangat sepi sekali. Ada sesuatu 

di balik semua ini?” 

"Apakah itu Kang Andika?" 

"Aku tidak tahu. Semuanya hanya.... Walet! Ya, Walet 

yang mengetahui semua ini! Tetapi, ia pasti tak akan mau 

mengatakannya! Aku kenal betul siapa dia?" 

Ayu yang tak tahu siapa Walet sebenarnya merasa heran 

melihat Andika begitu menghargai Walet sekali. Bila saja

ayu tahu bocah itu adalah titisan seorang pangeran, ia pasti 

akan bersikap seperti yang dilakukan andika. 

"Kalau begitu, kita cari saja Si Walet, Kang.” 

Andika hanya menganggukkan kepala. Hal itu memang 

mudah diucapkan, tetapi menjalankannya sangat sulit 

sekali. Karena andika sangat hafal karakter Walet. 

Tetapi, ia akan tetap pada rencananya semula untuk 

kembali mendatangi bangunan besar itu nanti malam. d 

"Ayu sebaiknya kita tengok keadaan kedua orangtuamu." 

Ayu mengiyakan karena sesungguhnya ia lebih ingin 

menjagai kedua orangtuanya. 


-0o-dw-ray-o0-

 

8


Malam temaram. Kegelapan melanda karena sang Ratu 

Malam kali ini bagai enggan bersinar. Satu sosok tubuh 

melompat dari sebuah pohon ke pohon lain. Gerakannya 

tak ubahnya bagai bajing belaka. Ringan, cepat, dan 

menakjubkan. 

Di sebuah pohon yang terletak di sebelah kiri bangunan 

besar yang belum jadi, sosok tubuh yang tak lain Pendekar 

Slebor berhenti bergerak. Ia memperhatikan sekeliling 

bangunan itu. Begitu sepi dan tak ada tanda-tanda 

kehidupan. 

"Aku tak percaya kedua manusia itu tidak ada di sana. 

Sebaiknya. aku segera ke bangunan itu sekarang!" 

Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya 

yang kesohor, Andika melompat dari batang pohon.

Hinggap di atap bangunan itu tanpa menimbulkan suara 

sedikit pun. 

Lalu ia melompat turun di bagian belakang bangunan. 

Sejenak ia celingukan, hati-hati. Entah mengapa dadanya 

berdebar cukup keras. 

Begitu Andika melangkah, sebuah jaring tebal meluruk 

ke arahnya. Andika tercekat. Ia bergulingan dan berhasil 

menghindari jaring itu. Tetapi sebuah jotosan dari belakang 

menghantam telak punggungnya. Membuatnya terjajar 

keras ke depan. Sengit ia menoleh dan melotot gusar. 

"Manusia jelek, yang beraninya hanya membokong!!" 

bentaknya. 

Maharaja Langit Hitam yang tadi menghajar telak 

punggung Pendekar Slebor justru membelalak melihat 

kenyataan di hadapannya. Ia tak habis pikir bagaimana 

Andika bisa selamat dari belenggu ajian kebanggaannya. 

Andika mendengar satu suara dingin dari sisi kanannya. 

"Kau lihat kenyataan itu, Maharaja! Pendekar Slebor 

memang memiliki akal yang cerdik! Tetapi, ia tak akan 

mampu menghindari maut sekarang!" 

Andika melihat Singgih Murka terbahak-bahak dan 

melangkah keluar dari sebuah pintu. 

"0... rupanya kalian memang jadi cacing pengecut yang 

ternyata hanya bisa bersembunyi saja?" 

"Itulah kecerdikan yang patut kau perhitungkan, 

Pendekar Slebor! Kau sudah berhasil memecahkan 

tipuanku terhadap para prajurit kadipaten saat menyerang. 

Kau pun berhasil memecahkan tipuanku pula, kalau kami 

bersembunyi di satu tempat yang tak akan bisa kau 

ketahui!"

"Sekarang, tak ada tempat bersembunyi lagi! Rencana 

busuk kalian untuk mengedarkan candu tak akan bisa 

berlangsung lebih lama! Sungguh malang nasib kalian!" 

"Jangan banyak bacot! Kali ini kau akan mati secara 

mengenaskan, Pendekar Slebor!" bentak Maaraja Langit 

Hitam yang masih tak habis pikir mengapa Andika masih 

hidup. Ia menerjang dan tak tanggung lagi mengerahkan 

ajian 'Menghampar Gunung Es' yang dibanggakannya, 

Andika yang pernah mengalami nasib apes saat itu, 

segera kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Hawa 

panas pun menguar dari tubuhnya. Namun meskipun 

begitu, ia tak mau ambil resiko dengan memapaki serangan 

Maharaja Langit Hitam mengingat pengalamannya yang 

pertama. ' 

Akan tetapi, begitu serangan Maharaja Langit Hitam 

meleset, dengan cepat Andika membuat gerakan merunduk, 

lalu menyusupkan tangannya. 

Wuut! 

Des! 

Dada Maharaja Langit Hitam tergedor keras. Sungguh, 

laki-laki jelek itu sama sekali tidak menyangka gerakan 

yang dilakukan Andika. Ia merasa tubuhnya menjadi panas. 

Dialirkannya segera hawa dingin untuk mengalahkan hawa 

panas itu. Bila saja Maharaja Langit Hitam tak memiliki 

kekuatan tinggi, bisa dipastikan dadanya akan jebol. 

Melihat lawan sesaat terdiam, Andika bersiap 

mengirimkan serangan selanjutnya. Tetapi Singgih Murka 

tidak mau kawannya menjadi sasaran empuk serangan 

Pendekar Slebor.

Ia bergerak cepat. menyerbu dengan amarah 

membludak. Tangan kanannya yang telah dialiri tenaga 

dalam tinggi langsung dihantamkan ke kepala Andika. 

"Hiaaaa!!" 

Wutt! 

Andika mengurungkan niatnya untuk menghajar habis 

Maharaja Langit Hitam. Ia menghindari serangan Singgih 

Murka dengan menggeser tubuh satu langkah ke samping. 

Luputnya serangan pertama, disusul dengan serangan 

kedua. Tubuh Singgih Murka cepat berputar dengan 

melepaskan tendangan kaki kanan, keras, mematikan ke 

dada Andika. 

Kali ini, Andika tidak menghindar. Cepat ia memapaki 

tendangan berputar Singgih Murka dengan ayunan tangan 

kanannya. Sementara gerakan beruntun diperlihatkan. Kaki 

kirinya langsung bergerak, mengirim serangan ke 

selangkangan Singgih Murka sebagai balasan. 

Laki-laki tinggi besar itu mengeluarkan suara 

menggembor. Ia membuat gerakan menyilang di bagian 

selangkangannya, hingga benturan tenaga dalam keras 

terjadi. 

Baru saja terjadi benturan, Andika langsung melancarkan 

serangan kembali. Kali ini agak berjingkat dengan kaki 

kanan, dan membuat gerakan siap meremukkan kepala 

Singgih Murka. 

Singgih Murka terkejut. Untuk menunduk sulit 

dilakukan, karena serangan Andika dari atas, bisa langsung 

diturunkan menyusul kepalanya. Jalan satu-satunya 

membuang diri. Cepat ia melakukan gerakan itu. Tetapi 

Andika tak mau ayal lagi bertindak. Ia menekuk kaki 

kanannya sementara kaki kirinya menyapu.

Wusss! 

Des! 

Kedua kaki Singgih Murka terhantam telak hingga 

membuatnya terhuyung. Menyusul serangan lainnya dan 

Andika. Tetapi, Maharaja Langit Hitam sudah bergerak 

memapaki. 

Des! Des! 

Andika terkejut bukan kepalang. Tubuhnya seketika 

dirasakan dingin luar biasa. Lamat, menjalar ke bagian-

bagian lain tubuhnya. Cepat Andika alirkan tenaga ajian 

'Guntur Selaksa' sambil menutup jalan darahnya. Bila saja 

ia tak melakukan hal itu, bisa dipastikan ia akan kembali 

membeku. 

Maharaja Langit Hitam yang terbahak melihat 

serangannya berhasil, kali ini bagai tersedak, melotot tak 

percaya dengan gusar. Andika sudah berdiri seperti 

sediakala tanpa kekurangan suatu apa. 

"Setan! Ilmu apa yang kau pergunakan itu hah?" 

"Terpaksa aku harus mengeluarkan maklumat nih!" kata 

Andika sok penting. Lalu seperti orang berpidato ia berkata 

dengan sikap makin tengik, 

“Ilmu tadi, adalah sebuah ilmu yang sangat luar biasa. 

Tak ada tandingannya, di dasar bumi di dasar laut maupun 

dilapis langit ketujuh. Namanya, ajian 'Guntur Selaksa'. 

Jadi bila kalian...." 

"Seetaaaannn!" 

Serangan beruntun dilakukan Maharaja Langit Hitam 

dan Singgih Murka. Keduanya menyerang membabi-buta, 

mencoba mematikan gerak Andika.

Andika kali ini benar-benar dibuat kalang kabut. 

Terutama serangan dari Singgih Murka, yang mengandung 

kekuatan laksana gunung. Setiap kali menyerang, suara 

berpendar-pendar keras terdengar. Rupanya laki-laki itu 

telah mengeluarkan ajian simpanannya, 'Punah Bumi 

Punah Langit'. 

Andika menyadari, kalau sebenarnya dari lawan yang 

dihadapi ini, Singgih Murka yang menyulitkan. Mengingat 

ia telah menemukan titik lemah dari ajian Maharaja Langit 

Hitam. Walet memang benar kalau begin. Tetapi, serangan 

Maharaja Langit Hitam itu masih menyulitkan meskipun 

tidak sedahsyat sebelumnya. Jadi yang harus dicecar 

sekarang, Maharaja Langit Hitam, biar ia' agak lebih 

mudah menghadapi Singgih Murka. 

Berpikir sampai di situ, dengan sekali enjot, Andika 

melayang ke belakang, menyusul dua serangan yang 

dilakukan lawan. Itu memang pancingan. Begitu lawan 

mendekat, Andika merunduk, dan meluncur ke arah 

Maharaja Langit Hitam, sementara tangan kirinya 

menyambar kain pusaka bercorak catur warisan Eyang Ki 

Saptacakra ke arah Singgih Murka. 

Des! 

Beettt! 

Dada Maharaja Langit Hitam telak terhantam ajian 

'Guntur Selaksa'. Tubuhnya bukan hanya terjajar, tetapi 

terlempar ke belakang. Sementara Singgih Murka terkejut 

ketika mendengar dengung ribuan tawon ke arahnya. 

Ia cepat menunduk menghindar. Itu memang salah satu 

yang diinginkan Andika pula. Masih mengebutkan kain 

pusakanya, ia mengirimkan satu tendangan keras ke kepala 

Singgih Murka, yang berteriak keras sambil bergulingan.

Tetapi Andika tak mau membiarkan lawan lebih lama 

bernapas. Ia meluncur dan menjejakkan kakinya. 

Lagi-lagi Singgih Murka bisa menghindar dengan jalan 

memapaki serangan itu. Tetapi satu gedoran kaki kiri 

Andika menghantam punggungnya. 

"Aaaakhhhh!!" seruan kesakitan terdengar. 

"Waddoooowww!!" dengan tengik Andika mengikutinya 

sambil meneruskan serangannya. 

Kalang kabut Singgih Murka dibuatnya. Sebisanya ia 

menghindar, tetapi lagi-lagi bagai sedang bermain bola 

Andika menendangi tubuh lawan dengan enaknya. 

Sementara itu, Maharaja Langit Hitam tak bisa banyak 

berbuat. Tubuhnya yang digedor ajian 'Guntur Selaksa' 

Pendekar Slebor membuatnya bagai lumpuh. Ia hanya 

memandang gusar melihat sahabatnya diperlakukan seperti 

itu. Meskipun kini ia menyadari Pendekar Slebor ternyata 

masih jauh pada kelasnya, tetapi ada yang tetap 

mengherankannya. Siapa yang membebaskan Pendekar 

Slebor dari gempuran 'Menghampar Gunung Es' miliknya. 

Tak seorang pun - siapa pun dia - bila sudah membeku tidak 

akan bisa melepaskan diri. Karena, seluruh jalan darah dan 

uratnya tak akan pernah bisa dilepaskan. 

Pada akhir pemandangannya, Maharaja Langit Hitam 

melihat Singgih Murka pingsan sete1ah dihajar habis-

habisan oleh Pendekar Slebor. 

"Nah! Masih untung kau kubiarkan hidup, kan?" kata 

Andika seraya mengusap keringatnya. Maharaja Langit 

Hitam berlagak pingsan ketika Andika menoleh padanya. 

Tetapi pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu tahu kalau 

lawan berpura-pura. Dengan santai ia mendekat sementara

dada Maharaja Langit Hitam menjadi bergemuruh tak 

karuan. 

"O... pingsan, ya? Kasihan. Kalian berdua benar-benar 

sudah pingsan. Tetapi ya... terpaksa kubuat pingsan deh!" 

Maharaja Langit Hitam melengak mendengarnya. Tetapi 

ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Andika menotok urat di 

bagian bawah ketiaknya. Seketika ia terkulai setelah 

terjingkat sejenak. 

Andika cuma nyengir saja. Masih ada teka-teki yang 

harus dipecahkannya. Masalah pribadi Walet dan tempat 

persembunyian keduanya. 

Andika memutuskan untuk memeriksa lebih dulu pikiran 

yang kedua. Ia berkelebat masuk ke dalam bangunan itu. 

Ditelusurinya dengan saksama bangunan itu. Setiap ruang, 

lorong dan kamar, dimasukinya. Tak ada tanda-tanda yang 

aneh. 

"Busyet! Di mana mereka bisa bersembunyi sehingg a 

Adipati Ganda Manikam tidak bisa menemukan? Menurut 

Ayu, mereka akan menjadikan tempat ini sebagai markas 

candu. Adakah candu-candu itu sudah datang?" 

Andika memeriksa lagi. Sampai kemudian ia tertarik 

pada sebuah dinding yang agak aneh. Aneh dalam arti 

karena ia menemukan empat buah titik yang berbentuk 

persegi panjang, namun tak ada garis yang menghubungi 

titik itu satu sama lain. 

Di depan titik-titik itu Andika mengerutkan kening. 

"Hmm... apa maksud titik-titik ini?" desisnya tak mengerti. 

"Adakah artinya?" 

Tanpa sadar Andika meraba keempat titik itu Mendadak 

terdengar suara bergemuruh hebat. Ia sampai terjingkat, 

mundur tiga langkah. Mendadak saja, dinding yang

terdapat empat buah titik berbentuk persegi panjang itu 

membuka. 

"Gila!" desis Andika takjub. "Di tempat itulah mereka 

bersembunyi! Sebuah dinding rahasia yang bisa dikerjakan 

dengan tenaga dalam. Pasti Singgih Murka yang 

membuatnya. Sebaiknya ku periksa saja dulu." 

Andika pun masuk ke dalam. Suasana agak gelap. 

Namun matanya yang terlatih dalam kegelapan bisa melihat 

peti yang bertumpuk-tumpuk. 

Andika membukanya. Ia meraba dan merasakan daun-

daun kering di dalamnya. Lalu ditemukannya bubuk-bubuk 

halus di sana. "Hmm... rupanya belum diolah menjadi 

candu Tetapi, bagaimana cara mereka membawa barang 

celaka ini?" Andika terdiam. 

Lalu, siapa yang memberitahukan mereka yang selalu 

tahu bila orang-orang kadipaten datang menyerang? 

Adakah sesuatu yang lebih aneh lagi?" 

Andika terdiam lagi. Tiba-tiba ia mengangguk-

anggukkan kepalanya. "Aku tahu, aku tahu siapa biang 

kerok ini. Apakab ini berhubungan dengan masalah pribadi 

Walet? Biar lebih jelas, aku akan memaksa kedua manusia 

celaka itu berbicara. Siapa yang mereka maksudkan dengan 

sang Pemimpin meskipun aku sudah menduganya." 

Andika pun berkelebat lagi keluar. Tetapi sesampai di 

halaman belakang bangunan itu, ia terkejut, karena kedua 

lawan yang pingsan tadi sudah tidak ada di tempat. Yang 

ada justru sebuah goresan besar di tanah. 

“Kau selalu lancang mencampuri urusanku, Pendekar 

Slebor. Kematian akan datang padamu. Sebuah bayangan 

kematian.” 


-0o-dw-ray-o0


9


Kekadipatenan siang itu nampak lengang. Angin siang 

berhembus sepoi-sepoi, membuat tiga orang prajurit yang 

berdiri tegak di depan pintu gerbang setengah mengantuk. 

Andika yang tiba di sana berhenti melangkah. Ia terdiam 

sesaat seperti memikirkan sesuatu. Lalu dengan langkah 

gagah ia melangkah mendekati tiga prajurit yang menjadi 

bersiaga. Lebih-lebih setelah mengenali siapa pemuda yang 

muncul, pemuda lancang yang hampir membuat malu 

Adipati Ganda Manikam. 

"Mau apa kau kesini, Orang Muda?" membentak yang 

seorang. Sikapnya tak bersahabat. Tombaknya digenggam 

erat-erat. 

Andika tersenyum. 

"Aku datang, untuk menyampaikan maafku pada 

Adipati." 

"Maaf diterima, silakan meninggalkan tempat ini." 

"Mengertilah, perasaanku menjadi tidak enak bila belum 

melakukan apa yang kuinginkan ini," kata Andika masih 

tersenyum. Berusaha lebih sopan lagi. Padahal ia ingin 

menjitak kepala prajurit tengik itu. 

"Tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!" 

"Busyet! Enteng sekali omongannya," Andika mendumal 

dalam hati. Tetapi suatu teka-teki yang siap ia pecahkan, 

membuatnya harus bersikap bersabar. "Aku akan tetap di 

sini sampai kalian mengizinkanku untuk masuk menemui 

Adipati."

Prajurit yang berkata tengik itu, mengangkat kepalanya 

dengan pongah. Sangkanya ia sudah memenangkan 

permainan kata-kata itu. Dengan sikap yang makin tengik ia 

berkata, tetapi suaranya bagai tertelan begitu saja, karena 

sosok Andika tidak lagi nampak di hadapannya. 

"Gila! Ke mana pemuda itu?" serunya dengan mata 

membelalak. Kengerian tiba-tiba datang. 

Kedua temannya hanya menggelengkan kepala. 

"Jangan-jangan... setan yang kita lihat!" 

"Hiii!" Prajurit yang pongah bergidik ngeri. 

Sesungguhnya ia memang seorang yang pengecut. Di dalam 

halaman kadipaten, Andika melangkah santai. Dengan 

mempergunakan kecepatannya, ia berhasil mengelabui 

ketiga prajurit dungu itu. 

Dua orang prajurit menghadangnya kembali. Andika 

berkata sopan, "Aku datang untuk meminta maaf pada 

Adipati." 

Kali ini tak banyak halangan, keduanya membawa 

Andika ke sebuah ruangan besar. Tetapi dari sikap 

keduanya itu, terasa sekali kalau Andika seperti digiring. 

Untuk kali ini Andika hanya tersenyum saja. Teka-teki yang 

ada di otaknya harus ia pecahkan. 

Ia dipersilakan menunggu, sampai kemudian Adipati 

Ganda Manikam keluar dengan pakaian ke besarannya. 

Ia mendengus saat duduk di kursi yang indah. 

"Orang muda, kudengar kau datang untuk meminta 

maaf. Bagus, aku menyukai kejantananmu itu." 

"Begitulah kedatanganku, Adipati. Tetapi, selain itu, 

kedatanganku ke sini pun untuk mengabarkan tentang 

kesalahan yang Adipati lakukan."

Wajah Adipati Ganda Manikam memerah. "Apa 

maksudmu, Orang Muda?" 

"Apa yang Adipati duga, ternyata salah besar. Karena, 

aku telah menemukan dua manusia dajal yang bernama 

Singgih Murh dan Maharaja Langit Hitam. Keduanya 

berhasil kukalahkan. Sayangnya, setelah aku keluar dari 

bangunan besar itu, keduanya tak ada lagi di tempat." 

"Jangan membual." 

"Tak ada yang kubualkan. Bahkan aku menemukan 

berpeti-peti candu yang ada di bangunan besar itu." 

"Bila kau berbohong, kau akan kugantung di alun-alun!" 

"Aku persilakan, Adipati untuk memeriksa. Tetapi, ada 

satu masalah lain yang membawaku ke sini!! 

"Katakan!" 

"Keherananku, mengapa manusia-manusia itu sepertinya 

tahu, akan kedatangan para prajurit kadipaten, bahkan 

mereka langsung tahu kalau Adipati beberapa hari lalu 

datang mencari mereka. 

"Maksudmu bagaimana?" 

"Aku meminta pendapat Adipati." 

"Jadi... kau mengatakan kalau ada mata-mata kadipaten 

ini Gila! Ke mana otakmu, Anak. Muda. Kau bicara 

sembarangan di sini! Kau menyinggung perasaanku!" 

"Maafkan aku, Adipati. Keherananku kedua, bagaimana 

peti-peti itu bisa berada di sana?" 

"Aku tidak tahu menahu soal itu!” 

"Atau... sesungguhnya Adipati tahu siapa orang yang 

melakukan semua itu?"

Adipati Ganda Manikam berdiri tegak. Tangannya yang 

menuding bergetar. 

"Jangan sembarangan bicara, Anak Muda!" 

“Bagaimana bila ternyata Adipati sendiri yang mereka 

maksudkan dengan sang Pimpinan, merencanakan semua 

ini dan bermaksud mengambil keuntungan dari manusia-

manusia lemah yang Adipati tindas?" 

"Setan alas! Jangan membuat kemarahanku naik, Anak 

Muda! Prajurit! Tangkap pemuda dungu itu!!" 

Andika cuma tersenyum saja ketika sepuluh orang 

prajurit bertombak mengurungnya. 

"Dugaan itu penuh bukti. Dengar baik-baik, Adipati. 

Ketika para prajurit menyerang Serikat Baju Merah, 

sebenarnya itu merupakan sebuah rencana yang ada di 

benak Adipati. Dengan cara seperti itu, Adipati mencoba 

mencari simpati para penduduk, kalau Adipati masih 

berada dalam jalur kebenaran. Tetapi omong kosong 

semuanya itu. Padahal semuanya sudah diatur. Adipati 

telah mengatakan semua itu pada Singgih Murka, entah 

bagaimana caranya, hingga mereka berhasil luput dari para 

prajurit kadipaten. Para prajurit yang lugu dan menaati 

perintah Adipati, tak pernah banyak tanya lagi. Mereka 

mengerjakan dengan baik sebenarnya, hanya saja yang 

mereka bunuh bukanlah manusia-manusia keparat itu. 

Kedua, ketika Adipati datang pun untuk memeriksa 

bangunan itu sebenarnya memang sebuah kesepakatan. 

Adipati mengatakan pada para prajurit, kalau peti-peti yang 

dibawa itu berisi senjata untuk persiapan, karena bangunan 

itu akan dijadikan bangsal kekuatan Kadipaten Karang 

Sutra. Padahal, di dalam peti-peti itu terdapat candu. 

Semalam, aku sudah memeriksa kembali bangunan itu 

sebelum kubuat pingsan kedua manusia laknat itu."

Murka sudah Adipati Ganda Manikam. Teriakannya 

lantang memberi perintah, bagai meruntuhkan dinding 

ruangan. Serentak sepuluh prajurit bertombak itu dengan 

garang menghujamkan tombaknya ke arah Andika. 

Bukan serangan itu yang mengejutkan Andika, 

melainkan teriakan yang dilakukan oleh Adipati Ganda 

Manikam. Jelas sekali, teriakan itu dialiri tenaga dalam 

yang tinggi. Berarti, Adipati Ganda Manikam bukan orang 

sembarangan. 

Serangan-serangan yang datang bukanlah serangan yang 

terlalu berbahaya. Hanya berkali-kali mengelebatkan 

tubuhnya, sepuluh prajurit itu sudah kaku tertotok. 

Sekarang, Andika menatap sengit pada Adipati Ganda 

Manikam yang terbahak-bahak. 

"Kau memang sangat cerdik, Pendekar Slebor! Apa yang 

kau katakan itu benar adanya!" 

"Kail sudah mengaku umpannya! Bagus, sekarang ikut 

aku menghadap raja agar semua dosa-dosamu diadili 

olehnya!" 

Hanya tawa yang diperdengarkan Adipati Ganda 

Manikam. 

"Ucapanmu terlalu hebat sebenarnya! Mengapa kau tak 

segera menangkapku, hah?" 

Mendengar tantangan semacam itu, membuat Andika 

geram. Sekali sentak saja tubuhnya sudah menerjang cepat. 

Namun sebuah keanehan terjadi, karena sosok Adipati 

Ganda Manikam yang masih terbahak-bahak bagai 

membiarkan dirinya dihantam, mendadak saja bagai sebuah 

asap yang diterobos oleh Andika. 

"Hei?" sentak Andika terkejut.

“Kau tak akan bisa menangkapku, Andika!" 

"Jangan takabur!" 

"Sayangnya, ada urusan yang harus kuselesaikan!" 

Mendadak keanehan terjadi lagi. Karena tubuh Adipati 

Ganda Manikam mendadak lenyap. 

“Gila! Ilmu apa itu?" sentak Andika benar-benar terkejut. 

Tiba-tiba saja ia terdiam, sebuah pikiran melintasi 

benaknya. “Hanya seorang bangsat yang memiliki ilmu 

semacam itu! Mungkin dia yang menjadi dalang semua ini? 

Manusia keparat yang menjadi musuh bebuyutanku? Kalau 

memang iya, di manakah Adipati Ganda Manikam yang 

sebenarnya? Tak akan kubiarkan bangsat itu berhasil 

dengan rencananya!" 

Andika memutuskan untuk mengejar, tetapi mendadak 

saja pintu terkunci rapat. Menyusul suara bergetar yang 

datang. Lalu.... 

Jlegh! 

Sebuah besi merosot dari atas dan melapisi pintu kayu 

kokoh itu. 

"Hmmm... mau mengunci diriku rupanya!!" dengus 

Andika sambil mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat 

pertama. Diiringi teriakan keras ia menerjang. 

Blammm! 

Besi itu hanya bergetar. Tak retak sama sekali. Andika 

mendengus berkali-kali. Siap melakukan gerakan serupa. 

Tetapi, entah dari mana datangnya asap hitam mengepul 

dahsyat. 

"Gila! Asap ini bisa merejam jantung!"

Mengingat bahaya yang datang, Andika menghajar besi 

itu berkali-kali. Namun lagi-lagi tak ada gunanya. 

Sementara dadanya mulai sesak menghirup udara busuk 

yang mematikan. 

"Aku tak mau mampus di tempat semacam ini selagi 

keparat itu masih bebas!!" 

Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, ditahannya napas 

agar asap mematikan,itu tidak terlalu mendera. Mendadak 

dengan ajian ‘Guntur Selaksa’ Andika menerjang. 

Dahsyat, sekaligus mengerikan. 

Akibatnya, yang jebol bukan hanya besi itu belaka, 

melainkan pintu di belakang besi itu. 

Suara keras terdengar. 

Tetapi bahaya lain sudah menanti Andika. Begitu 

tubuhnya mencelat keluar, puluhan anak panah datang 

bertubi-tubi ke arahnya. 

"Sapi jelek!" serapah Andika sambil menyabetkan kain 

bercorak caturnya. 

Wusss! 

Puluhan anak panah itu terlontar entah ke mana. 

Dengan lincah Andika memutar tubuh, mencelat dan 

melesat keluar. 

Para prajurit yang menghadang itu memburunya. Di 

halaman depan kadipaten, bahaya lain sudah menanti pula. 

Maharaja Langit Hitam dan Singgih Murka yang telah 

menunggu langsung menyerang dahsyat. 

"Benar dugaanku, keparat itulah yang menyelamatkan 

keduanya," desis Andika sambil menghindar.

Kali ini ia tak mau bertindak tanggung lagi. Dengan 

geram ia mencecar kedua lawannya membabi buta. Setiap 

kali tubuhnya bergerak, setiap kali pula terdengar suara 

menghentak. Menyusul angin panas yang menggidikkan. 

Des! 

Tubuh Singgih Murka terhantam telak, menyusul sebuah 

tendangan berkekuatan tinggi menghantam punggungnya. 

Tubuh manusia itu terlontar ke depan. Tubuhnya 

menghantam tembok kadipaten hingga jebol. Tubuhnya 

melengak kesakitan, sejurus kemudian nyawanya pun 

melayang. 

Melihat sahabatnya telah mati, timbul kengerian di hati 

Maharaja Langit Hitam. Ia langsung mengambil langkah 

seribu setelah sebelumnya menghujani Andika dengan 

serangan-serangan bertenaga dingin. 

Andika menggeram sambil menghindar. Tubuh 

Maharaja Langit Hitam yang telah menjelma menjadi nyali 

tikus sudah menghilang. Selagi Andika berdiri tegak seperti 

itu, serangan para prajurit datang kembali. 

Dengan sekali lompat Andika menghilang dari tempat 

itu. Ia bertekad untuk memburu Adipati Ganda Manikam 

gadungan. Tetapi, bagaimanakah dengan Adipati Ganda 

Manikam yang asli? 

Walet, Walet mengetahui semua ini, desis Andika. 

-0o-dw-ray-o0- 

Suara seruling itu begitu merdu sekali. Tetapi sarat 

dengan nada kesedihan. Andika menghentikan larinya di 

sebuah sungai yang mengalir deras. 

"Walet! Di manakah kau?"

Suara seruling itu makin penuh dengan kesedihan. 

Andika mendongak ke atas, dilihatnya si Bocah Ajaib 

sedang duduk bersandar pada sebatang pohon dengan 

meniup serulingnya. 

Andika langsung melompat. Ia menunggu sampai Walet 

menyelesaikan permainan serulingnya. 

Setelah itu, "Let, ceritakan apa yang telah terjadi," kata 

Andika sambil menatap Walet. "Siapa sebenarnya Adipati 

Ganda Manikam itu?" 

Walet hanya menatap dengan wajah sendu. Sesaat ia tak 

berkata apa-apa. Setelah dilihatnya wajah Andika 

mencerminkan harap, ia mendesah. 

"Dulu, ada dua buah kerajaan saling bermusuhan. 

Namun, masing-masing putra dan putri mereka jatuh cinta. 

Mereka tak peduli dengan segala halangan dan tentangan. 

Mereka memutuskan untuk kawin lari. Tetapi kutukan sang 

ayah pangeran muda yang kasmaran itu, membuat 

semuanya hancur. Sang putri dari pihak kerajaan lawan, 

dikutuk menjadi sebuah mustika keramat, sementara sang 

Pangeran hilang entah ke mana." 

Andika tahu persis apa yang diceritakan Walet. Karena, 

sang Pangeran itulah yang menitisi diri Walet. (Baca : 

"Mustika Putri Terkutuk"). 

"Lalu... mengapa sang pangeran itu bermaksud menemui 

Adipati Ganda Manikam?" 

"Karena, sang Pangeran yakin, kalau Adipati Ganda 

Manikam adalah salah seorang dari keturunan raja calon 

mertuanya yang menentang hubungannya dengan putrinya. 

Sang Pangeran lalu memutuskan untuk menemuinya, 

sesuai dengan mimpi yang diterimanya. Lebih banyak 

menekankan pada bahaya yang datang.. Karena, seorang

tokoh jahat yang tak kelihatan wajahnya dalam mimpinya 

itu akan menghancurkan diri Adipati Ganda Manikam. 

Tetapi sang Pangeran datang terlambat.." 

Andika bisa menebak apa yang dimaksud oleh Walet. 

"Mengapa kau tak mengatakan sebelumnya kepadaku, 

Let?" . 

"Aku tak ingin merepotkanmu, Kang." 

Bisa dipahami kesedihan Walet. Karena ia menemukan 

Adipati Ganda Manikam yang asli telah tewas di Lembah 

Rembulan. Lebih menyedihkan karena ia tak sempat 

bertemu muka dan bertukar sapa pada keturunan raja pihak 

lawan ayahnya dulu. 

Yang sangat disayangkan Andika, mengapa Walet tidak 

menceritakan semua itu padanya? 

Walet menatapnya serius. 

"Sekarang aku meminta padamu, Kang... untuk memberi 

pelajaran pada manusia sesat itu." 

Andika menganggukkan kepalanya. 

“Tanpa kau minta, aku pasti akan melakukannya." 

"Kau sudah tahu siapa dia, Kang?" 

Andika menganggukkan kepalanya. 

"Hanya seorang yang bisa menjelmakan dirinya menjadi 

dua orang dengan kekuatan yang sama. Hanya seorang. 

Tetapi, aku tak mengerti bagaimana ia bisa melakukan 

penyamaran semacam itu. Hanya satu jawaban yang bisa 

kuberikan, karena aku memang belum mengenal Adipati 

Ganda Manikam. Mengenai para prajurit yang begitu patuh 

dan menuruti semua perintahnya tanpa persoalan apakah 

Adipati Ganda Manikam yang berada di hadapannya sosok

asli atau gadungan, aku bisa menangkap jawaban, kalau 

mereka telah dipengaruhi oleh kekuatannya. Tetapi, ketika 

pertama kali aku bertemu dengan Adipati Ganda Manikam 

gadungan itu, aku seperti mengenal sosok siapa yang ada di 

balik semua ini." 

"Lakukanlah, Kang...." 

"Aku akan melakukannya." 

"Kalau begitu, kita berpisah di sini, Kang." 

Andika tak menjawab apa-apa. Tak menahan keinginan 

Walet. Sambil melompat turun dengan ringan, Walet 

melangkah sambil meniup serulingnya. 

Terus melangkah diiringi pandangan Andika. 

"Akan kulakukan apa yang kau minta, Let. Masih 

banyak teka-teki tentang dirimu yang belum kumengerti. 

Aku berharap, suatu saat akan bisa mengetahui lebih 

banyak tentang dirimu." 

Setelah Walet menjauh, setelah suara seruling itu tidak 

terdengar lagi, Andika mendadak tertegun 

"Ayu!" desisnya tersentak. 

Lalu dengan tergesa ia berkelebat ke arah timur. 


-0o-dw-ray-o0- 


10


Pertarungan sengit terjadi di lembah sebelah timur. 

Dengan mengandalkan jurus-jurus ajaran Nenek Beruang 

Gunung Karimun, Ayu mencoba menahan gempuran 

dahsyat dan Adipati Ganda Manikam gadungan yang 

melakukannya sambil terbahak-bahak.

"Begitu bodoh Maharaja Langit Hitam yang tak tahu 

siapa kau sebenarnya, Bocah Ayu? Kalaupun gurumu tak 

bisa kubunuh, muridnya pun akan menjadi lambang 

keperkasaanku!!" 

Ayu yang semula terkejut melihat. kemunculan Adipati 

Ganda Manikam segera menjura. Rahmat pun melakukan 

hal yang sama. Bahkan Rokayah yang sudah lebih baik dari 

sebelumnya, bangkit karena tak menyangka junjungan 

mereka datang ke sana. 

Namun yang mengejutkan, pandangan Adipati Ganda 

Manikam yang sangat mengerikan. Itu terasa sekali oleh 

Ayu. Hingga tanpa sadar ia menyuruh kedua orangtuanya 

masuk ke gubuk. 

Belum lagi Ayu mengerti mengapa sikap Adipati Ganda 

Manikam, mendadak saja adipati menderu dengan satu 

serangan tangan lurus ke depan. 

Terkesiap Ayu menerimanya. Cepat Ia menarik 

kepalanya ke belakang. 

"Adipati!" serunya tersentak. 

Tetapi Adipati Ganda Manikam terus menyerang, 

hingga Ayu pun mulai membalas pula. Semula dengan 

separo ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk 

menghadapi gempuran itu, karena dirasakan hawa maut 

siap menerjangnya. 

Kedua orangtuanya yang sejak tadi begitu bangga 

dikunjungi oleh Adipati Ganda Manikam, keluar lagi. 

Mereka terkejut melihat putri mereka satu-satunya tengah 

menghadapi gempuran yang mengerikan. 

Melihat kedua orangtuanya muncul Ayu berseru, 

"Bapak! Ibu! Cepat tinggalkan tempat ini!"

"Adipati... ada apa ini?" tanya Rahmat tak mengerti. 

Sebagai jawaban, Adipati Ganda Manikam meluruk 

dengan jotosan yang bisa memecahkan kepala Rahmat, 

kalau tidak segera dihalau oleh Ayu. 

Tanpa mempedulikan rasa sakit pada tangannya, Ayu 

berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini, Bapak! 

Adipati sudah menjadi gila!" 

Terburu-buru Rahmat, setengah menarik istrinya 

meninggalkan tempat itu. Hatinya kebat-kebit melihat Ayu 

pontang-panting menghadapi serangan Adipati Ganda 

Manikam. Ia pun masih tak percaya dengan yang dilakukan 

oleh Adipati Ganda Manikam. 

Sementara itu, tiga jurus berikutnya, Ayu terdesak hebat. 

Gempuran keras dirasakan bertubi-tubi. Semakin dirasakan 

gempuran hebat, semakin kalut hatinya, mengingat seruan 

dari Adipati Ganda Manikam yang menginginkan kematian 

gurunya, Beruang Gunung Karimun. 

"Kau harus mampus, Bocah Ayu!" menggeram sekeras 

guntur suara Adipati Ganda Manikam. Ayu mengangkat 

tangan kanannya sambil menahan rasa sakit. 

"Tahan, Adipati!" 

Adipati Ganda Manikam hentikan gerakannya. 

"Kau kuberi kesempatan untuk bertanya, Bocah Ayu! 

Cepat katakan, sebelum niatku berubah!" 

"Mengapa Adipati menginginkan kematianku?" 

tanyanya, diam-diam ia mengalirkan tenaga dalamnya 

untuk menahan rasa nyeri yang berkebyar-kebyar. 

"Tak ada jawaban apa-apa! Kau harus mati!" 

"Tunggu, siapa Adipati sebenarnya?"

Adipati Ganda Manikam tertawa, "Hebat pertanyaanmu, 

sungguh menyentuh perasaanku! Tetapi, rasanya 

pertanyaan itu justru mengurangi rasa hormatmu kepadaku. 

Mana rasa hormatmu itu, Bocah Ayu?" 

"Katakan siapa Adipati sebenarnya. Tak mungkin 

Adipati bersikap buruk seperti ini?" 

“Diam!" suara itu mengguntur kembali. Lebih 

mengerikan. Dedaunan di sekitar sana menjadi gugur 

seketika. "Kini... terimalah kematianmu, Bocah Ayu!" 

Memburu dengan teriakan sekeras serigala, tubuh 

Adipati Ganda Manikam melesat dahsyat. Ayu terkesiap 

melihatnya. Ia merasakan betapa derasnya angin yang 

memburu ke arahnya. Ia tak berani untuk memapaki 

gempuran dahsyat itu, karena merasa tenaga dalamnya 

kalah satu tingkat dari lawan. 

Jalan satu-satunya yang terbaik, memang menghindar. 

Kecepatan tinggi yang diperlihatkan Ayu, terasa tak 

membawa hasil. Karena, ia telah terluka dalam akibat 

gempuran sebelumnya. Satu jotosan keras diterimanya 

dengan jeritan, darah menyembur keluar. 

"Kini, habislah riwayatmu!!" Menderu dingin Adipati 

Ganda Manikam meluncur ke arah Ayu yang hanya 

membelalakkan matanya. 

Namun.... 

Des! 


-0o-dw-ray-o0- 


Benturan cukup keras terjadi, menahan serangan Adipati 

Ganda Manikam, sekaligus menyelamatkan Ayu dari maut. 

Menyusul satu tendangan berkekuatan tinggi yang 

dilancarkan si penolong, menggempur tubuh Adipati

Ganda Manikam, yang keluarkan suara tertahan dan 

menekuk kedua tangannya. 

Desl Des! 

Secepat itu pula Adipati Ganda Manikam membuang 

tubuhnya ke belakang, karena bila lawan yang baru muncul 

itu menyerang kembali, ia merasa sulit untuk menahan 

ataupun membalas. 

"Kang Andika!" terdengar seruan Ayu dengan wajah 

gembira. 

Andika yang baru saja menahan serangan Adipati Ganda 

Manikam, dan melancarkan tendangan keras, melompat 

indah, berputar dua kali dan hinggap di sisi Ayu. 

"Bagaimana keadaanmu?" 

"Masih lumayan aku belum mati." 

"Jangan mati dulu, aku belum menciummu," seloroh 

Andika yang membuat dada Ayu berdebar. 

Sementara itu, Adipati Ganda Manikam memerah 

wajahnya. Kedua matanya melotot gusar. 

"Setan keparat! Lagi-lagi kau!" 

Andika menoleh dan nyengir. "Maaf, aku memang tidak 

tahan melihat kejahatan sih!" 

"Kau akan merasakan akibatnya, Pendekar Slebor!" 

"Jangan banyak bacot!" bentak Andika dengan tatapan 

tak berkesip. Suaranya mendesis, seolah menahan 

gumpalan amarah di dada. "Rencana kejimu sudah berakhir 

sampai di sini... Raja Akhirat!" 

Adipati Ganda Manikam tertawa ganda. Sampai 

perutnya berguncang-guncang. Sementara Ayu 

mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Andika.

Tetapi, ia tak membutuhkan jawaban terlalu lama dari 

kebingungannya tentang panggilan Andika terhadap 

Adipati Ganda Manikam. 

"Otakmu memang cerdik, hingga tahu siapa aku!" seru 

Adipati Ganda Manikam sambil mencabik-cabik baju 

kebesarannya. Yang nampak kemudian, baju merah 

menyala. Menyusul ia menarik sebuah topeng dari 

wajahnya. Yang nampak seraut wajah mengerikan dengan 

bekas luka memanjang di sebelah kiri. 

Andika tersenyum sinis. 

"Hanya seorang yang bisa mengelabui orang lain dengan 

ajian 'Melayang Dua'nya." 

"Bagus! Bagus sekali! Tetapi, lagi-lagi manusia semacam 

kau yang selalu menghalangi keinginanku!" 

"Sampai kapan juga, kau tetap tak akan berhasil 

melaksanakan seluruh keinginan busukmu itu, Raja 

Akhirat!" 

"Kuakui, kau memang berhasil menggagalkan seluruh 

rencanaku. Bahkan belum sampai setengah rencana yang 

kujalankan kau telah berhasil menghentikannya! Hebat, 

hebat sekali!" 

Andika menatap sengit manusia keji yang berjuluk Raja 

Akhirat. Pertama kali ia mempecundangi keinginan Raja 

Akhirat untuk menguasai Keraton Barat (Baca: "Raja 

Akhirat" dan "Neraka di Keraton Barat"). Bahkan saat 

mengangkangi sembilan iblis dan mencoba mengendalikan 

mereka untuk menguasai rimba persilatan, lagi-lagi rencana 

busuk Raja Akhirat berhasil digagalkan oleh Pendekar 

Slebor (Baca : "Istana Sembilan Iblis"). 

Sekarang, rencana keji yang dilakukannya pun berhasil 

dihentikan Pendekar Slebor.

"Kau tak henti-hentinya menyebarkan petaka dalam 

kehidupan ini, Raja Akhirat! Sudah sepatutnya kau untuk 

mampus!" 

"Kak.... Kak.... Kak... sayangnya, kau tak akan bisa 

melakukannya lagi, Pendekar Slebor. Meskipun kau telah 

berhasil memecahkan ajian 'Melayang Dua' yang kumiliki 

berkat petunjuk kakak seperguruanku di Goa Akhirat, kau 

tak akan bisa mengalahkan aku lagi.. Karena, kemajuanku 

sangat tinggi. Bahkan, aku telah mempelajari ilmu 

menyamar dari 'Kitab Wajah Asli' yang kudapatkan secara 

tak sengaja di kaki Gunung Malintang. 

Dengan menguasai Desa Sawo Luwih dan menindas 

Singgih Murka atau ketua dari Serikat Baju Merah, aku 

bermaksud untuk menjalankan siasat baru menuju apa yang 

kuinginkan. Akan kujadikan Desa Sawo Luwih sebagai 

tempat pengedaran candu. Akan kupengaruhi orang-orang 

persilatan hingga mereka lupa diri dan aku dengan mudah 

membunuhnya. 

Rencana pertama yang harus kulakukan, tentunya 

menguasai Kadipaten Karang Sutra. Adipati Ganda 

Manikam telah kubunuh. Dengan ilmu menyamar yang 

kupelajari aku bisa mengubah diriku menjadi dirinya. 

Tetapi kuakui, dua orang prajurit mengenaliku, hingga 

keduanya harus kubunuh. Ilmu penyamaranku belum 

sempurna, dan kupengaruhi puluhan prajurit itu hingga 

semuanya menuruti kehendakku. Kau benar tentang 

semuanya, Pendekar Slebor. Dan kau akan membayar 

semuanya atas kelancanganmu!" 

Andika menggeram. "Justru akan kutunaikan janjiku 

pada sahabat kecilku yang bernama Walet!" 

"Kita buktikan!"

Sehabis berkata begitu, Raja Akhirat sudah mengirimkan 

satu gempuran dahsyat. Angin bergemuruh bak hujan deras 

yang turun. Sejenak Andika terperangah melihatnya, 

namun kesiagaannya sebagai seorang pendekar tak perlu 

disangsikan lagi. 

Ia merunduk dan berteriak mengguntur mengirimkan 

serangan balasan. Tak tanggung lagi, ajian 'Guntur Selaksa' 

sudah dipergunakan. Suara salakan petir sangat keras 

terdengar. 

Sementara, Ayu perlahan-lahan beringsut. Sungguh, 

terkejut bukan main. Ia begitu menyadari kalau laki-laki di 

hadapannya itu bukanlah Adipati Ganda Manikam. Dari 

kata-kata yang dilontarkan keduanya, jelas masing-masing 

musuh bebuyutan. 

Bentrokan antara dua musuh lama itu benar-benar 

mengerikan Dalam waktu singkat, lima belas jurus telah 

terlewati dengan dahsyat. Serang menyerang terjadi. Hindar 

menghindar dilakukan. Di hadapan Pendekar Slebor, Raja 

Akhirat tak berani mengeluarkan ajian andalannya, ajian 

'Melayang Dua' yang pernah membuat Pendekar Slebor 

mati kutu, bahkan berkali-kali dikelabui oleh lawan. 

Karena, Pendekar Slebor telah mengetahui rahasia 

kelemahan ajian dahsyat itu. 

Tangan kanan Raja Akhirat-lah yang menjadi kelemahan 

dari ajian 'Melayang Dua' seperti yang dikatakan Srundul 

alias si Tapak Darah - kakak seperguruan Raja Akhirat di 

Goa Akhirat. Justru yang dilakukan adalah menyerang 

dengan ilmu yang baru diciptakan, ilmu kembangan dari 

ajian 'Himpunan Surya-Bayu Tanah'. Paduan Panas-Dingin' 

yang mengerikan. 

Wuuus! Wuuusss!

Dua gelombang angin dahysat yang mengeluarkan suara 

menggemuruh melesat cepat ke arah Pendekar Slebor. 

Bersamaan dengan itu, suasana berubah panas. 

Andika segera menyingkir dengan melompat ke samping. 

Lalu dari tempatnya itu, pemuda urakan dari Lembah 

Kutukan melepaskan pukulan dengan cara mendorong. 

Kedua telapak tangannya dikembangkan. 

Wuuss! Wusss! 

Rasa panas yang terasa tadi, makin memanas ketika 

pukulan kembangan dari ajian 'Guntur Selaksa' dilepaskan. 

Terdengar suara ledakan dahsyat. Lembah itu laksana 

dilanda gempa yang hebat. Daun-daun luruh dan hangus, 

semak belukar tercabut dari akarnya dan membubung ke 

angkasa. Tanah muncrat menutupi pandangan. 

Keduanya telah mempergunakan tenaga dalam yang 

sangat tinggi dari yang mereka miliki. Akibat benturan dua 

tenaga dahsyat itu, tubuh Raja Akhirat mencelat sampai 

tiga tombak ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah. 

Hempasannya cukup keras. Darah mengalir dari mulutnya, 

bersamaan makian panjang pendek. 

Sementara yang dialami Andika tak jauh berbeda. Ia 

jatuh dengan kedua lutut menekuk. Tubuhnya bergetar 

hebat dengan wajah menekuk, menahan sakit. Selagi 

Andika berusaha untuk berdiri, tiba-tiba angin kencang 

berkesiur ke arahnya. 

Tak ada jalan lain bagi Andika selain merebahkan tubuh 

sejajar dengan tanah, bila tak ingin dadanya jebol dihantam 

gempuran keras Raja Akhirat. 

Bersamaan tubuhnya rebah di tanah, kaki kanannya 

melayang, menyusul kaki kiri.

Sementara Andika mengatur napasnya baik-baik. 

Matanya masih sengit menatap Raja Akhirat. Ia yakin, 

dalam tempo tidak lama, nyawa Raja Akhirat akan terlepas 

dari jasad. 

Ketika teringat akan pesan Walet, Andika berdiri tegak. 

Memutar kedua tangannya ke atas, seketika tubuhnya yang 

sejak tadi diliputi sinar perak tak nampak, kini menjadi 

nyata. Itu bertanda Andika tengah mengeluarkan ajian 

'Guntur Selaksa' pada tingkat paling tinggi. 

"Semua kekejaman dan kebusukanmu akan terpuruk hari 

ini, Raja Akhirat!!" 

Bersamaan semau itu, Andika menerjang. Ajian 'Guntur 

Selaksa' yang terangkum pada kedua tangannya, benar-

benar siap menghantam kepala Raja Akhirat. 

"Heaaaa!" bertambah keras teriakan itu, bertambah cepat 

lesatan Andika. 

Raja Akhirat benar-benar dalam keadaan tak berdaya. Ia 

hanya melotot dengan gusar dan hantaman keras Andika 

pun menghajar telak kepalanya. 

Prak! 

Menyusul satu pada dadanya. 

Besss!! 

Kepala Raja Akhirat pecah, dadanya jebol, tubuhnya 

pun menggelosoh tak berdaya. Darah bersimbah, 

membasahi tubuh yang sudah menjadi mayat. 

Andika melompat ke kiri. 

Ia mengatur napasnya lagi. "Tamat sudah riwayat 

manusia busuk ini!"

Sementara Ayu yang menyaksikan pertarungan terakhir 

itu segera bangkit setelah dirasakan kondisinya sudah 

memulih. Ia memegang lengan Andika. 

"Bagaimana keadaanmu, Kang Andika?" tanyanya pelan 

dengan tatapannya yang menyejukkan. 

"Aku puas menyaksikan manusia itu telah tewas, 

Ayu...." 

"Begitu pula aku, Kang Andika. Tak kusangka kalau 

manusia itulah yang mengatur semua rencana keji ini. Tak 

kusangka pula kalau Adipati Ganda Manikam telah tewas." 

"Yah... ia akan mengatur semuanya dengan baik. 

Tetapi... pupus sudah keinginan busuknya itu. Ayu... kita 

cari kedua orangtuamu, setelah itu, kita umumkan kalau 

Adipati Ganda Manikam telah tewas." 

Ayu cuma menganggukkan kepalanya. 

"Kau sudah mendingan, Kang Andika?" 

Andika tersenyum nakal. "Bersamamu, aku selalu 

merasa segar dan lebih baik." 

Ayu mencubit lengan Andika. Dasar urakan, meskipun 

cubitan itu tidak terlalu sakit, tetapi Andika berteriak keras. 

Ayu jadi malu sendiri karenanya. 

"Nakal!" 

Andika mengedipkan matanya. Genit! 

Tetapi sebelum keduanya melangkah, mendadak 

terdengar suara keras, "Kaak... kak... kak! Pendekar Slebor, 

kau tak akan bisa membunuhku!!" 

Kaget Andika menoleh. Sosok Raja Akhirat yang 

menggelosoh tadi sudah tidak ada. Justru yang ada sosok

Raja Akhirat yang duduk dengan seringaian mengejek di 

sebuah dahan pohon. 

"Manusia buduk!" maki Andika sewot. Ia langsung 

menerjang cepat. Tetapi sosok Raja Akhirat telah melompat 

dan menghilang entah ke mana. Andika melompat lagi ke 

bawah sambil memaki panjang pendek. 

"Mengapa bisa terjadi seperti itu, Kang Andika?" tanya 

Ayu tak mengerti. 

Andika masih memaki-maki sambil menghentakkan kaki 

kanannya ke tanah. 

"Keparat busuk! Monyet buntung! Manusia itu memang 

memiliki akal licik! Sejak tadi ia menyerangku tanpa 

mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya karena aku 

sudah mengetahui kelemahannya. Dan tanpa kusadari ia 

justru melakukannya di saat menerima gempuranku! 

Kurang ajar!" 

"Ilmu 'Melayang Dua'?" ulang Ayu 

"Ya, ajian itulah yang pernah membuatku kecolongan, 

bahkan hari ini aku pun kecolongan lagi. Hhh! Bila bertemu 

dengan manusia laknat itu lagi, tak akan kuampuni dia!!" 

Ayu bisa merasai kejengkelan Andika. Lalu berkata 

pelan. sambil memegang tangan pemuda dari Lembah 

Kutukan itu, "Sudahlah, Kang Andika. Bukankah Kang 

Andika telah berhasil mematahkan semua rencana busuk 

Raja Akhirat?" 

Andika menganggukkan kepala. 

"Kau benar, Ayu. Tetapi, aku masih mempunyai janji 

pada Walet," sahutnya sendu.

"Mungkin untuk saat ini,janjimu belum bisa 

dilaksanakan, Kang. Barangkali, suatu saat kau akan bisa 

menunaikan janjimu itu pada Walet." 

Andika berbalik. Menatap wajah jelita di hadapannya 

yang sedang tersenyum. Lalu katanya sambil 

menganggukkan kepalanya. 

"Ya, suatu saat.” 

Ayu tersenyum. Pijaran aneh meriak-riak di hatinya. 

Sungguh, ia merasa begitu dekat dengan Andika. Teramat 

dekat bahkan, seolah ia bisa mengetahui apa yang dirasakan 

Andika. Sesuatu yang nyaman pun mengalun di hati Ayu. 

Entah apa, murid Beruang Gunung Karimun sendiri tidak 

tahu. 

Lalu Andika mengajak Ayu untuk mencari kedua 

orangtua gadis itu. Andika pun bermaksud untuk 

memberikan semangat juang lagi pada para penduduk Desa 

Sawo Luwih yang pernah luntur akibat kedatangan 

manusia-manusia dajal itu. 

Dan tanpa sepengetahuan mereka, satu sosok tubuh yang 

baru saja datang memperhatikan keduanya dengan 

seksama. Bibirnya tersungging senyuman. 

"Pendekar Slebor... hari ini aku berjumpa denganmu 

meskipun kita belum bertegur sapa. Tetapi, muridku sudah 

mewakili kehadiranku. Hmmm... Raja Akhirat. Ya, pernah 

kudengar nama itu beberapa bulan lalu. Rencana busukmu 

telah berhasil dihentikan oleh Pendekar Slebor." Sosok itu 

menatap sepasang muda-mudi yang sudah menghilang dari 

pandangannya. "Ayu... beberapa bulan lagi aku akan 

datang menemuimu. Ada tugas yang harus kau jalankan. 

Yah, beberapa bulan lagi...."

Lalu sosok itu, Nenek Beruang Gunung Karimun, 

menghilang dari pandangan. Bibirnya masih tersenyum 

melihat kebersamaan muridnya dengan Pendekar Slebor


                       SELESAI 


Segera hadir Serial Pendekar Slebor dalam episode: 

IBLIS-IBLIS SUMUR TUA



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive