1
Jalan setapak berliku itu sepi sekali.. Angin menghampar
dan. berlari dari satu pohon ke pohon lain. Tak ada suara
burung berkicau. Suasana hening dan angker. Di belakang
jalan setapak itu, berdiri perbukitan menghijau. Meskipun
demikian, bukit itu bagai mati belaka. Penuh misteri.
Tetapi, satu sosok tubuh ramping dengan wajah cantik
jelita, berjalan tenang. Dari cara berjalannya yang
melonjak-lonjak, menandakan ia seorang gadis yang riang.
Rambutnya beriap dan sesekali melompat. Wajah bulat
telur gadis itu sungguh menggemaskan dengan pakaian
warna merah muda. Di pinggangnya terdapat sebuah
selendang berwarna kuning. Sungguh kontras sebenarnya,
dan membuat kecantikan wajah serta kerampingan
tubuhnya semakin nampak.
Sesekali ia berhenti melangkah. Bukan semata untuk
menikmati suasana yang benar-benar tak menyenangkan.
Tetapi sepertinya ia sedang mengira-ngira jalan mana yang
sedang ditujunya.
Siapa gadis berpakaian ala orang-orang rimba persilatan?
Ayu, namanya. Seorang gadis yang memiliki kesaktian
tinggi. Datang dari lereng Gunung Karimun, Ia memang
belum dikenal oleh orang-orang rimba persilatan. Karena,
baru kali ini ia turun gunung.
Sebenarnya, Ayu berasal dari sebuah desa yang jauh dari
Gunung Karimun. Desa Sawo Luwih yang cukup ramai.
Selama lima tahun - semenjak ia berusia dua belas tahun ia
diambil oleh seorang nenek yang berjuluk Beruang Gunung
Karimun, yang sekali waktu bertandang ke Desa Sawo
Luwih.
Saat itu, Ayu sedang bermain lompat tali bersama teman-
temannya. Beruang Gunung Karimun, yang nama aslinya
ia sendiri sudah lupa, tertarik melihat betapa cekatannya
gadis kecil itu. Matanya yang agak masuk ke dalam tak
luput sekali pun memperhatikan gadis itu.
“Ia memiliki susunan tulang yang bagus. Rasanya, inilah
waktu yang tepat bagiku untuk memiliki seorang murid.
Selama tiga tahun aku keluar dari Gunung Karimun untuk
mencari murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu yang
kumiliki. Gadis kecil itu cocok untukku," desis nenek
bersanggul kecil yang diberi tiga buah tusuk konde warna
perak.
Saat itu senja semakin turun, Ayu memutuskan untuk
selesai bermain. Ia berlari pulang. Beruang Gunung
Karimun tak berkesip menatap kepergiannya yang seperti
seekor kijang muda yang lincah. Rasa ingin tahunya dan
ingin memiliki bocah kecil itu sebagai muridnya semakin
membesar. Ia pun melangkah untuk mengikuti ke mana
Ayu pergi.
Dilihatnya Ayu memasuki rumah yang sederhana,
terletak agak menepi dari keramaian desa. Lampu sentir di
depan rumah itu sudah dinyalakan. Dari kejauhan, Beruang
Gunting Karimun bisa menebak kenyamanan yang ada di
rumah itu.
Didengarnya suara lembut dan dalam rumah itu,
"Mengapa begitu senja kau baru pulang, Ayu!"
"Maafkan aku, Ibu. Aku asyik bermain dengan teman-
teman sampai lupa waktu. Lain kali, aku tidak akan
melakukannya lagi, bu," jawab Ayu sambil menundukkan
kepala.
Ibunya tersenyum. Tak mau membuat anaknya menjadi
merasa bersalah. "Sudahlah. Pergi mandilah. Setelah itu,
kita makan bersama, Ayu."
"Bapak sudah pulang, Ibu?"
"Sebentar lagi. Biasanya, sebelum, magrib bapakmu
sudah berada di rumah, bukan?"
Beruang Gunung Karimun yang mendengarkan semua
itu dari sebuah dahan pohon yang rimbun, di kejauhan
tampak terlihat seorang laki-laki berwajah sekitar dua puluh
tujuh tahun pulang dengan membawa cangkul di bahunya.
Ia bisa melihat dari mana sunan tulang yang dimiliki gadis
kecil itu berasal.
Laki-laki yang diyakininya ayahnya gadis bernama Ayu
itu, memiliki pula susunan tulang yang baik. Tetapi dalam
sekali lihat saja Beruang Gunung Karimun yang memiliki
kesaktian tinggi bisa menebak kalau laki-laki itu tak
memiliki ilmu kanuragan.
"Aku yakin, meminta pada kedua orangtua gadis kecil
itu, tak akan pernah dikabulkan. Masa bodoh! Aku harus
mendapatkan gadis itu sebagai muridku. Pilihanku telah
jatuh padanya."
Memikir demikian, Beruang Gunung Karimun
menunggu sampai tengah malam tiba di sebuah pohon
besar yang tak jauh dari tempat tinggal Ayu. Lewat tengah
malam, nenek bertusuk konde perak itu pun melompat
ringan ke tanah. Dan melesat bagai bayangan ke pintu
rumah Ayu.
Mempergunakan kesaktiannya, dengan mudah ia bisa
berada di dalam. Sejenak diperhatikannya gadis kecil yang
telah membuatnya jatuh hati tadi sedang tertidur di balai
balai Keinginannya untuk mendapatkan gadis itu semakin
membesar.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Beruang Gunung
Karimun sangat tinggi, hingga saat ia membopong Ayu
keluar, tak sedikit pun Suara terdengar.
"Akan kukabarkan pada kedua orangtua gadis kecil ini,
kalau anaknya kuambil untuk sementara waktu. Dan akan
kupulangkan setelah lima tahun mendatang."
Ia pun melesat cepat kembali ke tempat asalnya yang
berjarak sangat jauh dari Desa Sawo Luwih. Desa yang
cukup nyaman. itu pun menjadi gempar keesokan paginya.
Bermula Rokayah yang ketika terbangun dari tidur tak
melihat putrinya. Dalam pikirnya, Ayu sudah bangun lebih
dulu. Tetapi ketika melihat keluar, gelap masih menyelimuti
alam, wanita itu tak yakin Ayu sudah bermain-main di luar.
Apakah ia ke kamar mandi? pikirnya, Bergegas Rokayah
menuju ke sana. Tak ada tanda-tanda Ayu di sana.
Kepanikan mulai melanda diri wanita itu.
Dibangunkan suaminya yang tak kalah terkejut
mendengar penuturannya. Sigap Rahmat bergerak, mencari
putrinya. Sampai matahari sepenggalah ia tak menemukan
di mana putrinya.
Sementara Rokayah sudah menangis berkepanjangan.
Para tetangga berdatangan dan membantu Rahmat mencari
Ayu.
Setelah tiga hari lamanya, tak ada kabar yang
memuaskan. Ayu dinyatakan lenyap begitu saja. Ada yang
mengatakan, Ayu dibawa penunggu Serean Salehraga. Ada
yang mengatakan, Ayu diculik. Dan bermacam dugaan
yang datang.
Sampai dua hari kemudian, ketika Rahmat hendak ke
kamar mandi pagi hari, ia merasa ada sesuatu yang jatuh
dari atas, menimpa wajahnya.
Yang jatuh itu ternyata sebuah daun lontar. Rasa heran
menyelimutinya mengingat tak ada pohon lontar di sana.
Diambilnya daun itu. Yang lebih menarik perhatiannya,
ada tulisan di sana.
Sungguh, aku tak bermaksud merepotkan. Putrimu ada
bersamaku. Kupinjam untuk kuturunkan semua ilmu yang
kumiliki. Lima tahun mendatang, ia akan kukembalikan lagi.
Beruang Gunung Karimun
Sejenak Rahmat terdiam. Putrinya yang dinyatakan
hilang bersama Beruang Gunung Karimun? Siapakah orang
yang berjuluk Beruang Gunung Karimun?
Tetapi sedetik kemudian, ia sudah masuk lagi ke
rumahnya. Keinginannya untuk buang air lenyap sudah.
Dikabarkannya pemberitahuan itu pada istrinya yang
nampak semakin hari bertambah payah memikirkan putri
mereka.
Mengetahui kalau putrinya baik-baik saja, Rokayah
mendesah panjang.
"Istriku... aku yakin, orang yang berjuluk Beruang
Gunung Karimun akan mengembalikan putri kita."
"Lima tahun, Kang? Lima tahun cukup lama...,” desis
Rokayah pelan, namun hatinya agak tenang, senang.
Di Gunung Karimun, Beruang Gunung Karimun
menggembleng Ayu untuk mempelajari seluruh ilmu yang
dimilikinya. Semakin hari ia semakin sayang pada gadis itu,
meskipun terkadang harus membujuk Ayu bila gadis kecil
itu menangis karena rindu pada kedua orangtuanya.
"Bapak dan Ibumu menyuruhku untuk mendidikmu,
Ayu...."
"Tetapi, Nek... mengapa mereka tidak pernah datang
menjengukku?" tanya Ayu sambil menatap Beruang
Gunung Karimun dengan pandangannya yang bundar.
"Karena, mereka tak mau mengganggumu yang sedang
belajar padaku."
"Ih! Aku kangen mereka sekali, Nek!"
"Mereka menginginkan kau untuk belajar dengan tekun
dan menunggumu pulang.”
Wajah Ayu jadi berseri-seri. "Kalau begitu, aku akan
semakin tekun berlatih, Nek."
Ganti wajah Beruang Gunung Karimun yang berseri-seri.
Pelajaran demi pelajaran yang diberikannya diterima
Ayu dengan cepat. Setelah satu setengah tahun berlalu,
Beruang Gunung Karimun pergi ke Desa Sawo Luwih
menemui kedua orangtua Ayu.
"Percayalah... Ayu dalam keadaan baik-baik."
Rokayah menggenggam erat tangan suaminya. Sungguh
gembira ia mendengar kabar itu.
"Kami menunggu ia pulang, Nek."
"Tiga setengah tahun lagi, ia akan kembali pada kalian. "
"Kami menitip salam untuknya. Dan kami berharap kau
menjaganya sepenuhnya, Nek."
Beruang Gunung Karimun hanya menganggukkan
kepala.
Dan tiga setengah tahun pun berlalu tanpa terasa. Kini
Ayu bukanlah gadis kecil seperti lima tahun yang lalu. Kini
telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja berwajah cantik
jelita. Memiliki perawakan ramping dan budi pekerti yang
sopan. Karena selain ilmu kanuragan yang diajarkan
Beruang Gunung Karimun, wanita tua itu pun mengajarkan
bagaimana cara beradab.
Seperti janjinya pada kedua orangtua Ayu, Beruang
Gunung Karimun pun menyuruh Ayu untuk kembali
kepada mereka. Di Desa Sawo Luwih. Ia memang sengaja
melepas Ayu seorang diri, semata untuk melihat keberanian
gadis itu.
-0o-dw-ray-o0-
Gadis berbaju merah muda itu terus melangkah dengan
tenangnya. Samar dalam bayangannya ia teringat kembali
pada kedua orangtuanya. Rasa rindu pun semakin
menyesakkan dada.
"Bapak dan Ibu... kini aku pulang," desisnya riang.
Gadis itu menengadah. Menatap langit yang mulai
kelam. Malam sebenar lagi akan datang. Angin berhembus
dingin, membelai rambutnya yang panjang beriap.
"Sebenar lagi pasti akan turun hujan, aku harus
meninggalkan jalan setapak ini," membatin gadis itu.
Sebelum Ayu melakukan maksudnya....
“Berhenti!!”
Segala yang diniatkannya pupus seketika begitu
mendengar bentakan bernada kasar dari belakangnya.
Kepalanya cepat menoleh. Ia melihat seorang laki-laki
bertampang kasar dengan wajah mengerikan berdiri sambil
menatapnya dengan tatapan nyalang.
Laki-laki itu tinggi besar dengan perawakan tegap.
Pakaiannya berwarna hitam terbuka di dada yang
memperlihatkan dada bidang disertai bulu yang lebat.
Celana pangsi hitam yang agak kumal dikenakan. Kumis
dan cambangnya menghiasi wajahnya yang lonjong.
Hidungnya cukup bagus sebenarnya, tetapi karena bibir
bagian bawahnya agak turun, membuat laki-laki itu jadi
begitu mengerikan. Rambutnya diikat ekor kuda.
Sejenak Ayu memperhatikan laki-laki itu sebelum
berkata, "Siapa kau adanya? Mengapa membentakku
sedemikian rupa?"
Bukannya segera menyahut, laki-laki itu justru
perdengarkan tawanya yang menyakitkan telinga.
"Hmm... sedang pamer tenaga dalam rupanya,” desis
Ayu sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
"Nona manis... kau beruntung berjumpa denganku
Maharaja Langit Hitam. Tak seorang pun yang berjumpa
denganku akan kubiarkan hidup. Tetapi untukmu, suatu
pengecualian.”
Pada dasarnya Ayu memang memiliki kesopanan yang
tinggi. Meskipun ia tidak suka mendengar kata-kata
bernada penghinaan dari laki-laki yang mengaku berjuluk
Maharaja Langit Hitam, namun ia tetap menyahut sopan,
"Kuterima pengecualianmu itu. Dan kuhaturkan terima
kasih. Tetapi maaf, karena aku agak tergesa, aku akan
segera meninggalkanmu."
Setelah berkata begitu, tanpa menunggu jawaban
Maharaja Langit Hitam, Ayu segera berbalik dan siap
berlari.
"Berhenti!!" bentakan sekeras guntur itu kembali
terdengar. Rumput kering beterbangan bagai digebah.
Beberapa hewan malam yang muncul kembali masuk ke
sarang.
Ayu kembali memutar tubuh. "Sebuah pameran tenaga
dalam yang cukup tinggi," desisnya. Lalu ia berkata, "Tak
ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"
Wajah Marahaja Langit Hitam menjadi kelam. Selama
hidupnya, tak sekali pun ia pernah mendengar ada yang
berani membantah ucapannya, bahkan membantah
perintahnya. Laki-laki berwajah mengerikan yang berasal
dari Goa Setan itu memang memiliki nama angker yang
menakutkan. Ia berasal dari golongan hitam yang tak segan-
segan menyiksa lawannya.
"Aku menginginkanmu!" suaranya mengguntur kembali.
Sekalipun Ayu tak memperlihatkan rasa takutnya. Ia
tetap tenang bahkan senyuman tersungging di bibirnya.
"Maafkan aku... aku tak punya waktu untuk
meladenimu."
"Setan alas!!" Tangan Maharaja Langit Hitam yang
dilingkari gelang bahar besar mengibas ke arah Ayu.
Kibasan itu bukan kibasan biasa, mengandung tenaga
dalam yang tinggi. Dalam sekali kibas, angin yang menderu
dahsyat ke arah Ayu akan mampu menerbangkannya.
Tetapi pada kenyataannya, murid Beruang Gunung
Karimun hanya terdiam di tempatnya tak bergeser sedikit
pun. Hanya saja, ketika angin dahsyat itu dirasakan sudah
mendekat, ia membuat gerakkan dengan tangan kanan.
Memutar dua kali.
Angin dahsyat itu mengeluarkan suara yang cukup keras
seperti membentur sebuah dinding yang sangat tebal.
Maharaja Langit Hitam tercekat melihatnya. Ia tidak
percaya gadis muda itu mampu menahan gebrakan
pertamanya.
"Kau?!" geramnya dengan tubuh menggigil.
Ayu yang merasa tak perlu meladeni laki-laki itu tak
menghentikan gerakannya. Dan gerakan memutar tadi, ia
menggerakkan tangan kanannya ke depan, dengan telapak
tangan terbuka.
Wuss!
Satu serangan penuh tenaga dalam telah melesat ke arah
Maharaja Langit Hitam yang mengeluarkan seruan tertahan
dan melompat menghindar.
"Keparat!!" makinya dan terus hinggap di tanah. Namun
ia terbelalak dengan kegusaran yang tinggi ketika melihat
gadis itu sudah tak ada di hadapannya.
"Tak kusangka gadis semuda itu mampu menahan
seranganku. Hhh! Dialah calon istriku yang selama ini
kucari-cari! Aku tak akan melepaskannya!”
Tak lama kemudian, sosok tinggi besar itu pun
berkelebat untuk menyusul ke mana Ayu pergi.
0o-dw-ray-o0
2
Desa Sawo Luwih tempat kelahiran Ayu, sejak tiga
tahun terakhir ini, bukanlah sebuah desa yang nyaman lagi.
Setelah dua tahun kepergian Ayu, desa itu didatangi
gerombolan kejam yang menamakan diri Serikat Baju
Merah.
Mereka datang dengan niat jahat untuk menguasai Desa
itu. Para penduduk sudah tentu tidak menerima keinginan
orang-orang itu. Dengan gagah berani mereka angkat
senjata mempertahankan tanah leluhur. Namun Serikat
Baju Merah yang berjumlah sebelas orang, rata-rata
memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan mudahnya
mereka membantai habis seluruh perlawanan yang
diberikan para penduduk desa. Sementara yang masih
sayang nyawanya, harus merelakan diri menjadi abdi dari
Serikat Baju Merah dengan menahan sakit hati dalam-
dalam.
Gerombolan itu dipimpin oleh seorang laki-laki yang
berwajah bulat. Dua buah codet di pipi kanan kirinya
membuat tampangnya begitu menakutkan.
Rambutnya panjang tak beraturan. Di bahunya tersampir
dua buah kain berselempangan berwarna hitam. Ia bernama
Singgih Murka.
Mereka menempati tempat tinggal kepala desa yang mati
terbunuh saat memimpin gerakan mempertahankan desa.
Sungguh malang nasib yang dialami istri dan anak
gadisnya. Mereka kini menjadi sapi perahan dari Singgih
Murka.
Kehadiran Serikat Baju Merah yang menguasai Desa
Sawo Luwih membuat desa itu bertahun-tahun bagai
berubah menjadi neraka. Orang-orang kejam itu melakukan
apa saja yang mereka inginkan. Dan tak segan-segan
mencabut nyawa para penduduk yang mencoba menentang,
hingga banyak yang mengurungkan diri untuk diam-diam
melarikan diri. Karena, gerombolan itu bagai memiliki mata
yang sangat banyak. Mereka seperti tahu bila ada penduduk
yang nekat melarikan diri.
Bahkan tiga orang yang mencoba melarikan diri, harus
menerima nasib yang mengenaskan. Mereka dibunuh
dengan kejam dan mayat mereka digantung di tengah alun-
alun. Sebagai peringatan bagi yang lainnya agar tidak
melakukan tindakan konyol yang memancing kemarahan
para anggota gerombolan. Tak ada yang berani menentang.
Tak ada yang berani melarikan diri untuk melaporkan hal
itu ke Kadipaten Karang Sutra yang selama ini dikenal
selalu melindungi desa, tak terkecuali Desa Sawo Luwih,
Di rumahnya, Rahmat terpekur dengan wajah kelu.
Lima tahun telah banyak membawa perubahan pada
dirinya. Tubuhnya yang dulu tegap, kini menjadi kurus
kering. Wajahnya yang selalu segar menjadi tirus dengan
rambut tak beraturan.
Tiga tahun berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah,
membuatnya terasa hilang sukmanya. Lebih-lebih
menyaksikan bagaimana Rokayah diseret oleh tiga orang
anggota Serikat Baju Merah dan diperkosa di satu tempat.
Lalu dikembalikan dengan tubuh kuyu dan wajah sembab.
Rahmat mendesah pendek. Ia menyesali mengapa ia tak
mampu mencegah perbuatan keji orang-orang itu pada
istrinya. Karena saat itu, Rahmat sendiri dalam keadaan
pingsan setelah dihajar anggota gerombolan karena
sebelumnya ia mencoba mempertahankan istrinya.
Sejak perlakuan tak senonoh terhadap istrinya, Rokayah
benar-benar menjadi seperti orang mati suri. Ia tak pernah
beranjak dari pembaringannya. Batin wanita itu terinjak-
injak penuh kenistaan. Dengan penuh kasih sayang,
Rahmat mengurus segala sesuatunya.
Ingatan Rahmat saat ini berpulang pada Ayu, putrinya
yang dibawa oleh Beruang Gunung Karimun. Hari demi
hari ia selalu menghitung. Menurut perhitungannya, lima
tahun sudah berlalu. Dan sudah tiba saatnya putrinya akan
pulang.
"Ini mungkin hikmah dari keinginan Beruang Gunung
Karimun membawa Ayu pergi. Bila saja Ayu masih berada
di sini, sudah tentu ia akan menjadi korban kebuasan para
gerombolan yang tak pernah pandang bulu bila
menginginkan seseorang," desisnya kelu. "Ayu, aku
berharap Beruang Gunung Karimun memenuhi janjinya.
Menggemblengmu menjadi seorang pendekar wanita yang
bisa menghentikan kezaliman ini."
Lagi Rahmat terpekur dengan tubuh kuyu. Ia telah letih
bekerja. Karena tiga bulan belakangan ini, Singgih Murka
berkenan membangun sebuah tempat tinggal yang sangat
megah untuknya. Dan ia memeras tenaga rakyat untuk
mewujudkan keinginannya itu. Bagi yang menolak, tak ada
imbalan lain keeuali mati. Bagi yang bersedia
melakukannya pun tak ada imbalan apa-apa, kecuali rasa
letih yang bertambah menyiksa. Karena, hanya sekali
mereka diperkenankan beristirahat. Itu pun tak
mendapatkan makanan atau minuman apa-apa. Setelah itu,
bagai seekor kuda tenaga mereka dipacu untuk segera
menuntaskan bangunan besar itu.
Brak!
Rahmat tersentak ketika mendengar pintu didobrak
dengan kerasnya dari luar. Dinding rumahnya yang terbuat
dari bilik bambu bagai bergoyang.
Ia cepat-cepat berdiri dan pandangannya melihat,dua
orang anggota Serikat Baju Merah muncul sambil terbahak-
bahak. Kemarahan mulai naik di hatinya.
"Mau... mau apa kalian?" sentaknya terbata. Meskipun
merasa tak akan mampu menghadapi keduanya, namun
Rahmat memiliki nyali yang tinggi.
Kedua anggota Serikat Baju Merah yang baru muncul itu
saling berpandangan dan sama-sama tertawa.
"Tikus ini masih memiliki nyali!" kata yang seorang
berwajah tirus dengan mata culas. "Minggir! Aku
menginginkan istrimu!"
"Oh, Tuhan... di mana perikemanusiaan yang kalian
miliki? Istriku sudah kalian hina habis-habisan sehingga ia
jatuh sakit! Apakah kalian masih tega untuk menghinanya
lagi?" seru Rahmat dengan suara lantang. Seluruh sakit
hatinya bagai tercurah had ini.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir bila masih sayang
dengan nyawamu!!" Laki-laki itu meloloskan parang
besarnya. Dan mengayun-ayunkannya di wajah Rahmat.
"Hari ini aku masih bersedia mengampunimu, asalkan kau
tarik ucapan sialmu itu!"
"Tidak!" seru Rahmat gagah. "Tak akan pernah
kubiarkan lagi kalian menjamah istriku!!"
"Keparat!!" Laki-laki itu mengayunkan parangnya
dengan cepat.
Rahmat merundukkan tubuhnya. Gerakan yang
dilakukannya hingga serangan itu luput bukanlah karena
Rahmat memiliki kepandaian bela diri. Hal itu dilakukan
hanya karena naluri pertahanannya saja. Tetapi tendangan
yang dilakukan laki-laki berwajah tirus itu membuatnya
tersuruk ke belakang.
"Setan! Kau memancing kemarahanku!"
"Habisi saja, Dul!" seru temannya yang bernama Marta.
Gandul menyeringai "Aku menyukai pekerjaan ini!!"
Dengan langkah angker ia menghampiri Rahmat yang
mencoba untuk bangkit. Tetapi tendangan keras yang
dirasakannya dan membuat perutnya sakit luar biasa, tak
mampu membuatnya untuk bangkit.
"Hhh! Hanya kematianlah upah dari orang-orang dungu
seperti kau ini yang mencoba menentang keinginan Serikat
Baju Merah!!" seru Gandul dengan seringaian seperti seekor
serigala yang melihat mangsanya.
Tetapi dengan penuh keberanian Rahmat membuka lebih
lebar kedua matanya. Matanya bagai siap-siap
menyongsong kematian. Gandul menjadi jengkel melihat
keberanian yang diperlihatkan Rahmat. Ia menggeram
keras.
Rahmat tak peduli. Dilihatnya parang yang berkilat itu
bergerak ke arah kepalanya.
Crok!
Tanpa ampun lagi kepalanya pun pecah. Darah
bersimbah. Tak ada suara keluhan atau jeritan yang
terdengar. Tubuh Rahmat ambruk dengan nyawa putus.
Gandul terbahak-bahak sambil menjilat parangnya yang
penuh darah.
"Itulah akibatnya berani menantangku! Ayo, Marta! Kita
sikat bininya! Peduli ia lagi sakit atau tidak!!"
Dengan serentak keduanya menyingkap tirai kamar dan
melihat Rokayah yang terbaring lemah. Keduanya
mendekat sambil tertawa-tawa. Tanpa membuang waktu
lagi, mereka menjalankan niat busuk yang sudah tak
tertahankan. Selang beberapa lama keduanya selesai dengan
tubuh penuh dibasahi peluh.
"Biar sedang sakit... wanita ini masih memiliki Tubuh
yang menggairahkan," kata Gandul.
"Apa iya begitu?"
Gandul seketika menoleh karena bukan suara Marta
yang didengarnya. Marta pun melakukan hal yang sama.
Keduanya melihat seorang bocah sedang duduk di kursi di
sisi pintu sambil mengangkat satu kaki di kursi.
-0o-dw-ray-o0
Keduanya berpandangan dengan kening berkerut. Tak
mengerti mengapa tahu-tahu bocah itu berada di sana.
"Kenapa pada bengong? Asyik juga ya melihat kalian
menggeluti wanita itu?" kata si bocah yang bertampang
lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor.
Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian.
Celana panjang hitamnya begitu kotor, sekotor
penampilannya. Wajahnya bulat telur menggemasnya.
Hidungnya bangir dengan bibir tipis yang agak kemerahan.
Namun di balik penampilannya yang lusuh itu, wajah si
bocah nampak tersenyum-senyum, Matanya berkilat-kilat
jenaka. Dan aksi sekali gayanya saat duduk begitu.
"Setan! Anak siapa kau, Bocah?" maki Gandul keras.
Matanya bagai hendak melompat keluar karena ia sama
sekali tidak mendengar kehadiran bocah itu.
Bocah itu cuma mengangkat bahunya. Lalu berkata
dengan sikap mengejek, "Anak siapa ya? Aku juga tidak
tahu, kok. Apa kau mau menjadi bapakku? tidak usah ya!
Mana sudi aku memiliki bapak bau berhati jahat seperti kau
ini!"
Sudah tentu bukan buatan kemarahan Gandul. Ia
menggerakkan kakinya dengan cepat.
Wusss!
Brak!
Tendangannya itu menghancurkan kursi di mana si
bocah duduk. Tetapi Gandul tak merasa menghantam
bocah, itu. Justru ia terbelalak melihat bocah itu berdiri di
ambang pintu sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Sakit kakimu, ya?"
"Bocah keparat! Siapa kau sebenarnya?" maki Gandul
tak mengerti. Matanya nanar menatap bocah itu yang
masih tersenyum-senyum.
Bocah itu tak berkata apa-apa. Cuma matanya yang
jenaka berkedip-kedip. Marta yang sejak tadi menahan
geram, segera cabut parangnya.
Srat!
Suara tarikan senjata terdengar keras. Sambil
menggeram, Marta mengibaskan parangnya. Membabi-
buta. Di samping jengkel melihat kehadiran bocah itu, juga
geram karena dengan mudahnya serangan Gandul diatasi.
Tetapi serangannya pun tak mengenai sasaran apa-apa.
Karena tanpa bisa terlihat oleh mata bocah itu menghindari
setiap kibasan parangnya, sampai akhirnya ia justru
kehabisan napas. Bocah itu tertawa-tawa, "Yang beginian
ini ya anggota Serikat Baju Merah? Wah, lebih baik kalian
minggat saja!"
Gandul hanya terpaku menatap bagaimana bocah itu
menghindari serangan Marta. Tiba-tiba Darahnya naik ke
ubun-ubun.
"Bocah setan! Kulumat kau!"
"Heit!" Bocah itu mengangkat kedua tangannya. Gandul
jadi ngeri sendiri, karena disangkanya bocah itu kan
menyerangnya. Tetapi bocah itu tetap berdiri di tempatnya
dengan kilatan mata jenaka. "Masa kalian marah? Aku kan
masih kecil. Boleh saja kan melihat bagaimana kalian asyik
menggeluti wanita malang itu? Tetapi, apa kalian tidak
salah memilih? Sebenarnya wanita atau batang kayu yang
kalian geluti?"
Bagai diperintah, Gandul dan Marta menoleh ke arah
pembaringan. Keduanya terbelalak dengan jeritan kecil.
Karena ketika melihat ke pembaringan, sosok wanita yang
mereka geluti tadi ternyata hanya batang kayu belaka.
"Gila! Bagaimana bisa begini?" sentak Gandul dan tanpa
disadarinya kakinya mundur satu langkah.
"Setan! Ini pasti ulah setan!" seru Marta gelagapan.
Bocah itu tertawa lagi. "Kasihan, ya?" ejeknya, Lalu
seperti melihat suatu kejadian yang menyedihkan bocah itu
berkata menyentak, “Ya ampun! Mengapa celana kalian
mengeluarkan darah begitu?"
Bagai mendengar sebuah peringatan, keduanya melihat
ke bagian selangkangan mereka. Dan keduanya menjerit
kaget karena memang ada darah yang merembes di sana.
Tiba-tiba pula mereka merasakan batang kemaluan mereka
kesakitan. Tahu-tahu keduanya menjerit keras dan pingsan.
Bocah itu tertawa. "Salah sendiri? Batang kayu kok
digeluti?"
"Kalau bukan bocah 'palsu' yang bernama Walet, siapa
lagi yang bisa melakukan hal itu?"
Walet menoleh begitu mendengar suara seorang pemuda
dari belakangnya. Seketika ia nyengir sambil garuk-garuk
kepalanya begitu melihat pemuda tampan berbaju hijau
pupus dengan kain bercorak catur di bahunya yang sedang
berdiri dengan tangan bersandar ke palang pintu.
"Wah! Aku jadi heran, mengapa bisa bertemu lagi
denganmu, Kang Andika?" seloroh bocah yang disebut
Walet.
Pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan itu
tertawa, lalu membalas selorohan Walet, "Bukan hanya kau
saja yang heran, aku sendiri tak pernah mengerti. Padahal
aku sama sekali tidak mengharapkannya, lho. Memang
benar orang pintar berkata, dunia ini bulat."
Walet tertawa dan berlari merangkul si pemuda yang tak
lain Andika alias Pendekar Slebor.
"Bagaimana kabar Kang Andika?" tanyanya kemudian.
"Baik-baik saja. 0 ya, di mana suami-istri itu kau
sembunyikan?"
"Lho? Kang Andika melihat semuanya, ya! Curang! Aku
kok tidak tahu sih? Tetapi dasar bodoh, cuma Kang
Andikalah yang bisa melihat kekuatan batin yang
kukerahkan," sahut Walet dan dengan gaya soknya yang
membuat Andika ingin tertawa ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu menyahuti pertanyaan Andika tadi tentang
suami-istri atau kedua orangtua Ayu. "Aman. Mereka
aman. Hampir saja aku terlambat menolong mereka tadi,
Kang."
"Aku pun tadi ingin menolong mereka. Tetapi ketika
kulihat kau masuk tadi dan kuyakini yang muncul seorang
pangeran, aku membiarkan saja.”
"Brengsek!" maki Walet. (Untuk mengetahui siapa Walet
adanya, silakan baca : "Mustika Putri Terkutuk", "Cermin
Alam Gaib", dan "Bayang-Bayang Gaib").
Memang, ketika dua orang anggota Serikat Baju Merah
Itu muncul dan hendak menjalankan maksud jahatnya pada
Rokayah, Walet sebenarnya sudah melihat dia bisa meraba
kejadian selanjutnya. Saat Gandul mengayunkan parangnya
pada Rahmat yang tak berdaya, cepat ia mempergunakan
kekuatan batinnya untuk mengubah sosok Rahmat menjadi
batang pisang. Dalam pandangan Gandul dan Marta,
tetaplah tubuh Rahmat. Jadi yang dibacok oleh Gandul itu
tak lain batang pisang belaka.
Begitu pula ketika keduanya menjalankan niat jahat pada
Rokayah. Lagi-lagi Walet mengubah Rokayah menjadi
batang kayu. Akibatnya, kini keduanya pingsan dan
lumpuh kejantanannya selama-lamanya.
Saat Walet mengubah Rahmat menjadi batang pisang
itulah Andika muncul dan hanya tersenyum saja
memperhatikannya. Andika alias Pendekar Slebor memang
mampu menembus ilmu batin yang dimiliki Walet atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Bocah Ajaib.
Walet keluar dan muncul lagi dengan dua sosok tubuh
yang dipanggul demikian ringannya. dibantu Andika, ia
meletakkan Rahmat dan Rokayah yang pingsan ke
pembaringan. Andika memeriksa tubuh keduanya. Lalu
memijat di beberapa bagian tubuh keduanya.
"Mereka akan siuman beberapa menit lagi. Hmm...
ceritakan siapa kedua manusia yang pingsan itu."
"Aku hanya tahu mereka anggota Serikat Baju Merah,
Kang Andika. Tetapi... ada hal yang penting yang hendak
kukatakan padamu," kata Walet.
Andika mengerutkan keningnya.
"Apakah itu?'
"Seekor merpati akan pulang kandang. Ia akan dibunuh
oleh seekor harimau. Hanya pendekar ugal-ugalan yang
mampu menghalang, " kata Walet seperti berpantun.
Andika tertawa mendengarnya. "Sok benar kata-katamu
itu!" Meskipun ia berkata demikian, tetapi hati Andika
bertanya-tanya. Apa maksud Walet sebenarnya? Tetapi
seperti yang pernah dialaminya lalu-lalu. Walet alias titisan
seorang pangeran yang meninggal dengan membawa benih
cinta paling dalam pada kekasihnya, tak akan pernah mau
memecahkan apa yang dimaksudnya. Jadi, Andika harus
memeras otaknya memikirkan kemungkinan jawaban dari
kata-kata Walet.
"Kang... aku permisi dulu," kata Walet tiba-tiba.
Andika melongo.
"Kau mau ke mana?'"
“Ada urusan yang harus kukerjakan."
"Busyet! Lagakmu sok kayak orang penting!"
Walet membusungkan dadanya. "Waleeeettt!" desisnya
sambil menepuk dadanya sendiri.
Andika cuma tertawa-tawa saja. Padahal lagi-lagi ia
penasaran untuk mengetahui apa yang akan dilakukan
Walet sebenarnya. Sesungguhnya, ia juga tak menyangka
akan berjumpa dengan Walet kembali.
Walet melangkah dengan kepala mendongak. Andika
menjadi gemas. Ia ingin menjitak kepala bocah itu.
Sesaat, diperhatikannya dua anggota Serikat Baju,Merah
yang pingsan.
"Kini giliranku untuk memberi pelajaran pada anggota
yang lainnya," lalu dipanggulnya Gandul dan Marta yang
masih pingsan.
-0o-dw-ray-o0-
3
Pagi beranjak pergi, matahari siap menjalankan tugasnya
seperti sediakala dan siap menaungi seluruh persada. Di
bawah naungan sinar matahari yang memancarkan sinar
keemasan itu, di Kadipaten Karang Sutra, Adipati Ganda
Manikam sedang mendapat laporan dari seorang anak
buahnya tentang kejahatan yang dilakukan oleh Serikat
Baju Merah.
Adipati Ganda Manikam berwajah tampan dengan
kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kecerdikan.
Pakaiannya begitu indah berlapis sutera. Ia memiliki dua
orang istri, tetapi tak seorang pun dari istrinya yang
melahirkan anak-anaknya.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya menyahuti laporan
seorang anak buahnya.
"Siapa sebenarnya mereka?"
"Hamba kurang jelas mengenai mereka, Gusti Yang
Agung. Tetapi, saat hamba berpatroli bersama Hardigala,
hamba bisa melihat keadaan Desa Sawo Luwih yang porak-
poranda. Lalu bersama Hardigala hamba menyamar
sebagai pekerja kasar yang sedang membangun sebuah
bangunan besar yang diperuntukkan sebagai markas Serikat
Baju Merah."
"Kau melihat ketua gerombolan itu?"
"Maafkan hamba, Gusti Yang Agung. Hamba dan
Hardigala tidak melihatnya. Karena, hamba pun
memikirkan cara keluar dari sana. Ketika malam larut dan
anggota serikat Baju Merah sedang lengah, hamba dan
Hardigala berhasil meloloskan diri dengan kuda yang kami
tinggalkan di sebelah barat sana."
Adipati Ganda Manikam mengangguk-anggukkan
kepalanya kembali.
"Ini tidak boleh dibiarkan. Desa Sawo Luwih berada
dalam pengamanan kita pula. Kerahkan dua puluh prajurit
untuk mengusir Serikat Baju Merah,” katanya penuh
wibawa.
"Baik, Tuanku."
Sepeninggal anak buahnya, Adipati Ganda Manikam
mengusap wajahnya perlahan. Nampak ada sesuatu yang
menjadi bahan pikirannya.
-0o-dw-ray-o0-
Seorang gadis berpakaian merah muda berhenti di ujung
Desa Sawo Luwih. Sejenak gejolak rindu di hatinya
berderai-derai. Matanya yang bening mengalirkan air mata
keharuan.
"Kini aku telah tiba di tanah kelahiranku sendiri Nenek
Beruang Gunung Karimun... sebentar lagi aku akan
bertemu dengan kedua orangtuaku. Salammu akan
kusampaikan pada mereka," desisnya dalam hati.
Lalu dengan langkah ringan sementara kerinduan
semakin menyesakkan dada, Ayu mulai melangkah
memasuki desanya. Namun semakin ia melangkah, di
hatinya bertalu keheranan yang membuatnya harus
mengerutkan kening. Ia melihat perubahan yang sangat
jelas sekali pada desanya. Bukan perubahan ke arah yang
lebih baik, tetapi perubahan pada kemunduran. .
"Ada apa ini? Apakah para penduduk desaku ini sudah
malas semua? Mengapa jalan menjadi kotor? Semuanya
kusam. Duh, selokan itu begitu berbau busuk. Mengapa jadi
seperti ini?"
Selagi gadis itu masih memikirkan perubahan yang
nampak di depan matanya, mendadak saja terdengar suara
tawa dari belakang. Seketika Ayu menoleh. Keningnya
makin berkerut menyadari karena ia tak pernah mengenal
ketiga laki-laki ini. Tetapi, pada dasarnya Ayu adalah gadis
yang sopan, ia hanya menganggukkan kepalanya dan
meneruskan langkah. Justru sikapnya yang sopan itu
diartikan sebuah undangan oleh ketiga laki-laki yang tak
lain anggota Serikat Baju Merah, jelas dengan tanda baju
merah yang dikenakan dan rajutan warna hitam di dada
sebelah kiri bermotifkan wajah setan dengan taring panjang
dan kuping lebar.
Mereka mengejar dan menahan langkah Ayu.
"Tunggu, Adik Manis!"
Ayu menghentikan langkahnya lagi. Kali ini ia tak perlu
menoleh, karena ketiga laki-laki itu telah melewatinya dan
berdiri di hadapannya dengan seringaian busuk.
Sejenak pertanyaan melintas lagi di benak Ayu. "Mau
apa mereka? Bila melihat gelagat, mereka tentunya
bermaksud tidak baik. Tetapi aku tidak ingin mencari
masalah. Aku ingin menemui kedua orang tuaku."
Salah seorang dari ketiga anggota Serikat Baju Merah
berkata sambil memilin kumisnya yang baplang. Tangan
kirinya dengan sikap gagah diletakkan di pangkal
parangnya.
"Rasanya, baru kali ini aku melihat ada sekuntum mawar
yang terbang dipermainkan angin dan jatuh di tempat
tandus semacam ini," katanya yang disambut tawa oleh
kedua temannya.
Ayu membatin lagi, "Benar dugaanku."
"Adik manis... siapakah kau gerangan?"
Pada mulanya, Ayu enggan untuk menanggapi sikap
ketiga laki-laki tengik ini. Tetapi menyadari kalau sejak
awal tadi saat ia tiba di desa ini begitu terasa asing bahkan
tak ada tanda-tanda yang membuatnya masih merasa akrab
dengan tanah kelahirannya ia jadi ingin mengetahui apa
yang terjadi. Terutama, siapakah ketiga laki-laki berbaju
merah ini?
Lalu dengan sopan Ayu menyahut, "Namaku Ayu. Aku
datang dari jauh."
Mendapat sahutan seperti itu, sudah tentu si kumis
baplang yang bernama Jagalolo seperti mendapat lotre.
Keceriwisannya semakin menjadi-jadi, kali ini ditunjukkan
dengan tatapan mata kurang ajar.
“Tentunya kau lelah, bukan? Bagaimana bila kau kami
ajak bersenang-senang? Sekaligus menghibur diri dari
kepenatan."
Ayu masih berusaha menahan diri dari kemarahan yang
mulai membersit. "Maafkan aku.... Kakiku untuk saat ini
belum mau diajak berhenti. Lain kali, kita bisa
membicarakannya."
Tetapi, sebelum murid Beruang Gunung Karimun itu
meneruskan langkah mendadak saja terdengar teriakan
keras dari belakang ketiga laki-laki berbaju merah. Seorang
laki-laki setengah baya bertelanjang baju berlari dengan
golok di tangan, Manusia-manusia biadab! Kalian telah
menghancurkan kehidupan desa ini! Pergilah kalian ke
neraka!!"
Wuuuttt!
Golok itu mengarah pada Jagalolo yang dengan sigapnya
memiringkan tubuhnya. Lalu menggerakkan tangannya
dengan gerakan cepat.
Des!
Pukulan keras itu menghantam punggung laki-laki
setengah baya yang kalap, hingga jatuh tersungkur. Lalu
dengan kejamnya Jagalolo menginjak kepala laki-laki itu
hingga pecah.
Prak!
Ayu terperangah melihatnya. Sungguh, kejadian itu
begitu cepat sehingga ia terlambat turun tangan. Hal itu
lebih banyak disebabkan karena ia masih memikirkan siapa
ketiga laki-laki ini dan mengapa terjadi perubahan pada
desanya.
"Kau?!" Ia mendesis dengan tubuh menggigil.
Jagalolo memperlihatkan seringaiannya.
"Itulah upah bagi yang menentang kami!"
"Siapa kalian sebenarnya?" bentak Ayu dengan mata
memicing.
"Kami?” Jagalolo tertawa mengejek. "Sebaiknya, kau
ikut dengan kami, Adik Manis! Setelah kau hibur kami,
maka kami akan menjelaskan siapa kami sebenarnya!"
Ayu menggeram dalam hati. Rasa marahnya mulai naik.
Ia memutuskan untuk tidak banyak bicara lagi. Dengan hati
masih geram karena tindakan keji di depan matanya ia
terlambat menahan, ia melangkah lagi. Tetapi si kumis
baplang justru menangkap tangan Ayu sambil tertawa-tawa.
"Maaf, lepaskan tanganku," kali ini Ayu mulai bersuara
dingin. Ia tak menatap Jagalolo. Justru menatap ke depan.
Jagalolo terbahak-bahak mendengar kata-kata itu. "Kau
pikir, kami begitu bodoh untuk melepaskan kau, Adik
Manis? Setelah kau menghibur kami, kau akan kami
lepaskan ke mana kau suka."
Ayu menggeram dalam hati. Ia semakin yakin kalau
perubahan desanya yang menjadi kotor dan asing ini salah
satunya disebabkan oleh ketiga laki-laki berbaju merah ini.
Masih adakah anggotanya yang lain? desisnya dalam hati.
Ayu menoleh. Tatapannya nyalang setajam serigala.
Tahu-tahu ia menggerakkan tangannya. Gerakannya sangat
aneh sekali dan begitu cepat. Jagalolo sendiri sampai
terkejut, ketika merasakan tangannya bergetar.
Dan ia baru sadar ketika gadis itu sudah menjauh dalam
jarak sepuluh tombak. Kekesalannya beralih pada kedua
temannya yang tak menyangka hal itu akan terjadi.
"Bodoh! Tangkap gadis sialan itu!!"
Serentak Sentiko dan Kalimonto berlari seraya
meloloskan parangnya mengejar Ayu. Tanpa melihat pun
pendengaran Ayu yang terlatih bisa menangkap kalau ada
yang mengejarnya.
Ia berhenti melangkah dan berbalik dengan tatapan
nyalang.
"Jangan membuat kemarahanku bertambah naik!
Perbuatan kalian membunuh laki-laki malang itu
sebenarnya tak bisa kuampuni! Cukup dengan mengatakan
siapa kalian, maka nyawa kalian masih menempel di jasad!"
Sentiko dan Kalimonto berpandangan. Seperti
dikomando keduanya menggerakkan tangan dengan posisi
membacok.
Wuttt! Wuuut!
Dua parang tajam itu berkelebat ke arah Ayu yang
dengan memiringkan tubuhnya berhasil menghindari
serangan. Kaki kirinya yang ditekuk tadi melurus kembali,
kaki kanannya maju satu tindak dan bersamaan dengan
gerakan itu tangannya bergerak.
Tap! Tap!
Pergelangan tangan kedua lawannya ditangkap. Bagai
sebuah capitan tang yang sangat keras, Ayu memuntir
tangan kedua lawannya yang menjerit keras dan parang
yang mereka pegang terlepas.
Kaki kanan Ayu bergerak begitu cepat. Membuat dua
gerakan sekaligus.
Des! Des!
Tubuh Sentiko dan Kalimonto terlempar tiga tombak ke
belakang. Sementara itu, Jagalolo yang melihatnya
terbengong-bengong. la sama sekali tak menyangka gadis
jelita itu memiliki ilmu yang tinggi.
Namun laki-laki yang hanya mengandalkan tenaganya
saja tanpa banyak mempergunakan otaknya, segera
mencabut parangnya kembali yang tadi dipergunakan untuk
membunuh laki-laki setengah baya yang malang.
Ia menggerakkan tangannya yang memegang parang
berkali-kali.
Wutt! Wuuut!
Angin yang keluar dari kibasan parang itu cukup kuat.
Tetapi Ayu hanya menatap dingin. "Untukmu terpaksa aku
memberi pelajaran sebagai ganjaran dari perbuatanmu
barusan!!"
"Setan! Kucabik-cabik tubuhmu!!"
Lalu dengan gerakan yang cepat Jagalolo menyerang.
Parangnya ditusukkan turus. Begitu Ayu menghindar
dengan hanya mengubah posisi kaki kanannya yang tadi
berada di depan dan ditarik ke belakang, Jagalolo
meneruskan serangannya. Dari gerakan menusuk tadi, kini
membacok.
Wuuut!
Angin cukup keras melewati wajah Ayu yang menjadi
bertambah geram. Mengingat ia tak sempat menolong laki-
laki setengah baya yang malang, mendadak saja sambil
memiringkan tubuhnya tadi, Ayu membuat satu gerakan
memutar. Kakinya menendang.
Des!
Tepat menghantam dada Jagalolo. Menyusul satu
tendangan keras menghantam wajah Jagalolo. Giginya
tanggal tiga buah. Hidungnya mengalirkan darah. Dan ia
ambruk dengan kerasnya.
"Kau?" desisnya sambil menahan sakit.
"Seharusnya nyawamu kucabut!" geram Ayu sambil
mendekat. "Tetapi, aku masih bermurah hati! Siapa kalian
sebenarnya?"
Laki-laki yang hanya mempergunakan tenaganya saja
menyeringai. "Kami adalah anggota Serikat Baju Merah,"
katanya dan dalam sangkanya Ayu akan jeri mendengar
nama gerombolannya disebutkan, tetapi gadis itu justru
mengerutkan keningnya.
"Apa kerja kalian di sini?"
"Hhh! Kau akan menyesal, Gadis Manis! Desa ini sudah
berada dalam kekuasaan Serikat Baju Merah! Ingat, teman-
temanku tak akan pernah melepaskanmu!"
"Pantas keadaan begitu kacau sekali dan asing," pikir
Ayu. "Rupanya, gerombolan ini sudah menguasai desa. Oh,
Tuhan... sudah berapa lamakah mereka melakukan hal itu?"
Tiba-tiba Ayu teringat pada kedua orangtuanya.
"Bagaimanakah keadaan mereka?"
Melihat gadis itu terdiam, Jagalolo yang menyangka
kalau gadis itu menjadi ketakutan berkata lagi dengan
pongah, "Tak akan lama lagi kau akan menjadi hiburan
kami, Gadis Manis!"
Tanpa menoleh pada Jagalolo, tangan Ayu bergerak
cepat. Menangkap tangan kanan Jagalolo. Lalu meremas
jemarinya hingga remuk. Jagalolo yang tak menyangka hal
itu menjadi pias saat jemarinya dipegang dan melolong
seperti serigala lapar ketika jemarinya diremas hingga
remuk.
Ayu tak mempedulikannya lagi. Pikirannya dipenuhi
dengan kecemasan terhadap kedua orangtuanya. Ia
memutuskan untuk segera tiba di rumahnya.
Lalu tubuh gadis itu pun berkelebat cepat.
-0o-dw-ray-o0
Tanpa sepengetahuan Ayu, hal itu rupanya diperhatikan
sejak tadi oleh sepasang mata yang duduk santai di sebuah
batang pohon. Selain tubuhnya tertutup oleh rimbunnya
dedaunan, ilmu meringankan tubuh yang dikerahkannya
tak akan membuat orang lain mendengar. Itu menandakan
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Si pengintip berbaju
hijau pupus tinggi sekali.
“Hmmm... siapa gadis itu sebenarnya? Kemunculannya
sejak di batas desa tadi aku sudah melihat. Bila melihat
gerakannya, ia bukanlah gadis sembarangan. Bahkan aku
yakin, ia memiliki ilmu yang tinggi. Sepak terjangnya
barusan memang menakjubkan. Bila melihat sikapnya sejak
pertama muncul tadi, ia nampak seperti keheranan. Apakah
gadis itu pernah tinggal di desa ini sebelumnya dan
sekarang datang kembali? Ataukah ia memang hanya
seorang pengembara yang tak sengaja tiba di sini?"
Sosok berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak
catur di punggungnya itu tak lain adalah Pendekar Slebor.
Setelah pertemuannya dengan Walet di rumah Rahmat,
Andika memang hendak menyelidiki siapa dua orang laki-
laki berbaju merah yang dipermainkan Walet.
Walet mengatakan mereka adalah anggota serikat Baju
Merah. Makanya, Andika segera membawa dua laki-laki
yang pingsan dan hancur kejantanan mereka akibat
'kenakalan' Walet. Andika bermaksud untuk mencari di
mana anggota gerombolan yang lainnya berdiam.
Ia memang telah menemukannya dan melihat para
penduduk bekerja bakti membuat sebuah bangunan yang
cukup besar di sebelah timur dari desa itu. Di sana Andika
melihat para laki-laki yang berpakaian merah pula.
Andika berkeyakinan kalau tempat yang dibangun itu
adalah tempat yang hendak dijadikan markas. Tetapi di
mana mereka berdiam sebelumnya?
Andika pun kembali lagi untuk membawa dua laki-laki
yang pingsan. Ia akan membuat kejutan di sana. Makanya,
ia menunggu sampai besok pagi. Ketika menjelang
matahari terbit Andika membawa dua laki-laki anggota
Serikat Baju Merah yang masih pingsan, ia melihat seorang
gadis datang. Sejenak dikaguminya kecantikan gadis itu.
Dan diperhatikannya bagaimana gadis itu seperti terheran-
heran melihat keadaan sekitarnya. Tetapi kemudian ia tak
mempedulikannya, karena ia hendak menjalankan
rencananya..
Hanya saja, ketika dilihatnya tiga orang laki-laki berbaju
merah muncul, Andika memutuskan untuk bersembunyi di
sebuah batang pohon. Ia akan menolong bila gadis itu
diperlakukan tidak senonoh. Tetapi kenyataannya, gadis itu
justru membuat ketiga laki-laki berbaju merah itu tunggang-
langgang dan sekarang gadis itu sudah lenyap dari
pandangannya.
"Siapa sebenarnya dia?" desisnya sambil berpikir.
Kata-kata aneh yang dikemukakan Walet masih
membuatnya bingung. Andika melirik dua anggota Serikat
Baju Merah yang masih pingsan yang tergolek di cabang
pohon di mana ia bersembunyi.
“Hmmm... tak lama lagi pasti keduanya ini akan mati.
Melihat dari luka yang mereka derita pada bagian yang
fatal, sangat sulit untuk hidup lebih lama." Andika
tersenyum. "Walet memang nakal. Tetapi sebaiknya, biar
aku kejutkan Serikat Baju Merah lebih dulu. Sementara
setelah itu akan kucari gadis berbaju merah muda itu. Siapa
dia sebenarnya?"
Memikir sampai di situ, Andika pun mengangkat tubuh
kedua laki-laki yang pingsan. Ia bersiap untuk melompat.
Tetapi gerakannya menjadi urung, ketika mendengar suara
kuda digebah dari kejauhan.
-0o-dw-ray-o0
4
Suara kuda menggebah yang didengar Andika semakin
lama semakin dekat, berisik dan menarik perhatian. Dari
tempatnya bersembunyi, Andika bisa melihat kalau para
penunggang kuda rata-rata mengenakan pakaian orang-
orang kadipaten. Kuda yang mereka tunggangi rata-rata
berwarna hitam, di punggung kuda ada sehelai kain yang di
setiap sisinya berajut benang emas.
Melihat dari cara berpakaian para penunggang kuda itu,
dalam hanya sekali lihat Andika bisa menebak siapa mereka
dan apa maksud kedatangan mereka ke Desa Sawo Luwih
ini. .
“Hmm... kiranya berita tentang Serikat Baju Merah
sudah masuk ke kadipaten. Bagus kalau begitu. Aku tak
perlu lagi mengurus soal ini untuk sementara. Biar kutinggal
saja dua anggota serikat Baju Merah ini dan sekarang aku
mencari tahu siapa' gadis berbaju merah muda tadi."
Andika melihat rombongan berkuda itu semakin dekat
dengan pohon di mana ia bersembunyi. Ia melihat salah
seorang di antara mereka mengangkat tangannya, seketika
gerakan kuda-kuda itu terhenti.
Pandangan mata yang mengangkat tangan tadi,
menjurus pada tiga anggota Serikat Baju Merah yang
pingsan dihajar Ayu.
"Angkat ketiga manusia celaka dan seorang laki-laki tua
yang malang itu! Amankan mereka! Kita terus bergerak
untuk membasmi yang lain!!"
Empat orang anak buahnya bergerak sigap. Lalu
membopong dan meletakkan orang-orang itu ke punggung
kuda masing-masing. Mereka langsung menggebah kuda ke
arah dari mana mereka datang. Bermaksud meletakkan
empat sosok laki-laki yang tergolek tak berdaya di
punggung kuda masing-masing di tempat yang aman.
"Berpencar!" seru yang pertama tadi memberi komando.
Seketika mereka berpencar. Andika yang memperhatikan
kesibukan para prajurit kadipaten berkata sendiri, "Menilik
dari keadaan ini, nampaknya Serikat Baju Merah tidak
mengetahui kedatangan mereka. Aku yakin, mereka masih
berada pada bangunan yang sedang dibuat. Hmm, letaknya
cukup lumayan dari tempat ini. Sebaiknya sekarang saja
aku mencari gadis itu sebelum kehilangan jejak."
Setelah para prajurit Kadipetan berpencar, dengan
mempergunakan ilmu larinya Andika berkelebat ke arah di
mana Ayu bergerak tadi.
-0o-dw-ray-o0-
Di depan sebuah rumah yang menurut Ayu tak pernah
berubah, murid Beruang Gunung Karimun itu berdiri.
Matanya tak berkesip menatap rumahnya. Memang tak ada
perubahan pada rumah itu, seperti ketika la
meninggalkannya dulu. Tetapi kekotorannya sangat
menjijikkan.
Ayu juga melihat pintu rumahnya melompong. Ia
menjadi cemas sekarang. Cepat ia berkelebat ke rumahnya.
"Bapak! Ibu!!"
Dalam sekali berkelebat saja Ayu sudah tiba di dalam
rumahnya. Ia berteriak lagi. Tetapi sebuah batuk di sebuah
kamar, membuatnya cepat ke sana.
Disingkapnya gorden kamar. Dilihatnya seorang wanita
yang lebih tua dan usia yang sebenarnya sedang tergolek tak
berdaya dan seorang laki-laki yang nampak mengantuk.
Batuk itu berasal dari wanita lemah itu.
Batin Ayu bergetar. “Inikah kedua orangtuaku? Oh,
Tuhan... Serikat Baju Merah pasti yang melakukan semua
ini. Lalu ia memanggil perlahan "Bapak... Ibu...."
Rahmat yang sedang mengantuk dengan perut lapar
mengangkat kepalanya. Sejenak ia mengerutkan keningnya
melihat seorang gadis jelita berada di depannya.
Batin Ayu makin bergetar. "Bapak... ini aku, Ayu...”
"Oh, Tuhan!" Bagai memiliki tenaga kembali, Rahmat
berdiri. Ayu... kau Ayu?" desisnya gembira.
Ayu menganggukkan kepalanya dengan keharuan yang
menjadi-jadi.
"Oh Tuhan! Ayu, kau memang Ayu!”
Rahmat berlari merangkul anaknya dengan penuh
sukacita. Ayu membenamkan kepalanya dalam-dalam.
Ditahannya keharuan yang muncul. Ditahannya kegeraman
yang menjadi-jadi pada Serikat Baju Merah.
Rahmat berlari mendapati istrinya sambil menarik
tangan putrinya. Ia berkata penuh kegembiraan. "Bu... ini
Ayu, Bu. Ayu....”
Perempuan lemah yang kini jarang bicara itu, bagai
melihat sebuah cahaya di depan matanya. Perlahan-lahan ia
menoleh. Kembali Ayu harus menahan semua perasaannya
melihat keadaan yang mengibakan ini.
"Ayu...," suara Rokayah bergetar.
Ayu menganggukkan kepalanya. Mencium kening
ibunya. "Aku kembali, Bu...." . .
“Terima kasih, Tuhan Kau cantik sekali, Ayu...”
Ayu tersenyum. "Ibu sedang sakit?”
Rokayah menganggukkan kepalanya sambil terbatuk.
"Duduklah, Ayu... kau pasti lelah.”
Ayu menoleh pada ayahnya, "Bapak... apakah semua ini
perbuatan dari Serikat Baju Merah?”
Kegembiraan Rahmat menjadi surut kembali ketika
mendengar gerombolan itu disebutkan. Ia menganggukkan
kepalanya seraya duduk kembali.
"Kau benar! Manusia-manusia biadab itu datang
membawa petaka di desa kita, Ayu.... Kau jangan sampai
berjumpa dengannya."
"Aku sudah berjumpa dengan tiga orang dari mereka,
Bapak."
"Oh! Lalu apa yang terjadi?"
"Berkat ilmu yang diajarkan oleh Nenek Beruang
Gunung Karimun, aku berhasil menghajar mereka, Bapak."
Kali ini kegembiraan Rahmat nampak kembali.
"Bagus! Mereka memang perlu dihajar, Ayu!"
"Benar, Bapak... aku akan memberi pelajaran pada
mereka. Sebaiknya, aku mencari mereka sekarang."
"Untuk saat ini, hal itu tidak usah dilakukan. Orang-
orang Kadipaten Karang Sutra sedang menumpas
gerombolan itu," terdengar seorang dari belakang mereka.
Ayu seketika berdiri. Ia melihat seorang pemuda tampan
berbaju hijau pupus sedang berdiri diambang pintu.
"Siapakah kau. Orang Muda?" tanya Ayu tanpa
meninggalkan kesopanannya.
Pemuda yang muncul yang tak lain Pendekar Slebor
tersenyum. Andika membatin, "Dari jarak sedekat ini,
kecantikan gadis ini semakin nyata sekali."
Lalu ia berkata menyahuti pertanyaan Ayu, "Maafkan
kelancanganku masuk ke rumah ini tanpa permisi. Tetapi,
aku penasaran ingin mengetahui siapa kau adanya, Nona. 0
ya, namaku Andika... orang- orang menjulukiku Pendekar
Slebor."
Ayu menatap Andika dari ujung kaki sampai kepala.
Andika jadi risih sebenarnya ditatap sedemikian rupa oleh
seorang gadis cantik seperti Ayu.
“Kau? Kaukah yang berjuluk Pendekar Slebor?” kata
gadis itu pelan. Matanya tak berkesip menatap pendekar
muda pewaris ilmu pendekar Lembah Kutukan yang berdiri
di hadapannya.
Andika cuma mengangkat alisnya. “begitulah orang-
orang rimba persilatan menjulukiku. Sebuah julukan
yang...”
“Yang sangat luar biasa,” sambung Ayu. Ia teringat
sebelum turun gunung kembali ke rumahnya, gurunya
pernah menceritakan seorang pendekar muda yang berasal
dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor.
Nenek Beruang Gunung Karimu memang belum pernah
bersua dengan Pendekar Slebor, hingga ia tak bisa
menggambarkan sosok Pendekar Slebor. Dan yang tak
disangka Ayu, kalau pendekar Slebor masih muda seperti
ini. paling tidak lebih tua beberapa tahun dari umurnya.
“guruku pernah menceritakan tentang dirimu.”
“O ya? Mudah-mudahan cerita yang baik. Boleh kutahu
gurumu?”
“Beliau berjuluk Beruang Gunung karimu.”
Andika tersenyum. “Aku pernah pula mendengar
julukan itu. Tetapi sayangnya, aku belum pernah berjumpa
dengannya.”
Rahmat mempersilakan Andika duduk di ruang dalam
ketika mendengar istrinya terbatuk. Sementara Ayu
menemani Andika, ia sendiri kembali menemani istrinya
yang kini mulai tersenyum. Ia bahagia sekali melihat
keadaan istrinya yang mendadak lebih baik setelah bertemu
dengan Ayu. Ia tak ingin menceritakan kejadian buruk yang
menimpa istrinya pada putrinya.
Sementara di ruang dalam Ayu sedang bertanya, "Kang
Andika... apa maksudmu agar aku tak perlu menumpas
Serikat Baju Merah?"
"Kenyataannya memang seperti itu. Dua puluh prajurit
kadipaten sedang menumpas mereka. Aku yakin, mereka
akan berhasil melakukannya karena tentunya, para prajurit
yang dikirim bukanlah prajurit sembarangan!"
"Baguslah kalau begitu. Kupikir, gerombolan itu
memang sangat kejam, Kang Andika."
Sambil meneruskan percakapan, sebenarnya Andika
berusaha memecahkan pula kata-kata Walet. Ia penasaran
di mana sekarang bocah yang dititisi oleh seorang pangeran
itu berada. Ia pun menyesal mengapa tidak menahannya
kemarin.
Ia bertanya pada Ayu, "Berapa lama kau berguru pada
Nenek Beruang Gunung Karimun, Ayu?"
"Lima tahun, Kang Andika."
"Lima tahun," Andika bergumam pelan. Ia teringat akan
kata-kata perlama dari Walet. Seekor merpati akan pulang
kandang. Ayu - kali yang dimaksud oleh Walet sebagai
seekor merpati? Dan merpati itu berada dalam ancaman
maut seekor harimau, seperti kiasan yang dilakukan Walet.
Hanya pendekar ugal-ugalan yang mampu menghalang.
Andika mendengus ketika tiba pada kesimpulan kalau
pendekar ugal-ugalan yang dimaksud Walet adalah dirinya.
Kalau memang benar itulah jawaban dan pernyataan
Walet, berarti Ayu dalam bahaya.
Ayu yang melihat Andika terdiam berkata sambil lurus
menatapnya, "Mengapa kan seperti tertegun Kang Andika?
Adakah sesuatu yang pikirkan?”
Andika tersenyum. "Hanya sedikit.”
"Soal apa?"
"Sebaiknya Ayu tidak perlu mengetahui hal itu dulu"
kata Andika dalam hati. "Biar kupendam dulu, sampai
kuketahui siapa yang berniat untuk membunuh gadis jelita
ini." Lalu ia berkata sambil tersenyum, "Tidakkah kau ingin
kita melihat hasil kerja para pasukan kadipaten, Ayu?”
Andika melihat wajah Ayu menggeram. “Ayolah!
Manusia-manusia dajal itu memang sudah seharusnya
meninggalkan desa yang dulu nyaman ini!”
Sebelum mereka berangkat, Andika mengusulkan untuk
memindahkan kedua orangtua Ayu ke tempat yang lebih
aman. “Bukannya aku khawatir ada anggota Serikat Baju
Merah yang masih hidup, melainkan kupikir lebih baik bila
kita melakukannya. Sebelum aku tiba di desa ini, di sebelah
selatan desa ini ada sebuah lembah kecil. Di sana pula
kutemui sebuah bangunan yang masih bisa dipergunakan
untuk tempat tinggal kedua orangtuamu sementara.”
Ayu menimbang-nimbang usul itu. Lalu ia mengangguk.
"Baik! Kupikir itu pun yang terbaik!"
Ayu mengatakan semua itu pada ayahnya yang hanya
menganggukkan kepala. Sambil mengucapkan 'maaf’
Andika memegang tangan Rahmat dan tubuhnya berkelebat
hingga Rahmat menjerit lirih karena bagai diterbangkan
oleh angin. Sementara Ayu membopong ibunya. Dengan
gerakan yang cepat pula ia membawa ibunya menyusul
Andika.
-0o-dw-ray-o
Kedatangan para pasukan kadipaten ternyata membawa
petaka bagi orang-orang Serikat Baju Merah. Dalam waktu
hanya lima kali penanakan nasi, seluruh anggota manusia
dajal itu berhasil ditumpas.
Wisnusesa yang memimpin gerakan itu tersenyum puas,
melihat teman-temannya mengumpulkan mayat-mayat
yang rata-rata berbaju merah dengan sulaman sebuah wajah
yang mengerikan pada dada kanan mereka.
Sementara ia melihat para penduduk desa yang ketika
mereka datang sedang mengerjakan sebuah bangunan besar,
duduk berlutut. Anehnya, tak seorang pun yang
menunjukkan wajah gembira. Keanehan itu pun tak luput
dari pandangan Pendekar Slebor yang kini mengintip dari
sebatang pohon besar bersama Ayu.
Hati Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
"Mengapa mereka bukannya gembira melihat pasukan
kadipaten memusnahkan para gerombolan? Mengapa
mereka begitu muram. Bahkan tak terdengar suara apa-
apa."
Ayu yang ingin segera turun menjumpai orang-orang itu
ditahannya. '
Ia menoleh pada Andika tak mengerti. "Mengapa,
Kang?"
"Tunggu dulu, Ayu. Kita tahan rasa ingin tahu kita
untuk melihat ke bawah."
"Ada apa?" tanya Ayu mendapati Andika menjawab
tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Tidakkah kau perhatikan wajah para penduduk, Ayu?"
Andika berkata sambil mengerutkan keningnya.
Ayu menoleh ke bawah. "Apa maksud, Kang Andika?" .
"Apa yang akan kau lakukan bila kau melihat kezaliman
berhasil diatasi?"
"Aku akan gembira."
"Begitu pula denganku. Tetapi, tidakkah kau melihat
kalau para penduduk justru kelihatan tegang?”
Ayu memperhatikan sekali lagi kata-kata Andika. Ia pun
kini merasa keheranan mendapati apa yang dikatakan
Andika benar adanya.
"Mengapa mereka bersikap seperti itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ada sesuatu yang janggal
kurasakan. Ayu, dapatkah kau mengenali seluruh warga
desamu ini?"
Ayu menggelengkan kepala. "Tidak semua. Mungkin
saja sepeninggalku dari desa ini, ada pendatang yang
bermukim di sini. Mungkin pula di antara para laki-laki itu,
ada penduduk seberang yang kebetulan menikah dengan
wanita dari desa ini."
Andika manggut-manggut. Ia masih memandang tak
berkesip ke bawah. Pikirannya dikerahkan untuk
memecahkan masalah yang mengganggunya.
Tetapi sampai para prajurit kadipaten membawa mayat-
mayat itu yang diseret di belakang beberapa ekor kuda,
Andika belum juga berhasil memecahkan kebingungannya.
Ia tetap menahan Ayu agar tidak bergerak dari tempat
mereka. Setelah beberapa saat berlalu, dua orang dari para
penduduk yang duduk berlutut itu berdiri. Salah seorang
berteriak, "Kawan-kawan! Kita bebas sekarang! Manusia-
manusia itu telah kembali ke kadipaten dengan membawa
buruannya! Sang Ketua memang cerdik! Manusia-manusia
bodoh itu telah membuat kekeliruan!!"
Hanya beberapa orang saja yang kemudian berdiri dan
menyahuti kata-kata itu dengan sorak keras. Selebihnya
hanya terdiam sesaat.
Andika mendesah sambil menepuk keningnya.
"Aku tahu sekarang. Aku tahu. Pantas, aku tidak melihat
penjagaan ketat yang dilakukan oleh para gerombolan itu."
Ayu menoleh tak mengerti. "Maksud Kang Andika
bagaimana?"
“Rupanya, penyerangan yang dilakukan oleh para
prajurit kadipetan bocor."
“Aku tak mengerti."
"Dengar baik-baik, Ayu.... Mayat-mayat yang diseret
kuda oleh para prajurit Kadipaten Karang Sutra, bukanlah
mayat para Serikat Baju Merah."
"Oh Tuhan! Maksud mu..."
"Ya! Rencana penyerangan ini rupanya bocor. Sehingga
para anggota Serikat Baju Merah masih sempat
menukarkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian
beberapa penduduk. Lalu mereka pun bersikap seperti
layaknya para penduduk desa itu dan tentunya memaksa
para penduduk yang sudah mengenakan pakaian yang
mereka kenakan sebelumnya berdiri tegak mengawasi
layaknya mereka sendiri. Para prajurit kadipaten sudah
tentu tak akan bisa mengenali siapa lawan dan yang mana
kawan. Yang mereka jadikan patokan sudah tentu pakaian
warna merah yang dikenakan oleh orang-orang yang
mereka cari itu.”
"Licik sekaligus kejam!" Ayu menggeram.
"Mereka sangat pintar. Hanya saja, bagaimana rencana
penyerangan itu berhasil diketahui mereka?"
Tak ada yang menjawab. Di bawah, lima orang laki-laki
yang bertampang kejam, telah mengambil parang mereka
yang tadi disembunyikan di balik semak. Mereka
mengenakan lagi sabuk parang itu. Dan dengan geramnya,
menendang-nendang dengan makian yang keras pada para
penduduk yang memperhatikan mereka dengan tatapan
marah. Namun mereka tadi tak ada yang berani
mengatakan siapa orang-orang yang dihajar oleh pasukan
kadipaten, karena ancaman kematian sudah ditebarkan oleh
anggota Serikat Baju Merah sebelum mengganti pakaian
yang mereka kenakan dengan pakaian lima orang teman
mereka. Bahkan lima orang lagi dipaksa untuk mengenakan
pakaian yang sama yang baru diambil dari tempat yang
tersembunyi oleh yang berhidung besar.
“Kerja kalian! Teruskan kerja lagi!"
"Apakah kalian ingin mampus, hah?!"
Hiruk-pikuk kembali mewarnai tempat itu. Sampai tiba-
tiba terdengar bentakan keras, "Bodoh kalian semua! Di
mana yang lainnya, hah?!"
Andika dan Ayu melihat seorang laki-laki tinggi besar
yang berdiri di wuwungan sebuah rumah. Mereka melihat
kelima orang yang tadi membentak-bentak para penduduk
langsung jatuhkan diri dengan sikap hormat.
"Cari kelima manusia itu! Mereka pantas dihukum
karena pergi tanpa memberi kabar!! Kalian harus
berkumpul besok sore! Karena, seorang kambratku, bila
tidak ada halangan yang terlalu mengganggu, akan tiba di
sini besok sore!"
Sehabis berkata begitu, orang yang berteriak keras yang
tak lain adalah Singgih Murka, mendadak saja menghilang.
Kelima orang yang diperintah itu berdiri kembali. Mereka
berpandangan, seolah baru menyadari kalau lima orang
anggota mereka lainnya, tidak ada di tempat.
Salah seorang berteriak, "Cari mereka sampai dapat!!
Jangan-jangan mereka teler di rumah para janda!"
Empat orang pun berkelebat cepat.
"Untungnya, kedua orangtuaku telah kita pindahkah,
Kang Andika," Kata Ayu, kali ini disertai dengan tatapan
kagum atas kecerdikan Andika. Andika pula yang bisa
menebak kalau keadaan justru berbalik dari yang
diharapkan. Kenyataan para gerombolan itu menukarkan
pakaian mereka dengan pakaian para penduduk, sebuah
jalan keluar yang sangat licik namun cerdik.
"Siapa yang dimaksud oleh laki-laki tinggi besar itu?"
gumam Andika. "Kupikir, desa ini memang akan dijadikan
sebuah tempat untuk bermukim, atau merencanakan sebuah
kejahatan. Apa yang hendak mereka lakukan sebenarnya?"
Kali ini Ayu tak banyak bertanya. Ia hanya
mendengarkan saja kata-kata Andika yang sebenarnya lebih
banyak ditujukan pada diri Andika sendiri.
"Ayu... sebaiknya, kita tunda keinginan kita untuk
menghancurkan manusia-manusia dajal ini untuk
sementara. Aku ingin mengetahui siapa kawan manusia
durjana itu yang akan datang ke sini dan apa yang sedang
direncanakan mereka."
Ayu hanya menganggukkan kepalanya, padahal ia sudah
tidak sabar untuk menurunkan tangan pada manusia-
manusia itu.
Andika bertanya, "Kenalkah kau dengan seorang bocah
yang bernama Walet, Ayu?"
"Walet? Tidak. Namanya saja baru kudengar sekarang.
Mengapa, Kang Andika?"
"Tidak apa-apa. Sebaiknya, kita berjaga-jaga saja.
Hmmm... aku mempunyai sebuah rencana yang menarik
sambil menunggu kedatangan kambrat manusia keparat
itu.”
0o-dw-ray-o0
5
Dua orang anggota Serikat Baju Merah yang mencari
lima temannya yang menghilang, bertemu di tengah desa.
Keduanya saling menggelengkan kepala. "Setan! Ke mana
mereka?" maki yang berambut panjang dan berhidung
besar.
“Aku hanya tahu soal Gandul dari Marta," kata
kawannya yang bernama Jereng. "Mereka sedang menuju
ke rumah yang terletak di tepi desa sebelah yang istrinya
kita gilir waktu itu. Tetapi, ketika kudatangi rumah itu, tak
ada siapa pun di sana. Ku pikir Gandul dan Marta pasti
telah membunuhnya.”
"Setan alas! Bagaimana dengan yang lain.
"Aku tidak tahu."
"Hhhh! Sebaiknya, kita menemui yang lainnya,
barangkali saja mereka sudah menemukan setan-setan itu!!"
"Sebaiknya, kalian berada di sini saja. Karena, ada yang
ingin kutanya kan," terdengar suara itu di belakang
keduanya yang seketika menoleh dan mengerutkan kening.
"Siapa kau?" bentak si hidung besar begitu melihat satu
sosok tubuh berbaju hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur yang tersampir di bahunya.
"Aku?" Orang yang baru muncul yang tak lain Andika
menunjuk dirinya sendiri. "0... kalau aku ya aku. Kalau
kalian sudah pasti monyet bukan?"
Wajah si hidung besar kelam seketika. Ia menggeram,
"Sialan! Kau hanya mencari mampus!"
"Wadaowww!" jerit Andika konyol. “Jangan... jangan
kau bunuh aku! Aku masih doyan makan ubi!"
Si hidung besar rupanya memiliki sifat pemarah. Ia
langsung menarik parangnya dengan geram.
Sraaat!
"Kapan kau terakhir makan ubi?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap
konyol. "Kapan ya? Aku tak ingat lagi."
"Kau tak akan pernah ingat lagi!" maki si hidung besar
sambil menyerang dengan parangnya. Si Jereng pun tak
mau ketinggalan. Ia pun menyerang dengan ganas pula.
Dua buah parang menderu mengeluarkan angin dahsyat.
Menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Tetapi, yang mereka hadapi bukanlah begundal banyak
omong. melainkan Pendekar Slebor yang disegani oleh
orang-orang rimba persilatan.
Hanya dalam dua gebrakan saja, Andika sudah merebut
parang dari kedua lawannya. Lalu seperti mematahkan
sebuah ranting, dua parang itu dipatahkan sekaligus, hanya
dengan mempergunakan ibu jari dan telunjuk.
Kedua lawannya terperangah melihatnya.
"Siapa kau sebenarnya?" .,
"Lho, jadi bertanya nih? Namaku Andika... Julukanku
Pendekar Slebor!!"
Mendengar julukan itu disebutkan, keduanya tanpa sadar
mundur satu langkah. Mereka teringat akan kata-kata
Singgih Murka, tentang seorang pendekar muda yang
berjuluk Pendekar Slebor yang kemungkinan besar bisa
menggagalkan rencana yang telah dijalankan sebagian.
Meskipun Singgih Murka mengatakan Pendekar Slebor
tidak akan pernah tiba di desa ini, sungguh terkejut bukan
buatan keduanya menyadari kalau hal itu merupakan
kekeliruan besar.
Memang, karena langkah Pendekar Slebor begitu
panjang.
"Setan keparat! Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar
Slebor! Menyerahlah untuk kami bawa ke kaki pimpinan!"
maki si hidung besar.
Andika terbahak-bahak sampai perutnya bergoncang.
"Enak benar ngomong! Nyali tikus yang kalian miliki masih
kalian coba samarkan dengan menunjukkan nyali serigala!
Sudah tentu aku jadi ketakutan, nih!"
Keduanya saling pandang. Dan bersamaan dengan
teriakan yang keras. keduanya menerjang kembali. Sungguh
keduanya berotak bebal, tidak mengetahui siapa yang
mereka hadapi. Hanya dengan menggerakkan tubuh sekali
saja dan menggerakkan tangan dua kali, keduanya telah
kaku tertotok.
Andika menjitak kepala keduanya yang melotot tetapi
tak bisa bergerak.
"Kalian diam-diam saja dulu. Biar urusan yang lainnya
kalian terpaksa tidak ikut."
“Manu....”
Tuk!
“Nah, kubilang diam kan? Terpaksa aku harus menotok
urat leher kalian? Yuk, kita cari tempat yang aman!" Seperti
bersikap dengan temannya, Andika membopong keduanya
dan membawanya ke tempat persembunyian yang
ditemukannya. "Kalian diam-diam saja di sini! Pokoknya,
kalian aman. Cuma ya... terhadap ular berbisa yang akan
menggerogoti kalian aku tidak berjanji, ya?" selorohnya
sambil ngeloyor pergi.
Tak dihiraukan kedua lawannya yang tak berdaya itu
melotot sengit.
Andika melangkahkan kakinya lagi menuju Desa Sawo
Luwih. Sebenarnya, ia masih memikirkan kebenaran
kemungkinan jawaban atas pernyataan Walet.
Kalau memang yang diduganya itu benar berarti
memang ia harus selalu berada di dekat Ayu.
"Sial!" rutuk Andika tiba-tiba. "Ke mana sih si Bocah
Ajaib itu?"
Andika berhenti melangkah. Membetulkan letak kain
pusakanya yang agak miring. Gerakan yang dilakukannya
itu sebenarnya tidak perlu. Karena posisi kain pusakanya
seperti biasa terletak pada tempatnya. Tetapi, ada sesuatu
yang menarik perhatian pendekar pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu.
Sambil berlagak menyampirkan kembali kain pusakanya,
Andika mendesis dalam hati. "Hmmm... ada anak monyet
yang sejak tadi mengintip dari pohon tiga tombak dari
hadapanku ini. Siapa manusia itu? Biar kucari tahu siapa
dia."
Setelah berpikir begitu, dengan santai Andika
melanjutkan langkah lagi. Nalurinya yang tajam
mengatakan kalau sosok tubuh yang bersembunyi di balik
pohon itu sedang memperhatikannya.
"Akan kukecoh dia."
Tiba-tiba saja Andika berkelebat cepat.
Wuss!
Tubuhnya melompat ke kiri, masuk ke balik semak. Dari
semak yang setinggi dada manusia itu ia melihat sosok
berpakaian hitam-hitam dengan dada terbuka celingukan
memperhatikannya. Begitu, si pengintip melompat turun,
Andika berkelebat menjauh. Ia ingin membuktikan apakah
manusia itu memang sengaja memperhatikannya atau
tidak.
Pada kenyataannya, laki-laki berbaju hitam itu memang
mengikutinya. Andika terus bergerak laksana kilat.
Gerakannya memang sangat terlatih.
Di sebuah tempat terbuka yang agak jauh dari Desa
Sawo Luwih, laki-laki tinggi besar berbaju hitam-hitam itu
berhenti. Ia celingukan dengan gertakan keras.
"Setan! Aku yakin pemuda itu Pendekar Slebor, sesuai
dengan ciri yang selama ini kudengar! Aku jadi teringat
tentang sahabatku si Dewa Api, yang tewas di tangan
pendekar urakan itu! Hhh! Keinginanku untuk mencari
gadis berbaju merah muda, bisa kutunda dulu untuk
menyelesaikan masalah Dewa Api!" Orang yang tak lain
Maharaja Langit Hitam menggeram. Ia mencari di
beberapa tempat, tetapi sosok Pendekar Slebor tidak
ditemukan. Lalu ia pun bermaksud untuk meninggalkan
tempat itu.
Tetapi....
"Busyet! Jadi bangga nih dengan diriku sendiri! Kalau
aku bermain petak umpet, selama sebulan penuh pasti kau
tak bisa menemukanku, ya?" suara itu terdengar dari
sebatang pohon.
Maharaja Langit Hitam mendongak. Sejenak ia
melengak kaget melihat Pendekar Slebor sedang duduk di
sebuah dahan pohon dengan kedua kaki menjuntai.
"Setan alas! Manusia semacam kau sudah selayaknya
mati!" makinya dengan wajah tertarik ke dalam. Bibirnya
yang turun di bagian bawah nampak mengerikan dan
bergoyang-goyang saat ia memaki tadi.
Andika cuma nyengir saja. "Dugaanku benar ia memang
sengaja mengikutiku. Hhh! Siapa dia sebenarnya? Kalau
mendengar geramannya tadi ia pasti sahabat si Dewa Api.
Tetapi apakah ia orang yang ditunggu Singgih Murka? Hhh!
Tadi pun akan menyelidiki tentang Singgih Murka, tetapi
tak kuketahui di mana ia berada?” Setelah mendesis dalam
hati Andika berkata konyol, "Mati itu sih gampang kalau
memang ajal sudah tiba. Tetapi apa tidak sebaliknya, justru
kau yang akan mati?"
Kelam wajah Maharaja Langit Hitam. Ia membentak
dengan tangan menuding, “Kau harus membayar nyawa
sahabatku si Dewa Api, Pendekar Slebor!”
"Busyet, urusan ini jadi panjang, padahal aku harus
menemui Ayu,” membatin Andika. Lalu, “O...Jadi kau ini
sahabatnya ya? Siapa sih kau ini?”
"Julukanku Maharaja Langit Hitam! Cepat kau bersujud
sebelum kucabut nyawamu!"
“Busyet! Hebat sekali gayamu itu, ya? seloroh Andika
kocak. "Sebenarnya, kau yang mau sujud, kan? Mau sujud
saja? Apa kau mau kukentuti?”
Maharaja Langit Hitam tak bisa menahan diri lagi.
Kegeramannya setelah mengingat Dewa Api mati di tangan
Pendekar Slebor, membuatnya segera mengibaskan tangan.
Wusss!
Serangkum angin dingin menderu ke arah Andika yang
dengan sigapnya bersamaan tangan Maharaja Langit Hitam
bergerak, ia pun bergerak pula.
Serangan dahsyat itu meleset.
Akibatnya, bukan hanya dahan yang didudukinya saja
yang hancur, batang pohon bagian atas pun pecah dan
tumbang menimbulkan suara yang cukup keras.
Plok! Plok! Plok!
Andika bertepuk tangan. "Hebat, hebat sekali!"
Tetapi manusia dajal itu tak mau bertindak ayal.
Menyusul satu rangkaian serangan yang mengandung hawa
dingin luar biasa, menyerbu ke arah Andika. Pendekar
urakan yang siap untuk menghindari serangan itu menjadi
terkejut sendiri, ketika merasa sekujur tubuhnya bagai
membeku.
"Busyet! Apa-apaan ini?" makinya kaget dan tak ada
jalan lain kecuali membanting tubuhnya sendiri
menghindari serangan aneh itu.
Wusss!
Serangan itu meleset kembali. Tetapi kaki kanan
Maharaja Langit Hitam sudah siap menjejak di dada
Andika. Siap bikin ambrol, tembus dan jantung Andika bisa
remuk seketika. Tetapi, rupanya di saat yang kritis itu,
dalam keadaan tubuh yang bagai membeku, Andika telah
mengalirkan sebagian hawa tenaga 'inti petir' hingga
tubuhnya menjadi normal kembali.
Bersamaan kaki Maharaja Langit Hitam menjejak, ia
menendang keras.
Buk!
Benturan tenaga itu terjadi. Tubuh Maharaja Langit
Hitam bergetar, sementara Andika cepat berdiri meskipun
kakinya dirasakan sakit pula.
"Pukulannya mengingatkan aku pada Ratu Mesir yang
merasuki diri Nofret," pikir Andika sambil bersiaga. "Hanya
saja, pukulan yang dilakukan Maharaja Langit Hitam,
belum sedahsyat tenaga 'Inti Es' Ratu Mesir." (Untuk
mengetahui hal itu, silakan baca : "Warisan Ratu Mesir").
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam sudah dalam
keadaan sempurna kembali. Ia cukup digetarkan dengan
tenaga dalam yang dirasakan tadi. "Tak mustahil bila Dewa
Api bisa tewas di tangan Pendekar Slebor. Biar kucoba
sekali lagi!"
Dengan gerakan aneh, bagai melompat-lompat,
Maharaja Langit Hitam menyerang kembali. Andika
membalas dengan gempuran tak kalah hebat.
Tak terasa lima belas jurus sudah berlalu begitu cepat.
Tempat di mana mereka bertempur bagai diamuk puluhan
banteng liar. Mendadak satu ketika, setelah menyerang
namun gagal dengan kakinya, tubuh Maharaja Langit
Hitam berkelebat ke belakang, berdiri dalam jarak tiga
tombak.
"Kau akan merasakan ilmu yang kumiliki ini, Pendekar
Siebor."
Meskipun tahu lawan sedang kerakan ilmunya yang
paling hebat, Andika tetaplah Andika, yang memiliki sejuta
akal cerdik dan sifat urakan yang terkadang tidak
ketolongan.
"Aku memang belum merasakan apa-apa, kok. Cuma
kayaknya seperti menghadapi anak kecil saja. Makanya dari
tadi aku belum memukul. Bukan tidak bisa, tetapi tidak
tega. Nah, ayo ucapkan terima kasihmu!"
Gusar bukan buatan Maharaja Langit Hitam. Ia
menggeram setinggi langit, membuncah keras bagai riak
yang meluncur dari dasar laut. Kedua tangannya menyilang
dahsyat. Gerakannya bagai tak beraturan, tetapi akibatnya,
Andika bisa merasakan perubahan udara di sekelilingnya.
Tiba-tiba bagai membengkak dalam dingin yang tinggi.
Andika lagi-lagi terkejut. Ia menambah aliran hawa
panas dalam tubuhnya. Maharaja Langit Hitam tak mau
membuang waktu lagi. ajian ‘Menghampar Gunung Es'
sebuah jurus yang sangat dahsyat.
Tubuh Marahaja Langit Hitam berkelebat dengan
gerengan yang menjurus. Keras. Membahana. Sekaligus
mengerikan. Dingin berkebyar-kebyar.
Pendekar Slebor tak memapaki serangan itu. Ia coba
menjajaki kekuatan yang terpancar dari setiap serangan
Maharaja Langit Hitam.
Sambil menghindar ia mencoha menemukan titik lemah
dari ajian Maharaja Langit Hitam. Serangan susulan datang
kembali ke arahnya. Lebih ganas, lebih cepat dan lebih
mengerikan. Dingin bukan hanya berkebyar, tetapi juga
mendera tubuh Andika hingga gerakannya jadi sedikit
lambat.
"Tak ubahnya dengan ajian 'Inti Es' milik Ratu Mesir!"
makinya keras. Tubuh Maharaja Langit Hitam bukan
hanya berkelebat, tetapi juga bergulingan sembari kirimkan
serangan. Begitu cepat, mengerikan sekaligus mematikan.
Des!
Kaki kanan Andika terkena hantamannya. Andika
merasa aliran dingin begitu cepat naik ke sekujur tubuhnya
melalui kaki kanan.
"Kacau! Aku harus cepat memusnahkan tenaga celaka
ini kalau tidak ingin mati konyol!"
Tetapi terlambat, karena Maharaja Langit Hitam telah
menghantam tubuhnya empat kali. Tubuh Andika bukan
hanya terasa dingin, tetapi juga membeku. Dan ambruk tak
ubahnya batang kayu.
Maharajd Langit Hitam menghentikan serangannya Ia
meludah seraya berkata, "Tak perlu membunuhmu. Karena,
dalam waktu sepeminuman teh, kau akan mampus,
Pendekar Slebor. Dengan tubuh dan aliran darah yang
membeku! Hmm... sebaiknya, aku mendatangi Singgih
Murka sekarang. Ia pasti sedang menungguku!"
Tubuh Maharaja Langit Hitam pun menghilang dengan
membawa senyum puas karena berhasil membunuh
Pendekar Slebor.
Tamatkah riwayat Pendekar Slebor?
Tidak, karena satu sosok tubuh kecil muncul dari balik
pohon sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menoleh
pada Andika yang sedang bersemadi di balik rimbunnya
semak.
Bocah itu tak lain adalah Walet, yang muncul di saat
keadaan menjadi kritis bagi Andika. Dengan ilmu batin
yang dimilikinya ia mengubah tubuh Andika menjadi
sebatang kayu, sekaligus membalikkan mata Maharaja
Langit Hitam yang begitu bangganya menghajar Andika
yang ternyata hanya sebatang kayu.
Dengan langkah pongah Walet mendekati Andika yang
sedang bersemadi.
"Kang Andika lengah!” katanya seperti seorang ayah
pada anaknya. "Seharusnya Kang Andika bisa
mengalahkan manusia jelek itu!"
Andika cuma tersenyum. "Aku berhutang budi padamu."
"Tidak ada Budi! Yang ada Walet!"
Andika tertawa. Selagi ia cari Walet tidak ditemukan,
selagi tidak dicari bocah ajaib itu justru nongol sendiri.
"Kau ini keturunan tolol juga rupanya? Yang kumaksud
dengan budi itu bukan nama orang!"
Walet nyengir.
"Kenapa Kang Andika lengah?"
"Aku masih memikirkan ajian yang dilakukan oleh
Maharaja Langit Hitam. Pikiranku tak lepas dari ajian 'Inti
Es' milik Ratu Mesir, yang ternyata justru ilmu yang
dimiliki oleh si Gila Petualang yang mendendam pada
dunia persilatan."
"Ada titik lemah dari ajian yang dimiliki manusia jelek
itu."
Kalau Walet berkata begitu, Andika percaya. Ia
menatapnya lekat-lekat.
"Katakan."
"Katanya cerdik, mengapa tidak memecahkan saja?"
Andika tertawa. "Brengsek kau ini, ya? Eh, Let! Apakah
merpati yang kau maksudkan itu...."
"Maaf ya, Kang... aku ada urusan!" potong Walet tiba-
tiba dan sambil bersiul-siul meninggalkan Andika yang
melongo. Lenggangnya enak saja, seolah tak peduli Andika
mau bersikap bagaimana.
"Busyet! Brengsek juga tuh bocah!" maki Andika sambil
berdiri. Tetapi lagi-lagi ia tak bermaksud untuk mengejar
Walet meyakini dugaannya. "Hmm... aku masih yakin,
merpati yang dimaksud Walet adalah Ayu. Tetapi siapa
yang dimaksudkan dengan serigala oleh Walet!"
Andika terdiam sejenak dengan kening berkerut. Lalu ia
memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, mencari
Maharaja Langit Hitam dan menuntaskan teka-teki yang
berlarian di benaknya. Apalagi ketika ia teringat, Ayu pasti
telah menunggu di tempat yang telah ditentukan sesuai
dengan rencana. Dalam hati kecilnya, Andika khawatir
kalau rencananya itu akan gagal.
-0o-dw-ray-o0
6
Ayu mengendap di balik semal. Malam telah lewat
beberapa jam. Sang Ratu Malam telah berada di sepertiga
perjalanan menyongsong pagi.
"Hmm... mengapa Kang Andika belum muncul juga!"
desisnya sambil memperhatikan bangunan besar tak
ubahnya seorang raksasa yang tengah berlutut. "Seharusnya
ia sudah tiba sejak tadi di sini. Ke mana dia?"
Selagi Ayu memikirkan soal Andika, tiba-tiba
pendengarannya menangkap suara di belakangnya. Sigap ia
menoleh. Dilihatnya satu sosok tinggi menyeramkan berada
di hadapannya. Mata orang itu tak berkesip menatapnya,
sejurus kemudian terdengar tawa membuncah yang
membuat Ayu mendadak sakit perut.
"Hahaha... kita berjumpa kembali, Manis. Mau apa kau
mengintip kediaman sahabatku, hah?"
Ayu ingat siapa laki-laki jelek di hadapannya ini.
Maharaja Langit Hitam. Apa maksudnya dengan tempat
kediaman sahabatnya? Otak gadis yang cerdik itu bisa
langsung menemukan jawaban, "Manusia keparat inilah
yang ditunggu oleh Singgih Murka."
Perlahan-lahan ia berdiri dengan sikap tenang namun
waspada. Ketenangannya itu benar-benar mewarisi
ketenangan gurunya dalam menghadapi masalah.
"Kau sendiri mau apa ke sini, hah?"
“Pertama, aku hendak menjumpai sahabatku, Singgih
Murka. Kedua, sudah tentu untuk menemuimu. Kau harus
menjadi istriku!" seru Maharaja Langit Hitam sambil
perdengarkan tawanya lagi. Di matanya, Ayu tak ubahnya
bagai seekor kelinci belaka.
Wajah Ayu memerah. Dugaannya memang benar.
Manusia itulah yang ditunggu Singgih Murka. Bisa berabe
kalau begini. Ayu menimbang kedudukannya sekarang.
"Kau hanya membuang waktu untuk mendapatku
menjadi istrimu!" katanya gagah. "Seharusnya kau
menikahi kambing yang diberi obat perangsang!"
Maharaja Langit Hitam terbahak-bahak.
"Kita lihat!"
Gerakan cepat dengan posisi kedua tangan membuka
siap mencengkeram diperlihatkan Maharaja Langit Hitam.
Ayu yang sudah bersiaga sejak tadi, menghindari serangan
itu dengan mudah. Bahkan dengan menekuk lututnya, ia
melepaskan satu pukulan yang dipapaki dengan tekukan
siku lawan.
"Hebat! Kau memang pantas menjadi istriku!"
"Omongan busuk!"
Kali ini Ayu mendahului menyerang. Jurus-jurus, yang
diajarkan oleh Nenek Beruang Gunung Karimun
diperlihatkan. Gerengannya terdengar tak ubahnya beruang
marah. Gerakannya lincah, cepat, dan berbahaya.
Maharaja Langit Hitam yang pernah melihat gerakan
cepat di!akukan Ayu waktu itu, dilakukan pula gerakan
yang tak kalah cepatnya. Ia mengagumi tenaga dalam yang
dimiliki oleh lawan. Cukup kuat dan mematikan.
Bahkan dua kali ia terkena gedoran kaki kanan Ayu yang
cepat, membuatnya naik darah. Ia menerjang dengan
gempuran yang tak kalah berbahaya, yang dibalas Ayu
dengan tak kalah lincah. Pertempuran sengit itu pun
berlangsung begitu cepat. Saling serang dengan gerakan
tipuan telah dipamerkan.
Tetapi bagi laki-laki berbibir turun itu, serangkaian
serangan yang dilakukan Ayu bukanlah serangan yang
terlalu mengerikan. Apalagi bagi Ayu sendiri, semenjak
turun gunung dan menuntaskan pelajarannya, baru kali ini
ia bertarung dengan seorang lawan. Hingga pengalamannya
masih sangat sedikit sekali. Ia belum tahu bagaimana
kelicikan dan kecurangan bisa dipergunakan saat bertarung
semacam ini.
Dengan mempergunakan ajian yang telah memperdaya
Pendekar Slebor, dalam tiga gebrak berikutnya, Ayu sudah
berhasil dikalahkan.
Gadis itu memaki jengkel dengan tubuh terbujur di
tanah. Kedua kakinya tak bisa digerakkan sama sekali.
Aliran darahnya seolah mati. Wajahnya pucat.
Namun kekenisan hatinya masih memaksanya untuk
membuka jalan darahnya. Tetapi hal itu tak bisa dilakukan.
Sambil tertawa, Maharaja Langit Hitam menotoknya. Lalu
membopongnya menuju kediaman sahabatnya.
0o-dw-ray-o0-
Singgih Murka menyambut kedatangan sahabatnya
sambil terbahak-bahak.
"Kupikir, baru besok siang kau datang.”
"Aku tak sabar untuk melihat hasil kerjamu. Bagaimana
dengan Pimpinan?" kata Maharaja Langit Hitam sambil
mengedarkan pandangan pada bangunan besar yang baru
saja selesai dibangun. Tetapi bagian belakang masih
melompong.
"Semuanya berjalan baik. Kau membawa seekor kelinci
gemuk rupanya?" Singgih Murka tertawa.
Maharaja Langit Hitam menyeringai, ”Kau benar. Aku
bukan hanya ingin memelihara kelinci ini, tetapi juga
mengawininya. Ia milikku.”
"Kau akan mendapat kepercayaanku.”
"Di mana aku bisa meletakkan kelinci ini?"
"Kamarmu sudah kupersiapkan." Singgih Murka
menepuk tangannya dua kali. Dua orang gadis jelita namun
berwajah murung muncul dengan sikap hormat. Jelas sekali
kalau keduanya terpaksa melakukan hal itu. Karena,
keduanya memang gadis yang berasal dari Desa Sawo
Luwih. "Tunjukkan kamar pada Maharaja Langit Hitam."
Kedua gadis itu membawa Maharaja Langit Hitam ke
kamar yang bagus dan wangi. Sambil tertawa laki-laki itu
meletakkan tubuh Ayu di pembaringan.
"Kau tunggu di sini, ada yang harus kubicarakan dengan
Singgih Murka. Selebihnya. kita akan bertamasya ke alam
jauh dari dunia."
Tertawa dan tak menghiraukan pelolotan Ayu, Maharaja
Langit Hitam menemui Singgih Murka lagi. Kali ini di meja
sudah terdapat tuak dan buah-buahan segar.
"Silakan duduk. Apakah kau sudah menjalankan tugas
dari Pimpinan?"
"Aku belum berhasil menemukan Beruang Gunung
Karimun. Entah di mana wanita tua itu bersembunyi,"
sahut Maharaja Langit Hitam sambil menenggak langsung
tuak dari kendi. Lalu mengusapnya dengan punggung
tangan kiri sambil mendesah puas. "Bukan main! Kau
begitu enak tinggal di sini!"
"Menurut Pimpinan, Beruang Gunung Karimun adalah
orang pertama yang harus kita bunuh," kata Singgih Murka
tak menghiraukan kata-kata sahabatnya.
"Kau benar. Tetapi, aku belum berhasil menemukannya.
Kesulitanku pertama, aku belum mengenal Beruang
Gunung Karimun. Pimpinan hanya mengatakan ciri-
cirinya. Bahkan kemampuan yang dimiliki Beruang
Gunung Karimun saja aku belum pernah menjajaki. Kedua,
aku memang tak menemui seorang pun di Gunung
Karimun. Entah di mana ia bersembunyi. Justru aku telah
berhasil membunuh Pendekar Slebor," kata Maharaja
Langit Hitam dengan bangga.
"Kau?" Mata Singgih Murka membulat. Tak percaya.
"Tamat sudah riwayat Pendekar Slebor. Kupikir, ia
sekarang sudah menjadi mayat membeku. Dendam
sahabatku Dewa Api sudah tuntas. Sungguh menyenangkan
karena aku tak sengaja bertemu dengan Pendekar Slebor."
Singgih Murka tertawa. "Bagus kalau begitu. Semalam
aku mendapat kabar dari Pimpinan kalau ia juga melihat
kemunculan Pendekar Slebor. Kau sudah menjalankan
tugas sebelum diperintahkan."
"Sangat menyenangkan sekali. Lalu apa tindakan kita
selanjutnya?"
"Pimpinan menginginkan tempat ini menjadi markas
candu yang hendak diedarkan. Karena letaknya cukup
tersembunyi. Aku juga sudah mengundang beberapa
kambrat yang lain untuk datang membantu kita. Hanya
saja, keanehan terjadi. Anak buahku tinggal seorang tanpa
kuketahui siapa pelakunya. Bahkan dua orang mati di
depan mata kepalaku sendiri. Di saat aku sedang menerima
laporan mereka tentang menghilangnya anak buahku yang
lain. Tak bisa kuduga siapa yang melakukannya.
Kelebatannya laksana setan. Tentunya, ia memiliki
kesaktian yang tinggi."
Maharaja Langit Hitam menggeram. "Manusia keparat
itu harus diberi pelajaran!"
"Kita tunggu sampai kambratku datang!"
"Bagus! Malam makin dingin. Aku harus menikmati
hidangan yang tersedia."
Singgih Murka cuma menganggukkan kepala. Maharaja
Langit Hitam melangkah ke kamar yang disediakan Singgih
Murka dengan tak sabar
“Aku datang untuk... gila! Keparat!!” laki-laki tinggi
besar itu menggeram seraya menghantam sebuah kursi. “Ke
mana gadis itu, hah?!”
-0o-dw-ray-o0-
Bentakannya terdengar oleh Singgih Murka yang segera
mendekat.
“Ada apa?"
“Setan alas! Bagaimana mungkin gadis itu bisa
meloloskan diri hah? Ia dalam keadaan tertotok. Kedua
kakinya masih membeku akibat tenaga esku. Tak mungkin
ia bisa melepaskan semua itu kalau tida ada yang
menolong?"
"Tetapi, bagaimana cara orang itu menolongnya? Kau
lihat sendiri, tidak ada jendela di sini! Pintu dalam keadaan
terkunci. Kau sendiri yang memegang kuncinya!”
Maharaja langit hitam menggeram, jengkel luar biasa,
wajahnya kelam dengan bibir bergetar.
“Keparat!” makinya.
Singgih Murka berkata,” bagaimana dengan orang yang
seperti setan yang membunuh kedua anak buahku? Bisa jadi
ia yang melakukan hal ini pula!”
“Kita cari manusia itu! Pasti ia masih berada di sekitar
sini!”
Maharaja Langit Hitam mendahului dengan kegeraman
yang sudah singgah di ubun-ubun.
-0o-dw-ray-o0-
"Let... sebenarnya, ada apa dengan semua ini?" tanya
Andika selesai memusnahkan tenaga es yang membelenggu
kedua kaki Ayu dan melepaskan totokan yang dilakukan
oleh Maharaja Langit Hitam. Ia tahu, kalau rencana yang
disusunnya gagal total. Setelah mematikan langkah
beberapa anak buah Serikat Baju Merah, seharusnya
Andika menjumpai Ayu yang memata-matai keadaan.
Setelah itu, bersama-sama mereka akan menyerbu ke sana.
Ayu bertugas menyelamatkan para penduduk, sementara
Andika mencari Singgih Murka. Tetapi rencana itu gagal
karena kehadiran Maharaja Langit Hitam yang di luar
perhitungan Andika.
Walet tengah asyik menghisap-hisap rumput Manis.
"Tidak tahu, ya? Aku kan cuma membantu saja."
"Kalau tidak kau bantu, sangat sulit untuk menemukan
di mana Ayu saat itu berada. Kau dengan cerdiknya telah
menolongnya. Bahkan selagi kedua manusia itu berada di
kamar. kau dan Ayu masih berada di sana. Tetapi dengan
kekuatan batinmu itu kau bisa mengelabui mata keduanya
hingga tak bisa melihat kau dan Ayu. Nah, katakan
sekarang...."
"Maaf, Kang Andika.... Sebenarnya, ini urusan
pribadiku," sahut Walet masih asyik menghisap rasa manis
dari pangkal rumput.
"Tetapi aku tak mengerti dengan semua ini. teka-teki
yang bisa kupecahkan sekarang, merpati yang kau maksud
adalah Ayu. Dan manusia yang menginginkannya adalah
Maharaja Langit Hitam. Masih ada teka-teki lain yang
masih melingkar di benakku. Kali ini, aku akan
menahanmu bila kau tidak segera menjawabnya, Walet.”
Walet Cuma nyengir saja mendengar kata-kata Andika.
“Jangan memaksa dong, kang Andika. Aku sendiri tidak
tahu apa-apa.”
Pendekar Slebor yang memiliki sejuta kecerdikan tahu
kalau walet sebenarnya justru mengetahui teka-teki di balik
semua ini. ia berkata lagi memancing jawaban Walet,
“Masihkah kau menganggapku sebagai seorang sahabat?”
“Sudah tentu. Sampai dunia kiamat. Kita tetap
bersahabat kan, kang Andika?”
“Mengapa sebagai sahabat kau justru tidak mau
mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Kali ini walet menunduk. Tak acuh lagi sambil
menghisap rumput yang dipegangnya,
“Justru aku ingin meminta bantuanmu, kang Andika.”
“Kalau kau memang meminta bantuanku, mengapa kau
tidak mengatakan yang sebenarnya?”
“Belum saatnya, kang Andika. Ini masih menjadi urusan
pribadiku. Aku hanya meminta kau untuk memantau
keadaan saja. Selebihnya, aku akan menyelesaikan urusan
ini.”
“Sejak tadi kau berkata urusan pribadi,” kata Andika
dongkol, “Kau hendak meminta bantuanku, tapi justru aku
yang kau bingungkan dengan teka-teki ini.”
“Pecahkanlah Kang Andika,” kali ini Walet berdiri dan
dengan tak acuhnya ia melangkah meninggalkan Andika
yang tidak menahan.
Tetapi Ayu lebih dulu berkata, ”biarkan saja dulu, kang.
Barangkali memang ada masalah pribadi yang tak boleh
diketahui orang lain.”
Andika cuma mangut-mangut seperti burung pelatuk.
“Memang, Walet selalu menimbulkan teka-teki bagiku.”
“Kang Andika... saat aku tertawan, aku mendapat
sebuah keterangan yang cukup berarti,” kata Ayu.
Andika menoleh dan menatap gadis jelita yang menjadi
agak risih ditatap seperti itu. Menyadari kalau tatapannya
terlalu menyolok Andika nyengir.
“Apa itu?”
“Mengapa Serikat Baju Merah menyerang desaku ini?
dikarenakan, mereka akan menjadikan desa ini sebagai
markas tempat penyimpanan dan jalur pengedaran candu.”
“Kurang ajar!” Andika menggeram.
“Satu hal lagi, maharaja Langit Hitam ternyata
mendapat tugas dari sang pemimpin untuk membunuh
guruku."
"Siapakah pimpinan yang dimaksud itu, Ayu?" Ayu
menggelengkan kepala.
"Sayangnya aku tidak tahu soal itu. Tetapi, keduanya
bukanlah orang yang menginginkan semua ini. Mereka
adalah kaki tangan dari sang Pimpinan."
"Kita harus mencari pimpinan itu, Ayu!"
"Kau benar, Kang Andika. Tetapi, Singgih Murka
mengatakan ia telah mengundang beberapa kambratnya
untuk bergabung."
“Berbahaya kalau begini. Hmm... berapa jalan masuk ke
desa ini, Ayu?"
"Tiga. Dari selatan, barat, dan timur. Bagian utara
sebuah hutan belantara yang lebat. Dan sangat sulit bila
orang hendak mendatangi desa ini melalui jalan itu!"
Andika terdiam. Otaknya tengah berpikir. Lalu katanya,
"Sebaiknya, kita cegat mereka di jalan masuk ke desa ini.
Karena bila mereka telah bergabung, kekuatan dari Singgih
Murka dan Maharaja Langit Hitam akan bertambah.
Sebaiknya, kita singkirkan satu persatu. Aku ke selatan dan
kau ke barat."
"Bagaimana bila mereka masuk dari arah timur?"
Andika terdiam lagi. "Biar, aku yang mengurus."
Padahal dalam hati Andika, justru bagian utaralah yang
harus diperhatikan. Karena, tak mustahil para kambrat dari
Singgih Murka tak mau diketahui kedatangan mereka.
"Kalau begitu, sebaiknya kita mulai berjaga-jaga, Kang
Andika."
"Kau benar. Ayu.. hati-hati."
Ayu menunduk. Dadanya bergetar. suara Andika bagai
menyapu lembut relung hatinya. Lalu sahutnya pelan, “Kau
juga, Kang...”
Andika menggenggam tangan gadis itu yang di rasakan
bergetar. "Setelah itu, kita bertemu lagi tempat ini."
Lalu Andika pun mengempos tubuhnya. Dalam sekali
kelebat saja pemuda yang memiliki ilmu lari tersohor itu
sudah hilang dari pandangan Ayu.
Gadis jelita murid Beruang Gunung Karimun mendesah
panjang. Entah mengapa sekian tahun hatinya tak pernah
merasakan sebuah getaran aneh, kali ini justru bergetar.
Bahkan semakin menghebat bila dekat dengan Andika.
Ayu segera membuang perasaannya itu. Ia pun
berkelebat menuju sasarannya.
-0o-dw-ray-o0
7
Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan naik menuju
tingkat tertinggi singgasananya. Sinarnya cukup menyengat
pandangan. Pepohonan agak sedikit meranggas, karena
kemarau mulai datang kembali.
Di hutan sebelah utara Desa Sawo Luwih, Andika masih
menunggu, duduk di sebuah pohon tinggi. Hutan itu
tergolong hutan yang cukup lebat. Pepohonan tinggi
berjajar. Semalaman ia tak memejamkan matanya barang
sejenak. Tetapi, sampai awal siang ini, Andika belum
melihat ada yang datang.
Sejenak ia jadi ragu akan pikirannya sendiri.
"Jangan-jangan, para kambrat Singgih Murka justru
mengambil jalan nyata, tidak perlu melalui jalan ini menuju
Desa Sawo Luwih. Hhh! Seharusnya aku memperhitungkan
pula hal itu. Sebaiknya, aku mengecek saja ke selatan!"
Tetapi sebelum Andika melompat, dilihatnya dua sosok
tubuh berpakaian hitam berkelebat laksana setan, melewati
satu pohon ke pohon lain, berzig-zag begitu cepat.
Andika urung meneruskan niatnya. Ia picingkah mata
menatap kejauhan.
"Hmmm... merekakah tamu yang diundang oleh Singgih
Murka?" desis Andika. "Bila melihat dari cara keduanya
berlari, jelas bukan orang sembarangan. Hmmm... aku tak
boleh buang tempo lagi. Sebaiknya, aku hadang saja
mereka!"
Memikir sampai di situ, dengan sekali emposan Andika
sudah melompat turun, berdiri, tepat ketika keduanya
berada dalam jarak tiga tombak di depannya.
Keduanya menghentikan langkah. Dari dekat, Andika
bisa melihat kalau keduanya sepasang manusia. Yang laki-
laki berwajah tirus dengan rambut panjang. Wajahnya
cukup tampan, namun keculasan matanya begitu
mengerikan. Sedangkan yang perempuan jauh sekali
dikatakan cantik. Wajahnya penuh jerawat memerah.
Rambutnya kotor sekali Tetapi yang membuat Andika mau
tertawa, ketika melihat betapa tipisnya pakaian yang
dikenakan wanita itu. Samar menampakkan buah dadanya
yang tak tertutup apa-apa. Sementara pakaian bawahnya,
sebuah celana pangsi yang agak tinggi. Hitam dan kotor.
Sungguh, sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat
sebenarnya.
"Siapa kau yang berani menghadang Harimau Tapa dan
Dewi Intan?" terdengar suara si laki-laki angker.
Andika bisa merasakan getaran tenaga dalam yang
dipancarkan melalui suara itu, meskipun ia merasa masih
jauh dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Nama Harimau Tapa dan Dewi Intan, sungguh baru kali
ini didengarnya.
Ia cuma tersenyum. "Aku bertanya pada kalian, tahukah
di mana Singgih Murka berada?"
"Siapa kau?" Harimau Tapa memicingkan mata,
menatap sosok tampan. di hadapannya.
"Aku salah seorang kambratnya yang diundang
olehnya!"
Harimau Tapa mengubah sikapnya, memikir kalau
pemuda di hadapannya ini memiliki tujuan yang sama. Ia
tahu Singgih Murka banyak memiliki sahabat, dan tak
semua sahabat dari Singgih Murka dikenalnya. "Kami pun
begitu adanya, tengah mencari Singgih Murka pula!
Selamat bertemu! Sebutkan julukan!"
"Aku tak mempunyai julukan!" desis Andika dan dalam
hati berkata, "Jelas keduanya undangan dari Singgih
Murka. Hmm, aku harus berhati-hati menghadapi mereka."
"Bagus! Kita bisa jalan bersama!" kata Harimau Tapa.
"Tunggu!" tahan Andika. "Ada apa sebenarnya Singgih
Murka mengundang kita?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, aku yakin, sebuah kesenangan
yang akan kita dapatkan. Kita harus menjumpainya
sekarang! Dalam pesannya, ia mengatakan telah berhasil
menguasai Desa Sawo Luwih!"
“Bagus kalau begitu! Tetapi, lebih baik kalian tinggal di
sini saja!" sehabis berkata begitu, Andika menerjang cepat.
Harimau Tapa dan Dewi Intan terkejut melihatnya.
Keduanya cepat kibaskan tangan.
Des! Des!
Selagi serangannya ditangkis, Andika meneruskannya
dengan mengirimkan dua buah tendangan sekaligus.
Buk! Buk!
Tendangan keras itu tepat menghantam dada keduanya,
yang terhuyung, segera mengalirkan tenaga dalam dan
bangkit dengan tatapan gusar.
"Setan alas! Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak
Harimau Tapa keras.
Andika nyengir. "Namaku Andika. Julukanku Pendekar
Slebor! Kalian tak akan pernah menemui Singgih Murka!"
"Keparat! Ingin kulihat kehebatan Pendekar Slebor!"
Dewi Intan sudah menderu dengan satu terjangan aneh.
Bagai melompat, namun mengerikan. Dalam setiap
lompatannya ia mengirimkan pukulan berhawa panas.
Andika terkejut melihat serangan itu. Sejenak ia
mengendalikan serangannya mencecar bagian kaki Dewi
Intan, karena dalam sekali lihat Andika bisa tahu kalau
kedua kaki Dewi Intan merupakan sebuah tumpuan yang
dahsyat.
Mendapati kelemahan lawan, ia pun membalas dengan
tak kalah hebatnya. Harimau Tapa sudah menderu pula
dengan jurus-jurus harimaunya yang mengerikan. Setiap
kali tangannya yang membentuk cakar mengibas, angin
dingin dirasakan Andika.
Meskipun untuk sesaat Andika cukup dikejutkan dengan
dua serangan sekaligus, tetapi keduanya bukanlah kelas
Andika. Dalam waktu lima jurus, keduanya sudah dibuat
tak berkutik. Terkulai dengan tubuh tertotok.
"Keparat! Kita bertarung sampai mampus!" maki
Harimau Tapa gusar.
Maaf, aku terpaksa harus membungkam kalian!”
Diangkatnya tubuh Harimau Tapa dan dibawanya ke
sebuah pohon. Diletakkannya tubuh kaku itu di sana.
Begitu pula yang dilakukannya pada Dewi Intan.
“Bukankah di sini lebih nyaman? Sebaiknya kalian jangan
bergerak karena kalau jatuh aku tidak tanggung!” Lalu
tangannya menotok urat suara keduanya. "Maaf, terpaksa
aku harus meninggalkan kalian dulu di sini."
Dan Andika pun bergegas untuk menjumpai Ayu.
-0o-dw-ray-o0-
Ayu sendiri juga telah mengalahkan lawannya yang
memang seorang kambrat dari Singgih Murka. Bahkan Ia
telah mematahkan kedua kaki lawannya yang berjuluk
Hantu Bayangan, yang begitu Ayu muncul tadi sudah
memancarkan sinar gairah melihat betapa jelitanya gadis di
hadapannya.
Namun ia terkejut ketika Ayu menghindari terkamannya
yang memang tak boleh melihat gadis cantik. Seketika ia
menjadi marah. Tetapi, murid Beruang Gunung Karimun
yang telah mendapatkan pengalaman bertempur
menghadapi Maharaja Langit Hitam, bisa mengendalikan
nafsunya untuk berhati-hati. Bahkan dalam sepuluh jurus
berikutnya Ayu berhasil menjatuhkan lawan.
Andika tiba di sana.
"Beres?"
"Ya. Semuanya sudah selesai. Bagaimana dengan Kang
Andika sendiri?" tanya Ayu sambil menghapus keringatnya.
Pertarungan itu sungguh bukan buatan hebatnya. Andika
melihat beberapa pohon tumbang di dekat Ayu.
"Sama. Ayu, kita sembunyikan manusia yang pingsan
itu. Totok urat kaku dan suaranya, setelah itu, kita langsung
menyerbu Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam.
Terus terang, aku penasaran ingin mengetahui siapa yang
dimaksudkan dengan pimpinan oleh keduanya!"
Ayu menyetujui usul itu. Setelah melakukan perintah
Andika, keduanya pun berkelebat menuju bangunan besar
di mana mereka yakin Singgih Murka yang selama ini tidak
diketahui tempatnya berada bersama sahabatnya, si
Maharaja Langit Hitam.
Tetapi ketika sampai di sana, justru yang mereka lihat
lima belas prajurit kadipaten, tiga kereta kuda dan sebuah
kereta kuda yang sangat indah sekali Sedang berjaga-jaga di
depan bangunan besar itu. Tak ada para penduduk yang
biasanya bekerja paksa untuk meneruskan mengerjakan
bangunan besar itu.
"Kita lihat dari sini saja," kata Andika mengerutkan
kening. Batinnya mengatakan sesuatu telah terjadi. Entah
apa. Menghadapi keanehan itu, ia mengajak Ayu untuk
bersembunyi dulu di balik semak, menunggu apa yang
tengah terjadi di hadapan mereka berjarak sepuluh tombak.
Selang beberapa saat, mereka melihat seorang laki-laki
berpakaian indah dan mempesona, keluar dari bangunan itu
dengan dikawal lima orang prajurit gagah bersenjata
tombak.
"Kau benar, Hardigala. Keadaan aman! Serikat Baju
Merah memang sudah tumpas!" kata orang itu yang tak lain
Adipati Ganda Manikam. "Kita kembali dan nyatakan
tempat ini sebagai tempat yang aman.
Barang-barang yang kita bawa tadi, sudah aman di
tempatnya, bukan? Itu adalah persenjataan kita, karena aku
menginginkan tempat ini pun dijadikan bangsal kekuasaan
Kadipaten Karang Sutra!"
"Tunggu, Adipati!" seruan itu terdengar bersaman dua
sosok tubuh yang melompat ke depan.
Andika dan Ayu menjura di hadapan Adipati Ganda
Manikam yang menjadi keheranan.
"Siapa kalian?"
"Maafkan kami," kata Andika menjura. Lalu
mengangkat wajahnya menatap adipati yang nampak
geram. Sesaat Andika terkejut melihat sosok di
hadapannya. Rasa-rasanya ia tak begitu asing dengan sosok
Adipati Ganda Manikam. Tetapi kemudian, diyakininya
kalau ia belum pernah bertemu dengan Adipati Ganda
Manikam. "Bukan maksud kami lancang menahan Adipati
di sini. Tetapi, saya tidak percaya kalau tidak ada lagi sisa-
sisa dari Serikat Baju Merah."
Adipati Ganda Manikam mengerutkan keningnya. “Apa
maksud perkataanmu itu?"
Andika menceritakan bagaimana kalau para prajurit
kadipaten telah tertipu oleh kelicikan Singgih Murka
sewaktu mengadakan penyerangan pertama.
"Tidak mungkin!" seru adipati dengan wajah merah.
Kata-kata Andika barusan bagai sebuah tampan keras di
pipinya. "Para prajuritku adalah prajurit pilihan. Mereka
tak akan bisa tertipu dengan akal licik semacam itu."
Andika bisa memahami keadaan itu. Ia pun mengambil
sikap lebih berhati-hati.
"Sekali lagi maafkan, Adipati. Pada kenyataannya,
memang hal itulah yang terjadi. Dan saya yakin, apa yang
Adipati katakan tadi belum tuntas. Karena, saya tahu
Singgih Murka dan Maharaja Langit Hitam masih berada di
bangunan."
"Kau periksa sendiri! Tak ada kedua manusia bangsat
yang menyebabkan teror di desa ini!" .
"Mereka pasti bersembunyi di sebuah tempat."
"Tempat ini sudah digeledah! Jangan sembarangan
bicara dan mempermalukanku, Anak Muda!"
Wajah Andika kelam. Hatinya panas dimaki seperti itu.
Tetapi ia bisa menahan diri dan maklum mengapa Adipati
Ganda Manikam berkata agak keras.
"Tanpa mengurangi kesopanan dan rasa hormat saya
pada Adipati, saya mohon izin untuk mengecek bangunan
itu," kata Andika sopan. Padahal, ia tak senang sama sekali
dengan tetek bengek kesopanan semacam itu. Karena
baginya, derajat manusia itu sama. Tak ada bedanya baik
misalnya ia seorang adipati, pangeran, raja, ataupun kaum
bawah sekalipun.
Adipati Ganda Manikam cuma mendengus.
"Silakan!" .
Andika menjura sekali lagi. Kesempatan itu harus
dipergunakan sebaik-baiknya. Ia memasuki bangunan besar
itu. Namun seperti yang dikatakan oleh adipati tadi,
memang tak ada tanda-tanda kedua manusia itu berada di
sana. Penasaran Andika mengeceknya sekah lagi. Tetapi
hasilnya nihil.
"Hmm.... pasti ada, tempat tersembunyi di bangunan ini.
Seperti semula tak bisa diketahui di mana Singgih Murka
berada. Akan kucari lagi nanti malam.”
Lalu Andika pun keluar. Adipati Ganda Manikam
bertanya dengan mata membesar, "Bagaimana?"
"Apa yang Adipati katakan itu memang benar."
Tak ada sahutan dari adipati selain menaiki kereta
kudanya. Lalu ia memerintahkan kusir untuk
menjalakannya. Salah seorang dari prajurit itu, yaitu
Hardigala mendekati Andika dan berkata sinis, "Beruntung
kau tidak digantung!!"
Lalu ia menyusul rombongan itu.
Sepeninggal mereka, Andika masih terdiam dengan
kening berkerut. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang
aneh dalam hal ini.
Ayu berkata, "Kau tak menemukan siapa pun juga di
sana, Kang Andika?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Bahkan yang
mengherankanku, para penduduk yang dipaksa bekerja di
tempat ini seolah tak mau bekerja lagi. Ini berarti, Singgih
Murka sudah mengetahui akan kedatangangan Adipati.
Kau lihatlah Ayu, suasana sangat sepi sekali. Ada sesuatu
di balik semua ini?”
"Apakah itu Kang Andika?"
"Aku tidak tahu. Semuanya hanya.... Walet! Ya, Walet
yang mengetahui semua ini! Tetapi, ia pasti tak akan mau
mengatakannya! Aku kenal betul siapa dia?"
Ayu yang tak tahu siapa Walet sebenarnya merasa heran
melihat Andika begitu menghargai Walet sekali. Bila saja
ayu tahu bocah itu adalah titisan seorang pangeran, ia pasti
akan bersikap seperti yang dilakukan andika.
"Kalau begitu, kita cari saja Si Walet, Kang.”
Andika hanya menganggukkan kepala. Hal itu memang
mudah diucapkan, tetapi menjalankannya sangat sulit
sekali. Karena andika sangat hafal karakter Walet.
Tetapi, ia akan tetap pada rencananya semula untuk
kembali mendatangi bangunan besar itu nanti malam. d
"Ayu sebaiknya kita tengok keadaan kedua orangtuamu."
Ayu mengiyakan karena sesungguhnya ia lebih ingin
menjagai kedua orangtuanya.
-0o-dw-ray-o0-
8
Malam temaram. Kegelapan melanda karena sang Ratu
Malam kali ini bagai enggan bersinar. Satu sosok tubuh
melompat dari sebuah pohon ke pohon lain. Gerakannya
tak ubahnya bagai bajing belaka. Ringan, cepat, dan
menakjubkan.
Di sebuah pohon yang terletak di sebelah kiri bangunan
besar yang belum jadi, sosok tubuh yang tak lain Pendekar
Slebor berhenti bergerak. Ia memperhatikan sekeliling
bangunan itu. Begitu sepi dan tak ada tanda-tanda
kehidupan.
"Aku tak percaya kedua manusia itu tidak ada di sana.
Sebaiknya. aku segera ke bangunan itu sekarang!"
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang kesohor, Andika melompat dari batang pohon.
Hinggap di atap bangunan itu tanpa menimbulkan suara
sedikit pun.
Lalu ia melompat turun di bagian belakang bangunan.
Sejenak ia celingukan, hati-hati. Entah mengapa dadanya
berdebar cukup keras.
Begitu Andika melangkah, sebuah jaring tebal meluruk
ke arahnya. Andika tercekat. Ia bergulingan dan berhasil
menghindari jaring itu. Tetapi sebuah jotosan dari belakang
menghantam telak punggungnya. Membuatnya terjajar
keras ke depan. Sengit ia menoleh dan melotot gusar.
"Manusia jelek, yang beraninya hanya membokong!!"
bentaknya.
Maharaja Langit Hitam yang tadi menghajar telak
punggung Pendekar Slebor justru membelalak melihat
kenyataan di hadapannya. Ia tak habis pikir bagaimana
Andika bisa selamat dari belenggu ajian kebanggaannya.
Andika mendengar satu suara dingin dari sisi kanannya.
"Kau lihat kenyataan itu, Maharaja! Pendekar Slebor
memang memiliki akal yang cerdik! Tetapi, ia tak akan
mampu menghindari maut sekarang!"
Andika melihat Singgih Murka terbahak-bahak dan
melangkah keluar dari sebuah pintu.
"0... rupanya kalian memang jadi cacing pengecut yang
ternyata hanya bisa bersembunyi saja?"
"Itulah kecerdikan yang patut kau perhitungkan,
Pendekar Slebor! Kau sudah berhasil memecahkan
tipuanku terhadap para prajurit kadipaten saat menyerang.
Kau pun berhasil memecahkan tipuanku pula, kalau kami
bersembunyi di satu tempat yang tak akan bisa kau
ketahui!"
"Sekarang, tak ada tempat bersembunyi lagi! Rencana
busuk kalian untuk mengedarkan candu tak akan bisa
berlangsung lebih lama! Sungguh malang nasib kalian!"
"Jangan banyak bacot! Kali ini kau akan mati secara
mengenaskan, Pendekar Slebor!" bentak Maaraja Langit
Hitam yang masih tak habis pikir mengapa Andika masih
hidup. Ia menerjang dan tak tanggung lagi mengerahkan
ajian 'Menghampar Gunung Es' yang dibanggakannya,
Andika yang pernah mengalami nasib apes saat itu,
segera kerahkan tenaga 'inti petir' tingkat pertama. Hawa
panas pun menguar dari tubuhnya. Namun meskipun
begitu, ia tak mau ambil resiko dengan memapaki serangan
Maharaja Langit Hitam mengingat pengalamannya yang
pertama. '
Akan tetapi, begitu serangan Maharaja Langit Hitam
meleset, dengan cepat Andika membuat gerakan merunduk,
lalu menyusupkan tangannya.
Wuut!
Des!
Dada Maharaja Langit Hitam tergedor keras. Sungguh,
laki-laki jelek itu sama sekali tidak menyangka gerakan
yang dilakukan Andika. Ia merasa tubuhnya menjadi panas.
Dialirkannya segera hawa dingin untuk mengalahkan hawa
panas itu. Bila saja Maharaja Langit Hitam tak memiliki
kekuatan tinggi, bisa dipastikan dadanya akan jebol.
Melihat lawan sesaat terdiam, Andika bersiap
mengirimkan serangan selanjutnya. Tetapi Singgih Murka
tidak mau kawannya menjadi sasaran empuk serangan
Pendekar Slebor.
Ia bergerak cepat. menyerbu dengan amarah
membludak. Tangan kanannya yang telah dialiri tenaga
dalam tinggi langsung dihantamkan ke kepala Andika.
"Hiaaaa!!"
Wutt!
Andika mengurungkan niatnya untuk menghajar habis
Maharaja Langit Hitam. Ia menghindari serangan Singgih
Murka dengan menggeser tubuh satu langkah ke samping.
Luputnya serangan pertama, disusul dengan serangan
kedua. Tubuh Singgih Murka cepat berputar dengan
melepaskan tendangan kaki kanan, keras, mematikan ke
dada Andika.
Kali ini, Andika tidak menghindar. Cepat ia memapaki
tendangan berputar Singgih Murka dengan ayunan tangan
kanannya. Sementara gerakan beruntun diperlihatkan. Kaki
kirinya langsung bergerak, mengirim serangan ke
selangkangan Singgih Murka sebagai balasan.
Laki-laki tinggi besar itu mengeluarkan suara
menggembor. Ia membuat gerakan menyilang di bagian
selangkangannya, hingga benturan tenaga dalam keras
terjadi.
Baru saja terjadi benturan, Andika langsung melancarkan
serangan kembali. Kali ini agak berjingkat dengan kaki
kanan, dan membuat gerakan siap meremukkan kepala
Singgih Murka.
Singgih Murka terkejut. Untuk menunduk sulit
dilakukan, karena serangan Andika dari atas, bisa langsung
diturunkan menyusul kepalanya. Jalan satu-satunya
membuang diri. Cepat ia melakukan gerakan itu. Tetapi
Andika tak mau ayal lagi bertindak. Ia menekuk kaki
kanannya sementara kaki kirinya menyapu.
Wusss!
Des!
Kedua kaki Singgih Murka terhantam telak hingga
membuatnya terhuyung. Menyusul serangan lainnya dan
Andika. Tetapi, Maharaja Langit Hitam sudah bergerak
memapaki.
Des! Des!
Andika terkejut bukan kepalang. Tubuhnya seketika
dirasakan dingin luar biasa. Lamat, menjalar ke bagian-
bagian lain tubuhnya. Cepat Andika alirkan tenaga ajian
'Guntur Selaksa' sambil menutup jalan darahnya. Bila saja
ia tak melakukan hal itu, bisa dipastikan ia akan kembali
membeku.
Maharaja Langit Hitam yang terbahak melihat
serangannya berhasil, kali ini bagai tersedak, melotot tak
percaya dengan gusar. Andika sudah berdiri seperti
sediakala tanpa kekurangan suatu apa.
"Setan! Ilmu apa yang kau pergunakan itu hah?"
"Terpaksa aku harus mengeluarkan maklumat nih!" kata
Andika sok penting. Lalu seperti orang berpidato ia berkata
dengan sikap makin tengik,
“Ilmu tadi, adalah sebuah ilmu yang sangat luar biasa.
Tak ada tandingannya, di dasar bumi di dasar laut maupun
dilapis langit ketujuh. Namanya, ajian 'Guntur Selaksa'.
Jadi bila kalian...."
"Seetaaaannn!"
Serangan beruntun dilakukan Maharaja Langit Hitam
dan Singgih Murka. Keduanya menyerang membabi-buta,
mencoba mematikan gerak Andika.
Andika kali ini benar-benar dibuat kalang kabut.
Terutama serangan dari Singgih Murka, yang mengandung
kekuatan laksana gunung. Setiap kali menyerang, suara
berpendar-pendar keras terdengar. Rupanya laki-laki itu
telah mengeluarkan ajian simpanannya, 'Punah Bumi
Punah Langit'.
Andika menyadari, kalau sebenarnya dari lawan yang
dihadapi ini, Singgih Murka yang menyulitkan. Mengingat
ia telah menemukan titik lemah dari ajian Maharaja Langit
Hitam. Walet memang benar kalau begin. Tetapi, serangan
Maharaja Langit Hitam itu masih menyulitkan meskipun
tidak sedahsyat sebelumnya. Jadi yang harus dicecar
sekarang, Maharaja Langit Hitam, biar ia' agak lebih
mudah menghadapi Singgih Murka.
Berpikir sampai di situ, dengan sekali enjot, Andika
melayang ke belakang, menyusul dua serangan yang
dilakukan lawan. Itu memang pancingan. Begitu lawan
mendekat, Andika merunduk, dan meluncur ke arah
Maharaja Langit Hitam, sementara tangan kirinya
menyambar kain pusaka bercorak catur warisan Eyang Ki
Saptacakra ke arah Singgih Murka.
Des!
Beettt!
Dada Maharaja Langit Hitam telak terhantam ajian
'Guntur Selaksa'. Tubuhnya bukan hanya terjajar, tetapi
terlempar ke belakang. Sementara Singgih Murka terkejut
ketika mendengar dengung ribuan tawon ke arahnya.
Ia cepat menunduk menghindar. Itu memang salah satu
yang diinginkan Andika pula. Masih mengebutkan kain
pusakanya, ia mengirimkan satu tendangan keras ke kepala
Singgih Murka, yang berteriak keras sambil bergulingan.
Tetapi Andika tak mau membiarkan lawan lebih lama
bernapas. Ia meluncur dan menjejakkan kakinya.
Lagi-lagi Singgih Murka bisa menghindar dengan jalan
memapaki serangan itu. Tetapi satu gedoran kaki kiri
Andika menghantam punggungnya.
"Aaaakhhhh!!" seruan kesakitan terdengar.
"Waddoooowww!!" dengan tengik Andika mengikutinya
sambil meneruskan serangannya.
Kalang kabut Singgih Murka dibuatnya. Sebisanya ia
menghindar, tetapi lagi-lagi bagai sedang bermain bola
Andika menendangi tubuh lawan dengan enaknya.
Sementara itu, Maharaja Langit Hitam tak bisa banyak
berbuat. Tubuhnya yang digedor ajian 'Guntur Selaksa'
Pendekar Slebor membuatnya bagai lumpuh. Ia hanya
memandang gusar melihat sahabatnya diperlakukan seperti
itu. Meskipun kini ia menyadari Pendekar Slebor ternyata
masih jauh pada kelasnya, tetapi ada yang tetap
mengherankannya. Siapa yang membebaskan Pendekar
Slebor dari gempuran 'Menghampar Gunung Es' miliknya.
Tak seorang pun - siapa pun dia - bila sudah membeku tidak
akan bisa melepaskan diri. Karena, seluruh jalan darah dan
uratnya tak akan pernah bisa dilepaskan.
Pada akhir pemandangannya, Maharaja Langit Hitam
melihat Singgih Murka pingsan sete1ah dihajar habis-
habisan oleh Pendekar Slebor.
"Nah! Masih untung kau kubiarkan hidup, kan?" kata
Andika seraya mengusap keringatnya. Maharaja Langit
Hitam berlagak pingsan ketika Andika menoleh padanya.
Tetapi pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu tahu kalau
lawan berpura-pura. Dengan santai ia mendekat sementara
dada Maharaja Langit Hitam menjadi bergemuruh tak
karuan.
"O... pingsan, ya? Kasihan. Kalian berdua benar-benar
sudah pingsan. Tetapi ya... terpaksa kubuat pingsan deh!"
Maharaja Langit Hitam melengak mendengarnya. Tetapi
ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Andika menotok urat di
bagian bawah ketiaknya. Seketika ia terkulai setelah
terjingkat sejenak.
Andika cuma nyengir saja. Masih ada teka-teki yang
harus dipecahkannya. Masalah pribadi Walet dan tempat
persembunyian keduanya.
Andika memutuskan untuk memeriksa lebih dulu pikiran
yang kedua. Ia berkelebat masuk ke dalam bangunan itu.
Ditelusurinya dengan saksama bangunan itu. Setiap ruang,
lorong dan kamar, dimasukinya. Tak ada tanda-tanda yang
aneh.
"Busyet! Di mana mereka bisa bersembunyi sehingg a
Adipati Ganda Manikam tidak bisa menemukan? Menurut
Ayu, mereka akan menjadikan tempat ini sebagai markas
candu. Adakah candu-candu itu sudah datang?"
Andika memeriksa lagi. Sampai kemudian ia tertarik
pada sebuah dinding yang agak aneh. Aneh dalam arti
karena ia menemukan empat buah titik yang berbentuk
persegi panjang, namun tak ada garis yang menghubungi
titik itu satu sama lain.
Di depan titik-titik itu Andika mengerutkan kening.
"Hmm... apa maksud titik-titik ini?" desisnya tak mengerti.
"Adakah artinya?"
Tanpa sadar Andika meraba keempat titik itu Mendadak
terdengar suara bergemuruh hebat. Ia sampai terjingkat,
mundur tiga langkah. Mendadak saja, dinding yang
terdapat empat buah titik berbentuk persegi panjang itu
membuka.
"Gila!" desis Andika takjub. "Di tempat itulah mereka
bersembunyi! Sebuah dinding rahasia yang bisa dikerjakan
dengan tenaga dalam. Pasti Singgih Murka yang
membuatnya. Sebaiknya ku periksa saja dulu."
Andika pun masuk ke dalam. Suasana agak gelap.
Namun matanya yang terlatih dalam kegelapan bisa melihat
peti yang bertumpuk-tumpuk.
Andika membukanya. Ia meraba dan merasakan daun-
daun kering di dalamnya. Lalu ditemukannya bubuk-bubuk
halus di sana. "Hmm... rupanya belum diolah menjadi
candu Tetapi, bagaimana cara mereka membawa barang
celaka ini?" Andika terdiam.
Lalu, siapa yang memberitahukan mereka yang selalu
tahu bila orang-orang kadipaten datang menyerang?
Adakah sesuatu yang lebih aneh lagi?"
Andika terdiam lagi. Tiba-tiba ia mengangguk-
anggukkan kepalanya. "Aku tahu, aku tahu siapa biang
kerok ini. Apakab ini berhubungan dengan masalah pribadi
Walet? Biar lebih jelas, aku akan memaksa kedua manusia
celaka itu berbicara. Siapa yang mereka maksudkan dengan
sang Pemimpin meskipun aku sudah menduganya."
Andika pun berkelebat lagi keluar. Tetapi sesampai di
halaman belakang bangunan itu, ia terkejut, karena kedua
lawan yang pingsan tadi sudah tidak ada di tempat. Yang
ada justru sebuah goresan besar di tanah.
“Kau selalu lancang mencampuri urusanku, Pendekar
Slebor. Kematian akan datang padamu. Sebuah bayangan
kematian.”
-0o-dw-ray-o0
9
Kekadipatenan siang itu nampak lengang. Angin siang
berhembus sepoi-sepoi, membuat tiga orang prajurit yang
berdiri tegak di depan pintu gerbang setengah mengantuk.
Andika yang tiba di sana berhenti melangkah. Ia terdiam
sesaat seperti memikirkan sesuatu. Lalu dengan langkah
gagah ia melangkah mendekati tiga prajurit yang menjadi
bersiaga. Lebih-lebih setelah mengenali siapa pemuda yang
muncul, pemuda lancang yang hampir membuat malu
Adipati Ganda Manikam.
"Mau apa kau kesini, Orang Muda?" membentak yang
seorang. Sikapnya tak bersahabat. Tombaknya digenggam
erat-erat.
Andika tersenyum.
"Aku datang, untuk menyampaikan maafku pada
Adipati."
"Maaf diterima, silakan meninggalkan tempat ini."
"Mengertilah, perasaanku menjadi tidak enak bila belum
melakukan apa yang kuinginkan ini," kata Andika masih
tersenyum. Berusaha lebih sopan lagi. Padahal ia ingin
menjitak kepala prajurit tengik itu.
"Tinggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!"
"Busyet! Enteng sekali omongannya," Andika mendumal
dalam hati. Tetapi suatu teka-teki yang siap ia pecahkan,
membuatnya harus bersikap bersabar. "Aku akan tetap di
sini sampai kalian mengizinkanku untuk masuk menemui
Adipati."
Prajurit yang berkata tengik itu, mengangkat kepalanya
dengan pongah. Sangkanya ia sudah memenangkan
permainan kata-kata itu. Dengan sikap yang makin tengik ia
berkata, tetapi suaranya bagai tertelan begitu saja, karena
sosok Andika tidak lagi nampak di hadapannya.
"Gila! Ke mana pemuda itu?" serunya dengan mata
membelalak. Kengerian tiba-tiba datang.
Kedua temannya hanya menggelengkan kepala.
"Jangan-jangan... setan yang kita lihat!"
"Hiii!" Prajurit yang pongah bergidik ngeri.
Sesungguhnya ia memang seorang yang pengecut. Di dalam
halaman kadipaten, Andika melangkah santai. Dengan
mempergunakan kecepatannya, ia berhasil mengelabui
ketiga prajurit dungu itu.
Dua orang prajurit menghadangnya kembali. Andika
berkata sopan, "Aku datang untuk meminta maaf pada
Adipati."
Kali ini tak banyak halangan, keduanya membawa
Andika ke sebuah ruangan besar. Tetapi dari sikap
keduanya itu, terasa sekali kalau Andika seperti digiring.
Untuk kali ini Andika hanya tersenyum saja. Teka-teki yang
ada di otaknya harus ia pecahkan.
Ia dipersilakan menunggu, sampai kemudian Adipati
Ganda Manikam keluar dengan pakaian ke besarannya.
Ia mendengus saat duduk di kursi yang indah.
"Orang muda, kudengar kau datang untuk meminta
maaf. Bagus, aku menyukai kejantananmu itu."
"Begitulah kedatanganku, Adipati. Tetapi, selain itu,
kedatanganku ke sini pun untuk mengabarkan tentang
kesalahan yang Adipati lakukan."
Wajah Adipati Ganda Manikam memerah. "Apa
maksudmu, Orang Muda?"
"Apa yang Adipati duga, ternyata salah besar. Karena,
aku telah menemukan dua manusia dajal yang bernama
Singgih Murh dan Maharaja Langit Hitam. Keduanya
berhasil kukalahkan. Sayangnya, setelah aku keluar dari
bangunan besar itu, keduanya tak ada lagi di tempat."
"Jangan membual."
"Tak ada yang kubualkan. Bahkan aku menemukan
berpeti-peti candu yang ada di bangunan besar itu."
"Bila kau berbohong, kau akan kugantung di alun-alun!"
"Aku persilakan, Adipati untuk memeriksa. Tetapi, ada
satu masalah lain yang membawaku ke sini!!
"Katakan!"
"Keherananku, mengapa manusia-manusia itu sepertinya
tahu, akan kedatangan para prajurit kadipaten, bahkan
mereka langsung tahu kalau Adipati beberapa hari lalu
datang mencari mereka.
"Maksudmu bagaimana?"
"Aku meminta pendapat Adipati."
"Jadi... kau mengatakan kalau ada mata-mata kadipaten
ini Gila! Ke mana otakmu, Anak. Muda. Kau bicara
sembarangan di sini! Kau menyinggung perasaanku!"
"Maafkan aku, Adipati. Keherananku kedua, bagaimana
peti-peti itu bisa berada di sana?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu!”
"Atau... sesungguhnya Adipati tahu siapa orang yang
melakukan semua itu?"
Adipati Ganda Manikam berdiri tegak. Tangannya yang
menuding bergetar.
"Jangan sembarangan bicara, Anak Muda!"
“Bagaimana bila ternyata Adipati sendiri yang mereka
maksudkan dengan sang Pimpinan, merencanakan semua
ini dan bermaksud mengambil keuntungan dari manusia-
manusia lemah yang Adipati tindas?"
"Setan alas! Jangan membuat kemarahanku naik, Anak
Muda! Prajurit! Tangkap pemuda dungu itu!!"
Andika cuma tersenyum saja ketika sepuluh orang
prajurit bertombak mengurungnya.
"Dugaan itu penuh bukti. Dengar baik-baik, Adipati.
Ketika para prajurit menyerang Serikat Baju Merah,
sebenarnya itu merupakan sebuah rencana yang ada di
benak Adipati. Dengan cara seperti itu, Adipati mencoba
mencari simpati para penduduk, kalau Adipati masih
berada dalam jalur kebenaran. Tetapi omong kosong
semuanya itu. Padahal semuanya sudah diatur. Adipati
telah mengatakan semua itu pada Singgih Murka, entah
bagaimana caranya, hingga mereka berhasil luput dari para
prajurit kadipaten. Para prajurit yang lugu dan menaati
perintah Adipati, tak pernah banyak tanya lagi. Mereka
mengerjakan dengan baik sebenarnya, hanya saja yang
mereka bunuh bukanlah manusia-manusia keparat itu.
Kedua, ketika Adipati datang pun untuk memeriksa
bangunan itu sebenarnya memang sebuah kesepakatan.
Adipati mengatakan pada para prajurit, kalau peti-peti yang
dibawa itu berisi senjata untuk persiapan, karena bangunan
itu akan dijadikan bangsal kekuatan Kadipaten Karang
Sutra. Padahal, di dalam peti-peti itu terdapat candu.
Semalam, aku sudah memeriksa kembali bangunan itu
sebelum kubuat pingsan kedua manusia laknat itu."
Murka sudah Adipati Ganda Manikam. Teriakannya
lantang memberi perintah, bagai meruntuhkan dinding
ruangan. Serentak sepuluh prajurit bertombak itu dengan
garang menghujamkan tombaknya ke arah Andika.
Bukan serangan itu yang mengejutkan Andika,
melainkan teriakan yang dilakukan oleh Adipati Ganda
Manikam. Jelas sekali, teriakan itu dialiri tenaga dalam
yang tinggi. Berarti, Adipati Ganda Manikam bukan orang
sembarangan.
Serangan-serangan yang datang bukanlah serangan yang
terlalu berbahaya. Hanya berkali-kali mengelebatkan
tubuhnya, sepuluh prajurit itu sudah kaku tertotok.
Sekarang, Andika menatap sengit pada Adipati Ganda
Manikam yang terbahak-bahak.
"Kau memang sangat cerdik, Pendekar Slebor! Apa yang
kau katakan itu benar adanya!"
"Kail sudah mengaku umpannya! Bagus, sekarang ikut
aku menghadap raja agar semua dosa-dosamu diadili
olehnya!"
Hanya tawa yang diperdengarkan Adipati Ganda
Manikam.
"Ucapanmu terlalu hebat sebenarnya! Mengapa kau tak
segera menangkapku, hah?"
Mendengar tantangan semacam itu, membuat Andika
geram. Sekali sentak saja tubuhnya sudah menerjang cepat.
Namun sebuah keanehan terjadi, karena sosok Adipati
Ganda Manikam yang masih terbahak-bahak bagai
membiarkan dirinya dihantam, mendadak saja bagai sebuah
asap yang diterobos oleh Andika.
"Hei?" sentak Andika terkejut.
“Kau tak akan bisa menangkapku, Andika!"
"Jangan takabur!"
"Sayangnya, ada urusan yang harus kuselesaikan!"
Mendadak keanehan terjadi lagi. Karena tubuh Adipati
Ganda Manikam mendadak lenyap.
“Gila! Ilmu apa itu?" sentak Andika benar-benar terkejut.
Tiba-tiba saja ia terdiam, sebuah pikiran melintasi
benaknya. “Hanya seorang bangsat yang memiliki ilmu
semacam itu! Mungkin dia yang menjadi dalang semua ini?
Manusia keparat yang menjadi musuh bebuyutanku? Kalau
memang iya, di manakah Adipati Ganda Manikam yang
sebenarnya? Tak akan kubiarkan bangsat itu berhasil
dengan rencananya!"
Andika memutuskan untuk mengejar, tetapi mendadak
saja pintu terkunci rapat. Menyusul suara bergetar yang
datang. Lalu....
Jlegh!
Sebuah besi merosot dari atas dan melapisi pintu kayu
kokoh itu.
"Hmmm... mau mengunci diriku rupanya!!" dengus
Andika sambil mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat
pertama. Diiringi teriakan keras ia menerjang.
Blammm!
Besi itu hanya bergetar. Tak retak sama sekali. Andika
mendengus berkali-kali. Siap melakukan gerakan serupa.
Tetapi, entah dari mana datangnya asap hitam mengepul
dahsyat.
"Gila! Asap ini bisa merejam jantung!"
Mengingat bahaya yang datang, Andika menghajar besi
itu berkali-kali. Namun lagi-lagi tak ada gunanya.
Sementara dadanya mulai sesak menghirup udara busuk
yang mematikan.
"Aku tak mau mampus di tempat semacam ini selagi
keparat itu masih bebas!!"
Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, ditahannya napas
agar asap mematikan,itu tidak terlalu mendera. Mendadak
dengan ajian ‘Guntur Selaksa’ Andika menerjang.
Dahsyat, sekaligus mengerikan.
Akibatnya, yang jebol bukan hanya besi itu belaka,
melainkan pintu di belakang besi itu.
Suara keras terdengar.
Tetapi bahaya lain sudah menanti Andika. Begitu
tubuhnya mencelat keluar, puluhan anak panah datang
bertubi-tubi ke arahnya.
"Sapi jelek!" serapah Andika sambil menyabetkan kain
bercorak caturnya.
Wusss!
Puluhan anak panah itu terlontar entah ke mana.
Dengan lincah Andika memutar tubuh, mencelat dan
melesat keluar.
Para prajurit yang menghadang itu memburunya. Di
halaman depan kadipaten, bahaya lain sudah menanti pula.
Maharaja Langit Hitam dan Singgih Murka yang telah
menunggu langsung menyerang dahsyat.
"Benar dugaanku, keparat itulah yang menyelamatkan
keduanya," desis Andika sambil menghindar.
Kali ini ia tak mau bertindak tanggung lagi. Dengan
geram ia mencecar kedua lawannya membabi buta. Setiap
kali tubuhnya bergerak, setiap kali pula terdengar suara
menghentak. Menyusul angin panas yang menggidikkan.
Des!
Tubuh Singgih Murka terhantam telak, menyusul sebuah
tendangan berkekuatan tinggi menghantam punggungnya.
Tubuh manusia itu terlontar ke depan. Tubuhnya
menghantam tembok kadipaten hingga jebol. Tubuhnya
melengak kesakitan, sejurus kemudian nyawanya pun
melayang.
Melihat sahabatnya telah mati, timbul kengerian di hati
Maharaja Langit Hitam. Ia langsung mengambil langkah
seribu setelah sebelumnya menghujani Andika dengan
serangan-serangan bertenaga dingin.
Andika menggeram sambil menghindar. Tubuh
Maharaja Langit Hitam yang telah menjelma menjadi nyali
tikus sudah menghilang. Selagi Andika berdiri tegak seperti
itu, serangan para prajurit datang kembali.
Dengan sekali lompat Andika menghilang dari tempat
itu. Ia bertekad untuk memburu Adipati Ganda Manikam
gadungan. Tetapi, bagaimanakah dengan Adipati Ganda
Manikam yang asli?
Walet, Walet mengetahui semua ini, desis Andika.
-0o-dw-ray-o0-
Suara seruling itu begitu merdu sekali. Tetapi sarat
dengan nada kesedihan. Andika menghentikan larinya di
sebuah sungai yang mengalir deras.
"Walet! Di manakah kau?"
Suara seruling itu makin penuh dengan kesedihan.
Andika mendongak ke atas, dilihatnya si Bocah Ajaib
sedang duduk bersandar pada sebatang pohon dengan
meniup serulingnya.
Andika langsung melompat. Ia menunggu sampai Walet
menyelesaikan permainan serulingnya.
Setelah itu, "Let, ceritakan apa yang telah terjadi," kata
Andika sambil menatap Walet. "Siapa sebenarnya Adipati
Ganda Manikam itu?"
Walet hanya menatap dengan wajah sendu. Sesaat ia tak
berkata apa-apa. Setelah dilihatnya wajah Andika
mencerminkan harap, ia mendesah.
"Dulu, ada dua buah kerajaan saling bermusuhan.
Namun, masing-masing putra dan putri mereka jatuh cinta.
Mereka tak peduli dengan segala halangan dan tentangan.
Mereka memutuskan untuk kawin lari. Tetapi kutukan sang
ayah pangeran muda yang kasmaran itu, membuat
semuanya hancur. Sang putri dari pihak kerajaan lawan,
dikutuk menjadi sebuah mustika keramat, sementara sang
Pangeran hilang entah ke mana."
Andika tahu persis apa yang diceritakan Walet. Karena,
sang Pangeran itulah yang menitisi diri Walet. (Baca :
"Mustika Putri Terkutuk").
"Lalu... mengapa sang pangeran itu bermaksud menemui
Adipati Ganda Manikam?"
"Karena, sang Pangeran yakin, kalau Adipati Ganda
Manikam adalah salah seorang dari keturunan raja calon
mertuanya yang menentang hubungannya dengan putrinya.
Sang Pangeran lalu memutuskan untuk menemuinya,
sesuai dengan mimpi yang diterimanya. Lebih banyak
menekankan pada bahaya yang datang.. Karena, seorang
tokoh jahat yang tak kelihatan wajahnya dalam mimpinya
itu akan menghancurkan diri Adipati Ganda Manikam.
Tetapi sang Pangeran datang terlambat.."
Andika bisa menebak apa yang dimaksud oleh Walet.
"Mengapa kau tak mengatakan sebelumnya kepadaku,
Let?" .
"Aku tak ingin merepotkanmu, Kang."
Bisa dipahami kesedihan Walet. Karena ia menemukan
Adipati Ganda Manikam yang asli telah tewas di Lembah
Rembulan. Lebih menyedihkan karena ia tak sempat
bertemu muka dan bertukar sapa pada keturunan raja pihak
lawan ayahnya dulu.
Yang sangat disayangkan Andika, mengapa Walet tidak
menceritakan semua itu padanya?
Walet menatapnya serius.
"Sekarang aku meminta padamu, Kang... untuk memberi
pelajaran pada manusia sesat itu."
Andika menganggukkan kepalanya.
“Tanpa kau minta, aku pasti akan melakukannya."
"Kau sudah tahu siapa dia, Kang?"
Andika menganggukkan kepalanya.
"Hanya seorang yang bisa menjelmakan dirinya menjadi
dua orang dengan kekuatan yang sama. Hanya seorang.
Tetapi, aku tak mengerti bagaimana ia bisa melakukan
penyamaran semacam itu. Hanya satu jawaban yang bisa
kuberikan, karena aku memang belum mengenal Adipati
Ganda Manikam. Mengenai para prajurit yang begitu patuh
dan menuruti semua perintahnya tanpa persoalan apakah
Adipati Ganda Manikam yang berada di hadapannya sosok
asli atau gadungan, aku bisa menangkap jawaban, kalau
mereka telah dipengaruhi oleh kekuatannya. Tetapi, ketika
pertama kali aku bertemu dengan Adipati Ganda Manikam
gadungan itu, aku seperti mengenal sosok siapa yang ada di
balik semua ini."
"Lakukanlah, Kang...."
"Aku akan melakukannya."
"Kalau begitu, kita berpisah di sini, Kang."
Andika tak menjawab apa-apa. Tak menahan keinginan
Walet. Sambil melompat turun dengan ringan, Walet
melangkah sambil meniup serulingnya.
Terus melangkah diiringi pandangan Andika.
"Akan kulakukan apa yang kau minta, Let. Masih
banyak teka-teki tentang dirimu yang belum kumengerti.
Aku berharap, suatu saat akan bisa mengetahui lebih
banyak tentang dirimu."
Setelah Walet menjauh, setelah suara seruling itu tidak
terdengar lagi, Andika mendadak tertegun
"Ayu!" desisnya tersentak.
Lalu dengan tergesa ia berkelebat ke arah timur.
-0o-dw-ray-o0-
10
Pertarungan sengit terjadi di lembah sebelah timur.
Dengan mengandalkan jurus-jurus ajaran Nenek Beruang
Gunung Karimun, Ayu mencoba menahan gempuran
dahsyat dan Adipati Ganda Manikam gadungan yang
melakukannya sambil terbahak-bahak.
"Begitu bodoh Maharaja Langit Hitam yang tak tahu
siapa kau sebenarnya, Bocah Ayu? Kalaupun gurumu tak
bisa kubunuh, muridnya pun akan menjadi lambang
keperkasaanku!!"
Ayu yang semula terkejut melihat. kemunculan Adipati
Ganda Manikam segera menjura. Rahmat pun melakukan
hal yang sama. Bahkan Rokayah yang sudah lebih baik dari
sebelumnya, bangkit karena tak menyangka junjungan
mereka datang ke sana.
Namun yang mengejutkan, pandangan Adipati Ganda
Manikam yang sangat mengerikan. Itu terasa sekali oleh
Ayu. Hingga tanpa sadar ia menyuruh kedua orangtuanya
masuk ke gubuk.
Belum lagi Ayu mengerti mengapa sikap Adipati Ganda
Manikam, mendadak saja adipati menderu dengan satu
serangan tangan lurus ke depan.
Terkesiap Ayu menerimanya. Cepat Ia menarik
kepalanya ke belakang.
"Adipati!" serunya tersentak.
Tetapi Adipati Ganda Manikam terus menyerang,
hingga Ayu pun mulai membalas pula. Semula dengan
separo ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk
menghadapi gempuran itu, karena dirasakan hawa maut
siap menerjangnya.
Kedua orangtuanya yang sejak tadi begitu bangga
dikunjungi oleh Adipati Ganda Manikam, keluar lagi.
Mereka terkejut melihat putri mereka satu-satunya tengah
menghadapi gempuran yang mengerikan.
Melihat kedua orangtuanya muncul Ayu berseru,
"Bapak! Ibu! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Adipati... ada apa ini?" tanya Rahmat tak mengerti.
Sebagai jawaban, Adipati Ganda Manikam meluruk
dengan jotosan yang bisa memecahkan kepala Rahmat,
kalau tidak segera dihalau oleh Ayu.
Tanpa mempedulikan rasa sakit pada tangannya, Ayu
berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini, Bapak!
Adipati sudah menjadi gila!"
Terburu-buru Rahmat, setengah menarik istrinya
meninggalkan tempat itu. Hatinya kebat-kebit melihat Ayu
pontang-panting menghadapi serangan Adipati Ganda
Manikam. Ia pun masih tak percaya dengan yang dilakukan
oleh Adipati Ganda Manikam.
Sementara itu, tiga jurus berikutnya, Ayu terdesak hebat.
Gempuran keras dirasakan bertubi-tubi. Semakin dirasakan
gempuran hebat, semakin kalut hatinya, mengingat seruan
dari Adipati Ganda Manikam yang menginginkan kematian
gurunya, Beruang Gunung Karimun.
"Kau harus mampus, Bocah Ayu!" menggeram sekeras
guntur suara Adipati Ganda Manikam. Ayu mengangkat
tangan kanannya sambil menahan rasa sakit.
"Tahan, Adipati!"
Adipati Ganda Manikam hentikan gerakannya.
"Kau kuberi kesempatan untuk bertanya, Bocah Ayu!
Cepat katakan, sebelum niatku berubah!"
"Mengapa Adipati menginginkan kematianku?"
tanyanya, diam-diam ia mengalirkan tenaga dalamnya
untuk menahan rasa nyeri yang berkebyar-kebyar.
"Tak ada jawaban apa-apa! Kau harus mati!"
"Tunggu, siapa Adipati sebenarnya?"
Adipati Ganda Manikam tertawa, "Hebat pertanyaanmu,
sungguh menyentuh perasaanku! Tetapi, rasanya
pertanyaan itu justru mengurangi rasa hormatmu kepadaku.
Mana rasa hormatmu itu, Bocah Ayu?"
"Katakan siapa Adipati sebenarnya. Tak mungkin
Adipati bersikap buruk seperti ini?"
“Diam!" suara itu mengguntur kembali. Lebih
mengerikan. Dedaunan di sekitar sana menjadi gugur
seketika. "Kini... terimalah kematianmu, Bocah Ayu!"
Memburu dengan teriakan sekeras serigala, tubuh
Adipati Ganda Manikam melesat dahsyat. Ayu terkesiap
melihatnya. Ia merasakan betapa derasnya angin yang
memburu ke arahnya. Ia tak berani untuk memapaki
gempuran dahsyat itu, karena merasa tenaga dalamnya
kalah satu tingkat dari lawan.
Jalan satu-satunya yang terbaik, memang menghindar.
Kecepatan tinggi yang diperlihatkan Ayu, terasa tak
membawa hasil. Karena, ia telah terluka dalam akibat
gempuran sebelumnya. Satu jotosan keras diterimanya
dengan jeritan, darah menyembur keluar.
"Kini, habislah riwayatmu!!" Menderu dingin Adipati
Ganda Manikam meluncur ke arah Ayu yang hanya
membelalakkan matanya.
Namun....
Des!
-0o-dw-ray-o0-
Benturan cukup keras terjadi, menahan serangan Adipati
Ganda Manikam, sekaligus menyelamatkan Ayu dari maut.
Menyusul satu tendangan berkekuatan tinggi yang
dilancarkan si penolong, menggempur tubuh Adipati
Ganda Manikam, yang keluarkan suara tertahan dan
menekuk kedua tangannya.
Desl Des!
Secepat itu pula Adipati Ganda Manikam membuang
tubuhnya ke belakang, karena bila lawan yang baru muncul
itu menyerang kembali, ia merasa sulit untuk menahan
ataupun membalas.
"Kang Andika!" terdengar seruan Ayu dengan wajah
gembira.
Andika yang baru saja menahan serangan Adipati Ganda
Manikam, dan melancarkan tendangan keras, melompat
indah, berputar dua kali dan hinggap di sisi Ayu.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Masih lumayan aku belum mati."
"Jangan mati dulu, aku belum menciummu," seloroh
Andika yang membuat dada Ayu berdebar.
Sementara itu, Adipati Ganda Manikam memerah
wajahnya. Kedua matanya melotot gusar.
"Setan keparat! Lagi-lagi kau!"
Andika menoleh dan nyengir. "Maaf, aku memang tidak
tahan melihat kejahatan sih!"
"Kau akan merasakan akibatnya, Pendekar Slebor!"
"Jangan banyak bacot!" bentak Andika dengan tatapan
tak berkesip. Suaranya mendesis, seolah menahan
gumpalan amarah di dada. "Rencana kejimu sudah berakhir
sampai di sini... Raja Akhirat!"
Adipati Ganda Manikam tertawa ganda. Sampai
perutnya berguncang-guncang. Sementara Ayu
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Andika.
Tetapi, ia tak membutuhkan jawaban terlalu lama dari
kebingungannya tentang panggilan Andika terhadap
Adipati Ganda Manikam.
"Otakmu memang cerdik, hingga tahu siapa aku!" seru
Adipati Ganda Manikam sambil mencabik-cabik baju
kebesarannya. Yang nampak kemudian, baju merah
menyala. Menyusul ia menarik sebuah topeng dari
wajahnya. Yang nampak seraut wajah mengerikan dengan
bekas luka memanjang di sebelah kiri.
Andika tersenyum sinis.
"Hanya seorang yang bisa mengelabui orang lain dengan
ajian 'Melayang Dua'nya."
"Bagus! Bagus sekali! Tetapi, lagi-lagi manusia semacam
kau yang selalu menghalangi keinginanku!"
"Sampai kapan juga, kau tetap tak akan berhasil
melaksanakan seluruh keinginan busukmu itu, Raja
Akhirat!"
"Kuakui, kau memang berhasil menggagalkan seluruh
rencanaku. Bahkan belum sampai setengah rencana yang
kujalankan kau telah berhasil menghentikannya! Hebat,
hebat sekali!"
Andika menatap sengit manusia keji yang berjuluk Raja
Akhirat. Pertama kali ia mempecundangi keinginan Raja
Akhirat untuk menguasai Keraton Barat (Baca: "Raja
Akhirat" dan "Neraka di Keraton Barat"). Bahkan saat
mengangkangi sembilan iblis dan mencoba mengendalikan
mereka untuk menguasai rimba persilatan, lagi-lagi rencana
busuk Raja Akhirat berhasil digagalkan oleh Pendekar
Slebor (Baca : "Istana Sembilan Iblis").
Sekarang, rencana keji yang dilakukannya pun berhasil
dihentikan Pendekar Slebor.
"Kau tak henti-hentinya menyebarkan petaka dalam
kehidupan ini, Raja Akhirat! Sudah sepatutnya kau untuk
mampus!"
"Kak.... Kak.... Kak... sayangnya, kau tak akan bisa
melakukannya lagi, Pendekar Slebor. Meskipun kau telah
berhasil memecahkan ajian 'Melayang Dua' yang kumiliki
berkat petunjuk kakak seperguruanku di Goa Akhirat, kau
tak akan bisa mengalahkan aku lagi.. Karena, kemajuanku
sangat tinggi. Bahkan, aku telah mempelajari ilmu
menyamar dari 'Kitab Wajah Asli' yang kudapatkan secara
tak sengaja di kaki Gunung Malintang.
Dengan menguasai Desa Sawo Luwih dan menindas
Singgih Murka atau ketua dari Serikat Baju Merah, aku
bermaksud untuk menjalankan siasat baru menuju apa yang
kuinginkan. Akan kujadikan Desa Sawo Luwih sebagai
tempat pengedaran candu. Akan kupengaruhi orang-orang
persilatan hingga mereka lupa diri dan aku dengan mudah
membunuhnya.
Rencana pertama yang harus kulakukan, tentunya
menguasai Kadipaten Karang Sutra. Adipati Ganda
Manikam telah kubunuh. Dengan ilmu menyamar yang
kupelajari aku bisa mengubah diriku menjadi dirinya.
Tetapi kuakui, dua orang prajurit mengenaliku, hingga
keduanya harus kubunuh. Ilmu penyamaranku belum
sempurna, dan kupengaruhi puluhan prajurit itu hingga
semuanya menuruti kehendakku. Kau benar tentang
semuanya, Pendekar Slebor. Dan kau akan membayar
semuanya atas kelancanganmu!"
Andika menggeram. "Justru akan kutunaikan janjiku
pada sahabat kecilku yang bernama Walet!"
"Kita buktikan!"
Sehabis berkata begitu, Raja Akhirat sudah mengirimkan
satu gempuran dahsyat. Angin bergemuruh bak hujan deras
yang turun. Sejenak Andika terperangah melihatnya,
namun kesiagaannya sebagai seorang pendekar tak perlu
disangsikan lagi.
Ia merunduk dan berteriak mengguntur mengirimkan
serangan balasan. Tak tanggung lagi, ajian 'Guntur Selaksa'
sudah dipergunakan. Suara salakan petir sangat keras
terdengar.
Sementara, Ayu perlahan-lahan beringsut. Sungguh,
terkejut bukan main. Ia begitu menyadari kalau laki-laki di
hadapannya itu bukanlah Adipati Ganda Manikam. Dari
kata-kata yang dilontarkan keduanya, jelas masing-masing
musuh bebuyutan.
Bentrokan antara dua musuh lama itu benar-benar
mengerikan Dalam waktu singkat, lima belas jurus telah
terlewati dengan dahsyat. Serang menyerang terjadi. Hindar
menghindar dilakukan. Di hadapan Pendekar Slebor, Raja
Akhirat tak berani mengeluarkan ajian andalannya, ajian
'Melayang Dua' yang pernah membuat Pendekar Slebor
mati kutu, bahkan berkali-kali dikelabui oleh lawan.
Karena, Pendekar Slebor telah mengetahui rahasia
kelemahan ajian dahsyat itu.
Tangan kanan Raja Akhirat-lah yang menjadi kelemahan
dari ajian 'Melayang Dua' seperti yang dikatakan Srundul
alias si Tapak Darah - kakak seperguruan Raja Akhirat di
Goa Akhirat. Justru yang dilakukan adalah menyerang
dengan ilmu yang baru diciptakan, ilmu kembangan dari
ajian 'Himpunan Surya-Bayu Tanah'. Paduan Panas-Dingin'
yang mengerikan.
Wuuus! Wuuusss!
Dua gelombang angin dahysat yang mengeluarkan suara
menggemuruh melesat cepat ke arah Pendekar Slebor.
Bersamaan dengan itu, suasana berubah panas.
Andika segera menyingkir dengan melompat ke samping.
Lalu dari tempatnya itu, pemuda urakan dari Lembah
Kutukan melepaskan pukulan dengan cara mendorong.
Kedua telapak tangannya dikembangkan.
Wuuss! Wusss!
Rasa panas yang terasa tadi, makin memanas ketika
pukulan kembangan dari ajian 'Guntur Selaksa' dilepaskan.
Terdengar suara ledakan dahsyat. Lembah itu laksana
dilanda gempa yang hebat. Daun-daun luruh dan hangus,
semak belukar tercabut dari akarnya dan membubung ke
angkasa. Tanah muncrat menutupi pandangan.
Keduanya telah mempergunakan tenaga dalam yang
sangat tinggi dari yang mereka miliki. Akibat benturan dua
tenaga dahsyat itu, tubuh Raja Akhirat mencelat sampai
tiga tombak ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah.
Hempasannya cukup keras. Darah mengalir dari mulutnya,
bersamaan makian panjang pendek.
Sementara yang dialami Andika tak jauh berbeda. Ia
jatuh dengan kedua lutut menekuk. Tubuhnya bergetar
hebat dengan wajah menekuk, menahan sakit. Selagi
Andika berusaha untuk berdiri, tiba-tiba angin kencang
berkesiur ke arahnya.
Tak ada jalan lain bagi Andika selain merebahkan tubuh
sejajar dengan tanah, bila tak ingin dadanya jebol dihantam
gempuran keras Raja Akhirat.
Bersamaan tubuhnya rebah di tanah, kaki kanannya
melayang, menyusul kaki kiri.
Sementara Andika mengatur napasnya baik-baik.
Matanya masih sengit menatap Raja Akhirat. Ia yakin,
dalam tempo tidak lama, nyawa Raja Akhirat akan terlepas
dari jasad.
Ketika teringat akan pesan Walet, Andika berdiri tegak.
Memutar kedua tangannya ke atas, seketika tubuhnya yang
sejak tadi diliputi sinar perak tak nampak, kini menjadi
nyata. Itu bertanda Andika tengah mengeluarkan ajian
'Guntur Selaksa' pada tingkat paling tinggi.
"Semua kekejaman dan kebusukanmu akan terpuruk hari
ini, Raja Akhirat!!"
Bersamaan semau itu, Andika menerjang. Ajian 'Guntur
Selaksa' yang terangkum pada kedua tangannya, benar-
benar siap menghantam kepala Raja Akhirat.
"Heaaaa!" bertambah keras teriakan itu, bertambah cepat
lesatan Andika.
Raja Akhirat benar-benar dalam keadaan tak berdaya. Ia
hanya melotot dengan gusar dan hantaman keras Andika
pun menghajar telak kepalanya.
Prak!
Menyusul satu pada dadanya.
Besss!!
Kepala Raja Akhirat pecah, dadanya jebol, tubuhnya
pun menggelosoh tak berdaya. Darah bersimbah,
membasahi tubuh yang sudah menjadi mayat.
Andika melompat ke kiri.
Ia mengatur napasnya lagi. "Tamat sudah riwayat
manusia busuk ini!"
Sementara Ayu yang menyaksikan pertarungan terakhir
itu segera bangkit setelah dirasakan kondisinya sudah
memulih. Ia memegang lengan Andika.
"Bagaimana keadaanmu, Kang Andika?" tanyanya pelan
dengan tatapannya yang menyejukkan.
"Aku puas menyaksikan manusia itu telah tewas,
Ayu...."
"Begitu pula aku, Kang Andika. Tak kusangka kalau
manusia itulah yang mengatur semua rencana keji ini. Tak
kusangka pula kalau Adipati Ganda Manikam telah tewas."
"Yah... ia akan mengatur semuanya dengan baik.
Tetapi... pupus sudah keinginan busuknya itu. Ayu... kita
cari kedua orangtuamu, setelah itu, kita umumkan kalau
Adipati Ganda Manikam telah tewas."
Ayu cuma menganggukkan kepalanya.
"Kau sudah mendingan, Kang Andika?"
Andika tersenyum nakal. "Bersamamu, aku selalu
merasa segar dan lebih baik."
Ayu mencubit lengan Andika. Dasar urakan, meskipun
cubitan itu tidak terlalu sakit, tetapi Andika berteriak keras.
Ayu jadi malu sendiri karenanya.
"Nakal!"
Andika mengedipkan matanya. Genit!
Tetapi sebelum keduanya melangkah, mendadak
terdengar suara keras, "Kaak... kak... kak! Pendekar Slebor,
kau tak akan bisa membunuhku!!"
Kaget Andika menoleh. Sosok Raja Akhirat yang
menggelosoh tadi sudah tidak ada. Justru yang ada sosok
Raja Akhirat yang duduk dengan seringaian mengejek di
sebuah dahan pohon.
"Manusia buduk!" maki Andika sewot. Ia langsung
menerjang cepat. Tetapi sosok Raja Akhirat telah melompat
dan menghilang entah ke mana. Andika melompat lagi ke
bawah sambil memaki panjang pendek.
"Mengapa bisa terjadi seperti itu, Kang Andika?" tanya
Ayu tak mengerti.
Andika masih memaki-maki sambil menghentakkan kaki
kanannya ke tanah.
"Keparat busuk! Monyet buntung! Manusia itu memang
memiliki akal licik! Sejak tadi ia menyerangku tanpa
mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya karena aku
sudah mengetahui kelemahannya. Dan tanpa kusadari ia
justru melakukannya di saat menerima gempuranku!
Kurang ajar!"
"Ilmu 'Melayang Dua'?" ulang Ayu
"Ya, ajian itulah yang pernah membuatku kecolongan,
bahkan hari ini aku pun kecolongan lagi. Hhh! Bila bertemu
dengan manusia laknat itu lagi, tak akan kuampuni dia!!"
Ayu bisa merasai kejengkelan Andika. Lalu berkata
pelan. sambil memegang tangan pemuda dari Lembah
Kutukan itu, "Sudahlah, Kang Andika. Bukankah Kang
Andika telah berhasil mematahkan semua rencana busuk
Raja Akhirat?"
Andika menganggukkan kepala.
"Kau benar, Ayu. Tetapi, aku masih mempunyai janji
pada Walet," sahutnya sendu.
"Mungkin untuk saat ini,janjimu belum bisa
dilaksanakan, Kang. Barangkali, suatu saat kau akan bisa
menunaikan janjimu itu pada Walet."
Andika berbalik. Menatap wajah jelita di hadapannya
yang sedang tersenyum. Lalu katanya sambil
menganggukkan kepalanya.
"Ya, suatu saat.”
Ayu tersenyum. Pijaran aneh meriak-riak di hatinya.
Sungguh, ia merasa begitu dekat dengan Andika. Teramat
dekat bahkan, seolah ia bisa mengetahui apa yang dirasakan
Andika. Sesuatu yang nyaman pun mengalun di hati Ayu.
Entah apa, murid Beruang Gunung Karimun sendiri tidak
tahu.
Lalu Andika mengajak Ayu untuk mencari kedua
orangtua gadis itu. Andika pun bermaksud untuk
memberikan semangat juang lagi pada para penduduk Desa
Sawo Luwih yang pernah luntur akibat kedatangan
manusia-manusia dajal itu.
Dan tanpa sepengetahuan mereka, satu sosok tubuh yang
baru saja datang memperhatikan keduanya dengan
seksama. Bibirnya tersungging senyuman.
"Pendekar Slebor... hari ini aku berjumpa denganmu
meskipun kita belum bertegur sapa. Tetapi, muridku sudah
mewakili kehadiranku. Hmmm... Raja Akhirat. Ya, pernah
kudengar nama itu beberapa bulan lalu. Rencana busukmu
telah berhasil dihentikan oleh Pendekar Slebor." Sosok itu
menatap sepasang muda-mudi yang sudah menghilang dari
pandangannya. "Ayu... beberapa bulan lagi aku akan
datang menemuimu. Ada tugas yang harus kau jalankan.
Yah, beberapa bulan lagi...."
Lalu sosok itu, Nenek Beruang Gunung Karimun,
menghilang dari pandangan. Bibirnya masih tersenyum
melihat kebersamaan muridnya dengan Pendekar Slebor
SELESAI
Segera hadir Serial Pendekar Slebor dalam episode:
IBLIS-IBLIS SUMUR TUA
0 comments:
Posting Komentar