..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 02 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE PEDANG PENYEBAR MAUT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SATU


Suasana Desa Padas Gempal yang terletak di kaki 

Bukit Sigar malam itu nampak hiruk-pikuk. Api 

berkobar-kobar menggapai angkasa. Lalu semakin 

membesar tatkala tertiup angin malam. Jeritan 

ketakutan terdengar menggema, memecah kesunyian 

malam. 

Setelah menjarah Desa Padas Gempal dan 

merampok harta penduduk, Tiga Setan Rambut Api 

membakar desa itu. Kebiasaan itu tidak pernah 

hilang dari dulu. Itu sebabnya sepak terjang mereka 

cepat diketahui, karena mereka memiliki ciri khas 

tersendiri. Mereka akan membakar desa yang telah 

dirampok. 

Kini ketiga tokoh sesat berpakaian serta berambut 

merah itu telah berada di sebelah timur Desa Padas 

Gempal sambil tertawa-tawa senang, menyaksikan 

hasil dari tindakan mereka yang biadab. Sudah 

merampok penduduk desa, membakar pula 

(Mengenai Tiga Setan Rambut Api, silakan baca serial 

Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im"). 

"Ha ha ha...!" 

"Dasar Setan...!" 

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti 

berkelebatnya dua bayangan lelaki. Orang yang di 

depan mengenakan pakaian warna jingga. 

Sedangkan di belakangnya seorang lelaki berbadan 

tegap dan berpakaian coklat tua. Keduanya melesat 

ke arah Tiga Setan Rambut Api yang seketika


tersentak dan menghentikan tawa mereka. 

Mata Tiga Setan Rambut Api memandang penuh 

selidik ke arah dua lelaki yang baru datang. Lelaki 

yang berbaju jingga berusia sekitar lima puluh tahun 

dan bertubuh tinggi kurus, namun berotot. Seorang 

lagi lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, 

berbadan tegap dengan otot menonjol kekar. 

Wajahnya nampak garang. Tentunya lelaki muda 

berwajah garang ini pengawal lelaki berpakaian 

jingga. 

Wajah lelaki berpakaian lengan panjang berwarna 

jingga nampak memerah karena marah. Lelaki itu 

berkumis panjang melintang. Rambutnya terurai 

dengan ikat kepala berwarna jingga pula. Matanya 

tajam dengan alis mata tipis. Hidungnya mancung. 

Lelaki ini adalah Kepala Desa Padas Gempal yang 

bernama Ki Adi Pamukti. Sedangkan lelaki muda 

bertubuh tegap dengan wajah garang yang menjadi 

pengawalnya bernama Samparan. Dialah jawara di 

Desa Padas Gempal ini. 

"Ha ha ha...!" Tiga Setan Rambut Api kembali 

tertawa terbahak-bahak setelah melihat siapa yang 

datang. 

"Rupanya kau, Kepala Desa Tolol!" dengus Untara. 

Matanya mencorong tajam, menyiratkan kebengisan. 

"Mau apa kau, Orang Tua Tolol?!" sambung Undani, 

tak kalah keras. Matanya juga memandang tajam 

penuh kebengisan. Tangan kanannya yanag 

memegang cambuk, kini digerak-gerakkan. 

"Ha ha ha...! Apakah kau datang untuk memberi 

kami upeti, heh?!" ledek Umbakara, orang termuda 

dari Tiga Setan Rambut Api. 

Napas Ki Adi Pamukti dan Samparan tampak turun 

naik. Amarah di dalam dada mereka bergejolak,


seakan sulit dibendung lagi. Apalagi jika ingat desa 

mereka yang dibumihanguskan oleh ketiga lelaki dari 

aliran sesat itu. 

"Tiga Setan Rambut Api! Kuakui nama kalian 

memang menyeramkan! Tapi Adi Pamukti tak akan 

gentar menghadapi kalian! Kejahatan kalian harus 

dihentikan!" dengus Ki Adi Pamukti tak kalah gertak. 

Tangannya mengepal, siap menghadapi segala 

kemungkinan yang akan terjadi. Matanya me-

mandang tiga tokoh sesat yang ada di hadapannya 

dengan seksama. Setiap gerak-gerik Tiga Setan 

Rambut Api yang terkenal licik, diperhatikannya. 

"Ha ha ha...! Ucapanmu sungguh hebat, Ki! Hm.... 

Apakah kau kira gampang mengalahkan kami?" tanya 

Untara dengan nada sinis. Seakan merendahkan 

lelaki tua di hadapannya. Bahkan senyumnya ber-

kesan mengejek. 

Undani dan Umbakara turut tertawa terbahak-

bahak, mengejek Ki Adi Pamukti yang masih tampak 

tenang. 

"Kuakui kalian memang bukan iblis sembarangan. 

Namun untuk membela kebenaran dan keadilan, aku 

siap mati!" tegas Ki Adi Pamukti. 

"Hm.... Apa kau mengandalkan lelaki tolol di 

belakangmu? Sehingga kau berani menantang kami?" 

bentak Undani. 

Napas Ki Adi Pamukti semakin memburu. Gigi-

giginya bergemeletuk keras. Matanya berkilat penuh 

amarah. Jari tangannya meremas-remas geram. 

"Bedebah! Kalian telah banyak memakan korban! 

Kalian harus mati!" dengus Ki Adi Pamukti. 

"Ha ha ha...! Bukan sebaliknya, Orang Tua Tolol?!" 

ejek Untara. 

"Kurang ajar! Yeaaat...!"


Dengan jurus 'Bangau Terbang Mematuk Ikan', Ki 

Adi Pamukti bergerak menyerang Untara. Kedua 

tangannya direntang lebar dengan kaki kanan 

diangkat membentuk siku. Kemudian bagai seekor 

bangau, Ki Adi Pamukti mematukkan tangan kanan 

dan kiri bergantian. Lalu diikuti olch tendangan dan 

cengkeraman. 

Sementara Samparan yang melihat Ki Adi Pamukti 

telah menyerang, tidak tinggal diam. Dia pun melesat 

untuk membantu kepala desanya. 

"Heaaat...!" 

Melihat Samparan menyerang, Undani dan 

Umbakara segera menghadang. Keduanya langsung 

menarik cambuk yang menjadi senjata andalan 

mereka. 

"Mampuslah kau, Tolol!" dengus Umbakara seraya 

melecutkan cambuk ke tubuh Samparan. 

Ctar! 

"Uts!" 

Samparan berusaha mengelak, dan berhasil. Tapi 

dari arah lain Undani telah melanjutkan serangan 

adiknya dengan lecutan cambuk pula. 

"Yiaaat..!" 

Ctarrr! 

"Uts! Hop...!" 

Kembali Samparan dapat mengelakkan serangan 

tersebut. Kemudian, setelah mengeluarkan goloknya, 

Samparan cepat balas menyerang dengan jurus 

'Langsat Belah'. Tubuhnya berputar seraya mem-

babatkan senjatanya ke arah lawan. 

"Yiaaat..!" 

"Uts! Bisa juga kau unjuk gigi, Kerbau Dungu!" 

dengus Umbakara sambil mengelitkan serangan 

lawan, lalu dengan cepat dia kembali menyerang.


Dengan jurus 'Tapak Setan Neraka' yang dibarengi 

oleh lecutan cambuk, Undani dan Umbakara 

memburu Samparan. 

Ctar, ctar...! 

Bret! 

"Aaakh...!" 

Samparan memekik keras. Kepalanya tengadah, 

ketika tubuhnya terbabat cambuk kedua lawannya. 

Matanya membelalak lebar. Di punggung dan 

dadanya menancap jarum-jarum maut yang keluar 

dari cambuk di tangan Undani dan Umbakara. Tubuh 

Samparan ambruk dengan nyawa melayang. 

"Ha ha ha...! Ternyata kerbau dungu ini hanya 

begini kemampuannya!" kata Undani dengan suara 

angkuh. 

Sementara itu pertarungan antara Ki Adi Pamukti 

dengan Untara masih berlangsung seru. 

"Hih! Heaaat...!" 

Untara berkelit dengan jurus 'Bayangan Arwah'. 

Disusul dengan serangan keras yang menggunakan 

jurus 'Tapak Setan Neraka'. Tubuhnya berkelit begitu 

cepat laksana bayangan. Sedangkan tepakan 

tangannya mampu mengeluarkan deru angin yang 

keras. 

"Uts!" Ki Adi Pamukti tersentak kaget. Dengan 

cepat dia mengepakkan tangan kiri ke bawah untuk 

menangkis tepakan tangan lawan. Kemudian secepat 

itu pula, Ki Adi Pamukti melancarkan serangan 

dengan patukan tangan kanannya ke wajah lawan. 

Wut! 

"Uh! Ets...!" 

Tubuh Untara tersurut ke samping. Kakinya 

ditekuk membentuk siku. Dengan tetap mengguna-

kan jurus semula, Untara kembali menyerang.


Sementara Untara menghadapi Ki Adi Pamukti, 

kedua adiknya tampak tersenyum-senyurn sambil 

menyaksikan pertarungan itu. 

"Ayo, Kakang! Habisi saja orang tua tolol itu!" seru 

Undani dan Umbakara memberi semangat pada 

kakaknya yang terus menyerang dengan gempuran-

gempuran dahsyat, membuat Ki Adi Pamukti 

terdesak. 

"Hiaaat...!" 

Dengan jurus 'Terkaman Setan Merobek Nyawa', 

Untara terus berusaha merangsek Ki Adi Pamukti 

Namun orang tua itu dengan cepat berkelit meng-

gunakan jurus 'Bangau Terbang Membelah Angin' 

yang dilanjutkan dengan jurus 'Gempuran Paruh 

Bangau'. 

"Yiaaat...!" 

Tangan Ki Adi Pamukti bergerak laksana paruh 

bangau, mematuk ke sana kemari dengan cepat. 

Sasarannya kini tertuju ke dada dan wajah lawan. 

Kakinya juga tidak mau diam, menyodok ke perut 

lawan. 

"Heaaat..!" 

Ki Adi Pamukti mengarahkan saru tendangan ke 

perut lawan. Namun dengan cepat Untara menggeser 

tubuh ke sampjng, dilanjutkan dengan jotosan ke 

wajah lawan. 

"Heit!" 

"Uts...!" 

Ki Adi Pamukti mengelak dengan menekuk leher 

ke samping kanan, disertai dengan menggeser 

kakinya ke kanan. Kemudian dengan cepat tubuhnya 

dirundukkan ke bawah. Disusul dengan sebuah 

jotosan ke arah perut lawan dengan jurus 'Paruh 

Bangau Mematuk Ikan'. Tangan Ki Adi Pamukti yang


meruncing, menusuk ke perut dan ulu hati lawan 

dengan cepat 

"Hiaaat...!" 

Untara tersentak kaget. Segera tubuhnya mengeHt 

dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat 

tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan 

tangan kanannya dengan cepat pula menghantam 

dengan pukulan 'Sandra Pemecat Nyawa' ke dahi Ki 

Adi Pamukti yang tengah merunduk. 

Wut! 

Angin pukulan panas menderu ke arah kening Ki 

Adi Pamukti, membuat orang tua itu tersentak kaget. 

Matanya membelalak, menyaksikan telapak tangan 

Untara kini membara bagai dibakar api. 

"Uhhh...!" keluh Ki Adi Pamukti. 

Dengan cepat Kepala Desa Padas Gempal itu 

berusaha mengelakkan serangan lawan. Namun 

serangan lawan begitu cepat, seperti tidak memberi 

kesempatan bagi Ki Adi Pamukti untuk dapat lepas 

dari ancaman maut Ke mana pun Ki Adi Pamukti 

mengelak, Untara terus memburunya. 

Ki Adi Pamukti benar-bena terdesak oleh serangan 

yang demikian gencar. Apalagi yang menyerang 

bukan orang sembarangan. Lawannya adalah 

seorang dari Tiga Setan Rambut Api, yang namanya 

cukup terkenal di rimba persilatan. Meski begitu, Ki 

Adi Pamukti tampaknya tidak mau mengalah begitu 

saja. Tubuhnya terus bergerak mengelakkan 

serangan-serangan lawan. 

"Ayo, Kakang! Habisi dia...!" seru Umbakara dengan 

wajah gemas, bagai tak sabar melihat kakaknya yang 

belum juga menyudahi pertarungan. 

"Ambil saja cambukmu, Kakang!" timpal Undani, 

juga tak sabar melihat pertarungan yang berlarut-larut


dan kelihatannya akan memakan waktu cukup lama. 

Untara juga merasa jengkel karena lawannya yang 

semula dianggap tidak memiliki apa-apa, ternyata 

mampu menghadapinya sampai puluhan jurus. 

"Keparat! Orang tua ini rupanya berisi juga," geram 

Untara. Segera tangan kanannya melepas pukulan ke 

dada lawan, disusul dengan tendangan ke 

selangkangan. Sedangkan tangan kirinya menyikut ke 

tulang iga lawan. Sebuah jurus yang sangat cepat 

bernama 'Bahana Merenggut Nyawa', kini dikeluarkan 

oleh Untara dalam usaha menyudahi pertarungan itu. 

"Uts! Hop...!" 

Ki Adi Pamukti yang tanggap akan keadaan itu, 

segera melompat ke belakang, mengelakkan 

serangan lawan. Kemudian dengan cepat kembali 

menggempur dengan jurus 'Sambaran Bangau Sakti'. 

Tangannya mengepak ke samping. Salah satu 

kakinya diangkat membentuk siku. Kemudian dengan 

cepat, tangan kanan dan kirinya bergerak menyambar 

dengan pukulan-pukulan keras, ditunjang oleh 

tendangan dan gerakan mengelak. 

"Hiaaat..!" 

*** 

Untara terus menggebrak dengan jurus-jurus 

saktinya, berusaha secepat mungkin untuk 

menyudahi pertarungan itu. Tetapi Ki Adi Pamukti 

nampaknya tidak mau dihabisi begitu saja. Tubuhnya 

pun terus bergerak mengelakkan serangan lawan, 

disusul dengan serangan balasan yang tidak kalah 

cepat 

"Heaaa...!" 

"Yeaaa...!"


Undani dan Umbakara tak sabar menyaksikan 

pertarungan antara kakaknya melawan Ki Adi 

Pamukti. Mereka juga cemas, kalau-kalau warga desa 

yang saat itu tengah panik oleh kobaran api akan 

datang membantu kepala desanya. Tentu mereka 

akan semakin repot kalau warga desa membantu. 

"Ah! Mengapa lama sekali, Kakang! Ambil saja 

cambukmu!" dengus Undani, merasa tidak sabar lagi 

melihat pertarungan kakaknya melawan Ki Adi 

Pamukti yang berlangsung alot. Sesekali matanya 

melihat ke arah Desa Padas Gempal yang hiruk-pikuk 

oleh jeritan histeris warga desa yang rumahnya 

terbakar. 

Merasa serangan-serangannya tidak juga 

menghasilkan kemenangan dan dirasa lawan cukup 

tangguh, Untara segera melolos cambuknya. Dengan 

penuh amarah, cambuknya diputar di atas kepala. 

dengan jurus 'Lecutan Cambuk Buana', cambuknya 

dihantamkan ke arah Ki Adi Pamukti. 

Wut! 

Ketika cambuk Untara nyaris menghantam tubuh 

Ki Adi Pamukti, sebuah bayangan putih berkelebat 

dengan tangan menggenggam pedang yang 

mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan, dan 

membabat cambuk yang masih berada di udara. 

"Hiaaat!" 

Prat! 

Tiga Setan Rambut Api tersentak dengan mata 

membelalak, menyaksikan cambuk di tangan Untara 

putus menjadi dua, karena terbabat pedang di tangan 

seorang gadis Cina yang sangat mereka kenal. 

Di hadapan Tiga Setan Rambut Api dan Ki Adi 

Pamukti kini berdiri seorang gadis cantik dengan 

rambut digelung dua ke atas. Pakaian yang


dikenakan gadis Cina yang cantik itu berwarna putih. 

Tubuhnya langsing semampai. Matanya bening, 

namun memandang tajam dan tidak terlalu sipit. 

Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya yang 

mungil mencibir. 

"Mei Lie?!" seru Tiga Setan Rambut Api kaget 

"Hm...." 

Gadis cantik yang memang Mei Lie itu tersenyum 

sinis. Matanya memandang tajam Tiga Setan Rambut 

Api yang masih tidak mengerti, mengapa Mei Lie atau 

titisan Dewi Kuan Im yang dulu bersekutu dengan 

mereka tiba-tiba menghalangi. 

"Kalian memang iblis! Kalian harus disingkirkan 

dari dunia ini!" bentak Mei Lie. 

Mata Tiga Setan Rambut Api semakin membelalak 

mendengar kata-kata Mei Lie. Kening mereka ber-

kerut, semakin tidak mengerti akan tindakan gadis 

cantik bermata agak sipit itu. 

"Mei Lie, kami harap kau tidak usah turut campur 

urusan kami! Jangan sok pahlawan! Singo Edan saja 

kini berbuat tidak baik!" hardik Untara sinis sambil 

mencibir. 

"Jangan bawa-bawa nama Singo Edan! Orang yang 

kau lihat di Lembah Lamur bukan Singo Edan!' sentak 

Mei Lie gusar. Matanya masih memandang tajam 

penuh kebencian. Tangan kanannya masih me-

megang Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar 

merah kekuning-kuningan. 

Mata Tiga Setan Rambut Api kembali membelalak, 

setelah mengetahui bahwa orang yang mirip dengan 

Singo Edan di Lembah Lamur dulu ternyata bukan 

Singo Edan (Mengenai Lembah Lamur, silaka baca 

serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Kuan Im"). 

"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" bantah


Undani. 

"Ya! Kami sedikit banyak tahu akan dia," sambung 

Umbakara. 

"Huh! Siapa pun dia, aku tak peduli! Yang pasti, 

aku datang untuk menyingkirkan kalian!" bentak Mei 

Lie geram. Jika ingat akan kematian Nyi Bangil dna 

Lira Kanti, dia menjadi amat murka. Bagaimana tidak, 

kalau kedua orang yang selama ini baik padanya 

harus mati di Lembah Lamur oleh orang-orang dari 

golongan hitam. 

Tiga Setan Rambut Api tertawa mendengar 

ancaman Mei Lie. Tampaknya mereka menganggap 

enteng gadis Cina itu. 

"Ha ha ha...! Omonganmu tinggi sekali, Mei Lie! 

Hm, apakah tidak sebaiknya kau ikut kami? Menjadi 

istriku?" ejek Untara sambil mengelus-elus dagunya 

Hal itu semakin membuat Mei Lie marah. 

"Akan kubuktikan! Kisanak, minggirlah! Biar tiga 

setan ini kukirim ke neraka, tempat asal mereka...," 

kata Mei Lie pada Ki Adi Pamukti yang menurut 

menepi 

Mei Lie dengan mata tajam memandang lekat Tiga 

Setan Rambut Api yang masih tersenyum nakal. 

Mereka memandang dengan sinar mata meremeh-

kan, menganggap gertakan Mei Lie hanya pantas bagi 

anak kecil. Mereka bagai tidak memandang Pedang 

Bidadari di tangan Titisan Dewi Kuan Im itu. 

"Bersiaplah!" dengus Mei Lie sambil menggerakkan 

Pedang Bidadari dengan jurus 'Tebasan Pedang 

Memenggal Gunung'. Pedangnya dihunus lurus ke 

atas di depan dada, kemudian digerakkan ke 

samping kanan. Dilanjutkan dengan gerakan me-

menggal setinggi perut 

Wut!


"Mei Lie, apa tidak salah kau memainkan pedang? 

Sepantasnya kau berada di atas tempat tidur!" ujar 

Untara sambil tertawa-tawa. 

Mei Lie semakin marah mendengar ucapan yang 

bernada kotor itu. Dengan mendengus, pedangnya 

digerakkan. Lalu, didahului teriakan menggelegar, 

Mei Lei pun berkelebat menyerang. 

"Yiaaat..!" 

Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat 

dengan jurus 'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'. 

Dari pedang itu terpancar sinar merah kekuning-

kuningan yang menyilaukan, mengarah ke tubuh 

lawan. 

"Awas!" seru Untara menyadarkan kedua adiknya 

saat menyaksikan serangan lawan yang begitu cepat 

dan gesit. 

Mata Tiga Setan Rambut Api kini membelalak, 

Menyadari kekeliruan mereka dengan menganggap 

enteng Mei Lie. Kini mereka melihat bagaimana gadis 

Cina itu ternyata mampu menguasai jurus-jurus dari 

'Ilmu Pedang Bidadari' yang sangat sempurna. 

"Celaka! Dia benar-benar telah menguasai jurus-

jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'!" seru Undani. 

Dengan cepat Tiga Setan Rambut Api segera 

mengelakkan serangan Mei Lie. Tubuh mereka ber-

lompatan ke belakang sambil bersalto. Lalu dengan 

cepat pula, mereka menyerang dengan jurus 'Tiga 

Serangkai Cambuk Buana'. 

"Heaaat..!" 

Wut! 

Cambuk di tangan mereka berputar di atas kepala, 

kemudian dengan cepat dilecutkan ke tubuh Mei Lie. 

Ctar! 

"Uts!"


Mei Lie berkelit, disertai babatan pedang ke 

cambuk yang menyabet ke arahnya. Pedangnya 

dibelitkan pada ujung-ujung cambuk itu. 

"Hop! Kena...!" 

Mei Lie segera menyentakkan pedangnya dengan 

keras, membuat cambuk ketiganya terputus menjadi 

dua. Kemudian sebelum Tiga Setan Rambut Api sadar 

dari rasa kaget, Mei Lie kembali menyerang dengan 

jurus 'Tebasan Pedang Membelah Karang'. 

Pedang di tangan Mei Lie bergerak menyilang lalu 

tegak lurus ke atas. Disusul dengan tebasan lurus 

dari atas ke bawah, seakan bermaksud membelah. 

Hal itu membuat Tiga Setan Rambut Api semakin 

tersentak kaget. Tubuh mereka bergerak hendak 

mengelak namun Pedang Bidadari di tangan Mei Lie 

lebih cepat menebas ke arah mereka. 

Cras! 

"Aaa...!" 

Umbakara menjerit keras saat tubuhnya terbabat 

Pedang Bidadari. Anehnya, tubuh orang termuda dari 

Tiga Setan Rambut Api itu tidak mengalami apa-apa. 

Namun sesaat kemudian, tubuh Umbakara terbelah 

menjadi dua. Itulah kehebatan Pedang Bidadari 

dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Korban yang 

terbabat tak akan mengeluarkan darah, karena darah 

di dalam tubuhnya telah mengering oleh panasnya 

pedang. 

Untara dan Undani, serta Ki Adi Pamukti yang 

menyaksikan kejadian itu tersentak. Baru kali ini 

mereka menyaksikan sebuah jurus yang aneh 

sekaligus menakjubkan. 

Nyali Untara dan Undani seketika ciut 

menyaksikan adiknya dengan mudah dikalahkan. 

Terlebih saat menyaksikan kehebatan ilmu pedang


lawan yang semula dianggap enteng. 

"Mungkin benar dia Titisan Dewi Kuan Im, Kakang," 

bisik Undani dengan tubuh dipenuhi keringat dingin. 

"Buktinya ilmu pedangnya sangat hebat." 

"Ya! Kurasa juga begitu," sahut Untara, tak kalah 

ngeri setelah melihat jurus lawan yang dahsyat. 

"Kita tak akan mampu menghadapinya, Kakang. 

Jangankan kita, guru kita saja mungkin berpikir tujuh 

kali," kata Undani. 

"Lebih baik kita pergi, sebelum nyawa kita 

melayang seperti Umbakara." 

"Ayo, Kakang. Mumpung dia tidak menyerang," 

ajak Undani. 

Dua tokoh sesat itu berusaha lari meninggalkan 

lempat ini, namun dengan cepat Mei Lie berkelebat 

mengejar. 

"Setan! Mau ke mana kalian! Hiaaat...!" Dengan 

pedang masih di tangan, tubuh Mei Lie berkelebat 

mengejar keduanya yang masih terus berlari. Dan 

tahu-tahu Mei Lie telah berada di depan Untara dan 

Undani yang tersentak. 

"Tak akan kubiarkan kalian hidup!" bentak Mei Lie 

garang. 

Kedua tokoh sesat itu saling berpandangan. 

Kemudian sambil mengedipkan mata, keduanya 

bergerak melabrak ke arah Mei Lie dengan nekat. 

Cambuk mereka yang tinggal sepotong masih diguna-

kan untuk menyerang. 

"Hiaaat...!" 

Swing, swing...! 

Puluhan jarum tiba-tiba keluar dari potongan 

cambuk di tangan Untara dan Undani, dan menderu 

ke arah Mei Lie.


"Uts! Licik!" maki Mei Lie sambil bergerak 

mengelak, kemudian dengan cepat pedangnya 

diputar, membuat pedang itu laksana menghilang. 

Kini yang ada hanyalah sinar merah kekuning-

kuningan yang melindungi tubuh Mei Lie. 

Trang, trang! 

Jarum-jarum yang hendak menyerang Mei Lie, 

seketika rontok terkena hantaman Pedang Bidadari. 

Tak ada satu pun yang dapat bersarang di tubuh Mei 

Lie. 

"Kalian harus mampus! Yiaaat...!" 

Mei Lie yang semakin marah mendapatkan 

serangan jarum-jarum beracun, kini menggerakkan 

Pedang Bidadari dengan jurus andalannya. Jurus 

pamungkas bernama 'Pedang Tebasan Batin' yang 

sangat dahsyat 

Tangannya bergerak ke samping, lalu lurus ke 

atas. Diteruskan dengan memutar pedang. Matanya 

terpejam, kemudian dengan gerakan yang sulit diikut 

mata lawan, Mei Lie menebaskan pedangnya. 

Wut! 

"Aaakh...!" 

Untara dan Undani memekik keras. Tubuh mereka 

memang masih berdiri tegak. Namun ketika angin 

bertiup, tubuh mereka seketika lebur menjadi debu 

yang beterbangan. 

Mei Lie menundukkan kepala. Dari matanya 

meleleh air mata. Dia menangis, teringat kematian 

para pendekar di Lembah Lamur. Terutama kematian 

Nyi Bangil dan Lira Kanti. 

Pedang Bidadari dimasukkannya ke dalam sarung. 

Dengan air mata masih beriinang, Mei Lie melesat 

meninggalkan tempat itu. 

"Nona Pendekar, tunggu!" seru Ki Adi Pamukti


berusaha mencegah Mei Lie pergi, tapi gadis Cina 

yang cantik itu telah menghilang dalam kegelapan 

malam. 

***


DUA


Kemunculan gadis Cina dengan pedang saktinya yang 

telah membunuh Tiga Setan Rambut Api, membuat 

namanya seketika menjadi bahan pembicaraan 

setiap orang di Desa Padas Gempal. Mereka pada 

umumnya menyanjung gadis cantik itu. Karena telah 

membela mereka dari ketelengasan Tiga Setan 

Rambut Api yang telah membakar desa mereka. 

Lebih dari itu, penduduk Desa Padas Gempal 

menjuluki gadis jelita itu dengan sebutan yang cukup 

membuat tokoh-tokoh golongan hitam mengernyitkan 

alis. Sebutan yang mereka berikan adalah Bidadari 

Pencabut Nyawa. 

Sinar mentari baru saja menyapu permukaan 

bumi. Sebuah kedai yang terletak di sebelah utara 

Desa Parang Gandrung baru saja dibuka oleh 

pemiliknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki 

tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kesenjangan 

usianya dapat dilihat dari kerutan di wajahnya yang 

memiliki mata kelabu dan hidung yang mancung. 

Dapat juga dilihat dari rambut dan kumis putih atau 

tubuhnya yang agak bungkuk. Dia mengenakan baju 

lengan panjang tanpa kerah berwarna biru tua. 

Letak kedai itu berada di antara dua kebun yang 

tidak begitu luas dengan pohon-pohonnya yang asri. 

Hal itu menjadikan suasana di sekitar kedai menjadi 

terasa indah. Jika pagi hari, udara terasa begitu sejuk. 

Sedangkan siang hari, udara di sekitar tempat itu 

terasa segar, tidak panas, karena di sekeliling kedai


tumbuh pepohonan yang rindang. Di depan kedai 

tumbuh pohon asam yang besar dan rindang, 

semakin menambah keindahan tempat itu. 

"Baru buka, Ki?" tanya Sena Manggala atau 

Pendekar Gila. Tingkah lakunya masih seperti orang 

gila, membuat pemilik kedai mengerutkan kening. 

Sena memandang ke atas, kemudian kepalanya 

menengok ke kanan dan kiri. Mulutnya masih 

cengengesan, membuat orang tua pemilik kedai yang 

bernama Ki Jiung semakin mengerutkan kening. 

"Ada apa, Anak Muda? Kau hendak meminta 

makan?" tanya Ki Jiung, menyangka kalau pemuda di 

hadapannya benar-benar orang gila. Tapi kening lelaki 

tua itu tambah berkerut, menyaksikan pakaian bagus 

pemuda itu. 

"Aneh, tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi 

pakaiannya rapi dan bagus," gumam Ki Jiung, merasa 

heran dengan penampilan pemuda itu. 

"Hi hi hi...!" Sena tertawa, mendengar pertanyaan 

Ki Jiung tadi. Diambilnya bulu burung dari ikat 

pinggang, kemudian dengan tertawa-tawa kupingnya 

dikorek-korek. Hal itu membuat Ki Jiung semakin 

heran. 

"Apa yang lucu, Anak Muda?" 

"Hi hi hi...! Kau, Ki. Lucu sekali kau...," kata Sena 

masih mengorek kuping dengan bulu burung. 

Ki Jiung semakin terheran-heran, mendengar 

ucapan Sena yang mengatakan dia lucu. Matanya 

memandangi sekujur tubuhnya, berusaha mencari hal 

yang lucu. Tapi tetap saja tidak ditemukannya. 

Ki Jiung kembali memandang Sena. Diamatinya 

pemuda itu dengan seksama, namun dia masih 

belum mengerti. Aneh! Kata Ki Jiung dalam hati. 

"Anak muda, kenapa kau tertawa?" tanya Ki Jiung


masih dengan kening berkerut. 

"He he he...! Ah, tidak apa-apa, Ki. Teruskanlah 

membuka kedaimu. Aku lapar sekali," ucap Sena 

sambil membantu memberesi perabotan kedai. Hal 

itu membuat hati Ki Jiung semakin bertanya-tanya. 

Terlebih ketika melihat cara kerja Sena yang sangat 

cepat dan cekatan. Hingga dalam sekejap saja, 

semuanya sudah beres. Padahal kalau dikerjakan 

oleh Ki Jiung perlu waktu yang cukup lama. 

"Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?" tanya Jiung 

dengan mata membelalak, menyaksikan dagangan 

serta beberapa bangku panjang yang semula berada 

di atas meja kini telah siap di samping meja. 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kemudian 

dengan acuh dia duduk di salah satu bangku sambil 

bersandar. Tangannya masih mengorek telinga 

dengan bulu burung. Matanya terpejam-pejam, 

merasakan kenikmatan. 

Ki Jiung melangkah ke arah Sena dengan 

membawa makanan berupa sepiring nasi lengkap 

dengan lauknya. 

"Ini untukmu, Anak Muda," kata Ki Jiung. Sena 

tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Terima kasih, Ki. Oh, ya. Berapa semuanya tanya 

Sena sambil mengambil uang di ikat pinggangnya. 

"Cukupkah uang segini?" 

Ki Jiung mengerutkan kening, menyaksikan dua 

keping uang emas yang dikeluarkan Sena. Dia 

semakin bingung dengan pemuda yang bertingkah 

laku gila itu. Dari mana pemuda ini memiliki uang 

emas? Tanya hatinya. Ki Jiung jadi sangsi kalau 

pemuda bertingkah laku gila itu pemuda gila biasa. 

"Hi hi hi…. Kenapa diam, Ki? Apa ada setan lewat?" 

tanya Sena seraya menyerahkandua keeping uang


emas pada lelaki tua yang hanya mampu menautkan 

alis, tanpa dapat berbuat apa-apa. 

Dengan masih tertegun-tegun, Ki Jiung me-

mandang pemuda yang kini dengan acuh menyantap 

makanan. 

Ketika Sena menyantap makanannya, masuk lima 

orang berpakaian tambalan. Kelimanya memegang 

tongkat kayu berwarna hitam. Mereka tidak lain Lima 

Pengemis Tongkat Hitam. Namun kini kehadiran 

mereka tidak bersama ketuanya, Pengemis 

Tempurung Sakti. 

"Kami minta makan!" seru Ketua Perkumpulan 

Pengemis dari selatan yang bernama Jalantra. 

Dengan rasa was-was, Ki Jiung yang sudah 

mengenal kelima orang itu segera menghampiri. 

Wajah lelaki tua itu menggambarkan ketegangan, 

seakan tengah berhadapan dengan lima hantu yang 

menyeramkan. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, 

menghampiri Lima Pengemis Tongkat Hitam yang 

tindakannya terkenal beringas. Tidak seperti 

pengemis lainnya (Mengenai Lima Pengemis Tongkat 

Hitam, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 

episode 'Titisan Dewi Kuan In') 

"Ki!" seru Sena, ketika Ki Jiung hendak mendekati 

Lima Pengemis Tongkat Hitam. "Ke sini sebentar!" 

Ki Jiung tampak bingung. Tadi dia dipanggil oleh 

Lima Pengemis Tongkat Hitam. Kini dia kaget 

mendengar seruan Sena. Pemuda yang bertingkah 

seperti orang gila yang semula nampak konyol, kini 

terdengar berwibawa dengan seruannya yang lantang. 

Bukan hanya Ki Jiung yang kaget mendengar suara 

Sena, Lima Pengemis Tongkat Hitam pun begitu. 

Mereka sebenarnya sudah bertarung dengan 

Pendekar Gila, tapi rupanya mereka tidak tahu kalau


pemuda berambut panjang yang sedang makan itu 

adalah Sena. 

"Hm.... Rupanya pemuda edan itu ada di sini!" 

dengus Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara 

yang bernama Sampra. Wajahnya nampak sinis, 

mencerminkan ketidaksukaannya pada Pendekar 

Gila. 

"Ya! Tak kami sangka, akhirnya kami harus ber-

temu dengan Pendekar Gila!" sambung Gandrana 

dengan suara yang tidak kalah sinis. 

"Kalau di Lembah Lamur dulu kita belum melihat 

sejauh mana ilmunya. Mengapa tidak sekarang saja?" 

tambah Jantrik. 

Sena tertawa tergelak gelak sambil menggerak-

gerakkan kepalanya dengan cepat. 

"Ha ha ha...! Ki, mengapa lalat-lalat busuk itu kau 

biarkan masuk? Bukankah sebaiknya kau usir saja?" 

ledek Sena dengan acuh sambil terus menyantap 

makanannya. 

Lima Pengemis Tongkat Hitam yang dikatakan lalat 

busuk serentak membelalak marah. Mereka men-

dengus kesal. 

"Kurang ajar! Rupanya kegilaanmu harus kami 

hentikan!" bentak Jalantra. Kemudian dengan penuh 

amarah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah 

selatan ini bergerak menyerang. Tongkatnya disodok-

kan ke punggung Pendekar Gila. 

"Huh! Lalat busuk ini rewel sekali, Ki!" ujar Sena 

seraya melemparkan piring ke arah Jalantra. 

Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan itu 

tersentak. Segera niatnya diurungkan untuk 

menyodokkan tongkat ke punggung lawan. Malah kini 

tubuhnya bersalto mengelitkan serangan lawan 

dengan mulut mencaci-maki.


"Pemuda edan!" 

"Ha ha ha...! Lihat, Ki. Ada lalat yang kebingungan 

ditampar oleh piring!" 

Sena tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari 

duduknya, berdiri sambil cengengesan memandang 

keempat ketua perkumpulan pengemis lainnya. 

"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah 

Gila!" dengus Gandrana sengit. 

Sena kembali tertawa riuh rendah. Tangan kirinya 

menepuk-nepuk pantat. Sedangkan tangan kanannya 

dikibas-kibaskan. Seketika nasi yang melekat di jari-

jari tangannya berhamburan ke arah Lima Pengemis 

Tongkat Hitam. 

"Kunyuk! Kubunuh kau!" maki Jantruk, Ketua 

Perkumpulan Pengemis daerah barat sambil ber-

kelebat menyerang, disusul oleh keempat rekannya. 

Dengan jurus 'Lima Pusaran Angin Merobohkan 

Dinding Karang', kelimanya bergerak menyerbu. 

"Hiaaat..!" 

Pendekar Gila masih tertawa-tawa. Bahkan kini dia 

nungging sambil memperdengarkan suara kentut dari 

mulutnya. Lalu dengan tertawa-tawa, Sena bertepuk 

tangan. 

"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali, Lalat Busuk! Ha ha 

ha...!" 

Tongkat Lima Pengemis Tongkat Hitam bergerak 

menyambar ke seluruh tubuh Sena. Jantruk ke arah 

kepala. Jalantra ke arah leher. Gandrana ke arah 

dada dan punggung. Sampra ke arah perut. 

Sedangkan Jantrik menyerang ke bagian pusar ke 

bawah. 

Gerakan mereka dalam menyerang begitu cepat 

dan tergabung dengan teratur, susul menyusul. Hal 

itu akan membuat lawan kesulitan untuk dapat


melepaskan diri dari kepungan serangan mereka. 

"Wau, apa lagi yang kalian lakukan, Kecoa? Hi hi 

hi..!" 

Dengan berjumpalitan kian kemari, Sena 

mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Kera Gila 

Menyambar Buah'. Sena bergerak bagai seekor kera 

yang berayun dari satu pohon ke pohon lain. 

Tangannya sesekali mencengkeram, dengan kaki 

bergantian menjejak ke arah lawan. 

"Haiiit..!" 

Lima Pengemis Tongkat Hitam segera 

mengelakkan serangan Sena dengan jurus 'Lima 

Angin Balik'. Tubuh mereka berputar laksana angin. 

Kalau mulanya menyerang, kini berbalik mengelakkan 

serangan lawan. Kemudian dengan cepat pula, 

kelimanya kembali melakukan gempuran. 

"Yeaaat!" 

Lima Pengemis Tongkat Hitam menyodokkan ujung 

tongkat masing-masing ke arah Pendekar Gila. 

Dengan cepat, Pendekar Gila melenting ke udara. 

Lalu melancarkan serangan dengan jurus 'Dewa 

Angin Menyapu Banteng'. Dengan jari-jari tegak, 

tangannya menghantam ke arah kepala lawan 

dengan gerakan kilat 

"Heaaa...!" 

Plak! 

"Ukh...!" Gandrana memekik. Kepalanya langsung 

pecah. 

Kejadian itu membuat Ki Jiung yang sejak tadi 

melihat pertarungan dan belum tanu siapa pemuda 

yang bertingkah gila, membelalakkan mata. Dari 

mulutnya terlontar pekikan kaget. Tubuhnya gemetar 

menyaksikan kejadian yang mengerikan itu. 

"Ohhh...!" Ki Jiung segera menyembunyikan


wajahnya di balik telapak tangan, tak berani 

menyaksikan pertarungan yang sangat mengerikan 

itu. 

"Pemuda edan! Kau harus mampus!" dengus 

Sampra. 

"Ya! Kau telah membunuh salah seorang dari 

kami! Kau harus mampus!" tambah Jantruk. 

Sena tertawa tergelak-gelak mendengar ancaman 

mereka. Dengan menepuk-nepuk pantat, Sena 

memonyongkan mulutnya. 

Brut! 

"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali! Kenapa kalian 

minta mati?" tanya Sena. "Padahal orang mati minta 

hidup." 

Keempat Ketua Perkumpulan Pengemis itu 

semakin marah mendengar omongan Pendekar Gila. 

Kemudian dengan mendengus marah, mereka 

kembali menyerbu. 

"Hiaaat..!" 

Empat tongkat di tangan mereka bergerak 

mengepung dari empat penjuru mata angin. Menusuk 

dan menyambar dengan keras ke tubuh Pendekar 

Gila dengan jurus 'Sapuan Empat Penjuru Angin'. 

Pukulan tongkat itu menciptakan angin keras yang 

menerpa ke arah Pendekar Gila. 

"Hi hi hi...!" Sena tertawa, lalu dengan 

menungngkan pantatnya, dia bergerak mengelakkan 

serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan irama 

yang aneh. Sesekali tangannya menepuk ke dada 

lawan. 

***


Prak! Satu tongkat kayu hitam terkena tepakan 

tangan Pendekar Gila. Tongkat di tangan Jalantra 

patah menjadi dua, sedangkan pemiliknya terhuyung-

huyung lengan wajah pucat. Tidak hanya sampai di 

situ, Pendekar Gila terus menggebrak dengan jurus 'Si 

Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk 

laksana menari, dan tangannya sesekali menepuk ke 

dada lawan. 

"Heaaa...!" 

Plak! 

"Ukh...!" Jalantra mengeluh. Dadanya terasa pecah 

akibat tepakan tangan Pendekar Gila. Asap mengepul 

dari dadanya. Matanya membelalak. Dari sudut 

bibirnya meleleh darah segar. 

Mulut Jalantra meringis, menahan rasa sakit yang 

tak terkirakan. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian 

ambruk tanpa nyawa. 

Ketiga Ketua Perkumpulan Pengemis lainnya 

segera melompat mundur, menyaksikan Jalantra 

tewas di tangan lawannya yang kini masih 

cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat. Tubuhn-

ya berjingkrak-jingkrak tak ubahnya seekor monyet. 

"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin mati?" tanya 

Sena, masih dengan tingkah laku seperti kera. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala. 

Ki Jiung yang menyaksikan bagaimana pemuda 

bertingkah laku gila itu dalam beberapa gebrakan 

saja mampu membunuh dua dari Lima Pengemis 

Tongkat Hitam, amat terperangah. Dia tidak 

menyangka kalau pemuda itu ternyata berilmu tinggi. 

Pantas saja dia bekerja sangat cepat. Gerakannya 

ternyata sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat 

daganganku tersusun rapi olehnya. Puji Ki Jiung 

dalam hati. Dengan takut-takut matanya menyaksikan


pertarungan yang sangat seru dan mendebarkan itu. 

Tiga Ketua Perkumpulan Pengemis itu kembali 

melabrak Pendekar Gila. Rupanya kematian dua 

rekannya tidak membuat ketiganya jera. Malah 

mereka bertambah beringas dalam melakukan 

serangan. 

"Kau harus mampus, Bocah Edan!" maki Jantrik 

"Kuremukkan batok kepalamu!" sambung Jantruk. 

"Meski namamu telah menjulang tinggi, pantang 

bagi kami untuk lari! Heaaat...!" 

Tubuh Sampra dengan cepat melesat melakukan 

serangan. Tongkat hitam di tangannya bergerak 

menyambar dan menusuk. Kadangkala memukul dari 

atas ke bawah, berusaha meremukkan batok kepala 

Pendekar Gila. 

Melihat rekannya menyerang, kedua pengemis 

lainnya turut meluruk maju. Kini dengan jurus 'Tiga 

Sakra Tongkat Maut' ketiganya bergerak menusuk 

dan membabat ke arah Sena. Serangan mereka 

sangat cepat, menimbulkan deru angin yang 

menyambar-nyambar. 

Srrrt! 

Sena segera menarik Suling Naga Sakti dari ikat 

pinggangnya. Kemudian dengan sigap, sulingnya 

diputar ke arah tongkat di tangan para pengemis yang 

menyerangnya, membentuk setengah lingkaran. 

Sedangkan tangannya memukul dengan telapak 

tangan menggunakan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. 

Tak! 

Prak! 

Tongkat kayu hitam di tangan Jantruk dan Sampra 

patah menjadi dua. Sedangkan tangan Pendekar Gila 

masih bergerak memukul ke dada lawan. 

Begk!


"Ukh...!" Jantrik mengeluh pendek. Tangan kirinya 

mendekap dada yang terasa remuk akibat pukulan 

lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang 

dengan mulut meringis. Darah dari sudut bibir pun 

menyapu dagunya dengan warna merah. 

Sesaat tubuh Jantrik meregang, lalu ambruk 

dengan nyawa melayang. 

Menyaksikan kematian rekan mereka, nyali kedua 

pengemis lainnya mendadak ciut. Jiwa keduanya 

bagai dihimpit oleh ketakutan. 

Kedua orang itu bermaksud lari. Namun dengan 

cepat Pendekar Gila segera meniup Suling Naga 

Sakti. Suara sulingnya mengalun dengan merdu dan 

mendayu-dayu. 

Keanehan terjadi! Tubuh kedua pengemis itu 

seketika meregang kaku, terpaku di ambang pintu 

masuk kedai bagai arca. 

"Ha ha ha...! Lucu... lucu sekali kalian! Mengapa 

kalian seperti patung?" tanya Sena sambil tertawa 

nyaring. Sedangkan mata Ki Jiung membelalak, 

menyaksikan kejadian yang sangat aneh itu. Dia tidak 

melihat kejadian apa-apa, namun mengapa kedua 

pengemis itu kini mematung? 

"Bocah edan! Lepaskan totokanmu!" geram 

Sampra. 

"Ha ha ha...! Kurasa aku tidak menotokmu!" dalih 

Sena. "Aha, apa kalian ingin menari? Baik, 

menarilah!" 

Sena kembali meniup sulingnya dengan alunan 

yang mendayu. Kembali kejadian aneh terjadi. Kedua 

pengemis itu kini menari-nari, mengikuti irama suling 

yang ditiup Sena. 

Ki Jiung loan membelalakkan mata, menyaksikan 

kejadian luar biasa itu. Baru kali ini matanya melihat

.

bagaimana suara suling mampu membuat orang 

menari. Ki Jiung tidak tahu, kalau irama suling yang 

ditiup Sena adalah tiupan 'Pelayung Sukma', di mana 

orang yang dituju akan terpengaruh sukmanya untuk 

mengikuti irama suling. 

Ki Jiung benar-benar tak tahan melihat gerakan 

lemah gemulai dan lenggokan tubuh dua pengemis 

itu. Dia lantas tertawa tergelak-gelak bagai orang gila. 

Kemudian dengan masih tertawa-tawa, Ki Jiung turut 

menari. 

Beruntung Sena tidak meniup Suling Naga Sakti 

dengan irama sedih. Kalau saja Sena meniupnya 

dengan irama sedih, tentu ketiga orang itu akan 

menangis meraung-raung. 

Sena menghentikan tiupan sulingnya. Seketika 

kedua pengemis itu kembali mematung. Sementara 

Sena masih tertawa tergelak-gelak dengan tangan 

menepuk-nepuk pantat 

"Ki, menjauhlah dari sini," katanya, meminta Ki 

Jiung agar menjauh dari tempat itu. 

"Nah, Sobat-sobat. Bagaimana kalau kalian 

menangis? Hi hi hi...! Mungkin selama ini kalian tak 

pernah menangis, walau banyak orang yang telah 

kalian siksa! Ayo, menangislah..." 

Usai berkata begitu, Sena kembali meniup Suling 

Naga Saktinya dengan irama sedih. Seketika kedua 

lelaki yang menjadi bulan-bulanan itu menangis 

meraung-raung, seakan meratapi nasib mereka yang 

sangat malang. 

Ki Jiung kembali terperanjat, menyaksikan 

kejadian yang amat langka itu. Hanya mendengar 

irama suling, kedua pengemis itu menangis 

sesenggukan. 

Lama kelamaan tubuh keduanya ambruk, tak kuat


menahan rasa sedih yang tiada terkira. Mereka tewas 

tak mampu menahan siksaan batin yang sangat 

hebat 

Sena kembali tertawa menyaksikan kejadian itu. 

Seakan kejadian yang ada di hadapannya adalah 

guyonan lucu. 

"Ki, aku permisi," pamit Sena, hendak berlalu. 

"Lalu, bagaimana dengan kelima mayat ini, Tuan?" 

"Aha, aku lupa..." Sena merogoh ikat pinggangnya, 

kemudian mengeluarkan lima keping uang emas. 

"Cukupkah lima keping uang emas ini untuk 

mengurus mayat mereka, Ki? Suruhlah orang-orang 

mengurusnya." 

"Bu..., bukan itu, Tuan. Tapi..." 

"Sudahlah, Ki. Terimalah uang ini." 

Sena menyodorkan lima keping uang emas itu, 

kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan 

kedai milik Ki Jiung. 

Ki Jiung hanya dapat terbengong-bengong, 

menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu 

mampu melesat sangat cepat laksana angin. 

***


TIGA


Di Grojokan Perawan, di mana Goa Sandang berada, 

pagi itu seorang gadis cantik berkulit kuning langsat 

tengah berlatih ilmu silat. Di tangannya tergenggam 

sebilah pedang yang mengeluarkan sinar putih 

bergulung kabut. Hidung gadis itu mancung dan 

bermata lentik. Rambutnya terurai bergelombang, 

dan berikat kepala berwarna merah. Dia mirip dengan 

Mei Lie. 

Di depan gadis itu, seorang wanita tua berpakaian 

minim duduk bersila di atas sebuah batu. Matanya 

memandang ke arah gadis yang tengah berlatih itu. 

Wanita tua berusia sekitar sekitar enam puluh tahun 

dengan hidung mancung dan alis lebat itu adalah 

guru dari si gadis. Namanya Dewi Sandang. Nama itu 

diambil dari goa tempatnya menetap yang dikenal 

dengan sebutan Goa Sandang. 

Saat itu, muridnya yang bernama Sarah Dita 

tengah melakukan jurus pamungkas 'Satuan Raga 

dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Titisan Iblis'. 

Sarah Dita tampak terdiam sesaat dengan mata 

terpejam. Mata pedang ditempelkan pada hidungnya. 

Cara membuka jurus itu hampir sama dengan jurus 

'Pedang Tebasan Batin' yang dimiliki Mei Lie. 

Setelah lama mengheningkan cipta, dibarengi 

pekikan nyaring Sarah Dita menggerakkan pedang-

nya. 

"Hiaaat...!" 

Wut, wut...!


Pedang diarahkan ke batu yang ada di sampingnya 

dengan gerakan menusuk. 

 Jreb! 

Pedang itu langsung tembus sampai ke sisi batu di 

belakangnya. Begitu hebat pedang bersinar putih itu, 

sehingga batu yang keras dapat ditembusnya. 

"Bagus! He he he...! Kini lengkaplah semuanya! 

Kau akan bisa menjadi pengganti Bidadari Pencabut 

Nyawa. He he he...!" Dewi Sandang tertawa-tawa 

senang. Segera dia bangun dari bersilanya, lalu 

menghampiri muridnya yang langsung menyembah. 

"Terima kasih, Guru. Atas budimu, aku telah 

berhasil mempelajari semua ilmu pedang yang telah 

kau ajarkan." 

"He he he...! Sudahlah, ayo bangun. Aku akan 

mengatakan sesuatu padamu," ajak Dewi Sandang. 

Keduanya segera melesat meninggalkan tempat 

itu. Tak berapa lama kemudian, tibalah mereka di 

dalam goa tempat mereka tinggal selama ini. Dewi 

Sandang mengajak muridnya duduk di sebuah batu 

yang ada di dalam goa itu. 

"Duduklah, Sarah." 

Sarah Dita duduk. 

"Ada apa gerangan, Guru?" tanya Sarah Dita 

setelah menyeka keringat. 

"He he he...!" Dewi Sandang terkekeh. "Kau tahu, 

mengapa kau kudidik menjadi jago pedang, Sarah 

Dita?" 

"Tidak, Guru. Yang kuketahui, aku akan menjadi 

jago pedang nomor wahid di rimba persilatan," jawab 

Sarah Dita. 

"He he he...! Bagus! Memang itu yang aku 

kehendaki. Kau menjadi jago pedang di rimba 

persilatan dan tak terkalahkan oleh pendekar pedang


mana pun. Tapi...," Dewi Sandang tak meneruskan 

ucapannya. Hal itu membuat Sarah Dita mengerutkan 

kening. Matanya memandang sang Guru. 

"Ada apa, Guru?" 

"He he he!..! Tidak apa-apa." 

"Mengapa Guru tidak meneruskan?" 

"He he he...! Anak pintar.... Tapi, harapanku 

seketika musnah, ketika kudengar dari paman 

gurumu, kalau sekarang ada jago pedang yang sangat 

hebat dan belum terkalahkan," ujar Dewi Sandang, 

melanjutkan kata-katanya yang terpenggal. 

Sarah Dita mengerutkan dahi. 

"Siapa dia, Guru? Dan seberapa hebatkah ilmu 

pedangnya? Kalau boleh, ingin rasanya aku 

mengujinya," kata Sarah Dita dengan perasaan tak 

senang. Bagaimanapun juga, dia yang harus menjadi 

jago dari segala jago pedang. Dia harus dapat 

mengalahkan siapa saja yang mahir dalam ilmu 

pedang. 

Dewi Sandang sesaat terdiam. Dihelanya napas 

dalam-dalam. Matanya menatap wajah muridnya yang 

tampak marah, tak suka mendengar kalau di rimba 

persilatan ada jago pedang selain dirinya. 

"Dia bernama Mei Lie, seorang gadis Cina yang 

hampir mirip denganmu. Dia bergelar Bidadari 

Pencabut Nyawa. Itu sebabnya aku selalu mengata-

kan kalau kau Bidadari Pencabut Nyawa. Aku ingin 

kau dapat mengalahkannya." 

"Akan kulakukan, Guru." 

"Tunggu dulu.... Dengarlah apa yang akan 

kukatakan padamu." 

Sarah Dita menurut 

"Kau akan kujadikan Mei Lie. Kau harus memb-

antu paman gurumu untuk mengecoh para pendekar.


Sebisanya kau menyamar sebagai Mei Lie. Besok, 

berangkatlah ke tempat paman gurumu. Aku akan 

memberikan surat padanya. Antarlah ke sana. Apa 

pun yang dikatakan paman gurumu, kau harus 

menurut. Karena hanya dengan cara itulah, kau akan 

bisa bertemu dengan Mei Lie atau Bidadari Pencabut 

Nyawa," tutur Dewi Sandang. 

"Apakah tidak sekarang saja, Guru?" tanya Sarah 

Dita setengah mendesak. 

"He he he, kau nampak tak sabar. Kalau itu 

maumu, berangkatlah." 

"Terima kasih, Guru." 

Dewi Sandang mengambil surat yang akan 

diberikan pada paman gurunya yang bernama Daeng 

Ampra. Setelah memberikan surat itu pada muridnya, 

Dewi Sandang melepas kepergian Sarah Dita yang 

akan menjalankan tugasnya. 

*** 

Rimba persilatan semakin geger karena 

kemunculan Mei Lie. Sepak terjang gadis Cina itu 

membuat tokoh-tokoh golongan hitam bagai 

menghadapi seorang malaikat maut. Apalagi dengan 

tindak-tanduk Sena yang senantiasa berusaha 

menumpas keangkaramurkaan di muka bumi ini. 

Membuat tokoh-tokoh golongan hitam kian tersudut 

kedudukannya. 

Ketika terik matahari siang menyengat bumi, 

tampak seekor kuda berwarna coklat tua berlari 

kencang menerobos debu yang beterbangan di 

Lembah Balapulang. Di punggung kuda itu, tampak 

seorang wanita berpakaian serba putih dengan 

kepala tertutup caping berwarna hijau dari daun


pandan. 

Wanita muda itu bermata indah, dengan rambut 

terurai lurus. Potongan tubuhnya yang ramping, 

semakin melengkapi kecantikannya. Di punggung 

gadis cantik yang tubuhnya dibungkus pakaian 

bergaya Cina warna putih itu tersandang sebilah 

pedang. 

Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak 

menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat. 

Tiba-tiba penunggang kuda itu menghentikan lari 

binatang tunggangannya. 

"Hooop...!" 

Kuda itu pun berhenti. Gadis penunggangnya 

tampak mengarahkan matanya ke semak belukar di 

Lembah Balapulang itu. Tampaknya ada sesuatu yang 

membuat lari kudanya dihentikan. Telinganya tadi 

sempat mendengar suara yang mencurigakan di 

tempat itu. 

"Hm...." 

Gadis cantik dari Cina itu menggumam tak jelas. 

Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, 

seakan hendak mencari asal suara yang didengarnya. 

Kresek! 

"Hm...." 

Kembali gadis Cina itu bergumam. Kemudian dia 

melompat turun dari punggung kudanya. Matanya 

masih memandang ke asal suara tadi. 

"Siapa yang ada di situ, keluarlah!" 

Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya langkah-

langkah kaki yang menginjak daun-daun kering. Dilirik 

dari suaranya, pemilik langkah kaki itu sepertinya 

berjumlah lebih dari dua orang. 

"Hm.... Rupanya kalian ingin mempermainkan aku! 

Baik, jangan harap aku akan mengampuni kalian!"


dengus gadis cantik berpakaian Cina itu. 

Dari balik semak belukar, berkelebat sepuluh lelaki 

berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup kain 

hitam. Hanya bagian matanya yang terlihat. Ditilik dari 

sinar mata yang memancar garang, tampaknya 

mereka bukan orang baik-baik. Di tangan mereka 

tergenggam sebilah golok tajam. Sepertinya mereka 

para penyamun yang menjegal setiap orang yang 

melintasi tempat itu. 

"Siapa kalian?!" bentak wanita cantik bercaping 

daun pandan. 

"Ha ha ha...! Siapa pun kami, kau tak perlu tahu. 

Yang pasti, kami menginginkan kau, Cah Ayu," sambut 

pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu sambil 

tertawa-tawa. 

"Hm.... Tentu kalian yang dinamakan Gerombolan 

Lowo Ireng?!" dengus gadis bercaping itu. 

"Ha ha ha! Pandanganmu tajam sekali, Cah Ayu. 

Nah, kalau kau sudah tahu siapa kami, kuharap kau 

tidak usah menentang semua yang kami inginkan! 

Ikut kami!" perintah pemimpin orang-orang ber-

pakaian hitam itu. 

"Ha ha ha...! Enak sekali kau bicara, Sarwono!" 

bentak gadis cantik bercaping, membuat Ketua 

Gerombolan Lowo Ireng tersentak kaget. Dia tidak 

menyangka kalau gadis cantik yang mirip gadis Cina 

itu tahu namanya. 

"Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?!" bentak 

Sarwono dengan mata melotot, memandang tajam ke 

arah gadis cantik yang menyandang pedang di 

punggungnya. 

"Ha ha ha...! Kau masih belum mengenaliku, 

Sarwono! Aku Mei Lie, Titisan Dewi Kuan Im. Tapi 

orang-orang persilatan kini lebih suka menyebutku


Bidadari Pencabut Nyawa. Orang-orang sepertimu 

yang harus kucabut nyawanya!" ancam gadis 

bercaping yang penampilannya memang serupa 

dengan Mei Lie. 

"Cuh! Jangan sembarangan bicara, Bocah!" bentak 

Sarwono gusar. Matanya berkilat-kilat tajam. 

Napasnya tampak turun-naik dihela kemarahan. 

"Ha ha ha. Apa yang sulit untuk menyingkirkan 

kalian, Kecoa Busuk?!" ledek gadis cantik bercaping 

itu. "Guru dan pemimpin kalian pun akan kubunuh 

dengan mudah!" 

"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus!" 

dengus Sarwono semakin beringas, merasa telah 

diremehkan oleh seorang gadis muda. 

"Ha ha ha! Kalianlah yang mencari mampus!" balik 

gadis itu dengan tetap bernada angkuh. Tangannya 

menggapai gagang pedang. 

Srrrt! 

Gadis cantik bercaping itu menarik pedang, 

seakan menantang Gerombolan Lowo Ireng secara 

terang-terangan. 

"Majulah! Biar dengan cepat aku membereskan 

Kalian!" tantang gadis itu. Pedang di tangannya 

terhunus di depan wajah. Siap untuk melakukan 

serangan. 

"Bedebah! Serang dia...!" perintah Sarwono sambil 

menggerakkan tangan kanannya, mengisyaratkan 

pada kesembilan anak buahnya untuk segera 

melakukan serbuan. 

"Bagus! Majulah...!" tantang gadis cantik bercaping 

itu seraya menggerakkan pedangnya dengan jurus 

yang berbeda dibanding jurus yang biasa digunakan 

Mei Lie. Begitu juga dengan pedangnya, tidak 

mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan


sebagaimana Pedang Bidadari. 

Dengan jurus 'Sambutan Sampar Kabut' gadis 

yang mengaku Mei Lie itu menyerang ke arah 

lawannya. 

Kesembilan anggota Gerombolan Lowo Ireng 

serentak merangsek maju. Golok di tangan mereka 

bergerak cepat membabat dan menebas ke arah 

lawan. 

Wut! 

"Hiat..!" 

Gadis cantik bercaping itu segera berkelit ke 

samping kanan, kemudian dengan gerak cepat 

tubuhnya berputar. Pedang di tangannya turut 

bergerak, membabat ke arah lawan. 

Cras! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!" 

Dua orang anak buah Sarwono memekik. Dada 

mereka tersayat mata pedang gadis cantik itu. Mata 

keduanya membelalak dengan tubuh limbung ke 

belakang, kemudian ambruk dengan darah masih 

mengalir keluar. 

"Bangsat! Kubunuh kau, Kuntilanak!" maki 

Sarwono marah. Dia turut melabrak gadis cantik yang 

mengaku-aku Mei Lie. Golok di tangannya bergerak 

membabat dengan jurus 'Simbar Nyawa'. 

Wusss! 

Angin keras yang terasa panas menyengat keluar 

dari golok di tangan Sarwono, menyentakkan gadis 

cantik bercaping daun pandan itu. 

"Uts! Bagus! Majulah sekalian! Hiaaat...!" 

Gadis cantik itu dengan cepat memutar pedangnya 

dengan jurus 'Pampas Gali Sandang', sebuah jurus 

yang cukup mengejutkan Sarwono. Karena jurus itu


begitu terkenal di rimba persilatan dan dimiliki oleh 

seorang pendekar pedang yang di masa jayanya 

sempat malang-melintang di rimba persilatan. 

"Ada hubungan apa kau dengan Dewi Sandang, 

Perempuan Liar?!" tanya Sarwono seraya melompat 

mundur. 

"Ha ha ha...! Rupanya kau kaget, Sarwono! Aku 

murid tunggalnya!" jawab gadis cantik berbadan 

ramping dengan bulu mata lentik itu. 

"Kalau begitu, tentunya kau bukan Mei Lie!" 

sangkal Sarwono. 

"Ha ha ha! Siapa pun aku, yang pasti kalian harus 

mampus!" dengus gadis cantik yang tak lain Sarah 

Dita itu. Matanya yang indah memandang garang ke 

arah Sarwono, laksana mata seekor harimau lapar. 

"Hm, antara gerombolan kami dan Dewi Sandang 

tak ada permusuhan. Kami adalah teman baiknya. 

Mengapa pula kau memusuhi kami?!" tanya Sarwono 

masih belum mengerti, mengapa sikap murid Dewi 

Sandang yang juga kakak kandung guru mereka 

bermusuhan. 

"Ha ha ha...! Ciut juga nyalimu Sarwono! Hm, 

baiklah. Aku sebenarnya datang ingin bertemu 

dengan paman guruku! Sekarang pulanglah, katakan 

pada guru kalian, kalau murid Dewi Sandang datang," 

perintah Sarah Dita sambil memasukkan pedangnya 

ke sarung. 

"Baik! Kami akan segera pergi. Ayo anak-anak!" 

ajak Sarwono pada anak buahnya. 

"Tunggu!" tahan Sarah Dita. 

"Ada apa lagi?" 

"Bagaimana dengan dua anak buahmu ini?" 

"Biarkan saja!" jawab Sarwono seraya melambai-

kan tangan, memerintah anak buahnya untuk


meninggalkan tempat itu. 

Sarah Dita tersenyum tipis. Lalu dengan sekali 

lompat, tubuhnya telah berada di atas kudanya yang 

langsung digebah. Dan segera melesat meninggalkan 

tempat itu, mengikuti arah Sarwono dan anak 

buahnya pergi. 

Sarwono dan anak buahnya tampak lari ke dalam 

Hutan Warang Belang. Di sana berdiri bangunan 

megah yang dihiasi ukiran besar terbuat dari kayu 

bergambar kelelawar berwarna hitam. Ke tempat 

itulah Sarwono dan anak buahnya pergi, karena di 

situlah Guru dan Ketua Gerombolan Lowo Ireng 

berada. 

Dalam ruangan lebar di tengah-tengah gedung 

besar itu, tampak dua lelaki duduk di atas kursi 

berukir yang terbuat dari gading. Keduanya memakai 

pakaian hitam-hitam panjang menyerupai jubah. 

Seorang lelaki tua berwajah garang duduk di sebelah 

kanan. Jenggot-nya panjang berwarna putih. Matanya 

yang lebar be-kilat merah. Kumisnya putih, menutupi 

mulutnya. Rambut putih lelaki tua itu terurai dengan 

ikat kepala berwarna hitam. Lelaki ini adalah guru 

dari Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Namanya Daeng 

Ampra. 

Daeng Ampra berasal dari tanah Sulawesi. Dia 

sengaja pergi ke tanah Jawa Dwipa untuk meng-

hindari kejaran para pendekar aliran putih yang ber-

maksud menangkapnya. Ketika di Andalas, dia pun 

menjadi pemimpin gerombolan yang sebagian anak 

buahnya ikut terlibat dalam Gerombolan Lowo Ireng 

sekarang ini. 

"Hm, aku merasa bakal ada tamu, Selendra," kata 

Daeng Ampra bergumam, pada lelaki berusia sekitar 

lima puluh tahun yang duduk di sampingnya.


"Benar, Guru," sahut lelaki bertubuh kekar dengan 

jubah hitam. Matanya juga tajam. Alis matanya lebat. 

Cambang bauk dan kumis yang menghiasi wajah, 

menambah kegarangan penampilannya. Rambut 

lelaki ini masih hitam, terurai lepas dengan ikat 

kepala berwarna hitam pula. Dialah yang menjadi 

Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Dia pula yang 

mewarisi semua ilmu yang dimiliki Daeng Ampra. 

"Sepertinya ada tamu, Guru. Kupu kejer sejak tadi 

beterbangan dan hinggap di sini," tambah Selendra. 

"Hm...," Daeng Ampra menggumam. Matanya yang 

tajam memandang lurus ke arah pintu masuk 

ruangan yang terbentang lebar dengan dua penjaga 

berdiri tegak. Di tangan kedua penjaga itu 

tergenggam tombak. 

Saat itu dari luar masuk Sarwono dengan ketujuh 

anak buahnya yang segera menyembah. 

"Ampun, Ketua. Kami menghadap," hatur Sarwono 

setelah menyembah. 

"Hm.... Ada apa, Sarwono? Di mana kedua anak 

buahmu yang lain?" tanya Selendra. 

"Ampun, Ketua. Dua anak buahku tewas," sahut 

Sarwono dengan kepala menunduk, takut kalau 

ketuanya akan marah. 

Mata Ketua Gerombolan Lowo Ireng melotot, 

mendengar jawaban Sarwono. Dia bangun dari 

tempat duduknya. 

"Apa?!" bentak Selendra murka. Matanya semakin 

menusuk ke arah Sarwono yang kian menundukkan 

kepala, tak berani mengadu pandang dengan 

pemimpinnya. "Siapa yang telah membunuh 

mereka?!" 

"Aku...!" 

Belum juga Sarwono menjawab, dari kejauhan


tiba-tiba terdengar sahutan seorang wanita. 

Semua orang yang ada di bangunan milik 

Gerombolan Lowo Ireng tersentak, mendengar 

sahutan yang keras itu. Mereka serentak meng-

alihkan pandangan keluar. Tampak sesosok tubuh 

ramping berpakaian serba putih dan bercaping daun 

pandan berdiri dengan tegap. 

Ketua Gerombolan Lowo Ireng beserta gurunya 

seketika melangkah keluar, diikuti oleh Sarwono dan 

anak buahnya serta anak buah Selendra yang lain. 

"Nisanak, siapa kau? Ada kepentingan apa hingga 

datang ke markas Lowo Ireng?" tanya Selendra 

dengan mata tajam memandang gadis cantik yang 

berdir sekitar sepuluh tombak dari pintu gerbang. 

"Aku datang untuk menyampaikan amanat dari 

guruku!" sahut gadis cantik bercaping daun pandan 

yang tak lain Sarah Dita. 

"Hm, siapa gurumu?!" kali ini Daeng Ampra yang 

bertanya. 

"Dewi Sandang!" sahut Sarah Dita, menyentakkan 

Daeng Ampra. 

"Dewi Sandang...? Hm, lama sekali aku tidak 

bertemu dengan gurumu, Bocah. Masuklah!" ajak 

Daeng Ampra. Kemudian tangannya bergerak, 

memerintah murid-muridnya agar menyingkir untuk 

memberi jalan gadis cantik itu. 

Dengan tenang tanpa rasa takut di wajahnya, 

Sarah Dita melangkah masuk. 

"Silakan," ajak Selendra mempersilakan tamunya 

agar terus masuk ke dalam. 

"Terima kasih." 

Sarah Dita melangkah masuk, diiringi oleh 

Selendra dan Daeng Ampra. Ketiganya kemudian 

duduk di ruangan lebar, tempat Selendra dan Daeng


Ampra duduk tadi. 

"Bocah, amanat apa yang gurumu sampaikan 

padaku?" tanya Daeng Ampra. 

"Ini, Paman," ujar Sarah Dita seraya mengeluarkan 

surat dari gurunya, dan diberikan pada Daeng Ampra 

yang segera membacanya. 

Daeng Ampra mengerutkan kening setelah 

membaca isi surat tersebut 

"Hm.... Kami pun sudah mendengar kabar 

mengenai Dewi Kuan Im atau Bidadari Pencabut 

Nyawa," gumam Daeng Ampra seraya menghela 

napas panjang. Wajahnya nampak murung, 

mencerminkan kecemasan. 

"Lalu, apa yang harus kulakukan, Paman?" tanya 

Sarah Dita. 

Daeng Ampra menghela napas panjang-panjang. 

Matanya menatap lekat ke wajah gadis cantik di 

hadapannya. Seakan ingin membuktikan apa yang 

berada di dalam surat yang dikirim oleh saudara 

seperguruannya. 

"Kau memang cocok sekali dengan tugas yang 

diberikan oleh gurumu, Bocah," kata Daeng Ampra 

sambil mengangguk-anggukkan kepala. 

"Panggil saja aku dengan namaku, Paman," tukas 

Sarah Dita, yang merasa agak jengkel juga dipanggil 

bocah. 

"Hm.... Baiklah Sarah Dita. Menurut gurumu, kau 

akan ditugaskan untuk mengacaukan orang-orang 

persilatan. Kau harus bisa memerankan Mei Lie 

dengan sebaik-baiknya. Namun yang patut kau ingat, 

bahwa sepak terjangmu harus bertentangan dengan 

Mei Lie atau Titisan Dewi Kuan Im. Kalau dia kini 

membuat orang-orang dari aliran kita kebingungan, 

kau harus bisa membuat para pendekar aliran putih



kebingungan. Paham...?" 

"Paham, Paman." 

"Kedua. Dalam setiap sepak terjangmu, kau harus 

urus menggunakan nama Mei Lie. Setiap waktu kau 

bisa meminta bantuan Selendra dan gerombolannya 

yang akan selalu menyertaimu dari jauh," tutur Daeng 

Ampra. 

"Aku mengerti," jawab Sarah Dita. 

"Bagus! Kini, orang-orang aliran putih akan 

kebingungan. Kemudian, mereka akan berpaling dan 

memihak pada kita. Ha ha ha...!" Daeng Ampra 

tertawa tergelak-gelak, disambut oleh yang lainnya. 

"Tapi, Paman...." 

"Ada apa lagi, Sarah Dita?" tanya Daeng Ampra. 

"Bagaimana dengan Pendekar Gila?" 

"Kau takut?" tanya Daeng Ampra. 

Sarah Dita sejenak terdiam. Nama besar Pendekar 

Gila memang telah didengarnya, tapi wajah dan 

ketinggian ilmunya belum pernah dilihatnya. 

"Tidak!" sahut Sarah Dita mantap, membuat Daeng 

Ampra kembali tersenyum. 

"Bagus! Kurasa gurumu juga telah mempersiapkan 

ilmu yang tinggi, sebelum dia menugaskanmu," ucap 

Daeng Ampra. "Mengenai Pendekar Gila, biar nanti 

menjadi urusanku dan gurumu." 

"Aku pun sebenarnya ingin menjajaki ilmunya, 

Guru," sambut Selendra. 

"Itu lebih bagus. Kau dan anak buahmu, sebisanya 

memancing Pendekar Gila agar penyamaran Sarah 

Dita tidak terbuka, Selendra." 

"Akan kuusahakan, Guru," jawab Selendra. 

Daeng Ampra mengangguk-angguk. Wajahnya yang 

semula murung, kini nampak berbinar puas. 

Sepertinya dia tidak merasa khawatir Pendekar Gila


akan membongkar rahasia tentang dirinya. Kini murid 

dan kemenakan muridnya telah siap untuk meng-

hadapi Pendekar Gila dan mengacaukan rimba 

persilatan. Dengan begitu, semua tokoh persilatan 

akan menuduh Mei Lie. 

"Kini kalian mengemban tugas berat. Kuharap 

kalian berhati-hati," pesan Daeng Ampra meng-

ingatkan. "Lawan-lawan yang akan kalian hadapi buka 

lawan sembarangan. Dan yang perlu kalian per-

hitungkan adalah Pendekar Gila dan Mei Lie." 

"Akan kami usahakan," sahut Sarah Dita dan 

Selendra serempak. 

"Nah! Kini kalian berangkatlah. Ingat pesanku. 

Kau, Sarah Dita, harus bisa menjaga penyamaranmu. 

Dan kau, Selendra, sebisanya menarik perhatian 

Pendekar Gila agar tidak bisa dekat dengan Sarah 

Dita. Usahakan Sarah Dita jangan sampai bentrok 

dengan Mei Lie." 

"Paman, kalau boleh saya tahu, apa ciri-ciri Pedang 

Bidadari yang berada di tangan Mei Lie?" tanya Sarah 

Dita. 

"Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuning-

kuningan. Jika Mei Lie telah menguasai jurus 

pamungkas yang bernama 'Tebasan Pedang Batin', 

sulit bagi para pendekar pedang mengalahkannya. 

Untuk itu kalian harus berhati-hati," tutur Daeng 

Ampra menerangkan. 

"Baik, Paman. Aku mohon pamit untuk men-

jalankan tugas," kata Sarah Dita. Setelah memberi 

hormat, gadis cantik itu pun keluar meninggalkan 

markas gerombolan Lowo Ireng. 

Sepeninggal Sarah Dita, Daeng Ampra tampak 

masih bercakap-cakap dengan murid tunggalnya yang 

memimpin Gerombolan Lowo Ireng.


"Selendra, kau harus bisa membantu Sarah Dita. 

Kerahkan anak buahmu. Namun kau mesti ingat, 

tujuan kita yang utama adalah mempersatukan tokoh 

rimba hitam di tanah Jawa Dwipa ini, agar 

keberadaan kita semakin kuat," kata Daeng Ampra. 

"Saya mengerti, Guru." 

"Setelah Sarah Dita menjalankan tugasnya, panggil 

para tokoh rimba hitam kemari," lanjut Daeng Ampra 

memerintah. "Setelah mereka tunduk pada kita, 

maka gerombolan kita akan semakin jaya. Tak akan 

ada yang mampu menandingi Gerombolan Lowo 

Ireng." 

Selendra tersenyum senang. Dadanya dibusung-

kan. Dia merasa bangga atas ucapan gurunya. 

Bagaimanapun juga, dialah Ketua Gerombolan Lowo 

Ireng. Maka, jika Gerombolan Lowo Ireng maju dan 

menjadi partai yang paling besar, namanyalah yang 

akan di kenal. 

Pendekar Gila harus disingkirkan! Tekad Selendra 

dalam hati. 

"Selendra." 

"Saya, Guru," sahut Selendra. 

"Aturlah anak buahmu. Biar mereka bekerja seperti 

biasanya. Sementara itu, bawalah be berapa anak 

buahmu untuk memancing Pendekar Gila." 

"Baik, Guru." 

Setelah menyembah, Selendra pun bergegas me-

ninggalkan tempat itu untuk menjalankan rencana-

nya. Sedangkan Daeng Ampra kini melangkah 

meninggalkan tempat itu, masuk ke kamar tempatnya 

biasa melakukan semadi. 

***

EMPAT


Suasana di Desa Landung Sari malam ini terlihat sepi. 

Angin yang berhembus terasa dingin. Padahal pada 

malam-malam biasa masih ada beberapa orang hilir-

mudik di desa yang menjadi persinggahan para 

pelancong itu. Paling tidak, untuk menikmati 

keindahan panorama pesisir pantai di malam hari 

yang dekat dengan Desa Landung Sari. Namun 

malam ini desa tersebut terlihat lengang. Penduduk-

nya sudah terlelap alam buaian mimpi. 

Sejak kehadiran pendekar wanita yang diberi gelar 

Bidadari Pencabut Nyawa, warga Desa Landung Sari 

merasa tenang. Karena para bajingan, perampok, 

atau penyamun yang biasanya menjarah desa 

mereka, kini agak menghilang. Nampaknya mereka 

takut oleh kediran Bidadari Pencabut Nyawa yang 

sepak terjangnya senantiasa memusuhi orang-orang 

aliran sesat. 

Saat ketenangan menyelimuti Desa Landung Sari, 

dari ujung desa tiba-tiba terdengar jerit kematian yang 

menyayat dan riuh rendah teriakan panik. 

"Aaa...!" 

"Tolong, rampok...!" 

Penduduk Desa Landung Sari yang tengah ter-

hanyut mimpi seketika bangun. Mereka tersentak 

kaget, tak menyangka kalau penyamun akan kembali 

hadir, menjarah desa mereka. 

"Rampok! Tolong...!" 

Tong, tong, tong...!


Suara kentongan tanda bahaya terdengar saling 

sahut-menyahut. Saat itu pula warga Desa Landung 

Sari dengan senjata seadanya bergegas keluar. 

Mereka memburu ke arah datangnya jeritan 

"Itu rampoknya! Tangkap...!" seru lelaki bertubuh 

gemuk dengan kumis melintang. Matanya kelihatan 

garang. Wajahnya bulat dengan hidung besar. Dan 

berpakaian kuning keemasan, menunjukkan kalau 

dia orang berada. Rambutnya tidak terlalu panjang, 

terurai lepas sebatas bahu. Di tangan lelaki itu 

tergenggam keris yang telah terhunus. Dialah Ki 

Marta Pari, Kepala Desa Landung Sari. 

Di sampingnya, berdiri seorang lelaki ber-

perawakan tinggi kekar. Kumis melintang, hidung 

besar serta mata tajam. Ikat kepalanya berwarna 

hitam, berpakaian lengan panjang tanpa leher ber-

warna hitam dan putih seperti pakaian orang Madura. 

Dia adalah Ki Capir Sumpit, pengawal Ki Marta Pari. 

"Tangkap perampok-perampok itu!" seru Ki Capir 

Sumpit seraya berkelebat mengejar para perampok 

yang menjarah desa. 

Ki Capir Sumpit segera merangsek ke arah para 

perampok, mendahului kepala desanya, untuk mem-

bantu penduduk yang sedang bertarung menghadapi 

perampok yang berjumlah dua puluh orang itu. 

Warga Desa Landung Sari yang tidak suka desanya 

dijarah, dengan nekat menyerang para perampok 

yang berpakaian hitam. Wajah mereka juga ditutupi 

kain hitam. Hanya terlihat dua lubang di bagian mata 

mereka. 

Melihat penduduk Desa Landung Sari dan kepala 

desanya menyerbu, para perampok yang tak lain 

Gerombolan Lowo Ireng itu dengan sigap 

menyambutinya. Maka, pertarungan pun tak dapat


dielakkan. 

"Bantai mereka!" seru Ki Marta Pari. 

"Hadang mereka...!" seru pemimpin perampok 

sambil berkelebat menghadang Ki Marta Pari. 

"Menyerahlah, Ki! Berikan semua harta yang ada di 

desamu pada kami!" 

"Huh, jangan kira aku takut padamu. Meski 

namamu lebih menakutkan dari hantu, Marta Pati tak 

akan gentar!" dengus Ki Marta Pari dengan lantang. 

Matanya yang lebar, memandang penuh kebencian 

ke arah sosok hitam di depannya. 

"Ha ha ha...! Perutmu buncit. Bagaimana kau akan 

bisa menghadapiku?!" ejek pemimpin perampok yang 

bernama Sengkolo. 

Di dalam Gerombolan Lowo Ireng, terdapat 

sepuluh orang yang memimpin bagian-bagian 

gerombolan yang tersebar di seluruh tanah Jawa 

Dwipa. Kesepuluh pemimpin itu antara lain, Sarwono, 

memimpin begal-begal di hutan dekat markas 

mereka. Sengkolo, memimpin para perampok yang 

bertugas di daerah timur, dan kini menjarah Desa 

Landung Sari. Samilun, memimpin barisan laut atau 

sering disebut Bajak Laut selat Madura. Kane-kane, 

seorang wanita yang memimpin di kotaraja. 

Sedangkan yang kelima sampai kesepuluh, 

semuanya bertugas menjadi pemimpin yang meng-

awasi keadaan dunia persilatan. Namun setiap waktu 

mereka bisa diperbantukan pada keempat pemimpin 

lain yang membutuhkan. 

Keenam pemimpin itu adalah, Segatra, Prabasu, 

Mantraka, Krada, Bradalupa dan Damar Wangis. 

Sama dengan yang lainnya, mereka pun berwatak 

kasar dan bengis. Tak pernah ada kata ampun bagi 

lawan atau korbannya.


Mendengar ejekan Sengkolo, kemarahan Ki Marta 

Pari berkobar seketika. Dengan mendengus, lelaki 

gemuk itu segera meluruk maju. Keris di tangannya 

bergerak menusuk ke dada lawan dengan jurus 

'Sampar Grana'. 

"Tembus dadamu, Iblis! Hiaaat..!" 

"Uts! Belum, Kerbau Dungu!" ledek Sengkolo 

sambil berkelit mengelakkan serangan yang dilancar-

kan Ki Marta Pari. 

Kemudian dengan cepat Sengkolo balas 

menyerang. Tangan kirinya memukul ke arah pundak 

lawan. Sedangkan golok di tangan kanannya me-

nebas leher lawan. 

"Putus lehermu!" 

Wut! 

Ki Marta Pari terkesiap, merasakan desingan angin 

yang keluar dari tebasan golok di tangan lawan. 

Cepat-cepat Ki Marta Pari bergerak mengelit ke 

samping dengan tubuh agak dirundukkan. Lalu 

dengan cepat, kerisnya ditusukkan ke perut lawan. 

Sementara itu tangan kirinya bergerak memukul ke 

selangkangan lawan dengan jurus 'Tapak Getih'. 

Kali ini Sengkolo yang tersentak kaget, menyaksi-

kan jurus lawan yang dahsyat. Dari angin pukulannya 

saja, tergambar bagaimana kekuatan pukulan yang 

terasa panas menyengat, memaksa tubuh Sengkolo 

untuk segera mencelat ke belakang. 

"Hm.... Rupanya kau mencari mampus, Kerbau 

Dungu! Baik, bersiaplah untuk mampus!" geram 

Sengkolo 

Dalam keadaan masih memasang kuda-kuda 

Sengkolo memasukkan golok ke sarungnya, lalu 

tangannya disatukan di depan wajah. Setelah itu, 

telapak tangan kiri dan kanan digesekkan satu sama


lain. 

Wusss! 

Telapak tangan Sengkolo mengepulkan asap 

hitam. Bersamaan dengan itu, tangannya menghitam 

bagai arang. Itulah ajian yang dimiliki pemimpin 

wilayah Gerombolan Lowo Ireng. Ajian sesat itu 

bernama 'Warangga Geni'. 

"Hiaaat..!" 

"Yaaat..!" 

Baik Ki Marta Pari maupun Sengkolo kini telah 

mengeluarkan ajian tingkat tinggi. Ki Marta Pari 

dengan 'Tapak Getih'nya, sedangkan Sengkolo 

dengan 'Warangga Geni'nya. 

Tubuh keduanya mencelat cepat ke udara dengan 

tangan siap melontarkan pukulan masing-masing. 

Jarak mereka bertambah dekat. Ketika bentrokan 

dahsyat akan terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih 

bergerak membabatkan pedang yang berwarna 

merah kekuning-kuningan ke arah Sengkolo yang 

tersentak dan berkelit di udara. 

Wut! 

Di udara malam yang gelap dan menusuk rulang, 

sinar itu membentuk garis terang pada saat bayangan 

putih tadi membabatkan pedangnya. Jelas itu sangat 

mengejutkan kedua lelaki yang sedang bertempur. 

Saat kedua kaki lelaki itu menjejak tanah, telah 

berdiri dengan gagah seorang gadis cantik ber-

pakaian putih dengan dua gelung rambut di atas 

kepalanya. Bola mata gadis itu bening, namun 

pandangannya tajam, menatap penuh kebengisan 

kepada Sengkolo. 

"Siapa kau?! Mengapa kau ikut campur urusan-

ku?!" bentak Sengkolo memberanikan diri, meski dia 

telah tahu siapa sebenarnya gadis Cina yang sepak


terjangnya membuat tokoh-tokoh rimba hitam agak 

kewalahan. 

"Hhh...!" dengus gadis cantik yang tak lain Mei Lie 

itu. Matanya menatap penuh kebencian pada 

Sengkolo. "Selama aku masih hidup, tak aka 

kubiarkan orang-orang sepertimu berlaku sewenang-

wenang." 

Sengkolo terbeliak. Dia memang telah memahami 

benar siapa gadis Cina itu, yang diberi gelar oleh 

orang-orang persilatan sebagai Bidadari Pencabut 

Nyawa. Sebuah gelar yang menyeramkan bagi tokoh 

persilatan golongan hitam termasuk Sengkolo. 

"Kaukah Mei Lie?!" 

"Ya!" 

"Bagus! Pucuk dicinta ulam tiba! Kami memang 

sengaja mencarimu!" 

Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan 

Sengkolo. Matanya masih menatap tajam ke arah 

Sengkolo. Kemudian kepalanya ditolehkan ke 

belakang, ke arah Ki Marta Pari. 

"Ini urusanku, Ki. Bantulah wargamu memberantas 

Gerombolan Lowo Ireng yang hendak menjarah harta 

penduduk," pinta Mei Lie. 

"Ba... baik, Nyi Pendekar." 

Sengkolo tertawa terbahak-bahak, berusaha 

menutupi rasa gentarnya menghadapi Mei Lie. Bagai-

manapun juga, dia tidak boleh menunjukkan rasa 

takut pada gadis itu, meski julukan gadis Cina di 

hadapannya bukan nama kosong. Buktinya Tiga 

Setan Rambut Api dapat ditumpas seperti me-

musnahkan alang-alang 

"Tak kusangka Bidadari Pencabut Nyawa ini masih 

bocah bau kecur. Hm.... Kuharap kau berpikir seribu 

kali untuk berhadapan denganku!" kata Sengkolo,


masih berusaha menenangkan hatinya, menghilang-

kan rasa takut yang berdenyut-denyut di dadanya. 

"Hm.... Untuk iblis sepertimu, untuk apa aku harus 

berpikir?" sergah Mei Lie dengan nada mencemooh. 

"Bedebah! Rupanya kau menganggap Gerombolan 

Lowo Ireng tak ada artinya, Bocah!" hardik Sengkolo 

marah. Gigi-giginya bergemeletuk keras. Walau 

begitu, dia masih belum mau menyerang. Bagai-

manapun juga, Sengkolo harus berpikir dulu untuk 

menghadapi Bidadari Pencabut Nyawa. 

"Sama sekali tak ada. Bahkan Gerombolan Lowo 

Ireng tak lebih dari sekumpulan anjing-anjing kurap 

yang mengotori dunia!" sahut Mei Lie dengan senyum 

sinis melekat di bibirnya. 

"Bedebah! Kulumat tubuhmu! Heaaa...!" 

Dengan nekat, akhirnya Sengkolo merangsek 

maju. Tangannya dengan cepat menarik golok yang 

tadi berada di sarungnya. 

Srrrt! 

Dengan jurus 'Lowo Ireng Merentang Sayap 

Menyambar Mangsa', Sengkolo melabrak. Tangannya 

membentang lebar, tubuhnya melayang laksana 

terbang. Kemudian dengan cepat tangannya ber-

gerak. Tangan kanan membacokkan golok ke kepala 

Mei Lie, sedangkan yang kiri menghantam dengan 

pukulan sakti 'Warangga Geni'. 

"Hiaaat..!" 

*** 

Melihat lawan telah melesat menyerang, Mei Lie 

segera menggeser kaki kanan agak membuka. 

Ditekuknya kaki kanan membentuk siku. Tangan kiri 

digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan


dilecutkan di depan dada. Sedangkan Pedang 

Bidadari di tangannya disabetkankan miring ke 

samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian, 

dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh. 

Disambung lagi lengan gerakan berbareng antara 

pukulan tangan kiri dan tebasan pedang. 

"Heaaa...!" 

Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Menusuk Gunung 

Karang', Mei Lie memapaki serangan lawan. Pedang 

Bidadari di tangannya bergerak cepat, memburu 

tubuh lawan. 

"Yiaaat...!" 

Trang! 

Plak! 

"Ukh!" Sengkolo mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya 

dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan 

pedang lawan yang cepat dan garang. Golok di 

tangannya telah patah menjadi tiga bagian, terbabat 

Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. 

Mata Sengkolo membelalak. Baru kali ini disaksi-

kannya jurus pedang yang sangat cepat dan me-

matikan. Rasanya selama ini belum ada pendekar 

pedang yang mampu melakukan gerakan menyerang 

dengan begitu cepat dan keras. 

"Kurang ajar!" maki Sengkolo marah, mendapatkan 

kenyataan kalau ilmu lawan ternyata berada sampai 

tiga tingkat di atasnya. Namun begitu, sebagai 

pemimpin dari salah satu Gerombolan Lowo Ireng, dia 

tidak boleh menunjukkan rasa takut meski lawan 

yang dihadapinya sangat tangguh. 

"Hm, itu baru golokmu, Iblis! Kini giliran 

nyawamu...!" dengus Mei Lie, disusul oleh gerakan 

pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-

kuningan. Membuat keadaan di sekitar tempat itu


menjadi terang. 

"Bangsat! Jangan harap kau mampu membunuh-

ku! Hiaaat..!" Sengkolo dengan nekat kembali 

menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan 

habis-habisan. Tangannya kini berubah hitam pekat 

Menyaksikan lawan kembali merangsek, Mei Li 

secepat kilat memapakinya dengan jurus 'Pukulan 

Bidadari Menjebol Benteng'. 

"Yiaaat..!" 

Tubuh Mei Lie melayang deras dengan tangan kiri 

menggenggam, memukul lurus ke arah lawan. 

Sedangkan pedang di tangan kanannya membersit ke 

arah lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedang-

nya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun 

sesungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan 

yang besar. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus 

pamungkas yang sangat dahsyat. 

Sengkolo yang sudah mata gelap tak meng-

hiraukan apa yang akan terjadi. Dia berkeyakinan 

kalau pukulan saktinya akan mampu meremukkan 

tubuh lawan. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan 

tangan bergerak bergantian ke wajah. 

"Hiaaat..!" 

"Heaaa...!" 

Wut! 

Srrt! 

"Ukh!" 

Dari mulut Sengkolo terdengar jerit tertahan ketika 

pedang di tangan Mei Lie membabat tangan 

kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi 

pukulan 'Bidadari Menjebol Benteng' menghantam 

telak dadanya. 

Begk! 

"Ngk! Uhk...!"


Tubuh Sengkolo teriungkir ke belakang. Dia ber-

usaha bangkit dengan sempoyongan. Tangan kanan-

nya yang terbabat, terlihat masih utuh, seakan tak 

terkena babatan pedang lawan. Darah meleleh dari 

sela-sela bibirnya. 

Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan 

setelah mengerahkan tenaga dalam. Matanya 

memandang Sengkolo yang kelihatan pucat, dengan 

kening berkerut Sengkolo tak mengerti mengapa 

tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya ter-

babat pedang lawan. 

Merasa tidak mengalami apa-apa, Sengkolo 

hendak menyerang kembali. Namun baru saja 

kakinya melangkah setindak, tiba-tiba tangan kanan-

nya berhamburan menjadi debu. Tanpa darah setetes 

pun. 

"Aaa.... Tidak...!" pekik Sengkolo histeris. Matanya 

membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa 

yang dilihatnya. 

Mei Lie tersenyum sinis. 

"Itu baru tanganmu, Iblis! Kini bersiaplah, 

nyawamu akan segera kukirim ke neraka!" ancam Mei 

Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan 

kembali. 

Sengkolo yang kini nyalinya ciut, semakin 

ketakutan. Dia telah merasakan bagaimana 

kehebatan ilmu pedang lawan. Dia bermaksud lari, 

namun dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya. 

"Mau ke mana, iblis?!" 

"Oh, tidak! Ampunilah nyawaku. Jangan bunuh 

aku," ratap Sengkolo sambil menangis, mengharap 

Mei Lie mau mengampuninya. 

Mei Lie terdiam. Matanya masih memandang 

tajam pada Sengkolo yang meratap tersedu-sedu,


mengharap ampunannya. 

"Baik, kali ini kuampuni. Sekarang pergilah!" 

bentak Mei Lie. 

Sengkolo menurut, dia bangun dari sujudnya. 

Namun ketika Mei Lie lengah, dengan licik Sengkolo 

melepaskan pukulan saktinya ke arah Mei Lie. 

"Mampuslah kau, hiaaat...!" 

Mei Lie yang sudah menduga tabiat lelaki tinggi 

besar yang sekujur tubuhnya tertutup oleh kain hitam 

itu dengan cepat membuang tubuh ke samping dan 

bersalto beberapa kali. Dengan cepat pedangnya 

dibabatkan ke arah lawan. 

"Rupanya kau harus mampus, Iblis! Heaaa...!" 

Wut! 

Srrrt! 

"Aaa...! 

Sengkolo kembali memekik, ketika pedang di 

tangan Mei Lie menebas tangan kirinya. Dan seperti 

kejadian sebelumnya, tangan kirinya bagai tak 

terkena apa-apa. Namun ketika angin bertiup, tangan 

kirinya tiba-tiba hancur jadi debu! 

Belum juga habis kengerian Sengkolo, Mei Lie 

kembali menyabetkan pedangnya secara menyilang, 

dan menebas tubuh Sengkolo. 

Wut, wut..! 

"Wuaaa...!" 

Sengkolo menjerit dalam satu lengkingan panjang 

yang menggiriskan. Matanya membeliak. Sesaat dia 

mematung di tempat itu, kemudian tubuhnya lebur 

jadi debu. 

Menyaksikan pemimpinnya hancur jadi debu, anak 

buah Sengkolo kocar-kacir seperti anak ayam 

kehilangan induk. Mereka kini semakin terdesak. 

Penduduk Desa Landung Sari yang melihat gelagat


baik itu, tak menyia-nyiakannya. Dipimpin oleh Ki 

Capir Sumpit yang menjadi tangan kanan Ki Marta 

Pati, mereka menggasak sisa-sisa Gerombolan Lowo 

Ireng. 

"Habisi mereka...!" seru Ki Marta Pari. 

"Ayo, jangan biarkan mereka hidup!" sambung Ki 

Capir Sumpit sambil berkelebat memimpin penduduk 

yang segera menyertainya melakukan serangan ter-

hadap sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng. 

Suara-suara marah berhambur dari mulut 

penduduk Desa Landung Sari. 

Sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng semakin 

ketakutan menghadapi amarah penduduk. Terlebih di 

situ ada Bidadari Pencabut Nyawa. Penduduk desa 

yang kalap, dengan ganas membabat sisa-sisa 

Gerombolan Lowo Ireng. 

Mei Lie yang menyaksikan kejadian itu hanya 

menghela napas. Sebelum semua penduduk meng-

hentikan pelampiasan amarahnya terhadap sisa-sisa 

Gerombolan Lowo Ireng, Mei Lie telah melesat pergi. 

***


LIMA


Nama Bidadari Pencabut Nyawa semakin tersohor, 

setelah Gerombolan Lowo Ireng yang menjarah Desa 

Landung Sari dapat ditumpas. Malah pemimpin 

gerombolan itu hilang tak berbekas, seakan raib 

ditelan bumi. Hanya penduduk Desa Landung Sari 

saja yang tahu, kalau pemimpin Gerombolan Lowo 

Ireng itu musnah menjadi debu, tertebas Pedang 

Bidadari di tangan Bidadari Pencabut Nyawa. 

Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar mentari 

yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. 

Desau angin lembut, senandung burung dan kokok 

ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu. 

Dari kejauhan di dalam Hutan Selo Kamal 

terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu 

diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti 

menikmati indahnya pagi. 

Samar-samar di kejauhan, tampak seorang 

pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga 

di tangannya, tengah melangkah sambil bernyanyi. 

Pakaian pemuda itu terbuat dari kulit ular sanca. 

Begitu juga ikat kepalanya. 

Pemuda tampan yang tengah bernyanyi-nyanyi 

sambil meniup suling itu, tak lain Sena Manggala atau 

Pendekar Gila. Didengar dari syair lagunya, tampak-

nya Sena tengah merasakan kerinduan pada seorang 

gadis yang dicintainya. Dan tentunya gadis itu adalah 

Mei Lie


Duh, alam yang indah 

Di mana mentari senantiasa hadir 

Mengusir embun yang dingin 

Telah jauh kakiku melangkah 

Tuk mencari permata hati 

Namun sejauh ini 

Belum juga kutemui....

Setelah berdendang, Sena pun duduk di sebatang 

pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan 

pada ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-

tawa, kepalanya digaruk sambil menatap burung-

burung yang bernyanyi riang. 

"Hi hi hi...! Kau begitu gembira, Burung! Aha, kau 

meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang 

bingung...," kata Sena berbicara seorang diri. "Aha, 

tentunya kau yang bisa terbang tahu di mana kini Mei 

Lie berada, Burung?" 

"Cit, ciiit...!" 

Sena melompat-lompat sambil tertawa-tawa 

mendengar suara burung mencuit. 

"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung 

Cantik?" 

"Cuit, cuit..!" 

Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan. 

Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-

gelengkan kepala, Sena bangkit dari duduknya. 

Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-

burung pemakan bangkai beterbangan dengan 

pekikan yang keras. 

"Oh, ada apa dengan burung-burung itu? Bukankah 

mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena 

dengan kening berkerut . 

Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali


duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat ya 

ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala. 

Kresek! 

Bibir Sena tersenyum ketika telinganya 

menangkap suara kaki menginjak daun kering. 

Dengan acuh sambil tersenyum-senyum, dia bersila. 

Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang 

merenung. 

"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang ber-

sembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang 

redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangka 

tangan kirinya menepuk-nepuk paha. 

Swing, swing...! 

Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah 

Sena yang masih duduk bersila. 

"Aha! Ada juga tikus yang pandai bercanda!" Sena 

sambil berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan 

itu, segera dihantamkannya pukulan 'Inti Bayu' ke 

arah senjata rahasia yang meluncur ke arahnya. 

"Hi hi hi..! Ini mainan kalian kukembalikan!" 

Wusss! 

Swing, swing...! Crab, Crab...! 

"Aaakh...!" 

Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima 

belas tombak terdengar jeritan kematian. Kemudian 

tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam 

meregang. Di leher mereka tertancap lima buah 

senjata rahasia yang tentunya milik mereka. 

Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa 

melayang. 

"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Sena sambil 

berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan. 

"Kurang ajar! Serang dia...!" 

Dari balik semak-semak, terdengar perintah


seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu, 

muncul puluhan orang-orang berpakaian hitam 

dengan wajah tertutup kain hitam. Mereka langsung 

mengurung Sena yang masih tertawa-tawa sambil 

melompat-lompat seperti kera. 

"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!" 

"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-

orang berpakaian serba hitam yang segera dipatuhi 

anak buahnya. 

"Hiaaat...!" 

"Wadauw! Mengapa ganas sekali?!" tanya Sena, 

sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya bergerak 

meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan. 

"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak 

pemimpin para penyerang sambil menebaskan golok-

nya ke kepala Sena. 

"Wadauw, aku tidak mau!" teriak Sena sambil 

meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. 

Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena 

mementahkan serangan yang datang ke arahnya. 

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan sesekali 

tangannya bergerak seperti menepuk. 

"Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!" 

Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan 

yang menyerang ke arahnya. Tubuhnya masih meliuk-

liuk, serta sedikit membungkuk. 

Degk! 

"Wuaaa...!" 

Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila 

seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke 

belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu 

baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon yang 

cukup besar. 

Brak!


"Aaakh!" 

Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya 

bersimbah darah. Tentunya kepala orang itu pecah 

akibat benturan keras dengan pohon besar tadi. 

Hutan yang semula tenang dan asri, seketika riuh 

dan porak-poranda. Banyak pohon yang tumbang oleh 

hantaman pukulan mereka. Rumput-rumput yang 

mulanya segar, kini banyak yang layu terinjak-injak. 

Hewan-hewan hutan seketika berserabutan 

ketakutan. 

"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem...?'" 

tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera. 

Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya 

masih meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan 

serangan lawan. 

"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-

orang berpakain serba hitam yang tentunya dari 

Gerombolan Lowo Ireng. Tubuh pemimpin 

gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga 

bukan suara lelaki. Tentunya dia Kane-kane, wanita 

yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng di kotapraja. 

"Cincang dia!" sambut anak buahnya. 

Serentak mereka kembali menyerang dengan 

membabatkan golok di tangan masing-masing. 

Namun dengan cepat Sena kembali bergerak 

mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat. 

Tubuhnya dibungkukkan ke bawah. 

"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" ucap Sena 

sambil terus bergerak mengelak. Pantatnya sengaja 

ditunggingkan ke arah Kane-kane, yang membuat 

wanita dari Gerombolan Lowo Ireng itu bertambah 

marah. 

"Haiiit..!" 

Kane-kane membabatkan goloknya ke pantat


Sena. 

"Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi 

hi...!" 

Sambil ber kata begitu, Sena kembali mengelak 

cepat. Kemudian tangannya menepuk dua orang yang 

berada di depan dan sampingnya. 

Degk! 

"Wuaaa...!" 

"Aaa...!" 

Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila 

memekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang 

seperti dua batang ranting kering. Lalu menghantam 

pohon disertai pekikan kematian. Kemudian tubuh 

keduanya ambruk dengan napas putus. 

"Bangsat...! Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Kane-

kane kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya 

untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu 

persatu anak buahnya di tangan pemuda tampan 

yang bertingkah seperti orang gila itu. 

Setelah anak buahnya mundur teratur, dengan 

cepat Kane-kane melabrak maju. Matanya yang 

nampak dari lubang di kain penutup wajahnya, 

melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir. 

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?!" bentak 

Kane-kane. 

"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina? Ha 

ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh 

berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-

garuk kepala. 

"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku 

datang untuk menantangmu!" 

Sena kembali tertawa terbahak-bahak. 

"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus 

Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena


masih bergerak-gerik seperti kera. 

"Karena kau penghalang kami!" 

"Oh, kurasa kalau kalian bermaksud baik, aku tak 

akan menghalanginya. Ah ah ah.... Tentunya maksud 

kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi. 

Atau kalian tak punya hidung?!" ledek Sena yang 

membuat Kane-kane semakin membelalak garang. 

"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan, 

urusan kami! Kau memang harus disingkirkan, 

karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!" 

bentak Kane-kane sengit 

Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut 

cengengesan. 

"Aha, kalau memang itu maumu, baiklah. Aku akan 

melayanimu." 

"Hiaaat...!" 

Kane-kane segera melompat dengan terkaman 

tangan yang membentuk cakaran. Dengan jurus 

'Kelelawar Menyambar Serangga' Kane-kane 

menyerang. Tangannya bergerak menyilang, lalu men-

cengkeram lurus ke arah Pendekar Gila. 

"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu, Nyi." 

Sena segera menundukkan kepala, lalu dengan 

cepat tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling. 

Kakinya menendang ke atas, di mana tubuh Kai kane 

berada. 

"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal, Nyi!" 

Kane-kane tersentak kaget mendapatkan 

serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya 

berusaha ditarik. Tapi tubuhnya yang sudah melayang 

sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga... 

Degk! 

"Hukh!" 

Tubuh Kane-kane terlontar ke depan, lalu tersuruk


mencium tanah. 

"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?" 

tanya Sena sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya 

menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala 

sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu mem-

buat Kane-kane semakin marah. 

"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah 

Kane-kane pada anak buahnya yang langsung 

bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih 

melompat-lompat seperti kera. 

"Heaaa...!" 

"Cincang tubuhnya!" seru Kane-kane bertambah 

murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian 

menjengkelkan. 

"Hiaaa...!" 

"Yeaaah...!" 

Anak buah Kane-kane langsung menyerbu dengan 

babatan dan tusukan golok ke tubuh Sena. Mereka 

nempaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi 

nyawa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu. 

Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila 

bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila. 

Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena 

mengelakkan serangan-serangan lawannya. Tubuh-

nya meliuk-liuk bagai sedang menari. Kemudian 

tangannya bergerak ke beberapa jurusan, meng-

hantam dengan tepukan-tepukan yang kelihatannya 

pelan ke dada lawan. 

"Hea...!" 

Plak! 

"Wuaaa...!" 

Satu orang lagi terkena hantaman tepukan tangan 

Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tubuh orang ini 

pun melayang jauh ke belakang. Dan baru berhenti


ketika membentur pohon dengan kepala pecah. 

Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka 

adalah para bajingan, kini tak mau diam dan 

membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat, 

meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari 

Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang semakin 

membuat lawan-lawannya bertambah kalang-kabut 

Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'. 

Wusss...! 

Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar 

angin deras menghantam ke arah lawan. Para 

pengeroyoknya seketika terdorong keras. Bahkan 

pakaian Kane-kane terlepas. Tubuhnya kini tak 

tertutup sehelai benang pun. Ternyata dia seorang 

wanita muda yang cantik dengan rambut terurai 

lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Hal itu 

membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Tak 

menyangka kalau gadis secantik Kane-kane ter-

jerumus dalam kegelapan dunia hitam. 

"Aha, rupanya tikus betina ini cantik?" gumam 

Sena. "Sayang sekali tindakannya telengas." 

Kane-kane kelabakan menutupi auratnya dengan 

kedua tangan. Wajahnya merah terbakar karena malu 

Dia kini tak dapat berbuat banyak. Pilihan yang 

dimilikinya hanya pergi meninggalkan tempat itu 

sambil meneriakkan ancaman. 

"Pendekar Gila! Kali ini aku kalah! Namun kelak, 

aku akan kembali membuat perhitungan denganmu!" 

Sena hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu 

melangkah meninggalkan Hutan Selo Kamal. 

***


Hutan Gandring nampak damai dan asri, dengan 

barisan pohon menghijau dan subur. Burung-burung 

berkicau dengan riang. Terasa damai suasana di 

Hutan Gandring siang itu. Angin bertiup dengan 

alunan yang membuat mata ngantuk. 

Hutan yang indah dan asri, seketika berubah 

mendadak. Banyak pepohonan yang rusak. Kicau 

burung tidak terdengar lagi. Rumput banyak yang 

layu. Kedamaian hutan itu terpecah oleh suara 

teriakan-teriakan orang yang tengah bertarung. 

Dua orang lelaki berpakaian pendekar berwarna 

jingga nampak tengah bertarung menghadapi wanita 

bercaping daun pandan dengan pakaian putih seperti 

pakaian gadis Cina. Kedua lelaki muda berusia 

sekitar tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi dan 

kekar. Wajah mereka tampan dengan kumis tipis 

menghiasi atas bibirnya. 

Kedua lelaki itu bernama Gupala dan Gupali. 

Mereka berasal dari Perguruan Semeru. Rambut 

mereka agak ikal terurai panjang, berikat kepala 

jingga pula. Hidung mereka mancung dengan mata 

tajam laksana mata seekor elang. 

"Mei Lie, antara kita tak ada sangkut paut apa-apa, 

mengapa tiba-tiba kau menyerang kami?" tanya 

Gupala tak mengerti mengapa Mei Lie yang bergelar 

Bidadari Pencabut Nyawa menyerang mereka. 

Padahal mereka dari golongan putih. 

Gadis cantik yang sosok tubuh dan wajahnya mirip 

Mei Lie itu tak berkata. Gadis yang tak lain Sarah Dita 

itu terus menyerang kedua kakak-beradik yang 

berkelit dengan terheran-heran. 

"Kakang, jelas dia tidak main-main! Kita harus 

nenghadapinya dengan tidak main-main pula!" 

dengus Gupali, setelah tubuh mereka menjauh lima


tombak di depan gadis itu. 

"Benar, Dimas. Aku heran, bagaimana mungkin 

Mei Lie yang kita dengar membela kebenaran dan 

keadilan menyerang kita," gumam Gupala. 

"Jangan banyak omong! Kalian memang harus 

mampus! Hiaaat..!" bentak Sarah Dita seraya 

menerjang dengan membabatkan pedang ke arah 

lawan-lawannya. 

Wut! 

"Hati-hati, Kakang! Dia benar-benar ingin 

membunuh kita!" kata Gupali mengingatkan. "Kita tak 

tinggal diam terus. Kita sebaiknya melawan." 

"Ayolah! Kita gunakan jurus 'Dwi Sangkur Dewa'!" 

Setelah mempertimbangkan masak-masak, kini 

kakak-beradik tersebut bergerak menyerang. Pisau 

kembar yang menjadi senjata andalan mereka, 

berdesing tajam ke arah lawan. Hal itu membuat 

Sarah Dita tersentak. Dia berusaha mengelitkan 

serangan lawan, kemudian dengan cepat pula balas 

menyerang dengan jurus andalan 'Sambutan Sampar 

Kabut'. 

Pedang di tangan Sarah Dita bergerak cepat 

hingga bagai menghilang. Yang nampak hanya kabut 

putih yang menutupi tubuh gadis cantik itu. 

"Hiaaat..!" 

Wut! 

Gupala dan Gupali tersentak kaget, menyaksikan 

jurus pedang lawan yang cepat. Kini keduanya tak 

mampu melihat sosok tubuh lawan lagi karena 

tertutup oleh sinar berkabut yang keluar dari pedang 

lawan. 

"Celaka! Dia benar-benar hendak membunuh kita!" 

seru Gupali tegang, menyaksikan jurus lawan yang 

cepat dan membahayakan dengan sasaran yang


mematikan ke jantungnya. 

"Kurasa dia bukan Mei Lie, Dimas." 

"Entahlah. Siapa pun dia, kita tak boleh lengah 

Kakang. Ilmu pedangnya bukan sembarangan." 

"Kita gempur dengan 'Sapuan Sangkur' Heaaat..!" 

"Yiaaat..!" 

Dengan sigap Gupala dan Gupali melemparkan 

pisau-pisau kecil mereka ke arah gumpalan sinar 

putih yang menutupi tubuh lawan. 

Swing, swing...! 

Lima bilah pisau melesat cepat ke arah lawan. 

Namun dengan tangkas, Sarah Dita mampu 

merontokkannya. Pisau-pisau yang dilemparkan oleh 

kakak beradik itu tak ada satu pun yang mampu 

menembus pertahanannya. 

Trang, trang...! 

Pluk, pluk...! 

"Celaka! Dia bukan sembarangan jago pedang, 

Kakang!" 

"Ya!" sahut Gupala dengan mata memandang 

tegang, menyaksikan senjata-senjata mereka dengan 

mudah dirontokkan. Namun sebagai pendekar, 

keduanya tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya 

kembali melemparkan pisau-pisaunya ke arah lawan. 

"Hiaaat!" 

Swing, swing...! 

Enam pisau kembali melesat cepat ke arah Sarah 

Dita. 

"Hait!" Sarah Dita segera memutar pedangnya 

dengan cepat, menangkis pisau-pisau lawan. 

Tring, tring...! 

Kembali pisau-pisau itu berguguran, terkena 

babatan pedang di tangan Sarah Dita. Bahkan kini 

tubuh gadis itu melesat maju lalu membabat lawan


dengan pedangnya. 

"Kalian harus mampus! Hiaaa...!" 

"Awas, Kakang!" seru Gupali sambil membuang 

tubuhnya ke samping, mengelakkan babatan pedang 

lawan. Kemudian dengan cepat tangannya memukul 

ke tubuh lawan. Tapi rupanya Sarah Dita mengetahui 

kalau serangan yang dilancarkan lawan dari sebelah 

kanan. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke 

tangan lawan yang menyerang. 

Wut! 

Gupali tersentak kaget Dia berusaha menarik 

serangannya. Tapi babatan pedang lawan ternyata 

lebih cepat. Sehingga Gupali. tak mampu untuk 

mengelakkannya. Hingga.... 

Cras! 

"Aaa...!" Gupali memekik. Tangan kanannya putus 

terkena babatan pedang lawan. 

"Dimas!" seru Gupala kaget, menyaksikan keadaan 

adiknya. Belum juga Gupali sempat bergerak untuk 

mengelak, Sarah Dita telah lebih dulu membabatkan 

pedang ke dadanya. Diteruskan ke lehernya yang 

tidak mampu mengelak sama sekali. 

Wut! 

Cras, cras! 

Kali ini Gupali tak sempat memekik. Lehernya 

putus dan kepalanya lepas dari tubuh. 

"Dimas...!" 

Kembali Gupala memekik keras dengan mata 

membelalak, menyaksikan kematian adiknya yang 

mengenaskan. 

"Iblis! Tunggu pembalasanku!" 

Sebelum Sarah Dita sempat mengejar, tubuh 

Gupala telah melesat meninggalkan tepian Hutan 

Gandring. Nampaknya Sarah Dita memang sengaja


membiarkan lawan pergi. Dengan begitu, Gupala 

akan menceritakan kejadian itu pada para pendekar. 

Dan tentu Mei Lie yang akan menjadi sasarannya. 

Sarah Dita tersenyum puas, kemudian melesat 

meninggalkan tempat itu. 

***


ENAM


Berita tentang Mei Lie yang membunuh salah seorang 

murid Perguruan Semeru di pinggir Hutan Gandring, 

membuat para pendekar kebingungan. Dunia 

persilatan dibebani pertanyaan yang memusingkan 

karena kejadian itu. Hampir semua orang, baik dari 

dunia persilatan maupun dari kalangan biasa ber-

tanya-tanya. Bagaimana mungkin Bidadari Pencabut 

Nyawa kini membunuh salah seorang dari murid 

Perguruan Semeru? 

Perdebatan antara pihak yang yakin kalau Mei Lie 

yang melakukannya dengan pihak yang tidak percaya, 

menjamur di mana-mana. Mereka pada umumnya 

tidak percaya dengan berita itu. Malah ada yang 

menuduh Gupala hanya membuat-buat cerita untuk 

menjatuhkan nama baik Mei Lie. 

Siang itu, tiga orang lelaki tua dengan jubah 

berwarna putih melangkah menuju sebuah bangunan 

besar yang berada di Gunung Semeru. Tiga lelaki tua 

berjubah putih dengan rambut putih terurai itu adalah 

tiga tokoh sakti dari aliran lurus. Ketiganya sering 

disebut Tiga Malaikat Suci. Sampai setua ini, mereka 

tidak menikah. Jiwa dan raga mereka senantiasa 

diserahkan pada Hyang Widhi. Di samping itu, mereka 

berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan. 

Kedatangan Tiga Malaikat Suci ke Perguruan Semeru, 

semata-mata atas undangan Ketua Perguruan 

Semeru yang juga mengundang para pendekar di 

wilayah Jawa Dwipa bagian timur. Dua prajurit jaga


yang melihat Tiga Malaikat Suci segera menyambut 

mereka dengan menjura hormat 

"Selamat datang ke Perguruan Semeru." 

"Hm.... Terima kasih. Katakan pada ketua kalian 

kami datang," kata salah seorang dari Tiga Malaikat 

Suci yang berjalan di tengah. 

"Baik! Silakan Eyang sekalian menunggu 

sebentar," kata penjaga. Kemudian salah seorang 

dari mereka bergegas masuk untuk memberitahukan 

pada ketuanya kalau orang yang ditunggu telah 

datang. 

Tiga Malaikat Suci merupakan tiga saudara 

seperguruan yang ilmu kesaktiannya tinggi. Orang 

pertama yang berdiri paling kanan bernama Arya 

Parasu. Yang kedua bernama Arya Somala dan yang 

ketiga nama Arya Narasi. Ketiganya terkenal arif dan 

bijaksana da lam menangani segala masalah. Untuk 

itulah, Ketua Perguruan Semeru mengundang 

mereka. 

Tidak lama kemudian, dari dalam muncul murid 

Perguruan Semeru tadi diikuti oleh ketua mereka. 

"Selamat datang ke Perguruan Semeru, Eyang," 

sambut Ki Malawa. Lelaki berusia sekitar lima puluh 

lima tahun dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam 

itu menjura. Wajahnya nampak tenang dan ramah. 

Meski salah seorang murid utamanya tewas, namun 

tampaknya Ketua Perguruan Semeru yang 

mengenakan jubah warna kuning dengan pakaian 

dalam warna coklat muda ini tetap bersikap tenang. 

"Hm.... Terima kasih," sahut ketiganya bersamaan. 

"Ada apa sampai kau memanggil kami, Malawa?" 

tanya Arya Parasu. 

"Ya. Ada apa kau memanggil kami...?" sambun Arya 

Somala.


"Silakan Eyang bertiga masuk dulu. Di dalam telah 

banyak para pendekar menunggu." 

Tiga Malaikat Suci saling pandang, mendengar 

para pendekar telah diundang pula oleh Ki Malawa. 

Hati mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang 

menyebabkan Ketua Perguruan Semeru itu 

memanggil para pendekar. 

"Silakan, Eyang." 

Tiga Malaikat Suci akhirnya menurut masuk. 

Diiringi oleh Ki Malawa, mereka masuk ke sebuah 

ruangan lebar tempat para pendekar dari wilayah 

timur berkumpul. Di situ ada Ki Bagel Kara, Nyi 

Palayuan, Ki Sampra Wika, Dewi Bayangan Bidadari, 

Ki Naga Kadra serta seorang pemuda berpakaian 

rompi kulit ular yang tingkah lakunya persis orang 

gila. 

Tiga Malaikat Suci yang melihat pemuda itu sudah 

dapat menebak, siapa sebenarnya pemuda yang 

cengengesan dan bertingkah laku konyol itu. 

"Hm.... Rupanya Pendekar Gila ada di sini," ucap 

Arya Parasu sambil menjura hormat, diikuti oleh 

kedua adik seperguruannya. Hal itu membuat Sena 

segera bangun dan membalas penghormatan 

mereka. 

"Aha, rupanya aku tak sopan," kata Sena. 

"Seharusnya aku yang menjura pada kalian. He he 

he...!" 

"Tidak ada salahnya, Pendekar Gila. Kami memang 

harus menghormati tamu yang datang lebih 

dahulu...," tukas Arya Narasi. 

"Ah ah ah... Kalian orang tua bijak. Tidak 

sepantasnya aku menerima penghormatan kalian. 

Malah arusnya aku yang menghormati kalian," sergah 

Sena sambil cengengesan.


"Sudahlah. Tak perlu kita perdebatkan masalah 

ini," Arya Parasu menengahi. "Malawa, katakanlah 

ada apa kau memanggil kami dan para pendekar ke 

tempat ini?" 

"Silakan duduk dulu, Eyang," kata Ki Malawa 

mempersilakan ketiga orang tua itu duduk. Setelah 

ketiganya duduk, Ki Malawa meneruskan ucapannya. 

"Memang sengaja aku mengundang Eyang bertiga 

datang kemari, juga para sahabat semua. Hal ini 

berkaitan dengan terbunuhnya salah seorang murid 

Perguruan Semeru oleh gadis Cina." 

Beberapa pendekar yang belum mendengar berita 

itu menjadi tersentak. Terlebih Sena yang amat tahu 

siapa gadis berpakaian putih gaya Cina yang tak lain 

Mei Lie. 

"Mei Lie?!" seru beberapa tamu serentak. 

"Benar!" jawab Ki Malawa tegas. 

"Bagaimana mungkin Mei Lie yang terkenal 

dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa bertindak 

seperti itu?" tanya Ki Sampra Wika. Mata lelaki 

berumur sekitar enam puluh tahun dengan rambut 

ikal ini tampak terbelalak. Seperti tidak percaya. 

Bahkan lelaki tua berbaju merah dadu ini 

memandang Pendekar Gila. 

"Itu sebabnya aku mengundang kalian." 

"Hm...," gumam Sena tak jelas. Tangannya meng-

garuk-garuk kepala. Mulutnya nyengir. "Kurasa kita 

tidak bisa menuduh sembarangan, Ki. Kita harus 

memiliki bukti kuat. Siapa tahu ada orang lain yang 

melakukan semua ini dengan mengatasnamakan Mei 

Lie." 

"Tidak mungkin!" bantah Ki Bagel Kara. "Jelas dia 

Mei Lie." 

"Aha, jangan lekas menuduh begitu, Ki. Apa kau


punya saksi?" tanya Sena masih berusaha membela 

kekasihnya. Nada suaranya terdengar tidak senang 

atas tuduhan yang dilontarkan Ki Bagel pada 

kekasihnya. 

"Ada!" sahut Nyi Palayuan. 

"Hm...," gumam Sena lirih. Tangannya menggaruk-

garuk kepala dengan mulut nyengir. "Aha, bagaimana 

kalau saksi itu tidak jelas benar melihatnya?" 

"Tidak mungkin. Dia berhadap-hadapan langsung 

dengan Mei Lie. Bahkan dia bertarung dengan Mei Lie 

waktu itu bersama adiknya," tukas Ki Naga Badra. 

Lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun 

yang wataknya masih agak keras. 

"Sabar!" kata Arya Parasu. "Untuk memecahkan 

masalah ini, kita jangan saling bantah-membantah 

dengan kepala panas. Seakan sifat kependekaran 

kita tak ada lagi." 

Semua terdiam, tak ada seorang pun yang 

membuka suara. Hanya Sena yang masih 

cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Nah, kini bawa saksi mata kemari," pinta Arya 

Parasu. 

"Baik, Eyang," sahut Ki Malawa. Kemudian dengan 

memberi isyarat pada muridnya, Ki Malawa 

memerintahkan untuk menjemput Gupala. 

Tidak berapa lama kemudian, muncul Gupala 

menghadap ke tempat itu. Lelaki berusia tiga puluh 

lima tahun itu segera memberi hormat pada para 

pendekar yang berkumpul di ruangan tersebut. 

"Ada apa Guru memanggil saya?" tanya Gupala 

pada Ki Malawa. 

"Gupala, coba kau jelaskan bagaimana 

kejadiannya sampai kau dan adikmu bertempur 

dengan gadis Cina itu," pinta Arya Parasu.


Gupala menjura, kemudian dengan singkat dan 

jelas dia menceritakan tentang kejadian yang 

dialaminya. 

"Kami baru saja pulang untuk menyerahkan 

undangan dari guru pada Perguruan Kencana Mukti 

dan Padepokan Randu Kembar dalam rangka 

mengundang para pemimpin perguruan untuk 

mengadakan pertemuan untuk membahas masalah 

persilatan. Pertemuan yang telah sering diadakan di 

perguruan kami. Ketika kami melintas di Hutan 

Gandring, kami di hadang oleh seorang gadis cantik 

bercaping daun pandan. Gadis itu berpakaian putih 

dan bersenjatakan pedang. Dia mengaku bernama 

Mei Lie. Mulanya kami ragu dan tak percaya kalau 

gadis itu Bidadari Pencabut Nyawa. Namun ketika dia 

menyerang dengan pedangnya yang dahsyat, barulah 

kami mempercayainya." 

Sena menghela napas. Tingkah lakunya tetap 

seperti orang gila. 

"Aha, tentunya kau melihat pedangnya, Ki," kata 

Sena. 

"Benar, Tuan Pendekar." 

"Bagus. Apakah pedang itu bersinar merah 

kekuning-kuningan?" tanya Sena. 

Gupala sesaat terdiam, berusaha mengingat-ingat 

pedang di tangan gadis cantik yang mengaku Mei Lei. 

"Tidak. Pedang di tangan gadis cantik itu berwarna 

putih," jawab Gupala. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak bagai tidak 

dapat menahan rasa gelinya. 

"Ah, kini apa kalian masih yakin kalau gadis itu Mei 

Lie?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala 

"Ya!" Jawab Ki Sampra Wika. 

"Aha, bagaimana kalian bisa yakin?"


"Sena, Mei Lie bukanlah gadis sembarangan 

setelah memiliki Pedang Bidadari dan menguasai 

'Ilmu Pedang Bidadari'. Siapa pun akan takut untuk 

mengaku-aku sebagai dirinya," tutur Ki Bagel Kara. 

"Benar! Malah semua tokoh hitam dibuat gentar 

dengan kemunculannya. Kurasa, kalau dia memang 

tidak bersalah, dia akan datang untuk membuktikan 

dirinya memang tidak bersalah," sambung Nyi 

Palayuan. 

Sena menggaruk-garuk kepala, seperti bingung 

mendapatkan kenyataan itu. Bagaimanapun juga, 

nama baik dan keberadaan Mei Lie kini terancam. 

Kalau Mei Lie tidak muncul juga, maka para pendekar 

tentu akan semakin yakin kala pelakunya adalah Mei 

Lie. Dan tentunya pula, orang yang telah berbuat 

akan semakin senang, karena secara tidak langsung 

dia dapat mengadu domba orang-orang persilatan 

golongan lurus. 

Ingatan Sena melayang kembali pada peristiwa di 

Lembah Lamur. Di sana Mei Lie juga dituduh 

melakukan hal yang tak pantas bagi seorang 

pendekar aliran putih. Begitu pula dengan gurunya, 

Singo Edan. Malah dia pun sempat menuduh kalau 

gurunya telah meracuninya (Untuk jelasnya, silakan 

baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan 

Dewi Kuan Im"). 

Mungkinkah sekarang Mei Lie ada yang 

mempengaruhi? Tanya Sena dalam hati. Biar 

bagaimanapun juga, aku harus bisa membongkar 

teka-teki ini! 

"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya Arya Parasu. 

"Baiklah! Semua kuserahkan pada kalian," jawab 

Sena. 

"Kalau begitu, untuk menyelidiki masalah ini.


bagaimana kalau Pendekar Gila kita tugaskan untuk 

menyelidikinya?" tanya Arya Parasu. 

"Dengan senang hati," jawab Sena. 

"Kini semua telah selesai. Kita tinggal menunggu 

Kedatangan Mei Lie. Kalau dia datang, kita akan bisa 

membuktikan kebenarannya. Apakah dia bersalah 

atau tidak. Tapi kalau dia belum juga datang dalam 

tujuh hari, maka kita akan mencarinya," tutur Arya 

Somala. 

"Bagaimana?" tanya Arya Narasi. 

"Setuju...!" sahut para pendekar. 

"Kini kau harus menyelidikinya, Pendekar Gila." 

"Aku akan segera menjalankan tugas yang telah 

kalian amanatkan. Aku mohon pamit." 

Sena pun segera menjura, kemudian bergegas 

meninggalkan Perguruan Semeru. 

*** 

Pendekar Gila benar-benar tak mengerti dengan 

semuanya. Dia tak habis pikir, mengapa Mei Lie 

selalu mendapat kemalangan. Dari pertama kali ke 

tanah Jawa Dwipa bersama ayahnya, gadis itu sudah 

dilanda nasib sial. Ayahnya tewas di tangan anak 

buah Segoro Wedi. Kemudian setelah berpisah lama 

dengan Pendekar Gila, muncul Houw San atau Kauw 

Cien Lung. Baru bertemu, kembali Mei Lie harus 

menelan kepahitan menjadi sandera Dewi Pemuja 

Setan. Dan kini, Mei Lie harus menjadi korban fitnah 

orang (Untuk mengetahui semua kisah Mei Lie, 

silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode 

"Suling Naga Sakti", "Singa Jantan dari Cina", dan 

'Titisan Dewi Kuan Im"). 

Sena melangkah menyelusuri jalanan di Lembah


Pakuan dengan pikiran yang masih melayang pada 

Mei Lie, gadis Cina yang telah menawan hatinya. 

Gadis yang selama keberadaannya di tanah Jawa 

Dwipa ini senantiasa mendapatkan penderitaan. 

Seakan telah digariskan oleh Hyang Widhi, kalau Mei 

Lie harus menerima semua kenyataan itu. 

"Kasihan, Mei Lie," desah Sena lirih. 

Ketika Sena melangkah menyelusuri Lembah 

Pakuan, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang 

bertarung. Didengar dari suaranya, sepertinya ada 

beberapa orang yang teriibat pertarungan di balik 

bukit sebelah selatan. 

"Heaaat..!" 

"Hait!" 

Trang!" 

"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena 

sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar 

suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah, benar. 

Kudengar suara senjata beradu. Aku akan melihat." 

Dengan cepat Sena menjejakkan kaki ke atas. Lalu 

dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sena 

berusaha melihat apa yang terjadi di balik bukit 

Matanya membelalak, menyaksikan seorang gadis 

bercaping daun pandan dengan pakaian yang sama 

persis dengan Mei Lie tengah bertarung melawan 

seorang lelaki berbaju coklat 

"Mei Lie?" gumam Sena, menyaksikan gaya gadis 

itu yang sama persis dengan Mei Lie. "Ah, tidak 

mungkin. Dia bukan Mei Lie. Tentunya gadis ini yang 

telah membunuh murid Perguruan Semeru." . 

Belum juga Sena selesai meyakinkan dirinya kalau 

gadis yang tengah bertarung itu bukan Mei Lie, dari 

arah lain tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia 

ke arahnya.


Swing, swing...! 

"Eit! Aha, ada yang main-main rupanya!" gumam 

Sena sambil melenting, mengelakkan serangan 

puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara 

beberapa kali, kemudian dengan cepat menepis 

beberapa senjata rahasia dan membalikkannya ke 

arah senjata-senjata itu berasal. 

"Heaaa...!" 

Swing, swing...! 

Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya. 

Dan tidak lama kemudian terdengar suara hunjaman 

senjata-senjata itu disertai jeritan kematian. 

Jlep, jlcp...! 

"Wuaaa...!" 

"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan 

tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya tak 

lepas menggaruk-garuk kepala. 

"Serang...!" 

Seketika terdengar suara perintah seseorang dari 

balik bukit sebelah kiri Sena. 

Swing, swing...! 

Puluhan anak panah tiba-tiba menderu ke arah 

Sena. Hal itu membuatnya segera merundukkan 

tubuh ke bawah, lalu dengan cepat berguling lemah 

ke sawah. Sengaja hal itu dilakukan. Dengan harapan 

orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan 

muncul. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diseli-

kan di ketiaknya. Berpura-pura terhunjam sebatang 

anak panah tadi. 

Benar juga apa yang diduganya. Dari balik bukit 

muncul puluhan orang bertopeng hitam dengan di 

tangan mereka. Mata orang-orang memandang tajam 

ke arahnya, seakan meyakinkan kalau pemuda itu 

telah tewas.


Saat itulah Sena segera melontarkan pukulan 'Inti 

Bayu' andalannya. 

"Heaaa...!" 

Wusss! 

Angin kencang menderu keras ke arah orang-orang 

bertopeng yang berdiri di atas bukit. 

"Awas...!" seru pemimpin orang-orang bertopeng 

mengingatkan anak buahnya. 

Namun terlambat! Angin kencang laksana topan 

yang dilancar kan Sena tak dapat dielakkan oleh 

beberapa orang bertopeng itu. Seketika tubuh 

mereka terpental, tersapu topan yang keluar dari 

tangan Sena. 

"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil 

berjingkrak-jingkrak senang. Tangan kanannya 

kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan 

kirinya menepuk-nepuk pantat. "Lucu! Lucu sekali 

kalian! Ayo, turunlah!" 

Mendengar tantangan Pendekar Gila, orang-orang 

bertopeng yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu 

meluruk turun untuk menyerang. 

"Serang...! Habisi dia...!" perintah pemimpinnya. 

"Heaaat..!" 

"Ciaaat..!" 

Lembah Pakuan yang semula sepi, kini riuh oleh 

akan Gerombolan Lowo Ireng yang hendak 

menyerang Sena. Dengan golok terhunus di tangan, 

mereka menyerbu ke arah Sena. 

"Cincang tubuhnya!" 

"Yeaaah...!" 

Melihat lawan menyerang, Sena tak tanggung-

tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila 

Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan 

mereka.


Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat. 

Kedua tangannya menghantam ke sana kemari. 

Pukulannya yang disertai angin topan, membuat 

beberapa lawan terpelanting. 

"Heaaa...!" 

Sena tak mau berhenti sampai di situ. Dia terus 

bergerak menyerang dengan garang. Tingkah-lakunya 

seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan 

maut yang dahsyat. 

Prak! 

"Wuaaa!" 

Satu lagi korban menjerit. Tubuhnya terpental jauh 

dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan 'Si 

Gila Melebur Gunung Karang'. 

"Serang terus!" seru pemimpin gerombolan. 

"Cincang tubuhnya!" 

"Yiaaat..!" 

Sena terus bergerak cepat. Tubuhnya meliuk-liuk 

laksana menari, mengelakkan serangan-serangan 

lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 

Setelah itu dilanjutkan dengan jurus 'Si Gila Melebur 

Gunung Karang'. Tangannya bergerak memukul arah 

lawan-lawannya. 

"Heaaa...!" 

Begk, begk...! 

"Wuaaa...!" 

Tiga orang langsung memekik keras dengan dada 

hancur. Tubuh mereka terlempar jauh, kemudian 

jatuh dengan keadaan menyedihkan. Meski begitu, 

nampaknya para penyerang tidak mau berhenti 

sampai di situ. Mereka terus saja melabrak dengan 

nekat, bagai tidak mengenal rasa takut sedikit pun. 

Wut! 

Golok menderu keras di atas kepala Sena yang


menunduk sambil meliukkan tubuh. Kemudian 

dengan cepat kakinya menendang ke arah 

selangkangan lawan. 

Prat! 

"Aduuuh...!" 

Orang yang terkena tendangan memekik. Matanya 

melotot. Kedua tangannya mendekap kemaluannya 

yang pecah dan meneteskan darah. Sesaat tubuhnya 

mengejang dan berputar-putar meregang nyawa. Lalu 

ambruk dengan nyawa melayang. 

"Ha ha ha...! Ayo, siapa lagi yang ingin telur 

puyuhnya kupecahkan?!" seru Sena sambil ber-

jingkrak-jingkrak seperti kera. Tubuhnya mencelat ke 

atas kemudian menukik sambil melepaskan pukulan. 

Kedua kakinya tak tinggal diam, menjejak dan 

menendang ke arah lawan. 

Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, 

Gerombolan Lowo Ireng mengarahkan goloknya ke 

atas. Hal itu membuat Pendekar Gila mendapat 

keuntungan. Dengan begitu, serangan kini terpusat 

ke satu titik. 

"Pukulan 'Inti Brahma'. Heaaa...!" 

Wusss...! 

Api keluar dari tangan Pendekar Gila, melesat ke 

arah Gerombolan Lowo Ireng. Mereka terkejut dan 

berusaha mengelakkan serangan ganas yang 

dilancarkan Sena. Namun api yang bergulung-gulung 

itu lebih cepat melalap tubuh mereka. Sehingga... 

Blup! 

"Wuaaa...!" 

"Aaa...!" 

Orang-orang yang terkena api seketika menjerit. 

Tubuh mereka berguling-guling, berusaha memadam-

kan api. Tapi api yang tercipta dari pukulan 'Inti


Brahma' tampaknya sangat sulit dipadamkan. 

Terlebih di lembah itu tak ada air. Tubuh mereka 

hangus terbakar, mati menjadi arang hitam. 

Pemimpin Gerombolan Lowo Ireng tersentak 

menyaksikan beberapa anak buahnya hangus 

terbakar. Ciut juga nyalinya menyaksikan kejadian itu. 

Tanpa menunggu Pendekar Gila menyerangnya, 

pemimpin gerombolan Lowo Ireng itu segera melesat 

pergi, diikuti anak buahnya yang masih hidup. 

"Hei, tunggu!" seru Sena seraya mengejar. Tapi 

mereka bagai menghilang seketika. 

Sena tertawa terpingkal-pingkal. Tapi segera tawa-

nya dihentikan, manakala teringat akan pertarungan 

lelaki tua berpakaian coklat melawan gadis yang 

berpakaian mirip Mei Lie. Ketika Sena menengok ke 

arah pertarungan tadi berlangsung, dia hanya melihat 

lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan gadis 

yang menyerupai Mei Lie telah tiada. 

Sena segera berlari mendekati tubuh lelaki yang 

berlumuran darah dengan sayatan pedang menganga 

di dadanya. 

"Ukh!" lelaki tua berpakaian coklat itu mengeluh. 

"Oh, siapa kau, Anak Muda?" 

"Aku Sena, Ki. Dan siapa kau?" tanya Sena. 

"Kau..., kaukah Pendekar Gila itu?" tanyanya putus-

putus. 

"Benar, Ki," sahut Sena. 

"Aku Galiwang. Di..., dia memang hebat...," keluh Ki 

Galiwang. 

"Dia siapa, Ki?" 

"Dia..., dia Bidadari Pencabut Nyawa. Oh...." 

Kepala Ki Galiwang terkulai, pertanda nyawanya 

telah melayang meninggalkan raga. 

"Mei Lie...," desis Sena lirih. "Mungkinkah Mei Lie?"


Sena masih bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia 

belum yakin kalau gadis bercaping daun pandan itu 

Mei Lie. Dengan lesu, Sena meninggalkan tempat itu. 

Pikirannya semakin kusut memikirkan semuanya. 

"Benarkah dia Mei Lie? Lalu, siapa orang-orang 

bertopeng hitam tadi?" gumam Sena. "Aku harus 

mengetahui siapa orang-orang bertopeng hitam itu," 

Dengan hati yang gundah, Sena melesat me-

ninggalkan tempat itu untuk menyelidiki siapa orang-

orang bertopeng hitam yang menurutnya pasti 

berhubungan dengan semua kejadian itu. 

***


TUJUH


Sore itu hujan lebat mengguyur Desa Kemurang. 

Tampak lelaki tua berpakaian compang-camping 

dengan tongkat kayu hitam melangkah di jalan 

setapak yang digenangi air hujan. Lelaki tua yang 

menggenggam tempurung itu ternyata Pengemis 

Tempurung Sakti. 

Saat itu Pengemis Tempurung Sakti tengah 

berjalan di selatan Desa Kamurang untuk menuju 

Gunung Bromo di sebelah timur. Tapi bukan ke 

gunung itu tujuannya, melainkan ke Hutan Warang 

Belang yang menjadi markas Gerombolan Lowo Ireng. 

Jarak yang harus ditempuhnya masih agak jauh, kira-

kira sepuluh mil lagi. 

Pengemis Tempurung Sakti bagai tak menghirau-

kan hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Tidak 

dipedulikannya air hujan yang tercurah dari langit. Dia 

hanya peduli pada keselamatannya, setelah 

kemunculan Bidadari Pencabut Nyawa. Sengaja dia 

datang dari jauh untuk mencari perlindungan pada 

Gerombolan Lowo Ireng, yang dianggap cukup 

mampu melindungi dirinya. 

Saat Pengemis Tempurung Sakti berjalan 

menembus curahan air hujan, tiba-tiba langkahnya 

terhenti. Matanya yang tertutup oleh alis putih lebat, 

membelalak ketika melihat seseorang berpakaian 

putih berdiri sekitar lima tombak di depannya dalam 

curahan air hujan. 

Perlahan-lahan matanya mengawasi dari bawah ke


atas, berusaha melihat orang yang menghadang 

perjalanannya. Dan betapa terkesiap hatinya keti 

mengenali sosok berpakaian putih itu. 

"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Pengemis 

Tempurung Sakti terkejut. 

"Lama kutunggu kemunculanmu, Pengemis Setan! 

Kau telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti. 

Nyawamu tak akan kuampuni!" dengus Mei Lie 

dengan mata memandang tajam penuh kebencian 

pada Pengemis Tempurung Sakti. 

"Kau? Aku tak punya urusan denganmu," sanggah 

Pengemis Tempurung Sakti, berusaha mengelak dari 

tuduhan Mei Lie. 

Mei Lie hanya tersenyum sinis. Kakinya melangkah 

setapak demi setapak mendekati Pengemis 

Tempurung Sakti. 

Srrrt! 

Tangan Mei Lie menarik Pedang Bidadari dari 

sarungnya. Sinar merah kekuning-kuningan seketika 

terpancar menyilaukan mata, menerangi tempat itu 

"Kau boleh mengelak dari dosamu, Pengemis 

Setan! Tapi nanti di akhirat sana!" dengus Mei Lie 

dengan gusar. Kakinya terus melangkah maju. 

Tubuh lelaki tua itu menyurut mundur dua langkah. 

Matanya memandang Mei Lie dengan tajam. 

Sementara gadis itu telah siap dengan pedangnya. 

"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" bentak 

Mei Lie sambil menggerakkan pedangnya ke 

samping. Dengan sinar mata menusuk, Mei Lie terus 

melangkah maju. Siap menyerang dengan jurus 

pertamanya 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut'. 

Melihat lawan telah membuka serangan, Pengemis 

Tempurung Sakti tak tinggal diam. Meski mengetahui 

siapa lawan yang hendak dihadapi, tapi sebagai tokoh


persilatan yang telah banyak makan asam garam, dia 

tak mau menunjukkan rasa takutnya. Tongkatnya 

segera digerakkan dengan cepat, membentuk sebuah 

putaran. Jurus itu bernama 'Lingkaran Angin Sewu' 

"Kau sudah siap, Pengemis Setan?!" 

"Hm...," gumam Pengemis Tempurung Sakti. 

Tangannya masih menggerakkan tongkat kayu 

hitamnya dengan cepat. 

"Bersiaplah! Yiaaat...!" 

Dengan jurus 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut', 

Mei Lie bergerak menyerang. Pedang di tangannya 

memburu ke arah lawan dengan tusukan dan 

sabetan yang sangat cepat. 

"Yeaaa...!" 

Menyaksikan lawan menyerang, Pengemis 

Tempurung Sakti segera menggerakkan tongkatnya 

untuk menangkis. 

"Hait!" 

Trak! 

Terdengar suara dua senjata beradu. Diikuti oleh 

pekikan keduanya saat melakukan serangan. 

Suasana perbatasan Desa Kemurang yang riuh 

diguyur hujan, semakin bertambah hiruk-pikuk oleh 

pertarungan mereka. Tanah becek di tempat mereka 

bertarung berhamburan. Rerumputan banyak yang 

mati, tergasak kaki mereka. Daun pepohonan 

berhamburan, terkena sabetan pedang dan tongkat 

keduanya. 

"Hiaaat..!" 

"Yeaaah...!" 

Pedang di tangan Mei Lie bergerak dengan cepat 

menusuk ke dada lawan. Pengemis Tempurung Sakti 

berkelit ke samping dengan kaki sedikit ditekuk. 

Kemudian dengan cepat pula, dia balas menyerang


dengan sambaran tongkatnya dalam satu jurus 

'Lingkaran Angin Sewu', yang dilajutkan dengan jurus 

'Hantaman Badai Selatan'. 

"Yeaaat..!" 

Tongkat kayu hitam di tangan Pengemis 

Tempurung Sakti bergerak mencecar lawan dengan 

ganas. Angin pukulannya menderu-deru, menimbul-

kan hembusan yang sangat keras. Ujung tongkat yang 

runcing berusaha membelah dada lawan. 

Wut! 

"Uts! Yeaaa...!" 

Dengan gerakan yang lincah serta cepat, Mei xlei 

segera mengelakkan serangan yang dilancarkan 

lawan. Setelah menghindari serangan, dengan sigap 

Mei Lei kembali menggebrak dengan serangan yang 

tidak kalah hebat. Pedang di tangannya membentuk 

sebuah garis mendatar. Lalu pedangnya bergerak 

menyilang bergantian dari kanan bawah ke kiri, atau 

sebaliknya. 

"Heaaa...!" 

Dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah 

Awan' Mei Lie kembali bergerak menyerang. 

Pedangnya membelah ke arah yang berlawanan 

dengan cepat, diikuti oleh laju tubuhnya yang mem-

buru tak kalah cepatnya ke arah lawan. 

"Yiaaat..!" 

Pengemis Tempurung Sakti menggeser kaki kiri 

agak membuka. Kaki kanannya sedikit ditekuk. 

Sedangkan tubuhnya agak dimiringkan, mengelitkan 

serangan lawan ke belakang. Lalu dengan cepat, 

tongkatnya digerakkan untuk menangkis. 

Trak! 

Prak! 

"Ukh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.


Mulutnya meringis. Sedangkan tangannya gemetar 

kesemutan setelah beradu senjata dengan Mei Lei. 

Seperrinya gadis Cina itu memiliki kekuatan tenaga 

dalam yang sangat hebat. 

Tidak kusangka ilmunya sangat tinggi. Puji 

Pengemis Tempurung Sakti dalam hati, mengakui 

kehebatan tenaga dalam lawan. Tidak disangkanya 

kalau ilmu tenaga dalam lawan ternyata berada dua 

tingkat di atasnya. 

Mei Lie tersenyum sinis menyaksikan kekagetan 

lawan dari wajahnya yang pucat. Matanya kian tajam 

memandang Pengemis Tempurung Sakti. 

Hujan masih mengguyur, seakan sengaja dicurah-

kan dari langit untuk menyemaraki pertempuran itu. 

Angin bertiup laksana membadai, semakin membuat 

rasa dingin yang menyekat. 

"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" dengus 

Mei Lie dengan nada gusar. Tangannya kembali 

menggerakkan pedang dengan cepat, menyilang dan 

menusuk. Langkah kakinya pelan beraturan dengan 

gerakan yang aneh. Itulah jurus pamungkas 'Tebasan 

Pedang Batin'. 

"Baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu! 

Hiaaat..!" teriak Pengemis Tempurung Sakti seraya 

melesat melakukan serangan. Tempurung saktinya 

dilemparkan ke arah Mei Lie. Sedangkan tubuhnya 

melesat menyerang dengan sambaran tongkat kayu 

hitamnya. 

Swing! 

"Hiaaa...!" 

Mei Lie segera mengangkat Pedang Bidadari, 

memapaki serangan tempurung sakti lawan. 

Brak! 

Ledakan dahsyat terdengar, diiringi oleh hancurnya


tempurung lawan. Tempurung itu berhamburan 

menjadi serpihan debu. Pohon yang dekat dengan 

tempat mereka bertarung, turut terbakar hangus. 

Tanah yang dipijak oleh Pengemis Tempurung Sakti 

bergetar bagai terkena gempa. Hal itu membuat 

Pengemis Tempurung Sakti tersentak dengan mata 

membelalak. Segera serangannya ditarik, lalu 

mencelat ke belakang dengan wajah menggambarkan 

rasa kaget 

"Kurang ajar! Kau telah menghancurkan 

tempurungku! Kau harus mampus! Yeaaa...!" 

Dengan jurus 'Sapuan Kilat Maut' Pengemis 

Tempurung Sakti kembali meluruk. Tongkat kayu 

hitam di tangannya menderu-deru bagai topan serta 

mengeluarkan sinar membara laksana kilat. 

Mei Lie segera mengerahkan tenaga dalamnya, 

kemudian dengan mata terpejam tubuhnya bergerak 

memapaki serangan lawan. Tangannya menebas ke 

lengan lawan. 

"Heaaa...!" 

"Yeaaah...!" 

Wut! 

Trak! 

Cras! 

"Wuaaa...!" 

Pengemis Tempurung Sakti memekik keras. 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan 

mata membelalak. Matanya memandang kedua 

tangannya yang tadi dirasakan terkena penggalan 

pedang lawan. Namun kedua tangannya masih 

tampak utuh, seperti tidak mengalami apa-apa. 

Itulah kehebatan jurus 'Tebasan Pedang Batin' 

Lawan tidak merasakan apa-apa, bahkan tidak 

mengalami apa pun. Semua anggota tubuh kelihatan

.masih utuh, tak ada tanda-tanda bekas tebasan 

pedang. Setelah beberapa saat kemudian, kejadian 

yang aneh pun terjadi. Tubuh yang terkena babatan 

pedang seakan berubah menjadi debu dan 

beterbangan ditiup angin. 

Baru saja Pengemis Tempurung Sakti terheran-

heran menyaksikan tangannya bagai tak terluka, tiba-

tiba kejadian yang menggiriskan dialaminya. Ketika 

angin berhembus menerpanya, kedua tangannya 

hancur menjadi debu. Tak ada darah yang keluar. 

Begitu juga dengan tongkat kayu hitamnya. Tongkat 

itu terbakar menjadi debu. 

"Wuaaa...! Tobaaat...!" pekik Pengemis Tempurung 

Sakti ketakutan setelah menyaksikan kedua 

tangannya telah menghilang tanpa bekas. 

"Hi hi hi...! Kau harus mampus, Pengemis Setan! 

Bersiaplah! Hiaaa...!" 

Mei Lie yang sudah demikian benci pada orang-

orang yang dianggapnya telah membunuh Nyi Bangil 

dan Lira Kanti, kembali melabrak lawan dengan 

tebasan menyilang. 

"Tidak! Jangan...!" ratap Pengemis Tempurung 

Sakti ketakutan. 

Namun Mei Lie rupanya tidak menghiraukan 

jeritan itu. Dia terus bergerak menyerang dengan 

tebasan-tebasan menyilang ke tubuh lawan. 

Bret, bret! 

Cras! 

"Aaa...!" jerit kematian yang melengking terdengar. 

Tubuh Pengemis Tempurung Sakti tergetar dahsyat. 

Matanya melotot. Kemudian diam mematung tanpa 

nyawa. Tubuhnya berhamburan ketika angin 

menerpanya. 

"Nyi Bangil, Lira Kanti! Kini semuanya telah


terbalaskan! Tenanglah kalian di alam sana," desis 

Mei Lie. 

Mei Lie hendak berlalu meninggalkan tempat itu, 

ketika terdengar suara orang berseru mencegahnya. 

"Tunggu...!" 

Mei Lie menghentikan langkahnya, lalu 

memandang ke arah suara itu. Nampak olehnya para 

pendekar telah berada di tempat itu. Hal itu membuat 

Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa 

para pendekar berdatangan dan mengepungnya. 

"Mei Lie, kau kami tangkap!" seru Arya Parasu. 

"Ditangkap? Apa salahku...?" tanya Mei Lie. 

"Nanti kami jelaskan! Yang pasti kau harus ikut 

kami!" jawab Arya Parasu. 

Mei Lie terdiam sesaat, namun akhirnya menurut. 

Setelah memasukkan Pedang Bidadari ke sarungnya, 

dengan tenang Mei Lie menghampiri para pendekar. 

Dan dia pun menurut ketika para pendekar 

mengajaknya ke Perguruan Semeru. 

*** 

Mei Lie tersentak setelah mendengar penjelasan 

tentang alasan dirinya ditangkap dari Arya Parasu. 

Mata Mei Lie yang indah dan bening itu membelalak 

menatap dengan tajam pada para pendekar yang 

diam membisu. Sepertinya mereka pun merasakan 

getaran yang aneh, atau takut menyaksikan Bidadari 

Pencabut Nyawa mendengus. 

"Fitnah! Jelas ini fitnah. Tentunya ada seseorang 

yang bermaksud memecah belah para pendekar," 

dengus Mei Lie dengan lantang. 

"Sabar, Mei Lie. Kami pun ragu kalau kau yang 

telah membunuh murid Perguruan Semeru dan Ki


Galiwang. Sena telah menyelidiki semuanya. Agar 

para pendekar dapat membuktikannya, sementara 

waktu kau biar di sini. Kalau semuanya sudah jelas, 

kmia akan melepaskanmu," urai Arya Parasu, salah 

seorang dari Tiga Malaikat Suci. 

"Hm...," gumam Mei Lie tak jelas. "Apakah kalian 

tidak memberi aku kesempatan untuk membuktikan 

kebenaran. Aku bersumpah, akan menangkap hidup 

atau mati orang yang telah memfitnahku." 

Semua terdiam, sepertinya tengah berpikir apakah 

hendak meluluskan permintaan Mei Lie. Kini 

Pandangan para pendekar yang berada di Perguruan 

Semeru tertuju ke arah Tiga Malaikat Suci. Secara tak 

langsung mereka meminta pendapat tiga lelaki tua 

yang dianggap sebagai sesepuh para pendekar di 

wilayah timur. 

"Kau bersungguh-sungguh, Mei Lie?" tanya Arya 

Parasu. 

"Ya!" 

"Sulit. Apakah kau bisa membuktikan bahwa kau 

tidak membunuh para pendekar?" tanya Arya Parasu. 

Mei Lie menghela napas panjang. Memang sulit 

untuk membuktikan semuanya. Namun seketika dia 

teringat akan keampuhan Pedang Bidadari jika 

mengenai tubuh lawan. 

"Apakah korban hancur menjadi debu?" tanya Mei 

Lie. 

"Hancur menjadi debu?!" pekik semua pendekar 

kaget dengan mata membelalak. 

"Apa maksudmu, Mei Lie?" tanya Arya Parasu 

dengan kening berkerut, tak mengerti dengan 

pertanyaan yang baru saja diajukan Mei Lie, si 

Bidadari Pencabut Nyawa. 

"Siapa pun yang terkena Pedang Bidadari dengan


menggunakan jurus 'Tebasan Pedang Batin' orang itu 

akan menjadi debu. Apakah kalian tadi tidak melihat 

kematian Pengemis Tempurung Sakti?" 

Semua terdiam dengan mata tak berkedip. Mereka 

seperti baru menyadari kekeliruan dan kecerobohan-

nya. Hati mereka membenarkan kata-kata Mei Lie. 

Ya, semua korban Mei Lie memang tak ada 

bekasnya. Semua menjadi debu! 

"Bisa kau membuktikannya, Mei Lie?" tanya Ki 

Malawa kemudian. 

"Hm.... Dengan apa?" tanya Mei Lie. 

"Sebentar!" 

Kemudian Ki Malawa berlalu dari ruangan itu. 

Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan 

membawa seorang murid Perguruan Semeru. 

"Dengan ini," kata Ki Malawa, membuat semua 

mata para pendekar membelalak kaget. Mereka tak 

mengira kalau Ki Malawa akan mengorbankan nyawa 

manusia untuk membuktikan kebenaran ucapan Mei 

Lie. 

"Malawa, apa-apaan kau?!" bentak Arya Parasu. 

"Dia manusia!" 

"Benar! Dan kalau dia bukan orang jahat, pantang 

bagiku membunuhnya," sambung Mei Lie. 

Ki Malawa tersenyum tenang. Bahkan memandang 

dengan sinis pada muridnya yang semakin tegang 

ketakutan. 

"Dia pengkhianat di Perguruan Semeru. Untuk 

itulah, apa tidak sebaiknya Bidadari Pencabut Nyawa 

yang menghukumnya. Sekaligus membuktikan 

kebenaran semuanya. Bagaimana...?" tanya Ki 

Malawa masih bersikap tenang. 

Semua pendekar masih terdiam. Belum ada yang 

mengerti dengan maksud Ketua Perguruan Semeru


itu, termasuk Tiga Malaikat Suci. Semua menunggu 

dengan hati berdebar. Sesekali mata mereka 

memandang tegang ke arah calon korban. Kemudian 

beralih memandang Mei Lie yang juga merasa tegang. 

"Lakukanlah, Mei Lie," perintah Arya Parasu 

akhirnya. 

"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan." Mei Lie 

segera mengeluarkan Pedang Bidadari dari sarung-

nya. Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya 

digerakkan menyilang, lalu dihunus tegak lurus. 

Dengan gerakan halus, Mei Lie membabatkan 

pedangnya ke tangan korban. 

Cras! 

"Aaa...!" 

Lelaki muda yang mendapat hukuman itu 

memekik. Tapi seketika matanya membelalak, 

menyaksikan kedua tangannya masih utuh. 

Bukan hanya lelaki muda yang mendapat 

hukuman yang kaget menyaksikan kejadian aneh itu, 

tapi semua pendekar di tempat itu turut mem-

belalakkan mata. 

"Hah?! Apakah kau tidak melakukannya, Mei Lie?" 

tanya Arya Parasu. 

"Sudah," jawab Mei Lie tenang. 

"Tapi..." 

Belum habis ucapan Arya Parasu, tiba-tiba Mei Lie 

meniup ke arah tangan lelaki muda itu. Kejadian 

aneh kembali terjadi. Tangan korban seketika 

beterbangan menjadi debu. 

Semakin membelalak mata semua pendekar 

menyaksikan bagaimana hebatnya ilmu pedang 

Bidadari Pencabut Nyawa itu. Kini semuanya 

berdecak kagum. Hati mereka berkata lirih. Kalau 

saja Mei Lie mau, tentunya dia akan mampu


membantai semua yang ada di tempat ini. 

"Ck ck ck...! Sungguh bukan ilmu pedang 

sembarangan," Gumam Arya Parasu. "Kalau kau mau, 

kami tak mungkin dapat menandingimu, Mei Lie. Kini 

kami yakin, bahwa kau tidak bersalah. Tapi kau harus 

dapat menangkap hidup atau mati orang yang telah 

memfitnahmu." 

"Terima kasih, aku akan berusaha menangkap-

nya." 

"Ya. Semua demi nama baikmu, Mei Lie. Juga 

ketenangan dunia persilatan," kata Arya Parasu. 

"Apakah aku diperkenankan mencarinya 

sekarang?" tanya Mei Lie. 

"Apakah kau tak ingin menunggu Sena?" balik Arya 

Parasu bertanya. 

Mei Lie terdiam. Dia memang ingin bertemu 

pemuda itu. Namun bagaimanapun juga, tugas jauh 

lebih utama dibanding kepentingannya. Dihelanya 

napas panjang-panjang. 

"Biarlah aku harus menunaikan tugasku dulu. 

Sampaikan salamku pada Sena jika dia datang," ucap 

Mei Lie. 

Kemudian setelah menjura hormat, Mei Lie pun 

meninggalkan Perguruan Semeru diikuti pandangan 

penuh kekaguman dari para pendekar yang kini 

percaya kalau Mei Lie bukan pembunuh murid 

Perguruan Semeru dan Ki Galiwang. 

"Kuharap dia segera berhasil," gumam Ai Parasu. 

"Ya! Semoga dia cepat berhasil, sehingga semua-

nya akan terungkap. Begitu juga dengan Pendekar 

Gila, semoga dia segera membuka tabir semuanya, " 

tambah Ki Malawa. 

Langit sore kini nampak cerah, terhias oleh pelangi 

yang indah di sebelah timur. Para pendekar berharap,


semua akan berakhir. 

Mei Lie terus melangkah, menapakkan kakinya 

untuk mencari orang yang telah mencemarkan nama 

baiknya. 

***


DELAPAN


Malam telah menyelimuti bumi dengan kegelapannya 

yang terasa mencekam. Angin malam yang dingin 

berhembus perlahan, meniup debu dan menggesek 

dedaunan. 

Desa Jatiwangi tempat Padepokan Sawo Jajar yang 

dipimpin oleh Ki Swarna Bayu berada, tampak sepi. 

Tak terlihat seorang pun yang keluyuran. Semua 

seperti terbuai oleh desau angin malam, meringkuk di 

atas pembaringan masing-masing. 

Dari arah barat di mana Hutan Wadas Gering 

berada, saat itu muncul sesosok bayangan putih 

berkelebat memasuki perbatasan Desa Jatiwangi. 

Diikuti oleh kemunculan beberapa sosok tubuh yang 

terbungkus pakaian hitam. Wajah mereka tertutup 

oleh kain hitam. Hanya mata mereka saja yang 

terlihat. 

Sosok berbaju putih memakai caping daun pandan 

itu melesat menuju Padepokan Sawo Jajar. 

Kemudian dengan berdiri di depan padepokan, sosok 

berbaju putih itu berseru lantang. 

"Swarna Bayu, keluarlah!" 

Murid-murid Padepokan Sawo Jajar tersentak 

mendengar seruan itu. Bergegas mereka bangun. Dan 

langsung terkejut, ketika beberapa bayangan hitam 

tiba-tiba berkelebat menyerang. 

"Padepokan diserang musuh...!" teriak salah 

seorang murid padepokan, yang membuat semua 

orang Padepokan Sawo Jajar terjaga dari tidurnya.


Begitu juga dengan Ki Swarna Bayu. Lelaki tua itu 

berusia sekitar enam puluh tahun, dengan wajah 

menggambarkan ketenangan. 

"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat 

keonaran!" bentak Ki Swarna Bayu marah. Matanya 

menyapu ke sekelilingnya, di mana orang-orang 

bertopeng hitam telah mengepung padepokannya. 

"Aku!" 

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih. 

Dilihat dari tubuhnya yang ramping, jelas bayangan 

putih itu seorang wanita muda. Sayang wajahnya yang 

tertutup caping daun pandan tidak begitu jelas, 

membuat Ki Swarna Bayu tak dapat mengenali 

wajahnya. 

"Siapa kau?!" bentak Ki Swarna Bayu. 

"Aku Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa," jawab 

gadis itu, membuat mata Ki Swarna Bayu mem-

belalak. 

"Bedebah! Aku tak percaya! Bidadari Pencabut 

Nyawa bukan orang dari golongan hitam. Dia tidak 

pernah membuat keonaran sepertimu!" dengus Ki 

Swarna Bayu gusar. 

"Ha ha ha...! Terserah kau saja, Ki. Yang pasti aku 

datang untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah 

Yeaaa...!" 

Melihat lawan telah menyerang, Ki Swarna Bayu 

tak mau tinggal diam. Dia pun segera melompat 

untuk menghadapi serangan lawan. Kedua kakinya 

digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak 

membentuk sebuah kebutan dan cakaran yang keras. 

"Yeaaa!" 

Tangan Ki Swarna Bayu mencengkeram ke arah 

lawan. Namun dengan cepat wanita bercaping daun 

pandan yang mengaku Mei Lie mengelakkannya.


Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balik 

menyerang dengan tendangan. 

Ki Swarna Bayu menarik cengkeramannya. Dengan 

berputar, dia membalas serangan lawan. Kakin 

bergerak menendang, diteruskan dengan pukulan 

tangan kanan ke dada lawan. 

Suasana Padepokan Sawo Jajar yang semula 

tenang dan sepi, kini menjadi riuh. Pertarungan 

antara para penyerang yang memakai topeng hitam 

melawan murid-murid Ki Swarna Bayu berjalan 

dengan seru. Jeritan kematian memecah kesunyian 

malam, diiringi cipratan darah. 

Ki Swarna Bayu terus menggebrak dengan 

serangan-serangan keras yang merupakan serangan 

inti. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Badai Samudera-Utara' 

dan 'Gelombang Laut Utara' dikeluarkannya susul-

menyusul. 

Melihat serangan lawan yang telah menggunakan 

jurus-jurus inti, lawannya yang tak lain Sarah Dita 

tidak mau tinggal diam. Segera pedangnya dicabut 

dari sarungnya. 

Srrrt! 

"Heaaat..!" 

Dengan pedang di tangan, Sarah Dita balas 

menyerang. Pedangnya bergerak membabat dan 

menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti oleh 

pukulan dan tendangannya yang juga berbahaya. 

Dengan jurus 'Lingkaran Maut' andalannya, Sarah 

Dita berusaha mendesak lawan. Pedangnya menderu-

deru, menebas dan menusuk ke tubuh lawan. 

"Hiaaat..!" 

Ki Swarna Bayu terkesiap. Matanya membelalak 

menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat. 

Sepertinya lawan tidak ingin memberi kesempatan


sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas. 

Pedang di tangan lawan tidak ubahnya malaikat maut 

yang terus mencari mangsa. 

"Celaka!" pekik Ki Swarna Bayu dengan mata 

semakin membesar tegang, mendapati serangan 

lawan yang susul-menyusul tiada putusnya. 

Ki Swarna Bayu berusaha mengelakkan serangan 

lawan yang gencar. Namun pedang di tangan lawan 

bagai memiliki mata saja. 

Wut, wut..! 

Pedang di tangan Sarah Dita terus mencecar 

Ketua Padepokan Sawo Jajar itu dengan tebasan-

tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki 

Swarna Bayu semakin terdesak. Dan.... 

Cras! 

"Aaakh...!" 

Ki Swarna Bayu memekik keras, ketika dadanya 

tersayat pedang lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung 

ke belakang dengan mata membelalak. 

"Hiaaat..!" 

Sarah Dita tak puas sampai di situ, meski lawan 

dalam keadaan sekarat. Pedang di tangannya 

memburu ke arah Ki Swarna Bayu, siap merenggut 

nyawa orang tua itu. Namun pada saat yang kritis itu, 

tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat me-

nangkis kelebatan pedang Sarah Dita. 

Trang! 

"Ukh!" Sarah Dita mengeluh. Tubuhnya terhuyung-

huyung ke belakang dengan mata membelalak, 

memandang sosok wanita berpakaian putih bergaya 

gadis Cina. Pedang di tangan gadis Cina itu bersinar 

merah kekuning-kuningan. 

"Rupanya kau yang telah membuat fitnah keji atas 

diriku?!" dengus Mei Lie setelah menemukan orang


yang selama ini telah membuat namanya tercemar. 

"Ya!" sahut Sarah Dita sinis, dengan sikap 

menantang. 

"Bedebah! Rupanya kau sengaja melakukannya! 

Katakan, siapa yang mendalangimu?!" bentak Mei 

Lei. 

"Itu urusanku!" sahut Sarah Dita, tak kalah sengit. 

"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit! 

Bersiaplah!" 

"Hm...!" 

Dua gadis cantik jago pedang itu kini saling 

berhadap-hadapan. Satu memegang pedang bersinar 

merah kekuning-kuningan. Yang lain memegang 

pedang bersinar putih keperakan. Mata mereka yang 

indah, saling menatap tajam. 

Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk 

menentukan siapa di antara mereka yang paling 

hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang 

satunya Pedang Titisan Iblis. 

"Heaaa...!" 

"Yiaaat..!" 

Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus 

'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di 

tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas. 

Seakan pedang itu berusaha membelah langit. 

Sementara itu, Sarah Dita tidak mau tinggal diam. 

Segera digunakannya jurus pembuka yang tidak kalah 

hebat. Jurus 'Sapuan Kabut Maut' dilancarkannya. 

Pedangnya bergulung cepat membuat sinar putih 

laksana kabut yang menutupi tubuhnya. 

"Hiaaat..!" 

"Yeaaah...!" 

Trang! 

Denting dua pedang beradu terdengar. Tubuh


keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan 

sigap kembali menyerang. Pedang di tangan mereka 

bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari, 

memburu tubuh lawan. 

Pertarungan seru dua gadis yang memiliki ilmu 

pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung, membuat 

semua murid Padepokan Sawo Jajar dan anak buah 

Sarah Dita seketika menghentikan pertarungan. 

Mereka kini terpaku, menyaksikan pertarungan hebat 

antara dua gadis cantik bersenjata pedang. 

Mei Lie kembali membuka jurus. Kali ini dengan 

jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung'. 

Pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat 

tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke arah 

bawah. 

Sekeliling tempat itu seketika menjadi terang oleh 

sinar merah kekuning-kuningan yang keluar dari 

Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. 

"Yeaaa!" 

"Hiaaat..!" 

Keduanya kembali berkelebat, bergerak 

menyerang dengan babatan dan tusukan pedang. 

Gerakan mereka sangat cepat, rasanya sulit untuk 

diikuti mata. Kini yang tampak hanya sinar merah 

kekuning-kuningan yang berbaur dengan sinar putih 

keperakan. 

Trang, trang! 

Wut! 

"Hiaaat..!" 

Beberapa kali pedang di tangan mereka saling 

beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke 

belakang. Mata keduanya saling pandang dengan 

tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar, 

keduanya kembali menyerang dengan sabetan


pedang. 

"Yeaaah...!" 

"Hiaaat...!" 

Mei Lie kali ini telah mengeluarkan jurus 

pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus 

sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena 

babatan pedangnya akan mengalami keanehan. 

Tubuhnya tak menampakkan luka. Tapi jika tertiup 

oleh angin, maka tubuhnya akan lebur menjadi debu 

yang beterbangan. 

Sarah Dita tersentak menyaksikan jurus yang aneh 

dan terkenal itu. Agak tegang juga dia menyaksikan 

jurus yang tengah diperagakan Mei Lie. Nyalinya 

seketika menciut, jika ingat akan korban jurus yang 

tengah diperagakan Mei Lie. 

"Tunggu!" seru Sarah Dita. 

"Hm.... Ada apa? Apakah kau akan menyerahkan 

diri dan mau bertanggung jawab atas semuanya?" 

tanya Mei Lie. 

"Ya. Hentikan jurus itu. Aku terima kalah." 

"Baik. Ikut aku!" 

Dengan gerak cepat, Mei Lie berkelebat menotok 

jalan darah Sarah Dita. Gadis itu seketika kaku bagai 

patung. 

"Kalian orang-orang Gerombolan Lowo Ireng. 

Hentikan! Kalau tidak, aku tak akan segan-segan 

menghabisi nyawa kalian!" seru Mei Lie. 

Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng 

menghentikan pertarungan. 

"Bubar kalian! Katakan pada pimpinan kalian, aku 

akan ke sana!" seru Mei Lie lantang. Semua anggota 

Gerombolan Lowo Ireng tak ada yang membantah, 

mereka lari terbirit-birit. Mei Lie pun segera melesat 

pergi, membawa tubuh Sarah Dita.


*** 

Sementara itu, di markas Gerombolan Lowo Ireng, 

tampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi 

kulit ular tengah mengamuk. Pemuda tampan yang 

tidak lain Pendekar Gila, kini benar-benar marah, 

setelah tahu dalang semua kerusuhan di rimba 

persilatan. 

"Hi hi hi...! Ayo, biar kalian kujadikan perkedel! Ha 

ha ha...!" 

Dengan tingkah laku seperti orang gila, Pendekar 

Gila terus bergerak menyerang ke sana kemari. Suling 

Naga Sakti di tangannya, tak henti-hentinya meminta 

korban. Setiap kali sulingnya bergerak, jeritan 

kematian menyapu malam yang sepi. 

Sejauh itu, pertarungan tampak belum akan 

berakhir. Para pemimpin Gerombolan Lowo Ireng pun 

belum menampakkan batang hidungnya. Hal itu 

membuat Pendekar Gila semakin mengamuk ganas. 

Dengan berteriak-teriak seperti orang kebakaran 

jenggot, Sena berusaha memanggil orang-orang itu. 

"Pimpinan Gerombolan Lowo Ireng, keluarlah 

kalian!" serunya menantang sambil terus melabrak 

Gerombolan Lowo Ireng. 

Sementara itu, di dalam bangunan besar markas 

Gerombolan Lowo Ireng, Selendra dan Daeng Ampra 

tengah membicarakan jalan yang harus mereka 

tempuh. Baru Pendekar Gila saja yang datang, 

mereka telah dibikin repot. Apalagi jika yang lainnya 

muncul. 

"Celaka! Dia memang bukan pendekar 

sembarangan. Baru dia yang datang, kita telah 

kerepotan begini," gerutu Daeng Ampra. "Tak ada 

waktu bagi kita untuk meladeninya. Apalagi jika Mei


Lie datang. Celakalah kita." 

"Tapi, Guru...," selak Selendra. 

"Ada apa, Selendra?" 

"Bagaimana kalau aku menghadapinya?" 

"Apa?! Jangankan kau, aku pun belum tentu 

mampu menghadapinya. Percuma saja! Kita harus 

menyingkir dari sini." 

"Tidak! Aku akan menghadapinya!" kata Selendra 

seraya berkelebat keluar. 

"Selendra, tunggu!" cegah Daeng Ampra. Namun 

tubuh Selendra telah melesat meninggalkan tempat 

itu. "Anak total! Rupanya dia mencari mampus!" 

Daeng Ampra segera melesat keluar lewat pintu 

belakang, meninggalkan tempat itu. Dia melihat 

keadaan yang tidak memungkinkan untuk diladeni. 

Pertarungan semakin seru dengan kemunculan. 

Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Selendra yang 

bernafsu hendak mengalahkan Pendekar Gila 

langsung menyerauak ke dalam kancah pertempuran. 

Dan menyerang Pendekar Gila dengan jurus 

'Bayangan Kelelawar Hitam dari Neraka'. 

Tubuh Selendra laksana menghilang, yang terlihat 

hanya bayangannya saja. Hal itu membuat Pendekar 

Gila tersentak kaget, dia berusaha memusatkan 

kekuatan batinnya. Namun anak buah Selendra 

tengah menggempurnya. Mau tak mau, perhatiannya 

terpecah lagi. Dengan mendengus marah serta 

bertingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila 

mengamuk. Suling Naga Sakti digerakkan ke segenap 

penjuru memukul ke kepala lawan. 

"Hiaaat..!" 

Jerit kematian terdengar susul-menyusul dari 

mulut anak buah Selendra. Pada saat itu, Selendra 

menendang pundak Pendekar Gila dengan telak.


Duk! 

"Ukh!" Sena mengeluh. Tubuhnya berguling bawah. 

Salendra kembali berkelebat, menyerang ke arah 

Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila 

kembali berguling ke samping, lalu dengan cepat 

sulingnya dibabatkan. 

"Heaaa...! Hih!" 

Trak! 

"Ukh!" Selendra mengeluh. Kakinya terpincang-

pincang terkena sabetan Suling Naga Sakti. 

Pendekar Gila yang telah kalap segera bangkit. 

Lalu dengan cepat pukulan sakti 'Si Gila Melebur 

Gunung Karang' dihantamkan ke arah anak buah 

Selendra. 

"Heaaa...!" 

Wusss! 

"Wuaaa...!" 

"Aaakh...!" 

Anak buah Selendra yang hendak menyerang 

Pendekar Gila berhamburan. Tubuh mereka terpental 

dengan keadaan mengerikan. Angin puting beliung 

yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila 

menyapu mereka sampai jauh. 

"Hi hi hi...! Tunjukkan wujudmu, Setan!" bentak 

Sena pada Selendra sambil berjingkrakan seperti 

monyet "Ha ha ha! Ayo, tunjukkan wujudmu!" 

"Jangan sombong, Pendekar Gila! Mari kita 

bertarung sampai mati!" dengus Selendra, dibarengi 

dengan kemunculannya yang langsung menyerang. 

"Uts! Licik! Heaaa...!" 

Pendekar Gila segera bergerak meliukkan tubuh, 

mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat'. Kemudian dengan cepat, 

Suling Naga Sakti dihantamkan ke arah lawan.


Wut! 

Selendra tersentak, mendapatkan serangan lawan 

yang mengeluarkan hawa panas laksana api. Suling 

Naga Sakti menderu tajam di depan wajahnya. Cepat-

cepat Selendra membuang tubuh ke belakang, lalu 

dengan cepat melepas pukulan dengan jurus 

'Kepakan Sayap Kelelawar' 

Wrrrt! 

"Weh!" pekik Pendekar Gila kaget, ketika tangan 

lawan menepis pundaknya. Seketika, pundaknya 

terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah. 

"Wrrr...!" 

Dengan menggeram marah, Pendekar Gila segera 

menghantamkan sulingnya ke arah lawan. Disusul 

oleh serangan-serangan gencar dengan jurus 'Si Gila 

Membelah Awan'. 

Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh, 

cukup menyentakkan lawan. Selendra berusaha 

mengelakkan serangan-serangan gencar yang 

dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya 

Pendekar Gila tak mau memberi kesempatan yang 

ketiga kali bagi lawan untuk menyerang. Dengan 

gempuran gencar susul-menyusul, Pendekar Gila 

terus mengincar lawan. Sampai lawan tak punya 

kesempatan untuk balas menyerang. 

"Heaaa...!" 

"Serang dia!" seru Selendra memerintahkan anak 

buahnya untuk menyerang. 

Namun belum juga Gerombolan Lowo Ireng 

membantu, dari kejauhan terdengar suara para 

pendekar berdatangan. Hal itu membuat Selendra 

semakin kebingungan. Dia berusaha lari, tapi Sena 

dengar cepat menghadangnya. 

"Mau lari ke mana, Iblis?!"


"Bedebah! Kau harus mampus, Pendekar Gila 

Yeaaa...!" 

Dengan nekat Selendra merangsek, berusaha 

menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena terlalu 

bernafsu, hanya dengan memiringkan tubuh ke 

samping Pendekar Gila berhasil mengelakkan 

serangan lawan. Kemudian dengan cepat, Suling 

Naga Sakti dihantamkan ke batok kepala lawan. 

Wut! 

Prak! 

"Aaakh...!" 

Selendra menjerit keras, kepalanya hancur terkena 

hantaman Suling Naga Sakti. Tubuhnya terjajar ke 

belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk 

dengan nyawa melayang. 

Melihat para pendekar berdatangan, Pendekar Gila 

segera menghampiri. Betapa gembira hatinya ketika 

melihat Mei Lie bersama mereka. 

"Mei Lie...!" 

"Sena!" 

Mei Lie segera lari ke arah Pendekar Gila dan 

memeluk erat tubuh pemuda itu. Mei Lie berlinang air 

mata. Gadis itu menangis, merasakan keharuan dan 

kesyahduan setelah keduanya begitu lama berpisah. 

"Maafkan aku, Sena. Aku tak dapat menahan mosi 

waktu itu," desis Mei Lie lirih. 

"Sudahlah, kita bantu para pendekar. Nanti kita 

bisa bercerita lagi, bukan?" bujuk Sena berusaha 

menghibur. 

Mei Lie tersenyum lepas bersama tetes lembut di 

kedua pipinya. 

Para pendekar yang rata-rata berilmu tinggi, tidak 

menghadapi kesulitan dalam menumpas sisa-sisa 

Gerombolan Lowo Ireng yang masih mencoba


mengadakan perlawanan. Dalam sekejap saja, sisa-

sisa Gerombolan Lowo Ireng dapat ditaklukkan. 

"Di mana guru Gerombolan Lowo Ireng?" tanya 

Arya Parasu. 

"Jadi ada yang masih sisa?" tanya Sena sambil 

cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, 

baru merasa sadar kalau dedengkot Gerombolan 

Lowo Ireng ternyata masih hidup. 

"Ya! Justru dia orang utama di Gerombolan Lowo 

Ireng. Dia bernama Daeng Ampra, lelaki tua berjubah 

hitam dengan rambut panjang berwarna putih," tukas 

Arya Parasu, orang tertua dari Tiga Malaikat Suci. 

"Perkenalkan, ini dari Sulawesi. Dia datang dari jauh 

kemari untuk menangkap Daeng Ampra." 

Lelaki berpakaian kuning keemasan melangkah ke 

arah Pendekar Gila. Lelaki itu belum begitu tua, hanya 

berkisar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. 

Wajahnya nampak tenang, dengan kumis tipis 

menghiasi atas bibirnya. Kepalanya ditutup oleh adat 

orang Sulawesi, berbentuk persegi tiga den runcing ke 

ujung berwarna kuning emas. Di pinggangnya melilit 

kain coklat semu kuning keemasan. 

"Aku Daeng Lonto, menghaturkan sembah," ujar 

lelaki tua itu seraya menjura pada Pendekar Gila. 

"Aha, mengapa begitu? Tak usahlah begitu. Panggil 

saja namaku, Sena," kata Pendekar Gila sam 

membalas menjura. "Kalau boleh kutahu, apa yang 

telah terjadi di Sulawesi?" 

Daeng Lonto menceritakan semua kejadian yang 

terjadi lima belas tahun yang silam di Pulau Sulawesi. 

Di sana dulu ayahnya menjadi ketua adat. Daeng 

Ampra dan Dewi Sandang yang merupakan saudara 

sepupu menjadi orang-orang yang namanya kondang 

di daerah itu.


Ayah Daeng Lonto yang bernama Daeng Marhabu 

menjadi pemimpin adat yang dikhianati kedua 

saudara sepupunya. Daeng Marhabu dibunuh oleh 

Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Hal itu membuat 

semua pendekar marah. Dipimpin oleh Daeng Ponte, 

para pendekar berusaha menangkap Daeng Ampra 

dan Dewi Sandang. Namun mereka licik. Keduanya 

dapat meloloskan diri dan lari ke tanah Jawa Dwipa. 

"Begitulah ceritanya, Sena. Aku diutus dan 

dipercaya oleh para pendekar di tanah Sulawesi 

untuk menangkap keduanya hidup atau mati," jabar 

Daeng Lonto dengan mimik wajah penuh kegeraman. 

"Kurang ajar! Coba aku periksa ke dalam," ujar 

Sena segera mencelat masuk ke dalam untuk 

memeriksa bangunan bekas markas Gerombolan 

Lowo Ireng. Namun di sana tidak ditemukannya siapa-

siapa lagi. 

Sena keluar kembali dengan mulut nyengir serta 

tangan kanan menggaruk-garuk kepala, membuat 

Mei Lie merengut. Antara senang dan sebal beraduk 

menjadi satu di hatinya. Sedang Sarah Dita tersipu-

sipu. Hati gadis cantik itu merasakan getaran aneh 

jika memandang wajah Pendekar Gila. 

Oh! Beruntung sekali kau, Mei Lie. Gumam Sarah 

Dita dalam hati. Matanya tak lepas memandang Sena 

yang tampan dan membuat hatinya berdebar-debar. 

"Bagaimana, Sena? Apa ada?" 

"Mungkin dia melarikan diri, Daeng," jawab Sena. 

"Hm, kalau begitu kita harus mengejarnya," kata 

Daeng Lonto. "Kalau keduanya tidak segera 

ditangkap, bisa-bisa dunia persilatan akan selalu 

resah." 

"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya," 

ucap Sena tegas. Kemudian ditatapnya Sarah Dita


yang saat itu tengah tersipu-sipu malu. "Nona, 

tentunya kau tahu di mana mereka berada?" 

Mei Lie yang menyaksikan tingkah laku Sarah Dita, 

seketika merengut. Hatinya dibakar cemburu, melihat 

kelakuan gadis itu di hadapan lelaki pujaannya. 

"Baiklah, aku akan memberitahukan kalian. Tentu 

Daeng Ampra mendatangi guruku Dewi Sandang...," 

tutur Sarah Dita. 

"Di mana gurumu tinggal?" tanya Arya Parasu. 

"Di Goa Sandang, di kaki Gunung Arjuna," jawal 

Sarah Dita menerangkan tempat gurunya berada. 

"Terima kasih, Nona. Kalau begitu, apa tidak 

sebaiknya kita ke sana?" ajak Daeng Lonto pada 

Pendekar Gila. 

"Ayolah, jangan buang-buang waktu lagi," sambut 

Pendekar Gila. 

"Mari, kami permisi dulu," pamit Daeng Lonto. 

"Sena, aku ikut," pinta Mei Lie, membuat Pendekar 

Gila hanya mampu menggaruk-garuk kepa1a, dengan 

mulut nyengir. Hal itu membuat Mei Lie lagi-lagi 

merengut. Sena tak dapat berbuat apa-apa lagi 

"Ayolah," jawab Sena. 

Ketiganya pun segera meninggalkan markas 

gerombolan Lowo Ireng, sekaligus meninggalkan para 

pendekar yang masih berada di tempat itu, untuk 

menentukan hukuman bagi Sarah Dita. Walaupun 

Sarah Dita telah insyaf dan sadar, namun dia harus 

mendapatkan hukuman atas tindakannya. Sarah Dita 

harus menjalani hukuman penjara di Perguruan 

Semeru selama tujuh puluh purnama. 

***


SEMBILAN


Seorang lelaki tua berjubah hitam dengan rambut 

putih terurai, serta berbadan kurus tampak berlari 

membelah hutan belantara. Lelaki tua yang tak lain 

Daeng Ampra itu, sesekali menengok ke belakang. 

Khawatir kalau Pendekar Gila mengejarnya. Bukan 

dia gentar menghadapi Pendekar Gila yang tersohor 

itu, namun keadaan terlalu mendesak. Dia belum siap 

untuk menghadapinya. 

"Huh, kalau saja aku telah merampungkan ajian 

'Sasra Jingga', kuhadapi kau, Pendekar Gila!" geram 

Daeng Ampra bersungut-sungut sambil terus berlari. 

Napasnya yang tersengal-sengal tak dihiraukannya. 

Dia tidak ingin dapat dikejar oleh Pendekar Gila. 

Daeng Ampra akhirnya sampai juga ke tempat 

yang dituju, di Goa Sandang. Sesaat matanya 

menyapu ke sekelilingnya, takut kalau ada yang 

memergokinya. Setelah merasa yakin tak ada siapa-

siapa, tubuh Daeng Ampra mencelat, menerobos 

masuk ke dalam goa. 

"Daeng, kau datang? Ada apa...?" tanya seorang 

wanita berusia sekitar enam puluh tahun dengan 

hidung mancung. Matanya tersirat nakal saat 

memandang. Bibirnya tipis dengan alis mata tebal. 

Tubuh wanita yang tentunya Dewi Sandang itu tinggi 

dan agak kurus, terbalut oleh pakaian yang sangat 

minim. Hanya buah dada dan bagian terlarang yang 

ditutupi dengan secarik kain berwarna hitam. 

Rambutnya terurai lepas, panjang sampai ke pantat.


Dewi Sandang bangkit dari duduknya. Kemudian 

kakinya melangkah menghampiri saudara seper-

guruannya yang terengah-engah dengan kening 

berkerut 

"Celaka, Sandang. Celaka...!" 

"Ada apa?" tanya Dewi Sandang masih belum 

mengerti. "Apanya yang celaka?" 

"Markas Gerombolan Lowo Ireng diobrak-abrik 

Pendekar Gila," tutur Daeng Ampra. 

Dewi Sandang tersentak mendengar ucapan 

saudara seperguruannya. Rahangnya mengejang, 

menahan amarah yang tak terkira. 

"Mengapa tidak kau hadapi? Mengapa kau lari?!" 

tanya Dewi Sandang agak jengkel. "Hanya meng-

hadapi bocah gila itu saja kau lari!" 

"Tapi, Sandang! Dia bukan sembarangan bocah. 

Namanya saja sudah membubung tinggi. Apalagi 

dengan Suling Naga Saktinya yang mampu 

mengeluarkan sinar maut. Juga suaranya yang 

mampu membuat orang terbawa alunannya," kilah 

Daeng Ampra beralasan. 

"Huh, pengecut! Percuma kau mendapat julukan 

daeng!" dengus Dewi Sandang. "Lalu, bagaimana 

dengan muridku?" 

Daeng Ampra terdiam. Dia tidak tahu bagaimana 

nasib Sarah Dita. Juga dengan Selendra, muridnya. 

Entah keduanya mati atau hidup. 

"Kenapa diam, Daeng?!" desak Dewi Sandang 

dengan mata melotot. 

"Entahlah, Sandang. Mungkin keduanya tewas di 

tangan Pendekar Gila." 

"Kau yakin itu?" tanya Dewi Sandang dengai wajah 

masih menunjukkan ketidaksenangan. Napasnya 

turun-naik, dihela rasa marah. Tangannya mengepal,


lantas memukul-mukul telapak tangan kiri. "Kurang 

ajar! Kalau benar muridku sampai tewas, tak akan 

kuampuni bocah gila itu!" 

Ketika keduanya tengah bercakap-cakap, tiba-tiba 

mereka tersentak oleh suara tawa yang menggelegar. 

Suara tawa itu seakan-akan mampu meruntuhkan 

dinding-dinding goa. 

"Ha ha ha...! Rupanya dua tikus tua bersembunyi di 

dalam goa. Takut sama kucing.... Ha ha ha...!" 

"Pendekar Gila!" pekik Daeng Ampra dengan mata 

membelalak. 

"Dari mana dia tahu kita di sini, Daeng?!" tanya 

Dewi Sandang. 

"Mana aku tahu? Mungkin muridmu masih hidup, 

Sandang." 

"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu mencari 

mampus!" 

"Ha ha ha...! Kenapa bersembunyi, Tikus Tua?! 

Keluarlah!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak. 

Kemarahan Dewi Sandang memuncak mendengar 

kata-kata Pendekar Gila. Tanpa memperhitungkan 

lagi, tubuhnya segera mencelat ke luar, diikuti Daeng 

Ampra. 

Dewi Sandang dan Daeng Ampra terperanjat ketika 

melihat seorang lelaki tampan berusia sekitar tiga 

puluh lima tahun mengenakan pakaian kuning 

keenasan yang bersama Pendekar Gila. Dari mulut 

keduanya terdengar ucapan, menyebut nama lelaki 

tampan itu. 

"Daeng Lonto...!" 

Daeng Lonto tersenyum. Pembawaannya nampak 

tenang, seperti berusaha menunjukkan jiwa 

kedaengannya, sebagai pemimpin adat yang arif dan 

bijaksana.


"Daeng Ampra, dan kau Dewi Sandang, kuharap 

menyerahlah!" pinta Daeng Lonto dengan tenang. 

Matanya tajam, memandang kedua orang tua yang 

telah mengkhianati ayahnya. 

"Huh, kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Lonto! 

Tidakkah kau tahu aku pamanmu?!" bentak Daeng 

Ampra. 

Daeng Lonto hanya tersenyum mendengar ucapan 

Daeng Ampra. 

"Kalian memang paman dan bibiku. Tapi 

pantaskah aku membela orang jahat? Apalagi kalian 

telah membunuh ayahku," kata Daeng Lonto. 

"Nah, Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Kuharap 

kalian menyerah," tambah Sena. 

"Cuih! Lancang mulut kalian! Jangan kira karena 

namamu membubung sampai langit, Daeng Ampra 

akan takut!" dengus Daeng Ampra yang ditujukan 

pada Pendekar Gila. 

"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa dengan tubuh 

melompat-lompat seperti kera. Tangannya meng-

garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Aha, aku 

aku tidak menyuruhmu takut, Daeng. Tapi aku hanya 

menyuruh kau dan Dewi Sandang sadar. Usia kalian 

sudah lapuk." 

"Bocah edan! Tutup mulutmu!" bentak Dewi 

Sadang. "Kalau tidak, kuremukkan batok kepalamu!" 

"Weh, galak sekali kau, Nyi? Ah, sungguh malang 

nian kepalaku," seloroh Sena sambil mengelus 

kepalanya. Sementara Mei Lie hanya menautkan alis 

menyaksikan tingkah konyol pemuda pujaannya. 

"Bedebah! Kurobek mulut usilmu, Pendekar Gila 

Heaaa...!" 

Dengan penuh amarah, Dewi Sandang yang ingin 

menjajaki kehebatan ilmu Pendekar Gila melesat


menyerang. Tangan kirinya bergerak mencakar, 

sedang tangan kanannya memukul ke dada lawan 

dengan jurus 'Lampus Ganyang'. Sebuah jurus yang 

mirip dengan gerakan seekor kucing berkelahi. 

Melihat Dewi Sandang telah menyerang Pendekar 

Gila, Daeng Ampra tidak tinggal diam. Dia segera 

membuka serangan dengan jurus 'Sandung 

Bangkala'. Gerakan tangan kakinya seperti seekor 

musang yang berusaha menangkap seekor ayam. Kini 

dia menyerang Daeng Lonto dan Mei Lie. 

"Hiaaat..!" 

Menyaksikan lawan menyerang, tubuh Daeng 

Lonto dan Mei Lie segera melompat ke samping 

untuk mengelakkan serangan tangan Daeng Ampra. 

Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang. 

Daeng Lonto dengan jurus 'Palangan Rajawali'nya, 

sedangkan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Kencana 

Mukti'. 

Tangan Mei Lie bergerak lincah laksana seorang 

putri yang menari-nari. Kakinya bergerak dengan 

irama yang teratur dan indah. Namun jurus itu 

sesungguhnya bukan jurus sembarangan. Jurus itu 

sangat berbahaya jika diimbangj oleh Pedang 

Bidadari yang berada di punggungnya. 

"Heaaat..!" 

Mei Lie dan Daeng Lonto menyerang bersamaan 

dengan jurus-jurus andalan dari kanan dan kiri tubuh 

Daeng Ampra. Hal itu membuat Daeng Ampra sedikit 

kerepotan. Lawan yang menyerangnya ternyata bukan 

orang sembarangan. Dia sebenarnya tahu akan hal 

itu. tapi keadaannya sudah terjepit. Sulit baginya 

untuk dapat meninggalkan pertarungan. 

Tangan Mei Lie bergerak menyambar ke kepala 

Daeng Ampra dengan cepat. Segera Daeng Ampra


merundukkan kepalanya dengan merendahkan 

tubuh. Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya 

diluruskan mendatar. Namun belum juga dia bisa 

menghela napas lega, Daeng Lonto telah menyerang 

ke wajah dan dadanya. 

"Hiaaat..!" 

"Uts!" 

Daeng Ampra berusaha berkelit, tetapi Mei Lie 

dengan cepat melakukan serangan susulan dengan 

kaki menendang ke tulang rusuk lawan. 

Daeng Ampra harus bergerak cepat menghadapi 

dua lawan yang berilmu tinggi. Untung saja Mei Lie 

tidak menggunakan pedangnya. Kalau saja Mei Lie 

menggunakan pedang, tentu Daeng Ampra akan mati 

kutu. 

Kini Daeng Ampra menarik kaki kiri melebar ke 

samping, kemudian dengan cepat bergerak 

menyerang dengan kedua telapak tangan ke arah 

kanan dada Mei Lie. 

"Yiaaat..!" 

Mei Lie tersentak. Cepat kakinya ditarik mundur 

dua langkah ke belakang. Kemudian tubuhnya 

diputar setengah lingkaran untuk mengelakkan 

serangan lawan. Tangan kanannya dihantamkan ke 

tangan lawan yang mengancam. 

Melihat Mei Lie dalam kesulitan, Daeng Lonto tak 

mau tinggal diam. Dia berkelebat mencabik dengan 

cengkeraman rajawalinya ke arah Daeng Ampra. 

Melihat itu, Daeng Ampra jadi mengurungkan niatnya 

untuk menyerang Mei Lie. Kini dia berbalik 

menyerang Daeng Lonto. 

"Yeaaa...!" 

Tangan Daeng Ampra menghentak ke wajah lawan, 

mengejutkan Daeng Lonto. Dia berusaha menarik


serangannya. Tapi karena gerakan Daeng Ampra 

begitu tiba-tiba, membuat langkahnya mati seketika. 

Terpaksa Daeng Lonto memapaki serangan lawan. 

"Yeaaa...!" 

Blarrr! 

Dua telapak tangan beradu. Daeng Lonto terpental 

beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Daeng 

Ampra tersurut tiga langkah ke belakang. Namun 

Daeng Ampra cepat bangkit, dia kembali melabrak 

Daeng Lonto. Tampaknya Daeng Ampra bermaksud 

membunuh Daeng Lonto secepatnya. 

"Mampuslah kau, Lonto! Hiaaat..!" 

Daeng Lonto yang belum bisa berbuat apa-apa, 

kini hanya mampu membelalakkan mata. Sulit 

baginya untuk mengelakkan serangan lawan. 

Melihat hal itu, dengan cepat Mei Lie mencabut 

Pedang Bidadarinya. Dengan pekikan menggelegar, 

tubuhnya berkelebat memapaki serangan Daeng 

Ampra yang meluncur ke arah Daeng Lonto. Dengan 

jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Arah Angin', Mei 

Lie membabatkan pedangnya ke tangan lawan. 

"Hiaaa...!" 

Wut! 

*** 

Daeng Ampra tersentak seketika, melihat pedang 

bersinar merah kekuning-kuningan menebas 

tangannya. Dia segera menarik kedua tangannya. 

Lalu dengan bersalto, dia berusaha mengelakkan 

serangan lawan. 

Mei Lie yang masih dendam pada orang-orang 

persilatan aliran hitam tak berhenti sampai di situ. 

Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung


Karang' dia kembali memburu Daeng Ampra. 

Wut! 

"Uts! Celaka...!" pekik Daeng Ampra semakin 

terdesak oleh babatan Pedang Bidadari di tangan Mei 

Lie. Wajahnya agak pucat, menyaksikan jurus pedang 

yang dilancarkan Mei Lie. Jurus itu bukan jurus 

sembarangan. Jurus 'Pedang Bidadari' yang dikuasai 

Mei Lie, merupakan jurus sakti yang sulit untuk 

dielakkan. 

Daeng Ampra terus berusaha mengelak, dengan 

sesekali melancarkan serangan balasan. Dengan 

menggunakan jurus 'Landung Gampyar' Daeng Ampra 

berusaha menekan balik Mei Lie. 

Sementara itu, Sena yang menghadapi Dewi 

Sandang masih bertingkah laku konyol. Mulutnya 

berteriak-teriak manakala Dewi Sandang menyerang 

dengan tongkat berkepala tengkorak. Dari kepala 

tongkat itu, keluar asap putih kehitam-hitaman yang 

mengandung racun. 

Beruntung sekali Sena telah kebal dari segala 

macam jenis racun, sehingga dia tidak terpengaruhi 

oleh asap beracun yang keluar dari kepala tongkat 

Dewi Sandang. 

Melihat lawan mampu bertahan terhadap 

racunnya, Dewi Sandang bertambah marah. Dengan 

mendengus, dilancarkannya jurus 'Patik Sewu'nya. 

Tongkatnya bergerak buas dan bertambah cepat 

hingga tampak menghilang. 

"Ha ha ha...! Mengapa kau seperti orang 

kesurupan, Nyi? Hi hi hi...!" seloroh Sena sambil 

berjingkrak mengelakkan sambaran kepala tongkat 

lawan. 

"Remuk batok kepalamu! Hiaaat...!" 

"Uts! Belum, Nyi. Aduh.... Galak sekali," gumam


Sena sambil melompat ke samping dengan tangan 

memegangi kepala. 

Kemudian dengan tingkah laku seperti kera, 

Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila 

Melempar Batu'. Kedua tangannya laksana melempr 

batu dengan cepat, hingga menimbulkan deru angin 

kencang. 

"Jurus edan!" maid Dewi Sandang gusar, karena 

serangannya seketika terhenti oleh hembusan angin 

yang tercipta dari jurus yang dilakukan Sena. 

Bergegas tongkatnya diputar, lalu dari putaran itu 

bertiup angin yang keras. Itulah jurus 'Baling-baling 

Pusar Angin'. 

Wut! 

"Kini kuremukkan kepalamu, Bocah Edan! 

Yeaaah...!" 

"Hi hi hi...! Kalau kau marah, wajahmu seperti 

kambing tercebur di comberan, Nyi," ejek Sena sambil 

mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat'. Dan diteruskan dengan jurus 

'Si Gila Melebur Gunung Karang'. 

Lagi-lagi Dewi Sandang tersentak kaget mendapat 

serangan yang begitu dahsyat. Setiap jurus yang 

dilakukan oleh Pendekar Gila terlihat lamban dan 

lemah, tapi kenyataannya sangat luar biasa dan 

mengandung hawa panas disertai hembusan angin 

kencang. 

"Ilmu edan!" maki Dewi Sandang seraya ber-

lompatan ke kanan dan kiri, berusaha mengelakkan 

serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. 

Pendekar Gila yang melihat lawan kebingungan, 

segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian 

dengan cepat serangannya ditarik, lalu diganti 

dengan tiupan maut sulingnya.


Suara Suling Naga Sakti melengking keras. Sena 

mengarahkan kepala naga ke tubuh Dewi Sandang. 

namun tiba-tiba niatnya diurungkan, manakala 

teringat kalau Dewi Sandang adalah urusan Daeng 

Lonto. 

"Menyerahlah, Nyi. Semoga kau akan mendapat 

ampunan!" kata Pendekar Gila, berusaha menyadar-

kan wanita tua berpakaian minim itu. 

"Cuih! Pantang bagi Dewi Sandang menyerah! Kita 

tentukan, siapa di antara kita yang akan mampus! 

Terimalah ajian 'Karang Jalna'ku. Hiaaat...!" 

Wusss! 

Dari telapak tangan Dewi Sandang, membersit 

selarik sinar pelangi ke arah Pendekar Gila. Sinar itu 

bergulung-gulung dengan cepat, berusaha mem-

bungkus tubuh Pendekar Gila. 

Melihat hal itu, Sena segera meniup sulingnya. 

Kepala naga di Suling Naga Sakti diarahkan ke sinar 

pelangi yang hendak melumpuhkannya. Dari 

sepasang mata kepala naga itu, seketika melesat dua 

sinar merah ke arah sinar yang dikerahkan oleh Dewi 

Sandang. 

Glarrr...! 

"Ukh...!" Dewi Sandang mengeluh pendek. 

Seketika tubuhnya terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang. Dan tak berapa lama 

kemudian.... "Hoeeek...!" Dewi Sandang memuntah-

kan darah hitam. Wajahnya menjadi pucat pasi. 

Sedangkan matanya membelalak tegang. 

"Kuharap kau mau menyerah, Nyi," kata Sena 

berusaha menyadarkan Dewi Sandang. 

"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!" 

Dengan nekat Dewi Sandang kembali menyerang 

Pendekar Gila dengan ajian pamungkasnya yang


bernama 'Karang Jalna'. 

Menyaksikan kenekatan wanita tua itu, bergidik 

juga hati Pendekar Gila. Sebenarnya kematian wanita 

tua itu tidak dikehendakinya. Tapi jika dia hanya 

diam, maka dialah yang akan tewas. Terpaksa 

Pendekar Gila menyambutnya. 

"Pukulan 'Inti Salju'. Heaaa...!" 

Wusss! 

Sena merentangkan tangannya lebar-lebar. Lalu 

dengan jari-jari tangan membuka, tangannya 

digerakkan ke atas seperti mengumpulkan sesuatu. 

Saat itu langit seketika mendung dan gelap. Ketika 

tangan Sena mendorong ke depan, salju turun dari 

atas dengan deras. Anehnya, salju itu hanya 

menghujani tubuh Dewi Sandang. Tanpa ampun, 

tubuh Dewi Sandang membeku ketika tertutup oleh 

es yang memadat. 

Di sisi lain, Mei Lie yang menyerang Daeng Ampra 

semakin marah karena sejak tadi serangannya belum 

juga mendapatkan hasil. Dengan jurus pamungkas 

yang bernama 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie 

kembali menyerang. 

"Hiaaa...!" 

Pedang di tangan Mei Lie bergerak cepat, 

menyilang ke samping kanan, kemudian lurus ke 

depan. Dilanjutkan dengan menyilang ke kiri, lalu 

lurus lagi. Pada saat dekat dengan tubuh lawan, Mei 

Lie mengangkat pedangnya tanggi-tinggi. Dan.... 

Wut! 

Srrrt! 

"Aaa...!" 

Daeng Ampra memekik ketika dari kepala sampai 

ke bawah tubuhnya dibelah oleh Pedang Bidadari 

dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sesaat tubuh..


Daeng Ampra mematung. Tubuhnya masih utuh bagai 

tidak terkena tebasan. Hal itu membuat Daeng Lonto 

dan Sena membelalakkan mata. Keduanya malah 

terbengong-bengong menyaksikan kejadian yang 

aneh itu. 

Belum juga hilang rasa kaget Sena dan Daeng 

Lonto, untuk kedua kalinya mereka dibuat terpana. 

Ketika angin bertiup kencang, tiba-tiba tubuh Daeng 

Ampra beterbangan bagai tepung! 

"Wah?!" seru Sena dengan mulut menganga 

bodoh. 

"Ck ck ck...! Bukan sembarangan ilmu pedang," 

puji Daeng Lonto sambil menggeleng-gelengkan 

kepala. 

"Maaf, aku terpaksa," sesal Mei Lie. 

"Tak apa, Mei Lie. Mungkin hanya kematianlah 

yang bisa menghentikan mereka," kata Daeng Lonta 

"Semua tugasku telah selesai. Aku harus segera 

pulang ke Sulawesi. Kuharap kalian bisa bertandang 

ke sana." 

"Semoga, Daeng. Jika ada umur panjang," ucap 

Pendekar Gila dan Mei Lie berbareng. 

"Sampaikan salamku pada semua pendekar di 

tanah Jawa Dwipa ini, Sena. Aku mohon pamit" 

Daeng Lonto menjura, dibalas oleh Sena dan Mei 

Lie. Kemudian, Daeng Lonto pun meninggalkan kedua 

muda-mudi yang mengikutinya dengan pandangan 

mata penuh persahabatan. 

Ketika tubuh Daeng Lonto memupus di titik 

pandang terjauh, mentari telah tersungkur di 

pangkuan senja. Dan satu kejadian dalam lembaran 

waktu telah usai, sementara dua insan yang terpatri 

dalam kesatuan kasih tengah berdiri tanpa kata. 

Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.


Matanya menatap penuh arti pada Mei Lie yang 

segera memeluk tubuh pemuda pujaan hatinya. 

Perlahan-lahan wajah keduanya mendekat dan 

semakin dekat, lalu Mei Lie merebahkan kepalanya di 

dada Sena. Kedua insan itu kemudian menyatu 

dalam debar cinta, melebur dalam denting dawai asmara. 



                          SELESAI











Share:

0 comments:

Posting Komentar