LEMBARAN
KULIT NAGA PERTALA
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Lembaran Kulit Naga Pertala
128 hal.
SATU
UTUSAN Iblis dan Kamaratih tampak terke-
jut. Sepasang mata mereka mendelik besar tahu
siapa adanya orang yang tiba-tiba menyeruak, dan
kini tegak memandang tak berkedip pada kakek
berpakaian perempuan dan berambut dikepang
dua yang bukan lain adalah Mata Malaikat.
Seperti telah dituturkan, secara tak sengaja
Mata Malaikat menemukan pakaian perempuan
dan rambut hitam dikepang dua di suatu tempat,
yang baru saja digunakan Dewi Penyebar Cinta
untuk menyamar sebagai Setan Pesolek dan ber-
hasil mengelabui Pendekar 108 dengan membawa
lari kipas ungu 108 serta mendapat petunjuk ten-
tang Lembaran Kulit Naga Pertala.
Melihat pakaian perempuan yang dikenakan
Mata Malaikat serta melihat rambutnya yang dike-
pang dua, Pendekar 108 segera menduga jika
orang yang menyamar bukan lain adalah Mata Ma-
laikat.
"Mendengar keterangan guru, jelas jika ka-
kek ini yang bergelar Mata Malaikat. Hm.... Tak
kusangka sebelumnya jika dia yang menyamar....
Kurang ajar betul. Dia telah dua kali membuatku
celaka! Tapi soal penyamarannya jauh lebih me-
nyakitkan hatiku!" gumam Aji dalam hati. Dada
murid Wong Agung ini makin bergetar keras. Wa-
jahnya merah padam dengan dagu mengembang.
Tanpa pedulikan lagi pada pandangan Utusan Iblis
dan Kamaratih, Aji maju selangkah. Sepasang matanya menusuk tajam ke arah Mata Malaikat yang
memandang Aji dengan sedikit acuh. Dia maklum
dengan sikap yang ditunjukkan Aji. Dia mengira
Aji telah tahu bahwa dialah yang mengatakan pada
Utusan Iblis jika orang yang bergelar Mata Malai-
kat adalah Aji (Untuk jelasnya, silakan baca epi-
sode: "Bidadari Penyebar Cinta").
"Orang tua! Lekas kembalikan kipasku!" te-
riak Aji menahan amarahnya.
Mata Malaikat sedikit kerutkan dahi. Lalu
sepasang matanya dipentangkan dengan tubuh
sedikit dicondongkan ke depan, seolah ingin lebih
jelas mendengar ucapan orang. Sepasang matanya
jadi terlihat semakin mengerikan, karena yang se-
belah kanan seperti hendak melompat keluar. Se-
mentara yang kiri, tetap tak berubah, berupa garis
memanjang!
"Sialan betul! Telingaku yang kurang benar
atau bocah ini yang salah buka mulut?" desis Mata
Malaikat dalam hati setelah tadi menyimak ucapan
Aji. Untuk beberapa saat orang tua ini terdiam
dengan mata terpentang.
Di samping mereka berdua, Utusan iblis
dan Kamaratih tampak hanya diam memperhati-
kan. Namun diam-diam Utusan Iblis berkata da-
lam hati. "Hm.... Sandiwara apa lagi yang dimain-
kan kedua keparat ini? Untuk menolong perem-
puan sundal itu mampus di tanganku? Rupanya
mereka berdua selalu mengikuti ke mana aku per-
gi. Kali ini keduanya tak akan kubiarkan lolos! Pe-
rempuan sundal itu pun harus mampus! Bagai-
manapun juga, ketiga orang ini bisa menjadi batu
penghalang...."
Kalau Utusan Iblis membatin demikian, ti-
dak begitu yang ada di benak Kamaratih. Perem-
puan setengah baya berambut kepang ini menang-
kap ada yang tidak beres di antara Mata Malaikat
dan Aji. Hal itu dia tangkap dari perubahan pada
wajah Mata Malaikat yang telah dikenalnya. Justru
dia menduga jika Ratu Hitam-lah yang membawa
lari kipasnya Aji. Namun dia juga tak berani me-
mastikan Mata Malaikat tidak membawa lari kipas
itu. Dia sadar, siapa pun orang rimba persilatan
pasti menginginkan kipas pusaka itu meski hanya
tersimpan dalam hati. Memikir sampai di situ dia
menunggu apa yang akan terjadi antara Mata Ma-
laikat dan Aji walau dia tetap waspada pada Utu-
san Iblis.
Melihat teriakannya hanya disambut den-
gan pentangan mata, murid Wong Agung jadi naik
pitam.
"Tua bangka! Rupanya kau memaksaku un-
tuk mengambil kipas itu dari tubuhmu yang sudah
jadi bangkai busuk!"
Meski perubahan makin tampak di wajah
Mata Malaikat namun orang tua ini masih coba
tak perdengarkan suara. Membuat Aji tak dapat
membendung lagi marahnya.
"Setan!" dengus Pendekar 108, geram. "Ber-
siaplah untuk menerima kematianmu, Orang Tua!"
"Tunggu!" tahan Mata Malaikat. "Anak mu-
da! Terus terang, aku tak mengerti dengan maksud
kata-katamu! Coba Jelaskan!"
'Kau masih juga berpura-pura!"
Mata Malaikat pejamkan matanya, lalu di-
buka kembali. Sekejap kemudian yang terdengar
adalah suara tawanya mengekeh panjang, hingga
kepala dan badannya ikut berguncang-guncang.
"Anak muda, pantang bagiku bersikap pura-
pura! Jika kau masih menganggapku sebagai sa-
habat, jelaskan persoalan! Jangan menabur garam
di air laut!"
Pendekar 108 menyeringai dingin. "Semua-
nya sudah jelas. Apalagi yang akan kujelaskan! Se-
rahkan kipas itu atau.... "
"Anak muda!" potong Mata Malaikat. "Den-
gar baik-baik! Kau tak mau jelaskan tuduhanmu!
Mungkin saja mengada-ada. Atau, hem.... Kau in-
gin aku segera tinggalkan tempat ini karena kau
tertarik dengan temanku yang cantik itu?!" kata
Mata Malaikat seraya arahkan kepalanya ke arah
Kamaratih.
Kamaratih sunggingkan senyum. "Tua
bangka jelek! Diajak sungguh-sungguh malah ber-
canda. Heran. Beberapa saat lalu dia mengatakan
padaku hendak mencari anaknya. Saat itu wajah-
nya tampak murung. Tapi kali ini dia seperti tidak
menanggung beban apa-apa! Jangan-jangan uca-
pannya yang lalu itu hanya bualan untuk alihkan
perhatian setelah dia membawa lari kipas milik
pemuda itu...," kata Kamaratih dalam hati mulai
menaruh curiga.
Di lain pihak, mendengar kata Mata Malai-
kat, Pendekar Mata Keranjang serentak tarik ke-
dua tangannya yang telah dikembangkan. Serta-
merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Mata Malaikat.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Diawali bunyi gemuruh laksana gelombang
mengamuk, dua rangkum angin keras menggebrak
keluar dari telapak tangan Aji dan meluncur ke
arah Mata Malaikat.
"Hai! Kau tampaknya tidak main-main!" se-
ru Mata Malaikat sambil cepat membuat gerakan
jongkok di tempat.
"Aku memang tidak main-main!" teriak Aji
seraya kerahkan kembali tenaga dalamnya untuk
menyusuli pukulan pertamanya. Murid Wong
Agung ini sadar, jika orang tua di hadapannya bu-
kan orang sembarangan.
Dia telah menyaksikan itu waktu terjadi
pertemuan dengan Utusan iblis beberapa waktu la-
lu. Hingga dia tak berani bertindak setengah-
setengah.
Di seberang, begitu pukulan Aji setengah
tombak lagi menghajar, Mata Malaikat tekankan
kedua bahunya ke bawah.
Wuuut!
Tubuh Mata Malaikat melenting ke atas.
Membuat gerakan berputar-putar di udara dengan
kaki ditekuk di depan dada. Hebatnya, tubuh me-
lingkar Mata Malaikat terus berputar-putar di uda-
ra meski pukulan sakti yang dilepas Aji telah
menghajar kerimbunan semak dan membuat tum-
buhan itu porak-poranda serta hangus!
Murid Wong Agung nyalang memandang ke
arah sosok Mata Malaikat di udara. Dia memang
sengaja menunggu. Raut wajahnya sudah merah
mengelam. Rahangnya menggegat rapat dengan gi-
gi keluarkan suara gemeletak. Sosoknya pun terli-
hat berguncang. Menahan marah dan tenaga da-
lam yang dikerahkan.
Tiba-tiba Mata Malaikat gerakkan kedua
tangannya. Kejap lain putaran tubuhnya terhenti,
dan kini melayang turun. Dan begitu mendarat,
sepasang matanya terarah pada Kamaratih tanpa
keluarkan sepatah kata.
Kamaratih tahu apa arti pandangan Mata
Malaikat meski si kakek tak keluarkan ucapan. Pe-
rempuan setengah baya ini lantas buka mulut.
Namun sebelum ucapannya terdengar, Aji telah
meradang.
"Bibi! Jangan campur urusan ini!"
Kamaratih katupkan kembali mulutnya. La-
lu berpaling pada Mata Malaikat. Belum sampai
kepala Kamaratih sepenuhnya menghadap Mata
Malaikat, kakek ini telah gerakkan tubuhnya
menggelundung, lalu berhenti dengan bersandar
pada sebatang pohon yang lolos dari hajaran pu-
kulan Aji.
"Sialan! Aku benar-benar tua bangka sial!
Dituduh yang bukan-bukan dan teman pun tak
sudi menolong! Padahal aku tak mimpi buruk...."
Mata Malaikat berkata sendiri.
"Orang tua sepertimu tak pantas mendapat
mimpi, meski hanya mimpi buruk isyarat kema-
tianmu!" teriak Aji. Lalu kembali dorong tangannya
ke depan. Untuk ke dua kalinya angin keras
menggebrak, dengan disertai bunyi gemuruh se-
perti gelombang mengamuk!
"Anak muda! Seandainya urusanku telah
selesai, mungkin aku pasrah dengan mati di tan-
ganmu. Namun karena urusanku belum tuntas,
maka aku belum mau mati dulu!" ujar Mata Ma-
laikat. Lalu melenting ke atas setinggi satu tom-
bak. Tiba-tiba tangannya disentakkan ke depan.
Beeettt! Beeettt!
Sesaat asap tipis keluar dari kibasan tangan
itu, namun sesaat kemudian asap itu mengem-
bang besar dan kejap lain bergerak cepat naik tu-
run.
Blaaammm!
Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu.
Utusan Iblis serta Kamaratih cepat kerahkan tena-
ga dalam masing-masing untuk mengatasi sapuan
angin deras yang ternyata menggebrak di belakang
asap putih!
Kalau Utusan Iblis dan Kamaratih dapat
mengatasi tubuh masing-masing, tidak demikian
halnya dengan Aji. Karena sewaktu terjadi bentrok
pukulan tubuhnya terhuyung-huyung, maka saat
sapuan angin menggebrak ia tak kuasa lagi mena-
han huyungan tubuhnya.
Hingga sosoknya terseret sampai beberapa
tombak sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan
tubuh gemetar!
"Hem.... Nampaknya mereka tidak bersan-
diwara!" desis Utusan Iblis sambil menyeringai dan
melirik ke belakang, ke arah Aji yang mulai me-
rambat bangkit dengan mulut meringis dan meng-
gumam tak jelas.
Sebenarnya sedari tadi Utusan Iblis masih
menduga jika antara Pendekar Mata Keranjang
dan Mata Malaikat bermain sandiwara seperti yang
dilakukan keduanya saat pertama kali bertemu.
Namun setelah melihat apa yang terjadi, pemuda
ini berkesimpulan lain. Malah kesimpulannya ini
membuatnya penasaran.
"Mereka berdua dari tadi memperbincang-
kan soal kipas. Kipas apa...? Hai.... Kalau antar
teman sampai saling bunuh untuk mempere-
butkan kipas, berarti kipas itu sangat berharga
dan bukan mustahil kipas pusaka...." Tiba-tiba
dahi Utusan Iblis mengernyit. Lalu memandang
pada Aji sepintas, kemudian alihkan pandangan
pada Mata Malaikat. Dia memperhatikan si kakek
berlama-lama. "Sialan! Mengapa aku lupa. Jangan-
jangan yang diperebutkan bangsat-bangsat ini ki-
pas yang kata guru menjadi barang rebutan.... Ah,
pasti kipas itu.... Hem.... Kebetulan sekali. Sekali
berlayar, dua tiga pulau terlewati. Ha ha ha...!"
Di sebelah samping, melihat Aji jatuh berlu-
tut, Kamaratih mulai geram pada Mata Malaikat.
Kecurigaannya makin kuat. Namun perempuan ini
tidak mau bertindak gegabah. Sebagai orang yang
lama berkecimpung dalam rimba persilatan, dia
tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih berada
di bawah Mata Malaikat. Tokoh rimba persilatan
yang bisa dikatakan sejajar dengan Mata Malaikat
hanya beberapa orang saja. Di antara mereka ada-
lah tokoh golongan hitam bergelar Titisan Iblis,
guru Utusan Iblis. Lalu Peri Kupu-kupu, dan seo-
rang lagi adalah Raksasa Bermuka Hijau. Hingga
begitu Mata Malaikat melayang turun kembali dan
duduk menyembunyikan kedua kaki dan tangan-
nya, Kamaratih cepat berpaling dan coba menegur.
"Kau telah tua. Apakah kau masih ingin
malang melintang di usiamu yang bau tanah itu?!"
"Sobatku cantik! Apa maksud ucapanmu?!"
tanya Mata Malaikat seraya pejamkan mata seben-
tar.
"Berikan kembali kipas itu pada pemiliknya.
Marilah kita yang tua-tua ini tahu diri dan membe-
ri kesempatan pada yang muda untuk mengganti!"
Mata Malaikat dongakkan kepala. Lalu ter-
dengar tawanya mengekeh panjang.
"Tampaknya kau juga menuduhku. Ah, be-
tul-betul sial nasibku! Padahal, sejak lahir aku te-
lah memberikan jalan terpentang pada siapa saja
yang hendak malang mujur di rimba persilatan.
Aku tak punya niat untuk mengangkangi dunia gi-
la ini! Telah cukup diri tua bangka ini merana di
dalamnya!"
"Orang lebih percaya pada tindakan daripa-
da ucapan, Sobatku!" kata Kamaratih masih coba
memperhalus nada suaranya.
"Hem.... Maksudmu?!"
"Kau boleh saja bicara begitu, namun jika
kau membawa lari kipas itu untuk apa jika tidak
untuk mengarungi rimba persilatan?!"
Sepasang mata Mata Malaikat mendelik.
"Kamaratih! Dengar baik-baik! Aku tak membawa
lari kipas! Dan seperti katamu, tindakan lebih di-
percaya daripada ucapan! Sekarang buktikan uca-
pan tuduhanmu!"
Kamaratih sesaat terdiam. Dia terlihat ragu
ragu. Malah dia sempat melirik ke arah Aji yang
kini tegak memandang berkilat-kilat pada Mata
Malaikat.
"Sebenarnya aku tidak menuduhmu...,"
ucap Kamaratih pada akhirnya. "Tapi kalau si pe-
milik telah mengatakan bahwa kau adalah orang-
nya, apakah perlu lagi sebuah bukti?"
"Hem.... Begitu? Apakah kau telah tahu jika
si pemilik telah membuktikan sendiri atas kebena-
ran tuduhannya?!" tanya Mata Malaikat membuat
Kamaratih tergagu.
"Aku akan buktikan!" Mendadak Aji menye-
la dengan suara keras. Lalu, melangkah ke depan.
Meski langkahnya tegap, namun dia tak dapat me-
nyembunyikan kepucatan wajahnya. Dan sepintas
pandang orang telah dapat menduga jika pemuda
ini telah terluka bagian dalam.
Mata Malaikat berpaling pada Pendekar Ma-
ta Keranjang. Meski kakek ini merasa tak pernah
melakukan yang dituduhkan orang, namun men-
dengar ucapan Aji, mau tak mau membuat orang
tua ini sedikit berdebar.
Enam langkah di depan Mata Malaikat yang
masih duduk, Aji hentikan langkah. Matanya
mendelik besar, bibirnya bergetar sebelum akhir-
nya dia berkata.
"Orang tua! Penampilanmu sekarang beru-
bah, lain dengan beberapa waktu lalu saat kita
jumpa!" Sejenak Aji hentikan ucapannya. Semen-
tara Mata Malaikat diam-diam memperhatikan di-
rinya. Belum sampai berpikir jauh, Aji telah melan-
jutkan ucapannya.
"Dengar! Kipasku dibawa lari oleh seseo-
rang. Dan aku tahu persis, orang itu mengenakan
pakaian perempuan yang bermodel dan berwarna
seperti yang kau kenakan. Rambutnya panjang,
dikepang dua! Soal suara mudah bagi orang seper-
timu untuk merubah! Jelas?"
Mata Malaikat kembali memperhatikan pa-
kaian yang dikenakannya. Lalu meraba rambut
berkepang dua yang bertengger sampai ke bela-
kang tubuhnya. Dalam hati orang tua ini memaki
habis-habisan.
"Setan! Gara-gara pakaian dan rambut ini
aku jadi bulan-bulanan tuduhan orang! Kukira
akan menambah penampilanku ternyata malah
membuatku terperosok!"
"Anak muda! Orang yang mengenakan pa-
kaian seperti ini bukan aku saja. Juga rambut ke-
pang ini. Bahkan kawanku yang cantik itu pun be-
rambut kepang dua," kilah Mata Malaikat seraya
menunjuk Kamaratih. "Jadi bukti tuduhanmu ku-
kira...."
"Orang tua! Justru itulah yang menguatkan
tuduhan! Karena orang yang mengenakan pakaian
seperti itu sekaligus rambut demikian dalam rimba
persilatan hanyalah Setan Pesolek! Dan orang se-
perti Setan Pesolek tak mungkin berbuat licik! Kau
telah menyamar seperti Setan Pesolek hingga aku
percaya saja saat kau pinta kipasku!"
"Anak muda! Pakaian ini...."
Lagi-lagi Pendekar 108 telah memotong
ucapan Mata Malaikat sebelum ucapannya selesai.
"Kau tak bisa menipuku, Orang Tua! Kau masih
mengenakan pakaian dan rambut itu. Atau kau
mungkin kesenangan hingga lupa menanggalkan-
nya. Orang berbuat salah memang akan tetap ter-
lihat!"
Mata Malaikat pejamkan mata sebentar dan
pentangkan lagi. "Anak muda! Pakaian dan rambut
ini kutemukan di suatu tempat...."
Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan
penuh ejekan. "Alasan murahan begitu orang gila
pun akan tertawa mendengarnya!"
Mata Malaikat benar-benar terpojok. Bersi-
lat lidah pun tak mungkin bisa diterima. Berpikir
sampai ke sana, kakek ini lantas bergerak bangkit.
Sementara Aji siap lepaskan pukulan.
"Anak muda! Jika begini akhirnya, berarti
aku ketambahan tugas lagi! Mencari siapa pemilik
pakaian dan rambut ini untuk membuktikan bah-
wa ucapanku benar! Soal hilangnya kipasmu, aku
tak mau tahu. Aku hanya akan menyerahkan pa-
damu pemilik pakaian dan rambut ini. Urusan dia
atau bukan yang membawa lari kipasmu itu, sekali
lagi bukan urusanku!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat me-
langkah perlahan meninggalkan tempat itu.
"Orang tua! Kau kira bisa tinggalkan tempat
ini begitu saja?!" bentak Pendekar Mata Keranjang
lalu hantamkan kedua tangannya, lepaskan puku-
lan jarak jauh.
Melihat Aji telah lepaskan pukulan, Utusan
Iblis yang sedari tadi secara diam-diam juga telah
kerahkan tenaga dalam segera angkat kedua tan-
gannya.
"Dengan mampusnya setan peot itu, ten-
tunya akan lebih mudah merampas kipas itu!" de-
sisnya lalu serta-merta dorong kedua tangannya
ke arah Mata Malaikat.
Di samping, demi mendengar keterangan
Aji, dugaan Kamaratih semakin kuat. Dan saat
melihat Mata Malaikat hendak berlalu tanpa terle-
bih dulu menyerahkan kipas itu, dada perempuan
setengah baya ini bergetar marah. Kedua tangan-
nya ditarik ke belakang dan sekonyong-konyong
dipukulkan ke arah Mata Malaikat.
Hingga saat itu juga, tempat itu laksana
disapu gelombang amat dahsyat yang seluruhnya
menuju Mata Malaikat. Hawa panas menebar lak-
sana memanggang apa saja di sekitarnya. Suasana
berubah redup mengandung hawa kematian!
***
DUA
MAKLUM hawa kematian menuju ke arah-
nya, Mata Malaikat gerakkan bahunya setengah
lingkaran. Sepasang mata orang tua ini langsung
terpentang lebar! Namun demikian, meski hanya
sekilas pandang, kakek ini telah tahu jika pukulan
yang kini mengarah padanya itu dilancarkan oleh
tiga orang sekaligus!
"Edan! Bagaimana bisa jadi begini?! Padahal
kedatanganku tadi dengan maksud baik!" gumam
si kakek. Sebenarnya dia masih ingin mengutara
kan sesuatu. Namun sebelum ucapannya keluar,
serangan ketiga orang telah datang menggebrak!
Dengan menggerendeng panjang pendek,
Mata Malaikat putar melompat ke depan seakan
hendak melarikan diri, membuat Pendekar Mata
Keranjang, Utusan Iblis dan Kamaratih lipat gan-
dakan tenaga dalam masing-masing dan siap le-
paskan pukulan susulan. Tapi sebelum ketiga
orang ini sempat kirimkan pukulan susulan, di
depan sana, Mata Malaikat balikkan tubuh, dan
kebutkan bagian jubahnya, lalu di kejap lain ke-
dua tangannya disentakkan!
Betttt! Wuttt!
Yang melesat pertama kali adalah gelom-
bang angin dahsyat yang keluarkan suara menggi-
dikkan, di kejap lain disusul asap putih yang lang-
sung melesat turun naik, di belakangnya masih
menderu angin deras!
Gelombang angin yang datang pertama
langsung menyambut pukulan yang dilepas murid
Wong Agung. Terdengar bunyi gemuruh ketika
bentrok. Di saat lain asap putih segera memapak
pukulan Utusan Iblis, lalu angin yang menderu
bentrok dengan pukulan Kamaratih!
Bummm! Bummm! Bummm!
Tempat itu laksana diguncang gempa dah-
syat. Tanah langsung berhamburan dan mening-
galkan lobang menganga Lebar. Kerimbunan se-
mak-semak tercerabut dan bermentalan sebelum
akhirnya hancur berkeping di udara!
Karena Pendekar 108, Utusan Iblis, dan
Kamaratih sedang siapkan pukulan, mereka lengah dengan tak kerahkan tenaga untuk memben-
dung arus balik bentroknya pukulan, hingga saat
terjadi bentrok pukulan, sosok ketiga orang ini
mencelat mental ke belakang. Karena Aji sebelum-
nya telah terluka, dia tidak dapat segera mengua-
sai tubuh, hingga dia jatuh terkapar. Sepuluh
langkah di sampingnya, Utusan Iblis tampak ter-
duduk dengan muka pucat dan tangan gemetar. Di
sebelah Utusan Iblis, tampak Kamaratih jatuh
dengan tubuh bersitekan pada pinggang kanan-
nya!
Agak jauh di depan, Mata Malaikat tampak
terhuyung-huyung dengan tubuh bagian atasnya
hampir menyusup pasir. Namun sebelum kepa-
lanya tersuruk, orang tua ini cepat gerakkan ke-
dua tangannya ke depan. Pasir tampak berhambu-
ran dan membentuk lobang. Serta-merta dengan
gerakan aneh, kakek ini masukkan kepalanya ke
arah lobang di depannya. Begitu kepalanya masuk
lobang, huyungan tubuhnya terhenti. Karena ke-
palanya masuk lobang, posisi kakek menungging
ke arah tiga orang jauh di belakangnya! Dari sini
bisa terlihat, meski Utusan Iblis adalah murid Titi-
san Iblis, namun ketinggian ilmunya masih berada
di bawah Mata Malaikat.
"Setan tua keparat!' desis Utusan Iblis den-
gan mata tak berkedip memperhatikan Mata Ma-
laikat yang masih tetap menungging. Pemuda ini
melirik sinis pada Kamaratih. Kamaratih sendiri
saat itu sedang memandang pada Aji. Wajah pe-
rempuan ini jelas membayangkan kekhawatiran
pada keadaan murid Wong Agung. Namun berpikir
bahwa merebut kipas untuk dikembalikan pada
pemiliknya lebih penting, Kamaratih segera arah-
kan kembali pandangannya pada Mata Malaikat.
Meski sepasang mata perempuan ini lurus me-
mandang ke depan, namun diam-diam dalam ha-
tinya dia berkata.
"Aku belum bisa menebak, kenapa pemuda
sombong ini ikut-ikutan. Jangan-jangan dia men-
ginginkan kipas itu! Hem.... Urusan ini makin ber-
tele-tele.... " Dia melirik pada Utusan Iblis. "Ah, itu
urusan nanti. Kalau dia memang menginginkan
kipas itu apa boleh buat. Aku akan mempertahan-
kan mati-matian!"
Karena ditunggu agak lama, Mata Malaikat
tidak juga bergerak bangkit, Utusan Iblis merasa
dihina dengan sikap si kakek itu. Tanpa berkata
lagi, pemuda ini langsung berkelebat. Kamaratih
tak tinggal diam. Dia pun ikut berkelebat.
Empat tombak dari Mata Malaikat, tiba-tiba
Utusan Iblis dan Kamaratih hantamkan tangan
masing-masing ke arah Mata Malaikat dari udara!
Wuttt! Wuttt!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gulungan awan hitam pekat segera me-
lesat keluar dari kedua tangan Utusan Iblis. Ber-
samaan dengan itu terdengar laksana petir me-
nyambar bersahut-sahutan dan keluarkan kilatan-
kilatan! Inilah pukulan sakti milik Titisan Iblis
yang telah diwariskan pada Utusan Iblis, yakni
'Gemuruh Badai'
Pada saat bersamaan dari arah samping
melesat gelombang angin yang bersiut-siut tajam
dari tangan Kamaratih. Siutan itu begitu kerasnya
hingga menyerupai babatan kipas yang hendak
menghajar!
Blaaarrr! Blaaarrr!
Terdengar dua kali gelegar keras. Untuk ke-
dua kalinya tempat itu bergetar dengan keadaan
hitam pekat.
Utusan Iblis dan Kamaratih sama-sama me-
layang turun dengan mata sama-sama dipentang-
kan ke depan. Mereka ingin lihat apa yang terjadi,
karena Mata Malaikat tidak membuat gerakan un-
tuk balas menyerang atau menangkis pukulan
yang datang.
Saat suasana reda, kedua orang ini makin
mendelik, karena sosok Mata Malaikat tak tampak
lagi! Sementara di depan sana banyak lobang-
lobang menganga akibat pukulan Utusan Iblis dan
Kamaratih.
"Aku yakin, setan itu tak melarikan diri! Ta-
pi ke mana lenyapnya? Keparat betul!" gumam
Utusan Iblis dengan mata tetap nyalang. Di sam-
pingnya Kamaratih tampak putar kepalanya den-
gan mata kian kemari. Namun, perempuan ini ak-
hirnya hanya gelengkan kepalanya saat sepasang
matanya memang tak berhasil menemukan sosok
Mata Malaikat.
"Benar-benar luar biasa setan bermata
mengerikan itu! Rasanya aku hampir tak percaya
jika masih mampu lolos!" desis Kamaratih.
Tanpa diketahui oleh Utusan Iblis dan Ka-
maratih dari salah satu lobang yang menganga,
tubuh Mata Malaikat tampak bergerak-gerak mengibaskan hamburan pasir yang menimpa tubuh-
nya. Sebenarnya, saat kepala Mata Malaikat ma-
suk ke dalam lobang dengan pantat menungging,
orang tua ini secara diam-diam kerahkan tenaga
dalam, hingga pasir di bawah tubuhnya telah ber-
lobang besar. Hingga waktu pukulan Utusan Iblis
dan Kamaratih datang menggebrak, si kakek cepat
turunkan tubuhnya ke lobang di bawahnya, hing-
ga pukulan kedua orang itu hanya menghajar da-
taran pasir di kanan kiri lobang di mana Mata Ma-
laikat berada.
"Sial betul aku ini! Urusan sendiri belum se-
lesai, sekarang ditambah dengan urusan orang!
Dan urusan ini bukan main-main, karena nanti
pasti akan melibatkan beberapa tokoh. Apalagi dia
menyebut-nyebut Setan Pesolek. Ah.... Nasi sudah
telanjur tertelan. Bagaimanapun rasanya, aku ha-
rus menerima!" pikir Mata Malaikat. Orang tua ini
lalu mendongak seraya dekatkan telinga kanannya
ke arah lamping lobang.
"Mereka mendekat...," gumamnya. "Apa
hendak dikata. Terpaksa kulakukan karena jika
tidak, nyawaku sendiri yang akan melayang...."
Dugaan Mata Malaikat memang tidak mele-
set. Karena di sebelah atas, Utusan Iblis dan Ka-
maratih mulai melangkah ke arah beberapa lo-
bang. Tapi, meski kedua orang ini sama-sama me-
langkah, tak sepatah kata pun keluar dari mulut
keduanya. Malah keduanya saling lirik dengan
pandangan sinis. Namun mereka berdua seper-
tinya sudah sepakat untuk melupakan urusan me-
reka dan mendahulukan urusan dengan Mata Malaikat meski kesepakatan itu tanpa ucapan. Dan
setelah mereka tidak menemukan sosok Mata Ma-
laikat, keduanya pun seperti punya dugaan sama
yaitu Mata Malaikat berada pada salah satu lo-
bang. Lalu mereka pun melangkah ke arah bebe-
rapa lobang.
Lima langkah lagi keduanya sampai di lo-
bang di mana Mata Malaikat berada, tiba-tiba dari
salah satu lobang melesat sebuah jubah pakaian
perempuan.
Tanpa pikir panjang lagi, Utusan iblis dan
Kamaratih sentakkan tangan masing-masing ki-
rimkan pukulan. Karena lesatan pakaian itu ke
arah samping, kedua orang ini arahkan pukulan-
nya ke arah mana pakaian melesat.
Namun baru saja kedua orang ini lepaskan
pukulan, dari lobang di mana pakaian tadi mele-
sat, muncul sosok tubuh Mata Malaikat! Utusan
Iblis dan Kamaratih terlengak. Mereka berdua se-
gera hendak kirimkan pukulan, namun keduanya
terlambat, karena bersamaan dengan itu, Mata
Malaikat sentakkan tangan ke depan dan ke samp-
ing.
Utusan Iblis dan Kamaratih merasakan tu-
buh masing-masing laksana dihempas badai dah-
syat. Kedua orang ini sama-sama keluarkan se-
ruan tertahan. Sesaat kemudian sosok keduanya
tersapu ke belakang dan jatuh terkapar di tanah.
Pada saat bersamaan, dari arah samping terdengar
ledakan keras tatkala pukulan yang dilancarkan
Utusan Iblis dan Kamaratih ke arah pakaian me-
rah yang mereka sangka sosok Mata Malaikat bentrok dengan pukulan Mata Malaikat.
Belum lenyap suara ledakan, dengan me-
ninggalkan suara tawa panjang, Mata Malaikat
melesat meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang yang keadaannya
sudah agak baik, cepat berkelebat mengejar. Meli-
hat hal itu, Utusan Iblis segera hendak hantamkan
kedua tangannya, namun yang hendak dihantam
sudah lenyap.
"Setan jahanam!" umpat Utusan Iblis sambil
bangkit dan mengurut dadanya yang berdenyut
nyeri. Tiba-tiba dia teringat pada Kamaratih yang
saat itu sedang bergerak bangkit. Utusan Iblis me-
lirik. Kemarahannya pada Mata Malaikat yang ma-
sih menggelora kini ditumpahkan pada perempuan
setengah baya itu.
Tanpa berkata lagi, dia cepat bangkit. Ke-
dua tangannya diangkat lantas dihantamkan ke
arah Kamaratih yang belum bangkit sepenuhnya.
Meski pukulan itu tidak dengan sepenuh tenaga,
namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, pukulan
itu mampu membuat tubuh orang tercabik-cabik.
Di sebelah samping, mendengar deru dah-
syat mengarah padanya, Kamaratih berpaling. Pe-
rempuan ini serentak membelalak dengan bibir
mengatup rapat. Dia tak punya kesempatan lagi
untuk membuat gerakan menghindar apalagi me-
nangkis serangan. Hingga perempuan ini hanya
bengong pasrah, karena pukulan lawan sudah se-
tengah tombak di depan hidungnya!
Sejengkal lagi tubuh Kamaratih terhajar
pukulan Utusan Iblis dan saat perempuan ini pasrah menerima kematian, mendadak dari arah
samping menderu gelombang hitam membuat sua-
sana selain pekat juga panas.
Pukulan Utusan Iblis tersapu gelombang hi-
tam hingga melenceng ke samping. Di kejap lain
sebuah bayangan berkelebat dan dengan gerak ce-
pat menyambar sosok Kamaratih.
Utusan Iblis menggereng marah. Dan ketika
samar-samar dia menangkap berkelebatnya
bayangan, pemuda ini segera hantamkan kembali
kedua tangannya seraya membentak keras.
Byuuurrr!
Tanah di mana tadi Kamaratih berada mun-
crat ke udara terkena hantaman Utusan Iblis. Na-
mun, begitu pasir luruh, Utusan Iblis tidak melihat
seorang pun!
"Jahanam! Keparat! Setan alas!" Utusan Ib-
lis berteriak memaki-maki. Saking geramnya, pe-
muda ini hantamkan kedua tangannya ke arah
pasir sebelum sosoknya berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Begitu Utusan Iblis pergi, dari kerimbunan
semak-semak berkelebat sesosok bayangan lalu
tegak di tempat mana Kamaratih berada. Sejenak
sosok ini arahkan pandangannya ke sebelah timur,
arah yang diambil oleh sosok yang menyambar tu-
buh Kamaratih.
"Bangsat jadah! Aku terlambat!" maki si so-
sok seraya saling pukulkan kepalan tangannya.
"Aku yang menangkis pukulannya, tapi orang lain
yang membawanya lari! Setan alas! Siapa bayan-
gan tadi? Gerakannya begitu cepat hingga tak dapat kupastikan laki perempuannya!"
Sosok ini menghela napas panjang. "Kama-
ratih.... Kau muncul juga di sini. Adakah kemun-
culanmu karena lembaran kulit itu? Atau ada se-
bab lain yang ada hubungannya dengan masa si-
lam kita? Ah, persetan dengan semua itu! Hem...
Siapa pula pemuda berjubah merah tadi? Tokoh-
tokoh telah banyak bermunculan, kalau aku tak
segera bertindak, orang lain akan mendapatkan
lembaran kulit itu. Hem...."
Sosok ini kembali putar kepalanya berkelil-
ing. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia
lanjut. Paras wajahnya merah membara. Rambut-
nya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar terbung-
kus oleh pakaian yang compang-camping serta
hangus seperti baru saja terbakar. Asap tipis men-
gepul dari sekujur tubuhnya,
Orang tua ini bukan lain adalah Manusia
Neraka!
Untuk beberapa saat Manusia Neraka tegak
diam dengan dahi berkerut. Dia sepertinya sedang
berpikir. Sesaat kemudian dia putar tubuh lalu
berkelebat meninggalkan tempat itu.
***
TIGA
PENDEKAR Mata Keranjang harus kerah-
kan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk men-
gejar Mata Malaikat. Mula-mula dia masih dapat
menangkap kelebatan orang tua itu. Namun pada
satu tempat, dia kehilangan jejak.
"Tua bangka setan! Kau bisa lolos hari ini.
Tapi, nyawamu di ujung tanduk tanganku!" gu-
mam Aji sendirian. Rahangnya makin menggem-
bung dan sepasang matanya laksana bara.
"Hem.... Aku harus cepat menuju Bukit Si-
luman. Bukan mustahil setan tua itu sedang ke
sana juga. Bukankah dia telah mendapatkan kipas
dan petunjuk?" Berpikir sampai di situ, murid
Wong Agung ini segera putar diri, lalu berkelebat
menuju arah sungai.
"Anak muda! Kebimbangan akan memba-
wamu makin jauh terperosok! Cepat ambil keputu-
san jika kau tak ingin orang lain mendahului!"
Tiba-tiba terdengar suara orang.
Kedua kaki Pendekar Mata Keranjang lak-
sana dipantek. Gerakannya tertahan seketika. Tu-
buhnya cepat diputar setengah lingkaran ke arah
datangnya suara. Sepasang matanya mendelik be-
sar. Dari suara orang, murid Wong Agung sudah
dapat menebak siapa adanya orang yang bersuara.
Mata murid Wong Agung tak berkedip
menghujam lurus ke depan. Lima langkah di ha-
dapannya kini, tampak Mata Malaikat tegak den-
gan kepala tengadah.
"Setan!" bentak Aji lalu cepat kerahkan te-
naga dalam. Tubuhnya mulai berguncang dan ke-
ringat membasahi wajah dan lehernya, pertanda
dia kerahkan segenap tenaga yang dimiliki.
"Tahan, Anak Muda!" kata Mata Malaikat
masih tanpa memandang. "Tak ada gunanya hal
kecil begini dibuat besar! Tantangan di hadapan-
mu masih lebih besar dan lebih penting!"
"Mata Malaikat!" teriak Aji. "Kau tak perlu
beri nasihat! Serahkan kipas itu atau serahkan
nyawamu!"
Mata Malaikat tertawa pelan. "Syukur kau
telah mengenalku....." kata Mata Malaikat lalu
alihkan pandangannya ke arah Aji setelah lu-
ruskan kepalanya. "Sudah kubilang. Seandainya
urusanku telah usai dan tak ketambahan urusan
gilamu, aku sebenarnya memilih mati daripada ha-
rus hidup dalam dunia edan begini!"
"Aku tak tanya urusanmu!" sahut Aji ga-
rang.
"Betul! Tapi kau harus mengerti. Karena
keinginanmu yang menggebu untuk membunuhku
harus tertunda karena urusanku itu belum usai.
Dan tampaknya keinginanmu masih terulur lagi
karena ketambahan urusanmu denganku! Sung-
guh aku menyesal, Anak Muda...."
"Kata penyesalan telah terlambat, Orang
Tua! Dan kau harus menerima nasib buruk! Mati
sebelum urusanmu usai!"
"Setiap penyesalan pasti terlambat datang-
nya! Namun tak ada kata terlambat bagi orang
yang berpikir jernih dan memperbaiki diri. Dan ka-
lau buruk-burukan nasib, sebenarnya kau lebih
buruk dariku!"
Murid Wong Agung menyeringai. Sementara
Mata Malaikat kembali dongakkan kepala sambil
lanjutkan ucapannya.
"Kalau aku mau, kau sudah tak berdiri te
gak di situ!"
Aji terdiam mendengar lanjutan kata-kata
Mata Malaikat. Dan dia tampaknya sadar jika uca-
pan Mata Malaikat benar. Karena seandainya Mata
Malaikat mau tak sulit bagi orang tua itu untuk
membuat dirinya roboh sebab dia tak tahu kehadi-
ran si kakek di belakangnya.
"Anak muda!" Mata Malaikat terus berkata.
"Aku tak mau melakukan itu karena aku masih
ingin buktikan bahwa ucapanku benar dan tudu-
hanmu salah alamat!"
"Ucapan orang tua ini ada benarnya. Tapi
apakah alasannya bisa diterima?" batin Aji.
"Anak muda! Aku tak hendak ikut-ikutan
menuduh orang sepertimu. Namun berat dugaan,
orang yang menyamar sebagai Setan Pesolek ada-
lah seorang perempuan!"
"Kau tahu dari mana? Jangan kau menebar
fitnah dan mengkambinghitamkan orang lain!"
Mata Malaikat kembali perdengarkan suara
tawa pelan. "Anak muda! Kambing itu putih dan
mungkin cantik! Aku dapat membaui dari harum
tubuhnya yang tertinggal pada pakaian itu sewak-
tu kutemukan. Kurasa sampai sekarang bau itu
belum hilang...."
"Sebagai penipu, bisa saja orang menggu-
nakan bau harum agar orang salah tebak!" ujar Aji
sengit. Namun nadanya sudah agak menurun.
"Betul! Betul katamu! Namun harum khas
dan asli seorang perempuan tak bisa disarukan
dengan aroma bau-bauan palsu! Apalagi tua bang-
ka sepertiku ini tak dapat dibohongi, karena bertahun-tahun aku lari dari pelukan satu perem-
puan ke perempuan lain. Aku hafal luar kepala
tentang bau seorang perempuan dan bau buatan.
Lebih-lebih bau seorang pemilik burung seperti-
mu!"
Murid Wong Agung mau tak mau mengge-
rendeng habis-habisan dalam hati. Namun sedikit
demi sedikit Aji mulai mempercayai kata-kata
orang tua di hadapannya itu.
"Nah! Anak muda! Kurasa tugas di hada-
panmu lebih penting daripada ke sana kemari
mencari orang yang belum diketahui. Bukankah
kau tak ingin didahului orang lain?! Apalagi kau
telah mendapatkan petunjuk! Tunggu apa lagi...?!"
"Tapi...?!" Aji tak meneruskan ucapannya.
Dia tampak ragu-ragu.
"Tapi apa, Anak Muda?"
"Apa akan kukatakan padanya terus te-
rang? Apakah ini bukan umpan untuk mengorek
keteranganku menyangkut petunjuk itu?" Aji ber-
pikir sejenak. Namun akhirnya dia memutuskan
untuk mengatakannya pada Mata Malaikat. Tapi
sebelum dia berkata, si kakek telah berujar.
"Kalau kau keberatan meneruskan uca-
panmu, tak apa. Namun jangan lupa. Gonggongan
anjing kerempeng pun terkadang menyelamatkan
nyawa kita!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat balik-
kan tubuh. Namun sebelum berputar, Aji telah
berkata.
"Mata Malaikat. Kipas yang hilang itu ada-
lah salah satu syarat untuk mendapatkan lembaran kulit!"
"Jika begitu kenapa kau tidak segera ke sa-
na?!"
"Aneh! Bukankah sia-sia tanpa persyaratan
cukup?!"
Mata Malaikat kali ini perdengarkan suara
tawa bergelak-gelak, membuat murid Wong Agung
kerutkan dahi.
"Ah, ternyata gonggongan anjing kerempeng
pun ada manfaatnya...."
"Apa maksudmu, Orang Tua?"
"Dengar, Anak Muda! Kalau benar keteran-
ganmu bahwa orang yang menyamar itu telah
membawa kipas serta kau mengatakan petunjuk
padanya, apakah dia akan membuang kesempatan
yang sudah di tangan? Aku tanya padamu. Jika
kailmu telah menggaet ikan besar, apakah kau
akan membuangnya kembali ke air?!"
"Aku benar-benar tak mengerti ucapanmu!"
"Dengar baik-baik! Siapa pun orangnya
yang menyamar, pasti sekarang sudah melakukan
perjalanan menuju ke Bukit Siluman. Petunjuk
sudah di tangannya, syarat sudah digenggaman-
nya. Apalagi yang perlu dia tunggu?"
Tanpa sadar murid Wong Agung tepuk ji-
datnya. "Bodoh. Kenapa aku tak berpikir ke arah
sana?"
Pendekar Mata Keranjang menatap lekat-
lekat ke arah Mata Malaikat.
"Orang tua, meski kau masih dalam daftar
hitamku, namun atas keteranganmu aku harus
memberi hormat padamu sebelum pergi...." Habis
berkata demikian, murid Wong Agung menjura da-
lam-dalam dengan bungkukkan tubuh dan tun-
dukkan kepalanya.
Terdengar Mata Malaikat tertawa bergelak-
gelak, membuat Aji tekapkan kedua tangannya ke
telinga. Saat Aji mengangkat kepalanya, murid
Wong Agung jadi mendelik. Mata Malaikat tak lagi
di hadapannya! Namun suara tawanya masih saja
bergelak-gelak di seantero tempat Itu.
***
EMPAT
SAAT itu sang Surya sudah menggelincir
dari titik pusatnya. Cahaya panasnya leluasa
menghujam ke permukaan bumi karena awan pu-
tih hanya tampak di sebelah timur. Di Sungai Si-
luman pun, permukaan air tampak berkilat-kilat
seraya menebarkan uap. Permukaan air tampak
tak tenang. Arus demikian deras. Uap yang men-
gepul di permukaan, membuat pemandangan ter-
halang.
Di pinggir Sungai Siluman, sesosok tubuh
keluar dari dalam lobang. Sosok ini kemudian me-
langkah mendekati sungai. Ternyata dia adalah
seorang pemuda berpakaian hijau ketat dan be-
rambut dikuncir ekor kuda. Dia bukan lain dari Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108.
Aji kembang-kempiskan hidung ketika men-
cium bau harum menusuk hidung. Pemuda berpakaian hijau ini edarkan pandangan ke sana ke-
mari karena mengira adanya kelompok perempuan
cantik di sekitar tempat itu.
Tapi, Pendekar 108 tak melihat adanya seo-
rang pun wanita! Ketika pemandangannya meng-
hujam permukaan air, sepasang mata pemuda ini
membeliak lebar. Mulutnya menganga seperti
orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya.
"Apakah aku tak tengah bermimpi?!" gu-
mam Aji lirih. "Benarkah air berwarna merah?!
Sungguhkah yang kulihat?! Kalau benar, air atau
darah?!"
Saat itu, permukaan air tampak berwarna
merah darah. Aji menatap tanpa berkedip. Di lain
kejap, Aji baru tahu kalau bau harum itu berasal
dari sungai!
"Tak berlebihan kalau sungai dan bukitnya
dinamakan Sungai dan Bukit Siluman...." Pende-
kar 108 membatin seraya dongakkan kepala. "Dan
bukit itu pasti berada di seberang sungai tepat di
depanku. Karena sekarang aku telah bertemu den-
gan air yang berwarna merah seperti darah dan
berbau harum! Hanya sayangnya aku tak tahu be-
rapa lebar sungai ini. Karena Peri Kupu-kupu tak
pernah memberitahukannya. Peri Kupu-kupu...,
kau berjasa besar dalam hal ini. Kalau kau tak
memberiku jalan rahasia menuju ke tempat ini.
Pasti akan membutuhkan waktu lama bagiku un-
tuk menemukan Bukit Siluman. Aku harus berpe-
rahu dari hulu sungai ke hilir, sampai menemu-
kannya. Padahal, menurut berita yang kudapatkan
panjang Sungai Siluman ini entah berapa ratus ribu tombak! Buat orang yang tak mendapat petun-
juk sepertiku, akan membutuhkan waktu yang
jauh lebih lama.... Jalan rahasia yang aneh....
Mencari sebuah pohon beringin tua dan besar, lalu
menarik salah satu cabangnya, hingga muncul lo-
bang ke dalam tanah. Menempuhnya, dan muncul
di pinggir sungai ini. Sebuah jalan rahasia yang
luar biasa...!"
Usai membatin, Aji melemparkan batang
kayu besar. Tak lama kemudian di antara deras-
nya arus sungai dan tiupan angin kencang batan-
gan kayu itu meluncur membelah arus yang deras!
Terlihat tertatih-tatih.
"Semoga dugaan Mata Malaikat benar
adanya. Orang yang menyamar sebagai Setan Pe-
solek itu telah berada di Bukit Siluman...," gumam
Pendekar Mata Keranjang. Sambil menggumam
kedua tangannya bergerak mengayun ke dalam air
sungai di sisi kanan kirinya. Bersamaan dengan
itu, batangan kayu yang dibuatnya sebagai perahu
meluncur deras ke depan, membelah derasnya
arus.
"Kalaupun dia tidak ada di sana, aku akan
menunggu. Dengan petunjuk dan kipas itu, sudah
pasti dia akan ke sana! Hem.... Petunjuk belum bi-
sa kumengerti, sialnya petunjuk itu telah diketa-
hui orang. Lebih-lebih kipas itu telah beralih tan-
gan...."
Aji terus meluncur dengan dada dipenuhi
beberapa pikiran. "Mata Malaikat menduga si pe-
nyamar adalah seorang perempuan. Busyet. Lagi-
lagi perempuan! Siapa lagi yang ini...?!" Aji coba
mengingat beberapa orang perempuan yang sela-
ma ini dikenalnya. Namun tak satu pun yang
menguatkan dugaan pada salah satunya, mem-
buat pikiran murid Wong Agung makin dibuncah
berbagai hal.
Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang henti-
kan buncahan pikiran yang melanda dadanya. Ba-
tangan kayu yang didudukinya dirasakan bergerak
oleng ke samping kiri padahal angin berhembus
dari kiri!
"Aneh. Angin dari kiri, tapi kenapa batang
kayu ini oleng ke samping kiri, tidak ke kanan?!"
Merasa ada kejanggalan, murid Wong Agung
segera putar kepalanya ke kanan. Tapi baru saja
kepalanya berputar, tiba-tiba sebuah gelombang
angin dahsyat melesat menggebrak ke arah murid
Wong Agung.
Brakkkk!
Batangan kayu yang dibuat peluncur patah
seketika. Untung murid Wong Agung telah waspa-
da. Sebelum batangan kayu patah jadi dua, dia te-
lah melesat ke udara membuat gerakan berputar
dan melayang turun lalu berdiri tegak di salah sa-
tu patahan batangan kayu. Patahan satunya lagi
telah lenyap.
Dengan mata berkilat menahan marah, Aji
arahkan pandangannya ke sebelah kanan. Sesaat
kemudian, dia melihat meluncurnya sebuah rakit.
Tegak di atasnya seorang pemuda mengenakan ju-
bah besar panjang sebatas lutut berwarna merah.
Rambutnya yang panjang dibiarkan bergerai ditiup
angin. Tangan kanannya memegang sebuah batangan kayu kecil yang sesekali ditusukkan ke da-
lam air sungai hingga rakit itu meluncur deras ke
depan.
"Utusan Iblis!" seru Pendekar Mata Keran-
jang begitu matanya mengenali siapa adanya pe-
muda di atas rakit.
Murid Wong Agung arahkan pandangannya
ke depan. "Celaka! Pinggir Bukit Siluman masih
jauh. Sedangkan patahan kayu ini tak mungkin
bisa membawaku ke sana. Terlalu pendek! Belum
lagi jika pemuda gila itu menyerangku dan meng-
hancurkan kayu ini...."
"Ha ha ha....!" Tiba-tiba di tengah suara de-
ru gelombang air terdengar suara tawa dari pemu-
da di atas rakit yang bukan lain memang Utusan
Iblis yang terus meluncur ke arah Aji cepat bukan
main. Karena di samping pengerahan tenaga Utu-
san Iblis, masih ditambah lagi dengan tenaga lun-
curan arus sungai yang deras
"Akhirnya kau mampus tanpa kubur di ten-
gah sungai!" Meski saat itu suara Utusan Iblis da-
pat ditangkap oleh pendengaran Aji. Dan belum
lenyap suara Utusan Iblis, tiba-tiba melesat gulun-
gan awan hitam disertai kilatan-kilatan dan suara
petir bersahutan. Ternyata Utusan Iblis telah le-
paskan pukulan Gemuruh Badai.
Karena tak mungkin lepaskan pukulan
sambil berdiri di atas patahan kayu yang terom-
bang-ambing, akhirnya Aji bergerak duduk dengan
kaki kiri kanan menjepit. Tenaga dalam segera di-
kerahkan dan dengan didahului bentakan keras, ia
hentakkan sepasang tangannya.
Blaaarrr!
Air sungai membubung sampai beberapa
tombak ke udara saat dua pukulan itu bentrok.
Sosok Aji terpental ke belakang. Namun murid
Wong Agung ini mempererat jepitan kakinya pada
patahan kayu, karena dia sadar, jika patahan kayu
itu terlepas, maka tak ampun lagi tubuhnya akan
tenggelam.
Di seberang, rakit yang ditumpangi Utusan
Iblis tampak melesat ke udara. Utusan Iblis le-
satkan dirinya lebih tinggi lagi lalu melayang turun
begitu rakit telah berada kembali di atas air sun-
gai.
Paras wajah kedua pemuda ini tampak sa-
ma-sama pucat pasi. Dada masing-masing tampak
bergetar keras. Namun karena tempat pijakan
Utusan Iblis lebih leluasa, pemuda ini cepat dapat
menguasai keadaan tubuhnya. Sebaliknya murid
Wong Agung harus bersusah payah karena harus
mengatasi olengan tubuh yang terombang-ambing
mengikuti olengan patahan kayu yang kini didu-
dukinya.
Melihat lawan mengalami kesulitan, Utusan
Iblis tak buang kesempatan. Sekali tusukkan kayu
di tangan kanannya, rakit itu meluncur deras ke
depan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
bergerak kirimkan pukulan 'Gemuruh Badai'!
Untuk kedua kalinya gulungan awan hitam
yang disertai kilatan dan sambaran petir mengge-
brak ke arah murid Wong Agung.
Karena tak ada ruang untuk menghindar,
mau tak mau akhirnya Aji harus menghadang serangan. Pemuda berpakaian hijau ketat ini pun se-
gera dorongkan sepasang tangannya ke depan.
Kembali terdengar gelegar dahsyat! Karena
waktu lepaskan pukulan harus dengan pertahan-
kan kedua kakinya yang menjepit patahan kayu,
membuat pukulan Aji tidak sempurna. Hingga
tatkala terjadi bentrok pukulan, sosok Aji terlihat
melenting ke udara. Melihat hal ini, Utusan Iblis
yang saat itu juga membuat gerakan berputar di
udara lepaskan pukulan sekali lagi.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Aji berseru keras. Dia cepat sentakkan ke-
dua bahunya hingga tubuhnya makin melenting ke
udara. Namun tak urung kedua kakinya tersambar
pukulan Utusan Iblis. Pendekar 108 merasakan
laksana disengat api. Kedua kakinya bergetar ke-
ras. Meski Aji coba bertahan, namun sia-sia, hing-
ga akhirnya dia tak kuasa lagi menahan jepitan
patahan kayu di kakinya. Sambil berputar, ka-
kinya melepas patahan kayu. Ternyata patahan
kayu itu telah hancur berkeping sebelum terburai
di atas air sungai!
Untuk beberapa saat tubuh Pendekar Mata
Keranjang masih tampak berputar-putar di udara
di atas air sungai. Namun meski bagaimanapun
tingginya ilmu seseorang, tak mungkin terus-
menerus membuat gerakan berputar-putar di uda-
ra. Demikian pula yang dialami murid Wong
Agung. Lama-lama gerakan berputarnya makin
lemah sebelum akhirnya meluncur deras ke bawah
dan....
Byuuurr!
Sosok Pendekar Mata Keranjang amblas
masuk ke dalam air sungai. Sejenak sosoknya
tampak timbul tenggelam diterjang arus air. Na-
mun sesaat kemudian tubuhnya tak tampak lagi!
Di atas rakit, Utusan Iblis usap-usap da-
danya, lalu memperhatikan ke permukaan air
sungai. Saat sepasang matanya tak lagi menang-
kap sosoknya Aji, pemuda ini mendongak lalu per-
dengarkan tawa bergelak!
Di dalam air, murid Wong Agung merasakan
dadanya seperti pecah karena menahan napas te-
rus-menerus agar tak kemasukan air. Namun pa-
da akhirnya pertahanannya pun bobol. Pelan-
pelan air mulai masuk ke rongga mulut melalui
hidung dan mulutnya.
"Celaka! Apakah akhirnya aku harus mati di
sungai? Ah..." Murid Wong Agung tak bisa berpikir
terlalu panjang, karena kepalanya mulai pening
dan air mulai leluasa masuk ke mulutnya.
"Sialan! Ini gara-gara aku menuruti ucapan
Mata Malaikat yang menyuruhku cepat-cepat me-
nuju Bukit Siluman. Padahal...." Pendekar 108 tak
lanjutkan kata hatinya. Ingat Mata Malaikat tiba-
tiba Aji teringat akan kantong putih yang diberikan
orang tua itu beberapa waktu lalu.
"Tak ada salahnya aku mencobanya.... Sia-
pa tahu...." Tangan Aji cepat menyelinap ke balik
pakaiannya. Dia sedikit lega saat tangannya dapat
merasakan kantong itu masih ada di balik pa-
kaiannya. Dengan gerakan yang mulai lamban, dia
buka kantong putih pemberian Mata Malaikat.
Tanpa melihat isinya dia mengambil sebuah. Ternyata seperti yang dikatakan Mata Malaikat benda
di dalam kantong itu mirip tahi kambing. Yakni
butiran kecil namun agak keras. Tanpa melihat
warna butiran di tangannya, murid Wong Agung
segera memasukkannya ke mulut, lalu menelan-
nya. Kantong putih kembali disimpan ke balik pa-
kaiannya.
Begitu butiran kecil itu masuk, Aji merasa-
kan perutnya laksana diaduk-aduk dan panas bu-
kan main.
"Celaka! Jangan-jangan ini racun. Bangsat
betul! Kenapa aku begitu saja menelannya?!" gu-
mam Aji dalam hati seraya berusaha muntahkan
kembali butiran itu, namun terlambat karena telah
masuk ke dalam lambung. Dan sekarang bukan
hanya lambungnya yang terasa diaduk-aduk, ke-
palanya pun mendadak pening, sepasang matanya
berkunang-kunang lalu merasakan semuanya ge-
lap!
Tapi tiba-tiba Aji merasa lambungnya nor-
mal kembali dan peningnya lenyap. Dia coba
membuka matanya. Pendekar Mata Keranjang jadi
terlonjak sendiri di dalam air. Seakan tak percaya,
dia pentangkan kedua matanya. Dan keanehan itu
memang benar-benar terjadi. Meski berada di da-
lam air, sepasang matanya kini jelas dapat me-
mandang! Malah secara aneh pula kekuatan tu-
buhnya pulih, dan dadanya tidak sesak!
"Ucapan orang tua itu benar! Ah, selama ini
aku salah sangka padanya! Aku berhutang nyawa
padanya!"
Aji kembali meraba kantong yang ada di ba
lik pakaiannya untuk meyakinkan jika kantong itu
masih ada. Dia menarik napas lega.
Setelah menarik napas panjang dia men-
dongak ke atas. Karena pandangannya jelas, kini
Aji dapat melihat apa yang ada di atasnya. Saat
sepasang matanya dapat melihat luncuran rakit
tak jauh di depannya! Rakit yang ditumpangi oleh
Utusan Iblis. Rupanya murid Titisan Iblis itu tak
lagi mengikuti arus sungai. Dia meluncurkan ra-
kitnya membelah arus sungai! Mengikuti arah
yang tadi diambil Aji! Aji cepat menggenjot tubuh-
nya meluncur ke depan!
Sementara itu di atas rakit yang terus me-
luncur membelah derasnya arus! Utusan Iblis tak
henti-hentinya dirasuki perasaaan heran. Sepa-
sang matanya tak henti-hentinya nyalang kian
kemari ke permukaan air sungai.
"Bangsat itu sudah tewas apa bagaimana?
Kalau menemui ajal tentu sekarang tubuhnya su-
dah mengapung! Kalau tak mampus? Apa mung-
kin dia mampu berendam di dalam air sungai begi-
tu lama? Bangsat! Kenapa aku memikirkannya?!"
Selagi Utusan Iblis menduga-duga, tiba-tiba
dia merasakan getaran aneh di sebelah kanan ra-
kitnya. Sebagai orang yang memiliki kepandaian
tinggi serta bertahun-tahun digembleng di bawah
air terjun, pemuda ini dapat membedakan gerakan
akibat air sungai dan bukan.
"Setan alas! Aku tak percaya jika dia masih
hidup!" ujar Utusan Iblis seraya melangkah ke
samping kanan. Matanya tak berkedip menembusi
ke dalam air sungai di sebelah sisi kanan rakitnya.
Selagi dia termangu, dari sebelah kiri rakit terlihat
gerakan. Cepat Utusan Iblis melompat, lalu tusuk-
kan kayu di tangan kirinya ke dalam air sungai.
Byuuurrr!
Air sungai di sisi kiri rakit muncrat. Namun
Utusan Iblis tak melihat siapa-siapa.
"Jahanam! Jangan-jangan aku dipermain-
kan perasaanku saja! Atau...." Ucapan Utusan Iblis
terputus. Dia memandang ke depan, ke arah gera-
kan air sungai yang menghadang arah gelombang.
Belum dapat memastikan apa yang membuat ge-
rakan, tiba-tiba air sungai di depan rakitnya mun-
crat ke udara. Di lain kejap sesosok tubuh menye-
ruak dari dalam air lalu melesat ke atas air laut se-
tengah tombak sebelum akhirnya mendarat di ba-
gian depan rakit.
Air tampak mengucur deras dari rambut,
tubuh serta pakaiannya yang basah kuyup dari
sosok di sebelah depan rakit.
Entah karena masih tak percaya dengan
pandangan matanya, untuk beberapa saat Utusan
Iblis hanya memandang dengan mulut terkancing
rapat. Sebaliknya sosok di hadapan Utusan Iblis
yang bukan lain adalah Aji memandang dengan
mata merah berkilat dan dagu mengembang.
Begitu sadar siapa yang di hadapannya,
Utusan Iblis campakkan kayu di tangan kirinya.
Dan tanpa terlebih dahulu buka suara, pemuda ini
meloncat ke depan. Kedua tangannya segera ber-
gerak menghantam ke arah kepala Aji.
Tindakan yang dilakukan Utusan Iblis,
membuat rakitnya terbawa arus sungai! Tapi hal
itu tak dipedulikannya. Yang ada di benaknya se-
karang adalah membunuh Pendekar Mata Keran-
jang!
Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam.
Kedua tangannya segera pula diangkat lalu disen-
tak ke samping di atas kepalanya.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Rakit
yang menjadi pijakan kedua orang ini sebentar
tampak tenggelam hingga kedua pemuda ini hanya
terlihat sampai sebatas dada masing-masing.
Murid Wong Agung dan Utusan Iblis tampak
sama-sama meringis menahan sakit pada kedua
tangan masing-masing. Namun hal itu hanya seke-
jap. Sesaat kemudian Utusan Iblis telah angkat
kaki kanannya sementara tangan kirinya bergerak
menghantam.
Pendekar Mata Keranjang cepat lorotkan
tubuhnya hingga sejajar rakit. Kaki kirinya melesat
menghantam kaki kiri Utusan Iblis yang dibuat
untuk tumpuan tubuhnya.
Bukkk!
Utusan Iblis terjajar tiga langkah ke bela-
kang. Sementara Aji cepat bergerak bangkit.
"Bangsat!" maki Utusan Iblis. Tenaga da-
lamnya segera disalurkan pada kedua tangannya.
Lalu serta merta kedua tangannya menghantam
lepaskan pukulan 'Gemuruh Badai'.
Rakit tampak berguncang keras dan timbul
tenggelam ke dalam air. Murid Wong Agung segera
pula hantamkan kedua tangannya papaki seran-
gan Utusan Iblis!
Blammm! Byurrr! Prakkk!
Ledakan segera terdengar, kejap kemudian
air sungai berhamburan dan permukaan air me-
nyibak! Bersamaan itu dua sosok tubuh mental
dari dalam sungai ke udara disusul kemudian
dengan mencelatnya rakit yang ternyata telah pe-
cah jadi dua!
Tiga tombak di atas permukaan air sungai,
sosok Pendekar Mata Keranjang dan Utusan Iblis
kembali menukik ke bawah dan langsung amblas
masuk ke dalam air sungai.
Setelah dapat menguasai tubuh, di dalam
air sepasang mata murid Wong Agung cepat me-
mandang berkeliling. Saat matanya dapat me-
nangkap kelebatan tubuh Utusan Iblis, dia cepat
mengejar.
Utusan Iblis sendiri tampaknya tak menga-
lami kesulitan di dalam air, karena dia sudah ter-
biasa berhari-hari berada di bawah air terjun.
Hingga tatkala merasa ada gerakan dalam air dari
arah belakangnya, pemuda ini cepat berbalik dan
sekonyong-konyong lepaskan pukulan!
Bettt! Bettt!
Seketika tampaklah alur panjang yang ber-
gerak cepat menyibak air sungai ke arah Pendekar
Mata Keranjang yang ada di hadapannya!
Meski tampak terkejut karena tak menduga,
murid Wong Agung segera dorong kedua tangan-
nya.
Alur panjang pun seketika melesat ke de-
pan. Lalu terdengar ledakan, disusul dengan
membuncahnya air sungai sampai beberapa tombak ke atas!
Sosok Utusan Iblis tampak jungkir balik di
dalam air kemudian terseret jauh ke belakang.
Pemuda ini merasakan dadanya hendak pecah.
Matanya kabur dan mulutnya megap-megap. Sebe-
lum air lebih banyak masuk ke dalam mulutnya,
dia kerahkan tenaga untuk melesat ke permukaan
air sungai. Begitu menyembul, tampak jelas peru-
bahan pada raut mukanya. Bahkan dari mulutnya
mengalir darah kehitaman!
"Keparat! Untuk sementara aku harus
menghindar! Tak kusangka jika jahanam itu
punya ilmu selam luar biasa!" gumam Utusan Iblis
sambil nyalangkan sepasang matanya mencari pe-
cahan rakitnya. Namun hingga agak lama matanya
tak dapat menemukan barang yang dicari.
Di belakangnya, murid Wong Agung yang
sosoknya baru saja mental di dalam air cepat ke-
rahkan tenaga dalam. Lalu melesat ke atas. Meski
wajahnya tampak berubah pucat pasi, namun dia
tak mengalami cedera dalam. Hingga begitu ma-
tanya dapat menangkap sembulan kepala Utusan
iblis, Pendekar 108 segera meluncur ke depan.
Mendengar kecipak di belakang, Utusan Ib-
lis sudah dapat menduga. Tanpa berpaling lagi,
pemuda ini cepat menyelam! Aji yang kedua tan-
gannya telah siap kirimkan pukulan ditarik kem-
bali. Lalu teruskan luncuran tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang layangkan pan-
dangannya ke seluruh permukaan air sungai, na-
mun sampai matanya lelah memandang, sosok
Utusan Iblis laksana ditelan air sungai! Malah
hingga lama Aji menunggu, yang ditunggu tak juga
kelihatan batang hidungnya!
"Ke mana dia?! Apa punya ilmu berendam
dalam air?!" tanya Aji sambil sesekali putar pan-
dangannya berkeliling. Dan ketika Utusan Iblis tak
juga muncul, akhirnya Aji memutuskan untuk
meneruskan perjalanan.
"Hem.... Aku harus menemukan kembali
rakit itu. Tak mungkin aku berenang sampai ke
Bukit Siluman.... " Berpikir begitu, Pendekar Mata
Keranjang kembali layangkan pandangannya ke
seluruh permukaan air sungai. Saat itulah tiba-
tiba matanya menangkap pecahan rakit yang ter-
seret arus!
Murid Wong Agung tanpa pikir panjang lagi
segera berenang menuju arah pecahan rakit.
Begitu dekat, pecahan rakit segera disambar
dan sekali melesat tubuhnya telah berada di atas
pecahan rakit. Dengan duduk di sebelah sisi, tan-
gan kanannya bergerak mengayun ke dalam air!
Bersamaan dengan itu, pecahan rakit bergerak
melawan arus. Pemuda ini berusaha kembali ke
tempat di mana permukaan air berwarna merah!
Karena saat ini, permukaan air tempatnya mem-
punyai warna seperti warna air sungai umumnya.
Dan, memang bagian Sungai Siluman yang airnya
berwarna merah hanya sepanjang satu tombak!
***
LIMA
KITA tinggalkan dulu Pendekar Mata Keran-
jang yang melaju ke arah Bukit Siluman. Kita
kembali dulu ke pinggir Sungai Siluman. Seperti
dituturkan sebelumnya, waktu Utusan Iblis lan-
carkan pukulan pada Kamaratih tiba-tiba seseo-
rang yang ternyata adalah Manusia Neraka dapat
menghalau pukulan yang siap merenggut nyawa
Kamaratih. Namun di kejap lain sebelum Manusia
Neraka berkelebat, sebuah bayangan lain menda-
dak telah berkelebat dan tahu-tahu Kamaratih te-
lah tidak ada lagi di tempat itu.
Kamaratih sendiri yang waktu itu telah pa-
srah menghadapi kematian tiba-tiba merasa tersa-
pu oleh sambaran angin halus. Lalu sepasang tan-
gan memegang pinggangnya dan dengan gerak ce-
pat tahu-tahu tubuhnya telah berada di bahu se-
seorang yang kini membawanya berkelebat.
Pada satu tempat, si bayangan yang mem-
bawa lari Kamaratih hentikan larinya. Kepala
orang ini sejenak berputar dengan mata nyalang
kian ke mari. Kedua tangannya bergerak ke atas
bahu. Lalu menurunkan tubuh Kamaratih dan di-
letakkan di atas pasir.
Kamaratih buka kelopak matanya. Wajah
perempuan setengah baya ini serentak berubah.
Sepasang matanya membesar memperhatikan
orang yang tegak empat langkah di hadapannya
tanpa berkedip. Tiba-tiba dari mulutnya keluar se-
ruan tertahan. "Putri Hitam...!
Orang di hadapan Kamaratih sunggingkan
senyum. Tapi meski orang ini tersenyum, tidak
menambah keramahan wajahnya. Karena ternyata
wajah orang ini ditutup dengan bedak hitam yang
memantulkan cahaya berkilat. Pakaiannya yang
gombrong besar menyembunyikan seluruh anggota
tubuhnya hingga sulit ditebak orang ini laki-laki
atau perempuan. Lebih-lebih di lehernya melingkar
sehelai kain batik seakan menyembunyikan ciri
orang itu laki atau perempuan. Rambutnya ikal
merah dan dikuncir sampai sepuluh buah yang
tiap kunciran itu diberi hiasan pita dari kain batik.
"Terima kasih.... Kau telah menolongku!"
kata Kamaratih setelah dapat menguasai rasa ke-
jutnya.
Orang di hadapan Kamaratih dan bukan
lain memang orang yang memperkenalkan diri
dengan Putri Hitam kembali sunggingkan senyum.
"Kau tak perlu berterima kasih. Sudah se-
patutnya di antara sesama saling tolong. Apalagi
kita sudah kenal dan kuanggap kau adalah seo-
rang sahabat...."
Mendengar ucapan Putri Hitam, keberangan
Kamaratih pada orang ini mulai sirna. Perempuan
setengah baya ini lalu bergerak bangkit. Setelah
menarik napas panjang dia bertanya.
"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa
kau sebenarnya? Dengan penyamaranmu, pasti
kau punya maksud tertentu. Boleh aku tahu? Sia-
pa tahu aku dapat membalas budimu dengan
memberi sedikit pertolongan?!"
Putri Hitam gelengkan kepalanya. "Terima
kasih. Untuk saat ini aku masih tak mau mem-
buat repot orang lain...." Putri Hitam batuk-batuk
sebentar. Lalu melanjutkan ucapannya. "Siapa di-
riku sebenarnya, bukanlah hal penting bagi orang
lain. Dan seperti dugaanmu, aku memang mem-
punyai maksud tertentu...."
"Boleh aku tahu?!" tanya Kamaratih.
Putri Hitam untuk kedua kalinya gelengkan
kepala.
"Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk
tidak mengatakan pada siapa pun juga. Hem....
Hanya kalau suka, kau kuharap jawab beberapa
tanyaku.... "
"Katakan!" sahut Kamaratih.
"Apa betul kakek berpakaian perempuan,
berambut kepang dua yang memiliki mata cacat
tadi adalah tokoh dunia persilatan bergelar Mata
Malaikat?!"
Sejurus Kamaratih menatap paras wajah
Putri Hitam. Dia menduga-duga. "Suaranya dis-
arukan, wajahnya disembunyikan. Tapi menden-
gar pertanyaannya kemungkinan besar dia adalah
seorang perempuan...."
"Putri Hitam.... Kau menanyakan kakek itu.
Jangan-jangan kau tertarik padanya. Berarti kau
ini adalah seorang perempuan sepertiku, benar?!"
Putri Hitam tertawa panjang. "Orang ber-
tanya tentang seorang laki-laki tidak bisa dipasti-
kan bahwa orang itu adalah perempuan. Demikian
juga sebaliknya. Harap kau suka jawab tanyaku,
Sobat!"
"Kakek itu memang Mata Malaikat," jawab
Kamaratih.
"Putri Hitam manggut-manggut. "Apakah
yang kau katakan padanya benar?!"
Ucapan Putri Hitam membuat Kamaratih
terkejut. "Ucapan yang mana?!"
"Kau mengatakan pernah jumpa anaknya
saat dia bersama Bidadari Penyebar Cinta."
"Hem... Berarti orang ini telah mencuri den-
gar pembicaraanku dengan Mata Malaikat...," ba-
tin Kamaratih. Perempuan ini lalu mengangguk.
"Terima kasih atas keteranganmu. Aku ha-
rus pergi sekarang...," kata Putri Hitam lalu balik-
kan tubuh.
"Tunggu! Ada hubungan apa sebenarnya
antara kau dengan Mata Malaikat?"
Putri Hitam menahan langkahnya yang
hendak meninggalkan tempat itu. Dia berpaling
pada Kamaratih.
"Aku harus buktikan dulu keteranganmu!
Jaga dirimu baik-baik karena seseorang tampak-
nya terus membuntuti langkahmu!" Habis berkata
begitu Putri Hitam berkelebat pergi.
"Ada orang yang selalu membuntuti lang-
kahku? Siapa? Pemuda bermulut besar itu?
Atau...?" Kamaratih memandang berkeliling. "Ah,
persetan!" perempuan ini lantas bergegas mening-
galkan tempat itu.
* * *
"Jika ucapan perempuan itu benar, berarti
aku telah mendapat titik terang. Bidadari Penyebar
Cinta.... Beberapa hari berselang aku melihat dia
di sekitar tempat ini. Hem.... Pasti dia hendak me-
nuju bukit yang dikabarkan menyimpan Lembaran
Kulit Naga Pertala itu. Aku harus menyusul ke sa-
na. Bukan tak mungkin Mata Malaikat pun telah
menuju ke sana juga...." Putri Hitam yang saat itu
tegak di bawah sebatang pohon sepelukan orang
dewasa di pinggir sungai berkata sendiri seraya
arahkan pandangannya jauh ke tengah sungai.
Bisa dimaklumi jika Putri Hitam mengata-
kan telah mendapatkan titik terang, karena dia se-
benarnya adalah Istri Sungging Lanang, anak laki-
laki Mata Malaikat. Bersama Sungging Lanang, Pu-
tri Hitam mendapatkan seorang anak perempuan.
Namun karena saat itu Sungging Lanang terpe-
daya dengan perempuan lain, kedua orang ini ak-
hirnya berpisah begitu saja. Anak perempuannya
oleh Putri Hitam lantas diberikan pada kakeknya,
yakni Raksasa Bermuka Hijau. Dia sendiri akhir-
nya mengembara untuk melupakan luka hatinya.
Dalam pengembaraannya dia berjumpa dengan
seorang tokoh sakti di Lembah Sumber Manjing.
Meski telah mencoba melupakan kisah lama
namun naluri sebagai seorang ibu yang pernah
melahirkan seorang anak tak bisa dikekang. Ke-
rinduan pada anaknya tak bisa ditahan lagi. Hing-
ga setelah sekian tahun berada di Lembah Sumber
Manjing dia akhirnya minta pada gurunya untuk
menemui anaknya.
Namun Putri Hitam jadi terkejut saat dia
mendapatkan ayahnya, Raksasa Bermuka Hijau
yang memelihara anaknya tidak ada lagi di tempatnya dulu. Dia telah coba mencari namun belum
berhasil, hingga akhirnya dia mendengar tentang
gegernya dunia persilatan dengan Lembaran Kulit
Naga Pertala.
Tentang Lembaran Kulit Naga Pertala, Putri
Hitam pernah dengar dari ayahnya, Raksasa Ber-
muka Hijau. Karena menduga Raksasa Bermuka
Hijau atau anaknya juga sedang ikut memburu
Lembaran Kulit Naga Pertala, akhirnya dia memu-
tuskan untuk menyelidik ke Bukit Siluman. Tem-
pat yang menurut banyak kalangan diduga me-
nyimpan lembaran kulit itu.
"Tapi bagaimana aku bisa pergi ke Bukit Si-
luman...?! Tak mungkin aku harus berenang ke
sana? Aku masih belum tahu di mana letaknya
tempat itu, kecuali berita yang menyatakan berada
di seberang sungai ini. Mempergunakan rakit ku-
rang nyaman. Hhh....! Salahku juga, mengapa tak
sejak semula membawa perahu. Sekarang aku jadi
repot sendiri. Mau tak mau aku harus membuat-
nya. Membuat sebuah perahu yang cukup besar
dan kuat...."
Putri Hitam mengarahkan pandangan ke
sekitarnya. Memperhatikan pohon demi pohon
yang berada di situ. Sepasang matanya berbinar
ketika melihat apa yang dicarinya. Sebatang pohon
yang membutuhkan sepuluh pasang tangan orang
dewasa untuk melingkari batangnya! Pohon yang
cocok untuk membuat perahu!
Dengan agak tergesa-gesa, Putri Hitam
menghampiri pohon itu. Ketika telah berjarak be-
berapa langkah, tangan kanannya diangkat, lalu
dihentakkan!
Angin keras menderu. Di lain kejap terden-
gar bunyi berderak keras ketika pohon besar itu
tumbang memperdengarkan gemuruh yang riuh
rendah. Debu pun mengepul. Namun, begitu kepu-
lan debu itu surut, Putri Hitam melesat mendekati
pohon itu.
"Untung aku tahu bagaimana membuat se-
buah perahu," pikir perempuan berwajah hitam
itu. Di lain kejap, dia mulai dilanda kesibukan,
membuat sebuah perahu.
Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, Putri
Hitam tak mengalami kesulitan untuk membersih-
kan pohon itu dari ranting-ranting dan daun-
daun. Bahkan memotong batangnya! Hanya dalam
waktu sebentar, di depan Putri Hitam telah ter-
pampang gelondongan kayu sepanjang hampir sa-
tu setengah tombak.
Dalam pengerahan tenaga dalamnya yang
tinggi, Putri Hitam mampu membuat tangannya
lebih tajam dari pedang pusaka. Gelondongan
kayu itu dilobangi untuk membuat geladaknya.
Putri Hitam harus bekerja keras untuk itu.
Tak lama kemudian, sebuah perahu seder-
hana tapi terlihat keras dan kokoh telah tercipta.
Tak lupa Putri Hitam membuat dayungnya. Meski
wajahnya memperlihatkan kelelahan, tapi tampak
adanya sinar kepuasan pada sorot mata Putri Hi-
tam.
"Tak sia-sia juga jerih-payahku. Dengan pe-
rahu ini aku akan tiba di Bukit Siluman...," kata
perempuan berwajah hitam ini dalam hati.
ENAM
Angin Sungai Siluman bertiup kencang.
Arus air pun luar biasa laju. Tapi, perahu Putri Hi-
tam berjalan terseok-seok, karena bergerak mela-
wan angin dan arus sungai! Apalagi, perempuan
ini tak terlalu tergesa-gesa, sehingga hanya menge-
rahkan sebagian kecil tenaganya. Putri Hitam du-
duk dengan mata beredar ke depan. Tapi, sejauh
ini yang tampak hanya air!
"Mudah-mudahan dugaanku benar jika Bi-
dadari Penyebar Cinta menuju ke bukit itu. Kete-
rangan dari perempuan itu sangat kuperlukan. Se-
tidaknya dia mengetahui di mana Sungging La-
nang berada. Kesadaranku memang terlambat da-
tangnya. Namun aku tak dapat melupakan...."
Tiba-tiba Putri Hitam bergerak bangkit lalu
berdiri tegak dengan mata memandang ke kanan
kiri perahu. Mulutnya komat-kamit perdengarkan
gumaman.
"Ada yang tak beres dengan perahu ini.
Mungkinkah gerakan ikan...?" pikir Putri Hitam la-
lu putar tubuhnya, namun gerakannya tertahan
tatkala sepasang matanya menangkap riak di sebe-
lah kanan perahu. Belum sempat menduga, sepa-
sang tangan tiba-tiba muncul dari dalam air dan
berpegangan pada samping kanan perahu. Di saat
lain air berkecipak muncrat ke udara. Lalu sesosok
tubuh melesat dan tahu-tahu tegak di tengah lan-
tai perahu dengan tubuh sedikit dibungkukkan
pada Putri Hitam seraya berkata.
"Harap maafkan kelancanganku! Boleh aku
ikut menumpang?"
Putri Hitam tak segera menjawab perta-
nyaan orang. Dia memandangi orang yang baru
muncul dari dalam, mulai dari rambut hingga ka-
kinya yang basah kuyup. Dada Putri Hitam berde-
gup kencang, sementara matanya sedikit mende-
lik. Kalau saja wajahnya tidak ditutup dengan be-
dak hitam, orang yang baru muncul pasti dapat
menangkap perubahan wajahnya.
"Bagaimana dia bisa menyelam sampai se-
jauh ini? Ah, itu tak penting. Hem... Apakah aku
harus berterus terang padanya saat ini? Dari per-
cakapannya dengan Kamaratih, aku tahu dia juga
sedang mencari Sungging Lanang...." Putri Hitam
berkata sendiri dalam hati setelah dapat mengua-
sai keterkejutannya dan bisa mengenali siapa
adanya orang yang baru muncul.
"Kalau Kau merasa keberatan, aku akan tu-
run kembali...," ujar orang yang baru datang se-
raya pejamkan mata kemudian pentangkannya
kembali!
"Orang tua. Silakan kau menumpang di pe-
rahu ini. Sebenarnya kau hendak ke mana?" tanya
Putri Hitam menahan gerak orang yang hendak
melangkah kembali ke arah samping perahu.
Orang yang seluruh tubuh dan pakaiannya
basah kuyup yang ternyata adalah seorang Kakek
mengenakan pakaian dari kulit ular dengan ram-
but putih panjang dan bermata cacat dan tidak
lain adalah Mata Malaikat palingkan wajah ke arah
Putri Hitam sambil sunggingkan senyum.
"Aku ikut ke mana perahu ini berlayar saja!"
kata Mata Malaikat setelah agak lama terdiam.
"Hendak menuju mana perahu ini?!"
"Aku menuju Bukit Siluman...," jawab Putri
Hitam sambil putar tubuhnya setengah lingkaran.
Mata Malaikat manggut-manggut. Namun
sepasang matanya melirik tajam pada Putri Hitam
seolah menyelidik. "Orang ini sengaja menyembu-
nyikan dirinya. Mungkin dia sedang memburu
lembaran kulit itu," duga Mata Malaikat
"Hem.... Aku tahu. Sebenarnya orang tua ini
juga bertujuan ke bukit itu. Apakah dia menyang-
ka Sungging Lanang akan muncul di sana? Atau
mungkin dia punya niat lain? Memburu lembaran
kulit itu barangkali?" batin Putri Hitam. Lalu beru-
jar dengan mata memandang jauh ke sebelah ba-
rat.
"Orang tua. Boleh tahu siapa kau?!" Mata
Malaikat perdengarkan suara tawa sebelum akhir-
nya menjawab.
"Entah bagaimana mulanya, orang-orang
memanggil tua bangka ini dengan Mata Malaikat.
Padahal jelas-jelas kalau aku ini keturunan manu-
sia! Bukan sebangsa malaikat...."
"Apa betul kau masih keturunan manusia?!"
"Kau lihat sendiri wujudku. Mana ada bang-
sa malaikat sepertiku ini? Juga mana ada malaikat
mempunyai mata cacat? He he he...!"
"Kalau kau benar-benar turunan manusia
tentunya kau punya kerabat. Setidak-tidaknya
punya istri dan anak. Apakah kau punya?!" tanya
Putri Hitam masih dengan memandang jauh.
"Ah...." Mata Malaikat keluarkan keluhan.
Wajah kakek ini mendadak berubah agak murung.
"Aku memang punya istri dan anak...."
Putri Hitam palingkan wajahnya menghadap
Mata Malaikat.
"Apa mereka masih ada?!"
Mata Malaikat menatap tajam pada Putri
Hitam. "Kau ini sebenarnya siapa? Dandananmu
bagus. Aku senang melihatnya...."
Meski ucapan Mata Malaikat nadanya tak
enak, namun Putri Hitam tak menunjukkan wajah
marah. Sebaliknya bibirnya yang hitam sungging-
kan senyum.
"Mungkin karena wajahku hitam, orang
memanggilku Putri Hitam...."
"Ah, kalau kau seorang putri, berarti kau
seorang perempuan!"
"Nama tidak bisa dibuat jaminan jenis se-
seorang. Seperti juga sebutan malaikat tidak dapat
dijadikan alasan bahwa dia bangsa malaikat!"
"Wah, kau pandai juga beralasan... Apakah
kau juga punya suami, atau istri? Atau barangkali
punya anak?"
"Suami atau istri aku tak punya! Tapi anak
aku punya!"
"Aneh. Tak punya suami atau istri tapi
punya anak. Nongolnya bagaimana?"
Putri Hitam tertawa perlahan. "Kau bilang
punya anak. Tentu kau tahu bagaimana nongol-
nya!"
Mata Malaikat garuk-garuk kepala dengan
mata dipentang lebar-lebar. "Maksudmu kau pernah bersuami atau beristri. Tapi, setelah nongol-
nya anak kalian bubaran. Begitu bukan?"
"Kau pandai juga menebak.... Eh, tadi kau
mengatakan anak. Laki-laki apa perempuan? Apa-
kah sekarang masih ada? Siapa namanya?!"
"Wah. Pertanyaanmu banyak sekali. Tapi,
karena kau telah memberi tumpangan padaku,
aku akan menjawab tanyamu. Siapa tahu kau bisa
menolongku!"
"Menolong? Menolong apa, Orang Tua?"
tanya Putri Hitam seakan terkejut.
"Seperti kataku tadi. Aku memang punya
seorang anak laki-laki. Namun sayang, hingga tua
bau tanah begini aku tak dapat melihat anakku!"
Kembali air muka Mata Malaikat berubah agak
murung. Sementara dada Putri Hitam semakin
berdebar-debar.
"Apa dia hilang?!" tanya Putri Hitam. Sua-
ranya berubah agak parau dan bergetar meski
orang masih tak dapat menentukan jenis suara la-
ki-laki atau perempuan.
"Tepatnya diculik seseorang.... Waktu itu
anakku masih berusia enam bulan. Dia bernama
Sungging Lanang...."
Putri Hitam palingkan wajahnya ke samping
untuk menyembunyikan perubahan. Dadanya ber-
getar keras. Mulutnya komat-kamit.
"Jadi benar jika Sungging Lanang adalah
anaknya.... Oh. Apakah aku harus berkata terus
terang padanya? Atau...?"
Putri Hitam tak meneruskan kata hatinya
karena pada saat itu kembali Mata Malaikat telah
lanjutkan ucapannya.
"Bertahun-tahun aku mencarinya. Namun
pencarianku tak membawa hasil. Hanya aku per-
nah dengar kabar anakku telah menikah dengan
seseorang dan telah punya seorang anak. Tapi itu-
lah. Kabar hanya kabar. Dan aku tak berhasil me-
nemukannya."
"Kau bilang anak itu diculik waktu kecil.
Bagaimana kau bisa memastikan bahwa yang su-
dah beristri dan punya anak itu adalah anakmu?!"
"Orang yang mengabariku mengatakan ciri-
ciri yang dimiliki anakku. Ciri yang tak bisa diha-
pus oleh apa pun! Anakku punya tahi lalat hijau di
lehernya.... "
Tanpa diketahui oleh Mata Malaikat, Putri
Hitam tampak menggigit bibirnya dengan mata
terpejam. Dan matanya tampak berkaca-kaca
tatkala Mata Malaikat terdengar melanjutkan uca-
pannya dengan suara agak pelan.
"Kalau aku boleh minta pada Tuhan. Aku
hanya minta dipertemukan dengan anakku. Lebih-
lebih dengan cucuku sebelum aku berkalang ta-
nah...."
Untuk beberapa saat lamanya dua orang ini
sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Tapi
karena saat itu Putri Hitam tegak membelakangi,
Mata Malaikat tak tahu jika Putri Hitam telah ber-
linang air mata.
"Seandainya dia tahu...," desis Putri Hitam.
Tapi desisannya tak berlanjut karena pada saat
bersamaan terdengar suara.
"Berhenti!"
Putri Hitam dan Mata Malaikat sama-sama
palingkan wajah ke arah datangnya suara. Dari
belakang, tampak sebuah perahu melaju ke arah
mereka. Kedua orang ini melihat seorang kakek
bertubuh bungkuk. Matanya besar melotot. Hi-
dungnya besar dan mulut lebar. Kumis, jambang,
dan jenggotnya panjang awut-awutan dan berki-
bar-kibar diterpa angin. Rambutnya yang putih
dan panjang hanya tumbuh di separo kepalanya
bagian samping kanan. Sedang bagian samping ki-
ri tampak kelimis tak ditumbuhi rambut!
Kakek ini berdiri di atas perahu dengan
hanya menggoyang-goyangkan bahunya. Namun
demikian, bersamaan dengan gerakan bahunya,
perahu yang dinaiki melaju di atas permukaan air
sungai dengan deras. Tak lama lagi pun perahu
Putri Hitam akan tersusul!
Mata Malaikat kerutkan dahi sambil men-
dongak. Putri Hitam memperhatikan dengan coba
menduga-duga siapa adanya si kakek bungkuk.
Namun karena tak dapat mengenali siapa adanya
orang di atas perahu yang kini makin mendekat,
Putri Hitam berkata pada Mata Malaikat.
"Kek.... Kau mengenal orang itu?!" Mata Ma-
laikat berpaling pada Putri Hitam. "Kalau mataku
tak menipu, kakek itu adalah tokoh persilatan
yang bergelar Titisan Iblis!"
Putri Hitam tampak terkejut. "Aku pernah
mendengar gelar orang itu.... Kabarnya dia seorang
berilmu tinggi dan sangat berbahaya...."
"Tak salah!" sahut Mata Malaikat. "Malah
aku heran padanya. Sejak dulu kala dia selalu
menginginkan selembar nyawaku. Padahal ra-
sanya aku tak pernah bersalah ucap dan bertan-
gan kasar padanya!"
"Jadi kau punya silang sengketa dengan-
nya?!"
"Dari pihakku tidak. Karena semua orang
kuanggap sahabat!"
Mata Malaikat lalu palingkan wajahnya ke
arah kakek bungkuk yang berada di atas perahu di
sampingnya yang bukan lain memang dedengkot
dunia persilatan sekaligus guru Utusan Iblis yakni
Titisan Iblis.
"Sobatku, Titisan Iblis!" seru Mata Malaikat
di antara kecipak air dan suara angin. "Senang
bertemu kau lagi. Berlayar sendirian, hendak ke
manakah gerangan?!"
Titisan Iblis hentikan gerakan bahunya
hingga perahu yang dinaikinya, berkurang jauh la-
junya!
Ucapan Mata Malaikat disambut dengusan
keras oleh Titisan Iblis. Matanya yang besar mem-
belalak memperhatikan pada Mata Malaikat lalu
beralih pada Putri Hitam. Saat pandangannya ter-
tuju pada Putri Hitam, dengusan Titisan Iblis be-
rubah menjadi tawa pelan bernada mengejek.
"Kau tampaknya kehabisan akal dan tak la-
ku lagi, Bandot Tua! Hingga orang yang tak jelas
bentuk dan jenisnya kau gaet juga! Ha ha ha...!
Mau ceritakan padaku bagaimana rasanya orang
tak berbentuk dan tak berjenis?!"
Mendengar ucapan Titisan Iblis, Putri Hitam
tampak komat-kamitkan mulut. Wajahnya mengeras dengan mata mendelik. Sementara Mata Ma-
laikat tengadah dengan mata terpejam.
"Sudah tua tapi mulutmu tambah busuk.
Sekali lagi kau berkata kotor aku tak segan mem-
buat perahumu hancur!" teriak Putri Hitam marah.
"Tenang, Putri...," bisik Mata Malaikat.
"Jangan masukkan ke hati ucapannya. Dia sudah
biasa berkata seperti itu!"
"Tapi ucapannya keterlaluan! Mulut seperti
itu sesekali patut dihajar!"
Di seberang, Titisan Iblis tertawa bergelak-
gelak. Namun cuma sekejap. Di lain saat matanya
melotot ke arah Putri Hitam.
"Kau tampaknya punya nyali. Tidak seperti
beberapa gendak bandot tua itu yang dulu-dulu!
Hem.... Mungkin itu sebabnya bandot tua itu
menggaetmu meski tak jelas jenis dan bentukmu!"
Kemarahan Putri Hitam tampaknya sudah
tak dapat diatasi. Orang ini segera melangkah ke
tengah perahu. Tiba-tiba perahu yang dinaiki ber-
guncang-guncang.
Sebagai orang yang memiliki naluri tajam,
Mata Malaikat telah tahu jika guncangan itu aki-
bat Putri Hitam telah kerahkan tenaga dalamnya.
"Putri Hitam. Tunda dulu kemarahanmu.
Titisan Iblis bukan orang sembarangan. Lebih dari
itu, air baginya sama dengan daratan! Dan perlu
kau ketahui. Semua ucapannya tentang diriku be-
nar adanya! Sejak muda dulu, aku memang selalu
berganti-ganti perempuan. Jadi harap kau menger-
ti...."
"Aku tak mau tahu semua itu! Dan jangan
kira aku takut pada setan tua itu hanya karena
ucapanmu!" desis Putri Hitam, namun dia masih
belum memulai membuat gerakan untuk kirimkan
pukulan.
"Bandot tua!" seru Titisan iblis. "Akhirnya
kau harus mampus di samping gendakmu yang
aneh. Sungguh suatu akhir yang memilukan!"
Sebelum Putri Hitam berkata, Mata Malai-
kat telah mendahului.
"Sobat. Aku harus mampus itu sudah pasti.
Namun sejak dulu kau tak mau pernah mengata-
kan mengapa kau selalu memburu nyawaku. Se-
karang apakah kau masih enggan mengatakan-
nya?!"
"Jawaban akan kau peroleh begitu nyawa-
mu melayang! Bersiaplah, Bandot!"
Tanpa disangka-sangka habis berkata begi-
tu, Titisan Iblis telah mendahului menggebrak
dengan kirimkan pukulan jarak jauh bertenaga da-
lam tinggi.
Wuuuttt! Wuuuttt!
***
TUJUH
DUA gulungan awan hitam melesat dengan
keluarkan suara laksana guntur yang bersahut-
sahutan, di lain kejap tampak cahaya berkilat-
kilat. Inilah pukulan sakti milik Titisan Iblis yang
juga telah diwariskan pada muridnya si Utusan Iblis, yakni pukulan 'Gemuruh Badai'.
Melihat Titisan Iblis telah menggebrak le-
paskan pukulan, Putri Hitam makin berang. Begi-
tu pukulan Titisan Iblis bergerak melesat, Putri Hi-
tam cepat angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke
atas kepalanya. Lalu disentakkan ke bawah.
Beeettt! Beeettt!
Dua gulungan awan hitam pukulan Titisan
Iblis mendadak tertahan lantas melesat amblas ke
dalam sungai! Namun permukaan air sungai tak
sepercik pun muncrat!
Kalau gulungan awan hitam dapat tertahan
bahkan langsung amblas, tidak demikian halnya
dengan cahaya kilat. Cahaya kilat itu terus mele-
sat!
Putri Hitam tampak terkejut, namun sebe-
lum orang ini bergerak, Mata Malaikat dorongkan
kedua tangannya!
Seeettt! Settt!
Asap putih tipis tampak bergerak naik tu-
run keluar dari dorongan kedua tangan Mata Ma-
laikat. Lalu menyergap ke arah cahaya berkilat.
Cahaya langsung redup. Namun bersamaan den-
gan itu terdengar ledakan dahsyat. Permukaan air
membumbung. Perahu yang ditumpangi Mata Ma-
laikat terhempas sampai sepuluh tombak ke samp-
ing. Namun baik Titisan Iblis maupun Putri Hitam
tampak tetap tegak meski raut keduanya tampak
berubah dan tubuhnya bergetar keras.
Di seberang sana, perahu yang dinaiki Titi-
san Iblis terlihat jungkir balik di atas permukaan
air. Tapi begitu terhenti, Titisan Iblis masih tampak berdiri tegak di lantai perahu! Malah baik tu-
buh maupun pakaiannya tidak basah!
Titisan Iblis sejenak perhatikan dirinya. La-
lu alihkan pandangannya pada Mata Malaikat
yang masih tegak membelakangi. Titisan Iblis
mendengus keras lalu serta-merta gerakkan ba-
hunya. Perahu yang dinaiki bergerak melaju ke
arah samping. Membelah arus sungai!
Kira-kira lima tombak di samping perahu
Putri Hitam, kembali Titisan Iblis angkat kedua
tangannya sejajar dada lalu ditarik ke belakang.
Perahu Putri Hitam tampak terseret mende-
kat. Namun ketika Mata Malaikat dorong kedua
tangannya ke depan, perahu itu kembali menjauh.
Titisan Iblis lipat gandakan tenaga dalamnya. Per-
lahan-lahan perahu Putri Hitam kembali bergerak
mendekat. Malah kali ini melaju dengan kencang.
Tapi lagi-lagi perahu itu menjauh begitu Mata Ma-
laikat dorongkan kedua tangannya ke depan. Un-
tuk beberapa saat lamanya terjadi saling tarik
dengan kerahkan tenaga dalam. Namun pada satu
kesempatan, Titisan Iblis yang tampak tak sabar
segera hantamkan kedua tangannya. Lepaskan
pukulan 'Gemuruh Badai'.
Putri Hitam yang sedari tadi telah siap tak
menunggu lama. Pada saat itu juga dia hantamkan
pula kedua tangannya.
Kali ini terdengar dentuman keras. Air sun-
gai muncrat setinggi empat tombak ke udara. So-
sok Titisan Iblis tampak mencelat dari perahu lalu
melayang ke bawah sebelum akhirnya masuk ke
dalam air. Perahunya tampak pecah berantakan
lalu hanyut dibawa arus sungai yang deras!
Di lain pihak, Putri Hitam hampir saja men-
tal. Untung Mata Malaikat cepat menahan tubuh
Putri Hitam dengan tempelkan kedua tangannya
ke punggung orang berwajah hitam itu. Hingga tu-
buh Putri Hitam hanya berguncang-guncang. Pe-
rahunya pun tampak pecah di bagian depan.
"Putri Hitam.... Kita harus cepat sampai di
bukit itu. Menghadapi tua bangka itu sangat ber-
bahaya jika di atas air!" kata Mata Malaikat lalu
turunkan tangannya dari punggung Putri Hitam.
Tanpa menunggu jawaban, Mata Malaikat men-
gambil dayung! Dengan putar perahu, meletakkan
bagian yang pecah di belakang, Mata Malaikat pun
mulai mendayung. Sekali dia tancapkan dayung ke
dalam air, perahu pecah itu melesat cepat ke de-
pan.
* * *
Jauh di belakang, di dalam sungai, tampak
Titisan Iblis mengerjap lalu usap dadanya. Tak be-
rapa lama kemudian tubuhnya melesat laksana
ikan. Anehnya, kakek ini sepertinya punya daya
sedot luar biasa. Meski di dalam air tapi tubuh dan
pakaian yang dikenakan tampak kering! Malah se-
sekali dia tampak seperti sedang melangkah di
atas daratan!
"Jahanam! Siapa gendak bandot tua itu?"
Dari bentrok pukulan dengan Putri Hitam, nam-
paknya diam-diam Titisan Iblis maklum jika Putri
Hitam tidak bisa dipandang sebelah mata. Malah
dia segera bisa mengira-ngira jika tingkat kepan-
daian Putri Hitam sudah hampir sejajar dengan
Mata Malaikat. "Hem.... Melihat arahnya dapat ku-
pastikan mereka sedang menuju Bukit Siluman.
Apakah Utusan Iblis sudah berada di sana? Anak
itu rupanya tak berhasil membuat tewas bandot
tua itu, ataukah dia belum sempat bertemu?" Titi-
san Iblis terus mereka-reka seraya terus melesat di
dalam air.
***
DELAPAN
KITA kembali pada Pendekar Mata Keran-
jang yang terus melaju dengan menggunakan pe-
cahan rakit ke arah Bukit Siluman. Saat itulah,
Pendekar Mata Keranjang melihat adanya gundu-
kan tanah yang menjulang ke atas, di sebelah de-
pan!
"Tak salah lagi...," kata Aji dalam hati. "Itu-
lah Bukit Siluman!"
Pendekar Mata Keranjang ini pun menga-
rahkan pecahan rakitnya ke gundukan tanah itu.
Dan, begitu dua tombak lagi pecahan rakit mera-
pat ke pinggir, murid Wong Agung telah berkele-
bat. Setelah sepasang kakinya menjejak tanah, se-
jenak sepasang matanya yang tajam memperhati-
kan berkeliling.
"Hem.... Rupanya sudah ada orang yang
mendahului ke tempat ini. Apakah dia orang yang
menyamar sebagai Setan Pesolek itu?" gumam Aji
begitu matanya melihat sebuah sampan terselip di
sela tumbuhan pinggir sungai. Dia lalu layangkan
pandangannya sekali lagi. Tapi, dia tak lagi melihat
sebuah sampan atau perahu lainnya. Pemuda ini
lantas arahkan pandangannya ke sungai. Saat itu-
lah matanya samar-samar menangkap sebuah pe-
rahu melaju berlawanan dengan arus sungai.
"Rupanya ada orang menuju kemari. Aku
harus bertindak cepat!" Aji lantas putar tubuh dan
berkelebat. Medan yang ditempuhnya menanjak.
Baru beberapa tombak, murid Wong Agung ini ter-
kesima dengan pemandangan tempat itu. Tak ada
tanda-tanda kehidupan. Yang tampak hanya gun-
dukan-gundukan tanah dan pohon-pohon gundul
di sana-sini. Pohon-pohon yang tak berdaun sama
sekali!
Beberapa saat kemudian, murid Wong
Agung tersadar dari kesimanya. Sepasang telin-
ganya ditajamkan. Matanya jelalatan kian kemari.
"Tak ada tanda-tanda adanya orang.... Lalu
di mana lembaran kulit itu berada...? Di sini hanya
batu-batu dan tanah...." Aji menghela napas pan-
jang. Lalu melangkah ke arah tonjolan batu agak
besar. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar.
Di situ dia menemukan sebuah lobang.
"Terowongan...," desis Aji seraya terus
memperhatikan ke dalam. Setelah agak lama ter-
diam, dia mulai melangkah memasuki terowongan.
"Aneh. Di sini terasa hangat...," gumam Aji
dengan terus melangkah. Sesekali dia berpaling ke
belakang. Lalu meraba-raba samping terowongan
karena keadaan di dalam mulai agak gelap.
Ketika langkahnya sampai di ujung tero-
wongan, murid Wong Agung berhenti. Di hada-
pannya kini tampak hamparan tanah membentuk
lingkaran sebesar dua puluh tombak berkeliling.
Di sebelah depan sana, terlihat beberapa lobang
terowongan. Ada keanehan di hamparan tanah
gersang yang menghubungkan antara terowongan
pertama dengan beberapa terowongan di depan
sana. Pada hamparan tanah itu tampak tonjolan-
tonjolan batu yang bertuliskan angka-angka dari
satu sampai dua puluh delapan.
Melihat angka-angka yang tertera di bebe-
rapa tonjolan batu, Aji terkesiap. Dia teringat akan
petunjuk yang diberikan Peri Kupu-kupu. Tanpa
sadar ia menggumamkan petunjuk itu. "Tiga tam-
bahkan tiga dan seterusnya...." Dia tercenung be-
berapa lama. "Bagaimana maksudnya ini? Apakah
aku harus mulai dari angka tiga? Lalu tambahkan
tiga, berarti enam. Lalu ditambah tiga, berarti
sembilan. Hem.... Jika begitu, angka-angka selain
pertambahan tiga adalah angka jebakan....," sim-
pul Aji pada akhirnya. Lalu memandang ke arah
hamparan tanah di hadapannya. Kemudian murid
Wong Agung lantas mengambil kerikil sebesar ke-
palan di dekat terowongan. Kerikil itu dilemparkan
ke gundukan batu yang bernomor genap.
Busss!
Begitu kerikil mendarat di gundukan batu
bernomor empat, kerikil itu seperti menimpa lan-
dasan yang lunak. Gundukan batu itu bergoyang.
Sekejap kemudian, sedikit demi sedikit kerikil itu
terbenam. Sesaat kemudian, lenyap. Sedangkan
gundukan batu itu tenang kembali laksana tak
pernah terjadi apa-apa!
Aji terkesiap dengan mata membelalak dan
mulut menganga.
"Mengerikan.... Kalau saja aku tak menda-
patkan petunjuk itu bukan mustahil tubuhku
akan tercabik dan amblas masuk.... Hem.... Apa-
kah orang yang menyamar dan telah mengetahui
petunjuk itu berhasil melewati hambatan ini?" Aji
sapukan pandangannya berkeliling. Tapi dia tak
menemukan siapa-siapa.
"Ah, persetan dengan orang itu!" Akhirnya
Aji tak mempedulikan lagi dengan orang yang se-
lama ini masih menjadi teka-teki baginya. Dia lalu
perlahan-lahan melangkah ke arah hamparan ta-
nah gersang.
Pendekar 108 menarik napas dalam-dalam.
"Mudah-mudahan aku tak salah menjabarkan pe-
tunjuk itu. Aku hanya menginjak angka kelipatan
dari tiga...," kata Aji ke dalam hati. Lalu sekali ber-
kelebat tubuhnya melesat dan tegak di tonjolan
batu berangka tiga. Dada murid Wong Agung tam-
pak berdebar keras begitu kakinya menginjak batu
berangka tiga. Dia memejamkan mata seraya me-
nunggu sambil ancang-ancang melakukan lompa-
tan mundur kembali. Tapi setelah agak lama ber-
diri dan batu yang diinjak tidak amblas masuk, Aji
bernapas lega. Dia buka kelopak matanya. Kini
pandangannya tertuju ke arah tonjolan batu be-
rangka enam.
"Jika aku selamat pada batu berangka
enam, berarti petunjuk itu telah dapat kujabarkan
dengan benar...." Aji lantas meloncat ke arah tonjo-
lan batu berangka enam. Seperti tadi kali ini Aji
tegak menunggu agak lama di tonjolan batu be-
rangka enam seraya ancang-ancang melompat
mundur. Namun begitu batu berangka enam tak
bergeming, murid Wong Agung tampak te-
ngadahkan kepala sambil menarik napas lega.
"Aku berhasil....," serunya dalam hati. Tan-
pa pikir panjang lagi Aji segera meloncat kembali.
Kini menuju tonjolan batu berangka sembilan.
Namun setengah jalan, tiba-tiba dari arah depan
terdengar suara deru dahsyat. Di lain kejap se-
rangkum gelombang angin deras menggebrak ke
arah Pendekar Mata Keranjang!
Menduga hal itu salah satu jebakan, murid
Wong Agung cepat melompat mundur dan menje-
jak pada batu berangka enam kembali. Saat ka-
kinya menginjak batu itulah rangkuman angin me-
labrak! Tak ada jalan lain bagi Aji selain berkelit
menangkis untuk menyelamatkan diri.
Dengan kembangkan kedua tangannya dan
mendorong ke depan, Aji melesat mundur dan
menjejak pada tonjolan batu berangka tiga.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Blaaarrr!
Tempat itu bergetar. Anehnya hamparan ta-
nah gersang itu tak beriak atau bergelombang. Ma-
lah ledakan itu tak menimbulkan gema! Suara le-
dakan akibat bentroknya gebrakan angin dengan
pukulan yang dilancarkan Aji hanya terdengar se-
kejap. Kejap kemudian lenyap laksana direnggut
setan!
Namun itu semua lepas dari penglihatan
Aji, karena murid Wong Agung mulai curiga bahwa
sambaran angin yang menggebrak ke arahnya bu-
kanlah sebuah jebakan tapi sebuah serangan yang
dilancarkan seseorang.
Dugaan Aji tak meleset. Karena kejap ke-
mudian terdengar suara tawa mengekeh panjang!
Dan seperti suara ledakan tadi, suara tawa itu ti-
dak bergema meski nyata benar jika tawa itu dike-
luarkan dengan pengerahan tenaga dalam!
"Suara tawa seorang perempuan!" bisik Aji
seraya arahkan pandangannya ke depan, dari ma-
na suara tawa bersumber.
"Siapa pun kau adanya, tunjukkan diri!" te-
riak Aji.
Teriakan Aji disambut dengan suara tawa
panjang. Lalu terdengar orang berkata.
"Kalau kau ingin tahu, kenapa masih tegak
di situ? Kemarilah, Anak Muda!"
Kembali Aji layangkan pandangannya ber-
keliling. Namun dia belum bisa menentukan di
mana orang yang bersuara berada.
"Jika aku menuruti ucapannya, bukan tak
mungkin dia akan menyerangku saat aku melewati
tonjolan batu-batu itu! Dan sekali salah injak, ha-
bislah riwayatku...." Berpikir sampai di situ untuk
beberapa lama murid Wong Agung belum beranjak
dari tempatnya.
"Kau takut, Anak Muda?!"
Meski hatinya masih digelayuti perasaan
khawatir, Aji dengan tertawa pelan berujar.
"Menghadapi orang licik dan pengecut se-
pertimu, apa yang ditakutkan?!"
Tak ada sahutan dari seberang, namun se-
bentar kemudian terdengar suara kembali. "Kalau
begitu kenapa masih diam di situ? Tak tahukah
kau jika aku menunggumu?!"
Mengingat masih ada beberapa orang yang
sedang menuju tempat ini yang menginginkan
Lembaran Kulit Naga Pertala, akhirnya Pendekar
108 mengambil keputusan untuk teruskan lang-
kah. Apalagi Aji mulai yakin jika orang yang per-
dengarkan suara adalah orang yang berhasil me-
nyamar sebagai Setan Pesolek dan membawa lari
kipas ungu 108.
Setelah berpaling ke belakang, murid Wong
Agung mulai lagi arahkan pandangannya pada ba-
tu berangka enam. Seraya siapkan pukulan, pe-
muda ini melompat dan kini tegak di batu berang-
ka enam. Dari arah depan tak ada serangan atau
terdengar suara.
Aji tak buang waktu, dia lantas melesat
kembali. Hanya sejenak menjejak di batu berangka
sembilan lalu melesat ke arah batu berangka dua
belas. Sejauh ini masih juga tak ada serangan, tapi
Pendekar Mata Keranjang tetap waspada. Setelah
melirik ke depan, murid Wong Agung kembali me-
loncat. Yang dituju adalah batu berangka lima be-
las. Namun baru saja bergerak, dari arah depan
terdengar suara menggemuruh dahsyat! Sesaat
kemudian sebuah gelombang angin datang me-
nyambar!
Aji teruskan loncatannya sambil hantamkan
kedua tangannya.
Bunyi gaduh terdengar ketika angin keras
menggebrak dari telapak tangan Aji! Kejap kemu-
dian terdengar letupan keras. Aji merasa disapu
gelombang angin deras hingga tubuhnya tampak
berguncang. Karena tak ada tempat untuk meng-
geser tubuh, akhirnya murid Wong Agung melom-
pat mundur kembali. Saat itulah dari arah depan
mendadak melesat dua sinar kuning yang di lain
kejap tiba-tiba mengembang lalu menggebrak ke
arah Pendekar Mata Keranjang dari segala jurusan
dengan keluarkan suara bergemuruh dan mene-
barkan hawa panas!
"Sialan! Batu-batu ini terlalu kecil untuk
bergerak leluasa!" keluh Aji lalu melompat mundur
kembali sambil lepaskan pukulan untuk menang-
kis.
Blaaarrr!
Untuk ke sekian kalinya tempat itu digun-
cang suara ledakan dahsyat. Dari arah depan ter-
dengar seruan tertahan. Sementara murid Wong
Agung tampak pucat pasi. Sesaat kemudian so-
soknya mental ke belakang. Untung dia masih si-
gap, hingga meski mencelat namun pijakannya te-
pat pada tonjolan batu berangka tiga. Untuk bebe-
rapa saat Aji mengusap dadanya yang terasa nyeri
dan sesak. Saat itulah dari salah satu terowongan
di sebelah depan berkelebat sesosok tubuh. Belum
sampai menjejak, sosok tersebut telah lepaskan
pukulan!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Aji terkejut. Buru-buru dia hantamkan ke
dua tangannya. Namun sebelum tangannya meng-
hantam, pukulan lawan telah mendahului me-
nyergap!
Aji merasakan dadanya terhantam benda
berat. Sosoknya mencelat mental ke belakang. Ka-
rena di belakangnya menghadang lamping batu
itu. Begitu kerasnya hingga sebagian lamping batu
itu berguguran.
Sesaat kemudian tubuh Aji terkulai bersan-
dar pada lamping batu. Darah tampak mengucur
dari mulut dan hidungnya.
Terdengar suara tawa mengekeh panjang.
Lalu sosok di seberang berkelebat meloncat di an-
tara beberapa tonjolan batu di hamparan tanah
gersang. Kejap kemudian sosok tersebut telah te-
gak di hadapan Aji dengan kacak pinggang.
"Sayang, waktumu tidak tepat, Anak Muda.
Sebenarnya aku ingin mengajakmu bersenang-
senang terlebih dahulu sebelum kau meninggalkan
dunia ini! Hik... hik... hik...!"
Dengan wajah berubah Aji tengadahkan ke-
pala. Sepasang matanya membelalak dan dagunya
langsung menggembung. Dadanya yang nyeri ber-
getar keras. Mulutnya bergerak-gerak namun tidak
ada suara yang terdengar. Sementara orang di ha-
dapan Aji kembali perdengarkan suara tawa.
Ternyata orang itu adalah seorang perem-
puan berparas cantik mengenakan pakaian putih
tipis dan ketat yang di bagian dadanya dibuat ren-
dah hingga sembulan buah dadanya yang kencang
menantang tampak jelas. Kulitnya putih dengan
rambut panjang tergerai. Sepasang matanya bulat
tajam.
"Aku menyesal sekali, Anak Muda. Karena
pertemuan ini adalah pertemuan kita yang terak-
hir...," ujar si perempuan cantik berpakaian putih
yang tidak lain adalah Bidadari Penyebar Cinta.
Seperti telah dituturkan dalam episode :
"Bidadari Penyebar Cinta", dengan menyamar se-
bagai Setan Pesolek akhirnya Bidadari Penyebar
Cinta berhasil mengelabui Aji dan membawa lari
kipas ungu 108 serta memperoleh petunjuk. Na-
mun perempuan cantik ini hanya bisa menjabar-
kan petunjuk yang diperolehnya sebagian saja.
Hingga langkahnya tertahan di seberang hampa-
ran tanah gersang. Dan semula Bidadari Penyebar
Cinta telah memperkirakan Aji pasti akan datang
ke tempat itu. Pada awalnya Bidadari Penyebar
Cinta punya gagasan untuk membiarkan Aji me-
nyelinap dengan harapan Pendekar Mata Keran-
jang telah dapat menjabarkan petunjuk yang be-
lum bisa dipecahkannya. Namun pikirannya beru-
bah ketika disadari masih banyak orang yang pasti
akan menuju Bukit Siluman. Akhirnya dia men-
gambili keputusan untuk membunuh siapa saja
yang memasuki terowongan itu. Dengan terbu-
nuhnya beberapa orang yang coba-coba melewati
hamparan tanah gersang, pada akhirnya dia akan
leluasa bergerak tanpa dihantui ketakutan da-
tangnya orang.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau sudah
siap?!" kata Bidadari Penyebar Cinta sambil mera-
ba pinggangnya.
Murid Wong Agung tak menyahut. Hanya
sepasang matanya tak berkedip menatap tajam.
"Kau tak usah cemas. Aku tak akan mem-
bunuhmu dengan tanganku. Tanganku hanya se-
bagai perantara. Tapi yang mengantar nyawamu
adalah barangmu sendiri. Senjata makan tuan,
Pendekar Mata Keranjang!"
Habis berkata begitu, tangan kanan Bidada-
ri Penyebar Cinta menyelinap ke balik pakaiannya.
Lalu....
Wuuuttt!!
Secercah sinar ungu menebar. Aji terkesiap
dengan mata mendelik memandang ke arah tan-
gan Bidadari Penyebar Cinta yang kini menggeng-
gam sebuah kipas lipat ungu berguratkan angka
108.
"Perempuan busuk! Jadi kau yang...."
"Terlambat, Pendekar Mata Keranjang!" po-
tong Bidadari Penyebar Cinta. Lalu tanpa berkata
lagi tangan yang menggenggam kipas mengayun ke
arah kepala murid Wong Agung!
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Ma-
ta Keranjang untuk mengelak. Karena di bela-
kangnya menghadang lamping batu, sementara
bergerak ke samping kanan atau kiri tak ada gu-
nanya.
Sinar ungu yang disertai deru dahsyat terus
melesat membabat ke arah kepala Pendekar Mata
Keranjang yang tak berkutik dari kipas di tangan
Bidadari Penyebar Cinta.
Pada saat sangat genting itulah mendadak
dari arah lobang terowongan berkelebat dua sosok
bayangan. Pada saat bersamaan, menyambar angin deras lalu salah satu bayangan menyambar so-
sok murid Wong Agung.
Meski tubuhnya laksana dilanda gelombang
dan terhuyung-huyung, sambil berseru keras Bi-
dadari Penyebar Cinta teruskan babatan kipasnya.
Namun sambaran angin yang datang rupanya le-
bih dahsyat, hingga setengah jalan tangan Bidada-
ri Penyebar Cinta mental ke belakang. Di saat yang
sama sebuah tangan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya Bidadari Penyebar Cinta berseru keras. Tan-
gannya bergetar dan kejap kemudian kipas di tan-
gan kanannya terlepas!
Bidadari Penyebar Cinta bantingkan sepa-
sang kakinya. Dia tak pedulikan siapa adanya
orang yang menolong Pendekar Mata Keranjang.
Yang diingat perempuan cantik ini pertama kali
adalah menyelamatkan kipas ungu 108. Maka be-
gitu dapat menguasai tubuh, dia cepat berpaling
ke samping, di mana kipas ungu tergeletak. Sece-
pat kilat Bidadari Penyebar Cinta sorongkan tu-
buhnya ke samping. Tangan kanannya menjulur
hendak mengambil kipas itu.
Namun sebuah kain gombrong bergerak
mendahului dan menutup kipas itu dari pengliha-
tan Bidadari Penyebar Cinta. Tanpa melihat siapa
pemilik kain gombrong, Bidadari Penyebar Cinta
hantamkan tangan kanannya yang tadi hendak
mengambil kipas ke arah kain gombrong, sementa-
ra tangan kirinya bergerak pula menyentak.
Wuuuttt!
Bidadari Penyebar Cinta keluarkan gemele-
tak dari mulutnya, karena bukan saja tangannya
hanya menghantam tempat kosong, namun ber-
samaan dengan lenyapnya kain gombrong, kipas
ungu 108 lenyap pula dari tempat itu!
Serentak Bidadari Penyebar Cinta bangkit
tegak dengan mata nyalang dan rahang menggem-
bung. Dari tempatnya sejarak lima tombak di sebe-
lah kanan dia melihat seorang berwajah hitam
yang rambutnya dikuncir sampai sepuluh buah. Di
sebelahnya tegak seorang kakek bermata aneh.
Sebelah kanan menonjol keluar, senantiasa mem-
belalak. Sedangkan mata kirinya hampir berupa
sebuah garis! Kakek ini mengenakan pakaian dari
kulit ular. Sementara, di bawah kedua orang ini
duduk bertumpu pada kedua sikunya Pendekar
Mata Keranjang dengan mata memandang ke
arahnya!
***
SEMBILAN
SETAN! Tua bangka ini sungguh sukar di-
terka jalan pikirannya. Dahulu minta bergabung,
tapi kini muncul ikut campur urusanku. Kalau se-
tan ini tidak segera digebuk tewas, bisa-bisa dia
menggagalkan urusanku! Hem.... Manusia hitam
ini siapa? Gerakannya sangat cepat. Dia juga ha-
rus tewas!"
"Mata Malaikat dan kau!" sentak Bidadari
Penyebar Cinta sambil arahkan telunjuknya ke
arah Putri Hitam. Suara perempuan berwajah cantik ini terdengar bergetar. "Kalian telah salah lang-
kah ikut campur urusanku. Kalian tahu akibat-
nya?!"
Mata Malaikat berpaling pada Putri Hitam
yang saat itu tengah condongkan tubuh ke arah
Aji hendak memberikan pertolongan.
"Putri...," ujar Mata Malaikat. "Kau dengar
ucapan orang. Kau sajalah yang menjawab! Kau
tahu bukan? Aku paling tak bisa menghadapi pe-
rempuan apalagi berwajah cantik dan bertubuh
sintal!"
Putri Hitam tegakkan kembali tubuhnya.
Berpaling sejenak ke arah Mata Malaikat sebelum
akhirnya beralih pada Putri Hitam. Diam-diam Pu-
tri Hitam dilanda kebimbangan. Apakah dia akan
bertanya terus terang pada Bidadari Penyebar Cin-
ta tentang keberadaan Sungging Lanang yang me-
nurut Kamaratih beberapa kali terlihat bersama
Bidadari Penyebar Cinta. Padahal dia juga tahu
sebenarnya Mata Malaikat mempunyai tujuan
yang sama dengan dirinya. Entah karena dilanda
kebimbangan hingga akhirnya dia tak keluarkan
sepatah kata pun. Hanya pandangan matanya te-
rus memperhatikan pada Bidadari Penyebar Cinta
dengan mata tak berkedip.
"Ah...," keluh Mata Malaikat. "Nyatanya kau
juga sepertiku jika menghadapi perempuan cantik.
Jangan-jangan kau ini laki-laki!" bisiknya lalu ter-
tawa mengekeh, membuat Bidadari Penyebar Cinta
makin geram.
Sementara Aji yang masih setengah duduk
dengan bertumpu pada kedua sikunya perlahan
lahan selinapkan tangan kanannya ke balik pa-
kaiannya. Lalu mengeluarkan gumpalan benda lu-
nak berwarna gelap yang diberikan Peri Kupu-
kupu beberapa waktu lalu. Tanpa pikir panjang
gumpalan benda itu dimasukkan ke dalam mulut-
nya. Lalu pelan-pelan dihisapnya. Tak berselang
lama, ngilu di sekujur tubuhnya lenyap dan pere-
daran darahnya normal kembali. Begitu dirasakan-
nya pulih, Aji bergerak bangkit. Lalu hadapkan tu-
buh pada Mata Malaikat dan Putri Hitam seraya
menjura dan berkata.
"Budi jasa kalian tak akan kulupakan!
Maafkan atas salah sangkaku...."
"Lupakan semua itu. Kau sekarang telah
tahu siapa orangnya bukan?!" Yang keluarkan su-
ara adalah Mata Malaikat. "Nah, kami berdua tak
bisa menghadapi orang cantik macam dia. Kau
yang masih muda mungkin dapat membantu. Si-
lakan kau saja sekarang yang bicara dengannya!
Yang tua-tua ini biar jadi pendengar saja. Tapi ka-
lau ada rejeki jangan lupa.... Bukankah begitu, Pu-
tri?!" sambil berkata Mata Malaikat arahkan pan-
dangannya pada Putri Hitam.
Putri Hitam tidak menyambuti ucapan Mata
Malaikat. Dia tetap memandang pada Bidadari Pe-
nyebar Cinta. Sebaliknya demi mendengar Mata
Malaikat memanggil Putri pada Putri Hitam, Bida-
dari Penyebar Cinta sunggingkan senyum seringai
dan perdengarkan tawa pelan.
"Putri... Hik.... Hik.... Hik.... Orang tak tentu
bentuknya begitu bergelar Putri. Putri setengah gi-
la? Atau Putri tak punya bentuk?!"
"Jaga mulutmu, Perempuan Penipu!" bentak
Aji. Bidadari Penyebar Cinta kembali menyeringai.
"Hem.... Kau tak terima rupanya, Anak Mu-
da! Apa hubunganmu dengan Putri ini? Mungkin
simpananmu?! Kasihan.... Wajah tampan tapi
punya kelainan. Hik.... Hik.... Hik...!"
Aji katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia
melangkah maju dengan tangan siap lepaskan pu-
kulan, namun gerakannya ditahan oleh suara Pu-
tri Hitam.
"Tahan dulu, Pendekar Mata Keranjang!
Kami punya kepentingan dengan dia. Lebih baik
kau teruskan tujuan. Biar kami yang mengha-
dangnya di sini!" Setelah berkata begitu Putri Hi-
tam bungkukkan tubuh. Dari bawah pakaiannya
yang gombrong dia keluarkan kipas ungu 108. La-
lu diberikan pada Aji. Aji cepat menyambuti. Na-
mun wajah Aji masih tampak ragu-ragu. "Pergi-
lah!" kata Putri Hitam lagi. Aji sekali lagi mem-
bungkuk lalu berkelebat dan sejenak kemudian
dia telah melompat-lompat di antara batu tonjolan
berangka di hamparan tanah gersang.
"Jahanam! Kau cari mati!" bentak Bidadari
Penyebar Cinta lalu angkat kedua tangannya.
"Sabar, Bidadari Penyebar Cinta! Kipas itu
miliknya. Siapa pun tak berhak merampas milik
orang lain! Kalau kau ingin memburu lembaran
kulit itu silakan. Tak ada yang melarang asal den-
gan jalan baik-baik!" tahan Putri Hitam tanpa
membuat gerakan sama sekali.
"Setan alas! Siapa kau sebenarnya?!"
"Kau boleh memanggilku apa saja, silakan
menduga siapa saja. Yang pasti aku punya kepen-
tingan denganmu!"
"Aku tak pernah berhubungan dengan
orang macam kau! Jangan berani cari alasan!"
"Kita memang tak pernah berhubungan.
Tapi paling tidak kau pernah berhubungan erat
dengan orang yang pernah dekat denganku!"
"Ooo.... Jadi kau memendam cemburu pa-
daku? Hik... hik... hik... Kau jangan menyalahkan
orang yang dekat denganmu lari ke pelukanku.
Kau harus sadar bagaimana bentuk wajahmu!"
Sementara mendengar percakapan antara
Putri Hitam dan Bidadari Penyebar Cinta diam-
diam Mata Malaikat merasa dadanya bergetar.
Namun dia masih belum bisa menduga tujuan Pu-
tri Hitam, meski samar-samar dia menangkap ada
persamaan tujuan antara dirinya dengan Putri Hi-
tam.
"Bidadari Penyebar Cinta!" kata Putri Hitam.
"Dalam hal ini aku tak menyalahkan siapa-siapa!
Aku hanya ingin tanya padamu!"
"Tentang orang itu? Hik hik hik...! Silakan
tanya. Tapi jangan kecewa jika mendapat jawaban
yang tak memuaskan. Maklum, terlalu banyak la-
ki-laki yang dekat denganku, hingga aku tak sem-
pat menghitung dan menghafal namanya...." Bida-
dari Penyebar Cinta sengaja meladeni ucapan Putri
Hitam dengan harapan Pendekar Mata Keranjang
mampu memecahkan petunjuk itu, lalu begitu
Lembaran Kulit Naga Pertala ditemukan, maka
akan lebih enak baginya untuk merebut.
Untuk beberapa saat Putri Hitam terdiam.
Ada keraguan membayang di wajahnya. Malah se-
sekali dia melirik pada Mata Malaikat yang tegak
diam sambil memejamkan matanya.
"Kenapa diam? Malu...?! Seharusnya kau
memang harus malu. Kalau kau termasuk jenis
perempuan, mengapa harus mengejar laki-laki?
Bukankah masih banyak laki-laki lain? Di sam-
pingmu juga ada laki-laki!" ujar Bidadari Penyebar
Cinta dengan senyum mengejek. Lalu begitu dili-
hatnya Putri Hitam tak menyahut, perempuan
cantik ini lanjutkan ucapannya.
"Kalau kau jenis laki-laki, kau laki-laki yang
suka jenis laki-laki jika mencemburui diriku. Hik
hik hik...! Apakah laki-laki di sampingmu kurang
memuaskan...?! Kulihat dia gagah, soal mata tak
jadi masalah bukan?!"
Ucapan Bidadari Penyebar Cinta mulai
membuat Putri Hitam berubah. Matanya sedikit
mendelik. Sebaliknya Mata Malaikat perdengarkan
suara tawa bergelak hingga kepalanya manggut-
manggut dan perutnya berguncang.
"Boleh saja kau meremehkan diriku. Itu da-
pat kupahami karena kau belum tahu bagaimana
gayaku! Jika kau tahu.... Ciiiuuu.... Apa pun akan
kau pertaruhkan untukku! Ha ha ha...!" ujar Mata
Malaikat dengan pentangkan sepasang matanya
dan memandangi dada Bidadari Penyebar Cinta,
membuat perempuan ini jengah dan berpaling
sambil mendengus.
"Bidadari Penyebar Cinta! Di mana bera-
danya Sungging Lanang?!" akhirnya Putri Hitam
ajukan tanya meski dia dapat menduga jika Mata
Malaikat akan terkejut.
Dugaan Putri Hitam tidak meleset. Menden-
gar pertanyaan Putri Hitam kontan Mata Malaikat
terperanjat. Untuk beberapa lama matanya mena-
tap dengan tak berkedip.
"Aneh. Siapa sebenarnya orang ini? Menga-
pa mencari anakku? Apa hubungannya? Ini se-
buah kebetulan atau disengaja?!" Beberapa perta-
nyaan segera berkecamuk di dada Mata Malaikat.
Mungkin tak sabar dan ingin segera menge-
tahui apa hubungannya dengan Sungging Lanang
yang adalah anaknya, Mata Malaikat mendekat
pada Putri Hitam. Begitu dekat kakek ini langsung
berbisik.
"Putri.... Jawab segera tanyaku. Apa hu-
bunganmu dengan Sungging Lanang? Mengapa
kau mencarinya?!"
"Pertanyaanmu terlalu banyak. Aku tak bisa
menjelaskan di sini! Nanti kau akan tahu sendiri!"
kata Putri Hitam dengan suara bergetar.
"Aneh. Apakah dia bertanya karena tadi
mendengar ceritaku? Tapi kenapa bertanya pada
Bidadari Penyebar Cinta seolah-olah dia tahu jika
beberapa waktu lalu Sungging Lanang bersama
perempuan ini? Hem... ada sesuatu di balik semua
ini. Kulihat Putri Hitam tampak berubah tatkala
mengucapkan nama anakku.... Ah, teka-teki apa
ini?!" kata Mata Malaikat dalam hati.
Sementara itu Bidadari Penyebar Cinta
tampak kerutkan dahi melihat sikap Mata Malai-
kat. Namun dia tak dapat menduga apa yang
membuat kakek itu bersikap demikian.
"Bidadari Penyebar Cinta! Kau dengar uca-
pan orang. Kenapa tidak jawab?!"
Mendengar teguran, Bidadari Penyebar Cin-
ta menyeringai. Lalu tertawa mengejek sebelum
akhirnya berkata.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, jawab
tanyaku dulu. Apa hubunganmu dengan kekasih-
ku itu?!" Bidadari Penyebar Cinta sengaja menye-
but Sungging Lanang dengan kekasih untuk men-
getahui sikap Putri Hitam.
Putri Hitam sunggingkan senyum meski da-
lam hati terasa panas.
"Aku tak ada hubungan apa-apa dengan
kekasihmu itu. Justru aku mencarinya untuk di-
lenyapkan dari muka bumi ini! Dia telah membu-
nuh adikku!"
Mata Malaikat terlonjak kaget. Tapi sebelum
dia berbisik pada Putri Hitam, Bidadari Penyebar
Cinta telah berujar.
"Hem.... Begitu urusannya? Kasihan keka-
sihku satu itu. Dia cemburu padaku karena aku
menggaet seorang pemuda. Dia lalu mengatakan
hendak pergi ke tempat seseorang yang bergelar
Raksasa Bermuka Hijau. Entah benar apa tidak,
aku tak mengurusinya lagi...."
"Raksasa Bermuka Hijau...," ulang Putri Hi-
tam lirih. Dia tampak menarik napas panjang. Di
sebelahnya Mata Malaikat makin tak mengerti.
"Apa pula hubungannya dengan Raksasa Bermuka
Hijau? Bukankah Raksasa Bermuka Hijau adalah
seorang tokoh yang dikenal sebagai dedengkot
orang-orang golongan hitam? Apakah dia telah
menjadi murid Raksasa Bermuka Hijau...? Ah,
makin banyak saja yang harus kuketahui...."
"Kau telah dengar jawabku. Mengapa masih
di situ?!" tegur Bidadari Penyebar Cinta.
"Jawabanmu tidak mengharuskan aku pergi
dari sini, Bidadari Penyebar Cinta!"
"Maksudmu?!"
"Aku akan pergi dari sini, begitu juga kau
setelah kedatangan orang yang kutunggu!" Putri
Hitam berkata demikian untuk mencegah Bidadari
Penyebar Cinta, karena sebenarnya dia sendiri tak
tahu, apakah orang yang dimaksud akan datang
ke tempat itu atau tidak.
"Keparat!" sentak Bidadari Penyebar Cinta.
Serta-merta perempuan cantik bertubuh sintal ini
kerahkan tenaga dalamnya lalu sentakkan kedua
tangannya ke arah Putri Hitam. Karena tahu bah-
wa lawan yang dihadapi bukan orang sembaran-
gan, maka begitu lakukan serangan, dia langsung
lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'.
Wuttt! Wuuuttt!
Dua sinar kuning melesat keluar dari kedua
tangan Bidadari Penyebar Cinta dengan keluarkan
suara bergemuruh.
"Kau yang mulai, jangan kau menyesal!"
gumam Putri Hitam sambil angkat kedua tangan-
nya dan serta-merta disentakkan ke bawah.
Beeettt! Beeettt!
Sinar kuning tertahan sebentar di udara.
Lalu bersamaan dengan menyentaknya tangan Pu-
tri Hitam ke bawah, sinar kuning itu pun melesat
ke bawah dan langsung amblas masuk ke hampa
ran tanah berbatu di tempat itu! Tak terdengar su-
ara ledakan, juga tak ada batu atau tanah yang
berhamburan! Sebaliknya sosok Bidadari Penyebar
Cinta tampak terhuyung ke belakang lalu tegak
bersandar pada lamping batu di samping terowon-
gan dengan wajah pucat pasi dan tubuh bergun-
cang!
"Manusia setan! Putus nyawamu!" teriak
Bidadari Penyebar Cinta seraya menjejak pada
lamping di belakangnya. Tubuhnya melesat ke
arah Putri Hitam dengan dua tangan langsung
menghantam ke arah kepala.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tatkala Putri Hi-
tam angkat tangannya dan disilangkan di atas ke-
palanya untuk menangkis. Di lain saat tiba-tiba
kain gombrong bagian bawah Putri Hitam mengge-
lepar, lalu sebuah kaki melesat ke depan ke arah
Bidadari Penyebar Cinta yang tampak terhuyung.
Bukkk!
Bidadari Penyebar Cinta berseru keras. So-
soknya terseret deras ke belakang lalu menghan-
tam lamping batu di samping terowongan. Perla-
han-lahan tubuhnya terkulai bersandar dengan
mulut keluarkan darah!
"Bidadari Penyebar Cinta! Aku memberimu
kesempatan untuk meninggalkan tempat ini! Tapi
kalau kau memaksa, silakan!" ujar Putri Hitam.
Bidadari Penyebar Cinta menghela napas le-
ga. Meski kemarahan masih melintas di wajahnya.
"Setan alas tak kusangka jika manusia hi-
tam ini begitu tangguh! Terpaksa untuk sementara
ini aku harus menghindar. Tapi aku tak akan me-
nyerah! Perjalananku telah jauh dan tujuan ham-
pir saja tergenggam di tangan. Hanya karena gara-
gara kedua bangsat ini segalanya berantakan....
Hem.... Akan kutunggu mereka di luar!" Berpikir
begitu, perlahan-lahan Bidadari Penyebar Cinta
bangkit, tanpa berpaling lagi pada Putri Hitam
atau Mata Malaikat, Bidadari Penyebar Cinta me-
langkah ke arah terowongan. Setelah meludah ke
tanah, dia berkelebat dan lenyap masuk ke tero-
wongan.
Sepasang mata Putri Hitam sejenak menga-
wasi ke arah terowongan, begitu yakin sosok Bida-
dari Penyebar Cinta tak ada, dia berpaling pada
Mata Malaikat. Mata Malaikat pun menatap pada
Putri Hitam.
"Putri Hitam.... Sekarang jelaskan padaku.
Apa hubunganmu dengan Sungging Lanang dan
apa betul adikmu dibunuh?!"
Tiba-tiba Putri Hitam duduk berlutut di Ha-
dapan Mata Malaikat. Kepalanya menunduk dan
tak lama kemudian bahunya tampak berguncang,
membuat Mata Malaikat merasa heran.
"Ada apa sebenarnya? Jangan kau membu-
atku makin tak mengerti!" ujar Mata Malaikat dan
ikut-ikutan duduk berlutut.
"Maafkan aku, Orang Tua!" kata Putri Hitam
seraya angkat kepalanya. Sepasang matanya ber-
kaca-kaca. Dia tampak berusaha hendak bicara,
namun suaranya tak terdengar.
"Putri Hitam.... Kau tahu. Jika kau menan-
gis, aku akan ikut-ikutan menangis! Jadi jangan
membuatku malu. Terangkan padaku apa sebe-
narnya yang terjadi!"
Putri Hitam memandang Mata Malaikat ber-
lama-lama. Lalu menunduk seraya berkata pelan.
"Orang tua.... Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?!" sahut Mata Malaikat tak
sabar begitu Putri Hitam tak meneruskan ucapan-
nya.
"Sebenarnya aku adalah istri Sungging La-
nang...."
Mata Malaikat sampai terlonjak bangkit
saking kagetnya. Sepasang matanya membelalak
besar memandangi Putri Hitam dari rambut sam-
pai pakaiannya bagian bawah yang berserakan di
lantai batu.
Setelah dapat menguasai keterkejutannya,
perlahan-lahan Mata Malaikat duduk kembali di
hadapan Putri Hitam.
"Kau tidak main-main, bukan?!"
Putri Hitam gelengkan kepalanya. Isaknya
mulai terdengar. Dan orang ini tak dapat lagi
membendung tangisnya begitu kedua tangan Mata
Malaikat menjulur dan membelai rambutnya.
"Ah, tak kusangka.... Rupanya permoho-
nanku akhirnya dikabulkan Tuhan. Anakku....
Maafkan si tua ini yang sampai tak mengetahui
menantunya." Suara Mata Malaikat terdengar se-
rak parau. Sementara Putri Hitam makin tersedu.
"Seharusnya aku yang minta maaf padamu.
Tak berterus terang padamu sejak semula...."
"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang su-
dah jelas duduk masalahnya. Yang kuminta sekarang kau menceritakan semuanya.... Terus terang,
aku buta tentang anakku. Karena seperti yang ku-
ceritakan padamu, dia diculik orang sewaktu ma-
sih kecil...."
Setelah dapat mengatasi guncangan da-
danya, akhirnya Putri Hitam mulai berkisah.
"Aku dan anakmu bertemu saat usiaku
menginjak delapan belas tahun. Kami dipertemu-
kan selain karena sama-sama jatuh cinta juga ka-
rena persamaan nasib. Dia mengatakan bahwa di-
rinya sudah tak punya ayah lagi. Dia tak pernah
menceritakan tentang dirimu, dia bilang diasuh
oleh seseorang yang pada akhirnya kuketahui
bahwa orang itu adalah seorang tokoh dunia persi-
latan bergelar Titisan Iblis."
"Jadi...?"
"Ya, orang yang kita temui di perahu itu.
Kalau benar dia orang yang bergelar Titisan Iblis,
maka dialah orangnya!" sahut Putri Hitam lalu
meneruskan keterangannya.
"Selama lima tahun hidup sebagai suami-
istri kami dikarunia seorang anak perempuan.
Namun sebenarnya sebelum kelahiran anak kami
antara kami telah terjadi perselisihan. Dan pun-
caknya terjadi saat anak kami lahir. Tanpa ting-
galkan pesan, dia pergi begitu saja. Anak kami ak-
hirnya diasuh oleh kakeknya. Aku sendiri kemu-
dian pergi mengembara untuk menghilangkan ke-
kecewaan hati. Namun setelah beberapa tahun
aku kembali, anakku dan kakeknya tak kutemui
lagi. Aku telah berusaha mencarinya, tapi hingga
saat ini tak berhasil. Akhir-akhir ini aku mendengar lagi tentang ribut-ribut rimba persilatan ten-
tang Lembaran Kulit Naga Pertala. Berharap ber-
temu dengan Sungging Lanang, aku coba-coba
menyusur. Aku ingin jumpa Sungging Lanang
dengan maksud siapa tahu dia mengetahui di ma-
na anaknya. Waktu di pinggir Sungai Siluman, aku
sempat menangkap percakapanmu dengan Kama-
ratih. Berbekal keterangan itu akhirnya aku pergi
kesini, karena beberapa hari sebelumnya kulihat
Bidadari Penyebar Cinta sedang melakukan tawar-
menawar dengan seorang nelayan. Aku bisa mene-
bak ke mana Bidadari Penyebar Cinta hendak me-
nuju. Tapi sama sekali tak menyangka jika Bida-
dari Penyebar Cinta telah berhasil mengelabui
Pendekar Mata Keranjang dengan menyamar seba-
gai Setan Pesolek."
"Siapa nama ayahmu?!" tanya Mata Malai-
kat.
"Raksasa Bermuka Hijau...."
Mata Malaikat terlengak kaget. "Hem.... Jika
benar keterangan Bidadari Penyebar Cinta, berarti
Sungging Lanang saat ini juga sedang mencari
anaknya!"
"Kukira juga begitu...."
Sejenak Putri Hitam terdiam. Wajahnya
tampak makin murung. Setelah menarik napas da-
lam dia berkata. "Dia kuberi nama Seruni...."
Untuk kedua kalinya Mata Malaikat terlon-
jak namun kali ini sambil mengeluh. "Inilah akibat
mata yang melihat tapi buta!"
"Bagaimana bisa begitu?!" tanya Putri Hi-
tam.
"Aku pernah bertemu cucuku itu!"
Kali ini ganti Putri Hitam yang terkejut. "Di
mana? Kapan?" tanya Putri Hitam seraya mencekal
kaki Mata Malaikat
"Belum berselang lama. Dan tampaknya dia
juga hendak menuju kemari!"
"Ah! Mudah-mudahan dugaanmu benar...."
"Kau sendiri siapa namamu sebenarnya?
Kali ini tak keberatan bukan mengatakan pada
kakek anakmu ini?"
Putri Hitam mulai dapat tersenyum. "Akan
kuberitahukan padamu, asal jangan kau suruh
aku untuk melepas penyamaranku ini, setidaknya
sampai aku jumpa dengan anakku...."
"Baiklah. Tapi aku dapat menduga sebenar-
nya kau adalah perempuan cantik. Anaknya can-
tik, tentu ibunya juga begitu...."
"Ah, kau jangan menggoda. Kalau kenya-
taannya lain, nanti kau kecewa."
"Sejak hari ini, rasanya kecewa tak akan
pernah lagi ada di hatiku. Bahkan mati pun aku
akan tersenyum! Eh, ayo katakan dulu namamu!"
"Namaku sebenarnya Dayang Arung...."
"Hem.... Nama bagus. Aku makin yakin, kau
pasti perempuan cantik!"
"Tapi tak bahagia!" sahut Putri Hitam alias
Dayang Arung. "Karena suamiku masih tergoda
dengan perempuan lain!"
"Jadi perpisahan kalian karena adanya pe-
rempuan lain?!"
"Begitulah. Dan kudengar, dari perempuan
itu Sungging Lanang juga punya seorang anak!"
"Walah, kenapa bisa jadi begini? Alamat tak
karu-karuan. Dasar anak geblek. Sudah punya is-
tri cantik matanya masih juga menyambar perem-
puan lain!"
"Sudahlah. Itu mungkin sudah jadi suratan!
Aku rela menjalaninya. Yang kuinginkan sekarang
adalah bertemu dengan anakku dan hidup bersa-
manya!"
"Hai...!" Tiba-tiba dari arah seberang terden-
gar seruan.
Putri Hitam dan Mata Malaikat serentak pa-
lingkan wajah ke seberang. Dari tempatnya mereka
melihat Pendekar Mata Keranjang melambai.
"Eh, kenapa dari tadi anak itu masih non-
gkrong di situ?!" gumam Mata Malaikat seraya
bangkit.
"Mungkin dia perlu pertolongan! Kau coba
ke sana. Aku akan di sini. Bukankah sebentar lagi
kita akan kedatangan tamu?!"
"Tapi kau tak akan meninggalkan tua bang-
ka mertuamu ini bukan?!"
"Asal kau tak menggandeng perempuan la-
gi!"
Mata Malaikat mendekat pada Putri Hitam,
membelai kunciran rambutnya.
"Pada tua bangka yang sudah dekat dengan
tanah begini, perempuan mana yang mau? Lagi
pula apa kata cucuku nanti? Aku tak mau dibilang
kakek mata keranjang. Tapi kalau kau yang men-
carikan dan memilihkan untukku, he he he.... Aku
mau-mau saja...."
Habis berkata begitu, Mata Malaikat me
langkah mendekat hamparan tanah gersang.
"Kek! Injak batu berangka tiga, enam, sem-
bilan, dua belas, lima belas, delapan belas lalu
tambahkan tiga seterusnya! Awas jangan salah in-
jak!" teriak Aji dari seberang.
Mata Malaikat manggut-manggut, dia ber-
paling ke arah Putri Hitam yang masih tegak di si-
tu. "Kau setuju jika aku menolong anak itu men-
dapatkan lembaran kulit gila itu?!"
"Kalau anak itu telah mendapatkan petun-
juk dari Setan Pesolek, maka sudah dapat dipasti-
kan dialah yang berhak mewarisi Lembaran Kulit
Naga Pertala itu. Setan Pesolek tak mungkin me-
milih orang yang salah!" sambut Putri Hitam. Putri
Hitam lantas melangkah ke mulut terowongan dan
duduk di sebelah kanan lobang terowongan.
Mata Malaikat kembali arahkan pandan-
gannya pada hamparan tanah gersang. Dan sekali
berkelebat sosoknya telah tegak di atas tonjolan
batu berangka lima belas. Dan sekali berkelebat
lagi, tubuhnya telah berada di samping Pendekar
Mata Keranjang!
"Aku mendapat kesulitan, Kek...," kata Aji.
"Kesulitan macam apa?!"
"Aku tak dapat memecahkan petunjuk itu!
Yang pertama sudah benar, namun untuk yang se-
lanjutnya, aku belum mengerti. Aku jadi bimbang.
Jangan-jangan lembaran kulit itu tidak ditentukan
untukku!"
"Putus asa sebelum mencoba adalah sebuah
ketololan besar, Anak Muda!"
"Aku sudah mencobanya. Lihat! Tanganku
sampai lecet. Tapi pintu itu tak kutemukan!"
"Pintu?!" ulang Mata Malaikat.
"Ya, petunjuk itu mengatakan ada pintu
yang harus dibuka." Lalu Aji mengatakan petunjuk
yang pernah diberikan Peri Kupu-kupu dan Setan
Pesolek. Mata Malaikat berulangkali menggumam-
kan petunjuk itu. Kepalanya tengadah dengan ma-
ta dibeliakkan lebar-lebar.
"Hem.... Kalau disebutkan paling tengah,
berarti pada hitungan yang ganjil!" desis Mata Ma-
laikat. Tiba-tiba dia mengedarkan pandangannya
pada beberapa lobang terowongan di depannya.
"Anak muda! Coba kau hitung, berapa lo-
bang terowongan itu!"
"Sembilan!" Kata Aji setelah menghitung
banyaknya lobang terowongan.
"Hem.... Mudah-mudahan benar dugaan
otak tua bangka ini." lalu berpaling pada Aji. "Coba
Kau sekarang pilih yang tengah, lalu melangkah ti-
ga tindak. Setelah itu turuti petunjuk selanjutnya."
Aji menuruti perkataan Mata Malaikat. Pe-
muda ini memilih lobang terowongan paling tengah
lalu melangkah tiga tindak, setelah itu dia melesat
ke atas. Tangan kanannya dipukulkan ke lamping
batu rata di atas terowongan.
Bukkk!
Tangan Aji mental balik. Bersamaan itu tu-
buhnya mencelat dan melayang deras ke bawah.
Aji meringis kesakitan dengan memegangi tangan-
nya.
"Kau lihat sendiri bukan?"
"Mungkin tenagamu kurang terpusat! Coba
hantam sekali lagi dengan tenaga penuh!"
Aji kerahkan seluruh tenaga dalamnya pada
tangan kanan. Lalu melangkah lagi tiga tindak pa-
da terowongan paling tengah. Setelah tubuhnya
melesat ke atas, tangan kanannya dihantamkan
pada lamping batu.
Bukkk!
Untuk kedua kalinya tangan kanan murid
Wong Agung mental dan tubuhnya terputar lalu ja-
tuh dengan punggung terlebih dahulu.
"Kek...," ujar Aji. "Aku tak mampu menjebol
dinding batu itu. Mungkin ini syarat kalau lemba-
ran kulit bukan ditentukan untukku. Mungkin ju-
ga petunjuk itu yang salah!"
"Semuanya tidak ada yang salah. Kulihat
memang ada kekuatan yang membendung. Hem....
Api jangan dilawan dengan api!"
"Apa maksudmu, Kek...?!"
"Kau coba tanpa pengerahan tenaga dalam!"
Murid Wong Agung tertawa. "Kau ini aneh.
Dengan tenaga dalam saja tak bisa dibuka, apa
mungkin bisa terbuka tanpa tenaga?!"
"Anak muda. Api harus dilawan dengan air!
Kau paham ucapanku?!"
Meski masih tak dapat menerima ucapan
Mata Malaikat, Aji segera bangkit. Setelah ambil
posisi dia melesat kembali ke atas. Tangan kanan-
nya perlahan didorongkan ke dinding batu.
Tiba-tiba terdengar suara gesekan dan per-
lahan-lahan dinding batu itu membuka sebesar
daun pintu!
Aji membelalak hampir tak percaya, semen
tara Mata Malaikat pejamkan mata kemudian pen-
tangkannya lebar-lebar.
"Kek.... Ucapanmu benar!" seru Aji begitu
melayang turun. Mata Malaikat tak menyahut. Dia
hanya pandangi dinding yang terbuka di atas sa-
na.
"Hey! Kau tunggu apa lagi?!" tegur Mata Ma-
laikat karena dilihatnya Aji tetap berdiri di situ.
Seolah baru tersadar, Aji buru-buru mengangguk
lalu melesat kembali ke atas. Sebentar kemudian
tubuhnya lenyap masuk ke dalam pintu di dind-
ing.
Begitu Aji tak kelihatan lagi, Mata Malaikat
gerakkan kakinya. Tubuhnya melenting ke atas la-
lu kejap kemudian masuk menyusul Aji. Bersa-
maan dengan masuknya tubuh Mata Malaikat,
pintu di dinding menutup tanpa keluarkan suara!
Di balik dinding, kedua orang ini menemukan
tangga menurun dari batu. Perlahan-lahan kedua-
nya menuruni anak tangga. Anak tangga ini
menghubungkan dengan sebuah terowongan agak
besar yang di tengahnya tampak sebuah cermin
besar yang diikat dan digantungkan di bawah se-
buah lobang.
Sampai anak tangga paling bawah, Aji hen-
tikan langkah. Berpaling sejenak pada Mata Malai-
kat di belakangnya.
"Mudah-mudahan orang tua ini menolong
dengan tujuan baik!" batin Aji dalam hati. Selintas
hatinya dihantui rasa takut jika Mata Malaikat ju-
ga menginginkan lembaran kulit itu.
"Hey! Kenapa kau memandangku demikian
rupa? Ada yang salah denganku? Atau...? Ah,
mungkin kau curiga padaku!" ujar Mata Malaikat
lalu mendongak dan buka mulutnya.
"Sialan! Dia merasa jika kucurigai!" maki Aji
dalam hati. Lalu berkata pada Mata Malaikat.
"Kek. Lembaran kulit itu adalah benda yang ka-
tanya bertahun-tahun jadi rebutan para tokoh
rimba persilatan. Sampai saat ini tidak ada yang
tahu siapa kelak yang akan mewarisinya! Mungkin
aku, tapi bisa jadi juga kau!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh. "Aku tak
menyalahkan kau jika mencurigai diriku. Tapi
dengar baik-baik, Anak Muda. Aku telah menda-
patkan barang yang lebih berharga dari pada ben-
da yang kau buru! Hem.... Kalau kau tak berke-
nan, aku akan kembali ke bawah..."
Mata Malaikat balikkan tubuh lalu melang-
kah kembali menaiki anak tangga dengan tawa te-
tap mengekeh.
"Kek! Tunggu! Aku tak keberatan, justru
aku mungkin mengharap pertolonganmu!"
"Dasar anak sableng! Minta ditemani kalau
minta pertolongan!" gerutu Mata Malaikat lalu ba-
likkan tubuh kembali dan turun ke arah Aji.
"Petunjuk itu tinggal satu, Kek.... Tapi kura-
sa tak memerlukan pemecahan!"
"Lalu kenapa masih diam?!"
Sambil memaki dalam hati, Pendekar Mata
Keranjang memandang berkeliling. Ketika matanya
melihat dinding batu ada yang ambrol di sebelah
samping kanan, Aji merasa khawatir, lalu mengu-
tarakan kecemasannya pada Mata Malaikat.
"Jangan-jangan ada orang yang mendahu-
lui...."
"Dalam situasi seperti sekarang ini, hal se-
pele mendatangkan kekhawatiran. Tapi jika kau
terpancing hal-hal semacam itu, kau tak akan se-
gera sampai tujuan dan mendapat jawaban pasti!"
"Tapi, Kek. Lihat!" kata Aji sambil arahkan
telunjuknya ke arah dinding yang ambrol dan ber-
lobang. "Ini pasti akibat hantaman tangan berte-
naga dalam tinggi!"
"Tapi itu belum jadi jawaban pasti bukan?!
Teruskan langkah seperti yang ada pada petun-
juk!"
Aji kembali arahkan pandangannya ke de-
pan. Suasana di sekitar tempat itu agak terang ka-
rena adanya cahaya rembulan yang dipantulkan
oleh cermin besar yang ada di tengah-tengah tero-
wongan.
"Melangkah dua puluh satu...," gumam Aji
mengulangi petunjuk. Lalu dengan dada mulai
berdebar, murid Wong Agung ini melangkah ke de-
pan. Begitu hitungan langkahnya mencapai dua
puluh satu, dia berhenti. Sementara Mata Malaikat
tetap tegak di tangga batu.
Murid Wong Agung putar tubuhnya seten-
gah lingkaran, lalu tangannya mendorong dinding
batu. Dengan pengalaman yang telah dialami, kali
ini Aji mendorong juga tanpa kerahkan tenaga da-
lam. Dan begitu tangannya mendorong, dinding itu
kembali keluarkan suara gesekan, lalu perlahan-
lahan dinding itu membuka membentuk sebuah
lobang pintu! Tanpa pikir panjang lagi, Aji melangkah masuk.
Melihat hal itu, Mata Malaikat tampak
manggut-manggut. Lalu melangkah ke arah mana
Aji masuk. Melihat lobang masih terbuka, kakek
ini segera juga menyusul Aji.
Blammm!
Baru saja tubuh Mata Malaikat masuk,
dinding yang membuka menutup kembali dengan
keluarkan suara berdebam keras, membuat Aji
dan Mata Malaikat sama berpaling.
"Hem.... Tempat ini berbeda dengan di ba-
wah tadi. Di sana tadi seperti ada kekuatan yang
dapat meredam suara!" kata Aji dalam hati, lalu
sapukan pandangannya ke tempat itu. Kedua
orang itu kini berada di sebuah ruangan agak be-
sar. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah batu
datar di sebelah dinding yang menghadap ke lo-
bang pintu di mana tadi Aji dan Mata Malaikat
masuk. Anehnya meski tak ada penerangan, ruan-
gan itu tampak agak terang. Hingga Pendekar 108
dengan jelas dapat melihat ke seluruh ruangan.
"Hanya dinding dan lantai. Di mana lemba-
ran kulit itu berada?!" gumam Aji.
"Tak ada gunanya bicara, Anak Muda! Ge-
rakkan kaki dan menyelidiki! Petunjuk itu sudah
tak ada lagi bukan?!"
"Betul! Petunjuk itu hanya sampai di sini!"
"Berarti apa yang kau cari pasti berada di
sini! Lakukan sesuatu!"
Aji mulai melangkah mengitari ruangan
berdinding batu itu. Sementara Mata Malaikat du-
duk menggelosoh di lantai ruangan dengan kaki
diselonjorkan, dan mata mulai dipejamkan.
Untuk beberapa saat lamanya Aji mengitari
ruangan dengan mata nyalang kian kemari. Malah
pada putaran yang ketiga, tangan kanan murid
Wong Agung ini mulai mendorong-dorong dinding
ruangan. Namun, hingga tangannya ngilu tak
seinci pun ada dinding ruangan yang terbuka. Dia
lantas melangkah ke arah batu datar. Tapi, dia tak
menemukan apa-apa!
Dengan wajah kecewa, Aji melangkah ke
arah Mata Malaikat.
"Kek.... Dugaanku tepat. Seseorang telah
mendahului kita!"
Mata Malaikat tak menyahut, membuat Aji
berpaling. Murid Wong Agung ini memaki panjang
pendek dalam hati. Ternyata Mata Malaikat terti-
dur.
Merasa kesal, Aji lalu guncang tubuh Mata
Malaikat.
"Kek! Kita tinggalkan tempat ini!"
Kelopak mata si Mata Malaikat membuka
lalu mengerjap beberapa kali.
"Kau telah menemukan lembaran kulit
itu?!"
"Seseorang telah mendahului menemukan-
nya!"
"Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu?!"
"Sudah lima kali kukelilingi ruangan ini.
Lembaran kulit itu tak ada! Pasti ada orang yang
mendahului, lalu keluar dengan cara menjebol
dinding yang ambrol itu! Kita tinggalkan saja tem-
pat ini!"
Mata Malaikat menghela napas panjang.
"Kau telah memeriksa batu datar itu?!"
Aji anggukkan kepala. Namun tampak di-
paksakan.
"Hem.... Hanya ada satu jalan. Coba kau
bongkar batu datar itu. Siapa tahu...."
Aji bergegas melangkah dengan wajah agak
cerah. Lalu berhenti di samping batu datar. Seje-
nak matanya meneliti. Yakin tak ada celah, akhir-
nya Pendekar Mata Keranjang angkat kedua tan-
gannya dan serta-merta dihantamkan ke arah batu
datar.
Brakkk!
Batu datar langsung pecah berantakan dan
pecahannya berhamburan. Belum surut pecahan
batu, Aji cepat menyeruak dengan mata meman-
dang ke batu yang kini porak-poranda. Tapi wa-
jahnya kembali tampak kecewa tatkala dia tak
menemukan apa-apa di balik pecahan batu datar
itu. Sementara melihat perubahan pada wajah Aji,
Mata Malaikat telah dapat menebak.
"Tak ada harapan lagi!" sungut Aji lalu ber-
gerak melangkah ke arah Mata Malaikat. Kali ini
murid Wong Agung melangkah melewati bagian
tengah ruangan.
Mungkin karena kesal, langkahnya tampak
terburu-buru dengan mulut menggumam tak jelas.
Bukkk!
Tiba-tiba tubuh Aji mental dan jatuh ter-
jengkang! Murid Wong Agung mendelik besar, se-
mentara Mata Malaikat beliakkan mata lebar-
lebar!
SEPULUH
MELIHAT apa yang terjadi, seraya menahan
rasa heran, Mata Malaikat cepat melangkah ke
arah Pendekar Mata Keranjang yang terduduk di
lantai ruangan. Kakek ini tanpa disadari juga me-
langkah melewati tengah ruangan.
Bukkk!
Mata Malaikat beliakkan matanya lebar-
lebar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
lalu roboh terduduk!
Sepasang mata Aji dan Mata Malaikat me-
mandang terperangah ke arah tengah ruangan, la-
lu saling pandang satu sama lain.
"Heran. Tak terlihat apa-apa. Tapi, rasanya
aku menghantam beton! Ada yang tak beres!" gu-
mam Mata Malaikat lalu bangkit.
"Tak mungkin.... Tapi Mata Malaikat menga-
lami hal yang sama!" desis Aji lalu bangkit.
Serentak kedua orang ini melangkah ke
tengah ruangan di mana mereka tadi laksana
menghantam beton hingga tubuhnya terpental.
Seolah dikomando masing-masing tangan segera
menjulur ke udara, meraba-raba. Namun kedua
orang ini jadi terkesiap. Tangan mereka tak mera-
sakan apa-apa! Hanya udara hampa yang ter-
tangkap tangan mereka.
"Apa sebenarnya semua ini?!" bisik Aji men-
dekat ke arah Mata Malaikat.
Si kakek gelengkan kepala...
"Mungkin kita dipermainkan orang...," ujar
Aji. Entah karena kesal ia tanpa sadar memukul-
kan tangannya ke depan, ke arah tempat kosong di
mana tadi tubuhnya mental.
Bukkk!
Aji berseru tertahan. Tangannya membalik
dan tubuhnya terhuyung! Sepasang mata murid
Wong Agung makin membelalak. Dahinya menger-
nyit. Sementara Mata Malaikat mundur dua lang-
kah. Matanya dipejamkan dengan mulut komat-
kamit.
Namun tak lama kemudian, orang tua ini
buka matanya dengan kepala menggeleng. "Ada
kekuatan penghalang yang tak dapat ditembus...,"
gumam Mata Malaikat.
Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terlon-
jak. "Hai.... Aku ingat sekarang. Kata-katamu per-
sis dengan ucapan Setan Pesolek!"
"Apa yang dia ucapkan?!"
"Dia melihat tabir yang tak dapat ditembus
dengan mata biasa!"
"Hem.... Begitu? Apakah dia tak mengata-
kan sesuatu yang dapat membukanya? Setidaknya
petunjuk tentang itu?!"
Aji tak segera menjawab. Dia meraba ping-
gangnya di mana tersimpan kipas ungu 108. Kipas
itu dikeluarkan dari balik pakaiannya. Ada sembu-
rat warna ungu terpancar begitu kipas keluar dari
balik pakaian Aji.
"Setan Pesolek bilang, mungkin kipas ini bi-
sa membuka tabir itu!"
"Petunjuk itu makin menjelaskan bahwa
kaulah sebenarnya yang ditentukan mewarisi kitab
itu, Pendekar Mata Keranjang! Bersiaplah!"
Pendekar Mata Keranjang melangkah men-
dekat. Kipas ungu 108 diangkat tinggi. Tangan
murid Wong Agung terlihat bergetar, dan peluh
membasahi tubuhnya. Sejenak dia memandang
pada Mata Malaikat. Wajahnya tampak ragu-ragu.
Entah karena hatinya bimbang atau kurang
yakin, hingga saat kipas bergerak mengayun, Aji
hanya kerahkan sedikit tenaga.
Bukkk!
Tangan Aji terpental dan bergetar hingga ki-
pas di tangannya jatuh. Tubuhnya pun sempoyon-
gan.
"Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Apa
yang kau pikirkan, Anak Muda? Ingat. Buanglah
perasaan ragu-ragu. Waktu kita tidak banyak! Le-
bih dari itu lembaran itu harus segera disela-
matkan! Aku hampir yakin, lembaran kulit itu be-
rada di sini!"
Murid Wong Agung pungut kipasnya. Lalu
melangkah kembali ke depan. Tenaga dalamnya
dikerahkan penuh. Hingga tangan dan kipasnya
makin keluarkan cahaya berkilauan.
Beeettt!
Sinar keputihan membentuk lengkungan,
membersit dengan keluarkan suara bergemuruh
dahsyat.
Buuummm!
Ledakan dahsyat mengguncang ruangan
itu. Tak ada pecahan yang terlihat dari tempat ter-
dengarnya ledakan. Sebaliknya bersamaan dengan
terdengarnya ledakan, asap tipis mengepul dari
tengah ruangan di mana tadi kipas Aji melabrak.
Aji buka matanya lebar-lebar dengan teng-
kuk mulai merinding. Sementara Mata Malaikat
pentangkan matanya dengan mulut menganga.
Saat perlahan-lahan asap putih lenyap, di
hadapan kedua orang ini kini tampaklah seorang
kakek mengenakan pakaian yang bagian atasnya
terbuka sedikit awut-awutan. Rambutnya panjang
putih menutupi sebagian punggung dan wajahnya.
Kumis, jenggot, dan jambangnya juga panjang
hingga membuat wajah kakek ini terlihat samar-
samar. Sepasang matanya sayu dan menjorok ma-
suk ke dalam cekungan yang sangat dalam.
Wajah kakek ini tampak seperti orang di-
landa beban berat.
"Akhirnya hari penantianku berakhir ju-
ga...," gumam si kakek. "Aku mengucapkan terima
kasih pada kalian...."
"Orang tua! Siapakah kau?!" tanya Aji tanpa
pedulikan ucapan terima kasih kakek berpakaian
putih itu.
Si kakek angkat kepalanya lalu memandang
silih berganti pada murid Wong Agung dan Mata
Malaikat. Setelah mengangguk sebentar, dia du-
duk bersila lalu berucap.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih.... Aku
adalah Eyang Pandanaran."
Demi mendengar orang sebutkan diri, men-
dadak Mata Malaikat menjura hormat lalu duduk.
Aji jadi bingung. Buru-buru dia mengikuti sikap
Mata Malaikat lalu duduk di sampingnya.
"Kalian siapa?" Eyang Pandanaran balik
bertanya. "Aku Mata Malaikat, sedangkan anak
muda ini bernama Aji. Dalam rimba persilatan dia
bergelar Pendekar Mata Keranjang. Tak kusangka
jika hari ini aku dapat jumpa dengan seorang to-
koh yang namanya sudah kukenal sejak aku ma-
sih kecil...."
"Simpan dulu semua itu, sobatku Mata Ma-
laikat. Pertolongan yang kalian berikan padaku,
lebih dari segalanya. Lebih dari itu dengan mun-
culnya kalian maka tugas berat yang ku emban se-
lama ini akan selesai."
"Tugas berat? Tugas apa?!" tanya Mata Ma-
laikat.
"Ketahuilah. Entah sudah berapa tahun aku
berada dalam kungkungan gaib. Aku tak tahu.
Namun satu hal yang pasti, seseorang yang dapat
membuka tabir penutup tak tembus pandangan
mata yang menutup diriku, dialah yang ditentukan
untuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala yang
selama ini kusimpan, kurawat, dan kujaga."
Aji dan Mata Malaikat terkejut lalu saling
pandang. Dada Aji berdebar keras tapi dia belum
keluarkan suara.
"Anak muda.... Aku tahu, kipasmulah yang
berhasil membuka tabir itu. Dengan demikian,
kaulah manusia yang ditentukan untuk mewarisi
lembaran kulit itu. Aku tak tahu apa isi lembaran
kulit itu, karena selama ini aku hanya mendapat
tugas untuk menyimpan, merawat, serta menjaga
dan menyerahkan pada orang yang ditentukan.
Hanya harapanku, kau harus segera mempelaja-
rinya lalu mengamalkan isinya. Tugasmu selanjut
nya lebih berat, karena kau harus mengikis semua
jenis kejahatan yang seiring waktu pasti akan te-
rus muncul tak habis-habisnya. Ingat, Anak Muda.
Sekali kau bertindak ceroboh dengan lembaran
kulit itu, bencana besar akan menimpa dirimu. Hal
ini sudah kau lihat sendiri pada diriku! Aku harus
terkurung di ruangan ini selama puluhan tahun!
Kau mengerti, Pendekar Mata Keranjang?!"
"Mengerti, Eyang...."
Eyang Pandanaran batuk-batuk beberapa
kali. Kepalanya lantas berpaling ke sebelah kanan
menghadap dinding. Tiba-tiba dia mengangkat ke-
dua tangannya. Perlahan saja kedua tangannya
didorong ke depan.
Seeettt! Seeettt!
Dari telapak tangan Eyang Pandanaran
membersit cahaya putih lurus menghantam dind-
ing. Dinding di sebelah kanan keluarkan suara
gemeretak. Di lain kejap dinding itu pecah beran-
takan. Lalu tampaklah sebuah lubang tidak begitu
besar.
"Lembaran kulit itu berada di sana, Anak
Muda! Ambillah...." Eyang Pandanaran berkata
sambil mengangguk dan tersenyum.
Pendekar Mata Keranjang bukannya segera
bergerak bangkit. Malah dia tampak ragu-ragu dan
memandang silih berganti pada Eyang Pandanaran
lalu pada Mata Malaikat. Murid Wong Agung ini
seakan masih tak percaya dengan apa yang baru
didengar.
"Anak muda! Kau sudah dengar perintah.
Apa kau menginginkan aku yang akan mengambilnya?!" Mata Malaikat bergumam pelan lalu pen-
tangkan sepasang matanya.
Mendengar teguran Mata Malaikat, Aji cepat
bangkit lalu melangkah ke arah dinding yang kini
berlobang. Begitu dekat, sepasang matanya terpen-
tang besar. Dari tempatnya berdiri, murid Wong
Agung ini melihat sebuah lembaran berwarna cok-
lat kusam. Lembaran kulit itu diletakkan tegak
pada sebuah batu bening mengkilap.
Saat berhadapan benar-benar dengan lem-
baran kulit yang dicari, tubuh murid Wong Agung
malah terlihat bergetar dan kedua tangannya ge-
metar hingga untuk berapa lama dia hanya tegak
diam, membuat Mata Malaikat bergumam tak jelas
sebelum akhirnya berkata.
"Anak muda! Waktu kita terbatas!" Bersa-
maan dengan terdengarnya ucapan Mata Malaikat,
kedua tangan Pendekar Mata Keranjang terulur
dengan gemetar. Ada hawa dingin menusuk yang
menjalari sekujur tubuhnya begitu jari-jari tan-
gannya menyentuh lembaran kulit itu.
"Pendekar Mata Keranjang!" kata Eyang
Pandanaran. "Tugasku telah selesai. Kini tugas itu
ada di pundakmu. Dirimu kini menjadi tumpuan
untuk menyelamatkan dunia persilatan dan mem-
buat kedamaian umat manusia. Kau harus berha-
ti-hati. Mempertahankan lebih berat bebannya dari
pada memburu! Kau akan berhadapan dengan ba-
nyak tokoh persilatan sakti yang berniat meram-
pas Lembaran Kulit Naga Pertala itu. Sayang, aku
tak bisa membantumu. Tapi, aku masih punya ke-
sempatan untuk menyumbangkan sedikit tenaga.... "
Baru saja selesai berbicara, Eyang Panda-
naran telah berada di belakang Aji. Padahal, semu-
la kakek ini berada di depan Pendekar Mata Keran-
jang. Pendekar 108 dan bahkan Mata Malaikat tak
melihat Eyang Pandanaran bergerak. Kakek ber-
pakaian putih ini seperti menghilang saja!
Tanpa meminta persetujuan Aji, Eyang
Pandanaran tempelkan kedua tangannya di pung-
gung si pemuda. Di lain kejap, Aji merasakan ali-
ran hawa hangat mengalir dari telapak tangan
yang menempel. Aliran hawa itu berkumpul di pu-
sar, dan berputaran.
Tak lama Eyang Pandanaran mengalirkan
tenaga dalam pada Aji. Di lain kejap, sepasang
tangannya telah dilepaskan dari punggung Pende-
kar 108. Kemudian kakek itu berpaling pada Mata
Malaikat tanpa pedulikan ucapan terima kasih Aji.
"Sobatku, Mata Malaikat. Sebenarnya aku
masih ingin bicara banyak denganmu, tapi karena
masih ada hal yang harus kukerjakan, aku akan
pergi terlebih dulu. Harapanku, pertemuan ini se-
moga bukan pertemuan yang terakhir bagi kita."
"Hendak ke manakah kau?" tanya Mata Ma-
laikat.
"Aku telah membuat kesalahan besar. Pada
usiaku yang renta ini aku ingin menebusnya den-
gan mendekat pada Tuhan. Kuucapkan selamat ja-
lan pada kalian....."
Habis berkata begitu, Eyang Pandanaran
bangkit. Lalu melangkah ke arah lobang di mana
lembaran kulit tadi berada. Dia meneliti sebentar,
lalu melangkah ke arah samping.
Tangan kirinya mengetuk-ngetuk dinding
ruangan tiga kali. Tiba-tiba di dinding ruangan itu
tampak seberkas cahaya. Ternyata dinding itu te-
lah terbuka dan cahaya membersit dari dalamnya.
Tanpa berpaling lagi, Eyang Pandanaran masuk.
Pada saat bersamaan cahaya lenyap dan sosok
Eyang Pandanaran juga tak tampak lagi!
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang
tak berkedip memperhatikan, sementara Mata Ma-
laikat makin pentangkan sepasang matanya.
"Anak muda. Kau sangat beruntung!" ujar
Mata Malaikat Pada Pendekar 108. "Eyang Panda-
naran telah berkenan menambah tenaga dalam-
mu. Aku yakin, tenaga dalammu jauh bertambah
kuat. Mungkin tambahan tenaga dalam darinya
tak kalah dengan bila kau berlatih semadi dan
pernapasan bertahun-tahun!"
Aji hanya cengar-cengir seraya usap-usap
ujung hidungnya. Tapi, tak sepatah kata pun yang
keluar dari mulutnya. Hanya di lubuk hatinya dia
merasa gembira, karena telah merasakan sendiri
pengaruhnya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan,
dan langkahnya jauh lebih mantap. Tak adanya
jawaban dari Pendekar Mata Keranjang membuat
suasana menjadi hening.
"Sudah waktunya kita tinggalkan tempat
ini!" gumam Mata Malaikat setelah agak lama sa-
ma-sama terdiam.
Mata Malaikat bangkit, lalu melangkah ke
arah dari mana tadi masuk. Aji segera masukkan
Lembaran Kulit Naga Pertala ke balik pakaiannya
bangkit menyusul Mata Malaikat.
***
SEBELAS
KITA kembali pada Utusan Iblis. Seperti di-
tuturkan, pemuda ini mendadak lenyap begitu saja
di Sungai Siluman tatkala terjadi bentrok dengan
Pendekar Mata Keranjang. Sebenarnya pemuda ini
tak menduga jika murid Wong Agung mampu ber-
lama-lama di dalam air hingga saat terjadi adu pu-
kulan, dan merasa dirinya cedera dalam, dia beru-
saha menghindar. Dengan mengerahkan segenap
sisa tenaganya serta kerahkan ilmu yang didapat
dari Titisan Iblis yang menggemblengnya di bawah
air terjun, dia menyelam dan menjauhi Pendekar
Mata Keranjang.
Setelah agak lama dan merasa jauh dari
jangkauan Aji, murid Titisan Iblis ini menyembul
ke permukaan air! Samar-samar matanya me-
nangkap sosok Pendekar Mata Keranjang di kejau-
han.
"Keparat! Dia telah mencapai tempat itu.
Hem.... Masih ada kesempatan untuk memba-
las...," gumamnya. Pada saat bersamaan sayup-
sayup telinganya mendengar suara ledakan dari
arah depan! Sayang, dia tak bisa melihat apa se-
benarnya yang terjadi, karena terhalang oleh uap
yang keluar dari permukaan sungai!
"Aku harus cepat sampai di Bukit Siluman.
Tentu di depan sana ada bangsat-bangsat yang ju-
ga sedang menuju ke bukit!" Berpikir begitu, Utu-
san iblis menyelam kembali lalu berenang ke arah
bukit.
Utusan Iblis tak mau ambil resiko sebab dia
sadar bahwa dirinya telah terluka dalam. Meski
cederanya tak terlalu parah, namun dia telah
memperhitungkan jika di Bukit Siluman nanti pas-
ti akan terjadi bentrok.
Utusan Iblis memang seorang perenang
yang luar biasa. Kendati demikian, cedera yang di-
derita, menghambat maksudnya. Untung, angin
dan derasnya arus sungai membantunya. Tamba-
han lagi, pemuda itu cukup cerdik. Dia berenang
menyerong ke kanan, tapi dengan mengikuti arus
sungai! Sehingga tak terlalu memakan banyak te-
naga.
Beberapa saat kemudian, samar-samar be-
berapa tombak di depannya terlihat sebuah data-
ran. Beberapa tombak di depannya itu, lebar Sun-
gai Siluman menyempit! Sekali lihat saja, Utusan
Iblis dapat menduga kalau dataran itu adalah Bu-
kit Siluman. Bukit yang berada di atas sungai. Bu-
kit yang tidak terlalu besar. Malah terhitung kecil.
Melihat hal ini, semangat Utusan Iblis ber-
tambah. Kecepatan luncurannya pun bertambah,
hingga setelah agak lama, barulah Utusan Iblis
mencapai pinggir sungai. Dia sengaja merapat di
bagian pinggiran yang terlindung oleh gundukan-
gundukan batu. Karena sebelum merapat dia su-
dah melihat beberapa perahu di bagian pinggiran
lainnya.
"Rupanya banyak keparat-keparat yang su-
dah sampai di sini...." Utusan Iblis menyelinap di
balik gundukan batu. Lalu duduk bersila dengan
mata terpejam. Tak lama berselang dia buka kelo-
pak mata. Dengan mengusap wajah dan leher lalu
ia bangkit. Kepalanya berputar dengan mata nya-
lang memperhatikan keadaan sekeliling. Kejap
kemudian dia berkelebat.
Pada suatu tempat Utusan Iblis berhenti.
Matanya melihat sebuah sampan terapung-apung.
Di sebelahnya tampak pecahan rakit, lalu agak ke
timur sedikit terlihat sebuah perahu yang bagian
depannya telah pecah berantakan.
Sepasang mata Utusan Iblis melebar seje-
nak tatkala dia melihat sebuah sampan seseorang
di atas perahu yang bagian depannya pecah.
"Hem.... Perahu-perahu ini harus kuhan-
curkan! Dengan begitu tak seorang pun akan bisa
kembali!" Berpikir begitu, Utusan Iblis kerahkan
tenaga di dalamnya. Kedua tangannya diangkat
dan dihantamkan ke dua arah. Tangan kanan di-
arahkan pada perahu yang bagian depannya pe-
cah, tangan kiri menghajar pecahan rakit dan
sampan.
Wuuutt! Wuuutt!
Brakkk! Brakkk! Brakkk!
Terdengar tiga kali suara berderak. Di lain
kejap tampak berpencaran kepingan-kepingan
kayu di udara dan melayangnya sesosok tubuh.
Kepingan kayu dan sosok tubuh tersebut lalu me-
layang turun, belum sampai amblas masuk ke da-
lam air dan lenyap!
Utusan Iblis menyeringai lalu usap-usap
dadanya. Memandang sejenak ke arah permukaan
lalu balikkan tubuh meninggalkan tempat itu.
Namun langkahnya tertahan saat telinganya
yang tajam mendengar suara kecipak di pinggiran
sungai. Tanpa pikir panjang dia balikkan tubuh
dengan kedua tangan menghantam ke arah suara
kecipak air.
Wuttt! Wuttt!
"Astaga! Anak gila. Raksa Pati! Kau hendak
membunuhku, hah?!" Mendadak terdengar suara
orang menegur. Lalu sesosok tubuh melesat dari
dalam air dan tahu-tahu telah tegak lima langkah
di samping Utusan Iblis.
Mendengar orang memanggil nama aslinya,
Utusan Iblis tersentak kaget. Begitu tahu siapa
adanya orang yang kini tegak di sampingnya buru-
buru Utusan Iblis mengernyit, lalu berseru.
"Guru...!"
"Hampir saja kau membunuhku!" sergah
orang yang baru datang yang ternyata adalah seo-
rang kakek yang meski baru saja melesat dari da-
lam air, namun pakaian dan tubuhnya tidak ba-
sah! Si kakek tidak lain adalah guru Utusan Iblis
yakni Titisan Iblis!
"Mengapa kau luntang-lantung di sini? Apa
kerjamu telah selesai?!" Tiba-tiba Titisan Iblis
kembali keluarkan teguran.
Utusan Iblis hanya bungkukkan sedikit tu-
buhnya.
"Guru! Pekerjaan baru saja kumulai, karena
aku baru saja sampai!"
Titisan Iblis perhatikan muridnya. "Pakaian
dan tubuhmu basah. Bodohnya kau!"
"Ini gara-gara pemuda jahanam itu!"
"Hem.... Kau menyebut seorang pemuda.
Siapa?! Kau juga belum berhasil dengan tugasmu
melenyapkan Mata Malaikat. Kenapa bisa terjadi?!"
"Aku belum jelas benar siapa sebenarnya
pemuda itu. Tapi, seseorang mengatakan padaku
dialah sebenarnya manusia bergelar Mata Malai-
kat!"
Titisan Iblis tertawa mengekeh. "Kau masih
juga dapat dikelabui orang, Muridku. Tapi ini juga
kesalahanku! Aku tak mengatakan padamu ciri-
ciri manusia keparat bergelar Mata Malaikat itu.
Namun hal yang pasti, pemuda itu bukanlah Mata
Malaikat!"
"Aku pun pada akhirnya menduga demi-
kian, Guru! Namun kali ini siapa pun yang ada di
bukit ini tak akan bisa pulang dengan selamat!
Mereka semua akan kuhancurkan!"
"Bagus! Hari ini kita akan berpesta, Murid-
ku. Karena Mata Malaikat pun telah berada di
tempat ini!" Titisan iblis memandang sejenak ke
sekeliling. "Kita menyelidik tempat ini! Tapi, kau
harus tetap waspada. Tempat tersimpannya benda
pusaka biasanya penuh dengan halangan memati-
kan!"
Utusan Iblis tak menyahut. Malah dia alih-
kan pandangannya pada jurusan lain. Titisan Iblis
segera berkelebat meninggalkan tempat itu, yang
kemudian disusul oleh Utusan Iblis.
Setelah puluhan tombak, menempuh me
dan yang menanjak, kedua orang ini hentikan la-
rinya. Titisan Iblis angkat tangannya. Telinganya
menajam. Sementara sepasang matanya melirik ke
jurusan depan, ke arah tonjolan batu besar.
"Kau dengar itu?" bisik Titisan Iblis.
"Suara perempuan menyumpah dan mema-
ki!" sahut Utusan Iblis. Belum selesai dia berucap,
Titisan Iblis telah berkelebat ke arah terdengarnya
suara. Utusan Iblis mengikuti.
Dengan mengendap dari balik batu, kedua
orang ini melihat seorang perempuan berwajah
cantik berpakaian putih tipis sedang duduk ber-
sandar dengan mulut tak henti-hentinya kelua-
rkan gumam makian.
"Guru! Kau mengenalinya?!' seru Utusan Ib-
lis terdengar parau, karena matanya melihat sem-
bulan dada si perempuan yang bagian dadanya
agak rendah.
"Aku heran. Perempuan itu tampak tidak
mengalami perubahan meski tahun terus bertam-
bah, Muridku. Perempuan itulah yang digelari
orang dengan sebutan Bidadari Penyebar Cinta!"
Utusan Iblis perhatikan sekali lagi. "Cantik
dan bertubuh bagus..., " gumamnya, membuat Ti-
tisan Iblis tersenyum.
"Ucapanmu benar. Cantik dan bertubuh ba-
gus, tepatnya sintal! Tapi kau harus tidak mem-
percayainya! Sebaliknya kau harus dapat memper-
gunakannya! Ia punya modal luar dan dalam. Kau
paham maksudku?!"
Utusan Iblis kali ini anggukkan kepalanya
meski matanya tak beranjak dari menjilati tubuh
si perempuan yang bukan lain memang Bidadari
Penyebar Cinta.
Seperti diketahui, setelah terjadi bentrok
dengan Putri Hitam alias Dayang Arung dan Mata
Malaikat, Bidadari Penyebar Cinta yang merasa
tak dapat mengatasi segera keluar dari terowon-
gan. Namun perempuan ini tidak segera kembali.
Dia berniat mencegat Putri Hitam, Mata Malaikat,
dan Pendekar Mata Keranjang. Meski sadar dirinya
tak bisa mengalahkan, namun karena dorongan
untuk memiliki kipas 108 yang sempat digenggam
serta mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala mem-
buat semangatnya berkobar. Dia bertekad merebut
walau apa pun yang akan terjadi. Dia lalu keluar
dan duduk bersandar di balik batu. Dia sengaja
memilih tonjolan batu yang menghadap ke lobang
masuk terowongan, hingga dia dapat mengawasi
orang yang keluar masuk terowongan tanpa di-
rinya terlihat.
Mungkin karena tak sabar, Utusan Iblis se-
gera berkelebat dari balik batu di mana Bidadari
Penyebar Cinta berada.
Bidadari Penyebar Cinta segera hentikan
gumam makiannya lalu cepat bangkit dengan ma-
ta memandang tajam ke depan. Tapi begitu meli-
hat seorang pemuda bertubuh kekar dengan paras
keras mengenakan jubah panjang sebatas lutut,
perempuan ini merubah sikap. Bibirnya tersenyum
dan lidahnya dikeluarkan membasahi bibirnya
yang merah. Diam-diam dalam hati perempuan ini
berkata.
"Kedatangannya tak bisa kuketahui. Sikap
nya menandakan dia punya ilmu tinggi. Hem....
Aku harus dapat merangkulnya.... Siapa kau?!"
suara teguran Bidadari Penyebar Cinta terdengar
garang, meski setelah itu dia kembali tersenyum
dan mata mengerling nakal.
"Bidadari Penyebar Cinta! Kau bertanya,
aku akan jawab!" Utusan Iblis berucap dengan ter-
senyum, membuat Bidadari Penyebar Cinta terke-
jut mengetahui si pemuda tahu siapa dirinya. "Aku
Utusan Iblis!"
Bidadari Penyebar Cinta tengadahkan sedi-
kit kepalanya, memperlihatkan lehernya yang jen-
jang putih. "Rasanya baru kali ini aku mendengar
gelar pemuda ini! Mungkin dia baru turun dalam
dunia persilatan. Itu lebih memudahkan untuk
menggaetnya meski belum kuketahui jelas keting-
gian ilmunya!"
"Boleh tahu, kenapa berada di sini?!" Utu-
san Iblis ajukan pertanyaan.
"Tak perlu dikatakan tentunya kau telah ta-
hu jawabnya!"
Meski sedikit dongkol mendengar ucapan
Bidadari Penyebar Cinta, namun Utusan Iblis ter-
senyum.
"Makianmu menunjukkan kau baru saja
bentrok dengan seseorang...."
Entah karena tak mau mengakui kekala-
hannya, Bidadari Penyebar Cinta tertawa perlahan.
"Kita bertemu di sini. Kau lihat aku bentrok den-
gan seseorang?!"
"Darah di bawah bibirmu tak bisa membo-
hongi penglihatanku!" ujar Utusan Iblis.
Tanpa sadar, Bidadari Penyebar Cinta usap-
usap darah yang ternyata masih tersisa di bawah
bibirnya. Wajahnya berubah merah padam.
"Kalau orang berilmu tinggi sepertimu sam-
pai terluka, pasti lawanmu adalah seorang berilmu
tinggi pula!"
"Seandainya dia sendirian, mungkin aku tak
sampai terluka. Jahanam itu bertiga!"
"Hem.... Begitu? Siapa mereka?!"
Bidadari Penyebar Cinta lalu menyebutkan
satu persatu. Utusan Iblis menyeringai dengan da-
gu mengembang dan pelipis bergerak-gerak. "Jadi
pemuda itu yang bergelar Pendekar Mata Keran-
jang. Dan setan tua yang selalu bersamanya ada-
lah Mata Malaikat. Jahanam betul!"
"Kau berubah. Kau punya sengketa dengan
mereka?!"
Utusan Iblis tak segera menjawab. Tapi di-
am-diam Bidadari Penyebar Cinta telah mengeta-
hui apa di balik perubahan wajah si pemuda. Bibir
perempuan ini kembali menyunggingkan senyum.
Lalu berkata.
"Raut wajahmu telah menjawab perta-
nyaanku. Dan jika demikian berarti musuh kita
adalah orang yang sama! Apakah tidak sebaiknya
kita bersama-sama pula membuat mereka mam-
pus?!"
"Itu urusan mudah. Masih ada urusan yang
lebih berat. Dan itu tak membutuhkan seorang
teman!" ucap Utusan Iblis sambil melirik ke arah
belakang batu, di mana tadi Titisan Iblis berada.
Namun si pemuda sudah tidak melihat sosok gurunya lagi.
"Ke mana dia. Apa dia sengaja memberiku
kesempatan untuk bersenang-senang dengan pe-
rempuan ini?! Ah, itu bisa kulakukan nanti. Uru-
san besar masih menghadang, aku harus selesai-
kan dulu!" pikir Utusan Iblis.
Sementara itu mendengar ucapan Utusan
Iblis, Bidadari Penyebar Cinta perdengarkan tawa
renyah. "Aku tahu. Yang kau maksud tentu uru-
san lembaran kulit itu. Betul?! Dengar, Utusan Ib-
lis. Sekarang lupakan urusan dengan lembaran
kulit itu. Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah
menghadapi mereka!"
Utusan Iblis menyeringai. "Urusan dengan
mereka bukan hal yang perlu dipikirkan! Aku
sanggup melenyapkan mereka! Yang kupikirkan
adalah hal lembaran kulit itu! Karena terus terang
aku masih buta seluk-beluknya!"
"Kau tak usah pikirkan seluk-beluk lemba-
ran kulit itu. Karena mereka kuyakin telah men-
dapatkannya! Tinggal sekarang bagaimana mere-
but dari tangan mereka!"
"Dari mana kau tahu itu semua?!" tanya
Utusan Iblis. Saking kagetnya dia sampai melom-
pat maju dan kini hanya sejarak tiga langkah dari
Bidadari Penyebar Cinta.
"Tak usah kuterangkan. Kita tunggu saja di
sini!"
"Kenapa harus di sini?!"
Bidadari Penyebar Cinta arahkan telunjuk-
nya pada sebuah lobang. "Lobang itu adalah satu-
satunya jalan keluar masuk ke tempat tersimpan
nya lembaran kulit itu. Dari tempat ini kita leluasa
melihat orang yang keluar masuk. Sementara
orang yang keluar masuk tak bisa melihat ke arah
tempat ini."
"Tapi kita harus yakinkan dulu bahwa me-
reka benar-benar telah mendapatkan lembaran
kulit itu!"
"Ketahuilah. Mereka telah mendapatkan pe-
tunjuk di mana lembaran kulit binatang itu, juga
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh-
nya. Apakah itu masih kurang meyakinkan jika
mereka akhirnya berhasil mendapatkannya?!"
Utusan Iblis manggut-manggut. "Tapi kau
juga harap mengerti. Dengan mampusnya mereka,
lembaran kulit itu menjadi milikku!"
"Hem.... Boleh kau bicara begitu, tapi lihat
saja nanti...," batin Bidadari Penyebar Cinta. Lalu
tersenyum dan berujar. "Silakan kau ambil lemba-
ran kulit itu. Bagiku sekarang, dengan terbalasnya
sakit hatiku, itu sudah cukup!"
Utusan Iblis pandangi lekat-lekat wajah Bi-
dadari Penyebar Cinta. Terbayang kebimbangan di
wajah pemuda ini. Merasakan hal itu, Bidadari Pe-
nyebar Cinta melanjutkan ucapannya dengan se-
dikit busungkan dada. "Kau tak usah menaruh cu-
riga padaku. Malah kalau tak keberatan, sejak se-
karang kita akan selalu ke mana-mana bersama.
Kau setuju?!"
Sepasang mata Utusan Iblis beralih pada
dada sang bidadari. Melihat si pemuda mulai te-
rangsang, Bidadari Penyebar Cinta tersenyum. La-
lu kembali berujar. "Kau boleh menikmati apa saja
dari tubuhku. Mau sekarang?!"
Tak sabar, begitu Bidadari Penyebar Cinta
selesai bicara, Utusan Iblis telah mencekal bahu si
perempuan. Bibirnya serentak menyergap bibir
sang perempuan. Seraya mendesah, Bidadari Pe-
nyebar Cinta mulai membalas, hingga untuk bebe-
rapa lama kedua ini tenggelam dalam keasyikan.
Dari tempat tersembunyi, sepasang mata
memperhatikan keasyikan dua orang itu dengan
mulut komat-kamit menggumam.
"Dasar anak konyol! Ini bisa berbahaya jika
dia tak hati-hati! Aku akan terus mengawasi meski
aku jadi ikut-ikutan kepingin! Dasar...!" Orang ini
yang bukan lain adalah Titisan Iblis lantas bering-
sut mundur pada sebuah lekukan batu hingga so-
soknya tak terlihat, namun sepasang matanya
yang besar melotot terus terpentang memperhati-
kan ke arah Utusan Iblis dan Bidadari Penyebar
Cinta yang kini mulai rebahan.
"Konyol! Konyol betul!" gumam Titisan Iblis
sambil pukulkan kepalan tangannya pada batu di
samping tubuhnya. Dadanya tampak bergetar. Ta-
pi dia tak hendak lepaskan pandangan matanya.
Tiba-tiba Bidadari Penyebar Cinta jauhkan
wajahnya dari Utusan Iblis, kedua tangannya pun
coba mengangkat tangan si pemuda dari balik pa-
kaiannya meski tarikan tangannya perlahan hing-
ga tangan si pemuda malah terus bergerak-gerak
liar.
"Hai.... Kita hentikan dulu. Lihat ada seseo-
rang...," bisik Bidadari Penyebar Cinta di antara
suara napas Utusan Iblis yang memburu.
Mungkin karena terlalu bernafsu, suara te-
guran Bidadari Penyebar Cinta tak terdengar oleh
telinga Utusan Iblis. Pemuda itu terus menciumi
tubuh si perempuan, membuat Bidadari Penyebar
Cinta tersenyum.
"Tak sulit menaklukkanmu.... Silakan lem-
baran kulit itu jadi milikmu namun hanya semen-
tara. Selanjutnya kau akan bertekuk lutut...," Bi-
dadari Penyebar Cinta berkata dalam hati. Ma-
tanya terus memperhatikan pada sosok tubuh
yang baru keluar dari lobang terowongan.
"Lihat! Mereka keluar!" bisik Bidadari Pe-
nyebar Cinta agak keras.
Utusan Iblis hentikan ciumannya. Lalu ber-
paling ke arah mana Bidadari Penyebar Cinta me-
mandang. Dari atas tubuh sang Ratu, Utusan Iblis
memang melihat sesosok tubuh keluar dan kini
mondar-mandir di depan lobang terowongan.
Saat sosok itu menghadap ke tempat mere-
ka berada, Utusan Iblis serentak bangkit. Semen-
tara Bidadari Penyebar Cinta merapikan pakaian-
nya lalu ikut-ikutan bangkit dan tegak di samping
si pemuda.
"Manusia setan itu mungkin sedang melihat
keadaan...," desis Bidadari Penyebar Cinta. "Ba-
gaimana kalau dia kita singkirkan dahulu?!"
"Aku menurut apa maumu saja!" seru Utu-
san Iblis.
Sementara dari balik tempatnya bersem-
bunyi, Titisan iblis yang melihat sikap muridnya
dan Bidadari Penyebar Cinta segera pula meman-
dang ke arah mana kedua orang itu memandang.
Kakek ini mendelik.
"Bangsat hitam setengah gila itu! Apa mere-
ka segera akan keluar semua? Aku akan menung-
gu saja, kulihat perempuan cantik itu akan turun,"
gumamnya ketika melihat Bidadari Penyebar Cinta
dan Utusan Iblis melangkah turun dari tempatnya,
lalu sekejap kemudian tubuh mereka berkelebat.
Sosok yang baru keluar dan kini mondar-
mandir di sekitar mulut lobang terowongan henti-
kan langkah kakinya. "Ada seseorang...," gumam-
nya seraya berpaling ke arah samping. Baru saja
kepalanya bergerak, dua bayangan telah menye-
ruak dan tahu-tahu telah tegak delapan langkah di
hadapannya.
Sejurus sosok itu yang bukan lain adalah
Dayang Arung alias Putri Hitam memandang pada
dua orang di hadapannya. Bibirnya yang hitam
sunggingkan senyum. Sebaliknya Bidadari Penye-
bar Cinta tampak memandang dengan mata lak-
sana dikobari api, di sampingnya melihat danda-
nan orang, Utusan Iblis tertawa bergelak-gelak.
"Monyet hitam berhias inikah yang kau bi-
lang tadi?!" ucap Utusan Iblis dengan palingkan
wajahnya ke Bidadari Penyebar Cinta sementara
telunjuk jari tangan kirinya lurus ke arah Putri Hi-
tam.
"Jangan pandang remeh dia!" bisik Bidadari
Penyebar Cinta tanpa berpaling, membuat Utusan
Iblis makin keraskan suara tawanya. Sementara
Putri Hitam hanya tersenyum.
Sebenarnya Putri Hitam tak berniat keluar
dari terowongan. Tapi, ketika Mata Malaikat dan
Pendekar Mata Keranjang belum juga muncul, ak-
hirnya untuk menghilangkan rasa jenuh berdiam
diri di dekat hamparan tanah gersang di dalam te-
rowongan, juga karena tak sabar ingin segera ber-
temu dengan anaknya setelah mendengar keteran-
gan Mata Malaikat, akhirnya Putri Hitam melang-
kah keluar dari terowongan.
***
DUA BELAS
AKU ingin buktikan kemampuan monyet hi-
tam ini!" dengus Utusan Iblis. Tenaga dalamnya
dikerahkan pada kedua tangannya. Lalu melompat
ke depan. Kaki kanan diangkat tinggi menyambar
dari arah samping kanan. Kejap lain kedua tan-
gannya berkelebat menyusup.
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Tiga pukulan langsung menggebrak. Sebe-
lum pukulan sampai, angin deras menderu men-
dahului.
Putri Hitam membuat gerakan berputar di
udara setengah tombak di atas tanah batu. Pa-
kaian gombrongnya berkelebat menangkis deru
angin yang mendahului serangan.
Seettt!
Kaki kanan Utusan Iblis tahu-tahu tertahan
setengah jalan di udara. Ternyata kaki itu telah
tertangkap tangan Putri Hitam. Kini tubuh Putri
Hitam tegak dengan kepala di bawah dan kaki
menjulang ke atas dengan tangan bertumpu pada
kaki kanan Utusan Iblis. Hebatnya meski pakaian
yang dikenakan gombrong dan posisi tubuhnya
terbalik, pakaian itu sama sekali tidak menying-
kap!
Utusan Iblis tarik pulang kedua tangannya
sebelum tangan itu melesat penuh. Dengan gerak
cepat kedua tangannya dihantamkan ke atas.
Tapi sebelum tangan itu menghajar lam-
bung Putri Hitam, orang ini telah angkat kaki ka-
nan Utusan Iblis, pada saat yang sama kakinya
yang di atas melesat ke bawah.
Buuukkk!
Utusan Iblis berseru tertahan. Sosoknya
terhuyung ke belakang dengan tangan memegangi
jidatnya yang terkena tonjolan tumit Putri Hitam.
"Monyet bangsat!" teriak Utusan Iblis. Wa-
jah pemuda ini telah merah mengelam. Kedua tan-
gannya gemetar menahan marah. Di sampingnya
Bidadari Penyebar Cinta memandang lalu berbisik.
"Tahan emosimu. Hadapi dengan kepala
dingin!"
"Diam kau!" sentak si pemuda, membuat
Bidadari Penyebar Cinta beringsut mundur dengan
dada panas. Namun perempuan ini coba menahan
perasaan, karena dia maklum tak mungkin meng-
hadapi Putri Hitam sendirian.
Utusan Iblis angkat kedua tangannya tinggi-
tinggi. Lalu dihantamkan, lepaskan pukulan sakti
'Gemuruh Badai'.
Wuuuttt! Wuuuuttt!
Terlihat gulungan awan hitam pekat. Lalu
terdengar suara bergemuruh disertai kilatan-
kilatan laksana sambaran petir.
Putri Hitam untuk kedua kalinya melesat ke
udara. Setengah tombak di atas gulungan awan hi-
tam kedua tangannya menyentak ke bawah.
Seettt! Settt!
Gulungan awan hitam laksana ditekan ke-
kuatan dahsyat. Hingga kejap kemudian melesat
ke bawah dan langsung amblas ke dalam tanah
berbatu. Sementara sambaran kilat bertebaran ke
mana-mana! Pada saat bersamaan terdengar bebe-
rapa kali letupan saat kilatan-kilatan itu menghan-
tam batu yang banyak bertebaran di tempat itu.
Namun bersamaan dengan menyentaknya
kedua tangan Putri Hitam ke bawah, seberkas si-
nar biru melesat cepat dari bawah. Mungkin kare-
na tak menyangka, meski Putri Hitam sempat
menghindar dengan membuat gerakan berputar
menjauh, tapi tak urung bahunya tersambar sinar
kuning yang ternyata dilepaskan oleh Bidadari Pe-
nyebar Cinta! Hingga terdengar seruan dari udara,
lalu sosok Putri Hitam tampak melayang turun
dengan berputar-putar. Sementara di bawah sana
sosok Utusan Iblis terlihat terseret jauh ke bela-
kang. Sesaat kemudian setelah terhuyung bebera-
pa kali pemuda ini jatuh terduduk.
Melihat keadaan Putri Hitam, Bidadari Pe-
nyebar Cinta tak buang-buang kesempatan, dia
segera melesat ke depan. Belum sampai Putri Hi-
tam menginjak tanah berbatu, Bidadari Penyebar
Cinta telah menerjang dengan kirimkan satu ten-
dangan ke arah perut. Sementara tangan kirinya
melesat mengarah pada kepala!
"Licik!" teriak Putri Hitam sambil tebaskan
tangannya ke bawah.
Prakkk! Bukkk!
Tendangan kaki Bidadari Penyebar Cinta
dapat ditahan dengan tangan, namun hantaman
yang mengarah pada kepala tak dapat dihindari.
Hingga saat itu juga tubuh Putri Hitam mencelat
dengan kepala tersentak tengadah! Lalu terjajar di
atas tanah dengan mulut pecah mengalirkan da-
rah! Bidadari Penyebar Cinta sendiri terlihat mun-
dur beberapa langkah dengan kaki terpincang-
pincang.
Saat itulah sesosok bayangan berkelebat
dan tahu-tahu telah tegak tujuh langkah di hada-
pan Putri Hitam dengan kacak pinggang dan ter-
tawa bergelak.
"Titisan Iblis!" desis Bidadari Penyebar Cinta
mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di
hadapan Putri Hitam yang masih bergerak bangkit.
"Mengapa dia ikut-ikutan urusan ini?
Hem.... Kedatangannya akan merusak rencanaku!"
batin Bidadari Penyebar Cinta seraya berpaling
pada Utusan Iblis yang kini telah melangkah men-
dekat ke arahnya.
"Manusia tua ini harus disingkirkan juga!
Jika tidak...," Bidadari Penyebar Cinta tidak lan-
jutkan bisikannya pada Utusan Iblis karena si pe-
muda telah angkat bahu seraya berujar.
"Kau tak usah khawatir dengannya. Dia gu-
ruku!"
Bidadari Penyebar Cinta jadi tergagu diam
dengan wajah merah padam. Cepat-cepat dia pa-
lingkan wajah untuk menyembunyikan perubahan
wajahnya. "Celaka! Alamat rencanaku harus ter-
tunda. Jika guru dan murid ini maju bersama-
sama. Tapi... Ah, itu urusan nanti. Keduanya sama
laki-laki. Kurasa aku bisa menaklukkan Kedua-
nya...."
"Manusia jelek! Tidak mampus di sungai,
akhirnya kau harus tewas di tempat tak bertuan!"
Tiba-tiba terdengar Titisan Iblis membentak.
"Mati di mana pun bukan kau yang menen-
tukan!" sahut Putri Hitam dengan suara keras pu-
la.
Titisan Iblis tertawa. Kakek ini sekilas pan-
dang telah tahu jika orang di hadapannya cedera.
Dan kejelian Titisan Iblis memang benar, karena
diam-diam Putri Hitam sebenarnya khawatir den-
gan keadaan dirinya, dan kegundahan makin nya-
ta tatkala dia teringat akan Seruni. Dalam hati dia
mengeluh.
"Akankah aku harus mati sebelum jumpa
dengan anakku? Dan kenapa Mata Malaikat dan
Pendekar Mata Keranjang tak segera muncul?
Apakah mereka tak berhasil?!"
Selagi Putri Hitam tercenung dengan ke-
gundahan hatinya, tiba-tiba Titisan Iblis kembali
keluarkan bentakan garang.
"Manusia Hitam! Akan kuperlihatkan pa-
damu jika akulah yang tentukan di mana kau ha-
rus mampus!"
Habis berkata begitu, Titisan Iblis hantam-
kan kedua tangannya. Lepaskan pukulan
'Gemuruh Badai'.
Entah karena masih geram atau sakit hati,
Bidadari Penyebar Cinta tak tinggal diam. Begitu
Titisan Iblis lepaskan pukulan, perempuan cantik
ini pun ikut lepaskan pukulan. Sementara itu Utu-
san Iblis yang tegak di samping Bidadari Penyebar
Cinta seakan tak mau ketinggalan. Saat itu juga
dia kirimkan pukulan! Hingga tak ampun lagi, su-
asana di sekitar lobang terowongan berubah men-
jadi pekat dengan melesatnya beberapa gulungan
awan hitam. Lalu disusul dengan menyambarnya
sinar kuning. Pada saat yang sama terdengar ge-
muruh dahsyat.
Mendapat serangan ganas, mau tak mau
membuat Putri Hitam tercekat. Kalaupun dia
mampu menangkis namun pasti salah satu puku-
lan lawan akan tetap menghajarnya. Bulu kuduk-
nya meremang. Tapi serangan telah datang dan itu
tak bisa membuat Putri Hitam untuk berpikir lebih
panjang lagi. Hingga akhirnya seraya pejamkan
mata dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Ke-
dua tangannya ditarik sedikit ke belakang, lalu di-
dorong dengan tenaga penuh!
Bersamaan dengan mendorongnya kedua
tangan Putri Hitam yang pasrah, tiba-tiba di anta-
ra kepekatan suasana tampak berkelebat dua
bayangan yang langsung tegak tiga langkah di
samping kanan kiri Putri Hitam. Seorang mengha-
dap ke depan, sedangkan satunya lagi tampak
menghadap ke belakang. Begitu tegak, kedua
orang ini cepat sentakkan kedua tangan masing-
masing. Yang satu langsung mendorong ke depan,
satunya lagi mendorong tangannya ke belakang!
Di antara kepekatan serangan Titisan Iblis
dan Utusan Iblis menyeruak angin keras yang ke-
luarkan bunyi gemuruh, lalu dari arah samping
tampak asap putih bergerak naik turun yang ma-
kin ke depan makin besar dengan keluarkan suara
menggidikkan!
Bummm! Bummm! Bummm!
Terdengar tiga kali dentuman keras meng-
guncang tempat itu. Bukit yang terdiri dari hampa-
ran tanah gersang itu bergetar hebat. Nyala bunga
api tampak membubung ke angkasa. Batu dan ta-
nah mencelat berhamburan. Batu besar di dekat
lobang terowongan longsor dan langsung menutup
lobang terowongan. Suara dentuman belum lenyap
terdengar beberapa suara berseru tertahan dan
dua kali jeritan.
Agak lama kemudian keadaan normal kem-
bali. Di sebelah kiri tampak Putri Hitam duduk
dengan tubuh berguncang keras hingga pakaian
gombrongnya berkibar-kibar. Tiga langkah di sebe-
lah kirinya Pendekar Mata Keranjang tegak dengan
tubuh bergetar dan kedua tangan mendekap da-
danya, di mana tersimpan Lembaran Kulit Naga
Pertala. Meski baru saja terjadi bentrok pukulan.
Anehnya, murid Wong Agung tak merasakan sakit.
Malah, waktu lepaskan pukulan untuk menyela-
matkan Putri Hitam tenaganya dirasa berlipat
ganda.
"Hem.... Gerakan tubuhku ringan, tenaga
bertambah...," batin Aji. "Apa yang dikatakan Mata
Malaikat memang tak berlebihan. Tambahan tenaga dalam dari Eyang Pandanaran benar-benar luar
biasa!" Aji membatin seraya melirik pada Mata Ma-
laikat yang berdiri di sebelahnya! Jauh di sebe-
rang, terlihat Bidadari Penyebar Cinta terkapar
dengan mulut keluarkan darah. Di samping ki-
rinya, Utusan Iblis duduk bersimpuh dengan tu-
buh membungkuk hampir menyentuh lutut. Di
sebelahnya Titisan Iblis duduk bersila dengan ke-
dua tangan menakup di depan dada. Wajah orang
tua ini pias dan sesekali terdengar batuk-batuk la-
lu meludah ke tanah. Matanya terpejam rapat. Mu-
lutnya komat-kamit menggumam.
"Anakku! Kau baik-baik saja?!" Terdengar
Mata Malaikat buka suara seraya menoleh ke arah
Putri Hitam.
"Untung kalian cepat datang.... Aku tak
apa-apa!" jawab Putri Hitam tanpa berpaling.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau bagaima-
na?!" kembali Mata Malaikat bertanya.
Murid Wong Agung berpaling. Menggumam
sebentar melihat sikap Mata Malaikat sebelum ak-
hirnya angkat bicara.
"Aku sehat-sehat saja, Kek." Seraya berkata
dia tetap dekap dadanya di mana tersimpan Lem-
baran Kulit Naga Pertala.
Ucapan Pendekar Mata Keranjang membuat
Mata Malaikat keluarkan suara tawa bergelak. Su-
ara tawa itu mula-mula pelan, namun makin lama
makin keras. Dan tak lama kemudian semua
orang di situ merasakan tanah di bawahnya berge-
tar! Bahkan kejap kemudian tanah berbatu di ba-
wah dan di sekitar orang mulai rengkah!
"Sialan! Apa yang dilakukan orang tua itu?!"
gumam Aji seraya kerahkan tenaga dalam untuk
menangkis suara tawa dan tubuhnya agar tidak
masuk ke dalam tanah berbatu yang mulai berlo-
bang.
Di seberang, baik Titisan Iblis, Bidadari Pe-
nyebar Cinta, dan Utusan Iblis mau tak mau harus
kerahkan tenaga dalam masing-masing.
"Bandot Tua Jahanam!" Titisan Iblis kelua-
rkan suara menggumam. Lalu berpaling pada Bi-
dadari Penyebar Cinta dan Utusan Iblis. "Siapkan
pukulan! Arahkan pada bandot tua itu!"
Namun sebelum dua orang itu lakukan
ucapan Titisan Iblis, di seberang sana Mata Malai-
kat putuskan tawanya. Kedua tangannya yang di-
buat tumpuan tubuhnya ditekankan ke bawah.
Lalu 'Wuuttt!'. Tubuhnya membal ke atas. Kedua
kakinya diluruskan sejajar pantat. Tiba-tiba kedua
tangannya mengayun ke belakang.
Wusss! Wuuusss!
Rupanya pukulannya sengaja diarahkan ke
tanah berbatu yang telah rengkah-rengkah. Hingga
saat itu juga tanah berbatu itu muncrat ke udara
menaburkan batu-batu kecil. Hebatnya taburan
batu itu langsung melesat ke depan, ke arah Titi-
san Iblis, Bidadari Penyebar Cinta, dan Utusan Ib-
lis!
Ketiga orang ini serentak bangkit. Lalu sa-
ma-sama hantamkan tangan masing-masing un-
tuk menghalau tebaran batu.
Di seberang, habis lakukan pukulan, Mata
Malaikat berkelebat turun di antara Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam.
''Kita cari tempat yang leluasa. Dan kalian
pilih lawan masing-masing! Tapi yang perempuan
serahkan untukku!" bisik Mata Malaikat membuat
Putri Hitam melengos.
"Aduh! Aku lupa bahwa dia menantuku...,"
gumam Mata Malaikat sambil berkelebat dan buka
mulutnya lebar-lebar.
Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam
segera bangkit dan berkelebat menyusul Mata Ma-
laikat yang telah berkelebat lebih dulu.
"Anakku!" ucap Mata Malaikat pada Putri
Hitam saat orang ini telah berada di sampingnya.
"Ucapanku tadi jangan masukkan ke dada. Aku
hanya bergurau!"
"Sungguh-sungguh pun tak apa! Aku malah
gembira punya mertua cantik dan muda! Bekas
musuh lagi!"
"Eh, jadi kalian ini menantu dan mertua?!"
kata Pendekar Mata Keranjang dengan menatap si-
lih berganti pada Putri Hitam dan Mata Malaikat.
"Berkat pakaian dan rambut temuan, juga
karena mengikuti langkahmu, akhirnya aku ber-
jumpa dengan menantuku yang cantik ini!" sahut
Mata Malaikat membuat Putri Hitam makin cem-
berut.
Putri Hitam tersenyum pahit, sementara
Pendekar Mata Keranjang tertawa bergelak. Di
sampingnya Mata Malaikat pejamkan mata!
Suara tawa Pendekar Mata Keranjang belum
reda, tiga bayangan telah berkelebat dan langsung
berdiri berjajar sepuluh langkah di hadapan mereka!
Pendekar Mata Keranjang putuskan ta-
wanya. Putri Hitam berpaling ke depan dengan
mata memandang tajam. Sedangkan Mata Malai-
kat cepat pentangkan sepasang matanya!
SELESAI
Segera terbit!!!
WASIAT SANG PENDEKAR
0 comments:
Posting Komentar