TENGKORAK DARAH
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Tengkorak Darah
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Kerajaan Bumi Wandra yang terletak di perba-
tasan wilayah timur Pulau Dewata berdiri dengan me-
gah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja berusia
hampir enam puluh delapan tahun yang bernama Brah
Salagatri. Raja Brah Salagatri mempunyai seorang
permaisuri yang masih muda dan cantik bernama De-
wi Sekaton Ayu. Anaknya yang cantik dan menginjak
dewasa bernama Dyah Ayu Sawang Sari
Sebelum menjadi raja, Brah Salagatri merupa-
kan pangeran yang tampan. Dia pernah menjalin hu-
bungan cinta dengan wanita bernama Rubiati. Hubun-
gan gelap itu akhirnya membuat Rubiati hamil. Namun
sejak itu, Brah Salagatri tidak pernah menjenguk ke-
kasihnya lagi.
Tiga puluh tahun sudah kejadian itu berselang
tanpa terasa. Selama itu, Brah Salagatri tak pernah
mendengar kabar berita tentang kekasihnya. Setelah
dia menikah dengan anak Raja Banyu Wangi bernama
Dewi Sekaton Ayu, dia lupa sama sekali dengan keka-
sihnya.
Malam itu angin menderu kencang bagai akan
datang badai besar. Hawa dingin terasa menggigit
hingga ke tulang sumsum. Rintik air hujan yang turun
dari langit membuat suasana semakin terasa dingin
bagi siapa pun yang malam itu belum tidur.
Desa Karapan nampak sepi, hanya terlihat em-
pat peronda sedang melakukan tugas. Keempatnya
tengah duduk berbincang di gardu sambil menghisap
rokok kawung. Tubuh mereka berselimut kain sarung.
Hanya wajah mereka saja yang terlihat, jika api rokok
membesar kala dihisap.
Hujan rintik-rintik terus meluncur dari langit,
seakan tak bakal berhenti. Rasa dingin semakin
menghebat, ditambah oleh angin kencang yang mende-
ru bagai hendak datang badai.
"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gu-
mam Kapri mengeluh. Matanya memandang nanar ke
depan. Pada gelap yang menghampar. Lelaki itu bertu-
buh pendek, wajah bulat, dan hidung pesek serta tahi
lalat di bawah matanya.
"Entahlah. Padahal saat ini musim kemarau,"
sahut Jalnoto. Berbeda dengan Kapri, Jalnoto bertu-
buh tinggi dan padat. Wajahnya tampan, dengan hi-
dung mancung. Kumis tipis menghiasi atas bibirnya.
Matanya tajam jika memandang.
"Ya, begitulah alam. Siapa pun tak tahu apa
yang akan terjadi. Hanya Sang Hyang Widi saja yang
mengerti," kata Pilan berusaha menenangkan hati ke-
dua temannya. Pilan bertubuh kurus dan wajahnya
agak pucat, tapi menggambarkan ketenangan. Kumis-
nya panjang dengan cambang pendek, sedang matanya
terlihat sayu.
"Tapi hujan ini aneh, Lan," tukas Bawul, lelaki
berbadan agak gemuk dengan perut agak buncit. Wa-
jahnya persegi dengan kumis lebat dan jenggot tebal.
Begitu juga dengan alisnya, tumbuh tebal di bawah
keningnya yang lebar. "Bulu kudukku sampai merind-
ing. Jangan-jangan...;"
Bawul tak meneruskan kata-katanya. Matanya
memandang tegang ke sekeliling gardu yang tampak
sepi dan gelap, membuat bulu kuduknya meremang.
"Jangan-jangan kenapa, Wul?" tanya Jalno pe-
nasaran karena temannya tidak meneruskan ucapan-
nya.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bawul, meng-
hindar.
"Setan maksudmu?" terka Kapri.
Bawul hanya mengangguk kecil. Matanya ma-
sih melirik-lirik tegang ke sekelilingnya yang gelap dan
mencekam. Apalagi angin menderu semakin kencang.
Bulu kuduknya kian meremang hebat.
Kapri tertawa kecil. Tawanya terdengar sum-
bang karena dipengaruhi suasana yang mencekam.
Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun
dia berusaha menekan rasa takutnya sedalam mung-
kin.
"Wul... Wul, kamu ini kayak anak kecil saja,"
gumam Kapri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah besar kok masih takut sama setan," godanya
kemudian.
"Bukan begitu, Pri. Bulu kudukku memang
berdiri. Dan..., heh..., bau kemenyan, Pri!" desis Bawul
tiba-tiba. Tubuhnya bergidik seketika, manakala hi-
dungnya mencium bau kemenyan yang menyengat.
Seperti ada orang yang membakar dupa.
Hidung ketiga temannya mengendus-ngendus,
berusaha mencium bau kemenyan. Dan seketika keti-
ganya merasakan bulu kuduk meremang ketika hi-
dung mereka juga mencium bau kemenyan yang me-
nyengat. Ditambah lagi dengan wangi bunga kamboja,
mengingatkan mereka pada tanah pekuburan.
"Benar, Wul. Bau kemenyan dan bunga kambo-
ja," kata Jalno dengan mata membelalak.
"Hiii.... Sepertinya ada setan," Pilan bergidik
dengan muka pucat. Mereka rasanya ingin lari me-
ninggalkan gardu ronda, namun suasana di luar gardu
sangat menyeramkan. Kegelapan yang menghampar,
disertai rintik hujan dan deru angin seperti desah na-
pas seribu mambang. Belum tentu mereka akan te-
nang kalau lari.
Tubuh keempat peronda itu menggigil ketaku-
tan, apalagi ditambah rasa dingin yang semakin meng
gigit. Saat itu rintik gerimis bertambah deras. Sedang
angin bertiup semakin kencang.
Tubuh keempat peronda itu kini meringkuk da-
lam ketakutan. Hanya mata mereka saja yang berge-
rak-gerak, memandang tegang ke sekelilingnya yang
sunyi dan sepi. Benar-benar mencekam perasaan dan
mengusik bulu kuduk mereka.
Wusss!
Krak!
Mata keempat peronda itu membelalak, ketika
terdengar hembusan asap dan retaknya tanah. Seakan
dari dalam tanah di sekeliling gardu ronda akan mun-
cul sesuatu.
Wusss!
Krak!
Asap tebal keluar dari dalam tanah berjarak li-
ma tombak di depan gardu. Gumpalan asap itu tidak
hanya satu, tapi ada sepuluh. Tanah di mana asap itu
mengepul, merekah pecah. Seakan ada makhluk dari
dalam tanah yang hendak keluar.
Mata keempat peronda itu memandang dengan
pandangan tegang, tak berkedip ke arah sepuluh gum-
palan asap yang membubung keluar dari retakan ta-
nah. Bulu kuduk mereka semakin meremang. Tubuh
mereka menggigil ketakutan.
Asap putih kehitam-hitaman yang tebal itu per-
lahan-lahan berubah warna. Semakin lama, asap itu
menjadi berwarna merah darah. Lalu membentuk so-
sok-sosok yang mengerikan. Sosok manusia wajah
tengkorak berjubah panjang dengan kerudung warna
merah darah.
"Tengko..., tengkorak hidup," ucap Bawul terba-
ta-bata. Matanya semakin membelalak tegang, me-
nyaksikan beberapa ujud yang muncul di hadapannya.
Ujud menyeramkan yang membuat jantungnya hampir
berhenti berdetak.
"Se...., setan...!" pekik Jalno.
"Wua...! Teng..., korak hidup...!" jerit Kapri. Tu-
buh keempat peronda itu kini saling merapat ketaku-
tan. Tak ada yang berani lari, karena sepuluh makhluk
merah bermuka tengkorak berdiri di hadapan mereka.
Bahkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu kini
kian mendekat. Sepertinya makhluk-makhluk bermu-
ka tengkorak itu hendak melakukan sesuatu terhadap
keempat peronda yang semakin bertambah ketakutan
itu.
Kesepuluh manusia bermuka tengkorak itu per-
lahan mengelilingi gardu ronda, membuat keempat pe-
ronda bertambah ketakutan. Terlebih saat mata mere-
ka memandang wajah makhluk bermuka tengkorak
yang berlumuran darah dan tampak menyeringai se-
ram.
"To..., tolooong...!" pekik keempat peronda itu
ketakutan. Mereka saling merangkul satu sama lain,
dengan wajah pucat pasi tanpa darah.
Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu ber-
bicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu da-
ri mereka menunjuk ke arah Jalno yang berwajah pal-
ing tampan di antara keempat peronda tersebut. Se-
dang-kan makhluk lain di sampingnya mengangguk-
angguk, seakan menyetujui apa yang dikatakan re-
kannya. Kemudian makhluk bermuka tengkorak yang
mengangguk-angguk tadi memerintah anak buahnya
untuk menangkap Jalno.
"Tidak! Jangan...!" jerit Jalno, berusaha meno-
lak ketika dua makhluk berwajah tengkorak maju ke
arahnya dan siap menangkap.
Kedua makhluk merah bermuka tengkorak se-
perti tidak peduli dengan teriakan Jalno. Keduanya se-
gera mencengkeram tangan Jalno dan menyeret tu
buhnya.
"Jangan...!" teriak Jalno seraya berusaha beron-
tak. "Tolooong...!"
Ketiga temannya kebingungan. Mereka tidak
tahu harus berbuat apa untuk menolong Jalno. Se-
dangkan mereka sendiri dalam ketakutan luar biasa
yang mengganyang nyali masing-masing. Tubuh keti-
ganya menggigil. Tak ada yang berani melangkah un-
tuk menolong Jalno, karena makhluk merah bermuka
tengkorak yang lain masih mengepung mereka.
Saking takutnya, ketiga lelaki itu terkencing-
kencing. Wajah mereka sepucat kapas. Dan bulu-bulu
halus di tengkuk mereka seperti hendak lepas, tegang
menyaksikan kengerian di depan mata mereka.
Wesss!
Tiba-tiba makhluk-makhluk bermuka tengko-
rak yang membawa Jalno berubah kembali menjadi
asap. Lalu terdengar suara pecahnya tanah di sekitar
gardu. Bersamaan dengan itu, tubuh makhluk-
makhluk menyeramkan yang membawa Jalno menghi-
lang.
"Hah?!" ketiga pasang mata peronda yang keta-
kutan itu membelalak, karena rasa takut dan takjub
yang campur aduk melihat kejadian yang aneh itu.
"Toloong.,.! Setan..!"
Akhirnya mereka lari tunggang-langgang, sam-
bil berteriak-teriak tak karuan.
"Tolong ada setan...! Tolong...!"
Warga Desa Karapan yang mendengar teriakan
para petugas ronda langsung keluar. Mereka ingin ta-
hu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Karapan tu-
rut keluar.
"Ada apa, Bawul, Kapri, Pilan? Seperti orang di-
kejar setan saja kalian jejeritan di malam begini?"
tanya Ki Walapaya, lelaki tinggi kurus berpakaian war
na abu-abu tua dengan lengan panjang. Wajahnya
angker berhias kumis tebal melintang. Lelaki berusia
sekitar lima puluh lima tahun ini adalah kepala Desa
Karapan.
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Jalno,"
lapor Pilan.
Semua orang membelalak, mendengar berita
yang baru disampaikan Pilan. Namun Ki Walapaya
seakan tidak percaya dengan cerita itu, malah dengan
mendengus Ki Walapaya membentak.
"Kau jangan main-main, Pilan?"
"Benar, Ki," seta Bawul. "Lihat, kami sampai
terkencing-kencing begini."
Bawul menunjuk ke selangkangannya. Celana
panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup
dengan bau pesing yang tidak ketulungan. Begitu juga
dengan Pilan dan Kapri.
Semua warga yang melihat ketiga peronda itu
ngompol, seketika tertawa riuh-rendah. Membuat ke-
sunyian malam seketika pecah menjadi gelak tawa.
Saat itu juga, tiba-tiba dari arah rumah Ki Lu-
rah Karapan terdengar jeritan seorang wanita.
"Tolong! Tolooong...!"
***
Ki Walapaya dan warga desa yang mendengar
jeritan menantu Ki Walapaya seketika berlarian ke
arah rumah kepala desa itu. Mereka menemukan be-
berapa makhluk bermuka tengkorak menyeramkan
tengah membawa tubuh Samikantra, anak Ki Lurah
yang baru menikah dua bulan lalu dengan Prawanti.
"Setan! Setan tengkorak...!" jerit warga ketaku-
tan, menyaksikan makhluk-makhluk bermuka tengko-
rak berlumuran darah tengah berusaha membawa
anak Ki Lurah.
Menyaksikan hal itu, Ki Walapaya yang tidak
ingin anaknya dibawa oleh makhluk-makhluk menye-
ramkan segera menghadang kesepuluh manusia ber-
muka tengkorak.
"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki Wa-
layapa dengan keras, seperti tidak takut sedikit pun
terhadap sosok-sosok makhluk yang kini memandang
dengan wajah mengerikan ke arahnya.
Salah satu makhluk bermuka tengkorak meng-
gerakkan tangannya, seperti memerintah anak buah-
nya untuk membereskan Ki Walapaya.
"Hng!"
Tiga makhluk itu maju menghadapi Ki Lurah
yang masih tegak berdiri dengan mata memandang ta-
jam. Tampaknya Ki Lurah belum yakin kalau mereka
itu sungguh-sungguh setan.
"Buka kedok kalian! Jangan kira aku takut
menghadapi kalian!" dengus Ki Walapaya, memerintah
tiga makhluk yang perlahan mendekat untuk membu-
ka kedoknya. Tapi ketiganya tidak terlihat akan mem-
buka kedoknya, malah mereka menggeram marah.
"Hng!"
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu seketi-
ka menyerang berbareng ke arah Ki Walapaya. Tangan
mereka yang hanya tulang belulang berkuku panjang
dan runcing, mencakar Ki Walapaya. Mendadak Ki Lu-
rah tersentak setelah melihat kalau makhluk-makhluk
itu memang bukan manusia.
"Tengkorak hidup...!" pekiknya, seraya menge-
lakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih
membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan
yang ada.
Warga Desa Karapan yang melihat tangan
makhluk bermuka tengkorak yang hanya tulang belu
lang, seketika menjerit ketakutan. Mereka langsung la-
ri potang-panting. Terlebih-lebih ketiga peronda yang
sebelumnya telah melihat. Mereka lari sipat kuping ba-
gai dikejar setan-setan tengkorak itu.
"Tolong! Setan tengkorak tolooong...!"
Jeritan warga seketika menggema memecah ke-
sunyian malam. Kini tak ada lagi warga yang berani
membantu Ki Walapaya menghadapi makhluk tengko-
rak berdarah yang tengah bertarung dengan kepala de-
sanya.
Ki Walapaya kini menghadapi ketiga tengkorak
seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga
makhluk yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris
yang tadi terselip di pinggangnya. Dengan keris
'Simbang Mega' yang mengeluarkan sinar hijau, Ki Wa-
lapaya meladeni gempuran ketiga siluman tengkorak
darah dengan jurus 'Kembaran Mega Berarak'.
"Heaaa...!"
Keris 'Simbar Mega' di tangan Ki Walapaya ber-
gerak cepat menusuk dada salah satu siluman tengko-
rak darah dengan cepat. Kilatan cahaya hijau itu terus
menyeruak, berusaha menekan ketiga lawannya.
Sementara itu, siluman tengkorak darah yang
membawa anak Ki Walapaya kini telah raib entah ke
mana, setelah berubah ujud menjadi kepulan asap lalu
menyusup ke dalam tanah retak. Hal itu memaksa ma-
ta Ki Walapaya membelalak lebar, tegang menyaksikan
kejadian aneh itu. Kejadian yang tidak masuk akal ba-
gi dirinya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan sema-
ta, tanpa mengerti ilmu gaib.
Tusukan keris di tangan Ki Walapaya yang ke-
ras, seperti dibiarkan oleh salah satu makhluk bermu-
ka tengkorak darah. Tak ayal lagi....
Jlep!
Keris 'Simbar Mega' menghujam dada makhluk
bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menembus
ke dalam, seperti disedot oleh sebuah kekuatan. Hal
itu membuat Ki Walapaya tersentak kaget
"Akh! Mengapa kerisku tertarik ke dalam?!" pe-
kik Ki Walapaya kaget Dia berusaha menarik keluar
kerisnya dari tubuh siluman tengkorak, namun tu-
buhnya malah ikut tertarik oleh kekuatan aneh di tu-
buh siluman tengkorak darah. Ki Walapaya bertambah
tegang. Apalagi saat sekujur tubuhnya merasakan pa-
nas menyengat, bagai ada api yang menyambar.
Ki Walapaya berusaha sekeras mungkin agar
dapat menarik kerisnya yang menancap pada dada la-
wan. Namun keris itu bagai melekat keras sekali pada
tubuh lawan dan sulit untuk ditarik. Sebaliknya tubuh
Ki Walapaya perlahan-lahan disedot oleh tubuh lawan.
"Akh!" jerit Ki Walapaya.
"Hng!"
Makhluk bermuka tengkorak menggeram keras.
Pada saat itu, bagian tubuhnya yang terhujam keris Ki
Walapaya tampak bersinar hijau. Sinar itu terus mem-
besar, hingga akhirnya menyelimuti sekujur tubuh
makhluk itu lalu mulai merambat ke tangan Ki Wala-
paya.
"Wuaaa...!" Ki Walapaya menjerit setanggi langit
ketika tubuhnya tersengat oleh sinar hijau yang keluar
dari tubuh makhluk bermuka tengkorak. Seperti sen-
gatan arus listrik kuat yang menyambar tubuhnya.
Ki Walapaya berusaha melepaskan keris yang
menancap di tubuh lawan, tapi tangannya bagai telah
melekat erat pada keris itu. Sehingga sangat sulit ba-
ginya untuk dapat melepaskan keris tersebut. Semakin
kuat dia berontak, semakin lengket tangannya pada
gagang keris. Semakin kuat pula tarikan aneh dari da-
lam tubuh makhluk bermuka tengkorak.
"Hng!"
"Hik hik hik!"
"Wuk wek wek!"
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu berkata
dengan bahasa mereka yang sulit dimengerti oleh Ki
Walapaya. Sementara Ki Walapaya terus berusaha me-
lepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun te-
naga dalamnya tak mampu melepaskan tangan yang
melekat pada gagang keris. Tenaga dalamnya malah
tersedot habis.
"Ukh!" Ki Walapaya mengeluh lirih. Wajahnya
semakin pucat-pasi setelah tenaga dalamnya terkuras
habis. Matanya membelalak tegang jiwanya diseret ke
dalam saat-saat sekarat, "Wuaaa...!"
Dengan jeritan yang terakhir, Ki Walapaya ak-
hirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan
keadaan mengerikan. Tubuhnya pucat-pasi bagai tak
berdarah. Matanya mendelik mengerikan.
"Wuk wek wek!"
"Wsss ngik!"
Kedua makhluk bermuka tengkorak darah
lainnya mengangguk. Seakan memerintah temannya
untuk melepaskan korban yang telah kehilangan nya-
wanya.
"Hng!"
Usai melepaskan tubuh Ki Walapaya, ketiga
makhluk bermuka tengkorak darah itu menjatuhkan
sesuatu dari tangannya yang tepat menimpa wajah Ki
Walapaya. Sebuah gambar tengkorak dengan warna
merah terbuat dari darah!
Wsss!
Krak!
Tubuh ketiganya berubah menjadi kepulan
asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menyusup
ke dalam tanah.
DUA
"Mayat..! Mayat..!" teriak seorang petani muda
berusia sekitar tujuh belas tahun dengan wajah keta-
kutan sambil berlari-lari meninggalkan tempat di mana
dua mayat telanjang tergeletak dalam keadaan menge-
rikan. Tubuh kedua mayat tak jelas ujudnya, karena
dirubung oleh hewan-hewan berbisa.
Warga Desa Sela Kapilu langsung gempar oleh
jeritan pemuda tanggung itu. Segera semua warga ber-
duyun-duyun datang untuk melihat apa yang terjadi.
Mereka serentak melangkah menuju ke perbatasan
Desa Sela Kapilu dengan Desa Karapan. Orang-orang
Desa Karapan yang mendengar kejadian itu ikut da-
tang. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi korban.
Warga Desa Karapan yang baru saja berduka
atas kematian lurah mereka, menjadi marah setelah
tahu kalau korban mengerikan yang tergeletak di per-
sawahan kering di batas Desa Karapan dengan Desa
Sela Kapilu adalah peronda dan anak Ki Lurah.
"Jelas ini perbuatan warga Desa Sela Kapilu...,"
kata seorang warga Desa Karapan menuduh.
"Ya! Buktinya kedua korban ada di tempat ini,"
sambung rekannya.
"Mungkin ada yang menganut ilmu sesat di De-
sa Sela Kapilu!" tambah yang lain semakin menusuk.
"Kita serang saja!" timpal warga desa yang lain.
Mendengar ribut-ribut warga Desa Karapan,
warga Desa Sela Kapilu yang merasa dituduh seketika
menjadi gusar. Mereka yang tidak merasa melakukan
hal itu, langsung membentak marah.
"Enak saja kalian menuduh!" hardik Wakil Ke-
pala Desa Sela Kapilu marah. "Apa buktinya kalian
menuduh warga kami yang melakukan semuanya?!"
"Mayat-mayat ini! Tidak mungkin kalau bukan
warga Desa Sela Kapilu yang melakukannya. Buktinya
mayat-mayat ini ada di perbatasan!" tak kalah sengit
Wakil Kepala Desa Karapan membentak.
"Kurang ajar! Fitnah! Tak pernah warga Desa
Sela Kapilu berbuat keji seperti itu! Mungkin warga de-
samu yang melakukan semuanya! Lalu kami yang kini
di-jadikan kambing hitam!"
"Sembarangan kau berkata, Pronco!" dengus
Pabean, Wakil Kepala Desa Karapan. Lelaki kurus ber-
wajah garang itu semakin gusar. Bagaimana tidak? Be-
lum juga hilang rasa dukanya atas kematian kepala
desa, kini dua warga desanya ditemukan dalam kea-
daan yang mengerikan. "Bagaimanapun juga, wargamu
patut dicurigai."
"Setan alas!" bentak Pronco tak mau kalah. Le-
laki pendek dan berbadan gemuk itu melotot garang.
"Sembarangan kau berkata! Kami Warga Desa Sela
Kapilu tak pernah berbuat sehina itu! Tak seperti war-
ga desamu yang suka buat gara-gara!"
"Bedebah! Serang Desa Sela Kapilu!" perintah
Pabean.
"Yeaaa!"
Warga Desa Karapan dengan senjata seadanya
serentak bergerak maju untuk melakukan serangan
terhadap warga Desa Sela Kapilu.
Menyaksikan warga Desa Karapan hendak me-
nyerang, Pronco pun tak tinggal diam. Dia segera ber-
seru lantang, menyuruh warga desanya untuk mem-
bendung serangan lawan.
"Hadang warga Desa Karapan! Serang...!"
"Yeaaa!"
"Hancurkan...!"
Warga Desa Sela Kapilu dengan senjata yang
sederhana pun merangsek menyerang. Pertempuran
yang seharusnya tidak perlu terjadi akhirnya berkobar.
Keduanya sama-sama tak sudi dituduh dan sama-
sama tak mau mengalah.
"Aku lawanmu, Pronco!" bentak Pabean sambil
berkelebat menghadang Pronco yang mengamuk den-
gan senjata clurit di tangannya yang telah menjatuh-
kan beberapa korban. Begitu pula dengan Pabean,
dengan senjata keris dia telah membunuh beberapa
warga Desa Sela Kapilu.
"Bagus! Kita tentukan siapa di antara kita yang
memang tinggi ilmunya!" sambut Pronco sambil me-
lompat, menjauhi warga Desa Karapan.
"Bersiaplah untuk mampus, Pronco!"
"Kau yang mesti bersiap ke neraka!"
"Yea!"
"Yea!"
Kedua pemimpin warga desa kini berkelebat
menyerang dengan senjata tradisional. Clurit di tangan
Pronco bergerak menyambar-nyambar dengan jurus-
jurus 'Babat Raga' yang cepat dan mengarah pada
tempat-tempat yang mematikan.
Swit!
"Uts!"
Pabean mengelakkan sabetan Clurit lawan den-
gan cara merundukkan tubuh ke bawah, lalu meng-
geser kaki ke samping. Kemudian dengan cepat, ditu-
sukkan kerisnya ke lambung lawan yang tengah con-
dong ke arahnya dengan jurus 'Patukan Semut Merah'.
Wettt!
"Yea!"
"Uts! Hop...!"
Pronco dengan cepat mengelit ke samping,
hingga keris di tangan Pabean hanya meleset beberapa
senti di samping tubuhnya. Kemudian dengan cepat
Pronco mengerahkan kaki kanannya ke muka lawan
dengan tendangan 'Sampul Silang'.
Wettt!
"Yeaaa!"
Cepat-cepat Pabean menggeser kaki ke samping
kanan. Dengan tubuh setengah doyong dikelitkannya
tendangan lawan. Kemudian dengan cepat, diajukan
jotosan tangan kirinya ke selangkangan lawannya.
"Yeaaa!"
Pronco tersentak kaget mendapatkan serangan
yang datang tiba-tiba itu. Cepat-cepat kakinya ditarik
ke belakang, kemudian dengan cepat pula tubuhnya
mundur dua tindak ke belakang sambil membabatkan
cluritnya ke tangan lawan.
"Heaaa!"
Wettt!
Pabean tersentak. Segera jotosannya ditarik un-
tuk menghindari sabetan clurit lawan. Kemudian sece-
pat kilat kerisnya ditusukkan ke perut lawannya yang
buncit
Trang!
Dua senjata beradu, menimbulkan dentingan
keras. Kemudian tubuh keduanya melompat ke bela-
kang. Mata mereka saling pandang dengan tajam, be-
rusaha mengukur kemampuan masing-masing. Den-
gan sudut mata mereka memperhatikan setiap gerak-
gerik lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Beriring pekikan menggelegar, keduanya kem-
bali bergerak merangsek. Clurit di tangan Pronco ber-
suit-suit mencari sasaran. Sedangkan keris di tangan
Pabean bergerak ganas mengarah ke perut lawan.
Trang!
"Heaaa!"
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk
dapat mengalahkan lawan masing-masing. Senjata me-
reka bergerak mencari sasaran yang mematikan di tu-
buh lawan. Namun masing-masing rupanya memiliki
ketangkasan yang cukup hebat dalam mengelakkan
serangan lawannya.
Sementara itu, telah banyak korban yang jatuh
di kedua belah pihak yang tengah bertarung. Tapi me-
reka seperti tidak akan menghentikan pertumpahan
darah yang sia-sia itu. Keduanya masih memperta-
hankan pendapat mereka, meski harus mereka bayar
dengan darah atau nyawa.
Benturan senjata dan jerit kematian dari kedua
belah pihak kerap kali terdengar. Namun semuanya ti-
dak membuat mereka jera, membuat mereka justru
semakin telengas dan bernafsu untuk membunuh la-
wan.
Saat pertarungan berlangsung kian seru, tiba-
tiba terdengar bentakan keras dari seorang lelaki. Ben-
takan keras itu, cukup membuat semua orang yang
bertarung seketika menghentikan pertarungan mereka.
"Berhenti...!"
Seorang lelaki tua dengan sorban di kepala ser-
ta berjubah putih sampai ke mata kaki, nampak me-
langkah menuju warga kedua desa yang mendadak
menghentikan pertumpahan darah itu. Seketika mere-
ka yang ada di tempat itu menjura memberi hormat.
Termasuk Pronco dan Pabean.
"Selamat datang, Ki Gede," hatur keduanya
dengan ramah.
"Hm...," Ki Gede Mantingan menggumam tak je-
las. Matanya memandang tajam pada orang-orang
yang menundukkan kepala di hadapannya, seakan le-
laki tua itu tak suka pada tindakan bodoh mereka
yang terlalu terburu nafsu.
Ki Gede Mantingan, lelaki berusia sekitar enam
puluh delapan tahun berjenggot putih panjang pera-
wakannya tinggi. Dilengkapi wajah yang penuh kete-
nangan. Dia menyapukan pandangannya ke segenap
penjuru tempat itu.
"Apa kalian semua sudah dirasuki iblis?!" seru
Ki Gede Mantingan dengan suara lantang dan penuh
wibawa. Matanya masih memandang tajam ke seluruh
warga desa yang menundukkan kepala kian dalam.
"Bukan begini cara menyelesaikan masalah! Kalian te-
lah lupa dengan ajaran yang telah kuberikan?!"
Semua tergugu dalam diam. Tak seorang pun
berani mengangkat kepala. Apalagi mengadu pandang
dengan Ki Gede Mantingan.
Orang tua itu merupakan guru besar di desa
mereka, yang senantiasa mengajari mereka norma-
norma agama yang setarap dengan Brahmana. Sese-
puh yang dihormati dan dihargai oleh semua warga
kedua desa itu.
"Kalian mestinya bisa menjaga emosi! Jangan
grusa-grusu, karena sikap seperti itu hanya sikap dan
tindakan-tanduk setan!" kembali Ki Gede Mantingan
berkata. Suaranya masih tegas dan penuh kewiba-
waan. "Kalau sudah begini, siapa yang rugi?!"
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka
suara sepatah kata pun. Kepala mereka semakin me-
nunduk dalam-dalam. Tanpa terasa air mata mereka
berlinang. Tampaknya semua warga kedua desa itu
menyesali tindakan mereka yang tidak berlandaskan
akal sehat
Ki Gede Mantingan menghela napas panjang.
Ditengadahkan wajahnya ke langit mencari jawaban
tentang watak manusia yang terkadang sulit dipahami.
Kemudian terdengar desah napasnya yang terasa be-
rat.
"Bencana apa yang telah melanda desa kalian?
Ini yang perlu kalian pikirkan! Bukan main saling tu-
duh dan saling bunuh seperti binatang!" sambungnya
lagi. "Kalian manusia yang diberi akal dan pikiran oleh
Sang Hyang Widi."
Kebisuan terus menyelimuti warga kedua desa
yang habis bertarung itu.
Dari arah Desa Sela Kapilu, Ki Lurah Jarang
Lanang berlari-lari ke arah mereka. Seketika Ki Lurah
Jarang Lanang menjura, melihat Ki Gede Mantingan.
"Ampun, Ki Gede. Kami mohon ampun atas ke-
jadian ini," mohonnya mengiba sambil terus menjura.
"Saya sedang menemui Kanjeng Wedono, jadi tidak ta-
hu masalahnya sama sekali."
"Tak ada yang salah, Ki Lurah," jawab Ki Gede
Mantingan pada orang tua berpakaian adat Jawa den-
gan wajah bersih tanpa kumis dan cambang bawuk.
Tubuh lelaki tua itu gemuk. Beruntung agak tinggi,
hingga tidak terlihat bulat. Blankon di kepalanya ter-
balik. Mungkin Ki Lurah Jarang Lanang terburu-buru
setelah mendengar dari warganya tentang kejadian ter-
sebut
"Saya khawatir, Ki Gede. Takut kalau salah pa-
ham ini akan berlarut-larut," kata Ki Lurah Jaran La-
nang dengan wajah menunjukkan kekhawatiran.
"Tak akan, Ki. Asal kedua belah pihak saling
mengerti dan menyadari. Ini bukan perbuatan manu-
sia, tapi iblis! Maka, kuharap kalian waspada. Kemarin
malam, Desa Karapan yang mengalami musibah. Siapa
tahu nanti malam justru Desa Sela Kapilu yang terke-
na musibah."
Semua diam terpekur tak ada yang berkata.
Suasana menjadi sepi sesaat di perbatasan ke-
dua desa itu. Kemudian Ki Gede Mantingan kembali
melanjutkan. "Penjagaan harus diperketat. Kalian ha-
rus ingat itu. Adakan perondaan setiap malam, agar
jangan sampai kecolongan."
"Baik, Ki Gede...!" serentak mereka menjawab.
"Sekarang bubarlah. Urus yang mati. Jalinlah
tali kasih dan persaudaraan!"
Setelah memberi petuah, Ki Gede Mantingan
pun berlalu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal
orang-orang kedua desa yang tengah sibuk mengurus
mayat-mayat korban.
***
Sore telah datang, mentari tergelincir di sudut
barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, ke-
mudian hadir kegelapan yang membawa suasana men-
cekam. Tampak para petani pulang dari sawah dengan
peralatan terpanggul di pundaknya.
Burung-burung beterbangan pulang ke sarang
masing-masing dengan suara yang bersahut-sahutan.
Bias merah jingga merasuki langit sebelah barat, me-
nandakan mentari telah tersungkur. Desir angin sore
terasa agak dingin, seperti datang bersama kegelisa-
han.
Dua sosok bayangan tampak melangkah dalam
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-
rau dengan riang, seperti menikmati suasana senja
yang indah. Bagai tidak menghiraukan kejadian yang
tengah menimpa sebuah desa yang mereka lalui.
"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka,"
kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut di-
gelung dua di atas. Kulit gadis itu kuning langsat. Hi-
dungnya tidak terlalu mancung. Sedang matanya len-
tik dan indah bila mengerling.
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit
ular, berambut gondrong yang agak berombak. Kulit
pemuda itu bersih, wajahnya tampan.
Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki
tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik
nan elok. Pedang tersandang di pundak gadis cantik
yang berpakaian ala Cina itu. Sedangkan di pinggang
pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala
naga.
Dilihat dari senjata serta pakaian mereka, ke-
dua sejoli itu tidak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut
Nyawa.
Sena meringis dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang nam-
pak sepi dan senyap. Ada bendera kuning terpajang di
pintu masuk desa itu. Bendera itu menandakan kalau
desa itu tengah berkabung.
"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie."
"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie.
"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie. Ayolah, kita
cepat pergi. Sebentar lagi malam. Kita harus segera
mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil
menggandeng tangan Mei Lie. Tapi gadis Cina itu me-
nolak.
"Tunggu, Kakang. Firasatku mengatakan, telah
terjadi sesuatu di sini."
Sena tertawa tergelak-gelak mendengar penutu-
ran Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti
monyet. Hal itu membuat Mei Lie lantas cemberut.
Sena langsung menghentikan tingkahnya yang
persis orang gila itu setelah melihat Mei Lie merengut.
Dengan tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Sena menghela napas panjang-panjang.
"Hi hi hi..! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie. Ah
ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesu-
atu. Kematian, bukan?" goda Sena, membuat Mei Lie
bertambah merengut. Matanya mendelik pada Sena
yang makin cengengesan.
"Uh, Kakang," keluh Mei Lie cemberut "Aku
sungguh-sungguh, Kakang."
"Aha, aku lebih sungguh-sungguh, Mei Lie," tu-
kas Sena, masih saja menggoda. Semakin membuat
Mei Lie mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini.
Sudahlah, Mei Lie. Sebentar lagi malam, kita harus se-
gera mencari tempat penginapan."
Sena kembali mengajak Mei Lie pergi mening-
galkan tempat itu. Akhirnya Mei Lie pun menurut. Ka-
ki keduanya melangkah meninggalkan desa itu. Tapi
baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh bentakan seseorang.
"Berhenti!"
Sena dan Mei Lie berhenti, keduanya memba-
likkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh me-
reka berhenti: Tampak seorang lelaki berbadan kurus
dengan kumis panjang yang melintang di atas bibirnya
berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga pada me-
reka. Di belakang lelaki yang tidak lain Pabean, berdiri
beberapa orang warga. Wajah mereka pun menggam-
barkan rasa curiga.
Sena tertawa renyah. Tingkah lakunya yang
konyol kembali muncul. Dia menggaruk-garuk kepala
sambil cengengesan. Kemudian tangannya menepuk-
nepuk pantat
Menyaksikan tingkah konyol pemuda berpa-
kaian rompi kulit ular di hadapannya, Pabean seketika
mengerutkan kening. "Rasanya aku pernah mendengar
tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?"
tanya Pabean dalam hati. Alisnya bertaut saat meman-
dang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Dan kalau tidak salah, gadis Cina ini yang bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka berdua
pendekar itu?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa tiba-tiba
menghentikan langkah kami? Hi hi hi...!" Sena tetap
konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-
jingkrak. Sedangkan Mei Lie malah bersiap-siap, was-
pada kalau para penghadangnya hendak bermaksud
jahat
"Siapa kalian?" tanya Pabean berusaha mencari
tahu.
"Hi hi hi...! Lucu. Kau lucu sekali, Kisanak."
Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah,
kami sepasang muda-mudi yang sedang melancong
mengikuti kemauan kaki. Nah, apa cukup jelas?"
"Apakah kalian Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa?" selidik Pabean berusaha memasti-
kan dugaannya.
"Ya!" sahut Mei Lie memotong. "Ada apa kalian
menghadang kami?" tanyanya kemudian.
"O, maafkanlah tindakan kami yang lancang.
Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Penca-
but Nyawa, kami mengharap kalian sudi singgah ke
rumah kami," pinta Pabean, santun.
"Hm, untuk apa?!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagaimana
kalau kita terima undangannya. Bukankah kita adalah
tamu di sini?" tanya Pendekar Gila berusaha mene-
nangkan Mei Lie yang ketus. Tampaknya Mei Lie masih
dihantui kejadian di Lembah Lamur, saat orang-orang
yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya
dia tidak mudah percaya dengan orang lain (Mengenai
kejadian Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila da-
lam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
"Baiklah! Tapi jangan sekali-sekali bermaksud
jahat. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian!
Bahkan seluruh penduduk desa sini!" ancam Mei Lie.
"Baik, Nona Pendekar," sahut Pabean penuh
hormat.
"Aha, ayolah," ajak Pendekar Gila.
Mereka pun melangkah mengikuti Pabean dan
warganya. Sementara kegelapan telah menyelimuti de-
sa itu.
***
TIGA
Rumah Pabean nampak terang benderang.
Lampu tempel besar dan lampu gantung yang biasanya
dipadamkan, malam itu dinyalakan semua. Suasana
dalam rumah menjadi terang benderang. Khususnya di
beranda.
Tiga orang tengah duduk di kursi rotan, semen-
tara yang lainnya duduk bersila di bawah. Tampaknya
mereka tengah berkumpul, setelah kematian lurah me-
reka.
Sena, Mel Lie, dan Pabean duduk di atas bang-
ku. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang
melanda Desa Karapan dan telah menelan tiga korban.
"Kemarin malam desa ini didatangi oleh kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak. Mereka menculik
salah seorang petugas ronda dan anak Ki Lurah. Se-
mentara Ki Lurah sendiri mengalami kematian yang
mengerikan sekali. Tubuhnya hangus, bagai terbakar,"
tutur Pabean menceritakan semua kejadian yang ter-
jadi kemarin malam.
"Hm," gumam Sena tidak jelas. Sedangkan Mei
Lie memperhatikan cerita yang dibeberkan Pabean
dengan seksama. "Aneh, makhluk berwajah tengkorak
dari mana?"
"Itulah yang tengah kami pikirkan. Keris sakti
milik Ki Lurah Walapaya yang bernama 'Simbar Mega'
hilang entah ke mana. Kata orang yang melihat, keris
itu masuk ke dada makhluk bermuka tengkorak."
"Heh?!" seru Sena dengan mata membelalak
kaget.
"Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan ge-
ram mendengar cerita yang dituturkan Pabean. "Kura-
sa semua ini didalangi seseorang."
"Entahlah. Didalangi atau tidak, kami rasa hal
ini harus dicegah...," kata Pabean dengan suara agak
geram jika ingat kejadian yang menimpa desanya.
"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak je-
las. Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-
garuk kepala.
"Apa mereka keluar pada saat malam?" tanya
Mei Lie.
"Ya!"
"Hm, ada yang tahu persis, bagaimana cara me-
reka muncul?" tanya Mei Lie.
"Saya, Nona Pendekar," sahut Pilan, salah seo-
rang petugas ronda kemarin malam.
"Bisa Kisanak menjelaskan?" pinta Mei Lie.
Secara singkat dan jelas, Pilan pun mencerita-
kan kejadian yang telah dialaminya bersama ketiga pe-
ronda lain, yang salah satunya menjadi korban kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak darah. Muka tengko-
rak itu berlumuran darah, itu sebabnya dinamakan
tengkorak darah: Sebelum mereka keluar terdengar de-
rak tanah retak. Kemudian muncul asap putih kehi-
tam-hitaman yang perlahan menampakkan ujud me-
rah me-nyala.
"Begitulah mereka keluar, Nona Pendekar,"
ucap Pilan, mengakhiri ceritanya.
"Hm," gumam Mei Lie sambil menghela napas
panjang-panjang.
Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala.
"Aha, rupanya ada juga siluman yang ingin
mencampuri urusan manusia. Hi hi hi...! Lucu sekali!"
Sena tertawa meringkik. Tingkahnya semakin konyol,
membuat semua orang yang hadir di situ tersenyum-
senyum.
"Siluman...?" tanya Pabean dengan mata mem-
belalak.
"Ya! Kurasa mereka siluman," jawab Sena ma-
sih bertingkah konyol dan lucu.
Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan
setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati me-
reka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu
datang? Lalu apa maksud siluman-siluman itu datang
ke alam manusia?
"Hm, kalau memang mereka siluman, bagaima-
na cara menghadapinya?" tanya Pabean nampak ke-
bingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa se-
perti dirinya dan warga desa untuk menghadapi mak-
hluk-makhluk seperti itu. Hanya orang-orang yang
memiliki ilmu gaib saja yang mampu menghadapinya.
Mulut Pendekar Gila nyengir. Tangannya kem-
bali menggaruk-garuk kepala. Dia pun belum bisa ber-
buat apa-apa atau mengambil kesimpulan, karena dia
belum pernah tahu makhluk seperti siluman itu. Dia
juga belum tahu bagaimana cara menghadapi siluman.
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena tiba-
tiba, menyentakkan semua orang di tempat itu terma-
suk Mei Lie, yang seketika mendelikinya. Pendekar Gila
hanya nyengir, lalu seraya menggaruk-garuk kepala
dia melanjutkan, "Kurasa, ada baiknya kita membica-
rakan masalah ini."
"Aku setuju," sambut Pabean.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
"Aku pun setuju."
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut,
kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembica-
raan. Bagaimana kalau kita berpencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.
"Mungkin kawanan siluman itu malam ini akan
datang kembali. Kurasa ada sesuatu yang menyebab-
kan kedatangan mereka di desa ini. Bagaimana kalau
kita menyelidikinya?" tanya Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menu-
rutmu baik, aku setuju saja," jawab Pabean.
"Aku juga setuju," sambut Mei Lie.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.
"Kami setuju," sahut warga yang hadir di tem-
pat itu.
"Aha, bagus! Kuminta lima orang untuk meron-
da. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, bu-
nyikan kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu,
aku dan Mei Lie akan segera datang," tutur Sena men-
gatur rencana.
"Ide yang bagus," puji Pabean.
"Sementara yang lainnya, tolong ikut Pabean
untuk memeriksa kampung ini. Aku dan Mei Lie akan
mengawasi kampung sebelah barat. Kita akan bertemu
jika kita mendengar salah seorang membunyikan ken-
tongan," papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mu-
lai" kata Pabean.
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, me-
reka pun melakukan apa yang telah direncanakan.
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat se-
dangkan Pabean dan warga menuju ke arah timur. Li-
ma orang peronda nampak masih berada di rumah Pa-
bean, berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.
***
Sementara itu, di Desa Sela Kapilu tampak be-
berapa orang tengah bergerombol. Ada sepuluh orang
yang malam itu bertugas meronda. Kali ini mereka siap
dengan senjata berupa golok. Berjaga-jaga kalau-kalau
terjadi hal yang serupa dengan kejadian di Desa Kara-
pan.
"Apa benar cerita orang Karapan?" tanya seo-
rang peronda bernama Kapri.
"Iya. Mana ada setan gentayangan membunuh?
Mungkin orang Desa Karapan sendiri yang melaku-
kannya," sambung Dayan.
"Ya, mungkin juga benar," tukas Wiryo. "Mana
ada sih yang tega membunuh Ki Lurah? Lagi pula, ka-
lau memang benar Ki Lurah mati terbakar, tentu warga
melihatnya."
"Iya ya. Kok bisa aneh begitu? Lagi pula, salah
seorang petugas ronda hilang dan tadi pagi tahu-tahu
ditemukan mati. Aneh...," gumam Rusdi.
"Sudahlah, jangan membicarakan itu. Tidak
baik. Ingat kata-kata Ki Gede Mantingan, kita tidak bo-
leh membicarakan orang lain. Yang penting kita harus
bisa menjaga keamanan desa kita," tukas Romlan be-
rusaha mengingatkan teman-temannya agar tak mem-
bicarakan orang lain.
Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda
yang sedang berkumpul di gardu. Terlebih malam itu
angin berhembus membawa rasa dingin, membuat su-
asana di sekitar tempat itu bertambah mencekam.
Wesss!
Krak!
Tiba-tiba kesepuluh peronda yang tengah ber-
jaga-jaga dikejutkan oleh suara tanah retak, yang di-
ikuti oleh suara mendesis dan datangnya asap tebal
yang keluar dari retakan tanah.
"Hei, suara apa itu?!" seru Dayan.
"Seperti asap! Lihat ada asap mengepul!" sam-
but Rusdi.
Mata kesepuluh ronda itu membelalak, me-
mandang tak berkedip pada asap tebal yang membu-
bung keluar dari retakan tanah.
Belum juga rasa kaget kesepuluh peronda itu
hilang, kepulan asap yang jumlahnya banyak itu
membentuk sosok berwarna merah. Kemudian terben-
tuklah ujud menyeramkan. Sosok manusia berwajah
tengkorak yang berlumuran darah.
"Se..., setaaan...!" pekik mereka ketakutan. Tapi
tubuh mereka tidak beranjak dari gardu. Hanya mata
mereka yang melotot tegang, memandang sosok-sosok
menyeramkan yang kini melangkah mendekati gardu.
"Jelas makhluk ini yang kemarin membuat
bencana di Desa Karapan...," desis Wiryo, orang yang
agak berani di antara kesepuluh peronda. Malah tan-
gannya kini menarik golok dari sarungnya. "Kita harus
serang mereka!"
Tak ada satu temannya pun yang berani. Mere-
ka cuma dapat menggigil ketakutan. Hal itu membuat
Wiryo kebingungan. Kini dirinya dalam keraguan. Ingin
melawan seorang diri tapi dia akut karena takut lawan
terlalu banyak. Namun kalau tak melawan, bisa-bisa
mereka akan menjadi korban. Akhirnya tubuh Wiryo
ikut merapat dalam kerumunan temannya.
"Tolong...! Ada setaaan...!" jerit mereka keras,
membuat warga lain yang tengah tidur seketika ter-
bangun. Mereka berbondong-bondong menuju ke gar-
du ronda. Namun warga desa seketika lari mening-
galkan tempat itu, manakala menyaksikan puluhan
ujud menyeramkan.
"Wuaaa! Setaaan...!"
Suasana malam yang sepi dan mencekam,
mendadak dirambati jerit ketakutan para penduduk.
Mereka lari terbirit-birit saking takutnya, tanpa meng-
hiraukan lagi nasib kesepuluh peronda yang masih
terkurung di dalam gardu.
Ketegangan semakin menjadi-jadi, ketika mak-
hluk-makhluk bermuka tengkorak itu semakin dekat
ke arah gardu tempat kesepuluh peronda berada.
"Wuaaa...!" jerit mereka ketakutan, setelah
lampu tempel di gardu menerangi wajah makhluk-
makhluk itu, hingga mata mereka menangkap dengan
jelas puluhan wajah menyeramkan itu.
"Kita tidak bisa begini terus. Kita harus mela-
wan," ajak Wiryo, berusaha memberi semangat pada
kesembilan rekannya yang masih ketakutan.
"Tapi..., mereka bukan manusia," keluh teman-
temannya.
"Apa pun mereka, kita tidak boleh tinggal di-
am!" Wiryo terus berusaha memberi semangat pada
teman-temannya untuk melawan makhluk-makhluk
menyeramkan itu.
Srttt!
Mereka serentak mencabut golok. Rupanya aja-
kan Wiryo mereka tanggapi. Kemudian dengan nekat,
kesepuluh peronda itu menyerang para pengepung
yang menyeramkan.
"Heaaa!"
Crak! Crak! Crak!
Suara benturan golok dengan tubuh para mak-
hluk tengkorak darah terdengar. Namun golok di tan-
gan mereka malah menjadi gompal. Bahkan ada yang
patah menjadi tiga. Kejadian aneh itu membuat mata
kesepuluh peronda semakin membelalak tegang.
"Wik! Wok! Wik!" salah satu makhluk bermuka
tengkorak berkata. Tangannya yang hanya tulang belu
lang bergerak-gerak, seperti memerintah yang lain un-
tuk membereskan kesepuluh peronda itu.
Puluhan tengkorak darah serentak maju, men-
jadikan para peronda semakin ketakutan. Tubuh me-
reka kini menggigil hebat. Keringat dingin bercucuran
membanjiri dahi dan leher mereka. Malah mereka ter-
kencing-kecing, menyaksikan wajah-wajah menyeram-
kan itu bertambah dekat
Tangan para makhluk bermuka tengkorak itu
bergerak. Mulanya menjulur maju, kemudian ditarik
ke belakang. Dari telapak tangan mereka yang hanya
tulang belulang, terpancar sinar biru. Saat itu pula tu-
buh kesepuluh peronda tertarik keras ke arah mereka.
"Wuaaa! Tolooong...!"
Kesepuluh peronda itu berusaha memperta-
hankan diri dari sedotan tenaga aneh lawan, namun
tenaga mereka rupanya belum seberapa. Tubuh mere-
ka terus tersedot, sampai menempel dengan tubuh
makhluk bermuka tengkorak. Kesepuluh peronda itu
tergagap-gagap, menyaksikan wajah menyeramkan
yang begitu dekat dengan wajah mereka.
"Wuaaa...! Tolooong...!"
Percuma mereka menjerit-jerit, karena warga
yang lain malah kocar-kacir ketakutan.
Dalam keadaan tegang dan kritis, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan berwarna coklat tua ke arah
puluhan makhluk bermuka tengkorak. Bayangan itu
langsung menghantamkan pukulan keras kepada sa-
lah satu makhluk itu.
Dukkk!
"Aduh!" pekik bayangan coklat, yang tidak lain
Ki Lurah Jaran Lanang. Tangannya seketika memar.
Seakan tangannya baru saja memukul logam atau ba-
tu karang yang sangat kuat. Mata lelaki tua berpa-
kaian Jawa itu membelalak tegang. Apalagi ketika pe
mimpin kawanan tengkorak darah membalikkan tubuh
dan memandang ke arahnya. Darah Ki Lurah Jaran
Lanang mendesir hingga cepat, karena kengerian yang
tiba-tiba menusuk. Mulutnya menganga, matanya
membuka lebar.
"Ngik! Kik! Cuik!" Pemimpin makhluk bermuka
tengkorak berkata, tampaknya dia sangat marah atas
kehadiran Ki Lurah Jaran Lanang. Malah tubuh me-
rahnya kini melangkah maju, mendekat Ki Lurah Ja-
ran Lanang yang semakin membelalak ngeri dan takut.
"Setan...! O, rupanya apa yang dikatakan warga
Desa Karapan memang benar," desis Ki Lurah Jaran
Lanang setengah mengeluh. Matanya semakin membe-
lalak tegang. Kakinya berusaha lari, namun tiba-tiba
tubuhnya bagai disedot oleh suatu kekuatan. Kakinya
mendadak tertahan, malah semakin tertarik mundur
ke arah pemimpin makhluk bermuka tengkorak
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang mulai menggigil
ketakutan, mengetahui tubuhnya kini terangkat ke
atas. Dan ketika matanya memandang ke belakang,
tampak olehnya tangan tengkorak darah itu tengah
bergerak ke atas.
"Nguik!"
Pemimpin makhluk bermuka tengkorak itu
menggerakkan tangannya ke bawah, ketika tubuh Ki
Lurah Jaran Lanang telah mencapai ketinggian terten-
tu. Saat itu pula, tubuh Ki Lurah Jaran Lanang me-
luncur ke bawah.
Wesss!
"Wuaaa...! Tolooong...!"
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang terus melesat
turun dengan cepat, bagai dibanting dari atas. Ketika
tubuh lelaki tua itu hampir menghantam tanah kering,
tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat menang-
kap tubuhnya. Bayangan itu langsung berhenti, ke
mudian menurunkan tubuh Ki Lurah Jaran Lanang.
Bersama bayangan yang ternyata Pendekar Gila, mele-
sat pula tubuh Mei Lie.
"Rupanya siluman-siluman ini!" dengus Mei Lie.
Matanya tajam, memandang gerombolan makhluk
bermuka tengkorak darah yang kini menghadap ke
arahnya, setelah membunuh kesepuluh peronda.
"Nguik! Wok! Wik! Wok!"
"Hm, majulah! Biar kuhabisi kalian!" tantang
Mei Lie dengan berani.
Srttt!
Dicabutnya Pedang Bidadari dari sarungnya.
Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi terang
benderang oleh sinar kuning kemerahan-merahan. Hal
itu membuat ujud manusia-manusia bermuka tengko-
rak semakin terlihat jelas. Keadaan mereka begitu me-
nyeramkan. Muka mereka hanya berupa tengkorak
berlumuran darah. Bagian mata mereka bolong, begitu
juga bagian hidung.
"Ngik! Ngok! Nguik!"
Pemimpin gerombolan tengkorak darah itu
tampak menutupi matanya dengan sebelah tangan.
Seakan merasa silau oleh sinar yang terbersit dari Pe-
dang Bidadari di tangan Mei Lie. Sedangkan tangan
yang lain kini digerakkan, memerintah pada kesepuluh
anak buahnya untuk menyerang.
"Nguik!"
Suara ribut tercipta dari mulut-mulut makhluk
tengkorak darah yang hendak menyerang Mei Lie.
"Bagus! Majulah sekalian! Heaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Mei Lie segera
bergerak memapaki serangan lawan. Pedang Bidadari
di tangannya bergerak dengan cepat, memenggal ke
kepala lawan dengan jurus 'Tebasan Bidadari'.
Wettt!
Trang!
"Heaaa!"
Mei Lie bergerak lincah. Pedang Bidadarinya
laksana lengan Bidadari Pencabut Nyawa. Setiap kali
berkelebat pasti mengambil kematian. Pantas benar
dengan julukan yang disandangnya, Bidadari Pencabut
Nyawa.
Dua makhluk bermuka tengkorak terpenggal
lehernya. Keduanya seketika berubah menjadi asap,
lalu menghilang. Yang lainnya menyerang. Namun
Pendekar Gila yang tidak ingin Mei Lie mendapat cela-
ka, segera menarik Suling Naga Sakti. Dengan suling
itu tubuhnya melesat ke udara. Lalu dengan tingkah
seperti seekor monyet, Pendekar Gila memukul kepala
para makhluk bermuka tengkorak.
"Hi hi hi! Rasakan ini, Siluman Buruk! Ha ha
ha!"
Tak tuk tak!
Tiga kepala makhluk ganjil itu pecah. Ketiga
sosok tengkorak yang terbungkus jubah merah berke-
rudung itu, seketika berubah menjadi asap. Lalu
menghilang bagai ditelan bumi.
"Ngik! Ngok! Nguk!" Pemimpin kawanan tengko-
rak darah seketika memberi perintah dengan isyarat
tangan, lalu sisa makhluk tengkorak darah itu menghi-
lang dari hadapan Pendekar Gila.
"Hi hi hi! Kalian mau main-main. Baik! Hi hi
hi...!" sambil tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak
seperti monyet, Pendekar Gila meniup Suling Naga
Saktinya.
Suara suling melengking tinggi. Saat itu, suatu
ledakan terjadi. Lima tengkorak darah yang menghi-
lang bersama pemimpinnya nampak kembali dalam
keadaan sudah mati. Kemudian tubuh mereka menjadi
asap yang menipis dan menghilang tersapu angin.
Pendekar Gila tertawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Namun dari arah rumah seorang warga, tiba-
tiba terdengar jeritan.
"Tolooong...!"
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Jaran La-
nang segera berkelebat menuju asal jeritan itu.
***
EMPAT
"Tolooong! Setaaan...!"
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketakutan
dengan pakaian tak menentu. Sebagian tubuhnya ti-
dak tertutup kain. Mungkin karena terlalu takut, wani-
ta itu tidak ingat keadaannya. Wanita muda yang can-
tik dan hampir telanjang itu ternyata Suri Prapti, anak
Ki Lurah Jaran Lanang.
"Ada apa, Suri?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang,
menyaksikan anaknya tampak ketakutan.
"Setan Ayah! Setan tengkorak menculik Kakang
Rejo," isak Suri Prapti menangis.
"Hah, Suro Rejo diculik?!" seru Ki Jaran Lanang
dengan mata membelalak, mendengar penuturan
anaknya. Suro Rejo dan Suri Prapti baru saja menikah
7 hari yang lalu. Kini tiba-tiba muncul manusia-
manusia bermuka tengkorak darah, mengacaukan hari
indah mereka.
Belum juga rasa kaget mereka hilang, karena
penculikan Suro Rejo, tiba-tiba para penduduk berte-
riak-teriak. Mereka berhamburan ketakutan.
"Setan...! Setan menggarong!"
"Rampok setan...!"
"Setan merampok...!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak melihat
para penduduk berteriak-teriak ketakutan. Tingkahnya
yang konyol, membuat Mei Lie melotot. Sena langsung
diam, tidak lagi tertawa-tawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Meski begitu, Sena masih cengengesan sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa? Ada apa ini?" tanya Ki Jaran Lanang.
"Rumah kami dirampok!" lapor penduduk den-
gan ketakutan yang terlukis di wajahnya.
"Anak kami yang masih jejaka dibawa!" sam-
bung yang lainnya.
"Suami saya juga dibawa. Padahal kami baru
menikah bareng sama Den Suri," isak seorang gadis
muda berkulit kuning langsat dan cantik.
Ki Lurah Jaran Lanang semakin terlongong
bengong. Dia tidak tahu, untuk apa para lelaki muda
diambil oleh siluman tengkorak darah.
Saat warga Desa Sela Kapilu dilanda kegempa-
ran dengan matinya sepuluh orang peronda dan hi-
langnya beberapa lelaki muda, Pabean dan beberapa
orang warganya datang.
"Ada apa, Sena?" tanya Pabean.
Ki Lurah Jaran Lanang menceritakan semua
yang terjadi. Hal itu membuat mata Pabean membela-
lak.
"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Pa-
bean. "Akh heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan
tampan dibawa pergi? Kemudian keesokan harinya
mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengeri-
kan. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?"
"Benar...!" sahut warga Sela Kapilu.
Semua terdiam, tak ada yang berkata. Mereka
sama-sama tengah berpikir serta bertanya-tanya dalam
hati. Apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka? Dan
apa yang dikehendaki siluman tengkorak merah yang
datang membawa kegemparan dan kematian?
Hanya Pendekar Gila yang tetap tersenyum-
senyum. Malah sempat bersiul-siul. Wajahnya menen-
gadah ke langit, seperti tengah menikmati bintang
yang gemerlapan di langit.
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu?" tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Maksud, Nona?" tanya Pabean.
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat misal-
nya?" Mei Lie berusaha menerangkan. Pabean dan Ki
Lurah Jaran Lanang terdiam, berusaha mengingat-
ingat setiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh pa-
ra korban penculikan.
"Kami rasa tidak," sahut Ki Lurah Jaran La-
nang, akhirnya.
"Anehnya, yang diculik lelaki tampan dan ga-
gah," sambung Pabean.
"Hm, aneh. Untuk apa mereka itu?" gumam Mei
Lie sambil memasukkan pedang kembali ke dalam wa-
rangkanya. Suasana di tempat itu seketika gelap kem-
bali.
Warga desa baru tersentak kaget, setelah tahu
kalau yang membuat suasana di tempat itu menjadi
terang ternyata sebilah pedang. Mata mereka membe-
lalak, mulut mereka berdecak kagum. Tak henti-hen-
tinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu bergan-
tian ke Pendekar Gila yang masih acuh sambil cen-
gengesan.
"Ki dan Nisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa-
kah kalian? Bagaimanapun juga, kalian telah meno-
longku," kata Ki Lurah Jaran Lanang.
Belum juga Sena dan Mei Lie menjawab, Pa-
bean telah mendahului.
"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa."
Semuanya tersentak mendengar nama yang ba-
ru saja disebutkan Pabean. Mereka memang sering
mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini mereka
melihat orangnya.
"O, terimalah salah hormat kami," hatur Ki Lu-
rah Jaran Lanang sambil menjura hormat.
"Ah, sudahlah. Tak perlu dipersoalkan. Kini kita
harus memikirkan bagaimana kita dapat menemukan
tempat siluman itu. Biasanya ada seseorang yang
mengundang para siluman untuk membuat kerusu-
han," tutur Sena, mengembalikan pembicaraan.
Semuanya membisu, tak seorang pun dapat
memecahkan masalah yang diajukan Sena. Mereka ti-
dak tahu dari mana siluman tengkorak menyeramkan
itu berasal.
"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling
desa?" usul Mei Lie menyerahkan.
"Setuju saja! Tapi, apa mungkin mereka berada
di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang,
agak ragu.
"Mengenai itu, aku tak tahu. Yang pasti, kita
harus berusaha mencari," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie. Nah,
bagaimana?" sambung Pendekar Gila.
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berusa-
ha mencari," tambah Pabean.
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor?
Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Penduduk bergegas mencari obor. Setelah se-
mua keperluan yang diperlukan selesai, mereka pun
dipecah menjadi empat kelompok. Satu ke utara, satu
ke selatan, sedang yang lain ke barat dan ke timur.
Suasana di dua desa itu seketika terang benderang,
karena banyak obor yang menyala menerangi malam
yang semula gelap-gulita.
Tidak hanya obor, kentongan pun turut serta.
Bunyi kentongan terdengar sahut-menyahut. Suasana
kedua desa menjadi ramai.
Namun sampai seluruh desa itu mereka kelilin-
gi, tidak juga mereka temukan tanda-tanda yang men-
curigakan. Hal itu mengakibatkan semuanya terheran-
heran serta bingung, harus berbuat apa lagi agar dapat
menemukan warga Desa Sela Kapilu yang diculik.
"Tak ada. Hm, sulit sekali...," keluh Pabean.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak
umpet dengan para siluman," seloroh Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekelil-
ing tempat di mana mereka berada kini. Namun tidak
juga ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.
Lalu mereka memutuskan untuk meneruskan penca-
rian di tempat lain. Namun belum juga Mei Lie, Sena
serta yang lain pergi, tiba-tiba terdengar suara anca-
man seorang wanita yang memenuhi udara.
"Ingat baik-baik Pendekar Gila dan kau Dewi
Pencabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam uru-
san ini! Kalian akan mendapatkan balasannya! Tunggu
saja nanti! Kalian telah membunuh sepuluh anak bua-
hku!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, seperti
tak takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja
didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas
berkata....
"Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku ta-
kut menghadapimu! Ayo, keluarlah! Biar ku jitak pan-
tatmu! Hua ha ha...!" Tubuh Sena berguncang-
guncang karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Ke-
mudian dengan konyol Sena menunggingkan pantat-
nya sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Pruttt...!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak seraya
melompat-lompat tak ubahnya seekor monyet. Hal itu
membuat semua penduduk yang berada di tempat itu
terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas
keberanian pemuda tersebut
"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti, Pende-
kar Gila!" Kembali terdengar ancaman seorang wanita.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Seha-
rusnya aku yang mengancammu. Karena kau telah be-
rani melanggar ketentuan Sang Hyang Widi. Kau lebih
berani melanggar garis alam!" dengus Sena setelah itu
tertawa tergelak-gelak kembali. Dengan berjingkrak-
jingkrak pantatnya ditunggingkan lagi. "Nih kentutku.
Pruttt..!"
Wesss!
Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana ser-
buan badai, menjadikan semua warga desa tersentak
kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan.
"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku,
Siluman Jelek?! Baik. Ayo kita main-main petak um-
pet!" Sena segera melangkah mundur. Tangannya ber-
gerak memerintah semua warga untuk tiarap.
"Kalian mundurlah. Mei Lie, jaga mereka."
"Baik, Kakang."
Setelah warga mundur, Sena segera menyatu-
kan telapak tangannya di depan dada. Kemudian di-
angkatnya kedua telapak tangan ke atas, lalu digerak-
kan melebar ke samping. Setelah menarik napas da-
lam-dalam, Sena membalas serangan angin topan yang
datang entah dari mana.
"'Inti Bayu'. Heaaa...!" dihembuskan tenaga da-
lamnya melalui kedua telapak tangan. Saat itu, se-
rangkum angin besar menderu kencang laksana pra-
hara. Angin 'Inti Bayu' bergerak menerjang angin la-
wan.
Wesss!
Jlegar!
Ledakan dahsyat seketika menggelegar, ketika
dua angin besar bertemu. Bahkan tanah tempat kedua
angin itu beradu, seketika berhamburan hingga mem-
bentuk sumur lebar.
Suasana kembali lagi, tak ada lagi ancaman
yang terdengar. Dan tidak juga hembusan angin meng-
gila.
"Hm," gumam Sena tak jelas. Matanya kembali
menyapu ke atas, "Kurasa, malam ini dia sedikit ka-
pok. Tapi penjagaan harus senantiasa ketat. Biar ba-
gaimana, siluman tak pernah puas."
"Apa yang kau sarankan, akan kami laksana-
kan," jawab Pabean.
Malam itu juga, beberapa penduduk berjaga-
jaga. Mereka tidak ingin kecolongan dengan kedatan-
gan siluman tengkorak darah ke desa mereka.
Malam semakin sepi, menyelimuti Desa Kara-
pan dan Desa Sela Kapilu. Membawa rasa dingin yang
menusuk tulang sungsum.
***
Sementara itu, di alam siluman yang tidak ter-
jangkau penglihatan manusia, Siluman Tengkorak Da-
rah tampak berlari-lari dengan bibir melelehkan darah.
Tangannya memegangi dada yang terasa direjam sejuta
duri.
"Ukh...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah men-
geluh, merasakan sakit di dadanya akibat benturan
kekuatan tenaga dalamnya melawan Pendekar Gila.
Kakinya terus berlari, lalu masuk ke dalam istana yang
dijaga dua pengawal bermuka tengkorak. Keduanya
segera menjura hormat ketika dia melewati gerbang is
tana.
"Sri Ratu, apa yang terjadi?" tanya pengawal
yang berdiri di sebelah kiri.
"Ukh, aku luka dalam," sahut Ratu Siluman
Tengkorak Darah sambil terus berlari masuk ke dalam
istana. "Cepat panggilkan ibu!" perintahnya pada ke-
dua pengawal tadi.
"Sendika Sri Ratu," sahut kedua pengawal itu
berbareng. Mereka bergegas mengayun langkah ke
bangunan di samping istana.
Tidak lama kemudian, kedua pengawal itu telah
kembali bersama seorang wanita berusia sekitar enam
puluh tahun. Namun kecantikan wanita itu masih
utuh. Kalau dilihat sepintas usianya masih sekitar dua
puluh satu tahun. Dia adalah ibu dari Ratu Siluman
Tengkorak Darah.
Wajah wanita berkebaya biru dengan rambut
disanggul itu tampak cemas, setelah mendengar penu-
turan kedua siluman tengkorak yang menjadi prajurit-
nya. Kaki wanita berparas cantik yang sangat jauh di-
bandingkan usia yang sebenarnya itu, melangkah den-
gan terburu-buru ke istana.
Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar
Ratu Siluman Tengkorak Darah. Wajahnya semakin
menampakkan kekhawatiran ketika menyaksikan
anaknya terbaring di ranjang.
"O, kenapa kau, Nak?"
"Aduh, Bu," keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah sambil meringis memegangi dadanya yang terasa
sangat sakit.
"Kau habis bertarung, Nak?" tanyanya pada ga-
dis cantik jelita yang berpakaian tipis dan minim.
Hanya buah dada dan kewanitaannya saja yang ditu-
tupi se-carik kain putih. Sedangkan bagian tubuh
lainnya hanya diselimuti oleh jubah berwarna merah
darah tembus pandang, sehingga lekuk tubuhnya yang
elok terlihat jelas. Lekuk tubuhnya sangat menggai-
rahkan bagi setiap lelaki yang melihat.
Gadis cantik itu mengangguk. Mulutnya masih
meringis-ringis, menahan rasa sakit
."Siapa yang melakukannya, Nak?" tanya sang
Ibu semakin cemas berbalut amarah. Matanya berkilat
penuh kegusaran. Tampaknya dia tidak senang atas
kekalahan anaknya.
"Pendekar Gila, Bu"
"Pendekar Gila?" Kening wanita berkebaya biru
dengan kain warna coklat tua itu mengerut. Sepertinya
dia pernah mendengar nama yang baru saja dis-
ebutkan anaknya. "Apakah yang kau maksud pemuda
berpakaian rompi kulit ular?"
Gadis cantik yang menjadi ratu Siluman Teng-
korak Darah menganggukkan kepala membenarkan.
"Hm, kurang ajar! Dia memang penghalang sa-
tu-satunya bagi kita!" dengus wanita cantik yang sebe-
narnya berusia enam puluh tahun itu. Tangannya
memijat dan mengurut sendi-sendi di tubuh sang
Anak, yang menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah meringis. "Tahanlah sedikit, Nak."
"Auhhh...!" keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah, merasakan rasa sakit yang tak terkira. Asap men-
gepul dari dadanya yang luka. Kemudian lambat laun
rasa sakit itu menghilang.
"Nah, kini kau telah sembuh. Hati-hatilah, jan-
gan sampai kau bentrok dengannya lagi. Bila perlu,
rayulah dia. Jika dia menjadi suamimu, maka kau
akan menguasai dunia ini," tutur sang Ibu.
Ratu Siluman Tengkorak Darah tersenyum,
kemudian tubuhnya bangkit.
"Apakah aku boleh menikmati tawanan itu,
Bu?"
Sang Ibu rupanya mengerti apa yang diinginkan
oleh anaknya. Dia menyadari, kalau sifat anaknya me-
rupakan titisan sifatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak
bisa melarang kemauan anak satu-satunya yang telah
dewasa. Tentunya birahi anaknya pun sama dengan
birahinya.
Sang Ibu tersenyum mengangguk.
"Ambillah lima orang untukmu," katanya ke-
mudian.
"Terima kasih, Bu."
Setelah ibunya berlalu, Ratu Siluman Tengko-
rak Darah memanggil prajuritnya.
"Hamba Kanjeng Ratu!"
"Bawa salah satu dari mereka kemari!" perin-
tahnya.
"Tapi, Kanjeng Ratu. Bukankah itu milik Kan-
jeng Ibunda?" tanya prajurit berusaha mengingatkan.
"Jangan membantah! Ibunda telah mengizin-
kan!" bentak Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan
mata melotot, menjadikan kedua prajurit tengkorak
darah menurut. Setelah menyembah, kedua prajurit
itu berlalu meninggalkan kamar ratunya.
Sang Ratu segera membaringkan kembali tu-
buhnya di atas kasur seputih bunga melati dengan
wangi cendana. Dari luar, masuk dua prajuritnya den-
gan membawa seorang lelaki tampan dan gagah yang
diculik oleh prajurit tengkorak darah.
Ratu Siluman Tengkorak Darah menggerakkan
kepala, mengusir kedua prajuritnya untuk pergi. Tan-
pa membantah, kedua prajurit bermuka tengkorak itu
meninggalkan kamar ratunya.
"Ayo Cah Bagus, mendekatlah," rayu Ratu Si-
luman Tengkorak Darah dengan suara yang merang-
sang.
Lelaki muda yang tampan bertubuh setengah
telanjang itu, kini melangkah mendekat. Kemudian
dengan buas, lelaki yang diculik dari Desa Sela Kapilu
itu menggeluti tubuh Ratu Siluman Tengkorak Darah.
"Hi hi hi...! Bagus! Teruskan...," rengek sang
Ratu sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan
akibat gelutan dan lumatan lelaki muda itu. Matanya
memejam-mejam, napasnya tersengal-sengal.
Keduanya terus bergelut. Satu persatu pakaian
yang dikenakan mereka lepas. Sri Ratu menutup tirai
kelambu tempat tidurnya yang di sudut-sudutnya ter-
gantung tengkorak kepala lelaki.
Lama keduanya saling bergelut, sampai akhir-
nya terdengar jeritan kematian dari lelaki muda itu.
"Aaakh...!"
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah
tertawa puas. Dibukanya tirai kelambu tempat tidur-
nya. Saat itu tampak sesuatu yang sangat mengerikan.
Tubuh lelaki gagah dan tampan itu, kini telah berubah
menjadi sosok tulang belulang. "Kini kau adalah abdi-
ku! Kau harus menuruti semua perkataan ku."
Manusia tengkorak itu mengangguk, lalu be-
rangsur meninggalkan kamar.
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah
tertawa melengking.
***
LIMA
Empat prajurit penjaga pintu gerbang malam
itu tengah melakukan tugas jaga. Seperti hari-hari bi-
asanya, pintu gerbang Istana Kerajaan Bumi Wandra
di-jaga ketat oleh empat orang prajurit.
Malam turun bersama udara dingin, sepertinya
malam ini cuaca tidak sebaik malam-malam lalu.
Meski setiap malam udara memang dingin, namun ma-
lam ini udara terasa sangat lain. Udara malam ini tera-
sa sangat dingin, sampai tubuh keempat prajurit jaga
menggigil. Padahal mereka telah merokok kawung, be-
rusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tu-
lang sum-sumnya.
"Hoaaahhh?!" salah seorang dari keempat pra-
jurit itu menguap lebar, merasa mengantuk. Selain
dingin suasana malam itu, juga membuat mata menja-
di be-rat "Ngantuk sekali aku...," keluhnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir rasa
kantuk yang menyerang matanya.
"Kerjamu memang molor, To," seloroh temannya
yang bernama Dasir.
"Huh, enak saja kau ngomong, Sir. Tidak bi-
asanya aku ngantuk begini," keluh Broto tangannya
mengucak-ngucak matanya agar tidak mengantuk.
Namun matanya masih tetap saja seperti digelayuti se-
suatu.
"Iya ya. Aku juga merasakan hal serupa," sela
Rukino membela Broto. "Matamu juga ngantuk."
"Wah, payah kalau begini. Tidak ada kopi lagi,"
sambung Jalari.
"Iya, tak ada kopi lagi," tambah Dasir akhirnya,
turut mengeluh.
Baru saja keempat penjaga pintu gerbang itu
selesai mengeluh, mata mereka yang semula agak
ngantuk tiba-tiba membelalak lebar, manakala dalam
jarak lima batang tombak di hadapan mereka terden-
gar tanah merekah.
Krak!
Belum habis rasa kaget keempat prajurit jaga
itu, mereka kembali dikejutkan oleh munculnya bau
kemenyan dan wangi bunga kamboja.
"Heh, bau apa ini?" tanya Dasir dengan hidung
kembang-kempis berusaha memastikan bau yang baru
diciumnya.
"Bau kemenyan," desis Broto.
"Heh, bau bunga kamboja," sambung Jalari
dengan bulu kuduk meremang. Matanya tak berkedip
tegang, memandang ke arah suara tanah retak terden-
gar. Saat itu, dari rekahan tanah di hadapan mereka,
membubung asap putih kehitam-hitaman yang berge-
rak lamban seakan gerakannya hendak mengintai.
"Hai, asap apa itu?!" seru Broto.
Ketiga temannya memandang asap putih kehi-
tam-hitaman yang merayap naik di kegelapan. Kemu-
dian asap putih kehitam-hitaman itu, membentuk ujud
berwarna merah. Ujud itu semakin lama semakin nya-
ta.
Mata keempat penjaga pintu gerbang membela-
lak dengan mulut menganga, tatkala menyaksikan so-
sok-sosok menyeramkan terbentuk dari asap putih ke-
hitam-hitaman itu. Tapi keempat prajurit yang men-
talnya sudah terlatih itu segera menyiapkan senjata
berupa tombak yang semula disenderkan di dinding
pintu gerbang.
"Siapa kalian?!" bentak Dasir sambil menga-
rahkan mata tombak ke arah kawanan siluman teng-
korak darah yang kini melangkah maju mendekati me-
reka.
"Kurang ajar! Ditanya bukannya menjawab!
Apakah kalian bisu, heh?!" bentak Jalari gusar.
"Ngik! Ngok! Nguk!"
Hanya suara itu yang terdengar dari mulut para
makhluk bermuka tengkorak. Hal itu semakin me-
mancing kemarahan keempat prajurit jaga.
"Rupanya kalian nekat! Jangan salahkan kami
kalau kalian kami bunuh!" ancam Rukino sambil men
gajukan mata tombak ke arah gerombolan makhluk
ganjil tersebut. Tapi para makhluk bermuka tengkorak
itu bagai tidak peduli dengan ancaman mereka. Mak-
hluk-makhluk bermuka tengkorak itu malah semakin
maju mendekat, membuat mata keempat prajurit
mendadak membeliak tegang menyaksikan beberapa
wajah menyeramkan di hadapan mereka.
"Setaaan...!" pekik mereka berbarengan.
Mata mereka semakin melotot tegang. Tubuh
mereka gemetar ketakutan. Bulu kuduk mereka me-
remang hebat dengan tengkuk terasa dingin.
Belum juga keempat prajurit jaga itu sadar dari
rasa takutnya, tiba-tiba kawanan makhluk bermuka
tengkorak itu mengarahkan telapak tangannya pada
mereka. Dari telapak tangan makhluk-makhluk men-
gerikan itu, seketika keluar sinar biru yang melesat ke
tubuh para prajurit jaga.
Jrottt!
"Wuaaa...!"
Mulut keempat prajurit jaga itu memekik keras.
Tubuh mereka seketika gosong. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak
dengan nyawa melayang.
"Ngik! Ngok! Nguk!"
Pemimpin kawanan makhluk bermuka tengko-
rak melambaikan tangannya untuk memerintah anak
buahnya agar menerobos masuk.
Brakkk!
Gerbang istana dilabrak. Pintu yang terbuat da-
ri kayu jati, hancur berantakan. Suara jebolnya pintu
gerbang, seketika menyentakkan prajurit jaga yang be-
rada di pintu bagian dalam istana. Bergegas mereka
bangkit dari duduknya. Dengan sigap mereka raih sen-
jata. Lalu enam orang prajurit memburu ke arah da-
tangnya suara itu.
Mata mereka membalalak seketika, menyaksi-
kan sosok-sosok menyeramkan yang kini menghampiri
mereka. Keempat prajurit itu berusaha menghalangi
kesepuluh siluman tengkorak darah dengan menga-
rahkan mata tombak ke tubuh lawan. Namun kesepu-
luh makhluk bermuka tengkorak itu bagai tak takut.
Kaki mereka terus melangkah, setapak demi setapak.
"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit
Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli,
mereka terus saja merambah maju. Tentu saja keenam
prajurit itu menjadi kalap. Mereka menusukkan tom-
baknya ke dada lawan. Tapi....
Trak!
"Hah?!"
Mulut mereka menganga, menyaksikan mata
tombak mereka patah menjadi dua. Seakan-akan mata
tombak mereka beradu dengan batu karang yang ko-
koh.
"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit
Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli,
mereka terus merambah maju. Keenam prajurit itu men-
jadi kalap. Mereka segera menusukkan tombaknya....
Trak!
"Hah...?!" Prajurit-prajurit itu terlongong bengong,
menyaksikan mata tombak mereka berpatahan!
Ketakutan seketika menjalari tubuh keenam
prajurit jaga itu, mendapatkan makhluk-makhluk
bermuka tengkorak yang berlumur darah tak mempan
tusukan tombak. Mereka hendak lari untuk memanggil
prajurit yang lain, tapi makhluk-makhluk menyeram-
kan itu telah mendahului mereka.
Makhluk-makhluk menyeramkan itu membuka
jari-jari tangannya yang hanya tulang belulang, kemu-
dian mengarahkan telapak tangannya yang juga hanya
berupa tulang ke arah keenam prajurit jaga. Dari tela-
pak tangan mereka membersit sinar biru yang meng-
hantam tubuh para prajurit jaga.
Crot!
Desss!
"Wuaaa...!" jerit kematian melengking dari mu-
lut korban. Tubuh keenam prajurit itu sesaat mere-
gang, lalu ambruk kehilangan nyawa.
Suasana istana kerajaan seketika menjadi
gempar karena semua prajurit dan penghuni kerajaan
lainnya terbangun mendengar jerit kematian keenam
prajurit tadi.
"Tangkap mereka...!" seru Patih Rangga Wuni
memerintah para prajuritnya untuk menangkap mak-
hluk-makhluk menyeramkan yang ganas. Lelaki ini
berbadan kekar dan bertelanjang dada. Rambutnya di-
gelung ke atas dengan ikat kepala terbuat dari emas,
penampilannya tampak gagah. Apalagi dengan kumis
nya yang melintang. Dia langsung terkejut melihat
makhluk-makhluk yang baru kali ini dilihatnya selama
hidup.
Prajurit-prajurit yang telah bersiaga penuh saat
diperintah oleh sang Patih, seketika bergerak menge-
pung kesepuluh kawanan siluman tengkorak darah.
"Tangkap mereka! Seraaang...!" kembali Patih
Rangga Wuni berseru.
"Heaaa!"
"Cincang mereka!"
Para prajurit bergerak serentak untuk menang-
kap makhluk-makhluk menyeramkan itu. Senjata di
tangan mereka, berkelebat merangsek kawanan silu-
man tengkorak darah yang balas menyerang mereka.
"Nguik!"
Setiap gerakan tangan dan kaki makhluk-
makhluk tengkorak itu mendapatkan hasil. Nyawa pra-
jurit yang terdekat menjadi korban.
Brettt!
"Wuaaa!"
Pertarungan sengit antara para prajurit kera-
jaan melawan makhluk-makhluk tengkorak darah itu
bergejolak seru. Beberapa prajurit berusaha menye-
rang dengan membabatkan pedang. Tapi apa yang ter-
jadi...?
Trakkk!
Trakkk!
Pedang di tangan para prajurit patah seperti
sebatang kayu kering tak mampu memenggal kepala
siluman tengkorak darah. Bahkan makhluk bermuka
tengkorak itu semakin ganas menyerang.
"Serang terus...!" perintah Patih Rangga Wuni
berusaha memberi semangat para prajuritnya. Tapi se-
rangan para Prajurit Kerajaan Bumi Wandra yang ter-
kenal unggul dalam bertempur, kini bagai serbuan ge
rombolan lalat menghadapi sepuluh siluman tengkorak
darah. Senjata mereka yang terkenal mampu memburu
nyawa, terpatah jika berbenturan dengan tangan atau
tubuh lawan.
Menyaksikan hal itu, Pari Rangga Wuni segera
mencabut keris pusakanya. Kemudian dengan geram
tubuhnya melompat menerjang musuh. Ditusukkan
keris 'Ki Gimring'nya ke tubuh lawan. Namun kejadian
aneh terjadi. Keris pusaka 'Ki Gimring' di tangan Patih
Rangga Wuni kini menghujam terus di dada salah satu
siluman.
Patih Rangga Wuni terperanjat kaget. Dia beru-
saha menarik keris pusakanya. Namun semakin keras
dia menarik, semakin kuat pula kerisnya tersedot.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan oleh mak-
hluk-makhluk ini?" gumam Patih Rangga Wuni dengan
tegang. Segera dilepaskannya keris pusaka itu. Tu-
buhnya bersalto ke belakang, kemudian dengan cepat
dia mengirimkan serangan dengan pukulan sakti
'Semburan Naga'.
"Heaaa!"
Wesss!
Jledarrr!
Satu siluman terkena ajian 'Semburan Naga'
yang dilontarkan Patih Rangga Wuni. Makhluk bermu-
ka tengkorak itu ambruk. Tubuhnya mengepulkan
asap, lalu menghilang tanpa bekas.
Menyaksikan salah satu temannya binasa, pe-
mimpin makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu
mengeluarkan suara aneh. Terdengar seperti siulan,
namun melengking keras.
"Nguiiikkk...!"
Bersamaan dengan itu, bersemburan asap pu-
tih kehitam-hitaman dari dalam tanah. Kemudian
nampaklah ujud-ujud menyeramkan berupa siluman
tengkorak darah. Jumlah mereka semakin banyak,
membuat para prajurit kerepotan.
Patih Rangga Wuni yang menyaksikan jumlah
makhluk itu bertambah banyak segera menyerang
dengan pukulan-pukulan sakti 'Semburan Naga'. Den-
gan tubuh berkelebat kian kemari, tangan Patih Rang-
ga Wuni memuntahkan pukulan demi pukulan sak-
tinya.
"Heaaa! Heaaa...!"
Jlegarrr!
***
Meski banyak juga korban di pihak lawan sete-
lah Patih Rangga Wuni melancarkan serangan dengan
'Semburan Naga', namun tenaga dalamnya terkuras
juga. Hal itu jelas mempengaruhi penyerangannya. Tu-
buh Patih Rangga Wuni kini kelihatan agak lemah da-
lam menyerang. Makin jarang dia melakukan serangan
dengan ajian 'Semburan Naga'. Kini dia lebih sering
mengelakkan serangan-serangan lawan.
Pertarungan di halaman istana itu berjalan cu-
kup alot. Korban di kedua belah pihak telah berjatu-
han. Jumlah korban yang paling banyak diderita di pi-
hak kerajaan. Korban di pihak kerajaan empat kali li-
pat dari korban di pihak makhluk bermuka tengkorak.
Belum juga pertarungan benar-benar tuntas,
dari dalam istana terdengar jeritan anak raja yang
meminta tolong.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Dyah Ayu Sawang
Sari, putri raja tersebut.
Patih Rangga Wuni yang sedang berusaha
menghalau lawan-lawannya, tentu saja terkejut. Tu-
buhnya melompat meninggalkan arena pertempuran,
lalu berkelebat masuk ke dalam istana. Dilihatnya se
sosok makhluk bermuka tengkorak darah tengah
membopong tubuh seorang lelaki muda yang menjadi
suami Dyah Ayu Sawang Sari.
"Berhenti...!" bentak Patih Rangga Wuni.
Wesss!
Siluman yang tertangkap basah segera melan-
carkan serangan dengan pukulan maut yang mengelu-
arkan sinar biru ke arah Patih Rangga Wuni.
"Hop! Yeaaa...!" Patih Rangga Wuni bersalto di
udara, mengelakkan serangan lawan. Sinar biru itu te-
rus melesat, kemudian menghantam tiang penyangga
istana.
Jlegarrr!
Krak!
Bummm!
Tiang itu kontan hancur, terhantam pukulan
maut yang dilontarkan makhluk berwajah tengkorak.
Hampir saja tiang itu mengenai tubuh Patih Rangga
Wuni, kalau tubuhnya tidak segera mencelat menge-
lak. Namun setelah Patih Rangga Wuni dapat mengua-
sai diri, matanya tidak melihat lagi makhluk yang
membawa tubuh suami Dyah Ayu Sawang Sari.
"Bedebah! Ke mana perginya makhluk jahanam
itu?!" umpat Patih Rangga Wuni marah. Tubuhnya se-
gera mencelat keluar, namun di luar tidak ditemukan-
nya gerombolan tengkorak darah lagi. Yang ada hanya
gelimpangan mayat prajurit kerajaan dan sisa-sisa pra-
jurit yang mematung dalam keadaan tertotok
"Kurang ajar!" maid Patih Rangga Wuni gusar,
menyaksikan para prajuritnya banyak yang gugur,
termasuk beberapa senapati dan hulubalang. Tinggal
beberapa prajurit dan senapati yang masih hidup. Me-
reka pun dalam keadaan tak berdaya.
"Paman Patih, apa yang terjadi?!" tanya Raja
Brah Salagatri dengan wajah cemas, menyaksikan ba
nyak sekali prajuritnya yang mati. Belum lagi dengan
anaknya yang menangis menyebut-nyebut nama sua-
minya.
Ketika terjadi kejadian itu, sang Raja yang bi-
jaksana dan sangat arif dalam memimpin tengah terti-
dur di ruang dalam istana. Tepatnya berada di sebelah
selatan alun-alun istana tempat pertempuran berlang-
sung. Hingga tidak tahu kejadian yang meletus di sa-
na.
Sang Raja yang saat itu sempat terjaga segera
lari ke alun-alun, ketika sayup-sayup didengarnya jeri-
tan-jeritan kematian.
"Ampun, Baginda. Barusan saja terjadi perta-
rungan. Serombongan manusia tengkorak menyerbu,"
tutur Patih Rangga Wuni setelah menyembah.
"Manusia tengkorak?!" pekik Raja Brah Salaga-
tri dengan mata membelalak.
"Benar, Baginda."
"Lalu apa yang terjadi?"
Patih Rangga Wuni menceritakan semua keja-
dian yang baru saja berlalu, tentang kerajaan yang
diserang gerombolan tengkorak darah. Tengkorak da-
rah itu kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan ke-
ris milik Patih Rangga Wuni yang bernama 'Ki Gimring'
tak mampu mengalahkan mereka. Malah keris itu dite-
lan tubuh salah satu tengkorak darah.
"Begitulah ceritanya, Baginda. Mereka bukan
manusia biasa, mungkin juga siluman. Sebab hamba
rasa, tak mungkin manusia seperti itu dapat hidup."
Baginda Raja Brah Salagatri tercenung, benak-
nya berusaha mencerna cerita Rangga Wuni. Rasanya
cerita itu sangat aneh. Namun melihat korban dan
menilai kejujuran Patih Rangga Wuni, mau tidak mau
baginda raja harus mempercayai juga kata-katanya.
"Rama.... O, Kangmas Lingga diculik setan,"
isak Dyah Ayu, membuat Baginda Raja Brah Salagatri
semakin percaya pada cerita patihnya.
"Hm, bencana apa yang tengah melanda kera-
jaan?" gumam baginda raja lirih.
Mata baginda raja memandang mayat-mayat
prajuritnya. Tubuh mereka bergelimpangan dalam
keadaan yang mengenaskan, dikerubuti oleh binatang-
binatang berbisa. Sangat menjijikkan sekali!
"Kau yakin mereka bukan manusia, Paman Pa-
tih?" tanyanya, seakan ingin lebih yakin lagi.
"Ampun, Baginda. Hamba rasa mereka bukan
manusia. Seperti yang hamba katakan, mereka tengko-
rak hidup. Tubuh mereka hanya tulang belulang...,"
tutur Patih Rangga Wuni.
"Benar, Rama. Apa yang dikatakan oleh Paman
Patih Rangga Wuni memang benar," sambung Dyah
Ayu di sela isak tangisnya. "Mereka menyeramkan. Tu-
buh mereka hanya tulang belulang belaka. Sangat me-
nakutkan, Rama. Dan mereka menculik Kangmas
Lingga."
Raja Brah Salagatri termangu diam. Matanya
memandang ngeri ke mayat-mayat prajuritnya yang
dikerumuni binatang-binatang berbisa yang entah da-
tang dari mana. Ada juga mayat prajuritnya yang ha-
ngus terbakar, seakan baru dipanggang di atas jilatan
api.
"Hm, seumurku, baru kali ini aku melihat silu-
man ikut campur dalam urusan manusia," gumam Ra-
ja Brah Salagatri masgul. "Mengapa kita yang dis-
erang? Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan,
Paman Patih"
"Ampun, Baginda. Kalau boleh hamba tahu,
apa yang mencurigakan menurut perkiraan Baginda?"
tanya Patih Rangga Wuni
Lelaki tua berusia sekitar enam puluh serta
berpakaian warna keemasan, bertubuh sedang dengan
penampilan tenang itu terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, berusaha membuang kesedihan yang
menghujam dada.
"Besok kuperintahkan padamu untuk mengun-
dang para pendekar dan para sesepuh istana untuk
mengadakan rapat. Sebar juga pengumuman untuk
mencari tahu tentang manusia tengkorak darah itu."
"Aku yakin ada maksud tersembunyi di balik
kejadian ini."
"Daulat, Baginda. Segala titah Baginda, akan
hamba junjung tinggi dan laksanakan," jawab Patih
Rangga Wuni sambil menyembah.
"Bagaimana dengan Kangmas Lingga, Rama?"
tanya Dyah Ayu dengan muka cemas.
"Tenanglah, Nduk. Kuharap para pendekar da-
pat membantu kita membuka tabir misteri kejadian
ini," gumam sang Raja sambil membimbing anaknya
masuk, diikuti oleh Patih Rangga Wuni.
Suasana duka menyelimuti Kerajaan Bumi
Wandra.
***
ENAM
Pagi lahir kembali, dikawal angin yang berhem-
bus sejuk. Langit terlihat ramah, tanpa awan kelabu
yang menutupi. Pasar Ngaplak yang merupakan pasar
ter-besar di wilayah Kerajaan Bumi Wandra pagi itu
tampak banyak pengunjungnya. Rupanya ada sesuatu
yang mendorong orang-orang berdatangan ke pasar
itu.
Di sudut pasar, pada sebuah penyangga ban
gunan pasar terdapat sebuah pengumuman dari kera-
jaan. Itu pula yang membuat para pedagang maupun
yang hendak berbelanja berkerumun di sana. Mereka
ingin mengetahui apa isi pengumuman tersebut
Bukan hanya pedagang dan orang-orang yang
hendak berbelanja di pasar itu yang berkerumun
membaca pengumuman dari kerajaan. Penduduk di
sekitar Pasar Ngaplak pun turut datang. Mereka sama-
sama ingin mengetahui isi pengumuman yang diedar-
kan oleh raja.
Barang siapa yang dapat memberikan keteran-
gan tentang manusia tengkorak atau menangkap pe-
mimpinnya, raja akan memberi hadiah seratus keping
uang emas.
Patih Kerajaan
Rangga Wuni
"Wah, hadiahnya banyak sekali! Tentunya ba-
ginda sangat murka terhadap manusia bermuka teng-
korak," ujar seorang penjual di pasar itu setelah mem-
baca pengumuman.
"Wah, kalau aku bisa menangkap mereka, ten-
tu aku akan kaya raya. Aku bisa menjadi saudagar,"
celoteh yang lainnya.
"Hanya pemuda tampan dan gagah serta beril-
mu tinggi saja yang bisa menangkap mereka," sela seo-
rang wanita cantik berkerudung biru dari kebaya biru
pula serta kain batik coklat tua, menyentakkan semua
orang di tempat itu yang langsung memandangnya
dengan tatapan penuh tanya.
"Kok Nyai tahu? Apa Nyai pernah melihat mere-
ka?" tanya seorang lelaki yang biasa berjualan di pa-
sar.
"Ya, bukannya tahu. Tapi siapa sih yang bisa
menangkap mereka? Orang-orang kerajaan saja tak
dapat berbuat apa-apa," sahut wanita cantik tadi. Ke-
mudian dia berlalu begitu saja dari tempat itu, diikuti
oleh pemandangan seluruh orang yang terkesima ke-
cantikan wanita itu.
Setelah wanita cantik itu berlalu jauh, barulah
mereka berdecak kagum atas kecantikannya.
"Ck ck ck! Perempuan kok bahenol amat..."
"Iya ya? Istri siapa ya? Cantik sekali."
"Wah, baru kali ini kulihat wanita cantik dan
sebahenol dia," sambung yang lain.
Orang-orang di pasar itu yang semula membi-
carakan masalah pengumuman sang Raja, kini malah
beralih membicarakan wanita berkerudung biru yang
cantik jelita. Wanita yang memiliki kecantikan sem-
purna.
"Wah, kalau aku bisa menangkap manusia
bermuka tengkorak, ingin rasanya aku mencari wanita
cantik tadi. Kujadikan dia istriku," gumam Dakir, pen-
jual tempe yang giginya mancung ke depan.
"Mana dia mau sama kamu, Kir...!" seloroh
Parmin.
"Loh, namanya saja kaya. Siapa sih yang tidak
mau sama orang kaya?" kelit Dakir dengan membu-
sungkan dada.
"Huh, lagakmu saja yang sok berani. Baru ke-
temu kucing saja kamu lari...!"
Suasana pagi itu diisi oleh gumaman khayal
tentang hadiah dari sang Raja dan wanita cantik ber-
kerudung biru yang tadi berada di pasar itu.
***
Sementara itu, tidak begitu jauh dari pasar
Ngaplak, tampak dua sejoli melangkah masuk ke da
lam sebuah kedai yang telah banyak pengunjungnya.
Lelaki tampan dan wanita cantik jelita itu, tidak lain
Sena, si Pendekar Gila dan Mei Lie, si Bidadari Penca-
but Nyawa.
Baru saja kedua pendekar muda itu duduk,
suasana di luar kedai seketika menjadi riuh dengan
kehadiran dua orang prajurit istana yang sedang me-
masang pengumuman di pohon ara yang besar. Lang-
sung saja semuanya bergerak mendekati pohon ara
tempat kedua prajurit kerajaan memasang pengumu-
man.
"Pengumuman dari baginda yang mulia Raja
Brah Salagatri!" seru salah seorang prajurit yang tidak
memasang pengumuman. "Diumumkan bagi siapa saja
yang bisa menangkap atau memberi petunjuk tentang
keberadaan manusia tengkorak akan diberi hadiah se-
ratus keping uang emas dari raja!"
Bisik-bisik pun terdengar di sana-sini. Mereka
pada umumnya ingin sekali mengikuti pengumuman
itu, menangkap tengkorak darah yang sudah banyak
menculik pemuda-pemuda tampan dan gagah.
"Memang kalau tidak segera dibasmi, bisa-bisa
lelaki tampan di kerajaan ini akan habis," celoteh seo-
rang warga.
"Benar! Kita harus secepatnya membasmi teng-
korak darah! Kalau tidak, maka lelaki muda dan tam-
pan akan habis!" sambung yang lainnya.
"Basmi tengkorak darah...!"
"Hancurkaaan...!"
Kemarahan penduduk yang sudah mendengar
kekejian sepak terjang tengkorak darah seketika me-
luap. Mereka berteriak-teriak untuk membasmi gerom-
bolan tengkorak darah yang telah meresahkan pendu-
duk di Kerajaan Bumi Wandra.
"Tenang saudara-saudara. Tenang...!" seru pra
jurit yang membacakan pengumuman. "Ada dua pen-
gumuman lagi yang harus kalian dengarkan."
"Katakanlah, kami ingin segera mendengar!" se-
ru warga.
"Apakah ada yang tertangkap?" tanya yang lain.
"Cincang saja! Preteli tulang-tulangnya!"
"Kasihkan pada kucing dan anjing biar digero-
goti...!"
Betapa menggebu amarah warga. Mereka tam-
paknya tidak sabar lagi untuk mengetahui apa yang te-
lah terjadi.
"Berita kedua mengenai berita duka!" kata pra-
jurit yang menjadikan semua warga terdiam. "Dengar
oleh kalian baik-baik. Kemarin malam, istana kerajaan
telah diserang oleh kawanan tengkorak darah. Mereka
banyak membunuh prajurit dengan cara yang sangat
keji! Cara iblis! Bukan hanya itu, suami Putri Dyah
Ayu diculik. Sampai sekarang belum diketahui berada
di mana...."
Semua warga membelalakkan mata mendengar
isi pengumuman duka cita itu. Wajah mereka terlihat
marah. Mungkin kalau di situ ada salah satu tengko-
rak darah, mereka akan langsung menyerang dan
mempreteli tulang belulangnya.
"Berita yang kedua. Jika di antara kalian ada-
lah seorang pendekar, Baginda berharap agar sudi da-
tang ke istana...!"
Semua terdiam saling pandang, berusaha ber-
tanya-tanya siapa di antara mereka yang merupakan
pendekar. Sedangkan Pendekar Gila dan Bidadari Pen-
cabut Nyawa nampak masih tenang menyantap maka-
nannya. Seakan mereka tidak menghiraukan pengu-
muman itu.
"Ki dan Nisanak, dilihat dari pakaian yang ka-
lian kenakan, tentunya kalian dari rimba persilatan,"
tegur pemilik kedai setelah menghampiri keduanya.
Sena tersenyum bodoh. Tangan kirinya meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya pemilik kedai yang
tadi berkata, membuat lelaki berusia sekitar empat pu-
luh tahun itu tersenyum.
"Aha, pantaskah kami menjadi pendekar, Ki? Hi
hi hi..! Lucu sekali kalau kami ini pendekar," oceh Se-
na sambil tertawa cekikikan. Pemilik kedai menge-
rutkan kening melihat tingkah pemuda tampan be-
rambut ikal gondrong dengan pakaian rompi kulit ular
yang seperti orang gila.
Mei Lie menyikut kekasihnya agar diam. Sena
menurut diam, meski sempat menggerutu.
"Kakang, tampaknya gerombolan siluman itu
telah menjarah kerajaan," bisik Mei Lie.
"Ya! Aku heran, mengapa istana juga dijarah?
Tengkorak darah benar-benar cari penyakit," gumam
Sena setengah berbisik.
"Jadi kalian benar dari rimba persilatan...?"
tanya pemilik kedai.
"Aha, benar katamu, Ki. Tapi kami bukan pen-
dekar," sangkal Sena semakin bertingkah konyol. Lagi-
lagi pemilik kedai yang bernama Ki Sanip mengerutkan
kening. Tampaknya lelaki itu bingung dengan ucapan
pemuda tampan di depannya.
"Maksud Kisanak...?" tanya Ki Sanip belum je-
las.
"Hi hi hi...! Kau kebingungan, Ki. Ah ah ah, be-
gini. Kami memang dari dunia persilatan, tapi kami
bukan pendekar. Kami hanya seorang pengelana saja,"
jawab Sena, berpura-pura.
"Ah, rupanya Kisanak hanya merendahkan diri.
Tak mungkin orang persilatan berkelana kalau bukan
seorang pendekar."
"Ah, mengapa begitu, Ki?" tanya Sena. "Apakah
tidak boleh kalau orang yang bukan pendekar berkela-
na untuk mencari pengalaman?"
"Ya, boleh saja. Namun rimba persilatan ini ga-
nas, Kisanak. Jika macan buas, tapi manusia lebih
buas. Macan tidak akan memangsa jenisnya sendiri.
Tapi manusia, tega membunuh manusia lain," tutur Ki
Sanip, bijak.
"Hi hi hi...! Ah ah ah, kau sungguh hebat, Ki.
Petuahmu lebih sakti dari ilmu kedigdayaan. Tanpa pe-
tuah yang baik, orang sakti akan menjadi sesat. Bukan
begitu, Ki...?" tambah Sena turut berpetuah, membuat
Ki Sanip semakin heran dengan pemuda bertingkah gi-
la itu. Tingkahnya memang seperti orang gila, tetapi
pengalaman dan pikirannya seperti orang sehat. Bah-
kan seperti seorang pendekar yang digdaya.
Siapa sebenarnya pemuda gondrong ini? Tin-
dak-tanduknya seperti orang gila. Namun cara bicara
dan tata kramanya seperti orang berpendidikan tinggi
dan berilmu, gumam Ki Sanip dalam hati. Matanya
masih menatap wajah Sena dengan seksama, seperti
berusaha meyakinkan siapa sebenarnya pemuda tam-
pan yang terkadang tertawa sendiri, lalu cengengesan,
atau tersenyum-senyum bodoh.
Ketika Sena dan Mei Lie tengah ngobrol dengan
Ki Sanip, dari luar masuk seorang lelaki tinggi besar
berkepala botak. Wajahnya amat garang. Kumis tebal
yang panjang melintang menghiasi atas bibirnya. Alis
mata lelaki tinggi besar itu lebar. Di tangannya terda-
pat dua golok besar. Hidungnya mancung. Pakaian le-
laki itu terbuat dari kulit serigala berwarna belang
kuning kecoklatan. Umurnya kurang lebih empat pu-
luh tahun.
Lelaki tinggi besar yang memeluk sepasang go-
lok besar seketika bertingkah sopan, ketika dilihatnya
dua orang yang tengah makan di kedai itu.
"Oho, rupanya Pendekar Gila hadir di sini," ka-
ta lelaki yang bergelar Serigala Merah Golok Kembar
itu sambil menjura hormat "Terimalah salam dari Seri-
gala Merah."
Ki Sanip tersentak, setelah mendengar Serigala
Merah menyebut nama pemuda tampan yang kini ter-
tawa tergelak-gelak
"Jadi, dia Pendekar Gila?" gumam Ki Sanip da-
lam hati dengan mata membelalak. "Pantas..., pan-
tas...."
Pendekar Gila bangkit dari bangkunya, diikuti
oleh Mei Lie. Mereka membalas juraan Serigala Merah
yang cukup terperangah, melihat gadis yang duduk
bersama Sena.
"Oho, rupanya Bidadari Pencabut Nyawa pun
hadir di sini. Maaf, mata tuaku kurang dapat melihat
dengan baik."
"Ah, tidak mengapa, Kisanak. Silakan duduk.
Mari kita makan bersama," ajak Mei Lie dengan penuh
wibawa.
Ki Sanip semakin terkejut, setelah tahu bahwa
gadis Cina itu juga seorang pendekar yang namanya
akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Julukannya cukup
membuat para tokoh rimba hitam harus berpikir pulu-
han kali untuk menghadapinya. Apalagi dengan Pe-
dang Pusaka Bidadari yang ampuh, sulit bagi para
pendekar pedang untuk bisa menandinginya.
Serigala Merah pun duduk bersama kedua
pendekar muda yang cukup disegani baik oleh kawan
maupun lawan.
Ki Sanip segera mengambil makanan untuk Se-
rigala Merah.
Ketiga pendekar itu pun menyantap makanan
sambil membicarakan masalah yang telah terjadi di
rimba persilatan wilayah timur. Malah mereka kini
membicarakan masalah tengkorak darah yang telah
berani menjarah istana.
"Bagaimana menurutmu dengan masalah ini,
Tuan Pendekar?" tanya Serigala Merah ingin tahu
tanggapan Sena.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala
sesaat
"Aha, bagaimana aku menjelaskannya? Hi hi
hi...! Kau ini lucu sekali, Sobat. Mana aku tahu masa-
lah ini?" sahut Sena sambil cengengesan.
"Ya ya, aku tahu. Tapi aku baru saja membaca
pengumuman itu. Di situ dijelaskan, bagi siapa saja
yang dapat menangkap tengkorak darah akan menda-
patkan hadiah seratus keping uang emas. Apa kau ti-
dak berminat mengikuti sayembara itu."
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah melirik Mei Lie yang hanya ter-
senyum, Sena menjawab.
"Ah, kurasa tidak, Sobat. Apakah kau berkenan
mengikutinya?" balik Sena bertanya.
"Ya! Aku ingin mengikutinya," jawab Serigala
Merah. "Dapatkah kau memberi penjelasan apa yang
seharusnya kulakukan?" pinta Serigala Merah.
Sena kembali tertawa cekikikan.
"Aha, kurasa aku hanya bisa berkata kau harus
berhati-hati, Sobat. Yang akan kau hadapi bukan ma-
nusia seperti kita."
"Jadi...?" alis Serigala Merah terangkat
"Para tengkorak darah adalah gerombolan si-
luman," jawab Mei Lie, mendahului kekasihnya.
"Siluman?!"
"Ya, begitulah. Mereka bukanlah manusia, tapi
siluman," ulang Mei Lie menegaskan.
"Hm." Serigala Merah bergumam tak jelas. Ma-
tanya kini menerawang keluar. "Kalau memang tengko
rak darah adalah siluman. Tentu sangat sulit bagi ma-
nusia untuk mengalahkannya," nilai Serigala Merah.
"Kisanak, ada baiknya kau mencoba. Tapi se-
perti yang kukatakan tadi, hati-hatilah. Percayakan
semua jiwa dan ragamu pada Sang Hyang Widi. Hanya
dia yang menentukan hidup dan mati makhluk di du-
nia ini," tutur Sena berusaha menasihati.
"Jadi menurutmu aku bisa mengikuti sayemba-
ra itu?"
"Aha, semua orang bisa, Sobat. Kau, aku, Bida-
dari Pencabut Nyawa, dan lain-lainnya, bisa mengikuti.
Semua kini tergantung dari nasib dan kehendak Sang
Hyang Widi. Jika nasib kita baik atas kehendak Sang
Hyang Widi, tentu kita akan menang...," tutur Pende-
kar Gila. Kemudian dia menambahkan.... "Bagaimana-
pun juga, suatu saat aku harus mengikuti, Sobat. Se-
cara langsung maupun tak langsung, aku pasti akan
turut berusaha memberantas segala macam bentuk
kejahatan dan keangkaramurkaan di muka bumi ini."
"Ya ya, aku mengerti," sahut Srigala Merah.
"Kalau begitu aku bisa mengikuti sayembara itu?"
"Ya ya, kami berdoa, semoga engkau dalam lin-
dungan Sang Hyang Widi," kata Mei Lie.
"Terima kasih. Dengan dorongan semangat dari
kalian, tekadku semakin bulat," hatur Serigala Merah.
"Kita makan dulu, Sobat," ajak Sena.
Ketiganya kembali menyantap makanan mere-
ka. Setelah selesai, Serigala Merah membayar semua
makanan yang telah mereka pesan. Kemudian mereka
keluar meninggalkan kedai itu.
"Hendak ke arah mana tujuan kalian?" tanya
Serigala Merah.
"Ah, entahlah, Sobat. Kami hanya mengikuti
langkah kaki kami. Ke mana angin bertiup, ke sana
kami menuju," jawab Sena.
"Kalau begitu kita berpisah dulu. Semoga kita
dapat bertemu di lain waktu. Permisi...," Serigala Me-
rah menjura hormat, dan dibalas oleh Pendekar Gila
dan Bidadari Pencabut Nyawa (Mengenai julukan Mei
Lie sebagai Bidadari Pencabut Nyawa, silakan anda
ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi
Kuan Im" dan "Pedang Pencabut Nyawa").
Kedua pendekar muda itu sesaat mematung di
tempat yang berjarak sekitar dua puluh lima batang
tombak dari kedai. Mata mereka memandang ke seke-
liling yang nampak asri dengan barisan tumbuhan hi-
jau.
"Hendak ke mana kita, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Aha, kenapa kau bertanya? Bukankah kita se-
dang bertualang? Ke mana angin berhembus, ke sana
pula kita melangkah," jawab Sena berseloroh, mem-
buat Mei Lie gemas.
"Kau nakal, Kakang. Selalu saja menggodaku!"
sungut Mei Lie manja.
"Karena aku suka menggodamu. Apa tak bo-
leh...?"
"Hm...," Mei Lie bergumam, sedang matanya
menatap penuh arti ke wajah tampan Sena yang saat
itu tersenyum. "Kakang...."
"Hm, ada apa?" tanya Sena sambil menengok ke
gadis pujaannya.
"Lama kita berpisah. Saat itu, ingin rasanya
aku bertemu denganmu. Tapi setelah bertemu, kau
nakal. Kau suka menggodaku," kata Mei Lie dengan
suara manja.
Sena tertawa ngakak.
"Kalau tidak menggoda, lalu harus bagaimana?"
tanya Sena berpura-pura tidak tahu.
Mei Lie terdiam, tersipu-sipu malu. Sena me-
langkah mendekati kekasih hatinya. Dipegangnya
pundak Mei Lie dengan lembut. Kemudian dibelainya
rambut Mei Lie.
"Kita berangkat, Mei Lie?" ajak Sena.
"Kakang belum mengatakan padaku," desak
Mei Lie cemberut.
"Tentang apa?"
"Ketika kita berpisah," jawab Mei Lie.
"Aha, kurasa kau telah mengerti, Mei Lie. Se-
perti hatimu, aku pun merasakan hal yang serupa...,"
jawab Sena dengan suara meyakinkan, membuat Mei
Lie tersenyum.
Dengan iringan angin yang bertiup lembut, ke-
duanya pun melangkah untuk meneruskan perjalanan
mereka.
***
TUJUH
Suasana Istana Kerajaan Siluman Tengkorak
Darah nampak sibuk. Mereka hendak mengadakan
pesta. Seluruh siluman tengkorak darah, sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing. Umbul-umbul berbaris
sepanjang jalan alam siluman. Benar-benar hendak
melaksanakan satu acara besar.
Di ruangan lebar yang biasanya digunakan un-
tuk pertemuan, duduk di singgasana seorang wanita
muda yang cantik berpakaian minim. Wanita cantik
yang ternyata Ratu Siluman Tengkorak Darah, duduk
dengan penuh keanggunan. Matanya yang lentik, me-
mandang tajam pada para punggawa kerajaan yang
berupa tengkorak darah juga. Para punggawa, hulu-
balang dan patih kerajaan duduk di ruangan lebar itu
Sulit untuk membedakan mana yang prajurit,
mana yang hulubalang dan mana yang patih serta tu-
menggung. Semuanya bermuka tengkorak menyeram-
kan. Hanya ada pembeda bagi mereka, yaitu darah
yang melumuri muka tengkorak
Patih kerajaan memiliki banyak lumuran darah
di muka. Bahkan menutupi semua mukanya. Panglima
perang dan para hulubalang serta tumenggung pun
memiliki ciri lain. Darah yang menutupi muka mereka
lebih sedikit daripada patih.
Begitulah seterusnya. Semakin rendah pang-
katnya, semakin pucat wajah tengkorak itu.
Ada juga ciri lain dari para tengkorak darah,
yaitu pada lengan bajunya. Kalau patih lengan bajunya
terdapat bunga kamboja sebanyak empat kuntum.
Panglima perang tiga, hulubalang dua kuntum, se-
dangkan tumenggung satu dan prajurit tak ada.
"Paman Patih, hari ini ibunda hendak melaku-
kan upacara usia yang ke enam puluh lima tahun. Un-
tuk itu, aku titahkan pada Paman Patih agar menjaga
istana dengan ketat. Jangan sampai ada bangsa lain
yang masuk dan membuat kekacauan. Kalau ada, ku-
perintahkan membunuhnya!"
"Sendika Kanjeng Ratu," jawab Patih Tengkorak
Darah.
"Kini kalian boleh bubar, jangan sekali-sekali
menggangguku," kata Ratu Siluman Tengkorak Darah.
"Sendika, Sri Ratu." Setelah melakukan sem-
bah, para prajurit dan pembesar istana pun mundur
dari hadapan ratu mereka yang kini bangkit dari sing-
gasananya, melangkah masuk ke dalam kamar yang
telah tersedia seorang lelaki muda yang gagah, berpa-
ras tampan, serta bersih.
Lelaki muda itu ternyata Lingga, suami Dyah
Ayu yang diculik. Lingga yang sudah terpengaruh oleh
ilmu sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah kini bagai
lupa segalanya. Tubuhnya terbaring telanjang di atas
tempat tidur.
Dari luar, masuk Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. Bibir sang Ratu mengurai senyum. Saat itu pula,
Lingga segera bangkit. Bibir lelaki tampan itu men-
gembangkan senyum. Tampaknya dia benar-benar se-
nang melihat kedatangan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah.
"Anak bagus, rupanya kau telah lama menung-
gu," desis Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil men-
gulurkan tangannya, yang disambut oleh Lingga den-
gan pelukan mesra. Tidak hanya sampai di situ, Lingga
kemudian menciumi seluruh wajah Ratu Siluman
Tengkorak Darah, lalu merambah turun ke leher Ratu
Siluman Tengkorak Darah yang jenjang dan menan-
tang.
Lingga yang sudah terbius pengaruh sihir Ratu
Siluman Tengkorak Darah, benar-benar lupa sega-
lanya. Bahkan istri tercintanya kini tak ada lagi di ke-
dalaman hatinya, yang ada hanya nafsu liar yang
mendidih. Lama kemudian membisu. Hanya desah-
desah napas jalang saja yang terdengar. Sampai akhir-
nya....
"Aaakh...!"
Tiba-tiba Lingga mengejang. Matanya melotot
menahan sekarat. Sedangkan Ratu Siluman Tengkorak
Darah tertawa cekikikan. Seakan senang menyaksikan
bagaimana Lingga bergelinjang menghadapi maut
"Aaakh!"
"Hik hik hik...!" Kau puas, Cah Bagus! Kini
ayahku akan melihat bagaimana pembalasan ibu! Hua
ha ha...!"
"Akh, ampun...!" jerit Lingga terus menggeliat-
geliat kesakitan. Bagian bawah tubuhnya bagai ada
yang menggigit. Bahkan kini seperti putus. Darah me
nyembur dari kemaluan Lingga yang putus. Sedangkan
dari kemaluan Ratu Siluman Tengkorak Darah, tam-
pak seekor binatang berbentuk ular tengah melumat
kemaluan Lingga.
Lingga menggelepar-gelepar sekarat, kemudian
terkulai dengan nyawa melayang.
"Hua ha ha...! Ayah, lihat pembalasan ibu! Li-
hat! Kau telah menyia-nyiakan aku dan ibu! Kini kau
lihatlah semua!" tawa Ratu Siluman Tengkorak Darah
menggelegar, disertai gemuruhnya angin yang memba-
dai. Entah siapa yang disebut sebagai ayahnya.
"Prajurit!"
Dua orang prajurit bergegas masuk, kemudian
menyembah.
"Hamba Kanjeng Ratu...."
"Bawa tubuh lelaki ini, buang ke alam manusia
di dekat istana!" perintah Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah.
"Sendika, Sri Ratu."
Kedua orang prajurit yang bermuka tengkorak
itu segera mengangkat mayat Lingga keluar mening-
galkan kamar ratu mereka yang masih tertawa.
***
"Mayat..! Mayaaat..!"
Seorang prajurit yang sedang bertugas mengeli-
lingi tembok istana menjerit-jerit, ketika menyaksikan
sesosok tubuh tanpa pakaian dikerumuni oleh bina-
tang-binatang berbisa menjijikkan. Rupanya mayat
Lingga yang mengalami kematian mengerikan dibuang
di tempat itu.
"Mayat! Mayat Den Lingga...!"
Sepontan semua penghuni istana termasuk
sang Raja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mata
mereka serentak membelalak, menyaksikan mayat
Lingga tiba-tiba telah tergolek di buritan istana dalam
keadaan mengerikan.
"Kangmas Lingga...!"
Dyah Ayu yang melihat suaminya telah mati da-
lam keadaan mengenaskan seketika menjerit histeris.
Tubuhnya gontai, lalu pingsan tak kuat menerima
guncangan batin.
Patih Rangga Wuni dan Baginda Raja Brah Sa-
lagatri menghela napas dalam-dalam.
Kematian yang sama dialami oleh para prajurit
kerajaan tiga hari lalu. Tapi mayat Lingga kini lebih
mengerikan, karena kemaluannya hilang. Seperti digi-
git oleh binatang berbisa, yang menjadikan tubuhnya
membiru.
"Ini keterlaluan!" dengus baginda raja geram.
"Kita harus segera meringkus pelaku semua ini. Aku
tak peduli itu bangsa siluman atau manusia!"
Patih Rangga Wuni terdiam. Sulit baginya un-
tuk mengutarakan kata-kata. Bagaimanapun juga, dia
harus berpikir beratus kali untuk bisa menjawab se-
mua misteri ini. Kalau benar pelakunya siluman, apa
dasarnya sehingga bangsa siluman begitu dendam ter-
hadap Kerajaan Bumi Wandra?
"Patih, kau harus memanggil para pendekar
untuk datang ke istana secepatnya. Aku tak ingin kor-
ban semakin banyak berjatuhan. Kita harus segera
menghentikan semuanya!" dengus baginda raja marah.
"Sendika, Yang Mulia. Hamba akan segera men-
jalankan tugas."
"Lakukanlah sekarang juga."
"Sendika, Yang Mulia."
Patih Rangga Wuni segera menyembah, kemu-
dian tubuhnya pun berlalu meninggalkan buritan ista-
na di mana raja dan kerabat istana masih berdiri di
tempat itu.
Sore telah menjelang. Sebentar lagi kegelapan
malam akan segera merambah. Matahari terpulas le-
lah. Suasana duka menyelimuti kerabat istana. Mereka
tak pernah tahu apa yang telah terjadi belakangan ini.
Semua masih gelap, menjadi tabir misteri yang sulit
untuk dikuak.
Orang-orang istana tampak sibuk mengurus
mayat Lingga. Wajah mereka dirundung duka yang da-
lam atas kematian menantu baginda raja. Mereka tidak
tahu, mengapa mesti keluarga raja yang menjadi kor-
ban. Padahal baginda raja sangat arif dan bijaksana
memimpin kerajaan. Tak pernah sekalipun baginda
berlaku tidak adil dan kasar, yang akan membuat
orang dendam.
Mereka tak tahu. Semua orang tak tahu, kalau
ada sesuatu yang terjadi di balik semua itu. Dendam
seorang wanita dan anaknya yang merasa disia-siakan.
Dendam yang membuat keduanya bersumpah untuk
mengabdi di alam kegelapan.
Dendam itu kini terwujud, setelah diterimanya
kedua ibu dan anak menjadi bangsa siluman, bangsa
kegelapan. Dengan cara mengorbankan jiwa dan raga
mereka.
Kalau saja semuanya tahu, tentu semua tak
akan bingung dan resah menghadapi kejadian-
kejadian yang aneh dan penuh misteri.
Hujan rintik turun mengiringi duka keluarga is-
tana atas kematian Lingga. Dengan derai air mata yang
berbaur dengan derai hujan, mayat Lingga dikebumi-
kan sebagaimana adat kerajaan.
Dyah Ayu masih terseguk-seguk, bahkan bebe-
rapa kali jatuh pingsan, tak kuat menahan kesedihan
yang dialaminya. Mereka baru menikah sebulan yang
lalu. Dalam keadaan yang seharusnya gembira, tiba
tiba tengkorak darah merenggut Lingga dari pelukan-
nya. Lalu setelah tiga hari menghilang, tiba-tiba Lingga
diketemukan telah menjadi mayat yang sangat menge-
rikan.
"Ibu, mengapa semua ini terjadi? Hu hu hu...!"
"Entahlah, Cah Ayu. Ibu juga tak mengerti," ka-
ta ibunda Dyah Ayu sambil memeluk tubuh anaknya.
Tangannya dengan lembut membelai-belai rambut
sang Anak.
Wanita cantik jelita yang sangat sayang pada
anaknya itu bertubuh ramping dengan rambut disang-
gul. Wajahnya tampak lembut, tenang, dan penuh ka-
sih. Matanya lentik serta berbibir mungil, meski
usianya sudah menginjak tua. Sabar sekali tingkah la-
kunya.
"Sudahlah, Dyah. Mungkin semua ini suratan
Sang Hyang Widi!" tambah ayahnya, Raja Kerajaan
Bumi Wandra dengan masgul.
"Tapi, Rama, Mengapa harus kita yang meneri-
manya? Mengapa?"
Raja Brah Salagtari menghela napas dalam-
dalam. Dengan air mata berlinang, Raja Brah Salagatri
berusaha menjawab pertanyaan anaknya.
"Sang Hyang Widi tak pandang siapa manusia
itu, Dyah. Kalau dia menghendaki, pasti akan terjadi.
Mungkin hari ini Lingga, besok siapa tahu Ayah."
"Tapi ini bukan kehendak Sang Hyang Widi,
Rama," bantah Dyah Ayu.
"Sudahlah, Cah Ayu. Terimalah semuanya den-
gan hati yang tabah. Serahkan semuanya pada Sang
Hyang Widi. Semoga Dia menerima arwahnya," hibur
sang Ibu
Suasana duka masih menyelimuti mereka. Pe-
kuburan kerabat istana kembali sepi dan senyap.
Hanya terdengar desah angin yang bergesek dengan
daun-daun pohon kering. Berderit lirih penuh duka.
Satu persatu mereka meninggalkan pekuburan
itu, masih dengan membawa tangis. Pekuburan pun
benar-benar sepi. Malam merambat datang, dengan
kegelapannya yang terasa semakin mencekam.
Krakkk!
Tiba-tiba kuburan tempat Lingga dimakamkan
berbunyi. Ada sesuatu yang terjadi. Bersamaan dengan
itu, terdengar suara berseru sayup-sayup.
"Atas nama tengkorak darah! Bangunlah...!"
Krakkk!
Werrr!
Angin menderu dengan kencang, seiring dengan
suara pecahnya tanah di kuburan Lingga. Dari kegela-
pan yang mencekam, tampak se sosok tubuh berdiri.
Tangannya terangkat ke atas. Matanya tajam meman-
dang kuburan Lingga yang merekah.
"Bangkitlah! Atas nama tengkorak darah.
Bangkit! Bangkit dari kuburmu! Bunuh Raja Brah Sa-
lagatri! Bunuh...!"
Krakkk! Duarrr!
Ledakan dahsyat menggelegar, memecahkan
kesunyian malam yang dingin, disertai rintik hujan ge-
rimis. Sepasang tangan kaku dengan kuku-kuku pan-
jang, merayap naik perlahan-tahan. Lalu tampak-lah
kepala Lingga yang mengerikan. Kepala menyeramkan
itu muncul ke permukaan tanah. Matanya berwarna
merah menyala. Kemudian sosok menyeramkan itu
berdiri di atas liang kuburnya. Matanya memandang
sosok wanita yang berdiri di tengah kegelapan.
"Aku bangkit..."
"Kemarilah!" seru wanita dalam kegelapan me-
merintah.
Sosok mayat hidup itu melangkah mendeka-
tinya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya mayat hi-
dup itu dengan suara berat dan serak. Bau busuk me-
nebar di udara malam.
"Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Kau adalah ab-
diku yang setia! Kau akan menjadi penghancur keluar-
ga kerajaan! Bawa anak lelaki Brah Salagatri! Bawa ke
tempatku!" perintah wanita yang berdiri di kegelapan.
"Hanya itu?" tanya mayat hidup.
"Untuk kali ini. Hanya itu!"
"Baik, aku akan melakukannya."
"Bagus! Pergilah segera...!"
Wanita itu menghilang. Kini tinggallah mayat
hidup yang melangkah membelah malam. Desah na-
pasnya yang berat, membuat suasana di sekelilingnya
semakin mencekam. Dentuman langkahnya pun se-
makin membahana, menggetarkan kesunyian.
Mayat hidup itu melangkah menuju istana.
Enam orang penjaga pintu gerbang tersentak,
manakala melihat sesosok menyeramkan menuju ista-
na. Mata mereka membelalak tegang. Sepontan mereka
menjerit ketakutan, membuat orang-orang istana ter-
sentak dan berhamburan lari keluar untuk melihat
apa yang terjadi.
"Mayat hidup...!" seru mereka ketakutan
"Lingga! O, apa yang terjadi denganmu?" tanya
Raja Brah Salagatri dengan mata melotot tegang, me-
nyaksikan mayat menantunya yang baru dikubur sore
tadi, kini bangkit. Mata Lingga bersinar merah menye-
ramkan.
"Gerrr! Minggir...!" bentak mayat hidup itu
sambil menggerakkan tangan.
Wettt!
Para penjaga pintu gerbang dicengkeramnya,
kemudian dengan enteng dilemparkan keenam prajurit
itu sampai melayang di udara. Lalu jatuh ke tanah
dengan nyawa melayang.
Menyaksikan kebengisan mayat Lingga, Raja
Brah Salagatri segera memerintah para prajuritnya un-
tuk membunuh mayat itu.
"Bunuh iblis itu...!"
Serentak berpuluh prajurit bergerak maju un-
tuk menyerang. Dengan pedang dan tombak, mereka
menyerang mayat Lingga.
Swing, swing, swing!
Jlep, jlep, jlep!
Puluhan anak panah dan tombak menghujani
tubuh mayat Lingga yang hidup kembali. Beberapa ba-
gian tubuhnya tertembus telak. Bahkan ada yang
sempat menembus hingga bagian belakang tubuh. Tapi
mayat hidup itu bagai tidak merasakan apa-apa. Ma-
lah dicabutnya senjata-senjata yang menghujam di tu-
buhnya. Kemudian dengan penuh amarah, dilempar-
kannya kembali senjata itu ke para prajurit.
"Gerrr! Ini senjata kalian kukembalikan!
Heaaa...!"
Puluhan senjata itu melesat laksana dilontar-
kan tenaga raksasa. Tanpa ampun....
Jlep, jlep, jlep!
"Wuaaa...!"
Puluhan prajurit menjerit setinggi langit. Tubuh
mereka tertembus senjata-senjata yang tadi mereka le-
paskan.
Raja Brah Salagatri semakin bertambah cemas
menyaksikan keganasan mayat hidup menantunya.
Dia segera lari masuk ke dalam sambil berseru meme-
rintah prajuritnya untuk membunuh mayat hidup itu.
"Gerrr! Minggir kalian...!"
Wuttt!
Tangan mayat hidup bergerak cepat, menyam-
bar tubuh para prajurit yang berusaha menghalan
ginya. Seketika mereka terlempar ke udara bersama je-
rit kematian yang menyayat.
"Wuaaa...!"
Bug, bug, bug!
Menyaksikan kematian teman-temannya, nyali
para prajurit lainnya mendadak ciut. Mereka segera
menyingkir, ketika mayat hidup itu melangkah mende-
kati mereka. Mayat hidup itu terus melangkah masuk.
Namun tiba-tiba dia dihalangi oleh seorang lelaki tua
berjubah ungu. Di tangan lelaki tua berjubah ungu
yang bernama Ki Gendut Kluntung, tergenggam tom-
bak pendek bermata dua yang dinamakan 'Ki Basupa-
ti',
"Minggatlah kau ke alammu! Heaaa...!" Ki Gen-
dut Kluntung yang, keadaan tubuhnya kurus tidak se-
perti namanya itu, merangsek dengan senjata pusa-
kanya.
"Heaaa...!"
"Gerrr! Minggir kau!" bentak mayat hidup sam-
bil bergerak menyerang Ki Gendut Kluntung. Dia ada-
lah Pendekar Istana Bumi Wandra yang berusia sekitar
lima puluh tujuh tahun. Berambut panjang dengan
bagian atas kepala botak, berhidung pesek dan berma-
ta lebar. Tubuhnya harus berjumpalitan mengelakkan
serangan lawan yang menimbulkan angin panas mem-
bakar.
"Edan! ilmu iblis...!" maki Ki Gendut Kluntung
dengan mata membelalak, menyaksikan keganasan
pukulan tangan lawan.
Saat itu, ketika Ki Gendut Kluntung mengelak,
mayat hidup berlari menuju kamar putra Raja Brah
Salagatri yang bernama Citro Buono. Diambilnya pe-
muda tanggung yang menjerit-jerit ketakutan itu.
"Rama, tolooong...!"
"Anakku! Anakkuuu...! Jangan bawah anak
kuuu!" seru Raja Brah Salagatri, berusaha mencegah
mayat hidup. Tapi tubuh mayat hidup telah menghi-
lang lewat jendela kamar anaknya.
"Iblis! Jangan lari...!" bentak Ki Gendut Klun-
tung mengejar.
***
DELAPAN
Sia-sia saja Ki Gendut Kluntung mengejar, se-
bab mayat hidup itu telah menghilang dalam kegela-
pan entah ke mana. Seperti menyusup ke dasar bumi.
Dengan penuh kekecewaan, Ki Gendut Klun-
tung kembali ke kerajaan. Namun baru beberapa lang-
kah kakinya bergerak, tiba-tiba tanah di sekelilingnya
merekah. Bersamaan dengan itu, dari rekahan tanah
muncul asap putih kehitam-hitaman mengurung tu-
buh Ki Gendut Kluntung.
"Heh, apa itu?!" desis Ki Gendut Kluntung den-
gan mata membelalak, menyaksikan sesuatu yang
aneh. "Uh, bau kemenyan dan bunga kamboja.
Wesss!
Krakkk!
Suara asap mengepul disertai derak tanah re-
tak kembali terdengar. Samar-samar, kini tampak pu-
luhan makhluk-makhluk menyeramkan mengelilingi Ki
Gendut Kluntung.
"Hah...?! Mereka dari dalam tanah! Oh, mereka
benar-benar siluman tengkorak darah," desis Ki Gen-
dut Kluntung dengan mata membelalak tegang. Cepat-
cepat disiapkan senjata pusakanya, tombak pendek Ki
Basupati.
"Gerrr! Nguikkk...!"
Serentak makhluk-makhluk menyeramkan
bermuka tengkorak itu menyerbu Ki Gendut Kluntung.
Serangan mereka begitu cepat. Gerakan mereka
bukanlah gerakan ilmu silat, kacau balau. Namun
membahayakan.
"Gerrr! Nguikkk!"
"Ayo, hadapi aku...!" tantang Ki Gendut Klun-
tung sambil menggerakkan Ki Basupati dengan jurus
'Jalma Bawuna', menjadikan tombak pendek itu mam-
pu mengeluarkan angin yang menderu kencang, me-
nyambar-nyambar ke arah sosok-sosok menyeramkan.
"Nguikkk!"
"Heaa...!"
Meski dikeroyok prajurit tengkorak darah, tapi
Ki Gendut Kluntung rupanya mampu mengatasi se-
rangan-serangan mereka. Bahkan beberapa kali senja-
tanya mampu menghantam kepala dan dada lawan
yang seketika jatuh ambruk dan menghilang.
"Heaaa!"
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus bergerak me-
nyerang. Tangannya yang memegang tombak Ki Basu-
pati menyambar lawan-lawannya yang berusaha me-
rangsek. Keampuhan Ki Basupati benar-benar terbuk-
ti. Senjata itu mampu membuat lawan dari bangsa si-
luman darah harus mengalami kebinasaan.
"Nguik! Werrr...!"
Pemimpin Prajurit Tengkorak Darah yang meli-
hat anak buahnya semakin banyak menjadi korban ki-
ni merangsek maju. Tangannya yang hanya tulang be-
lulang itu bergerak menyerang dengan sambaran-sam-
baran yang mengeluarkan hawa panas.
"Uts! Rupanya kau ketuanya! Baik, kita berta-
rung mengadu nyawa! Heaaa...!"
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus mencelat kian
kemari, mengelakkan serangan lawan yang datang ber
tubi-tubi, bagai tidak memberi kesempatan bagi di-
rinya untuk balas menyerang.
"Heaaa!"
Dengan bersalto ke udara, Ki Gendut Kluntung
segera balas melabrak dengan jurus 'Buana Yuda'. Di-
putarnya tombak pendek yang bernama Ki Basupati
dengan kencang, kemudian dengan cepat mata tombak
ditusukkan ke dada lawan.
Rupanya lawan yang dihadapinya benar-benar
bukan tengkorak darah sembarangan. Lawan mampu
mengimbangi serangan yang dilancarkan Ki Gendut
Kluntung.
"Heaaa!"
"Nguikkk! Werrr!"
Pertarungan dua makhluk berbeda alam itu
berlangsung dengan seru. Masing-masing berusaha
menjatuhkan satu sama lain
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk
dapat mengalahkan lawannya. Namun ternyata sulit
bagi keduanya untuk dapat mengakhiri pertarungan
itu
Serangan Ki Gendut Kluntung kini terlihat ken-
dor. Rupanya tenaganya terkuras saat melakukan se-
rangan. Wajahnya agak tegang, menyaksikan lawan
masih kuat. Malah gempuran serangannya semakin
menjadi-jadi.
"Iblis! Dia tidak merasa lelah sedikit pun!" maid
Ki Gendut Kluntung. "Celakalah aku!"
Belum juga Ki Gendut Kluntung selesai menca-
ci maki. Pemimpin Tengkorak Darah kembali meng-
gempur dengan pukulan-pukulan mautnya. Dari tan-
gannya membersit sinar biru ke tubuh Ki Gendut
Kluntung.
Wesss!
"Uts! Celaka...!" pekik Ki Gendut Kluntung
sambil merendahkan tubuhnya untuk mengelak. Sinar
biru yang keluar dari tangan pemimpin tengkorak da-
rah melesat beberapa senti di atas kepalanya.
Belum juga Ki Gendut Kluntung dapat mengua-
sai diri, lawannya telah melancarkan serangan puku-
lan-pukulan mautnya kembali.
"Gerrr! Nguik...!"
Wusss!"
"Celaka! Dia benar-benar bukan manusia!" pe-
kik Ki Gendut Kluntung setengah mengeluh. Segera di-
rendahkan tubuhnya ke bawah, kemudian dengan ce-
pat berguling ke samping.
Wesss!
Sinar biru itu luput beberapa senti di samping
kanannya. Tapi lagi-lagi sebelum Ki Gendut Kluntung
menguasai diri, serangan lawan mencecar lagi.
Wesss!
"Modar aku!" keluh Ki Gendut Kluntung, mera-
sa mati langkah. Matanya membelalak tegang. Hara-
pannya untuk hidup semakin menipis. Sinar biru itu
semakin dekat ke arahnya. Tinggal menunggu bebera-
pa saat lagi, dia akan mati terhantam pukulan maut
itu. Namun....
Jlegarrr!
Ledakan hebat menggelegar, ketika serangkum
sinar merah menderu cepat lalu menghadang sinar bi-
ru. Bersamaan dengan suara ledakan itu, terdengar ge-
lak tawa meriah.
"Hua ha ha...! Rupanya kalian tidak kapok, Si-
luman Busuk!"
Pemimpin tengkorak darah yang tergontai-
gontai kini memalingkan wajah. Dilihatnya seorang
pemuda tampan bertingkah seperti orang gila telah
hadir di tempat itu bersama dengan seorang wanita
cantik.
"Gerrr! Nguik! Kakkk!"
***
"Hua ha ha! Kalian memang siluman-siluman
busuk! Mengapa kalian ikut campur urusan manusia!"
bentak Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera.
"Gerrr! Nguik! Gerrrkkk!" seru Pemimpin Teng-
korak Darah sambil melambaikan tangan pada anak
buahnya, yang bergerak serentak mengurung Pendekar
Gila.
"Aha, rupanya malam ini kita bisa bermain-
main, Mei Lie," celoteh Pendekar Gila sambil ber-
jingkrak dan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, majulah siluman busuk.'" dengus Mei Lie
sambil mencabut Pedang Bidadarinya.
Srang!
Sinar merah kekuning-kuningan seketika me-
nyinari tempat itu. Hal itu membuat Ki Gendut Klun-
tung dapat melihat dengan jelas orang yang telah me-
nolongnya dan bagaimana rupa makhluk-makhluk
menyeramkan yang mengeroyoknya habis-habisan.
"Pendekar Gila...! O, selamat datang di kera-
jaan. Terima kasih atas pertolonganmu," sambut Ki
Gendut Kluntung.
"Aha, sudahlah, Ki! Tak perlu dipermasalahkan.
Kini kita harus main-main dengan tikus tengkorak itu!
Ha ha ha...! Awas serangan!"
Dengan tingkah polah konyol, tubuh Pendekar
Gila segera melompat ke udara, mengelakkan serangan
lawan yang menderu ke arah mereka. Begitu juga den-
gan Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung. Kemudian keti-
ganya balas menyerang dengan cepat
"Aha, rupanya di alam kalian tidak pernah ma-
kan tahu. Nih tahu untuk kalian! Heaaa...!"
Sambil menunggingkan pantat Pendekar Gila
bergerak menggasak lawan-lawannya. Dicabutnya Sul-
ing Naga Sakti. Dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh, Sena menyerang kepala lawan.
"Hi hi hi! Enak juga meniti di kepala siluman,
Mei Lie!" seru Pendekar Gila sambil berlari di atas ke-
pala-kepala siluman tengkorak darah. Sementara itu
tangannya menghantamkan Suling Naga Sakti ke ke-
pala tengkorak darah yang dipijaknya.
Tukkk!
Pletakkk!
Satu tengkorak darah binasa. Batok kepala
tengkoraknya pecah terkena pukulan Suling Naga Sak-
ti.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seperti
kegirangan bisa berlari di atas kepala siluman-siluman
tengkorak
"Ha ha ha...! Mei Lie, cepat naik! Enak sekali
bisa menginjak kepala siluman!" seru Pendekar Gila
sambil tetap menggerakkan tangannya, memukulkan
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Pletakkk!
Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung pun tak tinggal
diam. Dengan senjata pusaka, keduanya bergerak me-
nyerang. Ki Gendut Kluntung dengan tombak pendek
Ki Basupati mengamuk dengan jurus 'Buana Yuda'.
Senjata di tangannya bergerak buas laksana baling-
baling, menusuk dan memukul tubuh lawan-
lawannya.
"Heaaa!"
Wettt!
Prak!
Setiap kali tombak Ki Basupati bergerak, dua
siluman tengkorak darah mengalami kesirnaan. Tubuh
mereka hilang menjadi asap putih kehitam-hitaman.
Mei Lie tak mau kalah. Dengan Pedang Bidadari
di tangannya, dia pun bergerak lincah menyerang para
lawan. Kali ini Mei Lie tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan jurus 'Pedang Tebasan Batin' andalan-
nya yang terkenal ampuh dan belum ada tandingannya
saat itu
"Heaaa!"
Wettt!
Pedang Bidadari di tangannya menyambar-
nyambar atau membabat ke tubuh lawan. Setiap kali
pedang di tangan Mei Lie berdesing, kejadian aneh ter-
jadi. Hanya tersentuh oleh ujung pedang saja, silu-
man-siluman tengkorak darah telah sirna. Tak ada
yang sanggup menghadapi Pedang Bidadari yang me-
nyatu dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa...!"
Mei Lie menyerang semakin garang. Ingatannya
kembali terbayang pada Dewi Pemuja Setan yang telah
memperdayainya (Mengenai Dewi Pemuja Setan, bisa
Anda baca pada serial Pendekar Gila dalam episode
"Titisan Dewi Kuan Im").
Pengalaman pahit yang tersimpan di benaknya
telah begitu mempengaruhi perasaan wanita cantik itu
Kebenciannya pada kemungkaran menggelegar seperti
lahar panas. Meskipun dendam tak akan pernah baik
untuk dirinya, tapi dia sendiri tak mampu lagi meng-
hindari dari kebencian itu.
Mei Lie semakin merangsek garang dengan te-
basan-tebasan pedangnya. Semakin cepat Mei Lie ber-
gerak, semakin banyak tengkorak darah yang raib.
Pertarungan semakin berjalan seru, namun kini
yang lebih mengurung justru ketiga pendekar itu. Me-
reka mampu menekan musuhnya. Korban di pihak si-
luman tengkorak darah semakin banyak berjatuhan.
"Heaaa...!"
Mei Lie terus melabrak dengan babatan-
babatan pedangnya yang sangat ampuh dan sakti.
Korban di pihak tengkorak darah semakin bertambah
banyak.
"Ha ha ha! Bagus Mei Lie! Kita memang sedang
berperang melawan tikus! Hua ha ha...!" Pendekar Gila
tertawa-tawa sambil mengepung di angkasa. Lalu ka-
kinya menjejak di kepala-kepala siluman tengkorak da-
rah. Disusul dengan hantaman Suling Naga Sakti-nya
yang membuat lawan seketika ambruk lantas raib.
"Nguik...!"
Pemimpin siluman tengkorak darah tampak
marah. Dia langsung menyerang Pendekar Gila. Tan-
gannya yang hanya tulang belulang menyambar wajah
Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Me-
mentung Kendi', dia dapat mengelakkan serangan la-
wan. Dengan cepat dibalasnya dengan pukulan Suling
Naga Saktinya.
Wettt!
"Hua ha ha...! Ayo Mei Lie, habisi tikus-tikus
itu!" serunya sambil terus merangsek dengan Suling
Naga Saktinya ke arah Pemimpin Tengkorak Darah.
Suling Naga Sakti meliuk-liuk bagai seekor naga mur-
ka yang berusaha mematuk kepala lawan.
Wettt!
"Nguik!" Pemimpin Tengkorak Darah semakin
terdesak oleh serangan yang dilancarkan Pendekar Gi-
la. Malah kini Pemimpin Tengkorak Darah lebih ba-
nyak mengelak, dibandingkan balas menyerang. Ruang
geraknya bagai dibatasi oleh Pendekar Gila dengan sa-
puan Suing Naga Saktinya.
Di sisi lain, Ki Gendut Kluntung dan Mei Lie
pun tak kalah hebat dalam menyerang. Senjata di tan-
gan mereka membuat anak buah tengkorak darah se-
makin jadi bulan-bulanan,
"Heaaa!"
Dengan tetap menggunakan jurus 'Pedang Te-
basan Batin' yang merupakan jurus pamungkas dari
jurus 'Pedang Bidadari', Mei lie terus mencecar lawan.
Keberadaan Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar
terang merah kekuning-kuningan cukup berguna bagi
mereka. Dengan demikian keadaan di tempat itu men-
jadi terang benderang.
Crak!
Suara beradu Pedang Bidadari dengan tulang
belulang lawan terdengar. Bersamaan dengan itu, tu-
lang belulangnya rontok kemudian raib menjadi asap.
"Nguik...!"
Pemimpin Tengkorak Darah berseru keras me-
lengking, seperti mengisyaratkan sesuatu pada anak
buahnya.
"Aha, mau ke mana kalian, Tikus Busuk!" ben-
tak Pendekar Gila ketika melihat gerombolan tengko-
rak darah yang hendak menghilang meninggalkan
tempat itu
Segera ditiupnya Suling Naga Sakti dengan su-
ara melengking, kemudian mengarahkan kepala naga
di sulingnya ke Pemimpin Tengkorak Darah.
Serttt!
Dua larik sinar merah membara yang keluar
dari mata kepala naga meluncur ke arah lawan. Kedua
sinar itu begitu deras, hingga tak dapat dielakkan lagi
oleh Pemimpin Tengkorak Darah.
Byarrr!
Tubuh Pemimpin Tengkorak Darah yang ter-
hantam dua sinar merah itu seketika meleleh dan le-
bur menjadi cairan hitam.
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" Pen-
dekar Gila tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak
melihat lawannya meleleh.
Menyaksikan pemimpinnya binasa, sisa-sisa
tengkorak darah berusaha menghilang dari tempat itu,
namun dengan cepat Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung
menghalangi mereka.
"Mau lari ke mana siluman!" bentak Mei Lie.
"Heaaa!"
Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung segera menye-
rang sisa-sisa tengkorak darah dengan cepat Pedang
Bidadari di tangannya bergerak cepat, menyambar pa-
ra prajurit tengkorak darah.
Werrt!
Crak, crak!
Dahsyat sekali Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie. Dalam sekali kelebatan, dua tengkorak darah ha-
rus binasa dan raib. Namun Mei Lie tak puas sampai
di situ dan membiarkan yang lainnya hidup. Tubuhnya
kembali bergerak, membantu Ki Gendut Kluntung
menghabisi empat tengkorak darah yang masih hidup.
"Yea!"
"Yea!"
Crak, crak!
Pesss!
Dalam satu gebrakan, keempat tengkorak da-
rah yang tersisa dibuat habis.
"Hua ha ha...! Akhirnya tikus-tikus sawah itu
habis! Hua ha ha! Kita telah main kucing-kucingan...!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingrak,
menyaksikan tengkorak darah yang berjumlah pulu-
han itu kini telah hilang.
Wesss!
Angin kencang menderu. Awan bergulung-
gulung di angkasa. Lidah petir menyala terang. Saat
itu, terdengar suara menggema yang datangnya seperti
dari langit
"Pendekar Gila! Kau benar-benar lancang, turut
campur urusanku! Awas, tunggulah pembalasanku!"
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Siluman Betina!
Nih kentutku untukmu! Pruttt..!" Pendekar Gila terta-
wa terpingkal-pingkal.
"Kurang ajar!" terdengar bentakan lagi
"Aha, kau justru kelebihan ajar! Kau telah lan-
cang mencampuri urusan manusia! Hua ha ha...!" Se-
na terus bertingkah konyol. Berjingkrak-jingkrak lak-
sana monyet "Keluarlah kau! Seperti apa sih muka-
mu...? Tentunya seperti cecurut!"
"Kali ini kau belum kuhajar, Pendekar Gila!
Tunggu pembalasanku nanti!"
"Aha, katakanlah di mana jalan menuju ke
tempatmu! Aku jadi ingin melihat tampangmu yang
seperti tikus sawah. Hua ha ha...!"
"Bedebah! Kulumatkan tubuhmu, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!"
Hawa panas sekali menyelimuti tempat itu,
menjadikan ketiganya bagai dipanggang oleh api yang
membara.
"Aha, kau ingin mengajak main-main dengan-
ku. Baik, kita main-main!" seru Pendekar Gila, "Mei Lie
dan Ki Gendut Kluntung, menyingkirlah agak jauh."
Setelah Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung me-
nyingkir, Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 'Inti
Brahma'. Tangannya disatukan di depan dada, kemu-
dian digosokkan dengan keras. Setelah itu, telapak
tangannya dibuka dan dihantamkan ke arah datang-
nya hawa panas itu.
"Inti Brahma'. Heaaa...!"
Inti api melesat dari tangan Pendekar Gila yang
kini sarat dengan api ke arah hawa panas. Kemudian
dalam jarak sepuluh batang tombak, inti api menghan-
tam sesuatu dan menimbulkan ledakan menggelegar.
Jlegarrr!
'Tobat! Ibu...!" terdengar seruan kepanasan.
Namun ujud dari sosok itu tidak juga nampak.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
berjingkrak, kemudian kembali menghampiri Mei Lie
dan Ki Gendut Kluntung.
'Tuan Pendekar, kami mengharap Tuan sudi
singgah ke istana. Baginda sangat memerlukan sekali
pertolongan Tuan," pinta Ki Gendut Kluntung.
Sena memandang Mei Lie yang mengangguk.
"Baiklah."
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tem-
pat yang dekat dengan pekuburan, menuju kerajaan
yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.
***
SEMBILAN
Pagi tampak mendung. Langit dihampar bergu-
lung-gulung awan pekat. Menutupi mentari hingga si-
narnya tidak berdaya. Suasana Kerajaan Bumi Wandra
semakin kelam. Hilangnya putra mahkota, membuat
Raja Brah Salagatri berduka.
Pagi ini, Raja Brah Salagatri duduk di singga-
sana dengan wajah murung. Roman mukanya menun-
jukkan kesedihan.
Di hadapannya, duduk bersila Pendekar Gila,
Mel Lie, Ki Gendut Kluntung, Ki Gede Mantingan, dan
beberapa pendekar lainnya. Patih Rangga Wuni juga
hadir.
"Saudara-saudara sekalian. Korban telah ba-
nyak berjatuhan. Tapi sampai sekarang kita belum ta-
hu siapa sebenarnya dalang dari semua kejadian ini,"
tutur Raja Brah Salagatri dengan suara berbeban.
Semua yang hadir di tempat itu diam, termasuk
Pendekar Gila yang biasanya bertingkah aneh.
"Saudaraku sekalian. Dengan tangan terbuka,
kumohon pendapat kalian. Katakanlah, apa yang ha-
rus kuperbuat? Untuk kedamaian dan kesejahteraan
rakyatku yang kucintai, aku siap berkorban. Bahkan
bila perlu, nyawaku sebagai taruhannya."
Semua tergugu mendengar penuturan baginda
raja yang teramat menyentuh perasaan masing-
masing.
"Ayo, katakanlah.... Apa yang seharusnya kula-
kukan?" ulang Baginda Raja Brah Salagatri mengha-
rap.
Ki Gede Mantingan menyembah.
"Katakanlah, Ki Gede."
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Jika apa yang
akan hamba sampaikan salah, sudi kiranya Baginda
memaafkannya."
'Tak apa. Katakanlah."
Sesaat Ki Gede Mantingan menghela napas.
Kemudian setelah menyembah lagi, Ki Gede Mantingan
pun menuturkan apa yang telah dia lakukan selama
ini.
"Semalam hamba mendapatkan wangsit, Ba-
ginda."
"Wangsit apa, Ki Gede? Katakanlah," pinta Ba-
ginda Raja Brah Salagatri:
Ki Gede Mantingan menelan ludah. Sepertinya
dia agak berat untuk menceritakan hal yang dilihatnya
dalam wangsitnya. Namun setelah berpikir bahwa se-
mua itu untuk kepentingan rakyat, akhirnya Ki Gede
Mantingan bertutur juga.
'Ketika hamba tengah bersemadi, tiba-tiba
hamba didatangi oleh leluhur hamba. Hamba bertanya,
apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Bumi Wandra
ini...? Leluhur hamba pun memberikan gambaran."
Ki Gede Mantingan pun menceritakan apa yang
digambarkan oleh leluhurnya.
"Tiga puluh tahun yang silam, hiduplah seo-
rang kembang desa yang sangat cantik jelita bernama
Rubiati. Kecantikan Rubiati membuat semua lelaki in-
gin sekali meminangnya. Namun semuanya ditolak,
karena tidak ada yang cocok di hati gadis itu."
Tersentak semua orang yang ada di situ terma-
suk Sena, Mei Lie, Raja Brah Salagatri sendiri. Terlebih
Sena dan Mei Lie yang tidak menyangka kalau Raja
Brah Salagatri ada sangkut pautnya dengan masalah
tengkorak darah. Keduanya saling pandang, kemudian
menatap Raja Brah Salagatri yang hanya tertunduk
dalam-dalam.
"Rubiati akhirnya jatuh cinta dan menaruh ha-
rapan pada seorang pemuda tampan putra mahkota
yang bernama Brah Salagatri. Keduanya saling men-
cintai dan berjanji sehidup semati. Hubungan kedua-
nya terus berjalan dengan penuh kasih dan sayang.
Sampai suatu ketika, Rubiati hamil. Sejak kehamilan-
nya itu sang Kekasih yang sudah berjanji akan meni-
kahinya tak pernah muncul-muncul"
"Perut Rubiati semakin membesar. Karena ma-
lu, dia pun nekat bunuh diri di Telaga Panca Warna.
Namun rupanya bangsa siluman yang menghuni telaga
itu menerima sumpahnya. Karena sebelum bunuh diri
Rubiati sempat bersumpah, dia ingin tetap hidup un-
tuk membalas sakit hatinya. Dia tidak sudi mati dan
menghentikan teror jika belum bisa bersama Brah Sa-
lagatri. Sumpah Rubiati diterima oleh Raja Siluman
Tengkorak Darah. Ketika dia ditelan Telaga Panca
Warna, tubuhnya diterima oleh Raja Siluman Tengko-
rak Darah. Kemudian dibawa ke kerajaan siluman itu."
"Rubiati yang sudah berikrar akan menuntut
balas akhirnya menerima lamaran Raja Siluman Teng-
korak Darah. Dengan bantuan ilmu Siluman Tengko-
rak Darah, bayi Rubiati yang sudah sekarat bisa dihi-
dupkan kembali. Hari demi hari, Rubiati dididik oleh
Raja Siluman Tengkorak Darah. Berbagai ilmu ditu-
runkan olehnya. Baik ilmu ketatanegaraan maupun
ilmu kesaktian. Semuanya diturunkan oleh Raja Silu-
man Tengkorak Darah pada Rubiati."
"Nampaknya ilmu Raja Siluman Tengkorak Da-
rah merupakan nyawa bagi dirinya. Setelah ilmunya
diturunkan pada Rubiati, Raja Siluman Tengkorak Da-
rah pun mangkat, berubah menjadi serakan tulang be-
lulang. Sejak saat itu, Rubiati mengambil alih kepe-
mimpinan. Anaknya diangkat sebagai ratu pajangan,
ratu yang hanya memerintah atas persetujuan ibun-
danya. Sedangkan kekuasaan mutlak sebenarnya ada
di tangan Rubiati. Rubiati hanya menurunkan ilmu-
ilmu tertentu pada anaknya. Kalau semua diturunkan,
dirinya akan mengalami hal seperti Raja Siluman
Tengkorak Darah dan terbuang dari alamnya."
"Jadi semuanya berada di tangan Rubiati. Di-
alah yang berkuasa atas kerajaan siluman itu."
"Begitulah apa yang hamba dapatkan dari
wangsit itu, Baginda," kata Ki Gede Mantingan men-
gakhiri ceritanya.
Baginda Raja Brah Salagatri sesaat terdiam. In-
gatannya seketika melayang pada kejadian tiga puluh
tahun yang silam. Saat dirinya masih muda dan se-
dang bersemarak cinta kasih di hatinya. Ingatan akan
Rubiati kembali menyeruak.
Tanpa terasa, air mata Baginda Raja Brah Sala-
gatri meleleh. Lalu dengan terisak baginda bersabda,
"Apa yang kau ceritakan memang benar, Ki Gede. Me-
mang aku yang salah. O, sungguh nista diriku ini."
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka
kata. Begitu pula dengan Sena dan Ki Gede Mantingan
Semua turut terhanyut oleh perasaan sedih yang di-
alami Baginda Raja Brah Salagatri.
"Ki Gede, aku memang pernah mengucapkan
sumpah sehidup semati dengannya. Oh, kini aku baru
sadar, kalau semua adalah karena kesalahanku."
Semua masih terdiam, tak ada yang berani
membuka kata.
"Kini saatnya aku harus menepati janji. Ki Gede
Mantingan, apakah kau tahu jalan menuju ke alam si-
luman?" tanya Raja Brah Salagatri.
"Ampun, Baginda. Hendak apa Baginda mena-
nyakan jalan ke alam siluman?" tanya Ki Gede Mantin-
gan, belum mengerti.
"Aku hendak ke sana. Menepati janji, sekaligus
meminta agar dia menghentikan semuanya," jawab Ba-
ginda Raja Brah Salagatri.
"Apa tidak sebaiknya Baginda mengutus seseo-
rang?"
"Tidak, Ki Gede. Aku hanya minta dikawal
olehmu, Pendekar Gila dan Nona Mie Lie. Kalau me-
mang aku tak dapat kembali ke dunia, kalianlah yang
akan mengabarkannya pada rakyat"
Semua menghela napas panjang mendengar
penuturan dan tekad bulat Baginda Raja Brah Salaga-
tri. Mereka sama-sama trenyuh mengetahui raja mere-
ka begitu arif dan bijaksana. Untuk kepentingan ra-
kyat, dia rela mengorbankan jiwa dan raga.
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan
padaku, maka hamba tak dapat menentang. Nanti
sore, ketika matahari hendak tenggelam, kita akan ke
sana," ucap Ki Gede.
"Baiklah kalau begitu," jawab sang Raja pasti.
***
Sore yang ditunggu datang. Empat orang tam-
pak berjalan menelusuri Hutan Gandra Siluman, di
mana Telaga Panca Warna berada. Keempat orang ter-
sebut adalah Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede
Mantingan, Sena, Mei Lie. Mereka terus melangkah
menelusuri hutan yang terkenal angker. Namun mere-
ka bagai tak peduli dengan suara-suara yang berisik
dan mendirikan bulu kuduk mereka.
Suasana ke dalam semakin gelap. Mei Lie sege-
ra mencabut Pedang Bidadarinya. Seketika suasana di
dalam hutan itu berubah menjadi terang benderang.
Hal itu membuat langkah mereka agak lancar.
Tidak lama kemudian, keempatnya telah sam-
pai di telaga yang mereka tuju. Seperti namanya, air
telaga itu memiliki lima warna yang tak berubah. Kun-
ing, merah, hijau, dan putih. Sangat indah sekali pe-
mandangan di telaga itu.
Ki Gede Mantingan berdiri dengan kepala agak
mendongak. Kedua tangannya saling menyatu. Mulut-
nya membaca mantra-mantra.
Tiba-tiba air telaga bergemuruh riuh, bagai
mendidih. Bersamaan dengan itu, dari dalam telaga
muncul seekor ikan besar bermata emas.
"Apa yang kalian inginkan sehingga memang-
gilku?" tanya ikan itu, sebagaimana layaknya manusia
bercakap-cakap. Hal itu tentu saja menyentakkan Se-
na dan Mei Lie. Sena hampir tertawa ngakak, menyak-
sikan keanehan ikan besar itu. Beruntung dia dapat
menahannya, setelah ingat kalau mereka tengah mela-
kukan upacara gaib.
Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantin-
gan, Pendekar Gila, dan Mei Lie telah berada di tepi Te-
laga Panca Warna. Satu telaga yang sangat indah. Ki
Gede Mantingan segera membaca mantra-mantra. Tiba-
tiba air telaga di depan mereka bergemuruh riuh. Dan
bersamaan dengan itu, dari dalam telaga muncul seekor
ikan raksasa bermata emas!
"Ki Tawes, sengaja aku mengundangmu, karena
aku memerlukan pertolonganmu," mulai Ki Gede Man-
tingan.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya ikan rak-
sasa itu.
"Kami ingin ke Kerajaan Siluman Tengkorak
Darah."
"Untuk apa?"
"Kami ingin bertemu dengan Ratu Tengkorak
Darah."
Ikan raksasa itu sesaat terdiam, kemudian tu-
buhnya bergerak-gerak tanda mengerti.
"Baiklah. Masuklah kalian ke dalam mulutku,"
perintahnya, menyentakkan Sena, Mei Lie, dan Raja
Brah Salagatri.
"Masuklah. Ki Tawes adalah sahabat leluhur-
ku," ujar Ki Gede Mantingan.
Antara ikan tawes raksasa dengan Ki Gede
Mantingan seperti telah terjalin ikatan batin. Hal itu
bermula dari guru Ki Gede Mantingan bernama Ki
Gede Prasutra. Yang sakti mandra guna, gurunya me-
nolong Ki Tawes dari kematian akibat kekeringan air
yang disebabkan oleh peperangan antara Siluman
Tawes dengan Siluman Yuyu Ireng.
Ki Gede Prasutra yang melihat Ki Tawes sebagai
raja segala ikan dalam keadaan sekarat, segera meno-
longnya. Dimintanya hujan pada Sang Hyang Widi.
Rupanya doa Ki Gede Prasutra terkabul, hingga sela-
matlah Ki Tawes dari kematian.
Merasa ditolong dan diselamatkan oleh Ki Gede
Prasutra, Ki Tawes pun berjanji akan tetap menjalin
hubungan baik dengan pewaris dan keturunan Ki Gede
Prasutra. Malah Ki Tawes berjanji akan mengerahkan
seluruh tentaranya jika diminta bantuan oleh pewaris
ilmu Ki Gede Prasutra atau keturunannya.
Pendekar Gila, Mei Lie, Raja Brah Salagatri ser-
ta Ki Gede Mantingan akhirnya masuk ke dalam mulut
ikan raksasa itu. Ikan itu menutup mulutnya, kemu-
dian menyelam ke dalam Telaga Panca Warna.
Entah berapa lama mereka berada di dalam
mulut ikan raksasa yang dapat dimasuki oleh empat
orang. Mereka keluar ketika mulut ikan raksasa itu
membuka.
"Kalian sudah sampai, keluarlah."
Keempatnya turun.
Kini mereka melihat sebuah istana megah ber-
diri di atas bukit Pintu gerbang istana itu bergambar
tengkorak berwarna merah darah.
"Itulah Istana Tengkorak Darah," kata ikan rak-
sasa itu.
"Terima kasih, Ki Tawes."
"Kapan kalian kembali?" tanya Ki Tawes. "Biar
aku menunggu."
"Entahlah, Ki. Kalau tidak mengalami kesuli-
tan, mungkin lusa. Tapi kalau mengalami kesulitan,
aku tak tahu kapan dan apa kami akan tetap hidup,"
tutur Ki Gede Mantingan setengah mendesah.
"Kalau begitu, jika kalian ingin kembali panggil
saja aku dengan menjentikkan tangan kalian tiga kali."
"Terima kasih."
"Selamat berjuang."
Ikan raksasa itu kembali menyelam dan meng-
hilang dari pandangan mereka.
Mereka lalu melangkah menyelusuri jalan yang
terbuat dari emas dan intan menuju Istana Tengkorak
Darah. Sesampainya di pintu gerbang, mereka diha-
dang oleh dua prajurit tengkorak darah.
"Mau apa kalian kemari?!" tanya salah satu
tengkorak, menyentakkan Sena maupun Mei Lie. Ka
rena ketika bertempur, tengkorak darah tidak bisa ber-
cakap-cakap seperti manusia. Kenapa kini bisa berbi-
cara?
Ki Gede Mantingan yang melihat kekagetan Se-
na dan Mei Lie dengan berbisik menjelaskan, "Kita be-
rada di alam siluman. Itu sebabnya kita tahu bahasa
mereka."
"Aha, tolol sekali aku," gumam Sena, muncul
kembali kekonyolannya.
"Kami hendak bertemu dengan Ibunda Ratu,"
jawab Ki Gede Mantingan.
Makhluk tengkorak darah memperhatikan me-
reka satu persatu. Setelah merasa yakin salah satu si-
luman itu berlalu meninggalkan tempat itu.
"Tunggulah sebentar!" kata tengkorak darah
yang masih berada di situ.
Tidak lama kemudian, dari dalam istana mun-
cul seorang wanita cantik berkebaya biru dengan ke-
rudung biru. Wanita cantik itu membelalakkan mata
dengan garang, ketika memandang Baginda Raja Brah
Salagatri.
"Kau?! Untuk apa kau datang ke sini?! Belum
puaskah kau menyakiti aku ketika aku masih menjadi
manusia?!" bentaknya, membuat Baginda Raja Brah
Salagatri tersentak. Dia sama sekali tidak ingat dan ti-
dak kenal siapa wanita muda dan cantik yang mem-
bentaknya, kalau saja wanita yang ternyata Rubiati itu
tidak menghardiknya begitu rupa.
"Rubiati, kaukah itu?"
"Ya! Masih belum cukup puaskah kau menyik-
saku? Kini kau datang kembali dengan Pendekar Gila
dan Bidadari Pencabut Nyawa. Apa kau ingin meng-
hancurkan istanaku?! Membunuh semua prajurit-pra-
juritku?!"
Lidah Baginda Raja Brah Salagatri kelu dituduh
dengan cercaan begitu rupa. Dia kembali tak me-
nyangka, kalau Rubiati telah mengenal pemuda tam-
pan berpakaian rompi kulit ular yang bersamanya. Ju-
ga gadis Cina yang menyandang Pedang Bidadari di
punggungnya.
"Nyi Dewi Rubiati," kata Ki Gede Mantingan
menengahi suasana yang panas itu. "Kedatangan kami
kemari, semata-mata hanya mengantar Baginda untuk
meminta maaf padamu. Kami tidak bermaksud menye-
rang."
"Lalu mengapa membawa Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut Nyawa?!" tanya Rubiati masih tak
mau melemah.
"Aha, maafkan kami, Nyi Dewi. Bukan maksud
kami berlaku kurang ajar datang ke tempatmu. Seba-
gai seorang raja, patutlah bagi Baginda Raja untuk
mendapat pengawalan, bukan? Nah, itu sebabnya aku
dan Bidadari Pencabut Nyawa ke tempatmu."
"Huh...!" dengus Rubiati. Matanya memandang
tajam pada Baginda Raja Brah Salagatri. "Alam kita
sudah berbeda jauh, Kakang. Kau begitu kejam dan
tega menelantarkan aku serta anakmu! Kini kau kem-
bali datang, membuat hatiku semakin teriris sakit"
"Diajeng, aku telah bersumpah sehidup semati
denganmu. Kini aku datang untuk menepati sumpah-
ku. Aku ingin bersamamu, asalkan kau mau menghen-
tikan semuanya. Kau mau menghentikan tindakanmu
yang banyak menjatuhkan korban," mohon Baginda
Raja Brah Salagatri.
"Benarkah kau ingin bersamaku, Kakang?!"
"Ya!"
"O, aku gembira sekali, Kakang. Mari, masuk-
lah dulu," ajak Rubiati.
Keempat manusia itu pun menurut masuk ke
pelataran istana. Kemudian mereka pun masuk ke da
lam istana yang sangat megah dan bagus. Di sana sini
terpasang hiasan dan emas, intan, dan mutiara yang
gemerlapan.
"Silakan duduk. Sebentar...," kata Rubiati sam-
bil berlalu meninggalkan tamu-tamu.
Dari dalam, muncul seorang gadis berpakaian
sangat minim yang cantik jelita. Saking minimnya pa-
kaian yang dikenakan gadis itu, sampai hanya kema-
luan dan buah dadanya saja yang tertutup. Sedangkan
yang lainnya dibiarkan terbuka.
"Anakku...!" seru Raja Brah Salagatri melihat
gadis cantik itu.
"Ha ha ha...! Kau mengaku ayahku? Hua ha
ha...! Aku tak punya Ayah sepertimu! Ayah yang tidak
bertanggung jawab! Selama hidupku, aku hanya dibe-
sarkan oleh ibu dan eyang," dengus Resmi Sekar Wanti
"Tapi, kau anakku. Kau darah dagingku, Anak-
ku," kata Raja Brah Salagatri.
"Ha ha ha...! Aku tak butuh Ayah. Aku hanya
butuh pemuda rambut gondrong itu. Cah Bagus, ikut-
lah aku," rayu Resmi Wanti atau Ratu Siluman Teng-
korak Darah. Matanya mengerling manja pada Sena
yang seketika terpengaruh.
Perlahan-lahan Sena bangun dari duduknya,
melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti yang terse-
nyum manja sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya
dengan lemah gemulai. Dan rupanya lenggak-lenggok
tubuhnya itu membuat Sena terperangah. Dari lenggo-
kan tubuhnya, keluar aroma wanita yang merangsang
hidung.
"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie berusaha me-
nyadarkan Sena dari pengaruh sihir yang keluar dari
tubuh Resmi Sekar Wanti. Namun tampaknya Sena
benar-benar tak menggubris seruan Mei Lie. Kakinya
terus melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti.
"Ayo, Cah Bagus. Bukankah kau menginginkan
kehangatan?" kata Resmi Sekar Wanti.
"Sena, sadarlah!" seru Ki Gede Mantingan me-
nyadarkan Sena.
"Kakang Sena, sadarlah! Bedebah! Kau benar-
benar iblis!" Mei Lie tak dapat lagi menahan amarah-
nya. Dicabutnya Pedang Bidadari dari warangkanya.
Srettt!
Bukan hanya Mei Lie, Ki Gede Mantingan pun
bangkit dari duduknya. Dia segera mengeluarkan sen-
jata berupa tasbih.
"Celaka, Baginda. Kita telah masuk perangkap.
Tak ada yang bisa berbuat untuk menolong Sena. Li-
hat, semua prajurit tengkorak darah telah mengepung
kita," ucapnya setelah menyadari keadaan sekeliling
mereka.
Mata Raja Brah Salagatri membelalak, menyak-
sikan pasukan prajurit tengkorak darah telah menge-
pung mereka.
"Bangsat! Penipu...!" maki Raja Brah Salagatri
marah.
"Hua ha ha...!" Memakilah sepuas kalian, sebe-
lum kalian mampus di Istana Tengkorak Darah!" ter-
dengar suara Rubiati.
"Celaka! Kita telah terjebak!" seru Mei Lie. Da-
danya turun naik, menandakan amarahnya meluap-
luap "Kubunuh kalian! Heaaa...!"
Dengan Pedang Bidadari yang disertai jurus
'Pedang Tebasan Batin', Mei Lie yang sudah kalap se-
gera melesat menyerang prajurit tengkorak darah. Pe-
dangnya bergerak cepat, membabat barisan lawan.
Menyaksikan Mei Lie telah menyerang dan pra-
jurit tengkorak darah merangsek. Ki Gede Mantingan
dan Raja Brah Salagatri tak tinggal diam. Keduanya
segera membantu Mei Lie, menyerang ke arah pra
jurit-prajurit tengkorak darah.
"Kakang Sena, sadarlah...!" teriak Mei Lie sam-
bil terus bergerak merangsek para lawan yang berusa-
ha menghalangi langkahnya mengejar Sena ke dalam
kamar, di bawah pengaruh Resmi Sekar Wanti. Ama-
rah dan rasa cemburu beraduk menjadi satu di dada
Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya dia mengamuk
bagai banteng terluka. Kelebatan pedangnya membuat
prajurit-prajurit tengkorak darah banyak yang mati.
Pertempuran tiga pendekar melawan ratusan
prajurit tengkorak darah itu berlangsung seru. Keti-
ganya terus berusaha membabat habis barisan lawan
yang berusaha menyerang.
Mei Lie dengan Pedang Bidadarinya semakin
mengamuk membabi-buta. Pedang Bidadari di tangan-
nya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya yang
bermaksud menghalangi langkahnya mengejar Pende-
kar Gila.
Satu persatu prajurit yang bermaksud mengha-
langinya dapat dibantai. Dan setapak demi setapak,
tubuhnya dapat terus maju menuju kamar Resmi Se-
kar Wanti. Mei Lie segera melesat masuk ke dalam
kamar itu, mendobrak pintu kamar tempat Pendekar
Gila dan Resmi Sekar Wanti berada.
Brakkk!
"Iblis! Kubunuh kau! Heaaa...!" Mei Lie yang
sudah mata gelap langsung melabrak Resmi Sekar
Wanti yang tengah memeluk Pendekar Gila.
"Kakang, wanita itu hendak membunuhku! Bu-
nuh dia...!" perintah Resmi Sekar Wanti pada Sena.
Sena membalikkan tubuh dan langsung meng-
hadang Mei Lie yang tersentak kaget, menyaksikan ke-
kasihnya kini bagai kerbau dungu yang mau diperin-
tah.
"Kakang Sena, aku Mei Lie! Sadarlah, Kakang!"
"Bunuh dia, Kakang! Dialah yang hendak
membunuhku!" sangkal Resmi Sekar Wanti tak kalah
kerasnya.
Sena benar-benar bagai kehilangan akal. Lang-
sung diserangnya Mei Lie. Hal itu jelas mempengaruhi
Mei Lie. Gerakannya jadi canggung. Pedang Bidadari di
tangannya hanya dipegang, tidak digunakannya.
"Kakang, aku Mei Lie! Ingatlah...!" seru Mei Lie
sambil terus berusaha mengelakkan serangan yang di-
lancarkan Pendekar Gila. Kini tubuh Mei Lie melesat
ke belakang, keluar dari kamar itu.
"Kakang, sudah! Bukankah kita hendak me-
nikmati keindahan ini?" ajak Resmi Sekar Wanti. "Tu-
tuplah pintunya, Kakang."
Sena menurut menutup pintu. Kemudian den-
gan tenang dia melangkah mendekati Resmi Sekar
Wanti.
"Ayolah cah bagus," rayu Resmi Sekar Wanti
manja.
Sena benar-benar telah lupa segalanya. Ka-
kinya melangkah ke arah Resmi Sekar Wanti yang ten-
gah berbaring dengan tubuh polos. Namun ketika
langkahnya hampir tiba di tempat tidur, tiba-tiba dari
mata naga di pangkal Suling Naga Sakti, melesat sinar
putih ke mata Sena.
Crettt!
Sena tersentak, dia bagai baru tersadar dari
mimpinya. Matanya membelalak garang. Napasnya
mendengus penuh amarah, karena merasa telah di-
permainkan.
"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie dari luar.
"Kenapa, Cah Bagus! Ayolah!" ajak Resmi Sekar
Wanti dengan suara manja, tanpa menyadari kalau
pengaruh sihirnya telah sirna dari diri Sena.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar iblis!
Heaaa...!" Sena yang marah karena merasa dipermain-
kan dengan garang menyerang. Hal itu menyentakkan
Resmi Sekar Wanti. Ratu Siluman Tengkorak Darah
segera berkelit ke samping.
"Rupanya kau pun ingin mampus, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!" lengkingnya murka.
Resmi Sekar Wanti balas menyerang. Dia tidak
lagi menghiraukan keadaannya yang tidak tertutup
sehelai benang pun. Diserangnya Pendekar Gila den-
gan jurus-jurus maut.
Sena segera mengelak, kemudian dengan cepat
dia mencabut Suling Naga Saktinya. Diserangnya
Resmi Sekar Wanti dengan Suling Naga Sakti. Hal itu
menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah tersentak
kaget, menyaksikan senjata keramat itu telah berada
di tangan Sena.
"Ibu, tolooong...!"
Ratu Siluman Tengkorak Darah lari keluar, be-
rusaha meminta tolong ibunya. Namun di luar Mei Lie
telah menghadangnya. Resmi Sekar Wanti semakin ka-
lang kabut, ketika melihat Pedang Bidadari berkeredep
di tangan Mei Lie.
"Kubunuh kau iblis! Heaaa...!"
Mei Lie yang dirasuki cemburu atas perbuatan
Resmi Sekar Wanti, kini tidak sungkan-sungkan lagi
menyerang dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'nya.
Pedang Bidadari menderu keras ke tubuh Resmi Sekar
Wanti.
Wettt!
"Uts! Celaka!" pekik Resmi Sekar Wanti sambil
mengelak, kemudian melompat meninggalkan tempat
itu.
"Mau lari ke mana, Iblis!" bentak Mei Lie beru-
saha mengejar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti,
ketika dari tempatnya menghilangnya Resmi Sekar
Wantai muncul sesosok mayat hidup berbau busuk.
Mayat hidup itu langsung menyerang Mei Lie.
"Grrr! Kubunuh kau!"
"Uts! Heaaa...!"
Setelah mengelitkan serangan mayat hidup, Mei
Lie segera menebaskan Pedang Bidadarinya ke tubuh
mayat hidup dengan jurus inti 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa!"
Wettt!
Crasss!
Lebur seketika tubuh mayat hidup itu terkena
babatan pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
Dari dalam kamar, Pendekar Gila yang juga su-
dah marah keluar. Melihat tubuh Mei Lie mengejar,
Pendekar Gila mengikutinya. Kedua pendekar muda
itu kini mengejar ibu dan anak yang berusaha mening-
galkan istana.
"Mei Lie, Sena, tunggu...!" seru Ki Gede Mantin-
gan sambil turut mengejar. Bersamaan dengan tubuh
Ki Gede Mantingan melompat, bangunan Istana Teng-
korak Darah seketika meledak. Tubuh para prajurit
tengkorak darah dan Baginda Raja Brah Salagatri tu-
rut tertimbun.
Sementara itu, dua wanita siluman terus berlari
ke arah Telaga Panca Warna. Pendekar Gila, Mei Lie,
dan Ki Gede Mantingan mengejar di belakang.
"Mau lari ke mana kalian, Iblis! Terimalah ke-
matian kalian! Heaaa...!" Sena segera meniup Suling
Naga Saktinya, kemudian mengerahkan kepala naga di
pangkal suling ke arah kedua siluman yang tengah
berlari.
Suara suling melengking. Bersamaan dengan
itu, dari mata naga melesat dua larik sinar merah
membara ke arah tubuh kedua siluman itu.
Croot!
Jrattt!
"Tobaaat..!" Rubiati memekik keras, tubuhnya
meleleh bagai lilin terbakar.
Mendapatkan ibunya mati, Resmi Sekar Wanti
menjadi kalap. Dengan menggeram, kini ujudnya be-
rubah menjadi sosok menyeramkan. Sosok tengkorak
darah.
"Grrr! Kubunuh kalian! Grrr...!"
Melihat lawan menyerang, Mei Lie segera berke-
lebat memapak dengan Pedang Bidadarinya dengan ju-
rus 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie membabatkan pe-
dangnya ke tengkorak darah jelmaan Resmi Sekar
Wanti.
"Heaaa!"
Wettt!
Crasss!
"Tobaaat..!" tulang belulang tengkorak itu run-
tuh terkena sabetan Pedang Bidadari. Sesaat terlihat
serakan tulang itu utuh. Namun setelah angin bertiup,
tulang belulang itu bertaburan menjadi serpihan ha-
lus.
Jlegarrr!
Ledakan maha dahsyat menggelegar, melontar-
kan tubuh ketiganya. Ketiga pendekar itu tak ingat
apa-apa lagi. Setelah membuka mata, ketiganya tahu-
tahu berada di tepi Telaga Panca Warna. Hari telah
menjelang pagi. Di dalam telaga, Ki Tawes masih me-
nemani.
"Untunglah kalian selamat. Kalian kini telah
kembali ke alam manusia. Alam nyata," kata Ki Tawes.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki," hatur Ki
Gede Mantingan.
"Ah, lupakanlah. Antara leluhurmu dan lelu-
hurku telah terjadi ikatan persaudaraan. Sayang, ba-
ginda tak dapat diselamatkan."
"Semoga semuanya berakhir," gumam Mei Lie.
"Terima kasih kuucapkan padamu, Ki. Semoga
kita dapat dipertemukan lagi," kata Sena. Kemudian
ketiganya meninggalkan Telaga Panca Warna.
"Semoga kalian senantiasa dalam lindungan
Sang Hyang Widi!" seru Ki Tawes di kejauhan, melepas
kepergian mereka.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
berjingkrak-jingkrak seperti kera, menikmati suatu
kemenangan atas keangkaramurkaan. Sedangkan ma-
ta Mei Lie melotot, sedetik kemudian mereka tertawa
ceria, sebagaimana nyanyian riang burung-burung
menyambut datangnya pagi dalam tata warna semesta.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar