..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 06 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE BANGKITYA KI RAWA RONTEK

Bangkitnya Ki Rawa Rontek

 

BANGKITNYA

KI RAWE RONTEK

oleh Pijar El

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor : Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Pijar El

Serial Pendekar Slebor 

Dalam episode 006 : 

Bangkitnya Ki Rawe Rontek 

128 hal.


SATU


Pantai Barat Buleleng tak hentinya 

didera ombak. Gelombang demi gelombang 

menggapai, hingga melemah di pasir bibir 

pantai. Selaksa buih bertumbukan, 

selaksa lainnya lahir atau menghilang. 

Dibatas laut, bayang-bayang rembulan 

penuh tampak bagai tercabik-cabik 

gejolak samudera.

Tak jauh dari benteng pasir pantai 

berdiri sebuah bangunan karang besar 

yang mematung kaku. Tepat di kaki sebelah 

timur bukit karang itu, terdapat goa 

cukup besar. Goa Karang Hitam.

Goa Karang Hitam tetap bisu. Tak 

seperti ombak laut yang selalu 

bergemuruh, Bongkahan-bongkahan batu

karang dingin tampak menimbun seluruh 

mulut goa. Tebing karang di atasnya, 

ratusan sarang burung walet tampak 

tersusun tak teratur, bagai 

bintik-bintik jika dipandang dari jauh. 

Di setiap sarang itu burung-burung 

mungil berkumpul menanti pagi.

Malam kian terpuruk dalam kelam. 

Kendati demikian tak juga sunyi, riuh 

rendah pesta ombak sang Samudera terus 

berlangsung. Pada pangkal dini hari yang 

diselumuti dingin, timbunan batu-batu 

karang di mulut Goa Karang Hitam 

tiba-tiba bergerak-gerak.

Grrr...

Tak ada sepasang mata pun 

menyaksikan. Kelihatannya pantai saat 

ini tidak diminati seorang pun. Bahkan 

para nelayan yang biasanya sudah berada 

di tengah laut, kini lebih memilih 

berkumpul dengan keluarga. Badai 

tampaknya memang akan mengamuk di musim 

angin barat yang ganas.

Bongkahan karang penimbun mulut Goa 

Karang Hitam terus bergetar kecil, lalu 

saling bergeser. Padahal, tak ada gempa 

saat itu. Dan memang, hanya di sekitar 

mulut goa itu saja yang bergetar. Sesaat 

kemudian, bongkahan batu karang itu 

kembali mematung bisu.

Waktu terus merayap, merangkak 

bagai langkah-langkah para pencabut 

nyawa. Pada puncaknya....

Blar!

Gruk..., grrr...!

Ledakan menggila yang dibuntuti 

gemuruh riuh tercipta seketika. 

Bongkahan batu karang sebesar setengah 

badan manusia langsung terlontar ke 

segala arah, menghambur tak berdaya 

seperti butiran pasir. Bukit karang 

menjulang di atasnya turut bergetar. 

Ratusan burung walet mendadak kehilangan 

kedamaian di sarang masing-masing. 

Mereka berterbangan liar, bagai digerah 

keterkejutan.

"Cuit.... Cuit! Cuit... Cuit...!"

Mulut Goa Karang Hitam ternganga 

lebar. Tak ada lagi karang keras yang

menyumpal mulutnya. Yang tertinggal 

hanya pecahan-pecahan batu kecil di 

sekitarnya, serta kehampaan di rongga 

dalam goa. Di dalam sana, gelap berkuasa 

bersama kawalan kelengangan. Namun itu 

tidak berlangsung lama. Karena mendadak 

saja...

"Aaarrrrggghhh...!"

Tiba-tiba terdengar erangan yang 

menggidikkan bagai terpelanting keluar.

***

Di satu hamparan lembah hijau 

berumput halus dalam wilayah kekuasaan 

Kerajaan Tabanan, berdiri menyendiri 

sebuah pondok sederhana. Di halaman 

terlihat dua orang berbeda usia 

bertelanjang dada. Sekujur tubuh mereka 

berkilatan oleh keringatyang membanjir.

"Hiaaa!"

"Hiaaa!"

Terdengar teriakan penuh semangat 

secara bergantian dari mulut 

masing-masing. Dengan diiringi 

teriakan, mereka melakukan 

gerakan-gerakan penuh kekuatan. Yang 

seorang adalah pemuda gagah berusia dua 

puluh enam tahun. Tubuhnya berotot 

kenyal. Pantas saja jika dia begitu 

bergelora melakukan setiap gerakan. 

Wajahnya tak tergolong tampan. Namun 

terlihat ramah dan tak bosan dipandang. 

Kini wajahnya memperlihatkan kesung

guhan. Sementara rambutnya yang 

sepanjang bahu terikat kain hitam, 

menggelepar-gelepar dipermainkan angin 

lembah.

Sementara yang seorang lagi adalah 

lelaki tua. Meski usianya bisa dibilang 

lanjut, namun tubuhnya masih tampak 

gagah. Otot-ototnya pun tak begitu 

mengalami kesulitan dalam membuat 

gerakan jurus yang terhitung sulit. 

Menilik kerutan serta kumis dan jenggot 

putih di wajahnya, bisa ditebak kalau 

usianya hampir mencapai sembilan puluh 

tahun.

Wrrrt!

Deru seketika tercipta, begitu 

celana pangsi hitam mereka bertumbukan 

cepat dengan angin. Kaki kanan mereka 

teracung lurus menantang langit, seolah 

hendak mematahkanleher lawan. Setelah 

itu, kaki masing-masing kembali ditarik 

ke bawah perlahan.

"Hsss!"

Dengan menghempas napas berangsur, 

mereka pun mengakhiri latihan hari ini.

"Cukup dulu untuk hari ini, Yaksa!" 

ujar lelaki tua itu, seraya menyapu peluh 

di kening.

"Baik, Guru. Tapi kalau boleh, aku 

hendak sedikit menyempurnakan gerakanku 

pada jurus kesembilan belas...," pinta 

anak muda yang ternyata bernama Yaksa.

Si Lelaki Tua terkekeh. "Kau punya 

semangat baja. Aku senang memiliki murid 

sepertimu. Tapi...."

"Tapi hari iri aku harus meneruskan 

pelajaran memahat...," sela Yaksa, 

mendahului kalimat laki-laki tua yang 

ternyata adalah gurunya.

"Ha ha ha...!" laki-laki tua itu 

tertawa. Sudah seringkali dia mengatakan 

kalimat itu pada Yaksa.

Sampai-sampai, murid tunggalnya ini 

hafal.

"Dan tentunya Guru juga akan 

mengatakan, kalau aku harus mempelajari 

ilmu lain selain bela diri. Karena hidup 

menuntut banyak hal. Seni bisa membuat 

jiwa kita hidup, sekaligus bisa menjadi 

penopang hidup," tambah Yaksa.

Sang Guru tertawa lagi. Lagi-lagi

dia kedahuluan, seketika diraihnya bahu 

Yaksa dengan wajah gembira.

"Ayo kita ke dalam! Setelah 

beristirahat sebentar, kita mesti 

melanjutkan pahatan!" ajak laki-laki tua 

itu.

Mereka segera masuk ke dalam pondok 

untuk beristirahat sejenak. Begitu 

berada di dalam, mereka meneguk air putih 

segar dari sebuah kendi. Lalu 

masing-masing menyapu keringat dan 

sedikit berangin-angin di sisi jendela. 

Dan kini mereka menuju belakang pondok, 

siap melanjutkan pekerjaan lain. 

Sepertinya, mereka tidak ingin

menyia-nyiakan waktu. Memang, bukankah 

waktu begitu cepat berlalu?

Di halaman belakang pondok, telah 

menunggu tumpukan balok kayu besar serta 

dua pahatan yang hampir rampung. Yaksa 

menghampiri salah satu pahatan.

"Kenapa Guru menyuruhku membuat 

patung Sang Kala ini?" tanya Yaksa sambil 

meraih alat-alat pahatannya.

Laki-laki tua ini menepuk-nepuk 

kepala patung berbentuk raksasa bermata 

besar dan bertaring itu.

"Patung Sang Kala adalah perlambang 

kejahatan di dunia. Aku menyuruh 

membuatnya, karena aku ingin kau selalu 

waspada terhadap setiap kejahatan di 

bumi ini...."

"Kenapa Guru menyuruhku membuat 

sepasang?" tanya Yaksa lebih lanjut. 

Diperhatikannya satu patung lain yang 

berbentuk raksasa wanita berwajah 

bengis.

"Patung Sang Kala adalah Dewa 

Perusak. Sedangkan pasangannya adalah 

patung Sang Khali Durga. Artinya, setiap 

manusia baik perempuan atau lelaki, 

setiap saat bisa melakukan kejahatan. 

Karena sifat jahat adalah salah satu 

sifat setiap orang. Yang tidak bisa 

menguasai sifat itu, dia akan dikuasai. 

Tapi jika bisa menguasainya, niscaya 

orang akan mendapat ketenteraman hidup," 

tutur guru pemuda ini.

"Tapi seseorang yang bisa menguasai 

sifat jahat dalam dirinya, tidak mungkin 

tenteram kalau dizaliminya, Guru...," 

sergah Yaksa.

Lelaki tua berjanggut putih yang 

kini sudah mengenakan baju hitam itu 

mengangguk-angguk seraya menebar senyum 

arif.

"Untuk itulah, seseorang harus 

memiliki kemampuan bela diri, serta 

menghapus kejahatan pada orang-orang 

yang dikuasainya. Kau mau menjadi 

pendekar pembela kebenaran, bukan?"

Kini giliran Yaksa mengangguk 

angguk.

"Nah, Sekarang kau teruskan 

kerjamu."

"Baik, Guru."

Yaksa mulai menghujamkan pahatnya 

pada lekukan tubuh patung Sang Kala yang 

harus dirampungkan. Sedangkan, gurunya 

sudah kembali ke pondok. Tapi, begitu 

lama sudah kembali lagi. Di tangannya 

kini ada segulungan daun lontar kering 

yang sudah diawetkan.

"Yaksa.... Kalau kau sudah 

menyelesaikan patung Sang Kala, 

masukanlah lembaran-lembaran lontar ini 

ke lubang patung yang kemarin kau 

buat..."

Sang Guru langsung menyodorkan 

gulungan di tangannya.

"Apa ini, Guru?" tanya Yaksa ingin 

tahu.

"Ini adalah sobekan-sobekan sebuah 

kitab," sahut lelaki tua itu singkat.

"Kitab apa, Guru?" desak Yaksa, 

ingin tahu lebih banyak.

"Kitab ilmu hitam. Dalam lontar itu 

tertulis rahasia-rahasia kelemahan ilmu 

hitam," jelas gurunya hati-hati. "Karena 

aku yakin, suatu saat ada orang-orang 

berhati iblis akan mencarinya. Maka kita 

harus menyembunyikan pada satu tempat 

rahasia."

"Di dalam patung Dewa Perusak ini?" 

bisik Yaksa, juga hati-hati.

Gurunya mengangguk sekali.

***

Waktu terus menyingkir tanpa 

terasa. Siang berganti senja yang 

merahlembayung dari belahan langit 

sebelah barat. Yaksa pun telah 

merampungkan pahatannya. Bahkan sudah 

pula menghaluskan patung kayu itu, 

hingga makin menampakkan nilai seni.

"Satu persatu, kedua patung itu 

dimasukkan ke dalam gubuk. Di dalam sana, 

dia membalik patung Sang Kala yang di 

bawah kakinya terdapat semacam laci 

kecil yang tertutup rapat. Di laci 

rahasia itu, Yaksa memasukan gulungan 

lontar seperti pesan gurunya. Sementara, 

lelaki tua itu sendiri saat itu sedang 

duduk menyendiri di serambi. Dan pemuda 

itu segera menghampiri.

"Pesanmu sudah kulaksanakan, Guru," 

ucap Yaksa begitu sampai di serambi.

"Bagus.... Sekarang, duduklah 

dulu," sahut laki-laki tua itu dari 

sebuah dipan bambu tempatnya bersila.

"Tapi, aku hendak menemui 

seseorang, Guru," tolak Yaksa.

Lelaki tua itu melirik Yaksa dengan 

sepasang mata yang sudah keabu-abuan.

"Kau mau menemui gadis itu lagi?" 

sindir gurunya.

Yaksa hanya bisa tertawa risih. 

"Baiklah. Pergilah sana...." Yaksa 

menjura dengan sebaris senyum lega. 

“Terima kasih, Guru," hatur pemuda 

itu hormat. 

"Kau tidak memintaku untuk 

melamarnya?" tukas gurunya sebelum Yaksa 

jauh melangkah meninggalkan gubuk. 

"Apa, Guru?" Lelaki tua itu 

terkekeh.

"Tidak apa-apa. Ada nyamuk usil 

tadi!" kilah gurunya.

Sepeninggalan muridnya, lelaki tua 

berjanggut putih ini masukke dalam 

gubuk. Raut wajahnya berubah, tak lagi 

menampakkan bias ketenangan. Ada 

sesuatuyang tiba-tiba mengusik batinnya 

saat ini. Dia merasa ini adalah firasat 

buruk.

Seperti dituntun oleh suara hati, 

dia mengambil pahat milik Yaksa di bawah 

balai-balai kayu tempat tidur. Dengan

pahat itu, ditulisnya sebaris pesan di 

papan dinding gubuk.

“Yaksa! Tiba-tiba saja aku mendapat 

firasat buruk Entah apa yang terjadi, aku 

sendiri tidak tahu. Tapi jika nanti kau 

tidak bisa berjumpa lagi denganku, 

carilah seorang pemuda yangbernama

Andika diDesa Umbuldadi Jika dia masih di 

sana, mintalah agar mengajarimu beberapa 

jurus bela diri

Gurumu, Lantanggeni...”

Laksana mata panah yang tepat 

menghujam sa-saran, firasat lelaki tua 

yang ternyata Ki Lantanggeni (Baca kisah 

Pendekar Slebor dalam episode: "Darah 

Pembangkit Mayat") agaknya mendekati 

kebenaran. Karena mendadak saja 

terdengar lengkingan erangan serak dan 

panjang di luar pondok Ki Lantanggeni. 

Lengkingan menyeramkan itu jelas sarat 

dengan ancaman. Lebih mengancam daripada 

geraman ratusan serigala liar!

Ki Lantanggeni kontan tersentak 

Sebenarnya laki-laki tua ini tidak akan 

begitu terkejut. Kalau lengkingan tadi 

tanpa disertai hempasan tenaga dalam 

tingkat tinggi. Tapi, suara menggidikkan 

yang menerabas gendang telinganya memang 

bukan teriakan seorang perempuan usil. 

Teriakan itu bahkan sedahsyat angin 

topan yang berhembus sekejap, membuat 

dinding pondoknya bergetar dan nyaris

berguguran. Tak hanya itu. Telinganya 

yang semula menyepi untuk memeluk 

kedamaian mendadak saja bagai disodok 

sebatang besi panas.

Ki Lantanggeni langsung mendekap 

kedua telinganya untuk menahan rasa 

nyeri yang amat sangat. Wajahnya makin 

berkerut tak karuan. Sedangkan sepasang 

matanya terpejam rapat.

"Aaargggkhhh!"

Terdengar kembali lengkingan serak 

ketika Ki Lantanggeni baru saja melepas 

tangannya dari telinga. Untunglah, kali 

ini lelaki tua itu telah menyalurkan hawa 

murni ke sepasang telinganya. Sehingga 

tenaga dalam kandungan lengking tadi tak 

lagi membuatnya kesakitan.

Menjadi suatu keharusan baginya 

saat ini, untuk segera menyiapkan diri 

lebih siaga. Kemungkinan terburuk yang 

akan menyusul harus diwaspadai. Toh, 

biar bagaimanapun, dia tidak mau mati 

konyol meski usianya sudah bau tanah.

Tindakan itu memang membawa manfaat 

karena....

Glarrr...!

Tiba-tiba saja satu tenaga tak 

terlihat datang menghancurkan dinding 

kayu pondok di sisi kiri. Untung saja, Ki 

Lantanggeni masih mampu menyelamatkan 

diri. Sekuat tenaga tubuhnya didorong ke 

udara hingga menembus atap rumbia 

pondoknya. Serangan itu demikian 

mendadak. Kalau saja kurang cepat, maka

tubuhnya akan berkeping-keping bagai 

dinding kayu pondoknya yang bertaburan 

ke segala arah.

Srak!

Ki Lantanggeni memang masih bisa 

menyelamatkan nyawa tuanya. Dia memang 

bisa lolos dari terjangan hantaman 

asing, melalui atap rumbia di atas pondok 

Tapi, tetap saja angin hantaman itu 

sempat menyentuhnya juga. Meski tak 

kencang, namun seluruh rangka tulangnya 

terasa luluh lantak.

Di atas wuwungan rapuh, Ki 

Lantanggeni berdiri sambil bertahan dari 

kekuatan kasap mata yang merasuki 

tubuhnya. Ketika sekujur tubuhnya terasa 

melemas seakan tanpa tulang, barulah 

disadari kalau dirinya telah terkena 

pengaruh pukulan langka. 'Pukulan 

Peremuk Dalam'. Ilmu pukulan hitam yang 

mampu merapuhkan sebatang baja dari 

dalam!

"Gusti.... Kenapa ilmu hitam itu 

tiba-tiba muncul kembali," desis 

laki-laki tua itu lamat.

Sepengetahuannya, ilmu hitam itu 

telah musnah, saat matinya datuk sesat

ilmu hitam yang juga saudara 

seperguruannya sendiri. Dia adalah 

Artapati, alias Ki Rawe Rontek.

***


DUA


"Lhanthanghhh.... Akkhu kembhalhi 

uhnthukh mencabhut nyawhamuhuuuuh...."

Ki Lantanggeni terkesiap begitu 

mendengar sebuah suara seseorang yang 

sepertinya kenal dengan dirinya. Kini 

dugaannya terbukti. Artapati, atau lima 

puluh tahun lalu amat tersohor dengan 

julukan Ki Rawe Rontek, telah bangkit 

kembali! Bahkan untuk mencabut nyawanya 

sebagai pembayar hutang!

Sambil menarik napas sesak akibat 

pengaruh 'Pukulan Peremuk Dalam', 

sekaligus untuk mengembalikan kekuatan

tubuhnya, Ki Lantanggeni mengeluh berat. 

Bukanlah kematian yang ditakuti. Tapi, 

sepak terjang tak berperi kemanusiaan 

yang dilakukan Artapati. Tentu datuk 

sesat itu setiap waktu akan menumpahkan 

darah kembali di mana-mana, jika mulai 

merasa haus darah!

"Ini tak boleh terjadi...," desis Ki 

Lantanggeni, lirih.

"Khenhaphah therdhiamh sepherthi 

ithu, Lhantahanghhh? Khau tahkut 

menerima kemathianmuhhh?"

Suara berat itu kembah menyesaki 

udara di sekitar gubuk, menerjang jiwa Ki 

Lantanggeni Sehingga, membuatnya 

bergetar.

"Aku tak takut pada kematian, Arta! 

Aku tetap seperti yang dulu. Pantang 

mundur untuk kebatilan, rela membuang

nyawa untuk menegakkan kebenaran!" 

bentak Ki Lantanggeni, masih tetap 

berdiri kukuh pada pucuk atap rumbia 

rapuh.

Kalau bukan tokoh semacam Ki 

Lantanggeni, tentu atap itu akan segera 

roboh. Karena, sebenarnya kekuatannya 

hanya untuk menahan berat tubuh seekor 

burung nuri.

"Haaarhhh..., haaarhhh... haaarh!"

Entah yang terdengar itu adalah tawa 

Artapati, atau semacam kegusaran. Ki 

Lantanggeni sendiri tak bisa 

menentukannya. Yang jelas, telinganya 

menangkap kesan keangkuhan di sana.

"Khau phikhir, khau mhashih tethaph 

sepherti dhuluh, Lhanthanghhh? Apha khau 

thak shadar khalau thubuhhmu sudhah 

laphuk?" cemooh suara berat yang 

terseret itu. "Akhu thak mauhhh bhanyak 

omhong lhlagi, Lhantanghh. Akhu akhan 

mengamphuni nyawhamu, asal khau mau 

menyerhahkan sobhekhan khitab ilmhu 

hitham ithu...."

Ki Lantanggeni menyeringai. Namun 

sempat terhenyak juga.

"Kau pikir kau siapa, Arta? Tuhan 

yang bisa mengampuni nyawa manusia? Kau 

terlalu sombong, Arta! Tuhan akan 

menghukummu!" hardik laki-laki tua itu 

dengan wajah memerah matang.

"Haarrrh... haarrh... harrh! 

Uchapanmhu therlhaluh bodhoh, 

Lhantangh!"

"Hentikan keangkuhan memuakanmu, 

Arta! Kalaupun sejuta setan neraka kau 

bawa ke sini untuk memaksaku menyerahkan 

gulungan lontar itu, tetap tak akan 

kuberikan!" tandas Ki Lantanggeni:

"Aaaargggh!"

Lengkingan serak ketiga kembali 

menyayat angkasa, disusul membersitnya 

gelang-gelang api yang garis tengahnya 

sebesar mulut sumur, menuju Ki 

Lantanggeni. Asalnya, dari satu gundukan 

semak tinggi di tepi lembah.

Kegesitan Ki Lantanggeni, tak 

berkurang meski tubuhnya masih didera 

pengaruh pukulan tak berwujud tadi. 

Bagaikan tupai yang meloncat lincah, 

tubuh lelaki tua itu melenting ringan ke 

udara dengan kedua tangan terbentang. 

Kemudian setelah berputaran beberapa 

kali, kakinya mendarat ringan tiga belas 

tombak dari tempat asal serangan.

Dalam hati Ki Lantanggeni bergumam 

setengah menyumpah. Serangan barusan 

merupakan salah satu ilmu hitam yang 

dimiliki Artapati, setelah direbutnya 

secara curang dari tangan Ki 

Lantanggeni. Padahal, ilmu hitam itu tak 

terlalu tangguh. Tapi yang baru saja 

disaksikannya, benar-benar di luar 

dugaan. Tampaknya setelah sekian puluh 

tahun tubuhnya terperam bumi, ilmu-ilmu 

Artapati menjadi kian matang. Terbukti 

dengan kehebatan jangkauan gelang

gelang api yang mampu mencapai tiga puluh 

lima tombak.

Jauh di belakang sana, pondok milik 

Ki Lantanggeni mulai dilahap lidah api. 

Jilatan si Jago Merah itu mulai menjalar 

ke rangka pondoknya. Sampai akhirnya, 

menjalar ke bagian dinding.

Kebakaran ini membuat Ki 

Lantanggeni khawatir, karena patung kayu 

tempat persembunyian gulung lontar 

rahasia kelemahan ilmu-ilmu hitam tentu 

akan terbakar api pula. Kalau gulungan 

lontar itu terbakar, maka musnahlah 

rahasia kelemahan ilmu hitam Artapati. 

Dan, tidak akan ada lagi orangyang 

menahan kebuasannya.

Dengan segera Ki Lantanggeni hendak 

berbalik. Tapi niatnya diurungkan,

karena Artapati arias Ki Rawe Rontek 

telah mendahului dengan hantaman 

gelang-gelang api kembali.

Wrrr! Wrrr! Wrrr!

"Haih!"

Ki Lantanggeni langsung melenting, 

menyelamatkan diri. Dan seketika 

tubuhnya melesat nekat, menerobos tepat 

di tengah lingkaran gelang-gelang api 

yang meluruk deras ke arahnya. Tampaknya 

laki-laki tua itu sudah cukup mengenali 

pukulan api tersebut. Sehingga mau 

mengambil langkah nekat dan sebahaya 

itu.

Pada saat tubuh laki-laki tua 

membentang lurus di atas, seketika

sesosok bayangan besar menerkamnya dari 

semak-semak. Padahal, jarak antara 

semak-semak dengan tubuh Ki Lantanggeni 

terbilang sekitar sepuluh tombak. Namun, 

terkaman itu sanggup menggapainya. 

Itulah sosok Artapati yang menerkam 

laksana terbang!

Sementara, kedua tokoh berbeda 

aliran itu menyulut pertarungan maut, 

tanpa ada yang tahu seseorang menerabas 

masuk pondok yang terbakar. Beberapa 

saat matanya mencari-cari sesuatu di 

setiap ruangan pondok, di tengah 

gapaian-gapaian lidah api, tanpa merasa 

takut terbakar, dengan tenang 

diperiksanya ruang demi ruang sampai 

akhirnya ditemukannya sepasang patung 

buatan Yaksa, yang baru saja 

dirampungkan. Dari bawah kaki salah satu 

patung kayu itu. Si Penelusup mengambil 

gulungan lontar tanpa harus berlama-lama 

meneliti lubang rahasianya. Gulungan 

lontar ini kemudian dimasukkan kembali 

ke dalam laci rahasia di bawah kaki 

patung itu. Setelah itu, dia keluar tanpa 

kesulitan.

***

Yaksa telah tiba di Desa Umbuldadi 

senja hari, menjelang tersungkurnya 

mentari di kaki langit. Temaram telah 

mengurung desa kecil itu. Beberapa

rumpun nyiur bergerak-gerak lamban, 

diusik angin sepoi-sepoi.

Sejak gurunya pergi bersama 

Pendekar Slebor untuk memburu kotak 

berukir yang dibawa Sepasang Datuk 

Karang, Yaksa tidak pernah menjumpai 

gadis yang disukainya di Desa Umbuldadi 

yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. 

Tanpa izin Ki Lantanggeni, dia tak berani 

pergi meninggalkan pondok kecuali untuk 

urusan penting.

Setelah kepulangan Ki Lantanggeni 

beberapa hari lalu, Yaksa baru bisa 

mendapat latihan jurus-jurus bela diri 

lagi. Sekaligus, bisa meminta izin untuk 

menemui gadis pujaannya.

Jika seseorang bertanya pada Yaksa 

tentang perasaannya saat ini, pasti akan 

dijawab lantang kalau perasaannya amat 

berbunga-bunga. Siapa yang tak senang 

jika hendak menemui orang yang dicintai?

Tak begitu lama berjalan memasuki 

desa, Yaksa akhirnya tiba di depan sebuah 

rumah gubuk sederhana yang bersih dan 

nyaman. Di situlah pujaan hatinya 

tinggal. Makin dekat dengan gubuk itu, 

hatinya makin berbunga-bunga. Bahkan 

jantungnya jadi bertalu-talu keras.

Baru saja pemuda itu hendak 

memijakkan kakinya di anak tangga 

pondok, telinganya menangkap dua orang 

sedang berbincang-bincang di dalam. 

Entah, apa yang dibicarakan. Yang

diketahuinya suara itu dari seorang pria 

dan wanita.

Yaksa jadi curiga. Dengan sangat 

hati-hati, dinaikinya tangga satu 

persatu. Lalu dari celah pintu, dia 

mengintip ke dalam. Benar! Memang ada 

seorang pemuda yang sebaya dengannya 

sedang bercakap-cakap bersama seorang 

wanita. Pemuda itu baru kali ini 

dilihatnya. Jadi, sama sekali Yaksa tak 

mengenal. Kalau yang wanita, sudah 

dikenalinya betul. Dialah gadis yang 

selama ini mengusik hatinya.

Yaksa jadi makin penasaran. Sewaktu 

gadis pujaan sedang berbicara dengan 

wajah mesra, Yaksa jadi cemburu. Hatinya 

langsung terbakar. Terlebih, waktu gadis 

itu mempersilakan pemuda di depannya 

untuk mencicipi Rujak Degan dengan 

mesra.

Huh! Lama tak berjumpa, sewaktu 

hendak berjumpa malah menyaksikan 

pemandangan yang menyakitkan! 

Betul-betul sial! Yaksa memaki dalam 

hati. Saat itu pula, pemuda itu merasa 

mendapat saingan. Bagaimana tidak? 

Pemuda yang dilihatnya di dalam sana, 

ternyata lebih tampan!

Memang, selama ini Yaksa hanya baru 

jatuh hati pada gadis itu. Dengan kata 

lain, cintanya masih seperti bertepuk 

sebelah tangan Apa mungkin ini salahnya 

juga? Dia jadi bertanya pada diri

sendiri. Mengapa tidak sesegera mungkin 

mengutarakan isi hatinya pada gadis itu?

Ah! Yaksa jadi tak peduli. Pokoknya, 

hari ini dia jadi jengkel bukan main. 

Sambil membanting langkah pada anak 

tangga, ditinggalkannya rumah panggung 

ini dengan bersungut-sungut.

Di dalam rumah panggung, terdengar 

tawa dua anak muda yang pecah 

sepeninggalan Yaksa. Gadis itu terkikik 

kecil sambil menutup mulutnya dengan 

sebelah tangan Sedang sang Jejaka 

tertawa renyah. Di tangannya masih 

terpegang semangkuk Rujak Degan.

"Dasar orang usil!" ujar gadis itu. 

Dengan rambut panjang ekor kuda, matanya 

yang berbulu lentik masih sedikit 

menyempit, karena menahan tawa. Kulitnya 

yang agak kecoklatan, menjadi terlihat 

manis ditutupi kebaya Bali berwarna biru 

muda. Namanya Idayir Wayan Laksmi. 

Sedangkan pemuda di hadapannya tak lain 

dari Andika alias Pendekar Slebor (Baca 

episode : "Darah Pembangkit Mayat").

"Dikiranya kita sedang berbuat yang 

macam-macam, barangkali," timpal 

Andika, ikut meledek orang yang baru saja 

mengintip.

Sebenarnya, biarpun Yaksa sudah 

begitu hati-hati melangkah di anak 

tangga, tapi telinga yang terlatih 

Andika tetap sanggup menangkap suara 

geraknya. Tapi karena yakin tidak 

berbahaya, Pendekar Slebor membiarka

nnya saja. Idayu Wayan Laksmi pun diberi 

tahu Andika, kalau ada seseorang mengin-

tip mereka. Mulanya, Idayu Wayan Laksmi 

takut. Tapi dia diyakini kalau orang di 

luar itu tidak berbahaya. Akhirnya, 

mereka berkesimpulan kalau orang di luar 

tadi hanya mau usil.

Tawa kedua anak muda itu terpenggal, 

ketika I Ketut Regeg adik Idayu Wayan 

Laksmi masuk.

"Mbok, apa tak tahu kalau tadi Bli 

Yaksa datang?" tanya I Ketut Regeg seraya 

menghampiri Andika dan Idayu Wayan 

Laksmi.

Idayu Wayan Laksmi menyahut. 

Matanya malah dikerjap-kerjapkan pada I 

Ketut Regeg, memberi isyarat agar tutup 

mulut. Dia tidak mau kalau Andika sampai 

tahu tentang pemuda dari Tabanan yang 

jatuh hati padanya.

"Mbok, cacingan, ya?!" tukas I Ketut 

Regeg. "Aku bilang Bli Yaksa datang, kok 

Mbok malah mengedip-ngedip seperti 

itu...."

"Siapa itu Yaksa?" tanya Andika, 

jadi ingin tahu Idayu Wayan Laksmi 

mencegah mulut ceriwis I Ketut Regeg yang 

berkicau lebih lanjut. Tapi sayang mulut 

lincah anak muda tanggung berbadan kurus 

itu lebih gesit.

"Dia orang dari Tabanan yang naksir

Mbok Laksmi, Bli Andika," tutur pemuda 

tanggung bertubuh kurus ini acuh tanpa 

rasa bersalah.

Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik 

kesal.

Tapi I Ketut Regeg justru mendelik 

lebih besar lagi.

"O, ya?" goda Andika pada Idayu 

Wayan Laksmi.

“Tapi, aku lebih suka kalau Beli

yang jadi kekasih Mbokku...," ucap I Ktut 

Regeg.

"Ah! Aku sendiri lebih suka menjadi 

sahabat Mbokmu. Ya tentu sahabatmu 

juga!"

Pandangan Idayu Wayan Laksmi kontan 

terjatuh ke lantai. Kepalanya tertunduk 

dalam, menyembunyikan wajah yang 

mendadak berubah mendung. Dia sungguh 

tidak suka mendengar pernyataan Andika 

barusan. "Hanya sahabat?" Idayu Wayan 

Laksmi berbisik dalam hati. Hanya 

sebagai sahabat?

"Kau kenapa, Laksmi?" usik Andika, 

menyadari perubahan sikap Idayu Wayan 

Laksmi.

"Beli hanya ingin bersahabat dengan 

Mbok, sih!" tukas I Ktut Regeg. "Mbok 

Laksmi kan berharap Beli menjadi 

kekasihnya. Apa Beli tidak naksir pada 

Mbok? Padahal, Mbok kan Jegeg kata orang 

Bali. Banyak pemuda yang jatuh hati pada 

Mbok. Tapi, belum ada seorang pun yang 

bisa membuatnya bertekuk lutut. Eee, 

Beli kok malah menolaknya...."

I Ktut Regeg terus menyerocos 

panjang-panjang seperti tidak sempat

mengambil napas. Tapi niatnya yang 

hendak menyambung ucapan, terhadang isak 

tertahan Idayu Wayan Laksmi.

Andika dan anak muda tanggung itu 

agak terperangah. Belum lagi Pendekar 

Slebor sempat menanyakan kenapa Idayu 

Wayan Laksmi terisak, dara nan ayu itu 

sudah menghambur ke belakang rumah.

Tubuh Idayu Wayan Laksmi langsung 

menghilang di balik kerai terbuat dari 

anyaman kulit rotan. Suara tangisnya 

masih tertinggal, di ruangan tempat 

Andika dan I Ktut Regeg duduk saling 

menatap.

"Apa ucapanku tadi sudah 

menyinggung perasaan Mbok?" tanya I Ktut 

Regeg, seperti bergumam pada diri 

sendiri.

Andika menyahutinya dengan 

gelengan. Bukan karena tak tahu kenapa 

hati dara itu terkoyak, tapi karena 

merasa berdosa pada Idayu Wayan Laksmi. 

Selama ini, tanpa disadari Andika telah 

memberi ha-rapan pada gadis itu. Dan 

pemuda ini tak pernah mengatakan kalau 

dirinya tidak bisa mencintai Idayu Wayan 

Laksmi. Tentu saja Idayu Wayan Laksmi 

yang selama ini berharap, walaupun 

sampai kapan.

"Biar kutemani dia, Geg," ucap 

Andika.

"Aku ikut, Beli. Ini karena salahku 

juga...."

"Kau tetap di sini saja," cegah 

Andika.

I Ktut Regeg tetap bersikeras. Dia 

ikut bangkit, membarengi pendekar tampan 

ini. Dan ini membuat Andika jadi mangkel 

pada sikap bandel anak muda tanggung itu. 

Dengan menyeringai jengkel, I Ktut Regeg 

ditotoknya.

Tuk!

Saat itu juga, tubuh pemuda tanggung 

itu kejang mematung. Wajahnya masih 

mendongak kaget. Matanya berkedip-kedip 

kelimpungan. Mulut usilnya yang masih 

bisa digerakkan, segera saja melancarkan 

sumpah serapah pada Andika.

Andika makin mangkel. Sambil 

menggeleng-geleng kepala, disumpalnya 

mulut I Ktut Regeg dengan daging kelapa 

Rujak Degan.

"Belhfif befbafhfan afuh!" teriak I 

Ktut Regeg kalap.

***

TIGA



Lembah di sebelah timur wilayah 

Tabanan tempat Ki Lantanggeni mengadu 

jiwa, digempur kekuatan hitam Artapati 

yang merupakan musuh lamanya. Entah, 

sudah berapa puluh jurus telah berlalu. 

Dan selama itu pula Ki Lantanggeni berada 

di bawah tekanan serangan laki-laki yang

sebenarnya sudah mati, dan berjuluk Ki 

Rawe Rontek ini.

Mati-matian Ki Lantanggeni menyela-

matkan selembar nyawa dari tangan keji 

Artapati. Dalam pertempuran terdahulu, 

Ki Lantanggeni mendapat dukungan dari 

ketiga saudara seperguruannya yang lain. 

Namun ketiga saudaranya itu tewas. Dan 

kendati demikian, Ki Lantanggeni pun 

bisa membunuh Artapati. Sayang, kini 

berbeda. Laki-laki tua ini harus 

menghadapi datuk sesat itu seorang diri. 

Untuk bisa menang, dia tidak yakin. 

Bahkan kalaupun bisa selamat, itu pun 

sudah terlalu sulit.

"Grrrhhh!"

"Hiah!"

Artapati terus mendesak Ki 

Lantanggeni dengan serangan-serangan 

mematikan. Tidak ada lagi ancaman 

gelang-gelang berapi seperti sebelum-

nya. Tapi bukan berarti serangannya 

tidak lebih ganas. Laki-laki yang 

menamakan diri Ki Rawe Rontek kini justru 

mengerahkan ilmu hitam 'Pukulan Peremuk 

Dalam'. Bentuk serangan yang amat sukar 

dihadapi dalam pertarungan jarak dekat.

Karena tidak ingin pengaruh 

'Pukulan Peremuk Dalam' melemahkan 

benteng pertahanan dan mengacaukan 

perhatiannya, Ki Lantanggeni berusaha 

sekuat mungkin untuk bertarung jarak 

jauh. Paling tidak, bisa menjauhi 

lawannya.

Desakan Artapati saat itu adalah 

bagaikan serangan iblis yang tak 

berbelas kasihan. Rangsekannya liar dan 

buas. Dia seolah telah menjelma menjadi 

makhluk terganas di muka bumi ini!

Sepasang tangan dan kaki Ki Rawe 

Rontek yang memiliki otot-otot kenyal 

menggelembung dan berkulit keras serta 

berbulu kasar, menderu kian kemari. Di 

sekelilingnya berhembus semacam 

selubung kekuatan kasap mata yang mampu 

membuat seluruh tulang-belulang 

lawannya terasa remuk!

Seperti kebuasan terjangannya, 

wajah Artapati pun memancarkan kebuasan. 

Helai-helai rambutnya yang panjang 

sebatas punggung, menyatu dan bergumpal 

seperti bulu-bulu domba. Bentuk wajahnya 

persegi dengan rahang kekar. Alis 

matanya hitam, hampir menyatu. Di bawah 

alisnya tampak bersinar jalang sepasang 

mata yang membiru pada seputar 

kelopaknya. Bentuk hidungnya 

membengkok. Tulang hidung dekat matanya 

tampak menonjol, nyaris sama panjang 

dengan cupingnya. Sedangkan bibirnya 

hanya seperti garis tipis memanjang 

dengan ujung-ujung menekuk berkesan 

menggiriskan.

Di samping itu, bentuk tubuh 

Artapati pun menyeramkan. Orang bernyali 

kecil pun akan takut, jika baru melihat 

seluruh otot di bagian tubuhnya yang 

menonjol. Apalagi bahunya besar dan

dadanya bidang. Batang lehernya seperti 

beton, kaku serta kekar. Di beberapa 

bagian kulitnya, tumbuh sejenis jamur 

menggumpal. Mungkin karena telah begitu 

lama terpendam di perut bumi. Semua itu 

bisa terlihat, karena laki-laki ini 

hanya mengenakan celana hitam sebatas 

lutut yang sudah koyak di mana-mana.

Ada lagi yang tak kalah menyeramkan 

dari semua itu. Di lehernya, terdapat 

bekas luka melingkar. Daging-daging 

kecil tampak menyembul keluar dari 

lukanya.

Kalau menyaksikan bekas luka itu, Ki 

Lantanggeni jadi bergidik. 'Rawe 

Rontek', ilmu hitam itu telah 

menghidupkannya kembali! Tapi, 

bagaimana dia bisa hidup kembali tanpa 

bantuan orang lain dengan memberinya 

darah perawan sebagai pembangkit?

Memang! Sewaktu Ki Lantanggeni, 

Andika, dan Idayu Wayan Laksmi memasuki 

Goa Karang Hitam beberapa waktu lalu, 

tanpa disengaja darah dari luka Idayu 

Wayan Laksmi menetes-netes di tubuh 

Artapati. Walaupun tak terlalu banyak, 

tapi itulah awal kebangkitan kembali 

tokoh hitam berjuluk Ki Rawe Rontek! 

(Baca episode : "Darah Pembangkit 

Mayat").

***

Artapati terus merangsek Ki 

Lantanggeni makin ganas. Sementara 

kedudukan laki-laki tua guru Yaksa itu 

pun kian terhimpit.

"Grrrhhh!"

Di suatu kesempatan, seiring 

raungan berat, Artapati menyapukan 

tangan di udara. Cakaran tangannya 

hendak melantakkan kaki Ki Lantanggeni 

yang masih melayang di udara.

Gerakan yang demikian cepat ini 

membuat Ki Lantanggeni tidak mungkin 

lagi menarik kaki. Satu-satu jalan

baginya untuk menghadapi sambaran cakar 

Artapati adalah menyambutnya dengan 

kaki. Maka segera disalurkannya seluruh 

kekuatan tenaga dalam pada kaki. Paling 

tidak, ini bisa menyelamatkan kakinya 

dari keremukan Dan....

"Haaath!"

Drak!

"Aaakh...!"

Benturan keras terjadi antara cakar 

Artapati dengan tulang kaki Ki 

Lantanggeni. Laki-laki tua, guru dari 

Yaksa ini meraung tinggi. Wajahnya 

disesaki warna merah karena menahan 

sakit luar biasa. Nyerinya bahkan terasa 

sampai ke seluruh jaringan tubuhnya. 

Semula harapan Ki Lantanggeni adalah, 

kakinya tidak mengalami luka parah. Tapi 

kini, harapannya hanya pepesan kosong. 

Betapa tidak merasakan, bagian tulang di

pergelangan kakinya seperti direncah-

rencah.

Tubuh orang tua itu melayang di 

udara, lalu ambruk berdebam di tanah. Di 

wajah bumi itu, Ki Lantanggeni 

menggelepar-gelepar sambil memegangi 

pergelangan kaki kanannya. Debu di bawah 

rumput terangkat ke udara, merubungi 

tubuhnya.

"Harrh... harrrhh... harrh! Masih 

jugha khau mahau bershikeras unthuk 

menyembhunyikan ghulungan lhontar ithu 

padhakhu?" cemooh Artapati, dingin.

"Demi Tuhan! Kau bunuh aku akan 

lebih baik daripada harus menyerahkan 

gulungan lontar itu padamu, Iblis!" 

hardik Ki Lantanggeni di tengah-tengah 

erangan.

"Harrrh... harrh... harrrh... 

harh!"

Lagi-lagi Artapati tertawa ganjil. 

Wajahnya mendongak menantang langit. 

Tampaknya dia begitu puas jika melihat 

seseorang menggelepar-gelepar 

kesakitan.

Ki Lantanggeni sekarang melihat 

kesempatan untuk menyerang. Dalam 

keadaan sehat, dia tidak akan sudi 

berbuat curang dengan memanfaatkan 

kelemahan lawan. Tapi keadaan kali ini 

jauh berbeda. Segala cara harus 

diusahakan untuk dapat mencegah tokoh 

hitam ini merajah dunia persilatan.

Sambil menghempas napas untuk 

menguasai rasa sakit, lelaki tua itu 

bangkit dalam sekali sentakan Tanpa 

menghiraukan bakal kehilangan nyawa, 

diterkamnya kepala Artapati. Sementara, 

kedua telapak tangannya siap mendongkel. 

leher datuk sesat itu. Dia memang 

berusaha kembali memisahkan kepala 

Artapati dari tubuhnya. 

"Hih!"

Sayang seribu kali sayang. Artapati 

rupanya hanya hendak mengecoh Ki 

Lantanggeni. Sengaja wajahnya mendongak 

agar lawan mengira dirinya lengah. 

Padahal pada saat yang bersamaan, 

tangannya telah siap dengan 'Pukulan 

Peremuk Dalam' tingkat enam belas. 

Tingkat pukulan hitam yang bisa melebur 

baja setebal satu hasta dari dalam! 

Dan....

"Aaarrrgh!"

Bes!

Tak dapat dicegah lagi, sepasang 

telapak melebar Artapati memakan dada Ki 

Lantanggeni. Sehing-a, mata lelaki tua 

itu seketika terbelalaklebar. Bahkan 

otot-otot merah di matanya membersit 

jelas. Tubuh tua Ki Lantanggeni kontan 

tergantung-gantung lunglai di atas 

telapak tangan Artapati yang menengadah. 

Lubang hidung, mulut, telinga, mata, 

bahkan dari setiap pori-pori kulit Ki 

Lantanggeni mengeluarkan darah kental 

kehitaman.

Orang tua itu telah gugur dengan 

tubuh bagian dalamnya hancur lebur.

Artapati segera menghempas tubuh Ki 

Lantanggeni begitu saja. Selanjutnya, 

dia tertawa penuh kepuasan.

Beberapa lama kemudian, tokoh yang 

tergolong mayat hidup itu sudah tampak 

meninggalkan puing arang gubuk milik Ki 

Lantanggeni. Di tangannya ada segulungan 

lontar yang didapat dari sisa-sisa 

patung Sang Kala, yang tanpa disengaja 

terlihat olehnya laci kecil di bawah kaki 

patung.

Di depan puing-puing hitam berasap 

pondok ini, Artapati meremas-remas 

gulungan lontar yang ditemukannya tanpa 

memeriksa terlebih dahulu. Gulungan 

lontar itu pun langsung lebur menjadi 

abu, di tangan datuk sesat yang merasa 

yakin telah memusnahkan petunjuk rahasia 

kelemahan seluruh ilmu sesatnya.

***

Biru langit tampak menipis. Warna 

hitam malam di wajah cakrawala

menampakkan diri. Hari kini dipagut 

malam.

Di Desa Umbuldadi, dua insan berbeda 

jenis terdiam menatap kerlap-kerlip 

sejuta bintang di angkasa raya. Sesekali 

mata mereka juga menjilati sinar temaram 

rembulan yang hanya sepenggal. Mereka 

adalah Andika dan Idayu Wayan Laksmi yang

tengah berdiri di halaman belakang 

rumah.

Sejak sore tadi, Idayu Wayan Laksmi 

terus memagar diri dari Andika diam tak 

beranjak sedikit pun dari tempatnya. 

Sampai gelap pun merambah, dia tetap 

berdiri tanpa sepatah kata terucap.

Karena kebekuan Idayu Wayan Laksmi, 

Andika jadi tak berani mengusiknya. 

Cukup lama juga Pendekar Slebor berdiri 

saja di sisi gadis ayu itu. Sama-sama 

mematung, sama-sama bisu.

"Maafkan, kalau ucapanku sore tadi 

menyinggung perasaanmu, Laksmi," ucap 

Andika akhirnya.

Andika terdiam sebentar.

"Aku mengaku salah karena tak pernah 

mengatakan hal yang sebenarnya," sambung 

pemuda itu perlahan.

Idayu Wayan Laksmi tak bergeming 

dari sikap semula. Tetap berdiri diam, 

seperti area yang tak berusik badai.

"Sungguh! Aku sulit untuk mencintai

mu, Laksmi. Sulit mencintaimu," aku 

Andika.

"Kenapa, Beli?” tanya Idayu Wayan 

Laksmi, menggugurkan kebisuannya. Mata 

indahnya tetap terpaut nanar, pada 

sebuah bintang yang bersinar paling 

terang.

"Karena...," Andika kehabisan kata-

kata. "Kurasa karena aku memang sulit 

mencintaimu."

"Aku bukan menanyakan itu, Beli. Aku 

bertanya, kenapa selama ini sikap Beli 

seolah memberi banyak harapan padaku?" 

ucapan Idayu Wayan Laksmi menyudutkan 

pendekar tampan itu.

"Sekali lagi aku mengaku salah, 

Laksmi. Sewaktu pertama kali berkenalan, 

aku memang tertarik padamu. Kau memang 

ayu. Pribadimu pun mengagumkan. Pemuda 

mana yang tak akan tertarik? Begitu juga 

aku. Tapi setelah cukup lama mengenalmu, 

baru kusadari kalau aku hanya tertarik 

Tak lebih dari itu...."

Garis-garis bening mulai turun di 

dua belahan pipi Idayu Wayan Laksmi, 

membiaskan cahaya redup rembulan. 

Benaknya mengulang-ulang pertanyaan 

Andika barusan dalam nada kecewa. Hanya 

tertarik?

"Jadi selama ini Beli tak pernah 

mencintaiku? Menyayangiku?" tanya gadis 

itu tersendat, diberontaki rasa sesak

yang menanjak ke tenggorokannya.

"Apa selama ini aku begitu 

memperhatikanmu? Atau bersikap baik 

padamu?" Andika balik bertanya. 

"Ya...," singkat Idayu Wayan 

Laksmi. 

"Itu artinya aku menyayangimu. 

Sepenuh hati kukatakan, aku menyayangi

mu. Tapi kau jangan salah duga. 

Menyayangi bukan berarti mencintai, 

layaknya seorang kekasih...," tutur

Andika di antara hempasan-hempasan napas 

kecil.

"Kenapa kau tak bisa mencintaiku?" 

susul Idayu Wayan Laksmi.

Andika menarik napas dalam. 

Disapunya anak rambut ke belakang kepala 

dengan kedua tangannya.

"Entahlah...," desah pemuda itu. 

"Mungkin karena aku pernah kehilangan 

orang yang begitu kucintai, dan sampai 

kini tetap membekas di bilik-bilik 

hatiku. Atau mungkin, karena aku tak mau 

mengecewakan seorang gadis dengan 

meninggalkannya. Sebab, aku mengemban 

tugas suci untuk menegakkan kebenaran. 

Aku tak bisa tinggal di satu tempat, 

selama aku masih mampu menjelajah muka 

bumi untuk menegakkan kebenaran."

Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk 

dengan kata hati masing-masing.

"Jadi, kuharap kau mau mengerti 

keadaanku, Laksmi. Dan, mau pula 

memaafkanku," tutur Andika, lembut.

Idayu Wayan Laksmi mulai mau 

memindahkan pandangannya kewajah 

Andika. Lama ditatapnya wajah pemuda itu

dalam-dalam. Di sana ditemukannya 

kesungguhan tanpa sebersit kebohongan. 

Air muka yang tegar, siap melangkahi 

buana yang penuh kebatilan. Idayu Wayan 

Laksmi juga menemukan mata elang 

Pendekar Slebor yang menghujam angkasa, 

seakan tidak pernah takut menghadapi 

tantangan apa pun.

Perlahan tangan lembut Idayu Wayan 

Laksmi bergerak, menjemput tangan kekar 

Andika. Digenggamnya tangan pemuda itu 

erat-erat. Dan Andika pun membalasnya.

"Beli," tegur Idayu Wayan Laksmi.

Andika menoleh lembut. Matanya bisa 

langsung menemukan sinar persahabatan di 

mata gadis ayu itu

"Kalau aku memaafkan Beli, maukah

Beli memaafkanku juga?" tambah Idayu 

Wayan Laksmi.

Idayu Wayan Laksmi berpikir memang 

tak bijaksana jika hanya karena 

cintanya, dia telah menahan seorang 

pemuda mulia dalam melakukan tugas suci.

"Kini aku bisa mengerti, Beli..." 

tutur Idayu Wayan Laksmi mengakhiri.

"Dan kini aku pun memaafkanmu, 

Laksmi...," ujar Andika tersenyum.

Mereka sama-sama tersenyum lepas. 

Lalu sama-sama pula menatap angkasa 

kembali, dalam satu rasa persahabatan.

***

EMPAT



Pagi telah bangkit, dan sarat dengan 

kesegaran. Desa Umbuldadi tempat Andika 

menetap untuk sementara sejuk dibelai 

angin pagi. Pepohonan memendarkan warna 

hijau samar, saat matahari menyapa ramah 

dari tempat munculnya.

Pagi-pagi sekali, Pendekar Slebor 

sudah duduk di anak tangga rumah Idayu 

Wayan Laksmi. Semalaman matanya tidak 

bisa dipejamkan. Bukan karena Idayu 

Wayan Laksmi dia sendiri tidak tahu, 

kenapa. Yang jelas, semalam hatinya 

malah terus bertanya-tanya, kenapa masih 

berada di sini? Bukankah semestinya dia 

sudah melanjutkan perjalanan, seperti 

yang dikatakannya pada Idayu Wayan 

Laksmi semalam?

Semenjak pertarungan dengan 

Sepasang Datuk Karang dulu, timbul 

keengganan Pendekar Slebor untuk 

meninggalkan wilayah ini. Dia sendiri 

bingung. Seolah-olah, nalurinya menahan 

agar dirinya tetap di Desa Umbuldadi ini.

"Aneh! Apakah urusan ini belum 

selesai?" gumam Pendekar Slebor bertanya 

pada diri sendiri. "Lalu, kenapa pula 

semalam aku begitu gelisah? Apakah ada 

sesuatu yang tak beres?"

Seketika Andika teringat pada Ki 

Lantanggeni. Segera saja diputuskannya 

untuk mengunjungi lelaki tua itu. 

Memang, rasanya ada firasat buruk 

terhadap Ki Lantanggeni.

Andika segera bangkit.

"Beli mau ke mana?" sapa seseorang 

di belakangnya.

Rupanya, I Ktut Regeg sudah 

terbangun juga. Pemuda tanggung itu 

sedang mengucek-ucek mata, kala Andika 

menoleh.

"Aku ada sedikit urusan," jawab 

Andika. "Mau ikut juga seperti semalam?"

"Ah! Tidak, Beli. Terima kasih," 

tukas I Ktut Regeg cepat.

Dia memang tidak mau lagi dijadikan 

patung hidup oleh Andika, seperti 

semalam. Sampai-sampai seluruh tubuhnya 

pegal-pegal.

Andika tertawa, namun segera 

beranjak pergi. Seketika Pendekar Slebor 

melesat pergi dengan mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh yang sudah sangat 

tinggi. Begitu cepatnya, sehingga begitu 

I Ktut Regeg menoleh kembali ke arah 

Andika, pendekar muda itu sudah lenyap 

bagai tertelan bumi.

***

Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa itu 

terkesiap, manakala menemukan pondok 

sahabat tuanya sudah tidak ada lagi. Yang 

terlihat hanya serakan puing-puing arang 

yang masih mengepulkan asap tipis.

Sekitar empat depa dari reruntuhan 

pondok, seorang pemuda yang sebaya 

dengannya tampak terduduk lesu di tepi 

satu gundukan tanah basah. Andika yakin, 

gundukan tanah itu adalah kuburan. Itu 

bisa diduga dari ranting kayu kefingyang 

ditancapkan pada satu ujung gundukan. 

Tapi, kuburan siapa? Dan, siapa pula 

pemuda itu?

Segera saja Andika menghampiri. 

"Kisanak... Kalau bolehku tahu, kuburan 

siapa ini?" tegur Andika di belakang 

tubuh pemuda yang tak lain dari Yaksa, 

murid Ki Lantanggeni.

Yaksa menoleh cepat. Matanya 

mengawasi curiga pada Andika. Dia kenal 

betul pada wajah pemuda yang menyapanya. 

Inilah lelaki yang berbincang-bincang 

dengan Idayu Wayan Laksmi kemarin sore!

"Kenapa kau bertanya?" Yaksa balik 

bertanya. Nada bicaranya terdengar 

menyelidik dan sedikit sinis.

Andika mencoba membalas perlakuan 

tak ramah Yaksa dengan senyum.

"Aku hanya ingin tahu," jawab 

Pendekar Slebor sambil lalu.

"Kalau begitu, pergilah dari tempat 

ini secepatnya. Aku sudah muak melihat 

wajahmu!" usir Yaksa.

Tentu saja sikap pemuda yang baru 

dikenalnya ini membuat Andika 

kebingungan. Sepasang alis matanya yang 

legam hampir bertemu, karena penasaran. 

Apa-apaan ini? Tak ada angin tak ada 

kentut, tiba-tiba saja pemuda itu 

mencurigainya?

"Ah! Tak sepantasnya Kisanak 

bersikap sekasar itu padaku," bujuk 

Andika. "Bukankah kita baru saja 

berjumpa?"

"Sepantasnya kau segera pergi dari 

tempat ini!" terabas Yaksa gusar, 

langsung berpaling dari wajah Andika.

"Ah, baik.... Aku akan segera pergi. 

Tapi sebelum pergi, bolehkah aku tanya di 

mana Ki Lantanggeni?"

Yaksa menoleh kembali.

"Ada urusan apa kau dengan guruku?" 

tanya pemuda itu dengan tatapan 

menyelidik.

"Aaa! Jadi kau murid Ki 

Lantanggeni...."

Andika mengulurkan tangan, mengajak 

Yaksa berjabatan. Tapi yang diterimanya 

hanya wajah asam dari Yaksa. Dan Pendekar 

Slebor pun jadi mengangkat bahu.

"Baiklah kalau kau tak mau menyambut 

jabat tanganku," kata Pendekar Slebor 

setengah menggerutu. "Aku adalah sahabat 

Ki Lantanggeni."

Yaksa kontan tertawa mencemooh.

"Heh?! Apa mungkin guruku mempunyai 

sahabat semuda dirimu?!"

Andika menarik napas kesal.

"Apa gurumu tak pernah bercerita 

tentang sahabat barunya yang tinggal 

sementara di Desa Umbaldadi?"

"Hei?! Yang kutahu, beliau memang 

mempunyai sahabat di desa itu. Tapi yang 

jelas bukan kau!" 

"Siapa namanya?"

"Apa urusanmu?"

"Andika?" duga Andika.

Mata Yaksa kontan membesar. 

Diambilnya sebilah belahan kayu dinding, 

di mana Ki Lantanggeni meninggalkan 

pesan untuknya. Dibacanya teliti nama

orang yang tertulis di atasnya, seakan 

ingin meyakinkan diri.

"Dari mana kau tahu kalau guruku 

punya sahabat bernama Andika?" tanya 

pemuda itu heran. Matanya masih saja 

melemparkan sinar kecurigaan.

Mendengar pertanyaan tolol dari 

Yaksa, tawa Andika jadi ingin meledak 

mendadak. Tapi, dia berusaha menahannya. 

Andaikata sudah lama mengenal Yaksa, 

sudah pasti dia akan terpingkal-pingkal 

di tempat.

"Kau meledekku?!" Yaksa gusar.

Segera pemuda itu bangkit, 

menyentak tubuhnya. Langsung 

dibantingnya potongan kayu dinding dari 

tangannya

Andika akhirnya tak kuat lagi 

menahan tawa. Kalau tawanya ditahan 

terus, bisa-bisa malah keluar dari 

'lubang' yang lain!

"Hua ha ha...!"

Manusia waras mana pun pasti akan 

menjadi marah diperlakukan seperti itu. 

Begitu juga Yaksa. Tubuhnya langsung 

merangsek maju, hendak menyodok perut 

Andika dengan tinjunya.

"Keparat!"

"Eit, tunggu!" cegah Andika.

Tubuh Pendekar Slebor cepat 

menyurut kebelakang, seraya mengangkat 

telapak tangan ke muka. Dicobanya 

menahan niat Yaksa.

"Kalau kau tak memukulku akan 

kuberitahu di mana tempat tinggal lelaki 

bernama Andika itu...," sambung Andika, 

setengah membujuk.

"Baik," ucap Yaksa dengan satu 

hempasan napas kesal. "Tapi kalau kau 

mencoba membohongiku, akan kuhajar kau! 

Sekarang katakan padaku, di mana orang 

bernama Andika itu tinggal!" desak Yaksa 

sambil mengancam.

"Di kolong langit...," jawab 

Pendekar Slebor enteng dan seenak udel.

"Bangsat!" Yaksa langsung 

mengangkat tangan geram.

"Ei...! Ei...! Tapi aku tahu, di 

mana dia sekarang!" tahan Andika lagi.

"Di mana?!" hardik Yaksa dengan 

wajah merah matang.

Andika hanya menyeringai bodoh.

"Di sini," kata Pendekar Slebor.

Yaksa makin merasa dipermainkan 

pemuda di depannya. Untuk kemarahan 

terakhir, dia tak mau lagi menahan 

tangan. Diiringi geraman gusar, 

dilayangkannya tinju keras ke wajah 

Andika.

"Hih!"

Deb!

Cepat bagai kilat Andika bergegas ke 

kiri satu langkah. Sehingga serangan itu 

luput dari sasaran.

Tapi pada saat itu pula, Pendekar 

Slebor merasakan adanya bahaya maut. 

Bukan dari pukulan Yaksa. Karena dari

gerak dan kekuatan pukulan pemuda itu, 

sudah langsung dapat dinilai sampai di 

mana tingkat kepandaiannya. Yaksa 

tergolonghijau baginya. Meski, dia murid 

Ki Lantanggeni. Yang jelas, bahaya maut 

itu kian mendekati tubuh Yaksa. Lalu.... 

"Hiah!"

Dalam satu rangkai tangkisan dan 

pukulan telapak tangan yang secepat 

kerdipan mata, Pendekar Slebor langsung 

melempar deras tubuh Yaksa ke belakang. 

Lalu pada saat yang hampir bersamaan, 

sebuah benda berkilauan melesat tepat di 

depan Pendekar Slebor.

Sing! 

Jep!

Benda berkilatan itu meluncur, 

membentuk sudut empat puluh lima derajat 

ke bumi, lalu menancap mantap di gundukan 

tanah tempat Yaksa bersimpuh tadi. Kalau 

saja Andika tak segera menyarangkan 

hantaman telapak tangan ke dada, bisa 

dipastikan benda tajam berbentuk pisau 

terbang itu akan memangsa leher Yaksa!

Dalam keadaan tertunduk, Yaksa 

terperangah. Matanya terbeliak ngeri 

pada pisau terbang yang luput memangsa 

lehernya. Kemudian, sepasang bola 

matanya bergulir ke Andika. Ditatapnya 

pemuda sebayanya itu dengan pandangan 

sulit dijabarkan.

"Kau sengaja memukulku untuk 

menyelamatkanku," ucap pemuda itu.

Suaranya lebih terdengar seperti 

berkata pada diri sendiri. Yaksa yakin 

itu. Sebab, dia tak merasakan dadanya 

mengalami luka.

Pemuda yang diajak bicara seperti 

tak peduli perkataan Yaksa barusan. 

Matanya menyelidik tajam ke arah asal 

luncuran pisau terbang tadi. Merasa 

yakin kalau si Pelempar Gelap sudah tak 

ada lagi di tempatnya, Andika segera 

menghampiri pisau terbang tadi.

"Ada yang ingin menyampaikan pesan 

padamu dengan cara keji," kata Andika 

sambil menimang-nimang pisau terbang 

yang baru diambilnya.

Pada tubuh pisau, Andika menemukan 

secarik kain. Dia yakin, kain itu semacam 

surat. Dan dugaannya tak meleset. Ketika 

potongan kain kecil itu dibentang, 

ditemukannya tulisan.

“Apakah kau tak tahu kalau dalam 

gundukan tanah di dekatmu, terkubur 

jasad Ki Lantanggeni? Ki Rawe Rontek 

telah bangkit kembali! Dialah yang telah 

mengirim Ki Lantanggeni ke dalam kubur.

Apa kau tahu niat Ki Rawe Rontekyang 

ingin menguasai Buleleng?”

Selesai membaca pesan dalam surat 

itu, kening Andika mengernyit. Sehimpun 

pertanyaan pun menyeruak di benaknya. 

Seperti juga Ki Lantanggeni ketika 

disantroni Artapati, Andika pun

bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa Ki 

Rawe Rontek atau Artapati bisa bangkit 

kembali? Sepengetahuannya, orang itu 

tidak akan bisa bangkit sendiri. Harus 

ada orang lain yang membantunya dengan 

darah perawan sebagai pembangkit hidup. 

Selain itu, hatinya juga jadi penasaran 

pada si Pengirim Pesan. Siapa 

sesungguhnya orang itu?"

"Kenapa kau tak bilang padaku kalau 

gundukan itu adalah kuburan gurumu?" 

tanya Andika, selesai meremas kain di 

tangannya.

"Apa pedulimu?" Yaksa balik 

bertanya dengan nada sinis. Tak 

dipedulikannya tindakan Andika yang 

membebaskannya dari incaran maut pisau 

terbang tadi.

"Apa peduliku? Kalau kau cepat 

memberitahu tentang kematian gurumu, 

tentu aku akan....," Andika menghentikan 

ucapan. "Ah, sudahlah! Tak ada gunanya 

berdebat denganmu!"

Pendekar Slebor segera berbalik, 

hendak pergi meninggalkan Yaksa.

"Mau ke mana kau?!" tahan Yaksa.

"Apa pedulimu?!"

"Karena, bisa saja justru kau yang 

telah membunuh guruku!" tuding Yaksa. 

Lelaki itu bangkit cepat. 

"Siapa namamu?"

"Apa pedulimu?" ulang Andika seraya 

melangkah acuh.

Yaksa mencoba menyusul, hendak 

menghadang. Tapi belum lagi tubuhnya 

tiba, pendekar muda itu sudah menghilang 

dengan gerakan kilatnya.

***

Andika kini tiba di Kerajaan 

Buleleng. Keputusan untuk datang ke 

istana Cokorde Ida Bagus Tanca, Raja 

Buleleng, ditetapkannya setelah 

menebak-nebak maksud kalimat terakhir 

dalam surat kain. Jika kalimat itu 

menyatakan bahwa Artapati atau Ki Rawe 

Rontek hendak menguasai Buleleng, maka 

sudah bisa dipastikan datuk sesat itu 

akan mencoba menguasai istana sebagai 

pusat pemerintah terlebih dahulu. Kalau 

pihak istana runtuh, maka kerajaan pun 

terkuasai. Itu berarti, seluruh wilayah 

Buleleng akan dikuasai.

Di pintu gerbang, dua penjaga yang 

sudah mengenal Pendekar Slebor ketika 

dulu hendak ditangkap akibat fitnah 

salah seorang keluarga kerajaan, segera 

memberi hormat dengan tata cara 

prajurit.

"Ada perlu apa, Tuan Andika?" tanya 

salah seorang prajurit ramah dan sopan.

"Aku hendak berjumpa Cokorde. Ada 

hal yang harus dibicarakan dengan 

beliau," sahut Andika, tak kalah ramah.

Si Prajurit mengangguk.

"Baik, Tuan Andika. Kalau begitu 

mari, ikut hamba...," ajak prajurit, 

langsung melangkah ke pelataran istana.

Dan Andika pun mengikuti.

Setelah melintasi taman depan 

istana, serambi, dan beberapa ruang 

besar, barulah mereka tiba di satu ruang 

makan keluarga istana. Cokorde tampak 

baru saja menyelesaikan makan siang 

bersama keluarga besarnya.

Betapa gembiranya Cokorde menyambut 

kedatangan Pendekar Slebor. Dijabatnya 

tangan pemuda itu hangat. Dan belum lagi 

Andika beramah-tamah, Cokorde sudah 

memintanya untuk makan siang. Lelaki 

berusia sekitar tujuh puluhan dan 

bertubuh agak pendek gemuk itu 

mengantarkannya ke meja makan. Wajah 

Raja Buleleng yang tampak putih bersih 

dengan kumis rapi itu tampak selalu 

dihiasi senyum ramah.

Sementara itu, beberapa pejabat 

istana yang kebetulan mendapat undangan 

makan siang, menjadi terheran-heran. 

Selama ini, tidak ada seorang pun yang 

disambut demikian hangat oleh Cokorde. 

Tapi, anak muda berpenampilan kampungan 

itu justru diperlakukan lebih akrab, 

ketimbang seorang sahabat raja. Dalam 

hati masing-masing, tentu saja 

bertanya-tanya siapa sesungguhnya anak 

muda itu.

Memang dalam adat istiadat keluarga 

Cokorde Ida Bagus Tanca, seorang ksatria

sejati yang sudi mengorbankan hidup dan 

mati demi kebenaran, amat dihormati. 

Nilai-nilai itu diwarisi turun-temurun 

pada keluarga kerajaan. Di samping 

karena memegang teguh aturan adat dalam 

Tri Pepali di mana seseorang harus 

bersikap ksatria, mereka juga merasa 

sebagai keluarga keturunan para Ksatria 

Buleleng.

Mendapat tawaran makan siang dari 

Cokorde, Andika merasa tertimpa rejeki 

nomplok. Sejak pagi tadi, perutnya 

memang belum disentuh makanan.

Untuk langsung mengiyakan tawaran 

baik ini, hatinya agak risih. Maka dia 

bersandiwara sedikit, berpura-pura 

menolak.

"Maaf, Baginda. Bukannya menolak. 

Tapi..," Pendekar Slebor sengaja 

memutuskan kata-katanya agar Cokorde 

menyelanya, dengan memaksa untuk makan.

Tapi, sungguh mampus! Jawaban 

Cokorde ternyata jauh di luar perkiraan 

Andika.

"Kenapa? Apa kau sudah makan? Yah! 

Kalau begitu, aku tak bisa memaksa...," 

kata Cokorde sambil menepuk-nepuk bahu 

Pendekar Slebor.

"Sial!" maki Andika dalam hati. Apes 

sekali nasibnya hari ini....

"Kalau begitu, mari kita ke ruang 

anjangsana. Bukankah kau hendak 

membicarakan sesuatu padaku?" ajak

Cokorde, sekaligus menduga maksud 

kedatangan Andika.

Andika hanya bisa mengangguk, dan 

berpura-pura tidak kecewa. Apa mesti dia 

merengek-rengek meminta agar tawaran 

makan siang Cokorde diulang lagi?

Kini mereka berjalan akrab 

bersisian ke ruang yang dimaksud. 

Sebelum tiba di sana, salah seorang Patih 

I Wayan Rama yang ikut dalam usaha 

penangkapan Andika dulu datang menghadap 

Cokorde dengan tergopoh-gopoh.

Patih I Wayan Rama adalah lelaki 

berusia sekitar empat puluh tahun. 

Badannya kekar berotot. Dia tampak 

semakin gagah dengan sebilah keris 

pusaka dipinggang. Wajahnya garang meski 

tanpa kumis melintang. Apalagi kalau 

memperhatikan alis matanya. Lebat 

menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya 

memancarkan semangat berkobar, sesuai 

jabatan kepala prajurit istana.

"Ampun, Paduka," ucap patih itu pada 

Cokorde. "Ada seseorang tak dikenal 

ingin menghadap Paduka. Dia begitu 

memaksa. Sewaktu beberapa prajurit 

hendak mencegahnya, orang itu mengamuk. 

Karena tak ingin bertindak gegabah, maka 

hamba harus melaporkan hal ini pada 

Paduka. Apakah hamba harus menindaknya?"

"Apa dia menyebut-nyebut namanya?" 

sergah Andika, tanpa mau tahu kalau telah 

menyela ucapan yang baru hendak 

dikatakan Cokorde.

Patih I Wayan Rama yang baru melihat 

kehadiran Pendekar Slebor ini sesaat, 

menatap Andika dengan sinar mata 

menyapa.

"Aku tidak tahu, Andika. Jangan lagi 

nama orang itu. Setiap kata yang keluar 

dari mulutnya pun begitu membingungkan. 

Dan lagi, penampilannya begitu 

mengerikan!"

Andika langsung mengeryitkan dahi. 

Rupanya peringatan dalam surat kain 

memang bukan hanya isapan jempol!

***


LIMA


Cokorde Ida Bagus Tanca berdiri 

tegang di tangga depan istana. Wajahnya 

yang masih menyisakan ketampanan itu 

tampak berkerut gusar menyaksikan 

kejadian di depannya. Bersama Andika, 

Patih I Wayan Rama dan beberapa petinggi 

kerajaan, Raja Buleleng ini melihat 

bagaimana para prajurit dibantai oleh 

seorang lelaki tak dikenal yang 

bertampang menyeramkan.

Sementara Pendekar Slebor sendiri, 

masih cukup jelas mengingat, bagaimana 

wajah mayat di Goa Karang Hitam dulu. 

Wajah yang kini dilihatnya adalah milik 

lelaki yang sedang mengamuk bagai naga 

luka haus darah.

"Aaa!"

"Grrrhhh!"

Terdengar lengking kematian para 

prajurit, yang disertai geraman buas 

lelaki berjuluk Ki Rawe Rontek, berbaur 

tumpang tindih dengan suara-suara 

hantaman dan terjangannya. Debu-debu di 

permukaan pelataran depan gerbang 

berterbangan menciptakan pemandangan 

menggiriskan.

Selaku raja yang memiliki tanggung 

jawab besar serta perhatian pada para 

abdi istana, Cokorde menjadi tak tega 

melihat prajuritnya dijadikan bulan

bulanan empuk si Pengacau. Dengan cuping 

hidung murka, kepalanya menoleh ke arah 

Patih I Wayan Rama.

"Hadapi dia, Patih Rama!" perintah 

Raja Buleleng ini lantang terbakar.

Patih I Wayan Rama yang dari tadi 

menunggu tak sabar titah rajanya, segera 

saja melabrak maju ke tengah-tengah 

kancah pertarungan.

"Prajurit! Mundur semua! Bentuk 

kepungan besar dan berkan aku jalan!" 

teriak Patih I Wayan Rama merobek langit.

Sambil berlari mendekati Ki Rawe 

Rontek, lelaki gagah itu melepas keris 

pusaka dari pinggangnya.

"Kau telah membunuh para prajurit 

kami, Lelaki Asing! Aku bisa langsung 

menjatuhkan hukuman di tempat ini juga! 

Tapi, kau bisa menyerahkan diri secara 

baik-baik, agar kami bisa mengadilimu!"

seru Patih I Wayan Rama lagi, memberi 

peringatan pertama.

Ki Rawe Rontek hanya berdiri kaku. 

Air mukanya tampak dingin, seakan sama 

sekali tidak menggubris peringatan tadi. 

Dari tarikan-tarikan napasnya yang 

terseret, tersembul suara mendirikan 

bulu roma bagi yang mendengarnya. 

Erangan yang seolah-olah datang langsung 

dari dasar neraka!

Sebenarnya, Patih I Wayan Rama pun 

tak luput dari perasaan ngeri yang sulit 

dijelaskan. Rasa ngeri yang menelusup 

begitu saja ke dalam benaknya, seperti 

jasad halus roh gentayangan. Kini baru 

disadari kalau lawan tidak seperti 

manusia sewajarnya.

"Manusia macam apa dia...?" desis 

patih itu tersamar. 

Patih I Wayan Rama jelas menyaksikan 

bekas luka di seputar leher calon 

lawannya yang pada kulit ditumbuhi jamur 

mengerak

"Apa kau tak dengar ucapanku?!" 

bentak laki-laki gagah ini setelah 

menguasai keterpanaannya.

Ki Rawe Rontek tetap membatu. 

Napasnya seo-lah berhenti, usai 

mendengar peringatan kedua dari Patih I 

Wayan Rama. Sekian waktu berikutnya dia 

menggeram amat keras. Dan tiba-tiba....

"Aaarrrgh!"

Seketika puluhan prajurit yang 

mengelilinginya bagai terdorong

sekumpulan makhluk halus. Mereka 

tersentak beberapa langkah ke belakang 

dengan wajah ngeri. Tak luput, Patih I 

Wayan Rama. Namun karena lebih mampu 

menguasai diri ketimbang para prajurit, 

sentakan tubuhnya tak begitu kentara.

Jauh di belakang sana, Cokorde 

berpahng ke arah Andika. Di dekatkan 

mulutnya ke telinga Pendekar Slebor.

"Kau tahu siapa dia, Saudara 

Andika?" bisik Raja Buleleng ini, 

seperti takut didengar Ki Rawe Rontek.

Tanpa menoleh, Andika mengangguk 

kecil.

"Tahu, Paduka. Dia adalah tokoh 

sesat yang paling ditakuti beberapa 

puluh tahun lalu, julukannya Ki Rawe 

Rontek...," jawab Pendekar Slebor 

mendesis.

Cokorde terperangah. Matanya 

memancarkan sinar tak percaya dengan 

ucapan Andika.

"Mana mungkin? Aku pernah baca buku 

sejarah keperwiraan milik para sesepuhku 

yang sempat mencatat tentang Ki Rawe 

Rontek Sepanjang catatan itu, dijelaskan 

kalau dia sudah mati...."

"Tapi apa dalam catatan itu Paduka 

tak membaca tentang ilmu hitam 'Rawe 

Rontek'yang juga dipakai sebagai julukan 

lelaki itu?" tanya Andika.

"Ya, memang ada. Tapi tak dijelaskan 

ilmu hitam macam apa itu...," sergah 

Cokorde.

"Ilmu hitam itu mampu membuat 

pemiliknya hidup kembali meski seluruh 

tubuhnya sudah direncah-rencah atau 

kepalanya sudah terpisah...."

Cokorde kontan bergidik.

"Paduka lihat bekas luka di leher 

lelaki itu? Itu adalah bekas penggalan 

kepala saat kematiannya. Dengan ilmu 

hitamnya dan darah perawan yang didapat 

entah dari mana, kepala dan tubuhnya bisa 

disatukan kembali seperti sekarang. 

Artinya, dia telah bangkit dari 

kematian," papar Andika dengan irama 

tegang. Sehingga membuat, seorang 

penasihat kerajaan tua bernyali ayam 

kampung tanpa sadar merapatkan tubuh 

pada Andika.

Dalam kungkungan ketegangan seperti 

itu, jiwa urakan Andika ternyata tak 

menghilang begitu saja. Tahu kalau 

penasihat tua yang mendapati kedudukan 

dengan jalan menjilat sana-sini itu 

merengket-rengket ketakutan, keusilan 

pemuda sakti itu pun kambuh. Dan 

tiba-tiba saja....

"Nah...!" bentak Andika.

Si Penasihat Tua kontan tersedak-

sedak. Napasnya nyaris terhenti dengan 

wajah pucat tanpa ampun. Matanya 

terbelalak, lebih jelek daripada mata 

semar sakit perut!

Ketika Pendekar Slebor coba-coba 

melirik, tampak si Penasihat Tua itu

sedang mengusap-usap dada sambil 

berkomat-kamit.

Di depan mereka sekitar dua puluh 

tiga tombak, Patih I Wayan Rama siap 

menggempur Ki Rawe Rontek. Habis sudah 

tenggang waktu yang diberikan Patih I 

Wayan Rama pada perusuh ini untuk 

menyerah. Diawali teriakan melantakkan 

hati, lelaki gagah itu mengacungkan 

keris ke muka.

"Hiaaa!"

Setelah menyalurkan tenaga dalam ke 

kaki yang dihentakkan, Patih I Wayan Rama 

melayang laksana sebilah tombak menuju 

sasaran. Tubuhnya terus ke depan dengan 

tangan menghunus keris. Sasaran 

tusukannya adalah dada kiri Ki Rawe 

Rontek. Menyadari keganasan laki-laki 

asing itu saat menghadapi para prajurit, 

Patih I Wayan Rama tidak ingin 

tanggung-tanggung lagi menghadapinya. 

Jantung datuk sesat itu hendak 

dihujamnya mentah-mentah.

Ki Rawe Rontek masih tetap berdiri 

tegak, sewaktu tubuh lawan meluncur kian 

dekat. Terkaman Patih I Wayan Rama hanya 

dilayani secara dingin, n-mun dengan 

mata memperlihatkan saraf-saraf 

memerah. Dan ketika ujung keris patih itu

tinggal setengah jengkal lagi dari kulit 

dadanya, tangan datuk sesat itu bergerak 

lebih cepat daripada tusukan keris. 

Tep!

Dua telapak kekar dan besar Ki Rawe 

Rontek langsung menghempit senjata Patih 

I Wayan Rama. Kekuatan jepitan itu seakan 

penyatuan dua bukit karang, memaksa 

senjata patih ini terhenti dalam sekejap 

mata. Pada saat bersamaan, luncuran 

tubuhnya tak bisa dihentikan. Telapak 

tangan yang menggenggam gagang keris 

kontan bergetar luar biasa, sehingga 

meleset ke batang keris. Sementara itu, 

kepalanya siap menghantam kepala Ki Rawe 

Rontek.

Ki Rawe Rontek sendiri sudah siaga 

menanti kepala laki-laki gagah ini. 

Kening kasar miliknya hendak dibenturkan 

dengan kening Patih I Wayan Rama.

"Huaaargh!"

Menyadari laki-laki asing itu lebih 

siap menghadapi benturan kepala, Patih I 

Wayan Rama tak mau ambil bahaya. Bagi Ki 

Rawe Rontek, teriakan seraknya adalah 

pertanda awal gerakan kepalanya. Tapi 

bagi Patih I Wayan Rama, teriakan itu 

justru isyarat bahaya yang harus segera 

dihindari jika kepalanya tidak ingin 

remuk dalam sekejap!

"Haiiih!"

Dengan teriakan keras, petinggi 

istana gagah itu memutar tubuhnya di 

udara. Sehingga, kedua kakinya dapat 

melewati kepala Ki Rawe Rontek lebih 

dahulu.

Jlep!

Patih I Wayan Rama mampu berdiri di 

tanah kembali, tanpa kehilangan nyawa. 

Namun begitu, bukan berarti tidak 

mengalami luka. Telapak tangan yang 

terseret batang kerisnya sendiri tampak 

tersayat dalam. Darah merah dengan cepat 

membanjir keluar, menyiram bumi.

Di lain pihak, Ki Rawe Rontek kini 

sudah menggenggam ujung dan pangkal 

keris Patih I Wayan Rama yang berhasil 

direbutnya. Tangannya kemudian terlihat 

meregang, memunculkan otot-otot setebal 

jari kelingking. Lalu....

Trak!

Senjata pusaka dari baja bercampur 

logam-logam langka milik Patih I Wayan 

Rama terpatah dua, layaknya sebatang 

lidi di tangan seorang bocah!

Kejadian di depan mata ini memaksa 

Patih I Wayan Rama terperangah antara 

kekaguman dan keterkejutan. Sepanjang 

delapan keturunan, senjata itu sampai di 

tangannya. Dan selama itu belum pernah 

ada seorang pun yang mempunyai kekuatan 

menandingi kekerasan senjatanya. Tapi 

hari ini, pusaka turun-temurun itu 

dijadikan mainan tak berarti oleh 

lawannya!

"Apa orang ini memiliki semacam ilmu 

iblis?" bi-sik Patih I Wayan Rama, 

seperti untuk diri sendiri.

"Ya! Dia memang memiliki ilmu sesat, 

Tuan Patih...," timpal Andika yang 

tiba-tiba sudah berdiri di samping

petinggi kerajaan itu. "Kalau 

diperbolehkan, biar aku saja yang 

mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek 

berjamur ini."

"Maaf, Saudara Andika. Ini adalah 

tanggung jawabku selaku keamanan 

istana," tolak Patih I Wayan Rama.

Andika malah tertawa.

"Aaa, kenapa Tuan pelit terhadapku? 

Lagi pula, apa Tuan tak melihat 

jamur-jamur berkerak di tubuhnya? Aku 

pikir, itu adalah buyut dari segala buyut 

panu. Tuan orang terhormat. Jadi tak 

mungkin meladeni orang seperti dia. Dia 

hanya akan mengotorkan tangan Tuan," 

desak Andika halus, dibumbui gurauan 

ngelantur.

Patih I Wayan Rama melirik Andika, 

mendengar permohonan yang terdengar aneh 

di telinganya. Pantas saja dunia 

persilatan menjuluki pemuda itu sebagai 

Pendekar Slebor. Dalam keadaan genting 

berbau maut seperti saat ini, dia masih 

mengoceh ngalor-ngidul!

"Sekali lagi maaf, Andika," ulang 

Patih I Wayan Rama. "Aku tak bisa mundur 

dalam tugas, selama masih mampu 

memikulnya."

Andika kehilangan akal menghadapi 

keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang 

berjiwa ksatria. Untungnya, Pendekar 

Slebor masih tersisa satu cara....

"Paduka!" seru Pendekar Slebor pada 

Cokorde. "Paduka tentu masih ingat

penjelasanku tadi bukan? Kalau Paduka

tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama 

mundur, percayalah. Paduka akan 

kehilangan seorang kstaria kerajaan 

sejati!"

Di kejauhan, Cokorde tampak 

mengangguk-angguk. Setelah itu, 

tangannya memberi isyarat agar Patih I 

Wayan Rama mundur. Maka dengan berat 

hati, lelaki setengah baya itu pun 

menuruti perintah rajanya.

"Naaah! Sekarang kau bisa 

berhadapan denganku, Biang Panu!" ledek 

Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah Patih 

I Wayan Rama mengambil jarak di luar 

arena pertarungan "Hari ini kau harus 

mempertanggung jawabkan perbuatan 

kejimu pada Ki Lantanggeni!"

Seperti saat pertama kali 

menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe 

Rontek kali ini juga diam tak bergeming, 

hanya mata baranya saja yang mengawasi 

Andika tajam-tajam.

"Kenapa diam?" Pendekar Slebor 

melangkah setindak. "Apa baru kali ini 

melihat manusia setampan aku?" Kembali 

kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa 

tindak.

"Ayo! Kau boleh menggeram, 

mengaung, menggonggong, atau mengembik. 

Lalu, seranglah aku!" tantang Pendekar 

Slebor kian mendekati tubuh calon

lawannya.

Sekitar dua depa dari Ki Rawe 

Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti 

melangkah. Lagaknya makin terlihat tak 

waras. Bagai seorang mandor menang 

undian, pemuda urakan itu bertolak 

pinggang di depan tokoh hitam 

menggiriskan ini.

Sedang pongah-pongahnya Andika 

bertolak pinggang, mulut berlendir Ki 

Rawe Rontek melepas geraman keras 

membahana.

"Aaargh!"

Andika sempat terlonjak kaget. 

Dikira calon lawannya hendak melakukan 

serangan. Sadar kalau cuma menggeram, 

Andika berpura-pura seolah-olah tidak 

terkejut. Tangannya yang sempat terlepas 

dari pinggang, diangkat kembali 

tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia 

justru lebih mirip penderita encok!

"Kenapa hanya menggeram? Ayo 

seranglah aku!" gertak Pendekar Slebor 

lagi.

"Aaargh!"

"Menggeram lagi...."

"Aaargh! Khau hanyah chari 

mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak 

jelas.

"Mbeeek! Akhu thidhak chari mhathi! 

Shebab akhu bhelum khawhin," Andika 

meniru cara bicara Ki Rawe Rontek. 

Setelah itu, dia terbatuk-batuk sendiri.

Baru saja Pendekar Slebor selesai 

melepas batuknya, Ki Rawe Rontek

mendadak membabatkan kedua cakarnya ke 

kepala.

"Aaargh!"

Wet! Wet!

Serangan mendadak seperti itu 

memang tidak terlalu merepotkan Pendekar 

Slebor. Di Lembah Kutukan tempatnya 

menjalani penyempurnaan dulu, Andika 

malah terbiasa berhadapan dengan 

sambaran-sambaran kilat tak terduga. 

Sebab itu, Pendekar Slebor mudah saja 

mementahkan keprukan kedua cakar 

lawannya. Tangannya terangkat sigap, 

melindungi dua sisi kepalanya.

"Hait!"

Dak!

Begitu habis menangkis Pendekar 

Slebor memulai serangan balasan. 

Tangannya yang semula terangkat di sisi 

kepala, didorong ke depan di sisi dalam 

tangan Ki Rawe Rontek. Dengan tetap 

menahan tangan laki-laki asing itu, 

Pendekar Slebor hendak balik mengepruk 

kepala.

Srat!

Nyatanya, Ki Rawe Rontek pun cukup 

sigap menanggapi keprukan balasan 

Andika. Tubuhnya segera ditarik ke 

belakang, tanpa merubah sikap kaki, 

sehingga badannya agak menyorong.

Prak!

Hantaman telapak tangan Pendekar 

Slebor pun hanya sempat memakan angin.

***

ENAM


Gubuk tempat tinggal Idayu Wayan 

Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah 

diawasi seseorang, di bawah bayangan 

sebuah pohon besar lima belas langkah di 

sebelah barat. Matahari yang tersungkur 

di belakang, mulai melemah. Sinarnya 

yang kini berwarna jingga, menanduk 

bokong si Pengintai sehingga, 

penampilannya sulit dikenali.

Lama sosok itu hanya menatap gubuk 

Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai 

sebatang tonggak mati tak bernyawa. 

Wajahnya tersapu bayangan pohon. Begitu 

juga sebagian tubuhnya. Sehingga 

kesannya begitu penuh tanda tanya.

Sesekali, bayangan anak rambut 

orang itu tampak berkibaran kecil 

tersibak angin. Entah apa yang 

diperhatikan di gubuk besar itu. Hanya 

dia yang tahu.

Sementara itu, I Ktut Regeg keluar 

dari pintu gubuk. Pemuda tanggung 

bertubub kurus ini memeluk seekor ayam 

jantan berwarna merah menyala dan 

berjalu panjang. Layaknya orang-orang 

Bali, I Ktut Regeg memiliki ayam jago 

kesayangan untuk disabung dengan jago 

lain. Memang bila hari menjelang sore, 

banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I 

Ktut Regeg pun berniat untuk ambil bagian

dalam budaya rakyat yang mengasyikkan 

itu.

Sambil bersiul-siul menyenandung-

kan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan 

santai. Tak jauh di belakangnya, si 

Pengintai segera mengekori.

Sementara itu di alun-alun, sudah 

berkumpul ku-rang lebih lima belas 

pemuda dan orangtua. Semuanya 

berkeliling, membentuk lingkaran kecil 

tempat menyabung ayam. Sebagian duduk 

atau berjongkok. Dan sebagian lain 

berdiri. Mereka bersorak penuh semangat, 

membakar semangat tarung dua ekor ayam 

jantan di tengah-tengah arena.

"Ayo Hitam, pakai jalumu! Iya, 

begitu!" teriak salah seorang.

Tatuk kepalanya! Terus, jangan mau 

kalah!" seru yang lain.

"Ah! Si Hitam itu pecundang! Nanti 

juga dia keok bila lawan si Ompok!" 

teriak salah seorang pemilik ayam.

Ketika kedua ayam jago sabungan itu 

sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru 

tiba. Dilewatinya dua lelaki pemilik 

ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.

"Wah.... Tampaknya baru saja 

terjadi pertarungan seru," kata I Ktut 

Regeg, manakala melihat ayam sabungan di 

arena sudah dipisahkan.

Pemuda tanggung itu langsung menuju 

pinggiran lingkaran kecil tempat sabung 

ayam.

"Siapa yang ingin menyabung dengan 

jagoku?"

tantang I Ktut Regeg, setibanya di 

arena sabung.

"Wah, ini dia! Cepat sini, Geg! Aku 

ingin taruhan besar buat jagomu itu!" 

sambut seseorang.

Baru saja I Ktut Regeg hendak 

meletakkan ayamnya di arena, orang yang 

menguntitnya sejak tadi menepuk bahunya. 

I Ktut Regeg langsung menoleh. Begitu 

juga orang-orang yang berada di sana.

Lelaki itu ternyata mengenakan topi 

keranjang penutup wajah dan kepala. Ya! 

Dialah Lalinggi, salah seorang dari 

Sepasang Datuk Karang yang pernah 

dipecundangi Andika di dekat Goa Karang 

Hitam (Baca episode: "Darah Pembangkit 

Mayat"). Tangannya yang hancur karena 

sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor, 

kini dibalut kain warna putih.

"Hei?! Bukankah Beli yang dulu 

memberi sekantung uang padaku dulu?" 

sambut I Ktut Regeg, mengenali Lalinggi.

Di balik topi keranjangnya, 

Lalinggi mengangguk.

"Ya, untuk meminta keterangan 

tentang peti berukir yang kau buang di 

laut sebelah Barat Buleleng. Dan 

sekarang, boleh aku bicara lagi padamu, 

Dik?" pinta Lalinggi.

I Ktut Regeg bergegas menangkap 

jagonya. Tak dipedulikan lagi orang-

orang yang sudah gemas ingin melihat jago

I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak 

terkalahkan.

"Ayo, kita cari tempat yang agak 

sepi," ajak Lalinggi.

I Ktut Regeg bergegas mengikuti.

Kini mereka tiba di naungan sebatang 

pohon beringin besar.

"Beli ingin bicara apa?" tanya I 

Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.

"Aku hendak menitip pesan untuk 

seseorang," tutur Lalinggi datar.

"Boleh."

"Katakan pada pemuda yang bertamu di 

rumahmu...."

"Beli Andika?" potong I Ktut Regeg.

"Tepat. Katakan padanya kalau 

Lalinggi akan datang lagi," tandas 

Lalinggi, tetap datar dan dingin.

"Ooo.... Soal mudah, Beli"

Lalinggi segera merogoh sesuatu di 

balik bajunya. Di tangannya yang sudah 

nyaris tak berjari, kini terlihat 

beberapa keping uang perak.

"Ini buatmu," kata laki-laki itu.

"Ah! Tak usahlah, Beli" sergah I 

Ktut Regeg cepat. "Sisa uang yang Beli

berikan padaku, masih banyak. Ayam 

jantan ini pun kubeli dari uang itu...." 

Lalinggi mengangguk-angguk, lalu pergi 

tanpa mengucapkan terima kasih.

"Beli Nama Beli siapa, ya?!" teriak 

I Ktut Regeg dari jauh.

Lalinggi tak menggubris. Kakinya 

terus melangkah, sampai akhirnya 

menghilang di jalan menurun. 

"Huh! Sayang, aku tak tahu nama Beli 

yang baik itu. Padahal aku ingin 

menamakan ayam kesayanganku ini dengan 

namanya!" gerutu I Ktut Regeg, sambil 

berlalu juga dari tempat itu.

***

Halaman Istana Kerajaan Buleleng 

masih dibuncah pertemuan kesaktian milik 

dua orang yang sedang bertarung dahsyaL 

Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah 

kancah pertarungan sudah terkuak di 

beberapa tempat, akibat 

hantaman-hantaman nyasar. Beberapa 

bagian tembok istana pun sudah menjadi 

korban. Sebagian hancur lebur bagai 

dihantam godam raksasa, sedang sebagian 

lain retak terbelah tersapu angin 

pukulan, baik milik Ki Rawe Rontek atau 

Pendekar Slebor.

Cokorde hanya terpana bersama para 

petingginya. Sementara para prajurit 

ternganga-nganga. Semuanya bagai 

ditenung diam, bersama-sama menyaksikan 

peristiwa di depan mata.

Untunglah para prajurit dan Patih I 

Wayan Rama diminta oleh Andika untuk 

mengambil jarak yang aman dari kancah 

pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka

bisa seburuk tembok pagar istana dan 

pelataran tempat pertempuran! 

"Hiaaa!" 

"Huaaargh!" 

Des! Wet! Wet! Drak!

Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe 

Rontek sudah mengeluarkan sebagian ilmu 

andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk 

Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki 

Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu, 

Pendekar Slebor bisa meladeni dengan 

menyelubungi dirinya dengan tenaga sakti 

warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan 

dalam penyerangan, pendekar muda ini 

lebih unggul beberapa tingkat.

Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam' memang 

ilmu hitam yang hanya mengandalkan 

keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa 

diimbangi kemampuan gerak memadai. 

Menghadapi jurus-jurus Pendekar Slebor 

yang demikian beragam dan cepat, ilmu 

pukulan hitam itu jadi tak begitu 

berarti.

Apalagi ketika pendekar muda itu 

mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir 

Membabi buta'! Setiap pergantian sikap 

tubuh dalam kembangan jurusnya sangat 

sulit ditangkap penglihatan.

Keadaan ini benar-benar menyudutkan 

Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa 

menyarangkan 'Pukulan Peremuk Dalam' ke 

tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan 

berada di atas angin. Tapi hingga saat 

ini, Pendekar Slebor selalu berkelit

lebih cepat. Bahkan angin pukulan Ki Rawe 

Rontek yang mampu melantakkan sendi 

lawan, tak pernah menemui sasaran. 

Apalagi Pendekar Slebor membentengi diri 

dengan selubung kekuatan yang sulit 

ditembus.

Pada satu kesempatan, desakan 

Pendekar Slebor tak bisa lagi 

dimentahkan Ki Rawe Rontek. Plak!

Seketika satu tamparan menggeledek 

mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek. 

Benar-benar telak! Rasanya bagai 

didorong tenaga beribu kali. Tak ada 

tulang leher manusia yang sanggup 

menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor, 

meski tulangnya terbuat dari baja 

sekalipun! 

Krak!

Suara berderak mengikuti dalam 

sekejap, di belakang suara tamparan 

Pendekar Slebor. Asalnya dari leher 

bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat itu 

juga leher tokoh hitam itu terpuntir 

tajam, membuat kepalanya kini berpaling 

ke belakang!

Patih I Wayan Rama kontan berseru 

tertahan. Bukan main kagumnya patih ini 

melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah 

Jawa Dwipa yang dilihatnya. Dalam hati, 

harus diakui bahwa Andika mempunyai nama 

besar dalam dunia persilatan.

Sama seperti Patih I Wayan Rama, 

Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar 

biasa. Tapi lain halnya yang terjadi si

Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai 

Andika. Lelaki berkepribadian ular 

berkepala dua itu memejamkan mata 

rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain 

penutup tubuhnya. Dia memang begitu 

digasak kengerian.

Sementara itu yang terjadi dalam 

pertempuran memang tak kalah 

mempesonakan daripada kehandalan 

pukulan Pendekar Slebor. Nyatanya Ki 

Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh 

karang. Andika sendiri sempat 

terperangah, hampir-hampir tak percaya 

dengan matanya sendiri. Bagaimana 

mungkin seorang yang sudah terpuntir 

kepalanya ke belakang, masih bisa 

berdiri sekokoh itu? Kalau saja Andika 

tak segera ingat kalau Artapati ini 

memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan 

menganggap dirinya sedang bermimpi.

"Jadi inikah kehebatan 'Rawe 

Rontek' yang dimiliki Artapati...," 

bisik Pendekar Slebor.

Keterpanaan Andika dimanfaatkan Ki 

Rawe Rontek alias Artapati, untuk 

membetulkan kembali kepalanya.

Krak!

Seperti kepala boneka, Ki Rawe 

Rontek membalikkan kembali wajahnya ke 

depan!

"Gila...," bisik Andika sambil 

meringis kembali.

Pendekar Slebor mengusap lehernya 

sendiri. Sebagai pendekar yang sudah

cukup banyak makan pahit manis di 

pengembaraan, Pendekar Slebor cepat 

tersadar dari keterpakuan. Dia harus 

segera menggempur kembali lawannya.

Baru saja Andika membuka jurus baru, 

lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat 

kemudian tubuhnya bergetar kecil. 

Akhirnya....

Plas!

Mendadak Ki Rawe Rontek menghilang!

Sekali lagi Andika tak bisa 

menyembunyikan keterpanaannya. "Ilmu 

hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor 

kontan dilanda kebingungan. Sedang 

s-buk-sibuknya dia bertanya pada diri 

sendiri, tiba-tiba....

Bekh! 

"Aaagh!"

Pendekar Slebor menjerit tertahan 

di udara, begitu sebuah hantaman amat 

keras menghajar lambungnya. Tubuhnya 

memang langsung terhempas deras delapan 

tombak ke belakang. Ketika bumi 

menyambutnya, mulut pemuda itu 

memuntahkan darah segar. Tampaknya ada 

yang terluka di bagian dalam tubuh 

Andika.

"Oekh!"

Muntahan darah keluar lagi manakala 

Pendekar Slebor hendak bangkit. Menilik 

keadaannya! Pendekar Slebor tampak 

terluka cukup parah.

Sementara dari jauh, Patih I Wayan 

Rama khawatir. Dia hendak beranjak 

mendekat, tapi segera ditahan Cokorde.

"Percayalah, Patih. Pendekar Slebor 

bukanlah seorang yang mudah menyerah," 

ujar laki-laki tua itu yakin.

Pendapat Cokorde Ida Bagus Tanca 

terbukti. Dengan menarik napas 

tersengal, Andika bangkit 

bersusah-payah. Di atas sepasang kakinya 

yang masih tergetar, kembali napasnya 

diatur untuk mengerahkan hawa murni 

dalam tubuh.

"Hosss...."

Begh!

Buang napas Andika tiba-tiba 

terhentak, karena sebuah hantaman tak 

berwujud sekali lagi mengganyang 

lambungnya. Untuk kedua kalinya, 

Pendekar Slebor terlempar seperti 

ranting kering disapu topan. Dia jatuh ke 

tanah, lebih jauh dari sebelumnya.

Kali ini Andika tak memuntahkan 

darah Beruntung sekali, pada saat 

pukulan, tak berwujud dari lawannya 

datang, Pendekar Slebor sedang berada 

mengerahkan tenaga saktinya.

Pemuda keras kepala itu mencoba 

bangkit lagi. Tak diperhatikan lagi rasa 

sesakyang nyaris memutus napasnya. 

Seluruh otot perutnya menegang, mencoba 

memadamkan siksaan sakit luar biasa. 

Butiran peluh merembes keluar, 

membanjiri tubuh dan pakaiannya.

"Huarrr... huar... huargh!"

Terdengar tawa Ki Rawe Rontek. 

Sementara, tubuhnya tetap tersembunyi 

dari pandangan setiap mata.

Pada waktu yang sama, Andika sedang 

memutar otak dalam gelombang rasa sakit. 

Dia berjuang agar daya pikirnya 

terkuasai, sehingga bisa menemukan jalan 

keluar untuk mengecoh. Sudah bisa 

dipastikan, Pendekar Slebor tak akan 

mendapat kemenangan kalau terus melayani 

ilmu hitam Ki Rawe Rontek, tanpa 

mengetahui kunci kelemahannya. Untuk 

saat ini, menyelamatkan diri dari 

kebuasan lawan rasanya sudah cukup.

Rasa sakit menyiksa Andika. 

Akhirnya pikirannya bisa dijernihkan. 

Kecerdikannya pun muncul ke permukaan. 

Dia menemukan akal? Dengan serta merta, 

tubuhnya berbalik menghadap Cokorde Ida 

Bagus Tanca.

"Paduka! Cepat berikan padaku 

salinan naskah daun lontar yang 

diberikan Ki Lantanggeni padamu!" teriak 

Andika, serak bersama kedipan mata 

sebagai isyarat

Mulanya Cokorde tak paham maksud 

Andika. Namun karena jaraknya cukup 

dekat, dia menangkap kerdipan mata 

Andika. Dia cepat tanggap siasat yang 

dijalankan si Pendekar Muda ini. Andika 

pasti hendak menipu agar lawan 

menyingkir tanpa harus membuang-buang 

tenaga lebih banyak. Untuk itu, dia harus

segera mendapatkan sesuatu yang bisa 

membuat Ki Rawe Rontek menyangka kalau 

itu adalah salinan naskah gulungan 

lontar. Maka dengan serta merta 

dilepaskannya kain hitam di pinggangnya.

"Andika, tangkap!"

Kain hitam panjang yang sesung-

guhnya tak pernah ditulisi salinan 

naskah gulungan lontar itu melayang di 

udara, menggelepar menembus tiupan 

angin. Hal inilah yang diharapkan 

Andika. Dengan begitu, Ki Rawe Rontek 

tentu menyangka kalau kain itu berisi 

salinan rahasia kelemahan ilmu hitamnya.

Andika segera siaga, menanti kain 

itu disambar lawan tak terlihat.

Sret!

Kain Cokorde terlihat berubah arah. 

Saat itulah Andika berteriak sepenuh 

tenaga. Tubuhnya langsung meluncur 

deras, menyusul perubahan arah kain. 

Dalam waktu yang demikian singkat, 

tangannya memutar. Ketika kain yang 

dilemparkan Cokorde terlihat berubah 

arah, saat itulah Andika menyusul 

perubahan arahnya sambil melepas kain 

pusakanya.

"Yeaaar

Sret! 

Tas!

Kain pusaka itu kontan terbentang 

lurus, bagai samurai lebar yang menebas 

benda tak berwujud. lepas kain pusaka 

dari bahu.

"Yeaaa!" 

Sret! 

Tas!

Kain pusaka itu kontan terbentang 

lurus, bagai sebilah samurai lebar untuk 

menebas sesuatu di udara.

Buk!

Terdengar dentam sesosok tubuh 

jatuh menimpa tanah. Tak lama kemudian, 

Ki Rawe Rontek terlihat kembali. Tangan 

kanannya sudah tak ada lagi, hingga batas 

siku. Berbarengan dengan penampakan 

tubuhnya, potongan tangan lelaki itu pun 

terlihat. Tergolek jauh empat belas depa 

darinya.

"Aaargh! Thungghu pembhalashanku!" 

ancamnya.

Peristiwa aneh terulang lagi. 

Potongan tangan datuk sesat itu mendadak

saja bergerak-gerak, seperti bergeliat. 

Saat selanjutnya potongan tangan itu 

terseret di permukaan tanah mendekati 

pemiliknya. Lalu seperti tak pernah 

terluka, tangan itu menyatu kembali. 

Yang tersisa hanya darah di tangan lelaki 

itu.

Ki Rawe Rontek pergi. Menyingkir, 

seperti harapan Andika. Bukan karena 

Andika berhasil melukainya. Tapi, karena 

pendekar muda itu memegang kain hitam 

milik Cokorde yang dikiranya salinan 

tulisan di daun lontar.

***

TUJUH


Sejak Andika menyatakan kalau hanya 

ingin bersahabat, Idayu Wayan Laksmi 

kini mulai mencoba membuka diri untuk

Yaksa. Gadis itu baru sadar betapa 

bodohnya telah menyangka Andika jatuh 

hati padanya. Dia mabuk terhadap sikap 

manis pemuda yang tak hanya gagah, tapi 

juga tampan itu. Semestinya dia tahu 

kalau sikap manis tidak selalu berarti 

cinta. Rupanya cinta dari dirinya 

sendirilah yang membutakan mata hatinya 

selama ini. Untunglah, Andika tak

terlambat memberi pernyataan. Kalau 

tidak, tentu gadis itu akan mengalami 

kekecewaan mendalam.

Kebutaan mata batin akibat kasmaran 

pada Andika itu pula yang menyebabkan 

Idayu Wayan Laksmi mengacuhkan cinta 

seseorang. Cinta milik Yaksa. Selama ini 

dia merasa telah menelantarkan sebutir 

mutiara hati milik Yaksa yang hendak 

dipersembahkan padanya.

Senja ini, Idayu Wayan Laksmi duduk 

menyapa bayu sejuk di anak tangga 

gubuknya. Semalam, Yaksa datang 

berkunjung. Pemuda itu memberanikan diri 

untuk mengungkapkan cinta padanya. Saat 

itu, Idayu Wayan Laksmi diam saja. Dalam 

hati, gadis itu menilai kalau pemuda itu 

cukup tampan. Dan dari pembicaraan bisa 

sedikit dinilai kalau pribadinya cukup 

baik.

Yaksa berjanji akan kembali lagi 

senja ini. Entah kenapa, Idayu Wayan 

Laksmi menjadi agak berharap. Sempat 

terpikir olehnya kalau harapan yang 

terpercik untuk Yaksa hanya sekadar 

untuk menghibur diri dari kekecewaan 

yang dialami saat ini. Namun pikiran itu 

segera saja ditepisnya. Dia hendak 

mencoba mencintai Yaksa. Toh, dia memang 

pantas dicintai?

"Sore, Laksmi...," sapa Yaksa.

Pemuda itu baru saja tiba di dekat 

tangga gubuk, tanpa diketahui Idayu 

Wayan Laksmi. Maklum gadis itu sedang 

melamun.

"Oh, Beli Yaksa," sambut Idayu Wayan 

Laksmi, agak terkejut.

"Kau sedang menungguku atau 

menunggu seorang pemuda tampan yang 

sering kulihat menginap di gubukmu?" 

tanya Yaksa.

Idayu Wayan Laksmi tersipu. 

Wajahnya berubah merona menggemaskan.

"Tadi Beli menyebut-nyebut seorang 

pemuda?" Idayu Wayan Laksmi balik 

bertanya. berusaha mengikis kerikuhan.

"Ya, memang. Apa benar?"

"Benar apa, Beli"

"Kau sedang menunggu pemuda itu? Dia 

kekasihmu?" cecar Yaksa menggoda, namun 

berkesan menyudutkan.

"Beli Andika maksudmu?"

"Andika?" sentak Yaksa agak 

terkejut.

Pemuda itu langsung teringat pada 

nama seseorang yang tertulis di kayu 

bekas dinding gubuk gurunya.

"Jadi, dialah orang yang Guru 

maksudkan?" gumam Yaksa perlahan sekali 

dalam hati.

Idayu Wayan Laksmi sempat menangkap 

gumaman Yaksa.

"Kenapa, Beli?"

"Oh, tidak.... Tidak apa-apa...," 

kilah Yaksa tersadar. "Apa dia 

kekasihmu?"

Idayu Wayan Laksmi merunduk. 

Pandangannya langsung jatuh pada 

lembar-lembar rumput di sisi dasar 

tangga.

"Bukan," jawab gadis itu lirih.

"Ah, syukurlah.... Kukira dia 

kekasihmu. Sebab sikapmu tampak begitu 

manja...," tutur Yaksa.

"Aku manja, karena dia kuanggap 

sebagai kakakku. Kau kan tahu aku tak 

memiliki kakak...," jelas Idayu Wayan 

Laksmi berdusta.

Tentu saja, Idayu Wayan Laksmi tak 

berani mengadukan mata pada mata pemuda 

di sisinya, karena takut kalau 

kebohongannya terbaca. Mata memang sulit 

berbohong.

"Hey? Dari mana Beli tahu kalau 

Mbokku suka bermanja-manja dengan Beli

Andika?!"

Tiba-tiba saja I Ktut Regeg menyelak 

dari mulut pintu. Rupanya, anak muda

tanggung itu nguping sejak tadi. Dasar 

brengsek!

Yaksa terkejut.

"Eee, dari mana ya...?" kata pemuda 

itu bingung sendiri.

"Nah, Mbok. Ini dia orangnya yang 

suka mengintip-intip rumah kita!" tuding 

I Ktut Regeg tanpa tedeng aling. "Untung 

saja dia termasuk kebal 'bintit'. Kalau 

tidak, tentu matanya sudah dijejali 

'bintit-bintit'. Ha ha ha...!"

Tawa I Ktut Regeg langsung meledak.

"I Ktut Regeg!" bentak Idayu Wayan 

Laksmi.

Idayu Wayan Laksmi memang sering 

kali jengkel dengan sikap adiknya yang 

berbicara seenak perut sendiri.

"Mbokl" I Ktut Regeg malah balik 

membentak. Setelah itu, tertawa lagi.

Idayu Wayan Laksmi jadi tak sabar. 

Di tangannya kebetulan ada sisir kayu 

berujung runcing. Sebelum bertemu Yaksa, 

rambutnya memang sempat ditata sedikit. 

Dengan sisir itu, disodoknya I Ktut Regeg 

di belakang. Maksudnya, ingin menyodok 

bahu anak itu. Tapi karena I Ktut Regeg 

bangun mendadak, yang menjadi sasaran 

justru kantung menyannya.

"Adaouw.... Adaouw!" I Ktut Regeg 

berjingkat-jingkat ke sana kemari dengan 

mulut meringis. "Mbok keterlaluan! Kalau 

nanti tidak ada perempuan yang mau 

padaku, Mbok akan kusalahkan."

Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik 

besar. Omongan I Ktut Regeg sudah kelewat 

batas. Tangannya cepat bergerak, hendak 

menyodokan lagi ujung sisir ke kaki anak 

itu.

"Eee! Maksudku, Mbok tolong doakan 

agar aku jadi ganteng! Kalau tidak 

didoakan, berarti tidak ada lagi 

perempuan yang mau?!" dalih anak muda 

tanggung ini.

***

"Tuan Andika!"

Seorang prajurit mendatangi Andika 

yang sedang menjalani perawatan dari 

seorang tabib istana di sebuah kamar 

khusus.

"Ada apa, Beli?" tanya Andika 

hormat.

"Paduka, Cokorde menyuruh hamba 

menyampaikan ini pada Tuan...," si 

Prajurit segera mengangsurkan sehelai 

kain. "Hamba menemukan itu tanpa sengaja 

di sebuah sungai."

Andika membuka lipatan kain yang 

ternyata berupa surat. Masih tampak 

basah. Dan tulisannya sudah agak 

mengabur, karena luntur. Ketika surat 

itu dibaca, sepasang alis sayap elang 

anak muda itu menyatu rapat.

"Hamba pamit dulu, Tuan Andika!" 

hatur si Prajurit.

"O, ya! Terima kasih, Belil" sahut 

Andika. Sepeninggalan prajurit tadi, 

pikiran Andika kembali tertuju pada 

surat dari kain di tangannya.

Ki Rawe Rontek....

Jika. kau ingin menemukan Ki 

Lantanggeni, datanglah ke lembah 

tersembunyi di sebelah timur Gunung

Agung. Di sanalah lelaki tua itu 

bersembunyi...

Begitu isi surat itu. Tanpa ada 

tertanda dari si Pengirim.

Andika tidak bisa menduga, siapa 

orang itu. Hanya yang diketahuinya, 

orang itu pula yang telah memberitahu-

kannya melalui surat yang diikat pada 

pisau terbang tentang maksud kedatangan 

Ki Rawe Rontek ke istana yang ingin 

merebut kekuasaan. Memang, Pendekar 

Slebor amat hafal betul dengan gaya 

tulisannya.

"Pantas saja Ki Lantanggeni dengan 

mudah bisa ditemui...," bisik Andika. 

"Tanpa surat ini, perlu waktu 

berbulan-bulan untuk menemukan Ki 

Lantanggeni di tempat terpencil seperti 

itu...."

Andika menerawang sesaat. 

Ingatannya kembali pada lelaki tua itu.

"Kasihan Ki Lantanggeni...," desah 

Pendekar Slebor.

Tak begitu lama kemudian, Cokorde 

masuk "Bagaimana menurutmu, Andika? Apa 

surat kain itu ada hubungannya dengan 

kematian Ki Lantanggeni?" tanya Raja 

Buleleng ini.

Cokorde Ida Bagus Tanca tahu tentang 

kematian sahabat istana itu dari Andika. 

Dia begitu kehilangan seorang ksatria 

yang sering menjadi kawan bertukar 

pikiran. Karena akrabnya, Cokorde lebih 

suka menyebut Ki Lantanggeni sebagai 

sahabat. Untuk menghormati jenazahnya, 

sengaja Cokorde mendatangi kuburan 

almarhum, beserta beberapa petinggi 

kerajaan.

Sewaktu Andika bertanya, kenapa 

mayat Ki Lantanggeni tidak dibakar 

seperti layaknya orang Bali dalam 

upacara Ngaben, Cokorde menjelaskan 

kalau sebenarnya Ki Lantanggeni bukan 

asli Bali. Dia berasal dari Tanah Jawa 

Dwipa, dan mengasingkan diri di pulau 

kecil ini.

"Jelas surat ini memang ada 

hubungannya dengan kematian Ki 

Lantanggeni," sahut Andika, menjawab 

pertanyaan Cokorde tadi.

"Pantas, beliau begitu mudah 

didatangi Ki Rawe Rontek," gumam Cokorde 

seperti pendapat Andika juga.

"Apakah kau sudah bisa 

menerka-nerka, siapa si Pembuat Surat 

ini?" tanya Cokorde lebih lanjut. Andika 

menggeleng.

"Entahlah, Paduka. Untuk itu aku 

masih belum jelas. Ada hal yang 

membingungkan dalam perkara ini," kata 

Andika.

"Apa?"

"Apa Paduka tak heran sewaktu 

kedatanganku , tepat pada saat Ki Rawe 

Rontek juga mendatangi istana?"

"Ya, kenapa bisa begitu?"

"Sebelumnya, aku memang diberitahu 

seseorang melalui surat bahwa datuk 

sesat itu akan mencoba menguasai 

Kerajaan Buleleng. Paduka tahu, tulisan 

pada surat ini sama persis dengan tulisan 

dalam surat ini? Bahkan ditulis di atas 

kain yang sebenarnya tak lazim...," 

papar Andika.

Cokorde Ida Bagus Tanca 

mengangguk-angguk di bibir tempat tidur 

perawatan Andika. Dia duduk tepat di 

samping pemuda itu. Seolah, tak ada lagi 

jurang pemisah antara seorang raja 

dengan rakyat biasa, seperti Andika.

"Kalau surat-surat itu memang benar 

ditulis oleh satu orang, kenapa dia 

mencoba memperingati akan bahaya niat Ki 

Rawe Rontek yang ingin merebut kekuasaan 

kerajaan ini. Sementara di lain sisi, dia 

justru menuntun Ki Rawe Rontek untuk bisa 

menemukan Ki Lantanggeni dan 

membunuhnya. Itukah yang membingungkan 

maksudmu?" duga lelaki berwibawa itu.

"Tepat sekali, Paduka!" "Apa 

mungkin...."

Ucapan Cokorde terpenggal seketika. 

Tapi, tiba-tiba saja Andika menyergap 

dari samping.

"Awas Paduka!" seru Pendekar 

Slebor.

Mendadak berkelebat sebuah benda 

berkilatan ke arah tempat Cokorde duduk, 

sebelum disergap Andika.

Sing! 

Jlep!

Sebilah pisau terbang luput 

memangsa punggung Cokorde. Lalu, 

menjadikan bingkai sebuah lukisan 

sebagai sasaran. Tentu saja Cokorde 

murka. Dia bangkit dengan wajah merah 

matang dan berjalan ke arah jendela.

"Pengawal! Tangkap orang yang 

menyusup ke istana ini!" perintah Raja 

Buleleng ini dari jendela yang menjadi 

jalan masuk pisau terbang barusan.

Memang ruang perawatan Andika 

berbatasan dengan taman samping istana 

yang luas. Untuk ruang khusus 

orang-orang sakit dan terluka, sudah 

pasti dilengkapi jendela-jendela besar 

agar udara segar dari taman bisa masuk 

ruangan.

Cokorde hendak beranjak keluar, 

namun cepat dicegah Andika.

"Tak perlu, Paduka! Tampaknya pisau 

terbang ini tak dimaksudkan untuk 

membunuh Paduka...."

Pendekar Slebor segera bangkit, 

langsung menghampiri pisau terbang itu.

Lalu dicabutnya pisau dari pigura 

lukisan.

Persis seperti bentuk pisau terbang 

yang menghujam gundukan tanah makam Ki 

Lantanggeni, pisau terbang kali ini pun 

berbentuk lempeng baja bergagang bambu 

kuning. Di lempengannya, terikat kain 

yang warnanya sama dengan kain di pisau 

terbang terdahulu.

Andika segera melepas kain itu. 

Dugaannya tak meleset. Kain itu memang 

sebuah surat.

Kalau kau ingin menemui datuk sesat 

itu, pergilah ke Kotapraja Kerajaan 

Tabanan!

"Dari si Pengirim yang sama dengan 

surat-surat terdahulu," kata Andika 

ketika melihat Cokorde bersinar penuh 

tanya.

***

Keesokan harinya, setelah 

kesehatannya terasa telah pulih benar, 

Andika secepatnya minta izin Cokorde 

untuk berangkat ke Tabanan. Untuk 

sementara dia akan mengikuti isi surat 

dari pengirim yang tak jelas itu Dengan 

begitu, diharapkan bisa membongkar 

maksud sesungguhnya orang itu. Entah 

lawan, entah pula kawan

Sebelum tengah hari, Andika sudah 

tiba di Kotapraja Kerajaan Tabanan. 

Layaknya kota besar kerajaan, wilayah

itu cukup ramai. Orang-orang menjalani 

kegiatan masing-masing, untuk mengais 

nafkah sehari-hari.

Lama juga Andika berkeliling 

keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya, 

Pendekar Slebor tiba di suatu daerah yang 

cukup ramai, karena di sana tampaknya 

sebagai jantung Kotapraja Kerajaan 

Tabanan.

Tatkala melintasi sebuah kedai, 

telinga Andika menangkap pembicaraan 

menarik tiga lelaki di dalamnya. Salah 

satu dari orang itu menyebut-nyebut 

tentang orang asing yang datang ke kota 

ini.

Dan Andika pun memutuskan untuk 

mencari-tahu tentang orang asing itu 

dari mereka. Segera dimasukinya kedai 

ini. Hitung-hitung sekalian mengisi 

perut, karena memang sudah waktunya 

makan siang.

Dari seorang pelayan muda yang sigap 

menyambutnya, Pendekar Slebor memesah 

makanan. Sepeninggalan pelayan, 

dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di 

sudut dekat pintu masuk kedai.

"Beli sekalian. Bisakah aku 

bertanya sedikit tentang orang asing 

yang sedang kalian bicarakan," sapa 

Andika seramah mungkin.

Ketiga lelaki itu kontan terkejut 

mendapat sapaan Andika. Wajah mereka 

melepas kesan ketakutan, walaupun 

teguran Andika sudah amat ramah.

"Maaf jika aku menyelak. Kalau tak 

salah Beli-Beli ini sedang membicarakan 

seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi, 

mencoba menegaskan pertanyaan. "Bisakah 

kalian menggambarkan penampilan orang 

asing itu?"

Tak ada jawaban untuk Andika. Tak 

seperti sifat ramah orang Bali, mereka 

tak menggubris pertanyaan Andika. Malah 

mereka bangkit tergesa-gesa, 

meninggalkan kedai dengan wajah pucat.

"Tunggu, Beli”. tahan Andika.

Seruan Andika malah membuat mereka 

melangkah lebih cepat, seperti baru saja 

melihat hantu di siang bolong.

"Aneh...," desah Andika, tak 

mengerti. "Tampaknya ada sesuatu yang 

membuat mereka begitu takut...."

"Tuan...," tegur pelayan di 

belakangnya. Andika menoleh.

"Makanan telah siap di meja," kata 

pelayan muda itu memberitahu.

Andika menganggukbersama seulas 

senyum sebagai pengganti ucapan terima 

kasih. Dihampirinya meja makan yang 

sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk 

sementara, dilupakannya dulu persoalan 

Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap, 

disantapnya makanan di meja.

***

"Pelayan!" panggil Andika.

Pelayan muda tadi cepat menghampiri 

Pendekar Slebor.

"Aku telah selesai," kata Andika 

memberitahu.

Si Pelayan mengangguk, lalu mulai 

membenahi bekas makan Andika. Sebelum 

dia beranjak mengangkut piring-piring ke 

dalam, Andika cepat menahannya.

"Maaf, Beli. Boleh aku sedikit 

bertanya padamu?" cetus Andika.

Si Pelayan mengangguk. "Silakan, 

Tuan...."

"Apakah beberapa hari belakangan 

ada orang asing memasuki kota ini?" tanya 

Andika langsung, ke pokok permasalahan.

Sama seperti ketiga lelaki tadi, si 

Pelayan pun menampakkan ketakutan di 

wajahnya. Namun, tak sama dengan ketiga 

lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya 

lebih punya nyali. Setelah melirik kian 

kemari, didekatinya telinga Andika.

"Benar. Tuan. Sejak kedatangan 

orang asing itu, sudah tiga belas orang 

terbunuh secara keji. Mereka rata-rata 

adalah para pengawal pribadi orang-orang 

yang berkuasa di sini...," bisik pelayan 

muda ini.

Wajah Andika berkerut. Rasanya dia 

belum begitu jelas dengan keterangan 

pelayan ini.

"Beli bisa menggambarkan ciri-ciri 

orang asing yang telah membunuh para 

pengawal itu?" tanya Pendekar Slebor.

Si Pelayan Muda melirik ke luar 

kedai. Dan matanya melihat sesuatu di 

sana. Itu tampak dari sinar matanya yang 

menegang.

"Lebih baik Tuan mencari tahu dari 

orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini 

lagi lebih samar.

Andika melirik keluar, mengikuti 

pandangan si Pelayan. Tampak empat orang 

berperawakan kekar sedang menggotong 

tandu mewah yang tertutup rapat kain 

mewah bersulam.

"Terima kasih Beli," ucap Andika 

seraya menepuk bahu si Pelayan.

Pendekar Slebor membayar seluruh 

makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru 

saja kakinya bergerak empat langkah... 

Sing!

Seketika terdengar desiran halus 

menyambar dari arah depan. 

"Haih!"

Tanpa kesulitan, Pendekar Slebor 

langsung bergeser ke kanan dan cepat 

menangkap sebatang pisau terbang yang 

hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi 

sebilah pisau terbang yang sama seperti 

dengan yang didapat terdahulu. Tanpa 

bermaksud hendak membaca pesan yang 

terlipat pada pisau terbang, Andika 

bergegas menyusul rombongan orang 

bertandu tadi.

Di luar, Pendekar Slebor melihat 

tandu berhenti. Keempat pengusungnya 

segera menurunkan kenda-raan mewah yang

biasa dipakai para penguasa itu. Dari 

dalamnya, keluar seorang laki-laki 

berperawakan besar. Tak seperti 

bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan 

kemeja sutera hitam berlapis tanpa 

kancing dan kerah. Pinggangnya dililit 

kain batik yang menutup sebagian celana 

panjang hitam, sebatas lutut berujung 

sulaman benang warna emas.

Andika nyaris pangling pada lelaki 

itu, kalau saja tak sungguh-sungguh 

memperhatikan wajah.

"Ki Rawe Rontek!" desis Pendekar 

Slebor.

Penampilan tokoh yang semula bagai 

mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di 

lehernya sudah tidak tampak lagi bekas 

luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini 

sudah bebas dari jamur-jamur yang 

menjijikkan.

Kini, buruan Pendekar Slebor telah 

ditemukan. Tapi tanpa mengetahui 

kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak 

bisa berbuat banyak.

"Entah apa yang hendak 

direncanakannya," bisik Andika di tempat 

pengintaian.

***

DELAPAN


Kerik jangkrik mengisyaratkan hari 

untuk segera meredup. Senja pun

tercecer. Malam pun datang merambat. 

Gubuk besar milik Idayu Wayan Laksmi dan 

I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-lampu 

minyak kecil. Di dalamnya, dua insan 

berbeda jenis yang telah lama duduk 

berbincang sejak senja menjelang, saling 

menatap tanpa kedip. Mereka adalah Idayu 

Wayan Laksmi dan Yaksa.

Rasanya, setelah beberapa kali 

dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi 

mulai menemukan benih-benih cinta yang 

merambah hatinya. Secara jujur diakui, 

Yaksa memang memiliki kharisma 

tersendiri yang sanggup melumpuhkan 

hatinya. Dia memang tak setampan Andika. 

Namun, memiliki pesona.

Untuk adat orang timur, duduk berdua 

di malam seperti itu sebenarnya tabu. 

Tapi entah kenapa, pautan perasaan 

mereka berdua menyingkirkan ketabuan 

itu. Lekatnya tatapan sepasang mata 

masing-masing memang menghanyutkan. 

Sadar tak sadar, Yaksa mendekatkan 

wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi. 

Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi jadi 

merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke 

belakang. Tapi Yaksa tak memperhatikan 

kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya 

disorongkan. Sampai akhirnya....

Cup!

Yaksa berhasil mengecup.... Tapi, 

astaga! Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi 

yang tersentuh bibirnya. Ternyata hanya

kepala ekor ayam jantan yang sudah babak 

belur di sana sini.

"Keok!"

Yaksa tersentak. 

"Hua ha ha...!"

Terdengar tawa meriah seorang anak 

muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi 

kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek?!

"Nah, Merah! Kemenanganmu tadi sore 

telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra 

dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg pada 

ayam jantan di tangannya.

Yaksa sendiri kini kelimpungan 

membersihkan bibir. Tak disangka tak

diduga, kalau hari ini dia tertimpa 

'musibah' seperti itu.

"Kalau hanya mencium ayam jantan, 

tak akan tabu!" tukas I Ktut Regeg sambil 

melangkah santai ke ruang dalam.

Dan baru saja I Ktut Regeg 

menghilang, terdengar sebuah suara.

"Malam...."

Andika muncul di pintu masuk. 

Pendekar Slebor baru saja tiba dari 

Kerajaan Buleleng, setelah mela-porkan 

hasil penyelidikannya.

"Oh! Beli Andika," sambut Idayu 

Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu 

tertangkap basah oleh Andika.

"Aha, pemuda kita rupanya!" ujar 

Andika, saat melihat Yaksa.

Yaksa langsung berdiri, mendekati 

Andika. Mengingat kemarahan Yaksa 

sewaktu di sisi makam Ki Lantanggeni

dulu, Pendekar Slebor jadi curiga. 

Jangan-jangan, dia masih penasaran akan 

memukulnya. Tapi sesampainya di depan 

Andika, pemuda itu malah menjura 

dalam-dalam.

"Tuan Pendekar, maafkan atas 

kelancanganku dulu. Sungguh aku tak 

pernah menduga kalau Tuan adalah sahabat 

guruku," tutur Yaksa hormat.

Andika tertawa. Dia jadi mengumpat 

kebodohannya yang telah menduga 

tidak-tidak pada Yaksa.

"Ah! Penghormatan seperti itu tak 

pantas kau tujukan untukku," kilah 

Pendekar Slebor. "Toh, usia kita 

sebenarnya tak jauh berbeda...."

"Tapi, Tuan...."

"Andika! Panggil aku Andika saja."

"Tapi, ng.... Tuan Pendekar, 

sebelum meninggal guruku berpesan agar 

aku memohon pada Tuan untuk meminta 

beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa 

menyebut nama Andika begitu saja.

Andika menarik napas. Kepalanya 

menggeleng-geleng.

"Kalau kau tetap memanggilku Tuan 

Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi 

menurunkan padamu beberapa jurus 

milikku," tegas Pendekar Slebor.

Yaksa mengangkat kepala hati-hati.

"Dan hentikan sikapmu membungkuk 

seperti kakek peot!" bentak Andika.

Seketika disabetnya kepala Yaksa dengan 

lembaran lontar di tangannya. Setelah

itu dia ngeloyor ke dalam sambil 

mengupat-ngumpat.

Di dalam, Andika membuka lembaran 

lontar yang didapat dari pisau terbang di 

Kotapraja Kerajaan Tabanan. Dia yakin, 

lembaran itu adalah sobekan halaman 

kitab ilmu hitam milik Ki Lantanggeni 

yang telah dicuri seseorang. Cokorde 

juga yakin, begitu Andika 

memperlihatkannya.

Sayang, lembaran lontar itu 

bertuliskan huruf-huruf Pegon yang 

mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak 

satu dua abad lalu. Sementara waktu 

Andika minta tolong pada Cokorde yang 

mungkin memiliki seorang ahli bahasa, 

Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli 

bahasa satu-satunya yang dimiliki telah 

wafat setahun lalu. Dan mereka sampai 

kini belum memiliki penggantinya.

"Beli Andika," tegur I Ktut Regeg.

"Anak muda tanggung itu tahu-tahu 

sudah berdiri di pintu kamar.

"Sedang apa?" tanya I Ktut Regeg mau 

tahu urusan orang.

"Jangan usil!" hardik Andika.

"Jangan sok menutup diri!" balas I 

Ktut Regeg.

Kaki pemuda tanggung itu melangkah, 

mendekati Andika.

"Apa itu?!" tanya I Ktut Regeg lagi, 

makin menjadi keusilannya begitu sudah 

dekat.

Andika melipat lembaran lontar.

"Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit!" 

maki Pendekar Slebor, setengah bergurau.

I Ktut Regeg mengangkat bahu.

"Ya, sudah. Aku juga tidak untung 

melihat lembaran lontar lusuh itu," 

sungut anak muda tanggung itu. Dia 

berbalik, melangkah keluar. 

"Hanya aku dulu memang suka membaca 

naskah-naskah kuno kalau sedang iseng."

"Hei, tunggu!" tahan Andika. 

"Apa katamu tadi?"

"Dulu, aku sering membaca 

naskah-naskah kuno milik ayahku. 

Kadang-kadang aku juga membantu Ayah 

menerjemahkan naskah kuno...."

"Naskah-nakah milik kerajaan?!" 

sela Andika.

"Lho, dari mana Beli tahu?"

"Siapa nama ayahmu?"

"I Made Tantra. Memangnya kenapa?"

Andika menepuk keningnya 

keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa 

yang disebut Cokorde tadi. Memang, nama 

I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu 

itu.

"Jadi, kau anak dari I Made Tantra? 

Ahli bahasa kerajaan?"

I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.

"Ayahku memang tidak ingin 

memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi 

jabatan membuat anak-anaknya menjadi 

sombong. Makanya, dia tak pernah 

bercerita pada Cokorde kalau punya 

anak," tutur I Ktut Regeg.

"Bagus!" sentak Andika. 

"Bagus apanya?"

"Kalau begitu, kau harus 

menolongku! ujar Pendekar Slebor, 

langsung menarik anak kurus itu ke sisi 

balai-balai bambu. 

"Duduklah. Coba kau terjemahkan 

lembaran-lembaran lontar ini!"

Andika cepat menyerahkan lembaran 

lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda 

tanggung itu membukanya dengan santai, 

merasa menang karena sedang dibutuhkan 

oleh seorang pendekar besar seperti 

Andika. Tak lama kemudian kepalanya 

tampak mengangguk-angguk sok tahu.

"Yem, mmh...mmm...emm. Sus sus 

memem...," gumam I Ktut Regeg, 

menyebalkan.

"Hei?! Jangan membaca bergumam 

seperti jampi-jampi dukun!" bentak 

Andika. "Percuma saja aku menyuruhmu 

membaca!"

I Ktut Regeg melotot.

"Sabar dulu, dong!" balas pemuda 

tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan 

lagi membacanya sampai kedua lembaran 

lontar itu selesai.

"Jadi, apa isinya?" tanya Andika 

bersemangat.

Mata I Ktut Regeg menyipit. Lagaknya 

sudah seperti petinggi kerajaan.

"Menurut dua lembaran lontar ini, 

ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe 

Rontek'...."

"Yang itu aku sudah tahu!" jegal 

Andika. "Apa di situ ada rahasia 

kelemahan ilmu 'Rawe Rontek'?"

"Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua 

lembaran lontar ini, ilmu hitam itu bisa 

dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik 

Ilmu dengan bumi...," papar I Ktut Regeg.

Andika memukul telapak tangan 

dengan tinjunya sendiri.

"Jadi itu rahasia kelemahan ilmu 

Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor. 

"Lalu, apa lagi penjelasan tentang ilmu 

hitam selain 'Rawe Rontek'?"

"Menurut...."

"Menurut dua lembar lontar ini! Ah! 

Aku bosan dengan basa-basi itu! Katakan 

saja langsung, apa saja isinya yang 

lain!"

I Ktut Regeg menatap Andika dengan 

sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia 

ingin mengatakan bila Andika tak 

berhenti mengomel, lembaran lontar itu 

akan ditinggalkannya.

"Baik..., baik. Aku tidak akan 

membentak-bentak lagi," bujuk Andika, 

melihat gelagat buruk I Ktut Regeg.

Akhirnya I Ktut Regeg mau juga 

melanjutkan.

"Ada yang aneh, Beli...,ucap I Ktut 

Regeg, sesaat berikutnya.

"Apa?"

"Di lembaran pertama, dijelaskan 

tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk 

'Rawe Rontek'. Tapi, di lembaran, yang

satunya kenapa hanya ada penjelasan 

mengenai rahasia ilmu 'Rawe Rontek' 

saja...?"

"Jadi maksudmu ada lembaran yang 

hilang?" duga Andika.

"Sepertinya begitu...."

Andika diam. Regeg juga diam. Tapi 

pemuda tanggung itu terus memperhatikan 

Andika yang mengusap-usap dagu dengan 

wajah berkerut. Pendekar muda itu sedang 

berpikir keras. Sesekali kakinya 

melangkah mondar-mandir.

"Rasanya aku mulai bisa membaca 

maksud orang ini," gumam Pendekar 

Slebor. "Pertama-tama, dia menuntun Ki 

Rawe Rontek dengan suratnya agar Ki 

Lantanggeni terbunuh. Pada saat Ki 

Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu, 

tentu lembaran lontar itu dicuri. Lalu, 

aku dijadikan kambing hitam untuk 

menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan 

memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe 

Rontek' padaku, orang itu berharap aku 

bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang 

kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe 

Rontek mati, dia akan mencari kuburannya 

lagi, dan mencoba menghidupkannya 

kembali...."

"Tapi apa untungnya buat dia?" sela 

I Ktut Regeg

“Tentu saja sebagai orang yang 

berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan 

menolak permintaan orang itu. Yakni,

mengajarkan cara-cara mendapatkan 

ilmu-ilmu hitam...."

"Tapi akan percuma saja ilmu hitam 

itu, sebab rahasianya sudah terbongkar 

dengan adanya lembaran lontar ini," 

sergah I Ktut Regeg, makin sok pintar.

"Tidak! Tidak semua rahasia ilmu 

hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang 

kita tahu rahasia kelemahannya. 

Sedangkan rahasia ilmu hitam lain berada 

di lembaran yang kurang itu. Dan sudah 

pasti orang itu menahannya. Agar jika 

ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe 

Rontek benar-benar dikuasainya nanti, 

dia akan menjadi tak tertandingi," papar 

Andika makin yakin.

"Beli tahu siapa kira-kira orang 

itu?"

Andika mengangguk mantap.

"Rasanya, aku tahu orang itu, 

Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar 

Slebor, amat pelan.

"O, iya! Aku hampir saja lupa," 

cetus I Ktut Regeg tiba-tiba. "Orang 

bertopi keranjang yang dulu mencari peti 

berukir, menitip pesan buat Beli."

Ucapan I Ktut Regeg benar-benar 

menyentak Andika.

"Apa katanya?"

"Katanya, dia akan kembali lagi," 

tutur I Ktut Regeg menyampaikan pesan 

yang diterima dari orang yang tak lain 

dari Lalinggi.

Untuk ke dua kalinya, Andika meninju 

telapak tangan sendiri.

"Sekakang semuanya jadi benar-benar 

jelas," desis Pendekar Slebor seraya 

menyipitkan mata.

***

SEMBILAN


Di luar gubuk Idayu Wayan Laksmi dan 

I Ktut Regeg. Seorang utusan Kerajaan 

Buleleng datang menemui Andika. Dia 

bermaksud mengabarkan hasil kegiatan 

memata-matai terhadap gerakan Ki Rawe 

Rontek di wilayah Tabanan.

"Jadi, bagaimana?" tanya Andika 

pada lelaki muda kepercayaan Patih I 

Wayan Rama berwajah tegar itu

"Menurut pengamatan hamba, 

tampaknya Ki Rawe Rontek telah 

mempersiapkan makar terhadap Raja 

Tabanan. Setelah berhasil membunuh 

seorang saudagar kaya di Kotapraja 

Kerajaan Tabanan, begundal-begundal 

bayarannya mulai dikumpulkan untuk 

membumi hanguskan kekuatan Kerajaan 

Tabanan. Sudah tentu dia memanfaatkan 

harta si Saudagar, untuk membayar mereka 

semua," lapor sang Utusan.

"Kau sudah pula melaporkan hal ini 

pada Patih I Wayan Rama dan Cokorde?"

"Sudah, Tuan Andika."

"Apa tanggapan mereka?"

"Menurut mereka, sebaiknya kita 

segera mendahului Ki Rawe Rontek. Akan 

sangat berbahaya bagi Kerajaan Buleleng 

bila datuk sesat itu menguasai Kerajaan 

Tabanan. Itu artinya akan terjadi perang 

antara kerajaan, yang bakal 

menyengsarakan rakyat tak berdosa."

Pendekar Slebor melepas napas. 

Matanya menerawang. Pemuda itu sedang 

menimbang-nimbang pendapat Patih I Wayan 

Rama dan Cokorde yang didengar dari sang 

Utusan ini. Sebenarnya dia pun 

berpikiran sama. Tapi, masih ada 

ganjalan yang membuatnya bimbang. 

Pendekar Slebor masih belum tahu, 

bagaimana cara menghadapi Ki Rawe Rontek 

jika sudah mengeluarkan ilmu menghilang. 

Dan menurut lembaran lontar, ilmu itu 

bernama 'Halimunan'. Sedangkan daun 

lontar itu hanya memberi gambaran 

singkat tentang ilmu hitam yang 

dimaksud. Untuk rahasia kelemahannya, 

sudah pasti ada di lembaran yang hilang.

Cukup lama Andika menimbang. Sampai 

akhirnya, mengutuki diri sendiri karena 

begitu bimbang untuk segera memerangi 

kebatilannya hanya karena satu ilmu 

hitam yang dulu sempat mengecohkan, 

bahkan hendak merenggut nyawanya. Toh, 

nyawa ada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan 

masih menghendaki nyawanya tetap 

bersemayam di badan, siapa yang akan 

sanggup membunuhnya? Lagi pula, dia

yakin, pasti ada satu cara lain untuk 

melumpuhkan ilmu 'Halimunan'.

"Kalau begitu, cepat sampaikan pada 

Cokorde. Kita akan segera bergerak!" 

putus Andika akhirnya.

"Kalau begitu, hamba mohon pamit!" 

ucap sang Utusan.

***

Keesokan harinya, Andika sudah 

berada di Istana Kerajaan Buleleng. 

Cokorde, Patih I Wayan Rama, dan beberapa 

orang prajurit pilihan pun sudah bersiap 

dengan senjata lengkap untuk membuka.

Cokorde ditemui Andika di ruang 

pribadinya. Jarang orang bisa mendapat 

kesempatan untuk memasuki kamar pribadi 

Cokorde tersebut. Tapi untuk Andika, 

Cokorde memberikan pengecualian. Meski 

begitu, tak pernah terbetik di hati 

Andika perasaan bangga karena telah 

diistimewakan.

"Apa kita telah siap, Paduka?" tanya 

Andika pada Cokorde Ida Bagus Tanca yang 

sedang duduk menekuni sesuatu di meja 

kayu berukir.

"Aku harus mempersiapkan surat 

untuk Penguasa Tabanan dulu. Kita harus 

minta izin pada mereka, kalau hendak 

memasuki daerahnya. Aku tak ingin 

terjadi kesalah pahaman yang bisa 

mengakibatkan pertumpahan darah

sia-sia," sahut Cokorde, setelah menoleh 

sebentar.

"Apakah nantinya tidak akan membuat 

kecemasan pihak Tabanan, jika tahu 

tentang rencana Ki Rawe Rontek yang akan 

merebut kerajaan?" tanya Andika.

"Tentu saja kita tak akan 

menjelaskan pada mereka tujuan 

sebenarnya. Kita hanya menjelaskan kalau 

hendak menangkap seorang buronan 

Buleleng. Itu saja. Jadi jangan dikira 

hanya kau saja yang berotak encer," papar 

Raja Buleleng itu di sela tawa yang 

meletup kecil.

Andika menimpali tawa lelaki bijak 

itu. Cokorde lalu merampungkan surat 

yang sedang dibuatnya. Pada saat itulah 

Andika melihat tabung tinta milik 

Cokorde. Mendadak saja, dia teringat 

pada ilmu 'Halimunan' milik Ki Rawe 

Rontek. Dan kecerdikannya, mampu 

menangkap manfaat tinta hitam itu dalam 

menghadapi Ki Rawe Rontek nanti.

"Paduka, apakah persediaan tinta 

kerajaan masih cukup banyak?" pinta 

Andika, begitu Cokorde menyelesaikan 

suratnya.

Siapa yang tak heran mendengar 

pertanyaan aneh Andika tadi? Apa 

hubungannya tinta kerajaan dengan 

persiapan perang mereka? Begitu 

pertanyaan tersembul di hati Cokorde. 

Dan matanya pun menatap bingung pada 

Andika.

"Banyak! Bahkan cukup untuk 

persediaan selama sepuluh tahun," kata 

Cokorde. "Kenapa?"

"Nantilah Paduka tahu. Yang 

penting, tolong bawa juga beberapa 

tabung tinta untuk perjalanan kita 

nanti," tutur Andika, tak peduli pada 

keheranan membludak Cokorde.

Walaupun masih belum mengerti 

tujuan Andika, akhirnya Raja Buleleng 

ini mengangguk juga.

Hari itu juga pasukan besar dipimpin 

langsung. Cokorde Ida Bagus Tanca 

berangkat menuju Tabanan. Untuk 

mempersingkat waktu perjalanan, seluruh 

pasukan dilengkapi kuda. Mereka terdiri 

dari lima puluh prajurit pilihan yang 

gagah, berpakaian prajurit Bali. Lengkap 

dengan tombak, tameng, dan golok 

panjang. Sebagian membawa panah, karena 

mereka juga jago bidik kerajaan. Tampak 

pula Patih I Wayan Rama yang bertindak 

sebagai panglima pasukan dan dibantu 

seorang patih muda. Tentu saja, tak 

ketinggalan adalah Andika.

Derap seluruh kaki kuda di jalan 

kering yang hampir bersamaan, membuat 

debu berterbangan liar. Suara bergemuruh 

terbangun, menghentak suasana. 

Rombongan besar itu sudah bagai raksasa, 

siap mengamuk.

***

Sudah sejak tadi rombongan pasukan 

Kerajaan Buleleng berangkat ke Kerajaan 

Tabanan. Dan tanpa diduga Kerajaan

Buleleng kini dihentak oleh puluhan 

penyusup berkepandaian tinggi. Mereka 

rata-rata adalah para bajingan musuh 

rakyat, yang telah dikumpulkan Ki Rawe 

Rontek selama di Tabanan.

Sungguh suatu pukulan telak bagi 

pihak Kerajaan Buleleng. Manakala para 

prajurit andalan sedang dikerahkan ke 

Tabanan, kerajaan justru diserang. Dan 

sungguh menyedihkan jika rombongan 

Cokorde pulang, disambut dengan 

gelimpangan mayat prajurit pengawal 

istana dan para petingginya.

Hal itu mungkin saja terjadi, karena 

serangan para penyusup itu dipimpin 

langsung oleh Ki Rawe Rontek sendiri! 

Seorang datuk sesat yang tak mungkin 

ditandingi para patih istana....

"Heaaa!"

"Gempur!"

Teriakan-teriakan haus darah 

orang-orang bayaran Ki Rawe Rontek 

menghentak istana. Setelah memanjat 

benteng istana tanpa diketahui, mereka 

menyulut peperangan terbuka. Korban 

pertama adalah para petugas jaga. 

Kemudian mereka menyerbu bagai air bah ke 

dalam istana.

Prajurit pengawal istana yang tak 

menduga sama sekali serangan itu, jadi 

kalang-kabut. Mereka tidak gentar,

karena sebagai prajurit sejati memang 

tabu bila mesti gentar. Tapi menghadapi 

serbuan mendadak dari komplotan

berkepandaian tinggi, keberanian mereka 

jadi sia-sia.

"Hieaaa!"

Crak

"Wuaaa!"

Hadangan pasukan pengawal istana 

terbabat habis bagai alang-alang, oleh 

barisan terdepan komplotan Ki Rawe 

Rontek. Jika para prajurit bertempur 

sebagai kstaria yang rela berkorban 

nyawa dengan membela negara, maka 

komplotan Ki Rawe Rontek bertempur bagai 

sekumpulan hewan buas haus darah. Mereka 

menggila, karena janji Ki Rawe Rontek 

yang akan memberi harta dan kekuasaan 

jika Kerajaan Buleleng dapat dikuasai.

Ternyata perkiraan Andika, Cokorde, 

maupun Patih I Wayan Rama jauh dari 

kebenaran. Ki Rawe Rontek mempersiapkan 

antek-antek di Tabanan, bukanlah hendak 

menguasainyai. Justru dia hendak 

melumpuhkan kekuatan Kerajaan Buleleng!

Tapi dari mana Ki Rawe Rontek tahu 

kalau Kerajaan Buleleng tengah dalam 

keadaan kosong? Tentu saja, itu karena 

ulah seseorang yang pernah menuntun Ki 

Rawe Rontek dengan surat, hingga bisa 

menemukan persembunyian Ki Lantanggeni. 

Orang itu mengirimi kabar lagi, kalau 

tidak ada salinan lontar seperti 

dikatakan Andika. Juga dijelaskan

tentang rencana keberangkatan pasukan 

Kerajaan Buleleng ke Kerajaan Tabanan di 

bawah pimpinan Cokorde. Maka, makin 

mantaplah niat Ki Rawe Rontek untuk 

kembali ke Kerajaan Buleleng, mewujudkan 

impiannya menguasai kerajaan tersebut!

"Tumpas semua prajurit yang hendak 

menentang!" seru Ki Rawe Rontek.

Suara tokoh menggiriskan itu kini 

sudah jelas terdengar. Tak lagi seperti 

dulu, saat masih ada sisa luka melingkar 

di lehernya.

"Hancurkaaan! Kita akan menjadi 

kaya dan berkuasa!"

"Hiaaa!"

Bret! Bles! Des!

"Wuaaa!"

Nyawa demi nyawa terlempar dari 

raga. Sepuluh nyawa prajurit istana 

mungkin hanya terbayar oleh satu nyawa 

anakbuah Ki Rawe Rontek. Mereka memang, 

terlalu tangguh. Darah dan cabikan

daging para prajurit pun menodai wajah 

bumi.

Pasukan kerajaan bisa musnah bila 

terus digasak beringas seperti itu. 

Menyadari hal ini, salah seorang 

prajurit mencoba menerobos keluar istana 

dengan kudanya. Begitu berhasil kuda itu 

digebah kencang untuk menyusul pasukan 

Cokorde Namun tak luput, tubuhnya sempat 

tersabet golok salah seorang penyerbu.

Kuda prajurit itu terus berlari 

kesetanan. Menembus belukar, memotong

padang ilalang, mencoba membuat jalan 

pintas. Debu tebal tertinggal di bela-

kang kuda jantan gagah ini. Sementara 

luka menganga si Prajurit terus 

mengeluarkan darah, menetes di sepanjang 

perjalanan.

Setelah cukup lama berkuda, di jalan 

dalam apitan sepasang bukit, si Prajurit 

akhirnya bisa menyusul rombongan pasukan 

Kerajaan Buleleng.

"Paduka, tunggu!" seru prajurit itu 

terengah.

Seluruh rombongan menoleh. Mereka 

menatap kaget pada prajurit yang baru 

tiba dalam keadaan menyedihkan. Wajahnya 

memucat, banyak kehilangan darah. 

Bibirnya bergetar seperti juga cuping 

hidung yang melepas napas terengah 

satu-satu.

Di dekat Andika, prajurit itu 

terjatuh dari punggung kuda. Andika

segera menangkapnya dengan sigap, 

setelah mencelat turun dari kudanya 

sendiri. 

"Uph!"

Dengan hati-hati, Pendekar Slebor 

meletakkannya di tanah.

"Apa yang terjadi, Prajurit?" tanya 

Andika.

"Jangan ke Tabanan.... Ki Rawe 

Rontek tak ada lagi di sana.... Dia dan 

pasukannya kini menyerang istana, dengan 

kekuatan penuh. Dan kami ti...."

Kalimat si Prajurit terputus, 

bersamaan dengan nyawanya yang melayang.

"Kutu congek! Rupanya kita telah 

dikecoh datuk sesat itu!" umpat Andika 

gusar. Paduka! Lebih baik kita segera 

kembali!"

Bergegas Pendekar Slebor melangkah 

ke punggung kudanya. Dari kantung 

pelana, dikeluarkan empat tabung tinta.

"Aku akan kembali lebih dahulu," 

pamit Pendekar Slebor pada Cokorde.

Lalu tanpa menambah kata lagi, 

Andika melesat cepat dengan ilmu lari 

cepatnya yang sulit tertan-dingi. 

Sebentar saja, tubuhnya sudah menghilang 

di balik bukit, arah kedatangan si 

Prajurit tadi. Andika pun tampak akan 

melalui jalan pintas.

***

SEPULUH


Sejak turun dari Lembah Kutukan, 

baru dua kali inilah Andika 

menyelesaikan perkara besar yang 

menyangkut perebutan kekuasaan satu 

kerajaan. Dulu, pertama kali turun ke

dunia persilatan, pendekar sakti ini 

harus berhadapan dengan musuh bebuyutan 

keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang 

berjuluk Ki Begal Ireng. Tokoh hitam itu 

dulu hendak mengangkangi Kerajaan

Sanggabu. la yang ternyata masih ada 

hubungan darah dengan Andika sendiri. 

Kini Pendekar Slebor harus berhadapan 

dengan Ki Rawe Rontek. Baik Begal Ireng 

maupun Ki Rawe Rontek sama-sama tangguh 

dari aliran sesat!

Apakah kali ini Andika juga akan 

berhasil? Pertanyaan seperti itu memang 

tak pernah jadi persoalan buat Andika. 

Sebab baginya, perjuangan bukanlah 

menang dan kalah. Melainkan persoalan 

kesungguhan menjalani perjuangan itu 

sendiri Siapa pun manusia di dunia ini, 

tak akan bisa menentukan sejarah seenak 

perut. Tuhan akan terus dan tetap 

menentukan!

Istana Buleleng masih dirancah oleh 

suara riuh rendah peperangan dua pihak. 

Para prajurit dan para petinggi kerajaan 

bertarung melawan Ki Rawe Rontek yang 

dibantu seluruh antek-anteknya.

Saat ini keadaan pihak istana kian 

tersudut. Bahkan dipastikan dapat 

dikalahkan secara mengenaskan. 

Perlawanan mereka tidak begitu berarti 

dalam membendung kebuasan gerombolan 

lawan. Senjata mereka tak banyak berguna 

menghadapi senjata haus darah lawan.

Trang! Trang! 

Bret!

"Aaa!"

"Habisiii!"

Di satu sudut pertarungan, Ki Rawe 

Rontek berlaga bagai kerasukan.

Terjangannya buas, lebih buas daripada 

seribusinga lapar. Empat orang patih 

kerajaan terdesak seperti kawanan domba 

menghadapi harimau. Keempat lintang 

putang kian kemari, menyelamatkan nyawa 

tanpa berkesempatan balas menyerang. 

Sampai suatu ketika....

"Hiaaa!"

Degh!

"Aaakh!"

Amat telak 'Pukulan Peremuk Dalam' 

yang baru saja dikerahkan Ki Rawe Rontek 

untuk menghajar dada seorang patih 

termuda. Hanya sempat mengerang pendek, 

patih muda itu pergi ke akherat. Begitu 

mengenaskan.

Ketiga patih lain hanya bisa 

memandang terpana pada rekan termuda 

mereka. Jangan lagi untuk mencoba 

menolong. Untuk menggerakkan otot-otot 

di bahunya saja, mereka begitu sulit. 

Pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam' 

tampaknya telah memangsa tubuh 

ketiganya, menerobos jaringan otot dan 

menelusup ke tulang sumsum. Sehingga, 

mereka menjadi lemas bergetar.

"Huah ha ha...!" Ki Rawe Rontek 

tergelak angkuh. "Kalian akan menjadi 

tumbal ilmuku satu persatu! Tapi kalian 

kuberi pilihan. Mati, atau menjadi 

pengikutku!"

"Jangan dikira kami bisa diancam 

seperti itu. Kami bukan pengecut yang 

takut menghadapi kematian demi

kebenaran!" sahut seorang patih tua 

lantang. Meski tubuhnya terlihat gontai, 

namun tetap menantang gagah.

"Huak... haa... haa... hak! Kalau 

itu keinginan kalian, maka akan kuhabisi 

seluruh patih istana ini! Bagiku, 

bukanlah hal yang sulit mencari 

pengganti kalian, orang-orang bodoh sok 

suci!" cemooh Ki Rawe Rontek 

menyakitkan.

"Jaga mulutmu, Manusia Laknat! Kami 

tahu kebenaran. Dan kami rela mati 

karenanya. Jadi bukan berarti bodoh sok 

suci!" sergah patih yang lain.

"Apa artinya kebenaran kalau kalian 

tak bisa bersenang-senang menikmati 

hidup? Apa kalian pikir kebenaran itu 

menenangkan?"

"Kenapa kau jadi ngotot hendak 

meyakinkan kami untuk ikut denganmu? 

Apakah kau sudah kehilangan semangat 

tempur, seperti ayam jantan pecundang?" 

sindir seorang patih lain.

Rupanya, dia tidak ingin mendengar 

ocehan Ki Rawe Rontek lebih banyak. 

Baginya, mati lebih baik daripada 

mendengarkan ucapan wakil iblis seperti

"Kepparrat! Kalian para patih, 

memang minta segera kubunuh!"

Selesai memaki, Ki Rawe Rontek 

membuka jurus kembali. Tapi sebelum 

merangsek ketiga lawan, seseorang 

menahannya dari satu arah.

"Tuan, jangan bunuh hamba...," 

ratap seorang yang baru saja tiba di 

dekat Ki Rawe Rontek.

Rupanya, orang itu adalah si 

Penasihat Tua, penjilat yang tak begitu 

disukai para patih yang bisa mencium 

keculasannya.

Ki Rawe Rontek menoleh. Gerakannya 

seperti terpaku, tak melanjutkan 

jurusnya.

"Siapa kau?!" bentak tokoh 

menggiriskan ini garang. "Kenapa kau 

baru muncul?"

Si Penasihat Tua tersenyum 

dibuat-buat. Antara dorongan rasa takut, 

dan keinginan untuk selamat.

"Hamba salah seorang petinggi 

istana ini, Tuan. Sejak tadi, hamba 

memang tidak ingin menentang, karena 

hanya Tuanlah yang pantas menjadi raja 

hamba," ucap si Penasihat Tua penuh 

kepalsuan. Padahal sejak penyerbuan 

dimulai, dia hanya bersembunyi ketakutan 

di dalam kamar mandi istana!

Ki Rawe Rontek tertawa serak. 

Mulutnya terbuka lebar-lebar, 

memperlihatkan barisan giginya yang 

lancip tak teratur. Si Penasihat Tua

mengira, laki-laki itu senang mendengar 

sanjungan tadi.

"Bagaimana, Tuan?" tanya si 

Penasihat Tua.

"Bagaimana apa?"

"Biarkan aku hidup, dan aku akan 

menjadi pengikut setiamu”.

Ki Rawe Rontek menyeringai. Dan 

tiba-tiba.... 

Prok!

Mendadak saja sebelah tangan Ki Rawe 

Rontek terayun cepat ke kepala si 

Penasihat Tua. Maka dalam sekejap batok 

kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk 

lagi, disertai muncratan darah segar. 

Dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.

"Setia katamu? Hah! Manusia busuk 

macam kau, hanya jadi sampah buatku. 

Dengan rajamu dulu saja kau tak setia. 

Apalagi nanti bila mengabdi padaku. Kau 

tentu akan berkhianat!" sumpah serapah 

Ki Rawe Rontek.

Ketiga patih yang sejak tadi 

memperhatikan peristiwa itu hanya sempat 

berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada 

lelaki tua itu. Mati dalam keadaan 

terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.

"Kali ini giliran kalian!" sentak Ki 

Rawe Rontek. Lalu.... 

"Hiaaa!"

"Sepi ingpamrih, rame ing gawel" 

teriak ketiga patih serempak

Meski tak yakin akan bisa 

menyelamatkan diri dari serangan akibat 

pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam' 

yang bersarang, ketiga patih itu tetap 

meneguhkan hati untuk mengadakan 

perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek.

Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek 

berhasil di-hindari. Untuk 

terjangansusulanberikutnya, mereka mati 

langkah. Sepasang tangan laki-laki 

menggiriskan ini berputar kencang, siap 

meremukkan batok kepala mereka dalam 

satu gebrakan. Tapi.... 

Prat!

Pada saat genting itu, mendadak 

terdengar suara tamparan sehelai kain 

pusaka. Seperti dorongan kekuatan tangan 

raksasa, benda gemulai itu menghadang 

putaran tangan Ki Rawe Rontek.

"Mereka bukan lawanmu, datuk 

terkutuk bau ketiak!" seru seorang 

pemuda di sisi Ki Rawe Rontek. Mendengar 

caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan 

langsung bisa menduga kalau itu adalah 

Andika.

Memang benar! Si Pendekar Slebor 

kini berdiri bertolak pinggang dua 

tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah 

rejeki nomplok apa yang membuat dia 

bermurah hati sehingga tersenyum pada 

lawan.

"Kau rupanya, Anak Muda Keparat! Aku 

senang, karena tak perlu susah-susah 

mencarimu. Rupanya, kau datang sendiri 

untuk mengantar nyawa!" geram Ki Rawe 

Rontek.

Sambil mengebut-ngebutkan kain 

pusaka ke bagian leher, Andika menatap 

orang tua menggiriskan itu.

"Terus terang, aku sedang gerah 

setelah berlari cukup jauh. Dan 

mendengar omonganmu, aku jadi semakin 

gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah 

menelan api neraka, ya?" oceh Pendekar 

Slebor ngelantur tak karuan.

"Jangan banyak mulut!"

Andika cepat-cepat meraba mulutnya. 

Tingkahnya dibuat-buat, untuk memancing 

amukan lawan.

"Kalau tidak salah, dari dulu juga 

ibuku memberi mulut hanya satu...," kata 

Andika pura-pura linglung.

"Kheaaah!"

Ki Rawe Rontek tak punya cukup 

kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang 

ketiga patih dialihkan ke Pendekar 

Slebor. Dia geram, segeram-geramnya. 

Ingin rasanya mulut pemuda itu 

dihancurkan secepatnya.

Dua cakar Ki Rawe Rontek, seketika 

menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor. 

Pengerahan tenaga dalam ke otot tangan, 

membuat dadanya menggelembung besar di 

balik pakaian.

"Haiiih!"

Tapi, mana sudi Pendekar Slebor 

mengizinkan lawan merobek wajahnya yang 

sudah tampan? Didahului teriakan 

melengking, kepalanya ditarik ke arah 

samping. Dan sambil membuat kelitan, 

Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu 

hati Ki Rawe Rontek yang lowong.

"Benjoi udelmu!"

Blep!

Memang, tusukan jari-jari kanan 

Pendekar Slebor berhasil mendaratkan 

serangan bertenaga sakti warisan 

Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh. 

Suatu tingkat kekuatan yang bisa 

membobol benteng beton setebal dua depa! 

Tapi, siapa sangka kalau perut laki-laki 

yang menggiriskan itu ternyata begitu 

alot, kenyal bagai gulungan karet!

Pendekar Slebor mendelik sekejap. 

Ilmu hitam macam apa lagi ini? Pada saat 

yang sama, Artapati alias Ki Rawe Rontek 

menurunkan tangan dengan gesit ke 

tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku 

Ki Rawe Rontek akan meremukkan tulang 

leher Andika!

Merasa ada angin deras dari atas, 

secepat kilat Pendekar Slebor 

menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku 

Artapati pun tak bisa menyusulnya. 

Namun, di bawah Pendekar Slebor sudah 

disambut jejakan kaki kanan tokoh yang 

sebenarnya sudah mati ini.

Masih dalam keadaan tengkurap 

dengan kedua tangan dan kaki sebagai 

penopang, Pendekar Slebor menggenjot 

tubuh ke kiri dan kanan.

Jleg! Jleg! Jleg!

Hasilnya, tiga jejakan kaki itu 

luput dan terbenam di samping tubuh 

jejakan sakti itu. Tanah yang menjadi 

sasaran menjadi berlubang, berbentuk 

telapak kaki.

Kalau terus bertarung seperti itu, 

Andika berpikir kelihatan seperti ulat 

nangka yang baru menelan sebatang lidL 

Dia memang tak ingin terlihat jelek 

sewaktu bertempur, Maka tubuhnya segera 

melejit ke atas, lalu menjejakkan kaki di 

belakang Ki Rawe Rontek.

Tapi Ki Rawe Rontek tak mau 

membiarkan Andika dengan mudah berdiri 

di belakangnya. Dua sikunya cepat 

menyodok kuat ke belakang. Arahnya, 

tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor. 

Deb! 

"Yeah!"

Untung dengan sigap Pendekar Slebor 

mengangsurkan sepasang telapak tangan. 

Pak!

Maka benturan terjadi. Namun tenaga 

benturan itu dimanfaatkan Andika untuk 

melempar tubuh lebih jauh ke belakang. 

Beberapa putaran tubuhnya bersalto 

manis, sampai akhirnya berdiri mantap 

tujuh depa dari lawan.

"Kenapa kau mengambil jarak, Pemuda 

Keparat?! Apa sudah gentar dengan 

seranganku?!" ledek Ki Rawe Rontek

dengan raut wajah amat meremehkan.

"Gentar? Maaf saja.... Tapi kalau 

geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu, 

itu jelas! Karena itulah aku mengambil 

jarak!" balas Andika lebih hebat.

Sebentar kemudian, pendekar Tanah 

Jawa Dwipa itu mulai memantapkan 

kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya

bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki 

Rawe Rontek apakah lawan sedang 

memainkan satu jurus silat atau bukan. 

Namun dari tonjolan mengeras 

otot-ototnya, harus segera disadari 

kalau Pendekar Slebor sedang 

mempersiapkan suatu yang dahsyat. 

Terlebih lagi, manakala garis-garis 

cahaya putih keperakan mulai melingkupi 

tubuhnya.

Saat itu juga, Ki Rawe Rontek ingat 

pada benteng tenaga tangguh yang sanggup 

melindungi tubuh pemuda ini dari sapuan 

angin 'Pukulan Peremuk Da-lam'nya 

sewaktu bertempur dengannya pertama kali 

itu.

Deb! 

Wuk! Wuk! 

Deb! 

"Hosss...!"

Menilai lawan akan menggempurnya 

habis-habisan, Ki Rawe Rontek pun tidak 

mau tanggung-tanggung lagi. Segera 

disiapkannya tiga ilmu hitam sekaligus 

'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam', 

dan 'Halimunan'. Di antara ilmu-ilmu 

hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah 

sebagai pamungkasnya. Akan 

dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu 

secara bergantian.

Sementara, Pendekar Slebor makin 

cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa 

bagian tubuhnya jadi tampak mengganda. 

Sedangkan kini Ki Rawe Rontek menyatukan

telapak tangan di depan dada. Matanya 

terpejam rapat, sedangkan bibirnya 

berkomat-kamit membacakan mantera.

Pada saat yang sama, mendadak 

sentakan keduanya berteriak membahana. 

Gabungan suara mereka seperti hendak 

melantak langit, menggugurkan bumi!

"Khiaaa!"

"Haaah!"

Pendekar Slebor cepat merangsek ke 

depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai 

meniti petak-petak lantai, namun amat 

cepat! Itulah langkah-langkah 'Titian 

Batu Petir'. Suatu gerak kakiyang 

tercipta begitu saja, karena terbiasa 

meniti susunan batu di Lembah Kutukan 

dahulu.

***

Sementara itu rombongan prajurit 

pilihan di bawah pimpinan langsung 

Cokorde Ida Bagus Tanca datang 

menghambur. Teriakan perang seketika 

tercipta. Gagah dan lantang. Para 

prajurit pengawal istana yang nyaris 

putus asa, mendadak terbakar lagi 

semangatnya. Ketangguhan prajurit 

prajurit itu tidak diragukan lagi 

kemampuannya. Boleh dikata, pertarungan 

kali ini akan berimbang.

"Heaaa!"

Trang! Trang! 

Des!

Bret! 

Cep!

"Gempurrr! Jangan mundur oleh 

kebatilan!" teriak Patih I Wayan Rama 

memberi aba-aba di medan laga. Dia 

berusaha memompa semangat sebagian 

prajurit yang nyaris padam.

Cokorde Ida Bagus Tanca pun tak 

kalah lantang meneriakkan aba-aba

perang. Keris di tangannya teracung 

tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang 

ikut dalam rombongan, dia mengamuk 

sejadi-jadinya.

Begitulah mestinya sosok seorang 

pemimpin. Langsung terjun dalam kancah 

berdarah. Tak hanya bisa berteriak 

lantang saja, sementara para bawahan 

harus menyabung nyawa demi 

pemerintahnya.

Trang! Trang! 

Crep!

Pertarungan besar terus 

berlangsung, menggelora bagai api besar 

membakar.

Sementara itu, Pendekar Slebor dan 

Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap 

pertarungan menentukan. Mereka telah 

habis-habisan mengeluarkan kesaktian 

andalan masing-masing.

Pada satu kesempatan, Pendekar 

Slebor mendapat peluang bagus untuk 

meneroboskan satu tinju geledek 

berkekuatan tenaga sakti warisan 

Pendekar Lembah Kutukan tingkat

terakhir. Tangannya menyodok hebat bahu 

kiri Ki Rawe Rontek dalam kece-patan

dahsyat, hingga tak bisa lagi diikuti 

pandangan.

Wesss! 

Begkh!

"Agh!"

Ki Rawe Rontek menjerit pendek. 

Sekejap saja, tubuhnya sudah terlempar 

jauh ke belakang. Bahu kirinya seketika 

amblas beberapa rambut ke dalam. 

Kekenyalan tubuhnya tak bisa lagi 

diandalkan untuk menahan pukulan 

pamungkas Pendekar Slebor.

Setelah menimpa tubuh seorang 

anteknya yang langsung mampus saat itu 

juga, barulah luncuran Ki Rawe Rontek 

terhenti, dan terjatuh mencium bumi. 

Untuk beberapa saat, datuk sesat itu 

mengerang-erang dan bergeliat. Tapi, 

selanjutnya dia bangkit tersentak, 

seperti memiliki pegas lentur tak 

terlihat.

Patut Diakui secara jujur, untuk 

menghadapi kecepatan gebrakan Pendekar 

Slebor, seluruh ilmu hitamnya tak 

berarti apa-apa. Namun dengan ilmu hitam 

yang bernama 'Rawe Rontek' dia bisa 

bertahan beratus-ratus jurus lagi. Dan 

itu tentu saja bisa menguras tenaga 

lawan. Bagaimana tidak? Setiap kali 

Pendekar Slebor mampu menyarangkan 

hantaman maut yang meremukkan, tiba-tiba 

laki-laki menggiriskan itu bangkit

kembali dalam keadaan utuh tanpa cacat 

sedikit pun.

Namun karena Ki Rawe Rontek tak 

ingin mengulur-ulur waktu, 

diputuskannya untuk segera memanfaatkan 

ilmu 'Halimunan'. Hanya ilmu itu yang 

bisa dijadikan senjata ampuh menghadapi 

kecepatan gerak Pendekar Slebor.

"Khiaaah!"

Psss...!

Layaknya kabut tertepis angin, 

tubuh kekar Ki Rawe Rontek mendadak sirna 

perlahan.

Apakah Pendekar Slebor akan menjadi 

bulan-bulanan lawan lagi seperti 

pertarungan pertama? Sebuah jawaban yang 

amat sulit dijawab. Apalagi Andika belum 

lagi tahu kelemahan ilmu gaib laki-laki 

itu. Kalaupun memiliki rencana, itu pun 

sekadar untung-untungan. Ya! 

Pertarungan selanjutnya adalah 

perjudian bagi Pendekar Slebor. Nyawalah 

taruhannya!

***

Andika di satu sisi, memperkuat 

benteng kekuatan di sekeliling tubuhnya. 

Pengerahan kesaktian puncak, 

memperjelaskan sinar putih keperakan 

yang membungkus tubuhnya. Sinar itu 

menebal dan membersit kuat.

Tak ada yang bisa dilakukan jejaka 

tangguh itu, kecuali menunggu datangnya 

serangan. Dan pada saatnya....

Wesss!

Telinga Pendekar Slebor yang tajam 

menangkap desir angin dari sebelah kiri. 

Dan tanpa bisa memastikan bentuk 

serangan, tangan dan kaki kanannya cepat 

disapukan serentak ke samping.

Dak!

Pertahanan untung-untungan itu 

ternyata membawa hasil, ketika serangan 

gelap Ki Rawe Rontek sanggup dibendung. 

Pada hantaman selanjutnya, Pendekar 

Slebor tak bisa lagi berharap banyak. 

Tanpa sepengetahuannya, laki-laki itu 

mengirim hantaman jarak jauh lewat 

'Pukulan Peremuk Dalam'.

Des!

"Bhaaa!"

Teriakan menggiriskan meluncur 

keluar dari kerongkongan pendekar muda 

itu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, 

menyusul hempasan cahaya putih ke-

perakan, akibat pertemuan dengan pukulan 

jarak jauh Ki Rawe Rontek. Pukulan hitam 

itu mencoba melantakkan serat-serat 

tubuhnya dari dalam. Dan dirinya pun 

terasa sedang digerogoti jutaan 

ulat-ulat rakus di balik kulitnya. 

Ototnya mengejang keras, namun terasa 

lemas. Alat-alat penting di tubuhnya 

bagai berhenti bekerja saat itu juga.

Saat darah kental kehitaman mulai 

merembes perlahan dari lubang hidung dan 

mulut, satu hantaman tenaga luar 

mendadak membumi hanguskan kuda-kuda 

Pendekar Slebor. 

Bak! Bak!

Di sekeliling dada Pendekar Slebor 

mendarat telak tinju melebar, memaksa 

tubuhnya terpental sembilan tombak ke 

belakang. Setelahmenembus lapisan 

udara, tubuhnya tersuruk jatuh, nyaris 

kehilangan tenaga. Dan selubung sinar 

putih keperakan pun meredup.

"Huhhh...," keluh Andika lirih 

seraya meraba bagian dada.

Kini Pendekar Slebor benar-benar 

terhempas dalam perjudian maut. Sudah 

saatnya dia mencoba menjalani rencana 

untung-untungan yang sempat terpikirkan 

sebelumnya. Masih dengan napas sesak, 

tangan Andika merogoh sesuatu di balik 

bajunya. Dan, terlihatlah empat tabung 

tinta hitam....

"Haiiih!"

Diawali lengkingan nyaring untuk 

menekan deraan rasa sakit, Pendekar 

Slebor secara bersamaan menghancurkan 

tutup keempat tabung tinta dengan 

jentikan jari-jarinya. Dan dalam waktu 

yang demikian cepat, tubuhnya melakukan 

satu gerakan susulan, menerjang kembali 

ke kancah pertarungan. Begitu tiba

tubuhnya diputat bagai gasing dengan 

satu kaki sebagai tumpuan.

Werrr! Werrr! 

Crat! Crat

Tak ayal lagi, cairan tinta dalam 

empat tabung di tangan Andika memercikan 

tinta hitam pekat kesegenap penjuru. 

Sehingga, tak ada sejengkal ruang pun 

yang luput! Sebagian besar percikan 

tinta hanya sempat jatuh menodai tanah. 

Namun bagi mata yang amat jeli, akan 

terlihat beberapa noda hitam yang tampak 

melayang-layang di udara. Itulah tinta 

yang sempat memercikan tubuh gaib Ki Rawe 

Rontek!

Kecerdasan Andika memang patut 

dipuji. Dia yakin tubuh lawan tak 

menghilang begitu saja seperti roh 

halus, tapi hanya menipu pandangan mata 

manusia. Sehingga tubuh itu seperti 

menghilang, sedangkan jasadnya 

sebenarnya tetap ada. Jasadnya itulah 

yang menjadi tempat mendarat percikan 

tinta....

Bagi Andika, titik-titik tinta yang 

mengapung di udara itu adalah satu 

kesempatan emas yang tak boleh 

disia-siakan. Pendekar Slebor sendiri 

yakin, lawan belum menyadari siasatnya. 

Dan tentu saja lawan tak akan dibiarkan 

menyadarinya!

Diiringi satu teriakan melantak 

gendang telinga, Pendekar Slebor 

menggempur Ki Rawe Rontek dengan seluruh 

kekuatan sakti.

"Hiiiaaa!"

Wusss! 

Deb!

Plak!

Sapuan kilat kaki Pendekar Slebor 

yang begitu cepat dapat dihindari Ki Rawe 

Rontek. Sementara tokoh hitam itu diusik 

rasa heran, karena bisa mengetahui 

tempatnya berdiri. Kini Ki Rawe Rontek 

melontarkan tubuhnya tinggi-tinggi ke 

angkasa, seperti tak mau mengambil 

bahaya dengan sapuan gila kaki Pendekar 

Slebor.

Namun tanpa diduga, justru hal itu 

yang dikehendaki Pendekar Slebor. 

Sekedip mata di bawah lawan, Andika pun 

menyusul ke atas. Tubuhnya meluncur 

lebih cepat, hingga mampu menyamai 

kedudukan Ki Rawe Rontek.

Masih di ketinggian sekian depa dari 

bumi, tangan Pendekar Slebor bergerak 

cekatan, melepas kain pusaka dari 

bahunya.

Srat! 

Ctas!

Crat!

Satu sabetan dahsyat untung-

untungan dibuat Andika.

Tanpa dinyana, leher Ki Rawe Rontek 

tertebas kain pusaka yang mengeras bagai 

kepinganbaja. Terputusnya pita suara, 

membuat Ki Rawe Rontek menemui ajal di 

udara tanpa sempat mengeluarkan teriakan 

kematian. Sedangkan tubuhnya kini sudah

terlihat kembali tidak berupa bayang-

bayang semu seperti tadi.

Sewaktu potongan kepala dan tubuh Ki 

Rawe Rontek berbalik arah ke bawah, 

Pendekar Slebor secepat mungkin 

menangkapnya.

"Huph!"

Tep! Tep!

Jleg!

Di wajah bumi yang dibasahi warna 

merah dimana-mana, Andika berdiri gagah. 

Tangannya sudah terbentang kejang ke 

atas, menahan kepala dan tubuh Ki Rawe 

Rontek agar tidak menyentuh bumi.

***

Menyusul kematian Ki Rawe Rontek, 

sisa anak buahnya berhamburan keluar 

istana. Mereka melarikan diri, seperti 

sekumpulan anjing geladak. Tanpa 

menggubris seorang pun dari mereka, 

Pendekar Slebor berjalan mantap ke 

pedati kerajaan yang mulanya 

dimanfaatkan untuk mengangkut 

perlengkapan perang ke Kerajaan Tabanan. 

Di atas pedati itulah tubuh kaku Ki Rawe 

Rontek dilemparkan.

Untuk kedua kalinya, tamatlah 

riwayat datuk sesat itu!

"Lalinggi! Kali ini kau tak akan

punya kesempatan untuk menghidupkan 

manusia iblis ini lagi. Karena, aku akan 

membakarnya seperti orang Bali menga

dakan upacara Ngaben Kau jangan berharap 

lelaki ini kukubur secara terpisah, 

seperti pernah dilakukan Ki Lantanggeni. 

Dia mungkin masih menghormati Ki Rawe 

Rontek, sebagai kakak seperguruannya. 

Tapi, tidak bagiku!" teriak Andika.

Selesai terdengar teriakan Andika 

yang lantang memenuhi rongga angkasa, 

orang yang dipanggil Lalinggi pun muncul 

dari gerbang istana. Sesaat dia berdiri 

kaku di mulut gerbang.

Mata elang Pendekar Slebor 

mengawasi laki-laki itu dengan sependam 

bara kemerahan. Sedangkan seluruh 

penghuni istana menatap Lalinggi dengan 

sinar mata penuh selidik.

"Sekali lagi kau menang, Pendekar 

Slebor! Kuakui, kau memang memiliki 

kepandaian mengagumkan, dan keenceran 

otak luar biasa! Tapi, ingatlah Pendekar 

Slebor! Aku setiap saat akan datang untuk 

menuntut semua tindakanmu!" ancam 

Lalinggi sarat kemurkaan.

Puas melontarkan ancaman, lelaki 

bertopi keranjang itu berkelebat pergi, 

meninggalkan pelataran istana. Di 

sebelah tangannya tergenggam selembar 

halaman daun lontar yang tidak pernah 

diterima Andika.

Belum lagi Andika menghempas napas 

lega, terdengar kembali jeritan dari 

arah gerbang istana. "Wuaaa!"

Andika terperangah. Di kejauhan 

sana, tampak I Ktut Regeg sedang

mengaduh-aduh dijeweri Idayu Wayan 

Laksmi

"Beli Andikaaa! Tuoluooong aku! 

Mbok marah-marah, sebab aku mau kasih 

tahu Beli, kalau dia akan kawin dengan 

Beli Yaksaaa! Uwa! Ampooon,Mbok!"




                        SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar