BIDADARI
PENYEBAR CINTA
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Bidadari Penyebar Cinta
128 hal.
SATU
ANGIN kencang berhembus naik ke kawa-
san sebuah perbukitan, nun jauh di atas sana
awan hitam menggelantung membuat suasana
menjadi gelap. Sesaat kemudian hujan deras men-
dera disertai menyambarnya kilat dan disusul ter-
dengarnya salakan guntur.
Dari arah barat lereng salah satu bukit,
menyeruak di antara curah hujan dan salakan pe-
tir sesosok bayangan berkelebat menuruni lereng
di mana terdapat sebuah air terjun. Tak berselang
lama, bayangan ini telah tegak pada sebuah batu
tak jauh dari air terjun. Ada keanehan pada sosok
orang ini. Meski curahan hujan dan imbasan air
terjun menerpa tubuhnya, namun pakaian hitam-
hitam serta kulit tubuhnya seakan memiliki daya
sedot luar biasa, hingga tubuh dan pakaian orang
ini tidak basah! Malah samar-samar dari tubuhnya
keluar asap tipis!
Kilat menghampar. Sejenak kawasan per-
bukitan itu terang benderang. Penerangan yang
hanya sebentar itu sudah cukup menjelaskan sia-
pa adanya sosok yang tegak di atas batu. Dia ada-
lah seorang kakek dengan tubuh sedikit bungkuk.
Sepasang matanya besar melotot. Hidung besar
dengan mulut lebar. Kumis, jenggot, dan jambang-
nya panjang awut-awutan. Rambutnya yang putih
dan panjang hanya tumbuh di separo kepalanya
bagian samping kanan. Samping sebelah kiri keli-
mis tak ditumbuhi rambut
Beberapa lama sepasang mata orang tua ini
mendelik memperhatikan ke arah hujaman air ter-
jun yang keluarkan suara bergemuruh. Kedua
tangannya diangkat lalu dirangkapkan sejajar da-
da. Kepalanya bergerak tengadah, sesaat kemu-
dian dari mulutnya yang lebar terdengar ucapan.
"Raksa Pati.... Waktumu sudah berakhir.
Keluarlah!"
Meski suara itu pelan, namun mampu me-
nepis gemuruh air terjun dan salakan guntur. Be-
lum lenyap gema suara si kakek, hujaman air ter-
jun menyibak. Lalu 'wuttt'. Dari bagian bawah air
terjun melesat ke atas sesosok tubuh. Di kejap lain
sosok ini telah tegak di depan si kakek. Air mengu-
cur deras dari rambut, pakaian, dan tubuhnya.
Sosok yang baru muncul kelihatan jelas tatkala
suasana benderang karena sambaran kilat. Dia
adalah seorang pemuda bertubuh tinggi tegap.
Mengenakan jubah warna merah besar dan pan-
jang hingga lutut, melapis pakaian dalam yang ju-
ga berwarna merah. Rambutnya panjang lebat. Se-
pasang matanya tajam dengan dagu kokoh.
"Guru!" kata si pemuda dengan mata mena-
tap tajam dan tetap berdiri.
SI kakek berpakaian hitam-hitam luruskan
kepalanya. Mengawasi sejenak pada si pemuda.
Bibirnya menyeringai.
"Raksa Pati! Hari ini genap dua puluh empat
tahun kau menimba ilmu. Saat menimba telah
usai. Tiba sekarang saatnya untuk mengucurkan!"
"Maksud, Guru...?!"
"Segala ilmuku telah kuturunkan padamu.
Kini kau adalah seorang pemuda berilmu tinggi.
Tapi itu semua tidaklah cukup tanpa pengakuan
kalangan rimba persilatan. Waktu telah tiba untuk
menunjukkan pada dunia persilatan bahwa kau
adalah manusia tanpa tanding yang berhak me-
nyandang gelar Sang Penguasa Tunggal rimba per-
silatan!"
Pemuda yang dipanggil Raksa Pati diam tak
mengeluarkan sepatah kata. Namun bayangan air
mukanya jelas menunjukkan rasa gembira.
"Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui
sebelum kakimu menginjak arena rimba persila-
tan," lanjut si kakek. "Pertama. Rimba persilatan
bukan saja menjadi ajang bergelimangnya tokoh-
tokoh berilmu tinggi. Namun juga arena pembala-
san dendam, tumpahnya fitnah, dan segala macam
kebusukan! Di sini kau harus dapat pergunakan
kelicikan. Jika tidak, cita-citamu sebagai Penguasa
Tunggal hanyalah setetes embun! Kedua. Rimba
persilatan adalah tempat persekutuan dari bebe-
rapa golongan yang masing-masing punya tujuan.
Di sini kau harus tidak percaya pada salah satu
golongan! Anggap semua golongan adalah musuh!
Jika tidak, kau hanya akan menjadi kacung dan
tak berguna! Ketiga. Ini yang harus kau camkan
baik-baik. Saat ini rimba persilatan dibuat geger
dengan munculnya kembali berita tentang Lemba-
ran Kulit Naga Pertala...."
"Guru!" potong Raksa Pati. "Kau telah tiga
kali menyebut-nyebut lembaran kulit itu. Apakah
demikian hebatnya lembaran kulit itu?!"
"Tidak hanya hebat. Tapi juga salah satu
syarat untuk layak tidaknya seseorang menyata-
kan diri sebagai Penguasa Tunggal. Dapat memiliki
lembaran kulit itu berarti rimba persilatan di geng-
gaman tangan!"
"Guru! Katakan di mana lembaran kulit itu
dan apa yang harus kulakukan!" sahut Raksa Pati
dengan suara agak keras seolah tidak berhadapan
dengan gurunya.
Entah sudah tahu sifat muridnya, sang
guru sendiri tidak menegur malah sepertinya
bangga dan diam-diam dalam hati berkata. "Ke-
congkakan dan cara melihat orang dengan sebelah
mata yang membuat aku tertarik pada anak ini!"
Lalu kakek ini mendongak.
"Raksa! Menurut petunjuk yang kupercaya,
lembaran kulit itu tersimpan di sebuah bukit yang
dikenal orang dengan nama Bukit Siluman."
"Apakah lembaran kulit itu berada di tan-
gan seseorang?!"
"Itulah yang sampai saat ini menjadi teka-
teki besar! Apalagi ketika bukit itu mendadak le-
nyap seperti ditelan bum!. Hanya akhir-akhir ini,
bukit itu timbul kembali, sehingga membuat kea-
daan dunia persilatan kacau."
Raksa Pati sedikit terkejut. Namun sesaat
kemudian senyum sinis menyungging di bibirnya.
"Mungkin mereka itu orang-orang yang
miskin ilmu dan berotak kerbau. Hingga tak sang-
gup mengambil lembaran kulit itu! Aku akan sege-
ra ke sana!"
"Itu memang yang kuharap darimu, Murid-
ku! Tapi kuingatkan. Kau jangan ceroboh. Kau
menghadapi urusan besar. Belum sampai kakimu
menginjak kawasan Sungai Siluman, mungkin ba-
nyak masalah yang akan menghadangmu!"
Raksa Pati keluarkan suara tawa pendek.
Sambil mengusap dadanya ia berkata. "Orang yang
kutemui berarti telah mencium bau lubang kubur.
Tegak menghadang di depanku berarti memanggil
ajal! "
"Bagus! Hanya aku titip jika sewaktu-waktu
kau bertemu dengan manusia bergelar Mata Ma-
laikat, kau tak usah tanya. Cabut nyawanya un-
tukku!"
"Hem.... Kau punya silang sengketa den-
gannya?!"
"Itu bukan urusanmu! Ini perintah! Kau
dengar?!"
Meski parasnya berubah merah padam,
namun akhirnya Raksa Pati anggukkan kepalanya.
Sang guru tertawa mengekeh lalu berujar.
"Begitu kakimu menginjak rimba persilatan,
kau harus mengubur dalam-dalam siapa dirimu
sebenarnya juga namamu. Karena kau menjadi
utusanku maka kau pantas menyandang gelar
Utusan Iblis! Mengerti?!"
"Aku mengerti. Guru...."
Sang guru tertawa mengekeh. "Utusan Iblis!
Berangkatlah! Alirkan darah siapa saja yang
menghadangmu! Lalu dapatkan Lembaran Kulit
Naga Pertala! Aku, gurumu Titisan Iblis biar bang-
ga dan tak sia-sia mendidikmu bertahun-tahun!"
"Aku tak akan mengecewakanmu, Guru!
Aku pergi sekarang...," Utusan Iblis alias Raksa Pabungkukkan sedikit tubuhnya lalu sekali berke-
lebat sosoknya telah melesat dan lenyap ditelan
kerapatan pohon perbukitan itu.
DUA
SAAT itu menjelang tengah hari. Langit di
atas tampak cerah tanpa tertutup gumpalan awan.
Angin semilir berhembus pelan seakan mengim-
bangi hujaman terik sinar matahari.
Pada sebuah pohon tidak begitu besar, ter-
lihat sehelai daun pisang berukuran sejengkal kali
dua jengkal, diikatkan menggelantung pada satu
dahan, membentuk ayunan. Di atasnya, duduk
seorang kakek berambut putih panjang. Mata ki-
rinya sipit, tapi mata kanannya menonjol ke luar.
Seraya berayun-ayun, sesekali kakek ini berpaling
ke samping kanan dan kiri. Daun pisang itu tidak
robek, dan tali penggantung di sisi-sisi daun itu
pun tidak putus. Padahal, tali itu adalah akar gan-
tung pohon beringin!
Tiba-tiba kakek berpakaian dari kulit ular
yang bukan lain adalah Mata Malaikat, katupkan
kelopak matanya. Lalu terdengar gumamannya.
"Telah jauh kaki melangkah. Telah lama
waktu berjalan. Tapi harapan hanya tinggal angan-
angan. Khayalan hanya mimpi indah tak berwu-
jud. Malang benar nasib tua bangka ini. Akankah
tubuh peot ini berkalang tanah tanpa ada kesempatan untuk bertemu lagi?!"
Wajah si kakek tampak berubah murung.
Meski mulutnya membuka tapi napasnya tersen-
gal, pertanda dadanya disesaki perasaan gundah
gulana.
"Ke mana lagi aku harus mencari? Gunung
telah kudaki, lautan telah kuseberangi. Namun
jangankan orangnya, namanya pun tak pernah lagi
diketahui orang! Oh.... Sungguh malang. Rupanya
takdir telah menentukan bahwa tua bangka ini ha-
rus mati tanpa tahu sanak saudara.... Tapi, jika
itu memang takdirku kenapa aku harus bersedih?"
Tiba-tiba Mata Malaikat dongakkan kepalanya, di
lain kejap terdengarlah suara tawanya mengekeh
panjang!
Namun mendadak Mata Malaikat putuskan
tawanya, lalu 'Beeettt!' Tubuhnya berkelebat dan
lenyap. Pada saat bersamaan, sesosok bayangan
hijau berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di
bawah pohon di mana tadi Mata Malaikat berayun-
ayun.
"Heran. Suara gumaman dan tawanya ma-
sih jelas di telinga. Namun mana batang hidung-
nya?!" batin orang yang baru datang seraya sapu-
kan pandangannya berkeliling. Sepasang mata
orang ini sedikit mendelik tatkala mendapati ayu-
nan yang masih bergoyang-goyang. Orang ini mak-
lum jika orang yang baru saja tertawa bukanlah
orang sembarangan. Tidak ambrolnya daun pi-
sang, tidak putusnya akar beringin, serta terting-
galnya suara tawa, menunjukkan semua itu.
"Menilik gumamannya, jelas jika orang tadi
sedang mencari seseorang.... Hem.... Sudah dua
orang yang diketahui merana mencari seseorang,"
gumamnya lalu perlahan-lahan orang ini angkat
tangannya dan usap-usap hidungnya.
"Gadis bernama Seruni juga mencari seseo-
rang. Hem.... Gadis cantik berbekal tugas berat...,"
orang itu terus berkata sendiri. Dia adalah seorang
pemuda mengenakan pakaian hijau yang melapisi
baju warna kuning lengan panjang. Rambutnya
panjang dikuncir ekor kuda dan bukan lain adalah
Aji alias Pendekar Mata Keranjang!
Seperti dituturkan dalam episode sebelum-
nya murid Wong Agung ini sempat memergoki Se-
runi murid Raksasa Bermuka Hijau berkeluh-
kesah mengungkapkan perasaan hatinya (Baca
serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode :
"Bukit Siluman").
Aji edarkan pandangannya sekali lagi. Me-
narik napas sejenak, lalu dengan masih usap-usap
hidungnya, dia melangkah teruskan perjalanan.
Namun baru empat langkah, dia berhenti. Tanpa
memutar tubuh dia berkata.
"Orang di balik pohon! Mengapa hanya
mengintip?! Apakah wajahku begitu memalukan
untuk dipandang? Atau malah sebaliknya kau
yang akan mendapat malu bila dipandang?!"
Terdengar gumaman tak jelas, lalu sesosok
tubuh melesat keluar dari balik pohon. Murid
Wong Agung cepat putar tubuh. Sepasang ma-
tanya membelalak besar tak berkesip memperhati-
kan orang yang kini tegak di hadapannya.
"Kau...," kata Aji begitu melihat siapa
adanya orang. Dia adalah seorang gadis muda ber-
paras jelita mengenakan pakaian warna kuning.
Rambutnya panjang dikuncir dan diikat dengan
sebuah ikat kepala yang juga berwarna kuning.
Matanya bulat dengan hidung mancung.
Si gadis tersenyum. Matanya balik menatap
pada Aji. Lalu buka mulut. "Apakah aku memua-
kkan di hadapanmu?!"
"Mendengar nada bicaranya, aku bisa me-
mastikan bukan gadis ini yang tadi keluarkan ta-
wa. Atau jangan-jangan dia bisa merubah sua-
ra...," bisik Aji dalam hati lalu memperhatikan le-
bih seksama pada sang gadis.
"Hai! Kenapa diam? Kau dengar ucapanku
bukan?!" si gadis kembali angkat bicara setelah
agak lama Pendekar Mata Keranjang hanya me-
mandanginya tanpa berkata.
Aji jerengkan sepasang matanya. Lalu usap-
usap hidungnya. Seraya melangkah mendekat dia
berujar.
"Orang bodoh jika muak memandang paras
cantik sepertimu. Kalau boleh tahu, hendak ke
mana kau?!"
Paras gadis di hadapan Aji berseru merah
mendengarkan pujian. Gadis cantik yang bukan
lain adalah Drupadi merasakan dadanya sesak
dan berdebar. Perempuan mana yang tidak merasa
bangga dan gembira dipuji? Apalagi oleh seorang
pemuda berparas tampan seperti Aji. Perlahan-
lahan dia tundukkan kepala.
"Hai! Kenapa diam? Kau dengar ucapanku
bukan?!" Aji ajukan tanya seperti ucapan yang di
katakan Drupadi, membuat gadis ini tersentak da-
ri lamunannya.
"Aku tak bisa mengatakannya...," desah
Drupadi dalam hati.
Si gadis angkat kepalanya lalu berkata.
"Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku
sedang menuju. Kau sendiri?!" si gadis balik aju-
kan tanya.
"Aku?!" kata Pendekar Mata Keranjang
sambil gelengkan kepala. "Aku tak punya arah tu-
juan. Ke mana kakiku melangkah itulah tujua-
nku!"
Drupadi kernyitkan dahi. "Aku tak percaya
jika dia tak punya arah tujuan...." Setelah berpikir
sejenak gadis itu memandang lekat-lekat pada Aji
dan berujar.
"Dunia persilatan saat ini sedang ribut den-
gan kabar tentang sebuah lembaran kulit. Apakah
kau tidak tertarik?"
Air muka murid Wong Agung sedikit beru-
bah. "Hem.... Berat dugaan, gadis ini sedang me-
nyelidik lembaran kulit itu...," Aji kembali geleng-
kan kepalanya.
"Aku bukannya tidak tertarik, tapi melihat
jalinan ceritanya aku hampir yakin jika berita ten-
tang lembaran kulit itu hanya isapan jempol bela-
ka! Apakah kau tertarik dan sedang menyelidiki
lembaran itu?!"
Drupadi tidak menjawab, membuat dugaan
Pendekar Mata Keranjang makin kuat.
"Meski kau tidak menjawab, aku tahu. Kau
sedang melakukan penyelidikan."
"Jangan mudah menduga...." Aji menghela
napas lega. Diam-diam sejak tadi sebisanya murid
Wong Agung ini merasa waswas jika Drupadi
punya niat untuk merebut kipasnya seperti hal-
nya tokoh persilatan lainnya.
"Kurasa kau perlu segera meneruskan per-
jalanan. Kudoakan semoga urusanmu berhasil. Si-
lakan...," kata Aji sambil menyisi seakan memberi
jalan. Tangan kanannya dilambaikan.
Drupadi tak bergerak dari tempatnya. Seba-
liknya sepasang matanya memandang tajam pada
Aji. Gadis ini seakan-akan hendak mengucapkan
sesuatu. Tapi, ucapan itu urung dikatakannya.
Malah Drupadi berkelebat meninggalkan tempat
itu tanpa ajukan kata.
"Hem.... Sebaiknya aku segera ke Bukit Si-
luman. Urusan akan jadi panjang jika orang lain
mendahului...." Berpikir begitu, murid Wong
Agung ini cepat balikkan tubuh lalu berkelebat.
Namun langkahnya tertahan tatkala bersa-
maan dengan itu terdengar suara orang.
"Gunung telah kudaki, lautan telah kusebe-
rangi. Beruntung orang-orang yang berjalan den-
gan tujuan pasti. Bukannya seperti tua bangka ini.
Melangkah tanpa tahu di mana yang dicari."
Murid Wong Agung balikkan tubuh. Kepa-
lanya mendongak. Untuk beberapa lama dia me-
mandang tak berkedip pada ayunan yang meng-
gantung. Ayunan itu terayun-ayun. Di atasnya du-
duk menjuntai seorang kakek berpakaian kulit
ular dengan mata terpejam!
"Luar biasa.... Kedatangannya tak bisa ku
siasati. Siapa orang tua ini? Nyanyiannya meng-
gambarkan kegundahan hati...," batin Pendekar
108, lalu melangkah mendekat.
"Pendekar Mata Keranjang. Seandainya aku
jadi kamu, tak akan kubiarkan gadis cantik tadi
pergi begitu saja. Sayang, aku sudah tua peot!
Hingga jangankan gadis cantik, nenek-nenek pun
tak sudi mengajakku bincang-bincang...."
Murid Wong Agung melengak mendapati
orang tahu siapa dirinya. Sebenarnya kedua orang
ini pernah bertemu, namun karena saat itu Aji da-
lam keadaan terluka membuat pandangannya tak
jelas. Hingga dia tak bisa mengenali siapa adanya
si kakek.
"Kek.... Siapa kau? Mendengar kata-
katamu, sepertinya kau mencari seseorang. Be-
tul?!"
"Kalau kau dapat menebak ucapanku, ke-
napa kau tanya siapa diriku? Sebenarnya kau juga
dapat menerka siapa diriku!" kata si kakek yang
bukan lain adalah Mata Malaikat seraya tatap Aji
lekat-lekat. Dengan dahi berkerut, murid Wong
Agung memperhatikan.
"Orang tua berpakaian kulit ular, rambut
panjang. Sepasang matanya saling bertolak bela-
kang," Aji berpikir. Namun sejenak kemudian dia
gelengkan kepala.
"Siapa dia? Kurasa baru kali ini aku ber-
jumpa...," Aji lalu mengutarakan apa yang ada da-
lam hatinya.
"Kek. Rasanya kita baru jumpa kali ini. Aku
tak bisa menerka siapa dirimu!"
"Jika begitu, biarlah siapa diriku tersimpan
dulu. Sekarang kutanya padamu. Di mana Setan
Pesolek?!"
Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terke-
jut. Hingga untuk beberapa lama dia terdiam.
"Anak muda! Kau tak usah mungkir. Bu-
kankah kau diselamatkan Setan Pesolek saat ter-
jadi bentrok dengan Hantu Berjubah?"
"Hem.... Jadi dia tahu itu. Lalu apa tujuan-
nya mencarinya?!" batin Aji lalu berkata. "Kek....
Kau telah tahu, kenapa sekarang tanya padaku?"
"Kalau aku tak kehilangan jejak kalian, tak
mungkin aku tanya padamu!"
"Kek.... Kenapa kau mencarinya?!"
"Aku butuh beberapa penjelasan darinya!"
"Penjelasan? Jangan-jangan menyangkut
lembaran kulit itu...," bisik Aji dalam hati.
"Pendekar 108! Urusan lembaran kulit yang
saat ini geger diperbincangkan kalangan rimba
persilatan bukan hal menarik bagiku! Aku butuh
penjelasan lain!"
Murid Wong Agung terperangah ketika
mengetahui si kakek dapat meraba apa yang ada
dalam benaknya.
"Kek. Apa kau membutuhkan penjelasan
tentang orang yang kau cari?!"
"Itu bukan urusanmu. Jawab saja perta-
nyaanku!"
"Kek.... Aku tak tahu ke mana perginya Se-
tan Pesolek, karena dia tak pernah mengatakan-
nya padaku!"
"Begitu? Jadi percuma aku menunggumu di
sini. Aku harus...."
Aji berpaling ketika Mata Malaikat tak me-
neruskan ucapannya. Belum sampai Aji berkata,
Mata Malaikat telah bergumam.
"Ada orang menuju kemari!"
Belum lenyap suara gumaman, dan belum
sampai Aji berpaling ke arah mata si kakek me-
mandang, sesosok bayangan telah berkelebat dan
sesaat kemudian tegak di hadapan Aji!
TIGA
SEPASANG mata tajam liar memperhatikan
Aji dari bawah sampai atas. Lalu mata itu melirik
ke atas di mana Mata Malaikat berada. Membela-
lak sejenak lalu kembali memandang ke arah Aji.
Murid Wong Agung ini melihat seorang pe-
muda berparas garang mengenakan jubah merah
panjang sebatas lutut melapis baju dalam yang
berwarna merah. Rambutnya panjang tebal den-
gan dagu kokoh.
"Kau bisa buka mulut hanya jika kutanya!"
tiba-tiba si pemuda berjubah merah keluarkan
bentakan ketika dilihatnya Pendekar Mata Keran-
jang hendak bicara, membuat murid Wong Agung
ini katupkan kembali mulutnya, lalu balas mena-
tap dengan hati menduga-duga campur geram.
"Setan alas! Siapa manusia ini? Lagaknya
sombong betul!"
Di atas ayunan daun pisang, Mata Malaikat
melirik sebentar, lalu katupkan sepasang matanya
dan kembali main ayunan. "Aku Utusan Iblis! Kau
siapa dan juga katakan siapa adanya temanmu
itu!"
"Melihat gerakannya, manusia sombong ini
berbekal ilmu tinggi. Utusan Iblis.... Baru pertama
kali ini aku mendengar gelar itu. Mungkin dia sa-
lah seorang yang baru keluar dari sarang...."
"Jangan bertindak bodoh tidak menjawab
pertanyaanku! Atau kau ingin kukubur!" Utusan
Iblis kembali perdengarkan bentakan.
"Tugas di depanku masih menghadang. Ka-
lau urusan ini tidak kunjung diselesaikan, akan
jadi panjang bertele-tele...," kata Aji dalam hati, la-
lu dengan arahkan pandangannya ke jurusan lain
dia berkata. "Namaku Aji..."
Utusan Iblis mendengus. "Hem.... Kakek
peot temanmu itu?" katanya seraya arahkan telun-
juk jari tangan kirinya ke arah di mana Mata Ma-
laikat berayun-ayun sementara wajahnya tetap lu-
rus memandang ke arah Aji.
Pendekar Mata Keranjang mengikuti telun-
juk tangan kiri Utusan Iblis. Mendadak sepasang
mata murid Wong Agung ini terbeliak besar.
"Keparat! Lekas jawab!" hardik Utusan Iblis.
"Tenang, Sobat!"
"Jahanam! Siapa kau panggil sobat? Hah?!
Aku bukan sobatmu. Aku Utusan Iblis!"
"Hem.... Baik. Baik..., sekarang aku tanya,
siapa yang kau maksud dengan temanku kakek
peot itu?!"
"Jahanam! Siapa lagi kalau bukan...," Utu-
san Iblis tak teruskan ucapannya, karena saat dia
berpaling ke atas, pemuda ini tidak lagi melihat si
kakek! Hanya tinggal ayunan daun pisang yang te-
tap bergoyang-goyang.
Utusan Iblis arahkan pandangannya berke-
liling dengan mata berkilat-kilat. Dagunya men-
gembung dengan pelipis bergerak-gerak. Di hada-
pannya, Aji ikut-ikutan mencari dengan hati ber-
kata. "Gerakannya luar biasa. Sedekat ini aku tak
bisa mengetahui ke mana lenyapnya.... Siapa se-
benarnya kakek itu?!"
Selagi kedua pemuda ini mencari-cari, ke-
duanya dikejutkan dengan suara tawa panjang.
Keduanya sama-sama mendongak. Dari atas se-
buah pohon melayang sesosok tubuh. Lalu
'Pluukk'!. Tubuh itu enak saja hinggap dengan ka-
ki menjuntai di atas ayunan. Lalu tanpa menghi-
raukan pandangan kedua orang di bawahnya, ka-
kek ini kembali berayun-ayun dengan mata terpe-
jam.
"Setan! Kau ingin unjuk kebolehan di muka
Utusan Iblis. Aku ingin tahu, sampai di mana ke-
hebatanmu!" sambil berkata Utusan Iblis sentak-
kan kakinya ke atas tanah. Di lain kejap tubuhnya
telah melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuuuttt!
Pyarrr!
Brakkk.
Lembaran daun pisang yang dibuat ayunan
Mata Malaikat hancur berkeping. Bersamaan den-
gan itu pohon di mana daun itu berayun-ayun
berderak lalu tumbang dan mencelat sampai bebe-
rapa tombak! Begitu sampai di tanah, batang po-
hon itu hancur terbelah dengan daun kering ber-
hamburan!
Baik Aji maupun Utusan Iblis segera men-
cari. Namun keduanya tidak menemukan sosok
Mata Malaikat.
"Bangsat! Ke mana dia? Apa tubuhnya ikut
hancur lebur? Tapi serpihan tubuhnya tidak ku-
temukan!" batin Utusan Iblis dengan dada berde-
bar keras. Tak jauh di hadapannya, murid Wong
Agung jerengkan sepasang matanya sambil usap-
usap hidungnya. Lalu bergumam lirih.
"Hampir tak dapat kupercaya Jika pukulan
itu masih dapat dielakkan. Tapi kalau kena, seti-
dak-tidaknya masih ada potongan tubuhnya meski
hanya secuil.... Hem.... Pemuda ini benar-benar gi-
la. Tangan maut diturunkan karena perkara se-
pele. Aku harus hati-hati!"
Utusan Iblis keluarkan suara gemeletak dari
mulut. Kedua tangannya dikepalkan memperden-
garkan suara bergemeretakkan. Matanya berkilat-
kilat. Pandangannya lalu terhenti pada sosok Pen-
dekar Mata Keranjang yang ada di hadapannya.
"Kau belum jawab tanyaku!" bentaknya.
"Katakan siapa dia!"
"Yang kau maksud orang tua itu?!"
"Jahanam tolol! Siapa lagi kalau bukan
dia?!"
"Dengar! Aku tak tahu siapa dia!"
Utusan Iblis menyeringai buruk.
"Kau berani berdusta! Berarti kau telah
menggali liang kubur! Aku tak punya waktu ba-
nyak. Jawab atau masuk kubur!"
"Sebenarnya apa maumu? Apakah ada ru-
ginya bagimu tidak mengetahui siapa dia
adanya?!"
"Untung rugi bukan urusanmu! Tapi tak
akan kubiarkan seseorang lolos dari tanganku se-
belum menyebut siapa dirinya! Kau paham?!"
"Jadi selama ini kau selalu menanyai siapa
saja yang kau temui?!"
"Bukan hanya menanya, tapi mengirimnya
ke akhirat jika tak mau menjawab!"
"Hem.... Aku tahu. Berarti kau sedang men-
cari seseorang yang namanya kau ketahui tapi wa-
jahnya tak mau kenal. Begitu bukan?!"
"Ternyata kau bukan berotak kerbau. Cepat
jawab tanyaku!"
"Sobat. Seperti kataku tadi. Aku tak tahu
siapa dia adanya! Baru kali ini aku jumpa dengan-
nya!"
Hatinya panas karena pukulannya begitu
mudah dielakkan si kakek, ditambah merasa Aji
berkata dusta, kemarahan Utusan Iblis tak dapat
ditahan lagi. Seraya mendengus keras, pemuda
murid Titisan Iblis ini melesat ke depan. Tangan
kanannya segera bergerak menghantam ke arah
kepala Aji. Di kejap lain kaki kirinya membuat ge-
rakan menendang! Dua angin keras melesat men-
dahului sebelum tangan dan kaki itu menghajar
sasaran.
Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam.
Tangan kiri diangkat sementara tangan kanan di
hantamkan ke bawah memapak tendangan.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Utusan
Iblis terkejut besar dan buru-buru surutkan lang-
kah seraya mendengus keras. Sepasang matanya
memandang tak berkedip. Dadanya sesak dilanda
hawa marah. Di seberang, murid Wong Agung ki-
bas-kibaskan kedua tangannya seraya meringis.
"Sobat! Kenapa kau menghantamku?!" ta-
nyanya sambil arahkan pandangan pada jurusan
lain.
Utusan Iblis tegak tak menjawab. Tiba-tiba
dia melesat lagi ke depan. Belum sampai Aji berge-
rak, dua tangan telah menyambar sekaligus. Murid
Wong Agung rundukkan kepala, tangan kiri kanan
segera menyusup ke bawah kedua tangan Utusan
Iblis.
Bukk! Bukkk!
Pendekar Mata Keranjang berseru keras.
Tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima lang-
kah. Bahunya terasa jebol dan bergetar terhajar
tangan kiri lawan. Di lain pihak Utusan Iblis te-
gang dengan muka sedikit pucat. Pemuda ini sege-
ra mengusap pinggangnya yang terkena hantaman
tangan Aji, membuatnya tersurut empat langkah.
Dari dua jurus pemuda tadi, cukup mem-
buat Utusan iblis sadar jika lawan memiliki tenaga
dalam yang tidak boleh diremehkan. Memikir sam-
pai di situ, pemuda ini segera kerahkan tenaga da-
lam pada kedua tangan. Bersamaan dengan itu
tubuhnya sedikit berguncang. Pemuda ini lalu te-
kuk kaki kanannya, kaki kiri digeser ke belakang.
Sekonyong-konyong kedua tangannya ditarik ke
belakang dihantamkan ke arah Aji!
Wuuttt! Wuuuttt!
Belum sepenuhnya tangan menghantam,
Utusan Iblis telah tarik kembali kedua tangannya
ke belakang. Seeett! Seeettt!
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang
urungkan lepaskan pukulan, karena menduga la-
wan tarik pukulannya. Namun dugaan Aji meleset.
Karena kejap itu juga tubuhnya laksana disedot
kekuatan luar biasa. Tubuhnya perlahan bergerak
ke depan dengan langkah terhuyung-huyung.
"Pukulan Angin Lesus!" terdengar suara
menyeruak.
Utusan Iblis lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Tubuh Pendekar 108 makin kencang tersedot.
Pendekar murid Wong Agung tersirap mendapati
serangan yang begitu ganas. Dia tak bertindak ay-
al, karena maklum kalau Utusan Iblis telah kelua-
rkan ilmu andalannya.
Aji segera mencabut kipas yang terselip di
pinggang, lalu memutar-mutarnya. Serta-merta ki-
lauan sinar putih bertebaran disertai menderunya
suara angin! Di saat bersamaan, Utusan iblis sen-
takkan kembali kedua tangannya ke depan. Di ke-
jap lain tubuhnya melesat ke samping menghin-
dar! Namun tak urung kakinya masih tersambar
hingga tubuhnya terputar sebelum akhirnya ter-
banting duduk!
Pemuda ini merasakan kakinya laksana di-
panggang. Melirik ke bawah, dia terbeliak. Pakaian
bagian bawah hangus dan kakinya melepuh merah! Hawa panas itu cepat menjalar ke seluruh tu-
buh. Pemuda ini cepat kerahkan tenaga dalam un-
tuk menolak hawa panas. Dua puluh langkah di
hadapannya, sosok Aji telentang dengan mulut ke-
luarkan darah. Namun dia segera bangkit duduk
meski dengan wajah pias serta persendiannya lak-
sana tanggal. Diam-diam pemuda murid Wong
Agung ini merutuki dirinya sendiri yang kurang
waspada pada pukulan lawan.
"Busyet betul! Pukulannya tak terduga!"
gumamnya lalu kerutkan dahi. "Benar. Aku tadi
mendengar orang berseru menyebut pukulan pe-
muda itu!" Aji lalu memandang tajam ke depan.
Utusan iblis telah bangkit. Kepalanya berputar
kian kemari dengan sepasang mata berkilat merah.
Lalu kepala itu terhenti dengan mulut menyerin-
gai. Aji arahkan pandangan pada arah yang kini
dipandang Utusan Iblis. Murid Wong Agung ini
mendelik. Pada sebuah tanah agak tinggi, bersan-
dar punggung si kakek dengan sepasang mata ter-
pejam. Utusan Iblis cepat putar tubuhnya meng-
hadap Mata Malaikat. "Dia menyebut pukulanku
dengan benar. Berarti dia tahu banyak. Setidak-
tidaknya menyangkut guruku. Pasti dia tahu siapa
orang yang kucari!" Utusan Iblis melangkah perla-
han ke arah Mata Malaikat.
"Orang tua!" katanya dengan nada agak
rendah. Pemuda ini rupanya maklum jika orang
tua itu bukan orang sembarangan. Karena hanya
manusia berilmu tinggi yang sanggup menghindar
dari pukulannya dengan jarak yang begitu dekat
tanpa menderita cedera sama sekali.
"Aku mencari seseorang!"
Mata Malaikat buka kelopak matanya. Na-
mun pandangannya tidak tertuju pada pemuda
berjubah merah yang kini tegak enam langkah di
hadapannya. Mulutnya mengatup. Sejenak kemu-
dian terdengar dia berucap.
"Itu urusanmu! Aku pun sedang mencari
seseorang!"
Paras wajah Utusan Iblis merah mengelam.
Rahangnya mengembung. Namun kali ini si pemu-
da menahan amarahnya.
"Kau mengenali pukulanku. Berarti kau
mengenali guruku! Dan pasti kau juga mengenali
orang yang kini kucari!"
"Mana bisa begitu? Mengenal belum pasti
mengetahui! Sebaliknya mengetahui belum men-
jamin pasti mengenali! Kau mengerti, Anak Mu-
da?!"
Utusan Iblis menyeringai. "Aku Utusan iblis.
Kau siapa?!"
Mata Malaikat tertawa bergelak hingga mu-
lutnya terkempot-kempot. Masih dengan tanpa
memandang dia berkata.
"Terus terang, aku risih mengatakan siapa
diriku. Jadi biarlah untuk kali ini kau mengetahui
tanpa mengenalku!"
"Baik! Aku tanya sekali lagi. Apakah kau
mengenal manusia bergelar Mata Malaikat?!"
Mata Malaikat cepat arahkan pandangan-
nya pada Utusan Iblis. Dada orang tua ini sedikit
bergetar. Mulutnya mengatup dan komat-kamit
untuk beberapa lama. Di seberang sana, Aji kernyitkan dahi. Kepalanya mendongak. "Mata Malai-
kat...," gumamnya mengulangi ucapan Utusan Ib-
lis. Tiba-tiba murid Wong Agung ini tepuk jidatnya
sendiri. "Aih. Kenapa aku jadi ikut-ikutan memi-
kirkan hal itu? Lebih baik aku cepat menyingkir.
Urusan di depan lebih penting daripada berdebat
dengan orang-orang tak tentu juntrungannya...."
"Hem.... Kau berubah. Berarti kau tahu
orang yang kusebutkan tadi!" kata Utusan Iblis.
Mata Malaikat terdiam. "Titisan Iblis.... Pasti
ini ulahnya! Tapi apa betul pemuda ini muridnya?
Melihat pukulan yang dilepas, aku hampir bisa
memastikan. Tapi akan kutanya dulu. Siapa tahu
ada orang lain yang memiliki pukulan sama...,"
berpikir begitu, Mata Malaikat luruskan tubuh, la-
lu bertanya....
"Anak muda! Siapa kau sebenarnya? Apa
hubunganmu dengan Titisan Iblis?"
"Kau tidak tuli, Orang Tua! Aku Utusan Ib-
lis! Titisan Iblis adalah guruku!"
"Hem...." Mata Malaikat menggumam.
"Hanya hubungan guru? Tidak ada hubungan apa-
apa lagi?!"
"Apa maksudmu?!"
"Apakah tidak ada hubungan keluarga?!"
Utusan Iblis tidak menjawab. Hanya sepa-
sang matanya yang memandang tak berkedip.
"Anak muda! Jika kau menjawab beberapa
pertanyaanku, aku akan memberitahukan orang
yang kau cari! Bagaimana?!"
"Baik...," kata Utusan Iblis setelah berpikir.
"Namun jika kata-katamu dusta, aku tak segan
merobek mulutmu!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh menden-
gar ancaman orang itu. "Sekarang jawab tanyaku
tadi!"
"Aku tak tahu apakah ada hubungan ke-
luarga antara aku dan guruku!"
"Aneh! Apakah kau tak pernah tanya? Seti-
dak-tidaknya apakah kedua orangtuamu tak per-
nah memberitahu?!"
"Aku tak tahu siapa orangtuaku! Yang ku-
tahu, sejak kecil aku sudah diasuh guruku!"
"Gurumu tak pernah cerita siapa orangtua-
mu?!"
"Aku tak pernah tanya dan dia tak pernah
cerita!"
Mata Malaikat mengangguk-angguk.
"Anak muda! Kau mencari Mata Malaikat.
Apa ada pesan dari gurumu?!"
"Betul!"
Mata Malaikat memandang sekali lagi lekat-
lekat pada Utusan Iblis. "Boleh aku tahu pesan-
nya...?"
"Pesan kematian!"
Mata Malaikat sentakkan kepalanya ke
samping kanan menyembunyikan perubahan wa-
jahnya.
"Aneh.... Setahuku, antara aku dan Titisan
Iblis tak ada masalah! Kini tiba-tiba dia mengin-
ginkan kematianku. Herannya dia tak langsung
turun tangan sendiri. Hem.... Ada sesuatu di balik
semua ini! Aku harus mengetahuinya...."
"Pertanyaanku terakhir. Apa gurumu men
gatakan masalahnya hingga menginginkan nyawa
Mata Malaikat?"
Utusan Iblis keluarkan dengusan dahulu
sebelum akhirnya menjawab. "Aku tak pernah
mau tahu urusannya. Yang kutahu itu adalah se-
buah perintah! Jelas?!"
Mata Malaikat manggut-manggut. Diam-
diam dalam hati kakek ini membatin. "Semakin
nyata bahwa di balik semua ini Titisan Iblis me-
nyembunyikan sesuatu. Hem.... Pemuda ini turun
ke rimba persilatan dengan berbekal ilmu lumayan
tinggi. Hanya masih miskin pengalaman. Tapi si-
kapnya sangat membahayakan...." Mata Malaikat
arahkan pandangannya berkeliling. Ketika ma-
tanya tak lagi menangkap sosoknya Aji, dia ter-
senyum-senyum sendiri.
"Orang tua. Sekarang giliranmu mengata-
kan orang yang kucari!"
Tiba-tiba Mata Malaikat membuat mimik
seperti orang terkejut. Lalu keluarkan gumaman
tak jelas. "Terlambat, Anak Muda!"
Utusan Iblis membelalak angker.
"Apanya yang terlambat?!"
"Sebenarnya orang yang kau cari sudah kau
temukan. Tapi sekarang dia sudah kabur lagi!"
"Orang tua! Kau jangan main-main. Siapa
orangnya?!"
"Pemuda yang baru saja bentrok denganmu!
Dialah manusia yang bergelar Mata Malaikat!"
"Orang tua...!"
"Anak muda! Aku tahu. Kau baru saja ter-
jun ke dunia persilatan. Belum tahu siapa satu
persatu tokoh rimba persilatan. Aku telah lama
malang melintang. Dan aku tahu siapa-siapa to-
koh dunia persilatan! Silakan percaya apa tidak.
Yang pasti pemuda itulah yang bergelar Mata Ma-
laikat!"
Cepat, Utusan Iblis putar diri. Matanya nya-
lang menyapu sekeliling. Dia bantingkan sepasang
kakinya hingga melesak berlubang tatkala dia tak
mendapatkan orang yang dicari.
"Tentu masih belum jauh...," ujar Utusan
Iblis lalu berkelebat hendak menyusul. Namun
langkahnya terhenti tatkala dari arah belakang
terdengar suara si kakek.
"Anak muda! Tak usah buru-buru mengejar.
Kau sekarang sudah mengetahui siapa orang yang
kau cari. Lebih baik kita ngobrol dulu...."
"Hem.... Ucapannya benar juga. Sebagai
orang pengalaman tentunya dia banyak mengeta-
hui urusan dunia persilatan. Siapa tahu dia juga
mengetahui tentang hal yang menyangkut Lemba-
ran Kulit Naga Pertala...," berpikir sampai di situ,
Utusan Iblis balikkan tubuh lalu melangkah ke
arah Mata Malaikat.
Mata Malaikat sunggingkan senyum.
"Anak muda.... Aku telah lama mengenal
gurumu. Kalau sekarang mengutusmu terjun ke
kancah persilatan, selain perintah membunuh Ma-
ta Malaikat tentunya dia punya maksud lain...."
Utusan Iblis tak segera membuka mulut.
"Orang tua ini sepertinya mengenal betul guruku.
Jadi tak bohong jika dia mengatakan kenal Guru.
Ada baiknya aku mengatakan apa tujuanku...," la
lu pemuda ini dongakkan kepala dan berkata.
"Aku yakin kau tahu yang membuat dunia
persilatan akhir-akhir ini guncang. Bisa memberi
penjelasan padaku?!"
Mata Malaikat terkekeh. "Anak muda! Yang
namanya dunia persilatan tak pernah sepi dari ke-
jutan-kejutan. Satu belum usai, lainnya sudah
muncul. Urusan satu belum selesai, urusan makin
besar sudah menghadang. Entah sampai kapan
urusan-urusan begini akan berakhir...."
"Yang kumaksud kabar tentang adanya se-
buah lembaran kitab...!"
Ucapan Utusan Iblis makin membuat Mata
Malaikat keraskan kekehan tawanya. "Anak muda!
Seperti kubilang tadi, sebenarnya aku malang me-
lintang dengan tujuan mencari seseorang. Namun
hingga tubuhku peot begini, usahaku sia-sia.
Mungkin karena aku terlalu mementingkan penca-
rianku, membuat perihal lembaran kulit yang se-
karang jadi buah bibir tidak begitu berharga bagi-
ku!"
"Tapi setidak-tidaknya kau mengetahui
meski cuma sedikit!"
Mata Malaikat diam untuk beberapa lama.
Lalu mengangguk.
"Menurut kabar, lembaran kulit itu tersim-
pan pada sebuah bukit...."
"Aku sudah tahu itu!" tukas Utusan Iblis.
"Yang ingin kutahu, apakah lembaran kulit itu di-
pegang seseorang?!"
"Tidak bisa dipastikan. Menurut cerita yang
pernah kudengar, orang terakhir yang memegang
lembaran kulit itu adalah seorang dedengkot rimba
persilatan dikenal dengan nama Eyang Pandana-
ran. Itu terjadi pada ratusan tahun yang silam.
Entah orang itu masih hidup atau sudah mati, ti-
dak diketahui. Lembaran kulit itu masih di tan-
gannya atau sudah berpindah tangan juga sulit
diselidiki..."
"Berarti pengetahuanmu tentang lembaran
kulit itu tak lebih dari padaku! Percuma aku lama-
lama di sini!" dengus Utusan Iblis lalu balikkan
tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mata Malaikat hanya memandangi keper-
gian Utusan Iblis. Begitu sosok Utusan Iblis le-
nyap, kakek ini angkat bahunya. Tubuhnya berpu-
tar, kedua tangannya disentakkan perlahan ke
atas tanah. Tubuhnya membubung setinggi seten-
gah tombak. Dan sekali goyang tubuhnya melesat
lalu lenyap di balik kerapatan pohon.
Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis
hentikan larinya. Keningnya mengernyit. "Jangan-
jangan orang tua itu sengaja mengajakku bicara
untuk memberi kesempatan pada pemuda tadi
agar bisa berlari jauh. Sialan! Orang tua itu harus
menerima ganjaran yang setimpal akibat perbua-
tannya...!"
Utusan Iblis cepat putar tubuhnya dan ber-
kelebat ke arah mana dia datang dengan kerahkan
segenap ilmu peringan tubuhnya. Sebentar saja
dia sudah sampai di tanah agak tinggi di mana ta-
di si kakek duduk bersandar. Karena dia datang
dari arah belakang, sebelum sampai dia telah ber-
seru.
"Orang tua! Kau harus...," namun Utusan
Iblis tak teruskan ucapannya ketika dia sampai di
depan tanah agak tinggi dan matanya tak melihat
lagi batang hidung si kakek.
"Bedebah keparat! Jangan-jangan orang tua
tadi menipuku! Mungkin dua orang tadi saling
kenal, lalu...." Utusan Iblis kertakkan rahang. Se-
pasang matanya berkilat angker.
"Jahanam! Mereka menipuku!" teriaknya
sambil hantamkan tangan kanannya ke arah ta-
nah agak tinggi yang tadi disandari Mata Malaikat.
Tanah itu langsung berhamburan ke udara dan
meninggalkan lubang menganga!
EMPAT
ENTAH karena tidak mau berurusan den-
gan tanpa adanya ujung pangkal jelas, lagi pula
urusan Lembaran Kulit Naga Pertala dipikir lebih
penting dan bisa mendatangkan mala petaka jika
sampai kedahuluan orang, murid Wong Agung kali
ini berlari sekuat yang dia bisa.
"Hem.... Di sini banyak pohon besar dan
semak belukar. Lebih baik aku istirahat dengan
berlindung...," pikir Aji. Lalu hentikan larinya dan
melangkah ke arah sebuah pohon besar yang ka-
nan kirinya ditumbuhi semak belukar lebat tinggi.
Sampai di bawah pohon, sepasang matanya me-
mandang berkeliling. Lalu menarik napas dalam
sambil mengusap keringat di wajah dan lehernya.
Sejenak kemudian dia duduk dengan selonjorkan
kaki, punggungnya bergerak ke belakang hendak
menyandar pada batang pohon.
Belum sampai punggungnya menyentuh ba-
tangan pohon, terdengar suara tawa mengekeh
panjang. Pendekar 108 cepat bangkit dan putar
tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah da-
tangnya suara tawa. Suara tawa mendadak terpu-
tus. Sambil menahan rasa tercekat, murid Wong
Agung memandang lurus ke depan. Matanya tak
menangkap siapa-siapa.
Belum lenyap rasa gelisah Aji, dari atas
kembali terdengar suara tawa. Pendekar 108 cepat
mendongak. Dari pohon di mana dia berada tam-
pak melayang turun sesosok tubuh dengan per-
dengarkan suara tawa mengekeh.
Aji urungkan niat untuk lepaskan pukulan
begitu melihat siapa adanya sosok yang melayang.
Matanya terus mengikuti sosok itu hingga sosok
itu mendarat empat langkah di hadapannya.
"Setan tua ini mengikutiku. Tadi dia bilang
menungguku. Hem.... Maunya apa dia sebenar-
nya?!" pikir Pendekar Mata Keranjang dengan
memperhatikan lekat-lekat pada kakek yang kini
tegak di hadapannya.
"Kek! Katakan terus terang apa maksudmu
sebenarnya!"
"Kalau tak mau urusan panjang, jangan bi-
cara keras-keras! Bahaya itu masih di sekitar sini!"
"Kek. Kau ini bicara apa?!" meski tak men-
gerti maksud si kakek namun Aji rendahkan juga
suaranya.
"Orang yang menginginkan nyawamu tak
jauh dari sini. Kalau dia sampai mendengar sua-
ramu, bukan hanya kau tapi aku juga ikut celaka!"
Pendekar Mata Keranjang kerutkan dahi.
"Kek. Maksudmu pemuda yang menyebut dirinya
Utusan Iblis? Aku tak punya masalah dengan pe-
muda gila itu!"
"Kau salah. Ternyata orang yang dicari ada-
lah kau!"
Aji tertawa. "Kek. Mungkin kau dengar sen-
diri. Dia mencari orang yang bergelar Mata Malai-
kat. Bukan aku!"
"Ah, tak tahulah! Pokoknya yang dicari ada-
lah kau! Aku sempat bicara dengannya setelah ke-
pergianmu!"
"Hem.... Apa yang dibicarakannya?!"
"Seperti orang-orang lainnya yang saat ini
sedang tergila-gila dengan sebuah lembaran kulit.
Apakah kau juga akan ikut main gila-gilaan men-
gejar lembaran kulit itu?"
"Kek. Lembaran kulit itu adalah sebuah
lembaran kulit yang amat berbahaya jika sampai
jatuh ke tangan orang-orang sesat. Untuk menye-
lamatkannya apakah salah jika aku ikut tergila-
gila memburunya?!"
Mata Malaikat mengekeh dengan menutup
mulutnya agar suaranya tak terdengar. "Tidak ada
orang yang menyalahkan jika kau ikut tergila-gila.
Namun kau harus tetap sadar dalam ketergila-
gilaanmu! Sekali kau lengah, kau akan tewas da-
lam kegilaan. Eh.... Apakah kau mendapat petunjuk dari Setan Pesolek atau barangkali dari nenek
yang bersamanya?!"
"Aku tak bisa mengatakannya apa-apa pa-
damu, Kek! Lagi pula aku masih belum tahu siapa
dirimu!"
"Hem.... Begitu? Lalu apakah kau benar-
benar hendak menyelidiki kitab itu?!"
"Kek. Meski aku tergila-gila, belum tentu
aku melanjutkan perburuan! Semuanya nanti ter-
gantung keadaan!" kata Pendekar Mata Keranjang
sengaja mengaburkan segala ucapannya.
"Anak ini plin-plan. Tadi begitu berseman-
gat, akhirnya tergantung keadaan. Tapi aku yakin,
dia akan tetap memburu lembaran kulit itu!" seje-
nak Mata Malaikat berpikir. "Hem.... Tak ada sa-
lahnya jika aku memberikan. Mungkin suatu saat
diperlukan...," Mata Malaikat selinapkan tangan
kanannya ke balik pakaiannya. Ketika ditarik ke-
luar, tampaklah sebuah kantong kecil berwarna
putih. Kantong itu segera diulurkan pada Aji.
"Di dalamnya delapan butir tahi kambing.
Simpanlah!"
"Kek. Kalau cuma tahi kambing, aku bisa
mencarinya! Simpan kembali tahi kambingmu itu.
Aku tak butuh!"
"Anak muda! Tahi kambing ini kuperoleh
dari dasar laut. Sekali kau telan satu, kau akan
bertahan dalam air setengah hari!"
Murid Wong Agung angkat bahunya. "Mana
mungkin ada kambing di dasar laut? Jangan-
jangan orang tua ini bercanda. Ah, tapi aku tak
memerlukannya. Setengah hari berendam di dalam
air juga tak ada gunanya!" batin Pendekar 108, la-
lu berkata. "Kek. Aku tak berurusan dengan air.
Lebih baik kau berikan saja pada nelayan yang
tiap hari berada di air!"
"Anak muda! Manusia belum pasti takdir-
nya. Siapa tahu kau kelak akan jadi seorang ne-
layan? Bukankah tahi kambing ini lantas berguna
bagimu?! Tapi kalau kau menolak, aku pun tak
apa!"
Mata Malaikat segera masukkan kembali
kantong putih ke balik pakaiannya, namun tiba-
tiba Aji berseru.
"Kek. Ucapanmu ada juga benarnya. Beri-
kan tahi kambing itu padaku!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh. Lalu tarik
kembali kantong putih dari balik pakaiannya, lalu
diulurkan pada Aji. Aji menyambuti kantong itu.
Baru saja kantong berpindah tangan, Mata Malai-
kat palingkan wajahnya ke belakang. "Celaka! Kita
harus segera berpisah dulu!"
"Kek. Apanya yang celaka? Kau tampak be-
rubah. Apakah...."
"Sudah! Jangan banyak mulut! Kau ke arah
selatan aku ke arah utara!" habis berkata begitu,
Mata Malaikat berkelebat lenyap ke arah yang dis-
ebut. Sejenak Pendekar Mata Keranjang masih ter-
cenung tak mengerti. Namun ketika matanya meli-
hat semak belukar jauh di hadapannya bergoyang-
goyang, tanpa menunggu lebih lama lagi, murid
Wong Agung ini berkelebat ke arah selatan.
Baru saja Pendekar 108 lenyap dari tempat
itu, menyeruak sesosok tubuh tegap mengenakan
jubah merah dan bukan lain adalah Utusan Iblis.
Sepasang matanya merah laksana dipanggang, ra-
hangnya mengembung dengan pelipis kiri kanan
bergerak-gerak.
"Jahanam! Baru saja kudengar suara mere-
ka! Jelas jika kedua bangsat itu bersekongkol!"
Utusan Iblis arahkan pandangannya berkeliling
dengan mata masih melotot angker. "Hei...! Kalian
berdua! Kalian telah berani main-main dengan
Utusan Iblis. Nyawa kalian tidak jauh dari tangan
dan kakiku!"
Belum lenyap gema suara teriakannya, Utu-
san Iblis telah melesat ke arah selatan!
Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis
hentikan larinya. Matanya memandang jauh ke
depan tak berkedip. "Ada orang menuju kemari...,"
gumamnya seraya usap wajahnya dan menghela
napas panjang.
Utusan Iblis tak menunggu lama. Sesaat
kemudian sesosok tubuh telah berhenti dua belas
langkah di hadapannya dengan wajah sedikit ter-
kejut. Sebaliknya Utusan Iblis tampak sungging-
kan senyum aneh. Sepasang matanya makin tak
berkedip memperhatikan orang yang kini ada di
hadapannya. "Lama nian tubuh ini tak merasakan
bagaimana nikmatnya tubuh seorang gadis.
Hem.... Hari ini nasibku baik. Mengejar bangsat.
yang datang seorang bidadari...."
Orang yang tegak di hadapan Utusan Iblis
adalah seorang gadis berparas cantik jelita menge-
nakan pakaian warna biru. Rambutnya yang pan-
jang dikuncir agak tinggi. Sepasang matanya bulat
dengan bibir merah dan dada kencang.
Untuk beberapa lama si gadis berbaju biru
dan bukan lain adalah Seruni, balas menatap
pandangan Utusan Iblis. Meski cuma memandang
sekilas, namun gadis ini telah dapat menduga arti
tatapan pemuda di hadapannya.
"Laki-laki.... Hem...," desis Seruni seraya
alihkan pandangan. "Dari cara dan gerak-geriknya,
tampaknya dia sengaja menghadang," gadis itu la-
lu berucap dengan ketus.
"Siapa kau?! Harap jangan menghadang ja-
lanku!"
Utusan Iblis tersenyum. Melangkah dua
tindak dan berkata.
"Aku tidak menghadang, justru kau yang
datang! Boleh tahu siapa kau?"
Seruni palingkan kembali wajahnya me-
mandang si pemuda. Namun mulutnya terkancing
dan sesaat kemudian tersungging senyum sinis di
bibirnya.
"Waktuku tidak banyak. Harap beri jalan!"
ujar Seruni dingin.
Sepasang alis mata Utusan Iblis sesaat naik
ke atas. Matanya membesar lalu menyipit.
"Aku Utusan Iblis. Sekali lagi kutanya, kau
siapa?!"
"Aku tak tanya siapa kau! Jangan cari uru-
san!"
Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu ter-
dengar suara tawanya bergelak-gelak. Tiba-tiba
tawanya terputus laksana dicabik. Kepala menyen-
tak lurus ke arah Seruni dengan air mata berubah
garang.
"Bicaramu sombong, Gadis Liar! Aku ingin
tahu apakah kau punya bekal hingga mulutmu be-
rani bicara tinggi di hadapanku!"
Paras wajah Seruni berubah merah padam.
Matanya membelalak dengan tatapan gemetar me-
nahan amarah.
"Urusan di depan masih banyak dan belum
terselesaikan. Sekarang muncul lagi penghalang
jalanan. Hem.... Kalau tak segera dibereskan, uru-
san tak akan segera tuntas, malah akan jadi tak
karuan!" pikir Seruni. Setelah kerahkan tenaga da-
lam pada kedua tangannya, gadis ini membentak.
"Kau minggir atau mampus!"
"Aku akan minggir setelah merasakan tu-
buhmu!" sahut Utusan Iblis dengan senyum sinis.
"Mulut busuk!" maki Seruni keras. Bersa-
maan dengan itu dari kedua tangannya menyam-
bar dua rangkum angin dahsyat keluarkan suara
laksana gelombang.
Utusan Iblis menyeringai lalu perdengarkan
suara tawa mengekeh panjang meski pakaian dan
rambutnya mulai berkibar-kibar karena sapuan
angin pukulan Seruni telah satu tombak di hada-
pannya.
Lima jengkal lagi pukulan Seruni mengge-
brak tubuhnya, Utusan Iblis keluarkan bentakan
nyaring. Tubuhnya melesat ke udara. Di kejap lain
kedua tangannya mendorong ke arah Seruni.
Seruni sendiri yang seolah masih tak per-
caya karena lawan bisa mengelak jadi terlengak.
Dengan sigap gadis ini cepat menggeser tubuhnya
ke arah samping kanan. Di udara, Utusan iblis ge-
rakkan kedua tangannya. Hantaman angin deras
yang melesat ke arah Seruni bergerak ke samping
mengikuti gerakan Seruni, membuat gadis ini ber-
seru lalu hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Bummm!
Terdengar ledakan keras ketika dua puku-
lan itu bertemu. Seruni terseret sampai dua tom-
bak ke belakang. Paras jelitanya berubah pias. Be-
berapa lama tubuhnya tampak berguncang.
Di udara, Utusan Iblis terpental. Namun
pemuda ini segera membuat gerakan jungkir balik
beberapa kali. Kejap kemudian, sosoknya tampak
melayang turun dan mendarat kembali dengan ka-
ki kokoh terkembang. Seulas senyum tersungging
di bibirnya.
"Kalau bicaramu tidak sombong, aku tak
akan menjatuhkan tangan kasar padamu! Tapi ki-
ni semuanya terlambat!"
Habis berkata begitu, Utusan Iblis melesat
ke depan. Kedua tangannya bergerak cepat mem-
buat gerakan di udara laksana orang menotok. Di
kejap itu juga Seruni yang setengah tombak di ha-
dapannya menjerit keras. Sosoknya bergetar. Dan
sebelum gadis ini membuat gerakan tubuhnya
limbung. Kaki kiri kanannya menekuk dan sesaat
kemudian tubuhnya melorot jatuh!
Seruni tercekat bukan main. Dia coba ke-
rahkan tenaga dalam, namun seluruh persendian
tubuhnya seolah lumpuh.
"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat
ini?!" piker Seruni. Kuduknya merinding dengan
keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh-
nya. "Celaka! Tubuhku lemas, mataku berkunang-
kunang...," Seruni masih coba bertahan agar tidak
sampai pingsan. Malah dengan sekuat tenaga dia
berteriak lantang.
"Pengecut! Jika memang jantan, kenapa kau
lakukan ini, hah?!"
Utusan Iblis tertawa panjang lalu melang-
kah perlahan mendekat dengan bibir menyeringai
dan mata berkilat-kilat merah.
"Pengecut jahanam! Kau mau apa?!" teriak
Seruni tatkala dilihatnya Utusan Iblis melangkah
terus. Paras wajah gadis ini makin pucat pasi. Ke-
takutan membayang jelas, malah sesaat kemudian
matanya berkaca-kaca. Gadis ini membayangkan
apa yang akan terjadi pada dirinya. Sedangkan di-
rinya tak bisa membuat perlawanan. Namun men-
gingat akan tugas di pundaknya, tiba-tiba seman-
gat gadis ini muncul kembali.
"Pemuda edan! Kalau ingin menghadapiku,
mari kita bertarung secara jantan!"
Utusan Iblis terus melangkah tanpa peduli-
kan caci-maki orang. Namun demikian, wajahnya
tampak semakin keras dan garang, membuat si
gadis geser tubuhnya menjauh.
Namun baru saja Seruni membuat gerakan,
satu telapak kaki telah menahan tubuhnya hingga
gadis ini tak bisa bergerak lebih jauh lagi.
"Bangsat licik! Apa maumu?!"
Utusan Iblis makin keraskan tekanan tela-
pak kakinya pada paha kanan Seruni membuat
gadis ini mengaduh. Seruni coba angkat tangan-
nya lalu dipukulkan pada kaki Utusan Iblis. Tapi
pukulan itu seolah tidak punya kekuatan sama
sekali, membuat yang dipukul keluarkan tawa
bergelak-gelak.
"Gadis liar! Katakan siapa dirimu!"
Seruni angkat tubuh bagian atasnya dengan
bertumpu pada kedua siku tangannya. Sepasang
matanya menyengat tajam perhatikan sang pemu-
da. Tiba-tiba gadis ini meludah ke samping, lalu
berkata lantang.
"Kau tak perlu tahu siapa aku! Kalau mau
bunuh, lekas lakukan!"
Utusan Iblis menyeringai beringas. "Mula-
mula aku tidak menginginkan kematianmu. Tapi
mulutmu terlalu sombong, hingga niatku beru-
bah!"
"Tapi caramu pengecut!"
Utusan Iblis condongkan tubuhnya ke de-
pan. Tangan kanannya bergerak.
Plakkk!
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Se-
runi hingga kepalanya tersentak dan tumpuan ke-
dua sikunya terkulai, hingga tubuh bagian atas itu
terbanting ke tanah.
Seruni melengak kaget dan keluarkan se-
ruan tertahan.
"Sekali lagi keluarkan suara memaki, kuro-
bek mulutmu!" ancam Utusan Iblis.
Entah karena sakit hati atau sudah pasrah,
ancaman Si pemuda bukannya membuat si gadis
takut, malah dengan mata beringas marah ia berseru.
"Jahanam edan! Kau hanya berani pada
orang tak berdaya! Pengecut!"
Plak! Plakkk!
Kemarahan Utusan Iblis sudah tak dapat
ditahan lagi, hingga untuk kedua kalinya tangan-
nya bergerak pulang balik menampar pipi kanan
kiri Seruni sampai mulut gadis ini mengeluarkan
darah.
Seruni gigit bibirnya rapat-rapat agar eran-
gannya tak keluar. Bersamaan dengan itu kembali
sepasang matanya nampak berkaca-kaca.
Utusan Iblis tengadahkan kepala. "Kuperin-
gatkan sekali lagi. Jawab tanyaku atau kulumat
tubuhmu!"
Keadaan yang terjepit membuat Seruni bu-
lat tekadnya. Hingga dengan menahan sakit dia
berkata keras.
"Jangan mimpi aku akan jawab tanyamu,
Pengecut Licik!"
Pelipis Utusan Iblis bergerak-gerak. Ra-
hangnya mengeras dan terangkat membengkak,
pertanda amarahnya sudah sampai ambang batas.
Pemuda ini lantas angkat tangan kanannya.
Seruni menyeringai. Gadis ini tampaknya
sudah tak peduli lagi dengan kemarahan orang,
malah dengan memandang tajam dia kembali buka
mulut.
"Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar
mampu membunuhku, Pengecut!"
Niat semula Utusan Iblis musnah sudah
oleh hawa kemarahan yang melanda dadanya. Pemuda ini kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-
nannya, lalu dengan seringai ganas tangannya
bergerak memukul ke arah Seruni. Kejap itu juga
gelombang angin dahsyat melesat menghantam ke
arah kepala si gadis.
Seruni yang sudah pasrah menghadapi ke-
matian tak membuat gerakan sama sekali, bahkan
sepasang matanya yang bulat tajam terpentang le-
bar menatap tak berkedip!
Sesaat lagi pukulan yang dilepaskan Utusan
Iblis menghancurkan kepala Seruni, tiba-tiba tan-
pa terdengar adanya deruan serangkum angin
dahsyat menghampar berputar-putar, lalu meng-
gulung pukulan Utusan Iblis. Di lain kejap puku-
lan angin melesat dengan membawa pukulan yang
dilepas si pemuda. Tak lama kemudian terdengar
dentuman keras!
Pada saat putaran angin datang, Utusan Ib-
lis rasakan tubuhnya laksana disapu gelombang
dahsyat. Meski dia telah coba bertahan, namun
sapuan itu begitu dahsyatnya, hingga sebelum tu-
buhnya terpental, Utusan Iblis telah meloncat ke
belakang dengan keluarkan dengusan keras.
"Bangsat rendah! Siapa berani ikut campur
urusan Utusan Iblis, hah?!" teriaknya dengan mata
liar ke sana kemari. Baru saja suara teriakannya
lenyap, terdengar suara orang tertawa. Utusan Ib-
lis cepat berpaling ke samping kanan dari arah
mana suara tawa terdengar. Pada saat bersamaan,
tiba-tiba dari arah samping kiri angin dahsyat
menghampar tanpa keluarkan suara. Namun pu-
kulan ini sepertinya disengaja tidak diarahkan pada si pemuda. Tapi pada tanah di sebelahnya.
Hingga saat itu juga terdengar suara seperti air
muncrat. Di kejap lain pemandangan menjadi pe-
kat karena hamburan tanah yang muncrat ke uda-
ra.
Utusan Iblis memaki habis-habisan sambil
melompat mundur dan cepat balikkan tubuh. Ke-
tika itulah di balik kepekatan tanah yang menutu-
pi pemandangan, samar-samar Utusan Iblis me-
nangkap sesosok bayangan berkelebat laksana se-
tan gentayangan. Sebelum Utusan Iblis menyiasati
siapa adanya si bayangan, bayangan itu telah
kembali berkelebat lalu lenyap. Sosok Seruni yang
tadi tergeletak tak berdaya juga tak tampak lagi!
Dapat menebak apa yang dilakukan si
bayangan, Utusan Iblis cepat melesat ke depan
menerobos kepekatan tanah, kedua tangannya
langsung dihantamkan ke arah berkelebatnya si
bayangan, namun pukulannya kalah cepat dengan
gerakan si bayangan, hingga pukulan itu hanya
menghajar angin.
Ketika suasana sirap, Utusan Iblis masih
coba arahkan pandangan ke sana kemari. Namun
dia tak menemukan siapa-siapa, membuat pemu-
da ini keluarkan makian tak karuan dan bantin-
gan sepasang kakinya.
"Keparat siapa yang menolongnya?!" desis si
pemuda dengan dada berdebar keras menahan
marah. "Gerakannya begitu cepat. Pukulannya ti-
dak terdengar sama sekali.... Keparat betul!
Hem.... Aku akan terus ke selatan, selain mengejar
pemuda bergelar Mata Malaikat kurasa ini juga jalan menuju kawasan Sungai Siluman. Lembaran
Kulit Naga Pertala.... Aku harus dapat memili-
kinya. Karena tanpa kuduga, banyak orang berke-
pandaian tinggi malang melintang. Kalau lembaran
kulit itu tak dapat kumiliki, akan sia-sia hidupku.
Aku tak mau jadi kacung rimba persilatan. Aku in-
gin menjadi Penguasa Tunggal! Ya, orang tanpa
tanding. Ha.... Ha.... Ha...!" sambil terus tertawa
Utusan Iblis putar tubuhnya lalu berkelebat terus
ke arah selatan.
LIMA
BAYANGAN kembang-kembang itu berkele-
bat cepat laksana bersitan sinar. Di pundak ki-
rinya tampak sesosok tubuh yang diam tak berge-
rak-gerak. Pada suatu tempat yang banyak ditum-
buhi semak-semak tak jauh dari kawasan pinggir
Sungai Siluman si bayangan kembang-kembang
memperlambat larinya. Pada saat bersamaan, so-
sok di pundak si bayangan kembang-kembang
membuat gerakan dengan membuka kelopak ma-
tanya yang sedari tadi terpejam rapat. Ternyata dia
adalah Seruni.
Karena kepala Seruni ada di bagian pung-
gung orang yang memanggulnya, gadis ini tak bisa
melihat siapa adanya orang yang telah menolong
dan melarikannya. Gadis ini sekali lagi memperha-
tikan. Ternyata orang yang menolongnya adalah
seorang yang mengenakan jubah berwarna kem-
bang-kembang. Mata Seruni menelusur ke atas.
Kini tampaklah bagian kepala orang yang berjubah
kembang-kembang itu. Ternyata orang itu hanya
memiliki rambut putih sebatas tengkuk.
Sejenak kedua alis mata Seruni terangkat
dan keningnya berkerut. Ada rasa keragu-raguan
di benaknya. Tiba-tiba gadis ini kerahkan tenaga
dalamnya. Dia menarik napas lega, karena tan-
gannya telah putih seperti semula walau mulutnya
masih terasa perih akibat tamparan yang dilaku-
kan Utusan Iblis.
"Jangan-jangan memang dia...," batin Seru-
ni, lalu buka mulut dan terdengarlah suaranya.
"Aku sudah tak apa-apa. Harap kau suka
turunkan tubuhku!"
Mendengar suara orang, orang berjubah
kembang-kembang menggumam tak jelas namun
tak menuruti permintaan orang yang di pundak-
nya. Mungkin merasa orang tidak mendengar sua-
ranya, Seruni kembali buka mulut dengan suara
agak dikeraskan.
Orang berjubah kembang-kembang henti-
kan langkahnya. Perlahan-lahan dia angkat tubuh
di pundaknya lalu ditegakkan di hadapannya.
Sejenak sepasang mata Seruni menyipit lalu
membeliak besar. Mulutnya yang semula hendak
mengucapkan sesuatu tiba-tiba mengatup rapat.
Dadanya tampak bergerak turun naik dengan ke-
rasnya.
Orang di hadapan Seruni sunggingkan se-
nyum. Ternyata dia adalah seorang nenek. Mengenakan jubah besar warna kembang-kembang.
Rambutnya putih hanya sebatas tengkuk yang pa-
da bagian atasnya berombak mirip sayap yang te-
rentang. Sepasang kelopak matanya besar namun
matanya sipit. Paras wajahnya masih membiaskan
kecantikan sewaktu muda. Nenek itu bukan lain
adalah dedengkot rimba persilatan bergelar Peri
Kupu-kupu.
"Kau...!" desis Seruni sambil alihkan pan-
dangan ke jurusan lain. Lalu tengadahkan kepala
dan lanjutkan ucapannya. "Jangan berharap aku
merubah niatku hanya karena kau telah meno-
longku!"
Peri Kupu-kupu tertawa pelan sambil pan-
dangi wajah gadis cantik di hadapannya. "Anak ini
pendiriannya teguh. Sayang..., belum bisa membe-
dakan mana yang baik dan buruk...," batin Peri
Kupu-kupu lalu berkata pelan.
"Seruni.... Pertolonganku bukan untuk me-
rubah niatmu. Hal itu semata kulakukan hanya
untuk menyelamatkanmu! Pantang bagiku melihat
perbuatan semena-mena di depan mataku. Apalagi
kau adalah manusia jenisku!"
Seperti diketahui, Seruni yang mengaku se-
bagai cucu sekaligus murid dari tokoh bergelar
Raksasa Bermuka Hijau turun ke rimba persilatan
dengan membekal tugas dari gurunya untuk
membunuh beberapa orang dan di antaranya ada-
lah Peri Kupu-kupu. Selain itu juga untuk menye-
lidik sekaligus memburu Lembaran Kulit Naga Per-
tala. Pada pertemuan pertama kalinya dengan Peri
Kupu-kupu, Seruni gagal melaksanakan tugasnya
(Baca serial Pendekar Mata Keranjang dalam epi-
sode: "Bukit Siluman").
Mendengar ucapan Peri Kupu-kupu, Seruni
menyahut.
"Bagus jika begitu ucapanmu! Berarti otak-
mu masih dapat membedakan urusan!"
"Seruni...," kata Peri Kupu-kupu sambil ter-
tawa. "Pengalaman hidup telah membuat seseo-
rang berubah. Dan kehidupan memang aneh. Ka-
dang-kadang hari ini menjadi lawan namun lusa
berubah jadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Hari
ini mengalami duka nelangsa tapi lusa berganti
roda bahagia. Tapi jalan menuju perubahan me-
mang sulit. Diperlukan pengorbanan besar. Malah
kadangkala harus berani korban perasaan dan
harga diri!"
"Orang tua! Berkatalah sepuasmu. Namun
jangan mimpi bisa merubah niatku untuk mem-
bunuhmu! Pengorbanan apa pun yang kau laku-
kan, tak akan membuat aku jadi kawanmu! Kau
telah kutulis di hatiku sebagai orang yang harus
kumusnahkan dari bumi ini!"
Sekali lagi Peri Kupu-kupu keluarkan tawa
perlahan, lalu berujar.
"Anak gadis. Jangan kau sebut-sebut lagi
tindakanku tadi untuk merubah niatmu! Aku
hanya mengatakan hukum alam yang berlaku.
Aku tahu, kau sebenarnya adalah gadis baik.
Hanya untuk sementara ini kau masih dikepung
oleh keadaan yang membuat pandanganmu kabur.
Aku percaya, kelak kau akan menemukan jati di-
rimu bila kekaburan itu sirna...."
Sejenak Seruni seperti tercekat mendengar
ucapan Peri Kupu-kupu. Namun sesaat kemudian
lenyap berganti dengan kemarahan yang selama
ini ditahan.
"Orang tua! Kau tahu apa tentang aku?!
Buang jauh-jauh ramalanmu itu! Bersiaplah
menghadapi kematianmu!"
"Karena kematian tak bisa ditentukan ka-
pan datangnya, sejak dulu kala aku telah siap
menghadapi kematian, Seruni. Namun sebelum
aku mati, apakah kau tidak mengharapkan sesua-
tu dariku?!"
Seruni terdiam. Dalam hati gadis ini mem-
batin. "Bagaimana ini? Apakah aku harus menga-
jukan tanya padanya seperti yang diperintah
Eyang Guru? Dia telah mengatakannya sendiri,
kenapa tidak?!"
Jika Seruni membatin demikian, tidak de-
mikian halnya dengan apa yang ada dalam benak
Peri Kupu-kupu. "Entah kenapa, meski nada sua-
ranya memerahkan telinga, namun aku suka anak
ini. Seandainya Raksasa Bermuka Hijau mau
mengatakan siapa sebenarnya dirinya dan apa tu-
juannya hingga menginginkan nyawaku, mungkin
urusan ini tak sampai melibatkan gadis ini. Akan-
kah salah paham ini terus berlangsung? Sayang,
aku hanya mendengar alasan Raksasa Bermuka
Hijau dari orang lain. Kalau saja aku mendengar
sendiri dari mulutnya, aku mungkin sedikit ba-
nyak bisa mendapat titik terang. Apakah aku ha-
rus menemuinya? Oh.... Tuhan. Panjangkan
umurku. Berilah kesempatan padaku untuk menjernihkan urusan yang belum tentu ini...," Peri
Kupu-kupu mendadak katupkan kelopak matanya.
Ketika mata itu membuka dan mengerjap, mata itu
telah berkaca-kaca.
Seruni tertegun. Ada perasaan aneh menye-
ruak di dada gadis ini. Hingga ucapan yang hen-
dak dikeluarkan seakan tercekat di tenggorokan-
nya. Malah tanpa sadar dia berkata lain dari apa
yang semula hendak dikatakan.
"Nek.... Apa sesungguhnya yang terjadi den-
gan dirimu?!"
Peri Kupu-kupu gelengkan kepalanya perla-
han. Namun guliran bening air matanya sudah ja-
tuh membasahi pipinya yang keriput.
Tak dapat menahan perasaan, Seruni me-
langkah mendekat. Namun belum sampai gadis ini
bicara. Peri Kupu-kupu telah mendahului.
"Seruni.... Kau mau mengatakan padaku
kenapa kakekmu menginginkan nyawaku?!"
Untuk sesaat Seruni tak menjawab. Dia
pandangi lekat-lekat wajah nenek di hadapannya.
Setelah agak lama, baru dia berkata.
"Menurut Kakek...," Seruni ragu-ragu me-
lanjutkan.
"Katakanlah, Seruni. Bagaimana menurut
kakekmu...."
"Mungkin kaulah yang saat ini menyimpan
lembaran kulit yang diburu kalangan tokoh-tokoh
rimba persilatan!"
Peri Kupu-kupu surutkan langkah satu tin-
dak karena terkejut. Dadanya tambah bergetar ke-
ras. Mulutnya terkancing rapat. "Kalau bukan cucunya, mungkin aku masih ragu-ragu. Jadi... Ah.
Berarti memang dia orang yang selama ini kuca-
ri.... Karena hanya dari keturunannya yang tahu
seluk-beluk lembaran kulit itu...."
Setelah dapat menguasai rasa terkejutnya.
Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepalanya, lalu
berkata.
"Seruni. Apakah kau masih menginginkan
nyawaku?"
"Sebenarnya.... Ah, serahkan saja lembaran
kulit itu padaku. Dan anggap tidak ada lagi masa-
lah di antara kita...."
"Seruni. Dengarlah baik-baik. Kakekmu sa-
lah paham. Apa yang dikatakan kakekmu tidak
ada padaku...!"
Wajah Seruni kembali berubah mendengar
ucapan Peri Kupu-kupu. Pandangannya dingin
menusuk ke bola mata sipit nenek di hadapannya.
"Eyang Guru tidak pernah berkata dusta.
Atau...."
Belum selesai Seruni dengan ucapannya,
Peri Kupu-kupu telah memotong.
"Kakekmu memang tidak berkata dusta.
Namun dia salah paham!"
"Salah paham bagaimana maksudmu?!" su-
ara Seruni mulai agak keras.
"Aku tak bisa menceritakan di sini. Aku per-
lu bertemu dengan Eyang Gurumu itu biar urusan
jadi terang!"
"Kau makin berbelit-belit!" hardik Seruni,
lalu menyambung. "Pesan Eyang Guru, jika lemba-
ran kulit tak di tanganku, maka sebagai gantinya
adalah kepalamu! Kau tinggal pilih!"
"Kalau orang lain yang mengucapkan kata-
kata itu, sudah kupecahkan mulutnya. Sayang
yang keluarkan kata-kata adalah kau!" ujar Peri
Kupu-kupu sedikit agak keras. Hati perempuan
tua ini nampaknya juga mulai geram mendengar
kata-kata Seruni.
Seruni tersenyum dingin. "Apa bedanya aku
dengan orang lain? Hah?! Kau bukan sanak kera-
batku. Aku pun tak punya tali darah denganmu!"'
"Seandainya kau tahu, mungkin kau tak
akan berkata begitu, Seruni. Kau tak tahu! Di an-
tara kita sebenarnya masih ada pertalian darah!"
"Kau jangan mengada-ada, Tua Bangka!
Alasanmu tidak masuk akal!" seru Seruni meski
dadanya tiba-tiba merasa sesak. Berbagai pera-
saan kembali melanda hatinya.
"Sekarang kau boleh mengatakan sesuka-
mu. Karena masalahnya memang belum jelas be-
nar. Namun aku yakin, jika Eyang Gurumu men-
gatakan begitu, berarti di antara kita masih ada
pertalian darah! Kelak semuanya akan jelas!"
Sejurus Seruni terdiam.
"Boleh aku tahu, siapa orangtuamu?!" tanya
Peri Kupu-kupu.
Ucapan Peri Kupu-kupu membuat Seruni
terkejut bukan main. Parasnya berubah seketika.
Kepalanya perlahan-lahan bergerak tengadah. Se-
benarnya gadis ini menahan agar air matanya ti-
dak jatuh. Namun rupanya perasaan galau begitu
kuat menekan perasaannya. Hingga tak lama ke-
mudian bahunya berguncang lalu dia sesenggukan, membuat Peri Kupu-kupu terperangah kaget.
"Heran. Kenapa dengan gadis ini? Tersing-
gung dengan ucapanku? Tapi rasa-rasanya aku ti-
dak mengucapkan kata-kata yang menyinggung
perasaan. Aku hanya bertanya tentang kedua
orangtuanya.... Hem...," Peri Kupu-kupu diam un-
tuk beberapa lama seolah menunggu si gadis men-
guasai diri.
Tiba-tiba Seruni sentakkan kepalanya
menghadap Peri Kupu-kupu. Sepasang matanya
yang sembab oleh air mata memandang tajam lu-
rus ke wajah si nenek.
"Kalau kau benar-benar masih ada pertalian
darah, berarti kau tahu siapa orangtuaku! Kata-
kan padaku. Siapa mereka!"
Untuk kedua kalinya Peri Kupu-kupu ter-
lengak oleh ucapan Seruni. Hingga untuk bebera-
pa lama nenek ini terdiam gagu. Setelah beberapa
saat baru Peri Kupu-kupu buka mulut.
"Seruni. Seperti kukatakan tadi, semuanya
belum jelas benar. Kau tahu, selama ini sebenar-
nya aku tengah mencari ikatan darah yang tak
terputus ini! Sekaligus untuk meluruskan kesa-
lahpahaman. Jadi kalau aku belum bisa menjawab
tanyamu bukan berarti aku mengada-ada dengan
keteranganku!"
Seruni tidak menyambuti ucapan Peri Ku-
pu-kupu, membuat nenek ini makin tak enak pe-
rasaannya.
"Seruni. Apakah kau benar-benar mengin-
ginkan kitab itu?!" tanya Peri Kupu-kupu menga-
lihkan pembicaraan untuk mengatasi kekakuan
suasana.
Seruni tak buka mulut. Malah mengangguk
atau menggeleng pun tidak. Membuat Peri Kupu-
kupu jadi salah tingkah tak tahu harus berbuat
apa, hingga akhirnya nenek ini berujar.
"Baiklah. Untuk sementara ini kita berpisah
dulu. Namun perlu kau ingat baik-baik. Lembaran
Kulit Naga Pertala yang asli tidak ada padaku. Ka-
lau kau ingin menyelidik, harap kau tunggu sam-
pai aku menemuimu lagi. Daerah ini adalah kawa-
san pinggir Sungai Siluman yang menuju Bukit Si-
luman. Sementara ini kau jangan jauh-jauh dari
kawasan ini! Aku pergi sekarang...."
Habis berkata. Peri Kupu-kupu berkelebat
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya ter-
tahan tatkala didengarnya Seruni berseru.
"Tunggu!"
Peri Kupu-kupu urungkan niat. Tanpa ber-
paling pada Seruni dia berkata.
"Katakan kalau masih ada yang ingin kau
utarakan!"
"Aku tak mengerti dengan semua ini. Ka-
lau...."
"Seruni!" potong Peri Kupu-kupu. "Urusan
ini tidak akan bisa dimengerti tanpa hadirnya be-
berapa orang. Kalau kau ingin mengerti tunggulah
seperti yang kukatakan tadi! Ingat! Jangan terbu-
ru-buru menuju Bukit Siluman sebelum bertemu
denganku!"
Sebenarnya Seruni masih ingin bertanya
banyak, namun ketika gadis ini balikkan tubuh.
Peri Kupu-kupu ternyata sudah tidak ada di tempat itu lagi!
"Kenapa urusan jadi tak karuan begini?
Mungkinkah ucapan orang tua itu benar? Ah, uru-
san mencari kedua orangtuaku belum kulakukan
kini telah timbul masalah yang tak kumengerti...,"
Seruni menghela napas panjang. "Peri Kupu-kupu
bilang lembaran kulit yang aslinya tidak ada pa-
danya. Berarti yang ada padanya lembaran kulit
palsu? Atau.... Ah, sebaiknya aku memang me-
nunggu. Tapi aku akan menuju ke Bukit Siluman
jika dia terlambat. Aku masih meragukan keteran-
gannya! Siapa tahu dia mempunyai maksud lain di
balik semua ini!"
Habis berkata begitu, Seruni arahkan pan-
dangannya ke selatan. Dari sela-sela kerimbunan
semak, dia dapat menangkap bunyi gemuruh se-
perti air terjun di telinganya yang asalnya dari
Sungai Siluman. Padahal, permukaan airnya tenang saja
ENAM
MATAHARI telah jatuh ke pangkuan kaki
langit di ujung barat. Pada saat bersamaan, sang
rembulan mulai bergerak naik menggantikannya,
hingga walau malam telah menjelang, suasana
masih sedikit terang.
Dalam keadaan begitu, kawasan Sungai Si-
luman nampak indah. Air sungai terlihat berkilat
kilat tertimpa cahaya rembulan. Pohon-pohon be-
sar kecil yang banyak tumbuh di pinggir sungai
berubah menjadi kebiruan terkena pantulan warna
air sungai.
Pendekar 108 sampai di kawasan Sungai Si-
luman setelah malam turun. Sewaktu berlari mu-
rid Wong Agung ini sengaja menempuh jalan ber-
putar. Selain untuk menghilangkan jejak juga in-
gin melihat-lihat pemandangan indah kawasan
yang dilaluinya. Hingga dia sampai di pinggir sun-
gai ketika malam telah menjelang.
Sejenak Aji layangkan pandangannya kian
kemari. Saat itu dia berada dua puluh tombak dari
tepi sungai, di mana banyak tumbuhan kecil di se-
kitarnya.
"Hem.... Terpaksa aku harus menunggu
sampai pagi. Untuk menuju bukit itu tentu mem-
butuhkan perahu...," Aji luruskan pandangannya
ke tengah sungai. Yang tampak hanyalah permu-
kaan air.
"Menentukan mana Bukit Siluman pun
amat sulit jika malam hari. Hem.... Aku terpaksa
harus menunggu sampai pagi. Tapi itu lebih baik.
Aku bisa menyiasati keadaan terlebih dahulu. Bu-
kan tak mungkin telah banyak orang di sekitar
kawasan ini...." murid Wong Agung lalu melangkah
ke arah samping kanan lalu lurus hendak menuju
pinggir sungai. Namun gerakan kakinya tertahan
sewaktu tiba-tiba dari arah samping kiri terdengar
suara tawa mengikik pelan.
Cepat Pendekar Mata Keranjang berpaling
dengan mata dipentangkan lebar-lebar. Dari tempatnya berada, Pendekar 108 samar-samar melihat
sesosok tubuh berdiri lima belas langkah darinya.
Aji doyongkan tubuhnya ke depan lalu matanya
dibuka semakin lebar memperhatikan orang itu.
"Hem.... Setan Pesolek...," gumam Aji begitu
matanya dapat mengenali siapa adanya orang itu.
Tanpa pikir panjang lagi, murid Wong
Agung ini bergegas mendekati. Tapi tinggal berja-
rak satu tombak sosok yang dikenal Aji, Setan Pe-
solek keluarkan suara, seraya gerakkan tangan
pulang balik.
"Kau benar-benar menginginkan lembaran
kulit itu Pendekar 108?!"
Murid Wong Agung palingkan wajah dengan
dahi mengernyit. "Aneh. Suaranya seperti dita-
han.... Apakah telingaku yang...," Aji tak dapat
meneruskan kata hatinya karena pada saat ber-
samaan Setan Pesolek telah kembali mengulangi
pertanyaannya.
"Karena tugas ini amat penting demi menye-
lamatkan dunia persilatan dari tangan orang-orang
tidak bertanggung jawab, meski petunjuk yang di-
katakan Peri Kupu-kupu masih belum bisa kupa-
hami, aku akan tetap melangkah terus!"
Setan Pesolek gerak-gerakkan pinggang dan
pinggulnya. Mata kirinya dikerdipkan. Di lain ke-
jap dia kembali buka suara.
"Pendekar 108! Kau masih ingat petunjuk
itu?!"
"Tentu! Tiga tambahkan tiga dan seterus-
nya. Tiga langkah paling tengah. Naik, buka pintu
lalu turun dan melangkah dua puluh satu."
Setan Pesolek dengarkan kata-kata Aji den-
gan seksama.
"Bagus! Lembaran kulit itu memang harus
diselamatkan agar rimba persilatan dapat tenang
damai...," kata Setan Pesolek lalu tengadahkan ke-
palanya.
"Setan Pesolek.... Sebenarnya selain aku be-
lum bisa memecahkan petunjuk itu, aku juga be-
lum bisa memahami arti ucapanmu tempo hari.
Kalau saja kau telah mengetahuinya...."
"Ucapanku yang mana...?!"
"Kau bilang, melihat tabir penutup yang tak
bisa ditembus dengan pandangan mata biasa. Dan
kau bilang, mungkin kipasku bisa membukanya."
Setan Pesolek rapikan rambut dan wajah
dengan jari-jari tangannya.
"Aku memperoleh firasat memang demikian.
Dan sejauh ini aku belum bisa menafsirkan tabir
apa itu. Kipas di tanganmu mungkin saja bisa
membukanya. Tapi...," Setan Pesolek putuskan
ucapannya.
"Tapi apa...?" sahut Aji.
"Coba kulihat kipasmu!"
Murid Wong Agung ambil kipas ungu 108
dari balik pakaiannya lalu diulurkan pada Setan
Pesolek. Setan Pesolek ulurkan sebelah tangannya
menyambuti kipas yang diulurkan Aji.
Sejurus kipas berwarna ungu itu ditimang-
timang. Sepasang mata Setan Pesolek memperha-
tikan bentuk kipas bergurat angka 108 itu untuk
beberapa lama. Lalu kepalanya mengangguk-
angguk. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara
'Taarr-taarr-taarrr'! Beberapa kali.
Setan Pesolek cepat selipkan kipas ungu
108 ke balik jubahnya, lalu berkata.
"Nampaknya daerah sekitar sini tidak aman!
Cepat menyingkir!" kata Setan Pesolek sambil do-
rong tubuh Aji hingga terjengkang. Lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Murid Wong Agung buru-buru bangkit lalu
berkelebat hendak menyusul Setan Pesolek. Na-
mun pada saat bersamaan serangkum angin dah-
syat menderu ganas menghantam ke arahnya,
membuat Pendekar Mata Keranjang mencelat men-
tal.
"Setan alas!" maki Aji sambil bangkit. Belum
sampai tubuhnya tegak, sesosok tubuh berkelebat.
Lalu terdengar suara 'Taaarrr! Taaarrr'!
Aji melihat kelebatan tali kuning yang me-
mancarkan bunga api mengarah pada batok kepa-
lanya. Murid Wong Agung ini cepat rundukkan ke-
pala lalu membentak dan lepaskan pukulan
'Mutiara Biru'.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar biru membersit dan mengembang
menyebarkan hawa panas luar biasa. Karena ge-
ram, Aji lepaskan pukulan dengan kerahkan tena-
ga penuh.
Tali kuning yang ternyata sebuah bambu
kuning langsung mental balik. Sosok orang yang
menyabetkan bambu ikut terdorong ke belakang
lalu jatuh terjengkang dengan keluarkan makian
tak karuan. Orang ini merasakan tangannya ber-
getar keras, malah kalau tidak segera kerahkan
tenaga dalam, mungkin bambu kuning di tangan
kanannya akan jatuh! Orang ini cepat bangkit. La-
lu usap-usap dadanya yang berdenyut nyeri.
Pendekar Mata Keranjang segera melesat ke
depan. Lalu tegak dengan dagu membesi lima
langkah di hadapan orang yang baru saja menye-
rangnya. Pemuda ini melihat seorang laki-laki se-
tengah baya mengenakan rompi warna hitam. Tu-
buhnya kecil kurus. Rambutnya digelung ke atas.
Paras wajahnya tirus mirip muka tikus. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang bambu kuning se-
panjang tiga jengkal.
TUJUH
LAKI-LAKI setengah baya bersenjatakan
bambu kuning dan bukan lain adalah Dewa Setan
adanya memandang Aji dengan seringai ganas. Me-
lihat senjata di tangan orang, Aji teringat pada ki-
pasnya yang dibawa Setan Pesolek. Mendadak ada
perasaan tak enak dalam hatinya. Namun segera
dikubur dalam-dalam mengingat telah tahu siapa
Setan Pesolek adanya. Tidak mungkin orang seper-
ti Setan Pesolek menipu dan melarikan kipasnya.
Berpikir sampai di situ, hati murid Wong Agung
kembali tenang.
"Siapa kau? Dan kenapa tiba-tiba menye-
rangku?!" bentak Aji memecah kebisuan sambil
memperhatikan orang dengan seksama. Aji merasa
belum pernah bertemu dengan orang di hadapan-
nya. Sebaliknya Dewa Setan telah tahu siapa Aji.
Hal ini terjadi sewaktu Aji terlibat bentrok dengan
Hantu Berjubah. Karena saat itu Aji terluka, dia
tidak tahu jika tiga orang yang datang mengha-
dang Hantu Berjubah salah satunya adalah Dewa
Setan. Dewa Setan tengadahkan kepala. Bambu
kuning di tangannya ditempelkan ke mulutnya
mengeluarkan bunyi merdu seperti suling ditiup
beberapa kali keras menusuk gendang telinga.
"Pendekar 108! Kau tak perlu tahu siapa
aku. Yang pasti aku datang untuk menjemput
nyawamu!"
Aji tertawa panjang. "Kau sudah pasti da-
tang ke orang yang salah! Jangan-jangan kedatan-
ganmu hanya untuk mengantar nyawa!"
Dewa Setan ikut-ikutan keluarkan tawa.
"Aku tidak pernah salah apalagi gagal mencabut
nyawa orang yang kuinginkan!"
"Tapi tidak untuk kali ini! Sekarang justru
kau datang pada orang yang akan membetot se-
lembar nyawamu!"
Dewa Setan makin keraskan tawanya men-
dengar kata-kata Aji. Tiba-tiba suara tawanya di-
putus. Matanya membeliak besar.
"Tanganku akan bicara jika aku tak salah
pilih orang untuk mampus!"
"Matamu saja salah pilih orang, apalagi tan-
ganmu! Ha.... Ha.... Ha.... Jangan-jangan bicaramu
sebagai isyarat bahwa kau tak lama lagi menutup
mata!"
"Setan alas! Kukuliti kulit kepalamu!"
Taaarrr! Taaarrr!
Tangan kanan Dewa Setan berkelebat.
Bambu kuning itu keluarkan suara mendesing dan
memperlihatkan lidah api tatkala melesat ke arah
Aji. Sementara tangan kirinya langsung bergerak
mendorong, hingga saat itu juga angin deras
menggebrak.
Murid Wong Agung mundur dua langkah.
Kedua tangannya diangkat ke atas. Lalu dikem-
bangkan dan didorong dengan kerahkan tenaga
penuh.
Untuk kedua kalinya dari kedua telapak
tangan Aji melesat sinar biru disertai hawa panas
menggebrak.
Terdengar letupan keras. Namun karena
sudah waspada, sebelum letupan terjadi Dewa Se-
tan melesat ke udara. Dan masih merasakan tan-
gannya bergerak ketika bambunya mental. Tapi
dia cepat kerahkan kembali tenaga dalamnya dari
atas bambu kembali disabetkan ke bawah.
Breeettt!
Wuuuttt!
Begitu cepatnya lesatan bambu kuning,
meski Pendekar Mata Keranjang telah bergerak ce-
pat dengan gulingkan tubuh di tanah, namun tak
urung juga ujung bambu membabat bahu kanan-
nya. Tapi Aji tak peduli. Dia teruskan gulingan tu-
buhnya. Pada gulingan ketiga dia berbalik dan
hantamkan tangannya.
Sinar biru membersit dengan membawa
hawa panas. Dewa Setan yang melayang turun ke-
luarkan suara tegang. Dia sentakkan tubuhnya
untuk membuat gerakan berputar di udara. Na-
mun tubuh bagian bawahnya masih tersambar
pukulan 'Mutiara Biru' yang dilepas Pendekar Ma-
ta Keranjang, hingga tubuhnya terbanting di udara
lalu melayang lurus ke bawah dengan derasnya.
Murid Wong Agung tak mau buang kesempatan.
Sebelum sosok Dewa Setan menyentuh tanah, Aji
melesat ke depan. Tangan kirinya bergerak meng-
hantam ke arah tangan Dewa Setan yang meme-
gang bambu.
Bukkk!
Kembali terdengar seruan keras dari mulut
Dewa Setan. Tangan kanannya mental ke belakang
dan bergetar keras. Di kejap lain bambu kuning itu
mencelat lalu jatuh di sebelah sebatang pohon se-
pelukan orang dewasa. Selagi tubuh lawan ter-
huyung-huyung Aji lepaskan lagi tinju kanannya
ke arah dada lalu disusul dengan tangan kiri ke
arah perut.
Bukkk! Bukkk!
Tubuh Dewa Setan terlipat ke depan. Saat
itulah kaki kiri Pendekar Mata Keranjang melesat.
Kepala Dewa Setan tersentak ke kanan, kejap ke-
mudian tubuhnya terbanting dengan derasnya di
atas tanah! Sosok Dewa Setan sejenak bergetar ke-
ras, namun tak lama kemudian diam kaku!
Pendekar 108 menarik napas berulangkali.
Lalu berpaling pada bahunya. Sejurus sepasang
matanya mendelik. Pakaian di bagian bahu robek
dan kulit di baliknya mengelupas. Aji cepat henti-
kan aliran darah di sekitar lukanya. Lalu salurkan
hawa murni untuk menangkal racun dari bambu
yang sempat menggores bahunya.
Saat itulah mendadak terdengar suara ke-
ras menegur.
"Jahanam Mata Malaikat! Kau kira bisa lo-
los dari mataku, hah?!"
"Mata Malaikat?! Siapa yang dipanggil Mata
Malaikat?!" batin Aji seraya cepat menoleh ke arah
datangnya suara.
Dari sela pohon, sesosok tubuh berkelebat.
Di lain saat sosok tersebut telah tegak delapan
langkah di hadapan Aji. Menahan kejut, kedua
mata Pendekar Mata Keranjang mendelik perhati-
kan orang di hadapannya.
"Edan! Bagaimana mungkin dia bisa me-
manggilku Mata Malaikat?! Atau mata orang ini
sudah lamur?!" Aji sunggingkan senyum sambil
usap-usap hidungnya lalu berkata.
"Utusan Iblis! Siapa yang kau maksud den-
gan Mata Malaikat?"
Orang di hadapan Aji yang bukan lain ter-
nyata Utusan Iblis keluarkan dengusan keras dan
seringai garang.
"Kau jangan banyak mulut! Terimalah ke-
matianmu sekarang juga, Mata Malaikat!"
"Gila! Jangan-jangan ini perbuatan orang
tua itu! Pantas dia mengatakan pemuda ini sebe-
narnya mencariku! Benar-benar edan! Orang tua
itu mencelakakanku! Bagaimana sekarang?!" kata
murid Wong Agung dalam hati sambil cengar-
cengir. Namun sebenarnya hatinya geram pada
orang tua yang sempat ditemuinya beberapa waktu
berselang. "Dengar, Utusan Iblis! Aku bukan...."
"Teruslah bicara. Tapi jangan harap aku
percaya!" tukas Utusan Iblis. Pemuda ini arahkan
pandangannya pada sosok Dewa Setan sejenak la-
lu tersenyum dingin.
"Baik. Sekarang aku tanya padamu. Siapa
yang memberitahukan padamu jika aku Mata Ma-
laikat?!"
Utusan Iblis tertawa bergerai. "Manusia ma-
cam kau memang suka sandiwara! Tapi jangan
khawatir, di alam kubur nanti kau masih bisa
sandiwara!"
"Hem.... Kau tak jawab tanyaku. Berarti kau
yang main sandiwara di hadapanku. Teruskan!
Aku ingin lihat bagaimana kelanjutan sandiwara-
mu! Jika bagus, aku bisa membawamu ke pentas!
Siapa tahu kau bibit yang terpendam!"
"Keparat! Setan busuk!" bentak Utusan iblis
marah. "Ah, matamu kurang melotot. Seharusnya
tanganmu mengepal dan diacungkan-acungkan.
Lalu buat kepalamu berpaling sambil senyum-
senyum! Itu baru bagus. Ingat waktu senyum kau
bayangkan sedang melihat seorang nenek berdan-
dan menor sedang telanjang bulat. Yakin, se-
nyummu pasti mempesona!"
"Bangsat! Kuhancurkan mulutmu!" sentak
Utusan Iblis dengan mata mendelik besar semen-
tara dagunya mengembang, kedua tangannya di-
kembangkan.
"Bagus! Mimikmu sudah pas. Tinggal pen-
gaturan nada suara! Sebaiknya suaramu dibuat
setengah laki-laki separo perempuan!"
Utusan Iblis sudah tak dapat menahan ma
rah. Kedua tangannya segera disentakkan ke de-
pan.
"Hai.... Ini masih sandiwara kan?!" seru Aji
sambil bergerak ke samping menghindari samba-
ran angin yang menyambar dari telapak tangan
Utusan Iblis.
Utusan Iblis tak menyahut. Malah sambil
melesat ke depan, kedua tangannya bergerak
menghantam.
Belum sempat Pendekar Mata Keranjang
membuat gerakan, kelebatan tangan telah sejeng-
kal di depan hidungnya, membuat mau tak mau
murid Wong Agung ini angkat kedua tangannya.
Prakkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Namun
pada saat bersamaan Utusan Iblis kirimkan ten-
dangan tak terduga. Hingga tubuh Aji terpental la-
lu terhuyung-huyung sambil memegangi lam-
bungnya.
"Hai.... Dalam sandiwara tidak ada yang
sungguhan begini! Atau kau...."
Belum sempat Pendekar 108 teruskan uca-
pannya, Utusan Iblis telah keluarkan bentakan ke-
ras. Lalu kedua tangannya menghantam ke depan,
kali ini lepaskan pukulan jarak jauh tangan ko-
song yang telah dialirkan tenaga dalam.
Melihat pukulan lawan, secepat kilat murid
Wong Agung hantamkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian terdengar ledakan. Namun saat itu Aji
merasakan tubuhnya laksana tersedot tenaga kuat
ke depan. Hingga huyungan tubuhnya bukan ke
belakang, melainkan ke depan!
Baru saja Aji hendak hantamkan pukulan
'Mutiara Biru', tiba-tiba pinggangnya terasa diteli-
kung tangan. Pendekar Mata Keranjang urungkan
niat lepaskan pukulan dan segera pukulkan kedua
tangannya ke arah tangan yang menelikung ping-
gangnya. Tapi baru setengah jalan, tangan yang
menelikung telah bergerak. Tubuh Aji terangkat la-
lu berputar dan di lain saat telah deras menukik
ke bawah lalu terbanting dengan punggung terle-
bih dahulu!
Bukkk!
Aji mengeluh tinggi. Namun segera bangkit.
Namun gerakan tubuhnya tertahan tatkala tiba-
tiba sebuah kaki terbungkus jubah merah sampai
lutut ditekankan ke dadanya, membuat murid
Wong Agung rebah kembali dengan dada sesak
dan mulut megap-megap
Suara tawa keras segera terdengar, mem-
buat dada Aji makin sesak, karena kaki di dadanya
makin keras menekan dan berguncang-guncang
mengikuti nada suara tawa.
"Keparat! Turunkan kakimu!" teriak Pende-
kar Mata Keranjang sambil hantamkan tangan ka-
nan kiri ke arah kaki yang menginjak dadanya.
Suara tawa terputus. "Kau teruskan gera-
kan tanganmu, dadamu jebol!" ancam Utusan Iblis
seraya tekankan kakinya lebih keras, membuat Aji
urungkan niat dan makin megap-megap sukar
bernapas. Tak hanya sampai di situ. Begitu tangan
Aji tak jadi memukul, Utusan Iblis cepat angkat
kaki satunya lalu ditekankan pada tangan Aji.
Hingga selain megap-megap, Pendekar 108 tak bsa menggerakkan tubuh bagian samping.
Utusan Iblis pandangi Aji dengan tersenyum
mengejek. Lalu berkata, "Mata Malaikat! Nyawamu
tinggal beberapa saat lagi. Jawab tanyaku. Apakah
ini kawasan Sungai Siluman yang menuju Bukit
Siluman?!"
"Jahanam! Turunkan kakimu dulu. Aku tak
bisa bernapas!" teriak Aji dengan suara parau ter-
sendat.
Utusan Iblis kurangi tekanan kakinya pada
dada Aji, namun kaki itu tetap di atas dadanya.
"Sekarang jawab tanyaku!"
"Kau tadi tanya apa?!"
"Setan keparat! Kau tidak tuli! Jawab atau
kujebol dadamu!" hardik Utusan Iblis mulai marah
lagi.
"Sebelum kujawab, dengar dulu. Aku bukan
Mata Malaikat! Kau telah ditipu orang!"
"Jangan banyak bacot! Jawab yang ku-
tanya!"
Pendekar Mata Keranjang menghela napas
dalam sebelum akhirnya berkata. "Menurut orang-
orang, ini memang kawasan Sungai Siluman. Soal
Bukit Siluman aku tak tahu!"
"Hem.... Begitu? Jawaban tepat meski aku
tahu kau berdusta! Mata Malaikat! Bersiaplah un-
tuk mampus!" habis berkata begitu, Utusan Iblis
angkat kedua tangannya.
"Tahan! Jika kau salah turunkan tangan,
jangan menyesal jika rohku akan gentayangan
mencarimu sekaligus membalas atas tindakanmu!"
cegah Aji dengan tubuh bergetar dan suara sember.
Utusan Iblis tertawa mengekeh. "Aku Utu-
san Iblis. Tak ada bangsa roh atau manusia yang
sanggup menghadangku! Kau dengar itu?!"
"Tapi kau akan menyesal karena orang yang
kau bunuh bukan orang yang kau cari! Bagiku,
mati tidak apa. Tapi bagimu, orang yang berke-
pandaian tinggi apakah tidak malu jika sampai sa-
lah bunuh. Jika Mata Malaikat tahu semua ini, di-
taruh di mana mukamu?!"
Utusan Iblis terdiam. Kedua tangannya per-
lahan-lahan diturunkan. Melihat hal ini Aji lan-
jutkan ucapannya. Namun sebelum kata-katanya
terdengar, Utusan Iblis telah mendahului.
"Hem.... Berarti kau kenal dengan Mata Ma-
laikat!"
Aji meringis tak tahu harus menjawab ba-
gaimana. Utusan Iblis tekankan kakinya lebih ke-
ras. Mungkin karena tak tahan merasa sesak, ak-
hirnya Aji berkata sekenanya. Karena saat itu yang
terlintas adalah wajah Peri Kupu-kupu, maka dia
berujar.
"Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?!"
"Aku memang mengenalnya...."
Utusan Iblis menyeringai, lalu membentak.
"Katakan bagaimana orangnya!"
"Dia adalah seorang nenek berjubah kem-
bang-kembang. Rambutnya ditata mirip sayap
yang tengah terkembang!"
Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu me-
mandang Aji dan berkata.
"Keteranganmu mungkin benar...," Aji me-
narik napas lega dan tersenyum, namun senyum-
nya pupus seketika saat didengarnya Utusan Iblis
teruskan ucapannya. "Namun karena kau telah
berani berkata dusta beberapa waktu lalu, maka
kau tetap harus mampus! Lagi pula siapa tahu
kau memang Mata Malaikat yang mengalihkan
nama pada orang lain! Biar kelak tak ada rasa ke-
cewa, kau juga harus mendahului mampus!"
"Tunggu!" seru Pendekar 108. Namun Utu-
san Iblis tak lagi menghiraukan seruan Aji. Kedua
tangannya diangkat dan serta-merta dihantamkan
ke arah Aji.
Karena tak bisa lagi mengelak, akhirnya
Pendekar Mata Keranjang hanya pejamkan sepa-
sang matanya menunggu maut menjemput nya-
wanya.
Sejengkal lagi hantaman kedua tangan Utu-
san Iblis yang telah dialiri tenaga dalam itu mere-
mukkan kepala Aji, tiba-tiba terdengar seru dah-
syat. Di lain kejap tubuh Utusan Iblis laksana dis-
apu gelombang hingga terhuyung dan terjengkang
duduk.
Rahang Utusan Iblis langsung menggem-
bung besar, matanya merah laksana dikobari api.
Kedua tangannya cepat dipukulkan ke arah mana
deruan dan sapuan angin datang.
Wuuuttt! Wuuuttt! Praaasss!
Semak-semak lebat yang banyak berada di
sekitar tempat itu langsung rata laksana dipang-
kas pisau tajam. Serpihannya langsung berham-
buran ke udara berubah lembut lalu terbang di
bawa angin malam.
Namun ditunggu hingga beberapa saat tidak
muncul juga seseorang, membuat Utusan Iblis ma-
rah lalu berteriak.
"Jahanam siapa pun adanya, keluarlah!
Aku Utusan Iblis!"
Tak ada sahutan. Namun sesaat kemudian
rimbunan tumbuhan lima belas kaki di samping
Utusan Iblis bergoyang-goyang dengan keras. Utu-
san Iblis cepat putar tubuh setengah lingkaran la-
lu kedua tangannya untuk kedua kalinya meng-
hantam.
Wuuuttt! Praaasss!
Rimbunan semak-semak terabas rata sam-
pai pangkalnya. Namun kembali Utusan Iblis di-
buat marah. Dari bekas tumbuhan itu dia tak me-
lihat siapa-siapa!
Mungkin penasaran, Utusan Iblis segera
melesat ke arah kerimbunan semak. Dari situ tiba-
tiba dia samar-samar menangkap suara tawa per-
lahan yang seperti datang dari tempat agak jauh.
Sejenak Utusan Iblis terpaku mendengarkan. Sete-
lah dapat menyiasati arah datangnya suara, tanpa
pikir panjang lagi dia berkelebat sambil berteriak.
"Kau berani mempermainkan Utusan Iblis.
Kau cari mampus!"
Pada saat Utusan Iblis berkelebat mengejar
orang, Aji segera bangkit. Baru saja tegak terden-
gar suara pelan menegur.
"Aji! Mengapa masih bengong mirip orang
bodoh. Ikuti aku!"
"Eyang...," gumam Pendekar Mata Keran
jang mengenali panggilan dan suara gurunya. Dia
segera berpaling. Dia hanya sekilas menatap ber-
kelebatnya sesosok bayangan. Yakin bahwa itu
Eyang Gurunya si Wong Agung, Aji cepat putar tu-
buh lalu berkelebat ke arah mana sang bayangan
berkelebat.
* * *
Kita tinggalkan dulu Utusan Iblis yang ber-
kelebat mengejar orang yang diduga telah mem-
permainkannya, juga berkelebatnya Aji menyusul
bayangan yang diduga Eyang Gurunya. Kita kem-
bali pada Setan Pesolek yang berkelebat sambil
membawa kipas ungu 108 milik Aji karena tiba-
tiba terdengar suara bergeletarnya bambu kuning.
Pada suatu tempat yang agak jauh dari
tempat pertemuannya dengan Aji, Setan Pesolek
hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar ke
sana kemari. Sepasang matanya yang bulat tajam
liar memperhatikan tempat di sekitarnya. Seraya
menarik napas panjang dia mengusap keringat
yang membasahi lehernya. Sesungging senyum
menyeruak di bibirnya. Laki-laki ini lantas bergu-
mam sendiri.
"Seharusnya pemuda tadi langsung kuhan-
tam dadanya biar segera mampus. Tapi... Ah, itu
akan membuatnya curiga dan tak menghiraukan
Dewa Setan. Dan bukan tak mungkin akan menge-
jarku. Kurasa Dewa Setan akan berhasil mem-
buatnya ke akhirat. Kalaupun tak berhasil, kipas
ini telah jatuh ke tanganku. Lebih dari itu aku
iakan segera mendapatkan Lembaran Kulit Naga
Pertala. Petunjuk itu telah kuperoleh meski belum
bisa kujabarkan.... Hem.... Sebentar lagi kitab itu
di tanganku. Hik.... Hik,... Hik...! Rimba persilatan
akan geger! Dan aku akan jadi tokoh tanpa tand-
ing. Hik.... Hik.... Hik...!"
Perlahan-lahan laki-laki ini angkat kedua
tangannya ke atas. Dari batas keningnya tangan-
nya disentakkan.
Seettt! Seettt!
Terdengar seperti suara robek. Tangan si le-
laki terus bergerak ke belakang. Sampai tengkuk
kembali tangan itu menyentak. 'Seeettt'!
Di tangan si kakek tampak rambut tergerai.
Dia lalu menggoyang kepalanya. Kejap lain terlepas
rambut hitam berkepang dua. Rambut itu panjang
dan hitam! Si Laki-laki campakkan rambut di tan-
gannya, lalu tangan itu kembali diangkat ke atas.
Dari bawah janggut tangan itu menyentak perla-
han. Lantas bergerak ke atas membuka kulit tipis
yang menutup wajahnya.
Ketika kulit penutup itu terbuka, jelaslah
wajah di balik kulit yang baru saja terbuka. Ter-
nyata dia adalah seorang perempuan berparas
cantik. Bibirnya merah dengan bulu mata lentik
dan mata bulat tajam.
Perempuan ini kemudian tanggalkan pa-
kaian! Di baliknya tampaklah pakaian warna putih
tipis dan ketat membungkus tubuh sintal yang ba-
gian dadanya sedikit dibuat rendah menampakkan
sebagian sembulan buah dadanya yang kencang.
Sejenak perempuan berbaju putih goyang
goyangkan kepalanya.
"Hem.... Sebentar lagi pagi akan datang.
Aku akan cari tempat untuk istirahat sambil me-
mikirkan petunjuk itu...," gumamnya seraya terse-
nyum. Tangannya bergerak meraba ke arah ping-
gang. Saat tangannya bisa merasakan sembulan
kipas, dia menarik napas dalam. Perempuan ber-
paras cantik dan bukan lain adalah Bidadari Pe-
nyebar Cinta ini putar kepalanya sekali lagi, lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu dengan bibir tersenyum.
DELAPAN
SESAAT setelah Bidadari Penyebar Cinta
berkelebat lenyap sesosok bayangan muncul di
tempat itu. Sepasang mata sosok ini menyapu ber-
keliling. Kepalanya bergerak berpaling ke samping
kanan dan kiri.
"Hem.... Aku masih membaui harumnya tu-
buh seorang perempuan.... Pasti orangnya cantik.
He.... He.... He...!" gumamnya lalu buka mulut le-
bar-lebar. "Seandainya aku masih muda, pasti dia
kukejar. Sayang.... Tubuhku sudah tak kuat lagi
untuk urusan-urusan demikian, padahal sebenar-
nya hatiku masih ingin.... Ah, mungkin masaku
sudah memasuki zaman semangat kuat tenaga
kurang...."
Orang ini lantas sentakkan kepalanya ke
arah bawah. Tubuhnya dibungkukkan lalu tangannya terulur mengambil rambut berkepang dua
yang tergolek di bawahnya.
Rambut itu didekatkan ke hidungnya den-
gan sepasang matanya dibeliakkan. "Rambut pal-
su.... Tapi baunya harum. Aneh. Dunia makin la-
ma makin dipenuhi hal aneh-aneh. Sudah punya
rambut masih juga menggunakan rambut palsu.
Jangan-jangan itunya orang nanti juga dipalsu!
Edan! Bagaimana rasanya kalau lagi ketemu yang
palsu begitu? Ngeri...," orang itu terus bergumam
sambil tertawa sendirian, tanpa melepas rambut
berkepang dua itu. Pandangannya ditujukan lagi
ke tanah.
"Hem.... Pakaian bagus! Harum lagi...! Pemi-
liknya sudah pasti perempuan yang amat cantik.
Sayang, aku tak melihatnya. Apalagi menda-
patkannya. Tapi..., mendapatkan pakaiannya pun
cukup baik. Toh, bau harum tubuhnya masih ter-
tinggal.... Peduli amat dengan anggapan orang ter-
hadapku nanti. Biar mereka kebingungan melihat
seorang kakek mengenakan pakaian perem-
puan...," orang itu ternyata adalah seorang kakek
berpakaian kulit ular dan bukan lain adalah Mata
Malaikat segera mengenakan pakaian perempuan
itu. Malah rambut hitam panjang dan berkepang
dua itu pun dikenakannya pula.
"He.... He.... He...! Tampangku mungkin se-
dikit keren. Bau tubuhku pun harum. Siapa tahu
berbekal temuan ada nenek-nenek atau gadis can-
tik yang tiba-tiba tertarik padaku..."
Tiba-tiba Mata Malaikat tengadahkan kepa-
lanya. Matanya memandang ke arah sebelah timur. Nun jauh di atas langit sana cahaya kemera-
han telah tampak, berarti pagi akan segera tiba.
Namun mesti pandangan si kakek ke arah peman-
dangan indah di bentangan langit sebelah timur
tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya ter-
tegun untuk beberapa saat. Tapi telinganya yang
sayup-sayup mendengar suara nyanyian yang se-
benarnya membuat kakek ini terkesima.
"Pagi-pagi begini sudah ada orang berse-
nandung. Hem.... Senandung kasmaran lagi. Dan
dapat kupastikan itu suara seorang perempuan!
Jangan-jangan Peri Sungai Siluman.... Hai....
Mungkin peri itu sedang mandi. Ah, aku akan ke
sana. Siapa tahu aku bisa mencuri pakaiannya, la-
lu...," Mata Malaikat buka mulutnya makin lebar
lalu berkelebat ke arah datangnya suara senan-
dung.
"Sial!" umpat Mata Malaikat dalam hati be-
gitu mendekam di balik rimbunan semak-semak
dan dari sini ternyata dia melihat seorang gadis
berparas cantik mengenakan pakaian warna kun-
ing muda sedang duduk bersandar pada sebatang
pohon agak besar sambil bersenandung.
"Kukira sedang mandi...," Mata Malaikat te-
rus mengomel sambil matanya tak berkedip mem-
perhatikan ke arah si gadis.
"Biar aku laki-laki dan sudah kakek-kakek,
namun aku bisa menyelami perasaan anak itu.
Sepertinya dia sedang jatuh cinta.... Orang lagi ke-
tiban cinta memang tingkah lakunya jadi berubah.
Dia lebih senang berteman dengan sungai, angin,
tumbuhan daripada berteman dengan orang selain
kekasihnya. Gilanya lagi dia lebih percaya pada
angin, burung-burung dan ikan sebagai tempat
curahan hati! Edan.... Cinta memang edan! Astaga.
Kenapa aku sampai ikut memikir ke sana. Lebih
baik aku mencari pemuda itu. Kasihan kalau dia
sampai ketemu dengan pemuda bergelar Utusan
Iblis itu. Aku akan mengatakan yang sesungguh-
nya, bahwa aku bersalah telah mengatakan bahwa
Mata Malaikat adalah dirinya. Aku akan minta
maaf dan...."
Bisikan hati Mata Malaikat terputus tatkala
dari arah belakangnya berdesir angin. Mata Malai-
kat telah dapat menduga bahwa ada orang di bela-
kangnya. Namun dia tak segera berbalik. Karena
matanya yang memandang lurus ke depan sudah
tidak melihat sosok si gadis, kakek ini dapat me-
nebak siapa adanya orang di belakangnya.
"Anak gadis! Mau menyanyi lagi?!" Tak ter-
dengar sahutan. Mata Malaikat lalu berkata lagi.
"Nyanyianmu bagus! Boleh tahu, siapa
orang yang beruntung mendapat cintamu?!"
Lagi-lagi tak ada sahutan, membuat Mata
Malaikat balikkan tubuh. Sepasang mata kakek ini
membelalak. Mulutnya makin menganga. Enam
langkah di hadapan si kakek tegak seorang perem-
puan setengah baya. Mukanya mengenakan bedak
putih agak tebal. Bibirnya merah mencorong.
Rambutnya dikepang dua. Perempuan ini menge-
nakan pakaian warna hijau.
"Kakek kurang ajar! Rupanya kerjamu tu-
kang intip, ya! Jangan-jangan kau orangnya yang
suka ngintip orang mandi! Sepasang matamu pantas dibuang agar tak bisa melihat!"
"Celaka! Aku betul-betul ketiban sial hari
ini! Sudah tidak melihat bidadari mandi malah
mendapat tuduhan tak karuan...," gumam Mata
Malaikat. Sesaat kemudian kakek ini perdengar-
kan suara tawa ngakak, membuat perempuan se-
tengah baya itu kernyitkan dahi.
"Orang sinting! Siapa kau?!" bentak si pe-
rempuan berambut kepang dan bukan lain adalah
Kamaratih. Seorang tokoh rimba persilatan yang
telah lama menghilang dan kini muncul kembali
mencari Manusia Neraka, guru Drupadi.
Mata Malaikat perlahan-lahan bangkit. Me-
rapikan pakaian temuannya lalu berkata.
"Orang cantik! Tua bangka sinting sepertiku
ini tak layak sebutkan nama di hadapanmu. Kau
boleh memanggilku apa saja! Don Yuan boleh, Ma-
ta Bongsang boleh. Asal tidak yang bermakna bu-
rung-burung.... Kau mengerti maksudku bukan?"
Kamaratih pasang tampang geram meski
dalam hatinya geli. Dia sekali lagi memperhatikan.
Keningnya tiba-tiba berkerut, membuat bedak pu-
tihnya merekat. "Rambut putih, mata aneh. Dalam
rimba persilatan hanya satu orang yang mempu-
nyai ciri-ciri demikian...."
"Orang tua! Bukankah saat ini aku sedang
berhadapan dengan dedengkot rimba persilatan
bergelar Mata Malaikat?!"
Mata Malaikat doyongkan tubuhnya sedikit
ke depan dengan sepasang mata dipejamkan. Lalu
berkata sambil tarik pulang kembali tubuhnya.
"Dan bukankah gadis cantik di hadapanku
ini adalah seorang tokoh dunia persilatan bernama
Kamaratih?!"
Disebut gadis cantik, Kamaratih senyum-
senyum. Sementara Mata Malaikat tak lagi kelua-
rkan suara
"Sobatku, Mata Malaikat!" kata Kamaratih
setelah agak lama keduanya tak ada yang buka
suara. "Kulihat hari ini kau lain dari dulu-dulu.
Gerangan apa yang membuatmu berubah. Jangan-
jangan kau terpikat pada seorang nenek!"
Mata Malaikat perhatikan dirinya. "Hem....
Mungkin gara-gara pakaian ini yang dikatakannya
aku jadi berubah! Setan betul!" maki Mata Malai-
kat dalam hati lalu tertawa bergelak.
"Kamaratih. Sebenarnya maksud hati me-
meluk gunung tapi apalah daya tanganku cuma
segini!" ujar Mata Malaikat sambil ulurkan tan-
gannya ke depan. "Lagi pula pada tua bangka bau
tanah begini siapa yang mau? Jangankan nenek-
nenek, kambing pun terbirit-birit kudekati! Padah-
al peliharaanku manggung pun sudah tak mam-
pu...."
Paras wajah Kamaratih jadi agak merah
mendengar ucapan Mata Malaikat. Dalam hati pe-
rempuan setengah baya ini berkata. "Sudah tua
bicaranya masih seperti masih muda dulu. Dasar
laki-laki!"
"Eh.... Kau sendiri kulihat makin menco-
rong saja. Jangan-jangan justru kau yang lagi ter-
sandung cinta. Siapa pemuda yang mampir di ha-
timu?!"
"Kau jangan menghina!" ujar Kamaratih
meski hatinya senang dipuji oleh Mata Malaikat.
"Ah. Kau jangan salah paham. Aku berkata
apa adanya. Kau kulihat makin cantik, makin ba-
henol. Pokoknya bertambah segalanya! Dugaanku
pasti tak meleset. Kau lagi kasmaran bukan?!"
"Kali ini dugaanmu keliru, Mata Malaikat!
Justru aku sedang mencari orang yang mengkhia-
nati cintaku!"
"Untuk diajak berdamai?!"
Kamaratih tertawa perlahan. "Untuk dikirim
ke akhirat!"
"Astaga! Mengapa urusan cinta bisa mem-
bawa-bawa akhirat? Walah, cinta ternyata kejam
juga, ya!"
"Tergantung orang yang menjalaninya. Ka-
dang-kadang cinta bisa membuat orang merasa-
kan sejuta bahagia sejuta pesona. Namun tak ja-
rang cinta juga membuat orang mengalami sejuta
nestapa sejuta derita! Konyolnya, aku mengalami
yang kedua!"
"Hem.... Kau bilang mencari orang yang
mengkhianati cintamu. Mengapa ke sini? Apakah
orang itu tinggal di sekitar sini?!"
"Dia tidak tinggal di kawasan ini. Namun
aku yakin, dia pasti akan datang ke sini! Aku akan
menunggu sampai dia datang!"
Mata Malaikat palingkan wajahnya ke juru-
san lain. "Hem... Berarti akan makin banyak orang
di sekitar kawasan ini.... Pasti ini ada hubungan-
nya dengan pemburuan lembaran kulit itu!" ka-
tanya dalam hati. Lalu dia berkata.
"Kamaratih. Apa yang menyebabkan kau
yakin orang itu akan datang ke tempat ini?!"
Kamaratih tengadahkan kepala lalu kelua-
rkan deheman panjang, membuat Mata Malaikat
berpaling dan memperhatikannya.
"Sobatku, Mata Malaikat! Aku tahu, perta-
nyaanmu hanya pura-pura saja. Tapi pertanyaan-
mu akan kujawab. Dia adalah seorang tokoh dari
rimba persilatan. Saat ini dunia persilatan sedang
ribut masalah Lembaran Kulit Naga Pertala yang
diduga orang masih tersimpan di Bukit Siluman.
Siapa saja pasti saat ini menginginkan lembaran
kulit itu. Dan satu-satunya jalan menuju Bukit Si-
luman adalah kawasan ini. Jelas?!"
Mata Malaikat sentak-sentakkan kepalanya
ke bawah, pertanda dia mengerti akan ucapan
Kamaratih. Kamaratih turunkan wajahnya lalu
menyambung kata-katanya.
"Kau sendiri di sini kenapa? Menginginkan
juga lembaran kulit itu?!"
Mata Malaikat buka suara.
"Urusan tetek bengek soal lembaran kulit,
bagi tua bangka sepertiku ini bukanlah suatu yang
berharga...."
"Begitu? Lalu apa kerjamu di sini? Mengin-
tip orang?! Sobat, kalau hanya ingin melihat tu-
buh, bagaimana kalau kutunjukkan diriku saja?
Dengan syarat, kau hanya boleh melihat tanpa bo-
leh memegang! Mau...?!" kata Kamaratih sambil
sunggingkan senyum dan geliatkan tubuhnya.
Mata Malaikat menjadi tergagu diam. "Setan
betul! Dia benar-benar meledekku! Apa dikira peli-
haraanku benar-benar tak mampu manggung,
hah?!" lalu kakek ini berkata.
"Kamaratih. Kau jangan menggoda tua
bangka ini. Aku tak tahu dadamu bagus menggo-
da, pinggulmu besar mempesona. Tapi aku ra-
gu...."
"Ragu apa?!" tanya Kamaratih sambil terus
menggoda dengan goyang-goyangkan pinggulnya.
"Aku takut punyamu palsu!"
Ucapan Mata Malaikat kontan membuat
Kamaratih hentikan gerakan tubuhnya. Wajahnya
jadi merah dan matanya mendelik.
"Kurang ajar! Meski aku sudah setengah
baya, dan saat ini banyak orang memalsukan tu-
buhnya, aku tak akan ikut-ikutan perbuatan gila
itu. Seluruh milikku masih asli!"
"Mana aku percaya sebelum...."
"Sudah! Omonganmu makin ngelantur tak
karuan!" putus Kamaratih, membuat Mata Malai-
kat tertawa bergelak-gelak. "Eh.... Kau belum ja-
wab tanyaku. Kenapa kau berkeliaran di kawasan
ini?!" tanya Kamaratih selanjutnya.
"Apa aku akan bicara soal ini padanya?
Hem.... Tak apalah. Siapa tahu dia bisa memberi
cahaya setitik...," pikir Mata Malaikat.
"Kamaratih. Sebenarnya aku sampai ke sini
hanya terseret arus. Tujuanku sebetulnya adalah
seperti kau. Mencari seseorang. Tapi kau lebih mu-
jur. Karena telah tahu orangnya dan yakin akan
datang ke sini. Sedangkan aku tidak demikian!"
"Maksudmu?!"
"Aku mencari orang yang wajahnya mung-
kin saat ini tak bisa kukenali lagi. Lebih dari itu
tak bisa kupastikan apa dia akan datang ke sini
atau tidak."
"Siapa namanya...?!"
Mata Malaikat terdiam sejenak seolah ber-
pikir. Tak lama kemudian dia menjawab. "Saat la-
hir ke dunia dia bernama Panjalu. Entah jika seka-
rang sudah berganti. Bertahun sudah aku menca-
rinya. Namun karena wajahnya sudah tak kukena-
li lagi, aku jadi kerepotan!"
Kamaratih manggut-manggut. Perempuan
berambut kepang ini kerutkan kening seolah ikut
berpikir.
"Mata Malaikat! Kalau kau sampai berta-
hun-tahun mencarinya, tentu orang itu sangat
berharga bagimu!"
"Lebih dari intan berlian. Karena dia adalah
anakku!"
"Heran. Sebagai bapak, mengapa bisa tak
mengenali anaknya?"
Mata Malaikat kembali tengadahkan kepala.
Wajahnya nampak berubah agak murung. Setelah
agak lama terdiam akhirnya dia berkata juga.
"Kau tak perlu heran. Sebab anak itu dicu-
lik orang semenjak berusia enam bulan! Yang pa-
tut diherankan, kenapa orang menculik anakku.
Padahal aku merasa tak punya musuh! Semua
orang rimba persilatan kuanggap sahabatku!"
Kamaratih ikut-ikutan tengadahkan kepala.
Wajahnya pun tampak berubah seolah larut dalam
derita yang dialami Mata Malaikat.
"Sobatku, Mata Malaikat. Meski kau tak
mengenali anakmu, namun setidak-tidaknya kau
bisa mengenali dari ciri-cirinya yang tidak mung-
kin dihilangkan. Apakah dia punya ciri-ciri terten-
tu?!"
Mata Malaikat manggut-manggut. "Memang.
Meski aku tak mengenali wajahnya, aku masih ya-
kin bisa menemukannya. Karena dia memang
punya ciri tertentu yang tak bisa dihapus...," seje-
nak Mata Malaikat hentikan keterangannya, lalu
melanjutkan. "Dia mempunyai tahi lalat hijau se-
besar uang logam di lehernya!"
Tiba-tiba Kamaratih keluarkan seruan ter-
tahan, membuat Mata Malaikat berpaling. Sejurus
kakek ini menangkap perubahan pada wajah pe-
rempuan di hadapannya. Dengan dahi berdebar,
dia berujar.
"Kamaratih. Wajahmu berubah. Ada apa?!"
Kamaratih tidak segera menyambuti perta-
nyaan Mata Malaikat. Sebaliknya sepasang ma-
tanya memandang ke wajah si kakek seperti orang
yang baru mengenal, membuat yang dipandang ja-
di salah tingkah.
Karena ditunggu agak lama Kamaratih tak
juga buka mulut, akhirnya Mata Malaikat kembali
ajukan pertanyaan. Seakan baru tersadar, Kama-
ratih kerjapkan sepasang matanya lalu berkata.
"Mata Malaikat. Aku rasa-rasanya pernah
bertemu orang yang ciri-cirinya seperti kau sebut!"
Saking kaget bercampur gembira, serta-
merta Mata Malaikat melompat ke depan. Kedua
tangannya cepat memegang pundak Kamaratih,
diguncang-guncang sambil berkata.
"Di mana? Kapan? Katakan!"
Kamaratih gelengkan kepalanya, membuat
Mata Malaikat nyengir dan perlahan-lahan tan-
gannya turun. Bukan langsung ke bawah melain-
kan ke dada Kamaratih, membuat perempuan ini
makin keras geleng-gelengkan kepalanya. Mata
Malaikat jadi heran dan kernyitkan dahi. Dalam
hati kakek ini membatin.
"Perempuan aneh. Ditanya menggeleng, tak
ditanya makin menggeleng!"
"Mata Malaikat! Kau ini mau tanya apa mau
meraba-raba!" tiba-tiba Kamaratih menegur karena
dibiarkan makin lama tangan Mata Malaikat ma-
kin tak mau meninggalkan dada perempuan di ha-
dapannya itu.
"Astaga!" keluh Mata Malaikat sambil sen-
takkan tangannya dari dada si perempuan lalu di-
kibas-kibaskan. Entah karena terbawa perasaan,
tanpa sengaja kedua tangan kakek ini memegang
dada Kamaratih hingga perempuan ini geleng-
gelengkan kepalanya.
"Jadi gelengan kepalanya tadi bukan karena
tak tahu, tapi karena tak mau! Ha.... Ha.... Ha...!
Dasar tangan tak punya mata!"
"Kamaratih. Maaf. Bukan kusengaja. Tapi
dasar tangan tak bermata! Sekarang katakanlah,
di mana dan kapan kau bertemu orang itu?!"
Kamaratih menguasai diri karena dadanya
terasa berdebar-debar akibat pegangan kedua tan-
gan Mata Malaikat yang tak disengaja tadi. Setelah
agak lama baru dia berkata.
"Kapan dan di mana aku lupa. Yang pasti
aku sempat beberapa kali bertemu dengannya. Dia
bersama seorang perempuan cantik. Dalam rimba
persilatan perempuan itu bergelar Bidadari Penye-
bar Cinta!"
Mata Malaikat terlonjak saking kagetnya,
Dia buru-buru melangkah maju mendekati Kama-
ratih, namun kedua tangannya ditarik ke bela-
kang, membuat Kamaratih tersenyum.
"Kau tidak bercanda, Kamaratih?!"
"Aku tahu mana urusan penting dan uru-
san canda!"
Mata Malaikat tepuk jidatnya. "Bodoh! Bo-
doh! Dasar otak butek!" makinya berulangkali.
"Hai! Ada apa dengan kau?!" seru Kamara-
tih.
"Aku harus pergi sekarang! Terima kasih
atas keteranganmu! Lain kali kita jumpa lagi dan
omong-omong panjang lebar. Tapi sebelum aku
pergi, ada sesuatu yang harus kau ketahui!" ujar
Mata Malaikat dengan wajah sungguh-sungguh,
membuat Kamaratih cepat bertanya.
"Tentang apa?!"
"Aku tadi berdusta padamu! Sebenarnya pe-
liharaanku masih sanggup manggung! Kau boleh
buktikan nanti setelah urusanku beres!"
Kamaratih mendelik dengan wajah merah.
Kedua tangannya segera dipukulkan ke depan.
Tapi yang dipukul telah berkelebat terlebih dahulu
dengan meninggalkan tawa bergelak.
"Dasar tua bangka edan!" maki Kamaratih.
"Lagi pula siapa percaya peliharaan kakek-kakek
sepertimu masih bisa manggung?!"
Sejenak Kamaratih memandang ke arah
berkelebatnya Mata Malaikat, setelah menarik na-
pas dalam, dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu.
SEMBILAN
KITA kembali pada Pendekar Mata Keran-
jang yang berkelebat menyusul gurunya, Wong
Agung.
Pada suatu tempat agak jauh dari kawasan
Sungai Siluman, orang yang berkelebat dahulu
yang ternyata adalah seorang kakek berambut dan
berjenggot putih panjang, mengenakan jubah pu-
tih, sepasang mata ditutup oleh sepotong kulit
yang dilekatkan ke belakang kepalanya dan me-
mang Wong Agung adanya hentikan larinya. Lalu
putar tubuh dan duduk di tanah. Sepasang ma-
tanya memandang tajam ke depan, di mana tam-
pak muridnya Aji berlari mendatangi lalu duduk
lima langkah di hadapannya setelah terlebih dahu-
lu menjura hormat.
"Eyang.... Dari mana kau tahu kalau aku
berada di sini?!" tanya Aji, mengutarakan kehera-
nannya.
"Hanya dugaan saja, Aji," jawab Wong
Agung. "Dari selentingan berita, kudengar berita
mengenal Bukit Siluman dan geger Lembaran Kulit
Naga Pertala. Aku yakin, kau akan terlibat di da-
lamnya. Kau tahu, Bukit Siluman adalah tempat
yang berbahaya. Oleh karena itu, aku buru-buru
menyusulmu untuk memperingatkan agar kau le-
bih berhati-hati. Untung di tengah jalan aku ber-
temu dengan Gongging Baladewa dan Dewi Ka-
yangan. Mereka memberitahukan di mana adanya
kau...!"
Aji manggut-manggut dengan mulut cengar-
cengir.
"Siapa pemuda berjubah merah tadi?!" tiba-
tiba Wong Agung ajukan tanya setelah meman-
dangi muridnya hingga beberapa lama.
"Dia bergelar Utusan Iblis!"
"Apa hubungannya dengan Mata Malaikat?!"
kembali Wong Agung ajukan pertanyaan.
Aji sesaat terdiam. "Berarti dia telah agak
lama di sekitar tempat perkelahian itu, karena dia
tahu urusan Mata Malaikat," batin Aji menduga.
Sebenarnya Wong Agung belum begitu lama bera-
da di sekitar tempat Aji dari Utusan Iblis bentrok.
Dia hanya sempat mendengar bagian terakhir per-
cakapan Utusan Iblis yang menyebut-nyebut Mata
Malaikat, lalu dia keburu mempermainkan Utusan
Iblis untuk mengalihkan perhatiannya yang saat
itu hendak turunkan tangan maut pada muridnya.
"Eyang...," kata Aji pula. "Utusan Iblis men-
cari Mata Malaikat. Sialnya aku diduga adalah
orang yang bergelar Mata Malaikat. Aku sendiri he-
ran, siapa yang mengatakan hal itu!"
"Rimba persilatan dari dulu tidak berubah!
Penuh dengan kelicikan serta saling lempar sem-
bunyi tangan...," ujar Wong Agung seolah berkata
pada dirinya sendiri. "Hem.... Kulihat di kawasan
ini telah banyak orang berkeliaran. Kau harus
waspada dan cepat bertindak, Aji!"
Pendekar Mata Keranjang manggut-
manggut, meski hatinya saat itu mulai dirasuki
perasaan khawatir tentang kipasnya yang dibawa
Setan Pesolek. Pemuda ini hendak mengutarakan
perasaannya pada sang guru, namun sebelum dia
sempat berkata, si Wong Agung telah buka mulut
lagi.
"Selama perjalananmu ini, apakah kau
memperoleh sesuatu yang menyangkut lembaran
kulit itu?"
"Benar, Eyang! Aku sempat bertemu dengan
Setan Pesolek dan seorang nenek bergelar Peri Ku-
pu-kupu. Mereka berdua memberikan petunjuk
padaku. Hanya saja aku belum bisa mengartikan
petunjuk itu!" Aji lalu mengatakan petunjuk yang
dikatakan Setan Pesolek dan Peri Kupu-kupu.
"Dasar orang-orang aneh! Memberi petun-
juk pun aneh-aneh...," gerutu Wong Agung setelah
mendengar petunjuk yang dikatakan muridnya.
"Aku juga tak bisa memecahkan petunjuk itu....
Tapi petunjuk itu kuyakin pasti benar jika yang
mengatakannya adalah Setan Pesolek dan Peri
Kupu-kupu! Aku tahu siapa adanya Peri Kupu-
kupu!"
"Tapi, Eyang...."
"Apa?!"
Aji sejenak bimbang, namun ketika dilihat-
nya Wong Agung memandangnya lekat-lekat, ak-
hirnya Aji menceritakan pertemuannya dengan Se-
tan Pesolek hingga Setan Pesolek pergi dengan
membawa kipasnya.
"Celaka!" tiba-tiba Wong Agung mengeluh.
"Ada yang tidak beres dalam hal ini!"
Ucapan Wong Agung membuat Aji terkejut
besar. Dadanya berdebar keras. Malah keringat
dingin mulai mengalir membasahi tubuhnya.
"Kau yakin betul orang itu adalah Setan Pe-
solek?!" tanya Wong Agung. Kali ini suaranya keras
menusuk, membuat debaran dada Aji makin ke-
ras.
"Melihat ciri-cirinya aku yakin dia Setan Pe-
solek, Eyang!"
"Lalu apa yang dikatakannya padamu saat
itu?!" tanya Wong Agung pula. Suaranya makin ke-
ras dan parau.
"Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya aku
disuruh mengulangi petunjuk yang beberapa wak-
tu sebelumnya dikatakan padaku!"
"Jelas sudah!" sahut Wong Agung seolah
mengeluh.
"Apanya yang jelas, Eyang?!"
"Aji! Jelas jika kau dikibuli orang! Kau keco-
longan dua hal besar, Aji! Kipas ungu 108 dan pe-
tunjuk itu!"
Telinga Aji laksana disambar petir di siang
hari. Tubuhnya menggigil dengan mulut terkanc-
ing rapat. Sementara Wong Agung sendiri geleng-
geleng kepala dengan mulut bergumam tak jelas,
lalu berulangkali tampak menghela napas panjang
dan dalam.
Untuk beberapa lama kedua orang murid
dan guru ini sama-sama diam dengan dada dibuncah perasaan masing-masing.
"Hem.... Aku ingat sekarang," ucap Pende-
kar 108 dalam hati. "Saat itu keparat yang berke-
dok Setan Pesolek suaranya agak ditahan. Dan
mendorongku sampai jatuh terjengkang. Dan dia
pun berdiri di tempat yang remang-remang! Jaha-
nam betul! Siapa bangsat berkedok Setan Pesolek
itu?! Jelek benar nasibku.... Lembaran kulit belum
bisa kudapatkan, senjataku telah dibawa orang.
Lebih dari itu petunjuk lembaran kulit itu juga te-
lah diketahui orang.... Apa yang harus kulakukan
sekarang?!"
"Aji! Semuanya telah terjadi. Penyesalan se-
tinggi langit tak ada gunanya dan tak menyelesai-
kan urusan! Satu-satunya jalan, kau harus segera
menyelidik bukit itu, sekaligus pasang telinga
mencari tahu siapa adanya orang yang mengela-
buimu! Tugasmu memang makin berat. Tapi itu
harus kau jalani! Jadikanlah kejadian ini sebagai
peringatan bagi langkahmu selanjutnya! Aku ha-
rus meninggalkanmu. Waspadalah! Kulihat banyak
orang berkeliaran di kawasan ini. Tujuan mereka
pasti kau sudah tahu!"
"Eyang.... Bisa kau katakan ciri-ciri yang
bergelar Mata Malaikat itu?!" ujar Aji begitu meli-
hat gurunya bangkit dan hendak meninggalkan
tempat itu.
"Manusia yang bergelar Mata Malaikat itu
mempunyai kelainan pada matanya. Dua-duanya
cacat, tapi cacat yang berbeda oleh karena itu, dia
lebih sering memejamkan matanya."
Habis berkata begitu, Wong Agung berkele
bat tinggalkan tempat itu.
"Sialan betul! Jadi orang tua itu yang berge-
lar Mata Malaikat! Bukan tak mungkin jika dia
yang mengatakan pada Utusan Iblis jika aku ada-
lah Mata Malaikat! Orang tua kurang ajar! Tak be-
rani tunjukkan diri malah mengumpankan orang
lain! Walah, nasibku benar-benar lagi tidak mu-
jur...," gumam Pendekar 108 sendirian seraya
bangkit lalu melangkah perlahan meninggalkan
tempat itu. Namun gerakan kakinya tertahan
tatkala tiba-tiba terdengar siulan lirih dari arah be-
lakang.
Pendekar 108 putar diri. Mendadak mulut-
nya menguncup ke depan, lalu terdengar siulan
panjang, sementara sepasang matanya terpentang
lebar-lebar memandang ke depan.
SEPULUH
SEORANG di hadapan Pendekar 108 per-
dengarkan suara tawa merdu. Sebelah matanya
dikedipkan, lalu kedua tangannya diangkat mera-
pikan rambutnya. Bibirnya yang merah mencorong
tersenyum. Dengan sedikit goyangkan pinggulnya
dia melangkah mendekat ke arah Aji.
"Sayang. Siapa namamu?!" tanyanya sambil
memperhatikan Aji dari kaki hingga rambut.
Murid Wong Agung jerengkan sepasang ma-
tanya sambil usap-usap hidungnya dan tersenyum. Namun sesaat kemudian senyumnya pu-
pus, membuat orang di hadapan Aji yang ternyata
adalah perempuan setengah baya berambut ke-
pang dan bukan lain adalah Kamaratih hentikan
langkah dengan kening berkerut.
"Pemuda tampan! Kau ini aneh. Sekilas tadi
kau cengar-cengir, namun tiba-tiba kau pasang
tampang seperti orang mau buang air. Ada apa?!
Apakah paras cantikku ini yang membuatmu be-
rubah?!"
Aji tidak menyahuti ucapan Kamaratih.
Tampaknya kejadian yang baru saja menimpa di-
rinya hingga menyebabkan senjata dan petunjuk
berharga diambil dan diketahui orang membuat
murid Wong Agung ini menjadi hati-hati dan ber-
tindak waspada.
"Kau tak mau jawab tanyaku tak apa.
Hanya sayang jika perjumpaan indah ini berakhir
tanpa kenangan! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Maukah kau menerangkan siapa dirimu?!"
tanya Pendekar Mata Keranjang pada akhirnya.
Kamaratih kembali kerdipkan sebelah ma-
tanya. "Pada anak tampan seperti kau, akan kutu-
ruti segala maumu! Semua permintaanmu! Kau
mau minta apa? Katakanlah dan tunjuk yang ma-
na!" kata Kamaratih sambil geliatkan tubuhnya
membuat murid Wong Agung ini dadanya berdebar
dan jakun turun naik.
"Aku mau tahu siapa dirimu!" ujar Aji.
"Hanya itu? Tidak ada yang lain-lain? Atau
kau malu-malu menunjuk?!"
"Urusan tunjuk-tunjukan kita bicarakan
nanti setelah kau menerangkan siapa dirimu. Aku
khawatir, jangan-jangan kau bangsa hantu yang
berkeliaran di pagi hari...."
"Hik.... Hik.... Hik...! Jadi kau menduga aku
begitu? Dugaanmu itu pulakah yang membuatmu
mendadak bertampang norak?! Sebelum aku me-
nerangkan siapa diriku, apakah kau ingin memas-
tikan bahwa aku bukan hantu?!" habis berkata
begitu, kedua tangan Kamaratih terangkat ke da-
da, dan serta-merta tangan itu membuka kancing-
kancing baju hijaunya. Di lain kejap murid Wong
Agung mendelik silau melihat dua buah payudara
besar putih kencang di depan hidungnya.
Kamaratih cekikikan, lalu teruskan tangan-
nya membuka kancing-kancing bajunya.
"Edan! Bagaimana mungkin orang berusia
sekian dadanya masih begitu bagus?" batin Aji da-
lam hati. Dan begitu melihat Kamaratih terus
membuka kancing-kancing bajunya, Pendekar 108
segera berujar.
"Cukup! Cukup.... Aku percaya. Harap tu-
tup kembali buah-buahan itu!"
"Tak menyesal tidak melihat semuanya?
Atau barangkali kau masih malu-malu?"
Pendekar 108 geleng-gelengkan kepalanya
meski dadanya bergetar makin keras dan aliran
darahnya menggelegak. "Sekarang harap kau suka
terangkan siapa dirimu...."
Kamaratih tertawa cekikikan dahulu sebe-
lum menjawab.
"Orang-orang memanggilku Kamaratih....
Sekarang giliranmu untuk sebutkan diri!"
"Tapi tutup dulu buah-buahan putih itu.
Kalau hantu sungai ada yang bermata bongsang,
bisa celaka!" kata Aji sambil naikkan kedua alis
matanya.
"Kau benar-benar tak berhasrat menyen-
tuhnya barang sekejap?"
"Hasrat memang ada. Tapi itulah. Aku takut
penyakitku kambuh!"
"Hik... Hik.... Hik...! Jadi kau penyakitan.
Mungkin kau sembarang pilih orang.... Kasihan!
Boleh aku lihat bagaimana kalau sedang penyaki-
tan...?"
"Bukan itu maksudku! Aku selalu terkenc-
ing-kencing dulu jika menyentuh...."
Tawa Kamaratih makin keras mendengar
ucapan Aji. "Kau masih berdusta padaku!"
"Berdusta?!" ulang Aji agak heran. Sebalik-
nya Kamaratih terus cekikikan sebelum akhirnya
berkata. "Sebelum menyentuh pun kulihat cela-
namu sudah basah kunyup.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Tanpa sadar, murid Wong Agung ini raba
celananya. "Gila! Apa mata nenek menor ini sudah
kabur? Celanaku masih kering. Dan kurasa belum
setetes pun kencingku keluar...."
"Tak usah cemas, Anak Muda! Celanamu ti-
dak basah. Aku hanya ingin lihat apakah kau
punya senjata andalan! Aku tadi khawatir, kau
menolak tawaranku karena kau tak punya senjata
andalan. Sekarang aku percaya. Kau masih punya
itu.... Hik.... Hik.... Hik...!"
"Edan! Aku kena kibulnya...," rutuk Aji ak-
hirnya ikut tertawa.
"Hem.... Sekarang giliranmu, Anak Muda!"
"Giliran apa?!"
"Sebutkan diri, lalu katakan apa perlumu di
sini juga jelaskan kau ke sini sama siapa!"
"Aduh. Pertanyaanmu banyak sekali. Pa-
dahal kau tadi cuma sebutkan siapa dirimu tak
menyebutkan perlunya di sini, juga tak menje-
laskan sama siapa ke sini...," kata Pendekar Mata
Keranjang sambil usap-usap hidungnya.
"Aku akan terangkan nanti...," sahut Kama-
ratih.
"Hem.... Namaku Aji. Di sini aku tak punya
perlu apa-apa. Datang ke sini tiada teman tiada
siapa!"
"Hem.... Kali ini baru benar-benar kau ber-
dusta! Jangan kira aku tak tahu, Aji! Bukankah
kedatanganmu ke sini perlu ikut berpacu merebut
lembaran kulit itu? Benar bukan?!"
Karena Aji tak menjawab, akhirnya Kamara-
tih melanjutkan ucapannya. "Kawasan ini seka-
rang tidak lagi sepi, Aji! Memang, jika dipandang
sepintas tampaknya sunyi tak ada orang. Namun
di balik itu, banyak mata mengintip. Tubuh men-
dekam dan dada berdebar-debar!"
"Hem.... Rupanya nenek menor ini telah ta-
hu semuanya. Tapi aku tetap harus berhati-hati!"
"Bibik Cantik...!" kata Aji seraya senyum-
senyum. "Tujuan utamaku ke sini sebenarnya bu-
kan untuk urusan lembaran kulit itu. Tapi untuk
mencari seseorang bergelar Mata Malaikat...."
"Hai...!" seru Kamaratih kesenangan men-
dengar dirinya dipanggil Aji dengan sebutan Bibik
Cantik. "Kau bilang mencari kakek itu. Ada apa ge-
rangan?"
"Orang tua kurang ajar itu telah mencela-
kakanku! Akan kucabuti seluruh bulu-bulu ram-
butnya jika sampai ketemu!"
"Seluruhnya?"
"Ya! Seluruhnya! Tanpa ada yang terkecua-
li!!"
"Hik.... Hik.... Hik....! Kau betul-betul anak
bodoh! Mau-maunya mencabuti bulu-bulu kakek-
kakek! Tapi ditawari yang bagus-bagus menolak!
Aku jadi curiga padamu!"
"Curiga apa?!"
"Jangan-jangan kau laki-laki yang tertarik
pada kakek-kakek! Hik.... Hik.... Hik...! Tapi kuin-
gatkan kepadamu. Jangan kau keburu menduga
yang tidak-tidak pada orang tua itu!"
"Hem.... Kau membelanya? Bibik Cantik!
Kini aku yang khawatir padamu?"
"Khawatir apa?!"
"Jangan-jangan kau yang mendahuluiku
mencabuti bulu-bulunya! Ha.... Ha.... Ha...! Atau
barangkali kau kekasihnya?!"
"Ah.... Kau tak tahu, Anak Muda! Jelek-jelek
begini, aku punya simpanan beberapa pemuda
yang siap pakai! Kalau suka kau pun bisa menjadi
simpananku! Kau mau..,?!"
"Tawaranmu banyak sekali, Bibik Cantik!
Tapi sayang, aku belum berselera. Kapan-kapan
kalau seleraku timbul, aku akan mencarimu. Se-
karang aku harus pergi...."
"Tunggu! Kau betul-betul hendak mencari
orang tua itu?!" tanya Kamaratih menahan keper-
gian Aji. Murid Wong Agung anggukkan kepalanya.
"Ingat, Anak Muda! Aku tahu siapa Mata
Malaikat. Dia orang baik!"
"Itu karena kau tak pernah dikerjainya! Se-
dang aku? Merasakan sendiri akibat ulahnya! Ma-
lah nyawaku hampir kabur karenanya!"
Kamaratih dongakkan kepala sambil per-
dengarkan suara tawa pelan.
"Anak muda! Jangan kau lihat seseorang
dari tindakannya, tapi lihat apa yang ada di balik
tindakannya itu! Terkadang, kelihatan tindakan-
nya jelek bahkan merugikan kita. Tapi di balik se-
mua itu sebenarnya ada hal baik yang tersem-
bunyi! Sebaliknya, tampaknya dia berbuat baik,
namun di balik itu ada niat jahat yang ditutupi!"
"Tapi aku tak melihat adanya kebaikan di
balik tindakan setan tua itu!"
"Untuk membuktikannya memang diperlu-
kan waktu, Anak Muda!"
"Bibik Cantik sendiri perlu apa di sini?!"
Pendekar Mata Keranjang alihkan pembicaraan.
"Menunggu seseorang!"
"Kakek-kakek, ya?"
"Betul!" jawab Kamaratih singkat, membuat
Aji senyum-senyum.
"Bibik Cantik! Kau tadi bilang punya sim-
panan beberapa pemuda. Tentunya kakek ini san-
gat istimewa hingga kau sampai menunggunya!"
"Sangat istimewa dan bersejarah!"
"Wah, pasti permainannya hebat sampai
berkesan begitu mendalam di hatimu!"
"Memang dia tiada duanya di dunia ini! Tapi
sayang...," Kamaratih tak lanjutkan ucapannya,
membuat Aji cepat menyahut.
"Sayang apanya?!"
"Pertemuan kali ini adalah yang terakhir!
Karena tanganku sendiri yang akan mengubur-
nya!"
"Ah.... Kenapa ekornya jadi jelek begitu, Bi-
bik Cantik?!"
"Aku tak mau tahu! Mungkin itu sudah
takdirnya!"
"Boleh kutahu, siapa orang yang kau tung-
gu itu?!"
Kamaratih memandang Pendekar Mata Ke-
ranjang lekat-lekat seraya sunggingkan senyum la-
lu gelengkan kepala. "Itu urusanku, Anak Muda!
Kalau kau ingin tahu, lainnya saja. Misalnya uru-
san senang-senang denganku...."
"Edan! Itu lagi, itu lagi!" gumam Aji dalam
hati. Lalu pemuda ini berkata. "Bibik Cantik! Uru-
san senang-senang kita bicarakan kapan-kapan.
Bukankah kau tadi bilang di kawasan ini banyak
mata mengintip, banyak tubuh mendekam. Kalau
kita sampai diintip mereka, bisa berantakan se-
muanya! Kalau ada waktu baik, tempat baik, kita
bicarakan lagi...."
"Hem.... Rupanya kau tak tahu, Anak Muda!
Sebenarnya sudah sejak tadi kita diintip orang!
Kau ingin tahu?!"
Belum sampai Aji memberi tanggapan uca-
pan Kamaratih, perempuan berambut kepang ini
telah gerakkan tangan kanannya mendorong ke
arah samping. Saat itu juga terdengar deruan dah-
syat, di kejap lain gelombang angin deras melesat
menerabas kerimbunan semak.
Bersamaan dengan menerabasnya pukulan
ke arah tanaman, terdengar seruan tertahan. Lalu
murid Wong Agung melihat sesosok tubuh melesat
ke udara. Setelah membuat gerakan jumpalitan ti-
ga kali, sosok itu mendarat delapan langkah di ha-
dapan Aji dan Kamaratih.
Untuk beberapa lama sepasang mata Aji
memperhatikan. Tiba-tiba mulutnya membuka.
"Kau...!" ujarnya begitu dapat mengenali
siapa adanya orang.
SEBELAS
DI hadapan Aji dan Kamaratih, saat itu te-
gak seorang gadis muda mengenakan pakaian
warna kuning. Paras wajahnya cantik, sepasang
matanya bulat dan berhidung mancung. Rambut-
nya panjang dikuncir dengan menggunakan ikat
kepala yang juga berwarna kuning.
Gadis cantik bukan lain adalah Drupadi se-
jenak memandang silih berganti pada Aji dan Ka-
maratih. Pandangan matanya tampak aneh, malah
ketika pandangannya tepat pada Kamaratih gadis
ini sedikit membelalak dan tatapannya seolah me-
nyelidik.
Kamaratih sendiri tampak terkejut melihat
Aji sudah mengenali siapa adanya si gadis, Perem-
puan setengah baya ini tak menghiraukan pan-
dangan Drupadi, dia malah berpaling pada Aji dan
berkata sambil tersenyum.
"Anak muda. Tampaknya kau sudah men-
genalnya...."
"Kami pernah berjumpa!" Yang menyahut
adalah Drupadi. Gadis ini lantas alihkan pandan-
gannya pada Aji. Untuk beberapa saat kedua orang
ini saling bentrok pandang.
"Pendekar 108.... Dia akhirnya datang juga
ke kawasan ini. Apakah dia sengaja menyusulku
atau ada keperluan lain...? Tapi kenapa bersama-
sama dengan Kamaratih? Apakah mereka.... Ah...!"
perasaan gadis ini disarati dengan berbagai du-
gaan dan pertanyaan.
Kalau Drupadi membatin demikian, diam-
diam dalam hati Aji pun berkata. "Kulihat peruba-
han pada gadis ini. Apakah sudah sejak tadi dia
mencuri dengar percakapanku dengan nenek me-
nor ini?"
Kamaratih berpaling pada Drupadi. Lalu
bertanya.
"Drupadi! Apakah bangsat itu sudah keliha-
tan batang hidungnya?"
Drupadi tidak segera buka mulut untuk
menjawab, meski tahu siapa yang dimaksud bang-
sat oleh Kamaratih. Seperti dituturkan dalam epi-
sode sebelumnya (Baca serial Pendekar Mata Ke-
ranjang dalam episode : "Bukit Siluman"), dalam
pertemuan dengan Kamaratih, nenek berambut
kepang ini mengatakan mencari gurunya Drupadi,
yakni Manusia Neraka.
Melihat orang yang ditanya tidak menjawab,
Kamaratih tampak sedikit melebarkan sepasang
matanya. Dia buka mulut kembali hendak menga-
jukan tanya tapi Drupadi telah mendahului sambil
gelengkan kepala.
"Bibik.... Aku belum melihatnya...."
Kamaratih tertawa bergelak mendengar
Drupadi ikut-ikutan memanggil Bibik seperti yang
diucapkan Aji.
"Gara-gara si tampan ini kau ikut-ikutan
memanggilku Bibik.... Tapi tak apa, aku suka
panggilan itu...," ujar Kamaratih dengan melirik
pada Aji.
Yang dilirik senyum-senyum sambil usap-
usap hidungnya, membuat Drupadi memberengut.
Dada gadis ini sedikit panas melihat dua orang di
hadapannya saling senyum serta saling lirik.
Bayangan kecemburuan jelas tampak di wajahnya.
Hingga sesaat kemudian gadis ini alihkan pandan-
gannya pada jurusan lain.
"Hai.... Kau bilang telah pernah jumpa. Tapi
kau tak bertegur sapa. Ada apa di antara kalian
sebenarnya?" tegur Kamaratih setelah mengetahui
sikap Drupadi.
"Benar, Bibik. Kami memang pernah jumpa.
Dan di antara kami tidak ada apa-apa!" yang men-
jawab kali ini adalah Pendekar Mata Keranjang se-
raya memandang pada Drupadi.
Tiba-tiba Kamaratih perdengarkan suara
tawa cekikikan, membuat Drupadi dan Aji sama-
sama berpaling.
"Anak muda!" kata Kamaratih pada Aji.
"Aku tahu. Mungkin Drupadi cemburu padaku!
Hik.... Hik.... Hik...! Hatinya panas karena kita be-
rada berdua-duaan. Ayo! Sekarang katakan pa-
danya, bahwa kita hanya omong-omong. Tak lebih
dari itu!"
Aji jadi tergagu diam mendengar ucapan
Kamaratih, sementara wajah Drupadi tampak be-
rubah merah mengelam. Mulut gadis itu mengelu-
arkan gumaman tak jelas.
"Hei! Disuruh bicara kenapa diam? Ah, se-
belum dia datang, bicaramu banyak sekali, tapi se-
telah dia di hadapanmu kau seperti orang tak bisa
bicara! Kau malu, ya?! Apakah aku yang harus bi-
cara padanya?"
"Edan! Nenek menor ini benar-benar men-
gerjai ku! Awas kau!" ancam Aji dalam hati. Dan
sebelum dia sempat bicara, Kamaratih telah men-
dahului.
"Drupadi.... Hilangkan prasangka buruk di
hati. Meski kami berdua bersepi-sepi. Namun kami
tak melakukan hal tak terpuji. Kalau kau masih
cemburu di hati. Kau akan merugi sendiri...."
Mendengar nada bicara Kamaratih, murid
Wong Agung geleng-geleng kepala, sedangkan
Drupadi makin merah. Namun diam-diam gadis ini
merasa lega.
"Bibik.... Kau jangan terus menggodaku...!"
kata Drupadi pada akhirnya. Wajahnya kembali
cerah, meski kini tak berani memandang langsung
pada Pendekar Mata Keranjang.
Kamaratih tersenyum genit. Lalu melangkah
mendekati Drupadi. Setelah dekat dia berbisik.
"Drupadi.... Aku telah mengalami pahit ge-
tirnya cinta. Aku tanya padamu. Apakah kau telah
betul-betul menyelidik siapa sebenarnya pemuda
itu?! Kau jangan salah pilih, Drupadi. Agar kau tak
menyesal kelak kemudian hari!"
Meski perasaannya tak enak, akhirnya Dru-
padi menjawab juga.
"Bibik.... Kalau dia sudah disebut orang se-
bagai seorang pendekar, apakah masih perlu dira-
gukan?!"
Kamaratih mengernyitkan dahi. Lalu con-
dongkan mukanya pada Drupadi dan berbisik lagi.
"Pendekar? Pendekar siapa dia?!"
"Apa dia tadi tak mengatakan padamu?!"
Drupadi balik bertanya.
"Mana ada seorang pendekar yang mau
mengaku-aku! Katakan padaku, pendekar siapa
kekasihmu itu?!"
Drupadi tersipu-sipu mendengar ucapan
perempuan setengah baya itu. Setelah dapat men-
guasai gejolak hatinya dia berkata.
"Dialah yang digelari rimba persilatan den-
gan Pendekar Mata Keranjang!"
Saking kagetnya, Kamaratih berseru terta-
han. Lalu tiba-tiba saja ia melangkah lagi ke arah
Aji. Kira-kira lima langkah dari hadapan Pendekar
108 perempuan ini bungkukkan sedikit tubuhnya
membuat gerakan seperti orang menjura hormat
sambil berkata.
"Tak disangka jika kau adalah seorang pen-
dekar bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 yang
dibicarakan kalangan rimba persilatan. Aku gem-
bira sekali dapat jumpa dengan kau, Pendekar
108. Terimalah hormatku dan maafkan segala
ucapanku yang mungkin tadi ada yang tidak ber-
kenan di hati."
Aji jadi serba salah. Setelah menghela napas
panjang akhirnya murid Wong Agung ini ikut
bungkukkan tubuh dan berujar.
"Sebenarnya aku hanyalah, orang biasa.
Hanya orang-orang yang menyebutku demikian.
Padahal, ilmuku masih sedangkal mata kaki! Lagi
pula aku sekarang tak pantas digelari Pendekar
108!"
Kamaratih terkejut mendengar kata terakhir
Aji, demikian juga Drupadi. Apalagi tatkala dilihat-
nya wajah Aji berubah membayangkan kecewa dan
beban berat.
"Pendekar 108! Seorang pendekar biasanya
memang selalu merendah...," ucap Kamaratih den-
gan memandang tajam pada Aji.
"Ucapanmu benar, Bibik Cantik. Tapi seper-
ti kataku tadi, sekarang aku tak pantas digelari
Pendekar 108!"
"Mengapa bisa begitu?" tanya Drupadi ikut
bicara. "Kipas ungu 108 telah lepas dari tangan
ku!' Aji memutuskan berterus-terang pada kedua
orang di hadapannya karena dia yakin dua orang
itu orang baik-baik. Juga berharap siapa tahu di
antara keduanya nanti bisa membantu, setidak-
tidaknya memberitahu siapa adanya orang yang
telah berhasil membawa lari kipasnya.
Baik Kamaratih maupun Drupadi melengak
kaget.
"Kau tidak sedang bercanda bukan, Anak
Muda?!" tanya Kamaratih seolah masih belum per-
caya dengan keterangan Aji. Malah Drupadi segera
menimpali. "Kau jangan membuat kami deg-degan
dengan keteranganmu!"
Aji gelengkan kepalanya. "Aku bersungguh-
sungguh!"
Kamaratih dan Drupadi sama-sama mena-
rik napas panjang.
"Apakah kau mencurigai Mata Malaikat
hingga kau tadi mengatakan sedang mencarinya?"
tanya Kamaratih setelah diam agak lama.
"Urusan dengan Mata Malaikat perihal
lain.... Namun tak tertutup kemungkinan orang
yang menyamar sebagai Setan Pesolek dan mem-
bawa lari kipas itu adalah dia!"
"Hem.... Kau harus berhati-hati dalam me-
nyelidik urusan pelik ini, Anak Muda. Kuasai tin-
dakan! Jangan sampai salah turunkan tangan.
Sebab siapa pun orangnya yang membawa kipas
itu, saat ini pasti mencari kambing hitam! Malah
tidak mustahil jika dia akan melempar fitnah pada
orang lain, hingga timbul kesimpangsiuran. Jika
itu terjadi, urusan ini akan makin sulit dijejaki!
Lebih dari itu kau akan menemui jalan buntu!"
"Itulah yang saat ini membelit pikiranku,
Bibik...," ujar Aji dengan suara pelan.
"Sayang, saat ini aku sendiri sedang terbe-
lenggu dengan urusan yang belum selesai. Sean-
dainya...," Kamaratih tak melanjutkan ucapannya.
Sebaliknya perempuan setengah baya ini angkat
tangan kanannya, membuat Drupadi dan Aji
memperhatikan dengan kening sama-sama men-
gernyit.
"Kawasan ini akan tambah semarak.... Seo-
rang pendatang muncul lagi. Lihat ke sebelah ti-
mur!" desis Kamaratih.
Serentak murid Wong Agung dan Drupadi
arahkan pandangan mata masing-masing ke arah
timur. Dari tempat mereka, mata mereka menang-
kap sesosok bayangan berlari cepat menuju ke
arah mereka.
Pendekar Mata Keranjang dan Drupadi se-
jenak saling pandang.
"Kita belum tahu siapa dia. Namun sedikit
banyak kita tahu apa tujuannya orang itu ke tem-
pat lain. Apa tidak sebaiknya untuk sementara ki-
ta menghindar? Biar urusan tidak bertambah pan-
jang dan makin ruwet!" usul Aji seraya meman-
dang pada Kamaratih.
Kamaratih turunkan tangan kanannya lalu
menggeleng perlahan.
"Dia datang dengan terang-terangan. Itu
menunjukkan bahwa dia orang yang tidak punya
musuh. Dan belum tentu punya kepentingan yang
ada sangkut pautnya dengan perebutan lembaran
kulit itu. Mungkin saja dia mencari seseorang yang
diduga kuat berada di kawasan ini. Karena tanpa
disadari siapa pun, kawasan ini sekarang sudah
menjadi tempat berkumpulnya para dedengkot
rimba persilatan...."
"Pendapatmu ada benarnya. Tapi kalau dia
orang baru, berarti tak ada hubungannya dengan
orang yang membawa lari kipasku, karena aku ya-
kin pencuri busuk itu masih berkeliaran di kawa-
san ini. Aku tak mau membuat urusan tambahan,
aku akan pergi sekarang!" kata Aji lalu putar tu-
buh hendak meninggalkan tempat itu. Namun ba-
ru saja melangkah, terdengar suara orang mene-
gur.
"Kita belum saling kenal dan berbicara,
mengapa buru-buru hendak pergi?!"
Berpaling, Aji jadi melengak. Di tempat itu
kini telah tegak seseorang.
"Busyet! Larinya luar biasa. Baru saja aku
melihat dia masih berkelebat jauh di sana. Seka-
rang tahu-tahu sudah nongkrong di sini!"
DUA BELAS
KARENA saat itu Aji tegak membelakangi,
maka murid Wong Agung ini hanya terkejut karena
kedatangannya yang tak terduga dan begitu cepat.
Namun tidak demikian halnya dengan Kamaratih
dan Drupadi yang langsung berhadapan dengan
orang yang baru datang. Kedua orang ini serentak
mengeluarkan seruan tertahan, membuat Aji ba-
likkan tubuh dan memandang pada orang yang
baru datang. Sejenak sepasang matanya melebar,
mulutnya komat-kamit.
"Busyet! Ini orang tidak waras atau edan?
Atau setengah tak waras setengah gila?!"
Lima langkah di hadapan ketiga orang itu,
tegak acuh tak acuh seorang yang tidak bisa dike-
nali laki-perempuannya. Mengenakan pakaian
gombrong besar menutup seluruh anggota tubuh-
nya sampai kaki. Di lehernya melilit sebuah selen-
dang batik hingga leher itu tak kelihatan. Wajah-
nya dipoles hitam legam entah dari bedak apa.
Yang pasti paras wajahnya jadi hitam berkilat-kilat
dan tak bisa dikenali. Matanya tajam, rambutnya
diberi pewarna merah. Rambut itu dikuncir sam-
pai sepuluh buah. Tiap kunciran dihiasi dengan
sobekan kain batik yang diikatkan di bagian mata.
Melihat keadaan orang ini, Kamaratih yang
semula menduga orang itu orang baik-baik sedikit
banyak jadi ragu-ragu. Hingga setelah rasa terke-
jut dan gelinya hilang, dia segera keluarkan tegu-
ran.
"Orang asing! Siapa kau?"
Belum sampai orang berwajah hitam men-
jawab.
Drupadi telah menyambung teguran Kama-
ratih. "Katakan pula kepentinganmu di kawasan
ini!"
"Jelaskan juga kau ini bangsa laki-laki apa
perempuan. Kalau perempuan umurmu berapa,
cantik apa jelek. Jika perlu terangkan berapa uku-
ran dada dan pinggangmu!" Aji menyahut. Mem-
buat Drupadi berpaling dan merengut, matanya
sedikit mendelik. Sementara Kamaratih kelihatan
tersenyum.
Orang berwajah hitam gerakkan kepalanya
ke arah Pendekar 108. Bibirnya yang hitam berge-
rak sunggingkan seulas senyum. Tiba-tiba orang
ini perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.
Lalu berkata.
"Aku suka berjumpa dengan orang-orang
yang banyak bicara banyak tanya. Tapi sayang,
aku tak suka dengan nada tanya yang banyak
mengandung kecurigaan! Kalau pertama jumpa
didahului kecurigaan, mana mungkin akan terjalin
sebuah persahabatan?!"
Pendekar Mata Keranjang mengernyit, de-
mikian juga Kamaratih dan Drupadi.
"Ucapanmu tadi masih kusangsikan. Na-
mun sekarang jelas. Jadi orang ini bukan saja me-
nyembunyikan wajah dan jenisnya, suaranya pun
sengaja disarukan! Hem.... Jelas ada maksud ter-
tentu dari semua tindakannya ini...," duga Aji da-
lam hati.
Mendengar suara orang ini, Kamaratih ma-
kin curiga. Dengan suara agak keras perempuan
setengah baya ini kembali keluarkan teguran.
"Orang asing! Kita belum kenal dan bukan
sahabat! Kami tak punya waktu banyak. Jawab sa-
ja pertanyaan kami!"
Kembali orang berwajah hitam tengadahkan
kepala lalu keluarkan suara pelan.
"Tak apa jika kau tak menganggapku seba-
gai sahabat. Namun bagiku, semua makhluk ada-
lah sahabat. Bukankah hakikat menjalani hidup
adalah bersahabat dan saling tolong sesama?!" su-
ara orang ini masih disarukan antara suara laki-
laki dan perempuan.
"Betul!" sahut Aji. "Tapi dengan tindakanmu
yang menyembunyikan wajah dan menyarukan
suara membuat orang enggan bersahabat, malah
akan lari terkencing-kencing! Lebih dari itu akan
jatuh rasa curiga padamu!"
"Anak muda! Orang arif bijaksana tidak
akan memandang seseorang dari lagak dan pe-
nampilan. Lebih-lebih tidak akan menjatuhkan
prasangka buruk sebelum jelas-jelas terlihat!"
Aji jadi terdiam dan angkat bahu dengan
berpaling pada Kamaratih. Kamaratih sendiri tam-
paknya sudah tak sabaran.
"Orang asing! Jangan bicara panjang lebar!
Lekas sebutkan dirimu atau lekas angkat kaki dari
sini!"
"Kalau jawaban dari pertanyaan kalian tadi
akan menjadi jembatan persahabatan, baiklah.
Akan kujawab semua pertanyaan kalian...," Kata
orang berwajah hitam. Dia menarik napas sejenak
lalu melanjutkan.
"Aku Putri...."
Sebelum orang berwajah hitam meneruskan
kata-katanya, tiba-tiba Kamaratih tertawa berge-
lak.
"Hem.... Jadi kau seorang putri! Hik....
Hik.... Hik...! Teruskan bicara, Putri...."
Orang berwajah hitam tidak tersinggung
atau marah mendengar ucapan, Kamaratih yang
jelas mengejek, sebaliknya orang ini malah terse-
nyum lantas buka suara lagi.
"Aku Putri Hitam. Kepentinganku mencari
sesuatu yang terpendam." Orang berwajah hitam
yang sebutkan diri sebagai Putri Hitam lalu arah-
kan pandangannya pada Pendekar Mata Keranjang.
"Untuk pertanyaanmu, Anak Muda. Kali ini
aku belum dapat memberi jawaban pasti. Karena
cantik atau jelek adalah sesuatu yang tak bisa di-
ukur. Tergantung dari sudut mana orang meman-
dang! Aku pun belum sempat mengukur berapa
besar dada dan pinggangku! Jelas?!"
"Belum!" sela Aji. "Kau belum mengatakan
dari jenis laki atau perempuan!"
Putri Hitam tertawa pelan. "Dengar, Anak
Muda! Jenis seseorang dapat merubah suasana.
Urusan maha penting seorang laki-laki terkadang
menjadi kabur jika sudah berhadapan dengan ga-
dis muda cantik nan jelita. Begitu juga sebaliknya.
Dengan tidak mempermasalahkan jenis, kukira
persahabatan akan lebih tulus. Bukankah begi-
tu?!"
"Walah, jadi sulit berhadapan dengan orang
macam begini...," gumam Pendekar Mata Keran-
jang sambil jerengkan sepasang matanya. "Terse-
rah padamu sajalah kalau begitu!"
"Kau bilang mencari sesuatu yang terpen-
dam. Apa itu?!" Kamaratih keluarkan suara kem-
bali.
"Aku telah menerangkan siapa diriku. Sebe-
lum kujawab pertanyaanmu, tak enak rasanya jika
aku tak tahu siapa kalian adanya! Bukankah per-
sahabatan pasti diawali dengan saling kenal diri?!"
Kamaratih tampak paling tidak sabar
menghadapi Putri Hitam. Sementara Drupadi
hanya diam namun tak henti-hentinya sepasang
matanya memandang lekat-lekat. Seakan berusaha menembus polesan hitam dan pakaian gom-
brong orang ini untuk dapat mengenali siapa
adanya orang di balik itu semua. Sedangkan Aji
tampak acuh tak acuh, tapi segala ucapan orang
diperhatikannya baik-baik.
"Aku Kamaratih!" akhirnya Kamaratih yang
menjawab. Lalu berpaling pada Drupadi. "Dia
Drupadi," terakhir Kamaratih arahkan kepalanya
pada murid Wong Agung. "Dia pemuda bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108!"
"Ah, hari ini rupanya aku berkesempatan
jumpa dengan orang-orang berilmu tinggi dalam
rimba persilatan. Juga dengan seorang pendekar
yang namanya mulai harum di telinga orang. Te-
rimalah hormatku...," Putri Hitam gerakkan tu-
buhnya sedikit membungkuk.
Kamaratih tidak menyambuti, dia hanya
mengangguk demikian juga dengan Drupadi.
Hanya Aji yang tampak membungkuk, malah dia
sambil takupkan kedua tangan dan lututnya sedi-
kit ditekuk. Lalu berujar.
"Ucapan di telinga terkadang lain dengan
mata yang melihat. Aku belum apa-apa jika di-
banding dengan dirimu, Putri...."
"Orang bijak memang tak mau menunjuk-
kan diri...," kata Putri Hitam, lalu berpaling pada
Kamaratih. Belum sampai berkata, Kamaratih te-
lah buka mulut. "Terangkan sesuatu yang terpen-
dam itu!"
"Sobatku, Kamaratih. Urusan itu biarlah
tersimpan di dada ini. Aku tak mau membuat
orang lain ikut menyimpannya. Hanya kalau boleh
tahu, apakah ini kawasan Sungai Siluman yang
menuju arah Bukit Siluman?!"
Ucapan Putri Hitam membuat Aji dan Dru-
padi serta Kamaratih saling pandang.
"Apakah kau hendak ke sana?!" tanya Aji
dengan memandang pada Putri Hitam.
"Orang tanya arah selatan, kadang sebenar-
nya dia hendak ke utara. Aku bertanya bukan be-
rarti aku akan ke sana!" ujar Putri Hitam.
"Busyet! Orang begini ini yang tak bisa diki-
buli! Malah orang akan jatuh terperosok jika tak
hati-hati! Maunya apa sebenarnya orang ini?! Se-
suatu yang terpendam, hem.... Jangan-jangan
maksudnya Lembaran Kulit Naga Pertala...," duga
Pendekar 108. Lalu dia bertanya lagi.
"Kalau kau tak hendak ke sana, kenapa
tanya arah Bukit Siluman?!"
"Pendekar 108. Ingin tahu adalah hal yang
wajar, bukan?"
"Berlama-lama bicara dengan orang ini tak
ada gunanya...," bisik Kamaratih. Lalu tanpa pikir
panjang lagi dia berkata.
"Ini memang kawasan Sungai Siluman yang
menuju arah Bukit Siluman! Kalau ingin ke sana,
kau bisa membuat perahu. Atau tidak ada yang
melarang jika kau memang berenang!"
"Ah, sobatku Kamaratih tampaknya sedang
tidak bersahabat. Mungkin hatimu sedang kusut.
Menunggu seseorang yang tak kunjung datang ba-
rangkali? Atau mungkin ada sesuatu berharga
yang hilang?! Atau...," Putri Hitam tidak melan-
jutkan ucapannya. Dia malah tertawa perlahan lalu mendongak.
Kamaratih dan Pendekar 108 dadanya ber-
debar-debar. Sejenak dua orang ini berpaling dan
saling pandang. Aji masih dapat menahan hatinya,
dia berpikir Putri Hitam mungkin kebetulan bicara
yang ada sangkut pautnya dengan masalah yang
kini dihadapi Kamaratih atau dirinya sendiri. Na-
mun tidak demikian halnya dengan Kamaratih.
Mendengar orang bicara yang menyangkut perihal
dirinya, perempuan setengah baya berambut ke-
pang ini makin curiga, dan saat itu juga langsung
membentak.
"Kau ini sebenarnya siapa. Dan tahu apa
tentang diriku, hah?.'"
"Hai.... Ada apa ini?!" ujar Putri Hitam terke-
jut. "Kau tiba-tiba membentakku. Lalu bertanya
yang bukan-bukan. Apa ada yang salah ucapan-
ku?!"
"Ucapanmu tidak ada yang salah! Semua-
nya betul! Namun ucapanmu telah menyinggung
urusanku dan lebih-lebih urusan Pendekar 108!
Kita sebelumnya tidak kenal, namun tiba-tiba kau
tahu urusan kami. Jangan-jangan kaulah yang
menyamar dan membawa lari kipas itu!" Kamara-
tih nyerocos dengan suara keras.
"Sobatku, Kamaratih. Jaga ucapan. Aku ti-
dak tahu urusanmu juga urusan Pendekar 108,
apalagi urusan kipas dan samar-menyamar!"
"Putri Hitam...," kata Aji agak pelan. "Kalau
kau memang yang menyamar dan membawa lari
kipasku, kuharap kau sekarang menyerahkannya
padaku secara baik-baik!"
"Pendekar 108! Kau juga ikut-ikutan menu-
duhku?!"
"Aku tidak menuduh. Tapi kipasku dibawa
lari oleh seseorang yang menyamar. Kali ini kau
datang dengan menyamar. Orang yang membawa
lari kipasku bisa merubah suara. Kau juga demi-
kian. Apakah tanda-tanda ini belum kuat sebagai
petunjuk?!"
Putri Hitam tertawa pelan tapi panjang.
"Pendekar 108. Sama belum tentu tak beda!
dan kukatakan sekali lagi, aku tak tahu-menahu
urusan kalian!"
"Dusta!" teriak Kamaratih. "Kau menutupi
wajahmu agar tak dikenali. Kalau orang baik-baik
mengapa takut perlihatkan wajah?!"
"Tindakan orang berlainan, Kamaratih. Ka-
lau urusanku bisa tercapai dengan jalan begini,
kenapa orang lain mesti ribut?!" nada suara Putri
Hitam mulai agak tinggi.
"Kalau kau betul-betul tidak dusta, harap
kau mau digeledah! Kalau kau perempuan, silakan
pilih di antara dua orang ini mana yang kau tun-
juk untuk menggeledah! Kalau kau laki-laki pasti
kau akan lebih senang! Nah, silakan pilih!" kata Aji
sambil berpaling pada Drupadi dan Kamaratih.
"Berarti kau menginjak hakku!"
"Terserah apa namanya, yang pasti aku ke-
hilangan kipas dan kau adalah orang yang pantas
untuk dicurigai!"
"Aku tak mengambil kipasmu dan aku tak
sudi diperlakukan seperti itu!"
"Berarti kau minta jalan kekerasan!" seru
Kamaratih.
"Itu bukan pilihanku, karena kalian yang
menentukan!" jawab Putri Hitam dengan suara
tinggi.
"Keparat! Kau menantang rupanya! Baik,
aku ingin tahu juga siapa adanya jahanam di balik
penutup wajahmu itu!"
Habis berkata begitu, Kamaratih melompat.
Dua langkah di hadapan Putri Hitam kedua tan-
gannya segera diangkat hendak lepaskan pukulan.
"Tahan!" seru Putri Hitam. Orang ini tidak
membuat gerakan. Tetap tegak dengan meman-
dang tajam pada Kamaratih.
"Jalan ini tidak akan menyelesaikan uru-
san, Kamaratih. Malah akan membuat bibit per-
musuhan. Kalau...."
"Diam! Kau yang menanam bibit itu! Sebe-
lum tumbuh besar sebaiknya dipotes sejak seka-
rang!"
Wuuttt! Wuuttt!
Kedua tangan Kamaratih telah berkelebat
kirimkan pukulan. Keduanya langsung mengarah
ke batok kepala Putri Hitam. Pukulan baru seten-
gah jalan, angin deras telah melesat mendahului,
pertanda hantaman itu telah dialiri tenaga dalam
tinggi.
Aji dan Drupadi sama-sama membeliak be-
sar, malah tanpa sadar Aji memanggil nama Putri
Hitam, karena mereka berdua melihat Putri Hitam
tidak membuat gerakan apa-apa meski pukulan
Kamaratih sejengkal lagi menghajar kepalanya.
Bukk! Bukkk!
Dan tangan Kamaratih telak menghajar ke-
pala Putri Hitam. Namun semua orang di situ jadi
melengak. Bahkan Kamaratih berseru tertahan
sambil surutkan langkah dua tindak. Betapa ti-
dak? Kepala itu hanya menyentak sebentar ke ka-
nan kiri. Lalu diam lagi. Sementara sosok Putri Hi-
tam tidak bergeming sama sekali!
"Hampir tak kupercaya jika tak menyaksi-
kan sendiri. Pukulan Kamaratih kuyakin bukan
pukulan biasa. Namun kepala itu bagaikan bong-
kahan gunung batu! Siapa sebenarnya orang ini?
Ucapannya begitu mendalam. Hem.... Apakah ka-
ta-katanya bisa dipercaya? Aku harus menyeli-
dik...," Aji berkata sendiri dalam hati.
Di sebelah depan, melihat pukulannya
hanya mampu membuat kepala orang tersentak
sebentar, darah Kamaratih jadi mendidih. Cepat
perempuan ini kerahkan tenaga dalamnya. Sesaat
kemudian kedua tangannya diangkat lalu dihan-
tamkan ke arah Putri Hitam.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Gemuruh laksana gelombang terdengar saat
dari kedua tangan Kamaratih melesat asap putih
tebal. Suasana pun berubah jadi dingin menusuk!
Putri Hitam pentangkan sepasang matanya.
Tiba-tiba kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi di
depan tubuhnya. Lalu serentak disentakkan!
Beeettt! Beeettt!
Tidak ada suara yang keras, juga tidak ada
sambaran angin yang melesat keluar. Namun ber-
samaan dengan menyentaknya tangan, asap putih
pukulan Kamaratih tertahan. Di lain kejap, Kamaratih tampak terhuyung-huyung lalu jatuh berlu-
tut dengan tubuh bergetar!
Entah merasa Kamaratih telah dianggap
sahabat baik, atau mungkin juga masih mencuri-
gai bahwa yang melarikan kipasnya adalah Putri
Hitam, Aji segera menghambur dan tahu-tahu ber-
diri tegak tiga langkah di hadapan Putri Hitam.
"Putri Hitam. Aku masih mau bicara baik-
baik. Serahkan kipas itu atau biarkan kami meng-
geledahmu jika kau benar-benar tak mengambil-
nya!"
"Pendekar 108. Sudah kukatakan. Aku tak
mengambil dan aku tak mau digeledah!"
"Berarti benar-benar kau suka jalan kekera-
san!"
"Itu bukan jalanku, tapi pilihanmu!"
"Kurang ajar! Terimalah ganjaranmu!"
Wuuttt! Wuuuttt!
Karena telah melihat bagaimana pukulan
Kamaratih dibuat lenyap sebelum menghajar sasa-
ran, Pendekar Mata Keranjang tak mau main-main
lagi. Sekali buka serangan murid Wong Agung ini
telah kirimkan pukulan 'Mutiara Biru'.
Suasana di tempat ini kini berubah sembu-
rat warna biru, lalu cuaca menjadi panas menyen-
gat, pada saat bersamaan dua sinar biru member-
sit dan mengembang melesat cepat ke arah Putri
Hitam.
Putri Hitam kembali pentangkan sepasang
matanya. Kedua tangannya tetap di bawah. Begitu
sinar biru panas setengah tombak lagi menghajar
tubuhnya, orang ini membuat gerakan seperti
mengangkat. Sampai di depan dada kedua tan-
gannya disentakkan ke atas.
Beeettt! Beeettt!
Sinar biru serentak terhenti. Kejap lain si-
nar pukulan itu melesat ke udara dengan cepat-
nya. Hingga hanya dalam beberapa saat sinar itu
lenyap laksana ditelan langit! Pada saat bersamaan
semburat sinar biru di tempat itu sirna memudar!
Di belakang, tubuh Aji mental ke belakang lalu
menghantam sosok Kamaratih yang hendak berge-
rak bangkit. Kedua orang ini terpuruk saling tin-
dih, malah kedua wajah mereka bersentuhan!
Mungkin tak sadar dan untuk menyela-
matkan diri agar tak jatuh terlalu keras, maka Aji
segera saja memeluk tubuh Kamaratih, hingga
saat bergulingan orang ini sama saling berpelukan.
"Hai! Wajahmu jangan terus menekan. Be-
dakku bisa morat-marit. Pelukanmu juga le-
paskan!" seru Kamaratih. Namun Aji seolah tak
mendengar ucapan orang ini. Dia malah menem-
pelkan wajahnya dan pelukannya dipererat.
"Dasar konyol! Saat begini juga masih sem-
pat bercanda!" teriak Kamaratih. Lalu berbisik pe-
lan. "Kalau kau ingin, kenapa di depan orang,
Anak Muda? Waktu sepi tadi kau menolak! Atau
kau ingin kekasihmu itu makin cemburu"
Sadar ucapan orang ini, Aji cepat lepaskan
pelukannya lalu menggeser tubuhnya dan berge-
rak bangkit. Demikian juga Kamaratih. Pertama-
tama yang terlihat oleh Pendekar Mata Keranjang
adalah Drupadi yang kini tegak membelakangi.
Namun dari arah samping masih terlihat bagaimana paras wajah gadis cantik ini. Merah padam dan
memberengut! Namun Aji tak sempat memikirkan
lebih lama lagi karena saat itu Kamaratih telah
angkat bicara.
"Keparat itu telah lenyap!"
Pendekar 108 sapukan pandangannya ber-
keliling. Dan ucapan Kamaratih memang betul Pu-
tri Hitam tak ada lagi di tempat itu.
"Hem.... Kalaupun pergi, tentu belum jauh
dari sini. Aku penasaran. Aku harus tahu siapa
dia! Kalau dia tahu urusanku, sedikit banyak
mungkin tahu di mana dan siapa sebenarnya yang
membawa lari kipasku! Kalau tadi dia tak mau
mengatakan, mungkin keburu sakit hati oleh kata-
kataku dan ucapan nenek menor itu.... Aku akan
menyusulnya!" berpikir begitu, tanpa bicara lagi
murid Wong Agung segera berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Kamaratih. Namun Pende-
kar 108 telah lenyap di sela rimbunan semak-
semak.
Mendengar suara Kamaratih, Drupadi ber-
paling. Pandangannya mengedar berkeliling. Saat
matanya tak menemukan lagi sosok Aji, gadis ini
alihkan pandangannya pada Kamaratih. Tatapan
matanya tampak aneh. Lalu tanpa keluarkan sepa-
tah kata, gadis baju kuning ini putar tubuh dan
berkelebat pergi.
Kamaratih menghela napas panjang dan da-
lam.
"Aku tahu perasaannya. Cemburunya
mungkin makin besar padaku. Hem.... Aku akan
menjelaskannya padanya. Lagi pula pada pemuda
baik macam dia, mana mungkin aku berani main
gila?"
Sejurus perempuan berambut kepang ini
layangkan pandangannya jauh ke depan. "Siapa
sebenarnya orang yang mengaku Putri Hitam itu?
Baru kali ini aku jumpa dengan manusia berilmu
tinggi begitu. Ah.... Lebih baik aku bersiap menanti
bangsat si Manusia Neraka! Melihat telah banyak
orang yang datang ke sini, tak lama lagi pasti dia
akan muncul!"
Perlahan-lahan Kamaratih tundukkan kepa-
lanya. "Aneh. Meski aku jatuh terjengkang, namun
aku tak merasakan sakit sama sekali. Jelas, jika
orang itu tak mau mencederaiku. Ah.... Orang
aneh dan penuh misterius." Kamaratih rapikan
rambutnya, lalu sekali berkelebat sosoknya lenyap
dari tempat itu.
TIGA BELAS
KITA kembali pada Utusan Iblis yang tengah
berkelebat mengejar orang yang diduganya mengi-
rimkan pukulan hingga tubuhnya tersapu dan
hampir saja roboh. Mungkin karena geram dan
penasaran, pemuda ini sampai melupakan uru-
sannya dengan Pendekar 108 dan meninggalkan-
nya begitu saja. Namun setelah agak jauh berkele-
bat mencari dan tak menemukan orang yang menyerangnya secara gelap, pemuda ini sadar.
"Bangsat! Jangan-jangan aku dikecoh
orang...." Cepat pemuda ini segera putar tubuh
dan berkelebat kembali ke arah di mana tadi Pen-
dekar 108 berada. Apa yang dikhawatirkan Utusan
Iblis terbukti. Murid Wong Agung sudah tak ada
lagi di tempatnya semula!
Seperti diketahui, begitu Utusan Iblis berke-
lebat, Wong Agung muncul di tempat itu dan
memberi isyarat pada muridnya untuk mengikuti
dirinya.
"Keparat busuk! Aku betul-betul dikelabui
orang. Jahanam!" Utusan Iblis tak habis-habisnya
memaki sambil bantingkan kaki. Rahangnya men-
gembang, matanya merah dan dadanya keras ber-
getar.
Seraya membawa geram dan marah yang
berkobar, akhirnya pemuda ini terus berkelebat ke
arah timur. Dan setelah jauh mencari dan tak me-
nemukan siapa pun akhirnya pemuda ini duduk
bersandar pada sebatang pohon yang agak terlin-
dung dari pandangan.
Lama pemuda murid Titisan Iblis ini duduk
bersandar sambil pikirannya mengembara ke ma-
na-mana. Tiba-tiba dia tarik tubuhnya duduk te-
gak, sepasang matanya dibeliakkan memandang
ke depan.
"Ada orang berlari ke arah timur. Tak dapat
kupastikan laki perempuannya. Barangkali...,"
Utusan Iblis tak berpikir panjang. Dia segera
bangkit lalu berkelebat mengejar bayangan yang
baru saja tertangkap matanya.
"Berhenti!" teriak Utusan Iblis begitu bayan-
gan yang dikejar sudah tak jauh lagi dari dirinya.
Sosok yang dikejar tak pedulikan teriakan
orang. Malah dia makin kencangkan larinya,
membuat Utusan Iblis makin curiga dan kerahkan
segenap ilmu peringan tubuhnya untuk mengejar.
Ketika sosok yang dikejar berada lima tom-
bak di depannya, kembali Utusan Iblis keluarkan
seruan keras.
"Berhenti atau tubuhmu kuhancurkan!"
Mendengar ancaman orang, tiba-tiba sosok yang
dikejar Utusan Iblis hentikan larinya. Sebelum so-
sok itu berbalik, terdengar dia perdengarkan suara
tawa cekikikan panjang.
"Perempuan...," desis Utusan Iblis lalu ber-
henti sepuluh Langkah di belakang orang.
"Katakan perlumu mengejar dan menyu-
ruhku berhenti!" tegur orang di depan lalu balik-
kan tubuh.
Untuk sesaat kedua alis mata Utusan iblis
naik ke atas. Bibirnya hendak tersenyum, tapi ti-
ba-tiba berubah jadi seringai dan kejap lain dia ke-
luarkan dengusan.
Ternyata orang di hadapan Utusan Iblis
adalah seorang perempuan setengah baya. Mu-
kanya mengenakan bedak putih agak tebal, bibir-
nya merah menyala dengan rambut dikepang. Pe-
rempuan yang bukan lain adalah Kamaratih ini
tersenyum lalu keluarkan tawa lagi.
"Perempuan sundal...," gumam Utusan Iblis.
"Tak ada gunanya bicara dengan perempuan begini
rupa. Lebih baik aku segera menuju bukit itu.
Urusan dengan Mata Malaikat bisa diselesaikan
kapan-kapan. Lagi pula kuyakin orang itu masih
berkeliaran di sekitar kawasan ini...," berpikir begi-
tu, Utusan Iblis balikkan tubuh tanpa berkata lagi.
Lalu hendak berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu, Anak Ganteng…," tahan Ka-
maratih membuat Utusan Iblis urungkan niat.
Tanpa putar tubuhnya lagi si pemuda membentak.
'"Ada apa?!"
"Aneh. Kau tadi kulihat bersemangat sekali
mengejarku. Kini kau tampak bermuram durja.
Apakah wajah atau tubuhku kurang menarik ha-
timu? Ah, mungkin kau belum melihatnya. Kalau
sudah tahu, mungkin kau akan mengikuti ke ma-
ha aku pergi. Hik.... Hik.... Hik…! Kau ingin buk-
ti...?!"
Masih tanpa balikkan tubuh, Utusan Iblis
meludah ke tanah, lalu membentak.
"Jangan banyak mulut, Tua Bangka! Dari-
pada melihat tubuh telanjangmu, lebih baik lihat
kerbau bunting!"
Melihat sikap dan mendengar ucapan Utu-
san Iblis, Kamaratih menjadi geram. Namun pe-
rempuan ini kali ini masih coba menindihnya. Lalu
dia berujar.
"Jangan komentar sebelum lihat bukti,
Anak Ganteng...."
"Perempuan sundal! Aku ada urusan. Perli-
hatkan saja tubuh telanjangmu pada kambing-
kambing di sana itu. Barangkali ada salah satu
yang tertarik!"
Ejekan Utusan Iblis membuat Kamaratih
tak dapat lagi menahan amarahnya, hingga saat
itu juga dia kancingkan kembali bajunya yang tadi
mulai dibuka. Dan kejap itu juga dia meloncat ke
depan. Kedua tangannya dipukulkan ke arah
punggung si pemuda.
Merasa ada gelagat tak enak, Utusan Iblis
cepat putar tubuh. Sepasang matanya mendelik
besar tatkala saat itu juga dua tangan telah berada
di depan hidungnya.
"Perempuan jahanam! Kau belum tahu sia-
pa yang sedang kau hadapi saat ini!" teriak Utusan
Iblis lalu palangkan kedua tangannya ke depan.
Bukk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Kamara-
tih keluarkan seruan tertahan lalu cepat mundur
dengan wajah berubah pucat. Kedua tangannya
yang baru saja bentrok terasa panas dan bergetar.
Dadanya pun sedikit sesak. Di hadapannya Utu-
san Iblis tampak menyeringai lalu meludah. Sepa-
sang mata pemuda ini berubah jadi merah berin-
gas. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak.
"Perempuan sundal!" seru Utusan Iblis. "Pa-
sang telinga baik-baik. Yang tegak di hadapanmu
saat ini adalah Utusan Iblis! Sebelum kucopot
nyawamu, katakan siapa kau?!"
Kamaratih dongakkan kepala sambil per-
dengarkan suara tawa panjang.
"Kau telah berulang kali menyebutnya. Ke-
napa masih tanya?! Hik.... Hik.... Hik...! Aku tahu
sekarang. Kau tadi mengejarku, kau kira aku
orang yang kau cari, ya?"
Utusan Iblis kernyitkan dahi. "Hem.... Sun
dal ini tampaknya tahu. Jangan-jangan dia yang
mempermainkan dan mengecohku...," Kata si pe-
muda dalam hati. Dan diam-diam pun Kamaratih
membatin.
"Pemuda ini tampaknya orang baru dalam
dunia persilatan. Ilmunya tinggi. Namun dari tin-
dakannya rupanya bukan orang baik-baik. Hem....
Meski aku bukan orang baik-baik, namun aku tak
suka jika orang macam dia sampai berhasil men-
dapatkan lembaran kulit yang saat ini dipere-
butkan orang itu. Beradanya dia di kawasan ini
pasti untuk urusan lembaran kulit itu. Aku harus
mencegahnya, setidak-tidaknya mengulur wak-
tunya, tapi bagaimana nanti dengan urusanku...?!"
Untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ma-sama diam. Dan tanpa disadari oleh mereka
diam-diam dari sela kerimbunan semak-semak
yang rapat, sepasang mata mengawasi mereka tak
berkedip. Namun sesekali wajah orang yang men-
gawasi ini senyum-senyum sambil usap-usap hi-
dungnya.
"Perempuan sundal!" teriak Utusan Iblis.
"Kau tahu urusanku. Berarti kaulah orang yang
mengecohku dan menyelamatkan pemuda konyol
itu!"
Dituduh demikian, Kamaratih jadi naik pi-
tam. "Bukan saja mulutmu yang busuk, ternyata
hatimu juga kotor!"
"Orang salah kadang-kadang menutupi
dengan tingkah dan mulut sok suci! Tapi aku tak-
kan terkecoh! Terimalah kematianmu, Sundal
Tua!"
Utusan Iblis angkat kedua tangannya, se-
mentara Kamaratih tak tinggal diam. Perempuan
ini pun kerahkan tenaga dalamnya, lalu palangkan
kedua tangannya di depan dada.
"Walah, urusan sepele berubah jadi bertele-
tele.... Daripada lihat orang ugal-ugalan begini, le-
bih baik mengurus diriku dulu. Hem.... Mencari
lembaran kulit itu terlebih dahulu atau langsung
menyelidik ke bukit? Tapi menurut Setan Pesolek,
hanya kipas itu mungkin yang bisa membuka ta-
bir. Berarti aku harus mendapatkan kipas itu da-
hulu.... Sialan betul! Langkahku jadi terhalang ga-
ra-gara si keparat orang yang menyamar dan
membawa kipas itu!" gumam orang di sela kerapa-
tan semak-semak yang bukan lain adalah Pende-
kar 108. Murid Wong Agung ini segera bergerak
hendak bangkit meninggalkan tempat itu. Namun
gerakannya tertahan tatkala dari arah depan, arah
mana berada Utusan Iblis dan Kamaratih sedang
sama-sama hendak kirimkan serangan, terdengar
orang berseru.
"Tahan serangan!" Di lain kejap sesosok
bayangan berkelebat dan tegak di tengah-tengah
antara Utusan Iblis dan Kamaratih.
Dia adalah seorang kakek berambut putih
panjang, bermata cacat. Tubuhnya terbungkus
pakaian perempuan. Tapi, ketika dia bergerak ter-
lihat pakaian dari kulit ular di baliknya.
Pendekar Mata Keranjang pentangkan sepa-
sang matanya. Mulutnya komat-kamit.
"Mengenakan pakaian perempuan, rambut-
nya dikepang...," murid Wong Agung sekali lagi
memperhatikan. Tiba-tiba sepasang matanya be-
rubah merah berkilat-kilat, rahangnya mengem-
bang, kedua telapak tangannya bergerak membu-
ka keluarkan suara bergemeretakan. Dadanya ber-
getar keras.
Tanpa pedulikan lagi pada Utusan Iblis
yang sebenarnya sedang mencari dirinya, murid
Wong Agung ini langsung bangkit dan cepat berke-
lebat ke arah si kakek!
SELESAI
Segera terbit:
LEMBARAN KULIT NAGA PERTALA
0 comments:
Posting Komentar