..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 03 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE PERJALANAN KE AKHERAT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SATU


Angin pagi berhembus tidak seperti biasanya. Pagi ini, 

di sekitar Danau Sambak Neraka angin bertiup 

sangat keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. 

Angin tiba-tiba bagaikan mengamuk, menerbangkan 

debu dan dedaunan kering. 

Danau Sambak Neraka yang terletak di sebelah 

selatan Desa Krasak, pagi itu masih tertutup kabut 

tebal yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya 

angin bertiup sangat kencang seperti ini. Biasanya 

angin bertiup tenang, menghembuskan hawa pagi 

yang sejuk dan segar, yang akan menambah 

kenyamanan suasana pagi. 

Pagi yang biasanya cerah tiba-tiba berubah 

menjadi suasana yang mencekam dan menakutkan. 

Suasana aneh yang rasanya laksana berada di dalam 

kematian alam akherat. 

Sementara itu, dari arah timur nampak sesosok 

tubuh wanita membopong seorang bayi yang masih 

merah. Wanita yang nampaknya habis melahirkan itu 

berlari-lari seperti ada sesuatu yang dicarinya. 

Wajahnya nampak pucat. Seperti memendam 

ketakutan. Sesekali menoleh ke belakang, me-

mandang ke arah timur. Seakan ada sesuatu yang 

dikhawatirkannya. 

Air mata wanita yang mengenakan pakaian hijau 

lumut berparas cantik dengan rambut diikat ekor 

kuda itu, meleleh di kedua pipinya. 

“Kakang Anjasmara, bagaimana nasibmu, 

Kakang?” keluh wanita cantik yang bernama Sambi,


sambil terus berlari dengan tangan masih meng-

gendong bayi. Sementara bayi di gendongannya 

terdengar menjerit-jerit tiada henti. 

“Oaaa...! Oaaa...!” 

“Cup, Sayang...! Cup...!” Sambi berusaha me-

nenangkan bayinya yang terus menangis. Bayi itu 

seperti mengerti kalau ayah dan ibunya dalam 

keadaan menderita. Sesaat tangisnya berhenti. 

Namun kemudian terdengar kembali menjerit-jerit, 

seperti ikut merasakan cekaman rasa takut ibunya. 

Sementara itu pula, dari kejauhan nampak se-

orang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut 

terurai panjang, tengah menghadapi sepuluh orang 

berpakaian kembar warna ungu yang mengeroyoknya 

dengan senjata berupa toya. 

Lelaki tinggi tegap berwajah tampan itu tiada lain 

Anjasmara. Sedangkan kesepuluh lelaki dengan 

pakaian ungu dan berkepala botak itu, ternyata Dasa 

Toya Kuil Merak. Mereka merupakan para resi dari 

Kuil Merak. 

“Menyerahlah, Anjasmara! Kau harus memper-

tanggungjawabkan tindakanmu!” seru resi pertama, 

bernama Kopayana. Orang itu bertubuh tinggi kurus 

dan agak bungkuk. Matanya tajam, berhidung 

mancung seperti paruh betet, dan berjanggut 

panjang. 

“Ya! Kau harus bertanggung jawab pada Ki 

Badawi, karena kau telah melarikan anaknya!” 

sambut Resi Udayana, lelaki bertubuh pendek dengan 

perut gendut. Wajahnya panjang seperti ular, dengan 

alis mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung 

seperti resi pertama. 

“Itu bukan urusan kalian!” sahut Anjasmara. “Aku 

bukan menculik Sambi. Kami saling mencintai!”


“Tak peduli! Yang jelas kau telah merebut Sambi 

dari calon suaminya! Kau harus bertanggung jawab 

atas perbuatanmu!” bantah Resi Sadayana, lelaki 

berbadan besar dengan wajah garang ditumbuhi 

kumis tebal melintang. 

“Cuh! Enak saja kalian bicara! Sumantri-lah yang 

telah merebut Sambi dari tanganku!” sentak 

Anjasmara sengit, dituduh kalau dirinya merebut 

Sambi dari Sumantri. Padahal antara dirinya dan 

Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak sama-

sama di Perguruan Pedang Darah. 

Pertarungan Anjasmara melawan kesepuluh resi 

yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak nampak seru. 

Meski menghadapi sepuluh orang yang berilmu 

lumayan, Anjasmara yang merupakan murid kedua 

dari Perguruan Pedang Darah nampak tak mengalami 

desakan yang berarti. Bahkan serangan-serangan 

yang dilancarkannya cukup mengejutkan kesepuluh 

resi berbaju ungu itu. 

Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya 

Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari kita kembali 

pada kejadian sepuluh tahun yang silam! Ketika itu 

ketiganya masih menjadi satu dalam didikan seorang 

tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi atau 

Dewa Pedang. 

Sumantri, Anjasmara, dan Sambi merupakan 

kakak beradik pada Perguruan Pedang Darah. 

Ketiganya dididik dan digembleng oleh guru sekaligus 

orangtua angkat mereka yang bernama Ki Badawi. 

Ki Badawi merupakan orang tua yang paling 

sayang terhadap anak-anak telantar. Ki Badawi 

menemukan Sumantri dan Anjasmara ketika tengah 

berlanglang buana. Dua bocah kecil tampan yang 

entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena


kasihan, dibawanya pulang. Kemudian dirawat. 

Selang beberapa hari kemudian, ketika Ki Badawi 

kembali dari bepergian, dia menemukan seorang 

bocah perempuan kecil tengah menangis di tengah-

tengah amukan api. 

Ki Badawi yang melihat bocah kecil menangis di 

antara gelimpangan mayat warga Desa Pasuruhan, 

segera mengambil anak itu. Kemudian membawanya 

pula ke perguruan yang berada di Bukit Cagar Buana. 

Dididik dan diasuhnya ketiga anak itu dengan 

penuh kasih sayang. Sehingga tumbuhlah ketiganya 

menjadi dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi 

yang tampan dan cantik jelita. Yang lelaki diberi nama 

Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang perempuan 

bernama Sambi. 

Semenjak kecil, di antara mereka memang 

senantiasa terjadi perselisihan. Dari dulu, Sumantri 

yang memiliki watak ingin menang sendiri, selalu 

berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun 

Anjasmara tidak bisa dikalahkan begitu saja. 

Sikap ingin menang sendiri selalu ditunjukkan 

Sumantri, baik di setiap latihan, maupun ketika 

melakukan kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi 

menganggap persaingan itu hal yang biasa saja, 

karena mereka masih anak-anak. Biasanya anak-

anak kecil memiliki sikap ingin menunjukkan 

keunggulan dirinya. 

Persaingan antara Sumantri dan Anjasmara ber-

langsung terus-menerus tiada henti. Sampai mereka 

sama-sama tumbuh menjadi pemuda. Pemuda 

dewasa yang gagah dan tampan, persaingan terus 

terjadi. 

Pada masa ini, kedua pemuda tampan itu tidak 

lagi bersaing untuk membuktikan ketinggian ilmu


mereka. Sumantri menyadari kalau ilmu yang 

dikuasainya tidak sehebat milik saudara angkatnya 

itu. Karena Sumantri memang tidak setekun 

Anjasmara. Dirinya sering kurang giat dalam berlatih. 

Di samping sering merasa manja dan besar kepala 

karena Ki Badawi memang lebih menyayangi dirinya 

ketimbang terhadap Anjasmara maupun Sambi. 

Kini Sumantri berusaha hendak mendapatkan adik 

angkatnya yang cantik jelita itu. Beberapa kali 

Sumantri berusaha mendekati Sambi, tapi gadis 

cantik yang juga memiliki ilmu pedang itu terus 

berusaha menolaknya. 

Sampai pada suatu hari, ketika Sambi tengah 

mandi di sebuah pancuran, diam-diam Sumantri 

mengikutinya. 

Sambi yang tidak menduga kalau Sumantri 

mengikutinya, tanpa segan-segan membuka 

pakaiannya. Kemudian dengan bernyanyi-nyanyi 

tubuhnya dicemlungkan ke kubangan air pancuran. 

Menyaksikan pemandangan yang menggiurkan, 

darah lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kumis 

menghias di atas bibirnya itu seketika bergolak 

laksana air pancuran. Lelaki muda berpakaian abu-

abu tanpa lengan dan berambut panjang dengan ikat 

kepala kulit macan tutul itu, merasakan getaran yang 

dahsyat dalam jiwanya. 

Hampir saja dia melakukan sesuatu yang tercela. 

Namun tiba-tiba Sumantri ingat akan segala petuah 

gurunya. 

“Jika kau mencintai seseorang, katakanlah dengan 

kejujuranmu! Aku akan bangga, memiliki anak yang 

menjunjung tinggi kehormatan kaum yang lemah.” 

Sumantri tersentak dan mengurungkan niatnya 

memperkosa Sambi. Bergegas dia pulang ke


perguruan. Ketika dilihatnya Anjasmara sedang 

bekerja membelah kayu, Sumantri tersenyum sinis. 

Namun Anjasmara tak menggubrisnya, dia tetap 

membelahi kayu-kayu yang akan digunakan untuk 

memasak. Namun ketika Sumantri masuk ke rumah 

gubuk tempat gurunya berada, seketika perasaan 

lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini berubah. 

Pemuda tampan berhidung mancung dengan 

kumis tipis menghias di atas bibirnya, dan bermata 

tajam laksana mata burung elang itu menghentikan 

pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada 

sesuatu yang tengah dipikirkan. Entah mengapa, 

seketika dia ingin tahu apa yang sedang diadukan 

Sumantri pada Ki Badawi. 

Dengan hati-hati, Anjasmara berusaha mendengar 

aduan yang tengah disampaikan Sumantri pada guru 

mereka. Matanya terbelalak, ketika mendengar apa 

yang tengah diadukan Sumantri pada Ki Badawi. 

“Guru, terus terang aku mencintai Sambi. Kuharap 

Guru sudi menjodohkan kami, karena kami sama-

sama mencintai,” kata Sumantri berdusta. 

Anjasmara menarik napas dalam-dalam. Seketika 

perasaannya bergemuruh riuh tidak karuan. 

Benarkah Sambi juga mencintai Sumantri? Tanya 

Anjasmara dalam hati. Sungguh wanita murahan jika 

dia membagi cintanya untuk Sumantri dan diriku. 

Anjasmara kembali memusatkan perhatiannya 

pada pembicaraan gurunya dan Sumantri. 

“Apa kau tak salah ngomong, Mantri?” tanya Ki 

Badawi. 

“Tidak, Guru. Aku yakin kalau Sambi mencintaiku.” 

“Kau sudah mengatakan padanya?” 

“Sudah, Guru. Bahkan jika Guru merestui, Sambi 

bersedia menikah secepatnya,” jawab Sumantri


berbohong, berusaha meyakinkan gurunya. 

Dari dalam terdengar helaan napas Ki Badawi. 

Sepertinya orang tua berambut digelung seperti para 

resi dengan pakaian jubah putih itu dalam keadaan 

bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering 

melihat Sambi bersama Anjasmara ngobrol. Itu yang 

meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi mencintai 

Anjasmara, bukan Sumantri! Tapi kini, tiba-tiba 

Sumantri mengatakan kalau dirinya dan Sambi telah 

sepakat untuk menjadi suami istri. 

Kurang ajar kau, Sumantri! Dengus Anjasmara 

dalam hati. Celaka kalau guru sudah membicara-

kannya pada Sambi. Gadis itu tentu akan menurut 

apa kata Guru! 

Karena dihinggapi rasa takut kalau Sambi akan 

menurut kata-kata guru mereka, Anjasmara yang tahu 

bahwa Sambi sedang mandi, segera berlari ke 

pancuran. Dia tidak ingin Sambi dimiliki oleh 

Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah terhadap 

Sumantri. Haruskah kini dia juga mengalah? Padahal 

masalah ini sangat penting, karena menyangkut 

harga diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin 

kalut. 

“Kakang, ada apa kau menyusul ke sini?” tanya 

Sambi ketika melihat Anjasmara menyusul dirinya 

saat mandi di pancuran. 

“Cepatlah naik, Sambi! Aku ingin bicara dengan-

mu,” sahut Anjasmara buru-buru. 

“Nampaknya kau tak sabar, Kakang. Kenapa...?” 

tanya Sambil masih belum memahami apa yang 

membuat pemuda tampan kekasihnya itu tampak tak 

sabar, tidak seperti biasanya. Biasanya Anjasmara 

nampak tenang dan sabar. Dan karena sikapnya yang 

tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi


kekasihnya. 

“Naiklah, Sambi!” perintah Anjasmara semakin tak 

tenang. 

Dengan wajah diliputi perasaan heran, Sambi pun 

menurut. Sampai-sampai ia lupa kalau tubuhnya 

dalam keadaan telanjang. 

“Ada apa, Kakang?” tanya Sambi. 

“Pakailah pakaianmu dulu!” sahut Anjasmara 

setelah terpaku memandangi keadaan tubuh 

kekasihnya yang mulus dan kuning langsat. 

“Heh...! Oh! I... iya. Aku sampai lupa.” 

Sambi agak kaget dan malu. Lalu cepat-cepat 

menutup bagian terlarang di tubuhnya dengan 

tangan. Kemudian, kakinya melangkah untuk meng-

ambil pakaiannya yang tergeletak di atas batu yang 

permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru 

pakaiannya segera dikenakan. 

“Ada apa?” tanya Sambi setelah mengenakan 

pakaiannya. Matanya memandang penuh keheranan 

pada pujaan hatinya yang kelihatan gelisah. “Kau 

tampak gelisah, Kakang. Katakanlah! Apa yang 

terjadi?” 

Anjasmara menghela napas panjang. 

“Benarkah kau telah bersepakat akan menikah 

dengan Sumantri?” 

“Hah?! Apa...?!” Sambi terkejut mendengar 

pertanyaan kekasihnya. Keningnya berkerut, matanya 

memandang tak berkedip ke wajah Anjasmara. 

“Siapa yang berkata begitu, Kakang?” 

“Sumantri. Dia mengadu pada guru dan meng-

inginkan agar guru merestui pernikahannya dengan-

mu,” sahut Anjasmara agak marah. 

“Oh! Mengapa Kakang Sumantri berbuat itu? 

Tidak, Kakang! Cintaku hanya untukmu. Ke mana pun


kau bawa, aku akan menurut. Aku hanya ingin 

mengabdi padamu,” keluh Sambi berusaha meyakin-

kan kekasihnya. 

“Kalau begitu, sebelum guru dan Sumantri 

melakukan semuanya, sebaiknya kita minggat dari 

sini!” ajak Anjasmara. 

Sambi pun setuju dengan tekad itu. Tanpa 

sepengetahuan Ki Badawi dan Sumantri keduanya 

meninggalkan Bukit Cagar Buana yang berada di sisi 

Hutan Prajawelerang. 

Waktu berlalu. Keduanya menjadi satu dalam 

hidup. Sampai akhirnya pasangan Anjasmara dan 

Sambi dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil. 

Sementara, kabar tentang Sumantri dan Ki Badawi 

tak pernah terdengar di telinga mereka berdua. 

Sampai pada akhirnya, entah dari mana sumbernya, 

banyak para tokoh persilatan mencari Anjasmara dan 

Sambi. Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk 

menangkap Anjasmara dan Sambi. Hingga Anjasmara 

dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi kecil itu 

harus lari untuk menyelamatkan diri, meninggalkan 

Hutan Semar Kembar tempat keduanya bersembunyi 

selama ini. 

*** 

Pertarungan Anjasmara yang bersenjatakan 

pedang melawan Dasa Toya Kuil Merak masih ber-

jalan seru. Nampaknya murid dan anak angkat Ki 

Badawi bukanlah lawan yang enteng bagi kesepuluh 

resi dari Kuil Merak itu. Bahkan beberapa kali 

Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh 

lawan-lawannya. 

Dengan jurus 'Lingkaran Pedang Sinar' Anjasmara


mampu membuat kesepuluh resi yang berusaha 

menangkapnya kalang-kabut. Dan mau tak mau 

mereka harus melompat ke belakang mengelakkan 

dan menjauhi serangan pedangnya. 

“Heaaa...!” 

“Setan!” maki Resi Narayana kaget sambil 

melompat mundur, mengelakkan babatan pedang 

lawan yang cepat, sehingga mampu membuat 

gerakan memutar membentuk lingkaran. Namun.... 

Wuttt! 

Brettt! 

“Uts! Setan gundul...!” maki Narayana sengit, 

ketika pakaian resinya sobek terkena sabetan pedang 

Anjasmara. Lelaki botak dengan hidung pesek itu 

mengumpat dan mencaci-maki dengan kesal. Kalau 

saja dia terlambat mengelak, sudah pasti perutnya 

yang agak buncit itu terkena sabetan pedang 

Anjasmara. 

“Bedebah! Rupanya tikus ini minta mampus!” 

dengus Andayana sengit, menyaksikan kemampuan 

lawan. Toya di tangannya diputar cepat dengan jurus 

'Toya Dewa Mengundang Bayu'. Dari putaran toyanya, 

keluar angin kencang yang dahsyat. 

Menyaksikan Andayana telah memutar tongkatnya 

dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang Bayu', 

kesembilan resi lainnya serentak melakukan hal yang 

sama. 

“Kuremukkan batok kepalamu, Tikus Busuk!” 

dengus Resi Dupayana. “Heaaa...!” 

Lelaki botak bertubuh kurus dan jangkung dengan 

mata juling itu menggebrak ke arah lawan, diikuti oleh 

rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus 

'Toya Dewa Mengundang Bayu'. 

“Hiaaat...!”


Wuttt! 

“Heaaa...!” 

Teriakan-teriakan nyaring mengawali serangan 

Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan. 

“Yeaaa...!” Anjasmara yang merasakan angin 

keluar dari toya mereka, dengan cepat mengubah 

jurus pedangnya. Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin 

Menerjang Belantara', dia menghadang serangan 

kesepuluh lawannya. 

Siiing...! Siiing...! 

Pertempuran kembali berjalan dengan seru. 

Dengan jurus andalan, para resi itu berusaha 

mendesak Anjasmara. Toya di tangan Dasa Toya Kuil 

Merak bergerak cepat, hingga menimbulkan angin 

yang keras dan menyentak. 

Wuttt! Wuttt! 

Wusss...! 

Dasa Toya Kuil Merak nampaknya tidak mau 

mengalami kekacauan serangan mereka seperti tadi. 

Kesepuluh resi itu terus bergerak dengan kompak. 

Satu menyerang, yang lainnya bergerak melindungi 

dan ganti menyerang. Gerakan mereka begitu serasi 

dan susul menyusul dengan jurus 'Dasa Merak 

Terbang dan Hinggap Sambil Mematuk'. 

Seorang dari Dasa Toya Kuil Merak menyerang 

dengan cepat, kemudian dengan cepat pula tubuhnya 

merunduk. Dari belakang melesat di atas tubuh 

rekannya, lalu menyerang ke tubuh Anjasmara. Begitu 

seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah 

menyerang, segera merundukkan tubuh untuk 

dilompati rekannya untuk menyerang lawan. 

“Hiaaat...!” 

Wuttt! Wuttt! 

Hebat juga jurus 'Dasa Merak Terbang dan



Hinggap Sambil Mematuk'. Dengan jurus itu, 

kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu mendesak 

Anjasmara. Sehingga pendekar pedang dari 

Perguruan Pedang Darah itu harus menguras tenaga 

untuk dapat mengelakkan serangan beruntun dan 

susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu. 

“Uts! Celaka...! Ilmu apa yang digunakan 

kesepuluh resi ini?” tanya Anjasmara setengah 

mengeluh lirih sambil bergerak mengelakkan 

pentungan toya kesepuluh resi berkepala botak itu. 

Dia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk balas 

menyerang ke arah lawan-lawannya. 

Dasa Toya Kuil Merak tak pernah berhenti 

menyerang. Satu menyerang, yang lainnya menyusul 

dengan serangan yang sama dan cepat. Hal itu cukup 

merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri. 

Terlebih tenaganya terkuras dalam pertarungan yang 

berjalan lama. 

“Menyerahlah, Tikus Busuk!” seru Resi Indrayana 

sambil menggerakkan toyanya menyerang. 

Wuttt! 

“Benar! Menyerahlah, agar kau tak mati percuma!” 

sambung Resi Trijayana seraya melompat meng-

gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki berusia sekitar 

tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal melintang, 

serta badan gendut itu terus merangsek ke arah 

Anjasmara. 

“Cuh! Kalianlah yang busuk! Kalian telah berlaku 

tidak selayaknya sebagai para resi. Hanya karena 

tergiur hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri 

keparat itu, kalian rela melepas kedudukan sebagai 

resi!” dengus Anjasmara tak mau kalah. 

“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!” 

bentak Resi Warayana. Mata lelaki bertubuh kaku ini


nampak garang. Hidungnya yang besar kembang-

kempis, dengan napas mendengus marah. 

“Kupecahkan batok kepalamu, Setan!” sambung 

Resi Ragayana. Bergantian dengan Resi Warayana, 

Resi Ragayana menyerang ke arah Anjasmara. 

Serangan mereka semakin gencar dan dahsyat, 

mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. 

Ketika petarungan masih berjalan sengit, dan 

Anjasmara dalam keadaan terdesak, tiba-tiba angin 

badai berhembus dahsyat menggulung tempat 

pertempuran. 

Wusss...! 

“Wuaaa...!” 

Kesepuluh resi itu berusaha mengelakkan 

terjangan angin yang datangnya sangat kencang, 

namun gerakan mereka terlambat. Akibatnya, tubuh 

berpakaian ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh 

mereka mencelat ke belakang laksana terbang. 

Anjasmara tersentak kaget. Matanya terbelalak 

ketika tiba-tiba di dalam gulungan angin yang 

membentuk pusaran itu terlihat sosok wanita yang 

sudah sangat dikenalnya. 

“Sambi...!” seru Anjasmara sambil berlari 

memburu angin besar yang berpusar dan bergerak 

mengelilingi Sambi yang menggendong bayinya. 

“Ka..., Kakang...!” 

“Sambi...!” 

Anjasmara terus berlari dengan wajah cemas, 

menyaksikan istri dan anaknya dalam kekuasaan 

angin besar yang terus menggulung keduanya. 

Dengan nekat, Anjasmara segera menerobos masuk 

ke putaran angin kencang itu. 

“Sambi...!” 

Seketika tubuh Anjasmara ditelan pusaran angin


besar di mana istri dan bayinya berada. Angin besar 

bergulung-gulung itu terus berputar. Tapi anehnya, 

setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin 

itu bergerak meninggalkan tepian Danau Sambak 

Neraka. Angin itu terus bergerak ke arah air danau 

yang sangat dalam. 

Byurrr! Byurrr...! 

Tubuh Sambi dan Anjasmara jatuh ke dalam air 

Danau Sambak Neraka. Bayi dalam pelukan Sambi 

pun tetap dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun 

suara tangisnya. Mereka terus dibawa ke tengah 

danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun 

Anjasmara, tak mengerti akan dibawa ke mana diri 

mereka. 

Ternyata angin bergulung dan berputar-putar itu 

terus mengusung mereka ke Pulau Karang Api yang 

berada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka. 

Semakin dekat tampaklah pulau itu menyala merah 

laksana api. Dan karena itulah pulau itu dinamakan 

Pulau Karang Api. 

Sementara itu, tubuh Anjasmara dan Sambi yang 

tercebur ke Danau Sambak Neraka seketika meng-

alami perubahan. Tubuh mereka memanjang. Wajah 

mereka kini pun berubah, dengan mulut moncong ke 

depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala 

mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang memanjang 

perlahan-lalian ditumbuhi sisik. Keduanya kini 

berubah menjadi dua ekor naga berwarna merah 

dengan mata yang membara bagaikan mengandung 

api! 

“Ssszzzt...!” 

Kedua sosok yang telah berubah menjadi naga itu 

menggeliat. Matanya tajam memandang ke daratan. 

Kemudian dari mulut dan mata keduanya


menyemburkan api yang membara ke arah sepuluh 

resi yang tengah berlari ke arah Danau Sambak 

Neraka. 

Wurrrs...! 

“Wuaaa...!” 

Kesepuluh resi yang tak menyangka akan 

mendapat serangan berupa semburan api dari tengah 

danau itu terkejut bukan main. Tiada ampun lagi, 

tubuh mereka terbakar hangus. 

Saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan 

bergema di sekitar Danau Sambak Neraka. Tampak-

nya suara itu milik seorang lelaki. 

“Kalian telah menjadi wargaku! Kalian berdua 

telah menjadi anak-anakku. Biarlah anak kalian 

kudidik! Kelak, dia akan menjadi pemuda perkasa! 

Hua ha ha...!” 

Kedua naga berwarna merah itu terdiam, 

kemudian dengan gerakan yang lamban, mereka 

menyelam ke kedalaman air Danau Sambak Neraka. 

*** 

Sepuluh tahun sudah peristiwa di Danau Sambak 

Neraka berlalu. Sumantri masih berpikir tentang 

Anjasmara dan Sambi, yang raib entah ke mana. Dia 

juga masih berpikir, siapa yang telah menewaskan 

kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi Danau Sambak 

Neraka. 

Suasana pagi yang cerah nampak melingkupi di 

sekitar Danau Sambak Neraka. Matahari yang baru 

saja muncul di ufuk timur bersinar merah tembaga. 

Nampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima 

tahun dengan kumis tebal dan jenggot pendek, 

berpakaian khas saudagar tengah melangkah


menyusuri tepian Danau Sambak Neraka. 

Lelaki tampan dengan rambut terurai panjang 

berbaju jubah abu-abu itu ternyata Sumantri. Dia 

tampak tengah mengawasi sekitar Danau Sambak 

Neraka. Pikirannya masih belum menerima peristiwa 

aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu. 

“Aneh,” gumam Sumantri lirih sambil matanya 

memandang ke sekeliling Danau Sambak Neraka. 

“Bagaimana mungkin Anjasmara dan Sambi 

menghilang?” 

Selama sepuluh tahun terakhir ini, Sumantri telah 

beberapa kali membayar orang-orang rimba per-

silatan untuk mencari kedua orang yang raib bagai 

ditelan bumi itu. Tapi selalu saja mengalami 

kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya 

yang menemukan jejak Anjasmara dan Sambi. 

“Mungkinkah mereka benar-benar menghilang?” 

tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tidak mungkin! Guru 

tak pernah mengajari Anjasmara dan Sambi ilmu 

menghilang....” 

Sumantri terus berdiri di tepi Danau Sambak 

Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika 

memandang arah Pulau Karang Api di tengah-tengah 

danau. 

“Heh! Apakah aku tak salah lihat?!” gumam 

Sumantri terkejut, ketika matanya melihat seorang 

bocah berusia sekitar sepuluh tahun berbadan penuh 

sisik tengah berlari-lari kecil. 

Bocah bertubuh penuh sisik itu tampaknya merasa 

ada yang memperhatikan. Wajahnya memandang ke 

arah Sumantri. 

“Ah! Bocah atau setan!?” 

Kembali Sumantri terkejut, menyaksikan mata 

bocah itu berwarna merah membara laksana api,


menyorot tajam wajahnya. Bukan hanya itu yang 

membuat Sumantri tersentak kaget. Ternyata gigi 

bocah kecil itu bertaring menyeramkan, ketika 

menyeringai memandangnya. 

“Ghrrr...! 

Terdengar suara keras menggelegar, ketika bocah 

kecil penghuni Pulau Karang Api itu menyeringai. 

Bersamaan dengan itu, seketika hawa panas 

menyelubungi sekitar danau, membuat Sumantri 

tersentak. 

“Uh, celaka! Apa yang dilakukan bocah setan itu?” 

keluh Sumantri. Tubuhnya kini menggeliat-geliat 

bagaikan dipanggang di atas bara api yang sangat 

panas. 

“Wuaaa...! Aaa...!” 

Sumantri menjerit-jerit merasakan hawa panas 

yang tiada terkira menyengat tubuhnya. Dirasakan 

tubuhnya seperti dikelilingi api yang membara. 

“Aaa...!” 

Pekikan keras kembali terdengar dari mulut 

Sumantri yang terus berusaha mempertahankan 

tubuhnya agar tidak mati lemas oleh hawa panas. 

Namun, semakin mengerahkan tenaga dalam untuk 

melawan pengaruh panas yang menyengat tubuhnya, 

hawa panas terasa semakin menjadi-jadi. 

“Celaka! Aku bisa mati terbakar kalau terus-

menerus di sini,” keluh Sumantri. 

Sumantri berusaha menjauh dari tepi danau. 

Nampaknya dia berhasil. Dengan cara beringsut 

menggunakan lututnya yang tertekuk, Sumantri 

berusah menggeser kedudukannya semakin menjauh 

dari tempat itu. 

“Bocah setan! Bagaimana mungkin bocah sekecil 

itu memiliki kekuatan api yang kuat, sampai mampu


menyerangku?” umpat Sumantri lirih sambil terus 

beringsut menjauh. 

Wusss...! 

Angin menderu kencang ke arah tubuh Sumantri. 

Seketika itu pula, tubuhnya melayang terbawa angin 

kencang itu. 

“Wuaaa...!” 

Sumantri menjerit ketakutan ketika tubuhnya 

diterbangkan angin dahsyat itu dan terlempar sekitar 

seratus tombak jauhnya dari tepian danau. 

Brukkk! 

“Aduh...! Angin setan!” maki Sumantri yang tampak 

marah. 

Wusss...! 

Tiba-tiba angin dahsyat itu berhembus ke arahnya. 

Angin badai itu seakan-akan tahu ucapan Sumantri 

barusan. Mata lelaki itu terbelalak kaget dan 

ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi 

tubuhnya. 

“Oh! Tidaaak...! Ampun, jangan....!” pekik Sumantri 

ketakutan. 

Dan anehnya lagi, angin itu bagaikan mengerti apa 

yang diminta Sumantri. Seketika angin itu bergulung 

dan berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah 

mengatakan sesuatu dan mengancam Sumantri. 

Sesaat kemudian angin besar itu bergerak cepat 

kembali ke Danau Sambak Neraka. 

“Aneh!” gumam Sumantri keheranan tak mengerti. 

“Bagaimana mungkin angin bisa mengerti ucapan-

ku?” 

Sumantri masih terduduk terbengong-bengong 

keheranan terhadap kejadian yang baru saja 

dialaminya. 

“Aneh! Benar-benar ada yang aneh di Pulau


Karang Api itu. Aku yakin, pulau itu ada penghuninya,” 

kata Sumantri sambil berlari meninggalkan tempat 

yang bernama Lembah Akherat ini. 

Bergidik juga hati Sumantri jika teringat kejadian 

yang baru saja dialaminya. Rasanya sangat tak 

masuk akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia 

sepuluh tahun berbadan penuh sisik mampu 

mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu? Bocah ber-

tubuh penuh sisik dengan mata merah laksana api itu 

mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu 

mengerahkan angin aneh. 

“Bocah itu tentunya bocah sakti. Ah, kalau saja 

aku bisa mendapatkannya, tentu aku akan menjadi 

orang yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah 

kecil itu dapat kumanfaakan. Hua ha ha...! Sumantri 

akan menjadi orang yang ditakuti! Aku harus 

mendapatkan bocah itu...!” gumam Sumantri sambil 

terus berlari meninggalkan Lembah Akherat. 

***


DUA


Setelah menitipkan Mei Lie pada Ki Gede Mantingan, 

Sena melanjutkan pengembaraannya untuk me-

negakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. 

Karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai 

pendekar. Selain itu, batinnya tidak suka melihat 

penderitaan dan kesengsaraan orang lemah ditindas 

dan disiksa oleh yang kuat dan durjana. 

Setelah menghancurkan Istana Tengkorak Merah, 

Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede Mantingan singgah 

di padepokannya yang bernama Padepokan Karang 

Tinalang. Letak padepokan itu berada di sebelah 

selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu. 

Tepatnya di Bukit Singgala Putri (Mengenai Ki Gede 

Mantingan, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 

episode “Tengkorak Darah”). 

Setelah tiba di Padepokan Karang Tinalang, 

akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada orang tua 

yang baik itu. Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah 

Ki Gede Mantingan turut menasihati, akhirnya gadis 

itu pun menurut. Terlebih Ki Gede Mantingan telah 

menganggap Mei Lie sebagai anaknya sendiri, karena 

orang tua itu tidak dikarunai anak. 

Masih teringat di benak Sena ucapan Mei Lie 

ketika hendak melepas kepergiannya. 

“Kakang, jangan lupakan aku! Aku akan selalu 

menunggumu. Aku akan tetap menunggu dan 

mencintaimu,” bisik Mei Lie sambil merebahkan 

kepalanya di dada Sena.


Rasa haru dan syahdu beraduk menjadi satu dada. 

Sena mendengar kata-kata Mei Lie. Dengan lembut 

tangannya membelai rambut gadis itu. 

“Aku akan mengingatmu, Mei Lie.” 

“Terima kasih, Kakang! Aku akan setia 

menunggumu. Menunggu janjimu....” 

Sena tersenyum seraya memeluk Mei Lie penuh 

kasih sayang. Kemudian dengan perasaan syahdu, 

kakinya melangkah meninggalkan gadisnya yang 

nampak melambaikan tangan dengan mata berkaca-

kaca 

Bayangan perpisahannya dengan Mei Lie seketika 

hilang, ketika tiba-tiba telinganya mendengar jeritan 

seorang wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat 

dirinya berada kini. 

“Tolong...! Tidak...!” 

“Hei....! Kudengar ada seorang wanita meminta 

tolong,” gumam Sena dengan kening berkerut. 

Kemudian dapasangnya telinga tajam-tajam, ber-

usaha mendengar suara jeritan tadi. 

“Tolong...! Lepaskan aku, Biadab!” suara wanita itu 

kembali terdengar, diikuti oleh caci-makinya. 

“Hm, ada juga manusia durjana yang masih 

senang iseng,” kata Sena sambil cengengesan. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian 

tertawa cekikikan. “Hi hi hi...! Lucu sekali! Aha, coba 

kulihat.” 

Sena segera melompat ke atas cabang sebatang 

pohon yang tinggi, agar bisa melihat ke sekeliling 

tempat di tengah Hutan Dadap Wangi. 

“Hop! Ya...!” 

Tap! 

Kedua kakinya hinggap begitu ringan di cabang 

pohon jati yang banyak tumbuh di hutan itu.



Kemudian dengan cengengesan matanya me-

mandang ke sekeliling tempat itu. 

“Tolong! Bajingan, lepaskan...!” suara wanita itu 

kembali terdengar, tapi belum nampak di mata Sena. 

“Tak akan ada yang menolongmu! Kau harus 

menyerahkan tubuhmu pada kami!” kini terdengar 

suara seorang lelaki mengancam. 

Pendekar Gila nyengir sambil pandangannya 

beredar ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari 

dari mana asal suara tadi. Dan seketika matanya 

melihat serumpun semak belukar bergoyang-goyang. 

“Aha, itu dia!” ujar Sena seraya melompat ke 

semak-semak yang bergoyang. “Hop! Ya!” 

Dua orang lelaki berpakaian merah kecoklatan 

tiba-tiba tersentak kaget begitu di samping mereka 

telah berdiri seorang pemuda berpakaian kulit rompi 

ular yang cengengesan sambil menggaruk-garuk 

kepala. 

“Hua ha ha...! Kenapa kalian kaget?” tanya Sena 

masih bertingkah laku seperti orang gila. “Ah ah ah...! 

Kupanya kalian sedang asyik berpesta! Kenapa tak 

mengundangku? Hi hi hi...!” 

“Siapa kau?!” bentak lelaki berwajah garang 

dengan rambut kaku seperti landak. 

“Ha ha ha...! Aku...?” balik Sena bertanya. 

Kemudian mulutnya nyengir kuda. Matanya menatap 

sosok wanita muda yang pakaiannya morat-marit tak 

karuan. “Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi...! Siapa 

kalian berdua?” 

Membelalak mata kedua lelaki berwajah garang 

itu, mendengar kata-kata Sena yang persis orang gila. 

“Pemuda gila dari mana dia?” gumam lelaki 

berkumis tebal dengan mata lebar. Rambutnya juga 

kasar berdiri seperti landak.


“Hei, Bocah Gila! Ketahuilah...,” ujar lelaki ber-

tubuh tinggi dan beralis tebal. “Aku Cakal Genala!” 

“Dan aku, Cakil Gering!” sambung rekannya yang 

bertubuh agak kurus, berkumis tebal melintang di 

bibir tebal. “Ha ha ha...! Kami bergelar Dua Landak 

Hutan Dadap Wangi. Kamilah penguasa dan penghuni 

hutan ini!” 

“Hua ha ha...! Gila...! Hi hi hi...! Kalianlah yang 

gila!” balik Pendekar Gila sambil berjingkrak-jingkrak 

seperti monyet. Sementara tangan kanannya meng-

garuk-garuk kepala dan tangan kiri menepuk-nepuk 

pantat 

“Bocah gendeng! Pergi sana! Jangan ganggu 

kami!” bentak Cakil Gering dengan mata melotot. 

Rambutnya yang berdiri seperti bulu landak, kian 

meregang kaku. 

Dibentak begitu rupa, bukan membuat Sena takut 

atau lari. Malah dengan sengaja tingkahnya dibuat 

konyol. Dengan tenangnya dia melangkah meng-

hampiri gadis cantik yang gaun kuningnya sudah 

awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat Sena 

menghampiri. Kemudian dengan tenang Sena 

memegang tangan kiri gadis itu. 

“Aha, boleh juga! Bagaimana kalau gadis ini 

untukku?” tanya Sena pada Dua Landak Hutan 

Dadap Wangi, yang semakin bertambah marah 

melihat kelancangan dan kekonyolan pemuda itu. 

“Kurang ajar! Minggat kau dari sini!” dengus Cakal 

Genala sambil melepaskan jotosan ke arah Pendekar 

Gila dengan jurus 'Serudukan Landak'. 

“Eits! Ah, galak amat kau, Ki? Mengapa kau tidak 

mau membagi aku? Aduh kepalaku...!” seru Sena 

sambil bergerak cepat memnduk, mengelakkan 

serangan Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke


bawah dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 

“Hi hi hi...! Rupanya kau belum pernah ditampar 

singa, Ki. Nih...!” 

Dengan tangan menepuk ke arah dada lawan, 

Sena bergerak meliuk. Gerakannya sangat lambat, 

membuat lawan menyangka kalau serangan Sena 

lemah dan tak perlu ditakuti. Hingga.... 

Bukkk! 

“Aaakh...!” Cakal Genala terpekik kesakitan. 

Lelaki berhidung bulat itu sungguh tak menduga 

kalau pukulan lawan yang tampak pelan itu ternyata 

begitu keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak 

lamban dan lemah sekali. Tubuh lelaki berambut 

kaku itu terlempar deras ke belakang, bagaikan 

terdorong kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal 

Genala baru berhenti, ketika membentur pohon 

dadap berduri. 

Brak! 

Crab! 

“Wuaaa...!” kembali Cakal Genala memekik 

kesakitan. Punggungnya tertancap duri-duri pohon 

dadap. 

“Hi hi hi...! Lucu..! Kenapa kau, Ki? Kalau lari, 

jangan mundur! Itulah akibat orang lengah!” kata 

Sena ambil berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. 

Mulutnya nyengir. 

“Bocah edan! Kuremukkan kepalamu! Heaaa...!” 

Cakil Gering yang merasa saudaranya 

dipermainkan begitu rupa oleh pemuda tampan 

berbaju rompi kulit ular, segera melancarkan 

serangan dengan pukulan tangan kirinya meng-

gunakan juris 'Landak Mengais'. 

“Heaaa!” tangan Cakil Gering melakukan gerakan 

menyibak cepat, lalu memukul keras ke perut


Pendekar Gila yang masih tampak cengengesan. 

Melihat lawan menyerang, dengan cepat Sena 

menarik kakinya ke belakang. Diangkatnya kaki agak 

tinggi, kemudian dengan cepat didengkulnya kepala 

lawan yang agak merunduk. 

“Hi hi hi...! Kau rupanya mencari sesuatu, Ki. Aha, 

kuberi sop lututku! Hih...!” 

Cakil Gering tersentak melihat gerakan Pendekar 

Gila. Segera ditariknya kembali serangan tadi. Tubuh-

nya didongakkan, lalu bergerak ke samping. 

Kemudian dengan cepat bersalto ke samping, ketika 

melihat tangan Pendekar Gila kembali menepuk. 

“Uts! Ilmu edan!” makinya yang telah tahu 

bagaimana hasil tepukan tangan Sena. Meski 

kelihatannya lamban dan lemah, ternyata tepukan itu 

begitu dahsyat dirasakan. Dengan tepukan itu, 

Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal 

Genala begitu keras. Sehingga tubuh lelaki itu terkulai 

pingsan setelah menerjang pohon berduri. 

Mata Cakil Gering terbelalak, setelah merasakan 

angin keras dari tepukan tangan Pendekar Gila. 

“Edan! Jurus apa yang digunakannya?” gumam 

Cakil Gering masih tak mengerti dan heran. “Padahal 

gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari 

anginnya saja, mampu menyentakkan tubuhku.” 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah 

lakunya persis seekor monyet. Hal itu semakin 

membuat Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha 

mereka-reka siapa sebenarnya pemuda yang ber-

tingkah seperti orang gila itu. 

“Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah, 

dilihat dari tingkah lakunya, semua persis dengan ciri-

ciri pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,” 

gumam Cakil Gering.


“Hi hi hi...! Kenapa melongo, Ki? Nanti kau 

kerasukan setan,” ujar Sena sambil cengengesan. 

“Pergilah! Jangan sampai aku memberimu hadiah!” 

Cakil Gering yang merasa tidak unggulan meng-

hadapi pemuda itu segera mundur. Dia semakin yakin 

dengan dugaannya kalau pemuda di hadapannya 

pastilah Pendekar Gila. 

“Ayo pergi! Jangan ganggu aku bermesraan 

dengan gadis ini! Ayo pergi!” bentak Sena dengan 

garang. 

“Baik...! Baik, aku akan pergi,” sahut Cakil Gering 

ketakutan. 

“Hua ha ha...! Bawa sekalian tikus itu!” 

Cakil Gering merangkak mendekati saudaranya 

yang masih terkulai pingsan. Kemudian dengan mata 

menatap tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering 

segera memondong tubuh saudaranya. Kemudian 

tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan cepat 

tempat itu ditinggalkannya. 

Sepeninggal Cakil Gering dan saudaranya, Sena 

kembali tertawa bergelak. Tingkah lakunya yang 

seperti orang gila, membuat gadis cantik itu 

ketakutan bukan kepalang. Gadis berkulit kuning 

langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan 

masih memegangi pakaiannya yang terbuka. Matanya 

menatap ketakutan pada Pendekar Gila yang meng-

garuk-garuk kepala. 

“Jangan! Jangan lakukan itu…!” ratap gadis itu 

mengiba. 

“Aha, jangan takut, Nisanak! Aku bukanlah 

manusia seperti kedua cecurut itu.” 

Gadis yang bernama Saka Wuri itu memperhatikan 

Pendekar Gila penuh seksama. Sepertinya berusaha 

meyakinkan dirinya kalau pemuda tampan bertingkah


seperti orang gila itu benar-benar hendak me-

nolongnya. 

Benarkah omongannya? Tanya Saka Wuri dalam 

hati. Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi, 

pakaiannya bagus mirip seorang pendekar. 

Mungkinkah dia pendekar yang sering disebut-sebut 

sebagai Pendeka Gila? 

“Aha, mengapa diam saja? Ayo, biar kuantar 

sampai ke rumahmu!” ujar Sena menawarkan jasa. 

Pendekar Gila tidak ingin gadis itu kembali 

mengalami musibah, diseret dan hendak diperkosa 

seperti yang baru saja dialami gadis itu. Kalau saja 

dirinya tidak segera datang, entah bagaimana nasib 

gadis itu 

“Tuankah yang sering disebut Pendekar Gila?” 

tanya Saka Wuri. 

“Aha, terlalu tinggi julukan itu, Nisanak. Sudahlah 

yang jelas kau harus pulang! Apakah kau ingin kedua 

cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?” 

Saka Wuri segera bangun dari duduknya, 

kemudian dengan malu-malu melangkah diiringi 

Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa Kalasan, 

tempat Saka Wuri tinggal. 

Setelah sampai di rumah, Saka Wuri pun men-

ceritakan pada Pendekar Gila dan ayahnya mengapa 

dirinya sampai hendak diperkosa Dua Landak Hutan 

Dadap Wangi. Saka Wuri pagi itu hendak mandi di 

pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari belakang 

orang menyekap mulutnya. Dia hendak berteriak, 

namun kedua orang itu telah membawanya pergi 

sebelum terlebih dahulu menotoknya. 

Sesampainya di Hutan Dadap Wangi, keduanya 

lalu membuka totokan di tubuh Saka Wuri dan 

berusaha menggagahi dirinya. Beruntung sebelum


perkosaan terjadi, Pendekar Gila telah datang. 

Setelah mendengar penuturan Saka Wuri, 

Pendekar Gila pun bermaksud pamit untuk 

meneruskan pengembaraannya. 

“Mengapa tidak menginap dulu di sini, Tuan?” kata 

Saka Wuri berusaha mencegah Pendekar Gila agar 

tidak segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa 

ngobrol lama dengan pemuda tampan bertingkah 

laku seperti orang gila itu. 

“Benar, Tuan. Kenapa tidak menginap barang satu 

malam. Kami ingin mengenalmu lebih dekat,” 

sambung Ki Kalaban. Lelaki tua berpakaian adat 

Jawa Timur itu tampak senang atas telah kembalinya 

anak gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda 

tampan yang telah diketahuinya sebagai Pendekar 

Gila. 

“Ah ah ah.... Terima kasih, Ki! Sebenarnya aku pun 

ingin menginap di sini. Desa Kalasan sangat damai 

dan nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang 

memerlukan pertolongan dariku...,” ujar Sena 

menolak dengan halus. 

“Hendak ke manakah tujuan Tuan?” tanya Ki 

Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang sangat berterima 

kasih pada Pendekar Gila, berusaha membalas jasa 

kebaikan Pendekar Gila. 

“Ah! Entahlah, Ki. Kurasa langkah kaki tergantung 

hasrat hati melangkah. Di mana kemauan berkata, di 

sana aku melangkah,” jawab Pendekar Gila. 

Ki Kalaban terdiam. Sulit baginya untuk berusaha 

membalas jasa atas kebaikan pendekar muda itu. 

Sementara Saka Wuri masih memperhatikan pemuda 

tampan yang telah menolongnya. Tak jemu-jemunya 

gadis cantik bergaun kuning dengan rambut diikat 

ekor kuda itu memandangi wajah Pendekar Gila. Ada


perasaan aneh yang terselip di relung hatinya. 

Perasaan yang selama ini belum pernah muncul 

dalam hati. 

“Tuan! Kalau boleh, izinkanlah aku berbakti 

padamu!” ujar Saka Wuri memohon. 

Pendekar Gila tertawa bergelak sambil menggaruk-

garuk kepala. Kemudian pemuda tampan itu nyengir 

sambil menggeleng-geleng kepala. 

“Ah! Tak usah berlaku begitu, Dik Wuri! Kini, aku 

mohon pamit,” kata Sena. 

Kemudian setelah menjura, Pendekar Gila segera 

meninggalkan rumah Kepala Desa Kalasan untuk 

meneruskan pengembaraannya. Menegakkan 

kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini. 

***



TIGA


Desa Pasut Piring yang terletak di sebelah selatan 

Bukit Selaparang, nampak tenang malam itu. Sebuah 

bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran 

rumah biasa, berdiri megah di bagian timur desa. 

Rumah besar dan megah yang semuanya diukir indah 

itu milik Sumantri. Dia dikenal sebagai juragan yang 

paling kaya di desa itu. 

Saat itu, malam yang sunyi menyelimuti bumi. Di 

ruang tengah rumah yang dijaga ketat empat orang 

bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki 

berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Lelaki yang tak 

lain Sumantri, malam itu masih merenungkan apa 

yang kemarin dialaminya. 

Di hadapannya duduk empat orang dari rimba 

persilatan. Tiga lelaki berwajah garang dan satu lagi 

seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh 

tahun. Keempat orang rimba persilatan itu merupa-

kan tangan kanan, sekaligus pengawal pribadi 

Sumantri. 

Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh 

tahun. Berambut gondrong awut-awutan dan kepala-

nya terikat kain warna hijau tua. Matanya tajam dan 

garang. Hidungnya besar dan beralis mata lebat. 

Kumis tebal yang menghiasi bibirnya semakin me-

nunjukkan kegarangannya. Lelaki berpakaian hijau 

tua lengan panjang itu bernama Jalna Kumilang atau 

Hantu Hijau dari Gunung Bangau. 

Orang kedua memiliki rambut dibuat ekor kuda. 

Alis mata tebal dengan hidung pesek menyerupai


kera dengan cambang bauk lebat. Tubuhnya agak 

gemuk dan pendek. Pakaian yang dikenakan ber-

warna merah. Dia bernama Sugatra. 

Di sampingnya merupakan adik seperguruan 

Sugatra yang bernama Sugatri. Lelaki berusia sebaya 

dengan Sugatra sekitar tiga puluh lima tahun itu, 

memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti 

kakaknya, pesek hampir menyerupai hidung kera. 

Tubuhnya tidak terlalu gemuk seperti Sugatra. 

Di punggung kedua lelaki berpakaian merah itu 

tersampir senjata berupa golok. Mereka berdua ber-

juluk Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena 

golok mereka dapat mengeluarkan sinar biru. 

Sedangkan yang terakhir seorang wanita muda 

dan cantik. Berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. 

Bergaun merah hati dengan rambut dikepang dua. 

Dia nampak tidak memegang senjata, karena senjata 

yang digunakannya berupa selendang warna ungu 

yang terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih 

dikenal dengan julukan Iblis Selendang Ungu. 

“Tuan Sumantri, kami lihat sejak tadi Tuan nampak 

termenung. Kalau boleh kami tahu, apa gerangan 

yang telah membebani pikiran Tuan...?” tanya Jalna 

Kumilang. Orang paling tua di antara keempat tangan 

kanan Sumantri. 

“Benar, Tuan. Mengapa Tuan bermuram durja. 

Sepertinya, setelah pulang dari Danau Sambak 

Neraka ada sesuatu yang Tuan pikirkan. Adakah 

sesuatu yang mengganjal pikiran dan hati Tuan?” 

sambung Sugatra. 

Sumantri menarik napas dalam-dalam. Dihempas-

kan napasnya panjang-panjang. Tatapan matanya 

menerawang ke atas, memandang ke genteng 

rumahnya.


“Hhh!” desah Sumantri. “Apa yang kalian duga 

memang benar.” 

Keempat tangan kanan Sumantri saling pandang. 

Namun mereka masih diam, karena memang belum 

tahu apa yang membuat majikan mereka kelihatan 

murung terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-

tanya. Mungkinkah majikan mereka melihat 

Anjasmara dan Sambi? 

“Tuan, kalau boleh kami tahu. Hal apakah yang 

membuat Tuan bermuram durja?” tanya Sugatri 

memberanikan diri, setelah lama terdiam. 

“Apakah Tuan Sumantri melihat Anjasmara dan 

Sambi?” sambung Iblis Selendang Ungu dengan 

senyum menggoda. 

“Bukan masalah Anjasmara dan Sambi yang 

membuatku gelisah dan terus berpikir,” sahut 

Sumantri seraya bangkit dari duduknya, berjalan ke 

pintu rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang 

pintu, memandang lepas ke luar. 

“Lalu apa yang menjadikan Tuan nampak 

murung?” tanya Jalna Kumilang seraya menatap 

majikannya yang masih diam berdiri di ambang pintu. 

Sumantri menghela napas dalam-dalam, berbalik 

ke arah meja. Keempat tangan kanannya tampak 

masih duduk di kursi masing-masing. Sumantri 

kembali duduk. 

“Kemarin aku melihat sesuatu di Pulau Karang Api. 

Seorang bocah bertubuh penuh sisik dengan lidah 

bercabang. Sebelumnya aku bermimpi, kalau bocah 

itu merupakan bocah sakti. Siapa pun yang men-

dapatkan bocah itu, akan merajai dunia persilatan. 

Nah, aku ingin mendapatkan bocah itu. Siapa pun 

yang mendapatkannya, akan kuberi separo dari harta 

kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian


menyebar sayembara!” kata Sumantri menerangkan. 

“Kalau memang itu yang Tuan inginkan, kami siap 

melaksanakannya,” sahut Iblis Selendang Ungu. 

“Ya! Malam ini juga, kami laksanakan,” sambut 

Sugatra. 

Sumantri tersenyum mendengar kesanggupan 

empat anak buahnya, yang menunjukkan kesetiaan 

mereka terhadapnya. Kepalanya diangguk-anggukkar 

dengan bibir masih tersenyum. 

“Tidak usah terburu-buru! Kalian bisa melaku-

kannya besok. Malam ini, kalian tulis isi sayembara 

itu,” perintah Sumantri. 

“Apa yang mesti kami tulis?” tanya Jalna Kumilang. 

“Barang siapa yang bisa mendapatkan bocah 

bertubuh penuh sisik, akan diberi hadiah sebagian 

dari hartaku,” kata Sumantri menjelaskan isi 

sayembara yang hendak ditulis anak buahnya itu. 

“Baiklah, kami akan segera membuatnya,” kata 

Jalna Kumilang. 

Setelah semuanya disepakati, Sumantri dan 

keempat anak buahnya pun meninggalkan ruang 

pertemuan untuk melakukan apa yang hendak 

mereka lakukan. 

Sumantri masuk ke kamarnya. Di dalam kamar itu, 

seorang gadis cantik berkebaya merah muda tengah 

terbaring di tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya 

nampak masih menggambarkan kepolosan itu tengah 

menangis. Seketika dia tersentak bangun ketika pintu 

kamar dibuka. Matanya menatap ketakutan, ber-

campur rasa benci pada Sumantri. 

“Cah ayu, kenapa kau masih bersikap dingin? 

Ayolah, malam ini aku ingin sekali menikmati tubuh-

mu,” ujar Sumantri sambil melangkah mendekat. 

Gadis itu pun tampak semakin ketakutan.


“Tidak! Aku tidak mau...!” seru gadis cantik itu 

dengan wajah ketakutan. “Bajingan! Kau benar-benar 

bajingan! Kembalikan aku ke desaku...!” 

Sumantri tersenyum sinis sambil menggeleng-

gelengkan kepala. Kakinya melangkah mendekat ke 

tempat tidur. Gadis yang mengingatkannya pada 

Sambi, semakin bertambah ketakutan. Tubuhnya ber-

ingsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap 

ketakutan ke wajah Sumantri yang masih tersenyum. 

“Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau harus menjadi 

istriku,” kata Sumantri. Kemudian dengan penuh 

nafsu, Sumantri segera menubruk gadis cantik yang 

wajahnya memang mirip dengan Sambi. 

“Auw! Tidak...!” teriak gadis cantik berkebaya 

merah muda yang bernama Delimasari, berusaha 

mengelak. Matanya semakin ketakutan. Namun, 

Sumantri yang sudah bernafsu sekali tak hanya diam 

sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya 

Delimasari, semakin bertambah nafsu lelaki bertubuh 

kekar itu. 

“Mau lari ke mana, Cah Ayu? He he he...!” 

Sumantri yang sudah dibakar nafsu iblis, terus 

mendekap tubuh Delimasari yang terus berontak dan 

meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak, 

semakin bertambah menggelegak nafsu Sumantri. 

Bret! 

“Auw!” Delimasari terpekik, ketika kebaya merah 

mudanya direnggut hingga sobek. Tampaklah pundak 

kuning mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak 

penuh nafsu. Apalagi ketika kebaya gadis itu terlepas 

karena tetap ditarik tangan Sumantri. 

“He he he...!” Sumantri tertawa terkekeh. 

Kemudian kembali menubruk tubuh Delimasari. 

Gulatan antara keduanya pun terjadi. Akhirnya


Sumantri yang sudah bernafsu, mampu menguasai 

tubuh Delimasari yang lemah. Meskipun meronta-

ronta sekuat tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi 

nafsu iblis Sumantri. 

Delimasari hanya mampu menangis, meratapi 

nasibnya yang buruk. Kekecewaan, dendam, dan 

marah beraduk menjadi satu di hatinya. Keterlaluan 

sekali kedua orangtuanya, yang telah menyerahkan 

dirinya pada lelaki bajingan seperti Sumantri. 

Padahal Delimasari telah memiliki pemuda pujaan 

hatinya yang saling mencintai. Namun dengan 

kedatangan Sumantri meminangnya, tak mungkin 

cinta mereka dilanjutkan. Itulah yang menjadikan 

Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski Sumantri 

gagah, namun Delimasari tidak suka dengan 

perbuatan lelaki itu yang selalu ingin menang sendiri. 

*** 

Sayembara yang diadakan Sumantri ternyata 

ditanggapi orang-orang dari kalangan persilatan. 

Mereka sebagian tertarik dengan hadiah yang 

ditawarkan Sumantri. Namun ada juga yang merasa 

tertarik dengan berita tentang bocah aneh bertubuh 

penuh sisik dan memiliki kesaktian. Barang siapa 

menguasai anak ini akan dapat menjadi orang sakti! 

Dua orang muda berparas elok dengan pedang di 

pundak melangkah menyelusuri jalan menuju 

Lembah Neraka. Yang pemuda berwajah tampan 

dengan rambut terurai panjang. Sosok tubuhnya 

tegap dan tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung 

mancung. Kumis tipis menghias di atas bibirnya. Dia 

bernama Sarawendo. 

Seorang lagi, wanita muda dan cantik. Rambutnya


berombak dengan hidung mancung dan dagu 

berbentuk indah. Dia bernama Saraswati. Keduanya 

memakai pakaian biru yang panjangnya sampai ke 

lutut. Mereka adalah sepasang suami istri yang 

terkenal dengan julukan Dewa-Dewi Paras Elok. 

Wajah mereka memang tampan dan cantik jelita, 

mirip dengan dewa dan dewi dari kahyangan. Bukan 

hanya kecantikan dan ketampanan mereka saja yang 

membuat orang kalangan persilatan merasa kagum. 

Ilmu pedang keduanya juga sangat tersohor. 

Terutama dengan jurus 'Sepasang Pedang Memburu 

Hati', yang merupakan jurus pamungkas bagi mereka. 

Sulit bagi lawan-lawan mereka untuk melepaskan diri 

dari serangan keduanya. 

Dewa-Dewi Paras Elok melangkah menuju Lembah 

Akherat sehubungan dengan keikutsertaan mereka 

dalam sayembara yang diadakan Sumantri. Sebenar-

nya tujuan mereka bukan mencari kekayaan. Mereka 

hanya ingin membuktikan kebenaran yang mereka 

baca dari pengumuman seyembara itu. 

Sebagai pendekar, keduanya memang selalu ingin 

membuktikan kebenaran suatu berita. Apalagi berita 

yang dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa 

menguji sampai di mana ilmu mereka. Di samping 

berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan, 

keduanya juga ingin menimba pengalaman yang lebih 

banyak di rimba persilatan. 

“Kakang, apa benar jalan yang sedang kita tuju?” 

tanya Saraswati. 

“Entahlah! Aku juga kurang begitu paham daerah 

sekitar tempat ini,” jawab Sarawendo sambil meng-

edarkan pandangannya ke sekeliling daerah itu. 

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya 

hamparan petak-petak sawah.


Saat itu, keduanya tengah memasuki wilayah Desa 

Tarub, yang sepertiga bagian wilayahnya merupakan 

petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang 

sebagian besar bercocok tanam, karena letak desa 

mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga atau 

nelayan. Karena tak ada aliran sungai, maupun 

tempat berjualan yang ramai. Hanya ada pasar kecil 

di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-

waktu tertentu. 

“Bagaimana kita bisa sampai ke Lembah 

Akherat?” gumam Saraswati agak cemas. Meski 

mereka tidak bertujuan mendapatkan salah satu 

kemungkinan antara harta dan anak sakti itu, 

keduanya merasa penasaran dan ingin melihat 

seperti apa bocah sakti yang telah mengundang 

banyak tokoh rimba persilatan berdatangan untuk 

mendapatkannya. 

Sarawendo menghela napas panjang. Matanya 

memandang ke sekelilingnya yang masih merupakan 

hamparan persawahan. Dia berusaha mencari salah 

seorang petani yang dapat memberi petunjuk arah. 

“Nah! Itu ada dua orang petani! Bagaimana kalau 

kita tanyakan pada mereka...?” ajak Sarawendo. 

“Ayolah,” jawab Saraswati. Langkah keduanya 

segera dipercepat untuk dapat mengejar kedua 

petani yang berjalan di depan. Sesaat kemudian, 

keduanya sudah berada di dekat kedua petani itu. 

“Sampurasun...!” sapa sepasang suami istri itu 

dengan ramah, yang menjadikan kedua petani itu 

menghentikan langkahnya. Keduanya membalikkan 

tubuh memandang ke arah sepasang pendekar cantik 

dan tampan. 

“Rampes...!” sahut kedua petani itu berusaha 

ramah.

“Ada apa gerangan kalian berdua mengejar kami?” 

tanya lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun 

dengan wajah tampak sabar. Kumis yang memutih 

menghias di atas bibirnya. Matanya menatap tajam 

sepasang pendekar itu. 

“Maaf, Ki!” kata Sarawendo. “Namaku Sarawendo 

dan ini istriku Saraswati. Kami ingin bertanya, ke arah 

mana kami harus melangkah agar sampai ke Lembah 

Akherat?” 

“Benar, Ki. Kami hendak ke sana,” Saraswati 

menimpali sambil tersenyum. 

Kedua petani itu seketika mengerutkan kening, 

mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasangan 

muda berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak 

percaya, kalau pasangan muda berwajah elok itu 

bertujuan ke tempat yang sangat dikeramatkan 

penduduk desa-desa sekitar Danau Sambak Neraka. 

Tak seorang pun yang berani pergi ke Danau 

Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada sepasang pendekar 

yang bermaksud pergi ke Danau Sambak Neraka. 

Meski keduanya tidak menyebutkan nama Danau 

Sambak Neraka, kedua petani itu telah maklum kalau 

sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain 

Danau Sambak Neraka. Hal itu dapat diketahui 

karena danau itu berada di wilayah Lembah Akherat. 

Seperti apa tempat itu? Siapa pun yang akan 

datang ke tempat itu niscaya bagaikan hendak 

menuju ke akherat saja. 

“Ke Lembah Akherat?” tanya petani yang berusia 

di bawah petani yang satunya. Petani ini berambut 

hitam. Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek 

matanya lebar. Mulutnya agak lebar dengan bibir 

tebal. 

“Benar. Ada apakah hingga Kisanak nampak


kaget?” tanya Saraswati dengan kening berkerut, 

menyaksikan tanggapan kedua petani itu ketika 

menceritakan tentang tujuannya. 

“Aduh, kami harap kalian jangan ke sana! Lebih 

baik kalian pulang saja!” saran petani yang lebih tua. 

Hal itu membuat Dewa-Dewi Paras Elok semakin 

mengerutkan keningnya. 

“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Saraswati ingin 

tahu. 

“Kami mengharap, urungkan saja niat kalian ke 

Lembah Akherat!” tegas lelaki berkumis putih itu. 

Dewa-Dewi Paras Elok saling pandang dengan 

kening berkerut. Mereka semakin tidak memahami 

apa maksud kedua petani itu melarang mereka. 

Belum juga keduanya sempat bertanya, petani yang 

lebih muda malah menambahkan. 

“Kasihan kalau kalian yang tampan dan cantik 

harus menerima kemalangan!” 

“Kemalangan? Maksudmu, Ki?” tanya Sarawendo 

masih belum memahami kata-kata petani itu. 

Matanya menatap tajam petani muda itu. 

“Ya! Sangat berbahaya jika kalian ke tempat itu. 

selama ini, tak seorang pun yang berani pergi ke 

Danau Sambak Neraka. Bukankah kalian hendak ke 

sana...?” balik tanya petani tua yang bernama Ki 

Maeskarya. 

“Benar, Ki?” sahut Saraswati 

“Ah, urungkanlah niat kalian! Sia-sia saja kalian ke 

tempat itu,” ujar Ki Wadul, petani yang lebih muda. 

“Terima kasih atas nasihat kalian! Tapi kami tetap 

hendak ke tempat itu. Kalau kalian tahu jalannya, 

sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,” 

pinta Sarawendo. 

Kedua petani itu kembali saling berpandangan


dengan kening berkerut. Mereka tidak menyangka, 

kalau kedua pasangan muda ini akan nekat ke 

tempat itu. 

“Apakah telah kalian pikirkan semuanya?” tanya Ki 

Maeskarya. 

“Sudah, Ki,” jawab Dewa Dewi Paras Elok 

bersamaan. 

Ki Maeskarya dan Ki Wadul menghela napas berat. 

Sepertinya kedua orang petani itu merasa sayang jika 

kedua pasangan berwajah elok itu harus menemui 

ajal sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata, 

rupanya kedua sejoli itu telah membulatkan tekad 

untuk datang ke tempat yang sangat keramat dan 

paling ditakuti penduduk di sana. Bahkan mungkin 

para dewa pun akan segan ke tempat itu. 

Meski mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya 

penghuni Pulau Karang Api yang ada di tengah-tengah 

Danau Sambak Neraka, selama turun-temurun 

mereka tak pernah berani menjarah tempat tersebut. 

“Baiklah, kalau memang itu yang kalian kehendaki. 

Berjalanlah ke selatan. Di sana, sekitar setengah hari 

perjalanan, kalian akan mendapatkan lembah yang 

dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat. 

Kemudian sekitar seratus tombak dari Lembah 

Akhirat itu, kalian akan melihat Danau Sambak 

Neraka. Hati-hatilah!” kata Ki Maeskarya meng-

ingatkan. 

“Terima kasih atas petunjukmu, Ki,” kata 

Sarawendo. 

Kemudian setelah menjura kepada kedua petani 

yang telah memberi petunjuk dan peringatan, Dewa 

Dewi Paras Elok segera melesat cepat menuju ke 

Lembah Akherat tempat Danau Sambak Neraka 

berada.


“Hah?!” Ki Maeskarya terkejut dan menggeleng-

gelengkan kepala melihat gerakan mereka. 

“Dilihat dari gerakan, pakaian dan senjata yang 

disandang mereka, tampaknya kedua orang itu 

pendekar, Ki,” gumam Ki Wadul seraya menggeleng-

gelengkan kepala. 

“Ya!” desah Ki Maeskarya. “Tapi aku belum yakin, 

apakah mereka akan selamat di Danau Sambak 

Neraka.” 

Sesaat keduanya terdiam. Mata keduanya mata 

memperhatikan kedua sejoli yang berlari begitu cepat 

menuju ke arah Lembah Akherat yang bagi mereka 

sangat mengerikan. Nampaknya kedua pendekar itu 

menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, 

sehingga dalam sekejap saja keduanya telah berada 

jauh sekali. Bahkan sesaat kemudian telah sampai di 

Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut pedang 

dari warangka masing-masing. 

Sret! Sret! 

“Kita telah sampai, Dinda. Mungkin inilah yang 

dinamakan Danau Sambak Neraka. Dan pulau yang 

menyala itu, tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau 

itu dihuni bocah sakti itu,” ujar Sarawendo. 

“Ya! Kita harus hati-hati, Kakang,” sahut Saraswati. 

Dewa-Dewi Paras Elok kini melangkah perlahan. 

Setapak demi setapak kaki mereka melangkah, 

meyusuri Lembah Akherat yang sepi dan mencekam. 

Meski lembah itu terang karena tak ada pepohonan, 

namun jika ingat akan kematian mengerikan sepuluh 

resi dari Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras 

elok harus waspada. 

Baru beberapa langkah kaki mereka maju, tiba-

tiba angin bertiup dengan kencang laksana mem-

badai. Angin itu menuju ke arah mereka, berusaha


menerbangkan tubuh keduanya. 

“Awas, Dinda! Ini serangan pertama..!” seru 

Sarawendo mengingatkan Istrinya. “Kita satukan 

pedang kita dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...!” 

“Mari Kakang! Heaaa…! 

Trang! 

Dengan menyilangkan kedua pedang, keduanya 

berusaha menahan serangan dahsyat berupa angin 

yang tiba-tiba berhembus kencang itu. Dari kedua 

pedang yang menyilang, keluar sinar pelangi 

bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu 

seketika mendesak angin yang membadai dahsyat 

itu. 

“Heaaa...!” 

Wusss! 

Angin yang membadai seketika lenyap dengan 

sendirinya. Sedangkan sinar pelangi itu tampak masih 

bergulung-gulung di udara tak tentu arah. 

“Arahkan ke Pulau Karang Api itu, Kakang!” ajak 

Saraswati. 

“Bagaimana kalau sinar itu membunuh bocah yang 

kita cari?” tanya Sarawendo. 

Saraswati terdiam. Apa yang dikatakan suaminya 

memang beralasan. Mereka datang ke tempat itu 

semata-mata untuk membuktikan kebenaran ucapan 

para tokoh persilatan, juga berita sayembara 

Sumantri. 

Setelah mendapatkan serangan pertama, mereka 

merasa yakin kalau apa yang diceritakan Sumantri 

tentu ada benarnya. 

“Kita tarik saja dulu, Dinda.” 

“Baiklah,” sahut Saraswati. 

Baru saja keduanya hendak menarik mundur 

serangannya, tiba-tiba serangkum sinar melesat


cepat ke arah mereka. Secepat itu pula, mereka 

merasa hembusan hawa panas membakar tubuh. 

Mereka berusaha sekuat tenaga mempertahankan 

diri, tapi tiba-tiba serangkum sinar itu bergerak 

menyambar ke dada mereka dengan cepat. 

Slats...! 

Cras! Cras! 

“Aaa...!” 

Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok terjungkal dengan 

dada tergores penuh luka. Puluhan jarum beracun 

menancap di dada mereka. Tanpa ampun, mereka 

langsung meregang nyawa dan mati! 

Lembah Akherat kembali sepi. Hanya serangkum 

sinar membara yang bergerak seperti cambuk itu 

yang masih melesat cepat ke arah Pulau Karang Api, 

kemudian menghilang di sana. 

***


EMPAT


Siang itu udara terasa sangat panas. Langit bersih 

tanpa awan. Terik matahari terasa menyengat. 

Beruntung sesekali angin bertiup semilir, membuat 

suasana agak terasa sejuk. Apalagi jika berada di 

bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa 

ngantuk. 

Hutan Kawi-kawi yang berada di sebelah barat 

Pegunungan Punakawan juga tertimpa teriknya 

mentari siang itu. Sebatang pohon beringin yang 

sangat rindang, tumbuh di tepi Hutan Kawi-kawi. Di 

bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda 

tampan, berpakaian rompi kulit ular. 

Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila, 

siang itu tampaknya tengah menikmati semilirnya 

angin yang sejuk sambil menyuarakan tiupan merdu 

Suling Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu pujaan 

pada alam yang ada di sekitarnya. 

Semilir angin terus mengimbangi suasana teriknya 

mentari yang semakin menggarang. Sementara itu 

dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok 

bayangan merah berlari dengan cepat. Bayangan 

merah itu melintas sekitar dua batang tombak 

jauhnya di sebelah kiri Sena. Seketika sosok 

bayangan merah itu berhenti ketika matanya melihat 

Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya. 

Bayangan merah itu tak lain Serigala Merah. Lelaki 

berbadan tinggi tegap dengan senjata sepasang golok 

besar itu mengerutkan kening dan menghampiri


Pendekar Gila. 

“O, rupanya kita bertemu lagi, Sena. Apa kabar?” 

sapanya ramah sambil melangkah mendekat. Setelah 

dekat, Serigala Merah menjura hormat. 

Sena yang tengah meniup sulingnya, segera 

menghentikan tiupannya, ketika melihat Serigala 

Merah menjura. Dia segera bangun dari duduknya, 

kemudian balas menjura pada Serigala Merah. 

“Aha, ada apa gerangan sampai kau berlari-lari 

seperti itu, Serigala Merah?” tanya Sena sambil 

menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. 

Serigala Merah tidak segera menjawab. Keningnya 

berkerut dan matanya menatap heran pada Pendekar 

Gila. 

“Apakah kau belum mendengar tentang 

sayembara berhadiah besar, Sena?” 

“Ah ah ah...! Rupanya ada sayembara lagi,” gumam 

Sena sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepala. 

“Benar. Kali ini hadiahnya sangat menarik, Sena.” 

“Benarkah?” 

“Ya!” sahut Serigala Merah. 

“Aha, kalau boleh aku tahu, hadiah macam apakah 

yang dijanjikan? Dan sayembara macam apa yang 

tengah dilaksanakan itu?” tanya Sena sambil 

cengengesan. Pandangannya menyapu ke sekeliling 

pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak ke 

langit, yang nampak biru dan bersih tak bernoda. 

Dari arah utara, nampak sekawanan burung 

pemakan bangkai berkaok keras membelah angkasa 

bim. Burung-burung itu terbang mengepakkan 

sayapnya ke selatan, sepertinya di sana ada makanan 

yang sangat memuaskan. 

“Kau tertarik, Sena?” Serigala Merah balik tanya. 

Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.


Kemudian dengan cengengesan kepalanya 

mengangguk, walau sebenarnya bukan karena hadiah 

yang inginkan. Dia hanya ingin tahu sayembara 

macam apa yang diceritakan Serigala Merah. 

“Ah, dari tadi tidak kulihat Bidadari Pencabut 

Nyawa. Ke manakah...?” tanya Serigala Merah. 

Matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu, tapi dia 

tidak juga menemukan Mei Lie. “Bukankah Bidadari 

Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?” 

Sena tertawa terbahak-bahak. Tingkah laku yang 

seperti kera kembali muncul. Berjingkrak sambil 

menggaruk kepala dan menepuk-nepuk pantat 

“Aha, rupanya pandanganmu cermat sekali, Srigala 

Merah!” ujarnya bergumam. “Dia memang tidak ikut” 

“Hm, kenapa? Apakah dia sakit?” tanya Serigala 

Merah. 

“Ah, tidak. Aku ingin berjalan seorang diri 

sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan kita jadi 

melantur, Serigala Merah?” sahut Sena. 

“Ah, benar. Apa yang tadi kau tanyakan padaku...?” 

tanya Serigala Merah. 

“Mengenai sayembara dan hadiahnya,” jawab 

Pendekar Gila. “Ah, mengapa kau jadi pikun begitu 

Serigala Merah? Hi hi hi...! Lucu, kau lebih tepat 

menjadi Serigala Pikun dan Tua.” 

Serigala Merah yang sudah tahu tabiat dan watak 

Pendekar Gila malah tertawa mendengar ejekan 

Pendekar Gila barusan. 

“Ya ya, kau benar, Sena. Memang lebih pantas 

kalau julukanku Serigala Tua Pikun. Ha ha ha...!” 

Seketika tepian Hutan Kawi-kawi yang semula sepi 

menjadi riuh oleh suara gelak tawa dari keduanya. 

Sampai-sampai burung yang sedang bertengger di 

ranting-ranting pohon beterbangan, karena kaget.



“Ah, jangan terlalu bertele-tele, Serigala Tua! Hi hi 

hi...! Ayo, katakanlah sayembara macam apa dan apa 

hadiahnya?” tanya Pendekar Gila setelah tawanya 

berhenti. 

Serigala Merah tersenyum. Kemudian segera 

menceritakan semua yang didengar dan dibacanya 

pada selebaran yang dipasang di beberapa tempat. 

Selebaran yang dikeluarkan oleh Saudagar Sumantri 

itu berisikan tentang sayembara besar dengan hadiah 

yang sangat menggiurkan. 

“Saudagar Sumantri menawarkan pada semua 

pendekar baik dari aliran putih maupun hitam hadiah 

yang cukup besar. Dia memberikan separo harta 

kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah 

sakti yang ada di Pulau Karang Api,” tutur Serigala 

Merah mengakhiri ceritanya. 

“Aha, sebuah berita yang menarik!” seru Sena. 

“Kau tertarik, Sena?” 

“Tertarik! Ah... ya ya! Aku tertarik. Tapi aku tidak 

suka dengan hadiahnya. Aku hanya tertarik ingin tahu 

kebenaran berita tentang bocah sakti itu,” jawab 

Sena. 

“Bagaimana kalau kita ke sana?” ajak Serigala 

Merah. 

Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala, seperti merasakan sesuatu. 

“Ah, kurasa aku belum ingin ke sana, Serigala 

Merah. Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah! Nanti 

jika aku telah berpikir ke sana, aku akan segera 

menyusulmu. Di mana kau berada nanti?” tanya Sena 

“Entah. Tapi mungkin aku akan berada di daerah 

terdekat dengan tempat bocah sakti itu berada.” 

Setelah saling menjura, Serigala Merah segera 

meninggalkan tepian Hutan Kawi-kawi, berlari ke arah


tenggara menuju tempat yang tadi dikatakannya. 

Pendekar Gila nampak masih berdiri di bawah 

pohon beringin yang rindang. Wajahnya nampak 

nyengir, memandang ke angkasa. Matahari bersinar 

dengan teriknya, seperti hendak memanggang bumi. 

“Aha, mengapa aku diam di sini?” gumam Sena 

mengalihkan pandangannya ke selatan. Di sana 

tampak Gunung Petruk menjulang tinggi. Sena masih 

pikir-pikir, hendak ke arah manakah kakinya berjalan. 

Apakah hendak berjalan ke arah tenggara menyusul 

Serigala Merah? Atau hendak ke selatan, ke Gunung 

Petruk? 

Belum juga Sena sempat menentukan tujuan 

nampak dari arah barat tiga orang lelaki berjalan 

menuju arahnya. Tiga lelaki berpakaian kuning itu 

tampak berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada 

sesuatu yang mendorong mereka mempercepat 

langkah. 

Pendekar Gila mengerutkan keningnya, melihat 

ketiga lelaki berpakaian kuning itu. Apalagi ketika 

tahu kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan 

orang-orang sesat. 

“Hm, ada apa kiranya? Nampaknya Tri Pakit 

Palimping juga hendak menuju ke arah yang tadi 

dituju Serigala Merah,” gumam Sena. 

Apa yang diduganya benar juga. Tri Pakit 

Palimpingkini dengan terburu-buru dan mempercepat 

langkah kaki mereka setelah melihat Pendekar Gila 

berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki 

berpakaian kuning itu tampak segan jika bertemu 

dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka 

bergegas meninggalkan tempat itu dengan setengah 

berlari. 

Sena tertawa-tawa menyaksikan ketiganya yang


tampak segan padanya. Kepalanya digeleng-

gelengkan dengan bibir masih tersenyum-senyum. 

“Sebaiknya aku ke sana, agar bisa melihat apa 

yang terjadi...,” kata Sena. Kemudian dia pun 

melangkah meninggalkan tempat itu, menuju arah 

tenggara menyusul Serigala Merah dan Tri Pakit 

Palimping. 

Angin siang berhembus perlahan, menambah rasa 

kantuk semakin menyekat. Gemerisik daun kering 

terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu 

beterbangan, dihembus angin yang cukup kencang. 

Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok akhirnya 

terdengar. Keduanya dikabarkan telah binasa di 

Lembah Akherat. Hal itu cukup mengejutkan para 

pendekar yang hendak menuju ke lembah tersebut. 

Mereka kini berpikir lagi. Sepertinya mereka tidak 

ingin mengalami nasib yang dialami Dewa-Dewi Paras 

Elok. 

Di sebuah kedai yang terletak di sebelah barat 

Desa Kalimas, nampak berkumpul para pendekar, 

baik dari aliran lurus maupun sesat. Kedai itu cukup 

besar, sekitar sepuluh tombak di samping kedai itu, 

ada sebuah penginapan yang cukup luas. Sehingga 

bagi mereka yang hendak menginap, tinggal berjalan 

beberapa langkah saja. Beberapa orang pendekar 

pun telah berada di penginapan itu. 

Di kedai itu, nampak Serigala Merah, Tujuh Iblis 

dari Sarang Hantu, Nyi Rawit Abang dan Ki Braga 

Kumba, Tri Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar 

lainnya. 

“Kurasa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-

sendiri,” kata Serigala Merah. 

“Memang benar,” sahut Nyi Rawit Abang. “Kurasa 

kita harus bersatu untuk mendapatkan Bocah Sakti


itu.” 

“Tidak bisa!” bantah lelaki berbadan besar dengan 

kepala botak di atasnya. Dia salah seorang dari Tiga 

Pakit Palimping. “Kami bertiga, mengapa harus takut 

menghadapi Penghuni Pulau Karang Api?” 

“Aha, benar juga katamu, Kisanak. Kami bertujuh 

mengapa mesti takut pada penghuni Pulau Karang 

Api?” timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia 

adalah salah satu anggota Tujuh Iblis dari Sarang 

Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu memang memakai 

pakaian berbeda. 

Orang pertama yang tadi berbicara bernama 

Sadra. Berbadan tegap dengan wajah bengis dihiasi 

cambang bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak 

terlalu panjang. Hidungnya besar dengan mata lebar. 

Orang kedua yang memakai pakaian merah muda 

bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi, gagah, dan 

tegap, hidungnya kecil, namun tidak mancung. 

Rambutnya lurus dengan ikat kepala merah muda. 

Begitu juga dengan yang lainnya, memiliki ciri 

tersendiri dengan keadaan yang lain. Namun watak 

mereka sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang 

datang dari sarang hantu. 

Serigala Merah mendengus, begitu juga dengan Ki 

Rawit Abang serta Ki Braga Kumba. Kemudian 

setelah membayar semua yang dia pesan, Serigala 

Merah pun meninggalkan kedai untuk meneruskan 

perjalanannya menuju Lembah Akherat yang sudah 

tak begitu jauh dari Desa Kalimas. 

Panas matahari memanggang bumi, namun 

Serigala Merah bagaikan tidak menghiraukannya. 

Kakinya terus melangkah di jalan berdebu yang 

menghubungkan Desa Kalimas dengan Lembah 

Akherat.


“Huh! Jauh juga jarak Desa Kalimas dengan 

Lembah Akherat,” dengus Serigala Merah sambil 

menyeka keringat yang bercucuran karena terik 

matahari yang menyengat. 

Serigala Merah sesaat menghentikan langkahnya. 

Matanya menatap ke sekelilingnya yang sepi. Hanya 

hamparan tanah kering berpasir yang tampak 

sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul 

ke udara. 

“Hm, mengapa aku harus lewat dari arah sini?” 

keluh Serigala Merah, merasa bahwa jalan yang 

dilaluinya ternyata salah. Kini dia harus mengarungi 

hamparan pasir yang sangat panas, apalagi dengan 

teriknya matahari siang. 

Beberapa kali disekanya keringat yang terus 

mengalir di dahi, leher dan wajahnya, sambil terus 

melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin 

putus asa dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia 

harus mendapatkan kemenangan dalam sayembara 

itu. Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang 

kaya. 

“Seandainya aku dapat memenangkan sayembara 

itu, aku akan menjadi orang kaya. Hhh..., akan 

kubangun rumah yang megah untuk hidupku yang 

telah lelah ini. Akan kucari istri yang cantik lalu aku 

dapat hidup tenang...,” ujar Serigala Merah saja terus 

membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah 

memenangkan sayembara. 

Serigala Merah memang telah merasa jenuh hidup 

mengembara menjadi pendekar. Tak pernah ada 

urusan duniawi yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat 

sekali dapat menikmati sisa hidupnya dalam 

ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga, dapat 

bersanding bersama istri yang cantik, dengan rumah


yang megah dan mewah. 

“Persetan dengan apa yang akan dikatakan 

pendekar lain dan orang-orang rimba persilatan,” 

gumam Serigala Merah yang merasa selama ini 

pengembaraannya tak ada artinya. Pertarungan demi 

pertarungan telah dialami. Itu pula yang menyebab-

kan dirinya merasa jemu dengan pengembaraan. Dia 

ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan 

berkecukupan. Dan itu pula yang menjadikan dia 

selama ini senantiasa berusaha mencari sayembara 

(Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial 

Pendekar Gila dalam episode “Tengkorak Darah”). 

Bayangan dapat hidup tenang sebagai orang kaya 

itulah yang seketika memacu semangatnya. Semula 

hatinya mulai lemah dan hampir putus asa akibat 

rasa panas yang menyengat. Kini kembali bergairah. 

Langkah-langkahnya yang tadi pendek, kini panjang-

panjang dan lebih cepat. Hatinya berharap segera 

sampai di tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa 

yang dibayangkan. 

“Ha ha ha! Serigala Merah akan menjadi orang 

kaya...!” seru Serigala Merah sambil tertawa-tawa. 

Kakinya terus melangkah penuh semangat, 

menyelusuri jalanan berpasir yang panasnya terasa 

sangat menyengat. Namun Serigala Merah tidak 

peduli, terus melangkah tanpa mengenal lelah. 

Ketika matahari agak condong ke arah barat, 

Serigala Merah sampai di tempat yang dituju. Lembah 

Akherat yang membentang luas telah ada di 

hadapannya. 

“Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat yang 

kutuju. Hm, tentunya danau itulah yang dimaksud 

Danau Sambak Neraka...,” gumam Serigala Merah 

berbicara pada diri sendiri.


Serigala Merah kembali melangkah dengan penuh 

semangat, berusaha mencapai Danau Sambak 

Neraka. Namun tiba-tiba matanya terbelalak ketika 

melihat dua ekor naga berwarna merah. Naga itu 

secara tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak 

matanya merah laksana api yang membara. 

“Ghrrrmh...! Ghrrrmh...!” 

Suara menggelegar terdengar dari mulut kedua 

naga berwarna merah itu. 

“Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?!” tanya 

Serigala Merah dengan mata membelalak, menyaksi-

kan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua 

ekor naga berwarna merah membara laksana 

diselimuti api. Kini naga itu memandang ke arahnya 

dengan tajam. 

“Ghrrrrrh...! Ghrrrrrrh...!'' 

Kedua naga itu menggeliat-geliat seperti 

menampakkan kemarahan. Kepalanya bergerak ke 

sana ke mari seperti berusaha mengusir Serigala 

Merah dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api 

yang terasa sangat panas. 

“Ghrrrmh...!” 

Slarts...! 

“Hah?! Ular setan...!” maki Serigala Merah sambil 

melompat mengelakkan hantaman sinar yang keluar 

dari kedua naga itu. 

Blarrr...! 

Ledakan dahsyat menggelegar seketika terdengar, 

ketika sinar merah yang keluar dari mulut kedua naga 

itu menghantam tanah berpasir. Seketika pasir 

berhamburan, membubung tinggi sampai sekitar lima 

puluh tombak tingginya. 

“Astaga...! Sinar itu bukan sembarangan!” gumam 

Serigala Merah dengan mata membelalak. Tangannya


yang semula bersidekap segera menarik sepasang 

golok, kemudian dengan cepat disilangkan di depan 

dada ketika sinar merah kembali melesat dari mulut 

kedua naga itu. 

“Ghrrrmh...!” 

Slarts! Slarts! 

Dua larik sinar merah menyembur dari mulut naga 

yang tampak murka itu. 

“Heaaa...!” 

Wut! Trang...! 

Terdengar suara benturan yang sangat keras, 

diikuti oleh pekikan kaget Serigala Merah. Sinar 

merah yang meluncur cepat ke arahnya membentur 

goloknya. 

“Akh...!” 

Serigala Merah segera melepas goloknya yang 

membara merah bagai terbakar api. Seketika tangan-

nya dirasakan begitu panas, bahkan seperti melepuh. 

Rasa panas itu juga dirasakan di seluruh tubuhnya. 

“Edan! Binatang sinting!” maki Serigala Merah 

dengan mata melotot garang. “Kalian harus kuhajar 

Heaaat...!” 

Serigala Merah segera mengangkat kedua 

tangannya tinggi-tinggi. Kemudian disilangkan di atas 

kepala dengan telapak tangan membuka. Setelah itu, 

kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas 

dalam dalam. Lalu.... 

“'Brajamukti'! Heaaa...!” 

Dengan mengeluarkan suara keras, Serigala 

Merah segera menghantamkan pukulan saktinya 

yang bernama 'Brajamukti'. Kedua telapak tangan-

nya menghentak keras ke arah kedua naga yang 

tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau 

Sambak Neraka.


Wut...! 

Putaran api yang bergerigi-gerigi melesat dari 

pukulan dahsyat Serigala Merah. Putaran api itu 

melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya 

kedua naga itu mengerti. Sebelum kedua gulungan 

sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua 

binatang itu menyelam ke dalam air. Hal itu 

menjadikan sinar merah bergulung melesat ke Pulau 

Karang Api, membentur bagian pulau itu. 

Glarrr...! 

Sisi sebelah timur Pulau Karang Api runtuh, 

terkena hantaman aji 'Brajamukti' yang dilancarkan 

Serigala Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau 

Karang Api yang belum diketahui siapa adanya, 

marah dan dengan gusar terdengar suaranya 

membentak. 

“Kurang ajar! Ada manusia yang mencari mati 

rupanya! Terimalah kematianmu...!” 

Sesaat setelah ucapan itu selesai, dari Pulau 

Karang Api berhembus angin bergulung-gulung ke 

arah Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu 

tersentak kaget. Baru kali ini dilihatnya sesuatu yang 

mengerikkan. Angin membadai itu, tiba-tiba datang 

dari balik Pulau Karang Api. 

'“Inti Bayu'...!” pekik Serigala Merah ketika 

mengenali ilmu yang kini mengarah ke arahnya. 

“Hei?! Bukankah itu ilmu Pendekar Gila?” 

Serigala Merah tertegun tak mengerti dengan 

semua kejadian di tempat itu. Hatinya benar-benar 

heran, mengapa ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila 

kini datang dari Pulau Karang Api. 

Wusss...! 

“Heaaa...!” 

Dengan teriakan keras, Serigala Merah bersalto



mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh entah 

siapa berupa angin membadai. 

“Tidak mungkin! Ilmu ini milik Pendekar Gila,” 

gumamnya terheran-heran. 

Merasa serangan pertama gagal, sesuatu yang 

berada di balik Pulau Karang Api kembali melakukan 

serangan dengan ajian lainnya Serigala Merah 

kembali terkejut. Ajian yang kini keluar dan 

menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan 

dikenalnya pula. 

“Inti Brahma'...?!” Serigala Merah terpekik kaget, 

setelah tahu pukulan yang kini menyerangnya. Tubuh-

nya dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara 

api yang membara. 

“Pendekar Gila yang menyerangku?” 

Serigala Merah berusaha bertahan dari serangan 

hawa panas yang menyengat. Hawa panas itu 

ditimbulkan oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah 

siapa pelakunya. Serigala Merah menyangka kalau 

Pendekar Gila pelaku semuanya. 

“Tobat, Sena! Jangan kau lakukan ini...!” ratap 

Serigala Merah merasakan siksaan yang tak ter-

bendung. Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas 

bara api yang membara. Terasa begitu panas, 

melebihi panas matahari yang siang tadi 

memanggangnya. Malah jauh lebih panas. Sampai-

sampai tubuhnya terasa mulai melepuh. 

Belum juga hawa panas itu menghilang, seketika 

dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar 

laksana cambuk meluncur ke arah Serigala Merah. 

Wuuut...! 

Clat! 

“Tobaaat...!” Serigala Merah melolong tinggi. 

Tubuhnya sesaat mengejang, kemudian ambruk


dengan tubuh gosong. Di dadanya terdapat luka-luka 

bagai digores pedang. Puluhan jarum beracun 

menancap di wajah dan dadanya. Sungguh tragis 

kematian Serigala Merah. Harapannya untuk menjadi 

orang kaya melayang bersama nyawanya. 

Senja yang cerah tampak begitu indah menyelimuti 

suasana di sekitar Danau Sambak Neraka. Suasana 

itu sangat berbeda dengan keadaan nasib yang 

diterima Serigala Merah. Baru saja benaknya di-

penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya 

tewas mengenaskan di Lembah Akherat. Matahari 

seperti tidak menghiraukan kejadian itu, terus 

menyusup di dua gumpalan awan putih di sebelah 

barat. Senja pun semakin tua mengantar kepergian 

nyawa Serigala Merah. 

***


LIMA


“Bagaimana kabar para pendekar yang mengikuti 

sayembaraku...?” tanya Sumantri pada keempat anak 

buahnya yang saat itu tengah menghadapnya. 

“Nampaknya mereka mengalami kesulitan, Tuan,” 

jawab Jalna Kumilang. 

“Hm...,” gumam Sumantri tak jelas. 

Nampaknya lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini 

merasa prihatin mendengar kegagalan para pendekar 

yang mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin 

bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah bersisik dan 

penghuni Pulau Karang Api yang berada di tengah 

Danau Sambak Neraka. 

“Kabar terakhir yang kami dengar, Tri Pakit 

Palimping juga didapatkan telah tewas dengan 

keadaan yang sama dengan korban-korban sebelum-

nya,” sambung Sugatra sambil menggeleng-geleng-

kan kepala. 

“Sepertinya, mereka mati oleh cambuk berapi dan 

puluhan jarum-jarum beracun,” tambah Sugatri. 

Sumantri menghela napas panjang, mendengar 

penuturan tangan kanannya. Dia semakin tidak habis 

pikir, siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik 

dan juga siapa penghuni Pulau Karang Api yang 

memiliki ilmu kesaktian tinggi itu? 

“Apakah belum ada yang mampu menundukkan 

penghuni Pulau Karang Api...?” tanya Sumantri. 

“Kami rasa belum, Tuan,” jawab Jalna Kumilang. 

“Hm...,” gumam Sumantri sambil bertopang dagu


dengan jari-jari tangan kanannya. Matanya me-

mandang lepas ke pintu rumahnya. Di sana empat 

orang penjaga lengkap dengan senjata tombak 

berada. 

Sumantri berdiri dari duduknya, kemudian 

melangkah menuju ke pintu. Dihelanya napas 

panjang-panjang, kemudian dengan tubuh mem-

belakangi keempat anak buahnya dia mendesah 

gelisah. 

“Selama ini, aku belum juga mengerti. Ke mana 

hilangnya Anjasmara dan Sambi? Mereka bagaikan 

ditelan bumi,” gumam Sumantri lirih. Kemudian 

perlahan membalikkan tubuh, memandang keempat 

anak buahnya. 

“Apa Tuan yakin mereka masih hidup?” tanya Iblis 

Selendang Ungu. 

“Entahlah. Mungkin mereka masih hidup,” 

Sumantri menarik napas dalam-dalam. Sesaat 

ucapannya berhenti. “Menurut cerita, siapa pun yang 

datang ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau 

mati mengapa tak ada bangkainya...?” 

Keempat anak buah juragan kaya itu terdiam. 

Mereka tampaknya turut berpikir mengenai pendapat 

Sumantri. Memang rasanya aneh kalau orang mati 

selama puluhan tahun belum juga ditemukan 

kerangkanya. 

“Apakah tidak mungkin mereka memiliki ilmu 

menghilang?” tanya Iblis Selendang Ungu memecah 

kesunyian. 

“Ilmu menghilang? Dari mana mereka mendapat-

kannya? Guru kami tak pernah mengajari ilmu itu. 

Lagi pula, ilmu itu hanya berguna sebentar. Tidak ada 

orang yang menggunakan ilmu menghilang sampai 

puluhan tahun?” tanya Sumantri sambil tersenyum


kecut. 

Kembali semuanya terdiam, tak ada yang dapat 

menjawab kemisteriusan semua perisriwa yang 

terjadi. Baik penghuni Pulau Karang Api, maupun 

lenyapnya suami istri Anjasmara dan Sambi yang 

belum diketahui bagaimana nasib mereka sebenar-

nya. 

“Coba kalian pikir!” tiba-tiba Sumantri angkat 

bicara setelah lama terdiam. Hal itu membuat 

keempat anak buahnya tersentak. “Aku punya 

pendapat mungkin bocah itu anak Anjasmara dan 

Sambi.” 

Seketika keempat anak buahnya tersentak kaget. 

Mata mereka terbelalak mendengar penuturan 

Sumantri. Kemudian keempatnya saling ber-

pandangan. 

“Bagaimana mungkin, Tuan?” Tanya Jalna 

Kumilang merasa heran dan tak mengerti. 

“Ya! Bagaimana mungkin manusia bisa punya 

turunan bocah ular?” sambung Sugatra. 

Sumantri tersenyum kecut. 

“Aku baru ingat sekarang. Mereka pasti mendapat 

kutuk penghuni Pulau Karang Api. Puluhan tahun 

lamanya, tak seorang manusia pun yang berani ke 

tempat itu. Tiba-tiba muncul sepasang suami istri, 

kedua adik seperguruanku itu,” jawab Sumantri, yang 

semakin menyentakkan semua anak buahnya. Kini 

mereka baru tahu, kalau Pulau Karang Api bukanlah 

pulau sembarangan. 

“Jadi, siapa pun yang ke Lembah Akherat akan 

mengalami kematian. Begitu...?” tanya Jalna 

Kumilang menegaskan maksud Sumantri. 

“Benar! Mereka telah menjadi mangsa penunggu 

danau keramat itu!” sahut Sumantri.


“Lalu mengapa Tuan membuat sayembara?” 

“Hua ha ha...! Kau cerdas juga, Jalna. Sebenarnya 

aku ingin menjadi orang yang paling sakti dan nomor 

satu di rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin 

meyakinkan kalau Anjasmara dan Sambi telah tewas. 

Sejak aku pergi ke Lembah Akherat, aku sudah 

menduga bahwa tak ada seorang pun yang sanggup 

datang ke tempat itu....” 

“Ada...!” 

Tiba-tiba dari luar terdengar sahutan keras, diikuti 

oleh tawa menggelegar yang disertai pengerahan 

tenaga dalam. Tidak begitu lama kemudian, 

berkelebat masuk sesosok tubuh pemuda tampan 

berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari 

kulit ular. Tingkah laku pemuda itu seperti orang gila, 

cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Baik 

Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak 

kaget bukan kepalang. 

“He he he...! Mengapa mesti berputus asa? Tidak 

baik manusia cepat putus asa,” ujar pemuda tampan 

yang ternyata Pendekar Gila. 

Sumantri dan keempat anak buahnya mengerut-

kan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda yang 

baru datang itu. Tingkah lakunya persis orang gila. 

“Siapakah kau, Kisanak?” tanya Sumantri. 

“Aha, lucu sekali. Mengapa mesti bertanya siapa 

diriku? Yang pasti, aku akan ke Lembah Akherat yang 

kau katakan tadi, Ki.” 

“Jadi kau ingin mengikuti sayembara?” tanya 

Sumantri. 

“Sayembara...? Ha ha ha...! Lucu sekali 

omonganmu. Kurasa aku tidak ikut sayembaramu,” 

jawab Sena seenaknya, membuat semua orang yang 

ada di tempat itu semakin mengerutkan keningnya.


Agak marah juga mereka mendengar perkataan Sena 

dan tingkah lakunya yang persis orang gila. 

“Bocah edan! Kalau tidak ikut sayembara, untuk 

apa kau datang kemari?!” bentak Sumantri gusar. 

“Aha, mengapa mesti marah? Tidak bolehkah aku 

ikut ngobrol bersama kalian?” tanya Sena masih 

dengan ucapan seenaknya. Kemudian dengan acuh 

kakinya melangkah ke kursi yang tadi diduduki 

Sumantri, dan langsung duduk di sana. 

“Bocah edan! Jangan sembarangan kau di sini. Ini 

bukan tempat nenek moyangmu! Pergi dari sini!” 

dengus Jalna Kumilang seraya menyambarkan 

tangannya ke kepala Pendekar Gila. 

Wut! 

“Uts! Galak sekali kau, Ki! Eh, meleset! He he...!” 

ujar Sena sambil merundukkan kepala sehingga 

serangan lelaki setengah baya itu melesat beberapa 

jari di atas kepalanya. 

Merasa serangannya gagal, Jalna Kumilang ber-

tambah marah. Dia hendak kembali menyerang, 

tapi.... 

“Tunggu....!” ujar Sumantri, mencegah tindakan 

Jalna Kumilang. 

“Tuan, biar kuhajar bocah gila ini!” dengus Jalna 

Kumilang marah dan malu, karena serangannya yang 

menjadi andalan jurus silatnya dengan mudah 

dielakkan lawan. 

“Sabar, Ki,” kata Sumantri seraya melangkah men-

dekati Sena. “Anak muda, katakan... siapa sebenar-

nya dirimu! Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini 

tanpa permisi?” 

“Permisi? Ha ha ha...! Untuk apa permisi? Kalian 

saja kalau berbuat sesuatu tanpa permisi. Lucu 

sekali…”


Semakin bertambah berang saja keempat anak 

buah Sumantri mendengar ucapan pemuda yang 

konyol itu. Mata mereka membelalak penuh amarah. 

“Bocah edan ini memang harus dihajar, Tuan!” 

kata Sugatra yang nampaknya sudah muak dengan 

tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. 

“Sabar, Sugatra!” cegah Sumantri. “Anak muda, 

apa maksud kata-katamu?” tanyanya pada Sena. 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 

menggaruk-garuk kepala. 

“Aha, masih juga kalian lupa? Kalian telah 

mengadakan sayembara tanpa mengundang orang-

orang persilatan untuk berembuk. Juga kalian tidak 

mengundang pihak Kadipaten Lumajang dan 

Kerajaan Pahulu.” 

Terbelalak mata Sumantri dan keempat anak 

buahnya. Mereka semakin bertambah marah dan 

begitu tersinggung dengan ucapan pemuda yang 

bertingkah laku gila itu. 

“Bocah gila! Apa urusanmu?” bentak Sumantri 

yang semakin gusar. “Kalau kau mau ikut sayembara-

ku, tak perlu banyak tanya. Ikuti saja! Kalau kau 

menang, dan dapat mengambil bocah bersisik ular, 

kau akan kuberi hadiah separo hartaku!” 

“Aha, tawaran yang sangat menggiurkan. Hm.... 

Baiklah. Aku hendak mengikuti sayembaramu. Nah, 

kini katakan, ke mana aku harus pergi agar sampai di 

tempat yang kau maksudkan,” kata Sena sambil 

masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 

“Berjalanlah lurus ke arah selatan. Kira-kira 

setengah hari perjalanan, kau akan sampai,” kata 

Sumantri menjelaskan, berusaha menahan amarah 

atas tingkah laku pemuda yang seperti orang gila itu. 

“Aha, terima kasih. Sediakan hadiahnya, aku akan


segera kembali kemari!” ujar Sena seenaknya. 

Tentu saja tingkah pemuda itu membuat kaget 

keempat anak buah Sumantri. Mata mereka langsung 

melotot. Namun Sumantri segera mengangkat tangan 

memerintah agar mereka tidak keburu nafsu. 

Kemudian didekatinya Jalna Kumilang sambil ber-

bisik. 

“Biarkan saja pemuda edan ini mati di sana. 

Bukankah dengan begitu kita tidak perlu turun 

tangan?” 

Sumantri tertawa terbahak-bahak. Begitu juga 

Jalna Kumilang dan lainnya setelah mendengar 

bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam 

mendengar bisikan Sumantri, turut tertawa tergelak-

gelak. Hal itu membuat semuanya tersentak dan 

diam. Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila 

mendengar bisik-bisik mereka. Pendengaran Sena 

yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam 

Rungu'nya tentu saja dapat mendengar suara sekecil 

apa pun jika menggunakan ilmu itu. 

“Kenapa diam? Ha ha ha...! Enak sekali tertawa di 

malam hari begini, Kisanak. Ayo, kita tertawa, ha 

ha...!” kata Sena sambil tertawa terbahak-bahak. 

Bahkan kini berjingkrak-jingkrak tidak ubahnya 

seperti seekor kera yang kegirangan. 

Kelima orang yang ada di tempat itu semakin 

membelalakkan mata, menyaksikan tingkah laku 

Pendekar Gila yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-

nya. 

“Aha, kenapa kalian seperti patung? Hi hi hi...! 

Ayolah, kita senang-senang merayakan kemenangan-

ku!” katanya dengan tingkah laku konyol. Tubuhnya 

berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet


*** 

Melihat kelima lelaki itu masih terdiam, tawa 

Pendekar Gila semakin keras dan tergelak-gelak. 

Tingkah lakunya semakin bertambah konyol, 

dianggapnya ruangan rumah Sumantri sebagai arena 

untuk tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak. 

“He he he...! Lucu sekali kalian. Jika begitu, kalian 

mirip dengan patung-patung bloon. Ha ha ha...!” 

“Kurang ajar!” maki Sugatra. “Bocah sinting ini 

tidak bisa didiamkan, Tuan!” 

“Ya! Bisa-bisa kurang ajar!” tambah Sugatri. 

“Hm...,” Sumantri bergumam lirih. Matanya tak 

lepas memandangi pemuda bertingkah gila di 

hadapannya yang masih berjingkrakan sambil 

tertawa-tawa. 

Hal serupa juga dilakukan Iblis Selendang Ungu. 

Gadis cantik yang sifarnya buruk itu, pandangan 

matanya tak lepas menatap Pendekar Gila. Kening-

nya berkerut, rasa kesal dan tertarik pada 

ketampanan serta tingkah laku pemuda itu beraduk 

menjadi satu di dadanya. 

Siapakah pemuda gila ini? Tanya Iblis Selendang 

Ungu dalam hati. Matanya masih menatap tajam 

pada Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil 

berjingkrak-jingkrak. 

Tingkah lakunya, mengingatkan aku pada 

pendekar yang namanya sedang menjadi bahan 

pembicaraan orang-orang rimba persilatan! Gumam 

Suma dalam hati dengan mata tak lepas merayapi 

tubuh Pendekar Gila. Mungkinkah pemuda ini 

orangnya? 

“Hua ha ha...! Kenapa kalian masih diam? 

Bukankah kalian tadi mengajakku tertawa? Hi hi


hi...!” masih terus tertawa-tawa sambil berjingkrakan. 

kali tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu 

menepuk-nepuk pantat. 

“Anak muda, kami rasa tak ada salahnya sebelum 

kau mengikuti sayembaraku, kita berkenalan lebih 

dulu,” ujar Sumantri berusaha ramah sambil 

mengulurkan tangannya ke arah Pendekar Gila. 

Sena malah tertawa tergelak-gelak sambil meng-

garuk-garuk kepala. Dipandanginya tangan Sumantri 

kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar 

kaya itu. Lalu dengan mulut masih cengengesan, 

dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak 

Sumantri terbelalak kaget, karena jabatan tangan 

Pendekar Gila begitu keras dan dialiri tenaga dalam 

yang amat kuat. 

“Aku Sena,” ujar Pendekar Gila cengengesan 

melihat Sumantri meringis-ringis dengan mata 

membelalak. Hal itu membuat keempat anak 

buahnya semakin marah. 

“Bocah edan! Rupanya kau ingin menunjukkan 

kebolehanmu! Hadapi aku Jalna Kumilang!” bentak 

Jalna Kumilang sambil bergerak menyerang Pendekar 

Gila yang cengengesan. 

Sementara Sumantri yang meringis-ringis, 

berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk 

mengimbangi tenaga lawan. 

“Yeaaa...!” 

Dengan jurus 'Landung Sangkul' Jalna Kumila 

bergerak menusuk ke wajah Pendekar Gila. 

“Heits! Galak sekali kau, Ki!” 

Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, 

Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan Jalna 

Kumilang. Kemudian dengan melepaskan tangannya 

dari genggaman tangan Sumantri, Pendekar Gila


bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 

Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari, 

bergerak maju dengan kaki yang terlihat pelan dan 

aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna 

Kumilang. 

“Heaaa...!” 

Tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke dada 

lawan. Jalna Kumilang tersentak kaget dengan mata 

terbelelak. Sungguh tidak disangkanya kalau tangan 

pemuda itu bergerak begitu cepat. Padahal gerakan 

Pendekar Gila tampak pelan dan lemah sekali. 

“Celaka! Jurus siluman!” pekik Jalna Kumilang 

dengan mata tegang, merasa gerakannya kini mati 

langkah. Hampir saja tangan Pendekar Gila meng-

hantam dada Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah 

pukulan yang keras menghadangnya. 

“Heaaa..!” 

Sebuah teriakan mengiringi serangan Sugatra. 

Dan.... 

Plak! 

“Ugkh...!” 

Sugatra mengeluh. Dirasakan tangannya kesakitan 

akibat benturan keras dengan Pendekar Gila. Dia 

segera melompat dengan mulut menyeringai 

kesakitan, memandang Sena yang tampak tengah 

cengengesan menggaruk-garuk kepala, serta me-

nepuk pantat seperti kera. 

Melihat tangan kakaknya terluka, Sugatri dengan 

mendengus langsung merangsek Pendekar Gila. 

Tidak tanggung-tanggung lagi, dia segera mencabut 

senjatanya yang berupa golok mengeluarkan sinar 

biru. 

“Kuhancurkan kepalamu! Heaaa...!” 

Wut! Wut!


Golok bersinar biru berkelebat membabat kepala 

Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena meng-

egoskan tubuh ke samping. Disertai tingkah lakunya 

yang konyol seperti seekor kera. Sena bergerak 

menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. 

Tubuhnya bergerak seperti melepas lilitan yang 

mengikatnya, berputar ke kiri. Hal itu membuat jurus 

'Gerak Kala Mengatup' yang dilancarkan Sugatri tak 

menemui sasaran. 

Setiap serangan datang, dengan cepat Pendekar 

Gila bergerak menghindar. Tubuhnya berputar, 

kemudian berbalik menyerang lawan dengan pukulan 

dan tendangan. Meski sepinras gerakannya terlihat 

lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang 

dilakukannya mampu melebih kecepatan gerakan 

lawan. 

“Hiaaat..!” 

Diiringi pekikan keras, Sugatri melompat cepat. 

Hatinya semakin bernafsu menyerang Sena, karena 

merasa serangan andalannya tidak berhasil. Meski-

pun Sugatri telah melancarkan serangan dengan 

cepat. Kini dia mulai menambah kecepatan ber-

geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala 

Merah Beracun'. 

Wut! Wut...! 

Golok di tangan Sugatri terus bergerak cepat 

dengan tebasan dan sodokan ke bagian tubuh yang 

mematikan lawan. Namun dengan mudah Pendekar 

Gila mampu mengelakkan setiap serangan dengan 

gerakan-gerakan yang tampak lamban. 

“Uts! He he he...! Kurang cepat, Ki! Coba kau 

terima ini!” sambil berkata begitu, dengan cepat 

Pendekar Gila melayangkan jotosan ke wajah lawan-

nya.


“Hih...!” 

Sugatri tersentak mendapatkan serangan yang 

kelihatan lambat namun tahu-tahu berkelebat di 

depannya. Sugatri berusaha mengelak, tapi rupanya 

gerakan Pendekar Gila tak dapat diimbanginya. 

Maka.... 

Bugkh! 

“Wuaaa...!” pekik Sugatri. Tubuh lelaki berpakaian 

merah itu terlontar ke belakang dan terbanting ke 

meja tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah 

seorang dari Sepasang Kera Bergolok Biru itu melorot 

keras, kemudian jatuh menimpa kursi sampai 

berantakan. 

Semakin bertambah marah semuanya melihat 

tingkah laku pemuda bertampang gila yang telah 

mampu mempecundangi Sugatri, bahkan membuat-

nya terluka 

“Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin 

merasakan pukulanku!” dengus Jalna Kumilang 

marah. “Tuan, izinkan aku menghajar bocah sombong 

ini!” 

“Sombong...? Hi hi hi...! Kalianlah yang sombong, 

ada pesta tidak mengundang-undang aku,” sahut 

Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk 

kepala. 

“Huh! Dasar bocah gila! Rupanya kau harus 

dihajar!” maki Jalna Kumilang. Wajahnya membara 

oleh amarah. Namun karena Sumantri nampaknya 

belum mengizinkan, Jalna Kumilang masih berusaha 

menahan kesabaran. 

“Sabar, Ki!” kata Sumantri. Didekatinya Jalna 

Kumilang, kemudian dengan berbisik Sumantri 

mengatakan sesuatu pada lelaki setengah baya itu. 

“Kalian tak akan mampu menghadapinya, Ki.”


“Kenapa?” 

“Dia bukan pemuda gila sembarangan. Kurasa 

dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir ini namanya 

sedang membubung tinggi,” bisik Sumantri men-

jelaskan. 

Terbelalak mata Jalna Kumilang setelah tahu siapa 

pemuda bertampang dan bertingkah laku seperti 

orang gila itu. Matanya memandang tak berkedip 

pada Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang baru 

menyadari siapa sesungguhnya pemuda tampan itu. 

Sumantri dengan bibir masih tersenyum, me-

langkah mendekati Pendekar Gila. 

“Tuan Pendekar, kami harap Tuan sudilah me-

maafkan kami!” kata Sumantri berusaha membujuk 

Pendekar Gila agar tak meneruskan pertarungan itu. 

Sumantri nampaknya menyadari, bagaimanapun dia 

dan keempat anak buahnya tak mungkin mampu 

mengalahkan pemuda yang bertingkah gila itu. 

“Aha, kenapa tidak sejak tadi? Lucu sekali kalian,” 

sahut Sena dengan tingkah laku yang tak luput dari 

cengengesan dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet. 

“Untuk itulah, kami minta maaf. Dan kalau 

memang Tuan bermaksud mengikuti sayembara yang 

ku adakan, silakan Tuan datang ke Lembah Akherat. 

Kalau Tuan mampu menangkap bocah bersisik itu, 

kami akan memberikan sebagian harta kami,” tutur 

Sumantri. 

“Aha, menyenangkan! Baiklah kalau memang 

begitu, aku akan segera ke sana. Permisi...!” 

Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat 

meninggalkan Sumantri dan keempat anak buahnya 

yang masih menyimpan amarah. 

“Jadi dia Pendekar Gila, Tuan?” tanya Iblis 

Selendang Ungu.


“Ya! Percuma saja kita berurusan dengannya. Yang 

pasti, kita harus mempersiapkan penyambutannya. 

Cepat atau lambat, tentunya dia akan datang ke 

tempat ini. Untuk itulah, kuharapkan kalian mencari 

teman sebanyak mungkin guna menghadapinya!” 

kata Sumantri. 

“Apakah Tuan tak percaya kemampuan kami?” 

tanya Sugatra merasa kurang senang. 

“Bukan aku tak percaya pada kalian. Tapi 

percayalah, guruku saja mungkin tak akan sanggup 

menghadapinya. Dan aku sendiri besok akan 

memanggil guruku,” ujar Sumantri meyakinkan. 

Keempat anak uahnya itu akhirnya menerima juga 

pendapat majikan mereka. “Hei, ke mana para 

penjaga?!” 

Mereka serentak keluar untuk melihat apa yang 

terjadi. Mata mereka membelalak, ketika menyaksi-

kan delapan penjaga dalam keadaan tertotok. 

“Tentunya sebelum masuk Pendekar Gila telah 

menotok mereka lebih dahulu,” gumam Sumantri. 

“Pantas dari tadi mereka tak muncul!” sambung 

Iblis Selendang Ungu. 

Mereka segera bergerak membebaskan totokan di 

tubuh delapan penjaga keamanan di rumah saudagar 

kaya itu. 

***


ENAM


Pagi teramat dingin. Embun pun masih menempel di 

dedaunan dan membasahi tanah. Mentari belum juga 

muncul ke permukaan bumi. Hanya bias merah di 

ufuk timur yang terlihat, pertanda kalau sang Raja 

Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-burung 

pun berkicau riang, seakan-akan hendak menikmati 

indahnya suasana pagi. 

Desa Kalimas yang merupakan desa terdekat 

jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi itu masih sepi. 

Belum ada seorang manusia pun yang keluar dari 

rumahnya. Meskipun mungkin mereka sudah bangun. 

Saat itu, tampak dua sosok manusia berjalan 

menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka adalah 

seorang lelaki dan perempuan berusia sekitar lima 

puluh tahun. Kedua orang yang berpakaian hijau 

muda merah itu tampak berjalan begitu intim 

menembus suasana pagi yang dingin dan sunyi itu. 

Yang wanita berambut diikat ke atas kepala, 

dengan ujungnya terurai ke bawah. Bibirnya yang 

keriput, menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi 

Abang. Tubuhnya kecil dan tidak begitu tinggi, 

kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-

kan. Itu sebabnya perempuan tua ini mendapat 

julukan si Kijang Emas. 

Sedang lelaki tua yang berjalan di sampingnya 

berambut lurus tergerai. Tingginya lebih sekepala 

dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-

nya tenang. Tubuhnya agak bungkuk, dengan jenggot


dan kumis menghias di wajahnya. Hidungnya 

mancung, dan matanya agak menyipit. Dialah Ki 

Braga Kumba. 

Keduanya bermaksud berangkat ke Lembah 

Akherat, atau tepatnya menuju Danau Sambak 

Neraka. Keduanya seperti pendekar dan tokoh 

persilatan lainnya, yang tertarik dengan kabar 

mengenai munculnya bocah bersisik di Pulau Karang 

Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah 

mendapatkan bocah itu, untuk selanjutnya diserah-

kan pada Sumantri. Kedua, mereka juga ingin 

membuktikan benar tidaknya kabar itu, serta ingin 

tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Karang Api 

yang selama ini belum seorang tokoh pun mampu 

menjarah tempat itu. 

“Masih jauhkah jarak yang harus kita tempuh, Ki?” 

tanya Nyi Rawit Abang. 

“Kurasa tidak, Nyi. Sebab kalau kita sudah 

melewati Desa Kalimas, tinggal seperempat hari 

dengan berjalan biasa, kita akan segera sampai,” 

jawab Ki Braga Kumba berusaha menghibur hati 

kekasihnya. 

“Aku tak mengerti. Bagaimana mereka yang ke 

Lembah Akherat benar-benar sampai ke akherat? 

Mereka tidak pernah pulang,” gumam Nyi Rawit 

Abang. 

Ki Braga Kumba tersenyum kecut mendengar kata-

kata Nyi Rawit Abang. Keduanya memang bukan 

suami istri, hanya merupakan sepasang kekasih. 

Entah mengapa dari dulu mereka tidak juga menikah. 

Mereka hanya menjalin hubungan kasih, sampai 

keduanya sama-sama tua. 

“Siapa sebenarnya penghuni Lembah Akherat? 

Sampai-sampai tempat itu sangat ditakuti?” kembali


Nyi Rawit Abang bertanya, karena penasaran tentang 

tempat keramat yang kini hendak mereka tuju. 

“Mana aku tahu? Kalau tahu, sudah dari dulu ingin 

ke tempat itu. Tentu penghuninya bukan 

sembarangan. Buktinya tak seorang pun yang berani 

datang ke tempat itu,” tutur Ki Braga Kumba. 

“Hhh...,” Nyi Rawit Abang mendesah manja. 

Matanya melotot nakal, menatap kekasihnya yang 

hanya tersenyum cengengesan. 

“Ngambek ya?” tanya Ki Braga Kumba. 

“Huh!” 

“Lho lho, kok marah?” 

“Makanya, jelaskan!” sahut Nyi Rawit Abang 

dengan suara manja. 

Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum, 

“Nampaknya kau semakin cantik jika merengut 

begitu, Nyi.” 

Kini Nyi Rawit Abang tersipu, mendengar rayuan 

kekasihnya. Sifatnya yang seperti gadis belasan tahun 

jelas masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu 

genit jika disanjung sang Kekasih. Tingkah laku 

keduanya memang sering nampak lucu, tidak 

ubahnya sepasang remaja yang dimabuk asmara. 

“Bisa saja kau, Ki.” 

“Sungguh.” 

Kembali Nyi Rawit Abang tersipu-sipu malu, 

semakin bertambah keriput wajahnya. Tapi itulah 

yang membuat Ki Braga Kumba semakin bertambah 

senang. Buktinya hampir tiga puluh tahun mereka 

menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah 

terjadi perselisihan. Keduanya selalu intim. Di mana 

ada Braga Kumba, di situ ada Nyi Rawit Abang. 

Saking lengketnya, pasangan campuran dari 

golongan hitam dan putih itu terkenal dengan


sebutan Pengantin Tua. Nyi Rawit Abang dari aliran 

hitam, sedangkan Ki Braga Kumba berasal dari aliran 

putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru 

satu sama lain saling membantu. 

Langkah mereka semakin mendekati tempat yang 

dituju. Kini keduanya telah berada di luar batas Desa 

Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang 

menjadi pemisah antara Desa Kalimas dengan 

wilayah Lembah Akherat 

Mereka sedang melangkah memasuki Hutan Kawi-

kawi ketika tiba-tiba dikejutkan suara bentakan keras 

yang disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah 

mereka kenali. 

“Berhenti...!” 

“Tujuh Iblis dari Sarang Hantu! Ada apa kalian 

menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Braga 

Kumba dengan mata tajam menatap satu persatu 

wajah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang rata-rata 

memiliki sifat yang kasar dan bengis. 

“Hm.... Apakah kalian lupa dengan kejadian dua 

hari yang lalu di kedai?!” bentak Sadra, orang 

pertama dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 

“He he he! Jelas kami ingat,” sahut Nyi Rawit 

Abang. “Ada apa dengan kalian?” 

“Jangan berpura-pura tak mengerti, Nyi! Jelas Kami 

menghendaki nyawa kalian berdua! Kami tak ingin 

kalian ikut campur dengan urusan ini!” tukas Saka 

Gulu, orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 

“Kurang ajar!” dengus Ki Braga Kumba. “Kalian 

kira kami dapat digertak oleh iblis-iblis cacingan 

macam kalian, heh?!” 

“Bedebah! Lancang mulutmu, Tua Bangka! 

Kurobek mulutmu!” 

Usai berkata begitu, Sadra menggerakkan tangan


kanannya, sebagai isyarat pada keenam rekannya 

untuk menyerang. 

“Heaaa...!” 

Melihat kekasihnya diserang, Nyi Rawit Abang tak 

tinggal diam. Sambil mendengus marah, ditariknya 

Cambuk Rambut Seribu yang menjadi senjatanya. 

Kemudian dengan jurus 'Lecutan Kilat Cambuk 

Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang. 

“Kalian rupanya mencari mampus! Berani meng-

hadang Pengantin Tua! Heaaa...!” 

Ctar! Ctar! Ctar...! 

Ribuan rambut di ujung cambuk bergerak 

menyerang ke arah tujuh lawannya. Rambut-rambut 

di ujung cambuk itu laksana hidup, meliuk-liuk ke 

sana kemari memburu mangsa. 

Mendapatkan serangan seperti itu, Tujuh Iblis 

Sarang Hantu segera melompat ke belakang. 

Kemudian setelah memberi isyarat, mereka segera 

membentuk sebuah lingkaran memutari kedua 

lawannya dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'. 

Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bergerak 

dalam bentuk lingkaran. Tangan mereka bergerak 

menyerang ke arah kedua lawannya yang berada di 

tengah-tengah lingkaran. Gerakan itu pun membuat 

Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening meng-

hadapinya. 

“Hhh...! Kita harus bisa menembusnya, Nyi!” 

gumam Ki Braga Kumba. 

“Ya! Mari kita gunakan jurus 'Badai Menyapu 

Karang'.” 

“Mari! Heaaa...!” 

“Hiaaa...!” 

Kedua tokoh tua itu segera mengeluarkan jurus 

'Badai Menyapu Karang'. Gerakan tubuh keduanya


sangat cepat, menimbulkan angin yang keras. 

Wusss...! 

Melihat lawan berusaha mendobrak pertahanan, 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu segera mempercepat 

gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus 

'Putaran Kincir Menyapu Badai' mereka bergerak 

begitu cepat. Tangan dan kaki mereka tidak tinggal 

diam, bergerak memukul dan menendang ke arah 

lawan. 

“Heaaat...!” 

“Hiaaa...!” 

Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi 

gerakan mereka menyerang dengan cepat 

Wut...! 

Prak! 

“Ugkh!” 

Nyi Rawit Abang mengeluh, ketika tangannya 

berbenturan dengan tangan beberapa orang dari 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami 

oleh Ki Braga Kumba. Keduanya meringis merasakan 

sakit akibat benturan tangan tadi. 

Namun bukan hanya kedua orang itu yang 

merasakan sakit linu akibat benturan yang terjadi. 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu juga tersentak 

dengan mata melotot, mendapatkan serangan 

mereka berantakan. Tangan mereka dirasakan ngilu. 

Mata menatap tajam pada Pengantin Tua yang juga 

beberapa langkah terhuyung mundur. Kini keduanya 

sudah tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis 

Sarang Hantu. 

“Bedebah! Kalian rupanya masih sanggup meng-

hadapi kami!” dengus Saka Gulu. 

“Huh! Apa susahnya menghadapi iblis-iblis 

cacingan macam kalian?” ejek Ki Braga Kumba


seraya mencibir, membuat Tujuh Iblis dari Sarang 

Hantu bertambah marah. 

“Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!” 

maki Sadra, marah. 

“Kalianlah yang mencari mampus!” bentak Nyi 

Rawit Abang dengan mata melotot, merasa tidak 

senang kekasihnya dibentak begitu rupa. “Kalau 

kalian tak segera minggat, tak segan-segan kami 

membunuh kalian!” 

“Ha ha ha...!” Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tertawa 

bergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Rawit Abang. 

“Apakah tidak terbalik, Perempuan Lacur! Seharus-

nya kau minta ampun, karena telah membela pihak 

lawan!” bentak lelaki berbadan gendut dengan 

rambut dikuncir di atas kepala. Lelaki itu orang ketiga 

dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 

“Cuh!! Apa peduli kalian?!” bentak Nyi Rawit Abang 

tak mau kalah. “Rupanya kalian ngiri ya?!” 

“Huh! Apa dikira kau wanita yang paling cantik?!” 

dengus lelaki berhidung besar dengan kumis 

menempel di ujung bibir. Dia orang keempat dari 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 

“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” 

Nyi Rawit Abang yang marah, kembali bergerak 

menggempur lawan-lawannya dengan cambuk. 

Rambut-rambut di ujung cambuknya bergerak lagi 

menyapu ke wajah lawan dengan jurus 'Sapu Buana 

Mekti'. 

“Heaaa!” 

Wut! 

Melihat serangan itu, dengan cepat Tujuh Iblis dari 

Sarang Hantu tidak tinggal diam. Mereka segera 

mencabut senjata yang berupa sabit. Kemudian 

setelah mengelakkan serangan lawan, mereka


berbalik menyerang dengan jurus 'Sabit Maut Mencari 

Jantung'. 

Wut! Wut! Wut...! 

“Heit..!” 

Nyi Rawit Abang bergerak mengelak ke samping, 

menghindari serangan yang mengarah ke bagian 

tubuhnya yang mematikan. 

Menyaksikan kekasihnya dalam desakan ketujuh 

lawan, Ki Braga Kumba segera mencabut ikat 

pinggangnya yang bernama Sabuk Sasra Geni. 

Kemudian dengan jurus 'Sasra Geni' tingkat ketiga, Ki 

Braga Kumba merangsek ke arah lawan. 

“Heaaa...!” 

Ki Braga Kumba dengan cepat terus memutar 

Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan seketika 

sekeliling tempat itu berubah menjadi panas mem-

bara. Hal itu membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 

tersentak kaget Mereka segera melompat mundur, 

menghindari sabetan sabuk lawan yang dahsyat. 

“Hah?! Celaka...! Rupanya dia memiliki Sabuk 

Sasra Geni!” pekik Sadra kaget dengan mata 

membelalak. “Cepat kalian lakukan aji 'Penutup 

Sukma'.” 

Mendengar perintah Sadra, seketika keenam 

rekan-rekannya merapalkan ajian 'Penutup Sukma' 

Lalu setelah merapalkan ajian tersebut, ketujuhnya 

kembali bergerak menyerang lawan. 

“Heaaa...!” 

“Yeaaat..!” 

Pertarungan seru kembali terjadi. Masing-masing 

pihak kini telah mengeluarkan jurus dan senjata 

andalan masing-masing. Beberapa jurus telah mereka 

keluarkan untuk mengalahkan lawan, namun sejauh 

itu belum juga nampak siapa yang bakal menang dan



siapa yang bakal kalah. 

“Heaaat...!” 

“Yeaaah...!” 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali melancarkan 

serangan dahsyat mereka, menggempur pertahanan 

lawan. Dua orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang 

bergelar Tujuh Iblis dari Sarang Hantu nampaknya 

sama-sama tangguh. Kedua orang tua itu bagaikan 

sepasang kijang yang melompat dengan lincah, 

bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan 

lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan 

serangan balasan yang tak kalah dahsyat. 

Ki Braga Kumba dengan Sabuk Sasra Geninya 

yang melecut-lecut menimbulkan hawa panas, telah 

mengerahkan jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit 

Abang dengan Cambuk Rambut Seribunya juga tidak 

mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus 

'Sapuan Prahara Menghancur Karang' bergerak 

menyerang dan berputar-putar memburu serangan 

lawan. 

Gabungan serangan kedua orang tua itu sangat 

cepat dan lincah. Mereka bergantian menyerang ke 

arah lawan, kemudian bergantian menutup per-

tahanannya. 

“Heaaa...!” 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang belum juga 

dapat membuahkan hasil serangannya, semakin ber-

tambah penasaran. Mereka semakin mempercepat 

serangan. Namun lawan tampaknya sangat alot untuk 

dikalahkan. 

Ketika pertarungan itu berlangsung sengit, tiba-

tiba terdengar suara bentakan keras yang mengejut-

kan. Sehingga seketika mereka menghentikan per-

tarungan.


“Orang-orang sinting! Apa yang kalian perbuat di 

sini?!” 

Bersamaan dengan habisnya bentakan itu, ber-

kelebat sesosok bayangan. Dalam sekejap mata 

sosok itu telah berdiri di antara mereka. Ternyata dia 

seorang lelaki tua yang wajahnya nampak begitu 

tenang. Di pundaknya tersampir sebilah pedang. 

Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan 

jenggot purih panjang dan berambut digelung ke atas 

itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya 

yang tampak tua terbalut jubah panjang berwarna 

putih. 

Semua yang ada di Hutan Kawi-kawi seketika 

menundukkan kepala, setelah tahu siapa lelaki tua 

yang baru datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah 

nama yang asing bagi mereka, terutama dari 

golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi 

sebagai Dewa Pedang. Hal itu karena kehebatan ilmu 

pedangnya, yang sampai saat ini belum tertandingi. 

“Kalian hanya saling bantai! Apakah kalian tak 

ingat kalau masih ada hal yang lebih penting?!” tanya 

Ki Badawi. 

Mereka masih terdiam, tak seorang pun yang 

berani menentang kata-kata lelaki tua itu. Meski 

mereka merasa belum tentu dapat dengan mudah 

dikalah oleh orang tua itu. Namun mereka merasa 

segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang 

begitu tersohor dengan Pedang Darahnya. 

“Sekarang dunia persilatan tengah kacau, dengan 

kehadiran bocah edan yang telah membunuh para 

pendekar!” tukas Ki Badawi. 

Ki Braga Kumba tersentak mendengar nama 

bocah edan yang tentunya Pendekar Gila. Orang tua 

berusia sekitar lima puluh lima tahun yang semula


diam itu angkat bicara. 

“Kurasa kau salah duga, Ki.” 

Ki Badawi menoleh dan menatap pada Ki Braga 

Kumba. 

“Apa yang kau katakan, Kumba!” bentaknya keras. 

“Maaf! Kurasa Ki Badawi telah salah tuduh. 

Pemuda gila yang kau maksudkan, tentunya 

Pendekar Gila, bukan?” 

“Benar!” 

“Salah! Kau salah besar jika menuduh dia 

pengacau, Ki.” 

“Jangan menggurui aku, Kumba!” bentak Ki 

Badawi gusar. Matanya semakin membelalak marah, 

merasa ucapannya telah ditentang oleh Ki Braga 

Kumba. Entah mengapa, lelaki yang semula arif dan 

penyabar itu kini nampak tak sabar dan cepat marah. 

Ki Braga Kumba mengerutkan kening. Dia merasa 

aneh dan tak mengerti dengan perubahan yang 

dialami Ki Badawi. Mungkinkah karena usianya yang 

telah tua, sehingga dia berubah? Tanya Ki Braga 

Kumba dalam hati. Ah, kurasa bukan karena usia. 

Tapi kurasa ada penyebar fitnah, yang menjadikan 

nama Pendekar Gila sebagai pembunuh keji. 

“Maaf, Ki. Kalau boleh aku jelaskan, Pendekar Gila 

itu bukanlah pengacau. Dia seorang pendekar yang 

melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi 

kalau kau menuduhnya sebagai pengacau, jelas itu 

salah besar!” kata Ki Braga Kumba berusaha 

meluruskan tanggapan Ki Badawi. 

“Cuih! Kau tahu apa, Kumba!” bentak Ki Badawi 

semakin gusar, merasa omongannya telah ditentang 

Ki Braga Kumba. “Rupanya kau berpihak pada iblis 

muda itu, heh?!” 

Merasa dibentak-bentak begitu, Ki Braga Kumba


yang semula menaruh rasa segan akhirnya marah 

juga. Terlebih tahu dirinya berada di pihak yang 

benar. 

“Bukannya aku yang berpihak pada iblis, Ki! Tapi 

Kaulah yang telah tersesat!” balas Ki Braga Kumba 

tak kalah geramnya. “Kaulah yang telah salah 

menuduh!” 

“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Kumba!” 

bentak Ki Badawi semakin gusar melihat keberanian 

Ki Braga Kumba. 

“Kenapa tidak! Kau yang dihormati para pendekar, 

rupanya telah pikun! Kau sesatkan kebenaran. 

Sedangkan kau benarkan yang sesat!” 

“Setan! Tutup bacotmu!” 

Ki Braga Kumba tersenyum sinis. 

“Aku akan menutup mulut, jika kau pun membuka 

mata!” jawab Ki Braga Kumba. 

Napas Ki Badawi mendengus pertanda marah. 

Matanya membelalak lebar, menatap tajam wajah Ki 

Braga Kumba yang tampak masih tenang. Sedang 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kini menyurut mundur. 

Mereka tidak ingin terlibat dengan urusan itu, karena 

mereka tidak ingin Ki Badawi sampai tahu mereka 

dari aliran sesat. 

Dengan perlahan-lahan, Tujuh Iblis dari Sarang 

Hantu meninggalkan tempat itu untuk meneruskan 

perjalanan mereka menuju Lembah Akherat. 

“Kau telah berani menantangku, Kumba! Jangan 

salahkan kalau pedangku akan bicara!” ancam Ki 

Badawi. 

Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum. 

Wajahnya masih penuh ketenangan. Tak gentar 

sedikit pun dia menghadapi orang tua di hadapannya 

yang namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik


mati untuk membela kebenaran, daripada hidup 

sesat! 

“Meski aku harus mati di tanganmu, aku tak akan 

memihak kesesatanmu!” sahut Ki Braga Kumba. 

“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumba!” 

Srat! Cring...! 

Ki Badawi menarik Pedang Darah. Seketika sinar 

merah darah membersit dari pedang itu. Bau amis 

darah tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi 

Rawit Abang. 

Pedang Darah kini telah keluar dari warangkanya 

berarti harus mendapatkan darah. Jika tidak, maka 

nyawa pemiliknyalah yang akan menjadi korban. 

Bergidik juga Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang 

menyaksikan pedang di tangan Ki Badawi. Namun 

mereka berada di pihak yang benar, tak seharusnya 

mereka takut menghadapi kematian. Semua 

pendekar tentu senantiasa harus mati. 

“Bersiaplah, Kumba!” 

“Aku telah siap!” jawab Ki Braga Kumba. 

“Begitu juga denganku!” sambut Nyi Rawit Abang. 

“Rupanya kalian mencari penyakit!” dengus Ki 

Badawi. 

“Kaulah yang mencari gara-gara, Orang Tua 

Pikun!” bentak Nyi Rawit Abang gusar, merasa 

kekasihnya dalam keadaan bahaya. Bagaimanapun 

juga dia harus membela Ki Braga Kumba. 

“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” Ki Badawi 

yang mata gelap segera berkelebat menyerang ke 

arah keduanya dengan membabatkan Pedang Darah. 

Keduanya berusaha mengelakkan serangan. Tapi 

kekuatan tarikan Pedang Darah di tangan Ki Badawi, 

menjadikan langkah mereka tersendat. Dahsyat 

sekali kekuatan tarikan pedang itu, dan....


Wut...! 

Cras! Cras! 

Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang seketika 

nemekik keras, ketika pedang di tangan Ki Badawi 

menebas leher mereka. 

“Pendekar Gila! Ke mana pun kau pergi, aku akan 

mencarimu!” seru Ki Badawi sambil mengacungkan 

Pedang Darahnya ke atas. Setelah puas dengan 

perbuatannya, Ki Badawi segera memasukkan 

pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu. 

***


TUJUH


Selang beberapa waktu kemudian, nampak seorang 

pemuda berpakaian rompi kulit ular melintasi Hutan 

Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi 

Rawit Abang tergeletak berlumuran darah dengan 

leher hampir putus. 

“Groook...!” 

Pendekar Gila tersentak, ketika telinganya men-

dengar suara dengkuran keras dari arah kanan jalan 

yang dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti, 

kemudian dengan kening berkerut kepalanya di-

telengkan berusaha mencari-cari suara tadi. 

“Grok...!” 

Suara itu kembali terdengar, begitu jelas. Seperti-

nya sangat dekat dengan temparnya. 

“Hm, suara apakah itu?” tanya Sena berusaha 

mencari asal suara yang berada di sebelah kanannya. 

Kakinya terus melangkah. Dan tiba-tiba hatinya 

tersentak kaget menyaksikan dua tubuh tergeletak 

berlumur darah. 

Dengan rasa penasaran, Sena melangkah per-

lahan-lahan. Wajahnya meringis menahan perasaan 

hatinya. Dan dia semakin tersentak, manakala me-

lihat gerakan tangan lemah lelaki tua yang belum 

dikenalnya. 

Tangan lelaki tua yang bergerak lemah itu, 

menuliskan serangkaian kata-kata di atas tanah yang 

ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan 

mata menyipit pemuda berompi kulit ular mem



bacanya. 

Saudara Pendekar Gila, 

Kami baru saja bertemu dengan Dewa Pedang 

Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena kau 

dianggap sebagai pengacau rimba persilatan. 

Hati-hatilah! 

Ki Braga Kumba 

Usai menulis kata-kata itu, tangan Ki Braga Kumba 

terkulai lemas. Napasnya yang semula ada, kini telah 

melayang meninggalkan raga. 

“Oh, sungguh baik budimu, Ki! Kau dalam keadaan 

sekarat masih berusaha mengingatkan aku,” gumam 

Sena dengan wajah sedih. “Tentunya kau telah 

membela nama baikku.” 

Mata Sena berkaca-kaca, tak mampu mem-

bendung kesedihan dan rasa haru melihat Ki Braga 

Kumba yang dalam keadaan sekarat masih berusaha 

memberitahukan adanya bahaya yang kini 

mengancam dirinya. 

“Terima kasih atas kebaikanmu, Ki! Kudoakan, 

semoga Hyang Widhi menerima arwahmu,” gumam 

Sena perlahan. 

Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian perlahan 

kepalanya ditundukkan untuk memberi peng-

hormatan pada kedua mayat yang telah berjasa 

padanya. Meski dia belum tahu siapa sebenarnya 

Dewa Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati 

tak mungkin dusta. 

Wajahnya ditengadahkan ke atas, menyapu ke 

dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan Kawi-kawi. 

“Siapakah Dewa Pedang itu?” gumam Sena


bertanya pada diri sendiri. “Ah, entahlah! Mengapa 

aku harus berpikir jauh. Aku tidak mencari lawan. 

Tapi lawan telah berada di hadapanku, apa salahnya 

meladeninya.” 

Usai memandangi kedua mayat itu, Pendekar 

segera menggali lubang untuk menguburkan kedua 

mayat itu. Dengan mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' 

dibuatnya lubang di tempat itu. Kemudian setelah 

menaruh kedua mayat ke dalam lubang, kembali 

Sena mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk 

menyapu gundukan tanah yang seketika menutupi 

kuburan itu. 

“Hyang Jagat Dewa Batara, kiranya keduanya 

dapat Kau terima di swargaloka,” desis Sena 

memanjatkan doa. 

Angin siang semilir, seperti turut berduka atas 

kematian kedua tokoh tua itu. 

Aku tak tahu, siapa sebenarnya Dewa Pedang. 

Mengapa dia mencariku? Rasanya antara dia dan aku 

tak ada sangkut paut apa-apa. Pikir Pendekar Gila 

merasa heran dan penasaran. 

Lama Pendekar Gila termenung, mencoba 

menerka-nerka siapa sebenarnya Dewa Pedang. 

Namun tidak juga dia mendapatkan jawaban. Selama 

ini, dia belum pernah mendengar nama Dewa 

Pedang. 

“Hi hi hi...!” Sena tertawa. “Lucu sekali aku ini 

Mengapa aku harus memikirkannya?” 

Dengan tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk 

kepala, Pendekar Gila kembali meneruskan per-

jalanannya. 

***


Sementara itu, di Lembah Akherat nampak Tujuh 

Iblis dari Sarang Hantu telah sampai. Ketujuh tokoh 

sesat itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman 

penghuni Pulau Karang Api yang telah memakan 

banyak korban. 

“Wahai penghuni Pulau Karang Api, keluarlah!” 

seru Sadra menantang. “Jangan hanya berani ber-

sembunyi! Hadapi Tujuh Iblis dari Sarang Hantu!” 

Seketika air Danau Sambak Neraka bergolak 

hebat Saat itu juga, dari dalam danau muncul dua 

ekor naga berwarna merah. Mata kedua naga itu 

membara merah, penuh amarah. 

“Ghrrr...! Hosss...!” 

Tanpa banyak tingkah, kedua naga merah yang 

berada di Danau Sambak Neraka langsung 

menyerang ke arah mereka dengan semburan api 

dari mata dan mulutnya. 

“Awas...!” seru Sadra mengingatkan pada keenam 

rekannya. 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu langsung 

berlompatan, berusaha mengelakkan serangan 

kedua naga itu. Dengan bersalto, mereka ber-

lompatan dan melakukan serangan balasan. 

“'Cakra Lingga'! Yeaaa...!” 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan cepat 

melepaskan pukulan sakti mereka. Dari tangan 

mereka tiba-tiba keluar sebuah sinar merah bersegi 

seperti cakra. Sinar berbentuk cakar itu melesat 

begitu cepat menuju kedua naga yang masih ber-

gerak menyerang. 

Wusss! Wusss...! 

Sinar merah berbentuk cakra itu terus melesat. 

Kedua naga itu pun menggerakkan kepala, meng-

elakkan serangan lawan. Namun tak urung, salah


satu dari naga itu harus merasakan pukulan 'Cakra 

Lingga' Tubuh naga api yang berada di sebelah barat 

terhantam pukulan itu. 

Busss! 

“Ghrrr! Hoaaah...!” 

Semakin bertambah marah kedua naga itu melihat 

salah satu dari mereka terkena pukulan. Kepala 

mereka yang bertanduk kini melayang ke angkasa, 

kemudian dengan cepat menyerang ke arah Tujuh 

Iblis dari Sarang Hantu. 

“Awas serangan!” kembali Sadra berseru. 

“Heaaat...!” 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali berlompatan 

mengelakkan serangan kedua naga itu. Nampaknya 

kedua binatang itu tidak berhenti sampai di situ. 

Keduanya terus bergerak melabrak ke arah Tujuh Iblis 

dari Sarang Hantu dengan patukan dan serudukan 

kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar 

dari mulut dan mata kedua ular raksasa itu terus 

menyembur. 

“Wosss! Wosss...! 

Lidah api kembali melesat keluar dari mulut kedua 

naga itu, menyerang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 

Mereka pun kembali berlompatan menjauhi 

semburan api yang semakin besar dan panas. 

Pertarungan antara dua binatang raksasa dengan 

Tujuh Iblis dari Sarang Hantu berlangsung dengan 

seru. Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 

bukanlah lawan sembarangan bagi kedua naga itu. 

Mereka mampu mengimbangi serangan-serangan 

yang dilancarkan oleh kedua naga merah itu. 

“Heaaa...!” 

“Wosss...!” 

Teriakan-teriakan melengking keras terus


terdengar dari mulut Tujuh Iblis dari Sarang Hantu, 

bersamaan dengan suara deburan air danau dan 

semburan api. 

Kepala kedua naga bergerak cepat, menyambar 

dan menyeruduk ke arah lawan-lawannya. Sesekali 

dari mulut dan mata kedua binatang itu menyembur-

kan api yang menyala, berusaha membakar tubuh 

ketujuh lawannya. 

“Uts! Hop! Hampir saja...!” pekik Saka Gulu sambil 

melompat mengelak. 

Hampir saja tubuh orang kedua dari Tujuh Iblis dari 

Sarang Hantu itu terkena hantaman kepala salah 

seorang naga yang menyerang mereka. Kemudian 

setelah luput dari hantaman kepala naga itu, Saka 

Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang 

berupa sabit 

“Heaaa...!” 

Tubuh Saka Gulu melesat ke atas, kemudian 

dengan cepat senjatanya diayunkan ke kepala naga 

yang menyerangnya. 

“Mampuslah kau, Naga Dungu!” 

Wut...! 

Kepala naga itu bergerak mengelak dengan cepat, 

seakan mengerti serangan yang datang. Kemudian 

dengan cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-

seimbangan setelah menyerang, naga berwarna 

merah itu menyodokkan kepala ke dadanya. 

Wusss...! 

Dugk! 

“Aaakh...!” 

Saka Gulu terpekik keras. Dadanya bagaikan 

dihantam batu sebesar gajah. Napasnya terasa 

sangat sesak dan tubuhnya terpental deras ke 

belakang. Tubuh itu terhenti, ketika menerjang


pepohonan di Hutan Kawi-kawi. Hanya sejenak dia 

mampu mengerang lalu diam tak berkutik lagi. Mati! 

Menyaksikan Saka Gulu tewas, keenam rekannya 

semakin marah. Mereka menyerang bersama-sama 

dengan pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan 

pengerahan ajian-ajian sakti sepert 'Geti Ireng' dan 

'Jambang Kalageni' keenam tokoh sesat itu berusaha 

membunuh naga api yang semakin garang 

menyerang mereka. 

Kini kedua naga yang semula berada di tengah 

Danau Sambak Neraka, telah keluar dan memburu 

keenam lawannya. Mereka pun bergerak mundur 

sambil tetap melakukan gerakan-gerakan untuk 

menyerang. 

Lembah Akherat yang semula sepi, seketika 

berubah menjadi riuh oleh suara pekikan dan 

geraman mereka. Tanah berpasir di Lembah Akherat, 

beterbangan menutupi tempat itu, ketika kaki-kaki 

mereka bergerak menyerang dan hembusan api naga 

itu. 

Pertarungan antara enam anggota Tujuh Iblis dari 

Sarang Hantu melawan kedua naga api dari Danau 

Sambak Neraka masih berlangsung seru. Sementara 

itu, tiba-tiba dari Pulau Karang Api, muncul sesosok 

tubuh kecil bersisik dengan mata menyala merah. 

“Ghrrr...!” 

Bocah kecil dengan tubuh bersisik itu nampaknya 

marah. Tubuhnya dengan ringan sekali berlari di atas 

air membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 

terbelalak heran menyaksikannya. 

“Lihat! Bocah sakti itu keluar!” seru Sadra. 

Semua mata kini memandang bocah kecil berusia 

sekitar sepuluh tahun yang tubuhnya penuh sisik. 

Matanya merah laksana mengandung api. Tubuh



bocah itu melayang, lalu menukik dengan kecepatan 

tinggi menyerang keenam lawan naga-naga api. 

“Ghrrr...!” 

“Tangkap bocah itu...!” seru Sadra. 

Mereka berusaha menangkap bocah sakti yang 

tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga sampai, kedua 

naga itu telah menghalangi mereka dengan meng-

ulurkan kepalanya. 

“Wosss! Ghrrr...!” 

Semburan api dari mulut kedua naga api, seketika 

menghentikan mereka untuk mengejar. Kini enam 

dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan 

mengelak dari semburan api yang dahsyat. Lalu 

dengan cepat mereka balik menyerang. 

Bocah kecil bertubuh penuh sisik itu tak mau 

tinggal diam, tubuhnya melenting ke udara. 

Kemudian dengan cepat mendarat pada salah 

seorang dari keenam orang itu. Lalu dengan gerak 

cepat, bocah bersisik itu menggigit leher lawannya. 

Crat! 

“Wuaaa...!” 

Lelaki berkepala botak itu menjerit kesakitan. 

tubuhnya sesaat mengejang, matanya melotot. 

Lubang besar kini nampak di lehernya. Sesaat 

tubuhnya sekarat, kemudian ambruk dengan tubuh 

berwarna merah. 

“Bocah setan! Kubunuh kau!” dengus Sadra 

geram, menyaksikan bocah bersisik dan berlidah ular 

itu menyerang ganas. Segera Sadra melesat ber-

maksud menyerang bocah itu dengan jurus 

pamungkasnya, 'Kelabang Geni. “Heaaa...!” 

Sadra mengebutkan bungkusan yang diambil dari 

balik bajunya. Saat itu, ribuan binatang berbisa, 

panjang, dan berkaki banyak melesat ke arah bocah



bersisik ular itu. 

“Mampuslah kau, Bocah Setan!” seru Sadra. 

Binatang-binatang berbisa itu melesat cepat mem-

buru bocah bersisik dan berlidah ular. Namun bocah 

itu nampak tenang menghadapi ratusan kelabang 

yanng hendak menyerangnya. Matanya semakin 

berkilau merah, kemudian dari matanya keluar 

larikan sinar merah menghantam kelabang-kelabang 

itu. 

Clarts...! 

Brups! 

Seketika kelabang-kelabang itu terpanggang jadi 

debu, dan jatuh berhamburan ke tanah berpasir. 

Terbelalak mata Sadra menyaksikan kehebatan 

bocah lelaki bersisik dan berlidah seperti ular itu. 

Saking terkejutnya, Sadra tidak menyadari kalau di 

belakangnya seekor naga menyerangnya. Maka.... 

Dugkh! 

“Aaa...!” 

Tubuh Sadra terlempar ke depan, dan melayang ke 

angkasa lalu jatuh ke air Danau Sambak Neraka. 

Tubuh Sadra menggelepar-gelepar, ketika ratusan 

ikan pemakan daging muncul dan memangsa tubuh-

nya. 

Melihat kematian Sadra, keempat kawannya ber-

usaha membalas. Namun rupanya kematian Sadra 

dan Saka Gulu mempengaruhi jiwa mereka. 

Keempat tokoh sesat itu kini serba canggung 

dalam menyerang. Namun begitu, mereka sepertinya 

pantang untuk menyerah. Kini keempatnya terbagi 

enjadi dua bagian. Dua menyerang ke arah bocah 

cilik bersisik dan berlidah ular, dua lainnya 

menyerang kedua naga raksasa itu. 

Pertarungan itu berjalan seru. Tapi serangan


seragan empat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 

tidak banyak berarti seperti ketika mereka masih utuh 

tujuh orang. Dan tiba-tiba.... 

Dugkh! 

“Wuaaa...!” 

Satu orang lagi terkena serudukan kepala naga 

api. Tubuh orang itu melayang deras, melambung ke 

angkasa dengan dada remuk bagaikan dihantam 

batu besar. Tanpa suara teriakan lagi, tubuh lelaki itu 

terjatuh di Hutan Kawi-kawi. 

Kini semakin bertambah melemah serangan tiga 

orang itu. Mereka semakin bertambah ciut nyalinya. 

Melihat keadaan lawan yang semakin terdesak, 

kedua naga dan bocah bersisik ular malah semakin 

ganas dalam menyerang. 

Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, kedua 

naga dan bocah penghuni Danau Sambak Neraka itu 

dapat mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat 

yang semula ramai kembali hening dan sepi. Hanya 

dua naga dan bocah kecil bersisik dan berlidah ular 

yang masih ada. 

Wusss! 

“Zssst...!” 

Kedua naga itu merendahkan kepalanya, men-

ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian setelah bocah 

kecil itu naik di atas kepalanya, kedua ular itu 

kembali melata dan mencebur ke dalam Danau 

Sambak Neraka. 

Bocah kecil itu tertawa-tawa senang, sepertinya 

mengerti kalau kedua naga itu adalah ayah dan 

ibunya. 

***


DELAPAN


Matahari semakin condong ke arah barat, pertandaa 

senja hampir tiba. Angin siang menginjak sore 

berhembus semilir, membuat suasana Lembah 

Akherat nampak sangat tenang. Padahal di tempat itu 

bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah. 

Burung-burung pemakan bangkai beterbangan di 

tempat itu, berputar-putar kemudian menukik. 

Seorang pemuda tampan berambut gondrong 

dengan kulit bersih, berbaju rompi kulit ular me-

langkah menyelusuri Lembah Akherat yang sepi. 

Matanya memandang penuh kekagetan, menyaksi-

kan mayat-mayat yang bergelimpangan. 

“Hm, benar-benar Lembah Akherat,” gumam 

Pendekar Gila dengan mulut nyengir, menyaksikan 

banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. “Seperti 

ada sesuatu yang membantai orang-orang ini.” 

Sena mengedarkan matanya ke sekeliling tempat 

yang sangat sepi itu. Matanya seketika tertuju ke arah 

pulau. Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau 

yang memijarkan warna merah, sepertinya pulau 

itulah yang merupakan pulau yang berapi. 

“Aha, itu kiranya Pulau Karang Api,” gumam 

Pendekar Gila sambil mengarahkan pandangannya ke 

Pulau Karang Api. 

Kaki Pendekar Gila melangkah menyelusuri 

Lembah Akherat dengan pelan dan hati-hati. 

Nampaknya dia memasang kewaspadaan, tidak mau 

gegabah dalam melakukan tindakan. Bagaimana pun,


dia tidak ingin mati sia-sia di tempat itu. 

“Ah, aneh sekali...!” gumam Sena. “Di sini nampak-

nya tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu, siapa yang 

telah membantai mereka?” 

Belum juga habis ketidakmengertian Pendekar Gila 

akan semua yang terjadi, seketika hatinya dikejutkan 

adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak 

Neraka. 

“Ghrrr...!” 

“Wosss...!” 

Pendekar Gila segera memandang ke Danau 

Sambak Neraka. Saat itu, dari dalam air danau 

muncul dua sosok berwarna merah menyala. Mata 

kedua binatang raksasa itu menyala laksana api, 

menatap tajam pada Pendekar Gila. 

“Wah! Rupanya kedua binatang inilah yang mem-

bantai mereka!” gumam Sena sambil nyengir kuda. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala. 

“Wosss...!” 

Kedua naga itu sepertinya marah dengan 

kehadiran Pendekar Gila di Lembah Akherat. Mata 

kedua binatang itu merah menyala, menatap tajam 

pada Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti 

kera. Kepala kedua naga itu bergerak-gerak. Sebentar 

tegak ke atas, kemudian ke bawah. Sepertinya ber-

usaha mengusir Pendekar Gila. 

“Aha, kalian ingin mengusirku! Ah, kurasa kalianlah 

yang harus pergi!” seru Sena masih berjingkrakan. 

Tangannya menggaruk-garuk ke tubuh dan mulutnya 

yang nyengir. 

“Wosss...!” 

Kedua naga itu kembali menggerak-gerakkan 

kepalanya, kemudian dengan mata merah membara 

kedua naga itu naik.


“Aha, rupanya kalian benar-benar mengusirku!” 

seru Sena seraya melangkah maju. Bukannya mundur 

menjauh, Sena justru mendekat. Hal itu membuat 

kedua naga itu bertambah marah. 

“Wosss! Ghrrr...!” 

Tiba-tiba kepala naga itu berdiri tegak, kemudian 

dari mulutnya menyembur api menyala ke arah 

Pendekar Gila. 

“Heits! Hi hi hi...!” 

Dengan cengengesan, Pendekar Gila segera 

mengelakkan serangan kedua naga itu. Kemudian 

dengan cepat dia berbalik menyerang dengan jurus 

'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melesat 

laksana terbang, kemudian tangannya bergerak 

memukul ke arah kedua lawannya. 

“Wosss...!” 

Kedua naga itu seakan mengerti lawan 

menyerang. Keduanya segera mengelakkan serangan 

yang dilancarkan Pendekar Gila dengan cara meliuk-

kan kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila 

luput dari sasaran. 

“Aha, rupanya kalian bisa silat juga!” gumam 

Pendekar Gila sambil terus melesat terbang, 

kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat'. Jurus itu sengaja digunakan-

nya, semata-mata untuk dapat mengelakkan 

serangan lawan. Kemudian dengan mengerahkan 

seperempat tenaga dalamnya, Pendekar Gila meng-

hantamkan pukulan keras dengan telapak tangan ke 

arah kedua naga itu. 

Wuttt..! 

Tubuh kedua naga itu terus bergerak, meng-

elakkan serangan yang dilakukan Pendekar Gila. 

Kemudian keduanya balas menyerang dengan


menyemburkan api dari mulut dan mata. 

“Wosss! Wosss...!” 

Api menyala-nyala menyerang Pendekar Gila. 

Dengan cepat Pendekar Gila berkelit mengelak. 

Kemudian dengan cepat pula pemuda berbaju rompi 

ular itu balas menyerang dengan serangkaian 

pukulan yang cepat ke arah tubuh kedua binatang itu. 

“Heaaa...!” 

Pekikan keras mengiringi serangan Pendekar Gila. 

Bugk! Dugk! 

“Wosss! Ghrrr...!” 

Serangkaian pukulan yang dilancarkan Pendekar 

Gila rupanya mengenai tubuh kedua binatang itu. 

Kedua binatang itu seketika mengerang marah, dan 

dengan sengit balas menyerang. Kepalanya bergerak 

meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar 

Gila. 

“Ghrrr!” 

Wusss...! Wut! 

Kedua naga yang tampak mulai marah itu terus 

menyerang Pendekar Gila dengan serudukan dan 

sabetan kepala serta ekor mereka. Namun dengan 

gesit dan cepat, Pendekar Gila mampu mengelakkan 

serangan kedua binatang raksasa itu. 

“Aha, kalian nampaknya marah, Sobat! Hi hi hi...!” 

Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila terus 

bergerak menyerang. Kali ini dengan jurus 'Si Gila 

Melebur Gunung Karang', Sena menyerang ke arah 

kedua lawannya. 

Tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke 

atas. Lalu kedua tangannya ditarik dengan menarik 

napas panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam, 

telapak tangannya dihantamkan ke arah kedua 

binatang raksasa itu.


“Heaaa...!” 

Wut, wut...! 

Dugk! Dugk! 

“Wosss! Ghrrrm...!” 

Erangan kesakitan seketika terdengar dari mulut 

kedua binatang itu. Tubuh mereka menggelepar-

gelepar, berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh 

kedua binatang itu terus berguling, sampai akhirnya 

nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka. 

Byurrr! Byurrr...! 

“Ghrrrmh....!” 

Kedua naga itu tampaknya sangat marah, merasa-

kan sakit di tubuh mereka. Tubuh mereka meng-

gelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak. 

Suasana riuh semakin bertambah riuh di Lembah 

Akherat. Suara erangan mulut kedua naga yang 

marah dan suara air akibat menggelepar-geleparnya 

kedua naga berwarna merah itu. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil ber-

jingkrakan seperti kera. Dengan tangan menggaruk-

garuk kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan 

menyaksikan kedua binatang itu mengelepar-gelepar 

kesakitan. Namun ternyata kedua binatang itu 

memiliki kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin 

keduanya telah hancur lebur menjadi debu terkena 

pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur 

Gunung Karang' 

“Ghrrrmh...! Hosss! Hosss...!” 

“Hua ha ha...! Menarilah kalian semua!” Pendekar 

Gila sambil tertawa-tawa menyaksikan kedua 

binatang itu masih bergolak dengan raungan yang 

menggelegar. 

***



Pendekar Gila masih berjingkrakan seperti seekor 

kera yang kegirangan sambil tertawa tergelak-gelak, 

ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api 

sebuah bentakan keras menggelegar. 

“Manusia sombong! Kau telah berani membuat 

keonaran di tempat ini! Kau harus mampus. 

Heaaat...!” 

Wusss...! 

Angin kencang bergulung-gulung melesat dari 

Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar Gila tersentak 

kaget. Namun, sesaat kemudian dengan 

cengengesan tubuhnya direbahkan ke bumi. Matanya 

membelalak ketika tahu pukulan apa yang dilontar-

kan penghuni Pulau Karang Api yang belum dia 

ketahui siapa benarnya. 

Pendekar Gila terkejut menyaksikan ajian berupa 

angin bergulung membadai. Ajian yang sama seperti 

yang dimilikinya. 

“Hei, 'Inti Bayu'?! Siapa yang telah menyerangku 

dengan ajian itu...?” gumam Sena sambil mengerut-

kan kening. 

Wusss...! 

Angin kencang bergulung-gulung kembali keluar 

dari Pulau Karang Api, meluncur ke arah Pendekar 

Gila. Tapi kini Sena telah mempersiapkan 

penyambutan serangan yang kedua. Dengan menarik 

napas dalam-dalam, kedua tangannya diangkat ke 

atas, lalu ditariknya ke dalam. Setelah angin itu 

mendekat, Pendekar Gila segera menghantamkan 

ajian 'Inti Bayu' nya. 

“Yeaaa...!” 

Wusss! 

Wusss...! 

Dua angin yang berasal dari satu kekuatan itu


bertemu, bergulung-gulung saling berusaha 

mengalahkan. 

“Kurang ajar! Dari mana kau menyadap ajianku?!” 

dari Pulau Karang Api terdengar suara bentakan 

keras menggelegar. 

Sena tersentak, namun segera dia tertawa ter-

gelak-gelak. 

“Hua ha ha...! Kau lucu sekali, hai orang yang 

belum menampakkan diri! Enak sekali kau bicara! 

Kau-lah yang telah mencuri dan menyadap ajianku!” 

balas Sena dengan suara keras. 

“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah 

Manusia!” 

“Aha, kurasa kau bukan manusia!” tukas Sena 

masih cengengesan. “Aha, mungkin kau sebangsa 

siluman! Atau dedemit. Hi hi hi...!” 

“Kurang ajar! Kaulah iblis!” dengus suara itu 

membentak. “Kau telah membuat keonaran di 

tempat ini!” 

Habis ucapan itu, seketika dari balik Pulau Karang 

Api melesat selarik sinar menyerang Pendekar Gila. 

“Heit!” 

Sena segera bersalto ke samping, kemudian 

dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si 

Gila Melebur Gunung Karang'. 

“Heaaa...!” 

Glarrr! 

“Ugkh!” Sena mengeluh, merasakan dadanya, 

agak sakit akibat benturan itu. 

“Ha ha ha...! Hebat juga ilmu 'Si Gila Melebur 

Gunung Karang'mu, Manusia...!” 

Terdengar suara menyebut nama jurus yang baru 

saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal itu tentu saja 

membuat Sena terbelalak kaget. Heran dan bertanya



tanya siapa sebenarnya orang atau makhluk yang 

bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu? Jurus-

jurus ilmu ajiannya hampir sama dengan ilmu yang 

dimiliki olehnya. 

“Hei, Siluman! Hi hi hi...! Dari mana kau tahu nama 

jurus pukulanku...?!” seru Sena seraya bangkit berdiri. 

“Ha ha ha...! Pukulanmu itu adalah ilmu-ilmuku 

Manusia! Dari mana kau mencurinya, heh?!” bentak 

makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya. 

“Weiii...! Enak sekali kau menuduh! Hi hi hi. Lucu! 

Lucu sekali kau!” 

“Terimalah ini, Manusia!” 

Wusss! 

Suasana di Lembah Akherat seketika berubah. 

Langit tertutup warna merah membara laksana api. 

Saat itu pula, Pendekar Gila tersentak. Dirasakan 

hawa panas menyengat tubuhnya. Sekelilingnya kini 

dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah 

terpanggang di atas bara api. 

“Ugkh...!” Sena mengeluh, merasakan hawa panas 

yang membakar sekujur tubuhnya. 

“Ha ha ha...! Tentunya kau belum memiliki ilmuku 

yang ini! Mampuslah kau, Bocah Manusia!” seru 

suara yang berasal dari balik Pulau Karang Api di 

tengah-tengah Danau Sambak Neraka. 

“Ukh! Aaakh...!” 

Sena mengeluh dan menjerit kesakitan. Badannya 

bagaikan dipanggang di atas api yang membara. 

Bayang-bayang kematian seketika melekat di 

benaknya. Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 

'Inti Salju' untuk melindungi tubuhnya dari panas yang 

membara. 

“Hhh! Hop...!” 

Sena menarik napas dalam-dalam, kemudian


tangannya digerakkan ke atas dan menyatu. Lalu 

kedua tangannya direntangkan ke samping, dan 

ditariknya dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di 

depan dada. 

'“Inti Salju'. Hop...!” 

Rasa panas yang semula menyengat bagaikan 

memanggang tubuhnya, seketika menghilang oleh 

hawa dingin yang telah dikerahkan Pendekar Gila. 

“Hebat! Rupanya kau telah menguasa 'Inti Salju', 

Bocah Manusia! Kau telah mencuri banyak ilmu-

ilmuku! Terimalah ini...!” 

Bersamaan dengan habisnya suara itu, seketika 

suasana di sekitar Pendekar Gila berubah. Suasana 

yang semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba 

dingin. Bahkan pepohonan yang ada di tempat itu, 

seketika kembali segar setelah layu oleh panas. 

Namun justru hal itu membuat Sena kian menggigil. 

Rupanya makhluk yang bersembunyi di balik Pulau 

Karang Api itu mengerahkan ajian 'Inti Salju', semakin 

membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi 

saat itu Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti 

Salju'. Rasa dingin menjadi berlipat ganda. 

“Sssh!” tubuh Pendekar Gila menggigil kedinginan. 

Wajahnya pucat pasi. “Bhrrr! Ah, rupanya dia 

mengerahkan 'Inti Salju.” 

“Ha ha ha...! Kau akan mampus, Manusia!” suara 

dari balik Pulau Karang Api. 

“Hhh! Ilmu iblis!” dengus Sena. Perlahan napasnya 

ditarik dalam-dalam, kemudian dengan suara meng-

gelegar, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'. 

“Heaaa...!” 

Wuttt...! 

Angin kembali menderu kencang, menyapu ke 

sekeliling tempat itu. Tangan Sena yang mengeluar


kan angin keras, bergerak cepat. Dan bersamaan 

putaran tangannya, angin badai pun keluar dengan 

begitu cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti 

sekitar tempat itu. 

“Hebat! Kau memang hebat, Manusia! Tapi kau 

belum tentu bisa selamat dari ini! Terimalah...!” 

Cletar...! 

Suara gemeletar nyaring mengiringi melesatnya 

benda berkilat. Kilatan benda terbungkus api itu 

mengarah ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat, 

Sena mencabut Suling Naga Sakti, kemudian dengan 

disertai pekikan menggelegar, melompat memapaki 

kilatan cambuk api yang menyerang ke arahnya 

dengan Suling Naga Sakti. 

“Heaaa...!” 

Wuttt...! Prat! 

Dua senjata sakti itu beradu keras, membuat 

suasana di sekitar tempat itu menggelora panas. 

Kilatan api yang membentuk cambuk melesat 

kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan Pendekar 

Gila berusaha memburunya. Suling Naga Sakti 

melesat terbang, membawa tubuh Pendekar Gila ke 

Pulau Karang Api. 

“Hiaaat...! Hop!” 

Pendekar Gila tersentak, ketika dari dalam goa 

besar itu terdengar suara desisan keras. Belum hilang 

rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar 

menerjang ke arahnya. 

“Hop!” 

Dengan cepat Sena melompat ke samping. Lalu 

dengan cepat pula melakukan serangan balasan ke 

dalam goa dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung 

Karang'. 

“Yeaaa...!”

Wut...! 

Bugk...! 

Terdengar suara pukulan mengenai sasaran. 

Bersamaan dengan itu, dari dalam goa muncul 

seorang bocah berkulit penuh sisik diikuti seekor 

naga yang tubuhnya terselimut api yang menyala-

nyala. 

“Kurang ajar! Berani benar kau ke tempat ini, 

Manusia!” bentak Naga Brahma dengan gusar. Naga 

yang kepalanya mengenakan mahkota itu menatap 

tajam pada Pendekar Gila yang menyurut mundur. 

Kaget juga Pendekar Gila melihat makhluk ular itu 

bicara seperti manusia. 

“Aha, rupanya kaulah penghuni Pulau Karang ini! 

Apa maksudmu membantai manusia?” tanya Sena 

sambil berjingkrakan dan tertawa-tawa, membuat 

Naga Brahma semakin membelalakkan matanya. 

“Manusia! Apa hubunganmu dengan kakakku, 

hingga kau memiliki ilmu-ilmu warisan kakakku Naga 

Sakti?!” bentak Naga Brahma. 

Belum juga Pendekar Gila menjawab, Suling Naga 

Sakti yang tergenggam di tangannya bergerak dan 

jatuh ke tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul 

dari Suling Naga Sakti, membuat Pendekar Gila 

tersentak kaget dan melompat mundur. 

“Ssszt...!” 

Terdengar desisan keras ketika asap tebal yang 

keluar dari Suling Naga Sakti berubah. Dengan cepat 

asap itu membentuk wujud sesosok binatang 

berwarna merah dengan tubuh diselimuti api. 

Binatang yang berupa seekor naga keemasan dengan 

kepala bermahkota itu terbentuk dari Suling Naga 

Sakti. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila 

terkejut bukan kepalang, tak menyangka kalau Suling


Naga Sakti yang menjadi senjatanya ternyata jelmaan 

dari seekor Naga besar. Malah besarnya dua kali lipat 

dari Naga Brahma. 

“Kakang Naga Sakti...!” seru Naga Brahma melihat 

sosok naga di hadapannya. 

“Ada apa kau menggangguku, Adik Naga Brahma?” 

“Oh...! Tak kusangka, kalau aku akan kembali 

bertemu denganmu, Kakang.” 

“Hm...,” gumam Naga Sakti. “Aku pun begitu Dik. 

Lama sudah kita berpisah.” 

Kedua naga itu saling menitikkan air mata. 

Kemudian keduanya bercerita sejak keduanya 

dikutuk oleh ayah mereka sampai akhirnya mereka 

kembali bertemu. Naga Sakti bersumpah mengabdi 

pada pendekar yang berbudi luhur untuk menegak-

kan kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan 

Naga Brahma, dia pun bersumpah akan menjaga 

orang yang benar, dari ancaman orang-orang sesat. 

Kemudian Naga Brahma menceritakan tentang 

peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau Sambak 

Neraka. 

“Dua orang manusia dengan membawa bayi 

merah berlari-lari dikejar oleh manusia-manusia 

durjana. Keduanya kuselamatkan, sedangkan 

kesepuluh resi yang wataknya bukan menunjukkan 

resi, kubunuh. Pasangan suami istri muda itu, kuubah 

wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran 

orang-orang jahat...,” tutur Naga Brahma mengenai 

siapa sebenarnya kedua naga yang ada di Danau 

Sambak Neraka. “Jelasnya, mereka terkena fitnah 

keji yang disebarkan Sumantri. Bahkan kini guru 

mereka memihak pada Sumantri.” 

“Hm, keterlaluan!” dengus Naga Sakti. “Jelas ini 

tidak bisa dibiarkan! Biarlah semua ini kita serahkan


pada Pendekar Gila dan anak angkatmu. Siapa nama 

anak angkatmu itu, Dik?” 

“Supit Songong, Kakang.” 

“Ya! Biarlah anak Anjasmara menuntut balas atas 

perbuatan paman gurunya yang biadab!” kata Naga 

Sakti. 

“Kalau memang begitu, aku pun menitipkan Supit 

Songong padamu selama di rimba persilatan, 

Pendekar Gila! Meski dia sama memiliki ilmu 

sepertimu, tapi pengalamannya tentu belum seperti 

dirimu,” kata Naga Brahma pada Sena. “Supit, 

ambillah lidahku. cabutlah...!” 

Supit Songong, bocah bersisik dan berlidah ular itu 

tanpa rasa takut mendekati mulut orangtua angkat-

nya yang menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah 

Naga Brahma. Seketika itu, berubahlah lidah sang 

Naga menjadi sebuah cambuk yang jika dilecutkan 

menjadi cambuk api. Itulah Cambuk Api Lidah Naga. 

“Aku titipkan dia padamu, Pendekar Gila,” kata 

Naga Brahma dengan suara dalamnya. 

“Aku akan berusaha, Paman,” sahut Pendekar 

Gila. 

“Baiklah, Dik. Aku harus pergi bersama Pendekar 

Gila,” usai berkata begitu, Naga Sakti kembali 

mengecil dan lenyap berubah ke wujud Suling Naga 

Sakti. 

“Kita pergi, Supit,” ajak Sena. Keduanya melesat 

meninggalkan Pulau Karang Api, tempat tinggal Naga 

Brahma. 

***


SEMBILAN


Malam dengan kegelapannya telah datang. Seluruh 

makhluk Tuhan seketika terkurung di dalam gelap-

nya. Pepohonan membisu, begitu juga dengan 

binatang. Hanya suara burung hantu yang masih 

terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara 

jangkrik yang bersahut-sahutan. 

Dua sosok tubuh berlari-lari ke arah Desa Pasut 

Piring tempat kediaman Sumantri. Kedua sosok tubuh 

itu, satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya 

tidak lain Pendekar Gila dan Supit Songong, bocah 

ular yang dirawat dan dididik oleh Naga Brahma. 

“Sebentar lagi sampai, Supit. Hati-hatilah, mereka 

kebanyakan licik,” tutur Sena ketika melihat gerak 

tangan Supit Songong yang berkata dengan bahasa 

isyarat. Sebenarnya Supit Songong tidak bisu, namun 

sepertinya bocah kecil itu tidak mau berkata-kata 

karena suaranya akan membuat seisi desa ter-

banguan. Tidak berapa lama kemudian, keduanya 

sampai di depan rumah Sumantri. 

“Siapa kalian?!” bentak salah seorang penjaga 

rumah Sumantri. Namun belum juga para penjaga itu 

mampu bergerak, Pendekar Gila telah menotok 

dengan pukulan jarak jauh. 

Tuk, tuk! 

“Ukh!” keluh para penjaga itu. Seketika tubuh 

mereka terkulai lemas. 

“Sumantri, aku datang dengan apa yang kau 

inginkan!” seru Sena.


Seketika puluhan senjata rahasia melesat dari 

balik pepohonan ke arah Pendekar Gila dan Supit 

Songong yang berdiri di halaman depan rumah 

Sumantri. 

Swing! Swing! 

“Supit, Awas...!” seru Sena mengingatkan sambil 

berjumpalitan mengelakkan serangan gelap lawan. 

Kemudian dengan geram, pukulan tenaga dalamnya 

dihantamkan untuk menghalau senjata beracun itu. 

Wusss! 

Swing! Swing! 

Senjata-senjata rahasia beracun itu seketika 

berbalik. Bersamaan dengan itu, dari balik 

rerimbunan pohon terdengar suara hujaman senjata-

senjata rahasia dan jeritan-jeritan kematian. 

Jlep! Jlep! 

“Wuaaa...!” 

“Aaa...!” 

Sena dan Supit Songong tertawa tergelak-gelak 

kegirangan. Tubuh mereka berjingkrak-jingkrak. 

Tingkah laku keduanya seperti orang gila. 

“Seraaang...!” 

Terdengar seruan Sumantri dari balik rerimbunan 

pohon. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan 

pohon berlompatan beberapa orang mengepung 

Pendekar Gila dan Supit Songong. Di antara mereka 

nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri, Iblis 

Selendang Ungu, Cakal Genala dan Cakil Gering, serta 

tiga orang dari rimba hitam lainnya. 

“Pendekar Gila! Akhirnya malam ini kau harus 

mampus!” dengus Jalna Kumilang. Sorot matanya 

tajam, menunjukkan dendam pada pemuda tampan 

itu. Sementara Sena masih cengengesan sambil 

menggaruk-garuk kepala.


“Aha, kau rupanya belum kapok, Ki? Baiklah, 

malam ini aku pun ingin mengirimmu ke neraka!” 

sahut Sena tenang. 

“Kurang ajar! Terimalah kematianmu! Heaaa...!” 

Jalna Kumilang yang sudah marah, segera maju 

menyerang ke arah Pendekar Gila, diikuti yang 

lainnya. Kini dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit 

Songong telah dikeroyok para tokoh persilatan aliran 

sesat. 

“Heaaat...!” 

Melihat keroyokan itu, Pendekar Gila tak mau 

tanggung-tanggung lagi. Segera ditariknya Suling 

Naga Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit 

Songong melolos cambuknya yang bernama Cambuk 

Api Lidah Naga. 

“Yeaaa...!” 

Cletar! Cletar...! 

Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong 

bergelemetar nyaring ketika dilecutkan. Saat itu juga 

cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang 

menyala terang. 

“Heaaa...!” 

Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur 

Gunung Karang' bergerak menyerang lawan. Sedang-

kan Supit Songong kini menggebrak dengan lecutan-

lecutan cambuknya yang dahsyat. 

Cletar! Cletar! 

Pertarungan dahsyat itu seketika terjadi dengan 

serunya. Mereka tidak segan-segan lagi mengeluar-

kan jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya. 

Sena dengan Suling Naga Sakti bergerak seperti 

orang gila, berjumpalitan dengan seruan-seruan 

konyolnya menyerang. Setiap tebasan sulingnya, 

menimbulkan desiran yang sangat panas. Hal itu


cukup menyentakkan lawan yang bermaksud 

menyerang ke arahnya. 

“Supit, cepat kau cari Sumantri!” perintah Sena 

sambil berusaha melindungi Supit Songong dengan 

jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar 

cepat, dengan Suling Naga Sakti menderu ke arah 

lawan-lawannya. 

Supit Songong segera melesat meninggalkan 

tempat itu untuk mencari Sumantri. Berkat pen-

ciumannya yang tajam, Supit Songong akhirnya 

dengan mudah menemukan Sumantri yang tersentak 

kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah 

ular itu. 

“Kau?! Kau bocah setan itu?!” pekik Sumantri, 

matanya membelalak. 

“Aku bukan bocah setan, Sumantri!” bentak Supit 

Songong. 

“Kau?! Kau tahu namaku?!” semakin kaget 

Sumantri mendengar bocah bersisik ular itu 

mengenal namanya. 

“Siapa yang tak kenal dengan manusia licik serta 

penjilat macam kau?! Kau memang pamanku, tapi 

tindakanmu membuat kedua orangtuaku sengsara!” 

dengus Supit Songong. 

“Siapa kau sebenarnya?” 

“Aku Supit Songong, anak Anjasmara dan Sambi. 

Keduanya kini menjadi Naga Api. Karena tindakanmu 

kami menderita, Sumantri!” 

“Tidak mungkin! Kau bocah setan!” 

“Terserah kau, Sumantri! Yang jelas aku datang 

untuk menyingkirkanmu dari muka bumi! Heaaat...!” 

Dengan suara menggelegar, Supit Songong ber-

gerak menyerang Sumantri. Terjangannya begitu 

keras dengan jurus 'Terjangan Kaki Naga'.


Melihat bocah bersisik ular itu menyerang, 

Sumantri yang tidak ingin mati sia-sia segera meng-

elakkan serangan Supit Songong. Kemudian dengan 

cepat pedangnya dicabut. Lalu dengan jurus 'Pedang 

Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha 

merangsek lawan. 

“Heaaa..!” 

“Yeaaa...!” 

Pertarungan antara Sumantri dan Supit Songong 

berlangsung dengan seru. Namun dilihat dari 

pertarungan itu, nampaknya Supit Songong mampu 

menguasai keadaan. Meski belum banyak 

pengalaman, ilmu silat Supit Songong lebih tinggi di 

atas Sumantri. Apalagi dia merupakan pewaris 

tunggal ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama 

dengan ilmu-ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau Naga 

Brahma menggunakan nama jurus dengan sebutan 

naga, sedangkan Pendekar Gila menggunakan jurus 

dengan sebutan Gila. 

Tubuh Supit Songong laksana seekor naga yang 

ganas, bergerak garang menyerang. Tangannya yang 

berkuku tajam beberapa kali menyambar ke wajah 

Sumantri. 

“Heaaa...!” 

Wut! 

“Heit...! Hop!” 

Sumantri dengan cepat bergerak mengelakkan 

serangan cakar lawan yang menggunakan jurus 

'Cakar Kuku Naga' Hampir saja wajahnya berantakan 

terobek cakaran kuku-kuku Supit Songong yang tajam 

dan mengerikan, kalau saja dia tidak segera 

mengelak. 

“Ghrrr! Heaaa...!” 

Merasa serangannya gagal, Supit Songong meng


geram marah. Kembali dengan penuh amarah, bocah 

yang kulit tubuhnya bersisik ini menggebrak lawan 

dengan cepat. 

Sumantri benar-benar dibuat kalang-kabut oleh 

gerakan kaki bocah itu. Apalagi pada awal mulanya 

dia sudah dihinggapi perasaan takut dan terlalu 

meninggikan bocah itu, yang membuat gerakannya 

menjadi kacau dan serba canggung. 

“Heaaat...!” 

Supit Songong melayang laksana naga terbang, 

kemudian dengan cakarannya, dia menyerang wajah 

Sumantri. 

Wuttt! 

Sumantri berusaha berkelit, kemudian membabat-

kan pedangnya ke tangan bocah itu dengan cepat. 

Hal itu membuat Supit Songong menarik cepet 

serangannya. Namun disusul dengan serangan 

berikutnya yang tak kalah cepat dengan jurus 'Naga 

Brahma Melebur Gunung Karang'. 

“Heaaa!” 

Dugk! 

“Ukh...!” 

Sumantri mengeluh, merasakan dadanya terasa 

sesak akibat hantaman pukulan lawan. Wajahnya 

pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 

Matanya membelalak, gigi-giginya beradu menahan 

marah. 

“Bocah setan! Kubunuh kau! Heaaa...!” 

Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya, 

Sumantri menyerang ke arah Supit Songong. Pedang-

nya berkelebat cepat, membuat jurus yang dinama-

kan 'Baling-baling Pencabut Nyawa'. 

Melihat lawan telah mengeluarkan jurus 

pamungkasnya, Supit Songong tidak tinggal diam. Dia


segera melolos Cambuk Api Lidah Naga. Kemudian, 

ketika tubuh Sumantri melesat ke arahnya, tak segan-

segan lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke 

arah lawan. 

“Ayah, ibu! Semoga kalian tenang! Heaaa...!” 

Cletar! 

“Wuaaa...!” 

Sumantri menjerit keras dan melengking ketika 

Cambuk Api Lidah Naga melecut ke tubuhnya. 

Cambuk yang telah berubah menjadi cambuk api itu 

membelit dan membakar sekujur tubuhnya. 

Kemudian dengan sekali hentakan, Supit Songong 

melemparkan tubuh Sumantri dengan cara meng-

gerakkan Cambuk Api Lidah Naga ke luar. 

“Heaaa...!” 

Tubuh Sumantri yang sudah hangus itu terlempar 

dan jatuh di tengah-tengah pertempuran Pendekar 

Gila melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut 

menyaksikan tuannya telah tewas dengan tubuh 

gosong menjadi arang. 

“Bocah setan itu telah membunuh Tuan Sumantri!” 

seru Jalna Kumilang membelalakkan mata tegang. 

Semua tokoh hitam yang mengeroyok Pendekar 

Gila seketika terpaku dengan nyali yang menciut. 

Sumantri yang mereka takuti dan segani dengan 

mudah dapat dibinasakan. 

Sementara itu pula, Supit Songong melesat ke 

luar. Langsung menggebrak dengan Cambuk Api 

Lidah Naganya. 

Cletar! Cletar...! 

Prat! Prat...! 

“Wuaaa!” 

“Aaakh...!” 

Pekikan kematian seketika terdengar susul


menyusul, membelah keheningan malam. Pendekar 

Gila hanya terlongong bengong, menyaksikan 

kehebatan Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit 

Songong. Dalam sekejap saja, tujuh orang anak buah 

Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali lecutan. 

“Semuanya telah usai, Supit,” kata Sena. 

“Benar, Kakang,” sahut bocah berusia sepuluh 

tahun itu. “Kini semua telah terbalaskan. Semoga tak 

ada lagi kejahatan.” 

Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan 

kepala, membuat Supit Songong mengerutkan kening 

tak mengerti. 

“Supit, selama dunia masih berputar, kejahatan 

akan selalu ada. Di mana-mana, setan akan berusaha 

mengalahkan manusia dan memperbudak manusia. 

Di saat itu pula, kejahatan akan hadir,” tutur Sena. 

“Kalau begitu, aku ingin ikut Kakang untuk turut 

serta menumpas kejahatan,” kata Supit Songong 

berapi-api, sebagaimana layaknya bocah kecil. 

Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk 

garuk kepala. 

“Tidak mungkin, Supit! Kau masih kecil. Belum 

waktunya kau mengembara di rimba persilatan. Kau 

harus kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke 

sana,” ajak Sena. 

“Tapi, Kakang....” 

“Sudahlah, kau harus kembali dulu ke Paman 

Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana Paman 

Naga Brahma memutuskan, ayo!” ajak Sena sambil 

menggandeng tangan Supit Songong meninggalkan 

tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat, 

meninggalkan rumah Sumatri yang sepi dan senyap, 

dan hanya tinggal mayat-mayat yang bergelimpangan. 

Selang beberapa waktu kemudian, nampak


seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut 

putih di gelung serta jenggot panjang datang ke 

rumah Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya 

bertengger sebuah pedang, tiada lain Dewa Pedang. 

Mata Ki Badawi membelalak, menyaksikan murid 

dan orang-orangnya mati mengenaskan. 

“Kurang ajar! Pendekar Gila, ke mana pun kau 

pergi, aku akan mencarimu! Kubunuh kau, Pendekar 

Gila...!” serunya lantang penuh amarah. Kemudian 

dengan masih diliputi rasa marah, Dewa Pedang 

berlari meninggalkan tempat itu. 

Bagaimana dengan ancaman Dewa Pedang pada 

Pendekar Gila? Apakah Dewa Pedang benar-benar 

akan membunuh Pendekar Gila? Mungkinkah salah 

paham antara Dewa Pedang dan Pendekar Gila 

diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila 

selanjutnya dalam judul “Pembalasan Dewa Pedang”, 



                       SELESAI 

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar