SATU
Angin pagi berhembus tidak seperti biasanya. Pagi ini,
di sekitar Danau Sambak Neraka angin bertiup
sangat keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Angin tiba-tiba bagaikan mengamuk, menerbangkan
debu dan dedaunan kering.
Danau Sambak Neraka yang terletak di sebelah
selatan Desa Krasak, pagi itu masih tertutup kabut
tebal yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya
angin bertiup sangat kencang seperti ini. Biasanya
angin bertiup tenang, menghembuskan hawa pagi
yang sejuk dan segar, yang akan menambah
kenyamanan suasana pagi.
Pagi yang biasanya cerah tiba-tiba berubah
menjadi suasana yang mencekam dan menakutkan.
Suasana aneh yang rasanya laksana berada di dalam
kematian alam akherat.
Sementara itu, dari arah timur nampak sesosok
tubuh wanita membopong seorang bayi yang masih
merah. Wanita yang nampaknya habis melahirkan itu
berlari-lari seperti ada sesuatu yang dicarinya.
Wajahnya nampak pucat. Seperti memendam
ketakutan. Sesekali menoleh ke belakang, me-
mandang ke arah timur. Seakan ada sesuatu yang
dikhawatirkannya.
Air mata wanita yang mengenakan pakaian hijau
lumut berparas cantik dengan rambut diikat ekor
kuda itu, meleleh di kedua pipinya.
“Kakang Anjasmara, bagaimana nasibmu,
Kakang?” keluh wanita cantik yang bernama Sambi,
sambil terus berlari dengan tangan masih meng-
gendong bayi. Sementara bayi di gendongannya
terdengar menjerit-jerit tiada henti.
“Oaaa...! Oaaa...!”
“Cup, Sayang...! Cup...!” Sambi berusaha me-
nenangkan bayinya yang terus menangis. Bayi itu
seperti mengerti kalau ayah dan ibunya dalam
keadaan menderita. Sesaat tangisnya berhenti.
Namun kemudian terdengar kembali menjerit-jerit,
seperti ikut merasakan cekaman rasa takut ibunya.
Sementara itu pula, dari kejauhan nampak se-
orang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut
terurai panjang, tengah menghadapi sepuluh orang
berpakaian kembar warna ungu yang mengeroyoknya
dengan senjata berupa toya.
Lelaki tinggi tegap berwajah tampan itu tiada lain
Anjasmara. Sedangkan kesepuluh lelaki dengan
pakaian ungu dan berkepala botak itu, ternyata Dasa
Toya Kuil Merak. Mereka merupakan para resi dari
Kuil Merak.
“Menyerahlah, Anjasmara! Kau harus memper-
tanggungjawabkan tindakanmu!” seru resi pertama,
bernama Kopayana. Orang itu bertubuh tinggi kurus
dan agak bungkuk. Matanya tajam, berhidung
mancung seperti paruh betet, dan berjanggut
panjang.
“Ya! Kau harus bertanggung jawab pada Ki
Badawi, karena kau telah melarikan anaknya!”
sambut Resi Udayana, lelaki bertubuh pendek dengan
perut gendut. Wajahnya panjang seperti ular, dengan
alis mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung
seperti resi pertama.
“Itu bukan urusan kalian!” sahut Anjasmara. “Aku
bukan menculik Sambi. Kami saling mencintai!”
“Tak peduli! Yang jelas kau telah merebut Sambi
dari calon suaminya! Kau harus bertanggung jawab
atas perbuatanmu!” bantah Resi Sadayana, lelaki
berbadan besar dengan wajah garang ditumbuhi
kumis tebal melintang.
“Cuh! Enak saja kalian bicara! Sumantri-lah yang
telah merebut Sambi dari tanganku!” sentak
Anjasmara sengit, dituduh kalau dirinya merebut
Sambi dari Sumantri. Padahal antara dirinya dan
Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak sama-
sama di Perguruan Pedang Darah.
Pertarungan Anjasmara melawan kesepuluh resi
yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak nampak seru.
Meski menghadapi sepuluh orang yang berilmu
lumayan, Anjasmara yang merupakan murid kedua
dari Perguruan Pedang Darah nampak tak mengalami
desakan yang berarti. Bahkan serangan-serangan
yang dilancarkannya cukup mengejutkan kesepuluh
resi berbaju ungu itu.
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya
Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari kita kembali
pada kejadian sepuluh tahun yang silam! Ketika itu
ketiganya masih menjadi satu dalam didikan seorang
tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi atau
Dewa Pedang.
Sumantri, Anjasmara, dan Sambi merupakan
kakak beradik pada Perguruan Pedang Darah.
Ketiganya dididik dan digembleng oleh guru sekaligus
orangtua angkat mereka yang bernama Ki Badawi.
Ki Badawi merupakan orang tua yang paling
sayang terhadap anak-anak telantar. Ki Badawi
menemukan Sumantri dan Anjasmara ketika tengah
berlanglang buana. Dua bocah kecil tampan yang
entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena
kasihan, dibawanya pulang. Kemudian dirawat.
Selang beberapa hari kemudian, ketika Ki Badawi
kembali dari bepergian, dia menemukan seorang
bocah perempuan kecil tengah menangis di tengah-
tengah amukan api.
Ki Badawi yang melihat bocah kecil menangis di
antara gelimpangan mayat warga Desa Pasuruhan,
segera mengambil anak itu. Kemudian membawanya
pula ke perguruan yang berada di Bukit Cagar Buana.
Dididik dan diasuhnya ketiga anak itu dengan
penuh kasih sayang. Sehingga tumbuhlah ketiganya
menjadi dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi
yang tampan dan cantik jelita. Yang lelaki diberi nama
Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang perempuan
bernama Sambi.
Semenjak kecil, di antara mereka memang
senantiasa terjadi perselisihan. Dari dulu, Sumantri
yang memiliki watak ingin menang sendiri, selalu
berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun
Anjasmara tidak bisa dikalahkan begitu saja.
Sikap ingin menang sendiri selalu ditunjukkan
Sumantri, baik di setiap latihan, maupun ketika
melakukan kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi
menganggap persaingan itu hal yang biasa saja,
karena mereka masih anak-anak. Biasanya anak-
anak kecil memiliki sikap ingin menunjukkan
keunggulan dirinya.
Persaingan antara Sumantri dan Anjasmara ber-
langsung terus-menerus tiada henti. Sampai mereka
sama-sama tumbuh menjadi pemuda. Pemuda
dewasa yang gagah dan tampan, persaingan terus
terjadi.
Pada masa ini, kedua pemuda tampan itu tidak
lagi bersaing untuk membuktikan ketinggian ilmu
mereka. Sumantri menyadari kalau ilmu yang
dikuasainya tidak sehebat milik saudara angkatnya
itu. Karena Sumantri memang tidak setekun
Anjasmara. Dirinya sering kurang giat dalam berlatih.
Di samping sering merasa manja dan besar kepala
karena Ki Badawi memang lebih menyayangi dirinya
ketimbang terhadap Anjasmara maupun Sambi.
Kini Sumantri berusaha hendak mendapatkan adik
angkatnya yang cantik jelita itu. Beberapa kali
Sumantri berusaha mendekati Sambi, tapi gadis
cantik yang juga memiliki ilmu pedang itu terus
berusaha menolaknya.
Sampai pada suatu hari, ketika Sambi tengah
mandi di sebuah pancuran, diam-diam Sumantri
mengikutinya.
Sambi yang tidak menduga kalau Sumantri
mengikutinya, tanpa segan-segan membuka
pakaiannya. Kemudian dengan bernyanyi-nyanyi
tubuhnya dicemlungkan ke kubangan air pancuran.
Menyaksikan pemandangan yang menggiurkan,
darah lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kumis
menghias di atas bibirnya itu seketika bergolak
laksana air pancuran. Lelaki muda berpakaian abu-
abu tanpa lengan dan berambut panjang dengan ikat
kepala kulit macan tutul itu, merasakan getaran yang
dahsyat dalam jiwanya.
Hampir saja dia melakukan sesuatu yang tercela.
Namun tiba-tiba Sumantri ingat akan segala petuah
gurunya.
“Jika kau mencintai seseorang, katakanlah dengan
kejujuranmu! Aku akan bangga, memiliki anak yang
menjunjung tinggi kehormatan kaum yang lemah.”
Sumantri tersentak dan mengurungkan niatnya
memperkosa Sambi. Bergegas dia pulang ke
perguruan. Ketika dilihatnya Anjasmara sedang
bekerja membelah kayu, Sumantri tersenyum sinis.
Namun Anjasmara tak menggubrisnya, dia tetap
membelahi kayu-kayu yang akan digunakan untuk
memasak. Namun ketika Sumantri masuk ke rumah
gubuk tempat gurunya berada, seketika perasaan
lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini berubah.
Pemuda tampan berhidung mancung dengan
kumis tipis menghias di atas bibirnya, dan bermata
tajam laksana mata burung elang itu menghentikan
pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Entah mengapa,
seketika dia ingin tahu apa yang sedang diadukan
Sumantri pada Ki Badawi.
Dengan hati-hati, Anjasmara berusaha mendengar
aduan yang tengah disampaikan Sumantri pada guru
mereka. Matanya terbelalak, ketika mendengar apa
yang tengah diadukan Sumantri pada Ki Badawi.
“Guru, terus terang aku mencintai Sambi. Kuharap
Guru sudi menjodohkan kami, karena kami sama-
sama mencintai,” kata Sumantri berdusta.
Anjasmara menarik napas dalam-dalam. Seketika
perasaannya bergemuruh riuh tidak karuan.
Benarkah Sambi juga mencintai Sumantri? Tanya
Anjasmara dalam hati. Sungguh wanita murahan jika
dia membagi cintanya untuk Sumantri dan diriku.
Anjasmara kembali memusatkan perhatiannya
pada pembicaraan gurunya dan Sumantri.
“Apa kau tak salah ngomong, Mantri?” tanya Ki
Badawi.
“Tidak, Guru. Aku yakin kalau Sambi mencintaiku.”
“Kau sudah mengatakan padanya?”
“Sudah, Guru. Bahkan jika Guru merestui, Sambi
bersedia menikah secepatnya,” jawab Sumantri
berbohong, berusaha meyakinkan gurunya.
Dari dalam terdengar helaan napas Ki Badawi.
Sepertinya orang tua berambut digelung seperti para
resi dengan pakaian jubah putih itu dalam keadaan
bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering
melihat Sambi bersama Anjasmara ngobrol. Itu yang
meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi mencintai
Anjasmara, bukan Sumantri! Tapi kini, tiba-tiba
Sumantri mengatakan kalau dirinya dan Sambi telah
sepakat untuk menjadi suami istri.
Kurang ajar kau, Sumantri! Dengus Anjasmara
dalam hati. Celaka kalau guru sudah membicara-
kannya pada Sambi. Gadis itu tentu akan menurut
apa kata Guru!
Karena dihinggapi rasa takut kalau Sambi akan
menurut kata-kata guru mereka, Anjasmara yang tahu
bahwa Sambi sedang mandi, segera berlari ke
pancuran. Dia tidak ingin Sambi dimiliki oleh
Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah terhadap
Sumantri. Haruskah kini dia juga mengalah? Padahal
masalah ini sangat penting, karena menyangkut
harga diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin
kalut.
“Kakang, ada apa kau menyusul ke sini?” tanya
Sambi ketika melihat Anjasmara menyusul dirinya
saat mandi di pancuran.
“Cepatlah naik, Sambi! Aku ingin bicara dengan-
mu,” sahut Anjasmara buru-buru.
“Nampaknya kau tak sabar, Kakang. Kenapa...?”
tanya Sambil masih belum memahami apa yang
membuat pemuda tampan kekasihnya itu tampak tak
sabar, tidak seperti biasanya. Biasanya Anjasmara
nampak tenang dan sabar. Dan karena sikapnya yang
tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi
kekasihnya.
“Naiklah, Sambi!” perintah Anjasmara semakin tak
tenang.
Dengan wajah diliputi perasaan heran, Sambi pun
menurut. Sampai-sampai ia lupa kalau tubuhnya
dalam keadaan telanjang.
“Ada apa, Kakang?” tanya Sambi.
“Pakailah pakaianmu dulu!” sahut Anjasmara
setelah terpaku memandangi keadaan tubuh
kekasihnya yang mulus dan kuning langsat.
“Heh...! Oh! I... iya. Aku sampai lupa.”
Sambi agak kaget dan malu. Lalu cepat-cepat
menutup bagian terlarang di tubuhnya dengan
tangan. Kemudian, kakinya melangkah untuk meng-
ambil pakaiannya yang tergeletak di atas batu yang
permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru
pakaiannya segera dikenakan.
“Ada apa?” tanya Sambi setelah mengenakan
pakaiannya. Matanya memandang penuh keheranan
pada pujaan hatinya yang kelihatan gelisah. “Kau
tampak gelisah, Kakang. Katakanlah! Apa yang
terjadi?”
Anjasmara menghela napas panjang.
“Benarkah kau telah bersepakat akan menikah
dengan Sumantri?”
“Hah?! Apa...?!” Sambi terkejut mendengar
pertanyaan kekasihnya. Keningnya berkerut, matanya
memandang tak berkedip ke wajah Anjasmara.
“Siapa yang berkata begitu, Kakang?”
“Sumantri. Dia mengadu pada guru dan meng-
inginkan agar guru merestui pernikahannya dengan-
mu,” sahut Anjasmara agak marah.
“Oh! Mengapa Kakang Sumantri berbuat itu?
Tidak, Kakang! Cintaku hanya untukmu. Ke mana pun
kau bawa, aku akan menurut. Aku hanya ingin
mengabdi padamu,” keluh Sambi berusaha meyakin-
kan kekasihnya.
“Kalau begitu, sebelum guru dan Sumantri
melakukan semuanya, sebaiknya kita minggat dari
sini!” ajak Anjasmara.
Sambi pun setuju dengan tekad itu. Tanpa
sepengetahuan Ki Badawi dan Sumantri keduanya
meninggalkan Bukit Cagar Buana yang berada di sisi
Hutan Prajawelerang.
Waktu berlalu. Keduanya menjadi satu dalam
hidup. Sampai akhirnya pasangan Anjasmara dan
Sambi dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil.
Sementara, kabar tentang Sumantri dan Ki Badawi
tak pernah terdengar di telinga mereka berdua.
Sampai pada akhirnya, entah dari mana sumbernya,
banyak para tokoh persilatan mencari Anjasmara dan
Sambi. Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk
menangkap Anjasmara dan Sambi. Hingga Anjasmara
dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi kecil itu
harus lari untuk menyelamatkan diri, meninggalkan
Hutan Semar Kembar tempat keduanya bersembunyi
selama ini.
***
Pertarungan Anjasmara yang bersenjatakan
pedang melawan Dasa Toya Kuil Merak masih ber-
jalan seru. Nampaknya murid dan anak angkat Ki
Badawi bukanlah lawan yang enteng bagi kesepuluh
resi dari Kuil Merak itu. Bahkan beberapa kali
Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh
lawan-lawannya.
Dengan jurus 'Lingkaran Pedang Sinar' Anjasmara
mampu membuat kesepuluh resi yang berusaha
menangkapnya kalang-kabut. Dan mau tak mau
mereka harus melompat ke belakang mengelakkan
dan menjauhi serangan pedangnya.
“Heaaa...!”
“Setan!” maki Resi Narayana kaget sambil
melompat mundur, mengelakkan babatan pedang
lawan yang cepat, sehingga mampu membuat
gerakan memutar membentuk lingkaran. Namun....
Wuttt!
Brettt!
“Uts! Setan gundul...!” maki Narayana sengit,
ketika pakaian resinya sobek terkena sabetan pedang
Anjasmara. Lelaki botak dengan hidung pesek itu
mengumpat dan mencaci-maki dengan kesal. Kalau
saja dia terlambat mengelak, sudah pasti perutnya
yang agak buncit itu terkena sabetan pedang
Anjasmara.
“Bedebah! Rupanya tikus ini minta mampus!”
dengus Andayana sengit, menyaksikan kemampuan
lawan. Toya di tangannya diputar cepat dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'. Dari putaran toyanya,
keluar angin kencang yang dahsyat.
Menyaksikan Andayana telah memutar tongkatnya
dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang Bayu',
kesembilan resi lainnya serentak melakukan hal yang
sama.
“Kuremukkan batok kepalamu, Tikus Busuk!”
dengus Resi Dupayana. “Heaaa...!”
Lelaki botak bertubuh kurus dan jangkung dengan
mata juling itu menggebrak ke arah lawan, diikuti oleh
rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'.
“Hiaaat...!”
Wuttt!
“Heaaa...!”
Teriakan-teriakan nyaring mengawali serangan
Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan.
“Yeaaa...!” Anjasmara yang merasakan angin
keluar dari toya mereka, dengan cepat mengubah
jurus pedangnya. Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin
Menerjang Belantara', dia menghadang serangan
kesepuluh lawannya.
Siiing...! Siiing...!
Pertempuran kembali berjalan dengan seru.
Dengan jurus andalan, para resi itu berusaha
mendesak Anjasmara. Toya di tangan Dasa Toya Kuil
Merak bergerak cepat, hingga menimbulkan angin
yang keras dan menyentak.
Wuttt! Wuttt!
Wusss...!
Dasa Toya Kuil Merak nampaknya tidak mau
mengalami kekacauan serangan mereka seperti tadi.
Kesepuluh resi itu terus bergerak dengan kompak.
Satu menyerang, yang lainnya bergerak melindungi
dan ganti menyerang. Gerakan mereka begitu serasi
dan susul menyusul dengan jurus 'Dasa Merak
Terbang dan Hinggap Sambil Mematuk'.
Seorang dari Dasa Toya Kuil Merak menyerang
dengan cepat, kemudian dengan cepat pula tubuhnya
merunduk. Dari belakang melesat di atas tubuh
rekannya, lalu menyerang ke tubuh Anjasmara. Begitu
seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah
menyerang, segera merundukkan tubuh untuk
dilompati rekannya untuk menyerang lawan.
“Hiaaat...!”
Wuttt! Wuttt!
Hebat juga jurus 'Dasa Merak Terbang dan
Hinggap Sambil Mematuk'. Dengan jurus itu,
kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu mendesak
Anjasmara. Sehingga pendekar pedang dari
Perguruan Pedang Darah itu harus menguras tenaga
untuk dapat mengelakkan serangan beruntun dan
susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu.
“Uts! Celaka...! Ilmu apa yang digunakan
kesepuluh resi ini?” tanya Anjasmara setengah
mengeluh lirih sambil bergerak mengelakkan
pentungan toya kesepuluh resi berkepala botak itu.
Dia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk balas
menyerang ke arah lawan-lawannya.
Dasa Toya Kuil Merak tak pernah berhenti
menyerang. Satu menyerang, yang lainnya menyusul
dengan serangan yang sama dan cepat. Hal itu cukup
merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri.
Terlebih tenaganya terkuras dalam pertarungan yang
berjalan lama.
“Menyerahlah, Tikus Busuk!” seru Resi Indrayana
sambil menggerakkan toyanya menyerang.
Wuttt!
“Benar! Menyerahlah, agar kau tak mati percuma!”
sambung Resi Trijayana seraya melompat meng-
gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki berusia sekitar
tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal melintang,
serta badan gendut itu terus merangsek ke arah
Anjasmara.
“Cuh! Kalianlah yang busuk! Kalian telah berlaku
tidak selayaknya sebagai para resi. Hanya karena
tergiur hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri
keparat itu, kalian rela melepas kedudukan sebagai
resi!” dengus Anjasmara tak mau kalah.
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!”
bentak Resi Warayana. Mata lelaki bertubuh kaku ini
nampak garang. Hidungnya yang besar kembang-
kempis, dengan napas mendengus marah.
“Kupecahkan batok kepalamu, Setan!” sambung
Resi Ragayana. Bergantian dengan Resi Warayana,
Resi Ragayana menyerang ke arah Anjasmara.
Serangan mereka semakin gencar dan dahsyat,
mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Ketika petarungan masih berjalan sengit, dan
Anjasmara dalam keadaan terdesak, tiba-tiba angin
badai berhembus dahsyat menggulung tempat
pertempuran.
Wusss...!
“Wuaaa...!”
Kesepuluh resi itu berusaha mengelakkan
terjangan angin yang datangnya sangat kencang,
namun gerakan mereka terlambat. Akibatnya, tubuh
berpakaian ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh
mereka mencelat ke belakang laksana terbang.
Anjasmara tersentak kaget. Matanya terbelalak
ketika tiba-tiba di dalam gulungan angin yang
membentuk pusaran itu terlihat sosok wanita yang
sudah sangat dikenalnya.
“Sambi...!” seru Anjasmara sambil berlari
memburu angin besar yang berpusar dan bergerak
mengelilingi Sambi yang menggendong bayinya.
“Ka..., Kakang...!”
“Sambi...!”
Anjasmara terus berlari dengan wajah cemas,
menyaksikan istri dan anaknya dalam kekuasaan
angin besar yang terus menggulung keduanya.
Dengan nekat, Anjasmara segera menerobos masuk
ke putaran angin kencang itu.
“Sambi...!”
Seketika tubuh Anjasmara ditelan pusaran angin
besar di mana istri dan bayinya berada. Angin besar
bergulung-gulung itu terus berputar. Tapi anehnya,
setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin
itu bergerak meninggalkan tepian Danau Sambak
Neraka. Angin itu terus bergerak ke arah air danau
yang sangat dalam.
Byurrr! Byurrr...!
Tubuh Sambi dan Anjasmara jatuh ke dalam air
Danau Sambak Neraka. Bayi dalam pelukan Sambi
pun tetap dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun
suara tangisnya. Mereka terus dibawa ke tengah
danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun
Anjasmara, tak mengerti akan dibawa ke mana diri
mereka.
Ternyata angin bergulung dan berputar-putar itu
terus mengusung mereka ke Pulau Karang Api yang
berada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
Semakin dekat tampaklah pulau itu menyala merah
laksana api. Dan karena itulah pulau itu dinamakan
Pulau Karang Api.
Sementara itu, tubuh Anjasmara dan Sambi yang
tercebur ke Danau Sambak Neraka seketika meng-
alami perubahan. Tubuh mereka memanjang. Wajah
mereka kini pun berubah, dengan mulut moncong ke
depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala
mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang memanjang
perlahan-lalian ditumbuhi sisik. Keduanya kini
berubah menjadi dua ekor naga berwarna merah
dengan mata yang membara bagaikan mengandung
api!
“Ssszzzt...!”
Kedua sosok yang telah berubah menjadi naga itu
menggeliat. Matanya tajam memandang ke daratan.
Kemudian dari mulut dan mata keduanya
menyemburkan api yang membara ke arah sepuluh
resi yang tengah berlari ke arah Danau Sambak
Neraka.
Wurrrs...!
“Wuaaa...!”
Kesepuluh resi yang tak menyangka akan
mendapat serangan berupa semburan api dari tengah
danau itu terkejut bukan main. Tiada ampun lagi,
tubuh mereka terbakar hangus.
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan
bergema di sekitar Danau Sambak Neraka. Tampak-
nya suara itu milik seorang lelaki.
“Kalian telah menjadi wargaku! Kalian berdua
telah menjadi anak-anakku. Biarlah anak kalian
kudidik! Kelak, dia akan menjadi pemuda perkasa!
Hua ha ha...!”
Kedua naga berwarna merah itu terdiam,
kemudian dengan gerakan yang lamban, mereka
menyelam ke kedalaman air Danau Sambak Neraka.
***
Sepuluh tahun sudah peristiwa di Danau Sambak
Neraka berlalu. Sumantri masih berpikir tentang
Anjasmara dan Sambi, yang raib entah ke mana. Dia
juga masih berpikir, siapa yang telah menewaskan
kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi Danau Sambak
Neraka.
Suasana pagi yang cerah nampak melingkupi di
sekitar Danau Sambak Neraka. Matahari yang baru
saja muncul di ufuk timur bersinar merah tembaga.
Nampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun dengan kumis tebal dan jenggot pendek,
berpakaian khas saudagar tengah melangkah
menyusuri tepian Danau Sambak Neraka.
Lelaki tampan dengan rambut terurai panjang
berbaju jubah abu-abu itu ternyata Sumantri. Dia
tampak tengah mengawasi sekitar Danau Sambak
Neraka. Pikirannya masih belum menerima peristiwa
aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu.
“Aneh,” gumam Sumantri lirih sambil matanya
memandang ke sekeliling Danau Sambak Neraka.
“Bagaimana mungkin Anjasmara dan Sambi
menghilang?”
Selama sepuluh tahun terakhir ini, Sumantri telah
beberapa kali membayar orang-orang rimba per-
silatan untuk mencari kedua orang yang raib bagai
ditelan bumi itu. Tapi selalu saja mengalami
kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya
yang menemukan jejak Anjasmara dan Sambi.
“Mungkinkah mereka benar-benar menghilang?”
tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tidak mungkin! Guru
tak pernah mengajari Anjasmara dan Sambi ilmu
menghilang....”
Sumantri terus berdiri di tepi Danau Sambak
Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika
memandang arah Pulau Karang Api di tengah-tengah
danau.
“Heh! Apakah aku tak salah lihat?!” gumam
Sumantri terkejut, ketika matanya melihat seorang
bocah berusia sekitar sepuluh tahun berbadan penuh
sisik tengah berlari-lari kecil.
Bocah bertubuh penuh sisik itu tampaknya merasa
ada yang memperhatikan. Wajahnya memandang ke
arah Sumantri.
“Ah! Bocah atau setan!?”
Kembali Sumantri terkejut, menyaksikan mata
bocah itu berwarna merah membara laksana api,
menyorot tajam wajahnya. Bukan hanya itu yang
membuat Sumantri tersentak kaget. Ternyata gigi
bocah kecil itu bertaring menyeramkan, ketika
menyeringai memandangnya.
“Ghrrr...!
Terdengar suara keras menggelegar, ketika bocah
kecil penghuni Pulau Karang Api itu menyeringai.
Bersamaan dengan itu, seketika hawa panas
menyelubungi sekitar danau, membuat Sumantri
tersentak.
“Uh, celaka! Apa yang dilakukan bocah setan itu?”
keluh Sumantri. Tubuhnya kini menggeliat-geliat
bagaikan dipanggang di atas bara api yang sangat
panas.
“Wuaaa...! Aaa...!”
Sumantri menjerit-jerit merasakan hawa panas
yang tiada terkira menyengat tubuhnya. Dirasakan
tubuhnya seperti dikelilingi api yang membara.
“Aaa...!”
Pekikan keras kembali terdengar dari mulut
Sumantri yang terus berusaha mempertahankan
tubuhnya agar tidak mati lemas oleh hawa panas.
Namun, semakin mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh panas yang menyengat tubuhnya,
hawa panas terasa semakin menjadi-jadi.
“Celaka! Aku bisa mati terbakar kalau terus-
menerus di sini,” keluh Sumantri.
Sumantri berusaha menjauh dari tepi danau.
Nampaknya dia berhasil. Dengan cara beringsut
menggunakan lututnya yang tertekuk, Sumantri
berusah menggeser kedudukannya semakin menjauh
dari tempat itu.
“Bocah setan! Bagaimana mungkin bocah sekecil
itu memiliki kekuatan api yang kuat, sampai mampu
menyerangku?” umpat Sumantri lirih sambil terus
beringsut menjauh.
Wusss...!
Angin menderu kencang ke arah tubuh Sumantri.
Seketika itu pula, tubuhnya melayang terbawa angin
kencang itu.
“Wuaaa...!”
Sumantri menjerit ketakutan ketika tubuhnya
diterbangkan angin dahsyat itu dan terlempar sekitar
seratus tombak jauhnya dari tepian danau.
Brukkk!
“Aduh...! Angin setan!” maki Sumantri yang tampak
marah.
Wusss...!
Tiba-tiba angin dahsyat itu berhembus ke arahnya.
Angin badai itu seakan-akan tahu ucapan Sumantri
barusan. Mata lelaki itu terbelalak kaget dan
ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi
tubuhnya.
“Oh! Tidaaak...! Ampun, jangan....!” pekik Sumantri
ketakutan.
Dan anehnya lagi, angin itu bagaikan mengerti apa
yang diminta Sumantri. Seketika angin itu bergulung
dan berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah
mengatakan sesuatu dan mengancam Sumantri.
Sesaat kemudian angin besar itu bergerak cepat
kembali ke Danau Sambak Neraka.
“Aneh!” gumam Sumantri keheranan tak mengerti.
“Bagaimana mungkin angin bisa mengerti ucapan-
ku?”
Sumantri masih terduduk terbengong-bengong
keheranan terhadap kejadian yang baru saja
dialaminya.
“Aneh! Benar-benar ada yang aneh di Pulau
Karang Api itu. Aku yakin, pulau itu ada penghuninya,”
kata Sumantri sambil berlari meninggalkan tempat
yang bernama Lembah Akherat ini.
Bergidik juga hati Sumantri jika teringat kejadian
yang baru saja dialaminya. Rasanya sangat tak
masuk akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia
sepuluh tahun berbadan penuh sisik mampu
mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu? Bocah ber-
tubuh penuh sisik dengan mata merah laksana api itu
mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu
mengerahkan angin aneh.
“Bocah itu tentunya bocah sakti. Ah, kalau saja
aku bisa mendapatkannya, tentu aku akan menjadi
orang yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah
kecil itu dapat kumanfaakan. Hua ha ha...! Sumantri
akan menjadi orang yang ditakuti! Aku harus
mendapatkan bocah itu...!” gumam Sumantri sambil
terus berlari meninggalkan Lembah Akherat.
***
DUA
Setelah menitipkan Mei Lie pada Ki Gede Mantingan,
Sena melanjutkan pengembaraannya untuk me-
negakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai
pendekar. Selain itu, batinnya tidak suka melihat
penderitaan dan kesengsaraan orang lemah ditindas
dan disiksa oleh yang kuat dan durjana.
Setelah menghancurkan Istana Tengkorak Merah,
Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede Mantingan singgah
di padepokannya yang bernama Padepokan Karang
Tinalang. Letak padepokan itu berada di sebelah
selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu.
Tepatnya di Bukit Singgala Putri (Mengenai Ki Gede
Mantingan, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode “Tengkorak Darah”).
Setelah tiba di Padepokan Karang Tinalang,
akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada orang tua
yang baik itu. Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah
Ki Gede Mantingan turut menasihati, akhirnya gadis
itu pun menurut. Terlebih Ki Gede Mantingan telah
menganggap Mei Lie sebagai anaknya sendiri, karena
orang tua itu tidak dikarunai anak.
Masih teringat di benak Sena ucapan Mei Lie
ketika hendak melepas kepergiannya.
“Kakang, jangan lupakan aku! Aku akan selalu
menunggumu. Aku akan tetap menunggu dan
mencintaimu,” bisik Mei Lie sambil merebahkan
kepalanya di dada Sena.
Rasa haru dan syahdu beraduk menjadi satu dada.
Sena mendengar kata-kata Mei Lie. Dengan lembut
tangannya membelai rambut gadis itu.
“Aku akan mengingatmu, Mei Lie.”
“Terima kasih, Kakang! Aku akan setia
menunggumu. Menunggu janjimu....”
Sena tersenyum seraya memeluk Mei Lie penuh
kasih sayang. Kemudian dengan perasaan syahdu,
kakinya melangkah meninggalkan gadisnya yang
nampak melambaikan tangan dengan mata berkaca-
kaca
Bayangan perpisahannya dengan Mei Lie seketika
hilang, ketika tiba-tiba telinganya mendengar jeritan
seorang wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat
dirinya berada kini.
“Tolong...! Tidak...!”
“Hei....! Kudengar ada seorang wanita meminta
tolong,” gumam Sena dengan kening berkerut.
Kemudian dapasangnya telinga tajam-tajam, ber-
usaha mendengar suara jeritan tadi.
“Tolong...! Lepaskan aku, Biadab!” suara wanita itu
kembali terdengar, diikuti oleh caci-makinya.
“Hm, ada juga manusia durjana yang masih
senang iseng,” kata Sena sambil cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian
tertawa cekikikan. “Hi hi hi...! Lucu sekali! Aha, coba
kulihat.”
Sena segera melompat ke atas cabang sebatang
pohon yang tinggi, agar bisa melihat ke sekeliling
tempat di tengah Hutan Dadap Wangi.
“Hop! Ya...!”
Tap!
Kedua kakinya hinggap begitu ringan di cabang
pohon jati yang banyak tumbuh di hutan itu.
Kemudian dengan cengengesan matanya me-
mandang ke sekeliling tempat itu.
“Tolong! Bajingan, lepaskan...!” suara wanita itu
kembali terdengar, tapi belum nampak di mata Sena.
“Tak akan ada yang menolongmu! Kau harus
menyerahkan tubuhmu pada kami!” kini terdengar
suara seorang lelaki mengancam.
Pendekar Gila nyengir sambil pandangannya
beredar ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari
dari mana asal suara tadi. Dan seketika matanya
melihat serumpun semak belukar bergoyang-goyang.
“Aha, itu dia!” ujar Sena seraya melompat ke
semak-semak yang bergoyang. “Hop! Ya!”
Dua orang lelaki berpakaian merah kecoklatan
tiba-tiba tersentak kaget begitu di samping mereka
telah berdiri seorang pemuda berpakaian kulit rompi
ular yang cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Hua ha ha...! Kenapa kalian kaget?” tanya Sena
masih bertingkah laku seperti orang gila. “Ah ah ah...!
Kupanya kalian sedang asyik berpesta! Kenapa tak
mengundangku? Hi hi hi...!”
“Siapa kau?!” bentak lelaki berwajah garang
dengan rambut kaku seperti landak.
“Ha ha ha...! Aku...?” balik Sena bertanya.
Kemudian mulutnya nyengir kuda. Matanya menatap
sosok wanita muda yang pakaiannya morat-marit tak
karuan. “Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi...! Siapa
kalian berdua?”
Membelalak mata kedua lelaki berwajah garang
itu, mendengar kata-kata Sena yang persis orang gila.
“Pemuda gila dari mana dia?” gumam lelaki
berkumis tebal dengan mata lebar. Rambutnya juga
kasar berdiri seperti landak.
“Hei, Bocah Gila! Ketahuilah...,” ujar lelaki ber-
tubuh tinggi dan beralis tebal. “Aku Cakal Genala!”
“Dan aku, Cakil Gering!” sambung rekannya yang
bertubuh agak kurus, berkumis tebal melintang di
bibir tebal. “Ha ha ha...! Kami bergelar Dua Landak
Hutan Dadap Wangi. Kamilah penguasa dan penghuni
hutan ini!”
“Hua ha ha...! Gila...! Hi hi hi...! Kalianlah yang
gila!” balik Pendekar Gila sambil berjingkrak-jingkrak
seperti monyet. Sementara tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala dan tangan kiri menepuk-nepuk
pantat
“Bocah gendeng! Pergi sana! Jangan ganggu
kami!” bentak Cakil Gering dengan mata melotot.
Rambutnya yang berdiri seperti bulu landak, kian
meregang kaku.
Dibentak begitu rupa, bukan membuat Sena takut
atau lari. Malah dengan sengaja tingkahnya dibuat
konyol. Dengan tenangnya dia melangkah meng-
hampiri gadis cantik yang gaun kuningnya sudah
awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat Sena
menghampiri. Kemudian dengan tenang Sena
memegang tangan kiri gadis itu.
“Aha, boleh juga! Bagaimana kalau gadis ini
untukku?” tanya Sena pada Dua Landak Hutan
Dadap Wangi, yang semakin bertambah marah
melihat kelancangan dan kekonyolan pemuda itu.
“Kurang ajar! Minggat kau dari sini!” dengus Cakal
Genala sambil melepaskan jotosan ke arah Pendekar
Gila dengan jurus 'Serudukan Landak'.
“Eits! Ah, galak amat kau, Ki? Mengapa kau tidak
mau membagi aku? Aduh kepalaku...!” seru Sena
sambil bergerak cepat memnduk, mengelakkan
serangan Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke
bawah dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
“Hi hi hi...! Rupanya kau belum pernah ditampar
singa, Ki. Nih...!”
Dengan tangan menepuk ke arah dada lawan,
Sena bergerak meliuk. Gerakannya sangat lambat,
membuat lawan menyangka kalau serangan Sena
lemah dan tak perlu ditakuti. Hingga....
Bukkk!
“Aaakh...!” Cakal Genala terpekik kesakitan.
Lelaki berhidung bulat itu sungguh tak menduga
kalau pukulan lawan yang tampak pelan itu ternyata
begitu keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak
lamban dan lemah sekali. Tubuh lelaki berambut
kaku itu terlempar deras ke belakang, bagaikan
terdorong kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal
Genala baru berhenti, ketika membentur pohon
dadap berduri.
Brak!
Crab!
“Wuaaa...!” kembali Cakal Genala memekik
kesakitan. Punggungnya tertancap duri-duri pohon
dadap.
“Hi hi hi...! Lucu..! Kenapa kau, Ki? Kalau lari,
jangan mundur! Itulah akibat orang lengah!” kata
Sena ambil berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
Mulutnya nyengir.
“Bocah edan! Kuremukkan kepalamu! Heaaa...!”
Cakil Gering yang merasa saudaranya
dipermainkan begitu rupa oleh pemuda tampan
berbaju rompi kulit ular, segera melancarkan
serangan dengan pukulan tangan kirinya meng-
gunakan juris 'Landak Mengais'.
“Heaaa!” tangan Cakil Gering melakukan gerakan
menyibak cepat, lalu memukul keras ke perut
Pendekar Gila yang masih tampak cengengesan.
Melihat lawan menyerang, dengan cepat Sena
menarik kakinya ke belakang. Diangkatnya kaki agak
tinggi, kemudian dengan cepat didengkulnya kepala
lawan yang agak merunduk.
“Hi hi hi...! Kau rupanya mencari sesuatu, Ki. Aha,
kuberi sop lututku! Hih...!”
Cakil Gering tersentak melihat gerakan Pendekar
Gila. Segera ditariknya kembali serangan tadi. Tubuh-
nya didongakkan, lalu bergerak ke samping.
Kemudian dengan cepat bersalto ke samping, ketika
melihat tangan Pendekar Gila kembali menepuk.
“Uts! Ilmu edan!” makinya yang telah tahu
bagaimana hasil tepukan tangan Sena. Meski
kelihatannya lamban dan lemah, ternyata tepukan itu
begitu dahsyat dirasakan. Dengan tepukan itu,
Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal
Genala begitu keras. Sehingga tubuh lelaki itu terkulai
pingsan setelah menerjang pohon berduri.
Mata Cakil Gering terbelalak, setelah merasakan
angin keras dari tepukan tangan Pendekar Gila.
“Edan! Jurus apa yang digunakannya?” gumam
Cakil Gering masih tak mengerti dan heran. “Padahal
gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari
anginnya saja, mampu menyentakkan tubuhku.”
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah
lakunya persis seekor monyet. Hal itu semakin
membuat Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha
mereka-reka siapa sebenarnya pemuda yang ber-
tingkah seperti orang gila itu.
“Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah,
dilihat dari tingkah lakunya, semua persis dengan ciri-
ciri pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,”
gumam Cakil Gering.
“Hi hi hi...! Kenapa melongo, Ki? Nanti kau
kerasukan setan,” ujar Sena sambil cengengesan.
“Pergilah! Jangan sampai aku memberimu hadiah!”
Cakil Gering yang merasa tidak unggulan meng-
hadapi pemuda itu segera mundur. Dia semakin yakin
dengan dugaannya kalau pemuda di hadapannya
pastilah Pendekar Gila.
“Ayo pergi! Jangan ganggu aku bermesraan
dengan gadis ini! Ayo pergi!” bentak Sena dengan
garang.
“Baik...! Baik, aku akan pergi,” sahut Cakil Gering
ketakutan.
“Hua ha ha...! Bawa sekalian tikus itu!”
Cakil Gering merangkak mendekati saudaranya
yang masih terkulai pingsan. Kemudian dengan mata
menatap tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering
segera memondong tubuh saudaranya. Kemudian
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan cepat
tempat itu ditinggalkannya.
Sepeninggal Cakil Gering dan saudaranya, Sena
kembali tertawa bergelak. Tingkah lakunya yang
seperti orang gila, membuat gadis cantik itu
ketakutan bukan kepalang. Gadis berkulit kuning
langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan
masih memegangi pakaiannya yang terbuka. Matanya
menatap ketakutan pada Pendekar Gila yang meng-
garuk-garuk kepala.
“Jangan! Jangan lakukan itu…!” ratap gadis itu
mengiba.
“Aha, jangan takut, Nisanak! Aku bukanlah
manusia seperti kedua cecurut itu.”
Gadis yang bernama Saka Wuri itu memperhatikan
Pendekar Gila penuh seksama. Sepertinya berusaha
meyakinkan dirinya kalau pemuda tampan bertingkah
seperti orang gila itu benar-benar hendak me-
nolongnya.
Benarkah omongannya? Tanya Saka Wuri dalam
hati. Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi,
pakaiannya bagus mirip seorang pendekar.
Mungkinkah dia pendekar yang sering disebut-sebut
sebagai Pendeka Gila?
“Aha, mengapa diam saja? Ayo, biar kuantar
sampai ke rumahmu!” ujar Sena menawarkan jasa.
Pendekar Gila tidak ingin gadis itu kembali
mengalami musibah, diseret dan hendak diperkosa
seperti yang baru saja dialami gadis itu. Kalau saja
dirinya tidak segera datang, entah bagaimana nasib
gadis itu
“Tuankah yang sering disebut Pendekar Gila?”
tanya Saka Wuri.
“Aha, terlalu tinggi julukan itu, Nisanak. Sudahlah
yang jelas kau harus pulang! Apakah kau ingin kedua
cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?”
Saka Wuri segera bangun dari duduknya,
kemudian dengan malu-malu melangkah diiringi
Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa Kalasan,
tempat Saka Wuri tinggal.
Setelah sampai di rumah, Saka Wuri pun men-
ceritakan pada Pendekar Gila dan ayahnya mengapa
dirinya sampai hendak diperkosa Dua Landak Hutan
Dadap Wangi. Saka Wuri pagi itu hendak mandi di
pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari belakang
orang menyekap mulutnya. Dia hendak berteriak,
namun kedua orang itu telah membawanya pergi
sebelum terlebih dahulu menotoknya.
Sesampainya di Hutan Dadap Wangi, keduanya
lalu membuka totokan di tubuh Saka Wuri dan
berusaha menggagahi dirinya. Beruntung sebelum
perkosaan terjadi, Pendekar Gila telah datang.
Setelah mendengar penuturan Saka Wuri,
Pendekar Gila pun bermaksud pamit untuk
meneruskan pengembaraannya.
“Mengapa tidak menginap dulu di sini, Tuan?” kata
Saka Wuri berusaha mencegah Pendekar Gila agar
tidak segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa
ngobrol lama dengan pemuda tampan bertingkah
laku seperti orang gila itu.
“Benar, Tuan. Kenapa tidak menginap barang satu
malam. Kami ingin mengenalmu lebih dekat,”
sambung Ki Kalaban. Lelaki tua berpakaian adat
Jawa Timur itu tampak senang atas telah kembalinya
anak gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda
tampan yang telah diketahuinya sebagai Pendekar
Gila.
“Ah ah ah.... Terima kasih, Ki! Sebenarnya aku pun
ingin menginap di sini. Desa Kalasan sangat damai
dan nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang
memerlukan pertolongan dariku...,” ujar Sena
menolak dengan halus.
“Hendak ke manakah tujuan Tuan?” tanya Ki
Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang sangat berterima
kasih pada Pendekar Gila, berusaha membalas jasa
kebaikan Pendekar Gila.
“Ah! Entahlah, Ki. Kurasa langkah kaki tergantung
hasrat hati melangkah. Di mana kemauan berkata, di
sana aku melangkah,” jawab Pendekar Gila.
Ki Kalaban terdiam. Sulit baginya untuk berusaha
membalas jasa atas kebaikan pendekar muda itu.
Sementara Saka Wuri masih memperhatikan pemuda
tampan yang telah menolongnya. Tak jemu-jemunya
gadis cantik bergaun kuning dengan rambut diikat
ekor kuda itu memandangi wajah Pendekar Gila. Ada
perasaan aneh yang terselip di relung hatinya.
Perasaan yang selama ini belum pernah muncul
dalam hati.
“Tuan! Kalau boleh, izinkanlah aku berbakti
padamu!” ujar Saka Wuri memohon.
Pendekar Gila tertawa bergelak sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian pemuda tampan itu nyengir
sambil menggeleng-geleng kepala.
“Ah! Tak usah berlaku begitu, Dik Wuri! Kini, aku
mohon pamit,” kata Sena.
Kemudian setelah menjura, Pendekar Gila segera
meninggalkan rumah Kepala Desa Kalasan untuk
meneruskan pengembaraannya. Menegakkan
kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini.
***
TIGA
Desa Pasut Piring yang terletak di sebelah selatan
Bukit Selaparang, nampak tenang malam itu. Sebuah
bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran
rumah biasa, berdiri megah di bagian timur desa.
Rumah besar dan megah yang semuanya diukir indah
itu milik Sumantri. Dia dikenal sebagai juragan yang
paling kaya di desa itu.
Saat itu, malam yang sunyi menyelimuti bumi. Di
ruang tengah rumah yang dijaga ketat empat orang
bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Lelaki yang tak
lain Sumantri, malam itu masih merenungkan apa
yang kemarin dialaminya.
Di hadapannya duduk empat orang dari rimba
persilatan. Tiga lelaki berwajah garang dan satu lagi
seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun. Keempat orang rimba persilatan itu merupa-
kan tangan kanan, sekaligus pengawal pribadi
Sumantri.
Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh
tahun. Berambut gondrong awut-awutan dan kepala-
nya terikat kain warna hijau tua. Matanya tajam dan
garang. Hidungnya besar dan beralis mata lebat.
Kumis tebal yang menghiasi bibirnya semakin me-
nunjukkan kegarangannya. Lelaki berpakaian hijau
tua lengan panjang itu bernama Jalna Kumilang atau
Hantu Hijau dari Gunung Bangau.
Orang kedua memiliki rambut dibuat ekor kuda.
Alis mata tebal dengan hidung pesek menyerupai
kera dengan cambang bauk lebat. Tubuhnya agak
gemuk dan pendek. Pakaian yang dikenakan ber-
warna merah. Dia bernama Sugatra.
Di sampingnya merupakan adik seperguruan
Sugatra yang bernama Sugatri. Lelaki berusia sebaya
dengan Sugatra sekitar tiga puluh lima tahun itu,
memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti
kakaknya, pesek hampir menyerupai hidung kera.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk seperti Sugatra.
Di punggung kedua lelaki berpakaian merah itu
tersampir senjata berupa golok. Mereka berdua ber-
juluk Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena
golok mereka dapat mengeluarkan sinar biru.
Sedangkan yang terakhir seorang wanita muda
dan cantik. Berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Bergaun merah hati dengan rambut dikepang dua.
Dia nampak tidak memegang senjata, karena senjata
yang digunakannya berupa selendang warna ungu
yang terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih
dikenal dengan julukan Iblis Selendang Ungu.
“Tuan Sumantri, kami lihat sejak tadi Tuan nampak
termenung. Kalau boleh kami tahu, apa gerangan
yang telah membebani pikiran Tuan...?” tanya Jalna
Kumilang. Orang paling tua di antara keempat tangan
kanan Sumantri.
“Benar, Tuan. Mengapa Tuan bermuram durja.
Sepertinya, setelah pulang dari Danau Sambak
Neraka ada sesuatu yang Tuan pikirkan. Adakah
sesuatu yang mengganjal pikiran dan hati Tuan?”
sambung Sugatra.
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Dihempas-
kan napasnya panjang-panjang. Tatapan matanya
menerawang ke atas, memandang ke genteng
rumahnya.
“Hhh!” desah Sumantri. “Apa yang kalian duga
memang benar.”
Keempat tangan kanan Sumantri saling pandang.
Namun mereka masih diam, karena memang belum
tahu apa yang membuat majikan mereka kelihatan
murung terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-
tanya. Mungkinkah majikan mereka melihat
Anjasmara dan Sambi?
“Tuan, kalau boleh kami tahu. Hal apakah yang
membuat Tuan bermuram durja?” tanya Sugatri
memberanikan diri, setelah lama terdiam.
“Apakah Tuan Sumantri melihat Anjasmara dan
Sambi?” sambung Iblis Selendang Ungu dengan
senyum menggoda.
“Bukan masalah Anjasmara dan Sambi yang
membuatku gelisah dan terus berpikir,” sahut
Sumantri seraya bangkit dari duduknya, berjalan ke
pintu rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang
pintu, memandang lepas ke luar.
“Lalu apa yang menjadikan Tuan nampak
murung?” tanya Jalna Kumilang seraya menatap
majikannya yang masih diam berdiri di ambang pintu.
Sumantri menghela napas dalam-dalam, berbalik
ke arah meja. Keempat tangan kanannya tampak
masih duduk di kursi masing-masing. Sumantri
kembali duduk.
“Kemarin aku melihat sesuatu di Pulau Karang Api.
Seorang bocah bertubuh penuh sisik dengan lidah
bercabang. Sebelumnya aku bermimpi, kalau bocah
itu merupakan bocah sakti. Siapa pun yang men-
dapatkan bocah itu, akan merajai dunia persilatan.
Nah, aku ingin mendapatkan bocah itu. Siapa pun
yang mendapatkannya, akan kuberi separo dari harta
kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian
menyebar sayembara!” kata Sumantri menerangkan.
“Kalau memang itu yang Tuan inginkan, kami siap
melaksanakannya,” sahut Iblis Selendang Ungu.
“Ya! Malam ini juga, kami laksanakan,” sambut
Sugatra.
Sumantri tersenyum mendengar kesanggupan
empat anak buahnya, yang menunjukkan kesetiaan
mereka terhadapnya. Kepalanya diangguk-anggukkar
dengan bibir masih tersenyum.
“Tidak usah terburu-buru! Kalian bisa melaku-
kannya besok. Malam ini, kalian tulis isi sayembara
itu,” perintah Sumantri.
“Apa yang mesti kami tulis?” tanya Jalna Kumilang.
“Barang siapa yang bisa mendapatkan bocah
bertubuh penuh sisik, akan diberi hadiah sebagian
dari hartaku,” kata Sumantri menjelaskan isi
sayembara yang hendak ditulis anak buahnya itu.
“Baiklah, kami akan segera membuatnya,” kata
Jalna Kumilang.
Setelah semuanya disepakati, Sumantri dan
keempat anak buahnya pun meninggalkan ruang
pertemuan untuk melakukan apa yang hendak
mereka lakukan.
Sumantri masuk ke kamarnya. Di dalam kamar itu,
seorang gadis cantik berkebaya merah muda tengah
terbaring di tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya
nampak masih menggambarkan kepolosan itu tengah
menangis. Seketika dia tersentak bangun ketika pintu
kamar dibuka. Matanya menatap ketakutan, ber-
campur rasa benci pada Sumantri.
“Cah ayu, kenapa kau masih bersikap dingin?
Ayolah, malam ini aku ingin sekali menikmati tubuh-
mu,” ujar Sumantri sambil melangkah mendekat.
Gadis itu pun tampak semakin ketakutan.
“Tidak! Aku tidak mau...!” seru gadis cantik itu
dengan wajah ketakutan. “Bajingan! Kau benar-benar
bajingan! Kembalikan aku ke desaku...!”
Sumantri tersenyum sinis sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kakinya melangkah mendekat ke
tempat tidur. Gadis yang mengingatkannya pada
Sambi, semakin bertambah ketakutan. Tubuhnya ber-
ingsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap
ketakutan ke wajah Sumantri yang masih tersenyum.
“Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau harus menjadi
istriku,” kata Sumantri. Kemudian dengan penuh
nafsu, Sumantri segera menubruk gadis cantik yang
wajahnya memang mirip dengan Sambi.
“Auw! Tidak...!” teriak gadis cantik berkebaya
merah muda yang bernama Delimasari, berusaha
mengelak. Matanya semakin ketakutan. Namun,
Sumantri yang sudah bernafsu sekali tak hanya diam
sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya
Delimasari, semakin bertambah nafsu lelaki bertubuh
kekar itu.
“Mau lari ke mana, Cah Ayu? He he he...!”
Sumantri yang sudah dibakar nafsu iblis, terus
mendekap tubuh Delimasari yang terus berontak dan
meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak,
semakin bertambah menggelegak nafsu Sumantri.
Bret!
“Auw!” Delimasari terpekik, ketika kebaya merah
mudanya direnggut hingga sobek. Tampaklah pundak
kuning mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak
penuh nafsu. Apalagi ketika kebaya gadis itu terlepas
karena tetap ditarik tangan Sumantri.
“He he he...!” Sumantri tertawa terkekeh.
Kemudian kembali menubruk tubuh Delimasari.
Gulatan antara keduanya pun terjadi. Akhirnya
Sumantri yang sudah bernafsu, mampu menguasai
tubuh Delimasari yang lemah. Meskipun meronta-
ronta sekuat tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi
nafsu iblis Sumantri.
Delimasari hanya mampu menangis, meratapi
nasibnya yang buruk. Kekecewaan, dendam, dan
marah beraduk menjadi satu di hatinya. Keterlaluan
sekali kedua orangtuanya, yang telah menyerahkan
dirinya pada lelaki bajingan seperti Sumantri.
Padahal Delimasari telah memiliki pemuda pujaan
hatinya yang saling mencintai. Namun dengan
kedatangan Sumantri meminangnya, tak mungkin
cinta mereka dilanjutkan. Itulah yang menjadikan
Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski Sumantri
gagah, namun Delimasari tidak suka dengan
perbuatan lelaki itu yang selalu ingin menang sendiri.
***
Sayembara yang diadakan Sumantri ternyata
ditanggapi orang-orang dari kalangan persilatan.
Mereka sebagian tertarik dengan hadiah yang
ditawarkan Sumantri. Namun ada juga yang merasa
tertarik dengan berita tentang bocah aneh bertubuh
penuh sisik dan memiliki kesaktian. Barang siapa
menguasai anak ini akan dapat menjadi orang sakti!
Dua orang muda berparas elok dengan pedang di
pundak melangkah menyelusuri jalan menuju
Lembah Neraka. Yang pemuda berwajah tampan
dengan rambut terurai panjang. Sosok tubuhnya
tegap dan tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung
mancung. Kumis tipis menghias di atas bibirnya. Dia
bernama Sarawendo.
Seorang lagi, wanita muda dan cantik. Rambutnya
berombak dengan hidung mancung dan dagu
berbentuk indah. Dia bernama Saraswati. Keduanya
memakai pakaian biru yang panjangnya sampai ke
lutut. Mereka adalah sepasang suami istri yang
terkenal dengan julukan Dewa-Dewi Paras Elok.
Wajah mereka memang tampan dan cantik jelita,
mirip dengan dewa dan dewi dari kahyangan. Bukan
hanya kecantikan dan ketampanan mereka saja yang
membuat orang kalangan persilatan merasa kagum.
Ilmu pedang keduanya juga sangat tersohor.
Terutama dengan jurus 'Sepasang Pedang Memburu
Hati', yang merupakan jurus pamungkas bagi mereka.
Sulit bagi lawan-lawan mereka untuk melepaskan diri
dari serangan keduanya.
Dewa-Dewi Paras Elok melangkah menuju Lembah
Akherat sehubungan dengan keikutsertaan mereka
dalam sayembara yang diadakan Sumantri. Sebenar-
nya tujuan mereka bukan mencari kekayaan. Mereka
hanya ingin membuktikan kebenaran yang mereka
baca dari pengumuman seyembara itu.
Sebagai pendekar, keduanya memang selalu ingin
membuktikan kebenaran suatu berita. Apalagi berita
yang dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa
menguji sampai di mana ilmu mereka. Di samping
berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan,
keduanya juga ingin menimba pengalaman yang lebih
banyak di rimba persilatan.
“Kakang, apa benar jalan yang sedang kita tuju?”
tanya Saraswati.
“Entahlah! Aku juga kurang begitu paham daerah
sekitar tempat ini,” jawab Sarawendo sambil meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling daerah itu.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya
hamparan petak-petak sawah.
Saat itu, keduanya tengah memasuki wilayah Desa
Tarub, yang sepertiga bagian wilayahnya merupakan
petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang
sebagian besar bercocok tanam, karena letak desa
mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga atau
nelayan. Karena tak ada aliran sungai, maupun
tempat berjualan yang ramai. Hanya ada pasar kecil
di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-
waktu tertentu.
“Bagaimana kita bisa sampai ke Lembah
Akherat?” gumam Saraswati agak cemas. Meski
mereka tidak bertujuan mendapatkan salah satu
kemungkinan antara harta dan anak sakti itu,
keduanya merasa penasaran dan ingin melihat
seperti apa bocah sakti yang telah mengundang
banyak tokoh rimba persilatan berdatangan untuk
mendapatkannya.
Sarawendo menghela napas panjang. Matanya
memandang ke sekelilingnya yang masih merupakan
hamparan persawahan. Dia berusaha mencari salah
seorang petani yang dapat memberi petunjuk arah.
“Nah! Itu ada dua orang petani! Bagaimana kalau
kita tanyakan pada mereka...?” ajak Sarawendo.
“Ayolah,” jawab Saraswati. Langkah keduanya
segera dipercepat untuk dapat mengejar kedua
petani yang berjalan di depan. Sesaat kemudian,
keduanya sudah berada di dekat kedua petani itu.
“Sampurasun...!” sapa sepasang suami istri itu
dengan ramah, yang menjadikan kedua petani itu
menghentikan langkahnya. Keduanya membalikkan
tubuh memandang ke arah sepasang pendekar cantik
dan tampan.
“Rampes...!” sahut kedua petani itu berusaha
ramah.
“Ada apa gerangan kalian berdua mengejar kami?”
tanya lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun
dengan wajah tampak sabar. Kumis yang memutih
menghias di atas bibirnya. Matanya menatap tajam
sepasang pendekar itu.
“Maaf, Ki!” kata Sarawendo. “Namaku Sarawendo
dan ini istriku Saraswati. Kami ingin bertanya, ke arah
mana kami harus melangkah agar sampai ke Lembah
Akherat?”
“Benar, Ki. Kami hendak ke sana,” Saraswati
menimpali sambil tersenyum.
Kedua petani itu seketika mengerutkan kening,
mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasangan
muda berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak
percaya, kalau pasangan muda berwajah elok itu
bertujuan ke tempat yang sangat dikeramatkan
penduduk desa-desa sekitar Danau Sambak Neraka.
Tak seorang pun yang berani pergi ke Danau
Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada sepasang pendekar
yang bermaksud pergi ke Danau Sambak Neraka.
Meski keduanya tidak menyebutkan nama Danau
Sambak Neraka, kedua petani itu telah maklum kalau
sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain
Danau Sambak Neraka. Hal itu dapat diketahui
karena danau itu berada di wilayah Lembah Akherat.
Seperti apa tempat itu? Siapa pun yang akan
datang ke tempat itu niscaya bagaikan hendak
menuju ke akherat saja.
“Ke Lembah Akherat?” tanya petani yang berusia
di bawah petani yang satunya. Petani ini berambut
hitam. Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek
matanya lebar. Mulutnya agak lebar dengan bibir
tebal.
“Benar. Ada apakah hingga Kisanak nampak
kaget?” tanya Saraswati dengan kening berkerut,
menyaksikan tanggapan kedua petani itu ketika
menceritakan tentang tujuannya.
“Aduh, kami harap kalian jangan ke sana! Lebih
baik kalian pulang saja!” saran petani yang lebih tua.
Hal itu membuat Dewa-Dewi Paras Elok semakin
mengerutkan keningnya.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Saraswati ingin
tahu.
“Kami mengharap, urungkan saja niat kalian ke
Lembah Akherat!” tegas lelaki berkumis putih itu.
Dewa-Dewi Paras Elok saling pandang dengan
kening berkerut. Mereka semakin tidak memahami
apa maksud kedua petani itu melarang mereka.
Belum juga keduanya sempat bertanya, petani yang
lebih muda malah menambahkan.
“Kasihan kalau kalian yang tampan dan cantik
harus menerima kemalangan!”
“Kemalangan? Maksudmu, Ki?” tanya Sarawendo
masih belum memahami kata-kata petani itu.
Matanya menatap tajam petani muda itu.
“Ya! Sangat berbahaya jika kalian ke tempat itu.
selama ini, tak seorang pun yang berani pergi ke
Danau Sambak Neraka. Bukankah kalian hendak ke
sana...?” balik tanya petani tua yang bernama Ki
Maeskarya.
“Benar, Ki?” sahut Saraswati
“Ah, urungkanlah niat kalian! Sia-sia saja kalian ke
tempat itu,” ujar Ki Wadul, petani yang lebih muda.
“Terima kasih atas nasihat kalian! Tapi kami tetap
hendak ke tempat itu. Kalau kalian tahu jalannya,
sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,”
pinta Sarawendo.
Kedua petani itu kembali saling berpandangan
dengan kening berkerut. Mereka tidak menyangka,
kalau kedua pasangan muda ini akan nekat ke
tempat itu.
“Apakah telah kalian pikirkan semuanya?” tanya Ki
Maeskarya.
“Sudah, Ki,” jawab Dewa Dewi Paras Elok
bersamaan.
Ki Maeskarya dan Ki Wadul menghela napas berat.
Sepertinya kedua orang petani itu merasa sayang jika
kedua pasangan berwajah elok itu harus menemui
ajal sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata,
rupanya kedua sejoli itu telah membulatkan tekad
untuk datang ke tempat yang sangat keramat dan
paling ditakuti penduduk di sana. Bahkan mungkin
para dewa pun akan segan ke tempat itu.
Meski mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya
penghuni Pulau Karang Api yang ada di tengah-tengah
Danau Sambak Neraka, selama turun-temurun
mereka tak pernah berani menjarah tempat tersebut.
“Baiklah, kalau memang itu yang kalian kehendaki.
Berjalanlah ke selatan. Di sana, sekitar setengah hari
perjalanan, kalian akan mendapatkan lembah yang
dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat.
Kemudian sekitar seratus tombak dari Lembah
Akhirat itu, kalian akan melihat Danau Sambak
Neraka. Hati-hatilah!” kata Ki Maeskarya meng-
ingatkan.
“Terima kasih atas petunjukmu, Ki,” kata
Sarawendo.
Kemudian setelah menjura kepada kedua petani
yang telah memberi petunjuk dan peringatan, Dewa
Dewi Paras Elok segera melesat cepat menuju ke
Lembah Akherat tempat Danau Sambak Neraka
berada.
“Hah?!” Ki Maeskarya terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala melihat gerakan mereka.
“Dilihat dari gerakan, pakaian dan senjata yang
disandang mereka, tampaknya kedua orang itu
pendekar, Ki,” gumam Ki Wadul seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
“Ya!” desah Ki Maeskarya. “Tapi aku belum yakin,
apakah mereka akan selamat di Danau Sambak
Neraka.”
Sesaat keduanya terdiam. Mata keduanya mata
memperhatikan kedua sejoli yang berlari begitu cepat
menuju ke arah Lembah Akherat yang bagi mereka
sangat mengerikan. Nampaknya kedua pendekar itu
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,
sehingga dalam sekejap saja keduanya telah berada
jauh sekali. Bahkan sesaat kemudian telah sampai di
Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut pedang
dari warangka masing-masing.
Sret! Sret!
“Kita telah sampai, Dinda. Mungkin inilah yang
dinamakan Danau Sambak Neraka. Dan pulau yang
menyala itu, tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau
itu dihuni bocah sakti itu,” ujar Sarawendo.
“Ya! Kita harus hati-hati, Kakang,” sahut Saraswati.
Dewa-Dewi Paras Elok kini melangkah perlahan.
Setapak demi setapak kaki mereka melangkah,
meyusuri Lembah Akherat yang sepi dan mencekam.
Meski lembah itu terang karena tak ada pepohonan,
namun jika ingat akan kematian mengerikan sepuluh
resi dari Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras
elok harus waspada.
Baru beberapa langkah kaki mereka maju, tiba-
tiba angin bertiup dengan kencang laksana mem-
badai. Angin itu menuju ke arah mereka, berusaha
menerbangkan tubuh keduanya.
“Awas, Dinda! Ini serangan pertama..!” seru
Sarawendo mengingatkan Istrinya. “Kita satukan
pedang kita dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...!”
“Mari Kakang! Heaaa…!
Trang!
Dengan menyilangkan kedua pedang, keduanya
berusaha menahan serangan dahsyat berupa angin
yang tiba-tiba berhembus kencang itu. Dari kedua
pedang yang menyilang, keluar sinar pelangi
bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu
seketika mendesak angin yang membadai dahsyat
itu.
“Heaaa...!”
Wusss!
Angin yang membadai seketika lenyap dengan
sendirinya. Sedangkan sinar pelangi itu tampak masih
bergulung-gulung di udara tak tentu arah.
“Arahkan ke Pulau Karang Api itu, Kakang!” ajak
Saraswati.
“Bagaimana kalau sinar itu membunuh bocah yang
kita cari?” tanya Sarawendo.
Saraswati terdiam. Apa yang dikatakan suaminya
memang beralasan. Mereka datang ke tempat itu
semata-mata untuk membuktikan kebenaran ucapan
para tokoh persilatan, juga berita sayembara
Sumantri.
Setelah mendapatkan serangan pertama, mereka
merasa yakin kalau apa yang diceritakan Sumantri
tentu ada benarnya.
“Kita tarik saja dulu, Dinda.”
“Baiklah,” sahut Saraswati.
Baru saja keduanya hendak menarik mundur
serangannya, tiba-tiba serangkum sinar melesat
cepat ke arah mereka. Secepat itu pula, mereka
merasa hembusan hawa panas membakar tubuh.
Mereka berusaha sekuat tenaga mempertahankan
diri, tapi tiba-tiba serangkum sinar itu bergerak
menyambar ke dada mereka dengan cepat.
Slats...!
Cras! Cras!
“Aaa...!”
Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok terjungkal dengan
dada tergores penuh luka. Puluhan jarum beracun
menancap di dada mereka. Tanpa ampun, mereka
langsung meregang nyawa dan mati!
Lembah Akherat kembali sepi. Hanya serangkum
sinar membara yang bergerak seperti cambuk itu
yang masih melesat cepat ke arah Pulau Karang Api,
kemudian menghilang di sana.
***
EMPAT
Siang itu udara terasa sangat panas. Langit bersih
tanpa awan. Terik matahari terasa menyengat.
Beruntung sesekali angin bertiup semilir, membuat
suasana agak terasa sejuk. Apalagi jika berada di
bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa
ngantuk.
Hutan Kawi-kawi yang berada di sebelah barat
Pegunungan Punakawan juga tertimpa teriknya
mentari siang itu. Sebatang pohon beringin yang
sangat rindang, tumbuh di tepi Hutan Kawi-kawi. Di
bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda
tampan, berpakaian rompi kulit ular.
Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila,
siang itu tampaknya tengah menikmati semilirnya
angin yang sejuk sambil menyuarakan tiupan merdu
Suling Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu pujaan
pada alam yang ada di sekitarnya.
Semilir angin terus mengimbangi suasana teriknya
mentari yang semakin menggarang. Sementara itu
dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok
bayangan merah berlari dengan cepat. Bayangan
merah itu melintas sekitar dua batang tombak
jauhnya di sebelah kiri Sena. Seketika sosok
bayangan merah itu berhenti ketika matanya melihat
Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya.
Bayangan merah itu tak lain Serigala Merah. Lelaki
berbadan tinggi tegap dengan senjata sepasang golok
besar itu mengerutkan kening dan menghampiri
Pendekar Gila.
“O, rupanya kita bertemu lagi, Sena. Apa kabar?”
sapanya ramah sambil melangkah mendekat. Setelah
dekat, Serigala Merah menjura hormat.
Sena yang tengah meniup sulingnya, segera
menghentikan tiupannya, ketika melihat Serigala
Merah menjura. Dia segera bangun dari duduknya,
kemudian balas menjura pada Serigala Merah.
“Aha, ada apa gerangan sampai kau berlari-lari
seperti itu, Serigala Merah?” tanya Sena sambil
menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Serigala Merah tidak segera menjawab. Keningnya
berkerut dan matanya menatap heran pada Pendekar
Gila.
“Apakah kau belum mendengar tentang
sayembara berhadiah besar, Sena?”
“Ah ah ah...! Rupanya ada sayembara lagi,” gumam
Sena sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepala.
“Benar. Kali ini hadiahnya sangat menarik, Sena.”
“Benarkah?”
“Ya!” sahut Serigala Merah.
“Aha, kalau boleh aku tahu, hadiah macam apakah
yang dijanjikan? Dan sayembara macam apa yang
tengah dilaksanakan itu?” tanya Sena sambil
cengengesan. Pandangannya menyapu ke sekeliling
pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak ke
langit, yang nampak biru dan bersih tak bernoda.
Dari arah utara, nampak sekawanan burung
pemakan bangkai berkaok keras membelah angkasa
bim. Burung-burung itu terbang mengepakkan
sayapnya ke selatan, sepertinya di sana ada makanan
yang sangat memuaskan.
“Kau tertarik, Sena?” Serigala Merah balik tanya.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dengan cengengesan kepalanya
mengangguk, walau sebenarnya bukan karena hadiah
yang inginkan. Dia hanya ingin tahu sayembara
macam apa yang diceritakan Serigala Merah.
“Ah, dari tadi tidak kulihat Bidadari Pencabut
Nyawa. Ke manakah...?” tanya Serigala Merah.
Matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu, tapi dia
tidak juga menemukan Mei Lie. “Bukankah Bidadari
Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?”
Sena tertawa terbahak-bahak. Tingkah laku yang
seperti kera kembali muncul. Berjingkrak sambil
menggaruk kepala dan menepuk-nepuk pantat
“Aha, rupanya pandanganmu cermat sekali, Srigala
Merah!” ujarnya bergumam. “Dia memang tidak ikut”
“Hm, kenapa? Apakah dia sakit?” tanya Serigala
Merah.
“Ah, tidak. Aku ingin berjalan seorang diri
sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan kita jadi
melantur, Serigala Merah?” sahut Sena.
“Ah, benar. Apa yang tadi kau tanyakan padaku...?”
tanya Serigala Merah.
“Mengenai sayembara dan hadiahnya,” jawab
Pendekar Gila. “Ah, mengapa kau jadi pikun begitu
Serigala Merah? Hi hi hi...! Lucu, kau lebih tepat
menjadi Serigala Pikun dan Tua.”
Serigala Merah yang sudah tahu tabiat dan watak
Pendekar Gila malah tertawa mendengar ejekan
Pendekar Gila barusan.
“Ya ya, kau benar, Sena. Memang lebih pantas
kalau julukanku Serigala Tua Pikun. Ha ha ha...!”
Seketika tepian Hutan Kawi-kawi yang semula sepi
menjadi riuh oleh suara gelak tawa dari keduanya.
Sampai-sampai burung yang sedang bertengger di
ranting-ranting pohon beterbangan, karena kaget.
“Ah, jangan terlalu bertele-tele, Serigala Tua! Hi hi
hi...! Ayo, katakanlah sayembara macam apa dan apa
hadiahnya?” tanya Pendekar Gila setelah tawanya
berhenti.
Serigala Merah tersenyum. Kemudian segera
menceritakan semua yang didengar dan dibacanya
pada selebaran yang dipasang di beberapa tempat.
Selebaran yang dikeluarkan oleh Saudagar Sumantri
itu berisikan tentang sayembara besar dengan hadiah
yang sangat menggiurkan.
“Saudagar Sumantri menawarkan pada semua
pendekar baik dari aliran putih maupun hitam hadiah
yang cukup besar. Dia memberikan separo harta
kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah
sakti yang ada di Pulau Karang Api,” tutur Serigala
Merah mengakhiri ceritanya.
“Aha, sebuah berita yang menarik!” seru Sena.
“Kau tertarik, Sena?”
“Tertarik! Ah... ya ya! Aku tertarik. Tapi aku tidak
suka dengan hadiahnya. Aku hanya tertarik ingin tahu
kebenaran berita tentang bocah sakti itu,” jawab
Sena.
“Bagaimana kalau kita ke sana?” ajak Serigala
Merah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti merasakan sesuatu.
“Ah, kurasa aku belum ingin ke sana, Serigala
Merah. Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah! Nanti
jika aku telah berpikir ke sana, aku akan segera
menyusulmu. Di mana kau berada nanti?” tanya Sena
“Entah. Tapi mungkin aku akan berada di daerah
terdekat dengan tempat bocah sakti itu berada.”
Setelah saling menjura, Serigala Merah segera
meninggalkan tepian Hutan Kawi-kawi, berlari ke arah
tenggara menuju tempat yang tadi dikatakannya.
Pendekar Gila nampak masih berdiri di bawah
pohon beringin yang rindang. Wajahnya nampak
nyengir, memandang ke angkasa. Matahari bersinar
dengan teriknya, seperti hendak memanggang bumi.
“Aha, mengapa aku diam di sini?” gumam Sena
mengalihkan pandangannya ke selatan. Di sana
tampak Gunung Petruk menjulang tinggi. Sena masih
pikir-pikir, hendak ke arah manakah kakinya berjalan.
Apakah hendak berjalan ke arah tenggara menyusul
Serigala Merah? Atau hendak ke selatan, ke Gunung
Petruk?
Belum juga Sena sempat menentukan tujuan
nampak dari arah barat tiga orang lelaki berjalan
menuju arahnya. Tiga lelaki berpakaian kuning itu
tampak berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada
sesuatu yang mendorong mereka mempercepat
langkah.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, melihat
ketiga lelaki berpakaian kuning itu. Apalagi ketika
tahu kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan
orang-orang sesat.
“Hm, ada apa kiranya? Nampaknya Tri Pakit
Palimping juga hendak menuju ke arah yang tadi
dituju Serigala Merah,” gumam Sena.
Apa yang diduganya benar juga. Tri Pakit
Palimpingkini dengan terburu-buru dan mempercepat
langkah kaki mereka setelah melihat Pendekar Gila
berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki
berpakaian kuning itu tampak segan jika bertemu
dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka
bergegas meninggalkan tempat itu dengan setengah
berlari.
Sena tertawa-tawa menyaksikan ketiganya yang
tampak segan padanya. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan bibir masih tersenyum-senyum.
“Sebaiknya aku ke sana, agar bisa melihat apa
yang terjadi...,” kata Sena. Kemudian dia pun
melangkah meninggalkan tempat itu, menuju arah
tenggara menyusul Serigala Merah dan Tri Pakit
Palimping.
Angin siang berhembus perlahan, menambah rasa
kantuk semakin menyekat. Gemerisik daun kering
terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu
beterbangan, dihembus angin yang cukup kencang.
Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok akhirnya
terdengar. Keduanya dikabarkan telah binasa di
Lembah Akherat. Hal itu cukup mengejutkan para
pendekar yang hendak menuju ke lembah tersebut.
Mereka kini berpikir lagi. Sepertinya mereka tidak
ingin mengalami nasib yang dialami Dewa-Dewi Paras
Elok.
Di sebuah kedai yang terletak di sebelah barat
Desa Kalimas, nampak berkumpul para pendekar,
baik dari aliran lurus maupun sesat. Kedai itu cukup
besar, sekitar sepuluh tombak di samping kedai itu,
ada sebuah penginapan yang cukup luas. Sehingga
bagi mereka yang hendak menginap, tinggal berjalan
beberapa langkah saja. Beberapa orang pendekar
pun telah berada di penginapan itu.
Di kedai itu, nampak Serigala Merah, Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu, Nyi Rawit Abang dan Ki Braga
Kumba, Tri Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar
lainnya.
“Kurasa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-
sendiri,” kata Serigala Merah.
“Memang benar,” sahut Nyi Rawit Abang. “Kurasa
kita harus bersatu untuk mendapatkan Bocah Sakti
itu.”
“Tidak bisa!” bantah lelaki berbadan besar dengan
kepala botak di atasnya. Dia salah seorang dari Tiga
Pakit Palimping. “Kami bertiga, mengapa harus takut
menghadapi Penghuni Pulau Karang Api?”
“Aha, benar juga katamu, Kisanak. Kami bertujuh
mengapa mesti takut pada penghuni Pulau Karang
Api?” timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia
adalah salah satu anggota Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu memang memakai
pakaian berbeda.
Orang pertama yang tadi berbicara bernama
Sadra. Berbadan tegap dengan wajah bengis dihiasi
cambang bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak
terlalu panjang. Hidungnya besar dengan mata lebar.
Orang kedua yang memakai pakaian merah muda
bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi, gagah, dan
tegap, hidungnya kecil, namun tidak mancung.
Rambutnya lurus dengan ikat kepala merah muda.
Begitu juga dengan yang lainnya, memiliki ciri
tersendiri dengan keadaan yang lain. Namun watak
mereka sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang
datang dari sarang hantu.
Serigala Merah mendengus, begitu juga dengan Ki
Rawit Abang serta Ki Braga Kumba. Kemudian
setelah membayar semua yang dia pesan, Serigala
Merah pun meninggalkan kedai untuk meneruskan
perjalanannya menuju Lembah Akherat yang sudah
tak begitu jauh dari Desa Kalimas.
Panas matahari memanggang bumi, namun
Serigala Merah bagaikan tidak menghiraukannya.
Kakinya terus melangkah di jalan berdebu yang
menghubungkan Desa Kalimas dengan Lembah
Akherat.
“Huh! Jauh juga jarak Desa Kalimas dengan
Lembah Akherat,” dengus Serigala Merah sambil
menyeka keringat yang bercucuran karena terik
matahari yang menyengat.
Serigala Merah sesaat menghentikan langkahnya.
Matanya menatap ke sekelilingnya yang sepi. Hanya
hamparan tanah kering berpasir yang tampak
sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul
ke udara.
“Hm, mengapa aku harus lewat dari arah sini?”
keluh Serigala Merah, merasa bahwa jalan yang
dilaluinya ternyata salah. Kini dia harus mengarungi
hamparan pasir yang sangat panas, apalagi dengan
teriknya matahari siang.
Beberapa kali disekanya keringat yang terus
mengalir di dahi, leher dan wajahnya, sambil terus
melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin
putus asa dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia
harus mendapatkan kemenangan dalam sayembara
itu. Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang
kaya.
“Seandainya aku dapat memenangkan sayembara
itu, aku akan menjadi orang kaya. Hhh..., akan
kubangun rumah yang megah untuk hidupku yang
telah lelah ini. Akan kucari istri yang cantik lalu aku
dapat hidup tenang...,” ujar Serigala Merah saja terus
membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah
memenangkan sayembara.
Serigala Merah memang telah merasa jenuh hidup
mengembara menjadi pendekar. Tak pernah ada
urusan duniawi yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat
sekali dapat menikmati sisa hidupnya dalam
ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga, dapat
bersanding bersama istri yang cantik, dengan rumah
yang megah dan mewah.
“Persetan dengan apa yang akan dikatakan
pendekar lain dan orang-orang rimba persilatan,”
gumam Serigala Merah yang merasa selama ini
pengembaraannya tak ada artinya. Pertarungan demi
pertarungan telah dialami. Itu pula yang menyebab-
kan dirinya merasa jemu dengan pengembaraan. Dia
ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan
berkecukupan. Dan itu pula yang menjadikan dia
selama ini senantiasa berusaha mencari sayembara
(Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode “Tengkorak Darah”).
Bayangan dapat hidup tenang sebagai orang kaya
itulah yang seketika memacu semangatnya. Semula
hatinya mulai lemah dan hampir putus asa akibat
rasa panas yang menyengat. Kini kembali bergairah.
Langkah-langkahnya yang tadi pendek, kini panjang-
panjang dan lebih cepat. Hatinya berharap segera
sampai di tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa
yang dibayangkan.
“Ha ha ha! Serigala Merah akan menjadi orang
kaya...!” seru Serigala Merah sambil tertawa-tawa.
Kakinya terus melangkah penuh semangat,
menyelusuri jalanan berpasir yang panasnya terasa
sangat menyengat. Namun Serigala Merah tidak
peduli, terus melangkah tanpa mengenal lelah.
Ketika matahari agak condong ke arah barat,
Serigala Merah sampai di tempat yang dituju. Lembah
Akherat yang membentang luas telah ada di
hadapannya.
“Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat yang
kutuju. Hm, tentunya danau itulah yang dimaksud
Danau Sambak Neraka...,” gumam Serigala Merah
berbicara pada diri sendiri.
Serigala Merah kembali melangkah dengan penuh
semangat, berusaha mencapai Danau Sambak
Neraka. Namun tiba-tiba matanya terbelalak ketika
melihat dua ekor naga berwarna merah. Naga itu
secara tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak
matanya merah laksana api yang membara.
“Ghrrrmh...! Ghrrrmh...!”
Suara menggelegar terdengar dari mulut kedua
naga berwarna merah itu.
“Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?!” tanya
Serigala Merah dengan mata membelalak, menyaksi-
kan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua
ekor naga berwarna merah membara laksana
diselimuti api. Kini naga itu memandang ke arahnya
dengan tajam.
“Ghrrrrrh...! Ghrrrrrrh...!''
Kedua naga itu menggeliat-geliat seperti
menampakkan kemarahan. Kepalanya bergerak ke
sana ke mari seperti berusaha mengusir Serigala
Merah dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api
yang terasa sangat panas.
“Ghrrrmh...!”
Slarts...!
“Hah?! Ular setan...!” maki Serigala Merah sambil
melompat mengelakkan hantaman sinar yang keluar
dari kedua naga itu.
Blarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar seketika terdengar,
ketika sinar merah yang keluar dari mulut kedua naga
itu menghantam tanah berpasir. Seketika pasir
berhamburan, membubung tinggi sampai sekitar lima
puluh tombak tingginya.
“Astaga...! Sinar itu bukan sembarangan!” gumam
Serigala Merah dengan mata membelalak. Tangannya
yang semula bersidekap segera menarik sepasang
golok, kemudian dengan cepat disilangkan di depan
dada ketika sinar merah kembali melesat dari mulut
kedua naga itu.
“Ghrrrmh...!”
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah menyembur dari mulut naga
yang tampak murka itu.
“Heaaa...!”
Wut! Trang...!
Terdengar suara benturan yang sangat keras,
diikuti oleh pekikan kaget Serigala Merah. Sinar
merah yang meluncur cepat ke arahnya membentur
goloknya.
“Akh...!”
Serigala Merah segera melepas goloknya yang
membara merah bagai terbakar api. Seketika tangan-
nya dirasakan begitu panas, bahkan seperti melepuh.
Rasa panas itu juga dirasakan di seluruh tubuhnya.
“Edan! Binatang sinting!” maki Serigala Merah
dengan mata melotot garang. “Kalian harus kuhajar
Heaaat...!”
Serigala Merah segera mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi. Kemudian disilangkan di atas
kepala dengan telapak tangan membuka. Setelah itu,
kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas
dalam dalam. Lalu....
“'Brajamukti'! Heaaa...!”
Dengan mengeluarkan suara keras, Serigala
Merah segera menghantamkan pukulan saktinya
yang bernama 'Brajamukti'. Kedua telapak tangan-
nya menghentak keras ke arah kedua naga yang
tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau
Sambak Neraka.
Wut...!
Putaran api yang bergerigi-gerigi melesat dari
pukulan dahsyat Serigala Merah. Putaran api itu
melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya
kedua naga itu mengerti. Sebelum kedua gulungan
sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua
binatang itu menyelam ke dalam air. Hal itu
menjadikan sinar merah bergulung melesat ke Pulau
Karang Api, membentur bagian pulau itu.
Glarrr...!
Sisi sebelah timur Pulau Karang Api runtuh,
terkena hantaman aji 'Brajamukti' yang dilancarkan
Serigala Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau
Karang Api yang belum diketahui siapa adanya,
marah dan dengan gusar terdengar suaranya
membentak.
“Kurang ajar! Ada manusia yang mencari mati
rupanya! Terimalah kematianmu...!”
Sesaat setelah ucapan itu selesai, dari Pulau
Karang Api berhembus angin bergulung-gulung ke
arah Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu
tersentak kaget. Baru kali ini dilihatnya sesuatu yang
mengerikkan. Angin membadai itu, tiba-tiba datang
dari balik Pulau Karang Api.
'“Inti Bayu'...!” pekik Serigala Merah ketika
mengenali ilmu yang kini mengarah ke arahnya.
“Hei?! Bukankah itu ilmu Pendekar Gila?”
Serigala Merah tertegun tak mengerti dengan
semua kejadian di tempat itu. Hatinya benar-benar
heran, mengapa ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila
kini datang dari Pulau Karang Api.
Wusss...!
“Heaaa...!”
Dengan teriakan keras, Serigala Merah bersalto
mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh entah
siapa berupa angin membadai.
“Tidak mungkin! Ilmu ini milik Pendekar Gila,”
gumamnya terheran-heran.
Merasa serangan pertama gagal, sesuatu yang
berada di balik Pulau Karang Api kembali melakukan
serangan dengan ajian lainnya Serigala Merah
kembali terkejut. Ajian yang kini keluar dan
menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan
dikenalnya pula.
“Inti Brahma'...?!” Serigala Merah terpekik kaget,
setelah tahu pukulan yang kini menyerangnya. Tubuh-
nya dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara
api yang membara.
“Pendekar Gila yang menyerangku?”
Serigala Merah berusaha bertahan dari serangan
hawa panas yang menyengat. Hawa panas itu
ditimbulkan oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah
siapa pelakunya. Serigala Merah menyangka kalau
Pendekar Gila pelaku semuanya.
“Tobat, Sena! Jangan kau lakukan ini...!” ratap
Serigala Merah merasakan siksaan yang tak ter-
bendung. Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas
bara api yang membara. Terasa begitu panas,
melebihi panas matahari yang siang tadi
memanggangnya. Malah jauh lebih panas. Sampai-
sampai tubuhnya terasa mulai melepuh.
Belum juga hawa panas itu menghilang, seketika
dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar
laksana cambuk meluncur ke arah Serigala Merah.
Wuuut...!
Clat!
“Tobaaat...!” Serigala Merah melolong tinggi.
Tubuhnya sesaat mengejang, kemudian ambruk
dengan tubuh gosong. Di dadanya terdapat luka-luka
bagai digores pedang. Puluhan jarum beracun
menancap di wajah dan dadanya. Sungguh tragis
kematian Serigala Merah. Harapannya untuk menjadi
orang kaya melayang bersama nyawanya.
Senja yang cerah tampak begitu indah menyelimuti
suasana di sekitar Danau Sambak Neraka. Suasana
itu sangat berbeda dengan keadaan nasib yang
diterima Serigala Merah. Baru saja benaknya di-
penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya
tewas mengenaskan di Lembah Akherat. Matahari
seperti tidak menghiraukan kejadian itu, terus
menyusup di dua gumpalan awan putih di sebelah
barat. Senja pun semakin tua mengantar kepergian
nyawa Serigala Merah.
***
LIMA
“Bagaimana kabar para pendekar yang mengikuti
sayembaraku...?” tanya Sumantri pada keempat anak
buahnya yang saat itu tengah menghadapnya.
“Nampaknya mereka mengalami kesulitan, Tuan,”
jawab Jalna Kumilang.
“Hm...,” gumam Sumantri tak jelas.
Nampaknya lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini
merasa prihatin mendengar kegagalan para pendekar
yang mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin
bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah bersisik dan
penghuni Pulau Karang Api yang berada di tengah
Danau Sambak Neraka.
“Kabar terakhir yang kami dengar, Tri Pakit
Palimping juga didapatkan telah tewas dengan
keadaan yang sama dengan korban-korban sebelum-
nya,” sambung Sugatra sambil menggeleng-geleng-
kan kepala.
“Sepertinya, mereka mati oleh cambuk berapi dan
puluhan jarum-jarum beracun,” tambah Sugatri.
Sumantri menghela napas panjang, mendengar
penuturan tangan kanannya. Dia semakin tidak habis
pikir, siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik
dan juga siapa penghuni Pulau Karang Api yang
memiliki ilmu kesaktian tinggi itu?
“Apakah belum ada yang mampu menundukkan
penghuni Pulau Karang Api...?” tanya Sumantri.
“Kami rasa belum, Tuan,” jawab Jalna Kumilang.
“Hm...,” gumam Sumantri sambil bertopang dagu
dengan jari-jari tangan kanannya. Matanya me-
mandang lepas ke pintu rumahnya. Di sana empat
orang penjaga lengkap dengan senjata tombak
berada.
Sumantri berdiri dari duduknya, kemudian
melangkah menuju ke pintu. Dihelanya napas
panjang-panjang, kemudian dengan tubuh mem-
belakangi keempat anak buahnya dia mendesah
gelisah.
“Selama ini, aku belum juga mengerti. Ke mana
hilangnya Anjasmara dan Sambi? Mereka bagaikan
ditelan bumi,” gumam Sumantri lirih. Kemudian
perlahan membalikkan tubuh, memandang keempat
anak buahnya.
“Apa Tuan yakin mereka masih hidup?” tanya Iblis
Selendang Ungu.
“Entahlah. Mungkin mereka masih hidup,”
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Sesaat
ucapannya berhenti. “Menurut cerita, siapa pun yang
datang ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau
mati mengapa tak ada bangkainya...?”
Keempat anak buah juragan kaya itu terdiam.
Mereka tampaknya turut berpikir mengenai pendapat
Sumantri. Memang rasanya aneh kalau orang mati
selama puluhan tahun belum juga ditemukan
kerangkanya.
“Apakah tidak mungkin mereka memiliki ilmu
menghilang?” tanya Iblis Selendang Ungu memecah
kesunyian.
“Ilmu menghilang? Dari mana mereka mendapat-
kannya? Guru kami tak pernah mengajari ilmu itu.
Lagi pula, ilmu itu hanya berguna sebentar. Tidak ada
orang yang menggunakan ilmu menghilang sampai
puluhan tahun?” tanya Sumantri sambil tersenyum
kecut.
Kembali semuanya terdiam, tak ada yang dapat
menjawab kemisteriusan semua perisriwa yang
terjadi. Baik penghuni Pulau Karang Api, maupun
lenyapnya suami istri Anjasmara dan Sambi yang
belum diketahui bagaimana nasib mereka sebenar-
nya.
“Coba kalian pikir!” tiba-tiba Sumantri angkat
bicara setelah lama terdiam. Hal itu membuat
keempat anak buahnya tersentak. “Aku punya
pendapat mungkin bocah itu anak Anjasmara dan
Sambi.”
Seketika keempat anak buahnya tersentak kaget.
Mata mereka terbelalak mendengar penuturan
Sumantri. Kemudian keempatnya saling ber-
pandangan.
“Bagaimana mungkin, Tuan?” Tanya Jalna
Kumilang merasa heran dan tak mengerti.
“Ya! Bagaimana mungkin manusia bisa punya
turunan bocah ular?” sambung Sugatra.
Sumantri tersenyum kecut.
“Aku baru ingat sekarang. Mereka pasti mendapat
kutuk penghuni Pulau Karang Api. Puluhan tahun
lamanya, tak seorang manusia pun yang berani ke
tempat itu. Tiba-tiba muncul sepasang suami istri,
kedua adik seperguruanku itu,” jawab Sumantri, yang
semakin menyentakkan semua anak buahnya. Kini
mereka baru tahu, kalau Pulau Karang Api bukanlah
pulau sembarangan.
“Jadi, siapa pun yang ke Lembah Akherat akan
mengalami kematian. Begitu...?” tanya Jalna
Kumilang menegaskan maksud Sumantri.
“Benar! Mereka telah menjadi mangsa penunggu
danau keramat itu!” sahut Sumantri.
“Lalu mengapa Tuan membuat sayembara?”
“Hua ha ha...! Kau cerdas juga, Jalna. Sebenarnya
aku ingin menjadi orang yang paling sakti dan nomor
satu di rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin
meyakinkan kalau Anjasmara dan Sambi telah tewas.
Sejak aku pergi ke Lembah Akherat, aku sudah
menduga bahwa tak ada seorang pun yang sanggup
datang ke tempat itu....”
“Ada...!”
Tiba-tiba dari luar terdengar sahutan keras, diikuti
oleh tawa menggelegar yang disertai pengerahan
tenaga dalam. Tidak begitu lama kemudian,
berkelebat masuk sesosok tubuh pemuda tampan
berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari
kulit ular. Tingkah laku pemuda itu seperti orang gila,
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Baik
Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak
kaget bukan kepalang.
“He he he...! Mengapa mesti berputus asa? Tidak
baik manusia cepat putus asa,” ujar pemuda tampan
yang ternyata Pendekar Gila.
Sumantri dan keempat anak buahnya mengerut-
kan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda yang
baru datang itu. Tingkah lakunya persis orang gila.
“Siapakah kau, Kisanak?” tanya Sumantri.
“Aha, lucu sekali. Mengapa mesti bertanya siapa
diriku? Yang pasti, aku akan ke Lembah Akherat yang
kau katakan tadi, Ki.”
“Jadi kau ingin mengikuti sayembara?” tanya
Sumantri.
“Sayembara...? Ha ha ha...! Lucu sekali
omonganmu. Kurasa aku tidak ikut sayembaramu,”
jawab Sena seenaknya, membuat semua orang yang
ada di tempat itu semakin mengerutkan keningnya.
Agak marah juga mereka mendengar perkataan Sena
dan tingkah lakunya yang persis orang gila.
“Bocah edan! Kalau tidak ikut sayembara, untuk
apa kau datang kemari?!” bentak Sumantri gusar.
“Aha, mengapa mesti marah? Tidak bolehkah aku
ikut ngobrol bersama kalian?” tanya Sena masih
dengan ucapan seenaknya. Kemudian dengan acuh
kakinya melangkah ke kursi yang tadi diduduki
Sumantri, dan langsung duduk di sana.
“Bocah edan! Jangan sembarangan kau di sini. Ini
bukan tempat nenek moyangmu! Pergi dari sini!”
dengus Jalna Kumilang seraya menyambarkan
tangannya ke kepala Pendekar Gila.
Wut!
“Uts! Galak sekali kau, Ki! Eh, meleset! He he...!”
ujar Sena sambil merundukkan kepala sehingga
serangan lelaki setengah baya itu melesat beberapa
jari di atas kepalanya.
Merasa serangannya gagal, Jalna Kumilang ber-
tambah marah. Dia hendak kembali menyerang,
tapi....
“Tunggu....!” ujar Sumantri, mencegah tindakan
Jalna Kumilang.
“Tuan, biar kuhajar bocah gila ini!” dengus Jalna
Kumilang marah dan malu, karena serangannya yang
menjadi andalan jurus silatnya dengan mudah
dielakkan lawan.
“Sabar, Ki,” kata Sumantri seraya melangkah men-
dekati Sena. “Anak muda, katakan... siapa sebenar-
nya dirimu! Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini
tanpa permisi?”
“Permisi? Ha ha ha...! Untuk apa permisi? Kalian
saja kalau berbuat sesuatu tanpa permisi. Lucu
sekali…”
Semakin bertambah berang saja keempat anak
buah Sumantri mendengar ucapan pemuda yang
konyol itu. Mata mereka membelalak penuh amarah.
“Bocah edan ini memang harus dihajar, Tuan!”
kata Sugatra yang nampaknya sudah muak dengan
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
“Sabar, Sugatra!” cegah Sumantri. “Anak muda,
apa maksud kata-katamu?” tanyanya pada Sena.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, masih juga kalian lupa? Kalian telah
mengadakan sayembara tanpa mengundang orang-
orang persilatan untuk berembuk. Juga kalian tidak
mengundang pihak Kadipaten Lumajang dan
Kerajaan Pahulu.”
Terbelalak mata Sumantri dan keempat anak
buahnya. Mereka semakin bertambah marah dan
begitu tersinggung dengan ucapan pemuda yang
bertingkah laku gila itu.
“Bocah gila! Apa urusanmu?” bentak Sumantri
yang semakin gusar. “Kalau kau mau ikut sayembara-
ku, tak perlu banyak tanya. Ikuti saja! Kalau kau
menang, dan dapat mengambil bocah bersisik ular,
kau akan kuberi hadiah separo hartaku!”
“Aha, tawaran yang sangat menggiurkan. Hm....
Baiklah. Aku hendak mengikuti sayembaramu. Nah,
kini katakan, ke mana aku harus pergi agar sampai di
tempat yang kau maksudkan,” kata Sena sambil
masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
“Berjalanlah lurus ke arah selatan. Kira-kira
setengah hari perjalanan, kau akan sampai,” kata
Sumantri menjelaskan, berusaha menahan amarah
atas tingkah laku pemuda yang seperti orang gila itu.
“Aha, terima kasih. Sediakan hadiahnya, aku akan
segera kembali kemari!” ujar Sena seenaknya.
Tentu saja tingkah pemuda itu membuat kaget
keempat anak buah Sumantri. Mata mereka langsung
melotot. Namun Sumantri segera mengangkat tangan
memerintah agar mereka tidak keburu nafsu.
Kemudian didekatinya Jalna Kumilang sambil ber-
bisik.
“Biarkan saja pemuda edan ini mati di sana.
Bukankah dengan begitu kita tidak perlu turun
tangan?”
Sumantri tertawa terbahak-bahak. Begitu juga
Jalna Kumilang dan lainnya setelah mendengar
bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam
mendengar bisikan Sumantri, turut tertawa tergelak-
gelak. Hal itu membuat semuanya tersentak dan
diam. Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila
mendengar bisik-bisik mereka. Pendengaran Sena
yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam
Rungu'nya tentu saja dapat mendengar suara sekecil
apa pun jika menggunakan ilmu itu.
“Kenapa diam? Ha ha ha...! Enak sekali tertawa di
malam hari begini, Kisanak. Ayo, kita tertawa, ha
ha...!” kata Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kini berjingkrak-jingkrak tidak ubahnya
seperti seekor kera yang kegirangan.
Kelima orang yang ada di tempat itu semakin
membelalakkan mata, menyaksikan tingkah laku
Pendekar Gila yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-
nya.
“Aha, kenapa kalian seperti patung? Hi hi hi...!
Ayolah, kita senang-senang merayakan kemenangan-
ku!” katanya dengan tingkah laku konyol. Tubuhnya
berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet
***
Melihat kelima lelaki itu masih terdiam, tawa
Pendekar Gila semakin keras dan tergelak-gelak.
Tingkah lakunya semakin bertambah konyol,
dianggapnya ruangan rumah Sumantri sebagai arena
untuk tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak.
“He he he...! Lucu sekali kalian. Jika begitu, kalian
mirip dengan patung-patung bloon. Ha ha ha...!”
“Kurang ajar!” maki Sugatra. “Bocah sinting ini
tidak bisa didiamkan, Tuan!”
“Ya! Bisa-bisa kurang ajar!” tambah Sugatri.
“Hm...,” Sumantri bergumam lirih. Matanya tak
lepas memandangi pemuda bertingkah gila di
hadapannya yang masih berjingkrakan sambil
tertawa-tawa.
Hal serupa juga dilakukan Iblis Selendang Ungu.
Gadis cantik yang sifarnya buruk itu, pandangan
matanya tak lepas menatap Pendekar Gila. Kening-
nya berkerut, rasa kesal dan tertarik pada
ketampanan serta tingkah laku pemuda itu beraduk
menjadi satu di dadanya.
Siapakah pemuda gila ini? Tanya Iblis Selendang
Ungu dalam hati. Matanya masih menatap tajam
pada Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil
berjingkrak-jingkrak.
Tingkah lakunya, mengingatkan aku pada
pendekar yang namanya sedang menjadi bahan
pembicaraan orang-orang rimba persilatan! Gumam
Suma dalam hati dengan mata tak lepas merayapi
tubuh Pendekar Gila. Mungkinkah pemuda ini
orangnya?
“Hua ha ha...! Kenapa kalian masih diam?
Bukankah kalian tadi mengajakku tertawa? Hi hi
hi...!” masih terus tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
kali tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu
menepuk-nepuk pantat.
“Anak muda, kami rasa tak ada salahnya sebelum
kau mengikuti sayembaraku, kita berkenalan lebih
dulu,” ujar Sumantri berusaha ramah sambil
mengulurkan tangannya ke arah Pendekar Gila.
Sena malah tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya tangan Sumantri
kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar
kaya itu. Lalu dengan mulut masih cengengesan,
dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak
Sumantri terbelalak kaget, karena jabatan tangan
Pendekar Gila begitu keras dan dialiri tenaga dalam
yang amat kuat.
“Aku Sena,” ujar Pendekar Gila cengengesan
melihat Sumantri meringis-ringis dengan mata
membelalak. Hal itu membuat keempat anak
buahnya semakin marah.
“Bocah edan! Rupanya kau ingin menunjukkan
kebolehanmu! Hadapi aku Jalna Kumilang!” bentak
Jalna Kumilang sambil bergerak menyerang Pendekar
Gila yang cengengesan.
Sementara Sumantri yang meringis-ringis,
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengimbangi tenaga lawan.
“Yeaaa...!”
Dengan jurus 'Landung Sangkul' Jalna Kumila
bergerak menusuk ke wajah Pendekar Gila.
“Heits! Galak sekali kau, Ki!”
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke belakang,
Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan Jalna
Kumilang. Kemudian dengan melepaskan tangannya
dari genggaman tangan Sumantri, Pendekar Gila
bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari,
bergerak maju dengan kaki yang terlihat pelan dan
aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna
Kumilang.
“Heaaa...!”
Tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke dada
lawan. Jalna Kumilang tersentak kaget dengan mata
terbelelak. Sungguh tidak disangkanya kalau tangan
pemuda itu bergerak begitu cepat. Padahal gerakan
Pendekar Gila tampak pelan dan lemah sekali.
“Celaka! Jurus siluman!” pekik Jalna Kumilang
dengan mata tegang, merasa gerakannya kini mati
langkah. Hampir saja tangan Pendekar Gila meng-
hantam dada Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah
pukulan yang keras menghadangnya.
“Heaaa..!”
Sebuah teriakan mengiringi serangan Sugatra.
Dan....
Plak!
“Ugkh...!”
Sugatra mengeluh. Dirasakan tangannya kesakitan
akibat benturan keras dengan Pendekar Gila. Dia
segera melompat dengan mulut menyeringai
kesakitan, memandang Sena yang tampak tengah
cengengesan menggaruk-garuk kepala, serta me-
nepuk pantat seperti kera.
Melihat tangan kakaknya terluka, Sugatri dengan
mendengus langsung merangsek Pendekar Gila.
Tidak tanggung-tanggung lagi, dia segera mencabut
senjatanya yang berupa golok mengeluarkan sinar
biru.
“Kuhancurkan kepalamu! Heaaa...!”
Wut! Wut!
Golok bersinar biru berkelebat membabat kepala
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena meng-
egoskan tubuh ke samping. Disertai tingkah lakunya
yang konyol seperti seekor kera. Sena bergerak
menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
Tubuhnya bergerak seperti melepas lilitan yang
mengikatnya, berputar ke kiri. Hal itu membuat jurus
'Gerak Kala Mengatup' yang dilancarkan Sugatri tak
menemui sasaran.
Setiap serangan datang, dengan cepat Pendekar
Gila bergerak menghindar. Tubuhnya berputar,
kemudian berbalik menyerang lawan dengan pukulan
dan tendangan. Meski sepinras gerakannya terlihat
lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang
dilakukannya mampu melebih kecepatan gerakan
lawan.
“Hiaaat..!”
Diiringi pekikan keras, Sugatri melompat cepat.
Hatinya semakin bernafsu menyerang Sena, karena
merasa serangan andalannya tidak berhasil. Meski-
pun Sugatri telah melancarkan serangan dengan
cepat. Kini dia mulai menambah kecepatan ber-
geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala
Merah Beracun'.
Wut! Wut...!
Golok di tangan Sugatri terus bergerak cepat
dengan tebasan dan sodokan ke bagian tubuh yang
mematikan lawan. Namun dengan mudah Pendekar
Gila mampu mengelakkan setiap serangan dengan
gerakan-gerakan yang tampak lamban.
“Uts! He he he...! Kurang cepat, Ki! Coba kau
terima ini!” sambil berkata begitu, dengan cepat
Pendekar Gila melayangkan jotosan ke wajah lawan-
nya.
“Hih...!”
Sugatri tersentak mendapatkan serangan yang
kelihatan lambat namun tahu-tahu berkelebat di
depannya. Sugatri berusaha mengelak, tapi rupanya
gerakan Pendekar Gila tak dapat diimbanginya.
Maka....
Bugkh!
“Wuaaa...!” pekik Sugatri. Tubuh lelaki berpakaian
merah itu terlontar ke belakang dan terbanting ke
meja tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah
seorang dari Sepasang Kera Bergolok Biru itu melorot
keras, kemudian jatuh menimpa kursi sampai
berantakan.
Semakin bertambah marah semuanya melihat
tingkah laku pemuda bertampang gila yang telah
mampu mempecundangi Sugatri, bahkan membuat-
nya terluka
“Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin
merasakan pukulanku!” dengus Jalna Kumilang
marah. “Tuan, izinkan aku menghajar bocah sombong
ini!”
“Sombong...? Hi hi hi...! Kalianlah yang sombong,
ada pesta tidak mengundang-undang aku,” sahut
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
“Huh! Dasar bocah gila! Rupanya kau harus
dihajar!” maki Jalna Kumilang. Wajahnya membara
oleh amarah. Namun karena Sumantri nampaknya
belum mengizinkan, Jalna Kumilang masih berusaha
menahan kesabaran.
“Sabar, Ki!” kata Sumantri. Didekatinya Jalna
Kumilang, kemudian dengan berbisik Sumantri
mengatakan sesuatu pada lelaki setengah baya itu.
“Kalian tak akan mampu menghadapinya, Ki.”
“Kenapa?”
“Dia bukan pemuda gila sembarangan. Kurasa
dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir ini namanya
sedang membubung tinggi,” bisik Sumantri men-
jelaskan.
Terbelalak mata Jalna Kumilang setelah tahu siapa
pemuda bertampang dan bertingkah laku seperti
orang gila itu. Matanya memandang tak berkedip
pada Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang baru
menyadari siapa sesungguhnya pemuda tampan itu.
Sumantri dengan bibir masih tersenyum, me-
langkah mendekati Pendekar Gila.
“Tuan Pendekar, kami harap Tuan sudilah me-
maafkan kami!” kata Sumantri berusaha membujuk
Pendekar Gila agar tak meneruskan pertarungan itu.
Sumantri nampaknya menyadari, bagaimanapun dia
dan keempat anak buahnya tak mungkin mampu
mengalahkan pemuda yang bertingkah gila itu.
“Aha, kenapa tidak sejak tadi? Lucu sekali kalian,”
sahut Sena dengan tingkah laku yang tak luput dari
cengengesan dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
“Untuk itulah, kami minta maaf. Dan kalau
memang Tuan bermaksud mengikuti sayembara yang
ku adakan, silakan Tuan datang ke Lembah Akherat.
Kalau Tuan mampu menangkap bocah bersisik itu,
kami akan memberikan sebagian harta kami,” tutur
Sumantri.
“Aha, menyenangkan! Baiklah kalau memang
begitu, aku akan segera ke sana. Permisi...!”
Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat
meninggalkan Sumantri dan keempat anak buahnya
yang masih menyimpan amarah.
“Jadi dia Pendekar Gila, Tuan?” tanya Iblis
Selendang Ungu.
“Ya! Percuma saja kita berurusan dengannya. Yang
pasti, kita harus mempersiapkan penyambutannya.
Cepat atau lambat, tentunya dia akan datang ke
tempat ini. Untuk itulah, kuharapkan kalian mencari
teman sebanyak mungkin guna menghadapinya!”
kata Sumantri.
“Apakah Tuan tak percaya kemampuan kami?”
tanya Sugatra merasa kurang senang.
“Bukan aku tak percaya pada kalian. Tapi
percayalah, guruku saja mungkin tak akan sanggup
menghadapinya. Dan aku sendiri besok akan
memanggil guruku,” ujar Sumantri meyakinkan.
Keempat anak uahnya itu akhirnya menerima juga
pendapat majikan mereka. “Hei, ke mana para
penjaga?!”
Mereka serentak keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Mata mereka membelalak, ketika menyaksi-
kan delapan penjaga dalam keadaan tertotok.
“Tentunya sebelum masuk Pendekar Gila telah
menotok mereka lebih dahulu,” gumam Sumantri.
“Pantas dari tadi mereka tak muncul!” sambung
Iblis Selendang Ungu.
Mereka segera bergerak membebaskan totokan di
tubuh delapan penjaga keamanan di rumah saudagar
kaya itu.
***
ENAM
Pagi teramat dingin. Embun pun masih menempel di
dedaunan dan membasahi tanah. Mentari belum juga
muncul ke permukaan bumi. Hanya bias merah di
ufuk timur yang terlihat, pertanda kalau sang Raja
Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-burung
pun berkicau riang, seakan-akan hendak menikmati
indahnya suasana pagi.
Desa Kalimas yang merupakan desa terdekat
jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi itu masih sepi.
Belum ada seorang manusia pun yang keluar dari
rumahnya. Meskipun mungkin mereka sudah bangun.
Saat itu, tampak dua sosok manusia berjalan
menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka adalah
seorang lelaki dan perempuan berusia sekitar lima
puluh tahun. Kedua orang yang berpakaian hijau
muda merah itu tampak berjalan begitu intim
menembus suasana pagi yang dingin dan sunyi itu.
Yang wanita berambut diikat ke atas kepala,
dengan ujungnya terurai ke bawah. Bibirnya yang
keriput, menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi
Abang. Tubuhnya kecil dan tidak begitu tinggi,
kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-
kan. Itu sebabnya perempuan tua ini mendapat
julukan si Kijang Emas.
Sedang lelaki tua yang berjalan di sampingnya
berambut lurus tergerai. Tingginya lebih sekepala
dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-
nya tenang. Tubuhnya agak bungkuk, dengan jenggot
dan kumis menghias di wajahnya. Hidungnya
mancung, dan matanya agak menyipit. Dialah Ki
Braga Kumba.
Keduanya bermaksud berangkat ke Lembah
Akherat, atau tepatnya menuju Danau Sambak
Neraka. Keduanya seperti pendekar dan tokoh
persilatan lainnya, yang tertarik dengan kabar
mengenai munculnya bocah bersisik di Pulau Karang
Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah
mendapatkan bocah itu, untuk selanjutnya diserah-
kan pada Sumantri. Kedua, mereka juga ingin
membuktikan benar tidaknya kabar itu, serta ingin
tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Karang Api
yang selama ini belum seorang tokoh pun mampu
menjarah tempat itu.
“Masih jauhkah jarak yang harus kita tempuh, Ki?”
tanya Nyi Rawit Abang.
“Kurasa tidak, Nyi. Sebab kalau kita sudah
melewati Desa Kalimas, tinggal seperempat hari
dengan berjalan biasa, kita akan segera sampai,”
jawab Ki Braga Kumba berusaha menghibur hati
kekasihnya.
“Aku tak mengerti. Bagaimana mereka yang ke
Lembah Akherat benar-benar sampai ke akherat?
Mereka tidak pernah pulang,” gumam Nyi Rawit
Abang.
Ki Braga Kumba tersenyum kecut mendengar kata-
kata Nyi Rawit Abang. Keduanya memang bukan
suami istri, hanya merupakan sepasang kekasih.
Entah mengapa dari dulu mereka tidak juga menikah.
Mereka hanya menjalin hubungan kasih, sampai
keduanya sama-sama tua.
“Siapa sebenarnya penghuni Lembah Akherat?
Sampai-sampai tempat itu sangat ditakuti?” kembali
Nyi Rawit Abang bertanya, karena penasaran tentang
tempat keramat yang kini hendak mereka tuju.
“Mana aku tahu? Kalau tahu, sudah dari dulu ingin
ke tempat itu. Tentu penghuninya bukan
sembarangan. Buktinya tak seorang pun yang berani
datang ke tempat itu,” tutur Ki Braga Kumba.
“Hhh...,” Nyi Rawit Abang mendesah manja.
Matanya melotot nakal, menatap kekasihnya yang
hanya tersenyum cengengesan.
“Ngambek ya?” tanya Ki Braga Kumba.
“Huh!”
“Lho lho, kok marah?”
“Makanya, jelaskan!” sahut Nyi Rawit Abang
dengan suara manja.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum,
“Nampaknya kau semakin cantik jika merengut
begitu, Nyi.”
Kini Nyi Rawit Abang tersipu, mendengar rayuan
kekasihnya. Sifatnya yang seperti gadis belasan tahun
jelas masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu
genit jika disanjung sang Kekasih. Tingkah laku
keduanya memang sering nampak lucu, tidak
ubahnya sepasang remaja yang dimabuk asmara.
“Bisa saja kau, Ki.”
“Sungguh.”
Kembali Nyi Rawit Abang tersipu-sipu malu,
semakin bertambah keriput wajahnya. Tapi itulah
yang membuat Ki Braga Kumba semakin bertambah
senang. Buktinya hampir tiga puluh tahun mereka
menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah
terjadi perselisihan. Keduanya selalu intim. Di mana
ada Braga Kumba, di situ ada Nyi Rawit Abang.
Saking lengketnya, pasangan campuran dari
golongan hitam dan putih itu terkenal dengan
sebutan Pengantin Tua. Nyi Rawit Abang dari aliran
hitam, sedangkan Ki Braga Kumba berasal dari aliran
putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru
satu sama lain saling membantu.
Langkah mereka semakin mendekati tempat yang
dituju. Kini keduanya telah berada di luar batas Desa
Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang
menjadi pemisah antara Desa Kalimas dengan
wilayah Lembah Akherat
Mereka sedang melangkah memasuki Hutan Kawi-
kawi ketika tiba-tiba dikejutkan suara bentakan keras
yang disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah
mereka kenali.
“Berhenti...!”
“Tujuh Iblis dari Sarang Hantu! Ada apa kalian
menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Braga
Kumba dengan mata tajam menatap satu persatu
wajah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang rata-rata
memiliki sifat yang kasar dan bengis.
“Hm.... Apakah kalian lupa dengan kejadian dua
hari yang lalu di kedai?!” bentak Sadra, orang
pertama dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“He he he! Jelas kami ingat,” sahut Nyi Rawit
Abang. “Ada apa dengan kalian?”
“Jangan berpura-pura tak mengerti, Nyi! Jelas Kami
menghendaki nyawa kalian berdua! Kami tak ingin
kalian ikut campur dengan urusan ini!” tukas Saka
Gulu, orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Kurang ajar!” dengus Ki Braga Kumba. “Kalian
kira kami dapat digertak oleh iblis-iblis cacingan
macam kalian, heh?!”
“Bedebah! Lancang mulutmu, Tua Bangka!
Kurobek mulutmu!”
Usai berkata begitu, Sadra menggerakkan tangan
kanannya, sebagai isyarat pada keenam rekannya
untuk menyerang.
“Heaaa...!”
Melihat kekasihnya diserang, Nyi Rawit Abang tak
tinggal diam. Sambil mendengus marah, ditariknya
Cambuk Rambut Seribu yang menjadi senjatanya.
Kemudian dengan jurus 'Lecutan Kilat Cambuk
Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang.
“Kalian rupanya mencari mampus! Berani meng-
hadang Pengantin Tua! Heaaa...!”
Ctar! Ctar! Ctar...!
Ribuan rambut di ujung cambuk bergerak
menyerang ke arah tujuh lawannya. Rambut-rambut
di ujung cambuk itu laksana hidup, meliuk-liuk ke
sana kemari memburu mangsa.
Mendapatkan serangan seperti itu, Tujuh Iblis
Sarang Hantu segera melompat ke belakang.
Kemudian setelah memberi isyarat, mereka segera
membentuk sebuah lingkaran memutari kedua
lawannya dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'.
Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bergerak
dalam bentuk lingkaran. Tangan mereka bergerak
menyerang ke arah kedua lawannya yang berada di
tengah-tengah lingkaran. Gerakan itu pun membuat
Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening meng-
hadapinya.
“Hhh...! Kita harus bisa menembusnya, Nyi!”
gumam Ki Braga Kumba.
“Ya! Mari kita gunakan jurus 'Badai Menyapu
Karang'.”
“Mari! Heaaa...!”
“Hiaaa...!”
Kedua tokoh tua itu segera mengeluarkan jurus
'Badai Menyapu Karang'. Gerakan tubuh keduanya
sangat cepat, menimbulkan angin yang keras.
Wusss...!
Melihat lawan berusaha mendobrak pertahanan,
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu segera mempercepat
gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus
'Putaran Kincir Menyapu Badai' mereka bergerak
begitu cepat. Tangan dan kaki mereka tidak tinggal
diam, bergerak memukul dan menendang ke arah
lawan.
“Heaaat...!”
“Hiaaa...!”
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi
gerakan mereka menyerang dengan cepat
Wut...!
Prak!
“Ugkh!”
Nyi Rawit Abang mengeluh, ketika tangannya
berbenturan dengan tangan beberapa orang dari
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami
oleh Ki Braga Kumba. Keduanya meringis merasakan
sakit akibat benturan tangan tadi.
Namun bukan hanya kedua orang itu yang
merasakan sakit linu akibat benturan yang terjadi.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu juga tersentak
dengan mata melotot, mendapatkan serangan
mereka berantakan. Tangan mereka dirasakan ngilu.
Mata menatap tajam pada Pengantin Tua yang juga
beberapa langkah terhuyung mundur. Kini keduanya
sudah tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis
Sarang Hantu.
“Bedebah! Kalian rupanya masih sanggup meng-
hadapi kami!” dengus Saka Gulu.
“Huh! Apa susahnya menghadapi iblis-iblis
cacingan macam kalian?” ejek Ki Braga Kumba
seraya mencibir, membuat Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu bertambah marah.
“Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!”
maki Sadra, marah.
“Kalianlah yang mencari mampus!” bentak Nyi
Rawit Abang dengan mata melotot, merasa tidak
senang kekasihnya dibentak begitu rupa. “Kalau
kalian tak segera minggat, tak segan-segan kami
membunuh kalian!”
“Ha ha ha...!” Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tertawa
bergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Rawit Abang.
“Apakah tidak terbalik, Perempuan Lacur! Seharus-
nya kau minta ampun, karena telah membela pihak
lawan!” bentak lelaki berbadan gendut dengan
rambut dikuncir di atas kepala. Lelaki itu orang ketiga
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Cuh!! Apa peduli kalian?!” bentak Nyi Rawit Abang
tak mau kalah. “Rupanya kalian ngiri ya?!”
“Huh! Apa dikira kau wanita yang paling cantik?!”
dengus lelaki berhidung besar dengan kumis
menempel di ujung bibir. Dia orang keempat dari
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!”
Nyi Rawit Abang yang marah, kembali bergerak
menggempur lawan-lawannya dengan cambuk.
Rambut-rambut di ujung cambuknya bergerak lagi
menyapu ke wajah lawan dengan jurus 'Sapu Buana
Mekti'.
“Heaaa!”
Wut!
Melihat serangan itu, dengan cepat Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu tidak tinggal diam. Mereka segera
mencabut senjata yang berupa sabit. Kemudian
setelah mengelakkan serangan lawan, mereka
berbalik menyerang dengan jurus 'Sabit Maut Mencari
Jantung'.
Wut! Wut! Wut...!
“Heit..!”
Nyi Rawit Abang bergerak mengelak ke samping,
menghindari serangan yang mengarah ke bagian
tubuhnya yang mematikan.
Menyaksikan kekasihnya dalam desakan ketujuh
lawan, Ki Braga Kumba segera mencabut ikat
pinggangnya yang bernama Sabuk Sasra Geni.
Kemudian dengan jurus 'Sasra Geni' tingkat ketiga, Ki
Braga Kumba merangsek ke arah lawan.
“Heaaa...!”
Ki Braga Kumba dengan cepat terus memutar
Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan seketika
sekeliling tempat itu berubah menjadi panas mem-
bara. Hal itu membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
tersentak kaget Mereka segera melompat mundur,
menghindari sabetan sabuk lawan yang dahsyat.
“Hah?! Celaka...! Rupanya dia memiliki Sabuk
Sasra Geni!” pekik Sadra kaget dengan mata
membelalak. “Cepat kalian lakukan aji 'Penutup
Sukma'.”
Mendengar perintah Sadra, seketika keenam
rekan-rekannya merapalkan ajian 'Penutup Sukma'
Lalu setelah merapalkan ajian tersebut, ketujuhnya
kembali bergerak menyerang lawan.
“Heaaa...!”
“Yeaaat..!”
Pertarungan seru kembali terjadi. Masing-masing
pihak kini telah mengeluarkan jurus dan senjata
andalan masing-masing. Beberapa jurus telah mereka
keluarkan untuk mengalahkan lawan, namun sejauh
itu belum juga nampak siapa yang bakal menang dan
siapa yang bakal kalah.
“Heaaat...!”
“Yeaaah...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali melancarkan
serangan dahsyat mereka, menggempur pertahanan
lawan. Dua orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang
bergelar Tujuh Iblis dari Sarang Hantu nampaknya
sama-sama tangguh. Kedua orang tua itu bagaikan
sepasang kijang yang melompat dengan lincah,
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan
lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan
serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Ki Braga Kumba dengan Sabuk Sasra Geninya
yang melecut-lecut menimbulkan hawa panas, telah
mengerahkan jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit
Abang dengan Cambuk Rambut Seribunya juga tidak
mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus
'Sapuan Prahara Menghancur Karang' bergerak
menyerang dan berputar-putar memburu serangan
lawan.
Gabungan serangan kedua orang tua itu sangat
cepat dan lincah. Mereka bergantian menyerang ke
arah lawan, kemudian bergantian menutup per-
tahanannya.
“Heaaa...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang belum juga
dapat membuahkan hasil serangannya, semakin ber-
tambah penasaran. Mereka semakin mempercepat
serangan. Namun lawan tampaknya sangat alot untuk
dikalahkan.
Ketika pertarungan itu berlangsung sengit, tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras yang mengejut-
kan. Sehingga seketika mereka menghentikan per-
tarungan.
“Orang-orang sinting! Apa yang kalian perbuat di
sini?!”
Bersamaan dengan habisnya bentakan itu, ber-
kelebat sesosok bayangan. Dalam sekejap mata
sosok itu telah berdiri di antara mereka. Ternyata dia
seorang lelaki tua yang wajahnya nampak begitu
tenang. Di pundaknya tersampir sebilah pedang.
Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan
jenggot purih panjang dan berambut digelung ke atas
itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya
yang tampak tua terbalut jubah panjang berwarna
putih.
Semua yang ada di Hutan Kawi-kawi seketika
menundukkan kepala, setelah tahu siapa lelaki tua
yang baru datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah
nama yang asing bagi mereka, terutama dari
golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi
sebagai Dewa Pedang. Hal itu karena kehebatan ilmu
pedangnya, yang sampai saat ini belum tertandingi.
“Kalian hanya saling bantai! Apakah kalian tak
ingat kalau masih ada hal yang lebih penting?!” tanya
Ki Badawi.
Mereka masih terdiam, tak seorang pun yang
berani menentang kata-kata lelaki tua itu. Meski
mereka merasa belum tentu dapat dengan mudah
dikalah oleh orang tua itu. Namun mereka merasa
segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang
begitu tersohor dengan Pedang Darahnya.
“Sekarang dunia persilatan tengah kacau, dengan
kehadiran bocah edan yang telah membunuh para
pendekar!” tukas Ki Badawi.
Ki Braga Kumba tersentak mendengar nama
bocah edan yang tentunya Pendekar Gila. Orang tua
berusia sekitar lima puluh lima tahun yang semula
diam itu angkat bicara.
“Kurasa kau salah duga, Ki.”
Ki Badawi menoleh dan menatap pada Ki Braga
Kumba.
“Apa yang kau katakan, Kumba!” bentaknya keras.
“Maaf! Kurasa Ki Badawi telah salah tuduh.
Pemuda gila yang kau maksudkan, tentunya
Pendekar Gila, bukan?”
“Benar!”
“Salah! Kau salah besar jika menuduh dia
pengacau, Ki.”
“Jangan menggurui aku, Kumba!” bentak Ki
Badawi gusar. Matanya semakin membelalak marah,
merasa ucapannya telah ditentang oleh Ki Braga
Kumba. Entah mengapa, lelaki yang semula arif dan
penyabar itu kini nampak tak sabar dan cepat marah.
Ki Braga Kumba mengerutkan kening. Dia merasa
aneh dan tak mengerti dengan perubahan yang
dialami Ki Badawi. Mungkinkah karena usianya yang
telah tua, sehingga dia berubah? Tanya Ki Braga
Kumba dalam hati. Ah, kurasa bukan karena usia.
Tapi kurasa ada penyebar fitnah, yang menjadikan
nama Pendekar Gila sebagai pembunuh keji.
“Maaf, Ki. Kalau boleh aku jelaskan, Pendekar Gila
itu bukanlah pengacau. Dia seorang pendekar yang
melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi
kalau kau menuduhnya sebagai pengacau, jelas itu
salah besar!” kata Ki Braga Kumba berusaha
meluruskan tanggapan Ki Badawi.
“Cuih! Kau tahu apa, Kumba!” bentak Ki Badawi
semakin gusar, merasa omongannya telah ditentang
Ki Braga Kumba. “Rupanya kau berpihak pada iblis
muda itu, heh?!”
Merasa dibentak-bentak begitu, Ki Braga Kumba
yang semula menaruh rasa segan akhirnya marah
juga. Terlebih tahu dirinya berada di pihak yang
benar.
“Bukannya aku yang berpihak pada iblis, Ki! Tapi
Kaulah yang telah tersesat!” balas Ki Braga Kumba
tak kalah geramnya. “Kaulah yang telah salah
menuduh!”
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Kumba!”
bentak Ki Badawi semakin gusar melihat keberanian
Ki Braga Kumba.
“Kenapa tidak! Kau yang dihormati para pendekar,
rupanya telah pikun! Kau sesatkan kebenaran.
Sedangkan kau benarkan yang sesat!”
“Setan! Tutup bacotmu!”
Ki Braga Kumba tersenyum sinis.
“Aku akan menutup mulut, jika kau pun membuka
mata!” jawab Ki Braga Kumba.
Napas Ki Badawi mendengus pertanda marah.
Matanya membelalak lebar, menatap tajam wajah Ki
Braga Kumba yang tampak masih tenang. Sedang
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kini menyurut mundur.
Mereka tidak ingin terlibat dengan urusan itu, karena
mereka tidak ingin Ki Badawi sampai tahu mereka
dari aliran sesat.
Dengan perlahan-lahan, Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu meninggalkan tempat itu untuk meneruskan
perjalanan mereka menuju Lembah Akherat.
“Kau telah berani menantangku, Kumba! Jangan
salahkan kalau pedangku akan bicara!” ancam Ki
Badawi.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum.
Wajahnya masih penuh ketenangan. Tak gentar
sedikit pun dia menghadapi orang tua di hadapannya
yang namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik
mati untuk membela kebenaran, daripada hidup
sesat!
“Meski aku harus mati di tanganmu, aku tak akan
memihak kesesatanmu!” sahut Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumba!”
Srat! Cring...!
Ki Badawi menarik Pedang Darah. Seketika sinar
merah darah membersit dari pedang itu. Bau amis
darah tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi
Rawit Abang.
Pedang Darah kini telah keluar dari warangkanya
berarti harus mendapatkan darah. Jika tidak, maka
nyawa pemiliknyalah yang akan menjadi korban.
Bergidik juga Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang
menyaksikan pedang di tangan Ki Badawi. Namun
mereka berada di pihak yang benar, tak seharusnya
mereka takut menghadapi kematian. Semua
pendekar tentu senantiasa harus mati.
“Bersiaplah, Kumba!”
“Aku telah siap!” jawab Ki Braga Kumba.
“Begitu juga denganku!” sambut Nyi Rawit Abang.
“Rupanya kalian mencari penyakit!” dengus Ki
Badawi.
“Kaulah yang mencari gara-gara, Orang Tua
Pikun!” bentak Nyi Rawit Abang gusar, merasa
kekasihnya dalam keadaan bahaya. Bagaimanapun
juga dia harus membela Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” Ki Badawi
yang mata gelap segera berkelebat menyerang ke
arah keduanya dengan membabatkan Pedang Darah.
Keduanya berusaha mengelakkan serangan. Tapi
kekuatan tarikan Pedang Darah di tangan Ki Badawi,
menjadikan langkah mereka tersendat. Dahsyat
sekali kekuatan tarikan pedang itu, dan....
Wut...!
Cras! Cras!
Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang seketika
nemekik keras, ketika pedang di tangan Ki Badawi
menebas leher mereka.
“Pendekar Gila! Ke mana pun kau pergi, aku akan
mencarimu!” seru Ki Badawi sambil mengacungkan
Pedang Darahnya ke atas. Setelah puas dengan
perbuatannya, Ki Badawi segera memasukkan
pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
***
TUJUH
Selang beberapa waktu kemudian, nampak seorang
pemuda berpakaian rompi kulit ular melintasi Hutan
Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi
Rawit Abang tergeletak berlumuran darah dengan
leher hampir putus.
“Groook...!”
Pendekar Gila tersentak, ketika telinganya men-
dengar suara dengkuran keras dari arah kanan jalan
yang dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti,
kemudian dengan kening berkerut kepalanya di-
telengkan berusaha mencari-cari suara tadi.
“Grok...!”
Suara itu kembali terdengar, begitu jelas. Seperti-
nya sangat dekat dengan temparnya.
“Hm, suara apakah itu?” tanya Sena berusaha
mencari asal suara yang berada di sebelah kanannya.
Kakinya terus melangkah. Dan tiba-tiba hatinya
tersentak kaget menyaksikan dua tubuh tergeletak
berlumur darah.
Dengan rasa penasaran, Sena melangkah per-
lahan-lahan. Wajahnya meringis menahan perasaan
hatinya. Dan dia semakin tersentak, manakala me-
lihat gerakan tangan lemah lelaki tua yang belum
dikenalnya.
Tangan lelaki tua yang bergerak lemah itu,
menuliskan serangkaian kata-kata di atas tanah yang
ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan
mata menyipit pemuda berompi kulit ular mem
bacanya.
Saudara Pendekar Gila,
Kami baru saja bertemu dengan Dewa Pedang
Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena kau
dianggap sebagai pengacau rimba persilatan.
Hati-hatilah!
Ki Braga Kumba
Usai menulis kata-kata itu, tangan Ki Braga Kumba
terkulai lemas. Napasnya yang semula ada, kini telah
melayang meninggalkan raga.
“Oh, sungguh baik budimu, Ki! Kau dalam keadaan
sekarat masih berusaha mengingatkan aku,” gumam
Sena dengan wajah sedih. “Tentunya kau telah
membela nama baikku.”
Mata Sena berkaca-kaca, tak mampu mem-
bendung kesedihan dan rasa haru melihat Ki Braga
Kumba yang dalam keadaan sekarat masih berusaha
memberitahukan adanya bahaya yang kini
mengancam dirinya.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Ki! Kudoakan,
semoga Hyang Widhi menerima arwahmu,” gumam
Sena perlahan.
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian perlahan
kepalanya ditundukkan untuk memberi peng-
hormatan pada kedua mayat yang telah berjasa
padanya. Meski dia belum tahu siapa sebenarnya
Dewa Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati
tak mungkin dusta.
Wajahnya ditengadahkan ke atas, menyapu ke
dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan Kawi-kawi.
“Siapakah Dewa Pedang itu?” gumam Sena
bertanya pada diri sendiri. “Ah, entahlah! Mengapa
aku harus berpikir jauh. Aku tidak mencari lawan.
Tapi lawan telah berada di hadapanku, apa salahnya
meladeninya.”
Usai memandangi kedua mayat itu, Pendekar
segera menggali lubang untuk menguburkan kedua
mayat itu. Dengan mengerahkan pukulan 'Inti Bayu'
dibuatnya lubang di tempat itu. Kemudian setelah
menaruh kedua mayat ke dalam lubang, kembali
Sena mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk
menyapu gundukan tanah yang seketika menutupi
kuburan itu.
“Hyang Jagat Dewa Batara, kiranya keduanya
dapat Kau terima di swargaloka,” desis Sena
memanjatkan doa.
Angin siang semilir, seperti turut berduka atas
kematian kedua tokoh tua itu.
Aku tak tahu, siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Mengapa dia mencariku? Rasanya antara dia dan aku
tak ada sangkut paut apa-apa. Pikir Pendekar Gila
merasa heran dan penasaran.
Lama Pendekar Gila termenung, mencoba
menerka-nerka siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Namun tidak juga dia mendapatkan jawaban. Selama
ini, dia belum pernah mendengar nama Dewa
Pedang.
“Hi hi hi...!” Sena tertawa. “Lucu sekali aku ini
Mengapa aku harus memikirkannya?”
Dengan tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila kembali meneruskan per-
jalanannya.
***
Sementara itu, di Lembah Akherat nampak Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu telah sampai. Ketujuh tokoh
sesat itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman
penghuni Pulau Karang Api yang telah memakan
banyak korban.
“Wahai penghuni Pulau Karang Api, keluarlah!”
seru Sadra menantang. “Jangan hanya berani ber-
sembunyi! Hadapi Tujuh Iblis dari Sarang Hantu!”
Seketika air Danau Sambak Neraka bergolak
hebat Saat itu juga, dari dalam danau muncul dua
ekor naga berwarna merah. Mata kedua naga itu
membara merah, penuh amarah.
“Ghrrr...! Hosss...!”
Tanpa banyak tingkah, kedua naga merah yang
berada di Danau Sambak Neraka langsung
menyerang ke arah mereka dengan semburan api
dari mata dan mulutnya.
“Awas...!” seru Sadra mengingatkan pada keenam
rekannya.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu langsung
berlompatan, berusaha mengelakkan serangan
kedua naga itu. Dengan bersalto, mereka ber-
lompatan dan melakukan serangan balasan.
“'Cakra Lingga'! Yeaaa...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan cepat
melepaskan pukulan sakti mereka. Dari tangan
mereka tiba-tiba keluar sebuah sinar merah bersegi
seperti cakra. Sinar berbentuk cakar itu melesat
begitu cepat menuju kedua naga yang masih ber-
gerak menyerang.
Wusss! Wusss...!
Sinar merah berbentuk cakra itu terus melesat.
Kedua naga itu pun menggerakkan kepala, meng-
elakkan serangan lawan. Namun tak urung, salah
satu dari naga itu harus merasakan pukulan 'Cakra
Lingga' Tubuh naga api yang berada di sebelah barat
terhantam pukulan itu.
Busss!
“Ghrrr! Hoaaah...!”
Semakin bertambah marah kedua naga itu melihat
salah satu dari mereka terkena pukulan. Kepala
mereka yang bertanduk kini melayang ke angkasa,
kemudian dengan cepat menyerang ke arah Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu.
“Awas serangan!” kembali Sadra berseru.
“Heaaat...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali berlompatan
mengelakkan serangan kedua naga itu. Nampaknya
kedua binatang itu tidak berhenti sampai di situ.
Keduanya terus bergerak melabrak ke arah Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu dengan patukan dan serudukan
kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar
dari mulut dan mata kedua ular raksasa itu terus
menyembur.
“Wosss! Wosss...!
Lidah api kembali melesat keluar dari mulut kedua
naga itu, menyerang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
Mereka pun kembali berlompatan menjauhi
semburan api yang semakin besar dan panas.
Pertarungan antara dua binatang raksasa dengan
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu berlangsung dengan
seru. Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
bukanlah lawan sembarangan bagi kedua naga itu.
Mereka mampu mengimbangi serangan-serangan
yang dilancarkan oleh kedua naga merah itu.
“Heaaa...!”
“Wosss...!”
Teriakan-teriakan melengking keras terus
terdengar dari mulut Tujuh Iblis dari Sarang Hantu,
bersamaan dengan suara deburan air danau dan
semburan api.
Kepala kedua naga bergerak cepat, menyambar
dan menyeruduk ke arah lawan-lawannya. Sesekali
dari mulut dan mata kedua binatang itu menyembur-
kan api yang menyala, berusaha membakar tubuh
ketujuh lawannya.
“Uts! Hop! Hampir saja...!” pekik Saka Gulu sambil
melompat mengelak.
Hampir saja tubuh orang kedua dari Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu itu terkena hantaman kepala salah
seorang naga yang menyerang mereka. Kemudian
setelah luput dari hantaman kepala naga itu, Saka
Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang
berupa sabit
“Heaaa...!”
Tubuh Saka Gulu melesat ke atas, kemudian
dengan cepat senjatanya diayunkan ke kepala naga
yang menyerangnya.
“Mampuslah kau, Naga Dungu!”
Wut...!
Kepala naga itu bergerak mengelak dengan cepat,
seakan mengerti serangan yang datang. Kemudian
dengan cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-
seimbangan setelah menyerang, naga berwarna
merah itu menyodokkan kepala ke dadanya.
Wusss...!
Dugk!
“Aaakh...!”
Saka Gulu terpekik keras. Dadanya bagaikan
dihantam batu sebesar gajah. Napasnya terasa
sangat sesak dan tubuhnya terpental deras ke
belakang. Tubuh itu terhenti, ketika menerjang
pepohonan di Hutan Kawi-kawi. Hanya sejenak dia
mampu mengerang lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Menyaksikan Saka Gulu tewas, keenam rekannya
semakin marah. Mereka menyerang bersama-sama
dengan pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan
pengerahan ajian-ajian sakti sepert 'Geti Ireng' dan
'Jambang Kalageni' keenam tokoh sesat itu berusaha
membunuh naga api yang semakin garang
menyerang mereka.
Kini kedua naga yang semula berada di tengah
Danau Sambak Neraka, telah keluar dan memburu
keenam lawannya. Mereka pun bergerak mundur
sambil tetap melakukan gerakan-gerakan untuk
menyerang.
Lembah Akherat yang semula sepi, seketika
berubah menjadi riuh oleh suara pekikan dan
geraman mereka. Tanah berpasir di Lembah Akherat,
beterbangan menutupi tempat itu, ketika kaki-kaki
mereka bergerak menyerang dan hembusan api naga
itu.
Pertarungan antara enam anggota Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu melawan kedua naga api dari Danau
Sambak Neraka masih berlangsung seru. Sementara
itu, tiba-tiba dari Pulau Karang Api, muncul sesosok
tubuh kecil bersisik dengan mata menyala merah.
“Ghrrr...!”
Bocah kecil dengan tubuh bersisik itu nampaknya
marah. Tubuhnya dengan ringan sekali berlari di atas
air membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
terbelalak heran menyaksikannya.
“Lihat! Bocah sakti itu keluar!” seru Sadra.
Semua mata kini memandang bocah kecil berusia
sekitar sepuluh tahun yang tubuhnya penuh sisik.
Matanya merah laksana mengandung api. Tubuh
bocah itu melayang, lalu menukik dengan kecepatan
tinggi menyerang keenam lawan naga-naga api.
“Ghrrr...!”
“Tangkap bocah itu...!” seru Sadra.
Mereka berusaha menangkap bocah sakti yang
tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga sampai, kedua
naga itu telah menghalangi mereka dengan meng-
ulurkan kepalanya.
“Wosss! Ghrrr...!”
Semburan api dari mulut kedua naga api, seketika
menghentikan mereka untuk mengejar. Kini enam
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan
mengelak dari semburan api yang dahsyat. Lalu
dengan cepat mereka balik menyerang.
Bocah kecil bertubuh penuh sisik itu tak mau
tinggal diam, tubuhnya melenting ke udara.
Kemudian dengan cepat mendarat pada salah
seorang dari keenam orang itu. Lalu dengan gerak
cepat, bocah bersisik itu menggigit leher lawannya.
Crat!
“Wuaaa...!”
Lelaki berkepala botak itu menjerit kesakitan.
tubuhnya sesaat mengejang, matanya melotot.
Lubang besar kini nampak di lehernya. Sesaat
tubuhnya sekarat, kemudian ambruk dengan tubuh
berwarna merah.
“Bocah setan! Kubunuh kau!” dengus Sadra
geram, menyaksikan bocah bersisik dan berlidah ular
itu menyerang ganas. Segera Sadra melesat ber-
maksud menyerang bocah itu dengan jurus
pamungkasnya, 'Kelabang Geni. “Heaaa...!”
Sadra mengebutkan bungkusan yang diambil dari
balik bajunya. Saat itu, ribuan binatang berbisa,
panjang, dan berkaki banyak melesat ke arah bocah
bersisik ular itu.
“Mampuslah kau, Bocah Setan!” seru Sadra.
Binatang-binatang berbisa itu melesat cepat mem-
buru bocah bersisik dan berlidah ular. Namun bocah
itu nampak tenang menghadapi ratusan kelabang
yanng hendak menyerangnya. Matanya semakin
berkilau merah, kemudian dari matanya keluar
larikan sinar merah menghantam kelabang-kelabang
itu.
Clarts...!
Brups!
Seketika kelabang-kelabang itu terpanggang jadi
debu, dan jatuh berhamburan ke tanah berpasir.
Terbelalak mata Sadra menyaksikan kehebatan
bocah lelaki bersisik dan berlidah seperti ular itu.
Saking terkejutnya, Sadra tidak menyadari kalau di
belakangnya seekor naga menyerangnya. Maka....
Dugkh!
“Aaa...!”
Tubuh Sadra terlempar ke depan, dan melayang ke
angkasa lalu jatuh ke air Danau Sambak Neraka.
Tubuh Sadra menggelepar-gelepar, ketika ratusan
ikan pemakan daging muncul dan memangsa tubuh-
nya.
Melihat kematian Sadra, keempat kawannya ber-
usaha membalas. Namun rupanya kematian Sadra
dan Saka Gulu mempengaruhi jiwa mereka.
Keempat tokoh sesat itu kini serba canggung
dalam menyerang. Namun begitu, mereka sepertinya
pantang untuk menyerah. Kini keempatnya terbagi
enjadi dua bagian. Dua menyerang ke arah bocah
cilik bersisik dan berlidah ular, dua lainnya
menyerang kedua naga raksasa itu.
Pertarungan itu berjalan seru. Tapi serangan
seragan empat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
tidak banyak berarti seperti ketika mereka masih utuh
tujuh orang. Dan tiba-tiba....
Dugkh!
“Wuaaa...!”
Satu orang lagi terkena serudukan kepala naga
api. Tubuh orang itu melayang deras, melambung ke
angkasa dengan dada remuk bagaikan dihantam
batu besar. Tanpa suara teriakan lagi, tubuh lelaki itu
terjatuh di Hutan Kawi-kawi.
Kini semakin bertambah melemah serangan tiga
orang itu. Mereka semakin bertambah ciut nyalinya.
Melihat keadaan lawan yang semakin terdesak,
kedua naga dan bocah bersisik ular malah semakin
ganas dalam menyerang.
Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, kedua
naga dan bocah penghuni Danau Sambak Neraka itu
dapat mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat
yang semula ramai kembali hening dan sepi. Hanya
dua naga dan bocah kecil bersisik dan berlidah ular
yang masih ada.
Wusss!
“Zssst...!”
Kedua naga itu merendahkan kepalanya, men-
ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian setelah bocah
kecil itu naik di atas kepalanya, kedua ular itu
kembali melata dan mencebur ke dalam Danau
Sambak Neraka.
Bocah kecil itu tertawa-tawa senang, sepertinya
mengerti kalau kedua naga itu adalah ayah dan
ibunya.
***
DELAPAN
Matahari semakin condong ke arah barat, pertandaa
senja hampir tiba. Angin siang menginjak sore
berhembus semilir, membuat suasana Lembah
Akherat nampak sangat tenang. Padahal di tempat itu
bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah.
Burung-burung pemakan bangkai beterbangan di
tempat itu, berputar-putar kemudian menukik.
Seorang pemuda tampan berambut gondrong
dengan kulit bersih, berbaju rompi kulit ular me-
langkah menyelusuri Lembah Akherat yang sepi.
Matanya memandang penuh kekagetan, menyaksi-
kan mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Hm, benar-benar Lembah Akherat,” gumam
Pendekar Gila dengan mulut nyengir, menyaksikan
banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. “Seperti
ada sesuatu yang membantai orang-orang ini.”
Sena mengedarkan matanya ke sekeliling tempat
yang sangat sepi itu. Matanya seketika tertuju ke arah
pulau. Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau
yang memijarkan warna merah, sepertinya pulau
itulah yang merupakan pulau yang berapi.
“Aha, itu kiranya Pulau Karang Api,” gumam
Pendekar Gila sambil mengarahkan pandangannya ke
Pulau Karang Api.
Kaki Pendekar Gila melangkah menyelusuri
Lembah Akherat dengan pelan dan hati-hati.
Nampaknya dia memasang kewaspadaan, tidak mau
gegabah dalam melakukan tindakan. Bagaimana pun,
dia tidak ingin mati sia-sia di tempat itu.
“Ah, aneh sekali...!” gumam Sena. “Di sini nampak-
nya tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu, siapa yang
telah membantai mereka?”
Belum juga habis ketidakmengertian Pendekar Gila
akan semua yang terjadi, seketika hatinya dikejutkan
adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak
Neraka.
“Ghrrr...!”
“Wosss...!”
Pendekar Gila segera memandang ke Danau
Sambak Neraka. Saat itu, dari dalam air danau
muncul dua sosok berwarna merah menyala. Mata
kedua binatang raksasa itu menyala laksana api,
menatap tajam pada Pendekar Gila.
“Wah! Rupanya kedua binatang inilah yang mem-
bantai mereka!” gumam Sena sambil nyengir kuda.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Wosss...!”
Kedua naga itu sepertinya marah dengan
kehadiran Pendekar Gila di Lembah Akherat. Mata
kedua binatang itu merah menyala, menatap tajam
pada Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti
kera. Kepala kedua naga itu bergerak-gerak. Sebentar
tegak ke atas, kemudian ke bawah. Sepertinya ber-
usaha mengusir Pendekar Gila.
“Aha, kalian ingin mengusirku! Ah, kurasa kalianlah
yang harus pergi!” seru Sena masih berjingkrakan.
Tangannya menggaruk-garuk ke tubuh dan mulutnya
yang nyengir.
“Wosss...!”
Kedua naga itu kembali menggerak-gerakkan
kepalanya, kemudian dengan mata merah membara
kedua naga itu naik.
“Aha, rupanya kalian benar-benar mengusirku!”
seru Sena seraya melangkah maju. Bukannya mundur
menjauh, Sena justru mendekat. Hal itu membuat
kedua naga itu bertambah marah.
“Wosss! Ghrrr...!”
Tiba-tiba kepala naga itu berdiri tegak, kemudian
dari mulutnya menyembur api menyala ke arah
Pendekar Gila.
“Heits! Hi hi hi...!”
Dengan cengengesan, Pendekar Gila segera
mengelakkan serangan kedua naga itu. Kemudian
dengan cepat dia berbalik menyerang dengan jurus
'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melesat
laksana terbang, kemudian tangannya bergerak
memukul ke arah kedua lawannya.
“Wosss...!”
Kedua naga itu seakan mengerti lawan
menyerang. Keduanya segera mengelakkan serangan
yang dilancarkan Pendekar Gila dengan cara meliuk-
kan kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila
luput dari sasaran.
“Aha, rupanya kalian bisa silat juga!” gumam
Pendekar Gila sambil terus melesat terbang,
kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Jurus itu sengaja digunakan-
nya, semata-mata untuk dapat mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan mengerahkan
seperempat tenaga dalamnya, Pendekar Gila meng-
hantamkan pukulan keras dengan telapak tangan ke
arah kedua naga itu.
Wuttt..!
Tubuh kedua naga itu terus bergerak, meng-
elakkan serangan yang dilakukan Pendekar Gila.
Kemudian keduanya balas menyerang dengan
menyemburkan api dari mulut dan mata.
“Wosss! Wosss...!”
Api menyala-nyala menyerang Pendekar Gila.
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit mengelak.
Kemudian dengan cepat pula pemuda berbaju rompi
ular itu balas menyerang dengan serangkaian
pukulan yang cepat ke arah tubuh kedua binatang itu.
“Heaaa...!”
Pekikan keras mengiringi serangan Pendekar Gila.
Bugk! Dugk!
“Wosss! Ghrrr...!”
Serangkaian pukulan yang dilancarkan Pendekar
Gila rupanya mengenai tubuh kedua binatang itu.
Kedua binatang itu seketika mengerang marah, dan
dengan sengit balas menyerang. Kepalanya bergerak
meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar
Gila.
“Ghrrr!”
Wusss...! Wut!
Kedua naga yang tampak mulai marah itu terus
menyerang Pendekar Gila dengan serudukan dan
sabetan kepala serta ekor mereka. Namun dengan
gesit dan cepat, Pendekar Gila mampu mengelakkan
serangan kedua binatang raksasa itu.
“Aha, kalian nampaknya marah, Sobat! Hi hi hi...!”
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila terus
bergerak menyerang. Kali ini dengan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang', Sena menyerang ke arah
kedua lawannya.
Tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke
atas. Lalu kedua tangannya ditarik dengan menarik
napas panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam,
telapak tangannya dihantamkan ke arah kedua
binatang raksasa itu.
“Heaaa...!”
Wut, wut...!
Dugk! Dugk!
“Wosss! Ghrrrm...!”
Erangan kesakitan seketika terdengar dari mulut
kedua binatang itu. Tubuh mereka menggelepar-
gelepar, berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh
kedua binatang itu terus berguling, sampai akhirnya
nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka.
Byurrr! Byurrr...!
“Ghrrrmh....!”
Kedua naga itu tampaknya sangat marah, merasa-
kan sakit di tubuh mereka. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak.
Suasana riuh semakin bertambah riuh di Lembah
Akherat. Suara erangan mulut kedua naga yang
marah dan suara air akibat menggelepar-geleparnya
kedua naga berwarna merah itu.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil ber-
jingkrakan seperti kera. Dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan
menyaksikan kedua binatang itu mengelepar-gelepar
kesakitan. Namun ternyata kedua binatang itu
memiliki kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin
keduanya telah hancur lebur menjadi debu terkena
pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'
“Ghrrrmh...! Hosss! Hosss...!”
“Hua ha ha...! Menarilah kalian semua!” Pendekar
Gila sambil tertawa-tawa menyaksikan kedua
binatang itu masih bergolak dengan raungan yang
menggelegar.
***
Pendekar Gila masih berjingkrakan seperti seekor
kera yang kegirangan sambil tertawa tergelak-gelak,
ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api
sebuah bentakan keras menggelegar.
“Manusia sombong! Kau telah berani membuat
keonaran di tempat ini! Kau harus mampus.
Heaaat...!”
Wusss...!
Angin kencang bergulung-gulung melesat dari
Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar Gila tersentak
kaget. Namun, sesaat kemudian dengan
cengengesan tubuhnya direbahkan ke bumi. Matanya
membelalak ketika tahu pukulan apa yang dilontar-
kan penghuni Pulau Karang Api yang belum dia
ketahui siapa benarnya.
Pendekar Gila terkejut menyaksikan ajian berupa
angin bergulung membadai. Ajian yang sama seperti
yang dimilikinya.
“Hei, 'Inti Bayu'?! Siapa yang telah menyerangku
dengan ajian itu...?” gumam Sena sambil mengerut-
kan kening.
Wusss...!
Angin kencang bergulung-gulung kembali keluar
dari Pulau Karang Api, meluncur ke arah Pendekar
Gila. Tapi kini Sena telah mempersiapkan
penyambutan serangan yang kedua. Dengan menarik
napas dalam-dalam, kedua tangannya diangkat ke
atas, lalu ditariknya ke dalam. Setelah angin itu
mendekat, Pendekar Gila segera menghantamkan
ajian 'Inti Bayu' nya.
“Yeaaa...!”
Wusss!
Wusss...!
Dua angin yang berasal dari satu kekuatan itu
bertemu, bergulung-gulung saling berusaha
mengalahkan.
“Kurang ajar! Dari mana kau menyadap ajianku?!”
dari Pulau Karang Api terdengar suara bentakan
keras menggelegar.
Sena tersentak, namun segera dia tertawa ter-
gelak-gelak.
“Hua ha ha...! Kau lucu sekali, hai orang yang
belum menampakkan diri! Enak sekali kau bicara!
Kau-lah yang telah mencuri dan menyadap ajianku!”
balas Sena dengan suara keras.
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah
Manusia!”
“Aha, kurasa kau bukan manusia!” tukas Sena
masih cengengesan. “Aha, mungkin kau sebangsa
siluman! Atau dedemit. Hi hi hi...!”
“Kurang ajar! Kaulah iblis!” dengus suara itu
membentak. “Kau telah membuat keonaran di
tempat ini!”
Habis ucapan itu, seketika dari balik Pulau Karang
Api melesat selarik sinar menyerang Pendekar Gila.
“Heit!”
Sena segera bersalto ke samping, kemudian
dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa...!”
Glarrr!
“Ugkh!” Sena mengeluh, merasakan dadanya,
agak sakit akibat benturan itu.
“Ha ha ha...! Hebat juga ilmu 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'mu, Manusia...!”
Terdengar suara menyebut nama jurus yang baru
saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal itu tentu saja
membuat Sena terbelalak kaget. Heran dan bertanya
tanya siapa sebenarnya orang atau makhluk yang
bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu? Jurus-
jurus ilmu ajiannya hampir sama dengan ilmu yang
dimiliki olehnya.
“Hei, Siluman! Hi hi hi...! Dari mana kau tahu nama
jurus pukulanku...?!” seru Sena seraya bangkit berdiri.
“Ha ha ha...! Pukulanmu itu adalah ilmu-ilmuku
Manusia! Dari mana kau mencurinya, heh?!” bentak
makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya.
“Weiii...! Enak sekali kau menuduh! Hi hi hi. Lucu!
Lucu sekali kau!”
“Terimalah ini, Manusia!”
Wusss!
Suasana di Lembah Akherat seketika berubah.
Langit tertutup warna merah membara laksana api.
Saat itu pula, Pendekar Gila tersentak. Dirasakan
hawa panas menyengat tubuhnya. Sekelilingnya kini
dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah
terpanggang di atas bara api.
“Ugkh...!” Sena mengeluh, merasakan hawa panas
yang membakar sekujur tubuhnya.
“Ha ha ha...! Tentunya kau belum memiliki ilmuku
yang ini! Mampuslah kau, Bocah Manusia!” seru
suara yang berasal dari balik Pulau Karang Api di
tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
“Ukh! Aaakh...!”
Sena mengeluh dan menjerit kesakitan. Badannya
bagaikan dipanggang di atas api yang membara.
Bayang-bayang kematian seketika melekat di
benaknya. Pendekar Gila segera mengerahkan ajian
'Inti Salju' untuk melindungi tubuhnya dari panas yang
membara.
“Hhh! Hop...!”
Sena menarik napas dalam-dalam, kemudian
tangannya digerakkan ke atas dan menyatu. Lalu
kedua tangannya direntangkan ke samping, dan
ditariknya dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di
depan dada.
'“Inti Salju'. Hop...!”
Rasa panas yang semula menyengat bagaikan
memanggang tubuhnya, seketika menghilang oleh
hawa dingin yang telah dikerahkan Pendekar Gila.
“Hebat! Rupanya kau telah menguasa 'Inti Salju',
Bocah Manusia! Kau telah mencuri banyak ilmu-
ilmuku! Terimalah ini...!”
Bersamaan dengan habisnya suara itu, seketika
suasana di sekitar Pendekar Gila berubah. Suasana
yang semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba
dingin. Bahkan pepohonan yang ada di tempat itu,
seketika kembali segar setelah layu oleh panas.
Namun justru hal itu membuat Sena kian menggigil.
Rupanya makhluk yang bersembunyi di balik Pulau
Karang Api itu mengerahkan ajian 'Inti Salju', semakin
membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi
saat itu Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti
Salju'. Rasa dingin menjadi berlipat ganda.
“Sssh!” tubuh Pendekar Gila menggigil kedinginan.
Wajahnya pucat pasi. “Bhrrr! Ah, rupanya dia
mengerahkan 'Inti Salju.”
“Ha ha ha...! Kau akan mampus, Manusia!” suara
dari balik Pulau Karang Api.
“Hhh! Ilmu iblis!” dengus Sena. Perlahan napasnya
ditarik dalam-dalam, kemudian dengan suara meng-
gelegar, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'.
“Heaaa...!”
Wuttt...!
Angin kembali menderu kencang, menyapu ke
sekeliling tempat itu. Tangan Sena yang mengeluar
kan angin keras, bergerak cepat. Dan bersamaan
putaran tangannya, angin badai pun keluar dengan
begitu cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti
sekitar tempat itu.
“Hebat! Kau memang hebat, Manusia! Tapi kau
belum tentu bisa selamat dari ini! Terimalah...!”
Cletar...!
Suara gemeletar nyaring mengiringi melesatnya
benda berkilat. Kilatan benda terbungkus api itu
mengarah ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat,
Sena mencabut Suling Naga Sakti, kemudian dengan
disertai pekikan menggelegar, melompat memapaki
kilatan cambuk api yang menyerang ke arahnya
dengan Suling Naga Sakti.
“Heaaa...!”
Wuttt...! Prat!
Dua senjata sakti itu beradu keras, membuat
suasana di sekitar tempat itu menggelora panas.
Kilatan api yang membentuk cambuk melesat
kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan Pendekar
Gila berusaha memburunya. Suling Naga Sakti
melesat terbang, membawa tubuh Pendekar Gila ke
Pulau Karang Api.
“Hiaaat...! Hop!”
Pendekar Gila tersentak, ketika dari dalam goa
besar itu terdengar suara desisan keras. Belum hilang
rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar
menerjang ke arahnya.
“Hop!”
Dengan cepat Sena melompat ke samping. Lalu
dengan cepat pula melakukan serangan balasan ke
dalam goa dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'.
“Yeaaa...!”
Wut...!
Bugk...!
Terdengar suara pukulan mengenai sasaran.
Bersamaan dengan itu, dari dalam goa muncul
seorang bocah berkulit penuh sisik diikuti seekor
naga yang tubuhnya terselimut api yang menyala-
nyala.
“Kurang ajar! Berani benar kau ke tempat ini,
Manusia!” bentak Naga Brahma dengan gusar. Naga
yang kepalanya mengenakan mahkota itu menatap
tajam pada Pendekar Gila yang menyurut mundur.
Kaget juga Pendekar Gila melihat makhluk ular itu
bicara seperti manusia.
“Aha, rupanya kaulah penghuni Pulau Karang ini!
Apa maksudmu membantai manusia?” tanya Sena
sambil berjingkrakan dan tertawa-tawa, membuat
Naga Brahma semakin membelalakkan matanya.
“Manusia! Apa hubunganmu dengan kakakku,
hingga kau memiliki ilmu-ilmu warisan kakakku Naga
Sakti?!” bentak Naga Brahma.
Belum juga Pendekar Gila menjawab, Suling Naga
Sakti yang tergenggam di tangannya bergerak dan
jatuh ke tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul
dari Suling Naga Sakti, membuat Pendekar Gila
tersentak kaget dan melompat mundur.
“Ssszt...!”
Terdengar desisan keras ketika asap tebal yang
keluar dari Suling Naga Sakti berubah. Dengan cepat
asap itu membentuk wujud sesosok binatang
berwarna merah dengan tubuh diselimuti api.
Binatang yang berupa seekor naga keemasan dengan
kepala bermahkota itu terbentuk dari Suling Naga
Sakti. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila
terkejut bukan kepalang, tak menyangka kalau Suling
Naga Sakti yang menjadi senjatanya ternyata jelmaan
dari seekor Naga besar. Malah besarnya dua kali lipat
dari Naga Brahma.
“Kakang Naga Sakti...!” seru Naga Brahma melihat
sosok naga di hadapannya.
“Ada apa kau menggangguku, Adik Naga Brahma?”
“Oh...! Tak kusangka, kalau aku akan kembali
bertemu denganmu, Kakang.”
“Hm...,” gumam Naga Sakti. “Aku pun begitu Dik.
Lama sudah kita berpisah.”
Kedua naga itu saling menitikkan air mata.
Kemudian keduanya bercerita sejak keduanya
dikutuk oleh ayah mereka sampai akhirnya mereka
kembali bertemu. Naga Sakti bersumpah mengabdi
pada pendekar yang berbudi luhur untuk menegak-
kan kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan
Naga Brahma, dia pun bersumpah akan menjaga
orang yang benar, dari ancaman orang-orang sesat.
Kemudian Naga Brahma menceritakan tentang
peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau Sambak
Neraka.
“Dua orang manusia dengan membawa bayi
merah berlari-lari dikejar oleh manusia-manusia
durjana. Keduanya kuselamatkan, sedangkan
kesepuluh resi yang wataknya bukan menunjukkan
resi, kubunuh. Pasangan suami istri muda itu, kuubah
wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran
orang-orang jahat...,” tutur Naga Brahma mengenai
siapa sebenarnya kedua naga yang ada di Danau
Sambak Neraka. “Jelasnya, mereka terkena fitnah
keji yang disebarkan Sumantri. Bahkan kini guru
mereka memihak pada Sumantri.”
“Hm, keterlaluan!” dengus Naga Sakti. “Jelas ini
tidak bisa dibiarkan! Biarlah semua ini kita serahkan
pada Pendekar Gila dan anak angkatmu. Siapa nama
anak angkatmu itu, Dik?”
“Supit Songong, Kakang.”
“Ya! Biarlah anak Anjasmara menuntut balas atas
perbuatan paman gurunya yang biadab!” kata Naga
Sakti.
“Kalau memang begitu, aku pun menitipkan Supit
Songong padamu selama di rimba persilatan,
Pendekar Gila! Meski dia sama memiliki ilmu
sepertimu, tapi pengalamannya tentu belum seperti
dirimu,” kata Naga Brahma pada Sena. “Supit,
ambillah lidahku. cabutlah...!”
Supit Songong, bocah bersisik dan berlidah ular itu
tanpa rasa takut mendekati mulut orangtua angkat-
nya yang menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah
Naga Brahma. Seketika itu, berubahlah lidah sang
Naga menjadi sebuah cambuk yang jika dilecutkan
menjadi cambuk api. Itulah Cambuk Api Lidah Naga.
“Aku titipkan dia padamu, Pendekar Gila,” kata
Naga Brahma dengan suara dalamnya.
“Aku akan berusaha, Paman,” sahut Pendekar
Gila.
“Baiklah, Dik. Aku harus pergi bersama Pendekar
Gila,” usai berkata begitu, Naga Sakti kembali
mengecil dan lenyap berubah ke wujud Suling Naga
Sakti.
“Kita pergi, Supit,” ajak Sena. Keduanya melesat
meninggalkan Pulau Karang Api, tempat tinggal Naga
Brahma.
***
SEMBILAN
Malam dengan kegelapannya telah datang. Seluruh
makhluk Tuhan seketika terkurung di dalam gelap-
nya. Pepohonan membisu, begitu juga dengan
binatang. Hanya suara burung hantu yang masih
terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara
jangkrik yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh berlari-lari ke arah Desa Pasut
Piring tempat kediaman Sumantri. Kedua sosok tubuh
itu, satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya
tidak lain Pendekar Gila dan Supit Songong, bocah
ular yang dirawat dan dididik oleh Naga Brahma.
“Sebentar lagi sampai, Supit. Hati-hatilah, mereka
kebanyakan licik,” tutur Sena ketika melihat gerak
tangan Supit Songong yang berkata dengan bahasa
isyarat. Sebenarnya Supit Songong tidak bisu, namun
sepertinya bocah kecil itu tidak mau berkata-kata
karena suaranya akan membuat seisi desa ter-
banguan. Tidak berapa lama kemudian, keduanya
sampai di depan rumah Sumantri.
“Siapa kalian?!” bentak salah seorang penjaga
rumah Sumantri. Namun belum juga para penjaga itu
mampu bergerak, Pendekar Gila telah menotok
dengan pukulan jarak jauh.
Tuk, tuk!
“Ukh!” keluh para penjaga itu. Seketika tubuh
mereka terkulai lemas.
“Sumantri, aku datang dengan apa yang kau
inginkan!” seru Sena.
Seketika puluhan senjata rahasia melesat dari
balik pepohonan ke arah Pendekar Gila dan Supit
Songong yang berdiri di halaman depan rumah
Sumantri.
Swing! Swing!
“Supit, Awas...!” seru Sena mengingatkan sambil
berjumpalitan mengelakkan serangan gelap lawan.
Kemudian dengan geram, pukulan tenaga dalamnya
dihantamkan untuk menghalau senjata beracun itu.
Wusss!
Swing! Swing!
Senjata-senjata rahasia beracun itu seketika
berbalik. Bersamaan dengan itu, dari balik
rerimbunan pohon terdengar suara hujaman senjata-
senjata rahasia dan jeritan-jeritan kematian.
Jlep! Jlep!
“Wuaaa...!”
“Aaa...!”
Sena dan Supit Songong tertawa tergelak-gelak
kegirangan. Tubuh mereka berjingkrak-jingkrak.
Tingkah laku keduanya seperti orang gila.
“Seraaang...!”
Terdengar seruan Sumantri dari balik rerimbunan
pohon. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan
pohon berlompatan beberapa orang mengepung
Pendekar Gila dan Supit Songong. Di antara mereka
nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri, Iblis
Selendang Ungu, Cakal Genala dan Cakil Gering, serta
tiga orang dari rimba hitam lainnya.
“Pendekar Gila! Akhirnya malam ini kau harus
mampus!” dengus Jalna Kumilang. Sorot matanya
tajam, menunjukkan dendam pada pemuda tampan
itu. Sementara Sena masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, kau rupanya belum kapok, Ki? Baiklah,
malam ini aku pun ingin mengirimmu ke neraka!”
sahut Sena tenang.
“Kurang ajar! Terimalah kematianmu! Heaaa...!”
Jalna Kumilang yang sudah marah, segera maju
menyerang ke arah Pendekar Gila, diikuti yang
lainnya. Kini dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit
Songong telah dikeroyok para tokoh persilatan aliran
sesat.
“Heaaat...!”
Melihat keroyokan itu, Pendekar Gila tak mau
tanggung-tanggung lagi. Segera ditariknya Suling
Naga Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit
Songong melolos cambuknya yang bernama Cambuk
Api Lidah Naga.
“Yeaaa...!”
Cletar! Cletar...!
Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong
bergelemetar nyaring ketika dilecutkan. Saat itu juga
cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang
menyala terang.
“Heaaa...!”
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang' bergerak menyerang lawan. Sedang-
kan Supit Songong kini menggebrak dengan lecutan-
lecutan cambuknya yang dahsyat.
Cletar! Cletar!
Pertarungan dahsyat itu seketika terjadi dengan
serunya. Mereka tidak segan-segan lagi mengeluar-
kan jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya.
Sena dengan Suling Naga Sakti bergerak seperti
orang gila, berjumpalitan dengan seruan-seruan
konyolnya menyerang. Setiap tebasan sulingnya,
menimbulkan desiran yang sangat panas. Hal itu
cukup menyentakkan lawan yang bermaksud
menyerang ke arahnya.
“Supit, cepat kau cari Sumantri!” perintah Sena
sambil berusaha melindungi Supit Songong dengan
jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar
cepat, dengan Suling Naga Sakti menderu ke arah
lawan-lawannya.
Supit Songong segera melesat meninggalkan
tempat itu untuk mencari Sumantri. Berkat pen-
ciumannya yang tajam, Supit Songong akhirnya
dengan mudah menemukan Sumantri yang tersentak
kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah
ular itu.
“Kau?! Kau bocah setan itu?!” pekik Sumantri,
matanya membelalak.
“Aku bukan bocah setan, Sumantri!” bentak Supit
Songong.
“Kau?! Kau tahu namaku?!” semakin kaget
Sumantri mendengar bocah bersisik ular itu
mengenal namanya.
“Siapa yang tak kenal dengan manusia licik serta
penjilat macam kau?! Kau memang pamanku, tapi
tindakanmu membuat kedua orangtuaku sengsara!”
dengus Supit Songong.
“Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Supit Songong, anak Anjasmara dan Sambi.
Keduanya kini menjadi Naga Api. Karena tindakanmu
kami menderita, Sumantri!”
“Tidak mungkin! Kau bocah setan!”
“Terserah kau, Sumantri! Yang jelas aku datang
untuk menyingkirkanmu dari muka bumi! Heaaat...!”
Dengan suara menggelegar, Supit Songong ber-
gerak menyerang Sumantri. Terjangannya begitu
keras dengan jurus 'Terjangan Kaki Naga'.
Melihat bocah bersisik ular itu menyerang,
Sumantri yang tidak ingin mati sia-sia segera meng-
elakkan serangan Supit Songong. Kemudian dengan
cepat pedangnya dicabut. Lalu dengan jurus 'Pedang
Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha
merangsek lawan.
“Heaaa..!”
“Yeaaa...!”
Pertarungan antara Sumantri dan Supit Songong
berlangsung dengan seru. Namun dilihat dari
pertarungan itu, nampaknya Supit Songong mampu
menguasai keadaan. Meski belum banyak
pengalaman, ilmu silat Supit Songong lebih tinggi di
atas Sumantri. Apalagi dia merupakan pewaris
tunggal ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama
dengan ilmu-ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau Naga
Brahma menggunakan nama jurus dengan sebutan
naga, sedangkan Pendekar Gila menggunakan jurus
dengan sebutan Gila.
Tubuh Supit Songong laksana seekor naga yang
ganas, bergerak garang menyerang. Tangannya yang
berkuku tajam beberapa kali menyambar ke wajah
Sumantri.
“Heaaa...!”
Wut!
“Heit...! Hop!”
Sumantri dengan cepat bergerak mengelakkan
serangan cakar lawan yang menggunakan jurus
'Cakar Kuku Naga' Hampir saja wajahnya berantakan
terobek cakaran kuku-kuku Supit Songong yang tajam
dan mengerikan, kalau saja dia tidak segera
mengelak.
“Ghrrr! Heaaa...!”
Merasa serangannya gagal, Supit Songong meng
geram marah. Kembali dengan penuh amarah, bocah
yang kulit tubuhnya bersisik ini menggebrak lawan
dengan cepat.
Sumantri benar-benar dibuat kalang-kabut oleh
gerakan kaki bocah itu. Apalagi pada awal mulanya
dia sudah dihinggapi perasaan takut dan terlalu
meninggikan bocah itu, yang membuat gerakannya
menjadi kacau dan serba canggung.
“Heaaat...!”
Supit Songong melayang laksana naga terbang,
kemudian dengan cakarannya, dia menyerang wajah
Sumantri.
Wuttt!
Sumantri berusaha berkelit, kemudian membabat-
kan pedangnya ke tangan bocah itu dengan cepat.
Hal itu membuat Supit Songong menarik cepet
serangannya. Namun disusul dengan serangan
berikutnya yang tak kalah cepat dengan jurus 'Naga
Brahma Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa!”
Dugk!
“Ukh...!”
Sumantri mengeluh, merasakan dadanya terasa
sesak akibat hantaman pukulan lawan. Wajahnya
pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Matanya membelalak, gigi-giginya beradu menahan
marah.
“Bocah setan! Kubunuh kau! Heaaa...!”
Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya,
Sumantri menyerang ke arah Supit Songong. Pedang-
nya berkelebat cepat, membuat jurus yang dinama-
kan 'Baling-baling Pencabut Nyawa'.
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus
pamungkasnya, Supit Songong tidak tinggal diam. Dia
segera melolos Cambuk Api Lidah Naga. Kemudian,
ketika tubuh Sumantri melesat ke arahnya, tak segan-
segan lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke
arah lawan.
“Ayah, ibu! Semoga kalian tenang! Heaaa...!”
Cletar!
“Wuaaa...!”
Sumantri menjerit keras dan melengking ketika
Cambuk Api Lidah Naga melecut ke tubuhnya.
Cambuk yang telah berubah menjadi cambuk api itu
membelit dan membakar sekujur tubuhnya.
Kemudian dengan sekali hentakan, Supit Songong
melemparkan tubuh Sumantri dengan cara meng-
gerakkan Cambuk Api Lidah Naga ke luar.
“Heaaa...!”
Tubuh Sumantri yang sudah hangus itu terlempar
dan jatuh di tengah-tengah pertempuran Pendekar
Gila melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut
menyaksikan tuannya telah tewas dengan tubuh
gosong menjadi arang.
“Bocah setan itu telah membunuh Tuan Sumantri!”
seru Jalna Kumilang membelalakkan mata tegang.
Semua tokoh hitam yang mengeroyok Pendekar
Gila seketika terpaku dengan nyali yang menciut.
Sumantri yang mereka takuti dan segani dengan
mudah dapat dibinasakan.
Sementara itu pula, Supit Songong melesat ke
luar. Langsung menggebrak dengan Cambuk Api
Lidah Naganya.
Cletar! Cletar...!
Prat! Prat...!
“Wuaaa!”
“Aaakh...!”
Pekikan kematian seketika terdengar susul
menyusul, membelah keheningan malam. Pendekar
Gila hanya terlongong bengong, menyaksikan
kehebatan Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit
Songong. Dalam sekejap saja, tujuh orang anak buah
Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali lecutan.
“Semuanya telah usai, Supit,” kata Sena.
“Benar, Kakang,” sahut bocah berusia sepuluh
tahun itu. “Kini semua telah terbalaskan. Semoga tak
ada lagi kejahatan.”
Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepala, membuat Supit Songong mengerutkan kening
tak mengerti.
“Supit, selama dunia masih berputar, kejahatan
akan selalu ada. Di mana-mana, setan akan berusaha
mengalahkan manusia dan memperbudak manusia.
Di saat itu pula, kejahatan akan hadir,” tutur Sena.
“Kalau begitu, aku ingin ikut Kakang untuk turut
serta menumpas kejahatan,” kata Supit Songong
berapi-api, sebagaimana layaknya bocah kecil.
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk
garuk kepala.
“Tidak mungkin, Supit! Kau masih kecil. Belum
waktunya kau mengembara di rimba persilatan. Kau
harus kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke
sana,” ajak Sena.
“Tapi, Kakang....”
“Sudahlah, kau harus kembali dulu ke Paman
Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana Paman
Naga Brahma memutuskan, ayo!” ajak Sena sambil
menggandeng tangan Supit Songong meninggalkan
tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat,
meninggalkan rumah Sumatri yang sepi dan senyap,
dan hanya tinggal mayat-mayat yang bergelimpangan.
Selang beberapa waktu kemudian, nampak
seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut
putih di gelung serta jenggot panjang datang ke
rumah Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya
bertengger sebuah pedang, tiada lain Dewa Pedang.
Mata Ki Badawi membelalak, menyaksikan murid
dan orang-orangnya mati mengenaskan.
“Kurang ajar! Pendekar Gila, ke mana pun kau
pergi, aku akan mencarimu! Kubunuh kau, Pendekar
Gila...!” serunya lantang penuh amarah. Kemudian
dengan masih diliputi rasa marah, Dewa Pedang
berlari meninggalkan tempat itu.
Bagaimana dengan ancaman Dewa Pedang pada
Pendekar Gila? Apakah Dewa Pedang benar-benar
akan membunuh Pendekar Gila? Mungkinkah salah
paham antara Dewa Pedang dan Pendekar Gila
diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila
selanjutnya dalam judul “Pembalasan Dewa Pedang”,
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar