..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 05 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE LEMBARAN KULIT NAGA PERTALA

Lembaran Kulit Naga Pertala


LEMBARAN 

KULIT NAGA PERTALA

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Lembaran Kulit Naga Pertala

128 hal.


SATU


UTUSAN Iblis dan Kamaratih tampak terke-

jut. Sepasang mata mereka mendelik besar tahu 

siapa adanya orang yang tiba-tiba menyeruak, dan 

kini tegak memandang tak berkedip pada kakek 

berpakaian perempuan dan berambut dikepang 

dua yang bukan lain adalah Mata Malaikat.

Seperti telah dituturkan, secara tak sengaja 

Mata Malaikat menemukan pakaian perempuan 

dan rambut hitam dikepang dua di suatu tempat, 

yang baru saja digunakan Dewi Penyebar Cinta 

untuk menyamar sebagai Setan Pesolek dan ber-

hasil mengelabui Pendekar 108 dengan membawa 

lari kipas ungu 108 serta mendapat petunjuk ten-

tang Lembaran Kulit Naga Pertala.

Melihat pakaian perempuan yang dikenakan 

Mata Malaikat serta melihat rambutnya yang dike-

pang dua, Pendekar 108 segera menduga jika 

orang yang menyamar bukan lain adalah Mata Ma-

laikat.

"Mendengar keterangan guru, jelas jika ka-

kek ini yang bergelar Mata Malaikat. Hm.... Tak 

kusangka sebelumnya jika dia yang menyamar.... 

Kurang ajar betul. Dia telah dua kali membuatku 

celaka! Tapi soal penyamarannya jauh lebih me-

nyakitkan hatiku!" gumam Aji dalam hati. Dada 

murid Wong Agung ini makin bergetar keras. Wa-

jahnya merah padam dengan dagu mengembang. 

Tanpa pedulikan lagi pada pandangan Utusan Iblis 

dan Kamaratih, Aji maju selangkah. Sepasang matanya menusuk tajam ke arah Mata Malaikat yang 

memandang Aji dengan sedikit acuh. Dia maklum 

dengan sikap yang ditunjukkan Aji. Dia mengira 

Aji telah tahu bahwa dialah yang mengatakan pada 

Utusan Iblis jika orang yang bergelar Mata Malai-

kat adalah Aji (Untuk jelasnya, silakan baca epi-

sode: "Bidadari Penyebar Cinta").

"Orang tua! Lekas kembalikan kipasku!" te-

riak Aji menahan amarahnya.

Mata Malaikat sedikit kerutkan dahi. Lalu 

sepasang matanya dipentangkan dengan tubuh 

sedikit dicondongkan ke depan, seolah ingin lebih 

jelas mendengar ucapan orang. Sepasang matanya 

jadi terlihat semakin mengerikan, karena yang se-

belah kanan seperti hendak melompat keluar. Se-

mentara yang kiri, tetap tak berubah, berupa garis 

memanjang!

"Sialan betul! Telingaku yang kurang benar 

atau bocah ini yang salah buka mulut?" desis Mata 

Malaikat dalam hati setelah tadi menyimak ucapan 

Aji. Untuk beberapa saat orang tua ini terdiam 

dengan mata terpentang.

Di samping mereka berdua, Utusan iblis 

dan Kamaratih tampak hanya diam memperhati-

kan. Namun diam-diam Utusan Iblis berkata da-

lam hati. "Hm.... Sandiwara apa lagi yang dimain-

kan kedua keparat ini? Untuk menolong perem-

puan sundal itu mampus di tanganku? Rupanya 

mereka berdua selalu mengikuti ke mana aku per-

gi. Kali ini keduanya tak akan kubiarkan lolos! Pe-

rempuan sundal itu pun harus mampus! Bagai-

manapun juga, ketiga orang ini bisa menjadi batu

penghalang...."

Kalau Utusan Iblis membatin demikian, ti-

dak begitu yang ada di benak Kamaratih. Perem-

puan setengah baya berambut kepang ini menang-

kap ada yang tidak beres di antara Mata Malaikat 

dan Aji. Hal itu dia tangkap dari perubahan pada 

wajah Mata Malaikat yang telah dikenalnya. Justru 

dia menduga jika Ratu Hitam-lah yang membawa 

lari kipasnya Aji. Namun dia juga tak berani me-

mastikan Mata Malaikat tidak membawa lari kipas 

itu. Dia sadar, siapa pun orang rimba persilatan 

pasti menginginkan kipas pusaka itu meski hanya 

tersimpan dalam hati. Memikir sampai di situ dia 

menunggu apa yang akan terjadi antara Mata Ma-

laikat dan Aji walau dia tetap waspada pada Utu-

san Iblis.

Melihat teriakannya hanya disambut den-

gan pentangan mata, murid Wong Agung jadi naik 

pitam.

"Tua bangka! Rupanya kau memaksaku un-

tuk mengambil kipas itu dari tubuhmu yang sudah 

jadi bangkai busuk!"

Meski perubahan makin tampak di wajah 

Mata Malaikat namun orang tua ini masih coba 

tak perdengarkan suara. Membuat Aji tak dapat 

membendung lagi marahnya.

"Setan!" dengus Pendekar 108, geram. "Ber-

siaplah untuk menerima kematianmu, Orang Tua!"

"Tunggu!" tahan Mata Malaikat. "Anak mu-

da! Terus terang, aku tak mengerti dengan maksud 

kata-katamu! Coba Jelaskan!"

'Kau masih juga berpura-pura!"

Mata Malaikat pejamkan matanya, lalu di-

buka kembali. Sekejap kemudian yang terdengar 

adalah suara tawanya mengekeh panjang, hingga 

kepala dan badannya ikut berguncang-guncang.

"Anak muda, pantang bagiku bersikap pura-

pura! Jika kau masih menganggapku sebagai sa-

habat, jelaskan persoalan! Jangan menabur garam 

di air laut!"

Pendekar 108 menyeringai dingin. "Semua-

nya sudah jelas. Apalagi yang akan kujelaskan! Se-

rahkan kipas itu atau.... "

"Anak muda!" potong Mata Malaikat. "Den-

gar baik-baik! Kau tak mau jelaskan tuduhanmu! 

Mungkin saja mengada-ada. Atau, hem.... Kau in-

gin aku segera tinggalkan tempat ini karena kau 

tertarik dengan temanku yang cantik itu?!" kata 

Mata Malaikat seraya arahkan kepalanya ke arah 

Kamaratih.

Kamaratih sunggingkan senyum. "Tua 

bangka jelek! Diajak sungguh-sungguh malah ber-

canda. Heran. Beberapa saat lalu dia mengatakan 

padaku hendak mencari anaknya. Saat itu wajah-

nya tampak murung. Tapi kali ini dia seperti tidak 

menanggung beban apa-apa! Jangan-jangan uca-

pannya yang lalu itu hanya bualan untuk alihkan 

perhatian setelah dia membawa lari kipas milik 

pemuda itu...," kata Kamaratih dalam hati mulai 

menaruh curiga.

Di lain pihak, mendengar kata Mata Malai-

kat, Pendekar Mata Keranjang serentak tarik ke-

dua tangannya yang telah dikembangkan. Serta-

merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Mata Malaikat.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Diawali bunyi gemuruh laksana gelombang 

mengamuk, dua rangkum angin keras menggebrak 

keluar dari telapak tangan Aji dan meluncur ke 

arah Mata Malaikat.

"Hai! Kau tampaknya tidak main-main!" se-

ru Mata Malaikat sambil cepat membuat gerakan 

jongkok di tempat.

"Aku memang tidak main-main!" teriak Aji 

seraya kerahkan kembali tenaga dalamnya untuk 

menyusuli pukulan pertamanya. Murid Wong 

Agung ini sadar, jika orang tua di hadapannya bu-

kan orang sembarangan.

Dia telah menyaksikan itu waktu terjadi 

pertemuan dengan Utusan iblis beberapa waktu la-

lu. Hingga dia tak berani bertindak setengah-

setengah.

Di seberang, begitu pukulan Aji setengah 

tombak lagi menghajar, Mata Malaikat tekankan 

kedua bahunya ke bawah.

Wuuut!

Tubuh Mata Malaikat melenting ke atas. 

Membuat gerakan berputar-putar di udara dengan 

kaki ditekuk di depan dada. Hebatnya, tubuh me-

lingkar Mata Malaikat terus berputar-putar di uda-

ra meski pukulan sakti yang dilepas Aji telah 

menghajar kerimbunan semak dan membuat tum-

buhan itu porak-poranda serta hangus!

Murid Wong Agung nyalang memandang ke 

arah sosok Mata Malaikat di udara. Dia memang 

sengaja menunggu. Raut wajahnya sudah merah

mengelam. Rahangnya menggegat rapat dengan gi-

gi keluarkan suara gemeletak. Sosoknya pun terli-

hat berguncang. Menahan marah dan tenaga da-

lam yang dikerahkan.

Tiba-tiba Mata Malaikat gerakkan kedua 

tangannya. Kejap lain putaran tubuhnya terhenti, 

dan kini melayang turun. Dan begitu mendarat, 

sepasang matanya terarah pada Kamaratih tanpa 

keluarkan sepatah kata.

Kamaratih tahu apa arti pandangan Mata 

Malaikat meski si kakek tak keluarkan ucapan. Pe-

rempuan setengah baya ini lantas buka mulut. 

Namun sebelum ucapannya terdengar, Aji telah 

meradang.

"Bibi! Jangan campur urusan ini!"

Kamaratih katupkan kembali mulutnya. La-

lu berpaling pada Mata Malaikat. Belum sampai 

kepala Kamaratih sepenuhnya menghadap Mata 

Malaikat, kakek ini telah gerakkan tubuhnya 

menggelundung, lalu berhenti dengan bersandar 

pada sebatang pohon yang lolos dari hajaran pu-

kulan Aji.

"Sialan! Aku benar-benar tua bangka sial! 

Dituduh yang bukan-bukan dan teman pun tak 

sudi menolong! Padahal aku tak mimpi buruk...." 

Mata Malaikat berkata sendiri.

"Orang tua sepertimu tak pantas mendapat 

mimpi, meski hanya mimpi buruk isyarat kema-

tianmu!" teriak Aji. Lalu kembali dorong tangannya 

ke depan. Untuk ke dua kalinya angin keras 

menggebrak, dengan disertai bunyi gemuruh se-

perti gelombang mengamuk!

"Anak muda! Seandainya urusanku telah 

selesai, mungkin aku pasrah dengan mati di tan-

ganmu. Namun karena urusanku belum tuntas, 

maka aku belum mau mati dulu!" ujar Mata Ma-

laikat. Lalu melenting ke atas setinggi satu tom-

bak. Tiba-tiba tangannya disentakkan ke depan.

Beeettt! Beeettt!

Sesaat asap tipis keluar dari kibasan tangan 

itu, namun sesaat kemudian asap itu mengem-

bang besar dan kejap lain bergerak cepat naik tu-

run.

Blaaammm!

Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu. 

Utusan Iblis serta Kamaratih cepat kerahkan tena-

ga dalam masing-masing untuk mengatasi sapuan 

angin deras yang ternyata menggebrak di belakang 

asap putih!

Kalau Utusan Iblis dan Kamaratih dapat 

mengatasi tubuh masing-masing, tidak demikian 

halnya dengan Aji. Karena sewaktu terjadi bentrok 

pukulan tubuhnya terhuyung-huyung, maka saat 

sapuan angin menggebrak ia tak kuasa lagi mena-

han huyungan tubuhnya.

Hingga sosoknya terseret sampai beberapa 

tombak sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan 

tubuh gemetar!

"Hem.... Nampaknya mereka tidak bersan-

diwara!" desis Utusan Iblis sambil menyeringai dan 

melirik ke belakang, ke arah Aji yang mulai me-

rambat bangkit dengan mulut meringis dan meng-

gumam tak jelas.

Sebenarnya sedari tadi Utusan Iblis masih

menduga jika antara Pendekar Mata Keranjang 

dan Mata Malaikat bermain sandiwara seperti yang 

dilakukan keduanya saat pertama kali bertemu. 

Namun setelah melihat apa yang terjadi, pemuda 

ini berkesimpulan lain. Malah kesimpulannya ini 

membuatnya penasaran.

"Mereka berdua dari tadi memperbincang-

kan soal kipas. Kipas apa...? Hai.... Kalau antar 

teman sampai saling bunuh untuk mempere-

butkan kipas, berarti kipas itu sangat berharga 

dan bukan mustahil kipas pusaka...." Tiba-tiba 

dahi Utusan Iblis mengernyit. Lalu memandang 

pada Aji sepintas, kemudian alihkan pandangan 

pada Mata Malaikat. Dia memperhatikan si kakek 

berlama-lama. "Sialan! Mengapa aku lupa. Jangan-

jangan yang diperebutkan bangsat-bangsat ini ki-

pas yang kata guru menjadi barang rebutan.... Ah, 

pasti kipas itu.... Hem.... Kebetulan sekali. Sekali 

berlayar, dua tiga pulau terlewati. Ha ha ha...!"

Di sebelah samping, melihat Aji jatuh berlu-

tut, Kamaratih mulai geram pada Mata Malaikat. 

Kecurigaannya makin kuat. Namun perempuan ini 

tidak mau bertindak gegabah. Sebagai orang yang 

lama berkecimpung dalam rimba persilatan, dia 

tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih berada 

di bawah Mata Malaikat. Tokoh rimba persilatan 

yang bisa dikatakan sejajar dengan Mata Malaikat 

hanya beberapa orang saja. Di antara mereka ada-

lah tokoh golongan hitam bergelar Titisan Iblis, 

guru Utusan Iblis. Lalu Peri Kupu-kupu, dan seo-

rang lagi adalah Raksasa Bermuka Hijau. Hingga 

begitu Mata Malaikat melayang turun kembali dan

duduk menyembunyikan kedua kaki dan tangan-

nya, Kamaratih cepat berpaling dan coba menegur.

"Kau telah tua. Apakah kau masih ingin 

malang melintang di usiamu yang bau tanah itu?!"

"Sobatku cantik! Apa maksud ucapanmu?!" 

tanya Mata Malaikat seraya pejamkan mata seben-

tar.

"Berikan kembali kipas itu pada pemiliknya. 

Marilah kita yang tua-tua ini tahu diri dan membe-

ri kesempatan pada yang muda untuk mengganti!"

Mata Malaikat dongakkan kepala. Lalu ter-

dengar tawanya mengekeh panjang.

"Tampaknya kau juga menuduhku. Ah, be-

tul-betul sial nasibku! Padahal, sejak lahir aku te-

lah memberikan jalan terpentang pada siapa saja 

yang hendak malang mujur di rimba persilatan. 

Aku tak punya niat untuk mengangkangi dunia gi-

la ini! Telah cukup diri tua bangka ini merana di 

dalamnya!"

"Orang lebih percaya pada tindakan daripa-

da ucapan, Sobatku!" kata Kamaratih masih coba 

memperhalus nada suaranya.

"Hem.... Maksudmu?!"

"Kau boleh saja bicara begitu, namun jika 

kau membawa lari kipas itu untuk apa jika tidak 

untuk mengarungi rimba persilatan?!"

Sepasang mata Mata Malaikat mendelik. 

"Kamaratih! Dengar baik-baik! Aku tak membawa 

lari kipas! Dan seperti katamu, tindakan lebih di-

percaya daripada ucapan! Sekarang buktikan uca-

pan tuduhanmu!"

Kamaratih sesaat terdiam. Dia terlihat ragu

ragu. Malah dia sempat melirik ke arah Aji yang 

kini tegak memandang berkilat-kilat pada Mata 

Malaikat.

"Sebenarnya aku tidak menuduhmu...," 

ucap Kamaratih pada akhirnya. "Tapi kalau si pe-

milik telah mengatakan bahwa kau adalah orang-

nya, apakah perlu lagi sebuah bukti?"

"Hem.... Begitu? Apakah kau telah tahu jika 

si pemilik telah membuktikan sendiri atas kebena-

ran tuduhannya?!" tanya Mata Malaikat membuat 

Kamaratih tergagu.

"Aku akan buktikan!" Mendadak Aji menye-

la dengan suara keras. Lalu, melangkah ke depan. 

Meski langkahnya tegap, namun dia tak dapat me-

nyembunyikan kepucatan wajahnya. Dan sepintas 

pandang orang telah dapat menduga jika pemuda 

ini telah terluka bagian dalam.

Mata Malaikat berpaling pada Pendekar Ma-

ta Keranjang. Meski kakek ini merasa tak pernah 

melakukan yang dituduhkan orang, namun men-

dengar ucapan Aji, mau tak mau membuat orang 

tua ini sedikit berdebar.

Enam langkah di depan Mata Malaikat yang 

masih duduk, Aji hentikan langkah. Matanya 

mendelik besar, bibirnya bergetar sebelum akhir-

nya dia berkata.

"Orang tua! Penampilanmu sekarang beru-

bah, lain dengan beberapa waktu lalu saat kita 

jumpa!" Sejenak Aji hentikan ucapannya. Semen-

tara Mata Malaikat diam-diam memperhatikan di-

rinya. Belum sampai berpikir jauh, Aji telah melan-

jutkan ucapannya.

"Dengar! Kipasku dibawa lari oleh seseo-

rang. Dan aku tahu persis, orang itu mengenakan 

pakaian perempuan yang bermodel dan berwarna 

seperti yang kau kenakan. Rambutnya panjang, 

dikepang dua! Soal suara mudah bagi orang seper-

timu untuk merubah! Jelas?"

Mata Malaikat kembali memperhatikan pa-

kaian yang dikenakannya. Lalu meraba rambut 

berkepang dua yang bertengger sampai ke bela-

kang tubuhnya. Dalam hati orang tua ini memaki 

habis-habisan.

"Setan! Gara-gara pakaian dan rambut ini 

aku jadi bulan-bulanan tuduhan orang! Kukira 

akan menambah penampilanku ternyata malah 

membuatku terperosok!"

"Anak muda! Orang yang mengenakan pa-

kaian seperti ini bukan aku saja. Juga rambut ke-

pang ini. Bahkan kawanku yang cantik itu pun be-

rambut kepang dua," kilah Mata Malaikat seraya 

menunjuk Kamaratih. "Jadi bukti tuduhanmu ku-

kira...."

"Orang tua! Justru itulah yang menguatkan 

tuduhan! Karena orang yang mengenakan pakaian 

seperti itu sekaligus rambut demikian dalam rimba 

persilatan hanyalah Setan Pesolek! Dan orang se-

perti Setan Pesolek tak mungkin berbuat licik! Kau 

telah menyamar seperti Setan Pesolek hingga aku 

percaya saja saat kau pinta kipasku!"

"Anak muda! Pakaian ini...."

Lagi-lagi Pendekar 108 telah memotong 

ucapan Mata Malaikat sebelum ucapannya selesai. 

"Kau tak bisa menipuku, Orang Tua! Kau masih

mengenakan pakaian dan rambut itu. Atau kau 

mungkin kesenangan hingga lupa menanggalkan-

nya. Orang berbuat salah memang akan tetap ter-

lihat!"

Mata Malaikat pejamkan mata sebentar dan 

pentangkan lagi. "Anak muda! Pakaian dan rambut 

ini kutemukan di suatu tempat...."

Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan 

penuh ejekan. "Alasan murahan begitu orang gila 

pun akan tertawa mendengarnya!"

Mata Malaikat benar-benar terpojok. Bersi-

lat lidah pun tak mungkin bisa diterima. Berpikir 

sampai ke sana, kakek ini lantas bergerak bangkit. 

Sementara Aji siap lepaskan pukulan.

"Anak muda! Jika begini akhirnya, berarti 

aku ketambahan tugas lagi! Mencari siapa pemilik 

pakaian dan rambut ini untuk membuktikan bah-

wa ucapanku benar! Soal hilangnya kipasmu, aku 

tak mau tahu. Aku hanya akan menyerahkan pa-

damu pemilik pakaian dan rambut ini. Urusan dia 

atau bukan yang membawa lari kipasmu itu, sekali 

lagi bukan urusanku!"

Habis berkata begitu, Mata Malaikat me-

langkah perlahan meninggalkan tempat itu.

"Orang tua! Kau kira bisa tinggalkan tempat 

ini begitu saja?!" bentak Pendekar Mata Keranjang 

lalu hantamkan kedua tangannya, lepaskan puku-

lan jarak jauh.

Melihat Aji telah lepaskan pukulan, Utusan 

Iblis yang sedari tadi secara diam-diam juga telah 

kerahkan tenaga dalam segera angkat kedua tan-

gannya.

"Dengan mampusnya setan peot itu, ten-

tunya akan lebih mudah merampas kipas itu!" de-

sisnya lalu serta-merta dorong kedua tangannya 

ke arah Mata Malaikat.

Di samping, demi mendengar keterangan 

Aji, dugaan Kamaratih semakin kuat. Dan saat 

melihat Mata Malaikat hendak berlalu tanpa terle-

bih dulu menyerahkan kipas itu, dada perempuan 

setengah baya ini bergetar marah. Kedua tangan-

nya ditarik ke belakang dan sekonyong-konyong 

dipukulkan ke arah Mata Malaikat.

Hingga saat itu juga, tempat itu laksana 

disapu gelombang amat dahsyat yang seluruhnya 

menuju Mata Malaikat. Hawa panas menebar lak-

sana memanggang apa saja di sekitarnya. Suasana 

berubah redup mengandung hawa kematian!

***


DUA


MAKLUM hawa kematian menuju ke arah-

nya, Mata Malaikat gerakkan bahunya setengah 

lingkaran. Sepasang mata orang tua ini langsung 

terpentang lebar! Namun demikian, meski hanya 

sekilas pandang, kakek ini telah tahu jika pukulan 

yang kini mengarah padanya itu dilancarkan oleh 

tiga orang sekaligus!

"Edan! Bagaimana bisa jadi begini?! Padahal 

kedatanganku tadi dengan maksud baik!" gumam 

si kakek. Sebenarnya dia masih ingin mengutara

kan sesuatu. Namun sebelum ucapannya keluar, 

serangan ketiga orang telah datang menggebrak!

Dengan menggerendeng panjang pendek, 

Mata Malaikat putar melompat ke depan seakan 

hendak melarikan diri, membuat Pendekar Mata 

Keranjang, Utusan Iblis dan Kamaratih lipat gan-

dakan tenaga dalam masing-masing dan siap le-

paskan pukulan susulan. Tapi sebelum ketiga 

orang ini sempat kirimkan pukulan susulan, di 

depan sana, Mata Malaikat balikkan tubuh, dan 

kebutkan bagian jubahnya, lalu di kejap lain ke-

dua tangannya disentakkan!

Betttt! Wuttt!

Yang melesat pertama kali adalah gelom-

bang angin dahsyat yang keluarkan suara menggi-

dikkan, di kejap lain disusul asap putih yang lang-

sung melesat turun naik, di belakangnya masih 

menderu angin deras!

Gelombang angin yang datang pertama 

langsung menyambut pukulan yang dilepas murid 

Wong Agung. Terdengar bunyi gemuruh ketika 

bentrok. Di saat lain asap putih segera memapak 

pukulan Utusan Iblis, lalu angin yang menderu 

bentrok dengan pukulan Kamaratih!

Bummm! Bummm! Bummm!

Tempat itu laksana diguncang gempa dah-

syat. Tanah langsung berhamburan dan mening-

galkan lobang menganga Lebar. Kerimbunan se-

mak-semak tercerabut dan bermentalan sebelum 

akhirnya hancur berkeping di udara!

Karena Pendekar 108, Utusan Iblis, dan 

Kamaratih sedang siapkan pukulan, mereka lengah dengan tak kerahkan tenaga untuk memben-

dung arus balik bentroknya pukulan, hingga saat 

terjadi bentrok pukulan, sosok ketiga orang ini 

mencelat mental ke belakang. Karena Aji sebelum-

nya telah terluka, dia tidak dapat segera mengua-

sai tubuh, hingga dia jatuh terkapar. Sepuluh 

langkah di sampingnya, Utusan Iblis tampak ter-

duduk dengan muka pucat dan tangan gemetar. Di 

sebelah Utusan Iblis, tampak Kamaratih jatuh 

dengan tubuh bersitekan pada pinggang kanan-

nya!

Agak jauh di depan, Mata Malaikat tampak 

terhuyung-huyung dengan tubuh bagian atasnya 

hampir menyusup pasir. Namun sebelum kepa-

lanya tersuruk, orang tua ini cepat gerakkan ke-

dua tangannya ke depan. Pasir tampak berhambu-

ran dan membentuk lobang. Serta-merta dengan 

gerakan aneh, kakek ini masukkan kepalanya ke 

arah lobang di depannya. Begitu kepalanya masuk 

lobang, huyungan tubuhnya terhenti. Karena ke-

palanya masuk lobang, posisi kakek menungging 

ke arah tiga orang jauh di belakangnya! Dari sini 

bisa terlihat, meski Utusan Iblis adalah murid Titi-

san Iblis, namun ketinggian ilmunya masih berada 

di bawah Mata Malaikat.

"Setan tua keparat!' desis Utusan Iblis den-

gan mata tak berkedip memperhatikan Mata Ma-

laikat yang masih tetap menungging. Pemuda ini 

melirik sinis pada Kamaratih. Kamaratih sendiri 

saat itu sedang memandang pada Aji. Wajah pe-

rempuan ini jelas membayangkan kekhawatiran 

pada keadaan murid Wong Agung. Namun berpikir

bahwa merebut kipas untuk dikembalikan pada 

pemiliknya lebih penting, Kamaratih segera arah-

kan kembali pandangannya pada Mata Malaikat. 

Meski sepasang mata perempuan ini lurus me-

mandang ke depan, namun diam-diam dalam ha-

tinya dia berkata.

"Aku belum bisa menebak, kenapa pemuda 

sombong ini ikut-ikutan. Jangan-jangan dia men-

ginginkan kipas itu! Hem.... Urusan ini makin ber-

tele-tele.... " Dia melirik pada Utusan Iblis. "Ah, itu 

urusan nanti. Kalau dia memang menginginkan 

kipas itu apa boleh buat. Aku akan mempertahan-

kan mati-matian!"

Karena ditunggu agak lama, Mata Malaikat 

tidak juga bergerak bangkit, Utusan Iblis merasa 

dihina dengan sikap si kakek itu. Tanpa berkata 

lagi, pemuda ini langsung berkelebat. Kamaratih 

tak tinggal diam. Dia pun ikut berkelebat.

Empat tombak dari Mata Malaikat, tiba-tiba 

Utusan Iblis dan Kamaratih hantamkan tangan 

masing-masing ke arah Mata Malaikat dari udara!

Wuttt! Wuttt!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua gulungan awan hitam pekat segera me-

lesat keluar dari kedua tangan Utusan Iblis. Ber-

samaan dengan itu terdengar laksana petir me-

nyambar bersahut-sahutan dan keluarkan kilatan-

kilatan! Inilah pukulan sakti milik Titisan Iblis 

yang telah diwariskan pada Utusan Iblis, yakni 

'Gemuruh Badai'

Pada saat bersamaan dari arah samping 

melesat gelombang angin yang bersiut-siut tajam

dari tangan Kamaratih. Siutan itu begitu kerasnya 

hingga menyerupai babatan kipas yang hendak 

menghajar!

Blaaarrr! Blaaarrr!

Terdengar dua kali gelegar keras. Untuk ke-

dua kalinya tempat itu bergetar dengan keadaan 

hitam pekat.

Utusan Iblis dan Kamaratih sama-sama me-

layang turun dengan mata sama-sama dipentang-

kan ke depan. Mereka ingin lihat apa yang terjadi, 

karena Mata Malaikat tidak membuat gerakan un-

tuk balas menyerang atau menangkis pukulan 

yang datang.

Saat suasana reda, kedua orang ini makin 

mendelik, karena sosok Mata Malaikat tak tampak 

lagi! Sementara di depan sana banyak lobang-

lobang menganga akibat pukulan Utusan Iblis dan 

Kamaratih.

"Aku yakin, setan itu tak melarikan diri! Ta-

pi ke mana lenyapnya? Keparat betul!" gumam 

Utusan Iblis dengan mata tetap nyalang. Di sam-

pingnya Kamaratih tampak putar kepalanya den-

gan mata kian kemari. Namun, perempuan ini ak-

hirnya hanya gelengkan kepalanya saat sepasang 

matanya memang tak berhasil menemukan sosok 

Mata Malaikat.

"Benar-benar luar biasa setan bermata 

mengerikan itu! Rasanya aku hampir tak percaya 

jika masih mampu lolos!" desis Kamaratih.

Tanpa diketahui oleh Utusan Iblis dan Ka-

maratih dari salah satu lobang yang menganga, 

tubuh Mata Malaikat tampak bergerak-gerak mengibaskan hamburan pasir yang menimpa tubuh-

nya. Sebenarnya, saat kepala Mata Malaikat ma-

suk ke dalam lobang dengan pantat menungging, 

orang tua ini secara diam-diam kerahkan tenaga 

dalam, hingga pasir di bawah tubuhnya telah ber-

lobang besar. Hingga waktu pukulan Utusan Iblis 

dan Kamaratih datang menggebrak, si kakek cepat 

turunkan tubuhnya ke lobang di bawahnya, hing-

ga pukulan kedua orang itu hanya menghajar da-

taran pasir di kanan kiri lobang di mana Mata Ma-

laikat berada.

"Sial betul aku ini! Urusan sendiri belum se-

lesai, sekarang ditambah dengan urusan orang! 

Dan urusan ini bukan main-main, karena nanti 

pasti akan melibatkan beberapa tokoh. Apalagi dia 

menyebut-nyebut Setan Pesolek. Ah.... Nasi sudah 

telanjur tertelan. Bagaimanapun rasanya, aku ha-

rus menerima!" pikir Mata Malaikat. Orang tua ini 

lalu mendongak seraya dekatkan telinga kanannya 

ke arah lamping lobang.

"Mereka mendekat...," gumamnya. "Apa 

hendak dikata. Terpaksa kulakukan karena jika 

tidak, nyawaku sendiri yang akan melayang...."

Dugaan Mata Malaikat memang tidak mele-

set. Karena di sebelah atas, Utusan Iblis dan Ka-

maratih mulai melangkah ke arah beberapa lo-

bang. Tapi, meski kedua orang ini sama-sama me-

langkah, tak sepatah kata pun keluar dari mulut 

keduanya. Malah keduanya saling lirik dengan 

pandangan sinis. Namun mereka berdua seper-

tinya sudah sepakat untuk melupakan urusan me-

reka dan mendahulukan urusan dengan Mata Malaikat meski kesepakatan itu tanpa ucapan. Dan 

setelah mereka tidak menemukan sosok Mata Ma-

laikat, keduanya pun seperti punya dugaan sama 

yaitu Mata Malaikat berada pada salah satu lo-

bang. Lalu mereka pun melangkah ke arah bebe-

rapa lobang.

Lima langkah lagi keduanya sampai di lo-

bang di mana Mata Malaikat berada, tiba-tiba dari 

salah satu lobang melesat sebuah jubah pakaian 

perempuan.

Tanpa pikir panjang lagi, Utusan iblis dan 

Kamaratih sentakkan tangan masing-masing ki-

rimkan pukulan. Karena lesatan pakaian itu ke 

arah samping, kedua orang ini arahkan pukulan-

nya ke arah mana pakaian melesat.

Namun baru saja kedua orang ini lepaskan 

pukulan, dari lobang di mana pakaian tadi mele-

sat, muncul sosok tubuh Mata Malaikat! Utusan 

Iblis dan Kamaratih terlengak. Mereka berdua se-

gera hendak kirimkan pukulan, namun keduanya 

terlambat, karena bersamaan dengan itu, Mata 

Malaikat sentakkan tangan ke depan dan ke samp-

ing.

Utusan Iblis dan Kamaratih merasakan tu-

buh masing-masing laksana dihempas badai dah-

syat. Kedua orang ini sama-sama keluarkan se-

ruan tertahan. Sesaat kemudian sosok keduanya 

tersapu ke belakang dan jatuh terkapar di tanah. 

Pada saat bersamaan, dari arah samping terdengar 

ledakan keras tatkala pukulan yang dilancarkan 

Utusan Iblis dan Kamaratih ke arah pakaian me-

rah yang mereka sangka sosok Mata Malaikat bentrok dengan pukulan Mata Malaikat.

Belum lenyap suara ledakan, dengan me-

ninggalkan suara tawa panjang, Mata Malaikat 

melesat meninggalkan tempat itu.

Pendekar Mata Keranjang yang keadaannya 

sudah agak baik, cepat berkelebat mengejar. Meli-

hat hal itu, Utusan Iblis segera hendak hantamkan 

kedua tangannya, namun yang hendak dihantam 

sudah lenyap.

"Setan jahanam!" umpat Utusan Iblis sambil 

bangkit dan mengurut dadanya yang berdenyut 

nyeri. Tiba-tiba dia teringat pada Kamaratih yang 

saat itu sedang bergerak bangkit. Utusan Iblis me-

lirik. Kemarahannya pada Mata Malaikat yang ma-

sih menggelora kini ditumpahkan pada perempuan 

setengah baya itu.

Tanpa berkata lagi, dia cepat bangkit. Ke-

dua tangannya diangkat lantas dihantamkan ke 

arah Kamaratih yang belum bangkit sepenuhnya. 

Meski pukulan itu tidak dengan sepenuh tenaga, 

namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, pukulan 

itu mampu membuat tubuh orang tercabik-cabik.

Di sebelah samping, mendengar deru dah-

syat mengarah padanya, Kamaratih berpaling. Pe-

rempuan ini serentak membelalak dengan bibir 

mengatup rapat. Dia tak punya kesempatan lagi 

untuk membuat gerakan menghindar apalagi me-

nangkis serangan. Hingga perempuan ini hanya 

bengong pasrah, karena pukulan lawan sudah se-

tengah tombak di depan hidungnya!

Sejengkal lagi tubuh Kamaratih terhajar 

pukulan Utusan Iblis dan saat perempuan ini pasrah menerima kematian, mendadak dari arah 

samping menderu gelombang hitam membuat sua-

sana selain pekat juga panas.

Pukulan Utusan Iblis tersapu gelombang hi-

tam hingga melenceng ke samping. Di kejap lain 

sebuah bayangan berkelebat dan dengan gerak ce-

pat menyambar sosok Kamaratih. 

Utusan Iblis menggereng marah. Dan ketika 

samar-samar dia menangkap berkelebatnya 

bayangan, pemuda ini segera hantamkan kembali 

kedua tangannya seraya membentak keras.

Byuuurrr!

Tanah di mana tadi Kamaratih berada mun-

crat ke udara terkena hantaman Utusan Iblis. Na-

mun, begitu pasir luruh, Utusan Iblis tidak melihat 

seorang pun!

"Jahanam! Keparat! Setan alas!" Utusan Ib-

lis berteriak memaki-maki. Saking geramnya, pe-

muda ini hantamkan kedua tangannya ke arah 

pasir sebelum sosoknya berkelebat meninggalkan 

tempat itu.

Begitu Utusan Iblis pergi, dari kerimbunan 

semak-semak berkelebat sesosok bayangan lalu 

tegak di tempat mana Kamaratih berada. Sejenak 

sosok ini arahkan pandangannya ke sebelah timur,

arah yang diambil oleh sosok yang menyambar tu-

buh Kamaratih.

"Bangsat jadah! Aku terlambat!" maki si so-

sok seraya saling pukulkan kepalan tangannya. 

"Aku yang menangkis pukulannya, tapi orang lain 

yang membawanya lari! Setan alas! Siapa bayan-

gan tadi? Gerakannya begitu cepat hingga tak dapat kupastikan laki perempuannya!"

Sosok ini menghela napas panjang. "Kama-

ratih.... Kau muncul juga di sini. Adakah kemun-

culanmu karena lembaran kulit itu? Atau ada se-

bab lain yang ada hubungannya dengan masa si-

lam kita? Ah, persetan dengan semua itu! Hem... 

Siapa pula pemuda berjubah merah tadi? Tokoh-

tokoh telah banyak bermunculan, kalau aku tak 

segera bertindak, orang lain akan mendapatkan 

lembaran kulit itu. Hem...."

Sosok ini kembali putar kepalanya berkelil-

ing. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia 

lanjut. Paras wajahnya merah membara. Rambut-

nya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar terbung-

kus oleh pakaian yang compang-camping serta 

hangus seperti baru saja terbakar. Asap tipis men-

gepul dari sekujur tubuhnya,

Orang tua ini bukan lain adalah Manusia 

Neraka!

Untuk beberapa saat Manusia Neraka tegak 

diam dengan dahi berkerut. Dia sepertinya sedang 

berpikir. Sesaat kemudian dia putar tubuh lalu 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

***

TIGA


PENDEKAR Mata Keranjang harus kerah-

kan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk men-

gejar Mata Malaikat. Mula-mula dia masih dapat

menangkap kelebatan orang tua itu. Namun pada 

satu tempat, dia kehilangan jejak.

"Tua bangka setan! Kau bisa lolos hari ini. 

Tapi, nyawamu di ujung tanduk tanganku!" gu-

mam Aji sendirian. Rahangnya makin menggem-

bung dan sepasang matanya laksana bara.

"Hem.... Aku harus cepat menuju Bukit Si-

luman. Bukan mustahil setan tua itu sedang ke 

sana juga. Bukankah dia telah mendapatkan kipas 

dan petunjuk?" Berpikir sampai di situ, murid 

Wong Agung ini segera putar diri, lalu berkelebat 

menuju arah sungai.

"Anak muda! Kebimbangan akan memba-

wamu makin jauh terperosok! Cepat ambil keputu-

san jika kau tak ingin orang lain mendahului!"

Tiba-tiba terdengar suara orang.

Kedua kaki Pendekar Mata Keranjang lak-

sana dipantek. Gerakannya tertahan seketika. Tu-

buhnya cepat diputar setengah lingkaran ke arah 

datangnya suara. Sepasang matanya mendelik be-

sar. Dari suara orang, murid Wong Agung sudah 

dapat menebak siapa adanya orang yang bersuara.

Mata murid Wong Agung tak berkedip 

menghujam lurus ke depan. Lima langkah di ha-

dapannya kini, tampak Mata Malaikat tegak den-

gan kepala tengadah.

"Setan!" bentak Aji lalu cepat kerahkan te-

naga dalam. Tubuhnya mulai berguncang dan ke-

ringat membasahi wajah dan lehernya, pertanda 

dia kerahkan segenap tenaga yang dimiliki.

"Tahan, Anak Muda!" kata Mata Malaikat 

masih tanpa memandang. "Tak ada gunanya hal

kecil begini dibuat besar! Tantangan di hadapan-

mu masih lebih besar dan lebih penting!"

"Mata Malaikat!" teriak Aji. "Kau tak perlu 

beri nasihat! Serahkan kipas itu atau serahkan 

nyawamu!"

Mata Malaikat tertawa pelan. "Syukur kau 

telah mengenalku....." kata Mata Malaikat lalu 

alihkan pandangannya ke arah Aji setelah lu-

ruskan kepalanya. "Sudah kubilang. Seandainya 

urusanku telah usai dan tak ketambahan urusan 

gilamu, aku sebenarnya memilih mati daripada ha-

rus hidup dalam dunia edan begini!"

"Aku tak tanya urusanmu!" sahut Aji ga-

rang.

"Betul! Tapi kau harus mengerti. Karena 

keinginanmu yang menggebu untuk membunuhku 

harus tertunda karena urusanku itu belum usai. 

Dan tampaknya keinginanmu masih terulur lagi 

karena ketambahan urusanmu denganku! Sung-

guh aku menyesal, Anak Muda...."

"Kata penyesalan telah terlambat, Orang 

Tua! Dan kau harus menerima nasib buruk! Mati 

sebelum urusanmu usai!"

"Setiap penyesalan pasti terlambat datang-

nya! Namun tak ada kata terlambat bagi orang 

yang berpikir jernih dan memperbaiki diri. Dan ka-

lau buruk-burukan nasib, sebenarnya kau lebih 

buruk dariku!"

Murid Wong Agung menyeringai. Sementara 

Mata Malaikat kembali dongakkan kepala sambil 

lanjutkan ucapannya.

"Kalau aku mau, kau sudah tak berdiri te

gak di situ!"

Aji terdiam mendengar lanjutan kata-kata 

Mata Malaikat. Dan dia tampaknya sadar jika uca-

pan Mata Malaikat benar. Karena seandainya Mata 

Malaikat mau tak sulit bagi orang tua itu untuk 

membuat dirinya roboh sebab dia tak tahu kehadi-

ran si kakek di belakangnya.

"Anak muda!" Mata Malaikat terus berkata. 

"Aku tak mau melakukan itu karena aku masih 

ingin buktikan bahwa ucapanku benar dan tudu-

hanmu salah alamat!"

"Ucapan orang tua ini ada benarnya. Tapi 

apakah alasannya bisa diterima?" batin Aji.

"Anak muda! Aku tak hendak ikut-ikutan 

menuduh orang sepertimu. Namun berat dugaan, 

orang yang menyamar sebagai Setan Pesolek ada-

lah seorang perempuan!"

"Kau tahu dari mana? Jangan kau menebar 

fitnah dan mengkambinghitamkan orang lain!"

Mata Malaikat kembali perdengarkan suara 

tawa pelan. "Anak muda! Kambing itu putih dan 

mungkin cantik! Aku dapat membaui dari harum 

tubuhnya yang tertinggal pada pakaian itu sewak-

tu kutemukan. Kurasa sampai sekarang bau itu 

belum hilang...."

"Sebagai penipu, bisa saja orang menggu-

nakan bau harum agar orang salah tebak!" ujar Aji 

sengit. Namun nadanya sudah agak menurun.

"Betul! Betul katamu! Namun harum khas 

dan asli seorang perempuan tak bisa disarukan 

dengan aroma bau-bauan palsu! Apalagi tua bang-

ka sepertiku ini tak dapat dibohongi, karena bertahun-tahun aku lari dari pelukan satu perem-

puan ke perempuan lain. Aku hafal luar kepala 

tentang bau seorang perempuan dan bau buatan. 

Lebih-lebih bau seorang pemilik burung seperti-

mu!"

Murid Wong Agung mau tak mau mengge-

rendeng habis-habisan dalam hati. Namun sedikit 

demi sedikit Aji mulai mempercayai kata-kata 

orang tua di hadapannya itu.

"Nah! Anak muda! Kurasa tugas di hada-

panmu lebih penting daripada ke sana kemari 

mencari orang yang belum diketahui. Bukankah 

kau tak ingin didahului orang lain?! Apalagi kau 

telah mendapatkan petunjuk! Tunggu apa lagi...?!"

"Tapi...?!" Aji tak meneruskan ucapannya. 

Dia tampak ragu-ragu.

"Tapi apa, Anak Muda?"

"Apa akan kukatakan padanya terus te-

rang? Apakah ini bukan umpan untuk mengorek 

keteranganku menyangkut petunjuk itu?" Aji ber-

pikir sejenak. Namun akhirnya dia memutuskan 

untuk mengatakannya pada Mata Malaikat. Tapi 

sebelum dia berkata, si kakek telah berujar.

"Kalau kau keberatan meneruskan uca-

panmu, tak apa. Namun jangan lupa. Gonggongan 

anjing kerempeng pun terkadang menyelamatkan 

nyawa kita!"

Habis berkata begitu, Mata Malaikat balik-

kan tubuh. Namun sebelum berputar, Aji telah 

berkata.

"Mata Malaikat. Kipas yang hilang itu ada-

lah salah satu syarat untuk mendapatkan lembaran kulit!"

"Jika begitu kenapa kau tidak segera ke sa-

na?!"

"Aneh! Bukankah sia-sia tanpa persyaratan 

cukup?!"

Mata Malaikat kali ini perdengarkan suara 

tawa bergelak-gelak, membuat murid Wong Agung 

kerutkan dahi.

"Ah, ternyata gonggongan anjing kerempeng 

pun ada manfaatnya...."

"Apa maksudmu, Orang Tua?"

"Dengar, Anak Muda! Kalau benar keteran-

ganmu bahwa orang yang menyamar itu telah 

membawa kipas serta kau mengatakan petunjuk 

padanya, apakah dia akan membuang kesempatan 

yang sudah di tangan? Aku tanya padamu. Jika 

kailmu telah menggaet ikan besar, apakah kau 

akan membuangnya kembali ke air?!"

"Aku benar-benar tak mengerti ucapanmu!"

"Dengar baik-baik! Siapa pun orangnya 

yang menyamar, pasti sekarang sudah melakukan 

perjalanan menuju ke Bukit Siluman. Petunjuk 

sudah di tangannya, syarat sudah digenggaman-

nya. Apalagi yang perlu dia tunggu?"

Tanpa sadar murid Wong Agung tepuk ji-

datnya. "Bodoh. Kenapa aku tak berpikir ke arah 

sana?"

Pendekar Mata Keranjang menatap lekat-

lekat ke arah Mata Malaikat.

"Orang tua, meski kau masih dalam daftar 

hitamku, namun atas keteranganmu aku harus 

memberi hormat padamu sebelum pergi...." Habis

berkata demikian, murid Wong Agung menjura da-

lam-dalam dengan bungkukkan tubuh dan tun-

dukkan kepalanya.

Terdengar Mata Malaikat tertawa bergelak-

gelak, membuat Aji tekapkan kedua tangannya ke 

telinga. Saat Aji mengangkat kepalanya, murid 

Wong Agung jadi mendelik. Mata Malaikat tak lagi 

di hadapannya! Namun suara tawanya masih saja 

bergelak-gelak di seantero tempat Itu.

***

EMPAT


SAAT itu sang Surya sudah menggelincir 

dari titik pusatnya. Cahaya panasnya leluasa 

menghujam ke permukaan bumi karena awan pu-

tih hanya tampak di sebelah timur. Di Sungai Si-

luman pun, permukaan air tampak berkilat-kilat 

seraya menebarkan uap. Permukaan air tampak 

tak tenang. Arus demikian deras. Uap yang men-

gepul di permukaan, membuat pemandangan ter-

halang.

Di pinggir Sungai Siluman, sesosok tubuh 

keluar dari dalam lobang. Sosok ini kemudian me-

langkah mendekati sungai. Ternyata dia adalah 

seorang pemuda berpakaian hijau ketat dan be-

rambut dikuncir ekor kuda. Dia bukan lain dari Aji 

alias Pendekar Mata Keranjang 108.

Aji kembang-kempiskan hidung ketika men-

cium bau harum menusuk hidung. Pemuda berpakaian hijau ini edarkan pandangan ke sana ke-

mari karena mengira adanya kelompok perempuan 

cantik di sekitar tempat itu.

Tapi, Pendekar 108 tak melihat adanya seo-

rang pun wanita! Ketika pemandangannya meng-

hujam permukaan air, sepasang mata pemuda ini 

membeliak lebar. Mulutnya menganga seperti 

orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya.

"Apakah aku tak tengah bermimpi?!" gu-

mam Aji lirih. "Benarkah air berwarna merah?! 

Sungguhkah yang kulihat?! Kalau benar, air atau 

darah?!"

Saat itu, permukaan air tampak berwarna 

merah darah. Aji menatap tanpa berkedip. Di lain 

kejap, Aji baru tahu kalau bau harum itu berasal 

dari sungai!

"Tak berlebihan kalau sungai dan bukitnya 

dinamakan Sungai dan Bukit Siluman...." Pende-

kar 108 membatin seraya dongakkan kepala. "Dan 

bukit itu pasti berada di seberang sungai tepat di 

depanku. Karena sekarang aku telah bertemu den-

gan air yang berwarna merah seperti darah dan 

berbau harum! Hanya sayangnya aku tak tahu be-

rapa lebar sungai ini. Karena Peri Kupu-kupu tak 

pernah memberitahukannya. Peri Kupu-kupu..., 

kau berjasa besar dalam hal ini. Kalau kau tak 

memberiku jalan rahasia menuju ke tempat ini. 

Pasti akan membutuhkan waktu lama bagiku un-

tuk menemukan Bukit Siluman. Aku harus berpe-

rahu dari hulu sungai ke hilir, sampai menemu-

kannya. Padahal, menurut berita yang kudapatkan 

panjang Sungai Siluman ini entah berapa ratus ribu tombak! Buat orang yang tak mendapat petun-

juk sepertiku, akan membutuhkan waktu yang 

jauh lebih lama.... Jalan rahasia yang aneh.... 

Mencari sebuah pohon beringin tua dan besar, lalu 

menarik salah satu cabangnya, hingga muncul lo-

bang ke dalam tanah. Menempuhnya, dan muncul 

di pinggir sungai ini. Sebuah jalan rahasia yang 

luar biasa...!"

Usai membatin, Aji melemparkan batang 

kayu besar. Tak lama kemudian di antara deras-

nya arus sungai dan tiupan angin kencang batan-

gan kayu itu meluncur membelah arus yang deras! 

Terlihat tertatih-tatih.

"Semoga dugaan Mata Malaikat benar 

adanya. Orang yang menyamar sebagai Setan Pe-

solek itu telah berada di Bukit Siluman...," gumam 

Pendekar Mata Keranjang. Sambil menggumam 

kedua tangannya bergerak mengayun ke dalam air 

sungai di sisi kanan kirinya. Bersamaan dengan 

itu, batangan kayu yang dibuatnya sebagai perahu 

meluncur deras ke depan, membelah derasnya 

arus.

"Kalaupun dia tidak ada di sana, aku akan 

menunggu. Dengan petunjuk dan kipas itu, sudah 

pasti dia akan ke sana! Hem.... Petunjuk belum bi-

sa kumengerti, sialnya petunjuk itu telah diketa-

hui orang. Lebih-lebih kipas itu telah beralih tan-

gan...."

Aji terus meluncur dengan dada dipenuhi 

beberapa pikiran. "Mata Malaikat menduga si pe-

nyamar adalah seorang perempuan. Busyet. Lagi-

lagi perempuan! Siapa lagi yang ini...?!" Aji coba

mengingat beberapa orang perempuan yang sela-

ma ini dikenalnya. Namun tak satu pun yang 

menguatkan dugaan pada salah satunya, mem-

buat pikiran murid Wong Agung makin dibuncah 

berbagai hal.

Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang henti-

kan buncahan pikiran yang melanda dadanya. Ba-

tangan kayu yang didudukinya dirasakan bergerak 

oleng ke samping kiri padahal angin berhembus 

dari kiri!

"Aneh. Angin dari kiri, tapi kenapa batang 

kayu ini oleng ke samping kiri, tidak ke kanan?!"

Merasa ada kejanggalan, murid Wong Agung 

segera putar kepalanya ke kanan. Tapi baru saja 

kepalanya berputar, tiba-tiba sebuah gelombang 

angin dahsyat melesat menggebrak ke arah murid 

Wong Agung.

Brakkkk! 

Batangan kayu yang dibuat peluncur patah 

seketika. Untung murid Wong Agung telah waspa-

da. Sebelum batangan kayu patah jadi dua, dia te-

lah melesat ke udara membuat gerakan berputar 

dan melayang turun lalu berdiri tegak di salah sa-

tu patahan batangan kayu. Patahan satunya lagi 

telah lenyap.

Dengan mata berkilat menahan marah, Aji 

arahkan pandangannya ke sebelah kanan. Sesaat 

kemudian, dia melihat meluncurnya sebuah rakit. 

Tegak di atasnya seorang pemuda mengenakan ju-

bah besar panjang sebatas lutut berwarna merah. 

Rambutnya yang panjang dibiarkan bergerai ditiup 

angin. Tangan kanannya memegang sebuah batangan kayu kecil yang sesekali ditusukkan ke da-

lam air sungai hingga rakit itu meluncur deras ke 

depan.

"Utusan Iblis!" seru Pendekar Mata Keran-

jang begitu matanya mengenali siapa adanya pe-

muda di atas rakit.

Murid Wong Agung arahkan pandangannya 

ke depan. "Celaka! Pinggir Bukit Siluman masih 

jauh. Sedangkan patahan kayu ini tak mungkin 

bisa membawaku ke sana. Terlalu pendek! Belum 

lagi jika pemuda gila itu menyerangku dan meng-

hancurkan kayu ini...."

"Ha ha ha....!" Tiba-tiba di tengah suara de-

ru gelombang air terdengar suara tawa dari pemu-

da di atas rakit yang bukan lain memang Utusan 

Iblis yang terus meluncur ke arah Aji cepat bukan 

main. Karena di samping pengerahan tenaga Utu-

san Iblis, masih ditambah lagi dengan tenaga lun-

curan arus sungai yang deras

"Akhirnya kau mampus tanpa kubur di ten-

gah sungai!" Meski saat itu suara Utusan Iblis da-

pat ditangkap oleh pendengaran Aji. Dan belum 

lenyap suara Utusan Iblis, tiba-tiba melesat gulun-

gan awan hitam disertai kilatan-kilatan dan suara 

petir bersahutan. Ternyata Utusan Iblis telah le-

paskan pukulan Gemuruh Badai.

Karena tak mungkin lepaskan pukulan 

sambil berdiri di atas patahan kayu yang terom-

bang-ambing, akhirnya Aji bergerak duduk dengan 

kaki kiri kanan menjepit. Tenaga dalam segera di-

kerahkan dan dengan didahului bentakan keras, ia 

hentakkan sepasang tangannya.

Blaaarrr!

Air sungai membubung sampai beberapa 

tombak ke udara saat dua pukulan itu bentrok. 

Sosok Aji terpental ke belakang. Namun murid 

Wong Agung ini mempererat jepitan kakinya pada 

patahan kayu, karena dia sadar, jika patahan kayu 

itu terlepas, maka tak ampun lagi tubuhnya akan 

tenggelam.

Di seberang, rakit yang ditumpangi Utusan 

Iblis tampak melesat ke udara. Utusan Iblis le-

satkan dirinya lebih tinggi lagi lalu melayang turun 

begitu rakit telah berada kembali di atas air sun-

gai.

Paras wajah kedua pemuda ini tampak sa-

ma-sama pucat pasi. Dada masing-masing tampak 

bergetar keras. Namun karena tempat pijakan 

Utusan Iblis lebih leluasa, pemuda ini cepat dapat 

menguasai keadaan tubuhnya. Sebaliknya murid 

Wong Agung harus bersusah payah karena harus 

mengatasi olengan tubuh yang terombang-ambing

mengikuti olengan patahan kayu yang kini didu-

dukinya.

Melihat lawan mengalami kesulitan, Utusan 

Iblis tak buang kesempatan. Sekali tusukkan kayu 

di tangan kanannya, rakit itu meluncur deras ke 

depan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya 

bergerak kirimkan pukulan 'Gemuruh Badai'!

Untuk kedua kalinya gulungan awan hitam 

yang disertai kilatan dan sambaran petir mengge-

brak ke arah murid Wong Agung.

Karena tak ada ruang untuk menghindar, 

mau tak mau akhirnya Aji harus menghadang serangan. Pemuda berpakaian hijau ketat ini pun se-

gera dorongkan sepasang tangannya ke depan.

Kembali terdengar gelegar dahsyat! Karena 

waktu lepaskan pukulan harus dengan pertahan-

kan kedua kakinya yang menjepit patahan kayu, 

membuat pukulan Aji tidak sempurna. Hingga 

tatkala terjadi bentrok pukulan, sosok Aji terlihat 

melenting ke udara. Melihat hal ini, Utusan Iblis 

yang saat itu juga membuat gerakan berputar di 

udara lepaskan pukulan sekali lagi.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Aji berseru keras. Dia cepat sentakkan ke-

dua bahunya hingga tubuhnya makin melenting ke 

udara. Namun tak urung kedua kakinya tersambar 

pukulan Utusan Iblis. Pendekar 108 merasakan 

laksana disengat api. Kedua kakinya bergetar ke-

ras. Meski Aji coba bertahan, namun sia-sia, hing-

ga akhirnya dia tak kuasa lagi menahan jepitan 

patahan kayu di kakinya. Sambil berputar, ka-

kinya melepas patahan kayu. Ternyata patahan 

kayu itu telah hancur berkeping sebelum terburai 

di atas air sungai!

Untuk beberapa saat tubuh Pendekar Mata 

Keranjang masih tampak berputar-putar di udara 

di atas air sungai. Namun meski bagaimanapun 

tingginya ilmu seseorang, tak mungkin terus-

menerus membuat gerakan berputar-putar di uda-

ra. Demikian pula yang dialami murid Wong 

Agung. Lama-lama gerakan berputarnya makin 

lemah sebelum akhirnya meluncur deras ke bawah 

dan....

Byuuurr!

Sosok Pendekar Mata Keranjang amblas 

masuk ke dalam air sungai. Sejenak sosoknya 

tampak timbul tenggelam diterjang arus air. Na-

mun sesaat kemudian tubuhnya tak tampak lagi!

Di atas rakit, Utusan Iblis usap-usap da-

danya, lalu memperhatikan ke permukaan air 

sungai. Saat sepasang matanya tak lagi menang-

kap sosoknya Aji, pemuda ini mendongak lalu per-

dengarkan tawa bergelak!

Di dalam air, murid Wong Agung merasakan 

dadanya seperti pecah karena menahan napas te-

rus-menerus agar tak kemasukan air. Namun pa-

da akhirnya pertahanannya pun bobol. Pelan-

pelan air mulai masuk ke rongga mulut melalui 

hidung dan mulutnya.

"Celaka! Apakah akhirnya aku harus mati di 

sungai? Ah..." Murid Wong Agung tak bisa berpikir 

terlalu panjang, karena kepalanya mulai pening 

dan air mulai leluasa masuk ke mulutnya.

"Sialan! Ini gara-gara aku menuruti ucapan 

Mata Malaikat yang menyuruhku cepat-cepat me-

nuju Bukit Siluman. Padahal...." Pendekar 108 tak 

lanjutkan kata hatinya. Ingat Mata Malaikat tiba-

tiba Aji teringat akan kantong putih yang diberikan 

orang tua itu beberapa waktu lalu.

"Tak ada salahnya aku mencobanya.... Sia-

pa tahu...." Tangan Aji cepat menyelinap ke balik 

pakaiannya. Dia sedikit lega saat tangannya dapat 

merasakan kantong itu masih ada di balik pa-

kaiannya. Dengan gerakan yang mulai lamban, dia 

buka kantong putih pemberian Mata Malaikat. 

Tanpa melihat isinya dia mengambil sebuah. Ternyata seperti yang dikatakan Mata Malaikat benda 

di dalam kantong itu mirip tahi kambing. Yakni 

butiran kecil namun agak keras. Tanpa melihat 

warna butiran di tangannya, murid Wong Agung 

segera memasukkannya ke mulut, lalu menelan-

nya. Kantong putih kembali disimpan ke balik pa-

kaiannya.

Begitu butiran kecil itu masuk, Aji merasa-

kan perutnya laksana diaduk-aduk dan panas bu-

kan main.

"Celaka! Jangan-jangan ini racun. Bangsat 

betul! Kenapa aku begitu saja menelannya?!" gu-

mam Aji dalam hati seraya berusaha muntahkan 

kembali butiran itu, namun terlambat karena telah 

masuk ke dalam lambung. Dan sekarang bukan 

hanya lambungnya yang terasa diaduk-aduk, ke-

palanya pun mendadak pening, sepasang matanya 

berkunang-kunang lalu merasakan semuanya ge-

lap!

Tapi tiba-tiba Aji merasa lambungnya nor-

mal kembali dan peningnya lenyap. Dia coba 

membuka matanya. Pendekar Mata Keranjang jadi 

terlonjak sendiri di dalam air. Seakan tak percaya, 

dia pentangkan kedua matanya. Dan keanehan itu 

memang benar-benar terjadi. Meski berada di da-

lam air, sepasang matanya kini jelas dapat me-

mandang! Malah secara aneh pula kekuatan tu-

buhnya pulih, dan dadanya tidak sesak!

"Ucapan orang tua itu benar! Ah, selama ini 

aku salah sangka padanya! Aku berhutang nyawa 

padanya!"

Aji kembali meraba kantong yang ada di ba

lik pakaiannya untuk meyakinkan jika kantong itu 

masih ada. Dia menarik napas lega.

Setelah menarik napas panjang dia men-

dongak ke atas. Karena pandangannya jelas, kini 

Aji dapat melihat apa yang ada di atasnya. Saat 

sepasang matanya dapat melihat luncuran rakit 

tak jauh di depannya! Rakit yang ditumpangi oleh 

Utusan Iblis. Rupanya murid Titisan Iblis itu tak 

lagi mengikuti arus sungai. Dia meluncurkan ra-

kitnya membelah arus sungai! Mengikuti arah 

yang tadi diambil Aji! Aji cepat menggenjot tubuh-

nya meluncur ke depan!

Sementara itu di atas rakit yang terus me-

luncur membelah derasnya arus! Utusan Iblis tak 

henti-hentinya dirasuki perasaaan heran. Sepa-

sang matanya tak henti-hentinya nyalang kian 

kemari ke permukaan air sungai.

"Bangsat itu sudah tewas apa bagaimana? 

Kalau menemui ajal tentu sekarang tubuhnya su-

dah mengapung! Kalau tak mampus? Apa mung-

kin dia mampu berendam di dalam air sungai begi-

tu lama? Bangsat! Kenapa aku memikirkannya?!"

Selagi Utusan Iblis menduga-duga, tiba-tiba 

dia merasakan getaran aneh di sebelah kanan ra-

kitnya. Sebagai orang yang memiliki kepandaian 

tinggi serta bertahun-tahun digembleng di bawah 

air terjun, pemuda ini dapat membedakan gerakan 

akibat air sungai dan bukan.

"Setan alas! Aku tak percaya jika dia masih 

hidup!" ujar Utusan Iblis seraya melangkah ke 

samping kanan. Matanya tak berkedip menembusi 

ke dalam air sungai di sebelah sisi kanan rakitnya.

Selagi dia termangu, dari sebelah kiri rakit terlihat 

gerakan. Cepat Utusan Iblis melompat, lalu tusuk-

kan kayu di tangan kirinya ke dalam air sungai.

Byuuurrr!

Air sungai di sisi kiri rakit muncrat. Namun 

Utusan Iblis tak melihat siapa-siapa.

"Jahanam! Jangan-jangan aku dipermain-

kan perasaanku saja! Atau...." Ucapan Utusan Iblis 

terputus. Dia memandang ke depan, ke arah gera-

kan air sungai yang menghadang arah gelombang. 

Belum dapat memastikan apa yang membuat ge-

rakan, tiba-tiba air sungai di depan rakitnya mun-

crat ke udara. Di lain kejap sesosok tubuh menye-

ruak dari dalam air lalu melesat ke atas air laut se-

tengah tombak sebelum akhirnya mendarat di ba-

gian depan rakit.

Air tampak mengucur deras dari rambut, 

tubuh serta pakaiannya yang basah kuyup dari 

sosok di sebelah depan rakit.

Entah karena masih tak percaya dengan 

pandangan matanya, untuk beberapa saat Utusan 

Iblis hanya memandang dengan mulut terkancing 

rapat. Sebaliknya sosok di hadapan Utusan Iblis 

yang bukan lain adalah Aji memandang dengan 

mata merah berkilat dan dagu mengembang.

Begitu sadar siapa yang di hadapannya, 

Utusan Iblis campakkan kayu di tangan kirinya. 

Dan tanpa terlebih dahulu buka suara, pemuda ini 

meloncat ke depan. Kedua tangannya segera ber-

gerak menghantam ke arah kepala Aji.

Tindakan yang dilakukan Utusan Iblis, 

membuat rakitnya terbawa arus sungai! Tapi hal

itu tak dipedulikannya. Yang ada di benaknya se-

karang adalah membunuh Pendekar Mata Keran-

jang!

Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. 

Kedua tangannya segera pula diangkat lalu disen-

tak ke samping di atas kepalanya.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras dua kali. Rakit 

yang menjadi pijakan kedua orang ini sebentar 

tampak tenggelam hingga kedua pemuda ini hanya 

terlihat sampai sebatas dada masing-masing.

Murid Wong Agung dan Utusan Iblis tampak 

sama-sama meringis menahan sakit pada kedua 

tangan masing-masing. Namun hal itu hanya seke-

jap. Sesaat kemudian Utusan Iblis telah angkat 

kaki kanannya sementara tangan kirinya bergerak 

menghantam.

Pendekar Mata Keranjang cepat lorotkan 

tubuhnya hingga sejajar rakit. Kaki kirinya melesat 

menghantam kaki kiri Utusan Iblis yang dibuat 

untuk tumpuan tubuhnya.

Bukkk!

Utusan Iblis terjajar tiga langkah ke bela-

kang. Sementara Aji cepat bergerak bangkit.

"Bangsat!" maki Utusan Iblis. Tenaga da-

lamnya segera disalurkan pada kedua tangannya. 

Lalu serta merta kedua tangannya menghantam 

lepaskan pukulan 'Gemuruh Badai'.

Rakit tampak berguncang keras dan timbul 

tenggelam ke dalam air. Murid Wong Agung segera 

pula hantamkan kedua tangannya papaki seran-

gan Utusan Iblis!

Blammm! Byurrr! Prakkk!

Ledakan segera terdengar, kejap kemudian 

air sungai berhamburan dan permukaan air me-

nyibak! Bersamaan itu dua sosok tubuh mental 

dari dalam sungai ke udara disusul kemudian 

dengan mencelatnya rakit yang ternyata telah pe-

cah jadi dua!

Tiga tombak di atas permukaan air sungai, 

sosok Pendekar Mata Keranjang dan Utusan Iblis 

kembali menukik ke bawah dan langsung amblas 

masuk ke dalam air sungai.

Setelah dapat menguasai tubuh, di dalam 

air sepasang mata murid Wong Agung cepat me-

mandang berkeliling. Saat matanya dapat me-

nangkap kelebatan tubuh Utusan Iblis, dia cepat 

mengejar.

Utusan Iblis sendiri tampaknya tak menga-

lami kesulitan di dalam air, karena dia sudah ter-

biasa berhari-hari berada di bawah air terjun. 

Hingga tatkala merasa ada gerakan dalam air dari 

arah belakangnya, pemuda ini cepat berbalik dan 

sekonyong-konyong lepaskan pukulan!

Bettt! Bettt!

Seketika tampaklah alur panjang yang ber-

gerak cepat menyibak air sungai ke arah Pendekar 

Mata Keranjang yang ada di hadapannya!

Meski tampak terkejut karena tak menduga, 

murid Wong Agung segera dorong kedua tangan-

nya.

Alur panjang pun seketika melesat ke de-

pan. Lalu terdengar ledakan, disusul dengan 

membuncahnya air sungai sampai beberapa tombak ke atas!

Sosok Utusan Iblis tampak jungkir balik di 

dalam air kemudian terseret jauh ke belakang. 

Pemuda ini merasakan dadanya hendak pecah. 

Matanya kabur dan mulutnya megap-megap. Sebe-

lum air lebih banyak masuk ke dalam mulutnya, 

dia kerahkan tenaga untuk melesat ke permukaan 

air sungai. Begitu menyembul, tampak jelas peru-

bahan pada raut mukanya. Bahkan dari mulutnya 

mengalir darah kehitaman!

"Keparat! Untuk sementara aku harus 

menghindar! Tak kusangka jika jahanam itu 

punya ilmu selam luar biasa!" gumam Utusan Iblis 

sambil nyalangkan sepasang matanya mencari pe-

cahan rakitnya. Namun hingga agak lama matanya 

tak dapat menemukan barang yang dicari.

Di belakangnya, murid Wong Agung yang 

sosoknya baru saja mental di dalam air cepat ke-

rahkan tenaga dalam. Lalu melesat ke atas. Meski 

wajahnya tampak berubah pucat pasi, namun dia 

tak mengalami cedera dalam. Hingga begitu ma-

tanya dapat menangkap sembulan kepala Utusan 

iblis, Pendekar 108 segera meluncur ke depan.

Mendengar kecipak di belakang, Utusan Ib-

lis sudah dapat menduga. Tanpa berpaling lagi, 

pemuda ini cepat menyelam! Aji yang kedua tan-

gannya telah siap kirimkan pukulan ditarik kem-

bali. Lalu teruskan luncuran tubuhnya.

Pendekar Mata Keranjang layangkan pan-

dangannya ke seluruh permukaan air sungai, na-

mun sampai matanya lelah memandang, sosok 

Utusan Iblis laksana ditelan air sungai! Malah

hingga lama Aji menunggu, yang ditunggu tak juga 

kelihatan batang hidungnya!

"Ke mana dia?! Apa punya ilmu berendam 

dalam air?!" tanya Aji sambil sesekali putar pan-

dangannya berkeliling. Dan ketika Utusan Iblis tak

juga muncul, akhirnya Aji memutuskan untuk 

meneruskan perjalanan.

"Hem.... Aku harus menemukan kembali 

rakit itu. Tak mungkin aku berenang sampai ke 

Bukit Siluman.... " Berpikir begitu, Pendekar Mata 

Keranjang kembali layangkan pandangannya ke 

seluruh permukaan air sungai. Saat itulah tiba-

tiba matanya menangkap pecahan rakit yang ter-

seret arus!

Murid Wong Agung tanpa pikir panjang lagi 

segera berenang menuju arah pecahan rakit.

Begitu dekat, pecahan rakit segera disambar 

dan sekali melesat tubuhnya telah berada di atas 

pecahan rakit. Dengan duduk di sebelah sisi, tan-

gan kanannya bergerak mengayun ke dalam air! 

Bersamaan dengan itu, pecahan rakit bergerak 

melawan arus. Pemuda ini berusaha kembali ke 

tempat di mana permukaan air berwarna merah! 

Karena saat ini, permukaan air tempatnya mem-

punyai warna seperti warna air sungai umumnya. 

Dan, memang bagian Sungai Siluman yang airnya 

berwarna merah hanya sepanjang satu tombak!

***

LIMA


KITA tinggalkan dulu Pendekar Mata Keran-

jang yang melaju ke arah Bukit Siluman. Kita 

kembali dulu ke pinggir Sungai Siluman. Seperti 

dituturkan sebelumnya, waktu Utusan Iblis lan-

carkan pukulan pada Kamaratih tiba-tiba seseo-

rang yang ternyata adalah Manusia Neraka dapat 

menghalau pukulan yang siap merenggut nyawa 

Kamaratih. Namun di kejap lain sebelum Manusia 

Neraka berkelebat, sebuah bayangan lain menda-

dak telah berkelebat dan tahu-tahu Kamaratih te-

lah tidak ada lagi di tempat itu.

Kamaratih sendiri yang waktu itu telah pa-

srah menghadapi kematian tiba-tiba merasa tersa-

pu oleh sambaran angin halus. Lalu sepasang tan-

gan memegang pinggangnya dan dengan gerak ce-

pat tahu-tahu tubuhnya telah berada di bahu se-

seorang yang kini membawanya berkelebat.

Pada satu tempat, si bayangan yang mem-

bawa lari Kamaratih hentikan larinya. Kepala 

orang ini sejenak berputar dengan mata nyalang 

kian ke mari. Kedua tangannya bergerak ke atas 

bahu. Lalu menurunkan tubuh Kamaratih dan di-

letakkan di atas pasir.

Kamaratih buka kelopak matanya. Wajah 

perempuan setengah baya ini serentak berubah. 

Sepasang matanya membesar memperhatikan 

orang yang tegak empat langkah di hadapannya 

tanpa berkedip. Tiba-tiba dari mulutnya keluar se-

ruan tertahan. "Putri Hitam...!

Orang di hadapan Kamaratih sunggingkan 

senyum. Tapi meski orang ini tersenyum, tidak 

menambah keramahan wajahnya. Karena ternyata 

wajah orang ini ditutup dengan bedak hitam yang 

memantulkan cahaya berkilat. Pakaiannya yang 

gombrong besar menyembunyikan seluruh anggota 

tubuhnya hingga sulit ditebak orang ini laki-laki 

atau perempuan. Lebih-lebih di lehernya melingkar 

sehelai kain batik seakan menyembunyikan ciri 

orang itu laki atau perempuan. Rambutnya ikal 

merah dan dikuncir sampai sepuluh buah yang 

tiap kunciran itu diberi hiasan pita dari kain batik.

"Terima kasih.... Kau telah menolongku!" 

kata Kamaratih setelah dapat menguasai rasa ke-

jutnya.

Orang di hadapan Kamaratih dan bukan 

lain memang orang yang memperkenalkan diri 

dengan Putri Hitam kembali sunggingkan senyum.

"Kau tak perlu berterima kasih. Sudah se-

patutnya di antara sesama saling tolong. Apalagi 

kita sudah kenal dan kuanggap kau adalah seo-

rang sahabat...."

Mendengar ucapan Putri Hitam, keberangan 

Kamaratih pada orang ini mulai sirna. Perempuan 

setengah baya ini lalu bergerak bangkit. Setelah 

menarik napas panjang dia bertanya.

"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa 

kau sebenarnya? Dengan penyamaranmu, pasti 

kau punya maksud tertentu. Boleh aku tahu? Sia-

pa tahu aku dapat membalas budimu dengan 

memberi sedikit pertolongan?!"

Putri Hitam gelengkan kepalanya. "Terima

kasih. Untuk saat ini aku masih tak mau mem-

buat repot orang lain...." Putri Hitam batuk-batuk 

sebentar. Lalu melanjutkan ucapannya. "Siapa di-

riku sebenarnya, bukanlah hal penting bagi orang 

lain. Dan seperti dugaanmu, aku memang mem-

punyai maksud tertentu...."

"Boleh aku tahu?!" tanya Kamaratih.

Putri Hitam untuk kedua kalinya gelengkan 

kepala.

"Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk 

tidak mengatakan pada siapa pun juga. Hem.... 

Hanya kalau suka, kau kuharap jawab beberapa 

tanyaku.... "

"Katakan!" sahut Kamaratih.

"Apa betul kakek berpakaian perempuan, 

berambut kepang dua yang memiliki mata cacat 

tadi adalah tokoh dunia persilatan bergelar Mata 

Malaikat?!"

Sejurus Kamaratih menatap paras wajah 

Putri Hitam. Dia menduga-duga. "Suaranya dis-

arukan, wajahnya disembunyikan. Tapi menden-

gar pertanyaannya kemungkinan besar dia adalah 

seorang perempuan...."

"Putri Hitam.... Kau menanyakan kakek itu. 

Jangan-jangan kau tertarik padanya. Berarti kau 

ini adalah seorang perempuan sepertiku, benar?!"

Putri Hitam tertawa panjang. "Orang ber-

tanya tentang seorang laki-laki tidak bisa dipasti-

kan bahwa orang itu adalah perempuan. Demikian 

juga sebaliknya. Harap kau suka jawab tanyaku, 

Sobat!"

"Kakek itu memang Mata Malaikat," jawab

Kamaratih.

"Putri Hitam manggut-manggut. "Apakah 

yang kau katakan padanya benar?!"

Ucapan Putri Hitam membuat Kamaratih 

terkejut. "Ucapan yang mana?!"

"Kau mengatakan pernah jumpa anaknya 

saat dia bersama Bidadari Penyebar Cinta."

"Hem... Berarti orang ini telah mencuri den-

gar pembicaraanku dengan Mata Malaikat...," ba-

tin Kamaratih. Perempuan ini lalu mengangguk.

"Terima kasih atas keteranganmu. Aku ha-

rus pergi sekarang...," kata Putri Hitam lalu balik-

kan tubuh.

"Tunggu! Ada hubungan apa sebenarnya 

antara kau dengan Mata Malaikat?"

Putri Hitam menahan langkahnya yang 

hendak meninggalkan tempat itu. Dia berpaling 

pada Kamaratih.

"Aku harus buktikan dulu keteranganmu! 

Jaga dirimu baik-baik karena seseorang tampak-

nya terus membuntuti langkahmu!" Habis berkata 

begitu Putri Hitam berkelebat pergi.

"Ada orang yang selalu membuntuti lang-

kahku? Siapa? Pemuda bermulut besar itu? 

Atau...?" Kamaratih memandang berkeliling. "Ah, 

persetan!" perempuan ini lantas bergegas mening-

galkan tempat itu.

* * *

"Jika ucapan perempuan itu benar, berarti 

aku telah mendapat titik terang. Bidadari Penyebar

Cinta.... Beberapa hari berselang aku melihat dia 

di sekitar tempat ini. Hem.... Pasti dia hendak me-

nuju bukit yang dikabarkan menyimpan Lembaran 

Kulit Naga Pertala itu. Aku harus menyusul ke sa-

na. Bukan tak mungkin Mata Malaikat pun telah 

menuju ke sana juga...." Putri Hitam yang saat itu 

tegak di bawah sebatang pohon sepelukan orang 

dewasa di pinggir sungai berkata sendiri seraya 

arahkan pandangannya jauh ke tengah sungai.

Bisa dimaklumi jika Putri Hitam mengata-

kan telah mendapatkan titik terang, karena dia se-

benarnya adalah Istri Sungging Lanang, anak laki-

laki Mata Malaikat. Bersama Sungging Lanang, Pu-

tri Hitam mendapatkan seorang anak perempuan. 

Namun karena saat itu Sungging Lanang terpe-

daya dengan perempuan lain, kedua orang ini ak-

hirnya berpisah begitu saja. Anak perempuannya 

oleh Putri Hitam lantas diberikan pada kakeknya, 

yakni Raksasa Bermuka Hijau. Dia sendiri akhir-

nya mengembara untuk melupakan luka hatinya. 

Dalam pengembaraannya dia berjumpa dengan 

seorang tokoh sakti di Lembah Sumber Manjing.

Meski telah mencoba melupakan kisah lama 

namun naluri sebagai seorang ibu yang pernah 

melahirkan seorang anak tak bisa dikekang. Ke-

rinduan pada anaknya tak bisa ditahan lagi. Hing-

ga setelah sekian tahun berada di Lembah Sumber 

Manjing dia akhirnya minta pada gurunya untuk 

menemui anaknya.

Namun Putri Hitam jadi terkejut saat dia 

mendapatkan ayahnya, Raksasa Bermuka Hijau 

yang memelihara anaknya tidak ada lagi di tempatnya dulu. Dia telah coba mencari namun belum 

berhasil, hingga akhirnya dia mendengar tentang 

gegernya dunia persilatan dengan Lembaran Kulit 

Naga Pertala.

Tentang Lembaran Kulit Naga Pertala, Putri 

Hitam pernah dengar dari ayahnya, Raksasa Ber-

muka Hijau. Karena menduga Raksasa Bermuka 

Hijau atau anaknya juga sedang ikut memburu 

Lembaran Kulit Naga Pertala, akhirnya dia memu-

tuskan untuk menyelidik ke Bukit Siluman. Tem-

pat yang menurut banyak kalangan diduga me-

nyimpan lembaran kulit itu.

"Tapi bagaimana aku bisa pergi ke Bukit Si-

luman...?! Tak mungkin aku harus berenang ke 

sana? Aku masih belum tahu di mana letaknya 

tempat itu, kecuali berita yang menyatakan berada 

di seberang sungai ini. Mempergunakan rakit ku-

rang nyaman. Hhh....! Salahku juga, mengapa tak 

sejak semula membawa perahu. Sekarang aku jadi 

repot sendiri. Mau tak mau aku harus membuat-

nya. Membuat sebuah perahu yang cukup besar 

dan kuat...."

Putri Hitam mengarahkan pandangan ke 

sekitarnya. Memperhatikan pohon demi pohon 

yang berada di situ. Sepasang matanya berbinar 

ketika melihat apa yang dicarinya. Sebatang pohon 

yang membutuhkan sepuluh pasang tangan orang 

dewasa untuk melingkari batangnya! Pohon yang 

cocok untuk membuat perahu!

Dengan agak tergesa-gesa, Putri Hitam 

menghampiri pohon itu. Ketika telah berjarak be-

berapa langkah, tangan kanannya diangkat, lalu

dihentakkan!

Angin keras menderu. Di lain kejap terden-

gar bunyi berderak keras ketika pohon besar itu 

tumbang memperdengarkan gemuruh yang riuh 

rendah. Debu pun mengepul. Namun, begitu kepu-

lan debu itu surut, Putri Hitam melesat mendekati 

pohon itu.

"Untung aku tahu bagaimana membuat se-

buah perahu," pikir perempuan berwajah hitam 

itu. Di lain kejap, dia mulai dilanda kesibukan, 

membuat sebuah perahu.

Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, Putri 

Hitam tak mengalami kesulitan untuk membersih-

kan pohon itu dari ranting-ranting dan daun-

daun. Bahkan memotong batangnya! Hanya dalam 

waktu sebentar, di depan Putri Hitam telah ter-

pampang gelondongan kayu sepanjang hampir sa-

tu setengah tombak.

Dalam pengerahan tenaga dalamnya yang 

tinggi, Putri Hitam mampu membuat tangannya 

lebih tajam dari pedang pusaka. Gelondongan 

kayu itu dilobangi untuk membuat geladaknya. 

Putri Hitam harus bekerja keras untuk itu.

Tak lama kemudian, sebuah perahu seder-

hana tapi terlihat keras dan kokoh telah tercipta. 

Tak lupa Putri Hitam membuat dayungnya. Meski 

wajahnya memperlihatkan kelelahan, tapi tampak 

adanya sinar kepuasan pada sorot mata Putri Hi-

tam.

"Tak sia-sia juga jerih-payahku. Dengan pe-

rahu ini aku akan tiba di Bukit Siluman...," kata 

perempuan berwajah hitam ini dalam hati.


ENAM


Angin Sungai Siluman bertiup kencang. 

Arus air pun luar biasa laju. Tapi, perahu Putri Hi-

tam berjalan terseok-seok, karena bergerak mela-

wan angin dan arus sungai! Apalagi, perempuan 

ini tak terlalu tergesa-gesa, sehingga hanya menge-

rahkan sebagian kecil tenaganya. Putri Hitam du-

duk dengan mata beredar ke depan. Tapi, sejauh 

ini yang tampak hanya air!

"Mudah-mudahan dugaanku benar jika Bi-

dadari Penyebar Cinta menuju ke bukit itu. Kete-

rangan dari perempuan itu sangat kuperlukan. Se-

tidaknya dia mengetahui di mana Sungging La-

nang berada. Kesadaranku memang terlambat da-

tangnya. Namun aku tak dapat melupakan...."

Tiba-tiba Putri Hitam bergerak bangkit lalu 

berdiri tegak dengan mata memandang ke kanan 

kiri perahu. Mulutnya komat-kamit perdengarkan 

gumaman.

"Ada yang tak beres dengan perahu ini. 

Mungkinkah gerakan ikan...?" pikir Putri Hitam la-

lu putar tubuhnya, namun gerakannya tertahan 

tatkala sepasang matanya menangkap riak di sebe-

lah kanan perahu. Belum sempat menduga, sepa-

sang tangan tiba-tiba muncul dari dalam air dan 

berpegangan pada samping kanan perahu. Di saat 

lain air berkecipak muncrat ke udara. Lalu sesosok 

tubuh melesat dan tahu-tahu tegak di tengah lan-

tai perahu dengan tubuh sedikit dibungkukkan 

pada Putri Hitam seraya berkata.

"Harap maafkan kelancanganku! Boleh aku 

ikut menumpang?"

Putri Hitam tak segera menjawab perta-

nyaan orang. Dia memandangi orang yang baru 

muncul dari dalam, mulai dari rambut hingga ka-

kinya yang basah kuyup. Dada Putri Hitam berde-

gup kencang, sementara matanya sedikit mende-

lik. Kalau saja wajahnya tidak ditutup dengan be-

dak hitam, orang yang baru muncul pasti dapat 

menangkap perubahan wajahnya.

"Bagaimana dia bisa menyelam sampai se-

jauh ini? Ah, itu tak penting. Hem... Apakah aku 

harus berterus terang padanya saat ini? Dari per-

cakapannya dengan Kamaratih, aku tahu dia juga 

sedang mencari Sungging Lanang...." Putri Hitam 

berkata sendiri dalam hati setelah dapat mengua-

sai keterkejutannya dan bisa mengenali siapa 

adanya orang yang baru muncul.

"Kalau Kau merasa keberatan, aku akan tu-

run kembali...," ujar orang yang baru datang se-

raya pejamkan mata kemudian pentangkannya 

kembali!

"Orang tua. Silakan kau menumpang di pe-

rahu ini. Sebenarnya kau hendak ke mana?" tanya 

Putri Hitam menahan gerak orang yang hendak 

melangkah kembali ke arah samping perahu.

Orang yang seluruh tubuh dan pakaiannya 

basah kuyup yang ternyata adalah seorang Kakek 

mengenakan pakaian dari kulit ular dengan ram-

but putih panjang dan bermata cacat dan tidak 

lain adalah Mata Malaikat palingkan wajah ke arah 

Putri Hitam sambil sunggingkan senyum.

"Aku ikut ke mana perahu ini berlayar saja!" 

kata Mata Malaikat setelah agak lama terdiam. 

"Hendak menuju mana perahu ini?!"

"Aku menuju Bukit Siluman...," jawab Putri 

Hitam sambil putar tubuhnya setengah lingkaran.

Mata Malaikat manggut-manggut. Namun 

sepasang matanya melirik tajam pada Putri Hitam 

seolah menyelidik. "Orang ini sengaja menyembu-

nyikan dirinya. Mungkin dia sedang memburu 

lembaran kulit itu," duga Mata Malaikat

"Hem.... Aku tahu. Sebenarnya orang tua ini 

juga bertujuan ke bukit itu. Apakah dia menyang-

ka Sungging Lanang akan muncul di sana? Atau 

mungkin dia punya niat lain? Memburu lembaran 

kulit itu barangkali?" batin Putri Hitam. Lalu beru-

jar dengan mata memandang jauh ke sebelah ba-

rat.

"Orang tua. Boleh tahu siapa kau?!" Mata 

Malaikat perdengarkan suara tawa sebelum akhir-

nya menjawab.

"Entah bagaimana mulanya, orang-orang 

memanggil tua bangka ini dengan Mata Malaikat. 

Padahal jelas-jelas kalau aku ini keturunan manu-

sia! Bukan sebangsa malaikat...."

"Apa betul kau masih keturunan manusia?!"

"Kau lihat sendiri wujudku. Mana ada bang-

sa malaikat sepertiku ini? Juga mana ada malaikat 

mempunyai mata cacat? He he he...!"

"Kalau kau benar-benar turunan manusia 

tentunya kau punya kerabat. Setidak-tidaknya 

punya istri dan anak. Apakah kau punya?!" tanya 

Putri Hitam masih dengan memandang jauh.

"Ah...." Mata Malaikat keluarkan keluhan. 

Wajah kakek ini mendadak berubah agak murung. 

"Aku memang punya istri dan anak...."

Putri Hitam palingkan wajahnya menghadap 

Mata Malaikat.

"Apa mereka masih ada?!"

Mata Malaikat menatap tajam pada Putri 

Hitam. "Kau ini sebenarnya siapa? Dandananmu 

bagus. Aku senang melihatnya...."

Meski ucapan Mata Malaikat nadanya tak 

enak, namun Putri Hitam tak menunjukkan wajah 

marah. Sebaliknya bibirnya yang hitam sungging-

kan senyum.

"Mungkin karena wajahku hitam, orang 

memanggilku Putri Hitam...."

"Ah, kalau kau seorang putri, berarti kau 

seorang perempuan!"

"Nama tidak bisa dibuat jaminan jenis se-

seorang. Seperti juga sebutan malaikat tidak dapat 

dijadikan alasan bahwa dia bangsa malaikat!"

"Wah, kau pandai juga beralasan... Apakah 

kau juga punya suami, atau istri? Atau barangkali 

punya anak?"

"Suami atau istri aku tak punya! Tapi anak 

aku punya!"

"Aneh. Tak punya suami atau istri tapi 

punya anak. Nongolnya bagaimana?"

Putri Hitam tertawa perlahan. "Kau bilang 

punya anak. Tentu kau tahu bagaimana nongol-

nya!"

Mata Malaikat garuk-garuk kepala dengan 

mata dipentang lebar-lebar. "Maksudmu kau pernah bersuami atau beristri. Tapi, setelah nongol-

nya anak kalian bubaran. Begitu bukan?"

"Kau pandai juga menebak.... Eh, tadi kau 

mengatakan anak. Laki-laki apa perempuan? Apa-

kah sekarang masih ada? Siapa namanya?!"

"Wah. Pertanyaanmu banyak sekali. Tapi, 

karena kau telah memberi tumpangan padaku, 

aku akan menjawab tanyamu. Siapa tahu kau bisa 

menolongku!"

"Menolong? Menolong apa, Orang Tua?" 

tanya Putri Hitam seakan terkejut.

"Seperti kataku tadi. Aku memang punya 

seorang anak laki-laki. Namun sayang, hingga tua 

bau tanah begini aku tak dapat melihat anakku!" 

Kembali air muka Mata Malaikat berubah agak 

murung. Sementara dada Putri Hitam semakin 

berdebar-debar.

"Apa dia hilang?!" tanya Putri Hitam. Sua-

ranya berubah agak parau dan bergetar meski 

orang masih tak dapat menentukan jenis suara la-

ki-laki atau perempuan.

"Tepatnya diculik seseorang.... Waktu itu 

anakku masih berusia enam bulan. Dia bernama 

Sungging Lanang...."

Putri Hitam palingkan wajahnya ke samping 

untuk menyembunyikan perubahan. Dadanya ber-

getar keras. Mulutnya komat-kamit.

"Jadi benar jika Sungging Lanang adalah 

anaknya.... Oh. Apakah aku harus berkata terus 

terang padanya? Atau...?"

Putri Hitam tak meneruskan kata hatinya 

karena pada saat itu kembali Mata Malaikat telah

lanjutkan ucapannya.

"Bertahun-tahun aku mencarinya. Namun 

pencarianku tak membawa hasil. Hanya aku per-

nah dengar kabar anakku telah menikah dengan 

seseorang dan telah punya seorang anak. Tapi itu-

lah. Kabar hanya kabar. Dan aku tak berhasil me-

nemukannya."

"Kau bilang anak itu diculik waktu kecil. 

Bagaimana kau bisa memastikan bahwa yang su-

dah beristri dan punya anak itu adalah anakmu?!"

"Orang yang mengabariku mengatakan ciri-

ciri yang dimiliki anakku. Ciri yang tak bisa diha-

pus oleh apa pun! Anakku punya tahi lalat hijau di 

lehernya.... "

Tanpa diketahui oleh Mata Malaikat, Putri 

Hitam tampak menggigit bibirnya dengan mata 

terpejam. Dan matanya tampak berkaca-kaca 

tatkala Mata Malaikat terdengar melanjutkan uca-

pannya dengan suara agak pelan.

"Kalau aku boleh minta pada Tuhan. Aku 

hanya minta dipertemukan dengan anakku. Lebih-

lebih dengan cucuku sebelum aku berkalang ta-

nah...."

Untuk beberapa saat lamanya dua orang ini 

sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Tapi 

karena saat itu Putri Hitam tegak membelakangi, 

Mata Malaikat tak tahu jika Putri Hitam telah ber-

linang air mata.

"Seandainya dia tahu...," desis Putri Hitam. 

Tapi desisannya tak berlanjut karena pada saat 

bersamaan terdengar suara.

"Berhenti!"

Putri Hitam dan Mata Malaikat sama-sama 

palingkan wajah ke arah datangnya suara. Dari 

belakang, tampak sebuah perahu melaju ke arah 

mereka. Kedua orang ini melihat seorang kakek 

bertubuh bungkuk. Matanya besar melotot. Hi-

dungnya besar dan mulut lebar. Kumis, jambang, 

dan jenggotnya panjang awut-awutan dan berki-

bar-kibar diterpa angin. Rambutnya yang putih 

dan panjang hanya tumbuh di separo kepalanya 

bagian samping kanan. Sedang bagian samping ki-

ri tampak kelimis tak ditumbuhi rambut!

Kakek ini berdiri di atas perahu dengan 

hanya menggoyang-goyangkan bahunya. Namun 

demikian, bersamaan dengan gerakan bahunya, 

perahu yang dinaiki melaju di atas permukaan air 

sungai dengan deras. Tak lama lagi pun perahu 

Putri Hitam akan tersusul!

Mata Malaikat kerutkan dahi sambil men-

dongak. Putri Hitam memperhatikan dengan coba 

menduga-duga siapa adanya si kakek bungkuk. 

Namun karena tak dapat mengenali siapa adanya 

orang di atas perahu yang kini makin mendekat, 

Putri Hitam berkata pada Mata Malaikat.

"Kek.... Kau mengenal orang itu?!" Mata Ma-

laikat berpaling pada Putri Hitam. "Kalau mataku 

tak menipu, kakek itu adalah tokoh persilatan 

yang bergelar Titisan Iblis!"

Putri Hitam tampak terkejut. "Aku pernah 

mendengar gelar orang itu.... Kabarnya dia seorang 

berilmu tinggi dan sangat berbahaya...."

"Tak salah!" sahut Mata Malaikat. "Malah 

aku heran padanya. Sejak dulu kala dia selalu

menginginkan selembar nyawaku. Padahal ra-

sanya aku tak pernah bersalah ucap dan bertan-

gan kasar padanya!"

"Jadi kau punya silang sengketa dengan-

nya?!" 

"Dari pihakku tidak. Karena semua orang 

kuanggap sahabat!"

Mata Malaikat lalu palingkan wajahnya ke 

arah kakek bungkuk yang berada di atas perahu di 

sampingnya yang bukan lain memang dedengkot 

dunia persilatan sekaligus guru Utusan Iblis yakni 

Titisan Iblis.

"Sobatku, Titisan Iblis!" seru Mata Malaikat 

di antara kecipak air dan suara angin. "Senang 

bertemu kau lagi. Berlayar sendirian, hendak ke 

manakah gerangan?!"

Titisan Iblis hentikan gerakan bahunya 

hingga perahu yang dinaikinya, berkurang jauh la-

junya!

Ucapan Mata Malaikat disambut dengusan 

keras oleh Titisan Iblis. Matanya yang besar mem-

belalak memperhatikan pada Mata Malaikat lalu 

beralih pada Putri Hitam. Saat pandangannya ter-

tuju pada Putri Hitam, dengusan Titisan Iblis be-

rubah menjadi tawa pelan bernada mengejek.

"Kau tampaknya kehabisan akal dan tak la-

ku lagi, Bandot Tua! Hingga orang yang tak jelas 

bentuk dan jenisnya kau gaet juga! Ha ha ha...! 

Mau ceritakan padaku bagaimana rasanya orang 

tak berbentuk dan tak berjenis?!"

Mendengar ucapan Titisan Iblis, Putri Hitam 

tampak komat-kamitkan mulut. Wajahnya mengeras dengan mata mendelik. Sementara Mata Ma-

laikat tengadah dengan mata terpejam.

"Sudah tua tapi mulutmu tambah busuk. 

Sekali lagi kau berkata kotor aku tak segan mem-

buat perahumu hancur!" teriak Putri Hitam marah.

"Tenang, Putri...," bisik Mata Malaikat. 

"Jangan masukkan ke hati ucapannya. Dia sudah 

biasa berkata seperti itu!"

"Tapi ucapannya keterlaluan! Mulut seperti 

itu sesekali patut dihajar!"

Di seberang, Titisan Iblis tertawa bergelak-

gelak. Namun cuma sekejap. Di lain saat matanya 

melotot ke arah Putri Hitam.

"Kau tampaknya punya nyali. Tidak seperti 

beberapa gendak bandot tua itu yang dulu-dulu! 

Hem.... Mungkin itu sebabnya bandot tua itu 

menggaetmu meski tak jelas jenis dan bentukmu!"

Kemarahan Putri Hitam tampaknya sudah 

tak dapat diatasi. Orang ini segera melangkah ke 

tengah perahu. Tiba-tiba perahu yang dinaiki ber-

guncang-guncang.

Sebagai orang yang memiliki naluri tajam, 

Mata Malaikat telah tahu jika guncangan itu aki-

bat Putri Hitam telah kerahkan tenaga dalamnya.

"Putri Hitam. Tunda dulu kemarahanmu. 

Titisan Iblis bukan orang sembarangan. Lebih dari 

itu, air baginya sama dengan daratan! Dan perlu 

kau ketahui. Semua ucapannya tentang diriku be-

nar adanya! Sejak muda dulu, aku memang selalu 

berganti-ganti perempuan. Jadi harap kau menger-

ti...."

"Aku tak mau tahu semua itu! Dan jangan

kira aku takut pada setan tua itu hanya karena 

ucapanmu!" desis Putri Hitam, namun dia masih 

belum memulai membuat gerakan untuk kirimkan 

pukulan.

"Bandot tua!" seru Titisan iblis. "Akhirnya 

kau harus mampus di samping gendakmu yang 

aneh. Sungguh suatu akhir yang memilukan!"

Sebelum Putri Hitam berkata, Mata Malai-

kat telah mendahului.

"Sobat. Aku harus mampus itu sudah pasti. 

Namun sejak dulu kau tak mau pernah mengata-

kan mengapa kau selalu memburu nyawaku. Se-

karang apakah kau masih enggan mengatakan-

nya?!"

"Jawaban akan kau peroleh begitu nyawa-

mu melayang! Bersiaplah, Bandot!"

Tanpa disangka-sangka habis berkata begi-

tu, Titisan Iblis telah mendahului menggebrak 

dengan kirimkan pukulan jarak jauh bertenaga da-

lam tinggi.

Wuuuttt! Wuuuttt!

***

TUJUH


DUA gulungan awan hitam melesat dengan 

keluarkan suara laksana guntur yang bersahut-

sahutan, di lain kejap tampak cahaya berkilat-

kilat. Inilah pukulan sakti milik Titisan Iblis yang 

juga telah diwariskan pada muridnya si Utusan Iblis, yakni pukulan 'Gemuruh Badai'.

Melihat Titisan Iblis telah menggebrak le-

paskan pukulan, Putri Hitam makin berang. Begi-

tu pukulan Titisan Iblis bergerak melesat, Putri Hi-

tam cepat angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke 

atas kepalanya. Lalu disentakkan ke bawah.

Beeettt! Beeettt!

Dua gulungan awan hitam pukulan Titisan 

Iblis mendadak tertahan lantas melesat amblas ke 

dalam sungai! Namun permukaan air sungai tak 

sepercik pun muncrat!

Kalau gulungan awan hitam dapat tertahan 

bahkan langsung amblas, tidak demikian halnya 

dengan cahaya kilat. Cahaya kilat itu terus mele-

sat!

Putri Hitam tampak terkejut, namun sebe-

lum orang ini bergerak, Mata Malaikat dorongkan 

kedua tangannya!

Seeettt! Settt!

Asap putih tipis tampak bergerak naik tu-

run keluar dari dorongan kedua tangan Mata Ma-

laikat. Lalu menyergap ke arah cahaya berkilat. 

Cahaya langsung redup. Namun bersamaan den-

gan itu terdengar ledakan dahsyat. Permukaan air 

membumbung. Perahu yang ditumpangi Mata Ma-

laikat terhempas sampai sepuluh tombak ke samp-

ing. Namun baik Titisan Iblis maupun Putri Hitam 

tampak tetap tegak meski raut keduanya tampak 

berubah dan tubuhnya bergetar keras.

Di seberang sana, perahu yang dinaiki Titi-

san Iblis terlihat jungkir balik di atas permukaan 

air. Tapi begitu terhenti, Titisan Iblis masih tampak berdiri tegak di lantai perahu! Malah baik tu-

buh maupun pakaiannya tidak basah!

Titisan Iblis sejenak perhatikan dirinya. La-

lu alihkan pandangannya pada Mata Malaikat 

yang masih tegak membelakangi. Titisan Iblis 

mendengus keras lalu serta-merta gerakkan ba-

hunya. Perahu yang dinaiki bergerak melaju ke 

arah samping. Membelah arus sungai!

Kira-kira lima tombak di samping perahu 

Putri Hitam, kembali Titisan Iblis angkat kedua 

tangannya sejajar dada lalu ditarik ke belakang.

Perahu Putri Hitam tampak terseret mende-

kat. Namun ketika Mata Malaikat dorong kedua 

tangannya ke depan, perahu itu kembali menjauh. 

Titisan Iblis lipat gandakan tenaga dalamnya. Per-

lahan-lahan perahu Putri Hitam kembali bergerak 

mendekat. Malah kali ini melaju dengan kencang. 

Tapi lagi-lagi perahu itu menjauh begitu Mata Ma-

laikat dorongkan kedua tangannya ke depan. Un-

tuk beberapa saat lamanya terjadi saling tarik 

dengan kerahkan tenaga dalam. Namun pada satu 

kesempatan, Titisan Iblis yang tampak tak sabar 

segera hantamkan kedua tangannya. Lepaskan 

pukulan 'Gemuruh Badai'.

Putri Hitam yang sedari tadi telah siap tak 

menunggu lama. Pada saat itu juga dia hantamkan 

pula kedua tangannya.

Kali ini terdengar dentuman keras. Air sun-

gai muncrat setinggi empat tombak ke udara. So-

sok Titisan Iblis tampak mencelat dari perahu lalu 

melayang ke bawah sebelum akhirnya masuk ke 

dalam air. Perahunya tampak pecah berantakan

lalu hanyut dibawa arus sungai yang deras!

Di lain pihak, Putri Hitam hampir saja men-

tal. Untung Mata Malaikat cepat menahan tubuh 

Putri Hitam dengan tempelkan kedua tangannya 

ke punggung orang berwajah hitam itu. Hingga tu-

buh Putri Hitam hanya berguncang-guncang. Pe-

rahunya pun tampak pecah di bagian depan.

"Putri Hitam.... Kita harus cepat sampai di 

bukit itu. Menghadapi tua bangka itu sangat ber-

bahaya jika di atas air!" kata Mata Malaikat lalu 

turunkan tangannya dari punggung Putri Hitam. 

Tanpa menunggu jawaban, Mata Malaikat men-

gambil dayung! Dengan putar perahu, meletakkan 

bagian yang pecah di belakang, Mata Malaikat pun 

mulai mendayung. Sekali dia tancapkan dayung ke 

dalam air, perahu pecah itu melesat cepat ke de-

pan.

* * *

Jauh di belakang, di dalam sungai, tampak 

Titisan Iblis mengerjap lalu usap dadanya. Tak be-

rapa lama kemudian tubuhnya melesat laksana 

ikan. Anehnya, kakek ini sepertinya punya daya 

sedot luar biasa. Meski di dalam air tapi tubuh dan 

pakaian yang dikenakan tampak kering! Malah se-

sekali dia tampak seperti sedang melangkah di 

atas daratan!

"Jahanam! Siapa gendak bandot tua itu?" 

Dari bentrok pukulan dengan Putri Hitam, nam-

paknya diam-diam Titisan Iblis maklum jika Putri 

Hitam tidak bisa dipandang sebelah mata. Malah

dia segera bisa mengira-ngira jika tingkat kepan-

daian Putri Hitam sudah hampir sejajar dengan 

Mata Malaikat. "Hem.... Melihat arahnya dapat ku-

pastikan mereka sedang menuju Bukit Siluman. 

Apakah Utusan Iblis sudah berada di sana? Anak 

itu rupanya tak berhasil membuat tewas bandot 

tua itu, ataukah dia belum sempat bertemu?" Titi-

san Iblis terus mereka-reka seraya terus melesat di 

dalam air.

***

DELAPAN


KITA kembali pada Pendekar Mata Keran-

jang yang terus melaju dengan menggunakan pe-

cahan rakit ke arah Bukit Siluman. Saat itulah, 

Pendekar Mata Keranjang melihat adanya gundu-

kan tanah yang menjulang ke atas, di sebelah de-

pan!

"Tak salah lagi...," kata Aji dalam hati. "Itu-

lah Bukit Siluman!"

Pendekar Mata Keranjang ini pun menga-

rahkan pecahan rakitnya ke gundukan tanah itu.

Dan, begitu dua tombak lagi pecahan rakit mera-

pat ke pinggir, murid Wong Agung telah berkele-

bat. Setelah sepasang kakinya menjejak tanah, se-

jenak sepasang matanya yang tajam memperhati-

kan berkeliling.

"Hem.... Rupanya sudah ada orang yang 

mendahului ke tempat ini. Apakah dia orang yang

menyamar sebagai Setan Pesolek itu?" gumam Aji 

begitu matanya melihat sebuah sampan terselip di 

sela tumbuhan pinggir sungai. Dia lalu layangkan 

pandangannya sekali lagi. Tapi, dia tak lagi melihat 

sebuah sampan atau perahu lainnya. Pemuda ini 

lantas arahkan pandangannya ke sungai. Saat itu-

lah matanya samar-samar menangkap sebuah pe-

rahu melaju berlawanan dengan arus sungai.

"Rupanya ada orang menuju kemari. Aku 

harus bertindak cepat!" Aji lantas putar tubuh dan 

berkelebat. Medan yang ditempuhnya menanjak. 

Baru beberapa tombak, murid Wong Agung ini ter-

kesima dengan pemandangan tempat itu. Tak ada 

tanda-tanda kehidupan. Yang tampak hanya gun-

dukan-gundukan tanah dan pohon-pohon gundul 

di sana-sini. Pohon-pohon yang tak berdaun sama 

sekali!

Beberapa saat kemudian, murid Wong 

Agung tersadar dari kesimanya. Sepasang telin-

ganya ditajamkan. Matanya jelalatan kian kemari.

"Tak ada tanda-tanda adanya orang.... Lalu 

di mana lembaran kulit itu berada...? Di sini hanya 

batu-batu dan tanah...." Aji menghela napas pan-

jang. Lalu melangkah ke arah tonjolan batu agak 

besar. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar. 

Di situ dia menemukan sebuah lobang.

"Terowongan...," desis Aji seraya terus 

memperhatikan ke dalam. Setelah agak lama ter-

diam, dia mulai melangkah memasuki terowongan.

"Aneh. Di sini terasa hangat...," gumam Aji 

dengan terus melangkah. Sesekali dia berpaling ke 

belakang. Lalu meraba-raba samping terowongan

karena keadaan di dalam mulai agak gelap.

Ketika langkahnya sampai di ujung tero-

wongan, murid Wong Agung berhenti. Di hada-

pannya kini tampak hamparan tanah membentuk 

lingkaran sebesar dua puluh tombak berkeliling. 

Di sebelah depan sana, terlihat beberapa lobang 

terowongan. Ada keanehan di hamparan tanah 

gersang yang menghubungkan antara terowongan 

pertama dengan beberapa terowongan di depan 

sana. Pada hamparan tanah itu tampak tonjolan-

tonjolan batu yang bertuliskan angka-angka dari 

satu sampai dua puluh delapan.

Melihat angka-angka yang tertera di bebe-

rapa tonjolan batu, Aji terkesiap. Dia teringat akan 

petunjuk yang diberikan Peri Kupu-kupu. Tanpa 

sadar ia menggumamkan petunjuk itu. "Tiga tam-

bahkan tiga dan seterusnya...." Dia tercenung be-

berapa lama. "Bagaimana maksudnya ini? Apakah 

aku harus mulai dari angka tiga? Lalu tambahkan 

tiga, berarti enam. Lalu ditambah tiga, berarti 

sembilan. Hem.... Jika begitu, angka-angka selain 

pertambahan tiga adalah angka jebakan....," sim-

pul Aji pada akhirnya. Lalu memandang ke arah 

hamparan tanah di hadapannya. Kemudian murid 

Wong Agung lantas mengambil kerikil sebesar ke-

palan di dekat terowongan. Kerikil itu dilemparkan 

ke gundukan batu yang bernomor genap.

Busss!

Begitu kerikil mendarat di gundukan batu 

bernomor empat, kerikil itu seperti menimpa lan-

dasan yang lunak. Gundukan batu itu bergoyang. 

Sekejap kemudian, sedikit demi sedikit kerikil itu

terbenam. Sesaat kemudian, lenyap. Sedangkan 

gundukan batu itu tenang kembali laksana tak 

pernah terjadi apa-apa!

Aji terkesiap dengan mata membelalak dan 

mulut menganga.

"Mengerikan.... Kalau saja aku tak menda-

patkan petunjuk itu bukan mustahil tubuhku 

akan tercabik dan amblas masuk.... Hem.... Apa-

kah orang yang menyamar dan telah mengetahui 

petunjuk itu berhasil melewati hambatan ini?" Aji 

sapukan pandangannya berkeliling. Tapi dia tak 

menemukan siapa-siapa.

"Ah, persetan dengan orang itu!" Akhirnya 

Aji tak mempedulikan lagi dengan orang yang se-

lama ini masih menjadi teka-teki baginya. Dia lalu 

perlahan-lahan melangkah ke arah hamparan ta-

nah gersang.

Pendekar 108 menarik napas dalam-dalam. 

"Mudah-mudahan aku tak salah menjabarkan pe-

tunjuk itu. Aku hanya menginjak angka kelipatan 

dari tiga...," kata Aji ke dalam hati. Lalu sekali ber-

kelebat tubuhnya melesat dan tegak di tonjolan 

batu berangka tiga. Dada murid Wong Agung tam-

pak berdebar keras begitu kakinya menginjak batu 

berangka tiga. Dia memejamkan mata seraya me-

nunggu sambil ancang-ancang melakukan lompa-

tan mundur kembali. Tapi setelah agak lama ber-

diri dan batu yang diinjak tidak amblas masuk, Aji 

bernapas lega. Dia buka kelopak matanya. Kini 

pandangannya tertuju ke arah tonjolan batu be-

rangka enam.

"Jika aku selamat pada batu berangka

enam, berarti petunjuk itu telah dapat kujabarkan 

dengan benar...." Aji lantas meloncat ke arah tonjo-

lan batu berangka enam. Seperti tadi kali ini Aji 

tegak menunggu agak lama di tonjolan batu be-

rangka enam seraya ancang-ancang melompat 

mundur. Namun begitu batu berangka enam tak 

bergeming, murid Wong Agung tampak te-

ngadahkan kepala sambil menarik napas lega.

"Aku berhasil....," serunya dalam hati. Tan-

pa pikir panjang lagi Aji segera meloncat kembali. 

Kini menuju tonjolan batu berangka sembilan. 

Namun setengah jalan, tiba-tiba dari arah depan 

terdengar suara deru dahsyat. Di lain kejap se-

rangkum gelombang angin deras menggebrak ke 

arah Pendekar Mata Keranjang!

Menduga hal itu salah satu jebakan, murid 

Wong Agung cepat melompat mundur dan menje-

jak pada batu berangka enam kembali. Saat ka-

kinya menginjak batu itulah rangkuman angin me-

labrak! Tak ada jalan lain bagi Aji selain berkelit 

menangkis untuk menyelamatkan diri.

Dengan kembangkan kedua tangannya dan 

mendorong ke depan, Aji melesat mundur dan 

menjejak pada tonjolan batu berangka tiga.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Blaaarrr!

Tempat itu bergetar. Anehnya hamparan ta-

nah gersang itu tak beriak atau bergelombang. Ma-

lah ledakan itu tak menimbulkan gema! Suara le-

dakan akibat bentroknya gebrakan angin dengan 

pukulan yang dilancarkan Aji hanya terdengar se-

kejap. Kejap kemudian lenyap laksana direnggut

setan!

Namun itu semua lepas dari penglihatan 

Aji, karena murid Wong Agung mulai curiga bahwa 

sambaran angin yang menggebrak ke arahnya bu-

kanlah sebuah jebakan tapi sebuah serangan yang 

dilancarkan seseorang.

Dugaan Aji tak meleset. Karena kejap ke-

mudian terdengar suara tawa mengekeh panjang! 

Dan seperti suara ledakan tadi, suara tawa itu ti-

dak bergema meski nyata benar jika tawa itu dike-

luarkan dengan pengerahan tenaga dalam!

"Suara tawa seorang perempuan!" bisik Aji 

seraya arahkan pandangannya ke depan, dari ma-

na suara tawa bersumber.

"Siapa pun kau adanya, tunjukkan diri!" te-

riak Aji.

Teriakan Aji disambut dengan suara tawa 

panjang. Lalu terdengar orang berkata.

"Kalau kau ingin tahu, kenapa masih tegak 

di situ? Kemarilah, Anak Muda!"

Kembali Aji layangkan pandangannya ber-

keliling. Namun dia belum bisa menentukan di 

mana orang yang bersuara berada.

"Jika aku menuruti ucapannya, bukan tak 

mungkin dia akan menyerangku saat aku melewati 

tonjolan batu-batu itu! Dan sekali salah injak, ha-

bislah riwayatku...." Berpikir sampai di situ untuk 

beberapa lama murid Wong Agung belum beranjak 

dari tempatnya.

"Kau takut, Anak Muda?!"

Meski hatinya masih digelayuti perasaan 

khawatir, Aji dengan tertawa pelan berujar.

"Menghadapi orang licik dan pengecut se-

pertimu, apa yang ditakutkan?!"

Tak ada sahutan dari seberang, namun se-

bentar kemudian terdengar suara kembali. "Kalau 

begitu kenapa masih diam di situ? Tak tahukah 

kau jika aku menunggumu?!"

Mengingat masih ada beberapa orang yang 

sedang menuju tempat ini yang menginginkan 

Lembaran Kulit Naga Pertala, akhirnya Pendekar 

108 mengambil keputusan untuk teruskan lang-

kah. Apalagi Aji mulai yakin jika orang yang per-

dengarkan suara adalah orang yang berhasil me-

nyamar sebagai Setan Pesolek dan membawa lari 

kipas ungu 108.

Setelah berpaling ke belakang, murid Wong 

Agung mulai lagi arahkan pandangannya pada ba-

tu berangka enam. Seraya siapkan pukulan, pe-

muda ini melompat dan kini tegak di batu berang-

ka enam. Dari arah depan tak ada serangan atau 

terdengar suara.

Aji tak buang waktu, dia lantas melesat 

kembali. Hanya sejenak menjejak di batu berangka 

sembilan lalu melesat ke arah batu berangka dua 

belas. Sejauh ini masih juga tak ada serangan, tapi 

Pendekar Mata Keranjang tetap waspada. Setelah 

melirik ke depan, murid Wong Agung kembali me-

loncat. Yang dituju adalah batu berangka lima be-

las. Namun baru saja bergerak, dari arah depan 

terdengar suara menggemuruh dahsyat! Sesaat 

kemudian sebuah gelombang angin datang me-

nyambar!

Aji teruskan loncatannya sambil hantamkan

kedua tangannya.

Bunyi gaduh terdengar ketika angin keras 

menggebrak dari telapak tangan Aji! Kejap kemu-

dian terdengar letupan keras. Aji merasa disapu 

gelombang angin deras hingga tubuhnya tampak 

berguncang. Karena tak ada tempat untuk meng-

geser tubuh, akhirnya murid Wong Agung melom-

pat mundur kembali. Saat itulah dari arah depan 

mendadak melesat dua sinar kuning yang di lain 

kejap tiba-tiba mengembang lalu menggebrak ke 

arah Pendekar Mata Keranjang dari segala jurusan 

dengan keluarkan suara bergemuruh dan mene-

barkan hawa panas!

"Sialan! Batu-batu ini terlalu kecil untuk 

bergerak leluasa!" keluh Aji lalu melompat mundur 

kembali sambil lepaskan pukulan untuk menang-

kis.

Blaaarrr!

Untuk ke sekian kalinya tempat itu digun-

cang suara ledakan dahsyat. Dari arah depan ter-

dengar seruan tertahan. Sementara murid Wong 

Agung tampak pucat pasi. Sesaat kemudian so-

soknya mental ke belakang. Untung dia masih si-

gap, hingga meski mencelat namun pijakannya te-

pat pada tonjolan batu berangka tiga. Untuk bebe-

rapa saat Aji mengusap dadanya yang terasa nyeri 

dan sesak. Saat itulah dari salah satu terowongan 

di sebelah depan berkelebat sesosok tubuh. Belum 

sampai menjejak, sosok tersebut telah lepaskan 

pukulan!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Aji terkejut. Buru-buru dia hantamkan ke

dua tangannya. Namun sebelum tangannya meng-

hantam, pukulan lawan telah mendahului me-

nyergap!

Aji merasakan dadanya terhantam benda 

berat. Sosoknya mencelat mental ke belakang. Ka-

rena di belakangnya menghadang lamping batu 

itu. Begitu kerasnya hingga sebagian lamping batu 

itu berguguran.

Sesaat kemudian tubuh Aji terkulai bersan-

dar pada lamping batu. Darah tampak mengucur 

dari mulut dan hidungnya.

Terdengar suara tawa mengekeh panjang. 

Lalu sosok di seberang berkelebat meloncat di an-

tara beberapa tonjolan batu di hamparan tanah 

gersang. Kejap kemudian sosok tersebut telah te-

gak di hadapan Aji dengan kacak pinggang.

"Sayang, waktumu tidak tepat, Anak Muda. 

Sebenarnya aku ingin mengajakmu bersenang-

senang terlebih dahulu sebelum kau meninggalkan 

dunia ini! Hik... hik... hik...!"

Dengan wajah berubah Aji tengadahkan ke-

pala. Sepasang matanya membelalak dan dagunya 

langsung menggembung. Dadanya yang nyeri ber-

getar keras. Mulutnya bergerak-gerak namun tidak 

ada suara yang terdengar. Sementara orang di ha-

dapan Aji kembali perdengarkan suara tawa.

Ternyata orang itu adalah seorang perem-

puan berparas cantik mengenakan pakaian putih 

tipis dan ketat yang di bagian dadanya dibuat ren-

dah hingga sembulan buah dadanya yang kencang 

menantang tampak jelas. Kulitnya putih dengan 

rambut panjang tergerai. Sepasang matanya bulat

tajam.

"Aku menyesal sekali, Anak Muda. Karena 

pertemuan ini adalah pertemuan kita yang terak-

hir...," ujar si perempuan cantik berpakaian putih 

yang tidak lain adalah Bidadari Penyebar Cinta.

Seperti telah dituturkan dalam episode : 

"Bidadari Penyebar Cinta", dengan menyamar se-

bagai Setan Pesolek akhirnya Bidadari Penyebar 

Cinta berhasil mengelabui Aji dan membawa lari 

kipas ungu 108 serta memperoleh petunjuk. Na-

mun perempuan cantik ini hanya bisa menjabar-

kan petunjuk yang diperolehnya sebagian saja. 

Hingga langkahnya tertahan di seberang hampa-

ran tanah gersang. Dan semula Bidadari Penyebar 

Cinta telah memperkirakan Aji pasti akan datang 

ke tempat itu. Pada awalnya Bidadari Penyebar 

Cinta punya gagasan untuk membiarkan Aji me-

nyelinap dengan harapan Pendekar Mata Keran-

jang telah dapat menjabarkan petunjuk yang be-

lum bisa dipecahkannya. Namun pikirannya beru-

bah ketika disadari masih banyak orang yang pasti 

akan menuju Bukit Siluman. Akhirnya dia men-

gambili keputusan untuk membunuh siapa saja 

yang memasuki terowongan itu. Dengan terbu-

nuhnya beberapa orang yang coba-coba melewati 

hamparan tanah gersang, pada akhirnya dia akan 

leluasa bergerak tanpa dihantui ketakutan da-

tangnya orang.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau sudah 

siap?!" kata Bidadari Penyebar Cinta sambil mera-

ba pinggangnya.

Murid Wong Agung tak menyahut. Hanya

sepasang matanya tak berkedip menatap tajam.

"Kau tak usah cemas. Aku tak akan mem-

bunuhmu dengan tanganku. Tanganku hanya se-

bagai perantara. Tapi yang mengantar nyawamu 

adalah barangmu sendiri. Senjata makan tuan, 

Pendekar Mata Keranjang!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Bidada-

ri Penyebar Cinta menyelinap ke balik pakaiannya. 

Lalu....

Wuuuttt!!

Secercah sinar ungu menebar. Aji terkesiap 

dengan mata mendelik memandang ke arah tan-

gan Bidadari Penyebar Cinta yang kini menggeng-

gam sebuah kipas lipat ungu berguratkan angka 

108.

"Perempuan busuk! Jadi kau yang...."

"Terlambat, Pendekar Mata Keranjang!" po-

tong Bidadari Penyebar Cinta. Lalu tanpa berkata 

lagi tangan yang menggenggam kipas mengayun ke 

arah kepala murid Wong Agung!

Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Ma-

ta Keranjang untuk mengelak. Karena di bela-

kangnya menghadang lamping batu, sementara 

bergerak ke samping kanan atau kiri tak ada gu-

nanya.

Sinar ungu yang disertai deru dahsyat terus 

melesat membabat ke arah kepala Pendekar Mata 

Keranjang yang tak berkutik dari kipas di tangan 

Bidadari Penyebar Cinta.

Pada saat sangat genting itulah mendadak 

dari arah lobang terowongan berkelebat dua sosok 

bayangan. Pada saat bersamaan, menyambar angin deras lalu salah satu bayangan menyambar so-

sok murid Wong Agung.

Meski tubuhnya laksana dilanda gelombang 

dan terhuyung-huyung, sambil berseru keras Bi-

dadari Penyebar Cinta teruskan babatan kipasnya. 

Namun sambaran angin yang datang rupanya le-

bih dahsyat, hingga setengah jalan tangan Bidada-

ri Penyebar Cinta mental ke belakang. Di saat yang 

sama sebuah tangan berkelebat. Untuk kedua ka-

linya Bidadari Penyebar Cinta berseru keras. Tan-

gannya bergetar dan kejap kemudian kipas di tan-

gan kanannya terlepas!

Bidadari Penyebar Cinta bantingkan sepa-

sang kakinya. Dia tak pedulikan siapa adanya 

orang yang menolong Pendekar Mata Keranjang. 

Yang diingat perempuan cantik ini pertama kali 

adalah menyelamatkan kipas ungu 108. Maka be-

gitu dapat menguasai tubuh, dia cepat berpaling 

ke samping, di mana kipas ungu tergeletak. Sece-

pat kilat Bidadari Penyebar Cinta sorongkan tu-

buhnya ke samping. Tangan kanannya menjulur 

hendak mengambil kipas itu.

Namun sebuah kain gombrong bergerak 

mendahului dan menutup kipas itu dari pengliha-

tan Bidadari Penyebar Cinta. Tanpa melihat siapa 

pemilik kain gombrong, Bidadari Penyebar Cinta 

hantamkan tangan kanannya yang tadi hendak 

mengambil kipas ke arah kain gombrong, sementa-

ra tangan kirinya bergerak pula menyentak.

Wuuuttt!

Bidadari Penyebar Cinta keluarkan gemele-

tak dari mulutnya, karena bukan saja tangannya

hanya menghantam tempat kosong, namun ber-

samaan dengan lenyapnya kain gombrong, kipas 

ungu 108 lenyap pula dari tempat itu!

Serentak Bidadari Penyebar Cinta bangkit 

tegak dengan mata nyalang dan rahang menggem-

bung. Dari tempatnya sejarak lima tombak di sebe-

lah kanan dia melihat seorang berwajah hitam 

yang rambutnya dikuncir sampai sepuluh buah. Di 

sebelahnya tegak seorang kakek bermata aneh. 

Sebelah kanan menonjol keluar, senantiasa mem-

belalak. Sedangkan mata kirinya hampir berupa 

sebuah garis! Kakek ini mengenakan pakaian dari 

kulit ular. Sementara, di bawah kedua orang ini 

duduk bertumpu pada kedua sikunya Pendekar 

Mata Keranjang dengan mata memandang ke 

arahnya!

***

SEMBILAN


SETAN! Tua bangka ini sungguh sukar di-

terka jalan pikirannya. Dahulu minta bergabung, 

tapi kini muncul ikut campur urusanku. Kalau se-

tan ini tidak segera digebuk tewas, bisa-bisa dia 

menggagalkan urusanku! Hem.... Manusia hitam 

ini siapa? Gerakannya sangat cepat. Dia juga ha-

rus tewas!"

"Mata Malaikat dan kau!" sentak Bidadari 

Penyebar Cinta sambil arahkan telunjuknya ke 

arah Putri Hitam. Suara perempuan berwajah cantik ini terdengar bergetar. "Kalian telah salah lang-

kah ikut campur urusanku. Kalian tahu akibat-

nya?!"

Mata Malaikat berpaling pada Putri Hitam 

yang saat itu tengah condongkan tubuh ke arah 

Aji hendak memberikan pertolongan.

"Putri...," ujar Mata Malaikat. "Kau dengar 

ucapan orang. Kau sajalah yang menjawab! Kau 

tahu bukan? Aku paling tak bisa menghadapi pe-

rempuan apalagi berwajah cantik dan bertubuh 

sintal!"

Putri Hitam tegakkan kembali tubuhnya. 

Berpaling sejenak ke arah Mata Malaikat sebelum 

akhirnya beralih pada Putri Hitam. Diam-diam Pu-

tri Hitam dilanda kebimbangan. Apakah dia akan 

bertanya terus terang pada Bidadari Penyebar Cin-

ta tentang keberadaan Sungging Lanang yang me-

nurut Kamaratih beberapa kali terlihat bersama 

Bidadari Penyebar Cinta. Padahal dia juga tahu 

sebenarnya Mata Malaikat mempunyai tujuan 

yang sama dengan dirinya. Entah karena dilanda 

kebimbangan hingga akhirnya dia tak keluarkan 

sepatah kata pun. Hanya pandangan matanya te-

rus memperhatikan pada Bidadari Penyebar Cinta 

dengan mata tak berkedip.

"Ah...," keluh Mata Malaikat. "Nyatanya kau 

juga sepertiku jika menghadapi perempuan cantik. 

Jangan-jangan kau ini laki-laki!" bisiknya lalu ter-

tawa mengekeh, membuat Bidadari Penyebar Cinta 

makin geram.

Sementara Aji yang masih setengah duduk 

dengan bertumpu pada kedua sikunya perlahan

lahan selinapkan tangan kanannya ke balik pa-

kaiannya. Lalu mengeluarkan gumpalan benda lu-

nak berwarna gelap yang diberikan Peri Kupu-

kupu beberapa waktu lalu. Tanpa pikir panjang 

gumpalan benda itu dimasukkan ke dalam mulut-

nya. Lalu pelan-pelan dihisapnya. Tak berselang 

lama, ngilu di sekujur tubuhnya lenyap dan pere-

daran darahnya normal kembali. Begitu dirasakan-

nya pulih, Aji bergerak bangkit. Lalu hadapkan tu-

buh pada Mata Malaikat dan Putri Hitam seraya 

menjura dan berkata.

"Budi jasa kalian tak akan kulupakan! 

Maafkan atas salah sangkaku...."

"Lupakan semua itu. Kau sekarang telah 

tahu siapa orangnya bukan?!" Yang keluarkan su-

ara adalah Mata Malaikat. "Nah, kami berdua tak 

bisa menghadapi orang cantik macam dia. Kau 

yang masih muda mungkin dapat membantu. Si-

lakan kau saja sekarang yang bicara dengannya! 

Yang tua-tua ini biar jadi pendengar saja. Tapi ka-

lau ada rejeki jangan lupa.... Bukankah begitu, Pu-

tri?!" sambil berkata Mata Malaikat arahkan pan-

dangannya pada Putri Hitam.

Putri Hitam tidak menyambuti ucapan Mata 

Malaikat. Dia tetap memandang pada Bidadari Pe-

nyebar Cinta. Sebaliknya demi mendengar Mata 

Malaikat memanggil Putri pada Putri Hitam, Bida-

dari Penyebar Cinta sunggingkan senyum seringai 

dan perdengarkan tawa pelan.

"Putri... Hik.... Hik.... Hik.... Orang tak tentu 

bentuknya begitu bergelar Putri. Putri setengah gi-

la? Atau Putri tak punya bentuk?!"

"Jaga mulutmu, Perempuan Penipu!" bentak 

Aji. Bidadari Penyebar Cinta kembali menyeringai. 

"Hem.... Kau tak terima rupanya, Anak Mu-

da! Apa hubunganmu dengan Putri ini? Mungkin 

simpananmu?! Kasihan.... Wajah tampan tapi 

punya kelainan. Hik.... Hik.... Hik...!"

Aji katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia 

melangkah maju dengan tangan siap lepaskan pu-

kulan, namun gerakannya ditahan oleh suara Pu-

tri Hitam.

"Tahan dulu, Pendekar Mata Keranjang! 

Kami punya kepentingan dengan dia. Lebih baik 

kau teruskan tujuan. Biar kami yang mengha-

dangnya di sini!" Setelah berkata begitu Putri Hi-

tam bungkukkan tubuh. Dari bawah pakaiannya 

yang gombrong dia keluarkan kipas ungu 108. La-

lu diberikan pada Aji. Aji cepat menyambuti. Na-

mun wajah Aji masih tampak ragu-ragu. "Pergi-

lah!" kata Putri Hitam lagi. Aji sekali lagi mem-

bungkuk lalu berkelebat dan sejenak kemudian 

dia telah melompat-lompat di antara batu tonjolan 

berangka di hamparan tanah gersang.

"Jahanam! Kau cari mati!" bentak Bidadari 

Penyebar Cinta lalu angkat kedua tangannya.

"Sabar, Bidadari Penyebar Cinta! Kipas itu 

miliknya. Siapa pun tak berhak merampas milik 

orang lain! Kalau kau ingin memburu lembaran 

kulit itu silakan. Tak ada yang melarang asal den-

gan jalan baik-baik!" tahan Putri Hitam tanpa 

membuat gerakan sama sekali. 

"Setan alas! Siapa kau sebenarnya?!" 

"Kau boleh memanggilku apa saja, silakan

menduga siapa saja. Yang pasti aku punya kepen-

tingan denganmu!"

"Aku tak pernah berhubungan dengan 

orang macam kau! Jangan berani cari alasan!"

"Kita memang tak pernah berhubungan. 

Tapi paling tidak kau pernah berhubungan erat 

dengan orang yang pernah dekat denganku!"

"Ooo.... Jadi kau memendam cemburu pa-

daku? Hik... hik... hik... Kau jangan menyalahkan 

orang yang dekat denganmu lari ke pelukanku. 

Kau harus sadar bagaimana bentuk wajahmu!"

Sementara mendengar percakapan antara 

Putri Hitam dan Bidadari Penyebar Cinta diam-

diam Mata Malaikat merasa dadanya bergetar. 

Namun dia masih belum bisa menduga tujuan Pu-

tri Hitam, meski samar-samar dia menangkap ada 

persamaan tujuan antara dirinya dengan Putri Hi-

tam.

"Bidadari Penyebar Cinta!" kata Putri Hitam. 

"Dalam hal ini aku tak menyalahkan siapa-siapa! 

Aku hanya ingin tanya padamu!" 

"Tentang orang itu? Hik hik hik...! Silakan 

tanya. Tapi jangan kecewa jika mendapat jawaban 

yang tak memuaskan. Maklum, terlalu banyak la-

ki-laki yang dekat denganku, hingga aku tak sem-

pat menghitung dan menghafal namanya...." Bida-

dari Penyebar Cinta sengaja meladeni ucapan Putri 

Hitam dengan harapan Pendekar Mata Keranjang 

mampu memecahkan petunjuk itu, lalu begitu 

Lembaran Kulit Naga Pertala ditemukan, maka 

akan lebih enak baginya untuk merebut.

Untuk beberapa saat Putri Hitam terdiam.

Ada keraguan membayang di wajahnya. Malah se-

sekali dia melirik pada Mata Malaikat yang tegak 

diam sambil memejamkan matanya.

"Kenapa diam? Malu...?! Seharusnya kau 

memang harus malu. Kalau kau termasuk jenis 

perempuan, mengapa harus mengejar laki-laki? 

Bukankah masih banyak laki-laki lain? Di sam-

pingmu juga ada laki-laki!" ujar Bidadari Penyebar 

Cinta dengan senyum mengejek. Lalu begitu dili-

hatnya Putri Hitam tak menyahut, perempuan 

cantik ini lanjutkan ucapannya.

"Kalau kau jenis laki-laki, kau laki-laki yang 

suka jenis laki-laki jika mencemburui diriku. Hik 

hik hik...! Apakah laki-laki di sampingmu kurang 

memuaskan...?! Kulihat dia gagah, soal mata tak 

jadi masalah bukan?!"

Ucapan Bidadari Penyebar Cinta mulai 

membuat Putri Hitam berubah. Matanya sedikit 

mendelik. Sebaliknya Mata Malaikat perdengarkan 

suara tawa bergelak hingga kepalanya manggut-

manggut dan perutnya berguncang.

"Boleh saja kau meremehkan diriku. Itu da-

pat kupahami karena kau belum tahu bagaimana 

gayaku! Jika kau tahu.... Ciiiuuu.... Apa pun akan 

kau pertaruhkan untukku! Ha ha ha...!" ujar Mata 

Malaikat dengan pentangkan sepasang matanya 

dan memandangi dada Bidadari Penyebar Cinta, 

membuat perempuan ini jengah dan berpaling 

sambil mendengus.

"Bidadari Penyebar Cinta! Di mana bera-

danya Sungging Lanang?!" akhirnya Putri Hitam 

ajukan tanya meski dia dapat menduga jika Mata

Malaikat akan terkejut.

Dugaan Putri Hitam tidak meleset. Menden-

gar pertanyaan Putri Hitam kontan Mata Malaikat 

terperanjat. Untuk beberapa lama matanya mena-

tap dengan tak berkedip.

"Aneh. Siapa sebenarnya orang ini? Menga-

pa mencari anakku? Apa hubungannya? Ini se-

buah kebetulan atau disengaja?!" Beberapa perta-

nyaan segera berkecamuk di dada Mata Malaikat.

Mungkin tak sabar dan ingin segera menge-

tahui apa hubungannya dengan Sungging Lanang 

yang adalah anaknya, Mata Malaikat mendekat 

pada Putri Hitam. Begitu dekat kakek ini langsung 

berbisik.

"Putri.... Jawab segera tanyaku. Apa hu-

bunganmu dengan Sungging Lanang? Mengapa 

kau mencarinya?!"

"Pertanyaanmu terlalu banyak. Aku tak bisa 

menjelaskan di sini! Nanti kau akan tahu sendiri!" 

kata Putri Hitam dengan suara bergetar.

"Aneh. Apakah dia bertanya karena tadi 

mendengar ceritaku? Tapi kenapa bertanya pada 

Bidadari Penyebar Cinta seolah-olah dia tahu jika 

beberapa waktu lalu Sungging Lanang bersama 

perempuan ini? Hem... ada sesuatu di balik semua 

ini. Kulihat Putri Hitam tampak berubah tatkala 

mengucapkan nama anakku.... Ah, teka-teki apa 

ini?!" kata Mata Malaikat dalam hati.

Sementara itu Bidadari Penyebar Cinta 

tampak kerutkan dahi melihat sikap Mata Malai-

kat. Namun dia tak dapat menduga apa yang 

membuat kakek itu bersikap demikian.

"Bidadari Penyebar Cinta! Kau dengar uca-

pan orang. Kenapa tidak jawab?!"

Mendengar teguran, Bidadari Penyebar Cin-

ta menyeringai. Lalu tertawa mengejek sebelum 

akhirnya berkata.

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, jawab 

tanyaku dulu. Apa hubunganmu dengan kekasih-

ku itu?!" Bidadari Penyebar Cinta sengaja menye-

but Sungging Lanang dengan kekasih untuk men-

getahui sikap Putri Hitam.

Putri Hitam sunggingkan senyum meski da-

lam hati terasa panas.

"Aku tak ada hubungan apa-apa dengan 

kekasihmu itu. Justru aku mencarinya untuk di-

lenyapkan dari muka bumi ini! Dia telah membu-

nuh adikku!"

Mata Malaikat terlonjak kaget. Tapi sebelum 

dia berbisik pada Putri Hitam, Bidadari Penyebar 

Cinta telah berujar. 

"Hem.... Begitu urusannya? Kasihan keka-

sihku satu itu. Dia cemburu padaku karena aku 

menggaet seorang pemuda. Dia lalu mengatakan 

hendak pergi ke tempat seseorang yang bergelar 

Raksasa Bermuka Hijau. Entah benar apa tidak, 

aku tak mengurusinya lagi...."

"Raksasa Bermuka Hijau...," ulang Putri Hi-

tam lirih. Dia tampak menarik napas panjang. Di 

sebelahnya Mata Malaikat makin tak mengerti. 

"Apa pula hubungannya dengan Raksasa Bermuka 

Hijau? Bukankah Raksasa Bermuka Hijau adalah 

seorang tokoh yang dikenal sebagai dedengkot 

orang-orang golongan hitam? Apakah dia telah

menjadi murid Raksasa Bermuka Hijau...? Ah, 

makin banyak saja yang harus kuketahui...."

"Kau telah dengar jawabku. Mengapa masih 

di situ?!" tegur Bidadari Penyebar Cinta.

"Jawabanmu tidak mengharuskan aku pergi 

dari sini, Bidadari Penyebar Cinta!"

"Maksudmu?!"

"Aku akan pergi dari sini, begitu juga kau 

setelah kedatangan orang yang kutunggu!" Putri 

Hitam berkata demikian untuk mencegah Bidadari 

Penyebar Cinta, karena sebenarnya dia sendiri tak 

tahu, apakah orang yang dimaksud akan datang 

ke tempat itu atau tidak.

"Keparat!" sentak Bidadari Penyebar Cinta. 

Serta-merta perempuan cantik bertubuh sintal ini 

kerahkan tenaga dalamnya lalu sentakkan kedua 

tangannya ke arah Putri Hitam. Karena tahu bah-

wa lawan yang dihadapi bukan orang sembaran-

gan, maka begitu lakukan serangan, dia langsung 

lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'.

Wuttt! Wuuuttt!

Dua sinar kuning melesat keluar dari kedua 

tangan Bidadari Penyebar Cinta dengan keluarkan 

suara bergemuruh.

"Kau yang mulai, jangan kau menyesal!" 

gumam Putri Hitam sambil angkat kedua tangan-

nya dan serta-merta disentakkan ke bawah.

Beeettt! Beeettt!

Sinar kuning tertahan sebentar di udara. 

Lalu bersamaan dengan menyentaknya tangan Pu-

tri Hitam ke bawah, sinar kuning itu pun melesat 

ke bawah dan langsung amblas masuk ke hampa

ran tanah berbatu di tempat itu! Tak terdengar su-

ara ledakan, juga tak ada batu atau tanah yang 

berhamburan! Sebaliknya sosok Bidadari Penyebar 

Cinta tampak terhuyung ke belakang lalu tegak 

bersandar pada lamping batu di samping terowon-

gan dengan wajah pucat pasi dan tubuh bergun-

cang!

"Manusia setan! Putus nyawamu!" teriak 

Bidadari Penyebar Cinta seraya menjejak pada 

lamping di belakangnya. Tubuhnya melesat ke 

arah Putri Hitam dengan dua tangan langsung 

menghantam ke arah kepala.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras tatkala Putri Hi-

tam angkat tangannya dan disilangkan di atas ke-

palanya untuk menangkis. Di lain saat tiba-tiba 

kain gombrong bagian bawah Putri Hitam mengge-

lepar, lalu sebuah kaki melesat ke depan ke arah 

Bidadari Penyebar Cinta yang tampak terhuyung.

Bukkk!

Bidadari Penyebar Cinta berseru keras. So-

soknya terseret deras ke belakang lalu menghan-

tam lamping batu di samping terowongan. Perla-

han-lahan tubuhnya terkulai bersandar dengan 

mulut keluarkan darah!

"Bidadari Penyebar Cinta! Aku memberimu 

kesempatan untuk meninggalkan tempat ini! Tapi 

kalau kau memaksa, silakan!" ujar Putri Hitam.

Bidadari Penyebar Cinta menghela napas le-

ga. Meski kemarahan masih melintas di wajahnya.

"Setan alas tak kusangka jika manusia hi-

tam ini begitu tangguh! Terpaksa untuk sementara

ini aku harus menghindar. Tapi aku tak akan me-

nyerah! Perjalananku telah jauh dan tujuan ham-

pir saja tergenggam di tangan. Hanya karena gara-

gara kedua bangsat ini segalanya berantakan.... 

Hem.... Akan kutunggu mereka di luar!" Berpikir 

begitu, perlahan-lahan Bidadari Penyebar Cinta 

bangkit, tanpa berpaling lagi pada Putri Hitam 

atau Mata Malaikat, Bidadari Penyebar Cinta me-

langkah ke arah terowongan. Setelah meludah ke 

tanah, dia berkelebat dan lenyap masuk ke tero-

wongan.

Sepasang mata Putri Hitam sejenak menga-

wasi ke arah terowongan, begitu yakin sosok Bida-

dari Penyebar Cinta tak ada, dia berpaling pada 

Mata Malaikat. Mata Malaikat pun menatap pada 

Putri Hitam.

"Putri Hitam.... Sekarang jelaskan padaku. 

Apa hubunganmu dengan Sungging Lanang dan 

apa betul adikmu dibunuh?!"

Tiba-tiba Putri Hitam duduk berlutut di Ha-

dapan Mata Malaikat. Kepalanya menunduk dan 

tak lama kemudian bahunya tampak berguncang, 

membuat Mata Malaikat merasa heran.

"Ada apa sebenarnya? Jangan kau membu-

atku makin tak mengerti!" ujar Mata Malaikat dan 

ikut-ikutan duduk berlutut.

"Maafkan aku, Orang Tua!" kata Putri Hitam 

seraya angkat kepalanya. Sepasang matanya ber-

kaca-kaca. Dia tampak berusaha hendak bicara, 

namun suaranya tak terdengar.

"Putri Hitam.... Kau tahu. Jika kau menan-

gis, aku akan ikut-ikutan menangis! Jadi jangan

membuatku malu. Terangkan padaku apa sebe-

narnya yang terjadi!"

Putri Hitam memandang Mata Malaikat ber-

lama-lama. Lalu menunduk seraya berkata pelan.

"Orang tua.... Sebenarnya...."

"Sebenarnya apa?!" sahut Mata Malaikat tak 

sabar begitu Putri Hitam tak meneruskan ucapan-

nya.

"Sebenarnya aku adalah istri Sungging La-

nang...."

Mata Malaikat sampai terlonjak bangkit 

saking kagetnya. Sepasang matanya membelalak 

besar memandangi Putri Hitam dari rambut sam-

pai pakaiannya bagian bawah yang berserakan di 

lantai batu.

Setelah dapat menguasai keterkejutannya, 

perlahan-lahan Mata Malaikat duduk kembali di 

hadapan Putri Hitam.

"Kau tidak main-main, bukan?!"

Putri Hitam gelengkan kepalanya. Isaknya 

mulai terdengar. Dan orang ini tak dapat lagi 

membendung tangisnya begitu kedua tangan Mata 

Malaikat menjulur dan membelai rambutnya.

"Ah, tak kusangka.... Rupanya permoho-

nanku akhirnya dikabulkan Tuhan. Anakku.... 

Maafkan si tua ini yang sampai tak mengetahui 

menantunya." Suara Mata Malaikat terdengar se-

rak parau. Sementara Putri Hitam makin tersedu.

"Seharusnya aku yang minta maaf padamu. 

Tak berterus terang padamu sejak semula...."

"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang su-

dah jelas duduk masalahnya. Yang kuminta sekarang kau menceritakan semuanya.... Terus terang, 

aku buta tentang anakku. Karena seperti yang ku-

ceritakan padamu, dia diculik orang sewaktu ma-

sih kecil...."

Setelah dapat mengatasi guncangan da-

danya, akhirnya Putri Hitam mulai berkisah.

"Aku dan anakmu bertemu saat usiaku 

menginjak delapan belas tahun. Kami dipertemu-

kan selain karena sama-sama jatuh cinta juga ka-

rena persamaan nasib. Dia mengatakan bahwa di-

rinya sudah tak punya ayah lagi. Dia tak pernah 

menceritakan tentang dirimu, dia bilang diasuh 

oleh seseorang yang pada akhirnya kuketahui 

bahwa orang itu adalah seorang tokoh dunia persi-

latan bergelar Titisan Iblis."

"Jadi...?"

"Ya, orang yang kita temui di perahu itu. 

Kalau benar dia orang yang bergelar Titisan Iblis, 

maka dialah orangnya!" sahut Putri Hitam lalu 

meneruskan keterangannya.

"Selama lima tahun hidup sebagai suami-

istri kami dikarunia seorang anak perempuan. 

Namun sebenarnya sebelum kelahiran anak kami 

antara kami telah terjadi perselisihan. Dan pun-

caknya terjadi saat anak kami lahir. Tanpa ting-

galkan pesan, dia pergi begitu saja. Anak kami ak-

hirnya diasuh oleh kakeknya. Aku sendiri kemu-

dian pergi mengembara untuk menghilangkan ke-

kecewaan hati. Namun setelah beberapa tahun 

aku kembali, anakku dan kakeknya tak kutemui 

lagi. Aku telah berusaha mencarinya, tapi hingga 

saat ini tak berhasil. Akhir-akhir ini aku mendengar lagi tentang ribut-ribut rimba persilatan ten-

tang Lembaran Kulit Naga Pertala. Berharap ber-

temu dengan Sungging Lanang, aku coba-coba 

menyusur. Aku ingin jumpa Sungging Lanang 

dengan maksud siapa tahu dia mengetahui di ma-

na anaknya. Waktu di pinggir Sungai Siluman, aku 

sempat menangkap percakapanmu dengan Kama-

ratih. Berbekal keterangan itu akhirnya aku pergi 

kesini, karena beberapa hari sebelumnya kulihat 

Bidadari Penyebar Cinta sedang melakukan tawar-

menawar dengan seorang nelayan. Aku bisa mene-

bak ke mana Bidadari Penyebar Cinta hendak me-

nuju. Tapi sama sekali tak menyangka jika Bida-

dari Penyebar Cinta telah berhasil mengelabui 

Pendekar Mata Keranjang dengan menyamar seba-

gai Setan Pesolek."

"Siapa nama ayahmu?!" tanya Mata Malai-

kat.

"Raksasa Bermuka Hijau...."

Mata Malaikat terlengak kaget. "Hem.... Jika 

benar keterangan Bidadari Penyebar Cinta, berarti 

Sungging Lanang saat ini juga sedang mencari 

anaknya!"

"Kukira juga begitu...."

Sejenak Putri Hitam terdiam. Wajahnya 

tampak makin murung. Setelah menarik napas da-

lam dia berkata. "Dia kuberi nama Seruni...."

Untuk kedua kalinya Mata Malaikat terlon-

jak namun kali ini sambil mengeluh. "Inilah akibat 

mata yang melihat tapi buta!"

"Bagaimana bisa begitu?!" tanya Putri Hi-

tam.

"Aku pernah bertemu cucuku itu!"

Kali ini ganti Putri Hitam yang terkejut. "Di 

mana? Kapan?" tanya Putri Hitam seraya mencekal 

kaki Mata Malaikat

"Belum berselang lama. Dan tampaknya dia 

juga hendak menuju kemari!"

"Ah! Mudah-mudahan dugaanmu benar...."

"Kau sendiri siapa namamu sebenarnya? 

Kali ini tak keberatan bukan mengatakan pada 

kakek anakmu ini?"

Putri Hitam mulai dapat tersenyum. "Akan 

kuberitahukan padamu, asal jangan kau suruh 

aku untuk melepas penyamaranku ini, setidaknya 

sampai aku jumpa dengan anakku...."

"Baiklah. Tapi aku dapat menduga sebenar-

nya kau adalah perempuan cantik. Anaknya can-

tik, tentu ibunya juga begitu...." 

"Ah, kau jangan menggoda. Kalau kenya-

taannya lain, nanti kau kecewa."

"Sejak hari ini, rasanya kecewa tak akan 

pernah lagi ada di hatiku. Bahkan mati pun aku 

akan tersenyum! Eh, ayo katakan dulu namamu!"

"Namaku sebenarnya Dayang Arung...."

"Hem.... Nama bagus. Aku makin yakin, kau 

pasti perempuan cantik!"

"Tapi tak bahagia!" sahut Putri Hitam alias 

Dayang Arung. "Karena suamiku masih tergoda 

dengan perempuan lain!"

"Jadi perpisahan kalian karena adanya pe-

rempuan lain?!" 

"Begitulah. Dan kudengar, dari perempuan 

itu Sungging Lanang juga punya seorang anak!"

"Walah, kenapa bisa jadi begini? Alamat tak 

karu-karuan. Dasar anak geblek. Sudah punya is-

tri cantik matanya masih juga menyambar perem-

puan lain!"

"Sudahlah. Itu mungkin sudah jadi suratan! 

Aku rela menjalaninya. Yang kuinginkan sekarang 

adalah bertemu dengan anakku dan hidup bersa-

manya!"

"Hai...!" Tiba-tiba dari arah seberang terden-

gar seruan.

Putri Hitam dan Mata Malaikat serentak pa-

lingkan wajah ke seberang. Dari tempatnya mereka 

melihat Pendekar Mata Keranjang melambai.

"Eh, kenapa dari tadi anak itu masih non-

gkrong di situ?!" gumam Mata Malaikat seraya 

bangkit.

"Mungkin dia perlu pertolongan! Kau coba 

ke sana. Aku akan di sini. Bukankah sebentar lagi 

kita akan kedatangan tamu?!"

"Tapi kau tak akan meninggalkan tua bang-

ka mertuamu ini bukan?!"

"Asal kau tak menggandeng perempuan la-

gi!"

Mata Malaikat mendekat pada Putri Hitam, 

membelai kunciran rambutnya.

"Pada tua bangka yang sudah dekat dengan 

tanah begini, perempuan mana yang mau? Lagi 

pula apa kata cucuku nanti? Aku tak mau dibilang 

kakek mata keranjang. Tapi kalau kau yang men-

carikan dan memilihkan untukku, he he he.... Aku 

mau-mau saja...."

Habis berkata begitu, Mata Malaikat me

langkah mendekat hamparan tanah gersang.

"Kek! Injak batu berangka tiga, enam, sem-

bilan, dua belas, lima belas, delapan belas lalu 

tambahkan tiga seterusnya! Awas jangan salah in-

jak!" teriak Aji dari seberang.

Mata Malaikat manggut-manggut, dia ber-

paling ke arah Putri Hitam yang masih tegak di si-

tu. "Kau setuju jika aku menolong anak itu men-

dapatkan lembaran kulit gila itu?!"

"Kalau anak itu telah mendapatkan petun-

juk dari Setan Pesolek, maka sudah dapat dipasti-

kan dialah yang berhak mewarisi Lembaran Kulit 

Naga Pertala itu. Setan Pesolek tak mungkin me-

milih orang yang salah!" sambut Putri Hitam. Putri 

Hitam lantas melangkah ke mulut terowongan dan 

duduk di sebelah kanan lobang terowongan.

Mata Malaikat kembali arahkan pandan-

gannya pada hamparan tanah gersang. Dan sekali 

berkelebat sosoknya telah tegak di atas tonjolan 

batu berangka lima belas. Dan sekali berkelebat 

lagi, tubuhnya telah berada di samping Pendekar 

Mata Keranjang!

"Aku mendapat kesulitan, Kek...," kata Aji.

"Kesulitan macam apa?!"

"Aku tak dapat memecahkan petunjuk itu! 

Yang pertama sudah benar, namun untuk yang se-

lanjutnya, aku belum mengerti. Aku jadi bimbang. 

Jangan-jangan lembaran kulit itu tidak ditentukan 

untukku!"

"Putus asa sebelum mencoba adalah sebuah 

ketololan besar, Anak Muda!"

"Aku sudah mencobanya. Lihat! Tanganku

sampai lecet. Tapi pintu itu tak kutemukan!"

"Pintu?!" ulang Mata Malaikat.

"Ya, petunjuk itu mengatakan ada pintu 

yang harus dibuka." Lalu Aji mengatakan petunjuk 

yang pernah diberikan Peri Kupu-kupu dan Setan 

Pesolek. Mata Malaikat berulangkali menggumam-

kan petunjuk itu. Kepalanya tengadah dengan ma-

ta dibeliakkan lebar-lebar.

"Hem.... Kalau disebutkan paling tengah, 

berarti pada hitungan yang ganjil!" desis Mata Ma-

laikat. Tiba-tiba dia mengedarkan pandangannya 

pada beberapa lobang terowongan di depannya.

"Anak muda! Coba kau hitung, berapa lo-

bang terowongan itu!"

"Sembilan!" Kata Aji setelah menghitung 

banyaknya lobang terowongan.

"Hem.... Mudah-mudahan benar dugaan 

otak tua bangka ini." lalu berpaling pada Aji. "Coba 

Kau sekarang pilih yang tengah, lalu melangkah ti-

ga tindak. Setelah itu turuti petunjuk selanjutnya."

Aji menuruti perkataan Mata Malaikat. Pe-

muda ini memilih lobang terowongan paling tengah 

lalu melangkah tiga tindak, setelah itu dia melesat 

ke atas. Tangan kanannya dipukulkan ke lamping 

batu rata di atas terowongan.

Bukkk!

Tangan Aji mental balik. Bersamaan itu tu-

buhnya mencelat dan melayang deras ke bawah. 

Aji meringis kesakitan dengan memegangi tangan-

nya.

"Kau lihat sendiri bukan?"

"Mungkin tenagamu kurang terpusat! Coba

hantam sekali lagi dengan tenaga penuh!"

Aji kerahkan seluruh tenaga dalamnya pada 

tangan kanan. Lalu melangkah lagi tiga tindak pa-

da terowongan paling tengah. Setelah tubuhnya 

melesat ke atas, tangan kanannya dihantamkan 

pada lamping batu.

Bukkk!

Untuk kedua kalinya tangan kanan murid 

Wong Agung mental dan tubuhnya terputar lalu ja-

tuh dengan punggung terlebih dahulu.

"Kek...," ujar Aji. "Aku tak mampu menjebol 

dinding batu itu. Mungkin ini syarat kalau lemba-

ran kulit bukan ditentukan untukku. Mungkin ju-

ga petunjuk itu yang salah!"

"Semuanya tidak ada yang salah. Kulihat 

memang ada kekuatan yang membendung. Hem.... 

Api jangan dilawan dengan api!"

"Apa maksudmu, Kek...?!"

"Kau coba tanpa pengerahan tenaga dalam!"

Murid Wong Agung tertawa. "Kau ini aneh. 

Dengan tenaga dalam saja tak bisa dibuka, apa 

mungkin bisa terbuka tanpa tenaga?!"

"Anak muda. Api harus dilawan dengan air! 

Kau paham ucapanku?!"

Meski masih tak dapat menerima ucapan 

Mata Malaikat, Aji segera bangkit. Setelah ambil 

posisi dia melesat kembali ke atas. Tangan kanan-

nya perlahan didorongkan ke dinding batu.

Tiba-tiba terdengar suara gesekan dan per-

lahan-lahan dinding batu itu membuka sebesar 

daun pintu!

Aji membelalak hampir tak percaya, semen

tara Mata Malaikat pejamkan mata kemudian pen-

tangkannya lebar-lebar.

"Kek.... Ucapanmu benar!" seru Aji begitu 

melayang turun. Mata Malaikat tak menyahut. Dia 

hanya pandangi dinding yang terbuka di atas sa-

na.

"Hey! Kau tunggu apa lagi?!" tegur Mata Ma-

laikat karena dilihatnya Aji tetap berdiri di situ. 

Seolah baru tersadar, Aji buru-buru mengangguk 

lalu melesat kembali ke atas. Sebentar kemudian 

tubuhnya lenyap masuk ke dalam pintu di dind-

ing.

Begitu Aji tak kelihatan lagi, Mata Malaikat 

gerakkan kakinya. Tubuhnya melenting ke atas la-

lu kejap kemudian masuk menyusul Aji. Bersa-

maan dengan masuknya tubuh Mata Malaikat, 

pintu di dinding menutup tanpa keluarkan suara! 

Di balik dinding, kedua orang ini menemukan 

tangga menurun dari batu. Perlahan-lahan kedua-

nya menuruni anak tangga. Anak tangga ini 

menghubungkan dengan sebuah terowongan agak 

besar yang di tengahnya tampak sebuah cermin 

besar yang diikat dan digantungkan di bawah se-

buah lobang.

Sampai anak tangga paling bawah, Aji hen-

tikan langkah. Berpaling sejenak pada Mata Malai-

kat di belakangnya.

"Mudah-mudahan orang tua ini menolong 

dengan tujuan baik!" batin Aji dalam hati. Selintas 

hatinya dihantui rasa takut jika Mata Malaikat ju-

ga menginginkan lembaran kulit itu.

"Hey! Kenapa kau memandangku demikian

rupa? Ada yang salah denganku? Atau...? Ah, 

mungkin kau curiga padaku!" ujar Mata Malaikat 

lalu mendongak dan buka mulutnya.

"Sialan! Dia merasa jika kucurigai!" maki Aji 

dalam hati. Lalu berkata pada Mata Malaikat. 

"Kek. Lembaran kulit itu adalah benda yang ka-

tanya bertahun-tahun jadi rebutan para tokoh 

rimba persilatan. Sampai saat ini tidak ada yang 

tahu siapa kelak yang akan mewarisinya! Mungkin 

aku, tapi bisa jadi juga kau!"

Mata Malaikat tertawa mengekeh. "Aku tak 

menyalahkan kau jika mencurigai diriku. Tapi 

dengar baik-baik, Anak Muda. Aku telah menda-

patkan barang yang lebih berharga dari pada ben-

da yang kau buru! Hem.... Kalau kau tak berke-

nan, aku akan kembali ke bawah..."

Mata Malaikat balikkan tubuh lalu melang-

kah kembali menaiki anak tangga dengan tawa te-

tap mengekeh.

"Kek! Tunggu! Aku tak keberatan, justru 

aku mungkin mengharap pertolonganmu!"

"Dasar anak sableng! Minta ditemani kalau 

minta pertolongan!" gerutu Mata Malaikat lalu ba-

likkan tubuh kembali dan turun ke arah Aji.

"Petunjuk itu tinggal satu, Kek.... Tapi kura-

sa tak memerlukan pemecahan!"

"Lalu kenapa masih diam?!"

Sambil memaki dalam hati, Pendekar Mata 

Keranjang memandang berkeliling. Ketika matanya 

melihat dinding batu ada yang ambrol di sebelah 

samping kanan, Aji merasa khawatir, lalu mengu-

tarakan kecemasannya pada Mata Malaikat.

"Jangan-jangan ada orang yang mendahu-

lui...."

"Dalam situasi seperti sekarang ini, hal se-

pele mendatangkan kekhawatiran. Tapi jika kau 

terpancing hal-hal semacam itu, kau tak akan se-

gera sampai tujuan dan mendapat jawaban pasti!"

"Tapi, Kek. Lihat!" kata Aji sambil arahkan 

telunjuknya ke arah dinding yang ambrol dan ber-

lobang. "Ini pasti akibat hantaman tangan berte-

naga dalam tinggi!"

"Tapi itu belum jadi jawaban pasti bukan?! 

Teruskan langkah seperti yang ada pada petun-

juk!"

Aji kembali arahkan pandangannya ke de-

pan. Suasana di sekitar tempat itu agak terang ka-

rena adanya cahaya rembulan yang dipantulkan 

oleh cermin besar yang ada di tengah-tengah tero-

wongan.

"Melangkah dua puluh satu...," gumam Aji 

mengulangi petunjuk. Lalu dengan dada mulai 

berdebar, murid Wong Agung ini melangkah ke de-

pan. Begitu hitungan langkahnya mencapai dua 

puluh satu, dia berhenti. Sementara Mata Malaikat 

tetap tegak di tangga batu.

Murid Wong Agung putar tubuhnya seten-

gah lingkaran, lalu tangannya mendorong dinding 

batu. Dengan pengalaman yang telah dialami, kali 

ini Aji mendorong juga tanpa kerahkan tenaga da-

lam. Dan begitu tangannya mendorong, dinding itu 

kembali keluarkan suara gesekan, lalu perlahan-

lahan dinding itu membuka membentuk sebuah 

lobang pintu! Tanpa pikir panjang lagi, Aji melangkah masuk.

Melihat hal itu, Mata Malaikat tampak 

manggut-manggut. Lalu melangkah ke arah mana 

Aji masuk. Melihat lobang masih terbuka, kakek 

ini segera juga menyusul Aji.

Blammm!

Baru saja tubuh Mata Malaikat masuk, 

dinding yang membuka menutup kembali dengan 

keluarkan suara berdebam keras, membuat Aji 

dan Mata Malaikat sama berpaling.

"Hem.... Tempat ini berbeda dengan di ba-

wah tadi. Di sana tadi seperti ada kekuatan yang 

dapat meredam suara!" kata Aji dalam hati, lalu 

sapukan pandangannya ke tempat itu. Kedua 

orang itu kini berada di sebuah ruangan agak be-

sar. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah batu 

datar di sebelah dinding yang menghadap ke lo-

bang pintu di mana tadi Aji dan Mata Malaikat 

masuk. Anehnya meski tak ada penerangan, ruan-

gan itu tampak agak terang. Hingga Pendekar 108 

dengan jelas dapat melihat ke seluruh ruangan.

"Hanya dinding dan lantai. Di mana lemba-

ran kulit itu berada?!" gumam Aji.

"Tak ada gunanya bicara, Anak Muda! Ge-

rakkan kaki dan menyelidiki! Petunjuk itu sudah 

tak ada lagi bukan?!"

"Betul! Petunjuk itu hanya sampai di sini!"

"Berarti apa yang kau cari pasti berada di 

sini! Lakukan sesuatu!"

Aji mulai melangkah mengitari ruangan 

berdinding batu itu. Sementara Mata Malaikat du-

duk menggelosoh di lantai ruangan dengan kaki

diselonjorkan, dan mata mulai dipejamkan.

Untuk beberapa saat lamanya Aji mengitari 

ruangan dengan mata nyalang kian kemari. Malah 

pada putaran yang ketiga, tangan kanan murid 

Wong Agung ini mulai mendorong-dorong dinding 

ruangan. Namun, hingga tangannya ngilu tak 

seinci pun ada dinding ruangan yang terbuka. Dia 

lantas melangkah ke arah batu datar. Tapi, dia tak 

menemukan apa-apa!

Dengan wajah kecewa, Aji melangkah ke 

arah Mata Malaikat.

"Kek.... Dugaanku tepat. Seseorang telah 

mendahului kita!"

Mata Malaikat tak menyahut, membuat Aji 

berpaling. Murid Wong Agung ini memaki panjang 

pendek dalam hati. Ternyata Mata Malaikat terti-

dur.

Merasa kesal, Aji lalu guncang tubuh Mata 

Malaikat.

"Kek! Kita tinggalkan tempat ini!"

Kelopak mata si Mata Malaikat membuka 

lalu mengerjap beberapa kali.

"Kau telah menemukan lembaran kulit 

itu?!"

"Seseorang telah mendahului menemukan-

nya!"

"Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu?!"

"Sudah lima kali kukelilingi ruangan ini. 

Lembaran kulit itu tak ada! Pasti ada orang yang 

mendahului, lalu keluar dengan cara menjebol 

dinding yang ambrol itu! Kita tinggalkan saja tem-

pat ini!"

Mata Malaikat menghela napas panjang. 

"Kau telah memeriksa batu datar itu?!"

Aji anggukkan kepala. Namun tampak di-

paksakan.

"Hem.... Hanya ada satu jalan. Coba kau 

bongkar batu datar itu. Siapa tahu...."

Aji bergegas melangkah dengan wajah agak 

cerah. Lalu berhenti di samping batu datar. Seje-

nak matanya meneliti. Yakin tak ada celah, akhir-

nya Pendekar Mata Keranjang angkat kedua tan-

gannya dan serta-merta dihantamkan ke arah batu 

datar.

Brakkk!

Batu datar langsung pecah berantakan dan 

pecahannya berhamburan. Belum surut pecahan 

batu, Aji cepat menyeruak dengan mata meman-

dang ke batu yang kini porak-poranda. Tapi wa-

jahnya kembali tampak kecewa tatkala dia tak 

menemukan apa-apa di balik pecahan batu datar 

itu. Sementara melihat perubahan pada wajah Aji, 

Mata Malaikat telah dapat menebak.

"Tak ada harapan lagi!" sungut Aji lalu ber-

gerak melangkah ke arah Mata Malaikat. Kali ini 

murid Wong Agung melangkah melewati bagian 

tengah ruangan.

Mungkin karena kesal, langkahnya tampak 

terburu-buru dengan mulut menggumam tak jelas.

Bukkk!

Tiba-tiba tubuh Aji mental dan jatuh ter-

jengkang! Murid Wong Agung mendelik besar, se-

mentara Mata Malaikat beliakkan mata lebar-

lebar!



SEPULUH


MELIHAT apa yang terjadi, seraya menahan 

rasa heran, Mata Malaikat cepat melangkah ke 

arah Pendekar Mata Keranjang yang terduduk di 

lantai ruangan. Kakek ini tanpa disadari juga me-

langkah melewati tengah ruangan. 

Bukkk!

Mata Malaikat beliakkan matanya lebar-

lebar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang 

lalu roboh terduduk!

Sepasang mata Aji dan Mata Malaikat me-

mandang terperangah ke arah tengah ruangan, la-

lu saling pandang satu sama lain.

"Heran. Tak terlihat apa-apa. Tapi, rasanya 

aku menghantam beton! Ada yang tak beres!" gu-

mam Mata Malaikat lalu bangkit.

"Tak mungkin.... Tapi Mata Malaikat menga-

lami hal yang sama!" desis Aji lalu bangkit.

Serentak kedua orang ini melangkah ke 

tengah ruangan di mana mereka tadi laksana 

menghantam beton hingga tubuhnya terpental. 

Seolah dikomando masing-masing tangan segera 

menjulur ke udara, meraba-raba. Namun kedua 

orang ini jadi terkesiap. Tangan mereka tak mera-

sakan apa-apa! Hanya udara hampa yang ter-

tangkap tangan mereka.

"Apa sebenarnya semua ini?!" bisik Aji men-

dekat ke arah Mata Malaikat.

Si kakek gelengkan kepala...

"Mungkin kita dipermainkan orang...," ujar

Aji. Entah karena kesal ia tanpa sadar memukul-

kan tangannya ke depan, ke arah tempat kosong di 

mana tadi tubuhnya mental. 

Bukkk!

Aji berseru tertahan. Tangannya membalik 

dan tubuhnya terhuyung! Sepasang mata murid 

Wong Agung makin membelalak. Dahinya menger-

nyit. Sementara Mata Malaikat mundur dua lang-

kah. Matanya dipejamkan dengan mulut komat-

kamit.

Namun tak lama kemudian, orang tua ini 

buka matanya dengan kepala menggeleng. "Ada 

kekuatan penghalang yang tak dapat ditembus...," 

gumam Mata Malaikat.

Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terlon-

jak. "Hai.... Aku ingat sekarang. Kata-katamu per-

sis dengan ucapan Setan Pesolek!"

"Apa yang dia ucapkan?!"

"Dia melihat tabir yang tak dapat ditembus 

dengan mata biasa!"

"Hem.... Begitu? Apakah dia tak mengata-

kan sesuatu yang dapat membukanya? Setidaknya 

petunjuk tentang itu?!"

Aji tak segera menjawab. Dia meraba ping-

gangnya di mana tersimpan kipas ungu 108. Kipas 

itu dikeluarkan dari balik pakaiannya. Ada sembu-

rat warna ungu terpancar begitu kipas keluar dari 

balik pakaian Aji.

"Setan Pesolek bilang, mungkin kipas ini bi-

sa membuka tabir itu!"

"Petunjuk itu makin menjelaskan bahwa 

kaulah sebenarnya yang ditentukan mewarisi kitab

itu, Pendekar Mata Keranjang! Bersiaplah!"

Pendekar Mata Keranjang melangkah men-

dekat. Kipas ungu 108 diangkat tinggi. Tangan 

murid Wong Agung terlihat bergetar, dan peluh 

membasahi tubuhnya. Sejenak dia memandang 

pada Mata Malaikat. Wajahnya tampak ragu-ragu.

Entah karena hatinya bimbang atau kurang 

yakin, hingga saat kipas bergerak mengayun, Aji 

hanya kerahkan sedikit tenaga.

Bukkk!

Tangan Aji terpental dan bergetar hingga ki-

pas di tangannya jatuh. Tubuhnya pun sempoyon-

gan.

"Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Apa 

yang kau pikirkan, Anak Muda? Ingat. Buanglah 

perasaan ragu-ragu. Waktu kita tidak banyak! Le-

bih dari itu lembaran itu harus segera disela-

matkan! Aku hampir yakin, lembaran kulit itu be-

rada di sini!"

Murid Wong Agung pungut kipasnya. Lalu 

melangkah kembali ke depan. Tenaga dalamnya 

dikerahkan penuh. Hingga tangan dan kipasnya 

makin keluarkan cahaya berkilauan.

Beeettt!

Sinar keputihan membentuk lengkungan, 

membersit dengan keluarkan suara bergemuruh 

dahsyat. 

Buuummm!

Ledakan dahsyat mengguncang ruangan 

itu. Tak ada pecahan yang terlihat dari tempat ter-

dengarnya ledakan. Sebaliknya bersamaan dengan 

terdengarnya ledakan, asap tipis mengepul dari

tengah ruangan di mana tadi kipas Aji melabrak.

Aji buka matanya lebar-lebar dengan teng-

kuk mulai merinding. Sementara Mata Malaikat 

pentangkan matanya dengan mulut menganga.

Saat perlahan-lahan asap putih lenyap, di 

hadapan kedua orang ini kini tampaklah seorang 

kakek mengenakan pakaian yang bagian atasnya 

terbuka sedikit awut-awutan. Rambutnya panjang 

putih menutupi sebagian punggung dan wajahnya. 

Kumis, jenggot, dan jambangnya juga panjang 

hingga membuat wajah kakek ini terlihat samar-

samar. Sepasang matanya sayu dan menjorok ma-

suk ke dalam cekungan yang sangat dalam.

Wajah kakek ini tampak seperti orang di-

landa beban berat.

"Akhirnya hari penantianku berakhir ju-

ga...," gumam si kakek. "Aku mengucapkan terima 

kasih pada kalian...."

"Orang tua! Siapakah kau?!" tanya Aji tanpa 

pedulikan ucapan terima kasih kakek berpakaian 

putih itu.

Si kakek angkat kepalanya lalu memandang 

silih berganti pada murid Wong Agung dan Mata 

Malaikat. Setelah mengangguk sebentar, dia du-

duk bersila lalu berucap.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih.... Aku 

adalah Eyang Pandanaran."

Demi mendengar orang sebutkan diri, men-

dadak Mata Malaikat menjura hormat lalu duduk. 

Aji jadi bingung. Buru-buru dia mengikuti sikap 

Mata Malaikat lalu duduk di sampingnya.

"Kalian siapa?" Eyang Pandanaran balik

bertanya. "Aku Mata Malaikat, sedangkan anak 

muda ini bernama Aji. Dalam rimba persilatan dia 

bergelar Pendekar Mata Keranjang. Tak kusangka 

jika hari ini aku dapat jumpa dengan seorang to-

koh yang namanya sudah kukenal sejak aku ma-

sih kecil...."

"Simpan dulu semua itu, sobatku Mata Ma-

laikat. Pertolongan yang kalian berikan padaku, 

lebih dari segalanya. Lebih dari itu dengan mun-

culnya kalian maka tugas berat yang ku emban se-

lama ini akan selesai."

"Tugas berat? Tugas apa?!" tanya Mata Ma-

laikat.

"Ketahuilah. Entah sudah berapa tahun aku 

berada dalam kungkungan gaib. Aku tak tahu. 

Namun satu hal yang pasti, seseorang yang dapat 

membuka tabir penutup tak tembus pandangan 

mata yang menutup diriku, dialah yang ditentukan 

untuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala yang 

selama ini kusimpan, kurawat, dan kujaga."

Aji dan Mata Malaikat terkejut lalu saling 

pandang. Dada Aji berdebar keras tapi dia belum 

keluarkan suara.

"Anak muda.... Aku tahu, kipasmulah yang 

berhasil membuka tabir itu. Dengan demikian, 

kaulah manusia yang ditentukan untuk mewarisi 

lembaran kulit itu. Aku tak tahu apa isi lembaran 

kulit itu, karena selama ini aku hanya mendapat 

tugas untuk menyimpan, merawat, serta menjaga 

dan menyerahkan pada orang yang ditentukan. 

Hanya harapanku, kau harus segera mempelaja-

rinya lalu mengamalkan isinya. Tugasmu selanjut

nya lebih berat, karena kau harus mengikis semua 

jenis kejahatan yang seiring waktu pasti akan te-

rus muncul tak habis-habisnya. Ingat, Anak Muda. 

Sekali kau bertindak ceroboh dengan lembaran 

kulit itu, bencana besar akan menimpa dirimu. Hal 

ini sudah kau lihat sendiri pada diriku! Aku harus 

terkurung di ruangan ini selama puluhan tahun! 

Kau mengerti, Pendekar Mata Keranjang?!"

"Mengerti, Eyang...."

Eyang Pandanaran batuk-batuk beberapa 

kali. Kepalanya lantas berpaling ke sebelah kanan 

menghadap dinding. Tiba-tiba dia mengangkat ke-

dua tangannya. Perlahan saja kedua tangannya 

didorong ke depan.

Seeettt! Seeettt!

Dari telapak tangan Eyang Pandanaran 

membersit cahaya putih lurus menghantam dind-

ing. Dinding di sebelah kanan keluarkan suara 

gemeretak. Di lain kejap dinding itu pecah beran-

takan. Lalu tampaklah sebuah lubang tidak begitu 

besar.

"Lembaran kulit itu berada di sana, Anak 

Muda! Ambillah...." Eyang Pandanaran berkata 

sambil mengangguk dan tersenyum.

Pendekar Mata Keranjang bukannya segera 

bergerak bangkit. Malah dia tampak ragu-ragu dan 

memandang silih berganti pada Eyang Pandanaran 

lalu pada Mata Malaikat. Murid Wong Agung ini 

seakan masih tak percaya dengan apa yang baru 

didengar.

"Anak muda! Kau sudah dengar perintah. 

Apa kau menginginkan aku yang akan mengambilnya?!" Mata Malaikat bergumam pelan lalu pen-

tangkan sepasang matanya.

Mendengar teguran Mata Malaikat, Aji cepat 

bangkit lalu melangkah ke arah dinding yang kini 

berlobang. Begitu dekat, sepasang matanya terpen-

tang besar. Dari tempatnya berdiri, murid Wong 

Agung ini melihat sebuah lembaran berwarna cok-

lat kusam. Lembaran kulit itu diletakkan tegak 

pada sebuah batu bening mengkilap.

Saat berhadapan benar-benar dengan lem-

baran kulit yang dicari, tubuh murid Wong Agung 

malah terlihat bergetar dan kedua tangannya ge-

metar hingga untuk berapa lama dia hanya tegak

diam, membuat Mata Malaikat bergumam tak jelas 

sebelum akhirnya berkata.

"Anak muda! Waktu kita terbatas!" Bersa-

maan dengan terdengarnya ucapan Mata Malaikat, 

kedua tangan Pendekar Mata Keranjang terulur 

dengan gemetar. Ada hawa dingin menusuk yang 

menjalari sekujur tubuhnya begitu jari-jari tan-

gannya menyentuh lembaran kulit itu.

"Pendekar Mata Keranjang!" kata Eyang 

Pandanaran. "Tugasku telah selesai. Kini tugas itu 

ada di pundakmu. Dirimu kini menjadi tumpuan 

untuk menyelamatkan dunia persilatan dan mem-

buat kedamaian umat manusia. Kau harus berha-

ti-hati. Mempertahankan lebih berat bebannya dari 

pada memburu! Kau akan berhadapan dengan ba-

nyak tokoh persilatan sakti yang berniat meram-

pas Lembaran Kulit Naga Pertala itu. Sayang, aku 

tak bisa membantumu. Tapi, aku masih punya ke-

sempatan untuk menyumbangkan sedikit tenaga.... "

Baru saja selesai berbicara, Eyang Panda-

naran telah berada di belakang Aji. Padahal, semu-

la kakek ini berada di depan Pendekar Mata Keran-

jang. Pendekar 108 dan bahkan Mata Malaikat tak 

melihat Eyang Pandanaran bergerak. Kakek ber-

pakaian putih ini seperti menghilang saja!

Tanpa meminta persetujuan Aji, Eyang 

Pandanaran tempelkan kedua tangannya di pung-

gung si pemuda. Di lain kejap, Aji merasakan ali-

ran hawa hangat mengalir dari telapak tangan 

yang menempel. Aliran hawa itu berkumpul di pu-

sar, dan berputaran.

Tak lama Eyang Pandanaran mengalirkan 

tenaga dalam pada Aji. Di lain kejap, sepasang 

tangannya telah dilepaskan dari punggung Pende-

kar 108. Kemudian kakek itu berpaling pada Mata 

Malaikat tanpa pedulikan ucapan terima kasih Aji.

"Sobatku, Mata Malaikat. Sebenarnya aku 

masih ingin bicara banyak denganmu, tapi karena 

masih ada hal yang harus kukerjakan, aku akan 

pergi terlebih dulu. Harapanku, pertemuan ini se-

moga bukan pertemuan yang terakhir bagi kita."

"Hendak ke manakah kau?" tanya Mata Ma-

laikat.

"Aku telah membuat kesalahan besar. Pada 

usiaku yang renta ini aku ingin menebusnya den-

gan mendekat pada Tuhan. Kuucapkan selamat ja-

lan pada kalian....."

Habis berkata begitu, Eyang Pandanaran

bangkit. Lalu melangkah ke arah lobang di mana 

lembaran kulit tadi berada. Dia meneliti sebentar,

lalu melangkah ke arah samping.

Tangan kirinya mengetuk-ngetuk dinding 

ruangan tiga kali. Tiba-tiba di dinding ruangan itu 

tampak seberkas cahaya. Ternyata dinding itu te-

lah terbuka dan cahaya membersit dari dalamnya. 

Tanpa berpaling lagi, Eyang Pandanaran masuk. 

Pada saat bersamaan cahaya lenyap dan sosok 

Eyang Pandanaran juga tak tampak lagi!

Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 

tak berkedip memperhatikan, sementara Mata Ma-

laikat makin pentangkan sepasang matanya.

"Anak muda. Kau sangat beruntung!" ujar 

Mata Malaikat Pada Pendekar 108. "Eyang Panda-

naran telah berkenan menambah tenaga dalam-

mu. Aku yakin, tenaga dalammu jauh bertambah 

kuat. Mungkin tambahan tenaga dalam darinya 

tak kalah dengan bila kau berlatih semadi dan 

pernapasan bertahun-tahun!"

Aji hanya cengar-cengir seraya usap-usap 

ujung hidungnya. Tapi, tak sepatah kata pun yang 

keluar dari mulutnya. Hanya di lubuk hatinya dia 

merasa gembira, karena telah merasakan sendiri 

pengaruhnya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan, 

dan langkahnya jauh lebih mantap. Tak adanya 

jawaban dari Pendekar Mata Keranjang membuat 

suasana menjadi hening.

"Sudah waktunya kita tinggalkan tempat 

ini!" gumam Mata Malaikat setelah agak lama sa-

ma-sama terdiam.

Mata Malaikat bangkit, lalu melangkah ke 

arah dari mana tadi masuk. Aji segera masukkan 

Lembaran Kulit Naga Pertala ke balik pakaiannya

bangkit menyusul Mata Malaikat.

***

SEBELAS


KITA kembali pada Utusan Iblis. Seperti di-

tuturkan, pemuda ini mendadak lenyap begitu saja 

di Sungai Siluman tatkala terjadi bentrok dengan 

Pendekar Mata Keranjang. Sebenarnya pemuda ini 

tak menduga jika murid Wong Agung mampu ber-

lama-lama di dalam air hingga saat terjadi adu pu-

kulan, dan merasa dirinya cedera dalam, dia beru-

saha menghindar. Dengan mengerahkan segenap 

sisa tenaganya serta kerahkan ilmu yang didapat 

dari Titisan Iblis yang menggemblengnya di bawah 

air terjun, dia menyelam dan menjauhi Pendekar 

Mata Keranjang.

Setelah agak lama dan merasa jauh dari 

jangkauan Aji, murid Titisan Iblis ini menyembul 

ke permukaan air! Samar-samar matanya me-

nangkap sosok Pendekar Mata Keranjang di kejau-

han.

"Keparat! Dia telah mencapai tempat itu. 

Hem.... Masih ada kesempatan untuk memba-

las...," gumamnya. Pada saat bersamaan sayup-

sayup telinganya mendengar suara ledakan dari 

arah depan! Sayang, dia tak bisa melihat apa se-

benarnya yang terjadi, karena terhalang oleh uap 

yang keluar dari permukaan sungai!

"Aku harus cepat sampai di Bukit Siluman.

Tentu di depan sana ada bangsat-bangsat yang ju-

ga sedang menuju ke bukit!" Berpikir begitu, Utu-

san iblis menyelam kembali lalu berenang ke arah 

bukit.

Utusan Iblis tak mau ambil resiko sebab dia 

sadar bahwa dirinya telah terluka dalam. Meski 

cederanya tak terlalu parah, namun dia telah 

memperhitungkan jika di Bukit Siluman nanti pas-

ti akan terjadi bentrok.

Utusan Iblis memang seorang perenang 

yang luar biasa. Kendati demikian, cedera yang di-

derita, menghambat maksudnya. Untung, angin 

dan derasnya arus sungai membantunya. Tamba-

han lagi, pemuda itu cukup cerdik. Dia berenang 

menyerong ke kanan, tapi dengan mengikuti arus 

sungai! Sehingga tak terlalu memakan banyak te-

naga.

Beberapa saat kemudian, samar-samar be-

berapa tombak di depannya terlihat sebuah data-

ran. Beberapa tombak di depannya itu, lebar Sun-

gai Siluman menyempit! Sekali lihat saja, Utusan 

Iblis dapat menduga kalau dataran itu adalah Bu-

kit Siluman. Bukit yang berada di atas sungai. Bu-

kit yang tidak terlalu besar. Malah terhitung kecil.

Melihat hal ini, semangat Utusan Iblis ber-

tambah. Kecepatan luncurannya pun bertambah, 

hingga setelah agak lama, barulah Utusan Iblis 

mencapai pinggir sungai. Dia sengaja merapat di 

bagian pinggiran yang terlindung oleh gundukan-

gundukan batu. Karena sebelum merapat dia su-

dah melihat beberapa perahu di bagian pinggiran 

lainnya.

"Rupanya banyak keparat-keparat yang su-

dah sampai di sini...." Utusan Iblis menyelinap di 

balik gundukan batu. Lalu duduk bersila dengan 

mata terpejam. Tak lama berselang dia buka kelo-

pak mata. Dengan mengusap wajah dan leher lalu 

ia bangkit. Kepalanya berputar dengan mata nya-

lang memperhatikan keadaan sekeliling. Kejap 

kemudian dia berkelebat.

Pada suatu tempat Utusan Iblis berhenti. 

Matanya melihat sebuah sampan terapung-apung. 

Di sebelahnya tampak pecahan rakit, lalu agak ke 

timur sedikit terlihat sebuah perahu yang bagian 

depannya telah pecah berantakan.

Sepasang mata Utusan Iblis melebar seje-

nak tatkala dia melihat sebuah sampan seseorang 

di atas perahu yang bagian depannya pecah.

"Hem.... Perahu-perahu ini harus kuhan-

curkan! Dengan begitu tak seorang pun akan bisa 

kembali!" Berpikir begitu, Utusan Iblis kerahkan 

tenaga di dalamnya. Kedua tangannya diangkat 

dan dihantamkan ke dua arah. Tangan kanan di-

arahkan pada perahu yang bagian depannya pe-

cah, tangan kiri menghajar pecahan rakit dan 

sampan.

Wuuutt! Wuuutt!

Brakkk! Brakkk! Brakkk!

Terdengar tiga kali suara berderak. Di lain 

kejap tampak berpencaran kepingan-kepingan 

kayu di udara dan melayangnya sesosok tubuh. 

Kepingan kayu dan sosok tubuh tersebut lalu me-

layang turun, belum sampai amblas masuk ke da-

lam air dan lenyap!

Utusan Iblis menyeringai lalu usap-usap 

dadanya. Memandang sejenak ke arah permukaan 

lalu balikkan tubuh meninggalkan tempat itu.

Namun langkahnya tertahan saat telinganya 

yang tajam mendengar suara kecipak di pinggiran 

sungai. Tanpa pikir panjang dia balikkan tubuh 

dengan kedua tangan menghantam ke arah suara 

kecipak air.

Wuttt! Wuttt!

"Astaga! Anak gila. Raksa Pati! Kau hendak 

membunuhku, hah?!" Mendadak terdengar suara 

orang menegur. Lalu sesosok tubuh melesat dari 

dalam air dan tahu-tahu telah tegak lima langkah 

di samping Utusan Iblis.

Mendengar orang memanggil nama aslinya, 

Utusan Iblis tersentak kaget. Begitu tahu siapa 

adanya orang yang kini tegak di sampingnya buru-

buru Utusan Iblis mengernyit, lalu berseru.

"Guru...!"

"Hampir saja kau membunuhku!" sergah 

orang yang baru datang yang ternyata adalah seo-

rang kakek yang meski baru saja melesat dari da-

lam air, namun pakaian dan tubuhnya tidak ba-

sah! Si kakek tidak lain adalah guru Utusan Iblis 

yakni Titisan Iblis!

"Mengapa kau luntang-lantung di sini? Apa 

kerjamu telah selesai?!" Tiba-tiba Titisan Iblis 

kembali keluarkan teguran.

Utusan Iblis hanya bungkukkan sedikit tu-

buhnya.

"Guru! Pekerjaan baru saja kumulai, karena 

aku baru saja sampai!"

Titisan Iblis perhatikan muridnya. "Pakaian 

dan tubuhmu basah. Bodohnya kau!"

"Ini gara-gara pemuda jahanam itu!"

"Hem.... Kau menyebut seorang pemuda. 

Siapa?! Kau juga belum berhasil dengan tugasmu 

melenyapkan Mata Malaikat. Kenapa bisa terjadi?!"

"Aku belum jelas benar siapa sebenarnya 

pemuda itu. Tapi, seseorang mengatakan padaku 

dialah sebenarnya manusia bergelar Mata Malai-

kat!"

Titisan Iblis tertawa mengekeh. "Kau masih 

juga dapat dikelabui orang, Muridku. Tapi ini juga 

kesalahanku! Aku tak mengatakan padamu ciri-

ciri manusia keparat bergelar Mata Malaikat itu. 

Namun hal yang pasti, pemuda itu bukanlah Mata 

Malaikat!"

"Aku pun pada akhirnya menduga demi-

kian, Guru! Namun kali ini siapa pun yang ada di 

bukit ini tak akan bisa pulang dengan selamat! 

Mereka semua akan kuhancurkan!"

"Bagus! Hari ini kita akan berpesta, Murid-

ku. Karena Mata Malaikat pun telah berada di 

tempat ini!" Titisan iblis memandang sejenak ke 

sekeliling. "Kita menyelidik tempat ini! Tapi, kau 

harus tetap waspada. Tempat tersimpannya benda 

pusaka biasanya penuh dengan halangan memati-

kan!"

Utusan Iblis tak menyahut. Malah dia alih-

kan pandangannya pada jurusan lain. Titisan Iblis 

segera berkelebat meninggalkan tempat itu, yang 

kemudian disusul oleh Utusan Iblis.

Setelah puluhan tombak, menempuh me

dan yang menanjak, kedua orang ini hentikan la-

rinya. Titisan Iblis angkat tangannya. Telinganya 

menajam. Sementara sepasang matanya melirik ke 

jurusan depan, ke arah tonjolan batu besar.

"Kau dengar itu?" bisik Titisan Iblis. 

"Suara perempuan menyumpah dan mema-

ki!" sahut Utusan Iblis. Belum selesai dia berucap, 

Titisan Iblis telah berkelebat ke arah terdengarnya 

suara. Utusan Iblis mengikuti.

Dengan mengendap dari balik batu, kedua 

orang ini melihat seorang perempuan berwajah 

cantik berpakaian putih tipis sedang duduk ber-

sandar dengan mulut tak henti-hentinya kelua-

rkan gumam makian.

"Guru! Kau mengenalinya?!' seru Utusan Ib-

lis terdengar parau, karena matanya melihat sem-

bulan dada si perempuan yang bagian dadanya 

agak rendah.

"Aku heran. Perempuan itu tampak tidak 

mengalami perubahan meski tahun terus bertam-

bah, Muridku. Perempuan itulah yang digelari 

orang dengan sebutan Bidadari Penyebar Cinta!"

Utusan Iblis perhatikan sekali lagi. "Cantik 

dan bertubuh bagus..., " gumamnya, membuat Ti-

tisan Iblis tersenyum.

"Ucapanmu benar. Cantik dan bertubuh ba-

gus, tepatnya sintal! Tapi kau harus tidak mem-

percayainya! Sebaliknya kau harus dapat memper-

gunakannya! Ia punya modal luar dan dalam. Kau 

paham maksudku?!"

Utusan Iblis kali ini anggukkan kepalanya 

meski matanya tak beranjak dari menjilati tubuh

si perempuan yang bukan lain memang Bidadari 

Penyebar Cinta.

Seperti diketahui, setelah terjadi bentrok 

dengan Putri Hitam alias Dayang Arung dan Mata 

Malaikat, Bidadari Penyebar Cinta yang merasa 

tak dapat mengatasi segera keluar dari terowon-

gan. Namun perempuan ini tidak segera kembali. 

Dia berniat mencegat Putri Hitam, Mata Malaikat, 

dan Pendekar Mata Keranjang. Meski sadar dirinya 

tak bisa mengalahkan, namun karena dorongan 

untuk memiliki kipas 108 yang sempat digenggam 

serta mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala mem-

buat semangatnya berkobar. Dia bertekad merebut 

walau apa pun yang akan terjadi. Dia lalu keluar 

dan duduk bersandar di balik batu. Dia sengaja 

memilih tonjolan batu yang menghadap ke lobang 

masuk terowongan, hingga dia dapat mengawasi 

orang yang keluar masuk terowongan tanpa di-

rinya terlihat.

Mungkin karena tak sabar, Utusan Iblis se-

gera berkelebat dari balik batu di mana Bidadari 

Penyebar Cinta berada.

Bidadari Penyebar Cinta segera hentikan 

gumam makiannya lalu cepat bangkit dengan ma-

ta memandang tajam ke depan. Tapi begitu meli-

hat seorang pemuda bertubuh kekar dengan paras 

keras mengenakan jubah panjang sebatas lutut, 

perempuan ini merubah sikap. Bibirnya tersenyum 

dan lidahnya dikeluarkan membasahi bibirnya 

yang merah. Diam-diam dalam hati perempuan ini 

berkata.

"Kedatangannya tak bisa kuketahui. Sikap

nya menandakan dia punya ilmu tinggi. Hem.... 

Aku harus dapat merangkulnya.... Siapa kau?!" 

suara teguran Bidadari Penyebar Cinta terdengar 

garang, meski setelah itu dia kembali tersenyum 

dan mata mengerling nakal.

"Bidadari Penyebar Cinta! Kau bertanya, 

aku akan jawab!" Utusan Iblis berucap dengan ter-

senyum, membuat Bidadari Penyebar Cinta terke-

jut mengetahui si pemuda tahu siapa dirinya. "Aku 

Utusan Iblis!"

Bidadari Penyebar Cinta tengadahkan sedi-

kit kepalanya, memperlihatkan lehernya yang jen-

jang putih. "Rasanya baru kali ini aku mendengar 

gelar pemuda ini! Mungkin dia baru turun dalam 

dunia persilatan. Itu lebih memudahkan untuk 

menggaetnya meski belum kuketahui jelas keting-

gian ilmunya!"

"Boleh tahu, kenapa berada di sini?!" Utu-

san Iblis ajukan pertanyaan.

"Tak perlu dikatakan tentunya kau telah ta-

hu jawabnya!"

Meski sedikit dongkol mendengar ucapan 

Bidadari Penyebar Cinta, namun Utusan Iblis ter-

senyum.

"Makianmu menunjukkan kau baru saja 

bentrok dengan seseorang...."

Entah karena tak mau mengakui kekala-

hannya, Bidadari Penyebar Cinta tertawa perlahan. 

"Kita bertemu di sini. Kau lihat aku bentrok den-

gan seseorang?!"

"Darah di bawah bibirmu tak bisa membo-

hongi penglihatanku!" ujar Utusan Iblis.

Tanpa sadar, Bidadari Penyebar Cinta usap-

usap darah yang ternyata masih tersisa di bawah 

bibirnya. Wajahnya berubah merah padam.

"Kalau orang berilmu tinggi sepertimu sam-

pai terluka, pasti lawanmu adalah seorang berilmu 

tinggi pula!"

"Seandainya dia sendirian, mungkin aku tak 

sampai terluka. Jahanam itu bertiga!"

"Hem.... Begitu? Siapa mereka?!"

Bidadari Penyebar Cinta lalu menyebutkan 

satu persatu. Utusan Iblis menyeringai dengan da-

gu mengembang dan pelipis bergerak-gerak. "Jadi 

pemuda itu yang bergelar Pendekar Mata Keran-

jang. Dan setan tua yang selalu bersamanya ada-

lah Mata Malaikat. Jahanam betul!"

"Kau berubah. Kau punya sengketa dengan 

mereka?!"

Utusan Iblis tak segera menjawab. Tapi di-

am-diam Bidadari Penyebar Cinta telah mengeta-

hui apa di balik perubahan wajah si pemuda. Bibir 

perempuan ini kembali menyunggingkan senyum. 

Lalu berkata.

"Raut wajahmu telah menjawab perta-

nyaanku. Dan jika demikian berarti musuh kita 

adalah orang yang sama! Apakah tidak sebaiknya 

kita bersama-sama pula membuat mereka mam-

pus?!"

"Itu urusan mudah. Masih ada urusan yang 

lebih berat. Dan itu tak membutuhkan seorang 

teman!" ucap Utusan Iblis sambil melirik ke arah 

belakang batu, di mana tadi Titisan Iblis berada. 

Namun si pemuda sudah tidak melihat sosok gurunya lagi.

"Ke mana dia. Apa dia sengaja memberiku 

kesempatan untuk bersenang-senang dengan pe-

rempuan ini?! Ah, itu bisa kulakukan nanti. Uru-

san besar masih menghadang, aku harus selesai-

kan dulu!" pikir Utusan Iblis.

Sementara itu mendengar ucapan Utusan 

Iblis, Bidadari Penyebar Cinta perdengarkan tawa 

renyah. "Aku tahu. Yang kau maksud tentu uru-

san lembaran kulit itu. Betul?! Dengar, Utusan Ib-

lis. Sekarang lupakan urusan dengan lembaran 

kulit itu. Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah 

menghadapi mereka!"

Utusan Iblis menyeringai. "Urusan dengan 

mereka bukan hal yang perlu dipikirkan! Aku 

sanggup melenyapkan mereka! Yang kupikirkan 

adalah hal lembaran kulit itu! Karena terus terang 

aku masih buta seluk-beluknya!"

"Kau tak usah pikirkan seluk-beluk lemba-

ran kulit itu. Karena mereka kuyakin telah men-

dapatkannya! Tinggal sekarang bagaimana mere-

but dari tangan mereka!"

"Dari mana kau tahu itu semua?!" tanya 

Utusan Iblis. Saking kagetnya dia sampai melom-

pat maju dan kini hanya sejarak tiga langkah dari 

Bidadari Penyebar Cinta.

"Tak usah kuterangkan. Kita tunggu saja di 

sini!" 

"Kenapa harus di sini?!"

Bidadari Penyebar Cinta arahkan telunjuk-

nya pada sebuah lobang. "Lobang itu adalah satu-

satunya jalan keluar masuk ke tempat tersimpan

nya lembaran kulit itu. Dari tempat ini kita leluasa 

melihat orang yang keluar masuk. Sementara 

orang yang keluar masuk tak bisa melihat ke arah 

tempat ini."

"Tapi kita harus yakinkan dulu bahwa me-

reka benar-benar telah mendapatkan lembaran 

kulit itu!"

"Ketahuilah. Mereka telah mendapatkan pe-

tunjuk di mana lembaran kulit binatang itu, juga 

persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh-

nya. Apakah itu masih kurang meyakinkan jika 

mereka akhirnya berhasil mendapatkannya?!"

Utusan Iblis manggut-manggut. "Tapi kau 

juga harap mengerti. Dengan mampusnya mereka, 

lembaran kulit itu menjadi milikku!"

"Hem.... Boleh kau bicara begitu, tapi lihat 

saja nanti...," batin Bidadari Penyebar Cinta. Lalu 

tersenyum dan berujar. "Silakan kau ambil lemba-

ran kulit itu. Bagiku sekarang, dengan terbalasnya 

sakit hatiku, itu sudah cukup!"

Utusan Iblis pandangi lekat-lekat wajah Bi-

dadari Penyebar Cinta. Terbayang kebimbangan di 

wajah pemuda ini. Merasakan hal itu, Bidadari Pe-

nyebar Cinta melanjutkan ucapannya dengan se-

dikit busungkan dada. "Kau tak usah menaruh cu-

riga padaku. Malah kalau tak keberatan, sejak se-

karang kita akan selalu ke mana-mana bersama. 

Kau setuju?!"

Sepasang mata Utusan Iblis beralih pada 

dada sang bidadari. Melihat si pemuda mulai te-

rangsang, Bidadari Penyebar Cinta tersenyum. La-

lu kembali berujar. "Kau boleh menikmati apa saja

dari tubuhku. Mau sekarang?!"

Tak sabar, begitu Bidadari Penyebar Cinta 

selesai bicara, Utusan Iblis telah mencekal bahu si 

perempuan. Bibirnya serentak menyergap bibir 

sang perempuan. Seraya mendesah, Bidadari Pe-

nyebar Cinta mulai membalas, hingga untuk bebe-

rapa lama kedua ini tenggelam dalam keasyikan.

Dari tempat tersembunyi, sepasang mata 

memperhatikan keasyikan dua orang itu dengan 

mulut komat-kamit menggumam.

"Dasar anak konyol! Ini bisa berbahaya jika 

dia tak hati-hati! Aku akan terus mengawasi meski 

aku jadi ikut-ikutan kepingin! Dasar...!" Orang ini 

yang bukan lain adalah Titisan Iblis lantas bering-

sut mundur pada sebuah lekukan batu hingga so-

soknya tak terlihat, namun sepasang matanya 

yang besar melotot terus terpentang memperhati-

kan ke arah Utusan Iblis dan Bidadari Penyebar 

Cinta yang kini mulai rebahan.

"Konyol! Konyol betul!" gumam Titisan Iblis 

sambil pukulkan kepalan tangannya pada batu di 

samping tubuhnya. Dadanya tampak bergetar. Ta-

pi dia tak hendak lepaskan pandangan matanya.

Tiba-tiba Bidadari Penyebar Cinta jauhkan 

wajahnya dari Utusan Iblis, kedua tangannya pun 

coba mengangkat tangan si pemuda dari balik pa-

kaiannya meski tarikan tangannya perlahan hing-

ga tangan si pemuda malah terus bergerak-gerak 

liar.

"Hai.... Kita hentikan dulu. Lihat ada seseo-

rang...," bisik Bidadari Penyebar Cinta di antara 

suara napas Utusan Iblis yang memburu.

Mungkin karena terlalu bernafsu, suara te-

guran Bidadari Penyebar Cinta tak terdengar oleh 

telinga Utusan Iblis. Pemuda itu terus menciumi 

tubuh si perempuan, membuat Bidadari Penyebar 

Cinta tersenyum.

"Tak sulit menaklukkanmu.... Silakan lem-

baran kulit itu jadi milikmu namun hanya semen-

tara. Selanjutnya kau akan bertekuk lutut...," Bi-

dadari Penyebar Cinta berkata dalam hati. Ma-

tanya terus memperhatikan pada sosok tubuh 

yang baru keluar dari lobang terowongan.

"Lihat! Mereka keluar!" bisik Bidadari Pe-

nyebar Cinta agak keras.

Utusan Iblis hentikan ciumannya. Lalu ber-

paling ke arah mana Bidadari Penyebar Cinta me-

mandang. Dari atas tubuh sang Ratu, Utusan Iblis 

memang melihat sesosok tubuh keluar dan kini 

mondar-mandir di depan lobang terowongan.

Saat sosok itu menghadap ke tempat mere-

ka berada, Utusan Iblis serentak bangkit. Semen-

tara Bidadari Penyebar Cinta merapikan pakaian-

nya lalu ikut-ikutan bangkit dan tegak di samping 

si pemuda.

"Manusia setan itu mungkin sedang melihat 

keadaan...," desis Bidadari Penyebar Cinta. "Ba-

gaimana kalau dia kita singkirkan dahulu?!"

"Aku menurut apa maumu saja!" seru Utu-

san Iblis.

Sementara dari balik tempatnya bersem-

bunyi, Titisan iblis yang melihat sikap muridnya 

dan Bidadari Penyebar Cinta segera pula meman-

dang ke arah mana kedua orang itu memandang.

Kakek ini mendelik.

"Bangsat hitam setengah gila itu! Apa mere-

ka segera akan keluar semua? Aku akan menung-

gu saja, kulihat perempuan cantik itu akan turun," 

gumamnya ketika melihat Bidadari Penyebar Cinta 

dan Utusan Iblis melangkah turun dari tempatnya, 

lalu sekejap kemudian tubuh mereka berkelebat.

Sosok yang baru keluar dan kini mondar-

mandir di sekitar mulut lobang terowongan henti-

kan langkah kakinya. "Ada seseorang...," gumam-

nya seraya berpaling ke arah samping. Baru saja 

kepalanya bergerak, dua bayangan telah menye-

ruak dan tahu-tahu telah tegak delapan langkah di 

hadapannya.

Sejurus sosok itu yang bukan lain adalah 

Dayang Arung alias Putri Hitam memandang pada 

dua orang di hadapannya. Bibirnya yang hitam 

sunggingkan senyum. Sebaliknya Bidadari Penye-

bar Cinta tampak memandang dengan mata lak-

sana dikobari api, di sampingnya melihat danda-

nan orang, Utusan Iblis tertawa bergelak-gelak.

"Monyet hitam berhias inikah yang kau bi-

lang tadi?!" ucap Utusan Iblis dengan palingkan 

wajahnya ke Bidadari Penyebar Cinta sementara 

telunjuk jari tangan kirinya lurus ke arah Putri Hi-

tam.

"Jangan pandang remeh dia!" bisik Bidadari 

Penyebar Cinta tanpa berpaling, membuat Utusan 

Iblis makin keraskan suara tawanya. Sementara 

Putri Hitam hanya tersenyum.

Sebenarnya Putri Hitam tak berniat keluar 

dari terowongan. Tapi, ketika Mata Malaikat dan

Pendekar Mata Keranjang belum juga muncul, ak-

hirnya untuk menghilangkan rasa jenuh berdiam 

diri di dekat hamparan tanah gersang di dalam te-

rowongan, juga karena tak sabar ingin segera ber-

temu dengan anaknya setelah mendengar keteran-

gan Mata Malaikat, akhirnya Putri Hitam melang-

kah keluar dari terowongan.

***

DUA BELAS


AKU ingin buktikan kemampuan monyet hi-

tam ini!" dengus Utusan Iblis. Tenaga dalamnya 

dikerahkan pada kedua tangannya. Lalu melompat 

ke depan. Kaki kanan diangkat tinggi menyambar 

dari arah samping kanan. Kejap lain kedua tan-

gannya berkelebat menyusup. 

Wuttt! Wuttt! Wuttt!

Tiga pukulan langsung menggebrak. Sebe-

lum pukulan sampai, angin deras menderu men-

dahului.

Putri Hitam membuat gerakan berputar di 

udara setengah tombak di atas tanah batu. Pa-

kaian gombrongnya berkelebat menangkis deru 

angin yang mendahului serangan.

Seettt!

Kaki kanan Utusan Iblis tahu-tahu tertahan 

setengah jalan di udara. Ternyata kaki itu telah 

tertangkap tangan Putri Hitam. Kini tubuh Putri 

Hitam tegak dengan kepala di bawah dan kaki

menjulang ke atas dengan tangan bertumpu pada 

kaki kanan Utusan Iblis. Hebatnya meski pakaian 

yang dikenakan gombrong dan posisi tubuhnya 

terbalik, pakaian itu sama sekali tidak menying-

kap!

Utusan Iblis tarik pulang kedua tangannya 

sebelum tangan itu melesat penuh. Dengan gerak 

cepat kedua tangannya dihantamkan ke atas.

Tapi sebelum tangan itu menghajar lam-

bung Putri Hitam, orang ini telah angkat kaki ka-

nan Utusan Iblis, pada saat yang sama kakinya 

yang di atas melesat ke bawah.

Buuukkk!

Utusan Iblis berseru tertahan. Sosoknya 

terhuyung ke belakang dengan tangan memegangi 

jidatnya yang terkena tonjolan tumit Putri Hitam.

"Monyet bangsat!" teriak Utusan Iblis. Wa-

jah pemuda ini telah merah mengelam. Kedua tan-

gannya gemetar menahan marah. Di sampingnya 

Bidadari Penyebar Cinta memandang lalu berbisik.

"Tahan emosimu. Hadapi dengan kepala 

dingin!"

"Diam kau!" sentak si pemuda, membuat 

Bidadari Penyebar Cinta beringsut mundur dengan 

dada panas. Namun perempuan ini coba menahan 

perasaan, karena dia maklum tak mungkin meng-

hadapi Putri Hitam sendirian.

Utusan Iblis angkat kedua tangannya tinggi-

tinggi. Lalu dihantamkan, lepaskan pukulan sakti 

'Gemuruh Badai'.

Wuuuttt! Wuuuuttt!

Terlihat gulungan awan hitam pekat. Lalu

terdengar suara bergemuruh disertai kilatan-

kilatan laksana sambaran petir.

Putri Hitam untuk kedua kalinya melesat ke 

udara. Setengah tombak di atas gulungan awan hi-

tam kedua tangannya menyentak ke bawah.

Seettt! Settt!

Gulungan awan hitam laksana ditekan ke-

kuatan dahsyat. Hingga kejap kemudian melesat 

ke bawah dan langsung amblas ke dalam tanah 

berbatu. Sementara sambaran kilat bertebaran ke 

mana-mana! Pada saat bersamaan terdengar bebe-

rapa kali letupan saat kilatan-kilatan itu menghan-

tam batu yang banyak bertebaran di tempat itu.

Namun bersamaan dengan menyentaknya 

kedua tangan Putri Hitam ke bawah, seberkas si-

nar biru melesat cepat dari bawah. Mungkin kare-

na tak menyangka, meski Putri Hitam sempat 

menghindar dengan membuat gerakan berputar 

menjauh, tapi tak urung bahunya tersambar sinar 

kuning yang ternyata dilepaskan oleh Bidadari Pe-

nyebar Cinta! Hingga terdengar seruan dari udara, 

lalu sosok Putri Hitam tampak melayang turun 

dengan berputar-putar. Sementara di bawah sana 

sosok Utusan Iblis terlihat terseret jauh ke bela-

kang. Sesaat kemudian setelah terhuyung bebera-

pa kali pemuda ini jatuh terduduk.

Melihat keadaan Putri Hitam, Bidadari Pe-

nyebar Cinta tak buang-buang kesempatan, dia 

segera melesat ke depan. Belum sampai Putri Hi-

tam menginjak tanah berbatu, Bidadari Penyebar 

Cinta telah menerjang dengan kirimkan satu ten-

dangan ke arah perut. Sementara tangan kirinya

melesat mengarah pada kepala!

"Licik!" teriak Putri Hitam sambil tebaskan 

tangannya ke bawah.

Prakkk! Bukkk!

Tendangan kaki Bidadari Penyebar Cinta 

dapat ditahan dengan tangan, namun hantaman 

yang mengarah pada kepala tak dapat dihindari. 

Hingga saat itu juga tubuh Putri Hitam mencelat 

dengan kepala tersentak tengadah! Lalu terjajar di 

atas tanah dengan mulut pecah mengalirkan da-

rah! Bidadari Penyebar Cinta sendiri terlihat mun-

dur beberapa langkah dengan kaki terpincang-

pincang.

Saat itulah sesosok bayangan berkelebat 

dan tahu-tahu telah tegak tujuh langkah di hada-

pan Putri Hitam dengan kacak pinggang dan ter-

tawa bergelak.

"Titisan Iblis!" desis Bidadari Penyebar Cinta 

mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di 

hadapan Putri Hitam yang masih bergerak bangkit.

"Mengapa dia ikut-ikutan urusan ini? 

Hem.... Kedatangannya akan merusak rencanaku!" 

batin Bidadari Penyebar Cinta seraya berpaling 

pada Utusan Iblis yang kini telah melangkah men-

dekat ke arahnya.

"Manusia tua ini harus disingkirkan juga! 

Jika tidak...," Bidadari Penyebar Cinta tidak lan-

jutkan bisikannya pada Utusan Iblis karena si pe-

muda telah angkat bahu seraya berujar.

"Kau tak usah khawatir dengannya. Dia gu-

ruku!"

Bidadari Penyebar Cinta jadi tergagu diam

dengan wajah merah padam. Cepat-cepat dia pa-

lingkan wajah untuk menyembunyikan perubahan 

wajahnya. "Celaka! Alamat rencanaku harus ter-

tunda. Jika guru dan murid ini maju bersama-

sama. Tapi... Ah, itu urusan nanti. Keduanya sama 

laki-laki. Kurasa aku bisa menaklukkan Kedua-

nya...."

"Manusia jelek! Tidak mampus di sungai, 

akhirnya kau harus tewas di tempat tak bertuan!" 

Tiba-tiba terdengar Titisan Iblis membentak.

"Mati di mana pun bukan kau yang menen-

tukan!" sahut Putri Hitam dengan suara keras pu-

la.

Titisan Iblis tertawa. Kakek ini sekilas pan-

dang telah tahu jika orang di hadapannya cedera. 

Dan kejelian Titisan Iblis memang benar, karena 

diam-diam Putri Hitam sebenarnya khawatir den-

gan keadaan dirinya, dan kegundahan makin nya-

ta tatkala dia teringat akan Seruni. Dalam hati dia 

mengeluh.

"Akankah aku harus mati sebelum jumpa 

dengan anakku? Dan kenapa Mata Malaikat dan 

Pendekar Mata Keranjang tak segera muncul? 

Apakah mereka tak berhasil?!"

Selagi Putri Hitam tercenung dengan ke-

gundahan hatinya, tiba-tiba Titisan Iblis kembali 

keluarkan bentakan garang.

"Manusia Hitam! Akan kuperlihatkan pa-

damu jika akulah yang tentukan di mana kau ha-

rus mampus!"

Habis berkata begitu, Titisan Iblis hantam-

kan kedua tangannya. Lepaskan pukulan

'Gemuruh Badai'.

Entah karena masih geram atau sakit hati, 

Bidadari Penyebar Cinta tak tinggal diam. Begitu 

Titisan Iblis lepaskan pukulan, perempuan cantik 

ini pun ikut lepaskan pukulan. Sementara itu Utu-

san Iblis yang tegak di samping Bidadari Penyebar 

Cinta seakan tak mau ketinggalan. Saat itu juga 

dia kirimkan pukulan! Hingga tak ampun lagi, su-

asana di sekitar lobang terowongan berubah men-

jadi pekat dengan melesatnya beberapa gulungan 

awan hitam. Lalu disusul dengan menyambarnya

sinar kuning. Pada saat yang sama terdengar ge-

muruh dahsyat.

Mendapat serangan ganas, mau tak mau 

membuat Putri Hitam tercekat. Kalaupun dia 

mampu menangkis namun pasti salah satu puku-

lan lawan akan tetap menghajarnya. Bulu kuduk-

nya meremang. Tapi serangan telah datang dan itu 

tak bisa membuat Putri Hitam untuk berpikir lebih 

panjang lagi. Hingga akhirnya seraya pejamkan 

mata dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Ke-

dua tangannya ditarik sedikit ke belakang, lalu di-

dorong dengan tenaga penuh!

Bersamaan dengan mendorongnya kedua 

tangan Putri Hitam yang pasrah, tiba-tiba di anta-

ra kepekatan suasana tampak berkelebat dua 

bayangan yang langsung tegak tiga langkah di 

samping kanan kiri Putri Hitam. Seorang mengha-

dap ke depan, sedangkan satunya lagi tampak 

menghadap ke belakang. Begitu tegak, kedua 

orang ini cepat sentakkan kedua tangan masing-

masing. Yang satu langsung mendorong ke depan,

satunya lagi mendorong tangannya ke belakang!

Di antara kepekatan serangan Titisan Iblis 

dan Utusan Iblis menyeruak angin keras yang ke-

luarkan bunyi gemuruh, lalu dari arah samping 

tampak asap putih bergerak naik turun yang ma-

kin ke depan makin besar dengan keluarkan suara 

menggidikkan!

Bummm! Bummm! Bummm!

Terdengar tiga kali dentuman keras meng-

guncang tempat itu. Bukit yang terdiri dari hampa-

ran tanah gersang itu bergetar hebat. Nyala bunga 

api tampak membubung ke angkasa. Batu dan ta-

nah mencelat berhamburan. Batu besar di dekat 

lobang terowongan longsor dan langsung menutup 

lobang terowongan. Suara dentuman belum lenyap 

terdengar beberapa suara berseru tertahan dan 

dua kali jeritan.

Agak lama kemudian keadaan normal kem-

bali. Di sebelah kiri tampak Putri Hitam duduk 

dengan tubuh berguncang keras hingga pakaian 

gombrongnya berkibar-kibar. Tiga langkah di sebe-

lah kirinya Pendekar Mata Keranjang tegak dengan 

tubuh bergetar dan kedua tangan mendekap da-

danya, di mana tersimpan Lembaran Kulit Naga 

Pertala. Meski baru saja terjadi bentrok pukulan. 

Anehnya, murid Wong Agung tak merasakan sakit. 

Malah, waktu lepaskan pukulan untuk menyela-

matkan Putri Hitam tenaganya dirasa berlipat 

ganda.

"Hem.... Gerakan tubuhku ringan, tenaga 

bertambah...," batin Aji. "Apa yang dikatakan Mata 

Malaikat memang tak berlebihan. Tambahan tenaga dalam dari Eyang Pandanaran benar-benar luar 

biasa!" Aji membatin seraya melirik pada Mata Ma-

laikat yang berdiri di sebelahnya! Jauh di sebe-

rang, terlihat Bidadari Penyebar Cinta terkapar 

dengan mulut keluarkan darah. Di samping ki-

rinya, Utusan Iblis duduk bersimpuh dengan tu-

buh membungkuk hampir menyentuh lutut. Di 

sebelahnya Titisan Iblis duduk bersila dengan ke-

dua tangan menakup di depan dada. Wajah orang 

tua ini pias dan sesekali terdengar batuk-batuk la-

lu meludah ke tanah. Matanya terpejam rapat. Mu-

lutnya komat-kamit menggumam.

"Anakku! Kau baik-baik saja?!" Terdengar 

Mata Malaikat buka suara seraya menoleh ke arah 

Putri Hitam.

"Untung kalian cepat datang.... Aku tak 

apa-apa!" jawab Putri Hitam tanpa berpaling.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau bagaima-

na?!" kembali Mata Malaikat bertanya.

Murid Wong Agung berpaling. Menggumam 

sebentar melihat sikap Mata Malaikat sebelum ak-

hirnya angkat bicara.

"Aku sehat-sehat saja, Kek." Seraya berkata 

dia tetap dekap dadanya di mana tersimpan Lem-

baran Kulit Naga Pertala.

Ucapan Pendekar Mata Keranjang membuat 

Mata Malaikat keluarkan suara tawa bergelak. Su-

ara tawa itu mula-mula pelan, namun makin lama 

makin keras. Dan tak lama kemudian semua 

orang di situ merasakan tanah di bawahnya berge-

tar! Bahkan kejap kemudian tanah berbatu di ba-

wah dan di sekitar orang mulai rengkah!

"Sialan! Apa yang dilakukan orang tua itu?!" 

gumam Aji seraya kerahkan tenaga dalam untuk 

menangkis suara tawa dan tubuhnya agar tidak 

masuk ke dalam tanah berbatu yang mulai berlo-

bang.

Di seberang, baik Titisan Iblis, Bidadari Pe-

nyebar Cinta, dan Utusan Iblis mau tak mau harus 

kerahkan tenaga dalam masing-masing.

"Bandot Tua Jahanam!" Titisan Iblis kelua-

rkan suara menggumam. Lalu berpaling pada Bi-

dadari Penyebar Cinta dan Utusan Iblis. "Siapkan 

pukulan! Arahkan pada bandot tua itu!"

Namun sebelum dua orang itu lakukan 

ucapan Titisan Iblis, di seberang sana Mata Malai-

kat putuskan tawanya. Kedua tangannya yang di-

buat tumpuan tubuhnya ditekankan ke bawah. 

Lalu 'Wuuttt!'. Tubuhnya membal ke atas. Kedua 

kakinya diluruskan sejajar pantat. Tiba-tiba kedua 

tangannya mengayun ke belakang.

Wusss! Wuuusss!

Rupanya pukulannya sengaja diarahkan ke 

tanah berbatu yang telah rengkah-rengkah. Hingga 

saat itu juga tanah berbatu itu muncrat ke udara 

menaburkan batu-batu kecil. Hebatnya taburan 

batu itu langsung melesat ke depan, ke arah Titi-

san Iblis, Bidadari Penyebar Cinta, dan Utusan Ib-

lis!

Ketiga orang ini serentak bangkit. Lalu sa-

ma-sama hantamkan tangan masing-masing un-

tuk menghalau tebaran batu.

Di seberang, habis lakukan pukulan, Mata 

Malaikat berkelebat turun di antara Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam.

''Kita cari tempat yang leluasa. Dan kalian 

pilih lawan masing-masing! Tapi yang perempuan 

serahkan untukku!" bisik Mata Malaikat membuat 

Putri Hitam melengos.

"Aduh! Aku lupa bahwa dia menantuku...," 

gumam Mata Malaikat sambil berkelebat dan buka 

mulutnya lebar-lebar.

Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam 

segera bangkit dan berkelebat menyusul Mata Ma-

laikat yang telah berkelebat lebih dulu.

"Anakku!" ucap Mata Malaikat pada Putri 

Hitam saat orang ini telah berada di sampingnya. 

"Ucapanku tadi jangan masukkan ke dada. Aku 

hanya bergurau!"

"Sungguh-sungguh pun tak apa! Aku malah 

gembira punya mertua cantik dan muda! Bekas 

musuh lagi!"

"Eh, jadi kalian ini menantu dan mertua?!" 

kata Pendekar Mata Keranjang dengan menatap si-

lih berganti pada Putri Hitam dan Mata Malaikat.

"Berkat pakaian dan rambut temuan, juga 

karena mengikuti langkahmu, akhirnya aku ber-

jumpa dengan menantuku yang cantik ini!" sahut 

Mata Malaikat membuat Putri Hitam makin cem-

berut.

Putri Hitam tersenyum pahit, sementara 

Pendekar Mata Keranjang tertawa bergelak. Di 

sampingnya Mata Malaikat pejamkan mata!

Suara tawa Pendekar Mata Keranjang belum 

reda, tiga bayangan telah berkelebat dan langsung 

berdiri berjajar sepuluh langkah di hadapan mereka!

Pendekar Mata Keranjang putuskan ta-

wanya. Putri Hitam berpaling ke depan dengan 

mata memandang tajam. Sedangkan Mata Malai-

kat cepat pentangkan sepasang matanya!


                               SELESAI


Segera terbit!!!


WASIAT SANG PENDEKAR













 

Share:

0 comments:

Posting Komentar