SATU
Suasana Desa Padas Gempal yang terletak di kaki
Bukit Sigar malam itu nampak hiruk-pikuk. Api
berkobar-kobar menggapai angkasa. Lalu semakin
membesar tatkala tertiup angin malam. Jeritan
ketakutan terdengar menggema, memecah kesunyian
malam.
Setelah menjarah Desa Padas Gempal dan
merampok harta penduduk, Tiga Setan Rambut Api
membakar desa itu. Kebiasaan itu tidak pernah
hilang dari dulu. Itu sebabnya sepak terjang mereka
cepat diketahui, karena mereka memiliki ciri khas
tersendiri. Mereka akan membakar desa yang telah
dirampok.
Kini ketiga tokoh sesat berpakaian serta berambut
merah itu telah berada di sebelah timur Desa Padas
Gempal sambil tertawa-tawa senang, menyaksikan
hasil dari tindakan mereka yang biadab. Sudah
merampok penduduk desa, membakar pula
(Mengenai Tiga Setan Rambut Api, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
"Ha ha ha...!"
"Dasar Setan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti
berkelebatnya dua bayangan lelaki. Orang yang di
depan mengenakan pakaian warna jingga.
Sedangkan di belakangnya seorang lelaki berbadan
tegap dan berpakaian coklat tua. Keduanya melesat
ke arah Tiga Setan Rambut Api yang seketika
tersentak dan menghentikan tawa mereka.
Mata Tiga Setan Rambut Api memandang penuh
selidik ke arah dua lelaki yang baru datang. Lelaki
yang berbaju jingga berusia sekitar lima puluh tahun
dan bertubuh tinggi kurus, namun berotot. Seorang
lagi lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun,
berbadan tegap dengan otot menonjol kekar.
Wajahnya nampak garang. Tentunya lelaki muda
berwajah garang ini pengawal lelaki berpakaian
jingga.
Wajah lelaki berpakaian lengan panjang berwarna
jingga nampak memerah karena marah. Lelaki itu
berkumis panjang melintang. Rambutnya terurai
dengan ikat kepala berwarna jingga pula. Matanya
tajam dengan alis mata tipis. Hidungnya mancung.
Lelaki ini adalah Kepala Desa Padas Gempal yang
bernama Ki Adi Pamukti. Sedangkan lelaki muda
bertubuh tegap dengan wajah garang yang menjadi
pengawalnya bernama Samparan. Dialah jawara di
Desa Padas Gempal ini.
"Ha ha ha...!" Tiga Setan Rambut Api kembali
tertawa terbahak-bahak setelah melihat siapa yang
datang.
"Rupanya kau, Kepala Desa Tolol!" dengus Untara.
Matanya mencorong tajam, menyiratkan kebengisan.
"Mau apa kau, Orang Tua Tolol?!" sambung Undani,
tak kalah keras. Matanya juga memandang tajam
penuh kebengisan. Tangan kanannya yanag
memegang cambuk, kini digerak-gerakkan.
"Ha ha ha...! Apakah kau datang untuk memberi
kami upeti, heh?!" ledek Umbakara, orang termuda
dari Tiga Setan Rambut Api.
Napas Ki Adi Pamukti dan Samparan tampak turun
naik. Amarah di dalam dada mereka bergejolak,
seakan sulit dibendung lagi. Apalagi jika ingat desa
mereka yang dibumihanguskan oleh ketiga lelaki dari
aliran sesat itu.
"Tiga Setan Rambut Api! Kuakui nama kalian
memang menyeramkan! Tapi Adi Pamukti tak akan
gentar menghadapi kalian! Kejahatan kalian harus
dihentikan!" dengus Ki Adi Pamukti tak kalah gertak.
Tangannya mengepal, siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi. Matanya me-
mandang tiga tokoh sesat yang ada di hadapannya
dengan seksama. Setiap gerak-gerik Tiga Setan
Rambut Api yang terkenal licik, diperhatikannya.
"Ha ha ha...! Ucapanmu sungguh hebat, Ki! Hm....
Apakah kau kira gampang mengalahkan kami?" tanya
Untara dengan nada sinis. Seakan merendahkan
lelaki tua di hadapannya. Bahkan senyumnya ber-
kesan mengejek.
Undani dan Umbakara turut tertawa terbahak-
bahak, mengejek Ki Adi Pamukti yang masih tampak
tenang.
"Kuakui kalian memang bukan iblis sembarangan.
Namun untuk membela kebenaran dan keadilan, aku
siap mati!" tegas Ki Adi Pamukti.
"Hm.... Apa kau mengandalkan lelaki tolol di
belakangmu? Sehingga kau berani menantang kami?"
bentak Undani.
Napas Ki Adi Pamukti semakin memburu. Gigi-
giginya bergemeletuk keras. Matanya berkilat penuh
amarah. Jari tangannya meremas-remas geram.
"Bedebah! Kalian telah banyak memakan korban!
Kalian harus mati!" dengus Ki Adi Pamukti.
"Ha ha ha...! Bukan sebaliknya, Orang Tua Tolol?!"
ejek Untara.
"Kurang ajar! Yeaaat...!"
Dengan jurus 'Bangau Terbang Mematuk Ikan', Ki
Adi Pamukti bergerak menyerang Untara. Kedua
tangannya direntang lebar dengan kaki kanan
diangkat membentuk siku. Kemudian bagai seekor
bangau, Ki Adi Pamukti mematukkan tangan kanan
dan kiri bergantian. Lalu diikuti olch tendangan dan
cengkeraman.
Sementara Samparan yang melihat Ki Adi Pamukti
telah menyerang, tidak tinggal diam. Dia pun melesat
untuk membantu kepala desanya.
"Heaaat...!"
Melihat Samparan menyerang, Undani dan
Umbakara segera menghadang. Keduanya langsung
menarik cambuk yang menjadi senjata andalan
mereka.
"Mampuslah kau, Tolol!" dengus Umbakara seraya
melecutkan cambuk ke tubuh Samparan.
Ctar!
"Uts!"
Samparan berusaha mengelak, dan berhasil. Tapi
dari arah lain Undani telah melanjutkan serangan
adiknya dengan lecutan cambuk pula.
"Yiaaat..!"
Ctarrr!
"Uts! Hop...!"
Kembali Samparan dapat mengelakkan serangan
tersebut. Kemudian, setelah mengeluarkan goloknya,
Samparan cepat balas menyerang dengan jurus
'Langsat Belah'. Tubuhnya berputar seraya mem-
babatkan senjatanya ke arah lawan.
"Yiaaat..!"
"Uts! Bisa juga kau unjuk gigi, Kerbau Dungu!"
dengus Umbakara sambil mengelitkan serangan
lawan, lalu dengan cepat dia kembali menyerang.
Dengan jurus 'Tapak Setan Neraka' yang dibarengi
oleh lecutan cambuk, Undani dan Umbakara
memburu Samparan.
Ctar, ctar...!
Bret!
"Aaakh...!"
Samparan memekik keras. Kepalanya tengadah,
ketika tubuhnya terbabat cambuk kedua lawannya.
Matanya membelalak lebar. Di punggung dan
dadanya menancap jarum-jarum maut yang keluar
dari cambuk di tangan Undani dan Umbakara. Tubuh
Samparan ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ternyata kerbau dungu ini hanya
begini kemampuannya!" kata Undani dengan suara
angkuh.
Sementara itu pertarungan antara Ki Adi Pamukti
dengan Untara masih berlangsung seru.
"Hih! Heaaat...!"
Untara berkelit dengan jurus 'Bayangan Arwah'.
Disusul dengan serangan keras yang menggunakan
jurus 'Tapak Setan Neraka'. Tubuhnya berkelit begitu
cepat laksana bayangan. Sedangkan tepakan
tangannya mampu mengeluarkan deru angin yang
keras.
"Uts!" Ki Adi Pamukti tersentak kaget. Dengan
cepat dia mengepakkan tangan kiri ke bawah untuk
menangkis tepakan tangan lawan. Kemudian secepat
itu pula, Ki Adi Pamukti melancarkan serangan
dengan patukan tangan kanannya ke wajah lawan.
Wut!
"Uh! Ets...!"
Tubuh Untara tersurut ke samping. Kakinya
ditekuk membentuk siku. Dengan tetap mengguna-
kan jurus semula, Untara kembali menyerang.
Sementara Untara menghadapi Ki Adi Pamukti,
kedua adiknya tampak tersenyum-senyurn sambil
menyaksikan pertarungan itu.
"Ayo, Kakang! Habisi saja orang tua tolol itu!" seru
Undani dan Umbakara memberi semangat pada
kakaknya yang terus menyerang dengan gempuran-
gempuran dahsyat, membuat Ki Adi Pamukti
terdesak.
"Hiaaat...!"
Dengan jurus 'Terkaman Setan Merobek Nyawa',
Untara terus berusaha merangsek Ki Adi Pamukti
Namun orang tua itu dengan cepat berkelit meng-
gunakan jurus 'Bangau Terbang Membelah Angin'
yang dilanjutkan dengan jurus 'Gempuran Paruh
Bangau'.
"Yiaaat...!"
Tangan Ki Adi Pamukti bergerak laksana paruh
bangau, mematuk ke sana kemari dengan cepat.
Sasarannya kini tertuju ke dada dan wajah lawan.
Kakinya juga tidak mau diam, menyodok ke perut
lawan.
"Heaaat..!"
Ki Adi Pamukti mengarahkan saru tendangan ke
perut lawan. Namun dengan cepat Untara menggeser
tubuh ke sampjng, dilanjutkan dengan jotosan ke
wajah lawan.
"Heit!"
"Uts...!"
Ki Adi Pamukti mengelak dengan menekuk leher
ke samping kanan, disertai dengan menggeser
kakinya ke kanan. Kemudian dengan cepat tubuhnya
dirundukkan ke bawah. Disusul dengan sebuah
jotosan ke arah perut lawan dengan jurus 'Paruh
Bangau Mematuk Ikan'. Tangan Ki Adi Pamukti yang
meruncing, menusuk ke perut dan ulu hati lawan
dengan cepat
"Hiaaat...!"
Untara tersentak kaget. Segera tubuhnya mengeHt
dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat
tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan
tangan kanannya dengan cepat pula menghantam
dengan pukulan 'Sandra Pemecat Nyawa' ke dahi Ki
Adi Pamukti yang tengah merunduk.
Wut!
Angin pukulan panas menderu ke arah kening Ki
Adi Pamukti, membuat orang tua itu tersentak kaget.
Matanya membelalak, menyaksikan telapak tangan
Untara kini membara bagai dibakar api.
"Uhhh...!" keluh Ki Adi Pamukti.
Dengan cepat Kepala Desa Padas Gempal itu
berusaha mengelakkan serangan lawan. Namun
serangan lawan begitu cepat, seperti tidak memberi
kesempatan bagi Ki Adi Pamukti untuk dapat lepas
dari ancaman maut Ke mana pun Ki Adi Pamukti
mengelak, Untara terus memburunya.
Ki Adi Pamukti benar-bena terdesak oleh serangan
yang demikian gencar. Apalagi yang menyerang
bukan orang sembarangan. Lawannya adalah
seorang dari Tiga Setan Rambut Api, yang namanya
cukup terkenal di rimba persilatan. Meski begitu, Ki
Adi Pamukti tampaknya tidak mau mengalah begitu
saja. Tubuhnya terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan lawan.
"Ayo, Kakang! Habisi dia...!" seru Umbakara dengan
wajah gemas, bagai tak sabar melihat kakaknya yang
belum juga menyudahi pertarungan.
"Ambil saja cambukmu, Kakang!" timpal Undani,
juga tak sabar melihat pertarungan yang berlarut-larut
dan kelihatannya akan memakan waktu cukup lama.
Untara juga merasa jengkel karena lawannya yang
semula dianggap tidak memiliki apa-apa, ternyata
mampu menghadapinya sampai puluhan jurus.
"Keparat! Orang tua ini rupanya berisi juga," geram
Untara. Segera tangan kanannya melepas pukulan ke
dada lawan, disusul dengan tendangan ke
selangkangan. Sedangkan tangan kirinya menyikut ke
tulang iga lawan. Sebuah jurus yang sangat cepat
bernama 'Bahana Merenggut Nyawa', kini dikeluarkan
oleh Untara dalam usaha menyudahi pertarungan itu.
"Uts! Hop...!"
Ki Adi Pamukti yang tanggap akan keadaan itu,
segera melompat ke belakang, mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat kembali
menggempur dengan jurus 'Sambaran Bangau Sakti'.
Tangannya mengepak ke samping. Salah satu
kakinya diangkat membentuk siku. Kemudian dengan
cepat, tangan kanan dan kirinya bergerak menyambar
dengan pukulan-pukulan keras, ditunjang oleh
tendangan dan gerakan mengelak.
"Hiaaat..!"
***
Untara terus menggebrak dengan jurus-jurus
saktinya, berusaha secepat mungkin untuk
menyudahi pertarungan itu. Tetapi Ki Adi Pamukti
nampaknya tidak mau dihabisi begitu saja. Tubuhnya
pun terus bergerak mengelakkan serangan lawan,
disusul dengan serangan balasan yang tidak kalah
cepat
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Undani dan Umbakara tak sabar menyaksikan
pertarungan antara kakaknya melawan Ki Adi
Pamukti. Mereka juga cemas, kalau-kalau warga desa
yang saat itu tengah panik oleh kobaran api akan
datang membantu kepala desanya. Tentu mereka
akan semakin repot kalau warga desa membantu.
"Ah! Mengapa lama sekali, Kakang! Ambil saja
cambukmu!" dengus Undani, merasa tidak sabar lagi
melihat pertarungan kakaknya melawan Ki Adi
Pamukti yang berlangsung alot. Sesekali matanya
melihat ke arah Desa Padas Gempal yang hiruk-pikuk
oleh jeritan histeris warga desa yang rumahnya
terbakar.
Merasa serangan-serangannya tidak juga
menghasilkan kemenangan dan dirasa lawan cukup
tangguh, Untara segera melolos cambuknya. Dengan
penuh amarah, cambuknya diputar di atas kepala.
dengan jurus 'Lecutan Cambuk Buana', cambuknya
dihantamkan ke arah Ki Adi Pamukti.
Wut!
Ketika cambuk Untara nyaris menghantam tubuh
Ki Adi Pamukti, sebuah bayangan putih berkelebat
dengan tangan menggenggam pedang yang
mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan, dan
membabat cambuk yang masih berada di udara.
"Hiaaat!"
Prat!
Tiga Setan Rambut Api tersentak dengan mata
membelalak, menyaksikan cambuk di tangan Untara
putus menjadi dua, karena terbabat pedang di tangan
seorang gadis Cina yang sangat mereka kenal.
Di hadapan Tiga Setan Rambut Api dan Ki Adi
Pamukti kini berdiri seorang gadis cantik dengan
rambut digelung dua ke atas. Pakaian yang
dikenakan gadis Cina yang cantik itu berwarna putih.
Tubuhnya langsing semampai. Matanya bening,
namun memandang tajam dan tidak terlalu sipit.
Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya yang
mungil mencibir.
"Mei Lie?!" seru Tiga Setan Rambut Api kaget
"Hm...."
Gadis cantik yang memang Mei Lie itu tersenyum
sinis. Matanya memandang tajam Tiga Setan Rambut
Api yang masih tidak mengerti, mengapa Mei Lie atau
titisan Dewi Kuan Im yang dulu bersekutu dengan
mereka tiba-tiba menghalangi.
"Kalian memang iblis! Kalian harus disingkirkan
dari dunia ini!" bentak Mei Lie.
Mata Tiga Setan Rambut Api semakin membelalak
mendengar kata-kata Mei Lie. Kening mereka ber-
kerut, semakin tidak mengerti akan tindakan gadis
cantik bermata agak sipit itu.
"Mei Lie, kami harap kau tidak usah turut campur
urusan kami! Jangan sok pahlawan! Singo Edan saja
kini berbuat tidak baik!" hardik Untara sinis sambil
mencibir.
"Jangan bawa-bawa nama Singo Edan! Orang yang
kau lihat di Lembah Lamur bukan Singo Edan!' sentak
Mei Lie gusar. Matanya masih memandang tajam
penuh kebencian. Tangan kanannya masih me-
megang Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar
merah kekuning-kuningan.
Mata Tiga Setan Rambut Api kembali membelalak,
setelah mengetahui bahwa orang yang mirip dengan
Singo Edan di Lembah Lamur dulu ternyata bukan
Singo Edan (Mengenai Lembah Lamur, silaka baca
serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Kuan Im").
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" bantah
Undani.
"Ya! Kami sedikit banyak tahu akan dia," sambung
Umbakara.
"Huh! Siapa pun dia, aku tak peduli! Yang pasti,
aku datang untuk menyingkirkan kalian!" bentak Mei
Lie geram. Jika ingat akan kematian Nyi Bangil dna
Lira Kanti, dia menjadi amat murka. Bagaimana tidak,
kalau kedua orang yang selama ini baik padanya
harus mati di Lembah Lamur oleh orang-orang dari
golongan hitam.
Tiga Setan Rambut Api tertawa mendengar
ancaman Mei Lie. Tampaknya mereka menganggap
enteng gadis Cina itu.
"Ha ha ha...! Omonganmu tinggi sekali, Mei Lie!
Hm, apakah tidak sebaiknya kau ikut kami? Menjadi
istriku?" ejek Untara sambil mengelus-elus dagunya
Hal itu semakin membuat Mei Lie marah.
"Akan kubuktikan! Kisanak, minggirlah! Biar tiga
setan ini kukirim ke neraka, tempat asal mereka...,"
kata Mei Lie pada Ki Adi Pamukti yang menurut
menepi
Mei Lie dengan mata tajam memandang lekat Tiga
Setan Rambut Api yang masih tersenyum nakal.
Mereka memandang dengan sinar mata meremeh-
kan, menganggap gertakan Mei Lie hanya pantas bagi
anak kecil. Mereka bagai tidak memandang Pedang
Bidadari di tangan Titisan Dewi Kuan Im itu.
"Bersiaplah!" dengus Mei Lie sambil menggerakkan
Pedang Bidadari dengan jurus 'Tebasan Pedang
Memenggal Gunung'. Pedangnya dihunus lurus ke
atas di depan dada, kemudian digerakkan ke
samping kanan. Dilanjutkan dengan gerakan me-
menggal setinggi perut
Wut!
"Mei Lie, apa tidak salah kau memainkan pedang?
Sepantasnya kau berada di atas tempat tidur!" ujar
Untara sambil tertawa-tawa.
Mei Lie semakin marah mendengar ucapan yang
bernada kotor itu. Dengan mendengus, pedangnya
digerakkan. Lalu, didahului teriakan menggelegar,
Mei Lei pun berkelebat menyerang.
"Yiaaat..!"
Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat
dengan jurus 'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'.
Dari pedang itu terpancar sinar merah kekuning-
kuningan yang menyilaukan, mengarah ke tubuh
lawan.
"Awas!" seru Untara menyadarkan kedua adiknya
saat menyaksikan serangan lawan yang begitu cepat
dan gesit.
Mata Tiga Setan Rambut Api kini membelalak,
Menyadari kekeliruan mereka dengan menganggap
enteng Mei Lie. Kini mereka melihat bagaimana gadis
Cina itu ternyata mampu menguasai jurus-jurus dari
'Ilmu Pedang Bidadari' yang sangat sempurna.
"Celaka! Dia benar-benar telah menguasai jurus-
jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'!" seru Undani.
Dengan cepat Tiga Setan Rambut Api segera
mengelakkan serangan Mei Lie. Tubuh mereka ber-
lompatan ke belakang sambil bersalto. Lalu dengan
cepat pula, mereka menyerang dengan jurus 'Tiga
Serangkai Cambuk Buana'.
"Heaaat..!"
Wut!
Cambuk di tangan mereka berputar di atas kepala,
kemudian dengan cepat dilecutkan ke tubuh Mei Lie.
Ctar!
"Uts!"
Mei Lie berkelit, disertai babatan pedang ke
cambuk yang menyabet ke arahnya. Pedangnya
dibelitkan pada ujung-ujung cambuk itu.
"Hop! Kena...!"
Mei Lie segera menyentakkan pedangnya dengan
keras, membuat cambuk ketiganya terputus menjadi
dua. Kemudian sebelum Tiga Setan Rambut Api sadar
dari rasa kaget, Mei Lie kembali menyerang dengan
jurus 'Tebasan Pedang Membelah Karang'.
Pedang di tangan Mei Lie bergerak menyilang lalu
tegak lurus ke atas. Disusul dengan tebasan lurus
dari atas ke bawah, seakan bermaksud membelah.
Hal itu membuat Tiga Setan Rambut Api semakin
tersentak kaget. Tubuh mereka bergerak hendak
mengelak namun Pedang Bidadari di tangan Mei Lie
lebih cepat menebas ke arah mereka.
Cras!
"Aaa...!"
Umbakara menjerit keras saat tubuhnya terbabat
Pedang Bidadari. Anehnya, tubuh orang termuda dari
Tiga Setan Rambut Api itu tidak mengalami apa-apa.
Namun sesaat kemudian, tubuh Umbakara terbelah
menjadi dua. Itulah kehebatan Pedang Bidadari
dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Korban yang
terbabat tak akan mengeluarkan darah, karena darah
di dalam tubuhnya telah mengering oleh panasnya
pedang.
Untara dan Undani, serta Ki Adi Pamukti yang
menyaksikan kejadian itu tersentak. Baru kali ini
mereka menyaksikan sebuah jurus yang aneh
sekaligus menakjubkan.
Nyali Untara dan Undani seketika ciut
menyaksikan adiknya dengan mudah dikalahkan.
Terlebih saat menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan yang semula dianggap enteng.
"Mungkin benar dia Titisan Dewi Kuan Im, Kakang,"
bisik Undani dengan tubuh dipenuhi keringat dingin.
"Buktinya ilmu pedangnya sangat hebat."
"Ya! Kurasa juga begitu," sahut Untara, tak kalah
ngeri setelah melihat jurus lawan yang dahsyat.
"Kita tak akan mampu menghadapinya, Kakang.
Jangankan kita, guru kita saja mungkin berpikir tujuh
kali," kata Undani.
"Lebih baik kita pergi, sebelum nyawa kita
melayang seperti Umbakara."
"Ayo, Kakang. Mumpung dia tidak menyerang,"
ajak Undani.
Dua tokoh sesat itu berusaha lari meninggalkan
lempat ini, namun dengan cepat Mei Lie berkelebat
mengejar.
"Setan! Mau ke mana kalian! Hiaaat...!" Dengan
pedang masih di tangan, tubuh Mei Lie berkelebat
mengejar keduanya yang masih terus berlari. Dan
tahu-tahu Mei Lie telah berada di depan Untara dan
Undani yang tersentak.
"Tak akan kubiarkan kalian hidup!" bentak Mei Lie
garang.
Kedua tokoh sesat itu saling berpandangan.
Kemudian sambil mengedipkan mata, keduanya
bergerak melabrak ke arah Mei Lie dengan nekat.
Cambuk mereka yang tinggal sepotong masih diguna-
kan untuk menyerang.
"Hiaaat...!"
Swing, swing...!
Puluhan jarum tiba-tiba keluar dari potongan
cambuk di tangan Untara dan Undani, dan menderu
ke arah Mei Lie.
"Uts! Licik!" maki Mei Lie sambil bergerak
mengelak, kemudian dengan cepat pedangnya
diputar, membuat pedang itu laksana menghilang.
Kini yang ada hanyalah sinar merah kekuning-
kuningan yang melindungi tubuh Mei Lie.
Trang, trang!
Jarum-jarum yang hendak menyerang Mei Lie,
seketika rontok terkena hantaman Pedang Bidadari.
Tak ada satu pun yang dapat bersarang di tubuh Mei
Lie.
"Kalian harus mampus! Yiaaat...!"
Mei Lie yang semakin marah mendapatkan
serangan jarum-jarum beracun, kini menggerakkan
Pedang Bidadari dengan jurus andalannya. Jurus
pamungkas bernama 'Pedang Tebasan Batin' yang
sangat dahsyat
Tangannya bergerak ke samping, lalu lurus ke
atas. Diteruskan dengan memutar pedang. Matanya
terpejam, kemudian dengan gerakan yang sulit diikut
mata lawan, Mei Lie menebaskan pedangnya.
Wut!
"Aaakh...!"
Untara dan Undani memekik keras. Tubuh mereka
memang masih berdiri tegak. Namun ketika angin
bertiup, tubuh mereka seketika lebur menjadi debu
yang beterbangan.
Mei Lie menundukkan kepala. Dari matanya
meleleh air mata. Dia menangis, teringat kematian
para pendekar di Lembah Lamur. Terutama kematian
Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Pedang Bidadari dimasukkannya ke dalam sarung.
Dengan air mata masih beriinang, Mei Lie melesat
meninggalkan tempat itu.
"Nona Pendekar, tunggu!" seru Ki Adi Pamukti
berusaha mencegah Mei Lie pergi, tapi gadis Cina
yang cantik itu telah menghilang dalam kegelapan
malam.
***
DUA
Kemunculan gadis Cina dengan pedang saktinya yang
telah membunuh Tiga Setan Rambut Api, membuat
namanya seketika menjadi bahan pembicaraan
setiap orang di Desa Padas Gempal. Mereka pada
umumnya menyanjung gadis cantik itu. Karena telah
membela mereka dari ketelengasan Tiga Setan
Rambut Api yang telah membakar desa mereka.
Lebih dari itu, penduduk Desa Padas Gempal
menjuluki gadis jelita itu dengan sebutan yang cukup
membuat tokoh-tokoh golongan hitam mengernyitkan
alis. Sebutan yang mereka berikan adalah Bidadari
Pencabut Nyawa.
Sinar mentari baru saja menyapu permukaan
bumi. Sebuah kedai yang terletak di sebelah utara
Desa Parang Gandrung baru saja dibuka oleh
pemiliknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki
tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kesenjangan
usianya dapat dilihat dari kerutan di wajahnya yang
memiliki mata kelabu dan hidung yang mancung.
Dapat juga dilihat dari rambut dan kumis putih atau
tubuhnya yang agak bungkuk. Dia mengenakan baju
lengan panjang tanpa kerah berwarna biru tua.
Letak kedai itu berada di antara dua kebun yang
tidak begitu luas dengan pohon-pohonnya yang asri.
Hal itu menjadikan suasana di sekitar kedai menjadi
terasa indah. Jika pagi hari, udara terasa begitu sejuk.
Sedangkan siang hari, udara di sekitar tempat itu
terasa segar, tidak panas, karena di sekeliling kedai
tumbuh pepohonan yang rindang. Di depan kedai
tumbuh pohon asam yang besar dan rindang,
semakin menambah keindahan tempat itu.
"Baru buka, Ki?" tanya Sena Manggala atau
Pendekar Gila. Tingkah lakunya masih seperti orang
gila, membuat pemilik kedai mengerutkan kening.
Sena memandang ke atas, kemudian kepalanya
menengok ke kanan dan kiri. Mulutnya masih
cengengesan, membuat orang tua pemilik kedai yang
bernama Ki Jiung semakin mengerutkan kening.
"Ada apa, Anak Muda? Kau hendak meminta
makan?" tanya Ki Jiung, menyangka kalau pemuda di
hadapannya benar-benar orang gila. Tapi kening lelaki
tua itu tambah berkerut, menyaksikan pakaian bagus
pemuda itu.
"Aneh, tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi
pakaiannya rapi dan bagus," gumam Ki Jiung, merasa
heran dengan penampilan pemuda itu.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, mendengar pertanyaan
Ki Jiung tadi. Diambilnya bulu burung dari ikat
pinggang, kemudian dengan tertawa-tawa kupingnya
dikorek-korek. Hal itu membuat Ki Jiung semakin
heran.
"Apa yang lucu, Anak Muda?"
"Hi hi hi...! Kau, Ki. Lucu sekali kau...," kata Sena
masih mengorek kuping dengan bulu burung.
Ki Jiung semakin terheran-heran, mendengar
ucapan Sena yang mengatakan dia lucu. Matanya
memandangi sekujur tubuhnya, berusaha mencari hal
yang lucu. Tapi tetap saja tidak ditemukannya.
Ki Jiung kembali memandang Sena. Diamatinya
pemuda itu dengan seksama, namun dia masih
belum mengerti. Aneh! Kata Ki Jiung dalam hati.
"Anak muda, kenapa kau tertawa?" tanya Ki Jiung
masih dengan kening berkerut.
"He he he...! Ah, tidak apa-apa, Ki. Teruskanlah
membuka kedaimu. Aku lapar sekali," ucap Sena
sambil membantu memberesi perabotan kedai. Hal
itu membuat hati Ki Jiung semakin bertanya-tanya.
Terlebih ketika melihat cara kerja Sena yang sangat
cepat dan cekatan. Hingga dalam sekejap saja,
semuanya sudah beres. Padahal kalau dikerjakan
oleh Ki Jiung perlu waktu yang cukup lama.
"Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?" tanya Jiung
dengan mata membelalak, menyaksikan dagangan
serta beberapa bangku panjang yang semula berada
di atas meja kini telah siap di samping meja.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kemudian
dengan acuh dia duduk di salah satu bangku sambil
bersandar. Tangannya masih mengorek telinga
dengan bulu burung. Matanya terpejam-pejam,
merasakan kenikmatan.
Ki Jiung melangkah ke arah Sena dengan
membawa makanan berupa sepiring nasi lengkap
dengan lauknya.
"Ini untukmu, Anak Muda," kata Ki Jiung. Sena
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih, Ki. Oh, ya. Berapa semuanya tanya
Sena sambil mengambil uang di ikat pinggangnya.
"Cukupkah uang segini?"
Ki Jiung mengerutkan kening, menyaksikan dua
keping uang emas yang dikeluarkan Sena. Dia
semakin bingung dengan pemuda yang bertingkah
laku gila itu. Dari mana pemuda ini memiliki uang
emas? Tanya hatinya. Ki Jiung jadi sangsi kalau
pemuda bertingkah laku gila itu pemuda gila biasa.
"Hi hi hi…. Kenapa diam, Ki? Apa ada setan lewat?"
tanya Sena seraya menyerahkandua keeping uang
emas pada lelaki tua yang hanya mampu menautkan
alis, tanpa dapat berbuat apa-apa.
Dengan masih tertegun-tegun, Ki Jiung me-
mandang pemuda yang kini dengan acuh menyantap
makanan.
Ketika Sena menyantap makanannya, masuk lima
orang berpakaian tambalan. Kelimanya memegang
tongkat kayu berwarna hitam. Mereka tidak lain Lima
Pengemis Tongkat Hitam. Namun kini kehadiran
mereka tidak bersama ketuanya, Pengemis
Tempurung Sakti.
"Kami minta makan!" seru Ketua Perkumpulan
Pengemis dari selatan yang bernama Jalantra.
Dengan rasa was-was, Ki Jiung yang sudah
mengenal kelima orang itu segera menghampiri.
Wajah lelaki tua itu menggambarkan ketegangan,
seakan tengah berhadapan dengan lima hantu yang
menyeramkan. Tubuhnya membungkuk-bungkuk,
menghampiri Lima Pengemis Tongkat Hitam yang
tindakannya terkenal beringas. Tidak seperti
pengemis lainnya (Mengenai Lima Pengemis Tongkat
Hitam, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode 'Titisan Dewi Kuan In')
"Ki!" seru Sena, ketika Ki Jiung hendak mendekati
Lima Pengemis Tongkat Hitam. "Ke sini sebentar!"
Ki Jiung tampak bingung. Tadi dia dipanggil oleh
Lima Pengemis Tongkat Hitam. Kini dia kaget
mendengar seruan Sena. Pemuda yang bertingkah
seperti orang gila yang semula nampak konyol, kini
terdengar berwibawa dengan seruannya yang lantang.
Bukan hanya Ki Jiung yang kaget mendengar suara
Sena, Lima Pengemis Tongkat Hitam pun begitu.
Mereka sebenarnya sudah bertarung dengan
Pendekar Gila, tapi rupanya mereka tidak tahu kalau
pemuda berambut panjang yang sedang makan itu
adalah Sena.
"Hm.... Rupanya pemuda edan itu ada di sini!"
dengus Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara
yang bernama Sampra. Wajahnya nampak sinis,
mencerminkan ketidaksukaannya pada Pendekar
Gila.
"Ya! Tak kami sangka, akhirnya kami harus ber-
temu dengan Pendekar Gila!" sambung Gandrana
dengan suara yang tidak kalah sinis.
"Kalau di Lembah Lamur dulu kita belum melihat
sejauh mana ilmunya. Mengapa tidak sekarang saja?"
tambah Jantrik.
Sena tertawa tergelak gelak sambil menggerak-
gerakkan kepalanya dengan cepat.
"Ha ha ha...! Ki, mengapa lalat-lalat busuk itu kau
biarkan masuk? Bukankah sebaiknya kau usir saja?"
ledek Sena dengan acuh sambil terus menyantap
makanannya.
Lima Pengemis Tongkat Hitam yang dikatakan lalat
busuk serentak membelalak marah. Mereka men-
dengus kesal.
"Kurang ajar! Rupanya kegilaanmu harus kami
hentikan!" bentak Jalantra. Kemudian dengan penuh
amarah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah
selatan ini bergerak menyerang. Tongkatnya disodok-
kan ke punggung Pendekar Gila.
"Huh! Lalat busuk ini rewel sekali, Ki!" ujar Sena
seraya melemparkan piring ke arah Jalantra.
Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan itu
tersentak. Segera niatnya diurungkan untuk
menyodokkan tongkat ke punggung lawan. Malah kini
tubuhnya bersalto mengelitkan serangan lawan
dengan mulut mencaci-maki.
"Pemuda edan!"
"Ha ha ha...! Lihat, Ki. Ada lalat yang kebingungan
ditampar oleh piring!"
Sena tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari
duduknya, berdiri sambil cengengesan memandang
keempat ketua perkumpulan pengemis lainnya.
"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah
Gila!" dengus Gandrana sengit.
Sena kembali tertawa riuh rendah. Tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat. Sedangkan tangan kanannya
dikibas-kibaskan. Seketika nasi yang melekat di jari-
jari tangannya berhamburan ke arah Lima Pengemis
Tongkat Hitam.
"Kunyuk! Kubunuh kau!" maki Jantruk, Ketua
Perkumpulan Pengemis daerah barat sambil ber-
kelebat menyerang, disusul oleh keempat rekannya.
Dengan jurus 'Lima Pusaran Angin Merobohkan
Dinding Karang', kelimanya bergerak menyerbu.
"Hiaaat..!"
Pendekar Gila masih tertawa-tawa. Bahkan kini dia
nungging sambil memperdengarkan suara kentut dari
mulutnya. Lalu dengan tertawa-tawa, Sena bertepuk
tangan.
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali, Lalat Busuk! Ha ha
ha...!"
Tongkat Lima Pengemis Tongkat Hitam bergerak
menyambar ke seluruh tubuh Sena. Jantruk ke arah
kepala. Jalantra ke arah leher. Gandrana ke arah
dada dan punggung. Sampra ke arah perut.
Sedangkan Jantrik menyerang ke bagian pusar ke
bawah.
Gerakan mereka dalam menyerang begitu cepat
dan tergabung dengan teratur, susul menyusul. Hal
itu akan membuat lawan kesulitan untuk dapat
melepaskan diri dari kepungan serangan mereka.
"Wau, apa lagi yang kalian lakukan, Kecoa? Hi hi
hi..!"
Dengan berjumpalitan kian kemari, Sena
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Kera Gila
Menyambar Buah'. Sena bergerak bagai seekor kera
yang berayun dari satu pohon ke pohon lain.
Tangannya sesekali mencengkeram, dengan kaki
bergantian menjejak ke arah lawan.
"Haiiit..!"
Lima Pengemis Tongkat Hitam segera
mengelakkan serangan Sena dengan jurus 'Lima
Angin Balik'. Tubuh mereka berputar laksana angin.
Kalau mulanya menyerang, kini berbalik mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat pula,
kelimanya kembali melakukan gempuran.
"Yeaaat!"
Lima Pengemis Tongkat Hitam menyodokkan ujung
tongkat masing-masing ke arah Pendekar Gila.
Dengan cepat, Pendekar Gila melenting ke udara.
Lalu melancarkan serangan dengan jurus 'Dewa
Angin Menyapu Banteng'. Dengan jari-jari tegak,
tangannya menghantam ke arah kepala lawan
dengan gerakan kilat
"Heaaa...!"
Plak!
"Ukh...!" Gandrana memekik. Kepalanya langsung
pecah.
Kejadian itu membuat Ki Jiung yang sejak tadi
melihat pertarungan dan belum tanu siapa pemuda
yang bertingkah gila, membelalakkan mata. Dari
mulutnya terlontar pekikan kaget. Tubuhnya gemetar
menyaksikan kejadian yang mengerikan itu.
"Ohhh...!" Ki Jiung segera menyembunyikan
wajahnya di balik telapak tangan, tak berani
menyaksikan pertarungan yang sangat mengerikan
itu.
"Pemuda edan! Kau harus mampus!" dengus
Sampra.
"Ya! Kau telah membunuh salah seorang dari
kami! Kau harus mampus!" tambah Jantruk.
Sena tertawa tergelak-gelak mendengar ancaman
mereka. Dengan menepuk-nepuk pantat, Sena
memonyongkan mulutnya.
Brut!
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali! Kenapa kalian
minta mati?" tanya Sena. "Padahal orang mati minta
hidup."
Keempat Ketua Perkumpulan Pengemis itu
semakin marah mendengar omongan Pendekar Gila.
Kemudian dengan mendengus marah, mereka
kembali menyerbu.
"Hiaaat..!"
Empat tongkat di tangan mereka bergerak
mengepung dari empat penjuru mata angin. Menusuk
dan menyambar dengan keras ke tubuh Pendekar
Gila dengan jurus 'Sapuan Empat Penjuru Angin'.
Pukulan tongkat itu menciptakan angin keras yang
menerpa ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, lalu dengan
menungngkan pantatnya, dia bergerak mengelakkan
serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan irama
yang aneh. Sesekali tangannya menepuk ke dada
lawan.
***
Prak! Satu tongkat kayu hitam terkena tepakan
tangan Pendekar Gila. Tongkat di tangan Jalantra
patah menjadi dua, sedangkan pemiliknya terhuyung-
huyung lengan wajah pucat. Tidak hanya sampai di
situ, Pendekar Gila terus menggebrak dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, dan tangannya sesekali menepuk ke
dada lawan.
"Heaaa...!"
Plak!
"Ukh...!" Jalantra mengeluh. Dadanya terasa pecah
akibat tepakan tangan Pendekar Gila. Asap mengepul
dari dadanya. Matanya membelalak. Dari sudut
bibirnya meleleh darah segar.
Mulut Jalantra meringis, menahan rasa sakit yang
tak terkirakan. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa.
Ketiga Ketua Perkumpulan Pengemis lainnya
segera melompat mundur, menyaksikan Jalantra
tewas di tangan lawannya yang kini masih
cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat. Tubuhn-
ya berjingkrak-jingkrak tak ubahnya seekor monyet.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin mati?" tanya
Sena, masih dengan tingkah laku seperti kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Ki Jiung yang menyaksikan bagaimana pemuda
bertingkah laku gila itu dalam beberapa gebrakan
saja mampu membunuh dua dari Lima Pengemis
Tongkat Hitam, amat terperangah. Dia tidak
menyangka kalau pemuda itu ternyata berilmu tinggi.
Pantas saja dia bekerja sangat cepat. Gerakannya
ternyata sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat
daganganku tersusun rapi olehnya. Puji Ki Jiung
dalam hati. Dengan takut-takut matanya menyaksikan
pertarungan yang sangat seru dan mendebarkan itu.
Tiga Ketua Perkumpulan Pengemis itu kembali
melabrak Pendekar Gila. Rupanya kematian dua
rekannya tidak membuat ketiganya jera. Malah
mereka bertambah beringas dalam melakukan
serangan.
"Kau harus mampus, Bocah Edan!" maki Jantrik
"Kuremukkan batok kepalamu!" sambung Jantruk.
"Meski namamu telah menjulang tinggi, pantang
bagi kami untuk lari! Heaaat...!"
Tubuh Sampra dengan cepat melesat melakukan
serangan. Tongkat hitam di tangannya bergerak
menyambar dan menusuk. Kadangkala memukul dari
atas ke bawah, berusaha meremukkan batok kepala
Pendekar Gila.
Melihat rekannya menyerang, kedua pengemis
lainnya turut meluruk maju. Kini dengan jurus 'Tiga
Sakra Tongkat Maut' ketiganya bergerak menusuk
dan membabat ke arah Sena. Serangan mereka
sangat cepat, menimbulkan deru angin yang
menyambar-nyambar.
Srrrt!
Sena segera menarik Suling Naga Sakti dari ikat
pinggangnya. Kemudian dengan sigap, sulingnya
diputar ke arah tongkat di tangan para pengemis yang
menyerangnya, membentuk setengah lingkaran.
Sedangkan tangannya memukul dengan telapak
tangan menggunakan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Tak!
Prak!
Tongkat kayu hitam di tangan Jantruk dan Sampra
patah menjadi dua. Sedangkan tangan Pendekar Gila
masih bergerak memukul ke dada lawan.
Begk!
"Ukh...!" Jantrik mengeluh pendek. Tangan kirinya
mendekap dada yang terasa remuk akibat pukulan
lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
dengan mulut meringis. Darah dari sudut bibir pun
menyapu dagunya dengan warna merah.
Sesaat tubuh Jantrik meregang, lalu ambruk
dengan nyawa melayang.
Menyaksikan kematian rekan mereka, nyali kedua
pengemis lainnya mendadak ciut. Jiwa keduanya
bagai dihimpit oleh ketakutan.
Kedua orang itu bermaksud lari. Namun dengan
cepat Pendekar Gila segera meniup Suling Naga
Sakti. Suara sulingnya mengalun dengan merdu dan
mendayu-dayu.
Keanehan terjadi! Tubuh kedua pengemis itu
seketika meregang kaku, terpaku di ambang pintu
masuk kedai bagai arca.
"Ha ha ha...! Lucu... lucu sekali kalian! Mengapa
kalian seperti patung?" tanya Sena sambil tertawa
nyaring. Sedangkan mata Ki Jiung membelalak,
menyaksikan kejadian yang sangat aneh itu. Dia tidak
melihat kejadian apa-apa, namun mengapa kedua
pengemis itu kini mematung?
"Bocah edan! Lepaskan totokanmu!" geram
Sampra.
"Ha ha ha...! Kurasa aku tidak menotokmu!" dalih
Sena. "Aha, apa kalian ingin menari? Baik,
menarilah!"
Sena kembali meniup sulingnya dengan alunan
yang mendayu. Kembali kejadian aneh terjadi. Kedua
pengemis itu kini menari-nari, mengikuti irama suling
yang ditiup Sena.
Ki Jiung loan membelalakkan mata, menyaksikan
kejadian luar biasa itu. Baru kali ini matanya melihat
.
bagaimana suara suling mampu membuat orang
menari. Ki Jiung tidak tahu, kalau irama suling yang
ditiup Sena adalah tiupan 'Pelayung Sukma', di mana
orang yang dituju akan terpengaruh sukmanya untuk
mengikuti irama suling.
Ki Jiung benar-benar tak tahan melihat gerakan
lemah gemulai dan lenggokan tubuh dua pengemis
itu. Dia lantas tertawa tergelak-gelak bagai orang gila.
Kemudian dengan masih tertawa-tawa, Ki Jiung turut
menari.
Beruntung Sena tidak meniup Suling Naga Sakti
dengan irama sedih. Kalau saja Sena meniupnya
dengan irama sedih, tentu ketiga orang itu akan
menangis meraung-raung.
Sena menghentikan tiupan sulingnya. Seketika
kedua pengemis itu kembali mematung. Sementara
Sena masih tertawa tergelak-gelak dengan tangan
menepuk-nepuk pantat
"Ki, menjauhlah dari sini," katanya, meminta Ki
Jiung agar menjauh dari tempat itu.
"Nah, Sobat-sobat. Bagaimana kalau kalian
menangis? Hi hi hi...! Mungkin selama ini kalian tak
pernah menangis, walau banyak orang yang telah
kalian siksa! Ayo, menangislah..."
Usai berkata begitu, Sena kembali meniup Suling
Naga Saktinya dengan irama sedih. Seketika kedua
lelaki yang menjadi bulan-bulanan itu menangis
meraung-raung, seakan meratapi nasib mereka yang
sangat malang.
Ki Jiung kembali terperanjat, menyaksikan
kejadian yang amat langka itu. Hanya mendengar
irama suling, kedua pengemis itu menangis
sesenggukan.
Lama kelamaan tubuh keduanya ambruk, tak kuat
menahan rasa sedih yang tiada terkira. Mereka tewas
tak mampu menahan siksaan batin yang sangat
hebat
Sena kembali tertawa menyaksikan kejadian itu.
Seakan kejadian yang ada di hadapannya adalah
guyonan lucu.
"Ki, aku permisi," pamit Sena, hendak berlalu.
"Lalu, bagaimana dengan kelima mayat ini, Tuan?"
"Aha, aku lupa..." Sena merogoh ikat pinggangnya,
kemudian mengeluarkan lima keping uang emas.
"Cukupkah lima keping uang emas ini untuk
mengurus mayat mereka, Ki? Suruhlah orang-orang
mengurusnya."
"Bu..., bukan itu, Tuan. Tapi..."
"Sudahlah, Ki. Terimalah uang ini."
Sena menyodorkan lima keping uang emas itu,
kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan
kedai milik Ki Jiung.
Ki Jiung hanya dapat terbengong-bengong,
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu
mampu melesat sangat cepat laksana angin.
***
TIGA
Di Grojokan Perawan, di mana Goa Sandang berada,
pagi itu seorang gadis cantik berkulit kuning langsat
tengah berlatih ilmu silat. Di tangannya tergenggam
sebilah pedang yang mengeluarkan sinar putih
bergulung kabut. Hidung gadis itu mancung dan
bermata lentik. Rambutnya terurai bergelombang,
dan berikat kepala berwarna merah. Dia mirip dengan
Mei Lie.
Di depan gadis itu, seorang wanita tua berpakaian
minim duduk bersila di atas sebuah batu. Matanya
memandang ke arah gadis yang tengah berlatih itu.
Wanita tua berusia sekitar sekitar enam puluh tahun
dengan hidung mancung dan alis lebat itu adalah
guru dari si gadis. Namanya Dewi Sandang. Nama itu
diambil dari goa tempatnya menetap yang dikenal
dengan sebutan Goa Sandang.
Saat itu, muridnya yang bernama Sarah Dita
tengah melakukan jurus pamungkas 'Satuan Raga
dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Titisan Iblis'.
Sarah Dita tampak terdiam sesaat dengan mata
terpejam. Mata pedang ditempelkan pada hidungnya.
Cara membuka jurus itu hampir sama dengan jurus
'Pedang Tebasan Batin' yang dimiliki Mei Lie.
Setelah lama mengheningkan cipta, dibarengi
pekikan nyaring Sarah Dita menggerakkan pedang-
nya.
"Hiaaat...!"
Wut, wut...!
Pedang diarahkan ke batu yang ada di sampingnya
dengan gerakan menusuk.
Jreb!
Pedang itu langsung tembus sampai ke sisi batu di
belakangnya. Begitu hebat pedang bersinar putih itu,
sehingga batu yang keras dapat ditembusnya.
"Bagus! He he he...! Kini lengkaplah semuanya!
Kau akan bisa menjadi pengganti Bidadari Pencabut
Nyawa. He he he...!" Dewi Sandang tertawa-tawa
senang. Segera dia bangun dari bersilanya, lalu
menghampiri muridnya yang langsung menyembah.
"Terima kasih, Guru. Atas budimu, aku telah
berhasil mempelajari semua ilmu pedang yang telah
kau ajarkan."
"He he he...! Sudahlah, ayo bangun. Aku akan
mengatakan sesuatu padamu," ajak Dewi Sandang.
Keduanya segera melesat meninggalkan tempat
itu. Tak berapa lama kemudian, tibalah mereka di
dalam goa tempat mereka tinggal selama ini. Dewi
Sandang mengajak muridnya duduk di sebuah batu
yang ada di dalam goa itu.
"Duduklah, Sarah."
Sarah Dita duduk.
"Ada apa gerangan, Guru?" tanya Sarah Dita
setelah menyeka keringat.
"He he he...!" Dewi Sandang terkekeh. "Kau tahu,
mengapa kau kudidik menjadi jago pedang, Sarah
Dita?"
"Tidak, Guru. Yang kuketahui, aku akan menjadi
jago pedang nomor wahid di rimba persilatan," jawab
Sarah Dita.
"He he he...! Bagus! Memang itu yang aku
kehendaki. Kau menjadi jago pedang di rimba
persilatan dan tak terkalahkan oleh pendekar pedang
mana pun. Tapi...," Dewi Sandang tak meneruskan
ucapannya. Hal itu membuat Sarah Dita mengerutkan
kening. Matanya memandang sang Guru.
"Ada apa, Guru?"
"He he he!..! Tidak apa-apa."
"Mengapa Guru tidak meneruskan?"
"He he he...! Anak pintar.... Tapi, harapanku
seketika musnah, ketika kudengar dari paman
gurumu, kalau sekarang ada jago pedang yang sangat
hebat dan belum terkalahkan," ujar Dewi Sandang,
melanjutkan kata-katanya yang terpenggal.
Sarah Dita mengerutkan dahi.
"Siapa dia, Guru? Dan seberapa hebatkah ilmu
pedangnya? Kalau boleh, ingin rasanya aku
mengujinya," kata Sarah Dita dengan perasaan tak
senang. Bagaimanapun juga, dia yang harus menjadi
jago dari segala jago pedang. Dia harus dapat
mengalahkan siapa saja yang mahir dalam ilmu
pedang.
Dewi Sandang sesaat terdiam. Dihelanya napas
dalam-dalam. Matanya menatap wajah muridnya yang
tampak marah, tak suka mendengar kalau di rimba
persilatan ada jago pedang selain dirinya.
"Dia bernama Mei Lie, seorang gadis Cina yang
hampir mirip denganmu. Dia bergelar Bidadari
Pencabut Nyawa. Itu sebabnya aku selalu mengata-
kan kalau kau Bidadari Pencabut Nyawa. Aku ingin
kau dapat mengalahkannya."
"Akan kulakukan, Guru."
"Tunggu dulu.... Dengarlah apa yang akan
kukatakan padamu."
Sarah Dita menurut
"Kau akan kujadikan Mei Lie. Kau harus memb-
antu paman gurumu untuk mengecoh para pendekar.
Sebisanya kau menyamar sebagai Mei Lie. Besok,
berangkatlah ke tempat paman gurumu. Aku akan
memberikan surat padanya. Antarlah ke sana. Apa
pun yang dikatakan paman gurumu, kau harus
menurut. Karena hanya dengan cara itulah, kau akan
bisa bertemu dengan Mei Lie atau Bidadari Pencabut
Nyawa," tutur Dewi Sandang.
"Apakah tidak sekarang saja, Guru?" tanya Sarah
Dita setengah mendesak.
"He he he, kau nampak tak sabar. Kalau itu
maumu, berangkatlah."
"Terima kasih, Guru."
Dewi Sandang mengambil surat yang akan
diberikan pada paman gurunya yang bernama Daeng
Ampra. Setelah memberikan surat itu pada muridnya,
Dewi Sandang melepas kepergian Sarah Dita yang
akan menjalankan tugasnya.
***
Rimba persilatan semakin geger karena
kemunculan Mei Lie. Sepak terjang gadis Cina itu
membuat tokoh-tokoh golongan hitam bagai
menghadapi seorang malaikat maut. Apalagi dengan
tindak-tanduk Sena yang senantiasa berusaha
menumpas keangkaramurkaan di muka bumi ini.
Membuat tokoh-tokoh golongan hitam kian tersudut
kedudukannya.
Ketika terik matahari siang menyengat bumi,
tampak seekor kuda berwarna coklat tua berlari
kencang menerobos debu yang beterbangan di
Lembah Balapulang. Di punggung kuda itu, tampak
seorang wanita berpakaian serba putih dengan
kepala tertutup caping berwarna hijau dari daun
pandan.
Wanita muda itu bermata indah, dengan rambut
terurai lurus. Potongan tubuhnya yang ramping,
semakin melengkapi kecantikannya. Di punggung
gadis cantik yang tubuhnya dibungkus pakaian
bergaya Cina warna putih itu tersandang sebilah
pedang.
Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak
menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat.
Tiba-tiba penunggang kuda itu menghentikan lari
binatang tunggangannya.
"Hooop...!"
Kuda itu pun berhenti. Gadis penunggangnya
tampak mengarahkan matanya ke semak belukar di
Lembah Balapulang itu. Tampaknya ada sesuatu yang
membuat lari kudanya dihentikan. Telinganya tadi
sempat mendengar suara yang mencurigakan di
tempat itu.
"Hm...."
Gadis cantik dari Cina itu menggumam tak jelas.
Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah,
seakan hendak mencari asal suara yang didengarnya.
Kresek!
"Hm...."
Kembali gadis Cina itu bergumam. Kemudian dia
melompat turun dari punggung kudanya. Matanya
masih memandang ke asal suara tadi.
"Siapa yang ada di situ, keluarlah!"
Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya langkah-
langkah kaki yang menginjak daun-daun kering. Dilirik
dari suaranya, pemilik langkah kaki itu sepertinya
berjumlah lebih dari dua orang.
"Hm.... Rupanya kalian ingin mempermainkan aku!
Baik, jangan harap aku akan mengampuni kalian!"
dengus gadis cantik berpakaian Cina itu.
Dari balik semak belukar, berkelebat sepuluh lelaki
berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup kain
hitam. Hanya bagian matanya yang terlihat. Ditilik dari
sinar mata yang memancar garang, tampaknya
mereka bukan orang baik-baik. Di tangan mereka
tergenggam sebilah golok tajam. Sepertinya mereka
para penyamun yang menjegal setiap orang yang
melintasi tempat itu.
"Siapa kalian?!" bentak wanita cantik bercaping
daun pandan.
"Ha ha ha...! Siapa pun kami, kau tak perlu tahu.
Yang pasti, kami menginginkan kau, Cah Ayu," sambut
pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu sambil
tertawa-tawa.
"Hm.... Tentu kalian yang dinamakan Gerombolan
Lowo Ireng?!" dengus gadis bercaping itu.
"Ha ha ha! Pandanganmu tajam sekali, Cah Ayu.
Nah, kalau kau sudah tahu siapa kami, kuharap kau
tidak usah menentang semua yang kami inginkan!
Ikut kami!" perintah pemimpin orang-orang ber-
pakaian hitam itu.
"Ha ha ha...! Enak sekali kau bicara, Sarwono!"
bentak gadis cantik bercaping, membuat Ketua
Gerombolan Lowo Ireng tersentak kaget. Dia tidak
menyangka kalau gadis cantik yang mirip gadis Cina
itu tahu namanya.
"Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?!" bentak
Sarwono dengan mata melotot, memandang tajam ke
arah gadis cantik yang menyandang pedang di
punggungnya.
"Ha ha ha...! Kau masih belum mengenaliku,
Sarwono! Aku Mei Lie, Titisan Dewi Kuan Im. Tapi
orang-orang persilatan kini lebih suka menyebutku
Bidadari Pencabut Nyawa. Orang-orang sepertimu
yang harus kucabut nyawanya!" ancam gadis
bercaping yang penampilannya memang serupa
dengan Mei Lie.
"Cuh! Jangan sembarangan bicara, Bocah!" bentak
Sarwono gusar. Matanya berkilat-kilat tajam.
Napasnya tampak turun-naik dihela kemarahan.
"Ha ha ha. Apa yang sulit untuk menyingkirkan
kalian, Kecoa Busuk?!" ledek gadis cantik bercaping
itu. "Guru dan pemimpin kalian pun akan kubunuh
dengan mudah!"
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus Sarwono semakin beringas, merasa telah
diremehkan oleh seorang gadis muda.
"Ha ha ha! Kalianlah yang mencari mampus!" balik
gadis itu dengan tetap bernada angkuh. Tangannya
menggapai gagang pedang.
Srrrt!
Gadis cantik bercaping itu menarik pedang,
seakan menantang Gerombolan Lowo Ireng secara
terang-terangan.
"Majulah! Biar dengan cepat aku membereskan
Kalian!" tantang gadis itu. Pedang di tangannya
terhunus di depan wajah. Siap untuk melakukan
serangan.
"Bedebah! Serang dia...!" perintah Sarwono sambil
menggerakkan tangan kanannya, mengisyaratkan
pada kesembilan anak buahnya untuk segera
melakukan serbuan.
"Bagus! Majulah...!" tantang gadis cantik bercaping
itu seraya menggerakkan pedangnya dengan jurus
yang berbeda dibanding jurus yang biasa digunakan
Mei Lie. Begitu juga dengan pedangnya, tidak
mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan
sebagaimana Pedang Bidadari.
Dengan jurus 'Sambutan Sampar Kabut' gadis
yang mengaku Mei Lie itu menyerang ke arah
lawannya.
Kesembilan anggota Gerombolan Lowo Ireng
serentak merangsek maju. Golok di tangan mereka
bergerak cepat membabat dan menebas ke arah
lawan.
Wut!
"Hiat..!"
Gadis cantik bercaping itu segera berkelit ke
samping kanan, kemudian dengan gerak cepat
tubuhnya berputar. Pedang di tangannya turut
bergerak, membabat ke arah lawan.
Cras!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua orang anak buah Sarwono memekik. Dada
mereka tersayat mata pedang gadis cantik itu. Mata
keduanya membelalak dengan tubuh limbung ke
belakang, kemudian ambruk dengan darah masih
mengalir keluar.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kuntilanak!" maki
Sarwono marah. Dia turut melabrak gadis cantik yang
mengaku-aku Mei Lie. Golok di tangannya bergerak
membabat dengan jurus 'Simbar Nyawa'.
Wusss!
Angin keras yang terasa panas menyengat keluar
dari golok di tangan Sarwono, menyentakkan gadis
cantik bercaping daun pandan itu.
"Uts! Bagus! Majulah sekalian! Hiaaat...!"
Gadis cantik itu dengan cepat memutar pedangnya
dengan jurus 'Pampas Gali Sandang', sebuah jurus
yang cukup mengejutkan Sarwono. Karena jurus itu
begitu terkenal di rimba persilatan dan dimiliki oleh
seorang pendekar pedang yang di masa jayanya
sempat malang-melintang di rimba persilatan.
"Ada hubungan apa kau dengan Dewi Sandang,
Perempuan Liar?!" tanya Sarwono seraya melompat
mundur.
"Ha ha ha...! Rupanya kau kaget, Sarwono! Aku
murid tunggalnya!" jawab gadis cantik berbadan
ramping dengan bulu mata lentik itu.
"Kalau begitu, tentunya kau bukan Mei Lie!"
sangkal Sarwono.
"Ha ha ha! Siapa pun aku, yang pasti kalian harus
mampus!" dengus gadis cantik yang tak lain Sarah
Dita itu. Matanya yang indah memandang garang ke
arah Sarwono, laksana mata seekor harimau lapar.
"Hm, antara gerombolan kami dan Dewi Sandang
tak ada permusuhan. Kami adalah teman baiknya.
Mengapa pula kau memusuhi kami?!" tanya Sarwono
masih belum mengerti, mengapa sikap murid Dewi
Sandang yang juga kakak kandung guru mereka
bermusuhan.
"Ha ha ha...! Ciut juga nyalimu Sarwono! Hm,
baiklah. Aku sebenarnya datang ingin bertemu
dengan paman guruku! Sekarang pulanglah, katakan
pada guru kalian, kalau murid Dewi Sandang datang,"
perintah Sarah Dita sambil memasukkan pedangnya
ke sarung.
"Baik! Kami akan segera pergi. Ayo anak-anak!"
ajak Sarwono pada anak buahnya.
"Tunggu!" tahan Sarah Dita.
"Ada apa lagi?"
"Bagaimana dengan dua anak buahmu ini?"
"Biarkan saja!" jawab Sarwono seraya melambai-
kan tangan, memerintah anak buahnya untuk
meninggalkan tempat itu.
Sarah Dita tersenyum tipis. Lalu dengan sekali
lompat, tubuhnya telah berada di atas kudanya yang
langsung digebah. Dan segera melesat meninggalkan
tempat itu, mengikuti arah Sarwono dan anak
buahnya pergi.
Sarwono dan anak buahnya tampak lari ke dalam
Hutan Warang Belang. Di sana berdiri bangunan
megah yang dihiasi ukiran besar terbuat dari kayu
bergambar kelelawar berwarna hitam. Ke tempat
itulah Sarwono dan anak buahnya pergi, karena di
situlah Guru dan Ketua Gerombolan Lowo Ireng
berada.
Dalam ruangan lebar di tengah-tengah gedung
besar itu, tampak dua lelaki duduk di atas kursi
berukir yang terbuat dari gading. Keduanya memakai
pakaian hitam-hitam panjang menyerupai jubah.
Seorang lelaki tua berwajah garang duduk di sebelah
kanan. Jenggot-nya panjang berwarna putih. Matanya
yang lebar be-kilat merah. Kumisnya putih, menutupi
mulutnya. Rambut putih lelaki tua itu terurai dengan
ikat kepala berwarna hitam. Lelaki ini adalah guru
dari Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Namanya Daeng
Ampra.
Daeng Ampra berasal dari tanah Sulawesi. Dia
sengaja pergi ke tanah Jawa Dwipa untuk meng-
hindari kejaran para pendekar aliran putih yang ber-
maksud menangkapnya. Ketika di Andalas, dia pun
menjadi pemimpin gerombolan yang sebagian anak
buahnya ikut terlibat dalam Gerombolan Lowo Ireng
sekarang ini.
"Hm, aku merasa bakal ada tamu, Selendra," kata
Daeng Ampra bergumam, pada lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun yang duduk di sampingnya.
"Benar, Guru," sahut lelaki bertubuh kekar dengan
jubah hitam. Matanya juga tajam. Alis matanya lebat.
Cambang bauk dan kumis yang menghiasi wajah,
menambah kegarangan penampilannya. Rambut
lelaki ini masih hitam, terurai lepas dengan ikat
kepala berwarna hitam pula. Dialah yang menjadi
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Dia pula yang
mewarisi semua ilmu yang dimiliki Daeng Ampra.
"Sepertinya ada tamu, Guru. Kupu kejer sejak tadi
beterbangan dan hinggap di sini," tambah Selendra.
"Hm...," Daeng Ampra menggumam. Matanya yang
tajam memandang lurus ke arah pintu masuk
ruangan yang terbentang lebar dengan dua penjaga
berdiri tegak. Di tangan kedua penjaga itu
tergenggam tombak.
Saat itu dari luar masuk Sarwono dengan ketujuh
anak buahnya yang segera menyembah.
"Ampun, Ketua. Kami menghadap," hatur Sarwono
setelah menyembah.
"Hm.... Ada apa, Sarwono? Di mana kedua anak
buahmu yang lain?" tanya Selendra.
"Ampun, Ketua. Dua anak buahku tewas," sahut
Sarwono dengan kepala menunduk, takut kalau
ketuanya akan marah.
Mata Ketua Gerombolan Lowo Ireng melotot,
mendengar jawaban Sarwono. Dia bangun dari
tempat duduknya.
"Apa?!" bentak Selendra murka. Matanya semakin
menusuk ke arah Sarwono yang kian menundukkan
kepala, tak berani mengadu pandang dengan
pemimpinnya. "Siapa yang telah membunuh
mereka?!"
"Aku...!"
Belum juga Sarwono menjawab, dari kejauhan
tiba-tiba terdengar sahutan seorang wanita.
Semua orang yang ada di bangunan milik
Gerombolan Lowo Ireng tersentak, mendengar
sahutan yang keras itu. Mereka serentak meng-
alihkan pandangan keluar. Tampak sesosok tubuh
ramping berpakaian serba putih dan bercaping daun
pandan berdiri dengan tegap.
Ketua Gerombolan Lowo Ireng beserta gurunya
seketika melangkah keluar, diikuti oleh Sarwono dan
anak buahnya serta anak buah Selendra yang lain.
"Nisanak, siapa kau? Ada kepentingan apa hingga
datang ke markas Lowo Ireng?" tanya Selendra
dengan mata tajam memandang gadis cantik yang
berdir sekitar sepuluh tombak dari pintu gerbang.
"Aku datang untuk menyampaikan amanat dari
guruku!" sahut gadis cantik bercaping daun pandan
yang tak lain Sarah Dita.
"Hm, siapa gurumu?!" kali ini Daeng Ampra yang
bertanya.
"Dewi Sandang!" sahut Sarah Dita, menyentakkan
Daeng Ampra.
"Dewi Sandang...? Hm, lama sekali aku tidak
bertemu dengan gurumu, Bocah. Masuklah!" ajak
Daeng Ampra. Kemudian tangannya bergerak,
memerintah murid-muridnya agar menyingkir untuk
memberi jalan gadis cantik itu.
Dengan tenang tanpa rasa takut di wajahnya,
Sarah Dita melangkah masuk.
"Silakan," ajak Selendra mempersilakan tamunya
agar terus masuk ke dalam.
"Terima kasih."
Sarah Dita melangkah masuk, diiringi oleh
Selendra dan Daeng Ampra. Ketiganya kemudian
duduk di ruangan lebar, tempat Selendra dan Daeng
Ampra duduk tadi.
"Bocah, amanat apa yang gurumu sampaikan
padaku?" tanya Daeng Ampra.
"Ini, Paman," ujar Sarah Dita seraya mengeluarkan
surat dari gurunya, dan diberikan pada Daeng Ampra
yang segera membacanya.
Daeng Ampra mengerutkan kening setelah
membaca isi surat tersebut
"Hm.... Kami pun sudah mendengar kabar
mengenai Dewi Kuan Im atau Bidadari Pencabut
Nyawa," gumam Daeng Ampra seraya menghela
napas panjang. Wajahnya nampak murung,
mencerminkan kecemasan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Paman?" tanya
Sarah Dita.
Daeng Ampra menghela napas panjang-panjang.
Matanya menatap lekat ke wajah gadis cantik di
hadapannya. Seakan ingin membuktikan apa yang
berada di dalam surat yang dikirim oleh saudara
seperguruannya.
"Kau memang cocok sekali dengan tugas yang
diberikan oleh gurumu, Bocah," kata Daeng Ampra
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Panggil saja aku dengan namaku, Paman," tukas
Sarah Dita, yang merasa agak jengkel juga dipanggil
bocah.
"Hm.... Baiklah Sarah Dita. Menurut gurumu, kau
akan ditugaskan untuk mengacaukan orang-orang
persilatan. Kau harus bisa memerankan Mei Lie
dengan sebaik-baiknya. Namun yang patut kau ingat,
bahwa sepak terjangmu harus bertentangan dengan
Mei Lie atau Titisan Dewi Kuan Im. Kalau dia kini
membuat orang-orang dari aliran kita kebingungan,
kau harus bisa membuat para pendekar aliran putih
kebingungan. Paham...?"
"Paham, Paman."
"Kedua. Dalam setiap sepak terjangmu, kau harus
urus menggunakan nama Mei Lie. Setiap waktu kau
bisa meminta bantuan Selendra dan gerombolannya
yang akan selalu menyertaimu dari jauh," tutur Daeng
Ampra.
"Aku mengerti," jawab Sarah Dita.
"Bagus! Kini, orang-orang aliran putih akan
kebingungan. Kemudian, mereka akan berpaling dan
memihak pada kita. Ha ha ha...!" Daeng Ampra
tertawa tergelak-gelak, disambut oleh yang lainnya.
"Tapi, Paman...."
"Ada apa lagi, Sarah Dita?" tanya Daeng Ampra.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila?"
"Kau takut?" tanya Daeng Ampra.
Sarah Dita sejenak terdiam. Nama besar Pendekar
Gila memang telah didengarnya, tapi wajah dan
ketinggian ilmunya belum pernah dilihatnya.
"Tidak!" sahut Sarah Dita mantap, membuat Daeng
Ampra kembali tersenyum.
"Bagus! Kurasa gurumu juga telah mempersiapkan
ilmu yang tinggi, sebelum dia menugaskanmu," ucap
Daeng Ampra. "Mengenai Pendekar Gila, biar nanti
menjadi urusanku dan gurumu."
"Aku pun sebenarnya ingin menjajaki ilmunya,
Guru," sambut Selendra.
"Itu lebih bagus. Kau dan anak buahmu, sebisanya
memancing Pendekar Gila agar penyamaran Sarah
Dita tidak terbuka, Selendra."
"Akan kuusahakan, Guru," jawab Selendra.
Daeng Ampra mengangguk-angguk. Wajahnya yang
semula murung, kini nampak berbinar puas.
Sepertinya dia tidak merasa khawatir Pendekar Gila
akan membongkar rahasia tentang dirinya. Kini murid
dan kemenakan muridnya telah siap untuk meng-
hadapi Pendekar Gila dan mengacaukan rimba
persilatan. Dengan begitu, semua tokoh persilatan
akan menuduh Mei Lie.
"Kini kalian mengemban tugas berat. Kuharap
kalian berhati-hati," pesan Daeng Ampra meng-
ingatkan. "Lawan-lawan yang akan kalian hadapi buka
lawan sembarangan. Dan yang perlu kalian per-
hitungkan adalah Pendekar Gila dan Mei Lie."
"Akan kami usahakan," sahut Sarah Dita dan
Selendra serempak.
"Nah! Kini kalian berangkatlah. Ingat pesanku.
Kau, Sarah Dita, harus bisa menjaga penyamaranmu.
Dan kau, Selendra, sebisanya menarik perhatian
Pendekar Gila agar tidak bisa dekat dengan Sarah
Dita. Usahakan Sarah Dita jangan sampai bentrok
dengan Mei Lie."
"Paman, kalau boleh saya tahu, apa ciri-ciri Pedang
Bidadari yang berada di tangan Mei Lie?" tanya Sarah
Dita.
"Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan. Jika Mei Lie telah menguasai jurus
pamungkas yang bernama 'Tebasan Pedang Batin',
sulit bagi para pendekar pedang mengalahkannya.
Untuk itu kalian harus berhati-hati," tutur Daeng
Ampra menerangkan.
"Baik, Paman. Aku mohon pamit untuk men-
jalankan tugas," kata Sarah Dita. Setelah memberi
hormat, gadis cantik itu pun keluar meninggalkan
markas gerombolan Lowo Ireng.
Sepeninggal Sarah Dita, Daeng Ampra tampak
masih bercakap-cakap dengan murid tunggalnya yang
memimpin Gerombolan Lowo Ireng.
"Selendra, kau harus bisa membantu Sarah Dita.
Kerahkan anak buahmu. Namun kau mesti ingat,
tujuan kita yang utama adalah mempersatukan tokoh
rimba hitam di tanah Jawa Dwipa ini, agar
keberadaan kita semakin kuat," kata Daeng Ampra.
"Saya mengerti, Guru."
"Setelah Sarah Dita menjalankan tugasnya, panggil
para tokoh rimba hitam kemari," lanjut Daeng Ampra
memerintah. "Setelah mereka tunduk pada kita,
maka gerombolan kita akan semakin jaya. Tak akan
ada yang mampu menandingi Gerombolan Lowo
Ireng."
Selendra tersenyum senang. Dadanya dibusung-
kan. Dia merasa bangga atas ucapan gurunya.
Bagaimanapun juga, dialah Ketua Gerombolan Lowo
Ireng. Maka, jika Gerombolan Lowo Ireng maju dan
menjadi partai yang paling besar, namanyalah yang
akan di kenal.
Pendekar Gila harus disingkirkan! Tekad Selendra
dalam hati.
"Selendra."
"Saya, Guru," sahut Selendra.
"Aturlah anak buahmu. Biar mereka bekerja seperti
biasanya. Sementara itu, bawalah be berapa anak
buahmu untuk memancing Pendekar Gila."
"Baik, Guru."
Setelah menyembah, Selendra pun bergegas me-
ninggalkan tempat itu untuk menjalankan rencana-
nya. Sedangkan Daeng Ampra kini melangkah
meninggalkan tempat itu, masuk ke kamar tempatnya
biasa melakukan semadi.
***
EMPAT
Suasana di Desa Landung Sari malam ini terlihat sepi.
Angin yang berhembus terasa dingin. Padahal pada
malam-malam biasa masih ada beberapa orang hilir-
mudik di desa yang menjadi persinggahan para
pelancong itu. Paling tidak, untuk menikmati
keindahan panorama pesisir pantai di malam hari
yang dekat dengan Desa Landung Sari. Namun
malam ini desa tersebut terlihat lengang. Penduduk-
nya sudah terlelap alam buaian mimpi.
Sejak kehadiran pendekar wanita yang diberi gelar
Bidadari Pencabut Nyawa, warga Desa Landung Sari
merasa tenang. Karena para bajingan, perampok,
atau penyamun yang biasanya menjarah desa
mereka, kini agak menghilang. Nampaknya mereka
takut oleh kediran Bidadari Pencabut Nyawa yang
sepak terjangnya senantiasa memusuhi orang-orang
aliran sesat.
Saat ketenangan menyelimuti Desa Landung Sari,
dari ujung desa tiba-tiba terdengar jerit kematian yang
menyayat dan riuh rendah teriakan panik.
"Aaa...!"
"Tolong, rampok...!"
Penduduk Desa Landung Sari yang tengah ter-
hanyut mimpi seketika bangun. Mereka tersentak
kaget, tak menyangka kalau penyamun akan kembali
hadir, menjarah desa mereka.
"Rampok! Tolong...!"
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar saling
sahut-menyahut. Saat itu pula warga Desa Landung
Sari dengan senjata seadanya bergegas keluar.
Mereka memburu ke arah datangnya jeritan
"Itu rampoknya! Tangkap...!" seru lelaki bertubuh
gemuk dengan kumis melintang. Matanya kelihatan
garang. Wajahnya bulat dengan hidung besar. Dan
berpakaian kuning keemasan, menunjukkan kalau
dia orang berada. Rambutnya tidak terlalu panjang,
terurai lepas sebatas bahu. Di tangan lelaki itu
tergenggam keris yang telah terhunus. Dialah Ki
Marta Pari, Kepala Desa Landung Sari.
Di sampingnya, berdiri seorang lelaki ber-
perawakan tinggi kekar. Kumis melintang, hidung
besar serta mata tajam. Ikat kepalanya berwarna
hitam, berpakaian lengan panjang tanpa leher ber-
warna hitam dan putih seperti pakaian orang Madura.
Dia adalah Ki Capir Sumpit, pengawal Ki Marta Pari.
"Tangkap perampok-perampok itu!" seru Ki Capir
Sumpit seraya berkelebat mengejar para perampok
yang menjarah desa.
Ki Capir Sumpit segera merangsek ke arah para
perampok, mendahului kepala desanya, untuk mem-
bantu penduduk yang sedang bertarung menghadapi
perampok yang berjumlah dua puluh orang itu.
Warga Desa Landung Sari yang tidak suka desanya
dijarah, dengan nekat menyerang para perampok
yang berpakaian hitam. Wajah mereka juga ditutupi
kain hitam. Hanya terlihat dua lubang di bagian mata
mereka.
Melihat penduduk Desa Landung Sari dan kepala
desanya menyerbu, para perampok yang tak lain
Gerombolan Lowo Ireng itu dengan sigap
menyambutinya. Maka, pertarungan pun tak dapat
dielakkan.
"Bantai mereka!" seru Ki Marta Pari.
"Hadang mereka...!" seru pemimpin perampok
sambil berkelebat menghadang Ki Marta Pari.
"Menyerahlah, Ki! Berikan semua harta yang ada di
desamu pada kami!"
"Huh, jangan kira aku takut padamu. Meski
namamu lebih menakutkan dari hantu, Marta Pati tak
akan gentar!" dengus Ki Marta Pari dengan lantang.
Matanya yang lebar, memandang penuh kebencian
ke arah sosok hitam di depannya.
"Ha ha ha...! Perutmu buncit. Bagaimana kau akan
bisa menghadapiku?!" ejek pemimpin perampok yang
bernama Sengkolo.
Di dalam Gerombolan Lowo Ireng, terdapat
sepuluh orang yang memimpin bagian-bagian
gerombolan yang tersebar di seluruh tanah Jawa
Dwipa. Kesepuluh pemimpin itu antara lain, Sarwono,
memimpin begal-begal di hutan dekat markas
mereka. Sengkolo, memimpin para perampok yang
bertugas di daerah timur, dan kini menjarah Desa
Landung Sari. Samilun, memimpin barisan laut atau
sering disebut Bajak Laut selat Madura. Kane-kane,
seorang wanita yang memimpin di kotaraja.
Sedangkan yang kelima sampai kesepuluh,
semuanya bertugas menjadi pemimpin yang meng-
awasi keadaan dunia persilatan. Namun setiap waktu
mereka bisa diperbantukan pada keempat pemimpin
lain yang membutuhkan.
Keenam pemimpin itu adalah, Segatra, Prabasu,
Mantraka, Krada, Bradalupa dan Damar Wangis.
Sama dengan yang lainnya, mereka pun berwatak
kasar dan bengis. Tak pernah ada kata ampun bagi
lawan atau korbannya.
Mendengar ejekan Sengkolo, kemarahan Ki Marta
Pari berkobar seketika. Dengan mendengus, lelaki
gemuk itu segera meluruk maju. Keris di tangannya
bergerak menusuk ke dada lawan dengan jurus
'Sampar Grana'.
"Tembus dadamu, Iblis! Hiaaat..!"
"Uts! Belum, Kerbau Dungu!" ledek Sengkolo
sambil berkelit mengelakkan serangan yang dilancar-
kan Ki Marta Pari.
Kemudian dengan cepat Sengkolo balas
menyerang. Tangan kirinya memukul ke arah pundak
lawan. Sedangkan golok di tangan kanannya me-
nebas leher lawan.
"Putus lehermu!"
Wut!
Ki Marta Pari terkesiap, merasakan desingan angin
yang keluar dari tebasan golok di tangan lawan.
Cepat-cepat Ki Marta Pari bergerak mengelit ke
samping dengan tubuh agak dirundukkan. Lalu
dengan cepat, kerisnya ditusukkan ke perut lawan.
Sementara itu tangan kirinya bergerak memukul ke
selangkangan lawan dengan jurus 'Tapak Getih'.
Kali ini Sengkolo yang tersentak kaget, menyaksi-
kan jurus lawan yang dahsyat. Dari angin pukulannya
saja, tergambar bagaimana kekuatan pukulan yang
terasa panas menyengat, memaksa tubuh Sengkolo
untuk segera mencelat ke belakang.
"Hm.... Rupanya kau mencari mampus, Kerbau
Dungu! Baik, bersiaplah untuk mampus!" geram
Sengkolo
Dalam keadaan masih memasang kuda-kuda
Sengkolo memasukkan golok ke sarungnya, lalu
tangannya disatukan di depan wajah. Setelah itu,
telapak tangan kiri dan kanan digesekkan satu sama
lain.
Wusss!
Telapak tangan Sengkolo mengepulkan asap
hitam. Bersamaan dengan itu, tangannya menghitam
bagai arang. Itulah ajian yang dimiliki pemimpin
wilayah Gerombolan Lowo Ireng. Ajian sesat itu
bernama 'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"
"Yaaat..!"
Baik Ki Marta Pari maupun Sengkolo kini telah
mengeluarkan ajian tingkat tinggi. Ki Marta Pari
dengan 'Tapak Getih'nya, sedangkan Sengkolo
dengan 'Warangga Geni'nya.
Tubuh keduanya mencelat cepat ke udara dengan
tangan siap melontarkan pukulan masing-masing.
Jarak mereka bertambah dekat. Ketika bentrokan
dahsyat akan terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih
bergerak membabatkan pedang yang berwarna
merah kekuning-kuningan ke arah Sengkolo yang
tersentak dan berkelit di udara.
Wut!
Di udara malam yang gelap dan menusuk rulang,
sinar itu membentuk garis terang pada saat bayangan
putih tadi membabatkan pedangnya. Jelas itu sangat
mengejutkan kedua lelaki yang sedang bertempur.
Saat kedua kaki lelaki itu menjejak tanah, telah
berdiri dengan gagah seorang gadis cantik ber-
pakaian putih dengan dua gelung rambut di atas
kepalanya. Bola mata gadis itu bening, namun
pandangannya tajam, menatap penuh kebengisan
kepada Sengkolo.
"Siapa kau?! Mengapa kau ikut campur urusan-
ku?!" bentak Sengkolo memberanikan diri, meski dia
telah tahu siapa sebenarnya gadis Cina yang sepak
terjangnya membuat tokoh-tokoh rimba hitam agak
kewalahan.
"Hhh...!" dengus gadis cantik yang tak lain Mei Lie
itu. Matanya menatap penuh kebencian pada
Sengkolo. "Selama aku masih hidup, tak aka
kubiarkan orang-orang sepertimu berlaku sewenang-
wenang."
Sengkolo terbeliak. Dia memang telah memahami
benar siapa gadis Cina itu, yang diberi gelar oleh
orang-orang persilatan sebagai Bidadari Pencabut
Nyawa. Sebuah gelar yang menyeramkan bagi tokoh
persilatan golongan hitam termasuk Sengkolo.
"Kaukah Mei Lie?!"
"Ya!"
"Bagus! Pucuk dicinta ulam tiba! Kami memang
sengaja mencarimu!"
Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan
Sengkolo. Matanya masih menatap tajam ke arah
Sengkolo. Kemudian kepalanya ditolehkan ke
belakang, ke arah Ki Marta Pari.
"Ini urusanku, Ki. Bantulah wargamu memberantas
Gerombolan Lowo Ireng yang hendak menjarah harta
penduduk," pinta Mei Lie.
"Ba... baik, Nyi Pendekar."
Sengkolo tertawa terbahak-bahak, berusaha
menutupi rasa gentarnya menghadapi Mei Lie. Bagai-
manapun juga, dia tidak boleh menunjukkan rasa
takut pada gadis itu, meski julukan gadis Cina di
hadapannya bukan nama kosong. Buktinya Tiga
Setan Rambut Api dapat ditumpas seperti me-
musnahkan alang-alang
"Tak kusangka Bidadari Pencabut Nyawa ini masih
bocah bau kecur. Hm.... Kuharap kau berpikir seribu
kali untuk berhadapan denganku!" kata Sengkolo,
masih berusaha menenangkan hatinya, menghilang-
kan rasa takut yang berdenyut-denyut di dadanya.
"Hm.... Untuk iblis sepertimu, untuk apa aku harus
berpikir?" sergah Mei Lie dengan nada mencemooh.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap Gerombolan
Lowo Ireng tak ada artinya, Bocah!" hardik Sengkolo
marah. Gigi-giginya bergemeletuk keras. Walau
begitu, dia masih belum mau menyerang. Bagai-
manapun juga, Sengkolo harus berpikir dulu untuk
menghadapi Bidadari Pencabut Nyawa.
"Sama sekali tak ada. Bahkan Gerombolan Lowo
Ireng tak lebih dari sekumpulan anjing-anjing kurap
yang mengotori dunia!" sahut Mei Lie dengan senyum
sinis melekat di bibirnya.
"Bedebah! Kulumat tubuhmu! Heaaa...!"
Dengan nekat, akhirnya Sengkolo merangsek
maju. Tangannya dengan cepat menarik golok yang
tadi berada di sarungnya.
Srrrt!
Dengan jurus 'Lowo Ireng Merentang Sayap
Menyambar Mangsa', Sengkolo melabrak. Tangannya
membentang lebar, tubuhnya melayang laksana
terbang. Kemudian dengan cepat tangannya ber-
gerak. Tangan kanan membacokkan golok ke kepala
Mei Lie, sedangkan yang kiri menghantam dengan
pukulan sakti 'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"
***
Melihat lawan telah melesat menyerang, Mei Lie
segera menggeser kaki kanan agak membuka.
Ditekuknya kaki kanan membentuk siku. Tangan kiri
digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan
dilecutkan di depan dada. Sedangkan Pedang
Bidadari di tangannya disabetkankan miring ke
samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian,
dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh.
Disambung lagi lengan gerakan berbareng antara
pukulan tangan kiri dan tebasan pedang.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Menusuk Gunung
Karang', Mei Lie memapaki serangan lawan. Pedang
Bidadari di tangannya bergerak cepat, memburu
tubuh lawan.
"Yiaaat...!"
Trang!
Plak!
"Ukh!" Sengkolo mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya
dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan
pedang lawan yang cepat dan garang. Golok di
tangannya telah patah menjadi tiga bagian, terbabat
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
Mata Sengkolo membelalak. Baru kali ini disaksi-
kannya jurus pedang yang sangat cepat dan me-
matikan. Rasanya selama ini belum ada pendekar
pedang yang mampu melakukan gerakan menyerang
dengan begitu cepat dan keras.
"Kurang ajar!" maki Sengkolo marah, mendapatkan
kenyataan kalau ilmu lawan ternyata berada sampai
tiga tingkat di atasnya. Namun begitu, sebagai
pemimpin dari salah satu Gerombolan Lowo Ireng, dia
tidak boleh menunjukkan rasa takut meski lawan
yang dihadapinya sangat tangguh.
"Hm, itu baru golokmu, Iblis! Kini giliran
nyawamu...!" dengus Mei Lie, disusul oleh gerakan
pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan. Membuat keadaan di sekitar tempat itu
menjadi terang.
"Bangsat! Jangan harap kau mampu membunuh-
ku! Hiaaat..!" Sengkolo dengan nekat kembali
menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan
habis-habisan. Tangannya kini berubah hitam pekat
Menyaksikan lawan kembali merangsek, Mei Li
secepat kilat memapakinya dengan jurus 'Pukulan
Bidadari Menjebol Benteng'.
"Yiaaat..!"
Tubuh Mei Lie melayang deras dengan tangan kiri
menggenggam, memukul lurus ke arah lawan.
Sedangkan pedang di tangan kanannya membersit ke
arah lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedang-
nya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun
sesungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan
yang besar. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus
pamungkas yang sangat dahsyat.
Sengkolo yang sudah mata gelap tak meng-
hiraukan apa yang akan terjadi. Dia berkeyakinan
kalau pukulan saktinya akan mampu meremukkan
tubuh lawan. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan
tangan bergerak bergantian ke wajah.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!"
Wut!
Srrt!
"Ukh!"
Dari mulut Sengkolo terdengar jerit tertahan ketika
pedang di tangan Mei Lie membabat tangan
kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi
pukulan 'Bidadari Menjebol Benteng' menghantam
telak dadanya.
Begk!
"Ngk! Uhk...!"
Tubuh Sengkolo teriungkir ke belakang. Dia ber-
usaha bangkit dengan sempoyongan. Tangan kanan-
nya yang terbabat, terlihat masih utuh, seakan tak
terkena babatan pedang lawan. Darah meleleh dari
sela-sela bibirnya.
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan
setelah mengerahkan tenaga dalam. Matanya
memandang Sengkolo yang kelihatan pucat, dengan
kening berkerut Sengkolo tak mengerti mengapa
tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya ter-
babat pedang lawan.
Merasa tidak mengalami apa-apa, Sengkolo
hendak menyerang kembali. Namun baru saja
kakinya melangkah setindak, tiba-tiba tangan kanan-
nya berhamburan menjadi debu. Tanpa darah setetes
pun.
"Aaa.... Tidak...!" pekik Sengkolo histeris. Matanya
membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Itu baru tanganmu, Iblis! Kini bersiaplah,
nyawamu akan segera kukirim ke neraka!" ancam Mei
Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan
kembali.
Sengkolo yang kini nyalinya ciut, semakin
ketakutan. Dia telah merasakan bagaimana
kehebatan ilmu pedang lawan. Dia bermaksud lari,
namun dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya.
"Mau ke mana, iblis?!"
"Oh, tidak! Ampunilah nyawaku. Jangan bunuh
aku," ratap Sengkolo sambil menangis, mengharap
Mei Lie mau mengampuninya.
Mei Lie terdiam. Matanya masih memandang
tajam pada Sengkolo yang meratap tersedu-sedu,
mengharap ampunannya.
"Baik, kali ini kuampuni. Sekarang pergilah!"
bentak Mei Lie.
Sengkolo menurut, dia bangun dari sujudnya.
Namun ketika Mei Lie lengah, dengan licik Sengkolo
melepaskan pukulan saktinya ke arah Mei Lie.
"Mampuslah kau, hiaaat...!"
Mei Lie yang sudah menduga tabiat lelaki tinggi
besar yang sekujur tubuhnya tertutup oleh kain hitam
itu dengan cepat membuang tubuh ke samping dan
bersalto beberapa kali. Dengan cepat pedangnya
dibabatkan ke arah lawan.
"Rupanya kau harus mampus, Iblis! Heaaa...!"
Wut!
Srrrt!
"Aaa...!
Sengkolo kembali memekik, ketika pedang di
tangan Mei Lie menebas tangan kirinya. Dan seperti
kejadian sebelumnya, tangan kirinya bagai tak
terkena apa-apa. Namun ketika angin bertiup, tangan
kirinya tiba-tiba hancur jadi debu!
Belum juga habis kengerian Sengkolo, Mei Lie
kembali menyabetkan pedangnya secara menyilang,
dan menebas tubuh Sengkolo.
Wut, wut..!
"Wuaaa...!"
Sengkolo menjerit dalam satu lengkingan panjang
yang menggiriskan. Matanya membeliak. Sesaat dia
mematung di tempat itu, kemudian tubuhnya lebur
jadi debu.
Menyaksikan pemimpinnya hancur jadi debu, anak
buah Sengkolo kocar-kacir seperti anak ayam
kehilangan induk. Mereka kini semakin terdesak.
Penduduk Desa Landung Sari yang melihat gelagat
baik itu, tak menyia-nyiakannya. Dipimpin oleh Ki
Capir Sumpit yang menjadi tangan kanan Ki Marta
Pati, mereka menggasak sisa-sisa Gerombolan Lowo
Ireng.
"Habisi mereka...!" seru Ki Marta Pari.
"Ayo, jangan biarkan mereka hidup!" sambung Ki
Capir Sumpit sambil berkelebat memimpin penduduk
yang segera menyertainya melakukan serangan ter-
hadap sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng.
Suara-suara marah berhambur dari mulut
penduduk Desa Landung Sari.
Sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng semakin
ketakutan menghadapi amarah penduduk. Terlebih di
situ ada Bidadari Pencabut Nyawa. Penduduk desa
yang kalap, dengan ganas membabat sisa-sisa
Gerombolan Lowo Ireng.
Mei Lie yang menyaksikan kejadian itu hanya
menghela napas. Sebelum semua penduduk meng-
hentikan pelampiasan amarahnya terhadap sisa-sisa
Gerombolan Lowo Ireng, Mei Lie telah melesat pergi.
***
LIMA
Nama Bidadari Pencabut Nyawa semakin tersohor,
setelah Gerombolan Lowo Ireng yang menjarah Desa
Landung Sari dapat ditumpas. Malah pemimpin
gerombolan itu hilang tak berbekas, seakan raib
ditelan bumi. Hanya penduduk Desa Landung Sari
saja yang tahu, kalau pemimpin Gerombolan Lowo
Ireng itu musnah menjadi debu, tertebas Pedang
Bidadari di tangan Bidadari Pencabut Nyawa.
Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar mentari
yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur.
Desau angin lembut, senandung burung dan kokok
ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu.
Dari kejauhan di dalam Hutan Selo Kamal
terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu
diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti
menikmati indahnya pagi.
Samar-samar di kejauhan, tampak seorang
pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga
di tangannya, tengah melangkah sambil bernyanyi.
Pakaian pemuda itu terbuat dari kulit ular sanca.
Begitu juga ikat kepalanya.
Pemuda tampan yang tengah bernyanyi-nyanyi
sambil meniup suling itu, tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila. Didengar dari syair lagunya, tampak-
nya Sena tengah merasakan kerinduan pada seorang
gadis yang dicintainya. Dan tentunya gadis itu adalah
Mei Lie
Duh, alam yang indah
Di mana mentari senantiasa hadir
Mengusir embun yang dingin
Telah jauh kakiku melangkah
Tuk mencari permata hati
Namun sejauh ini
Belum juga kutemui....
Setelah berdendang, Sena pun duduk di sebatang
pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan
pada ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-
tawa, kepalanya digaruk sambil menatap burung-
burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Kau begitu gembira, Burung! Aha, kau
meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang
bingung...," kata Sena berbicara seorang diri. "Aha,
tentunya kau yang bisa terbang tahu di mana kini Mei
Lie berada, Burung?"
"Cit, ciiit...!"
Sena melompat-lompat sambil tertawa-tawa
mendengar suara burung mencuit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung
Cantik?"
"Cuit, cuit..!"
Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan.
Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala, Sena bangkit dari duduknya.
Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-
burung pemakan bangkai beterbangan dengan
pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu? Bukankah
mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena
dengan kening berkerut .
Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali
duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat ya
ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala.
Kresek!
Bibir Sena tersenyum ketika telinganya
menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Dengan acuh sambil tersenyum-senyum, dia bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang
merenung.
"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang ber-
sembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang
redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangka
tangan kirinya menepuk-nepuk paha.
Swing, swing...!
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah
Sena yang masih duduk bersila.
"Aha! Ada juga tikus yang pandai bercanda!" Sena
sambil berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan
itu, segera dihantamkannya pukulan 'Inti Bayu' ke
arah senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.
"Hi hi hi..! Ini mainan kalian kukembalikan!"
Wusss!
Swing, swing...! Crab, Crab...!
"Aaakh...!"
Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima
belas tombak terdengar jeritan kematian. Kemudian
tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam
meregang. Di leher mereka tertancap lima buah
senjata rahasia yang tentunya milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa
melayang.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Sena sambil
berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar! Serang dia...!"
Dari balik semak-semak, terdengar perintah
seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu,
muncul puluhan orang-orang berpakaian hitam
dengan wajah tertutup kain hitam. Mereka langsung
mengurung Sena yang masih tertawa-tawa sambil
melompat-lompat seperti kera.
"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!"
"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-
orang berpakaian serba hitam yang segera dipatuhi
anak buahnya.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali?!" tanya Sena,
sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya bergerak
meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak
pemimpin para penyerang sambil menebaskan golok-
nya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tidak mau!" teriak Sena sambil
meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena
mementahkan serangan yang datang ke arahnya.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan sesekali
tangannya bergerak seperti menepuk.
"Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!"
Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan
yang menyerang ke arahnya. Tubuhnya masih meliuk-
liuk, serta sedikit membungkuk.
Degk!
"Wuaaa...!"
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke
belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu
baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon yang
cukup besar.
Brak!
"Aaakh!"
Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya
bersimbah darah. Tentunya kepala orang itu pecah
akibat benturan keras dengan pohon besar tadi.
Hutan yang semula tenang dan asri, seketika riuh
dan porak-poranda. Banyak pohon yang tumbang oleh
hantaman pukulan mereka. Rumput-rumput yang
mulanya segar, kini banyak yang layu terinjak-injak.
Hewan-hewan hutan seketika berserabutan
ketakutan.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem...?'"
tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera.
Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya
masih meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan
serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-
orang berpakain serba hitam yang tentunya dari
Gerombolan Lowo Ireng. Tubuh pemimpin
gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga
bukan suara lelaki. Tentunya dia Kane-kane, wanita
yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng di kotapraja.
"Cincang dia!" sambut anak buahnya.
Serentak mereka kembali menyerang dengan
membabatkan golok di tangan masing-masing.
Namun dengan cepat Sena kembali bergerak
mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat.
Tubuhnya dibungkukkan ke bawah.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" ucap Sena
sambil terus bergerak mengelak. Pantatnya sengaja
ditunggingkan ke arah Kane-kane, yang membuat
wanita dari Gerombolan Lowo Ireng itu bertambah
marah.
"Haiiit..!"
Kane-kane membabatkan goloknya ke pantat
Sena.
"Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi
hi...!"
Sambil ber kata begitu, Sena kembali mengelak
cepat. Kemudian tangannya menepuk dua orang yang
berada di depan dan sampingnya.
Degk!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila
memekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang
seperti dua batang ranting kering. Lalu menghantam
pohon disertai pekikan kematian. Kemudian tubuh
keduanya ambruk dengan napas putus.
"Bangsat...! Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Kane-
kane kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya
untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu
persatu anak buahnya di tangan pemuda tampan
yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur teratur, dengan
cepat Kane-kane melabrak maju. Matanya yang
nampak dari lubang di kain penutup wajahnya,
melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?!" bentak
Kane-kane.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina? Ha
ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh
berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-
garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku
datang untuk menantangmu!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus
Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena
masih bergerak-gerik seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kurasa kalau kalian bermaksud baik, aku tak
akan menghalanginya. Ah ah ah.... Tentunya maksud
kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi.
Atau kalian tak punya hidung?!" ledek Sena yang
membuat Kane-kane semakin membelalak garang.
"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan,
urusan kami! Kau memang harus disingkirkan,
karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!"
bentak Kane-kane sengit
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
cengengesan.
"Aha, kalau memang itu maumu, baiklah. Aku akan
melayanimu."
"Hiaaat...!"
Kane-kane segera melompat dengan terkaman
tangan yang membentuk cakaran. Dengan jurus
'Kelelawar Menyambar Serangga' Kane-kane
menyerang. Tangannya bergerak menyilang, lalu men-
cengkeram lurus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu, Nyi."
Sena segera menundukkan kepala, lalu dengan
cepat tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling.
Kakinya menendang ke atas, di mana tubuh Kai kane
berada.
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal, Nyi!"
Kane-kane tersentak kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya
berusaha ditarik. Tapi tubuhnya yang sudah melayang
sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga...
Degk!
"Hukh!"
Tubuh Kane-kane terlontar ke depan, lalu tersuruk
mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?"
tanya Sena sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala
sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu mem-
buat Kane-kane semakin marah.
"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah
Kane-kane pada anak buahnya yang langsung
bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih
melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru Kane-kane bertambah
murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian
menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!"
Anak buah Kane-kane langsung menyerbu dengan
babatan dan tusukan golok ke tubuh Sena. Mereka
nempaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi
nyawa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila
bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila.
Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena
mengelakkan serangan-serangan lawannya. Tubuh-
nya meliuk-liuk bagai sedang menari. Kemudian
tangannya bergerak ke beberapa jurusan, meng-
hantam dengan tepukan-tepukan yang kelihatannya
pelan ke dada lawan.
"Hea...!"
Plak!
"Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena hantaman tepukan tangan
Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tubuh orang ini
pun melayang jauh ke belakang. Dan baru berhenti
ketika membentur pohon dengan kepala pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka
adalah para bajingan, kini tak mau diam dan
membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat,
meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang semakin
membuat lawan-lawannya bertambah kalang-kabut
Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'.
Wusss...!
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar
angin deras menghantam ke arah lawan. Para
pengeroyoknya seketika terdorong keras. Bahkan
pakaian Kane-kane terlepas. Tubuhnya kini tak
tertutup sehelai benang pun. Ternyata dia seorang
wanita muda yang cantik dengan rambut terurai
lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Hal itu
membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Tak
menyangka kalau gadis secantik Kane-kane ter-
jerumus dalam kegelapan dunia hitam.
"Aha, rupanya tikus betina ini cantik?" gumam
Sena. "Sayang sekali tindakannya telengas."
Kane-kane kelabakan menutupi auratnya dengan
kedua tangan. Wajahnya merah terbakar karena malu
Dia kini tak dapat berbuat banyak. Pilihan yang
dimilikinya hanya pergi meninggalkan tempat itu
sambil meneriakkan ancaman.
"Pendekar Gila! Kali ini aku kalah! Namun kelak,
aku akan kembali membuat perhitungan denganmu!"
Sena hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu
melangkah meninggalkan Hutan Selo Kamal.
***
Hutan Gandring nampak damai dan asri, dengan
barisan pohon menghijau dan subur. Burung-burung
berkicau dengan riang. Terasa damai suasana di
Hutan Gandring siang itu. Angin bertiup dengan
alunan yang membuat mata ngantuk.
Hutan yang indah dan asri, seketika berubah
mendadak. Banyak pepohonan yang rusak. Kicau
burung tidak terdengar lagi. Rumput banyak yang
layu. Kedamaian hutan itu terpecah oleh suara
teriakan-teriakan orang yang tengah bertarung.
Dua orang lelaki berpakaian pendekar berwarna
jingga nampak tengah bertarung menghadapi wanita
bercaping daun pandan dengan pakaian putih seperti
pakaian gadis Cina. Kedua lelaki muda berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi dan
kekar. Wajah mereka tampan dengan kumis tipis
menghiasi atas bibirnya.
Kedua lelaki itu bernama Gupala dan Gupali.
Mereka berasal dari Perguruan Semeru. Rambut
mereka agak ikal terurai panjang, berikat kepala
jingga pula. Hidung mereka mancung dengan mata
tajam laksana mata seekor elang.
"Mei Lie, antara kita tak ada sangkut paut apa-apa,
mengapa tiba-tiba kau menyerang kami?" tanya
Gupala tak mengerti mengapa Mei Lie yang bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa menyerang mereka.
Padahal mereka dari golongan putih.
Gadis cantik yang sosok tubuh dan wajahnya mirip
Mei Lie itu tak berkata. Gadis yang tak lain Sarah Dita
itu terus menyerang kedua kakak-beradik yang
berkelit dengan terheran-heran.
"Kakang, jelas dia tidak main-main! Kita harus
nenghadapinya dengan tidak main-main pula!"
dengus Gupali, setelah tubuh mereka menjauh lima
tombak di depan gadis itu.
"Benar, Dimas. Aku heran, bagaimana mungkin
Mei Lie yang kita dengar membela kebenaran dan
keadilan menyerang kita," gumam Gupala.
"Jangan banyak omong! Kalian memang harus
mampus! Hiaaat..!" bentak Sarah Dita seraya
menerjang dengan membabatkan pedang ke arah
lawan-lawannya.
Wut!
"Hati-hati, Kakang! Dia benar-benar ingin
membunuh kita!" kata Gupali mengingatkan. "Kita tak
tinggal diam terus. Kita sebaiknya melawan."
"Ayolah! Kita gunakan jurus 'Dwi Sangkur Dewa'!"
Setelah mempertimbangkan masak-masak, kini
kakak-beradik tersebut bergerak menyerang. Pisau
kembar yang menjadi senjata andalan mereka,
berdesing tajam ke arah lawan. Hal itu membuat
Sarah Dita tersentak. Dia berusaha mengelitkan
serangan lawan, kemudian dengan cepat pula balas
menyerang dengan jurus andalan 'Sambutan Sampar
Kabut'.
Pedang di tangan Sarah Dita bergerak cepat
hingga bagai menghilang. Yang nampak hanya kabut
putih yang menutupi tubuh gadis cantik itu.
"Hiaaat..!"
Wut!
Gupala dan Gupali tersentak kaget, menyaksikan
jurus pedang lawan yang cepat. Kini keduanya tak
mampu melihat sosok tubuh lawan lagi karena
tertutup oleh sinar berkabut yang keluar dari pedang
lawan.
"Celaka! Dia benar-benar hendak membunuh kita!"
seru Gupali tegang, menyaksikan jurus lawan yang
cepat dan membahayakan dengan sasaran yang
mematikan ke jantungnya.
"Kurasa dia bukan Mei Lie, Dimas."
"Entahlah. Siapa pun dia, kita tak boleh lengah
Kakang. Ilmu pedangnya bukan sembarangan."
"Kita gempur dengan 'Sapuan Sangkur' Heaaat..!"
"Yiaaat..!"
Dengan sigap Gupala dan Gupali melemparkan
pisau-pisau kecil mereka ke arah gumpalan sinar
putih yang menutupi tubuh lawan.
Swing, swing...!
Lima bilah pisau melesat cepat ke arah lawan.
Namun dengan tangkas, Sarah Dita mampu
merontokkannya. Pisau-pisau yang dilemparkan oleh
kakak beradik itu tak ada satu pun yang mampu
menembus pertahanannya.
Trang, trang...!
Pluk, pluk...!
"Celaka! Dia bukan sembarangan jago pedang,
Kakang!"
"Ya!" sahut Gupala dengan mata memandang
tegang, menyaksikan senjata-senjata mereka dengan
mudah dirontokkan. Namun sebagai pendekar,
keduanya tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya
kembali melemparkan pisau-pisaunya ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Swing, swing...!
Enam pisau kembali melesat cepat ke arah Sarah
Dita.
"Hait!" Sarah Dita segera memutar pedangnya
dengan cepat, menangkis pisau-pisau lawan.
Tring, tring...!
Kembali pisau-pisau itu berguguran, terkena
babatan pedang di tangan Sarah Dita. Bahkan kini
tubuh gadis itu melesat maju lalu membabat lawan
dengan pedangnya.
"Kalian harus mampus! Hiaaa...!"
"Awas, Kakang!" seru Gupali sambil membuang
tubuhnya ke samping, mengelakkan babatan pedang
lawan. Kemudian dengan cepat tangannya memukul
ke tubuh lawan. Tapi rupanya Sarah Dita mengetahui
kalau serangan yang dilancarkan lawan dari sebelah
kanan. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke
tangan lawan yang menyerang.
Wut!
Gupali tersentak kaget Dia berusaha menarik
serangannya. Tapi babatan pedang lawan ternyata
lebih cepat. Sehingga Gupali. tak mampu untuk
mengelakkannya. Hingga....
Cras!
"Aaa...!" Gupali memekik. Tangan kanannya putus
terkena babatan pedang lawan.
"Dimas!" seru Gupala kaget, menyaksikan keadaan
adiknya. Belum juga Gupali sempat bergerak untuk
mengelak, Sarah Dita telah lebih dulu membabatkan
pedang ke dadanya. Diteruskan ke lehernya yang
tidak mampu mengelak sama sekali.
Wut!
Cras, cras!
Kali ini Gupali tak sempat memekik. Lehernya
putus dan kepalanya lepas dari tubuh.
"Dimas...!"
Kembali Gupala memekik keras dengan mata
membelalak, menyaksikan kematian adiknya yang
mengenaskan.
"Iblis! Tunggu pembalasanku!"
Sebelum Sarah Dita sempat mengejar, tubuh
Gupala telah melesat meninggalkan tepian Hutan
Gandring. Nampaknya Sarah Dita memang sengaja
membiarkan lawan pergi. Dengan begitu, Gupala
akan menceritakan kejadian itu pada para pendekar.
Dan tentu Mei Lie yang akan menjadi sasarannya.
Sarah Dita tersenyum puas, kemudian melesat
meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Berita tentang Mei Lie yang membunuh salah seorang
murid Perguruan Semeru di pinggir Hutan Gandring,
membuat para pendekar kebingungan. Dunia
persilatan dibebani pertanyaan yang memusingkan
karena kejadian itu. Hampir semua orang, baik dari
dunia persilatan maupun dari kalangan biasa ber-
tanya-tanya. Bagaimana mungkin Bidadari Pencabut
Nyawa kini membunuh salah seorang dari murid
Perguruan Semeru?
Perdebatan antara pihak yang yakin kalau Mei Lie
yang melakukannya dengan pihak yang tidak percaya,
menjamur di mana-mana. Mereka pada umumnya
tidak percaya dengan berita itu. Malah ada yang
menuduh Gupala hanya membuat-buat cerita untuk
menjatuhkan nama baik Mei Lie.
Siang itu, tiga orang lelaki tua dengan jubah
berwarna putih melangkah menuju sebuah bangunan
besar yang berada di Gunung Semeru. Tiga lelaki tua
berjubah putih dengan rambut putih terurai itu adalah
tiga tokoh sakti dari aliran lurus. Ketiganya sering
disebut Tiga Malaikat Suci. Sampai setua ini, mereka
tidak menikah. Jiwa dan raga mereka senantiasa
diserahkan pada Hyang Widhi. Di samping itu, mereka
berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kedatangan Tiga Malaikat Suci ke Perguruan Semeru,
semata-mata atas undangan Ketua Perguruan
Semeru yang juga mengundang para pendekar di
wilayah Jawa Dwipa bagian timur. Dua prajurit jaga
yang melihat Tiga Malaikat Suci segera menyambut
mereka dengan menjura hormat
"Selamat datang ke Perguruan Semeru."
"Hm.... Terima kasih. Katakan pada ketua kalian
kami datang," kata salah seorang dari Tiga Malaikat
Suci yang berjalan di tengah.
"Baik! Silakan Eyang sekalian menunggu
sebentar," kata penjaga. Kemudian salah seorang
dari mereka bergegas masuk untuk memberitahukan
pada ketuanya kalau orang yang ditunggu telah
datang.
Tiga Malaikat Suci merupakan tiga saudara
seperguruan yang ilmu kesaktiannya tinggi. Orang
pertama yang berdiri paling kanan bernama Arya
Parasu. Yang kedua bernama Arya Somala dan yang
ketiga nama Arya Narasi. Ketiganya terkenal arif dan
bijaksana da lam menangani segala masalah. Untuk
itulah, Ketua Perguruan Semeru mengundang
mereka.
Tidak lama kemudian, dari dalam muncul murid
Perguruan Semeru tadi diikuti oleh ketua mereka.
"Selamat datang ke Perguruan Semeru, Eyang,"
sambut Ki Malawa. Lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam
itu menjura. Wajahnya nampak tenang dan ramah.
Meski salah seorang murid utamanya tewas, namun
tampaknya Ketua Perguruan Semeru yang
mengenakan jubah warna kuning dengan pakaian
dalam warna coklat muda ini tetap bersikap tenang.
"Hm.... Terima kasih," sahut ketiganya bersamaan.
"Ada apa sampai kau memanggil kami, Malawa?"
tanya Arya Parasu.
"Ya. Ada apa kau memanggil kami...?" sambun Arya
Somala.
"Silakan Eyang bertiga masuk dulu. Di dalam telah
banyak para pendekar menunggu."
Tiga Malaikat Suci saling pandang, mendengar
para pendekar telah diundang pula oleh Ki Malawa.
Hati mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang
menyebabkan Ketua Perguruan Semeru itu
memanggil para pendekar.
"Silakan, Eyang."
Tiga Malaikat Suci akhirnya menurut masuk.
Diiringi oleh Ki Malawa, mereka masuk ke sebuah
ruangan lebar tempat para pendekar dari wilayah
timur berkumpul. Di situ ada Ki Bagel Kara, Nyi
Palayuan, Ki Sampra Wika, Dewi Bayangan Bidadari,
Ki Naga Kadra serta seorang pemuda berpakaian
rompi kulit ular yang tingkah lakunya persis orang
gila.
Tiga Malaikat Suci yang melihat pemuda itu sudah
dapat menebak, siapa sebenarnya pemuda yang
cengengesan dan bertingkah laku konyol itu.
"Hm.... Rupanya Pendekar Gila ada di sini," ucap
Arya Parasu sambil menjura hormat, diikuti oleh
kedua adik seperguruannya. Hal itu membuat Sena
segera bangun dan membalas penghormatan
mereka.
"Aha, rupanya aku tak sopan," kata Sena.
"Seharusnya aku yang menjura pada kalian. He he
he...!"
"Tidak ada salahnya, Pendekar Gila. Kami memang
harus menghormati tamu yang datang lebih
dahulu...," tukas Arya Narasi.
"Ah ah ah... Kalian orang tua bijak. Tidak
sepantasnya aku menerima penghormatan kalian.
Malah arusnya aku yang menghormati kalian," sergah
Sena sambil cengengesan.
"Sudahlah. Tak perlu kita perdebatkan masalah
ini," Arya Parasu menengahi. "Malawa, katakanlah
ada apa kau memanggil kami dan para pendekar ke
tempat ini?"
"Silakan duduk dulu, Eyang," kata Ki Malawa
mempersilakan ketiga orang tua itu duduk. Setelah
ketiganya duduk, Ki Malawa meneruskan ucapannya.
"Memang sengaja aku mengundang Eyang bertiga
datang kemari, juga para sahabat semua. Hal ini
berkaitan dengan terbunuhnya salah seorang murid
Perguruan Semeru oleh gadis Cina."
Beberapa pendekar yang belum mendengar berita
itu menjadi tersentak. Terlebih Sena yang amat tahu
siapa gadis berpakaian putih gaya Cina yang tak lain
Mei Lie.
"Mei Lie?!" seru beberapa tamu serentak.
"Benar!" jawab Ki Malawa tegas.
"Bagaimana mungkin Mei Lie yang terkenal
dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa bertindak
seperti itu?" tanya Ki Sampra Wika. Mata lelaki
berumur sekitar enam puluh tahun dengan rambut
ikal ini tampak terbelalak. Seperti tidak percaya.
Bahkan lelaki tua berbaju merah dadu ini
memandang Pendekar Gila.
"Itu sebabnya aku mengundang kalian."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Mulutnya nyengir. "Kurasa kita
tidak bisa menuduh sembarangan, Ki. Kita harus
memiliki bukti kuat. Siapa tahu ada orang lain yang
melakukan semua ini dengan mengatasnamakan Mei
Lie."
"Tidak mungkin!" bantah Ki Bagel Kara. "Jelas dia
Mei Lie."
"Aha, jangan lekas menuduh begitu, Ki. Apa kau
punya saksi?" tanya Sena masih berusaha membela
kekasihnya. Nada suaranya terdengar tidak senang
atas tuduhan yang dilontarkan Ki Bagel pada
kekasihnya.
"Ada!" sahut Nyi Palayuan.
"Hm...," gumam Sena lirih. Tangannya menggaruk-
garuk kepala dengan mulut nyengir. "Aha, bagaimana
kalau saksi itu tidak jelas benar melihatnya?"
"Tidak mungkin. Dia berhadap-hadapan langsung
dengan Mei Lie. Bahkan dia bertarung dengan Mei Lie
waktu itu bersama adiknya," tukas Ki Naga Badra.
Lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun
yang wataknya masih agak keras.
"Sabar!" kata Arya Parasu. "Untuk memecahkan
masalah ini, kita jangan saling bantah-membantah
dengan kepala panas. Seakan sifat kependekaran
kita tak ada lagi."
Semua terdiam, tak ada seorang pun yang
membuka suara. Hanya Sena yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah, kini bawa saksi mata kemari," pinta Arya
Parasu.
"Baik, Eyang," sahut Ki Malawa. Kemudian dengan
memberi isyarat pada muridnya, Ki Malawa
memerintahkan untuk menjemput Gupala.
Tidak berapa lama kemudian, muncul Gupala
menghadap ke tempat itu. Lelaki berusia tiga puluh
lima tahun itu segera memberi hormat pada para
pendekar yang berkumpul di ruangan tersebut.
"Ada apa Guru memanggil saya?" tanya Gupala
pada Ki Malawa.
"Gupala, coba kau jelaskan bagaimana
kejadiannya sampai kau dan adikmu bertempur
dengan gadis Cina itu," pinta Arya Parasu.
Gupala menjura, kemudian dengan singkat dan
jelas dia menceritakan tentang kejadian yang
dialaminya.
"Kami baru saja pulang untuk menyerahkan
undangan dari guru pada Perguruan Kencana Mukti
dan Padepokan Randu Kembar dalam rangka
mengundang para pemimpin perguruan untuk
mengadakan pertemuan untuk membahas masalah
persilatan. Pertemuan yang telah sering diadakan di
perguruan kami. Ketika kami melintas di Hutan
Gandring, kami di hadang oleh seorang gadis cantik
bercaping daun pandan. Gadis itu berpakaian putih
dan bersenjatakan pedang. Dia mengaku bernama
Mei Lie. Mulanya kami ragu dan tak percaya kalau
gadis itu Bidadari Pencabut Nyawa. Namun ketika dia
menyerang dengan pedangnya yang dahsyat, barulah
kami mempercayainya."
Sena menghela napas. Tingkah lakunya tetap
seperti orang gila.
"Aha, tentunya kau melihat pedangnya, Ki," kata
Sena.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Bagus. Apakah pedang itu bersinar merah
kekuning-kuningan?" tanya Sena.
Gupala sesaat terdiam, berusaha mengingat-ingat
pedang di tangan gadis cantik yang mengaku Mei Lei.
"Tidak. Pedang di tangan gadis cantik itu berwarna
putih," jawab Gupala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak bagai tidak
dapat menahan rasa gelinya.
"Ah, kini apa kalian masih yakin kalau gadis itu Mei
Lie?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala
"Ya!" Jawab Ki Sampra Wika.
"Aha, bagaimana kalian bisa yakin?"
"Sena, Mei Lie bukanlah gadis sembarangan
setelah memiliki Pedang Bidadari dan menguasai
'Ilmu Pedang Bidadari'. Siapa pun akan takut untuk
mengaku-aku sebagai dirinya," tutur Ki Bagel Kara.
"Benar! Malah semua tokoh hitam dibuat gentar
dengan kemunculannya. Kurasa, kalau dia memang
tidak bersalah, dia akan datang untuk membuktikan
dirinya memang tidak bersalah," sambung Nyi
Palayuan.
Sena menggaruk-garuk kepala, seperti bingung
mendapatkan kenyataan itu. Bagaimanapun juga,
nama baik dan keberadaan Mei Lie kini terancam.
Kalau Mei Lie tidak muncul juga, maka para pendekar
tentu akan semakin yakin kala pelakunya adalah Mei
Lie. Dan tentunya pula, orang yang telah berbuat
akan semakin senang, karena secara tidak langsung
dia dapat mengadu domba orang-orang persilatan
golongan lurus.
Ingatan Sena melayang kembali pada peristiwa di
Lembah Lamur. Di sana Mei Lie juga dituduh
melakukan hal yang tak pantas bagi seorang
pendekar aliran putih. Begitu pula dengan gurunya,
Singo Edan. Malah dia pun sempat menuduh kalau
gurunya telah meracuninya (Untuk jelasnya, silakan
baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan
Dewi Kuan Im").
Mungkinkah sekarang Mei Lie ada yang
mempengaruhi? Tanya Sena dalam hati. Biar
bagaimanapun juga, aku harus bisa membongkar
teka-teki ini!
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya Arya Parasu.
"Baiklah! Semua kuserahkan pada kalian," jawab
Sena.
"Kalau begitu, untuk menyelidiki masalah ini.
bagaimana kalau Pendekar Gila kita tugaskan untuk
menyelidikinya?" tanya Arya Parasu.
"Dengan senang hati," jawab Sena.
"Kini semua telah selesai. Kita tinggal menunggu
Kedatangan Mei Lie. Kalau dia datang, kita akan bisa
membuktikan kebenarannya. Apakah dia bersalah
atau tidak. Tapi kalau dia belum juga datang dalam
tujuh hari, maka kita akan mencarinya," tutur Arya
Somala.
"Bagaimana?" tanya Arya Narasi.
"Setuju...!" sahut para pendekar.
"Kini kau harus menyelidikinya, Pendekar Gila."
"Aku akan segera menjalankan tugas yang telah
kalian amanatkan. Aku mohon pamit."
Sena pun segera menjura, kemudian bergegas
meninggalkan Perguruan Semeru.
***
Pendekar Gila benar-benar tak mengerti dengan
semuanya. Dia tak habis pikir, mengapa Mei Lie
selalu mendapat kemalangan. Dari pertama kali ke
tanah Jawa Dwipa bersama ayahnya, gadis itu sudah
dilanda nasib sial. Ayahnya tewas di tangan anak
buah Segoro Wedi. Kemudian setelah berpisah lama
dengan Pendekar Gila, muncul Houw San atau Kauw
Cien Lung. Baru bertemu, kembali Mei Lie harus
menelan kepahitan menjadi sandera Dewi Pemuja
Setan. Dan kini, Mei Lie harus menjadi korban fitnah
orang (Untuk mengetahui semua kisah Mei Lie,
silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Suling Naga Sakti", "Singa Jantan dari Cina", dan
'Titisan Dewi Kuan Im").
Sena melangkah menyelusuri jalanan di Lembah
Pakuan dengan pikiran yang masih melayang pada
Mei Lie, gadis Cina yang telah menawan hatinya.
Gadis yang selama keberadaannya di tanah Jawa
Dwipa ini senantiasa mendapatkan penderitaan.
Seakan telah digariskan oleh Hyang Widhi, kalau Mei
Lie harus menerima semua kenyataan itu.
"Kasihan, Mei Lie," desah Sena lirih.
Ketika Sena melangkah menyelusuri Lembah
Pakuan, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
bertarung. Didengar dari suaranya, sepertinya ada
beberapa orang yang teriibat pertarungan di balik
bukit sebelah selatan.
"Heaaat..!"
"Hait!"
Trang!"
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena
sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar
suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah, benar.
Kudengar suara senjata beradu. Aku akan melihat."
Dengan cepat Sena menjejakkan kaki ke atas. Lalu
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sena
berusaha melihat apa yang terjadi di balik bukit
Matanya membelalak, menyaksikan seorang gadis
bercaping daun pandan dengan pakaian yang sama
persis dengan Mei Lie tengah bertarung melawan
seorang lelaki berbaju coklat
"Mei Lie?" gumam Sena, menyaksikan gaya gadis
itu yang sama persis dengan Mei Lie. "Ah, tidak
mungkin. Dia bukan Mei Lie. Tentunya gadis ini yang
telah membunuh murid Perguruan Semeru." .
Belum juga Sena selesai meyakinkan dirinya kalau
gadis yang tengah bertarung itu bukan Mei Lie, dari
arah lain tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia
ke arahnya.
Swing, swing...!
"Eit! Aha, ada yang main-main rupanya!" gumam
Sena sambil melenting, mengelakkan serangan
puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara
beberapa kali, kemudian dengan cepat menepis
beberapa senjata rahasia dan membalikkannya ke
arah senjata-senjata itu berasal.
"Heaaa...!"
Swing, swing...!
Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Dan tidak lama kemudian terdengar suara hunjaman
senjata-senjata itu disertai jeritan kematian.
Jlep, jlcp...!
"Wuaaa...!"
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan
tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya tak
lepas menggaruk-garuk kepala.
"Serang...!"
Seketika terdengar suara perintah seseorang dari
balik bukit sebelah kiri Sena.
Swing, swing...!
Puluhan anak panah tiba-tiba menderu ke arah
Sena. Hal itu membuatnya segera merundukkan
tubuh ke bawah, lalu dengan cepat berguling lemah
ke sawah. Sengaja hal itu dilakukan. Dengan harapan
orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan
muncul. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diseli-
kan di ketiaknya. Berpura-pura terhunjam sebatang
anak panah tadi.
Benar juga apa yang diduganya. Dari balik bukit
muncul puluhan orang bertopeng hitam dengan di
tangan mereka. Mata orang-orang memandang tajam
ke arahnya, seakan meyakinkan kalau pemuda itu
telah tewas.
Saat itulah Sena segera melontarkan pukulan 'Inti
Bayu' andalannya.
"Heaaa...!"
Wusss!
Angin kencang menderu keras ke arah orang-orang
bertopeng yang berdiri di atas bukit.
"Awas...!" seru pemimpin orang-orang bertopeng
mengingatkan anak buahnya.
Namun terlambat! Angin kencang laksana topan
yang dilancar kan Sena tak dapat dielakkan oleh
beberapa orang bertopeng itu. Seketika tubuh
mereka terpental, tersapu topan yang keluar dari
tangan Sena.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil
berjingkrak-jingkrak senang. Tangan kanannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan
kirinya menepuk-nepuk pantat. "Lucu! Lucu sekali
kalian! Ayo, turunlah!"
Mendengar tantangan Pendekar Gila, orang-orang
bertopeng yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu
meluruk turun untuk menyerang.
"Serang...! Habisi dia...!" perintah pemimpinnya.
"Heaaat..!"
"Ciaaat..!"
Lembah Pakuan yang semula sepi, kini riuh oleh
akan Gerombolan Lowo Ireng yang hendak
menyerang Sena. Dengan golok terhunus di tangan,
mereka menyerbu ke arah Sena.
"Cincang tubuhnya!"
"Yeaaah...!"
Melihat lawan menyerang, Sena tak tanggung-
tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan
mereka.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari.
Pukulannya yang disertai angin topan, membuat
beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa...!"
Sena tak mau berhenti sampai di situ. Dia terus
bergerak menyerang dengan garang. Tingkah-lakunya
seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan
maut yang dahsyat.
Prak!
"Wuaaa!"
Satu lagi korban menjerit. Tubuhnya terpental jauh
dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
"Serang terus!" seru pemimpin gerombolan.
"Cincang tubuhnya!"
"Yiaaat..!"
Sena terus bergerak cepat. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, mengelakkan serangan-serangan
lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Setelah itu dilanjutkan dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'. Tangannya bergerak memukul arah
lawan-lawannya.
"Heaaa...!"
Begk, begk...!
"Wuaaa...!"
Tiga orang langsung memekik keras dengan dada
hancur. Tubuh mereka terlempar jauh, kemudian
jatuh dengan keadaan menyedihkan. Meski begitu,
nampaknya para penyerang tidak mau berhenti
sampai di situ. Mereka terus saja melabrak dengan
nekat, bagai tidak mengenal rasa takut sedikit pun.
Wut!
Golok menderu keras di atas kepala Sena yang
menunduk sambil meliukkan tubuh. Kemudian
dengan cepat kakinya menendang ke arah
selangkangan lawan.
Prat!
"Aduuuh...!"
Orang yang terkena tendangan memekik. Matanya
melotot. Kedua tangannya mendekap kemaluannya
yang pecah dan meneteskan darah. Sesaat tubuhnya
mengejang dan berputar-putar meregang nyawa. Lalu
ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, siapa lagi yang ingin telur
puyuhnya kupecahkan?!" seru Sena sambil ber-
jingkrak-jingkrak seperti kera. Tubuhnya mencelat ke
atas kemudian menukik sambil melepaskan pukulan.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menjejak dan
menendang ke arah lawan.
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas,
Gerombolan Lowo Ireng mengarahkan goloknya ke
atas. Hal itu membuat Pendekar Gila mendapat
keuntungan. Dengan begitu, serangan kini terpusat
ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'. Heaaa...!"
Wusss...!
Api keluar dari tangan Pendekar Gila, melesat ke
arah Gerombolan Lowo Ireng. Mereka terkejut dan
berusaha mengelakkan serangan ganas yang
dilancarkan Sena. Namun api yang bergulung-gulung
itu lebih cepat melalap tubuh mereka. Sehingga...
Blup!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Orang-orang yang terkena api seketika menjerit.
Tubuh mereka berguling-guling, berusaha memadam-
kan api. Tapi api yang tercipta dari pukulan 'Inti
Brahma' tampaknya sangat sulit dipadamkan.
Terlebih di lembah itu tak ada air. Tubuh mereka
hangus terbakar, mati menjadi arang hitam.
Pemimpin Gerombolan Lowo Ireng tersentak
menyaksikan beberapa anak buahnya hangus
terbakar. Ciut juga nyalinya menyaksikan kejadian itu.
Tanpa menunggu Pendekar Gila menyerangnya,
pemimpin gerombolan Lowo Ireng itu segera melesat
pergi, diikuti anak buahnya yang masih hidup.
"Hei, tunggu!" seru Sena seraya mengejar. Tapi
mereka bagai menghilang seketika.
Sena tertawa terpingkal-pingkal. Tapi segera tawa-
nya dihentikan, manakala teringat akan pertarungan
lelaki tua berpakaian coklat melawan gadis yang
berpakaian mirip Mei Lie. Ketika Sena menengok ke
arah pertarungan tadi berlangsung, dia hanya melihat
lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan gadis
yang menyerupai Mei Lie telah tiada.
Sena segera berlari mendekati tubuh lelaki yang
berlumuran darah dengan sayatan pedang menganga
di dadanya.
"Ukh!" lelaki tua berpakaian coklat itu mengeluh.
"Oh, siapa kau, Anak Muda?"
"Aku Sena, Ki. Dan siapa kau?" tanya Sena.
"Kau..., kaukah Pendekar Gila itu?" tanyanya putus-
putus.
"Benar, Ki," sahut Sena.
"Aku Galiwang. Di..., dia memang hebat...," keluh Ki
Galiwang.
"Dia siapa, Ki?"
"Dia..., dia Bidadari Pencabut Nyawa. Oh...."
Kepala Ki Galiwang terkulai, pertanda nyawanya
telah melayang meninggalkan raga.
"Mei Lie...," desis Sena lirih. "Mungkinkah Mei Lie?"
Sena masih bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia
belum yakin kalau gadis bercaping daun pandan itu
Mei Lie. Dengan lesu, Sena meninggalkan tempat itu.
Pikirannya semakin kusut memikirkan semuanya.
"Benarkah dia Mei Lie? Lalu, siapa orang-orang
bertopeng hitam tadi?" gumam Sena. "Aku harus
mengetahui siapa orang-orang bertopeng hitam itu,"
Dengan hati yang gundah, Sena melesat me-
ninggalkan tempat itu untuk menyelidiki siapa orang-
orang bertopeng hitam yang menurutnya pasti
berhubungan dengan semua kejadian itu.
***
TUJUH
Sore itu hujan lebat mengguyur Desa Kemurang.
Tampak lelaki tua berpakaian compang-camping
dengan tongkat kayu hitam melangkah di jalan
setapak yang digenangi air hujan. Lelaki tua yang
menggenggam tempurung itu ternyata Pengemis
Tempurung Sakti.
Saat itu Pengemis Tempurung Sakti tengah
berjalan di selatan Desa Kamurang untuk menuju
Gunung Bromo di sebelah timur. Tapi bukan ke
gunung itu tujuannya, melainkan ke Hutan Warang
Belang yang menjadi markas Gerombolan Lowo Ireng.
Jarak yang harus ditempuhnya masih agak jauh, kira-
kira sepuluh mil lagi.
Pengemis Tempurung Sakti bagai tak menghirau-
kan hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Tidak
dipedulikannya air hujan yang tercurah dari langit. Dia
hanya peduli pada keselamatannya, setelah
kemunculan Bidadari Pencabut Nyawa. Sengaja dia
datang dari jauh untuk mencari perlindungan pada
Gerombolan Lowo Ireng, yang dianggap cukup
mampu melindungi dirinya.
Saat Pengemis Tempurung Sakti berjalan
menembus curahan air hujan, tiba-tiba langkahnya
terhenti. Matanya yang tertutup oleh alis putih lebat,
membelalak ketika melihat seseorang berpakaian
putih berdiri sekitar lima tombak di depannya dalam
curahan air hujan.
Perlahan-lahan matanya mengawasi dari bawah ke
atas, berusaha melihat orang yang menghadang
perjalanannya. Dan betapa terkesiap hatinya keti
mengenali sosok berpakaian putih itu.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Pengemis
Tempurung Sakti terkejut.
"Lama kutunggu kemunculanmu, Pengemis Setan!
Kau telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Nyawamu tak akan kuampuni!" dengus Mei Lie
dengan mata memandang tajam penuh kebencian
pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Kau? Aku tak punya urusan denganmu," sanggah
Pengemis Tempurung Sakti, berusaha mengelak dari
tuduhan Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum sinis. Kakinya melangkah
setapak demi setapak mendekati Pengemis
Tempurung Sakti.
Srrrt!
Tangan Mei Lie menarik Pedang Bidadari dari
sarungnya. Sinar merah kekuning-kuningan seketika
terpancar menyilaukan mata, menerangi tempat itu
"Kau boleh mengelak dari dosamu, Pengemis
Setan! Tapi nanti di akhirat sana!" dengus Mei Lie
dengan gusar. Kakinya terus melangkah maju.
Tubuh lelaki tua itu menyurut mundur dua langkah.
Matanya memandang Mei Lie dengan tajam.
Sementara gadis itu telah siap dengan pedangnya.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" bentak
Mei Lie sambil menggerakkan pedangnya ke
samping. Dengan sinar mata menusuk, Mei Lie terus
melangkah maju. Siap menyerang dengan jurus
pertamanya 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut'.
Melihat lawan telah membuka serangan, Pengemis
Tempurung Sakti tak tinggal diam. Meski mengetahui
siapa lawan yang hendak dihadapi, tapi sebagai tokoh
persilatan yang telah banyak makan asam garam, dia
tak mau menunjukkan rasa takutnya. Tongkatnya
segera digerakkan dengan cepat, membentuk sebuah
putaran. Jurus itu bernama 'Lingkaran Angin Sewu'
"Kau sudah siap, Pengemis Setan?!"
"Hm...," gumam Pengemis Tempurung Sakti.
Tangannya masih menggerakkan tongkat kayu
hitamnya dengan cepat.
"Bersiaplah! Yiaaat...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut',
Mei Lie bergerak menyerang. Pedang di tangannya
memburu ke arah lawan dengan tusukan dan
sabetan yang sangat cepat.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan menyerang, Pengemis
Tempurung Sakti segera menggerakkan tongkatnya
untuk menangkis.
"Hait!"
Trak!
Terdengar suara dua senjata beradu. Diikuti oleh
pekikan keduanya saat melakukan serangan.
Suasana perbatasan Desa Kemurang yang riuh
diguyur hujan, semakin bertambah hiruk-pikuk oleh
pertarungan mereka. Tanah becek di tempat mereka
bertarung berhamburan. Rerumputan banyak yang
mati, tergasak kaki mereka. Daun pepohonan
berhamburan, terkena sabetan pedang dan tongkat
keduanya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak dengan cepat
menusuk ke dada lawan. Pengemis Tempurung Sakti
berkelit ke samping dengan kaki sedikit ditekuk.
Kemudian dengan cepat pula, dia balas menyerang
dengan sambaran tongkatnya dalam satu jurus
'Lingkaran Angin Sewu', yang dilajutkan dengan jurus
'Hantaman Badai Selatan'.
"Yeaaat..!"
Tongkat kayu hitam di tangan Pengemis
Tempurung Sakti bergerak mencecar lawan dengan
ganas. Angin pukulannya menderu-deru, menimbul-
kan hembusan yang sangat keras. Ujung tongkat yang
runcing berusaha membelah dada lawan.
Wut!
"Uts! Yeaaa...!"
Dengan gerakan yang lincah serta cepat, Mei xlei
segera mengelakkan serangan yang dilancarkan
lawan. Setelah menghindari serangan, dengan sigap
Mei Lei kembali menggebrak dengan serangan yang
tidak kalah hebat. Pedang di tangannya membentuk
sebuah garis mendatar. Lalu pedangnya bergerak
menyilang bergantian dari kanan bawah ke kiri, atau
sebaliknya.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah
Awan' Mei Lie kembali bergerak menyerang.
Pedangnya membelah ke arah yang berlawanan
dengan cepat, diikuti oleh laju tubuhnya yang mem-
buru tak kalah cepatnya ke arah lawan.
"Yiaaat..!"
Pengemis Tempurung Sakti menggeser kaki kiri
agak membuka. Kaki kanannya sedikit ditekuk.
Sedangkan tubuhnya agak dimiringkan, mengelitkan
serangan lawan ke belakang. Lalu dengan cepat,
tongkatnya digerakkan untuk menangkis.
Trak!
Prak!
"Ukh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Mulutnya meringis. Sedangkan tangannya gemetar
kesemutan setelah beradu senjata dengan Mei Lei.
Seperrinya gadis Cina itu memiliki kekuatan tenaga
dalam yang sangat hebat.
Tidak kusangka ilmunya sangat tinggi. Puji
Pengemis Tempurung Sakti dalam hati, mengakui
kehebatan tenaga dalam lawan. Tidak disangkanya
kalau ilmu tenaga dalam lawan ternyata berada dua
tingkat di atasnya.
Mei Lie tersenyum sinis menyaksikan kekagetan
lawan dari wajahnya yang pucat. Matanya kian tajam
memandang Pengemis Tempurung Sakti.
Hujan masih mengguyur, seakan sengaja dicurah-
kan dari langit untuk menyemaraki pertempuran itu.
Angin bertiup laksana membadai, semakin membuat
rasa dingin yang menyekat.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" dengus
Mei Lie dengan nada gusar. Tangannya kembali
menggerakkan pedang dengan cepat, menyilang dan
menusuk. Langkah kakinya pelan beraturan dengan
gerakan yang aneh. Itulah jurus pamungkas 'Tebasan
Pedang Batin'.
"Baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu!
Hiaaat..!" teriak Pengemis Tempurung Sakti seraya
melesat melakukan serangan. Tempurung saktinya
dilemparkan ke arah Mei Lie. Sedangkan tubuhnya
melesat menyerang dengan sambaran tongkat kayu
hitamnya.
Swing!
"Hiaaa...!"
Mei Lie segera mengangkat Pedang Bidadari,
memapaki serangan tempurung sakti lawan.
Brak!
Ledakan dahsyat terdengar, diiringi oleh hancurnya
tempurung lawan. Tempurung itu berhamburan
menjadi serpihan debu. Pohon yang dekat dengan
tempat mereka bertarung, turut terbakar hangus.
Tanah yang dipijak oleh Pengemis Tempurung Sakti
bergetar bagai terkena gempa. Hal itu membuat
Pengemis Tempurung Sakti tersentak dengan mata
membelalak. Segera serangannya ditarik, lalu
mencelat ke belakang dengan wajah menggambarkan
rasa kaget
"Kurang ajar! Kau telah menghancurkan
tempurungku! Kau harus mampus! Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Sapuan Kilat Maut' Pengemis
Tempurung Sakti kembali meluruk. Tongkat kayu
hitam di tangannya menderu-deru bagai topan serta
mengeluarkan sinar membara laksana kilat.
Mei Lie segera mengerahkan tenaga dalamnya,
kemudian dengan mata terpejam tubuhnya bergerak
memapaki serangan lawan. Tangannya menebas ke
lengan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaah...!"
Wut!
Trak!
Cras!
"Wuaaa...!"
Pengemis Tempurung Sakti memekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan
mata membelalak. Matanya memandang kedua
tangannya yang tadi dirasakan terkena penggalan
pedang lawan. Namun kedua tangannya masih
tampak utuh, seperti tidak mengalami apa-apa.
Itulah kehebatan jurus 'Tebasan Pedang Batin'
Lawan tidak merasakan apa-apa, bahkan tidak
mengalami apa pun. Semua anggota tubuh kelihatan
.masih utuh, tak ada tanda-tanda bekas tebasan
pedang. Setelah beberapa saat kemudian, kejadian
yang aneh pun terjadi. Tubuh yang terkena babatan
pedang seakan berubah menjadi debu dan
beterbangan ditiup angin.
Baru saja Pengemis Tempurung Sakti terheran-
heran menyaksikan tangannya bagai tak terluka, tiba-
tiba kejadian yang menggiriskan dialaminya. Ketika
angin berhembus menerpanya, kedua tangannya
hancur menjadi debu. Tak ada darah yang keluar.
Begitu juga dengan tongkat kayu hitamnya. Tongkat
itu terbakar menjadi debu.
"Wuaaa...! Tobaaat...!" pekik Pengemis Tempurung
Sakti ketakutan setelah menyaksikan kedua
tangannya telah menghilang tanpa bekas.
"Hi hi hi...! Kau harus mampus, Pengemis Setan!
Bersiaplah! Hiaaa...!"
Mei Lie yang sudah demikian benci pada orang-
orang yang dianggapnya telah membunuh Nyi Bangil
dan Lira Kanti, kembali melabrak lawan dengan
tebasan menyilang.
"Tidak! Jangan...!" ratap Pengemis Tempurung
Sakti ketakutan.
Namun Mei Lie rupanya tidak menghiraukan
jeritan itu. Dia terus bergerak menyerang dengan
tebasan-tebasan menyilang ke tubuh lawan.
Bret, bret!
Cras!
"Aaa...!" jerit kematian yang melengking terdengar.
Tubuh Pengemis Tempurung Sakti tergetar dahsyat.
Matanya melotot. Kemudian diam mematung tanpa
nyawa. Tubuhnya berhamburan ketika angin
menerpanya.
"Nyi Bangil, Lira Kanti! Kini semuanya telah
terbalaskan! Tenanglah kalian di alam sana," desis
Mei Lie.
Mei Lie hendak berlalu meninggalkan tempat itu,
ketika terdengar suara orang berseru mencegahnya.
"Tunggu...!"
Mei Lie menghentikan langkahnya, lalu
memandang ke arah suara itu. Nampak olehnya para
pendekar telah berada di tempat itu. Hal itu membuat
Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa
para pendekar berdatangan dan mengepungnya.
"Mei Lie, kau kami tangkap!" seru Arya Parasu.
"Ditangkap? Apa salahku...?" tanya Mei Lie.
"Nanti kami jelaskan! Yang pasti kau harus ikut
kami!" jawab Arya Parasu.
Mei Lie terdiam sesaat, namun akhirnya menurut.
Setelah memasukkan Pedang Bidadari ke sarungnya,
dengan tenang Mei Lie menghampiri para pendekar.
Dan dia pun menurut ketika para pendekar
mengajaknya ke Perguruan Semeru.
***
Mei Lie tersentak setelah mendengar penjelasan
tentang alasan dirinya ditangkap dari Arya Parasu.
Mata Mei Lie yang indah dan bening itu membelalak
menatap dengan tajam pada para pendekar yang
diam membisu. Sepertinya mereka pun merasakan
getaran yang aneh, atau takut menyaksikan Bidadari
Pencabut Nyawa mendengus.
"Fitnah! Jelas ini fitnah. Tentunya ada seseorang
yang bermaksud memecah belah para pendekar,"
dengus Mei Lie dengan lantang.
"Sabar, Mei Lie. Kami pun ragu kalau kau yang
telah membunuh murid Perguruan Semeru dan Ki
Galiwang. Sena telah menyelidiki semuanya. Agar
para pendekar dapat membuktikannya, sementara
waktu kau biar di sini. Kalau semuanya sudah jelas,
kmia akan melepaskanmu," urai Arya Parasu, salah
seorang dari Tiga Malaikat Suci.
"Hm...," gumam Mei Lie tak jelas. "Apakah kalian
tidak memberi aku kesempatan untuk membuktikan
kebenaran. Aku bersumpah, akan menangkap hidup
atau mati orang yang telah memfitnahku."
Semua terdiam, sepertinya tengah berpikir apakah
hendak meluluskan permintaan Mei Lie. Kini
Pandangan para pendekar yang berada di Perguruan
Semeru tertuju ke arah Tiga Malaikat Suci. Secara tak
langsung mereka meminta pendapat tiga lelaki tua
yang dianggap sebagai sesepuh para pendekar di
wilayah timur.
"Kau bersungguh-sungguh, Mei Lie?" tanya Arya
Parasu.
"Ya!"
"Sulit. Apakah kau bisa membuktikan bahwa kau
tidak membunuh para pendekar?" tanya Arya Parasu.
Mei Lie menghela napas panjang. Memang sulit
untuk membuktikan semuanya. Namun seketika dia
teringat akan keampuhan Pedang Bidadari jika
mengenai tubuh lawan.
"Apakah korban hancur menjadi debu?" tanya Mei
Lie.
"Hancur menjadi debu?!" pekik semua pendekar
kaget dengan mata membelalak.
"Apa maksudmu, Mei Lie?" tanya Arya Parasu
dengan kening berkerut, tak mengerti dengan
pertanyaan yang baru saja diajukan Mei Lie, si
Bidadari Pencabut Nyawa.
"Siapa pun yang terkena Pedang Bidadari dengan
menggunakan jurus 'Tebasan Pedang Batin' orang itu
akan menjadi debu. Apakah kalian tadi tidak melihat
kematian Pengemis Tempurung Sakti?"
Semua terdiam dengan mata tak berkedip. Mereka
seperti baru menyadari kekeliruan dan kecerobohan-
nya. Hati mereka membenarkan kata-kata Mei Lie.
Ya, semua korban Mei Lie memang tak ada
bekasnya. Semua menjadi debu!
"Bisa kau membuktikannya, Mei Lie?" tanya Ki
Malawa kemudian.
"Hm.... Dengan apa?" tanya Mei Lie.
"Sebentar!"
Kemudian Ki Malawa berlalu dari ruangan itu.
Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan
membawa seorang murid Perguruan Semeru.
"Dengan ini," kata Ki Malawa, membuat semua
mata para pendekar membelalak kaget. Mereka tak
mengira kalau Ki Malawa akan mengorbankan nyawa
manusia untuk membuktikan kebenaran ucapan Mei
Lie.
"Malawa, apa-apaan kau?!" bentak Arya Parasu.
"Dia manusia!"
"Benar! Dan kalau dia bukan orang jahat, pantang
bagiku membunuhnya," sambung Mei Lie.
Ki Malawa tersenyum tenang. Bahkan memandang
dengan sinis pada muridnya yang semakin tegang
ketakutan.
"Dia pengkhianat di Perguruan Semeru. Untuk
itulah, apa tidak sebaiknya Bidadari Pencabut Nyawa
yang menghukumnya. Sekaligus membuktikan
kebenaran semuanya. Bagaimana...?" tanya Ki
Malawa masih bersikap tenang.
Semua pendekar masih terdiam. Belum ada yang
mengerti dengan maksud Ketua Perguruan Semeru
itu, termasuk Tiga Malaikat Suci. Semua menunggu
dengan hati berdebar. Sesekali mata mereka
memandang tegang ke arah calon korban. Kemudian
beralih memandang Mei Lie yang juga merasa tegang.
"Lakukanlah, Mei Lie," perintah Arya Parasu
akhirnya.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan." Mei Lie
segera mengeluarkan Pedang Bidadari dari sarung-
nya. Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya
digerakkan menyilang, lalu dihunus tegak lurus.
Dengan gerakan halus, Mei Lie membabatkan
pedangnya ke tangan korban.
Cras!
"Aaa...!"
Lelaki muda yang mendapat hukuman itu
memekik. Tapi seketika matanya membelalak,
menyaksikan kedua tangannya masih utuh.
Bukan hanya lelaki muda yang mendapat
hukuman yang kaget menyaksikan kejadian aneh itu,
tapi semua pendekar di tempat itu turut mem-
belalakkan mata.
"Hah?! Apakah kau tidak melakukannya, Mei Lie?"
tanya Arya Parasu.
"Sudah," jawab Mei Lie tenang.
"Tapi..."
Belum habis ucapan Arya Parasu, tiba-tiba Mei Lie
meniup ke arah tangan lelaki muda itu. Kejadian
aneh kembali terjadi. Tangan korban seketika
beterbangan menjadi debu.
Semakin membelalak mata semua pendekar
menyaksikan bagaimana hebatnya ilmu pedang
Bidadari Pencabut Nyawa itu. Kini semuanya
berdecak kagum. Hati mereka berkata lirih. Kalau
saja Mei Lie mau, tentunya dia akan mampu
membantai semua yang ada di tempat ini.
"Ck ck ck...! Sungguh bukan ilmu pedang
sembarangan," Gumam Arya Parasu. "Kalau kau mau,
kami tak mungkin dapat menandingimu, Mei Lie. Kini
kami yakin, bahwa kau tidak bersalah. Tapi kau harus
dapat menangkap hidup atau mati orang yang telah
memfitnahmu."
"Terima kasih, aku akan berusaha menangkap-
nya."
"Ya. Semua demi nama baikmu, Mei Lie. Juga
ketenangan dunia persilatan," kata Arya Parasu.
"Apakah aku diperkenankan mencarinya
sekarang?" tanya Mei Lie.
"Apakah kau tak ingin menunggu Sena?" balik Arya
Parasu bertanya.
Mei Lie terdiam. Dia memang ingin bertemu
pemuda itu. Namun bagaimanapun juga, tugas jauh
lebih utama dibanding kepentingannya. Dihelanya
napas panjang-panjang.
"Biarlah aku harus menunaikan tugasku dulu.
Sampaikan salamku pada Sena jika dia datang," ucap
Mei Lie.
Kemudian setelah menjura hormat, Mei Lie pun
meninggalkan Perguruan Semeru diikuti pandangan
penuh kekaguman dari para pendekar yang kini
percaya kalau Mei Lie bukan pembunuh murid
Perguruan Semeru dan Ki Galiwang.
"Kuharap dia segera berhasil," gumam Ai Parasu.
"Ya! Semoga dia cepat berhasil, sehingga semua-
nya akan terungkap. Begitu juga dengan Pendekar
Gila, semoga dia segera membuka tabir semuanya, "
tambah Ki Malawa.
Langit sore kini nampak cerah, terhias oleh pelangi
yang indah di sebelah timur. Para pendekar berharap,
semua akan berakhir.
Mei Lie terus melangkah, menapakkan kakinya
untuk mencari orang yang telah mencemarkan nama
baiknya.
***
DELAPAN
Malam telah menyelimuti bumi dengan kegelapannya
yang terasa mencekam. Angin malam yang dingin
berhembus perlahan, meniup debu dan menggesek
dedaunan.
Desa Jatiwangi tempat Padepokan Sawo Jajar yang
dipimpin oleh Ki Swarna Bayu berada, tampak sepi.
Tak terlihat seorang pun yang keluyuran. Semua
seperti terbuai oleh desau angin malam, meringkuk di
atas pembaringan masing-masing.
Dari arah barat di mana Hutan Wadas Gering
berada, saat itu muncul sesosok bayangan putih
berkelebat memasuki perbatasan Desa Jatiwangi.
Diikuti oleh kemunculan beberapa sosok tubuh yang
terbungkus pakaian hitam. Wajah mereka tertutup
oleh kain hitam. Hanya mata mereka saja yang
terlihat.
Sosok berbaju putih memakai caping daun pandan
itu melesat menuju Padepokan Sawo Jajar.
Kemudian dengan berdiri di depan padepokan, sosok
berbaju putih itu berseru lantang.
"Swarna Bayu, keluarlah!"
Murid-murid Padepokan Sawo Jajar tersentak
mendengar seruan itu. Bergegas mereka bangun. Dan
langsung terkejut, ketika beberapa bayangan hitam
tiba-tiba berkelebat menyerang.
"Padepokan diserang musuh...!" teriak salah
seorang murid padepokan, yang membuat semua
orang Padepokan Sawo Jajar terjaga dari tidurnya.
Begitu juga dengan Ki Swarna Bayu. Lelaki tua itu
berusia sekitar enam puluh tahun, dengan wajah
menggambarkan ketenangan.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat
keonaran!" bentak Ki Swarna Bayu marah. Matanya
menyapu ke sekelilingnya, di mana orang-orang
bertopeng hitam telah mengepung padepokannya.
"Aku!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih.
Dilihat dari tubuhnya yang ramping, jelas bayangan
putih itu seorang wanita muda. Sayang wajahnya yang
tertutup caping daun pandan tidak begitu jelas,
membuat Ki Swarna Bayu tak dapat mengenali
wajahnya.
"Siapa kau?!" bentak Ki Swarna Bayu.
"Aku Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa," jawab
gadis itu, membuat mata Ki Swarna Bayu mem-
belalak.
"Bedebah! Aku tak percaya! Bidadari Pencabut
Nyawa bukan orang dari golongan hitam. Dia tidak
pernah membuat keonaran sepertimu!" dengus Ki
Swarna Bayu gusar.
"Ha ha ha...! Terserah kau saja, Ki. Yang pasti aku
datang untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah
Yeaaa...!"
Melihat lawan telah menyerang, Ki Swarna Bayu
tak mau tinggal diam. Dia pun segera melompat
untuk menghadapi serangan lawan. Kedua kakinya
digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak
membentuk sebuah kebutan dan cakaran yang keras.
"Yeaaa!"
Tangan Ki Swarna Bayu mencengkeram ke arah
lawan. Namun dengan cepat wanita bercaping daun
pandan yang mengaku Mei Lie mengelakkannya.
Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balik
menyerang dengan tendangan.
Ki Swarna Bayu menarik cengkeramannya. Dengan
berputar, dia membalas serangan lawan. Kakin
bergerak menendang, diteruskan dengan pukulan
tangan kanan ke dada lawan.
Suasana Padepokan Sawo Jajar yang semula
tenang dan sepi, kini menjadi riuh. Pertarungan
antara para penyerang yang memakai topeng hitam
melawan murid-murid Ki Swarna Bayu berjalan
dengan seru. Jeritan kematian memecah kesunyian
malam, diiringi cipratan darah.
Ki Swarna Bayu terus menggebrak dengan
serangan-serangan keras yang merupakan serangan
inti. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Badai Samudera-Utara'
dan 'Gelombang Laut Utara' dikeluarkannya susul-
menyusul.
Melihat serangan lawan yang telah menggunakan
jurus-jurus inti, lawannya yang tak lain Sarah Dita
tidak mau tinggal diam. Segera pedangnya dicabut
dari sarungnya.
Srrrt!
"Heaaat..!"
Dengan pedang di tangan, Sarah Dita balas
menyerang. Pedangnya bergerak membabat dan
menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti oleh
pukulan dan tendangannya yang juga berbahaya.
Dengan jurus 'Lingkaran Maut' andalannya, Sarah
Dita berusaha mendesak lawan. Pedangnya menderu-
deru, menebas dan menusuk ke tubuh lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Swarna Bayu terkesiap. Matanya membelalak
menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat.
Sepertinya lawan tidak ingin memberi kesempatan
sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan lawan tidak ubahnya malaikat maut
yang terus mencari mangsa.
"Celaka!" pekik Ki Swarna Bayu dengan mata
semakin membesar tegang, mendapati serangan
lawan yang susul-menyusul tiada putusnya.
Ki Swarna Bayu berusaha mengelakkan serangan
lawan yang gencar. Namun pedang di tangan lawan
bagai memiliki mata saja.
Wut, wut..!
Pedang di tangan Sarah Dita terus mencecar
Ketua Padepokan Sawo Jajar itu dengan tebasan-
tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki
Swarna Bayu semakin terdesak. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Ki Swarna Bayu memekik keras, ketika dadanya
tersayat pedang lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!"
Sarah Dita tak puas sampai di situ, meski lawan
dalam keadaan sekarat. Pedang di tangannya
memburu ke arah Ki Swarna Bayu, siap merenggut
nyawa orang tua itu. Namun pada saat yang kritis itu,
tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat me-
nangkis kelebatan pedang Sarah Dita.
Trang!
"Ukh!" Sarah Dita mengeluh. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata membelalak,
memandang sosok wanita berpakaian putih bergaya
gadis Cina. Pedang di tangan gadis Cina itu bersinar
merah kekuning-kuningan.
"Rupanya kau yang telah membuat fitnah keji atas
diriku?!" dengus Mei Lie setelah menemukan orang
yang selama ini telah membuat namanya tercemar.
"Ya!" sahut Sarah Dita sinis, dengan sikap
menantang.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja melakukannya!
Katakan, siapa yang mendalangimu?!" bentak Mei
Lei.
"Itu urusanku!" sahut Sarah Dita, tak kalah sengit.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit!
Bersiaplah!"
"Hm...!"
Dua gadis cantik jago pedang itu kini saling
berhadap-hadapan. Satu memegang pedang bersinar
merah kekuning-kuningan. Yang lain memegang
pedang bersinar putih keperakan. Mata mereka yang
indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk
menentukan siapa di antara mereka yang paling
hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang
satunya Pedang Titisan Iblis.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus
'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di
tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas.
Seakan pedang itu berusaha membelah langit.
Sementara itu, Sarah Dita tidak mau tinggal diam.
Segera digunakannya jurus pembuka yang tidak kalah
hebat. Jurus 'Sapuan Kabut Maut' dilancarkannya.
Pedangnya bergulung cepat membuat sinar putih
laksana kabut yang menutupi tubuhnya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Trang!
Denting dua pedang beradu terdengar. Tubuh
keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan
sigap kembali menyerang. Pedang di tangan mereka
bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari,
memburu tubuh lawan.
Pertarungan seru dua gadis yang memiliki ilmu
pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung, membuat
semua murid Padepokan Sawo Jajar dan anak buah
Sarah Dita seketika menghentikan pertarungan.
Mereka kini terpaku, menyaksikan pertarungan hebat
antara dua gadis cantik bersenjata pedang.
Mei Lie kembali membuka jurus. Kali ini dengan
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung'.
Pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat
tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke arah
bawah.
Sekeliling tempat itu seketika menjadi terang oleh
sinar merah kekuning-kuningan yang keluar dari
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
"Yeaaa!"
"Hiaaat..!"
Keduanya kembali berkelebat, bergerak
menyerang dengan babatan dan tusukan pedang.
Gerakan mereka sangat cepat, rasanya sulit untuk
diikuti mata. Kini yang tampak hanya sinar merah
kekuning-kuningan yang berbaur dengan sinar putih
keperakan.
Trang, trang!
Wut!
"Hiaaat..!"
Beberapa kali pedang di tangan mereka saling
beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke
belakang. Mata keduanya saling pandang dengan
tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar,
keduanya kembali menyerang dengan sabetan
pedang.
"Yeaaah...!"
"Hiaaat...!"
Mei Lie kali ini telah mengeluarkan jurus
pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus
sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena
babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Tapi jika tertiup
oleh angin, maka tubuhnya akan lebur menjadi debu
yang beterbangan.
Sarah Dita tersentak menyaksikan jurus yang aneh
dan terkenal itu. Agak tegang juga dia menyaksikan
jurus yang tengah diperagakan Mei Lie. Nyalinya
seketika menciut, jika ingat akan korban jurus yang
tengah diperagakan Mei Lie.
"Tunggu!" seru Sarah Dita.
"Hm.... Ada apa? Apakah kau akan menyerahkan
diri dan mau bertanggung jawab atas semuanya?"
tanya Mei Lie.
"Ya. Hentikan jurus itu. Aku terima kalah."
"Baik. Ikut aku!"
Dengan gerak cepat, Mei Lie berkelebat menotok
jalan darah Sarah Dita. Gadis itu seketika kaku bagai
patung.
"Kalian orang-orang Gerombolan Lowo Ireng.
Hentikan! Kalau tidak, aku tak akan segan-segan
menghabisi nyawa kalian!" seru Mei Lie.
Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng
menghentikan pertarungan.
"Bubar kalian! Katakan pada pimpinan kalian, aku
akan ke sana!" seru Mei Lie lantang. Semua anggota
Gerombolan Lowo Ireng tak ada yang membantah,
mereka lari terbirit-birit. Mei Lie pun segera melesat
pergi, membawa tubuh Sarah Dita.
***
Sementara itu, di markas Gerombolan Lowo Ireng,
tampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi
kulit ular tengah mengamuk. Pemuda tampan yang
tidak lain Pendekar Gila, kini benar-benar marah,
setelah tahu dalang semua kerusuhan di rimba
persilatan.
"Hi hi hi...! Ayo, biar kalian kujadikan perkedel! Ha
ha ha...!"
Dengan tingkah laku seperti orang gila, Pendekar
Gila terus bergerak menyerang ke sana kemari. Suling
Naga Sakti di tangannya, tak henti-hentinya meminta
korban. Setiap kali sulingnya bergerak, jeritan
kematian menyapu malam yang sepi.
Sejauh itu, pertarungan tampak belum akan
berakhir. Para pemimpin Gerombolan Lowo Ireng pun
belum menampakkan batang hidungnya. Hal itu
membuat Pendekar Gila semakin mengamuk ganas.
Dengan berteriak-teriak seperti orang kebakaran
jenggot, Sena berusaha memanggil orang-orang itu.
"Pimpinan Gerombolan Lowo Ireng, keluarlah
kalian!" serunya menantang sambil terus melabrak
Gerombolan Lowo Ireng.
Sementara itu, di dalam bangunan besar markas
Gerombolan Lowo Ireng, Selendra dan Daeng Ampra
tengah membicarakan jalan yang harus mereka
tempuh. Baru Pendekar Gila saja yang datang,
mereka telah dibikin repot. Apalagi jika yang lainnya
muncul.
"Celaka! Dia memang bukan pendekar
sembarangan. Baru dia yang datang, kita telah
kerepotan begini," gerutu Daeng Ampra. "Tak ada
waktu bagi kita untuk meladeninya. Apalagi jika Mei
Lie datang. Celakalah kita."
"Tapi, Guru...," selak Selendra.
"Ada apa, Selendra?"
"Bagaimana kalau aku menghadapinya?"
"Apa?! Jangankan kau, aku pun belum tentu
mampu menghadapinya. Percuma saja! Kita harus
menyingkir dari sini."
"Tidak! Aku akan menghadapinya!" kata Selendra
seraya berkelebat keluar.
"Selendra, tunggu!" cegah Daeng Ampra. Namun
tubuh Selendra telah melesat meninggalkan tempat
itu. "Anak total! Rupanya dia mencari mampus!"
Daeng Ampra segera melesat keluar lewat pintu
belakang, meninggalkan tempat itu. Dia melihat
keadaan yang tidak memungkinkan untuk diladeni.
Pertarungan semakin seru dengan kemunculan.
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Selendra yang
bernafsu hendak mengalahkan Pendekar Gila
langsung menyerauak ke dalam kancah pertempuran.
Dan menyerang Pendekar Gila dengan jurus
'Bayangan Kelelawar Hitam dari Neraka'.
Tubuh Selendra laksana menghilang, yang terlihat
hanya bayangannya saja. Hal itu membuat Pendekar
Gila tersentak kaget, dia berusaha memusatkan
kekuatan batinnya. Namun anak buah Selendra
tengah menggempurnya. Mau tak mau, perhatiannya
terpecah lagi. Dengan mendengus marah serta
bertingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila
mengamuk. Suling Naga Sakti digerakkan ke segenap
penjuru memukul ke kepala lawan.
"Hiaaat..!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul dari
mulut anak buah Selendra. Pada saat itu, Selendra
menendang pundak Pendekar Gila dengan telak.
Duk!
"Ukh!" Sena mengeluh. Tubuhnya berguling bawah.
Salendra kembali berkelebat, menyerang ke arah
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila
kembali berguling ke samping, lalu dengan cepat
sulingnya dibabatkan.
"Heaaa...! Hih!"
Trak!
"Ukh!" Selendra mengeluh. Kakinya terpincang-
pincang terkena sabetan Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila yang telah kalap segera bangkit.
Lalu dengan cepat pukulan sakti 'Si Gila Melebur
Gunung Karang' dihantamkan ke arah anak buah
Selendra.
"Heaaa...!"
Wusss!
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Anak buah Selendra yang hendak menyerang
Pendekar Gila berhamburan. Tubuh mereka terpental
dengan keadaan mengerikan. Angin puting beliung
yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila
menyapu mereka sampai jauh.
"Hi hi hi...! Tunjukkan wujudmu, Setan!" bentak
Sena pada Selendra sambil berjingkrakan seperti
monyet "Ha ha ha! Ayo, tunjukkan wujudmu!"
"Jangan sombong, Pendekar Gila! Mari kita
bertarung sampai mati!" dengus Selendra, dibarengi
dengan kemunculannya yang langsung menyerang.
"Uts! Licik! Heaaa...!"
Pendekar Gila segera bergerak meliukkan tubuh,
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Kemudian dengan cepat,
Suling Naga Sakti dihantamkan ke arah lawan.
Wut!
Selendra tersentak, mendapatkan serangan lawan
yang mengeluarkan hawa panas laksana api. Suling
Naga Sakti menderu tajam di depan wajahnya. Cepat-
cepat Selendra membuang tubuh ke belakang, lalu
dengan cepat melepas pukulan dengan jurus
'Kepakan Sayap Kelelawar'
Wrrrt!
"Weh!" pekik Pendekar Gila kaget, ketika tangan
lawan menepis pundaknya. Seketika, pundaknya
terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
"Wrrr...!"
Dengan menggeram marah, Pendekar Gila segera
menghantamkan sulingnya ke arah lawan. Disusul
oleh serangan-serangan gencar dengan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'.
Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh,
cukup menyentakkan lawan. Selendra berusaha
mengelakkan serangan-serangan gencar yang
dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya
Pendekar Gila tak mau memberi kesempatan yang
ketiga kali bagi lawan untuk menyerang. Dengan
gempuran gencar susul-menyusul, Pendekar Gila
terus mengincar lawan. Sampai lawan tak punya
kesempatan untuk balas menyerang.
"Heaaa...!"
"Serang dia!" seru Selendra memerintahkan anak
buahnya untuk menyerang.
Namun belum juga Gerombolan Lowo Ireng
membantu, dari kejauhan terdengar suara para
pendekar berdatangan. Hal itu membuat Selendra
semakin kebingungan. Dia berusaha lari, tapi Sena
dengar cepat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Iblis?!"
"Bedebah! Kau harus mampus, Pendekar Gila
Yeaaa...!"
Dengan nekat Selendra merangsek, berusaha
menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena terlalu
bernafsu, hanya dengan memiringkan tubuh ke
samping Pendekar Gila berhasil mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat, Suling
Naga Sakti dihantamkan ke batok kepala lawan.
Wut!
Prak!
"Aaakh...!"
Selendra menjerit keras, kepalanya hancur terkena
hantaman Suling Naga Sakti. Tubuhnya terjajar ke
belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk
dengan nyawa melayang.
Melihat para pendekar berdatangan, Pendekar Gila
segera menghampiri. Betapa gembira hatinya ketika
melihat Mei Lie bersama mereka.
"Mei Lie...!"
"Sena!"
Mei Lie segera lari ke arah Pendekar Gila dan
memeluk erat tubuh pemuda itu. Mei Lie berlinang air
mata. Gadis itu menangis, merasakan keharuan dan
kesyahduan setelah keduanya begitu lama berpisah.
"Maafkan aku, Sena. Aku tak dapat menahan mosi
waktu itu," desis Mei Lie lirih.
"Sudahlah, kita bantu para pendekar. Nanti kita
bisa bercerita lagi, bukan?" bujuk Sena berusaha
menghibur.
Mei Lie tersenyum lepas bersama tetes lembut di
kedua pipinya.
Para pendekar yang rata-rata berilmu tinggi, tidak
menghadapi kesulitan dalam menumpas sisa-sisa
Gerombolan Lowo Ireng yang masih mencoba
mengadakan perlawanan. Dalam sekejap saja, sisa-
sisa Gerombolan Lowo Ireng dapat ditaklukkan.
"Di mana guru Gerombolan Lowo Ireng?" tanya
Arya Parasu.
"Jadi ada yang masih sisa?" tanya Sena sambil
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala,
baru merasa sadar kalau dedengkot Gerombolan
Lowo Ireng ternyata masih hidup.
"Ya! Justru dia orang utama di Gerombolan Lowo
Ireng. Dia bernama Daeng Ampra, lelaki tua berjubah
hitam dengan rambut panjang berwarna putih," tukas
Arya Parasu, orang tertua dari Tiga Malaikat Suci.
"Perkenalkan, ini dari Sulawesi. Dia datang dari jauh
kemari untuk menangkap Daeng Ampra."
Lelaki berpakaian kuning keemasan melangkah ke
arah Pendekar Gila. Lelaki itu belum begitu tua, hanya
berkisar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Wajahnya nampak tenang, dengan kumis tipis
menghiasi atas bibirnya. Kepalanya ditutup oleh adat
orang Sulawesi, berbentuk persegi tiga den runcing ke
ujung berwarna kuning emas. Di pinggangnya melilit
kain coklat semu kuning keemasan.
"Aku Daeng Lonto, menghaturkan sembah," ujar
lelaki tua itu seraya menjura pada Pendekar Gila.
"Aha, mengapa begitu? Tak usahlah begitu. Panggil
saja namaku, Sena," kata Pendekar Gila sam
membalas menjura. "Kalau boleh kutahu, apa yang
telah terjadi di Sulawesi?"
Daeng Lonto menceritakan semua kejadian yang
terjadi lima belas tahun yang silam di Pulau Sulawesi.
Di sana dulu ayahnya menjadi ketua adat. Daeng
Ampra dan Dewi Sandang yang merupakan saudara
sepupu menjadi orang-orang yang namanya kondang
di daerah itu.
Ayah Daeng Lonto yang bernama Daeng Marhabu
menjadi pemimpin adat yang dikhianati kedua
saudara sepupunya. Daeng Marhabu dibunuh oleh
Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Hal itu membuat
semua pendekar marah. Dipimpin oleh Daeng Ponte,
para pendekar berusaha menangkap Daeng Ampra
dan Dewi Sandang. Namun mereka licik. Keduanya
dapat meloloskan diri dan lari ke tanah Jawa Dwipa.
"Begitulah ceritanya, Sena. Aku diutus dan
dipercaya oleh para pendekar di tanah Sulawesi
untuk menangkap keduanya hidup atau mati," jabar
Daeng Lonto dengan mimik wajah penuh kegeraman.
"Kurang ajar! Coba aku periksa ke dalam," ujar
Sena segera mencelat masuk ke dalam untuk
memeriksa bangunan bekas markas Gerombolan
Lowo Ireng. Namun di sana tidak ditemukannya siapa-
siapa lagi.
Sena keluar kembali dengan mulut nyengir serta
tangan kanan menggaruk-garuk kepala, membuat
Mei Lie merengut. Antara senang dan sebal beraduk
menjadi satu di hatinya. Sedang Sarah Dita tersipu-
sipu. Hati gadis cantik itu merasakan getaran aneh
jika memandang wajah Pendekar Gila.
Oh! Beruntung sekali kau, Mei Lie. Gumam Sarah
Dita dalam hati. Matanya tak lepas memandang Sena
yang tampan dan membuat hatinya berdebar-debar.
"Bagaimana, Sena? Apa ada?"
"Mungkin dia melarikan diri, Daeng," jawab Sena.
"Hm, kalau begitu kita harus mengejarnya," kata
Daeng Lonto. "Kalau keduanya tidak segera
ditangkap, bisa-bisa dunia persilatan akan selalu
resah."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya,"
ucap Sena tegas. Kemudian ditatapnya Sarah Dita
yang saat itu tengah tersipu-sipu malu. "Nona,
tentunya kau tahu di mana mereka berada?"
Mei Lie yang menyaksikan tingkah laku Sarah Dita,
seketika merengut. Hatinya dibakar cemburu, melihat
kelakuan gadis itu di hadapan lelaki pujaannya.
"Baiklah, aku akan memberitahukan kalian. Tentu
Daeng Ampra mendatangi guruku Dewi Sandang...,"
tutur Sarah Dita.
"Di mana gurumu tinggal?" tanya Arya Parasu.
"Di Goa Sandang, di kaki Gunung Arjuna," jawal
Sarah Dita menerangkan tempat gurunya berada.
"Terima kasih, Nona. Kalau begitu, apa tidak
sebaiknya kita ke sana?" ajak Daeng Lonto pada
Pendekar Gila.
"Ayolah, jangan buang-buang waktu lagi," sambut
Pendekar Gila.
"Mari, kami permisi dulu," pamit Daeng Lonto.
"Sena, aku ikut," pinta Mei Lie, membuat Pendekar
Gila hanya mampu menggaruk-garuk kepa1a, dengan
mulut nyengir. Hal itu membuat Mei Lie lagi-lagi
merengut. Sena tak dapat berbuat apa-apa lagi
"Ayolah," jawab Sena.
Ketiganya pun segera meninggalkan markas
gerombolan Lowo Ireng, sekaligus meninggalkan para
pendekar yang masih berada di tempat itu, untuk
menentukan hukuman bagi Sarah Dita. Walaupun
Sarah Dita telah insyaf dan sadar, namun dia harus
mendapatkan hukuman atas tindakannya. Sarah Dita
harus menjalani hukuman penjara di Perguruan
Semeru selama tujuh puluh purnama.
***
SEMBILAN
Seorang lelaki tua berjubah hitam dengan rambut
putih terurai, serta berbadan kurus tampak berlari
membelah hutan belantara. Lelaki tua yang tak lain
Daeng Ampra itu, sesekali menengok ke belakang.
Khawatir kalau Pendekar Gila mengejarnya. Bukan
dia gentar menghadapi Pendekar Gila yang tersohor
itu, namun keadaan terlalu mendesak. Dia belum siap
untuk menghadapinya.
"Huh, kalau saja aku telah merampungkan ajian
'Sasra Jingga', kuhadapi kau, Pendekar Gila!" geram
Daeng Ampra bersungut-sungut sambil terus berlari.
Napasnya yang tersengal-sengal tak dihiraukannya.
Dia tidak ingin dapat dikejar oleh Pendekar Gila.
Daeng Ampra akhirnya sampai juga ke tempat
yang dituju, di Goa Sandang. Sesaat matanya
menyapu ke sekelilingnya, takut kalau ada yang
memergokinya. Setelah merasa yakin tak ada siapa-
siapa, tubuh Daeng Ampra mencelat, menerobos
masuk ke dalam goa.
"Daeng, kau datang? Ada apa...?" tanya seorang
wanita berusia sekitar enam puluh tahun dengan
hidung mancung. Matanya tersirat nakal saat
memandang. Bibirnya tipis dengan alis mata tebal.
Tubuh wanita yang tentunya Dewi Sandang itu tinggi
dan agak kurus, terbalut oleh pakaian yang sangat
minim. Hanya buah dada dan bagian terlarang yang
ditutupi dengan secarik kain berwarna hitam.
Rambutnya terurai lepas, panjang sampai ke pantat.
Dewi Sandang bangkit dari duduknya. Kemudian
kakinya melangkah menghampiri saudara seper-
guruannya yang terengah-engah dengan kening
berkerut
"Celaka, Sandang. Celaka...!"
"Ada apa?" tanya Dewi Sandang masih belum
mengerti. "Apanya yang celaka?"
"Markas Gerombolan Lowo Ireng diobrak-abrik
Pendekar Gila," tutur Daeng Ampra.
Dewi Sandang tersentak mendengar ucapan
saudara seperguruannya. Rahangnya mengejang,
menahan amarah yang tak terkira.
"Mengapa tidak kau hadapi? Mengapa kau lari?!"
tanya Dewi Sandang agak jengkel. "Hanya meng-
hadapi bocah gila itu saja kau lari!"
"Tapi, Sandang! Dia bukan sembarangan bocah.
Namanya saja sudah membubung tinggi. Apalagi
dengan Suling Naga Saktinya yang mampu
mengeluarkan sinar maut. Juga suaranya yang
mampu membuat orang terbawa alunannya," kilah
Daeng Ampra beralasan.
"Huh, pengecut! Percuma kau mendapat julukan
daeng!" dengus Dewi Sandang. "Lalu, bagaimana
dengan muridku?"
Daeng Ampra terdiam. Dia tidak tahu bagaimana
nasib Sarah Dita. Juga dengan Selendra, muridnya.
Entah keduanya mati atau hidup.
"Kenapa diam, Daeng?!" desak Dewi Sandang
dengan mata melotot.
"Entahlah, Sandang. Mungkin keduanya tewas di
tangan Pendekar Gila."
"Kau yakin itu?" tanya Dewi Sandang dengai wajah
masih menunjukkan ketidaksenangan. Napasnya
turun-naik, dihela rasa marah. Tangannya mengepal,
lantas memukul-mukul telapak tangan kiri. "Kurang
ajar! Kalau benar muridku sampai tewas, tak akan
kuampuni bocah gila itu!"
Ketika keduanya tengah bercakap-cakap, tiba-tiba
mereka tersentak oleh suara tawa yang menggelegar.
Suara tawa itu seakan-akan mampu meruntuhkan
dinding-dinding goa.
"Ha ha ha...! Rupanya dua tikus tua bersembunyi di
dalam goa. Takut sama kucing.... Ha ha ha...!"
"Pendekar Gila!" pekik Daeng Ampra dengan mata
membelalak.
"Dari mana dia tahu kita di sini, Daeng?!" tanya
Dewi Sandang.
"Mana aku tahu? Mungkin muridmu masih hidup,
Sandang."
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu mencari
mampus!"
"Ha ha ha...! Kenapa bersembunyi, Tikus Tua?!
Keluarlah!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
Kemarahan Dewi Sandang memuncak mendengar
kata-kata Pendekar Gila. Tanpa memperhitungkan
lagi, tubuhnya segera mencelat ke luar, diikuti Daeng
Ampra.
Dewi Sandang dan Daeng Ampra terperanjat ketika
melihat seorang lelaki tampan berusia sekitar tiga
puluh lima tahun mengenakan pakaian kuning
keenasan yang bersama Pendekar Gila. Dari mulut
keduanya terdengar ucapan, menyebut nama lelaki
tampan itu.
"Daeng Lonto...!"
Daeng Lonto tersenyum. Pembawaannya nampak
tenang, seperti berusaha menunjukkan jiwa
kedaengannya, sebagai pemimpin adat yang arif dan
bijaksana.
"Daeng Ampra, dan kau Dewi Sandang, kuharap
menyerahlah!" pinta Daeng Lonto dengan tenang.
Matanya tajam, memandang kedua orang tua yang
telah mengkhianati ayahnya.
"Huh, kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Lonto!
Tidakkah kau tahu aku pamanmu?!" bentak Daeng
Ampra.
Daeng Lonto hanya tersenyum mendengar ucapan
Daeng Ampra.
"Kalian memang paman dan bibiku. Tapi
pantaskah aku membela orang jahat? Apalagi kalian
telah membunuh ayahku," kata Daeng Lonto.
"Nah, Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Kuharap
kalian menyerah," tambah Sena.
"Cuih! Lancang mulut kalian! Jangan kira karena
namamu membubung sampai langit, Daeng Ampra
akan takut!" dengus Daeng Ampra yang ditujukan
pada Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa dengan tubuh
melompat-lompat seperti kera. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Aha, aku
aku tidak menyuruhmu takut, Daeng. Tapi aku hanya
menyuruh kau dan Dewi Sandang sadar. Usia kalian
sudah lapuk."
"Bocah edan! Tutup mulutmu!" bentak Dewi
Sadang. "Kalau tidak, kuremukkan batok kepalamu!"
"Weh, galak sekali kau, Nyi? Ah, sungguh malang
nian kepalaku," seloroh Sena sambil mengelus
kepalanya. Sementara Mei Lie hanya menautkan alis
menyaksikan tingkah konyol pemuda pujaannya.
"Bedebah! Kurobek mulut usilmu, Pendekar Gila
Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Dewi Sandang yang ingin
menjajaki kehebatan ilmu Pendekar Gila melesat
menyerang. Tangan kirinya bergerak mencakar,
sedang tangan kanannya memukul ke dada lawan
dengan jurus 'Lampus Ganyang'. Sebuah jurus yang
mirip dengan gerakan seekor kucing berkelahi.
Melihat Dewi Sandang telah menyerang Pendekar
Gila, Daeng Ampra tidak tinggal diam. Dia segera
membuka serangan dengan jurus 'Sandung
Bangkala'. Gerakan tangan kakinya seperti seekor
musang yang berusaha menangkap seekor ayam. Kini
dia menyerang Daeng Lonto dan Mei Lie.
"Hiaaat..!"
Menyaksikan lawan menyerang, tubuh Daeng
Lonto dan Mei Lie segera melompat ke samping
untuk mengelakkan serangan tangan Daeng Ampra.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang.
Daeng Lonto dengan jurus 'Palangan Rajawali'nya,
sedangkan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Kencana
Mukti'.
Tangan Mei Lie bergerak lincah laksana seorang
putri yang menari-nari. Kakinya bergerak dengan
irama yang teratur dan indah. Namun jurus itu
sesungguhnya bukan jurus sembarangan. Jurus itu
sangat berbahaya jika diimbangj oleh Pedang
Bidadari yang berada di punggungnya.
"Heaaat..!"
Mei Lie dan Daeng Lonto menyerang bersamaan
dengan jurus-jurus andalan dari kanan dan kiri tubuh
Daeng Ampra. Hal itu membuat Daeng Ampra sedikit
kerepotan. Lawan yang menyerangnya ternyata bukan
orang sembarangan. Dia sebenarnya tahu akan hal
itu. tapi keadaannya sudah terjepit. Sulit baginya
untuk dapat meninggalkan pertarungan.
Tangan Mei Lie bergerak menyambar ke kepala
Daeng Ampra dengan cepat. Segera Daeng Ampra
merundukkan kepalanya dengan merendahkan
tubuh. Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya
diluruskan mendatar. Namun belum juga dia bisa
menghela napas lega, Daeng Lonto telah menyerang
ke wajah dan dadanya.
"Hiaaat..!"
"Uts!"
Daeng Ampra berusaha berkelit, tetapi Mei Lie
dengan cepat melakukan serangan susulan dengan
kaki menendang ke tulang rusuk lawan.
Daeng Ampra harus bergerak cepat menghadapi
dua lawan yang berilmu tinggi. Untung saja Mei Lie
tidak menggunakan pedangnya. Kalau saja Mei Lie
menggunakan pedang, tentu Daeng Ampra akan mati
kutu.
Kini Daeng Ampra menarik kaki kiri melebar ke
samping, kemudian dengan cepat bergerak
menyerang dengan kedua telapak tangan ke arah
kanan dada Mei Lie.
"Yiaaat..!"
Mei Lie tersentak. Cepat kakinya ditarik mundur
dua langkah ke belakang. Kemudian tubuhnya
diputar setengah lingkaran untuk mengelakkan
serangan lawan. Tangan kanannya dihantamkan ke
tangan lawan yang mengancam.
Melihat Mei Lie dalam kesulitan, Daeng Lonto tak
mau tinggal diam. Dia berkelebat mencabik dengan
cengkeraman rajawalinya ke arah Daeng Ampra.
Melihat itu, Daeng Ampra jadi mengurungkan niatnya
untuk menyerang Mei Lie. Kini dia berbalik
menyerang Daeng Lonto.
"Yeaaa...!"
Tangan Daeng Ampra menghentak ke wajah lawan,
mengejutkan Daeng Lonto. Dia berusaha menarik
serangannya. Tapi karena gerakan Daeng Ampra
begitu tiba-tiba, membuat langkahnya mati seketika.
Terpaksa Daeng Lonto memapaki serangan lawan.
"Yeaaa...!"
Blarrr!
Dua telapak tangan beradu. Daeng Lonto terpental
beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Daeng
Ampra tersurut tiga langkah ke belakang. Namun
Daeng Ampra cepat bangkit, dia kembali melabrak
Daeng Lonto. Tampaknya Daeng Ampra bermaksud
membunuh Daeng Lonto secepatnya.
"Mampuslah kau, Lonto! Hiaaat..!"
Daeng Lonto yang belum bisa berbuat apa-apa,
kini hanya mampu membelalakkan mata. Sulit
baginya untuk mengelakkan serangan lawan.
Melihat hal itu, dengan cepat Mei Lie mencabut
Pedang Bidadarinya. Dengan pekikan menggelegar,
tubuhnya berkelebat memapaki serangan Daeng
Ampra yang meluncur ke arah Daeng Lonto. Dengan
jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Arah Angin', Mei
Lie membabatkan pedangnya ke tangan lawan.
"Hiaaa...!"
Wut!
***
Daeng Ampra tersentak seketika, melihat pedang
bersinar merah kekuning-kuningan menebas
tangannya. Dia segera menarik kedua tangannya.
Lalu dengan bersalto, dia berusaha mengelakkan
serangan lawan.
Mei Lie yang masih dendam pada orang-orang
persilatan aliran hitam tak berhenti sampai di situ.
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung
Karang' dia kembali memburu Daeng Ampra.
Wut!
"Uts! Celaka...!" pekik Daeng Ampra semakin
terdesak oleh babatan Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie. Wajahnya agak pucat, menyaksikan jurus pedang
yang dilancarkan Mei Lie. Jurus itu bukan jurus
sembarangan. Jurus 'Pedang Bidadari' yang dikuasai
Mei Lie, merupakan jurus sakti yang sulit untuk
dielakkan.
Daeng Ampra terus berusaha mengelak, dengan
sesekali melancarkan serangan balasan. Dengan
menggunakan jurus 'Landung Gampyar' Daeng Ampra
berusaha menekan balik Mei Lie.
Sementara itu, Sena yang menghadapi Dewi
Sandang masih bertingkah laku konyol. Mulutnya
berteriak-teriak manakala Dewi Sandang menyerang
dengan tongkat berkepala tengkorak. Dari kepala
tongkat itu, keluar asap putih kehitam-hitaman yang
mengandung racun.
Beruntung sekali Sena telah kebal dari segala
macam jenis racun, sehingga dia tidak terpengaruhi
oleh asap beracun yang keluar dari kepala tongkat
Dewi Sandang.
Melihat lawan mampu bertahan terhadap
racunnya, Dewi Sandang bertambah marah. Dengan
mendengus, dilancarkannya jurus 'Patik Sewu'nya.
Tongkatnya bergerak buas dan bertambah cepat
hingga tampak menghilang.
"Ha ha ha...! Mengapa kau seperti orang
kesurupan, Nyi? Hi hi hi...!" seloroh Sena sambil
berjingkrak mengelakkan sambaran kepala tongkat
lawan.
"Remuk batok kepalamu! Hiaaat...!"
"Uts! Belum, Nyi. Aduh.... Galak sekali," gumam
Sena sambil melompat ke samping dengan tangan
memegangi kepala.
Kemudian dengan tingkah laku seperti kera,
Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila
Melempar Batu'. Kedua tangannya laksana melempr
batu dengan cepat, hingga menimbulkan deru angin
kencang.
"Jurus edan!" maid Dewi Sandang gusar, karena
serangannya seketika terhenti oleh hembusan angin
yang tercipta dari jurus yang dilakukan Sena.
Bergegas tongkatnya diputar, lalu dari putaran itu
bertiup angin yang keras. Itulah jurus 'Baling-baling
Pusar Angin'.
Wut!
"Kini kuremukkan kepalamu, Bocah Edan!
Yeaaah...!"
"Hi hi hi...! Kalau kau marah, wajahmu seperti
kambing tercebur di comberan, Nyi," ejek Sena sambil
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Dan diteruskan dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Lagi-lagi Dewi Sandang tersentak kaget mendapat
serangan yang begitu dahsyat. Setiap jurus yang
dilakukan oleh Pendekar Gila terlihat lamban dan
lemah, tapi kenyataannya sangat luar biasa dan
mengandung hawa panas disertai hembusan angin
kencang.
"Ilmu edan!" maki Dewi Sandang seraya ber-
lompatan ke kanan dan kiri, berusaha mengelakkan
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan kebingungan,
segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian
dengan cepat serangannya ditarik, lalu diganti
dengan tiupan maut sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras. Sena
mengarahkan kepala naga ke tubuh Dewi Sandang.
namun tiba-tiba niatnya diurungkan, manakala
teringat kalau Dewi Sandang adalah urusan Daeng
Lonto.
"Menyerahlah, Nyi. Semoga kau akan mendapat
ampunan!" kata Pendekar Gila, berusaha menyadar-
kan wanita tua berpakaian minim itu.
"Cuih! Pantang bagi Dewi Sandang menyerah! Kita
tentukan, siapa di antara kita yang akan mampus!
Terimalah ajian 'Karang Jalna'ku. Hiaaat...!"
Wusss!
Dari telapak tangan Dewi Sandang, membersit
selarik sinar pelangi ke arah Pendekar Gila. Sinar itu
bergulung-gulung dengan cepat, berusaha mem-
bungkus tubuh Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Sena segera meniup sulingnya.
Kepala naga di Suling Naga Sakti diarahkan ke sinar
pelangi yang hendak melumpuhkannya. Dari
sepasang mata kepala naga itu, seketika melesat dua
sinar merah ke arah sinar yang dikerahkan oleh Dewi
Sandang.
Glarrr...!
"Ukh...!" Dewi Sandang mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Dan tak berapa lama
kemudian.... "Hoeeek...!" Dewi Sandang memuntah-
kan darah hitam. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Sedangkan matanya membelalak tegang.
"Kuharap kau mau menyerah, Nyi," kata Sena
berusaha menyadarkan Dewi Sandang.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!"
Dengan nekat Dewi Sandang kembali menyerang
Pendekar Gila dengan ajian pamungkasnya yang
bernama 'Karang Jalna'.
Menyaksikan kenekatan wanita tua itu, bergidik
juga hati Pendekar Gila. Sebenarnya kematian wanita
tua itu tidak dikehendakinya. Tapi jika dia hanya
diam, maka dialah yang akan tewas. Terpaksa
Pendekar Gila menyambutnya.
"Pukulan 'Inti Salju'. Heaaa...!"
Wusss!
Sena merentangkan tangannya lebar-lebar. Lalu
dengan jari-jari tangan membuka, tangannya
digerakkan ke atas seperti mengumpulkan sesuatu.
Saat itu langit seketika mendung dan gelap. Ketika
tangan Sena mendorong ke depan, salju turun dari
atas dengan deras. Anehnya, salju itu hanya
menghujani tubuh Dewi Sandang. Tanpa ampun,
tubuh Dewi Sandang membeku ketika tertutup oleh
es yang memadat.
Di sisi lain, Mei Lie yang menyerang Daeng Ampra
semakin marah karena sejak tadi serangannya belum
juga mendapatkan hasil. Dengan jurus pamungkas
yang bernama 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie
kembali menyerang.
"Hiaaa...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak cepat,
menyilang ke samping kanan, kemudian lurus ke
depan. Dilanjutkan dengan menyilang ke kiri, lalu
lurus lagi. Pada saat dekat dengan tubuh lawan, Mei
Lie mengangkat pedangnya tanggi-tinggi. Dan....
Wut!
Srrrt!
"Aaa...!"
Daeng Ampra memekik ketika dari kepala sampai
ke bawah tubuhnya dibelah oleh Pedang Bidadari
dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sesaat tubuh..
Daeng Ampra mematung. Tubuhnya masih utuh bagai
tidak terkena tebasan. Hal itu membuat Daeng Lonto
dan Sena membelalakkan mata. Keduanya malah
terbengong-bengong menyaksikan kejadian yang
aneh itu.
Belum juga hilang rasa kaget Sena dan Daeng
Lonto, untuk kedua kalinya mereka dibuat terpana.
Ketika angin bertiup kencang, tiba-tiba tubuh Daeng
Ampra beterbangan bagai tepung!
"Wah?!" seru Sena dengan mulut menganga
bodoh.
"Ck ck ck...! Bukan sembarangan ilmu pedang,"
puji Daeng Lonto sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Maaf, aku terpaksa," sesal Mei Lie.
"Tak apa, Mei Lie. Mungkin hanya kematianlah
yang bisa menghentikan mereka," kata Daeng Lonta
"Semua tugasku telah selesai. Aku harus segera
pulang ke Sulawesi. Kuharap kalian bisa bertandang
ke sana."
"Semoga, Daeng. Jika ada umur panjang," ucap
Pendekar Gila dan Mei Lie berbareng.
"Sampaikan salamku pada semua pendekar di
tanah Jawa Dwipa ini, Sena. Aku mohon pamit"
Daeng Lonto menjura, dibalas oleh Sena dan Mei
Lie. Kemudian, Daeng Lonto pun meninggalkan kedua
muda-mudi yang mengikutinya dengan pandangan
mata penuh persahabatan.
Ketika tubuh Daeng Lonto memupus di titik
pandang terjauh, mentari telah tersungkur di
pangkuan senja. Dan satu kejadian dalam lembaran
waktu telah usai, sementara dua insan yang terpatri
dalam kesatuan kasih tengah berdiri tanpa kata.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menatap penuh arti pada Mei Lie yang
segera memeluk tubuh pemuda pujaan hatinya.
Perlahan-lahan wajah keduanya mendekat dan
semakin dekat, lalu Mei Lie merebahkan kepalanya di
dada Sena. Kedua insan itu kemudian menyatu
dalam debar cinta, melebur dalam denting dawai asmara.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar