SATU
Pagi masih buta. Embun masih melekat di daun-daun
pepohonan. Mentari belum juga menampakkan
dirinya untuk mengedari bumi. Seorang lelaki dengan
keadaan tubuh terluka parah, berlari-lari ke dalam
hutan. Wajahnya yang kelihatan pucat dan tegang
sesekali menengok ke belakang. Seperti berusaha
meyakinkan dirinya kalau orang yang telah melukai-
nya benar-benar sudah tidak mengejar.
Lelaki itu berpakaian merah dengan lengan
panjang yang menyerupai jubah. Wajahnya garang
dengan alis mata tebal, hidung pesek serta berbibir
tebal. Ditilik dari raut wajahnya, usia lelaki itu sekitar
dua puluh lima tahun. Dia bernama Warak Kendra.
"Uhhh...!" keluhnya, berusaha menahan sakit yang
mendera dada. Warak Kendra menghentikan
langkahnya sejenak, lalu memandang ke belakang.
Kemudian kakinya digerakkan kembali untuk
meneruskan pelarian, dengan harapan orang yang
telah melukainya tak dapat mengejar.
"Kidang Antikan, tunggulah pembalasanku!" desis-
nya, mengancam seseorang.
Tak lama kemudian dari mulutnya memuntahkan
darah. Wajahnya semakin pucat. Darah yang baru
saja keluar dari mulutnya kelihatan agak menghitam.
Pertanda pukulan Kidang Antikan mengandung
tenaga dalam yang dahsyat
Napas Warak Kendra terengah-engah. Seharian
dia berlari dengan menahan luka dalam yang cukup
menyakitkan. Untung saja dia kuat dan memiliki ilmu
tenaga dalam. Kalau tidak, tentunya sudah dari
kemarin dia binasa.
Sebenarnya antara Warak Kendra dan Kidang
Antikan masih ada hubungan saudara perguruan. Dia
adalah kakak seperguruan Kidang Antikan, orang
yang telah melukainya.
Keduanya adalah murid-murid Perguruan Belibis
Putih, sebuah perguruan yang berlandaskan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
Warak Kendra kembali menerobos hutan
belantara. Tubuhnya yang sedang berlari, semakin
lama semakin melemah. Tenaganya telah terkuras
habis setelah seharian berlari. Ditambah lagi dengan
luka dalam yang cukup berat, membuatnya tak tahan
lagi.
"Hhh...!" Warak Kendra masih berusaha berdiri
tegak. Tapi pandangan matanya seketika berkunang-
kunang. Kemudian semakin lama pandangannya
semakin gelap. Tubuh Warak Kendra akhirnya terkulai
jatuh.
Sementara itu, seorang laki-laki tua dengan
kelelawar berwarna merah di atas tubuhnya meng-
hampiri tubuh Warak Kendra yang tergolek. Lelaki
yang mengenakan baju warna merah darah seperti
warna kelelawarnya, memandangi tubuh Warak
Kendra dengan tajam. Sepertinya ada sesuatu yang
tengah diamatinya.
"Hm, kasihan dia...," gumamnya. "Rupanya dia
terluka dalam."
Dengan menggunakan kakinya, lelaki tua berwajah
garang dan berjenggot putih itu membalikkan tubuh
Warak Kendra. Hingga tubuh yang semula tengkurap
itu menjadi telentang.
Lelaki tua yang matanya tajam berkilat, kembali
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dengan
tangan membelai-belai janggutnya dia berkata,
"Mangkara, bagaimana menurut pendapatmu?"
tanyanya pada kelelawar merah yang menyertainya.
"Ciiit..!"
Kelelawar merah yang besarnya seperti seekor
burung rajawali itu mencuit, sekaligus menunjukkan
taringnya yang runcing. Matanya yang merah bagai
mengandung bara api, memandang tajam ke tubuh
Warak Kendra.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala
setelah mendengar suara kelelawar raksasanya.
"Jadi kau setuju kalau manusia ini kutolong?"
"Ciiit..!" sahut kelelawar itu sambil mengangguk-
anggukkan kepala, seakan mengerti maksud tuannya.
Sayapnya direntangkan lebar-lebar. Sayap yang
panjangnya hampir dua depa itu, bagai payung yang
menutupi tubuh tuannya.
"Baiklah kalau memang begitu," kata lelaki tua
pemilik kelelawar merah raksasa. "Angkatlah dia.
Bawalah dia ke pondok. Aku akan mengamati daerah
sekitar sini. Kalau-kalau ada orang lain."
"Cuit..!"
Kelelawar merah raksasa itu mencuit, kemudian
terbang dari pundak tuannya. Sayapnya bergeletar
gagah, membawa tubuhnya ke udara. Beberapa saat
kelelawar itu melayang-layang memutari tubuh Warak
Kendra. Kemudian kelelawar itu menukik,
menyambar tubuh Warak Kendra dengan kedua
kakinya.
"Cuit..!"
"Pulanglah dulu!" seru lelaki tua itu sambil meng-
gebahkan tangan kanannya ke atas.
"Cuit..!"
Kelelawar merah raksasa bermata merah itu
kembali mencuit keras. Tubuhnya melayang-layang
memutari tempat itu dengan kaki mencengkeram
Warak Kendra, kemudian melesat membawa tubuh
lelaki muda itu masuk ke dalam hutan yang lebat
Tubuh lelaki tua berjubah merah berkelebat dari
tempat itu, lalu menerobos hutan untuk memeriksa
sekelilingnya. Langkahnya begitu ringan. Sampai-
sampai kakinya bagai tak pernah menginjak tanah.
Tubuhnya melesat cepat laksana anak panah yang
lepas dari busurnya, hingga yang terlihat hanyalah
bayangan merah belaka.
Setelah sampai di perbatasan hutan, lelaki tua itu
menghentikan larinya. Matanya memandang ke atas,
kemudian dengan sekali hentak tubuhnya melesat
dan hinggap di cabang pohon.
Mata lelaki tua yang tajam itu memandang ke
sekeliling hutan. Sepertinya tengah melihat apakah
ada orang lain yang mengikuti Warak Kendra.
Dari kejauhan, beberapa orang berjubah biru tua
dengan pakaian dalam berwarna kuning nampak
berlari-lari menuju ke arah hutan itu. Tangan orang-
orang yang kelihatannya dari rimba persilatan itu
menggenggam pedang dan senjata tajam lainnya.
"Dia lari ke hutan ini...!" seru salah seorang dari
mereka.
"Apakah kau yakin?" tanya orang di sebelahnya
"Ya!"
"Mari kita kejar...!" ajak seorang lelaki dengan
simbol burung belibis putih di dada kirinya. Tangan-
nya melambai, memerintah teman-temannya untuk
terus berlari. Orang yang melambaikan tangan itu,
tiada lain Kidang Antikan. Dialah yang melukai Warak
Kendra.
Puluhan orang persilatan itu terus berlari ke arah
hutan. Mereka tidak menyadari kalau gerak-gerik
mereka diawasi lelaki bermata tajam semerah bara
yang bertengger di cabang sebatang pohon.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka akan tahu per-
sembunyianku! Harus dibereskan!" gumam lelaki tua
berjubah merah dengan mata tajam itu. Kemudian
dengan ringan, tubuhnya melesat untuk menghadang
orang-orang yang hendak masuk ke dalam hutan.
Puluhan orang persilatan itu tersentak kaget,
melihat kehadiran lelaki tua yang tiba-tiba. Namun
mereka segera menjura hormat. Salah seorang dari
mereka maju dengan sikap hormat.
"Kiranya Ki Wangas Pati. Mohon dimaafkan kalau
kedatangan kami mengejutkanmu, Ki."
"Hm...," gumam orang tua yang disebut sebagai Ki
Wangas Pati. Matanya yang merah dan tajam,
memandang lekat pada mereka. "Ada apa kalian
kemari?"
Kidang Antikan melangkah maju. Sekali lagi lelaki
itu menjura hormat. Kemudian dengan sopan ber-
tanya.
"Maafkan kami, Ki. Kalau kedatangan kami di-
anggap telah mengganggumu. Kalau boleh kami tahu,
apakah kau melihat seorang lelaki terluka yang ber-
pakaian merah?"
Ki Wangas Pati mengerutkan kening. Dengan
tatapan bengis, memandang tajam pada Kidang
Antikan yang berdiri di hadapannya.
"Untuk apa kalian mencari orang itu?" tanyanya
dengan suara yang masih menunjukkan keangkuhan.
"Dia sangat berbahaya, Ki. Licik dan keji. Bahkan
hampir saja membunuh guru kami," jawab Kidang
Antikan menjelaskan. "Kalau memang mengetahui
nya, kami berharap agar Ki Wangas Pati mau
menunjukkan pada kami."
"Bagaimana kalau aku tak mau menunjukkan pada
kalian?" tanya Wangas Pati dengan sikap menantang.
Mata Kidang Antikan dan teman-temannya saling
bertatapan. Tapi Kidang Antikan yang sudah kenal
siapa lelaki tua di hadapannya berusaha ramah.
"Maaf, Ki.... Sesungguhnya dia sangat berbahaya.
Perlu Ki Wangas Pati ketahui, percuma melindungi-
nya. Dia tidak ubahnya anak macan. Saat terluka
minta dirawat, tapi kalau lukanya sembuh bisa mem-
bahayakan orang yang merawatnya."
"Diam! Jangan mengguruiku!" bentak Ki Wangas
Pati dengan mata memandang bengis ke arah Kidang
Antikan dan teman-temannya. "Apakah kalian kira
Wangas Pati dapat diperdayai? Huh...! Pergilah dari
sini, sebelum kesabaranku hilang!"
Kidang Antikan dan teman-temannya saling
pandang.
"Jadi, Ki Wangas Pati tahu di mana dia?" tanya
Kidang Antikan, masih tetap sopan.
"Ya!" jawab Ki Wangas Pati tegas.
"Maaf, Ki. Tunjukkanlah di mana dia," pinta Kidang
Antikan.
"Tak akan kutunjukkan! Pergilah! Atau terpaksa
aku harus mengusir kalian dengan kekerasan!"
ancam Ki Wangas Pati. Matanya semakin tajam
menghunjam, memandang Kidang Antikan yang ter-
lihat masih tenang.
"Maaf, Ki. Sebenarnya kami yang muda sudah
menghormatimu. Namun, bukan berarti kami harus
tunduk pada perintahmu. Kami ditugaskan untuk
menangkap Warak Kendra. Maka itu, apa pun
rintangannya akan kami hadapi...," tutur Kidang
Antikan.
"Bocah nekat! Apakah kau benar-benar sudah
punya nyawa cadangan, hingga berani menentangku,
heh?!" sentak Ki Wangas Pati dengan gusar. Matanya
semakin merah membara.
"Masalah nyawa, semua orang tak mau
kehilangan, Ki. Tapi demi kebenaran dan keadilan,
kami siap mati," sahut Kidang Antikan dengan gagah
berani, membuat Ki Wangas Pati semakin geram.
"Kurang ajar...!"
"Kami memang masih muda, tapi kami tak kurang
pelajaran seperti kau, Ki...," sahut Kidang Antikan
dengan nada menyindir. Hal itu membuat Ki Wangas
Pati semakin bertambah marah.
"Bocah mencari mampus! Jangan salahkan kalau
mulutmu yang lancang kurobek! Heaaa...!"
***
Melihat orang tua itu telah menyerang, Kidang
Antikan tidak tinggal diam. Pemuda tampan dengan
rambut digelung dengan ikat pita putih serta tali
kepala merah itu segera bergerak mengelakkan
serangan Ki Wangas Pati
"Heaaat..!"
Pedang di tangan Kidang Antikan bergerak cepat,
membabat setiap serangan yang dilancarkan Ki
Wangas Pati. Tubuh keduanya bergerak bagai kilat,
sehingga kini tak nampak lagi tubuh mereka. Yang
terlihat hanyalah dua gulungan warna yang berbaur
tak menentu.
"Hiyaaa...!"
Ki Wangas Pati merentangkan kedua tangannya,
membentuk sebuah sayap lebar. Kemudian dengan
cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan.
Disusul oleh sambaran tangan kiri ke arah kepala
lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat
secara bergantian, mencecar kaki lawan.
Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Kidang
Antikan tak mau kalah. Pedang di tangannya diputar
sedemikian rupa, membentuk baling-baling di depan
tubuhnya. Sesekali pedang itu membabat ke arah
bawah dan atas, membuat serangan-serangan yang
dilancarkan Ki Wangas Pati tak mengenai sasaran.
"Heaaat..!"
"Yeaaa..!"
Ki Wangas Pati yang merasa serangan awalnya
gagal, dengan cepat mengembangkan serangannya
lagi. Tangannya terangkat lurus ke atas, kemudian
ditekuk membentuk siku. Lalu dengan jari-jari tangan
mengembang, tangan kanannya menyambar dada
lawan.
"Jebol dadamu, Bocah!"
"Uts...!"
Cepat Kidang Antikan melompat mundur. Kembali
pedangnya diputar di depan tubuh. Menjadikan
putaran pedang itu laksana baling-baling. Cepat dan
ganas. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang
nampak hanyalah kilatan warna putih yang mem-
bungkus tubuh Kidang Antikan.
Karena mengira Kidang Antikan akan sulit meng-
hadapi orang tua itu, tanpa diperintah lima belas
temannya langsung bergerak maju. Dengan pedang di
tangan, mereka mengepung kedua orang yang masih
bertarung itu.
Dua orang itu terus bertarung dengan seru.
Masing-masing menunjukkan ilmu silat yang mereka
miliki. Tak percuma Kidang Antikan mendapat
kepercayaan dari gurunya untuk menangkap Warak
Kendra. Terbukti telah lebih dari sepuluh jurus dia
masih mampu menghadapi orang tua yang terkenal
aneh itu. Malah nampaknya pemuda itu bisa meng-
imbangi setiap serangan lawan.
Ki Wangas Pati yang serangannya selalu dapat
digagalkan pemuda itu, semakin penasaran. Tangan-
nya kembali merentang, kemudian terangkat lurus ke
atas. Disambung dengan menekuknya di samping
dada.
Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan
tangan kanannya bergerak menyapu. Kedua kakinya
pun tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah
pinggang lawan, disusul kaki kiri yang menyapu kaki
lawan. Itulah jurus 'Kelelawar Membelah Kabut',
sebuah jurus yang terkenal ganas dan mematikan.
"Hiaaat..!"
Kidang Antikan tersentak melihat jurus yang
dilancarkan orang tua itu. Gerakan orang tua itu
sangat cepat, rasanya sangat sulit baginya untuk
mengelak. Tapi Kidang Antikan bukanlah pemuda
kemarin sore yang masih mentah dalam ilmu bela
diri. Percuma dia diberi tugas yang cukup berat untuk
menangkap dan membawa kakak seperguruannya
agar dapat diadili.
Kidang Antikan menggeser kakinya dua langkah ke
samping, kemudian tangan kanannya memukul
dengan telapak. Tangan kirinya yang memegang
pedang, membabat ke arah samping. Gerakan
pedang dan pukulan tangan Kidang Antikan
serempak. Sedangkan kakinya mengelak dengan cara
bergeser ke samping atau mundur.
Jurus yang digunakan Kidang Antikan, tiada lain
jurus 'Belibis Melalang Mencari Mangsa', salah satu
jurus andalan dari Perguruan Belibis Putih.
Gabungan dan kembangan jurus itu sangat indah.
Tubuh orang yang memperagakannya bagai gerakan
seekor belibis. Kakinya bergerak ringan. Sementara
tangannya bergerak cepat, memukul dan mem-
babatkan pedang.
Jika saja yang menjadi lawan bukan Ki Wangas
Pati, sudah dari tadi dapat dikalahkan. Tapi lawannya
kini adalah salah seorang tokoh persilatan yang
namanya cukup kondang di kalangan rimba
persilatan.
Serangan yang cepat dan gencar dari Kidang
Antikan mendapat perlawanan yang juga cepat dan
gencar. Jurus-jurus yang dilancarkan Kidang Antikan
hanyalah jurus-jurus pelumpuh. Maka jika mengenai
sasaran, tidak akan mematikan lawan. Sebaliknya
jurus-jurus yang dilancarkan Ki Wangas Pati adalah
jurus-jurus mematikan. Kalau sampai lawan terkena
hantaman atau tebasan tangannya, dapat dipastikan
lawan akan mengalami kematian.
Ki Wangas Pati yang semakin penasaran karena
sudah hampir dua puluh jurus belum juga mampu
menjatuhkan lawannya, semakin bernafsu. Tangan-
nya membentuk cakar, dengan kuku-kukunya yang
panjang dan runcing. Tangan kanannya mencakar ke
muka lawan, sedangkan tangan kirinya menghantam
dengan telapak tangan ke dada lawan.
"Heaaa...! Sobek mukamu, Bocah!" bentak Ki
Wangas Pati dengan penuh kegusaran. Kini gerakan
tangan yang menyerang semakin bertambah cepat
dan ganas. Kuku-kukunya yang panjang, akan mampu
merobek kulit tubuh.
"Hup...! Hiaaa...!"
Kidang Antikan mendongakkan kepala dengan
cepat, ketika cakaran tangan kanan orang tua itu
mengarah ke wajahnya. Kemudian dengan cepat
pula, tubuhnya digeser dua langkah ke samping
kanan.
Serangan Ki Wangas Pati lolos. Tangan orang tua
itu meluncur deras ke arah samping, membuat orang
tua itu semakin bernafsu untuk membunuh pemuda
yang menjadi musuhnya. Tangannya yang mencakar
semakin cepat, sampai-sampai tak nampak lagi.
"Celaka...!" pekik Kidang Antikan dengan mata
melotot kaget, melihat gerakan tangan orang tua itu.
"Uts...! Hampir saja."
Kidang Antikan segera membuang tubuh ke
samping kiri, mengelakkan cakaran lawan.
Crab!
Kuku-kuku Ki Wangas Pati menghunjam pohon
yang berada di belakang Kidang Antikan. Begitu keras
dan kuatnya hunjaman kuku-kuku itu, sampai-
sampai, kulit pohon yang keras bisa ditembus. Dan
ketika Ki Wangas Pati menarik jari-jari tangannya,
seketika pemandangan mengerikan terjadi.
Dedaunan pohon itu langsung berguguran. Malah
pohon itu nampak hangus.
Mata Kidang Antikan dan orang-orangnya mem-
belalak kaget saat menyaksikan kejadian itu. Pohon
saja sampai mengalami hal yang sangat mengerikan.
Apalagi manusia?
Meski begitu, sebagai seorang pendekar, pantang
bagi Kidang Antikan mundur karena ngeri menyaksi-
kan cakaran lawan. Dia terus berusaha mengimbangi
jurus-jurus lawan yang semakin lama kian buas.
Saat pertarungan berjalan seru, tiba-tiba terdengar
suara cuitan nyaring di udara yang menyentakkan
semua rekan Kidang Antikan. Dan ketika mereka
menengadahkan wajah ke atas, mata mereka mem-
belalak kaget menyaksikan seekor kelelawar merah
raksasa.
"Cuiiit...!"
***
DUA
Berbeda dengan rekan-rekan Kidang Antikan yang
terperanjat kaget dengan kedatangan makhluk
berupa kelelawar raksasa berwarna merah, Ki
Wangas Pati malah tersenyum senang. Dengan
berteriak nyaring sambil mengangkat tangan, Ki
Wangas Pati memanggil binatang piaraannya.
"Bagus! Rupanya kau datang tepat pada waktunya,
Mangkara! Turunlah! Singkirkan mereka, cepat...!"
kata Ki Wangas Pati sambil terus menyerang kembali
Kidang Antikan.
Bagaikan mengerti perintah tuannya, binatang
menyeramkan itu mencuit keras. Kemudian tubuhnya
menukik ke bawah sambil mengepakkan sayap, siap
menyambar kelima belas orang yang mengurung
tuannya.
"Cuit..!"
"Awas, binatang iblis itu menyerang...!" seru salah
seorang dari mereka untuk mengingatkan teman-
temannya.
Kelelawar merah dengan mata laksana mengan-
dung api itu menukik cepat, kemudian sayapnya
menyambar deras ke arah orang-orang yang
mengurung tuannya.
Wuuut!
Cras!
"Aaa...!"
Salah seorang terkena sambaran sayap kelelawar
itu. Wajahnya bagai terbabat oleh pedang. Luka yang
mengeluarkan darah, menyilang di muka orang itu.
Sesaat tubuh orang malang itu meregang, sebelum
ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah membubung ke angkasa.
Lalu dengan suara keras yang memekakkan telinga,
kembali tubuhnya menukik ke bawah.
"Cepat menyingkir...!"
Mereka berusaha menyingkir dari tempat itu.
Namun salah seorang dari mereka rupanya nekat
Dengan pedang di tangan, lelaki itu berusaha meng-
hadapi serangan kelelawar yang siap menyerang ke
arahnya.
"Kelelawar iblis! Hadapi aku! Yoga Prana tak akan
takut padamu! Yeaaat..!"
Lelaki yang bernama Yoga Prana ini segera
menebaskan pedang ke tubuh kelelawar raksasa itu.
Tapi bagaikan tahu ada bahaya, kelelawar itu kembali
ke angkasa. Membuat serangan Yoga Prana
mengenai tempat kosong.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, kemudian
dengan cepat kembali menukik. Sayapnya yang lebar
dan tajam bagai pedang, dengan cepat mengepak ke
wajah lelaki itu.
Wettt!
Yoga Prana berusaha membabatkan pedangnya ke
arah kelelawar, berusaha mendahului babatan sayap
binatang itu. Ternyata babatan pedangnya kalah
cepat. Sayap binatang raksasa itu telah menghantam
kepalanya lebih dahuhi.
Prak!
"Aaa...!" Yoga Prana memekik keras. Kepalanya
pecah, sampai-sampai otaknya terburai ke luar.
Darah meleleh dari pecahan kepalanya. Mata lelaki
malang itu melotot, lalu ambruk dengan nyawa
melayang.
Menyaksikan dua orang temannya mati. Bukannya
menjadikan yang lainnya takut. Malah mereka
kelihatannya menjadi nekat. Didahului oleh pekikan
menggelegar, ketiga belas orang rekan Kidang
Antikan menyerbu.
"Bunuh kelelawar ibhs itu...!"
"Serang...!"
"Pakai tombak...!"
Dengan menggunakan tombak, mereka siap meng-
ganyang kelelawar raksasa itu. Serentak mereka
melemparkan tombak saat kelelawar merah raksasa
itu menukik ke bawah. Namun bagai tahu ilmu silat,
kelelawar itu bergerak mengelit. Sayapnya mengepak-
ngepak, menangkis! Tombak-tombak yang mengarah
ke tubuhnya. Kebutan sayap binatang itu
menimbulkan angin yang besar.
Tombak-tombak yang dilemparkan ketiga belas
orang itu tak ada satu pun yang mengena. Malah
beberapa tombak kini melesat kembali ke arah
pemiliknya. Kemudian dengan tepat dan deras,
menghunjam di dada lima lelaki itu, hingga tembus ke
punggung.
Crab!
Pekikan kematian susul-menyusul, keluar dari
mulut kelima orang yang dadanya tertembus tombak.
Darah mengalir dari lubang di dada mereka yang kini
bergelimpangan tanpa nyawa.
Semakin marah saja teman-teman korban
menyaksikan kejadian itu. Mereka dengan nekat
segera menghunus pedang, lalu menantang
Kelelawar Iblis Merah yang masih berputar-putar di
angkasa.
"Cuit...!"
"Kelelawar iblis, turunlah! Hadapi kami...!" tantang
Walas Pitu. Tangan kanannya yang memegang
pedang mengacung ke atas.
"Cuit...!"
Kelelawar Iblis Merah menukik, kemudian dengan
cepat menyambar ke arah mereka. Kedelapan orang
itu merunduk, berusaha mengelakkan sambaran
sayap binatang buas itu. Lalu dengan cepat mem-
balas dengan tusukan dan babatan pedang.
"Hancur tubuhmu, Kelelawar Iblis...!"
Berbarengan mereka membabatkan pedang ke
tubuh Kelelawar Iblis Merah yang sudah merendah.
Namun tanpa diduga, tiba-tiba binatang itu kembali
mengepakkan sayap sambil melesat ke atas.
Cras!
"Aaa...!"
Dua orang lagi menjadi korban. Wajah mereka
terkena babatan sayap binatang itu. Luka menyilang
dengan darah mengucur, terlihat di wajah kedua
orang yang kemudian meregang nyawa dan ambruk
ke tanah. Sedangkan yang lainnya, terbelalak kaget
ketika pedang mereka beradu tanpa mengenai
sasaran.
Trang!
"Kurang ajar! Rupanya binatang iblis itu benar-
benar mempermainkan kita!" dengus Walas Pitu
sengit
Ketika Kelelawar Iblis Merah kembali menukik ke
bawah, Walas Pitu dengan cepat merunduk.
Pedangnya langsung dibabatkan ke tubuh kelelawar
itu.
Sementara Kelelawar Iblis Merah yang tengah
mengepakkan sayap untuk menyerang lima orang
lainnya, tak dapat mengelakkan babatan pedang
Walas Pitu.
Bret!
"Cuit..!"
Binatang itu langsung mencuit keras, ketika
merasakan sakit pada bagian tubuhnya yang terluka.
Darah hitam mengucur dari tubuhnya. Tapi binatang
itu tidak menjadi takut. Malah dengan keadaannya
yang terluka, dia kian ganas.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya
mengepak dengan cepat. Sayapnya yang melebihi
tajamnya pedang, bergerak liar membabi buta.
Membuat keenam orang itu kewalahan. Mereka
berusaha membalas serangan binatang yang sangat
ganas itu. Namun kepakan sayap binatang itu ter-
nyata lebih cepat
Cras! Bret!
Dua orang lagi memekik. Yang seorang kepalanya
hancur, sedangkan yang lain terpenggal. Kemudian
binatang itu kembali membubung ke angkasa, ber-
putar-putar sesaat, lalu kembali menukik untuk
melakukan serangan.
"Cuit...!"
Kedua sayap Kelelawar Iblis Merah mengembang
lebar. Setelah dekat, dengan cepat menyambar dan
memukul ke arah lawan-lawannya.
"Binatang celaka! Kau harus mampus...!"
Walas Pitu yang merasa telah dapat melukai
binatang itu, dengan nekat merangsek ke depan. Hal
itu berakibat fatal baginya. Sebelum dia sempat
menusukkan pedangnya, kuku-kuku Kelelawar Iblis
Merah yang panjang telah lebih dahulu men-
cengkeram lehernya. Bersamaan dengan kepakan
sayap binatang itu untuk menyerang lawan yang lain.
Prak!
Cras!
Dua orang lagi memekik keras. Pekikan kematian
yang mengiringi hancurnya kepala dan muka mereka.
Sedangkan Walas Pitu yang dalam cengkeraman
kaki-kaki binatang itu, kini dibawa ke atas.
"Oh, tolooong...!" Walas Pitu berusaha meminta
tolong pada temannya yang masih hidup. Namun
mereka tak dapat berbuat apa-apa. Binatang iblis itu
terus membubung tinggi. Setelah mencapai ke-
tinggian yang cukup, dilepaskannya tubuh Walas Pitu.
Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dengan deras
ke bawah. Tidak lama kemudian, terdengar suara
pecahnya batok kepala, mengakhiri jeritan menyayat
Walas Pitu.
Prak!
"Aaa...!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik, siap
menyerang dua lawan yang masih hidup. Nyali
mereka seketika menciut. Tanpa pikir panjang lagi,
kedua orang itu segera lari tunggang-langgang.
Rupanya binatang iblis itu tak mau melepaskan
mereka begitu saja. Dengan mencuit keras, binatang
itu memburu keduanya. Dalam sekejap saja, mereka
dapat disusul.
Sayap kelelawar itu mengembang, kemudian mem-
babat punggung keduanya dengan deras.
Prak, prak!
"Aaa...!"
Kedua orang itu memekik keras. Punggung mereka
langsung hancur dengan darah menyembur ke mana-
mana. Sesaat tubuh keduanya meregang kemudian
ambruk dengan nyawa melayang.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke
angkasa. Mengetahui semua lawan yang dihadapinya
telah bergelimpangan tanpa nyawa, binatang itu
hendak membantu tuannya yang tengah bertarung.
Sambil mengepakkan sayapnya yang lebar, kelelawar
raksasa itu melayang menuju arena pertarungan
antara Ki Wangas Pati dan Kidang Antikan.
"Kau tak usah membantuku! Dia sebentar lagi juga
mampus!" cegah Ki Wangas Pati pada binatang
piaraannya.
Bersamaan dengan ucapannya, Ki Wangas Pati
mengirimkan satu pukulan maut Pukulan 'Pemegat
Nyawa' yang dahsyat itu melaju deras ke arah Kidang
Antikan.
Kidang Antikan tersentak kaget. Sama sekali tidak
diduganya kalau lawan akan mengeluarkan pukulan
maut. Dengan berusaha sebisanya, pemuda gagah itu
segera memapaki dengan pukulan sakti 'Serat
Kandala'.
"Hiaaat.."
"Yeaaa...!"
Seberkas sinar berwarna merah dan putih keluar
dari tangan keduanya, diikuti oleh gemuruh angin
laksana amukan topan. Kemudian kedua pukulan
sakti itu bertemu di udara, mencintakan ledakan
menggelegar yang dahsyat
Glarrr!
"Ugkh...!"
Tubuh Ki Wangas Pati terhuyung dua langkah ke
belakang. Matanya membelalak, tak percaya kalau
pukulan lawan begitu kuat. Sedangkan tubuh Kidang
Antikan terlempar beberapa tombak ke belakang.
Dadanya remuk dengan luka lebar mengerikan.
Tanpa ampun lagi, maut menjemput nyawa pemuda
itu.
Ki Wangas Pati menarik napas dalam-dalam.
Setelah melambaikan tangan pada Kelelawar Iblis
Merah, orang tua yang berwatak angin-anginan itu
berlalu dari tempat pembantaian yang menyisakan
belasan mayat bersimbah darah.
Dalam sebuah gubuk di tengah Hutan Wandar, Ki
Wangas Pati duduk bersila sambil mengatur per-
napasannya, guna memulihkan tenaga yang terkuras
habis dalam pertarungannya beberapa saat lalu.
Terlebih ketika bentrokan tenaga dalam dengan
Kidang Antikan.
Sementara di biar gubuk, seekor kelelawar raksasa
berwarna merah tengah menggelantung di sebuah
cabang pohon besar. Matanya yang merah, tidak lagi
tajam seperti semula. Kini matanya redup, me-
rasakan sakit akibat luka di tubuhnya.
Lukanya terlihat masih meneteskan darah hitam
yang membasahi rumput di bawahnya.. Tampaknya
binatang raksasa itu tengah melakukan semadi
seperti tuannya.
Tak berapa lama kemudian, Ki Wangas Pati keluar.
Matanya langsung memandangi kelelawar raksasa
berwarna merah itu.
"Kau terluka, Mangkara?" tanya Ki Wangas Pati.
"Cuit..!" sahut kelelawar itu seraya mengangguk-
anggukkan kepala. Sayapnya membentang, seperti
hendak menunjukkan luka-luka yang diderita pada
tuannya. Memang, di dada binatang itu terdapat luka
yang menganga.
"Turunlah, biar aku melihatnya...!"
"Cuit...!"
Tubuh kelelawar merah raksasa itu pun turun,
kemudian hinggap di sebuah batu di depan Ki
Wangas Pati. Sayapnya direntang lebar-lebar,
sehingga Ki Wangas Pati dapat melihat lukanya.
Sejenak Ki Wangas Pati mengamati luka di rubuh
kelelawar itu. Tangannya mengusap darah yang
mengalir di dada binatang peliharaannya dengan jari
telunjuk, lalu didekatkannya jari itu ke hidungnya.
"Hm, untung pedang itu tidak beracun...." gumam
Kl Wangas Pati. "Sebentar, Mangkara. Akan kuambil-
kan obat untuk mengobati lukamu."
"Cuit..!"
Ki Wangas Pati beranjak masuk ke dalam gubuk-
nya untuk mencari obat. Tak lama kemudian, orang
tua berjubah merah itu keluar kembali. Di tangannya
tergenggam sebuah mangkuk terbuat dari tanah liat.
Di dalam mangkuk itu, terdapat ramuan obat untuk
menyembuhkan luka.
"Hm.... Kau harus menahan sakit, Mangkara." Ki
Wangas Pati segera mengoleskan ramuan obat itu ke
luka di tubuh Mangkara. Bagai sedang mengalami
siksaan, mulut binatang itu memekik-mekik keras.
Kepalanya bergerak-gerak liar, seolah-olah menahan
rasa sakit yang tiada tara.
"Cuit, cuit..!"
"Memang perih, Mangkara. Tapi hanya sebentar.
Selebihnya lukamu akan cepat kering dan sembuh,"
kata Ki Wangas Pati sambil membelai-belai kepala
binatang itu.
"Cuit..!"
"Baiklah, Mangkara. Aku harus menolong pemuda
itu. Kau bersemadilah dulu, untuk memulihkan
tenaga yang terkuras, sekaligus mempercepat
kesembuhan luka di tubuhmu," kata Ki Wangas Pati
sambil berlalu meninggalkan Mangkara, kembali
masuk ke dalam gubuknya.
Kaki Ki Wangas Pati melangkah ke sebuah
ruangan dalam gubuk itu, di mana Warak Kendra
tergeletak bertelanjang dada. Di dada kirinya nampak
bekas pukulan yang menghitam kebiru-biruan.
"Hm...," Ki Wangas Pati mengangguk-anggukkan
kepala menyaksikan luka tersebut "Pantas saja dia
mengalami hal seperti itu. Aku sendiri telah merasa-
kan betapa besar tenaga dalam pemuda itu."
Ki Wangas Pati kemudian melangkah ke tempat
penyimpanan obat-obatan. Dicarinya obat yang
berada di tempat berbentuk tabung dari bambu.
Diambilnya salah sebuah tabung bambu. Lalu
dibawanya menuju tempat Warak Kendra tergolek.
Ki Wangas Pati mengaduk serbuk obat Lulur Raga
Sakti yang baru diambil dari tabung bambu itu.
Kemudian dioleskannya ke luka di dada kiri dan
kanan Warak Kendra.
"Akh...!"
Warak Kendra menjerit, ketika luka di dadanya
diolesi ramuan obat yang diberikan Ki Wangas Pati.
Dari luka itu mengepul asap, bagaikan terbakar.
"Tahan sedikit, Anak Muda," kata Ki Wangas Pati
masih terus melumuri dada pemuda itu dengan
ramuan obatnya. Orang tua berjubah merah itu
seperti tak menghiraukan jerit kesakitan Warak
Kendra.
Setelah menggelepar-gelepar menahan rasa sakit
yang tak terkirakan, tubuh Warak Kendra terdiam.
Nampaknya pemuda itu kembali jatuh pingsan.
Dadanya masih mengepulkan asap. Namun perlahan-
lahan nampak warna hitam kebiru-biruan bekas
pukulan telapak tangan itu menghilang. Tubuhnya
yang semula membiru, kini berangsur normal seperti
sediakala.
Ki Wangas Pati naik ke atas tempat tidur di mana
Warak Kendra terbaring. Tangannya disatukan di
depan dada. Matanya terpejam. Kemudian telapak
tangannya yang menyatu, perlahan bergerak
membuka. Lalu telapak tangan kanannya ditempel-
kan di dada pemuda itu. Sedangkan telapak kirinya
ditempelkan di perut dengan sedikit mendorong.
"Hhh...!"
Ki Wangas Pati menghempaskan napas untuk
menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangannya.
Tubuhnya menggigil dahsyat dan mengucurkan
keringat. Matanya terpejam rapat.
Tubuh Warak Kendra turut menggigil. Dibarengi
dengan keluarnya keringat sebesar biji jagung. Asap
mengepul keluar dari telapak tangan Ki Wangas Pati.
Begitu juga dari tubuh pemuda itu.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Warak Kendra.
Tubuhnya dirasakan membara laksana dibakar dalam
tungku. Kemudian mendadak menjadi dingin mem-
bekukan, bagai bongkahan es.
Proses penyembuhan luka di tubuh Warak Kendra
berjalan cukup lama. Sampai-sampai Ki Wangas Pati
kelelahan. Tenaganya bagaikan dikuras habis oleh
proses penyembuhan itu.
"Oh...!" Ki Wangas Pati mengeluh. Tubuhnya
tergetar hebat. Dan menjelang puncak penyembuhan
itu, tubuhnya terkulai lemas lalu jatuh tertidur.
Lain halnya dengan Warak Kendra. Dia malah
menggeliat bangun setelah merasa tubuhnya segar
kembali. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka,
lalu memandang ke sekelilingnya.
"Cuit..!"
Di luar terdengar suara Kelelawar Iblis Merah,
membuat kening Warak Kendra berkerut dalam.
Perlahan-lahan dia bangkit. Dan dengan agak
sempoyongan, kakinya melangkah keluar untuk
melihat sesuatu yang didengarnya.
"Kelelawar Iblis Merah..!" gumamnya dengan mata
membelalak tatkala melihat seekor binatang raksasa
tengah bergelantungan di sebuah cabang pohon
besar. "Kalau begitu, di sinilah tempat Mustika
Pengubah Raga..."
Sekilas bibir Warak Kendra menyunggingkan
senyum. Di hatinya kini tersimpan sebuah rencana
jahat. Rencana untuk mendapatkan mustika itu.
Merebutnya dari tangan Ki Wangas Pati!
***
TIGA
Matahari pagi naik sepenggalan. Angin pagi
berhembus pelan, membelai dedaunan. Kicau burung
terasa sangat merdu. Ditambah dengan langit yang
demikian bening, membangun keindahan alam di
dalam Hutan Wandar.
Seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit
kuning bersih, duduk di atas sebatang pohon
tumbang di Hutan Wandar. Rambutnya panjang
dengan ikat kepala dan baju rompi yang terbuat dari
kulit ular sanca. Di tangan pemuda itu, tergenggam
sebuah suling berkepala naga. Itulah Suling Naga
Sakti. Dan tentunya pemuda itu tak lain Sena
Manggala atau Pendekar Gila.
Mata pemuda itu memandang langit yang berhias
bentangan warna biru bersih. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala, sedangan tangan kirinya
memukul-mukulkan suling ke paha.
"Ah, betapa damainya suasana di tempat ini,"
gumam Sena sambil cengengesan.
Pemuda bertampang gila itu menghela napas.
Wajahnya masih nampak cengengesan. Tangan
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Lalu
sulingnya diletakkan di bibir.
Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan pelan.
Nampaknya Sena hendak bersenandung, mengisi
suasana yang sepi dan damai. Kemudian terdengar
suara suling mengalun dengan merdunya, menebar-
kan irama lagu yang penuh penghayatan.
Betapa damainya alam ini
Seakan penuh kenikmatan
Gunung menjulang tinggi membiru
Pohon tumbuh menghijau asri....
Pemuda tampan dengan pakaian rompi kulit ular
itu terus berdendang dan diselingi tiupan sulingnya.
Iramanya mendayu sendu, penuh penghayatan.
Sepertinya mengajak para pendengarnya untuk
menghayati alam sekitarnya. Alam yang subur dan
damai.
Sayang sekali....
Mengapa keindahan ini harus rusak
Oleh tumpahnya darah
Oleh kekejian manusia....
Saat Sena berdendang sambil menikmati indahnya
alam di pagi itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara
memekik keras di angkasa. Suara pekikan itu
mengejutkannya, hingga kepalanya seketika men-
dongak ke langit.
"Cuit! Cuit...!"
Di kejauhan sana, dilihatnya sebuah sosok
bayangan merah raksasa tengah melayang. Semakin
pemuda tampan bertampang gila itu menajamkan
pandangannya, semakin jelas bentuk benda yang
melayang itu.
Sena mengerutkan kening. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Hyang Jagat Dewa Batara, binatang apakah itu,"
gumamnya tanpa sadar.
Sena bangun dari duduknya. Berdiri dengan tegap
seraya memandang binatang raksasa yang masih
melayang-layang di angkasa. Tangannya menggaruk-
garuk kepala tiada henti. Mulutnya nyengir.
"Ah ah ah.... Pertanda apakah binatang aneh itu
keluar? Bukankah binatang itu sudah lama meng-
hilang? Mengapa kini keluar lagi...?" gumam Sena
dengan wajah tetap menengadah.
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu mencuit keras, kemudian menukik
deras ke bawah. Hal itu menjadikan Sena mem-
belalakkan mata. Mulutnya nampak menganga.
"Heh, sepertinya binatang iblis itu tengah ber-
tarung dengan sesuatu!"
Benar juga, kelelawar itu sebentar-sebentar me-
nukik, lalu melesat naik ke atas lagi.
"Cuit! Cuit..!"
"Ah ah ah.... Binatang itu benar-benar tengah ber-
tarung dengan sesuatu. Tapi bertarung dengan
apa...?" tanya Sena, keheranan. Matanya sama sekali
tak menangkap lawan tarung binatang raksasa itu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Diselipkannya Suling Naga Sakti di pinggang.
Kemudian masih dengan menggaruk-garuk kepala,
dipandanginya tingkah laku binatang itu.
"Cuit! Cuit...!"
Binatang raksasa berwarna merah itu melayang di
udara. Berputar-putar dengan mengepakkan sayap.
Mulutnya memperdengamya suara yang memekak-
kan telinga. Kemudian dengan deras menukik ke
bawah dengan sayap mengepak keras, seakan
hendak menghantam sesuatu.
"Ha ha ha... Lucu sekali binatang itu. Seperti
manusia saja tingkah lakunya...."
Sena tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kanan. Sedangkan tangan
kirinya kini menepuk-nepuk pantat, tingkah laku
kelelawar merah raksasa itu di matanya terlihat lucu.
Tak henti-hentinya Sena memandangi gerak-gerik
binatang raksasa yang melayang-layang di angkasa
sambil tertawa-tawa kegelian. Tangannya tak berhenti
menggaruk dan menepuk pantat. Kakinya berjingkat-
jingkat seperti monyet.
"Hi hi hi...! Lucu sekali.... Lucu sekali binatang
raksasa itu bertarung."
Tiba-tiba Sena menghentikan tawanya, juga
gerakan tangan dan kakinya. Keningnya berkerut,
seakan ada yang tengah dipikirkan.
Sena kembali memandang kelelawar raksasa
merah yang masih melayang-layang. Tiba-tiba tangan-
nya menepuk dahi sambil berseru,
"Ah, bukankah kelelawar itu yang dinamakan
Kelelawar Iblis Merah? Hm, berarti cerita tentang
binatang itu memang benar! Aku harus segera ke
sana untuk melihat apa yang dilakukannya."
Tubuh Sena segera melesat meninggalkan tempat
itu. Dengan lari kencang laksana terbang, dia menuju
ke tempat kelelewar itu bertarung yang masih berada
di wilayah Hutan Wandar. Tawanya menggelegar,
membuat burung-burung beterbangan.
Di cakrawala sebelah selatan, kelelawar itu masih
terlihat. Sebentar-sebentar naik ke atas, kemudian
menukik kembali ke bawah.
***
"Cuit! Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah membubung tinggi ke
angkasa. Tubuhnya berputar-putar sesaat, lalu me-
lesat meninggalkan Hutan Wandar. Kini tinggal lima
tubuh lelaki yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Wajah kelima lelaki dari dunia persilatan itu ber-
lumuran darah yang mengalir dari luka menganga
akibat sabetan ganas sayap kelelawar raksasa yang
tajamnya melebihi mata pedang.
Sena terbengong-bengong setelah sampai di
tempat itu. Matanya membelalak, menyaksikan lima
tubuh tergeletak mati.
"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apa lagi yang
kini menimpa rimba persilatan?" gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke se-
keliling tempat itu, berusaha mencari pelaku keji yang
telah membantai kelima orang itu. Tapi jejak kaki
orang yang mungkin menjadi algojo keji bagi lima
orang naas di hadapannya tidak ditemukan.
Pendengarannya dipadang tajam-tajam, dengan
harapan dapat mendengar langkah kaki sekecil apa
pun. Hasilnya sama saja. Tak juga didengarnya suara
langkah kaki. Berarti di tempat itu tidak ada orang
lain selain dirinya.
Sena mengerutkan kening, tangannya masih
menggaruk-garuk kepala. Tiba-tiba mulutnya tertawa,
ketika ingat kalau tadi dilihatnya kelelawar raksasa
berwarna merah darah.
"Ha ha ha...! Tolol! Tolol sekali aku. Bagaimana
mungkin ada orang? Bukankah yang bertarung
dengan kelima pendekar ini seekor kelelawar?"
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya
masih tersenyum-senyum, mencemooh ketololannya.
Tangan kanannya menepuk-nepuk kening. Kemudian
dengan hati-hati, didekatinya tubuh kelima lelaki
malang itu.
"Mengerikan!" desis Sena.
Sena tak henti-hentinya menggelengkan kepala
ketika memeriksa satu persatu kelima mayat itu. Dari
kelima mayat itu, tidak seorang pun dikenalinya.
"Keji! Keji sekali binatang itu!" maki Sena. "Aneh,
bagaimana mungkin mereka yang membawa senjata
tajam bisa dikalahkan orang seekor kelelawar?"
Sena berpikir sesaat. Namun masih saja tidak di-
pahaminya kejadian itu. Mengapa kelima pendekar
yang kelihatannya gagah itu menemui ajal hanya ber-
hadapan dengan seekor kelelawar raksasa.
Belum juga Sena mendapatkan jawaban atas per-
tanyaan yang menyesaki benaknya, dari kejauhan
tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh.
"Itu dia...!"
"Tangkap manusia keji itu...!"
"Cincang tubuhnya...!"
Sena tersentak kaget mendengar seruan-seruan
itu. Matanya membelalak ke arah puluhan orang yang
berlari serabutan ke arahnya dengan senjata ter-
hunus. Rupanya mereka adalah kawan-kawan dari
para korban kekejian kelelawar tadi.
"Celaka...!" pekik Sena kaget. "Bisa runyam kalau
begini."
Pendekar Gila belum bisa menentukan apa yang
harus dilakukannya, ketika dengan cepat puluhan
orang itu telah menyerang dengan melepaskan anak
panah.
Swing, swing...!
"Edan! Benar-benar edan...!" maki Sena sambil ber-
jumpalitan untuk mengelakkan serbuan anak panah
yang menderu ke arahnya. Tubuhnya melenting ke
atas, kemudian tangannya bergerak cepat, me-
nangkap puluhan anak panah yang memangsanya.
Sedangkan kakinya kini hinggap di dua anak panah
lainnya.
Mata puluhan penyerang itu tampak membelalak
menyaksikan bagaimana mudah dan entengnya
pemuda itu menangkapi puluhan anak panah.
Sedangkan kakinya menjejak di atas dua anak panah
yang kini melesat balik ke arah mereka.
Sena tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang
masih memijak anak panah itu, melesat dengan
deras ke arah para penyerang. Dua anak panah yang
menjadi pijakannya seakan dapat dikendalikan,
sehingga menuruti gerakan pemuda itu.
"Lihat gerakan silatnya yang seperti orang gila!
Pasti dia yang telah membunuh kelima teman kita!"
seru lelaki bertelanjang dada dengan tubuh agak
gemuk.
Tanpa diperintah, puluhan orang itu segera mem-
persiapkan anak panah kembali. Kemudian dengan
cepat membidikkannya ke arah Pendekar Gila yang
masih tertawa-tawa di atas dua anak panah.
Swing, swing...!
Puluhan anak panah kembali menderu ke arah
Pendekar Gila.
"Edan! Benar-benar edan! Rupanya tidak main-
main!" maki Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya
bersalto beberapa kali di udara. Lalu, tangannya
mengibaskan beberapa anak panah.
Gerakan tangan pemuda tampan yang seperti
orang gila itu sangat cepat, mampu membuat be-
berapa anak panah yang terkena sambaran tangan-
nya berbalik ke arah lawan.
"Hi hi hi...! Nih, kukembalikan milik kalian!"
Wettt! Wusss!
Puluhan anak panah melesat kembali pada tuan-
nya. Meskipun terlihat hanya menyambar, namun laju
puluhan anak panah itu tak kalah cepat dengan laju
anak panah yang dilepas dari busur. Membuat para
penyerangnya membelalakkan mata lebar-lebar.
Mereka berusaha mengelakkan puluhan anak
panah pengembalian Pendekar Gila. Namun rupanya
laju anak panah itu sangat cepat Beberapa orang dari
mereka tak mampu lagi mengelakkannya. Tanpa
ampun lagi....
Jlep! Jlep...!
Beberapa anak panah tepat menembus sasaran.
Menghunjam di tenggorokan setiap korbannya yang
tak sempat berteriak. Hanya mata mereka saja yang
melotot dengan mulut menganga. Kemudian tubuh
mereka ambruk dengan nyawa melayang.
Menyaksikan beberapa rekannya mengalami
kematian, semakin marah saja pemimpin orang-orang
itu yang berbadan gemuk dengan kepala botak. Lelaki
berhidung besar, alis mata tebal serta bercambang
bauk lebat itu bersungut-sungut
"Kurang ajar...! Rupanya pemuda itu benar-benar
pelakunya! Serang dia...!" perintah lelaki gemuk yang
bernama Kerto Mandra dengan melambaikan tangan.
Seketika itu juga, puluhan anak buahnya meluruk
seperti air bah ke arah Sena. Dengan golok di tangan,
tampaknya mereka hendak mencincang tubuh
Pendekar Gila.
"Ambrol perutmu, bocah!"
Puluhan golok menderu ke arah Pendekar Gila.
Serangan mereka benar-benar ganas. Nampaknya
mereka tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Mereka ingin segera menghabisi pemuda yang
mereka anggap pelaku pembunuhan kelima rekan
mereka.
"Uts...! Wadauw...! Kenapa kalian keji sekali?
Sampai-sampai tega hendak merencah tubuhku?"
keluh Sena sambil melentingkan tubuh, melepaskan
diri dari rencahan golok mereka.
Kaki dan tangannya tak mau diam. Kakinya
menendang ke wajah lawan. Sedangkan tangannya
menepak kepala lawan yang terdekat. Gerakannya
sangat cepat dan sulit untuk dielakkan. Membuat
orang-orang yang dijadikan sasaran tak mampu untuk
mengelak. Akibatnya....
Degkh!
Plak!
"Aduh...!"
Empat orang menjerit seketika. Tubuh mereka
berputar laksana baling-baling. Kepala mereka terasa
pening sekali. Kemudian keempat orang itu terhuyung
kian kemari seperti orang mabuk. Mata mereka be-
kedip-kedip sayu, karena kepala mereka terasa
sangat berat sekari. Kemudian tubuh keempat orang
itu ambruk ke tanah. Pingsan!
Menyaksikan keempat lawannya itu, Sena tak
dapat menahan tawanya. Pemuda tampan berompi
kulit ular itu tergelak-gelak dengan satu tangan
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan lainnya
menepuk-nepuk pantat
Semakin bertambah marah saja lelaki gemuk
dengan kepala botak yang menjadi pimpinan orang-
orang itu, menyaksikan keempat rekannya dapat
dijatuhkan dalam sekali gebrak. Malah pemuda itu
kini tertawa tergelak-gelak laksana orang gila.
"Bocah gila...!" makinya sengit "Jangan harap kau
bisa lolos dari tangan kami! Serang dia...!"
"Heaaa...!"
Puluhan golok kembali mengancam Pendekar Gia.
Siap merencah tubuh pemuda itu. Mata puluhan
orang itu kelihatan semakin beringas, penuh
kemarahan pada Pendekar Gila.
"Remuk tubuhmu, Bocah!"
Melihat serangan, dengan cepat Pendekar Gila
mengeluarkan jurus gilanya. Kemudian dengan jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila ber-
gerak mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana
kemari, mengelitkan serangan yang menderu ke arah-
nya.
Meski tubuh pendekar muda itu kelihatannya
sangat lamban dalam mengelak, tetapi lawannya
mengalami kesulitan dalam menyerangnya.
"Hiaaat..!"
Salah seorang yang merasa penasaran, mem-
bacokkan golok ke arah Pendekar Gila. Dengan gerak
yang kelihatannya lamban, tubuh Pendekar Gila
mengelit ke samping. Kemudian tangannya menepuk
ke arah dada lawan.
"Hi hi hi... Ada apa di dadamu, Sobat?"
Orang yang diserang demikian langsung kaget. Dia
berusaha mengelitkan tepukan tangan pemuda itu.
Namun gerakan yang kelihatan lemah dan pelan itu
nyatanya cepat sekali. Sehingga orang itu mati
langkah. Dan....
Debbb!
"Aaa...!"
Orang itu memekik. Tubuhnya terlontar deras ke
belakang, meluncur ke arah teman-temannya yang
tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak, namun
tak urung ada beberapa orang yang tersapu oleh laju
tubuh orang itu. Tubuh mereka sama-sama terseret
deras, dan baru berhenti ketika menabrak pohon.
Jeritan kematian terdengar ketika kepala mereka
membentur batang pohon. Perlahan tubuh mereka
menggelosor tanpa nyawa.
Mata lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra
membelalak kaget. Nyalinya seketika menciut,
menyaksikan anak buahnya banyak yang menjadi
korban.
"Pemuda gila! Sinting...! Kali ini Kerto Mandra
mengakui kehebatanmu. Tapi kelak jika ada
kesempatan, aku akan menuntut kekalahan ini!"
Kemudian dengan menggerakkan tangan, lelaki
gemuk berkepala botak itu lari meninggalkan tempat
ini diikuti oleh rekan-rekannya.
Sena menggeleng-geleng sambil tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Kemudian dengan tersenyum
cengengesan tempat itu ditinggalkannya.
"Ada-ada saja.... Mengapa aku yang dijadikan
sasaran?" gumam Sena.
Pendekar Gila kembari tergelak-gelak, lalu tubuh-
nya melesat meninggalkan tempat itu.
***
EMPAT
Matahari agak condong ke arah barat, pertanda hari
menjelang sore. Angin sore berhembus semilir,
ditemani suara riuh burung yang hendak pulang ke
sarangnya.
Seorang lelaki tua nampak duduk bersila dengan
mata memandang ke angkasa, di mana seekor
binatang raksasa berwarna merah dengan mata
menyorot tajam melayang berputar-putar. Di
hadapannya, duduk seorang lelaki muda dengan
pakaian yang sama dengannya, berjubah merah
darah. Pemuda itu tidak lain Warak Kendra.
Sedangkan lelaki tua yang duduk di hadapannya,
tiada lain Ki Wangas Pati.
"Kau lihat, binatang itu begitu nurut padaku,
bukan?" tanya Ki Wangas Pati dengan tersenyum
bangga, menunjukkan pada Warak Kendra bagai-
mana dia mampu menundukkan binatang itu.
"Rupanya Mangkara telah selesai menjalankan
tugasnya...."
"Benar, Guru. Lihatlah, di sayapnya terdapat
lelehan darah," sahut Warak Kendra dengan bibir
menyunggingkan senyum sinis. Sepertinya ada
sesuatu yang tersimpan di hatinya.
"Mangkara...! Turunlah!" seru Ki Wangas Pati.
"Cutt..!"
Binatang raksasa itu mencuit keras. Sementara
tubuhnya berputar-putar di angkasa, seperti tengah
mengamati sekelilingnya. Kemudian setelah merasa
tak ada yang perlu dikhawatirkan, tubuh binatang
raksasa itu menukik ke bawah.
"Dia kelihatannya pintar, Guru," puji Warak Kendra.
"Ya! Sebelum turun, rupanya dia mengawasi
sekelilingnya," jawab Ki Wangas Pati. Kepalanya
mengangguk-angguk, sedangkan tangannya mem-
belai-belai jenggotnya yang panjang dan berwarna
putih.
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu terus menukik dan hinggap di
samping kiri Ki Wangas Pati. Kepalanya dielus-
eluskan ke badan tuannya, seakan hendak
mengatakan sesuatu. Sayapnya direntang lebar-lebar,
menunjukkan lelehan darah di tepi-tepinya.
"Ya, ya. Aku paham. Kau telah melakukan tugas
dengan baik untuk menjaga wilayah ini dari orang-
orang persilatan," gumam Ki Wangas Pati. "Kau
memang abdiku yang paling setia, Mangkara."
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Sayapnya yang direntang, dikibas-kibaskan. Nampak-
nya binatang itu sangat senang mendengar
sanjungan tuannya.
"Kini kau boleh beristirahat. Kalau lapar, kau boleh
mencarinya," kata Ki Wangas Pati.
"Cuit, cuit..!"
Binatang itu kembali menjerit nyaring, kepalanya
mengangguk-angguk. Kemudian setelah mengelus-
eluskan kepala di badan tuannya, binatang itu
melesat terbang.
"Cuit, cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah mengepak-ngepakkan
sayap. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, ya.... Pergilah! Carilah mangsamu sesuka hati!
Tapi jika ada apa-apa, cepatlah kembali...!" seru Ki
Wangas Pati sambil tersenyum serta melambaikan
tangan.
Binatang raksasa itu berputaran dua kali di udara,
pertanda dia mengerti. Kemudian dengan cepat
terbang meninggalkan tempat itu, membubung tinggi
ke angkasa.
Ki Wangas Pati tampaknya bangga sekali dengan
binatang itu. Untuk mendapatkannya, dia harus
bersabung nyawa dengan kakak seperguruannya.
Ingatannya kembali melayang ke masa silam, saat
kakak seperguruannya masih hidup.
Ketika itu, gurunya diketemukan telah mati
dibunuh oleh sekelompok orang persilatan yang
menjadi lawannya. Berhubung gurunya telah mati, Ki
Wangas Pati dan kakak seperguruannya Ki Wangsa
Landra akhirnya sepakat untuk membagi peninggalan
guru mereka.
Ki Wangas Pati mendapatkan senjata-senjata
sakti, sedangkan Ki Wangas Landra mendapatkan
batu mustika Pengubah Raga. Ki Wangas Pati yang
merasa dicurangi, diam-diam menaruh dendam.
Ketika sedang tidur, kakak seperguruannya dibunuh.
Kemudian Ki Wangas Pati lari dari Tanah Toraja
menuju ke Jawa Dwipa.
Di Jawa Dwipa, Ki Wangas Pati mencoba mustika
yang didapat dari hasil mencuri milik kakak
seperguruannya. Ketika ditemukannya kelelawar
merah, ditangkapnya kelelawar itu. Dengan cara
menggenggam batu mustika Pengubah Raga dan
memusatkan pikiran membayangkan apa yang
terjadi, maka terwujudlah apa yang ada dalam
pikirannya. Kelelawar merah yang semula berukuran
kecil, seketika menjadi besar. Kelelawar yang semula
makan buah, kini makannya darah dan daging.
"Cuit..!" kelelawar itu mencuit kembali.
Ki Wangas Pati terkekeh menyaksikan kepergian
binatang peliharaannya yang pintar. Kemudian
dengan tangan masih membelai-belai Jenggotnya
yang panjang, pandangannya dialihkan ke Warak
Kendra.
"Warak, tentunya kau telah tahu semua hal yanq
ada di sini. Untuk itulah, aku berharap janganlah kau
membocorkan semua rahasia di sini."
"Semua perintahmu akan kupatuhi, Guru!" sahut
Warak Kendra dengan menundukkan kepala. Namun
sesungguhnya di dalam hati pemuda itu tersimpan
pertanyaan. Rahasia! Rahasia apa...?
"Hhh...!"
Ki Wangas Pati menghela napas. Tangannya masih
membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
Wajahnya ditengadahkan ke angkasa.
"Bukannya aku mengaturmu, Warak. Tapi ketahui-
lah, sesungguhnya itulah hal terbaik bagi kita. Biarlah
orang hanya tahu tentang Mangkara saja. Kita tak
perlu terlibat langsung. Dan ketahuilah, sesungguh-
nya Mangkara itu berbuat hanya untuk melindungi
tuannya."
Mungkinkah orang tua ini menyimpan sebuah
rahasia? Tanya Warak Kendra dalam hati. Memang
dia pernah mendengar cerita tentang Kelelawar Iblis
Merah itu. Sesungguhnya Mangkara itu akan patuh
pada siapa pun yang memiliki batu mustika Pengubah
Raga. Tapi di manakah batu mustika itu? Sampai saat
ini Warak Kendra belum tahu di mana batu sakti itu.
"Warak, hari ini kelihatannya sangat cerah. Apakah
kau tidak berlatih?" tanya Ki Wangas Pati seraya
memandang wajah muridnya lekat-lekat "Berlatihlah
dengan sungguh-sungguh. Bukankah kau hendak
membalas semua dendammu?"
"Baik, Guru..."
Warak Kendra segera bangkit dari duduknya. Dia
menjura hormat pada gurunya. Diikuti oleh Ki Wangas
Pati, kaki pemuda itu melangkah ke tempat latihan.
"Kemarin lusa kau telah mempelajari 'Rentangan
Sayap Kelelawar', kini tinggal menambahkan
kembangannya dengan jurus selanjutnya 'Kepakan
Sayap Menghantam Gunung'. Setelah itu, kau tinggal
mempelajari jurus terakhirnya 'Sapuan Sayap Melebur
Buana'...," tutur Ki Wangas Pati.
"Baik, Guru."
"Ingat baik-baik. Jurus-jurus yang kau pelajari itu
sangat berbahaya. Baik untuk lawan, maupun untuk
dirimu sendiri. Jangan kau sembarangan mengguna-
kannya. Sebab kalau kau bertindak gegabah, bisa-
bisa kaulah yang akan celaka."
Warak Kendra tersentak mendengar penuturan Ki
Wangas Pati.
"Mengapa begitu, Guru? Bukankah jurus-jurus Itu
merupakan jurus dahsyat? Sulit untuk dicari
tandingannya?" tanya Warak Kendra dengan kening
berkerut Bibir Ki Wangas Pati tersenyum, sedang
kepalanya mengangguk-angguk. Tangannya masih
membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Kau memang benar. Jurus-jurus itu adalah jurus-
jurus yang dahsyat dan sulit dicari tandingannya. Tapi
bagaimanapun juga, semua ilmu silat itu ada
kelemahan-kelemahannya, yang seringkali tidak
diketahui oleh pemiliknya. Orang yang jeli dan pintar,
akan dapat melihat kelemahannya. Kau mengerti
maksudku, Warak?" tanya Ki Wangas Pati setelah
menjelaskan tentang jurus-jurusnya.
"Mengerti, Guru."
"Bagus!" Ki Wangas Pati kembali mengangguk-
anggukan kepala. Tangannya masih membelai-belai
jenggotnya yang panjang dan putih itu. "Seperti
halnya dengan Mangkara, dia pun memiliki
kelemahan-kelemahan. Siapa yang memiliki batu
mustika...."
Sampai di sini Ki Wangas Pati menghentikan
ucapannya. Sepertinya dia baru saja menyadari
ucapannya.
"Mustika apakah, Guru?" tanya Warak Kendra
pura-pura tak tahu.
"Ah, tidak... tidak ada apa-apa. Sudahlah, kini kau
latihan."
Usai berkata begitu, Ki Wangas Pati segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Sekaligus
meninggalkan rasa penasaran dalam diri Warak
Kendra.
Sementara, Warak Kendra memulai latihannya.
Sebenarnya gerakan kaki dan tangan pemuda itu
ketika berlatih hanya untuk menutupi niat sebenar-
nya. Maka setelah gurunya masuk ke dalam gubuk
tempat mereka menetap, diam-diam Warak Kendra
menguntit Ki Wangas Pati. Dia merasa yakin kalau
gurunya akan melihat mustika itu.
Dengan mengendap-endap, Warak Kendra pun
mengintip dari luar. Dia ingin tahu apa yang sedang
dikerjakan gurunya.
Benar Juga, ternyata Ki Wangas Pati saat itu
tengah mengambil sebuah kotak dari dalam tiang
penyangga gubuk. Rupanya dalam tiang itu mustika
Pengubah Raga disimpan, yang tentunya sengaja
dibuat oleh Ki Wangas Pati agar kerahasiaan benda
itu tidak diketahui orang lain
Kotak kedi itu dipandangi sesaat. Kemudian
dibukanya perlahan. Seberkas sinar terang me-
mancar dari dalam kotak itu. Sinar merah menyala
terang itu, rupanya keluar dari batu mustika di dalam
kotak.
Hm, rupanya di tempat itu si tua bangka
menyimpannya. Pantas saja aku tak tahu. Tapi kini,
aku akan mendapatkannya. Aku akan bisa menguasai
kelelewar iblis merah itu. Bahkan aku akan menjadi
orang yang sakti! Aku akan bisa mengubah diriku
menjadi makhluk apa pun juga, seperti apa yang aku
kehendaki! Warak Kendra bersorak girang dalam hati,
melihat batu mustika yang diincarnya telah diketahui.
Dengan tersenyum puas, pemuda itu kembali menuju
ke tempat latihannya semula. Kemudian terdengar
suaranya berteriak-teriak sambil memperagakan
jurus-jurus kelelawarnya.
"Hiaaa...!"
Tangannya merentang lurus, kemudian ditarik ke
atas. Dilanjutkan dengan kebatan keras ke depan
dan belakang, lalu disusul dengan sentakan dan
tebasan ke samping. Kedua kakinya menendang,
menjadikan tubuhnya melayang laksana terbang.
"Yeaaa...!"
Tubuh pemuda Itu melayang, tangannya bergerak
cepat mencengkeram ke arah pohon. Sedangkan
kakinya menendang ke arah pohon di samping kanan
dan kirinya.
Crab!
Jleg, jleg...!
Akibat dari cengkeraman dan tendangannya
sungguh dahsyat. Pohon-pohon yang menjadi
sasarannya seketika berguguran daun-daunnya.
Kemudian batang pohon itu mengering bagai
terbakar.
"Hebat! Hebat..! Tak percuma aku mengangkatmu
sebagai murid," puji Ki Wangas Pati sambil bertepuk
tangan. Kemudian kakinya melangkah mendekati
muridnya.
Warak Kendra segera menekuk lututnya untuk
menyembah.
"Sudahlah, bangunlah... Tak perlu peradatan
seperti itu. Aku bangga memiliki murid sepertimu,
Warak. Dalam waktu cepat, kau telah dapat
menguasai semua ilmu silatku. Hm, apakah masih
kurang cukup ilmu silat yang kau dapat untuk mem-
balas dendam?"
"Ampun, Guru.... Kalau Guru berkenan, biarlah
saya untuk sehari dua hari di sini. Saya hendak
berpikir dulu, ke arah mana saya melangkah," pinta
Warak Kendra mengharap. Padahal sebenarnya ada
niat lain di hatinya. Niat yang sangat keji.
Ki Wangas Pati terdiam sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Tangannya mengelus-elus jenggot-
nya yang putih.
"Hm, baiklah," katanya dengan suara perlahan.
"Oh, terima kasih, Guru," Warak Kendra kembali
bersujud.
"Sudahlah, bangunlah...," ajak Ki Wangas Pati
sambil membantu muridnya bangun. "Kita istirahat
dulu. Kau belum makan, bukan?"
Warak Kendra tersenyum, lalu bersama sang Guru
keduanya melangkah meninggalkan tempat itu.
***
"Cuit, cuit..!"
Di angkasa Hutan Wandar terdengar suara
binatang keras mencuit, memekakkan telinga.
Membuat seorang pemuda tersentak dan men-
dongakkan kepala. Bibirnya nyengir ketika melihat
binatang raksasa itu memandang ke arahnya.
"Kelelawar edan itu lagi...," gumam pemuda
tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian
pemuda yang tiada lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila dari Goa Setan itu kembali meng-
gumam, "Mau apa lagi binatang itu?"
"Cuit, cuiiit..!"
Di cakrawala, kelelawar merah raksasa itu
berputar-putar sambil mengeluarkan suaranya yang
memekakkan telinga. Kemudian tanpa diduga oleh
Pendekar Gila, binatang itu tiba-tiba menukik ke
arahnya.
"Cuiiit..!"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya dengan
mulut nyengir, menyaksikan binatang raksasa yang
ganas itu menukik ke arahnya.
"Edan! Binatang edan itu rupanya hendak
memangsaku!" maki Sena. Dengan cepat tubuhnya
berkelit ke samping, mengelakkan serangan binatang
ganas yang mengepakkan sayap ke arah kepala dan
tubuhnya.
"Cuit..!"
Merasa serangannya gagal, binatang raksasa itu
melesat kembali ke atas. Sayapnya yang lebar
dikepakkan. Beberapa saat berputar-putar di atas,
kemudian kembali menukik ke bawah.
"Edan! Binatang ini benar-benar hendak melabrak-
ku!" Sena memekik sengit Dengan cepat tubuhnya
kembali berkelit. "Uts...! Setan! Iblis...!"
Sena memaki-maki kesal. Hampir saja tubuhnya
menjadi sasaran labrakan kedua sayap binatang itu,
kalau saja dia tidak segera mengelakkannya.
Brak!
Kraaak...!
Bummm!
Pohon di samping Pendekar Gila menjadi sasaran
dan seketika tumbang. Benar-benar kuat dan dahsyat
kepakan dan hempasan sayap binatang raksasa itu.
Sampai-sampai pohon yang cukup besar bisa
tumbang.
"Edan...!" makinya sambil berguling ke samping,
mengelakkan tumbangan pohon. "Hampir saja tubuh-
ku ringsek! Setan...!"
Tangan Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya masih nyengir dengan kepala
menggeleng-geleng.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke
angkasa setelah serangan susulannya gagal. Mata
binatang itu kian tajam memandang Pendekar Gila
yang masih merutuk sengit
"Kurang ajar benar binatang laknat itu!" makinya
sambil menggaruk-garuk kepala. "Baik! Kalau
memang itu maumu, Binatang Iblis! Aku akan
melayanimu! Nah, turunlah...!"
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah bagaikan mengerti
tantangan Pendekar Gila. Pekikannya semakin meng-
gelegar. Matanya yang tajam laksana mengandung
bara api dari neraka, menghunjam garang. Mulutnya
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tajam
dan runcing.
"Cuiiit..!"
Binatang raksasa itu berputar-putar di udara.
Sayapnya mengepak lebar, siap menyerang.
"Turunlah! Ha ha ha...! Rupanya kita akan main-
main, Sobat..," Sena tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dipantatinya binatang itu. "Nih...!"
"Cuit..!"
Suara Kelelawar Ibhs Merah semakin keras.
Sepertinya sangat marah sekali diledek begitu rupa
oleh Pendekar Gila. Matanya semakin berkilat-kilat
merah menyala.
Setelah mengepak-ngepakkan sayapnya yang
lebar, binatang itu kembali menukik, siap menyerang.
"Bagus! Ha ha ha...! Kau benar-benar ingin main-
main denganku!"
Pendekar Gila segera bergerak cepat, mengeluar-
kan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Tangannya ber-
gerak cepat untuk menyambut serangan binatang itu.
Dari tangan Pendekar Gila, keluar gemuruh angin
yang deras bergelombang. Angin itu menderu ke arah
Kelelawar Iblis Merah.
"Cuiiit..!"
Binatang raksasa itu mencuit keras. Sayapnya
digerak-gerakkan kian kemari. Nampaknya binatang,
itu mengerti kalau pukulan lawan bukanlah pukulan
sembarangan. Terbukti dia mampu menahan tubuh-
nya.
Dahsyat sekali kepakan sayap Kelelawar Iblis
Merah itu. Pukulan 'Kera Gila Melempar Batu'
seketika berantakan, tersapu oleh kepakan sayap
binatang raksasa buas itu.
"Cuiiit...!"
Kini binatang buas itu telah bebas, sayapnya
mengepak semakin keras. Kemudian dengan cepat
binatang itu menukik ke arah Sena.
"Celaka...! Binatang ini benar-benar bukan
sembarangan binatang!" maki Sena. Segera tubuhnya
dilemparkan ke belakang, mengelakkan serangan
kelelawar itu.
Sayap Kelelawar Iblis Merah menderu keras,
menghantam ke arah bawah. Beruntung Pendekar
Gila telah mengelak jauh. Kalau tidak, tubuhnya pasti
akan remuk. Dan dua pohon menjadi sasarannya.
Brak!
Kraaak...!
Bummm!
Dua batang pohon besar tumbang, menimbulkan
suara yang berdebum. Dahsyat sekali akibat dari
hempasan sayap binatang raksasa itu.
"Edan!" maki Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. "Tak kusangka
serangan binatang itu begitu dahsyat!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, membubung
tinggi ke angkasa, berputar-putar sesaat, lalu melesat
meninggalkan tempat itu. Sepertinya binatang itu
putus asa setelah serangan-serangannya tak berhasil.
Sena menggaruk-garuk kepala sambil menggeleng-
geleng. Kemudian setelah memandang ke sekeliling-
nya yang berantakan akibat serangan binatang
raksasa itu, Pendekar Gila pun melangkah pergi.
***
LIMA
Malam merambahi permukaan bumi. Sepi menjadi
mahkota malam yang gelap. Kabut halimun dingin
berarak lambat, seperti gerak iring-iringan pengantar
jenazah. Menciptakan suasana malam yang men-
cekam. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu,
yang meningkahi suara binatang malam.
Sesosok tubuh nampak mengendap-endap, keluar
dari dalam kamar sebuah gubuk, tubuh itu bergerak
menuju sebuah kamar lain. Sepertinya ada sesuatu
yang hendak dilakukan orang itu di tengah malam
begini. Kala sinar temaram lampu minyak kecil
menerpa wajah orang itu, maka dapat diketahui siapa
dia sebenarnya. Orang itu adalah Warak Kendra.
Kepala Warak Kendra sejenak menoleh ke kanan
dan kiri. Sepertinya dia berusaha membuktikan
bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah
yakin kalau Ki Wangas Pati telah tidur, kakinya
kembali melangkah menuju ruangan yang tadi pagi
dilihatnya. Ruangan di mana Ki Wangas Pati
menyimpan mustika Pengubah Raga. Sebuah mustika
sakti yang menjadi dambaan setiap orang rimba
persilatan.
"Syukurlah tua bangka itu telah tidur," gumam
Warak Kendra perlahan.
Kaki Warak Kendra terus melangkah hati-hati. Ilmu
meringankan tubuhnya digunakan, agar jejakan kaki-
nya tidak terdengar oleh gurunya.
Sesampainya di depan pintu ruangan yang dituju,
kembali Warak Kendra menghentikan langkahnya.
Matanya kembali beredar ke sekeliling tempat itu,
meyakinkan diri kalau tak ada seorang pun yang
melihatnya.
Warak Kendra tersenyum setelah merasa yakin
kalau Ki Wangas Pati benar-benar telah tertidur.
"Tua bangka itu benar-benar tidur pulas. Rupanya
ilmu 'Sirep' yang kutaburkan sore tadi akhirnya
mempan juga," gumam Warak Kendra dengan bibir
menyunggingkan senyum.
Perlahan-lahan tangan Warak Kendra membuka
pintu ruangan itu, berusaha agar tidak terdengar
suaranya. Kemudian matanya kembali menyapu ke
sekelilingnya.
"Sepi... Aku akan berhasil mendapatkan mustika
itu! Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba
persilatan!" desisnya girang.
Dengan penuh keyakinan kalau dia akan dapat
mendapatkan mustika Pengubah Raga, Warak
Kendra segera masuk ke dalam ruangan itu.
Ruangan itu sangat gelap. Tak ada penerangan,
meski sebuah obor kecil pun. Mau tak mau Warak
Kendra harus meraba-raba untuk mencari tiang yang
menjadi tempat penyimpanan mustika itu.
"Ini dia tiangnya," gumam Warak Kendra, setelah
tangannya merasa menyentuh sesuatu. Kemudian
dengan tetap meraba-raba, tangannya berusaha
menemukan lubang penyimpanan mustika. Ditelusuri-
nya tiang itu dari atas ke bawah hingga kembali ke
atas lagi.
Sulit juga rupanya untuk mendapatkan mustika itu.
Hampir semua permukaan tiang itu rata, seperti tak
ada lubang.
"Aneh, mengapa semuanya rata? Padahal tadi pagi
kulihat sendiri mustika itu disimpan di tiang ini,"
gumam Warak Kendra sambil terus berusaha
menemukan lubang di tiang tersebut. Namun belum
juga ditemukannya.
Warak Kendra benar-benar cemas dan hampir
putus asa. Karena takut kalau-kalau Ki Wangas Pati
mengetahui perbuatannya, dia semakin gugup.
"Hm, bagaimana ini? Mungkinkah aku salah lihat?"
tanyanya pada diri sendiri. "Ah, rasanya tidak. Tiang
inilah tempatnya. Tapi di mananya?"
Warak Kendra terus meraba-raba permukaan
tiang. Tetap saja tak ditemukannya tanda-tanda
tempat lubang penyimpanan itu.
"Ah, aku baru ingat sekarang! Jalan satu-satunya
untuk membuka lubang itu adalah dengan mengetuk-
ngetuk permukaan tiang ini."
Dengan senyum mengembang di bibir, Warak
Kendra pun mengetuk permukaan tiang dengan
perlahan. Dimulai dari bawah, terus naik ke atas.
Duk, duk...!
Warak Kendra tersenyum.
"Rupanya di sini tempatnya...." Kemudian dengan
menggunakan tenaga dalam, ditotoknya permukaan
tiang yang bunyinya lebih nyaring itu.
Benar juga. Ternyata setelah permukaan tiang itu
terkuak, di dalamnya terdapat kotak kecil tempat
mustika itu tersimpan. Dengan tersenyum senang,
diambilnya mustika Pengubah Raga itu.
"Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba
persilatan! Tak akan ada yang dapat mengalahkanku!
Ha ha ha...!"
Entah karena senang atau tak sadar, Warak
Kendra tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Ki
Wangas Pati yang tengah tidur tersentak kaget
"Siapa itu...?!"
Ki Wangas Pati segera melompat bangun.
Kemudian memburu ke arah kamar rahasianya.
Brak!
Terdengar suara bilik dijebol dari kamar rahasia-
nya, membuat Ki Wangas Pati bertambah cemas. Dia
sudah menduga, tentunya orang yang membuat
keributan kecil itu telah mencuri mustikanya.
Dengan cepat Ki Wangas Pati memburu keluar.
Terlihatlah sebuah bayangan berkelebat dari samping
gubuknya.
"Hai, berhenti...!" bentaknya.
Orang yang tidak lain Warak Kendra itu berhenti. Di
bibirnya tersungging senyum sinis.
"Warak Kendra, kau...?!" Ki Wangas Pati kaget
setelah mengetahui pencuri mustika Pengubah Raga
itu. Matanya melotot marah. Sementara Warak
Kendra tersenyum semakin sinis.
"Ya, aku! Kini akulah pemilik mustika ini! Akulah
yang akan menjadi orang nomor satu di rimba
persilatan! Sedang kau tua bangka lebih pantas
mampus! Heaaat..!"
Usai berkata begitu, Warak Kendra meng-
hantamkan pukulan ke arah Ki Wangas Pati.
Serangkum sinar berwarna kuning kebiru-biruan
melesat ke arah tubuh orang tua yang cepat
menghindar dengan mulut mencaci-maki.
"Laknat..! Rupanya benar apa yang dikatakan
Kidang Antikan! Kau benar-benar iblis! Menyesal aku
menolongmu!"
"Mengumpatlah sepuas hatimu, Tua Bangka!
Puaskan hatimu, sebelum kukirim ke neraka!
Hiaaat...!"
Ki Wangas Pati sebenarnya tak akan takut
menghadapi pemuda itu. Karena tingkat kepandaian
pemuda itu telah diketahuinya. Namun dengan
mustika Pengubah Raga di tangannya, Warak Kendra
bisa saja melakukan hal-hal yang sulit untuk ditang-
gulangi.
Tubuh orang tua itu terus bergerak, mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Warak
Kendra. Tangannya sesekali berusaha mengambil
kembali kotak mustika yang ada di dalam pakaian
Warak Kendra. Namun rupanya Warak Kendra tahu
kalau lawan akan mengarahkan serangannya ke
tempat itu. Dengan cepat Warak Kendra berkelit, lalu
balas menyerang.
"Hiaaat..!"
Seberkas sinar kuning kebiru-biruan kembali
melesat dari telapak tangan Warak Kendra, menderu
ke arah Ki Wangas Pati yang tersentak.
"Edan! Dari mana pula dia memiliki pukulan 'Wisa
Welang'?" rutuk Ki Wangas Pati terkejut, setelah tahu
pukulan apa yang baru saja dilontarkan oleh lawan.
Orang tua itu berusaha sedapat mungkin meng-
elakkan serangan-serangan yang dilancarkan lawan-
nya. Tubuhnya melenting ke sana kemari. Sesekali
dia pun membalas serangan lawannya.
"Heaaa...!"
Ki Wangas Pati balas memukul dengan pukulan
sakti 'Wangas Geni'. Dari genggaman tangannya
keluar seberkas sinar merah membara yang menderu
ke arah Warak Kendra.
Wussss!
Warak Kendra tersentak kaget. Matanya mem-
belalak menyaksikan seberkas sinar yang menderu
ke arahnya. Langkahnya mati. Tubuhnya tak mampu
lagi mengelakkan pukulan itu. Akibatnya....
Desss!
"Aaakh...!"
Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya
terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa
kematiannya telah dekat. Namun tiba-tiba diingatnya
mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari
balik jubah, diambilnya mustika itu dan langsung
ditelannya.
Tiba-tiba....
Crasss!
Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan
tubuhnya, seketika padam bagai tersedot kekuatan
gaib.
"Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-
bahak penuh kesombongan.
Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksi-
kan kejadian itu. Dia amat tahu kesaktian mustika
'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat
mustika itu ditelan Warak Kendra, dia terkejut luar
biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur.
Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan
sinar mata gentar.
"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu! Aku
Warak Kendra tak akan mundur! Ayo, keluarkan
semua ilmumu...!" tantang Warak Kendra, sombong.
Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari.
Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas
Pati.
"Celaka! Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa
pun tak akan mampu mengalahkannya!" desis Ki
Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang
telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki
Wangas Pati tak mau menunjukkan keciutan nyalinya.
Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali
menyerang.
"Hiaaat..!"
Seberkas sinar merah membara kembali melesat
mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi tampaknya
Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah
pemuda yang telah menelan mustika sakti itu mem-
busungkan dada.
Desss!
Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati
menghantam telak dada Warak Kendra. Namun....
Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benak-
nya tak mempercayai apa yang terjadi di depan
matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik
dengan cepat ke arahnya. Bahkan lebih cepat di-
bandingkan serangan tadi
"Celaka...!"
Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke
samping, untuk mengelakkan serangan balik pukulan-
nya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api
itu terus menderu. Kemudian menghantam gubuknya.
Blarrr!
Api seketika berkobar, menerangi malam dengan
warna merahnya. Dalam sekejap, rumah itu telah
menjadi api unggun raksasa.
Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi
menyaksikan tubuhnya mampu menahan pukulan
sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat
dikembalikan ke tuannya, sampai-sampai merepot-
kan orang tua itu.
"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain?!
Keluarkan semuanya...!" tantang Warak Kendra
dengan nada pongah.
Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak
Kendra. Kini orang tua itu berupaya untuk mencari
titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum
mampu menemukannya.
"Mangkara...! Swuiiit..!" Ki Wangas Pati bersiul,
memanggil kelelawar raksasa peliharaannya.
"Cuiiit..!"
Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar
yang berada tak jauh dari kancah pertarungan. Tak
lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah
dengan mata nyalang. Suaranya memecah kesunyian
malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara
laksana amukan angin ribut
"Bagus, kau segera datang, Mangkara! Serang
dia...!" perintah Ki Wangas Pati pada binatang itu.
Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan
kepala, seperti mengerti perintah tuannya. Kemudian
matanya yang merah laksana mengandung api,
memandang ke arah Warak Kendra.
"Cuiiit..!"
Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian
malam. Sayapnya dikepakkan lebar-lebar. Lalu tubuh-
nya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk
beberapa saat, kemudian menukik untuk melancar-
kan serangan.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi mata-
nya yang tajam, tetap waspada pada serangan
binatang raksasa itu.
"Kau adalah abdiku! Aku tuanmu.... Kau harus
menurut padaku! Serang dia...!" seru Warak Kendra
dengan suara keras dan lantang.
Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali
benar sosok tuannya dari dulu, yaitu orang tua yang
tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu
menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat
matanya terasa sakit. Itulah bukti bahwa pemuda itu
pemilik mustika Pengubah Raga.
"Mangkara, jangan hiraukan...! Serang dia...!"
Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi
binatang peliharaannya.
"Mangkara, kau harus turuti perintahku! Kalau kau
membantah, maka kau akan kukembalikan ke asal-
mu!" ancam Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa
ketakutan mendengar ancaman Warak Kendra.
Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan mulut mencuit keras.
"Bagus! Rupanya kau mengerti! Nah, serang dan
bunuh tua bangka itu...!" seru Warak Kendra.
"Cuit...!"
Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini meng-
angguk-angguk. Kemudian tatapannya beralih ke
arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh.
"Celaka...!" pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu
hendak lari, namun tiba-tiba binatang buas itu telah
menghadangnya.
"Cuiiit…!"
Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan
kedua sayapnya yang keras dan tajam. Kalau Ki
Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling,
sudah pasti tubuhnya akan hancur!
"Edan! Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi!"
maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk
mengelakkan sambaran dan kepakan sayap
Kelelawar Iblis Merah.
Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas
itu melesat ke atas diiringi teriakan keras. Tubuhnya
berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali
menukik disertai pekikan membahana.
"Cuiiit...!"
"Iblis!"
Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan
binatang itu. Tubuhnya berguling ke tanah. Kemudian
dengan cepat tangannya memukul ke tubuh
Kelelawar Iblis Merah.
Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan
menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat
menyarangkan pukulan, dengan cepat Kelelawar Iblis
Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke
angkasa sehingga serangan Ki Wangas Pati luput.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya
bergerak semakin cepat. Kali ini kakinya tak tinggal
diam, mencengkeram ke tubuh lawan.
Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali
lagi melepaskan pukulannya ke tubuh Kelelawar Iblis
Merah.
Bukkk!
Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu
bagai tak mengalami apa-apa. Serangannya malah
semakin buas.
"Edan! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis...!"
rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan
serangan-serangan binatang itu.
"Ha ha ha...! Main-mainlah dengan Mangkara, Tua
Bangka!"
Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa
terbahak-bahak menyaksikan orang tua itu pontang-
panting diserang binatang peliharaannya sendiri.
"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka
itu...!"
"Cuit..!"
Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti
perintah tuannya yang baru. Didahului cuitan keras,
binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan
deras menyerang kembali. Sayapnya menebas ke
tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain
melabrak kepala orang tua itu.
Brat!
Cras...!
"Akh...!"
Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan
menyayat terlontar dari mulut K i Wangas Pati.
Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas
dari tubuh. Darah keluar deras dari pangkal tangan
yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu
berusaha lari dari tempat itu
"Mangkara, habisi dia...!' seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu
melesat cepat ke arah Ki Wangas Pati. Tidak lama
kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua
itu.
"Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya
segera melesat ke arah lolongan kesakitan orang tua
malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana
kepala Ki Wangas Pati berlumuran darah.
"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan! Ha ha ha...! Mangkara, ayo kita
pergi...!"
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang
baru.
***
ENAM
Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan
Ki Wangas Pati dengan Warak Kendra, Sena
Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati
keindahan malam.
Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala
tak berbatas, matanya menangkap bayangan yang
melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu
dirasanya pernah dikenal beberapa saat lalu. Sesaat
kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa
sebenarnya bayangan itu.
"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-
kan kedua alisnya.
Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, ber-
usaha mendekati wilayah terbang kelelawar itu.
Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan
Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba menghilang. Tapi dia
tidak mengurungkan niat begitu saja.
Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan
sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-
kan. Dari jubah yang dikenakannya Sena dapat
mengenali lelaki tua itu
"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa orang tua aneh
ini? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"
Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati.
Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat
sesuatu.
"Ah, aku ingat sekarang!" serunya tiba-tiba.
"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah?
Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah mem-
bunuhnya."
Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan
mendadak keningnya ditepuk, seolah-olah benaknya
ingat sesuatu kembali.
"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah
binatang peliharaan Ki Wangas Pati...?" gumamnya
kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut
kelelawar ganas itu dari tangannya?"
Telapak tangan pemuda tampan itu menekan
dada Ki Wangas Pati.
"Masih berdenyut! Ah, masih hidup," ucapnya.
Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan
memijit-mijit beberapa bagian tubuh orang tua itu.
Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang
masih mengucurkan darah.
Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki
Wangas Pati tersadar. Matanya membuka dengan
berat, laki memandang pemuda di sampingnya
dengan tatapan sayu.
"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah.
"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya
Sena sambil memangku kepala Ki Wangas Pati yang
berlumur darah.
"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan
kelelawar itu.... Ah, dia...."
Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan kata-
katanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang.
Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah
menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa
bingung dengan kata-kata lelaki tua itu. Mulutnya
nyengir, persis kera gila.
"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi?"
Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru
jernih. Dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu
kembali bergumam....
"Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat
berbahaya. Hm, apalagi kini di tangan orang lain. Dan
dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu
bukan orang baik-baik. Edan...! Bencana apa lagi yang
akan melanda rimba persilatan?"
Mata Sena masih memandangi langit. Tangan
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajah-
nya cengar-cengir tak karuan.
"Dia...? Dia siapa?"
Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud
Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat sulit. Dia sama
sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika
sakti yang dikatakan Ki Wangas Pati.
Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah
melakukan pembunuhan keji terhadap Ki Wangas
Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari
Perguruan Belibis Putih.
"Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu...!"
"Ya! Mari kita tanyai!"
Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih
mendekat ke arah Sena yang masih menggaruk-garuk
kepala dengan mulut cengengesan.
"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti
orang gila!" bentak salah seorang dari murid
Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila
dari kebingungannya.
Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi
besar dengan rambut digelung ke atas. Di tangan
orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis
dengan rantai panjang.
"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis
Putih," sambut Pendekar Gila sambil cengengesan.
Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
"Ya! kami dari Perguruan Belibis Putih! Kami
datang untuk menangkapmu!" bentak lelaki bertubuh
tinggi besar itu
"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerut-
kan kening. Kemudian dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa,
Sena kembali berkata, "Rasanya aku tak ada silang
sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian
hendak menangkapku?"
"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui?
Kau telah membunuh saudara seperguruan kami
sebulan yang lalu! Untuk itulah, kami hendak
menangkapmu!"
Tawa Sena semakin meledak mendengar
penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalah-
pahaman? Gumamnya dalam hati. Banyak sekali
kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-
gelengkan, sementara tawanya masih terdengar.
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak
kenal kalian semua. Aku hanya mengenal perguruan
kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa
menuduhku begitu?" tanya Sena masih dengan
kepala menggeleng-geleng.
"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi
tangan! Masih juga kau menutupi kekejianmu
membantai saudara-saudara seperguruan kami
sebulan lalu, ketika mereka mengejar seorang
saudara seperguruan kami yang berkhianat!" dengus
lelaki tinggi besar yang bernama Perkolo.
Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang
masalah itu, semakin tergeiak-gelak. Kepalanya
digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak
mengenal orang yang menurut kalian telah kubunuh.
Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis
Putih. Itu saja. Dan perlu kalian ketahui, aku bukan Ki
Wangas Pati!"
Bertambah marah saja orang-orang Perguruan
Belibis Putih mendengar penuturan Sena. Mereka
menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung
jawabnya.
"Rupanya kau perlu diajar adat! Serang...!" perintah
Perkolo sambil menggerakkan tangannya.
Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera
mengurung Pendekar Gila. Sementara Pendekar Gila
hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah
konyol.
"Celaka! Benar-benar celaka! Bagaimana mungkin
orang-orang dari aliran lurus memiliki sikap tidak
terpuji begini?"
"Bedebah! Jangan bawa-bawa aliran!" bentak
Perkolo, gusar.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kepalanya digeleng-
gelengkan perlahan.
"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat."
"Diam! Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk
kami bawa ke perguruan atau kami bunuh?!"
Sena masih cengengesan. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya
tampak tercenung, seperti tengah berpikir.
"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya.
"Bagus! Ikat dia...!" perintah Perkolo.
Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera
mendekati Sena yang diam, tapi masih cengengesan.
Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila.
"Ayo jalan!" bentak Perkolo. "Kau harus ber-
tanggung jawab di depan pemimpin kami!"
Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi
orang-orang Perguruan Belibis Putih.
Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di
lereng Gunung Pandalaras yang subur dengan
hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan.
Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih
yang dipimpin oleh Ratih Puri.
Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita
duduk di atas kursi. Wajah wanita itu ditutupi cadar
berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot
mata wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya
ramping dan tak begitu tinggi. Sedangkan kulitnya
kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk
bersila murid-murid Perguruan Belibis Putih.
Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak
melaporkan hasil tugasnya pada Ratih Puri.
"Kau telah datang, Perkolo? Bagaimana hasilnya?"
tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi.
"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo
seraya menjura.
Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain
putih itu menyipit mendengar laporan murid utama-
nya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati
Perkolo.
"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?"
"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."
"Kau telah menangkapnya?"
"Benar, Guru."
"Bawa dia kemari!" perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian
berlalu meninggalkan ruangan itu.
Ratih Puri masih mengerutkan kening dan
menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum
percaya dengan laporan murid utamanya itu. Bagai-
mana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-
anginan itu mudah ditangkap? Tanyanya dalam hati.
Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan.
Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan
seekor kelelawar merah raksasa. Ah, rasanya tidak
masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja.
Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular. Mata Ketua
Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak,
kemudian memandang tajam pada Perkolo yang
menjura padanya.
"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati."
"Perkolo...!" bentak Ratih Puri dengan keras.
Matanya melotot tajam penuh amarah pada
muridnya. "Apakah matamu buta?!"
Perkolo kebingungan. Sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki
Wangas Pati."
Mata Ratih Puri semakin membelalak marah
mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian
melangkah lebih dekat ke arah Perkolo. Dengan
gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar
itu.
Plak!
"Tolol...! Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau!
Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat
kau tak tahu siapa dia?!" bentak Ratih Puri penuh
kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala.
Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam,
mendadak tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat
mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya.
Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin
tertawa keras. Menjadikan ruangan itu laksana
diguncang gempa.
"Ha ha ha...! Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi
beringas kini pucat, Sobat?" celoteh Sena, membuat
wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah
penuh amarah.
Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah
tahu dan kenal siapa pemuda berpakaian rompi kulit
ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah
mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak
untuk membuka tali yang mengikat tangan pendekar
muda itu.
"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-
ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri setelah
melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuh-
nya membungkuk untuk menjura hormat.
Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak
terikat menggaruk-garuk kepala.
"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang
menjadikan manusia buta," ujar Sena sambil matanya
mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan
tertunduk.
Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena
melangkah seenaknya. Matanya memandang Ratih
Puri yang tak berani menatap Sena karena malu.
"Aku memang salah, mengapa harus berada di
tempat itu. Tapi sebenarnya kedatanganku ke Hutan
Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas
Pati," tutur Sena dengan mulut cengengesan.
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala. "Sayang, orang yang hendak kujumpai
ternyata telah tewas."
Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan
kesedihan.
"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui
orang tua yang bersifat angin-anginan itu?" tanya
Ratih Puri hormat
Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali
tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar
Iblis Merah?"
"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri.
"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati
untuk mengendalikan binatang iblis itu?"
"Tepat!" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali
murung, menunjukkan kesedihan. "Sayang.... Rupa-
nya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam
keadaan sekarat. Kepalanya retak, tangan kirinya
buntung."
Ratih Puri membelalakkan mata mendengar
penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua
berilmu tinggi itu bisa dikalahkan. Selama ini, hanya
lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-
hadapinya.
Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan
Pendekar Gila yang melakukannya, jadi siapa yang
membunuhnya? Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih
itu dalam hati.
"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan
yang bisa menandingi ilmu Ki Wangas Pati.
Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?"
tanya Ratih Puri masih belum yakin
"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang
tua itu sekarat. Tapi setelah kuingat-ingat, akhirnya
aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang
bisa mengalahkannya."
Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-
anggukkan kepala. Dia pun membenarkan apa yang
dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaan-
nya yang dapat mengalahkan orang tua angin-
anginan itu.
"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai
binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri lagi.
"Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk
kepala dengan tingkahnya yang aneh. "Padahal
menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya
seorang diri di Hutan Wandar."
Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya
tengah berpikir tentang keanehan itu. Kalau Ki
Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar,
rasanya tidak mungkin binatang piaraannya
menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu
patuh terhadap orang tua itu.
"Ah, aku ingat...!" seru Ratih Puri, menyentakkan
Sena dari keterpakuannya. "Hm, sungguh berbahaya
kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya
dia telah mendapatkan mustika Pengubah Raga...,
sebab hanya dengan mustika itulah Kelelawar Iblis
Merah dapat dikendalikan."
"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena.
"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang
ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu sebabnya aku
memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama
menangkap Warak Kendra yang telah berkhianat dan
yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas
Pati."
"Celaka…!" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi
yang akan melanda rimba persilatan?"
"Kita harus mencegahnya! Jangan sampai kedua
iblis itu membuat petaka," desis Ratih Puri dengan
mata menyipit.
"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku
harus segera mencegahnya," ucap Sena.
Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu
menjura. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat dari
tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah
menghilang.
Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak
lebar. Hanya Ratih Puri saja yang kelihatannya
tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ck ck ck...! Benar-benar luar biasa! Pendekar Gila
dengan ilmu yang gila!"
"Jadi...!" Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar,
setelah mendengar siapa pemuda bertampang gila
tadi.
"Ya! Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas
Ratih Puri. "Beruntung dia tidak marah."
Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk.
"Perketat pengamanan! Tentunya murid murtad itu
akan melakukan pembalasan...!" perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru...!" sahut semua muridnya.
***
TUJUH
Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus
tenang yang membelah hutan. Jubah berwarna merah
darah yang dikenakannya dipermainkan angin,
seperti juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya
diikat kain berwarna merah pula. Sementara di
atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa
yang juga berwarna merah. Paduan warna merah itu,
membuat keduanya terlihat angker dan garang,
seangker kobaran api neraka.
Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama
Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-
nya karena tuah mustika Pengubah Raga.
"Mangkara, sebelum aku bertemu dengan
Pendekar Gila, rasanya aku belum puas," kata Warak
Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan
dendam.
"Cuit..!"
Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu
seperti memahami hasrat tuannya. Kepalanya
diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-
bangkan laki dikepak-kepakkan.
"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah
orang yang paling sakti di rimba persilatan! Ha ha
ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai
tubuhnya berguncang-guncang.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di
atasnya kembali mencuit dengan keras, mengembangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menye-
ringai, menunjukkan taring-taringnya yang panjang
dan runcing.
Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak.
Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya
tajam mengawasi sekelilingnya.
"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari
kedai?" tanya Warak Kendra pada Kelelawar Iblis
Merah.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras.
Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan
menyetujui rencana tuannya.
"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya
kau pun lapar, bukan...?"
"Cuit..!"
Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai
Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan
membentang dari selatan ke utara. Belum jauh
mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang
berlari dari arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan
segera menghentikan langkah. Pendengarannya
dipasang tajam-tajam.
"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga,
Mangkara."
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari
sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya
mengangguk-angguk, seolah-olah membenarkan
ucapan tuannya.
"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah
Warak Kendra.
Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya
melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai
raja langit Kepalanya ditundukkan ke bawah,
matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayap-
nya dipercepat. Setelah berputar-putar beberapa kari
di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang
semakin melengking.
"Cuiiit...!"
Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik,
namun bukan ke arah Warak Kendra. Melainkan
masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik
rimbunan pepohonan.
Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya
menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya
terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh
suara pekikan kematian.
Prak!
"Akh...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke
angkasa, di kedua kakinya tercengkeram seorang
lelaki dengan kepala pecah.
"Bagus...! Kau memang abdiku yang setia,
Mangkara...!" seru Warak Kendra senang. Kekejian itu
dianggapnya sekadar hiburan ringan.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar
beberapa kali dengan kaki masih mencengkeram
korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepala-
nya mengangguk-angguk. Sepertinya Kelelawar Iblis
Merah yang bernama Mangkara itu tengah mem-
beritahukan sesuatu pada Warak Kendra.
"Ya, aku mengerti! Mereka memang banyak dan
tengah menuju kemari...!" seru Warak Kendra.
Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa
terbahak-bahak. Rupanya dia tak memandang
sebelah mata pun pada orang-orang yang akan
datang untuk menyerangnya.
"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk,
Mangkara...!" serunya kembali dengan nada pongah.
Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah
itu memang benar. Tidak lama kemudian, dari dalam
hutan muncul puluhan orang dengan pedang
terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala
botak bernama Kerto Mandra yang pernah bertarung
melawan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...! Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk
yang datang...," seloroh Warak Kendra untuk
merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-
dengus marah.
"Iblis...! Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga!
Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap
mengejarmu!"
Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar
ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis
menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah
Kerto Mandra lekat-lekat.
"Kecoa tolol...! Seharusnya kau bersembunyi, kalau
kau masih ingin hidup! Tapi rupanya kau nekat!
Katakan, siapa namamu?! Sebelum nyawa kecoamu
kukirim ke neraka!"
"Sombong!" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira
semudah itu kau membunuhku! Mungkin nyawa
iblismulah yang akan kukirim ke neraka! Seraaang...!"
Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan
orang bertelanjang dada seketika menghambur.
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat,
membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra.
Serangan mematikan yang cepat itu tidak mem-
buat Warak Kendra gugup. Malah dengan tertawa
keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi
serangan mereka.
"Rupanya kalian mencari mampus! Heaaat...!"
"Yeaaah...!"
Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak
menghadang serangan lawan-lawannya yang ber-
jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus,
kemudian diangkat tinggi-tinggi. Diteruskan dengan
gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak
mau diam, bergerak menendang ke belakang dan
depan. Itulah jurus 'Kelelawar Merentang Sayap
Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang
dahsyat
"Heaaa...!"
"Remuk tubuhmu...! Yeaaa...!"
Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus
dahsyat mematikan. Tangan kanannya menghantam
ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan
kirinya memukul kepala lawan yang di samping kiri.
Kedua kakinya menendang ke dada lawan di
belakang dan samping kanannya sekaligus.
Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra
sangat cepat, membuat lawan-lawan yang dijadikan
sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa
ampun lagi, empat orang lawan harus menerima
serangan mematikan itu.
Dukkk!
Desss!
"Aaakh...!"
Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan.
Seorang korban melolong dengan dada terbakar.
Sedangkan yang lainnya mengalami nasib
mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol
oleh tendangan kaki Warak Kendra. Sementara
seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur
dari mulutnya. Kemudian mereka ambruk tanpa
nyawa.
Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat
teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja.
Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan
tegang ke arah Warak Kendra yang tertawa tergelak-
gelak.
"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa
busuk yang tiada arti!" ucap Warak Kendra sombong,
membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke
ubun-ubun.
"Phuih...! Sombong...! Jangan kau kira kami takut!
Serang dan cincang dia...!" perintah Kerto Mandra
sambil melambaikan tangan.
Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak
mengepung. Pedang di tangan mereka teracung, siap
menunggu perintah selanjutnya
Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak
Kendra kembali tertawa bergelak gelak.
"Rupanya kalian benar-benar mencari mampus!"
Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali meng-
gerakkan tangan dan kakinya. Tangan kanannya
diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar.
Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan
telapak tangan di depan wajah. Kakinya dibuka
sedemikian rupa.
"Seraaang...!" Kerto Mandra kembali berseru.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya...!"
Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak
Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah
merah itu. Namun dengan cepat Warak Kendra
memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang
semula lurus di atas, kini mencakar ke arah wajah
lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan kirinya
ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak
tangan menghajar lawan sebelah kiri. Kakinya
menendang ke depan dan menyepak ke belakang.
Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat,
membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran
kembali harus menerima pukulan dan tendangannya.
Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan
tusukan pedang dengan cara meliuk dan melenting.
"Hiaaa...!"
Degk!
Crat!
"Wuaaa...!"
Empat orang memekik keras. Tubuh mereka
ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban
kesadisan serangan yang dilancarkan Warak Kendra.
***
Pertarungan semakin seru. Nampaknya orang-
orang Kerto Mandra kini benar-benar nekat.
Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka
gentar. Bahkan mereka nampak semakin beringas.
Serangan-serangan mereka semakin garang dan
penuh nafsu membunuh.
Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta,
tidak pernah membuat Warak Kendra bingung.
Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu
memanfaatkan lawan-lawannya.
"Cuiiit..!"
Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah
lama menghilang. Rupanya Mangkara telah
menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua
kakinya. Setelah kenyang, kini Mangkara kembali
menemui majikannya.
"Awas...! Kelelawar itu jauh lebih buas...! Kita bagi
dua...!" seru Kerto Mandra ketika melihat kelelawar
itu.
Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto
Mandra yang jumlahnya puluhan itu menjadi dua
kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis
Merah, sedangkan yang separoh lain berusaha terus
menyerang Warak Kendra.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat
melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah.
"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu!
Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini...!"
seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah
tuannya. Dengan mengeluarkan cuitan keras,
binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-
putar di udara beberapa saat, lalu menukik untuk
menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan
kedua sayapnya.
"Cuiiit..!"
"Awas!"
Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha
mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang
Iblis itu. Mereka serentak merunduk, kemudian
membalas dengan tebasan dan tusukan pedang.
Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti.
Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya,
tubuhnya telah melesat ke udara.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mengepak-
ngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat.
Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan
sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya yang
mampu mengeluarkan angin besar.
Wusss!
Prak!
Cras...!
Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap
Kelelawar Iblis Merah. Seorang dengan wajah
tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala
pecah, terpukul kepakan sayap.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke
angkasa, setelah melakukan serangan. Kemudian
setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya
menukik kembali untuk menyerang.
"Awas...!"
"Serang...!"
Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa
memperhitungkan baik buruknya, mereka berusaha
merangsek kelelawar raksasa itu.
"Yeaaa...!"
"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis...!"
Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar
Iblis Merah bagai mengerti. Secepat kilat tubuhnya
melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos,
Mangkara menyerang kembali dengan sabetan dan
kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawan-lawannya
yang belum siap harus menerima kenyataan pahit,
terbabat dan terhantam sayap Mangkara.
Cras!
Prak!
Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-
menyusul dari mulut mereka. Kemudian tubuh
mereka ambruk tanpa nyawa.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan
darah yang keluar dari tubuh korbannya. Binatang
iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian
kemari. Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan
pekikan kematian dari mulut lawan.
Dalam sekejap saja, korban pun banyak ber-
jatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan.
Wajah mereka tergores menyilang dengan darah
meleleh. Ada pula yang kepalanya pecah dan tangan
buntung.
Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan
segera berakhir. Terlebih Kelelawar Iblis Merah
tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun
lolos. Ke mana lawan pergi, kelelawar itu mem-
burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra
yang putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai
pengecut, lebih baik mati dalam menghadapi
makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas
itu, ada kemungkinan mereka dapat mengalah-
kannya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras.
Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini
kembali menukik. Lalu dengan deras sayapnya
menghantam lawan.
"Aaa...!"
Kembali pekikan kematian terdengar, disusul
ambruknya beberapa korban. Semakin banyak darah
yang membasahi sayapnya, semakin buas saja
Kelelawar Iblis Merah. Matanya yang laksana api,
kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya
yang menyerang. Mulutnya yang bertaring runcing pun
turut ambil bagian.
Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi.
Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga
orang, di antaranya Kerto Mandra sendiri.
"Mangkara...! Bawa orang ini ke angkasa, lalu
buang ke laut..!" seru Warak Kendra sambil menunjuk
Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya
bergerak menyerang dua lawan lain. Serangan cepat
itu tak mampu dielakkan oleh kedua lawannya.
Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban
serangan ganas Warak Kendra.
"Cuiiit..!"
Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram
tubuhnya, Kerto Mandra yang sengaja dibiarkan
hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan
muka pucat dia bermaksud melarikan diri.
"Ha ha ha...! Kejar dia, Mangkara!" perintah Warak
Kendra sambil tertawa tawa.
"Cuiiitt...!"
Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram
kaki Mangkara.
"Tidak...! Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra
berusaha memohon pengampunan.
Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangan-
nya digerakkan, menyuruh Kelelawar Iblis Merah
membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu.
"Ha ha ha...! Mangkara, kutunggu kau...!"
Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto
Mandra ke udara, melesat menuju selatan.
Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa,
meneruskan langkahnya.
DELAPAN
"Tolong…! Tolooong...!"
Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak
meminta tolong. Saat itu Sena Manggala tengah
duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan
sambil meniup Suling Naga Saktinya dan berdendang.
Dia terkejut mendengar lolongan memelas di
angkasa. Setelah menghentikan tiupan suling,
kepalanya mendongak kian kemari dengan kening
berkerut Matanya yang tajam mengawasi ke
sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk
kepala. Tingkahnya persis orang bodoh, dengan mulut
ternganga mencari asal suara itu.
"Heh, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah
tadi telingaku mendengar suara orang meminta
tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya terus mencari ke setiap jurusan.
Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak
tadi.
"Tolooong...!"
Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas
telinga Sena menangkap jeritan itu, tapi saat
kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang
menjerit itu tak ditemukannya juga. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam.
"Cuiiit..!"
Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena.
Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa
kagetnya Pendekar Gila, setelah mengetahui kalau
orang yang berteriak minta tolong berada dalam
cengkeraman kaki binatang iblis itu.
"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu
kembali membuat keonaran! Hm, tentunya Warak
Kendra berada di sekitar tempat ini! Baik, aku akan
mengikuti binatang itu..."
Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya,
kemudian dengan ilmu meringankan tubuh, dia
melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di
kakinya tercengkeram Kerto Mandra yang meronta-
ronta dengan wajah pucat pasi
"Tolong...! Tolooong...!" Kerto Mandra yang semula
gagah berani, kini tak lebih dari seorang lelaki yang
takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan
ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai
kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya menggigil
gemetaran.
Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan
cepat. Segenap ilmu larinya dikerahkan, berusaha
menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto
Mandra.
"Edan! Jika dibiarkan, korban akan semakin
banyak! Tentunya Warak Kendra akan mengumbar
nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan.
Celaka...!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala
dan tetap berlari.
Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih
terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di
depan.
"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena
masih terus berlari. Dia berusaha mempercepat ilmu
larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan
Kerto Mandra dan cuitan binatang itu tetap semakin
jauh.
Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang
itu untuk berlomba dalam hal kecepatan. Kemudian
dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila
mengerahkan tenaga dalam untuk mempercepat
larinya.
"Yeaaa...!"
Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin.
Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput.
Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari
tingkat tinggi 'Sapta Bayu'.
Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh
Pendekar Gila melesat laksana tujuh kekuatan angin.
Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam
sekejap saja, dia telah mampu menyusul binatang itu.
"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?"
dengus Pendekar Gila.
Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget.
Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya
telah terbentang lautan lepas.
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu
dengan membawa manusia botak ke tengah tautan?"
gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis
Merah yang masih terus terbang membawa tubuh Ke-
to Mandra ke tengah lautan
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
nyengir, kemudian dengan gelak tawa kakinya
melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara,
tubuhnya melompat ke lautan
"Yeaaa...!"
Kembali Pendekar Gila mengerahkan
kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air,
dengan cepat Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke
depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya
pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di
permukaan air tanpa tenggelam!
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti
orang gila, semakin lucu dengan berlari di atas air.
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu
dengan membawa manusia botak ke tengah lautan?
Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu....
"Yeaaa...!" Pendekar Gila mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Maka,
tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut
dan mengejar Kelelawar Iblis Merah!
"Ha ha ha...! Enak juga lari di atas air," katanya
sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sedangkan
matanya terus mengawasi binatang Iblis yang
membawa tubuh Kerto Mandra.
"Tolooong...!"
Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar
Iblis Merah melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya
yang gemuk itu langsung melayang ke bawah.
"Aaa... Tolooong...!"
Byurrr!
Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar
tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang
iblis itu berputar-putar di angkasa, kemudian kembali
melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang
tengah berjuang mempertahankan selembar
nyawanya.
***
Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya
memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu
terbang.
"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku
akan ke sana. Tentunya manusia botak itu tahu, ke
mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena.
"Tolooong...!"
Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul
tenggelam di permukaan samudera yang hendak
menelannya hidup-hidup.
Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar
Gila yang memiliki jiwa pendekar berusaha me-
nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo
Edan. 'Seorang pendekar, akan berusaha menolong
yang lemah. Walau musuh sekalipun!'
Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas,
dengan cepat Pendekar Gila menangkapnya. Lalu
dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya
tangan itu.
"Yeaaat..!"
Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air,
seketika tertarik ke atas.
"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong
nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya saya akan mati,"
kata Kerto Mandra dengan napas tersengal.
"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan.
Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan
Pendekar...."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan
kirinya yang tidak memegangi tangan Kerto Mandra
menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya.
Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu
yang dalam kesusahan. Sekarang, berpeganglah
pada tanganku," ucap Sena kemudian.
Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan
Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal
itu membuat mata Kerto Mandra melotot heran
bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu.
Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di
atas air tanpa tenggelam!
"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto
Mandra.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar
pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu.
Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan
masih tersenyum berkata,
"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?"
"Tapi, Tuan..."
"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang
pasti, kau harus selamat Hyang Widhi belum
mengizinkan kau mati."
Usai berkata begitu, dengan tawa yang meng-
gelegar Pendekar Gila kian mempercepat larinya.
Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut
Tidak lama kemudian, keduanya sampai di pesisir.
"Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana
perginya Warak Kendra dengan Kelelawar Iblis Merah
itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut
itu mengatur napas dan melemaskan otot-ototnya.
"Ya! Kudengar mereka hendak ke Perguruan
Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.
"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan
tersenyum, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas."
"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu
bukan membalas dendam," sahut Kerto Mandra,
membuat Sena mengerutkan kening.
"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?"
"Ya."
"Maukah kau menceritakan semua yang kau
ketahui, Ki?" pinta Sena.
"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah
tadi sudah saya katakan, bahwa sejak saat ini saya
akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya
hadapi, jiwa raga saya akan saya serahkan pada
Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu.
Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak
terjang Kelelawar Iblis Merah. Dan ini yang harus kita
pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui"
Kerto Mandra menghela napas. Matanya
memandang ke lautan yang membentang di hadapan-
nya. Kalau saja pendekar muda di hadapannya tak
menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan
penghuni lautan itu sebabnya, meski pendekar muda
itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra berjanji
akan mengabdi pada pendekar muda yang ber-
tampang gila itu
Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada
henti menggaruk-garuk kepala, membuat Kerto
Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya
adalah pendekar yang namanya belakangan ini
tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski
ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak
sedikit pun menggambarkan kesombongan.
"Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah
saya ketahui, bolehkah saya mengajukan satu
pertanyaan?" tanya Kerto Mandra.
"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab.
Katakanlah."
"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai
Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra dengan sinar
mata kekaguman.
"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya
aku yang masih bodoh ini dengan sebutan yang
terlalu besar itu..."
Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya
memandang nanar ke laut lepas.
"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang
bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-
besarkan orang saja."
"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di
hadapan Sena. "Ampunilah semua kesalahan saya,
Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat
bertemu dengan Tuan."
"Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak
kusenangi dengan nama besar. Aku bukan dewa, tak
sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah
kau hendak menceritakan segala sesuatu yang kau
ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?"
Kerto Mandra kemudian menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia
menyelidiki tentang gegernya Kelelawar Iblis Merah
yang sering memakan korban, sampai bentrokan
dengan Warak Kendra.
"Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya
memiliki satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para
pendekar. Dia belum puas dan belum bisa
menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di
rimba persilatan, sebelum mengalahkan Tuan. Dan
dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra
mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar
penuturan Kerto Mandra. Tingkahnya yang seperti
orang gila, semakin membuat Kerto Mandra ber-
tambah yakin tentang jati diri pendekar muda itu.
Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat
tubuh Sena bergerak seperti seekor monyet sambil
menggaruk-garuk kepala.
Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda
bertingkah gila itu bukan pemuda sembarangan.
Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah
sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegelian-
nya menyaksikan tingkah aneh Sena.
"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih
menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi
orang nomor satu di rimba persilatan harus
mengalahkan aku? Apalah artinya aku...? Ha ha ha...!
Bagaimana menurutmu, Ki?"
Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia
tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki gemuk itu
hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena
kembali tertawa, dan bertingkah seperti seekor
monyet
"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi
mencari kawan. Bahkan kalau mungkin, lawan diajak
untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum
seberapa dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi.
Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena.
Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata.
Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan.
Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto
Mandra dalam hati, mengingat segala perbuatannya
selama ini.
Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar
muda itu memiliki jiwa yang luhur. Mulanya dia
menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-
benar gila. Tak memiliki akal dan budi pekerti yang
luhur.
"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri
atau pemuas dendam. Namun kita bertempur untuk
membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab
semua itu adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena
menambahkan
"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar
Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku
selama ini. Tak tahu gunung menjulang, tak men-
dengar badai berhembus."
"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka.
Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak
yang mesti kita lakukan," tukas Sena menyadarkan
Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya.
"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke
Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.
"Tentunya dua Iblis itu telah ke sana."
"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha
melampiaskan nafsu angkara murkanya. Apakah kau
telah siap, Ki?" tanya Sena.
"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus
semua dosa dan kepicikanku selama ini."
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan
ucapan Kerto Mandra lucu. Tingkahnya kembali
seperti orang gila.
"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya
tanpa dapat dimengerti oleh Kerto Mandra. Apa
hubungannya antara malam dengan bencana yang
melanda rimba persilatan dengan munculnya
Kelelawar Iblis Merah? Pikirnya dalam hati.
"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan
datang menerangi bumi ini?" lanjut Sena.
Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama
sekali tidak mengerti kata-kata Sena.
"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya
meninggalkan pesisir selatan, melangkah ke utara di
mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak
Laut Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan
gemuruh angin dan tembang camar di angkasa.
***
SEMBILAN
Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa
Perguruan Belibis Putih terdengar suara cuitan
memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan
semua penghuni bangunan Perguruan Belibis Putih
tersentak. Yang telah terbuai mimpi, terperanjat
bangun.
"Kelelawar iblis itu telah datang...!" seru salah
seorang murid Perguruan Belibis Putih, menyentak-
kan penghuni perguruan.
"Siap pada tempat masing-masing...!" perintah
salah seorang murid utama.
Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan
masing-masing. Rupanya penyambutan kedatangan
Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-
matang.
"Cuiiit..!"
Prak!
Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur,
terhantam sayap kelelawar raksasa itu. Puing-
puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beter-
bangan, laksana tersapu angin topan.
Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid
Perguruan Belibis Putih yang berada di bangunan
utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri.
"Tenang...! Semua harus tenang...!" terdengar
seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan Belibis Putih.
"Cuit...!"
Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,
lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng
bangunan utama. Disusul oleh sabetan sayapnya
yang menghantam bangunan itu.
Brak!
Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak
tawa membahana. Disusul dengan kehadiran seorang
lelaki muda berjubah merah.
"Ha ha ha...! Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan
mau menjadi istriku! Kalau tidak, semua murid dan
perguruanmu akan kuhancurkan...!" ancam Warak
Kendra. Kemudian tangannya bergerak meluncurkan
selarik pukulan ke bangunan utama.
Wusss!
Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat
menuju bangunan utama. Dan sebuah ledakan
dahsyat pun tercipta.
Glarrr!
Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksi-
kan keadaan di tempat itu.
"Serbuuu...!"
Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat
puluhan anak panah menghujani tubuh Warak
Kendra.
Swing! Swing...!
"Ha ha ha...! Jangan kalian kira akan semudah itu
mengalahkanku! Hiaaa...!"
Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-
anak panah, Warak Kendra mengirimkan pukulan ke
arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-
pekikan kematian dari balik pepohonan yang rimbun.
"Mangkara, hancurkan semuanya...!" perintah
Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah.
"Cuiiit..!"
Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah
tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian
menukik ke bawah. Lalu kedua sayapnya dihantam-
kan ke arah bangunan perguruan.
Brak!
Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu
penyangganya berhamburan.
"Seraaang...!"
Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat
dari persembunyiannya. Dengan pedang terhunus,
mereka serentak menyerang Warak Kendra.
"Bagus! Kalian memang harus mampus! Heaaat..!"
Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk
menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut.
Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu.
Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul.
Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus meng-
hantamkan kedua sayapnya ke arah bangunan.
Membuat bangunan utama hancur berantakan.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian
melesat menyentakkan kedua sayapnya ke arah
bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih
semakin dibuat porak-poranda.
"Cuiiit..!"
Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat
terbang, lalu berputar-putar di angkasa. Kemudian
dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu
kembali melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar
merah menyala menderu dari luar perguruan ke
arahnya.
Wusss!
"Cuit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik keras,
ketika melihat pukulan yang dilontarkan seseorang.
Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke
angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil
mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya
kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari
ke arah perguruan.
"Mangkara, ada apa...?!" tanya Warak Kendra
ketika menyaksikan binatang piaraannya berhenti
menyerang.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya
digerak-gerakkan. Tampaknya binatang itu hendak
mengatakan sesuatu.
Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang
telah terjadi, tiba-tiba dari luar pagar perguruan
melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi
bertubuh gemuk dengan kepala botak bertelanjang
dada.
"Ha ha ha...! Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah
ada pesta. Mengapa kita tidak diundang?" seloroh
pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain
Pendekar Gila
Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri
melompat keluar dari dalam bangunan. Lain halnya
dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah
menyeringai.
"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini!
Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian
mulutnya kembali mengumbar tawa menggelegar.
Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan
lebih keras. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya persis seekor kera
"Ha ha ha...! Kisanak, kalau memang hendak
mengadakan pesta, mengapa tidak mengundang
kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu.
"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam
hidupmu! Bersiaplah untuk mampus!" ancam Warak
Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan
Pendekar Gila.
"Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di
sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak. Kau bukan
Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup
matinya seseorang? Ha ha ha...!"
"Bedebah! Aku akan membuktikannya, Pendekar
Gila! Mangkara, habisi dia...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara.
Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya
melesat dengan sayap mengepak siap menyerang.
"Minggirlah! Kalian bantu mereka...!" ujar Sena
seraya mendorong tubuh Ratih Puri dan Kerto
Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya
berjarak satu tombak dari Pendekar Gila. Kedua
sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara
Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan
cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah
binatang itu.
"Heaaa...!"
Begkh!
Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh
binatang itu. Namun pukulan itu bagai tak berarti.
Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa
tombak ke belakang. Bahkan binatang iblis itu
semakin bertambah beringas.
"Cuittt..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke
angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk
melancarkan serangan susulan.
"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada
artinya?!" desis Sena. Kembali tubuhnya berkelebat
mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas
itu.
Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar
Iblis Merah, Pendekar Gila menghantamkan pukulan
'Si Gila Membelah Awan'.
"Heaaat..!"
Debbb!
Telak sekali pukulan itu menghantam dada
Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata
Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu
ternyata tak mempan oleh pukulan 'Si Gila Membelah
Awan'.
Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah
berputar sesaat di udara, tubuhnya kembali meluncur
ke arah Pendekar Gila.
"Cuiiit..!"
"Heaaa...!" tubuh Pendekar Gila kali ini turut
melesat, berusaha memapak serangan binatang itu.
Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu
menukik dengan kedua sayap siap menyerang,
sedangkan yang lain melesat naik dengan jurus
saktinya.
"Cuittt..!"
'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat..!"
Darrr!
Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar
Gila bertemu dengan sayap Kelelawar Iblis Merah,
tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah,
sedangkan binatang itu bagai tak mengalami sesuatu
apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan
Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus
gila.
"Uhk...!" Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan!
Binatang itu benar-benar setan!"
Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu
telah menukik kembali, siap menghancurkan tubuh-
nya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit
kontan terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit.
Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis
Merah itu dengan pukulan saktinya. Pukulan tingkat
tinggi yang menjadi salah satu andalannya.
"Pukulan 'Inti Bayu'...! Heaaa...!"
Angin seketika keluar bergulung-gulung dari
telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara,
tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan.
Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan
pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak
mengalami kesulitan berarti. Bahkan kini sayapnya
dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan
sakti Pendekar Gila.
"Cuiiit..!"
Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan
pukulan saktinya seperti menghantam batu cadas.
Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini
binatang itu siap melabraknya lagi.
"Celaka...!" pekik Pendekar Gila seraya membuang
tubuhnya ketika sosok merah mengerikan itu kembali
menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau
memberi kesempatan. Kepakan sayapnya terus men-
cecar tubuh lawannya.
Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering
ditiup angin, berusaha mengelakkan setiap sambaran
sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda
itu membentur dinding benteng perguruan.
Kedudukannya kini benar-benar tersudut.
"Celaka...!" pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan
untuk lepas dari serangannya. Yang kumiliki tinggal
Suling Naga Sakti."
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke
arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila
melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas
ditiupnya tanpa sempat bangkit. Diarahkannya lubang
suling ke tubuh binatang itu.
Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin
lama semakin memekakkan telinga. Dari lubang
suling, melesat sinar berwarna merah yang telak
menghantam tubuh binatang iblis itu.
Desss!
"Cuiiit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan.
Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya
membubung ke angkasa dan menggelepar-gelepar
liar di sana.
Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak
berhenti sampai di situ. Terus ditiupnya suling sakti
itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-
dayu hingga menyentuh perasaan.
Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila,
orang-orang yang tenaga dalamnya rendah, seketika
terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan
air mata.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun
pekikannya tidak sekeras semula. Suaranya semakin
lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang
yang melayang di udara itu mengecil dan terus
mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud
aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan!
Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak
Kendra seketika murka. Didahului pekikan meng-
gelegar, lelaki berjubah merah itu menyerang
Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
Tangan Warak Kendra membentang ke samping,
kemudian bergantian menyerang tubuh Pendekar
Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke
arah wajah dan dada lawannya. Sedangkan kedua
kakinya bergerak menendang dan menyepak.
Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi
seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit.
Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk meng-
elakkan serangan-serangan lawan. Meski gerakannya
kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan
yang dilancarkan lawan dengan mudah dapat
dielakkannya.
Merasa serangannya gagal, Warak Kendra
semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-
sungkan lagi dikerahkan. Tangan kanannya terangkat
ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping
dengan jari-jari lurus. Kemudian dengan gerak cepat,
Warak Kendra kembali menyerang.
"Kau harus mampus, Pendekar Gila! Yeaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan
aneh yang dilancarkan lawannya Dengan cepat
dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus
'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung,
dan bersalto ke sana kemari.
Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan orang yang dianggap menjadi peng-
halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-
serangannya semakin lama semakin keras dan
gencar. Bahkan....
Degk!
Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang
cepat, tak dapat dielakkan Pendekar Gila. Pukulan itu
telak menghantam punggungnya.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya ter-
huyung-huyung akibat pukulan itu. Belum lagi siap,
kembali sebuah tendangan keras menghantam
punggungnya.
"Hari ini kematianmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Begk!
"Tuan Pendekar...!"
Semua orang dalam kancah pertarungan yang
telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti
memekik, saat menyaksikan Pendekar Gila terdorong
keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke
depan dan hampir mencium tanah, kalau saja
Pendekar Gila tidak segera menguasai keseimbangan
tubuhnya.
Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah
segar. Matanya berkobar gusar. Rasa sakit yang
menderanya benar-benar telah memancing amarah-
nya. Wajah Pendekar Gila seketika berubah
menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah
membara. Dari ubun-ubunnya terpancar sinar ungu.
Semua mata yang ada di tempat itu membelalak
lebar, menyaksikan kejadian aneh itu. Bahkan dari
mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar
gumaman takjub.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah
penglihatanku?"
Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar
Gila saat diusik rasa sakit sehingga membuatnya
murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya
menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan
kemurkaan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya
berteriak menggelegar, kemudian tubuhnya melesat
ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun
Warak Kendra yang merasa dirinya sebagai orang
paling sakti setelah menelan mustika Pengubah
Raga, segera menyambuti serangan itu.
"Yeaaa...!"
Warak Kendra memusatkan pikirannya dan
membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar.
Berkat kesaktian mustika yang mendekam di
tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah
menjadi kelelawar raksasa berwarna merah dengan
mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang
menyeramkan.
Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak
kaget menyaksikan kejadian itu. Mata mereka mem-
belalak ngeri dengan kaki menyurut mundur
ketakutan
"Ilmu iblis...!" pekik mereka.
"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis!"
desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan
kejadian yang aneh dan mengerikan itu.
Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu
pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak
cepat, sulit sekali bagi orang-orang di tempat itu
untuk mengikuti gerakan mereka.
"Cuiiit..!"
"Yeaaat..!"
Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan
jurus 'Si Gila Menggusur Karang'. Sementara
Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini
mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian
menukik untuk melakukan serangan.
Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak.
Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan
amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka
hanyalah bertarung untuk menentukan siapa di
antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam
ini.
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-
kannya ke samping, kemudian dihantamkan lurus ke
arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra.
Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya
membentang, kemudian mengepak ngepak, siap
menampar tubuh lawan
Glarrr!
Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis
Merah melesat ke atas. Sedangkan tubuh Pendekar
Gila terhempas ke tanah dengan keras.
"Cuiiit..!"
"Ugkh...!"
Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang
berat rupanya dialami Pendekar Gila. Darah seketika
menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara
nyalang. Tubuhnya semakin membara penuh amarah.
Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di
tanah, persis seekor monyet yang tengah mabuk.
Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang
lebih menyeramkan.
Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara.
Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin
berpendar terang. Bahkan kini mengepulkan asap.
Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak
terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan
sayup-sayup yang hanya dapat ditangkap telinganya..
"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan
amarahnya. Berpikirlah yang tenang. Jangan
mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis! Jika
pendekar tak mampu mengendalikan nafsunya,
berarti dia telah kalah...."
"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila,
tersentak.
Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa
murni dari kedalaman batin untuk menguasai
kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan
mengerikan itu surut dalam sekejap, Pendekar Gila
segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat
pinggangnya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di
angkasa, melesat cepat ke bawah, untuk melakukan
serangan ke arah Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling
Naga Saktinya. Diarahkan lubang suling ke tubuh
Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke
arahnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya
terasa menyentuh sukma. Menjadikan murid-murid
Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali
menangis tanpa sadar.
Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya
dengan irama mengiba. Itulah ilmu suling 'Pelayung
Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa
sedih. Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan
meratap-ratap penuh kesedihan.
Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak
menyerang Pendekar Gila, seketika terdiam bagai
terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras,
semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah
sesuatu....
Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu
mustika bersinar merah. Batu itu melesat jauh entah
ke mana.
Bersamaan dengan keluarnya batu mustika
Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis
Merah terjadi. Kelelawar itu kembali berubah menjadi
sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar.
Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas.
Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga
Saktinya. Setelah menyelipkan kembali sulingnya di
pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan
luka dalam di tubuhnya. Tidak lama kemudian
tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri Ratih
Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang
tengah mengerumuni mayat Warak Kendra yang
hangus.
"Ha ha ha...! Rupanya pesta telah berakhir!
Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto,
mungkin kau bisa membantu membangun kembali
Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila.
"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata,
ketika Pendekar Gila telah melesat meninggalkan
tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa
sempat melanjutkan kata-katanya.
"Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik!
Ha ha ha...!" seru Pendekar Gila dari kejauhan.
"Dasar Pendekar Gila...!" sungut Ratih Puri dengan
wajah merah padam.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar