"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 02 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE TENGKORAK DARAH

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

TENGKORAK DARAH

oleh Firman Raharja

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Mardiansyah

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dart penerbit

Firman Raharja 

Serial Pendekar Gila 

dalam episode: 

Tengkorak Darah

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Kerajaan Bumi Wandra yang terletak di perba-

tasan wilayah timur Pulau Dewata berdiri dengan me-

gah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja berusia 

hampir enam puluh delapan tahun yang bernama Brah 

Salagatri. Raja Brah Salagatri mempunyai seorang 

permaisuri yang masih muda dan cantik bernama De-

wi Sekaton Ayu. Anaknya yang cantik dan menginjak 

dewasa bernama Dyah Ayu Sawang Sari

Sebelum menjadi raja, Brah Salagatri merupa-

kan pangeran yang tampan. Dia pernah menjalin hu-

bungan cinta dengan wanita bernama Rubiati. Hubun-

gan gelap itu akhirnya membuat Rubiati hamil. Namun 

sejak itu, Brah Salagatri tidak pernah menjenguk ke-

kasihnya lagi.

Tiga puluh tahun sudah kejadian itu berselang 

tanpa terasa. Selama itu, Brah Salagatri tak pernah 

mendengar kabar berita tentang kekasihnya. Setelah 

dia menikah dengan anak Raja Banyu Wangi bernama 

Dewi Sekaton Ayu, dia lupa sama sekali dengan keka-

sihnya.

Malam itu angin menderu kencang bagai akan 

datang badai besar. Hawa dingin terasa menggigit 

hingga ke tulang sumsum. Rintik air hujan yang turun 

dari langit membuat suasana semakin terasa dingin 

bagi siapa pun yang malam itu belum tidur.

Desa Karapan nampak sepi, hanya terlihat em-

pat peronda sedang melakukan tugas. Keempatnya 

tengah duduk berbincang di gardu sambil menghisap 

rokok kawung. Tubuh mereka berselimut kain sarung. 

Hanya wajah mereka saja yang terlihat, jika api rokok 

membesar kala dihisap.

Hujan rintik-rintik terus meluncur dari langit,


seakan tak bakal berhenti. Rasa dingin semakin 

menghebat, ditambah oleh angin kencang yang mende-

ru bagai hendak datang badai.

"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gu-

mam Kapri mengeluh. Matanya memandang nanar ke 

depan. Pada gelap yang menghampar. Lelaki itu bertu-

buh pendek, wajah bulat, dan hidung pesek serta tahi 

lalat di bawah matanya.

"Entahlah. Padahal saat ini musim kemarau," 

sahut Jalnoto. Berbeda dengan Kapri, Jalnoto bertu-

buh tinggi dan padat. Wajahnya tampan, dengan hi-

dung mancung. Kumis tipis menghiasi atas bibirnya. 

Matanya tajam jika memandang.

"Ya, begitulah alam. Siapa pun tak tahu apa 

yang akan terjadi. Hanya Sang Hyang Widi saja yang 

mengerti," kata Pilan berusaha menenangkan hati ke-

dua temannya. Pilan bertubuh kurus dan wajahnya 

agak pucat, tapi menggambarkan ketenangan. Kumis-

nya panjang dengan cambang pendek, sedang matanya 

terlihat sayu.

"Tapi hujan ini aneh, Lan," tukas Bawul, lelaki 

berbadan agak gemuk dengan perut agak buncit. Wa-

jahnya persegi dengan kumis lebat dan jenggot tebal. 

Begitu juga dengan alisnya, tumbuh tebal di bawah 

keningnya yang lebar. "Bulu kudukku sampai merind-

ing. Jangan-jangan...;"

Bawul tak meneruskan kata-katanya. Matanya 

memandang tegang ke sekeliling gardu yang tampak 

sepi dan gelap, membuat bulu kuduknya meremang.

"Jangan-jangan kenapa, Wul?" tanya Jalno pe-

nasaran karena temannya tidak meneruskan ucapan-

nya.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bawul, meng-

hindar.

"Setan maksudmu?" terka Kapri.


Bawul hanya mengangguk kecil. Matanya ma-

sih melirik-lirik tegang ke sekelilingnya yang gelap dan 

mencekam. Apalagi angin menderu semakin kencang. 

Bulu kuduknya kian meremang hebat.

Kapri tertawa kecil. Tawanya terdengar sum-

bang karena dipengaruhi suasana yang mencekam. 

Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun 

dia berusaha menekan rasa takutnya sedalam mung-

kin.

"Wul... Wul, kamu ini kayak anak kecil saja," 

gumam Kapri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Sudah besar kok masih takut sama setan," godanya 

kemudian.

"Bukan begitu, Pri. Bulu kudukku memang 

berdiri. Dan..., heh..., bau kemenyan, Pri!" desis Bawul 

tiba-tiba. Tubuhnya bergidik seketika, manakala hi-

dungnya mencium bau kemenyan yang menyengat. 

Seperti ada orang yang membakar dupa.

Hidung ketiga temannya mengendus-ngendus, 

berusaha mencium bau kemenyan. Dan seketika keti-

ganya merasakan bulu kuduk meremang ketika hi-

dung mereka juga mencium bau kemenyan yang me-

nyengat. Ditambah lagi dengan wangi bunga kamboja, 

mengingatkan mereka pada tanah pekuburan.

"Benar, Wul. Bau kemenyan dan bunga kambo-

ja," kata Jalno dengan mata membelalak.

"Hiii.... Sepertinya ada setan," Pilan bergidik 

dengan muka pucat. Mereka rasanya ingin lari me-

ninggalkan gardu ronda, namun suasana di luar gardu 

sangat menyeramkan. Kegelapan yang menghampar, 

disertai rintik hujan dan deru angin seperti desah na-

pas seribu mambang. Belum tentu mereka akan te-

nang kalau lari.

Tubuh keempat peronda itu menggigil ketaku-

tan, apalagi ditambah rasa dingin yang semakin meng


gigit. Saat itu rintik gerimis bertambah deras. Sedang 

angin bertiup semakin kencang.

Tubuh keempat peronda itu kini meringkuk da-

lam ketakutan. Hanya mata mereka saja yang berge-

rak-gerak, memandang tegang ke sekelilingnya yang 

sunyi dan sepi. Benar-benar mencekam perasaan dan 

mengusik bulu kuduk mereka.

Wusss!

Krak!

Mata keempat peronda itu membelalak, ketika 

terdengar hembusan asap dan retaknya tanah. Seakan 

dari dalam tanah di sekeliling gardu ronda akan mun-

cul sesuatu.

Wusss!

Krak!

Asap tebal keluar dari dalam tanah berjarak li-

ma tombak di depan gardu. Gumpalan asap itu tidak 

hanya satu, tapi ada sepuluh. Tanah di mana asap itu 

mengepul, merekah pecah. Seakan ada makhluk dari 

dalam tanah yang hendak keluar. 

Mata keempat peronda itu memandang dengan 

pandangan tegang, tak berkedip ke arah sepuluh gum-

palan asap yang membubung keluar dari retakan ta-

nah. Bulu kuduk mereka semakin meremang. Tubuh 

mereka menggigil ketakutan.

Asap putih kehitam-hitaman yang tebal itu per-

lahan-lahan berubah warna. Semakin lama, asap itu 

menjadi berwarna merah darah. Lalu membentuk so-

sok-sosok yang mengerikan. Sosok manusia wajah 

tengkorak berjubah panjang dengan kerudung warna 

merah darah.

"Tengko..., tengkorak hidup," ucap Bawul terba-

ta-bata. Matanya semakin membelalak tegang, me-

nyaksikan beberapa ujud yang muncul di hadapannya. 

Ujud menyeramkan yang membuat jantungnya hampir


berhenti berdetak. 

"Se...., setan...!" pekik Jalno.

"Wua...! Teng..., korak hidup...!" jerit Kapri. Tu-

buh keempat peronda itu kini saling merapat ketaku-

tan. Tak ada yang berani lari, karena sepuluh makhluk 

merah bermuka tengkorak berdiri di hadapan mereka. 

Bahkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu kini 

kian mendekat. Sepertinya makhluk-makhluk bermu-

ka tengkorak itu hendak melakukan sesuatu terhadap 

keempat peronda yang semakin bertambah ketakutan 

itu.

Kesepuluh manusia bermuka tengkorak itu per-

lahan mengelilingi gardu ronda, membuat keempat pe-

ronda bertambah ketakutan. Terlebih saat mata mere-

ka memandang wajah makhluk bermuka tengkorak 

yang berlumuran darah dan tampak menyeringai se-

ram.

"To..., tolooong...!" pekik keempat peronda itu 

ketakutan. Mereka saling merangkul satu sama lain, 

dengan wajah pucat pasi tanpa darah.

Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu ber-

bicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu da-

ri mereka menunjuk ke arah Jalno yang berwajah pal-

ing tampan di antara keempat peronda tersebut. Se-

dang-kan makhluk lain di sampingnya mengangguk-

angguk, seakan menyetujui apa yang dikatakan re-

kannya. Kemudian makhluk bermuka tengkorak yang 

mengangguk-angguk tadi memerintah anak buahnya 

untuk menangkap Jalno.

"Tidak! Jangan...!" jerit Jalno, berusaha meno-

lak ketika dua makhluk berwajah tengkorak maju ke 

arahnya dan siap menangkap.

Kedua makhluk merah bermuka tengkorak se-

perti tidak peduli dengan teriakan Jalno. Keduanya se-

gera mencengkeram tangan Jalno dan menyeret tu


buhnya.

"Jangan...!" teriak Jalno seraya berusaha beron-

tak. "Tolooong...!"

Ketiga temannya kebingungan. Mereka tidak 

tahu harus berbuat apa untuk menolong Jalno. Se-

dangkan mereka sendiri dalam ketakutan luar biasa 

yang mengganyang nyali masing-masing. Tubuh keti-

ganya menggigil. Tak ada yang berani melangkah un-

tuk menolong Jalno, karena makhluk merah bermuka 

tengkorak yang lain masih mengepung mereka.

Saking takutnya, ketiga lelaki itu terkencing-

kencing. Wajah mereka sepucat kapas. Dan bulu-bulu 

halus di tengkuk mereka seperti hendak lepas, tegang 

menyaksikan kengerian di depan mata mereka.

Wesss!

Tiba-tiba makhluk-makhluk bermuka tengko-

rak yang membawa Jalno berubah kembali menjadi 

asap. Lalu terdengar suara pecahnya tanah di sekitar 

gardu. Bersamaan dengan itu, tubuh makhluk-

makhluk menyeramkan yang membawa Jalno menghi-

lang.

"Hah?!" ketiga pasang mata peronda yang keta-

kutan itu membelalak, karena rasa takut dan takjub 

yang campur aduk melihat kejadian yang aneh itu.

"Toloong.,.! Setan..!"

Akhirnya mereka lari tunggang-langgang, sam-

bil berteriak-teriak tak karuan.

"Tolong ada setan...! Tolong...!"

Warga Desa Karapan yang mendengar teriakan 

para petugas ronda langsung keluar. Mereka ingin ta-

hu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Karapan tu-

rut keluar.

"Ada apa, Bawul, Kapri, Pilan? Seperti orang di-

kejar setan saja kalian jejeritan di malam begini?" 

tanya Ki Walapaya, lelaki tinggi kurus berpakaian war


na abu-abu tua dengan lengan panjang. Wajahnya 

angker berhias kumis tebal melintang. Lelaki berusia 

sekitar lima puluh lima tahun ini adalah kepala Desa 

Karapan.

"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Jalno," 

lapor Pilan.

Semua orang membelalak, mendengar berita 

yang baru disampaikan Pilan. Namun Ki Walapaya 

seakan tidak percaya dengan cerita itu, malah dengan 

mendengus Ki Walapaya membentak.

"Kau jangan main-main, Pilan?"

"Benar, Ki," seta Bawul. "Lihat, kami sampai 

terkencing-kencing begini."

Bawul menunjuk ke selangkangannya. Celana 

panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup 

dengan bau pesing yang tidak ketulungan. Begitu juga 

dengan Pilan dan Kapri.

Semua warga yang melihat ketiga peronda itu 

ngompol, seketika tertawa riuh-rendah. Membuat ke-

sunyian malam seketika pecah menjadi gelak tawa.

Saat itu juga, tiba-tiba dari arah rumah Ki Lu-

rah Karapan terdengar jeritan seorang wanita.

"Tolong! Tolooong...!"

***

Ki Walapaya dan warga desa yang mendengar 

jeritan menantu Ki Walapaya seketika berlarian ke 

arah rumah kepala desa itu. Mereka menemukan be-

berapa makhluk bermuka tengkorak menyeramkan 

tengah membawa tubuh Samikantra, anak Ki Lurah 

yang baru menikah dua bulan lalu dengan Prawanti.

"Setan! Setan tengkorak...!" jerit warga ketaku-

tan, menyaksikan makhluk-makhluk bermuka tengko-

rak berlumuran darah tengah berusaha membawa


anak Ki Lurah.

Menyaksikan hal itu, Ki Walapaya yang tidak 

ingin anaknya dibawa oleh makhluk-makhluk menye-

ramkan segera menghadang kesepuluh manusia ber-

muka tengkorak.

"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki Wa-

layapa dengan keras, seperti tidak takut sedikit pun 

terhadap sosok-sosok makhluk yang kini memandang 

dengan wajah mengerikan ke arahnya.

Salah satu makhluk bermuka tengkorak meng-

gerakkan tangannya, seperti memerintah anak buah-

nya untuk membereskan Ki Walapaya.

"Hng!"

Tiga makhluk itu maju menghadapi Ki Lurah 

yang masih tegak berdiri dengan mata memandang ta-

jam. Tampaknya Ki Lurah belum yakin kalau mereka 

itu sungguh-sungguh setan.

"Buka kedok kalian! Jangan kira aku takut 

menghadapi kalian!" dengus Ki Walapaya, memerintah 

tiga makhluk yang perlahan mendekat untuk membu-

ka kedoknya. Tapi ketiganya tidak terlihat akan mem-

buka kedoknya, malah mereka menggeram marah.

"Hng!"

Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu seketi-

ka menyerang berbareng ke arah Ki Walapaya. Tangan 

mereka yang hanya tulang belulang berkuku panjang 

dan runcing, mencakar Ki Walapaya. Mendadak Ki Lu-

rah tersentak setelah melihat kalau makhluk-makhluk 

itu memang bukan manusia.

"Tengkorak hidup...!" pekiknya, seraya menge-

lakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih 

membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan 

yang ada.

Warga Desa Karapan yang melihat tangan 

makhluk bermuka tengkorak yang hanya tulang belu


lang, seketika menjerit ketakutan. Mereka langsung la-

ri potang-panting. Terlebih-lebih ketiga peronda yang 

sebelumnya telah melihat. Mereka lari sipat kuping ba-

gai dikejar setan-setan tengkorak itu.

"Tolong! Setan tengkorak tolooong...!" 

Jeritan warga seketika menggema memecah ke-

sunyian malam. Kini tak ada lagi warga yang berani 

membantu Ki Walapaya menghadapi makhluk tengko-

rak berdarah yang tengah bertarung dengan kepala de-

sanya.

Ki Walapaya kini menghadapi ketiga tengkorak 

seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga 

makhluk yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris 

yang tadi terselip di pinggangnya. Dengan keris 

'Simbang Mega' yang mengeluarkan sinar hijau, Ki Wa-

lapaya meladeni gempuran ketiga siluman tengkorak 

darah dengan jurus 'Kembaran Mega Berarak'.

"Heaaa...!"

Keris 'Simbar Mega' di tangan Ki Walapaya ber-

gerak cepat menusuk dada salah satu siluman tengko-

rak darah dengan cepat. Kilatan cahaya hijau itu terus 

menyeruak, berusaha menekan ketiga lawannya.

Sementara itu, siluman tengkorak darah yang 

membawa anak Ki Walapaya kini telah raib entah ke 

mana, setelah berubah ujud menjadi kepulan asap lalu 

menyusup ke dalam tanah retak. Hal itu memaksa ma-

ta Ki Walapaya membelalak lebar, tegang menyaksikan 

kejadian aneh itu. Kejadian yang tidak masuk akal ba-

gi dirinya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan sema-

ta, tanpa mengerti ilmu gaib.

Tusukan keris di tangan Ki Walapaya yang ke-

ras, seperti dibiarkan oleh salah satu makhluk bermu-

ka tengkorak darah. Tak ayal lagi....

Jlep!

Keris 'Simbar Mega' menghujam dada makhluk


bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menembus 

ke dalam, seperti disedot oleh sebuah kekuatan. Hal 

itu membuat Ki Walapaya tersentak kaget

"Akh! Mengapa kerisku tertarik ke dalam?!" pe-

kik Ki Walapaya kaget Dia berusaha menarik keluar 

kerisnya dari tubuh siluman tengkorak, namun tu-

buhnya malah ikut tertarik oleh kekuatan aneh di tu-

buh siluman tengkorak darah. Ki Walapaya bertambah 

tegang. Apalagi saat sekujur tubuhnya merasakan pa-

nas menyengat, bagai ada api yang menyambar.

Ki Walapaya berusaha sekeras mungkin agar 

dapat menarik kerisnya yang menancap pada dada la-

wan. Namun keris itu bagai melekat keras sekali pada 

tubuh lawan dan sulit untuk ditarik. Sebaliknya tubuh 

Ki Walapaya perlahan-lahan disedot oleh tubuh lawan.

"Akh!" jerit Ki Walapaya. 

"Hng!"

Makhluk bermuka tengkorak menggeram keras. 

Pada saat itu, bagian tubuhnya yang terhujam keris Ki 

Walapaya tampak bersinar hijau. Sinar itu terus mem-

besar, hingga akhirnya menyelimuti sekujur tubuh 

makhluk itu lalu mulai merambat ke tangan Ki Wala-

paya.

"Wuaaa...!" Ki Walapaya menjerit setanggi langit 

ketika tubuhnya tersengat oleh sinar hijau yang keluar 

dari tubuh makhluk bermuka tengkorak. Seperti sen-

gatan arus listrik kuat yang menyambar tubuhnya.

Ki Walapaya berusaha melepaskan keris yang 

menancap di tubuh lawan, tapi tangannya bagai telah 

melekat erat pada keris itu. Sehingga sangat sulit ba-

ginya untuk dapat melepaskan keris tersebut. Semakin 

kuat dia berontak, semakin lengket tangannya pada 

gagang keris. Semakin kuat pula tarikan aneh dari da-

lam tubuh makhluk bermuka tengkorak. 

"Hng!"


"Hik hik hik!" 

"Wuk wek wek!"

Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu berkata 

dengan bahasa mereka yang sulit dimengerti oleh Ki 

Walapaya. Sementara Ki Walapaya terus berusaha me-

lepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia 

berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun te-

naga dalamnya tak mampu melepaskan tangan yang 

melekat pada gagang keris. Tenaga dalamnya malah 

tersedot habis.

"Ukh!" Ki Walapaya mengeluh lirih. Wajahnya 

semakin pucat-pasi setelah tenaga dalamnya terkuras 

habis. Matanya membelalak tegang jiwanya diseret ke 

dalam saat-saat sekarat, "Wuaaa...!"

Dengan jeritan yang terakhir, Ki Walapaya ak-

hirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan 

keadaan mengerikan. Tubuhnya pucat-pasi bagai tak 

berdarah. Matanya mendelik mengerikan.

"Wuk wek wek!"

"Wsss ngik!"

Kedua makhluk bermuka tengkorak darah 

lainnya mengangguk. Seakan memerintah temannya 

untuk melepaskan korban yang telah kehilangan nya-

wanya.

"Hng!"

Usai melepaskan tubuh Ki Walapaya, ketiga 

makhluk bermuka tengkorak darah itu menjatuhkan 

sesuatu dari tangannya yang tepat menimpa wajah Ki 

Walapaya. Sebuah gambar tengkorak dengan warna 

merah terbuat dari darah! 

Wsss! 

Krak!

Tubuh ketiganya berubah menjadi kepulan 

asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menyusup 

ke dalam tanah.


DUA


"Mayat..! Mayat..!" teriak seorang petani muda 

berusia sekitar tujuh belas tahun dengan wajah keta-

kutan sambil berlari-lari meninggalkan tempat di mana 

dua mayat telanjang tergeletak dalam keadaan menge-

rikan. Tubuh kedua mayat tak jelas ujudnya, karena 

dirubung oleh hewan-hewan berbisa.

Warga Desa Sela Kapilu langsung gempar oleh 

jeritan pemuda tanggung itu. Segera semua warga ber-

duyun-duyun datang untuk melihat apa yang terjadi. 

Mereka serentak melangkah menuju ke perbatasan 

Desa Sela Kapilu dengan Desa Karapan. Orang-orang 

Desa Karapan yang mendengar kejadian itu ikut da-

tang. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi korban.

Warga Desa Karapan yang baru saja berduka 

atas kematian lurah mereka, menjadi marah setelah 

tahu kalau korban mengerikan yang tergeletak di per-

sawahan kering di batas Desa Karapan dengan Desa 

Sela Kapilu adalah peronda dan anak Ki Lurah.

"Jelas ini perbuatan warga Desa Sela Kapilu...," 

kata seorang warga Desa Karapan menuduh.

"Ya! Buktinya kedua korban ada di tempat ini," 

sambung rekannya.

"Mungkin ada yang menganut ilmu sesat di De-

sa Sela Kapilu!" tambah yang lain semakin menusuk.

"Kita serang saja!" timpal warga desa yang lain.

Mendengar ribut-ribut warga Desa Karapan, 

warga Desa Sela Kapilu yang merasa dituduh seketika 

menjadi gusar. Mereka yang tidak merasa melakukan 

hal itu, langsung membentak marah.

"Enak saja kalian menuduh!" hardik Wakil Ke-

pala Desa Sela Kapilu marah. "Apa buktinya kalian 

menuduh warga kami yang melakukan semuanya?!"


"Mayat-mayat ini! Tidak mungkin kalau bukan 

warga Desa Sela Kapilu yang melakukannya. Buktinya 

mayat-mayat ini ada di perbatasan!" tak kalah sengit 

Wakil Kepala Desa Karapan membentak.

"Kurang ajar! Fitnah! Tak pernah warga Desa 

Sela Kapilu berbuat keji seperti itu! Mungkin warga de-

samu yang melakukan semuanya! Lalu kami yang kini 

di-jadikan kambing hitam!"

"Sembarangan kau berkata, Pronco!" dengus 

Pabean, Wakil Kepala Desa Karapan. Lelaki kurus ber-

wajah garang itu semakin gusar. Bagaimana tidak? Be-

lum juga hilang rasa dukanya atas kematian kepala 

desa, kini dua warga desanya ditemukan dalam kea-

daan yang mengerikan. "Bagaimanapun juga, wargamu 

patut dicurigai."

"Setan alas!" bentak Pronco tak mau kalah. Le-

laki pendek dan berbadan gemuk itu melotot garang. 

"Sembarangan kau berkata! Kami Warga Desa Sela 

Kapilu tak pernah berbuat sehina itu! Tak seperti war-

ga desamu yang suka buat gara-gara!"

"Bedebah! Serang Desa Sela Kapilu!" perintah 

Pabean.

"Yeaaa!"

Warga Desa Karapan dengan senjata seadanya 

serentak bergerak maju untuk melakukan serangan 

terhadap warga Desa Sela Kapilu.

Menyaksikan warga Desa Karapan hendak me-

nyerang, Pronco pun tak tinggal diam. Dia segera ber-

seru lantang, menyuruh warga desanya untuk mem-

bendung serangan lawan.

"Hadang warga Desa Karapan! Serang...!"

"Yeaaa!"

"Hancurkan...!"

Warga Desa Sela Kapilu dengan senjata yang 

sederhana pun merangsek menyerang. Pertempuran


yang seharusnya tidak perlu terjadi akhirnya berkobar. 

Keduanya sama-sama tak sudi dituduh dan sama-

sama tak mau mengalah.

"Aku lawanmu, Pronco!" bentak Pabean sambil 

berkelebat menghadang Pronco yang mengamuk den-

gan senjata clurit di tangannya yang telah menjatuh-

kan beberapa korban. Begitu pula dengan Pabean, 

dengan senjata keris dia telah membunuh beberapa 

warga Desa Sela Kapilu.

"Bagus! Kita tentukan siapa di antara kita yang 

memang tinggi ilmunya!" sambut Pronco sambil me-

lompat, menjauhi warga Desa Karapan.

"Bersiaplah untuk mampus, Pronco!"

"Kau yang mesti bersiap ke neraka!"

"Yea!"

"Yea!"

Kedua pemimpin warga desa kini berkelebat 

menyerang dengan senjata tradisional. Clurit di tangan 

Pronco bergerak menyambar-nyambar dengan jurus-

jurus 'Babat Raga' yang cepat dan mengarah pada 

tempat-tempat yang mematikan. 

Swit!

"Uts!"

Pabean mengelakkan sabetan Clurit lawan den-

gan cara merundukkan tubuh ke bawah, lalu meng-

geser kaki ke samping. Kemudian dengan cepat, ditu-

sukkan kerisnya ke lambung lawan yang tengah con-

dong ke arahnya dengan jurus 'Patukan Semut Merah'.

Wettt!

"Yea!"

"Uts! Hop...!"

Pronco dengan cepat mengelit ke samping, 

hingga keris di tangan Pabean hanya meleset beberapa 

senti di samping tubuhnya. Kemudian dengan cepat 

Pronco mengerahkan kaki kanannya ke muka lawan


dengan tendangan 'Sampul Silang'.

Wettt!

"Yeaaa!"

Cepat-cepat Pabean menggeser kaki ke samping 

kanan. Dengan tubuh setengah doyong dikelitkannya 

tendangan lawan. Kemudian dengan cepat, diajukan 

jotosan tangan kirinya ke selangkangan lawannya.

"Yeaaa!"

Pronco tersentak kaget mendapatkan serangan 

yang datang tiba-tiba itu. Cepat-cepat kakinya ditarik 

ke belakang, kemudian dengan cepat pula tubuhnya 

mundur dua tindak ke belakang sambil membabatkan 

cluritnya ke tangan lawan.

"Heaaa!"

Wettt!

Pabean tersentak. Segera jotosannya ditarik un-

tuk menghindari sabetan clurit lawan. Kemudian sece-

pat kilat kerisnya ditusukkan ke perut lawannya yang 

buncit

Trang!

Dua senjata beradu, menimbulkan dentingan 

keras. Kemudian tubuh keduanya melompat ke bela-

kang. Mata mereka saling pandang dengan tajam, be-

rusaha mengukur kemampuan masing-masing. Den-

gan sudut mata mereka memperhatikan setiap gerak-

gerik lawan.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Beriring pekikan menggelegar, keduanya kem-

bali bergerak merangsek. Clurit di tangan Pronco ber-

suit-suit mencari sasaran. Sedangkan keris di tangan 

Pabean bergerak ganas mengarah ke perut lawan.

Trang!

"Heaaa!"

Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk


dapat mengalahkan lawan masing-masing. Senjata me-

reka bergerak mencari sasaran yang mematikan di tu-

buh lawan. Namun masing-masing rupanya memiliki 

ketangkasan yang cukup hebat dalam mengelakkan 

serangan lawannya.

Sementara itu, telah banyak korban yang jatuh 

di kedua belah pihak yang tengah bertarung. Tapi me-

reka seperti tidak akan menghentikan pertumpahan 

darah yang sia-sia itu. Keduanya masih memperta-

hankan pendapat mereka, meski harus mereka bayar 

dengan darah atau nyawa.

Benturan senjata dan jerit kematian dari kedua 

belah pihak kerap kali terdengar. Namun semuanya ti-

dak membuat mereka jera, membuat mereka justru 

semakin telengas dan bernafsu untuk membunuh la-

wan.

Saat pertarungan berlangsung kian seru, tiba-

tiba terdengar bentakan keras dari seorang lelaki. Ben-

takan keras itu, cukup membuat semua orang yang 

bertarung seketika menghentikan pertarungan mereka.

"Berhenti...!"

Seorang lelaki tua dengan sorban di kepala ser-

ta berjubah putih sampai ke mata kaki, nampak me-

langkah menuju warga kedua desa yang mendadak 

menghentikan pertumpahan darah itu. Seketika mere-

ka yang ada di tempat itu menjura memberi hormat. 

Termasuk Pronco dan Pabean.

"Selamat datang, Ki Gede," hatur keduanya 

dengan ramah.

"Hm...," Ki Gede Mantingan menggumam tak je-

las. Matanya memandang tajam pada orang-orang 

yang menundukkan kepala di hadapannya, seakan le-

laki tua itu tak suka pada tindakan bodoh mereka 

yang terlalu terburu nafsu.

Ki Gede Mantingan, lelaki berusia sekitar enam


puluh delapan tahun berjenggot putih panjang pera-

wakannya tinggi. Dilengkapi wajah yang penuh kete-

nangan. Dia menyapukan pandangannya ke segenap 

penjuru tempat itu.

"Apa kalian semua sudah dirasuki iblis?!" seru 

Ki Gede Mantingan dengan suara lantang dan penuh 

wibawa. Matanya masih memandang tajam ke seluruh 

warga desa yang menundukkan kepala kian dalam. 

"Bukan begini cara menyelesaikan masalah! Kalian te-

lah lupa dengan ajaran yang telah kuberikan?!"

Semua tergugu dalam diam. Tak seorang pun 

berani mengangkat kepala. Apalagi mengadu pandang 

dengan Ki Gede Mantingan.

Orang tua itu merupakan guru besar di desa 

mereka, yang senantiasa mengajari mereka norma-

norma agama yang setarap dengan Brahmana. Sese-

puh yang dihormati dan dihargai oleh semua warga 

kedua desa itu.

"Kalian mestinya bisa menjaga emosi! Jangan 

grusa-grusu, karena sikap seperti itu hanya sikap dan 

tindakan-tanduk setan!" kembali Ki Gede Mantingan 

berkata. Suaranya masih tegas dan penuh kewiba-

waan. "Kalau sudah begini, siapa yang rugi?!"

Semua terdiam, tak ada yang berani membuka 

suara sepatah kata pun. Kepala mereka semakin me-

nunduk dalam-dalam. Tanpa terasa air mata mereka 

berlinang. Tampaknya semua warga kedua desa itu 

menyesali tindakan mereka yang tidak berlandaskan 

akal sehat

Ki Gede Mantingan menghela napas panjang. 

Ditengadahkan wajahnya ke langit mencari jawaban 

tentang watak manusia yang terkadang sulit dipahami. 

Kemudian terdengar desah napasnya yang terasa be-

rat.

"Bencana apa yang telah melanda desa kalian?


Ini yang perlu kalian pikirkan! Bukan main saling tu-

duh dan saling bunuh seperti binatang!" sambungnya 

lagi. "Kalian manusia yang diberi akal dan pikiran oleh 

Sang Hyang Widi."

Kebisuan terus menyelimuti warga kedua desa 

yang habis bertarung itu.

Dari arah Desa Sela Kapilu, Ki Lurah Jarang 

Lanang berlari-lari ke arah mereka. Seketika Ki Lurah 

Jarang Lanang menjura, melihat Ki Gede Mantingan.

"Ampun, Ki Gede. Kami mohon ampun atas ke-

jadian ini," mohonnya mengiba sambil terus menjura. 

"Saya sedang menemui Kanjeng Wedono, jadi tidak ta-

hu masalahnya sama sekali."

"Tak ada yang salah, Ki Lurah," jawab Ki Gede 

Mantingan pada orang tua berpakaian adat Jawa den-

gan wajah bersih tanpa kumis dan cambang bawuk. 

Tubuh lelaki tua itu gemuk. Beruntung agak tinggi, 

hingga tidak terlihat bulat. Blankon di kepalanya ter-

balik. Mungkin Ki Lurah Jarang Lanang terburu-buru 

setelah mendengar dari warganya tentang kejadian ter-

sebut

"Saya khawatir, Ki Gede. Takut kalau salah pa-

ham ini akan berlarut-larut," kata Ki Lurah Jaran La-

nang dengan wajah menunjukkan kekhawatiran.

"Tak akan, Ki. Asal kedua belah pihak saling 

mengerti dan menyadari. Ini bukan perbuatan manu-

sia, tapi iblis! Maka, kuharap kalian waspada. Kemarin 

malam, Desa Karapan yang mengalami musibah. Siapa 

tahu nanti malam justru Desa Sela Kapilu yang terke-

na musibah."

Semua diam terpekur tak ada yang berkata.

Suasana menjadi sepi sesaat di perbatasan ke-

dua desa itu. Kemudian Ki Gede Mantingan kembali 

melanjutkan. "Penjagaan harus diperketat. Kalian ha-

rus ingat itu. Adakan perondaan setiap malam, agar


jangan sampai kecolongan."

"Baik, Ki Gede...!" serentak mereka menjawab.

"Sekarang bubarlah. Urus yang mati. Jalinlah 

tali kasih dan persaudaraan!"

Setelah memberi petuah, Ki Gede Mantingan 

pun berlalu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal 

orang-orang kedua desa yang tengah sibuk mengurus 

mayat-mayat korban.

***

Sore telah datang, mentari tergelincir di sudut 

barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, ke-

mudian hadir kegelapan yang membawa suasana men-

cekam. Tampak para petani pulang dari sawah dengan 

peralatan terpanggul di pundaknya.

Burung-burung beterbangan pulang ke sarang 

masing-masing dengan suara yang bersahut-sahutan. 

Bias merah jingga merasuki langit sebelah barat, me-

nandakan mentari telah tersungkur. Desir angin sore 

terasa agak dingin, seperti datang bersama kegelisa-

han.

Dua sosok bayangan tampak melangkah dalam 

keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-

rau dengan riang, seperti menikmati suasana senja 

yang indah. Bagai tidak menghiraukan kejadian yang 

tengah menimpa sebuah desa yang mereka lalui.

"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka," 

kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut di-

gelung dua di atas. Kulit gadis itu kuning langsat. Hi-

dungnya tidak terlalu mancung. Sedang matanya len-

tik dan indah bila mengerling.

"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit 

ular, berambut gondrong yang agak berombak. Kulit 

pemuda itu bersih, wajahnya tampan.


Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki 

tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik 

nan elok. Pedang tersandang di pundak gadis cantik 

yang berpakaian ala Cina itu. Sedangkan di pinggang 

pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala

naga.

Dilihat dari senjata serta pakaian mereka, ke-

dua sejoli itu tidak lain Sena Manggala atau Pendekar 

Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut 

Nyawa.

Sena meringis dengan tangan menggaruk-garuk 

kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang nam-

pak sepi dan senyap. Ada bendera kuning terpajang di 

pintu masuk desa itu. Bendera itu menandakan kalau 

desa itu tengah berkabung.

"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie."

"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie.

"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie. Ayolah, kita 

cepat pergi. Sebentar lagi malam. Kita harus segera 

mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil 

menggandeng tangan Mei Lie. Tapi gadis Cina itu me-

nolak.

"Tunggu, Kakang. Firasatku mengatakan, telah 

terjadi sesuatu di sini."

Sena tertawa tergelak-gelak mendengar penutu-

ran Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti 

monyet. Hal itu membuat Mei Lie lantas cemberut.

Sena langsung menghentikan tingkahnya yang 

persis orang gila itu setelah melihat Mei Lie merengut. 

Dengan tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk 

kepala, Sena menghela napas panjang-panjang.

"Hi hi hi..! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie. Ah 

ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesu-

atu. Kematian, bukan?" goda Sena, membuat Mei Lie 

bertambah merengut. Matanya mendelik pada Sena


yang makin cengengesan.

"Uh, Kakang," keluh Mei Lie cemberut "Aku 

sungguh-sungguh, Kakang."

"Aha, aku lebih sungguh-sungguh, Mei Lie," tu-

kas Sena, masih saja menggoda. Semakin membuat 

Mei Lie mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini. 

Sudahlah, Mei Lie. Sebentar lagi malam, kita harus se-

gera mencari tempat penginapan."

Sena kembali mengajak Mei Lie pergi mening-

galkan tempat itu. Akhirnya Mei Lie pun menurut. Ka-

ki keduanya melangkah meninggalkan desa itu. Tapi 

baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan 

oleh bentakan seseorang.

"Berhenti!"

Sena dan Mei Lie berhenti, keduanya memba-

likkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh me-

reka berhenti: Tampak seorang lelaki berbadan kurus 

dengan kumis panjang yang melintang di atas bibirnya 

berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga pada me-

reka. Di belakang lelaki yang tidak lain Pabean, berdiri 

beberapa orang warga. Wajah mereka pun menggam-

barkan rasa curiga.

Sena tertawa renyah. Tingkah lakunya yang 

konyol kembali muncul. Dia menggaruk-garuk kepala 

sambil cengengesan. Kemudian tangannya menepuk-

nepuk pantat

Menyaksikan tingkah konyol pemuda berpa-

kaian rompi kulit ular di hadapannya, Pabean seketika 

mengerutkan kening. "Rasanya aku pernah mendengar 

tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" 

tanya Pabean dalam hati. Alisnya bertaut saat meman-

dang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie. 

"Dan kalau tidak salah, gadis Cina ini yang bergelar 

Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka berdua 

pendekar itu?"


"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa tiba-tiba 

menghentikan langkah kami? Hi hi hi...!" Sena tetap 

konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-

jingkrak. Sedangkan Mei Lie malah bersiap-siap, was-

pada kalau para penghadangnya hendak bermaksud 

jahat

"Siapa kalian?" tanya Pabean berusaha mencari 

tahu.

"Hi hi hi...! Lucu. Kau lucu sekali, Kisanak." 

Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk 

kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah, 

kami sepasang muda-mudi yang sedang melancong 

mengikuti kemauan kaki. Nah, apa cukup jelas?"

"Apakah kalian Pendekar Gila dan Bidadari 

Pencabut Nyawa?" selidik Pabean berusaha memasti-

kan dugaannya.

"Ya!" sahut Mei Lie memotong. "Ada apa kalian 

menghadang kami?" tanyanya kemudian.

"O, maafkanlah tindakan kami yang lancang. 

Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Penca-

but Nyawa, kami mengharap kalian sudi singgah ke 

rumah kami," pinta Pabean, santun.

"Hm, untuk apa?!" tanya Mei Lie tegas.

"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagaimana 

kalau kita terima undangannya. Bukankah kita adalah 

tamu di sini?" tanya Pendekar Gila berusaha mene-

nangkan Mei Lie yang ketus. Tampaknya Mei Lie masih 

dihantui kejadian di Lembah Lamur, saat orang-orang 

yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya 

dia tidak mudah percaya dengan orang lain (Mengenai 

kejadian Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila da-

lam episode "Titisan Dewi Kuan Im").

"Baiklah! Tapi jangan sekali-sekali bermaksud 

jahat. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian! 

Bahkan seluruh penduduk desa sini!" ancam Mei Lie.


"Baik, Nona Pendekar," sahut Pabean penuh 

hormat.

"Aha, ayolah," ajak Pendekar Gila.

Mereka pun melangkah mengikuti Pabean dan 

warganya. Sementara kegelapan telah menyelimuti de-

sa itu.

***


TIGA


Rumah Pabean nampak terang benderang. 

Lampu tempel besar dan lampu gantung yang biasanya 

dipadamkan, malam itu dinyalakan semua. Suasana 

dalam rumah menjadi terang benderang. Khususnya di 

beranda.

Tiga orang tengah duduk di kursi rotan, semen-

tara yang lainnya duduk bersila di bawah. Tampaknya 

mereka tengah berkumpul, setelah kematian lurah me-

reka.

Sena, Mel Lie, dan Pabean duduk di atas bang-

ku. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang 

melanda Desa Karapan dan telah menelan tiga korban.

"Kemarin malam desa ini didatangi oleh kawa-

nan makhluk bermuka tengkorak. Mereka menculik 

salah seorang petugas ronda dan anak Ki Lurah. Se-

mentara Ki Lurah sendiri mengalami kematian yang 

mengerikan sekali. Tubuhnya hangus, bagai terbakar," 

tutur Pabean menceritakan semua kejadian yang ter-

jadi kemarin malam.

"Hm," gumam Sena tidak jelas. Sedangkan Mei 

Lie memperhatikan cerita yang dibeberkan Pabean 

dengan seksama. "Aneh, makhluk berwajah tengkorak 

dari mana?"


"Itulah yang tengah kami pikirkan. Keris sakti 

milik Ki Lurah Walapaya yang bernama 'Simbar Mega' 

hilang entah ke mana. Kata orang yang melihat, keris 

itu masuk ke dada makhluk bermuka tengkorak."

"Heh?!" seru Sena dengan mata membelalak 

kaget.

"Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan ge-

ram mendengar cerita yang dituturkan Pabean. "Kura-

sa semua ini didalangi seseorang."

"Entahlah. Didalangi atau tidak, kami rasa hal 

ini harus dicegah...," kata Pabean dengan suara agak 

geram jika ingat kejadian yang menimpa desanya.

"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak je-

las. Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-

garuk kepala.

"Apa mereka keluar pada saat malam?" tanya 

Mei Lie.

"Ya!"

"Hm, ada yang tahu persis, bagaimana cara me-

reka muncul?" tanya Mei Lie.

"Saya, Nona Pendekar," sahut Pilan, salah seo-

rang petugas ronda kemarin malam.

"Bisa Kisanak menjelaskan?" pinta Mei Lie.

Secara singkat dan jelas, Pilan pun mencerita-

kan kejadian yang telah dialaminya bersama ketiga pe-

ronda lain, yang salah satunya menjadi korban kawa-

nan makhluk bermuka tengkorak darah. Muka tengko-

rak itu berlumuran darah, itu sebabnya dinamakan 

tengkorak darah: Sebelum mereka keluar terdengar de-

rak tanah retak. Kemudian muncul asap putih kehi-

tam-hitaman yang perlahan menampakkan ujud me-

rah me-nyala.

"Begitulah mereka keluar, Nona Pendekar," 

ucap Pilan, mengakhiri ceritanya.

"Hm," gumam Mei Lie sambil menghela napas


panjang-panjang.

Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-

pala. 

"Aha, rupanya ada juga siluman yang ingin 

mencampuri urusan manusia. Hi hi hi...! Lucu sekali!" 

Sena tertawa meringkik. Tingkahnya semakin konyol, 

membuat semua orang yang hadir di situ tersenyum-

senyum.

"Siluman...?" tanya Pabean dengan mata mem-

belalak.

"Ya! Kurasa mereka siluman," jawab Sena ma-

sih bertingkah konyol dan lucu.

Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan 

setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati me-

reka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu 

datang? Lalu apa maksud siluman-siluman itu datang 

ke alam manusia?

"Hm, kalau memang mereka siluman, bagaima-

na cara menghadapinya?" tanya Pabean nampak ke-

bingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa se-

perti dirinya dan warga desa untuk menghadapi mak-

hluk-makhluk seperti itu. Hanya orang-orang yang 

memiliki ilmu gaib saja yang mampu menghadapinya.

Mulut Pendekar Gila nyengir. Tangannya kem-

bali menggaruk-garuk kepala. Dia pun belum bisa ber-

buat apa-apa atau mengambil kesimpulan, karena dia 

belum pernah tahu makhluk seperti siluman itu. Dia 

juga belum tahu bagaimana cara menghadapi siluman.

"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena tiba-

tiba, menyentakkan semua orang di tempat itu terma-

suk Mei Lie, yang seketika mendelikinya. Pendekar Gila 

hanya nyengir, lalu seraya menggaruk-garuk kepala 

dia melanjutkan, "Kurasa, ada baiknya kita membica-

rakan masalah ini."

"Aku setuju," sambut Pabean.


"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.

"Aku pun setuju."

"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut, 

kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembica-

raan. Bagaimana kalau kita berpencar?" tanya Sena.

"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.

"Mungkin kawanan siluman itu malam ini akan 

datang kembali. Kurasa ada sesuatu yang menyebab-

kan kedatangan mereka di desa ini. Bagaimana kalau 

kita menyelidikinya?" tanya Pendekar Gila.

"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menu-

rutmu baik, aku setuju saja," jawab Pabean.

"Aku juga setuju," sambut Mei Lie.

"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.

"Kami setuju," sahut warga yang hadir di tem-

pat itu.

"Aha, bagus! Kuminta lima orang untuk meron-

da. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, bu-

nyikan kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu, 

aku dan Mei Lie akan segera datang," tutur Sena men-

gatur rencana.

"Ide yang bagus," puji Pabean.

"Sementara yang lainnya, tolong ikut Pabean 

untuk memeriksa kampung ini. Aku dan Mei Lie akan 

mengawasi kampung sebelah barat. Kita akan bertemu 

jika kita mendengar salah seorang membunyikan ken-

tongan," papar Sena menjelaskan.

"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mu-

lai" kata Pabean.

Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, me-

reka pun melakukan apa yang telah direncanakan. 

Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat se-

dangkan Pabean dan warga menuju ke arah timur. Li-

ma orang peronda nampak masih berada di rumah Pa-

bean, berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.


***

Sementara itu, di Desa Sela Kapilu tampak be-

berapa orang tengah bergerombol. Ada sepuluh orang 

yang malam itu bertugas meronda. Kali ini mereka siap 

dengan senjata berupa golok. Berjaga-jaga kalau-kalau 

terjadi hal yang serupa dengan kejadian di Desa Kara-

pan.

"Apa benar cerita orang Karapan?" tanya seo-

rang peronda bernama Kapri.

"Iya. Mana ada setan gentayangan membunuh? 

Mungkin orang Desa Karapan sendiri yang melaku-

kannya," sambung Dayan.

"Ya, mungkin juga benar," tukas Wiryo. "Mana 

ada sih yang tega membunuh Ki Lurah? Lagi pula, ka-

lau memang benar Ki Lurah mati terbakar, tentu warga 

melihatnya."

"Iya ya. Kok bisa aneh begitu? Lagi pula, salah 

seorang petugas ronda hilang dan tadi pagi tahu-tahu 

ditemukan mati. Aneh...," gumam Rusdi.

"Sudahlah, jangan membicarakan itu. Tidak 

baik. Ingat kata-kata Ki Gede Mantingan, kita tidak bo-

leh membicarakan orang lain. Yang penting kita harus 

bisa menjaga keamanan desa kita," tukas Romlan be-

rusaha mengingatkan teman-temannya agar tak mem-

bicarakan orang lain.

Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda 

yang sedang berkumpul di gardu. Terlebih malam itu 

angin berhembus membawa rasa dingin, membuat su-

asana di sekitar tempat itu bertambah mencekam.

Wesss!

Krak!

Tiba-tiba kesepuluh peronda yang tengah ber-

jaga-jaga dikejutkan oleh suara tanah retak, yang di-

ikuti oleh suara mendesis dan datangnya asap tebal


yang keluar dari retakan tanah.

"Hei, suara apa itu?!" seru Dayan.

"Seperti asap! Lihat ada asap mengepul!" sam-

but Rusdi.

Mata kesepuluh ronda itu membelalak, me-

mandang tak berkedip pada asap tebal yang membu-

bung keluar dari retakan tanah.

Belum juga rasa kaget kesepuluh peronda itu 

hilang, kepulan asap yang jumlahnya banyak itu 

membentuk sosok berwarna merah. Kemudian terben-

tuklah ujud menyeramkan. Sosok manusia berwajah 

tengkorak yang berlumuran darah.

"Se..., setaaan...!" pekik mereka ketakutan. Tapi 

tubuh mereka tidak beranjak dari gardu. Hanya mata 

mereka yang melotot tegang, memandang sosok-sosok 

menyeramkan yang kini melangkah mendekati gardu.

"Jelas makhluk ini yang kemarin membuat 

bencana di Desa Karapan...," desis Wiryo, orang yang 

agak berani di antara kesepuluh peronda. Malah tan-

gannya kini menarik golok dari sarungnya. "Kita harus 

serang mereka!"

Tak ada satu temannya pun yang berani. Mere-

ka cuma dapat menggigil ketakutan. Hal itu membuat 

Wiryo kebingungan. Kini dirinya dalam keraguan. Ingin 

melawan seorang diri tapi dia akut karena takut lawan 

terlalu banyak. Namun kalau tak melawan, bisa-bisa 

mereka akan menjadi korban. Akhirnya tubuh Wiryo 

ikut merapat dalam kerumunan temannya.

"Tolong...! Ada setaaan...!" jerit mereka keras, 

membuat warga lain yang tengah tidur seketika ter-

bangun. Mereka berbondong-bondong menuju ke gar-

du ronda. Namun warga desa seketika lari mening-

galkan tempat itu, manakala menyaksikan puluhan 

ujud menyeramkan.

"Wuaaa! Setaaan...!"


Suasana malam yang sepi dan mencekam, 

mendadak dirambati jerit ketakutan para penduduk. 

Mereka lari terbirit-birit saking takutnya, tanpa meng-

hiraukan lagi nasib kesepuluh peronda yang masih 

terkurung di dalam gardu.

Ketegangan semakin menjadi-jadi, ketika mak-

hluk-makhluk bermuka tengkorak itu semakin dekat 

ke arah gardu tempat kesepuluh peronda berada.

"Wuaaa...!" jerit mereka ketakutan, setelah 

lampu tempel di gardu menerangi wajah makhluk-

makhluk itu, hingga mata mereka menangkap dengan 

jelas puluhan wajah menyeramkan itu.

"Kita tidak bisa begini terus. Kita harus mela-

wan," ajak Wiryo, berusaha memberi semangat pada 

kesembilan rekannya yang masih ketakutan.

"Tapi..., mereka bukan manusia," keluh teman-

temannya.

"Apa pun mereka, kita tidak boleh tinggal di-

am!" Wiryo terus berusaha memberi semangat pada 

teman-temannya untuk melawan makhluk-makhluk 

menyeramkan itu.

Srttt!

Mereka serentak mencabut golok. Rupanya aja-

kan Wiryo mereka tanggapi. Kemudian dengan nekat, 

kesepuluh peronda itu menyerang para pengepung 

yang menyeramkan.

"Heaaa!"

Crak! Crak! Crak!

Suara benturan golok dengan tubuh para mak-

hluk tengkorak darah terdengar. Namun golok di tan-

gan mereka malah menjadi gompal. Bahkan ada yang 

patah menjadi tiga. Kejadian aneh itu membuat mata 

kesepuluh peronda semakin membelalak tegang.

"Wik! Wok! Wik!" salah satu makhluk bermuka 

tengkorak berkata. Tangannya yang hanya tulang belu


lang bergerak-gerak, seperti memerintah yang lain un-

tuk membereskan kesepuluh peronda itu.

Puluhan tengkorak darah serentak maju, men-

jadikan para peronda semakin ketakutan. Tubuh me-

reka kini menggigil hebat. Keringat dingin bercucuran 

membanjiri dahi dan leher mereka. Malah mereka ter-

kencing-kecing, menyaksikan wajah-wajah menyeram-

kan itu bertambah dekat

Tangan para makhluk bermuka tengkorak itu 

bergerak. Mulanya menjulur maju, kemudian ditarik 

ke belakang. Dari telapak tangan mereka yang hanya 

tulang belulang, terpancar sinar biru. Saat itu pula tu-

buh kesepuluh peronda tertarik keras ke arah mereka.

"Wuaaa! Tolooong...!"

Kesepuluh peronda itu berusaha memperta-

hankan diri dari sedotan tenaga aneh lawan, namun 

tenaga mereka rupanya belum seberapa. Tubuh mere-

ka terus tersedot, sampai menempel dengan tubuh 

makhluk bermuka tengkorak. Kesepuluh peronda itu 

tergagap-gagap, menyaksikan wajah menyeramkan 

yang begitu dekat dengan wajah mereka.

"Wuaaa...! Tolooong...!"

Percuma mereka menjerit-jerit, karena warga 

yang lain malah kocar-kacir ketakutan.

Dalam keadaan tegang dan kritis, tiba-tiba ber-

kelebat sesosok bayangan berwarna coklat tua ke arah 

puluhan makhluk bermuka tengkorak. Bayangan itu 

langsung menghantamkan pukulan keras kepada sa-

lah satu makhluk itu.

Dukkk!

"Aduh!" pekik bayangan coklat, yang tidak lain 

Ki Lurah Jaran Lanang. Tangannya seketika memar. 

Seakan tangannya baru saja memukul logam atau ba-

tu karang yang sangat kuat. Mata lelaki tua berpa-

kaian Jawa itu membelalak tegang. Apalagi ketika pe


mimpin kawanan tengkorak darah membalikkan tubuh 

dan memandang ke arahnya. Darah Ki Lurah Jaran 

Lanang mendesir hingga cepat, karena kengerian yang 

tiba-tiba menusuk. Mulutnya menganga, matanya 

membuka lebar.

"Ngik! Kik! Cuik!" Pemimpin makhluk bermuka 

tengkorak berkata, tampaknya dia sangat marah atas 

kehadiran Ki Lurah Jaran Lanang. Malah tubuh me-

rahnya kini melangkah maju, mendekat Ki Lurah Ja-

ran Lanang yang semakin membelalak ngeri dan takut.

"Setan...! O, rupanya apa yang dikatakan warga 

Desa Karapan memang benar," desis Ki Lurah Jaran 

Lanang setengah mengeluh. Matanya semakin membe-

lalak tegang. Kakinya berusaha lari, namun tiba-tiba 

tubuhnya bagai disedot oleh suatu kekuatan. Kakinya 

mendadak tertahan, malah semakin tertarik mundur 

ke arah pemimpin makhluk bermuka tengkorak

Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang mulai menggigil 

ketakutan, mengetahui tubuhnya kini terangkat ke 

atas. Dan ketika matanya memandang ke belakang, 

tampak olehnya tangan tengkorak darah itu tengah 

bergerak ke atas. 

"Nguik!"

Pemimpin makhluk bermuka tengkorak itu 

menggerakkan tangannya ke bawah, ketika tubuh Ki 

Lurah Jaran Lanang telah mencapai ketinggian terten-

tu. Saat itu pula, tubuh Ki Lurah Jaran Lanang me-

luncur ke bawah. 

Wesss!

"Wuaaa...! Tolooong...!"

Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang terus melesat 

turun dengan cepat, bagai dibanting dari atas. Ketika 

tubuh lelaki tua itu hampir menghantam tanah kering, 

tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat menang-

kap tubuhnya. Bayangan itu langsung berhenti, ke



mudian menurunkan tubuh Ki Lurah Jaran Lanang. 

Bersama bayangan yang ternyata Pendekar Gila, mele-

sat pula tubuh Mei Lie.

"Rupanya siluman-siluman ini!" dengus Mei Lie. 

Matanya tajam, memandang gerombolan makhluk 

bermuka tengkorak darah yang kini menghadap ke 

arahnya, setelah membunuh kesepuluh peronda.

"Nguik! Wok! Wik! Wok!"

"Hm, majulah! Biar kuhabisi kalian!" tantang 

Mei Lie dengan berani.

Srttt!

Dicabutnya Pedang Bidadari dari sarungnya. 

Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi terang 

benderang oleh sinar kuning kemerahan-merahan. Hal 

itu membuat ujud manusia-manusia bermuka tengko-

rak semakin terlihat jelas. Keadaan mereka begitu me-

nyeramkan. Muka mereka hanya berupa tengkorak 

berlumuran darah. Bagian mata mereka bolong, begitu 

juga bagian hidung.

"Ngik! Ngok! Nguik!"

Pemimpin gerombolan tengkorak darah itu 

tampak menutupi matanya dengan sebelah tangan. 

Seakan merasa silau oleh sinar yang terbersit dari Pe-

dang Bidadari di tangan Mei Lie. Sedangkan tangan 

yang lain kini digerakkan, memerintah pada kesepuluh 

anak buahnya untuk menyerang.

"Nguik!"

Suara ribut tercipta dari mulut-mulut makhluk 

tengkorak darah yang hendak menyerang Mei Lie.

"Bagus! Majulah sekalian! Heaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu, Mei Lie segera 

bergerak memapaki serangan lawan. Pedang Bidadari 

di tangannya bergerak dengan cepat, memenggal ke 

kepala lawan dengan jurus 'Tebasan Bidadari'.

Wettt!


Trang!

"Heaaa!"

Mei Lie bergerak lincah. Pedang Bidadarinya 

laksana lengan Bidadari Pencabut Nyawa. Setiap kali 

berkelebat pasti mengambil kematian. Pantas benar 

dengan julukan yang disandangnya, Bidadari Pencabut 

Nyawa.

Dua makhluk bermuka tengkorak terpenggal 

lehernya. Keduanya seketika berubah menjadi asap, 

lalu menghilang. Yang lainnya menyerang. Namun 

Pendekar Gila yang tidak ingin Mei Lie mendapat cela-

ka, segera menarik Suling Naga Sakti. Dengan suling 

itu tubuhnya melesat ke udara. Lalu dengan tingkah 

seperti seekor monyet, Pendekar Gila memukul kepala 

para makhluk bermuka tengkorak.

"Hi hi hi! Rasakan ini, Siluman Buruk! Ha ha 

ha!"

Tak tuk tak!

Tiga kepala makhluk ganjil itu pecah. Ketiga 

sosok tengkorak yang terbungkus jubah merah berke-

rudung itu, seketika berubah menjadi asap. Lalu 

menghilang bagai ditelan bumi.

"Ngik! Ngok! Nguk!" Pemimpin kawanan tengko-

rak darah seketika memberi perintah dengan isyarat 

tangan, lalu sisa makhluk tengkorak darah itu menghi-

lang dari hadapan Pendekar Gila.

"Hi hi hi! Kalian mau main-main. Baik! Hi hi 

hi...!" sambil tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak 

seperti monyet, Pendekar Gila meniup Suling Naga 

Saktinya.

Suara suling melengking tinggi. Saat itu, suatu 

ledakan terjadi. Lima tengkorak darah yang menghi-

lang bersama pemimpinnya nampak kembali dalam 

keadaan sudah mati. Kemudian tubuh mereka menjadi 

asap yang menipis dan menghilang tersapu angin.


Pendekar Gila tertawa sambil berjingkrak-

jingkrak. Namun dari arah rumah seorang warga, tiba-

tiba terdengar jeritan.

"Tolooong...!"

Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Jaran La-

nang segera berkelebat menuju asal jeritan itu.

***

EMPAT



"Tolooong! Setaaan...!"

Seorang wanita muda menjerit-jerit ketakutan 

dengan pakaian tak menentu. Sebagian tubuhnya ti-

dak tertutup kain. Mungkin karena terlalu takut, wani-

ta itu tidak ingat keadaannya. Wanita muda yang can-

tik dan hampir telanjang itu ternyata Suri Prapti, anak

Ki Lurah Jaran Lanang.

"Ada apa, Suri?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, 

menyaksikan anaknya tampak ketakutan.

"Setan Ayah! Setan tengkorak menculik Kakang 

Rejo," isak Suri Prapti menangis.

"Hah, Suro Rejo diculik?!" seru Ki Jaran Lanang 

dengan mata membelalak, mendengar penuturan 

anaknya. Suro Rejo dan Suri Prapti baru saja menikah 

7 hari yang lalu. Kini tiba-tiba muncul manusia-

manusia bermuka tengkorak darah, mengacaukan hari 

indah mereka.

Belum juga rasa kaget mereka hilang, karena 

penculikan Suro Rejo, tiba-tiba para penduduk berte-

riak-teriak. Mereka berhamburan ketakutan. 

"Setan...! Setan menggarong!" 

"Rampok setan...!" 

"Setan merampok...!"


Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak melihat 

para penduduk berteriak-teriak ketakutan. Tingkahnya 

yang konyol, membuat Mei Lie melotot. Sena langsung 

diam, tidak lagi tertawa-tawa sambil berjingkrak-

jingkrak. Meski begitu, Sena masih cengengesan sam-

bil menggaruk-garuk kepala.

"Ada apa? Ada apa ini?" tanya Ki Jaran Lanang.

"Rumah kami dirampok!" lapor penduduk den-

gan ketakutan yang terlukis di wajahnya.

"Anak kami yang masih jejaka dibawa!" sam-

bung yang lainnya.

"Suami saya juga dibawa. Padahal kami baru 

menikah bareng sama Den Suri," isak seorang gadis 

muda berkulit kuning langsat dan cantik.

Ki Lurah Jaran Lanang semakin terlongong 

bengong. Dia tidak tahu, untuk apa para lelaki muda 

diambil oleh siluman tengkorak darah.

Saat warga Desa Sela Kapilu dilanda kegempa-

ran dengan matinya sepuluh orang peronda dan hi-

langnya beberapa lelaki muda, Pabean dan beberapa 

orang warganya datang.

"Ada apa, Sena?" tanya Pabean.

Ki Lurah Jaran Lanang menceritakan semua 

yang terjadi. Hal itu membuat mata Pabean membela-

lak.

"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Pa-

bean. "Akh heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan 

tampan dibawa pergi? Kemudian keesokan harinya 

mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengeri-

kan. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?"

"Benar...!" sahut warga Sela Kapilu.

Semua terdiam, tak ada yang berkata. Mereka 

sama-sama tengah berpikir serta bertanya-tanya dalam 

hati. Apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka? Dan 

apa yang dikehendaki siluman tengkorak merah yang


datang membawa kegemparan dan kematian?

Hanya Pendekar Gila yang tetap tersenyum-

senyum. Malah sempat bersiul-siul. Wajahnya menen-

gadah ke langit, seperti tengah menikmati bintang 

yang gemerlapan di langit.

"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-

lakukan sesuatu?" tanya Mei Lie tiba-tiba.

"Maksud, Nona?" tanya Pabean.

"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-

lakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat misal-

nya?" Mei Lie berusaha menerangkan. Pabean dan Ki 

Lurah Jaran Lanang terdiam, berusaha mengingat-

ingat setiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh pa-

ra korban penculikan.

"Kami rasa tidak," sahut Ki Lurah Jaran La-

nang, akhirnya.

"Anehnya, yang diculik lelaki tampan dan ga-

gah," sambung Pabean.

"Hm, aneh. Untuk apa mereka itu?" gumam Mei 

Lie sambil memasukkan pedang kembali ke dalam wa-

rangkanya. Suasana di tempat itu seketika gelap kem-

bali.

Warga desa baru tersentak kaget, setelah tahu 

kalau yang membuat suasana di tempat itu menjadi 

terang ternyata sebilah pedang. Mata mereka membe-

lalak, mulut mereka berdecak kagum. Tak henti-hen-

tinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu bergan-

tian ke Pendekar Gila yang masih acuh sambil cen-

gengesan. 

"Ki dan Nisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa-

kah kalian? Bagaimanapun juga, kalian telah meno-

longku," kata Ki Lurah Jaran Lanang.

Belum juga Sena dan Mei Lie menjawab, Pa-

bean telah mendahului.

"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari


Pencabut Nyawa."

Semuanya tersentak mendengar nama yang ba-

ru saja disebutkan Pabean. Mereka memang sering 

mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini mereka 

melihat orangnya.

"O, terimalah salah hormat kami," hatur Ki Lu-

rah Jaran Lanang sambil menjura hormat.

"Ah, sudahlah. Tak perlu dipersoalkan. Kini kita 

harus memikirkan bagaimana kita dapat menemukan 

tempat siluman itu. Biasanya ada seseorang yang 

mengundang para siluman untuk membuat kerusu-

han," tutur Sena, mengembalikan pembicaraan.

Semuanya membisu, tak seorang pun dapat 

memecahkan masalah yang diajukan Sena. Mereka ti-

dak tahu dari mana siluman tengkorak menyeramkan 

itu berasal.

"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling 

desa?" usul Mei Lie menyerahkan.

"Setuju saja! Tapi, apa mungkin mereka berada 

di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, 

agak ragu.

"Mengenai itu, aku tak tahu. Yang pasti, kita 

harus berusaha mencari," tukas Mei Lie.

"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie. Nah, 

bagaimana?" sambung Pendekar Gila.

"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berusa-

ha mencari," tambah Pabean.

"Aha, tidakkah kita harus memakai obor? 

Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.

Penduduk bergegas mencari obor. Setelah se-

mua keperluan yang diperlukan selesai, mereka pun 

dipecah menjadi empat kelompok. Satu ke utara, satu 

ke selatan, sedang yang lain ke barat dan ke timur. 

Suasana di dua desa itu seketika terang benderang, 

karena banyak obor yang menyala menerangi malam


yang semula gelap-gulita.

Tidak hanya obor, kentongan pun turut serta. 

Bunyi kentongan terdengar sahut-menyahut. Suasana 

kedua desa menjadi ramai.

Namun sampai seluruh desa itu mereka kelilin-

gi, tidak juga mereka temukan tanda-tanda yang men-

curigakan. Hal itu mengakibatkan semuanya terheran-

heran serta bingung, harus berbuat apa lagi agar dapat 

menemukan warga Desa Sela Kapilu yang diculik.

"Tak ada. Hm, sulit sekali...," keluh Pabean.

"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak 

umpet dengan para siluman," seloroh Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala.

Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekelil-

ing tempat di mana mereka berada kini. Namun tidak 

juga ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan. 

Lalu mereka memutuskan untuk meneruskan penca-

rian di tempat lain. Namun belum juga Mei Lie, Sena 

serta yang lain pergi, tiba-tiba terdengar suara anca-

man seorang wanita yang memenuhi udara.

"Ingat baik-baik Pendekar Gila dan kau Dewi 

Pencabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam uru-

san ini! Kalian akan mendapatkan balasannya! Tunggu 

saja nanti! Kalian telah membunuh sepuluh anak bua-

hku!"

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, seperti 

tak takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja 

didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas 

berkata....

"Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku ta-

kut menghadapimu! Ayo, keluarlah! Biar ku jitak pan-

tatmu! Hua ha ha...!" Tubuh Sena berguncang-

guncang karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Ke-

mudian dengan konyol Sena menunggingkan pantat-

nya sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Pruttt...!"


Sena kembali tertawa terbahak-bahak seraya 

melompat-lompat tak ubahnya seekor monyet. Hal itu 

membuat semua penduduk yang berada di tempat itu 

terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas 

keberanian pemuda tersebut

"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti, Pende-

kar Gila!" Kembali terdengar ancaman seorang wanita.

"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Seha-

rusnya aku yang mengancammu. Karena kau telah be-

rani melanggar ketentuan Sang Hyang Widi. Kau lebih 

berani melanggar garis alam!" dengus Sena setelah itu 

tertawa tergelak-gelak kembali. Dengan berjingkrak-

jingkrak pantatnya ditunggingkan lagi. "Nih kentutku. 

Pruttt..!"

Wesss!

Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana ser-

buan badai, menjadikan semua warga desa tersentak 

kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan.

"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku, 

Siluman Jelek?! Baik. Ayo kita main-main petak um-

pet!" Sena segera melangkah mundur. Tangannya ber-

gerak memerintah semua warga untuk tiarap.

"Kalian mundurlah. Mei Lie, jaga mereka." 

"Baik, Kakang."

Setelah warga mundur, Sena segera menyatu-

kan telapak tangannya di depan dada. Kemudian di-

angkatnya kedua telapak tangan ke atas, lalu digerak-

kan melebar ke samping. Setelah menarik napas da-

lam-dalam, Sena membalas serangan angin topan yang 

datang entah dari mana.

"'Inti Bayu'. Heaaa...!" dihembuskan tenaga da-

lamnya melalui kedua telapak tangan. Saat itu, se-

rangkum angin besar menderu kencang laksana pra-

hara. Angin 'Inti Bayu' bergerak menerjang angin la-

wan.


Wesss!

Jlegar!

Ledakan dahsyat seketika menggelegar, ketika 

dua angin besar bertemu. Bahkan tanah tempat kedua 

angin itu beradu, seketika berhamburan hingga mem-

bentuk sumur lebar.

Suasana kembali lagi, tak ada lagi ancaman 

yang terdengar. Dan tidak juga hembusan angin meng-

gila.

"Hm," gumam Sena tak jelas. Matanya kembali 

menyapu ke atas, "Kurasa, malam ini dia sedikit ka-

pok. Tapi penjagaan harus senantiasa ketat. Biar ba-

gaimana, siluman tak pernah puas."

"Apa yang kau sarankan, akan kami laksana-

kan," jawab Pabean.

Malam itu juga, beberapa penduduk berjaga-

jaga. Mereka tidak ingin kecolongan dengan kedatan-

gan siluman tengkorak darah ke desa mereka.

Malam semakin sepi, menyelimuti Desa Kara-

pan dan Desa Sela Kapilu. Membawa rasa dingin yang 

menusuk tulang sungsum.

***

Sementara itu, di alam siluman yang tidak ter-

jangkau penglihatan manusia, Siluman Tengkorak Da-

rah tampak berlari-lari dengan bibir melelehkan darah. 

Tangannya memegangi dada yang terasa direjam sejuta 

duri.

"Ukh...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah men-

geluh, merasakan sakit di dadanya akibat benturan 

kekuatan tenaga dalamnya melawan Pendekar Gila. 

Kakinya terus berlari, lalu masuk ke dalam istana yang 

dijaga dua pengawal bermuka tengkorak. Keduanya 

segera menjura hormat ketika dia melewati gerbang is


tana.

"Sri Ratu, apa yang terjadi?" tanya pengawal 

yang berdiri di sebelah kiri.

"Ukh, aku luka dalam," sahut Ratu Siluman 

Tengkorak Darah sambil terus berlari masuk ke dalam 

istana. "Cepat panggilkan ibu!" perintahnya pada ke-

dua pengawal tadi.

"Sendika Sri Ratu," sahut kedua pengawal itu 

berbareng. Mereka bergegas mengayun langkah ke 

bangunan di samping istana.

Tidak lama kemudian, kedua pengawal itu telah 

kembali bersama seorang wanita berusia sekitar enam 

puluh tahun. Namun kecantikan wanita itu masih 

utuh. Kalau dilihat sepintas usianya masih sekitar dua 

puluh satu tahun. Dia adalah ibu dari Ratu Siluman 

Tengkorak Darah.

Wajah wanita berkebaya biru dengan rambut 

disanggul itu tampak cemas, setelah mendengar penu-

turan kedua siluman tengkorak yang menjadi prajurit-

nya. Kaki wanita berparas cantik yang sangat jauh di-

bandingkan usia yang sebenarnya itu, melangkah den-

gan terburu-buru ke istana.

Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar 

Ratu Siluman Tengkorak Darah. Wajahnya semakin 

menampakkan kekhawatiran ketika menyaksikan 

anaknya terbaring di ranjang.

"O, kenapa kau, Nak?"

"Aduh, Bu," keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah sambil meringis memegangi dadanya yang terasa 

sangat sakit.

"Kau habis bertarung, Nak?" tanyanya pada ga-

dis cantik jelita yang berpakaian tipis dan minim. 

Hanya buah dada dan kewanitaannya saja yang ditu-

tupi se-carik kain putih. Sedangkan bagian tubuh 

lainnya hanya diselimuti oleh jubah berwarna merah


darah tembus pandang, sehingga lekuk tubuhnya yang 

elok terlihat jelas. Lekuk tubuhnya sangat menggai-

rahkan bagi setiap lelaki yang melihat.

Gadis cantik itu mengangguk. Mulutnya masih 

meringis-ringis, menahan rasa sakit

."Siapa yang melakukannya, Nak?" tanya sang 

Ibu semakin cemas berbalut amarah. Matanya berkilat 

penuh kegusaran. Tampaknya dia tidak senang atas 

kekalahan anaknya.

"Pendekar Gila, Bu" 

"Pendekar Gila?" Kening wanita berkebaya biru 

dengan kain warna coklat tua itu mengerut. Sepertinya 

dia pernah mendengar nama yang baru saja dis-

ebutkan anaknya. "Apakah yang kau maksud pemuda 

berpakaian rompi kulit ular?"

Gadis cantik yang menjadi ratu Siluman Teng-

korak Darah menganggukkan kepala membenarkan.

"Hm, kurang ajar! Dia memang penghalang sa-

tu-satunya bagi kita!" dengus wanita cantik yang sebe-

narnya berusia enam puluh tahun itu. Tangannya 

memijat dan mengurut sendi-sendi di tubuh sang 

Anak, yang menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah meringis. "Tahanlah sedikit, Nak."

"Auhhh...!" keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah, merasakan rasa sakit yang tak terkira. Asap men-

gepul dari dadanya yang luka. Kemudian lambat laun 

rasa sakit itu menghilang.

"Nah, kini kau telah sembuh. Hati-hatilah, jan-

gan sampai kau bentrok dengannya lagi. Bila perlu, 

rayulah dia. Jika dia menjadi suamimu, maka kau 

akan menguasai dunia ini," tutur sang Ibu.

Ratu Siluman Tengkorak Darah tersenyum, 

kemudian tubuhnya bangkit.

"Apakah aku boleh menikmati tawanan itu, 

Bu?"


Sang Ibu rupanya mengerti apa yang diinginkan 

oleh anaknya. Dia menyadari, kalau sifat anaknya me-

rupakan titisan sifatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak 

bisa melarang kemauan anak satu-satunya yang telah 

dewasa. Tentunya birahi anaknya pun sama dengan 

birahinya. 

Sang Ibu tersenyum mengangguk.

"Ambillah lima orang untukmu," katanya ke-

mudian.

"Terima kasih, Bu."

Setelah ibunya berlalu, Ratu Siluman Tengko-

rak Darah memanggil prajuritnya. 

"Hamba Kanjeng Ratu!"

"Bawa salah satu dari mereka kemari!" perin-

tahnya.

"Tapi, Kanjeng Ratu. Bukankah itu milik Kan-

jeng Ibunda?" tanya prajurit berusaha mengingatkan.

"Jangan membantah! Ibunda telah mengizin-

kan!" bentak Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan 

mata melotot, menjadikan kedua prajurit tengkorak 

darah menurut. Setelah menyembah, kedua prajurit 

itu berlalu meninggalkan kamar ratunya.

Sang Ratu segera membaringkan kembali tu-

buhnya di atas kasur seputih bunga melati dengan 

wangi cendana. Dari luar, masuk dua prajuritnya den-

gan membawa seorang lelaki tampan dan gagah yang 

diculik oleh prajurit tengkorak darah.

Ratu Siluman Tengkorak Darah menggerakkan 

kepala, mengusir kedua prajuritnya untuk pergi. Tan-

pa membantah, kedua prajurit bermuka tengkorak itu 

meninggalkan kamar ratunya.

"Ayo Cah Bagus, mendekatlah," rayu Ratu Si-

luman Tengkorak Darah dengan suara yang merang-

sang.

Lelaki muda yang tampan bertubuh setengah


telanjang itu, kini melangkah mendekat. Kemudian 

dengan buas, lelaki yang diculik dari Desa Sela Kapilu 

itu menggeluti tubuh Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Hi hi hi...! Bagus! Teruskan...," rengek sang 

Ratu sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan 

akibat gelutan dan lumatan lelaki muda itu. Matanya 

memejam-mejam, napasnya tersengal-sengal.

Keduanya terus bergelut. Satu persatu pakaian 

yang dikenakan mereka lepas. Sri Ratu menutup tirai 

kelambu tempat tidurnya yang di sudut-sudutnya ter-

gantung tengkorak kepala lelaki.

Lama keduanya saling bergelut, sampai akhir-

nya terdengar jeritan kematian dari lelaki muda itu.

"Aaakh...!"

"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah 

tertawa puas. Dibukanya tirai kelambu tempat tidur-

nya. Saat itu tampak sesuatu yang sangat mengerikan. 

Tubuh lelaki gagah dan tampan itu, kini telah berubah 

menjadi sosok tulang belulang. "Kini kau adalah abdi-

ku! Kau harus menuruti semua perkataan ku." 

Manusia tengkorak itu mengangguk, lalu be-

rangsur meninggalkan kamar.

"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah 

tertawa melengking.

***

LIMA



Empat prajurit penjaga pintu gerbang malam 

itu tengah melakukan tugas jaga. Seperti hari-hari bi-

asanya, pintu gerbang Istana Kerajaan Bumi Wandra 

di-jaga ketat oleh empat orang prajurit.

Malam turun bersama udara dingin, sepertinya


malam ini cuaca tidak sebaik malam-malam lalu. 

Meski setiap malam udara memang dingin, namun ma-

lam ini udara terasa sangat lain. Udara malam ini tera-

sa sangat dingin, sampai tubuh keempat prajurit jaga 

menggigil. Padahal mereka telah merokok kawung, be-

rusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tu-

lang sum-sumnya.

"Hoaaahhh?!" salah seorang dari keempat pra-

jurit itu menguap lebar, merasa mengantuk. Selain 

dingin suasana malam itu, juga membuat mata menja-

di be-rat "Ngantuk sekali aku...," keluhnya sambil 

menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir rasa 

kantuk yang menyerang matanya.

"Kerjamu memang molor, To," seloroh temannya 

yang bernama Dasir.

"Huh, enak saja kau ngomong, Sir. Tidak bi-

asanya aku ngantuk begini," keluh Broto tangannya 

mengucak-ngucak matanya agar tidak mengantuk. 

Namun matanya masih tetap saja seperti digelayuti se-

suatu.

"Iya ya. Aku juga merasakan hal serupa," sela 

Rukino membela Broto. "Matamu juga ngantuk."

"Wah, payah kalau begini. Tidak ada kopi lagi," 

sambung Jalari.

"Iya, tak ada kopi lagi," tambah Dasir akhirnya, 

turut mengeluh.

Baru saja keempat penjaga pintu gerbang itu 

selesai mengeluh, mata mereka yang semula agak 

ngantuk tiba-tiba membelalak lebar, manakala dalam 

jarak lima batang tombak di hadapan mereka terden-

gar tanah merekah.

Krak!

Belum habis rasa kaget keempat prajurit jaga 

itu, mereka kembali dikejutkan oleh munculnya bau 

kemenyan dan wangi bunga kamboja.


"Heh, bau apa ini?" tanya Dasir dengan hidung 

kembang-kempis berusaha memastikan bau yang baru 

diciumnya.

"Bau kemenyan," desis Broto.

"Heh, bau bunga kamboja," sambung Jalari 

dengan bulu kuduk meremang. Matanya tak berkedip 

tegang, memandang ke arah suara tanah retak terden-

gar. Saat itu, dari rekahan tanah di hadapan mereka, 

membubung asap putih kehitam-hitaman yang berge-

rak lamban seakan gerakannya hendak mengintai.

"Hai, asap apa itu?!" seru Broto.

Ketiga temannya memandang asap putih kehi-

tam-hitaman yang merayap naik di kegelapan. Kemu-

dian asap putih kehitam-hitaman itu, membentuk ujud 

berwarna merah. Ujud itu semakin lama semakin nya-

ta.

Mata keempat penjaga pintu gerbang membela-

lak dengan mulut menganga, tatkala menyaksikan so-

sok-sosok menyeramkan terbentuk dari asap putih ke-

hitam-hitaman itu. Tapi keempat prajurit yang men-

talnya sudah terlatih itu segera menyiapkan senjata 

berupa tombak yang semula disenderkan di dinding 

pintu gerbang.

"Siapa kalian?!" bentak Dasir sambil menga-

rahkan mata tombak ke arah kawanan siluman teng-

korak darah yang kini melangkah maju mendekati me-

reka.

"Kurang ajar! Ditanya bukannya menjawab! 

Apakah kalian bisu, heh?!" bentak Jalari gusar.

"Ngik! Ngok! Nguk!"

Hanya suara itu yang terdengar dari mulut para 

makhluk bermuka tengkorak. Hal itu semakin me-

mancing kemarahan keempat prajurit jaga.

"Rupanya kalian nekat! Jangan salahkan kami 

kalau kalian kami bunuh!" ancam Rukino sambil men


gajukan mata tombak ke arah gerombolan makhluk 

ganjil tersebut. Tapi para makhluk bermuka tengkorak 

itu bagai tidak peduli dengan ancaman mereka. Mak-

hluk-makhluk bermuka tengkorak itu malah semakin 

maju mendekat, membuat mata keempat prajurit 

mendadak membeliak tegang menyaksikan beberapa 

wajah menyeramkan di hadapan mereka.

"Setaaan...!" pekik mereka berbarengan.

Mata mereka semakin melotot tegang. Tubuh 

mereka gemetar ketakutan. Bulu kuduk mereka me-

remang hebat dengan tengkuk terasa dingin.

Belum juga keempat prajurit jaga itu sadar dari 

rasa takutnya, tiba-tiba kawanan makhluk bermuka 

tengkorak itu mengarahkan telapak tangannya pada 

mereka. Dari telapak tangan makhluk-makhluk men-

gerikan itu, seketika keluar sinar biru yang melesat ke 

tubuh para prajurit jaga.

Jrottt! 

"Wuaaa...!"

Mulut keempat prajurit jaga itu memekik keras. 

Tubuh mereka seketika gosong. Tubuh mereka meng-

gelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak 

dengan nyawa melayang.

"Ngik! Ngok! Nguk!"

Pemimpin kawanan makhluk bermuka tengko-

rak melambaikan tangannya untuk memerintah anak 

buahnya agar menerobos masuk.

Brakkk!

Gerbang istana dilabrak. Pintu yang terbuat da-

ri kayu jati, hancur berantakan. Suara jebolnya pintu 

gerbang, seketika menyentakkan prajurit jaga yang be-

rada di pintu bagian dalam istana. Bergegas mereka 

bangkit dari duduknya. Dengan sigap mereka raih sen-

jata. Lalu enam orang prajurit memburu ke arah da-

tangnya suara itu.


Mata mereka membalalak seketika, menyaksi-

kan sosok-sosok menyeramkan yang kini menghampiri 

mereka. Keempat prajurit itu berusaha menghalangi 

kesepuluh siluman tengkorak darah dengan menga-

rahkan mata tombak ke tubuh lawan. Namun kesepu-

luh makhluk bermuka tengkorak itu bagai tak takut. 

Kaki mereka terus melangkah, setapak demi setapak.

"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit

Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, 

mereka terus saja merambah maju. Tentu saja keenam 

prajurit itu menjadi kalap. Mereka menusukkan tom-

baknya ke dada lawan. Tapi....

Trak!

"Hah?!"

Mulut mereka menganga, menyaksikan mata 

tombak mereka patah menjadi dua. Seakan-akan mata 

tombak mereka beradu dengan batu karang yang ko-

koh.


"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit 

Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, 

mereka terus merambah maju. Keenam prajurit itu men-

jadi kalap. Mereka segera menusukkan tombaknya.... 

Trak!

"Hah...?!" Prajurit-prajurit itu terlongong bengong, 

menyaksikan mata tombak mereka berpatahan!

Ketakutan seketika menjalari tubuh keenam 

prajurit jaga itu, mendapatkan makhluk-makhluk 

bermuka tengkorak yang berlumur darah tak mempan 

tusukan tombak. Mereka hendak lari untuk memanggil 

prajurit yang lain, tapi makhluk-makhluk menyeram-

kan itu telah mendahului mereka.

Makhluk-makhluk menyeramkan itu membuka 

jari-jari tangannya yang hanya tulang belulang, kemu-

dian mengarahkan telapak tangannya yang juga hanya 

berupa tulang ke arah keenam prajurit jaga. Dari tela-

pak tangan mereka membersit sinar biru yang meng-

hantam tubuh para prajurit jaga.

Crot!

Desss!

"Wuaaa...!" jerit kematian melengking dari mu-

lut korban. Tubuh keenam prajurit itu sesaat mere-

gang, lalu ambruk kehilangan nyawa.

Suasana istana kerajaan seketika menjadi 

gempar karena semua prajurit dan penghuni kerajaan 

lainnya terbangun mendengar jerit kematian keenam 

prajurit tadi.

"Tangkap mereka...!" seru Patih Rangga Wuni 

memerintah para prajuritnya untuk menangkap mak-

hluk-makhluk menyeramkan yang ganas. Lelaki ini 

berbadan kekar dan bertelanjang dada. Rambutnya di-

gelung ke atas dengan ikat kepala terbuat dari emas, 

penampilannya tampak gagah. Apalagi dengan kumis


nya yang melintang. Dia langsung terkejut melihat 

makhluk-makhluk yang baru kali ini dilihatnya selama 

hidup.

Prajurit-prajurit yang telah bersiaga penuh saat 

diperintah oleh sang Patih, seketika bergerak menge-

pung kesepuluh kawanan siluman tengkorak darah.

"Tangkap mereka! Seraaang...!" kembali Patih 

Rangga Wuni berseru.

"Heaaa!"

"Cincang mereka!"

Para prajurit bergerak serentak untuk menang-

kap makhluk-makhluk menyeramkan itu. Senjata di 

tangan mereka, berkelebat merangsek kawanan silu-

man tengkorak darah yang balas menyerang mereka.

"Nguik!"

Setiap gerakan tangan dan kaki makhluk-

makhluk tengkorak itu mendapatkan hasil. Nyawa pra-

jurit yang terdekat menjadi korban.

Brettt!

"Wuaaa!"

Pertarungan sengit antara para prajurit kera-

jaan melawan makhluk-makhluk tengkorak darah itu 

bergejolak seru. Beberapa prajurit berusaha menye-

rang dengan membabatkan pedang. Tapi apa yang ter-

jadi...?

Trakkk!

Trakkk!

Pedang di tangan para prajurit patah seperti 

sebatang kayu kering tak mampu memenggal kepala 

siluman tengkorak darah. Bahkan makhluk bermuka 

tengkorak itu semakin ganas menyerang.

"Serang terus...!" perintah Patih Rangga Wuni 

berusaha memberi semangat para prajuritnya. Tapi se-

rangan para Prajurit Kerajaan Bumi Wandra yang ter-

kenal unggul dalam bertempur, kini bagai serbuan ge


rombolan lalat menghadapi sepuluh siluman tengkorak 

darah. Senjata mereka yang terkenal mampu memburu 

nyawa, terpatah jika berbenturan dengan tangan atau 

tubuh lawan.

Menyaksikan hal itu, Pari Rangga Wuni segera 

mencabut keris pusakanya. Kemudian dengan geram 

tubuhnya melompat menerjang musuh. Ditusukkan 

keris 'Ki Gimring'nya ke tubuh lawan. Namun kejadian 

aneh terjadi. Keris pusaka 'Ki Gimring' di tangan Patih 

Rangga Wuni kini menghujam terus di dada salah satu 

siluman.

Patih Rangga Wuni terperanjat kaget. Dia beru-

saha menarik keris pusakanya. Namun semakin keras 

dia menarik, semakin kuat pula kerisnya tersedot.

"Celaka! Ilmu apa yang digunakan oleh mak-

hluk-makhluk ini?" gumam Patih Rangga Wuni dengan 

tegang. Segera dilepaskannya keris pusaka itu. Tu-

buhnya bersalto ke belakang, kemudian dengan cepat 

dia mengirimkan serangan dengan pukulan sakti 

'Semburan Naga'. 

"Heaaa!"

Wesss!

Jledarrr! 

Satu siluman terkena ajian 'Semburan Naga' 

yang dilontarkan Patih Rangga Wuni. Makhluk bermu-

ka tengkorak itu ambruk. Tubuhnya mengepulkan 

asap, lalu menghilang tanpa bekas.

Menyaksikan salah satu temannya binasa, pe-

mimpin makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu 

mengeluarkan suara aneh. Terdengar seperti siulan,

namun melengking keras. 

"Nguiiikkk...!"

Bersamaan dengan itu, bersemburan asap pu-

tih kehitam-hitaman dari dalam tanah. Kemudian 

nampaklah ujud-ujud menyeramkan berupa siluman


tengkorak darah. Jumlah mereka semakin banyak, 

membuat para prajurit kerepotan.

Patih Rangga Wuni yang menyaksikan jumlah 

makhluk itu bertambah banyak segera menyerang 

dengan pukulan-pukulan sakti 'Semburan Naga'. Den-

gan tubuh berkelebat kian kemari, tangan Patih Rang-

ga Wuni memuntahkan pukulan demi pukulan sak-

tinya.

"Heaaa! Heaaa...!"

Jlegarrr!

***

Meski banyak juga korban di pihak lawan sete-

lah Patih Rangga Wuni melancarkan serangan dengan 

'Semburan Naga', namun tenaga dalamnya terkuras 

juga. Hal itu jelas mempengaruhi penyerangannya. Tu-

buh Patih Rangga Wuni kini kelihatan agak lemah da-

lam menyerang. Makin jarang dia melakukan serangan 

dengan ajian 'Semburan Naga'. Kini dia lebih sering 

mengelakkan serangan-serangan lawan.

Pertarungan di halaman istana itu berjalan cu-

kup alot. Korban di kedua belah pihak telah berjatu-

han. Jumlah korban yang paling banyak diderita di pi-

hak kerajaan. Korban di pihak kerajaan empat kali li-

pat dari korban di pihak makhluk bermuka tengkorak.

Belum juga pertarungan benar-benar tuntas, 

dari dalam istana terdengar jeritan anak raja yang 

meminta tolong.

"Tolong...! Tolooong...!" jerit Dyah Ayu Sawang 

Sari, putri raja tersebut.

Patih Rangga Wuni yang sedang berusaha 

menghalau lawan-lawannya, tentu saja terkejut. Tu-

buhnya melompat meninggalkan arena pertempuran, 

lalu berkelebat masuk ke dalam istana. Dilihatnya se


sosok makhluk bermuka tengkorak darah tengah 

membopong tubuh seorang lelaki muda yang menjadi 

suami Dyah Ayu Sawang Sari.

"Berhenti...!" bentak Patih Rangga Wuni.

Wesss!

Siluman yang tertangkap basah segera melan-

carkan serangan dengan pukulan maut yang mengelu-

arkan sinar biru ke arah Patih Rangga Wuni.

"Hop! Yeaaa...!" Patih Rangga Wuni bersalto di 

udara, mengelakkan serangan lawan. Sinar biru itu te-

rus melesat, kemudian menghantam tiang penyangga 

istana.

Jlegarrr!

Krak!

Bummm!

Tiang itu kontan hancur, terhantam pukulan 

maut yang dilontarkan makhluk berwajah tengkorak. 

Hampir saja tiang itu mengenai tubuh Patih Rangga 

Wuni, kalau tubuhnya tidak segera mencelat menge-

lak. Namun setelah Patih Rangga Wuni dapat mengua-

sai diri, matanya tidak melihat lagi makhluk yang 

membawa tubuh suami Dyah Ayu Sawang Sari.

"Bedebah! Ke mana perginya makhluk jahanam 

itu?!" umpat Patih Rangga Wuni marah. Tubuhnya se-

gera mencelat keluar, namun di luar tidak ditemukan-

nya gerombolan tengkorak darah lagi. Yang ada hanya 

gelimpangan mayat prajurit kerajaan dan sisa-sisa pra-

jurit yang mematung dalam keadaan tertotok

"Kurang ajar!" maid Patih Rangga Wuni gusar, 

menyaksikan para prajuritnya banyak yang gugur, 

termasuk beberapa senapati dan hulubalang. Tinggal 

beberapa prajurit dan senapati yang masih hidup. Me-

reka pun dalam keadaan tak berdaya.

"Paman Patih, apa yang terjadi?!" tanya Raja 

Brah Salagatri dengan wajah cemas, menyaksikan ba


nyak sekali prajuritnya yang mati. Belum lagi dengan 

anaknya yang menangis menyebut-nyebut nama sua-

minya.

Ketika terjadi kejadian itu, sang Raja yang bi-

jaksana dan sangat arif dalam memimpin tengah terti-

dur di ruang dalam istana. Tepatnya berada di sebelah 

selatan alun-alun istana tempat pertempuran berlang-

sung. Hingga tidak tahu kejadian yang meletus di sa-

na. 

Sang Raja yang saat itu sempat terjaga segera 

lari ke alun-alun, ketika sayup-sayup didengarnya jeri-

tan-jeritan kematian.

"Ampun, Baginda. Barusan saja terjadi perta-

rungan. Serombongan manusia tengkorak menyerbu," 

tutur Patih Rangga Wuni setelah menyembah.

"Manusia tengkorak?!" pekik Raja Brah Salaga-

tri dengan mata membelalak.

"Benar, Baginda." 

"Lalu apa yang terjadi?" 

Patih Rangga Wuni menceritakan semua keja-

dian yang baru saja berlalu, tentang kerajaan yang 

diserang gerombolan tengkorak darah. Tengkorak da-

rah itu kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan ke-

ris milik Patih Rangga Wuni yang bernama 'Ki Gimring' 

tak mampu mengalahkan mereka. Malah keris itu dite-

lan tubuh salah satu tengkorak darah.

"Begitulah ceritanya, Baginda. Mereka bukan 

manusia biasa, mungkin juga siluman. Sebab hamba 

rasa, tak mungkin manusia seperti itu dapat hidup."

Baginda Raja Brah Salagatri tercenung, benak-

nya berusaha mencerna cerita Rangga Wuni. Rasanya 

cerita itu sangat aneh. Namun melihat korban dan 

menilai kejujuran Patih Rangga Wuni, mau tidak mau 

baginda raja harus mempercayai juga kata-katanya.

"Rama.... O, Kangmas Lingga diculik setan,"


isak Dyah Ayu, membuat Baginda Raja Brah Salagatri 

semakin percaya pada cerita patihnya.

"Hm, bencana apa yang tengah melanda kera-

jaan?" gumam baginda raja lirih.

Mata baginda raja memandang mayat-mayat 

prajuritnya. Tubuh mereka bergelimpangan dalam 

keadaan yang mengenaskan, dikerubuti oleh binatang-

binatang berbisa. Sangat menjijikkan sekali!

"Kau yakin mereka bukan manusia, Paman Pa-

tih?" tanyanya, seakan ingin lebih yakin lagi.

"Ampun, Baginda. Hamba rasa mereka bukan 

manusia. Seperti yang hamba katakan, mereka tengko-

rak hidup. Tubuh mereka hanya tulang belulang...," 

tutur Patih Rangga Wuni.

"Benar, Rama. Apa yang dikatakan oleh Paman 

Patih Rangga Wuni memang benar," sambung Dyah 

Ayu di sela isak tangisnya. "Mereka menyeramkan. Tu-

buh mereka hanya tulang belulang belaka. Sangat me-

nakutkan, Rama. Dan mereka menculik Kangmas 

Lingga."

Raja Brah Salagatri termangu diam. Matanya 

memandang ngeri ke mayat-mayat prajuritnya yang 

dikerumuni binatang-binatang berbisa yang entah da-

tang dari mana. Ada juga mayat prajuritnya yang ha-

ngus terbakar, seakan baru dipanggang di atas jilatan 

api.

"Hm, seumurku, baru kali ini aku melihat silu-

man ikut campur dalam urusan manusia," gumam Ra-

ja Brah Salagatri masgul. "Mengapa kita yang dis-

erang? Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan, 

Paman Patih"

"Ampun, Baginda. Kalau boleh hamba tahu, 

apa yang mencurigakan menurut perkiraan Baginda?" 

tanya Patih Rangga Wuni

Lelaki tua berusia sekitar enam puluh serta


berpakaian warna keemasan, bertubuh sedang dengan 

penampilan tenang itu terdiam. Dihelanya napas pan-

jang-panjang, berusaha membuang kesedihan yang 

menghujam dada. 

"Besok kuperintahkan padamu untuk mengun-

dang para pendekar dan para sesepuh istana untuk 

mengadakan rapat. Sebar juga pengumuman untuk 

mencari tahu tentang manusia tengkorak darah itu."

"Aku yakin ada maksud tersembunyi di balik 

kejadian ini."

"Daulat, Baginda. Segala titah Baginda, akan 

hamba junjung tinggi dan laksanakan," jawab Patih 

Rangga Wuni sambil menyembah.

"Bagaimana dengan Kangmas Lingga, Rama?" 

tanya Dyah Ayu dengan muka cemas.

"Tenanglah, Nduk. Kuharap para pendekar da-

pat membantu kita membuka tabir misteri kejadian 

ini," gumam sang Raja sambil membimbing anaknya 

masuk, diikuti oleh Patih Rangga Wuni.

Suasana duka menyelimuti Kerajaan Bumi 

Wandra.

***

ENAM



Pagi lahir kembali, dikawal angin yang berhem-

bus sejuk. Langit terlihat ramah, tanpa awan kelabu 

yang menutupi. Pasar Ngaplak yang merupakan pasar 

ter-besar di wilayah Kerajaan Bumi Wandra pagi itu 

tampak banyak pengunjungnya. Rupanya ada sesuatu 

yang mendorong orang-orang berdatangan ke pasar 

itu.

Di sudut pasar, pada sebuah penyangga ban


gunan pasar terdapat sebuah pengumuman dari kera-

jaan. Itu pula yang membuat para pedagang maupun 

yang hendak berbelanja berkerumun di sana. Mereka 

ingin mengetahui apa isi pengumuman tersebut

Bukan hanya pedagang dan orang-orang yang 

hendak berbelanja di pasar itu yang berkerumun 

membaca pengumuman dari kerajaan. Penduduk di 

sekitar Pasar Ngaplak pun turut datang. Mereka sama-

sama ingin mengetahui isi pengumuman yang diedar-

kan oleh raja.

Barang siapa yang dapat memberikan keteran-

gan tentang manusia tengkorak atau menangkap pe-

mimpinnya, raja akan memberi hadiah seratus keping 

uang emas.

Patih Kerajaan 

Rangga Wuni

"Wah, hadiahnya banyak sekali! Tentunya ba-

ginda sangat murka terhadap manusia bermuka teng-

korak," ujar seorang penjual di pasar itu setelah mem-

baca pengumuman.

"Wah, kalau aku bisa menangkap mereka, ten-

tu aku akan kaya raya. Aku bisa menjadi saudagar," 

celoteh yang lainnya.

"Hanya pemuda tampan dan gagah serta beril-

mu tinggi saja yang bisa menangkap mereka," sela seo-

rang wanita cantik berkerudung biru dari kebaya biru 

pula serta kain batik coklat tua, menyentakkan semua 

orang di tempat itu yang langsung memandangnya 

dengan tatapan penuh tanya.

"Kok Nyai tahu? Apa Nyai pernah melihat mere-

ka?" tanya seorang lelaki yang biasa berjualan di pa-

sar.

"Ya, bukannya tahu. Tapi siapa sih yang bisa


menangkap mereka? Orang-orang kerajaan saja tak 

dapat berbuat apa-apa," sahut wanita cantik tadi. Ke-

mudian dia berlalu begitu saja dari tempat itu, diikuti 

oleh pemandangan seluruh orang yang terkesima ke-

cantikan wanita itu.

Setelah wanita cantik itu berlalu jauh, barulah 

mereka berdecak kagum atas kecantikannya.

"Ck ck ck! Perempuan kok bahenol amat..."

"Iya ya? Istri siapa ya? Cantik sekali."

"Wah, baru kali ini kulihat wanita cantik dan 

sebahenol dia," sambung yang lain.

Orang-orang di pasar itu yang semula membi-

carakan masalah pengumuman sang Raja, kini malah 

beralih membicarakan wanita berkerudung biru yang 

cantik jelita. Wanita yang memiliki kecantikan sem-

purna.

"Wah, kalau aku bisa menangkap manusia 

bermuka tengkorak, ingin rasanya aku mencari wanita 

cantik tadi. Kujadikan dia istriku," gumam Dakir, pen-

jual tempe yang giginya mancung ke depan.

"Mana dia mau sama kamu, Kir...!" seloroh 

Parmin.

"Loh, namanya saja kaya. Siapa sih yang tidak 

mau sama orang kaya?" kelit Dakir dengan membu-

sungkan dada.

"Huh, lagakmu saja yang sok berani. Baru ke-

temu kucing saja kamu lari...!"

Suasana pagi itu diisi oleh gumaman khayal 

tentang hadiah dari sang Raja dan wanita cantik ber-

kerudung biru yang tadi berada di pasar itu.

***

Sementara itu, tidak begitu jauh dari pasar 

Ngaplak, tampak dua sejoli melangkah masuk ke da


lam sebuah kedai yang telah banyak pengunjungnya. 

Lelaki tampan dan wanita cantik jelita itu, tidak lain 

Sena, si Pendekar Gila dan Mei Lie, si Bidadari Penca-

but Nyawa.

Baru saja kedua pendekar muda itu duduk, 

suasana di luar kedai seketika menjadi riuh dengan 

kehadiran dua orang prajurit istana yang sedang me-

masang pengumuman di pohon ara yang besar. Lang-

sung saja semuanya bergerak mendekati pohon ara 

tempat kedua prajurit kerajaan memasang pengumu-

man. 

"Pengumuman dari baginda yang mulia Raja 

Brah Salagatri!" seru salah seorang prajurit yang tidak 

memasang pengumuman. "Diumumkan bagi siapa saja 

yang bisa menangkap atau memberi petunjuk tentang 

keberadaan manusia tengkorak akan diberi hadiah se-

ratus keping uang emas dari raja!"

Bisik-bisik pun terdengar di sana-sini. Mereka 

pada umumnya ingin sekali mengikuti pengumuman 

itu, menangkap tengkorak darah yang sudah banyak 

menculik pemuda-pemuda tampan dan gagah.

"Memang kalau tidak segera dibasmi, bisa-bisa 

lelaki tampan di kerajaan ini akan habis," celoteh seo-

rang warga.

"Benar! Kita harus secepatnya membasmi teng-

korak darah! Kalau tidak, maka lelaki muda dan tam-

pan akan habis!" sambung yang lainnya.

"Basmi tengkorak darah...!"

"Hancurkaaan...!"

Kemarahan penduduk yang sudah mendengar 

kekejian sepak terjang tengkorak darah seketika me-

luap. Mereka berteriak-teriak untuk membasmi gerom-

bolan tengkorak darah yang telah meresahkan pendu-

duk di Kerajaan Bumi Wandra.

"Tenang saudara-saudara. Tenang...!" seru pra


jurit yang membacakan pengumuman. "Ada dua pen-

gumuman lagi yang harus kalian dengarkan."

"Katakanlah, kami ingin segera mendengar!" se-

ru warga.

"Apakah ada yang tertangkap?" tanya yang lain. 

"Cincang saja! Preteli tulang-tulangnya!" 

"Kasihkan pada kucing dan anjing biar digero-

goti...!"

Betapa menggebu amarah warga. Mereka tam-

paknya tidak sabar lagi untuk mengetahui apa yang te-

lah terjadi.

"Berita kedua mengenai berita duka!" kata pra-

jurit yang menjadikan semua warga terdiam. "Dengar 

oleh kalian baik-baik. Kemarin malam, istana kerajaan 

telah diserang oleh kawanan tengkorak darah. Mereka 

banyak membunuh prajurit dengan cara yang sangat 

keji! Cara iblis! Bukan hanya itu, suami Putri Dyah 

Ayu diculik. Sampai sekarang belum diketahui berada 

di mana...."

Semua warga membelalakkan mata mendengar 

isi pengumuman duka cita itu. Wajah mereka terlihat 

marah. Mungkin kalau di situ ada salah satu tengko-

rak darah, mereka akan langsung menyerang dan 

mempreteli tulang belulangnya.

"Berita yang kedua. Jika di antara kalian ada-

lah seorang pendekar, Baginda berharap agar sudi da-

tang ke istana...!"

Semua terdiam saling pandang, berusaha ber-

tanya-tanya siapa di antara mereka yang merupakan 

pendekar. Sedangkan Pendekar Gila dan Bidadari Pen-

cabut Nyawa nampak masih tenang menyantap maka-

nannya. Seakan mereka tidak menghiraukan pengu-

muman itu.

"Ki dan Nisanak, dilihat dari pakaian yang ka-

lian kenakan, tentunya kalian dari rimba persilatan,"


tegur pemilik kedai setelah menghampiri keduanya.

Sena tersenyum bodoh. Tangan kirinya meng-

garuk-garuk kepala. Dipandanginya pemilik kedai yang 

tadi berkata, membuat lelaki berusia sekitar empat pu-

luh tahun itu tersenyum.

"Aha, pantaskah kami menjadi pendekar, Ki? Hi 

hi hi..! Lucu sekali kalau kami ini pendekar," oceh Se-

na sambil tertawa cekikikan. Pemilik kedai menge-

rutkan kening melihat tingkah pemuda tampan be-

rambut ikal gondrong dengan pakaian rompi kulit ular 

yang seperti orang gila.

Mei Lie menyikut kekasihnya agar diam. Sena 

menurut diam, meski sempat menggerutu.

"Kakang, tampaknya gerombolan siluman itu 

telah menjarah kerajaan," bisik Mei Lie.

"Ya! Aku heran, mengapa istana juga dijarah? 

Tengkorak darah benar-benar cari penyakit," gumam 

Sena setengah berbisik.

"Jadi kalian benar dari rimba persilatan...?" 

tanya pemilik kedai.

"Aha, benar katamu, Ki. Tapi kami bukan pen-

dekar," sangkal Sena semakin bertingkah konyol. Lagi-

lagi pemilik kedai yang bernama Ki Sanip mengerutkan 

kening. Tampaknya lelaki itu bingung dengan ucapan 

pemuda tampan di depannya.

"Maksud Kisanak...?" tanya Ki Sanip belum je-

las.

"Hi hi hi...! Kau kebingungan, Ki. Ah ah ah, be-

gini. Kami memang dari dunia persilatan, tapi kami 

bukan pendekar. Kami hanya seorang pengelana saja," 

jawab Sena, berpura-pura.

"Ah, rupanya Kisanak hanya merendahkan diri. 

Tak mungkin orang persilatan berkelana kalau bukan 

seorang pendekar."

"Ah, mengapa begitu, Ki?" tanya Sena. "Apakah


tidak boleh kalau orang yang bukan pendekar berkela-

na untuk mencari pengalaman?"

"Ya, boleh saja. Namun rimba persilatan ini ga-

nas, Kisanak. Jika macan buas, tapi manusia lebih 

buas. Macan tidak akan memangsa jenisnya sendiri. 

Tapi manusia, tega membunuh manusia lain," tutur Ki 

Sanip, bijak.

"Hi hi hi...! Ah ah ah, kau sungguh hebat, Ki. 

Petuahmu lebih sakti dari ilmu kedigdayaan. Tanpa pe-

tuah yang baik, orang sakti akan menjadi sesat. Bukan 

begitu, Ki...?" tambah Sena turut berpetuah, membuat 

Ki Sanip semakin heran dengan pemuda bertingkah gi-

la itu. Tingkahnya memang seperti orang gila, tetapi 

pengalaman dan pikirannya seperti orang sehat. Bah-

kan seperti seorang pendekar yang digdaya.

Siapa sebenarnya pemuda gondrong ini? Tin-

dak-tanduknya seperti orang gila. Namun cara bicara 

dan tata kramanya seperti orang berpendidikan tinggi 

dan berilmu, gumam Ki Sanip dalam hati. Matanya 

masih menatap wajah Sena dengan seksama, seperti 

berusaha meyakinkan siapa sebenarnya pemuda tam-

pan yang terkadang tertawa sendiri, lalu cengengesan, 

atau tersenyum-senyum bodoh.

Ketika Sena dan Mei Lie tengah ngobrol dengan 

Ki Sanip, dari luar masuk seorang lelaki tinggi besar 

berkepala botak. Wajahnya amat garang. Kumis tebal 

yang panjang melintang menghiasi atas bibirnya. Alis 

mata lelaki tinggi besar itu lebar. Di tangannya terda-

pat dua golok besar. Hidungnya mancung. Pakaian le-

laki itu terbuat dari kulit serigala berwarna belang 

kuning kecoklatan. Umurnya kurang lebih empat pu-

luh tahun. 

Lelaki tinggi besar yang memeluk sepasang go-

lok besar seketika bertingkah sopan, ketika dilihatnya 

dua orang yang tengah makan di kedai itu.


"Oho, rupanya Pendekar Gila hadir di sini," ka-

ta lelaki yang bergelar Serigala Merah Golok Kembar 

itu sambil menjura hormat "Terimalah salam dari Seri-

gala Merah."

Ki Sanip tersentak, setelah mendengar Serigala 

Merah menyebut nama pemuda tampan yang kini ter-

tawa tergelak-gelak

"Jadi, dia Pendekar Gila?" gumam Ki Sanip da-

lam hati dengan mata membelalak. "Pantas..., pan-

tas...."

Pendekar Gila bangkit dari bangkunya, diikuti 

oleh Mei Lie. Mereka membalas juraan Serigala Merah 

yang cukup terperangah, melihat gadis yang duduk 

bersama Sena.

"Oho, rupanya Bidadari Pencabut Nyawa pun 

hadir di sini. Maaf, mata tuaku kurang dapat melihat 

dengan baik."

"Ah, tidak mengapa, Kisanak. Silakan duduk. 

Mari kita makan bersama," ajak Mei Lie dengan penuh 

wibawa.

Ki Sanip semakin terkejut, setelah tahu bahwa 

gadis Cina itu juga seorang pendekar yang namanya 

akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Julukannya cukup 

membuat para tokoh rimba hitam harus berpikir pulu-

han kali untuk menghadapinya. Apalagi dengan Pe-

dang Pusaka Bidadari yang ampuh, sulit bagi para 

pendekar pedang untuk bisa menandinginya.

Serigala Merah pun duduk bersama kedua 

pendekar muda yang cukup disegani baik oleh kawan 

maupun lawan.

Ki Sanip segera mengambil makanan untuk Se-

rigala Merah.

Ketiga pendekar itu pun menyantap makanan 

sambil membicarakan masalah yang telah terjadi di 

rimba persilatan wilayah timur. Malah mereka kini


membicarakan masalah tengkorak darah yang telah 

berani menjarah istana.

"Bagaimana menurutmu dengan masalah ini, 

Tuan Pendekar?" tanya Serigala Merah ingin tahu 

tanggapan Sena.

Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala 

sesaat

"Aha, bagaimana aku menjelaskannya? Hi hi 

hi...! Kau ini lucu sekali, Sobat. Mana aku tahu masa-

lah ini?" sahut Sena sambil cengengesan.

"Ya ya, aku tahu. Tapi aku baru saja membaca 

pengumuman itu. Di situ dijelaskan, bagi siapa saja 

yang dapat menangkap tengkorak darah akan menda-

patkan hadiah seratus keping uang emas. Apa kau ti-

dak berminat mengikuti sayembara itu."

Sena masih cengengesan sambil menggaruk-

garuk kepala. Setelah melirik Mei Lie yang hanya ter-

senyum, Sena menjawab.

"Ah, kurasa tidak, Sobat. Apakah kau berkenan 

mengikutinya?" balik Sena bertanya.

"Ya! Aku ingin mengikutinya," jawab Serigala 

Merah. "Dapatkah kau memberi penjelasan apa yang 

seharusnya kulakukan?" pinta Serigala Merah.

Sena kembali tertawa cekikikan.

"Aha, kurasa aku hanya bisa berkata kau harus 

berhati-hati, Sobat. Yang akan kau hadapi bukan ma-

nusia seperti kita."

"Jadi...?" alis Serigala Merah terangkat

"Para tengkorak darah adalah gerombolan si-

luman," jawab Mei Lie, mendahului kekasihnya.

"Siluman?!"

"Ya, begitulah. Mereka bukanlah manusia, tapi 

siluman," ulang Mei Lie menegaskan.

"Hm." Serigala Merah bergumam tak jelas. Ma-

tanya kini menerawang keluar. "Kalau memang tengko


rak darah adalah siluman. Tentu sangat sulit bagi ma-

nusia untuk mengalahkannya," nilai Serigala Merah.

"Kisanak, ada baiknya kau mencoba. Tapi se-

perti yang kukatakan tadi, hati-hatilah. Percayakan 

semua jiwa dan ragamu pada Sang Hyang Widi. Hanya 

dia yang menentukan hidup dan mati makhluk di du-

nia ini," tutur Sena berusaha menasihati.

"Jadi menurutmu aku bisa mengikuti sayemba-

ra itu?"

"Aha, semua orang bisa, Sobat. Kau, aku, Bida-

dari Pencabut Nyawa, dan lain-lainnya, bisa mengikuti. 

Semua kini tergantung dari nasib dan kehendak Sang 

Hyang Widi. Jika nasib kita baik atas kehendak Sang 

Hyang Widi, tentu kita akan menang...," tutur Pende-

kar Gila. Kemudian dia menambahkan.... "Bagaimana-

pun juga, suatu saat aku harus mengikuti, Sobat. Se-

cara langsung maupun tak langsung, aku pasti akan 

turut berusaha memberantas segala macam bentuk 

kejahatan dan keangkaramurkaan di muka bumi ini."

"Ya ya, aku mengerti," sahut Srigala Merah. 

"Kalau begitu aku bisa mengikuti sayembara itu?"

"Ya ya, kami berdoa, semoga engkau dalam lin-

dungan Sang Hyang Widi," kata Mei Lie.

"Terima kasih. Dengan dorongan semangat dari 

kalian, tekadku semakin bulat," hatur Serigala Merah.

"Kita makan dulu, Sobat," ajak Sena. 

Ketiganya kembali menyantap makanan mere-

ka. Setelah selesai, Serigala Merah membayar semua 

makanan yang telah mereka pesan. Kemudian mereka 

keluar meninggalkan kedai itu.

"Hendak ke arah mana tujuan kalian?" tanya 

Serigala Merah.

"Ah, entahlah, Sobat. Kami hanya mengikuti 

langkah kaki kami. Ke mana angin bertiup, ke sana 

kami menuju," jawab Sena.


"Kalau begitu kita berpisah dulu. Semoga kita 

dapat bertemu di lain waktu. Permisi...," Serigala Me-

rah menjura hormat, dan dibalas oleh Pendekar Gila 

dan Bidadari Pencabut Nyawa (Mengenai julukan Mei 

Lie sebagai Bidadari Pencabut Nyawa, silakan anda 

ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi 

Kuan Im" dan "Pedang Pencabut Nyawa").

Kedua pendekar muda itu sesaat mematung di 

tempat yang berjarak sekitar dua puluh lima batang 

tombak dari kedai. Mata mereka memandang ke seke-

liling yang nampak asri dengan barisan tumbuhan hi-

jau.

"Hendak ke mana kita, Kakang?" tanya Mei Lie. 

"Aha, kenapa kau bertanya? Bukankah kita se-

dang bertualang? Ke mana angin berhembus, ke sana 

pula kita melangkah," jawab Sena berseloroh, mem-

buat Mei Lie gemas. 

"Kau nakal, Kakang. Selalu saja menggodaku!" 

sungut Mei Lie manja.

"Karena aku suka menggodamu. Apa tak bo-

leh...?"

"Hm...," Mei Lie bergumam, sedang matanya 

menatap penuh arti ke wajah tampan Sena yang saat 

itu tersenyum. "Kakang...." 

"Hm, ada apa?" tanya Sena sambil menengok ke 

gadis pujaannya.

"Lama kita berpisah. Saat itu, ingin rasanya 

aku bertemu denganmu. Tapi setelah bertemu, kau 

nakal. Kau suka menggodaku," kata Mei Lie dengan 

suara manja.

Sena tertawa ngakak.

"Kalau tidak menggoda, lalu harus bagaimana?" 

tanya Sena berpura-pura tidak tahu.

Mei Lie terdiam, tersipu-sipu malu. Sena me-

langkah mendekati kekasih hatinya. Dipegangnya


pundak Mei Lie dengan lembut. Kemudian dibelainya 

rambut Mei Lie.

"Kita berangkat, Mei Lie?" ajak Sena. 

"Kakang belum mengatakan padaku," desak 

Mei Lie cemberut.

"Tentang apa?"

"Ketika kita berpisah," jawab Mei Lie.

"Aha, kurasa kau telah mengerti, Mei Lie. Se-

perti hatimu, aku pun merasakan hal yang serupa...," 

jawab Sena dengan suara meyakinkan, membuat Mei 

Lie tersenyum.

Dengan iringan angin yang bertiup lembut, ke-

duanya pun melangkah untuk meneruskan perjalanan 

mereka.

***

TUJUH



Suasana Istana Kerajaan Siluman Tengkorak 

Darah nampak sibuk. Mereka hendak mengadakan 

pesta. Seluruh siluman tengkorak darah, sibuk dengan 

pekerjaannya masing-masing. Umbul-umbul berbaris 

sepanjang jalan alam siluman. Benar-benar hendak 

melaksanakan satu acara besar.

Di ruangan lebar yang biasanya digunakan un-

tuk pertemuan, duduk di singgasana seorang wanita 

muda yang cantik berpakaian minim. Wanita cantik 

yang ternyata Ratu Siluman Tengkorak Darah, duduk 

dengan penuh keanggunan. Matanya yang lentik, me-

mandang tajam pada para punggawa kerajaan yang 

berupa tengkorak darah juga. Para punggawa, hulu-

balang dan patih kerajaan duduk di ruangan lebar itu

Sulit untuk membedakan mana yang prajurit,


mana yang hulubalang dan mana yang patih serta tu-

menggung. Semuanya bermuka tengkorak menyeram-

kan. Hanya ada pembeda bagi mereka, yaitu darah 

yang melumuri muka tengkorak

Patih kerajaan memiliki banyak lumuran darah 

di muka. Bahkan menutupi semua mukanya. Panglima 

perang dan para hulubalang serta tumenggung pun 

memiliki ciri lain. Darah yang menutupi muka mereka 

lebih sedikit daripada patih.

Begitulah seterusnya. Semakin rendah pang-

katnya, semakin pucat wajah tengkorak itu.

Ada juga ciri lain dari para tengkorak darah, 

yaitu pada lengan bajunya. Kalau patih lengan bajunya 

terdapat bunga kamboja sebanyak empat kuntum. 

Panglima perang tiga, hulubalang dua kuntum, se-

dangkan tumenggung satu dan prajurit tak ada.

"Paman Patih, hari ini ibunda hendak melaku-

kan upacara usia yang ke enam puluh lima tahun. Un-

tuk itu, aku titahkan pada Paman Patih agar menjaga 

istana dengan ketat. Jangan sampai ada bangsa lain 

yang masuk dan membuat kekacauan. Kalau ada, ku-

perintahkan membunuhnya!"

"Sendika Kanjeng Ratu," jawab Patih Tengkorak 

Darah.

"Kini kalian boleh bubar, jangan sekali-sekali 

menggangguku," kata Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Sendika, Sri Ratu." Setelah melakukan sem-

bah, para prajurit dan pembesar istana pun mundur 

dari hadapan ratu mereka yang kini bangkit dari sing-

gasananya, melangkah masuk ke dalam kamar yang 

telah tersedia seorang lelaki muda yang gagah, berpa-

ras tampan, serta bersih.

Lelaki muda itu ternyata Lingga, suami Dyah 

Ayu yang diculik. Lingga yang sudah terpengaruh oleh 

ilmu sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah kini bagai


lupa segalanya. Tubuhnya terbaring telanjang di atas 

tempat tidur.

Dari luar, masuk Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah. Bibir sang Ratu mengurai senyum. Saat itu pula, 

Lingga segera bangkit. Bibir lelaki tampan itu men-

gembangkan senyum. Tampaknya dia benar-benar se-

nang melihat kedatangan Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah.

"Anak bagus, rupanya kau telah lama menung-

gu," desis Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil men-

gulurkan tangannya, yang disambut oleh Lingga den-

gan pelukan mesra. Tidak hanya sampai di situ, Lingga 

kemudian menciumi seluruh wajah Ratu Siluman 

Tengkorak Darah, lalu merambah turun ke leher Ratu 

Siluman Tengkorak Darah yang jenjang dan menan-

tang.

Lingga yang sudah terbius pengaruh sihir Ratu 

Siluman Tengkorak Darah, benar-benar lupa sega-

lanya. Bahkan istri tercintanya kini tak ada lagi di ke-

dalaman hatinya, yang ada hanya nafsu liar yang 

mendidih. Lama kemudian membisu. Hanya desah-

desah napas jalang saja yang terdengar. Sampai akhir-

nya....

"Aaakh...!"

Tiba-tiba Lingga mengejang. Matanya melotot 

menahan sekarat. Sedangkan Ratu Siluman Tengkorak 

Darah tertawa cekikikan. Seakan senang menyaksikan 

bagaimana Lingga bergelinjang menghadapi maut

"Aaakh!"

"Hik hik hik...!" Kau puas, Cah Bagus! Kini 

ayahku akan melihat bagaimana pembalasan ibu! Hua 

ha ha...!"

"Akh, ampun...!" jerit Lingga terus menggeliat-

geliat kesakitan. Bagian bawah tubuhnya bagai ada 

yang menggigit. Bahkan kini seperti putus. Darah me


nyembur dari kemaluan Lingga yang putus. Sedangkan 

dari kemaluan Ratu Siluman Tengkorak Darah, tam-

pak seekor binatang berbentuk ular tengah melumat 

kemaluan Lingga.

Lingga menggelepar-gelepar sekarat, kemudian 

terkulai dengan nyawa melayang.

"Hua ha ha...! Ayah, lihat pembalasan ibu! Li-

hat! Kau telah menyia-nyiakan aku dan ibu! Kini kau 

lihatlah semua!" tawa Ratu Siluman Tengkorak Darah 

menggelegar, disertai gemuruhnya angin yang memba-

dai. Entah siapa yang disebut sebagai ayahnya. 

"Prajurit!"

Dua orang prajurit bergegas masuk, kemudian 

menyembah.

"Hamba Kanjeng Ratu...."

"Bawa tubuh lelaki ini, buang ke alam manusia 

di dekat istana!" perintah Ratu Siluman Tengkorak Da-

rah.

"Sendika, Sri Ratu."

Kedua orang prajurit yang bermuka tengkorak 

itu segera mengangkat mayat Lingga keluar mening-

galkan kamar ratu mereka yang masih tertawa.

***

"Mayat..! Mayaaat..!"

Seorang prajurit yang sedang bertugas mengeli-

lingi tembok istana menjerit-jerit, ketika menyaksikan 

sesosok tubuh tanpa pakaian dikerumuni oleh bina-

tang-binatang berbisa menjijikkan. Rupanya mayat 

Lingga yang mengalami kematian mengerikan dibuang 

di tempat itu.

"Mayat! Mayat Den Lingga...!"

Sepontan semua penghuni istana termasuk 

sang Raja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mata


mereka serentak membelalak, menyaksikan mayat 

Lingga tiba-tiba telah tergolek di buritan istana dalam 

keadaan mengerikan. 

"Kangmas Lingga...!"

Dyah Ayu yang melihat suaminya telah mati da-

lam keadaan mengenaskan seketika menjerit histeris. 

Tubuhnya gontai, lalu pingsan tak kuat menerima 

guncangan batin.

Patih Rangga Wuni dan Baginda Raja Brah Sa-

lagatri menghela napas dalam-dalam.

Kematian yang sama dialami oleh para prajurit 

kerajaan tiga hari lalu. Tapi mayat Lingga kini lebih 

mengerikan, karena kemaluannya hilang. Seperti digi-

git oleh binatang berbisa, yang menjadikan tubuhnya 

membiru.

"Ini keterlaluan!" dengus baginda raja geram. 

"Kita harus segera meringkus pelaku semua ini. Aku 

tak peduli itu bangsa siluman atau manusia!"

Patih Rangga Wuni terdiam. Sulit baginya un-

tuk mengutarakan kata-kata. Bagaimanapun juga, dia 

harus berpikir beratus kali untuk bisa menjawab se-

mua misteri ini. Kalau benar pelakunya siluman, apa 

dasarnya sehingga bangsa siluman begitu dendam ter-

hadap Kerajaan Bumi Wandra?

"Patih, kau harus memanggil para pendekar 

untuk datang ke istana secepatnya. Aku tak ingin kor-

ban semakin banyak berjatuhan. Kita harus segera 

menghentikan semuanya!" dengus baginda raja marah.

"Sendika, Yang Mulia. Hamba akan segera men-

jalankan tugas."

"Lakukanlah sekarang juga."

"Sendika, Yang Mulia."

Patih Rangga Wuni segera menyembah, kemu-

dian tubuhnya pun berlalu meninggalkan buritan ista-

na di mana raja dan kerabat istana masih berdiri di


tempat itu.

Sore telah menjelang. Sebentar lagi kegelapan 

malam akan segera merambah. Matahari terpulas le-

lah. Suasana duka menyelimuti kerabat istana. Mereka 

tak pernah tahu apa yang telah terjadi belakangan ini. 

Semua masih gelap, menjadi tabir misteri yang sulit 

untuk dikuak.

Orang-orang istana tampak sibuk mengurus 

mayat Lingga. Wajah mereka dirundung duka yang da-

lam atas kematian menantu baginda raja. Mereka tidak 

tahu, mengapa mesti keluarga raja yang menjadi kor-

ban. Padahal baginda raja sangat arif dan bijaksana 

memimpin kerajaan. Tak pernah sekalipun baginda 

berlaku tidak adil dan kasar, yang akan membuat 

orang dendam.

Mereka tak tahu. Semua orang tak tahu, kalau 

ada sesuatu yang terjadi di balik semua itu. Dendam 

seorang wanita dan anaknya yang merasa disia-siakan. 

Dendam yang membuat keduanya bersumpah untuk 

mengabdi di alam kegelapan.

Dendam itu kini terwujud, setelah diterimanya 

kedua ibu dan anak menjadi bangsa siluman, bangsa 

kegelapan. Dengan cara mengorbankan jiwa dan raga 

mereka.

Kalau saja semuanya tahu, tentu semua tak 

akan bingung dan resah menghadapi kejadian-

kejadian yang aneh dan penuh misteri.

Hujan rintik turun mengiringi duka keluarga is-

tana atas kematian Lingga. Dengan derai air mata yang 

berbaur dengan derai hujan, mayat Lingga dikebumi-

kan sebagaimana adat kerajaan.

Dyah Ayu masih terseguk-seguk, bahkan bebe-

rapa kali jatuh pingsan, tak kuat menahan kesedihan 

yang dialaminya. Mereka baru menikah sebulan yang 

lalu. Dalam keadaan yang seharusnya gembira, tiba


tiba tengkorak darah merenggut Lingga dari pelukan-

nya. Lalu setelah tiga hari menghilang, tiba-tiba Lingga 

diketemukan telah menjadi mayat yang sangat menge-

rikan. 

"Ibu, mengapa semua ini terjadi? Hu hu hu...!"

"Entahlah, Cah Ayu. Ibu juga tak mengerti," ka-

ta ibunda Dyah Ayu sambil memeluk tubuh anaknya. 

Tangannya dengan lembut membelai-belai rambut 

sang Anak.

Wanita cantik jelita yang sangat sayang pada 

anaknya itu bertubuh ramping dengan rambut disang-

gul. Wajahnya tampak lembut, tenang, dan penuh ka-

sih. Matanya lentik serta berbibir mungil, meski 

usianya sudah menginjak tua. Sabar sekali tingkah la-

kunya.

"Sudahlah, Dyah. Mungkin semua ini suratan 

Sang Hyang Widi!" tambah ayahnya, Raja Kerajaan 

Bumi Wandra dengan masgul.

"Tapi, Rama, Mengapa harus kita yang meneri-

manya? Mengapa?"

Raja Brah Salagtari menghela napas dalam-

dalam. Dengan air mata berlinang, Raja Brah Salagatri 

berusaha menjawab pertanyaan anaknya.

"Sang Hyang Widi tak pandang siapa manusia 

itu, Dyah. Kalau dia menghendaki, pasti akan terjadi. 

Mungkin hari ini Lingga, besok siapa tahu Ayah."

"Tapi ini bukan kehendak Sang Hyang Widi, 

Rama," bantah Dyah Ayu.

"Sudahlah, Cah Ayu. Terimalah semuanya den-

gan hati yang tabah. Serahkan semuanya pada Sang 

Hyang Widi. Semoga Dia menerima arwahnya," hibur 

sang Ibu

Suasana duka masih menyelimuti mereka. Pe-

kuburan kerabat istana kembali sepi dan senyap. 

Hanya terdengar desah angin yang bergesek dengan


daun-daun pohon kering. Berderit lirih penuh duka.

Satu persatu mereka meninggalkan pekuburan 

itu, masih dengan membawa tangis. Pekuburan pun 

benar-benar sepi. Malam merambat datang, dengan 

kegelapannya yang terasa semakin mencekam.

Krakkk!

Tiba-tiba kuburan tempat Lingga dimakamkan 

berbunyi. Ada sesuatu yang terjadi. Bersamaan dengan 

itu, terdengar suara berseru sayup-sayup.

"Atas nama tengkorak darah! Bangunlah...!"

Krakkk!

Werrr!

Angin menderu dengan kencang, seiring dengan 

suara pecahnya tanah di kuburan Lingga. Dari kegela-

pan yang mencekam, tampak se sosok tubuh berdiri. 

Tangannya terangkat ke atas. Matanya tajam meman-

dang kuburan Lingga yang merekah.

"Bangkitlah! Atas nama tengkorak darah. 

Bangkit! Bangkit dari kuburmu! Bunuh Raja Brah Sa-

lagatri! Bunuh...!"

Krakkk! Duarrr!

Ledakan dahsyat menggelegar, memecahkan 

kesunyian malam yang dingin, disertai rintik hujan ge-

rimis. Sepasang tangan kaku dengan kuku-kuku pan-

jang, merayap naik perlahan-tahan. Lalu tampak-lah 

kepala Lingga yang mengerikan. Kepala menyeramkan 

itu muncul ke permukaan tanah. Matanya berwarna 

merah menyala. Kemudian sosok menyeramkan itu 

berdiri di atas liang kuburnya. Matanya memandang 

sosok wanita yang berdiri di tengah kegelapan.

"Aku bangkit..."

"Kemarilah!" seru wanita dalam kegelapan me-

merintah.

Sosok mayat hidup itu melangkah mendeka-

tinya.


"Apa yang harus kulakukan?" tanya mayat hi-

dup itu dengan suara berat dan serak. Bau busuk me-

nebar di udara malam.

"Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Kau adalah ab-

diku yang setia! Kau akan menjadi penghancur keluar-

ga kerajaan! Bawa anak lelaki Brah Salagatri! Bawa ke 

tempatku!" perintah wanita yang berdiri di kegelapan.

"Hanya itu?" tanya mayat hidup.

"Untuk kali ini. Hanya itu!"

"Baik, aku akan melakukannya."

"Bagus! Pergilah segera...!"

Wanita itu menghilang. Kini tinggallah mayat 

hidup yang melangkah membelah malam. Desah na-

pasnya yang berat, membuat suasana di sekelilingnya 

semakin mencekam. Dentuman langkahnya pun se-

makin membahana, menggetarkan kesunyian.

Mayat hidup itu melangkah menuju istana.

Enam orang penjaga pintu gerbang tersentak, 

manakala melihat sesosok menyeramkan menuju ista-

na. Mata mereka membelalak tegang. Sepontan mereka 

menjerit ketakutan, membuat orang-orang istana ter-

sentak dan berhamburan lari keluar untuk melihat 

apa yang terjadi.

"Mayat hidup...!" seru mereka ketakutan

"Lingga! O, apa yang terjadi denganmu?" tanya 

Raja Brah Salagatri dengan mata melotot tegang, me-

nyaksikan mayat menantunya yang baru dikubur sore 

tadi, kini bangkit. Mata Lingga bersinar merah menye-

ramkan.

"Gerrr! Minggir...!" bentak mayat hidup itu 

sambil menggerakkan tangan.

Wettt!

Para penjaga pintu gerbang dicengkeramnya, 

kemudian dengan enteng dilemparkan keenam prajurit 

itu sampai melayang di udara. Lalu jatuh ke tanah


dengan nyawa melayang.

Menyaksikan kebengisan mayat Lingga, Raja 

Brah Salagatri segera memerintah para prajuritnya un-

tuk membunuh mayat itu.

"Bunuh iblis itu...!"

Serentak berpuluh prajurit bergerak maju un-

tuk menyerang. Dengan pedang dan tombak, mereka 

menyerang mayat Lingga.

Swing, swing, swing!

Jlep, jlep, jlep! 

Puluhan anak panah dan tombak menghujani 

tubuh mayat Lingga yang hidup kembali. Beberapa ba-

gian tubuhnya tertembus telak. Bahkan ada yang 

sempat menembus hingga bagian belakang tubuh. Tapi 

mayat hidup itu bagai tidak merasakan apa-apa. Ma-

lah dicabutnya senjata-senjata yang menghujam di tu-

buhnya. Kemudian dengan penuh amarah, dilempar-

kannya kembali senjata itu ke para prajurit.

"Gerrr! Ini senjata kalian kukembalikan! 

Heaaa...!"

Puluhan senjata itu melesat laksana dilontar-

kan tenaga raksasa. Tanpa ampun.... 

Jlep, jlep, jlep! 

"Wuaaa...!"

Puluhan prajurit menjerit setinggi langit. Tubuh 

mereka tertembus senjata-senjata yang tadi mereka le-

paskan.

Raja Brah Salagatri semakin bertambah cemas 

menyaksikan keganasan mayat hidup menantunya. 

Dia segera lari masuk ke dalam sambil berseru meme-

rintah prajuritnya untuk membunuh mayat hidup itu.

"Gerrr! Minggir kalian...!"

Wuttt!

Tangan mayat hidup bergerak cepat, menyam-

bar tubuh para prajurit yang berusaha menghalan


ginya. Seketika mereka terlempar ke udara bersama je-

rit kematian yang menyayat. 

"Wuaaa...!"

Bug, bug, bug!

Menyaksikan kematian teman-temannya, nyali 

para prajurit lainnya mendadak ciut. Mereka segera 

menyingkir, ketika mayat hidup itu melangkah mende-

kati mereka. Mayat hidup itu terus melangkah masuk. 

Namun tiba-tiba dia dihalangi oleh seorang lelaki tua 

berjubah ungu. Di tangan lelaki tua berjubah ungu 

yang bernama Ki Gendut Kluntung, tergenggam tom-

bak pendek bermata dua yang dinamakan 'Ki Basupa-

ti',

"Minggatlah kau ke alammu! Heaaa...!" Ki Gen-

dut Kluntung yang, keadaan tubuhnya kurus tidak se-

perti namanya itu, merangsek dengan senjata pusa-

kanya.

"Heaaa...!"

"Gerrr! Minggir kau!" bentak mayat hidup sam-

bil bergerak menyerang Ki Gendut Kluntung. Dia ada-

lah Pendekar Istana Bumi Wandra yang berusia sekitar 

lima puluh tujuh tahun. Berambut panjang dengan 

bagian atas kepala botak, berhidung pesek dan berma-

ta lebar. Tubuhnya harus berjumpalitan mengelakkan 

serangan lawan yang menimbulkan angin panas mem-

bakar.

"Edan! ilmu iblis...!" maki Ki Gendut Kluntung 

dengan mata membelalak, menyaksikan keganasan 

pukulan tangan lawan.

Saat itu, ketika Ki Gendut Kluntung mengelak, 

mayat hidup berlari menuju kamar putra Raja Brah 

Salagatri yang bernama Citro Buono. Diambilnya pe-

muda tanggung yang menjerit-jerit ketakutan itu.

"Rama, tolooong...!"

"Anakku! Anakkuuu...! Jangan bawah anak

kuuu!" seru Raja Brah Salagatri, berusaha mencegah 

mayat hidup. Tapi tubuh mayat hidup telah menghi-

lang lewat jendela kamar anaknya.

"Iblis! Jangan lari...!" bentak Ki Gendut Klun-

tung mengejar.

***

DELAPAN



Sia-sia saja Ki Gendut Kluntung mengejar, se-

bab mayat hidup itu telah menghilang dalam kegela-

pan entah ke mana. Seperti menyusup ke dasar bumi.

Dengan penuh kekecewaan, Ki Gendut Klun-

tung kembali ke kerajaan. Namun baru beberapa lang-

kah kakinya bergerak, tiba-tiba tanah di sekelilingnya 

merekah. Bersamaan dengan itu, dari rekahan tanah 

muncul asap putih kehitam-hitaman mengurung tu-

buh Ki Gendut Kluntung.

"Heh, apa itu?!" desis Ki Gendut Kluntung den-

gan mata membelalak, menyaksikan sesuatu yang 

aneh. "Uh, bau kemenyan dan bunga kamboja. 

Wesss! 

Krakkk!

Suara asap mengepul disertai derak tanah re-

tak kembali terdengar. Samar-samar, kini tampak pu-

luhan makhluk-makhluk menyeramkan mengelilingi Ki 

Gendut Kluntung.

"Hah...?! Mereka dari dalam tanah! Oh, mereka 

benar-benar siluman tengkorak darah," desis Ki Gen-

dut Kluntung dengan mata membelalak tegang. Cepat-

cepat disiapkan senjata pusakanya, tombak pendek Ki 

Basupati.

"Gerrr! Nguikkk...!"


Serentak makhluk-makhluk menyeramkan 

bermuka tengkorak itu menyerbu Ki Gendut Kluntung.

Serangan mereka begitu cepat. Gerakan mereka 

bukanlah gerakan ilmu silat, kacau balau. Namun 

membahayakan.

"Gerrr! Nguikkk!"

"Ayo, hadapi aku...!" tantang Ki Gendut Klun-

tung sambil menggerakkan Ki Basupati dengan jurus 

'Jalma Bawuna', menjadikan tombak pendek itu mam-

pu mengeluarkan angin yang menderu kencang, me-

nyambar-nyambar ke arah sosok-sosok menyeramkan.

"Nguikkk!"

"Heaa...!"

Meski dikeroyok prajurit tengkorak darah, tapi 

Ki Gendut Kluntung rupanya mampu mengatasi se-

rangan-serangan mereka. Bahkan beberapa kali senja-

tanya mampu menghantam kepala dan dada lawan 

yang seketika jatuh ambruk dan menghilang.

"Heaaa!"

Tubuh Ki Gendut Kluntung terus bergerak me-

nyerang. Tangannya yang memegang tombak Ki Basu-

pati menyambar lawan-lawannya yang berusaha me-

rangsek. Keampuhan Ki Basupati benar-benar terbuk-

ti. Senjata itu mampu membuat lawan dari bangsa si-

luman darah harus mengalami kebinasaan.

"Nguik! Werrr...!"

Pemimpin Prajurit Tengkorak Darah yang meli-

hat anak buahnya semakin banyak menjadi korban ki-

ni merangsek maju. Tangannya yang hanya tulang be-

lulang itu bergerak menyerang dengan sambaran-sam-

baran yang mengeluarkan hawa panas.

"Uts! Rupanya kau ketuanya! Baik, kita berta-

rung mengadu nyawa! Heaaa...!"

Tubuh Ki Gendut Kluntung terus mencelat kian 

kemari, mengelakkan serangan lawan yang datang ber


tubi-tubi, bagai tidak memberi kesempatan bagi di-

rinya untuk balas menyerang.

"Heaaa!"

Dengan bersalto ke udara, Ki Gendut Kluntung 

segera balas melabrak dengan jurus 'Buana Yuda'. Di-

putarnya tombak pendek yang bernama Ki Basupati 

dengan kencang, kemudian dengan cepat mata tombak 

ditusukkan ke dada lawan.

Rupanya lawan yang dihadapinya benar-benar 

bukan tengkorak darah sembarangan. Lawan mampu 

mengimbangi serangan yang dilancarkan Ki Gendut 

Kluntung.

"Heaaa!"

"Nguikkk! Werrr!"

Pertarungan dua makhluk berbeda alam itu 

berlangsung dengan seru. Masing-masing berusaha 

menjatuhkan satu sama lain

Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk 

dapat mengalahkan lawannya. Namun ternyata sulit 

bagi keduanya untuk dapat mengakhiri pertarungan 

itu

Serangan Ki Gendut Kluntung kini terlihat ken-

dor. Rupanya tenaganya terkuras saat melakukan se-

rangan. Wajahnya agak tegang, menyaksikan lawan 

masih kuat. Malah gempuran serangannya semakin 

menjadi-jadi.

"Iblis! Dia tidak merasa lelah sedikit pun!" maid 

Ki Gendut Kluntung. "Celakalah aku!"

Belum juga Ki Gendut Kluntung selesai menca-

ci maki. Pemimpin Tengkorak Darah kembali meng-

gempur dengan pukulan-pukulan mautnya. Dari tan-

gannya membersit sinar biru ke tubuh Ki Gendut 

Kluntung.

Wesss!

"Uts! Celaka...!" pekik Ki Gendut Kluntung


sambil merendahkan tubuhnya untuk mengelak. Sinar 

biru yang keluar dari tangan pemimpin tengkorak da-

rah melesat beberapa senti di atas kepalanya.

Belum juga Ki Gendut Kluntung dapat mengua-

sai diri, lawannya telah melancarkan serangan puku-

lan-pukulan mautnya kembali.

"Gerrr! Nguik...!"

Wusss!"

"Celaka! Dia benar-benar bukan manusia!" pe-

kik Ki Gendut Kluntung setengah mengeluh. Segera di-

rendahkan tubuhnya ke bawah, kemudian dengan ce-

pat berguling ke samping.

Wesss!

Sinar biru itu luput beberapa senti di samping 

kanannya. Tapi lagi-lagi sebelum Ki Gendut Kluntung 

menguasai diri, serangan lawan mencecar lagi.

Wesss!

"Modar aku!" keluh Ki Gendut Kluntung, mera-

sa mati langkah. Matanya membelalak tegang. Hara-

pannya untuk hidup semakin menipis. Sinar biru itu 

semakin dekat ke arahnya. Tinggal menunggu bebera-

pa saat lagi, dia akan mati terhantam pukulan maut 

itu. Namun....

Jlegarrr!

Ledakan hebat menggelegar, ketika serangkum 

sinar merah menderu cepat lalu menghadang sinar bi-

ru. Bersamaan dengan suara ledakan itu, terdengar ge-

lak tawa meriah.

"Hua ha ha...! Rupanya kalian tidak kapok, Si-

luman Busuk!"

Pemimpin tengkorak darah yang tergontai-

gontai kini memalingkan wajah. Dilihatnya seorang 

pemuda tampan bertingkah seperti orang gila telah 

hadir di tempat itu bersama dengan seorang wanita 

cantik.


"Gerrr! Nguik! Kakkk!"

***

"Hua ha ha! Kalian memang siluman-siluman 

busuk! Mengapa kalian ikut campur urusan manusia!" 

bentak Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera.

"Gerrr! Nguik! Gerrrkkk!" seru Pemimpin Teng-

korak Darah sambil melambaikan tangan pada anak 

buahnya, yang bergerak serentak mengurung Pendekar 

Gila.

"Aha, rupanya malam ini kita bisa bermain-

main, Mei Lie," celoteh Pendekar Gila sambil ber-

jingkrak dan menggaruk-garuk kepala.

"Hm, majulah siluman busuk.'" dengus Mei Lie 

sambil mencabut Pedang Bidadarinya. 

Srang!

Sinar merah kekuning-kuningan seketika me-

nyinari tempat itu. Hal itu membuat Ki Gendut Klun-

tung dapat melihat dengan jelas orang yang telah me-

nolongnya dan bagaimana rupa makhluk-makhluk 

menyeramkan yang mengeroyoknya habis-habisan.

"Pendekar Gila...! O, selamat datang di kera-

jaan. Terima kasih atas pertolonganmu," sambut Ki 

Gendut Kluntung.

"Aha, sudahlah, Ki! Tak perlu dipermasalahkan. 

Kini kita harus main-main dengan tikus tengkorak itu! 

Ha ha ha...! Awas serangan!"

Dengan tingkah polah konyol, tubuh Pendekar 

Gila segera melompat ke udara, mengelakkan serangan 

lawan yang menderu ke arah mereka. Begitu juga den-

gan Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung. Kemudian keti-

ganya balas menyerang dengan cepat

"Aha, rupanya di alam kalian tidak pernah ma-

kan tahu. Nih tahu untuk kalian! Heaaa...!"


Sambil menunggingkan pantat Pendekar Gila 

bergerak menggasak lawan-lawannya. Dicabutnya Sul-

ing Naga Sakti. Dengan menggunakan ilmu meringan-

kan tubuh, Sena menyerang kepala lawan.

"Hi hi hi! Enak juga meniti di kepala siluman, 

Mei Lie!" seru Pendekar Gila sambil berlari di atas ke-

pala-kepala siluman tengkorak darah. Sementara itu 

tangannya menghantamkan Suling Naga Sakti ke ke-

pala tengkorak darah yang dipijaknya.

Tukkk!

Pletakkk!

Satu tengkorak darah binasa. Batok kepala 

tengkoraknya pecah terkena pukulan Suling Naga Sak-

ti.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seperti 

kegirangan bisa berlari di atas kepala siluman-siluman 

tengkorak

"Ha ha ha...! Mei Lie, cepat naik! Enak sekali 

bisa menginjak kepala siluman!" seru Pendekar Gila 

sambil tetap menggerakkan tangannya, memukulkan 

Suling Naga Sakti ke kepala lawan. 

Pletakkk!

Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung pun tak tinggal 

diam. Dengan senjata pusaka, keduanya bergerak me-

nyerang. Ki Gendut Kluntung dengan tombak pendek 

Ki Basupati mengamuk dengan jurus 'Buana Yuda'. 

Senjata di tangannya bergerak buas laksana baling-

baling, menusuk dan memukul tubuh lawan-

lawannya.

"Heaaa!"

Wettt!

Prak!

Setiap kali tombak Ki Basupati bergerak, dua 

siluman tengkorak darah mengalami kesirnaan. Tubuh 

mereka hilang menjadi asap putih kehitam-hitaman.


Mei Lie tak mau kalah. Dengan Pedang Bidadari 

di tangannya, dia pun bergerak lincah menyerang para 

lawan. Kali ini Mei Lie tidak sungkan-sungkan lagi 

mengeluarkan jurus 'Pedang Tebasan Batin' andalan-

nya yang terkenal ampuh dan belum ada tandingannya 

saat itu

"Heaaa!"

Wettt!

Pedang Bidadari di tangannya menyambar-

nyambar atau membabat ke tubuh lawan. Setiap kali 

pedang di tangan Mei Lie berdesing, kejadian aneh ter-

jadi. Hanya tersentuh oleh ujung pedang saja, silu-

man-siluman tengkorak darah telah sirna. Tak ada 

yang sanggup menghadapi Pedang Bidadari yang me-

nyatu dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.

"Yeaaa...!"

Mei Lie menyerang semakin garang. Ingatannya 

kembali terbayang pada Dewi Pemuja Setan yang telah 

memperdayainya (Mengenai Dewi Pemuja Setan, bisa 

Anda baca pada serial Pendekar Gila dalam episode 

"Titisan Dewi Kuan Im").

Pengalaman pahit yang tersimpan di benaknya 

telah begitu mempengaruhi perasaan wanita cantik itu 

Kebenciannya pada kemungkaran menggelegar seperti 

lahar panas. Meskipun dendam tak akan pernah baik 

untuk dirinya, tapi dia sendiri tak mampu lagi meng-

hindari dari kebencian itu.

Mei Lie semakin merangsek garang dengan te-

basan-tebasan pedangnya. Semakin cepat Mei Lie ber-

gerak, semakin banyak tengkorak darah yang raib.

Pertarungan semakin berjalan seru, namun kini 

yang lebih mengurung justru ketiga pendekar itu. Me-

reka mampu menekan musuhnya. Korban di pihak si-

luman tengkorak darah semakin banyak berjatuhan.

"Heaaa...!"


Mei Lie terus melabrak dengan babatan-

babatan pedangnya yang sangat ampuh dan sakti. 

Korban di pihak tengkorak darah semakin bertambah 

banyak.

"Ha ha ha! Bagus Mei Lie! Kita memang sedang 

berperang melawan tikus! Hua ha ha...!" Pendekar Gila 

tertawa-tawa sambil mengepung di angkasa. Lalu ka-

kinya menjejak di kepala-kepala siluman tengkorak da-

rah. Disusul dengan hantaman Suling Naga Sakti-nya 

yang membuat lawan seketika ambruk lantas raib.

"Nguik...!"

Pemimpin siluman tengkorak darah tampak 

marah. Dia langsung menyerang Pendekar Gila. Tan-

gannya yang hanya tulang belulang menyambar wajah 

Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Me-

mentung Kendi', dia dapat mengelakkan serangan la-

wan. Dengan cepat dibalasnya dengan pukulan Suling 

Naga Saktinya. 

Wettt!

"Hua ha ha...! Ayo Mei Lie, habisi tikus-tikus 

itu!" serunya sambil terus merangsek dengan Suling 

Naga Saktinya ke arah Pemimpin Tengkorak Darah. 

Suling Naga Sakti meliuk-liuk bagai seekor naga mur-

ka yang berusaha mematuk kepala lawan.

Wettt!

"Nguik!" Pemimpin Tengkorak Darah semakin 

terdesak oleh serangan yang dilancarkan Pendekar Gi-

la. Malah kini Pemimpin Tengkorak Darah lebih ba-

nyak mengelak, dibandingkan balas menyerang. Ruang 

geraknya bagai dibatasi oleh Pendekar Gila dengan sa-

puan Suing Naga Saktinya.

Di sisi lain, Ki Gendut Kluntung dan Mei Lie 

pun tak kalah hebat dalam menyerang. Senjata di tan-

gan mereka membuat anak buah tengkorak darah se-

makin jadi bulan-bulanan,


"Heaaa!"

Dengan tetap menggunakan jurus 'Pedang Te-

basan Batin' yang merupakan jurus pamungkas dari 

jurus 'Pedang Bidadari', Mei lie terus mencecar lawan. 

Keberadaan Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar 

terang merah kekuning-kuningan cukup berguna bagi 

mereka. Dengan demikian keadaan di tempat itu men-

jadi terang benderang. 

Crak!

Suara beradu Pedang Bidadari dengan tulang 

belulang lawan terdengar. Bersamaan dengan itu, tu-

lang belulangnya rontok kemudian raib menjadi asap.

"Nguik...!"

Pemimpin Tengkorak Darah berseru keras me-

lengking, seperti mengisyaratkan sesuatu pada anak 

buahnya. 

"Aha, mau ke mana kalian, Tikus Busuk!" ben-

tak Pendekar Gila ketika melihat gerombolan tengko-

rak darah yang hendak menghilang meninggalkan 

tempat itu

Segera ditiupnya Suling Naga Sakti dengan su-

ara melengking, kemudian mengarahkan kepala naga 

di sulingnya ke Pemimpin Tengkorak Darah.

Serttt!

Dua larik sinar merah membara yang keluar 

dari mata kepala naga meluncur ke arah lawan. Kedua 

sinar itu begitu deras, hingga tak dapat dielakkan lagi 

oleh Pemimpin Tengkorak Darah.

Byarrr!

Tubuh Pemimpin Tengkorak Darah yang ter-

hantam dua sinar merah itu seketika meleleh dan le-

bur menjadi cairan hitam.

"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" Pen-

dekar Gila tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak 

melihat lawannya meleleh.


Menyaksikan pemimpinnya binasa, sisa-sisa 

tengkorak darah berusaha menghilang dari tempat itu, 

namun dengan cepat Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung 

menghalangi mereka.

"Mau lari ke mana siluman!" bentak Mei Lie. 

"Heaaa!"

Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung segera menye-

rang sisa-sisa tengkorak darah dengan cepat Pedang 

Bidadari di tangannya bergerak cepat, menyambar pa-

ra prajurit tengkorak darah.

Werrt!

Crak, crak!

Dahsyat sekali Pedang Bidadari di tangan Mei 

Lie. Dalam sekali kelebatan, dua tengkorak darah ha-

rus binasa dan raib. Namun Mei Lie tak puas sampai 

di situ dan membiarkan yang lainnya hidup. Tubuhnya 

kembali bergerak, membantu Ki Gendut Kluntung 

menghabisi empat tengkorak darah yang masih hidup.

"Yea!"

"Yea!"

Crak, crak!

Pesss!

Dalam satu gebrakan, keempat tengkorak da-

rah yang tersisa dibuat habis.

"Hua ha ha...! Akhirnya tikus-tikus sawah itu 

habis! Hua ha ha! Kita telah main kucing-kucingan...!" 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingrak, 

menyaksikan tengkorak darah yang berjumlah pulu-

han itu kini telah hilang.

Wesss!

Angin kencang menderu. Awan bergulung-

gulung di angkasa. Lidah petir menyala terang. Saat 

itu, terdengar suara menggema yang datangnya seperti 

dari langit 

"Pendekar Gila! Kau benar-benar lancang, turut


campur urusanku! Awas, tunggulah pembalasanku!"

"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Siluman Betina! 

Nih kentutku untukmu! Pruttt..!" Pendekar Gila terta-

wa terpingkal-pingkal.

"Kurang ajar!" terdengar bentakan lagi 

"Aha, kau justru kelebihan ajar! Kau telah lan-

cang mencampuri urusan manusia! Hua ha ha...!" Se-

na terus bertingkah konyol. Berjingkrak-jingkrak lak-

sana monyet "Keluarlah kau! Seperti apa sih muka-

mu...? Tentunya seperti cecurut!"

"Kali ini kau belum kuhajar, Pendekar Gila! 

Tunggu pembalasanku nanti!"

"Aha, katakanlah di mana jalan menuju ke 

tempatmu! Aku jadi ingin melihat tampangmu yang 

seperti tikus sawah. Hua ha ha...!"

"Bedebah! Kulumatkan tubuhmu, Pendekar Gi-

la! Heaaa...!"

Hawa panas sekali menyelimuti tempat itu, 

menjadikan ketiganya bagai dipanggang oleh api yang 

membara.

"Aha, kau ingin mengajak main-main dengan-

ku. Baik, kita main-main!" seru Pendekar Gila, "Mei Lie 

dan Ki Gendut Kluntung, menyingkirlah agak jauh."

Setelah Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung me-

nyingkir, Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 'Inti 

Brahma'. Tangannya disatukan di depan dada, kemu-

dian digosokkan dengan keras. Setelah itu, telapak 

tangannya dibuka dan dihantamkan ke arah datang-

nya hawa panas itu.

"Inti Brahma'. Heaaa...!"

Inti api melesat dari tangan Pendekar Gila yang 

kini sarat dengan api ke arah hawa panas. Kemudian 

dalam jarak sepuluh batang tombak, inti api menghan-

tam sesuatu dan menimbulkan ledakan menggelegar. 

Jlegarrr!


'Tobat! Ibu...!" terdengar seruan kepanasan. 

Namun ujud dari sosok itu tidak juga nampak.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 

berjingkrak, kemudian kembali menghampiri Mei Lie 

dan Ki Gendut Kluntung.

'Tuan Pendekar, kami mengharap Tuan sudi 

singgah ke istana. Baginda sangat memerlukan sekali 

pertolongan Tuan," pinta Ki Gendut Kluntung.

Sena memandang Mei Lie yang mengangguk.

"Baiklah."

Ketiganya pun melangkah meninggalkan tem-

pat yang dekat dengan pekuburan, menuju kerajaan 

yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.

***

SEMBILAN



Pagi tampak mendung. Langit dihampar bergu-

lung-gulung awan pekat. Menutupi mentari hingga si-

narnya tidak berdaya. Suasana Kerajaan Bumi Wandra 

semakin kelam. Hilangnya putra mahkota, membuat 

Raja Brah Salagatri berduka.

Pagi ini, Raja Brah Salagatri duduk di singga-

sana dengan wajah murung. Roman mukanya menun-

jukkan kesedihan.

Di hadapannya, duduk bersila Pendekar Gila, 

Mel Lie, Ki Gendut Kluntung, Ki Gede Mantingan, dan 

beberapa pendekar lainnya. Patih Rangga Wuni juga 

hadir. 

"Saudara-saudara sekalian. Korban telah ba-

nyak berjatuhan. Tapi sampai sekarang kita belum ta-

hu siapa sebenarnya dalang dari semua kejadian ini," 

tutur Raja Brah Salagatri dengan suara berbeban.


Semua yang hadir di tempat itu diam, termasuk 

Pendekar Gila yang biasanya bertingkah aneh.

"Saudaraku sekalian. Dengan tangan terbuka, 

kumohon pendapat kalian. Katakanlah, apa yang ha-

rus kuperbuat? Untuk kedamaian dan kesejahteraan 

rakyatku yang kucintai, aku siap berkorban. Bahkan 

bila perlu, nyawaku sebagai taruhannya."

Semua tergugu mendengar penuturan baginda 

raja yang teramat menyentuh perasaan masing-

masing.

"Ayo, katakanlah.... Apa yang seharusnya kula-

kukan?" ulang Baginda Raja Brah Salagatri mengha-

rap.

Ki Gede Mantingan menyembah. 

"Katakanlah, Ki Gede."

"Ampun, Baginda Yang Mulia. Jika apa yang 

akan hamba sampaikan salah, sudi kiranya Baginda 

memaafkannya."

'Tak apa. Katakanlah."

Sesaat Ki Gede Mantingan menghela napas. 

Kemudian setelah menyembah lagi, Ki Gede Mantingan 

pun menuturkan apa yang telah dia lakukan selama 

ini.

"Semalam hamba mendapatkan wangsit, Ba-

ginda."

"Wangsit apa, Ki Gede? Katakanlah," pinta Ba-

ginda Raja Brah Salagatri:

Ki Gede Mantingan menelan ludah. Sepertinya 

dia agak berat untuk menceritakan hal yang dilihatnya 

dalam wangsitnya. Namun setelah berpikir bahwa se-

mua itu untuk kepentingan rakyat, akhirnya Ki Gede 

Mantingan bertutur juga.

'Ketika hamba tengah bersemadi, tiba-tiba 

hamba didatangi oleh leluhur hamba. Hamba bertanya, 

apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Bumi Wandra


ini...? Leluhur hamba pun memberikan gambaran."

Ki Gede Mantingan pun menceritakan apa yang 

digambarkan oleh leluhurnya.

"Tiga puluh tahun yang silam, hiduplah seo-

rang kembang desa yang sangat cantik jelita bernama 

Rubiati. Kecantikan Rubiati membuat semua lelaki in-

gin sekali meminangnya. Namun semuanya ditolak, 

karena tidak ada yang cocok di hati gadis itu." 

Tersentak semua orang yang ada di situ terma-

suk Sena, Mei Lie, Raja Brah Salagatri sendiri. Terlebih 

Sena dan Mei Lie yang tidak menyangka kalau Raja 

Brah Salagatri ada sangkut pautnya dengan masalah 

tengkorak darah. Keduanya saling pandang, kemudian 

menatap Raja Brah Salagatri yang hanya tertunduk 

dalam-dalam.

"Rubiati akhirnya jatuh cinta dan menaruh ha-

rapan pada seorang pemuda tampan putra mahkota 

yang bernama Brah Salagatri. Keduanya saling men-

cintai dan berjanji sehidup semati. Hubungan kedua-

nya terus berjalan dengan penuh kasih dan sayang. 

Sampai suatu ketika, Rubiati hamil. Sejak kehamilan-

nya itu sang Kekasih yang sudah berjanji akan meni-

kahinya tak pernah muncul-muncul"

"Perut Rubiati semakin membesar. Karena ma-

lu, dia pun nekat bunuh diri di Telaga Panca Warna. 

Namun rupanya bangsa siluman yang menghuni telaga 

itu menerima sumpahnya. Karena sebelum bunuh diri 

Rubiati sempat bersumpah, dia ingin tetap hidup un-

tuk membalas sakit hatinya. Dia tidak sudi mati dan 

menghentikan teror jika belum bisa bersama Brah Sa-

lagatri. Sumpah Rubiati diterima oleh Raja Siluman 

Tengkorak Darah. Ketika dia ditelan Telaga Panca 

Warna, tubuhnya diterima oleh Raja Siluman Tengko-

rak Darah. Kemudian dibawa ke kerajaan siluman itu."

"Rubiati yang sudah berikrar akan menuntut


balas akhirnya menerima lamaran Raja Siluman Teng-

korak Darah. Dengan bantuan ilmu Siluman Tengko-

rak Darah, bayi Rubiati yang sudah sekarat bisa dihi-

dupkan kembali. Hari demi hari, Rubiati dididik oleh 

Raja Siluman Tengkorak Darah. Berbagai ilmu ditu-

runkan olehnya. Baik ilmu ketatanegaraan maupun 

ilmu kesaktian. Semuanya diturunkan oleh Raja Silu-

man Tengkorak Darah pada Rubiati."

"Nampaknya ilmu Raja Siluman Tengkorak Da-

rah merupakan nyawa bagi dirinya. Setelah ilmunya 

diturunkan pada Rubiati, Raja Siluman Tengkorak Da-

rah pun mangkat, berubah menjadi serakan tulang be-

lulang. Sejak saat itu, Rubiati mengambil alih kepe-

mimpinan. Anaknya diangkat sebagai ratu pajangan, 

ratu yang hanya memerintah atas persetujuan ibun-

danya. Sedangkan kekuasaan mutlak sebenarnya ada 

di tangan Rubiati. Rubiati hanya menurunkan ilmu-

ilmu tertentu pada anaknya. Kalau semua diturunkan, 

dirinya akan mengalami hal seperti Raja Siluman 

Tengkorak Darah dan terbuang dari alamnya."

"Jadi semuanya berada di tangan Rubiati. Di-

alah yang berkuasa atas kerajaan siluman itu."

"Begitulah apa yang hamba dapatkan dari 

wangsit itu, Baginda," kata Ki Gede Mantingan men-

gakhiri ceritanya.

Baginda Raja Brah Salagatri sesaat terdiam. In-

gatannya seketika melayang pada kejadian tiga puluh 

tahun yang silam. Saat dirinya masih muda dan se-

dang bersemarak cinta kasih di hatinya. Ingatan akan 

Rubiati kembali menyeruak.

Tanpa terasa, air mata Baginda Raja Brah Sala-

gatri meleleh. Lalu dengan terisak baginda bersabda, 

"Apa yang kau ceritakan memang benar, Ki Gede. Me-

mang aku yang salah. O, sungguh nista diriku ini."

Semua terdiam, tak ada yang berani membuka


kata. Begitu pula dengan Sena dan Ki Gede Mantingan 

Semua turut terhanyut oleh perasaan sedih yang di-

alami Baginda Raja Brah Salagatri.

"Ki Gede, aku memang pernah mengucapkan 

sumpah sehidup semati dengannya. Oh, kini aku baru 

sadar, kalau semua adalah karena kesalahanku."

Semua masih terdiam, tak ada yang berani 

membuka kata. 

"Kini saatnya aku harus menepati janji. Ki Gede 

Mantingan, apakah kau tahu jalan menuju ke alam si-

luman?" tanya Raja Brah Salagatri.

"Ampun, Baginda. Hendak apa Baginda mena-

nyakan jalan ke alam siluman?" tanya Ki Gede Mantin-

gan, belum mengerti.

"Aku hendak ke sana. Menepati janji, sekaligus 

meminta agar dia menghentikan semuanya," jawab Ba-

ginda Raja Brah Salagatri.

"Apa tidak sebaiknya Baginda mengutus seseo-

rang?"

"Tidak, Ki Gede. Aku hanya minta dikawal 

olehmu, Pendekar Gila dan Nona Mie Lie. Kalau me-

mang aku tak dapat kembali ke dunia, kalianlah yang 

akan mengabarkannya pada rakyat"

Semua menghela napas panjang mendengar 

penuturan dan tekad bulat Baginda Raja Brah Salaga-

tri. Mereka sama-sama trenyuh mengetahui raja mere-

ka begitu arif dan bijaksana. Untuk kepentingan ra-

kyat, dia rela mengorbankan jiwa dan raga.

"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan 

padaku, maka hamba tak dapat menentang. Nanti 

sore, ketika matahari hendak tenggelam, kita akan ke 

sana," ucap Ki Gede.

"Baiklah kalau begitu," jawab sang Raja pasti.

***


Sore yang ditunggu datang. Empat orang tam-

pak berjalan menelusuri Hutan Gandra Siluman, di 

mana Telaga Panca Warna berada. Keempat orang ter-

sebut adalah Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede 

Mantingan, Sena, Mei Lie. Mereka terus melangkah 

menelusuri hutan yang terkenal angker. Namun mere-

ka bagai tak peduli dengan suara-suara yang berisik 

dan mendirikan bulu kuduk mereka.

Suasana ke dalam semakin gelap. Mei Lie sege-

ra mencabut Pedang Bidadarinya. Seketika suasana di 

dalam hutan itu berubah menjadi terang benderang. 

Hal itu membuat langkah mereka agak lancar.

Tidak lama kemudian, keempatnya telah sam-

pai di telaga yang mereka tuju. Seperti namanya, air 

telaga itu memiliki lima warna yang tak berubah. Kun-

ing, merah, hijau, dan putih. Sangat indah sekali pe-

mandangan di telaga itu.

Ki Gede Mantingan berdiri dengan kepala agak 

mendongak. Kedua tangannya saling menyatu. Mulut-

nya membaca mantra-mantra.

Tiba-tiba air telaga bergemuruh riuh, bagai 

mendidih. Bersamaan dengan itu, dari dalam telaga 

muncul seekor ikan besar bermata emas. 

"Apa yang kalian inginkan sehingga memang-

gilku?" tanya ikan itu, sebagaimana layaknya manusia 

bercakap-cakap. Hal itu tentu saja menyentakkan Se-

na dan Mei Lie. Sena hampir tertawa ngakak, menyak-

sikan keanehan ikan besar itu. Beruntung dia dapat 

menahannya, setelah ingat kalau mereka tengah mela-

kukan upacara gaib.


Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantin-

gan, Pendekar Gila, dan Mei Lie telah berada di tepi Te-

laga Panca Warna. Satu telaga yang sangat indah. Ki 

Gede Mantingan segera membaca mantra-mantra. Tiba-

tiba air telaga di depan mereka bergemuruh riuh. Dan 

bersamaan dengan itu, dari dalam telaga muncul seekor 

ikan raksasa bermata emas!


"Ki Tawes, sengaja aku mengundangmu, karena 

aku memerlukan pertolonganmu," mulai Ki Gede Man-

tingan.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya ikan rak-

sasa itu.

"Kami ingin ke Kerajaan Siluman Tengkorak 

Darah."

"Untuk apa?"

"Kami ingin bertemu dengan Ratu Tengkorak 

Darah."

Ikan raksasa itu sesaat terdiam, kemudian tu-

buhnya bergerak-gerak tanda mengerti.

"Baiklah. Masuklah kalian ke dalam mulutku," 

perintahnya, menyentakkan Sena, Mei Lie, dan Raja 

Brah Salagatri. 

"Masuklah. Ki Tawes adalah sahabat leluhur-

ku," ujar Ki Gede Mantingan.

Antara ikan tawes raksasa dengan Ki Gede 

Mantingan seperti telah terjalin ikatan batin. Hal itu 

bermula dari guru Ki Gede Mantingan bernama Ki 

Gede Prasutra. Yang sakti mandra guna, gurunya me-

nolong Ki Tawes dari kematian akibat kekeringan air 

yang disebabkan oleh peperangan antara Siluman 

Tawes dengan Siluman Yuyu Ireng.

Ki Gede Prasutra yang melihat Ki Tawes sebagai 

raja segala ikan dalam keadaan sekarat, segera meno-

longnya. Dimintanya hujan pada Sang Hyang Widi. 

Rupanya doa Ki Gede Prasutra terkabul, hingga sela-

matlah Ki Tawes dari kematian.

Merasa ditolong dan diselamatkan oleh Ki Gede 

Prasutra, Ki Tawes pun berjanji akan tetap menjalin 

hubungan baik dengan pewaris dan keturunan Ki Gede 

Prasutra. Malah Ki Tawes berjanji akan mengerahkan 

seluruh tentaranya jika diminta bantuan oleh pewaris


ilmu Ki Gede Prasutra atau keturunannya.

Pendekar Gila, Mei Lie, Raja Brah Salagatri ser-

ta Ki Gede Mantingan akhirnya masuk ke dalam mulut 

ikan raksasa itu. Ikan itu menutup mulutnya, kemu-

dian menyelam ke dalam Telaga Panca Warna.

Entah berapa lama mereka berada di dalam 

mulut ikan raksasa yang dapat dimasuki oleh empat 

orang. Mereka keluar ketika mulut ikan raksasa itu 

membuka.

"Kalian sudah sampai, keluarlah."

Keempatnya turun. 

Kini mereka melihat sebuah istana megah ber-

diri di atas bukit Pintu gerbang istana itu bergambar 

tengkorak berwarna merah darah.

"Itulah Istana Tengkorak Darah," kata ikan rak-

sasa itu.

"Terima kasih, Ki Tawes."

"Kapan kalian kembali?" tanya Ki Tawes. "Biar 

aku menunggu." 

"Entahlah, Ki. Kalau tidak mengalami kesuli-

tan, mungkin lusa. Tapi kalau mengalami kesulitan, 

aku tak tahu kapan dan apa kami akan tetap hidup," 

tutur Ki Gede Mantingan setengah mendesah.

"Kalau begitu, jika kalian ingin kembali panggil 

saja aku dengan menjentikkan tangan kalian tiga kali." 

"Terima kasih." 

"Selamat berjuang."

Ikan raksasa itu kembali menyelam dan meng-

hilang dari pandangan mereka.

Mereka lalu melangkah menyelusuri jalan yang 

terbuat dari emas dan intan menuju Istana Tengkorak 

Darah. Sesampainya di pintu gerbang, mereka diha-

dang oleh dua prajurit tengkorak darah.

"Mau apa kalian kemari?!" tanya salah satu 

tengkorak, menyentakkan Sena maupun Mei Lie. Ka


rena ketika bertempur, tengkorak darah tidak bisa ber-

cakap-cakap seperti manusia. Kenapa kini bisa berbi-

cara?

Ki Gede Mantingan yang melihat kekagetan Se-

na dan Mei Lie dengan berbisik menjelaskan, "Kita be-

rada di alam siluman. Itu sebabnya kita tahu bahasa 

mereka."

"Aha, tolol sekali aku," gumam Sena, muncul 

kembali kekonyolannya.

"Kami hendak bertemu dengan Ibunda Ratu," 

jawab Ki Gede Mantingan.

Makhluk tengkorak darah memperhatikan me-

reka satu persatu. Setelah merasa yakin salah satu si-

luman itu berlalu meninggalkan tempat itu.

"Tunggulah sebentar!" kata tengkorak darah 

yang masih berada di situ.

Tidak lama kemudian, dari dalam istana mun-

cul seorang wanita cantik berkebaya biru dengan ke-

rudung biru. Wanita cantik itu membelalakkan mata 

dengan garang, ketika memandang Baginda Raja Brah 

Salagatri.

"Kau?! Untuk apa kau datang ke sini?! Belum 

puaskah kau menyakiti aku ketika aku masih menjadi 

manusia?!" bentaknya, membuat Baginda Raja Brah 

Salagatri tersentak. Dia sama sekali tidak ingat dan ti-

dak kenal siapa wanita muda dan cantik yang mem-

bentaknya, kalau saja wanita yang ternyata Rubiati itu 

tidak menghardiknya begitu rupa.

"Rubiati, kaukah itu?"

"Ya! Masih belum cukup puaskah kau menyik-

saku? Kini kau datang kembali dengan Pendekar Gila 

dan Bidadari Pencabut Nyawa. Apa kau ingin meng-

hancurkan istanaku?! Membunuh semua prajurit-pra-

juritku?!"

Lidah Baginda Raja Brah Salagatri kelu dituduh


dengan cercaan begitu rupa. Dia kembali tak me-

nyangka, kalau Rubiati telah mengenal pemuda tam-

pan berpakaian rompi kulit ular yang bersamanya. Ju-

ga gadis Cina yang menyandang Pedang Bidadari di 

punggungnya.

"Nyi Dewi Rubiati," kata Ki Gede Mantingan 

menengahi suasana yang panas itu. "Kedatangan kami 

kemari, semata-mata hanya mengantar Baginda untuk 

meminta maaf padamu. Kami tidak bermaksud menye-

rang."

"Lalu mengapa membawa Pendekar Gila dan 

Bidadari Pencabut Nyawa?!" tanya Rubiati masih tak 

mau melemah.

"Aha, maafkan kami, Nyi Dewi. Bukan maksud 

kami berlaku kurang ajar datang ke tempatmu. Seba-

gai seorang raja, patutlah bagi Baginda Raja untuk 

mendapat pengawalan, bukan? Nah, itu sebabnya aku 

dan Bidadari Pencabut Nyawa ke tempatmu."

"Huh...!" dengus Rubiati. Matanya memandang 

tajam pada Baginda Raja Brah Salagatri. "Alam kita 

sudah berbeda jauh, Kakang. Kau begitu kejam dan 

tega menelantarkan aku serta anakmu! Kini kau kem-

bali datang, membuat hatiku semakin teriris sakit"

"Diajeng, aku telah bersumpah sehidup semati 

denganmu. Kini aku datang untuk menepati sumpah-

ku. Aku ingin bersamamu, asalkan kau mau menghen-

tikan semuanya. Kau mau menghentikan tindakanmu 

yang banyak menjatuhkan korban," mohon Baginda 

Raja Brah Salagatri.

"Benarkah kau ingin bersamaku, Kakang?!"

"Ya!"

"O, aku gembira sekali, Kakang. Mari, masuk-

lah dulu," ajak Rubiati.

Keempat manusia itu pun menurut masuk ke 

pelataran istana. Kemudian mereka pun masuk ke da


lam istana yang sangat megah dan bagus. Di sana sini 

terpasang hiasan dan emas, intan, dan mutiara yang 

gemerlapan.

"Silakan duduk. Sebentar...," kata Rubiati sam-

bil berlalu meninggalkan tamu-tamu.

Dari dalam, muncul seorang gadis berpakaian 

sangat minim yang cantik jelita. Saking minimnya pa-

kaian yang dikenakan gadis itu, sampai hanya kema-

luan dan buah dadanya saja yang tertutup. Sedangkan 

yang lainnya dibiarkan terbuka.

"Anakku...!" seru Raja Brah Salagatri melihat 

gadis cantik itu.

"Ha ha ha...! Kau mengaku ayahku? Hua ha 

ha...! Aku tak punya Ayah sepertimu! Ayah yang tidak 

bertanggung jawab! Selama hidupku, aku hanya dibe-

sarkan oleh ibu dan eyang," dengus Resmi Sekar Wanti

"Tapi, kau anakku. Kau darah dagingku, Anak-

ku," kata Raja Brah Salagatri.

"Ha ha ha...! Aku tak butuh Ayah. Aku hanya 

butuh pemuda rambut gondrong itu. Cah Bagus, ikut-

lah aku," rayu Resmi Wanti atau Ratu Siluman Teng-

korak Darah. Matanya mengerling manja pada Sena 

yang seketika terpengaruh.

Perlahan-lahan Sena bangun dari duduknya, 

melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti yang terse-

nyum manja sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya 

dengan lemah gemulai. Dan rupanya lenggak-lenggok 

tubuhnya itu membuat Sena terperangah. Dari lenggo-

kan tubuhnya, keluar aroma wanita yang merangsang 

hidung.

"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie berusaha me-

nyadarkan Sena dari pengaruh sihir yang keluar dari 

tubuh Resmi Sekar Wanti. Namun tampaknya Sena 

benar-benar tak menggubris seruan Mei Lie. Kakinya 

terus melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti.


"Ayo, Cah Bagus. Bukankah kau menginginkan 

kehangatan?" kata Resmi Sekar Wanti.

"Sena, sadarlah!" seru Ki Gede Mantingan me-

nyadarkan Sena. 

"Kakang Sena, sadarlah! Bedebah! Kau benar-

benar iblis!" Mei Lie tak dapat lagi menahan amarah-

nya. Dicabutnya Pedang Bidadari dari warangkanya.

Srettt!

Bukan hanya Mei Lie, Ki Gede Mantingan pun 

bangkit dari duduknya. Dia segera mengeluarkan sen-

jata berupa tasbih.

"Celaka, Baginda. Kita telah masuk perangkap. 

Tak ada yang bisa berbuat untuk menolong Sena. Li-

hat, semua prajurit tengkorak darah telah mengepung 

kita," ucapnya setelah menyadari keadaan sekeliling 

mereka.

Mata Raja Brah Salagatri membelalak, menyak-

sikan pasukan prajurit tengkorak darah telah menge-

pung mereka.

"Bangsat! Penipu...!" maki Raja Brah Salagatri 

marah.

"Hua ha ha...!" Memakilah sepuas kalian, sebe-

lum kalian mampus di Istana Tengkorak Darah!" ter-

dengar suara Rubiati.

"Celaka! Kita telah terjebak!" seru Mei Lie. Da-

danya turun naik, menandakan amarahnya meluap-

luap "Kubunuh kalian! Heaaa...!"

Dengan Pedang Bidadari yang disertai jurus 

'Pedang Tebasan Batin', Mei Lie yang sudah kalap se-

gera melesat menyerang prajurit tengkorak darah. Pe-

dangnya bergerak cepat, membabat barisan lawan.

Menyaksikan Mei Lie telah menyerang dan pra-

jurit tengkorak darah merangsek. Ki Gede Mantingan 

dan Raja Brah Salagatri tak tinggal diam. Keduanya 

segera membantu Mei Lie, menyerang ke arah pra


jurit-prajurit tengkorak darah.

"Kakang Sena, sadarlah...!" teriak Mei Lie sam-

bil terus bergerak merangsek para lawan yang berusa-

ha menghalangi langkahnya mengejar Sena ke dalam 

kamar, di bawah pengaruh Resmi Sekar Wanti. Ama-

rah dan rasa cemburu beraduk menjadi satu di dada 

Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya dia mengamuk 

bagai banteng terluka. Kelebatan pedangnya membuat 

prajurit-prajurit tengkorak darah banyak yang mati.

Pertempuran tiga pendekar melawan ratusan 

prajurit tengkorak darah itu berlangsung seru. Keti-

ganya terus berusaha membabat habis barisan lawan 

yang berusaha menyerang.

Mei Lie dengan Pedang Bidadarinya semakin 

mengamuk membabi-buta. Pedang Bidadari di tangan-

nya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya yang 

bermaksud menghalangi langkahnya mengejar Pende-

kar Gila.

Satu persatu prajurit yang bermaksud mengha-

langinya dapat dibantai. Dan setapak demi setapak, 

tubuhnya dapat terus maju menuju kamar Resmi Se-

kar Wanti. Mei Lie segera melesat masuk ke dalam 

kamar itu, mendobrak pintu kamar tempat Pendekar 

Gila dan Resmi Sekar Wanti berada.

Brakkk!

"Iblis! Kubunuh kau! Heaaa...!" Mei Lie yang 

sudah mata gelap langsung melabrak Resmi Sekar 

Wanti yang tengah memeluk Pendekar Gila.

"Kakang, wanita itu hendak membunuhku! Bu-

nuh dia...!" perintah Resmi Sekar Wanti pada Sena.

Sena membalikkan tubuh dan langsung meng-

hadang Mei Lie yang tersentak kaget, menyaksikan ke-

kasihnya kini bagai kerbau dungu yang mau diperin-

tah.

"Kakang Sena, aku Mei Lie! Sadarlah, Kakang!"


"Bunuh dia, Kakang! Dialah yang hendak 

membunuhku!" sangkal Resmi Sekar Wanti tak kalah 

kerasnya.

Sena benar-benar bagai kehilangan akal. Lang-

sung diserangnya Mei Lie. Hal itu jelas mempengaruhi 

Mei Lie. Gerakannya jadi canggung. Pedang Bidadari di 

tangannya hanya dipegang, tidak digunakannya.

"Kakang, aku Mei Lie! Ingatlah...!" seru Mei Lie 

sambil terus berusaha mengelakkan serangan yang di-

lancarkan Pendekar Gila. Kini tubuh Mei Lie melesat 

ke belakang, keluar dari kamar itu.

"Kakang, sudah! Bukankah kita hendak me-

nikmati keindahan ini?" ajak Resmi Sekar Wanti. "Tu-

tuplah pintunya, Kakang."

Sena menurut menutup pintu. Kemudian den-

gan tenang dia melangkah mendekati Resmi Sekar 

Wanti.

"Ayolah cah bagus," rayu Resmi Sekar Wanti 

manja.

Sena benar-benar telah lupa segalanya. Ka-

kinya melangkah ke arah Resmi Sekar Wanti yang ten-

gah berbaring dengan tubuh polos. Namun ketika 

langkahnya hampir tiba di tempat tidur, tiba-tiba dari 

mata naga di pangkal Suling Naga Sakti, melesat sinar 

putih ke mata Sena.

Crettt!

Sena tersentak, dia bagai baru tersadar dari 

mimpinya. Matanya membelalak garang. Napasnya 

mendengus penuh amarah, karena merasa telah di-

permainkan.

"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie dari luar.

"Kenapa, Cah Bagus! Ayolah!" ajak Resmi Sekar 

Wanti dengan suara manja, tanpa menyadari kalau 

pengaruh sihirnya telah sirna dari diri Sena.

"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar iblis!


Heaaa...!" Sena yang marah karena merasa dipermain-

kan dengan garang menyerang. Hal itu menyentakkan 

Resmi Sekar Wanti. Ratu Siluman Tengkorak Darah 

segera berkelit ke samping.

"Rupanya kau pun ingin mampus, Pendekar Gi-

la! Heaaa...!" lengkingnya murka.

Resmi Sekar Wanti balas menyerang. Dia tidak 

lagi menghiraukan keadaannya yang tidak tertutup 

sehelai benang pun. Diserangnya Pendekar Gila den-

gan jurus-jurus maut.

Sena segera mengelak, kemudian dengan cepat 

dia mencabut Suling Naga Saktinya. Diserangnya 

Resmi Sekar Wanti dengan Suling Naga Sakti. Hal itu 

menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah tersentak 

kaget, menyaksikan senjata keramat itu telah berada 

di tangan Sena.

"Ibu, tolooong...!"

Ratu Siluman Tengkorak Darah lari keluar, be-

rusaha meminta tolong ibunya. Namun di luar Mei Lie 

telah menghadangnya. Resmi Sekar Wanti semakin ka-

lang kabut, ketika melihat Pedang Bidadari berkeredep 

di tangan Mei Lie.

"Kubunuh kau iblis! Heaaa...!"

Mei Lie yang dirasuki cemburu atas perbuatan 

Resmi Sekar Wanti, kini tidak sungkan-sungkan lagi 

menyerang dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'nya. 

Pedang Bidadari menderu keras ke tubuh Resmi Sekar 

Wanti.

Wettt!

"Uts! Celaka!" pekik Resmi Sekar Wanti sambil 

mengelak, kemudian melompat meninggalkan tempat 

itu.

"Mau lari ke mana, Iblis!" bentak Mei Lie beru-

saha mengejar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, 

ketika dari tempatnya menghilangnya Resmi Sekar


Wantai muncul sesosok mayat hidup berbau busuk. 

Mayat hidup itu langsung menyerang Mei Lie.

"Grrr! Kubunuh kau!"

"Uts! Heaaa...!"

Setelah mengelitkan serangan mayat hidup, Mei 

Lie segera menebaskan Pedang Bidadarinya ke tubuh 

mayat hidup dengan jurus inti 'Pedang Tebasan Batin'.

"Yeaaa!"

Wettt!

Crasss!

Lebur seketika tubuh mayat hidup itu terkena 

babatan pedang Bidadari di tangan Mei Lie.

Dari dalam kamar, Pendekar Gila yang juga su-

dah marah keluar. Melihat tubuh Mei Lie mengejar, 

Pendekar Gila mengikutinya. Kedua pendekar muda 

itu kini mengejar ibu dan anak yang berusaha mening-

galkan istana.

"Mei Lie, Sena, tunggu...!" seru Ki Gede Mantin-

gan sambil turut mengejar. Bersamaan dengan tubuh 

Ki Gede Mantingan melompat, bangunan Istana Teng-

korak Darah seketika meledak. Tubuh para prajurit 

tengkorak darah dan Baginda Raja Brah Salagatri tu-

rut tertimbun.

Sementara itu, dua wanita siluman terus berlari 

ke arah Telaga Panca Warna. Pendekar Gila, Mei Lie, 

dan Ki Gede Mantingan mengejar di belakang.

"Mau lari ke mana kalian, Iblis! Terimalah ke-

matian kalian! Heaaa...!" Sena segera meniup Suling 

Naga Saktinya, kemudian mengerahkan kepala naga di 

pangkal suling ke arah kedua siluman yang tengah 

berlari.

Suara suling melengking. Bersamaan dengan 

itu, dari mata naga melesat dua larik sinar merah 

membara ke arah tubuh kedua siluman itu.

Croot!


Jrattt!

"Tobaaat..!" Rubiati memekik keras, tubuhnya 

meleleh bagai lilin terbakar.

Mendapatkan ibunya mati, Resmi Sekar Wanti 

menjadi kalap. Dengan menggeram, kini ujudnya be-

rubah menjadi sosok menyeramkan. Sosok tengkorak 

darah.

"Grrr! Kubunuh kalian! Grrr...!"

Melihat lawan menyerang, Mei Lie segera berke-

lebat memapak dengan Pedang Bidadarinya dengan ju-

rus 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie membabatkan pe-

dangnya ke tengkorak darah jelmaan Resmi Sekar 

Wanti.

"Heaaa!"

Wettt!

Crasss!

"Tobaaat..!" tulang belulang tengkorak itu run-

tuh terkena sabetan Pedang Bidadari. Sesaat terlihat 

serakan tulang itu utuh. Namun setelah angin bertiup, 

tulang belulang itu bertaburan menjadi serpihan ha-

lus.

Jlegarrr! 

Ledakan maha dahsyat menggelegar, melontar-

kan tubuh ketiganya. Ketiga pendekar itu tak ingat 

apa-apa lagi. Setelah membuka mata, ketiganya tahu-

tahu berada di tepi Telaga Panca Warna. Hari telah 

menjelang pagi. Di dalam telaga, Ki Tawes masih me-

nemani.

"Untunglah kalian selamat. Kalian kini telah 

kembali ke alam manusia. Alam nyata," kata Ki Tawes.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki," hatur Ki 

Gede Mantingan.

"Ah, lupakanlah. Antara leluhurmu dan lelu-

hurku telah terjadi ikatan persaudaraan. Sayang, ba-

ginda tak dapat diselamatkan."


"Semoga semuanya berakhir," gumam Mei Lie.

"Terima kasih kuucapkan padamu, Ki. Semoga 

kita dapat dipertemukan lagi," kata Sena. Kemudian 

ketiganya meninggalkan Telaga Panca Warna.

"Semoga kalian senantiasa dalam lindungan 

Sang Hyang Widi!" seru Ki Tawes di kejauhan, melepas 

kepergian mereka.

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 

berjingkrak-jingkrak seperti kera, menikmati suatu 

kemenangan atas keangkaramurkaan. Sedangkan ma-

ta Mei Lie melotot, sedetik kemudian mereka tertawa 

ceria, sebagaimana nyanyian riang burung-burung 

menyambut datangnya pagi dalam tata warna semesta.



                         SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive