..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 01 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE KELELAWAR IBLIS MERAH

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 SATU


Pagi masih buta. Embun masih melekat di daun-daun 

pepohonan. Mentari belum juga menampakkan 

dirinya untuk mengedari bumi. Seorang lelaki dengan 

keadaan tubuh terluka parah, berlari-lari ke dalam 

hutan. Wajahnya yang kelihatan pucat dan tegang 

sesekali menengok ke belakang. Seperti berusaha 

meyakinkan dirinya kalau orang yang telah melukai-

nya benar-benar sudah tidak mengejar. 

Lelaki itu berpakaian merah dengan lengan 

panjang yang menyerupai jubah. Wajahnya garang 

dengan alis mata tebal, hidung pesek serta berbibir 

tebal. Ditilik dari raut wajahnya, usia lelaki itu sekitar 

dua puluh lima tahun. Dia bernama Warak Kendra. 

"Uhhh...!" keluhnya, berusaha menahan sakit yang 

mendera dada. Warak Kendra menghentikan 

langkahnya sejenak, lalu memandang ke belakang. 

Kemudian kakinya digerakkan kembali untuk 

meneruskan pelarian, dengan harapan orang yang 

telah melukainya tak dapat mengejar. 

"Kidang Antikan, tunggulah pembalasanku!" desis-

nya, mengancam seseorang. 

Tak lama kemudian dari mulutnya memuntahkan 

darah. Wajahnya semakin pucat. Darah yang baru 

saja keluar dari mulutnya kelihatan agak menghitam. 

Pertanda pukulan Kidang Antikan mengandung 

tenaga dalam yang dahsyat 

Napas Warak Kendra terengah-engah. Seharian 

dia berlari dengan menahan luka dalam yang cukup 

menyakitkan. Untung saja dia kuat dan memiliki ilmu



tenaga dalam. Kalau tidak, tentunya sudah dari 

kemarin dia binasa. 

Sebenarnya antara Warak Kendra dan Kidang 

Antikan masih ada hubungan saudara perguruan. Dia 

adalah kakak seperguruan Kidang Antikan, orang 

yang telah melukainya. 

Keduanya adalah murid-murid Perguruan Belibis 

Putih, sebuah perguruan yang berlandaskan nilai-nilai 

kebenaran dan keadilan. 

Warak Kendra kembali menerobos hutan 

belantara. Tubuhnya yang sedang berlari, semakin 

lama semakin melemah. Tenaganya telah terkuras 

habis setelah seharian berlari. Ditambah lagi dengan 

luka dalam yang cukup berat, membuatnya tak tahan 

lagi. 

"Hhh...!" Warak Kendra masih berusaha berdiri 

tegak. Tapi pandangan matanya seketika berkunang-

kunang. Kemudian semakin lama pandangannya 

semakin gelap. Tubuh Warak Kendra akhirnya terkulai 

jatuh. 

Sementara itu, seorang laki-laki tua dengan 

kelelawar berwarna merah di atas tubuhnya meng-

hampiri tubuh Warak Kendra yang tergolek. Lelaki 

yang mengenakan baju warna merah darah seperti 

warna kelelawarnya, memandangi tubuh Warak 

Kendra dengan tajam. Sepertinya ada sesuatu yang 

tengah diamatinya. 

"Hm, kasihan dia...," gumamnya. "Rupanya dia 

terluka dalam." 

Dengan menggunakan kakinya, lelaki tua berwajah 

garang dan berjenggot putih itu membalikkan tubuh 

Warak Kendra. Hingga tubuh yang semula tengkurap 

itu menjadi telentang. 

Lelaki tua yang matanya tajam berkilat, kembali



mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dengan 

tangan membelai-belai janggutnya dia berkata, 

"Mangkara, bagaimana menurut pendapatmu?" 

tanyanya pada kelelawar merah yang menyertainya. 

"Ciiit..!" 

Kelelawar merah yang besarnya seperti seekor 

burung rajawali itu mencuit, sekaligus menunjukkan 

taringnya yang runcing. Matanya yang merah bagai 

mengandung bara api, memandang tajam ke tubuh 

Warak Kendra. 

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala 

setelah mendengar suara kelelawar raksasanya. 

"Jadi kau setuju kalau manusia ini kutolong?" 

"Ciiit..!" sahut kelelawar itu sambil mengangguk-

anggukkan kepala, seakan mengerti maksud tuannya. 

Sayapnya direntangkan lebar-lebar. Sayap yang 

panjangnya hampir dua depa itu, bagai payung yang 

menutupi tubuh tuannya. 

"Baiklah kalau memang begitu," kata lelaki tua 

pemilik kelelawar merah raksasa. "Angkatlah dia. 

Bawalah dia ke pondok. Aku akan mengamati daerah 

sekitar sini. Kalau-kalau ada orang lain." 

"Cuit..!" 

Kelelawar merah raksasa itu mencuit, kemudian 

terbang dari pundak tuannya. Sayapnya bergeletar 

gagah, membawa tubuhnya ke udara. Beberapa saat 

kelelawar itu melayang-layang memutari tubuh Warak 

Kendra. Kemudian kelelawar itu menukik, 

menyambar tubuh Warak Kendra dengan kedua 

kakinya. 

"Cuit..!" 

"Pulanglah dulu!" seru lelaki tua itu sambil meng-

gebahkan tangan kanannya ke atas. 

"Cuit..!"


Kelelawar merah raksasa bermata merah itu 

kembali mencuit keras. Tubuhnya melayang-layang 

memutari tempat itu dengan kaki mencengkeram 

Warak Kendra, kemudian melesat membawa tubuh 

lelaki muda itu masuk ke dalam hutan yang lebat 

Tubuh lelaki tua berjubah merah berkelebat dari 

tempat itu, lalu menerobos hutan untuk memeriksa 

sekelilingnya. Langkahnya begitu ringan. Sampai-

sampai kakinya bagai tak pernah menginjak tanah. 

Tubuhnya melesat cepat laksana anak panah yang 

lepas dari busurnya, hingga yang terlihat hanyalah 

bayangan merah belaka. 

Setelah sampai di perbatasan hutan, lelaki tua itu 

menghentikan larinya. Matanya memandang ke atas, 

kemudian dengan sekali hentak tubuhnya melesat 

dan hinggap di cabang pohon. 

Mata lelaki tua yang tajam itu memandang ke 

sekeliling hutan. Sepertinya tengah melihat apakah 

ada orang lain yang mengikuti Warak Kendra. 

Dari kejauhan, beberapa orang berjubah biru tua 

dengan pakaian dalam berwarna kuning nampak 

berlari-lari menuju ke arah hutan itu. Tangan orang-

orang yang kelihatannya dari rimba persilatan itu 

menggenggam pedang dan senjata tajam lainnya. 

"Dia lari ke hutan ini...!" seru salah seorang dari 

mereka. 

"Apakah kau yakin?" tanya orang di sebelahnya 

"Ya!" 

"Mari kita kejar...!" ajak seorang lelaki dengan 

simbol burung belibis putih di dada kirinya. Tangan-

nya melambai, memerintah teman-temannya untuk 

terus berlari. Orang yang melambaikan tangan itu, 

tiada lain Kidang Antikan. Dialah yang melukai Warak 

Kendra.


Puluhan orang persilatan itu terus berlari ke arah 

hutan. Mereka tidak menyadari kalau gerak-gerik 

mereka diawasi lelaki bermata tajam semerah bara 

yang bertengger di cabang sebatang pohon. 

"Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka akan tahu per-

sembunyianku! Harus dibereskan!" gumam lelaki tua 

berjubah merah dengan mata tajam itu. Kemudian 

dengan ringan, tubuhnya melesat untuk menghadang 

orang-orang yang hendak masuk ke dalam hutan. 

Puluhan orang persilatan itu tersentak kaget, 

melihat kehadiran lelaki tua yang tiba-tiba. Namun 

mereka segera menjura hormat. Salah seorang dari 

mereka maju dengan sikap hormat. 

"Kiranya Ki Wangas Pati. Mohon dimaafkan kalau 

kedatangan kami mengejutkanmu, Ki." 

"Hm...," gumam orang tua yang disebut sebagai Ki 

Wangas Pati. Matanya yang merah dan tajam, 

memandang lekat pada mereka. "Ada apa kalian 

kemari?" 

Kidang Antikan melangkah maju. Sekali lagi lelaki 

itu menjura hormat. Kemudian dengan sopan ber-

tanya. 

"Maafkan kami, Ki. Kalau kedatangan kami di-

anggap telah mengganggumu. Kalau boleh kami tahu, 

apakah kau melihat seorang lelaki terluka yang ber-

pakaian merah?" 

Ki Wangas Pati mengerutkan kening. Dengan 

tatapan bengis, memandang tajam pada Kidang 

Antikan yang berdiri di hadapannya. 

"Untuk apa kalian mencari orang itu?" tanyanya 

dengan suara yang masih menunjukkan keangkuhan. 

"Dia sangat berbahaya, Ki. Licik dan keji. Bahkan 

hampir saja membunuh guru kami," jawab Kidang 

Antikan menjelaskan. "Kalau memang mengetahui


nya, kami berharap agar Ki Wangas Pati mau 

menunjukkan pada kami." 

"Bagaimana kalau aku tak mau menunjukkan pada 

kalian?" tanya Wangas Pati dengan sikap menantang. 

Mata Kidang Antikan dan teman-temannya saling 

bertatapan. Tapi Kidang Antikan yang sudah kenal 

siapa lelaki tua di hadapannya berusaha ramah. 

"Maaf, Ki.... Sesungguhnya dia sangat berbahaya. 

Perlu Ki Wangas Pati ketahui, percuma melindungi-

nya. Dia tidak ubahnya anak macan. Saat terluka 

minta dirawat, tapi kalau lukanya sembuh bisa mem-

bahayakan orang yang merawatnya." 

"Diam! Jangan mengguruiku!" bentak Ki Wangas 

Pati dengan mata memandang bengis ke arah Kidang 

Antikan dan teman-temannya. "Apakah kalian kira 

Wangas Pati dapat diperdayai? Huh...! Pergilah dari 

sini, sebelum kesabaranku hilang!" 

Kidang Antikan dan teman-temannya saling 

pandang. 

"Jadi, Ki Wangas Pati tahu di mana dia?" tanya 

Kidang Antikan, masih tetap sopan. 

"Ya!" jawab Ki Wangas Pati tegas. 

"Maaf, Ki. Tunjukkanlah di mana dia," pinta Kidang 

Antikan. 

"Tak akan kutunjukkan! Pergilah! Atau terpaksa 

aku harus mengusir kalian dengan kekerasan!" 

ancam Ki Wangas Pati. Matanya semakin tajam 

menghunjam, memandang Kidang Antikan yang ter-

lihat masih tenang. 

"Maaf, Ki. Sebenarnya kami yang muda sudah 

menghormatimu. Namun, bukan berarti kami harus 

tunduk pada perintahmu. Kami ditugaskan untuk 

menangkap Warak Kendra. Maka itu, apa pun 

rintangannya akan kami hadapi...," tutur Kidang



Antikan. 

"Bocah nekat! Apakah kau benar-benar sudah 

punya nyawa cadangan, hingga berani menentangku, 

heh?!" sentak Ki Wangas Pati dengan gusar. Matanya 

semakin merah membara. 

"Masalah nyawa, semua orang tak mau 

kehilangan, Ki. Tapi demi kebenaran dan keadilan, 

kami siap mati," sahut Kidang Antikan dengan gagah 

berani, membuat Ki Wangas Pati semakin geram. 

"Kurang ajar...!" 

"Kami memang masih muda, tapi kami tak kurang 

pelajaran seperti kau, Ki...," sahut Kidang Antikan 

dengan nada menyindir. Hal itu membuat Ki Wangas 

Pati semakin bertambah marah. 

"Bocah mencari mampus! Jangan salahkan kalau 

mulutmu yang lancang kurobek! Heaaa...!" 

*** 

Melihat orang tua itu telah menyerang, Kidang 

Antikan tidak tinggal diam. Pemuda tampan dengan 

rambut digelung dengan ikat pita putih serta tali 

kepala merah itu segera bergerak mengelakkan 

serangan Ki Wangas Pati 

"Heaaat..!" 

Pedang di tangan Kidang Antikan bergerak cepat, 

membabat setiap serangan yang dilancarkan Ki 

Wangas Pati. Tubuh keduanya bergerak bagai kilat, 

sehingga kini tak nampak lagi tubuh mereka. Yang 

terlihat hanyalah dua gulungan warna yang berbaur 

tak menentu. 

"Hiyaaa...!" 

Ki Wangas Pati merentangkan kedua tangannya, 

membentuk sebuah sayap lebar. Kemudian dengan


cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan. 

Disusul oleh sambaran tangan kiri ke arah kepala 

lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat 

secara bergantian, mencecar kaki lawan. 

Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Kidang 

Antikan tak mau kalah. Pedang di tangannya diputar 

sedemikian rupa, membentuk baling-baling di depan 

tubuhnya. Sesekali pedang itu membabat ke arah 

bawah dan atas, membuat serangan-serangan yang 

dilancarkan Ki Wangas Pati tak mengenai sasaran. 

"Heaaat..!" 

"Yeaaa..!" 

Ki Wangas Pati yang merasa serangan awalnya 

gagal, dengan cepat mengembangkan serangannya 

lagi. Tangannya terangkat lurus ke atas, kemudian 

ditekuk membentuk siku. Lalu dengan jari-jari tangan 

mengembang, tangan kanannya menyambar dada 

lawan. 

"Jebol dadamu, Bocah!" 

"Uts...!" 

Cepat Kidang Antikan melompat mundur. Kembali 

pedangnya diputar di depan tubuh. Menjadikan 

putaran pedang itu laksana baling-baling. Cepat dan 

ganas. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang 

nampak hanyalah kilatan warna putih yang mem-

bungkus tubuh Kidang Antikan. 

Karena mengira Kidang Antikan akan sulit meng-

hadapi orang tua itu, tanpa diperintah lima belas 

temannya langsung bergerak maju. Dengan pedang di 

tangan, mereka mengepung kedua orang yang masih 

bertarung itu. 

Dua orang itu terus bertarung dengan seru. 

Masing-masing menunjukkan ilmu silat yang mereka 

miliki. Tak percuma Kidang Antikan mendapat


kepercayaan dari gurunya untuk menangkap Warak 

Kendra. Terbukti telah lebih dari sepuluh jurus dia 

masih mampu menghadapi orang tua yang terkenal 

aneh itu. Malah nampaknya pemuda itu bisa meng-

imbangi setiap serangan lawan. 

Ki Wangas Pati yang serangannya selalu dapat 

digagalkan pemuda itu, semakin penasaran. Tangan-

nya kembali merentang, kemudian terangkat lurus ke 

atas. Disambung dengan menekuknya di samping 

dada. 

Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan 

tangan kanannya bergerak menyapu. Kedua kakinya 

pun tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah 

pinggang lawan, disusul kaki kiri yang menyapu kaki 

lawan. Itulah jurus 'Kelelawar Membelah Kabut', 

sebuah jurus yang terkenal ganas dan mematikan. 

"Hiaaat..!" 

Kidang Antikan tersentak melihat jurus yang 

dilancarkan orang tua itu. Gerakan orang tua itu 

sangat cepat, rasanya sangat sulit baginya untuk 

mengelak. Tapi Kidang Antikan bukanlah pemuda 

kemarin sore yang masih mentah dalam ilmu bela 

diri. Percuma dia diberi tugas yang cukup berat untuk 

menangkap dan membawa kakak seperguruannya 

agar dapat diadili. 

Kidang Antikan menggeser kakinya dua langkah ke 

samping, kemudian tangan kanannya memukul 

dengan telapak. Tangan kirinya yang memegang 

pedang, membabat ke arah samping. Gerakan 

pedang dan pukulan tangan Kidang Antikan 

serempak. Sedangkan kakinya mengelak dengan cara 

bergeser ke samping atau mundur. 

Jurus yang digunakan Kidang Antikan, tiada lain 

jurus 'Belibis Melalang Mencari Mangsa', salah satu


jurus andalan dari Perguruan Belibis Putih. 

Gabungan dan kembangan jurus itu sangat indah. 

Tubuh orang yang memperagakannya bagai gerakan 

seekor belibis. Kakinya bergerak ringan. Sementara 

tangannya bergerak cepat, memukul dan mem-

babatkan pedang. 

Jika saja yang menjadi lawan bukan Ki Wangas 

Pati, sudah dari tadi dapat dikalahkan. Tapi lawannya 

kini adalah salah seorang tokoh persilatan yang 

namanya cukup kondang di kalangan rimba 

persilatan. 

Serangan yang cepat dan gencar dari Kidang 

Antikan mendapat perlawanan yang juga cepat dan 

gencar. Jurus-jurus yang dilancarkan Kidang Antikan 

hanyalah jurus-jurus pelumpuh. Maka jika mengenai 

sasaran, tidak akan mematikan lawan. Sebaliknya 

jurus-jurus yang dilancarkan Ki Wangas Pati adalah 

jurus-jurus mematikan. Kalau sampai lawan terkena 

hantaman atau tebasan tangannya, dapat dipastikan 

lawan akan mengalami kematian. 

Ki Wangas Pati yang semakin penasaran karena 

sudah hampir dua puluh jurus belum juga mampu 

menjatuhkan lawannya, semakin bernafsu. Tangan-

nya membentuk cakar, dengan kuku-kukunya yang 

panjang dan runcing. Tangan kanannya mencakar ke 

muka lawan, sedangkan tangan kirinya menghantam 

dengan telapak tangan ke dada lawan. 

"Heaaa...! Sobek mukamu, Bocah!" bentak Ki 

Wangas Pati dengan penuh kegusaran. Kini gerakan 

tangan yang menyerang semakin bertambah cepat 

dan ganas. Kuku-kukunya yang panjang, akan mampu 

merobek kulit tubuh. 

"Hup...! Hiaaa...!" 

Kidang Antikan mendongakkan kepala dengan


cepat, ketika cakaran tangan kanan orang tua itu 

mengarah ke wajahnya. Kemudian dengan cepat 

pula, tubuhnya digeser dua langkah ke samping 

kanan. 

Serangan Ki Wangas Pati lolos. Tangan orang tua 

itu meluncur deras ke arah samping, membuat orang 

tua itu semakin bernafsu untuk membunuh pemuda 

yang menjadi musuhnya. Tangannya yang mencakar 

semakin cepat, sampai-sampai tak nampak lagi. 

"Celaka...!" pekik Kidang Antikan dengan mata 

melotot kaget, melihat gerakan tangan orang tua itu. 

"Uts...! Hampir saja." 

Kidang Antikan segera membuang tubuh ke 

samping kiri, mengelakkan cakaran lawan. 

Crab! 

Kuku-kuku Ki Wangas Pati menghunjam pohon 

yang berada di belakang Kidang Antikan. Begitu keras 

dan kuatnya hunjaman kuku-kuku itu, sampai-

sampai, kulit pohon yang keras bisa ditembus. Dan 

ketika Ki Wangas Pati menarik jari-jari tangannya, 

seketika pemandangan mengerikan terjadi. 

Dedaunan pohon itu langsung berguguran. Malah 

pohon itu nampak hangus. 

Mata Kidang Antikan dan orang-orangnya mem-

belalak kaget saat menyaksikan kejadian itu. Pohon 

saja sampai mengalami hal yang sangat mengerikan. 

Apalagi manusia? 

Meski begitu, sebagai seorang pendekar, pantang 

bagi Kidang Antikan mundur karena ngeri menyaksi-

kan cakaran lawan. Dia terus berusaha mengimbangi 

jurus-jurus lawan yang semakin lama kian buas. 

Saat pertarungan berjalan seru, tiba-tiba terdengar 

suara cuitan nyaring di udara yang menyentakkan 

semua rekan Kidang Antikan. Dan ketika mereka


menengadahkan wajah ke atas, mata mereka mem-

belalak kaget menyaksikan seekor kelelawar merah 

raksasa. 

"Cuiiit...!" 

***


DUA


Berbeda dengan rekan-rekan Kidang Antikan yang 

terperanjat kaget dengan kedatangan makhluk 

berupa kelelawar raksasa berwarna merah, Ki 

Wangas Pati malah tersenyum senang. Dengan 

berteriak nyaring sambil mengangkat tangan, Ki 

Wangas Pati memanggil binatang piaraannya. 

"Bagus! Rupanya kau datang tepat pada waktunya, 

Mangkara! Turunlah! Singkirkan mereka, cepat...!" 

kata Ki Wangas Pati sambil terus menyerang kembali 

Kidang Antikan. 

Bagaikan mengerti perintah tuannya, binatang 

menyeramkan itu mencuit keras. Kemudian tubuhnya 

menukik ke bawah sambil mengepakkan sayap, siap 

menyambar kelima belas orang yang mengurung 

tuannya. 

"Cuit..!" 

"Awas, binatang iblis itu menyerang...!" seru salah 

seorang dari mereka untuk mengingatkan teman-

temannya. 

Kelelawar merah dengan mata laksana mengan-

dung api itu menukik cepat, kemudian sayapnya 

menyambar deras ke arah orang-orang yang 

mengurung tuannya. 

Wuuut! 

Cras! 

"Aaa...!" 

Salah seorang terkena sambaran sayap kelelawar 

itu. Wajahnya bagai terbabat oleh pedang. Luka yang 

mengeluarkan darah, menyilang di muka orang itu.


Sesaat tubuh orang malang itu meregang, sebelum 

ambruk ke tanah dengan nyawa melayang. 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah membubung ke angkasa. 

Lalu dengan suara keras yang memekakkan telinga, 

kembali tubuhnya menukik ke bawah. 

"Cepat menyingkir...!" 

Mereka berusaha menyingkir dari tempat itu. 

Namun salah seorang dari mereka rupanya nekat 

Dengan pedang di tangan, lelaki itu berusaha meng-

hadapi serangan kelelawar yang siap menyerang ke 

arahnya. 

"Kelelawar iblis! Hadapi aku! Yoga Prana tak akan 

takut padamu! Yeaaat..!" 

Lelaki yang bernama Yoga Prana ini segera 

menebaskan pedang ke tubuh kelelawar raksasa itu. 

Tapi bagaikan tahu ada bahaya, kelelawar itu kembali 

ke angkasa. Membuat serangan Yoga Prana 

mengenai tempat kosong. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, kemudian 

dengan cepat kembali menukik. Sayapnya yang lebar 

dan tajam bagai pedang, dengan cepat mengepak ke 

wajah lelaki itu. 

Wettt! 

Yoga Prana berusaha membabatkan pedangnya ke 

arah kelelawar, berusaha mendahului babatan sayap 

binatang itu. Ternyata babatan pedangnya kalah 

cepat. Sayap binatang raksasa itu telah menghantam 

kepalanya lebih dahuhi. 

Prak! 

"Aaa...!" Yoga Prana memekik keras. Kepalanya 

pecah, sampai-sampai otaknya terburai ke luar. 

Darah meleleh dari pecahan kepalanya. Mata lelaki


malang itu melotot, lalu ambruk dengan nyawa 

melayang. 

Menyaksikan dua orang temannya mati. Bukannya 

menjadikan yang lainnya takut. Malah mereka 

kelihatannya menjadi nekat. Didahului oleh pekikan 

menggelegar, ketiga belas orang rekan Kidang 

Antikan menyerbu. 

"Bunuh kelelawar ibhs itu...!" 

"Serang...!" 

"Pakai tombak...!" 

Dengan menggunakan tombak, mereka siap meng-

ganyang kelelawar raksasa itu. Serentak mereka 

melemparkan tombak saat kelelawar merah raksasa 

itu menukik ke bawah. Namun bagai tahu ilmu silat, 

kelelawar itu bergerak mengelit. Sayapnya mengepak-

ngepak, menangkis! Tombak-tombak yang mengarah 

ke tubuhnya. Kebutan sayap binatang itu 

menimbulkan angin yang besar. 

Tombak-tombak yang dilemparkan ketiga belas 

orang itu tak ada satu pun yang mengena. Malah 

beberapa tombak kini melesat kembali ke arah 

pemiliknya. Kemudian dengan tepat dan deras, 

menghunjam di dada lima lelaki itu, hingga tembus ke 

punggung. 

Crab! 

Pekikan kematian susul-menyusul, keluar dari 

mulut kelima orang yang dadanya tertembus tombak. 

Darah mengalir dari lubang di dada mereka yang kini 

bergelimpangan tanpa nyawa. 

Semakin marah saja teman-teman korban 

menyaksikan kejadian itu. Mereka dengan nekat 

segera menghunus pedang, lalu menantang 

Kelelawar Iblis Merah yang masih berputar-putar di 

angkasa.


"Cuit...!" 

"Kelelawar iblis, turunlah! Hadapi kami...!" tantang 

Walas Pitu. Tangan kanannya yang memegang 

pedang mengacung ke atas. 

"Cuit...!" 

Kelelawar Iblis Merah menukik, kemudian dengan 

cepat menyambar ke arah mereka. Kedelapan orang 

itu merunduk, berusaha mengelakkan sambaran 

sayap binatang buas itu. Lalu dengan cepat mem-

balas dengan tusukan dan babatan pedang. 

"Hancur tubuhmu, Kelelawar Iblis...!" 

Berbarengan mereka membabatkan pedang ke 

tubuh Kelelawar Iblis Merah yang sudah merendah. 

Namun tanpa diduga, tiba-tiba binatang itu kembali 

mengepakkan sayap sambil melesat ke atas. 

Cras! 

"Aaa...!" 

Dua orang lagi menjadi korban. Wajah mereka 

terkena babatan sayap binatang itu. Luka menyilang 

dengan darah mengucur, terlihat di wajah kedua 

orang yang kemudian meregang nyawa dan ambruk 

ke tanah. Sedangkan yang lainnya, terbelalak kaget 

ketika pedang mereka beradu tanpa mengenai 

sasaran. 

Trang! 

"Kurang ajar! Rupanya binatang iblis itu benar-

benar mempermainkan kita!" dengus Walas Pitu 

sengit 

Ketika Kelelawar Iblis Merah kembali menukik ke 

bawah, Walas Pitu dengan cepat merunduk. 

Pedangnya langsung dibabatkan ke tubuh kelelawar 

itu. 

Sementara Kelelawar Iblis Merah yang tengah 

mengepakkan sayap untuk menyerang lima orang


lainnya, tak dapat mengelakkan babatan pedang 

Walas Pitu. 

Bret! 

"Cuit..!" 

Binatang itu langsung mencuit keras, ketika 

merasakan sakit pada bagian tubuhnya yang terluka. 

Darah hitam mengucur dari tubuhnya. Tapi binatang 

itu tidak menjadi takut. Malah dengan keadaannya 

yang terluka, dia kian ganas. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya 

mengepak dengan cepat. Sayapnya yang melebihi 

tajamnya pedang, bergerak liar membabi buta. 

Membuat keenam orang itu kewalahan. Mereka 

berusaha membalas serangan binatang yang sangat 

ganas itu. Namun kepakan sayap binatang itu ter-

nyata lebih cepat 

Cras! Bret! 

Dua orang lagi memekik. Yang seorang kepalanya 

hancur, sedangkan yang lain terpenggal. Kemudian 

binatang itu kembali membubung ke angkasa, ber-

putar-putar sesaat, lalu kembali menukik untuk 

melakukan serangan. 

"Cuit...!" 

Kedua sayap Kelelawar Iblis Merah mengembang 

lebar. Setelah dekat, dengan cepat menyambar dan 

memukul ke arah lawan-lawannya. 

"Binatang celaka! Kau harus mampus...!" 

Walas Pitu yang merasa telah dapat melukai 

binatang itu, dengan nekat merangsek ke depan. Hal 

itu berakibat fatal baginya. Sebelum dia sempat 

menusukkan pedangnya, kuku-kuku Kelelawar Iblis 

Merah yang panjang telah lebih dahulu men-

cengkeram lehernya. Bersamaan dengan kepakan


sayap binatang itu untuk menyerang lawan yang lain. 

Prak! 

Cras! 

Dua orang lagi memekik keras. Pekikan kematian 

yang mengiringi hancurnya kepala dan muka mereka. 

Sedangkan Walas Pitu yang dalam cengkeraman 

kaki-kaki binatang itu, kini dibawa ke atas. 

"Oh, tolooong...!" Walas Pitu berusaha meminta 

tolong pada temannya yang masih hidup. Namun 

mereka tak dapat berbuat apa-apa. Binatang iblis itu 

terus membubung tinggi. Setelah mencapai ke-

tinggian yang cukup, dilepaskannya tubuh Walas Pitu. 

Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dengan deras 

ke bawah. Tidak lama kemudian, terdengar suara 

pecahnya batok kepala, mengakhiri jeritan menyayat 

Walas Pitu. 

Prak! 

"Aaa...!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik, siap 

menyerang dua lawan yang masih hidup. Nyali 

mereka seketika menciut. Tanpa pikir panjang lagi, 

kedua orang itu segera lari tunggang-langgang. 

Rupanya binatang iblis itu tak mau melepaskan 

mereka begitu saja. Dengan mencuit keras, binatang 

itu memburu keduanya. Dalam sekejap saja, mereka 

dapat disusul. 

Sayap kelelawar itu mengembang, kemudian mem-

babat punggung keduanya dengan deras. 

Prak, prak! 

"Aaa...!" 

Kedua orang itu memekik keras. Punggung mereka 

langsung hancur dengan darah menyembur ke mana-

mana. Sesaat tubuh keduanya meregang kemudian 

ambruk dengan nyawa melayang.


"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke 

angkasa. Mengetahui semua lawan yang dihadapinya 

telah bergelimpangan tanpa nyawa, binatang itu 

hendak membantu tuannya yang tengah bertarung. 

Sambil mengepakkan sayapnya yang lebar, kelelawar 

raksasa itu melayang menuju arena pertarungan 

antara Ki Wangas Pati dan Kidang Antikan. 

"Kau tak usah membantuku! Dia sebentar lagi juga 

mampus!" cegah Ki Wangas Pati pada binatang 

piaraannya. 

Bersamaan dengan ucapannya, Ki Wangas Pati 

mengirimkan satu pukulan maut Pukulan 'Pemegat 

Nyawa' yang dahsyat itu melaju deras ke arah Kidang 

Antikan. 

Kidang Antikan tersentak kaget. Sama sekali tidak 

diduganya kalau lawan akan mengeluarkan pukulan 

maut. Dengan berusaha sebisanya, pemuda gagah itu 

segera memapaki dengan pukulan sakti 'Serat 

Kandala'. 

"Hiaaat.." 

"Yeaaa...!" 

Seberkas sinar berwarna merah dan putih keluar 

dari tangan keduanya, diikuti oleh gemuruh angin 

laksana amukan topan. Kemudian kedua pukulan 

sakti itu bertemu di udara, mencintakan ledakan 

menggelegar yang dahsyat 

Glarrr! 

"Ugkh...!" 

Tubuh Ki Wangas Pati terhuyung dua langkah ke 

belakang. Matanya membelalak, tak percaya kalau 

pukulan lawan begitu kuat. Sedangkan tubuh Kidang 

Antikan terlempar beberapa tombak ke belakang. 

Dadanya remuk dengan luka lebar mengerikan.


Tanpa ampun lagi, maut menjemput nyawa pemuda 

itu. 

Ki Wangas Pati menarik napas dalam-dalam. 

Setelah melambaikan tangan pada Kelelawar Iblis 

Merah, orang tua yang berwatak angin-anginan itu 

berlalu dari tempat pembantaian yang menyisakan 

belasan mayat bersimbah darah. 

Dalam sebuah gubuk di tengah Hutan Wandar, Ki 

Wangas Pati duduk bersila sambil mengatur per-

napasannya, guna memulihkan tenaga yang terkuras 

habis dalam pertarungannya beberapa saat lalu. 

Terlebih ketika bentrokan tenaga dalam dengan 

Kidang Antikan. 

Sementara di biar gubuk, seekor kelelawar raksasa 

berwarna merah tengah menggelantung di sebuah 

cabang pohon besar. Matanya yang merah, tidak lagi 

tajam seperti semula. Kini matanya redup, me-

rasakan sakit akibat luka di tubuhnya. 

Lukanya terlihat masih meneteskan darah hitam 

yang membasahi rumput di bawahnya.. Tampaknya 

binatang raksasa itu tengah melakukan semadi 

seperti tuannya. 

Tak berapa lama kemudian, Ki Wangas Pati keluar. 

Matanya langsung memandangi kelelawar raksasa 

berwarna merah itu. 

"Kau terluka, Mangkara?" tanya Ki Wangas Pati. 

"Cuit..!" sahut kelelawar itu seraya mengangguk-

anggukkan kepala. Sayapnya membentang, seperti 

hendak menunjukkan luka-luka yang diderita pada 

tuannya. Memang, di dada binatang itu terdapat luka 

yang menganga. 

"Turunlah, biar aku melihatnya...!" 

"Cuit...!" 

Tubuh kelelawar merah raksasa itu pun turun,


kemudian hinggap di sebuah batu di depan Ki 

Wangas Pati. Sayapnya direntang lebar-lebar, 

sehingga Ki Wangas Pati dapat melihat lukanya. 

Sejenak Ki Wangas Pati mengamati luka di rubuh 

kelelawar itu. Tangannya mengusap darah yang 

mengalir di dada binatang peliharaannya dengan jari 

telunjuk, lalu didekatkannya jari itu ke hidungnya. 

"Hm, untung pedang itu tidak beracun...." gumam 

Kl Wangas Pati. "Sebentar, Mangkara. Akan kuambil-

kan obat untuk mengobati lukamu." 

"Cuit..!" 

Ki Wangas Pati beranjak masuk ke dalam gubuk-

nya untuk mencari obat. Tak lama kemudian, orang 

tua berjubah merah itu keluar kembali. Di tangannya 

tergenggam sebuah mangkuk terbuat dari tanah liat. 

Di dalam mangkuk itu, terdapat ramuan obat untuk 

menyembuhkan luka. 

"Hm.... Kau harus menahan sakit, Mangkara." Ki 

Wangas Pati segera mengoleskan ramuan obat itu ke 

luka di tubuh Mangkara. Bagai sedang mengalami 

siksaan, mulut binatang itu memekik-mekik keras. 

Kepalanya bergerak-gerak liar, seolah-olah menahan 

rasa sakit yang tiada tara. 

"Cuit, cuit..!" 

"Memang perih, Mangkara. Tapi hanya sebentar. 

Selebihnya lukamu akan cepat kering dan sembuh," 

kata Ki Wangas Pati sambil membelai-belai kepala 

binatang itu. 

"Cuit..!" 

"Baiklah, Mangkara. Aku harus menolong pemuda 

itu. Kau bersemadilah dulu, untuk memulihkan 

tenaga yang terkuras, sekaligus mempercepat 

kesembuhan luka di tubuhmu," kata Ki Wangas Pati 

sambil berlalu meninggalkan Mangkara, kembali


masuk ke dalam gubuknya. 

Kaki Ki Wangas Pati melangkah ke sebuah 

ruangan dalam gubuk itu, di mana Warak Kendra 

tergeletak bertelanjang dada. Di dada kirinya nampak 

bekas pukulan yang menghitam kebiru-biruan. 

"Hm...," Ki Wangas Pati mengangguk-anggukkan 

kepala menyaksikan luka tersebut "Pantas saja dia 

mengalami hal seperti itu. Aku sendiri telah merasa-

kan betapa besar tenaga dalam pemuda itu." 

Ki Wangas Pati kemudian melangkah ke tempat 

penyimpanan obat-obatan. Dicarinya obat yang 

berada di tempat berbentuk tabung dari bambu. 

Diambilnya salah sebuah tabung bambu. Lalu 

dibawanya menuju tempat Warak Kendra tergolek. 

Ki Wangas Pati mengaduk serbuk obat Lulur Raga 

Sakti yang baru diambil dari tabung bambu itu. 

Kemudian dioleskannya ke luka di dada kiri dan 

kanan Warak Kendra. 

"Akh...!" 

Warak Kendra menjerit, ketika luka di dadanya 

diolesi ramuan obat yang diberikan Ki Wangas Pati. 

Dari luka itu mengepul asap, bagaikan terbakar. 

"Tahan sedikit, Anak Muda," kata Ki Wangas Pati 

masih terus melumuri dada pemuda itu dengan 

ramuan obatnya. Orang tua berjubah merah itu 

seperti tak menghiraukan jerit kesakitan Warak 

Kendra. 

Setelah menggelepar-gelepar menahan rasa sakit 

yang tak terkirakan, tubuh Warak Kendra terdiam. 

Nampaknya pemuda itu kembali jatuh pingsan. 

Dadanya masih mengepulkan asap. Namun perlahan-

lahan nampak warna hitam kebiru-biruan bekas 

pukulan telapak tangan itu menghilang. Tubuhnya 

yang semula membiru, kini berangsur normal seperti


sediakala. 

Ki Wangas Pati naik ke atas tempat tidur di mana 

Warak Kendra terbaring. Tangannya disatukan di 

depan dada. Matanya terpejam. Kemudian telapak 

tangannya yang menyatu, perlahan bergerak 

membuka. Lalu telapak tangan kanannya ditempel-

kan di dada pemuda itu. Sedangkan telapak kirinya 

ditempelkan di perut dengan sedikit mendorong. 

"Hhh...!" 

Ki Wangas Pati menghempaskan napas untuk 

menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangannya. 

Tubuhnya menggigil dahsyat dan mengucurkan 

keringat. Matanya terpejam rapat. 

Tubuh Warak Kendra turut menggigil. Dibarengi 

dengan keluarnya keringat sebesar biji jagung. Asap 

mengepul keluar dari telapak tangan Ki Wangas Pati. 

Begitu juga dari tubuh pemuda itu. 

"Uhhh...!" 

Terdengar keluhan lirih dari mulut Warak Kendra. 

Tubuhnya dirasakan membara laksana dibakar dalam 

tungku. Kemudian mendadak menjadi dingin mem-

bekukan, bagai bongkahan es. 

Proses penyembuhan luka di tubuh Warak Kendra 

berjalan cukup lama. Sampai-sampai Ki Wangas Pati 

kelelahan. Tenaganya bagaikan dikuras habis oleh 

proses penyembuhan itu. 

"Oh...!" Ki Wangas Pati mengeluh. Tubuhnya 

tergetar hebat. Dan menjelang puncak penyembuhan 

itu, tubuhnya terkulai lemas lalu jatuh tertidur. 

Lain halnya dengan Warak Kendra. Dia malah 

menggeliat bangun setelah merasa tubuhnya segar 

kembali. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka, 

lalu memandang ke sekelilingnya. 

"Cuit..!"


Di luar terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, 

membuat kening Warak Kendra berkerut dalam. 

Perlahan-lahan dia bangkit. Dan dengan agak 

sempoyongan, kakinya melangkah keluar untuk 

melihat sesuatu yang didengarnya. 

"Kelelawar Iblis Merah..!" gumamnya dengan mata 

membelalak tatkala melihat seekor binatang raksasa 

tengah bergelantungan di sebuah cabang pohon 

besar. "Kalau begitu, di sinilah tempat Mustika 

Pengubah Raga..." 

Sekilas bibir Warak Kendra menyunggingkan 

senyum. Di hatinya kini tersimpan sebuah rencana 

jahat. Rencana untuk mendapatkan mustika itu. 

Merebutnya dari tangan Ki Wangas Pati! 

***

TIGA


Matahari pagi naik sepenggalan. Angin pagi 

berhembus pelan, membelai dedaunan. Kicau burung 

terasa sangat merdu. Ditambah dengan langit yang 

demikian bening, membangun keindahan alam di 

dalam Hutan Wandar. 

Seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit 

kuning bersih, duduk di atas sebatang pohon 

tumbang di Hutan Wandar. Rambutnya panjang 

dengan ikat kepala dan baju rompi yang terbuat dari 

kulit ular sanca. Di tangan pemuda itu, tergenggam 

sebuah suling berkepala naga. Itulah Suling Naga 

Sakti. Dan tentunya pemuda itu tak lain Sena 

Manggala atau Pendekar Gila. 

Mata pemuda itu memandang langit yang berhias 

bentangan warna biru bersih. Tangan kanannya 

menggaruk-garuk kepala, sedangan tangan kirinya 

memukul-mukulkan suling ke paha. 

"Ah, betapa damainya suasana di tempat ini," 

gumam Sena sambil cengengesan. 

Pemuda bertampang gila itu menghela napas. 

Wajahnya masih nampak cengengesan. Tangan 

kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Lalu 

sulingnya diletakkan di bibir. 

Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan pelan. 

Nampaknya Sena hendak bersenandung, mengisi 

suasana yang sepi dan damai. Kemudian terdengar 

suara suling mengalun dengan merdunya, menebar-

kan irama lagu yang penuh penghayatan.


Betapa damainya alam ini 

Seakan penuh kenikmatan 

Gunung menjulang tinggi membiru 

Pohon tumbuh menghijau asri.... 

Pemuda tampan dengan pakaian rompi kulit ular 

itu terus berdendang dan diselingi tiupan sulingnya. 

Iramanya mendayu sendu, penuh penghayatan. 

Sepertinya mengajak para pendengarnya untuk 

menghayati alam sekitarnya. Alam yang subur dan 

damai. 

Sayang sekali.... 

Mengapa keindahan ini harus rusak 

Oleh tumpahnya darah 

Oleh kekejian manusia.... 

Saat Sena berdendang sambil menikmati indahnya 

alam di pagi itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara 

memekik keras di angkasa. Suara pekikan itu 

mengejutkannya, hingga kepalanya seketika men-

dongak ke langit. 

"Cuit! Cuit...!" 

Di kejauhan sana, dilihatnya sebuah sosok 

bayangan merah raksasa tengah melayang. Semakin 

pemuda tampan bertampang gila itu menajamkan 

pandangannya, semakin jelas bentuk benda yang 

melayang itu. 

Sena mengerutkan kening. Kembali tangannya 

menggaruk-garuk kepala. 

"Hyang Jagat Dewa Batara, binatang apakah itu," 

gumamnya tanpa sadar. 

Sena bangun dari duduknya. Berdiri dengan tegap 

seraya memandang binatang raksasa yang masih


melayang-layang di angkasa. Tangannya menggaruk-

garuk kepala tiada henti. Mulutnya nyengir. 

"Ah ah ah.... Pertanda apakah binatang aneh itu 

keluar? Bukankah binatang itu sudah lama meng-

hilang? Mengapa kini keluar lagi...?" gumam Sena 

dengan wajah tetap menengadah. 

"Cuit! Cuit..!" 

Binatang itu mencuit keras, kemudian menukik 

deras ke bawah. Hal itu menjadikan Sena mem-

belalakkan mata. Mulutnya nampak menganga. 

"Heh, sepertinya binatang iblis itu tengah ber-

tarung dengan sesuatu!" 

Benar juga, kelelawar itu sebentar-sebentar me-

nukik, lalu melesat naik ke atas lagi. 

"Cuit! Cuit..!" 

"Ah ah ah.... Binatang itu benar-benar tengah ber-

tarung dengan sesuatu. Tapi bertarung dengan 

apa...?" tanya Sena, keheranan. Matanya sama sekali 

tak menangkap lawan tarung binatang raksasa itu. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti. 

Diselipkannya Suling Naga Sakti di pinggang. 

Kemudian masih dengan menggaruk-garuk kepala, 

dipandanginya tingkah laku binatang itu. 

"Cuit! Cuit...!" 

Binatang raksasa berwarna merah itu melayang di 

udara. Berputar-putar dengan mengepakkan sayap. 

Mulutnya memperdengamya suara yang memekak-

kan telinga. Kemudian dengan deras menukik ke 

bawah dengan sayap mengepak keras, seakan 

hendak menghantam sesuatu. 

"Ha ha ha... Lucu sekali binatang itu. Seperti 

manusia saja tingkah lakunya...." 

Sena tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk 

kepala dengan tangan kanan. Sedangkan tangan


kirinya kini menepuk-nepuk pantat, tingkah laku 

kelelawar merah raksasa itu di matanya terlihat lucu. 

Tak henti-hentinya Sena memandangi gerak-gerik 

binatang raksasa yang melayang-layang di angkasa 

sambil tertawa-tawa kegelian. Tangannya tak berhenti 

menggaruk dan menepuk pantat. Kakinya berjingkat-

jingkat seperti monyet. 

"Hi hi hi...! Lucu sekali.... Lucu sekali binatang 

raksasa itu bertarung." 

Tiba-tiba Sena menghentikan tawanya, juga 

gerakan tangan dan kakinya. Keningnya berkerut, 

seakan ada yang tengah dipikirkan. 

Sena kembali memandang kelelawar raksasa 

merah yang masih melayang-layang. Tiba-tiba tangan-

nya menepuk dahi sambil berseru, 

"Ah, bukankah kelelawar itu yang dinamakan 

Kelelawar Iblis Merah? Hm, berarti cerita tentang 

binatang itu memang benar! Aku harus segera ke 

sana untuk melihat apa yang dilakukannya." 

Tubuh Sena segera melesat meninggalkan tempat 

itu. Dengan lari kencang laksana terbang, dia menuju 

ke tempat kelelewar itu bertarung yang masih berada 

di wilayah Hutan Wandar. Tawanya menggelegar, 

membuat burung-burung beterbangan. 

Di cakrawala sebelah selatan, kelelawar itu masih 

terlihat. Sebentar-sebentar naik ke atas, kemudian 

menukik kembali ke bawah. 

*** 

"Cuit! Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah membubung tinggi ke 

angkasa. Tubuhnya berputar-putar sesaat, lalu me-

lesat meninggalkan Hutan Wandar. Kini tinggal lima



tubuh lelaki yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. 

Wajah kelima lelaki dari dunia persilatan itu ber-

lumuran darah yang mengalir dari luka menganga 

akibat sabetan ganas sayap kelelawar raksasa yang 

tajamnya melebihi mata pedang. 

Sena terbengong-bengong setelah sampai di 

tempat itu. Matanya membelalak, menyaksikan lima 

tubuh tergeletak mati. 

"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apa lagi yang 

kini menimpa rimba persilatan?" gumam Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke se-

keliling tempat itu, berusaha mencari pelaku keji yang 

telah membantai kelima orang itu. Tapi jejak kaki 

orang yang mungkin menjadi algojo keji bagi lima 

orang naas di hadapannya tidak ditemukan. 

Pendengarannya dipadang tajam-tajam, dengan 

harapan dapat mendengar langkah kaki sekecil apa 

pun. Hasilnya sama saja. Tak juga didengarnya suara 

langkah kaki. Berarti di tempat itu tidak ada orang 

lain selain dirinya. 

Sena mengerutkan kening, tangannya masih 

menggaruk-garuk kepala. Tiba-tiba mulutnya tertawa, 

ketika ingat kalau tadi dilihatnya kelelawar raksasa 

berwarna merah darah. 

"Ha ha ha...! Tolol! Tolol sekali aku. Bagaimana 

mungkin ada orang? Bukankah yang bertarung 

dengan kelima pendekar ini seekor kelelawar?" 

Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya 

masih tersenyum-senyum, mencemooh ketololannya. 

Tangan kanannya menepuk-nepuk kening. Kemudian 

dengan hati-hati, didekatinya tubuh kelima lelaki 

malang itu. 

"Mengerikan!" desis Sena. 

Sena tak henti-hentinya menggelengkan kepala


ketika memeriksa satu persatu kelima mayat itu. Dari 

kelima mayat itu, tidak seorang pun dikenalinya. 

"Keji! Keji sekali binatang itu!" maki Sena. "Aneh, 

bagaimana mungkin mereka yang membawa senjata 

tajam bisa dikalahkan orang seekor kelelawar?" 

Sena berpikir sesaat. Namun masih saja tidak di-

pahaminya kejadian itu. Mengapa kelima pendekar 

yang kelihatannya gagah itu menemui ajal hanya ber-

hadapan dengan seekor kelelawar raksasa. 

Belum juga Sena mendapatkan jawaban atas per-

tanyaan yang menyesaki benaknya, dari kejauhan 

tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh. 

"Itu dia...!" 

"Tangkap manusia keji itu...!" 

"Cincang tubuhnya...!" 

Sena tersentak kaget mendengar seruan-seruan 

itu. Matanya membelalak ke arah puluhan orang yang 

berlari serabutan ke arahnya dengan senjata ter-

hunus. Rupanya mereka adalah kawan-kawan dari 

para korban kekejian kelelawar tadi. 

"Celaka...!" pekik Sena kaget. "Bisa runyam kalau 

begini." 

Pendekar Gila belum bisa menentukan apa yang 

harus dilakukannya, ketika dengan cepat puluhan 

orang itu telah menyerang dengan melepaskan anak 

panah. 

Swing, swing...! 

"Edan! Benar-benar edan...!" maki Sena sambil ber-

jumpalitan untuk mengelakkan serbuan anak panah 

yang menderu ke arahnya. Tubuhnya melenting ke 

atas, kemudian tangannya bergerak cepat, me-

nangkap puluhan anak panah yang memangsanya. 

Sedangkan kakinya kini hinggap di dua anak panah 

lainnya.


Mata puluhan penyerang itu tampak membelalak 

menyaksikan bagaimana mudah dan entengnya 

pemuda itu menangkapi puluhan anak panah. 

Sedangkan kakinya menjejak di atas dua anak panah 

yang kini melesat balik ke arah mereka. 

Sena tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang 

masih memijak anak panah itu, melesat dengan 

deras ke arah para penyerang. Dua anak panah yang 

menjadi pijakannya seakan dapat dikendalikan, 

sehingga menuruti gerakan pemuda itu. 

"Lihat gerakan silatnya yang seperti orang gila! 

Pasti dia yang telah membunuh kelima teman kita!" 

seru lelaki bertelanjang dada dengan tubuh agak 

gemuk. 

Tanpa diperintah, puluhan orang itu segera mem-

persiapkan anak panah kembali. Kemudian dengan 

cepat membidikkannya ke arah Pendekar Gila yang 

masih tertawa-tawa di atas dua anak panah. 

Swing, swing...! 

Puluhan anak panah kembali menderu ke arah 

Pendekar Gila. 

"Edan! Benar-benar edan! Rupanya tidak main-

main!" maki Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya 

bersalto beberapa kali di udara. Lalu, tangannya 

mengibaskan beberapa anak panah. 

Gerakan tangan pemuda tampan yang seperti 

orang gila itu sangat cepat, mampu membuat be-

berapa anak panah yang terkena sambaran tangan-

nya berbalik ke arah lawan. 

"Hi hi hi...! Nih, kukembalikan milik kalian!" 

Wettt! Wusss! 

Puluhan anak panah melesat kembali pada tuan-

nya. Meskipun terlihat hanya menyambar, namun laju 

puluhan anak panah itu tak kalah cepat dengan laju


anak panah yang dilepas dari busur. Membuat para 

penyerangnya membelalakkan mata lebar-lebar. 

Mereka berusaha mengelakkan puluhan anak 

panah pengembalian Pendekar Gila. Namun rupanya 

laju anak panah itu sangat cepat Beberapa orang dari 

mereka tak mampu lagi mengelakkannya. Tanpa 

ampun lagi.... 

Jlep! Jlep...! 

Beberapa anak panah tepat menembus sasaran. 

Menghunjam di tenggorokan setiap korbannya yang 

tak sempat berteriak. Hanya mata mereka saja yang 

melotot dengan mulut menganga. Kemudian tubuh 

mereka ambruk dengan nyawa melayang. 

Menyaksikan beberapa rekannya mengalami 

kematian, semakin marah saja pemimpin orang-orang 

itu yang berbadan gemuk dengan kepala botak. Lelaki 

berhidung besar, alis mata tebal serta bercambang 

bauk lebat itu bersungut-sungut 

"Kurang ajar...! Rupanya pemuda itu benar-benar 

pelakunya! Serang dia...!" perintah lelaki gemuk yang 

bernama Kerto Mandra dengan melambaikan tangan. 

Seketika itu juga, puluhan anak buahnya meluruk 

seperti air bah ke arah Sena. Dengan golok di tangan, 

tampaknya mereka hendak mencincang tubuh 

Pendekar Gila. 

"Ambrol perutmu, bocah!" 

Puluhan golok menderu ke arah Pendekar Gila. 

Serangan mereka benar-benar ganas. Nampaknya 

mereka tidak mau membuang-buang waktu lagi. 

Mereka ingin segera menghabisi pemuda yang 

mereka anggap pelaku pembunuhan kelima rekan 

mereka. 

"Uts...! Wadauw...! Kenapa kalian keji sekali? 

Sampai-sampai tega hendak merencah tubuhku?"


keluh Sena sambil melentingkan tubuh, melepaskan 

diri dari rencahan golok mereka. 

Kaki dan tangannya tak mau diam. Kakinya 

menendang ke wajah lawan. Sedangkan tangannya 

menepak kepala lawan yang terdekat. Gerakannya 

sangat cepat dan sulit untuk dielakkan. Membuat 

orang-orang yang dijadikan sasaran tak mampu untuk 

mengelak. Akibatnya.... 

Degkh! 

Plak! 

"Aduh...!" 

Empat orang menjerit seketika. Tubuh mereka 

berputar laksana baling-baling. Kepala mereka terasa 

pening sekali. Kemudian keempat orang itu terhuyung 

kian kemari seperti orang mabuk. Mata mereka be-

kedip-kedip sayu, karena kepala mereka terasa 

sangat berat sekari. Kemudian tubuh keempat orang 

itu ambruk ke tanah. Pingsan! 

Menyaksikan keempat lawannya itu, Sena tak 

dapat menahan tawanya. Pemuda tampan berompi 

kulit ular itu tergelak-gelak dengan satu tangan 

menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan lainnya 

menepuk-nepuk pantat 

Semakin bertambah marah saja lelaki gemuk 

dengan kepala botak yang menjadi pimpinan orang-

orang itu, menyaksikan keempat rekannya dapat 

dijatuhkan dalam sekali gebrak. Malah pemuda itu 

kini tertawa tergelak-gelak laksana orang gila. 

"Bocah gila...!" makinya sengit "Jangan harap kau 

bisa lolos dari tangan kami! Serang dia...!" 

"Heaaa...!" 

Puluhan golok kembali mengancam Pendekar Gia. 

Siap merencah tubuh pemuda itu. Mata puluhan 

orang itu kelihatan semakin beringas, penuh


kemarahan pada Pendekar Gila. 

"Remuk tubuhmu, Bocah!" 

Melihat serangan, dengan cepat Pendekar Gila 

mengeluarkan jurus gilanya. Kemudian dengan jurus 

'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila ber-

gerak mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana 

kemari, mengelitkan serangan yang menderu ke arah-

nya. 

Meski tubuh pendekar muda itu kelihatannya 

sangat lamban dalam mengelak, tetapi lawannya 

mengalami kesulitan dalam menyerangnya. 

"Hiaaat..!" 

Salah seorang yang merasa penasaran, mem-

bacokkan golok ke arah Pendekar Gila. Dengan gerak 

yang kelihatannya lamban, tubuh Pendekar Gila 

mengelit ke samping. Kemudian tangannya menepuk 

ke arah dada lawan. 

"Hi hi hi... Ada apa di dadamu, Sobat?" 

Orang yang diserang demikian langsung kaget. Dia 

berusaha mengelitkan tepukan tangan pemuda itu. 

Namun gerakan yang kelihatan lemah dan pelan itu 

nyatanya cepat sekali. Sehingga orang itu mati 

langkah. Dan.... 

Debbb! 

"Aaa...!" 

Orang itu memekik. Tubuhnya terlontar deras ke 

belakang, meluncur ke arah teman-temannya yang 

tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak, namun 

tak urung ada beberapa orang yang tersapu oleh laju 

tubuh orang itu. Tubuh mereka sama-sama terseret 

deras, dan baru berhenti ketika menabrak pohon. 

Jeritan kematian terdengar ketika kepala mereka 

membentur batang pohon. Perlahan tubuh mereka 

menggelosor tanpa nyawa.


Mata lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra 

membelalak kaget. Nyalinya seketika menciut, 

menyaksikan anak buahnya banyak yang menjadi 

korban. 

"Pemuda gila! Sinting...! Kali ini Kerto Mandra 

mengakui kehebatanmu. Tapi kelak jika ada 

kesempatan, aku akan menuntut kekalahan ini!" 

Kemudian dengan menggerakkan tangan, lelaki 

gemuk berkepala botak itu lari meninggalkan tempat 

ini diikuti oleh rekan-rekannya. 

Sena menggeleng-geleng sambil tangannya meng-

garuk-garuk kepala. Kemudian dengan tersenyum 

cengengesan tempat itu ditinggalkannya. 

"Ada-ada saja.... Mengapa aku yang dijadikan 

sasaran?" gumam Sena. 

Pendekar Gila kembari tergelak-gelak, lalu tubuh-

nya melesat meninggalkan tempat itu. 

***


EMPAT


Matahari agak condong ke arah barat, pertanda hari 

menjelang sore. Angin sore berhembus semilir, 

ditemani suara riuh burung yang hendak pulang ke 

sarangnya. 

Seorang lelaki tua nampak duduk bersila dengan 

mata memandang ke angkasa, di mana seekor 

binatang raksasa berwarna merah dengan mata 

menyorot tajam melayang berputar-putar. Di 

hadapannya, duduk seorang lelaki muda dengan 

pakaian yang sama dengannya, berjubah merah 

darah. Pemuda itu tidak lain Warak Kendra. 

Sedangkan lelaki tua yang duduk di hadapannya, 

tiada lain Ki Wangas Pati. 

"Kau lihat, binatang itu begitu nurut padaku, 

bukan?" tanya Ki Wangas Pati dengan tersenyum 

bangga, menunjukkan pada Warak Kendra bagai-

mana dia mampu menundukkan binatang itu. 

"Rupanya Mangkara telah selesai menjalankan 

tugasnya...." 

"Benar, Guru. Lihatlah, di sayapnya terdapat 

lelehan darah," sahut Warak Kendra dengan bibir 

menyunggingkan senyum sinis. Sepertinya ada 

sesuatu yang tersimpan di hatinya. 

"Mangkara...! Turunlah!" seru Ki Wangas Pati. 

"Cutt..!" 

Binatang raksasa itu mencuit keras. Sementara 

tubuhnya berputar-putar di angkasa, seperti tengah 

mengamati sekelilingnya. Kemudian setelah merasa 

tak ada yang perlu dikhawatirkan, tubuh binatang


raksasa itu menukik ke bawah. 

"Dia kelihatannya pintar, Guru," puji Warak Kendra. 

"Ya! Sebelum turun, rupanya dia mengawasi 

sekelilingnya," jawab Ki Wangas Pati. Kepalanya 

mengangguk-angguk, sedangkan tangannya mem-

belai-belai jenggotnya yang panjang dan berwarna 

putih. 

"Cuit! Cuit..!" 

Binatang itu terus menukik dan hinggap di 

samping kiri Ki Wangas Pati. Kepalanya dielus-

eluskan ke badan tuannya, seakan hendak 

mengatakan sesuatu. Sayapnya direntang lebar-lebar, 

menunjukkan lelehan darah di tepi-tepinya. 

"Ya, ya. Aku paham. Kau telah melakukan tugas 

dengan baik untuk menjaga wilayah ini dari orang-

orang persilatan," gumam Ki Wangas Pati. "Kau 

memang abdiku yang paling setia, Mangkara." 

"Cuit! Cuit..!" 

Binatang itu mengangguk-anggukkan kepala. 

Sayapnya yang direntang, dikibas-kibaskan. Nampak-

nya binatang itu sangat senang mendengar 

sanjungan tuannya. 

"Kini kau boleh beristirahat. Kalau lapar, kau boleh 

mencarinya," kata Ki Wangas Pati. 

"Cuit, cuit..!" 

Binatang itu kembali menjerit nyaring, kepalanya 

mengangguk-angguk. Kemudian setelah mengelus-

eluskan kepala di badan tuannya, binatang itu 

melesat terbang. 

"Cuit, cuiiit...!" 

Kelelawar Iblis Merah mengepak-ngepakkan 

sayap. Kepalanya mengangguk-angguk. 

"Ya, ya.... Pergilah! Carilah mangsamu sesuka hati! 

Tapi jika ada apa-apa, cepatlah kembali...!" seru Ki


Wangas Pati sambil tersenyum serta melambaikan 

tangan. 

Binatang raksasa itu berputaran dua kali di udara, 

pertanda dia mengerti. Kemudian dengan cepat 

terbang meninggalkan tempat itu, membubung tinggi 

ke angkasa. 

Ki Wangas Pati tampaknya bangga sekali dengan 

binatang itu. Untuk mendapatkannya, dia harus 

bersabung nyawa dengan kakak seperguruannya. 

Ingatannya kembali melayang ke masa silam, saat 

kakak seperguruannya masih hidup. 

Ketika itu, gurunya diketemukan telah mati 

dibunuh oleh sekelompok orang persilatan yang 

menjadi lawannya. Berhubung gurunya telah mati, Ki 

Wangas Pati dan kakak seperguruannya Ki Wangsa 

Landra akhirnya sepakat untuk membagi peninggalan 

guru mereka. 

Ki Wangas Pati mendapatkan senjata-senjata 

sakti, sedangkan Ki Wangas Landra mendapatkan 

batu mustika Pengubah Raga. Ki Wangas Pati yang 

merasa dicurangi, diam-diam menaruh dendam. 

Ketika sedang tidur, kakak seperguruannya dibunuh. 

Kemudian Ki Wangas Pati lari dari Tanah Toraja 

menuju ke Jawa Dwipa. 

Di Jawa Dwipa, Ki Wangas Pati mencoba mustika 

yang didapat dari hasil mencuri milik kakak 

seperguruannya. Ketika ditemukannya kelelawar 

merah, ditangkapnya kelelawar itu. Dengan cara 

menggenggam batu mustika Pengubah Raga dan 

memusatkan pikiran membayangkan apa yang 

terjadi, maka terwujudlah apa yang ada dalam 

pikirannya. Kelelawar merah yang semula berukuran 

kecil, seketika menjadi besar. Kelelawar yang semula 

makan buah, kini makannya darah dan daging.


"Cuit..!" kelelawar itu mencuit kembali. 

Ki Wangas Pati terkekeh menyaksikan kepergian 

binatang peliharaannya yang pintar. Kemudian 

dengan tangan masih membelai-belai Jenggotnya 

yang panjang, pandangannya dialihkan ke Warak 

Kendra. 

"Warak, tentunya kau telah tahu semua hal yanq 

ada di sini. Untuk itulah, aku berharap janganlah kau 

membocorkan semua rahasia di sini." 

"Semua perintahmu akan kupatuhi, Guru!" sahut 

Warak Kendra dengan menundukkan kepala. Namun 

sesungguhnya di dalam hati pemuda itu tersimpan 

pertanyaan. Rahasia! Rahasia apa...? 

"Hhh...!" 

Ki Wangas Pati menghela napas. Tangannya masih 

membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih. 

Wajahnya ditengadahkan ke angkasa. 

"Bukannya aku mengaturmu, Warak. Tapi ketahui-

lah, sesungguhnya itulah hal terbaik bagi kita. Biarlah 

orang hanya tahu tentang Mangkara saja. Kita tak 

perlu terlibat langsung. Dan ketahuilah, sesungguh-

nya Mangkara itu berbuat hanya untuk melindungi 

tuannya." 

Mungkinkah orang tua ini menyimpan sebuah 

rahasia? Tanya Warak Kendra dalam hati. Memang 

dia pernah mendengar cerita tentang Kelelawar Iblis 

Merah itu. Sesungguhnya Mangkara itu akan patuh 

pada siapa pun yang memiliki batu mustika Pengubah 

Raga. Tapi di manakah batu mustika itu? Sampai saat 

ini Warak Kendra belum tahu di mana batu sakti itu. 

"Warak, hari ini kelihatannya sangat cerah. Apakah 

kau tidak berlatih?" tanya Ki Wangas Pati seraya 

memandang wajah muridnya lekat-lekat "Berlatihlah 

dengan sungguh-sungguh. Bukankah kau hendak


membalas semua dendammu?" 

"Baik, Guru..." 

Warak Kendra segera bangkit dari duduknya. Dia 

menjura hormat pada gurunya. Diikuti oleh Ki Wangas 

Pati, kaki pemuda itu melangkah ke tempat latihan. 

"Kemarin lusa kau telah mempelajari 'Rentangan 

Sayap Kelelawar', kini tinggal menambahkan 

kembangannya dengan jurus selanjutnya 'Kepakan 

Sayap Menghantam Gunung'. Setelah itu, kau tinggal 

mempelajari jurus terakhirnya 'Sapuan Sayap Melebur 

Buana'...," tutur Ki Wangas Pati. 

"Baik, Guru." 

"Ingat baik-baik. Jurus-jurus yang kau pelajari itu 

sangat berbahaya. Baik untuk lawan, maupun untuk 

dirimu sendiri. Jangan kau sembarangan mengguna-

kannya. Sebab kalau kau bertindak gegabah, bisa-

bisa kaulah yang akan celaka." 

Warak Kendra tersentak mendengar penuturan Ki 

Wangas Pati. 

"Mengapa begitu, Guru? Bukankah jurus-jurus Itu 

merupakan jurus dahsyat? Sulit untuk dicari 

tandingannya?" tanya Warak Kendra dengan kening 

berkerut Bibir Ki Wangas Pati tersenyum, sedang 

kepalanya mengangguk-angguk. Tangannya masih 

membelai-belai jenggotnya yang panjang. 

"Kau memang benar. Jurus-jurus itu adalah jurus-

jurus yang dahsyat dan sulit dicari tandingannya. Tapi 

bagaimanapun juga, semua ilmu silat itu ada 

kelemahan-kelemahannya, yang seringkali tidak 

diketahui oleh pemiliknya. Orang yang jeli dan pintar, 

akan dapat melihat kelemahannya. Kau mengerti 

maksudku, Warak?" tanya Ki Wangas Pati setelah 

menjelaskan tentang jurus-jurusnya. 

"Mengerti, Guru."


"Bagus!" Ki Wangas Pati kembali mengangguk-

anggukan kepala. Tangannya masih membelai-belai 

jenggotnya yang panjang dan putih itu. "Seperti 

halnya dengan Mangkara, dia pun memiliki 

kelemahan-kelemahan. Siapa yang memiliki batu 

mustika...." 

Sampai di sini Ki Wangas Pati menghentikan 

ucapannya. Sepertinya dia baru saja menyadari 

ucapannya. 

"Mustika apakah, Guru?" tanya Warak Kendra 

pura-pura tak tahu. 

"Ah, tidak... tidak ada apa-apa. Sudahlah, kini kau 

latihan." 

Usai berkata begitu, Ki Wangas Pati segera 

melangkah meninggalkan tempat itu. Sekaligus 

meninggalkan rasa penasaran dalam diri Warak 

Kendra. 

Sementara, Warak Kendra memulai latihannya. 

Sebenarnya gerakan kaki dan tangan pemuda itu 

ketika berlatih hanya untuk menutupi niat sebenar-

nya. Maka setelah gurunya masuk ke dalam gubuk 

tempat mereka menetap, diam-diam Warak Kendra 

menguntit Ki Wangas Pati. Dia merasa yakin kalau 

gurunya akan melihat mustika itu. 

Dengan mengendap-endap, Warak Kendra pun 

mengintip dari luar. Dia ingin tahu apa yang sedang 

dikerjakan gurunya. 

Benar Juga, ternyata Ki Wangas Pati saat itu 

tengah mengambil sebuah kotak dari dalam tiang 

penyangga gubuk. Rupanya dalam tiang itu mustika 

Pengubah Raga disimpan, yang tentunya sengaja 

dibuat oleh Ki Wangas Pati agar kerahasiaan benda 

itu tidak diketahui orang lain 

Kotak kedi itu dipandangi sesaat. Kemudian



dibukanya perlahan. Seberkas sinar terang me-

mancar dari dalam kotak itu. Sinar merah menyala 

terang itu, rupanya keluar dari batu mustika di dalam 

kotak. 

Hm, rupanya di tempat itu si tua bangka 

menyimpannya. Pantas saja aku tak tahu. Tapi kini, 

aku akan mendapatkannya. Aku akan bisa menguasai 

kelelewar iblis merah itu. Bahkan aku akan menjadi 

orang yang sakti! Aku akan bisa mengubah diriku 

menjadi makhluk apa pun juga, seperti apa yang aku 

kehendaki! Warak Kendra bersorak girang dalam hati, 

melihat batu mustika yang diincarnya telah diketahui. 

Dengan tersenyum puas, pemuda itu kembali menuju 

ke tempat latihannya semula. Kemudian terdengar 

suaranya berteriak-teriak sambil memperagakan 

jurus-jurus kelelawarnya. 

"Hiaaa...!" 

Tangannya merentang lurus, kemudian ditarik ke 

atas. Dilanjutkan dengan kebatan keras ke depan 

dan belakang, lalu disusul dengan sentakan dan 

tebasan ke samping. Kedua kakinya menendang, 

menjadikan tubuhnya melayang laksana terbang. 

"Yeaaa...!" 

Tubuh pemuda Itu melayang, tangannya bergerak 

cepat mencengkeram ke arah pohon. Sedangkan 

kakinya menendang ke arah pohon di samping kanan 

dan kirinya. 

Crab! 

Jleg, jleg...! 

Akibat dari cengkeraman dan tendangannya 

sungguh dahsyat. Pohon-pohon yang menjadi 

sasarannya seketika berguguran daun-daunnya. 

Kemudian batang pohon itu mengering bagai 

terbakar.


"Hebat! Hebat..! Tak percuma aku mengangkatmu 

sebagai murid," puji Ki Wangas Pati sambil bertepuk 

tangan. Kemudian kakinya melangkah mendekati 

muridnya. 

Warak Kendra segera menekuk lututnya untuk 

menyembah. 

"Sudahlah, bangunlah... Tak perlu peradatan 

seperti itu. Aku bangga memiliki murid sepertimu, 

Warak. Dalam waktu cepat, kau telah dapat 

menguasai semua ilmu silatku. Hm, apakah masih 

kurang cukup ilmu silat yang kau dapat untuk mem-

balas dendam?" 

"Ampun, Guru.... Kalau Guru berkenan, biarlah 

saya untuk sehari dua hari di sini. Saya hendak 

berpikir dulu, ke arah mana saya melangkah," pinta 

Warak Kendra mengharap. Padahal sebenarnya ada 

niat lain di hatinya. Niat yang sangat keji. 

Ki Wangas Pati terdiam sambil mengangguk-

anggukkan kepala. Tangannya mengelus-elus jenggot-

nya yang putih. 

"Hm, baiklah," katanya dengan suara perlahan. 

"Oh, terima kasih, Guru," Warak Kendra kembali 

bersujud. 

"Sudahlah, bangunlah...," ajak Ki Wangas Pati 

sambil membantu muridnya bangun. "Kita istirahat 

dulu. Kau belum makan, bukan?" 

Warak Kendra tersenyum, lalu bersama sang Guru 

keduanya melangkah meninggalkan tempat itu. 

*** 

"Cuit, cuit..!" 

Di angkasa Hutan Wandar terdengar suara 

binatang keras mencuit, memekakkan telinga.


Membuat seorang pemuda tersentak dan men-

dongakkan kepala. Bibirnya nyengir ketika melihat 

binatang raksasa itu memandang ke arahnya. 

"Kelelawar edan itu lagi...," gumam pemuda 

tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila 

dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian 

pemuda yang tiada lain Sena Manggala atau 

Pendekar Gila dari Goa Setan itu kembali meng-

gumam, "Mau apa lagi binatang itu?" 

"Cuit, cuiiit..!" 

Di cakrawala, kelelawar merah raksasa itu 

berputar-putar sambil mengeluarkan suaranya yang 

memekakkan telinga. Kemudian tanpa diduga oleh 

Pendekar Gila, binatang itu tiba-tiba menukik ke 

arahnya. 

"Cuiiit..!" 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya dengan 

mulut nyengir, menyaksikan binatang raksasa yang 

ganas itu menukik ke arahnya. 

"Edan! Binatang edan itu rupanya hendak 

memangsaku!" maki Sena. Dengan cepat tubuhnya 

berkelit ke samping, mengelakkan serangan binatang 

ganas yang mengepakkan sayap ke arah kepala dan 

tubuhnya. 

"Cuit..!" 

Merasa serangannya gagal, binatang raksasa itu 

melesat kembali ke atas. Sayapnya yang lebar 

dikepakkan. Beberapa saat berputar-putar di atas, 

kemudian kembali menukik ke bawah. 

"Edan! Binatang ini benar-benar hendak melabrak-

ku!" Sena memekik sengit Dengan cepat tubuhnya 

kembali berkelit. "Uts...! Setan! Iblis...!" 

Sena memaki-maki kesal. Hampir saja tubuhnya 

menjadi sasaran labrakan kedua sayap binatang itu,


kalau saja dia tidak segera mengelakkannya. 

Brak! 

Kraaak...! 

Bummm! 

Pohon di samping Pendekar Gila menjadi sasaran 

dan seketika tumbang. Benar-benar kuat dan dahsyat 

kepakan dan hempasan sayap binatang raksasa itu. 

Sampai-sampai pohon yang cukup besar bisa 

tumbang. 

"Edan...!" makinya sambil berguling ke samping, 

mengelakkan tumbangan pohon. "Hampir saja tubuh-

ku ringsek! Setan...!" 

Tangan Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk 

kepala. Mulutnya masih nyengir dengan kepala 

menggeleng-geleng. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke 

angkasa setelah serangan susulannya gagal. Mata 

binatang itu kian tajam memandang Pendekar Gila 

yang masih merutuk sengit 

"Kurang ajar benar binatang laknat itu!" makinya 

sambil menggaruk-garuk kepala. "Baik! Kalau 

memang itu maumu, Binatang Iblis! Aku akan 

melayanimu! Nah, turunlah...!" 

"Cuit, cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah bagaikan mengerti 

tantangan Pendekar Gila. Pekikannya semakin meng-

gelegar. Matanya yang tajam laksana mengandung 

bara api dari neraka, menghunjam garang. Mulutnya 

menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tajam 

dan runcing. 

"Cuiiit..!" 

Binatang raksasa itu berputar-putar di udara. 

Sayapnya mengepak lebar, siap menyerang.


"Turunlah! Ha ha ha...! Rupanya kita akan main-

main, Sobat..," Sena tertawa sambil menggaruk-garuk 

kepala. Kemudian dipantatinya binatang itu. "Nih...!" 

"Cuit..!" 

Suara Kelelawar Ibhs Merah semakin keras. 

Sepertinya sangat marah sekali diledek begitu rupa 

oleh Pendekar Gila. Matanya semakin berkilat-kilat 

merah menyala. 

Setelah mengepak-ngepakkan sayapnya yang 

lebar, binatang itu kembali menukik, siap menyerang. 

"Bagus! Ha ha ha...! Kau benar-benar ingin main-

main denganku!" 

Pendekar Gila segera bergerak cepat, mengeluar-

kan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Tangannya ber-

gerak cepat untuk menyambut serangan binatang itu. 

Dari tangan Pendekar Gila, keluar gemuruh angin 

yang deras bergelombang. Angin itu menderu ke arah 

Kelelawar Iblis Merah. 

"Cuiiit..!" 

Binatang raksasa itu mencuit keras. Sayapnya 

digerak-gerakkan kian kemari. Nampaknya binatang, 

itu mengerti kalau pukulan lawan bukanlah pukulan 

sembarangan. Terbukti dia mampu menahan tubuh-

nya. 

Dahsyat sekali kepakan sayap Kelelawar Iblis 

Merah itu. Pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' 

seketika berantakan, tersapu oleh kepakan sayap 

binatang raksasa buas itu. 

"Cuiiit...!" 

Kini binatang buas itu telah bebas, sayapnya 

mengepak semakin keras. Kemudian dengan cepat 

binatang itu menukik ke arah Sena. 

"Celaka...! Binatang ini benar-benar bukan 

sembarangan binatang!" maki Sena. Segera tubuhnya


dilemparkan ke belakang, mengelakkan serangan 

kelelawar itu. 

Sayap Kelelawar Iblis Merah menderu keras, 

menghantam ke arah bawah. Beruntung Pendekar 

Gila telah mengelak jauh. Kalau tidak, tubuhnya pasti 

akan remuk. Dan dua pohon menjadi sasarannya. 

Brak! 

Kraaak...! 

Bummm! 

Dua batang pohon besar tumbang, menimbulkan 

suara yang berdebum. Dahsyat sekali akibat dari 

hempasan sayap binatang raksasa itu. 

"Edan!" maki Sena sambil cengengesan dengan 

tangan menggaruk-garuk kepala. "Tak kusangka 

serangan binatang itu begitu dahsyat!" 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, membubung 

tinggi ke angkasa, berputar-putar sesaat, lalu melesat 

meninggalkan tempat itu. Sepertinya binatang itu 

putus asa setelah serangan-serangannya tak berhasil. 

Sena menggaruk-garuk kepala sambil menggeleng-

geleng. Kemudian setelah memandang ke sekeliling-

nya yang berantakan akibat serangan binatang 

raksasa itu, Pendekar Gila pun melangkah pergi. 

***


LIMA


Malam merambahi permukaan bumi. Sepi menjadi 

mahkota malam yang gelap. Kabut halimun dingin 

berarak lambat, seperti gerak iring-iringan pengantar 

jenazah. Menciptakan suasana malam yang men-

cekam. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu, 

yang meningkahi suara binatang malam. 

Sesosok tubuh nampak mengendap-endap, keluar 

dari dalam kamar sebuah gubuk, tubuh itu bergerak 

menuju sebuah kamar lain. Sepertinya ada sesuatu 

yang hendak dilakukan orang itu di tengah malam 

begini. Kala sinar temaram lampu minyak kecil 

menerpa wajah orang itu, maka dapat diketahui siapa 

dia sebenarnya. Orang itu adalah Warak Kendra. 

Kepala Warak Kendra sejenak menoleh ke kanan 

dan kiri. Sepertinya dia berusaha membuktikan 

bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah 

yakin kalau Ki Wangas Pati telah tidur, kakinya 

kembali melangkah menuju ruangan yang tadi pagi 

dilihatnya. Ruangan di mana Ki Wangas Pati 

menyimpan mustika Pengubah Raga. Sebuah mustika 

sakti yang menjadi dambaan setiap orang rimba 

persilatan. 

"Syukurlah tua bangka itu telah tidur," gumam 

Warak Kendra perlahan. 

Kaki Warak Kendra terus melangkah hati-hati. Ilmu 

meringankan tubuhnya digunakan, agar jejakan kaki-

nya tidak terdengar oleh gurunya. 

Sesampainya di depan pintu ruangan yang dituju, 

kembali Warak Kendra menghentikan langkahnya.


Matanya kembali beredar ke sekeliling tempat itu, 

meyakinkan diri kalau tak ada seorang pun yang 

melihatnya. 

Warak Kendra tersenyum setelah merasa yakin 

kalau Ki Wangas Pati benar-benar telah tertidur. 

"Tua bangka itu benar-benar tidur pulas. Rupanya 

ilmu 'Sirep' yang kutaburkan sore tadi akhirnya 

mempan juga," gumam Warak Kendra dengan bibir 

menyunggingkan senyum. 

Perlahan-lahan tangan Warak Kendra membuka 

pintu ruangan itu, berusaha agar tidak terdengar 

suaranya. Kemudian matanya kembali menyapu ke 

sekelilingnya. 

"Sepi... Aku akan berhasil mendapatkan mustika 

itu! Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba 

persilatan!" desisnya girang. 

Dengan penuh keyakinan kalau dia akan dapat 

mendapatkan mustika Pengubah Raga, Warak 

Kendra segera masuk ke dalam ruangan itu. 

Ruangan itu sangat gelap. Tak ada penerangan, 

meski sebuah obor kecil pun. Mau tak mau Warak 

Kendra harus meraba-raba untuk mencari tiang yang 

menjadi tempat penyimpanan mustika itu. 

"Ini dia tiangnya," gumam Warak Kendra, setelah 

tangannya merasa menyentuh sesuatu. Kemudian 

dengan tetap meraba-raba, tangannya berusaha 

menemukan lubang penyimpanan mustika. Ditelusuri-

nya tiang itu dari atas ke bawah hingga kembali ke 

atas lagi. 

Sulit juga rupanya untuk mendapatkan mustika itu. 

Hampir semua permukaan tiang itu rata, seperti tak 

ada lubang. 

"Aneh, mengapa semuanya rata? Padahal tadi pagi 

kulihat sendiri mustika itu disimpan di tiang ini,"


gumam Warak Kendra sambil terus berusaha 

menemukan lubang di tiang tersebut. Namun belum 

juga ditemukannya. 

Warak Kendra benar-benar cemas dan hampir 

putus asa. Karena takut kalau-kalau Ki Wangas Pati 

mengetahui perbuatannya, dia semakin gugup. 

"Hm, bagaimana ini? Mungkinkah aku salah lihat?" 

tanyanya pada diri sendiri. "Ah, rasanya tidak. Tiang 

inilah tempatnya. Tapi di mananya?" 

Warak Kendra terus meraba-raba permukaan 

tiang. Tetap saja tak ditemukannya tanda-tanda 

tempat lubang penyimpanan itu. 

"Ah, aku baru ingat sekarang! Jalan satu-satunya 

untuk membuka lubang itu adalah dengan mengetuk-

ngetuk permukaan tiang ini." 

Dengan senyum mengembang di bibir, Warak 

Kendra pun mengetuk permukaan tiang dengan 

perlahan. Dimulai dari bawah, terus naik ke atas. 

Duk, duk...! 

Warak Kendra tersenyum. 

"Rupanya di sini tempatnya...." Kemudian dengan 

menggunakan tenaga dalam, ditotoknya permukaan 

tiang yang bunyinya lebih nyaring itu. 

Benar juga. Ternyata setelah permukaan tiang itu 

terkuak, di dalamnya terdapat kotak kecil tempat 

mustika itu tersimpan. Dengan tersenyum senang, 

diambilnya mustika Pengubah Raga itu. 

"Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba 

persilatan! Tak akan ada yang dapat mengalahkanku! 

Ha ha ha...!" 

Entah karena senang atau tak sadar, Warak 

Kendra tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Ki 

Wangas Pati yang tengah tidur tersentak kaget 

"Siapa itu...?!"


Ki Wangas Pati segera melompat bangun. 

Kemudian memburu ke arah kamar rahasianya. 

Brak! 

Terdengar suara bilik dijebol dari kamar rahasia-

nya, membuat Ki Wangas Pati bertambah cemas. Dia 

sudah menduga, tentunya orang yang membuat 

keributan kecil itu telah mencuri mustikanya. 

Dengan cepat Ki Wangas Pati memburu keluar. 

Terlihatlah sebuah bayangan berkelebat dari samping 

gubuknya. 

"Hai, berhenti...!" bentaknya. 

Orang yang tidak lain Warak Kendra itu berhenti. Di 

bibirnya tersungging senyum sinis. 

"Warak Kendra, kau...?!" Ki Wangas Pati kaget 

setelah mengetahui pencuri mustika Pengubah Raga 

itu. Matanya melotot marah. Sementara Warak 

Kendra tersenyum semakin sinis. 

"Ya, aku! Kini akulah pemilik mustika ini! Akulah 

yang akan menjadi orang nomor satu di rimba 

persilatan! Sedang kau tua bangka lebih pantas 

mampus! Heaaat..!" 

Usai berkata begitu, Warak Kendra meng-

hantamkan pukulan ke arah Ki Wangas Pati. 

Serangkum sinar berwarna kuning kebiru-biruan 

melesat ke arah tubuh orang tua yang cepat 

menghindar dengan mulut mencaci-maki. 

"Laknat..! Rupanya benar apa yang dikatakan 

Kidang Antikan! Kau benar-benar iblis! Menyesal aku 

menolongmu!" 

"Mengumpatlah sepuas hatimu, Tua Bangka! 

Puaskan hatimu, sebelum kukirim ke neraka! 

Hiaaat...!" 

Ki Wangas Pati sebenarnya tak akan takut 

menghadapi pemuda itu. Karena tingkat kepandaian


pemuda itu telah diketahuinya. Namun dengan 

mustika Pengubah Raga di tangannya, Warak Kendra 

bisa saja melakukan hal-hal yang sulit untuk ditang-

gulangi. 

Tubuh orang tua itu terus bergerak, mengelakkan 

serangan-serangan yang dilancarkan oleh Warak 

Kendra. Tangannya sesekali berusaha mengambil 

kembali kotak mustika yang ada di dalam pakaian 

Warak Kendra. Namun rupanya Warak Kendra tahu 

kalau lawan akan mengarahkan serangannya ke 

tempat itu. Dengan cepat Warak Kendra berkelit, lalu 

balas menyerang. 

"Hiaaat..!" 

Seberkas sinar kuning kebiru-biruan kembali 

melesat dari telapak tangan Warak Kendra, menderu 

ke arah Ki Wangas Pati yang tersentak. 

"Edan! Dari mana pula dia memiliki pukulan 'Wisa 

Welang'?" rutuk Ki Wangas Pati terkejut, setelah tahu 

pukulan apa yang baru saja dilontarkan oleh lawan. 

Orang tua itu berusaha sedapat mungkin meng-

elakkan serangan-serangan yang dilancarkan lawan-

nya. Tubuhnya melenting ke sana kemari. Sesekali 

dia pun membalas serangan lawannya. 

"Heaaa...!" 

Ki Wangas Pati balas memukul dengan pukulan 

sakti 'Wangas Geni'. Dari genggaman tangannya 

keluar seberkas sinar merah membara yang menderu 

ke arah Warak Kendra. 

Wussss! 

Warak Kendra tersentak kaget. Matanya mem-

belalak menyaksikan seberkas sinar yang menderu 

ke arahnya. Langkahnya mati. Tubuhnya tak mampu 

lagi mengelakkan pukulan itu. Akibatnya.... 

Desss!


"Aaakh...!" 

Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya 

terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa 

kematiannya telah dekat. Namun tiba-tiba diingatnya 

mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari 

balik jubah, diambilnya mustika itu dan langsung 

ditelannya. 

Tiba-tiba.... 

Crasss! 

Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan 

tubuhnya, seketika padam bagai tersedot kekuatan 

gaib. 

"Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-

bahak penuh kesombongan. 

Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksi-

kan kejadian itu. Dia amat tahu kesaktian mustika 

'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat 

mustika itu ditelan Warak Kendra, dia terkejut luar 

biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur. 

Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan 

sinar mata gentar. 

"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu! Aku 

Warak Kendra tak akan mundur! Ayo, keluarkan 

semua ilmumu...!" tantang Warak Kendra, sombong. 

Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari. 

Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas 

Pati. 

"Celaka! Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa 

pun tak akan mampu mengalahkannya!" desis Ki 

Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang 

telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki 

Wangas Pati tak mau menunjukkan keciutan nyalinya. 

Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali 

menyerang.


"Hiaaat..!" 

Seberkas sinar merah membara kembali melesat 

mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi tampaknya 

Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah 

pemuda yang telah menelan mustika sakti itu mem-

busungkan dada. 

Desss! 

Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati 

menghantam telak dada Warak Kendra. Namun.... 

Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benak-

nya tak mempercayai apa yang terjadi di depan 

matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik 

dengan cepat ke arahnya. Bahkan lebih cepat di-

bandingkan serangan tadi 

"Celaka...!" 

Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke 

samping, untuk mengelakkan serangan balik pukulan-

nya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api 

itu terus menderu. Kemudian menghantam gubuknya. 

Blarrr! 

Api seketika berkobar, menerangi malam dengan 

warna merahnya. Dalam sekejap, rumah itu telah 

menjadi api unggun raksasa. 

Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi 

menyaksikan tubuhnya mampu menahan pukulan 

sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat 

dikembalikan ke tuannya, sampai-sampai merepot-

kan orang tua itu. 

"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain?! 

Keluarkan semuanya...!" tantang Warak Kendra 

dengan nada pongah. 

Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak 

Kendra. Kini orang tua itu berupaya untuk mencari 

titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum


mampu menemukannya. 

"Mangkara...! Swuiiit..!" Ki Wangas Pati bersiul, 

memanggil kelelawar raksasa peliharaannya. 

"Cuiiit..!" 

Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar 

yang berada tak jauh dari kancah pertarungan. Tak 

lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah 

dengan mata nyalang. Suaranya memecah kesunyian 

malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara 

laksana amukan angin ribut 

"Bagus, kau segera datang, Mangkara! Serang 

dia...!" perintah Ki Wangas Pati pada binatang itu. 

Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan 

kepala, seperti mengerti perintah tuannya. Kemudian 

matanya yang merah laksana mengandung api, 

memandang ke arah Warak Kendra. 

"Cuiiit..!" 

Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian 

malam. Sayapnya dikepakkan lebar-lebar. Lalu tubuh-

nya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk 

beberapa saat, kemudian menukik untuk melancar-

kan serangan. 

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi mata-

nya yang tajam, tetap waspada pada serangan 

binatang raksasa itu. 

"Kau adalah abdiku! Aku tuanmu.... Kau harus 

menurut padaku! Serang dia...!" seru Warak Kendra 

dengan suara keras dan lantang. 

Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali 

benar sosok tuannya dari dulu, yaitu orang tua yang 

tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu 

menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat 

matanya terasa sakit. Itulah bukti bahwa pemuda itu 

pemilik mustika Pengubah Raga.


"Mangkara, jangan hiraukan...! Serang dia...!" 

Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi 

binatang peliharaannya. 

"Mangkara, kau harus turuti perintahku! Kalau kau 

membantah, maka kau akan kukembalikan ke asal-

mu!" ancam Warak Kendra. 

"Cuiiit...!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa 

ketakutan mendengar ancaman Warak Kendra. 

Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-

gelengkan dengan mulut mencuit keras. 

"Bagus! Rupanya kau mengerti! Nah, serang dan 

bunuh tua bangka itu...!" seru Warak Kendra. 

"Cuit...!" 

Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini meng-

angguk-angguk. Kemudian tatapannya beralih ke 

arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh. 

"Celaka...!" pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu 

hendak lari, namun tiba-tiba binatang buas itu telah 

menghadangnya. 

"Cuiiit…!" 

Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan 

kedua sayapnya yang keras dan tajam. Kalau Ki 

Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling, 

sudah pasti tubuhnya akan hancur! 

"Edan! Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi!" 

maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk 

mengelakkan sambaran dan kepakan sayap 

Kelelawar Iblis Merah. 

Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas 

itu melesat ke atas diiringi teriakan keras. Tubuhnya 

berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali 

menukik disertai pekikan membahana. 

"Cuiiit...!"


"Iblis!" 

Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan 

binatang itu. Tubuhnya berguling ke tanah. Kemudian 

dengan cepat tangannya memukul ke tubuh 

Kelelawar Iblis Merah. 

Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan 

menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat 

menyarangkan pukulan, dengan cepat Kelelawar Iblis 

Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke 

angkasa sehingga serangan Ki Wangas Pati luput. 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya 

bergerak semakin cepat. Kali ini kakinya tak tinggal 

diam, mencengkeram ke tubuh lawan. 

Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali 

lagi melepaskan pukulannya ke tubuh Kelelawar Iblis 

Merah. 

Bukkk! 

Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu 

bagai tak mengalami apa-apa. Serangannya malah 

semakin buas. 

"Edan! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis...!" 

rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan 

serangan-serangan binatang itu. 

"Ha ha ha...! Main-mainlah dengan Mangkara, Tua 

Bangka!" 

Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa 

terbahak-bahak menyaksikan orang tua itu pontang-

panting diserang binatang peliharaannya sendiri. 

"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka 

itu...!" 

"Cuit..!" 

Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti 

perintah tuannya yang baru. Didahului cuitan keras,


binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan 

deras menyerang kembali. Sayapnya menebas ke 

tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain 

melabrak kepala orang tua itu. 

Brat! 

Cras...! 

"Akh...!" 

Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan 

menyayat terlontar dari mulut K i Wangas Pati. 

Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas 

dari tubuh. Darah keluar deras dari pangkal tangan 

yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu 

berusaha lari dari tempat itu 

"Mangkara, habisi dia...!' seru Warak Kendra. 

"Cuiiit...!" 

Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu 

melesat cepat ke arah Ki Wangas Pati. Tidak lama 

kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua 

itu. 

"Aaa...!" 

"Ha ha ha...!" 

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya 

segera melesat ke arah lolongan kesakitan orang tua 

malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana 

kepala Ki Wangas Pati berlumuran darah. 

"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu 

di rimba persilatan! Ha ha ha...! Mangkara, ayo kita 

pergi...!" 

"Cuiiit...!" 

Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang 

baru. 

***


ENAM


Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan 

Ki Wangas Pati dengan Warak Kendra, Sena 

Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati 

keindahan malam. 

Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala 

tak berbatas, matanya menangkap bayangan yang 

melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu 

dirasanya pernah dikenal beberapa saat lalu. Sesaat 

kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa 

sebenarnya bayangan itu. 

"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-

kan kedua alisnya. 

Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, ber-

usaha mendekati wilayah terbang kelelawar itu. 

Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan 

Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba menghilang. Tapi dia 

tidak mengurungkan niat begitu saja. 

Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan 

sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-

kan. Dari jubah yang dikenakannya Sena dapat 

mengenali lelaki tua itu 

"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil meng-

garuk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa orang tua aneh 

ini? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?" 

Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati. 

Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala. 

Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat 

sesuatu. 

"Ah, aku ingat sekarang!" serunya tiba-tiba.


"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah? 

Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah mem-

bunuhnya." 

Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan 

mendadak keningnya ditepuk, seolah-olah benaknya 

ingat sesuatu kembali. 

"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah 

binatang peliharaan Ki Wangas Pati...?" gumamnya 

kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut 

kelelawar ganas itu dari tangannya?" 

Telapak tangan pemuda tampan itu menekan 

dada Ki Wangas Pati. 

"Masih berdenyut! Ah, masih hidup," ucapnya. 

Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan 

memijit-mijit beberapa bagian tubuh orang tua itu. 

Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang 

masih mengucurkan darah. 

Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki 

Wangas Pati tersadar. Matanya membuka dengan 

berat, laki memandang pemuda di sampingnya 

dengan tatapan sayu. 

"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah. 

"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya 

Sena sambil memangku kepala Ki Wangas Pati yang 

berlumur darah. 

"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan 

kelelawar itu.... Ah, dia...." 

Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan kata-

katanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang. 

Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah 

menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit. 

Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa 

bingung dengan kata-kata lelaki tua itu. Mulutnya 

nyengir, persis kera gila.


"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana 

mungkin ini bisa terjadi?" 

Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru 

jernih. Dengan tangan masih menggaruk-garuk 

kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu 

kembali bergumam.... 

"Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat 

berbahaya. Hm, apalagi kini di tangan orang lain. Dan 

dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu 

bukan orang baik-baik. Edan...! Bencana apa lagi yang 

akan melanda rimba persilatan?" 

Mata Sena masih memandangi langit. Tangan 

kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajah-

nya cengar-cengir tak karuan. 

"Dia...? Dia siapa?" 

Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud 

Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat sulit. Dia sama 

sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika 

sakti yang dikatakan Ki Wangas Pati. 

Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah 

melakukan pembunuhan keji terhadap Ki Wangas 

Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari 

Perguruan Belibis Putih. 

"Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu...!" 

"Ya! Mari kita tanyai!" 

Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih 

mendekat ke arah Sena yang masih menggaruk-garuk 

kepala dengan mulut cengengesan. 

"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti 

orang gila!" bentak salah seorang dari murid 

Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila 

dari kebingungannya. 

Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi 

besar dengan rambut digelung ke atas. Di tangan


orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis 

dengan rantai panjang. 

"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis 

Putih," sambut Pendekar Gila sambil cengengesan. 

Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala. 

"Ya! kami dari Perguruan Belibis Putih! Kami 

datang untuk menangkapmu!" bentak lelaki bertubuh 

tinggi besar itu 

"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerut-

kan kening. Kemudian dengan tangan menggaruk-

garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa, 

Sena kembali berkata, "Rasanya aku tak ada silang 

sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian 

hendak menangkapku?" 

"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui? 

Kau telah membunuh saudara seperguruan kami 

sebulan yang lalu! Untuk itulah, kami hendak 

menangkapmu!" 

Tawa Sena semakin meledak mendengar 

penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalah-

pahaman? Gumamnya dalam hati. Banyak sekali 

kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-

gelengkan, sementara tawanya masih terdengar. 

Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk 

kepala. 

"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak 

kenal kalian semua. Aku hanya mengenal perguruan 

kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa 

menuduhku begitu?" tanya Sena masih dengan 

kepala menggeleng-geleng. 

"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi 

tangan! Masih juga kau menutupi kekejianmu 

membantai saudara-saudara seperguruan kami 

sebulan lalu, ketika mereka mengejar seorang



saudara seperguruan kami yang berkhianat!" dengus 

lelaki tinggi besar yang bernama Perkolo. 

Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang 

masalah itu, semakin tergeiak-gelak. Kepalanya 

digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala. 

"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak 

mengenal orang yang menurut kalian telah kubunuh. 

Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis 

Putih. Itu saja. Dan perlu kalian ketahui, aku bukan Ki 

Wangas Pati!" 

Bertambah marah saja orang-orang Perguruan 

Belibis Putih mendengar penuturan Sena. Mereka 

menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung 

jawabnya. 

"Rupanya kau perlu diajar adat! Serang...!" perintah 

Perkolo sambil menggerakkan tangannya. 

Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera 

mengurung Pendekar Gila. Sementara Pendekar Gila 

hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah 

konyol. 

"Celaka! Benar-benar celaka! Bagaimana mungkin 

orang-orang dari aliran lurus memiliki sikap tidak 

terpuji begini?" 

"Bedebah! Jangan bawa-bawa aliran!" bentak 

Perkolo, gusar. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 

menggaruk-garuk kepala. Kepalanya digeleng-

gelengkan perlahan. 

"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat." 

"Diam! Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk 

kami bawa ke perguruan atau kami bunuh?!" 

Sena masih cengengesan. Tangannya kembali 

menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya


tampak tercenung, seperti tengah berpikir. 

"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya. 

"Bagus! Ikat dia...!" perintah Perkolo. 

Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera 

mendekati Sena yang diam, tapi masih cengengesan. 

Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila. 

"Ayo jalan!" bentak Perkolo. "Kau harus ber-

tanggung jawab di depan pemimpin kami!" 

Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi 

orang-orang Perguruan Belibis Putih. 

Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di 

lereng Gunung Pandalaras yang subur dengan 

hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan. 

Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih 

yang dipimpin oleh Ratih Puri. 

Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita 

duduk di atas kursi. Wajah wanita itu ditutupi cadar 

berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot 

mata wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya 

ramping dan tak begitu tinggi. Sedangkan kulitnya 

kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk 

bersila murid-murid Perguruan Belibis Putih. 

Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak 

melaporkan hasil tugasnya pada Ratih Puri. 

"Kau telah datang, Perkolo? Bagaimana hasilnya?" 

tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi. 

"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo 

seraya menjura. 

Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain 

putih itu menyipit mendengar laporan murid utama-

nya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati 

Perkolo. 

"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?" 

"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."


"Kau telah menangkapnya?" 

"Benar, Guru." 

"Bawa dia kemari!" perintah Ratih Puri. 

"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian 

berlalu meninggalkan ruangan itu. 

Ratih Puri masih mengerutkan kening dan 

menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum 

percaya dengan laporan murid utamanya itu. Bagai-

mana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-

anginan itu mudah ditangkap? Tanyanya dalam hati. 

Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan. 

Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan 

seekor kelelawar merah raksasa. Ah, rasanya tidak 

masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja. 

Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda 

tampan berpakaian rompi kulit ular. Mata Ketua 

Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak, 

kemudian memandang tajam pada Perkolo yang 

menjura padanya. 

"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati." 

"Perkolo...!" bentak Ratih Puri dengan keras. 

Matanya melotot tajam penuh amarah pada 

muridnya. "Apakah matamu buta?!" 

Perkolo kebingungan. Sesaat matanya me-

mandang Pendekar Gila yang masih cengengesan. 

"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki 

Wangas Pati." 

Mata Ratih Puri semakin membelalak marah 

mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian 

melangkah lebih dekat ke arah Perkolo. Dengan 

gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar 

itu. 

Plak! 

"Tolol...! Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau!


Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat 

kau tak tahu siapa dia?!" bentak Ratih Puri penuh 

kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala. 

Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam, 

mendadak tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat 

mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya. 

Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin 

tertawa keras. Menjadikan ruangan itu laksana 

diguncang gempa. 

"Ha ha ha...! Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi 

beringas kini pucat, Sobat?" celoteh Sena, membuat 

wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah 

penuh amarah. 

Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah 

tahu dan kenal siapa pemuda berpakaian rompi kulit 

ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah 

mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak 

untuk membuka tali yang mengikat tangan pendekar 

muda itu. 

"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-

ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri setelah 

melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuh-

nya membungkuk untuk menjura hormat. 

Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak 

terikat menggaruk-garuk kepala. 

"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang 

menjadikan manusia buta," ujar Sena sambil matanya 

mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan 

tertunduk. 

Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena 

melangkah seenaknya. Matanya memandang Ratih 

Puri yang tak berani menatap Sena karena malu. 

"Aku memang salah, mengapa harus berada di 

tempat itu. Tapi sebenarnya kedatanganku ke Hutan


Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas 

Pati," tutur Sena dengan mulut cengengesan. 

Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk 

kepala. "Sayang, orang yang hendak kujumpai 

ternyata telah tewas." 

Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan 

kesedihan. 

"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui 

orang tua yang bersifat angin-anginan itu?" tanya 

Ratih Puri hormat 

Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali 

tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar 

Iblis Merah?" 

"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri. 

"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati 

untuk mengendalikan binatang iblis itu?" 

"Tepat!" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali 

murung, menunjukkan kesedihan. "Sayang.... Rupa-

nya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam 

keadaan sekarat. Kepalanya retak, tangan kirinya 

buntung." 

Ratih Puri membelalakkan mata mendengar 

penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua 

berilmu tinggi itu bisa dikalahkan. Selama ini, hanya 

lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-

hadapinya. 

Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan 

Pendekar Gila yang melakukannya, jadi siapa yang 

membunuhnya? Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih 

itu dalam hati. 

"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan 

yang bisa menandingi ilmu Ki Wangas Pati. 

Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?"


tanya Ratih Puri masih belum yakin 

"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang 

tua itu sekarat. Tapi setelah kuingat-ingat, akhirnya 

aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang 

bisa mengalahkannya." 

Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-

anggukkan kepala. Dia pun membenarkan apa yang 

dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaan-

nya yang dapat mengalahkan orang tua angin-

anginan itu. 

"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai 

binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri lagi. 

"Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk 

kepala dengan tingkahnya yang aneh. "Padahal 

menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya 

seorang diri di Hutan Wandar." 

Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya 

tengah berpikir tentang keanehan itu. Kalau Ki 

Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar, 

rasanya tidak mungkin binatang piaraannya 

menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu 

patuh terhadap orang tua itu. 

"Ah, aku ingat...!" seru Ratih Puri, menyentakkan 

Sena dari keterpakuannya. "Hm, sungguh berbahaya 

kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya 

dia telah mendapatkan mustika Pengubah Raga..., 

sebab hanya dengan mustika itulah Kelelawar Iblis 

Merah dapat dikendalikan." 

"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena. 

"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang 

ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu sebabnya aku 

memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama 

menangkap Warak Kendra yang telah berkhianat dan 

yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas


Pati." 

"Celaka…!" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi 

yang akan melanda rimba persilatan?" 

"Kita harus mencegahnya! Jangan sampai kedua 

iblis itu membuat petaka," desis Ratih Puri dengan 

mata menyipit. 

"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku 

harus segera mencegahnya," ucap Sena. 

Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu 

menjura. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat dari 

tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah 

menghilang. 

Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak 

lebar. Hanya Ratih Puri saja yang kelihatannya 

tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Ck ck ck...! Benar-benar luar biasa! Pendekar Gila 

dengan ilmu yang gila!" 

"Jadi...!" Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar, 

setelah mendengar siapa pemuda bertampang gila 

tadi. 

"Ya! Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas 

Ratih Puri. "Beruntung dia tidak marah." 

Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk. 

"Perketat pengamanan! Tentunya murid murtad itu 

akan melakukan pembalasan...!" perintah Ratih Puri. 

"Baik, Guru...!" sahut semua muridnya. 

***


TUJUH


Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus 

tenang yang membelah hutan. Jubah berwarna merah 

darah yang dikenakannya dipermainkan angin, 

seperti juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya 

diikat kain berwarna merah pula. Sementara di 

atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa 

yang juga berwarna merah. Paduan warna merah itu, 

membuat keduanya terlihat angker dan garang, 

seangker kobaran api neraka. 

Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama 

Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-

nya karena tuah mustika Pengubah Raga. 

"Mangkara, sebelum aku bertemu dengan 

Pendekar Gila, rasanya aku belum puas," kata Warak 

Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan 

dendam. 

"Cuit..!" 

Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu 

seperti memahami hasrat tuannya. Kepalanya 

diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-

bangkan laki dikepak-kepakkan. 

"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah 

orang yang paling sakti di rimba persilatan! Ha ha 

ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai 

tubuhnya berguncang-guncang. 

"Cuit, cuiiit..!" 

Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di 

atasnya kembali mencuit dengan keras, mengembangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya. 

Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menye-

ringai, menunjukkan taring-taringnya yang panjang 

dan runcing. 

Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak. 

Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya 

tajam mengawasi sekelilingnya. 

"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari 

kedai?" tanya Warak Kendra pada Kelelawar Iblis 

Merah. 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras. 

Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan 

menyetujui rencana tuannya. 

"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya 

kau pun lapar, bukan...?" 

"Cuit..!" 

Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai 

Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan 

membentang dari selatan ke utara. Belum jauh 

mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang 

berlari dari arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan 

segera menghentikan langkah. Pendengarannya 

dipasang tajam-tajam. 

"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga, 

Mangkara." 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari 

sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya 

mengangguk-angguk, seolah-olah membenarkan 

ucapan tuannya. 

"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah 

Warak Kendra. 

Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya


melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai 

raja langit Kepalanya ditundukkan ke bawah, 

matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya. 

"Cuit, cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayap-

nya dipercepat. Setelah berputar-putar beberapa kari 

di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang 

semakin melengking. 

"Cuiiit...!" 

Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik, 

namun bukan ke arah Warak Kendra. Melainkan 

masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik 

rimbunan pepohonan. 

Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya 

menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya 

terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh 

suara pekikan kematian. 

Prak! 

"Akh...!" 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke 

angkasa, di kedua kakinya tercengkeram seorang 

lelaki dengan kepala pecah. 

"Bagus...! Kau memang abdiku yang setia, 

Mangkara...!" seru Warak Kendra senang. Kekejian itu 

dianggapnya sekadar hiburan ringan. 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar 

beberapa kali dengan kaki masih mencengkeram 

korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepala-

nya mengangguk-angguk. Sepertinya Kelelawar Iblis 

Merah yang bernama Mangkara itu tengah mem-

beritahukan sesuatu pada Warak Kendra. 

"Ya, aku mengerti! Mereka memang banyak dan

tengah menuju kemari...!" seru Warak Kendra. 

Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa 

terbahak-bahak. Rupanya dia tak memandang 

sebelah mata pun pada orang-orang yang akan 

datang untuk menyerangnya. 

"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk, 

Mangkara...!" serunya kembali dengan nada pongah. 

Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah 

itu memang benar. Tidak lama kemudian, dari dalam 

hutan muncul puluhan orang dengan pedang 

terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala 

botak bernama Kerto Mandra yang pernah bertarung 

melawan Pendekar Gila. 

"Ha ha ha...! Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk 

yang datang...," seloroh Warak Kendra untuk 

merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-

dengus marah. 

"Iblis...! Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga! 

Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap 

mengejarmu!" 

Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar 

ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis 

menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah 

Kerto Mandra lekat-lekat. 

"Kecoa tolol...! Seharusnya kau bersembunyi, kalau 

kau masih ingin hidup! Tapi rupanya kau nekat! 

Katakan, siapa namamu?! Sebelum nyawa kecoamu 

kukirim ke neraka!" 

"Sombong!" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira 

semudah itu kau membunuhku! Mungkin nyawa 

iblismulah yang akan kukirim ke neraka! Seraaang...!" 

Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan 

orang bertelanjang dada seketika menghambur. 

Pedang di tangan mereka berkelebat cepat,


membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra. 

Serangan mematikan yang cepat itu tidak mem-

buat Warak Kendra gugup. Malah dengan tertawa 

keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi 

serangan mereka. 

"Rupanya kalian mencari mampus! Heaaat...!" 

"Yeaaah...!" 

Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak 

menghadang serangan lawan-lawannya yang ber-

jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus, 

kemudian diangkat tinggi-tinggi. Diteruskan dengan 

gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak 

mau diam, bergerak menendang ke belakang dan 

depan. Itulah jurus 'Kelelawar Merentang Sayap 

Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang 

dahsyat 

"Heaaa...!" 

"Remuk tubuhmu...! Yeaaa...!" 

Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus 

dahsyat mematikan. Tangan kanannya menghantam 

ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan 

kirinya memukul kepala lawan yang di samping kiri. 

Kedua kakinya menendang ke dada lawan di 

belakang dan samping kanannya sekaligus. 

Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra 

sangat cepat, membuat lawan-lawan yang dijadikan 

sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa 

ampun lagi, empat orang lawan harus menerima 

serangan mematikan itu. 

Dukkk! 

Desss! 

"Aaakh...!" 

Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan. 

Seorang korban melolong dengan dada terbakar.


Sedangkan yang lainnya mengalami nasib 

mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol 

oleh tendangan kaki Warak Kendra. Sementara 

seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur 

dari mulutnya. Kemudian mereka ambruk tanpa 

nyawa. 

Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat 

teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja. 

Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan 

tegang ke arah Warak Kendra yang tertawa tergelak-

gelak. 

"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa 

busuk yang tiada arti!" ucap Warak Kendra sombong, 

membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke 

ubun-ubun. 

"Phuih...! Sombong...! Jangan kau kira kami takut! 

Serang dan cincang dia...!" perintah Kerto Mandra 

sambil melambaikan tangan. 

Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak 

mengepung. Pedang di tangan mereka teracung, siap 

menunggu perintah selanjutnya 

Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak 

Kendra kembali tertawa bergelak gelak. 

"Rupanya kalian benar-benar mencari mampus!" 

Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali meng-

gerakkan tangan dan kakinya. Tangan kanannya 

diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar. 

Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan 

telapak tangan di depan wajah. Kakinya dibuka 

sedemikian rupa. 

"Seraaang...!" Kerto Mandra kembali berseru. 

"Heaaa...!" 

"Cincang tubuhnya...!" 

Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak


Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah 

merah itu. Namun dengan cepat Warak Kendra 

memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang 

semula lurus di atas, kini mencakar ke arah wajah 

lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan kirinya 

ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak 

tangan menghajar lawan sebelah kiri. Kakinya 

menendang ke depan dan menyepak ke belakang. 

Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat, 

membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran 

kembali harus menerima pukulan dan tendangannya. 

Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan 

tusukan pedang dengan cara meliuk dan melenting. 

"Hiaaa...!" 

Degk! 

Crat! 

"Wuaaa...!" 

Empat orang memekik keras. Tubuh mereka 

ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban 

kesadisan serangan yang dilancarkan Warak Kendra. 

*** 

Pertarungan semakin seru. Nampaknya orang-

orang Kerto Mandra kini benar-benar nekat. 

Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka 

gentar. Bahkan mereka nampak semakin beringas. 

Serangan-serangan mereka semakin garang dan 

penuh nafsu membunuh. 

Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta, 

tidak pernah membuat Warak Kendra bingung. 

Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu 

memanfaatkan lawan-lawannya. 

"Cuiiit..!"


Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah 

lama menghilang. Rupanya Mangkara telah 

menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua 

kakinya. Setelah kenyang, kini Mangkara kembali 

menemui majikannya. 

"Awas...! Kelelawar itu jauh lebih buas...! Kita bagi 

dua...!" seru Kerto Mandra ketika melihat kelelawar 

itu. 

Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto 

Mandra yang jumlahnya puluhan itu menjadi dua 

kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis 

Merah, sedangkan yang separoh lain berusaha terus 

menyerang Warak Kendra. 

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat 

melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah. 

"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu! 

Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini...!" 

seru Warak Kendra. 

"Cuiiit...!" 

Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah 

tuannya. Dengan mengeluarkan cuitan keras, 

binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-

putar di udara beberapa saat, lalu menukik untuk 

menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan 

kedua sayapnya. 

"Cuiiit..!" 

"Awas!" 

Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha 

mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang 

Iblis itu. Mereka serentak merunduk, kemudian 

membalas dengan tebasan dan tusukan pedang. 

Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti. 

Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya, 

tubuhnya telah melesat ke udara.


"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali mengepak-

ngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat. 

Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan 

sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya yang 

mampu mengeluarkan angin besar. 

Wusss! 

Prak! 

Cras...! 

Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap 

Kelelawar Iblis Merah. Seorang dengan wajah 

tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala 

pecah, terpukul kepakan sayap. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke 

angkasa, setelah melakukan serangan. Kemudian 

setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya 

menukik kembali untuk menyerang. 

"Awas...!" 

"Serang...!" 

Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa 

memperhitungkan baik buruknya, mereka berusaha 

merangsek kelelawar raksasa itu. 

"Yeaaa...!" 

"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis...!" 

Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar 

Iblis Merah bagai mengerti. Secepat kilat tubuhnya 

melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos, 

Mangkara menyerang kembali dengan sabetan dan 

kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawan-lawannya 

yang belum siap harus menerima kenyataan pahit, 

terbabat dan terhantam sayap Mangkara. 

Cras! 

Prak!


Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-

menyusul dari mulut mereka. Kemudian tubuh 

mereka ambruk tanpa nyawa. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan 

darah yang keluar dari tubuh korbannya. Binatang 

iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian 

kemari. Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan 

pekikan kematian dari mulut lawan. 

Dalam sekejap saja, korban pun banyak ber-

jatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan. 

Wajah mereka tergores menyilang dengan darah 

meleleh. Ada pula yang kepalanya pecah dan tangan 

buntung. 

Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan 

segera berakhir. Terlebih Kelelawar Iblis Merah 

tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun 

lolos. Ke mana lawan pergi, kelelawar itu mem-

burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra 

yang putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai 

pengecut, lebih baik mati dalam menghadapi 

makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas 

itu, ada kemungkinan mereka dapat mengalah-

kannya. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras. 

Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini 

kembali menukik. Lalu dengan deras sayapnya 

menghantam lawan. 

"Aaa...!" 

Kembali pekikan kematian terdengar, disusul 

ambruknya beberapa korban. Semakin banyak darah 

yang membasahi sayapnya, semakin buas saja 

Kelelawar Iblis Merah. Matanya yang laksana api,


kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya 

yang menyerang. Mulutnya yang bertaring runcing pun 

turut ambil bagian. 

Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi. 

Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga 

orang, di antaranya Kerto Mandra sendiri. 

"Mangkara...! Bawa orang ini ke angkasa, lalu 

buang ke laut..!" seru Warak Kendra sambil menunjuk 

Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya 

bergerak menyerang dua lawan lain. Serangan cepat 

itu tak mampu dielakkan oleh kedua lawannya. 

Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban 

serangan ganas Warak Kendra. 

"Cuiiit..!" 

Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram 

tubuhnya, Kerto Mandra yang sengaja dibiarkan 

hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan 

muka pucat dia bermaksud melarikan diri. 

"Ha ha ha...! Kejar dia, Mangkara!" perintah Warak 

Kendra sambil tertawa tawa. 

"Cuiiitt...!" 

Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram 

kaki Mangkara. 

"Tidak...! Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra 

berusaha memohon pengampunan. 

Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangan-

nya digerakkan, menyuruh Kelelawar Iblis Merah 

membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu. 

"Ha ha ha...! Mangkara, kutunggu kau...!" 

Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto 

Mandra ke udara, melesat menuju selatan. 

Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa, 

meneruskan langkahnya.


DELAPAN


"Tolong…! Tolooong...!" 

Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak 

meminta tolong. Saat itu Sena Manggala tengah 

duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan 

sambil meniup Suling Naga Saktinya dan berdendang. 

Dia terkejut mendengar lolongan memelas di 

angkasa. Setelah menghentikan tiupan suling, 

kepalanya mendongak kian kemari dengan kening 

berkerut Matanya yang tajam mengawasi ke 

sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk 

kepala. Tingkahnya persis orang bodoh, dengan mulut 

ternganga mencari asal suara itu. 

"Heh, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah 

tadi telingaku mendengar suara orang meminta 

tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk 

kepala. Matanya terus mencari ke setiap jurusan. 

Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak 

tadi. 

"Tolooong...!" 

Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas 

telinga Sena menangkap jeritan itu, tapi saat 

kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang 

menjerit itu tak ditemukannya juga. Tangannya 

kembali menggaruk-garuk kepala. 

"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam. 

"Cuiiit..!" 

Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena. 

Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa 

kagetnya Pendekar Gila, setelah mengetahui kalau 

orang yang berteriak minta tolong berada dalam


cengkeraman kaki binatang iblis itu. 

"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu 

kembali membuat keonaran! Hm, tentunya Warak 

Kendra berada di sekitar tempat ini! Baik, aku akan 

mengikuti binatang itu..." 

Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya, 

kemudian dengan ilmu meringankan tubuh, dia 

melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang. 

"Cuiiit...!" 

Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di 

kakinya tercengkeram Kerto Mandra yang meronta-

ronta dengan wajah pucat pasi 

"Tolong...! Tolooong...!" Kerto Mandra yang semula 

gagah berani, kini tak lebih dari seorang lelaki yang 

takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan 

ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai 

kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya menggigil 

gemetaran. 

Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan 

cepat. Segenap ilmu larinya dikerahkan, berusaha 

menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto 

Mandra. 

"Edan! Jika dibiarkan, korban akan semakin 

banyak! Tentunya Warak Kendra akan mengumbar 

nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan. 

Celaka...!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala 

dan tetap berlari. 

Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih 

terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di 

depan. 

"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena 

masih terus berlari. Dia berusaha mempercepat ilmu 

larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan 

Kerto Mandra dan cuitan binatang itu tetap semakin


jauh. 

Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang 

itu untuk berlomba dalam hal kecepatan. Kemudian 

dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila 

mengerahkan tenaga dalam untuk mempercepat 

larinya. 

"Yeaaa...!" 

Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin. 

Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput. 

Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari 

tingkat tinggi 'Sapta Bayu'. 

Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh 

Pendekar Gila melesat laksana tujuh kekuatan angin. 

Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam 

sekejap saja, dia telah mampu menyusul binatang itu. 

"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?" 

dengus Pendekar Gila. 

Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget. 

Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya 

telah terbentang lautan lepas. 

"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu 

dengan membawa manusia botak ke tengah tautan?" 

gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis 

Merah yang masih terus terbang membawa tubuh Ke-

to Mandra ke tengah lautan 

Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya 

nyengir, kemudian dengan gelak tawa kakinya 

melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara, 

tubuhnya melompat ke lautan 

"Yeaaa...!" 

Kembali Pendekar Gila mengerahkan 

kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air, 

dengan cepat Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke 

depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya


pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di 

permukaan air tanpa tenggelam! 

Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil 

menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti 

orang gila, semakin lucu dengan berlari di atas air. 

"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu 

dengan membawa manusia botak ke tengah lautan? 

Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu....



"Yeaaa...!" Pendekar Gila mengerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Maka, 

tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut 

dan mengejar Kelelawar Iblis Merah! 

"Ha ha ha...! Enak juga lari di atas air," katanya 

sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sedangkan 

matanya terus mengawasi binatang Iblis yang 

membawa tubuh Kerto Mandra. 

"Tolooong...!" 

Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar 

Iblis Merah melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya 

yang gemuk itu langsung melayang ke bawah. 

"Aaa... Tolooong...!" 

Byurrr! 

Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar 

tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang 

iblis itu berputar-putar di angkasa, kemudian kembali 

melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang 

tengah berjuang mempertahankan selembar 

nyawanya. 

*** 

Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya 

memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu 

terbang. 

"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku 

akan ke sana. Tentunya manusia botak itu tahu, ke 

mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena. 

"Tolooong...!" 

Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul 

tenggelam di permukaan samudera yang hendak 

menelannya hidup-hidup.


Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar 

Gila yang memiliki jiwa pendekar berusaha me-

nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo 

Edan. 'Seorang pendekar, akan berusaha menolong 

yang lemah. Walau musuh sekalipun!' 

Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas, 

dengan cepat Pendekar Gila menangkapnya. Lalu 

dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya 

tangan itu. 

"Yeaaat..!" 

Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air, 

seketika tertarik ke atas. 

"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong 

nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya saya akan mati," 

kata Kerto Mandra dengan napas tersengal. 

"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan. 

Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan 

Pendekar...." 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan 

kirinya yang tidak memegangi tangan Kerto Mandra 

menggaruk-garuk kepala. 

"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya. 

Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu 

yang dalam kesusahan. Sekarang, berpeganglah 

pada tanganku," ucap Sena kemudian. 

Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan 

Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal 

itu membuat mata Kerto Mandra melotot heran 

bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu. 

Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di 

atas air tanpa tenggelam! 

"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto 

Mandra. 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar


pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu. 

Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan 

masih tersenyum berkata, 

"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?" 

"Tapi, Tuan..." 

"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang 

pasti, kau harus selamat Hyang Widhi belum 

mengizinkan kau mati." 

Usai berkata begitu, dengan tawa yang meng-

gelegar Pendekar Gila kian mempercepat larinya. 

Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut 

Tidak lama kemudian, keduanya sampai di pesisir. 

"Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana 

perginya Warak Kendra dengan Kelelawar Iblis Merah 

itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut 

itu mengatur napas dan melemaskan otot-ototnya. 

"Ya! Kudengar mereka hendak ke Perguruan 

Belibis Putih," jawab Kerto Mandra. 

"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan 

tersenyum, tangannya menggaruk-garuk kepala. 

"Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas." 

"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu 

bukan membalas dendam," sahut Kerto Mandra, 

membuat Sena mengerutkan kening. 

"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?" 

"Ya." 

"Maukah kau menceritakan semua yang kau 

ketahui, Ki?" pinta Sena. 

"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah 

tadi sudah saya katakan, bahwa sejak saat ini saya 

akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya 

hadapi, jiwa raga saya akan saya serahkan pada 

Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh. 

Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk


kepala. 

"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu. 

Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak 

terjang Kelelawar Iblis Merah. Dan ini yang harus kita 

pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui" 

Kerto Mandra menghela napas. Matanya 

memandang ke lautan yang membentang di hadapan-

nya. Kalau saja pendekar muda di hadapannya tak 

menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan 

penghuni lautan itu sebabnya, meski pendekar muda 

itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra berjanji 

akan mengabdi pada pendekar muda yang ber-

tampang gila itu 

Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada 

henti menggaruk-garuk kepala, membuat Kerto 

Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya 

adalah pendekar yang namanya belakangan ini 

tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski 

ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak 

sedikit pun menggambarkan kesombongan. 

"Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah 

saya ketahui, bolehkah saya mengajukan satu 

pertanyaan?" tanya Kerto Mandra. 

"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab. 

Katakanlah." 

"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai 

Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra dengan sinar 

mata kekaguman. 

"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya 

aku yang masih bodoh ini dengan sebutan yang 

terlalu besar itu..." 

Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya 

memandang nanar ke laut lepas. 

"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang


bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-

besarkan orang saja." 

"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di 

hadapan Sena. "Ampunilah semua kesalahan saya, 

Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat 

bertemu dengan Tuan." 

"Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak 

kusenangi dengan nama besar. Aku bukan dewa, tak 

sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah 

kau hendak menceritakan segala sesuatu yang kau 

ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?" 

Kerto Mandra kemudian menceritakan segala 

sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia 

menyelidiki tentang gegernya Kelelawar Iblis Merah 

yang sering memakan korban, sampai bentrokan 

dengan Warak Kendra. 

"Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya 

memiliki satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu 

di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para 

pendekar. Dia belum puas dan belum bisa 

menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di 

rimba persilatan, sebelum mengalahkan Tuan. Dan 

dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra 

mengakhiri ceritanya. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar 

penuturan Kerto Mandra. Tingkahnya yang seperti 

orang gila, semakin membuat Kerto Mandra ber-

tambah yakin tentang jati diri pendekar muda itu. 

Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat 

tubuh Sena bergerak seperti seekor monyet sambil 

menggaruk-garuk kepala. 

Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda 

bertingkah gila itu bukan pemuda sembarangan. 

Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah


sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegelian-

nya menyaksikan tingkah aneh Sena. 

"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil 

menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih 

menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi 

orang nomor satu di rimba persilatan harus 

mengalahkan aku? Apalah artinya aku...? Ha ha ha...! 

Bagaimana menurutmu, Ki?" 

Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia 

tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki gemuk itu 

hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena 

kembali tertawa, dan bertingkah seperti seekor 

monyet 

"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi 

mencari kawan. Bahkan kalau mungkin, lawan diajak 

untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum 

seberapa dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi. 

Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena. 

Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata. 

Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan. 

Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto 

Mandra dalam hati, mengingat segala perbuatannya 

selama ini. 

Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar 

muda itu memiliki jiwa yang luhur. Mulanya dia 

menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-

benar gila. Tak memiliki akal dan budi pekerti yang 

luhur. 

"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri 

atau pemuas dendam. Namun kita bertempur untuk 

membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab 

semua itu adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena 

menambahkan 

"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar


Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku 

selama ini. Tak tahu gunung menjulang, tak men-

dengar badai berhembus." 

"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka. 

Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak 

yang mesti kita lakukan," tukas Sena menyadarkan 

Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya. 

"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke 

Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra. 

"Tentunya dua Iblis itu telah ke sana." 

"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha 

melampiaskan nafsu angkara murkanya. Apakah kau 

telah siap, Ki?" tanya Sena. 

"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus 

semua dosa dan kepicikanku selama ini." 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan 

ucapan Kerto Mandra lucu. Tingkahnya kembali 

seperti orang gila. 

"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya 

tanpa dapat dimengerti oleh Kerto Mandra. Apa 

hubungannya antara malam dengan bencana yang 

melanda rimba persilatan dengan munculnya 

Kelelawar Iblis Merah? Pikirnya dalam hati. 

"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan 

datang menerangi bumi ini?" lanjut Sena. 

Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama 

sekali tidak mengerti kata-kata Sena. 

"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya 

meninggalkan pesisir selatan, melangkah ke utara di 

mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak 

Laut Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan 

gemuruh angin dan tembang camar di angkasa. 

***


SEMBILAN


Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa 

Perguruan Belibis Putih terdengar suara cuitan 

memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan 

semua penghuni bangunan Perguruan Belibis Putih 

tersentak. Yang telah terbuai mimpi, terperanjat 

bangun. 

"Kelelawar iblis itu telah datang...!" seru salah 

seorang murid Perguruan Belibis Putih, menyentak-

kan penghuni perguruan. 

"Siap pada tempat masing-masing...!" perintah 

salah seorang murid utama. 

Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan 

masing-masing. Rupanya penyambutan kedatangan 

Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-

matang. 

"Cuiiit..!" 

Prak! 

Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur, 

terhantam sayap kelelawar raksasa itu. Puing-

puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beter-

bangan, laksana tersapu angin topan. 

Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid 

Perguruan Belibis Putih yang berada di bangunan 

utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri. 

"Tenang...! Semua harus tenang...!" terdengar 

seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan Belibis Putih. 

"Cuit...!" 

Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,


lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng 

bangunan utama. Disusul oleh sabetan sayapnya 

yang menghantam bangunan itu. 

Brak! 

Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak 

tawa membahana. Disusul dengan kehadiran seorang 

lelaki muda berjubah merah. 

"Ha ha ha...! Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan 

mau menjadi istriku! Kalau tidak, semua murid dan 

perguruanmu akan kuhancurkan...!" ancam Warak 

Kendra. Kemudian tangannya bergerak meluncurkan 

selarik pukulan ke bangunan utama. 

Wusss! 

Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat 

menuju bangunan utama. Dan sebuah ledakan 

dahsyat pun tercipta. 

Glarrr! 

Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksi-

kan keadaan di tempat itu. 

"Serbuuu...!" 

Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat 

puluhan anak panah menghujani tubuh Warak 

Kendra. 

Swing! Swing...! 

"Ha ha ha...! Jangan kalian kira akan semudah itu 

mengalahkanku! Hiaaa...!" 

Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-

anak panah, Warak Kendra mengirimkan pukulan ke 

arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-

pekikan kematian dari balik pepohonan yang rimbun. 

"Mangkara, hancurkan semuanya...!" perintah 

Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah. 

"Cuiiit..!" 

Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah


tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian 

menukik ke bawah. Lalu kedua sayapnya dihantam-

kan ke arah bangunan perguruan. 

Brak! 

Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu 

penyangganya berhamburan. 

"Seraaang...!" 

Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat 

dari persembunyiannya. Dengan pedang terhunus, 

mereka serentak menyerang Warak Kendra. 

"Bagus! Kalian memang harus mampus! Heaaat..!" 

Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk 

menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut. 

Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu. 

Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul. 

Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus meng-

hantamkan kedua sayapnya ke arah bangunan. 

Membuat bangunan utama hancur berantakan. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian 

melesat menyentakkan kedua sayapnya ke arah 

bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih 

semakin dibuat porak-poranda. 

"Cuiiit..!" 

Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat 

terbang, lalu berputar-putar di angkasa. Kemudian 

dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu 

kembali melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar 

merah menyala menderu dari luar perguruan ke 

arahnya. 

Wusss! 

"Cuit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik keras, 

ketika melihat pukulan yang dilontarkan seseorang. 

Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke


angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil 

mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya 

kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari 

ke arah perguruan. 

"Mangkara, ada apa...?!" tanya Warak Kendra 

ketika menyaksikan binatang piaraannya berhenti 

menyerang. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya 

digerak-gerakkan. Tampaknya binatang itu hendak 

mengatakan sesuatu. 

Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang 

telah terjadi, tiba-tiba dari luar pagar perguruan 

melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda 

berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi 

bertubuh gemuk dengan kepala botak bertelanjang 

dada. 

"Ha ha ha...! Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah 

ada pesta. Mengapa kita tidak diundang?" seloroh 

pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain 

Pendekar Gila 

Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri 

melompat keluar dari dalam bangunan. Lain halnya 

dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah 

menyeringai. 

"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini! 

Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian 

mulutnya kembali mengumbar tawa menggelegar. 

Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan 

lebih keras. Tangannya menggaruk-garuk kepala. 

Tingkahnya persis seekor kera 

"Ha ha ha...! Kisanak, kalau memang hendak 

mengadakan pesta, mengapa tidak mengundang 

kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu.


"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam 

hidupmu! Bersiaplah untuk mampus!" ancam Warak 

Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan 

Pendekar Gila. 

"Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di 

sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak. Kau bukan 

Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup 

matinya seseorang? Ha ha ha...!" 

"Bedebah! Aku akan membuktikannya, Pendekar 

Gila! Mangkara, habisi dia...!" 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara. 

Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya 

melesat dengan sayap mengepak siap menyerang. 

"Minggirlah! Kalian bantu mereka...!" ujar Sena 

seraya mendorong tubuh Ratih Puri dan Kerto 

Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya. 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya 

berjarak satu tombak dari Pendekar Gila. Kedua 

sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara 

Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan 

cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah 

binatang itu. 

"Heaaa...!" 

Begkh! 

Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh 

binatang itu. Namun pukulan itu bagai tak berarti. 

Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa 

tombak ke belakang. Bahkan binatang iblis itu 

semakin bertambah beringas. 

"Cuittt..!" 

Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke 

angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk



melancarkan serangan susulan. 

"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada 

artinya?!" desis Sena. Kembali tubuhnya berkelebat 

mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas 

itu. 

Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar 

Iblis Merah, Pendekar Gila menghantamkan pukulan 

'Si Gila Membelah Awan'. 

"Heaaat..!" 

Debbb! 

Telak sekali pukulan itu menghantam dada 

Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata 

Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu 

ternyata tak mempan oleh pukulan 'Si Gila Membelah 

Awan'. 

Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah 

berputar sesaat di udara, tubuhnya kembali meluncur 

ke arah Pendekar Gila. 

"Cuiiit..!" 

"Heaaa...!" tubuh Pendekar Gila kali ini turut 

melesat, berusaha memapak serangan binatang itu. 

Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu 

menukik dengan kedua sayap siap menyerang, 

sedangkan yang lain melesat naik dengan jurus 

saktinya. 

"Cuittt..!" 

'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat..!" 

Darrr! 

Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar 

Gila bertemu dengan sayap Kelelawar Iblis Merah, 

tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah, 

sedangkan binatang itu bagai tak mengalami sesuatu 

apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan 

Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus


gila. 

"Uhk...!" Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan! 

Binatang itu benar-benar setan!" 

Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu 

telah menukik kembali, siap menghancurkan tubuh-

nya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit 

kontan terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit. 

Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis 

Merah itu dengan pukulan saktinya. Pukulan tingkat 

tinggi yang menjadi salah satu andalannya. 

"Pukulan 'Inti Bayu'...! Heaaa...!" 

Angin seketika keluar bergulung-gulung dari 

telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara, 

tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan. 

Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan 

pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak 

mengalami kesulitan berarti. Bahkan kini sayapnya 

dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan 

sakti Pendekar Gila. 

"Cuiiit..!" 

Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan 

pukulan saktinya seperti menghantam batu cadas. 

Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini 

binatang itu siap melabraknya lagi. 

"Celaka...!" pekik Pendekar Gila seraya membuang 

tubuhnya ketika sosok merah mengerikan itu kembali 

menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau 

memberi kesempatan. Kepakan sayapnya terus men-

cecar tubuh lawannya. 

Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering 

ditiup angin, berusaha mengelakkan setiap sambaran 

sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda 

itu membentur dinding benteng perguruan. 

Kedudukannya kini benar-benar tersudut.


"Celaka...!" pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan 

untuk lepas dari serangannya. Yang kumiliki tinggal 

Suling Naga Sakti." 

"Cuit..!" 

Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke 

arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila 

melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas 

ditiupnya tanpa sempat bangkit. Diarahkannya lubang 

suling ke tubuh binatang itu. 

Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin 

lama semakin memekakkan telinga. Dari lubang 

suling, melesat sinar berwarna merah yang telak 

menghantam tubuh binatang iblis itu. 

Desss! 

"Cuiiit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan. 

Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya 

membubung ke angkasa dan menggelepar-gelepar 

liar di sana. 

Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak 

berhenti sampai di situ. Terus ditiupnya suling sakti 

itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-

dayu hingga menyentuh perasaan. 

Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila, 

orang-orang yang tenaga dalamnya rendah, seketika 

terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan 

air mata. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun 

pekikannya tidak sekeras semula. Suaranya semakin 

lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang 

yang melayang di udara itu mengecil dan terus 

mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud 

aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan! 

Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak



Kendra seketika murka. Didahului pekikan meng-

gelegar, lelaki berjubah merah itu menyerang 

Pendekar Gila. 

"Hiaaat..!" 

Tangan Warak Kendra membentang ke samping, 

kemudian bergantian menyerang tubuh Pendekar 

Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke 

arah wajah dan dada lawannya. Sedangkan kedua 

kakinya bergerak menendang dan menyepak. 

Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi 

seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit. 

Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk meng-

elakkan serangan-serangan lawan. Meski gerakannya 

kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan 

yang dilancarkan lawan dengan mudah dapat 

dielakkannya. 

Merasa serangannya gagal, Warak Kendra 

semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-

sungkan lagi dikerahkan. Tangan kanannya terangkat 

ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar. 

Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping 

dengan jari-jari lurus. Kemudian dengan gerak cepat, 

Warak Kendra kembali menyerang. 

"Kau harus mampus, Pendekar Gila! Yeaaa...!" 

Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan 

aneh yang dilancarkan lawannya Dengan cepat 

dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus 

'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung, 

dan bersalto ke sana kemari. 

Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera 

menjatuhkan orang yang dianggap menjadi peng-

halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-

serangannya semakin lama semakin keras dan


gencar. Bahkan.... 

Degk! 

Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang 

cepat, tak dapat dielakkan Pendekar Gila. Pukulan itu 

telak menghantam punggungnya. 

"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya ter-

huyung-huyung akibat pukulan itu. Belum lagi siap, 

kembali sebuah tendangan keras menghantam 

punggungnya. 

"Hari ini kematianmu, Pendekar Gila! Heaaa...!" 

Begk! 

"Tuan Pendekar...!" 

Semua orang dalam kancah pertarungan yang 

telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti 

memekik, saat menyaksikan Pendekar Gila terdorong 

keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke 

depan dan hampir mencium tanah, kalau saja 

Pendekar Gila tidak segera menguasai keseimbangan 

tubuhnya. 

Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah 

segar. Matanya berkobar gusar. Rasa sakit yang 

menderanya benar-benar telah memancing amarah-

nya. Wajah Pendekar Gila seketika berubah 

menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah 

membara. Dari ubun-ubunnya terpancar sinar ungu. 

Semua mata yang ada di tempat itu membelalak 

lebar, menyaksikan kejadian aneh itu. Bahkan dari 

mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar 

gumaman takjub. 

"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah 

penglihatanku?" 

Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar 

Gila saat diusik rasa sakit sehingga membuatnya 

murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya


menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan 

kemurkaan. 

"Heaaa...!" 

Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya 

berteriak menggelegar, kemudian tubuhnya melesat 

ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun 

Warak Kendra yang merasa dirinya sebagai orang 

paling sakti setelah menelan mustika Pengubah 

Raga, segera menyambuti serangan itu. 

"Yeaaa...!" 

Warak Kendra memusatkan pikirannya dan 

membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar. 

Berkat kesaktian mustika yang mendekam di 

tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah 

menjadi kelelawar raksasa berwarna merah dengan 

mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang 

menyeramkan. 

Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak 

kaget menyaksikan kejadian itu. Mata mereka mem-

belalak ngeri dengan kaki menyurut mundur 

ketakutan 

"Ilmu iblis...!" pekik mereka. 

"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis!" 

desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan 

kejadian yang aneh dan mengerikan itu. 

Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu 

pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak 

cepat, sulit sekali bagi orang-orang di tempat itu 

untuk mengikuti gerakan mereka. 

"Cuiiit..!" 

"Yeaaat..!" 

Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan 

jurus 'Si Gila Menggusur Karang'. Sementara 

Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini


mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian 

menukik untuk melakukan serangan. 

Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak. 

Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan 

amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka 

hanyalah bertarung untuk menentukan siapa di 

antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam 

ini. 

Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-

kannya ke samping, kemudian dihantamkan lurus ke 

arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra. 

Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya 

membentang, kemudian mengepak ngepak, siap 

menampar tubuh lawan 

Glarrr! 

Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis 

Merah melesat ke atas. Sedangkan tubuh Pendekar 

Gila terhempas ke tanah dengan keras. 

"Cuiiit..!" 

"Ugkh...!" 

Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang 

berat rupanya dialami Pendekar Gila. Darah seketika 

menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara 

nyalang. Tubuhnya semakin membara penuh amarah. 

Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di 

tanah, persis seekor monyet yang tengah mabuk. 

Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang 

lebih menyeramkan. 

Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara. 

Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin 

berpendar terang. Bahkan kini mengepulkan asap. 

Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak 

terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan 

sayup-sayup yang hanya dapat ditangkap telinganya..


"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan 

amarahnya. Berpikirlah yang tenang. Jangan 

mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis! Jika 

pendekar tak mampu mengendalikan nafsunya, 

berarti dia telah kalah...." 

"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila, 

tersentak. 

Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa 

murni dari kedalaman batin untuk menguasai 

kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan 

mengerikan itu surut dalam sekejap, Pendekar Gila 

segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat 

pinggangnya. 

"Cuiiit..!" 

Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di 

angkasa, melesat cepat ke bawah, untuk melakukan 

serangan ke arah Pendekar Gila. 

Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling 

Naga Saktinya. Diarahkan lubang suling ke tubuh 

Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke 

arahnya. 

"Cuit, cuiiit..!" 

Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya 

terasa menyentuh sukma. Menjadikan murid-murid 

Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali 

menangis tanpa sadar. 

Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya 

dengan irama mengiba. Itulah ilmu suling 'Pelayung 

Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa 

sedih. Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan 

meratap-ratap penuh kesedihan. 

Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak 

menyerang Pendekar Gila, seketika terdiam bagai 

terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras,


semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah 

sesuatu.... 

Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu 

mustika bersinar merah. Batu itu melesat jauh entah 

ke mana. 

Bersamaan dengan keluarnya batu mustika 

Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis 

Merah terjadi. Kelelawar itu kembali berubah menjadi 

sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar. 

Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas. 

Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga 

Saktinya. Setelah menyelipkan kembali sulingnya di 

pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan 

luka dalam di tubuhnya. Tidak lama kemudian 

tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri Ratih 

Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang 

tengah mengerumuni mayat Warak Kendra yang 

hangus. 

"Ha ha ha...! Rupanya pesta telah berakhir! 

Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto, 

mungkin kau bisa membantu membangun kembali 

Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila. 

"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata, 

ketika Pendekar Gila telah melesat meninggalkan 

tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa 

sempat melanjutkan kata-katanya. 

"Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik! 

Ha ha ha...!" seru Pendekar Gila dari kejauhan. 

"Dasar Pendekar Gila...!" sungut Ratih Puri dengan 

wajah merah padam. 



                             SELESAI










Share:

0 comments:

Posting Komentar