SATU
Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut
hadir menyertai. Suara lolongan anjing dan
lengkingan burung hantu membuat suasana malam
terasa mencekam. Belum lagi angin yang berderak
menerpa rumpun bambu. Menambah suasana malam
itu makin mengerikan.
Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang
lingkungan Kadipaten Pamakasan sedang duduk di
gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang
setiap waktu siap digunakan. Rokok kelobot yang
mereka linting kini telah dinyalakan.
"Huh! Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin,
sambil menghembuskan asap rokok kawung setelah
menghisapnya dalam-dalam.
"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya
tengah malam seperti ini udara dingin. Malam ini
memang aneh sekali..."
Keempat penjaga itu kemudian melangkah
menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda.
Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos
jaga. Sepi sekali suasana sekitar kadipaten. Keempat
orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam
percakapan yang menuangkan isi hati masing-
masing.
"Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita
semakin bertambah berat saja," keluh Gimin.
"Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah
melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan
setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok
kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi
sekarang...," Sarnopo membuka telapak tangannya
dengan raut wajah kurang senang.
"Ya. Bagaimana lagi? Kita orang kecil, Dimas,"
Karja berusaha menyabarkan hati temannya
sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan
yang bernama Sumagatri menikah lagi, mereka
memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding
sewaktu adipati itu belum menikah.
"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit.
Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di
antara mereka.
"Aaa...!"
Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-
tiba terdengar jeritan menyayat seorang wanita dari
dalam kadipaten.
Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan
ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama
berselang, keempatnya mendengar suara teriakan
Adipati Sumagatri
"Prajurit, tolong…!" terdengar suara Adipati
Sumagatri.
"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus.
"Entahlah! Sepertinya ada yang tidak beres!" sahut
Gimin dengan mata membelalak.
Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar
Adipati Sumagatri. Mata mereka membelalak ketika
menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja
dinikahi tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa
nyawa. Dada wanita itu ditembus sekuntum mawar
merah.
"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang
masuk?!" bentak Adipati Sumagatri.
"Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan
seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk
ke dalam kadipaten," jawab Gimin ketakutan.
"Bodoh! Apakah kalian tidak melihat buktinya?!"
dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot
merah terbakar api amarah.
Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan
kepala.
"Jangan hanya mematung, Tolol! Cepat kejar dan
tangkap pembunuh itu!" perintah Adipati Sumagatri.
"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan.
Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu ber-
kelebat keluar mencari pembunuh istri Adipati
Sumagatri.
***
Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga
menemukan jejak pembunuh itu. Walaupun sudah
memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun
tetap tak ditemukan jejaknya.
"Aneh! Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?"
gumam Gimin. Matanya terus memandang ke
sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda
kalau ada orang masuk ke tempat itu.
"Mungkin dari atas, Kang."
Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten.
Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok
bayangan.
"Tak ada, Kang," kata Sarnopo.
"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh
curiga. "Bagaimana kalau kita geledah semua yang
ada di dalam kadipaten?"
"Setuju! Bukankah Kanjeng Adipati telah me-
merintahkan kita mencari si pembunuh?" sambut
Damus.
"Ya! Semua patut dicurigai," tambah Gimin.
"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo.
"Ayo kita segera ke sana!" ajak Karjo.
Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk
memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah
menyelinap seorang pembunuh. Belum juga tiba di
tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang
membuntuti. Seketika langkah mereka terhenti dan
berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk.
"Hm… Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti
kita, Dimas?" tanya Sarnopo. Matanya ditajamkan,
memandang ke sekeliling tempat itu.
"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut
Karja.
"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin.
Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa
ada yang mengikuti dari belakang.
"Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah
Damus.
Sarnopo menghela napas. Matanya masih
menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha
meyakinkan diri bahwa tak ada yang mengikuti
mereka.
"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam
Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin. Dia merasa ada
yang mengikutinya.
"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera
memeriksa seisi kadipaten," ajak Gimin.
Mereka kembali melangkah untuk memeriksa
ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba....
Zwing, zwing....!
Empat buah benda yang entah dari mana datang-
nya, melesat cepat ke arah empat prajurit itu. Mereka
tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh.
Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata
keempatnya membelalak. Empat buah benda
berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah
mereka. Tanpa dapat dielakkan, keempat bunga itu
menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai
terlebih dahulu.
Zleb zleb…!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada
keempat prajurit itu menyembur darah segar. Mata
mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat,
lalu ambruk tanpa nyawa. Di dada keempat prajurit
itu terbenam setangkai mawar merah.
Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu.
Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi.
Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia,
bahkan merenggut nyawanya. Suasana di halaman
kadipaten menjadi sepi dan mencekam.
"Prajurit...!" seru Adipati Sumagatri dari dalam,
berusaha memanggil keempat prajurit itu yang belum
juga nampak batang hidungnya.
Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu
kalau para prajurit itu telah tergeletak tanpa nyawa
dengan bunga mawar merah menghunjam di dada.
Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri
dengan gusar berlari keluar. Saat itu orang-orang
dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar
suara Adipati Sumagatri.
"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu
dengan rambut putih digelung ke atas. Walau sudah
berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini
masih terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima
Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai
penasihat Kadipaten Pamakasan.
"Bodoh semuanya!" dengus Adipati Sumagatri.
Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki
Balacatra. Lelaki tua berjubah ungu itu tak berani
membantah atau melawan.
"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?"
Semua mata membelalak saling pandang,
mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh
tidak menyangka kalau istri sang Adipati yang baru
dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas.
"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra
memberanikan diri bertanya.
"Huh! Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh
dia!" dengus Adipati Sumagatri kesal.
Kembali semua mata membelalak. Kening mereka
berkerut mendengar penuturan Adipati Pamakasan
itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak
tahu siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin
mereka menangkap si pelaku?
"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari
pembunuh itu!"
"Daulat, Kanjeng."
"Cepat!"
"Baik, Kanjeng."
Tanpa membantah, Ki Balacatra segera
menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini
meninggalkan tempat itu untuk mencari pembunuh
istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra
keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-
tumbukan dengan tubuh empat orang prajurit yang
tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah.
"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sem-
barangan. Hanya dengan sekuntum bunga, dia
mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra
sambil memandang keempat mayat prajurit itu.
Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke
sekeliling tempat itu, mencari jejak pelaku. Tapi, tidak
ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.
Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki
Balacatra mengerutkan kening. Namun, penciuman
lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-
dengus, mencium bau yang lain dengan bau orang-
orangnya.
"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang
masuk ke kadipaten ini," kembali Ki Balacatra ber-
gumam lirih. "Sayang, dia telah pergi."
"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah
seorang punggawa kadipaten.
"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki
Balacatra.
"Wanita, Ki?"
"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya."
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten
itu bergegas keluar. Mencari pembunuh istri Adipati
Sumagatri
***
Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu
menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti meng-
hilang ditelan kegelapan malam. Bau wangi seorang
wanita yang bercampur bau bunga mawar meng-
hilang seketika. Tak tercium hidung Ki Balacatra.
"Berhenti!"
"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti,
mengapa Ki Balacatra menghentikan pengejaran.
"Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya,"
kata Ki Balacatra.
"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa
alasan Ki Balacatra.
"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan
sia-sia belaka. Kita tidak tahu siapa pelaku
pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak
mengenal tokoh-tokoh wanita. Namun yang
bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku
baru mendengarnya. Dia tentu seorang wanita yang
berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya,"
ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya
Wedatama lagi. Punggawa kadipaten ini berpakaian
abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar.
Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit
kayu kuat. Wajahnya menunjukkan kewibawaan. Alis
matanya tipis dengan kumis tebal melintang.
Ki Balacatra mendesah pelan.
"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana.
Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit
untuk disingkap. Terlebih senjata pembunuh itu
sangat aneh dan belum pernah ada di rimba
persilatan," gumam Ki Balacatra.
"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-
orang persilatan di kadipaten ini, Ki?" tanya
Wedatama.
"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun
juga, masalah ini adalah masalah kita bersama.
Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten,"
tutur Ki Balacatra.
Semua terdiam. Mata mereka memandang ke
sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si
pembunuh tiba-tiba muncul. Namun sampai ayam
jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga
muncul.
"Huh! Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar
pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah bencana apa yang
akan terjadi di kadipaten ini...?"
Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya
untuk kembali ke kadipaten.
Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat
naik. Pagi telah tiba. Burung-burung berkicau riang,
berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten
Pamakasan..
Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian
istri sang Adipati dan keempat prajurit jaga telah
mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka
berbondong-bondong datang ke kadipaten untuk
melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri
sedang berduka dan mengurung diri di dalam kamar.
Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini
masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa
kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi. Semua
orang di dalam kadipaten tak ada yang tahu kapan
pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya yang
berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya
seorang wanita. Tapi siapa...? Pertanyaan itu tidak
dapat dijawab Adipati Sumagatri.
Jangankan melihat pelakunya, saat kematian
istrinya saja Adipati Sumagatri tidak tahu. Lelaki
setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah
menjadi mayat dengan dada tertancap sekuntum
mawar merah.
"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap!" ucap
seorang prajurit dari luar ruangan itu. "Apakah
Kanjeng berkenan menerimanya?"
"Suruh dia masuk!" perintah Adipati Sumagatri.
Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah
seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi
penasihat kadipaten. Lelaki tua itu langsung bersila di
depan Adipati Sumagatri.
"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar
Ki Balacatra seraya merapatkan kedua telapak
tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri.
"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng."
"Katakanlah."
"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara.
Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa
yang dapat menangkap pembunuh itu, akan diberi
hadiah," usul Ki Balacatra.
"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati
Sumagatri.
Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya.
Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan
tersembunyi, agar si pembunuh tidak mendengarnya.
"Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila.
Bagaimana, Kanjeng?"
Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya
mengangguk-angguk. Seakan menerima saran
penasihatnya.
"Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju.
Segeralah sebar undangan pada semua pendekar."
"Daulat, Kanjeng!" Ki Balacatra menyembah, lalu
beringsut mundur. Dan keluar meninggalkan Adipati
Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di
dalam kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk
tidak menentu.
DUA
Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit
kadipaten tengah memacu kudanya dengan kencang
menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka
tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu
sedang mengantarkan surat undangan Adipati
Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar
Gila dan Nyi Gendis Awit.
"Hiya, hiya...!"
Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari
kencang. Keduanya nampak memburu waktu agar
segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka
melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda
mereka meringkik keras. Larinya yang semula
kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-
kuda itu merasa takut.
"Hieeekh...!"
Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki
depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan berusaha
memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat
itu.
"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang
bernama Galarana terheran-heran. Kudanya seketika
menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan.
Kuda itu terus meminta kembali.
"Hush, hush...! Ayo, kita harus segera sampai,"
perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada
kudanya yang juga binal, sambil menarik tali kekang
sekuat mungkin agar tidak jatuh.
"Hieeekh...!"
Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua
binatang itu seperti melihat sesuatu yang
menakutkan di hadapannya, hingga tak berani
melangkah maju.
Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung
ke atas seperti prajurit lainnya. Matanya tajam lebar
dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan
dagu panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras
selama menjadi prajurit.
Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari
Galarana. Wajahnya bulat agak gemuk. Bertubuh
agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat.
Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu
mancung. Kumis tipis menghias atas bibirnya yang
agak tebal.
"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam
Galarana terus berusaha mengendalikan tali kekang
kudanya.
"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan,
Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya binatang lebih
peka dari manusia."
"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya
menyapu ke sekeliling. Tampak pepohonan tumbuh
lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui.
Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu
yang mencurigakan atau membuat takut kuda-kuda
itu.
Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya
yang beringas dan berusaha berputar ke arah semula.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara
sekecil apa pun dapat terdengar.
Kresek!
"Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau
mendengar suara orang melangkah?"
"Ya."
"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita
beringas," dengus Galarana.
Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang
bersembunyi, tiba-tiba terdengar desingan keras yang
disertai kelebatan dua benda ke arah mereka.
Swing, swing...!
"Awas...!" seru Galarana.
"Hop!"
Mereka segera melenting ke atas dan berputaran
beberapa kali, mengelakkan senjata-senjata yang
melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna
merah darah yang terbuat dari logam besi terus
menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi
dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan
serangan gelap itu.
"Uts! Celaka...!" pekik Galarana dengan mata
melotot. Senjata rahasia lawan seperti memiliki mata
hingga mampu mengejar.
"Uh! Mati aku...!" Bandra Gali pun memekik kaget
Kedua prajurit kadipaten itu terdesak. Nyawa
mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat
kematian yang tragis ketika tiba-tiba terdengar suara
suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu
menghantam dua buah senjata rahasia yang
menyerang mereka. Sehingga....
Pluk, pluk!
Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke
tanah. Mata kedua prajurit kadipaten itu membelak
kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari
kematian.
"Kurang ajar! Siapa yang berani mencampuri
urusanku?!"
Terdengar suara wanita membentak keras. Dari
balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita
setengah tua dengan pakaian warna biru laut.
Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten
yang menyurut mundur.
Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai
itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di
punggungnya tersandang pedang kembar. Meski
usianya sudah berkepala empat, namun
kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis
Awit atau Perawan Tua dari Dagelan.
"Bedebah! Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali
setelah mengetahui siapa orang yang telah
menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar
wanita dari wilayah Kadipaten Pamakasan sendiri.
"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke
wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit. Matanya
memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu.
"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk
mengantarkan undangan padamu," jawab Galarana.
Kemudian disodorkannya surat undangan yang
berada di tangannya kepada Nyi Gendis Awit yang
segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya
surat undangan itu.
"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?"
tanya Nyi Gendis Awit.
"Benar, Nyi," sahut Galarana.
"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang
tadi meniup suling hingga mampu merontokkan
senjataku. Ayo, keluar! Jangan bisanya hanya
bersembunyi...!" seru Nyi Gendis Awit menantang.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan.
Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara
itu tengah berada di atas pohon. Tawanya
berkumandang laksana berada di setiap penjuru
angin.
"Kurang ajar! Cepat keluar!" bentak Nyi Gendis
Awit. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu,
berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar.
"Ha ha ha...!"
Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul
seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular. Di
tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari
emas murni dengan kepala naga. Kedatangan
pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang
gila ini cukup mengejutkan ketiga orang itu.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-
senyum. Jalannya seperti seekor kera. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya
bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi
kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk
Pendekar Gila?" tanya Bandra Gali, seolah berbicara
pada diri sendiri.
"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan
Kanjeng Adipati...," kata Galarana. Mata kedua
prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis
Awit mencoba menebak-nebak. Dia memang sering
mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya
belum pernah.
"Aha! Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa
tidak mengajakku...?" tanya Sena alias Pendekar Gila.
Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya
kembali.
"Ha ha ha...!"
"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya? Dan
apa urusanmu merontokkan senjataku?" tanya Nyi
Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda
tampan di hadapannya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya
menyelipkan Suling Naga Sakti ke sabuk di
pinggangnya.
"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya
tidak ingin melihat ada pembunuhan keji tanpa tahu
ujung pangkalnya."
Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar
ucapan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Apa kau kira ucapanmu akan
kudengarkan?!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang persis
orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit
bertambah jengkel. Sedangkan kedua prajurit
kadipaten semakin mengerutkan kening,
menyaksikan tingkah laku pemuda itu.
"Ah! Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau
tidak. Sudahlah. Tak perlu dipersoalkan lagi. Kurasa
kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit,"
ujar Sena seraya menjura hormat.
Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh
mana ilmu pemuda itu, tidak mau membiarkan
Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil
membentak, perempuan setengah tua itu menyerang
dengan jurus 'Cengkeraman Elang'.
"Jangan pergi dulu! Terimalah seranganku!
Hiaaa...!"
"Uts!"
Sena meminngkan tubuh ke samping,
mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang
cepat dan secara tiba-tiba. Hampir saja jari-jari
tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung
Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu.
Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan
tepukan.
"Plak!"
"Uts...!"
Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau
tepukan tangan lawan yang kelihatan sangat pelan
ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat
lamban dan lemah.
Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi
Gendis Awit bersalto ke udara. Berputaran beberapa
kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya
memandang tajam pemuda bertingkah laku gila yang
masih menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-
senyum sendiri.
"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya?!
"Ha ha ha...! Lucu sekali," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk pantat. "Tapi baiklah, aku akan
memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala.
Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah! Cukup
jelas, bukan?"
Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa
pemuda tampan berbaju kulit ular di hadapan
mereka.
"Pendekar Gila...?!"
Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua
prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di
atas kuda, melompat turun dan memberi hormat.
"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar."
"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu? Aku
bukan raja atau adipati. Sudahlah. Aku tidak punya
waktu banyak. Aku harus segera pergi."
"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali.
"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan
langkahnya.
"Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan
undangan pada Tuan," tutur Galarana sambil
menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar
Gila yang segera membuka dan membacanya.
"Baiklah. Aku akan ke sana."
Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu. Begitu cepat
gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang
melihatnya termangu bingung.
"Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi
Gendis Awit setelah termangu beberapa saat.
"Apakah kalian akan bersamaku?"
"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar
undangan padamu dan Pendekar Gila," sahut Bandra
Gali.
"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit.
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat
itu.
Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten
sampai di perbatasan Desa Lawang Ireng. Saat itu
mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam
akan datang. Mereka membutuhkan waktu
semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan.
Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang
berjalan bersama tokoh rimba persilatan. Keduanya
mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan
tegar walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka
sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali keduanya
berhenti melangkah.
"Hm.... Kulihat kalian lelah."
"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata
Nyi Gendis Awit, kasihan melihat kedua prajurit itu.
"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana.
"Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin.
"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali.
"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus
ingat itu."
Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka
agar mau naik kuda. Namun keduanya menolak.
Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa
mereka yang lelaki tidak? Terlebih mereka merupa-
kan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya
prajurit menunjukkan ketahanan tubuhnya.
"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat
dan menginap di penginapan," saran Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit itu mengangguk.
Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya
matahari yang semula terang benderang, kini hilang,
berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun
begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak
menyenangkan. Hawa dingin yang menggigilkan dan
suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam.
Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri
jalanan yang sepi dan lengang. Di kanan dan kiri jalan
terdapat pepohonan.
"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya
Nyi Gendis Awit.
"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali.
"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk
beristirahat," kata Nyi Gendis Awit kemudian.
Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk
mencari penginapan yang ada di desa itu. Tidak lama
kemudian, mereka menemukan rumah penginapan
itu. Setelah memesan dua buah kamar, ketiganya
masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi
Gendis Awit berdampingan dengan kamar kedua
prajurit tu.
"Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan
kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa
keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis
Nyi Gendis Awit, mengingat kedua prajurit itu.
Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit
membuka pakaian. Hingga tampak tubuhnya yang
menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis
Awit, sepasang mata melihat tubuhnya yang telanjang
lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit
memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik
perhatian dua prajurit yang ada di kamar sebelah.
Sepasang mata itu melotot tak berkedip.
"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana.
"Ssst...! Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk
lubang kecil di dinding papan.
Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat.
Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-
lubang kecil. Seketika matanya membelalak. Berkali-
kali dia harus menelan ludah.
"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana.
"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?"
"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap
wanita ini. Kau ingat kata-kata Ki Balacatra?" tanya
Galarana.
"Ya."
"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit
terkenal dengan sebutan perawan tua, karena
sampai usianya berkepala empat belum juga
menikah."
Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba...
"Mengapa kalian berbisik-bisik? Kemarilah. Bukan-
kah kalian lelah? Apakah tidak sebaiknya kalian
kupijit?
Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak
mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada
memanggil itu. Mereka tersenyum dengan dada
berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar
dari kamar.
"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu,"
kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih.
"Masuklah."
Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit
itu segera masuk ke dalam kamar Nyi Gendis Awit.
Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya
mengurai senyum menyaksikan kedatangan mereka.
"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit.
Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak
mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua prajurit
itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang
tubuh Nyi Gendis Awit yang polos tanpa sehelai
benang pun.
"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi
Gendis Awit.
Kedua prajurit kadipaten itu mendekat.
"Bukalah pakaian kalian."
Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak
lama kemudian, suasana di kamar itu pun sepi. Yang
terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit.
TIGA
Wut, wut...!
Jlep, jlep..!
"Aaa...!" seorang murid Perguruan Kera Merah
yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang perguruan
memekik keras.
Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar
merah menghujam di dada prajurit itu. Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat
cepat ke arahnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid
lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak.
Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka
melihat temannya terkapar menjadi mayat.
"Pembunuhan! Mawar merah...!" seru ketiga murid
itu berusaha mengundang perhatian yang lainnya
agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada
yang terbangun, tiba-tiba…
Wut, wut, wut!
Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah
mereka.
"Awas…! Akh…!”
Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah
memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum mawar
merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika
mengejang kemudian ambruk tanpa nyawa.
Jlep, jlep!
"Aaakh...!"
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika
tangkai bungan mawar itu menghunjam dada. Mata
mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan
berkelebat cepat keluar dari kegelapan. Bayangan
merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua
prajurit itu segera meregang nyawa dan mati.
Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar
Ketua Perguruan Kera Merah yang bernama Ki
Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu
didobraknya.
Brak!
"Heh?!" Ki Anggada tersentak.
Wut, wut!
Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah
tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki tua itu cepat
membuang tubuh dengan berguling ke samping.
Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran
bunga-bunga mawar.
Jlep, jlep!
Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas.
Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah.
Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di
tangan seorang wanita berbaju serba merah. Lelaki
berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku
serta ikat kepala berwarna dadu itu mendengus.
Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari
logam yang berbentuk empat jari kera. Dengan
senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak
garang.
"Siapa kau?!"
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang
sekujur tubuhnya ditutupi kain merah. Termasuk
wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan
siapa kau sebenarnya?!" bentak Ki Anggada gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan
kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus
mampus di tanganku! Hiaaa...!"
Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat
dan tiba-tiba. Segera dia melompat ke belakang,
kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan
cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus
'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu
cepat. Ki Anggada hampir terkena sambaran tangan
lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian
rompi merah dadu ini memiliki ketajaman tinggi.
Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk
pukulan lawan.
"Hari ini bagianmu, Kera Busuk! Yeaaat…!"
Wanita berpakaian serba merah itu terus
merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-
serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada
tempat-tempat mematikan.
Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita
misterius itu segera berkelit ke samping. Lalu dengan
gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini
menggunakan jurus 'Kera Merangsek Naga'.
Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain
merah itu terus menyerang dengan gabungan jurus
'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut
Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan bunga
mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak
berarti, tapi di tangan wanita itu sangat berbahaya.
Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam
sekejap.
Swing, swing!
"Uts! Bunga setan!" maki Ki Anggada seraya
mengelakkan bunga-bunga maut yang telah
membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke
sana ke mari, terkadang berputaran di udara untuk
mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Uts!"
Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan
pada Ki Anggada untuk balas menyerang. Serangan-
serangannya begitu cepat, disusul lemparan-
lemparan mawar mautnya yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar
gurunya, murid-murid Perguruan Kera Merah
berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun
baru saja mereka sampai di pintu, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Ki Anggada mengingatkan.
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita
misterius itu melemparkan bunga-bunga mawarnya
ke arah murid-murid Ki Anggada.
"Hih!"
Swing, swing...!
Jlep, jlep...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tiga orang murid perguruan yang berada di depan
langsung roboh. Di dada mereka menghunjam
setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat
keluar dari dada mereka.
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan
siapa dirimu!" bentak Ki Anggada semakin marah
menyaksikan murid-muridnya menjadi korban
keganasan mawar merah lawan.
"Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat!
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu
kembali melemparkan bunga-bunga mawar merah ke
arah Ki Anggada yang tersentak kaget.
Swing, swing...!
"Hop! Uts...!"
Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian
melesat ke samping kanan untuk mengelakkan
serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera
Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!"
Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya
bergerak lebih jauh. Dengan cepat, pedangnya yang
bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau
oleh sinar yang keluar dari pedang lawan. Ki Anggada
memekik menyebutkan nama pedang di tangan
wanita misterius itu.
"Pedang Perak! Hei. Ada hubungan apa kau
dengan Dewi Pedang Beracun?! Siapa kau...?!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk! Kini
terimalah ajalmu! Hiaaat. .!"
Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik
Dewi Pedang Beracun itu tak mau membuang waktu
lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan
dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun
ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut!
"Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa
sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan
lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada
masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu.
Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak
mungkin.
Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan
tahun silam.
Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di
tangan lawannya. Dia belum yakin kalau wanita
misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-
jurus pedangnya, sama dengan jurus-jurus milik Dewi
Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya....
Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di
Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya pernah
membuat heboh para pendekar di wilayah itu.
Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang
Beracun banyak membunuh pendekar golongan
putih. Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada
para pendekar yang telah membunuh ayah dan
ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun,
sepak terjang Dewi Pedang Beracun dapat
dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki
Balamprang, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan Ki
Sangkutra.
Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun? Tapi...
Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau
seperti senjatanya yang berupa bunga kenanga.
Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah
darah seperti bunga yang digunakannya.... Ki
Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus
mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan.
Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang
lawan.
"Heaaa!"
Pedang di tangan wanita misterius itu terus
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan
babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang
keluar dari pedang lawan membuat napas Ki Anggada
tidak lancar lagi.
"Uhuk, uhuk...!" Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan
kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena
terlalu banyak menghisap racun.
"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk! Hiaaa...!"
Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya.
Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki
Anggada yang tak mampu lagi mengelakkan serangan
lawan. Maka....
Cras!
Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah
berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat,
kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain
merah segera melesat meninggalkan tempat itu.
Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang
di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai.
Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh
keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu
Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki
Anggada.
Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak
memacu kudanya menuju Perguruan Kera Merah
untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri.
Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya
ketika melihat bendera kuning dipasang di kanan dan
kiri jalan.
"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya
prajurit yang memegang sebuah gulungan daun
lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung
mancung. Matanya tidak terlalu lebar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Kera
Merah," ujar prajurit pertama yang bernama Buwala.
"Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak.
sekali orang berdatangan," desis Sagola.
"Ayo kita ke sana."
Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera
mendekat. Perguruan Kera Merah tampak dipenuhi
oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada
pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah
menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar
dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala,
memandang kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah
saja kejahatannya," gumam pemuda yang tak lain
Sena atau Pendekar Gila itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut
gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening
saling pandang. Kemudian mata keduanya
memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa
engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola hampir
tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang
konyol dan lucu. Mirip orang gila. Terkadang mimik
wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan
senyum melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol,
pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik
mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil meringis kegelian.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu
membendung tawanya.
"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana."
"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan
mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan mene
ngok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola.
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya
Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena
sambil mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak
beri tahu, ke arah mana aku harus pergi?"
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening,
mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh
itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda
Edan?" tanya Buwala.
"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak
makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana.
Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila.
Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu
hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri
mengundang pemuda edan seperti ini? Tanya Sagola
dalam hati.
"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak
mengundang pemuda gila sepertimu, Kisanak. Tapi,
Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada
pesta di sana," tutur Sagola.
"Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni
pemuda gila ini?" rungut Buwala mengajak temannya
meneruskan berjalan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka.
Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya
melihat tingkah laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan,
heh?!"
Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan,
bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju
kadipaten?!" Sena membentak tak kalah keras.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala.
Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar
yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya.
Sagola segera menerima dan cepat membuka
gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak
setelah membaca tulisan di daun lontar itu.
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah
Pendekar Gila," ujar Sagola sambil turun dari kudanya
dan menjura memberi hormat.
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah
kelancangan kami," tambah Buwala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan
kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus
berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan,
biarlah nanti kami bersama Tuan," pinta Sagola.
"Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai
di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki
Anggada telah tewas di tangan seseorang yang
bersenjatakan bunga mawar," tutur Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada
yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang
membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian
Ki Anggada sama dengan cara kematian istri Adipati
Sumagatri dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda
Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum
mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri
Kanjeng Adipati dan empat orang teman kami yang
tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola
setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh
mawar merah."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata
mereka memandang ke arah Perguruan Kera Merah
yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah
bertanya pada diri sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena
yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya
menempuh perjalanan menuju Kadipaten
Pamakasan.
EMPAT
Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten
Pamakasan menyelusuri jalan setapak di tengah
hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin
terasa menggigit. Namun ketiganya masih saja
melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu
menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih
dengan adanya suara-suara menyeramkan binatang-
binatang hutan.
"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini,
Kisanak," kata Sena sambil menghentikan
langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab
kedua prajurit kadipatan itu bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api
dulu."
Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting
kering. Gerakannya cepat tak dapat dilihat kedua
prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan
membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api," pinta Sena.
Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu
harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka
menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin
mereka mencari batu api dalam keadaan gelap
seperti ini?
Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti
apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu.
Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian
berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali
dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada
mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua
batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup
memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena,
lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus
kerimbunan pohon.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan
Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka
takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti
itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di
dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan
terang.
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala
mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa
pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi.
Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu
dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan
diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata
rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-
ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar
Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing, swing...!
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit
itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah
dari mana datangnya.
berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali
dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada
mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua
batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup
memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena,
lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus
kerimbunan pohon.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan
Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka
takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti
itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di
dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan
terang.
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala
mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa
pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi.
Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu
dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan
diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata
rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-
ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar
Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing, swing...!
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit
itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah
dari mana datangnya.
"Celaka! Bunga mawar!" pekik Buwala kaget.
Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata
lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya
meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat
ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, bunga itu
menghunjam dadanya.
Jlep!
"Ukh!" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat
mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa
nyawa.
Jlep!
Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang
juga tak sempat mengelak. Seperti Buwala, Sagola
pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah
tubuhnya mengejang dengan mata melotot.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang
dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena
tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit
kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke
sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa
kuntum bunga ke arahnya.
Swing, swing...!"
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena sambil
bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di
udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila
Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan
Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa bunga
mawar yang menyerangnya.
Belum lagi Sena berhasil merontokkan bunga-
bunga itu, serangan berikutnya datang. Bunga-bunga
mawar merah kembali melesat ke arahnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan
nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan
mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya.
Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan
cepat dibabatkan ke arah bunga-bunga itu.
"Heaaa...!"
Prak, prak...!
Pluk, pluk...!
Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan
aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran
Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar
Gila sambil menghantamkan pukulan ke arah tempat
bunga-bunga mawar itu berasal.
Tak ada sahutan.
Sena semakin bertambah geram, merasa diper-
mainkan lawan.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet
denganku. Baik. Ha ha ha...!"
Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan
ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat
laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang
begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang.
Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa
kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tidak
ditemukannya seorang pun di situ.
"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu
siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di
dada keduanya tertancap bunga mawar.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera
berjongkok mengambil bunga mawar yang menancap
di dada dua prajurit itu.
Prul!
Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata
Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu
yang aneh. Bunga mawar yang tadinya segar dalam
sekejap berubah layu.
"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun
seraya memandangi bunga mawar di tangannya.
Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di
dada prajurit kadipaten yang lain. Keduanya sangat
berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu
nampak segar. Sedangkan yang di tangannya telah
layu.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala.
Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan
keanehan itu. Dicobanya ditusukkan kembali ke
tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga
mawar yang semula layu menjadi segar.
"Hah?! Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena
dengan mata melotot dan mulut ternganga.
Sena kembali menyapukan pandangan ke
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau
penyerang yang belum diketahui wujud dan rupanya
itu memang telah pergi dari situ.
"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga
biasa. Bunga iblis penghisap darah," gumam Sena
lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu
makin lama tambah merekah.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak
percaya pada apa yang dilihatnya. Bunga-bunga
mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian
membesar. Dari kuntum kecil dengan kelopak-
kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman
tangan. Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami
perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur memucat.
Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu
mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak.
"Oh! Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian
aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabu bunga
mawar yang semakin membesar. Prul!
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku
duknya merinding. Bunga mawar itu kini memiliki aka
panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar
benar bunga iblis," gumam Sena sambil membuai
bunga itu jauh-jauh.
Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga
merinding, dicabutnya bunga mawar yang menancap
dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya
jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang
akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat
meninggalkan tempat itu setelah mematikan api
unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan
menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan
angin.
***
Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak
menggeliat bangun dari tidurnya.
"Hua…!" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap.
Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat
tubuhnya melayang turun dari atas cabang pohon di
Hutan Waranggalih.
Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-
ototnya yang agak kaku. Seketika matanya tertumbuk
pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar
sepuluh tombak dari tempat dia tidur.
"Heh! Rupanya ada orang yang datang ke tempat
ini," gumam Sena lirih. "Hm. Bagaimana mungkin aku
sampai tidak tahu?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya
melangkah menuju ke pohon itu. Dengan tangan
masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila
membaca tulisan di kulit pohon itu.
Pendekar Gila,
Kuharap kau jangan mencampuri urusanku!
Mawar Maut.
Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung
yang diselipkan di pinggang. Lalu dengan nikmat
kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis,
sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah
bergumam. "Kurasa dia bukan orang sembarangan.
Kalau dia mau sangat mudah membunuhku."
Sena memandang berkeliling, berusaha mencari
jejak seseorang yang lewat di tempat itu. Tapi tak
ditemukan jejak apa pun.
"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak
ada sama sekali," gumam Sena, bicara pada diri
sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh
Mawar Maut yang senjata rahasianya berupa Mawar
Penghisap Darah.
Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila
meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tidak gentar
sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan
semakin ingin menyibak misteri tokoh itu. Sepak
terjangnya sangat membahayakan. Terutama senjata
rahasianya yang berupa bunga mawar merah.
"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin
penasaran, Mawar Maut!" gumam Sena sambil
melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan
itu.
Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-
tiba matanya melihat sebaris tulisan. Kali ini bukan
ancaman, melainkan sebuah petunjuk.
"Heh! Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia
mengancamku. Mengapa sekarang memberi
petunjuk?"
Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena
membaca tulisan Itu,
Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya! Beloklah
ke kanan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran
dengan tingkah laku Mawar Maut yang dirasa sangat
aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar
Maut benar. Terbukti, orang itu tidak membunuhnya
sewaktu tidur.
"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika
aku berjalan lurus," gumam Sena. Kemudian kakinya
pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar
Maut.
Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam.
Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui.
Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan
setapak.
Brosss!
"Akh!" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok
ke bawah. Tubuhnya melayang cepat ke dalam
lubang perangkap.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam sana,
Pendekar Gila! Bukankah sudah kukatakan jangan
berjalan lurus! Nah, kini tetaplah di situ menunggu
kematianmu!" dari atas terdengar suara seorang
wanita.
"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah
dia?" gumam sena, menduga-duga siapa Mawar Maut
itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara
desisan keras dari arah samping.
"Zsss...!"
Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya
berbalik memandang arah asal suara. Seketika
matanya beradu dengan sepasang mata merah
menyala.
"Ular!" desis Sena seraya menyurut mundur.
"Rupanya ini sarang ular."
Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya
tajam memandang pemilik sepasang mata merah
membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari
belakang terdengar desisan yang keras.
"Hei. Ada dua ekor!" seru Sena kaget.
Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah
menyala merayap ke arahnya. Lidah kedua binatang
menyeramkan itu menjulur-julur keluar. Mulutnya
yang mendesis-desis terbuka lebar, menunjukkan
gigi-giginya yang runcing dan berbisa.
"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka
mengira mudah memangsaku. Baik kawan, kita main-
main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga
Sakti.
Kedua ular besar hitam kelam itu semakin
mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar
menyeramkan. Mulutnya menganga, siap memangsa
Sena.
Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya
Suling Naga Sakti dengan perlahan hingga
menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu.
Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda
badai. Dari atas lubang menyeruak masuk beratus-
ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil
oleh tiupan suling Pendekar Gila.
"Zsss...!"
Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan
diperintah, ular-ular itu menyerang kedua ular hitam
besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam
sekejap, pertarungan dua ekor ular besar dengan
ratusan ekor ular kecil berlangsung. Ular-ular kecil itu
dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam
besar.
Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya,
semakin bertambah banyak ular-ular kecil ber-
datangan.
Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan
sakit akibat gigitan ular-ular kecil. Sampai-sampai
Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan
banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua
ular hitam besar itu lumat dimangsa ular-ular kecil.
Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu
membentuk sebuah tangga. seperti menyuruh
Pendekar Gila untuk naik ke atas.
Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik.
"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku.
Pergilah."
Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong
mereka meninggalkan Pendekar Gila yang masih
tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja
dialami.
"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas
pertolongan-Mu padaku," desah Sena. Kemudian
melesat pergi meninggalkan tempat itu.
LIMA
Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan
tampak telah hadir beberapa orang undangan yang
sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah
Ki Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki
Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan Sena Manggala
atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim
di wilayah Kadipaten Pamakasan. Selain mereka,
tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang tua yang
menjadi penasihat kadipaten.
Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri
yang dikawal dua orang prajurit pilihan. Semua yang
hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura
hormat.
"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata
Adipati Sumagatri. "Silakan duduk kembali."
Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang
sudah disediakan. Sejenak semuanya terdiam. Mata
Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar
yang hadir di tempat itu.
"Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya
kemudian.
"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada
tewas oleh pembunuh misterius yang sampai saat ini
belum diketahui siapa sebenarnya."
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti.
Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu
duduk di kursinya. Semua pendekar yang hadir di
tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas
kematian Ki Anggada.
"Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di
kadipaten ini, bukan? Contoh yang nyata adalah Ki
Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati
Sumagatri setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk
dicekam rasa takut dengan kemunculan pembunuh
misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...,"
tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara
mereka. Lelaki berjenggot panjang putih dengan
hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang
dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra.
Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak
lain guru besar di Perguruan Tambak Segara.
"Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang
kewalahan menghadapinya. Senjatanya mengingat-
kan kita pada tokoh yang pernah membuat
kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki
Lurah Banjilan, Ki Sangkutra masih ingat siapa tokoh
bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki
Balacatra, mengejutkan semuanya termasuk Adipati
Sumagatri.
"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati
Sumagatri.
"Benar."
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
sambut Ki Lurah Banjil.
"Aku telah memperhatikan dengan seksama
korban-korban tokoh itu. Bunga mawar merah itu
ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di
tubuh korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan.
"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara.
"Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya
Adipati Sumagatri.
Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil
tersenyum-senyum.
"Ya! Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin
malam bersamaku diserang oleh Mawar Maut. Mawar
itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika
dicabut, mawar itu akan layu," tutur Sena.
"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai
saat ini," gumam Adipati Sumagatri sambil meng-
angguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung.
"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena.
"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya
Ki Balacatra. Penasihat kadipatan itu ingin tahu
mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar
Maut. Padahal, pendekar muda itu bukan orang
sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua orang
prajurit saja tidak sanggup.
Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena mencerita-
kan apa yang terjadi kemarin malam.
"Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa mencerita-
kan bagaimana dia terperosok ke dalam lubang yang
berisi dua ekor ular besar berwama hitam.
Semua yang mendengar mengangguk-angguk.
Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar
Gila. Meski sebelumnya mereka belum pernah
bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh
yang dikenal arif dan bijaksana itu tak akan mungkin
berkata bohong.
"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar
maut itu memang bukan orang sembarangan.
Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?"
tanya Ki Balamprang setengah bergumam.
"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit.
"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya?
Bukankah kita telah membunuhnya? Bahkan,
kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu,
Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra. Lelaki ini paling
muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan.
Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di
atas bibir. Matanya sedang dan alis matanya tidak
terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar.
Pakaian yang dikenakannya hijau tua.
"Benar! Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki
Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng Adipati
menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang
sudah mati hidup kembali," bantah Ki Mandra Dupa,
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang
bauk lebat. Matanya lebar memandang garang.
Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang
hingga wajahnya seperti wajah ular. Pakaiannya
berwarna coklat muda.
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-
kan.
"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan
Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu, kamilah yang
menguburkan Dewi Pedang beracun beserta
pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat
kata-kata Ki Sangkutra dan Ki Mandra Dupa.
"Hm....!"
Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat
dalam pembunuhan Dewi Pedang Beracun, Pendekar
Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas.
"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama
dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki Balamprang.
"Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang
sepuluh tahun silam kita bunuh?"
Semua terdiam. Larut dalam pikiran masing-
masing. Mereka sungguh tak mengerti, mengapa
kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau
benar Dewi Pedang Beracun yang melakukannya,
sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi
Pedang Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah
Dewi Pedang Beracun muncul dan bermaksud
menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya.
"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak
menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu?"
tanya Sena.
"Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang.
Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua
kejadian yang menyangkut Dewi Pedang Beracun.
Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang
dipimpin Adipati Kerto Amabrang dihebohkan oleh
seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau
dengan senjata bunga kenanga. Wanita cantik itu
memiliki sebatang pedang perak yang mengeluarkan
racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang
Beracun.
Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu
belaka. Membalas dendam dengan membunuh para
pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati.
Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi
Pedang Beracun anak sepasang suami istri yang telah
dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas
perintah Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan
guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi Kandri.
Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto
Amabrang mengundang lima pendekar yang ada di
wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki
Anggada, Ki Mandra Dupa dan pendekar muda yang
kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang kuat
akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang
Beracun dan menguburkannya di atas Bukit Lawa
Ireng.
"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang
Beracun benar-benar hidup kembali, rasanya
mustahil. Mungkinkah arwahnya? Hingga gerakannya
melebihi Dewi Pedang Beracun yang sebenarnya?"
tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun
merasa heran setelah mendengar cerita Ki
Balamprang. Ingatannya segera melayang pada
kejadian kemarin, saat dia terperosok ke dalam
lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan
berkelebat. Kakinya menginjak tanah.
"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata
Sena pasti.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut
Adipati Sumagatri.
"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat
semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-
gerik yang sama persis dengan Dewi Pedang Beracun.
Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang
Beracun," tutur Sena membuat semuanya ter-
cengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila
mampu rnenarik kesimpulan dari cerita yang baru
saja didengarnya.
"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau
berkenan, berilah penjelasan yang sempurna," pinta
Ki Balacatra.
"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian
mau memperhatikan dengan seksama. Pertama,
Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan
bunga kenanga yang menancap di kening korban,
seperti yang diceritakan Ki Balamprang. Tapi orang ini
membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa
hidup pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai
ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan mereka.
Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang.
Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan
jurusnya agak berbeda."
"Maksudmu, Pendekar Gila...?!" tanya Adipati
Sumagatri.
"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita
kematian Ki Anggada? Dia mati dengan leher
tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut
cerita Ki Balamprang, Dewi Pedang Beracun hanya
cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan
dengan cara menyilang...," tutur Sena menjelaskan.
Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin
kagum pada Pendekar Gila. Mereka tidak pernah
menyangka kalau pendekar muda itu sanggup
menarik kesimpulan dari peristiwa yang penuh
misteri.
"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan
pada keanehan dan dugaan sesat," kata Ki Balacatra.
"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap
pelaku itu."
"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena.
"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra.
"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun."
"Hm.... Benar!" sambut Ki Sangkutra.
"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang
Beracun masih terkubur di sana," sambung Ki
Mandra Dupa.
"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati
Sumagatri.
"Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki
Balamprang saja," kata Sena. "Bagaimana, Ki?"
"Aku setuju."
"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena.
Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi.
Setelah menjura hormat, mereka bergegas
meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi
Pedang Beracun yang berada di Bukit Lawang Ireng.
***
Ki Balamprang yang merupakan tokoh tua dunia
persilatan, harus mengakui kehebatan ilmu lari
Pendekar Gila yang usianya jauh di bawahnya. tidak
jarang dirinya tertinggal, tak sanggup mengejar
Pendekar Gila yang melesat melebih angin. Tubuhnya
terlihat bagai terbang.
Ilmu lari apakah yang digunakannya? Tanya Ki
Balamprang dalam hati. Sungguh bukan omong
kosong nama Pendekar Gila. Baru ilmu larinya saja
aku sudah jauh tertinggal. Apalagi ilmu silat dan ilmu
kesaktiannya?
Pendekar Gila menghentikan larinya, setelah sadar
Ki Balamprang tertinggal jauh di belakang. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya
cengar-cengir.
"Ah. Kurasa kau mengujiku, Ki," kata Sena.
"Tidak, Pendekar Gila. Sungguh baru sekarang aku
tahu kalau rimba persilatan telah banyak mengalami
kemajuan. Salah satunya kau. Sulit pendekar tua
sepertiku dapat menandingimu. Kau sendiri pun sulit
dicari tandingannya," kata Ki Balamprang kagum.
"Jangan terlalu merendah, Ki. Kau lebih ber-
pengalaman dibanding aku," ujar Sena seraya
menggaruk-garuk kepala.
Ki Balamprang tersenyum senang dengan tutur
kata dan tindak tanduk Pendekar Gila. Meski tingkah
lakunya persis orang gila, tapi cukup bijaksana dalam
mengambil keputusan.
"Apa masih jauh, Ki?" tanya Sena sambil me-
mandang lurus ke depan. Tangan kirinya bertolak
pinggang, sedangkan tangan kanan menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya meringis, mirip seekor kera
kepanasan.
"Sebentar lagi kita sampai, Pendekar Gila."
"Panggil saja Sena, Ki," tukas Sena.
"Baiklah, Sena. Kuburan Dewi Pedang Beracun
sekitar dua mil lagi dari sini."
"Hm.... Agak dekat. Mari kubantu, Ki. Peganglah
tangan kiriku. Kita harus segera sampai di tempat
tujuan sebelum matahari terbenam."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya tangan kiri
Pendekar Gila.
"Siap, Ki?"
"Ya."
"Berpeganglah kuat-kuat. 'Sapta Bayu'. Yeaaa...!"
Wusss!
Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang,
hingga Ki Balamprang melotot ngeri merasakan
tubuhnya melayang di udara. Sungguh dahsyat ilmu
lari pendekar muda ini. Gumam Ki Balamprang dalam
hati. Dalam sekejap mereka tiba di tempat tujuan.
"Seperti mimpi rasanya," gumam Ki Balamprang.
"Tubuhku laksana terbang. Huh. Aku hampir
ketakutan."
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala, matanya
memandang ke atas bukit, di mana tampak dua buah
batu nisan.
"Itukah kuburannya, Ki?"
"Hm...," gumam Sena. "Kita harus segera ke sana.
Ayo, Ki...!"
Keduanya berlari-lari mendaki bukit yang tidak
begitu tinggi. Tak begitu lama, mereka pun sampai di
kuburan itu. Mata Ki Balamprang mengerut ketika
melihat sebagian kuburan terbongkar. Seakan mayat
Dewi Pedang Beracun benar-benar bangkit dari kubur.
"Ada apa, Ki?" tanya Sena heran.
"Kau lihat, Sena. Kuburan ini terbongkar. Dewi
Pedang Beracun telah keluar dari kuburnya!" desis Ki
Balamprang dengan bulu kuduk meremang.
"Bangkit dari kubur?!" tanya Sena dengan kening
berkerut.
Ki Balamprang mengangguk.
"Ah! Mungkinkah itu, Ki?"
"Entahlah. Kalau memang benar sangat ber-
bahaya," desah Ki Balamprang.
"Bagaimana kalau kita buktikan saja, Ki?"
"Maksudmu?" tanya Ki Balamprang tak mengerti.
"Sebentar lagi malam tiba. Bukankah mayat hidup
selalu menunggu malam tiba?"
Ki Balamprang mengangguk-angguk.
"Benar yang kau katakan, Sena. Baiklah, kita cari
tempat yang terlindung untuk mengawasinya."
"Di sana," kata Sena sambil menunjuk rimbunan
semak belukar yang tidak begitu jauh. "Kita ke sana,
Ki."
"Ayo," ajak Ki Balamprang. Keduanya melesat ke
semak-semak yang cukup melindungi tubuh mereka
dari penglihatan orang lain. Sementara, matahari
terus bergulir ke barat. Sebentar lagi malam akan
tiba. Suasana di bukit itu terasa mencekam.
ENAM
Malam yang dinanti-nantikan datang dengan
membawa angin dingin. Suasana di sekitar Bukit
Lawang Ireng tempat makam Dewi Pedang Beracun
berada makin mencekam perasaan. Suara-suara yang
seperti datang dari alam kematian menyeruak
bersama datangnya kegelapan.
Pendekar Gila dan Ki Balamprang mengintip dari
balik semak. Mata mereka terpaku pada kuburan tua
tempat mayat Dewi Pedang Beracun bersama
senjatanya tersimpan.
"Kurasa dugaanku salah, Sena," desis Ki
Balamprang mulai goyah pendiriannya, setelah
menunggu lama namun tidak juga muncul tanda-
tanda kalau Dewi Pedang Beracun hidup kembali.
"Sabarlah, Ki. Kita tunggu sampai nanti malam,"
bisik Pendekar Gila pelan.
"Tapi, biasanya arwah keluar jika hari menjelang
gelap seperti ini. Saat matahari tenggelam arwah
akan muncul ke dunia," tutur Ki Balamprang.
"Hhh," Sena menghela napas. Matanya masih
menatap kuburan Dewi Pedang Beracun. Memang tak
ada tanda-tanda kalau mayat Dewi Pedang Beracun
akan muncul ke dunia. Padahal hari sudah mulai
gelap.
Krak!
Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dari arah
kuburan. Mata Sena dan Ki Balamprang langsung
memandang tajam ke arah kuburan dengan penuh
kengerian dan tegang.
Krak!
Suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan
itu, sebuah bayangan yang diselimuti kabut putih
melesat ke atas.
"Lihat, Ki. Rupanya, arwah Dewi Pedang Beracun
benar-benar muncul," desis Sena. Matanya
memandang tegang bayangan yang diselimuti kabut,
yang masih bergulung-gulung di angkasa.
"Ya! Mungkinkah dia yang melakukan pem-
bunuhan itu?" gumam Ki Balamprang ragu.
"Kita lihat saja, Ki."
Bayangan hijau bunga kenanga itu terus
bergulung, lalu melesat bersama angin ke arah
Kadipaten Pamakasan.
"Hei! Dia menuju kadipaten. Celaka...!" pekik Ki
Balamprang semakin tegang.
"Kita harus mengikutinya, Ki," kata Sena.
"Mengikutinya?" tanya Ki Balamprang dengan
pandangan mata penuh ketegangan. Bergidik bulu
kuduknya mendengar kata-kata Pendekar Gila.
Bagaimana mungkin mereka mengikutinya? Kalau
benar arwah Dewi Pedang Beracun yang membunuh,
tentu sulit bagi mereka untuk menghalangi.
"Kenapa, Ki? Nampaknya kau ragu," ujar Sena.
"Sena, bagaimana mungkin kita menghadapi
arwah? Dia tidak dapat dibunuh."
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Aku akan berusaha, Ki. Semoga Suling Naga Sakti
dapat membantuku," kata Sena berusaha menenang-
kan hati Ki Balamprang yang kelihatan sangat
gelisah.
"Suling Naga Sakti?!"
Ki Balamprang nampak terkejut mendengar Suling
Naga Sakti disebut Pendekar Gila. Matanya melotot,
memandang tajam ke arah Sena yang masih
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Ki."
"Oh! Senjata sakti itu ada padamu, Sena?" tanya Ki
Balamprang belum yakin.
"Ya. Kenapa, Ki?"
"Ck ck ck.... Sungguh kau bukan pendekar
sembarangan, Sena. Dengan Suling Naga Sakti di
tanganmu, sulit bagi tokoh persilatan menandingimu,"
decak kagum keluar dari mulut Ki Balamprang.
Matanya semakin tajam memandang Pendekar Gila.
"Ah. Sudahlah, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam di
sini. Kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena.
"Peganglah tangan kiriku."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya dengan kuat
tangan kiri Pendekar Gila.
"Sudah siap, Ki?" tanya Sena.
"Sudah."
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!"
Dalam sekejap, tubuh Pendekar Gila serta Ki
Balamprang melesat cepat meninggalkan bukit itu.
Mereka harus segera sampai di kadipaten
sebelum arwah Dewi Pedang Beracun tiba. Namun
bayangan arwah Dewi Pedang Beracun yang mereka
ikuti, tiba-tiba menghilang dalam gelap. Pendekar Gila
tersentak dan menghentikan larinya.
"Hilang, Ki."
"Ya."
"Hm.... Ke arah mana dia menghilang?" gumam
Sena sambil menyapukan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Begitu juga Ki Balamprang.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang
menyeramkan. Hingga bulu kuduk kedua orang itu
meremang. Bersamaan dengan tawa itu, tiba-tiba...
Swing, swing...!
"Awas, Ki...!" seru Sena mengingatkan, ketika
beberapa bunga mawar merah melesat cepat ke arah
mereka.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Balamprang segera berputaran di udara
mengelakkan serangan yang datang cepat dan tiba-
tiba.
Begitu pun dengan Pendekar Gila. Kemudian
keduanya mencabut senjata masing-masing. Dengan
Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila
bergerak membabat bunga-bunga mawar maut yang
menderu-deru ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Wut!
Pluk, pluk!
Bunga-bunga mawar maut berguguran terkena
sapuan Suling Naga Sakti. Sementara Ki Balamprang
dengan senjatanya yang berupa jala, tak mau tinggal
diam. Jala yang terbuat dari anyaman sari logam itu
ditebarkan di hadapannya.
Wret!
Prak, prak!
Bunga-bunga mawar maut yang mengarah ke
tubuhnya terbendung jala di tangan Ki Balamprang.
Kemudian dengan geram, Ki Balamprang segera
mengangkat senjatanya. Kemudian diputar-putar di
udara, sebelum dihantamkan ke arah bunga-bunga
mawar merah.
Wut!
Larikan sinar merah yang keluar dari ujung jala
menderu ke arah bunga-bunga mawar di hadapannya.
Glarrr!
Ledakan dahsyat terdengar menggelegar, ber-
samaan dengan tumbangnya beberapa pohon yang
terkena hantaman ujung-ujung jala Ki Balamprang.
"Kita kejar, Ki!" ajak Sena. Keduanya segera
melesat ke arah hutan tempta senjata-senjata
rahasia berbentuk bunga mawar merah melesat
menyerang. Tapi, sesampainya di tempat itu, mereka
tidak menemukan seorang pun.
"Hilang, Ki!"
"Hm.... Mungkin arwah Dewi Pedang Beracun,
Sena. Kita harus berhati-hati," gumam Ki Balamprang.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu yang
gelap dan mencekam.
"Mungkinkan arwah Dewi Pedang Beracun, Ki?
Bukankah Dewi Pedang Beracun menggunakan
bunga kenanga?" tanya Sena masih belum percaya
yang menyerang mereka Dewi Pedang Beracun.
"Entahlah, Sena. Tapi kalau memang bukan arwah,
bagaimana mungkin bisa menghilang begitu cepat?"
"Kita periksa lagi, Ki. Siapa tahu masih ber-
sembunyi di sekitar tempat ini," ajak Sena.
"Aku setuju."
Belum juga keduanya memeriksa keadaan di
sekitar tempat itu, kembali mereka dikejutkan oleh
suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk.
"Hik hik hik...!"
"Itu dia, Ki!" kata Sena.
"Benar. Suaranya seperti kuntilanak, Sena."
"Awas, Ki! Serangan...!" pekik Sena. Matanya
melihat beberapa tangkai bunga mawar melesat ke
arah mereka.
"Heaaa!"
Ki Balamprang segera mencelat ke belakang,
bersalto mengelakkan serangan bunga-bunga mawar
maut yang menderu cepat ke arahnya.
Swing, swing...!
"Heaaa...!
Dengan melompat, Pendekar Gila dan Ki
Balamprang segera mengibaskan senjatanya untuk
memapaki serangan bunga-bunga mawar.
Wut!
Pluk, pluk..,! Srat!
Suara jaring Ki Balamprang terdengar menderu,
menyambar ke arah bunga-bunga mawar yang
melaju. Seketika itu juga, bunga-bunga mawar itu
jatuh berguguran.
"Setan! Rupanya dia ingin mempermainkan kita,
Ki," ujar Sena menggerutu kesal. Kemudian dengan
masih bergerak, ditiupnya Suling Naga Sakti.
Suara suling itu mengalun keras, melengking
dahsyat. Seketika suasana di tempat itu laksana
dihantam prahara. Angin menderu-deru kencang
merobohkan beberapa pohon. Ledakan-ledakan
dahsyat tak ubahnya halilintar, menggelegar
memecah kesunyian malam.
Jlegar!
"Aaakh!"
Dari dalam Hutan Pranggas terdengar suara pekik
kesakitan. Sepertinya ada seseorang di dalam hutan.
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
"Ki, seperti ada suara orang. Kita periksa," ajak
Sena.
Keduanya berkelebat meninggalkan tempat itu
menerobos hutan. Tapi, kembali mereka tidak
menemukan seorang pun di hutan itu.
"Mungkinkah arwah Dewi Pedang Beracun?" Desis
Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang,
mendapatkan kenyataan yang ada.
"Hhh," Sena mendesah. "Kalau benar itu arwah, dia
akan musnah, Ki."
"Ya. Suling Naga Sakti yang baru saja kutiup
adalah suara 'Pelayung Sukma'. Apa pun bentuk iblis,
akan dapat dimusnahkan Suling Naga Sakti," jelas
Pendekar Gila.
Ki Balamprang mengangguk-angguk kagum.
"Kita harus segera ke kadipaten, Ki. Firasatku
mengatakan terjadi sesuatu di sana."
"Ayo."
***
Malam menyelimuti Kadipten Pamakasan dengan
kegelapan yang mencekam. Suasana di sekeliling
kadipaten tempat para pendekar beristirahat,
nampak sepi dan tenang. Sementara di pintu gerbang
empat orang prajurit tengah berjaga-jaga. Jumlah
penjagaan ditambah karena Adipati Sumagatri tidak
ingin kecolongan untuk kedua kali. Terlebih di situ
menginap beberapa pendekar.
Malam kian larut dengan cahaya bulan sabit.
Suasana di sekitar kadipaten remang-remang ketika
dari kegelapan melesat beberapa tangkai bunga ke
arah keempat prajurit jaga yang tersentak kaget
Mata mereka membelalak. Keempat penjaga itu
berusaha mengelakkan serangan, namun bunga-
bunga mawar lebih cepat menghantam dada.
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaa...!"
Pekik kematian seketika terdengar, memecah
kesunyian malam. Cepat sekali gerakan penyerang
gelap itu. Sampai-sampai para pendekar yang sedang
beristirahat dan Adipati Sumagatri tidak mendengar
nya.
Dari kegelapan, berkelebat sesosok bayangan
merah melesat masuk ke lingkungan kadipaten.
Terus menuju kamar sang Adipati. Perlahan-lahan
bayangan merah itu membuka jendela kamar Adipati
Sumagatri dengan pedangnya yang putih keperakan.
Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya telah
masuk ke dalam kamar.
"Hei, si…"
Belum habis ucapan Adipati Sumagatri, sesosok
bayangan merah dengan cepat menyerang ke arah-
nya. Pedangnya yang putih keperakan, membuat
Adipati Sumagatri sulit melihat siapa wanita
berpakaian serba merah itu. Namun pedang di
tangan wanita itu sangat dikenalnya. Pedang Perak
itu tidak lain milik Dewi Pedang Beracun.
"Terimalah pembalasanku, Adipati Keparat!
Yeaaat...!"
Pedang Perak di tangan wanita itu bergerak cepat,
menebas ke arah Adipati Sumagatri.
"Tidak mungkin! Kau sudah mati!" pekik Adipati
Sumagatri sambil berusaha mengelakkan tebasan-
tebasan pedang lawan. Meski bertubuh besar dan
agak gendut, Adipati Sumagatri mampu bergerak
lincah.
Saat Adipati Sumagatri terdesak, tiba-tiba pintu
kamarnya didobrak orang. Nampak Ki Balacatra dan
beberapa anak buahnya menyerbu masuk.
"Tangkap pembunuh itu!" seru Ki Balacatra pada
anak buahnya.
Melihat orang-orang kadipaten masuk, wanita itu
segera melemparkan beberapa bunga mawar.
Kemudian melesat pergi melalui jendela dan meng-
hilang di kegelapan malam.
Jlep, jlep!
"Aaa...!"
Beberapa anak buah Ki Balacatra memekik
dengan bunga mawar menancap di dada. Tubuh
mereka mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
"Kejar dia...!" perintah Ki Balacatra.
"Jangan!" cegah Adipati Sumagatri.
Seketika semua menghentikan langkahnya.
"Mengapa tidak dikejar, Kanjeng?" tanya Ki
Balacatra tak mengerti. "Bukankah jelas dia
orangnya?"
Adipati Sumagatri menghela napas.
"Percuma kalian mengejarnya. Jangankan kalian,
para pendekar yang ada di sini pun tidak akan
mampu menghadapinya. Kita hanya bisa berharap
pada Pendekar Gila," gumam Adipati Sumagatri.
"Ya. Kurasa Pendekar Gila yang mampu meng-
hadapinya."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Adipati
Sumagatri, orang yang dimaksud datang bersama Ki
Balamprang. Keduanya langsung masuk ke dalam
kamar. Takut jika terjadi sesuatu pada Adipati
Sumagatri.
"Oh! Syukurlah, Kanjeng Adipati selamat," kata
Sena. "Kami sudah mengira di sini akan terjadi
kerusuhan lagi."
"Terima kasih. Hampir saja nyawaku melayang di
tangan Dewi Pedang Beracun," ujar Adipati Sumagatri.
"Jadi, benar dia Dewi Pedang Beracun?" tanya Ki
Balamprang dengan kening berkerut. "Dari mana
Kanjeng Adipati tahu?"
"Dari pedangnya, Ki."
"Ah!" pekik Ki Balamprang. "Apa warna pakaian
yang dikenakannya, Kanjeng?"
"Merah," jawab Adipati Sumagatri tegas.
"Ini benar-benar aneh. Kami baru saja melihat
kenyataan yang ada. Arwah Dewi Pedang Beracun
muncul dari kuburnya dengan pakaian hijau bunga
kenanga," ujar Pendekar Gila seraya menggaruk-
garuk kepala.
Semua yang ada di situ memperhatikan Pendekar
Gila yang dibantu Ki Balamprang, menceritakan
kejadian yang dialaminya di Bukit Lawang Ireng.
"Begitulah ceritanya. Kami juga. Kami juga heran
mengapa senjata Dewi Pedang Beracun bunga
mawar? Bukan kenanga seperti yang digunakan
tahun silam?" gumam Ki Balamprang.
"Ya. Misteri," sambut Adipati Sumagatri. "Ki ada
sesuatu di balik semua ini."
"Maksud Kanjeng Adipati, ada orang yang
memanfaatkan arwah Dewi Pedang Beracun untuk
maksud-maksud tertentu?" tanya Ki Balamprang.
"Tepat! Kita tak mungkin mengalahkan arwah Dewi
Pedang Beracun. Yang bisa kita lakukan hanya
menangkap orang yang telah memperalat Dewi
Pedang Beracun," sahut Adipati Sumagatri.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menyebar. Jika kita
berkumpul di sini sangat berbahaya. Kita harus
waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi,"
saran Sena.
Hari itu juga diadakan pertemuan untuk mem-
bicarakan peristiwa itu. Hasilnya, para pendekar
ditugaskan untuk mencari siapa orang yang mem-
peralat arwah Dewi Pedang Beracun.
TUJUH
Siang yang panas memanggang siapa saja yang
berada di bawah teriknya. Demikian pula seorang
pemuda berbaju rompi kulit ular dengan rambut
gondrong. Pemuda yang tidak lain Sena Manggala itu
terlihat meringis-ringis kepanasan. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala yang tak gatal.
Saat itu, Pendekar Gila tengah melangkah
menelusuri jalan Desa Wedara bumi. Sena berusaha
mencari sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang
kosong.
Tampak berdiri megah sebuah kedai yang cukup
besar. Para pengunjung yang kebanyakan kaum
pendatang, memenuhi kedai itu. Terlihat beberapa
orang rimba persilatan. Pendekar Gila melangkah
masuk. Matanya seketika tertumpu pada seorang
wanita berpakaian lengan panjang putih dengan
pedang tersandang di punggung. Tanpa sadar Sena
memanggil wanita yang duduk membelakanginya itu.
"Mei Lie?"
Wanita itu menengok dengan seulas senyum.
Betapa terperangahnya Sena setelah mengetahui
siapa wanita itu. Ternyata bukan Mei Lie, melainkan
Nyi Gendis Awit.
"Sena!" seru Nyi Gendis Awit. "Kemarilah."
Pendekar Gila nyengir. Kemudian tangannya
sambil menggaruk-garuk kepala didekatinya Nyi
Gendis Awit.
"Aha. Kiranya kau, Nyi. Mengapa bajumu ganti,
Nyi? Aku sampai tidak mengenalimu lagi," ujar Sena
berseloroh sambil duduk di samping Nyi Gendis Awit
Nyi Gendis Awit kembali tersenyum.
"Bukankah kita tengah mencari si Mawar Maut?"
tanya Nyi Gendis Awit.
"Ya," sahut Sena.
"Itu sebabnya aku menyamar. Jangankan si Mawar
maut, kau saja tertipu oleh penyamaranku," kata Nyi
Gendis Awit bangga.
Pendekar Gila mengangguk-angguk sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Ya ya ya.... Kau benar. Hm.... Apa kau sudah
mendapat petunjuk, Nyi?" tanya Sena.
"Belum. Sulit juga mencari jejak orang itu," gumam
Nyi Gendis Awit.
"Ya. Memang susah. Kita belum tahu seperti apa
orang itu. Hingga kita sulit untuk mencari jejaknya.
Hhh... Kita harus sabar," desah Sena.
Pelayan kedai datang menghampiri.
"Pesan apa, Tuan?" tanyanya.
"Nasi dan ikan bakar. Kalau ada, lalap petainya
sekalian," pinta Sena.
"Air putih," sahut Sena. Pelayan kedai itu segera
pergi. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali
dengan membawa pesanan Pendekar Gila. Setelah
menaruhnya, pelayan kedai pun berlalu dari meja
Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit.
Pendekar Gila segera menyantap makanannya.
Sesekali dia berbincang-bincang dengan Nyi Gendis
Awit.
"Kau hendak ke mana?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Entahlah. Aku tak tahu arah mana yang harus
kutuju," jawab Sena.
"Bagaimana kalau kita sejalan?"
Pendekar Gila terdiam. Tangan kirinya menggaruk
garuk kepala.
"Wah! Kalau aku sedang santai, ingin rasanya aku
berjalan denganmu, Nyi. Di samping bisa menikmati
wajahmu yang cantik, aku juga bisa mempelajari
beberapa ilmu darimu," jawab Sena. "Sayang, saat ini
kita tengah menjalankan tugas. Ah. Bagaimana kalau
lain waktu saja?"
Nyi Gendis Awit cemberut mendengar kata-kata
Pendekar Gila. Rupanya, hatinya merasa tidak
senang. Tatapan bola matanya seperti menyimpan
suatu harapan.
Selesai menyantap makanannya, mereka me-
ninggalkan kedai dengan arah berlainan. Nyi Gendis
Awit ke arah barat, sedangkan Pendekar Gila ke arah
timur.
***
Malam kembali menyelimuti bumi dengan
kegelapan yang mencekam. Angin malam yang
berhembus disertai embun, menambah rasa dingin
hingga menusuk tulang sumsum.
Sesosok bayangan merah yang di punggungnya
tersandang sebilah pedang, berkelebat cepat menuju
bangunan Perguruan Tambak Segara. Perguruan yang
dipimpin Ki Balamprang itu terletak di pesisir Desa
Wedara Bumi.
Bayangan merah itu mengendap-endap, dan
bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Kepalanya
menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan
sekelilingnya. Setelah merasa aman, bayangan merah
itu melompat ke atas cabang pohon.
"Hup!"
Nampak di dalam lingkungan Perguruan Tambak
Segara beberapa orang murid tengah melakukan
penjagaan. Rupanya, Ki Balamprang telah waspada
sehingga melakukan penjagaan ketat. Dia tidak ingin
kecolongan seperti yang dialami Ki Anggada.
"Hm...."
Bayangan merah itu menggumam tak jelas.
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya
yang longgar. Kemudian, dilemparkannya bunga-
bunga mawar merah ke arah sepuluh orang murid Ki
Balamprang.
Swing, swing!
"Awas serangan...!" terdengar seruan seorang
murid Perguruan Tambak Segara.
Dengan cepat mereka berpencar dan berusaha
mengelakkan serangan gelap itu. Rupanya, laju
bunga-bunga mawar merah itu lebih cepat dari
gerakan mereka. Kesepuluh murid-murid Perguruan
Tambak Segara tak mampu menghindar dari bunga-
bunga mawar maut itu.
Jlep, jlep...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian terdengar susul-menyusul. Diikuti
mengejangnya sepuluh murid Perguruan Tambak
Segara. Satu persatu mereka bertumbangan dengan
nyawa melayang.
Mendengar keributan di luar, murid-murid
Perguruan Tambak Segara yang lain menghambur
keluar. Tapi, kedatangan mereka disambut oleh
serangan gelap bunga-bunga mawar.
"Mawar Maut datang! Awas...!"
Swing, swing...!
Puluhan mawar merah menderu kencang ke arah
mereka. Murid-murid Perguruan Tambak Segara
terpana. Dengan menjerit keras untuk mengundang
yang lainnya, mereka berusaha mengelakkan
serangan Mawar maut.
"Mengelak! Cepat…!" terdengar suara Ki
Balamprang berseru mengingatkan murid-muridnya.
Namun terlambat! Bunga-bunga mawar merah itu
begitu cepat melesat. Maka....
Jlep, jlep...!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Pekikan kematian kembali terdengar susul-
menyusul. Diikuti berjatuhannya tubuh-tubuh korban
bunga-bunga mawar itu.
"Kurang ajar! Keluar kau! Siapa pun dirimu, aku
tak takut!" bentak Ki Balamprang marah, melihat
murid-muridnya banyak yang tewas.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengikik seperti
kuntilanak. Bulu kuduk Ki Balamprang berdiri.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, namun
tidak terlihat siapa-siapa di situ. Suara tawa itu
seakan berada di sekelilingnya. Hingga Ki
Balamprang sulit mencari asalnya.
"Hik hik hik...!"
Ki Balamprang berusaha menekan rasa takut yang
mendera jiwanya. Segera senjatanya yang berupa jala
dikeluarkan, dan langsung diputar-putar di atas
kepala. Sambil mendengus dengan penuh
kemarahan, jala maut itu dihantamkan ke arah
pepohonan yang ada di sekitarnya.
Wut! Brak!
Seketika suasana menjadi terang oleh sinar merah
yang keluar dari ujung-ujung jala. Pepohonan banyak
yang roboh terhantam ujung-ujung jala.
"Perempuan setan! Keluar kau...!" bentak Ki
Balamprang melihat perempuan yang disangkanya
arwah Dewi Pedang Beracun tak muncul juga.
Matanya memandang ke sekeliling dengan tegang.
Tak ada sahutan.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah!"
Kembali Ki Balamprang membentak keras.
Senjatanya yang berupa jala diputar-putar di atas
kepala siap menyerang lawan jika sewaktu-waktu
muncul.
"Aku di sini, Balamprang!"
Ki Balamprang tersentak ketika dari belakang
terdengar suara wanita menyapanya. Ketika berbalik
matanya seketika membelalak. Wanita yang sekujur
tubuhnya tertutup kain merah telah berada di
belakangnya.
"Bagus! Rupanya kau orangnya! Hiaaat...! " Ki
Balamprang yang telah mengetahui kehebatan ilmu
lawan, tak mau membuang-buang waktu lagi.
Diserangnya wanita itu dengan jala saktinya. Jurus
yang digunakannya bernama 'Rapat Pukat Samudera'
Wut!
Brat!
"Uts!"
Wanita berpakaian serba merah itu berkelit
dengan ringan. Pedangnya yang memancarkan sinar
putih keperakan segera dicabut. Melihat hal itu, Ki
Balamprang tersentak kaget.
"Pedang Perak! Kau...! Kau benar Dewi Pedang
Beracun??"
"Siapa aku, itu tak penting. Kini terimalah
kematianmu! Hiaaa...!"
Wanita berpakaian serba merah itu dengan cepat
menyerang. Pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan.
Serangan kini mengarah ke dada lawan dengan jurus
'Belah Wanggala dan Neraka'.
Wut!
Asap putih bergulung-gulung keluar dari pedang di
tangan wanita itu. Bersamaan dengan laju pedang
yang membabat dan menusuk ke arah dada lawan,
wanita itu sesekali melemparkan bunga-bunga mawar
arah Ki Balamprang.
"Ups! Celaka...!" pekik Ki Balamprang.
Ketua Perguruan Tambak Segara itu semakin
kewalahan menghadapi serangan lawan. Terlebih
asap beracun yang keluar dari pedang lawan mampu
membuat dadanya sesak. Ki Balamprang segera
menutup jalan darahnya. Lalu dengan menahan
napas, kembali menyerang lawan. Jala di tangannya
menderu-deru dan mencecar lawan dengan jurus
'Sapu Jala Samudera'.
"Hiaaa...!"
"Ups! Yiaaat...!"
Wanita misterius itu dengan mudah mengelakkan
setiap serangan Ki Balamprang. Bahkan, menambah
gencar serangannya. Gerakan pedangnya sangat
cepat, membabat dan menusuk ke dada lawan.
Ditambah lagi serangan-serangan mawar mautnya.
Meski Ki Balamprang menyadari kalau lawannya
berada satu tingkat di atasnya, namun sebagai
seorang pendekar yang telah banyak makan asam
garam, dia tak menjadi gentar. Dengan gagah berani,
diladeninya serangan-serangan lawan dengan
sabetan dan lemparan jala saktinya.
"Hiaaa...!"
Wut!
Pertarungan seru terjadi. Dengan senjata
pusakanya, masing-masing berusaha membinasakan
lawan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut
mereka. Yang ada hanya bagaimana caranya mem-
binasakan lawan.
Ki Balamprang yang terdesak hebat, terus ber-
usaha menyerang balik. Jala saktinya menderu-deru
keras, menyerang lawan.
Wut!
"Kena!" seru Ki Balamprang ketika ujung jala
saktinya berhasil mengenai kain penutup wajah
wanita misterius itu.
Bret!
Kini nampaklah siapa sebenarnya wanita itu.
"Kau...?!"
Belum sempat Ki Balamprang menyelesaikan
ucapannya, wanita berbaju serba merah itu telah
membabatkan pedangnya ke leher Ki Balamprang.
Cras!
Kepala Ki Balamprang terpenggal dan meng-
gelinding ke tanah. Sesaat tubuhnya mengejang
sebelum jatuh ke tanah dengan nyawa melayang.
Wanita baju serba merah melesat meninggalkan
Perguruan Tambak Segara, menghilang di kegelapan
malam.
***
Tidak berapa lama kemudian, nampak seorang
pemuda berbaju rompi kulit ular berlari-lari menuju
Perguruan Tambak Segara. Pemuda yang tak lain
Sena itu melesat masuk ke dalam. Seketika
langkahnya dihentikan, dan matanya membelalak
menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Salah satu mayat kepalanya terpenggal. Mayat Ki
Balamprang!
"Oh, Jagat Dewa Batara! Rupanya aku terlambat.
Mawar Maut telah datang ke tempat ini," gumam
Sena dengan air muka sedih, menyaksikan mayat-
mayat berserakan di sana-sini. Semua mati dengan
dada ditembus bunga mawar merah.
Kresek!
Tengah Pendekar Gila memeriksa mayat-mayat itu,
tiba-tiba telinganya menangkap suara gemeresek
daun kering terinjak.
"Siapa itu?!"
Dengan sekali lompat, Pendekar Gila memburu ke
arah suara itu. Sesosok bayangan berkelebat pergi
meninggalkan tempat itu. Pendekar Gila semakin
penasaran. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta
Bayu' Pendekar Gila memburu orang itu.
"Hei, berhenti!" bentak Sena. Tubuhnya melesat
dan mendarat di depan lelaki berpakaian rompi biru
yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya," ratap lelaki
muda yang pakaiannya sama dengan pakaian yang
dikenakan murid-murid Perguruan Tambak Segara.
Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi
laki-laki itu dengan seksama.
"Kau pasti murid Perguruan Tambak Segara.
Mengapa lari?" tanya Sena. "Aku adalah sahabat
gurumu, Ki Balamprang."
"Ampun, Tuan. Saya takut. Saya kira, Tuanlah yang
telah membunuh teman-teman dan guru saya."
"Hm.... Ke mana kau waktu kejadian itu?" tanya
Sena ingin tahu.
"Saya tidur di belakang, Tuan," jawab lelaki muda
itu masih dengan wajah ketakutan.
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia tahu
mengapa orang ini bisa selamat. Tentu Dewi Pedang
Beracun hanya menginginkan Ki Balamprang saja.
Namun karena murid-muridnya menghadang, Dewi
Pedang Beracun membunuh mereka. Buktinya orang
ini masih hidup.
"Bersyukurlah pada Hyang Widhi, karena umurmu
masih dipanjangkan. Siapa namamu, Kisanak?" tanya
Sena.
"Saloka, Tuan."
"Saloka, kuharap kau mau kembali ke pergurun.
Ajaklah beberapa penduduk untuk membantumu
menguburkan mayat guru dan saudara seperguruan-
mu...," tutur Sena.
"Tapi, Tuan...," wajah Saloka nampak tegang.
Matanya menggambarkan ketakutan.
"Ada apa? Kau takut...?"
"Benar, Tuan."
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tak ada yang harus ditakuti. Dewi Pedang
Beracun hanya mencari gurumu. Kalau Ki
Balamprang telah meninggal, dia tidak akan
mencarimu. Kau tidak ada sangkut-pautnya dengan
Dewi Pedang Beracun.
"Benarkah, Tuan?" tanya Saloka, belum percaya.
"Ya! Kuharap begitu," jawab Sena. "Oh, ya.
Tahukah kau, arah mana Dewi Pedang Beracun
pergi?"
"Ke arah timur, Tuan."
"Timur?!" membelalak mata Sena mendengar
jawaban Saloka.
"Benar, Tuan."
"Celaka! Aku harus segera ke sana. Tentu dia
menuju Kadipaten Pamakasan. Pulanglah segera ke
perguruan."
Dengan cepat Pendekar Gila melesat meninggal
kan Saloka. Sementara, murid Perguruan Tambak
Segara yang luput dari kematian itu hanya terpana
menyaksikan ilmu lari cepat Pendekar Gila.
DELAPAN
Rumah Ki Lurah Banjilan nampak sepi. Di halaman
rumah berukuran besar itu terlihat dua orang
penjaga. Seperti para pendekar lainnya, Ki Lurah
Banjilan pun memperketat penjagaannya. Takut Dewi
Pedang Beracun akan datang menyatroni.
Sementara, udara malam saat itu terasa dingin,
menambah suasana kian mencekam.
"Hiiiy.... Dingin sekali malam ini," keluh salal
seorang penjaga bertubuh tinggi kurus yang bemai
Barjo.
"lya! Merinding bulu kudukku," sahut penjaga
lainnya yang bernama Gandra. Tubuh lelaki ini
pendek dan kekar. Dengan kumis tipis menghiasi
atas bibirnya.
"Hik hik hik...!"
Baru saja keduanya selesai bicara, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengikik yang membuat bulu
kuduk mereka tambah meremang.
"Kun... kuntilanak! To... tolooong...!"
Barjo dan Gandra berseru ketakutan dan berusaha
lari dari tempat itu. Namun belum jauh berlari, dari
kegelapan melesat dua buah benda ke arah mereka.
Benda itu menyebarkan bau wangi bunga mawar!
"Mawar Maut...! Oh! To...."
Belum habis keduanya berkata, mawar-mawar
maut telah menghantam mereka. Bunga beracun
berwarna merah itu menembus dada keduanya.
Sesaat penjaga-penjaga itu meregang, lalu ambruk
tanpa nyawa.
Jeritan Barjo dan Gandra rupanya membangunkan
Ki Lurah Banjilan. Dengan membawa senjatanya yang
berupa golok besar, lelaki bertubuh kekar berotot ini
melesat keluar. Tapi baru saja kakinya sampai di
halaman, beberapa kuntum bunga tiba-tiba melesat
ke arahnya.
Swing, swing...!
"Uts!"
Ki Lurah Banjilan segera mengelak. Tubuhnya
melenting ke atas, dan berputaran dengan cepat ke
samping kanan. Tangannya yang memegang golok,
digerakkan menebas bunga-bunga mawar merah
yang terus menderu ke arahnya.
"Yiaaat...!"
Wut!
Bunga-bunga mawar itu rontok satu persatu.
Berguguran ke tanah dengan menyebarkan bau wangi
menyengat.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah! Aku telah tahu
siapa kau sebenarnya. Meski kau sesosok arwah, aku
tak gentar menghadapimu!" bentak Ki Lurah Banjilan
geram. Matanya menyapu ke sekeliling halaman
rumahnya yang ditumbuhi pohon-pohon bambu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar suara tawa mengikik yang mampu
mendirikan bulu kuduk. Mata Ki Lurah Banjilan kian
membelalak tegang. Suara tawa itu seperti berada di
sekelilingnya.
"Iblis! Keluarlah!"
"Aku di sini, Bajil!"
Ki Lurah Banjilan berbalik, ketika dari belakangnya
terdengar suara orang. Saat itu juga, pedang bersinar
putih keperakan menebas ke arah leher Lurah
Banjilan, yang tersentak kaget melihat wajah wanita
itu.
"Kau...?!"
Cras!
Seketika, kepala Ki Lurah Banjilan terlepas dari
batang lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar-
gelepar, lalu ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius itu memasukkan pedangnya. Lalu
dengan cepat berkelebat meninggalkan tempat itu.
Istri Ki Lurah Banjilan yang mendengar jeritan
suaminya, seketika melompat keluar ingin tahu apa
yang terjadi. Betapa terkejutnya wanita berusia
sekitar lima puluh tahun itu. Suaminya telah tewas
dengan kepala lepas dari lehernya.
"Kangmas...!"
Malam yang sunyi dan mencekam, pecah oleh
suara tangis istri Ki Lurah Banjilan. Suara raungan
tangis istri lurah itu membangunkan warga desa.
Berbondong-bondong mereka menuju rumah yang
besar itu. Warga desa kontan gempar melihat
lurahnya tewas dengan kepala terpenggal.
"Tabuh kentongan!" perintah tangan kanan Ki
Lurah Banjilan.
Suara kentongan yang menandakan telah terjadi
bencana, terdengar susul-menyusul. Warga desa
semakin banyak berdatangan dengan membawa
obor.
"Kita harus mengejar pelakunya! Ayo ikut aku...!"
ajak tangan kanan Ki Lurah Banjilan.
Para lelaki segera mengikuti tangan kanan lurah
itu untuk mencari pembunuh lurah mereka. Saat
itulah mereka melihat sesosok bayangan berkelebat
ke arah mereka. Langsung saja warga desa yang
sedang dalam keadaan marah itu bergerak
menyerang pemuda berambut gondrong dengan
pakaian rompi ular.
"Dia pembunuhnya! Seraaang...!"
Pemuda yang tak lain Sena itu tersentak kaget
mendapat serangan mendadak dari warga Desa
Banjilan. Dia baru saja datang hendak menemui Ki
Lurah Banjilan.
"Hei! Kenapa kalian?" tanya Sena berusaha
menyadarkan penduduk desa yang menyerangnya.
Tubuhnya bergerak mengelakkan bacokan membabi-
buta penduduk.
"Jangan beri kesempatan! Dia pembunuh Ki Lurah!
Serang dia...!" perintah lelaki berkumis lebat dengan
baju wama kuning. Tutup kepalanya kain yang
meruncing ke atas.
"Celaka! Mimpi apa aku semalam?" keluh Sena
sambil terus bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar warga desa.
"Hiaaa...!"
"Babat tubuhnya!"
"Cincang pembunuh jahanam ini...!"
Suara-suara pekik kemarahan keluar dari mulut
warga desa. Serangan mereka semakin menjadi-jadi
berusaha secepatnya membunuh pemuda tampan
berrambut gondrong yang disangka pembunuh Ki
Lurah Banjilan.
"Tunggu! Kalian salah sangka!" seru Sena. Tapi,
warga desa tetap tidak peduli dengan kata-katanya.
Malah mereka semakin ganas melancarkan
serangan.
"Jangan hiraukan omongannya!"
"Jadikan saja kambing guling!"
"Serang terus!"
Pendekar Gila yang tak tahu apa-apa, harus
berjumpalitan mengelakkan serangan-serangan
mereka. Tubuhnya berkelit ke sana kemari,
mengelakkan sabetan dan babatan senjata warga
desa yang beraneka ragam.
"Berhenti! Kalian salah sangka! Aku datang untuk
menemui lurah kalian! Aku sahabatnya!" seru Sena
sambil terus berkelebat menghindar.
"Terus serang...!"
"Dialah pembunuhnya!"
"Cincang!"
Hampir hilang kesabaran Pendekar Gila meng-
hadapi mereka. Namun ketika ingat kalau warga desa
ini hanya salah paham, Pendekar Gila mengurungkan
niatnya menurunkan tangan jahat.
"Kalian dengar semua! Aku Pendekar Gila, sahabat
Ki Lurah Banjilan! Hentikan...!" bentak Sena.
Mendengar ucapan itu, seketika semua warga
menghentikan serangan. Bahkan, mereka menyurut
mundur dengan tatapan mata ketakutan. Sedangkan
tangan kanan Ki Lurah Banjilan yang bernama
Masopati membungkuk hormat.
"Ampunilah kami, Tuan. Sungguh kami tidak tahu.
Kami sedang sangat berduka."
"Apa yang terjadi?" tanya Sena.
"Ki Lurah dibunuh seseorang. Dua pengawalnya
mati dengan dada tertembus bunga mawar," jelas
Masopati.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Matanya
memandang seluruh warga desa yang merunduk
ketakutan. "Jika memang begitu, tentu Dewi Pedang
Beracun yang membunuhnya. Hm.... Ke arah mana
dia pergi?"
"Kami tak tahu, Tuan Pendekar."
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar
jawaban Masopati. Dihelanya napas panjang-panjang.
"Baiklah. Aku harus pergi," ujarnya.
Setelah menjura, Sena segera melesat mengejar
Dewi Pedang Beracun yang semakin menjadi-jadi
tindakannya. Dalam semalam, puluhan orang telah
menjadi korban.
"Untung dia tidak marah," gumam Masopati.
"Kalau dia marah, tentu kita sudah menjadi bangkai."
"Apa benar dia Pendekar Gila, Ki?" tanya salah
seorang warga.
"Ya! Apa kau tadi tidak melihat tingkah lakunya
yang mirip orang gila?" tanya Masopati balik bertanya.
"Masih begitu muda. Sangat lain dengan
dugaanku."
"Ya! Mulanya aku pun mengira Pendekar Gila dari
Goa Setan telah tua. Paling tidak seusia Ki Lurah,"
gumam Masopati. "Kita pulang."
"Mengapa tidak meneruskan mencari pembunuh
itu, Ki?"
"Tak perlu. Kalau Ki Lurah, Barjo, dan Gandra saja
dapat dibunuh dengan mudah, apalagi kita? Terlebih,
pembunuh Ki Lurah adalah Dewi Pedang Beracun
yang telah mati. Hiiiy...! Kalau begitu, bukankah
arwahnya yang membunuh?"
Semua warga desa bergidik. Bulu kuduk mereka
meremang setelah mendengar nama Dewi Pedang
Beracun yang telah mati sepuluh tahun silam. Tanpa
diperintah lagi, mereka segera meninggalkan tempat
itu yang merupakan perbatasan desa dengan hutan.
Malam terus bergulir. Lolongan anjing hutan,
menambah suasana kian mencekam. Terdengar deru
angin yang menggiris hati. Membuat suasana malam
itu seperti di pekuburan.
***
Pendekar Gila yang memburu Dewi Pedang
Beracun nampak masih berlari ke arah timur menuju
kadipaten. Sena mengkhawatirkan Adipati Sumagatri
akan menjadi sasaran pembunuhan selanjutnya.
Tengah Sena berlari, matanya menangkap sesosok
bayangan berkelebat melintas di hadapannya.
Bayangan merah itu menyentakkannya, sehingga dia
langsung mengejar.
"Hei, tunggu. .!"
Merasa ada yang mengejar, bayangan merah itu
tiba-tiba mengebutkan tangan ke belakang. Saat itu
pula, menderu puluhan bunga mawar berwarna
merah.
"Mawar Maut!" pekik Sena.
Swing, swing...!
"Uts! Hop...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak menduga
kalau bayangan merah itu yang telah dicarinya.
Pemuda itu melenting ke atas dan berputaran
mengelakkan serangan yang dilancarkan bayangan
merah itu. Puluhan bunga mawar merah terus men-
deru ke arahnya, bagai memiliki mata. Hingga
Pendekar Gila agak kewalahan menghadapinya.
"Kurang ajar! Hop! Heaaa...!"
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti. Lalu
dengan cepat dikibaskannya ke arah bunga-bunga
mawar merah yang meluncur datang.
Prat!
Pluk, pluk...!
Bunga-bunga mawar merah itu luruh berjatuhan ke
tanah. Rontok terkena sabetan Suling Naga Sakti
Pendekar Gila. Namun, Pendekar Gila kehilangan
sosok bayangan merah yang dikejarnya.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru Sena marah.
Dengan mengerahkan ajian lari 'Sapta Bayu'
Pendekar Gila melesat mengejar bayangan merah
yang telah menghilang entah ke mana.
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!"
Pendekar Gila berlari melebihi angin. Kedua
kakinya seperti tidak menginjak tanah. Mendadak,
dari arah yang berlawanan tampak sesosok tubuh
tengah berlari. Pendekar Gila menghentikan larinya.
Pemuda itu kaget melihat siapa orang yang tengah
berlari ke arahnya.
"Sena!" seru wanita berbaju putih yang tidak lain
Nyi Gendis Awit. "Kau ada di sini? Apa kau melihat
bayangan merah lari ke arah sini?"
"Nyi Gendis Awit. Kau juga melihat bayangan
merah itu?"
"Ya! Aku mengejarnya. Ke arah mana dia berlari?"
tanya Nyi Gendis Awit sambil mengatur napasnya
yang terengah-engah.
"Ah. Kurasa bayangan merah tadi dari arahku. Aku
pun tengah mengejarnya...," kata Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Dari arah barat?" tanya Nyi Gendis Awit seraya
mengerutkan kening.
"Ya."
"Tidak mungkin. Aku baru saja mengejarnya. Dia
dari arah timur," bantah Nyi Gendis Awit tak percaya.
Pendekar Gila semakin heran. Keningnya berkerut
dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Kalau benar Nyi Gendis Awit mengejar bayangan
merah, siapa lagi yang memakai pakaian serba
merah itu? Mungkinkah ada dua orang yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Tanya
Sena dalam hati. Mungkin juga. Karena dalam
semalam saja, dua orang tokoh persilatan seperti Ki
Balamprang dan Ki Lurah Banjilan telah dibunuhnya.
"Hm.... Semakin membingungkan. Kalau benar kau
mengejar bayangan merah, kurasa bukan seorang
yang telah melakukan pembunuhan itu," gumam
Sena.
"Mungkin juga, Sena. Ah. Sayang sekali aku tak
bisa menangkapnya," desah Nyi Gendis Awit. Nada
suaranya seakan menyesal tak mampu menangkap
bayangan merah yang misterius itu.
"Kita berpencar, Nyi. Kurasa dia masih berada di
sekitar sini," kata Sena.
"Mengapa tidak berdua saja, Sena? Kau tak mau
berjalan bersamaku?" desis Nyi Gendis Awit dengan
suara memelas. Matanya menatap penuh arti ke arah
Pendekar Gila yang masih menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Ayo...."
Keduanya melangkah ke arah timur. Malam yang
dingin membuat suasana terasa mencekam. Kedua
pendekar itu terus melangkah menyelusuri hutan
tempat mereka melihat bayangan merah.
"Aduh!" tiba-tiba Nyi Gendis Awit menjerit.
"Kenapa, Nyi?" tanya Sena.
"Kakiku, Sena. Oh...! Kakiku tertusuk duri," jawab
Nyi Gendis Awit sambil memegangi pahanya yang
tertusuk duri.
Sena memeriksanya. Nampak duri pohon beracun
menancap dalam di paha Nyi Gendis Awit.
"Beracun, Nyi?!"
"Oh, Sena. Tolonglah aku...," keluh Nyi Gendis Awit
sambil meringis-ringis menahan sakit.
Sena kebingungan. Dia tahu jenis racun yang ada
dalam duri itu. Bagaimanapun juga, Nyi Gendis Awit
harus segera ditolongnya.
"Aduh, Sena!" pekik Nyi Gendis Awit.
"Mari kugendong."
Sena segera membopong tubuh Nyi Gendis Awit.
Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu
masih terlihat cantik, seperti baru berusia dua puluh
lima tahun. Sena terus membawa tubuh Nyi Gendis
Awit ke tempat yang agak lapang di dalam hutan itu,
lalu dibaringkan.
"Aku harus membuka pakaianmu, Nyi," kata Sena
agak bingung.
"Buka sajalah, Sena."
Sena semakin kebingungan. Namun, Nyi Gendis
Awit harus segera ditolong. Kalau tidak, wanita cantik
itu akan tewas. Dengan membuang muka, Sena
merobek celana Nyi Gendis Awit agar dapat melihat
lukanya.
Breeet...!
"Mengapa mesti membuang muka, Sena? Bagai-
mana kau bisa melihat lukanya?" tanya Nyi Gendis
Awit manja.
"Tapi...," Sena hendak berkata, ketika Nyi Gendis
Awit telah menukasnya.
"Sudahlah, Sena. Bukankah tak ada orang yang
melihatnya?"
Sena menghela napas. Dengan perlahan, dia
memandang paha Nyi Gendis Awit yang mulus. Napas
Sena tersendat. Ada gejolak yang menggelegak di
dadanya. Pertarungan batin seketika terjadi.
Ditambah dengan desahan Nyi Gendis Awit yang
semakin merangsang nafsunya.
"Oh, Sena...."
Sena berusaha mempertahankan kekuatan iman-
nya. Namun racun itu begitu cepat menjalar. Jalan
satu-satunya dia harus membuka seluruh pakaian Nyi
Gendis Awit. Pemuda itu jadi semakin bingung.
"Aduh. Jantungku sakit, Sena!" keluh Nyi Gendis
Awit.
Sena bertambahh cemas. Akhirnya pakaian wanita
itu dibukanya. Di hadapannya kini terpampang
sesosok tubuh polos yang menggiurkan.
"Sena, dekaplah aku," pinta Nyi Gendis Awit
mendesah.
Sena menurut. Lupa kalau sebenarnya dia hendak
menolong Nyi Gendis Awit. Setelah menyaksikan
keelokan tubuh wanita itu, pikirannya seketika
melayang. Direngkuhnya tubuh Nyi Gendis Awit. Tapi
ketika semua akan terjadi, Sena tersadar.
"Tidak! Kuharap kau jangan merayuku, Nyi. Ingat
kita dalam ancaman maut Dewi Pedang Beracun.
Tidak sepantasnya kita berbuat seperti ini. Aku akan
menolongmu."
Usai berkata begitu, Sena segera menotok
beberapa bagian tubuh Nyi Gendis Awit. Tubuh wanita
cantik itu seketika menjadi kaku bagai patung. Sena
mengobati luka di paha Nyi Gendis Awit.
"Kau sudah bebas, Nyi. Nah. Aku pergi dulu," kata
Sena seraya melesat meninggalkan Nyi Gendis Awit
yang telah terbebas dari racun dan totokan.
Dengan agak kecewa, Nyi Gendis Awit mengena-
kan pakaiannya kembali. Lalu melesat meninggalkan
tempat itu.
SEMBILAN
Mentari sebentar lagi tenggelam di belahan bukit
sebelah barat. Tampak seorang pemuda berbaju
rompi kulit ular berlari ke arah Bukit Lawang Ireng,
tempat makam Dewi Pedang Beracun berada.
Pemuda tampan yang tak lain Sena, rupanya tertarik
dengan makam itu. Pendekar Gila ingin tahu, apa
sebenarnya yang terjadi di makam itu dan apakah
benar Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun
silam telah mati kini hidup kembali. Tekadnya telah
buat, hendak membongkar kuburan tua itu.
"Aku harus memburu waktu. Sebentar lagi mentari
akan tenggelam," gumam Sena sambil terus lari.
Sesampainya di kuburan Dewi Pedang Beracu
tanpa sungkan-sungkan Sena langsung menghantam
kuburan itu dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
"Heaaa...!"
Glarrr!
Kuburan itu meledak hebat. Tanah kuburan
beterbangan ke atas hingga membentuk lubang
besar. Betapa tercengangnya Pendekar Gila ketika
mengetahui kuburan itu kosong. Mayat Dewi Pedang
Beracun maupun pedangnya tak ada. Seakan ada
yang mengambilnya.
"Hm.... Rupanya benar dugaanku. Ada seseorang
vang mengambil mayat dan senjata Dewi Pedang
Beracun. Orang itulah yang sekarang merajalela..."
gumam Sena.
Pendekar Gila terus mengawasi kuburan itu. Tiba-
tiba matanya melihat sebuah pintu di bawah makam.
"Heh...! Pintu? Pintu apa itu?" tanya Sena. Kembali
Pendekar Gila menghantamkan pukulan 'Guntur
Selaksa' ke arah pintu di bawah makam.
"Heaaa...!"
Glarrr!
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Tampaklah
sebuah jalan ke bawah. Pendekar Gila mengerutkan
kening, memandangi jalan yang bertangga ke bawah
agak membelok ke selatan.
"Hm.... Tentu ini bisa menyingkap misteri yang
selama ini belum terpecahkan. Aku akan
memasukinya."
Dengan hati-hati, Pendekar Gila menuruni tangga
demi tangga yang ada di dalam kuburan. Ternyata
tangga itu berbelok ke sebuah tempat. Di tempat itu
ada sebuah jalan. Sedangkan di samping kirinya
terdapat bunga-bunga mawar merah yang ganas.
Bunga-bunga mawar itulah yang digunakan wanita
misterius untuk membunuh lawan-lawannya.
"Bunga-bunga ini harus kuhancurkan!" desis Sena.
'"Inti Brahma'. Yeaaa...!"
Api bergulung-gulung keluar dari tangan Pendekar
Gila, membakar bunda-bunga mawar maut yang ada
di tempat itu. Dalam sekejap, bunga-bunga itu
menjadi debu yang beterbangan tertiup angin.
Hm.... Kini habis sudah bunga maut itu. Tinggal
membuka tabir, siapa orang yang meniru Dewi
Pedang Beracun. Aku harus segera pergi. Firasatku
mengatakan orang itu menuju kadipaten, karena
Kanjeng Adipati merupakan musuh Dewi Pedang
Beracun.
Usai berpikir begitu, Pendekar Gila segera melesat
pergi melalui jalan yang tadi dilalui sewaktu masuk.
***
Di Kadipaten Pamakasan, pertarungan seru
tengah terjadi. Adipati Sumagatri yang dibantu Ki
Mandra Dupa dan Ki Sangkutra serta Ki Balacatra
menghadapi bayangan merah yang masih misterius
itu. Meski dikeroyok tokoh-tokoh persilatan, sosok
berpakaian merah yang menyebut dirinya Mawar
Maut itu tidak mengalami kesulitan. Bahkan,
beberapa kali sempat mengirimkan bunga-bunga
mawarnya dengan menggunakan jurus 'Mawar Maut
Memburu Mangsa'.
Swing, swing...!
"Awas...!" seru Adipati Sumagatri mengingatkan.
Ketiga pendekar tua itu berlompatan mengelakkan
serangan bunga-bunga mawar merah. Ketiganya
berhasil meloloskan diri dari kematian, begitu pun
Adipati Sumagatri. Bunga-bunga mawar itu melesat,
menghantam orang-orang Ki Balacatra. Maka. Jerit
kematian pun terdengar susul-menyusul.
"Kurang ajar! Kita harus secepatnya mem-
binasakan iblis ini, Kanjeng!" dengus Ki Balacatra
marah melihat anak buahnya banyak yang tewas.
"Kita serang bersamaan!" ajak Adipati Sumagatri.
"Hiaaa...!"
Dengan menggunakan jurus 'Catur Angin
Mengurung Naga' yang dipadu dengan jurus 'Malaikat
Maut dari Empat Penjuru', keempat tokoh persilatan
itu bergerak menyerang.
"Hiaaa...!"
Mereka menyerang dengan senjata andalan
masing-masing. Clurit di tangan Ki Mandra Dupa
menderu ke arah kepala lawan. Kapak besar Ki
Sangkutra membabat perut. Dan tombak di tangan
Adipati Sumagatri menusuk tenggorokan. Sedangkan
cambuk di tangan Ki Baiacatra melecut punggung.
Keempatnya laksana malaikat maut.
"Yeaaat...!"
Menghadapi keroyokan empat tokoh persilatan itu,
Mawar Maut tidak merasa gentar. Kepalanya
dirundukkan dengan tubuh agak membungkuk.
Pedang Perak yang mengandung racun diputar cepat
memapaki serangan mereka. Itulah jurus 'Tarian
Bidadari Merenggut Sukma'.
"Hait...!" Trang, trang...!
Suara senjata beradu terdengar. Saat itu pula,
tubuh keempat penyerangnya berpelantingan ke
belakang. Dada mereka terasa sesak oleh asap
beracun yang keluar dari pedang di tangan wanita
berpakaian serba merah itu.
"Kini saatnya kalian mampus! Hiaaat...!"
Mawar Maut tidak membuang-buang waktu lagi.
Tangan kanannya yang memegang pedang, dibabat-
kan ke arah Adipati Sumagatri. Sedangkan tangan
kirinya, bergerak mengambil bunga mawar dari balik
bajunya.
Wut!
Swing, swing...!
Bunga-bunga mawar merah melesat cepat ke arah
Ki Mandra Dupa dan Ki Balacatra serta Ki Sangkutra.
Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah Adipati
Sumagatri.
Keempat tokoh persilatan itu tersentak kaget
Mereka berusaha mengelakkan serangan lawan. Ki
Balacatra mampu mengelak dengan cara berguling ke
samping kiri. Sedangkan ketiga temannya harus
menerima kenyataan pahit.
Jlep, jlep...!
"Aaa. !"
"Aaakh...!"
Ki Mandra Dupa memekik, disusul Ki Sangkutra.
Dada mereka dihunjam bunga mawar merah.
Sedangkan Adipati Sumagatri dalam ancaman maut.
Pedang di tangan wanita misterius itu siap menebas
lehernya.
"Hiaaa...!"
"Tidak!" pekik Adipati Sumagatri.
Cras!
Tanpa disertai jeritan, kepala Adipati Sumagatri
bergulir ke bawah. Napasnya putus seketika itu juga.
"Iblis! Perbuatanmu sangat kejam! Aku akan
mengadu jiwa denganmu! Hiaaa...!"
Menyaksikan bagaimana kejinya wanita misterius
itu membunuh Adipati Sumagatri, Ki Balacatra segera
melecutkan cambuknya dengan jurus 'Ekor Sanca
Melecut Badai'.
Cletar!
"Uts! Rupanya kau pun ingin mampus! Yiaaat...!"
Setelah mengelakkan serangan cambuk lawan,
Mawar Maut menyerang balik Ki Balacatra dengan
babatan pedangnya. Sementara tangan kirinya
merogoh ke balik baju. Tapi rupanya yang dicari telah
habis. Wanita itu kehabisan bunga mawar merahnya.
Melihat lawan tengah mencari-cari sesuatu, Ki
Balacatra tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan cepat dia balik menyerang. Cambuknya
kembali dilecutkan ke arah lawan dengan jurus 'Lidah
Petir Menghancurkan Karang'
"Uts!"
Mawar Maut masih mampu mengelakkan
serangan cambuk lawan. Kemudian, balas
menyerang dengan tusukan dan babatan pedang
peraknya dengan jurus inti 'Silang Kala Maut'.
"Heaaat...!"
Wut, wut!
Mungkin kalau hanya pedang biasa tidak akan
membuat lawan-lawannya kalah dengan cepat. Tapi
pedang di tangan wanita misterius itu mengandung
racun ganas. Bahkan mampu melemahkan dan
menguras tenaga lawan. Itu yang dialami Ki
Balacatra. Lelaki tua itu merasa tenaganya terkuras
habis, padahal baru beberapa puluh jurus. Biasanya,
Ki Balacatra mampu bertarung sampai ratusan jurus.
Namun kali ini tenaganya cepat berkurang. Dadanya
pun terasa sesak.
"Heaaat..!"
Wut, wut..!
Pedang di tangan wanita berpakaian serba merah
itu menderu dengan cepat. Sesaat lagi, Ki Balacatra
akan mengalami nasib yang sama dengan Adipati
Sumagatri. Pedang wanita itu semakin dekat ke arah
lehernya. Hampir saja kematian merenggut nyawa Ki
Balacatra, ketika tiba-tiba....
Trang!
Benturan dua senjata terdengar. Terlihat percikan
bunga api. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular berdiri di
samping Ki Balacatra. Sementara wanita misterius itu
agak terhuyung ke belakang.
"Oh! Syukurlah kau datang, Sena," kata Ki
Balacatra dengan wajah menampakkan keceriaan.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Rupanya inikah si Mawar Maut itu? Ha
ha ha...! Lucu sekali...!"
Wanita berpakaian serba merah itu mendengus,
mendengar ejekan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mampus!
Dulu ketika kau terperosok dalam lubang, nyawamu
kuampuni! Tapi kini tak akan kuampuni! Kau telah
berani mencampuri urusanku! Kau harus mati di
tanganku! Bersiaplah...!"
Pendekar Gila kembali tertawa tergelak-gelak.
Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya
mencabut bulu burung di ikat pinggangnya. Dan
dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu
burung itu.
"Omonganmu seperti si buntung yang ingin naik
gunung saja. Ah ah ah... Sungguh terima kasih
kuucapkan padamu, yang telah memberi ampunan
atas nyawaku," sindir Sena.
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus!
Heaaat...!"
Dengan jurus 'Pedang Iblis Membelah Samudera',
si Mawar Maut segera menyerang. Pedangnya yang
mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan
menusuk ke arah Pendekar Gila.
"Eit! Leherku terlalu licin, Nyi."
Sena segera meliukkan tubuhnya dengan meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu
dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan
langsung disodokkan ke arah lawan.
"Ini bagianmu, Nyi! Heit..!"
Si Mawar Maut tersentak kaget melihat gerakan
Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak
pelan dan lemah, namun sesungguhnya sangat
dahsyat. Malah mampu menjangkau pinggang wanita
misterius itu, yang segera menepiskan pedangnya ke
arah serangan.
"Hait..!"
Trang!
Pijaran api kembali terjadi, diikuti oleh melompat-
nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam ber-
hadap-hadapan. Kemudian wanita misterius itu
mengerahkan jurus 'Pedang Iblis Menusuk Gunung',
kembali melakukan serangan.
Melihat lawan membuka jurus, Pendekar Gila
dengan tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk
pantat membuka jurus pula. Kini jurus yang diguna-
kan 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak
laksana melepas lilitan tali.
Pedang perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak menyilang, dan membabat ke samping.
Kemudian menusuk lurus ke depan, disusul ke
samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat
dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga
Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan
lurus ke atas.
"Yiaaa...!"
"He he he... Galak juga kau, Nyi?! Heaaa...!"
***
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali
melakukan serangan. Pedang Perak di tangan wanita
misterius itu bergerak cepat. Menusuk ke depan,
membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan
dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan
babatan dari kiri ke kanan. Saking cepatnya gerakan
pedang itu, Pedang Perak di tangannya seperti meng-
hilang. Yang tampak hanya bayangan putih
keperakan, yang melindungi tubuh wanita itu.
Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit
ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera
mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus
Badai'.
"Heaaa!"
Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling
Naga Sakti bergerak lurus ke muka. Sedangkan
tangan kirinya memukul. Tubuhnya sedikit merunduk.
Kaki kirinya terangkat ke atas. Dan, kaki kanannya
setengah ditekuk. Dengan cepat, Pendekar Gila
menyodokkan sulingnya ke arah gulungan sinar perak
lawan.
"Heaaa...!"
"Haiiit...!"
Wut!
Trang!
Dua senjata kembali saling beradu. Pijaran api
keluar dari benturan senjata itu. Asap putih
keperakan yang beracun terus bergulung-gulung
menyerang Pendekar Gila. Kalau saja tidak meminum
darah ular putih, pasti Pendekar Gila telah tewas.
Namun kini dia kebal dari segala macam racun
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila
dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Agak kaget juga si Mawar Maut menyaksikan
Pendekar Gila tidak mempan oleh racun yang keluar
dari Pedang Perak di tangannya. Gerakan pedangnya
semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut!
Trang!
Dua buah senjata sakti itu saling beradu, berusaha
mengalahkan satu sama lain. Namun sejauh itu,
belum tampak ada senjata yang kalah. Pendekar Gila
terus menyodokkan sulingnya dengan masih meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali
sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongak-
kan ke atas berusaha membuka kain penutup yang
menutupi wajah wanita misterius itu.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Si Mawar Maut cepat-cepat membuang muka ke
samping. Lalu dengan cepat membabatkan pedang-
nya ke arah Suling Naga Sakti dengan jurus 'Sapuan
Badai Neraka'.
Wut!
Melihat pedang lawan menderu ke arahnya,
dengan cepat Pendekar Gila menarik serangannya.
Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran.
Memapaki tebasan pedang dengan jurus 'Si Gila
Menipu Lawan Memukul Karang'.
Trang!
Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling
berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang
dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa...!"
"Yiaaat...!"
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di
tangan. Sesampainya di udara, mereka berusaha
saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke
arah wajah lawan. Sedangkan Pedang Perak
menebas ke arah kepala Pendekar Gila.
"Hup!"
Wut!
Cepat Pendekar Gila berguling ke samping, meng-
elakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan
cepat, sulingnya disodokkan kembali ke arah wajah
lawan. Namun lawan dapat menghindari.
Melihat wanita berpakaian serba merah itu mampu
menghindari serangannya, Pendekar Gila menurun-
kan tangannya agak ke bawah. Kali ini sulingnya
disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Wanita misterius itu tersentak kaget mendapatkan
serangan cepat itu. Dan, berusaha menangkis dengan
mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan
kanannya membabatkan pedang ke tubuh lawan.
"Hop! Yeaaa...!"
Melihat babatan pedang lawan, Sena cepat-cepat
menekuk lutut ke bawah, lalu bergerak ke samping.
Setelah pedang lawan menderu, kakinya menendang
ke arah pedang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'.
Deb!
"Heaaa..!"
Tubuh si Mawar Maut terhuyung ke samping,
terkena dorongan tenaga dalam pada pedangnya.
Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan
terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke
dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugk!
"Hukh...!"
Wanita misterius itu terdorong ke belakang, lalu
jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras.
"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pendekar Gila!" dengus si Mawar Maut.
"Aku ladeni, Nyi!" sahut Sena seraya sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila! 'Sangkala Gatra',
hiaaa...!"
"Kuharap kau pun bersiap, Nyi! Heaaa...!"
Keduanya bergerak cepat. Pedang Perak di tangan
wanita misterius itu menderu keras ke arah Pendekar
Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin
banyak keluar.
Ki Balacatra yang tahu kedahsyatan asap pukulan
keperakan itu, cepat melangkah mundur sepuluh
tombak. Lelaki tua itu tak ingin terkena racun.
Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-
kalau Sena akan terkena racun ganas itu. Namun,
nampaknya Sena tidak terpengaruh sedikit pun oleh
racun itu.
"Heaaa...!"
Trang!
Suara beradunya senjata, kali ini kerap terdengar.
Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan
jurus biasa. Jurus-jurus tingkat tinggi yang meng-
andalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga, tubuh keduanya bagai menghilang.
Pendekar Gila terus merangsek dengan sodokan
dan babatan Suling Naga Saktinya. Sedangkan lawan
dengan Pedang Peraknya tidak mau kalah. Pedang
beracun itu berkelebat membabat dan menusuk.
"Heaaa...!"
Wut!
Trang!
Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang
dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka
yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha
menyapu dan menendang lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan.
Kelihatannya keduanya sama-sama kuat. Mereka
terus bertarung bagai tidak mengenal lelah.
"Kukuruyuuuk...!"
Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok,
pertanda sebentar lagi pagi akan datang. Meski
begitu, keduanya tidak menghentikan pertarungan.
Malah semakin bertambah cepat melakukan
serangan.
"Hiaaa...!"
Pedang Perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak cepat ke arah Pendekar Gila. Melihat serangan
lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping.
Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti
ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Dugk!
"Hukh...!"
Tubuh wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus
tertutup kain serba merah itu terhuyung-huyung ke
belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain
penutup wajahnya. Melihat hal itu, Pendekar Gila
tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantam-
kannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh lawan.
"Terimalah kematianmu! Heaaa...!"
Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan
api menyala-nyala ke arah tubuh si Mawar Maut.
Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuhnya.
Blab!
"Wuaaa...!" si Mawar Maut menjerit.
Tubuh terbungkus pakaian merah itu berguling-
guling, berusaha memadamkan api yang melahap
tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Wanita
misterius itu berkelojotan. Pedang Perak di tangannya
terlepas. Saat itu juga, Pendekar Gila meniup Suling
Naga Sakti dengan suara mendayu. Rupanya, Sena
berusaha menyempurnakan kematian lawan.
"Wuaaa... Tobat!" pekik wanita misterius itu
dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan
hidungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian,
gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah
menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya.
Dengan tersenyum-senyum, pemuda itu ber-
jumpalitan seperti monyet. Tangan kanan menggaruk-
garuk kepala, sedangkan tangan kiri menepuk-nepuk
pantat. Bersama Ki Balacatra, Sena yang masih
bertingkah laku konyol, mendekati tubuh wanita
misterius itu. Ki Balacatra dengan hati-hati membuka
kain penutup wajah wanita itu.
"Nyi Gendis Awit..!" seru keduanya bersamaan.
"Hm... Tak kusangka dia orangnya," gumam Ki
Balacatra tak percaya. "Rupanya, orang yang kita
hadapi Nyi Gendis Awit."
"Apa arti semua ini?" tanya Sena heran, sambil
memandang ke arah Ki Balacatra yang juga tak
mengerti dengan apa yang terjadi.
"Lihat, Sena. Ada bungkusan di perutnya!" seru Ki
Balacatra. Lelaki tua itu segera mengambil
bungkusan yang berupa kotak kecil terbuat dari
logam.
"Kita buka saja, Ki," saran Sena.
Keduanya segera membuka kotak kecil itu. Di
dalamnya terdapat sehelai daun lontar yang
bertuliskan,
Dewi Pedang Beracun adalah kakakku yang tewas
di tangan Sumagatri, Mandra Dupa, Sangkutra,
Anggada dan pendekar di Kadipaten Pamakasan.
Kakakku bermaksud membalas dendam atas
kematian kedua orangtua kami, yang telah dibunuh
mereka atas perintah Adipati Kerto Amabrang.
Melihat kakakku tak mampu membalas dendam,
bahkan terbunuh oleh kelima pendekar itu, aku yang
semula bermaksud tidak membalas dendam,
akhirnya mencari guru kakakku untuk meminta ilmu.
Dan, aku berhasil menemuinya.
Agar sepak terjangku leluasa, aku pun mem-
bongkar kuburan kakakku. Kuambil senjatanya yang
kebetulan ada di kuburan. Kemudian dengan
menyamar sebagai dirinya, aku membalas dendam.
Meneruskan niat kakakku.
Tidak kusangka, aku yang sudah bersumpah tidak
akan kawin sebelum membunuh mereka, ternyata
tersandung. Saat pertama kali aku bertemu dengan
pemuda tampan bertingkah laku gila seperti orang
gila, aku merasakan adanya sesuatu yang aneh di
dalam hatiku.
Aku rela mati di tangannya, asalkan aku telah
membalas semua dendam kedua orangtuaku juga
kakakku.
Semoga Pendekar Gila mengerti.
Gendis Awit (Perawan Tua)
"Oh...!" Sena mengeluh. "Maafkan aku, Nyi. Aku
hanya menjalankan tugas. Untuk kedamaian dan
ketenangan..."
"Sena, kuharap kau sudi menggantikan Kanjeng
Adipati. Biarlah aku nanti yang menghadap ke
kerajaan," kata Ki Balacatra.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar
permintaan Ki Balacatra. "Lucu... lucu. Hi hi hi...!"
"Bagaimana, Sena?"
"Tidak, Ki. Terima kasih atas kepercayaanmu.
Masih banyak orang yang jauh lebih pintar
dibandingkan aku. Aku hanya petualang. Ke mana
angin bertiup, ke sanalah kakiku melangkah."
Ki Balacatra menghela napas. Dipegangnya
pundak Sena Manggala.
"Sungguh terpuji budi baikmu, Sena. Kalau begitu,
aku hanya bisa berdoa semoga Hyang Widhi
senantiasa menyertaimu."
"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit"
"Mengapa mesti buru-buru? Tidakkah sebaiknya
kau ikut aku ke kerajaan untuk menerima peng-
hargaan atas jasamu?" tanya Ki Balacatra.
"Terima kasih. Terlalu berat aku memikulnya."
Pendekar Gila menjura hormat. Kemudian,
melangkah pergi meninggalkan Ki Balacatra yang
mematung dengan tatapan mata mengiringi
kepergian Sena yang hendak meneruskan
pengembaraannya.
"Semoga kau senantiasa dilindungi Hyang Widhi,"
desis Ki Balacatra lirih.
Angin pagi berhembus menerbangkan embun,
seperti hari yang berganti. Dari kejauhan terdengar
suara tawa Pendekar Gila membelah kesunyian pagi.
Tak lama kemudian, Ki Balacatra melangkah
masuk ke kadipaten. Lalu, kembali keluar dengan
menunggang seekor kuda. Dipacunya kuda itu
dengan kencang meninggalkan Kadipaten
Pamakasan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar