..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 02 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE TITISAN DEWI KWAN IM

Titisan Dewi Kwan *m

 TITISAN DEWI KWAN IM

oleh Firman Raharja

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Mardiansyah

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dart penerbit

Firman Raharja 

Serial Pendekar Gila 

dalam episode: 

Titisan Dewi Kwan Im

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Suasana pagi di Desa Tambak Rejo tampak ra-

mai. Tidak biasanya sepagi itu banyak orang berlalu la-

lang. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang per-

silatan.

Entah mengapa, Desa Tambak Rejo yang berjarak 

sekitar sepuluh mil ke arah utara dari Lembah Lamur 

sejak kemarin banyak didatangi orang-orang rimba 

persilatan

Tampak tiga lelaki melangkah beriringan. Mereka 

mengenakan jubah berwarna merah darah. Rambut 

yang berwarna merah dibiarkan terurai dengan ikat 

kepala berwarna merah darah pula. Ketiga lelaki itu 

berwajah jelek dengan hidung pesek dan mata besar. 

Dagu mereka dihiasi cambang bauk serta kumis tebal. 

Di tangan masing-masing tergenggam cambuk yang 

bentuknya serupa. Ketiganya terkenal dengan julukan 

Tiga Setan Rambut Api.

Tiga tokoh aliran hitam itu memiliki perawakan 

yang hampir sama, berotot dengan tinggi sedang. Wa-

jah mereka garang, menunjukkan keangkuhan.

Yang tertua bernama Untara. Lelaki yang kedua 

bernama Undani, dan yang terakhir bernama Umbaka-

ra. Mereka kini tengah melangkah menuju sebuah ke-

dai yang siang itu tampak ramai disinggahi para pen-

gunjung.

"Kalian lihat, di sini banyak sekali orang persila-

tan," kata Untara. Matanya mengawasi pengunjung 

kedai yang kebanyakan dari rimba persilatan.

"Benar, Kakang," sahut Undani. Seperti kakak-

nya, dia pun menyapukan pandangannya ke seluruh 

ruang kedai yang penuh oleh para pengunjung. "Nam-

paknya ada sesuatu yang membuat mereka datang ke


tempat ini."

Ketika Tiga Setan Rambut Api mengawasi semua 

pengunjung kedai, terdengar ucapan seseorang yang 

baru masuk ke dalam kedai.

"Aha, rupanya Tiga Setan Rambut Api juga hadir 

di tempat ini."

Tiga Setan Rambut Api seketika membalikkan 

tubuh dan memandang ke arah suara itu. Begitu juga 

dengan pengunjung kedai lain. Seketika mata mereka 

memandang Tiga Setan Rambut Api, lalu berganti me-

mandang orang tua berpakaian compang-camping 

dengan rambut putih tak teratur serta wajah dihiasi 

goresan-goresan kelabu.

Dilihat dari penampilan serta tangan yang meme-

gang tongkat dan tempurung, orang persilatan yang 

ada di kedai itu dapat dengan mudah menduga kalau 

lelaki tua itu tak lain Pengemis Tempurung Sakti, pe-

mimpin para pengemis dari wilayah barat.

"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti yang da-

tang. Selamat datang...," sambut Untara sambil menju-

ra hormat, diikuti oleh kedua saudaranya.

"Aku Undani menyampaikan hormat padamu, 

Pengemis Tempurung Sakti," kata Undani sambil 

membungkuk

"Begitu juga aku," timpal Umbakara. 

Pengemis Tempurung Sakti terkekeh-kekeh sam-

bil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang. Ma-

tanya yang sipit, semakin bertambah sipit

"Aha, tampaknya banyak orang persilatan ber-

kumpul di sini. Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono si 

Pedang Iblis, Ki Bardawala dari Perguruan Cinde Bua-

na dan Sepasang Serigala Merah. Ada apa geran-

gan...?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil me-

langkah masuk, diikuti oleh lima anak buahnya yang 

semuanya berpakaian compang-camping. Bedanya, ke



lima pengemis itu hanya membawa tongkat kayu hi-

tam. Mereka tersohor dengan julukan Lima Pengemis 

Tongkat Hitam.

Yang menguasai wilayah timur bernama Gandra-

na. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan berwarna 

ungu. Bibirnya tipis dengan mata agak sipit. Hidung-

nya besar dan pesek. Rambutnya lurus terurai dengan 

ikat kepala berwarna ungu pula. Wajahnya menggam-

barkan kekasaran.

Yang menguasai daerah selatan bernama Jalan-

tra. Pakaiannya berwarna abu-abu, dan rambutnya di-

gelung ke atas. Berbeda dengan orang pertama, hidung 

Jalantra mancung. Bibir dan alis matanya tebal den-

gan mata agak juling.

Yang ketiga bernama Sampra. Dia Ketua Per-

kumpulan Pengemis daerah utara. Berpakaian jingga 

dengan tambalan seperti lainnya. Rambutnya ikal se-

batas bahu. Hidungnya mancung seperti paruh burung 

betet Matanya lebar dengan alis mata tipis. Wajahnya 

nampak sinis jika tersenyum.

Yang keempat dan kelima adalah lelaki kembar 

bernama Jantruk dan Jantrik. Pakaian yang mereka 

kenakan pun kembar, berwarna merah dadu. Wajah 

keduanya hampir serupa. Hidung mereka mancung 

dengan alis mata tebal. Sedang bibir mereka tipis. 

Hanya rambut yang membedakan satu sama lain. Yang 

satu lurus tak teratur, sedangkan yang lain ikal berge-

lombang.

Di bibir mereka tersungging senyuman. Wajah 

mereka menggambarkan kewibawaan. Meski berpe-

nampilan tak sedap dipandang mata, tapi mereka ada-

lah orang-orang yang dipercaya untuk memimpin para 

pengemis. Ilmu mereka pun bukan ilmu sembarangan, 

dan patut diperhitungkan.

Pengemis Tempurung Sakti segera mendekati sa


tu bangku lalu duduk seenaknya, seperti tidak tahu 

aturan sebagaimana pengemis lain. Kelima pengemis 

lainnya ikut duduk di samping kanan dan kirinya.

"Nampaknya ada sesuatu yang mengundang me-

reka kemari, Ketua," kata Gandrana, Ketua Perkumpu-

lan Pengemis daerah timur.

Pengemis Tempurung Sakti mengangguk-

anggukkan kepala. Tangannya masih membelai-belai 

jenggotnya yang putih dan panjang. Sementara ma-

tanya tetap memandang ke sekelilingnya.

"Nampaknya ada sesuatu yang menarik," gumam 

Pengemis Tempurung Sakti. "Terbukti Tiga Setan 

Rambut Api datang ke tempat ini."

"Aha, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-

getahui apa yang ada di sini...!" seru Umbakara tiba-

tiba.

"Ya! Mengapa tidak kita tanyakan saja, ada apa 

sebenarnya?" usul Undani.

"Benar juga katamu, Undani," timpal Untara. 

"Mengapa kita mesti bingung?"

Untara dan kedua adiknya bangkit dari bang-

kunya. Mereka melangkah mantap ke arah Pengemis 

Tempurung Sakti. Kemudian dengan menjura, Tiga Se-

tan Rambut Api duduk di hadapan keenam pengemis 

itu.

"Pengemis Tempurung Sakti, sudikah kau menje-

laskan pada kami, kenapa kau dan lima ketua partai 

pengemis sampai datang ke sini...?" tanya Untara. Tin-

dak-tanduk mereka agak tidak sopan, mencerminkan 

watak ketiganya yang berasal dari aliran sesat

"Weh weh weh.... Mengapa jadi terbalik? Justru 

kami yang ingin bertanya pada kalian," balas Pengemis 

Tempurung Sakti. "Apa tidak mungkin kalau kalian 

hanya berpura-pura saja?"

Tiga Setan Rambut Api saling pandang karena di


tuduh Pengemis Tempurung Sakti kalau mereka me-

nyembunyikan sesuatu. Padahal mereka juga belum 

tahu sesuatu yang terjadi di tempat itu, sehingga para 

pendekar rimba persilatan berdatangan ke tempat itu.

"Hei, mengapa kalian seperti orang bodoh?" tanya 

Pengemis Tempurung Sakti, menyentakkan Tiga Setan 

Rambut Api. Namun Untara segera berusaha menutupi 

ketidakmengertian mereka akan pertanyaan dan seka-

ligus tuduhan dari Pengemis Tempurung Sakti.

"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-

ganggap kami sudah mengetahui masalahnya. Ah, 

sangat disayangkan. Kami sebenarnya justru hendak 

bertanya," ucapnya setenang mungkin.

Kini giliran keenam ketua perkumpulan pengemis 

yang saling pandang. Kening mereka berkerut dan ma-

ta mereka menyipit Pengemis Tempurung Sakti masih 

mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

"Weh, bagaimana ini? Kami pikir kalianlah yang 

telah tahu. Tapi mengapa kalian seperti menuduh ka-

mi?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil mengge-

leng-gelengkan kepala.

"Hm.... Bagaimana kalau kita tanyakan pada Ki 

Kenjono? Rupanya si Pedang Iblis juga datang," usul 

Untara.

"Ya, sebaiknya kita tanyakan padanya?" sambut 

Pengemis Tempurung Sakti.

Pengemis Tempurung Sakti dan Untara bangkit, 

kemudian keduanya mendekati meja di sampingnya, di 

mana lelaki berpakaian rompi hitam dengan rambut 

panjang yang- dibiarkan terlepas tengah menyantap 

makanannya.

"Oh, nikmat sekali kau makan, Ki?" tegur Penge-

mis Tempurung Sakti dengan tetap membelai-belai 

jenggotnya yang putih.

Lelaki yang tengah makan itu menghentikan ma


kannya. Kepalanya ditolehkan ke belakang.

"Ah, kukira siapa. Rupanya Pengemis Tempurung 

Sakti dan Setan Rambut Api. Hm, apa kalian minta ku

bayari makan? Pesanlah...."

"Keparat!" maki Untara. "Aku menemuimu bukan 

untuk mengemis seperti Pengemis Tempurung Sakti, 

Kenjono!"

"Setan alas! Kalian kira aku tak sanggup mem-

bayar makanan kalian!" dengus Pengemis Tempurung 

Sakti sengit, merasa dirinya diremehkan sebagai gem-

bel yang hanya bisa meminta-minta. "Kalau saja aku 

tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal yang 

terjadi di sini, sudah kutampar mulut kalian!"

Ki Kenjono dan Untara saling pandang. Kemu-

dian keduanya tertawa tergelak-gelak, membuat Pen-

gemis Tempurung Sakti makin gusar. Hampir saja 

Pengemis Tempurung Sakti yang keras kepala dan pe-

marah itu kembali membentak, kalau saja Untara ti-

dak mendahului.

"Aha, kuharap kau tidak mengumbar marah, 

Pengemis Tempurung Sakti. Bukankah kita sama-

sama ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi 

di sini?" Pengemis Tempurung Sakti menurut. 

"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku?" 

tanya Ki Kenjono kemudian.

"Begini, Ki Kenjono. Kami ingin tahu apa yang 

terjadi di sini? Mengapa orang-orang berdatangan ke 

tempat ini...?" tanya Untara.

"Weh weh weh.... Jadi kalian juga belum tahu?" 

"Ya," sahut Pengemis Tempurung Sakti singkat. 

"Aha, kalau begitu kita sama. Dan mungkin se-

mua orang yang datang di sini, sama-sama tidak tahu 

apa yang mereka tuju. Tapi, bukankah kalian telah 

mendapat kabar tentang Titisan Dewi Keberuntungan 

yang ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya


Ki Kenjono,

"Ya," sahut Untara.

"Jadi mereka datang untuk mencari Titisan Dewi 

Kwan Im?" tanya Pengemis Tempurung Sakti.

"Tepat!" jawab Ki Kenjono.

"Jadi Lembah Lamur ada di sekitar Kadipaten 

Wuwungan ini?" tanya Untara.

"Mungkin, karena hampir semuanya berdatangan 

ke tempat ini," sahut Ki Kenjono. "Ah, sudahlah. Aku 

harus makan dulu."

Tanpa menghiraukan kedua orang itu, Ki Kenjono 

yang bersikap angkuh meneruskan makannya. Hal itu 

membuat Pengemis Tempurung Sakti dan Untara sal-

ing pandang. Hampir saja mereka marah, kalau saja 

mereka tidak ingat bahwa mereka sama-sama sealiran. 

Meski begitu, keduanya agak jengkel juga menyaksi-

kan tingkah laku Ki Kenjono yang dianggap terlalu 

angkuh. Lalu dengan memandang sinis, keduanya 

kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Bagaimana, Kakang?" tanya Undani.

"Rupanya semuanya datang ke tempat ini dengan 

tujuan yang sama," jawab Untara.

"Mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Umbaka-

ra. Suaranya berusaha menegaskan.

"Ya!"

"Hm.... Kalau begitu, kita tidak boleh keduluan 

mereka," bisik Undani.

"Kita harus mendahului mereka."

"Benar, Kakang. Kita harus segera mencari Lem-

bah Lamur," sambut Umbakara.

"Ya! Kita harus secepatnya mendapatkan Titisan 

Dewi Kwan Im itu. Ayo...," ajak Untara berbisik sambil 

bangkit dari bangkunya, diikuti oleh kedua adiknya.

***


Pengemis Tempurung Sakti terkekeh, menyaksi-

kan Tiga Setan Rambut Api pergi meninggalkan kedai. 

Tampaknya Pengemis Tempurung Sakti dan lima ketua 

perkumpulan pengemis membiarkan mereka pergi le-

bih dahulu untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im.

"He he he...! Mereka kira akan mudah untuk 

mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," seloroh Pengemis 

Tempurung Sakti. Tangannya membelai-belai jenggot-

nya yang panjang dan putih.

"Ketua, apakah tidak sebaiknya kita susul mere-

ka?" tanya Jalantra, yang merupakan Ketua Perkum-

pulan Pengemis daerah selatan.

"Benar, Ketua. Apakah tidak sebaiknya kita me-

nyusul mereka? Aku takut mereka akan mendahului 

kita," tambah Gandrana.

Pengemis Tempurung Sakti menggeleng-

gelengkan kepala sambil tersenyum. Tangannya kem-

bali membelai-belai jenggotnya yang panjang dan ber-

warna putih.

"Biarkan saja mereka mendahului. Apakah kalian 

kira mereka akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im 

yang cantik menjadi istri mereka? Ha ha ha...!" Penge-

mis Tempurung Sakti tertawa terbahak-bahak, diikuti 

oleh kelima ketua pengemis lainnya. Hal itu membuat 

para pendekar yang ada di tempat itu memandang me-

reka. Tidak terkecuali Ki Kenjono.

"Pengemis butut! Mengapa kalian mesti tertawa-

tawa?!" bentak Ki Kenjono kesal. Matanya mendelik le-

bar, memperlihatkan warna merah bagai gejolak api.

"Iblis bau comberan! Apa hakmu menghentikan 

tawa kami!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Penge-

mis daerah utara.

"Sontoloyo! Kalianlah yang bau kentut! Huh...!" 

balas Ki Kenjono tak mau kalah. Kemudian dia mene


ruskan makannya, tanpa menghiraukan keenam pen-

gemis yang masih menatapnya dengan jengkel.

"Rupanya orang itu perlu dihajar, Ketua," kata 

Gandrana.

"Aha, memang mulutnya yang busuk itu perlu 

dihajar," jawab Pengemis Tempurung Sakti, membuat 

Ki Kenjono tersentak.

Dengan wajah bengis, Ki Kenjono bangun dari 

tempat duduknya. Matanya yang tajam penuh amarah 

menantang keenam pengemis yang masih tertawa-

tawa.

"Pengemis butut! Rupanya kalian di mana pun 

selalu menyebalkan! Kalian harus diajar adat!" maki Ki 

Kenjono seraya mendengus marah.

"Aha, seharusnya kaulah yang harus diajar adat, 

Kenjono!" balas Pengemis Tempurung Sakti.

"Bedebah! Kuhajar kau, Pengemis Butut! 

Yeaaa...!"

Srrrt!

Ki Kenjono mengeluarkan pedangnya, kemudian 

dengan penuh amarah tubuhnya melesat ke arah Pen-

gemis Tempurung Sakti. Namun dengan cepat, Gan-

drana telah menghadangnya dengan membabatkan 

tongkat kayu hitam ke pedang lawan.

Trang!

Kemarahan Ki Kenjono kian menggila ketika 

mengetahui Gandrana memapaki serangannya. Ma-

tanya semakin berkilat tajam. Didahului pekikan 

menggelegar, Ki Kenjono kembali membuka serangan 

dengan babatan pedang ke arah Ketua Perkumpulan 

Pengemis daerah timur itu. 

"Yeaaa...!"

"Keluarkan semua ilmu pedang bututmu!" tan-

tang Gandrana seraya mengelakkan tebasan dan baba-

tan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya


menggerakkan tongkat kayu hitam. Seketika, tongkat 

itu menjadi baling-baling, bergerak membentuk perisai 

sekaligus menjadi senjata yang sangat berbahaya.

"Heaaa...!"

Wut, wut!

Tring, trang...!

Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar 

susul-menyusul. Diikuti oleh gerakan keduanya yang 

menyerang dan mengelak. Tangan kiri mereka yang ti-

dak memegang senjata tak mau diam, turut bergerak 

menyerang dan menangkis dengan kebutan-

kebutannya.

"Beri dia pelajaran, Gandrana!" seru Pengemis 

Tempurung Sakti sambil terus memperhatikan jalan-

nya pertarungan antara anggotanya yang memegang 

pimpinan di wilayah timur melawan Kejono. Kemudian 

Pengemis Tempurung Sakti tertawa bergelak-gelak, di-

ikuti oleh empat anggotanya yang lain.

Ki Kenjono semakin marah karena ditertawakan 

oleh para pengemis. Serangannya semakin diting-

katkan. Pedangnya bergerak kian cepat, membabat 

dan menusuk ke tubuh lawannya.

"Yeaaah...!"

Ki Kenjono benar-benar bernafsu untuk secepat-

nya menjatuhkan lawan. Pedangnya bergerak semakin 

cepat, tidak ubahnya baling-baling maut yang setiap 

saat dapat merenggut nyawa lawannya.

Menyaksikan serangan lawan yang cepat dan 

mematikan, tidak membuat Gandrana gentar. Justru 

dengan serangan lawan seperti itu, dia semakin mudah 

melihat kelemahan-kelemahan serangan yang dilan-

carkan lawannya.

Dengan sedikit berkelit, Gandrana mampu men-

gelakkan serangan lawan yang dirasuki amarah. Ke-

mudian dengan cepat, balas menyerang dengan tidak


kalah gencar. Tongkat kayu hitam di tangannya me-

mukul dan menusuk lawan secara bertubi-tubi.

"Yeaaat..!"

Wut, wut..!

Tongkat kayu hitam di tangan Gandrana kini ti-

dak ubahnya sebilah pedang tajam yang terbuat dari 

logam pilihan. Angin serangannya menimbulkan deru 

yang dahsyat menghambur ke arah lawan.

"Uts...! Setan!" maki Ki Kenjono kaget, menda-

patkan serangan balik yang tidak diduganya. Kalau sa-

ja tidak cepat-cepat mengelak, tentu tubuhnya akan 

menjadi korban dari sabetan dan tusukan tongkat 

kayu hitam di tangan lawannya.

"Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa 

terpingkal-pingkal menyaksikan Gandrana mampu 

mendesak Ki Kenjono. Hal itu membuktikan kalau 

Perkumpulan Pengemis bukanlah perkumpulan yang 

rendah, namun harus diperhitungkan di rimba persila-

tan.

Serangan yang dilancarkan oleh Gandrana sema-

kin membuat Ki Kenjono kewalahan. Nampaknya ilmu 

pedang yang selama ini dirasa cukup tangguh, tiada 

arti sama sekali menghadapi jurus-jurus 'Tongkat 

Kayu Hitam' yang dilancarkan Gandrana. Bahkan be-

berapa kali, Ki Kenjono hampir kecolongan oleh sabe-

tan-sabetan tongkat itu. 

Kelima pengemis yang lain tertawa riuh rendah 

menyaksikan bagaimana Ki Kenjono atau lebih dikenal 

dengan sebutan Pedang Iblis, kini mengalami ketegan-

gan. Wajahnya pucat pasti, menyadari serangan-

serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran. 

Bahkan kini dia yang terdesak oleh lawan.

"Percuma mulutmu besar, Kenjono! Kalau ilmu-

mu hanya kelas pasaran...! Ha ha ha...!" seru Pengemis 

Tempurung Sakti diikuti oleh gelak tawa.


Ucapan itu tentu saja membuat Ki Kenjono ber-

tambah marah. Namun menyadari kedudukannya saat 

itu, Ki Kenjono tak mampu berbuat apa-apa. Jangan-

kan untuk melawan Pengemis Tempurung Sakti, me-

lawan anak buahnya saja dia sudah terdesak.

"Huh...! Memang aku saat ini kalah! Tapi setelah 

aku mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im, kepala kalian 

akan kupenggal satu persatu!"

Usai berkata demikian, tanpa rasa malu sedikit 

pun Ki Kenjono segera melesat ke belakang. Kemudian 

dengan cepat meninggalkan kedai. Hal itu semakin 

membuat gerombolan pengemis itu tertawa bergelak-

gelak.

"Ha ha ha...!"

"Kalian lihat sendiri, bagaimana Perkumpulan 

Pengemis kini bukan kumpulan orang gembel. Per-

kumpulan Pengemis kini menjadi perkumpulan yang 

akan disegani oleh para pendekar rimba persilatan! 

Tak akan ada yang berani mencari penyakit dengan 

Perkumpulan Pengemis...," kata Pengemis Tempurung 

Sakti. Nadanya agak pongah dan sombong. Seakan-

akan hanya dia dan anak buahnya saja yang memiliki 

ilmu tinggi.

Selesai berkata begitu, Pengemis Tempurung 

Sakti segera mengajak kelima anak buahnya berlalu 

meninggalkan kedai.

"Pengemis gembel sombong...!" dengus para pen-

dekar. Kesal juga mereka dengan tingkah laku dan ke-

sombongan para pengemis itu. Terlebih pada Pengemis 

Tempurung Sakti. Kalau saja mereka memiliki ilmu 

yang tinggi, tentunya mereka akan melabrak para pen-

gemis itu.

Sepeninggal Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono, 

dan para pengemis, kedai kembali tenang. Bahkan kini 

satu persatu para pendekar meninggalkannya, untuk

meneruskan mencari Titisan Dewi Kwan Im yang me-

reka dengar berada di Lembah Lamur.


DUA


Angin malam yang dingin berhembus kencang, 

menerobos belukar, pucuk pepohonan dan rerumpu-

tan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya, 

ditampar derasnya angin.

Di saat suasana malam seperti ini, tampak seo-

rang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rompi 

kulit ular, tengah menyelusuri jalan yang gelap dan 

sepi. Seakan-akan pemuda tampan itu tak peduli den-

gan keadaan cuaca yang tak ramah. Wajahnya tampak 

menunduk penuh penyesalan.

Pemuda yang tak lain Sena atau Pendekar Gila 

itu baru saja berkunjung ke Perguruan Bintang Emas 

untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kema-

tian Dewi Pandagu. Sesampainya di sana, berita yang 

disampaikan dua lelaki di kedai itu ternyata benar. 

Dewi Pandagu, wanita cantik yang telah membuatnya 

hanyut dalam arus asmara, telah tewas.

Hati Pendekar Gila remuk redam menyaksikan 

mayat Dewi Pandagu. Belum lagi peristiwa penculikan 

Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Lelaki yang men-

culik Mei Lie sangat misterius. Datang begitu cepat 

dengan pakaian yang sama dengan pakaian Kauw Cien 

Lung (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-

la dalam episode "Singa Jantan dari Cina").

Kalau saja saat itu Sena tidak tengah bertarung 

dengan Kauw Cien Lung, tentunya dia akan mengejar 

lelaki misterius itu.

"Setan!" maki Sena kesal. Kakinya menendang

sebuah batu kecil yang ada di depannya. 

Wut!

Batu itu melesat jauh, bagai dilempar dengan ke-

kuatan penuh.

Sena menghela napas. Matanya menyapu ke se-

kelilingnya yang sepi dan senyap. Sebuah lembah yang 

dikepung perbukitan, dengan angin yang bertiup ken-

cang laksana hembusan napas beribu mambang ma-

lam.

"Huk huk huuuk...!"

Samar-samar telinga Sena menangkap suara 

aneh itu. Bulu kuduknya meremang. Langkahnya se-

ketika terhenti. Matanya menyapu ke sekelilingnya 

dengan tajam, berusaha mencari asal suara menye-

ramkan yang baru saja didengarnya.

"Huk huk huuuk...!"

Suara itu kembali terdengar. Suaranya persis se-

perti suara burung hantu. Namun Sena merasa yakin 

kalau itu bukan suara burung hantu. Dia telah biasa 

bergelut dengan kegelapan malam di dalam hutan. Se-

dikit banyak, telinganya telah akrab dengan suara bu-

rung hantu yang sebenarnya.

"Suara apa itu...?" desis Sena. Suaranya agak ke-

lu, karena perasaannya tercekam. Bulu kuduknya me-

remang kembali.

Meski ketegangan menyelimuti jiwanya, namun 

entah mengapa Sena tetap berdiri di situ. Matanya ma-

sih mengamati dalam remang cahaya bulan. Seper-

tinya, Sena ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di 

hadapannya dan meyakinkan suara yang baru saja di-

dengarnya.

Ketika mata Sena menyapu tempat itu, tiba-tiba 

berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepatnya 

bayangan itu berkelebat, sampai-sampai tubuh Sena 

tersentak.

"Hei, siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Ke-

mudian tanpa banyak kata lagi, tubuhnya melesat ce-

pat untuk mengejar bayangan putih yang sempat dili-

hatnya sekilas.

Bayangan putih itu berkelebat ke arah bukit di 

sebelah selatan, kemudian menghilang di balik bukit

"Berhenti...!" seru Sena sambil terus berlari. Na-

mun bayangan putih itu rupanya telah lebih dahulu 

menghilang. Karena begitu cepatnya menghilang, sam-

pai Sena tak mampu mengejarnya.

"Edan!" umpat Sena jengkel. Pandangannya dis-

apukan ke sekeliling tempat itu. Namun tetap saja ti-

dak ditemukan siapa pun di tempat itu. Padahal dia 

yakin kalau bayangan putih itu berlari ke tempatnya 

kini berdiri. Kalau bersembunyi rasanya tidak mung-

kin. Di sekeliling tempat itu tak ada sesuatu pun yang 

bisa digunakan untuk bersembunyi.

Sena mengerutkan kening. Matanya masih men-

gamati sekitarnya yang semakin mencekam. Bulu ku-

duknya lagi-lagi meremang, setelah dia tidak berhasil 

menemukan bayangan putih tadi.

"Huk huk huuuk...!"

Suara menyeramkan itu kembali terdengar. Se-

pertinya suara itu ada di dekatnya. Sena menajamkan 

telinga dan matanya, berusaha meyakinkan dari mana 

asal suara menyeramkan itu.

"Hm.... Aku yakin bukan hantu. Jelas sekali itu 

suara manusia," desis Sena. Tapi matanya belum juga 

menemukan tanda-tanda kalau bayangan putih itu 

akan muncul kembali.

Angin lembah semakin keras berhembus, mem-

bawa hawa dingin yang terasa menggigit. Dikawal oleh 

suara menyeramkan yang kembali terdengar.

"Aku harus hati-hati. Mungkin orang itu memiliki 

ilmu yang tinggi," gumam Sena dengan mata berkilat

penuh kewaspadaan.

Wusss!

Angin semakin berhembus kencang, bertemu di 

tengah-tengah lembah, kemudian bergulung-gulung 

membentuk pusaran yang besar dan kencang.

"Uh!"

Sena tersentak kaget. Dengan mata membelalak, 

berusaha dihindarinya pusaran angin yang besar itu. 

Tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto dengan 

cepat. Namun pusaran angin itu seperti mengerti kalau 

lawannya berusaha mengelak. Angin itu terus bergu-

lung ke arah Sena mengelak.

Wut!

"Edan!" maki Sena kaget menyaksikan pusaran 

angin itu ternyata mengejarnya. Seakan-akan angin itu 

memiliki mata. "Kurang ajar! Ini bukan main-main!"

Wusss...!

Pusaran angin itu terus mengejar tubuh Pende-

kar Gila, memaksanya bersalto untuk mengelakkan se-

rangan angin besar itu. Walau begitu, hampir saja tu-

buhnya dapat dihantam pusaran angin itu.

"Auh...! Kurang ajar! Hampir saja aku kena!" ma-

ki Sena sambil terus melenting kian kemari. Bahkan 

kini dia harus menggunakan ilmu peringan tubuh 

'Panca Guna' warisan Singo Edan.

Dengan menggunakan ilmu 'Panca Guna', kini 

tubuhnya dapat bergerak dengan ringan tanpa men-

ginjak tanah. Tubuhnya bagaikan tak memiliki beban 

sedikit pun, tidak ubahnya sehelai bulu yang menari di 

atas angin.

"Aku harus dapat memecahkan pusaran angin 

ini," desis Sena sambil terus mengelitkan sambaran-

sambaran pusaran angin yang keras dan terus mem-

buru. "Heaaa...!"

Tubuh Sena melesat beberapa tombak ke bela

kang. Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila 

Mengaduk Samudera', Pendekar Gila kembali melesat. 

Kini dia bertekad menerobos pusaran angin kencang 

itu. Tangannya disilangkan di depan, dengan jari-jari 

membentuk cengkeraman. Kemudian kedua tangannya 

digerakkan seperti mengaduk-aduk samudera.

Wut..!

Angin pusaran itu terus memburu maju, siap 

menelan tubuh Pendekar Gila yang melesat maju lak-

sana elang dengan kedua tangan siap mengaduk-aduk.

"Yeaaa...!"

Blasss!

Tubuh Sena menyeruak ke dalam rongga pusa-

ran angin itu. Tangannya terus bergerak, mengaduk-

aduk pusaran angin yang telah menelan tubuhnya. 

Namun pusaran angin itu bagai tak mengalami apa-

apa. Malah semakin keras Pendekar Gila berusaha 

menghancurkan, semakin keras pula tubuhnya digu-

lung.

"Celaka!" pekik Sena dengan mata membelalak 

tegang, menyadari kalau semua pukulannya tak berar-

ti sama sekali. "Oh! Napas ku terasa sesak sekali. Se-

pertinya, angin ini menyerap seluruh tenagaku."

Sena kini merasakan otot di persendiannya bagai 

direjam. Tubuhnya terus bergulung, mengikuti pusa-

ran angin itu. Namun dia tak mau mengalah begitu sa-

ja. Terus diserangnya pusaran angin itu. Pukulan sak-

tinya segera dikerahkan.

"Pukulan 'Inti Bayu'. Yeaaah...!"

Pukulan 'Inti Bayu' merupakan ajian yang mam-

pu mengeluarkan angin deras dan besar. Bahkan 

mampu menerbangkan pohon raksasa sekalipun.

Wusss!

Angin bertemu dengan angin. Keduanya berusa-

ha saling mengalahkan. Namun pukulan 'Inti Bayu'

yang dikerahkan Pendekar Gila ternyata tak mampu 

menghancurkan pusaran angin itu. Sena semakin ter-

jepit. Nafasnya kian terasa sesak dan tersengal-sengal.

"Celaka! Pukulanku tak berarti...!" rintih Sena.

Pendekar Gila merasakan tulang-tulangnya bagai 

remuk, dihimpit dan digulung oleh pusaran angin itu. 

Dan tubuhnya terpontang-panting di dalamnya.

"Oh, apa yang harus kulakukan?" tanya Sena se-

tengah mengeluh. "Ku coba dengan 'Inti Api'. 

Yeaaah...!"

Tangan Pendekar Gila kini merah membara. Ke-

mudian, nampaklah api melesat ketika Pendekar Gila 

menghantamkan tangannya ke arah pusaran angin itu.

Wusss!

Dap, dap, dap...!

Api yang meluncur dari tangan Pendekar Gila, 

padam seketika. Sepertinya, api yang kekuatannya se-

ratus kali dari api biasa, tak ada gunanya sama sekali.

Pusaran angin itu semakin keras menghimpit tu-

buh Pendekar Gila. Membuatnya kian menderita aki-

bat himpitan itu. Namun begitu, pantang baginya un-

tuk mengalah atau pasrah. Dicabutnya Suling Naga 

Sakti. Kemudian dengan meringis menahan sakit, mu-

lutnya segera meniup Suling Naga Sakti. 

"Tuiiit, tuiiit..!"

Alunan Suling Naga Sakti tercipta. Mulanya me-

lantun lembut, namun semakin lama semakin me-

lengking keras. Dari kedua mata di kepala naga pada 

pangkal suling itu, melesat selarik sinar merah ke pu-

saran angin.

Wusss!

Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya 

sambil memutarkan arah mata naga di suling itu ke 

sekelilingnya, membuat larikan-larikan sinar dari mata 

naga laksana memotong pusaran angin itu.


Wusss, wusss...!

Pusaran angin itu semakin lama semakin pelan. 

Sampai akhirnya hilang sama sekali. Tubuh Pendekar 

Gila terpelanting, lalu jatuh terduduk.

"Hilang...!" seru Sena dengan mata membelalak, 

menyaksikan pusaran angin itu hilang dengan sendi-

rinya, seakan raib begitu saja. Bahkan angin lembah 

yang semula kencang, kini turut menghilang.

Sena masih belum mengerti apa yang sebenarnya 

telah terjadi di lembah itu. Juga dengan hilangnya an-

gin yang membentuk pusaran, serta angin lembah 

yang tiba-tiba mereda. Tapi suara menyeramkan yang 

didengarnya tadi justru terdengar lagi.

"Huk huk huuuk...!"

Sena seketika tersentak. Matanya menyapu ke 

sekelilingnya yang sepi dan mencekam untuk mencari 

asal suara yang didengarnya.

"Hm.... Tentunya suara itu sebagai tanda suara 

pertama," gumam Sena. Dongkol juga Sena mengha-

dapi semuanya. Belum lagi rasa dukanya hilang kare-

na kematian dan penculikan orang-orang yang dicintai, 

kini harus pula menghadapi hal aneh.

Suling Naga Sakti diselipkannya di pinggang. La-

lu tubuhnya tak bergeming, menunggu setiap ke-

mungkinan yang bakal terjadi.

"Huk huk huuuk...!" 

"Keluarlah! Apa pun wujud mu, aku tak akan la-

ri!" bentak Sena, yang semakin dibuat jengkel oleh su-

ara itu. Hatinya yang sedang diliputi duka dan sedih, 

menjadi marah.

Wusss!

Kembali terdengar suara angin bertiup keras, 

mengejutkan Pendekar Gila. Seketika tubuhnya berba-

lik, lalu memandang arah datangnya suara itu.

Mata Pendekar Gila membelalak. Mulutnya ternganga tanpa sadar, ketika menyaksikan sosok besar 

yang berada tiga tombak di hadapannya. Sosok menye-

ramkan yang tingginya melebihi bukit, dengan tubuh 

sebatas perut ke bawah diliputi oleh asap tebal ber-

warna gelap.

"Oh...! Makhluk apa itu?!" seru Sena dengan ma-

ta masih membelalak dan mulut ternganga.

Makhluk itu menyerupai monyet, namun telin-

ganya panjang dengan ujung meruncing. Di kepalanya, 

terdapat tanduk yang berkilat tajam dan runcing. Mata 

makhluk itu besar, berwarna merah membara laksana 

api. Lidahnya juga merah, menjulur panjang. Dengus 

nafasnya terdengar keras. Tubuhnya dipenuhi bulu hi-

tam kemerah-merahan. Kuku-kukunya panjang dan 

runcing.

"Hogm...!"

Makhluk menyeramkan itu mengeluarkan sua-

ranya yang memekakkan telinga.

Kaki Sena melangkah mundur dengan mata ma-

sih memandangi makhluk menyeramkan yang keliha-

tannya siap melakukan serangan terhadapnya.

"Hm.... Apa lagi yang akan terjadi?" gumam Sena 

sambil terus melangkah mundur. Dia telah waspada 

penuh untuk mengelak, sekaligus membalas serangan 

yang akan dilakukan makhluk menyeramkan itu.

Makhluk tinggi besar menyeramkan itu kini me-

nyerang ke arah Pendekar Gila. Sepasang tangannya 

yang besar berkuku panjang dan runcing, menyambar 

cepat. Sedang dari mulutnya tersembur api yang besar, 

siap membakar tubuh Pendekar Gila.

Wosss!

"Uts!"

Sena segera melenting ke samping dengan bersal-

to beberapa kali untuk mengelakkan sambaran tangan 

makhluk menyeramkan itu. Lalu dengan cepat pula,


tubuh Pendekar Gila melesat ke arah makhluk menye-

ramkan itu. Pukulan tenaga dalamnya dikerahkan un-

tuk menghantam wajah makhluk itu.

"Heaaa...!"

Makhluk menyeramkan itu tidak mengelak, sea-

kan membiarkan pukulan tenaga dalam Pendekar Gila 

menghantam tubuhnya.

Desss!

Mata Pendekar Gila membelalak dengan mulut 

menganga mendapatkan kenyataan yang sulit diper-

caya. Pukulan saktinya bagai menghantam angin. Saat 

itu pula tangan makhluk menyeramkan itu menyam-

bar ke arah tubuhnya.

Wut!

"Uh!"

Beruntung Pendekar Gila masih memiliki kewas-

padaan tajam, sehingga mampu berkelit dari sambaran 

tangan makhluk itu. Tubuhnya melenting ke belakang, 

bersalto di udara beberapa kali, sebelum kakinya men-

darat di tanah dengan ringan. Matanya memandang ta-

jam pada makhluk menyeramkan yang ada di hada-

pannya, seakan tak percaya pada apa yang telah di-

alami.

Wusss!

Api membara kembali keluar dari mulut makhluk 

menyeramkan itu, menyambar ke arah tubuh Pende-

kar Gila. Sementara, Sena segera membuang tubuhnya 

dengan bersalto ke samping, kemudian dengan cepat 

balas menyerang.

"Yeaaah!"

Tubuh Pendekar Gila yang sangat kecil diban-

dingkan makhluk menyeramkan itu, melesat cepat 

laksana terbang. Tangan kanannya mengepal. Sedang-

kan tangan kirinya diletakkan di depan dada. Lalu 

dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila me


lontarkan pukulan saktinya.

"Yeaaa!"

Wut..! 

Untuk yang kedua kalinya Pendekar Gila tersen-

tak kaget mendapatkan pukulannya tak berarti apa-

apa. Makhluk menyeramkan itu bahkan dengan cepat 

membalas. Tangannya menyambar ke tubuh Pendekar 

Gila. 

Plak!

"Ukh!" keluh Sena. Tubuhnya terpelanting ke be-

lakang akibat hantaman tangan makhluk menyeram-

kan itu. Saat itu pula rasa panas menyengat tubuh-

nya.

Pendekar Gila meringis, merasakan sakit pada 

tubuhnya. Segera dia bangkit sambil menggaruk-garuk 

kepala. Kemudian kakinya ditarik ke samping setengah 

menekuk dan tangannya menghantam ke depan. Itu-

lah jurus 'Tamparan Sukma'. Dengan menggunakan 

jurus itu, Pendekar Gila berharap dapat mengalahkan 

makhluk menyeramkan itu.

Tubuh Pendekar Gila kembali melesat laksana 

terbang. Kemudian tangan kirinya melakukan tampa-

ran ke wajah makhluk menyeramkan yang telah di-

jangkaunya.

Blak!

"Aaarghhh...!"

Makhluk menyeramkan itu meraung keras, men-

dapat tamparan yang dirasakan hantaman ribuan hali-

lintar yang menggelegar. Padahal gerakan yang dilaku-

kan Pendekar Gila kelihatan sangat lemah dan pelan. 

Bahkan dilakukan dengan mata terpejam serta hanya 

mengandalkan kekuatan jiwanya. Namun hasilnya 

sangat dahsyat Makhluk menyeramkan itu meraung-

raung kesakitan. Kemudian tubuhnya perlahan-lahan 

menghilang, berganti dengan kabut tebal yang terbang

bersama angin.

"Hhh...," Sena menghela napas panjang. Matanya 

kembali menyapu ke sekelilingnya.

"Pendekar Gila, saat ini kau menang! Tapi tunggu 

pembalasanku...!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang 

mengancam Pendekar Gila, sehingga membuatnya ter-

sentak.

"Hei, siapa itu! Tunjukkan wujud mu!" bentak 

Sena. Tapi tak ada sahutan. Lembah itu kembali sepi, 

diselimuti kegelapan yang bisu.

Sena menghela napas. Pandangan matanya bere-

dar ke sekeliling tempat itu. Kemudian setelah yakin 

tak ada apa-apa lagi, tubuhnya melesat meninggalkan 

tempat itu untuk mencari Mei Lie.


TIGA



Kabut tebal menyelimuti sebuah bangunan besar 

dan megah yang menyerupai candi. Bangunan tua itu 

adalah istana gaib tempat Dewi Pemuja Setan. Bangu-

nan itu berada di dalam gumpalan kabut tebal. Mem-

buat orang persilatan sulit untuk menemukannya.

Di dalam istana, tepatnya di dalam sebuah ruang 

kamar yang semuanya berwarna putih, nampak Dewi 

Pemuja Setan tengah duduk bersila. Di hadapannya 

terdapat dupa yang mengepulkan asap. Di sisi dupa, 

terdapat kembang tujuh warna.

Dewi Pemuja Setan memandang ke tempat tidur 

yang berwarna putih, dengan kelambu terbuat dari su-

tera putih. Di atas tempat tidur, tergeletak sesosok ga-

dis cantik. Gadis itu berkulit kuning langsat, dengan 

rambut digelung dua di atas kepala. Berbaju putih lengan panjang, serta bibir tipis dan hidung tidak begitu 

mancung. Ternyata dia adalah Mei Lie.

Dewi Pemuja Setan yang setiap kehadirannya se-

nantiasa didahului oleh kabut tebal, nampak berparas 

cantik jelita. Berbaju putih seperti jubah, dengan ikat 

pinggang merah. Rambutnya terurai panjang dan ber-

gelombang. Di kepalanya terdapat sebuah ikat kepala 

dengan hiasan tengkorak manusia.

"Hm...," Dewi Pemuja Setan bergumam tidak je-

las. "Singo Edan, kali ini kau akan mendapatkan bala-

sanku! Begitu juga dengan muridmu!"

Dewi Pemuja Setan memejamkan mata. Mulutnya 

komat kamit membaca mantera. Tangannya berside-

kap di depan dada. Asap dupa semakin mengepul. 

Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Pemuja Setan ter-

getar hebat.

"Mei Lie...!" panggilnya lirih.

"Uh," Mei Lie mengeluh.

"Bangunlah, Mei Lie! Bangunlah dari ragamu!"

Roh Mei Lie menurut untuk bangun. Nampak 

samar-samar sebuah bayangan keluar dari tubuh Mei 

Lie lalu berdiri di hadapan Dewi Pemuja Setan yang 

duduk bersila.

"Ada apa Sri Ratu memanggilku?" terdengar sua-

ra arwah Mei Lie bertanya.

"Tugas untukmu! Bunuh orang yang kini hendak 

ke Lembah Lamur!" perintah Dewi Pemuja Setan.

"Baik, Sri Ratu," jawab roh Mei Lie.

"Berangkatlah. Aku akan mengiringi mu dengan 

Kabut Iblis! Kita harus bisa membuat semua orang 

persilatan membuka mata! Ha ha ha...!" Dewi Pemuja 

Setan tertawa terbahak-bahak.

Roh Mei Lie melayang keluar, meninggalkan ka-

marnya diikuti oleh Dewi Pemuja Setan yang masih 

tertawa terbahak-bahak.


***

Siang itu Lembah Lamur sangat sepi. Angin ber-

tiup kencang, seakan-akan badai hendak datang. Ka-

but tebal menyelimuti sekeliling berubah. Membuat 

suasana Lembah Lamur menjadi menyeramkan. Ca-

haya matahari yang memanggang, seakan tidak mam-

pu menembus ketebalan kabut yang menyelimuti lem-

bah itu.

Seorang lelaki berlari-lari menuju Lembah Lamur 

dari arah utara. Dilihat dari pakaian yang dikenakan 

serta pedang bergagang tengkorak manusia kecil, ten-

tunya lelaki itu tiada lain Ki Kenjono.

"He he he...!" Ki Kenjono tertawa tergelak-gelak. 

"Rupanya mereka tidak tahu di mana Lembah Lamur 

berada. Ah, akulah yang paling beruntung. Aku yang 

bakal mendapatkan Dewi Kwan Im."

Ki Kenjono tersenyum-senyum seorang diri, me-

rasa kalau dirinya yang bakal mendapatkan Titisan 

Dewi Kwan Im.

"Akulah yang akan menjadi orang terhormat dan 

tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun juga. Ha ha 

ha...!" Ki Kenjono kembali tertawa sambil terus berlari 

menuju Lembah Lamur. Matanya terus menyapu ke 

sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan kalau 

hanya dia yang ada di tempat itu.

Saat Ki Kenjono tertawa-tawa sambil terus berlari 

ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba dilihatnya seorang 

gadis cantik jelita dengan senyum menawan tengah 

berdiri memandang ke arahnya seperti mengundang Ki 

Kenjono untuk mendekatinya.

Ki Kenjono seketika menghentikan larinya. Mu-

lutnya ternganga, menyaksikan seorang gadis cantik 

jelita bak bidadari baru turun dari kahyangan berada 

di tengah lembah. Senyumnya sangat mempesona, 

membuat kecantikan gadis itu bagai tiada bandingan


nya.

Gadis itu berkulit kuning langsat dengan rambut 

digelung dua di atas kepalanya. Matanya agak sipit. 

Bibirnya tipis mungil. Hidungnya tidak terlalu man-

cung. Pakaian yang dikenakannya bergaya pakaian ga-

dis Cina, berlengan panjang dengan lebar di ujungnya 

dan berwarna putih. Panjang pakaiannya sampai ke 

mata kaki.

"Oh! Mungkinkah dia Titisan Dewi Kwan Im?" 

tanya Ki Kenjono dengan mata tidak berkedip, mema-

ku pandangannya ke arah gadis Cina yang cantik jeli-

ta. "Ya. Mungkin dialah Titisan Dewi Kwan Im."

Ki Kenjono masih terpana tanpa gerak, menyak-

sikan kecantikan gadis itu. Diusapnya kedua matanya 

dengan tangan, berusaha meyakinkan penglihatannya. 

Namun gadis cantik jelita itu tetap berdiri dengan ang-

gun.

Gadis cantik jelita itu tersenyum mengundang. 

Matanya yang indah mengerjap-ngerjap seperti mata 

kelinci. Bibirnya merah merekah. Benar-benar tak ada 

cacat celanya.

Ki Kenjono membalas senyuman wanita cantik je-

lita itu. Kakinya melangkah pelan, berusaha meng-

hampiri wanita cantik jelita yang sebagian kakinya dis-

elimuti kabut tebal, sehingga tidak nampak dari lutut 

ke bawah.

"Sungguh beruntung aku. Rupanya akulah yang 

akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," kata Ki 

Kenjono dengan senyum mengembang di bibir. Ka-

kinya melangkah setapak demi setapak menuju Lem-

bah Lamur yang tinggal beberapa tombak saja.

Kabut semakin tebal menyelimuti Lembah Lamur 

yang kian mencekam. Meski terik matahari terasa me-

nyengat, namun sinarnya tiada berarti sama sekali, 

terhalang gumpalan kabut pekat yang merambah lembah.

Ki Kenjono yang dalam kegembiraannya, tak lagi 

sempat berpikir panjang. Langkah kakinya semakin 

dipercepat. Dan ketika dia masuk ke dalam kabut itu, 

seketika dirasakannya sesuatu yang lain.

"Oh, di mana aku? Di mana gadis Titisan Dewi 

Kwan Im itu?" gumam Ki Kenjono kebingungan. Ma-

tanya menyapu ke sekelilingnya yang terasa asing. Ga-

dis cantik yang dilihatnya tadi kini tak ada lagi. Ma-

tanya hanya menangkap hutan belantara yang masih 

perawan, belum pernah dijamah tangan manusia.

"Mengapa aku ada di sini...?" tanya Ki Kenjono 

terheran-heran, masih belum mengerti mengapa tiba-

tiba dia telah berada di tempat yang asing. Padahal dia 

tadi berada di lembah tanpa satu pun pepohonan. 

Yang ada hanya perbukitan yang mengelilingi lembah 

tersebut.

"Hik hik hik...!"

Terdengar tawa terkikik yang menyeramkan. Su-

ara tawa seorang wanita yang membuat bulu kuduk Ki 

Kenjono meremang hebat. Meski dari aliran sesat, na-

mun selama ini baru didengarnya tawa wanita yang 

mengikik seperti itu. 

Mata Ki Kenjono membelalak tegang dan menya-

pu ke sekelilingnya dengan perasaan tercekam.

"Hik hik hik...!"

Tawa wanita itu kembali terdengar. Bergema di 

sekelilingnya. Membuat Ki Kenjono kian tegang. Tan-

gannya kini bergerak ke gagang Pedang Iblisnya, ke-

mudian pedang itu ditarik dari sarungnya.

Ki Kenjono kini mempersiapkan Pedang Iblisnya 

untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ma-

tanya masih menyapu ke sekelilingnya yang asing. Su-

asana di tempat itu terasa kian memompa degup jan-

tungnya. Suara-suara aneh, terdengar susul


menyusul. Bagaikan panggilan dari alam kematian.

"Hih!" Ki Kenjono mengibaskan tubuhnya ketika 

bulu kuduknya bertambah meremang. Dan ketika ke-

palanya menengok ke belakang, seketika matanya 

membelalak lebar hampir keluar. Cepat-cepat tubuh-

nya melompat ke belakang untuk mengelakkan samba-

ran tangan besar berbulu lebat menyeramkan.

"Hogrrrh...!"

Dengus napas makhluk itu sangat menyeramkan. 

Apalagi tubuhnya yang tinggi besar, hitam, dan berbu-

lu lebat. Matanya merah membara laksana api neraka. 

Taringnya mencuat keluar dari mulutnya, menghias 

sudut-sudut bibirnya hingga tampak bertambah me-

nyeramkan. Di atas kepalanya mencuat pula sepasang 

tanduk seruncing mata tombak. Meski wajahnya tam-

pak seperti kera, namun sulit sekali makhluk itu dis-

ebut hewan. Lebih tepat jika disebut mambang atau 

sejenisnya.

"Uh, makhluk apakah ini?" keluh Ki Kenjono 

dengan mata masih membelalak, menyaksikan mak-

hluk menyeramkan yang berdiri sepuluh tombak di 

depannya.

"Hogrrr...!"

Makhluk menyeramkan itu kembali menggeram, 

kemudian tangannya bergerak menyambar ke arah Ki 

Kenjono. Angin sambarannya sangat keras, menyen-

takkan Ki Kenjono.

"Edan!" umpat Ki Kenjono sambil melompat men-

gelakkan sambaran tangan makhluk menyeramkan 

itu. Kemudian dengan cepat, pedangnya dibabatkan.

Wut!

Tepat sekali pedang di tangan Ki Kenjono mem-

babat tangan makhluk menyeramkan itu, namun pe-

dang itu bagai tak berarti. Makhluk menyeramkan itu 

tidak luka sedikit pun. Bahkan nampak bertambah be


ringas.

"Edan! Benar-benar setan!" maki Ki Kenjono 

sambil menghindari sambaran tangan makhluk yang 

sebagian tubuhnya terbungkus kabut tebal. Yang tam-

pak hanya bagian perut hingga kepalanya saja.

Ki Kenjono terus bersalto, berusaha mengelakkan 

serangan-serangan yang dilancarkan makhluk menye-

ramkan yang berwajah kera, namun memiliki taring 

dan tanduk. Dengus napas makhluk itu laksana angin 

kencang yang menyapu tubuh Ki Kenjono.

"Uts! Ilmu sihir!" umpat Ki Kenjono setelah bebe-

rapa kali menyabetkan pedang ke tubuh makhluk itu, 

namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pedangnya 

laksana membabat angin belaka. Hal itulah yang 

membuat dia merasa yakin kalau makhluk menyeram-

kan itu tak lain hanya ciptaan dari ilmu sihir.

Tangan makhluk menyeramkan itu kini mencoba 

mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Namun Ki Kenjono 

terus berkelit dengan melepas pukulan saktinya.

Wesss!

Selarik sinar terbersit keluar dari telapak tangan 

Ki Kenjono, lalu menghantam tubuh makhluk menye-

ramkan itu. Namun tetap saja makhluk itu tidak men-

galami apa-apa. Malah wajahnya semakin garang be-

rapi-api. Tangannya bergantian menyabet tubuh Ki 

Kenjono, membuat lelaki itu kewalahan.

"Gila! Bisa-bisa tenagaku habis!" rutuk Ki Kenjo-

no. Keringat semakin membasahi pakaiannya. Puku-

lan-pukulan sakti yang dihantamkan ke arah makhluk 

menyeramkan itu rupanya telah menguras tenaga da-

lamnya. Tapi makhluk menyeramkan itu bagai karang 

kokoh yang tak bergeming ditampar ombak.

"Hogrrr...!"

Makhluk menyeramkan itu kini menyerang den-

gan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Menceng


keram ke arah Ki Kenjono yang semakin kewalahan.

"Uts!"

Beberapa kali Ki Kenjono dibuat pontang-panting 

ke sana kemari untuk mengelakkan sambaran-

sambaran tangan makhluk itu. Pedang Iblis di tangan-

nya tak berarti sama sekali. Makhluk itu semakin ga-

nas dan menyerang dengan membabi-buta. Geraman-

geramannya membuat suasana di sekitar tempat itu 

menjadi bergetar.

***

"Hik hik hik...!".

Pada saat nyawanya dihadapkan pada gerbang 

kematian, Ki Kenjono kembali mendengar suara tawa 

wanita yang ganjil tadi. Tawa melengking itu mengge-

ma di sekelilingnya. Bersamaan dengan itu berkelebat 

sebuah bayangan putih.

"Dewi Kwan Im!" seru Ki Kenjono dengan mata 

membelalak, menyaksikan sosok wanita cantik berke-

lebat ke arahnya. Di tangan wanita itu tergenggam se-

bilah pedang yang memancarkan cahaya merah ke-

kuning-kuningan.

"Hik hik hik...!"

Wanita cantik jelita itu kembali tertawa-tawa. Pe-

dang di tangannya seketika berkelebat cepat, memba-

bat ke arah tubuh Ki Kenjono.

Cras!

"Uhk! Aaakh...!" Ki Kenjono melolong panjang, ti-

dak mampu mengelakkan serangan yang dilancarkan 

gadis cantik itu. Matanya membelalak lebar. Wajahnya 

kini tersayat hingga mengucurkan darah. Sebuah luka 

bekas babatan, menganga dari atas ke bawah wajah-

nya. Ki Kenjono seketika meregang, kemudian ambruk 

tanpa nyawa.


"Hik hik hik...!"

Wanita cantik itu kembali tertawa terkikik, lalu 

dengan cepat tangannya mencengkeram tubuh Ki Ken-

jono. Bersamaan dengan itu, makhluk menyeramkan 

yang tadi menyerang Ki Kenjono lenyap begitu saja.

Wanita cantik itu pun berkelebat sambil memba-

wa tubuh Ki Kenjono, dan menghilang dalam kegela-

pan hutan. Seketika itu juga, kabut bergulung dengan 

cepat. Berarak pergi, membawa semua misteri yang 

ada.

Suasana Lembah Lamur kembali hening dan se-

pi, menyimpan sejuta tanda tanya. Kini keadaan nam-

pak kembali seperti semula. Sebuah lembah yang ger-

sang dan sepi. Dan debu-debunya beterbangan tersapu 

angin. 

Mentari telah condong ke arah barat, menanda-

kan hari menjelang sore. Angin bertiup sepoi-sepoi, se-

hingga suasana di sekitar tempat itu menjadi sejuk.

Saat itu, tiga orang laki-laki dengan pakaian In-

dia tampak melangkah menuju Lembah Lamur. Keti-

ganya berhidung mancung dengan kumis tebal melin-

tang. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki gemuk 

berpakaian kulit kambing. Wajah pemimpin mereka 

yang bernama Amal Meshk, nampak bengis. Cambang 

bauk kasar menghiasi wajahnya. Alis mata dan bibir-

nya tebal.

Lelaki gemuk itu sengaja datang dari daratan In-

dia. Dia adalah Ketua Perguruan Samarakasta, sebuah 

perguruan besar di tanah India. Tentunya kedatangan 

mereka berkaitan erat dengan berita tentang Titisan 

Dewi Kwan Im.

Di belakang lelaki gemuk itu, berjalan dua lelaki 

bertubuh gempal. Wajah kedua lelaki ini pun dipenuhi 

cambang bauk yang kasar, membuat kesan wajah me-

reka terlihat bengis pula. Pakaian keduanya juga ter


buat dari kulit kambing berwarna belang. Di tangan 

orang sebelah kin, tergenggam sebuah lambang dari 

perguruan mereka dengan gambar seekor elang hitam.

"Masih jauhkah Lembah Lamur, Ketua?" tanya 

Rabindra, orang yang berjalan di sebelah kanan bela-

kang sang Ketua.

"Hm.... Kurasa tidak. Bukankah orang itu me-

nunjukkan di sekitar sini," guman sang Ketua yang 

bernama Amal Meshk atau Elang Hitam. Matanya me-

mandang ke depan, pada sebuah lembah yang mem-

bentang, sepi dan gersang. Di sana debu beterbangan 

tertiup angin. 

Saat kaki mereka melangkah ke arah Lembah 

Lamur, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hal itu mem-

buat Amal Meshk dan anak buahnya tersentak. Mere-

ka membelalakkan mata, memandang kaget ke arah 

Lembah Lamur.

"Hei, lihat! Angin itu datangnya dari bukit! Ah, 

aneh sekali. Seakan ada yang mendatangkan angin 

itu!" seru Amal Meshk sambil melangkah mundur, be-

rusaha menahan tubuhnya yang gemuk dari sapuan 

angin lembah yang kencang.

Wusss!

Angin lembah semakin kencang, menderu-deru 

ke arah mereka. Angin itu seperti sengaja ditujukan 

kepada mereka, hingga hembusannya hanya ke arah 

mereka saja.

"Awas...! Jelas ini ada yang sengaja mengarahkan 

angin ke arah kita...!" seru Amal Meshk, mengingatkan 

anak buahnya agar berhati-hati.

Wusss!

"Celaka! Angin ini benar-benar bukan angin 

alam! Angin ini sengaja dibuat oleh seseorang untuk 

menghalangi niat kita...!" seru Amal Meshk. "Kajit 

Singh, cepat kau bertindak!"


Lelaki yang memegang panji segera bertindak. 

Dengan teriakan yang menggelegar, Kajit Singh melesat

"Yeaaah...!"

Tangan Kajit Singh bergerak cepat, saling silang 

dan kemudian mengibas. Dari gerakan tangannya, ke-

luar angin yang begitu cepat. Semakin cepat tangan 

Kajit Singh bergerak, semakin cepat pula angin ber-

hembus.

Perlahan-lahan angin yang menderu ke arah me-

reka dapat diatasi. Kini angin yang keluar dari tangan 

Kajit Singh, terus menekan angin yang datangnya dari 

bukit. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat sebuah 

bayangan putih. Begitu cepat bayangan itu berkelebat 

sampai-sampai mereka tidak dapat melihat dengan 

pasti bagaimana rupanya.

Kajit Singh tersentak kaget. Matanya membela-

lak. Dia berusaha menghindar, namun ternyata baba-

tan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-

kuningan di tangan bayangan putih itu lebih cepat 

membabat wajah Kajit Singh.

Cras!

"Aaa...!"

Kajit Singh memekik keras. Tangannya seketika 

menutupi wajahnya yang terbabat pedang. Darah de-

ras keluar membanjiri wajahnya. Sesaat tubuhnya me-

regang, kemudian ambruk tanpa nyawa.

Amal Meshk tersentak kaget, menyaksikan seo-

rang anak buahnya dapat dirobohkan oleh bayangan 

putih yang belum jelas siapa orangnya.

"Kajit...!"

Amal Meshk hendak lari mendekati tubuh Kajit 

Singh, namun angin kembali berhembus kencang.

"Angin keparat!" maid Amal Meshk marah. Den-

gan beringas, tangannya bergerak, menyapu deru an-

gin yang menyerang ke arahnya. "Yeaaat...!"

Amal Meshk yang sudah marah tak lagi menghi-

raukan apa yang bakal terjadi. Tubuhnya terus berke-

lebat sambil menggerak-gerakkan tangan.

"Keluarlah kau! Hadapi Amal Meshk!" bentak 

Amal Meshk penuh kemarahan, menantang bayangan 

putih yang tiba-tiba saja menjadi malaikat maut bagi 

Kajit Singh. 

Wusss!

Angin kembali menderu kencang. Pada saat itu, 

sebuah sosok bayangan putih yang memegang pedang 

bersinar merah kekuning-kuningan kembali muncul. 

Bayangan itu berkelebat cepat, kemudian tangannya 

bergerak membabatkan pedang ke arah Amal Meshk.

Amal Meshk tersentak. Tubuhnya menyurut 

mundur, kemudian segera mengelakkan babatan pe-

dang itu. Tangannya dengan sigap mencabut senja-

tanya yang berbentuk cakar elang. Kemudian dengan 

membuat jurus 'Elang Hitam Mengepak Sayap Men-

cengkeram Mangsa', Amal Meshk balas menyerang.

"Kau...!"

Amal Meshk terperanjat ketika melihat wajah 

bayangan putih itu. Namun hanya itu yang keluar dari 

mulutnya. Matanya membelalak, menyaksikan sinar 

terang yang terpancar dari pedang dan tubuh bayan-

gan putih itu. Setelah itu, pedang bersinar merah ke-

kuning-kuningan telah menebas wajahnya.

"Aaa...!" Amal Meshk memekik. Di wajahnya 

nampak sayatan pedang dari atas sampai ke bawah, 

seakan membelah wajahnya. Matanya melotot tubuh-

nya mengejang sebelum ambruk tanpa nyawa. Begitu 

juga dengan seorang anak buahnya yang lain.

Suasana Lembah Lamur kembali sepi, hanya ti-

upan angin yang menderu kencang dan sesosok 

bayangan putih yang masih berada di lembah itu. Se-

dangkan ketiga orang India itu telah bergelimpangan

menjadi mayat

"Hik hik hik...!"

Bayangan putih itu tertawa, lalu melesat dengan 

membawa tiga tubuh yang menjadi korbannya. Kemu-

dian, menghilang dalam gulungan kabut yang tebal.


EMPAT


Sena Manggala tampak tengah melangkah me-

nyelusuri gelapnya malam dalam usaha mencari tem-

pat beristirahat. Seharian kakinya telah melangkah 

untuk mencari berita tentang Mei Lie yang diculik en-

tah oleh siapa. Namun sampai sejauh itu, berita ten-

tang gadis itu belum juga didapatkan.

"Mei Lie, di manakah kau berada? Ah, telah jauh 

sekali aku berjalan mencarimu. Bahkan entah di mana 

aku kini berada. Mungkin aku telah sampai di perba-

tasan wilayah tengah dan timur," desis Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala. Mulutnya tersenyum hampa.

Kaki Sena terus melangkah menyelusuri jalan, 

sampai akhirnya dia tiba di dekat sebuah bangunan 

tua. Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-

limuti bumi. Udara terasa sangat dingin, menusuk tu-

lang sumsum. Kabut bergerak perlahan, melengkapi 

kegelapan malam yang semakin mencekam.

"Auuung...!"

Lolongan anjing hutan dari kejauhan terdengar 

mendirikan bulu kuduk yang mendengarnya. Namun 

Sena tak menghiraukan. Dia malah tertawa cekikikan. 

Tingkah lakunya seperti orang gila atau terlihat seperti 

kera kebingungan.

Bangunan tua menjulang tinggi dengan megah. 

Meski dalam kegelapan, namun mata Sena mampu


melihat kemegahan bangunan itu.

Mata Sena menatap puncak bangunan sekaligus 

menatap langit yang gelap. Malam itu tiada satu pun 

bintang terlihat, terlebih bulan. Langit hanya dipadati 

oleh arakan mega berwarna pekat

"Hi hi hi.... Malam gelap. Ah..., gulita," gumam 

Sena sambil cengengesan dengan tangan masih meng-

garuk-garuk kepala. Lalu tertawa tergelak-gelak.

Angin berhembus semakin dingin, dibarengi oleh 

kabut yang kian mencekam.

"Auuung...!"

Lolongan anjing hutan terdengar sayup-sayup. 

Sinar lidah petir berkilat, membuat suasana di sekelil-

ing tempat itu untuk sementara tenang. Saat itulah 

matanya melihat sesosok tubuh berjalan terhuyung-

huyung. Nampak orang itu tengah terluka dalam.

"Hei, siapakah itu?!" tegur Sena setengah berte-

riak. "Hi hi hi.... Rupanya aku tidak sendiri?"

Orang itu berkelebat cepat ketika mendengar te-

guran Sena. Hal itu membuat semakin membuat Sena 

penasaran.

"Lho, kenapa lari?! Eit, tunggu! Hi hi hi...!"

Sambil tertawa terkikik-kikik, Sena berkelebat 

mengejar. Namun bayangan itu seketika menghilang 

seakan raib begitu saja, membuat mata Pendekar Gila 

membelalak. Tangannya kembali menggaruk-garuk 

kepala. Keningnya berkerut.

"Hilang! Ah, dia menghilang!"

Merasa belum yakin kalau bayangan itu hilang, 

Sena berusaha mencarinya. Sekeliling tempat itu dije-

lajahinya. Tapi bayangan itu tetap tak ditemukan, le-

nyap bagai ditelan bumi.

"Ah ah ah.... Kenapa bersembunyi? Hi hi hi...!"

Sena mengerutkan kening. Tangannya mengga-

ruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya,



berusaha meyakinkan bahwa bayangan yang tadi dili-

hatnya benar-benar telah menghilang.

"Hi hi hi.... Aneh, dia menghilang. Hm, siapakah 

orang itu? Apa mungkin setan...?" pikir Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala. Matanya terus menyapu ke 

sekelilingnya, berusaha mencari bayangan itu. "Ah ah 

ah.... Setan?"

Clrrrt...! Glarrr!

Kilatan lidah petir kembali menyala, membuat 

sekeliling tempat itu kembali terang. Dan seketika itu 

pula, Sena kembali melihat bayangan hitam itu yang 

melangkah beberapa puluh tombak di hadapannya.

"Aha...! Rupanya dia sengaja mempermainkan

ku!" duga Sena berbisik, merasa dirinya dipermainkan. 

"Hi hi hi.... Baik kalau begitu."

Tubuh Sena kembali melesat, memburu ke arah 

bayangan hitam itu. Namun lagi-lagi bayangan hitam 

itu melesat pergi, seakan mengetahui kalau dirinya di-

kejar.

"Setan! Tunggu.... He he he.... Jangan lari!"

Dengan masih tertawa-tawa, Pendekar Gila beru-

saha mengejar bayangan hitam itu. Namun kembali dia 

kehilangan jejak. Bayangan hitam itu hilang begitu sa-

ja, seperti dilahap kegelapan. Tinggal Sena yang meng-

garuk-garuk kepala sambil cengengesan. Keningnya di-

tepuk.

"Oh! Kenapa dia menghilang?!"

"Auuung...!"

Lolongan anjing hutan dari kejauhan berkuman-

dang. Begitu memelas lolongannya. Tak ubahnya ar-

wah-arwah penasaran yang terhimpit di antara dua 

kehidupan, dan sulit untuk menembusnya.

"Hi hi hi...!" Sena tertawa lucu. Tampangnya se-

perti orang bodoh. Seluruh panca inderanya dipu-

satkan menjadi satu, sehingga jika ada gerak sedikit



saja, dia akan dapat menangkapnya. Matanya menya-

pu ke sekeliling tempat itu. Hanya kegelapan mence-

kam yang dilihatnya. Tak ada tanda-tanda bayangan 

itu akan kembali muncul.

Kilat kembali menjilati bumi, membuat suasana 

di sekeliling tempat itu kembali terang. Pada saat itu 

pula, bayangan hitam itu tampak sekali lagi. Dan kini 

telah berada di depan pintu bangunan tua yang tinggi 

itu.

"Hi hi hi.... Dia sudah ada di sana," gumam Sena. 

"Hm, rupanya dia benar-benar ingin mempermainkan 

aku! Heh...!"

Sena kembali berkelebat ke arah bangunan tua 

itu, memburu bayangan hitam yang tengah berdiri te-

nang. Seakan tidak pernah beranjak dari tempat itu.

"Hi hi hi...! Rupanya kau hendak mempermain-

kan ku, Sobat! Baik kalau kau mau main kucing-

kucingan denganku!" kata Sena agak sewot, merasa 

dipermainkan oleh bayangan hitam itu. Dan kini ilmu 

lari 'Sapta Bayu' dikerahkannya, berusaha menangkap 

bayangan hitam yang begitu cepat menghilang.

Wusss!

Tubuh Sena dalam sekejap saja telah melesat 

laksana angin. Tahu-tahu tubuhnya telah berada di 

dekat bayangan hitam yang hendak lari kembali. Den-

gan cepat, Sena segera menghadangnya.

"Mau lari ke mana kau?!" bentak Sena.

Tangan Pendekar Gila bergerak cepat, berusaha 

menangkap bayangan hitam itu. Namun belum juga 

tangannya sempat menjamah, tiba-tiba....

"Anak tolol!"

Sena tersentak kaget dibentak begitu rupa. Be-

lum pernah dia dibentak seperti itu. Tapi kini bayan-

gan hitam itu telah berani membentaknya. Bahkan 

bentakannya sangat kasar dengan suara yang menggelegar.

Tubuh Sena tersurut dua tindak ke belakang. 

Keningnya mengerut saat memandang bayangan hitam 

yang masih membelakangi tubuhnya.

"Hi hi hi...! Siapakah kau?!" tanya Sena. "Kenapa 

kau membentak ku?"

"Hua ha ha...! Dasar bocah edan!" maki bayangan 

hitam itu. "Ketololan mu yang akan membuatmu cela-

ka!"

"Heh?! Hi hi hi...!" Sena menggaruk-garuk kepala. 

"Kau...."

Belum juga Sena selesai berkata, lelaki itu mem-

buka jubah hitamnya. Kini nampaklah lelaki yang 

mengenakan baju panjang berwarna putih dengan ikat 

pinggang merah dan rambut digelung ke atas.

"Aha, Guru rupanya...!" seru Sena sambil meng-

garuk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.

Tubuh lelaki tua itu membalik. Dan nampaklah 

wajah Singo Edan.

"Hua ha ha...!" Singo Edan tertawa tergelak-gelak. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti yang di-

lakukan Sena. Hal itu menggelitik Sena untuk turut 

tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha...! Kenapa Guru ada di sini?" tanya Se-

na seraya menjura hormat

Mata Singo Edan melotot.

"Dasar anak tolol! Rupanya ketololan mu yang 

membuatmu tak tahu gelagat!" maki Singo Edan, den-

gan tingkah laku seperti orang gila.

"Tolol...? Hi hi hi..! Bukan tolol, tapi gila, Guru!" 

sahut Sena sambil tertawa bergelak dengan tangan 

menggaruk-garuk kepala.

Guru dan murid itu tertawa bergelak-gelak. Sea-

kan ingin memuaskan suka hati mereka. Tingkah laku 

mereka persis dua orang gila.



Singo Edan lalu melangkah ke dalam bangunan 

tua itu, diikuti Sena.

"Ikut aku!" bentak Singo Edan.

"Hi hi hi... Baik, Guru."

Guru dan murid itu menuju ke bangunan tua 

yang menyerupai candi itu, lalu masuk ke dalamnya. 

Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang cukup 

luas dalam keadaan gelap gulita.

Keduanya kemudian duduk berhadap-hadapan di 

ruangan itu. Singo Edan menggosok-gosok kuku ja-

rinya. Seketika dari kuku jarinya keluar percikan api, 

yang semakin lama bertambah besar. Dalam sekejap 

ruangan itu menjadi terang.

"Bocah tolol! Tentunya kau lapar, bukan?"

"Lapar? Hi hi hi..! Ya. Aku lapar, Guru," jawab 

Sena.

"Hua ha ha...! Memang dari dulu hanya makan 

yang kau pikirkan, Bocah Edan! Kau benar-benar 

edan...!" maki Singo Edan. Matanya memandang tajam 

muridnya yang duduk di hadapannya. "Ku bawakan

kau makanan. Lihatlah...!"

Sena mengikuti telunjuk gurunya. Seketika ma-

tanya membelalak, menyaksikan sesuatu yang terasa 

sangat aneh baginya. Tiga buah kepala manusia ter-

tancap dengan bambu!

Sejak kapan guruku berbuat keji? Oh, benarkah 

ini guruku yang dulu baik? Tanya Sena dalam hati. 

Namun wajahnya seketika kembali seperti semula.

"Ha ha ha...! Lucu sekali. Apakah itu permainan 

Guru sekarang?"

"Hua ha ha...!" Singo Edan turut tertawa. "Kau 

rupanya kaget, Bocah Edan?"

"Kaget? Ha ha ha...!" Sena tertawa bergelak-gelak 

dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. "Ka-

get Guru? Aku hanya heran, sejak kapan Guru memi


liki permainan seperti ini?"

"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani menentang 

gurumu, heh?!" sentak Singo Edan marah. Matanya 

melotot geram. Api yang menyala dari kuku-kukunya 

kian besar. Seakan api itu merupakan lambang dari 

jiwa lelaki tua itu.

"Ampun, Guru.... Sebenarnya, tidak sekali pun 

aku berani kurang ajar padamu. Tapi...." 

"Diam!" bentak Singo Edan. Sena menurut

"Ketahuilah olehmu, kepala itu adalah kepala 

mereka yang berani menentang ku!" tegas Singo Edan, 

semakin membuat Sena tercengang. Dia benar-benar 

merasa aneh dengan tingkah laku dan kata-kata gu-

runya. Tapi sebagai seorang murid yang berbakti, Sena 

tak mampu membantah. Hanya dalam hatinya saja 

yang masih diliputi ketidakmengertian.

Plok, plok, plok!

Singo Edan bertepuk tiga kali.

Dan sesaat kemudian, dari dalam candi muncul 

tujuh wanita cantik jelita dengan pakaian yang minim. 

Hanya pada bagian dada dan bawah pusar saja yang 

ditutupi. Itu pun sangat minim sekali. Hal itu mem-

buat Sena kian kebingungan, tak mengerti maksud da-

ri gurunya.

Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nam-

pak cengengesan, menyaksikan pemandangan yang 

membuat matanya membelalak. Rasa herannya sema-

kin menjadi-jadi, semakin tidak mengerti dengan mak-

sud gurunya.

***

"Bawakan bocah gila ini makanan!" perintah Sin-

go Edan pada ketujuh gadis cantik berpakaian minim 

yang lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum.


Kemudian ketujuh gadis cantik itu menjura hormat, 

sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.

"Guru...."

"Diamlah!" potong Singo Edan. "Bukankah kau 

lapar?! Jangan sekali-kali berani menentang ku, jika 

kau tak ingin seperti ketiga lelaki itu."

Sena kembali menurut. Bukannya dia takut ke-

palanya dipenggal, namun dia diam karena harus 

menghormati lelaki tua di hadapannya. Sebagai orang 

yang berjasa mengajarkannya ilmu kedigdayaan.

Plok, plok, plok!

Singo Edan kembali bertepuk tiga kali. Saat itu 

pula, ketujuh gadis-gadis cantik berpakaian minim ke-

luar. Di tangan mereka, terdapat makanan-makanan 

lezat yang mengundang selera. Nasi putih yang masih 

panas. Ikan bakar. Sambal lengkap dengan lalap petai. 

Serta sayur-mayur lainnya. Tidak ketinggalan buah-

buahan segar.

Mata Sena membelalak lebar, tak percaya dengan 

apa yang dilihatnya. Matanya dikucek-kucek, namun 

semuanya masih tetap ada. Gadis-gadis cantik berpa-

kaian minim dengan makanan-makanan lezat, masih 

dilihatnya.

O, bukan mimpi. Ah, sejak kapan Guru bertabiat 

begini? Tanya Sena dalam hati. Hatinya masih diliputi 

ketidakmengertian atas sikap gurunya yang begitu 

aneh. Meski dia tahu gurunya juga aneh seperti di-

rinya, namun keanehannya kini di luar kebiasaan.

Singo Edan adalah pendekar yang tidak pernah 

berhubungan dengan wanita. Bagaimana mungkin kini 

memiliki dayang-dayang cantik? Hal lain, Singo Edan 

tak pernah memenggal kepala manusia. Tapi kini tiga 

orang telah terpenggal kepalanya. Itu yang tidak dapat 

dipercaya Sena.

"Ayo makan," perintah Singo Edan.


"Guru, aku masih belum mengerti," tukas Sena.

"Hm.... Ada apa lagi...?"

Sena menghela napas berat. Matanya meman-

dang tujuh dayang cantik jelita yang duduk di samping 

kanan dan kiri gurunya. Kemudian pandangannya 

kembali ke arah kepala-kepala yang terpenggal itu. Te-

rakhir pandangannya tertuju ke makanan lezat yang 

mengundang selera.

"Guru, kau telah begitu baik padaku. Tapi..., ba-

gaimana mungkin aku harus lancang mendahuluimu?" 

tanya Sena yang merasa ragu akan makanan-makanan 

yang terlihat lezat itu.

"Ha ha ha...!" Singo Edan tertawa terbahak-

bahak. Matanya memandang genit ke arah dayang-

dayang cantik yang duduk di kanan-kirinya. Dibalas 

pula oleh ketujuh gadis cantik itu dengan genit. "Ru-

panya kau sekarang sudah kurang ajar pada gurumu, 

heh?!"

Akhirnya, sambil menggaruk-garuk kepala dan 

cengengesan, Sena menurut. Diambilnya makanan 

yang ada di depannya. Dicicipinya makanan itu. Lezat 

juga rasanya. Jauh lebih lezat dari makanan yang bi-

asa dimakannya. Aneh, makanan ini enak sekali! Kata 

Sena dalam hati.

"He, mengapa tidak dimakan semuanya?" tanya 

Singo Edan dengan raut wajah tak senang.

"Bukan begitu, Guru. Bukankah Guru sendiri 

yang mengajarkan padaku, bahwa aku harus waspada. 

Guru juga mengatakan, aku tidak boleh percaya pada 

siapa pun, termasuk Guru sendiri...?" jawab Sena be-

ralasan. Padahal hatinya merasakan sesuatu yang ti-

dak beres pada diri gurunya. Itu sebabnya dia tidak 

berani berlaku sembrono. Terlebih makanan di hada-

pannya sangat merangsang selera. Seakan ada bumbu 

lain pada makanan itu.


"Ha ha ha...! Benar apa yang kau katakan," kata 

Singo Edan sambil tertawa nyaring. "Baiklah, aku akan 

mendahuluinya."

Singo Edan segera mengambil makanan itu. Ke-

mudian menyantapnya sampai habis dengan terse-

nyum-senyum. Sedangkan Sena memperhatikan den-

gan seksama. Meski dia kebal terhadap racun apa pun, 

namun Sena tidak berani gegabah. Racun Kabut Ungu 

adalah ciptaan gurunya. Tentunya Singo Edan pun 

memiliki racun yang melebihi Racun Kabut Ungu.

"Kau lihat, aku tak apa-apa. Makanlah, tentunya 

kau lapar," perintah Singo Edan.

Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 

Kemudian makanan itu diambilnya. Lalu dimakan 

sampai habis. Tak ada akibat apa-apa pada dirinya.

"Ha ha ha...! Bagus! Itu tandanya kau murid yang 

paling setia dan berbakti!" kata Singo Edan sambil ter-

tawa-tawa.

Sena turut tertawa. Namun tiba-tiba tubuhnya 

terasa membara. Keringat dingin bercucuran. Matanya 

membelalak, merasakan sakit yang tiada taranya. Pada 

saat itu, telinganya mendengar jeritan Mei Lie. Seper-

tinya gadis itu memanggil-manggil namanya dan me-

minta tolong padanya.

"Sena...! Tolong aku...!"

"Mei Lie, di mana kau?!"

Dalam keadaan tubuh didera panas hebat, Sena 

berusaha bangun. Namun tubuhnya seketika lemas. 

Tulang-belulangnya bagai dilolosi dari tubuh. Hal itu 

membuat matanya kini memandang tajam pada lelaki 

yang persis gurunya.

"Hua ha ha...! Akhirnya kau akan mampus juga, 

Pendekar Gila! Hua ha ha...!" lelaki tua yang dari tu-

buh, suara, serta wajahnya persis dengan Singo Edan 

terbahak-bahak menyaksikan Pendekar Gila kini berkelojotan dengan tubuh bagai membara.

"Kau?! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Sena 

sambil berusaha memulihkan kekuatannya. Tapi ra-

cun yang telah dimakannya teramat kuat mencengke-

ram tubuhnya.

"Hua ha ha...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! 

Yang pasti, kau harus mampus!" lelaki yang penampi-

lannya persis Singo Edan kini mengangkat kedua tan-

gannya. Dan dari telapak tangannya, terpancar sinar 

merah kehitam-hitaman.

"Sena...! Tolong aku...!"

Suara Mei Lie masih saja terdengar, memanggil-

manggil Sena yang dalam keadaan kritis. Terlebih tan-

gan lelaki di hadapannya semakin dekat ke arah kepa-

la Sena yang kini masih bergelinjangan.

"Mampuslah kau! Yeaaa...!"

Sesaat lagi, nyawa Pendekar Gila akan melayang. 

Kepalanya akan hancur dihantam oleh pukulan maut 

lelaki itu. Sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba sebuah 

bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Pende-

kar Gila sambil menangkis pukulan tangan lelaki itu.

Blarrr!

Ledakan terdengar menggelegar, dibarengi oleh 

keluhan lelaki yang mirip Singo Edan. Tubuh lelaki itu 

terdorong ke belakang. Sedangkan ketujuh gadis yang 

menjadi dayangnya berpentalan dengan keadaan yang 

mengerikan. Wajah mereka hancur, terkena tenaga 

hantaman dua kekuatan dahsyat.

"Ukh...! Setan alas! Siapa kau...?!" bentak lelaki 

mirip Singo Edan seraya bangkit dan mengejar bayan-

gan putih yang telah membawa tubuh Pendekar Gila. 

Namun bayangan putih itu telah menghilang dalam 

kegelapan.

Dengan mencaci maki dan merutuk, lelaki tua itu 

berkelebat pergi. Tubuhnya terbungkus oleh kabut

tebal, kemudian lenyap dalam sekejap.


LIMA


Orang berjubah putih yang menyambar tubuh 

Pendekar Gila terus berlari cepat Begitu cepatnya ber-

lari, sampai-sampai kakinya tak menginjak tanah. Dia 

melesat cepat laksana terbang. Tidak begitu lama, 

sampailah orang itu di pesisir pantai laut selatan.

Orang itu menghentikan langkahnya. Matanya 

menyapu ke sekelilingnya, seakan meyakinkan diri ka-

lau tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah ya-

kin tak ada seorang pun yang melihat, dengan me-

manggul tubuh Pendekar Gila tubuhnya melenting ke 

atas.

"Hih!"

Tubuh orang itu bersalto di atas lautan, kemu-

dian dengan ringan melesat masuk ke dalam karang 

besar yang menonjol di lautan. Dan kakinya mendarat 

ringan di depan sebuah goa.

Orang itu menghela napas seraya memandang 

wajah Pendekar Gila yang memerah. Kemudian dengan 

ringan, kakinya melangkah masuk ke dalam goa yang 

tak lain Goa Setan. Dan tentunya orang berjubah putih 

itu adalah Singo Edan. Guru Pendekar Gila!

"Hm...," Singo Edan menggumam. Kakinya terus 

melangkah ke dalam goa. Sesekali dipandanginya wa-

jah Sena yang kian membara. "Racun jahat!"

Singo Edan berhenti di sebuah ruangan lebar. 

Tempat tersebut dulu digunakan untuk tidur Sena 

Manggala. Di situ terdapat sebuah batu panjang dan 

cukup lebar berbentuk datar. Batu itulah yang biasa-

nya dipakai Sena untuk tidur ketika masih berada di 

Goa Setan.

Tubuh Sena direbahkan di atas batu itu. Setelah

memandangi tubuh muridnya, Singo Edan melangkah 

keluar. Dia kini menuju ruangan yang digunakan un-

tuk menyimpan racun dan obat-obatan.

"Racun Sambuk Nyawa bukanlah racun semba-

rangan. Ah, mengapa aku tidak ingat kalau racun itu 

masih ada?" keluh Singo Edan, menyesali keteledoran-

nya. "Kalau saja racun itu kuketahui masih ada, ten-

tunya Sena tidak mengalami hal seperti ini."

Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Lalu tan-

gannya menepuk-nepuk kening. Matanya mencari ra-

cun-racun yang ada di ruangan itu.

"Huh! Mengapa racun itu kembali muncul? Bu-

kankah racun itu telah musnah bersamaan dengan 

musnahnya tukang sihir itu?" tanya Singo Edan pada 

diri sendiri. Nadanya masih menyesali keteledorannya, 

sehingga muridnya harus mengalami hal yang tak per-

nah diduga sama sekali.

Singo Edan terus mencari obat yang bisa mena-

warkan Racun Sambuk Nyawa. Matanya terus me-

mandangi satu persatu botol-botol obat dan racun ter-

sebut. Namun tidak juga ditemukannya.

"Hm.... Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? 

Bukankah Dewi Pemuja Setan telah musnah?" kening 

Singo Edan berkerut, memikirkan keanehan itu. Inga-

tannya kembali melayang pada masa mudanya, ketika 

dia masih malang-melintang di rimba persilatan. Ber-

kelana menumpas keangkaramurkaan.

Suatu hari ketika dia tengah berkelana, Singo 

Edan singgah di sebuah desa. Di situ, didengarnya ten-

tang Dewi Pemuja Setan. Ilmu-ilmunya tinggi, terlebih 

dalam hal ilmu sihir. Dia bisa menjelma menjadi mak-

hluk apa pun yang dikehendakinya.

Di samping ilmu sihirnya yang hebat, wanita itu 

memiliki ilmu racun yang ganas bernama Sambuk 

Nyawa. Orang yang terkena racunnya, akan mengalami


kematian yang mengerikan. Tubuhnya akan menjadi 

mayat yang mengerikan. Bengkak-bengkak, kemudian 

pecah dengan mengeluarkan nanah. Hal itu terjadi be-

rangsur-angsur. Hingga korbannya benar-benar tersik-

sa hebat

Keduanya bertemu, kemudian bertarung. Singo 

Edan tak pernah menyangka, kalau Dewi Pemuja Se-

tan yang katanya telah berumur tujuh puluh lima ta-

hun itu ternyata masih cantik jelita. Bahkan keliha-

tannya masih muda belia, lebih muda dari usianya 

yang saat itu berumur dua puluh dua tahun.

Keduanya bertarung dengan ilmu-ilmu tinggi. 

Dewi Pemuja Setan mengeluarkan ilmu-ilmu sihirnya. 

Namun dengan Suling Naga Sakti, Singo Edan mampu 

mengatasinya. Sampai akhirnya, Singo Edan diserang 

dengan Racun Sambuk Nyawa. Hampir saja Singo 

Edan mengalami kematian. Tapi tanpa diduga, di per-

jalanan pulang dalam keadaan luka, kakinya digigit 

seekor ular berwarna putih.

Setelah digigit ular itu, anehnya Racun Sambuk 

Nyawa lenyap. Singo segera memotong tubuh ular pu-

tih yang bernama Sandra Dewa, lalu mereguk darah-

nya sampai habis. Rupanya ular itu adalah obat pena-

war dari Racun Sambuk Nyawa yang diambil dari ular 

merah yang bernama Wiraga Kala.

Singo Edan pun kembali mencari Dewi Pemuja 

Setan. Keduanya kembali bertarung, sampai akhirnya 

Dewi Drugadi atau Dewi Pemuja Setan dapat dikalah-

kan. Tubuh wanita itu hancur terkena hantaman sinar 

yang keluar dan sepasang mata naga di pangkal Suling 

Naga Sakti.

"Ah ah ah...!" Singo Edan menepuk-nepuk ke-

ningnya. "Bukankah hanya ada satu obat yang mampu 

menawarkan Racun Sambuk Nyawa?"

Dengan tingkah laku seperti orang gila, Singo


Edan melangkah keluar dari ruangan itu.

"Aku harus mencari ular putih itu," bisik Singo 

Edan seraya menggaruk-garuk kepala. "Tapi, apa ular 

itu ada? Menurut kabar, ular itu muncul setiap seten-

gah abad sekali."

Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Kemudian 

bagaikan orang gila, jari tangannya dihitung.

"Ya ya ya...! Tentunya ular itu memang ada seka-

rang. Aku harus mencarinya," ujar Singo Edan seraya 

melangkah ke ruang di mana tubuh Sena tergeletak.

Saat itu tubuh Sena kian merah membara. Per-

tanda Racun Sambuk Nyawa mulai bekerja.

"Hm.... Aku harus menghentikan jalan darahnya!"

Jari Singo Edan segera menotok beberapa bagian 

tubuh muridnya untuk menghentikan jalan darah. 

Dan hasilnya memang baik. Sinar merah yang memba-

ra di tubuh Sena sedikit memudar. Kini tinggal wajah-

nya saja yang masih membara, namun tidak separah 

sebelumnya. 

"Hm.... Bagus! Kini aku harus segera mencari 

ular itu. Aku harus ke puncak Gunung Candraka."

Setelah memandangi kembali tubuh Sena yang 

masih tergeletak pingsan, tubuh Singo Edan melesat 

meninggalkan tempat itu. Dia harus mencari ular pe-

nawar racun yang mengeram dalam tubuh muridnya.

Tidak lama kemudian, Singo Edan telah kembali. 

Di tangannya tergenggam seekor ular berwarna putih 

yang masih hidup. Ular itu tak mau menggigit tubuh 

Singo Edan. Seakan tahu kalau tubuh lelaki tua itu te-

lah kebal terhadap racunnya.

Singo Edan mendekati tubuh Sena yang masih 

terbaring tanpa daya. Kemudian mulut ular putih itu 

didekatkan ke perut Sena. Sedangkan tangan kirinya 

menotok jalan darah di tubuh Sena.

Tep, tep, tep!


"Hm, semoga aku berhasil," gumamnya sambil 

mendekatkan mulut ular putih itu. Seketika itu juga 

ular putih yang mencium bau racun lawan langsung 

menggigit perut Pendekar Gila.

Crab!

Ular putih itu mendesis-desis. Dengan ganas di-

gigitnya perut Sena. Bisanya masuk ke dalam tubuh 

Sena bersamaan dengan taringnya yang runcing.

Keanehan terjadi. Ular putih itu menggelepar-

gelepar sekarat. Sedangkan tubuh Sena mengepulkan 

asap hitam. Pertanda kalau kedua racun itu tengah 

berusaha saling mengalahkan dalam tubuh Sena.

Ular putih itu terkulai lemas. Sedangkan tubuh 

Sena kini bersinar terang.

"Hua ha ha...! Aku berhasil!" seru Singo Edan gi-

rang, menyaksikan Racun Sambuk Nyawa telah mus-

nah. Bahkan tubuh muridnya akan kebal terhadap se-

gala racun bila meminum darah ular putih itu.

Singo Edan melangkah, meninggalkan tubuh Se-

na yang masih tak bergeming. Tidak lama kemudian, 

dia kembali ke tempat itu dengan membawa pisau.

Tuk!

Singo Edan menotok urat leher Sena, membuat 

mulut pemuda tampan itu membuka. Saat itu juga, 

Singo Edan segera menyayat tubuh ular putih yang 

lemas itu, lalu meneteskan darahnya ke dalam mulut 

Sena.

"Hm.... Kini semuanya telah beres," gumam Singo 

Edan. Dia bergegas meninggalkan tempat itu, untuk 

menunggu sampai muridnya siuman.

Benar juga! Tidak lama kemudian, Sena Siuman. 

Tubuhnya nampak menggeliat, berusaha melemaskan 

otot-ototnya yang kaku.

"Oh! Racun itu hilang. Ah, tenagaku pulih!" seru 

Sena girang. Tubuhnya segera melompat bangkit. Ma


tanya menyapu ke sekeliling tempat itu. "Goa Setan? 

Ah, bagaimana mungkin aku di sini? Bukankah tadi 

aku berada di candi?"

Sena masih kebingungan. Hatinya seketika dili-

puti oleh amarah. Api amarah itu membakar jiwanya, 

mana kala benaknya ingat kembali akan perbuatan 

gurunya di candi itu. Sang Guru yang dihormati dan 

dijunjung tinggi petuahnya telah tega meracuninya.

"Keparat! Aku harus membalas semuanya! Hm.... 

Kini aku tak peduli siapa pun dia. Meski dia guruku, 

tapi dia telah menyakiti ku!"

Sena bergegas keluar dari ruangan itu. Dia hen-

dak mencari Singo Edan yang dianggapnya telah ber-

buat keji. Malah hampir saja dia binasa.

"Mau ke mana? Tubuhmu masih lemah." Baru 

beberapa langkah Sena keluar, tiba-tiba terdengar sua-

ra Singo Edan.

Amarah Sena meledak, setelah mengetahui gu-

runya berada di tempat itu juga. Namun, Sena menjadi 

agak heran. Dia tak mengerti, mengapa gurunya seper-

ti itu? Tadi meracuni dan bahkan hendak membu-

nuhnya. Mengapa kini seakan membiarkan dirinya 

berbuat leluasa?

"Kau masih lemah. Kau perlu istirahat," tegur 

Singo Edan kembali.

"Persetan dengan omongan mu!" dengus Sena, 

sengit.

"Sena. Tak baik kau berkata begitu," kata Singo 

Edan masih dengan suara tenang.

Kaki Sena melangkah ke tempat gurunya biasa 

berada. Kini keduanya berhadap-hadapan. Tapi Singo 

Edan masih duduk tenang di atas batu yang biasa di-

pergunakannya.

"Kau telah mencoba membunuhku! Huh, begitu-

kah watak seorang guru?!" dengus Sena sinis, dilanda


si oleh kemarahan. "Kau begitu kuhormati! Petuah mu

sangat ku agungkan. Namun ternyata kini kau keji! 

Kau kejam! Tidak kusangka kalau aku memiliki guru 

yang sesat!"

"Sena...!" seru Singo Edan. 

"Bertobatlah pada Hyang Widhi, sebelum kukirim 

kau ke akhirat! Dosamu telah terlalu banyak!" ujar Se-

na dengan suara masih tinggi, masih diburu oleh ama-

rah.

"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan pada-

mu... "

"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang 

Widhi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!"

Sena segera menerjang dengan cepat Bukan lagi 

jurus pembuka 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang di-

gunakan, melainkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung 

Karang'. Tangannya bagai sepasang tangan milik dewa, 

menghantam dan menyambar tubuh Singo Edan.

"Uts..!"

Bukkk!

Singo Edan yang tahu kalau muridnya salah pa-

ham, sama sekali tidak mau membalas. Dia hanya me-

nangkis serangan-serangan yang dilancarkan Sena. 

Tingkah keduanya persis orang gila yang bercanda da-

lam lingkaran maut. Namun justru gerakan-gerakan 

itu yang sangat dahsyat dan berbahaya.

"Sena, hentikanlah! Kau salah paham, Anak-

ku...," bujuk Singo Edan, masih berusaha menyadar-

kan muridnya.

"Salah paham? Ha ha ha...! Rupanya nyalimu te-

lah ciut! Tidak kusangka, orang yang selama ini ku

agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertu-

buh manusia! Heaaa...!"

Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya. Jurus-

jurus yang sangat dahsyat. Namun begitu, Singo Edan


yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak 

mengalami kerepotan. Kalau mau, tentunya Singo 

Edan mampu menghentikan semuanya. Tapi Singo 

Edan tidak melakukannya. Kalau dilakukannya, tentu 

Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah mera-

cuninya.

"Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis! Hingga 

kau semakin sombong dan takabur. Lupa akan kekua-

saan Hyang Widhi!" dengus Sena marah, menyaksikan 

Singo Edan tak juga mau balas menyerang.

"Sena, lakukanlah apa yang kau inginkan! Kau 

tak akan percaya kalau aku menjelaskannya. Untuk 

itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas 

kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu. 

Tangan muridku sendiri! Nah, lakukanlah! Cabut Sul-

ing Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mam-

pu membunuhku!" seru Singo Edan.



"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan...." 

"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Wid-

hi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!"

"Uts...!" 

Bukkk!

Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham, 

maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas!

Sena tersentak seraya melompat mundur dua 

tindak. Matanya menatap tajam wajah gurunya yang 

masih tersenyum. Tangannya memegang Suling Naga 

Sakti yang terselip di pinggangnya.

"Kau ragu, Sena? Kalau begitu, lakukanlah den-

gan jurus maut mu yang dahsyat. Yang kau dapatkan 

di hutan dari seekor kera. Bukankah jurus 'Tamparan 

Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat diban-

dingkan dengan jurus-jurus gila? Ayo, lakukanlah!" 

tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini 

hanya terdiam. Nampaknya Sena dilanda kebimban-

gan.

Singo Edan tertawa terbahak-bahak.

"Kau takut Sena?"

"Tidak...!"

"Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan. 

"Baik! Jangan menyesal kalau aku membunuhmu! 

Maaf...!"

Usai berkata demikian, Sena segera memperaga-

kan jurus 'Tamparan Sukma'nya. Singo Edan tak ber-

geming dari tempatnya berdiri. Bahkan mulutnya ma-

sih tersenyum. Matanya masih memandangi gerakan-

gerakan yang dilakukan muridnya. 

"Heaaa...!"

Sena bergerak hendak menyerang. Namun saat 

itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang ge-

rakannya. Bayangan itu segera memapaki jurus yang


dilakukan Sena.

"Nguk!"

Desss!

"Ukh...!"

Sena mengeluh pendek. Matanya seketika mem-

belalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang 

jurus 'Tamparan Sukma'nya. Ternyata seekor kera.

"Kau...?! Mengapa kau menghalangi niatku, Ka-

wan?! Dia jahat! Dia telah membunuh orang dengan 

keji. Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main 

perempuan. Dia juga telah meracuni ku. Uhuk...!"

Sena terbatuk-batuk. Tenaganya yang belum pu-

lih benar, membuat tubuhnya belum kuat. Hanya ka-

rena amarah saja, membuatnya memaksakan diri un-

tuk bangkit. Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan 

kembali jatuh pingsan.

Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri. 

Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pem-

baringan semula. Di kanan dan kirinya, Singo Edan 

dan Kera Sakti menungguinya.

"Kawan, mengapa kau membela orang yang ja-

hat?" tanya Sena pada Kera Sakti.

"Nguk, nguk...!"

Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala. Kemu-

dian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan 

kalau Sena justru yang telah salah sangka. Singo Edan 

tetap seperti dulu. Tetap gurunya yang bijaksana. 

Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan 

yang membawa Sena ke Goa Setan.

"Guru.... Ampunilah saya. Hukumlah saya yang 

telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-

buatannya yang telah lancang terhadap sang Guru.

Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil 

menggeleng-gelengkan kepala.

"Lucu sekali kau, Bocah Gila! Hua ha ha...! Men


gapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan! Kau tidak 

salah. Bangunlah! Kebetulan sahabatku datang kema-

ri," kata Singo Edan.

Sena segera bangun. Lalu menyembah dan men-

cium kaki gurunya. Kemudian setelah Singo Edan 

memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena 

pun menurut dan berdiri.

"Kita ngobrol-ngobrol. Bagaimana, Sahabat?" 

tanya Singo Edan pada Kera Sakti.

"Nguk, nguk...!"

Kera Sakti mengangguk-angguk. Lalu mereka 

bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya berta-

rung. Singo Edan duduk di tempat biasa. Sementara 

Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah.

"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo 

Edan. Kemudian dia pun menceritakan siapa sebenar-

nya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka 

yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan.

Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar 

Gila terdahulu. Asalnya, orangtua sekaligus guru dari 

Kera Sakti, dikeroyok oleh manusia. Sepasang kera itu 

dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena diang-

gap menjadi penghalang sepak terjang mereka. Hampir 

saja kedua orangtua Kera Sakti binasa. Saat itu datang 

Ki Amba Dewa atau Pendekar Gila dari Goa Setan yang 

menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba 

hitam.

"Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat 

dengan kedua orangtua Kera Sakti. Bukan begitu, Kera 

Sakti?" tanya Singo Edan.

"Nguk, nguk...!"

Kera Sakti mengangguk-angguk.

"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena. Sekarang 

kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Se-

na."

Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi 

Drugani atau Dewi Pemuja Setan. Secara singkat Singo 

Edan menceritakan semuanya.

"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada 

lagi? Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan 

tahun silam."

"Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidi-

kinya, Guru."

"Ya! Berangkatlah. Doa ku akan selalu mengiringi 

mu," kata Singo Edan.

Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggal-

kan tempat itu untuk meneruskan petualangannya 

yang sempat tertunda akibat kelalaiannya.

Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang 

beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera 

Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode

"Duel di Puncak Lawu").


ENAM


Lembah Lamur pagi itu masih diselimuti kabut 

tebal. Dari arah utara, nampak tiga lelaki berambut 

merah melangkah menuju lembah itu. Dilihat dari 

warna rambut dan jubahnya, jelas ketiga lelaki itu ada-

lah Tiga Setan Rambut Api.

Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Ti-

ga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan 

Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah 

Lamur.

Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju 

ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua 

bayangan. Seorang berjubah putih dan berwajah persis 

dengan Singo Edan. Sedangkan satu lagi seorang gadis 

cantik berkulit kuning langsat seperti orang Cina. Di



pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang ga-

gangnya terbuat dari emas.

Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih ter-

sebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan 

mata.

"Dewi Kwan Im...!"

"Hua ha ha...! Rupanya mata kalian masih belum 

buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah 

Singo Edan. Nada suaranya menunjukkan kesombon-

gan. "Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titi-

san Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya."

Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata, 

mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepu-

luh tombak di depan mereka. Kemudian ketiganya sal-

ing pandang dengan kening berkerut

"Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara.

"Ya!" sahut kedua adiknya.

"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat 

untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Un-

tara bergumam. Matanya masih memandang lekat pa-

da lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemu-

dian beralih pada gadis cantik di sampingnya.

"Hua ha ha...! Apa yang kalian bingungkan?" 

tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan. 

"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung 

denganku!"

"Hm...," Untara bergumam. Matanya mengerling 

pada kedua adiknya yang menganggukkan kepala. 

"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan ru-

panya masih saja tergiur oleh hal duniawi. Ternyata 

sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong ko-

song!"

"Hua ha ha...! Kau salah, Untara. Bagaimanapun 

juga, aku lelaki normal. Lagi pula, aku pun ingin men-

jadi orang yang tak tertandingi. Bukankah dengan


memiliki Titisan Dewi Kwan Im, keberuntungan ada 

padaku?"

Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang 

mendengar penuturan Singo Edan. Kening mereka se-

makin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti, 

bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah? Yang 

mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus 

yang gigih menumpas kejahatan. Mana mungkin sece-

pat itu berubah? Mungkinkah selama menghilang Sin-

go Edan telah mengubah pikirannya?

Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pi-

kir. Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar na-

ma besar Singo Edan. Begitu juga dengan sepak ter-

jangnya puluhan tahun yang silam. Kalau kini tiba-

tiba berubah, rasanya sangat aneh sekali.

"Hm.... Kau benar, Singo Edan. Memang setiap 

manusia memiliki ambisi. Kami tahu siapa kau. Na-

mun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan De-

wi Kwan Im," kata Untara setelah lama merenung, 

mencoba menyibak keanehan Singo Edan.

"Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?"

"Ya!" sahut Untara.

"Hua ha ha...! Kuakui nama besar kalian memang 

menakutkan. Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang 

bisa digertak!" dengus Singo Edan. "Kusarankan, agar 

kalian cepat bersujud meminta ampun atas tindakan 

kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebe-

lum aku berubah pikiran."

"Kurang ajar! Jangan kira kami takut menghada-

pimu, Singo Edan! Untuk mendapatkan Titisan Dewi 

Kwan Im, kami siap bersabung nyawa denganmu!" 

dengus Undani.

"Ya! Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali 

mencoba ilmumu!" timpal Umbakara.

Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar


tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api. Se-

pertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali 

baginya.

"Percuma kalian menantangku. Guru kalian se-

kalipun tak akan mampu menandingi ku!" kata Singo 

Edan, pongah. 

"Tutup mulutmu, Singo Edan! Kuharap kau mau 

memberikan gadis itu pada kami! Atau kami terpaksa 

menghajarmu!" bentak Untara marah.

"Hua ha ha...! Kalian lucu sekali. Bagaimana 

mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan

Im? Hua ha ha...!" Singo Edan kembali tertawa terba-

hak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang den-

gan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin 

dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu.

"Hhh...! Sombong!" rutuk Undani. "Rupanya mu-

lutmu memang harus disobek!"

"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Um-

bakara.

Singo Edan kembali tertawa.

Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara, 

mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang pe-

nuh ejekan. Ketiganya segera meloloskan cambuk. 

Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak.

Ctar!

"Yiaaat..!" 

"Mei Lie, bunuh mereka!" perintah lelaki yang 

berwajah mirip Singo Edan.

Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im men-

cabut pedangnya. Pada saat itu pula, sinar merah ke-

kuning-kuningan memancar dari mata pedang, mem-

buat Tiga Setan Rambut Api tersentak.

"Pedang Bidadari...!" seru ketiganya sambil me-

lompat mundur.

"Hua ha ha...! Kalian seperti tikus ketakutan.


Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih 

baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus 

mampus oleh Pedang Bidadari!" seru lelaki berwajah 

seperti Singo Edan.

Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemu-

dian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang 

masing-masing.

"Baiklah, kami menyerah."

"Bagus! Percuma kalian melawanku," ucap Singo 

Edan masih dengan suara penuh kesombongan. "Ikut 

aku!"

Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi, 

masuk ke dalam kabut tebal yang bergulung-gulung. 

Dalam sekejap mereka telah menghilang.

***

Selang beberapa saat kemudian, ketika kabut 

yang menyelimuti Lembah Lamur telah hilang. Nampak 

dua lelaki melangkah ke tempat itu. Keduanya berwa-

jah kembar dan tampan. Pakaian yang dikenakan kun-

ing mengkilat bergaya pakaian Bali. Golok panjang ber-

tengger di punggung mereka. Dilihat dari pakaian ke-

duanya, nampaknya mereka dari golongan atas.

Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari 

wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun ten-

tunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi 

Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar 

Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama Ma-

nyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti.

"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Ma-

nyar Ngesti.

"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata me-

nyapu ke sekelilingnya yang sepi. Tak ada tanda-tanda 

kehidupan di lembah itu. Satu pohon pun tidak ada.


Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beter-

bangan manakala angin bertiup.

"Hm.... Bagaimana mungkin tempat seperti ini 

dikatakan ada orangnya? Tidak masuk akal," gumam 

Manyar Ngesti. Matanya masih menyapu ke sekeliling 

tempat itu. Namun masih saja tidak ada tanda-tanda 

kehidupan. "Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan

Im ada di sini?"

"Hhh...! Kurasa ada misteri di tempat ini, Ka-

kang," desah Manyar Asti.

"Mungkin."

"Lihat, ada kabut!" seru Manyar Asti sambil me-

nunjuk ke arah kabut tebal yang bam saja datang dari 

bukit-bukit kecil di sebelah selatan.

"Ya! Hei, kabut itu bergerak kemari!" pekik Ma-

nyar Ngesti.

"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang."

"Benar! Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari 

Rogo'!"

"Siap, Kakang! Hiaaa...!"

Mereka segera menyatukan satu telapak tangan.

Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan 

mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju 

mereka.

Dari tangan mereka terbersit sinar bergulung-

gulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru. 

Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar. 

Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk meng-

hadangnya.

"Yeaaat..!"

"Waaat..!"

Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan 

tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru 

kian banyak dan kuat. Namun kabut yang datang ter-

nyata lebih kuat


"Celaka! Angin membadai datang!" seru Manyar 

Ngesti kaget

"Benar, kakang! Apa yang harus kita lakukan?" 

tanya Manyar Asti.

"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'."

"Mari, Kakang! Yiaaat..!"

"Heaaat..!"

Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Dis-

ilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan 

tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tan-

gan ke arah kabut

Srrrt!

Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, ke-

luar dari telapak tangan mereka. Larikan-larikan lurus 

itu lalu memagari kabut tebal itu. Seperti perangkap 

raksasa dari bambu.

"Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti, me-

nyaksikan pukulan sakti mereka dapat menghadang 

kabut. Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke 

arah mereka dengan keras.

"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti.

Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak te-

gang, merasakan sesuatu yang tidak pernah didu-

ganya. Selama ini, keduanya belum pernah mengalami 

kegagalan seperti itu. Ajian-ajian yang mereka kerah-

kan, senantiasa mendapatkan hasil. Tapi kini malah 

berantakan. Tak satu pun bisa menghadang kabut 

tebal itu.

"Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Ma-

nyar Ngesti.

"Sepertinya benar, Kakang!" sahut Manyar Asti.

"Ya! Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu," 

gumam Manyar Ngesti. "Rupanya benar kalau Titisan 

Dewi Kwan Im ada di tempat ini. Ini sebuah halangan 

yang dibuat oleh para dewata."


Wusss!

Angin kencang menderu ke arah mereka, mem-

buat pakaian yang mereka kenakan tersibak. Bahkan 

kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin. 

Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan 

angin yang menderu keras.

Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut ber-

kelebat sebuah bayangan putih. Tangan bayangan itu 

menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekun-

ing-kuningan.

"Heaaat..!"

"Dewi Kwan Im...!" pekik keduanya kaget setelah 

melihat siapa yang keluar dari dalam kabut tebal itu. 

Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat

"Awas, Asti...!" seru Manyar Ngesti mengingatkan 

adiknya, ketika sosok wanita cantik berkulit kuning 

langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka. 

Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Ma-

nyar Asti. Sedangkan tangan kanannya segera menca-

but golok panjang di punggungnya. 

Srrrt!

Trang!

"Hiaaat..!"

Manyar Ngesti berusaha membalas serangan la-

wan seraya memiringkan tubuh. Golok panjangnya di-

babatkan dengan cepat.

Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Ma-

nyar Asti ikut mencabut goloknya. Didahului pekikan 

menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis can-

tik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titi-

san Dewi Kwan Im.

"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang 

menemui kami! Kakang, beruntung sekali kita ru-

panya. Jangan sampai dia celaka. Kita harus menang-

kapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil berge

rak melakukan serangan. Tangannya berusaha meno-

tok tubuh gadis cantik dari Cina itu. Namun gadis 

yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke 

tangan lawan.

"Heaaat!"

Wut!

"Uts...!" Manyar Asti cepat menarik tangannya. 

Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti 

akan terbabat oleh pedang lawan. "Celaka! Dia dalam 

keadaan tak sadar, Kakang! Rupanya ada seseorang 

yang mempengaruhinya!"

"Benar! Rupanya kita telah tertipu oleh cerita me-

reka! Dia bukan Titisan Dewi Kwan Im!"

"Ya! Awas, Kakang!"

Wut!

Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari 

Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti. Untunglah 

Manyar Ngesti segera mengelakkannya.

"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang. 

Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya. Tapi 

kehendak orang yang mempengaruhinya!"

"Benar!"

Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah 

tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh. 

Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat memba-

batkan golok ke arah lawan.

"Yiaaat...!"

Trang!

Prak!

Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya 

terbabat pedang di tangan gadis Cina itu. Goloknya se-

ketika patah menjadi dua, tak mampu menahan baba-

tan pedang di tangan lawan.

"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pe-

dang lawan kini bergerak cepat ke arahnya. Tentu pedang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tu-

buhnya tidak segera berkelit ke samping.

Gadis Cina itu terus melabrak. Gerakannya

mungkin tidak sehebat para pendekar pedang. Namun 

pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi 

siapa saja yang memegangnya. Dan itu yang membuat 

gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lin-

cah, cepat dan mematikan. Sangat bertentangan sekali 

dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya. 

"Hiaaa...!"

Wut, wut, wut...!

Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin, 

membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan 

yang kini dalam keadaan terdesak.

"Celaka, Kakang! Dia benar-benar kerasukan!" 

keluh Manyar Asti.

"Ya! Kita harus bisa mematahkan serangannya! 

Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'."

Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang, 

keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang me-

reka kuasai. Setelah melihat lawan hendak kembali 

menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut

"Yiaaa...!"

"Heaaat..!"

Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari 

tangan mereka. Sinar biru itu kembali membelit tubuh 

Mei Lie. Seketika tubuh gadis itu bagai dibelenggu oleh 

sinar biru.

"Ha ha ha...! Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar 

Asti senang, menyaksikan ajian mereka dapat membe-

lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak 

mampu lagi bergerak.

"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar 

Ngesti.

'Ya! Kurasa dia tidak bersalah. Kita harus menolongnya," sambut Manyar Asti.

Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie 

dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar be-

lenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas. Tapi be-

lum juga mereka beranjak pergi, tiba-tiba....

"Lepaskan dia!"

Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke 

belakang. Kini nampak tiga lelaki berjubah merah. 

Rambut mereka pun berwarna merah bagai api. Ten-

tunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Ram-

but Api.

"Tiga Setan Rambut Api. Hm.... Apa urusan ka-

lian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri 

urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang. Terle-

bih setelah tahu siapa mereka. Tiga lelaki dari aliran 

sesat tersebut merupakan musuh masyarakat. Kejaha-

tan mereka telah menjadi momok yang menakutkan.

"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian 

di sini!" dengus Manyar Asti. "Kebetulan sekali. Dari 

jauh kami datang mencari kalian. Tidak disangka, ak-

hirnya kami bisa menemukan kalian di sini!"

Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyak-

sikan kedua lawannya. Seakan ketiganya menganggap 

kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti. 

Terlebih karena Singo Edan bersama mereka. Siapa 

pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali 

untuk menghadapi Singo Edan.

"Manyar Kembar! Kuperingatkan pada kalian 

agar melepaskan gadis itu. Kemudian segeralah me-

nyembah!" bentak Untara dengan mata melotot marah, 

pertanda marah.

Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak 

mendengar perintah Untara yang dianggapnya som-

bong.

"Setan laknat! Berani sekali kalian mengancam

kami! Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hu-

kum!" balas Manyar Asti tak mau kalah. Meski mereka 

belum pernah bertarung, namun Manyar Asti merasa 

yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran 

putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api.

"Kurang ajar! Rupanya kalian berdua mencari 

mampus!" maki Undani. "Jangan salahkan kalau tan-

gan kami akan memecahkan batok kepala kalian!"

"Hm.... Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti 

sinis. "Mungkin kepala kalianlah yang akan kami pe-

cahkan!"

"Bedebah! Ku rencah kepala kalian! Hiaaat..!

"Yeaaah...!"

Srrrt, srrrt, srrrt!

Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya. Ke-

mudian dilecutkan ke udara.

Ctarrr!


TUJUH


Cambuk di tangan Tiga Setan Rambut Api mele-

cut ke arah Manyar Kembar dari Bali. Menimbulkan 

percikan-percikan api dengan suara yang menggelegar 

melebihi halilintar. Itulah jurus 'Lecutan Ekor Naga Api 

Menghantam Bukit'.

Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang, 

dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemu-

dian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok 

mereka.

Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar 

Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas 

menyerang. Golok di tangan mereka menukik laksana 

paruh dan membabat laksana sayap burung manyar.

"Hiaaat..!"


Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap 

berjalan dengan cepat. Masing-masing berusaha men-

galahkan lawan. Namun begitu, Manyar Kembar dari 

Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan. Ilmu 

mereka bukan ilmu pasaran. Meski satu orang tidak 

lagi memakai golok, namun kekompakan mereka da-

lam menyerang masih cukup tangguh.

"Hiaaat...!"

Ctar!

Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar seran-

gan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang mengge-

legar laksana halilintar. Di lain pihak, ternyata Manyar 

Kembar dari Bali memang sepasang pendekar yang 

cukup tangguh. Keduanya dengan mudah mengelak-

kan serangan cambuk lawan. Bahkan dengan cepat 

balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman 

tangan.

"Kita harus cepat membereskan mereka, Ka-

kang," kata Umbakara.

"Benar! Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan 

marah pada kita," sambung Undani.

Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak 

mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan 

Rambut Api. Keduanya sesaat menghentikan serangan 

dan saling pandang dengan heran.

"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya 

Manyar Asti.

"Entahlah. Rasanya mustahil kalau Singo Edan 

menjadi dalang semuanya."

"Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh. 

Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih 

bimbang. "Kalau benar Singo Edan yang mendalangi 

semua ini. Jelas dunia bisa hancur. Siapa orang yang 

mampu mengalahkannya?"

Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah


mendengar nama Singo Edan disebut. Bagaimanapun 

juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar. 

Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingan-

nya. Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran 

dan keadilan. Bagaimana mungkin Singo Edan justru 

memihak kejahatan! Bahkan kini mendalangi kejadian 

yang telah banyak makan korban? Itu yang tidak dapat 

diterima oleh pikiran kedua tokoh dari Bali ini.

"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti. 

Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau 

Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua 

ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka.

"Hm, mungkin juga."

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang pasti, kita 

harus segera menangkap mereka." 

"Mari, Kakang. Heaaat..!" 

"Yiaaat..!"

Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak. 

Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah 

lawan. Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan 

tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan.

Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan 

cepat, tak mau diam. Ketiganya segera memutar cam-

buk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua 

lawannya.

Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut 

Api ini bernama 'Pecut Buana Api'. Gerakan melingkar 

di atas kepala bernama 'Gelang Geni' sedangkan lecu-

tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'. Sebuah 

gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat

Ctarrr!

"Yeaaat...!"

Pertarungan kembali berjalan seru. Masing-

masing mengerahkan kemampuannya untuk dapat 

menandingi ilmu lawan. Gerakan mereka nampak lin


cah dalam berkelit dan menyerang. Meski begitu, nam-

paknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada 

satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api. Terbukti 

setelah tiga tokoh sesat itu menyerang gencar dengan 

sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami 

kesulitan sedikit pun.

"Uts! Heaaa...!" 

"Lepas kepalamu, Setan Jelek!"

Manyar Kembar dari Bali balas menyerang den-

gan jurus gabungan. Manyar Asti dengan jurus 'Belah 

Buana Yudha'. Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus 

andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' dis-

ambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan 

'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'. Setelah mampu 

mengelak, kini keduanya menambah daya serang. Go-

lok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam me-

lakukan serangan. Sedangkan tangan dan kaki Manyar 

Ngesti seperti berjumlah banyak.

Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka 

sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung ma-

nyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana 

kemari. Mencakar ke sana kemari, serta menghantam 

dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras.

"Hiaaat...!"

Ctarrr!

Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung 

serangan keduanya dengan cambuk. Namun kedua 

lawan ternyata cukup lincah. Manyar Kembar dari Bali 

melesat ke samping untuk mengelak, kemudian mem-

buru ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan go-

lok.

Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget. Keti-

ganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya 

berilmu tinggi. Namun begitu, mereka tidak mau men-

galah begitu saja. Terlebih jika ingat akan Singo Edan.


Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo 

Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar 

Kembar dari Bali.

"Uts! Hiaaat..!" 

Ctar

Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung 

serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecu-

tan cambuknya. Lagi-lagi lecutan cambuk mereka ba-

gai tiada arti. Karena dengan mudah Manyar Kembar 

dari Balik berkelit. Bahkan serangan kedua tokoh dari 

Bali itu semakin cepat membuat Tiga Setan Rambut 

Api kewalahan.

"Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan!" 

dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha 

menotok dua lelaki dari Tiga Setan Rambut Api. Begitu 

pula dengan Manyar Asti. Dia pun tidak menyia-

nyiakan kesempatan itu. Namun belum juga mereka 

dapat melakukan totokan, tiba-tiba....

"Hua ha ha...!"

Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya, 

kemudian tubuh mereka melompat ke belakang. Mata 

mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang 

membahana. Jelas tawa itu milik Singo Edan. Meski 

mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, ta-

pi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana 

rupa dan tawa khas tokoh sakti itu.

"Singo Edan...!"

"Dia benar-benar datang, Kakang!"

Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal 

suara itu. Seketika keduanya memandang ke arah ka-

but tebal yang berarak menuju mereka. Dari dalam 

kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih.

Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka se-

bagai Singo Edan. Dan seorang lagi gadis cantik dari 

Cina.


"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu 

tadi?"

"Ya! Kapan dia bebas?"

Manyar kembar dari Bali masih terlongong ben-

gong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-

bebas dari belenggu ajian 'Sari Rogo' mereka. Tangan-

nya memegang pedang sakti yang bersinar merah ke-

kuning-kuningan. Seperti siap untuk membunuh dua 

tokoh dari Bali itu.

"Hua ha ha...! Rupanya masih ada juga orang 

yang berani menantang Singo Edan!" kata Singo Edan 

dengan sinis.

'Persetan! Kau bukan Singo Edan! Kau iblis yang 

telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan!" se-

ru Manyar Ngesti, merasa yakin kalau lelaki berjubah 

putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan 

Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan.

"Kurang ajar! Kalian tentunya buta!" maki Singo 

Edan. "Aku Singo Edan. Akulah orang yang paling sak-

ti di jagat ini! Tak akan ada yang menandingi ku. Hua 

ha ha...!"

"Iblis! Jangan kira kami dapat kau kibuli!" lan-

tang suara Manyar Asti. "Meski ilmumu setinggi langit, 

Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah!"

Singo Edan mendengus. Matanya melotot tajam 

pada kedua tokoh dari Bali itu.

"Mei Lie, bunuh mereka!" perintahnya. 

Mei Lie menurut bagai budak. Tubuhnya melesat 

turun. Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari 

Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali.

"Hiaaa...!"

"Celaka, Kakang! Apa kita harus menurunkan 

tangan kejam?"

'Terpaksa, Asti! Heaaat...!"

Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya,


Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei 

Lie. Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat, 

berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie.

Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak 

memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak 

mau diam. Mereka serentak mengambil sesuatu dari 

balik jubah masing-masing. Lalu ketiganya melontar-

kan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar 

Kembar dari Bali.

Zing, Zing...!

"Kakang, awas!" seru Manyar Asti.

"Keparat! Licik...!" maki Manyar Ngesti.

Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak un-

tuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilem-

parkan Tiga Setan Rambut Api. Perhatian mereka kini 

tertuju ke arah jarum-jarum beracun. Hal itu men-

jadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan, 

dengan leluasa menyerang dari belakang.

"Hiaaa...!"

Wut!

Cras!

"Aaakh...!" Manyar Asti memekik. Kepalanya ter-

babat oleh pedang di tangan Mei Lie. Tubuhnya yang 

masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah. La-

lu jatuh membentur tanah dengan kepala hancur.

"Asti...!" pekik Manyar Ngesti.

Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan 

kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya. Sinar 

biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie. Namun dia me-

lupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke 

arahnya. Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun 

itu menembus tubuhnya.

Cleb, cleb...!

"Aaa...!"

Lengkingan kematian seketika terdengar dari mulut Manyar Ngesti. Tubuhnya menukik ke bawah, lalu 

jatuh dengan nyawa lepas. Tubuhnya beku membiru 

dengan puluhan jarum menancap di punggung serta 

pahanya.

"Hua ha ha...!"

Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan 

tertawa senang bukan main. Setelah puas mengumbar 

rasa senangnya, tangannya melambai. Saat itu juga, 

tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke 

kabut di mana Singo Edan berada. Tubuh mereka hi-

lang, bersamaan dengan lenyapnya kabut.

***

Sena Manggala menyeka keringatnya yang bercu-

curan. Terik matahari terasa memanggang tubuhnya. 

Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya. Tangannya 

mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu bu-

rung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada 

ujungnya saja. Kemudian bulu itu digunakan untuk 

mengorek telinganya.

"Hi hi hi...!" Sena meringis-ringis merasakan 

nikmat Lalu ditariknya kembali bulu burung itu. Hi-

dungnya mengendus. Setelah menyeka kotoran di bulu 

burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat 

pinggangnya.

Sena menarik napas panjang-panjang. Tubuhnya 

masih berdiri mematung. Matanya menyapu ke sekelil-

ing tempat itu. Tempat yang sepi dan senyap di tengah 

perjalanan ke Lembah Lamur. Sejak hilangnya Mei Lie, 

entah mengapa dunia dirasakan sepi sekali. Padahal 

telah lama dia dan Mei Lie berpisah. Tapi pertemuan 

sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya. Arti yang 

sangat sulit dilukiskan

"Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya


Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih 

nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat 

itu.

Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang le-

laki berpakaian pengemis. Keenam lelaki itu juga ten-

gah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah 

Lamur yang gersang dan tandus.

"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah La-

mur?" tanya Sena dengan kening berkerut. "Ah, men-

gapa pengemis-pengemis itu tidak di kota saja? Bu-

kankah di kota mereka bisa mendapat banyak maka-

nan? Mengapa harus ke lembah yang gersang dan se-

pi?"

Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatan-

gan para pengemis itu. Tentunya ada sesuatu di Lem-

bah Lamur, yang membuat para pengemis. berdatan-

gan ke lembah itu. Belum juga Sena memahami apa 

yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita 

cantik. Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik 

yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil. Sedang-

kan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya, 

tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama 

Lira Kanti.

"Nyi Bangil! Ah, ada apa pula dia datang ke Lem-

bah Lamur?"

Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan

adik seperguruannya yang datang. Tapi hampir selu-

ruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus 

maupun sesat datang. Sepertinya akan terjadi sesuatu 

di Lembah Lamur.

Di antara para tokoh persilatan itu, hadir bebera-

pa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tong-

kat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti. 

Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari. Sedangkan 

dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi


Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari 

Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya 

Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya 

yang berpihak ke aliran putih. Di sana juga hadir Ratih 

Puri serta suaminya Kerto Mandra.

Dua golongan itu menempati tempat masing-

masing. Aliran sesat menempatkan diri di sebelah ba-

rat. Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di ba-

gian timur.

Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya. 

Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri. Dengan 

mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerak-

gerik orang-orang persilatan.

"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan 

yang melakukannya! Juga mengenai Titisan Dewi 

Kwan Im, itu tidak benar!" ujar Ki Ageng Sampar Bayu.

Sena mengerutkan kening mendengar nama gu-

runya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu. Tan-

gannya masih mengorek telinganya dengan bulu bu-

rung. Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat ki-

likan itu.

"Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu! 

Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan 

pelaku semua ini!" sahut lelaki berjubah hitam.

Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni. Dan me-

rupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan ke-

jam. Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala 

warna hitam pula. Wajahnya dihiasi oleh cambang 

bauk lebat. Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan 

kiri atas. Matanya nakal jika memandang ke perem-

puan cantik.

"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni!" 

dengus Nyi Bangil. "Aku tahu siapa Singo Edan, guru 

dari Pendekar Gila. Dia tak mungkin berlaku keji!"

"He he he..,!"


Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh. Ma-

tanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang can-

tik dan bertubuh sintal. Kemudian matanya meman-

dang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum.

"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur 

dengan semua ini. Lebih baik kau mau menjadi istri-

ku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum 

dan pandangan nakal ke arah Nyi Bangil. 

"Cuih! Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat!" 

dengus Nyi Bangil.

"He he he...! Semakin kau marah, semakin cantik 

saja. Bukan begitu Pengemis Tempurung Sakti?" kata 

Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pen-

gemis Tempurung Sakti.

"Tutup mulutmu, Iblis! Kurasa, kaulah yang telah 

menyebarkan desas-desus ini. Padahal kau sendiri bi-

ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini!" bentak 

Nyi Bangil dengan berani.

"Wuah! Lancang sekali mulutmu, Nyi! Berani be-

nar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami!" maki 

Jalantra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Sela-

tan.

"Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek 

mulutmu!" sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan 

Pengemis Daerah Timur.

"Huh, apakah kalian kira kami takut!" ujar Lira 

Kanti kesal, melihat kakak seperguruannya diremeh-

kan. "Menghadapi pengemis busuk macam kalian, 

pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari 

untuk mengalah!"

Suasana di Lembah Lamur semakin terasa pa-

nas. Masing-masing aliran saling menyalahkan. Aliran 

sesat menuduh bahwa tindakan Titisan Dewi Kwan Im 

alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang per-

silatan. Dan Singo Edan adalah dalang dari semua ke


jadian itu.

Para pendekar aliran lurus tak mau menerima 

tuduhan itu. Bahkan mereka balik menuduh kalau ali-

ran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu. 

Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka beru-

saha menjatuhkan aliran putih.

"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo 

Edan dan Titisan Dewi Kwan Im pelaku semua ini?" 

tanya Ki Ageng Sampar Bayu.

"Memang tidak. Namun dilihat dari kematian me-

reka, hanya Titisan Dewi Kwan Im yang memiliki Pe-

dang Bidadari. Bukankah salah seorang anggotamu 

mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik 

bertanya, sekaligus menuduh Nyi Bangil.

Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil.

"Benar begitu, Nyi?"

"Benar, Ketua. Tapi kurasa bukan dia pelakunya. 

Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab 

Nyi Bangil.

"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang 

melakukannya!" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan 

Pengemis Daerah Barat

"Kita serang saja!" seru Jantrik, kembaran dari 

Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat

Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya 

tidak akan dapat dicegah lagi. Anggota aliran hitam te-

lah siap melakukan serangan. Sedangkan anggota ali-

ran putih juga telah siap menghadapinya.

"Serang saja!" kembali tokoh-tokoh aliran hitam 

berseru, semakin menambah panas suasana di Lem-

bah Lamur.

"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua 

ini!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Dae-

rah Utara.

"Seraaang...!"

Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha 

menyerang anggota aliran putih yang juga telah ber-

hamburan untuk bertarung.

"Yeaaat..!"

"Hadang mereka...!" seru salah seorang dari ali-

ran putih memerintahkan.

"Serbu...!"

Perang benar-benar akan terjadi. Dan tentunya 

pertumpahan darah di Lembah Lamur yang tandus 

dan gersang akan terjadi pula. Warna merah akan 

memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki 

udaranya. Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris ber-

temu, tiba-tiba...

"Tunggu! Hentikan semuanya...!"


DELAPAN


Semua yang hendak menyerang, seketika meng-

hentikan langkahnya. Mata mereka kini memandang 

ke arah pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular 

yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda yang tak lain 

Pendekar Gila, menapakkan kakinya di tengah-tengah 

dua kekuatan yang siap bertarung.

"Pendekar Gila...!"

"Hm.... Sampai kapan pun kalian tak akan per-

nah bisa tenang. Kalian telah ditipu oleh seseorang!" 

kata Sena. "Kalian akan saling tuduh dan saling ban-

tai, karena mengikuti hawa nafsu belaka! Jika sudah 

saling bantai, apa yang akan kalian dapat?"

Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas, 

tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila. Matanya 

menyapu tajam ke sekeliling tempat itu laksana mata 

elang. Puluhan tokoh sakti itu bagai terkena sihir, me-

reka terdiam mendengar penuturan Pendekar Gila.


"Pendekar Gila, gurumu telah membunuh secara 

keji para pendekar dan tokoh dari aliran kami. Seha-

rusnya aliran putih berterima kasih pada kami yang te-

lah berusaha memberitahukan mereka tentang sepak 

terjang gurumu dan gadis Cina yang telah banyak ma-

kan korban!" seru Pengemis Tempurung Sakti.

"Hm.... Enak sekali kau berkata, Pengemis La-

puk!" maki Bidadari Cadar Merah. "Seharusnya kau 

berpikir dulu sebelum bicara!"

"Benar! Jangan asal tuduh sembarangan!" timpal 

Prabasangka, suami Bidadari Cadar Merah yang telah 

sadar akan kekeliruan dan kesalahannya (Untuk men-

getahui lebih jelas tentang tokoh ini, silakan baca seri-

al Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak La-

wu").

"Kalianlah yang tak tahu aturan! Sudah jelas pe-

lakunya adalah Singo Edan dan gadis Cina itu, masih 

saja kalian membelanya!" dengus Gandrana.

"Cukup!" seru Pendekar Gila tegas. "Kurasa ka-

lian telah diadu domba. Bahkan termasuk aku. Hampir 

saja aku membunuh guruku sendiri. Kuakui, sungguh 

hebat orang yang telah menyamar sebagai guruku. 

Sampai aku tertipu olehnya."

"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" selak Da-

tuk Karang Geni. "Kau muridnya, tentu saja kau mem-

belanya!"

"Ya! Itu sudah pasti," sambut Pengemis Tempu-

rung Sakti.

"Diam!" bentak Pendekar Gila marah. Wajahnya 

kini nampak bersinar merah membara, membuat se-

muanya terdiam. Mereka tahu bagaimana jika Pende-

kar Gila benar-benar telah marah. "Kukatakan pada 

kalian, jika memang dia guruku aku tak akan mem-

biarkannya! Aku yang akan membunuhnya!"

"Percuma kau berkata begitu! Kami tak akan


mempercayainya. Gurumu sebagai bukti, bahwa orang 

aliran putih sesungguhnya licik!" tuduh Datuk Karang 

Geni.

"Keji! Kalianlah yang licik! Kalian hanya bisa 

mencari kambing hitam!" selak Ki Ageng Sampar Bayu.

"Phuah! Rupanya kalian harus disingkirkan! Ser-

buuu...!" seru Datuk Karang Geni, yang seketika dilak-

sanakan oleh anggota-anggotanya.

"Seraaang...!" Ki Ageng Sampar Bayu tak mau 

tinggal diam. Dia tidak ingin mati sia-sia diserang oleh 

orang-orang dari aliran hitam.

"Hentikan...!"

Pendekar Gila berusaha mencegah terjadinya per-

tumpahan darah yang sia-sia. Namun golongan hitam 

rupanya tidak mau dicegah lagi. Pertempuran besar 

antar golongan pun terjadi.

Trang! 

"Hiaaat...!"

"Hait..!"

Trang!

Jleb!

"Wuaaa...!"

Keriuhan karena beradunya senjata yang dite-

ruskan oleh pekikan kematian, seketika membahana. 

Darah mulai membasahi tanah Lembah Lamur yang 

tandus.

Pendekar Gila yang tidak mau mati sia-sia, kini 

harus mempertahankan diri dari gempuran-gempuran 

orang-orang aliran sesat yang menyerangnya. Dengan 

masih mengandalkan tangan kosong, tubuhnya segera 

berkelebat untuk mementahkan serangan lima orang 

pengemis sakti. Tubuhnya meliuk-liuk dan sesekali 

menepuk ke arah lawan. 

Lima Pengemis Tongkat Hitam terus mengepung 

Pendekar Gila. Tongkat hitam di tangan mereka, bergerak menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh 

Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari dengan 

mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.

"Heaaa...!"

"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Sena. Tangannya 

menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh, 

setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam 

lawan.

Jalantra yang merupakan Ketua Perkumpulan 

Pengemis daerah selatan tersentak kaget. Sama sekali 

tidak disangka kalau pukulan Pendekar Gila yang 

lamban dan lemah ternyata mampu mengejar gerak 

tubuhnya. Dicobanya untuk menangkis dengan tong-

kat hitamnya.

"Hih!"


"Heaaa...!" teriak Jalantara, Ketua Perkumpulan 

Pengemis Sakti sambil mengayunkan tongkatnya.

"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Pendekar Gila. 

Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gera-

kan aneh, setelah berhasil mengelakkan sabetan tong-

kat hitam Jalantara.

Pendekar Gila yang melihat gerakan lawan, den-

gan cepat menarik tepukan tangannya. Kakinya me-

nendang ke belakang dengan tubuh membungkuk. 

Kemudian tangannya direntangkan ke samping. Dan 

kakinya melayang ke wajah lawan.

Des! Des...!

"Ngk!"

"Ukh...!"

Dua orang terkena tendangan dan sapuan tan-

gannya. Kedua pengemis itu terhuyung-huyung ke be-

lakang. Dari mulut mereka meleleh darah segar. Mata 

mereka melotot, tak percaya melihat gerakan yang di-

lakukan Pendekar Gila. Gerakan yang kelihatannya 

lamban dan lemah tadi ternyata mampu menghantam 

tubuh mereka.

Di sisi lain, pertarungan semakin sem. Jeritan-

jeritan kematian susul-menyusul. Darah telah banyak 

tertumpah. Namun begitu, belum ada salah satu dari 

kedua golongan itu yang mau mengalah. Mereka masih 

terus bertarung, berusaha mengalahkan lawan.

Dari aliran putih tiga orang pendekar telah tewas. 

Mereka tergeletak di tanah dengan darah melumuri 

pakaian dan tubuhnya. Sedangkan di pihak aliran hi-

tam empat orang telah menemui ajal..

Ki Ageng Sampar Bayu yang berhadapan dengan 

Datuk Karang Geni pun masih gencar bertukar seran-

gan. Kedua orang tua pemimpin golongan itu mengelu-

arkan jurus-jurus tingkat tinggi. Kancah pertempuran


mereka terpisah dari kelompoknya.

"Hiaaat..!"

"Yeaaah...!"

Dua tokoh utama persilatan itu berkelebat laksa-

na terbang, kemudian saling serang dengan jurus-

jurus sakti. Api berkobar dari tubuh Datuk Karang 

Geni, sedangkan dari tubuh Ki Ageng Sampar Bayu 

menderu-deru angin kencang. 

Suasana semakin membara. Pertarungan kian 

seru, meski korban telah banyak berjatuhan. Nampak-

nya pertarungan besar itu tak akan selesai sampai sa-

lah satu golongan mengalah. Padahal korban kini 

membengkak menjadi dua belas orang. Tujuh dari ali-

ran hitam, sedang sisanya dari aliran putih.

Pendekar Gila masih dikeroyok oleh lima Penge-

mis Tongkat Hitam. Dengan jurus 'Kera Gila Melempar 

Batu', Sena menyerang ke arah para pengeroyok yang 

telah mendapat hantaman darinya.

"Yeaaa...!"

Tangan Pendekar Gila bergerak susul-menyusul 

bagaikan melempar. Gerakan melempar itu menghasil-

kan deru angin kencang yang menyapu ke arah lima 

pengemis itu. Membuat mereka bagaikan dilempar ba-

tu.

"Jurus edan!" maki Gandrana. "Cepat kita guna-

kan 'Tameng Sakti'!" seru Jalantra.

Seruan itu segera disambut oleh keempat rekan-

nya. Mereka segera membentuk sebuah gerakan me-

lingkar sambil berlari. Tangan mereka bergerak me-

mukul atau menyabetkan tongkat hitam yang dijadi-

kan senjata. 

"Heaaa!"

Wut!

Wusss...!

Pendekar Gila meliukkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan yang dilancarkan kelima pengemis 

itu. Tangannya bergerak menyambar kaki lawan, se-

dangkan tubuhnya sedikit dibungkukkan, mengelak-

kan pukulan dan sambaran tongkat hitam lawan.

"Heaaa!"

Pendekar Gila melenting ke atas, kemudian ber-

salto beberapa kali. Lalu dengan cepat tangannya 

mencabut Suling Naga Sakti. Saat menukik ke bawah, 

tangannya bergerak menghantamkan Suling Naga Sak-

ti ke arah putaran lawan.

Wut!

Pyar!

Perisai yang dibuat oleh kelima pengemis itu se-

ketika hancur. Tubuh mereka berpelantingan ke sana 

kemari. Mata mereka membelalak, menyaksikan Suling 

Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.

Sementara Pendekar Gila-hanya cengengesan. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat kelima 

pengemis itu semakin marah.

"Aku membantu kalian!" seru Pengemis Tempu-

rung Sakti sambil melemparkan tempurungnya ke 

arah Pendekar Gila.

Wut!

"Uts!"

Pendekar Gila segera mendoyongkan tubuh ke 

samping untuk mengelakkan sambaran tempurung 

sakti yang melesat ke arahnya. Lalu dengan cepat, Sul-

ing Naga Sakti dihantamkan ke tempurung yang hen-

dak balik ke arah tuannya.

Wut!

Prak!

Tempurung milik Pengemis Tempurung Sakti se-

ketika pecah, terhantam Suling Naga Sakti. 

Tep!

Pengemis Tempurung Sakti terkejut, menyaksikan tempurungnya kembali dalam keadaan tak ka-

ruan. Kemarahannya tiba di ubun-ubun. Didahului 

pekikan keras, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Gi-

la.

"Kau telah memecahkan tempurung ku! Maka 

kepalamu harus pecah di tanganku! Yeaaa...!"

Pengemis Tempurung Sakti menyabetkan tongkat 

kayu hitamnya ke arah Pendekar Gila. Sabetan yang 

dialiri tenaga dalam itu membuat angin sabetannya 

menderu keras.

"Uts! Hop...!" Pendekar Gila menundukkan tubuh 

ke bawah, kemudian dengan cepat tangan kanannya 

yang memegang Suling Naga Sakti dihantamkan ke 

tongkat lawan. 

Trak!

"Uhhh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.

Tangannya bergetar hebat. Dan tongkat kayunya 

patah menjadi dua, membuat matanya membelalak le-

bar.

Di saat pertempuran antar dua golongan itu se-

makin menggila dengan korban yang kian banyak, ti-

ba-tiba angin bertiup keras, menyentakkan semua 

yang tengah bertarung. Bersamaan dengan tiupan an-

gin yang membadai, dari arah tenggara muncul kabut 

tebal berarak ke arah mereka, diiringi gelak tawa yang 

membahana. Mendengar tawa itu, mereka sama-sama 

tersentak. Terutama tokoh aliran lurus yang mengenal 

sekali ciri suara tawa itu.

"Singo Edan...!"

***

Belum juga melihat wujudnya, mereka telah dike-

jutkan oleh suara tawanya. Suara tawa yang khas dari 

penghuni Goa Setan. Yang namanya cukup ditakuti di


rimba persilatan. Seorang lelaki yang selama pengem-

baraannya puluhan tahun silam, belum ada yang 

mampu mengalahkan.

"Hm...," Pendekar Gila menggumam. Jelas sekali 

dari wajahnya terlihat ketidakmengertian. Bagaimana-

pun juga, dia sangat mengenali tawa itu. Tawa yang 

juga dimilikinya. Dan hanya ada satu orang yang me-

miliki tawa seperti itu, yaitu Singo Edan.

Mungkinkah itu suara guruku? Tanya Pendekar 

Gila dalam hati. Matanya memandang ke arah kabut 

yang bergerak semakin dekat ke arah mereka.

Semua orang yang ada di Lembah Lamur, kini 

bagai patung. Tubuh mereka terdiam tegak. Kepala 

mereka mendongak ke atas pada kabut yang masih te-

rus merayap.

"Hua ha ha....! Bagus! Rupanya kalian telah 

kumpul!" terdengar suara Singo Edan.

Angin semakin menderu-deru, berusaha menya-

pu orang-orang yang ada di bawahnya. Orang-orang 

yang tidak kuat menahan gempuran angin puting be-

liung itu seketika tersapu. Beterbangan terbawa deru 

angin kencang.

Suasana di Lembah Lamur semakin kacau. Hi-

ruk-pikuk dan jeritan kematian mewarnai tempat itu. 

Sedangkan yang berilmu tinggi, kini harus berusaha 

menahan gempuran angin puting beliung yang mener-

jang mereka. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan 

terkoyak-koyak parah.

"Cepat rebahkan tubuh kalian...!" seru Pendekar 

Gila memerintahkan pada para pendekar wanita yang 

semakin tidak menentu keadaannya.

Angin terus menderu kencang laksana badai. 

Lembah Lamur seketika diselimuti oleh gulungan debu 

yang menghalangi pandangan mereka.

Melihat kenyataan itu, Pendekar Gila melangkah


maju. Matanya memandang ke arah kabut yang ada di 

atas.

"Hoi...! Orang pengecut! Kalau kau memang Singo 

Edan, keluarlah!"

"Hua ha ha...! Rupanya kau masih hidup, Bocah 

tolol!" bentak Singo Edan yang belum juga menampak-

kan wujudnya. "Tapi kini kau tak akan luput dari ke-

matian!"

"Pengecut! Tunjukkan wujudmu!" tantang Sena 

dengan suara lantang.

Pendekar Gila bagai tidak peduli dengan angin 

kencang membadai yang terus menerpa tubuhnya. Dia 

telah mengerahkan ajian 'Sapta Bayu', yang menjadi-

kan tubuhnya mampu menahan hempasan angin ken-

cang.

"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak kapok juga! 

Baik, hadapilah dia dulu...!"

Bersamaan dengan selesainya ucapan Singo 

Edan, dari kabut tebal itu berkelebat sesosok bayan-

gan putih yang cukup mengagetkan Pendekar Gila dan 

Nyi Bangil.

"Mei Lie...!" seru keduanya hampir bersamaan.

Keduanya hendak maju untuk menyadarkan Mei 

Lie, namun gadis cantik dari Cina yang digegerkan se-

bagai Titisan Dewi Kwan Im itu seperti tidak mengenali 

mereka lagi. Pedang Bidadari di tangannya bergerak 

cepat ke arah mereka.

Wut!

"Nyi Bangil, awas...!" seru Sena mengingatkan

sambil melempar tubuh ke belakang.

Nyi Bangil yang tidak menduga sama sekali kalau 

Mei Lie menyerangnya, tersentak kaget. Dia berusaha 

berkelit, namun tebasan pedang Mei Lie teramat cepat. 

Maka....

Wut!


"Mei Lie...?!" 

Crap!

"Aaa...!" Nyi Bangil memekik keras ketika pedang 

di tangan Mei Lie menembus dadanya sebelah kiri. Ma-

tanya membelalak. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 

belakang. "Mei Lie, kau...?!"

Tubuh Nyi Bangil semakin lemah, kemudian am-

bruk tanpa nyawa ketika Pedang Bidadari dicabut dari 

dadanya.

"Kakak..!" jerit Lira Kanti.

Gadis itu hendak memburu ke arah tubuh Nyi 

Bangil, tapi dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.

"Jangan!"

Lira Kanti menghentikan langkahnya. Matanya 

terpaku ke tubuh kakaknya yang telah tak bernyawa.

Semua orang yang ada di Lembah Lamur seketika 

terpaku. Mereka bagai tak percaya kalau ilmu pedang 

gadis Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan

Im itu ternyata sangat tinggi.

"Hua ha ha...! Bagaimana, Bocah Edan?!"

"Pengecut! Keluarlah! Lepaskan pengaruh mu da-

ri dia!" maki Sena sengit. Tubuhnya masih bergerak, 

mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Mei 

Lie.

"Bunuh dia! Dia lawanmu, Mei Lie!" seru lelaki 

tua yang mengaku Singo Edan, yang kini belum juga 

menampakkan wujudnya.

Mei Lie yang dalam kekuasaan pengaruh lelaki 

tua yang mengaku Singo Edan itu menurut. Tangan-

nya yang memegang pedang, bergerak cepat menye-

rang Pendekar Gila. Pedang Bidadari yang mengelua-

rkan sinar merah kekuning-kuningan cukup membuat 

Pendekar Gila kaget Pedang di tangan Mei Lie memang 

bukan pedang sembarangan. Kalau saja Mei Lie ingat 

akan jurus 'Pedang Tebasan Batin' pasti akan sulit di


tandingi.

"Mei Lie, ingatlah! Kau dalam pengaruhnya!" seru 

Sena berusaha mengingatkan. "Aku Sena, Mei Lie...!"

Mei Lie tak peduli. Matanya tidak berkedip me-

mandang Pendekar Gila. Tangannya terus bergerak 

membabatkan pedang dengan cepat. 

Wut!

"Hua ha ha...! Kusarankan pada kalian, bersu-

judlah padaku! Kalau tidak, kalian akan mengalami 

kematian!" ancam Singo Edan.

"Aku sujud!" sambut Datuk Karang Geni.

"Aku ikut sujud!" Pengemis Tempurung Sakti 

mengikuti.

"Aku juga!"

Kini semua tokoh aliran hitam sujud kepada 

orang yang mengaku Singo Edan. Mereka meratap, 

meminta ampunan dan mengharap agar Singo Edan 

mau menjadikan mereka anak buahnya.

"Bagus! Kalian memang pengikut ku yang setia! 

Bunuh mereka yang bermaksud menentang!" perintah 

orang yang mengaku Singo Edan. Dengan cepat seruan 

itu segera dilaksanakan olah para tokoh sesat

"Serang...!" seru Datuk Karang Geni.

"Habisi mereka...!" sambut yang lainnya.

Melihat orang-orang dari aliran sesat menyerang, 

Ki Ageng Sampar Bayu pun tidak mau tinggal diam. 

Segera dia pun berteriak memerintah anak buahnya 

untuk menyambut serangan mereka.

"Serbu..!"

"Yeaaat...!"

Pertarungan kembali berlangsung tanpa dapat 

dicegah. Bagaimanapun juga, orang-orang dari golon-

gan putih tidak mau mati sia-sia. Tak ada jalan lain 

bagi mereka kecuali menghadapi serangan lawan.

Pertarungan yang tertunda sesaat, kini berkobar


kembali. Suara beradunya senjata disusul dengan je-

rit-jerit kematian meramaikan Lembah Lamur.

"Mei Lie, cepat pergi!" terdengar suara Singo Edan 

memanggil Mei Lie. Bersamaan dengan itu, dari atas 

melesat tiga lelaki berjubah merah. Mereka tak lain Ti-

ga Setan Rambut Api.

Mei Lie dengan cepat melesat ke atas, meninggal-

kan Pendekar Gila. Namun rupanya Sena tak mau 

membiarkan Mei Lie pergi begitu saja. Tubuhnya sege-

ra melesat ke atas, menyusul tubuh gadis Cina itu.

Tiga Setan Rambut Api yang semula hendak 

menghadang Pendekar Gila, hanya mampu terpaku. 

Mereka hendak mengejar, namun kabut itu telah ber-

gerak meninggalkan Lembah Lamur. Akhirnya Tiga Se-

tan Rambut Api turut membantu orang-orang aliran 

hitam yang tengah bertarung dengan para pendekar 

aliran putih.


SEMBILAN


Pendekar Gila yang mengejar Mei Lie, seketika 

terperangah menyaksikan keadaan sekelilingnya yang 

aneh. Semula dia berada di dalam kabut, namun tiba-

tiba kini dirinya berada dalam hutan lebat yang belum 

dijamah oleh tangan manusia.

"Hei, di mana aku?" tanya Sena kebingungan, 

menyaksikan alam sekitarnya yang terasa demikian 

asing.

Pendekar Gila menemukan suasana yang sepi, 

gelap dan mencekam. Dari kejauhan terdengar suara-

suara menyeramkan yang mampu mendirikan bulu 

kuduk.

"Sena Manggala...."

Ada suara yang memanggil namanya. Suara seorang laki-laki. Namun jelas itu bukan suara gurunya.

Sena menyapukan pandangan ke sekeliling hutan 

itu, berusaha menemukan asal suara yang baru saja 

didengarnya. Namun sama sekali tidak terlihat seorang 

pun di tempat itu.

"Siapakah yang memanggilku?" tanya Sena sam-

bil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus beredar 

dalam keremangan yang menyeluruh. Tiba-tiba ma-

tanya bertumbukan dengan dua pasang mata dari se-

pasang kera yang berdiri di atas cabang pohon.

"Sena...," suara itu kembali terdengar.

"Hei, kaukah yang berbicara?" tanya Sena dengan 

mulut ternganga. Yang telah berbicara padanya ternya-

ta seekor monyet berbulu putih. "Kau, bukankah kau 

Kera Sakti?"

"Aku adalah ayahnya. Sedangkan dia adalah 

ibunya," kata kera putih yang duduk di sebelah kiri, 

seraya menunjuk kera di sampingnya.

"Bukankah kalian telah mati?" tanya Sena masih 

menggaruk-garuk kepala keheranan. Bulu kuduknya 

meremang, menyaksikan keanehan-keanehan yang di-

alami. Tentang kabut aneh yang tiba-tiba berubah 

menjadi hutan belantara. Dan hutan itu nampaknya 

berada puluhan tahun yang silam.

"Kau salah, Sena. Kami belum mati. Inilah alam 

kami. Alam kabut. Alam di mana jiwa-jiwa berada...."

Ucapan kera putih itu semakin membuat Sena 

diterpa rasa heran. Bagaimana mungkin semuanya bi-

sa terjadi? Tanyanya dalam hati.

"Tapi aku belum mati. Bagaimana mungkin aku 

bisa kemari?" tanya Sena, bimbang.

"Itu mudah, Sena. Kau berilmu tinggi. Kau mam-

pu datang kemari tanpa undangan penghuni alam ini. 

Sudahlah, jangan sia-siakan waktumu. Bukankah kau 

tengah mengejar Dewi Pemuja Setan?" tanya kera putih.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala menden-

gar pertanyaan itu. Dia sungguh bingung dengan per-

tanyaan yang dilontarkan kera putih itu.

"Kau memang belum mengerti, Sena. Baiklah 

akan ku jelaskan padamu."

Kera putih kemudian menceritakan siapa se-

sungguhnya lelaki yang menyamar sebagai Singo 

Edan, guru Pendekar Gila. Dikatakan pula bahwa se-

benarnya lelaki itu jelmaan Dewi Pemuja Setan yang 

telah dikalahkan oleh Singo Edan puluhan tahun yang 

silam. Arwahnya telah bersekutu dengan iblis, dan 

bangkit kembali atas pertolongan iblis.

Sena mendengarkan dengan seksama setiap 

penggalan kisah yang diceritakan oleh kera putih.

"Nah, begitulah ceritanya. Maka itu, berhati-

hatilah. Dia bukan manusia, melainkan iblis. Aku ber-

doa, semoga Hyang Widhi akan senantiasa bersama-

mu. Pergilah ke arah selatan, di sana kau akan mene-

mukan sebuah istana yang dihuni oleh wanita-wanita 

iblis. Jangan kau terpedaya oleh kecantikan wanita itu. 

Sesungguhnya, mereka adalah siluman."

"Terima kasih atas saran yang telah kau berikan, 

Sahabatku."

"Sampaikan salamku pada gurumu," tutur kera 

putih sebelum Sena meninggalkan tempat itu. 

"Akan kusampaikan. Selamat berpisah!"

Sena pun segera mengikuti petunjuk yang diberi-

kan oleh kera putih. Dengan mengerahkan ilmu lari 

'Sapta Bayu', tubuhnya melesat cepat ke arah selatan.

Apa yang dikatakan kera putih tadi ternyata be-

nar. Di selatan, nampak sebuah bangunan besar ber-

diri angker. Bangunan mirip istana itu nampak dijaga 

oleh dua wanita cantik berpakaian minim.

Sena menghentikan larinya. Dengan cepat dia


menyelinap di balik pepohonan. Matanya memandang 

ke arah bangunan besar yang berdiri megah. 

Benarkah gadis-gadis cantik itu siluman? Tanya 

Sena dalam hati. Segera mata batinnya digunakan un-

tuk melihat bagaimana rupa gadis-gadis itu sebenar-

nya. Benar juga! Ternyata gadis-gadis itu tiada lain 

makhluk-makhluk menyeramkan. Mata mereka lebar 

dengan hidung besar berwarna merah. Tubuh mereka 

telanjang bulat, dengan lidah yang panjang dan gigi 

bertaring.

"Hm.... Apa yang dikatakan oleh kera putih ter-

nyata benar," bisik Pendekar Gila. "Bagaimanapun ju-

ga, aku harus menyelamatkan Mei Lie dari cengkera-

man Dewi Pemuja Setan."

Sena mencabut Suling Naga Sakti dari balik ikat 

pinggangnya. Kemudian ditiupnya suling itu ke arah 

dua wanita cantik jejadian tadi. Suara suling mengalun 

dengan merdu serta mendayu-dayu. Tiupan 'Pelayung 

Sukma', menjadikan kedua gadis itu seketika terkulai 

lemas.

"Hm.... Kini tinggal menantang Dewi Pemuja Se-

tan keluar," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan 

pengerahan tenaga dalam, Pendekar Gila berseru, 

"Dewi Pemuja Setan, keluar kau!"

"Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!" 

bentak Dewi Pemuja Setan marah. Dari dalam bangu-

nan, muncul seorang lelaki berwajah persis dengan 

Singo Edan. "Kau?!"

"Ya! Aku datang untuk membuat perhitungan 

denganmu, Dewi Pemuja Setan! Kau telah merusak 

nama baik guruku. Bahkan kau telah berusaha mem-

bunuhku!" dengus Pendekar Gila lantang.

"Hua ha ha...! Rupanya kau datang untuk men-

gantar nyawa, Bocah Tolol! Mengapa tidak sekalian sa-

ja gurumu?!" tantang Dewi Pemuja Setan pongah.



Pendekar Gila mendengus. Matanya memandang 

tajam ke arah lelaki yang serupa dengan Singo Edan. 

Iblis yang telah menipunya, sampai dia hampir saja 

bertarung dengan gurunya.

"Dewi Pemuja Setan, rupanya kau belum kapok! 

Setelah kekalahanmu oleh guruku, kau bermaksud 

memfitnah! Pengecut..!" bentak Sena gusar. "Lepaskan 

Mei Lie!"

"Hua ha ha...! Jangan bermimpi, Bocah Tolol! 

Kau akan terkubur di alam ini! Bersiaplah! Hiaaat...!"

"Heaaa...!"

Didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya 

melesat ke udara. Lalu dengan cepat mereka mengelu-

arkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pendekar Gila 

dengan jurus pembuka Si Gila Menari Menepuk La-lat, 

berusaha melabrak Dewi Pemuja Setan. Tubuhnya me-

liuk-liuk, dan sesekali menepuk ke tubuh lawan.

"Cuih! Ilmu kuno!" ejek Dewi Pemuja Setan.

Kemudian Dewi Pemuja Setan pun menggerakkan 

kedua tangannya, membentuk silang dengan jari-jari 

mencakar. Ditariknya tangan kanan yang ada di depan 

ke samping, kemudian dihentakkan ke depan. Sedang-

kan tangan kirinya kini mencengkeram ke mata lawan. 

Itulah jurus 'Sangkala Putung Tingkat Pertama'. Se-

buah jurus sakti yang terdiri dari sepuluh tingkatan. 

Wut!

Tangan Dewi Pemuja Setan bergerak saling ber-

lawanan. Kalau yang kiri dari atas, maka yang kanan 

dari bawah. Begitu juga jika menyerang dari samping. 

Gerakan tangannya begitu cepat, menimbulkan deru 

angin yang kencang.

"Uts...!" Sena tersentak. Segera wajahnya dibuang 

ke samping, sehingga serangan Dewi Pemuja Setan lu-

put. Namun tangan kanannya, kini meluncur deras ke 

arah perut


Pendekar Gila segera berkelit ke samping, kemu-

dian dengan cepat balas menyerang dengan tamparan 

tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya berusaha 

menangkis cengkeraman tangan kanan lawan.

"Heaaa...!"

Plak!

Bentrokan terjadi. Tubuh mereka langsung ber-

jumpalitan ke belakang. Dengan mendengus, kedua-

nya kembali menyerang. Kali ini Dewi Pemuja Setan 

mengeluarkan jurus 'Sangkala Putung Tingkat Kedua'. 

Gerakannya semakin cepat. Kakinya turut menyapu 

ganas.

Menyaksikan lawan mengeluarkan jurus yang se-

tingkat lebih tinggi dari jurus semula, Sena pun segera 

mengeluarkan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuh-

nya berputar cepat, bagaikan meronta dari lilitan tali 

yang membelit tubuh. Tangannya bergerak miring, 

menghantam dan mencakar ke wajah lawan.

"Heaaa...!"

"Yiaaat..!"

Dewi Pemuja Setan terus menyerang dengan 

cengkeraman dan pukulan telapak tangannya. Tubuh-

nya bergerak cepat dalam gerakan berputar seperti 

gasing. Kakinya menyapu teratur. Sedangkan tangan-

nya susul-menyusul melakukan serangan.

Jurus-jurus yang mereka keluarkan adalah ju-

rus-jurus yang berlawanan. Kalau Pendekar Gila me-

nyapu kaki lawan dengan gerakan ke arah dalam, se-

dangkan Dewi Pemuja Setan menyapu kaki lawan ke 

arah luar. Begitu pula dengan serangan tangan, serta 

putaran tubuh mereka. Semuanya berlawanan arah.

Tap! Trak!

Derak akibat beradunya tangan dan kaki terden-

gar. Diikuti oleh gerakan-gerakan kepala dan tubuh 

saat mengelak. Sebuah pertarungan yang dahsyat dengan menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi.

"Heaaa...!"

Dewi Pemuja Setan menyorongkan tangannya ke 

wajah lawan, hingga menyentakkan Pendekar Gila. Se-

gera Sena memiringkan kepala ke samping kanan. 

Tangannya dengan sigap menangkap tangan lawan, 

disusul dengan cakaran tangan kiri.

Tap!

"Hiaaa...!"

Tangan Pendekar Gila merangsek maju ke wajah 

lawan, sedangkan tangan yang lain berusaha menang-

kis dan menangkap tangan lawan yang menyerang. Ta-

rik-menarik tangan terjadi, disusul oleh sapuan kaki 

keduanya yang bertubi-tubi.

Pendekar Gila mengerahkan tenaga murni lalu 

mendorong tubuh lawan dengan keras. Begitu juga 

dengan Dewi Pemuja Setan, dia pun mendorong tubuh 

lawannya dengan keras pula. Akibatnya, tubuh mereka 

terlontar jauh ke belakang.

"Heaaa...!" 

"Yiaaat..!"

Tubuh keduanya bersalto di udara beberapa saat 

sebelum menjejakkan kaki ke tanah. Mata mereka sal-

ing pandang, diikuti oleh dengus napas keras dan 

memburu.

Keduanya masih mengawasi gerak-gerik lawan 

masing-masing dengan sudut mata. Kaki mereka me-

langkah teratur dengan tangan bergerak membuka ju-

rus. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, tubuh 

keduanya kembali melesat

"Yeaaa...!"

"Hiaaa...!"

Tubuh mereka sama-sama melesat ke atas, ke-

mudian bertemu di udara untuk saling menyerang. Te-

lapak tangan mereka memukul keras, sedangkan kaki


mereka berusaha menendang kaki lawan. Pertarungan 

di udara terjadi. Tubuh keduanya melayang dalam ke-

cepatan tinggi.

Pendekar Gila terus menyerang dengan kibasan 

tangannya dengan jurus 'Si Gila Menyibak Samudera'. 

Tangannya seperti menyibak. Memukul ke dada lawan. 

Sedangkan kakinya menendang bergantian.

Trap!

"Yeaaa...!"

Dewi Pemuja Setan yang mengeluarkan jurus 

'Sangkal Putung Tingkat Ketujuh', tidak kalah gesit da-

lam mengelak dan menyerang. Tangannya kini menghi-

tam, mengeluarkan asap yang panas. Lalu bergerak 

memukul dengan telapak tangan ke dada lawan. Dis-

usul dengan tebasan tangan kiri ke kepala Pendekar

Gila.

"Yeaaa!"

Pendekar Gila cepat memiringkan kepala ke 

samping kiri, serta melompat ke belakang. Lalu dengan 

cepat tangannya menghantam ke tulang rusuk rawan 

dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.

"Yeaaat..!"

Wut!

Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gi-

la laksana prahara menghantam ke dada lawan, se-

hingga menyentakkan Dewi Pemuja Setan.

Dewi Pemuja Setan berusaha mengelakkan han-

taman keras itu. Namun rupanya pukulan Pendekar 

Gila yang tak terduga-duga, harus mendarat telak di 

dadanya. Sampai terdengar suara keras dari mulut 

Dewi Pemuja Setan.

Degk!

"Hugh...!"

Mata Dewi Pemuja Setan melotot. Tubuhnya ter-

pental ke belakang. Tapi anehnya, tubuh Dewi Pemuja


Setan tidak mengalami apa-apa. Seakan pukulan sakti 

itu tak berarti sama sekali. Padahal pukulan dari jurus 

'Si Gila Melebur Gunung Karang", mampu menghan-

curkan gunung karang menjadi debu.

Kini bukan Dewi Pemuja Setan yang kaget, justru 

Pendekar Gila terperangah menyaksikan lawannya ti-

dak mempan oleh pukulan sakti yang dilancarkannya.

"Hua ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Pende-

kar Gila!" tantang Dewi Pemuja Setan, sombong.

Kemudian dengan mendengus marah Dewi Pemu-

ja Setan berkelebat menyerang. Dewi Pemuja Setan 

kali ini menggebrak dengan jurus 'Sangkal Putung 

Tingkat Sepuluh', yang merupakan jurus terakhir dari 

rangkaian jurus 'Sangkal Putung'.

Pendekar Gila tersentak dari keterpanaannya. 

Dengan cepat serangan itu dielakkannya. Tubuhnya 

dibuang ke samping kanan, berusaha mengelakkan 

hantaman lawan. Namun pukulan tangan Dewi Pemuja 

Setan ternyata sempat menyerempet pundak kirinya. 

Jrat!

"Ukh...!" Pendekar Gila segera berguling sambil 

mengeluh, merasakan pundak kirinya panas bagai ter-

bakar. Kulitnya agak melepuh. "Setan!"

Melihat Pendekar Gila dapat dilukai, Dewi Pemu-

ja Setan semakin bernafsu untuk segera menghabi-

sinya. Dengan pekikan menggelegar, dia kembali me-

nyerang dengan jurus pamungkasnya.

"Yiaaat..!"

Melihat lawan telah melesat ke arahnya, Pende-

kar Gila yang masih berguling dengan cepat mengi-

baskan kaki kanannya ke selangkangan lawan. Mem-

buat lawan yang masih berada di atas tak mampu lagi 

mengelakkan tendangan itu. Tanpa ampun lagi....

Jrot!

"Ukh...!" Dewi Pemuja Setan memekik keras, tubuhnya terlempar ke belakang. Tangannya memegangi 

selangkangan yang terasa hancur akibat tendangan 

Pendekar Gila. "Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu! 

Hgrrr...!"

Dewi Pemuja Setan menggeram keras. Tangannya 

menyatu di atas kepala. Perlahan-lahan tubuhnya dis-

elimuti oleh asap tebal yang bergulung-gulung. Kemu-

dian asap hitam bergulung-gulung itu membentuk wu-

jud tinggi besar. Mulanya nampak samar, lalu semakin 

jelas dan bertambah jelas. Kini nampaklah sesosok 

makhluk hitam bertubuh tinggi besar yang menyeram-

kan telah berdiri di hadapan Pendekar Gila.

"Hogrrr...!"

Makhluk itu menggeram. Wajahnya yang seperti 

kera tampak demikian menyeramkan. Terlebih dengan 

mata lebar dan taring yang mencuat. Telinganya pan-

jang dan meruncing ke atas. Di samping telinganya

terdapat tanduk yang berkilat. Sekujur tubuhnya di-

tumbuhi rambut hitam kemerah-merahan. Kuku-

kukunya panjang dan runcing.

"Jagat Dewa Batara, makhluk ini yang malam itu 

pernah bertarung denganku," desis Sena. Dengan ma-

sih menahan sakit pada pundak kirinya yang melepuh, 

Pendekar Gila berusaha bangkit

Wut!

Tangan makhluk menyeramkan itu menyambar 

deras ke tubuh Pendekar Gila.

"Uts!"

Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samp-

ing, mengelakkan serangan makhluk itu. Namun tak 

urung, tubuhnya tersambar tangan makhluk menye-

ramkan itu.

Plak!

"Akh...!"

Tubuh Pendekar Gila melayang beberapa tombak


ke samping. Sesaat dia berguling-guling di tanah, ke-

mudian segera bangkit ketika tangan makhluk menye-

ramkan itu hendak mencengkeram tubuhnya kembali.

Crab!

Kuku panjang menyeramkan itu menghunjam 

dalam di tanah. Karena dalamnya, tercipta lubang be-

sar yang menyerupai galian sumur yang dalam, ketika 

tangan itu ditarik.

Mata Pendekar Gila membelalak. Hatinya bergidik 

saat membayangkan tubuhnya menjadi sasaran hun-

jaman tangan makhluk menyeramkan itu. Tentu tu-

buhnya hancur lebur, karena tidak lebih besar diban-

dingkan telapak tangan makhluk menyeramkan itu. 

"Hgrrr...!"

Makhluk menyeramkan itu kembali mengayun-

kan tangannya, berusaha menghancurkan tubuh Pen-

dekar Gila. Namun Sena yang sudah merasakan sakit 

yang luar biasa akibat tamparan tangan besar itu den-

gan cepat berkelit. Disusul oleh serangan pukulan sak-

tinya ke wajah lawan.

Wusss...!

Selarik sinar merah membara keluar dari telapak 

tangan Pendekar Gila, dan langsung melesat ke wajah 

makhluk menyeramkan itu.

Jrot!

Sinar api itu menghantam wajah lawannya yang 

menyeramkan. Namun makhluk itu bagai tak menga-

lami apa-apa. Bahkan dia semakin kalap. Tangannya 

silih berganti menyambar dan menghantam tubuh 

Pendekar Gila.

Wut!

"Edan!" maki Pendekar Gila seraya melompat ke 

samping dengan mengerahkan tenaga dalam, hingga 

lompatannya melesat cepat. Lalu dia bersalto beberapa 

kali, sebelum balas menyerang dengan pukulan sakti.


"Ini untukmu, Iblis...! 'Inti Bayu'! Heaaa...!"

Angin menderu kencang laksana badai, berusaha 

menyapu tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu. 

Pohon-pohon tumbang. Daun-daun beterbangan. Na-

mun makhluk menyeramkan itu masih saja berdiri 

dengan tegar.

"Hgrrr! Kuhancurkan tubuhmu! Hogrrr...!"

Makhluk menyeramkan itu kembali bergerak 

hendak mencengkeram tubuh Pendekar Gila yang den-

gan cepat mengelak ke samping. Saat itu pula, dia te-

ringat akan cerita gurunya ketika bertarung dengan 

Dewi Pemuja Setan.

"Hanya dengan Suling Naga Sakti, dia dapat dika-

lahkan." 

Ingat akan kata-kata gurunya, dengan cepat Pen-

dekar Gila melolos Suling Naga Sakti dari pinggangnya. 

Kemudian dengan cepat pula suling itu ditiup dengan 

posisi kepala naga mengarah ke mata makhluk menye-

ramkan itu.

Wusss!

Bersamaan dengan alunan suling, dari kedua 

mata naga di pangkal suling melesat dua berkas sinar 

merah ke mata makhluk menyeramkan itu.

Crat!

"Aaargh...!"

Makhluk menyeramkan itu meraung-raung ke-

ras, ketika sinar merah dari sepasang mata di pangkal 

Suling Naga Sakti menghantam matanya.

Pendekar Gila tidak mau berhenti sampai di situ, 

kini mulut naga di pangkal suling diarahkan ke tubuh 

makhluk menyeramkan yang masih meraung-raung 

itu. Ditiupnya suling sekali lagi. Seketika itu juga, dari 

mulut naga di pangkal suling keluar semburan api 

membara. Dan langsung membakar tubuh makhluk 

menyeramkan itu.


"Aaarghhhh...!"

Makhluk menyeramkan itu menggelepar-gelepar 

saat tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari Sul-

ing Naga Sakti. Perlahan-lahan tubuh makhluk menye-

ramkan itu bergulung-gulung menjadi asap hitam. 

Saat

itu juga, Pendekar Gila merasakan guncangan yang 

sangat keras. Seperti tengah terjadi gempa bumi dah-

syat. 

Dalam keadaan seperti itu, Sena menyadari kalau 

istana iblis itu akan segera hancur. Bergegas ilmu me-

ringankan tubuhnya dikerahkan, dan langsung masuk 

ke istana untuk mencari Mei Lie.

"Mei Lie...!" panggil Sena dengan gejolak rasa ce-

mas. "Mei Lie...!"

Dicarinya Mei Lie di dalam istana. Sampai akhir-

nya dia melihat Mei Lie tengah terbaring di sebuah 

tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat. Cepat 

Pendekar Gila membuka ikatan tali itu. Saat itu pula, 

guncangan semakin keras. Bahkan ditambah dengan 

ledakan-ledakan yang menggelegar. Tubuh Pendekar 

Gila bersama Mei Lie yang berada di pelukannya, ter-

lempar ke atas. Beruntung, Pendekar Gila sempat 

mengambil Pedang Bidadari di sisi Mei Lie.

Glarrr..!

"Ah...!"

Tubuh Pendekar Gila terus meluncur ke atas ber-

sama tubuh Mei Lie. Lalu Pendekar Gila tidak ingat 

apa-apa lagi. Sekelilingnya terasa sangat gelap.

***

Entah berapa lama keduanya pingsan. Ketika 

Pendekar Gila membuka mata, dia tengah terbaring di 

sebuah lapangan berumput. Di sampingnya, tergeletak


tubuh Mei Lie.

"Hei, di mana aku?" tanya Sena dengan kening 

berkerut "Mei Lie...!"

Didekatinya tubuh Mei Lie. Kemudian perlahan 

tangannya membelai rambut gadis cantik yang telah

memikat hatinya. Lama ditatapnya wajah gadis itu le-

kat-lekat. Bibirnya nampak merekah indah, mengun-

dangnya untuk mengecup. Perlahan-lahan Pendekar 

Gila mendekatkan wajahnya.

"Mei Lie...," desis Sena.

Diciumnya bibir mungil Mei Lie dengan lembut 

membuat gadis itu siuman. Mulanya Mei Lie hendak 

berteriak, namun ketika melihat lelaki yang mencium-

nya, Mei Lie malah terdiam. Bahkan matanya kembali 

dipejamkan, dan bibirnya semakin dibuka lebar.

"Sena...," desah Mei Lie sambil membalas ciuman 

Sena Manggala.

Untuk sesaat, keduanya larut dalam belaian ka-

sih dan kerinduan.

Angin sore berhembus perlahan, membelai ramah 

rambut kedua insan yang sedang diliputi kerinduan. 

Suasana di tempat itu seketika hening.

"Sena, jangan tinggalkan aku," ujar Mei Lie sam-

bil memeluk tubuh Sena. Kepalanya diletakkan di dada 

bidang Sena yang menyimpan kedamaian. "Tidak, Mei 

Lie. Aku...."

Pendekar Gila tidak meneruskan kata-katanya. 

Tangannya yang semula membelai rambut Mei Lie, kini 

menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie 

mendongakkan kepala, menatap wajah pemuda itu.

"Ada apa, Sena? Mengapa kau tidak meneruskan 

kata-katamu?"

Sena tersenyum-senyum sambil menggaruk-

garuk kepala. Setelah menyelipkan Suling Naga Sakti 

di pinggangnya, Sena mengajak Mei Lie bangun.


"Mei Lie, lihatlah gunung yang membiru itu."

Mei Lie memandang ke arah gunung yang tampak 

menjulang tinggi. Kemudian dengan perasaan tak 

mengerti, pandangannya dialihkan pada Sena.

"Ada apa dengan gunung itu, Sena?"

"Dia tinggi, bukan?"

"Ya!"

"Gunung itu memang tinggi, Mei Lie. Tapi..., ta-

hukah kau bahwa angan ku jauh lebih tinggi diban-

dingkan gunung itu?"

Mei Lie menggelengkan kepala. Kepolosannya 

masih belum memahami kata-kata kiasan yang di-

ucapkan Sena. Matanya kini kembali memandang Se-

na.

"Mei Lie, aku mencintaimu," bisik Sena lembut.

"Oh! Benarkah, Sena?" tanya Mei Lie sambil me-

rebahkan kepalanya kembali ke dada Sena. Tidak tera-

sa, air matanya berlinang.

"Kau menangis, Mei Lie. Kenapa...?" tanya Sena 

sambil menengadahkan kepala Mei Lie agar dapat me-

mandangnya. Kemudian tangannya dengan lembut 

menyeka air mata gadis itu.

"Lama sekali aku memimpikan semuanya, Sena. 

Baru kali ini aku mendengarnya. Mulanya aku tak be-

rani berharap dapat mendampingimu. Biarkanlah aku 

mengabdi padamu, Sena...," pinta Mei Lie, lirih.

Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 

kepala.

"Aku bukan dewa, Mei Lie. Hanya dewalah yang 

patut mendapat pengabdian. Ah, sudahlah. Kita harus 

segera ke Lembah Lamur untuk menghentikan perta-

rungan," tukas Sena.

"Lembah Lamur...?" tanya Mei Lie.

"Benar. Ayo...," ajak Sena.

Setelah Mei Lie menaruh Pedang Bidadari di


punggung, keduanya melesat meninggalkan tempat itu 

menuju Lembah Lamur, di mana dua golongan tengah 

bertarung

Kedua pendekar muda itu rupanya terlambat. Di 

Lembah Lamur kini hanya tersisa keheningan dan de-

sah angin yang berlalu tanpa peduli. Sementara berpu-

luh mayat bergelimpangan memenuhi tanah datar 

yang tandus. Kebanyakan yang menjadi korban adalah 

orang-orang dari aliran lurus. Sedangkan dati aliran 

hitam yang kelihatan hanya tiga orang pengemis, serta 

beberapa puluh anggota. Sedangkan Pengemis Tempu-

rung Sakti, dua Ketua Perkumpulan Pengemis, Tiga 

Setan Rambut Api, Datuk Karang Geni entah ke mana. 

Tentunya mereka telah pergi.

"Nyi Bangil, Lira Kanti.... Oh, mengapa mereka 

harus mati, Sena?" tanya Mei Lie sambil menangis.

Hatinya benar-benar tergiris menyaksikan kea-

daan Nyi Bangil dan Lira Kanti. "Tidak! Tidak mung-

kin...!" Mei Lie menangis sambil memeluk tubuh Sena 

yang terdiam kelu. Sulit bagi Sena untuk menjelaskan 

semuanya.

"Mengapa aku tega membunuhnya? Oh, semua 

ini gara-gara orang-orang rimba hitam, Sena. Aku ha-

rus membalas perbuatan mereka! Aku harus memba-

las...!"

"Mei Lie, tenanglah. Dendam tak baik bagi kita. 

Semua sudah menjadi suratan Hyang Widhi. Sudah-

lah, kau jangan terlalu memikirkannya," bujuk Sena.

"Tidak, Sena. Aku masih berdosa jika belum me-

nemukan mereka!"

Usai berkata begitu, secara tiba-tiba Mei Lie me-

lesat pergi, meninggalkan Sena.

"Mei Lie, tunggu...!" 

Sena yang merasa cemas akan keselamatan Mei 

Lie, segera mengejar. Namun Mei Lie yang pikirannya


kacau setelah menyaksikan Nyi Bangil tewas, melesat 

bagai angin meninggalkan Sena. Dalam kesendirian-

nya, Sena terpaku menerawang masa-masa yang berla-

lu tanpa dapat dipahaminya.

Nah, bagaimana selanjutnya. Apakah Sena akan 

bisa menjadi satu dengan Mei Lie? Apa yang akan di-

hadapi Mei Lie selanjutnya? Siapakah yang telah 

membantai orang-orang persilatan dari aliran lurus? 

Mampukah Mei Lie membalas sakit hatinya pada 

orang-orang rimba hitam?

Jika Anda ingin tahu bagaimana nasib Mei Lie, 

silakan ikuti serial Pendekar Gila selanjutnya dalam 

episode "Pedang Penyebar Maut".



                            SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar