..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 02 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE MAWAR MAUT PERAWAN TUA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

SATU


Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut 

hadir menyertai. Suara lolongan anjing dan 

lengkingan burung hantu membuat suasana malam 

terasa mencekam. Belum lagi angin yang berderak 

menerpa rumpun bambu. Menambah suasana malam 

itu makin mengerikan. 

Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang 

lingkungan Kadipaten Pamakasan sedang duduk di 

gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang 

setiap waktu siap digunakan. Rokok kelobot yang 

mereka linting kini telah dinyalakan. 

"Huh! Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin, 

sambil menghembuskan asap rokok kawung setelah 

menghisapnya dalam-dalam. 

"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya 

tengah malam seperti ini udara dingin. Malam ini 

memang aneh sekali..." 

Keempat penjaga itu kemudian melangkah 

menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda. 

Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos 

jaga. Sepi sekali suasana sekitar kadipaten. Keempat 

orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok 

kawungnya dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam 

percakapan yang menuangkan isi hati masing-

masing. 

"Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita 

semakin bertambah berat saja," keluh Gimin. 

"Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah 

melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan 

setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok


kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi 

sekarang...," Sarnopo membuka telapak tangannya 

dengan raut wajah kurang senang. 

"Ya. Bagaimana lagi? Kita orang kecil, Dimas," 

Karja berusaha menyabarkan hati temannya 

sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan 

yang bernama Sumagatri menikah lagi, mereka 

memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding 

sewaktu adipati itu belum menikah. 

"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit. 

Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di 

antara mereka. 

"Aaa...!" 

Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-

tiba terdengar jeritan menyayat seorang wanita dari 

dalam kadipaten. 

Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan 

ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama 

berselang, keempatnya mendengar suara teriakan 

Adipati Sumagatri 

"Prajurit, tolong…!" terdengar suara Adipati 

Sumagatri. 

"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus. 

"Entahlah! Sepertinya ada yang tidak beres!" sahut 

Gimin dengan mata membelalak. 

Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar 

Adipati Sumagatri. Mata mereka membelalak ketika 

menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja 

dinikahi tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa 

nyawa. Dada wanita itu ditembus sekuntum mawar 

merah. 

"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang 

masuk?!" bentak Adipati Sumagatri. 

"Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan


seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk 

ke dalam kadipaten," jawab Gimin ketakutan. 

"Bodoh! Apakah kalian tidak melihat buktinya?!" 

dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot 

merah terbakar api amarah. 

Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan 

kepala. 

"Jangan hanya mematung, Tolol! Cepat kejar dan 

tangkap pembunuh itu!" perintah Adipati Sumagatri. 

"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan. 

Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu ber-

kelebat keluar mencari pembunuh istri Adipati 

Sumagatri. 

*** 

Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga 

menemukan jejak pembunuh itu. Walaupun sudah 

memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun 

tetap tak ditemukan jejaknya. 

"Aneh! Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?" 

gumam Gimin. Matanya terus memandang ke 

sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda 

kalau ada orang masuk ke tempat itu. 

"Mungkin dari atas, Kang." 

Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten. 

Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok 

bayangan. 

"Tak ada, Kang," kata Sarnopo. 

"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh 

curiga. "Bagaimana kalau kita geledah semua yang 

ada di dalam kadipaten?" 

"Setuju! Bukankah Kanjeng Adipati telah me-

merintahkan kita mencari si pembunuh?" sambut


Damus. 

"Ya! Semua patut dicurigai," tambah Gimin. 

"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo. 

"Ayo kita segera ke sana!" ajak Karjo. 

Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk 

memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah 

menyelinap seorang pembunuh. Belum juga tiba di 

tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang 

membuntuti. Seketika langkah mereka terhenti dan 

berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk. 

"Hm… Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti 

kita, Dimas?" tanya Sarnopo. Matanya ditajamkan, 

memandang ke sekeliling tempat itu. 

"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut 

Karja. 

"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin. 

Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa 

ada yang mengikuti dari belakang. 

"Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah 

Damus. 

Sarnopo menghela napas. Matanya masih 

menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha 

meyakinkan diri bahwa tak ada yang mengikuti 

mereka. 

"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam 

Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin. Dia merasa ada 

yang mengikutinya. 

"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera 

memeriksa seisi kadipaten," ajak Gimin. 

Mereka kembali melangkah untuk memeriksa 

ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba.... 

Zwing, zwing....! 

Empat buah benda yang entah dari mana datang-

nya, melesat cepat ke arah empat prajurit itu. Mereka


tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh. 

Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata 

keempatnya membelalak. Empat buah benda 

berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah 

mereka. Tanpa dapat dielakkan, keempat bunga itu 

menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai 

terlebih dahulu. 

Zleb zleb…! 

"Aaa...!" 

"Wuaaa...!" 

Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada 

keempat prajurit itu menyembur darah segar. Mata 

mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat, 

lalu ambruk tanpa nyawa. Di dada keempat prajurit 

itu terbenam setangkai mawar merah. 

Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu. 

Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi. 

Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia, 

bahkan merenggut nyawanya. Suasana di halaman 

kadipaten menjadi sepi dan mencekam. 

"Prajurit...!" seru Adipati Sumagatri dari dalam, 

berusaha memanggil keempat prajurit itu yang belum 

juga nampak batang hidungnya. 

Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu 

kalau para prajurit itu telah tergeletak tanpa nyawa 

dengan bunga mawar merah menghunjam di dada. 

Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri 

dengan gusar berlari keluar. Saat itu orang-orang 

dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar 

suara Adipati Sumagatri. 

"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu 

dengan rambut putih digelung ke atas. Walau sudah 

berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini 

masih terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima


Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai 

penasihat Kadipaten Pamakasan. 

"Bodoh semuanya!" dengus Adipati Sumagatri. 

Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki 

Balacatra. Lelaki tua berjubah ungu itu tak berani 

membantah atau melawan. 

"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?" 

Semua mata membelalak saling pandang, 

mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh 

tidak menyangka kalau istri sang Adipati yang baru 

dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas. 

"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra 

memberanikan diri bertanya. 

"Huh! Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh 

dia!" dengus Adipati Sumagatri kesal. 

Kembali semua mata membelalak. Kening mereka 

berkerut mendengar penuturan Adipati Pamakasan 

itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak 

tahu siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin 

mereka menangkap si pelaku? 

"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari 

pembunuh itu!" 

"Daulat, Kanjeng." 

"Cepat!" 

"Baik, Kanjeng." 

Tanpa membantah, Ki Balacatra segera 

menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini 

meninggalkan tempat itu untuk mencari pembunuh 

istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra 

keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-

tumbukan dengan tubuh empat orang prajurit yang 

tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah. 

"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sem-

barangan. Hanya dengan sekuntum bunga, dia


mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra 

sambil memandang keempat mayat prajurit itu. 

Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke 

sekeliling tempat itu, mencari jejak pelaku. Tapi, tidak 

ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan. 

Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki 

Balacatra mengerutkan kening. Namun, penciuman 

lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-

dengus, mencium bau yang lain dengan bau orang-

orangnya. 

"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang 

masuk ke kadipaten ini," kembali Ki Balacatra ber-

gumam lirih. "Sayang, dia telah pergi." 

"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah 

seorang punggawa kadipaten. 

"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki 

Balacatra. 

"Wanita, Ki?" 

"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya." 

Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten 

itu bergegas keluar. Mencari pembunuh istri Adipati 

Sumagatri 

*** 

Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu 

menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti meng-

hilang ditelan kegelapan malam. Bau wangi seorang 

wanita yang bercampur bau bunga mawar meng-

hilang seketika. Tak tercium hidung Ki Balacatra. 

"Berhenti!" 

"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti, 

mengapa Ki Balacatra menghentikan pengejaran. 

"Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya,"


kata Ki Balacatra. 

"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa 

alasan Ki Balacatra. 

"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan 

sia-sia belaka. Kita tidak tahu siapa pelaku 

pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak 

mengenal tokoh-tokoh wanita. Namun yang 

bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku 

baru mendengarnya. Dia tentu seorang wanita yang 

berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya," 

ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya. 

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya 

Wedatama lagi. Punggawa kadipaten ini berpakaian 

abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar. 

Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit 

kayu kuat. Wajahnya menunjukkan kewibawaan. Alis 

matanya tipis dengan kumis tebal melintang. 

Ki Balacatra mendesah pelan. 

"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana. 

Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit 

untuk disingkap. Terlebih senjata pembunuh itu 

sangat aneh dan belum pernah ada di rimba 

persilatan," gumam Ki Balacatra. 

"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-

orang persilatan di kadipaten ini, Ki?" tanya 

Wedatama. 

"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun 

juga, masalah ini adalah masalah kita bersama. 

Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten," 

tutur Ki Balacatra. 

Semua terdiam. Mata mereka memandang ke 

sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si 

pembunuh tiba-tiba muncul. Namun sampai ayam 

jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga


muncul. 

"Huh! Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar 

pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah bencana apa yang 

akan terjadi di kadipaten ini...?" 

Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya 

untuk kembali ke kadipaten. 

Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat 

naik. Pagi telah tiba. Burung-burung berkicau riang, 

berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten 

Pamakasan.. 

Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian 

istri sang Adipati dan keempat prajurit jaga telah 

mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka 

berbondong-bondong datang ke kadipaten untuk 

melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. 

Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri 

sedang berduka dan mengurung diri di dalam kamar. 

Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini 

masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa 

kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi. Semua 

orang di dalam kadipaten tak ada yang tahu kapan 

pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya yang 

berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya 

seorang wanita. Tapi siapa...? Pertanyaan itu tidak 

dapat dijawab Adipati Sumagatri. 

Jangankan melihat pelakunya, saat kematian 

istrinya saja Adipati Sumagatri tidak tahu. Lelaki 

setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah 

menjadi mayat dengan dada tertancap sekuntum 

mawar merah. 

"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap!" ucap 

seorang prajurit dari luar ruangan itu. "Apakah 

Kanjeng berkenan menerimanya?" 

"Suruh dia masuk!" perintah Adipati Sumagatri.


Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah 

seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi 

penasihat kadipaten. Lelaki tua itu langsung bersila di 

depan Adipati Sumagatri. 

"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar 

Ki Balacatra seraya merapatkan kedua telapak 

tangannya di depan hidung. 

"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri. 

"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng." 

"Katakanlah." 

"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara. 

Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa 

yang dapat menangkap pembunuh itu, akan diberi 

hadiah," usul Ki Balacatra. 

"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati 

Sumagatri. 

Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya. 

Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan 

tersembunyi, agar si pembunuh tidak mendengarnya. 

"Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila. 

Bagaimana, Kanjeng?" 

Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya 

mengangguk-angguk. Seakan menerima saran 

penasihatnya. 

"Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju. 

Segeralah sebar undangan pada semua pendekar." 

"Daulat, Kanjeng!" Ki Balacatra menyembah, lalu 

beringsut mundur. Dan keluar meninggalkan Adipati 

Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di 

dalam kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk 

tidak menentu.


DUA


Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit 

kadipaten tengah memacu kudanya dengan kencang 

menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka 

tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu 

sedang mengantarkan surat undangan Adipati 

Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar 

Gila dan Nyi Gendis Awit. 

"Hiya, hiya...!" 

Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari 

kencang. Keduanya nampak memburu waktu agar 

segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka 

melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda 

mereka meringkik keras. Larinya yang semula 

kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-

kuda itu merasa takut. 

"Hieeekh...!" 

Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki 

depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan berusaha 

memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat 

itu. 

"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang 

bernama Galarana terheran-heran. Kudanya seketika 

menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan. 

Kuda itu terus meminta kembali. 

"Hush, hush...! Ayo, kita harus segera sampai," 

perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada 

kudanya yang juga binal, sambil menarik tali kekang 

sekuat mungkin agar tidak jatuh. 

"Hieeekh...!"


Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua 

binatang itu seperti melihat sesuatu yang 

menakutkan di hadapannya, hingga tak berani 

melangkah maju. 

Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung 

ke atas seperti prajurit lainnya. Matanya tajam lebar 

dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan 

dagu panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras 

selama menjadi prajurit. 

Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari 

Galarana. Wajahnya bulat agak gemuk. Bertubuh 

agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat. 

Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu 

mancung. Kumis tipis menghias atas bibirnya yang 

agak tebal. 

"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam 

Galarana terus berusaha mengendalikan tali kekang 

kudanya. 

"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan, 

Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya binatang lebih 

peka dari manusia." 

"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya 

menyapu ke sekeliling. Tampak pepohonan tumbuh 

lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui. 

Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu 

yang mencurigakan atau membuat takut kuda-kuda 

itu. 

Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya 

yang beringas dan berusaha berputar ke arah semula. 

Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara 

sekecil apa pun dapat terdengar. 

Kresek! 

"Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau 

mendengar suara orang melangkah?"


"Ya." 

"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita 

beringas," dengus Galarana. 

Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang 

bersembunyi, tiba-tiba terdengar desingan keras yang 

disertai kelebatan dua benda ke arah mereka. 

Swing, swing...! 

"Awas...!" seru Galarana. 

"Hop!" 

Mereka segera melenting ke atas dan berputaran 

beberapa kali, mengelakkan senjata-senjata yang 

melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna 

merah darah yang terbuat dari logam besi terus 

menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi 

dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan 

serangan gelap itu. 

"Uts! Celaka...!" pekik Galarana dengan mata 

melotot. Senjata rahasia lawan seperti memiliki mata 

hingga mampu mengejar. 

"Uh! Mati aku...!" Bandra Gali pun memekik kaget 

Kedua prajurit kadipaten itu terdesak. Nyawa 

mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat 

kematian yang tragis ketika tiba-tiba terdengar suara 

suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu 

menghantam dua buah senjata rahasia yang 

menyerang mereka. Sehingga.... 

Pluk, pluk! 

Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke 

tanah. Mata kedua prajurit kadipaten itu membelak 

kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari 

kematian. 

"Kurang ajar! Siapa yang berani mencampuri 

urusanku?!" 

Terdengar suara wanita membentak keras. Dari


balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita 

setengah tua dengan pakaian warna biru laut. 

Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten 

yang menyurut mundur. 

Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai 

itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di 

punggungnya tersandang pedang kembar. Meski 

usianya sudah berkepala empat, namun 

kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis 

Awit atau Perawan Tua dari Dagelan. 

"Bedebah! Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali 

setelah mengetahui siapa orang yang telah 

menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar 

wanita dari wilayah Kadipaten Pamakasan sendiri. 

"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke 

wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit. Matanya 

memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu. 

"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk 

mengantarkan undangan padamu," jawab Galarana. 

Kemudian disodorkannya surat undangan yang 

berada di tangannya kepada Nyi Gendis Awit yang 

segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya 

surat undangan itu. 

"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?" 

tanya Nyi Gendis Awit. 

"Benar, Nyi," sahut Galarana. 

"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang 

tadi meniup suling hingga mampu merontokkan 

senjataku. Ayo, keluar! Jangan bisanya hanya 

bersembunyi...!" seru Nyi Gendis Awit menantang. 

"Ha ha ha...!" 

Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan. 

Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara 

itu tengah berada di atas pohon. Tawanya


berkumandang laksana berada di setiap penjuru 

angin. 

"Kurang ajar! Cepat keluar!" bentak Nyi Gendis 

Awit. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, 

berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar. 

"Ha ha ha...!" 

Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul 

seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular. Di 

tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari 

emas murni dengan kepala naga. Kedatangan 

pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang 

gila ini cukup mengejutkan ketiga orang itu. 

Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-

senyum. Jalannya seperti seekor kera. Tingkah 

lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya 

bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi 

kulit ular itu. 

"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk 

Pendekar Gila?" tanya Bandra Gali, seolah berbicara 

pada diri sendiri. 

"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan 

Kanjeng Adipati...," kata Galarana. Mata kedua 

prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu. 

"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis 

Awit mencoba menebak-nebak. Dia memang sering 

mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya 

belum pernah. 

"Aha! Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa 

tidak mengajakku...?" tanya Sena alias Pendekar Gila. 

Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya 

kembali. 

"Ha ha ha...!" 

"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya? Dan 

apa urusanmu merontokkan senjataku?" tanya Nyi


Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda 

tampan di hadapannya. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya 

menyelipkan Suling Naga Sakti ke sabuk di 

pinggangnya. 

"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya 

tidak ingin melihat ada pembunuhan keji tanpa tahu 

ujung pangkalnya." 

Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar 

ucapan Pendekar Gila. 

"Kurang ajar! Apa kau kira ucapanmu akan 

kudengarkan?!" 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang persis 

orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit 

bertambah jengkel. Sedangkan kedua prajurit 

kadipaten semakin mengerutkan kening, 

menyaksikan tingkah laku pemuda itu. 

"Ah! Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau 

tidak. Sudahlah. Tak perlu dipersoalkan lagi. Kurasa 

kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit," 

ujar Sena seraya menjura hormat. 

Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh 

mana ilmu pemuda itu, tidak mau membiarkan 

Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil 

membentak, perempuan setengah tua itu menyerang 

dengan jurus 'Cengkeraman Elang'. 

"Jangan pergi dulu! Terimalah seranganku! 

Hiaaa...!" 

"Uts!" 

Sena meminngkan tubuh ke samping, 

mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang 

cepat dan secara tiba-tiba. Hampir saja jari-jari 

tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung


Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu. 

Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan 

tepukan. 

"Plak!" 

"Uts...!" 

Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau 

tepukan tangan lawan yang kelihatan sangat pelan 

ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat 

lamban dan lemah. 

Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi 

Gendis Awit bersalto ke udara. Berputaran beberapa 

kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya 

memandang tajam pemuda bertingkah laku gila yang 

masih menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-

senyum sendiri. 

"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya?! 

"Ha ha ha...! Lucu sekali," gumam Sena sambil 

menepuk-nepuk pantat. "Tapi baiklah, aku akan 

memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala. 

Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah! Cukup 

jelas, bukan?" 

Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa 

pemuda tampan berbaju kulit ular di hadapan 

mereka. 

"Pendekar Gila...?!" 

Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua 

prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di 

atas kuda, melompat turun dan memberi hormat. 

"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar." 

"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu? Aku 

bukan raja atau adipati. Sudahlah. Aku tidak punya 

waktu banyak. Aku harus segera pergi." 

"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali. 

"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan


langkahnya. 

"Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan 

undangan pada Tuan," tutur Galarana sambil 

menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar 

Gila yang segera membuka dan membacanya. 

"Baiklah. Aku akan ke sana." 

Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat 

pergi meninggalkan tempat itu. Begitu cepat 

gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang 

melihatnya termangu bingung. 

"Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi 

Gendis Awit setelah termangu beberapa saat. 

"Apakah kalian akan bersamaku?" 

"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar 

undangan padamu dan Pendekar Gila," sahut Bandra 

Gali. 

"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit. 

Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat 

itu. 

Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten 

sampai di perbatasan Desa Lawang Ireng. Saat itu 

mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam 

akan datang. Mereka membutuhkan waktu 

semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan. 

Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang 

berjalan bersama tokoh rimba persilatan. Keduanya 

mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan 

tegar walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka 

sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali keduanya 

berhenti melangkah. 

"Hm.... Kulihat kalian lelah." 

"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata 

Nyi Gendis Awit, kasihan melihat kedua prajurit itu. 

"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana.


"Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin. 

"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali. 

"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus 

ingat itu." 

Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka 

agar mau naik kuda. Namun keduanya menolak. 

Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa 

mereka yang lelaki tidak? Terlebih mereka merupa-

kan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya 

prajurit menunjukkan ketahanan tubuhnya. 

"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat 

dan menginap di penginapan," saran Nyi Gendis Awit. 

Kedua prajurit itu mengangguk. 

Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya 

matahari yang semula terang benderang, kini hilang, 

berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun 

begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak 

menyenangkan. Hawa dingin yang menggigilkan dan 

suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam. 

Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri 

jalanan yang sepi dan lengang. Di kanan dan kiri jalan 

terdapat pepohonan. 

"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya 

Nyi Gendis Awit. 

"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali. 

"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk 

beristirahat," kata Nyi Gendis Awit kemudian. 

Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk 

mencari penginapan yang ada di desa itu. Tidak lama 

kemudian, mereka menemukan rumah penginapan 

itu. Setelah memesan dua buah kamar, ketiganya 

masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi 

Gendis Awit berdampingan dengan kamar kedua 

prajurit tu.


"Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan 

kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa 

keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis 

Nyi Gendis Awit, mengingat kedua prajurit itu. 

Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit 

membuka pakaian. Hingga tampak tubuhnya yang 

menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis 

Awit, sepasang mata melihat tubuhnya yang telanjang 

lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit 

memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik 

perhatian dua prajurit yang ada di kamar sebelah. 

Sepasang mata itu melotot tak berkedip. 

"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana. 

"Ssst...! Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk 

lubang kecil di dinding papan. 

Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat. 

Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-

lubang kecil. Seketika matanya membelalak. Berkali-

kali dia harus menelan ludah. 

"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana. 

"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?" 

"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap 

wanita ini. Kau ingat kata-kata Ki Balacatra?" tanya 

Galarana. 

"Ya." 

"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit 

terkenal dengan sebutan perawan tua, karena 

sampai usianya berkepala empat belum juga 

menikah." 

Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba... 

"Mengapa kalian berbisik-bisik? Kemarilah. Bukan-

kah kalian lelah? Apakah tidak sebaiknya kalian 

kupijit? 

Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak


mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada 

memanggil itu. Mereka tersenyum dengan dada 

berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar 

dari kamar. 

"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu," 

kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih. 

"Masuklah." 

Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit 

itu segera masuk ke dalam kamar Nyi Gendis Awit. 

Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya 

mengurai senyum menyaksikan kedatangan mereka. 

"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit. 

Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak 

mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum 

sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua prajurit 

itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang 

tubuh Nyi Gendis Awit yang polos tanpa sehelai 

benang pun. 

"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi 

Gendis Awit. 

Kedua prajurit kadipaten itu mendekat. 

"Bukalah pakaian kalian." 

Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak 

lama kemudian, suasana di kamar itu pun sepi. Yang 

terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit.


TIGA


Wut, wut...! 

Jlep, jlep..! 

"Aaa...!" seorang murid Perguruan Kera Merah 

yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang perguruan 

memekik keras. 

Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar 

merah menghujam di dada prajurit itu. Entah dari 

mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat 

cepat ke arahnya. 

Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid 

lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. 

Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka 

melihat temannya terkapar menjadi mayat. 

"Pembunuhan! Mawar merah...!" seru ketiga murid 

itu berusaha mengundang perhatian yang lainnya 

agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada 

yang terbangun, tiba-tiba… 

Wut, wut, wut! 

Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah 

mereka. 

"Awas…! Akh…!” 

Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah 

memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum mawar 

merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika 

mengejang kemudian ambruk tanpa nyawa. 

Jlep, jlep! 

"Aaakh...!" 

Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika 

tangkai bungan mawar itu menghunjam dada. Mata


mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan 

berkelebat cepat keluar dari kegelapan. Bayangan 

merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua 

prajurit itu segera meregang nyawa dan mati. 

Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar 

Ketua Perguruan Kera Merah yang bernama Ki 

Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu 

didobraknya. 

Brak! 

"Heh?!" Ki Anggada tersentak. 

Wut, wut! 

Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah 

tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki tua itu cepat 

membuang tubuh dengan berguling ke samping. 

Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran 

bunga-bunga mawar. 

Jlep, jlep! 

Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang 

usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas. 

Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah. 

Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di 

tangan seorang wanita berbaju serba merah. Lelaki 

berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku 

serta ikat kepala berwarna dadu itu mendengus. 

Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari 

logam yang berbentuk empat jari kera. Dengan 

senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak 

garang. 

"Siapa kau?!" 

"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang 

sekujur tubuhnya ditutupi kain merah. Termasuk 

wajahnya. 

"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan 

siapa kau sebenarnya?!" bentak Ki Anggada gusar.


"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan 

kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus 

mampus di tanganku! Hiaaa...!" 

Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat 

dan tiba-tiba. Segera dia melompat ke belakang, 

kemudian berkelit ke samping. 

"Hop! Heaaa...!" 

Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan 

cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus 

'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu 

cepat. Ki Anggada hampir terkena sambaran tangan 

lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian 

rompi merah dadu ini memiliki ketajaman tinggi. 

Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk 

pukulan lawan. 

"Hari ini bagianmu, Kera Busuk! Yeaaat…!" 

Wanita berpakaian serba merah itu terus 

merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-

serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada 

tempat-tempat mematikan. 

Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita 

misterius itu segera berkelit ke samping. Lalu dengan 

gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini 

menggunakan jurus 'Kera Merangsek Naga'. 

Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan. 

Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain 

merah itu terus menyerang dengan gabungan jurus 

'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut 

Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan bunga 

mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak 

berarti, tapi di tangan wanita itu sangat berbahaya. 

Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam 

sekejap. 

Swing, swing!


"Uts! Bunga setan!" maki Ki Anggada seraya 

mengelakkan bunga-bunga maut yang telah 

membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke 

sana ke mari, terkadang berputaran di udara untuk 

mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu. 

"Hiaaa!" 

"Hop! Uts!" 

Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan 

pada Ki Anggada untuk balas menyerang. Serangan-

serangannya begitu cepat, disusul lemparan-

lemparan mawar mautnya yang tak kalah berbahaya. 

Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar 

gurunya, murid-murid Perguruan Kera Merah 

berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun 

baru saja mereka sampai di pintu, tiba-tiba.... 

"Awas...!" seru Ki Anggada mengingatkan. 

Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita 

misterius itu melemparkan bunga-bunga mawarnya 

ke arah murid-murid Ki Anggada. 

"Hih!" 

Swing, swing...! 

Jlep, jlep...! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!" 

Tiga orang murid perguruan yang berada di depan 

langsung roboh. Di dada mereka menghunjam 

setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat 

keluar dari dada mereka. 

"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan 

siapa dirimu!" bentak Ki Anggada semakin marah 

menyaksikan murid-muridnya menjadi korban 

keganasan mawar merah lawan. 

"Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat! 

Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"


Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu 

kembali melemparkan bunga-bunga mawar merah ke 

arah Ki Anggada yang tersentak kaget. 

Swing, swing...! 

"Hop! Uts...!" 

Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian 

melesat ke samping kanan untuk mengelakkan 

serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera 

Menerkam Mangsa'. 

"Hiaaa...!" 

Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya 

bergerak lebih jauh. Dengan cepat, pedangnya yang 

bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau 

oleh sinar yang keluar dari pedang lawan. Ki Anggada 

memekik menyebutkan nama pedang di tangan 

wanita misterius itu. 

"Pedang Perak! Hei. Ada hubungan apa kau 

dengan Dewi Pedang Beracun?! Siapa kau...?!" 

"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk! Kini 

terimalah ajalmu! Hiaaat. .!" 

Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik 

Dewi Pedang Beracun itu tak mau membuang waktu 

lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan 

dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun 

ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'. 

Wut! 

"Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa 

sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan 

lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada 

masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu. 

Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak 

mungkin. 

Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan 

tahun silam.



Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di 

tangan lawannya. Dia belum yakin kalau wanita 

misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-

jurus pedangnya, sama dengan jurus-jurus milik Dewi 

Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya.... 

Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di 

Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya pernah 

membuat heboh para pendekar di wilayah itu. 

Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang 

Beracun banyak membunuh pendekar golongan 

putih. Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada 

para pendekar yang telah membunuh ayah dan 

ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun, 

sepak terjang Dewi Pedang Beracun dapat 

dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki 

Balamprang, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan Ki 

Sangkutra. 

Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun? Tapi... 

Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau 

seperti senjatanya yang berupa bunga kenanga. 

Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah 

darah seperti bunga yang digunakannya.... Ki 

Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus 

mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan. 

Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang 

lawan. 

"Heaaa!" 

Pedang di tangan wanita misterius itu terus 

bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan 

babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang 

keluar dari pedang lawan membuat napas Ki Anggada 

tidak lancar lagi. 

"Uhuk, uhuk...!" Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan 

kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena


terlalu banyak menghisap racun. 

"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk! Hiaaa...!" 

Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya. 

Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki 

Anggada yang tak mampu lagi mengelakkan serangan 

lawan. Maka.... 

Cras! 

Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah 

berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat, 

kemudian ambruk tanpa nyawa. 

Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain 

merah segera melesat meninggalkan tempat itu. 

Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang 

di kegelapan malam. 

Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai. 

Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh 

keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu 

Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki 

Anggada. 

Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak 

memacu kudanya menuju Perguruan Kera Merah 

untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri. 

Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya 

ketika melihat bendera kuning dipasang di kanan dan 

kiri jalan. 

"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya 

prajurit yang memegang sebuah gulungan daun 

lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung 

mancung. Matanya tidak terlalu lebar. 

"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola. 

"Sepertinya ada kematian." 

"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Kera 

Merah," ujar prajurit pertama yang bernama Buwala. 

"Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak.


sekali orang berdatangan," desis Sagola. 

"Ayo kita ke sana." 

Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera 

mendekat. Perguruan Kera Merah tampak dipenuhi 

oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa. 

"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada 

pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah 

menggaruk-garuk kepala. 

Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar 

dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, 

memandang kedua prajurit yang menegurnya. 

"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah 

saja kejahatannya," gumam pemuda yang tak lain 

Sena atau Pendekar Gila itu. 

Mendengar gumaman pemuda tampan berambut 

gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening 

saling pandang. Kemudian mata keduanya 

memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih 

tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa 

engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola hampir 

tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang 

konyol dan lucu. Mirip orang gila. Terkadang mimik 

wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan 

senyum melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol, 

pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan 

tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik 

mengorek telinga dengan bulu burung. 

"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil meringis kegelian. 

Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu 

membendung tawanya. 

"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana." 

"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan 

mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan mene


ngok ke arahnya. 

"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola. 

"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya 

Sena seraya menggaruk-garuk kepala. 

"Ya!" sahut keduanya. 

"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena 

sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. 

"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak 

beri tahu, ke arah mana aku harus pergi?" 

Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, 

mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh 

itu. 

"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda 

Edan?" tanya Buwala. 

"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak 

makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana. 

Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila. 

Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 

kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu 

hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri 

mengundang pemuda edan seperti ini? Tanya Sagola 

dalam hati. 

"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak 

mengundang pemuda gila sepertimu, Kisanak. Tapi, 

Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada 

pesta di sana," tutur Sagola. 

"Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni 

pemuda gila ini?" rungut Buwala mengajak temannya 

meneruskan berjalan. 

"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka. 

Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya 

melihat tingkah laku pemuda itu. 

"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan, 

heh?!"


Sena tersenyum mendengar bentakan itu. 

"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan, 

bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju 

kadipaten?!" Sena membentak tak kalah keras. 

"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala. 

Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar 

yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya. 

Sagola segera menerima dan cepat membuka 

gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak 

setelah membaca tulisan di daun lontar itu. 

"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan. 

"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar. 

Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah 

Pendekar Gila," ujar Sagola sambil turun dari kudanya 

dan menjura memberi hormat. 

"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah 

kelancangan kami," tambah Buwala. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan 

kedua prajurit itu menyembahnya. 

"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf. 

Sekarang katakan, ke arah mana aku harus 

berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan 

menggaruk-garuk kepala. 

"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan, 

biarlah nanti kami bersama Tuan," pinta Sagola. 

"Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai 

di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki 

Anggada telah tewas di tangan seseorang yang 

bersenjatakan bunga mawar," tutur Pendekar Gila. 

Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala 

membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada 

yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang 

membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian 

Ki Anggada sama dengan cara kematian istri Adipati


Sumagatri dan empat orang teman mereka. 

"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena. 

"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda 

Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola. 

"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum 

mengerti. 

"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri 

Kanjeng Adipati dan empat orang teman kami yang 

tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola 

setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh 

mawar merah." 

"Hm...," Sena bergumam tak jelas. 

Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata 

mereka memandang ke arah Perguruan Kera Merah 

yang tengah berkabung. 

"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah 

bertanya pada diri sendiri. 

"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena 

yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya 

menempuh perjalanan menuju Kadipaten 

Pamakasan.


EMPAT


Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten 

Pamakasan menyelusuri jalan setapak di tengah 

hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin 

terasa menggigit. Namun ketiganya masih saja 

melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu 

menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih 

dengan adanya suara-suara menyeramkan binatang-

binatang hutan. 

"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, 

Kisanak," kata Sena sambil menghentikan 

langkahnya. 

"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab 

kedua prajurit kadipatan itu bersamaan. 

"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api 

dulu." 

Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting 

kering. Gerakannya cepat tak dapat dilihat kedua 

prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah. 

Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan 

membawa ranting-ranting kering. 

"Buatlah api," pinta Sena. 

Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu 

harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka 

menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin 

mereka mencari batu api dalam keadaan gelap 

seperti ini? 

Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti 

apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. 

Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian


berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali 

dengan membawa dua buah batu api. 

"Ini batu api yang kalian butuhkan." 

Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada 

mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua 

batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala. 

Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup 

memberikan kehangatan. 

"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan 

kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena, 

lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus 

kerimbunan pohon. 

Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan 

Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka 

takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti 

itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di 

dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan 

terang. 

"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala 

mengingatkan. 

"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama." 

Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa 

pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. 

Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu 

dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan 

diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata 

rahasia. 

"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-

ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar 

Gila agar segera datang ke tempat itu. 

Swing, swing...! 

Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit 

itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah 

dari mana datangnya.


berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali 

dengan membawa dua buah batu api. 

"Ini batu api yang kalian butuhkan." 

Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada 

mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua 

batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala. 

Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup 

memberikan kehangatan. 

"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan 

kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena, 

lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus 

kerimbunan pohon. 

Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan 

Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka 

takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti 

itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di 

dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan 

terang. 

"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala 

mengingatkan. 

"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama." 

Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa 

pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. 

Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu 

dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan 

diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata 

rahasia. 

"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-

ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar 

Gila agar segera datang ke tempat itu. 

Swing, swing...! 

Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit 

itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah 

dari mana datangnya.


"Celaka! Bunga mawar!" pekik Buwala kaget. 

Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata 

lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya 

meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat 

ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, bunga itu 

menghunjam dadanya. 

Jlep! 

"Ukh!" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat 

mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa 

nyawa. 

Jlep! 

Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang 

juga tak sempat mengelak. Seperti Buwala, Sagola 

pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah 

tubuhnya mengejang dengan mata melotot. 

Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang 

dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena 

tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit 

kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke 

sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa 

kuntum bunga ke arahnya. 

Swing, swing...!" 

"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena sambil 

bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di 

udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila 

Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan 

Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa bunga 

mawar yang menyerangnya. 

Belum lagi Sena berhasil merontokkan bunga-

bunga itu, serangan berikutnya datang. Bunga-bunga 

mawar merah kembali melesat ke arahnya. 

"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan 

nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan 

mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya.


Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan 

cepat dibabatkan ke arah bunga-bunga itu. 

"Heaaa...!" 

Prak, prak...! 

Pluk, pluk...! 

Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan 

aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran 

Suling Naga Sakti Pendekar Gila. 

"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar 

Gila sambil menghantamkan pukulan ke arah tempat 

bunga-bunga mawar itu berasal. 

Tak ada sahutan. 

Sena semakin bertambah geram, merasa diper-

mainkan lawan. 

"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet 

denganku. Baik. Ha ha ha...!" 

Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan 

ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat 

laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang 

begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang. 

Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa 

kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tidak 

ditemukannya seorang pun di situ. 

"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu 

siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut 

nyengir kuda. 

Pendekar Gila kembali ke tempat perapian. 

Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di 

dada keduanya tertancap bunga mawar. 

"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera 

berjongkok mengambil bunga mawar yang menancap 

di dada dua prajurit itu. 

Prul!


Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata 

Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu 

yang aneh. Bunga mawar yang tadinya segar dalam 

sekejap berubah layu. 

"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun 

seraya memandangi bunga mawar di tangannya. 

Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di 

dada prajurit kadipaten yang lain. Keduanya sangat 

berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu 

nampak segar. Sedangkan yang di tangannya telah 

layu. 

Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala. 

Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan 

keanehan itu. Dicobanya ditusukkan kembali ke 

tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga 

mawar yang semula layu menjadi segar. 

"Hah?! Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena 

dengan mata melotot dan mulut ternganga. 

Sena kembali menyapukan pandangan ke 

sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau 

penyerang yang belum diketahui wujud dan rupanya 

itu memang telah pergi dari situ. 

"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga 

biasa. Bunga iblis penghisap darah," gumam Sena 

lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu 

makin lama tambah merekah. 

Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak 

percaya pada apa yang dilihatnya. Bunga-bunga 

mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian 

membesar. Dari kuntum kecil dengan kelopak-

kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman 

tangan. Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami 

perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur memucat. 

Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu


mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. 

"Oh! Apa yang terjadi?" 

Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian 

aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabu bunga 

mawar yang semakin membesar. Prul! 

Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku 

duknya merinding. Bunga mawar itu kini memiliki aka 

panjang sampai ke batok kepala korban. 

"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar 

benar bunga iblis," gumam Sena sambil membuai 

bunga itu jauh-jauh. 

Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga 

merinding, dicabutnya bunga mawar yang menancap 

dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya 

jauh-jauh. 

"Hhh...!" Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang 

akan melanda kadipaten ini?" 

Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat 

meninggalkan tempat itu setelah mematikan api 

unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan 

menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan 

angin. 

*** 

Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang 

pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak 

menggeliat bangun dari tidurnya. 

"Hua…!" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap. 

Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat 

tubuhnya melayang turun dari atas cabang pohon di 

Hutan Waranggalih. 

Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-

ototnya yang agak kaku. Seketika matanya tertumbuk


pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar 

sepuluh tombak dari tempat dia tidur. 

"Heh! Rupanya ada orang yang datang ke tempat 

ini," gumam Sena lirih. "Hm. Bagaimana mungkin aku 

sampai tidak tahu?" 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya 

melangkah menuju ke pohon itu. Dengan tangan 

masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila 

membaca tulisan di kulit pohon itu. 

Pendekar Gila, 

Kuharap kau jangan mencampuri urusanku! 

Mawar Maut. 

Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung 

yang diselipkan di pinggang. Lalu dengan nikmat 

kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis, 

sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. 

"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah 

bergumam. "Kurasa dia bukan orang sembarangan. 

Kalau dia mau sangat mudah membunuhku." 

Sena memandang berkeliling, berusaha mencari 

jejak seseorang yang lewat di tempat itu. Tapi tak 

ditemukan jejak apa pun. 

"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak 

ada sama sekali," gumam Sena, bicara pada diri 

sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh 

Mawar Maut yang senjata rahasianya berupa Mawar 

Penghisap Darah. 

Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila 

meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tidak gentar 

sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan 

semakin ingin menyibak misteri tokoh itu. Sepak 

terjangnya sangat membahayakan. Terutama senjata


rahasianya yang berupa bunga mawar merah. 

"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin 

penasaran, Mawar Maut!" gumam Sena sambil 

melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan 

itu. 

Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-

tiba matanya melihat sebaris tulisan. Kali ini bukan 

ancaman, melainkan sebuah petunjuk. 

"Heh! Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia 

mengancamku. Mengapa sekarang memberi 

petunjuk?" 

Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena 

membaca tulisan Itu, 

Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya! Beloklah 

ke kanan. 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran 

dengan tingkah laku Mawar Maut yang dirasa sangat 

aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar 

Maut benar. Terbukti, orang itu tidak membunuhnya 

sewaktu tidur. 

"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika 

aku berjalan lurus," gumam Sena. Kemudian kakinya 

pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar 

Maut. 

Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam. 

Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui. 

Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan 

setapak. 

Brosss! 

"Akh!" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok 

ke bawah. Tubuhnya melayang cepat ke dalam 

lubang perangkap. 

"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam sana, 

Pendekar Gila! Bukankah sudah kukatakan jangan


berjalan lurus! Nah, kini tetaplah di situ menunggu 

kematianmu!" dari atas terdengar suara seorang 

wanita. 

"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah 

dia?" gumam sena, menduga-duga siapa Mawar Maut 

itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara 

desisan keras dari arah samping. 

"Zsss...!" 

Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya 

berbalik memandang arah asal suara. Seketika 

matanya beradu dengan sepasang mata merah 

menyala. 

"Ular!" desis Sena seraya menyurut mundur. 

"Rupanya ini sarang ular." 

Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya 

tajam memandang pemilik sepasang mata merah 

membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari 

belakang terdengar desisan yang keras. 

"Hei. Ada dua ekor!" seru Sena kaget. 

Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah 

menyala merayap ke arahnya. Lidah kedua binatang 

menyeramkan itu menjulur-julur keluar. Mulutnya 

yang mendesis-desis terbuka lebar, menunjukkan 

gigi-giginya yang runcing dan berbisa. 

"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka 

mengira mudah memangsaku. Baik kawan, kita main-

main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga 

Sakti. 

Kedua ular besar hitam kelam itu semakin 

mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar 

menyeramkan. Mulutnya menganga, siap memangsa 

Sena. 

Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya 

Suling Naga Sakti dengan perlahan hingga


menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu. 

Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda 

badai. Dari atas lubang menyeruak masuk beratus-

ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil 

oleh tiupan suling Pendekar Gila. 

"Zsss...!" 

Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan 

diperintah, ular-ular itu menyerang kedua ular hitam 

besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam 

sekejap, pertarungan dua ekor ular besar dengan 

ratusan ekor ular kecil berlangsung. Ular-ular kecil itu 

dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam 

besar. 

Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya, 

semakin bertambah banyak ular-ular kecil ber-

datangan. 

Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan 

sakit akibat gigitan ular-ular kecil. Sampai-sampai 

Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan 

banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua 

ular hitam besar itu lumat dimangsa ular-ular kecil. 

Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu 

membentuk sebuah tangga. seperti menyuruh 

Pendekar Gila untuk naik ke atas. 

Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik. 

"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku. 

Pergilah." 

Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong 

mereka meninggalkan Pendekar Gila yang masih 

tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja 

dialami. 

"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas 

pertolongan-Mu padaku," desah Sena. Kemudian 

melesat pergi meninggalkan tempat itu.


LIMA


Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan 

tampak telah hadir beberapa orang undangan yang 

sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah 

Ki Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki 

Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan Sena Manggala 

atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim 

di wilayah Kadipaten Pamakasan. Selain mereka, 

tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang tua yang 

menjadi penasihat kadipaten. 

Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri 

yang dikawal dua orang prajurit pilihan. Semua yang 

hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura 

hormat. 

"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata 

Adipati Sumagatri. "Silakan duduk kembali." 

Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang 

sudah disediakan. Sejenak semuanya terdiam. Mata 

Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar 

yang hadir di tempat itu. 

"Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya 

kemudian. 

"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada 

tewas oleh pembunuh misterius yang sampai saat ini 

belum diketahui siapa sebenarnya." 

Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti. 

Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu 

duduk di kursinya. Semua pendekar yang hadir di 

tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas 

kematian Ki Anggada.


"Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di 

kadipaten ini, bukan? Contoh yang nyata adalah Ki 

Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati 

Sumagatri setelah terdiam beberapa saat. 

"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk 

dicekam rasa takut dengan kemunculan pembunuh 

misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...," 

tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara 

mereka. Lelaki berjenggot panjang putih dengan 

hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang 

dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra. 

Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak 

lain guru besar di Perguruan Tambak Segara. 

"Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang 

kewalahan menghadapinya. Senjatanya mengingat-

kan kita pada tokoh yang pernah membuat 

kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki 

Lurah Banjilan, Ki Sangkutra masih ingat siapa tokoh 

bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki 

Balacatra, mengejutkan semuanya termasuk Adipati 

Sumagatri. 

"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati 

Sumagatri. 

"Benar." 

"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang. 

"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" 

sambut Ki Lurah Banjil. 

"Aku telah memperhatikan dengan seksama 

korban-korban tokoh itu. Bunga mawar merah itu 

ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di 

tubuh korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan. 

"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba 

Pendekar Gila yang sejak tadi hanya tersenyum-

senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara.


"Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya 

Adipati Sumagatri. 

Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil 

tersenyum-senyum. 

"Ya! Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin 

malam bersamaku diserang oleh Mawar Maut. Mawar 

itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika 

dicabut, mawar itu akan layu," tutur Sena. 

"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai 

saat ini," gumam Adipati Sumagatri sambil meng-

angguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung. 

"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena. 

"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya 

Ki Balacatra. Penasihat kadipatan itu ingin tahu 

mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar 

Maut. Padahal, pendekar muda itu bukan orang 

sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua orang 

prajurit saja tidak sanggup. 

Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena mencerita-

kan apa yang terjadi kemarin malam. 

"Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa mencerita-

kan bagaimana dia terperosok ke dalam lubang yang 

berisi dua ekor ular besar berwama hitam. 

Semua yang mendengar mengangguk-angguk. 

Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar 

Gila. Meski sebelumnya mereka belum pernah 

bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh 

yang dikenal arif dan bijaksana itu tak akan mungkin 

berkata bohong. 

"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar 

maut itu memang bukan orang sembarangan. 

Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?" 

tanya Ki Balamprang setengah bergumam. 

"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit.


"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya? 

Bukankah kita telah membunuhnya? Bahkan, 

kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu, 

Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra. Lelaki ini paling 

muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan. 

Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di 

atas bibir. Matanya sedang dan alis matanya tidak 

terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar. 

Pakaian yang dikenakannya hijau tua. 

"Benar! Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki 

Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng Adipati 

menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang 

sudah mati hidup kembali," bantah Ki Mandra Dupa, 

seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. 

Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang 

bauk lebat. Matanya lebar memandang garang. 

Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang 

hingga wajahnya seperti wajah ular. Pakaiannya 

berwarna coklat muda. 

Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-

kan. 

"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan 

Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu, kamilah yang 

menguburkan Dewi Pedang beracun beserta 

pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat 

kata-kata Ki Sangkutra dan Ki Mandra Dupa. 

"Hm....!" 

Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat 

dalam pembunuhan Dewi Pedang Beracun, Pendekar 

Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas. 

"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama 

dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki Balamprang. 

"Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang 

sepuluh tahun silam kita bunuh?"


Semua terdiam. Larut dalam pikiran masing-

masing. Mereka sungguh tak mengerti, mengapa 

kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau 

benar Dewi Pedang Beracun yang melakukannya, 

sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi 

Pedang Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah 

Dewi Pedang Beracun muncul dan bermaksud 

menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya. 

"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak 

menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu?" 

tanya Sena. 

"Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang. 

Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua 

kejadian yang menyangkut Dewi Pedang Beracun. 

Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang 

dipimpin Adipati Kerto Amabrang dihebohkan oleh 

seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau 

dengan senjata bunga kenanga. Wanita cantik itu 

memiliki sebatang pedang perak yang mengeluarkan 

racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang 

Beracun. 

Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu 

belaka. Membalas dendam dengan membunuh para 

pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati. 

Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi 

Pedang Beracun anak sepasang suami istri yang telah 

dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas 

perintah Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan 

guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi Kandri. 

Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto 

Amabrang mengundang lima pendekar yang ada di 

wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki 

Anggada, Ki Mandra Dupa dan pendekar muda yang 

kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang kuat


akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang 

Beracun dan menguburkannya di atas Bukit Lawa 

Ireng. 

"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang 

Beracun benar-benar hidup kembali, rasanya 

mustahil. Mungkinkah arwahnya? Hingga gerakannya 

melebihi Dewi Pedang Beracun yang sebenarnya?" 

tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya. 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun 

merasa heran setelah mendengar cerita Ki 

Balamprang. Ingatannya segera melayang pada 

kejadian kemarin, saat dia terperosok ke dalam 

lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan 

berkelebat. Kakinya menginjak tanah. 

"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata 

Sena pasti. 

"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang. 

"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut 

Adipati Sumagatri. 

"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang 

mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat 

semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-

gerik yang sama persis dengan Dewi Pedang Beracun. 

Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang 

Beracun," tutur Sena membuat semuanya ter-

cengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila 

mampu rnenarik kesimpulan dari cerita yang baru 

saja didengarnya. 

"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau 

berkenan, berilah penjelasan yang sempurna," pinta 

Ki Balacatra. 

"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian 

mau memperhatikan dengan seksama. Pertama, 

Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan


bunga kenanga yang menancap di kening korban, 

seperti yang diceritakan Ki Balamprang. Tapi orang ini 

membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa 

hidup pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai 

ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan mereka. 

Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang. 

Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan 

jurusnya agak berbeda." 

"Maksudmu, Pendekar Gila...?!" tanya Adipati 

Sumagatri. 

"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita 

kematian Ki Anggada? Dia mati dengan leher 

tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut 

cerita Ki Balamprang, Dewi Pedang Beracun hanya 

cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan 

dengan cara menyilang...," tutur Sena menjelaskan. 

Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin 

kagum pada Pendekar Gila. Mereka tidak pernah 

menyangka kalau pendekar muda itu sanggup 

menarik kesimpulan dari peristiwa yang penuh 

misteri. 

"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan 

pada keanehan dan dugaan sesat," kata Ki Balacatra. 

"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap 

pelaku itu." 

"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena. 

"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra. 

"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun." 

"Hm.... Benar!" sambut Ki Sangkutra. 

"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang 

Beracun masih terkubur di sana," sambung Ki 

Mandra Dupa. 

"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati 

Sumagatri.


"Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki 

Balamprang saja," kata Sena. "Bagaimana, Ki?" 

"Aku setuju." 

"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena. 

Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi. 

Setelah menjura hormat, mereka bergegas 

meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi 

Pedang Beracun yang berada di Bukit Lawang Ireng. 

*** 

Ki Balamprang yang merupakan tokoh tua dunia 

persilatan, harus mengakui kehebatan ilmu lari 

Pendekar Gila yang usianya jauh di bawahnya. tidak 

jarang dirinya tertinggal, tak sanggup mengejar 

Pendekar Gila yang melesat melebih angin. Tubuhnya 

terlihat bagai terbang. 

Ilmu lari apakah yang digunakannya? Tanya Ki 

Balamprang dalam hati. Sungguh bukan omong 

kosong nama Pendekar Gila. Baru ilmu larinya saja 

aku sudah jauh tertinggal. Apalagi ilmu silat dan ilmu 

kesaktiannya? 

Pendekar Gila menghentikan larinya, setelah sadar 

Ki Balamprang tertinggal jauh di belakang. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya 

cengar-cengir. 

"Ah. Kurasa kau mengujiku, Ki," kata Sena. 

"Tidak, Pendekar Gila. Sungguh baru sekarang aku 

tahu kalau rimba persilatan telah banyak mengalami 

kemajuan. Salah satunya kau. Sulit pendekar tua 

sepertiku dapat menandingimu. Kau sendiri pun sulit 

dicari tandingannya," kata Ki Balamprang kagum. 

"Jangan terlalu merendah, Ki. Kau lebih ber-

pengalaman dibanding aku," ujar Sena seraya


menggaruk-garuk kepala. 

Ki Balamprang tersenyum senang dengan tutur 

kata dan tindak tanduk Pendekar Gila. Meski tingkah 

lakunya persis orang gila, tapi cukup bijaksana dalam 

mengambil keputusan. 

"Apa masih jauh, Ki?" tanya Sena sambil me-

mandang lurus ke depan. Tangan kirinya bertolak 

pinggang, sedangkan tangan kanan menggaruk-garuk 

kepala. Mulutnya meringis, mirip seekor kera 

kepanasan. 

"Sebentar lagi kita sampai, Pendekar Gila." 

"Panggil saja Sena, Ki," tukas Sena. 

"Baiklah, Sena. Kuburan Dewi Pedang Beracun 

sekitar dua mil lagi dari sini." 

"Hm.... Agak dekat. Mari kubantu, Ki. Peganglah 

tangan kiriku. Kita harus segera sampai di tempat 

tujuan sebelum matahari terbenam." 

Ki Balamprang menurut. Dipegangnya tangan kiri 

Pendekar Gila. 

"Siap, Ki?" 

"Ya." 

"Berpeganglah kuat-kuat. 'Sapta Bayu'. Yeaaa...!" 

Wusss! 

Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang, 

hingga Ki Balamprang melotot ngeri merasakan 

tubuhnya melayang di udara. Sungguh dahsyat ilmu 

lari pendekar muda ini. Gumam Ki Balamprang dalam 

hati. Dalam sekejap mereka tiba di tempat tujuan. 

"Seperti mimpi rasanya," gumam Ki Balamprang. 

"Tubuhku laksana terbang. Huh. Aku hampir 

ketakutan." 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala, matanya 

memandang ke atas bukit, di mana tampak dua buah 

batu nisan.


"Itukah kuburannya, Ki?" 

"Hm...," gumam Sena. "Kita harus segera ke sana. 

Ayo, Ki...!" 

Keduanya berlari-lari mendaki bukit yang tidak 

begitu tinggi. Tak begitu lama, mereka pun sampai di 

kuburan itu. Mata Ki Balamprang mengerut ketika 

melihat sebagian kuburan terbongkar. Seakan mayat 

Dewi Pedang Beracun benar-benar bangkit dari kubur. 

"Ada apa, Ki?" tanya Sena heran. 

"Kau lihat, Sena. Kuburan ini terbongkar. Dewi 

Pedang Beracun telah keluar dari kuburnya!" desis Ki 

Balamprang dengan bulu kuduk meremang. 

"Bangkit dari kubur?!" tanya Sena dengan kening 

berkerut. 

Ki Balamprang mengangguk. 

"Ah! Mungkinkah itu, Ki?" 

"Entahlah. Kalau memang benar sangat ber-

bahaya," desah Ki Balamprang. 

"Bagaimana kalau kita buktikan saja, Ki?" 

"Maksudmu?" tanya Ki Balamprang tak mengerti. 

"Sebentar lagi malam tiba. Bukankah mayat hidup 

selalu menunggu malam tiba?" 

Ki Balamprang mengangguk-angguk. 

"Benar yang kau katakan, Sena. Baiklah, kita cari 

tempat yang terlindung untuk mengawasinya." 

"Di sana," kata Sena sambil menunjuk rimbunan 

semak belukar yang tidak begitu jauh. "Kita ke sana, 

Ki." 

"Ayo," ajak Ki Balamprang. Keduanya melesat ke 

semak-semak yang cukup melindungi tubuh mereka 

dari penglihatan orang lain. Sementara, matahari 

terus bergulir ke barat. Sebentar lagi malam akan 

tiba. Suasana di bukit itu terasa mencekam.


ENAM


Malam yang dinanti-nantikan datang dengan 

membawa angin dingin. Suasana di sekitar Bukit 

Lawang Ireng tempat makam Dewi Pedang Beracun 

berada makin mencekam perasaan. Suara-suara yang 

seperti datang dari alam kematian menyeruak 

bersama datangnya kegelapan. 

Pendekar Gila dan Ki Balamprang mengintip dari 

balik semak. Mata mereka terpaku pada kuburan tua 

tempat mayat Dewi Pedang Beracun bersama 

senjatanya tersimpan. 

"Kurasa dugaanku salah, Sena," desis Ki 

Balamprang mulai goyah pendiriannya, setelah 

menunggu lama namun tidak juga muncul tanda-

tanda kalau Dewi Pedang Beracun hidup kembali. 

"Sabarlah, Ki. Kita tunggu sampai nanti malam," 

bisik Pendekar Gila pelan. 

"Tapi, biasanya arwah keluar jika hari menjelang 

gelap seperti ini. Saat matahari tenggelam arwah 

akan muncul ke dunia," tutur Ki Balamprang. 

"Hhh," Sena menghela napas. Matanya masih 

menatap kuburan Dewi Pedang Beracun. Memang tak 

ada tanda-tanda kalau mayat Dewi Pedang Beracun 

akan muncul ke dunia. Padahal hari sudah mulai 

gelap. 

Krak! 

Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dari arah 

kuburan. Mata Sena dan Ki Balamprang langsung 

memandang tajam ke arah kuburan dengan penuh 

kengerian dan tegang.


Krak! 

Suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan 

itu, sebuah bayangan yang diselimuti kabut putih 

melesat ke atas. 

"Lihat, Ki. Rupanya, arwah Dewi Pedang Beracun 

benar-benar muncul," desis Sena. Matanya 

memandang tegang bayangan yang diselimuti kabut, 

yang masih bergulung-gulung di angkasa. 

"Ya! Mungkinkah dia yang melakukan pem-

bunuhan itu?" gumam Ki Balamprang ragu. 

"Kita lihat saja, Ki." 

Bayangan hijau bunga kenanga itu terus 

bergulung, lalu melesat bersama angin ke arah 

Kadipaten Pamakasan. 

"Hei! Dia menuju kadipaten. Celaka...!" pekik Ki 

Balamprang semakin tegang. 

"Kita harus mengikutinya, Ki," kata Sena. 

"Mengikutinya?" tanya Ki Balamprang dengan 

pandangan mata penuh ketegangan. Bergidik bulu 

kuduknya mendengar kata-kata Pendekar Gila. 

Bagaimana mungkin mereka mengikutinya? Kalau 

benar arwah Dewi Pedang Beracun yang membunuh, 

tentu sulit bagi mereka untuk menghalangi. 

"Kenapa, Ki? Nampaknya kau ragu," ujar Sena. 

"Sena, bagaimana mungkin kita menghadapi 

arwah? Dia tidak dapat dibunuh." 

Sena menggaruk-garuk kepala. 

"Aku akan berusaha, Ki. Semoga Suling Naga Sakti 

dapat membantuku," kata Sena berusaha menenang-

kan hati Ki Balamprang yang kelihatan sangat 

gelisah. 

"Suling Naga Sakti?!" 

Ki Balamprang nampak terkejut mendengar Suling 

Naga Sakti disebut Pendekar Gila. Matanya melotot,


memandang tajam ke arah Sena yang masih 

tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Benar, Ki." 

"Oh! Senjata sakti itu ada padamu, Sena?" tanya Ki 

Balamprang belum yakin. 

"Ya. Kenapa, Ki?" 

"Ck ck ck.... Sungguh kau bukan pendekar 

sembarangan, Sena. Dengan Suling Naga Sakti di 

tanganmu, sulit bagi tokoh persilatan menandingimu," 

decak kagum keluar dari mulut Ki Balamprang. 

Matanya semakin tajam memandang Pendekar Gila. 

"Ah. Sudahlah, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam di 

sini. Kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena. 

"Peganglah tangan kiriku." 

Ki Balamprang menurut. Dipegangnya dengan kuat 

tangan kiri Pendekar Gila. 

"Sudah siap, Ki?" tanya Sena. 

"Sudah." 

"'Sapta Bayu'. Heaaa...!" 

Dalam sekejap, tubuh Pendekar Gila serta Ki 

Balamprang melesat cepat meninggalkan bukit itu. 

Mereka harus segera sampai di kadipaten 

sebelum arwah Dewi Pedang Beracun tiba. Namun 

bayangan arwah Dewi Pedang Beracun yang mereka 

ikuti, tiba-tiba menghilang dalam gelap. Pendekar Gila 

tersentak dan menghentikan larinya. 

"Hilang, Ki." 

"Ya." 

"Hm.... Ke arah mana dia menghilang?" gumam 

Sena sambil menyapukan pandangan ke sekeliling 

tempat itu. Begitu juga Ki Balamprang. 

"Hik hik hik...!" 

Tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang 

menyeramkan. Hingga bulu kuduk kedua orang itu


meremang. Bersamaan dengan tawa itu, tiba-tiba... 

Swing, swing...! 

"Awas, Ki...!" seru Sena mengingatkan, ketika 

beberapa bunga mawar merah melesat cepat ke arah 

mereka. 

"Hop! Heaaa...!" 

Ki Balamprang segera berputaran di udara 

mengelakkan serangan yang datang cepat dan tiba-

tiba. 

Begitu pun dengan Pendekar Gila. Kemudian 

keduanya mencabut senjata masing-masing. Dengan 

Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila 

bergerak membabat bunga-bunga mawar maut yang 

menderu-deru ke arahnya. 

"Yeaaa...!" 

Wut! 

Pluk, pluk! 

Bunga-bunga mawar maut berguguran terkena 

sapuan Suling Naga Sakti. Sementara Ki Balamprang 

dengan senjatanya yang berupa jala, tak mau tinggal 

diam. Jala yang terbuat dari anyaman sari logam itu 

ditebarkan di hadapannya. 

Wret! 

Prak, prak! 

Bunga-bunga mawar maut yang mengarah ke 

tubuhnya terbendung jala di tangan Ki Balamprang. 

Kemudian dengan geram, Ki Balamprang segera 

mengangkat senjatanya. Kemudian diputar-putar di 

udara, sebelum dihantamkan ke arah bunga-bunga 

mawar merah. 

Wut! 

Larikan sinar merah yang keluar dari ujung jala 

menderu ke arah bunga-bunga mawar di hadapannya. 

Glarrr!


Ledakan dahsyat terdengar menggelegar, ber-

samaan dengan tumbangnya beberapa pohon yang 

terkena hantaman ujung-ujung jala Ki Balamprang. 

"Kita kejar, Ki!" ajak Sena. Keduanya segera 

melesat ke arah hutan tempta senjata-senjata 

rahasia berbentuk bunga mawar merah melesat 

menyerang. Tapi, sesampainya di tempat itu, mereka 

tidak menemukan seorang pun. 

"Hilang, Ki!" 

"Hm.... Mungkin arwah Dewi Pedang Beracun, 

Sena. Kita harus berhati-hati," gumam Ki Balamprang. 

Matanya memandang ke sekeliling tempat itu yang 

gelap dan mencekam. 

"Mungkinkan arwah Dewi Pedang Beracun, Ki? 

Bukankah Dewi Pedang Beracun menggunakan 

bunga kenanga?" tanya Sena masih belum percaya 

yang menyerang mereka Dewi Pedang Beracun. 

"Entahlah, Sena. Tapi kalau memang bukan arwah, 

bagaimana mungkin bisa menghilang begitu cepat?" 

"Kita periksa lagi, Ki. Siapa tahu masih ber-

sembunyi di sekitar tempat ini," ajak Sena. 

"Aku setuju." 

Belum juga keduanya memeriksa keadaan di 

sekitar tempat itu, kembali mereka dikejutkan oleh 

suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk. 

"Hik hik hik...!" 

"Itu dia, Ki!" kata Sena. 

"Benar. Suaranya seperti kuntilanak, Sena." 

"Awas, Ki! Serangan...!" pekik Sena. Matanya 

melihat beberapa tangkai bunga mawar melesat ke 

arah mereka. 

"Heaaa!" 

Ki Balamprang segera mencelat ke belakang, 

bersalto mengelakkan serangan bunga-bunga mawar


maut yang menderu cepat ke arahnya. 

Swing, swing...! 

"Heaaa...! 

Dengan melompat, Pendekar Gila dan Ki 

Balamprang segera mengibaskan senjatanya untuk 

memapaki serangan bunga-bunga mawar. 

Wut! 

Pluk, pluk..,! Srat! 

Suara jaring Ki Balamprang terdengar menderu, 

menyambar ke arah bunga-bunga mawar yang 

melaju. Seketika itu juga, bunga-bunga mawar itu 

jatuh berguguran. 

"Setan! Rupanya dia ingin mempermainkan kita, 

Ki," ujar Sena menggerutu kesal. Kemudian dengan 

masih bergerak, ditiupnya Suling Naga Sakti. 

Suara suling itu mengalun keras, melengking 

dahsyat. Seketika suasana di tempat itu laksana 

dihantam prahara. Angin menderu-deru kencang 

merobohkan beberapa pohon. Ledakan-ledakan 

dahsyat tak ubahnya halilintar, menggelegar 

memecah kesunyian malam. 

Jlegar! 

"Aaakh!" 

Dari dalam Hutan Pranggas terdengar suara pekik 

kesakitan. Sepertinya ada seseorang di dalam hutan. 

Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya. 

"Ki, seperti ada suara orang. Kita periksa," ajak 

Sena. 

Keduanya berkelebat meninggalkan tempat itu 

menerobos hutan. Tapi, kembali mereka tidak 

menemukan seorang pun di hutan itu. 

"Mungkinkah arwah Dewi Pedang Beracun?" Desis 

Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang, 

mendapatkan kenyataan yang ada.


"Hhh," Sena mendesah. "Kalau benar itu arwah, dia 

akan musnah, Ki." 

"Ya. Suling Naga Sakti yang baru saja kutiup 

adalah suara 'Pelayung Sukma'. Apa pun bentuk iblis, 

akan dapat dimusnahkan Suling Naga Sakti," jelas 

Pendekar Gila. 

Ki Balamprang mengangguk-angguk kagum. 

"Kita harus segera ke kadipaten, Ki. Firasatku 

mengatakan terjadi sesuatu di sana." 

"Ayo." 

*** 

Malam menyelimuti Kadipten Pamakasan dengan 

kegelapan yang mencekam. Suasana di sekeliling 

kadipaten tempat para pendekar beristirahat, 

nampak sepi dan tenang. Sementara di pintu gerbang 

empat orang prajurit tengah berjaga-jaga. Jumlah 

penjagaan ditambah karena Adipati Sumagatri tidak 

ingin kecolongan untuk kedua kali. Terlebih di situ 

menginap beberapa pendekar. 

Malam kian larut dengan cahaya bulan sabit. 

Suasana di sekitar kadipaten remang-remang ketika 

dari kegelapan melesat beberapa tangkai bunga ke 

arah keempat prajurit jaga yang tersentak kaget 

Mata mereka membelalak. Keempat penjaga itu 

berusaha mengelakkan serangan, namun bunga-

bunga mawar lebih cepat menghantam dada. 

Jlep, jlep, jlep...! 

"Aaa...!" 

Pekik kematian seketika terdengar, memecah 

kesunyian malam. Cepat sekali gerakan penyerang 

gelap itu. Sampai-sampai para pendekar yang sedang 

beristirahat dan Adipati Sumagatri tidak mendengar


nya. 

Dari kegelapan, berkelebat sesosok bayangan 

merah melesat masuk ke lingkungan kadipaten. 

Terus menuju kamar sang Adipati. Perlahan-lahan 

bayangan merah itu membuka jendela kamar Adipati 

Sumagatri dengan pedangnya yang putih keperakan. 

Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya telah 

masuk ke dalam kamar. 

"Hei, si…" 

Belum habis ucapan Adipati Sumagatri, sesosok 

bayangan merah dengan cepat menyerang ke arah-

nya. Pedangnya yang putih keperakan, membuat 

Adipati Sumagatri sulit melihat siapa wanita 

berpakaian serba merah itu. Namun pedang di 

tangan wanita itu sangat dikenalnya. Pedang Perak 

itu tidak lain milik Dewi Pedang Beracun. 

"Terimalah pembalasanku, Adipati Keparat! 

Yeaaat...!" 

Pedang Perak di tangan wanita itu bergerak cepat, 

menebas ke arah Adipati Sumagatri. 

"Tidak mungkin! Kau sudah mati!" pekik Adipati 

Sumagatri sambil berusaha mengelakkan tebasan-

tebasan pedang lawan. Meski bertubuh besar dan 

agak gendut, Adipati Sumagatri mampu bergerak 

lincah. 

Saat Adipati Sumagatri terdesak, tiba-tiba pintu 

kamarnya didobrak orang. Nampak Ki Balacatra dan 

beberapa anak buahnya menyerbu masuk. 

"Tangkap pembunuh itu!" seru Ki Balacatra pada 

anak buahnya. 

Melihat orang-orang kadipaten masuk, wanita itu 

segera melemparkan beberapa bunga mawar. 

Kemudian melesat pergi melalui jendela dan meng-

hilang di kegelapan malam.


Jlep, jlep! 

"Aaa...!" 

Beberapa anak buah Ki Balacatra memekik 

dengan bunga mawar menancap di dada. Tubuh 

mereka mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa. 

"Kejar dia...!" perintah Ki Balacatra. 

"Jangan!" cegah Adipati Sumagatri. 

Seketika semua menghentikan langkahnya. 

"Mengapa tidak dikejar, Kanjeng?" tanya Ki 

Balacatra tak mengerti. "Bukankah jelas dia 

orangnya?" 

Adipati Sumagatri menghela napas. 

"Percuma kalian mengejarnya. Jangankan kalian, 

para pendekar yang ada di sini pun tidak akan 

mampu menghadapinya. Kita hanya bisa berharap 

pada Pendekar Gila," gumam Adipati Sumagatri. 

"Ya. Kurasa Pendekar Gila yang mampu meng-

hadapinya." 

Bersamaan dengan selesainya ucapan Adipati 

Sumagatri, orang yang dimaksud datang bersama Ki 

Balamprang. Keduanya langsung masuk ke dalam 

kamar. Takut jika terjadi sesuatu pada Adipati 

Sumagatri. 

"Oh! Syukurlah, Kanjeng Adipati selamat," kata 

Sena. "Kami sudah mengira di sini akan terjadi 

kerusuhan lagi." 

"Terima kasih. Hampir saja nyawaku melayang di 

tangan Dewi Pedang Beracun," ujar Adipati Sumagatri. 

"Jadi, benar dia Dewi Pedang Beracun?" tanya Ki 

Balamprang dengan kening berkerut. "Dari mana 

Kanjeng Adipati tahu?" 

"Dari pedangnya, Ki." 

"Ah!" pekik Ki Balamprang. "Apa warna pakaian 

yang dikenakannya, Kanjeng?"


"Merah," jawab Adipati Sumagatri tegas. 

"Ini benar-benar aneh. Kami baru saja melihat 

kenyataan yang ada. Arwah Dewi Pedang Beracun 

muncul dari kuburnya dengan pakaian hijau bunga 

kenanga," ujar Pendekar Gila seraya menggaruk-

garuk kepala. 

Semua yang ada di situ memperhatikan Pendekar 

Gila yang dibantu Ki Balamprang, menceritakan 

kejadian yang dialaminya di Bukit Lawang Ireng. 

"Begitulah ceritanya. Kami juga. Kami juga heran 

mengapa senjata Dewi Pedang Beracun bunga 

mawar? Bukan kenanga seperti yang digunakan 

tahun silam?" gumam Ki Balamprang. 

"Ya. Misteri," sambut Adipati Sumagatri. "Ki ada 

sesuatu di balik semua ini." 

"Maksud Kanjeng Adipati, ada orang yang 

memanfaatkan arwah Dewi Pedang Beracun untuk 

maksud-maksud tertentu?" tanya Ki Balamprang. 

"Tepat! Kita tak mungkin mengalahkan arwah Dewi 

Pedang Beracun. Yang bisa kita lakukan hanya 

menangkap orang yang telah memperalat Dewi 

Pedang Beracun," sahut Adipati Sumagatri. 

"Kalau begitu, sebaiknya kita menyebar. Jika kita 

berkumpul di sini sangat berbahaya. Kita harus 

waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi," 

saran Sena. 

Hari itu juga diadakan pertemuan untuk mem-

bicarakan peristiwa itu. Hasilnya, para pendekar 

ditugaskan untuk mencari siapa orang yang mem-

peralat arwah Dewi Pedang Beracun.


TUJUH


Siang yang panas memanggang siapa saja yang 

berada di bawah teriknya. Demikian pula seorang 

pemuda berbaju rompi kulit ular dengan rambut 

gondrong. Pemuda yang tidak lain Sena Manggala itu 

terlihat meringis-ringis kepanasan. Tangannya meng-

garuk-garuk kepala yang tak gatal. 

Saat itu, Pendekar Gila tengah melangkah 

menelusuri jalan Desa Wedara bumi. Sena berusaha 

mencari sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang 

kosong. 

Tampak berdiri megah sebuah kedai yang cukup 

besar. Para pengunjung yang kebanyakan kaum 

pendatang, memenuhi kedai itu. Terlihat beberapa 

orang rimba persilatan. Pendekar Gila melangkah 

masuk. Matanya seketika tertumpu pada seorang 

wanita berpakaian lengan panjang putih dengan 

pedang tersandang di punggung. Tanpa sadar Sena 

memanggil wanita yang duduk membelakanginya itu. 

"Mei Lie?" 

Wanita itu menengok dengan seulas senyum. 

Betapa terperangahnya Sena setelah mengetahui 

siapa wanita itu. Ternyata bukan Mei Lie, melainkan 

Nyi Gendis Awit. 

"Sena!" seru Nyi Gendis Awit. "Kemarilah." 

Pendekar Gila nyengir. Kemudian tangannya 

sambil menggaruk-garuk kepala didekatinya Nyi 

Gendis Awit. 

"Aha. Kiranya kau, Nyi. Mengapa bajumu ganti, 

Nyi? Aku sampai tidak mengenalimu lagi," ujar Sena


berseloroh sambil duduk di samping Nyi Gendis Awit 

Nyi Gendis Awit kembali tersenyum. 

"Bukankah kita tengah mencari si Mawar Maut?" 

tanya Nyi Gendis Awit. 

"Ya," sahut Sena. 

"Itu sebabnya aku menyamar. Jangankan si Mawar 

maut, kau saja tertipu oleh penyamaranku," kata Nyi 

Gendis Awit bangga. 

Pendekar Gila mengangguk-angguk sambil meng-

garuk-garuk kepala. 

"Ya ya ya.... Kau benar. Hm.... Apa kau sudah 

mendapat petunjuk, Nyi?" tanya Sena. 

"Belum. Sulit juga mencari jejak orang itu," gumam 

Nyi Gendis Awit. 

"Ya. Memang susah. Kita belum tahu seperti apa 

orang itu. Hingga kita sulit untuk mencari jejaknya. 

Hhh... Kita harus sabar," desah Sena. 

Pelayan kedai datang menghampiri. 

"Pesan apa, Tuan?" tanyanya. 

"Nasi dan ikan bakar. Kalau ada, lalap petainya 

sekalian," pinta Sena. 

"Air putih," sahut Sena. Pelayan kedai itu segera 

pergi. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali 

dengan membawa pesanan Pendekar Gila. Setelah 

menaruhnya, pelayan kedai pun berlalu dari meja 

Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit. 

Pendekar Gila segera menyantap makanannya. 

Sesekali dia berbincang-bincang dengan Nyi Gendis 

Awit. 

"Kau hendak ke mana?" tanya Nyi Gendis Awit. 

"Entahlah. Aku tak tahu arah mana yang harus 

kutuju," jawab Sena. 

"Bagaimana kalau kita sejalan?" 

Pendekar Gila terdiam. Tangan kirinya menggaruk


garuk kepala. 

"Wah! Kalau aku sedang santai, ingin rasanya aku 

berjalan denganmu, Nyi. Di samping bisa menikmati 

wajahmu yang cantik, aku juga bisa mempelajari 

beberapa ilmu darimu," jawab Sena. "Sayang, saat ini 

kita tengah menjalankan tugas. Ah. Bagaimana kalau 

lain waktu saja?" 

Nyi Gendis Awit cemberut mendengar kata-kata 

Pendekar Gila. Rupanya, hatinya merasa tidak 

senang. Tatapan bola matanya seperti menyimpan 

suatu harapan. 

Selesai menyantap makanannya, mereka me-

ninggalkan kedai dengan arah berlainan. Nyi Gendis 

Awit ke arah barat, sedangkan Pendekar Gila ke arah 

timur. 

*** 

Malam kembali menyelimuti bumi dengan 

kegelapan yang mencekam. Angin malam yang 

berhembus disertai embun, menambah rasa dingin 

hingga menusuk tulang sumsum. 

Sesosok bayangan merah yang di punggungnya 

tersandang sebilah pedang, berkelebat cepat menuju 

bangunan Perguruan Tambak Segara. Perguruan yang 

dipimpin Ki Balamprang itu terletak di pesisir Desa 

Wedara Bumi. 

Bayangan merah itu mengendap-endap, dan 

bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Kepalanya 

menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan 

sekelilingnya. Setelah merasa aman, bayangan merah 

itu melompat ke atas cabang pohon. 

"Hup!" 

Nampak di dalam lingkungan Perguruan Tambak


Segara beberapa orang murid tengah melakukan 

penjagaan. Rupanya, Ki Balamprang telah waspada 

sehingga melakukan penjagaan ketat. Dia tidak ingin 

kecolongan seperti yang dialami Ki Anggada. 

"Hm...." 

Bayangan merah itu menggumam tak jelas. 

Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya 

yang longgar. Kemudian, dilemparkannya bunga-

bunga mawar merah ke arah sepuluh orang murid Ki 

Balamprang. 

Swing, swing! 

"Awas serangan...!" terdengar seruan seorang 

murid Perguruan Tambak Segara. 

Dengan cepat mereka berpencar dan berusaha 

mengelakkan serangan gelap itu. Rupanya, laju 

bunga-bunga mawar merah itu lebih cepat dari 

gerakan mereka. Kesepuluh murid-murid Perguruan 

Tambak Segara tak mampu menghindar dari bunga-

bunga mawar maut itu. 

Jlep, jlep...! 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!" 

Pekik kematian terdengar susul-menyusul. Diikuti 

mengejangnya sepuluh murid Perguruan Tambak 

Segara. Satu persatu mereka bertumbangan dengan 

nyawa melayang. 

Mendengar keributan di luar, murid-murid 

Perguruan Tambak Segara yang lain menghambur 

keluar. Tapi, kedatangan mereka disambut oleh 

serangan gelap bunga-bunga mawar. 

"Mawar Maut datang! Awas...!" 

Swing, swing...! 

Puluhan mawar merah menderu kencang ke arah 

mereka. Murid-murid Perguruan Tambak Segara


terpana. Dengan menjerit keras untuk mengundang 

yang lainnya, mereka berusaha mengelakkan 

serangan Mawar maut. 

"Mengelak! Cepat…!" terdengar suara Ki 

Balamprang berseru mengingatkan murid-muridnya. 

Namun terlambat! Bunga-bunga mawar merah itu 

begitu cepat melesat. Maka.... 

Jlep, jlep...! 

"Aaa...!" 

"Wuaaa...!" 

Pekikan kematian kembali terdengar susul-

menyusul. Diikuti berjatuhannya tubuh-tubuh korban 

bunga-bunga mawar itu. 

"Kurang ajar! Keluar kau! Siapa pun dirimu, aku 

tak takut!" bentak Ki Balamprang marah, melihat 

murid-muridnya banyak yang tewas. 

"Hik hik hik...!" 

Tiba-tiba terdengar tawa mengikik seperti 

kuntilanak. Bulu kuduk Ki Balamprang berdiri. 

Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, namun 

tidak terlihat siapa-siapa di situ. Suara tawa itu 

seakan berada di sekelilingnya. Hingga Ki 

Balamprang sulit mencari asalnya. 

"Hik hik hik...!" 

Ki Balamprang berusaha menekan rasa takut yang 

mendera jiwanya. Segera senjatanya yang berupa jala 

dikeluarkan, dan langsung diputar-putar di atas 

kepala. Sambil mendengus dengan penuh 

kemarahan, jala maut itu dihantamkan ke arah 

pepohonan yang ada di sekitarnya. 

Wut! Brak! 

Seketika suasana menjadi terang oleh sinar merah 

yang keluar dari ujung-ujung jala. Pepohonan banyak 

yang roboh terhantam ujung-ujung jala.


"Perempuan setan! Keluar kau...!" bentak Ki 

Balamprang melihat perempuan yang disangkanya 

arwah Dewi Pedang Beracun tak muncul juga. 

Matanya memandang ke sekeliling dengan tegang. 

Tak ada sahutan. 

"Dewi Pedang Beracun, keluarlah!" 

Kembali Ki Balamprang membentak keras. 

Senjatanya yang berupa jala diputar-putar di atas 

kepala siap menyerang lawan jika sewaktu-waktu 

muncul. 

"Aku di sini, Balamprang!" 

Ki Balamprang tersentak ketika dari belakang 

terdengar suara wanita menyapanya. Ketika berbalik 

matanya seketika membelalak. Wanita yang sekujur 

tubuhnya tertutup kain merah telah berada di 

belakangnya. 

"Bagus! Rupanya kau orangnya! Hiaaat...! " Ki 

Balamprang yang telah mengetahui kehebatan ilmu 

lawan, tak mau membuang-buang waktu lagi. 

Diserangnya wanita itu dengan jala saktinya. Jurus 

yang digunakannya bernama 'Rapat Pukat Samudera' 

Wut! 

Brat! 

"Uts!" 

Wanita berpakaian serba merah itu berkelit 

dengan ringan. Pedangnya yang memancarkan sinar 

putih keperakan segera dicabut. Melihat hal itu, Ki 

Balamprang tersentak kaget. 

"Pedang Perak! Kau...! Kau benar Dewi Pedang 

Beracun??" 

"Siapa aku, itu tak penting. Kini terimalah 

kematianmu! Hiaaa...!" 

Wanita berpakaian serba merah itu dengan cepat 

menyerang. Pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan.


Serangan kini mengarah ke dada lawan dengan jurus 

'Belah Wanggala dan Neraka'. 

Wut! 

Asap putih bergulung-gulung keluar dari pedang di 

tangan wanita itu. Bersamaan dengan laju pedang 

yang membabat dan menusuk ke arah dada lawan, 

wanita itu sesekali melemparkan bunga-bunga mawar 

arah Ki Balamprang. 

"Ups! Celaka...!" pekik Ki Balamprang. 

Ketua Perguruan Tambak Segara itu semakin 

kewalahan menghadapi serangan lawan. Terlebih 

asap beracun yang keluar dari pedang lawan mampu 

membuat dadanya sesak. Ki Balamprang segera 

menutup jalan darahnya. Lalu dengan menahan 

napas, kembali menyerang lawan. Jala di tangannya 

menderu-deru dan mencecar lawan dengan jurus 

'Sapu Jala Samudera'. 

"Hiaaa...!" 

"Ups! Yiaaat...!" 

Wanita misterius itu dengan mudah mengelakkan 

setiap serangan Ki Balamprang. Bahkan, menambah 

gencar serangannya. Gerakan pedangnya sangat 

cepat, membabat dan menusuk ke dada lawan. 

Ditambah lagi serangan-serangan mawar mautnya. 

Meski Ki Balamprang menyadari kalau lawannya 

berada satu tingkat di atasnya, namun sebagai 

seorang pendekar yang telah banyak makan asam 

garam, dia tak menjadi gentar. Dengan gagah berani, 

diladeninya serangan-serangan lawan dengan 

sabetan dan lemparan jala saktinya. 

"Hiaaa...!" 

Wut! 

Pertarungan seru terjadi. Dengan senjata 

pusakanya, masing-masing berusaha membinasakan


lawan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut 

mereka. Yang ada hanya bagaimana caranya mem-

binasakan lawan. 

Ki Balamprang yang terdesak hebat, terus ber-

usaha menyerang balik. Jala saktinya menderu-deru 

keras, menyerang lawan. 

Wut! 

"Kena!" seru Ki Balamprang ketika ujung jala 

saktinya berhasil mengenai kain penutup wajah 

wanita misterius itu. 

Bret! 

Kini nampaklah siapa sebenarnya wanita itu. 

"Kau...?!" 

Belum sempat Ki Balamprang menyelesaikan 

ucapannya, wanita berbaju serba merah itu telah 

membabatkan pedangnya ke leher Ki Balamprang. 

Cras! 

Kepala Ki Balamprang terpenggal dan meng-

gelinding ke tanah. Sesaat tubuhnya mengejang 

sebelum jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. 

Wanita baju serba merah melesat meninggalkan 

Perguruan Tambak Segara, menghilang di kegelapan 

malam. 

*** 

Tidak berapa lama kemudian, nampak seorang 

pemuda berbaju rompi kulit ular berlari-lari menuju 

Perguruan Tambak Segara. Pemuda yang tak lain 

Sena itu melesat masuk ke dalam. Seketika 

langkahnya dihentikan, dan matanya membelalak 

menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan. 

Salah satu mayat kepalanya terpenggal. Mayat Ki 

Balamprang!


"Oh, Jagat Dewa Batara! Rupanya aku terlambat. 

Mawar Maut telah datang ke tempat ini," gumam 

Sena dengan air muka sedih, menyaksikan mayat-

mayat berserakan di sana-sini. Semua mati dengan 

dada ditembus bunga mawar merah. 

Kresek! 

Tengah Pendekar Gila memeriksa mayat-mayat itu, 

tiba-tiba telinganya menangkap suara gemeresek 

daun kering terinjak. 

"Siapa itu?!" 

Dengan sekali lompat, Pendekar Gila memburu ke 

arah suara itu. Sesosok bayangan berkelebat pergi 

meninggalkan tempat itu. Pendekar Gila semakin 

penasaran. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta 

Bayu' Pendekar Gila memburu orang itu. 

"Hei, berhenti!" bentak Sena. Tubuhnya melesat 

dan mendarat di depan lelaki berpakaian rompi biru 

yang menggigil ketakutan. 

"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya," ratap lelaki 

muda yang pakaiannya sama dengan pakaian yang 

dikenakan murid-murid Perguruan Tambak Segara. 

Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi 

laki-laki itu dengan seksama. 

"Kau pasti murid Perguruan Tambak Segara. 

Mengapa lari?" tanya Sena. "Aku adalah sahabat 

gurumu, Ki Balamprang." 

"Ampun, Tuan. Saya takut. Saya kira, Tuanlah yang 

telah membunuh teman-teman dan guru saya." 

"Hm.... Ke mana kau waktu kejadian itu?" tanya 

Sena ingin tahu. 

"Saya tidur di belakang, Tuan," jawab lelaki muda 

itu masih dengan wajah ketakutan. 

Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia tahu 

mengapa orang ini bisa selamat. Tentu Dewi Pedang


Beracun hanya menginginkan Ki Balamprang saja. 

Namun karena murid-muridnya menghadang, Dewi 

Pedang Beracun membunuh mereka. Buktinya orang 

ini masih hidup. 

"Bersyukurlah pada Hyang Widhi, karena umurmu 

masih dipanjangkan. Siapa namamu, Kisanak?" tanya 

Sena. 

"Saloka, Tuan." 

"Saloka, kuharap kau mau kembali ke pergurun. 

Ajaklah beberapa penduduk untuk membantumu 

menguburkan mayat guru dan saudara seperguruan-

mu...," tutur Sena. 

"Tapi, Tuan...," wajah Saloka nampak tegang. 

Matanya menggambarkan ketakutan. 

"Ada apa? Kau takut...?" 

"Benar, Tuan." 

Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Tak ada yang harus ditakuti. Dewi Pedang 

Beracun hanya mencari gurumu. Kalau Ki 

Balamprang telah meninggal, dia tidak akan 

mencarimu. Kau tidak ada sangkut-pautnya dengan 

Dewi Pedang Beracun. 

"Benarkah, Tuan?" tanya Saloka, belum percaya. 

"Ya! Kuharap begitu," jawab Sena. "Oh, ya. 

Tahukah kau, arah mana Dewi Pedang Beracun 

pergi?" 

"Ke arah timur, Tuan." 

"Timur?!" membelalak mata Sena mendengar 

jawaban Saloka. 

"Benar, Tuan." 

"Celaka! Aku harus segera ke sana. Tentu dia 

menuju Kadipaten Pamakasan. Pulanglah segera ke 

perguruan." 

Dengan cepat Pendekar Gila melesat meninggal


kan Saloka. Sementara, murid Perguruan Tambak 

Segara yang luput dari kematian itu hanya terpana 

menyaksikan ilmu lari cepat Pendekar Gila.


DELAPAN


Rumah Ki Lurah Banjilan nampak sepi. Di halaman 

rumah berukuran besar itu terlihat dua orang 

penjaga. Seperti para pendekar lainnya, Ki Lurah 

Banjilan pun memperketat penjagaannya. Takut Dewi 

Pedang Beracun akan datang menyatroni. 

Sementara, udara malam saat itu terasa dingin, 

menambah suasana kian mencekam. 

"Hiiiy.... Dingin sekali malam ini," keluh salal 

seorang penjaga bertubuh tinggi kurus yang bemai 

Barjo. 

"lya! Merinding bulu kudukku," sahut penjaga 

lainnya yang bernama Gandra. Tubuh lelaki ini 

pendek dan kekar. Dengan kumis tipis menghiasi 

atas bibirnya. 

"Hik hik hik...!" 

Baru saja keduanya selesai bicara, tiba-tiba ter-

dengar suara tawa mengikik yang membuat bulu 

kuduk mereka tambah meremang. 

"Kun... kuntilanak! To... tolooong...!" 

Barjo dan Gandra berseru ketakutan dan berusaha 

lari dari tempat itu. Namun belum jauh berlari, dari 

kegelapan melesat dua buah benda ke arah mereka. 

Benda itu menyebarkan bau wangi bunga mawar! 

"Mawar Maut...! Oh! To...." 

Belum habis keduanya berkata, mawar-mawar 

maut telah menghantam mereka. Bunga beracun 

berwarna merah itu menembus dada keduanya. 

Sesaat penjaga-penjaga itu meregang, lalu ambruk 

tanpa nyawa.


Jeritan Barjo dan Gandra rupanya membangunkan 

Ki Lurah Banjilan. Dengan membawa senjatanya yang 

berupa golok besar, lelaki bertubuh kekar berotot ini 

melesat keluar. Tapi baru saja kakinya sampai di 

halaman, beberapa kuntum bunga tiba-tiba melesat 

ke arahnya. 

Swing, swing...! 

"Uts!" 

Ki Lurah Banjilan segera mengelak. Tubuhnya 

melenting ke atas, dan berputaran dengan cepat ke 

samping kanan. Tangannya yang memegang golok, 

digerakkan menebas bunga-bunga mawar merah 

yang terus menderu ke arahnya. 

"Yiaaat...!" 

Wut! 

Bunga-bunga mawar itu rontok satu persatu. 

Berguguran ke tanah dengan menyebarkan bau wangi 

menyengat. 

"Dewi Pedang Beracun, keluarlah! Aku telah tahu 

siapa kau sebenarnya. Meski kau sesosok arwah, aku 

tak gentar menghadapimu!" bentak Ki Lurah Banjilan 

geram. Matanya menyapu ke sekeliling halaman 

rumahnya yang ditumbuhi pohon-pohon bambu. 

"Hik hik hik...!" 

Terdengar suara tawa mengikik yang mampu 

mendirikan bulu kuduk. Mata Ki Lurah Banjilan kian 

membelalak tegang. Suara tawa itu seperti berada di 

sekelilingnya. 

"Iblis! Keluarlah!" 

"Aku di sini, Bajil!" 

Ki Lurah Banjilan berbalik, ketika dari belakangnya 

terdengar suara orang. Saat itu juga, pedang bersinar 

putih keperakan menebas ke arah leher Lurah 

Banjilan, yang tersentak kaget melihat wajah wanita


itu. 

"Kau...?!" 

Cras! 

Seketika, kepala Ki Lurah Banjilan terlepas dari 

batang lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar-

gelepar, lalu ambruk tanpa nyawa. 

Wanita misterius itu memasukkan pedangnya. Lalu 

dengan cepat berkelebat meninggalkan tempat itu. 

Istri Ki Lurah Banjilan yang mendengar jeritan 

suaminya, seketika melompat keluar ingin tahu apa 

yang terjadi. Betapa terkejutnya wanita berusia 

sekitar lima puluh tahun itu. Suaminya telah tewas 

dengan kepala lepas dari lehernya. 

"Kangmas...!" 

Malam yang sunyi dan mencekam, pecah oleh 

suara tangis istri Ki Lurah Banjilan. Suara raungan 

tangis istri lurah itu membangunkan warga desa. 

Berbondong-bondong mereka menuju rumah yang 

besar itu. Warga desa kontan gempar melihat 

lurahnya tewas dengan kepala terpenggal. 

"Tabuh kentongan!" perintah tangan kanan Ki 

Lurah Banjilan. 

Suara kentongan yang menandakan telah terjadi 

bencana, terdengar susul-menyusul. Warga desa 

semakin banyak berdatangan dengan membawa 

obor. 

"Kita harus mengejar pelakunya! Ayo ikut aku...!" 

ajak tangan kanan Ki Lurah Banjilan. 

Para lelaki segera mengikuti tangan kanan lurah 

itu untuk mencari pembunuh lurah mereka. Saat 

itulah mereka melihat sesosok bayangan berkelebat 

ke arah mereka. Langsung saja warga desa yang 

sedang dalam keadaan marah itu bergerak 

menyerang pemuda berambut gondrong dengan


pakaian rompi ular. 

"Dia pembunuhnya! Seraaang...!" 

Pemuda yang tak lain Sena itu tersentak kaget 

mendapat serangan mendadak dari warga Desa 

Banjilan. Dia baru saja datang hendak menemui Ki 

Lurah Banjilan. 

"Hei! Kenapa kalian?" tanya Sena berusaha 

menyadarkan penduduk desa yang menyerangnya. 

Tubuhnya bergerak mengelakkan bacokan membabi-

buta penduduk. 

"Jangan beri kesempatan! Dia pembunuh Ki Lurah! 

Serang dia...!" perintah lelaki berkumis lebat dengan 

baju wama kuning. Tutup kepalanya kain yang 

meruncing ke atas. 

"Celaka! Mimpi apa aku semalam?" keluh Sena 

sambil terus bergerak mengelakkan serangan-

serangan gencar warga desa. 

"Hiaaa...!" 

"Babat tubuhnya!" 

"Cincang pembunuh jahanam ini...!" 

Suara-suara pekik kemarahan keluar dari mulut 

warga desa. Serangan mereka semakin menjadi-jadi 

berusaha secepatnya membunuh pemuda tampan 

berrambut gondrong yang disangka pembunuh Ki 

Lurah Banjilan. 

"Tunggu! Kalian salah sangka!" seru Sena. Tapi, 

warga desa tetap tidak peduli dengan kata-katanya. 

Malah mereka semakin ganas melancarkan 

serangan. 

"Jangan hiraukan omongannya!" 

"Jadikan saja kambing guling!" 

"Serang terus!" 

Pendekar Gila yang tak tahu apa-apa, harus 

berjumpalitan mengelakkan serangan-serangan


mereka. Tubuhnya berkelit ke sana kemari, 

mengelakkan sabetan dan babatan senjata warga 

desa yang beraneka ragam. 

"Berhenti! Kalian salah sangka! Aku datang untuk 

menemui lurah kalian! Aku sahabatnya!" seru Sena 

sambil terus berkelebat menghindar. 

"Terus serang...!" 

"Dialah pembunuhnya!" 

"Cincang!" 

Hampir hilang kesabaran Pendekar Gila meng-

hadapi mereka. Namun ketika ingat kalau warga desa 

ini hanya salah paham, Pendekar Gila mengurungkan 

niatnya menurunkan tangan jahat. 

"Kalian dengar semua! Aku Pendekar Gila, sahabat 

Ki Lurah Banjilan! Hentikan...!" bentak Sena. 

Mendengar ucapan itu, seketika semua warga 

menghentikan serangan. Bahkan, mereka menyurut 

mundur dengan tatapan mata ketakutan. Sedangkan 

tangan kanan Ki Lurah Banjilan yang bernama 

Masopati membungkuk hormat. 

"Ampunilah kami, Tuan. Sungguh kami tidak tahu. 

Kami sedang sangat berduka." 

"Apa yang terjadi?" tanya Sena. 

"Ki Lurah dibunuh seseorang. Dua pengawalnya 

mati dengan dada tertembus bunga mawar," jelas 

Masopati. 

"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Matanya 

memandang seluruh warga desa yang merunduk 

ketakutan. "Jika memang begitu, tentu Dewi Pedang 

Beracun yang membunuhnya. Hm.... Ke arah mana 

dia pergi?" 

"Kami tak tahu, Tuan Pendekar." 

Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar 

jawaban Masopati. Dihelanya napas panjang-panjang.


"Baiklah. Aku harus pergi," ujarnya. 

Setelah menjura, Sena segera melesat mengejar 

Dewi Pedang Beracun yang semakin menjadi-jadi 

tindakannya. Dalam semalam, puluhan orang telah 

menjadi korban. 

"Untung dia tidak marah," gumam Masopati. 

"Kalau dia marah, tentu kita sudah menjadi bangkai." 

"Apa benar dia Pendekar Gila, Ki?" tanya salah 

seorang warga. 

"Ya! Apa kau tadi tidak melihat tingkah lakunya 

yang mirip orang gila?" tanya Masopati balik bertanya. 

"Masih begitu muda. Sangat lain dengan 

dugaanku." 

"Ya! Mulanya aku pun mengira Pendekar Gila dari 

Goa Setan telah tua. Paling tidak seusia Ki Lurah," 

gumam Masopati. "Kita pulang." 

"Mengapa tidak meneruskan mencari pembunuh 

itu, Ki?" 

"Tak perlu. Kalau Ki Lurah, Barjo, dan Gandra saja 

dapat dibunuh dengan mudah, apalagi kita? Terlebih, 

pembunuh Ki Lurah adalah Dewi Pedang Beracun 

yang telah mati. Hiiiy...! Kalau begitu, bukankah 

arwahnya yang membunuh?" 

Semua warga desa bergidik. Bulu kuduk mereka 

meremang setelah mendengar nama Dewi Pedang 

Beracun yang telah mati sepuluh tahun silam. Tanpa 

diperintah lagi, mereka segera meninggalkan tempat 

itu yang merupakan perbatasan desa dengan hutan. 

Malam terus bergulir. Lolongan anjing hutan, 

menambah suasana kian mencekam. Terdengar deru 

angin yang menggiris hati. Membuat suasana malam 

itu seperti di pekuburan. 

***


Pendekar Gila yang memburu Dewi Pedang 

Beracun nampak masih berlari ke arah timur menuju 

kadipaten. Sena mengkhawatirkan Adipati Sumagatri 

akan menjadi sasaran pembunuhan selanjutnya. 

Tengah Sena berlari, matanya menangkap sesosok 

bayangan berkelebat melintas di hadapannya. 

Bayangan merah itu menyentakkannya, sehingga dia 

langsung mengejar. 

"Hei, tunggu. .!" 

Merasa ada yang mengejar, bayangan merah itu 

tiba-tiba mengebutkan tangan ke belakang. Saat itu 

pula, menderu puluhan bunga mawar berwarna 

merah. 

"Mawar Maut!" pekik Sena. 

Swing, swing...! 

"Uts! Hop...!" 

Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak menduga 

kalau bayangan merah itu yang telah dicarinya. 

Pemuda itu melenting ke atas dan berputaran 

mengelakkan serangan yang dilancarkan bayangan 

merah itu. Puluhan bunga mawar merah terus men-

deru ke arahnya, bagai memiliki mata. Hingga 

Pendekar Gila agak kewalahan menghadapinya. 

"Kurang ajar! Hop! Heaaa...!" 

Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti. Lalu 

dengan cepat dikibaskannya ke arah bunga-bunga 

mawar merah yang meluncur datang. 

Prat! 

Pluk, pluk...! 

Bunga-bunga mawar merah itu luruh berjatuhan ke 

tanah. Rontok terkena sabetan Suling Naga Sakti 

Pendekar Gila. Namun, Pendekar Gila kehilangan 

sosok bayangan merah yang dikejarnya. 

"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru Sena marah.


Dengan mengerahkan ajian lari 'Sapta Bayu' 

Pendekar Gila melesat mengejar bayangan merah 

yang telah menghilang entah ke mana. 

"'Sapta Bayu'. Heaaa...!" 

Pendekar Gila berlari melebihi angin. Kedua 

kakinya seperti tidak menginjak tanah. Mendadak, 

dari arah yang berlawanan tampak sesosok tubuh 

tengah berlari. Pendekar Gila menghentikan larinya. 

Pemuda itu kaget melihat siapa orang yang tengah 

berlari ke arahnya. 

"Sena!" seru wanita berbaju putih yang tidak lain 

Nyi Gendis Awit. "Kau ada di sini? Apa kau melihat 

bayangan merah lari ke arah sini?" 

"Nyi Gendis Awit. Kau juga melihat bayangan 

merah itu?" 

"Ya! Aku mengejarnya. Ke arah mana dia berlari?" 

tanya Nyi Gendis Awit sambil mengatur napasnya 

yang terengah-engah. 

"Ah. Kurasa bayangan merah tadi dari arahku. Aku 

pun tengah mengejarnya...," kata Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala. 

"Dari arah barat?" tanya Nyi Gendis Awit seraya 

mengerutkan kening. 

"Ya." 

"Tidak mungkin. Aku baru saja mengejarnya. Dia 

dari arah timur," bantah Nyi Gendis Awit tak percaya. 

Pendekar Gila semakin heran. Keningnya berkerut 

dan tangannya menggaruk-garuk kepala. 

Kalau benar Nyi Gendis Awit mengejar bayangan 

merah, siapa lagi yang memakai pakaian serba 

merah itu? Mungkinkah ada dua orang yang 

melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Tanya 

Sena dalam hati. Mungkin juga. Karena dalam 

semalam saja, dua orang tokoh persilatan seperti Ki


Balamprang dan Ki Lurah Banjilan telah dibunuhnya. 

"Hm.... Semakin membingungkan. Kalau benar kau 

mengejar bayangan merah, kurasa bukan seorang 

yang telah melakukan pembunuhan itu," gumam 

Sena. 

"Mungkin juga, Sena. Ah. Sayang sekali aku tak 

bisa menangkapnya," desah Nyi Gendis Awit. Nada 

suaranya seakan menyesal tak mampu menangkap 

bayangan merah yang misterius itu. 

"Kita berpencar, Nyi. Kurasa dia masih berada di 

sekitar sini," kata Sena. 

"Mengapa tidak berdua saja, Sena? Kau tak mau 

berjalan bersamaku?" desis Nyi Gendis Awit dengan 

suara memelas. Matanya menatap penuh arti ke arah 

Pendekar Gila yang masih menggaruk-garuk kepala. 

"Hm, baiklah. Ayo...." 

Keduanya melangkah ke arah timur. Malam yang 

dingin membuat suasana terasa mencekam. Kedua 

pendekar itu terus melangkah menyelusuri hutan 

tempat mereka melihat bayangan merah. 

"Aduh!" tiba-tiba Nyi Gendis Awit menjerit. 

"Kenapa, Nyi?" tanya Sena. 

"Kakiku, Sena. Oh...! Kakiku tertusuk duri," jawab 

Nyi Gendis Awit sambil memegangi pahanya yang 

tertusuk duri. 

Sena memeriksanya. Nampak duri pohon beracun 

menancap dalam di paha Nyi Gendis Awit. 

"Beracun, Nyi?!" 

"Oh, Sena. Tolonglah aku...," keluh Nyi Gendis Awit 

sambil meringis-ringis menahan sakit. 

Sena kebingungan. Dia tahu jenis racun yang ada 

dalam duri itu. Bagaimanapun juga, Nyi Gendis Awit 

harus segera ditolongnya. 

"Aduh, Sena!" pekik Nyi Gendis Awit.


"Mari kugendong." 

Sena segera membopong tubuh Nyi Gendis Awit. 

Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu 

masih terlihat cantik, seperti baru berusia dua puluh 

lima tahun. Sena terus membawa tubuh Nyi Gendis 

Awit ke tempat yang agak lapang di dalam hutan itu, 

lalu dibaringkan. 

"Aku harus membuka pakaianmu, Nyi," kata Sena 

agak bingung. 

"Buka sajalah, Sena." 

Sena semakin kebingungan. Namun, Nyi Gendis 

Awit harus segera ditolong. Kalau tidak, wanita cantik 

itu akan tewas. Dengan membuang muka, Sena 

merobek celana Nyi Gendis Awit agar dapat melihat 

lukanya. 

Breeet...! 

"Mengapa mesti membuang muka, Sena? Bagai-

mana kau bisa melihat lukanya?" tanya Nyi Gendis 

Awit manja. 

"Tapi...," Sena hendak berkata, ketika Nyi Gendis 

Awit telah menukasnya. 

"Sudahlah, Sena. Bukankah tak ada orang yang 

melihatnya?" 

Sena menghela napas. Dengan perlahan, dia 

memandang paha Nyi Gendis Awit yang mulus. Napas 

Sena tersendat. Ada gejolak yang menggelegak di 

dadanya. Pertarungan batin seketika terjadi. 

Ditambah dengan desahan Nyi Gendis Awit yang 

semakin merangsang nafsunya. 

"Oh, Sena...." 

Sena berusaha mempertahankan kekuatan iman-

nya. Namun racun itu begitu cepat menjalar. Jalan 

satu-satunya dia harus membuka seluruh pakaian Nyi 

Gendis Awit. Pemuda itu jadi semakin bingung.


"Aduh. Jantungku sakit, Sena!" keluh Nyi Gendis 

Awit. 

Sena bertambahh cemas. Akhirnya pakaian wanita 

itu dibukanya. Di hadapannya kini terpampang 

sesosok tubuh polos yang menggiurkan. 

"Sena, dekaplah aku," pinta Nyi Gendis Awit 

mendesah. 

Sena menurut. Lupa kalau sebenarnya dia hendak 

menolong Nyi Gendis Awit. Setelah menyaksikan 

keelokan tubuh wanita itu, pikirannya seketika 

melayang. Direngkuhnya tubuh Nyi Gendis Awit. Tapi 

ketika semua akan terjadi, Sena tersadar. 

"Tidak! Kuharap kau jangan merayuku, Nyi. Ingat 

kita dalam ancaman maut Dewi Pedang Beracun. 

Tidak sepantasnya kita berbuat seperti ini. Aku akan 

menolongmu." 

Usai berkata begitu, Sena segera menotok 

beberapa bagian tubuh Nyi Gendis Awit. Tubuh wanita 

cantik itu seketika menjadi kaku bagai patung. Sena 

mengobati luka di paha Nyi Gendis Awit. 

"Kau sudah bebas, Nyi. Nah. Aku pergi dulu," kata 

Sena seraya melesat meninggalkan Nyi Gendis Awit 

yang telah terbebas dari racun dan totokan. 

Dengan agak kecewa, Nyi Gendis Awit mengena-

kan pakaiannya kembali. Lalu melesat meninggalkan 

tempat itu.


SEMBILAN


Mentari sebentar lagi tenggelam di belahan bukit 

sebelah barat. Tampak seorang pemuda berbaju 

rompi kulit ular berlari ke arah Bukit Lawang Ireng, 

tempat makam Dewi Pedang Beracun berada. 

Pemuda tampan yang tak lain Sena, rupanya tertarik 

dengan makam itu. Pendekar Gila ingin tahu, apa 

sebenarnya yang terjadi di makam itu dan apakah 

benar Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun 

silam telah mati kini hidup kembali. Tekadnya telah 

buat, hendak membongkar kuburan tua itu. 

"Aku harus memburu waktu. Sebentar lagi mentari 

akan tenggelam," gumam Sena sambil terus lari. 

Sesampainya di kuburan Dewi Pedang Beracu 

tanpa sungkan-sungkan Sena langsung menghantam 

kuburan itu dengan ajian 'Guntur Selaksa'. 

"Heaaa...!" 

Glarrr! 

Kuburan itu meledak hebat. Tanah kuburan 

beterbangan ke atas hingga membentuk lubang 

besar. Betapa tercengangnya Pendekar Gila ketika 

mengetahui kuburan itu kosong. Mayat Dewi Pedang 

Beracun maupun pedangnya tak ada. Seakan ada 

yang mengambilnya. 

"Hm.... Rupanya benar dugaanku. Ada seseorang 

vang mengambil mayat dan senjata Dewi Pedang 

Beracun. Orang itulah yang sekarang merajalela..." 

gumam Sena. 

Pendekar Gila terus mengawasi kuburan itu. Tiba-

tiba matanya melihat sebuah pintu di bawah makam.


"Heh...! Pintu? Pintu apa itu?" tanya Sena. Kembali 

Pendekar Gila menghantamkan pukulan 'Guntur 

Selaksa' ke arah pintu di bawah makam. 

"Heaaa...!" 

Glarrr! 

Ledakan dahsyat kembali terdengar. Tampaklah 

sebuah jalan ke bawah. Pendekar Gila mengerutkan 

kening, memandangi jalan yang bertangga ke bawah 

agak membelok ke selatan. 

"Hm.... Tentu ini bisa menyingkap misteri yang 

selama ini belum terpecahkan. Aku akan 

memasukinya." 

Dengan hati-hati, Pendekar Gila menuruni tangga 

demi tangga yang ada di dalam kuburan. Ternyata 

tangga itu berbelok ke sebuah tempat. Di tempat itu 

ada sebuah jalan. Sedangkan di samping kirinya 

terdapat bunga-bunga mawar merah yang ganas. 

Bunga-bunga mawar itulah yang digunakan wanita 

misterius untuk membunuh lawan-lawannya. 

"Bunga-bunga ini harus kuhancurkan!" desis Sena. 

'"Inti Brahma'. Yeaaa...!" 

Api bergulung-gulung keluar dari tangan Pendekar 

Gila, membakar bunda-bunga mawar maut yang ada 

di tempat itu. Dalam sekejap, bunga-bunga itu 

menjadi debu yang beterbangan tertiup angin. 

Hm.... Kini habis sudah bunga maut itu. Tinggal 

membuka tabir, siapa orang yang meniru Dewi 

Pedang Beracun. Aku harus segera pergi. Firasatku 

mengatakan orang itu menuju kadipaten, karena 

Kanjeng Adipati merupakan musuh Dewi Pedang 

Beracun. 

Usai berpikir begitu, Pendekar Gila segera melesat 

pergi melalui jalan yang tadi dilalui sewaktu masuk.


*** 

Di Kadipaten Pamakasan, pertarungan seru 

tengah terjadi. Adipati Sumagatri yang dibantu Ki 

Mandra Dupa dan Ki Sangkutra serta Ki Balacatra 

menghadapi bayangan merah yang masih misterius 

itu. Meski dikeroyok tokoh-tokoh persilatan, sosok 

berpakaian merah yang menyebut dirinya Mawar 

Maut itu tidak mengalami kesulitan. Bahkan, 

beberapa kali sempat mengirimkan bunga-bunga 

mawarnya dengan menggunakan jurus 'Mawar Maut 

Memburu Mangsa'. 

Swing, swing...! 

"Awas...!" seru Adipati Sumagatri mengingatkan. 

Ketiga pendekar tua itu berlompatan mengelakkan 

serangan bunga-bunga mawar merah. Ketiganya 

berhasil meloloskan diri dari kematian, begitu pun 

Adipati Sumagatri. Bunga-bunga mawar itu melesat, 

menghantam orang-orang Ki Balacatra. Maka. Jerit 

kematian pun terdengar susul-menyusul. 

"Kurang ajar! Kita harus secepatnya mem-

binasakan iblis ini, Kanjeng!" dengus Ki Balacatra 

marah melihat anak buahnya banyak yang tewas. 

"Kita serang bersamaan!" ajak Adipati Sumagatri. 

"Hiaaa...!" 

Dengan menggunakan jurus 'Catur Angin 

Mengurung Naga' yang dipadu dengan jurus 'Malaikat 

Maut dari Empat Penjuru', keempat tokoh persilatan 

itu bergerak menyerang. 

"Hiaaa...!" 

Mereka menyerang dengan senjata andalan 

masing-masing. Clurit di tangan Ki Mandra Dupa 

menderu ke arah kepala lawan. Kapak besar Ki 

Sangkutra membabat perut. Dan tombak di tangan


Adipati Sumagatri menusuk tenggorokan. Sedangkan 

cambuk di tangan Ki Baiacatra melecut punggung. 

Keempatnya laksana malaikat maut. 

"Yeaaat...!" 

Menghadapi keroyokan empat tokoh persilatan itu, 

Mawar Maut tidak merasa gentar. Kepalanya 

dirundukkan dengan tubuh agak membungkuk. 

Pedang Perak yang mengandung racun diputar cepat 

memapaki serangan mereka. Itulah jurus 'Tarian 

Bidadari Merenggut Sukma'. 

"Hait...!" Trang, trang...! 

Suara senjata beradu terdengar. Saat itu pula, 

tubuh keempat penyerangnya berpelantingan ke 

belakang. Dada mereka terasa sesak oleh asap 

beracun yang keluar dari pedang di tangan wanita 

berpakaian serba merah itu. 

"Kini saatnya kalian mampus! Hiaaat...!" 

Mawar Maut tidak membuang-buang waktu lagi. 

Tangan kanannya yang memegang pedang, dibabat-

kan ke arah Adipati Sumagatri. Sedangkan tangan 

kirinya, bergerak mengambil bunga mawar dari balik 

bajunya. 

Wut! 

Swing, swing...! 

Bunga-bunga mawar merah melesat cepat ke arah 

Ki Mandra Dupa dan Ki Balacatra serta Ki Sangkutra. 

Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah Adipati 

Sumagatri. 

Keempat tokoh persilatan itu tersentak kaget 

Mereka berusaha mengelakkan serangan lawan. Ki 

Balacatra mampu mengelak dengan cara berguling ke 

samping kiri. Sedangkan ketiga temannya harus 

menerima kenyataan pahit. 

Jlep, jlep...!


"Aaa. !" 

"Aaakh...!" 

Ki Mandra Dupa memekik, disusul Ki Sangkutra. 

Dada mereka dihunjam bunga mawar merah. 

Sedangkan Adipati Sumagatri dalam ancaman maut. 

Pedang di tangan wanita misterius itu siap menebas 

lehernya. 

"Hiaaa...!" 

"Tidak!" pekik Adipati Sumagatri. 

Cras! 

Tanpa disertai jeritan, kepala Adipati Sumagatri 

bergulir ke bawah. Napasnya putus seketika itu juga. 

"Iblis! Perbuatanmu sangat kejam! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu! Hiaaa...!" 

Menyaksikan bagaimana kejinya wanita misterius 

itu membunuh Adipati Sumagatri, Ki Balacatra segera 

melecutkan cambuknya dengan jurus 'Ekor Sanca 

Melecut Badai'. 

Cletar! 

"Uts! Rupanya kau pun ingin mampus! Yiaaat...!" 

Setelah mengelakkan serangan cambuk lawan, 

Mawar Maut menyerang balik Ki Balacatra dengan 

babatan pedangnya. Sementara tangan kirinya 

merogoh ke balik baju. Tapi rupanya yang dicari telah 

habis. Wanita itu kehabisan bunga mawar merahnya. 

Melihat lawan tengah mencari-cari sesuatu, Ki 

Balacatra tak menyia-nyiakan kesempatan itu. 

Dengan cepat dia balik menyerang. Cambuknya 

kembali dilecutkan ke arah lawan dengan jurus 'Lidah 

Petir Menghancurkan Karang' 

"Uts!" 

Mawar Maut masih mampu mengelakkan 

serangan cambuk lawan. Kemudian, balas 

menyerang dengan tusukan dan babatan pedang


peraknya dengan jurus inti 'Silang Kala Maut'. 

"Heaaat...!" 

Wut, wut! 

Mungkin kalau hanya pedang biasa tidak akan 

membuat lawan-lawannya kalah dengan cepat. Tapi 

pedang di tangan wanita misterius itu mengandung 

racun ganas. Bahkan mampu melemahkan dan 

menguras tenaga lawan. Itu yang dialami Ki 

Balacatra. Lelaki tua itu merasa tenaganya terkuras 

habis, padahal baru beberapa puluh jurus. Biasanya, 

Ki Balacatra mampu bertarung sampai ratusan jurus. 

Namun kali ini tenaganya cepat berkurang. Dadanya 

pun terasa sesak. 

"Heaaat..!" 

Wut, wut..! 

Pedang di tangan wanita berpakaian serba merah 

itu menderu dengan cepat. Sesaat lagi, Ki Balacatra 

akan mengalami nasib yang sama dengan Adipati 

Sumagatri. Pedang wanita itu semakin dekat ke arah 

lehernya. Hampir saja kematian merenggut nyawa Ki 

Balacatra, ketika tiba-tiba.... 

Trang! 

Benturan dua senjata terdengar. Terlihat percikan 

bunga api. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh 

pemuda tampan berbaju rompi kulit ular berdiri di 

samping Ki Balacatra. Sementara wanita misterius itu 

agak terhuyung ke belakang. 

"Oh! Syukurlah kau datang, Sena," kata Ki 

Balacatra dengan wajah menampakkan keceriaan. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil meng-

garuk-garuk kepala. 

"Ha ha ha...! Rupanya inikah si Mawar Maut itu? Ha 

ha ha...! Lucu sekali...!" 

Wanita berpakaian serba merah itu mendengus,


mendengar ejekan Pendekar Gila. 

"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mampus! 

Dulu ketika kau terperosok dalam lubang, nyawamu 

kuampuni! Tapi kini tak akan kuampuni! Kau telah 

berani mencampuri urusanku! Kau harus mati di 

tanganku! Bersiaplah...!" 

Pendekar Gila kembali tertawa tergelak-gelak. 

Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya 

mencabut bulu burung di ikat pinggangnya. Dan 

dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu 

burung itu. 

"Omonganmu seperti si buntung yang ingin naik 

gunung saja. Ah ah ah... Sungguh terima kasih 

kuucapkan padamu, yang telah memberi ampunan 

atas nyawaku," sindir Sena. 

"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus! 

Heaaat...!" 

Dengan jurus 'Pedang Iblis Membelah Samudera', 

si Mawar Maut segera menyerang. Pedangnya yang 

mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan 

menusuk ke arah Pendekar Gila. 

"Eit! Leherku terlalu licin, Nyi." 

Sena segera meliukkan tubuhnya dengan meng-

gunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu 

dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan 

langsung disodokkan ke arah lawan. 

"Ini bagianmu, Nyi! Heit..!" 

Si Mawar Maut tersentak kaget melihat gerakan 

Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak 

pelan dan lemah, namun sesungguhnya sangat 

dahsyat. Malah mampu menjangkau pinggang wanita 

misterius itu, yang segera menepiskan pedangnya ke 

arah serangan. 

"Hait..!"


Trang! 

Pijaran api kembali terjadi, diikuti oleh melompat-

nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam ber-

hadap-hadapan. Kemudian wanita misterius itu 

mengerahkan jurus 'Pedang Iblis Menusuk Gunung', 

kembali melakukan serangan. 

Melihat lawan membuka jurus, Pendekar Gila 

dengan tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk 

pantat membuka jurus pula. Kini jurus yang diguna-

kan 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak 

laksana melepas lilitan tali. 

Pedang perak di tangan wanita misterius itu ber-

gerak menyilang, dan membabat ke samping. 

Kemudian menusuk lurus ke depan, disusul ke 

samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat 

dan lincah. 

Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan 

menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga 

Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan 

lurus ke atas. 

"Yiaaa...!" 

"He he he... Galak juga kau, Nyi?! Heaaa...!" 

*** 

Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali 

melakukan serangan. Pedang Perak di tangan wanita 

misterius itu bergerak cepat. Menusuk ke depan, 

membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan 

dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan 

babatan dari kiri ke kanan. Saking cepatnya gerakan 

pedang itu, Pedang Perak di tangannya seperti meng-

hilang. Yang tampak hanya bayangan putih 

keperakan, yang melindungi tubuh wanita itu.


Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit 

ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera 

mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus 

Badai'. 

"Heaaa!" 

Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling 

Naga Sakti bergerak lurus ke muka. Sedangkan 

tangan kirinya memukul. Tubuhnya sedikit merunduk. 

Kaki kirinya terangkat ke atas. Dan, kaki kanannya 

setengah ditekuk. Dengan cepat, Pendekar Gila 

menyodokkan sulingnya ke arah gulungan sinar perak 

lawan. 

"Heaaa...!" 

"Haiiit...!" 

Wut! 

Trang! 

Dua senjata kembali saling beradu. Pijaran api 

keluar dari benturan senjata itu. Asap putih 

keperakan yang beracun terus bergulung-gulung 

menyerang Pendekar Gila. Kalau saja tidak meminum 

darah ular putih, pasti Pendekar Gila telah tewas. 

Namun kini dia kebal dari segala macam racun 

(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila 

dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im"). 

Agak kaget juga si Mawar Maut menyaksikan 

Pendekar Gila tidak mempan oleh racun yang keluar 

dari Pedang Perak di tangannya. Gerakan pedangnya 

semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling 

Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. 

Wut! 

Trang! 

Dua buah senjata sakti itu saling beradu, berusaha 

mengalahkan satu sama lain. Namun sejauh itu, 

belum tampak ada senjata yang kalah. Pendekar Gila


terus menyodokkan sulingnya dengan masih meng-

gunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali 

sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongak-

kan ke atas berusaha membuka kain penutup yang 

menutupi wajah wanita misterius itu. 

"Heaaa...!" 

"Uts!" 

Si Mawar Maut cepat-cepat membuang muka ke 

samping. Lalu dengan cepat membabatkan pedang-

nya ke arah Suling Naga Sakti dengan jurus 'Sapuan 

Badai Neraka'. 

Wut! 

Melihat pedang lawan menderu ke arahnya, 

dengan cepat Pendekar Gila menarik serangannya. 

Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran. 

Memapaki tebasan pedang dengan jurus 'Si Gila 

Menipu Lawan Memukul Karang'. 

Trang! 

Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling 

berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang 

dengan didahului pekikan menggelegar. 

"Heaaa...!" 

"Yiaaat...!" 

Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di 

tangan. Sesampainya di udara, mereka berusaha 

saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke 

arah wajah lawan. Sedangkan Pedang Perak 

menebas ke arah kepala Pendekar Gila. 

"Hup!" 

Wut! 

Cepat Pendekar Gila berguling ke samping, meng-

elakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan 

cepat, sulingnya disodokkan kembali ke arah wajah 

lawan. Namun lawan dapat menghindari.


Melihat wanita berpakaian serba merah itu mampu 

menghindari serangannya, Pendekar Gila menurun-

kan tangannya agak ke bawah. Kali ini sulingnya 

disodokkan ke dada lawan. 

"Heaaa...!" 

Wanita misterius itu tersentak kaget mendapatkan 

serangan cepat itu. Dan, berusaha menangkis dengan 

mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan 

kanannya membabatkan pedang ke tubuh lawan. 

"Hop! Yeaaa...!" 

Melihat babatan pedang lawan, Sena cepat-cepat 

menekuk lutut ke bawah, lalu bergerak ke samping. 

Setelah pedang lawan menderu, kakinya menendang 

ke arah pedang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'. 

Deb! 

"Heaaa..!" 

Tubuh si Mawar Maut terhuyung ke samping, 

terkena dorongan tenaga dalam pada pedangnya. 

Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan 

terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke 

dada lawan yang tak mampu mengelak lagi. 

Dugk! 

"Hukh...!" 

Wanita misterius itu terdorong ke belakang, lalu 

jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras. 

"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu, 

Pendekar Gila!" dengus si Mawar Maut. 

"Aku ladeni, Nyi!" sahut Sena seraya sambil meng-

garuk-garuk kepala. 

"Bersiaplah, Pendekar Gila! 'Sangkala Gatra', 

hiaaa...!" 

"Kuharap kau pun bersiap, Nyi! Heaaa...!" 

Keduanya bergerak cepat. Pedang Perak di tangan 

wanita misterius itu menderu keras ke arah Pendekar


Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin 

banyak keluar. 

Ki Balacatra yang tahu kedahsyatan asap pukulan 

keperakan itu, cepat melangkah mundur sepuluh 

tombak. Lelaki tua itu tak ingin terkena racun. 

Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-

kalau Sena akan terkena racun ganas itu. Namun, 

nampaknya Sena tidak terpengaruh sedikit pun oleh 

racun itu. 

"Heaaa...!" 

Trang! 

Suara beradunya senjata, kali ini kerap terdengar. 

Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan 

jurus biasa. Jurus-jurus tingkat tinggi yang meng-

andalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. 

Sehingga, tubuh keduanya bagai menghilang. 

Pendekar Gila terus merangsek dengan sodokan 

dan babatan Suling Naga Saktinya. Sedangkan lawan 

dengan Pedang Peraknya tidak mau kalah. Pedang 

beracun itu berkelebat membabat dan menusuk. 

"Heaaa...!" 

Wut! 

Trang! 

Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang 

dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka 

yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha 

menyapu dan menendang lawan. 

Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan. 

Kelihatannya keduanya sama-sama kuat. Mereka 

terus bertarung bagai tidak mengenal lelah. 

"Kukuruyuuuk...!" 

Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok, 

pertanda sebentar lagi pagi akan datang. Meski 

begitu, keduanya tidak menghentikan pertarungan.


Malah semakin bertambah cepat melakukan 

serangan. 

"Hiaaa...!" 

Pedang Perak di tangan wanita misterius itu ber-

gerak cepat ke arah Pendekar Gila. Melihat serangan 

lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. 

Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti 

ke dada lawan. 

"Heaaa...!" 

Dugk! 

"Hukh...!" 

Tubuh wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus 

tertutup kain serba merah itu terhuyung-huyung ke 

belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain 

penutup wajahnya. Melihat hal itu, Pendekar Gila 

tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantam-

kannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh lawan. 

"Terimalah kematianmu! Heaaa...!" 

Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan 

api menyala-nyala ke arah tubuh si Mawar Maut. 

Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuhnya. 

Blab! 

"Wuaaa...!" si Mawar Maut menjerit. 

Tubuh terbungkus pakaian merah itu berguling-

guling, berusaha memadamkan api yang melahap 

tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Wanita 

misterius itu berkelojotan. Pedang Perak di tangannya 

terlepas. Saat itu juga, Pendekar Gila meniup Suling 

Naga Sakti dengan suara mendayu. Rupanya, Sena 

berusaha menyempurnakan kematian lawan. 

"Wuaaa... Tobat!" pekik wanita misterius itu 

dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan 

hidungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, 

gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah


menjemputnya. 

Sena menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. 

Dengan tersenyum-senyum, pemuda itu ber-

jumpalitan seperti monyet. Tangan kanan menggaruk-

garuk kepala, sedangkan tangan kiri menepuk-nepuk 

pantat. Bersama Ki Balacatra, Sena yang masih 

bertingkah laku konyol, mendekati tubuh wanita 

misterius itu. Ki Balacatra dengan hati-hati membuka 

kain penutup wajah wanita itu. 

"Nyi Gendis Awit..!" seru keduanya bersamaan. 

"Hm... Tak kusangka dia orangnya," gumam Ki 

Balacatra tak percaya. "Rupanya, orang yang kita 

hadapi Nyi Gendis Awit." 

"Apa arti semua ini?" tanya Sena heran, sambil 

memandang ke arah Ki Balacatra yang juga tak 

mengerti dengan apa yang terjadi. 

"Lihat, Sena. Ada bungkusan di perutnya!" seru Ki 

Balacatra. Lelaki tua itu segera mengambil 

bungkusan yang berupa kotak kecil terbuat dari 

logam. 

"Kita buka saja, Ki," saran Sena. 

Keduanya segera membuka kotak kecil itu. Di 

dalamnya terdapat sehelai daun lontar yang 

bertuliskan, 

Dewi Pedang Beracun adalah kakakku yang tewas 

di tangan Sumagatri, Mandra Dupa, Sangkutra, 

Anggada dan pendekar di Kadipaten Pamakasan. 

Kakakku bermaksud membalas dendam atas 

kematian kedua orangtua kami, yang telah dibunuh 

mereka atas perintah Adipati Kerto Amabrang. 

Melihat kakakku tak mampu membalas dendam, 

bahkan terbunuh oleh kelima pendekar itu, aku yang 

semula bermaksud tidak membalas dendam,


akhirnya mencari guru kakakku untuk meminta ilmu. 

Dan, aku berhasil menemuinya. 

Agar sepak terjangku leluasa, aku pun mem-

bongkar kuburan kakakku. Kuambil senjatanya yang 

kebetulan ada di kuburan. Kemudian dengan 

menyamar sebagai dirinya, aku membalas dendam. 

Meneruskan niat kakakku. 

Tidak kusangka, aku yang sudah bersumpah tidak 

akan kawin sebelum membunuh mereka, ternyata 

tersandung. Saat pertama kali aku bertemu dengan 

pemuda tampan bertingkah laku gila seperti orang 

gila, aku merasakan adanya sesuatu yang aneh di 

dalam hatiku. 

Aku rela mati di tangannya, asalkan aku telah 

membalas semua dendam kedua orangtuaku juga 

kakakku. 

Semoga Pendekar Gila mengerti. 

Gendis Awit (Perawan Tua) 

"Oh...!" Sena mengeluh. "Maafkan aku, Nyi. Aku 

hanya menjalankan tugas. Untuk kedamaian dan 

ketenangan..." 

"Sena, kuharap kau sudi menggantikan Kanjeng 

Adipati. Biarlah aku nanti yang menghadap ke 

kerajaan," kata Ki Balacatra. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar 

permintaan Ki Balacatra. "Lucu... lucu. Hi hi hi...!" 

"Bagaimana, Sena?" 

"Tidak, Ki. Terima kasih atas kepercayaanmu. 

Masih banyak orang yang jauh lebih pintar 

dibandingkan aku. Aku hanya petualang. Ke mana 

angin bertiup, ke sanalah kakiku melangkah." 

Ki Balacatra menghela napas. Dipegangnya 

pundak Sena Manggala.


"Sungguh terpuji budi baikmu, Sena. Kalau begitu, 

aku hanya bisa berdoa semoga Hyang Widhi 

senantiasa menyertaimu." 

"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit" 

"Mengapa mesti buru-buru? Tidakkah sebaiknya 

kau ikut aku ke kerajaan untuk menerima peng-

hargaan atas jasamu?" tanya Ki Balacatra. 

"Terima kasih. Terlalu berat aku memikulnya." 

Pendekar Gila menjura hormat. Kemudian, 

melangkah pergi meninggalkan Ki Balacatra yang 

mematung dengan tatapan mata mengiringi 

kepergian Sena yang hendak meneruskan 

pengembaraannya. 

"Semoga kau senantiasa dilindungi Hyang Widhi," 

desis Ki Balacatra lirih. 

Angin pagi berhembus menerbangkan embun, 

seperti hari yang berganti. Dari kejauhan terdengar 

suara tawa Pendekar Gila membelah kesunyian pagi. 

Tak lama kemudian, Ki Balacatra melangkah 

masuk ke kadipaten. Lalu, kembali keluar dengan 

menunggang seekor kuda. Dipacunya kuda itu 

dengan kencang meninggalkan Kadipaten 

Pamakasan. 



                         SELESAI 

 

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar