BANGKITNYA
KI RAWE RONTEK
oleh Pijar El
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El
Serial Pendekar Slebor
Dalam episode 006 :
Bangkitnya Ki Rawe Rontek
128 hal.
SATU
Pantai Barat Buleleng tak hentinya
didera ombak. Gelombang demi gelombang
menggapai, hingga melemah di pasir bibir
pantai. Selaksa buih bertumbukan,
selaksa lainnya lahir atau menghilang.
Dibatas laut, bayang-bayang rembulan
penuh tampak bagai tercabik-cabik
gejolak samudera.
Tak jauh dari benteng pasir pantai
berdiri sebuah bangunan karang besar
yang mematung kaku. Tepat di kaki sebelah
timur bukit karang itu, terdapat goa
cukup besar. Goa Karang Hitam.
Goa Karang Hitam tetap bisu. Tak
seperti ombak laut yang selalu
bergemuruh, Bongkahan-bongkahan batu
karang dingin tampak menimbun seluruh
mulut goa. Tebing karang di atasnya,
ratusan sarang burung walet tampak
tersusun tak teratur, bagai
bintik-bintik jika dipandang dari jauh.
Di setiap sarang itu burung-burung
mungil berkumpul menanti pagi.
Malam kian terpuruk dalam kelam.
Kendati demikian tak juga sunyi, riuh
rendah pesta ombak sang Samudera terus
berlangsung. Pada pangkal dini hari yang
diselumuti dingin, timbunan batu-batu
karang di mulut Goa Karang Hitam
tiba-tiba bergerak-gerak.
Grrr...
Tak ada sepasang mata pun
menyaksikan. Kelihatannya pantai saat
ini tidak diminati seorang pun. Bahkan
para nelayan yang biasanya sudah berada
di tengah laut, kini lebih memilih
berkumpul dengan keluarga. Badai
tampaknya memang akan mengamuk di musim
angin barat yang ganas.
Bongkahan karang penimbun mulut Goa
Karang Hitam terus bergetar kecil, lalu
saling bergeser. Padahal, tak ada gempa
saat itu. Dan memang, hanya di sekitar
mulut goa itu saja yang bergetar. Sesaat
kemudian, bongkahan batu karang itu
kembali mematung bisu.
Waktu terus merayap, merangkak
bagai langkah-langkah para pencabut
nyawa. Pada puncaknya....
Blar!
Gruk..., grrr...!
Ledakan menggila yang dibuntuti
gemuruh riuh tercipta seketika.
Bongkahan batu karang sebesar setengah
badan manusia langsung terlontar ke
segala arah, menghambur tak berdaya
seperti butiran pasir. Bukit karang
menjulang di atasnya turut bergetar.
Ratusan burung walet mendadak kehilangan
kedamaian di sarang masing-masing.
Mereka berterbangan liar, bagai digerah
keterkejutan.
"Cuit.... Cuit! Cuit... Cuit...!"
Mulut Goa Karang Hitam ternganga
lebar. Tak ada lagi karang keras yang
menyumpal mulutnya. Yang tertinggal
hanya pecahan-pecahan batu kecil di
sekitarnya, serta kehampaan di rongga
dalam goa. Di dalam sana, gelap berkuasa
bersama kawalan kelengangan. Namun itu
tidak berlangsung lama. Karena mendadak
saja...
"Aaarrrrggghhh...!"
Tiba-tiba terdengar erangan yang
menggidikkan bagai terpelanting keluar.
***
Di satu hamparan lembah hijau
berumput halus dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Tabanan, berdiri menyendiri
sebuah pondok sederhana. Di halaman
terlihat dua orang berbeda usia
bertelanjang dada. Sekujur tubuh mereka
berkilatan oleh keringatyang membanjir.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Terdengar teriakan penuh semangat
secara bergantian dari mulut
masing-masing. Dengan diiringi
teriakan, mereka melakukan
gerakan-gerakan penuh kekuatan. Yang
seorang adalah pemuda gagah berusia dua
puluh enam tahun. Tubuhnya berotot
kenyal. Pantas saja jika dia begitu
bergelora melakukan setiap gerakan.
Wajahnya tak tergolong tampan. Namun
terlihat ramah dan tak bosan dipandang.
Kini wajahnya memperlihatkan kesung
guhan. Sementara rambutnya yang
sepanjang bahu terikat kain hitam,
menggelepar-gelepar dipermainkan angin
lembah.
Sementara yang seorang lagi adalah
lelaki tua. Meski usianya bisa dibilang
lanjut, namun tubuhnya masih tampak
gagah. Otot-ototnya pun tak begitu
mengalami kesulitan dalam membuat
gerakan jurus yang terhitung sulit.
Menilik kerutan serta kumis dan jenggot
putih di wajahnya, bisa ditebak kalau
usianya hampir mencapai sembilan puluh
tahun.
Wrrrt!
Deru seketika tercipta, begitu
celana pangsi hitam mereka bertumbukan
cepat dengan angin. Kaki kanan mereka
teracung lurus menantang langit, seolah
hendak mematahkanleher lawan. Setelah
itu, kaki masing-masing kembali ditarik
ke bawah perlahan.
"Hsss!"
Dengan menghempas napas berangsur,
mereka pun mengakhiri latihan hari ini.
"Cukup dulu untuk hari ini, Yaksa!"
ujar lelaki tua itu, seraya menyapu peluh
di kening.
"Baik, Guru. Tapi kalau boleh, aku
hendak sedikit menyempurnakan gerakanku
pada jurus kesembilan belas...," pinta
anak muda yang ternyata bernama Yaksa.
Si Lelaki Tua terkekeh. "Kau punya
semangat baja. Aku senang memiliki murid
sepertimu. Tapi...."
"Tapi hari iri aku harus meneruskan
pelajaran memahat...," sela Yaksa,
mendahului kalimat laki-laki tua yang
ternyata adalah gurunya.
"Ha ha ha...!" laki-laki tua itu
tertawa. Sudah seringkali dia mengatakan
kalimat itu pada Yaksa.
Sampai-sampai, murid tunggalnya ini
hafal.
"Dan tentunya Guru juga akan
mengatakan, kalau aku harus mempelajari
ilmu lain selain bela diri. Karena hidup
menuntut banyak hal. Seni bisa membuat
jiwa kita hidup, sekaligus bisa menjadi
penopang hidup," tambah Yaksa.
Sang Guru tertawa lagi. Lagi-lagi
dia kedahuluan, seketika diraihnya bahu
Yaksa dengan wajah gembira.
"Ayo kita ke dalam! Setelah
beristirahat sebentar, kita mesti
melanjutkan pahatan!" ajak laki-laki tua
itu.
Mereka segera masuk ke dalam pondok
untuk beristirahat sejenak. Begitu
berada di dalam, mereka meneguk air putih
segar dari sebuah kendi. Lalu
masing-masing menyapu keringat dan
sedikit berangin-angin di sisi jendela.
Dan kini mereka menuju belakang pondok,
siap melanjutkan pekerjaan lain.
Sepertinya, mereka tidak ingin
menyia-nyiakan waktu. Memang, bukankah
waktu begitu cepat berlalu?
Di halaman belakang pondok, telah
menunggu tumpukan balok kayu besar serta
dua pahatan yang hampir rampung. Yaksa
menghampiri salah satu pahatan.
"Kenapa Guru menyuruhku membuat
patung Sang Kala ini?" tanya Yaksa sambil
meraih alat-alat pahatannya.
Laki-laki tua ini menepuk-nepuk
kepala patung berbentuk raksasa bermata
besar dan bertaring itu.
"Patung Sang Kala adalah perlambang
kejahatan di dunia. Aku menyuruh
membuatnya, karena aku ingin kau selalu
waspada terhadap setiap kejahatan di
bumi ini...."
"Kenapa Guru menyuruhku membuat
sepasang?" tanya Yaksa lebih lanjut.
Diperhatikannya satu patung lain yang
berbentuk raksasa wanita berwajah
bengis.
"Patung Sang Kala adalah Dewa
Perusak. Sedangkan pasangannya adalah
patung Sang Khali Durga. Artinya, setiap
manusia baik perempuan atau lelaki,
setiap saat bisa melakukan kejahatan.
Karena sifat jahat adalah salah satu
sifat setiap orang. Yang tidak bisa
menguasai sifat itu, dia akan dikuasai.
Tapi jika bisa menguasainya, niscaya
orang akan mendapat ketenteraman hidup,"
tutur guru pemuda ini.
"Tapi seseorang yang bisa menguasai
sifat jahat dalam dirinya, tidak mungkin
tenteram kalau dizaliminya, Guru...,"
sergah Yaksa.
Lelaki tua berjanggut putih yang
kini sudah mengenakan baju hitam itu
mengangguk-angguk seraya menebar senyum
arif.
"Untuk itulah, seseorang harus
memiliki kemampuan bela diri, serta
menghapus kejahatan pada orang-orang
yang dikuasainya. Kau mau menjadi
pendekar pembela kebenaran, bukan?"
Kini giliran Yaksa mengangguk
angguk.
"Nah, Sekarang kau teruskan
kerjamu."
"Baik, Guru."
Yaksa mulai menghujamkan pahatnya
pada lekukan tubuh patung Sang Kala yang
harus dirampungkan. Sedangkan, gurunya
sudah kembali ke pondok. Tapi, begitu
lama sudah kembali lagi. Di tangannya
kini ada segulungan daun lontar kering
yang sudah diawetkan.
"Yaksa.... Kalau kau sudah
menyelesaikan patung Sang Kala,
masukanlah lembaran-lembaran lontar ini
ke lubang patung yang kemarin kau
buat..."
Sang Guru langsung menyodorkan
gulungan di tangannya.
"Apa ini, Guru?" tanya Yaksa ingin
tahu.
"Ini adalah sobekan-sobekan sebuah
kitab," sahut lelaki tua itu singkat.
"Kitab apa, Guru?" desak Yaksa,
ingin tahu lebih banyak.
"Kitab ilmu hitam. Dalam lontar itu
tertulis rahasia-rahasia kelemahan ilmu
hitam," jelas gurunya hati-hati. "Karena
aku yakin, suatu saat ada orang-orang
berhati iblis akan mencarinya. Maka kita
harus menyembunyikan pada satu tempat
rahasia."
"Di dalam patung Dewa Perusak ini?"
bisik Yaksa, juga hati-hati.
Gurunya mengangguk sekali.
***
Waktu terus menyingkir tanpa
terasa. Siang berganti senja yang
merahlembayung dari belahan langit
sebelah barat. Yaksa pun telah
merampungkan pahatannya. Bahkan sudah
pula menghaluskan patung kayu itu,
hingga makin menampakkan nilai seni.
"Satu persatu, kedua patung itu
dimasukkan ke dalam gubuk. Di dalam sana,
dia membalik patung Sang Kala yang di
bawah kakinya terdapat semacam laci
kecil yang tertutup rapat. Di laci
rahasia itu, Yaksa memasukan gulungan
lontar seperti pesan gurunya. Sementara,
lelaki tua itu sendiri saat itu sedang
duduk menyendiri di serambi. Dan pemuda
itu segera menghampiri.
"Pesanmu sudah kulaksanakan, Guru,"
ucap Yaksa begitu sampai di serambi.
"Bagus.... Sekarang, duduklah
dulu," sahut laki-laki tua itu dari
sebuah dipan bambu tempatnya bersila.
"Tapi, aku hendak menemui
seseorang, Guru," tolak Yaksa.
Lelaki tua itu melirik Yaksa dengan
sepasang mata yang sudah keabu-abuan.
"Kau mau menemui gadis itu lagi?"
sindir gurunya.
Yaksa hanya bisa tertawa risih.
"Baiklah. Pergilah sana...." Yaksa
menjura dengan sebaris senyum lega.
“Terima kasih, Guru," hatur pemuda
itu hormat.
"Kau tidak memintaku untuk
melamarnya?" tukas gurunya sebelum Yaksa
jauh melangkah meninggalkan gubuk.
"Apa, Guru?" Lelaki tua itu
terkekeh.
"Tidak apa-apa. Ada nyamuk usil
tadi!" kilah gurunya.
Sepeninggalan muridnya, lelaki tua
berjanggut putih ini masukke dalam
gubuk. Raut wajahnya berubah, tak lagi
menampakkan bias ketenangan. Ada
sesuatuyang tiba-tiba mengusik batinnya
saat ini. Dia merasa ini adalah firasat
buruk.
Seperti dituntun oleh suara hati,
dia mengambil pahat milik Yaksa di bawah
balai-balai kayu tempat tidur. Dengan
pahat itu, ditulisnya sebaris pesan di
papan dinding gubuk.
“Yaksa! Tiba-tiba saja aku mendapat
firasat buruk Entah apa yang terjadi, aku
sendiri tidak tahu. Tapi jika nanti kau
tidak bisa berjumpa lagi denganku,
carilah seorang pemuda yangbernama
Andika diDesa Umbuldadi Jika dia masih di
sana, mintalah agar mengajarimu beberapa
jurus bela diri
Gurumu, Lantanggeni...”
Laksana mata panah yang tepat
menghujam sa-saran, firasat lelaki tua
yang ternyata Ki Lantanggeni (Baca kisah
Pendekar Slebor dalam episode: "Darah
Pembangkit Mayat") agaknya mendekati
kebenaran. Karena mendadak saja
terdengar lengkingan erangan serak dan
panjang di luar pondok Ki Lantanggeni.
Lengkingan menyeramkan itu jelas sarat
dengan ancaman. Lebih mengancam daripada
geraman ratusan serigala liar!
Ki Lantanggeni kontan tersentak
Sebenarnya laki-laki tua ini tidak akan
begitu terkejut. Kalau lengkingan tadi
tanpa disertai hempasan tenaga dalam
tingkat tinggi. Tapi, suara menggidikkan
yang menerabas gendang telinganya memang
bukan teriakan seorang perempuan usil.
Teriakan itu bahkan sedahsyat angin
topan yang berhembus sekejap, membuat
dinding pondoknya bergetar dan nyaris
berguguran. Tak hanya itu. Telinganya
yang semula menyepi untuk memeluk
kedamaian mendadak saja bagai disodok
sebatang besi panas.
Ki Lantanggeni langsung mendekap
kedua telinganya untuk menahan rasa
nyeri yang amat sangat. Wajahnya makin
berkerut tak karuan. Sedangkan sepasang
matanya terpejam rapat.
"Aaargggkhhh!"
Terdengar kembali lengkingan serak
ketika Ki Lantanggeni baru saja melepas
tangannya dari telinga. Untunglah, kali
ini lelaki tua itu telah menyalurkan hawa
murni ke sepasang telinganya. Sehingga
tenaga dalam kandungan lengking tadi tak
lagi membuatnya kesakitan.
Menjadi suatu keharusan baginya
saat ini, untuk segera menyiapkan diri
lebih siaga. Kemungkinan terburuk yang
akan menyusul harus diwaspadai. Toh,
biar bagaimanapun, dia tidak mau mati
konyol meski usianya sudah bau tanah.
Tindakan itu memang membawa manfaat
karena....
Glarrr...!
Tiba-tiba saja satu tenaga tak
terlihat datang menghancurkan dinding
kayu pondok di sisi kiri. Untung saja, Ki
Lantanggeni masih mampu menyelamatkan
diri. Sekuat tenaga tubuhnya didorong ke
udara hingga menembus atap rumbia
pondoknya. Serangan itu demikian
mendadak. Kalau saja kurang cepat, maka
tubuhnya akan berkeping-keping bagai
dinding kayu pondoknya yang bertaburan
ke segala arah.
Srak!
Ki Lantanggeni memang masih bisa
menyelamatkan nyawa tuanya. Dia memang
bisa lolos dari terjangan hantaman
asing, melalui atap rumbia di atas pondok
Tapi, tetap saja angin hantaman itu
sempat menyentuhnya juga. Meski tak
kencang, namun seluruh rangka tulangnya
terasa luluh lantak.
Di atas wuwungan rapuh, Ki
Lantanggeni berdiri sambil bertahan dari
kekuatan kasap mata yang merasuki
tubuhnya. Ketika sekujur tubuhnya terasa
melemas seakan tanpa tulang, barulah
disadari kalau dirinya telah terkena
pengaruh pukulan langka. 'Pukulan
Peremuk Dalam'. Ilmu pukulan hitam yang
mampu merapuhkan sebatang baja dari
dalam!
"Gusti.... Kenapa ilmu hitam itu
tiba-tiba muncul kembali," desis
laki-laki tua itu lamat.
Sepengetahuannya, ilmu hitam itu
telah musnah, saat matinya datuk sesat
ilmu hitam yang juga saudara
seperguruannya sendiri. Dia adalah
Artapati, alias Ki Rawe Rontek.
***
DUA
"Lhanthanghhh.... Akkhu kembhalhi
uhnthukh mencabhut nyawhamuhuuuuh...."
Ki Lantanggeni terkesiap begitu
mendengar sebuah suara seseorang yang
sepertinya kenal dengan dirinya. Kini
dugaannya terbukti. Artapati, atau lima
puluh tahun lalu amat tersohor dengan
julukan Ki Rawe Rontek, telah bangkit
kembali! Bahkan untuk mencabut nyawanya
sebagai pembayar hutang!
Sambil menarik napas sesak akibat
pengaruh 'Pukulan Peremuk Dalam',
sekaligus untuk mengembalikan kekuatan
tubuhnya, Ki Lantanggeni mengeluh berat.
Bukanlah kematian yang ditakuti. Tapi,
sepak terjang tak berperi kemanusiaan
yang dilakukan Artapati. Tentu datuk
sesat itu setiap waktu akan menumpahkan
darah kembali di mana-mana, jika mulai
merasa haus darah!
"Ini tak boleh terjadi...," desis Ki
Lantanggeni, lirih.
"Khenhaphah therdhiamh sepherthi
ithu, Lhantahanghhh? Khau tahkut
menerima kemathianmuhhh?"
Suara berat itu kembah menyesaki
udara di sekitar gubuk, menerjang jiwa Ki
Lantanggeni Sehingga, membuatnya
bergetar.
"Aku tak takut pada kematian, Arta!
Aku tetap seperti yang dulu. Pantang
mundur untuk kebatilan, rela membuang
nyawa untuk menegakkan kebenaran!"
bentak Ki Lantanggeni, masih tetap
berdiri kukuh pada pucuk atap rumbia
rapuh.
Kalau bukan tokoh semacam Ki
Lantanggeni, tentu atap itu akan segera
roboh. Karena, sebenarnya kekuatannya
hanya untuk menahan berat tubuh seekor
burung nuri.
"Haaarhhh..., haaarhhh... haaarh!"
Entah yang terdengar itu adalah tawa
Artapati, atau semacam kegusaran. Ki
Lantanggeni sendiri tak bisa
menentukannya. Yang jelas, telinganya
menangkap kesan keangkuhan di sana.
"Khau phikhir, khau mhashih tethaph
sepherti dhuluh, Lhanthanghhh? Apha khau
thak shadar khalau thubuhhmu sudhah
laphuk?" cemooh suara berat yang
terseret itu. "Akhu thak mauhhh bhanyak
omhong lhlagi, Lhantanghh. Akhu akhan
mengamphuni nyawhamu, asal khau mau
menyerhahkan sobhekhan khitab ilmhu
hitham ithu...."
Ki Lantanggeni menyeringai. Namun
sempat terhenyak juga.
"Kau pikir kau siapa, Arta? Tuhan
yang bisa mengampuni nyawa manusia? Kau
terlalu sombong, Arta! Tuhan akan
menghukummu!" hardik laki-laki tua itu
dengan wajah memerah matang.
"Haarrrh... haarrh... harrh!
Uchapanmhu therlhaluh bodhoh,
Lhantangh!"
"Hentikan keangkuhan memuakanmu,
Arta! Kalaupun sejuta setan neraka kau
bawa ke sini untuk memaksaku menyerahkan
gulungan lontar itu, tetap tak akan
kuberikan!" tandas Ki Lantanggeni:
"Aaaargggh!"
Lengkingan serak ketiga kembali
menyayat angkasa, disusul membersitnya
gelang-gelang api yang garis tengahnya
sebesar mulut sumur, menuju Ki
Lantanggeni. Asalnya, dari satu gundukan
semak tinggi di tepi lembah.
Kegesitan Ki Lantanggeni, tak
berkurang meski tubuhnya masih didera
pengaruh pukulan tak berwujud tadi.
Bagaikan tupai yang meloncat lincah,
tubuh lelaki tua itu melenting ringan ke
udara dengan kedua tangan terbentang.
Kemudian setelah berputaran beberapa
kali, kakinya mendarat ringan tiga belas
tombak dari tempat asal serangan.
Dalam hati Ki Lantanggeni bergumam
setengah menyumpah. Serangan barusan
merupakan salah satu ilmu hitam yang
dimiliki Artapati, setelah direbutnya
secara curang dari tangan Ki
Lantanggeni. Padahal, ilmu hitam itu tak
terlalu tangguh. Tapi yang baru saja
disaksikannya, benar-benar di luar
dugaan. Tampaknya setelah sekian puluh
tahun tubuhnya terperam bumi, ilmu-ilmu
Artapati menjadi kian matang. Terbukti
dengan kehebatan jangkauan gelang
gelang api yang mampu mencapai tiga puluh
lima tombak.
Jauh di belakang sana, pondok milik
Ki Lantanggeni mulai dilahap lidah api.
Jilatan si Jago Merah itu mulai menjalar
ke rangka pondoknya. Sampai akhirnya,
menjalar ke bagian dinding.
Kebakaran ini membuat Ki
Lantanggeni khawatir, karena patung kayu
tempat persembunyian gulung lontar
rahasia kelemahan ilmu-ilmu hitam tentu
akan terbakar api pula. Kalau gulungan
lontar itu terbakar, maka musnahlah
rahasia kelemahan ilmu hitam Artapati.
Dan, tidak akan ada lagi orangyang
menahan kebuasannya.
Dengan segera Ki Lantanggeni hendak
berbalik. Tapi niatnya diurungkan,
karena Artapati arias Ki Rawe Rontek
telah mendahului dengan hantaman
gelang-gelang api kembali.
Wrrr! Wrrr! Wrrr!
"Haih!"
Ki Lantanggeni langsung melenting,
menyelamatkan diri. Dan seketika
tubuhnya melesat nekat, menerobos tepat
di tengah lingkaran gelang-gelang api
yang meluruk deras ke arahnya. Tampaknya
laki-laki tua itu sudah cukup mengenali
pukulan api tersebut. Sehingga mau
mengambil langkah nekat dan sebahaya
itu.
Pada saat tubuh laki-laki tua
membentang lurus di atas, seketika
sesosok bayangan besar menerkamnya dari
semak-semak. Padahal, jarak antara
semak-semak dengan tubuh Ki Lantanggeni
terbilang sekitar sepuluh tombak. Namun,
terkaman itu sanggup menggapainya.
Itulah sosok Artapati yang menerkam
laksana terbang!
Sementara, kedua tokoh berbeda
aliran itu menyulut pertarungan maut,
tanpa ada yang tahu seseorang menerabas
masuk pondok yang terbakar. Beberapa
saat matanya mencari-cari sesuatu di
setiap ruangan pondok, di tengah
gapaian-gapaian lidah api, tanpa merasa
takut terbakar, dengan tenang
diperiksanya ruang demi ruang sampai
akhirnya ditemukannya sepasang patung
buatan Yaksa, yang baru saja
dirampungkan. Dari bawah kaki salah satu
patung kayu itu. Si Penelusup mengambil
gulungan lontar tanpa harus berlama-lama
meneliti lubang rahasianya. Gulungan
lontar ini kemudian dimasukkan kembali
ke dalam laci rahasia di bawah kaki
patung itu. Setelah itu, dia keluar tanpa
kesulitan.
***
Yaksa telah tiba di Desa Umbuldadi
senja hari, menjelang tersungkurnya
mentari di kaki langit. Temaram telah
mengurung desa kecil itu. Beberapa
rumpun nyiur bergerak-gerak lamban,
diusik angin sepoi-sepoi.
Sejak gurunya pergi bersama
Pendekar Slebor untuk memburu kotak
berukir yang dibawa Sepasang Datuk
Karang, Yaksa tidak pernah menjumpai
gadis yang disukainya di Desa Umbuldadi
yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng.
Tanpa izin Ki Lantanggeni, dia tak berani
pergi meninggalkan pondok kecuali untuk
urusan penting.
Setelah kepulangan Ki Lantanggeni
beberapa hari lalu, Yaksa baru bisa
mendapat latihan jurus-jurus bela diri
lagi. Sekaligus, bisa meminta izin untuk
menemui gadis pujaannya.
Jika seseorang bertanya pada Yaksa
tentang perasaannya saat ini, pasti akan
dijawab lantang kalau perasaannya amat
berbunga-bunga. Siapa yang tak senang
jika hendak menemui orang yang dicintai?
Tak begitu lama berjalan memasuki
desa, Yaksa akhirnya tiba di depan sebuah
rumah gubuk sederhana yang bersih dan
nyaman. Di situlah pujaan hatinya
tinggal. Makin dekat dengan gubuk itu,
hatinya makin berbunga-bunga. Bahkan
jantungnya jadi bertalu-talu keras.
Baru saja pemuda itu hendak
memijakkan kakinya di anak tangga
pondok, telinganya menangkap dua orang
sedang berbincang-bincang di dalam.
Entah, apa yang dibicarakan. Yang
diketahuinya suara itu dari seorang pria
dan wanita.
Yaksa jadi curiga. Dengan sangat
hati-hati, dinaikinya tangga satu
persatu. Lalu dari celah pintu, dia
mengintip ke dalam. Benar! Memang ada
seorang pemuda yang sebaya dengannya
sedang bercakap-cakap bersama seorang
wanita. Pemuda itu baru kali ini
dilihatnya. Jadi, sama sekali Yaksa tak
mengenal. Kalau yang wanita, sudah
dikenalinya betul. Dialah gadis yang
selama ini mengusik hatinya.
Yaksa jadi makin penasaran. Sewaktu
gadis pujaan sedang berbicara dengan
wajah mesra, Yaksa jadi cemburu. Hatinya
langsung terbakar. Terlebih, waktu gadis
itu mempersilakan pemuda di depannya
untuk mencicipi Rujak Degan dengan
mesra.
Huh! Lama tak berjumpa, sewaktu
hendak berjumpa malah menyaksikan
pemandangan yang menyakitkan!
Betul-betul sial! Yaksa memaki dalam
hati. Saat itu pula, pemuda itu merasa
mendapat saingan. Bagaimana tidak?
Pemuda yang dilihatnya di dalam sana,
ternyata lebih tampan!
Memang, selama ini Yaksa hanya baru
jatuh hati pada gadis itu. Dengan kata
lain, cintanya masih seperti bertepuk
sebelah tangan Apa mungkin ini salahnya
juga? Dia jadi bertanya pada diri
sendiri. Mengapa tidak sesegera mungkin
mengutarakan isi hatinya pada gadis itu?
Ah! Yaksa jadi tak peduli. Pokoknya,
hari ini dia jadi jengkel bukan main.
Sambil membanting langkah pada anak
tangga, ditinggalkannya rumah panggung
ini dengan bersungut-sungut.
Di dalam rumah panggung, terdengar
tawa dua anak muda yang pecah
sepeninggalan Yaksa. Gadis itu terkikik
kecil sambil menutup mulutnya dengan
sebelah tangan Sedang sang Jejaka
tertawa renyah. Di tangannya masih
terpegang semangkuk Rujak Degan.
"Dasar orang usil!" ujar gadis itu.
Dengan rambut panjang ekor kuda, matanya
yang berbulu lentik masih sedikit
menyempit, karena menahan tawa. Kulitnya
yang agak kecoklatan, menjadi terlihat
manis ditutupi kebaya Bali berwarna biru
muda. Namanya Idayir Wayan Laksmi.
Sedangkan pemuda di hadapannya tak lain
dari Andika alias Pendekar Slebor (Baca
episode : "Darah Pembangkit Mayat").
"Dikiranya kita sedang berbuat yang
macam-macam, barangkali," timpal
Andika, ikut meledek orang yang baru saja
mengintip.
Sebenarnya, biarpun Yaksa sudah
begitu hati-hati melangkah di anak
tangga, tapi telinga yang terlatih
Andika tetap sanggup menangkap suara
geraknya. Tapi karena yakin tidak
berbahaya, Pendekar Slebor membiarka
nnya saja. Idayu Wayan Laksmi pun diberi
tahu Andika, kalau ada seseorang mengin-
tip mereka. Mulanya, Idayu Wayan Laksmi
takut. Tapi dia diyakini kalau orang di
luar itu tidak berbahaya. Akhirnya,
mereka berkesimpulan kalau orang di luar
tadi hanya mau usil.
Tawa kedua anak muda itu terpenggal,
ketika I Ketut Regeg adik Idayu Wayan
Laksmi masuk.
"Mbok, apa tak tahu kalau tadi Bli
Yaksa datang?" tanya I Ketut Regeg seraya
menghampiri Andika dan Idayu Wayan
Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi menyahut.
Matanya malah dikerjap-kerjapkan pada I
Ketut Regeg, memberi isyarat agar tutup
mulut. Dia tidak mau kalau Andika sampai
tahu tentang pemuda dari Tabanan yang
jatuh hati padanya.
"Mbok, cacingan, ya?!" tukas I Ketut
Regeg. "Aku bilang Bli Yaksa datang, kok
Mbok malah mengedip-ngedip seperti
itu...."
"Siapa itu Yaksa?" tanya Andika,
jadi ingin tahu Idayu Wayan Laksmi
mencegah mulut ceriwis I Ketut Regeg yang
berkicau lebih lanjut. Tapi sayang mulut
lincah anak muda tanggung berbadan kurus
itu lebih gesit.
"Dia orang dari Tabanan yang naksir
Mbok Laksmi, Bli Andika," tutur pemuda
tanggung bertubuh kurus ini acuh tanpa
rasa bersalah.
Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik
kesal.
Tapi I Ketut Regeg justru mendelik
lebih besar lagi.
"O, ya?" goda Andika pada Idayu
Wayan Laksmi.
“Tapi, aku lebih suka kalau Beli
yang jadi kekasih Mbokku...," ucap I Ktut
Regeg.
"Ah! Aku sendiri lebih suka menjadi
sahabat Mbokmu. Ya tentu sahabatmu
juga!"
Pandangan Idayu Wayan Laksmi kontan
terjatuh ke lantai. Kepalanya tertunduk
dalam, menyembunyikan wajah yang
mendadak berubah mendung. Dia sungguh
tidak suka mendengar pernyataan Andika
barusan. "Hanya sahabat?" Idayu Wayan
Laksmi berbisik dalam hati. Hanya
sebagai sahabat?
"Kau kenapa, Laksmi?" usik Andika,
menyadari perubahan sikap Idayu Wayan
Laksmi.
"Beli hanya ingin bersahabat dengan
Mbok, sih!" tukas I Ktut Regeg. "Mbok
Laksmi kan berharap Beli menjadi
kekasihnya. Apa Beli tidak naksir pada
Mbok? Padahal, Mbok kan Jegeg kata orang
Bali. Banyak pemuda yang jatuh hati pada
Mbok. Tapi, belum ada seorang pun yang
bisa membuatnya bertekuk lutut. Eee,
Beli kok malah menolaknya...."
I Ktut Regeg terus menyerocos
panjang-panjang seperti tidak sempat
mengambil napas. Tapi niatnya yang
hendak menyambung ucapan, terhadang isak
tertahan Idayu Wayan Laksmi.
Andika dan anak muda tanggung itu
agak terperangah. Belum lagi Pendekar
Slebor sempat menanyakan kenapa Idayu
Wayan Laksmi terisak, dara nan ayu itu
sudah menghambur ke belakang rumah.
Tubuh Idayu Wayan Laksmi langsung
menghilang di balik kerai terbuat dari
anyaman kulit rotan. Suara tangisnya
masih tertinggal, di ruangan tempat
Andika dan I Ktut Regeg duduk saling
menatap.
"Apa ucapanku tadi sudah
menyinggung perasaan Mbok?" tanya I Ktut
Regeg, seperti bergumam pada diri
sendiri.
Andika menyahutinya dengan
gelengan. Bukan karena tak tahu kenapa
hati dara itu terkoyak, tapi karena
merasa berdosa pada Idayu Wayan Laksmi.
Selama ini, tanpa disadari Andika telah
memberi ha-rapan pada gadis itu. Dan
pemuda ini tak pernah mengatakan kalau
dirinya tidak bisa mencintai Idayu Wayan
Laksmi. Tentu saja Idayu Wayan Laksmi
yang selama ini berharap, walaupun
sampai kapan.
"Biar kutemani dia, Geg," ucap
Andika.
"Aku ikut, Beli. Ini karena salahku
juga...."
"Kau tetap di sini saja," cegah
Andika.
I Ktut Regeg tetap bersikeras. Dia
ikut bangkit, membarengi pendekar tampan
ini. Dan ini membuat Andika jadi mangkel
pada sikap bandel anak muda tanggung itu.
Dengan menyeringai jengkel, I Ktut Regeg
ditotoknya.
Tuk!
Saat itu juga, tubuh pemuda tanggung
itu kejang mematung. Wajahnya masih
mendongak kaget. Matanya berkedip-kedip
kelimpungan. Mulut usilnya yang masih
bisa digerakkan, segera saja melancarkan
sumpah serapah pada Andika.
Andika makin mangkel. Sambil
menggeleng-geleng kepala, disumpalnya
mulut I Ktut Regeg dengan daging kelapa
Rujak Degan.
"Belhfif befbafhfan afuh!" teriak I
Ktut Regeg kalap.
***
TIGA
Lembah di sebelah timur wilayah
Tabanan tempat Ki Lantanggeni mengadu
jiwa, digempur kekuatan hitam Artapati
yang merupakan musuh lamanya. Entah,
sudah berapa puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu pula Ki Lantanggeni berada
di bawah tekanan serangan laki-laki yang
sebenarnya sudah mati, dan berjuluk Ki
Rawe Rontek ini.
Mati-matian Ki Lantanggeni menyela-
matkan selembar nyawa dari tangan keji
Artapati. Dalam pertempuran terdahulu,
Ki Lantanggeni mendapat dukungan dari
ketiga saudara seperguruannya yang lain.
Namun ketiga saudaranya itu tewas. Dan
kendati demikian, Ki Lantanggeni pun
bisa membunuh Artapati. Sayang, kini
berbeda. Laki-laki tua ini harus
menghadapi datuk sesat itu seorang diri.
Untuk bisa menang, dia tidak yakin.
Bahkan kalaupun bisa selamat, itu pun
sudah terlalu sulit.
"Grrrhhh!"
"Hiah!"
Artapati terus mendesak Ki
Lantanggeni dengan serangan-serangan
mematikan. Tidak ada lagi ancaman
gelang-gelang berapi seperti sebelum-
nya. Tapi bukan berarti serangannya
tidak lebih ganas. Laki-laki yang
menamakan diri Ki Rawe Rontek kini justru
mengerahkan ilmu hitam 'Pukulan Peremuk
Dalam'. Bentuk serangan yang amat sukar
dihadapi dalam pertarungan jarak dekat.
Karena tidak ingin pengaruh
'Pukulan Peremuk Dalam' melemahkan
benteng pertahanan dan mengacaukan
perhatiannya, Ki Lantanggeni berusaha
sekuat mungkin untuk bertarung jarak
jauh. Paling tidak, bisa menjauhi
lawannya.
Desakan Artapati saat itu adalah
bagaikan serangan iblis yang tak
berbelas kasihan. Rangsekannya liar dan
buas. Dia seolah telah menjelma menjadi
makhluk terganas di muka bumi ini!
Sepasang tangan dan kaki Ki Rawe
Rontek yang memiliki otot-otot kenyal
menggelembung dan berkulit keras serta
berbulu kasar, menderu kian kemari. Di
sekelilingnya berhembus semacam
selubung kekuatan kasap mata yang mampu
membuat seluruh tulang-belulang
lawannya terasa remuk!
Seperti kebuasan terjangannya,
wajah Artapati pun memancarkan kebuasan.
Helai-helai rambutnya yang panjang
sebatas punggung, menyatu dan bergumpal
seperti bulu-bulu domba. Bentuk wajahnya
persegi dengan rahang kekar. Alis
matanya hitam, hampir menyatu. Di bawah
alisnya tampak bersinar jalang sepasang
mata yang membiru pada seputar
kelopaknya. Bentuk hidungnya
membengkok. Tulang hidung dekat matanya
tampak menonjol, nyaris sama panjang
dengan cupingnya. Sedangkan bibirnya
hanya seperti garis tipis memanjang
dengan ujung-ujung menekuk berkesan
menggiriskan.
Di samping itu, bentuk tubuh
Artapati pun menyeramkan. Orang bernyali
kecil pun akan takut, jika baru melihat
seluruh otot di bagian tubuhnya yang
menonjol. Apalagi bahunya besar dan
dadanya bidang. Batang lehernya seperti
beton, kaku serta kekar. Di beberapa
bagian kulitnya, tumbuh sejenis jamur
menggumpal. Mungkin karena telah begitu
lama terpendam di perut bumi. Semua itu
bisa terlihat, karena laki-laki ini
hanya mengenakan celana hitam sebatas
lutut yang sudah koyak di mana-mana.
Ada lagi yang tak kalah menyeramkan
dari semua itu. Di lehernya, terdapat
bekas luka melingkar. Daging-daging
kecil tampak menyembul keluar dari
lukanya.
Kalau menyaksikan bekas luka itu, Ki
Lantanggeni jadi bergidik. 'Rawe
Rontek', ilmu hitam itu telah
menghidupkannya kembali! Tapi,
bagaimana dia bisa hidup kembali tanpa
bantuan orang lain dengan memberinya
darah perawan sebagai pembangkit?
Memang! Sewaktu Ki Lantanggeni,
Andika, dan Idayu Wayan Laksmi memasuki
Goa Karang Hitam beberapa waktu lalu,
tanpa disengaja darah dari luka Idayu
Wayan Laksmi menetes-netes di tubuh
Artapati. Walaupun tak terlalu banyak,
tapi itulah awal kebangkitan kembali
tokoh hitam berjuluk Ki Rawe Rontek!
(Baca episode : "Darah Pembangkit
Mayat").
***
Artapati terus merangsek Ki
Lantanggeni makin ganas. Sementara
kedudukan laki-laki tua guru Yaksa itu
pun kian terhimpit.
"Grrrhhh!"
Di suatu kesempatan, seiring
raungan berat, Artapati menyapukan
tangan di udara. Cakaran tangannya
hendak melantakkan kaki Ki Lantanggeni
yang masih melayang di udara.
Gerakan yang demikian cepat ini
membuat Ki Lantanggeni tidak mungkin
lagi menarik kaki. Satu-satu jalan
baginya untuk menghadapi sambaran cakar
Artapati adalah menyambutnya dengan
kaki. Maka segera disalurkannya seluruh
kekuatan tenaga dalam pada kaki. Paling
tidak, ini bisa menyelamatkan kakinya
dari keremukan Dan....
"Haaath!"
Drak!
"Aaakh...!"
Benturan keras terjadi antara cakar
Artapati dengan tulang kaki Ki
Lantanggeni. Laki-laki tua, guru dari
Yaksa ini meraung tinggi. Wajahnya
disesaki warna merah karena menahan
sakit luar biasa. Nyerinya bahkan terasa
sampai ke seluruh jaringan tubuhnya.
Semula harapan Ki Lantanggeni adalah,
kakinya tidak mengalami luka parah. Tapi
kini, harapannya hanya pepesan kosong.
Betapa tidak merasakan, bagian tulang di
pergelangan kakinya seperti direncah-
rencah.
Tubuh orang tua itu melayang di
udara, lalu ambruk berdebam di tanah. Di
wajah bumi itu, Ki Lantanggeni
menggelepar-gelepar sambil memegangi
pergelangan kaki kanannya. Debu di bawah
rumput terangkat ke udara, merubungi
tubuhnya.
"Harrh... harrrhh... harrh! Masih
jugha khau mahau bershikeras unthuk
menyembhunyikan ghulungan lhontar ithu
padhakhu?" cemooh Artapati, dingin.
"Demi Tuhan! Kau bunuh aku akan
lebih baik daripada harus menyerahkan
gulungan lontar itu padamu, Iblis!"
hardik Ki Lantanggeni di tengah-tengah
erangan.
"Harrrh... harrh... harrrh...
harh!"
Lagi-lagi Artapati tertawa ganjil.
Wajahnya mendongak menantang langit.
Tampaknya dia begitu puas jika melihat
seseorang menggelepar-gelepar
kesakitan.
Ki Lantanggeni sekarang melihat
kesempatan untuk menyerang. Dalam
keadaan sehat, dia tidak akan sudi
berbuat curang dengan memanfaatkan
kelemahan lawan. Tapi keadaan kali ini
jauh berbeda. Segala cara harus
diusahakan untuk dapat mencegah tokoh
hitam ini merajah dunia persilatan.
Sambil menghempas napas untuk
menguasai rasa sakit, lelaki tua itu
bangkit dalam sekali sentakan Tanpa
menghiraukan bakal kehilangan nyawa,
diterkamnya kepala Artapati. Sementara,
kedua telapak tangannya siap mendongkel.
leher datuk sesat itu. Dia memang
berusaha kembali memisahkan kepala
Artapati dari tubuhnya.
"Hih!"
Sayang seribu kali sayang. Artapati
rupanya hanya hendak mengecoh Ki
Lantanggeni. Sengaja wajahnya mendongak
agar lawan mengira dirinya lengah.
Padahal pada saat yang bersamaan,
tangannya telah siap dengan 'Pukulan
Peremuk Dalam' tingkat enam belas.
Tingkat pukulan hitam yang bisa melebur
baja setebal satu hasta dari dalam!
Dan....
"Aaarrrgh!"
Bes!
Tak dapat dicegah lagi, sepasang
telapak melebar Artapati memakan dada Ki
Lantanggeni. Sehing-a, mata lelaki tua
itu seketika terbelalaklebar. Bahkan
otot-otot merah di matanya membersit
jelas. Tubuh tua Ki Lantanggeni kontan
tergantung-gantung lunglai di atas
telapak tangan Artapati yang menengadah.
Lubang hidung, mulut, telinga, mata,
bahkan dari setiap pori-pori kulit Ki
Lantanggeni mengeluarkan darah kental
kehitaman.
Orang tua itu telah gugur dengan
tubuh bagian dalamnya hancur lebur.
Artapati segera menghempas tubuh Ki
Lantanggeni begitu saja. Selanjutnya,
dia tertawa penuh kepuasan.
Beberapa lama kemudian, tokoh yang
tergolong mayat hidup itu sudah tampak
meninggalkan puing arang gubuk milik Ki
Lantanggeni. Di tangannya ada segulungan
lontar yang didapat dari sisa-sisa
patung Sang Kala, yang tanpa disengaja
terlihat olehnya laci kecil di bawah kaki
patung.
Di depan puing-puing hitam berasap
pondok ini, Artapati meremas-remas
gulungan lontar yang ditemukannya tanpa
memeriksa terlebih dahulu. Gulungan
lontar itu pun langsung lebur menjadi
abu, di tangan datuk sesat yang merasa
yakin telah memusnahkan petunjuk rahasia
kelemahan seluruh ilmu sesatnya.
***
Biru langit tampak menipis. Warna
hitam malam di wajah cakrawala
menampakkan diri. Hari kini dipagut
malam.
Di Desa Umbuldadi, dua insan berbeda
jenis terdiam menatap kerlap-kerlip
sejuta bintang di angkasa raya. Sesekali
mata mereka juga menjilati sinar temaram
rembulan yang hanya sepenggal. Mereka
adalah Andika dan Idayu Wayan Laksmi yang
tengah berdiri di halaman belakang
rumah.
Sejak sore tadi, Idayu Wayan Laksmi
terus memagar diri dari Andika diam tak
beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Sampai gelap pun merambah, dia tetap
berdiri tanpa sepatah kata terucap.
Karena kebekuan Idayu Wayan Laksmi,
Andika jadi tak berani mengusiknya.
Cukup lama juga Pendekar Slebor berdiri
saja di sisi gadis ayu itu. Sama-sama
mematung, sama-sama bisu.
"Maafkan, kalau ucapanku sore tadi
menyinggung perasaanmu, Laksmi," ucap
Andika akhirnya.
Andika terdiam sebentar.
"Aku mengaku salah karena tak pernah
mengatakan hal yang sebenarnya," sambung
pemuda itu perlahan.
Idayu Wayan Laksmi tak bergeming
dari sikap semula. Tetap berdiri diam,
seperti area yang tak berusik badai.
"Sungguh! Aku sulit untuk mencintai
mu, Laksmi. Sulit mencintaimu," aku
Andika.
"Kenapa, Beli?” tanya Idayu Wayan
Laksmi, menggugurkan kebisuannya. Mata
indahnya tetap terpaut nanar, pada
sebuah bintang yang bersinar paling
terang.
"Karena...," Andika kehabisan kata-
kata. "Kurasa karena aku memang sulit
mencintaimu."
"Aku bukan menanyakan itu, Beli. Aku
bertanya, kenapa selama ini sikap Beli
seolah memberi banyak harapan padaku?"
ucapan Idayu Wayan Laksmi menyudutkan
pendekar tampan itu.
"Sekali lagi aku mengaku salah,
Laksmi. Sewaktu pertama kali berkenalan,
aku memang tertarik padamu. Kau memang
ayu. Pribadimu pun mengagumkan. Pemuda
mana yang tak akan tertarik? Begitu juga
aku. Tapi setelah cukup lama mengenalmu,
baru kusadari kalau aku hanya tertarik
Tak lebih dari itu...."
Garis-garis bening mulai turun di
dua belahan pipi Idayu Wayan Laksmi,
membiaskan cahaya redup rembulan.
Benaknya mengulang-ulang pertanyaan
Andika barusan dalam nada kecewa. Hanya
tertarik?
"Jadi selama ini Beli tak pernah
mencintaiku? Menyayangiku?" tanya gadis
itu tersendat, diberontaki rasa sesak
yang menanjak ke tenggorokannya.
"Apa selama ini aku begitu
memperhatikanmu? Atau bersikap baik
padamu?" Andika balik bertanya.
"Ya...," singkat Idayu Wayan
Laksmi.
"Itu artinya aku menyayangimu.
Sepenuh hati kukatakan, aku menyayangi
mu. Tapi kau jangan salah duga.
Menyayangi bukan berarti mencintai,
layaknya seorang kekasih...," tutur
Andika di antara hempasan-hempasan napas
kecil.
"Kenapa kau tak bisa mencintaiku?"
susul Idayu Wayan Laksmi.
Andika menarik napas dalam.
Disapunya anak rambut ke belakang kepala
dengan kedua tangannya.
"Entahlah...," desah pemuda itu.
"Mungkin karena aku pernah kehilangan
orang yang begitu kucintai, dan sampai
kini tetap membekas di bilik-bilik
hatiku. Atau mungkin, karena aku tak mau
mengecewakan seorang gadis dengan
meninggalkannya. Sebab, aku mengemban
tugas suci untuk menegakkan kebenaran.
Aku tak bisa tinggal di satu tempat,
selama aku masih mampu menjelajah muka
bumi untuk menegakkan kebenaran."
Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk
dengan kata hati masing-masing.
"Jadi, kuharap kau mau mengerti
keadaanku, Laksmi. Dan, mau pula
memaafkanku," tutur Andika, lembut.
Idayu Wayan Laksmi mulai mau
memindahkan pandangannya kewajah
Andika. Lama ditatapnya wajah pemuda itu
dalam-dalam. Di sana ditemukannya
kesungguhan tanpa sebersit kebohongan.
Air muka yang tegar, siap melangkahi
buana yang penuh kebatilan. Idayu Wayan
Laksmi juga menemukan mata elang
Pendekar Slebor yang menghujam angkasa,
seakan tidak pernah takut menghadapi
tantangan apa pun.
Perlahan tangan lembut Idayu Wayan
Laksmi bergerak, menjemput tangan kekar
Andika. Digenggamnya tangan pemuda itu
erat-erat. Dan Andika pun membalasnya.
"Beli," tegur Idayu Wayan Laksmi.
Andika menoleh lembut. Matanya bisa
langsung menemukan sinar persahabatan di
mata gadis ayu itu
"Kalau aku memaafkan Beli, maukah
Beli memaafkanku juga?" tambah Idayu
Wayan Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi berpikir memang
tak bijaksana jika hanya karena
cintanya, dia telah menahan seorang
pemuda mulia dalam melakukan tugas suci.
"Kini aku bisa mengerti, Beli..."
tutur Idayu Wayan Laksmi mengakhiri.
"Dan kini aku pun memaafkanmu,
Laksmi...," ujar Andika tersenyum.
Mereka sama-sama tersenyum lepas.
Lalu sama-sama pula menatap angkasa
kembali, dalam satu rasa persahabatan.
***
EMPAT
Pagi telah bangkit, dan sarat dengan
kesegaran. Desa Umbuldadi tempat Andika
menetap untuk sementara sejuk dibelai
angin pagi. Pepohonan memendarkan warna
hijau samar, saat matahari menyapa ramah
dari tempat munculnya.
Pagi-pagi sekali, Pendekar Slebor
sudah duduk di anak tangga rumah Idayu
Wayan Laksmi. Semalaman matanya tidak
bisa dipejamkan. Bukan karena Idayu
Wayan Laksmi dia sendiri tidak tahu,
kenapa. Yang jelas, semalam hatinya
malah terus bertanya-tanya, kenapa masih
berada di sini? Bukankah semestinya dia
sudah melanjutkan perjalanan, seperti
yang dikatakannya pada Idayu Wayan
Laksmi semalam?
Semenjak pertarungan dengan
Sepasang Datuk Karang dulu, timbul
keengganan Pendekar Slebor untuk
meninggalkan wilayah ini. Dia sendiri
bingung. Seolah-olah, nalurinya menahan
agar dirinya tetap di Desa Umbuldadi ini.
"Aneh! Apakah urusan ini belum
selesai?" gumam Pendekar Slebor bertanya
pada diri sendiri. "Lalu, kenapa pula
semalam aku begitu gelisah? Apakah ada
sesuatu yang tak beres?"
Seketika Andika teringat pada Ki
Lantanggeni. Segera saja diputuskannya
untuk mengunjungi lelaki tua itu.
Memang, rasanya ada firasat buruk
terhadap Ki Lantanggeni.
Andika segera bangkit.
"Beli mau ke mana?" sapa seseorang
di belakangnya.
Rupanya, I Ktut Regeg sudah
terbangun juga. Pemuda tanggung itu
sedang mengucek-ucek mata, kala Andika
menoleh.
"Aku ada sedikit urusan," jawab
Andika. "Mau ikut juga seperti semalam?"
"Ah! Tidak, Beli. Terima kasih,"
tukas I Ktut Regeg cepat.
Dia memang tidak mau lagi dijadikan
patung hidup oleh Andika, seperti
semalam. Sampai-sampai seluruh tubuhnya
pegal-pegal.
Andika tertawa, namun segera
beranjak pergi. Seketika Pendekar Slebor
melesat pergi dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat
tinggi. Begitu cepatnya, sehingga begitu
I Ktut Regeg menoleh kembali ke arah
Andika, pendekar muda itu sudah lenyap
bagai tertelan bumi.
***
Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa itu
terkesiap, manakala menemukan pondok
sahabat tuanya sudah tidak ada lagi. Yang
terlihat hanya serakan puing-puing arang
yang masih mengepulkan asap tipis.
Sekitar empat depa dari reruntuhan
pondok, seorang pemuda yang sebaya
dengannya tampak terduduk lesu di tepi
satu gundukan tanah basah. Andika yakin,
gundukan tanah itu adalah kuburan. Itu
bisa diduga dari ranting kayu kefingyang
ditancapkan pada satu ujung gundukan.
Tapi, kuburan siapa? Dan, siapa pula
pemuda itu?
Segera saja Andika menghampiri.
"Kisanak... Kalau bolehku tahu, kuburan
siapa ini?" tegur Andika di belakang
tubuh pemuda yang tak lain dari Yaksa,
murid Ki Lantanggeni.
Yaksa menoleh cepat. Matanya
mengawasi curiga pada Andika. Dia kenal
betul pada wajah pemuda yang menyapanya.
Inilah lelaki yang berbincang-bincang
dengan Idayu Wayan Laksmi kemarin sore!
"Kenapa kau bertanya?" Yaksa balik
bertanya. Nada bicaranya terdengar
menyelidik dan sedikit sinis.
Andika mencoba membalas perlakuan
tak ramah Yaksa dengan senyum.
"Aku hanya ingin tahu," jawab
Pendekar Slebor sambil lalu.
"Kalau begitu, pergilah dari tempat
ini secepatnya. Aku sudah muak melihat
wajahmu!" usir Yaksa.
Tentu saja sikap pemuda yang baru
dikenalnya ini membuat Andika
kebingungan. Sepasang alis matanya yang
legam hampir bertemu, karena penasaran.
Apa-apaan ini? Tak ada angin tak ada
kentut, tiba-tiba saja pemuda itu
mencurigainya?
"Ah! Tak sepantasnya Kisanak
bersikap sekasar itu padaku," bujuk
Andika. "Bukankah kita baru saja
berjumpa?"
"Sepantasnya kau segera pergi dari
tempat ini!" terabas Yaksa gusar,
langsung berpaling dari wajah Andika.
"Ah, baik.... Aku akan segera pergi.
Tapi sebelum pergi, bolehkah aku tanya di
mana Ki Lantanggeni?"
Yaksa menoleh kembali.
"Ada urusan apa kau dengan guruku?"
tanya pemuda itu dengan tatapan
menyelidik.
"Aaa! Jadi kau murid Ki
Lantanggeni...."
Andika mengulurkan tangan, mengajak
Yaksa berjabatan. Tapi yang diterimanya
hanya wajah asam dari Yaksa. Dan Pendekar
Slebor pun jadi mengangkat bahu.
"Baiklah kalau kau tak mau menyambut
jabat tanganku," kata Pendekar Slebor
setengah menggerutu. "Aku adalah sahabat
Ki Lantanggeni."
Yaksa kontan tertawa mencemooh.
"Heh?! Apa mungkin guruku mempunyai
sahabat semuda dirimu?!"
Andika menarik napas kesal.
"Apa gurumu tak pernah bercerita
tentang sahabat barunya yang tinggal
sementara di Desa Umbaldadi?"
"Hei?! Yang kutahu, beliau memang
mempunyai sahabat di desa itu. Tapi yang
jelas bukan kau!"
"Siapa namanya?"
"Apa urusanmu?"
"Andika?" duga Andika.
Mata Yaksa kontan membesar.
Diambilnya sebilah belahan kayu dinding,
di mana Ki Lantanggeni meninggalkan
pesan untuknya. Dibacanya teliti nama
orang yang tertulis di atasnya, seakan
ingin meyakinkan diri.
"Dari mana kau tahu kalau guruku
punya sahabat bernama Andika?" tanya
pemuda itu heran. Matanya masih saja
melemparkan sinar kecurigaan.
Mendengar pertanyaan tolol dari
Yaksa, tawa Andika jadi ingin meledak
mendadak. Tapi, dia berusaha menahannya.
Andaikata sudah lama mengenal Yaksa,
sudah pasti dia akan terpingkal-pingkal
di tempat.
"Kau meledekku?!" Yaksa gusar.
Segera pemuda itu bangkit,
menyentak tubuhnya. Langsung
dibantingnya potongan kayu dinding dari
tangannya
Andika akhirnya tak kuat lagi
menahan tawa. Kalau tawanya ditahan
terus, bisa-bisa malah keluar dari
'lubang' yang lain!
"Hua ha ha...!"
Manusia waras mana pun pasti akan
menjadi marah diperlakukan seperti itu.
Begitu juga Yaksa. Tubuhnya langsung
merangsek maju, hendak menyodok perut
Andika dengan tinjunya.
"Keparat!"
"Eit, tunggu!" cegah Andika.
Tubuh Pendekar Slebor cepat
menyurut kebelakang, seraya mengangkat
telapak tangan ke muka. Dicobanya
menahan niat Yaksa.
"Kalau kau tak memukulku akan
kuberitahu di mana tempat tinggal lelaki
bernama Andika itu...," sambung Andika,
setengah membujuk.
"Baik," ucap Yaksa dengan satu
hempasan napas kesal. "Tapi kalau kau
mencoba membohongiku, akan kuhajar kau!
Sekarang katakan padaku, di mana orang
bernama Andika itu tinggal!" desak Yaksa
sambil mengancam.
"Di kolong langit...," jawab
Pendekar Slebor enteng dan seenak udel.
"Bangsat!" Yaksa langsung
mengangkat tangan geram.
"Ei...! Ei...! Tapi aku tahu, di
mana dia sekarang!" tahan Andika lagi.
"Di mana?!" hardik Yaksa dengan
wajah merah matang.
Andika hanya menyeringai bodoh.
"Di sini," kata Pendekar Slebor.
Yaksa makin merasa dipermainkan
pemuda di depannya. Untuk kemarahan
terakhir, dia tak mau lagi menahan
tangan. Diiringi geraman gusar,
dilayangkannya tinju keras ke wajah
Andika.
"Hih!"
Deb!
Cepat bagai kilat Andika bergegas ke
kiri satu langkah. Sehingga serangan itu
luput dari sasaran.
Tapi pada saat itu pula, Pendekar
Slebor merasakan adanya bahaya maut.
Bukan dari pukulan Yaksa. Karena dari
gerak dan kekuatan pukulan pemuda itu,
sudah langsung dapat dinilai sampai di
mana tingkat kepandaiannya. Yaksa
tergolonghijau baginya. Meski, dia murid
Ki Lantanggeni. Yang jelas, bahaya maut
itu kian mendekati tubuh Yaksa. Lalu....
"Hiah!"
Dalam satu rangkai tangkisan dan
pukulan telapak tangan yang secepat
kerdipan mata, Pendekar Slebor langsung
melempar deras tubuh Yaksa ke belakang.
Lalu pada saat yang hampir bersamaan,
sebuah benda berkilauan melesat tepat di
depan Pendekar Slebor.
Sing!
Jep!
Benda berkilatan itu meluncur,
membentuk sudut empat puluh lima derajat
ke bumi, lalu menancap mantap di gundukan
tanah tempat Yaksa bersimpuh tadi. Kalau
saja Andika tak segera menyarangkan
hantaman telapak tangan ke dada, bisa
dipastikan benda tajam berbentuk pisau
terbang itu akan memangsa leher Yaksa!
Dalam keadaan tertunduk, Yaksa
terperangah. Matanya terbeliak ngeri
pada pisau terbang yang luput memangsa
lehernya. Kemudian, sepasang bola
matanya bergulir ke Andika. Ditatapnya
pemuda sebayanya itu dengan pandangan
sulit dijabarkan.
"Kau sengaja memukulku untuk
menyelamatkanku," ucap pemuda itu.
Suaranya lebih terdengar seperti
berkata pada diri sendiri. Yaksa yakin
itu. Sebab, dia tak merasakan dadanya
mengalami luka.
Pemuda yang diajak bicara seperti
tak peduli perkataan Yaksa barusan.
Matanya menyelidik tajam ke arah asal
luncuran pisau terbang tadi. Merasa
yakin kalau si Pelempar Gelap sudah tak
ada lagi di tempatnya, Andika segera
menghampiri pisau terbang tadi.
"Ada yang ingin menyampaikan pesan
padamu dengan cara keji," kata Andika
sambil menimang-nimang pisau terbang
yang baru diambilnya.
Pada tubuh pisau, Andika menemukan
secarik kain. Dia yakin, kain itu semacam
surat. Dan dugaannya tak meleset. Ketika
potongan kain kecil itu dibentang,
ditemukannya tulisan.
“Apakah kau tak tahu kalau dalam
gundukan tanah di dekatmu, terkubur
jasad Ki Lantanggeni? Ki Rawe Rontek
telah bangkit kembali! Dialah yang telah
mengirim Ki Lantanggeni ke dalam kubur.
Apa kau tahu niat Ki Rawe Rontekyang
ingin menguasai Buleleng?”
Selesai membaca pesan dalam surat
itu, kening Andika mengernyit. Sehimpun
pertanyaan pun menyeruak di benaknya.
Seperti juga Ki Lantanggeni ketika
disantroni Artapati, Andika pun
bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa Ki
Rawe Rontek atau Artapati bisa bangkit
kembali? Sepengetahuannya, orang itu
tidak akan bisa bangkit sendiri. Harus
ada orang lain yang membantunya dengan
darah perawan sebagai pembangkit hidup.
Selain itu, hatinya juga jadi penasaran
pada si Pengirim Pesan. Siapa
sesungguhnya orang itu?"
"Kenapa kau tak bilang padaku kalau
gundukan itu adalah kuburan gurumu?"
tanya Andika, selesai meremas kain di
tangannya.
"Apa pedulimu?" Yaksa balik
bertanya dengan nada sinis. Tak
dipedulikannya tindakan Andika yang
membebaskannya dari incaran maut pisau
terbang tadi.
"Apa peduliku? Kalau kau cepat
memberitahu tentang kematian gurumu,
tentu aku akan....," Andika menghentikan
ucapan. "Ah, sudahlah! Tak ada gunanya
berdebat denganmu!"
Pendekar Slebor segera berbalik,
hendak pergi meninggalkan Yaksa.
"Mau ke mana kau?!" tahan Yaksa.
"Apa pedulimu?!"
"Karena, bisa saja justru kau yang
telah membunuh guruku!" tuding Yaksa.
Lelaki itu bangkit cepat.
"Siapa namamu?"
"Apa pedulimu?" ulang Andika seraya
melangkah acuh.
Yaksa mencoba menyusul, hendak
menghadang. Tapi belum lagi tubuhnya
tiba, pendekar muda itu sudah menghilang
dengan gerakan kilatnya.
***
Andika kini tiba di Kerajaan
Buleleng. Keputusan untuk datang ke
istana Cokorde Ida Bagus Tanca, Raja
Buleleng, ditetapkannya setelah
menebak-nebak maksud kalimat terakhir
dalam surat kain. Jika kalimat itu
menyatakan bahwa Artapati atau Ki Rawe
Rontek hendak menguasai Buleleng, maka
sudah bisa dipastikan datuk sesat itu
akan mencoba menguasai istana sebagai
pusat pemerintah terlebih dahulu. Kalau
pihak istana runtuh, maka kerajaan pun
terkuasai. Itu berarti, seluruh wilayah
Buleleng akan dikuasai.
Di pintu gerbang, dua penjaga yang
sudah mengenal Pendekar Slebor ketika
dulu hendak ditangkap akibat fitnah
salah seorang keluarga kerajaan, segera
memberi hormat dengan tata cara
prajurit.
"Ada perlu apa, Tuan Andika?" tanya
salah seorang prajurit ramah dan sopan.
"Aku hendak berjumpa Cokorde. Ada
hal yang harus dibicarakan dengan
beliau," sahut Andika, tak kalah ramah.
Si Prajurit mengangguk.
"Baik, Tuan Andika. Kalau begitu
mari, ikut hamba...," ajak prajurit,
langsung melangkah ke pelataran istana.
Dan Andika pun mengikuti.
Setelah melintasi taman depan
istana, serambi, dan beberapa ruang
besar, barulah mereka tiba di satu ruang
makan keluarga istana. Cokorde tampak
baru saja menyelesaikan makan siang
bersama keluarga besarnya.
Betapa gembiranya Cokorde menyambut
kedatangan Pendekar Slebor. Dijabatnya
tangan pemuda itu hangat. Dan belum lagi
Andika beramah-tamah, Cokorde sudah
memintanya untuk makan siang. Lelaki
berusia sekitar tujuh puluhan dan
bertubuh agak pendek gemuk itu
mengantarkannya ke meja makan. Wajah
Raja Buleleng yang tampak putih bersih
dengan kumis rapi itu tampak selalu
dihiasi senyum ramah.
Sementara itu, beberapa pejabat
istana yang kebetulan mendapat undangan
makan siang, menjadi terheran-heran.
Selama ini, tidak ada seorang pun yang
disambut demikian hangat oleh Cokorde.
Tapi, anak muda berpenampilan kampungan
itu justru diperlakukan lebih akrab,
ketimbang seorang sahabat raja. Dalam
hati masing-masing, tentu saja
bertanya-tanya siapa sesungguhnya anak
muda itu.
Memang dalam adat istiadat keluarga
Cokorde Ida Bagus Tanca, seorang ksatria
sejati yang sudi mengorbankan hidup dan
mati demi kebenaran, amat dihormati.
Nilai-nilai itu diwarisi turun-temurun
pada keluarga kerajaan. Di samping
karena memegang teguh aturan adat dalam
Tri Pepali di mana seseorang harus
bersikap ksatria, mereka juga merasa
sebagai keluarga keturunan para Ksatria
Buleleng.
Mendapat tawaran makan siang dari
Cokorde, Andika merasa tertimpa rejeki
nomplok. Sejak pagi tadi, perutnya
memang belum disentuh makanan.
Untuk langsung mengiyakan tawaran
baik ini, hatinya agak risih. Maka dia
bersandiwara sedikit, berpura-pura
menolak.
"Maaf, Baginda. Bukannya menolak.
Tapi..," Pendekar Slebor sengaja
memutuskan kata-katanya agar Cokorde
menyelanya, dengan memaksa untuk makan.
Tapi, sungguh mampus! Jawaban
Cokorde ternyata jauh di luar perkiraan
Andika.
"Kenapa? Apa kau sudah makan? Yah!
Kalau begitu, aku tak bisa memaksa...,"
kata Cokorde sambil menepuk-nepuk bahu
Pendekar Slebor.
"Sial!" maki Andika dalam hati. Apes
sekali nasibnya hari ini....
"Kalau begitu, mari kita ke ruang
anjangsana. Bukankah kau hendak
membicarakan sesuatu padaku?" ajak
Cokorde, sekaligus menduga maksud
kedatangan Andika.
Andika hanya bisa mengangguk, dan
berpura-pura tidak kecewa. Apa mesti dia
merengek-rengek meminta agar tawaran
makan siang Cokorde diulang lagi?
Kini mereka berjalan akrab
bersisian ke ruang yang dimaksud.
Sebelum tiba di sana, salah seorang Patih
I Wayan Rama yang ikut dalam usaha
penangkapan Andika dulu datang menghadap
Cokorde dengan tergopoh-gopoh.
Patih I Wayan Rama adalah lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun.
Badannya kekar berotot. Dia tampak
semakin gagah dengan sebilah keris
pusaka dipinggang. Wajahnya garang meski
tanpa kumis melintang. Apalagi kalau
memperhatikan alis matanya. Lebat
menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya
memancarkan semangat berkobar, sesuai
jabatan kepala prajurit istana.
"Ampun, Paduka," ucap patih itu pada
Cokorde. "Ada seseorang tak dikenal
ingin menghadap Paduka. Dia begitu
memaksa. Sewaktu beberapa prajurit
hendak mencegahnya, orang itu mengamuk.
Karena tak ingin bertindak gegabah, maka
hamba harus melaporkan hal ini pada
Paduka. Apakah hamba harus menindaknya?"
"Apa dia menyebut-nyebut namanya?"
sergah Andika, tanpa mau tahu kalau telah
menyela ucapan yang baru hendak
dikatakan Cokorde.
Patih I Wayan Rama yang baru melihat
kehadiran Pendekar Slebor ini sesaat,
menatap Andika dengan sinar mata
menyapa.
"Aku tidak tahu, Andika. Jangan lagi
nama orang itu. Setiap kata yang keluar
dari mulutnya pun begitu membingungkan.
Dan lagi, penampilannya begitu
mengerikan!"
Andika langsung mengeryitkan dahi.
Rupanya peringatan dalam surat kain
memang bukan hanya isapan jempol!
***
LIMA
Cokorde Ida Bagus Tanca berdiri
tegang di tangga depan istana. Wajahnya
yang masih menyisakan ketampanan itu
tampak berkerut gusar menyaksikan
kejadian di depannya. Bersama Andika,
Patih I Wayan Rama dan beberapa petinggi
kerajaan, Raja Buleleng ini melihat
bagaimana para prajurit dibantai oleh
seorang lelaki tak dikenal yang
bertampang menyeramkan.
Sementara Pendekar Slebor sendiri,
masih cukup jelas mengingat, bagaimana
wajah mayat di Goa Karang Hitam dulu.
Wajah yang kini dilihatnya adalah milik
lelaki yang sedang mengamuk bagai naga
luka haus darah.
"Aaa!"
"Grrrhhh!"
Terdengar lengking kematian para
prajurit, yang disertai geraman buas
lelaki berjuluk Ki Rawe Rontek, berbaur
tumpang tindih dengan suara-suara
hantaman dan terjangannya. Debu-debu di
permukaan pelataran depan gerbang
berterbangan menciptakan pemandangan
menggiriskan.
Selaku raja yang memiliki tanggung
jawab besar serta perhatian pada para
abdi istana, Cokorde menjadi tak tega
melihat prajuritnya dijadikan bulan
bulanan empuk si Pengacau. Dengan cuping
hidung murka, kepalanya menoleh ke arah
Patih I Wayan Rama.
"Hadapi dia, Patih Rama!" perintah
Raja Buleleng ini lantang terbakar.
Patih I Wayan Rama yang dari tadi
menunggu tak sabar titah rajanya, segera
saja melabrak maju ke tengah-tengah
kancah pertarungan.
"Prajurit! Mundur semua! Bentuk
kepungan besar dan berkan aku jalan!"
teriak Patih I Wayan Rama merobek langit.
Sambil berlari mendekati Ki Rawe
Rontek, lelaki gagah itu melepas keris
pusaka dari pinggangnya.
"Kau telah membunuh para prajurit
kami, Lelaki Asing! Aku bisa langsung
menjatuhkan hukuman di tempat ini juga!
Tapi, kau bisa menyerahkan diri secara
baik-baik, agar kami bisa mengadilimu!"
seru Patih I Wayan Rama lagi, memberi
peringatan pertama.
Ki Rawe Rontek hanya berdiri kaku.
Air mukanya tampak dingin, seakan sama
sekali tidak menggubris peringatan tadi.
Dari tarikan-tarikan napasnya yang
terseret, tersembul suara mendirikan
bulu roma bagi yang mendengarnya.
Erangan yang seolah-olah datang langsung
dari dasar neraka!
Sebenarnya, Patih I Wayan Rama pun
tak luput dari perasaan ngeri yang sulit
dijelaskan. Rasa ngeri yang menelusup
begitu saja ke dalam benaknya, seperti
jasad halus roh gentayangan. Kini baru
disadari kalau lawan tidak seperti
manusia sewajarnya.
"Manusia macam apa dia...?" desis
patih itu tersamar.
Patih I Wayan Rama jelas menyaksikan
bekas luka di seputar leher calon
lawannya yang pada kulit ditumbuhi jamur
mengerak
"Apa kau tak dengar ucapanku?!"
bentak laki-laki gagah ini setelah
menguasai keterpanaannya.
Ki Rawe Rontek tetap membatu.
Napasnya seo-lah berhenti, usai
mendengar peringatan kedua dari Patih I
Wayan Rama. Sekian waktu berikutnya dia
menggeram amat keras. Dan tiba-tiba....
"Aaarrrgh!"
Seketika puluhan prajurit yang
mengelilinginya bagai terdorong
sekumpulan makhluk halus. Mereka
tersentak beberapa langkah ke belakang
dengan wajah ngeri. Tak luput, Patih I
Wayan Rama. Namun karena lebih mampu
menguasai diri ketimbang para prajurit,
sentakan tubuhnya tak begitu kentara.
Jauh di belakang sana, Cokorde
berpahng ke arah Andika. Di dekatkan
mulutnya ke telinga Pendekar Slebor.
"Kau tahu siapa dia, Saudara
Andika?" bisik Raja Buleleng ini,
seperti takut didengar Ki Rawe Rontek.
Tanpa menoleh, Andika mengangguk
kecil.
"Tahu, Paduka. Dia adalah tokoh
sesat yang paling ditakuti beberapa
puluh tahun lalu, julukannya Ki Rawe
Rontek...," jawab Pendekar Slebor
mendesis.
Cokorde terperangah. Matanya
memancarkan sinar tak percaya dengan
ucapan Andika.
"Mana mungkin? Aku pernah baca buku
sejarah keperwiraan milik para sesepuhku
yang sempat mencatat tentang Ki Rawe
Rontek Sepanjang catatan itu, dijelaskan
kalau dia sudah mati...."
"Tapi apa dalam catatan itu Paduka
tak membaca tentang ilmu hitam 'Rawe
Rontek'yang juga dipakai sebagai julukan
lelaki itu?" tanya Andika.
"Ya, memang ada. Tapi tak dijelaskan
ilmu hitam macam apa itu...," sergah
Cokorde.
"Ilmu hitam itu mampu membuat
pemiliknya hidup kembali meski seluruh
tubuhnya sudah direncah-rencah atau
kepalanya sudah terpisah...."
Cokorde kontan bergidik.
"Paduka lihat bekas luka di leher
lelaki itu? Itu adalah bekas penggalan
kepala saat kematiannya. Dengan ilmu
hitamnya dan darah perawan yang didapat
entah dari mana, kepala dan tubuhnya bisa
disatukan kembali seperti sekarang.
Artinya, dia telah bangkit dari
kematian," papar Andika dengan irama
tegang. Sehingga membuat, seorang
penasihat kerajaan tua bernyali ayam
kampung tanpa sadar merapatkan tubuh
pada Andika.
Dalam kungkungan ketegangan seperti
itu, jiwa urakan Andika ternyata tak
menghilang begitu saja. Tahu kalau
penasihat tua yang mendapati kedudukan
dengan jalan menjilat sana-sini itu
merengket-rengket ketakutan, keusilan
pemuda sakti itu pun kambuh. Dan
tiba-tiba saja....
"Nah...!" bentak Andika.
Si Penasihat Tua kontan tersedak-
sedak. Napasnya nyaris terhenti dengan
wajah pucat tanpa ampun. Matanya
terbelalak, lebih jelek daripada mata
semar sakit perut!
Ketika Pendekar Slebor coba-coba
melirik, tampak si Penasihat Tua itu
sedang mengusap-usap dada sambil
berkomat-kamit.
Di depan mereka sekitar dua puluh
tiga tombak, Patih I Wayan Rama siap
menggempur Ki Rawe Rontek. Habis sudah
tenggang waktu yang diberikan Patih I
Wayan Rama pada perusuh ini untuk
menyerah. Diawali teriakan melantakkan
hati, lelaki gagah itu mengacungkan
keris ke muka.
"Hiaaa!"
Setelah menyalurkan tenaga dalam ke
kaki yang dihentakkan, Patih I Wayan Rama
melayang laksana sebilah tombak menuju
sasaran. Tubuhnya terus ke depan dengan
tangan menghunus keris. Sasaran
tusukannya adalah dada kiri Ki Rawe
Rontek. Menyadari keganasan laki-laki
asing itu saat menghadapi para prajurit,
Patih I Wayan Rama tidak ingin
tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Jantung datuk sesat itu hendak
dihujamnya mentah-mentah.
Ki Rawe Rontek masih tetap berdiri
tegak, sewaktu tubuh lawan meluncur kian
dekat. Terkaman Patih I Wayan Rama hanya
dilayani secara dingin, n-mun dengan
mata memperlihatkan saraf-saraf
memerah. Dan ketika ujung keris patih itu
tinggal setengah jengkal lagi dari kulit
dadanya, tangan datuk sesat itu bergerak
lebih cepat daripada tusukan keris.
Tep!
Dua telapak kekar dan besar Ki Rawe
Rontek langsung menghempit senjata Patih
I Wayan Rama. Kekuatan jepitan itu seakan
penyatuan dua bukit karang, memaksa
senjata patih ini terhenti dalam sekejap
mata. Pada saat bersamaan, luncuran
tubuhnya tak bisa dihentikan. Telapak
tangan yang menggenggam gagang keris
kontan bergetar luar biasa, sehingga
meleset ke batang keris. Sementara itu,
kepalanya siap menghantam kepala Ki Rawe
Rontek.
Ki Rawe Rontek sendiri sudah siaga
menanti kepala laki-laki gagah ini.
Kening kasar miliknya hendak dibenturkan
dengan kening Patih I Wayan Rama.
"Huaaargh!"
Menyadari laki-laki asing itu lebih
siap menghadapi benturan kepala, Patih I
Wayan Rama tak mau ambil bahaya. Bagi Ki
Rawe Rontek, teriakan seraknya adalah
pertanda awal gerakan kepalanya. Tapi
bagi Patih I Wayan Rama, teriakan itu
justru isyarat bahaya yang harus segera
dihindari jika kepalanya tidak ingin
remuk dalam sekejap!
"Haiiih!"
Dengan teriakan keras, petinggi
istana gagah itu memutar tubuhnya di
udara. Sehingga, kedua kakinya dapat
melewati kepala Ki Rawe Rontek lebih
dahulu.
Jlep!
Patih I Wayan Rama mampu berdiri di
tanah kembali, tanpa kehilangan nyawa.
Namun begitu, bukan berarti tidak
mengalami luka. Telapak tangan yang
terseret batang kerisnya sendiri tampak
tersayat dalam. Darah merah dengan cepat
membanjir keluar, menyiram bumi.
Di lain pihak, Ki Rawe Rontek kini
sudah menggenggam ujung dan pangkal
keris Patih I Wayan Rama yang berhasil
direbutnya. Tangannya kemudian terlihat
meregang, memunculkan otot-otot setebal
jari kelingking. Lalu....
Trak!
Senjata pusaka dari baja bercampur
logam-logam langka milik Patih I Wayan
Rama terpatah dua, layaknya sebatang
lidi di tangan seorang bocah!
Kejadian di depan mata ini memaksa
Patih I Wayan Rama terperangah antara
kekaguman dan keterkejutan. Sepanjang
delapan keturunan, senjata itu sampai di
tangannya. Dan selama itu belum pernah
ada seorang pun yang mempunyai kekuatan
menandingi kekerasan senjatanya. Tapi
hari ini, pusaka turun-temurun itu
dijadikan mainan tak berarti oleh
lawannya!
"Apa orang ini memiliki semacam ilmu
iblis?" bi-sik Patih I Wayan Rama,
seperti untuk diri sendiri.
"Ya! Dia memang memiliki ilmu sesat,
Tuan Patih...," timpal Andika yang
tiba-tiba sudah berdiri di samping
petinggi kerajaan itu. "Kalau
diperbolehkan, biar aku saja yang
mencoba mengajak 'bermain' manusia jelek
berjamur ini."
"Maaf, Saudara Andika. Ini adalah
tanggung jawabku selaku keamanan
istana," tolak Patih I Wayan Rama.
Andika malah tertawa.
"Aaa, kenapa Tuan pelit terhadapku?
Lagi pula, apa Tuan tak melihat
jamur-jamur berkerak di tubuhnya? Aku
pikir, itu adalah buyut dari segala buyut
panu. Tuan orang terhormat. Jadi tak
mungkin meladeni orang seperti dia. Dia
hanya akan mengotorkan tangan Tuan,"
desak Andika halus, dibumbui gurauan
ngelantur.
Patih I Wayan Rama melirik Andika,
mendengar permohonan yang terdengar aneh
di telinganya. Pantas saja dunia
persilatan menjuluki pemuda itu sebagai
Pendekar Slebor. Dalam keadaan genting
berbau maut seperti saat ini, dia masih
mengoceh ngalor-ngidul!
"Sekali lagi maaf, Andika," ulang
Patih I Wayan Rama. "Aku tak bisa mundur
dalam tugas, selama masih mampu
memikulnya."
Andika kehilangan akal menghadapi
keteguhan tekad Patih I Wayan Rama yang
berjiwa ksatria. Untungnya, Pendekar
Slebor masih tersisa satu cara....
"Paduka!" seru Pendekar Slebor pada
Cokorde. "Paduka tentu masih ingat
penjelasanku tadi bukan? Kalau Paduka
tak segera menyuruh Patih I Wayan Rama
mundur, percayalah. Paduka akan
kehilangan seorang kstaria kerajaan
sejati!"
Di kejauhan, Cokorde tampak
mengangguk-angguk. Setelah itu,
tangannya memberi isyarat agar Patih I
Wayan Rama mundur. Maka dengan berat
hati, lelaki setengah baya itu pun
menuruti perintah rajanya.
"Naaah! Sekarang kau bisa
berhadapan denganku, Biang Panu!" ledek
Andika pada Ki Rawe Rontek, sesudah Patih
I Wayan Rama mengambil jarak di luar
arena pertarungan "Hari ini kau harus
mempertanggung jawabkan perbuatan
kejimu pada Ki Lantanggeni!"
Seperti saat pertama kali
menghadapi Patih I Wayan Rama, Ki Rawe
Rontek kali ini juga diam tak bergeming,
hanya mata baranya saja yang mengawasi
Andika tajam-tajam.
"Kenapa diam?" Pendekar Slebor
melangkah setindak. "Apa baru kali ini
melihat manusia setampan aku?" Kembali
kaki Pendekar Slebor melangkah beberapa
tindak.
"Ayo! Kau boleh menggeram,
mengaung, menggonggong, atau mengembik.
Lalu, seranglah aku!" tantang Pendekar
Slebor kian mendekati tubuh calon
lawannya.
Sekitar dua depa dari Ki Rawe
Rontek, kaki Pendekar Slebor berhenti
melangkah. Lagaknya makin terlihat tak
waras. Bagai seorang mandor menang
undian, pemuda urakan itu bertolak
pinggang di depan tokoh hitam
menggiriskan ini.
Sedang pongah-pongahnya Andika
bertolak pinggang, mulut berlendir Ki
Rawe Rontek melepas geraman keras
membahana.
"Aaargh!"
Andika sempat terlonjak kaget.
Dikira calon lawannya hendak melakukan
serangan. Sadar kalau cuma menggeram,
Andika berpura-pura seolah-olah tidak
terkejut. Tangannya yang sempat terlepas
dari pinggang, diangkat kembali
tinggi-tinggi. Bodohnya, sekarang dia
justru lebih mirip penderita encok!
"Kenapa hanya menggeram? Ayo
seranglah aku!" gertak Pendekar Slebor
lagi.
"Aaargh!"
"Menggeram lagi...."
"Aaargh! Khau hanyah chari
mhathiii...," ucap Ki Rawe Rontek tak
jelas.
"Mbeeek! Akhu thidhak chari mhathi!
Shebab akhu bhelum khawhin," Andika
meniru cara bicara Ki Rawe Rontek.
Setelah itu, dia terbatuk-batuk sendiri.
Baru saja Pendekar Slebor selesai
melepas batuknya, Ki Rawe Rontek
mendadak membabatkan kedua cakarnya ke
kepala.
"Aaargh!"
Wet! Wet!
Serangan mendadak seperti itu
memang tidak terlalu merepotkan Pendekar
Slebor. Di Lembah Kutukan tempatnya
menjalani penyempurnaan dulu, Andika
malah terbiasa berhadapan dengan
sambaran-sambaran kilat tak terduga.
Sebab itu, Pendekar Slebor mudah saja
mementahkan keprukan kedua cakar
lawannya. Tangannya terangkat sigap,
melindungi dua sisi kepalanya.
"Hait!"
Dak!
Begitu habis menangkis Pendekar
Slebor memulai serangan balasan.
Tangannya yang semula terangkat di sisi
kepala, didorong ke depan di sisi dalam
tangan Ki Rawe Rontek. Dengan tetap
menahan tangan laki-laki asing itu,
Pendekar Slebor hendak balik mengepruk
kepala.
Srat!
Nyatanya, Ki Rawe Rontek pun cukup
sigap menanggapi keprukan balasan
Andika. Tubuhnya segera ditarik ke
belakang, tanpa merubah sikap kaki,
sehingga badannya agak menyorong.
Prak!
Hantaman telapak tangan Pendekar
Slebor pun hanya sempat memakan angin.
***
ENAM
Gubuk tempat tinggal Idayu Wayan
Laksmi dan I Ktut Regeg saat ini tengah
diawasi seseorang, di bawah bayangan
sebuah pohon besar lima belas langkah di
sebelah barat. Matahari yang tersungkur
di belakang, mulai melemah. Sinarnya
yang kini berwarna jingga, menanduk
bokong si Pengintai sehingga,
penampilannya sulit dikenali.
Lama sosok itu hanya menatap gubuk
Idayu Wayan Laksmi tanpa gerak, bagai
sebatang tonggak mati tak bernyawa.
Wajahnya tersapu bayangan pohon. Begitu
juga sebagian tubuhnya. Sehingga
kesannya begitu penuh tanda tanya.
Sesekali, bayangan anak rambut
orang itu tampak berkibaran kecil
tersibak angin. Entah apa yang
diperhatikan di gubuk besar itu. Hanya
dia yang tahu.
Sementara itu, I Ktut Regeg keluar
dari pintu gubuk. Pemuda tanggung
bertubub kurus ini memeluk seekor ayam
jantan berwarna merah menyala dan
berjalu panjang. Layaknya orang-orang
Bali, I Ktut Regeg memiliki ayam jago
kesayangan untuk disabung dengan jago
lain. Memang bila hari menjelang sore,
banyak kaum lelaki menyabung ayam. Dan I
Ktut Regeg pun berniat untuk ambil bagian
dalam budaya rakyat yang mengasyikkan
itu.
Sambil bersiul-siul menyenandung-
kan sebuah tembang, I Ktut Regeg berjalan
santai. Tak jauh di belakangnya, si
Pengintai segera mengekori.
Sementara itu di alun-alun, sudah
berkumpul ku-rang lebih lima belas
pemuda dan orangtua. Semuanya
berkeliling, membentuk lingkaran kecil
tempat menyabung ayam. Sebagian duduk
atau berjongkok. Dan sebagian lain
berdiri. Mereka bersorak penuh semangat,
membakar semangat tarung dua ekor ayam
jantan di tengah-tengah arena.
"Ayo Hitam, pakai jalumu! Iya,
begitu!" teriak salah seorang.
Tatuk kepalanya! Terus, jangan mau
kalah!" seru yang lain.
"Ah! Si Hitam itu pecundang! Nanti
juga dia keok bila lawan si Ompok!"
teriak salah seorang pemilik ayam.
Ketika kedua ayam jago sabungan itu
sudah kehabisan tenaga, I Ktut Regeg baru
tiba. Dilewatinya dua lelaki pemilik
ayam yang sudah mengelus-elus jagonya.
"Wah.... Tampaknya baru saja
terjadi pertarungan seru," kata I Ktut
Regeg, manakala melihat ayam sabungan di
arena sudah dipisahkan.
Pemuda tanggung itu langsung menuju
pinggiran lingkaran kecil tempat sabung
ayam.
"Siapa yang ingin menyabung dengan
jagoku?"
tantang I Ktut Regeg, setibanya di
arena sabung.
"Wah, ini dia! Cepat sini, Geg! Aku
ingin taruhan besar buat jagomu itu!"
sambut seseorang.
Baru saja I Ktut Regeg hendak
meletakkan ayamnya di arena, orang yang
menguntitnya sejak tadi menepuk bahunya.
I Ktut Regeg langsung menoleh. Begitu
juga orang-orang yang berada di sana.
Lelaki itu ternyata mengenakan topi
keranjang penutup wajah dan kepala. Ya!
Dialah Lalinggi, salah seorang dari
Sepasang Datuk Karang yang pernah
dipecundangi Andika di dekat Goa Karang
Hitam (Baca episode: "Darah Pembangkit
Mayat"). Tangannya yang hancur karena
sabetan Kain Pusaka Pendekar Slebor,
kini dibalut kain warna putih.
"Hei?! Bukankah Beli yang dulu
memberi sekantung uang padaku dulu?"
sambut I Ktut Regeg, mengenali Lalinggi.
Di balik topi keranjangnya,
Lalinggi mengangguk.
"Ya, untuk meminta keterangan
tentang peti berukir yang kau buang di
laut sebelah Barat Buleleng. Dan
sekarang, boleh aku bicara lagi padamu,
Dik?" pinta Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas menangkap
jagonya. Tak dipedulikan lagi orang-
orang yang sudah gemas ingin melihat jago
I Ktut Regeg yang sampai saat ini tak
terkalahkan.
"Ayo, kita cari tempat yang agak
sepi," ajak Lalinggi.
I Ktut Regeg bergegas mengikuti.
Kini mereka tiba di naungan sebatang
pohon beringin besar.
"Beli ingin bicara apa?" tanya I
Ktut Regeg, tanpa curiga sedikit pun.
"Aku hendak menitip pesan untuk
seseorang," tutur Lalinggi datar.
"Boleh."
"Katakan pada pemuda yang bertamu di
rumahmu...."
"Beli Andika?" potong I Ktut Regeg.
"Tepat. Katakan padanya kalau
Lalinggi akan datang lagi," tandas
Lalinggi, tetap datar dan dingin.
"Ooo.... Soal mudah, Beli"
Lalinggi segera merogoh sesuatu di
balik bajunya. Di tangannya yang sudah
nyaris tak berjari, kini terlihat
beberapa keping uang perak.
"Ini buatmu," kata laki-laki itu.
"Ah! Tak usahlah, Beli" sergah I
Ktut Regeg cepat. "Sisa uang yang Beli
berikan padaku, masih banyak. Ayam
jantan ini pun kubeli dari uang itu...."
Lalinggi mengangguk-angguk, lalu pergi
tanpa mengucapkan terima kasih.
"Beli Nama Beli siapa, ya?!" teriak
I Ktut Regeg dari jauh.
Lalinggi tak menggubris. Kakinya
terus melangkah, sampai akhirnya
menghilang di jalan menurun.
"Huh! Sayang, aku tak tahu nama Beli
yang baik itu. Padahal aku ingin
menamakan ayam kesayanganku ini dengan
namanya!" gerutu I Ktut Regeg, sambil
berlalu juga dari tempat itu.
***
Halaman Istana Kerajaan Buleleng
masih dibuncah pertemuan kesaktian milik
dua orang yang sedang bertarung dahsyaL
Andika melawan Ki Rawe Rontek. Tanah
kancah pertarungan sudah terkuak di
beberapa tempat, akibat
hantaman-hantaman nyasar. Beberapa
bagian tembok istana pun sudah menjadi
korban. Sebagian hancur lebur bagai
dihantam godam raksasa, sedang sebagian
lain retak terbelah tersapu angin
pukulan, baik milik Ki Rawe Rontek atau
Pendekar Slebor.
Cokorde hanya terpana bersama para
petingginya. Sementara para prajurit
ternganga-nganga. Semuanya bagai
ditenung diam, bersama-sama menyaksikan
peristiwa di depan mata.
Untunglah para prajurit dan Patih I
Wayan Rama diminta oleh Andika untuk
mengambil jarak yang aman dari kancah
pertarungan. Kalau tidak, nasib mereka
bisa seburuk tembok pagar istana dan
pelataran tempat pertempuran!
"Hiaaa!"
"Huaaargh!"
Des! Wet! Wet! Drak!
Adu kesaktian makin sengit. Ki Rawe
Rontek sudah mengeluarkan sebagian ilmu
andalannya, termasuk 'Pukulan Peremuk
Dalam' yang telah merenggut nyawa Ki
Lantanggeni. Untuk ilmu hitam itu,
Pendekar Slebor bisa meladeni dengan
menyelubungi dirinya dengan tenaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan
dalam penyerangan, pendekar muda ini
lebih unggul beberapa tingkat.
Ilmu 'Pukulan Peremuk Dalam' memang
ilmu hitam yang hanya mengandalkan
keampuhan pukulan-pukulan maut, tanpa
diimbangi kemampuan gerak memadai.
Menghadapi jurus-jurus Pendekar Slebor
yang demikian beragam dan cepat, ilmu
pukulan hitam itu jadi tak begitu
berarti.
Apalagi ketika pendekar muda itu
mulai me-masuki jurus 'Menapak Petir
Membabi buta'! Setiap pergantian sikap
tubuh dalam kembangan jurusnya sangat
sulit ditangkap penglihatan.
Keadaan ini benar-benar menyudutkan
Ki Rawe Rontek. Andai sekali saja bisa
menyarangkan 'Pukulan Peremuk Dalam' ke
tubuh pemuda itu dalam sekejap dia akan
berada di atas angin. Tapi hingga saat
ini, Pendekar Slebor selalu berkelit
lebih cepat. Bahkan angin pukulan Ki Rawe
Rontek yang mampu melantakkan sendi
lawan, tak pernah menemui sasaran.
Apalagi Pendekar Slebor membentengi diri
dengan selubung kekuatan yang sulit
ditembus.
Pada satu kesempatan, desakan
Pendekar Slebor tak bisa lagi
dimentahkan Ki Rawe Rontek. Plak!
Seketika satu tamparan menggeledek
mendarat telak di pipi Ki Rawe Rontek.
Benar-benar telak! Rasanya bagai
didorong tenaga beribu kali. Tak ada
tulang leher manusia yang sanggup
menahan tenaga tamparan Pendekar Slebor,
meski tulangnya terbuat dari baja
sekalipun!
Krak!
Suara berderak mengikuti dalam
sekejap, di belakang suara tamparan
Pendekar Slebor. Asalnya dari leher
bagian dalam Ki Rawe Rontek. Saat itu
juga leher tokoh hitam itu terpuntir
tajam, membuat kepalanya kini berpaling
ke belakang!
Patih I Wayan Rama kontan berseru
tertahan. Bukan main kagumnya patih ini
melihat kehebatan tokoh muda dari Tanah
Jawa Dwipa yang dilihatnya. Dalam hati,
harus diakui bahwa Andika mempunyai nama
besar dalam dunia persilatan.
Sama seperti Patih I Wayan Rama,
Cokorde Ida Bagus Tanca pun terkagum luar
biasa. Tapi lain halnya yang terjadi si
Penasihat Tua yang sebelumnya dikerjai
Andika. Lelaki berkepribadian ular
berkepala dua itu memejamkan mata
rapat-rapat, sambil menggigit ujung kain
penutup tubuhnya. Dia memang begitu
digasak kengerian.
Sementara itu yang terjadi dalam
pertempuran memang tak kalah
mempesonakan daripada kehandalan
pukulan Pendekar Slebor. Nyatanya Ki
Rawe Rontek, masih tetap tegak sekokoh
karang. Andika sendiri sempat
terperangah, hampir-hampir tak percaya
dengan matanya sendiri. Bagaimana
mungkin seorang yang sudah terpuntir
kepalanya ke belakang, masih bisa
berdiri sekokoh itu? Kalau saja Andika
tak segera ingat kalau Artapati ini
memiliki ilmu 'Rawe Rontek', tentu akan
menganggap dirinya sedang bermimpi.
"Jadi inikah kehebatan 'Rawe
Rontek' yang dimiliki Artapati...,"
bisik Pendekar Slebor.
Keterpanaan Andika dimanfaatkan Ki
Rawe Rontek alias Artapati, untuk
membetulkan kembali kepalanya.
Krak!
Seperti kepala boneka, Ki Rawe
Rontek membalikkan kembali wajahnya ke
depan!
"Gila...," bisik Andika sambil
meringis kembali.
Pendekar Slebor mengusap lehernya
sendiri. Sebagai pendekar yang sudah
cukup banyak makan pahit manis di
pengembaraan, Pendekar Slebor cepat
tersadar dari keterpakuan. Dia harus
segera menggempur kembali lawannya.
Baru saja Andika membuka jurus baru,
lawan di depannya berkomat-kamit. Sesaat
kemudian tubuhnya bergetar kecil.
Akhirnya....
Plas!
Mendadak Ki Rawe Rontek menghilang!
Sekali lagi Andika tak bisa
menyembunyikan keterpanaannya. "Ilmu
hitam apa lagi ini?" Hati Pendekar Slebor
kontan dilanda kebingungan. Sedang
s-buk-sibuknya dia bertanya pada diri
sendiri, tiba-tiba....
Bekh!
"Aaagh!"
Pendekar Slebor menjerit tertahan
di udara, begitu sebuah hantaman amat
keras menghajar lambungnya. Tubuhnya
memang langsung terhempas deras delapan
tombak ke belakang. Ketika bumi
menyambutnya, mulut pemuda itu
memuntahkan darah segar. Tampaknya ada
yang terluka di bagian dalam tubuh
Andika.
"Oekh!"
Muntahan darah keluar lagi manakala
Pendekar Slebor hendak bangkit. Menilik
keadaannya! Pendekar Slebor tampak
terluka cukup parah.
Sementara dari jauh, Patih I Wayan
Rama khawatir. Dia hendak beranjak
mendekat, tapi segera ditahan Cokorde.
"Percayalah, Patih. Pendekar Slebor
bukanlah seorang yang mudah menyerah,"
ujar laki-laki tua itu yakin.
Pendapat Cokorde Ida Bagus Tanca
terbukti. Dengan menarik napas
tersengal, Andika bangkit
bersusah-payah. Di atas sepasang kakinya
yang masih tergetar, kembali napasnya
diatur untuk mengerahkan hawa murni
dalam tubuh.
"Hosss...."
Begh!
Buang napas Andika tiba-tiba
terhentak, karena sebuah hantaman tak
berwujud sekali lagi mengganyang
lambungnya. Untuk kedua kalinya,
Pendekar Slebor terlempar seperti
ranting kering disapu topan. Dia jatuh ke
tanah, lebih jauh dari sebelumnya.
Kali ini Andika tak memuntahkan
darah Beruntung sekali, pada saat
pukulan, tak berwujud dari lawannya
datang, Pendekar Slebor sedang berada
mengerahkan tenaga saktinya.
Pemuda keras kepala itu mencoba
bangkit lagi. Tak diperhatikan lagi rasa
sesakyang nyaris memutus napasnya.
Seluruh otot perutnya menegang, mencoba
memadamkan siksaan sakit luar biasa.
Butiran peluh merembes keluar,
membanjiri tubuh dan pakaiannya.
"Huarrr... huar... huargh!"
Terdengar tawa Ki Rawe Rontek.
Sementara, tubuhnya tetap tersembunyi
dari pandangan setiap mata.
Pada waktu yang sama, Andika sedang
memutar otak dalam gelombang rasa sakit.
Dia berjuang agar daya pikirnya
terkuasai, sehingga bisa menemukan jalan
keluar untuk mengecoh. Sudah bisa
dipastikan, Pendekar Slebor tak akan
mendapat kemenangan kalau terus melayani
ilmu hitam Ki Rawe Rontek, tanpa
mengetahui kunci kelemahannya. Untuk
saat ini, menyelamatkan diri dari
kebuasan lawan rasanya sudah cukup.
Rasa sakit menyiksa Andika.
Akhirnya pikirannya bisa dijernihkan.
Kecerdikannya pun muncul ke permukaan.
Dia menemukan akal? Dengan serta merta,
tubuhnya berbalik menghadap Cokorde Ida
Bagus Tanca.
"Paduka! Cepat berikan padaku
salinan naskah daun lontar yang
diberikan Ki Lantanggeni padamu!" teriak
Andika, serak bersama kedipan mata
sebagai isyarat
Mulanya Cokorde tak paham maksud
Andika. Namun karena jaraknya cukup
dekat, dia menangkap kerdipan mata
Andika. Dia cepat tanggap siasat yang
dijalankan si Pendekar Muda ini. Andika
pasti hendak menipu agar lawan
menyingkir tanpa harus membuang-buang
tenaga lebih banyak. Untuk itu, dia harus
segera mendapatkan sesuatu yang bisa
membuat Ki Rawe Rontek menyangka kalau
itu adalah salinan naskah gulungan
lontar. Maka dengan serta merta
dilepaskannya kain hitam di pinggangnya.
"Andika, tangkap!"
Kain hitam panjang yang sesung-
guhnya tak pernah ditulisi salinan
naskah gulungan lontar itu melayang di
udara, menggelepar menembus tiupan
angin. Hal inilah yang diharapkan
Andika. Dengan begitu, Ki Rawe Rontek
tentu menyangka kalau kain itu berisi
salinan rahasia kelemahan ilmu hitamnya.
Andika segera siaga, menanti kain
itu disambar lawan tak terlihat.
Sret!
Kain Cokorde terlihat berubah arah.
Saat itulah Andika berteriak sepenuh
tenaga. Tubuhnya langsung meluncur
deras, menyusul perubahan arah kain.
Dalam waktu yang demikian singkat,
tangannya memutar. Ketika kain yang
dilemparkan Cokorde terlihat berubah
arah, saat itulah Andika menyusul
perubahan arahnya sambil melepas kain
pusakanya.
"Yeaaar
Sret!
Tas!
Kain pusaka itu kontan terbentang
lurus, bagai samurai lebar yang menebas
benda tak berwujud. lepas kain pusaka
dari bahu.
"Yeaaa!"
Sret!
Tas!
Kain pusaka itu kontan terbentang
lurus, bagai sebilah samurai lebar untuk
menebas sesuatu di udara.
Buk!
Terdengar dentam sesosok tubuh
jatuh menimpa tanah. Tak lama kemudian,
Ki Rawe Rontek terlihat kembali. Tangan
kanannya sudah tak ada lagi, hingga batas
siku. Berbarengan dengan penampakan
tubuhnya, potongan tangan lelaki itu pun
terlihat. Tergolek jauh empat belas depa
darinya.
"Aaargh! Thungghu pembhalashanku!"
ancamnya.
Peristiwa aneh terulang lagi.
Potongan tangan datuk sesat itu mendadak
saja bergerak-gerak, seperti bergeliat.
Saat selanjutnya potongan tangan itu
terseret di permukaan tanah mendekati
pemiliknya. Lalu seperti tak pernah
terluka, tangan itu menyatu kembali.
Yang tersisa hanya darah di tangan lelaki
itu.
Ki Rawe Rontek pergi. Menyingkir,
seperti harapan Andika. Bukan karena
Andika berhasil melukainya. Tapi, karena
pendekar muda itu memegang kain hitam
milik Cokorde yang dikiranya salinan
tulisan di daun lontar.
***
TUJUH
Sejak Andika menyatakan kalau hanya
ingin bersahabat, Idayu Wayan Laksmi
kini mulai mencoba membuka diri untuk
Yaksa. Gadis itu baru sadar betapa
bodohnya telah menyangka Andika jatuh
hati padanya. Dia mabuk terhadap sikap
manis pemuda yang tak hanya gagah, tapi
juga tampan itu. Semestinya dia tahu
kalau sikap manis tidak selalu berarti
cinta. Rupanya cinta dari dirinya
sendirilah yang membutakan mata hatinya
selama ini. Untunglah, Andika tak
terlambat memberi pernyataan. Kalau
tidak, tentu gadis itu akan mengalami
kekecewaan mendalam.
Kebutaan mata batin akibat kasmaran
pada Andika itu pula yang menyebabkan
Idayu Wayan Laksmi mengacuhkan cinta
seseorang. Cinta milik Yaksa. Selama ini
dia merasa telah menelantarkan sebutir
mutiara hati milik Yaksa yang hendak
dipersembahkan padanya.
Senja ini, Idayu Wayan Laksmi duduk
menyapa bayu sejuk di anak tangga
gubuknya. Semalam, Yaksa datang
berkunjung. Pemuda itu memberanikan diri
untuk mengungkapkan cinta padanya. Saat
itu, Idayu Wayan Laksmi diam saja. Dalam
hati, gadis itu menilai kalau pemuda itu
cukup tampan. Dan dari pembicaraan bisa
sedikit dinilai kalau pribadinya cukup
baik.
Yaksa berjanji akan kembali lagi
senja ini. Entah kenapa, Idayu Wayan
Laksmi menjadi agak berharap. Sempat
terpikir olehnya kalau harapan yang
terpercik untuk Yaksa hanya sekadar
untuk menghibur diri dari kekecewaan
yang dialami saat ini. Namun pikiran itu
segera saja ditepisnya. Dia hendak
mencoba mencintai Yaksa. Toh, dia memang
pantas dicintai?
"Sore, Laksmi...," sapa Yaksa.
Pemuda itu baru saja tiba di dekat
tangga gubuk, tanpa diketahui Idayu
Wayan Laksmi. Maklum gadis itu sedang
melamun.
"Oh, Beli Yaksa," sambut Idayu Wayan
Laksmi, agak terkejut.
"Kau sedang menungguku atau
menunggu seorang pemuda tampan yang
sering kulihat menginap di gubukmu?"
tanya Yaksa.
Idayu Wayan Laksmi tersipu.
Wajahnya berubah merona menggemaskan.
"Tadi Beli menyebut-nyebut seorang
pemuda?" Idayu Wayan Laksmi balik
bertanya. berusaha mengikis kerikuhan.
"Ya, memang. Apa benar?"
"Benar apa, Beli"
"Kau sedang menunggu pemuda itu? Dia
kekasihmu?" cecar Yaksa menggoda, namun
berkesan menyudutkan.
"Beli Andika maksudmu?"
"Andika?" sentak Yaksa agak
terkejut.
Pemuda itu langsung teringat pada
nama seseorang yang tertulis di kayu
bekas dinding gubuk gurunya.
"Jadi, dialah orang yang Guru
maksudkan?" gumam Yaksa perlahan sekali
dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi sempat menangkap
gumaman Yaksa.
"Kenapa, Beli?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa...,"
kilah Yaksa tersadar. "Apa dia
kekasihmu?"
Idayu Wayan Laksmi merunduk.
Pandangannya langsung jatuh pada
lembar-lembar rumput di sisi dasar
tangga.
"Bukan," jawab gadis itu lirih.
"Ah, syukurlah.... Kukira dia
kekasihmu. Sebab sikapmu tampak begitu
manja...," tutur Yaksa.
"Aku manja, karena dia kuanggap
sebagai kakakku. Kau kan tahu aku tak
memiliki kakak...," jelas Idayu Wayan
Laksmi berdusta.
Tentu saja, Idayu Wayan Laksmi tak
berani mengadukan mata pada mata pemuda
di sisinya, karena takut kalau
kebohongannya terbaca. Mata memang sulit
berbohong.
"Hey? Dari mana Beli tahu kalau
Mbokku suka bermanja-manja dengan Beli
Andika?!"
Tiba-tiba saja I Ktut Regeg menyelak
dari mulut pintu. Rupanya, anak muda
tanggung itu nguping sejak tadi. Dasar
brengsek!
Yaksa terkejut.
"Eee, dari mana ya...?" kata pemuda
itu bingung sendiri.
"Nah, Mbok. Ini dia orangnya yang
suka mengintip-intip rumah kita!" tuding
I Ktut Regeg tanpa tedeng aling. "Untung
saja dia termasuk kebal 'bintit'. Kalau
tidak, tentu matanya sudah dijejali
'bintit-bintit'. Ha ha ha...!"
Tawa I Ktut Regeg langsung meledak.
"I Ktut Regeg!" bentak Idayu Wayan
Laksmi.
Idayu Wayan Laksmi memang sering
kali jengkel dengan sikap adiknya yang
berbicara seenak perut sendiri.
"Mbokl" I Ktut Regeg malah balik
membentak. Setelah itu, tertawa lagi.
Idayu Wayan Laksmi jadi tak sabar.
Di tangannya kebetulan ada sisir kayu
berujung runcing. Sebelum bertemu Yaksa,
rambutnya memang sempat ditata sedikit.
Dengan sisir itu, disodoknya I Ktut Regeg
di belakang. Maksudnya, ingin menyodok
bahu anak itu. Tapi karena I Ktut Regeg
bangun mendadak, yang menjadi sasaran
justru kantung menyannya.
"Adaouw.... Adaouw!" I Ktut Regeg
berjingkat-jingkat ke sana kemari dengan
mulut meringis. "Mbok keterlaluan! Kalau
nanti tidak ada perempuan yang mau
padaku, Mbok akan kusalahkan."
Mata Idayu Wayan Laksmi mendelik
besar. Omongan I Ktut Regeg sudah kelewat
batas. Tangannya cepat bergerak, hendak
menyodokan lagi ujung sisir ke kaki anak
itu.
"Eee! Maksudku, Mbok tolong doakan
agar aku jadi ganteng! Kalau tidak
didoakan, berarti tidak ada lagi
perempuan yang mau?!" dalih anak muda
tanggung ini.
***
"Tuan Andika!"
Seorang prajurit mendatangi Andika
yang sedang menjalani perawatan dari
seorang tabib istana di sebuah kamar
khusus.
"Ada apa, Beli?" tanya Andika
hormat.
"Paduka, Cokorde menyuruh hamba
menyampaikan ini pada Tuan...," si
Prajurit segera mengangsurkan sehelai
kain. "Hamba menemukan itu tanpa sengaja
di sebuah sungai."
Andika membuka lipatan kain yang
ternyata berupa surat. Masih tampak
basah. Dan tulisannya sudah agak
mengabur, karena luntur. Ketika surat
itu dibaca, sepasang alis sayap elang
anak muda itu menyatu rapat.
"Hamba pamit dulu, Tuan Andika!"
hatur si Prajurit.
"O, ya! Terima kasih, Belil" sahut
Andika. Sepeninggalan prajurit tadi,
pikiran Andika kembali tertuju pada
surat dari kain di tangannya.
Ki Rawe Rontek....
Jika. kau ingin menemukan Ki
Lantanggeni, datanglah ke lembah
tersembunyi di sebelah timur Gunung
Agung. Di sanalah lelaki tua itu
bersembunyi...
Begitu isi surat itu. Tanpa ada
tertanda dari si Pengirim.
Andika tidak bisa menduga, siapa
orang itu. Hanya yang diketahuinya,
orang itu pula yang telah memberitahu-
kannya melalui surat yang diikat pada
pisau terbang tentang maksud kedatangan
Ki Rawe Rontek ke istana yang ingin
merebut kekuasaan. Memang, Pendekar
Slebor amat hafal betul dengan gaya
tulisannya.
"Pantas saja Ki Lantanggeni dengan
mudah bisa ditemui...," bisik Andika.
"Tanpa surat ini, perlu waktu
berbulan-bulan untuk menemukan Ki
Lantanggeni di tempat terpencil seperti
itu...."
Andika menerawang sesaat.
Ingatannya kembali pada lelaki tua itu.
"Kasihan Ki Lantanggeni...," desah
Pendekar Slebor.
Tak begitu lama kemudian, Cokorde
masuk "Bagaimana menurutmu, Andika? Apa
surat kain itu ada hubungannya dengan
kematian Ki Lantanggeni?" tanya Raja
Buleleng ini.
Cokorde Ida Bagus Tanca tahu tentang
kematian sahabat istana itu dari Andika.
Dia begitu kehilangan seorang ksatria
yang sering menjadi kawan bertukar
pikiran. Karena akrabnya, Cokorde lebih
suka menyebut Ki Lantanggeni sebagai
sahabat. Untuk menghormati jenazahnya,
sengaja Cokorde mendatangi kuburan
almarhum, beserta beberapa petinggi
kerajaan.
Sewaktu Andika bertanya, kenapa
mayat Ki Lantanggeni tidak dibakar
seperti layaknya orang Bali dalam
upacara Ngaben, Cokorde menjelaskan
kalau sebenarnya Ki Lantanggeni bukan
asli Bali. Dia berasal dari Tanah Jawa
Dwipa, dan mengasingkan diri di pulau
kecil ini.
"Jelas surat ini memang ada
hubungannya dengan kematian Ki
Lantanggeni," sahut Andika, menjawab
pertanyaan Cokorde tadi.
"Pantas, beliau begitu mudah
didatangi Ki Rawe Rontek," gumam Cokorde
seperti pendapat Andika juga.
"Apakah kau sudah bisa
menerka-nerka, siapa si Pembuat Surat
ini?" tanya Cokorde lebih lanjut. Andika
menggeleng.
"Entahlah, Paduka. Untuk itu aku
masih belum jelas. Ada hal yang
membingungkan dalam perkara ini," kata
Andika.
"Apa?"
"Apa Paduka tak heran sewaktu
kedatanganku , tepat pada saat Ki Rawe
Rontek juga mendatangi istana?"
"Ya, kenapa bisa begitu?"
"Sebelumnya, aku memang diberitahu
seseorang melalui surat bahwa datuk
sesat itu akan mencoba menguasai
Kerajaan Buleleng. Paduka tahu, tulisan
pada surat ini sama persis dengan tulisan
dalam surat ini? Bahkan ditulis di atas
kain yang sebenarnya tak lazim...,"
papar Andika.
Cokorde Ida Bagus Tanca
mengangguk-angguk di bibir tempat tidur
perawatan Andika. Dia duduk tepat di
samping pemuda itu. Seolah, tak ada lagi
jurang pemisah antara seorang raja
dengan rakyat biasa, seperti Andika.
"Kalau surat-surat itu memang benar
ditulis oleh satu orang, kenapa dia
mencoba memperingati akan bahaya niat Ki
Rawe Rontek yang ingin merebut kekuasaan
kerajaan ini. Sementara di lain sisi, dia
justru menuntun Ki Rawe Rontek untuk bisa
menemukan Ki Lantanggeni dan
membunuhnya. Itukah yang membingungkan
maksudmu?" duga lelaki berwibawa itu.
"Tepat sekali, Paduka!" "Apa
mungkin...."
Ucapan Cokorde terpenggal seketika.
Tapi, tiba-tiba saja Andika menyergap
dari samping.
"Awas Paduka!" seru Pendekar
Slebor.
Mendadak berkelebat sebuah benda
berkilatan ke arah tempat Cokorde duduk,
sebelum disergap Andika.
Sing!
Jlep!
Sebilah pisau terbang luput
memangsa punggung Cokorde. Lalu,
menjadikan bingkai sebuah lukisan
sebagai sasaran. Tentu saja Cokorde
murka. Dia bangkit dengan wajah merah
matang dan berjalan ke arah jendela.
"Pengawal! Tangkap orang yang
menyusup ke istana ini!" perintah Raja
Buleleng ini dari jendela yang menjadi
jalan masuk pisau terbang barusan.
Memang ruang perawatan Andika
berbatasan dengan taman samping istana
yang luas. Untuk ruang khusus
orang-orang sakit dan terluka, sudah
pasti dilengkapi jendela-jendela besar
agar udara segar dari taman bisa masuk
ruangan.
Cokorde hendak beranjak keluar,
namun cepat dicegah Andika.
"Tak perlu, Paduka! Tampaknya pisau
terbang ini tak dimaksudkan untuk
membunuh Paduka...."
Pendekar Slebor segera bangkit,
langsung menghampiri pisau terbang itu.
Lalu dicabutnya pisau dari pigura
lukisan.
Persis seperti bentuk pisau terbang
yang menghujam gundukan tanah makam Ki
Lantanggeni, pisau terbang kali ini pun
berbentuk lempeng baja bergagang bambu
kuning. Di lempengannya, terikat kain
yang warnanya sama dengan kain di pisau
terbang terdahulu.
Andika segera melepas kain itu.
Dugaannya tak meleset. Kain itu memang
sebuah surat.
Kalau kau ingin menemui datuk sesat
itu, pergilah ke Kotapraja Kerajaan
Tabanan!
"Dari si Pengirim yang sama dengan
surat-surat terdahulu," kata Andika
ketika melihat Cokorde bersinar penuh
tanya.
***
Keesokan harinya, setelah
kesehatannya terasa telah pulih benar,
Andika secepatnya minta izin Cokorde
untuk berangkat ke Tabanan. Untuk
sementara dia akan mengikuti isi surat
dari pengirim yang tak jelas itu Dengan
begitu, diharapkan bisa membongkar
maksud sesungguhnya orang itu. Entah
lawan, entah pula kawan
Sebelum tengah hari, Andika sudah
tiba di Kotapraja Kerajaan Tabanan.
Layaknya kota besar kerajaan, wilayah
itu cukup ramai. Orang-orang menjalani
kegiatan masing-masing, untuk mengais
nafkah sehari-hari.
Lama juga Andika berkeliling
keliling di Kota Praja. Sampai akhirnya,
Pendekar Slebor tiba di suatu daerah yang
cukup ramai, karena di sana tampaknya
sebagai jantung Kotapraja Kerajaan
Tabanan.
Tatkala melintasi sebuah kedai,
telinga Andika menangkap pembicaraan
menarik tiga lelaki di dalamnya. Salah
satu dari orang itu menyebut-nyebut
tentang orang asing yang datang ke kota
ini.
Dan Andika pun memutuskan untuk
mencari-tahu tentang orang asing itu
dari mereka. Segera dimasukinya kedai
ini. Hitung-hitung sekalian mengisi
perut, karena memang sudah waktunya
makan siang.
Dari seorang pelayan muda yang sigap
menyambutnya, Pendekar Slebor memesah
makanan. Sepeninggalan pelayan,
dihampirinya ketiga lelaki yang duduk di
sudut dekat pintu masuk kedai.
"Beli sekalian. Bisakah aku
bertanya sedikit tentang orang asing
yang sedang kalian bicarakan," sapa
Andika seramah mungkin.
Ketiga lelaki itu kontan terkejut
mendapat sapaan Andika. Wajah mereka
melepas kesan ketakutan, walaupun
teguran Andika sudah amat ramah.
"Maaf jika aku menyelak. Kalau tak
salah Beli-Beli ini sedang membicarakan
seorang asing, bukan?" ucap Andika lagi,
mencoba menegaskan pertanyaan. "Bisakah
kalian menggambarkan penampilan orang
asing itu?"
Tak ada jawaban untuk Andika. Tak
seperti sifat ramah orang Bali, mereka
tak menggubris pertanyaan Andika. Malah
mereka bangkit tergesa-gesa,
meninggalkan kedai dengan wajah pucat.
"Tunggu, Beli”. tahan Andika.
Seruan Andika malah membuat mereka
melangkah lebih cepat, seperti baru saja
melihat hantu di siang bolong.
"Aneh...," desah Andika, tak
mengerti. "Tampaknya ada sesuatu yang
membuat mereka begitu takut...."
"Tuan...," tegur pelayan di
belakangnya. Andika menoleh.
"Makanan telah siap di meja," kata
pelayan muda itu memberitahu.
Andika menganggukbersama seulas
senyum sebagai pengganti ucapan terima
kasih. Dihampirinya meja makan yang
sudah diisi nasi dan lauk-pauk. Untuk
sementara, dilupakannya dulu persoalan
Ki Rawe Rontek. Kini dengan lahap,
disantapnya makanan di meja.
***
"Pelayan!" panggil Andika.
Pelayan muda tadi cepat menghampiri
Pendekar Slebor.
"Aku telah selesai," kata Andika
memberitahu.
Si Pelayan mengangguk, lalu mulai
membenahi bekas makan Andika. Sebelum
dia beranjak mengangkut piring-piring ke
dalam, Andika cepat menahannya.
"Maaf, Beli. Boleh aku sedikit
bertanya padamu?" cetus Andika.
Si Pelayan mengangguk. "Silakan,
Tuan...."
"Apakah beberapa hari belakangan
ada orang asing memasuki kota ini?" tanya
Andika langsung, ke pokok permasalahan.
Sama seperti ketiga lelaki tadi, si
Pelayan pun menampakkan ketakutan di
wajahnya. Namun, tak sama dengan ketiga
lelaki tadi. Sebab, pelayan ini rupanya
lebih punya nyali. Setelah melirik kian
kemari, didekatinya telinga Andika.
"Benar. Tuan. Sejak kedatangan
orang asing itu, sudah tiga belas orang
terbunuh secara keji. Mereka rata-rata
adalah para pengawal pribadi orang-orang
yang berkuasa di sini...," bisik pelayan
muda ini.
Wajah Andika berkerut. Rasanya dia
belum begitu jelas dengan keterangan
pelayan ini.
"Beli bisa menggambarkan ciri-ciri
orang asing yang telah membunuh para
pengawal itu?" tanya Pendekar Slebor.
Si Pelayan Muda melirik ke luar
kedai. Dan matanya melihat sesuatu di
sana. Itu tampak dari sinar matanya yang
menegang.
"Lebih baik Tuan mencari tahu dari
orang dalam tandu itu," bisik pelayan ini
lagi lebih samar.
Andika melirik keluar, mengikuti
pandangan si Pelayan. Tampak empat orang
berperawakan kekar sedang menggotong
tandu mewah yang tertutup rapat kain
mewah bersulam.
"Terima kasih Beli," ucap Andika
seraya menepuk bahu si Pelayan.
Pendekar Slebor membayar seluruh
makanan, lalu beranjak keluar. Tapi baru
saja kakinya bergerak empat langkah...
Sing!
Seketika terdengar desiran halus
menyambar dari arah depan.
"Haih!"
Tanpa kesulitan, Pendekar Slebor
langsung bergeser ke kanan dan cepat
menangkap sebatang pisau terbang yang
hendak memangsal tubuhnya. Lagi-lagi
sebilah pisau terbang yang sama seperti
dengan yang didapat terdahulu. Tanpa
bermaksud hendak membaca pesan yang
terlipat pada pisau terbang, Andika
bergegas menyusul rombongan orang
bertandu tadi.
Di luar, Pendekar Slebor melihat
tandu berhenti. Keempat pengusungnya
segera menurunkan kenda-raan mewah yang
biasa dipakai para penguasa itu. Dari
dalamnya, keluar seorang laki-laki
berperawakan besar. Tak seperti
bangsawan Bali lainnya, dia mengenakan
kemeja sutera hitam berlapis tanpa
kancing dan kerah. Pinggangnya dililit
kain batik yang menutup sebagian celana
panjang hitam, sebatas lutut berujung
sulaman benang warna emas.
Andika nyaris pangling pada lelaki
itu, kalau saja tak sungguh-sungguh
memperhatikan wajah.
"Ki Rawe Rontek!" desis Pendekar
Slebor.
Penampilan tokoh yang semula bagai
mayat hidup itu sudah jauh berbeda. Di
lehernya sudah tidak tampak lagi bekas
luka melingkar. Bahkan tubuhnya kini
sudah bebas dari jamur-jamur yang
menjijikkan.
Kini, buruan Pendekar Slebor telah
ditemukan. Tapi tanpa mengetahui
kelemahan ilmu-ilmu hitamnya, Andika tak
bisa berbuat banyak.
"Entah apa yang hendak
direncanakannya," bisik Andika di tempat
pengintaian.
***
DELAPAN
Kerik jangkrik mengisyaratkan hari
untuk segera meredup. Senja pun
tercecer. Malam pun datang merambat.
Gubuk besar milik Idayu Wayan Laksmi dan
I Ktut Regeg hanya diterangi lampu-lampu
minyak kecil. Di dalamnya, dua insan
berbeda jenis yang telah lama duduk
berbincang sejak senja menjelang, saling
menatap tanpa kedip. Mereka adalah Idayu
Wayan Laksmi dan Yaksa.
Rasanya, setelah beberapa kali
dikunjungi Yaksa, Idayu Wayan Laksmi
mulai menemukan benih-benih cinta yang
merambah hatinya. Secara jujur diakui,
Yaksa memang memiliki kharisma
tersendiri yang sanggup melumpuhkan
hatinya. Dia memang tak setampan Andika.
Namun, memiliki pesona.
Untuk adat orang timur, duduk berdua
di malam seperti itu sebenarnya tabu.
Tapi entah kenapa, pautan perasaan
mereka berdua menyingkirkan ketabuan
itu. Lekatnya tatapan sepasang mata
masing-masing memang menghanyutkan.
Sadar tak sadar, Yaksa mendekatkan
wajahnya ke wajah Idayu Wayan Laksmi.
Kian dekat, Idayu Wayan Laksmi jadi
merasa rikuh. Segera wajahnya ditarik ke
belakang. Tapi Yaksa tak memperhatikan
kerikuhan gadis itu. Terus saja wajahnya
disorongkan. Sampai akhirnya....
Cup!
Yaksa berhasil mengecup.... Tapi,
astaga! Bukan bibir Idayu Wayan Laksmi
yang tersentuh bibirnya. Ternyata hanya
kepala ekor ayam jantan yang sudah babak
belur di sana sini.
"Keok!"
Yaksa tersentak.
"Hua ha ha...!"
Terdengar tawa meriah seorang anak
muda tanggung di sisi mereka. Siapa lagi
kalau bukan si I Ktut Regeg berengsek?!
"Nah, Merah! Kemenanganmu tadi sore
telah dihadiahkan sebuah ciuman mesra
dari sukarelawan," oceh I Ktut Regeg pada
ayam jantan di tangannya.
Yaksa sendiri kini kelimpungan
membersihkan bibir. Tak disangka tak
diduga, kalau hari ini dia tertimpa
'musibah' seperti itu.
"Kalau hanya mencium ayam jantan,
tak akan tabu!" tukas I Ktut Regeg sambil
melangkah santai ke ruang dalam.
Dan baru saja I Ktut Regeg
menghilang, terdengar sebuah suara.
"Malam...."
Andika muncul di pintu masuk.
Pendekar Slebor baru saja tiba dari
Kerajaan Buleleng, setelah mela-porkan
hasil penyelidikannya.
"Oh! Beli Andika," sambut Idayu
Wayan Laksmi tersipu-sipu, merasa malu
tertangkap basah oleh Andika.
"Aha, pemuda kita rupanya!" ujar
Andika, saat melihat Yaksa.
Yaksa langsung berdiri, mendekati
Andika. Mengingat kemarahan Yaksa
sewaktu di sisi makam Ki Lantanggeni
dulu, Pendekar Slebor jadi curiga.
Jangan-jangan, dia masih penasaran akan
memukulnya. Tapi sesampainya di depan
Andika, pemuda itu malah menjura
dalam-dalam.
"Tuan Pendekar, maafkan atas
kelancanganku dulu. Sungguh aku tak
pernah menduga kalau Tuan adalah sahabat
guruku," tutur Yaksa hormat.
Andika tertawa. Dia jadi mengumpat
kebodohannya yang telah menduga
tidak-tidak pada Yaksa.
"Ah! Penghormatan seperti itu tak
pantas kau tujukan untukku," kilah
Pendekar Slebor. "Toh, usia kita
sebenarnya tak jauh berbeda...."
"Tapi, Tuan...."
"Andika! Panggil aku Andika saja."
"Tapi, ng.... Tuan Pendekar,
sebelum meninggal guruku berpesan agar
aku memohon pada Tuan untuk meminta
beberapa jurus," lanjut Yaksa, tanpa
menyebut nama Andika begitu saja.
Andika menarik napas. Kepalanya
menggeleng-geleng.
"Kalau kau tetap memanggilku Tuan
Pendekar, percayalah. Aku tak akan sudi
menurunkan padamu beberapa jurus
milikku," tegas Pendekar Slebor.
Yaksa mengangkat kepala hati-hati.
"Dan hentikan sikapmu membungkuk
seperti kakek peot!" bentak Andika.
Seketika disabetnya kepala Yaksa dengan
lembaran lontar di tangannya. Setelah
itu dia ngeloyor ke dalam sambil
mengupat-ngumpat.
Di dalam, Andika membuka lembaran
lontar yang didapat dari pisau terbang di
Kotapraja Kerajaan Tabanan. Dia yakin,
lembaran itu adalah sobekan halaman
kitab ilmu hitam milik Ki Lantanggeni
yang telah dicuri seseorang. Cokorde
juga yakin, begitu Andika
memperlihatkannya.
Sayang, lembaran lontar itu
bertuliskan huruf-huruf Pegon yang
mungkin sudah jarang dipakai lagi sejak
satu dua abad lalu. Sementara waktu
Andika minta tolong pada Cokorde yang
mungkin memiliki seorang ahli bahasa,
Raja Buleleng itu mengatakan kalau ahli
bahasa satu-satunya yang dimiliki telah
wafat setahun lalu. Dan mereka sampai
kini belum memiliki penggantinya.
"Beli Andika," tegur I Ktut Regeg.
"Anak muda tanggung itu tahu-tahu
sudah berdiri di pintu kamar.
"Sedang apa?" tanya I Ktut Regeg mau
tahu urusan orang.
"Jangan usil!" hardik Andika.
"Jangan sok menutup diri!" balas I
Ktut Regeg.
Kaki pemuda tanggung itu melangkah,
mendekati Andika.
"Apa itu?!" tanya I Ktut Regeg lagi,
makin menjadi keusilannya begitu sudah
dekat.
Andika melipat lembaran lontar.
"Ini bukan urusanmu, Anak Dedemit!"
maki Pendekar Slebor, setengah bergurau.
I Ktut Regeg mengangkat bahu.
"Ya, sudah. Aku juga tidak untung
melihat lembaran lontar lusuh itu,"
sungut anak muda tanggung itu. Dia
berbalik, melangkah keluar.
"Hanya aku dulu memang suka membaca
naskah-naskah kuno kalau sedang iseng."
"Hei, tunggu!" tahan Andika.
"Apa katamu tadi?"
"Dulu, aku sering membaca
naskah-naskah kuno milik ayahku.
Kadang-kadang aku juga membantu Ayah
menerjemahkan naskah kuno...."
"Naskah-nakah milik kerajaan?!"
sela Andika.
"Lho, dari mana Beli tahu?"
"Siapa nama ayahmu?"
"I Made Tantra. Memangnya kenapa?"
Andika menepuk keningnya
keras-keras. Dia ingat nama ahli bahasa
yang disebut Cokorde tadi. Memang, nama
I Made Tantra yang disebut Cokorde waktu
itu.
"Jadi, kau anak dari I Made Tantra?
Ahli bahasa kerajaan?"
I Ktut Regeg terkekeh. Entah kenapa.
"Ayahku memang tidak ingin
memanjakan anak-nya. Dia tidak sudi
jabatan membuat anak-anaknya menjadi
sombong. Makanya, dia tak pernah
bercerita pada Cokorde kalau punya
anak," tutur I Ktut Regeg.
"Bagus!" sentak Andika.
"Bagus apanya?"
"Kalau begitu, kau harus
menolongku! ujar Pendekar Slebor,
langsung menarik anak kurus itu ke sisi
balai-balai bambu.
"Duduklah. Coba kau terjemahkan
lembaran-lembaran lontar ini!"
Andika cepat menyerahkan lembaran
lontar ke tangan I Ktut Regeg. Dan pemuda
tanggung itu membukanya dengan santai,
merasa menang karena sedang dibutuhkan
oleh seorang pendekar besar seperti
Andika. Tak lama kemudian kepalanya
tampak mengangguk-angguk sok tahu.
"Yem, mmh...mmm...emm. Sus sus
memem...," gumam I Ktut Regeg,
menyebalkan.
"Hei?! Jangan membaca bergumam
seperti jampi-jampi dukun!" bentak
Andika. "Percuma saja aku menyuruhmu
membaca!"
I Ktut Regeg melotot.
"Sabar dulu, dong!" balas pemuda
tanggung itu lebih galak. Dilanjutkan
lagi membacanya sampai kedua lembaran
lontar itu selesai.
"Jadi, apa isinya?" tanya Andika
bersemangat.
Mata I Ktut Regeg menyipit. Lagaknya
sudah seperti petinggi kerajaan.
"Menurut dua lembaran lontar ini,
ada sejenis ilmu hitam bernama 'Rawe
Rontek'...."
"Yang itu aku sudah tahu!" jegal
Andika. "Apa di situ ada rahasia
kelemahan ilmu 'Rawe Rontek'?"
"Ya. ya, ya, tentu saja. Menurut dua
lembaran lontar ini, ilmu hitam itu bisa
dikalahkan dengan memisahkan si Pemilik
Ilmu dengan bumi...," papar I Ktut Regeg.
Andika memukul telapak tangan
dengan tinjunya sendiri.
"Jadi itu rahasia kelemahan ilmu
Rawe Rontek...," desis Pendekar Slebor.
"Lalu, apa lagi penjelasan tentang ilmu
hitam selain 'Rawe Rontek'?"
"Menurut...."
"Menurut dua lembar lontar ini! Ah!
Aku bosan dengan basa-basi itu! Katakan
saja langsung, apa saja isinya yang
lain!"
I Ktut Regeg menatap Andika dengan
sinar mata mengancam. Seolah-olah, dia
ingin mengatakan bila Andika tak
berhenti mengomel, lembaran lontar itu
akan ditinggalkannya.
"Baik..., baik. Aku tidak akan
membentak-bentak lagi," bujuk Andika,
melihat gelagat buruk I Ktut Regeg.
Akhirnya I Ktut Regeg mau juga
melanjutkan.
"Ada yang aneh, Beli...,ucap I Ktut
Regeg, sesaat berikutnya.
"Apa?"
"Di lembaran pertama, dijelaskan
tentang riwayat ilmu-ilmu hitam termasuk
'Rawe Rontek'. Tapi, di lembaran, yang
satunya kenapa hanya ada penjelasan
mengenai rahasia ilmu 'Rawe Rontek'
saja...?"
"Jadi maksudmu ada lembaran yang
hilang?" duga Andika.
"Sepertinya begitu...."
Andika diam. Regeg juga diam. Tapi
pemuda tanggung itu terus memperhatikan
Andika yang mengusap-usap dagu dengan
wajah berkerut. Pendekar muda itu sedang
berpikir keras. Sesekali kakinya
melangkah mondar-mandir.
"Rasanya aku mulai bisa membaca
maksud orang ini," gumam Pendekar
Slebor. "Pertama-tama, dia menuntun Ki
Rawe Rontek dengan suratnya agar Ki
Lantanggeni terbunuh. Pada saat Ki
Lantanggeni menghadapi datuk sesat itu,
tentu lembaran lontar itu dicuri. Lalu,
aku dijadikan kambing hitam untuk
menghadapi Ki Rawe Rontek. Dengan
memberi rahasia kelemahan ilmu 'Rawe
Rontek' padaku, orang itu berharap aku
bisa membunuh Ki Rawe Rontek untuk yang
kedua kalinya. Setelah itu bila Ki Rawe
Rontek mati, dia akan mencari kuburannya
lagi, dan mencoba menghidupkannya
kembali...."
"Tapi apa untungnya buat dia?" sela
I Ktut Regeg
“Tentu saja sebagai orang yang
berhutang budi, Ki Rawe Rontek tak akan
menolak permintaan orang itu. Yakni,
mengajarkan cara-cara mendapatkan
ilmu-ilmu hitam...."
"Tapi akan percuma saja ilmu hitam
itu, sebab rahasianya sudah terbongkar
dengan adanya lembaran lontar ini,"
sergah I Ktut Regeg, makin sok pintar.
"Tidak! Tidak semua rahasia ilmu
hitam. Hanya ilmu 'Rawe Rontek' saja yang
kita tahu rahasia kelemahannya.
Sedangkan rahasia ilmu hitam lain berada
di lembaran yang kurang itu. Dan sudah
pasti orang itu menahannya. Agar jika
ilmu-ilmu hitam lain warisan Ki Rawe
Rontek benar-benar dikuasainya nanti,
dia akan menjadi tak tertandingi," papar
Andika makin yakin.
"Beli tahu siapa kira-kira orang
itu?"
Andika mengangguk mantap.
"Rasanya, aku tahu orang itu,
Namanya, Lalinggi...," bisik Pendekar
Slebor, amat pelan.
"O, iya! Aku hampir saja lupa,"
cetus I Ktut Regeg tiba-tiba. "Orang
bertopi keranjang yang dulu mencari peti
berukir, menitip pesan buat Beli."
Ucapan I Ktut Regeg benar-benar
menyentak Andika.
"Apa katanya?"
"Katanya, dia akan kembali lagi,"
tutur I Ktut Regeg menyampaikan pesan
yang diterima dari orang yang tak lain
dari Lalinggi.
Untuk ke dua kalinya, Andika meninju
telapak tangan sendiri.
"Sekakang semuanya jadi benar-benar
jelas," desis Pendekar Slebor seraya
menyipitkan mata.
***
SEMBILAN
Di luar gubuk Idayu Wayan Laksmi dan
I Ktut Regeg. Seorang utusan Kerajaan
Buleleng datang menemui Andika. Dia
bermaksud mengabarkan hasil kegiatan
memata-matai terhadap gerakan Ki Rawe
Rontek di wilayah Tabanan.
"Jadi, bagaimana?" tanya Andika
pada lelaki muda kepercayaan Patih I
Wayan Rama berwajah tegar itu
"Menurut pengamatan hamba,
tampaknya Ki Rawe Rontek telah
mempersiapkan makar terhadap Raja
Tabanan. Setelah berhasil membunuh
seorang saudagar kaya di Kotapraja
Kerajaan Tabanan, begundal-begundal
bayarannya mulai dikumpulkan untuk
membumi hanguskan kekuatan Kerajaan
Tabanan. Sudah tentu dia memanfaatkan
harta si Saudagar, untuk membayar mereka
semua," lapor sang Utusan.
"Kau sudah pula melaporkan hal ini
pada Patih I Wayan Rama dan Cokorde?"
"Sudah, Tuan Andika."
"Apa tanggapan mereka?"
"Menurut mereka, sebaiknya kita
segera mendahului Ki Rawe Rontek. Akan
sangat berbahaya bagi Kerajaan Buleleng
bila datuk sesat itu menguasai Kerajaan
Tabanan. Itu artinya akan terjadi perang
antara kerajaan, yang bakal
menyengsarakan rakyat tak berdosa."
Pendekar Slebor melepas napas.
Matanya menerawang. Pemuda itu sedang
menimbang-nimbang pendapat Patih I Wayan
Rama dan Cokorde yang didengar dari sang
Utusan ini. Sebenarnya dia pun
berpikiran sama. Tapi, masih ada
ganjalan yang membuatnya bimbang.
Pendekar Slebor masih belum tahu,
bagaimana cara menghadapi Ki Rawe Rontek
jika sudah mengeluarkan ilmu menghilang.
Dan menurut lembaran lontar, ilmu itu
bernama 'Halimunan'. Sedangkan daun
lontar itu hanya memberi gambaran
singkat tentang ilmu hitam yang
dimaksud. Untuk rahasia kelemahannya,
sudah pasti ada di lembaran yang hilang.
Cukup lama Andika menimbang. Sampai
akhirnya, mengutuki diri sendiri karena
begitu bimbang untuk segera memerangi
kebatilannya hanya karena satu ilmu
hitam yang dulu sempat mengecohkan,
bahkan hendak merenggut nyawanya. Toh,
nyawa ada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan
masih menghendaki nyawanya tetap
bersemayam di badan, siapa yang akan
sanggup membunuhnya? Lagi pula, dia
yakin, pasti ada satu cara lain untuk
melumpuhkan ilmu 'Halimunan'.
"Kalau begitu, cepat sampaikan pada
Cokorde. Kita akan segera bergerak!"
putus Andika akhirnya.
"Kalau begitu, hamba mohon pamit!"
ucap sang Utusan.
***
Keesokan harinya, Andika sudah
berada di Istana Kerajaan Buleleng.
Cokorde, Patih I Wayan Rama, dan beberapa
orang prajurit pilihan pun sudah bersiap
dengan senjata lengkap untuk membuka.
Cokorde ditemui Andika di ruang
pribadinya. Jarang orang bisa mendapat
kesempatan untuk memasuki kamar pribadi
Cokorde tersebut. Tapi untuk Andika,
Cokorde memberikan pengecualian. Meski
begitu, tak pernah terbetik di hati
Andika perasaan bangga karena telah
diistimewakan.
"Apa kita telah siap, Paduka?" tanya
Andika pada Cokorde Ida Bagus Tanca yang
sedang duduk menekuni sesuatu di meja
kayu berukir.
"Aku harus mempersiapkan surat
untuk Penguasa Tabanan dulu. Kita harus
minta izin pada mereka, kalau hendak
memasuki daerahnya. Aku tak ingin
terjadi kesalah pahaman yang bisa
mengakibatkan pertumpahan darah
sia-sia," sahut Cokorde, setelah menoleh
sebentar.
"Apakah nantinya tidak akan membuat
kecemasan pihak Tabanan, jika tahu
tentang rencana Ki Rawe Rontek yang akan
merebut kerajaan?" tanya Andika.
"Tentu saja kita tak akan
menjelaskan pada mereka tujuan
sebenarnya. Kita hanya menjelaskan kalau
hendak menangkap seorang buronan
Buleleng. Itu saja. Jadi jangan dikira
hanya kau saja yang berotak encer," papar
Raja Buleleng itu di sela tawa yang
meletup kecil.
Andika menimpali tawa lelaki bijak
itu. Cokorde lalu merampungkan surat
yang sedang dibuatnya. Pada saat itulah
Andika melihat tabung tinta milik
Cokorde. Mendadak saja, dia teringat
pada ilmu 'Halimunan' milik Ki Rawe
Rontek. Dan kecerdikannya, mampu
menangkap manfaat tinta hitam itu dalam
menghadapi Ki Rawe Rontek nanti.
"Paduka, apakah persediaan tinta
kerajaan masih cukup banyak?" pinta
Andika, begitu Cokorde menyelesaikan
suratnya.
Siapa yang tak heran mendengar
pertanyaan aneh Andika tadi? Apa
hubungannya tinta kerajaan dengan
persiapan perang mereka? Begitu
pertanyaan tersembul di hati Cokorde.
Dan matanya pun menatap bingung pada
Andika.
"Banyak! Bahkan cukup untuk
persediaan selama sepuluh tahun," kata
Cokorde. "Kenapa?"
"Nantilah Paduka tahu. Yang
penting, tolong bawa juga beberapa
tabung tinta untuk perjalanan kita
nanti," tutur Andika, tak peduli pada
keheranan membludak Cokorde.
Walaupun masih belum mengerti
tujuan Andika, akhirnya Raja Buleleng
ini mengangguk juga.
Hari itu juga pasukan besar dipimpin
langsung. Cokorde Ida Bagus Tanca
berangkat menuju Tabanan. Untuk
mempersingkat waktu perjalanan, seluruh
pasukan dilengkapi kuda. Mereka terdiri
dari lima puluh prajurit pilihan yang
gagah, berpakaian prajurit Bali. Lengkap
dengan tombak, tameng, dan golok
panjang. Sebagian membawa panah, karena
mereka juga jago bidik kerajaan. Tampak
pula Patih I Wayan Rama yang bertindak
sebagai panglima pasukan dan dibantu
seorang patih muda. Tentu saja, tak
ketinggalan adalah Andika.
Derap seluruh kaki kuda di jalan
kering yang hampir bersamaan, membuat
debu berterbangan liar. Suara bergemuruh
terbangun, menghentak suasana.
Rombongan besar itu sudah bagai raksasa,
siap mengamuk.
***
Sudah sejak tadi rombongan pasukan
Kerajaan Buleleng berangkat ke Kerajaan
Tabanan. Dan tanpa diduga Kerajaan
Buleleng kini dihentak oleh puluhan
penyusup berkepandaian tinggi. Mereka
rata-rata adalah para bajingan musuh
rakyat, yang telah dikumpulkan Ki Rawe
Rontek selama di Tabanan.
Sungguh suatu pukulan telak bagi
pihak Kerajaan Buleleng. Manakala para
prajurit andalan sedang dikerahkan ke
Tabanan, kerajaan justru diserang. Dan
sungguh menyedihkan jika rombongan
Cokorde pulang, disambut dengan
gelimpangan mayat prajurit pengawal
istana dan para petingginya.
Hal itu mungkin saja terjadi, karena
serangan para penyusup itu dipimpin
langsung oleh Ki Rawe Rontek sendiri!
Seorang datuk sesat yang tak mungkin
ditandingi para patih istana....
"Heaaa!"
"Gempur!"
Teriakan-teriakan haus darah
orang-orang bayaran Ki Rawe Rontek
menghentak istana. Setelah memanjat
benteng istana tanpa diketahui, mereka
menyulut peperangan terbuka. Korban
pertama adalah para petugas jaga.
Kemudian mereka menyerbu bagai air bah ke
dalam istana.
Prajurit pengawal istana yang tak
menduga sama sekali serangan itu, jadi
kalang-kabut. Mereka tidak gentar,
karena sebagai prajurit sejati memang
tabu bila mesti gentar. Tapi menghadapi
serbuan mendadak dari komplotan
berkepandaian tinggi, keberanian mereka
jadi sia-sia.
"Hieaaa!"
Crak
"Wuaaa!"
Hadangan pasukan pengawal istana
terbabat habis bagai alang-alang, oleh
barisan terdepan komplotan Ki Rawe
Rontek. Jika para prajurit bertempur
sebagai kstaria yang rela berkorban
nyawa dengan membela negara, maka
komplotan Ki Rawe Rontek bertempur bagai
sekumpulan hewan buas haus darah. Mereka
menggila, karena janji Ki Rawe Rontek
yang akan memberi harta dan kekuasaan
jika Kerajaan Buleleng dapat dikuasai.
Ternyata perkiraan Andika, Cokorde,
maupun Patih I Wayan Rama jauh dari
kebenaran. Ki Rawe Rontek mempersiapkan
antek-antek di Tabanan, bukanlah hendak
menguasainyai. Justru dia hendak
melumpuhkan kekuatan Kerajaan Buleleng!
Tapi dari mana Ki Rawe Rontek tahu
kalau Kerajaan Buleleng tengah dalam
keadaan kosong? Tentu saja, itu karena
ulah seseorang yang pernah menuntun Ki
Rawe Rontek dengan surat, hingga bisa
menemukan persembunyian Ki Lantanggeni.
Orang itu mengirimi kabar lagi, kalau
tidak ada salinan lontar seperti
dikatakan Andika. Juga dijelaskan
tentang rencana keberangkatan pasukan
Kerajaan Buleleng ke Kerajaan Tabanan di
bawah pimpinan Cokorde. Maka, makin
mantaplah niat Ki Rawe Rontek untuk
kembali ke Kerajaan Buleleng, mewujudkan
impiannya menguasai kerajaan tersebut!
"Tumpas semua prajurit yang hendak
menentang!" seru Ki Rawe Rontek.
Suara tokoh menggiriskan itu kini
sudah jelas terdengar. Tak lagi seperti
dulu, saat masih ada sisa luka melingkar
di lehernya.
"Hancurkaaan! Kita akan menjadi
kaya dan berkuasa!"
"Hiaaa!"
Bret! Bles! Des!
"Wuaaa!"
Nyawa demi nyawa terlempar dari
raga. Sepuluh nyawa prajurit istana
mungkin hanya terbayar oleh satu nyawa
anakbuah Ki Rawe Rontek. Mereka memang,
terlalu tangguh. Darah dan cabikan
daging para prajurit pun menodai wajah
bumi.
Pasukan kerajaan bisa musnah bila
terus digasak beringas seperti itu.
Menyadari hal ini, salah seorang
prajurit mencoba menerobos keluar istana
dengan kudanya. Begitu berhasil kuda itu
digebah kencang untuk menyusul pasukan
Cokorde Namun tak luput, tubuhnya sempat
tersabet golok salah seorang penyerbu.
Kuda prajurit itu terus berlari
kesetanan. Menembus belukar, memotong
padang ilalang, mencoba membuat jalan
pintas. Debu tebal tertinggal di bela-
kang kuda jantan gagah ini. Sementara
luka menganga si Prajurit terus
mengeluarkan darah, menetes di sepanjang
perjalanan.
Setelah cukup lama berkuda, di jalan
dalam apitan sepasang bukit, si Prajurit
akhirnya bisa menyusul rombongan pasukan
Kerajaan Buleleng.
"Paduka, tunggu!" seru prajurit itu
terengah.
Seluruh rombongan menoleh. Mereka
menatap kaget pada prajurit yang baru
tiba dalam keadaan menyedihkan. Wajahnya
memucat, banyak kehilangan darah.
Bibirnya bergetar seperti juga cuping
hidung yang melepas napas terengah
satu-satu.
Di dekat Andika, prajurit itu
terjatuh dari punggung kuda. Andika
segera menangkapnya dengan sigap,
setelah mencelat turun dari kudanya
sendiri.
"Uph!"
Dengan hati-hati, Pendekar Slebor
meletakkannya di tanah.
"Apa yang terjadi, Prajurit?" tanya
Andika.
"Jangan ke Tabanan.... Ki Rawe
Rontek tak ada lagi di sana.... Dia dan
pasukannya kini menyerang istana, dengan
kekuatan penuh. Dan kami ti...."
Kalimat si Prajurit terputus,
bersamaan dengan nyawanya yang melayang.
"Kutu congek! Rupanya kita telah
dikecoh datuk sesat itu!" umpat Andika
gusar. Paduka! Lebih baik kita segera
kembali!"
Bergegas Pendekar Slebor melangkah
ke punggung kudanya. Dari kantung
pelana, dikeluarkan empat tabung tinta.
"Aku akan kembali lebih dahulu,"
pamit Pendekar Slebor pada Cokorde.
Lalu tanpa menambah kata lagi,
Andika melesat cepat dengan ilmu lari
cepatnya yang sulit tertan-dingi.
Sebentar saja, tubuhnya sudah menghilang
di balik bukit, arah kedatangan si
Prajurit tadi. Andika pun tampak akan
melalui jalan pintas.
***
SEPULUH
Sejak turun dari Lembah Kutukan,
baru dua kali inilah Andika
menyelesaikan perkara besar yang
menyangkut perebutan kekuasaan satu
kerajaan. Dulu, pertama kali turun ke
dunia persilatan, pendekar sakti ini
harus berhadapan dengan musuh bebuyutan
keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang
berjuluk Ki Begal Ireng. Tokoh hitam itu
dulu hendak mengangkangi Kerajaan
Sanggabu. la yang ternyata masih ada
hubungan darah dengan Andika sendiri.
Kini Pendekar Slebor harus berhadapan
dengan Ki Rawe Rontek. Baik Begal Ireng
maupun Ki Rawe Rontek sama-sama tangguh
dari aliran sesat!
Apakah kali ini Andika juga akan
berhasil? Pertanyaan seperti itu memang
tak pernah jadi persoalan buat Andika.
Sebab baginya, perjuangan bukanlah
menang dan kalah. Melainkan persoalan
kesungguhan menjalani perjuangan itu
sendiri Siapa pun manusia di dunia ini,
tak akan bisa menentukan sejarah seenak
perut. Tuhan akan terus dan tetap
menentukan!
Istana Buleleng masih dirancah oleh
suara riuh rendah peperangan dua pihak.
Para prajurit dan para petinggi kerajaan
bertarung melawan Ki Rawe Rontek yang
dibantu seluruh antek-anteknya.
Saat ini keadaan pihak istana kian
tersudut. Bahkan dipastikan dapat
dikalahkan secara mengenaskan.
Perlawanan mereka tidak begitu berarti
dalam membendung kebuasan gerombolan
lawan. Senjata mereka tak banyak berguna
menghadapi senjata haus darah lawan.
Trang! Trang!
Bret!
"Aaa!"
"Habisiii!"
Di satu sudut pertarungan, Ki Rawe
Rontek berlaga bagai kerasukan.
Terjangannya buas, lebih buas daripada
seribusinga lapar. Empat orang patih
kerajaan terdesak seperti kawanan domba
menghadapi harimau. Keempat lintang
putang kian kemari, menyelamatkan nyawa
tanpa berkesempatan balas menyerang.
Sampai suatu ketika....
"Hiaaa!"
Degh!
"Aaakh!"
Amat telak 'Pukulan Peremuk Dalam'
yang baru saja dikerahkan Ki Rawe Rontek
untuk menghajar dada seorang patih
termuda. Hanya sempat mengerang pendek,
patih muda itu pergi ke akherat. Begitu
mengenaskan.
Ketiga patih lain hanya bisa
memandang terpana pada rekan termuda
mereka. Jangan lagi untuk mencoba
menolong. Untuk menggerakkan otot-otot
di bahunya saja, mereka begitu sulit.
Pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam'
tampaknya telah memangsa tubuh
ketiganya, menerobos jaringan otot dan
menelusup ke tulang sumsum. Sehingga,
mereka menjadi lemas bergetar.
"Huah ha ha...!" Ki Rawe Rontek
tergelak angkuh. "Kalian akan menjadi
tumbal ilmuku satu persatu! Tapi kalian
kuberi pilihan. Mati, atau menjadi
pengikutku!"
"Jangan dikira kami bisa diancam
seperti itu. Kami bukan pengecut yang
takut menghadapi kematian demi
kebenaran!" sahut seorang patih tua
lantang. Meski tubuhnya terlihat gontai,
namun tetap menantang gagah.
"Huak... haa... haa... hak! Kalau
itu keinginan kalian, maka akan kuhabisi
seluruh patih istana ini! Bagiku,
bukanlah hal yang sulit mencari
pengganti kalian, orang-orang bodoh sok
suci!" cemooh Ki Rawe Rontek
menyakitkan.
"Jaga mulutmu, Manusia Laknat! Kami
tahu kebenaran. Dan kami rela mati
karenanya. Jadi bukan berarti bodoh sok
suci!" sergah patih yang lain.
"Apa artinya kebenaran kalau kalian
tak bisa bersenang-senang menikmati
hidup? Apa kalian pikir kebenaran itu
menenangkan?"
"Kenapa kau jadi ngotot hendak
meyakinkan kami untuk ikut denganmu?
Apakah kau sudah kehilangan semangat
tempur, seperti ayam jantan pecundang?"
sindir seorang patih lain.
Rupanya, dia tidak ingin mendengar
ocehan Ki Rawe Rontek lebih banyak.
Baginya, mati lebih baik daripada
mendengarkan ucapan wakil iblis seperti
"Kepparrat! Kalian para patih,
memang minta segera kubunuh!"
Selesai memaki, Ki Rawe Rontek
membuka jurus kembali. Tapi sebelum
merangsek ketiga lawan, seseorang
menahannya dari satu arah.
"Tuan, jangan bunuh hamba...,"
ratap seorang yang baru saja tiba di
dekat Ki Rawe Rontek.
Rupanya, orang itu adalah si
Penasihat Tua, penjilat yang tak begitu
disukai para patih yang bisa mencium
keculasannya.
Ki Rawe Rontek menoleh. Gerakannya
seperti terpaku, tak melanjutkan
jurusnya.
"Siapa kau?!" bentak tokoh
menggiriskan ini garang. "Kenapa kau
baru muncul?"
Si Penasihat Tua tersenyum
dibuat-buat. Antara dorongan rasa takut,
dan keinginan untuk selamat.
"Hamba salah seorang petinggi
istana ini, Tuan. Sejak tadi, hamba
memang tidak ingin menentang, karena
hanya Tuanlah yang pantas menjadi raja
hamba," ucap si Penasihat Tua penuh
kepalsuan. Padahal sejak penyerbuan
dimulai, dia hanya bersembunyi ketakutan
di dalam kamar mandi istana!
Ki Rawe Rontek tertawa serak.
Mulutnya terbuka lebar-lebar,
memperlihatkan barisan giginya yang
lancip tak teratur. Si Penasihat Tua
mengira, laki-laki itu senang mendengar
sanjungan tadi.
"Bagaimana, Tuan?" tanya si
Penasihat Tua.
"Bagaimana apa?"
"Biarkan aku hidup, dan aku akan
menjadi pengikut setiamu”.
Ki Rawe Rontek menyeringai. Dan
tiba-tiba....
Prok!
Mendadak saja sebelah tangan Ki Rawe
Rontek terayun cepat ke kepala si
Penasihat Tua. Maka dalam sekejap batok
kepala lelaki penjilat itu tak berbentuk
lagi, disertai muncratan darah segar.
Dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.
"Setia katamu? Hah! Manusia busuk
macam kau, hanya jadi sampah buatku.
Dengan rajamu dulu saja kau tak setia.
Apalagi nanti bila mengabdi padaku. Kau
tentu akan berkhianat!" sumpah serapah
Ki Rawe Rontek.
Ketiga patih yang sejak tadi
memperhatikan peristiwa itu hanya sempat
berdoa dalam hati. Mereka kasihan pada
lelaki tua itu. Mati dalam keadaan
terhina. Mudah-mudahan diampuni Tuhan.
"Kali ini giliran kalian!" sentak Ki
Rawe Rontek. Lalu....
"Hiaaa!"
"Sepi ingpamrih, rame ing gawel"
teriak ketiga patih serempak
Meski tak yakin akan bisa
menyelamatkan diri dari serangan akibat
pengaruh angin 'Pukulan Peremuk Dalam'
yang bersarang, ketiga patih itu tetap
meneguhkan hati untuk mengadakan
perlawanan terhadap Ki Rawe Rontek.
Satu sapuan kaki Ki Rawe Rontek
berhasil di-hindari. Untuk
terjangansusulanberikutnya, mereka mati
langkah. Sepasang tangan laki-laki
menggiriskan ini berputar kencang, siap
meremukkan batok kepala mereka dalam
satu gebrakan. Tapi....
Prat!
Pada saat genting itu, mendadak
terdengar suara tamparan sehelai kain
pusaka. Seperti dorongan kekuatan tangan
raksasa, benda gemulai itu menghadang
putaran tangan Ki Rawe Rontek.
"Mereka bukan lawanmu, datuk
terkutuk bau ketiak!" seru seorang
pemuda di sisi Ki Rawe Rontek. Mendengar
caranya mengumpat, ketiga patih kerajaan
langsung bisa menduga kalau itu adalah
Andika.
Memang benar! Si Pendekar Slebor
kini berdiri bertolak pinggang dua
tombak di dekat Ki Rawe Rontek. Entah
rejeki nomplok apa yang membuat dia
bermurah hati sehingga tersenyum pada
lawan.
"Kau rupanya, Anak Muda Keparat! Aku
senang, karena tak perlu susah-susah
mencarimu. Rupanya, kau datang sendiri
untuk mengantar nyawa!" geram Ki Rawe
Rontek.
Sambil mengebut-ngebutkan kain
pusaka ke bagian leher, Andika menatap
orang tua menggiriskan itu.
"Terus terang, aku sedang gerah
setelah berlari cukup jauh. Dan
mendengar omonganmu, aku jadi semakin
gerah. Ngomong-ngomong, apa kau telah
menelan api neraka, ya?" oceh Pendekar
Slebor ngelantur tak karuan.
"Jangan banyak mulut!"
Andika cepat-cepat meraba mulutnya.
Tingkahnya dibuat-buat, untuk memancing
amukan lawan.
"Kalau tidak salah, dari dulu juga
ibuku memberi mulut hanya satu...," kata
Andika pura-pura linglung.
"Kheaaah!"
Ki Rawe Rontek tak punya cukup
kesabaran lagi. Niatnya untuk menyerang
ketiga patih dialihkan ke Pendekar
Slebor. Dia geram, segeram-geramnya.
Ingin rasanya mulut pemuda itu
dihancurkan secepatnya.
Dua cakar Ki Rawe Rontek, seketika
menerkam ganas ke wajah Pendekar Slebor.
Pengerahan tenaga dalam ke otot tangan,
membuat dadanya menggelembung besar di
balik pakaian.
"Haiiih!"
Tapi, mana sudi Pendekar Slebor
mengizinkan lawan merobek wajahnya yang
sudah tampan? Didahului teriakan
melengking, kepalanya ditarik ke arah
samping. Dan sambil membuat kelitan,
Pendekar Slebor mencoba menyodok ulu
hati Ki Rawe Rontek yang lowong.
"Benjoi udelmu!"
Blep!
Memang, tusukan jari-jari kanan
Pendekar Slebor berhasil mendaratkan
serangan bertenaga sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat ketujuh.
Suatu tingkat kekuatan yang bisa
membobol benteng beton setebal dua depa!
Tapi, siapa sangka kalau perut laki-laki
yang menggiriskan itu ternyata begitu
alot, kenyal bagai gulungan karet!
Pendekar Slebor mendelik sekejap.
Ilmu hitam macam apa lagi ini? Pada saat
yang sama, Artapati alias Ki Rawe Rontek
menurunkan tangan dengan gesit ke
tengkuk Pendekar Slebor. Rupanya, siku
Ki Rawe Rontek akan meremukkan tulang
leher Andika!
Merasa ada angin deras dari atas,
secepat kilat Pendekar Slebor
menjatuhkan diri ke bawah. Maka siku
Artapati pun tak bisa menyusulnya.
Namun, di bawah Pendekar Slebor sudah
disambut jejakan kaki kanan tokoh yang
sebenarnya sudah mati ini.
Masih dalam keadaan tengkurap
dengan kedua tangan dan kaki sebagai
penopang, Pendekar Slebor menggenjot
tubuh ke kiri dan kanan.
Jleg! Jleg! Jleg!
Hasilnya, tiga jejakan kaki itu
luput dan terbenam di samping tubuh
jejakan sakti itu. Tanah yang menjadi
sasaran menjadi berlubang, berbentuk
telapak kaki.
Kalau terus bertarung seperti itu,
Andika berpikir kelihatan seperti ulat
nangka yang baru menelan sebatang lidL
Dia memang tak ingin terlihat jelek
sewaktu bertempur, Maka tubuhnya segera
melejit ke atas, lalu menjejakkan kaki di
belakang Ki Rawe Rontek.
Tapi Ki Rawe Rontek tak mau
membiarkan Andika dengan mudah berdiri
di belakangnya. Dua sikunya cepat
menyodok kuat ke belakang. Arahnya,
tepat kedua sisi dada Pendekar Slebor.
Deb!
"Yeah!"
Untung dengan sigap Pendekar Slebor
mengangsurkan sepasang telapak tangan.
Pak!
Maka benturan terjadi. Namun tenaga
benturan itu dimanfaatkan Andika untuk
melempar tubuh lebih jauh ke belakang.
Beberapa putaran tubuhnya bersalto
manis, sampai akhirnya berdiri mantap
tujuh depa dari lawan.
"Kenapa kau mengambil jarak, Pemuda
Keparat?! Apa sudah gentar dengan
seranganku?!" ledek Ki Rawe Rontek
dengan raut wajah amat meremehkan.
"Gentar? Maaf saja.... Tapi kalau
geli dan gatal-gatal sewaktu di dekatmu,
itu jelas! Karena itulah aku mengambil
jarak!" balas Andika lebih hebat.
Sebentar kemudian, pendekar Tanah
Jawa Dwipa itu mulai memantapkan
kuda-kuda tarung. Seluruh tubuhnya
bergerak tak beraturan. Tak jelas bagi Ki
Rawe Rontek apakah lawan sedang
memainkan satu jurus silat atau bukan.
Namun dari tonjolan mengeras
otot-ototnya, harus segera disadari
kalau Pendekar Slebor sedang
mempersiapkan suatu yang dahsyat.
Terlebih lagi, manakala garis-garis
cahaya putih keperakan mulai melingkupi
tubuhnya.
Saat itu juga, Ki Rawe Rontek ingat
pada benteng tenaga tangguh yang sanggup
melindungi tubuh pemuda ini dari sapuan
angin 'Pukulan Peremuk Da-lam'nya
sewaktu bertempur dengannya pertama kali
itu.
Deb!
Wuk! Wuk!
Deb!
"Hosss...!"
Menilai lawan akan menggempurnya
habis-habisan, Ki Rawe Rontek pun tidak
mau tanggung-tanggung lagi. Segera
disiapkannya tiga ilmu hitam sekaligus
'Rawe Rontek', 'Pukulan Peremuk Dalam',
dan 'Halimunan'. Di antara ilmu-ilmu
hitam miliknya itu, tiga ilmu itulah
sebagai pamungkasnya. Akan
dikeluarkannya ilmu-ilmu hitam itu
secara bergantian.
Sementara, Pendekar Slebor makin
cepat bergerak liar. Sehingga, beberapa
bagian tubuhnya jadi tampak mengganda.
Sedangkan kini Ki Rawe Rontek menyatukan
telapak tangan di depan dada. Matanya
terpejam rapat, sedangkan bibirnya
berkomat-kamit membacakan mantera.
Pada saat yang sama, mendadak
sentakan keduanya berteriak membahana.
Gabungan suara mereka seperti hendak
melantak langit, menggugurkan bumi!
"Khiaaa!"
"Haaah!"
Pendekar Slebor cepat merangsek ke
depan. Langkah-langkahnya pendek, bagai
meniti petak-petak lantai, namun amat
cepat! Itulah langkah-langkah 'Titian
Batu Petir'. Suatu gerak kakiyang
tercipta begitu saja, karena terbiasa
meniti susunan batu di Lembah Kutukan
dahulu.
***
Sementara itu rombongan prajurit
pilihan di bawah pimpinan langsung
Cokorde Ida Bagus Tanca datang
menghambur. Teriakan perang seketika
tercipta. Gagah dan lantang. Para
prajurit pengawal istana yang nyaris
putus asa, mendadak terbakar lagi
semangatnya. Ketangguhan prajurit
prajurit itu tidak diragukan lagi
kemampuannya. Boleh dikata, pertarungan
kali ini akan berimbang.
"Heaaa!"
Trang! Trang!
Des!
Bret!
Cep!
"Gempurrr! Jangan mundur oleh
kebatilan!" teriak Patih I Wayan Rama
memberi aba-aba di medan laga. Dia
berusaha memompa semangat sebagian
prajurit yang nyaris padam.
Cokorde Ida Bagus Tanca pun tak
kalah lantang meneriakkan aba-aba
perang. Keris di tangannya teracung
tinggi-tinggi. Bersama dua patihnya yang
ikut dalam rombongan, dia mengamuk
sejadi-jadinya.
Begitulah mestinya sosok seorang
pemimpin. Langsung terjun dalam kancah
berdarah. Tak hanya bisa berteriak
lantang saja, sementara para bawahan
harus menyabung nyawa demi
pemerintahnya.
Trang! Trang!
Crep!
Pertarungan besar terus
berlangsung, menggelora bagai api besar
membakar.
Sementara itu, Pendekar Slebor dan
Ki Rawe Rontek mulai memasuki tahap
pertarungan menentukan. Mereka telah
habis-habisan mengeluarkan kesaktian
andalan masing-masing.
Pada satu kesempatan, Pendekar
Slebor mendapat peluang bagus untuk
meneroboskan satu tinju geledek
berkekuatan tenaga sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tingkat
terakhir. Tangannya menyodok hebat bahu
kiri Ki Rawe Rontek dalam kece-patan
dahsyat, hingga tak bisa lagi diikuti
pandangan.
Wesss!
Begkh!
"Agh!"
Ki Rawe Rontek menjerit pendek.
Sekejap saja, tubuhnya sudah terlempar
jauh ke belakang. Bahu kirinya seketika
amblas beberapa rambut ke dalam.
Kekenyalan tubuhnya tak bisa lagi
diandalkan untuk menahan pukulan
pamungkas Pendekar Slebor.
Setelah menimpa tubuh seorang
anteknya yang langsung mampus saat itu
juga, barulah luncuran Ki Rawe Rontek
terhenti, dan terjatuh mencium bumi.
Untuk beberapa saat, datuk sesat itu
mengerang-erang dan bergeliat. Tapi,
selanjutnya dia bangkit tersentak,
seperti memiliki pegas lentur tak
terlihat.
Patut Diakui secara jujur, untuk
menghadapi kecepatan gebrakan Pendekar
Slebor, seluruh ilmu hitamnya tak
berarti apa-apa. Namun dengan ilmu hitam
yang bernama 'Rawe Rontek' dia bisa
bertahan beratus-ratus jurus lagi. Dan
itu tentu saja bisa menguras tenaga
lawan. Bagaimana tidak? Setiap kali
Pendekar Slebor mampu menyarangkan
hantaman maut yang meremukkan, tiba-tiba
laki-laki menggiriskan itu bangkit
kembali dalam keadaan utuh tanpa cacat
sedikit pun.
Namun karena Ki Rawe Rontek tak
ingin mengulur-ulur waktu,
diputuskannya untuk segera memanfaatkan
ilmu 'Halimunan'. Hanya ilmu itu yang
bisa dijadikan senjata ampuh menghadapi
kecepatan gerak Pendekar Slebor.
"Khiaaah!"
Psss...!
Layaknya kabut tertepis angin,
tubuh kekar Ki Rawe Rontek mendadak sirna
perlahan.
Apakah Pendekar Slebor akan menjadi
bulan-bulanan lawan lagi seperti
pertarungan pertama? Sebuah jawaban yang
amat sulit dijawab. Apalagi Andika belum
lagi tahu kelemahan ilmu gaib laki-laki
itu. Kalaupun memiliki rencana, itu pun
sekadar untung-untungan. Ya!
Pertarungan selanjutnya adalah
perjudian bagi Pendekar Slebor. Nyawalah
taruhannya!
***
Andika di satu sisi, memperkuat
benteng kekuatan di sekeliling tubuhnya.
Pengerahan kesaktian puncak,
memperjelaskan sinar putih keperakan
yang membungkus tubuhnya. Sinar itu
menebal dan membersit kuat.
Tak ada yang bisa dilakukan jejaka
tangguh itu, kecuali menunggu datangnya
serangan. Dan pada saatnya....
Wesss!
Telinga Pendekar Slebor yang tajam
menangkap desir angin dari sebelah kiri.
Dan tanpa bisa memastikan bentuk
serangan, tangan dan kaki kanannya cepat
disapukan serentak ke samping.
Dak!
Pertahanan untung-untungan itu
ternyata membawa hasil, ketika serangan
gelap Ki Rawe Rontek sanggup dibendung.
Pada hantaman selanjutnya, Pendekar
Slebor tak bisa lagi berharap banyak.
Tanpa sepengetahuannya, laki-laki itu
mengirim hantaman jarak jauh lewat
'Pukulan Peremuk Dalam'.
Des!
"Bhaaa!"
Teriakan menggiriskan meluncur
keluar dari kerongkongan pendekar muda
itu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat,
menyusul hempasan cahaya putih ke-
perakan, akibat pertemuan dengan pukulan
jarak jauh Ki Rawe Rontek. Pukulan hitam
itu mencoba melantakkan serat-serat
tubuhnya dari dalam. Dan dirinya pun
terasa sedang digerogoti jutaan
ulat-ulat rakus di balik kulitnya.
Ototnya mengejang keras, namun terasa
lemas. Alat-alat penting di tubuhnya
bagai berhenti bekerja saat itu juga.
Saat darah kental kehitaman mulai
merembes perlahan dari lubang hidung dan
mulut, satu hantaman tenaga luar
mendadak membumi hanguskan kuda-kuda
Pendekar Slebor.
Bak! Bak!
Di sekeliling dada Pendekar Slebor
mendarat telak tinju melebar, memaksa
tubuhnya terpental sembilan tombak ke
belakang. Setelahmenembus lapisan
udara, tubuhnya tersuruk jatuh, nyaris
kehilangan tenaga. Dan selubung sinar
putih keperakan pun meredup.
"Huhhh...," keluh Andika lirih
seraya meraba bagian dada.
Kini Pendekar Slebor benar-benar
terhempas dalam perjudian maut. Sudah
saatnya dia mencoba menjalani rencana
untung-untungan yang sempat terpikirkan
sebelumnya. Masih dengan napas sesak,
tangan Andika merogoh sesuatu di balik
bajunya. Dan, terlihatlah empat tabung
tinta hitam....
"Haiiih!"
Diawali lengkingan nyaring untuk
menekan deraan rasa sakit, Pendekar
Slebor secara bersamaan menghancurkan
tutup keempat tabung tinta dengan
jentikan jari-jarinya. Dan dalam waktu
yang demikian cepat, tubuhnya melakukan
satu gerakan susulan, menerjang kembali
ke kancah pertarungan. Begitu tiba
tubuhnya diputat bagai gasing dengan
satu kaki sebagai tumpuan.
Werrr! Werrr!
Crat! Crat
Tak ayal lagi, cairan tinta dalam
empat tabung di tangan Andika memercikan
tinta hitam pekat kesegenap penjuru.
Sehingga, tak ada sejengkal ruang pun
yang luput! Sebagian besar percikan
tinta hanya sempat jatuh menodai tanah.
Namun bagi mata yang amat jeli, akan
terlihat beberapa noda hitam yang tampak
melayang-layang di udara. Itulah tinta
yang sempat memercikan tubuh gaib Ki Rawe
Rontek!
Kecerdasan Andika memang patut
dipuji. Dia yakin tubuh lawan tak
menghilang begitu saja seperti roh
halus, tapi hanya menipu pandangan mata
manusia. Sehingga tubuh itu seperti
menghilang, sedangkan jasadnya
sebenarnya tetap ada. Jasadnya itulah
yang menjadi tempat mendarat percikan
tinta....
Bagi Andika, titik-titik tinta yang
mengapung di udara itu adalah satu
kesempatan emas yang tak boleh
disia-siakan. Pendekar Slebor sendiri
yakin, lawan belum menyadari siasatnya.
Dan tentu saja lawan tak akan dibiarkan
menyadarinya!
Diiringi satu teriakan melantak
gendang telinga, Pendekar Slebor
menggempur Ki Rawe Rontek dengan seluruh
kekuatan sakti.
"Hiiiaaa!"
Wusss!
Deb!
Plak!
Sapuan kilat kaki Pendekar Slebor
yang begitu cepat dapat dihindari Ki Rawe
Rontek. Sementara tokoh hitam itu diusik
rasa heran, karena bisa mengetahui
tempatnya berdiri. Kini Ki Rawe Rontek
melontarkan tubuhnya tinggi-tinggi ke
angkasa, seperti tak mau mengambil
bahaya dengan sapuan gila kaki Pendekar
Slebor.
Namun tanpa diduga, justru hal itu
yang dikehendaki Pendekar Slebor.
Sekedip mata di bawah lawan, Andika pun
menyusul ke atas. Tubuhnya meluncur
lebih cepat, hingga mampu menyamai
kedudukan Ki Rawe Rontek.
Masih di ketinggian sekian depa dari
bumi, tangan Pendekar Slebor bergerak
cekatan, melepas kain pusaka dari
bahunya.
Srat!
Ctas!
Crat!
Satu sabetan dahsyat untung-
untungan dibuat Andika.
Tanpa dinyana, leher Ki Rawe Rontek
tertebas kain pusaka yang mengeras bagai
kepinganbaja. Terputusnya pita suara,
membuat Ki Rawe Rontek menemui ajal di
udara tanpa sempat mengeluarkan teriakan
kematian. Sedangkan tubuhnya kini sudah
terlihat kembali tidak berupa bayang-
bayang semu seperti tadi.
Sewaktu potongan kepala dan tubuh Ki
Rawe Rontek berbalik arah ke bawah,
Pendekar Slebor secepat mungkin
menangkapnya.
"Huph!"
Tep! Tep!
Jleg!
Di wajah bumi yang dibasahi warna
merah dimana-mana, Andika berdiri gagah.
Tangannya sudah terbentang kejang ke
atas, menahan kepala dan tubuh Ki Rawe
Rontek agar tidak menyentuh bumi.
***
Menyusul kematian Ki Rawe Rontek,
sisa anak buahnya berhamburan keluar
istana. Mereka melarikan diri, seperti
sekumpulan anjing geladak. Tanpa
menggubris seorang pun dari mereka,
Pendekar Slebor berjalan mantap ke
pedati kerajaan yang mulanya
dimanfaatkan untuk mengangkut
perlengkapan perang ke Kerajaan Tabanan.
Di atas pedati itulah tubuh kaku Ki Rawe
Rontek dilemparkan.
Untuk kedua kalinya, tamatlah
riwayat datuk sesat itu!
"Lalinggi! Kali ini kau tak akan
punya kesempatan untuk menghidupkan
manusia iblis ini lagi. Karena, aku akan
membakarnya seperti orang Bali menga
dakan upacara Ngaben Kau jangan berharap
lelaki ini kukubur secara terpisah,
seperti pernah dilakukan Ki Lantanggeni.
Dia mungkin masih menghormati Ki Rawe
Rontek, sebagai kakak seperguruannya.
Tapi, tidak bagiku!" teriak Andika.
Selesai terdengar teriakan Andika
yang lantang memenuhi rongga angkasa,
orang yang dipanggil Lalinggi pun muncul
dari gerbang istana. Sesaat dia berdiri
kaku di mulut gerbang.
Mata elang Pendekar Slebor
mengawasi laki-laki itu dengan sependam
bara kemerahan. Sedangkan seluruh
penghuni istana menatap Lalinggi dengan
sinar mata penuh selidik.
"Sekali lagi kau menang, Pendekar
Slebor! Kuakui, kau memang memiliki
kepandaian mengagumkan, dan keenceran
otak luar biasa! Tapi, ingatlah Pendekar
Slebor! Aku setiap saat akan datang untuk
menuntut semua tindakanmu!" ancam
Lalinggi sarat kemurkaan.
Puas melontarkan ancaman, lelaki
bertopi keranjang itu berkelebat pergi,
meninggalkan pelataran istana. Di
sebelah tangannya tergenggam selembar
halaman daun lontar yang tidak pernah
diterima Andika.
Belum lagi Andika menghempas napas
lega, terdengar kembali jeritan dari
arah gerbang istana. "Wuaaa!"
Andika terperangah. Di kejauhan
sana, tampak I Ktut Regeg sedang
mengaduh-aduh dijeweri Idayu Wayan
Laksmi
"Beli Andikaaa! Tuoluooong aku!
Mbok marah-marah, sebab aku mau kasih
tahu Beli, kalau dia akan kawin dengan
Beli Yaksaaa! Uwa! Ampooon,Mbok!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar