SINGA JANTAN DARI CINA
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Singa Jantan Dari Cina
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Kapal besar berbendera Cina semakin mende-
kati pelabuhan Banyu Asin. Di pelabuhan itu, para ne-
layan dan kuli panggul tengah sibuk dengan peker-
jaannya. Beberapa orang kuli panggul segera berlari ke
tepian, ketika melihat kapal berbendera Cina itu mera-
pat.
Di anjungan kapal nampak seorang lelaki berdi-
ri tegap dengan caping lebar menutupi hampir separo
wajahnya. Baju luarnya berwarna coklat tua, sedang-
kan baju dalamnya berwarna putih. Di punggungnya
tersandang sebilah pedang panjang.
Lelaki muda itu bersidekap. Matanya meman-
dang tajam ke arah dermaga, di mana orang-orang
tengah sibuk bekerja.
Angin bertiup lembut, membelai daun-daun
pohon nyiur yang tumbuh di sekitar pelabuhan yang
cukup besar. Air laut beriak-riak, menambah indahnya
pemandangan di pelabuhan. Sementara itu, tiga buah
kapal nelayan nampak tertambat di dermaga.
Kapal itu pun merapat ke dermaga, disambut
kuli-kuli pelabuhan dengan wajah ceria. Mereka akan
mendapatkan pekerjaan yang akan menghasilkan uang
banyak. Karena biasanya kapal pesiar dari Cina mem-
bawa beragam kerajinan tangan yang akan dijual di
Jawa Dwipa.
Lelaki bercaping lebar segera melompat turun,
lalu mendekati seorang lelaki bertubuh tinggi kurus
yang tengah melakukan pelelangan ikan.
Merasa ada yang mendekati, lelaki berpakaian
serba biru dengan blankon di kepalanya menghentikan
penawaran pada para pembeli. Matanya memandang
lelaki bercaping lebar seraya tersenyum.
"Ada yang bisa kubantu, Tuan?" tanya lelaki
berusia sekitar tiga puluh delapan tahunan itu dengan
ramah. Senyumnya masih mengembang di bibir.
"Hm...," gumam lelaki tua bercaping lebar. Ma-
tanya yang tertutup caping, memandang tajam ke arah
lelaki di depannya. "Bisakah kau jelaskan, ke arah
mana aku bisa bertemu pendekar tanah Jawa Dwipa
ini?"
Lelaki tinggi kurus itu mengerutkan kening,
mendengar pertanyaan lelaki di hadapannya. Ditatap-
nya tajam-tajam wajah yang tersembunyi di balik cap-
ing lebar itu, untuk mengetahui seperti apa sebenar-
nya lelaki yang nampaknya masih muda itu. Namun
lelaki Jawa itu sulit untuk melihat dengan jelas, kare-
na caping lelaki itu terlalu rendah dan lebar.
"Kalau boleh ku tahu, untuk apa Tuan mencari
pendekar tanah Jawa?"
"Mencari seseorang," sahut lelaki bercaping le-
bar.
"Siapa...?"
"Mei Lie."
"Mei Lie...?" ulang lelaki jangkung itu seraya
mengerutkan kening. Kembali matanya menatap lekat
ke wajah lelaki yang wajahnya terlindung bayangan
caping itu.
"Ya. Mei Lie. Kau kenal dia...?"
"Oh..., menyesal sekali aku tidak mengenalnya,"
jawab lelaki berpakaian biru itu sopan.
Srrrt!
Lelaki muda bercaping itu tiba-tiba mencabut
pedangnya, kemudian dengan cepat membabat ke wa-
jah lelaki di depannya.
Lelaki jangkung bertubuh kurus itu tersentak
kaget. Dengan mata membelalak, dia berusaha menge-
lakkan serangan itu. Namun gerakan pedang lawan
terlalu cepat, membuatnya harus menerima nasib yang
malang.
Cras!
"Aaakh...!" lelaki berpakaian biru itu memekik
keras ketika pedang lelaki Cina bercaping lebar me-
nyabet keningnya. Sesaat matanya melotot, kemudian
ambruk tanpa nyawa.
Pelabuhan Banyu Asin pagi itu menjadi gempar
oleh kematian Ki Jarotono, lelaki yang mengelola pele-
langan ikan di pelabuhan itu. Anak buah Ki Jarotono
yang menyaksikan kejadian itu, berusaha meringkus
lelaki misterius dari Cina. Namun semuanya sia-sia.
Mereka bukan tandingan lelaki itu. Dalam beberapa
gebrakan saja, mereka dapat dijatuhkan. Semua tewas
dengan kening terbabat pedang!
"Hhh...."
Lelaki bercaping lebar itu menghela napas. Ma-
tanya beredar tajam pada orang-orang Jawa Dwipa
yang mengepung dan memandangnya dengan penuh
kebencian. Namun tak seorang pun dari para buruh
pelabuhan atau nelayan yang berani maju. Mereka ti-
dak ingin mati sia-sia seperti anak buah Ki Jarotono.
Lelaki muda dari Cina yang bercaping lebar itu
pergi begitu saja, setelah memperhatikan orang-orang
pelabuhan yang hanya mematung sambil memperhati-
kannya dengan pandangan ngeri.
Kini pelabuhan Banyu Asin menjadi ramai sete-
lah kepergian lelaki misterius dari Cina yang telah
membunuh Ki Jarotono dan sepuluh anak buahnya
dalam sekali gebrakan.
"Ilmu pedangnya sangat hebat," gumam seo-
rang dari mereka.
"Ya! Rasanya sangat sulit untuk ditandingi,"
sambung yang lain.
"Kita harus segera memberi tahu Kanjeng Adi-
pati."
Dengan masih membicarakan lelaki bercaping
lebar tadi, mereka mengurusi mayat Ki Jarotono dan
kesepuluh anak buahnya.
***
"Hai, ada apa di sana?" bisik Sena Manggala
yang tengah menyelusuri jalan di pesisir sebelah utara.
Matanya memandang ke arah pelabuhan. Dilihatnya
orang-orang tengah sibuk melakukan sesuatu. "Seper-
tinya ada kejadian. Ah, aku ingin melihatnya."
Seraya menggaruk-garuk kepala, Sena melang-
kah dengan cepat ke tempat orang-orang yang tengah
mengangkat beberapa mayat. Dan, setelah tiba di de-
kat kerumunan, Sena menghampiri seseorang untuk
mencari tahu.
"Kisanak, apa yang terjadi? Mengapa mereka
mati?" tanya Sena pada seorang kuli pelabuhan yang
masih ikut mengerumuni sebelas mayat lelaki yang
bernasib naas itu.
"Baru saja orang bercaping yang datang dari
Cina membunuh mereka," sahutnya.
"Ya. Lelaki bercaping itu seperti orang gila,"
timpal yang lain.
"Orang gila...?" tanya Sena dengan kening ber-
kerut. Tangannya menggaruk-garuk kepala. "Mengapa
Kisanak mengatakan seperti orang gila?"
"Bagaimana tidak...? Lelaki dari Cina itu tiba-
tiba mencabut pedangnya. Lalu.... Cras, cras, cras! Ma-
tilah Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya," tukas
lelaki bertubuh tinggi besar sambil melangkah maju.
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening
mendengar penuturan mereka.
"Lelaki dari Cina?" gumamnya sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Matanya tiada henti memandang
para kuli yang masih mengangkati mayat-mayat itu.
Mayat-mayat yang kematiannya sangat aneh. Di ken-
ing mereka, terdapat luka babatan pedang tajam.
"Ya. Lelaki itu berpakaian pesilat Cina berwarna
coklat tua. Wajahnya tidak terlihat, karena capingnya
lebar. Dia menanyakan tentang pendekar-pendekar ta-
nah Jawa Dwipa," lanjut lelaki berbadan tinggi besar
yang bertelanjang dada.
"Mengapa lelaki Cina itu membunuh Ki Jaroto-
no?" tanya Sena masih tak mengerti. Tangannya tetap
menggaruk-garuk kepala. "Apakah di antara keduanya
telah terjadi keributan?"
"Sama sekali tidak. Bahkan Ki Jarotono nam-
pak ramah, menjawab pertanyaan lelaki bercaping le-
bar itu," jawab lelaki tadi.
"Apa yang ditanyakan lelaki Cina itu?"
Lelaki berbadan tinggi besar yang bertelanjang
dada itu menceritakan semuanya. Dari saat kedatan-
gan perahu besar dari Cina yang ditumpangi lelaki
misterius itu sampai Ki Jarotono menanyakan tujuan-
nya. Hingga akhirnya, lelaki misterius itu bertanya ten-
tang seseorang yang bernama Mei Lie.
"Mei Lie...?" desis Sena.
"Ya. Apakah Tuan mengenalnya?"
Sena menganggukkan kepala.
"Ya, aku mengenalnya. Aku pun sedang menca-
rinya," sahut Sena dengan dahi berkerut. Hm. Siapa-
kah lelaki bercaping lebar itu? Tanya Sena dalam hati.
Mengapa dia harus membunuh orang yang tidak men
genal Mei Lie? Ah, lalu di mana Mei Lie kini berada?
"Apakah Tuan juga mengenal lelaki misterius
bercaping lebar itu...?"
Pendekar Gila menggelengkan kepala. Tangan-
nya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas pan-
jang, lalu wajahnya ditengadahkan ke langit.
"Aneh.... Siapa lelaki bercaping lebar itu?" gu-
mam Sena.
Kalau dia benar dari Cina, tentunya ada tujuan
tertentu untuk mencari Mei Lie. Siapa dia? Dilihat dari
caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang
sembarangan. Tanya Sena lagi dalam hati.
Sesaat Sena menggaruk-garuk kepala dengan
mulut nyengir.
"Sebenarnya..., justru aku yang ingin mena-
nyakan hal itu padamu. Apa Kisanak mengenalnya?"
Sena balik bertanya dengan tangan masih menggaruk-
garuk kepala.
"Sama sekali tidak. Dia baru saja turun dari
kapal itu, Tuan," sahut lelaki tinggi besar sambil me-
nunjuk ke arah kapal berbendera Cina yang belum ter-
lihat ada orang lain yang keluar. Sejak tadi, tak ada
orang yang keluar dari kapal itu. Kecuali lelaki bercap-
ing yang membunuh Ki Jarotono dan anak buahnya.
"Hm...," gumam Sena. Matanya beralih ke arah
kapal berbendera Cina yang telah merapat ke pelabu-
han. Namun seperti kata kuli pelabuhan, dari dalam
kapal itu belum juga ada orang yang keluar.
"Aneh.... Rasanya ada yang tidak beres."
"Benar, Tuan. Coba saja periksa," saran kuli pe-
labuhan.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Ma-
tanya masih memandang kapal berbendera Cina yang
nampak membuang sauh di kejauhan, tanpa terdengar
apa-apa.
"Benar, Tuan. Sepertinya kapal itu mencuriga-
kan," sambung yang lainnya, ikut menyarankan.
"Hm...," gumam Sena. "Memang aneh sekali.
Ah, bagaimana mungkin selama itu belum ada seorang
pun juga yang keluar?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya nyengir. Tingkah lakunya kembali aneh seperti
orang gila. Hal itu membuat semua orang di pelabuhan
itu seketika memperhatikannya. Mereka terheran-
heran melihat tingkah pemuda tampan berbaju rompi
kulit ular itu. Dengan kening berkerut, mereka beru-
saha mereka-reka siapa Sena sebenarnya.
"Oh! Tuankah Pendekar Gila itu?" tanya lelaki
bertubuh tinggi besar seraya menjura, diikuti yang
lain. "Aku Wanggono, menyampaikan hormat."
Pendekar Gila semakin menggaruk-garuk kepa-
la dengan mulut nyengir, menyaksikan Wanggono dan
kuli pelabuhan lainnya menjura padanya.
"Ah ah ah..., sudahlah. Tidak perlu kalian ber-
laku begitu. Bagaimana kalau kita periksa kapal itu
bersama?" ajak Sena.
"Setuju, Tuan. Apa pun yang Tuan perintahkan,
kami akan melaksanakannya," jawab Wanggono.
"Kalau begitu, kita ke kapal itu."
Sena melangkah di depan. Diikuti oleh bebera-
pa kuli pelabuhan. Mereka ingin melihat apa yang se-
benarnya terjadi di kapal yang nampak sepi, bagai tak
ada denyut kehidupan.
Tentunya ketika telah dekat dengan pelabuhan,
lelaki bercaping lebar dari dataran Cina itu membunuh
mereka. Dengan harapan tak ada orang yang tahu
identitasnya, hingga dia akan dapat leluasa bergerak di
tanah Jawa Dwipa ini.
Mata Sena membelalak lebar, ketika melihat
pintu kapal itu. Di dalam ruang kapal, dilihatnya bebe-
rapa orang kelasi dan nakhoda tergeletak tanpa nyawa.
Bahkan para kuli pelabuhan yang tadi menghampiri
kapal itu bergeletakan tanpa nyawa di dek kapal. Ke-
matian mereka sama seperti yang dialami oleh Ki Jara-
tono. Di kening mereka terdapat sayatan pedang yang
memanjang hingga pangkal hidung.
"Oh, Hyang Jagat Dewa Batara.... Keji sekali
perbuatannya," desis Sena setengah mengeluh. Ma-
tanya masih memandang lekat ke mayat-mayat yang
bergelimpangan dengan luka sabetan pedang di ken-
ing. Luka itu terlihat tidak terlalu besar, namun aneh-
nya mampu membunuh orang.
"Mungkin lelaki bercaping lebar itu pelakunya,
Tuan," duga Wanggono.
Sena menghela napas. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. Bibirnya digigit untuk melampiaskan ke-
geraman, setelah menyaksikan akibat tindakan manu-
sia bercaping lebar yang terlalu telengas.
"Ya! Kurasa memang dialah pelakunya."
"Keji sekali!" maki Wanggono.
Sena mendekati mayat-mayat orang Cina itu.
Diperiksanya nakhoda kapal dengan seksama. Seketi-
ka matanya membelalak, setelah mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi.
"Racun!" pekiknya tertahan, menyentakkan ku-
li-kuli pelabuhan yang mengikutinya. "Celaka! Ten-
tunya orang-orang yang menolong Ki Jarotono pun
mengalami keracunan!"
Semua membelalakkan mata mendengar penu-
turan Sena. Tubuh mereka seperti mengejang seketika.
Kalau benar apa yang dikatakan pendekar muda itu,
pasti orang-orang yang mengurus mayat Ki Jarotono
dan kesepuluh anak buahnya akan mengalami kema-
tian dalam waktu yang cepat!
"Kita harus segera menolong mereka," kata Se-
na sambil berkelebat ke luar, diikuti oleh kuli-kuli pe-
labuhan. "Di mana rumah Ki Jarotono?"
"Ikuti kami, Tuan," ajak Wanggono.
Dengan wajah tegang, mereka berlari menuju
rumah Ki Jarotono. Namun belum juga sampai, mata
mereka membelalak. Mereka menemukan beberapa
orang telah mati dengan tubuh membiru.
"Celaka!" pekik Sena. "Mungkinkah kita terlam-
bat?"
"Semoga saja masih ada yang bisa ditolong,
Tuan," harap Wanggono.
"Ada berapa orang yang menolong Ki Jarotono
dan kesepuluh anak buahnya?" tanya Sena dengan
wajah tegang, setelah menyaksikan keganasan racun
itu.
"Dua puluh dua orang, Tuan."
"Celaka! Kita harus segera menolong mereka,"
kata Sena dengan wajah masih membayang kecema-
san.
Dengan cepat mereka berlari kembali untuk
mengejar sisa orang yang masih mungkin hidup.
Belum jauh berlari, kembali mereka menemu-
kan sisa orang yang mengurus mayat Ki Jarotono telah
mati. Tubuh mereka telah membiru dan kaku.
"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apakah
yang akan menimpa dunia?" gumam Sena, terpaku
menyaksikan kematian yang mengenaskan.
Orang-orang yang mengikutinya turut terdiam.
Mata mereka membelalak tegang, menyaksikan kema-
tian tragis yang meminta tumbal berpuluh nyawa da-
lam satu hari.
"Tuan, racun apa yang telah membuat mereka
mati dengan waktu yang sangat cepat seperti itu?"
tanya Wanggono.
"Entahlah. Yang jelas, kalian jangan sampai
menyentuh tubuh korban. Racun itu bisa menjalar me-
lalui persentuhan. Dalam bekerjanya, racun itu hanya
memerlukan waktu yang singkat. Tak ada sepeminum
teh," tutur Sena menerangkan.
Semua mata kian membelalak mendengar kete-
rangan itu. Kalau racun itu sangat ganas, tak mungkin
orang yang terkena akan luput dari kematian.
"Tapi, Tuan...," mata Wanggono menatap Sena
dengan cemas. "Bukankah tadi Tuan menyentuh nak-
hoda kapal? Kalau begitu, Tuan pun dalam ancaman
maut"
"Iya, Tuan. Bagaimana kami bisa menolong-
mu?" sambung yang lain dengan wajah cemas.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepa-
la. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan, dengan
tingkah seperti orang gila.
"Kalian tak perlu merisaukan ku. Yang penting,
kalian jangan sesekali menyentuh tubuh korban. Nah,
sekarang aku mau tanya, ke arah mana lelaki miste-
rius itu pergi?"
"Dia pergi ke arah selatan, Tuan," sahut Wang-
gono.
Sena mengangguk-angguk. Matanya kini me-
mandang ke arah selatan. Dihelanya napas dalam-
dalam, kemudian tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala.
"Baiklah, aku harus segera mencarinya. Kuha-
rap kalian tidak menyentuh mayat-mayat itu," pesan
Sena. Kemudian tubuhnya melesat cepat meninggal-
kan tem-pat itu.
Semuanya terpana menyaksikan bagaimana
pemuda gila itu berlari. Belum pernah mereka melihat
seorang pemuda memiliki ilmu lari laksana angin.
"Ck ck ck... Sungguh hebat," puji Wanggono di-
iringi decakan kagum. Matanya tak beralih dari arah
Sena pergi. Begitu juga dengan yang lainnya.
DUA
Kedai Ki Mayang Jambe yang berada di wilayah
Kadipaten Lebak Wungu tengah ramai dikunjungi oleh
para musafir, atau orang yang memang sengaja datang
ke kedai itu untuk sekadar minum tuak atau makan.
Kedai Ki Mayang Jambe memang terkenal. Tidak
hanya terkenal dengan masakannya yang nikmat, na-
mun ada hal lain yang menjadi daya tariknya. Seorang
gadis jelita yang menjadi penerima tamu dengan se-
nyumnya yang ramah, itu yang juga mengundang para
tamu.
Sepagi itu, kedai Ki Mayang Jambe telah ba-
nyak pengunjungnya. Sambil memesan makanan dan
tuak, mereka menggoda gadis cantik anak Ki Mayang
Jambe yang bernama Telasih.
Seorang lelaki bercaping lebar dan berpakaian
pesilat Cina, melangkah masuk. Bajunya panjang
sampai di bawah lutut dengan belahan di samping ka-
nan dan kirinya. Di pundaknya bertengger sebilah pe-
dang panjang. Langkahnya begitu mantap saat mena-
paki lantai kedai yang terbuat dari kayu.
Lelaki bercaping lebar itu mengambil tempat
duduk. Dengan kasar tangannya menarik kursi, mem-
buat orang di sekelilingnya tersentak. Seketika, mata
semua orang di kedai itu memandangnya.
Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Berge-
gas didekatinya lelaki yang baru datang itu.
"Ada yang dapat saya bantu, Tuan?" tanya Ki
Mayang Jambe, berusaha tersenyum ramah.
"Hm...."
Lelaki bercaping lebar itu hanya menggumam.
Pembawaannya nampak tenang. Kedua tangannya di-
taruh di atas meja. Dan nafasnya ditarik dalam-dalam.
"Aku lapar. Bawakan aku nasi dan lauk-pauk,"
kata lelaki bercaping lebar itu, dengan kata-kata yang
terdengar kaku.
"Baik, Tuan."
Ketika Ki Mayang Jambe hendak melangkah
untuk mengambilkan pesanan, pundaknya ditahan
oleh lelaki bercaping lebar itu.
"Tunggu...!"
"Iya, Tuan. Ada apa lagi...?" tanya Ki Mayang
Jambe gugup.
"Di mana aku bisa menemui Segoro Wedi?"
Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Perta-
nyaan itu tidak segera dijawabnya. Hatinya malah ber-
tanya heran. Ada hubungan apa antara orang miste-
rius ini dengan Segoro Wedi? (Untuk mengetahui tokoh
yang bernama Segoro Wedi, silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti").
"Haya.... Apa kamu tidak mendengar perta-
nyaanku, hah?!" sentak lelaki bercaping lebar. Na-
danya kelihatan marah, karena merasa pertanyaannya
tidak digubris Ki Mayang Jambe.
"Eh! Dengar, Tuan. Untuk apa Tuan menanya-
kan orang yang sudah mati?" Ki Mayang Jambe balik
bertanya. Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh lelaki bercaping le
bar itu.
"Hm, jadi dia telah mati?"
"Benar, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe. "Sebe-
narnya ada apa, Tuan?"
"Jangan banyaak tanya!" bentak lelaki bercap-
ing lebar dengan nada bengis. "Kamu tidak perlu tahu
urusanku! Kamu hanya jawab. Mengerti...?"
"Me... mengerti, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe
terbata-bata.
"Siapa yang telah membunuh Segoro Wedi?" Ki
Mayang Jambe semakin heran dengan pertanyaan-
pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Pertanyaan-
pertanyaannya sangat aneh. Ada hubungan apa dia
dengan Segoro Wedi? Ah, benar-benar lelaki aneh.
Gumam Ki Mayang Jambe dalam hati.
"Haya...! Kamu bisa membuatku marah, Orang
Tua!" bentak lelaki bercaping lebar dengan kasar. Bah-
kan tangannya menggebrak meja makan, yang seketi-
ka patah menjadi dua.
Orang yang tengah makan di sampingnya ter-
sentak dengan mata melotot marah karena makanan-
nya berantakan ke mana-mana.
"Kurang ajar! Kunyuk dari mana yang berani
lancang ini?! Apa tidak tahu siapa aku?!" maki lelaki
berkumis lebat dengan pakaian hitam lengan panjang
serta golok tersandang di pinggang.
Lelaki berambut terurai itu bangkit dari du-
duknya. Tangan kanannya menarik golok yang terselip
di pinggangnya.
Srrrt!
"Kunyuk sepertimu harus disingkirkan!
Yeaaa...!"
Lelaki itu siap membabatkan goloknya ke tu-
buh lelaki bercaping lebar. Namun dengan gerak cepat
yang sulit diikuti mata, lelaki bercaping lebar itu tahu-
tahu telah meloloskan pedangnya.
Srrrt!
Dalam sekejap tangannya bergerak, membuat
lelaki tinggi besar berwajah garang itu tersentak. Dia
berusaha mengelak, namun gerakan lelaki bercaping
lebar itu ternyata lebih cepat
Wut!
Cras!
Secepat angin, pedang panjang lelaki bercaping
lebar itu melesat ke wajah lawannya. Tak lebih dari se-
kedipan mata, pedang itu telah membabat kening lela-
ki itu.
"Aaakh...!" lelaki berwajah garang itu memekik.
Matanya melotot lebar. Sesaat tubuhnya mengejang
sekarat, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan.
Menyaksikan hal itu, para pengunjung kedai
seketika bertambah benci pada lelaki bercaping yang
mengenakan pakaian pesilat Cina itu. Mereka meman-
dang penuh kebencian.
"Orang asing! Lancang benar kau bertindak!
Jangan harap kau bisa bertindak sesukamu! Di sini,
kau hanya orang baru!"
Srrrt! Srrrt!
Mereka mencabut golok, siap melakukan se-
rangan ke arah lelaki bercaping yang kelihatannya ma-
sih tenang. Bahkan tangannya bergerak pelan untuk
menyeka bekas darah korban yang membasahi mata
pedangnya.
"Siapa di antara kalian yang tahu keberadaan
Mei Lie?!" bentak lelaki bercaping itu.
"Persetan dengan orang yang kau sebutkan!
Kau telah berani berbuat lancang di sini! Kau harus
mampus! Seraaang...!" seru lelaki berbaju merah lengan panjang dengan kain sarung membelit di pinggang.
"Heaaa...!"
"Rencah saja tubuhnya!"
Lima orang temannya melesat maju. Mereka
berbadan tegap dan berwajah garang dengan kumis ti-
pis di atas bibir. Dua di antaranya memiliki jenggot
pendek.
Dengan golok yang berkilat seperti meminta
guyuran darah, mereka siap membabat lelaki bercap-
ing itu. Namun belum juga bisa menyarangkan seran-
gan, lelaki bercaping lebar bergerak secepat kilat. Pe-
dang di tangannya bergerak tanpa dapat diikuti mata.
Dalam sekali gebrak, terdengar jerit kematian yang
menggiriskan.
Wut! Cras!
"Aaa...!"
Empat orang dengan kening dibasahi darah,
kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan
rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi mereka saling
beradu. Kemudian tubuh keempat lelaki itu ambruk
bersamaan.
Melihat kenyataan tersebut, wajah lelaki berba-
ju merah lengan panjang seketika pucat Kumisnya
yang tebal, kini tiada artinya lagi. Matanya membelalak
tegang. Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut
yang tiada terkira. Begitu juga dengan satu temannya
yang masih hidup.
Sementara pengunjung lain yang masih duduk
di kedai, kini bergegas meninggalkan kedai setelah
meninggalkan uang bayaran di meja masing-masing.
Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan lelaki as-
ing itu. Hanya dalam sekali gebrak, orang-orang persi-
latan itu dapat dibunuh. Padahal kelima orang kor-
bannya merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadipaten Lebak Wungu.
"Ampun, Tuan.... Ampunilah nyawa kami yang
tidak berharga ini," ratap lelaki berbaju merah. Semen-
tara temannya hanya menundukkan kepala, tidak be-
rani menatap lelaki dari Cina itu.
Lelaki bercaping lebar tersenyum sinis. Tangan
kanannya masih memegang pedang yang berlumuran
darah. Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemu-
dian didekatinya dua lawannya yang ketakutan.
"Katakan, di mana Mei Lie berada?!" bentaknya
garang.
"Ampun, Tuan. Kami tidak tahu...."
Lelaki bercaping lebar itu mendengus. Kemu-
dian tangannya menebaskan pedang dengan cepat ke
wajah kedua lelaki yang semakin ketakutan. Keduanya
berusaha mengelakkan serangan itu, namun gerakan
lelaki bercaping lebar ternyata sangat sulit untuk di-
elakkan.
Cras, cras...!
"Aaa...!" kedua lelaki itu memekik keras dengan
tangan memegangi kening. Mata mereka membelalak
dengan tubuh meregang. Lalu, ambruk tanpa nyawa.
Telasih menjadi ketakutan menyaksikan pem-
bunuhan yang terjadi di kedai milik ayahnya.
"Auh, Ayah...!" Telasih membenamkan kepala
ke pundak ayahnya. Dia tak berani melihat korban
yang begitu mengerikan di depan matanya.
Lelaki bercaping lebar menyeka darah yang
membasahi mata pedangnya. Kemudian dimasukkan
pedang itu ke dalam sarungnya. Bibirnya tersenyum
sinis, kemudian dengan tenang didekatinya Ki Mayang
Jambe yang ketakutan bersama anak gadisnya.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh kami," ratap Ki
Mayang Jambe.
"Hm....," gumam lelaki bercaping lebar. "Kata-
kan, siapa yang telah membunuh Segoro Wedi? Kalau
kau tidak mau mengatakannya, maka aku tak akan
segan-segan membunuhmu!"
"Ba... baik, Tuan. Orang yang mengalahkan Ki
Segoro Wedi tak lain seorang pendekar muda yang
tingkah lakunya persis orang gila. Dia dikenal dengan
sebutan Pendekar Gila," ungkap Ki Mayang Jambe
dengan suara terbata-bata.
"Hm..."
Kembali lelaki bercaping lebar itu bergumam.
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya yang
panjang. Sebuah kantong kecil berisi uang. Diambilnya
beberapa keping uang emas. Kemudian disodorkannya
kepada Ki Mayang Jambe.
"Cukupkah uang itu untuk mengganti semua-
nya?"
"Oh! Tidak usah, Tuan. Biarlah kami yang me-
nanggungnya," Ki Mayang Jambe berusaha menolak.
"Hm.... Kau mau menolak pemberianku?!"
Ki Mayang Jambe semakin ketakutan menden-
gar pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Mau tak
mau, diterimanya juga lima keping uang emas dari le-
laki itu.
"Terima kasih, Tuan."
Lelaki bercaping lebar Itu tak berkata apa-apa.
Tubuhnya langsung melesat cepat, meninggalkan ke-
dai. Dengan sekali genjot, tubuhnya telah menghilang.
"Ohhh...," Ki Mayang Jambe mengeluh lega. Se-
jak tadi, dia merasakan tekanan jiwa yang begitu dah-
syat. Bahkan hampir saja dia mati ketakutan, kalau
saja lelaki bercaping lebar itu tidak segera meninggal-
kan kedainya.
Dengan masih takut-takut, Telasih mengangkat
kepalanya yang tadi dibenamkan di pundak ayahnya.
***
Ketika Ki Mayang Jambe hampir menyentuh
mayat salah seorang korban lelaki bercaping lebar, ti-
ba-tiba....
"Jangan disentuh, Ki!"
Ki Mayang Jambe tersentak, dan segera mengu-
rungkan niat untuk menyentuh mayat korban lelaki
bercaping lebar. Matanya seketika memandang seorang
pemuda tampan berpakaian kulit ular tanpa lengan
yang tiba-tiba telah berada di ambang pintu kedai. Pe-
muda itu menggaruk-garuk kepala dengan mulut cen-
gengesan. Tingkahnya persis orang gila.
"Korban lagi. Uhhh" Sena menggaruk-garuk ke-
pala sambil mendekati mayat-mayat yang tubuhnya te-
lah membiru.
Ki Mayang Jambe dan Telasih terus memperha-
tikan Sena yang menarik perhatian mereka. Kening
anak dan bapak itu mengerut, berusaha mengingat-
ingat siapa pemuda tampan yang bertingkah laku gila
itu.
"Ki, apakah orang bercaping lebar yang telah
melakukan ini semua?" tanya Sena seraya memandang
Ki Mayang Jambe.
"Benar, Tuan. Dan kalau tidak salah, apakah
Tuan yang sering disebut Pendekar Gila?" balik tanya
Ki Mayang Jambe. Matanya masih memperhatikan
dengan seksama sosok pemuda tampan yang tingkah-
nya lucu dan konyol itu.
Sena tersenyum-senyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kemudian tangannya menggaruk-
garuk kepala.
"Ah, rasanya julukan itu terlalu tinggi, Ki. Su-
dahlah, tak perlu kau permasalahkan hal itu," ucap-
nya merendah.
Kemudian Sena memeriksa mayat-mayat itu
dengan seksama. Semua korban memiliki kesamaan.
Selalu saja ada sayatan di kening. Sayatan itu sebe-
narnya tidak berbahaya, sebab hanya merobek kulit.
Tapi dengan racun yang ganas, luka itu benar-benar
dapat mematikan. Jangankan yang terluka, orang yang
menyentuh saja bisa mati dalam sekejap.
"Hm, racun apa yang digunakan lelaki miste-
rius itu? Sungguh ganas sekali," gumam Sena dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya masih
memperhatikan dengan seksama mayat korban yang
membiru.
Mata Telasih langsung membelalak ketika men-
dengar kalau korban di kedai milik ayahnya keracu-
nan.
"Jadi mereka keracunan?!" tanya Ki Mayang
Jambe setengah tidak percaya.
"Ya! Racun yang ganas. Kalau saja kau tadi
menyentuhnya, kau akan mati pula, Ki," tutur Sena,
menjelaskan.
Mata Ki Mayang Jambe membelalak tegang.
Tubuhnya bergidik jika ingat ucapan Sena dan ingat
bagaimana tadi dia akan menyentuh tubuh korban.
Kalau sempat disentuhnya, celakalah dia. Tentunya
kini dia telah mati keracunan.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh mencobanya
dengan binatang hidup, Ki. Ambillah ayam...," kata Se-
na, berusaha meyakinkan.
Ki Mayang Jambe segera pergi ke belakang. Ti-
dak lama kemudian, dia telah kembali dengan mem-
bawa seekor ayam. Dilemparkannya ayam itu ke arah
mayat Seketika ayam itu menggelepar-gelepar sekarat,
kemudian kaku tanpa nyawa!
"Hih...!" Ki Mayang Jambe berdesis ngeri. Ma-
tanya bersinar tegang, setelah menyaksikan keadaan
ayam yang sangat mengerikan. Selama hidupnya baru
kali ini dia menyaksikan akibat dari racun yang begitu
ganas. Belum ada orang Jawa Dwipa yang mampu
membuat racun begitu ganas. Tak ada sepeminum teh,
orang akan mati.
"Hah?! Tidak...!" pekik Telasih, kembali ketaku-
tan menyaksikan bagaimana ayam jago yang dilempar-
kan ayahnya seketika mati.
"Kau sudah percaya, Ki?" tanya Sena, masih
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Mayang Jambe mengangguk. Matanya masih
terlihat memancarkan kengerian, saat memandang
ayam yang kini bagai terpanggang hangus. Mengerikan
sekali!
"Ke arah mana lelaki bercaping itu pergi, Ki?"
tanya Sena setelah lama termenung. Matanya menya-
pu ke luar kedai, pada kerumunan orang yang ingin
melihat suasana di dalam.
"Tuan, orang yang bercaping tadi menanyakan
masalah Ki Segoro Wedi. Juga menanyakan tentang
Tuan dan... Mei... ah! Siapa ya...?" Ki Mayang Jambe
berusaha mengingat-ingat ucapan lelaki bercaping le-
bar, namun sulit sekali untuk menyebutkannya.
"Mei Lie...?" tanya Sena.
"Ya, ya! Benar...! Nona Mei Lie."
"Hm...," gumam Sena perlahan. "Aku tidak tahu
siapa dia sebenarnya. Dan ada hubungan apa antara
dia dengan Mei Lie. Semua orang yang ditemuinya di-
tanya tentang Mei Lie. Lalu kalau tidak tahu, dia akan
membunuhnya."
"Oh! Benar, Tuan. Orang-orang ini pun mu-
lanya ditanya tentang Nona Mei Lie. Dan mereka tidak
dapat menjawab. Itu sebabnya mereka dibunuh," tim-
pal Ki Mayang Jambe membenarkan.
Kepala Sena mengangguk-angguk. Kemudian
tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya
masih memandang ke luar. Di sana, orang-orang
hanya berkerumun tanpa ada yang berani masuk
"Hm.... Sangat berbahaya. Sungguh sebuah
bencana besar. Tentunya ada maksud-maksud tak
baik pada orang itu...," gumam Sena sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Bagaimana orang tahu di mana Mei
Lie? Melihatnya saja belum pernah. Aku sendiri, sam-
pai saat ini belum tahu di mana dia berada."
"Jadi Tuan mengenal Nona Mei Lie?"
"Ya," sahut Sena singkat. "Ki, aku harus segera
pergi. Kalau kau ingin menyingkirkan mayat-mayat ini,
gunakanlah kayu yang panjang. Terima kasih atas ke-
teranganmu."
Usai berkata demikian, Pendekar Gila melang-
kah ke arah pintu. Dengan gerak-gerik seperti orang
gila, tempat itu ditinggalkannya. Semua orang seketika
memperhatikannya. Mata mereka menyipit, menyaksi-
kan Sena yang mengingatkan mereka pada desas-
desus tentang seorang pendekar muda yang berting-
kah seperti orang gila.
"Mungkin dia orangnya," bisik salah seorang
warga.
"Coba kita tanyakan pada Ki Mayang Jambe,"
saran warga lainnya.
Mereka yang semula hanya berdiri di luar, ma-
suk ke dalam kedai untuk menanyakan Ki Mayang
Jambe. Sekaligus ingin melihat apa yang telah terjadi.
Mata mereka membelalak, setelah menyaksikan mayat
bergelimpangan dengan keadaan yang sangat mengeri-
kan. Ketika salah seorang dari mereka hendak meme-
gang, dengan cepat Ki Mayang Jambe mencegah.
"Jangan sentuh mereka...!"
"Kenapa, Ki?"
"Mereka keracunan! Apakah kalian tidak meli-
hat ayam itu?"
Semua memandang ke arah ayam yang terlihat
hangus. Mata mereka kian membelalak menyaksikan
kejadian mengerikan yang tampak di hadapan mereka.
Namun ada juga salah seorang dari mereka yang be-
lum percaya. Dengan nekat, orang itu memegang tu-
buh salah seorang korban yang merupakan sauda-
ranya. Seketika itu juga....
"Akh...!" orang itu memekik pendek. Tubuhnya
mengepulkan asap laksana terbakar. Matanya melotot
bagai hendak keluar, kemudian ambruk dan mati.
"Itulah orang yang tidak mau percaya!" rutuk Ki
Mayang Jambe kesal. Dia sudah memperingatkan, tapi
masih saja orang itu nekat menyentuh korban.
Sementara itu, Sena semakin jauh meninggal-
kan kedai Ki Mayang Jambe. Setelah jauh dari orang-
orang yang tadi berkerumun di luar kedai, tubuhnya
segera berkelebat cepat untuk memburu lelaki miste-
rius bercaping lebar.
TIGA
Hembusan angin pagi bertiup sejuk Diwarnai
oleh nyanyian burung yang riang, menyambut kehadi-
ran matahari yang hadir kembali untuk menyinari
bumi. Embun-embun belum semuanya pupus dari rerumputan dan daun pohon. Dari kejauhan terdengar
teriakan sengit dua wanita, memporak-porandakan
kedamaian pagi.
"Ceaaat...!"
"Heaaa...!"
Dua wanita muda dengan tangan memegang
pedang, nampak tengah bergerak lincah. Tubuh mere-
ka bersalto ke udara, lalu menggerakkan pedang mas-
ing-masing. Gemuruh air terjun di samping mereka,
kalah oleh jeritan keduanya yang menggelegar.
Wut, wut..!
Trang!
"Hiaaa...!"
"Yeaaat...!"
Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka
melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya ber-
jumpalitan di udara beberapa kali, sebelum kaki-kaki
mereka yang mungil kembali menapak di batu yang li-
cin.
Trap!
Kedua wanita muda dan cantik itu sating pan-
dang. Pedang di tangan mereka kini disilangkan di de-
pan dada. Secara bersamaan tangan kiri mereka dige-
rakkan ke depan, melakukan gerakan silat. Sedangkan
kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke samping.
Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring.
"Bersiaplah, Mei Lie.... Kita harus melakukan
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'!" seru wanita berbaju
merah jambu yang bertubuh sintal. Wanita muda yang
cantik itu adalah Nyi Bangil (Baca serial Pendekar Gila
dalam episode "Suling Naga Sakti").
"Aku telah siap, Kak," sahut gadis Cina berpa-
kaian warna hijau daun yang dipanggil Mei Lie. Wanita
cantik berkulit kuning langsat inilah yang telah menambat hati Sena Manggala atau Pendekar Gila sejak
pertemuan pertama.
"'Tebasan Pedang Bidadari'. Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Tubuh Nyi Bangil melesat dan bersalto di uda-
ra, laksana seekor burung seriti yang lincah. Tangan
kirinya bergerak melakukan pukulan dan tangkisan.
Sedangkan tangan kanannya menebaskan pedang
dengan cepat, sampai pedangnya tidak terlihat.
"Hiaaat..!"
Wut wut..!
Pedang di tangan Nyi Bangil menebas air terjun
yang ada di sampingnya. Namun air itu masih saja
terpercik pertanda gerakannya belum sempurna.
"Hiaaa...!" Mei Lie pun mencelat, lalu bersalto di
udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemu-
dian disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.
Wut..! Prat!
Air terjun masih terpercik, menandakan gera-
kannya juga belum sempurna. Namun Mei Lie tak
puas begitu saja. Setelah bersalto mundur di udara,
tubuhnya kembali mencelat dan membabatkan pe-
dangnya ke air terjun.
"Heaaa...!"
Wut!
Kali ini air terjun itu tidak sedikit pun terper-
cik, membuat mata Nyi Bangil membelalak. Mulutnya
menganga tanpa sadar, menyaksikan hasil yang telah
diperoleh Mei Lie.
Tubuh Mei Lie bersalto ke belakang sambil
memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian ka-
kinya kembali hinggap di atas batu yang licin. Dengan
tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke dalam
sarung.
"Bagaimana, Kak?"
"Hebat! Kau telah menguasainya, Mei Lie," puji
Nyi Bangil dengan bibir tersenyum. Wajahnya yang
nampak cerah, menggambarkan kegembiraan.
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie tak yakin.
"Ya! Bukankah kau telah membacanya sendiri,
bahwa jika air terjun itu tak terpercik, itu berarti kau
telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'."
"Bolehkah aku mencobanya lagi, Kak?" pinta
Mei Lie.
"Lakukanlah."
Mei Lie mencabut pedangnya. Tangan kanan-
nya ditarik ke belakang. Sedangkan tangan kirinya di-
gerakkan di depan tubuh. Jari-jari tangan kiri merapat
dengan telapak tangan menghadap ke depan. Matanya
memandang tajam ke arah air terjun. Nafasnya diatur
sebaik mungkin.
"Heaaat..!" Mei Lie menekan tangan kirinya ke
depan, lalu diputar dengan pelan. Setelah itu, bersa-
maan dengan hentakan tangan kiri, tubuhnya berkele-
bat ke udara. Pedang di tangan kanannya digerak-kan
dengan cepat.
Wuttt!
Kembali mata Nyi Bangil membelalak, menyak-
sikan air terjun itu sedikit pun tak terpercik oleh sabe-
tan pedang Mei Lie. Hal itu menandakan kalau Mei Lie
benar-benar telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang
Bidadari', yang mereka pelajari dari kitab 'Ilmu Pedang
Bidadari'.
"Hebat! Kau benar-benar telah berhasil, Mei
Lie!" seru Nyi Bangil. Tanpa sadar, tangannya berte-
puk. Kepalanya menggeleng-geleng karena kekaguman
yang begitu saja datang.
"Oh! Terima kasih, Kak Semua ini atas bantuan
Kakak"
Nyi Bangil tersenyum, kemudian melompat ke
daratan. Diikuti oleh Mei Lie.
"Kau memang hebat, Mei Lie. Semua itu karena
kemauanmu yang keras, bukan karena aku. Buktinya
sekian tahun aku tidak mampu juga menguasai jurus
'Tebasan Pedang Bidadari'."
"Ah, Kakak terlalu merendah," tukas Mei Lie
dengan wajah tersipu malu. Pipinya merona merah.
"Kau harus memperdalam jurus itu, Mei Lie.
Setelah jurus itu benar-benar dikuasai, barulah kau
akan mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Se-
buah ilmu pedang yang dahsyat...," ujar Nyi Bangil se-
raya merangkul pundak gadis Cina yang cantik dan te-
lah diangkat adik olehnya. Diajaknya Mei Lie melang-
kah.
"Mampukah aku mempelajarinya, Kak?"
"Mengapa tidak?" balik tanya Nyi Bangil seraya
memandang Mei Lie dengan bibir tersenyum. "Kalau
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari' telah dikuasai, kau
pun akan mampu menguasai jurus pamungkasnya."
"Oh, benarkah?" tanya Mei Lie sambil memba-
las tatapan Nyi Bangil.
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Tan-
gannya kian erat merangkul pundak Mei Lie.
"Ya. Aku yakin, kaulah yang berjodoh dengan
kitab itu. Kelak jika masanya tiba, kau akan menjadi
pendekar wanita yang sulit mendapat tandingan."
Mei Lie menundukkan kepala. Hatinya memang
ingin sekali menguasai jurus-jurus sakti itu. Jika dia
telah menguasai jurus-jurus sakti itu, tentunya tidak
akan malu berjalan sejajar dengan Pendekar Gila yang
sakti.
Ah, di manakah dia sekarang? Keluh Mei Lie
dalam hati, ketika teringat kembali pada pendekar
muda itu. Sena memang tak dapat dilupakannya. Cin-
ta itu datang dan membelenggu hatinya, sejak awal
per-temuan mereka. Rasanya ingin secepatnya Mei Lie
menguasai jurus-jurus sakti itu, agar dia dapat berte-
mu segera dengan Sena dan bisa melangkah seiring
dengan pendekar gagah itu (Silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode pertama yang berjudul "Suling
Naga Sakti").
Mei Lie tersenyum-senyum seorang diri. Hal itu
membuat Nyi Bangil tersenyum.
"Hati-hati, Mei Lie. Nanti kau benar-benar gila
seperti Sena. Hi hi hi...!" Nyi Bangil tertawa.
Mei Lie tersipu-sipu.
"Ah, Kakak..."
"Sudahlah, jangan kau pikirkan Sena dulu. Ke-
lak jika kau telah menguasai semuanya, kau pun akan
dapat menemuinya. Dan kau tidak akan merasa ren-
dah diri berjalan seiring dengannya. Ingatlah, jika me-
mang kalian jodoh, tentunya kalian akan bersatu," tu-
tur Nyi Bangil.
Mei Lie menundukkan kepala makin dalam. Pi-
pinya merona merah dan bibirnya tersipu-sipu. Ah,
benarkah memang dia jodohku? Duh, Jagat Dewa Ba-
tara, satukanlah aku dengannya. Terus terang, aku
mencintainya. Aku ingin berdampingan dengannya un-
tuk selama-lamanya. Hyang Widhi kabulkanlah per-
mohonanku. Harap Mei Lie dalam hati.
"Wah wah wah...! Ngelamun lagi...," seloroh Nyi
Bangil, membuat Mei Lie kembali tersipu-sipu. "Sudah-
lah, jangan terlalu dipikirkan. Kita harus makan siang
dulu. Ayo...."
Dengan tertawa-tawa ceria, keduanya mening-
galkan air terjun yang digunakan untuk latihan. Mere
ka tampak sangat akrab sekali, seperti kakak beradik
saja. Dan itu pula yang membuat Mei Lie dapat melu-
pakan kematian ayahnya ketika Segoro Wedi merajale-
la.
***
Di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari daun
pandan yang terletak di tengah hutan dekat air terjun
yang biasa digunakan oleh Mei Lie dan Nyi Bangil ber-
latih, tiga wanita muda yang cantik tampak tengah du-
duk bersila di atas tikar pandan.
Yang seorang berbaju merah jambu dengan
rambut tergerai bebas, dan berikat kepala berwarna
merah jambu pula. Dialah Nyi Bangil. Seorang lagi
berbaju hijau daun dengan lengan melebar seperti len-
gan baju gadis Cina. Gadis ini tidak lain Mei Lie. Se-
mentara seorang lagi, adalah seorang gadis cantik ber-
pakaian warna biru laut. Rambutnya terurai, dengan
ikat kepala berwarna biru tua. Dia adalah adik seper-
guruan Nyi Bangil, bernama Lira Kanti.
Ketiga gadis cantik itu tengah menghadapi tiga
piring yang terbuat dari tanah, berisikan nasi dengan
ikan bakar. Mereka nampaknya tengah makan siang.
"Dari mana kau mendapatkan ikan, Lira?"
tanya Nyi Bangil.
"Dari pasar, Kak. Oh, ya. Tadi aku mendengar
sebuah berita yang menarik," kata Lira Kanti.
"Berita...?" gumam Mei Lie dengan mata me-
mandang Lira Kanti.
"Ya."
"Berita apa, Lira?" tanya Nyi Bangil.
"Menyangkut masalah Kak Mei Lie."
Mei Lie dan Nyi Bangil saling pandang, kemu
dian pandangan mereka tertuju pada Lira Kanti yang
tetap menyantap makanannya. Sedangkan keduanya
justru menghentikan makan.
"Coba kau terangkan, Lira," pinta Nyi Bangil.
Lira Kanti tergesa menelan makanannya. Diambilnya
cangkir yang terbuat dari tanah. Setelah minum bebe-
rapa teguk Lira Kanti menghentikan makannya. Na-
fasnya diatur sesaat, sebelum menuturkan berita yang
sempat didengarnya.
"Saat ini rimba persilatan tengah geger oleh be-
rita yang menyebutkan bahwa, barang siapa yang bisa
memperistri Kak Mei Lie, maka orang itu akan menjadi
seorang pendekar yang tiada tandingannya. Begitulah
berita pertama."
"Hah...?!"
Mei Lie dan Nyi Bangil terpana. Keduanya kem-
bali saling pandang dengan kening berkerut. Kemudian
mereka sama-sama memandang Lira Kanti kembali.
"Bagaimana mungkin, Lira?" tanya Mei Lie, ma-
sih mengerutkan kening. "Aku bukan bidadari atau
dewi. Aku manusia biasa. Mengapa aku disamakan
dengan Dewi Kuan Im yang membawa keberuntun-
gan?"
"Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Namun
katanya, pada pusar Kakak terdapat sebuah tanda ka-
lau Kak Mei Lie adalah titisan dari Dewi Kuan Im."
"Benarkah itu?" tanya Nyi Bangil. Pandangan-
nya kini tertuju ke arah Mei Lie. "Coba aku lihat."
Dengan perasaan tak mengerti, Mei Lie segera
membuka bajunya.
Mata Nyi Bangil dan Lira Kanti membelalak, ke-
tika melihat sebuah gambar bunga Wijaya Kesuma,
tanda Dewi Kuan Im. Gambar itu berwarna emas, se-
hingga tidak begitu kentara di kulit Mei Lie yang kuning langsat
"Oh, benar juga," desis Nyi Bangil. "Bagaimana
mungkin kau tidak mengetahuinya, Mei Lie?"
"Entahlah, Kak. Aku tidak peduli dengan gam-
bar yang memang sudah ada sejak kecil. Mungkin
gambar ini pula yang menyebabkan Kauw Cien Lung
memburuku," tutur Mei Lie.
"Kauw Cien Lung? Siapa dia...?" tanya Nyi Ban-
gil.
"Seorang lelaki muda berilmu tinggi. Dia juga
memiliki ilmu siluman yang mampu mengubah wujud-
nya menjadi singa. Itu sebabnya dia dijuluki Houw
San, atau Singa Jantan. Ilmu pedangnya sangat hebat"
"Apakah dia mengenakan caping lebar dan ber-
pakaian coklat tua...?" tanya Lira Kanti, membuat ma-
ta Mei Lie membelalak.
"Benar! Dari mana kau tahu, Lira?" tanya Mei
Lie kaget
"Baru saja hendak kuceritakan padamu. Bahwa
orang yang Kakak sebut, kini telah berada di tanah
Jawa Dwipa ini. Dia tengah mencari Kakak dan Pende-
kar Gila," tutur Lira, menerangkan apa yang didengar-
nya.
"Apa...?!" pekik Mei Lie dan Nyi Bangil berba-
reng.
"Untuk apa dia mencari Pendekar Gila?" sam-
bung Nyi Bangil.
"Dia menyangka kalau Kak Mei Lie bersama
Sena," jawab Lira Kanti menegaskan.
"Oh...," keluh Mei Lie. "Hyang Widhi, lindungi-
lah Sena. Aku takut, Kak...."
Nyi Bangil menghela napas.
"Tak perlu kau takutkan, Mei Lie. Sena bukan-
lah orang sembarangan. Ilmunya tinggi."
"Tapi, Kauw Cien Lung berilmu siluman, Kak.
Ilmu pedangnya juga sangat sulit ditandingi. Di negeri
kami, tak ada yang mampu melawannya. Bahkan kai-
sar pun sangat menghormatinya," jelas Mei Lie dengan
nada semakin cemas.
Nyi Bangil dan Lira Kanti terdiam. Keduanya
merasakan bagaimana perasaan Mei Lie saat itu. Ten-
tunya gadis Cina itu sangat mengkhawatirkan kesela-
matan Pendekar Gila. Itu dapat dimaklumi, sebab Mei
Lie memang mencintai Sena.
"Kita berdoa saja, Mei Lie. Dan aku yakin, kalau
kau telah menguasai jurus 'Pedang Tebasan Batin',
kau akan mampu mengalahkannya. Untuk itulah, kau
harus bisa menguasai jurus pamungkas itu," hibur Nyi
Bangil, sekaligus menghibur dirinya sendiri
"Akan kucoba, Kak."
"Apa lagi yang kau dapatkan, Lira?" tanya Nyi
Bangil.
Lira Kanti mengerutkan kening, mengingat-
ingat kembali berita yang didengarnya dari orang-
orang di pasar.
"Lelaki bercaping lebar itu membunuh banyak
orang," katanya setelah berhasil mengingat-ingat
"Orang yang ditemuinya, selalu ditanya di mana Kak
Mei Lie. Jika mereka menjawab tidak, langsung dibu-
nuh. Dia juga terus mencari para pendekar untuk di-
ajak bertarung."
Nyi Bangil menghela napas mendengar penutu-
ran adik seperguruannya itu. Baru saja masalah Sego-
ro Wedi usai, kini ada lagi orang yang tindakannya ke-
ji. Bahkan lebih keji dibandingkan Segoro Wedi.
Ingat akan Segoro Wedi, tidak terasa Nyi Bangil
menitikkan air mata. Lelaki itu memang sangat diben-
cinya. Tapi sekaligus dicintainya. Bagaimanapun juga,
dia telah merasakan pelukan dan kehangatan cinta
Segoro Wedi. Kalau saja Segoro Wedi mau memperistri
nya, tentunya tak akan terjadi derita seperti itu.
Semua terdiam, membisu dengan pikiran mas-
ing-masing. Lama keadaan hening itu terjadi.
"Aku harus segera menamatkan kitab itu, Kak.
Aku khawatir tindakannya akan semakin merajalela,"
ujar Mei Lie, memecahkan kebisuan.
"Aku mengerti, Mei Lie. Tenanglah... Mempela-
jari ilmu tingkat tinggi tidak semudah berbicara. Terle-
bih mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Jan-
gankan kita, guruku saja perlu bertahun-tahun untuk
menguasainya. Sampai beliau meninggal, ilmu itu be-
lum juga bisa dikuasainya. Namun semoga kau mam-
pu mempelajarinya, Mei Lie."
Mei Lie tersenyum. Dipeluknya tubuh kakak
angkatnya itu erat-erat.
"Doamu akan menambah kemampuanku, Kak.
Semoga atas doamu, aku dapat secepatnya menguasai
jurus tersebut"
"Ya. Memang itu yang kuharapkan," kata Nyi
Bangil.
"Nanti sore, aku akan mempelajarinya. Boleh-
kah, Kak?"
Nyi Bangil tersenyum.
"Kenapa tidak? Kau adalah adikku. Maka kau
pun berhak mempelajari Kitab Ilmu Pedang Bidadari.
Siapa pun yang akan mampu menguasai, dialah pewa-
ris 'Ilmu Pedang Bidadari'," tutur Nyi Bangil dengan
senyum masih menghias bibirnya.
"Oh, terima kasih, Kak."
"Jangan berterima kasih padaku, Mei Lie. Tapi
berterima kasihlah pada Dewi Keberuntungan, Dewi
Kuan Im, yang telah menitis padamu," ujar Nyi Bangil
sambil membalas pelukan adik angkatnya. "Ayo kita
teruskan makan."
Dengan penuh persaudaraan, ketiganya kemba-
li melanjutkan makan siang yang sempat tertunda.
Mereka makan dengan lahap. Sesekali bibir mereka
menyunggingkan senyum.
Angin siang berhembus pelan, membawa alu-
nan mayapada yang mendayu. Meski terik mentari lak-
sana membakar, namun hawa sejuk mampu membuat
kesegaran. Sepertinya, alam turut berdoa untuk Mei
Lie yang di hatinya tersimpan semangat. Semangat un-
tuk mempelajari jurus pamungkas 'Pedang Tebasan
Batin'.
EMPAT
Kehadiran lelaki misterius bercaping lebar den-
gan sepak terjangnya, membuat orang-orang persilatan
bagai ditantang. Salah satunya adalah Ki Tunggul Ma-
nik. Ketua Perguruan Teratai Putih itu benar-benar
marah mendengar berita tentang lelaki itu. Karena itu,
Ki Tunggul Manik pergi meninggalkan perguruannya
untuk mencari lelaki bercaping dari Cina.
Semilir angin sore menerbangkan debu-debu di
Lembah Kancah Wala. Tampak dua orang lelaki siap
untuk melakukan pertarungan. Seorang lelaki seten-
gah baya berjubah putih dengan rambut digelung. Ikat
kepalanya putih, bergambar teratai. Begitu juga den-
gan simbul di dada sebelah kiri. Lelaki itu tak lain Ki
Tunggul Manik, Ketua Perguruan Teratai Putih.
Sementara lawannya adalah seorang lelaki ber-
jubah coklat tua dengan jubah pesilat Cina. Kepalanya
ditutupi oleh caping lebar, sehingga sulit bagi Ki Tung-
gul Manik untuk mengenali wajah orang itu.
"Kisanak.., apakah kau datang dari jauh sema-
ta-mata untuk membantai orang-orang persilatan di
tanah Jawa Dwipa ini?!" tanya Ki Tunggul Manik. Ma-
tanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan lelaki
bercaping lebar.
"Hm...."
Lelaki bercaping lebar itu hanya bergumam.
Tangannya masih bersidekap. Sepertinya, dia sangat
merendahkan lelaki setengah baya di hadapannya,
meski tangannya menggenggam sebuah senjata ber-
bentuk tombak pendek bermata dua.
"Jika itu memang tujuanmu, aku Tunggul Ma-
nik tak akan tinggal diam!" dengus Ki Tunggul Manik
"Hm... Kau seorang pendekar?" tanya lelaki ber-
caping lebar dengan suara sinis dan berat.
"Benar!"
"Hm.... Kau tahu di mana Pendekar Gila?"
Mata Ki Tunggul Manik terbelalak mendengar
nama Pendekar Gila disebut-sebut oleh lelaki itu. Na-
fasnya mendengus dengan memburu. Tangannya yang
memegang tombak bermata dua, siap melakukan se-
rangan.
"Untuk apa kau mencarinya?!" tanya Ki Tung-
gul Manik.
"Kau kenal dengannya?"
"Ya! Dia sahabatku," jawab Ki Tunggul Manik
masih waspada.
"Bagus! Katakan padanya, aku ingin bertarung
dengannya! Dia harus mati di tanganku!"
Sombong dan terdengar merendahkan sekali
ucapan lelaki bercaping lebar itu. Seakan ilmunya san-
gat tinggi, sehingga berkata begitu sombong hendak
membunuh Pendekar Gila. Hal itu juga yang membuat
Ki Tunggul Manik kian gusar.
"Kurang ajar! Rupanya kau terlalu sombong,
Orang Asing! Kalaupun bisa membunuhku, itu belum
berarti kau akan mampu mengalahkannya! Hadapi
aku dulu...!" tantang Ki Tunggul Manik sengit
"Hm, begitu? Baiklah kalau itu kemauanmu.
Bersiaplah!"
"Aku sudah siap!"
Usai berkata demikian, Ki Tunggul Manik sege-
ra menarik kaki kirinya dua langkah ke belakang.
Tombak pendek bermata dua di tangan kanannya di-
putar dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan
jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tan-
gannya memukul ke arah la wan.
Sementara itu, lelaki bercaping lebar seperti tak
menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki Tunggul
Manik. Dia tetap bersidekap dengan tenang dan me-
mandang Ki Tunggul Manik yang siap menyerang.
"Hm...," gumam lelaki bercaping lebar itu. Ke-
mudian tangannya yang bersidekap membuka. Tangan
kanan bergerak ke belakang, lalu melolos pedang dari
sarungnya.
Wut, wut..!
Pedang panjang yang telah banyak memakan
korban itu digerakkannya. Dari pedang itu, memancar
sinar putih kebiru-biruan tertimpa sinar matahari. Di-
ciumnya pedang itu, kemudian digerakkan ke samping
kanan. Itulah jurus 'Tebasan Pedang Membelah Mega'.
Sebuah jurus yang telah banyak memakan korban.
Ki Tunggul Manik yang sudah mendengar se-
pak tenang lelaki di hadapannya, tidak mau gegabah.
Tombak pendek bermata dua miliknya diputar cepat.
Mengubah tombak itu menjadi baling-baling yang
membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan
mengggelegar, Ki Tunggul Manik menyerang dengan
jurus yang tak kalah hebat bernama 'Perisai Raga Me-
nyambar Nyawa'.
"Hiaaa...!"
"Hm...."
Lelaki bercaping lebar itu bergumam perlahan.
Kemudian pedang di tangan kanannya digerakkan
dengan cepat membabat ke depan dan ke samping.
Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada.
"Hiaaa...!"
Ki Tunggul Manik mulai melabrak. Tombak
pendek bermata dua berdesing untuk menembus dada
lawan.
Tring!
Dengan cepat lelaki bercaping lebar memba-
batkan pedang ke senjata lawan. Kemudian segera ba-
las menyerang dengan tebasan dari atas ke bawah.
"Heaaat..!"
Wut!
Tubuh Ki Tunggul Manik segera menyurut ke
samping. Tubuhnya dimiringkan dengan cepat, kemu-
dian tombak pendek bermata dua disapukan ke arah
lawan dengan jurus 'Sapuan Tombak Memenggal Ka-
rang'.
Tring!
"Hiaa...!"
"Ups!"
Ki Tunggul Manik berusaha menyerang dengan
cepat agar lawan tidak mendapat peluang. Tombaknya
terus menusuk dan membabat ke tubuh lawan dan se-
sekali menangkis babatan pedang lawan.
"Hiaaat..!"
"Yeaaa!"
Keduanya terus berkelebat serta saling memba-
bat dan menusukkan senjata masing-masing. Ki Tung-
gul Manik yang tidak mau mati percuma seperti kor-
ban lelaki bercaping, berusaha mengimbangi serangan
lawan. Tombak pendeknya digerakkan dengan cepat
"Hiaaa...!" Ki Tunggul Manik mulai melabrak.
Tombak pendek bermata duanya berdesing, mengarah
ke dada lelaki bercaping bambu.
Dengan tak kalah sigapnya, lelaki bercaping lebar itu membabatkan pedangnya ke senjata lawan....
Tring! Terdengar suara berdenting yang ditim-
bulkan akibat benturan kedua senjata.
Wut, wut..!
Tring! Trang...!
"Heaaa...!"
Ki Tunggul Manik telah berusaha sekuat tenaga
untuk dapat mengimbangi serangan lawan. Namun
pedang lawan yang menebarkan racun ganas, mem-
buat lelaki setengah baya itu agak lemah. Serangan-
serangannya tidak segarang sebelumnya. Dadanya te-
rasa sesak. Matanya malah berkunang-kunang.
"Racun!" pekik Ki Tunggul Manik dengan mata
mengerjap-ngerjap untuk mengusir rasa pening yang
tiba-tiba mendera. Tidak disangkanya kalau pedang
lawan ternyata beracun. Dengan cepat Ki Tunggul Ma-
nik menekan tombol di tombak pendek bermata dua
miliknya.
Srrrt..!
Dengan menggunakan jurus 'Ekor Naga Menu-
suk Gunung', Ki Tunggul Manik kembali menyerang.
Mata tombaknya tiba-tiba meluncur dari batang tom-
bak, dan terikat pada rantai baja yang panjang.
"Heit..!"
Lelaki bercaping lebar tersentak kaget. Tubuh-
nya melompat mundur dengan cepat. Kalau saja gera-
kan itu tak dilakukannya, tentu perutnya akan ter-
tembus oleh mata tombak yang tiba-tiba melesat cepat.
Melihat lawannya kaget, Ki Tunggul Manik tak
menyia-nyiakan kesempatan. Setelah menarik rantai
penghubung mata tombak ke belakang, dia kembali
mengubah arah tombak. Kemudian setelah mata tom-
bak yang satunya berada di depan, Ki Tunggul Manik
kembali menekan tombol di batang tombak.
Srrrt!
Mata tombak kembali melesat cepat ke arah le-
laki bercaping lebar. Dengan cepat dia melenting ke
atas, mengelakkan serangan lawan. Kemudian, dengan
ringan tubuhnya mendarat di atas rantai mata tombak
yang terentang. Dengan menggunakan jurus 'Singa
Melompat' yang dipadukan dengan jurus 'Tebasan Me-
renggut Nyawa', lelaki bercaping lebar itu menyerang.
"Oh...?!"
Ki Tunggul Manik yang tidak pernah menduga
lawan akan berjalan di atas rantai tombaknya menjadi
tersentak. Dia berusaha menarik rantai, namun lawan
telah mendahului.
"Hiaaa...!"
Tubuh lelaki bercaping lebar kembali bersalto
di udara. Pedang di tangannya bergerak cepat ke wajah
Ketua Perguruan Teratai Putih itu.
Ki Tunggul Manik berusaha mengelakkan teba-
san pedang lawan. Namun gerakan lawan rupanya
jauh lebih cepat di banding gerakan mengelaknya.
Tanpa ampun lagi....
"Heaaat..!"
Wut!
Cras!
"Aaakh...!" Ki Tunggul Manik memekik keras.
Matanya melotot lebar. Di keningnya nampak sayatan
pedang lawan. Tubuh lelaki setengah baya itu menge-
pulkan asap laksana terbakar. Lalu mengejang sesaat,
sebelum terjerembab jatuh tanpa nyawa.
"Hm...."
Lelaki bercaping lebar bergumam. Tangan ki-
rinya menyeka darah yang meleleh di ujung pedang-
nya. Kemudian pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya. Setelah memandang tubuh Ki Tunggul Ma-
nik, lelaki bercaping lebar itu berlalu dari situ.
***
"Jagat Dewa Batara," keluh Sena lirih, ketika
menyaksikan lelaki yang telah menjadi korban beri-
kutnya dari lelaki misterius itu. "Ki Tunggul Manik,
malang benar nasibmu."
Sena Manggala atau Pendekar Gila berjongkok
di depan tubuh Ki Tunggul Manik yang membiru den-
gan kening tergores.
"Terlambat! Ah, rupanya aku terlambat datang,"
keluh Sena. Wajahnya tampak sedih, menyaksikan
seorang sahabatnya telah menjadi korban lelaki ber-
caping lebar.
Setelah lama memandangi tubuh Ki Tunggul
Manik, tubuh Sena kembali berdiri. Matanya meman-
dang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari jejak
lelaki bercaping lebar.
"Huh, sulit sekali aku mencarinya. Seakan dia
memiliki ilmu siluman. Jejaknya tak ada," gerutu Sena
sambil nyengir dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tem-
pat itu, namun tetap saja tidak dilihatnya jejak lelaki
itu.
"Aneh sekali," gumam Sena terheran-heran.
"Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki jejak?"
Pendekar Gila semakin keras menggaruk-garuk
kepala. Kemudian keningnya ditepuk-tepuk, berusaha
berpikir untuk mendapatkan cara agar dapat mene-
mukan lelaki bercaping itu.
"Aha! Bukankah dia tengah mencariku?" ta
nyanya pada diri sendiri. "Aku akan tertawa. Semoga
tawaku akan terdengar olehnya."
Pendekar Gila kemudian tertawa terbahak-
bahak dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Ta-
wanya menggelegar laksana suara halilintar di musim
hujan. Bersahut-sahutan menembus cakrawala. Bah-
kan banyak sekali pepohonan di sekeliling lembah itu
menjadi tumbang. Dan batu di bukit runtuh dan melu-
ruk ke bawah laksana dihajar oleh badai.
"Ha ha ha...!"
Meski Sena telah mengeluarkan tawanya mele-
bihi suara halilintar, tetap saja orang yang dicarinya
tak juga muncul. Sepertinya lelaki bercaping lebar itu
telah jauh sekali meninggalkan tempat tersebut.
"Huh...!" keluh Sena kesal, setelah usahanya
tak berhasil. Tangannya kembali menggaruk-garuk ke-
pala dengan mulut nyengir. "Korban.... Ah, bencana
kembali datang."
Kembali mata Sena memandangi mayat Ki
Tunggul Manik yang membiru.
Tengah Sena memandangi mayat sahabatnya,
dari arah utara berdatangan murid-murid Perguruan
Teratai Putih bersama seorang gadis cantik yang tidak
lain Suciati.
"Guru...!" pekik murid-murid Perguruan Teratai
Putih, nyaris berbareng.
Ketika mereka hendak memeluk tubuh Ki
Tunggul Manik, dengan cepat Sena mencegah.
"Jangan! Jangan sentuh dia...!"
Semua mengerutkan kening serta mengurung-
kan niat hendak memeluk mayat guru mereka. Kini
pandangan mereka beralih pada Pendekar Gila.
"Tuan Pendekar, apa maksudmu?" tanya Sucia-
ti tak senang.
"Aku tak bermaksud jahat pada kalian. Per-
cayalah," sahut Sena.
"Lalu mengapa Tuan melarang kami menyentuh
mayat guru?" tanya Anggrojoyo, murid tertua dari Per-
guruan Teratai Putih. Wajahnya menggambarkan keti-
daksenangan. Kalau saja dia tidak ingat siapa pemuda
di hadapannya, sudah barang tentu lelaki berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun yang berwajah bulat dan ber-
tubuh besar itu akan melabrak Sena.
Sementara Sena hanya menggaruk-garuk kepa-
la. Matanya memandang ke angkasa. Ketika di angka-
sa melintas beberapa ekor burung, segera tangannya
memungut batu kecil. Kemudian batu itu disentilkan
ke atas.
Wut!
Dess!
"Keak..!"
Satu burung memekik, lalu meluncur ke bawah
terkena hantaman batu kecil itu. Dengan cepat tubuh
Sena melompat ke atas untuk menangkap burung ter-
sebut. Lalu kembali turun dan berdiri di hadapan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Putih yang tak mengerti
maksud pemuda itu.
"Untuk apa burung itu?" tanya Anggrojoyo.
"Apakah kau akan pamer ilmu pada kami?"
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Sedang tangan kirinya, ma-
sih memegangi burung yang terus berontak.
"Ah ah ah.... Apa artinya ilmu untuk murid-
murid Perguruan Teratai Putih. Tentunya ilmuku be-
lum seberapa dibandingkan kalian," kata Sena, meren-
dahkan diri.
Tapi hal itu rupanya mendatangkan kesalah-
pahaman pada diri Anggrojoyo,
"Aku tak bermaksud jahat pada kalian. Per-
cayalah," sahut Sena.
"Lalu mengapa Tuan melarang kami menyentuh
mayat guru?" tanya Anggrojoyo, murid tertua dari Per-
guruan Teratai Putih. Wajahnya menggambarkan keti-
daksenangan. Kalau saja dia tidak ingat siapa pemuda
di hadapannya, sudah barang tentu lelaki berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun yang berwajah bulat dan ber-
tubuh besar itu akan melabrak Sena.
Sementara Sena hanya menggaruk-garuk kepa-
la. Matanya memandang ke angkasa. Ketika di angka-
sa melintas beberapa ekor burung, segera tangannya
memungut batu kecil. Kemudian batu itu disentilkan
ke atas.
Wut!
Dess!
"Keak..!"
Satu burung memekik, lalu meluncur ke bawah
terkena hantaman batu kecil itu. Dengan cepat tubuh
Sena melompat ke atas untuk menangkap burung ter-
sebut. Lalu kembali turun dan berdiri di hadapan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Putih yang tak mengerti
maksud pemuda itu.
"Untuk apa burung itu?" tanya Anggrojoyo.
"Apakah kau akan pamer ilmu pada kami?"
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Sedang tangan kirinya, ma-
sih memegangi burung yang terus berontak.
"Ah ah ah.... Apa artinya ilmu untuk murid-
murid Perguruan Teratai Putih. Tentunya ilmuku be-
lum seberapa dibandingkan kalian," kata Sena, meren-
dahkan diri.
Tapi hal itu rupanya mendatangkan kesalah-
pahaman pada diri Anggrojoyo,
"Bedebah! Kau menghina kami, Pendekar Gila!
Katakan maksudmu yang sebenarnya, jangan sampai
aku menghajarmu!" bentak Anggrojoyo marah, merasa
ucapan Sena tadi merupakan sindiran baginya.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Lalu kepalanya digeleng-
gelengkan perlahan.
"Maaf jika kau tersinggung, Kisanak. Tapi aku
tidak bermaksud begitu. Aku hanya berkata yang se-
benarnya."
"Kurang ajar! Kuhajar mulutmu!" bentak
Anggrojoyo lagi. Ketika darahnya mulai sampai di ke-
pala dan hendak menyerang, Suciati dengan cepat me-
larangnya.
"Hentikan!" bentak Suciati, membuat Anggro-
joyo mengurungkan niatnya. "Tuan Pendekar, katakan-
lah apa yang kau maksudkan."
"Sebenarnya aku tidak bermaksud jahat pada
kalian. Kalian lihat burung ini masih hidup. Nah, seka-
rang lihatlah."
Sambil berkata begitu, Pendekar Gila segera
melemparkan burung yang ditangkapnya ke tubuh Ki
Tunggul Manik
"Keaaak...!"
Burung itu memekik keras, merasakan kesaki-
tan yang tiada taranya. Tubuhnya menyentuh tubuh
Ki Tunggul Manik, seketika mengepulkan asap seperti
terbakar.
Burung itu menggelepar-gelepar beberapa saat.
Kemudian mati. Tubuhnya hangus, dengan bulu-bulu
terbakar habis. Bagai dipanggang di atas api yang me-
nyala.
Semua murid Perguruan Teratai Putih terma-
suk Suciati membelalak. Wajah mereka memperlihatkan kesan kengerian. Kemudian dengan malu-
malu, mereka memandang ke arah Sena.
"Kalian lihat apa yang terjadi?" tanya Sena.
Semua menganggukkan kepala.
"Kalau kalian mau coba, silakan. Aku sudah
menasihati kalian," kata Sena sambil menggaruk-
garuk kepala.
Semua terdiam tanpa ada yang menjawab. Se-
dangkan Anggrojoyo tampak pucat. Dia didera rasa
malu yang tak terkira, karena telah menuduh yang ti-
dak-tidak pada pendekar muda itu.
"Maafkan atas kekasaranku tadi, Tuan Pende-
kar," desis Anggrojoyo dengan kepala menunduk.
Sena malah tertawa tergelak-gelak Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Tak ada yang salah, Kisanak. Ku maklumi ba-
gaimana perasaan kalian."
"Lalu apa yang harus kami lakukan pada mayat
guru kami?" tanya Suciati.
"Tak ada yang perlu kalian lakukan. Biarkan
saja mayat guru kalian begitu. Kalian tak akan sang-
gup menahan racun ganas yang menjalar di tubuh-
nya," kata Sena lirih. Pandangannya kini kembali pada
murid-murid Perguruan Teratai Putih.
"Bagaimana dengan perguruan kami?" tanya
Anggrojoyo.
"Itu terserah kalian. Namun sebaiknya kalian
adakan rapat untuk menentukan pengganti Ki Tunggul
Manik. Carilah jalan yang terbaik. Teruskan ajaran Ki
Tunggul Manik," saran Sena.
"Apakah tidak sebaiknya Tuan turut bersama
kami untuk melakukan pengangkatan?" tanya Suciati.
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Ah, terima kasih. Kalau saja ada kesempatan,
tentu aku akan senang mendapat tawaran itu. Tapi
aku tak ada waktu. Aku harus segera menyelidiki pe-
laku semuanya ini. Nah, aku permisi."
Sebelum murid-murid Perguruan Teratai Putih
sempat berkata, tubuh Sena telah melesat pergi. Mem-
buat murid-murid Perguruan Teratai Putih hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala, ketika terdengar tawa
Pendekar Gila dari kejauhan.
LIMA
Akibat sepak terjang lelaki Cina yang disebut
Mei Lie sebagai Kauw Cien Lung atau si Singa Jantan
itu sangat berpengaruh di rimba persilatan. Kaum per-
silatan dari aliran hitam yang semula tak berani unjuk
gigi, kini beraksi kembali dengan segala kebejatan yang
mereka bawa. Terlebih setelah tersebar kabar bahwa
Mei Lie adalah titisan Dewi Kuan Im, atau Dewi Kebe-
runtungan.
Di antara puluhan tokoh sesat, yang namanya
kini menjadi momok ada dua orang. Yang pertama Ke-
bo Pangawon. Sedang seorang lagi adalah Karto Songo.
Sepak terjang kedua tokoh hitam itu memang
kelewatan. Mereka ibarat memancing di air keruh. Di
saat para pendekar tengah digemparkan oleh kemun-
culan Kauw Cien Lung, mereka pun mengambil ke-
sempatan untuk melampiaskan nafsu jahat yang
membuat rimba persilatan kian membara.
Keduanya melakukan teror. Tidak hanya pada
perguruan-perguruan silat, pada rakyat biasa pun me-
reka tak segan-segan melakukan kekejaman.
Sejak kedatangan Kauw Cien Lung, malam
menjadi suasana yang menyeramkan. Sepertinya se-
mua orang tak ada yang berani untuk keluar dari ru-
mah. Begitu juga dengan orang-orang perguruan. Me-
reka tak mau menjadi korban kebiadaban dan kekejian
lelaki dari Cina itu.
Begitu juga yang terjadi pada Perguruan Bin-
tang Emas yang dipimpin Dewi Pandagu. Suasana per-
guruan yang baru kembali bangkit setelah diserbu oleh
Laskar Setan pimpinan Ki Catrik Ireng (Untuk jelas-
nya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
'Duel di Puncak Lawu"). Hanya empat murid perguruan
saja yang tampak tengah berjaga-jaga.
Di tengah malam yang dikungkung suasana
mencekam, dua sosok tubuh mengendap-endap men-
dekati bangunan perguruan tersebut. Mata mereka
menyapu ke sekeliling bangunan itu. Sementara wajah
mereka tertutup kain hitam.
Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan
rambut panjang tak terurus. Berpakaian warna ungu
lengan panjang. Alis matanya tebal. Matanya lebar dan
bulat Dia adalah Kebo Pangawon.
Seorang lagi bertubuh kurus. Rambutnya pan-
jang terurai. Sedangkan di bagian atas kepalanya bo-
tak, berikat kepala warna jingga seperti pakaiannya.
Matanya agak sipit. Alis matanya tebal. Orang ini ber-
nama Karto Songo.
"Hi hi hi...," Kebo Pangawon tertawa kecil.
"Duh, Dewi. Sudah lama aku mendambakanmu. Ak-
hirnya malam ini kau akan kudapatkan."
"Ssst..! Jangan berisik! Lihat, ada empat orang
gadis cantik. Kau dua, aku dua...! Ayo...!" ajak Karto
Songo.
Dengan cepat dan ringan, tubuh keduanya berkelebat cepat. Sebelum keempat gadis itu berteriak,
keduanya telah melakukan totokan.
Tuk, tuk!
"Ukh...!"
Keempat gadis itu mengeluh lirih, sebelum ak-
hirnya terdiam bagai patung. Hanya mata mereka yang
membeliak. Mulut mereka yang hendak menjerit, tak
mengeluarkan suara sedikit pun.
"Hi hi hi...!" Kebo Pangawon tertawa kecil den-
gan tangan menutupi mulutnya. Kemudian dia me-
langkah untuk mendekati wajah salah seorang gadis
itu.
Cup!
Ciuman Kebo Pangawon mendarat di pipinya.
Mata wanita cantik itu kontan membeliak marah. Se-
dangkan Kebo Pangawon kembali menutup wajahnya
dengan kain hitam sambil tertawa kecil. Tangannya di-
lambaikan pada keempat gadis itu, membuat mereka
semakin melotot marah. Namun mereka tak dapat ber-
buat apa-apa, selain menggerutu panjang pendek da-
lam hati.
Kebo Pangawon dan Karto Songo kini melang-
kah ke dalam lingkungan perguruan dengan tenang,
karena tak ada lagi yang menghalangi mereka.
"Kau ke sana, aku ke situ," kata Kebo Panga-
won dengan berbisik pelan.
"Pintar kamu. Di situ memang tempat Dewi
Pandagu," ujar Karto Songo perlahan.
Setelah saling mengangguk, tubuh keduanya
segera melompat ke atas bangunan.
Dengan mengendap-endap, Kebo Pangawon me-
langkah seperti kucing yang mengintai mangsa. Kemu-
dian dia bersimpuh, setelah merasa yakin kalau dia te-
lah berada di atas kamar Dewi Pandagu. Perlahan
lahan, tangannya membuka genteng bangunan itu. La-
lu mengintip ke bawah.
"Ah, bukan," keluh Kebo Pangawon berbisik. Di-
tutupnya kembali genteng itu. Sesaat dia termenung,
mereka-reka di mana letak kamar Dewi Pandagu.
Kebo Pangawon kembali mengendap-endap. Se-
telah lima langkah, dia kembali bersimpuh. Lalu perla-
han-lahan, dibukanya genteng di tempat itu. Matanya
memandang ke dalam ruangan di bawahnya.
Bibirnya tersenyum tatkala matanya melihat
Dewi Pandagu di kamar itu. Kebo Pangawon yang me-
mang sudah tak tahan lagi melihat tubuh Dewi Panda-
gu, menyeruak turun dengan cepat.
Brak!
Dewi Pandagu langsung terjaga dari tidurnya
ketika mendengar kegaduhan. Saat itu pula, sesosok
tubuh gemuk pendek melayang dari atas, membuat
Dewi Pandagu membentak keras.
"Siapa kau?!"
Lelaki gendut itu menjawabnya dengan tawa li-
rih. Kemudian kain hitam yang menutupi wajahnya di-
buka, membuat Dewi Pandagu semakin membelalak-
kan mata setelah tahu siapa lelaki itu
"Kau...?!"
Kebo Pangawon tersenyum nakal.
"Ya. Aku.... Lama aku merindukan saat-saat
seperti ini, Dewi. Akhirnya aku mendapat kesempatan
juga."
"Kurang ajar! Lancang benar kau masuk ke
kamarku! Heaaat..!"
Dewi Pandagu yang sudah marah setelah tahu
siapa lelaki yang telah menjebol kamarnya, segera me-
nyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Tangannya
bergerak cepat, memukul ke arah lawan. Sedangkan
tangan kirinya bergerak menyambar selendang. Tapi
belum juga tangan itu sampai, Kebo Pangawon telah
mendahuluinya.
"He he he..!" Kebo Pangawon tertawa setelah
mengelakkan selendang itu. Kemudian dengan cepat
mengelitkan serangan Dewi Pandagu. "Kau masih saja
galak, Dewi. Tapi memang itu yang aku suka."
"Manusia rendah! Heaaa...!"
Meski tubuh Kebo Pangawon pendek dan ge-
muk, namun gerakannya sangat lincah. Beberapa kali
serangan-serangan Dewi Pandagu yang garang dan
mematikan, hanya menebas angin. Setiap kali Dewi
Pandagu menyerang, dengan cepat Kebo Pangawon
berkelit. Malah serangan balik yang dilakukannya cu-
kup membuat Dewi Pandagu kewalahan.
"Ini untukmu, Dewi. Hih...!"
Tangan Kebo Pangawon bergerak dengan jari-
jari terbuka lebar, menyerang dada Dewi Pandagu.
"Hiaaa...!"
Dewi Pandagu dengan cepat menyapukan tan-
gan kiri untuk memapaki serangan lawan. Disusul oleh
tendangan kaki kanannya ke selangkangan lawan.
Melihat serangan yang dilancarkan oleh Dewi
Pandagu, dengan terkekeh Kebo Pangawon menge-
litkannya. Tubuhnya yang gemuk pendek miring ke
samping. Kemudian dengan cepat tangannya menye-
rang perut Dewi Pandagu.
"He he he...! Ini baru nikmat, Dewi! Hih...!"
Bagai seekor belut, Kebo Pangawon menyeruak
masuk ke pertahanan Dewi Pandagu. Dengan jari-jari
mengembang, tangannya menyerang perut lawan.
Dewi Pandagu tersentak. Dengan cepat tangan-
nya dikibaskan ke arah tangan lawan.
Trak!
"Ukh...!" Dewi Pandagu mengeluh. Tangannya
yang beradu dengan tangan Kebo Pangawon terasa
nyeri sekali. Tulang pergelangan tangannya terasa se-
perti patah.
"He he he...!" Kebo Pangawon terkekeh, me-
nyaksikan wajah Dewi Pandagu pucat pasi. "Akhirnya
impianku tercapai, Dewi. Kau memang pantas menjadi
istriku."
"Kurang ajar! Hiaaat..!"
Sambil menahan sakit, Dewi Pandagu kembali
menyerang. Kali ini hanya menggunakan tangan kiri.
Meski begitu, serangannya ternyata masih keras dan
ganas. Kakinya tak mau tinggal diam, turut bergerak
menyerang.
Tapi lawan yang tengah dihadapinya bukan la-
wan biasa. Tapi merupakan salah satu dari tokoh rim-
ba persilatan golongan hitam yang berada di atas Dewi
Pandagu. Serangan-serangannya bagai tak berarti bagi
Kebo Pangawon.
"He he he...! Percuma saja kau melawanku,
Dewi!" Kebo Pangawon terkekeh. Kembali tangannya
bergerak. Kali ini ke arah dada Dewi Pandagu.
"Setan!" maki Dewi Pandagu sambil melompat
mundur, berusaha mengelakkan serangan lawan. Tapi
gerakan lawan rupanya sangat cepat, hingga mampu
mengejar gerak mundurnya.
"He he he...!" Kebo Pengawon kembali menye-
ringai. Tubuhnya terus melesat dengan jari-jari tangan
terbuka, siap menjamah dada Dewi Pandagu.
Merasa sia-sia kalau menangkis, Dewi Pandagu
berusaha mengelakkan serangan itu. Mulutnya berte-
riak, memanggil murid-muridnya.
"Linteng...!"
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan
Bintang Emas terbangun dari tidurnya. Mereka segera
berlarian menuju ke kamar ketuanya dengan riuh.
Namun mereka tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki
bertubuh jangkung dengan kepala agak botak.
"He he he...! Biarkan mereka di kamar. Kalian
urusanku," kata Karto Songo.
"Serbu...!"
"Hiaaat...!"
Murid-murid Perguruan Bintang Emas serem-
pak menyerang Karto Songo. Namun lelaki bertubuh
kurus dan jangkung itu dengan mudah mengelakkan
serangan mereka. Tubuhnya berlompatan dengan lin-
cah. Tangannya bergerak menotok tubuh murid-murid
Perguruan Bintang Emas.
Dalam beberapa gebrakan saja, murid-murid
Perguruan Bintang Emas dapat ditaklukkannya.
Di saat yang sama, Dewi Pandagu semakin ter-
sudut. Bahkan kini dia tak diberi kesempatan sedikit
pun untuk melakukan pembalasan. Serangan Kebo
Pangawon sangat cepat dan sulit dielakkan. Sedang-
kan untuk menangkis, rasanya tidak mungkin. Tenaga
dalamnya berada jauh di bawah lelaki gemuk pendek
itu.
Bet!
"Ukh...!"
Dewi Pandagu berteriak tertahan, ketika tangan
Kebo Pangawon melesat cepat ke dadanya. Dia tak
mau mengelitkan serangan itu, sehingga dadanya ber-
hasil dijamah.
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu! Heaaa...!" bentak Dewi Pandagu gusar, mendapat
perlakuan kurang ajar dari lawannya.
Tangan Dewi Pandagu kini berpendar sinar
kuning kemerah-merahan. Kemudian dengan cepat,.
memukul Kebo Pangawon, yang tersentak kaget dan
mengelak Kemudian dengan cepat, Kebo Pangawon ba-
las menyerang dengan pukulan saktinya pula.
"Heaaa...!"
Glar!
"Aaakh...!" Dewi Pandagu memekik keras. Tu-
buhnya terlempar ke belakang, sampai membentur
dinding bangunan hingga jebol, lalu jatuh ke lantai
dengan dada hancur!
Kebo Pangawon terbelalak kaget. Dia tidak
menduga kalau wanita cantik itu benar-benar nekat.
Wajah Kebo Pangawon seperti menyesali apa yang ter-
jadi.
"Kebo...!" seru Karto Songo dengan mata melo-
tot "Mengapa kau membunuhnya?"
Kebo Pangawon semakin kebingungan. Dia se-
benarnya tidak bermaksud membunuh Dewi Pandagu.
Namun pukulan maut Dewi Pandagu rupanya telah
membuatnya kaget. Lalu tanpa sadar, seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan.
"Celaka! Tentunya Pendekar Gila akan menga-
muk dan memburu kita!" ujar Karto Songo cemas.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak Kebo
Pangawon.
Kedua lelaki dari kalangan hitam yang cemas
setelah Dewi Pandagu binasa itu, tanpa pikir panjang
segera lari meninggalkan tempat itu. Mereka tak mau
berurusan dengan Pendekar Gila, jika nanti pendekar
itu tahu calon istrinya binasa.
Ketika, Kebo Pangawon dan Karto Songo masih
berlari, tiba-tiba dalam jarak tujuh tombak di depan
mereka berdiri seorang lelaki bercaping lebar. Di pung-
gung lelaki itu tersandang pedang panjang yang ga-
gangnya berkilat.
"Hm...," lelaki bercaping yang tak lain Kauw
Cien Lung itu bergumam. Tangannya bersidekap di de-
pan dada.
"Lelaki bercaping?!" desis Karto Songo dengan
mata membelalak.
"Oh?! Mengapa dia ada di sini?" keluh Kebo
Pangawon.
"Kalian orang-orang tak berguna! Hm.... Sepan-
tasnya kalian mampus!" dengus Kauw Cien Lung den-
gan suara yang berat.
"Tidak...! Jangan, Tuan. Kami segolongan den-
ganmu," ratap Karto Songo sambil merunduk.
"Benar, Tuan. Kami segolongan denganmu. Ja-
dikanlah kami pengikutmu," timpal Kebo Pangawon tu-
rut merunduk. Kemudian keduanya menjatuhkan diri,
berlutut sambil mencium tanah.
"Hm.... Bangunlah! Kalian orang-orang tak ber-
guna! Bersiaplah untuk mati...!" bentak Kauw Cien
Lung dengan wajah dingin. Tangan kanannya bergerak
memegang gagang pedang.
Srrrt!
Mata Karto Songo dan Kebo Pangawon membe-
lalak, mendengar suara pedang ditarik dari sarungnya.
"Bangun...!" sentak Kauw Cien Lung dengan ke-
ras. Tangan kanannya kini telah menggenggam pedang
yang bersinar putih kebiru-biruan. "Jika kalian lelaki,
bersiaplah untuk mati!"
Merasa tak ada kesempatan untuk memohon
ampun, keduanya segera bangun. Percuma mereka
menyerah begitu saja. Tak ada pilihan lain, mereka ha-
rus melakukan perlawanan agar mati dengan terhor-
mat.
"Cabut senjata kalian!" bentak Kauw Cien Lung.
Srrrt!
Srrrt!
Kebo Pangawon melolos senjatanya yang ber-
bentuk tali baja dengan bola berduri. Sedangkan Karto
Songo, melolos senjatanya yang berbentuk tali baja
dengan tombak runcing.
"Bagus! Kalian bersiaplah!"
"Kunyuk! Kami telah siap! Apa kau kira kami
takut?!" balas Kebo Pangawon membentak. Percuma
saja dia mengiba pada lelaki bercaping itu. Lagi pula,
dia belum pernah menjajaki ilmu silatnya.
"Ya! Jangan kira kami takut pada sepak terjang
mu! Aku Karto Songo, tak akan gentar! Heaaa...!"
"Hiaaat..!"
Kebo Pangawon dan Karto Songo dengan cepat
bergerak menyerang. Senjata mereka melesat cepat ke
arah Kauw Cien Lung secara bersamaan. Menusuk dan
melejit ke dada dan wajah lelaki Cina yang berjuluk
Singa Jantan itu.
"Heaaa...!"
Tubuh Kauw Cien Lung segera melejit ke atas,
mengelakkan serangan kedua lawannya. Kemudian
dengan cepat tubuhnya bergerak ke depan. Pedang di
tangannya membabat ke arah kedua lawannya secepat
kilat.
Wut!
"Hait...!"
"Uts...!"
Karto Songo dan Kebo Pangawon dengan cepat
berkelit dan berpencar. Kemudian keduanya balas me-
lakukan serangan. Kebo Pangawon kembali meluncur-
kan bola baja berdurinya ke dada lawan. Karto Songo
juga tak mau diam. Senjatanya dilecutkan ke wajah
lawannya.
Srrrt!
Wut!
Singa Jantan dari Cina itu kembali bergerak
mengelitkan serangan keduanya. Kemudian dengan
cepat tangan kirinya menangkap salah satu senjata
lawan.
Tap!
Bola besi berduri milik Kebo Pangawon tertang-
kap. Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika
Kebo Pangawon menyentakkan senjatanya. Kemudian
dengan cepat, pedangnya digerakkan ke tubuh lawan.
"Akh...!" Kebo Pangawon tersentak kaget. Ma-
tanya membelalak, dan mulutnya menganga menyak-
sikan gerakan lawan yang sulit diterka itu. Setiap ba-
batan pedang lawan berusaha dielakkannya, namun
gerakannya kalah cepat.
Wut!
Cras!
"Aaa...!" Kebo Pangawon melolong, ketika pe-
dang lawan menyayat keningnya. Tubuhnya meregang
dengan mata melotot, kemudian tersungkur dengan
nyawa melayang. Tubuhnya mengepulkan asap hitam
bagai terbakar.
Menyaksikan Kebo Pangawon tewas, nyali Karto
Songo ciut. Dia ingin lari, namun rasanya percuma.
Tentu lelaki misterius itu akan mengejarnya.
"Kurang ajar! Kau telah membunuh temanku!
Kau harus mampus! Hiaaat..!" Karto Songo memekik
keras, kemudian dengan membabi buta dia kembali
menyerang. Senjatanya bergerak cepat menyambar
dan menusuk ke arah lawan.
"Yeaaah...!"
Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika
rantai bermata tombak milik Karto Songo melesat ke
arahnya. Kemudian dengan ringan, kakinya menginjak
rantai itu, membuat mata Karto Songo membelalak
Senjatanya ditarik sekuat tenaga, berusaha menjatuh-
kan Singa Jantan dari Cina itu.
"Heaaat..!"
Kauw Cien Lung melesat ke atas, kemudian
dengan gerakan cepat kembali menukik. Saat itu, pe-
dang di tangannya berkelebat ke wajah Karto Songo.
"Heaaat..!"
Cras!
"Wuaaa...!" Karto Songo melolong histeris. Tan-
gannya seketika memegangi kening yang tersayat. Ma-
tanya melotot sekarat. Kemudian ambruk dengan kea-
daan yang sangat mengerikan.
"Hm...," Kauw Cien Lung menggumam. Tangan
kirinya menyeka darah pada ujung pedang. Kemudian
setelah memasukkan pedang ke sarungnya, dia berlalu
dari tempat itu.
Malam kembali hening, dicekam kegelapan.
6l
ENAM
Dunia persilatan di tanah Jawa Dwipa khusus-
nya di wilayah tengah semakin tercekam. Kini tidak
hanya para pendekar dari aliran lurus yang merasakan
cemas akibat tindakan lelaki bercaping yang penuh
misteri itu. Dari aliran hitam pun merasakan juga. Ter-
lebih setelah mayat Karto Songo dan Kebo Pangawon
ditemukan.
Keadaan rimba persilatan bagai terpanggang,
membara panas. Belum lagi dengan berita tentang titi-
san Dewi Kuan Im berupa seorang dara Cina. Mem-
buat rimba persilatan kian bergolak.
Satu pihak, berusaha mencari jalan keluar un-
tuk menyelesaikan masalah lelaki bercaping yang se-
pak terjangnya terlalu telengas. Di pihak lain, ada yang
berusaha mencari gadis titisan Dewi Kuan Im, dengan
harapan akan menjadi pendekar nomor wahid di rimba
persilatan. Pendekar tanpa tanding, yang akan menjadi
pendekar di antara para pendekar.
Mei Lie yang menjadi incaran utama orang-
orang rimba persilatan, karena dianggap titisan Dewi
Kuan Im, kini masih mengasingkan diri bersama Nyi
Bangil dan Lira Kanti di tempat yang sepi dan tidak
pernah dijamah oleh manusia.
Gadis itu tengah mempelajari jurus-jurus
'Pedang Bidadari' yang sakti, ditemani oleh Nyi Bangil.
Sementara adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama
Lira Kanti seperti biasanya pergi ke pasar untuk mem-
beli kebutuhan hidup. Di samping itu, Lira Kanti ber-
tugas mencari berita tentang Pendekar Gila, di samp-
ing mengamati perkembangan dunia persilatan.
Sembilan jurus telah dikuasai Mei Lie. Kini
tinggal jurus pamungkas dari semua jurus 'Ilmu Pe-
dang Bidadari'. Jurus 'Pedang Tebasan Batin', sebuah
jurus sakti yang mungkin sampai sejauh ini belum ada
yang mampu memecahkannya.
"Hhh...!" Mei Lie nampak duduk bersila di atas
sebuah batu di depan air terjun. Pedang di tangannya
kini dilekatkan ke wajah. Matanya terpejam, kemudian
tangannya yang menggenggam pedang digerakkan ke
kanan.
Sedangkan di pinggir sungai, seorang wanita
muda dan cantik bertubuh sintal dengan pakaian me-
rah jambu, duduk bersila sambil mengawasi Mei Lie.
Wanita itu tiada lain Nyi Bangil, yang sebenarnya pe-
waris 'Ilmu Pedang Bidadari'. Namun karena Mei Lie
yang mampu memecahkan semua jurus-jurus itu, Nyi
Bangil akhirnya menyerahkannya pada adik ang-
katnya.
Mata Nyi Bangil tidak berkedip memandang Mei
Lie yang tengah melakukan ujian akhir dari jurus
'Pedang Tebasan Batin'. Orang yang berhasil mengua-
sai jurus itu akan mampu menebas makhluk halus se-
kalipun.
Telapak tangan Nyi Bangil saling bertemu. Jari-
jarinya tegak di depan dada. Matanya tiada henti me-
mandang ke arah Mei Lie.
"Hhh...," Mei Lie kembali menggerakkan pedang
di tangannya. Kali ini ke arah depan. Kemudian setelah
menarik kembali ke belakang, pedang itu digerakkan
ke arah kiri.
Gerakan-gerakan itu dilakukan berulang-ulang.
Dengan napas diatur sedemikian rupa. Matanya terpe-
jam rapat, hingga tidak melihat sekelilingnya.
"Hhh...! Hea...!"
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan, lalu
diangkat ke atas. Kemudian dengan mata terpejam,
pedangnya dibabatkan ke air di bawahnya.
Wut!
Pedang menderu cepat, membabat air. Aneh-
nya, air itu tidak terpercik sedikit pun! Bahkan air lak-
sana terbelah, Bukan itu saja! Pedang itu ternyata
membabat seekor ikan yang ada di dalam air.
Tidak lama kemudian, nampak seekor ikan mas
tersembul ke permukaan air. Tubuh ikan itu masih
utuh, bagai tidak mengalami apa-apa. Namun ketika
Mei Lie mengambil ikan itu, tubuh ikan mas itu ter-
nyata telah terbelah dua!
"Hebat...!" seru Nyi Bangil tanpa sadar, ketika
menyaksikan hasil yang dicapai Mei Lie.
Mei Lie tersenyum. Dilemparkan ikan yang ke-
lihatannya masih utuh itu ke arah Nyi Bangil yang se-
gera menangkapnya.
Nyi Bangil memandang lekat ke arah Mei Lie
yang masih duduk bersila di atas batu dengan pedang
tergenggam di tangan. Lalu dipandanginya lagi ikan di
tangannya.
"Kau telah berhasil, Mei Lie! Kau telah berhasil
memecahkan jurus pamungkas. Jurus 'Pedang Teba-
san Batin'," kata Nyi Bangil gembira.
"Kurasa semua berkat doa dan dorongan se-
mangat darimu, Kak. Namun aku belum puas, jika aku
belum melakukan yang lebih baik dari itu," kata Mei
Lie.
"Lakukanlah pada batu itu, Mei Lie!" perintah
Nyi Bangil.
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Mei
Lie.
Kembali Mei Lie memejamkan mata. Kedua tan-
gannya memegang gagang pedang. Pernafasannya di-
atur agar lancar.
"Hhh...," Mei Lie berusaha memusatkan seluruh
daya di tubuhnya pada batinnya.
Nyi Bangil kembali memperhatikan Mei Lie den-
gan seksama. Matanya tidak berkedip. Hatinya berha-
rap agar semua yang dilakukan Mei Lie akan berhasil.
"Hhh...!"
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan. Ke-
mudian ke depan. Dilanjutkan ke kiri, lalu ke depan
lagi. Nafasnya terus diatur. Seluruh panca inderanya
dipa-dukan. Kini semuanya benar-benar terpusat ke
batin.
"Hhh...! Heaaa...!"
Mei Lie mengangkat pedangnya ke atas, tubuh
nya berkelebat laksana terbang. Lalu dengan mata ma-
sih terpejam, pedangnya dibabatkan ke batu besar di
dalam air terjun.
Wut!
Kejadian aneh kembali terjadi. Batu itu bagai
tidak mengalami apa-apa. Padahal pedang di tangan
Mei Lie telah tembus ke dalam. Begitu juga dengan air
terjun, tak ada percikan sedikit pun. Air terjun itu lak-
sana terbelah dua ketika Mei Lie membabatkan pe-
dang.
"Heaaa,.!"
Mei Lie kembali melompat ke belakang dengan
bersalto beberapa kali, kemudian duduk bersila kem-
bali di atas batu semula. Saat itu pula, batu sebesar
badan kerbau yang tadi dibabat oleh pedangnya, han-
cur berantakan terkena arus air. Batu besar itu beru-
bah menjadi butiran-butiran kecil!
"Oh, sungguh dahsyat..!" gumam Nyi Bangil
dengan mata semakin membelalak, menyaksikan keja-
dian yang aneh itu.
Kepala Nyi Bangil menggeleng-geleng. Baru kali
ini disaksikannya kehebatan jurus 'Pedang Tebasan
Batin'. Tidak percuma Mei Lie mempelajarinya dengan
tekun. Hampir tiap hari gadis itu mempelajari 'Ilmu
Pedang Bidadari'. Dan hasil dari ketekunannya akhir-
nya terwujud. Mei Lie telah mampu menguasai semua
jurus di Kitab Ilmu Pedang Bidadari yang selama ini
belum terpecahkan.
"Kau berhasil, Mei Lie! Kau berhasil...!" seru Nyi
Bangil girang.
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie belum percaya.
"Ya! Lihatlah. Batu di belakang air terjun itu,
telah hancur menjadi pasir!" seru Nyi Bangil sambil
menunjuk ke arah air terjun.
Mei Lie memandang ke air terjun. Seketika ma-
tanya membuka lebar, manakala melihat di balik air
terjun itu terdapat sebuah goa.
"Goa...," desis Mei Lie masih terpana menyaksi-
kan goa di belakang air terjun. "Hm.... Rupanya batu
besar tadi adalah penutup goa ini."
"Ada apa, Mei Lie?" tanya Nyi Bangil.
"Di balik air terjun ada goa, Kak!" seru Mei Lie,
menyahuti.
"Goa...?" tanya Nyi Bangil.
"Ya!"
"Hm.... Mungkinkah itu goa yang dimaksudkan
dalam Kitab Ilmu Pedang Bidadari?" tanya Nyi Bangil.
"Entahlah. Aku akan mencoba masuk, Kak"
"Hati-hatilah!"
Mei Lie melesat cepat. Tangannya menyibak air
terjun yang deras. Kemudian laksana terbang tubuh-
nya melesat masuk ke dalam, meninggalkan Nyi Bangil
yang memperhatikannya dengan was-was.
***
Mei Lie mengerutkan kening, setelah masuk ke
dalam goa itu. Ternyata goa itu di dalamnya sangat
luas. Ada rasa tegang menyelimuti hati gadis Cina itu,
menyaksikan keadaan goa yang sangat menyeramkan.
Namun entah mengapa, hatinya merasakan ada sesua-
tu yang menariknya untuk terus menyelusuri goa itu.
"Hm.... Goa apa ini? Dan...."
Belum juga Mei Lie selesai berkata, tiba-tiba
matanya tersentak oleh sinar merah kekuning-
kuningan. Sinar itu datangnya dari dalam goa. Seper-
tinya ada sesuatu di sana.
Mei Lie semakin tegang. Keningnya kian berkerut. Bibirnya dikulum dalam-dalam, berusaha mene-
kan perasaan takut yang melanda jiwanya.
"Sinar apakah itu?" tanyanya lirih.
Kaki Mei Lie kini melangkah bagai ada yang
menyeret. Hatinya berdebar-debar, laksana merasakan
getaran dahsyat. Sinar merah kekuning-kuningan yang
memancar itu, seperti menyedot tubuhnya untuk terus
mendekat
Dengan perasaan agak tegang, Mei Lie terus
melangkah menyusuri goa. Langkah-langkahnya bagai
detak-detak menuju maut. Matanya membuka lebar,
sesekali menyapu ke sekelilingnya yang menyeramkan.
Kakinya semakin lama semakin jauh melang-
kah dan kian dekat dengan sinar berwarna merah ke-
kuning-kuningan yang kian terang. Sampai akhirnya,
Mei Lie menjadi takjub. Matanya membelalak lebar dan
berbinar-binar manakala melihat dengan jelas sinar
merah kekuning-kuningan itu. Ternyata sinar itu be-
rasal dari sebilah pedang.
"Pedang...! Oh...," desis Mei Lie. Matanya tidak
berkedip memandang pedang yang menancap di se-
buah kotak panjang. Sedangkan sarungnya yang ter-
buat dari kayu cendana dan menebarkan bau harum,
terletak di sampingnya.
Dengan takjub, Mei Lie menjura ke arah pedang
itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya menyeka de-
bu yang menutupi kotak kayu persegi yang besarnya
dua kali ukuran pedang. Sepertinya di kotak kayu itu
terdapat sebuah tulisan.
Setelah debu yang menutup dienyahkan, kini
tulisan itu menjadi jelas. Mei Lie membacanya,
Siapa yang telah mampu menguasai 'Ilmu Pe-
dang Bidadari', dialah pewaris pedang ini. Dengan pedang ini, jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' akan sema-
kin sempurna.
Dewi Pedang
"Oh! Rupanya ini Pedang Bidadari. Jagat Dewa
Batara, sungguh aku telah beruntung menjadi pewaris
'Ilmu Pedang Bidadari'," bisik Mei Lie, khidmat.
Tangannya kini memegang gagang pedang. Ke-
mudian dicobanya mengangkat pedang itu. Namun pe-
dang itu bagai telah menyatu dengan kayu tempat ter-
tancapnya.
"Hei, mengapa pedang ini sulit dicabut?" Mei Lie
terheran-heran. Dipandanginya kembali Pedang Bida-
dari di hadapannya yang masih mengeluarkan sinar
merah kekuning-kuningan. Dicobanya lagi. Tetap saja
gagal.
Mei Lie mengerahkan seluruh tenaganya, beru-
saha mencabut pedang tersebut. Namun sia-sia! Pe-
dang itu tidak bergeming sedikit pun juga.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" keluh Mei Lie
hampir putus asa.
Ditatapnya pedang itu lekat-lekat, berusaha
memahami cara yang baik untuk mencabut pedang
itu. Mungkinkah harus menggunakan batin? Tanya
Mei Lie dalam hati. Ya. Mungkin aku harus memakai
kekuatan batin!
Setelah merasa yakin, Mei Lie segera duduk
bersila di hadapan pedang itu. Matanya dipejamkan.
Nafasnya diatur dengan irama tertentu, lalu segenap
panca inderanya disatukan ke pusat batin. Setelah la-
ma melakukan hening diri, dan semuanya telah terpu-
sat di batin, Mei Lie mengulurkan tangan kanannya ke
gagang pedang. Kemudian dengan tenaga batin, Mei
Lie mencabut pedang tersebut.
"Oh, akhirnya aku berhasil!" ucap Mei Lie nya-
ris memekik girang ketika pedang itu terlepas dari tan-
capannya. Tak jemu-jemu pedang itu dipandangi. Ke-
mudian diambilnya sarung pedang, lalu Pedang Bida-
dari dimasukkan ke dalamnya.
Mei Lie segera menjura setelah menaruh pe-
dang itu di punggungnya. Kemudian Mei Lie melang-
kah meninggalkan goa itu.
***
"Mei Lie...! Cemas aku menunggumu. Apa yang
kau lakukan di dalam?" tanya Nyi Bangil dengan wajah
menggambarkan kecemasan, karena Mei Lie lama se-
kali di dalam goa.
"Kak! Lihat, apa yang kuperoleh?!"
Mei Lie menarik pedang dari sarungnya. Seketi-
ka sinar merah kekuning-kuningan berpijar, menyen-
takkan Nyi Bangil. Sampai-sampai mata Nyi Bangil me-
lotot. Mulutnya tanpa sadar menyebut nama pedang
itu.
"Pedang Bidadari!"
"Benar, Kak. Pedang ini berada di dalam goa,"
tutur Mei Lie.
"Oh, akhirnya kau berhasil, Mei Lie. Kini leng-
kaplah apa yang kau miliki. Dengan Pedang Bidadari
di tanganmu, kau akan menjadi jago pedang nomor sa-
tu. Kau pantas berjalan sejajar dengan Pendekar Gila,"
puji Nyi Bangil turut gembira, melihat Mei Lie akhirnya
berhasil mendapatkan semuanya.
"Semua berkat doa serta doronganmu, Kak."
Mei Lie segera menjura hormat. Namun dengan
segera Nyi Bangil memegangi pundaknya. Diangkatnya
tubuh Mei Lie, kemudian gadis Cina yang telah diangkat menjadi adiknya diminta untuk memandang wa-
jahnya.
"Aku bersyukur, kau akhirnya berhasil, Mei Lie.
Kini aku merasa telah terbebas dari tanggung jawab.
Kalau kau memang ingin mencari Sena, aku tak kebe-
ratan. Namun perlu kau ingat, bahwa para pendekar
kini tengah memburumu. Untuk itu, kau harus hati-
hati. Bila perlu, menyamarlah agar tidak kelihatan sia-
pa dirimu," tutur Nyi Bangil menyarankan.
"Terima kasih, Kak."
"Kita pulang dulu untuk mempersiapkan kebe-
rangkatanmu mengembara. Ayo...," ajak Nyi Bangil
sambil membimbing Mei Lie meninggalkan tempat itu.
Suasana di tempat itu kembali sepi. Hanya ki-
cau burung saja yang terdengar, ditimpali debur air
terjun yang tiada henti. Seakan air terjun itu jalur hi-
dup manusia. Yang selalu memiliki alur kehidupan,
sebagaimana air.
Sinar matahari pagi menerobos lewat celah de-
daunan, menyinari suasana di tempat itu. Angin ber-
tiup semilir, membawa kesejukan dan kedamaian hati.
Alam pun turut berseri.
TUJUH
Orang-orang rimba persilatan kian dibuat keta-
kutan oleh lelaki bercaping lebar yang sepak terjang-
nya kian menjadi-jadi. Sejauh itu, belum ada yang ta-
hu siapa sesungguhnya lelaki bercaping lebar itu. Dan
apa tujuan sebenarnya.
Kini orang-orang persilatan yang dipimpin Ki
Ageng Sampar Bayu mengadakan pertemuan untuk
membahas masalah sepak terjang lelaki bercaping
yang oleh kaum rimba persilatan dijuluki Singa Jantan
dari Cina.
Semua orang rimba persilatan aliran lurus, di-
panggil untuk menghadiri pertemuan itu. Di sana, ha-
dir Resi Sarameskari dan kedua murid utamanya. Ki
Kerto Mandra dengan istrinya Ratih Pun. Juga dari
Perguruan Teratai Putih yang diwakili oleh Suciati dan
Anggrojoyo. Dan perguruan-perguruan aliran lurus
lainnya.
Hanya satu orang yang belum hadir di situ, yai-
tu Pendekar Gila.
"Saudara-saudara pendekar.... Sengaja kami
mengundang saudara-saudara ke sini untuk memba-
has masalah Singa Jantan dari Cina yang sepak ter-
jangnya akhir-akhir ini semakin telengas," kata Ki
Ageng Sampar Bayu, membuka pertemuan. Sayang sa-
tu orang yang sesungguhnya penting tidak hadir."
"Aha.... Aku telah datang, Ki!"
Tiba-tiba terdengar sahutan seorang pemuda.
Kemudian disusul dengan munculnya seorang lelaki
muda berpakaian rompi kulit ular yang tingkahnya
persis orang gila.
Semua mata seketika mengalihkan pandangan-
nya ke arah Sena yang baru saja hadir. Kehadirannya
membuat wajah-wajah para pendekar agak ceria.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sambut se-
mua pendekar seraya menjura hormat, yang dibalas
pula oleh Sena.
"Ah ah ah....! Mengapa kalian begitu menyam-
butku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku adalah bagian dari kalian. Tak perlu kalian berla-
ku hormat padaku, karena aku belumlah seberapa di-
bandingkan kalian."
"Silakan mengambil tempat, Pendekar Gila," ka-
ta Ki Ageng Sampar Bayu, mempersilakan Sena.
"Terima kasih, Ki," tukas Sena sambil melang-
kah ke kursi yang masih kosong.
"Baiklah, kita mulai pertemuan ini," ujar Ki
Ageng Sampar Bayu. "Kita kembali ke pokok masalah,
tentang Singa Jantan dari Cina yang sepak terjangnya
akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi. Juga masalah
geger wanita titisan Dewi Kuan Im. Nah, bagaimana
tanggapan kalian? Silakan yang hendak mengajukan
usul."
"Saya, Ketua," Resi Sarameskari mengajukan
tangan.
"Silakan."
"Menurut hemat saya, tugas ini harus kita bagi.
Bagaimanapun juga, semua adalah tanggung jawab ki-
ta bersama."
"Setuju...!" sambut hadirin.
"Baiklah! Kita bagi tugas. Bagaimana kalau Resi
Sarameskari dan Pendekar Gila mengawasi sepak ter-
jang lelaki misterius itu. Kalau bisa, secepatnya lelaki
itu ditangkap, hidup atau mati. Kalau tidak segera di-
hentikan, bisa-bisa semua pendekar akan habis diban-
tainya," urai Ki Ageng Sampar Bayu.
Semua terdiam seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki
Ageng Sampar Bayu.
"Bagaimana, Pendekar Gila? Apa ada yang da-
pat kau sampaikan untuk kami?" tanya Ki Ageng Sam-
par Bayu.
Sena menggaruk-garuk kepala sambil berkata,
"Ya! Ini sangat penting sekali. Bagi siapa pun juga,
usahakan jangan sampai menyentuh korban Singa
Jantan dari Cina itu."
"Kenapa...?"
"Korban telah terkena racun ganas. Siapa pun
yang menyentuhnya, akan mengalami kematian. Tu-
buhnya dalam sekejap akan terbakar," tutur Sena,
menjelaskan.
"Apa yang dikatakannya memang benar, Ke-
tua," sahut Resi Sarameskari.
"Hm.... Kalau begitu, orang itu sangat berba-
haya," gumam Ki Ageng Sampar Bayu.
"Ya! Maka, kuharap saudara pendekar sekalian
berhati-hati. Usahakan, jangan sampai terkena pe-
dangnya jika memang bentrok. Kalau memang bisa,
hindari bentrokan," kata Sena, menegaskan.
Semua kembali diam. Hanya kepala mereka
yang mengangguk-angguk, tampaknya memahami
ucapan Sena. Sedangkan Ki Ageng Sampar Bayu
menghela napas. Tatapan matanya kini memandang
lepas ke arah pintu, seakan tengah membuang pera-
saaan gelisahnya. Biar bagaimanapun, sebagai pemim-
pin aliran lurus, dia memikul tanggung jawab yang
sangat berat dengan kehadiran lelaki bercaping itu.
Korban telah banyak berjatuhan. Namun sejauh ini,
belum juga ada yang mampu menandingi kehebatan
ilmu pedangnya yang luar biasa. Yang menjadi perta-
nyaan sekarang adalah, siapa yang pantas untuk
menghadapi lelaki bercaping itu?
"Siapa yang mampu menghadapi Singa Jantan
dari Cina itu?" ungkap Ki Ageng Sampar Bayu, meme-
cahkan kebisuan yang tengah terjadi.
Semua terdiam membisu. Tak ada yang berani
untuk mengutarakan pendapat mereka. Singa Jantan
dari Cina bagai sebuah momok yang menakutkan. La-
ma semua terdiam, sampai akhirnya Sena berkata....
"Aku akan mencobanya."
"Aku juga," sambut Resi Sarameskari.
"Kalau begitu, kini tinggal bagaimana menyeli-
diki masalah berita titisan Dewi Kuan Im," kata Ki
Ageng Sampar Bayu. "Nampaknya, masalah ini juga
ada hu-bungannya dengan Singa Jantan dari Cina itu."
"Benar, Ketua," kata Kerto Mandra. "Kurasa, ki-
ta harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan. Ten-
tunya orang-orang persilatan akan berusaha menda-
patkan gadis titisan Dewi Kuan Im itu."
"Apa yang kau katakan benar, Ki Kerto Mandra.
Bagaimana kalau kau dan istrimu kutugaskan untuk
menyelidikinya?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Kami bersedia, Ki," jawab suami istri itu ham-
pir bersamaan.
"Kalau begitu, semua telah beres. Kini tinggal
pelaksanaannya. Kudoakan semoga kalian senantiasa
dalam lindungan Hyang Widhi. Pertemuan saya tu-
tup...."
Semua anggota kini memberi hormat pada lela-
ki tua berjubah putih yang menjadi ketua aliran lurus
itu. Kemudian satu persatu mereka meninggalkan
tempat pertemuan itu.
Kauw Cien Lung atau yang lebih dikenal seba-
gai Singa Jantan dari Cina melangkah tenang, menye-
lusuri jalan di dalam hutan dalam usahanya mencari
Mei Lie. Langkahnya begitu ringan, bagai melayang di
atas rerumputan. Dilihat dari cara jalannya, jelas me-
nunjukkan kalau lelaki bercaping itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi.
Kauw Cien Lung terus melangkah menyusuri
hutan. Pedang di punggungnya yang telah banyak
memakan korban terlihat angker. Sebilah pedang yang
sangat beracun dan mematikan. Siapa pun yang ter-
kena, dalam sesaat akan mengalami kematian yang
mengerikan.
"Kisanak, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Kauw Cien Lung terhenti. Kemudian perlahan
tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.
"Hm...," gumam Kauw Cien Lung ketika melihat
tiga orang lelaki berkepala gundul melangkah ke arah-
nya.
Ketiga lelaki itu tiada lain adalah Resi Sara-
meskari dan dua orang murid utamanya. Kaki mereka
masih melangkah menghampiri Kauw Cien Lung.
"Hm.... Mengapa kalian menghentikan langkah-
ku?" tanya Kauw Cien Lung. Tangannya bersidekap di
depan dada.
"Kaukah Singa Jantan dari Cina itu?" tanya Re-
si Sarameskari.
"Hm.... Benar. Ada apa...?" balik tanya Kauw
Cien Lung. "Tentunya antara kita tak ada masalah,
bukan?"
"Memang," sahut Resi Sarameskari. "Memang
antara kita tak ada masalah. Namun kami diutus oleh
pemimpin para pendekar tanah Jawa Dwipa untuk
meminta kau segera menghentikan sepak terjang mu
yang telengas itu."
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Mengapa seorang pa-
dri harus ikut campur urusan dunia persilatan?" Kauw
Cien Lung tertawa tergelak-gelak, seperti ada sesuatu
yang lucu pada diri para penghadangnya. "Bukankah
sebaiknya kalian mengurusi kuil...?"
Mata ketiga padri itu membelalak mendengar
ucapan Kauw Cien Lung yang merendahkan kedudu-
kan mereka. Resi Sarameskari menghela napas. Ma-
tanya memandang tajam lelaki bercaping di hadapan-
nya.
"Kisanak, kami memang padri. Namun jika du-
nia dalam keadaan kacau oleh tingkah lakumu, jelas
kami tidak mau tinggal diam. Budha telah mengutus
kami untuk menjaga ketenteraman mayapada ini," tu-
tur Resi Sarameskari.
"Hm...!" gumam Kauw Cien Lung. "Jadi kalian
termasuk pendekar?"
"Bisa disebut begitu," sahut Resi Sarameskari.
"Tentunya kalian mendengar berita Dewi Kuan
Im, bukan?"
"Ya."
"Hm, bagus! Apakah kalian tahu, di mana Dewi
Kuan Im berada?" tanya Kauw Cien Lung.
"Masalah itu, kami tak tahu. Kami hanya men-
gingatkan padamu bahwa perbuatanmu telah banyak
memakan korban. Untuk itulah, kami mengharap kau
mau menghentikan sepak terjang mu yang kelewat te-
lengas!" tegas Resi Sarameskari.
"Ha ha ha...! Ada seorang padri yang mau ikut
campur urusan dunia persilatan. Jadi maksudmu mau
menghentikan sepak terjangku...?" tanya Kauw Cien
Lung.
"Ya!" terdengar tegas suara Resi Sarameskari.
"Haiya.... Baru kali ini aku melihat seorang padri mau
ikut campur urusan persilatan. Sayang sekali, aku ti-
dak mau tanganku belepotan darah padri."
Usai berkata begitu, Kauw Cien Lung memba-
likkan tubuh tanpa menghiraukan Resi Sarameskari
dan kedua muridnya, kemudian dengan seenaknya
melangkah meninggalkan tempat itu.
Geram juga Resi Sarameskari dan kedua murid
utamanya melihat tindakan lelaki bercaping lebar yang
tidak menggubris mereka.
"Orang sombong! Berhenti...!" bentak Resi Sarameskari.
Kauw Cien Lung tak juga mau berhenti. Ka-
kinya masih saja melangkah dengan seenaknya. Sea-
kan benar-benar tidak menghiraukan kemarahan keti-
ga padri itu.
"Sombong! Apakah kau kira dengan sepak ter-
jang mu kami menjadi takut! Kau harus dihentikan!
Heaaa...!"
Usai berkata begitu, tubuh Resi Sarameskari
berkelebat cepat untuk mengejar lelaki bercaping, di-
ikuti oleh kedua murid utamanya.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Tubuh ketiganya langsung menghadang di de-
pan Singa Jantan dari Cina yang masih terlihat te-
nang. Bahkan tangannya bersidekap angkuh. Mungkin
matanya yang tertutup oleh caping lebar saat itu ten-
gah memandang tajam ke arah mereka.
"Mau apa kalian?" tanya Kauw Cien Lung, se-
tengah menantang.
"Menghentikan sepak terjang mu yang biadab!"
dengus Resi Sarameskari tegas. Matanya memandang
semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki di hada-
pannya.
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghalangiku!"
ujar Kauw Cien Lung sinis. "Lebih baik kalian pulang
ke kuil saja. Tak perlu kalian ikut campur urusanku!"
"Kurang ajar! Rupanya kau harus diajar adat!"
maki Resi Sarameskari marah. Gigi-giginya saling be-
radu, mengeluarkan suara bergemeletuk.
"Terserah kau saja, Padri! Aku sudah menya-
rankan agar kalian tidak ikut campur urusanku. Na-
mun jika kau masih saja membandel, tak ada pilihan
lain," Kauw Cien Lung akhirnya menanggapi tantangan
Resi Sarameskari.
"Kalian menyingkirlah dulu. Biar lelaki som-
bong ini ku ajar adat! Yeaat...!" Resi Sarameskari sege-
ra bergerak menyerang. Tasbih yang menjadi senjata
andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin
keras.
Wut! Cletar!
"Haiya...!"
Kauw Cien Lung segera melompat ke atas,
mengelakkan sabetan tasbih Resi Sarameskari. Nam-
paknya dia tidak ingin menggunakan pedang. Buk-
tinya, dia hanya menyerang dan menangkis dengan
kedua tangan.
"Keluarkan senjatamu, Orang Sombong!
Heaaa...!"
Serangan Resi Sarameskari semakin sengit.
Bahkan lelaki bercaping lebar itu ditantang agar men-
geluarkan pedangnya. Tasbih di tangannya kembali
menderu keras ke arah lawan.
Wut!
Cletar!
"Ups...! Sebenarnya aku pantang bertarung
denganmu, Padri! Maka, aku tak akan mengeluarkan
pedang," sahut Kauw Cien Lung.
Hal itu membuat Resi Sarameskari bertambah
marah. Dia menganggap kata-kata Singa Jantan dari
Cina itu sebagai sebuah hinaan yang sangat meren-
dahkannya.
"Kurang ajar! Rupanya kau semakin sombong!
Heaaat...!"
Dengan penuh amarah, Resi Sarameskari kem-
bali menggebrak dengan sabetan-sabetan tasbihnya.
Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat ba-
las menyerang. Namun lelaki bercaping lebar itu dengan mudah mengelakkan serangannya.
"Hiaaa...!" gerakan Kauw Cien Lung sangat ge-
sit, meski tidak menggunakan senjata. Serangan yang
dilancarkan Resi Sarameskari yang keras dan cepat,
bagaikan tak ada artinya, selalu menemui tempat ko-
song.
"Padri, lebih baik kau pulang. Jangan sampai
aku menurunkan tangan jahat padamu!" bentak Kauw
Cien Lung dengan tubuh masih bergerak untuk men-
gelakkan serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari.
"Setan! Apa kau kira aku anak kecil yang bisa
ditakut-takuti?! Keluarkan pedangmu, hadapi aku!
Heaaa...!"
Serangan Resi Sarameskari kian sengit. Sabe-
tan-sabetan tasbihnya menggelegar, menyapu dan
menghantam ke arah Singa Jantan dari Cina itu.
Wut, wut..!
Cletar!
Kauw Cien Lung terus mengelak Tubuhnya ber-
jumpalitan di udara. Kemudian tangan dan kakinya
balas menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat
dan keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit di-
terka.
"Kau benar-benar memaksaku, Padri! Baiklah,
aku akan menghadapimu sebagai seorang pendekar!"
Usai berkata demikian, Singa Jantan dari Cina
itu menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedang.
Dan....
Srrrt!
Kaget juga Resi Sarameskari menyaksikan lela-
ki bercaping itu menarik pedang dari sarungnya. Saat
lawan menarik pedang saja seperti ada kekuatan yang
menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan seran-
gan dengan pedangnya.
"Celaka! Guru, biar kami yang menghada-
pinya.'" seru Resi Bramaweda.
"Benar, Guru. Biarkan kami yang menghada-
pinya!" sambung Resi Bragaskita, merasa khawatir ka-
lau-kalau gurunya akan mendapat celaka jika meng-
hadapi lelaki bercaping lebar itu.
"Ha ha ha...! Mengapa tidak sekalian saja?!"
tantang Kauw Cien Lung dengan nada sombong. Tan-
gan kanannya yang telah memegang pedang, kini dige-
rakkan ke samping. Kemudian pedangnya ditarik kem-
bali ke depan.
"Bedebah! Apa kau kira akan mampu membu-
nuhku, Orang Sombong?! Yeaaa...!"
"Bersiaplah, Padri! Hiaaa...!"
Keduanya kembali bergerak. Resi Sarameskari
melancarkan sabetan senjatanya yang berupa tasbih
ke arah lawan. Suara sabetan itu menggelegar, laksana
suara halilintar.
Wut!
Cletar!
"Haiya...!"
Kauw Cien Lung yang di negerinya berjuluk
Houw San atau Singa Jantan itu mencelat ke atas. Tu-
buhnya bersalto beberapa saat. Tangan kanannya yang
memegang pedang, kini digerakkan dengan cepat,
membabat ke arah lawan. Gerakan pedang itu sangat
cepat, sulit sekali diikuti oleh mata.
Resi Sarameskari tersentak kaget. Sama sekali
tidak diduganya kalau gerakan yang dilancarkan lawan
begitu cepat. Dia berusaha menangkis serangan itu
dengan tasbih ke atas. Maka tanpa bisa dihindari lagi,
dua senjata dahsyat pun beradu di udara.
Glarrr!
Trak!
Tasbih di tangan Resi Sarameskari hancur le-
bur ketika beradu dengan pedang Kauw Cien Lung.
Hal ini membuat mata Resi Sarameskari membelalak
tegang. Terlebih ketika pedang lawan semakin deras
mengarah ke wajahnya.
"Oh...!" Resi Sarameskari berusaha mengelak-
kan serangan pedang lawan, namun terlambat. Sabe-
tan pedang Kauw Cien Lung yang menuju ke wajahnya
jauh lebih cepat. Hingga....
Wut!
Cras!
"Aaakh..!"
Resi Sarameskari memekik keras dengan mata
melotot lebar. Tubuhnya langsung ambruk dengan
keadaan yang mengerikan. Dan setelah mengejang se-
saat, Resi Sarameskari diam tak bergerak lagi. Mati!
"Guru...!" seru Resi Bramaweda dan Resi Bra-
gaskita bersamaan. Hampir saja mereka menubruk tu-
buh gurunya, namun mereka segera mengingat pesan
Pendekar Gila. Kini keduanya memandang lelaki ber-
caping yang tengah menyeka darah di ujung pedang-
nya dengan tangan kiri.
"Bangsat! Kau harus mampus! Heaaat..!" Resi
Bramaweda dengan cepat melancarkan serangan. Begi-
tu pula dengan Resi Bragaskita. Keduanya serentak
menggempur Kauw Cien Lung, berusaha membalas
kematian guru mereka.
"Heaaa...!"
"Percuma kalian melawanku! Yiaaa...!"
"Kami akan mengadu nyawa denganmu, Iblis!
Yeaaa...!"
Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita terus me-
lancarkan serangan dengan toyanya. Keduanya sudah
kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Kauw Cien Lung memutar pedangnya. Tubuh-
nya mencelat ke atas. Sambil bersalto, pedang di tan-
gannya membabat lawan.
Wut!
Cras!
"Akh...!"
Resi Bramaweda menjerit tertahan. Matanya
melotot tegang. Tubuhnya mengejang sesaat, kemu-
dian tidak bergerak sama sekali dengan keadaan men-
gerikan.
Menyaksikan saudara seperguruannya tewas,
Resi Bragaskita kian kalap. Dengan mata gelap,
toyanya kembali disodokkan ke dada lawan. Lalu sece-
pat mungkin toyanya berusaha memukul bergantian
dengan kedua ujungnya.
"Pecah kepalamu, Iblis! Heaaa...!"
Wut!
"Uts...! Yiaaa...!"
Singa Jantan dari Cina itu kembali mencelat ke
udara, kemudian pedang di tangannya cepat digerak-
kan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Resi Bra-
gaskita dengan cepat menyodokkan toya ke tubuhnya.
"Heaaa...! Tembus perutmu!"
Wut!
Dugaan Resi Bragaskita ternyata meleset. Ter-
nyata lelaki bercaping itu dengan cepat kembali me-
lompat ke atas. Sebelum Resi Bragaskita sempat mela-
kukan serangan lagi, lawannya telah menyerang. Pe-
dang maut di tangan Kauw Cien Lung dengan cepat
membabat wajah Resi Bragaskara.
Wut!
Cras!
"Ukh...!" Resi Bragaskita mengeluh pendek.
Tangannya memegangi luka tebasan di keningnya. Beberapa saat matanya melotot. Tubuhnya menegang,
kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Kauw Cien Lung menyeka darah di ujung pe-
dangnya. Kemudian, pedang bersinar putih kebiru-
biruan itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Setelah memandangi mayat ketiga resi itu, dengan te-
nang kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
DELAPAN
Pagi itu Pendekar Gila tengah melintasi hutan
untuk mencari jejak Singa Jantan dari Cina. Tidak di-
duganya kalau di hutan itu ditemuinya Nyi Bangil yang
tengah melakukan latihan jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'
di dekat air terjun. Kejadian tak terduga itu sangat
menggembirakan keduanya. Terlebih Nyi Bangil, yang
merasa telah ditolong oleh Pendekar Gila.
"Sena...!"
"Nyi Bangil...!"
"Oh! Tidak kusangka kalau kita akan bertemu
kembali, Sena," kata Nyi Bangil.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Di mana Mei Lie, Nyi?" tanyanya langsung.
"Dia kini bukan Mei Lie yang dulu kau kenal,
Sena," sahut Nyi Bangil setelah terdiam sesaat.
"Di mana dia?" tanya Sena seperti tak sabar.
"Sebentar, sabar dulu. Bagaimana kalau kita ke
gubukku?" ajak Nyi Bangil. "Kita ngobrol-ngobrol di
sana. Ayo...."
Sambil menggaruk-garuk kepala, akhirnya Se-
na mengikuti ajakan Nyi Bangil. Keduanya meninggal
kan tempat itu.
Sesampainya di sebuah gubuk tempat tinggal
Nyi Bangil dan Mei Lie serta Lira Kanti, Nyi Bangil
mengajak Sena masuk. Setelah keduanya duduk ber-
hadapan, Nyi Bangil berkata....
"Ketahuilah olehmu, Sena. Mei Lie sebenarnya
ingin mencarimu. Sejak pertama kalian bertemu, kura-
sa gadis itu memendam perasaan yang lain terhadap-
mu."
Sena tersenyum malu-malu. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala.
"Ah, Nyi Bangil bisa saja. Mana mungkin gadis
secantik Mei Lie mencintaiku yang gila ini?"
Nyi Bangil masih tersenyum. Matanya menatap
lekat wajah pemuda di hadapannya. Sungguh tampan
wajah itu. Setiap wanita tentu akan tertarik dan jatuh
cinta pada Sena. Di samping itu, dia berilmu tinggi,
ramah, dan tidak sombong. Sosok lelaki gagah perkasa
dan setia, terlukis pada wajah Sena.
"Mungkin kau tak percaya, Sena. Namun aku
yang sama-sama wanita, mengetahuinya. Itu pula yang
mungkin memacu semangatnya untuk mempelajari
'Ilmu Pedang Bidadari' warisan guruku."
Nyi Bangil terdiam. Matanya tak lepas meman-
dang pemuda tampan di hadapannya. Sedangkan Sena
tak berkata apa-apa. Kepalanya semakin menunduk
dalam-dalam. Hatinya membenarkan ucapan Nyi Ban-
gil. Dia juga merasakan getar perasaan itu pada diri
Mei Lie. Karena itulah kini dia mencarinya. Dia ingin
sekali bertemu, kemudian bisa berjalan bersama Mei
Lie.
"Sena, kau tak mungkin membohongi dirimu
sendiri. Kau pun merasakan hal itu bukan?" duga Nyi
Bangil, membuat Sena menundukkan kepala kian da
lam.
Sena menghela napas dalam-dalam. Kemudian
kepalanya diangkat perlahan, lalu memandang Nyi
Bangil yang masih tersenyum. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala.
"Kuakui, memang apa yang kau katakan benar,
Nyi. Itu sebabnya aku datang," ucap Sena akhirnya,
mengakui kebenaran dugaan Nyi Bangil.
Nyi Bangil semakin melebarkan senyumnya.
"Di mana dia sekarang, Nyi?" desak Sena seper-
ti tidak sabar untuk segera bertemu.
"Kau tak sabar, Sena...," sindir Nyi Bangil.
Sena tersenyum. Tangannya kembali mengga-
ruk-garuk kepala. Ditariknya napas panjang-panjang,
kemudian dihembuskannya.
"Baiklah, aku akan menceritakan padamu. Mei
Lie sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini un-
tuk mencarimu. Sekaligus mencari lelaki bercaping le-
bar, yang menurut Mei Lie bernama Kauw Cien Lung
atau Houw San."
"Mei Lie mengenalnya?" tanya Sena sambil
mengerutkan kening.
"Ya! Lelaki berilmu tinggi itu dari dulu memang
mengejar-ngejar Mei Lie agar dapat memperistri nya."
"Ah...!" Sena menghempas nafasnya saat men-
dengar penuturan Nyi Bangil yang kini tersenyum me-
nyaksikan tingkahnya.
"Apa yang dikatakan orang-orang persilatan
memang benar. Mei Lie memang bukan gadis biasa.
Dia adalah titisan Dewi Kuan Im," lanjut Nyi Bangil.
"Kau yakin?" tanya Sena agak terkejut.
"Ya!" sahut Nyi Bangil pasti.
"Dari mana kau yakin, Nyi...?" tanya Sena ingin tahu.
Nyi Bangil tidak langsung menjawab. Di bibir-
nya masih tersungging senyuman. Dihelanya napas
dalam-dalam. Matanya masih lekat memandang wajah
Sena.
"Mulanya aku pun tak percaya desas-desus itu.
Namun ketika Mei Lie membuka pakaiannya, kulihat
di bawah pusarnya memang terdapat gambar bunga
Wijaya Kesuma. Bunga itu adalah perlambang Dewi
Kuan Im."
Mata Sena seketika membelalak, mendengar
penuturan Nyi Bangil. Tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala.
"Lalu untuk apa dia mencari Houw San?" ta-
nyanya, penasaran.
"Untuk menghentikan sepak terjang lelaki itu,
sekaligus hendak mengatakan agar Kauw Cien Lung
tidak usah lagi mencarinya."
"Tapi...," wajah Sena nampak cemas.
"Kenapa, Sena?" tanya Nyi Bangil. "Seperti kau
tak percaya pada kemampuan Mei Lie?"
Sena menggaruk-garuk kepala. Wajahnya ma-
sih terlihat tegang. Dia tahu siapa lelaki bercaping le-
bar yang bernama Kauw Cien Lung. Sepak terjangnya
sangat telengas. Telah banyak korban yang berjatuhan
di mata pedangnya.
"Kau tahu siapa Houw San itu, Nyi?" tanya Se-
na.
"Ya. Dia lelaki kejam yang telah banyak mema-
kan korban."
"Nah, bagaimana mungkin Mei Lie mencarinya?
Oh, aku mencemaskannya, Nyi...."
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Kepa-
lanya digeleng-gelengkan sambil membenarkan du-
duknya dan menghela napas.
"Kau meragukan 'Ilmu Pedang Bidadari', Sena?"
"O, tidak. Aku hanya meragukan pengalaman-
nya, Nyi. Itu yang aku cemaskan. Dia belum berpenga-
laman dalam rimba persilatan yang ganas, penuh den-
gan kecurangan dan kekejian," tutur Sena.
Nyi Bangil tersentak. Tiba-tiba dia menyadari
sesuatu yang tak terpikir olehnya. Matanya meman-
dang Sena dengan cemas. Ucapan pemuda itu memang
benar. Dalam ilmu silat, bisa saja Mei Lie berada di
atas Houw San. Tapi dalam kelicikan dan pengalaman,
tentu Mei Lie berada jauh di bawah Houw San.
"Kau benar, Sena. Hm, mengapa aku sebodoh
itu membiarkan dia pergi seorang diri mencarimu?"
sesal Nyi Bangil.
"Ke arah mana Mei Lie pergi, Nyi?" tanya Sena.
"Entahlah. Dia hanya berkata hendak menca-
rimu dulu, sebelum mencari Kauw Cien Lung," tutur
Nyi Bangil.
"Bagaimana pakaian yang dikenakannya?"
"Dia mengenakan pakaian lelaki berlengan pan-
jang warna putih, serta celana warna putih pula. Ram-
butnya juga digelung seperti lelaki."
"Jadi dia telah merubah penampilannya menja-
di sosok pendekar?" ujar Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Kalau begitu, aku harus secepatnya
mencari dia. Aku mohon pamit, Nyi."
"Kudoakan, semoga kau selalu dalam lindun-
gan Hyang Widhi," kata Nyi Bangil setelah balas men-
jura, kemudian diiringinya Sena melangkah mening-
galkan tempat itu. "Semoga kalian menjadi pasangan
yang diberkati oleh Hyang Widhi...."
***
Slang itu matahari bersinar terlalu panas, sea-
kan hendak memanggang wajah bumi, dengan terik-
nya. Semilir angin siang terkalahkan oleh panasnya
matahari. Hal itu yang membuat Sena mengambil ke-
putusan untuk beristirahat di kedai, sekaligus mengisi
perutnya yang kosong.
Usai menyantap makanannya, Sena bersandar
pada tiang penyangga kedai. Angin siang berhembus
lembut, membuat matanya mengantuk. Perlahan-
lahan matanya dipejamkan, menikmati kesejukan an-
gin yang berhembus di permukaan kulitnya.
Baru saja matanya terpejam, tiba-tiba Sena ter-
sentak oleh percakapan dua orang pengunjung kedai
yang menceritakan tentang Dewi Pandagu.
"Bayangkan, Dewi Pandagu kemarin ditemukan
telah mati. Mungkin Karto Songo dan Kebo Pangawon
yang membunuhnya," tutur orang yang bercelana biru
sebatas lutut dan berbaju warna hitam. Sehelai sarung
terikat di pinggangnya. Kepalanya diikat secarik kain
batuk warna coklat muda berhias putih. Tubuhnya
gempal dan pendek.
"Apakah tidak mungkin lelaki bercaping yang
membunuhnya, sekaligus membunuh Karto Songo dan
Kebo Pangawon?" tanya lelaki bertubuh kurus dan
berpakaian petani. Celananya hitam sebatas betis dan
bajunya hitam berlengan panjang.
"Kurasa tidak. Kalau korban lelaki bercaping,
sudah barang tentu di keningnya terdapat sayatan pe-
dang. Tapi Dewi Pandagu tubuhnya terbakar. Dadanya
hancur, seperti terkena pukulan."
Sena tersentak bangun dari sandarannya, sete-
lah mendengar penuturan dua orang itu. Segera di-
hampirinya kedua lelaki itu.
"Selamat siang, Kisanak," sapa Sena sopan.
Kedua lelaki itu menoleh lalu memandang Sena
yang tersenyum.
"Boleh aku ikut duduk?"
"O, silakan," jawab keduanya hampir berba-
reng.
"Namaku Sena," ucapnya memperkenalkan diri.
"Saya Jajang dan teman saya Enggono," sambut
Jajang sambil menyalami Sena.
"Bolehkah aku bertanya, Ki Jajang?"
"Oh, silakan. Tentang apa....?"
"Dewi Pandagu. Benarkah dia tewas...?"
Suara Sena terdengar sangat cemas. Bagaima-
napun juga, antara dia dan Dewi Pandagu terdapat
hubungan batin yang kuat. Dia pun telah berjanji akan
memperistri wanita itu.
"Benar. Memangnya ada apa...?"
"Ah, tidak. Terima kasih," ucap Sena.
Setelah membayar semua makanannya, Sena
meninggalkan kedai itu. Hal itu membuat kedua orang
yang ditanya oleh Sena mengerutkan kening. Mereka
memandang heran pada Sena yang berlalu dari kedai
itu.
Dengan mengerahkan ilmu larinya Sena beru-
saha membuktikan kebenaran cerita kedua orang tadi.
Hatinya berdetak gelisah. Wajahnya membara laksana
terbakar api. Itu pertanda kalau dirinya dalam kung-
kungan rasa cemas dan marah. Dan jika dia benar-
benar telah marah, tubuhnya akan mengeluarkan ca-
haya merah membara.
"Kalau benar Dewi Pandagu mati, semua ini ka-
rena Houw San. Kalau saja lelaki bercaping lebar itu
tidak datang, tentunya orang-orang dari aliran hitam
tidak berani unjuk gigi!" dengus Sena sambil terus ber-
lari, agar secepatnya dapat sampai di Perguruan Bintang Emas.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Sena me-
lesat cepat. Pekikannya menggelegar, sebagai tanda ka-
lau dia tengah mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'
tingkat terakhir. Membuat kecepatan tubuhnya laksa-
na gerakan tujuh angin. Dalam sekejap saja tubuhnya
menghilang. Yang tampak hanya kelebatan bayangan-
nya saja.
Ketika Sena berlari menuju Perguruan Bintang
Emas untuk membuktikan cerita dua lelaki di kedai,
pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar suara
bentrokan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan
pertempuran.
Trang!
"Hiaa!"
"Hait..!"
Trang, trang!
Dentingan pedang itu begitu keras, diikuti pe-
kikan-pekikan nyaring. Disusul dengan deru babatan
pedang yang menggila. Ditilik dari suaranya, tentu
orang-orang yang bertarung itu memiliki ilmu pedang
yang tinggi.
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam
Sena. Segera larinya dihentikan Dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala, dia memandang ke sekeliling, be-
rusaha mencari asal keributan itu.
"Heaaa..!"
Wut wut!
"Yiaaat!"
Sena memasang telinganya tajam-tajam, agar
dapat menentukan di mana pertarungan itu berlang-
sung.
"Ah, ada di sebelah selatan," gumam Sena sam-
bil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kakinya di
langkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, agar tidak terdengar oleh orang yang bertarung.
Setelah suara orang bertarung itu semakin dekat, Sena
segera melompat ke atas pohon.
Ditujukan pandangannya ke sebuah tempat
yang agak lebar, di mana dua orang tampak tengah
bertarung. Seketika matanya membelalak, ketika meli-
hat seorang lelaki bercaping lebar dengan baju bergaya
pesilat Cina tengah bertarung dengan seorang wanita
yang berpakaian lelaki berwarna putih.
"Mei Lie...!" desis Sena sambil menggaruk-garuk
kepala, ketika mengenal wajah wanita itu.
Tubuh Sena segera berkelebat turun. kemudian
dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti.
Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila
menghantamkan Suling Naga Sakti ke arah pedang le-
laki bercaping yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang!
"Ukh..!" lelaki bercaping lebar yang tidak lain
Kauw Cien Lung atau Houw San itu tersentak kaget.
Segera kakinya menyurut mundur sambil menarik pe-
dangnya. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie.
"Sena.,!" seru Mei Lie setelah mengenal siapa
orang yang telah menolongnya.
"Mei Lie...!" seru Sena gembira. Bibirnya men-
gulas senyum lepas.
Merasa mendapat kesempatan baik, Houw San
dengan cepat bergerak, berusaha mencekal tubuh Mei
Lie. Namun Sena yang tidak ingin gadis pujaan hatinya
celaka, cepat memapak tangan lawan dengan Suling
Naga Sakti.
"Yiaaat.!"
"Hiaaa...!"
Melihat pemuda berbaju rompi kulit ular me
nyerang dengan Suling Naga Sakti, Kauw Cien Lung
yang semula hendak melakukan totokan ke arah Mei
Lie, mengurungkan niatnya. Tangannya ditarik kemba-
li, kemudian dengan cepat membabatkan pedang ke
arah lawan dengan jurus 'Pedang Menangkal Naga' dan
diteruskan dengan jurus 'Tusukan Pedang Menembus
Batu Karang'.
"Hiaaa...!"
Wut! Trak!
Pendekar Gila melenting ke atas, membuat ba-
batan pedang lawan luput. Kemudian dengan cepat
memukul lawan dengan Suling Naga Sakti.
"Mei Lie.!" desis Sena ketika mengenali wanita
yang sedang bertarung itu.
Tubuh Pendekar Gila pun segera berkelebat tu-
run sambil mencabut sulingnya. Kemudian, Suling Naga
Saktinya dihantamkan ke arah pedang Kauw Cien Lung
yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang!
"Heeaaaa...!"
Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang
Suling Naga Sakti, memukul dan membabat ke tubuh
lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk ke dada
lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Itulah
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus
pembuka jurus-jurus gila.
Kemudian, dengan menggunakan jurus 'Kera
Gila Mencakar dan Memukul Lawan', Pendekar Gila te-
rus merangsek lawan. Namun begitu, lawan yang di-
hadapinya juga tidak mau mengalah begitu saja.
Houw San dengan pedang beracun di tangan-
nya, terus bergerak mengelakkan setiap babatan Sul-
ing Naga Sakti dan tepukan tangan lawan. Bahkan se-
sekali balas menyerang dengan sabetan pedang.
"Makan ini! Heaaa...!"
Sena kembali menyodokkan Suling Naga Sakti
ke dada lawan. Kemudian disusul dengan tepukan
tangan kiri. Sementara kedua kakinya tak mau tinggal
diam, bergerak menyapu dan menendang kaki lawan.
Kauw Cien Lung yang dikenal berjuluk Singa
Jantan dari Cina dengan cepat melangkah ke bela-
kang. Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan ba-
batan pedang ke arah Pendekar Gila. Sedangkan tan-
gan kirinya, mencengkeram dengan jari-jari yang kaku.
Tidak ubahnya seperti kuku-kuku singa.
"Hiaaa...!"
Wut!
Pendekar Gila segera meliukkan tubuh, menge-
lak-kan babatan pedang lawan. Kemudian setelah
mampu mengelakkan babatan pedang, Pendekar Gila
kembali balas menyerang dengan sabetan Suling Naga
Sakti.
"Heaaa...!"
Trang!
Keduanya mundur ke belakang beberapa tin-
dak. Sesaat keduanya saling pandang, berusaha men-
gamati gerak-gerik lawan masing-masing. Pendekar Gi-
la me-nyeringai dengan tangan menggaruk-garuk ke-
pala. Sedangkan Houw San kini memperhatikan den-
gan seksama tingkah laku Pendekar Gila.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya
Kauw Cien Lung, dengan dengusannya yang keras. Pe-
dang panjang yang berwarna putih kebiru-biruan ter-
hunus di depan tubuhnya.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Kaukah orang yang selama ini telah banyak
melakukan kekejian? Membunuh para pendekar?"
tanya Sena, balik bertanya.
"Ya!"
"Hm, aku datang untuk menghentikan sepak
terjang mu yang terlalu telengas," ucap Sena dengan
suara tegas. "Tindakanmu terlalu biadab. Terlebih kau
bukan orang Jawa Dwipa."
"Hm...," Kauw Cien Lung menggumam perla-
han. "Bagus! Sengaja aku datang dari jauh, untuk me-
nyingkirkanmu, Pendekar Gila! Jangan bermimpi kau
akan dapat memperoleh Mei Lie!"
Pendekar Gila kembali tertawa cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lucu sekali kau, Kisanak! Memaksakan ke..
hendak pada orang yang tidak menyukaimu! Dosamu
telah terlalu banyak. Nampaknya sulit untuk diampu-
ni," dengus Sena.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!"
SEMBILAN
Kauw Cien Lung menggerakkan pedang ke
samping kanan dengan gerakan membuka. Kemudian
digerakkan kembali ke arah depan, dilanjutkan ke
samping kiri. Lalu pedangnya diputar cepat. Didahului
pekikan menggelegar, Kauw Cien Lung kembali mela-
kukan serangan dengan jurus 'Singa Jantan Mener-
kam Mangsa'. Pedangnya bergerak cepat, naik ke atas
kemudian ditebaskan lurus ke depan.
"Heaaa...!"
Menyaksikan lawan telah menyerang dengan
jurus lain, Pendekar Gila pun tak tinggal diam. Dia se-
gera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' di-
teruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
"Ciaaat...!"
Wut!
Pedang di tangan Kauw Cien Lung membabat
cepat ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat meli-
ukkan tubuh ke samping. Sambil memiringkan tubuh
ke depan, tangan Sena menyodokkan Suling Naga Sak-
ti ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gera-
kannya seperti orang menari. Sesekali tangan kanan-
nya yang memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke
arah lawan. Disusul dengan pukulan telapak tangan
kirinya.
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Kauw
Cien Lung segera melangkah dua tindak ke belakang.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memba-
batkan pedang ke arah lawan.
Wut, wut!
Mau tak mau, Pendekar Gila yang sudah meli-
hat keganasan pedang lawan dari korban-korbannya
segera berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping, la-
lu balas menyerang dengan sodokan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya bergerak mencakar ke
wajah lawan yang tertutup caping lebar. Nampaknya
Pendekar Gila berusaha membuka caping yang dike-
nakan lawan.
"Uts...!"
Wut!
Rupanya Kauw Cien Lung mengerti apa yang
hendak dilakukan Pendekar Gila. Dengan cepat tu-
buhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan ca-
karan tangan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat
dia balik menyerang dengan tusukan pedang ke dada
Pendekar Gila.
"Edan!" maki Sena kaget, saat merasakan hawa
dingin yang keluar dari tusukan pedang lawan.
Kalau saja Pendekar Gila tidak segera menge-
lak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang be-
racun itu. Meskipun racun yang ada pada pedang la-
wan tidak akan membuatnya tewas, namun tusukan
pedang itu tentunya sangat berbahaya.
Cepat Pendekar Gila bersalto ke samping. Ke-
mudian dengan cepat Suling Naga Sakti dibabatkan ke
arah pedang lawan yang terus mencecar ke arahnya.
"Hih...!"
Trang!
Dua senjata sakti saling bertemu dan mencip-
takan percikan api. Kemudian tubuh keduanya me-
lompat ke belakang, dengan senjata siap kembali di
depan tubuh masing-masing.
Mata keduanya saling pandang. Kaki mereka
bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pe-
lajari. Pendekar Gila merentangkan kaki kanannya ke
samping. Kaki kirinya agak ditekuk. Sementara Suling
Naga Sakti disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari
tangan merapat, tangan kirinya ditempelkan di ulu ha-
ti.
Kauw Cien Lung menarik mundur kaki kanan-
nya. Sedangkan kaki kirinya agak ditekuk membentuk
siku. Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samp-
ing kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk
cakar, diletakkan di dada sebelah kiri. Pedangnya di-
putar-putar dengan cepat, lalu ditusuk ke depan.
"Yiaaat...!"
"Heaaa....!"
Keduanya kembali melesat untuk melakukan
serangan. Senjata di tangan masing-masing saling me-
nusuk dan membabat. Sedangkan tangan kiri mereka
bergerak memukul dan menangkis. Kaki mereka pun
tidak tinggal diam, menyapu dan menendang ke tubuh
lawan.
Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling
berusaha mengincar satu sama lain.
Kauw Cien Lung membabatkan pedang ke arah
Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua ka-
kinya menendang keras ke arah dada lawan.
Wut!
"Heaaa...!"
Mendapat serangan cepat dan membahayakan,
Pendekar Gila memutar Suling Naga Saktinya untuk
menangkis babatan pedang lawan. Kemudian dengan
mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan ki-
rinya memukul ke arah lawan.
Trang!
"Heaaa...!"
Wut!
Trang...!
Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehing-
ga menimbulkan percikan api. Kedua orang yang ber-
tarung itu bagai telah kerasukan. Semakin lama gera-
kan mereka kian cepat. Kini bukan hanya mengguna-
kan tenaga luar saja. Nampaknya mereka telah menge-
rahkan tenaga dalam dan menyalurkannya pada tan-
gan kanan masing-masing.
"Yiaaat..!"
Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus
berkelebat. Keduanya kini melupakan keadaan Mei Lie
yang semakin jauh mereka tinggalkan. Mereka terus
melancarkan jurus-jurus ilmu silat yang mereka kua-
sai. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang. Sama-
sama gesit dan lincah. Tubuh mereka berkelebat lak-
sana menghilang.
"Heaaa...!"
"Ciaaat...!"
Kembali mereka melesat. Tangan kanan yang
memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha
untuk memenangkan pertarungan tersebut.
Wut!
Trang!
Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan.
Mulut mereka bagai terkunci rapat. Yang kini terden-
gar hanya pekikan saat melakukan serangan yang di-
ikuti oleh gerakan jurus silat tingkat tinggi.
Sekeliling arena pertarungan itu rusak oleh babatan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon-
pohon yang tumbang, atau hancur terkena pukulan
dan babatan senjata di tangan kedua orang yang terus
bertukar serangan.
Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan
kirinya bertubi-tubi menghantam lawan, dan sesekali
berusaha menyambar caping lawannya.
Kauw Cien Lung atau Singa Jantan dari Cina
pun tidak mau tinggal diam. Dengan cepat pedangnya
bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang
hendak membuka capingnya. Disusul dengan hanta-
man tangan dan tendangan kakinya. Bahkan pedang-
nya berkelebat dengan cepat.
"Sena, tolong...!"
Tengah pertarungan berjalan seru, tiba-tiba
terdengar teriakan keras Mei Lie. Keduanya terkejut
dan seketika menghentikan pertarungan.
"Mei Lie...!" pekik keduanya berbareng. Kemu-
dian tubuh mereka langsung berkelebat cepat ke arah
suara Mei Lie.
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak Pendekar
Gila, berusaha mengejar sesosok tubuh yang memba-
wa Mei Lie yang tertotok di pundaknya.
"Kurang ajar! Hei, jangan lari...!" seru Kauw
Cien Lung sambil berlari mengejar.
Singa Jantan dari Cina ini ternyata tidak mau
tinggal diam begitu saja. Terlebih saat dilihatnya pen-
culik Mei Lie mengenakan pakaian dan caping yang
sama dengannya. Pendekar Gila dan Kauw Cien Lung
terus mengejar lelaki misterius yang menculik Mei Lie.
"Berhenti...!" seru Sena, kemudian dengan ce-
pat dikirimkannya pukulan sakti 'Inti Bayu' ke arah le-
laki yang berpenampilan mirip Kauw Cien Lung itu.
Wusss!
Angin kencang berderu, mengarah ke tubuh le-
laki berkulit coklat tua dengan caping lebar. Namun
dengan cepat, lelaki misterius itu mencabut pedangnya
yang juga sama dengan pedang Kauw Cien Lung, lalu
membabat serangan Pendekar Gila.
Desss!
Dahsyat sekali!
Angin pukulan 'Inti Bayu' yang dilancarkan
Pendekar Gila dapat dimusnahkan oleh pedang di tan-
gan lelaki itu. Hal itu membuat Pendekar Gila membe-
lalakkan mata, tak percaya kalau pukulan saktinya
dapat dimusnahkan begitu saja oleh lelaki misterius
itu.
Sementara, lelaki misterius itu tiba-tiba meng-
hilang dari pandangan Pendekar Gila dan Kauw Cien
Lung. Keduanya terpukau saling pandang.
"Siapa dia?" tanya Sena.
"Haiya..., mana aku tahu," jawab Kauw Cien
Lung.
"Huh, kau ingin berusaha menutupinya! Kau
yang menyebabkan semua ini terjadi! Heaaa...!"
Pendekar Gila yang merasa penyebab semua-
nya adalah Kauw Cien Lung, tanpa banyak kata lagi
segera menyerang. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila melabrak
Kauw Cien Lung.
"Uts...!"
Kauw Cien Lung tersentak, segera pukulan
yang dilancarkan Pendekar Gila dielakkannya. Kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan jotosan ke
dada Pendekar Gila.
Pertarungan yang sempat tertunda dengan ke-
datangan lelaki misterius itu, kini kembali berlanjut
Pendekar Gila bergerak aneh. Gerakannya seperti lam-
ban dan lemah. Namun kenyataannya sangat berba-
haya dengan serangan yang senantiasa menggunakan
telapak tangan. Tangan kanan disilangkan dengan
tangan kiri, kemudian direntang sambil menghentak
ke depan.
"Heaaa...!"
Kauw Cien Lung yang diserang begitu cepat,
dengan segera mengelak. Kemudian dengan jari-jari
tangan membentuk cakar, Kauw Cien Lung balas me-
nyerang.
Tangannya mencakar beruntun dari arah ba-
wah ke atas tubuh lawan. Gerakannya persis seperti
amukan seekor singa jantan. Itulah jurus 'Singa Jan-
tan Mengoyak Mangsa', sebuah jurus cepat dan mem-
bahayakan.
"Heaaa...!"
Dilihat dari gerakan tangan mereka yang me-
nyerang dan menangkis, terlihat ada kesamaan pada
kedua jurus itu. Bedanya kalau Pendekar Gila mela-
kukan serangan dengan pukulan telapak tangan yang
mengeluarkan angin keras, seperti hendak melebur ba-
tu karang. Sedangkan Kauw Cien Lung menyerang
dengan cakaran, tidak ubahnya seperti singa.
"Dosamu telah menumpuk, Sobat! Heaaa...!"
***
Pendekar Gila terus menyerang dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya disilang-
kan, kemudian direntangkan keluar. Dilanjutkan den-
gan pukulan telapak tangan ke depan, yang menim-
bulkan angin pukulan keras.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk. Kelihatannya
gerakan itu sangat lamban. Namun Kauw Cien Lung
jadi sangat kaget, ketika tak diduganya serangan la-
wan telah dekat ke tubuhnya. Kalau saja Kauw Cien
Lung tidak segera menyadari, niscaya tubuhnya akan
terhantam pukulan maut Pendekar Gila.
"Uts! Haiya...!"
Kauw Cien Lung dengan cepat membentuk per-
tahanan dengan menekuk tangan kiri, disusul dengan
cakaran ke dada lawan. Sedangkan kedua kakinya
bergerak menendang dan menyapu.
Tangan keduanya saling bertemu, berusaha
menyerang dan menangkis. Begitu juga dengan kaki
mereka, bergerak menyerang atau menangkis serangan
lawan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila terus berusaha menekan. Puku-
lan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga, me-
nyentak keras. Kalau saja Kauw Cien Lung lengah, su-
dah pasti dia akan menjadi korban pukulan maut Pen-
dekar Gila.
Kauw Cien Lung dengan cepat menangkis se-
rangan lawan. Kemudian tangan kirinya melancarkan
cakaran.
Pada saat lawan menyerang, Pendekar Gila me-
lihat ada kesempatan. Dia tak menyia-nyiakannya. Se-
gera tubuhnya dicondongkan ke samping kanan, ke-
mudian tangan kirinya ditarik ke belakang. Dibarengi
dengan tarikan tangan kiri, tangan kanan Pendekar Gi-
la lalu menyambar caping lawan. Sedangkan tubuhnya
menghentak ke atas
Wut!
"Lepas...!" seru Sena sambil menarik caping
yang dikenakan Kauw Cien Lung. Dan caping itu pun
lepas dari kepala Kauw Cien Lung.
Kini nampaklah wajah sesungguhnya dari lelaki
yang mengenakan caping itu. Wajahnya tampak rusak,
bekas luka bakar. Sampai-sampai Pendekar Gila bergi-
dik menyaksikannya.
"Hmhhh...!" Kauw Cien Lung menggeram ma-
rah, merasa aibnya telah diketahui oleh Pendekar Gila.
Matanya yang merah, semakin membara. Nafasnya
mendengus penuh amarah. Bersamaan dengan itu,
wajahnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah sin-
ga! Rambutnya yang panjang, berubah warna menjadi
kuning.
Kauw Cien Lung kembali menggeram. Tangan-
nya seketika berubah menjadi kaki depan singa. Ke-
mudian didahului gerakan marah, singa jejadian itu
melesat menyerang.
"Ghrrr! Aummm...!"
Singa itu berkelebat ke arah Pendekar Gila.
Tangannya tak beda dengan kaki singa, berusaha
mencabik-cabik tubuh Pendekar Gila.
"Uts...! Ilmu siluman!" maki Pendekar Gila se-
raya berkelit mengelakkan cakaran kuku-kuku tajam
lawan. Tubuhnya dimiringkan ke samping, lalu dirun-
dukkan ke bawah. Membuat serangan lawan melesat
di atas tubuhnya dan menancap di batang pohon
Crab!
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila
yang melihat kesempatan baik itu segera mengirimkan
tendangan ke tubuh lawan yang kuku-kukunya masih
menancap di pohon.
"Hiaaa...!"
Bugk!
"Aummm...!" singa jejadian itu mengaum keras,
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Keadaan pohon yang menjadi sasarannya san
gat mengerikan. Pohon itu hangus terbakar. Daunnya
berguguran. Jika saja pohon itu manusia, tentunya
akan mengalami hal yang lebih mengerikan.
Singa jejadian itu kembali menggeram, kemu-
dian bergerak lagi untuk menyerang Pendekar Gila
dengan cakaran kuku-kukunya.
"Uh...! Heaaa!" Pendekar Gila segera meliukkan
tubuh ke bawah, mengelakkan serangan lawan. Ke-
mudian dengan cepat menggulingkan tubuh ke samp-
ing. Kaki kirinya menendang ke tubuh lawan.
"Aum...!"
Manusia singa yang melihat tendangan kaki
Pendekar Gila, segera menyambarkan tangannya ke
bawah. Memaksa Pendekar Gila menarik kembali ka-
kinya dengan cepat. Setelah itu tubuhnya melenting ke
udara.
Melihat lawan melayang di udara, manusia sin-
ga itu bertambah marah. Segera diambilnya pedang
yang tadi diletakkannya di tanah. Lalu, diburunya tu-
buh lawan. Sebentar kemudian, pedangnya dibabatkan
ke tubuh Pendekar Gila yang masih berada di udara.
Wut!
"Uts! Celaka...!" pekik Sena kaget, ketika meli-
hat pedang lawan telah dekat ke arahnya. Sulit ba-
ginya untuk dapat mengelakkan tusukan pedang itu.
Dengan tak hilang akal, Pendekar Gila segera menca-
but Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan gerakan
cepat dibabatkannya ke pedang lawan, disertai tenaga
dalam penuh.
Wut!
Trang!
Pedang lawan terdorong ke arah tuannya. Saat
itu juga, Pendekar Gila menjejakkan kaki ke dada la-
wan yang kala itu masih kaget. Akibatnya, manusia
singa itu tak mampu mengelakkan serangan lawan.
Degk!
"Ghrrr...!" manusia singa itu menggeram. Tu-
buhnya terhuyung ke belakang. Matanya memandang
tajam penuh amarah pada Pendekar Gila yang kini
meniup sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras,
membuat singa jejadian itu meraung keras, saat mera-
sakan telinganya seakan ditusuk ribuan jarum.
"Ghrrr! Auuum...!"
Setelah mengaum keras, singa jelmaan Kauw
Cien Lung itu melesat dengan pedangnya. Pedangnya
dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat
mengelit ke samping sambil memutar Suling Naga Sak-
ti dan menangkis serangan lawan.
Trang!
Tubuhnya keduanya melompat ke belakang.
Kemudian didahului pekikan menggelegar, mereka
kembali meluruk dengan senjata masing-masing.
"Ghrrr! Auuum...!"
"Heaaa...!"
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu dengan ge-
rakan cepat melenting ke udara seraya menusukkan
pedang. Sehingga kedudukan mata pedangnya kini be-
rada tepat di atas kepala Pendekar Gila.
Melihat lawan menyerang dari atas, Pendekar
Gila tak mau diam begitu saja. Dengan cepat tubuhnya
dirundukkan. Kepalanya dimiringkan ke samping, sul-
ing di tangan kanannya dihantamkan ke atas. Dipapa-
kinya serangan pedang lawan dengan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya dengan cepat memukul
ke atas.
"Heaaa...!"
Trang!
Manusia singa tersentak menyaksikan pukulan
tangan kiri Pendekar Gila. Dia berusaha memapaki
pukulan itu dengan tangan kiri. Namun gerakannya
terlambat. Tangan kiri Pendekar Gila lebih dulu meng-
hajar dadanya.
Degk!
"Aummm...!"
Tubuh manusia singa itu terlontar lagi ke atas,
melayang di udara dan berjumpalitan beberapa kali
sebelum kakinya menjejak tanah. Tangan kirinya me-
megangi dada yang terasa sakit akibat pukulan Pende-
kar Gila. Matanya semakin buas, memandang tajam
Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan.
"Ghrrr! Pendekar Gila, jangan kau sangka aku
sudah kalah! Aku akan mengadu nyawa denganmu!
Ghrrr...!"
"Ha ha ha...! Tampangmu lucu, Kawan! Dari
mana kau dapatkan topeng singa itu?" ledek Pendekar
Gila. "Sayang sekali.... Kalau saja aku ada waktu, ingin
rasanya aku membawamu ke tempat ramai. Kau bisa
mendatangkan uang sebagai tontonan yang sangat
menarik. Ha ha ha...!"
Semakin bertambah marah saja manusia singa
mendengar ejekan Pendekar Gila. Kembali mulutnya
menggeram, kemudian dengan raungan keras dia
kembali menyerang.
"Ghrrr! Aummm...!"
Melihat lawannya marah, tawa Pendekar Gila
malah semakin meledak. Kemudian dengan mengelua-
rkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila
berkelit mengelakkan serangan lawan. Lalu memba-
lasnya dengan pukulan-pukulan dengan gerakan me-
lempar.
"Ha ha ha...! Kau semakin bertambah lucu,
Kawan!"
Dengan sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila te-
rus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan
lawan. Gerak-geriknya seperti kera kegirangan. Tan-
gannya bergerak seperti melempar, namun gerakan
melempar itu mampu membuat manusia singa agak
kewalahan. Tebasan pedangnya dengan mudah dielak-
kan lawan. Bahkan kalau kurang hati-hati, Suling Na-
ga Sakti di tangan Pendekar Gila akan menghajar tu-
buhnya.
"Ghrrr...! Kurobek mulutmu, Pendekar Gila!"
Aummm...!
Singa jejadian itu terus melancarkan babatan
serta tusukan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Se-
sekali tangan kirinya mencakar ke arah Pendekar Gila.
"Hop, apa tidak sebaliknya, Sobat!" kata Pende-
kar Gila sambil mengelitkan babatan pedang serta ca-
karan tangan kiri lawan yang berkuku panjang dan
runcing. Kemudian dengan cepat dia balas menyerang
dengan sodokan Suling Naga Sakti dan hantaman tan-
gan kiri ke dada lawan.
Puluhan jurus telah mereka kerahkan. Nam-
paknya belum ada tanda-tanda siapa yang bakal me-
menangkan pertarungan itu. Manusia singa itu begitu
kuat dan ganas. Meskipun beberapa kali terkena pu-
kulan, tapi tampaknya pukulan-pukulan Pendekar Gi-
la tak berarti sama sekali. Malah manusia singa itu
semakin ganas dalam melakukan serangan.
Tangan kirinya mencakar-cakar ke wajah dan
dada Pendekar Gila. Sedangkan pedang beracunnya,
berkelebat membabat dan menusuk tubuh Pendekar
Gila. Hal itu membuat Pendekar Gila harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh. Pendekar Gila meliuk
liuk untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Se-
telah itu, balas menyerang dengan Suling Naga Sakti
dan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Entah sudah berapa jurus mereka keluarkan,
ketika tiba-tiba manusia singa kembali menggeram
dengan suara yang mampu merobohkan daun pepoho-
nan. Tubuhnya mencelat ke udara dan bersalto bebe-
rapa kali. Dengan tubuh menukik, pedangnya dite-
baskan ke tubuh Pendekar Gila.
"Ghrrr! Aummm...!"
Melihat lawan menukik dan siap melakukan se-
rangan, dengan cepat kaki kanan Pendekar Gila me-
langkah ke belakang. Kaki kirinya ditekuk membentuk
siku. Kemudian tangan kanannya memutarkan Suling
Naga Sakti. Sedangkan tangan kirinya memukul deras
ke atas.
"Heaaa...!"
Trang!
Des!
Dua kekuatan bertenaga tingkat tinggi pun be-
radu. Tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung mencelat
ke belakang dan bersalto di udara. Pada saat itu, Pen-
dekar Gila segera menggenjotkan kakinya. Tubuhnya
melesat laksana terbang ke udara. Saat itu pula, di-
tiupnya Suling Naga Sakti dengan kepala naga di
pangkalnya diarahkan ke tubuh manusia singa yang
masih mengapung di udara.
Suara suling melengking keras. Saat itu, dari
mulut kepala naga di suling itu melesat selarik sinar
merah ke arah tubuh manusia singa.
Srrrt..!
Manusia singa tersentak kaget, menyaksikan
selarik sinar merah yang keluar dari mulut kepala na-
ga di suling Pendekar Gila. Dia berusaha mengelakkan
larikan sinar merah itu, namun kedudukannya tidak
menguntungkan. Segera pedangnya diputar untuk
memapaki sinar merah itu.
Wut!
Crat!
Pedang itu langsung meleleh, bagai terkena pa-
nas yang sangat tinggi. Mata manusia singa itu mem-
belalak. Cepat-cepat dibuangnya pedang yang terus
meleleh itu. Kalau tidak, tubuhnya pasti akan turut
meleleh seperti pedang miliknya.
"Ghrrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Aummm...!"
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu semakin
buas. Tubuhnya melompat hendak menerkam Pende-
kar Gila. Jari tangannya mengembang membentuk ca-
kar dengan kuku-kuku yang tajam, siap mengoyak-
ngoyak tubuh lawan.
Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga
Saktinya dengan suara melengking. Saat itu juga dari
mata kepala naga di sulingnya meluncur dua larik si-
nar kecil ke arah tubuh manusia singa yang masih me-
lesat. Tanpa ampun lagi....
Crat, crat!
"Aummm...! Aaargh...!"
Lengkingan kematian keluar dari mulut singa
jelmaan Kauw Cien Lung, ketika sepasang sinar kecil
berwarna merah membara itu menghantam tubuhnya.
Seketika tubuhnya meleleh, tak beda dengan keadaan
lilin yang dilalap api.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Suling
Naga Saktinya diselipkan di pinggang. Dengan tangan
masih menggaruk-garuk kepala, dipandanginya lele-
han tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung. Kemudian
setelah menghela napas, tubuhnya berkelebat mening
galkan tempat itu untuk mengejar orang misterius
yang telah membawa tubuh Mei Lie.
Bagaimana nasib Mei Lie selanjutnya? Siapa
orang yang berpenampilan sama dengan Kauw Cien
Lung? Lalu, apa maksudnya berbuat itu? Apakah Sena
akan bertemu Mei Lie lagi? Lalu bagaimana pula den-
gan Dewi Pandagu yang telah mati di tangan dua orang
dari rimba hitam? Untuk mengetahuinya, ikutilah pe-
tualangan Pendekar Gila selanjutnya dalam episode
"Titisan Dewi Kuan Im".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar