..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 05 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE BIDADARI PENYEBAR CINTA

Bidadari Penyebar Cinta

 

BIDADARI 

PENYEBAR CINTA

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Bidadari Penyebar Cinta

128 hal.


SATU


ANGIN kencang berhembus naik ke kawa-

san sebuah perbukitan, nun jauh di atas sana

awan hitam menggelantung membuat suasana 

menjadi gelap. Sesaat kemudian hujan deras men-

dera disertai menyambarnya kilat dan disusul ter-

dengarnya salakan guntur.

Dari arah barat lereng salah satu bukit, 

menyeruak di antara curah hujan dan salakan pe-

tir sesosok bayangan berkelebat menuruni lereng 

di mana terdapat sebuah air terjun. Tak berselang 

lama, bayangan ini telah tegak pada sebuah batu 

tak jauh dari air terjun. Ada keanehan pada sosok 

orang ini. Meski curahan hujan dan imbasan air 

terjun menerpa tubuhnya, namun pakaian hitam-

hitam serta kulit tubuhnya seakan memiliki daya 

sedot luar biasa, hingga tubuh dan pakaian orang 

ini tidak basah! Malah samar-samar dari tubuhnya 

keluar asap tipis!

Kilat menghampar. Sejenak kawasan per-

bukitan itu terang benderang. Penerangan yang 

hanya sebentar itu sudah cukup menjelaskan sia-

pa adanya sosok yang tegak di atas batu. Dia ada-

lah seorang kakek dengan tubuh sedikit bungkuk. 

Sepasang matanya besar melotot. Hidung besar 

dengan mulut lebar. Kumis, jenggot, dan jambang-

nya panjang awut-awutan. Rambutnya yang putih 

dan panjang hanya tumbuh di separo kepalanya 

bagian samping kanan. Samping sebelah kiri keli-

mis tak ditumbuhi rambut

Beberapa lama sepasang mata orang tua ini 

mendelik memperhatikan ke arah hujaman air ter-

jun yang keluarkan suara bergemuruh. Kedua 

tangannya diangkat lalu dirangkapkan sejajar da-

da. Kepalanya bergerak tengadah, sesaat kemu-

dian dari mulutnya yang lebar terdengar ucapan.

"Raksa Pati.... Waktumu sudah berakhir. 

Keluarlah!"

Meski suara itu pelan, namun mampu me-

nepis gemuruh air terjun dan salakan guntur. Be-

lum lenyap gema suara si kakek, hujaman air ter-

jun menyibak. Lalu 'wuttt'. Dari bagian bawah air 

terjun melesat ke atas sesosok tubuh. Di kejap lain 

sosok ini telah tegak di depan si kakek. Air mengu-

cur deras dari rambut, pakaian, dan tubuhnya. 

Sosok yang baru muncul kelihatan jelas tatkala 

suasana benderang karena sambaran kilat. Dia 

adalah seorang pemuda bertubuh tinggi tegap. 

Mengenakan jubah warna merah besar dan pan-

jang hingga lutut, melapis pakaian dalam yang ju-

ga berwarna merah. Rambutnya panjang lebat. Se-

pasang matanya tajam dengan dagu kokoh.

"Guru!" kata si pemuda dengan mata mena-

tap tajam dan tetap berdiri.

SI kakek berpakaian hitam-hitam luruskan 

kepalanya. Mengawasi sejenak pada si pemuda. 

Bibirnya menyeringai.

"Raksa Pati! Hari ini genap dua puluh empat 

tahun kau menimba ilmu. Saat menimba telah 

usai. Tiba sekarang saatnya untuk mengucurkan!"

"Maksud, Guru...?!"

"Segala ilmuku telah kuturunkan padamu.

Kini kau adalah seorang pemuda berilmu tinggi. 

Tapi itu semua tidaklah cukup tanpa pengakuan 

kalangan rimba persilatan. Waktu telah tiba untuk 

menunjukkan pada dunia persilatan bahwa kau 

adalah manusia tanpa tanding yang berhak me-

nyandang gelar Sang Penguasa Tunggal rimba per-

silatan!"

Pemuda yang dipanggil Raksa Pati diam tak 

mengeluarkan sepatah kata. Namun bayangan air 

mukanya jelas menunjukkan rasa gembira.

"Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui 

sebelum kakimu menginjak arena rimba persila-

tan," lanjut si kakek. "Pertama. Rimba persilatan 

bukan saja menjadi ajang bergelimangnya tokoh-

tokoh berilmu tinggi. Namun juga arena pembala-

san dendam, tumpahnya fitnah, dan segala macam 

kebusukan! Di sini kau harus dapat pergunakan 

kelicikan. Jika tidak, cita-citamu sebagai Penguasa 

Tunggal hanyalah setetes embun! Kedua. Rimba 

persilatan adalah tempat persekutuan dari bebe-

rapa golongan yang masing-masing punya tujuan. 

Di sini kau harus tidak percaya pada salah satu 

golongan! Anggap semua golongan adalah musuh! 

Jika tidak, kau hanya akan menjadi kacung dan 

tak berguna! Ketiga. Ini yang harus kau camkan 

baik-baik. Saat ini rimba persilatan dibuat geger 

dengan munculnya kembali berita tentang Lemba-

ran Kulit Naga Pertala...."

"Guru!" potong Raksa Pati. "Kau telah tiga 

kali menyebut-nyebut lembaran kulit itu. Apakah 

demikian hebatnya lembaran kulit itu?!"

"Tidak hanya hebat. Tapi juga salah satu

syarat untuk layak tidaknya seseorang menyata-

kan diri sebagai Penguasa Tunggal. Dapat memiliki 

lembaran kulit itu berarti rimba persilatan di geng-

gaman tangan!"

"Guru! Katakan di mana lembaran kulit itu 

dan apa yang harus kulakukan!" sahut Raksa Pati

dengan suara agak keras seolah tidak berhadapan 

dengan gurunya.

Entah sudah tahu sifat muridnya, sang 

guru sendiri tidak menegur malah sepertinya 

bangga dan diam-diam dalam hati berkata. "Ke-

congkakan dan cara melihat orang dengan sebelah 

mata yang membuat aku tertarik pada anak ini!" 

Lalu kakek ini mendongak.

"Raksa! Menurut petunjuk yang kupercaya, 

lembaran kulit itu tersimpan di sebuah bukit yang 

dikenal orang dengan nama Bukit Siluman."

"Apakah lembaran kulit itu berada di tan-

gan seseorang?!"

"Itulah yang sampai saat ini menjadi teka-

teki besar! Apalagi ketika bukit itu mendadak le-

nyap seperti ditelan bum!. Hanya akhir-akhir ini, 

bukit itu timbul kembali, sehingga membuat kea-

daan dunia persilatan kacau."

Raksa Pati sedikit terkejut. Namun sesaat 

kemudian senyum sinis menyungging di bibirnya.

"Mungkin mereka itu orang-orang yang 

miskin ilmu dan berotak kerbau. Hingga tak sang-

gup mengambil lembaran kulit itu! Aku akan sege-

ra ke sana!"

"Itu memang yang kuharap darimu, Murid-

ku! Tapi kuingatkan. Kau jangan ceroboh. Kau

menghadapi urusan besar. Belum sampai kakimu 

menginjak kawasan Sungai Siluman, mungkin ba-

nyak masalah yang akan menghadangmu!"

Raksa Pati keluarkan suara tawa pendek. 

Sambil mengusap dadanya ia berkata. "Orang yang 

kutemui berarti telah mencium bau lubang kubur. 

Tegak menghadang di depanku berarti memanggil 

ajal! "

"Bagus! Hanya aku titip jika sewaktu-waktu 

kau bertemu dengan manusia bergelar Mata Ma-

laikat, kau tak usah tanya. Cabut nyawanya un-

tukku!"

"Hem.... Kau punya silang sengketa den-

gannya?!"

"Itu bukan urusanmu! Ini perintah! Kau 

dengar?!"

Meski parasnya berubah merah padam, 

namun akhirnya Raksa Pati anggukkan kepalanya. 

Sang guru tertawa mengekeh lalu berujar.

"Begitu kakimu menginjak rimba persilatan, 

kau harus mengubur dalam-dalam siapa dirimu 

sebenarnya juga namamu. Karena kau menjadi 

utusanku maka kau pantas menyandang gelar 

Utusan Iblis! Mengerti?!"

"Aku mengerti. Guru...."

Sang guru tertawa mengekeh. "Utusan Iblis! 

Berangkatlah! Alirkan darah siapa saja yang 

menghadangmu! Lalu dapatkan Lembaran Kulit 

Naga Pertala! Aku, gurumu Titisan Iblis biar bang-

ga dan tak sia-sia mendidikmu bertahun-tahun!"

"Aku tak akan mengecewakanmu, Guru! 

Aku pergi sekarang...," Utusan Iblis alias Raksa Pabungkukkan sedikit tubuhnya lalu sekali berke-

lebat sosoknya telah melesat dan lenyap ditelan 

kerapatan pohon perbukitan itu.


DUA


SAAT itu menjelang tengah hari. Langit di 

atas tampak cerah tanpa tertutup gumpalan awan. 

Angin semilir berhembus pelan seakan mengim-

bangi hujaman terik sinar matahari.

Pada sebuah pohon tidak begitu besar, ter-

lihat sehelai daun pisang berukuran sejengkal kali 

dua jengkal, diikatkan menggelantung pada satu 

dahan, membentuk ayunan. Di atasnya, duduk 

seorang kakek berambut putih panjang. Mata ki-

rinya sipit, tapi mata kanannya menonjol ke luar. 

Seraya berayun-ayun, sesekali kakek ini berpaling 

ke samping kanan dan kiri. Daun pisang itu tidak 

robek, dan tali penggantung di sisi-sisi daun itu 

pun tidak putus. Padahal, tali itu adalah akar gan-

tung pohon beringin!

Tiba-tiba kakek berpakaian dari kulit ular 

yang bukan lain adalah Mata Malaikat, katupkan 

kelopak matanya. Lalu terdengar gumamannya.

"Telah jauh kaki melangkah. Telah lama 

waktu berjalan. Tapi harapan hanya tinggal angan-

angan. Khayalan hanya mimpi indah tak berwu-

jud. Malang benar nasib tua bangka ini. Akankah 

tubuh peot ini berkalang tanah tanpa ada kesempatan untuk bertemu lagi?!"

Wajah si kakek tampak berubah murung. 

Meski mulutnya membuka tapi napasnya tersen-

gal, pertanda dadanya disesaki perasaan gundah 

gulana.

"Ke mana lagi aku harus mencari? Gunung 

telah kudaki, lautan telah kuseberangi. Namun 

jangankan orangnya, namanya pun tak pernah lagi 

diketahui orang! Oh.... Sungguh malang. Rupanya 

takdir telah menentukan bahwa tua bangka ini ha-

rus mati tanpa tahu sanak saudara.... Tapi, jika 

itu memang takdirku kenapa aku harus bersedih?" 

Tiba-tiba Mata Malaikat dongakkan kepalanya, di 

lain kejap terdengarlah suara tawanya mengekeh 

panjang!

Namun mendadak Mata Malaikat putuskan 

tawanya, lalu 'Beeettt!' Tubuhnya berkelebat dan 

lenyap. Pada saat bersamaan, sesosok bayangan 

hijau berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di 

bawah pohon di mana tadi Mata Malaikat berayun-

ayun.

"Heran. Suara gumaman dan tawanya ma-

sih jelas di telinga. Namun mana batang hidung-

nya?!" batin orang yang baru datang seraya sapu-

kan pandangannya berkeliling. Sepasang mata 

orang ini sedikit mendelik tatkala mendapati ayu-

nan yang masih bergoyang-goyang. Orang ini mak-

lum jika orang yang baru saja tertawa bukanlah 

orang sembarangan. Tidak ambrolnya daun pi-

sang, tidak putusnya akar beringin, serta terting-

galnya suara tawa, menunjukkan semua itu.

"Menilik gumamannya, jelas jika orang tadi

sedang mencari seseorang.... Hem.... Sudah dua 

orang yang diketahui merana mencari seseorang," 

gumamnya lalu perlahan-lahan orang ini angkat 

tangannya dan usap-usap hidungnya.

"Gadis bernama Seruni juga mencari seseo-

rang. Hem.... Gadis cantik berbekal tugas berat...," 

orang itu terus berkata sendiri. Dia adalah seorang 

pemuda mengenakan pakaian hijau yang melapisi 

baju warna kuning lengan panjang. Rambutnya 

panjang dikuncir ekor kuda dan bukan lain adalah 

Aji alias Pendekar Mata Keranjang!

Seperti dituturkan dalam episode sebelum-

nya murid Wong Agung ini sempat memergoki Se-

runi murid Raksasa Bermuka Hijau berkeluh-

kesah mengungkapkan perasaan hatinya (Baca 

serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode : 

"Bukit Siluman").

Aji edarkan pandangannya sekali lagi. Me-

narik napas sejenak, lalu dengan masih usap-usap 

hidungnya, dia melangkah teruskan perjalanan. 

Namun baru empat langkah, dia berhenti. Tanpa 

memutar tubuh dia berkata.

"Orang di balik pohon! Mengapa hanya 

mengintip?! Apakah wajahku begitu memalukan 

untuk dipandang? Atau malah sebaliknya kau 

yang akan mendapat malu bila dipandang?!"

Terdengar gumaman tak jelas, lalu sesosok 

tubuh melesat keluar dari balik pohon. Murid 

Wong Agung cepat putar tubuh. Sepasang ma-

tanya membelalak besar tak berkesip memperhati-

kan orang yang kini tegak di hadapannya.

"Kau...," kata Aji begitu melihat siapa

adanya orang. Dia adalah seorang gadis muda ber-

paras jelita mengenakan pakaian warna kuning. 

Rambutnya panjang dikuncir dan diikat dengan 

sebuah ikat kepala yang juga berwarna kuning. 

Matanya bulat dengan hidung mancung.

Si gadis tersenyum. Matanya balik menatap 

pada Aji. Lalu buka mulut. "Apakah aku memua-

kkan di hadapanmu?!"

"Mendengar nada bicaranya, aku bisa me-

mastikan bukan gadis ini yang tadi keluarkan ta-

wa. Atau jangan-jangan dia bisa merubah sua-

ra...," bisik Aji dalam hati lalu memperhatikan le-

bih seksama pada sang gadis.

"Hai! Kenapa diam? Kau dengar ucapanku 

bukan?!" si gadis kembali angkat bicara setelah 

agak lama Pendekar Mata Keranjang hanya me-

mandanginya tanpa berkata.

Aji jerengkan sepasang matanya. Lalu usap-

usap hidungnya. Seraya melangkah mendekat dia 

berujar.

"Orang bodoh jika muak memandang paras 

cantik sepertimu. Kalau boleh tahu, hendak ke 

mana kau?!"

Paras gadis di hadapan Aji berseru merah 

mendengarkan pujian. Gadis cantik yang bukan 

lain adalah Drupadi merasakan dadanya sesak 

dan berdebar. Perempuan mana yang tidak merasa 

bangga dan gembira dipuji? Apalagi oleh seorang 

pemuda berparas tampan seperti Aji. Perlahan-

lahan dia tundukkan kepala.

"Hai! Kenapa diam? Kau dengar ucapanku 

bukan?!" Aji ajukan tanya seperti ucapan yang di

katakan Drupadi, membuat gadis ini tersentak da-

ri lamunannya.

"Aku tak bisa mengatakannya...," desah 

Drupadi dalam hati.

Si gadis angkat kepalanya lalu berkata. 

"Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku 

sedang menuju. Kau sendiri?!" si gadis balik aju-

kan tanya.

"Aku?!" kata Pendekar Mata Keranjang 

sambil gelengkan kepala. "Aku tak punya arah tu-

juan. Ke mana kakiku melangkah itulah tujua-

nku!"

Drupadi kernyitkan dahi. "Aku tak percaya 

jika dia tak punya arah tujuan...." Setelah berpikir 

sejenak gadis itu memandang lekat-lekat pada Aji 

dan berujar.

"Dunia persilatan saat ini sedang ribut den-

gan kabar tentang sebuah lembaran kulit. Apakah 

kau tidak tertarik?"

Air muka murid Wong Agung sedikit beru-

bah. "Hem.... Berat dugaan, gadis ini sedang me-

nyelidik lembaran kulit itu...," Aji kembali geleng-

kan kepalanya.

"Aku bukannya tidak tertarik, tapi melihat 

jalinan ceritanya aku hampir yakin jika berita ten-

tang lembaran kulit itu hanya isapan jempol bela-

ka! Apakah kau tertarik dan sedang menyelidiki

lembaran itu?!"

Drupadi tidak menjawab, membuat dugaan 

Pendekar Mata Keranjang makin kuat.

"Meski kau tidak menjawab, aku tahu. Kau 

sedang melakukan penyelidikan."

"Jangan mudah menduga...." Aji menghela 

napas lega. Diam-diam sejak tadi sebisanya murid 

Wong Agung ini merasa waswas jika Drupadi 

punya niat untuk merebut kipasnya seperti hal-

nya tokoh persilatan lainnya.

"Kurasa kau perlu segera meneruskan per-

jalanan. Kudoakan semoga urusanmu berhasil. Si-

lakan...," kata Aji sambil menyisi seakan memberi 

jalan. Tangan kanannya dilambaikan.

Drupadi tak bergerak dari tempatnya. Seba-

liknya sepasang matanya memandang tajam pada 

Aji. Gadis ini seakan-akan hendak mengucapkan 

sesuatu. Tapi, ucapan itu urung dikatakannya. 

Malah Drupadi berkelebat meninggalkan tempat 

itu tanpa ajukan kata.

"Hem.... Sebaiknya aku segera ke Bukit Si-

luman. Urusan akan jadi panjang jika orang lain 

mendahului...." Berpikir begitu, murid Wong 

Agung ini cepat balikkan tubuh lalu berkelebat.

Namun langkahnya tertahan tatkala bersa-

maan dengan itu terdengar suara orang.

"Gunung telah kudaki, lautan telah kusebe-

rangi. Beruntung orang-orang yang berjalan den-

gan tujuan pasti. Bukannya seperti tua bangka ini. 

Melangkah tanpa tahu di mana yang dicari."

Murid Wong Agung balikkan tubuh. Kepa-

lanya mendongak. Untuk beberapa lama dia me-

mandang tak berkedip pada ayunan yang meng-

gantung. Ayunan itu terayun-ayun. Di atasnya du-

duk menjuntai seorang kakek berpakaian kulit 

ular dengan mata terpejam!

"Luar biasa.... Kedatangannya tak bisa ku

siasati. Siapa orang tua ini? Nyanyiannya meng-

gambarkan kegundahan hati...," batin Pendekar 

108, lalu melangkah mendekat.

"Pendekar Mata Keranjang. Seandainya aku 

jadi kamu, tak akan kubiarkan gadis cantik tadi 

pergi begitu saja. Sayang, aku sudah tua peot! 

Hingga jangankan gadis cantik, nenek-nenek pun 

tak sudi mengajakku bincang-bincang...."

Murid Wong Agung melengak mendapati 

orang tahu siapa dirinya. Sebenarnya kedua orang 

ini pernah bertemu, namun karena saat itu Aji da-

lam keadaan terluka membuat pandangannya tak 

jelas. Hingga dia tak bisa mengenali siapa adanya 

si kakek.

"Kek.... Siapa kau? Mendengar kata-

katamu, sepertinya kau mencari seseorang. Be-

tul?!"

"Kalau kau dapat menebak ucapanku, ke-

napa kau tanya siapa diriku? Sebenarnya kau juga 

dapat menerka siapa diriku!" kata si kakek yang 

bukan lain adalah Mata Malaikat seraya tatap Aji 

lekat-lekat. Dengan dahi berkerut, murid Wong 

Agung memperhatikan.

"Orang tua berpakaian kulit ular, rambut 

panjang. Sepasang matanya saling bertolak bela-

kang," Aji berpikir. Namun sejenak kemudian dia 

gelengkan kepala.

"Siapa dia? Kurasa baru kali ini aku ber-

jumpa...," Aji lalu mengutarakan apa yang ada da-

lam hatinya.

"Kek. Rasanya kita baru jumpa kali ini. Aku 

tak bisa menerka siapa dirimu!"

"Jika begitu, biarlah siapa diriku tersimpan 

dulu. Sekarang kutanya padamu. Di mana Setan 

Pesolek?!"

Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terke-

jut. Hingga untuk beberapa lama dia terdiam.

"Anak muda! Kau tak usah mungkir. Bu-

kankah kau diselamatkan Setan Pesolek saat ter-

jadi bentrok dengan Hantu Berjubah?"

"Hem.... Jadi dia tahu itu. Lalu apa tujuan-

nya mencarinya?!" batin Aji lalu berkata. "Kek.... 

Kau telah tahu, kenapa sekarang tanya padaku?"

"Kalau aku tak kehilangan jejak kalian, tak 

mungkin aku tanya padamu!"

"Kek.... Kenapa kau mencarinya?!"

"Aku butuh beberapa penjelasan darinya!"

"Penjelasan? Jangan-jangan menyangkut 

lembaran kulit itu...," bisik Aji dalam hati.

"Pendekar 108! Urusan lembaran kulit yang 

saat ini geger diperbincangkan kalangan rimba 

persilatan bukan hal menarik bagiku! Aku butuh 

penjelasan lain!"

Murid Wong Agung terperangah ketika 

mengetahui si kakek dapat meraba apa yang ada 

dalam benaknya.

"Kek. Apa kau membutuhkan penjelasan 

tentang orang yang kau cari?!"

"Itu bukan urusanmu. Jawab saja perta-

nyaanku!"

"Kek.... Aku tak tahu ke mana perginya Se-

tan Pesolek, karena dia tak pernah mengatakan-

nya padaku!"

"Begitu? Jadi percuma aku menunggumu di

sini. Aku harus...."

Aji berpaling ketika Mata Malaikat tak me-

neruskan ucapannya. Belum sampai Aji berkata, 

Mata Malaikat telah bergumam.

"Ada orang menuju kemari!"

Belum lenyap suara gumaman, dan belum 

sampai Aji berpaling ke arah mata si kakek me-

mandang, sesosok bayangan telah berkelebat dan 

sesaat kemudian tegak di hadapan Aji!


TIGA


SEPASANG mata tajam liar memperhatikan 

Aji dari bawah sampai atas. Lalu mata itu melirik 

ke atas di mana Mata Malaikat berada. Membela-

lak sejenak lalu kembali memandang ke arah Aji.

Murid Wong Agung ini melihat seorang pe-

muda berparas garang mengenakan jubah merah 

panjang sebatas lutut melapis baju dalam yang 

berwarna merah. Rambutnya panjang tebal den-

gan dagu kokoh.

"Kau bisa buka mulut hanya jika kutanya!" 

tiba-tiba si pemuda berjubah merah keluarkan 

bentakan ketika dilihatnya Pendekar Mata Keran-

jang hendak bicara, membuat murid Wong Agung 

ini katupkan kembali mulutnya, lalu balas mena-

tap dengan hati menduga-duga campur geram.

"Setan alas! Siapa manusia ini? Lagaknya 

sombong betul!"

Di atas ayunan daun pisang, Mata Malaikat 

melirik sebentar, lalu katupkan sepasang matanya 

dan kembali main ayunan. "Aku Utusan Iblis! Kau 

siapa dan juga katakan siapa adanya temanmu 

itu!"

"Melihat gerakannya, manusia sombong ini 

berbekal ilmu tinggi. Utusan Iblis.... Baru pertama 

kali ini aku mendengar gelar itu. Mungkin dia sa-

lah seorang yang baru keluar dari sarang...."

"Jangan bertindak bodoh tidak menjawab 

pertanyaanku! Atau kau ingin kukubur!" Utusan 

Iblis kembali perdengarkan bentakan.

"Tugas di depanku masih menghadang. Ka-

lau urusan ini tidak kunjung diselesaikan, akan 

jadi panjang bertele-tele...," kata Aji dalam hati, la-

lu dengan arahkan pandangannya ke jurusan lain 

dia berkata. "Namaku Aji..."

Utusan Iblis mendengus. "Hem.... Kakek 

peot temanmu itu?" katanya seraya arahkan telun-

juk jari tangan kirinya ke arah di mana Mata Ma-

laikat berayun-ayun sementara wajahnya tetap lu-

rus memandang ke arah Aji.

Pendekar Mata Keranjang mengikuti telun-

juk tangan kiri Utusan Iblis. Mendadak sepasang 

mata murid Wong Agung ini terbeliak besar.

"Keparat! Lekas jawab!" hardik Utusan Iblis.

"Tenang, Sobat!"

"Jahanam! Siapa kau panggil sobat? Hah?!

Aku bukan sobatmu. Aku Utusan Iblis!"

"Hem.... Baik. Baik..., sekarang aku tanya, 

siapa yang kau maksud dengan temanku kakek 

peot itu?!"

"Jahanam! Siapa lagi kalau bukan...," Utu-

san Iblis tak teruskan ucapannya, karena saat dia 

berpaling ke atas, pemuda ini tidak lagi melihat si 

kakek! Hanya tinggal ayunan daun pisang yang te-

tap bergoyang-goyang.

Utusan Iblis arahkan pandangannya berke-

liling dengan mata berkilat-kilat. Dagunya men-

gembung dengan pelipis bergerak-gerak. Di hada-

pannya, Aji ikut-ikutan mencari dengan hati ber-

kata. "Gerakannya luar biasa. Sedekat ini aku tak 

bisa mengetahui ke mana lenyapnya.... Siapa se-

benarnya kakek itu?!"

Selagi kedua pemuda ini mencari-cari, ke-

duanya dikejutkan dengan suara tawa panjang. 

Keduanya sama-sama mendongak. Dari atas se-

buah pohon melayang sesosok tubuh. Lalu 

'Pluukk'!. Tubuh itu enak saja hinggap dengan ka-

ki menjuntai di atas ayunan. Lalu tanpa menghi-

raukan pandangan kedua orang di bawahnya, ka-

kek ini kembali berayun-ayun dengan mata terpe-

jam.

"Setan! Kau ingin unjuk kebolehan di muka 

Utusan Iblis. Aku ingin tahu, sampai di mana ke-

hebatanmu!" sambil berkata Utusan Iblis sentak-

kan kakinya ke atas tanah. Di lain kejap tubuhnya 

telah melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak.

Wuutt! Wuuuttt!

Pyarrr! 

Brakkk.

Lembaran daun pisang yang dibuat ayunan 

Mata Malaikat hancur berkeping. Bersamaan den-

gan itu pohon di mana daun itu berayun-ayun

berderak lalu tumbang dan mencelat sampai bebe-

rapa tombak! Begitu sampai di tanah, batang po-

hon itu hancur terbelah dengan daun kering ber-

hamburan!

Baik Aji maupun Utusan Iblis segera men-

cari. Namun keduanya tidak menemukan sosok 

Mata Malaikat.

"Bangsat! Ke mana dia? Apa tubuhnya ikut 

hancur lebur? Tapi serpihan tubuhnya tidak ku-

temukan!" batin Utusan Iblis dengan dada berde-

bar keras. Tak jauh di hadapannya, murid Wong 

Agung jerengkan sepasang matanya sambil usap-

usap hidungnya. Lalu bergumam lirih.

"Hampir tak dapat kupercaya Jika pukulan 

itu masih dapat dielakkan. Tapi kalau kena, seti-

dak-tidaknya masih ada potongan tubuhnya meski 

hanya secuil.... Hem.... Pemuda ini benar-benar gi-

la. Tangan maut diturunkan karena perkara se-

pele. Aku harus hati-hati!"

Utusan Iblis keluarkan suara gemeletak dari 

mulut. Kedua tangannya dikepalkan memperden-

garkan suara bergemeretakkan. Matanya berkilat-

kilat. Pandangannya lalu terhenti pada sosok Pen-

dekar Mata Keranjang yang ada di hadapannya.

"Kau belum jawab tanyaku!" bentaknya. 

"Katakan siapa dia!"

"Yang kau maksud orang tua itu?!"

"Jahanam tolol! Siapa lagi kalau bukan 

dia?!"

"Dengar! Aku tak tahu siapa dia!"

Utusan Iblis menyeringai buruk.

"Kau berani berdusta! Berarti kau telah

menggali liang kubur! Aku tak punya waktu ba-

nyak. Jawab atau masuk kubur!"

"Sebenarnya apa maumu? Apakah ada ru-

ginya bagimu tidak mengetahui siapa dia 

adanya?!"

"Untung rugi bukan urusanmu! Tapi tak 

akan kubiarkan seseorang lolos dari tanganku se-

belum menyebut siapa dirinya! Kau paham?!"

"Jadi selama ini kau selalu menanyai siapa 

saja yang kau temui?!"

"Bukan hanya menanya, tapi mengirimnya 

ke akhirat jika tak mau menjawab!"

"Hem.... Aku tahu. Berarti kau sedang men-

cari seseorang yang namanya kau ketahui tapi wa-

jahnya tak mau kenal. Begitu bukan?!"

"Ternyata kau bukan berotak kerbau. Cepat 

jawab tanyaku!"

"Sobat. Seperti kataku tadi. Aku tak tahu 

siapa dia adanya! Baru kali ini aku jumpa dengan-

nya!"

Hatinya panas karena pukulannya begitu 

mudah dielakkan si kakek, ditambah merasa Aji 

berkata dusta, kemarahan Utusan Iblis tak dapat 

ditahan lagi. Seraya mendengus keras, pemuda 

murid Titisan Iblis ini melesat ke depan. Tangan 

kanannya segera bergerak menghantam ke arah 

kepala Aji. Di kejap lain kaki kirinya membuat ge-

rakan menendang! Dua angin keras melesat men-

dahului sebelum tangan dan kaki itu menghajar 

sasaran.

Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. 

Tangan kiri diangkat sementara tangan kanan di

hantamkan ke bawah memapak tendangan.

Prakkk! Prakkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Utusan 

Iblis terkejut besar dan buru-buru surutkan lang-

kah seraya mendengus keras. Sepasang matanya 

memandang tak berkedip. Dadanya sesak dilanda 

hawa marah. Di seberang, murid Wong Agung ki-

bas-kibaskan kedua tangannya seraya meringis.

"Sobat! Kenapa kau menghantamku?!" ta-

nyanya sambil arahkan pandangan pada jurusan 

lain.

Utusan Iblis tegak tak menjawab. Tiba-tiba 

dia melesat lagi ke depan. Belum sampai Aji berge-

rak, dua tangan telah menyambar sekaligus. Murid 

Wong Agung rundukkan kepala, tangan kiri kanan 

segera menyusup ke bawah kedua tangan Utusan 

Iblis.

Bukk! Bukkk!

Pendekar Mata Keranjang berseru keras. 

Tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima lang-

kah. Bahunya terasa jebol dan bergetar terhajar 

tangan kiri lawan. Di lain pihak Utusan Iblis te-

gang dengan muka sedikit pucat. Pemuda ini sege-

ra mengusap pinggangnya yang terkena hantaman 

tangan Aji, membuatnya tersurut empat langkah.

Dari dua jurus pemuda tadi, cukup mem-

buat Utusan iblis sadar jika lawan memiliki tenaga 

dalam yang tidak boleh diremehkan. Memikir sam-

pai di situ, pemuda ini segera kerahkan tenaga da-

lam pada kedua tangan. Bersamaan dengan itu 

tubuhnya sedikit berguncang. Pemuda ini lalu te-

kuk kaki kanannya, kaki kiri digeser ke belakang.

Sekonyong-konyong kedua tangannya ditarik ke 

belakang dihantamkan ke arah Aji!

Wuuttt! Wuuuttt! 

Belum sepenuhnya tangan menghantam, 

Utusan Iblis telah tarik kembali kedua tangannya 

ke belakang. Seeett! Seeettt!

Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 

urungkan lepaskan pukulan, karena menduga la-

wan tarik pukulannya. Namun dugaan Aji meleset. 

Karena kejap itu juga tubuhnya laksana disedot 

kekuatan luar biasa. Tubuhnya perlahan bergerak 

ke depan dengan langkah terhuyung-huyung.

"Pukulan Angin Lesus!" terdengar suara 

menyeruak.

Utusan Iblis lipat gandakan tenaga dalam-

nya. Tubuh Pendekar 108 makin kencang tersedot. 

Pendekar murid Wong Agung tersirap mendapati 

serangan yang begitu ganas. Dia tak bertindak ay-

al, karena maklum kalau Utusan Iblis telah kelua-

rkan ilmu andalannya.

Aji segera mencabut kipas yang terselip di 

pinggang, lalu memutar-mutarnya. Serta-merta ki-

lauan sinar putih bertebaran disertai menderunya 

suara angin! Di saat bersamaan, Utusan iblis sen-

takkan kembali kedua tangannya ke depan. Di ke-

jap lain tubuhnya melesat ke samping menghin-

dar! Namun tak urung kakinya masih tersambar 

hingga tubuhnya terputar sebelum akhirnya ter-

banting duduk!

Pemuda ini merasakan kakinya laksana di-

panggang. Melirik ke bawah, dia terbeliak. Pakaian 

bagian bawah hangus dan kakinya melepuh merah! Hawa panas itu cepat menjalar ke seluruh tu-

buh. Pemuda ini cepat kerahkan tenaga dalam un-

tuk menolak hawa panas. Dua puluh langkah di 

hadapannya, sosok Aji telentang dengan mulut ke-

luarkan darah. Namun dia segera bangkit duduk 

meski dengan wajah pias serta persendiannya lak-

sana tanggal. Diam-diam pemuda murid Wong 

Agung ini merutuki dirinya sendiri yang kurang 

waspada pada pukulan lawan.

"Busyet betul! Pukulannya tak terduga!" 

gumamnya lalu kerutkan dahi. "Benar. Aku tadi 

mendengar orang berseru menyebut pukulan pe-

muda itu!" Aji lalu memandang tajam ke depan. 

Utusan iblis telah bangkit. Kepalanya berputar 

kian kemari dengan sepasang mata berkilat merah. 

Lalu kepala itu terhenti dengan mulut menyerin-

gai. Aji arahkan pandangan pada arah yang kini 

dipandang Utusan Iblis. Murid Wong Agung ini 

mendelik. Pada sebuah tanah agak tinggi, bersan-

dar punggung si kakek dengan sepasang mata ter-

pejam. Utusan Iblis cepat putar tubuhnya meng-

hadap Mata Malaikat. "Dia menyebut pukulanku 

dengan benar. Berarti dia tahu banyak. Setidak-

tidaknya menyangkut guruku. Pasti dia tahu siapa 

orang yang kucari!" Utusan Iblis melangkah perla-

han ke arah Mata Malaikat.

"Orang tua!" katanya dengan nada agak 

rendah. Pemuda ini rupanya maklum jika orang 

tua itu bukan orang sembarangan. Karena hanya 

manusia berilmu tinggi yang sanggup menghindar 

dari pukulannya dengan jarak yang begitu dekat 

tanpa menderita cedera sama sekali.

"Aku mencari seseorang!"

Mata Malaikat buka kelopak matanya. Na-

mun pandangannya tidak tertuju pada pemuda 

berjubah merah yang kini tegak enam langkah di 

hadapannya. Mulutnya mengatup. Sejenak kemu-

dian terdengar dia berucap.

"Itu urusanmu! Aku pun sedang mencari 

seseorang!"

Paras wajah Utusan Iblis merah mengelam.

Rahangnya mengembung. Namun kali ini si pemu-

da menahan amarahnya.

"Kau mengenali pukulanku. Berarti kau 

mengenali guruku! Dan pasti kau juga mengenali 

orang yang kini kucari!"

"Mana bisa begitu? Mengenal belum pasti 

mengetahui! Sebaliknya mengetahui belum men-

jamin pasti mengenali! Kau mengerti, Anak Mu-

da?!"

Utusan Iblis menyeringai. "Aku Utusan iblis. 

Kau siapa?!"

Mata Malaikat tertawa bergelak hingga mu-

lutnya terkempot-kempot. Masih dengan tanpa 

memandang dia berkata.

"Terus terang, aku risih mengatakan siapa 

diriku. Jadi biarlah untuk kali ini kau mengetahui 

tanpa mengenalku!"

"Baik! Aku tanya sekali lagi. Apakah kau 

mengenal manusia bergelar Mata Malaikat?!"

Mata Malaikat cepat arahkan pandangan-

nya pada Utusan Iblis. Dada orang tua ini sedikit 

bergetar. Mulutnya mengatup dan komat-kamit 

untuk beberapa lama. Di seberang sana, Aji kernyitkan dahi. Kepalanya mendongak. "Mata Malai-

kat...," gumamnya mengulangi ucapan Utusan Ib-

lis. Tiba-tiba murid Wong Agung ini tepuk jidatnya 

sendiri. "Aih. Kenapa aku jadi ikut-ikutan memi-

kirkan hal itu? Lebih baik aku cepat menyingkir. 

Urusan di depan lebih penting daripada berdebat 

dengan orang-orang tak tentu juntrungannya...."

"Hem.... Kau berubah. Berarti kau tahu 

orang yang kusebutkan tadi!" kata Utusan Iblis.

Mata Malaikat terdiam. "Titisan Iblis.... Pasti 

ini ulahnya! Tapi apa betul pemuda ini muridnya? 

Melihat pukulan yang dilepas, aku hampir bisa 

memastikan. Tapi akan kutanya dulu. Siapa tahu 

ada orang lain yang memiliki pukulan sama...," 

berpikir begitu, Mata Malaikat luruskan tubuh, la-

lu bertanya....

"Anak muda! Siapa kau sebenarnya? Apa 

hubunganmu dengan Titisan Iblis?"

"Kau tidak tuli, Orang Tua! Aku Utusan Ib-

lis! Titisan Iblis adalah guruku!"

"Hem...." Mata Malaikat menggumam. 

"Hanya hubungan guru? Tidak ada hubungan apa-

apa lagi?!" 

"Apa maksudmu?!"

"Apakah tidak ada hubungan keluarga?!"

Utusan Iblis tidak menjawab. Hanya sepa-

sang matanya yang memandang tak berkedip.

"Anak muda! Jika kau menjawab beberapa 

pertanyaanku, aku akan memberitahukan orang 

yang kau cari! Bagaimana?!"

"Baik...," kata Utusan Iblis setelah berpikir. 

"Namun jika kata-katamu dusta, aku tak segan

merobek mulutmu!"

Mata Malaikat tertawa mengekeh menden-

gar ancaman orang itu. "Sekarang jawab tanyaku 

tadi!"

"Aku tak tahu apakah ada hubungan ke-

luarga antara aku dan guruku!"

"Aneh! Apakah kau tak pernah tanya? Seti-

dak-tidaknya apakah kedua orangtuamu tak per-

nah memberitahu?!"

"Aku tak tahu siapa orangtuaku! Yang ku-

tahu, sejak kecil aku sudah diasuh guruku!"

"Gurumu tak pernah cerita siapa orangtua-

mu?!"

"Aku tak pernah tanya dan dia tak pernah 

cerita!"

Mata Malaikat mengangguk-angguk.

"Anak muda! Kau mencari Mata Malaikat. 

Apa ada pesan dari gurumu?!"

"Betul!"

Mata Malaikat memandang sekali lagi lekat-

lekat pada Utusan Iblis. "Boleh aku tahu pesan-

nya...?" 

"Pesan kematian!"

Mata Malaikat sentakkan kepalanya ke 

samping kanan menyembunyikan perubahan wa-

jahnya.

"Aneh.... Setahuku, antara aku dan Titisan 

Iblis tak ada masalah! Kini tiba-tiba dia mengin-

ginkan kematianku. Herannya dia tak langsung 

turun tangan sendiri. Hem.... Ada sesuatu di balik 

semua ini! Aku harus mengetahuinya...."

"Pertanyaanku terakhir. Apa gurumu men

gatakan masalahnya hingga menginginkan nyawa 

Mata Malaikat?"

Utusan Iblis keluarkan dengusan dahulu 

sebelum akhirnya menjawab. "Aku tak pernah 

mau tahu urusannya. Yang kutahu itu adalah se-

buah perintah! Jelas?!"

Mata Malaikat manggut-manggut. Diam-

diam dalam hati kakek ini membatin. "Semakin 

nyata bahwa di balik semua ini Titisan Iblis me-

nyembunyikan sesuatu. Hem.... Pemuda ini turun 

ke rimba persilatan dengan berbekal ilmu lumayan 

tinggi. Hanya masih miskin pengalaman. Tapi si-

kapnya sangat membahayakan...." Mata Malaikat 

arahkan pandangannya berkeliling. Ketika ma-

tanya tak lagi menangkap sosoknya Aji, dia ter-

senyum-senyum sendiri.

"Orang tua. Sekarang giliranmu mengata-

kan orang yang kucari!"

Tiba-tiba Mata Malaikat membuat mimik 

seperti orang terkejut. Lalu keluarkan gumaman 

tak jelas. "Terlambat, Anak Muda!"

Utusan Iblis membelalak angker.

"Apanya yang terlambat?!"

"Sebenarnya orang yang kau cari sudah kau 

temukan. Tapi sekarang dia sudah kabur lagi!"

"Orang tua! Kau jangan main-main. Siapa 

orangnya?!"

"Pemuda yang baru saja bentrok denganmu! 

Dialah manusia yang bergelar Mata Malaikat!"

"Orang tua...!"

"Anak muda! Aku tahu. Kau baru saja ter-

jun ke dunia persilatan. Belum tahu siapa satu


persatu tokoh rimba persilatan. Aku telah lama 

malang melintang. Dan aku tahu siapa-siapa to-

koh dunia persilatan! Silakan percaya apa tidak. 

Yang pasti pemuda itulah yang bergelar Mata Ma-

laikat!"

Cepat, Utusan Iblis putar diri. Matanya nya-

lang menyapu sekeliling. Dia bantingkan sepasang 

kakinya hingga melesak berlubang tatkala dia tak 

mendapatkan orang yang dicari.

"Tentu masih belum jauh...," ujar Utusan 

Iblis lalu berkelebat hendak menyusul. Namun 

langkahnya terhenti tatkala dari arah belakang 

terdengar suara si kakek.

"Anak muda! Tak usah buru-buru mengejar. 

Kau sekarang sudah mengetahui siapa orang yang 

kau cari. Lebih baik kita ngobrol dulu...."

"Hem.... Ucapannya benar juga. Sebagai 

orang pengalaman tentunya dia banyak mengeta-

hui urusan dunia persilatan. Siapa tahu dia juga 

mengetahui tentang hal yang menyangkut Lemba-

ran Kulit Naga Pertala...," berpikir sampai di situ, 

Utusan Iblis balikkan tubuh lalu melangkah ke 

arah Mata Malaikat.

Mata Malaikat sunggingkan senyum.

"Anak muda.... Aku telah lama mengenal 

gurumu. Kalau sekarang mengutusmu terjun ke 

kancah persilatan, selain perintah membunuh Ma-

ta Malaikat tentunya dia punya maksud lain...."

Utusan Iblis tak segera membuka mulut. 

"Orang tua ini sepertinya mengenal betul guruku. 

Jadi tak bohong jika dia mengatakan kenal Guru. 

Ada baiknya aku mengatakan apa tujuanku...," la

lu pemuda ini dongakkan kepala dan berkata.

"Aku yakin kau tahu yang membuat dunia 

persilatan akhir-akhir ini guncang. Bisa memberi 

penjelasan padaku?!"

Mata Malaikat terkekeh. "Anak muda! Yang 

namanya dunia persilatan tak pernah sepi dari ke-

jutan-kejutan. Satu belum usai, lainnya sudah 

muncul. Urusan satu belum selesai, urusan makin 

besar sudah menghadang. Entah sampai kapan 

urusan-urusan begini akan berakhir...."

"Yang kumaksud kabar tentang adanya se-

buah lembaran kitab...!"

Ucapan Utusan Iblis makin membuat Mata 

Malaikat keraskan kekehan tawanya. "Anak muda! 

Seperti kubilang tadi, sebenarnya aku malang me-

lintang dengan tujuan mencari seseorang. Namun 

hingga tubuhku peot begini, usahaku sia-sia. 

Mungkin karena aku terlalu mementingkan penca-

rianku, membuat perihal lembaran kulit yang se-

karang jadi buah bibir tidak begitu berharga bagi-

ku!"

"Tapi setidak-tidaknya kau mengetahui 

meski cuma sedikit!"

Mata Malaikat diam untuk beberapa lama. 

Lalu mengangguk.

"Menurut kabar, lembaran kulit itu tersim-

pan pada sebuah bukit...."

"Aku sudah tahu itu!" tukas Utusan Iblis. 

"Yang ingin kutahu, apakah lembaran kulit itu di-

pegang seseorang?!"

"Tidak bisa dipastikan. Menurut cerita yang 

pernah kudengar, orang terakhir yang memegang

lembaran kulit itu adalah seorang dedengkot rimba 

persilatan dikenal dengan nama Eyang Pandana-

ran. Itu terjadi pada ratusan tahun yang silam. 

Entah orang itu masih hidup atau sudah mati, ti-

dak diketahui. Lembaran kulit itu masih di tan-

gannya atau sudah berpindah tangan juga sulit 

diselidiki..."

"Berarti pengetahuanmu tentang lembaran 

kulit itu tak lebih dari padaku! Percuma aku lama-

lama di sini!" dengus Utusan Iblis lalu balikkan 

tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Mata Malaikat hanya memandangi keper-

gian Utusan Iblis. Begitu sosok Utusan Iblis le-

nyap, kakek ini angkat bahunya. Tubuhnya berpu-

tar, kedua tangannya disentakkan perlahan ke 

atas tanah. Tubuhnya membubung setinggi seten-

gah tombak. Dan sekali goyang tubuhnya melesat 

lalu lenyap di balik kerapatan pohon.

Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis 

hentikan larinya. Keningnya mengernyit. "Jangan-

jangan orang tua itu sengaja mengajakku bicara 

untuk memberi kesempatan pada pemuda tadi 

agar bisa berlari jauh. Sialan! Orang tua itu harus 

menerima ganjaran yang setimpal akibat perbua-

tannya...!"

Utusan Iblis cepat putar tubuhnya dan ber-

kelebat ke arah mana dia datang dengan kerahkan 

segenap ilmu peringan tubuhnya. Sebentar saja 

dia sudah sampai di tanah agak tinggi di mana ta-

di si kakek duduk bersandar. Karena dia datang 

dari arah belakang, sebelum sampai dia telah ber-

seru.

"Orang tua! Kau harus...," namun Utusan 

Iblis tak teruskan ucapannya ketika dia sampai di 

depan tanah agak tinggi dan matanya tak melihat 

lagi batang hidung si kakek.

"Bedebah keparat! Jangan-jangan orang tua 

tadi menipuku! Mungkin dua orang tadi saling 

kenal, lalu...." Utusan Iblis kertakkan rahang. Se-

pasang matanya berkilat angker.

"Jahanam! Mereka menipuku!" teriaknya 

sambil hantamkan tangan kanannya ke arah ta-

nah agak tinggi yang tadi disandari Mata Malaikat. 

Tanah itu langsung berhamburan ke udara dan 

meninggalkan lubang menganga!


EMPAT


ENTAH karena tidak mau berurusan den-

gan tanpa adanya ujung pangkal jelas, lagi pula 

urusan Lembaran Kulit Naga Pertala dipikir lebih 

penting dan bisa mendatangkan mala petaka jika 

sampai kedahuluan orang, murid Wong Agung kali 

ini berlari sekuat yang dia bisa.

"Hem.... Di sini banyak pohon besar dan 

semak belukar. Lebih baik aku istirahat dengan 

berlindung...," pikir Aji. Lalu hentikan larinya dan 

melangkah ke arah sebuah pohon besar yang ka-

nan kirinya ditumbuhi semak belukar lebat tinggi. 

Sampai di bawah pohon, sepasang matanya me-

mandang berkeliling. Lalu menarik napas dalam

sambil mengusap keringat di wajah dan lehernya. 

Sejenak kemudian dia duduk dengan selonjorkan 

kaki, punggungnya bergerak ke belakang hendak 

menyandar pada batang pohon.

Belum sampai punggungnya menyentuh ba-

tangan pohon, terdengar suara tawa mengekeh 

panjang. Pendekar 108 cepat bangkit dan putar 

tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah da-

tangnya suara tawa. Suara tawa mendadak terpu-

tus. Sambil menahan rasa tercekat, murid Wong 

Agung memandang lurus ke depan. Matanya tak 

menangkap siapa-siapa.

Belum lenyap rasa gelisah Aji, dari atas 

kembali terdengar suara tawa. Pendekar 108 cepat 

mendongak. Dari pohon di mana dia berada tam-

pak melayang turun sesosok tubuh dengan per-

dengarkan suara tawa mengekeh.

Aji urungkan niat untuk lepaskan pukulan 

begitu melihat siapa adanya sosok yang melayang. 

Matanya terus mengikuti sosok itu hingga sosok 

itu mendarat empat langkah di hadapannya.

"Setan tua ini mengikutiku. Tadi dia bilang 

menungguku. Hem.... Maunya apa dia sebenar-

nya?!" pikir Pendekar Mata Keranjang dengan 

memperhatikan lekat-lekat pada kakek yang kini 

tegak di hadapannya.

"Kek! Katakan terus terang apa maksudmu 

sebenarnya!"

"Kalau tak mau urusan panjang, jangan bi-

cara keras-keras! Bahaya itu masih di sekitar sini!"

"Kek. Kau ini bicara apa?!" meski tak men-

gerti maksud si kakek namun Aji rendahkan juga

suaranya.

"Orang yang menginginkan nyawamu tak 

jauh dari sini. Kalau dia sampai mendengar sua-

ramu, bukan hanya kau tapi aku juga ikut celaka!"

Pendekar Mata Keranjang kerutkan dahi. 

"Kek. Maksudmu pemuda yang menyebut dirinya 

Utusan Iblis? Aku tak punya masalah dengan pe-

muda gila itu!"

"Kau salah. Ternyata orang yang dicari ada-

lah kau!"

Aji tertawa. "Kek. Mungkin kau dengar sen-

diri. Dia mencari orang yang bergelar Mata Malai-

kat. Bukan aku!"

"Ah, tak tahulah! Pokoknya yang dicari ada-

lah kau! Aku sempat bicara dengannya setelah ke-

pergianmu!"

"Hem.... Apa yang dibicarakannya?!"

"Seperti orang-orang lainnya yang saat ini 

sedang tergila-gila dengan sebuah lembaran kulit. 

Apakah kau juga akan ikut main gila-gilaan men-

gejar lembaran kulit itu?"

"Kek. Lembaran kulit itu adalah sebuah 

lembaran kulit yang amat berbahaya jika sampai 

jatuh ke tangan orang-orang sesat. Untuk menye-

lamatkannya apakah salah jika aku ikut tergila-

gila memburunya?!"

Mata Malaikat mengekeh dengan menutup 

mulutnya agar suaranya tak terdengar. "Tidak ada 

orang yang menyalahkan jika kau ikut tergila-gila. 

Namun kau harus tetap sadar dalam ketergila-

gilaanmu! Sekali kau lengah, kau akan tewas da-

lam kegilaan. Eh.... Apakah kau mendapat petunjuk dari Setan Pesolek atau barangkali dari nenek 

yang bersamanya?!"

"Aku tak bisa mengatakannya apa-apa pa-

damu, Kek! Lagi pula aku masih belum tahu siapa 

dirimu!"

"Hem.... Begitu? Lalu apakah kau benar-

benar hendak menyelidiki kitab itu?!"

"Kek. Meski aku tergila-gila, belum tentu 

aku melanjutkan perburuan! Semuanya nanti ter-

gantung keadaan!" kata Pendekar Mata Keranjang 

sengaja mengaburkan segala ucapannya.

"Anak ini plin-plan. Tadi begitu berseman-

gat, akhirnya tergantung keadaan. Tapi aku yakin, 

dia akan tetap memburu lembaran kulit itu!" seje-

nak Mata Malaikat berpikir. "Hem.... Tak ada sa-

lahnya jika aku memberikan. Mungkin suatu saat 

diperlukan...," Mata Malaikat selinapkan tangan 

kanannya ke balik pakaiannya. Ketika ditarik ke-

luar, tampaklah sebuah kantong kecil berwarna 

putih. Kantong itu segera diulurkan pada Aji.

"Di dalamnya delapan butir tahi kambing. 

Simpanlah!"

"Kek. Kalau cuma tahi kambing, aku bisa 

mencarinya! Simpan kembali tahi kambingmu itu. 

Aku tak butuh!"

"Anak muda! Tahi kambing ini kuperoleh 

dari dasar laut. Sekali kau telan satu, kau akan 

bertahan dalam air setengah hari!"

Murid Wong Agung angkat bahunya. "Mana 

mungkin ada kambing di dasar laut? Jangan-

jangan orang tua ini bercanda. Ah, tapi aku tak 

memerlukannya. Setengah hari berendam di dalam

air juga tak ada gunanya!" batin Pendekar 108, la-

lu berkata. "Kek. Aku tak berurusan dengan air. 

Lebih baik kau berikan saja pada nelayan yang 

tiap hari berada di air!"

"Anak muda! Manusia belum pasti takdir-

nya. Siapa tahu kau kelak akan jadi seorang ne-

layan? Bukankah tahi kambing ini lantas berguna 

bagimu?! Tapi kalau kau menolak, aku pun tak 

apa!"

Mata Malaikat segera masukkan kembali 

kantong putih ke balik pakaiannya, namun tiba-

tiba Aji berseru.

"Kek. Ucapanmu ada juga benarnya. Beri-

kan tahi kambing itu padaku!"

Mata Malaikat tertawa mengekeh. Lalu tarik 

kembali kantong putih dari balik pakaiannya, lalu 

diulurkan pada Aji. Aji menyambuti kantong itu. 

Baru saja kantong berpindah tangan, Mata Malai-

kat palingkan wajahnya ke belakang. "Celaka! Kita 

harus segera berpisah dulu!"

"Kek. Apanya yang celaka? Kau tampak be-

rubah. Apakah...."

"Sudah! Jangan banyak mulut! Kau ke arah 

selatan aku ke arah utara!" habis berkata begitu, 

Mata Malaikat berkelebat lenyap ke arah yang dis-

ebut. Sejenak Pendekar Mata Keranjang masih ter-

cenung tak mengerti. Namun ketika matanya meli-

hat semak belukar jauh di hadapannya bergoyang-

goyang, tanpa menunggu lebih lama lagi, murid 

Wong Agung ini berkelebat ke arah selatan. 

Baru saja Pendekar 108 lenyap dari tempat 

itu, menyeruak sesosok tubuh tegap mengenakan

jubah merah dan bukan lain adalah Utusan Iblis. 

Sepasang matanya merah laksana dipanggang, ra-

hangnya mengembung dengan pelipis kiri kanan 

bergerak-gerak.

"Jahanam! Baru saja kudengar suara mere-

ka! Jelas jika kedua bangsat itu bersekongkol!" 

Utusan Iblis arahkan pandangannya berkeliling 

dengan mata masih melotot angker. "Hei...! Kalian 

berdua! Kalian telah berani main-main dengan 

Utusan Iblis. Nyawa kalian tidak jauh dari tangan 

dan kakiku!"

Belum lenyap gema suara teriakannya, Utu-

san Iblis telah melesat ke arah selatan!

Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis 

hentikan larinya. Matanya memandang jauh ke 

depan tak berkedip. "Ada orang menuju kemari...," 

gumamnya seraya usap wajahnya dan menghela 

napas panjang.

Utusan Iblis tak menunggu lama. Sesaat 

kemudian sesosok tubuh telah berhenti dua belas 

langkah di hadapannya dengan wajah sedikit ter-

kejut. Sebaliknya Utusan Iblis tampak sungging-

kan senyum aneh. Sepasang matanya makin tak 

berkedip memperhatikan orang yang kini ada di 

hadapannya. "Lama nian tubuh ini tak merasakan 

bagaimana nikmatnya tubuh seorang gadis. 

Hem.... Hari ini nasibku baik. Mengejar bangsat. 

yang datang seorang bidadari...."

Orang yang tegak di hadapan Utusan Iblis 

adalah seorang gadis berparas cantik jelita menge-

nakan pakaian warna biru. Rambutnya yang pan-

jang dikuncir agak tinggi. Sepasang matanya bulat

dengan bibir merah dan dada kencang.

Untuk beberapa lama si gadis berbaju biru 

dan bukan lain adalah Seruni, balas menatap 

pandangan Utusan Iblis. Meski cuma memandang 

sekilas, namun gadis ini telah dapat menduga arti 

tatapan pemuda di hadapannya.

"Laki-laki.... Hem...," desis Seruni seraya 

alihkan pandangan. "Dari cara dan gerak-geriknya, 

tampaknya dia sengaja menghadang," gadis itu la-

lu berucap dengan ketus.

"Siapa kau?! Harap jangan menghadang ja-

lanku!" 

Utusan Iblis tersenyum. Melangkah dua 

tindak dan berkata.

"Aku tidak menghadang, justru kau yang 

datang! Boleh tahu siapa kau?"

Seruni palingkan kembali wajahnya me-

mandang si pemuda. Namun mulutnya terkancing 

dan sesaat kemudian tersungging senyum sinis di 

bibirnya.

"Waktuku tidak banyak. Harap beri jalan!" 

ujar Seruni dingin.

Sepasang alis mata Utusan Iblis sesaat naik 

ke atas. Matanya membesar lalu menyipit.

"Aku Utusan Iblis. Sekali lagi kutanya, kau 

siapa?!"

"Aku tak tanya siapa kau! Jangan cari uru-

san!"

Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu ter-

dengar suara tawanya bergelak-gelak. Tiba-tiba 

tawanya terputus laksana dicabik. Kepala menyen-

tak lurus ke arah Seruni dengan air mata berubah

garang.

"Bicaramu sombong, Gadis Liar! Aku ingin 

tahu apakah kau punya bekal hingga mulutmu be-

rani bicara tinggi di hadapanku!"

Paras wajah Seruni berubah merah padam. 

Matanya membelalak dengan tatapan gemetar me-

nahan amarah.

"Urusan di depan masih banyak dan belum 

terselesaikan. Sekarang muncul lagi penghalang 

jalanan. Hem.... Kalau tak segera dibereskan, uru-

san tak akan segera tuntas, malah akan jadi tak 

karuan!" pikir Seruni. Setelah kerahkan tenaga da-

lam pada kedua tangannya, gadis ini membentak.

"Kau minggir atau mampus!"

"Aku akan minggir setelah merasakan tu-

buhmu!" sahut Utusan Iblis dengan senyum sinis.

"Mulut busuk!" maki Seruni keras. Bersa-

maan dengan itu dari kedua tangannya menyam-

bar dua rangkum angin dahsyat keluarkan suara 

laksana gelombang.

Utusan Iblis menyeringai lalu perdengarkan 

suara tawa mengekeh panjang meski pakaian dan 

rambutnya mulai berkibar-kibar karena sapuan 

angin pukulan Seruni telah satu tombak di hada-

pannya.

Lima jengkal lagi pukulan Seruni mengge-

brak tubuhnya, Utusan Iblis keluarkan bentakan 

nyaring. Tubuhnya melesat ke udara. Di kejap lain 

kedua tangannya mendorong ke arah Seruni.

Seruni sendiri yang seolah masih tak per-

caya karena lawan bisa mengelak jadi terlengak. 

Dengan sigap gadis ini cepat menggeser tubuhnya

ke arah samping kanan. Di udara, Utusan iblis ge-

rakkan kedua tangannya. Hantaman angin deras 

yang melesat ke arah Seruni bergerak ke samping 

mengikuti gerakan Seruni, membuat gadis ini ber-

seru lalu hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Bummm!

Terdengar ledakan keras ketika dua puku-

lan itu bertemu. Seruni terseret sampai dua tom-

bak ke belakang. Paras jelitanya berubah pias. Be-

berapa lama tubuhnya tampak berguncang.

Di udara, Utusan Iblis terpental. Namun 

pemuda ini segera membuat gerakan jungkir balik 

beberapa kali. Kejap kemudian, sosoknya tampak

melayang turun dan mendarat kembali dengan ka-

ki kokoh terkembang. Seulas senyum tersungging 

di bibirnya.

"Kalau bicaramu tidak sombong, aku tak 

akan menjatuhkan tangan kasar padamu! Tapi ki-

ni semuanya terlambat!"

Habis berkata begitu, Utusan Iblis melesat

ke depan. Kedua tangannya bergerak cepat mem-

buat gerakan di udara laksana orang menotok. Di 

kejap itu juga Seruni yang setengah tombak di ha-

dapannya menjerit keras. Sosoknya bergetar. Dan 

sebelum gadis ini membuat gerakan tubuhnya 

limbung. Kaki kiri kanannya menekuk dan sesaat 

kemudian tubuhnya melorot jatuh!

Seruni tercekat bukan main. Dia coba ke-

rahkan tenaga dalam, namun seluruh persendian 

tubuhnya seolah lumpuh.

"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat

ini?!" piker Seruni. Kuduknya merinding dengan 

keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh-

nya. "Celaka! Tubuhku lemas, mataku berkunang-

kunang...," Seruni masih coba bertahan agar tidak 

sampai pingsan. Malah dengan sekuat tenaga dia 

berteriak lantang.

"Pengecut! Jika memang jantan, kenapa kau 

lakukan ini, hah?!"

Utusan Iblis tertawa panjang lalu melang-

kah perlahan mendekat dengan bibir menyeringai 

dan mata berkilat-kilat merah.

"Pengecut jahanam! Kau mau apa?!" teriak 

Seruni tatkala dilihatnya Utusan Iblis melangkah 

terus. Paras wajah gadis ini makin pucat pasi. Ke-

takutan membayang jelas, malah sesaat kemudian 

matanya berkaca-kaca. Gadis ini membayangkan 

apa yang akan terjadi pada dirinya. Sedangkan di-

rinya tak bisa membuat perlawanan. Namun men-

gingat akan tugas di pundaknya, tiba-tiba seman-

gat gadis ini muncul kembali.

"Pemuda edan! Kalau ingin menghadapiku, 

mari kita bertarung secara jantan!"

Utusan Iblis terus melangkah tanpa peduli-

kan caci-maki orang. Namun demikian, wajahnya 

tampak semakin keras dan garang, membuat si 

gadis geser tubuhnya menjauh.

Namun baru saja Seruni membuat gerakan, 

satu telapak kaki telah menahan tubuhnya hingga 

gadis ini tak bisa bergerak lebih jauh lagi.

"Bangsat licik! Apa maumu?!"

Utusan Iblis makin keraskan tekanan tela-

pak kakinya pada paha kanan Seruni membuat

gadis ini mengaduh. Seruni coba angkat tangan-

nya lalu dipukulkan pada kaki Utusan Iblis. Tapi 

pukulan itu seolah tidak punya kekuatan sama 

sekali, membuat yang dipukul keluarkan tawa 

bergelak-gelak.

"Gadis liar! Katakan siapa dirimu!" 

Seruni angkat tubuh bagian atasnya dengan 

bertumpu pada kedua siku tangannya. Sepasang 

matanya menyengat tajam perhatikan sang pemu-

da. Tiba-tiba gadis ini meludah ke samping, lalu 

berkata lantang.

"Kau tak perlu tahu siapa aku! Kalau mau 

bunuh, lekas lakukan!"

Utusan Iblis menyeringai beringas. "Mula-

mula aku tidak menginginkan kematianmu. Tapi 

mulutmu terlalu sombong, hingga niatku beru-

bah!" 

"Tapi caramu pengecut!"

Utusan Iblis condongkan tubuhnya ke de-

pan. Tangan kanannya bergerak. 

Plakkk!

Satu tamparan mendarat di pipi kanan Se-

runi hingga kepalanya tersentak dan tumpuan ke-

dua sikunya terkulai, hingga tubuh bagian atas itu 

terbanting ke tanah.

Seruni melengak kaget dan keluarkan se-

ruan tertahan.

"Sekali lagi keluarkan suara memaki, kuro-

bek mulutmu!" ancam Utusan Iblis.

Entah karena sakit hati atau sudah pasrah, 

ancaman Si pemuda bukannya membuat si gadis 

takut, malah dengan mata beringas marah ia berseru.

"Jahanam edan! Kau hanya berani pada 

orang tak berdaya! Pengecut!"

Plak! Plakkk!

Kemarahan Utusan Iblis sudah tak dapat 

ditahan lagi, hingga untuk kedua kalinya tangan-

nya bergerak pulang balik menampar pipi kanan 

kiri Seruni sampai mulut gadis ini mengeluarkan 

darah.

Seruni gigit bibirnya rapat-rapat agar eran-

gannya tak keluar. Bersamaan dengan itu kembali 

sepasang matanya nampak berkaca-kaca.

Utusan Iblis tengadahkan kepala. "Kuperin-

gatkan sekali lagi. Jawab tanyaku atau kulumat 

tubuhmu!"

Keadaan yang terjepit membuat Seruni bu-

lat tekadnya. Hingga dengan menahan sakit dia 

berkata keras.

"Jangan mimpi aku akan jawab tanyamu, 

Pengecut Licik!"

Pelipis Utusan Iblis bergerak-gerak. Ra-

hangnya mengeras dan terangkat membengkak, 

pertanda amarahnya sudah sampai ambang batas. 

Pemuda ini lantas angkat tangan kanannya.

Seruni menyeringai. Gadis ini tampaknya 

sudah tak peduli lagi dengan kemarahan orang, 

malah dengan memandang tajam dia kembali buka 

mulut.

"Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar 

mampu membunuhku, Pengecut!"

Niat semula Utusan Iblis musnah sudah 

oleh hawa kemarahan yang melanda dadanya. Pemuda ini kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-

nannya, lalu dengan seringai ganas tangannya 

bergerak memukul ke arah Seruni. Kejap itu juga 

gelombang angin dahsyat melesat menghantam ke 

arah kepala si gadis.

Seruni yang sudah pasrah menghadapi ke-

matian tak membuat gerakan sama sekali, bahkan 

sepasang matanya yang bulat tajam terpentang le-

bar menatap tak berkedip!

Sesaat lagi pukulan yang dilepaskan Utusan 

Iblis menghancurkan kepala Seruni, tiba-tiba tan-

pa terdengar adanya deruan serangkum angin 

dahsyat menghampar berputar-putar, lalu meng-

gulung pukulan Utusan Iblis. Di lain kejap puku-

lan angin melesat dengan membawa pukulan yang 

dilepas si pemuda. Tak lama kemudian terdengar 

dentuman keras!

Pada saat putaran angin datang, Utusan Ib-

lis rasakan tubuhnya laksana disapu gelombang 

dahsyat. Meski dia telah coba bertahan, namun 

sapuan itu begitu dahsyatnya, hingga sebelum tu-

buhnya terpental, Utusan Iblis telah meloncat ke 

belakang dengan keluarkan dengusan keras.

"Bangsat rendah! Siapa berani ikut campur 

urusan Utusan Iblis, hah?!" teriaknya dengan mata 

liar ke sana kemari. Baru saja suara teriakannya 

lenyap, terdengar suara orang tertawa. Utusan Ib-

lis cepat berpaling ke samping kanan dari arah 

mana suara tawa terdengar. Pada saat bersamaan, 

tiba-tiba dari arah samping kiri angin dahsyat 

menghampar tanpa keluarkan suara. Namun pu-

kulan ini sepertinya disengaja tidak diarahkan pada si pemuda. Tapi pada tanah di sebelahnya. 

Hingga saat itu juga terdengar suara seperti air 

muncrat. Di kejap lain pemandangan menjadi pe-

kat karena hamburan tanah yang muncrat ke uda-

ra.

Utusan Iblis memaki habis-habisan sambil 

melompat mundur dan cepat balikkan tubuh. Ke-

tika itulah di balik kepekatan tanah yang menutu-

pi pemandangan, samar-samar Utusan Iblis me-

nangkap sesosok bayangan berkelebat laksana se-

tan gentayangan. Sebelum Utusan Iblis menyiasati 

siapa adanya si bayangan, bayangan itu telah 

kembali berkelebat lalu lenyap. Sosok Seruni yang 

tadi tergeletak tak berdaya juga tak tampak lagi!

Dapat menebak apa yang dilakukan si 

bayangan, Utusan Iblis cepat melesat ke depan 

menerobos kepekatan tanah, kedua tangannya 

langsung dihantamkan ke arah berkelebatnya si 

bayangan, namun pukulannya kalah cepat dengan 

gerakan si bayangan, hingga pukulan itu hanya 

menghajar angin.

Ketika suasana sirap, Utusan Iblis masih 

coba arahkan pandangan ke sana kemari. Namun 

dia tak menemukan siapa-siapa, membuat pemu-

da ini keluarkan makian tak karuan dan bantin-

gan sepasang kakinya. 

"Keparat siapa yang menolongnya?!" desis si 

pemuda dengan dada berdebar keras menahan

marah. "Gerakannya begitu cepat. Pukulannya ti-

dak terdengar sama sekali.... Keparat betul! 

Hem.... Aku akan terus ke selatan, selain mengejar 

pemuda bergelar Mata Malaikat kurasa ini juga jalan menuju kawasan Sungai Siluman. Lembaran 

Kulit Naga Pertala.... Aku harus dapat memili-

kinya. Karena tanpa kuduga, banyak orang berke-

pandaian tinggi malang melintang. Kalau lembaran 

kulit itu tak dapat kumiliki, akan sia-sia hidupku. 

Aku tak mau jadi kacung rimba persilatan. Aku in-

gin menjadi Penguasa Tunggal! Ya, orang tanpa 

tanding. Ha.... Ha.... Ha...!" sambil terus tertawa 

Utusan Iblis putar tubuhnya lalu berkelebat terus 

ke arah selatan.


LIMA


BAYANGAN kembang-kembang itu berkele-

bat cepat laksana bersitan sinar. Di pundak ki-

rinya tampak sesosok tubuh yang diam tak berge-

rak-gerak. Pada suatu tempat yang banyak ditum-

buhi semak-semak tak jauh dari kawasan pinggir 

Sungai Siluman si bayangan kembang-kembang 

memperlambat larinya. Pada saat bersamaan, so-

sok di pundak si bayangan kembang-kembang 

membuat gerakan dengan membuka kelopak ma-

tanya yang sedari tadi terpejam rapat. Ternyata dia 

adalah Seruni.

Karena kepala Seruni ada di bagian pung-

gung orang yang memanggulnya, gadis ini tak bisa 

melihat siapa adanya orang yang telah menolong 

dan melarikannya. Gadis ini sekali lagi memperha-

tikan. Ternyata orang yang menolongnya adalah

seorang yang mengenakan jubah berwarna kem-

bang-kembang. Mata Seruni menelusur ke atas. 

Kini tampaklah bagian kepala orang yang berjubah 

kembang-kembang itu. Ternyata orang itu hanya 

memiliki rambut putih sebatas tengkuk.

Sejenak kedua alis mata Seruni terangkat 

dan keningnya berkerut. Ada rasa keragu-raguan 

di benaknya. Tiba-tiba gadis ini kerahkan tenaga 

dalamnya. Dia menarik napas lega, karena tan-

gannya telah putih seperti semula walau mulutnya 

masih terasa perih akibat tamparan yang dilaku-

kan Utusan Iblis.

"Jangan-jangan memang dia...," batin Seru-

ni, lalu buka mulut dan terdengarlah suaranya.

"Aku sudah tak apa-apa. Harap kau suka 

turunkan tubuhku!"

Mendengar suara orang, orang berjubah 

kembang-kembang menggumam tak jelas namun 

tak menuruti permintaan orang yang di pundak-

nya. Mungkin merasa orang tidak mendengar sua-

ranya, Seruni kembali buka mulut dengan suara 

agak dikeraskan.

Orang berjubah kembang-kembang henti-

kan langkahnya. Perlahan-lahan dia angkat tubuh 

di pundaknya lalu ditegakkan di hadapannya.

Sejenak sepasang mata Seruni menyipit lalu 

membeliak besar. Mulutnya yang semula hendak 

mengucapkan sesuatu tiba-tiba mengatup rapat. 

Dadanya tampak bergerak turun naik dengan ke-

rasnya.

Orang di hadapan Seruni sunggingkan se-

nyum. Ternyata dia adalah seorang nenek. Mengenakan jubah besar warna kembang-kembang. 

Rambutnya putih hanya sebatas tengkuk yang pa-

da bagian atasnya berombak mirip sayap yang te-

rentang. Sepasang kelopak matanya besar namun 

matanya sipit. Paras wajahnya masih membiaskan 

kecantikan sewaktu muda. Nenek itu bukan lain 

adalah dedengkot rimba persilatan bergelar Peri 

Kupu-kupu.

"Kau...!" desis Seruni sambil alihkan pan-

dangan ke jurusan lain. Lalu tengadahkan kepala 

dan lanjutkan ucapannya. "Jangan berharap aku 

merubah niatku hanya karena kau telah meno-

longku!"

Peri Kupu-kupu tertawa pelan sambil pan-

dangi wajah gadis cantik di hadapannya. "Anak ini 

pendiriannya teguh. Sayang..., belum bisa membe-

dakan mana yang baik dan buruk...," batin Peri 

Kupu-kupu lalu berkata pelan.

"Seruni.... Pertolonganku bukan untuk me-

rubah niatmu. Hal itu semata kulakukan hanya 

untuk menyelamatkanmu! Pantang bagiku melihat 

perbuatan semena-mena di depan mataku. Apalagi 

kau adalah manusia jenisku!"

Seperti diketahui, Seruni yang mengaku se-

bagai cucu sekaligus murid dari tokoh bergelar 

Raksasa Bermuka Hijau turun ke rimba persilatan 

dengan membekal tugas dari gurunya untuk 

membunuh beberapa orang dan di antaranya ada-

lah Peri Kupu-kupu. Selain itu juga untuk menye-

lidik sekaligus memburu Lembaran Kulit Naga Per-

tala. Pada pertemuan pertama kalinya dengan Peri 

Kupu-kupu, Seruni gagal melaksanakan tugasnya

(Baca serial Pendekar Mata Keranjang dalam epi-

sode: "Bukit Siluman").

Mendengar ucapan Peri Kupu-kupu, Seruni 

menyahut.

"Bagus jika begitu ucapanmu! Berarti otak-

mu masih dapat membedakan urusan!"

"Seruni...," kata Peri Kupu-kupu sambil ter-

tawa. "Pengalaman hidup telah membuat seseo-

rang berubah. Dan kehidupan memang aneh. Ka-

dang-kadang hari ini menjadi lawan namun lusa 

berubah jadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Hari 

ini mengalami duka nelangsa tapi lusa berganti 

roda bahagia. Tapi jalan menuju perubahan me-

mang sulit. Diperlukan pengorbanan besar. Malah 

kadangkala harus berani korban perasaan dan 

harga diri!"

"Orang tua! Berkatalah sepuasmu. Namun 

jangan mimpi bisa merubah niatku untuk mem-

bunuhmu! Pengorbanan apa pun yang kau laku-

kan, tak akan membuat aku jadi kawanmu! Kau 

telah kutulis di hatiku sebagai orang yang harus 

kumusnahkan dari bumi ini!"

Sekali lagi Peri Kupu-kupu keluarkan tawa 

perlahan, lalu berujar.

"Anak gadis. Jangan kau sebut-sebut lagi 

tindakanku tadi untuk merubah niatmu! Aku 

hanya mengatakan hukum alam yang berlaku. 

Aku tahu, kau sebenarnya adalah gadis baik. 

Hanya untuk sementara ini kau masih dikepung 

oleh keadaan yang membuat pandanganmu kabur. 

Aku percaya, kelak kau akan menemukan jati di-

rimu bila kekaburan itu sirna...."

Sejenak Seruni seperti tercekat mendengar 

ucapan Peri Kupu-kupu. Namun sesaat kemudian 

lenyap berganti dengan kemarahan yang selama 

ini ditahan.

"Orang tua! Kau tahu apa tentang aku?! 

Buang jauh-jauh ramalanmu itu! Bersiaplah 

menghadapi kematianmu!"

"Karena kematian tak bisa ditentukan ka-

pan datangnya, sejak dulu kala aku telah siap 

menghadapi kematian, Seruni. Namun sebelum 

aku mati, apakah kau tidak mengharapkan sesua-

tu dariku?!"

Seruni terdiam. Dalam hati gadis ini mem-

batin. "Bagaimana ini? Apakah aku harus menga-

jukan tanya padanya seperti yang diperintah 

Eyang Guru? Dia telah mengatakannya sendiri, 

kenapa tidak?!"

Jika Seruni membatin demikian, tidak de-

mikian halnya dengan apa yang ada dalam benak 

Peri Kupu-kupu. "Entah kenapa, meski nada sua-

ranya memerahkan telinga, namun aku suka anak 

ini. Seandainya Raksasa Bermuka Hijau mau 

mengatakan siapa sebenarnya dirinya dan apa tu-

juannya hingga menginginkan nyawaku, mungkin 

urusan ini tak sampai melibatkan gadis ini. Akan-

kah salah paham ini terus berlangsung? Sayang, 

aku hanya mendengar alasan Raksasa Bermuka 

Hijau dari orang lain. Kalau saja aku mendengar 

sendiri dari mulutnya, aku mungkin sedikit ba-

nyak bisa mendapat titik terang. Apakah aku ha-

rus menemuinya? Oh.... Tuhan. Panjangkan 

umurku. Berilah kesempatan padaku untuk menjernihkan urusan yang belum tentu ini...," Peri 

Kupu-kupu mendadak katupkan kelopak matanya. 

Ketika mata itu membuka dan mengerjap, mata itu 

telah berkaca-kaca.

Seruni tertegun. Ada perasaan aneh menye-

ruak di dada gadis ini. Hingga ucapan yang hen-

dak dikeluarkan seakan tercekat di tenggorokan-

nya. Malah tanpa sadar dia berkata lain dari apa 

yang semula hendak dikatakan.

"Nek.... Apa sesungguhnya yang terjadi den-

gan dirimu?!"

Peri Kupu-kupu gelengkan kepalanya perla-

han. Namun guliran bening air matanya sudah ja-

tuh membasahi pipinya yang keriput.

Tak dapat menahan perasaan, Seruni me-

langkah mendekat. Namun belum sampai gadis ini 

bicara. Peri Kupu-kupu telah mendahului.

"Seruni.... Kau mau mengatakan padaku 

kenapa kakekmu menginginkan nyawaku?!"

Untuk sesaat Seruni tak menjawab. Dia 

pandangi lekat-lekat wajah nenek di hadapannya. 

Setelah agak lama, baru dia berkata.

"Menurut Kakek...," Seruni ragu-ragu me-

lanjutkan.

"Katakanlah, Seruni. Bagaimana menurut 

kakekmu...."

"Mungkin kaulah yang saat ini menyimpan 

lembaran kulit yang diburu kalangan tokoh-tokoh 

rimba persilatan!"

Peri Kupu-kupu surutkan langkah satu tin-

dak karena terkejut. Dadanya tambah bergetar ke-

ras. Mulutnya terkancing rapat. "Kalau bukan cucunya, mungkin aku masih ragu-ragu. Jadi... Ah. 

Berarti memang dia orang yang selama ini kuca-

ri.... Karena hanya dari keturunannya yang tahu 

seluk-beluk lembaran kulit itu...."

Setelah dapat menguasai rasa terkejutnya. 

Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepalanya, lalu 

berkata.

"Seruni. Apakah kau masih menginginkan 

nyawaku?"

"Sebenarnya.... Ah, serahkan saja lembaran 

kulit itu padaku. Dan anggap tidak ada lagi masa-

lah di antara kita...."

"Seruni. Dengarlah baik-baik. Kakekmu sa-

lah paham. Apa yang dikatakan kakekmu tidak 

ada padaku...!"

Wajah Seruni kembali berubah mendengar 

ucapan Peri Kupu-kupu. Pandangannya dingin 

menusuk ke bola mata sipit nenek di hadapannya.

"Eyang Guru tidak pernah berkata dusta. 

Atau...."

Belum selesai Seruni dengan ucapannya, 

Peri Kupu-kupu telah memotong.

"Kakekmu memang tidak berkata dusta. 

Namun dia salah paham!"

"Salah paham bagaimana maksudmu?!" su-

ara Seruni mulai agak keras.

"Aku tak bisa menceritakan di sini. Aku per-

lu bertemu dengan Eyang Gurumu itu biar urusan 

jadi terang!"

"Kau makin berbelit-belit!" hardik Seruni, 

lalu menyambung. "Pesan Eyang Guru, jika lemba-

ran kulit tak di tanganku, maka sebagai gantinya

adalah kepalamu! Kau tinggal pilih!"

"Kalau orang lain yang mengucapkan kata-

kata itu, sudah kupecahkan mulutnya. Sayang 

yang keluarkan kata-kata adalah kau!" ujar Peri 

Kupu-kupu sedikit agak keras. Hati perempuan 

tua ini nampaknya juga mulai geram mendengar 

kata-kata Seruni.

Seruni tersenyum dingin. "Apa bedanya aku 

dengan orang lain? Hah?! Kau bukan sanak kera-

batku. Aku pun tak punya tali darah denganmu!"'

"Seandainya kau tahu, mungkin kau tak 

akan berkata begitu, Seruni. Kau tak tahu! Di an-

tara kita sebenarnya masih ada pertalian darah!"

"Kau jangan mengada-ada, Tua Bangka! 

Alasanmu tidak masuk akal!" seru Seruni meski 

dadanya tiba-tiba merasa sesak. Berbagai pera-

saan kembali melanda hatinya.

"Sekarang kau boleh mengatakan sesuka-

mu. Karena masalahnya memang belum jelas be-

nar. Namun aku yakin, jika Eyang Gurumu men-

gatakan begitu, berarti di antara kita masih ada 

pertalian darah! Kelak semuanya akan jelas!"

Sejurus Seruni terdiam.

"Boleh aku tahu, siapa orangtuamu?!" tanya 

Peri Kupu-kupu.

Ucapan Peri Kupu-kupu membuat Seruni 

terkejut bukan main. Parasnya berubah seketika. 

Kepalanya perlahan-lahan bergerak tengadah. Se-

benarnya gadis ini menahan agar air matanya ti-

dak jatuh. Namun rupanya perasaan galau begitu 

kuat menekan perasaannya. Hingga tak lama ke-

mudian bahunya berguncang lalu dia sesenggukan, membuat Peri Kupu-kupu terperangah kaget.

"Heran. Kenapa dengan gadis ini? Tersing-

gung dengan ucapanku? Tapi rasa-rasanya aku ti-

dak mengucapkan kata-kata yang menyinggung 

perasaan. Aku hanya bertanya tentang kedua 

orangtuanya.... Hem...," Peri Kupu-kupu diam un-

tuk beberapa lama seolah menunggu si gadis men-

guasai diri.

Tiba-tiba Seruni sentakkan kepalanya 

menghadap Peri Kupu-kupu. Sepasang matanya 

yang sembab oleh air mata memandang tajam lu-

rus ke wajah si nenek.

"Kalau kau benar-benar masih ada pertalian 

darah, berarti kau tahu siapa orangtuaku! Kata-

kan padaku. Siapa mereka!"

Untuk kedua kalinya Peri Kupu-kupu ter-

lengak oleh ucapan Seruni. Hingga untuk bebera-

pa lama nenek ini terdiam gagu. Setelah beberapa 

saat baru Peri Kupu-kupu buka mulut.

"Seruni. Seperti kukatakan tadi, semuanya 

belum jelas benar. Kau tahu, selama ini sebenar-

nya aku tengah mencari ikatan darah yang tak 

terputus ini! Sekaligus untuk meluruskan kesa-

lahpahaman. Jadi kalau aku belum bisa menjawab 

tanyamu bukan berarti aku mengada-ada dengan 

keteranganku!"

Seruni tidak menyambuti ucapan Peri Ku-

pu-kupu, membuat nenek ini makin tak enak pe-

rasaannya.

"Seruni. Apakah kau benar-benar mengin-

ginkan kitab itu?!" tanya Peri Kupu-kupu menga-

lihkan pembicaraan untuk mengatasi kekakuan

suasana.

Seruni tak buka mulut. Malah mengangguk 

atau menggeleng pun tidak. Membuat Peri Kupu-

kupu jadi salah tingkah tak tahu harus berbuat 

apa, hingga akhirnya nenek ini berujar.

"Baiklah. Untuk sementara ini kita berpisah 

dulu. Namun perlu kau ingat baik-baik. Lembaran 

Kulit Naga Pertala yang asli tidak ada padaku. Ka-

lau kau ingin menyelidik, harap kau tunggu sam-

pai aku menemuimu lagi. Daerah ini adalah kawa-

san pinggir Sungai Siluman yang menuju Bukit Si-

luman. Sementara ini kau jangan jauh-jauh dari 

kawasan ini! Aku pergi sekarang...."

Habis berkata. Peri Kupu-kupu berkelebat 

meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya ter-

tahan tatkala didengarnya Seruni berseru.

"Tunggu!"

Peri Kupu-kupu urungkan niat. Tanpa ber-

paling pada Seruni dia berkata.

"Katakan kalau masih ada yang ingin kau 

utarakan!"

"Aku tak mengerti dengan semua ini. Ka-

lau...."

"Seruni!" potong Peri Kupu-kupu. "Urusan 

ini tidak akan bisa dimengerti tanpa hadirnya be-

berapa orang. Kalau kau ingin mengerti tunggulah 

seperti yang kukatakan tadi! Ingat! Jangan terbu-

ru-buru menuju Bukit Siluman sebelum bertemu 

denganku!"

Sebenarnya Seruni masih ingin bertanya 

banyak, namun ketika gadis ini balikkan tubuh. 

Peri Kupu-kupu ternyata sudah tidak ada di tempat itu lagi!

"Kenapa urusan jadi tak karuan begini? 

Mungkinkah ucapan orang tua itu benar? Ah, uru-

san mencari kedua orangtuaku belum kulakukan 

kini telah timbul masalah yang tak kumengerti...," 

Seruni menghela napas panjang. "Peri Kupu-kupu 

bilang lembaran kulit yang aslinya tidak ada pa-

danya. Berarti yang ada padanya lembaran kulit 

palsu? Atau.... Ah, sebaiknya aku memang me-

nunggu. Tapi aku akan menuju ke Bukit Siluman 

jika dia terlambat. Aku masih meragukan keteran-

gannya! Siapa tahu dia mempunyai maksud lain di 

balik semua ini!"

Habis berkata begitu, Seruni arahkan pan-

dangannya ke selatan. Dari sela-sela kerimbunan 

semak, dia dapat menangkap bunyi gemuruh se-

perti air terjun di telinganya yang asalnya dari 

Sungai Siluman. Padahal, permukaan airnya tenang saja


ENAM



MATAHARI telah jatuh ke pangkuan kaki 

langit di ujung barat. Pada saat bersamaan, sang 

rembulan mulai bergerak naik menggantikannya, 

hingga walau malam telah menjelang, suasana 

masih sedikit terang.

Dalam keadaan begitu, kawasan Sungai Si-

luman nampak indah. Air sungai terlihat berkilat

kilat tertimpa cahaya rembulan. Pohon-pohon be-

sar kecil yang banyak tumbuh di pinggir sungai 

berubah menjadi kebiruan terkena pantulan warna 

air sungai.

Pendekar 108 sampai di kawasan Sungai Si-

luman setelah malam turun. Sewaktu berlari mu-

rid Wong Agung ini sengaja menempuh jalan ber-

putar. Selain untuk menghilangkan jejak juga in-

gin melihat-lihat pemandangan indah kawasan 

yang dilaluinya. Hingga dia sampai di pinggir sun-

gai ketika malam telah menjelang.

Sejenak Aji layangkan pandangannya kian 

kemari. Saat itu dia berada dua puluh tombak dari 

tepi sungai, di mana banyak tumbuhan kecil di se-

kitarnya.

"Hem.... Terpaksa aku harus menunggu 

sampai pagi. Untuk menuju bukit itu tentu mem-

butuhkan perahu...," Aji luruskan pandangannya 

ke tengah sungai. Yang tampak hanyalah permu-

kaan air.

"Menentukan mana Bukit Siluman pun 

amat sulit jika malam hari. Hem.... Aku terpaksa 

harus menunggu sampai pagi. Tapi itu lebih baik. 

Aku bisa menyiasati keadaan terlebih dahulu. Bu-

kan tak mungkin telah banyak orang di sekitar 

kawasan ini...." murid Wong Agung lalu melangkah 

ke arah samping kanan lalu lurus hendak menuju 

pinggir sungai. Namun gerakan kakinya tertahan 

sewaktu tiba-tiba dari arah samping kiri terdengar 

suara tawa mengikik pelan.

Cepat Pendekar Mata Keranjang berpaling 

dengan mata dipentangkan lebar-lebar. Dari tempatnya berada, Pendekar 108 samar-samar melihat 

sesosok tubuh berdiri lima belas langkah darinya. 

Aji doyongkan tubuhnya ke depan lalu matanya 

dibuka semakin lebar memperhatikan orang itu.

"Hem.... Setan Pesolek...," gumam Aji begitu 

matanya dapat mengenali siapa adanya orang itu.

Tanpa pikir panjang lagi, murid Wong 

Agung ini bergegas mendekati. Tapi tinggal berja-

rak satu tombak sosok yang dikenal Aji, Setan Pe-

solek keluarkan suara, seraya gerakkan tangan 

pulang balik.

"Kau benar-benar menginginkan lembaran 

kulit itu Pendekar 108?!"

Murid Wong Agung palingkan wajah dengan 

dahi mengernyit. "Aneh. Suaranya seperti dita-

han.... Apakah telingaku yang...," Aji tak dapat 

meneruskan kata hatinya karena pada saat ber-

samaan Setan Pesolek telah kembali mengulangi 

pertanyaannya.

"Karena tugas ini amat penting demi menye-

lamatkan dunia persilatan dari tangan orang-orang 

tidak bertanggung jawab, meski petunjuk yang di-

katakan Peri Kupu-kupu masih belum bisa kupa-

hami, aku akan tetap melangkah terus!"

Setan Pesolek gerak-gerakkan pinggang dan 

pinggulnya. Mata kirinya dikerdipkan. Di lain ke-

jap dia kembali buka suara.

"Pendekar 108! Kau masih ingat petunjuk 

itu?!"

"Tentu! Tiga tambahkan tiga dan seterus-

nya. Tiga langkah paling tengah. Naik, buka pintu 

lalu turun dan melangkah dua puluh satu."

Setan Pesolek dengarkan kata-kata Aji den-

gan seksama.

"Bagus! Lembaran kulit itu memang harus 

diselamatkan agar rimba persilatan dapat tenang 

damai...," kata Setan Pesolek lalu tengadahkan ke-

palanya.

"Setan Pesolek.... Sebenarnya selain aku be-

lum bisa memecahkan petunjuk itu, aku juga be-

lum bisa memahami arti ucapanmu tempo hari. 

Kalau saja kau telah mengetahuinya...."

"Ucapanku yang mana...?!" 

"Kau bilang, melihat tabir penutup yang tak 

bisa ditembus dengan pandangan mata biasa. Dan 

kau bilang, mungkin kipasku bisa membukanya."

Setan Pesolek rapikan rambut dan wajah 

dengan jari-jari tangannya.

"Aku memperoleh firasat memang demikian. 

Dan sejauh ini aku belum bisa menafsirkan tabir 

apa itu. Kipas di tanganmu mungkin saja bisa 

membukanya. Tapi...," Setan Pesolek putuskan 

ucapannya. 

"Tapi apa...?" sahut Aji. 

"Coba kulihat kipasmu!"

Murid Wong Agung ambil kipas ungu 108 

dari balik pakaiannya lalu diulurkan pada Setan 

Pesolek. Setan Pesolek ulurkan sebelah tangannya 

menyambuti kipas yang diulurkan Aji.

Sejurus kipas berwarna ungu itu ditimang-

timang. Sepasang mata Setan Pesolek memperha-

tikan bentuk kipas bergurat angka 108 itu untuk 

beberapa lama. Lalu kepalanya mengangguk-

angguk. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara

'Taarr-taarr-taarrr'! Beberapa kali.

Setan Pesolek cepat selipkan kipas ungu 

108 ke balik jubahnya, lalu berkata.

"Nampaknya daerah sekitar sini tidak aman! 

Cepat menyingkir!" kata Setan Pesolek sambil do-

rong tubuh Aji hingga terjengkang. Lalu berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

Murid Wong Agung buru-buru bangkit lalu 

berkelebat hendak menyusul Setan Pesolek. Na-

mun pada saat bersamaan serangkum angin dah-

syat menderu ganas menghantam ke arahnya, 

membuat Pendekar Mata Keranjang mencelat men-

tal.

"Setan alas!" maki Aji sambil bangkit. Belum 

sampai tubuhnya tegak, sesosok tubuh berkelebat. 

Lalu terdengar suara 'Taaarrr! Taaarrr'!

Aji melihat kelebatan tali kuning yang me-

mancarkan bunga api mengarah pada batok kepa-

lanya. Murid Wong Agung ini cepat rundukkan ke-

pala lalu membentak dan lepaskan pukulan 

'Mutiara Biru'.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Sinar biru membersit dan mengembang 

menyebarkan hawa panas luar biasa. Karena ge-

ram, Aji lepaskan pukulan dengan kerahkan tena-

ga penuh.

Tali kuning yang ternyata sebuah bambu 

kuning langsung mental balik. Sosok orang yang 

menyabetkan bambu ikut terdorong ke belakang 

lalu jatuh terjengkang dengan keluarkan makian 

tak karuan. Orang ini merasakan tangannya ber-

getar keras, malah kalau tidak segera kerahkan

tenaga dalam, mungkin bambu kuning di tangan 

kanannya akan jatuh! Orang ini cepat bangkit. La-

lu usap-usap dadanya yang berdenyut nyeri.

Pendekar Mata Keranjang segera melesat ke 

depan. Lalu tegak dengan dagu membesi lima 

langkah di hadapan orang yang baru saja menye-

rangnya. Pemuda ini melihat seorang laki-laki se-

tengah baya mengenakan rompi warna hitam. Tu-

buhnya kecil kurus. Rambutnya digelung ke atas. 

Paras wajahnya tirus mirip muka tikus. Di tangan 

kanannya tergenggam sebatang bambu kuning se-

panjang tiga jengkal.


TUJUH


LAKI-LAKI setengah baya bersenjatakan 

bambu kuning dan bukan lain adalah Dewa Setan 

adanya memandang Aji dengan seringai ganas. Me-

lihat senjata di tangan orang, Aji teringat pada ki-

pasnya yang dibawa Setan Pesolek. Mendadak ada 

perasaan tak enak dalam hatinya. Namun segera 

dikubur dalam-dalam mengingat telah tahu siapa 

Setan Pesolek adanya. Tidak mungkin orang seper-

ti Setan Pesolek menipu dan melarikan kipasnya. 

Berpikir sampai di situ, hati murid Wong Agung 

kembali tenang.

"Siapa kau? Dan kenapa tiba-tiba menye-

rangku?!" bentak Aji memecah kebisuan sambil 

memperhatikan orang dengan seksama. Aji merasa

belum pernah bertemu dengan orang di hadapan-

nya. Sebaliknya Dewa Setan telah tahu siapa Aji. 

Hal ini terjadi sewaktu Aji terlibat bentrok dengan 

Hantu Berjubah. Karena saat itu Aji terluka, dia 

tidak tahu jika tiga orang yang datang mengha-

dang Hantu Berjubah salah satunya adalah Dewa 

Setan. Dewa Setan tengadahkan kepala. Bambu 

kuning di tangannya ditempelkan ke mulutnya 

mengeluarkan bunyi merdu seperti suling ditiup 

beberapa kali keras menusuk gendang telinga.

"Pendekar 108! Kau tak perlu tahu siapa 

aku. Yang pasti aku datang untuk menjemput 

nyawamu!"

Aji tertawa panjang. "Kau sudah pasti da-

tang ke orang yang salah! Jangan-jangan kedatan-

ganmu hanya untuk mengantar nyawa!"

Dewa Setan ikut-ikutan keluarkan tawa. 

"Aku tidak pernah salah apalagi gagal mencabut 

nyawa orang yang kuinginkan!"

"Tapi tidak untuk kali ini! Sekarang justru 

kau datang pada orang yang akan membetot se-

lembar nyawamu!"

Dewa Setan makin keraskan tawanya men-

dengar kata-kata Aji. Tiba-tiba suara tawanya di-

putus. Matanya membeliak besar.

"Tanganku akan bicara jika aku tak salah 

pilih orang untuk mampus!"

"Matamu saja salah pilih orang, apalagi tan-

ganmu! Ha.... Ha.... Ha.... Jangan-jangan bicaramu 

sebagai isyarat bahwa kau tak lama lagi menutup 

mata!"

"Setan alas! Kukuliti kulit kepalamu!"

Taaarrr! Taaarrr!

Tangan kanan Dewa Setan berkelebat. 

Bambu kuning itu keluarkan suara mendesing dan 

memperlihatkan lidah api tatkala melesat ke arah 

Aji. Sementara tangan kirinya langsung bergerak 

mendorong, hingga saat itu juga angin deras 

menggebrak.

Murid Wong Agung mundur dua langkah. 

Kedua tangannya diangkat ke atas. Lalu dikem-

bangkan dan didorong dengan kerahkan tenaga 

penuh.

Untuk kedua kalinya dari kedua telapak 

tangan Aji melesat sinar biru disertai hawa panas 

menggebrak.

Terdengar letupan keras. Namun karena 

sudah waspada, sebelum letupan terjadi Dewa Se-

tan melesat ke udara. Dan masih merasakan tan-

gannya bergerak ketika bambunya mental. Tapi 

dia cepat kerahkan kembali tenaga dalamnya dari 

atas bambu kembali disabetkan ke bawah.

Breeettt!

Wuuuttt!

Begitu cepatnya lesatan bambu kuning, 

meski Pendekar Mata Keranjang telah bergerak ce-

pat dengan gulingkan tubuh di tanah, namun tak 

urung juga ujung bambu membabat bahu kanan-

nya. Tapi Aji tak peduli. Dia teruskan gulingan tu-

buhnya. Pada gulingan ketiga dia berbalik dan 

hantamkan tangannya.

Sinar biru membersit dengan membawa 

hawa panas. Dewa Setan yang melayang turun ke-

luarkan suara tegang. Dia sentakkan tubuhnya

untuk membuat gerakan berputar di udara. Na-

mun tubuh bagian bawahnya masih tersambar 

pukulan 'Mutiara Biru' yang dilepas Pendekar Ma-

ta Keranjang, hingga tubuhnya terbanting di udara 

lalu melayang lurus ke bawah dengan derasnya. 

Murid Wong Agung tak mau buang kesempatan. 

Sebelum sosok Dewa Setan menyentuh tanah, Aji 

melesat ke depan. Tangan kirinya bergerak meng-

hantam ke arah tangan Dewa Setan yang meme-

gang bambu. 

Bukkk!

Kembali terdengar seruan keras dari mulut 

Dewa Setan. Tangan kanannya mental ke belakang 

dan bergetar keras. Di kejap lain bambu kuning itu 

mencelat lalu jatuh di sebelah sebatang pohon se-

pelukan orang dewasa. Selagi tubuh lawan ter-

huyung-huyung Aji lepaskan lagi tinju kanannya 

ke arah dada lalu disusul dengan tangan kiri ke 

arah perut.

Bukkk! Bukkk!

Tubuh Dewa Setan terlipat ke depan. Saat 

itulah kaki kiri Pendekar Mata Keranjang melesat. 

Kepala Dewa Setan tersentak ke kanan, kejap ke-

mudian tubuhnya terbanting dengan derasnya di 

atas tanah! Sosok Dewa Setan sejenak bergetar ke-

ras, namun tak lama kemudian diam kaku!

Pendekar 108 menarik napas berulangkali. 

Lalu berpaling pada bahunya. Sejurus sepasang 

matanya mendelik. Pakaian di bagian bahu robek 

dan kulit di baliknya mengelupas. Aji cepat henti-

kan aliran darah di sekitar lukanya. Lalu salurkan 

hawa murni untuk menangkal racun dari bambu

yang sempat menggores bahunya.

Saat itulah mendadak terdengar suara ke-

ras menegur.

"Jahanam Mata Malaikat! Kau kira bisa lo-

los dari mataku, hah?!"

"Mata Malaikat?! Siapa yang dipanggil Mata 

Malaikat?!" batin Aji seraya cepat menoleh ke arah 

datangnya suara.

Dari sela pohon, sesosok tubuh berkelebat. 

Di lain saat sosok tersebut telah tegak delapan 

langkah di hadapan Aji. Menahan kejut, kedua 

mata Pendekar Mata Keranjang mendelik perhati-

kan orang di hadapannya.

"Edan! Bagaimana mungkin dia bisa me-

manggilku Mata Malaikat?! Atau mata orang ini 

sudah lamur?!" Aji sunggingkan senyum sambil 

usap-usap hidungnya lalu berkata.

"Utusan Iblis! Siapa yang kau maksud den-

gan Mata Malaikat?"

Orang di hadapan Aji yang bukan lain ter-

nyata Utusan Iblis keluarkan dengusan keras dan 

seringai garang.

"Kau jangan banyak mulut! Terimalah ke-

matianmu sekarang juga, Mata Malaikat!"

"Gila! Jangan-jangan ini perbuatan orang 

tua itu! Pantas dia mengatakan pemuda ini sebe-

narnya mencariku! Benar-benar edan! Orang tua 

itu mencelakakanku! Bagaimana sekarang?!" kata 

murid Wong Agung dalam hati sambil cengar-

cengir. Namun sebenarnya hatinya geram pada 

orang tua yang sempat ditemuinya beberapa waktu 

berselang. "Dengar, Utusan Iblis! Aku bukan...."

"Teruslah bicara. Tapi jangan harap aku 

percaya!" tukas Utusan Iblis. Pemuda ini arahkan 

pandangannya pada sosok Dewa Setan sejenak la-

lu tersenyum dingin.

"Baik. Sekarang aku tanya padamu. Siapa 

yang memberitahukan padamu jika aku Mata Ma-

laikat?!"

Utusan Iblis tertawa bergerai. "Manusia ma-

cam kau memang suka sandiwara! Tapi jangan 

khawatir, di alam kubur nanti kau masih bisa 

sandiwara!"

"Hem.... Kau tak jawab tanyaku. Berarti kau 

yang main sandiwara di hadapanku. Teruskan! 

Aku ingin lihat bagaimana kelanjutan sandiwara-

mu! Jika bagus, aku bisa membawamu ke pentas! 

Siapa tahu kau bibit yang terpendam!"

"Keparat! Setan busuk!" bentak Utusan iblis 

marah. "Ah, matamu kurang melotot. Seharusnya 

tanganmu mengepal dan diacungkan-acungkan. 

Lalu buat kepalamu berpaling sambil senyum-

senyum! Itu baru bagus. Ingat waktu senyum kau 

bayangkan sedang melihat seorang nenek berdan-

dan menor sedang telanjang bulat. Yakin, se-

nyummu pasti mempesona!"

"Bangsat! Kuhancurkan mulutmu!" sentak 

Utusan Iblis dengan mata mendelik besar semen-

tara dagunya mengembang, kedua tangannya di-

kembangkan.

"Bagus! Mimikmu sudah pas. Tinggal pen-

gaturan nada suara! Sebaiknya suaramu dibuat 

setengah laki-laki separo perempuan!"

Utusan Iblis sudah tak dapat menahan ma

rah. Kedua tangannya segera disentakkan ke de-

pan.

"Hai.... Ini masih sandiwara kan?!" seru Aji 

sambil bergerak ke samping menghindari samba-

ran angin yang menyambar dari telapak tangan 

Utusan Iblis.

Utusan Iblis tak menyahut. Malah sambil 

melesat ke depan, kedua tangannya bergerak 

menghantam.

Belum sempat Pendekar Mata Keranjang 

membuat gerakan, kelebatan tangan telah sejeng-

kal di depan hidungnya, membuat mau tak mau 

murid Wong Agung ini angkat kedua tangannya.

Prakkk! Bukkk!

Dua pasang tangan beradu keras. Namun 

pada saat bersamaan Utusan Iblis kirimkan ten-

dangan tak terduga. Hingga tubuh Aji terpental la-

lu terhuyung-huyung sambil memegangi lam-

bungnya.

"Hai.... Dalam sandiwara tidak ada yang 

sungguhan begini! Atau kau...."

Belum sempat Pendekar 108 teruskan uca-

pannya, Utusan Iblis telah keluarkan bentakan ke-

ras. Lalu kedua tangannya menghantam ke depan, 

kali ini lepaskan pukulan jarak jauh tangan ko-

song yang telah dialirkan tenaga dalam.

Melihat pukulan lawan, secepat kilat murid 

Wong Agung hantamkan kedua tangannya. Sesaat 

kemudian terdengar ledakan. Namun saat itu Aji 

merasakan tubuhnya laksana tersedot tenaga kuat 

ke depan. Hingga huyungan tubuhnya bukan ke 

belakang, melainkan ke depan!

Baru saja Aji hendak hantamkan pukulan 

'Mutiara Biru', tiba-tiba pinggangnya terasa diteli-

kung tangan. Pendekar Mata Keranjang urungkan 

niat lepaskan pukulan dan segera pukulkan kedua 

tangannya ke arah tangan yang menelikung ping-

gangnya. Tapi baru setengah jalan, tangan yang 

menelikung telah bergerak. Tubuh Aji terangkat la-

lu berputar dan di lain saat telah deras menukik 

ke bawah lalu terbanting dengan punggung terle-

bih dahulu!

Bukkk!

Aji mengeluh tinggi. Namun segera bangkit. 

Namun gerakan tubuhnya tertahan tatkala tiba-

tiba sebuah kaki terbungkus jubah merah sampai 

lutut ditekankan ke dadanya, membuat murid 

Wong Agung rebah kembali dengan dada sesak 

dan mulut megap-megap

Suara tawa keras segera terdengar, mem-

buat dada Aji makin sesak, karena kaki di dadanya 

makin keras menekan dan berguncang-guncang 

mengikuti nada suara tawa.

"Keparat! Turunkan kakimu!" teriak Pende-

kar Mata Keranjang sambil hantamkan tangan ka-

nan kiri ke arah kaki yang menginjak dadanya.

Suara tawa terputus. "Kau teruskan gera-

kan tanganmu, dadamu jebol!" ancam Utusan Iblis 

seraya tekankan kakinya lebih keras, membuat Aji 

urungkan niat dan makin megap-megap sukar 

bernapas. Tak hanya sampai di situ. Begitu tangan 

Aji tak jadi memukul, Utusan Iblis cepat angkat 

kaki satunya lalu ditekankan pada tangan Aji. 

Hingga selain megap-megap, Pendekar 108 tak bsa menggerakkan tubuh bagian samping.

Utusan Iblis pandangi Aji dengan tersenyum 

mengejek. Lalu berkata, "Mata Malaikat! Nyawamu 

tinggal beberapa saat lagi. Jawab tanyaku. Apakah 

ini kawasan Sungai Siluman yang menuju Bukit 

Siluman?!"

"Jahanam! Turunkan kakimu dulu. Aku tak 

bisa bernapas!" teriak Aji dengan suara parau ter-

sendat.

Utusan Iblis kurangi tekanan kakinya pada 

dada Aji, namun kaki itu tetap di atas dadanya. 

"Sekarang jawab tanyaku!"

"Kau tadi tanya apa?!"

"Setan keparat! Kau tidak tuli! Jawab atau 

kujebol dadamu!" hardik Utusan Iblis mulai marah 

lagi.

"Sebelum kujawab, dengar dulu. Aku bukan 

Mata Malaikat! Kau telah ditipu orang!"

"Jangan banyak bacot! Jawab yang ku-

tanya!"

Pendekar Mata Keranjang menghela napas 

dalam sebelum akhirnya berkata. "Menurut orang-

orang, ini memang kawasan Sungai Siluman. Soal 

Bukit Siluman aku tak tahu!"

"Hem.... Begitu? Jawaban tepat meski aku 

tahu kau berdusta! Mata Malaikat! Bersiaplah un-

tuk mampus!" habis berkata begitu, Utusan Iblis 

angkat kedua tangannya.

"Tahan! Jika kau salah turunkan tangan, 

jangan menyesal jika rohku akan gentayangan 

mencarimu sekaligus membalas atas tindakanmu!" 

cegah Aji dengan tubuh bergetar dan suara sember.

Utusan Iblis tertawa mengekeh. "Aku Utu-

san Iblis. Tak ada bangsa roh atau manusia yang 

sanggup menghadangku! Kau dengar itu?!"

"Tapi kau akan menyesal karena orang yang 

kau bunuh bukan orang yang kau cari! Bagiku,

mati tidak apa. Tapi bagimu, orang yang berke-

pandaian tinggi apakah tidak malu jika sampai sa-

lah bunuh. Jika Mata Malaikat tahu semua ini, di-

taruh di mana mukamu?!"

Utusan Iblis terdiam. Kedua tangannya per-

lahan-lahan diturunkan. Melihat hal ini Aji lan-

jutkan ucapannya. Namun sebelum kata-katanya 

terdengar, Utusan Iblis telah mendahului.

"Hem.... Berarti kau kenal dengan Mata Ma-

laikat!"

Aji meringis tak tahu harus menjawab ba-

gaimana. Utusan Iblis tekankan kakinya lebih ke-

ras. Mungkin karena tak tahan merasa sesak, ak-

hirnya Aji berkata sekenanya. Karena saat itu yang 

terlintas adalah wajah Peri Kupu-kupu, maka dia 

berujar.

"Sebenarnya...."

"Sebenarnya apa?!"

"Aku memang mengenalnya...."

Utusan Iblis menyeringai, lalu membentak.

"Katakan bagaimana orangnya!"

"Dia adalah seorang nenek berjubah kem-

bang-kembang. Rambutnya ditata mirip sayap 

yang tengah terkembang!"

Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu me-

mandang Aji dan berkata.

"Keteranganmu mungkin benar...," Aji me-

narik napas lega dan tersenyum, namun senyum-

nya pupus seketika saat didengarnya Utusan Iblis 

teruskan ucapannya. "Namun karena kau telah 

berani berkata dusta beberapa waktu lalu, maka 

kau tetap harus mampus! Lagi pula siapa tahu 

kau memang Mata Malaikat yang mengalihkan 

nama pada orang lain! Biar kelak tak ada rasa ke-

cewa, kau juga harus mendahului mampus!"

"Tunggu!" seru Pendekar 108. Namun Utu-

san Iblis tak lagi menghiraukan seruan Aji. Kedua 

tangannya diangkat dan serta-merta dihantamkan 

ke arah Aji.

Karena tak bisa lagi mengelak, akhirnya 

Pendekar Mata Keranjang hanya pejamkan sepa-

sang matanya menunggu maut menjemput nya-

wanya.

Sejengkal lagi hantaman kedua tangan Utu-

san Iblis yang telah dialiri tenaga dalam itu mere-

mukkan kepala Aji, tiba-tiba terdengar seru dah-

syat. Di lain kejap tubuh Utusan Iblis laksana dis-

apu gelombang hingga terhuyung dan terjengkang 

duduk.

Rahang Utusan Iblis langsung menggem-

bung besar, matanya merah laksana dikobari api. 

Kedua tangannya cepat dipukulkan ke arah mana 

deruan dan sapuan angin datang. 

Wuuuttt! Wuuuttt! Praaasss!

Semak-semak lebat yang banyak berada di 

sekitar tempat itu langsung rata laksana dipang-

kas pisau tajam. Serpihannya langsung berham-

buran ke udara berubah lembut lalu terbang di

bawa angin malam.

Namun ditunggu hingga beberapa saat tidak 

muncul juga seseorang, membuat Utusan Iblis ma-

rah lalu berteriak.

"Jahanam siapa pun adanya, keluarlah! 

Aku Utusan Iblis!"

Tak ada sahutan. Namun sesaat kemudian 

rimbunan tumbuhan lima belas kaki di samping 

Utusan Iblis bergoyang-goyang dengan keras. Utu-

san Iblis cepat putar tubuh setengah lingkaran la-

lu kedua tangannya untuk kedua kalinya meng-

hantam. 

Wuuuttt! Praaasss!

Rimbunan semak-semak terabas rata sam-

pai pangkalnya. Namun kembali Utusan Iblis di-

buat marah. Dari bekas tumbuhan itu dia tak me-

lihat siapa-siapa!

Mungkin penasaran, Utusan Iblis segera 

melesat ke arah kerimbunan semak. Dari situ tiba-

tiba dia samar-samar menangkap suara tawa per-

lahan yang seperti datang dari tempat agak jauh. 

Sejenak Utusan Iblis terpaku mendengarkan. Sete-

lah dapat menyiasati arah datangnya suara, tanpa 

pikir panjang lagi dia berkelebat sambil berteriak.

"Kau berani mempermainkan Utusan Iblis. 

Kau cari mampus!"

Pada saat Utusan Iblis berkelebat mengejar 

orang, Aji segera bangkit. Baru saja tegak terden-

gar suara pelan menegur.

"Aji! Mengapa masih bengong mirip orang 

bodoh. Ikuti aku!" 

"Eyang...," gumam Pendekar Mata Keran

jang mengenali panggilan dan suara gurunya. Dia 

segera berpaling. Dia hanya sekilas menatap ber-

kelebatnya sesosok bayangan. Yakin bahwa itu 

Eyang Gurunya si Wong Agung, Aji cepat putar tu-

buh lalu berkelebat ke arah mana sang bayangan 

berkelebat.

* * *

Kita tinggalkan dulu Utusan Iblis yang ber-

kelebat mengejar orang yang diduga telah mem-

permainkannya, juga berkelebatnya Aji menyusul 

bayangan yang diduga Eyang Gurunya. Kita kem-

bali pada Setan Pesolek yang berkelebat sambil 

membawa kipas ungu 108 milik Aji karena tiba-

tiba terdengar suara bergeletarnya bambu kuning.

Pada suatu tempat yang agak jauh dari 

tempat pertemuannya dengan Aji, Setan Pesolek 

hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar ke 

sana kemari. Sepasang matanya yang bulat tajam 

liar memperhatikan tempat di sekitarnya. Seraya 

menarik napas panjang dia mengusap keringat 

yang membasahi lehernya. Sesungging senyum 

menyeruak di bibirnya. Laki-laki ini lantas bergu-

mam sendiri.

"Seharusnya pemuda tadi langsung kuhan-

tam dadanya biar segera mampus. Tapi... Ah, itu 

akan membuatnya curiga dan tak menghiraukan 

Dewa Setan. Dan bukan tak mungkin akan menge-

jarku. Kurasa Dewa Setan akan berhasil mem-

buatnya ke akhirat. Kalaupun tak berhasil, kipas 

ini telah jatuh ke tanganku. Lebih dari itu aku


iakan segera mendapatkan Lembaran Kulit Naga 

Pertala. Petunjuk itu telah kuperoleh meski belum 

bisa kujabarkan.... Hem.... Sebentar lagi kitab itu 

di tanganku. Hik.... Hik,... Hik...! Rimba persilatan 

akan geger! Dan aku akan jadi tokoh tanpa tand-

ing. Hik.... Hik.... Hik...!"

Perlahan-lahan laki-laki ini angkat kedua 

tangannya ke atas. Dari batas keningnya tangan-

nya disentakkan.

Seettt! Seettt!

Terdengar seperti suara robek. Tangan si le-

laki terus bergerak ke belakang. Sampai tengkuk 

kembali tangan itu menyentak. 'Seeettt'!

Di tangan si kakek tampak rambut tergerai. 

Dia lalu menggoyang kepalanya. Kejap lain terlepas 

rambut hitam berkepang dua. Rambut itu panjang 

dan hitam! Si Laki-laki campakkan rambut di tan-

gannya, lalu tangan itu kembali diangkat ke atas. 

Dari bawah janggut tangan itu menyentak perla-

han. Lantas bergerak ke atas membuka kulit tipis 

yang menutup wajahnya.

Ketika kulit penutup itu terbuka, jelaslah 

wajah di balik kulit yang baru saja terbuka. Ter-

nyata dia adalah seorang perempuan berparas 

cantik. Bibirnya merah dengan bulu mata lentik 

dan mata bulat tajam.

Perempuan ini kemudian tanggalkan pa-

kaian! Di baliknya tampaklah pakaian warna putih 

tipis dan ketat membungkus tubuh sintal yang ba-

gian dadanya sedikit dibuat rendah menampakkan 

sebagian sembulan buah dadanya yang kencang.

Sejenak perempuan berbaju putih goyang

goyangkan kepalanya.

"Hem.... Sebentar lagi pagi akan datang. 

Aku akan cari tempat untuk istirahat sambil me-

mikirkan petunjuk itu...," gumamnya seraya terse-

nyum. Tangannya bergerak meraba ke arah ping-

gang. Saat tangannya bisa merasakan sembulan 

kipas, dia menarik napas dalam. Perempuan ber-

paras cantik dan bukan lain adalah Bidadari Pe-

nyebar Cinta ini putar kepalanya sekali lagi, lalu 

berkelebat tinggalkan tempat itu dengan bibir tersenyum.


DELAPAN


SESAAT setelah Bidadari Penyebar Cinta 

berkelebat lenyap sesosok bayangan muncul di 

tempat itu. Sepasang mata sosok ini menyapu ber-

keliling. Kepalanya bergerak berpaling ke samping 

kanan dan kiri.

"Hem.... Aku masih membaui harumnya tu-

buh seorang perempuan.... Pasti orangnya cantik. 

He.... He.... He...!" gumamnya lalu buka mulut le-

bar-lebar. "Seandainya aku masih muda, pasti dia 

kukejar. Sayang.... Tubuhku sudah tak kuat lagi 

untuk urusan-urusan demikian, padahal sebenar-

nya hatiku masih ingin.... Ah, mungkin masaku 

sudah memasuki zaman semangat kuat tenaga 

kurang...."

Orang ini lantas sentakkan kepalanya ke 

arah bawah. Tubuhnya dibungkukkan lalu tangannya terulur mengambil rambut berkepang dua 

yang tergolek di bawahnya.

Rambut itu didekatkan ke hidungnya den-

gan sepasang matanya dibeliakkan. "Rambut pal-

su.... Tapi baunya harum. Aneh. Dunia makin la-

ma makin dipenuhi hal aneh-aneh. Sudah punya 

rambut masih juga menggunakan rambut palsu. 

Jangan-jangan itunya orang nanti juga dipalsu! 

Edan! Bagaimana rasanya kalau lagi ketemu yang 

palsu begitu? Ngeri...," orang itu terus bergumam 

sambil tertawa sendirian, tanpa melepas rambut 

berkepang dua itu. Pandangannya ditujukan lagi 

ke tanah.

"Hem.... Pakaian bagus! Harum lagi...! Pemi-

liknya sudah pasti perempuan yang amat cantik. 

Sayang, aku tak melihatnya. Apalagi menda-

patkannya. Tapi..., mendapatkan pakaiannya pun 

cukup baik. Toh, bau harum tubuhnya masih ter-

tinggal.... Peduli amat dengan anggapan orang ter-

hadapku nanti. Biar mereka kebingungan melihat 

seorang kakek mengenakan pakaian perem-

puan...," orang itu ternyata adalah seorang kakek 

berpakaian kulit ular dan bukan lain adalah Mata 

Malaikat segera mengenakan pakaian perempuan 

itu. Malah rambut hitam panjang dan berkepang 

dua itu pun dikenakannya pula.

"He.... He.... He...! Tampangku mungkin se-

dikit keren. Bau tubuhku pun harum. Siapa tahu 

berbekal temuan ada nenek-nenek atau gadis can-

tik yang tiba-tiba tertarik padaku..."

Tiba-tiba Mata Malaikat tengadahkan kepa-

lanya. Matanya memandang ke arah sebelah timur. Nun jauh di atas langit sana cahaya kemera-

han telah tampak, berarti pagi akan segera tiba. 

Namun mesti pandangan si kakek ke arah peman-

dangan indah di bentangan langit sebelah timur 

tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya ter-

tegun untuk beberapa saat. Tapi telinganya yang 

sayup-sayup mendengar suara nyanyian yang se-

benarnya membuat kakek ini terkesima.

"Pagi-pagi begini sudah ada orang berse-

nandung. Hem.... Senandung kasmaran lagi. Dan 

dapat kupastikan itu suara seorang perempuan! 

Jangan-jangan Peri Sungai Siluman.... Hai.... 

Mungkin peri itu sedang mandi. Ah, aku akan ke 

sana. Siapa tahu aku bisa mencuri pakaiannya, la-

lu...," Mata Malaikat buka mulutnya makin lebar 

lalu berkelebat ke arah datangnya suara senan-

dung.

"Sial!" umpat Mata Malaikat dalam hati be-

gitu mendekam di balik rimbunan semak-semak 

dan dari sini ternyata dia melihat seorang gadis 

berparas cantik mengenakan pakaian warna kun-

ing muda sedang duduk bersandar pada sebatang 

pohon agak besar sambil bersenandung.

"Kukira sedang mandi...," Mata Malaikat te-

rus mengomel sambil matanya tak berkedip mem-

perhatikan ke arah si gadis.

"Biar aku laki-laki dan sudah kakek-kakek, 

namun aku bisa menyelami perasaan anak itu. 

Sepertinya dia sedang jatuh cinta.... Orang lagi ke-

tiban cinta memang tingkah lakunya jadi berubah. 

Dia lebih senang berteman dengan sungai, angin, 

tumbuhan daripada berteman dengan orang selain

kekasihnya. Gilanya lagi dia lebih percaya pada 

angin, burung-burung dan ikan sebagai tempat 

curahan hati! Edan.... Cinta memang edan! Astaga. 

Kenapa aku sampai ikut memikir ke sana. Lebih 

baik aku mencari pemuda itu. Kasihan kalau dia 

sampai ketemu dengan pemuda bergelar Utusan 

Iblis itu. Aku akan mengatakan yang sesungguh-

nya, bahwa aku bersalah telah mengatakan bahwa 

Mata Malaikat adalah dirinya. Aku akan minta 

maaf dan...."

Bisikan hati Mata Malaikat terputus tatkala 

dari arah belakangnya berdesir angin. Mata Malai-

kat telah dapat menduga bahwa ada orang di bela-

kangnya. Namun dia tak segera berbalik. Karena 

matanya yang memandang lurus ke depan sudah 

tidak melihat sosok si gadis, kakek ini dapat me-

nebak siapa adanya orang di belakangnya.

"Anak gadis! Mau menyanyi lagi?!" Tak ter-

dengar sahutan. Mata Malaikat lalu berkata lagi.

"Nyanyianmu bagus! Boleh tahu, siapa 

orang yang beruntung mendapat cintamu?!"

Lagi-lagi tak ada sahutan, membuat Mata 

Malaikat balikkan tubuh. Sepasang mata kakek ini 

membelalak. Mulutnya makin menganga. Enam 

langkah di hadapan si kakek tegak seorang perem-

puan setengah baya. Mukanya mengenakan bedak 

putih agak tebal. Bibirnya merah mencorong. 

Rambutnya dikepang dua. Perempuan ini menge-

nakan pakaian warna hijau.

"Kakek kurang ajar! Rupanya kerjamu tu-

kang intip, ya! Jangan-jangan kau orangnya yang 

suka ngintip orang mandi! Sepasang matamu pantas dibuang agar tak bisa melihat!"

"Celaka! Aku betul-betul ketiban sial hari 

ini! Sudah tidak melihat bidadari mandi malah 

mendapat tuduhan tak karuan...," gumam Mata 

Malaikat. Sesaat kemudian kakek ini perdengar-

kan suara tawa ngakak, membuat perempuan se-

tengah baya itu kernyitkan dahi.

"Orang sinting! Siapa kau?!" bentak si pe-

rempuan berambut kepang dan bukan lain adalah 

Kamaratih. Seorang tokoh rimba persilatan yang 

telah lama menghilang dan kini muncul kembali 

mencari Manusia Neraka, guru Drupadi.

Mata Malaikat perlahan-lahan bangkit. Me-

rapikan pakaian temuannya lalu berkata.

"Orang cantik! Tua bangka sinting sepertiku 

ini tak layak sebutkan nama di hadapanmu. Kau 

boleh memanggilku apa saja! Don Yuan boleh, Ma-

ta Bongsang boleh. Asal tidak yang bermakna bu-

rung-burung.... Kau mengerti maksudku bukan?"

Kamaratih pasang tampang geram meski 

dalam hatinya geli. Dia sekali lagi memperhatikan. 

Keningnya tiba-tiba berkerut, membuat bedak pu-

tihnya merekat. "Rambut putih, mata aneh. Dalam 

rimba persilatan hanya satu orang yang mempu-

nyai ciri-ciri demikian...."

"Orang tua! Bukankah saat ini aku sedang 

berhadapan dengan dedengkot rimba persilatan 

bergelar Mata Malaikat?!"

Mata Malaikat doyongkan tubuhnya sedikit 

ke depan dengan sepasang mata dipejamkan. Lalu 

berkata sambil tarik pulang kembali tubuhnya.

"Dan bukankah gadis cantik di hadapanku

ini adalah seorang tokoh dunia persilatan bernama 

Kamaratih?!"

Disebut gadis cantik, Kamaratih senyum-

senyum. Sementara Mata Malaikat tak lagi kelua-

rkan suara

"Sobatku, Mata Malaikat!" kata Kamaratih 

setelah agak lama keduanya tak ada yang buka 

suara. "Kulihat hari ini kau lain dari dulu-dulu. 

Gerangan apa yang membuatmu berubah. Jangan-

jangan kau terpikat pada seorang nenek!"

Mata Malaikat perhatikan dirinya. "Hem.... 

Mungkin gara-gara pakaian ini yang dikatakannya 

aku jadi berubah! Setan betul!" maki Mata Malai-

kat dalam hati lalu tertawa bergelak.

"Kamaratih. Sebenarnya maksud hati me-

meluk gunung tapi apalah daya tanganku cuma 

segini!" ujar Mata Malaikat sambil ulurkan tan-

gannya ke depan. "Lagi pula pada tua bangka bau 

tanah begini siapa yang mau? Jangankan nenek-

nenek, kambing pun terbirit-birit kudekati! Padah-

al peliharaanku manggung pun sudah tak mam-

pu...."

Paras wajah Kamaratih jadi agak merah 

mendengar ucapan Mata Malaikat. Dalam hati pe-

rempuan setengah baya ini berkata. "Sudah tua 

bicaranya masih seperti masih muda dulu. Dasar 

laki-laki!" 

"Eh.... Kau sendiri kulihat makin menco-

rong saja. Jangan-jangan justru kau yang lagi ter-

sandung cinta. Siapa pemuda yang mampir di ha-

timu?!"

"Kau jangan menghina!" ujar Kamaratih

meski hatinya senang dipuji oleh Mata Malaikat.

"Ah. Kau jangan salah paham. Aku berkata 

apa adanya. Kau kulihat makin cantik, makin ba-

henol. Pokoknya bertambah segalanya! Dugaanku 

pasti tak meleset. Kau lagi kasmaran bukan?!"

"Kali ini dugaanmu keliru, Mata Malaikat! 

Justru aku sedang mencari orang yang mengkhia-

nati cintaku!"

"Untuk diajak berdamai?!"

Kamaratih tertawa perlahan. "Untuk dikirim 

ke akhirat!"

"Astaga! Mengapa urusan cinta bisa mem-

bawa-bawa akhirat? Walah, cinta ternyata kejam 

juga, ya!"

"Tergantung orang yang menjalaninya. Ka-

dang-kadang cinta bisa membuat orang merasa-

kan sejuta bahagia sejuta pesona. Namun tak ja-

rang cinta juga membuat orang mengalami sejuta 

nestapa sejuta derita! Konyolnya, aku mengalami 

yang kedua!"

"Hem.... Kau bilang mencari orang yang 

mengkhianati cintamu. Mengapa ke sini? Apakah 

orang itu tinggal di sekitar sini?!"

"Dia tidak tinggal di kawasan ini. Namun 

aku yakin, dia pasti akan datang ke sini! Aku akan 

menunggu sampai dia datang!"

Mata Malaikat palingkan wajahnya ke juru-

san lain. "Hem... Berarti akan makin banyak orang 

di sekitar kawasan ini.... Pasti ini ada hubungan-

nya dengan pemburuan lembaran kulit itu!" ka-

tanya dalam hati. Lalu dia berkata.

"Kamaratih. Apa yang menyebabkan kau

yakin orang itu akan datang ke tempat ini?!"

Kamaratih tengadahkan kepala lalu kelua-

rkan deheman panjang, membuat Mata Malaikat 

berpaling dan memperhatikannya.

"Sobatku, Mata Malaikat! Aku tahu, perta-

nyaanmu hanya pura-pura saja. Tapi pertanyaan-

mu akan kujawab. Dia adalah seorang tokoh dari 

rimba persilatan. Saat ini dunia persilatan sedang 

ribut masalah Lembaran Kulit Naga Pertala yang 

diduga orang masih tersimpan di Bukit Siluman. 

Siapa saja pasti saat ini menginginkan lembaran 

kulit itu. Dan satu-satunya jalan menuju Bukit Si-

luman adalah kawasan ini. Jelas?!"

Mata Malaikat sentak-sentakkan kepalanya 

ke bawah, pertanda dia mengerti akan ucapan 

Kamaratih. Kamaratih turunkan wajahnya lalu 

menyambung kata-katanya.

"Kau sendiri di sini kenapa? Menginginkan 

juga lembaran kulit itu?!"

Mata Malaikat buka suara.

"Urusan tetek bengek soal lembaran kulit, 

bagi tua bangka sepertiku ini bukanlah suatu yang 

berharga...."

"Begitu? Lalu apa kerjamu di sini? Mengin-

tip orang?! Sobat, kalau hanya ingin melihat tu-

buh, bagaimana kalau kutunjukkan diriku saja? 

Dengan syarat, kau hanya boleh melihat tanpa bo-

leh memegang! Mau...?!" kata Kamaratih sambil 

sunggingkan senyum dan geliatkan tubuhnya.

Mata Malaikat menjadi tergagu diam. "Setan 

betul! Dia benar-benar meledekku! Apa dikira peli-

haraanku benar-benar tak mampu manggung,

hah?!" lalu kakek ini berkata.

"Kamaratih. Kau jangan menggoda tua 

bangka ini. Aku tak tahu dadamu bagus menggo-

da, pinggulmu besar mempesona. Tapi aku ra-

gu...."

"Ragu apa?!" tanya Kamaratih sambil terus 

menggoda dengan goyang-goyangkan pinggulnya.

"Aku takut punyamu palsu!"

Ucapan Mata Malaikat kontan membuat 

Kamaratih hentikan gerakan tubuhnya. Wajahnya 

jadi merah dan matanya mendelik.

"Kurang ajar! Meski aku sudah setengah 

baya, dan saat ini banyak orang memalsukan tu-

buhnya, aku tak akan ikut-ikutan perbuatan gila 

itu. Seluruh milikku masih asli!"

"Mana aku percaya sebelum...."

"Sudah! Omonganmu makin ngelantur tak 

karuan!" putus Kamaratih, membuat Mata Malai-

kat tertawa bergelak-gelak. "Eh.... Kau belum ja-

wab tanyaku. Kenapa kau berkeliaran di kawasan 

ini?!" tanya Kamaratih selanjutnya.

"Apa aku akan bicara soal ini padanya? 

Hem.... Tak apalah. Siapa tahu dia bisa memberi 

cahaya setitik...," pikir Mata Malaikat.

"Kamaratih. Sebenarnya aku sampai ke sini 

hanya terseret arus. Tujuanku sebetulnya adalah 

seperti kau. Mencari seseorang. Tapi kau lebih mu-

jur. Karena telah tahu orangnya dan yakin akan 

datang ke sini. Sedangkan aku tidak demikian!" 

"Maksudmu?!"

"Aku mencari orang yang wajahnya mung-

kin saat ini tak bisa kukenali lagi. Lebih dari itu

tak bisa kupastikan apa dia akan datang ke sini 

atau tidak."

"Siapa namanya...?!"

Mata Malaikat terdiam sejenak seolah ber-

pikir. Tak lama kemudian dia menjawab. "Saat la-

hir ke dunia dia bernama Panjalu. Entah jika seka-

rang sudah berganti. Bertahun sudah aku menca-

rinya. Namun karena wajahnya sudah tak kukena-

li lagi, aku jadi kerepotan!"

Kamaratih manggut-manggut. Perempuan 

berambut kepang ini kerutkan kening seolah ikut 

berpikir.

"Mata Malaikat! Kalau kau sampai berta-

hun-tahun mencarinya, tentu orang itu sangat 

berharga bagimu!"

"Lebih dari intan berlian. Karena dia adalah 

anakku!"

"Heran. Sebagai bapak, mengapa bisa tak 

mengenali anaknya?"

Mata Malaikat kembali tengadahkan kepala. 

Wajahnya nampak berubah agak murung. Setelah 

agak lama terdiam akhirnya dia berkata juga.

"Kau tak perlu heran. Sebab anak itu dicu-

lik orang semenjak berusia enam bulan! Yang pa-

tut diherankan, kenapa orang menculik anakku. 

Padahal aku merasa tak punya musuh! Semua 

orang rimba persilatan kuanggap sahabatku!"

Kamaratih ikut-ikutan tengadahkan kepala. 

Wajahnya pun tampak berubah seolah larut dalam 

derita yang dialami Mata Malaikat.

"Sobatku, Mata Malaikat. Meski kau tak 

mengenali anakmu, namun setidak-tidaknya kau

bisa mengenali dari ciri-cirinya yang tidak mung-

kin dihilangkan. Apakah dia punya ciri-ciri terten-

tu?!"

Mata Malaikat manggut-manggut. "Memang. 

Meski aku tak mengenali wajahnya, aku masih ya-

kin bisa menemukannya. Karena dia memang 

punya ciri tertentu yang tak bisa dihapus...," seje-

nak Mata Malaikat hentikan keterangannya, lalu 

melanjutkan. "Dia mempunyai tahi lalat hijau se-

besar uang logam di lehernya!"

Tiba-tiba Kamaratih keluarkan seruan ter-

tahan, membuat Mata Malaikat berpaling. Sejurus 

kakek ini menangkap perubahan pada wajah pe-

rempuan di hadapannya. Dengan dahi berdebar, 

dia berujar.

"Kamaratih. Wajahmu berubah. Ada apa?!"

Kamaratih tidak segera menyambuti perta-

nyaan Mata Malaikat. Sebaliknya sepasang ma-

tanya memandang ke wajah si kakek seperti orang 

yang baru mengenal, membuat yang dipandang ja-

di salah tingkah.

Karena ditunggu agak lama Kamaratih tak 

juga buka mulut, akhirnya Mata Malaikat kembali 

ajukan pertanyaan. Seakan baru tersadar, Kama-

ratih kerjapkan sepasang matanya lalu berkata.

"Mata Malaikat. Aku rasa-rasanya pernah 

bertemu orang yang ciri-cirinya seperti kau sebut!"

Saking kaget bercampur gembira, serta-

merta Mata Malaikat melompat ke depan. Kedua 

tangannya cepat memegang pundak Kamaratih, 

diguncang-guncang sambil berkata.

"Di mana? Kapan? Katakan!"

Kamaratih gelengkan kepalanya, membuat 

Mata Malaikat nyengir dan perlahan-lahan tan-

gannya turun. Bukan langsung ke bawah melain-

kan ke dada Kamaratih, membuat perempuan ini 

makin keras geleng-gelengkan kepalanya. Mata 

Malaikat jadi heran dan kernyitkan dahi. Dalam 

hati kakek ini membatin.

"Perempuan aneh. Ditanya menggeleng, tak 

ditanya makin menggeleng!"

"Mata Malaikat! Kau ini mau tanya apa mau 

meraba-raba!" tiba-tiba Kamaratih menegur karena 

dibiarkan makin lama tangan Mata Malaikat ma-

kin tak mau meninggalkan dada perempuan di ha-

dapannya itu.

"Astaga!" keluh Mata Malaikat sambil sen-

takkan tangannya dari dada si perempuan lalu di-

kibas-kibaskan. Entah karena terbawa perasaan, 

tanpa sengaja kedua tangan kakek ini memegang 

dada Kamaratih hingga perempuan ini geleng-

gelengkan kepalanya.

"Jadi gelengan kepalanya tadi bukan karena 

tak tahu, tapi karena tak mau! Ha.... Ha.... Ha...! 

Dasar tangan tak punya mata!"

"Kamaratih. Maaf. Bukan kusengaja. Tapi 

dasar tangan tak bermata! Sekarang katakanlah, 

di mana dan kapan kau bertemu orang itu?!"

Kamaratih menguasai diri karena dadanya 

terasa berdebar-debar akibat pegangan kedua tan-

gan Mata Malaikat yang tak disengaja tadi. Setelah 

agak lama baru dia berkata.

"Kapan dan di mana aku lupa. Yang pasti 

aku sempat beberapa kali bertemu dengannya. Dia

bersama seorang perempuan cantik. Dalam rimba 

persilatan perempuan itu bergelar Bidadari Penye-

bar Cinta!"

Mata Malaikat terlonjak saking kagetnya, 

Dia buru-buru melangkah maju mendekati Kama-

ratih, namun kedua tangannya ditarik ke bela-

kang, membuat Kamaratih tersenyum.

"Kau tidak bercanda, Kamaratih?!"

"Aku tahu mana urusan penting dan uru-

san canda!"

Mata Malaikat tepuk jidatnya. "Bodoh! Bo-

doh! Dasar otak butek!" makinya berulangkali.

"Hai! Ada apa dengan kau?!" seru Kamara-

tih.

"Aku harus pergi sekarang! Terima kasih 

atas keteranganmu! Lain kali kita jumpa lagi dan 

omong-omong panjang lebar. Tapi sebelum aku 

pergi, ada sesuatu yang harus kau ketahui!" ujar 

Mata Malaikat dengan wajah sungguh-sungguh, 

membuat Kamaratih cepat bertanya. 

"Tentang apa?!"

"Aku tadi berdusta padamu! Sebenarnya pe-

liharaanku masih sanggup manggung! Kau boleh 

buktikan nanti setelah urusanku beres!"

Kamaratih mendelik dengan wajah merah. 

Kedua tangannya segera dipukulkan ke depan. 

Tapi yang dipukul telah berkelebat terlebih dahulu 

dengan meninggalkan tawa bergelak.

"Dasar tua bangka edan!" maki Kamaratih. 

"Lagi pula siapa percaya peliharaan kakek-kakek 

sepertimu masih bisa manggung?!"

Sejenak Kamaratih memandang ke arah

berkelebatnya Mata Malaikat, setelah menarik na-

pas dalam, dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu.



SEMBILAN


KITA kembali pada Pendekar Mata Keran-

jang yang berkelebat menyusul gurunya, Wong 

Agung.

Pada suatu tempat agak jauh dari kawasan 

Sungai Siluman, orang yang berkelebat dahulu 

yang ternyata adalah seorang kakek berambut dan 

berjenggot putih panjang, mengenakan jubah pu-

tih, sepasang mata ditutup oleh sepotong kulit 

yang dilekatkan ke belakang kepalanya dan me-

mang Wong Agung adanya hentikan larinya. Lalu 

putar tubuh dan duduk di tanah. Sepasang ma-

tanya memandang tajam ke depan, di mana tam-

pak muridnya Aji berlari mendatangi lalu duduk 

lima langkah di hadapannya setelah terlebih dahu-

lu menjura hormat.

"Eyang.... Dari mana kau tahu kalau aku 

berada di sini?!" tanya Aji, mengutarakan kehera-

nannya.

"Hanya dugaan saja, Aji," jawab Wong 

Agung. "Dari selentingan berita, kudengar berita 

mengenal Bukit Siluman dan geger Lembaran Kulit 

Naga Pertala. Aku yakin, kau akan terlibat di da-

lamnya. Kau tahu, Bukit Siluman adalah tempat

yang berbahaya. Oleh karena itu, aku buru-buru 

menyusulmu untuk memperingatkan agar kau le-

bih berhati-hati. Untung di tengah jalan aku ber-

temu dengan Gongging Baladewa dan Dewi Ka-

yangan. Mereka memberitahukan di mana adanya 

kau...!"

Aji manggut-manggut dengan mulut cengar-

cengir.

"Siapa pemuda berjubah merah tadi?!" tiba-

tiba Wong Agung ajukan tanya setelah meman-

dangi muridnya hingga beberapa lama.

"Dia bergelar Utusan Iblis!"

"Apa hubungannya dengan Mata Malaikat?!" 

kembali Wong Agung ajukan pertanyaan.

Aji sesaat terdiam. "Berarti dia telah agak 

lama di sekitar tempat perkelahian itu, karena dia 

tahu urusan Mata Malaikat," batin Aji menduga. 

Sebenarnya Wong Agung belum begitu lama bera-

da di sekitar tempat Aji dari Utusan Iblis bentrok. 

Dia hanya sempat mendengar bagian terakhir per-

cakapan Utusan Iblis yang menyebut-nyebut Mata 

Malaikat, lalu dia keburu mempermainkan Utusan 

Iblis untuk mengalihkan perhatiannya yang saat 

itu hendak turunkan tangan maut pada muridnya.

"Eyang...," kata Aji pula. "Utusan Iblis men-

cari Mata Malaikat. Sialnya aku diduga adalah 

orang yang bergelar Mata Malaikat. Aku sendiri he-

ran, siapa yang mengatakan hal itu!"

"Rimba persilatan dari dulu tidak berubah! 

Penuh dengan kelicikan serta saling lempar sem-

bunyi tangan...," ujar Wong Agung seolah berkata 

pada dirinya sendiri. "Hem.... Kulihat di kawasan

ini telah banyak orang berkeliaran. Kau harus 

waspada dan cepat bertindak, Aji!"

Pendekar Mata Keranjang manggut-

manggut, meski hatinya saat itu mulai dirasuki 

perasaan khawatir tentang kipasnya yang dibawa 

Setan Pesolek. Pemuda ini hendak mengutarakan 

perasaannya pada sang guru, namun sebelum dia 

sempat berkata, si Wong Agung telah buka mulut 

lagi.

"Selama perjalananmu ini, apakah kau 

memperoleh sesuatu yang menyangkut lembaran 

kulit itu?"

"Benar, Eyang! Aku sempat bertemu dengan 

Setan Pesolek dan seorang nenek bergelar Peri Ku-

pu-kupu. Mereka berdua memberikan petunjuk 

padaku. Hanya saja aku belum bisa mengartikan 

petunjuk itu!" Aji lalu mengatakan petunjuk yang 

dikatakan Setan Pesolek dan Peri Kupu-kupu.

"Dasar orang-orang aneh! Memberi petun-

juk pun aneh-aneh...," gerutu Wong Agung setelah 

mendengar petunjuk yang dikatakan muridnya. 

"Aku juga tak bisa memecahkan petunjuk itu.... 

Tapi petunjuk itu kuyakin pasti benar jika yang 

mengatakannya adalah Setan Pesolek dan Peri 

Kupu-kupu! Aku tahu siapa adanya Peri Kupu-

kupu!"

"Tapi, Eyang...."

"Apa?!"

Aji sejenak bimbang, namun ketika dilihat-

nya Wong Agung memandangnya lekat-lekat, ak-

hirnya Aji menceritakan pertemuannya dengan Se-

tan Pesolek hingga Setan Pesolek pergi dengan

membawa kipasnya.

"Celaka!" tiba-tiba Wong Agung mengeluh. 

"Ada yang tidak beres dalam hal ini!"

Ucapan Wong Agung membuat Aji terkejut 

besar. Dadanya berdebar keras. Malah keringat 

dingin mulai mengalir membasahi tubuhnya.

"Kau yakin betul orang itu adalah Setan Pe-

solek?!" tanya Wong Agung. Kali ini suaranya keras 

menusuk, membuat debaran dada Aji makin ke-

ras.

"Melihat ciri-cirinya aku yakin dia Setan Pe-

solek, Eyang!"

"Lalu apa yang dikatakannya padamu saat 

itu?!" tanya Wong Agung pula. Suaranya makin ke-

ras dan parau.

"Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya aku 

disuruh mengulangi petunjuk yang beberapa wak-

tu sebelumnya dikatakan padaku!"

"Jelas sudah!" sahut Wong Agung seolah 

mengeluh.

"Apanya yang jelas, Eyang?!"

"Aji! Jelas jika kau dikibuli orang! Kau keco-

longan dua hal besar, Aji! Kipas ungu 108 dan pe-

tunjuk itu!"

Telinga Aji laksana disambar petir di siang 

hari. Tubuhnya menggigil dengan mulut terkanc-

ing rapat. Sementara Wong Agung sendiri geleng-

geleng kepala dengan mulut bergumam tak jelas, 

lalu berulangkali tampak menghela napas panjang 

dan dalam.

Untuk beberapa lama kedua orang murid 

dan guru ini sama-sama diam dengan dada dibuncah perasaan masing-masing.

"Hem.... Aku ingat sekarang," ucap Pende-

kar 108 dalam hati. "Saat itu keparat yang berke-

dok Setan Pesolek suaranya agak ditahan. Dan 

mendorongku sampai jatuh terjengkang. Dan dia 

pun berdiri di tempat yang remang-remang! Jaha-

nam betul! Siapa bangsat berkedok Setan Pesolek 

itu?! Jelek benar nasibku.... Lembaran kulit belum 

bisa kudapatkan, senjataku telah dibawa orang. 

Lebih dari itu petunjuk lembaran kulit itu juga te-

lah diketahui orang.... Apa yang harus kulakukan 

sekarang?!"

"Aji! Semuanya telah terjadi. Penyesalan se-

tinggi langit tak ada gunanya dan tak menyelesai-

kan urusan! Satu-satunya jalan, kau harus segera 

menyelidik bukit itu, sekaligus pasang telinga 

mencari tahu siapa adanya orang yang mengela-

buimu! Tugasmu memang makin berat. Tapi itu 

harus kau jalani! Jadikanlah kejadian ini sebagai 

peringatan bagi langkahmu selanjutnya! Aku ha-

rus meninggalkanmu. Waspadalah! Kulihat banyak 

orang berkeliaran di kawasan ini. Tujuan mereka 

pasti kau sudah tahu!"

"Eyang.... Bisa kau katakan ciri-ciri yang 

bergelar Mata Malaikat itu?!" ujar Aji begitu meli-

hat gurunya bangkit dan hendak meninggalkan 

tempat itu.

"Manusia yang bergelar Mata Malaikat itu 

mempunyai kelainan pada matanya. Dua-duanya 

cacat, tapi cacat yang berbeda oleh karena itu, dia 

lebih sering memejamkan matanya."

Habis berkata begitu, Wong Agung berkele

bat tinggalkan tempat itu.

"Sialan betul! Jadi orang tua itu yang berge-

lar Mata Malaikat! Bukan tak mungkin jika dia 

yang mengatakan pada Utusan Iblis jika aku ada-

lah Mata Malaikat! Orang tua kurang ajar! Tak be-

rani tunjukkan diri malah mengumpankan orang 

lain! Walah, nasibku benar-benar lagi tidak mu-

jur...," gumam Pendekar 108 sendirian seraya 

bangkit lalu melangkah perlahan meninggalkan 

tempat itu. Namun gerakan kakinya tertahan 

tatkala tiba-tiba terdengar siulan lirih dari arah be-

lakang.

Pendekar 108 putar diri. Mendadak mulut-

nya menguncup ke depan, lalu terdengar siulan 

panjang, sementara sepasang matanya terpentang 

lebar-lebar memandang ke depan.


SEPULUH


SEORANG di hadapan Pendekar 108 per-

dengarkan suara tawa merdu. Sebelah matanya 

dikedipkan, lalu kedua tangannya diangkat mera-

pikan rambutnya. Bibirnya yang merah mencorong 

tersenyum. Dengan sedikit goyangkan pinggulnya 

dia melangkah mendekat ke arah Aji.

"Sayang. Siapa namamu?!" tanyanya sambil 

memperhatikan Aji dari kaki hingga rambut.

Murid Wong Agung jerengkan sepasang ma-

tanya sambil usap-usap hidungnya dan tersenyum. Namun sesaat kemudian senyumnya pu-

pus, membuat orang di hadapan Aji yang ternyata 

adalah perempuan setengah baya berambut ke-

pang dan bukan lain adalah Kamaratih hentikan 

langkah dengan kening berkerut.

"Pemuda tampan! Kau ini aneh. Sekilas tadi 

kau cengar-cengir, namun tiba-tiba kau pasang 

tampang seperti orang mau buang air. Ada apa?! 

Apakah paras cantikku ini yang membuatmu be-

rubah?!"

Aji tidak menyahuti ucapan Kamaratih. 

Tampaknya kejadian yang baru saja menimpa di-

rinya hingga menyebabkan senjata dan petunjuk 

berharga diambil dan diketahui orang membuat 

murid Wong Agung ini menjadi hati-hati dan ber-

tindak waspada.

"Kau tak mau jawab tanyaku tak apa. 

Hanya sayang jika perjumpaan indah ini berakhir 

tanpa kenangan! Hik.... Hik.... Hik...!"

"Maukah kau menerangkan siapa dirimu?!" 

tanya Pendekar Mata Keranjang pada akhirnya.

Kamaratih kembali kerdipkan sebelah ma-

tanya. "Pada anak tampan seperti kau, akan kutu-

ruti segala maumu! Semua permintaanmu! Kau 

mau minta apa? Katakanlah dan tunjuk yang ma-

na!" kata Kamaratih sambil geliatkan tubuhnya 

membuat murid Wong Agung ini dadanya berdebar 

dan jakun turun naik.

"Aku mau tahu siapa dirimu!" ujar Aji.

"Hanya itu? Tidak ada yang lain-lain? Atau 

kau malu-malu menunjuk?!"

"Urusan tunjuk-tunjukan kita bicarakan

nanti setelah kau menerangkan siapa dirimu. Aku 

khawatir, jangan-jangan kau bangsa hantu yang 

berkeliaran di pagi hari...."

"Hik.... Hik.... Hik...! Jadi kau menduga aku 

begitu? Dugaanmu itu pulakah yang membuatmu 

mendadak bertampang norak?! Sebelum aku me-

nerangkan siapa diriku, apakah kau ingin memas-

tikan bahwa aku bukan hantu?!" habis berkata 

begitu, kedua tangan Kamaratih terangkat ke da-

da, dan serta-merta tangan itu membuka kancing-

kancing baju hijaunya. Di lain kejap murid Wong 

Agung mendelik silau melihat dua buah payudara 

besar putih kencang di depan hidungnya.

Kamaratih cekikikan, lalu teruskan tangan-

nya membuka kancing-kancing bajunya.

"Edan! Bagaimana mungkin orang berusia 

sekian dadanya masih begitu bagus?" batin Aji da-

lam hati. Dan begitu melihat Kamaratih terus 

membuka kancing-kancing bajunya, Pendekar 108 

segera berujar.

"Cukup! Cukup.... Aku percaya. Harap tu-

tup kembali buah-buahan itu!"

"Tak menyesal tidak melihat semuanya? 

Atau barangkali kau masih malu-malu?"

Pendekar 108 geleng-gelengkan kepalanya 

meski dadanya bergetar makin keras dan aliran 

darahnya menggelegak. "Sekarang harap kau suka 

terangkan siapa dirimu...."

Kamaratih tertawa cekikikan dahulu sebe-

lum menjawab.

"Orang-orang memanggilku Kamaratih.... 

Sekarang giliranmu untuk sebutkan diri!"

"Tapi tutup dulu buah-buahan putih itu. 

Kalau hantu sungai ada yang bermata bongsang, 

bisa celaka!" kata Aji sambil naikkan kedua alis 

matanya.

"Kau benar-benar tak berhasrat menyen-

tuhnya barang sekejap?"

"Hasrat memang ada. Tapi itulah. Aku takut 

penyakitku kambuh!"

"Hik... Hik.... Hik...! Jadi kau penyakitan. 

Mungkin kau sembarang pilih orang.... Kasihan! 

Boleh aku lihat bagaimana kalau sedang penyaki-

tan...?"

"Bukan itu maksudku! Aku selalu terkenc-

ing-kencing dulu jika menyentuh...."

Tawa Kamaratih makin keras mendengar 

ucapan Aji. "Kau masih berdusta padaku!"

"Berdusta?!" ulang Aji agak heran. Sebalik-

nya Kamaratih terus cekikikan sebelum akhirnya 

berkata. "Sebelum menyentuh pun kulihat cela-

namu sudah basah kunyup.... Hik.... Hik.... Hik...!"

Tanpa sadar, murid Wong Agung ini raba 

celananya. "Gila! Apa mata nenek menor ini sudah 

kabur? Celanaku masih kering. Dan kurasa belum 

setetes pun kencingku keluar...."

"Tak usah cemas, Anak Muda! Celanamu ti-

dak basah. Aku hanya ingin lihat apakah kau

punya senjata andalan! Aku tadi khawatir, kau 

menolak tawaranku karena kau tak punya senjata 

andalan. Sekarang aku percaya. Kau masih punya 

itu.... Hik.... Hik.... Hik...!"

"Edan! Aku kena kibulnya...," rutuk Aji ak-

hirnya ikut tertawa.

"Hem.... Sekarang giliranmu, Anak Muda!" 

"Giliran apa?!"

"Sebutkan diri, lalu katakan apa perlumu di 

sini juga jelaskan kau ke sini sama siapa!"

"Aduh. Pertanyaanmu banyak sekali. Pa-

dahal kau tadi cuma sebutkan siapa dirimu tak 

menyebutkan perlunya di sini, juga tak menje-

laskan sama siapa ke sini...," kata Pendekar Mata 

Keranjang sambil usap-usap hidungnya.

"Aku akan terangkan nanti...," sahut Kama-

ratih.

"Hem.... Namaku Aji. Di sini aku tak punya 

perlu apa-apa. Datang ke sini tiada teman tiada 

siapa!"

"Hem.... Kali ini baru benar-benar kau ber-

dusta! Jangan kira aku tak tahu, Aji! Bukankah 

kedatanganmu ke sini perlu ikut berpacu merebut 

lembaran kulit itu? Benar bukan?!"

Karena Aji tak menjawab, akhirnya Kamara-

tih melanjutkan ucapannya. "Kawasan ini seka-

rang tidak lagi sepi, Aji! Memang, jika dipandang 

sepintas tampaknya sunyi tak ada orang. Namun 

di balik itu, banyak mata mengintip. Tubuh men-

dekam dan dada berdebar-debar!"

"Hem.... Rupanya nenek menor ini telah ta-

hu semuanya. Tapi aku tetap harus berhati-hati!"

"Bibik Cantik...!" kata Aji seraya senyum-

senyum. "Tujuan utamaku ke sini sebenarnya bu-

kan untuk urusan lembaran kulit itu. Tapi untuk 

mencari seseorang bergelar Mata Malaikat...."

"Hai...!" seru Kamaratih kesenangan men-

dengar dirinya dipanggil Aji dengan sebutan Bibik

Cantik. "Kau bilang mencari kakek itu. Ada apa ge-

rangan?"

"Orang tua kurang ajar itu telah mencela-

kakanku! Akan kucabuti seluruh bulu-bulu ram-

butnya jika sampai ketemu!" 

"Seluruhnya?" 

"Ya! Seluruhnya! Tanpa ada yang terkecua-

li!!" 

"Hik.... Hik.... Hik....! Kau betul-betul anak 

bodoh! Mau-maunya mencabuti bulu-bulu kakek-

kakek! Tapi ditawari yang bagus-bagus menolak! 

Aku jadi curiga padamu!"

"Curiga apa?!"

"Jangan-jangan kau laki-laki yang tertarik 

pada kakek-kakek! Hik.... Hik.... Hik...! Tapi kuin-

gatkan kepadamu. Jangan kau keburu menduga 

yang tidak-tidak pada orang tua itu!"

"Hem.... Kau membelanya? Bibik Cantik! 

Kini aku yang khawatir padamu?" 

"Khawatir apa?!"

"Jangan-jangan kau yang mendahuluiku 

mencabuti bulu-bulunya! Ha.... Ha.... Ha...! Atau 

barangkali kau kekasihnya?!" 

"Ah.... Kau tak tahu, Anak Muda! Jelek-jelek 

begini, aku punya simpanan beberapa pemuda 

yang siap pakai! Kalau suka kau pun bisa menjadi 

simpananku! Kau mau..,?!"

"Tawaranmu banyak sekali, Bibik Cantik! 

Tapi sayang, aku belum berselera. Kapan-kapan 

kalau seleraku timbul, aku akan mencarimu. Se-

karang aku harus pergi...."

"Tunggu! Kau betul-betul hendak mencari

orang tua itu?!" tanya Kamaratih menahan keper-

gian Aji. Murid Wong Agung anggukkan kepalanya.

"Ingat, Anak Muda! Aku tahu siapa Mata 

Malaikat. Dia orang baik!"

"Itu karena kau tak pernah dikerjainya! Se-

dang aku? Merasakan sendiri akibat ulahnya! Ma-

lah nyawaku hampir kabur karenanya!"

Kamaratih dongakkan kepala sambil per-

dengarkan suara tawa pelan.

"Anak muda! Jangan kau lihat seseorang 

dari tindakannya, tapi lihat apa yang ada di balik 

tindakannya itu! Terkadang, kelihatan tindakan-

nya jelek bahkan merugikan kita. Tapi di balik se-

mua itu sebenarnya ada hal baik yang tersem-

bunyi! Sebaliknya, tampaknya dia berbuat baik, 

namun di balik itu ada niat jahat yang ditutupi!"

"Tapi aku tak melihat adanya kebaikan di 

balik tindakan setan tua itu!"

"Untuk membuktikannya memang diperlu-

kan waktu, Anak Muda!"

"Bibik Cantik sendiri perlu apa di sini?!" 

Pendekar Mata Keranjang alihkan pembicaraan.

"Menunggu seseorang!"

"Kakek-kakek, ya?"

"Betul!" jawab Kamaratih singkat, membuat 

Aji senyum-senyum.

"Bibik Cantik! Kau tadi bilang punya sim-

panan beberapa pemuda. Tentunya kakek ini san-

gat istimewa hingga kau sampai menunggunya!"

"Sangat istimewa dan bersejarah!"

"Wah, pasti permainannya hebat sampai 

berkesan begitu mendalam di hatimu!"

"Memang dia tiada duanya di dunia ini! Tapi 

sayang...," Kamaratih tak lanjutkan ucapannya, 

membuat Aji cepat menyahut.

"Sayang apanya?!"

"Pertemuan kali ini adalah yang terakhir! 

Karena tanganku sendiri yang akan mengubur-

nya!"

"Ah.... Kenapa ekornya jadi jelek begitu, Bi-

bik Cantik?!"

"Aku tak mau tahu! Mungkin itu sudah 

takdirnya!"

"Boleh kutahu, siapa orang yang kau tung-

gu itu?!"

Kamaratih memandang Pendekar Mata Ke-

ranjang lekat-lekat seraya sunggingkan senyum la-

lu gelengkan kepala. "Itu urusanku, Anak Muda! 

Kalau kau ingin tahu, lainnya saja. Misalnya uru-

san senang-senang denganku...."

"Edan! Itu lagi, itu lagi!" gumam Aji dalam 

hati. Lalu pemuda ini berkata. "Bibik Cantik! Uru-

san senang-senang kita bicarakan kapan-kapan. 

Bukankah kau tadi bilang di kawasan ini banyak 

mata mengintip, banyak tubuh mendekam. Kalau 

kita sampai diintip mereka, bisa berantakan se-

muanya! Kalau ada waktu baik, tempat baik, kita 

bicarakan lagi...."

"Hem.... Rupanya kau tak tahu, Anak Muda! 

Sebenarnya sudah sejak tadi kita diintip orang! 

Kau ingin tahu?!"

Belum sampai Aji memberi tanggapan uca-

pan Kamaratih, perempuan berambut kepang ini 

telah gerakkan tangan kanannya mendorong ke

arah samping. Saat itu juga terdengar deruan dah-

syat, di kejap lain gelombang angin deras melesat 

menerabas kerimbunan semak.

Bersamaan dengan menerabasnya pukulan 

ke arah tanaman, terdengar seruan tertahan. Lalu 

murid Wong Agung melihat sesosok tubuh melesat 

ke udara. Setelah membuat gerakan jumpalitan ti-

ga kali, sosok itu mendarat delapan langkah di ha-

dapan Aji dan Kamaratih.

Untuk beberapa lama sepasang mata Aji 

memperhatikan. Tiba-tiba mulutnya membuka.

"Kau...!" ujarnya begitu dapat mengenali 

siapa adanya orang.


SEBELAS


DI hadapan Aji dan Kamaratih, saat itu te-

gak seorang gadis muda mengenakan pakaian 

warna kuning. Paras wajahnya cantik, sepasang 

matanya bulat dan berhidung mancung. Rambut-

nya panjang dikuncir dengan menggunakan ikat 

kepala yang juga berwarna kuning.

Gadis cantik bukan lain adalah Drupadi se-

jenak memandang silih berganti pada Aji dan Ka-

maratih. Pandangan matanya tampak aneh, malah 

ketika pandangannya tepat pada Kamaratih gadis 

ini sedikit membelalak dan tatapannya seolah me-

nyelidik.

Kamaratih sendiri tampak terkejut melihat

Aji sudah mengenali siapa adanya si gadis, Perem-

puan setengah baya ini tak menghiraukan pan-

dangan Drupadi, dia malah berpaling pada Aji dan 

berkata sambil tersenyum.

"Anak muda. Tampaknya kau sudah men-

genalnya...."

"Kami pernah berjumpa!" Yang menyahut 

adalah Drupadi. Gadis ini lantas alihkan pandan-

gannya pada Aji. Untuk beberapa saat kedua orang 

ini saling bentrok pandang.

"Pendekar 108.... Dia akhirnya datang juga 

ke kawasan ini. Apakah dia sengaja menyusulku 

atau ada keperluan lain...? Tapi kenapa bersama-

sama dengan Kamaratih? Apakah mereka.... Ah...!" 

perasaan gadis ini disarati dengan berbagai du-

gaan dan pertanyaan.

Kalau Drupadi membatin demikian, diam-

diam dalam hati Aji pun berkata. "Kulihat peruba-

han pada gadis ini. Apakah sudah sejak tadi dia 

mencuri dengar percakapanku dengan nenek me-

nor ini?"

Kamaratih berpaling pada Drupadi. Lalu 

bertanya.

"Drupadi! Apakah bangsat itu sudah keliha-

tan batang hidungnya?"

Drupadi tidak segera buka mulut untuk 

menjawab, meski tahu siapa yang dimaksud bang-

sat oleh Kamaratih. Seperti dituturkan dalam epi-

sode sebelumnya (Baca serial Pendekar Mata Ke-

ranjang dalam episode : "Bukit Siluman"), dalam 

pertemuan dengan Kamaratih, nenek berambut 

kepang ini mengatakan mencari gurunya Drupadi,

yakni Manusia Neraka.

Melihat orang yang ditanya tidak menjawab, 

Kamaratih tampak sedikit melebarkan sepasang 

matanya. Dia buka mulut kembali hendak menga-

jukan tanya tapi Drupadi telah mendahului sambil 

gelengkan kepala.

"Bibik.... Aku belum melihatnya...."

Kamaratih tertawa bergelak mendengar 

Drupadi ikut-ikutan memanggil Bibik seperti yang 

diucapkan Aji.

"Gara-gara si tampan ini kau ikut-ikutan 

memanggilku Bibik.... Tapi tak apa, aku suka 

panggilan itu...," ujar Kamaratih dengan melirik 

pada Aji.

Yang dilirik senyum-senyum sambil usap-

usap hidungnya, membuat Drupadi memberengut. 

Dada gadis ini sedikit panas melihat dua orang di 

hadapannya saling senyum serta saling lirik. 

Bayangan kecemburuan jelas tampak di wajahnya. 

Hingga sesaat kemudian gadis ini alihkan pandan-

gannya pada jurusan lain.

"Hai.... Kau bilang telah pernah jumpa. Tapi 

kau tak bertegur sapa. Ada apa di antara kalian 

sebenarnya?" tegur Kamaratih setelah mengetahui 

sikap Drupadi.

"Benar, Bibik. Kami memang pernah jumpa. 

Dan di antara kami tidak ada apa-apa!" yang men-

jawab kali ini adalah Pendekar Mata Keranjang se-

raya memandang pada Drupadi.

Tiba-tiba Kamaratih perdengarkan suara 

tawa cekikikan, membuat Drupadi dan Aji sama-

sama berpaling.

"Anak muda!" kata Kamaratih pada Aji. 

"Aku tahu. Mungkin Drupadi cemburu padaku! 

Hik.... Hik.... Hik...! Hatinya panas karena kita be-

rada berdua-duaan. Ayo! Sekarang katakan pa-

danya, bahwa kita hanya omong-omong. Tak lebih 

dari itu!"

Aji jadi tergagu diam mendengar ucapan 

Kamaratih, sementara wajah Drupadi tampak be-

rubah merah mengelam. Mulut gadis itu mengelu-

arkan gumaman tak jelas.

"Hei! Disuruh bicara kenapa diam? Ah, se-

belum dia datang, bicaramu banyak sekali, tapi se-

telah dia di hadapanmu kau seperti orang tak bisa 

bicara! Kau malu, ya?! Apakah aku yang harus bi-

cara padanya?"

"Edan! Nenek menor ini benar-benar men-

gerjai ku! Awas kau!" ancam Aji dalam hati. Dan 

sebelum dia sempat bicara, Kamaratih telah men-

dahului.

"Drupadi.... Hilangkan prasangka buruk di 

hati. Meski kami berdua bersepi-sepi. Namun kami

tak melakukan hal tak terpuji. Kalau kau masih 

cemburu di hati. Kau akan merugi sendiri...."

Mendengar nada bicara Kamaratih, murid 

Wong Agung geleng-geleng kepala, sedangkan 

Drupadi makin merah. Namun diam-diam gadis ini 

merasa lega. 

"Bibik.... Kau jangan terus menggodaku...!" 

kata Drupadi pada akhirnya. Wajahnya kembali 

cerah, meski kini tak berani memandang langsung 

pada Pendekar Mata Keranjang.

Kamaratih tersenyum genit. Lalu melangkah

mendekati Drupadi. Setelah dekat dia berbisik.

"Drupadi.... Aku telah mengalami pahit ge-

tirnya cinta. Aku tanya padamu. Apakah kau telah 

betul-betul menyelidik siapa sebenarnya pemuda 

itu?! Kau jangan salah pilih, Drupadi. Agar kau tak 

menyesal kelak kemudian hari!" 

Meski perasaannya tak enak, akhirnya Dru-

padi menjawab juga.

"Bibik.... Kalau dia sudah disebut orang se-

bagai seorang pendekar, apakah masih perlu dira-

gukan?!"

Kamaratih mengernyitkan dahi. Lalu con-

dongkan mukanya pada Drupadi dan berbisik lagi. 

"Pendekar? Pendekar siapa dia?!"

"Apa dia tadi tak mengatakan padamu?!" 

Drupadi balik bertanya.

"Mana ada seorang pendekar yang mau 

mengaku-aku! Katakan padaku, pendekar siapa 

kekasihmu itu?!"

Drupadi tersipu-sipu mendengar ucapan 

perempuan setengah baya itu. Setelah dapat men-

guasai gejolak hatinya dia berkata.

"Dialah yang digelari rimba persilatan den-

gan Pendekar Mata Keranjang!"

Saking kagetnya, Kamaratih berseru terta-

han. Lalu tiba-tiba saja ia melangkah lagi ke arah 

Aji. Kira-kira lima langkah dari hadapan Pendekar 

108 perempuan ini bungkukkan sedikit tubuhnya 

membuat gerakan seperti orang menjura hormat 

sambil berkata.

"Tak disangka jika kau adalah seorang pen-

dekar bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 yang

dibicarakan kalangan rimba persilatan. Aku gem-

bira sekali dapat jumpa dengan kau, Pendekar 

108. Terimalah hormatku dan maafkan segala 

ucapanku yang mungkin tadi ada yang tidak ber-

kenan di hati."

Aji jadi serba salah. Setelah menghela napas 

panjang akhirnya murid Wong Agung ini ikut 

bungkukkan tubuh dan berujar.

"Sebenarnya aku hanyalah, orang biasa. 

Hanya orang-orang yang menyebutku demikian. 

Padahal, ilmuku masih sedangkal mata kaki! Lagi 

pula aku sekarang tak pantas digelari Pendekar 

108!"

Kamaratih terkejut mendengar kata terakhir 

Aji, demikian juga Drupadi. Apalagi tatkala dilihat-

nya wajah Aji berubah membayangkan kecewa dan 

beban berat.

"Pendekar 108! Seorang pendekar biasanya 

memang selalu merendah...," ucap Kamaratih den-

gan memandang tajam pada Aji.

"Ucapanmu benar, Bibik Cantik. Tapi seper-

ti kataku tadi, sekarang aku tak pantas digelari 

Pendekar 108!"

"Mengapa bisa begitu?" tanya Drupadi ikut 

bicara. "Kipas ungu 108 telah lepas dari tangan

ku!' Aji memutuskan berterus-terang pada kedua 

orang di hadapannya karena dia yakin dua orang 

itu orang baik-baik. Juga berharap siapa tahu di 

antara keduanya nanti bisa membantu, setidak-

tidaknya memberitahu siapa adanya orang yang 

telah berhasil membawa lari kipasnya.

Baik Kamaratih maupun Drupadi melengak

kaget.

"Kau tidak sedang bercanda bukan, Anak 

Muda?!" tanya Kamaratih seolah masih belum per-

caya dengan keterangan Aji. Malah Drupadi segera 

menimpali. "Kau jangan membuat kami deg-degan 

dengan keteranganmu!"

Aji gelengkan kepalanya. "Aku bersungguh-

sungguh!"

Kamaratih dan Drupadi sama-sama mena-

rik napas panjang.

"Apakah kau mencurigai Mata Malaikat 

hingga kau tadi mengatakan sedang mencarinya?" 

tanya Kamaratih setelah diam agak lama.

"Urusan dengan Mata Malaikat perihal 

lain.... Namun tak tertutup kemungkinan orang 

yang menyamar sebagai Setan Pesolek dan mem-

bawa lari kipas itu adalah dia!"

"Hem.... Kau harus berhati-hati dalam me-

nyelidik urusan pelik ini, Anak Muda. Kuasai tin-

dakan! Jangan sampai salah turunkan tangan. 

Sebab siapa pun orangnya yang membawa kipas 

itu, saat ini pasti mencari kambing hitam! Malah 

tidak mustahil jika dia akan melempar fitnah pada 

orang lain, hingga timbul kesimpangsiuran. Jika 

itu terjadi, urusan ini akan makin sulit dijejaki! 

Lebih dari itu kau akan menemui jalan buntu!"

"Itulah yang saat ini membelit pikiranku, 

Bibik...," ujar Aji dengan suara pelan.

"Sayang, saat ini aku sendiri sedang terbe-

lenggu dengan urusan yang belum selesai. Sean-

dainya...," Kamaratih tak melanjutkan ucapannya. 

Sebaliknya perempuan setengah baya ini angkat

tangan kanannya, membuat Drupadi dan Aji 

memperhatikan dengan kening sama-sama men-

gernyit.

"Kawasan ini akan tambah semarak.... Seo-

rang pendatang muncul lagi. Lihat ke sebelah ti-

mur!" desis Kamaratih.

Serentak murid Wong Agung dan Drupadi 

arahkan pandangan mata masing-masing ke arah 

timur. Dari tempat mereka, mata mereka menang-

kap sesosok bayangan berlari cepat menuju ke 

arah mereka.

Pendekar Mata Keranjang dan Drupadi se-

jenak saling pandang.

"Kita belum tahu siapa dia. Namun sedikit 

banyak kita tahu apa tujuannya orang itu ke tem-

pat lain. Apa tidak sebaiknya untuk sementara ki-

ta menghindar? Biar urusan tidak bertambah pan-

jang dan makin ruwet!" usul Aji seraya meman-

dang pada Kamaratih.

Kamaratih turunkan tangan kanannya lalu 

menggeleng perlahan.

"Dia datang dengan terang-terangan. Itu 

menunjukkan bahwa dia orang yang tidak punya 

musuh. Dan belum tentu punya kepentingan yang

ada sangkut pautnya dengan perebutan lembaran 

kulit itu. Mungkin saja dia mencari seseorang yang 

diduga kuat berada di kawasan ini. Karena tanpa 

disadari siapa pun, kawasan ini sekarang sudah 

menjadi tempat berkumpulnya para dedengkot 

rimba persilatan...."

"Pendapatmu ada benarnya. Tapi kalau dia 

orang baru, berarti tak ada hubungannya dengan

orang yang membawa lari kipasku, karena aku ya-

kin pencuri busuk itu masih berkeliaran di kawa-

san ini. Aku tak mau membuat urusan tambahan, 

aku akan pergi sekarang!" kata Aji lalu putar tu-

buh hendak meninggalkan tempat itu. Namun ba-

ru saja melangkah, terdengar suara orang mene-

gur.

"Kita belum saling kenal dan berbicara, 

mengapa buru-buru hendak pergi?!"

Berpaling, Aji jadi melengak. Di tempat itu 

kini telah tegak seseorang.

"Busyet! Larinya luar biasa. Baru saja aku 

melihat dia masih berkelebat jauh di sana. Seka-

rang tahu-tahu sudah nongkrong di sini!"


DUA BELAS


KARENA saat itu Aji tegak membelakangi, 

maka murid Wong Agung ini hanya terkejut karena 

kedatangannya yang tak terduga dan begitu cepat. 

Namun tidak demikian halnya dengan Kamaratih 

dan Drupadi yang langsung berhadapan dengan 

orang yang baru datang. Kedua orang ini serentak 

mengeluarkan seruan tertahan, membuat Aji ba-

likkan tubuh dan memandang pada orang yang 

baru datang. Sejenak sepasang matanya melebar, 

mulutnya komat-kamit.

"Busyet! Ini orang tidak waras atau edan? 

Atau setengah tak waras setengah gila?!"

Lima langkah di hadapan ketiga orang itu,

tegak acuh tak acuh seorang yang tidak bisa dike-

nali laki-perempuannya. Mengenakan pakaian 

gombrong besar menutup seluruh anggota tubuh-

nya sampai kaki. Di lehernya melilit sebuah selen-

dang batik hingga leher itu tak kelihatan. Wajah-

nya dipoles hitam legam entah dari bedak apa. 

Yang pasti paras wajahnya jadi hitam berkilat-kilat 

dan tak bisa dikenali. Matanya tajam, rambutnya 

diberi pewarna merah. Rambut itu dikuncir sam-

pai sepuluh buah. Tiap kunciran dihiasi dengan 

sobekan kain batik yang diikatkan di bagian mata.

Melihat keadaan orang ini, Kamaratih yang 

semula menduga orang itu orang baik-baik sedikit 

banyak jadi ragu-ragu. Hingga setelah rasa terke-

jut dan gelinya hilang, dia segera keluarkan tegu-

ran.

"Orang asing! Siapa kau?"

Belum sampai orang berwajah hitam men-

jawab.

Drupadi telah menyambung teguran Kama-

ratih. "Katakan pula kepentinganmu di kawasan 

ini!" 

"Jelaskan juga kau ini bangsa laki-laki apa 

perempuan. Kalau perempuan umurmu berapa, 

cantik apa jelek. Jika perlu terangkan berapa uku-

ran dada dan pinggangmu!" Aji menyahut. Mem-

buat Drupadi berpaling dan merengut, matanya 

sedikit mendelik. Sementara Kamaratih kelihatan 

tersenyum.

Orang berwajah hitam gerakkan kepalanya 

ke arah Pendekar 108. Bibirnya yang hitam berge-

rak sunggingkan seulas senyum. Tiba-tiba orang

ini perdengarkan suara tawa mengekeh panjang. 

Lalu berkata.

"Aku suka berjumpa dengan orang-orang 

yang banyak bicara banyak tanya. Tapi sayang, 

aku tak suka dengan nada tanya yang banyak 

mengandung kecurigaan! Kalau pertama jumpa 

didahului kecurigaan, mana mungkin akan terjalin 

sebuah persahabatan?!"

Pendekar Mata Keranjang mengernyit, de-

mikian juga Kamaratih dan Drupadi.

"Ucapanmu tadi masih kusangsikan. Na-

mun sekarang jelas. Jadi orang ini bukan saja me-

nyembunyikan wajah dan jenisnya, suaranya pun 

sengaja disarukan! Hem.... Jelas ada maksud ter-

tentu dari semua tindakannya ini...," duga Aji da-

lam hati.

Mendengar suara orang ini, Kamaratih ma-

kin curiga. Dengan suara agak keras perempuan 

setengah baya ini kembali keluarkan teguran.

"Orang asing! Kita belum kenal dan bukan 

sahabat! Kami tak punya waktu banyak. Jawab sa-

ja pertanyaan kami!"

Kembali orang berwajah hitam tengadahkan 

kepala lalu keluarkan suara pelan.

"Tak apa jika kau tak menganggapku seba-

gai sahabat. Namun bagiku, semua makhluk ada-

lah sahabat. Bukankah hakikat menjalani hidup 

adalah bersahabat dan saling tolong sesama?!" su-

ara orang ini masih disarukan antara suara laki-

laki dan perempuan.

"Betul!" sahut Aji. "Tapi dengan tindakanmu 

yang menyembunyikan wajah dan menyarukan

suara membuat orang enggan bersahabat, malah 

akan lari terkencing-kencing! Lebih dari itu akan 

jatuh rasa curiga padamu!" 

"Anak muda! Orang arif bijaksana tidak 

akan memandang seseorang dari lagak dan pe-

nampilan. Lebih-lebih tidak akan menjatuhkan 

prasangka buruk sebelum jelas-jelas terlihat!"

Aji jadi terdiam dan angkat bahu dengan 

berpaling pada Kamaratih. Kamaratih sendiri tam-

paknya sudah tak sabaran.

"Orang asing! Jangan bicara panjang lebar! 

Lekas sebutkan dirimu atau lekas angkat kaki dari 

sini!"

"Kalau jawaban dari pertanyaan kalian tadi 

akan menjadi jembatan persahabatan, baiklah. 

Akan kujawab semua pertanyaan kalian...," Kata 

orang berwajah hitam. Dia menarik napas sejenak 

lalu melanjutkan.

"Aku Putri...."

Sebelum orang berwajah hitam meneruskan 

kata-katanya, tiba-tiba Kamaratih tertawa berge-

lak.

"Hem.... Jadi kau seorang putri! Hik.... 

Hik.... Hik...! Teruskan bicara, Putri...."

Orang berwajah hitam tidak tersinggung 

atau marah mendengar ucapan, Kamaratih yang 

jelas mengejek, sebaliknya orang ini malah terse-

nyum lantas buka suara lagi.

"Aku Putri Hitam. Kepentinganku mencari 

sesuatu yang terpendam." Orang berwajah hitam 

yang sebutkan diri sebagai Putri Hitam lalu arah-

kan pandangannya pada Pendekar Mata Keranjang.

"Untuk pertanyaanmu, Anak Muda. Kali ini 

aku belum dapat memberi jawaban pasti. Karena 

cantik atau jelek adalah sesuatu yang tak bisa di-

ukur. Tergantung dari sudut mana orang meman-

dang! Aku pun belum sempat mengukur berapa 

besar dada dan pinggangku! Jelas?!"

"Belum!" sela Aji. "Kau belum mengatakan 

dari jenis laki atau perempuan!"

Putri Hitam tertawa pelan. "Dengar, Anak 

Muda! Jenis seseorang dapat merubah suasana. 

Urusan maha penting seorang laki-laki terkadang 

menjadi kabur jika sudah berhadapan dengan ga-

dis muda cantik nan jelita. Begitu juga sebaliknya. 

Dengan tidak mempermasalahkan jenis, kukira 

persahabatan akan lebih tulus. Bukankah begi-

tu?!"

"Walah, jadi sulit berhadapan dengan orang 

macam begini...," gumam Pendekar Mata Keran-

jang sambil jerengkan sepasang matanya. "Terse-

rah padamu sajalah kalau begitu!"

"Kau bilang mencari sesuatu yang terpen-

dam. Apa itu?!" Kamaratih keluarkan suara kem-

bali.

"Aku telah menerangkan siapa diriku. Sebe-

lum kujawab pertanyaanmu, tak enak rasanya jika 

aku tak tahu siapa kalian adanya! Bukankah per-

sahabatan pasti diawali dengan saling kenal diri?!"

Kamaratih tampak paling tidak sabar 

menghadapi Putri Hitam. Sementara Drupadi 

hanya diam namun tak henti-hentinya sepasang 

matanya memandang lekat-lekat. Seakan berusaha menembus polesan hitam dan pakaian gom-

brong orang ini untuk dapat mengenali siapa 

adanya orang di balik itu semua. Sedangkan Aji 

tampak acuh tak acuh, tapi segala ucapan orang 

diperhatikannya baik-baik.

"Aku Kamaratih!" akhirnya Kamaratih yang 

menjawab. Lalu berpaling pada Drupadi. "Dia 

Drupadi," terakhir Kamaratih arahkan kepalanya 

pada murid Wong Agung. "Dia pemuda bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108!"

"Ah, hari ini rupanya aku berkesempatan 

jumpa dengan orang-orang berilmu tinggi dalam 

rimba persilatan. Juga dengan seorang pendekar 

yang namanya mulai harum di telinga orang. Te-

rimalah hormatku...," Putri Hitam gerakkan tu-

buhnya sedikit membungkuk.

Kamaratih tidak menyambuti, dia hanya 

mengangguk demikian juga dengan Drupadi. 

Hanya Aji yang tampak membungkuk, malah dia 

sambil takupkan kedua tangan dan lututnya sedi-

kit ditekuk. Lalu berujar.

"Ucapan di telinga terkadang lain dengan 

mata yang melihat. Aku belum apa-apa jika di-

banding dengan dirimu, Putri...."

"Orang bijak memang tak mau menunjuk-

kan diri...," kata Putri Hitam, lalu berpaling pada 

Kamaratih. Belum sampai berkata, Kamaratih te-

lah buka mulut. "Terangkan sesuatu yang terpen-

dam itu!" 

"Sobatku, Kamaratih. Urusan itu biarlah 

tersimpan di dada ini. Aku tak mau membuat 

orang lain ikut menyimpannya. Hanya kalau boleh

tahu, apakah ini kawasan Sungai Siluman yang 

menuju arah Bukit Siluman?!"

Ucapan Putri Hitam membuat Aji dan Dru-

padi serta Kamaratih saling pandang.

"Apakah kau hendak ke sana?!" tanya Aji 

dengan memandang pada Putri Hitam.

"Orang tanya arah selatan, kadang sebenar-

nya dia hendak ke utara. Aku bertanya bukan be-

rarti aku akan ke sana!" ujar Putri Hitam.

"Busyet! Orang begini ini yang tak bisa diki-

buli! Malah orang akan jatuh terperosok jika tak 

hati-hati! Maunya apa sebenarnya orang ini?! Se-

suatu yang terpendam, hem.... Jangan-jangan 

maksudnya Lembaran Kulit Naga Pertala...," duga 

Pendekar 108. Lalu dia bertanya lagi.

"Kalau kau tak hendak ke sana, kenapa 

tanya arah Bukit Siluman?!"

"Pendekar 108. Ingin tahu adalah hal yang 

wajar, bukan?"

"Berlama-lama bicara dengan orang ini tak 

ada gunanya...," bisik Kamaratih. Lalu tanpa pikir 

panjang lagi dia berkata.

"Ini memang kawasan Sungai Siluman yang 

menuju arah Bukit Siluman! Kalau ingin ke sana, 

kau bisa membuat perahu. Atau tidak ada yang 

melarang jika kau memang berenang!"

"Ah, sobatku Kamaratih tampaknya sedang 

tidak bersahabat. Mungkin hatimu sedang kusut. 

Menunggu seseorang yang tak kunjung datang ba-

rangkali? Atau mungkin ada sesuatu berharga 

yang hilang?! Atau...," Putri Hitam tidak melan-

jutkan ucapannya. Dia malah tertawa perlahan lalu mendongak.

Kamaratih dan Pendekar 108 dadanya ber-

debar-debar. Sejenak dua orang ini berpaling dan 

saling pandang. Aji masih dapat menahan hatinya, 

dia berpikir Putri Hitam mungkin kebetulan bicara 

yang ada sangkut pautnya dengan masalah yang 

kini dihadapi Kamaratih atau dirinya sendiri. Na-

mun tidak demikian halnya dengan Kamaratih. 

Mendengar orang bicara yang menyangkut perihal 

dirinya, perempuan setengah baya berambut ke-

pang ini makin curiga, dan saat itu juga langsung 

membentak. 

"Kau ini sebenarnya siapa. Dan tahu apa 

tentang diriku, hah?.'"

"Hai.... Ada apa ini?!" ujar Putri Hitam terke-

jut. "Kau tiba-tiba membentakku. Lalu bertanya 

yang bukan-bukan. Apa ada yang salah ucapan-

ku?!"

"Ucapanmu tidak ada yang salah! Semua-

nya betul! Namun ucapanmu telah menyinggung 

urusanku dan lebih-lebih urusan Pendekar 108! 

Kita sebelumnya tidak kenal, namun tiba-tiba kau 

tahu urusan kami. Jangan-jangan kaulah yang 

menyamar dan membawa lari kipas itu!" Kamara-

tih nyerocos dengan suara keras.

"Sobatku, Kamaratih. Jaga ucapan. Aku ti-

dak tahu urusanmu juga urusan Pendekar 108, 

apalagi urusan kipas dan samar-menyamar!"

"Putri Hitam...," kata Aji agak pelan. "Kalau 

kau memang yang menyamar dan membawa lari 

kipasku, kuharap kau sekarang menyerahkannya 

padaku secara baik-baik!"

"Pendekar 108! Kau juga ikut-ikutan menu-

duhku?!" 

"Aku tidak menuduh. Tapi kipasku dibawa 

lari oleh seseorang yang menyamar. Kali ini kau 

datang dengan menyamar. Orang yang membawa 

lari kipasku bisa merubah suara. Kau juga demi-

kian. Apakah tanda-tanda ini belum kuat sebagai 

petunjuk?!"

Putri Hitam tertawa pelan tapi panjang.

"Pendekar 108. Sama belum tentu tak beda! 

dan kukatakan sekali lagi, aku tak tahu-menahu 

urusan kalian!"

"Dusta!" teriak Kamaratih. "Kau menutupi 

wajahmu agar tak dikenali. Kalau orang baik-baik 

mengapa takut perlihatkan wajah?!"

"Tindakan orang berlainan, Kamaratih. Ka-

lau urusanku bisa tercapai dengan jalan begini, 

kenapa orang lain mesti ribut?!" nada suara Putri 

Hitam mulai agak tinggi.

"Kalau kau betul-betul tidak dusta, harap 

kau mau digeledah! Kalau kau perempuan, silakan 

pilih di antara dua orang ini mana yang kau tun-

juk untuk menggeledah! Kalau kau laki-laki pasti 

kau akan lebih senang! Nah, silakan pilih!" kata Aji 

sambil berpaling pada Drupadi dan Kamaratih.

"Berarti kau menginjak hakku!"

"Terserah apa namanya, yang pasti aku ke-

hilangan kipas dan kau adalah orang yang pantas 

untuk dicurigai!"

"Aku tak mengambil kipasmu dan aku tak 

sudi diperlakukan seperti itu!"

"Berarti kau minta jalan kekerasan!" seru

Kamaratih. 

"Itu bukan pilihanku, karena kalian yang 

menentukan!" jawab Putri Hitam dengan suara 

tinggi.

"Keparat! Kau menantang rupanya! Baik, 

aku ingin tahu juga siapa adanya jahanam di balik 

penutup wajahmu itu!"

Habis berkata begitu, Kamaratih melompat. 

Dua langkah di hadapan Putri Hitam kedua tan-

gannya segera diangkat hendak lepaskan pukulan.

"Tahan!" seru Putri Hitam. Orang ini tidak 

membuat gerakan. Tetap tegak dengan meman-

dang tajam pada Kamaratih.

"Jalan ini tidak akan menyelesaikan uru-

san, Kamaratih. Malah akan membuat bibit per-

musuhan. Kalau...."

"Diam! Kau yang menanam bibit itu! Sebe-

lum tumbuh besar sebaiknya dipotes sejak seka-

rang!" 

Wuuttt! Wuuttt!

Kedua tangan Kamaratih telah berkelebat 

kirimkan pukulan. Keduanya langsung mengarah 

ke batok kepala Putri Hitam. Pukulan baru seten-

gah jalan, angin deras telah melesat mendahului, 

pertanda hantaman itu telah dialiri tenaga dalam 

tinggi.

Aji dan Drupadi sama-sama membeliak be-

sar, malah tanpa sadar Aji memanggil nama Putri 

Hitam, karena mereka berdua melihat Putri Hitam 

tidak membuat gerakan apa-apa meski pukulan 

Kamaratih sejengkal lagi menghajar kepalanya.

Bukk! Bukkk!

Dan tangan Kamaratih telak menghajar ke-

pala Putri Hitam. Namun semua orang di situ jadi 

melengak. Bahkan Kamaratih berseru tertahan 

sambil surutkan langkah dua tindak. Betapa ti-

dak? Kepala itu hanya menyentak sebentar ke ka-

nan kiri. Lalu diam lagi. Sementara sosok Putri Hi-

tam tidak bergeming sama sekali!

"Hampir tak kupercaya jika tak menyaksi-

kan sendiri. Pukulan Kamaratih kuyakin bukan 

pukulan biasa. Namun kepala itu bagaikan bong-

kahan gunung batu! Siapa sebenarnya orang ini? 

Ucapannya begitu mendalam. Hem.... Apakah ka-

ta-katanya bisa dipercaya? Aku harus menyeli-

dik...," Aji berkata sendiri dalam hati.

Di sebelah depan, melihat pukulannya 

hanya mampu membuat kepala orang tersentak 

sebentar, darah Kamaratih jadi mendidih. Cepat 

perempuan ini kerahkan tenaga dalamnya. Sesaat 

kemudian kedua tangannya diangkat lalu dihan-

tamkan ke arah Putri Hitam. 

Wuuuttt! Wuuuttt!

Gemuruh laksana gelombang terdengar saat 

dari kedua tangan Kamaratih melesat asap putih 

tebal. Suasana pun berubah jadi dingin menusuk!

Putri Hitam pentangkan sepasang matanya. 

Tiba-tiba kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi di 

depan tubuhnya. Lalu serentak disentakkan!

Beeettt! Beeettt!

Tidak ada suara yang keras, juga tidak ada 

sambaran angin yang melesat keluar. Namun ber-

samaan dengan menyentaknya tangan, asap putih 

pukulan Kamaratih tertahan. Di lain kejap, Kamaratih tampak terhuyung-huyung lalu jatuh berlu-

tut dengan tubuh bergetar!

Entah merasa Kamaratih telah dianggap 

sahabat baik, atau mungkin juga masih mencuri-

gai bahwa yang melarikan kipasnya adalah Putri 

Hitam, Aji segera menghambur dan tahu-tahu ber-

diri tegak tiga langkah di hadapan Putri Hitam.

"Putri Hitam. Aku masih mau bicara baik-

baik. Serahkan kipas itu atau biarkan kami meng-

geledahmu jika kau benar-benar tak mengambil-

nya!"

"Pendekar 108. Sudah kukatakan. Aku tak 

mengambil dan aku tak mau digeledah!"

"Berarti benar-benar kau suka jalan kekera-

san!"

"Itu bukan jalanku, tapi pilihanmu!"

"Kurang ajar! Terimalah ganjaranmu!" 

Wuuttt! Wuuuttt!

Karena telah melihat bagaimana pukulan 

Kamaratih dibuat lenyap sebelum menghajar sasa-

ran, Pendekar Mata Keranjang tak mau main-main 

lagi. Sekali buka serangan murid Wong Agung ini 

telah kirimkan pukulan 'Mutiara Biru'.

Suasana di tempat ini kini berubah sembu-

rat warna biru, lalu cuaca menjadi panas menyen-

gat, pada saat bersamaan dua sinar biru member-

sit dan mengembang melesat cepat ke arah Putri 

Hitam. 

Putri Hitam kembali pentangkan sepasang 

matanya. Kedua tangannya tetap di bawah. Begitu 

sinar biru panas setengah tombak lagi menghajar 

tubuhnya, orang ini membuat gerakan seperti

mengangkat. Sampai di depan dada kedua tan-

gannya disentakkan ke atas.

Beeettt! Beeettt!

Sinar biru serentak terhenti. Kejap lain si-

nar pukulan itu melesat ke udara dengan cepat-

nya. Hingga hanya dalam beberapa saat sinar itu 

lenyap laksana ditelan langit! Pada saat bersamaan 

semburat sinar biru di tempat itu sirna memudar! 

Di belakang, tubuh Aji mental ke belakang lalu 

menghantam sosok Kamaratih yang hendak berge-

rak bangkit. Kedua orang ini terpuruk saling tin-

dih, malah kedua wajah mereka bersentuhan!

Mungkin tak sadar dan untuk menyela-

matkan diri agar tak jatuh terlalu keras, maka Aji 

segera saja memeluk tubuh Kamaratih, hingga 

saat bergulingan orang ini sama saling berpelukan.

"Hai! Wajahmu jangan terus menekan. Be-

dakku bisa morat-marit. Pelukanmu juga le-

paskan!" seru Kamaratih. Namun Aji seolah tak 

mendengar ucapan orang ini. Dia malah menem-

pelkan wajahnya dan pelukannya dipererat.

"Dasar konyol! Saat begini juga masih sem-

pat bercanda!" teriak Kamaratih. Lalu berbisik pe-

lan. "Kalau kau ingin, kenapa di depan orang, 

Anak Muda? Waktu sepi tadi kau menolak! Atau 

kau ingin kekasihmu itu makin cemburu"

Sadar ucapan orang ini, Aji cepat lepaskan 

pelukannya lalu menggeser tubuhnya dan berge-

rak bangkit. Demikian juga Kamaratih. Pertama-

tama yang terlihat oleh Pendekar Mata Keranjang 

adalah Drupadi yang kini tegak membelakangi. 

Namun dari arah samping masih terlihat bagaimana paras wajah gadis cantik ini. Merah padam dan 

memberengut! Namun Aji tak sempat memikirkan 

lebih lama lagi karena saat itu Kamaratih telah 

angkat bicara.

"Keparat itu telah lenyap!"

Pendekar 108 sapukan pandangannya ber-

keliling. Dan ucapan Kamaratih memang betul Pu-

tri Hitam tak ada lagi di tempat itu.

"Hem.... Kalaupun pergi, tentu belum jauh 

dari sini. Aku penasaran. Aku harus tahu siapa 

dia! Kalau dia tahu urusanku, sedikit banyak 

mungkin tahu di mana dan siapa sebenarnya yang 

membawa lari kipasku! Kalau tadi dia tak mau 

mengatakan, mungkin keburu sakit hati oleh kata-

kataku dan ucapan nenek menor itu.... Aku akan 

menyusulnya!" berpikir begitu, tanpa bicara lagi 

murid Wong Agung segera berkelebat meninggal-

kan tempat itu.

"Tunggu!" tahan Kamaratih. Namun Pende-

kar 108 telah lenyap di sela rimbunan semak-

semak.

Mendengar suara Kamaratih, Drupadi ber-

paling. Pandangannya mengedar berkeliling. Saat 

matanya tak menemukan lagi sosok Aji, gadis ini 

alihkan pandangannya pada Kamaratih. Tatapan 

matanya tampak aneh. Lalu tanpa keluarkan sepa-

tah kata, gadis baju kuning ini putar tubuh dan 

berkelebat pergi.

Kamaratih menghela napas panjang dan da-

lam.

"Aku tahu perasaannya. Cemburunya 

mungkin makin besar padaku. Hem.... Aku akan

menjelaskannya padanya. Lagi pula pada pemuda 

baik macam dia, mana mungkin aku berani main 

gila?"

Sejurus perempuan berambut kepang ini 

layangkan pandangannya jauh ke depan. "Siapa 

sebenarnya orang yang mengaku Putri Hitam itu? 

Baru kali ini aku jumpa dengan manusia berilmu 

tinggi begitu. Ah.... Lebih baik aku bersiap menanti 

bangsat si Manusia Neraka! Melihat telah banyak 

orang yang datang ke sini, tak lama lagi pasti dia 

akan muncul!"

Perlahan-lahan Kamaratih tundukkan kepa-

lanya. "Aneh. Meski aku jatuh terjengkang, namun 

aku tak merasakan sakit sama sekali. Jelas, jika 

orang itu tak mau mencederaiku. Ah.... Orang 

aneh dan penuh misterius." Kamaratih rapikan 

rambutnya, lalu sekali berkelebat sosoknya lenyap 

dari tempat itu.


TIGA BELAS


KITA kembali pada Utusan Iblis yang tengah 

berkelebat mengejar orang yang diduganya mengi-

rimkan pukulan hingga tubuhnya tersapu dan 

hampir saja roboh. Mungkin karena geram dan 

penasaran, pemuda ini sampai melupakan uru-

sannya dengan Pendekar 108 dan meninggalkan-

nya begitu saja. Namun setelah agak jauh berkele-

bat mencari dan tak menemukan orang yang menyerangnya secara gelap, pemuda ini sadar.

"Bangsat! Jangan-jangan aku dikecoh 

orang...." Cepat pemuda ini segera putar tubuh 

dan berkelebat kembali ke arah di mana tadi Pen-

dekar 108 berada. Apa yang dikhawatirkan Utusan 

Iblis terbukti. Murid Wong Agung sudah tak ada 

lagi di tempatnya semula!

Seperti diketahui, begitu Utusan Iblis berke-

lebat, Wong Agung muncul di tempat itu dan 

memberi isyarat pada muridnya untuk mengikuti 

dirinya.

"Keparat busuk! Aku betul-betul dikelabui 

orang. Jahanam!" Utusan Iblis tak habis-habisnya 

memaki sambil bantingkan kaki. Rahangnya men-

gembang, matanya merah dan dadanya keras ber-

getar.

Seraya membawa geram dan marah yang 

berkobar, akhirnya pemuda ini terus berkelebat ke 

arah timur. Dan setelah jauh mencari dan tak me-

nemukan siapa pun akhirnya pemuda ini duduk 

bersandar pada sebatang pohon yang agak terlin-

dung dari pandangan.

Lama pemuda murid Titisan Iblis ini duduk 

bersandar sambil pikirannya mengembara ke ma-

na-mana. Tiba-tiba dia tarik tubuhnya duduk te-

gak, sepasang matanya dibeliakkan memandang 

ke depan.

"Ada orang berlari ke arah timur. Tak dapat 

kupastikan laki perempuannya. Barangkali...," 

Utusan Iblis tak berpikir panjang. Dia segera 

bangkit lalu berkelebat mengejar bayangan yang 

baru saja tertangkap matanya.

"Berhenti!" teriak Utusan Iblis begitu bayan-

gan yang dikejar sudah tak jauh lagi dari dirinya.

Sosok yang dikejar tak pedulikan teriakan 

orang. Malah dia makin kencangkan larinya, 

membuat Utusan Iblis makin curiga dan kerahkan 

segenap ilmu peringan tubuhnya untuk mengejar.

Ketika sosok yang dikejar berada lima tom-

bak di depannya, kembali Utusan Iblis keluarkan 

seruan keras.

"Berhenti atau tubuhmu kuhancurkan!" 

Mendengar ancaman orang, tiba-tiba sosok yang 

dikejar Utusan Iblis hentikan larinya. Sebelum so-

sok itu berbalik, terdengar dia perdengarkan suara 

tawa cekikikan panjang.

"Perempuan...," desis Utusan Iblis lalu ber-

henti sepuluh Langkah di belakang orang.

"Katakan perlumu mengejar dan menyu-

ruhku berhenti!" tegur orang di depan lalu balik-

kan tubuh.

Untuk sesaat kedua alis mata Utusan iblis 

naik ke atas. Bibirnya hendak tersenyum, tapi ti-

ba-tiba berubah jadi seringai dan kejap lain dia ke-

luarkan dengusan.

Ternyata orang di hadapan Utusan Iblis 

adalah seorang perempuan setengah baya. Mu-

kanya mengenakan bedak putih agak tebal, bibir-

nya merah menyala dengan rambut dikepang. Pe-

rempuan yang bukan lain adalah Kamaratih ini 

tersenyum lalu keluarkan tawa lagi.

"Perempuan sundal...," gumam Utusan Iblis. 

"Tak ada gunanya bicara dengan perempuan begini 

rupa. Lebih baik aku segera menuju bukit itu.

Urusan dengan Mata Malaikat bisa diselesaikan 

kapan-kapan. Lagi pula kuyakin orang itu masih 

berkeliaran di sekitar kawasan ini...," berpikir begi-

tu, Utusan Iblis balikkan tubuh tanpa berkata lagi. 

Lalu hendak berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Tunggu dulu, Anak Ganteng…," tahan Ka-

maratih membuat Utusan Iblis urungkan niat. 

Tanpa putar tubuhnya lagi si pemuda membentak. 

'"Ada apa?!"

"Aneh. Kau tadi kulihat bersemangat sekali 

mengejarku. Kini kau tampak bermuram durja. 

Apakah wajah atau tubuhku kurang menarik ha-

timu? Ah, mungkin kau belum melihatnya. Kalau 

sudah tahu, mungkin kau akan mengikuti ke ma-

ha aku pergi. Hik.... Hik.... Hik…! Kau ingin buk-

ti...?!"

Masih tanpa balikkan tubuh, Utusan Iblis 

meludah ke tanah, lalu membentak.

"Jangan banyak mulut, Tua Bangka! Dari-

pada melihat tubuh telanjangmu, lebih baik lihat 

kerbau bunting!"

Melihat sikap dan mendengar ucapan Utu-

san Iblis, Kamaratih menjadi geram. Namun pe-

rempuan ini kali ini masih coba menindihnya. Lalu 

dia berujar.

"Jangan komentar sebelum lihat bukti, 

Anak Ganteng...."

"Perempuan sundal! Aku ada urusan. Perli-

hatkan saja tubuh telanjangmu pada kambing-

kambing di sana itu. Barangkali ada salah satu 

yang tertarik!"

Ejekan Utusan Iblis membuat Kamaratih

tak dapat lagi menahan amarahnya, hingga saat 

itu juga dia kancingkan kembali bajunya yang tadi 

mulai dibuka. Dan kejap itu juga dia meloncat ke 

depan. Kedua tangannya dipukulkan ke arah 

punggung si pemuda.

Merasa ada gelagat tak enak, Utusan Iblis 

cepat putar tubuh. Sepasang matanya mendelik 

besar tatkala saat itu juga dua tangan telah berada 

di depan hidungnya.

"Perempuan jahanam! Kau belum tahu sia-

pa yang sedang kau hadapi saat ini!" teriak Utusan 

Iblis lalu palangkan kedua tangannya ke depan.

Bukk! Bukkk!

Dua pasang tangan beradu keras. Kamara-

tih keluarkan seruan tertahan lalu cepat mundur 

dengan wajah berubah pucat. Kedua tangannya 

yang baru saja bentrok terasa panas dan bergetar. 

Dadanya pun sedikit sesak. Di hadapannya Utu-

san Iblis tampak menyeringai lalu meludah. Sepa-

sang mata pemuda ini berubah jadi merah berin-

gas. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak.

"Perempuan sundal!" seru Utusan Iblis. "Pa-

sang telinga baik-baik. Yang tegak di hadapanmu 

saat ini adalah Utusan Iblis! Sebelum kucopot 

nyawamu, katakan siapa kau?!"

Kamaratih dongakkan kepala sambil per-

dengarkan suara tawa panjang.

"Kau telah berulang kali menyebutnya. Ke-

napa masih tanya?! Hik.... Hik.... Hik...! Aku tahu 

sekarang. Kau tadi mengejarku, kau kira aku 

orang yang kau cari, ya?"

Utusan Iblis kernyitkan dahi. "Hem.... Sun

dal ini tampaknya tahu. Jangan-jangan dia yang 

mempermainkan dan mengecohku...," Kata si pe-

muda dalam hati. Dan diam-diam pun Kamaratih 

membatin. 

"Pemuda ini tampaknya orang baru dalam 

dunia persilatan. Ilmunya tinggi. Namun dari tin-

dakannya rupanya bukan orang baik-baik. Hem.... 

Meski aku bukan orang baik-baik, namun aku tak 

suka jika orang macam dia sampai berhasil men-

dapatkan lembaran kulit yang saat ini dipere-

butkan orang itu. Beradanya dia di kawasan ini 

pasti untuk urusan lembaran kulit itu. Aku harus 

mencegahnya, setidak-tidaknya mengulur wak-

tunya, tapi bagaimana nanti dengan urusanku...?!"

Untuk beberapa lama kedua orang ini sa-

ma-sama diam. Dan tanpa disadari oleh mereka 

diam-diam dari sela kerimbunan semak-semak 

yang rapat, sepasang mata mengawasi mereka tak 

berkedip. Namun sesekali wajah orang yang men-

gawasi ini senyum-senyum sambil usap-usap hi-

dungnya.

"Perempuan sundal!" teriak Utusan Iblis. 

"Kau tahu urusanku. Berarti kaulah orang yang 

mengecohku dan menyelamatkan pemuda konyol 

itu!"

Dituduh demikian, Kamaratih jadi naik pi-

tam. "Bukan saja mulutmu yang busuk, ternyata 

hatimu juga kotor!"

"Orang salah kadang-kadang menutupi 

dengan tingkah dan mulut sok suci! Tapi aku tak-

kan terkecoh! Terimalah kematianmu, Sundal 

Tua!"

Utusan Iblis angkat kedua tangannya, se-

mentara Kamaratih tak tinggal diam. Perempuan 

ini pun kerahkan tenaga dalamnya, lalu palangkan 

kedua tangannya di depan dada.

"Walah, urusan sepele berubah jadi bertele-

tele.... Daripada lihat orang ugal-ugalan begini, le-

bih baik mengurus diriku dulu. Hem.... Mencari 

lembaran kulit itu terlebih dahulu atau langsung 

menyelidik ke bukit? Tapi menurut Setan Pesolek, 

hanya kipas itu mungkin yang bisa membuka ta-

bir. Berarti aku harus mendapatkan kipas itu da-

hulu.... Sialan betul! Langkahku jadi terhalang ga-

ra-gara si keparat orang yang menyamar dan 

membawa kipas itu!" gumam orang di sela kerapa-

tan semak-semak yang bukan lain adalah Pende-

kar 108. Murid Wong Agung ini segera bergerak 

hendak bangkit meninggalkan tempat itu. Namun 

gerakannya tertahan tatkala dari arah depan, arah 

mana berada Utusan Iblis dan Kamaratih sedang 

sama-sama hendak kirimkan serangan, terdengar 

orang berseru.

"Tahan serangan!" Di lain kejap sesosok 

bayangan berkelebat dan tegak di tengah-tengah 

antara Utusan Iblis dan Kamaratih.

Dia adalah seorang kakek berambut putih 

panjang, bermata cacat. Tubuhnya terbungkus 

pakaian perempuan. Tapi, ketika dia bergerak ter-

lihat pakaian dari kulit ular di baliknya.

Pendekar Mata Keranjang pentangkan sepa-

sang matanya. Mulutnya komat-kamit.

"Mengenakan pakaian perempuan, rambut-

nya dikepang...," murid Wong Agung sekali lagi

memperhatikan. Tiba-tiba sepasang matanya be-

rubah merah berkilat-kilat, rahangnya mengem-

bang, kedua telapak tangannya bergerak membu-

ka keluarkan suara bergemeretakan. Dadanya ber-

getar keras.

Tanpa pedulikan lagi pada Utusan Iblis 

yang sebenarnya sedang mencari dirinya, murid 

Wong Agung ini langsung bangkit dan cepat berke-

lebat ke arah si kakek!



                      SELESAI



Segera terbit:

LEMBARAN KULIT NAGA PERTALA










Share:

0 comments:

Posting Komentar