KUMBANG HITAM DARI NERAKA
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Kumbang Dari Neraka
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Malam baru saja meninggalkan bumi, sehingga
pagi masih teramat buta. Kokok ayam jantan terdengar
bersahutan, seperti menyambut sang Fajar. Keadaan
masih meremang, belum banyak orang yang terban-
gun. Mungkin masih banyak yang bergumul dengan
selimut karena hawa terasa dingin.
Adipati Joyo Kerto terjaga, ketika menyadari
sang istri tidak ada di sampingnya. Lelaki berbadan
besar dengan muka bulat dihiasi oleh kumis lebat dan
mata agak sipit serta hidung besar itu duduk di pinggir
tempat tidur. Wajahnya tercenung, seakan tengah
memikirkan kepergian istrinya sepagi buta ini.
"Hm, ke mana dia?" tanya sang Adipati lirih, se-
telah bergumam.
Perlahan dia bangun. Beberapa saat tubuhnya
menggeliat Setelah menguap beberapa kali, kakinya
melangkah pelan ke pintu kamar. Dan setelah mem-
buka pintu, matanya diedarkan ke seluruh ruangan di
dalam kadipaten.
Sepi!
Sang Adipati melangkah ke luar. firasatnya ti-
dak enak. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi di
kadipaten. Terlebih dengan ketidakadaan istrinya di
kamar. Tak biasanya istrinya bangun sepagi buta be-
gini. Baru saja kakinya melangkah dua tindak melewa-
ti pintu kamar, tiba-tiba didengarnya suara yang
menggelitik telinganya. Suara wanita yang terkikik-
kikik manja ditimpali oleh suara lelaki.
"Ih, sabar sedikit kenapa, Truna.... Bukankah
waktu kita masih panjang?"
"Ah, bagaimana mungkin aku sabar, Diajeng....
Sebentar lagi pagi. Tentunya adipati dungu itu ban-
gun," sahut lelaki yang dipanggil Truna.
Darah Adipati Joyo Kerto seketika bagai mendi-
dih, dan dadanya bergemuruh riuh. Sementara tan-
gannya mengepal lalu meninju telapak tangan kirinya.
Wajahnya membara, terbakar amarah.
"Kunyuk! Dikasih hati ternyata bocah itu me-
minta jantung!" dengus Adipati Joyo Kerto.
Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu benar-
benar marah. Bagaimana tidak? Pemuda itu telah dito-
longnya. Dari pemuda miskin tiada guna, kini menjadi
pengawal pribadinya. Tapi balasan pemuda itu sangat
menyakitkan. Bukan hanya dia disebut adipati dungu,
tetapi istrinya juga kini termakan rayuan gombal pe-
muda itu.
Keduanya kini berada dalam satu kamar. Apa-
lagi yang diperbuat dua lawan jenis dalam satu kamar
tanpa pengawasan? Tentunya mereka melakukan per-
buatan yang tidak senonoh.
Dugaan Adipati Joyo Kerto memang benar. Di
dalam kamar yang terletak paling belakang, dua orang
manusia dalam keadaan tanpa busana tengah ber-
cumbu. Pemuda berambut gondrong, bertubuh kurus
dengan ikat kepala hitam itu mencumbu istrinya yang
menggelinjang-gelinjang sambil tertawa manja.
"Truna! Sabar, Sayang.... Masa' kau ingin mela-
kukan lagi? Bukankah kita tadi baru melakukannya,"
desis istri Adipati Joyo Kerto yang bernama Rana.
"Aku tak sabar, Diajeng.... Kau sangat menggi-
urkan, sehingga mampu membangkitkan kelelakian
ku," sahut Truna masih terus mencumbu wanita can-
tik yang matanya mengerjap-ngerjap laksana mata
seekor kelinci itu. Sedangkan bibirnya mendesis-desis,
bagaikan kepedasan.
Keringat membanjir deras dari tubuh mereka
yang telanjang. Tapi hal itu tidak menjadikan pengha-
lang bagi keduanya untuk terus menikmati kemaksia-
tan itu. Keduanya terus bercumbu rayu, memacu naf-
su.
"Oh, Truna...!"
"Diajeng, uhhh...!" keluh Truna.
Tubuh pemuda itu mengejang. Matanya mem-
beliak, merasakan kenikmatan yang tiada taranya.
Tangannya mencengkeram rambut Rana itu kuat-kuat.
Berusaha mencari pegangan ketika dirasakan tulang-
tulangnya bagaikan dilolosi dari tubuh.
Saat keduanya dalam puncak kenikmatan, ti-
ba-tiba....
Brakkk!
Pintu kamar itu hancur, ditendang oleh seseo-
rang dari luar. Menjadikan Truna dan Rana yang ten-
gah melayang di puncak kenikmatan tersentak. Belum
juga mereka tahu siapa yang telah mendobrak pintu
kamar, terdengar makian keras....
"Bangsat! Inikah balas budi kalian?! Manusia-
manusia iblis! Kalian harus mati! Heaaa...!"
"Adipati...," desis Truna dengan mata membela-
lak tegang, menyaksikan Adipati Joyo Kerto menggeng-
gam golok besar sementara tubuhnya melesat hendak
menyerang mereka.
Wajah pemuda kurus yang agak pucat itu kian
bertambah pucat. Wajar saja wajahnya jadi begitu, ka-
rena kedudukannya memang tidak menguntungkan.
Bisa saja tubuhnya berguling ke samping untuk men-
gelak. Tapi kalau hal itu dilakukan, Rana pasti akan
menjadi korban.
"Celaka...!" pekik Truna dengan seluruh tubuh
tegang tatkala sang Adipati meluruk semakin bertam
bah dekat Golok di tangan Adipati Joyo Kerto siap
membelah tubuh. Tak ada pilihan lain baginya, kecuali
menghindar.
"Heaaa...!"
Golok di tangan Adipati Joyo Kerto bergerak ce-
pat, membabat ke arah tubuh Truna yang berada di
atas tubuh Rana. Pemuda itu dengan cepat menggu-
lingkan tubuh ke samping kanan sebelum golok besar
itu sampai. Tanpa ampun, tubuh Rana-lah yang men-
jadi sasaran.
Cras!
"Aaakh...!"
Lengking kematian yang menyayat terdengar
dari mulut Rana. Tubuh sintal tanpa sehelai benang
itu seketika bermandikan darah.
"Diajeng,..!" pekik Adipati Joyo Kerto terkesiap.
Beberapa saat dia tertegun bagai patung baru. Ma-
tanya melotot ke arah tubuh istrinya yang menggele-
par-gelepar sekarat dengan darah menyembur keluar,
hingga kasur itu seketika berubah menjadi merah.
Tubuh Rana terus menggelepar-gelepar sekarat
Dari mulutnya terdengar rintihan memelas.
"Maafkan aku, Kakang.... Maafkan aku! Oh...."
Kepala Rana tergolek lemas. Jiwanya melayang
seketika, meninggalkan raga yang tergolek tanpa ge-
rak.
"Diajeng...!" pekik Adipati Joyo Kerto sambil
menubruk tubuh istrinya yang telah mati. Lelaki ber-
badan besar dengan perut agak buncit itu menangis
sejadi-jadinya. Sedangkan pemuda bernama Truna
yang telah mengenakan pakaiannya kembali, terse-
nyum sinis penuh kemenangan.
***
Rupanya kejadian tersebut terdengar oleh para
pengawal kadipaten yang tengah berjaga. Beberapa
orang pengawal bergegas masuk untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi.
"Gusti, apa yang terjadi?" tanya seorang pen-
gawal berbadan besar dengan otot menonjol. Wajahnya
menampakkan kegarangan dan kasar. Tulang pipinya
menonjol. Matanya terbelalak memandang mayat istri
Adipati Joyo Kerto.
"Pengawal! Tangkap kunyuk itu...!" perintah
sang Adipati sambil menunjuk ke arah Truna yang ter-
senyum sinis.
Mendengar perintah atasannya, lima orang
pengawal kadipaten yang berada di tempat itu segera
maju untuk menangkap Truna. Namun dengan gesit
pemuda itu berkelit, kemudian melenting ke atas dan
tahu-tahu telah berada di luar kamar.
"Kejar dia! Bunuh...!" seru sang Adipati kalap.
Kelima pengawal itu kembali memburu. Tom-
bak di tangan mereka kini siap berbicara. Namun pe-
muda bernama Truna itu sepertinya tidak gentar sedi-
kit pun menghadapi kelima pengawal bersenjata. Se-
nyum sinisnya masih mengembang, seolah mengejek
para pengejarnya.
"Percuma kalian menangkapku. Kalian hanya
akan membuang-buang nyawa"
Usai berkata demikian, dengan cepat Truna
mengibaskan tangan kanannya ke depan disertai tena-
ga dalam.
"Terimalah ini, heaaat..!"
Kelima pengawal itu tersentak kaget, menyak-
sikan selarik pukulan dahsyat terlontar ke arah mere-
ka. Mata kelima pengawal itu melotot tegang, berusaha
mengelakkan pukulan itu. Tapi, pukulan yang dilon-
tarkan secara tiba-tiba itu terlalu cepat untuk dihinda-
ri, sehingga....
Desss!
"Aaa...!"
Jeritan kematian seketika terdengar. Dua orang
pengawal yang berada paling depan menggelepar. Dada
mereka hangus dengan lingkaran hitam. Tubuh kedu-
anya mengejang sesaat, kemudian diam tanpa nyawa
dengan darah hitam meleleh dari hidung, telinga serta
mulut.
Tiga orang pengawal yang masih hidup kini
hanya mematung. Nyali mereka seketika menciut, me-
nyaksikan bagaimana kedua teman mereka mati seca-
ra mengerikan.
"Ha ha ha...! Lihatlah, itu contoh bagi kalian!
Jika kalian berani coba-coba menangkapku, kalian
pun akan mengalami hal seperti itu!" ancam Truna.
"Jangan hiraukan ocehannya! Bunuh dia...!"
perintah Adipati Joyo Kerto. Nadanya penuh amarah.
Bahkan kini, dengan golok besarnya dia menerjang ka-
lap.
Melihat Adipati Joyo Kerto turut menyerang, ke-
tiga pengawal yang semula telah ciut nyalinya kembali
berani. Ketiganya segera bantu menyerang. Tombak di
tangan mereka bergerak cepat, berusaha menusuk tu-
buh lawan.
Diserang serentak begitu rupa, tidak menjadi-
kan pemuda berwajah pucat itu gentar. Tubuhnya se-
gera berkelit dari serangan itu. Bahkan dengan cepat
tangannya menyambar salah satu senjata lawan.
"Hea...!"
Prajurit yang tombaknya direbut tersentak. Dia
berusaha keras mempertahankan senjatanya. Akibat
nya justru sangat parah. Pemuda itu menyentakkan
senjata lawan yang telah dipegangnya, sehingga tubuh
lawan terpental ke atas. Sedangkan kaki dan tangan
kirinya menendang dan memukul dua orang pengawal.
Gerakan tangan dan kaki kiri pemuda bermuka
pucat itu sangat cepat, hingga kedua penjaga yang il-
mu silatnya memang jauh di bawah pemuda itu tak
mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, keduanya men-
galami hal serupa dengan teman mereka. Tubuh kedu-
anya mencelat ke belakang, lalu jatuh membentur
tembok dengan kepala pecah!
Betapa marahnya Adipati Joyo Kerto menyaksi-
kan kelima prajuritnya dalam satu gebrakan saja da-
pat dibinasakan oleh pemuda yang semula dianggap
enteng.
"Kuhancurkan tubuhmu, Iblis! Heaaa...!" ben-
tak Adipati Joyo Kerto, geram.
Dengan kemarahan memuncak, Penguasa Ka-
dipaten Tegal Arang itu membabatkan goloknya ke tu-
buh lawan. Golok itu berkelebat ganas, membuat Tru-
na agak kaget. Tidak diduganya kalau adipati berba-
dan gemuk dan berperut buncit itu memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi. Malah serangan yang dilancarkan
olehnya senantiasa mengarah pada titik kematian.
Hampir saja golok besar di tangan Adipati Joyo
Kerto membabat tubuh Truna, kalau pemuda itu tidak
segera melebarkan kakinya sambil merundukkan tu-
buh. Golok itu hanya mendesir di atas rambutnya.
"Hiaaat..!"
Setelah dapat mengelakkan sabetan golok la-
wan, dengan cepat Truna melancarkan jotosan ke pe-
rut lawan. Jotosan itu begitu keras, karena dibarengi
tenaga dalam penuh. Celakalah Adipati Joyo Kerto jika
tidak segera menghindar dengan cepat. Ternyata adi
pati bertubuh gemuk itu memang tidak berusaha
menghindar. Dia hanya menghempaskan napas untuk
mengerahkan tenaga dalam ke perutnya.
Buggg!
Adipati Joyo Kerto menyeringai saat menerima
pukulan keras lawan. Sepertinya dia tidak merasakan
apa-apa. Justru pemuda berwajah pucat yang menye-
rangnya terlihat meringis kesakitan. Wajah pemuda itu
semakin memucat. Bagaimanapun juga pemuda itu
merasa tegang, menyaksikan lawan bagaikan tak me-
rasakan pukulan 'Bara Neraka' yang dianggapnya dah-
syat itu. Malah kini tangannya lengket dengan kulit pe-
rut sang Adipati.
Celaka...! Keluh Truna dalam hati. Ilmu apa
yang digunakannya.
Sementara, bibir Adipati Joyo Kerto kembali
menyeringai, menyaksikan lawannya semakin memu-
cat
"Iblis cabul, nyawa istriku harus kau tebus! Te-
rimalah kematianmu. Heaaa...!"
Adipati Joyo Kerto mengangkat golok di tan-
gannya tinggi-tinggi. Rupanya dia benar-benar tidak
ingin membuang waktu maupun memberi waktu bagi
pemuda itu untuk bertobat.
Golok besar di tangan sang Adipati terangkat
tinggi. Kemudian dengan cepat meluncur ke bawah,
siap membelah batok kepala pemuda itu. Namun tan-
pa diduga pemuda berwajah pucat yang telah meng-
hancurkan rumah tangganya telah mendahului. Tan-
gan kiri pemuda itu telah meraih sebuah senjata yang
terselip di dalam pakaiannya. Senjata berbentuk bun-
dar seperti kipas dan berwarna hitam itu disabetkan
ke perut sang Adipati.
Cras!
"Akh...! Kau..," pekik Adipati Joyo Kerto dengan
mata melotot penuh kemarahan. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang seraya memegangi perutnya yang
menganga lebar. Darah tampak tersembur dari luka di
perutnya.
"Ha ha ha....! Mampuslah kau, Adipati Dungu!
Heaaa...!"
Setelah tertawa terbahak-bahak melihat lawan-
nya tak berdaya, Truna melemparkan benda bulat se-
perti kipas berwarna hitam ke arah sang Adipati. Ben-
da itu berdesing memekakkan telinga. Begitu cepat
benda itu melaju, membuat sang Adipati yang terluka
tidak mampu menangkis atau mengelakkannya. Tak
ampun lagi, senjata aneh milik Truna menghantam le-
hernya.
Cras!
"Aaa...!"
Lolongan kematian membahana di udara pagi
buta. Tubuh adipati malang itu terhuyung ke bela-
kang. Kedua tangannya kini memegangi leher yang
mengucurkan darah. Nampaknya leher Adipati Joyo
Kerto terkoyak. Matanya membesar dan gigi-giginya
siding beradu, berusaha menahan rasa sakit yang tia-
da terkira.
"Bangsat..! Licik..! Terkutuklah kau, Iblis!" maki
Adipati Joyo Kerto tersendat-sendat Tubuhnya masih
berusaha bertahan untuk tetap berdiri. Namun ru-
panya darah sudah banyak yang keluar, sehingga tu-
buh besar itu ambruk, menimbulkan suara bagai gem-
pa.
Truna kembali tergelak-gelak. Ditangkapnya
senjata hitam seperti kipas miliknya yang melayang
kembali padanya setelah memangsa leher Adipati Joyo
Kerto. Setelah memasukkan senjata itu ke balik baju,
pemuda berwajah pucat itu kembali tertawa sambil
mendekati mayat Rana.
"Memang seharusnya kau mati, Perempuan
Dungu! Kau tidak berarti bagiku."
Setelah memandangi tubuh bersimbah darah
itu, Truna kini melangkah ke arah mayat Adipati Joyo
Kerto. Kakinya menendang mayat bertubuh besar itu
hingga telentang. Lalu dengan congkak diludahinya.
"Cuhhh...!"
Usai melakukan semuanya, tiba-tiba pemuda
itu tertegun. Dia rupanya mengingat sesuatu.
"Hei, mengapa aku tidak mengingat Suci...?"
Tanpa pikir panjang lagi, dilangkahinya mayat-
mayat yang bergelimpangan itu. Tubuh Truna melesat
untuk mencari anak gadis Adipati Joyo Kerto yang
cantik. Yang senantiasa menggoda nafsunya untuk
menikmati kecantikan dan keperawanan si gadis.
Namun betapa gusarnya Truna setelah menge-
tahui kalau gadis itu telah pergi. Rupanya ketika se-
muanya terjadi, Suciati melihatnya, dan secara diam-
diam pergi dari sana.
"Bangsat! Bahaya kalau gadis itu dibiarkan
berkeliaran! Dia akan menceritakan pada orang apa
yang terjadi, bahkan pada kerajaan," gerutunya den-
gan sinar wajah khawatir.
Setelah mengobrak-abrik beberapa bagian
ruangan kadipaten, pemuda itu pun melesat mening-
galkan tempat itu.
DUA
Seorang gadis cantik berbaju hijau dengan
rambut terurai nampak berlari dengan wajah ketakutan. Dia adalah Suciati, anak Adipati Joyo Kerto yang
telah melihat bagaimana ayahnya mati oleh pemuda
berparas pucat yang diangkat oleh sang Ayah sebagai
pengawal pribadinya. Sudah berkali-kali ayahnya dipe-
ringati agar hati-hati dengan pemuda itu. Tapi selalu
saja ayahnya meremehkan peringatannya itu.
Suatu hari, ketika Suciati memergoki ibu tiri
nya tengah berbisik-bisik dengan pemuda itu, hatinya
mengatakan kalau pemuda itu bukan orang baik-baik.
Dan Suciati berusaha menyampaikan hal itu pada
ayahnya.
"Ayah. Suci berharap Ayah hati-hati dengan
pemuda berwajah pucat itu," kata Suciati suatu ketika
saat berdua dengan ayahnya.
"Memangnya kenapa, Anakku? Kulihat, pemu-
da itu baik," jawab ayahnya. "Janganlah berprasangka
yang tidak-tidak, Anakku. Berprasangka itu tidak
balk."
"Tapi, Ayah...," Suciati hendak kembali berkata,
tapi ayahnya menukas dengan cepat.
"Sudahlah, kau tak perlu khawatir."
Suciati tak dapat berkata lagi. Dia tidak berani
membantah kata-kata ayahnya. Dari kecil dia dididik
agar tidak membantah. Apalagi dia seorang gadis, yang
harus mematuhi semua aturan orang tuanya.
Jauh di lubuk hatinya, Suciati benar-benar ce-
mas. Takut kalau-kalau pemuda berwajah pucat itu
menyimpan maksud yang buruk. Terlebih pemuda itu
sering dilihatnya bersama ibu tiri nya.
Apa sebenarnya yang terjadi antara Truna den-
gan ibu tiri ku? Nampaknya mereka merencanakan se-
suatu. Bisik hati Suciati menduga-duga.
Dugaannya terbukti juga. Karena suatu malam,
ketika dia terbangun dari tidur, telinganya menangkap
suara tawa kecil di kamar samping. Tawa manja seo-
rang wanita. Dan gadis itu sangat mengenali suara
wanita itu, yang tidak lain suara ibu tiri nya. Lalu sua-
ra lelaki itu adalah suara Truna, pengawal pribadi
ayahnya.
Heh, sedang apa mereka? Tanya Suciati dalam
hati malam itu. Rasa ingin tahunya menjadikan gadis
itu keluar perlahan-lahan dari kamar. Kemudian den-
gan mengendap-endap, gadis itu menuju ke kamar se-
belah di mana suara itu terdengar.
Sesaat Suciati berhenti, dan mengawasi kea-
daan sekeliling. Setelah yakin tak ada orang yang me-
lihat, gadis itu meneruskan langkahnya. Dengan men-
gendap-endap didekatinya pintu kamar itu.
Uh, hampir ketahuan! Desis Suciati dalam hati
ketika melihat pintu kamar tidak tertutup rapat. Un-
tung tubuhnya segera menyelinap ke tembok, hingga
kedua orang yang ada di dalam kamar tak melihatnya.
Perlahan Suciati menjulurkan kepala untuk
mengintip dari celah pintu. Matanya tiba-tiba melotot,
dan darahnya pun berdesir. Kemudian tubuhnya di-
tenderkan ke tembok. Giginya bergemeretak keras, be-
rusaha menahan gejolak dadanya setelah menyaksikan
pemandangan tadi. Sebuah pemandangan yang cukup
membuat jantungnya berdetak kencang
Jagat Dewa Batara.... Terkutuklah kalian! Desis
Suciati dalam hati sambil berusaha menahan gelora
dalam dadanya. Bayangan dua tubuh polos saling
rengkuh itu, seakan tidak mampu dienyahkan dari pi-
kirannya.
Oh, tidak! Aku tidak boleh melihat terus! Ban-
tah hati Suciati. Kemudian dengan tertatih lemas, di-
tinggalkannya tempat itu. Pelan dibukanya pintu ka-
mar lalu dikuncinya. Dengan lemas gadis itu terduduk
di tepi tempat tidur.
Rintihan-rintihan di kamar sebelah masih ter-
dengar. Membuat tubuh gadis itu kian menggigil. Ji-
wanya melayang, entah ke mana. Bayangan dua sosok
polos yang saling berpacu masih melekat di benaknya.
Sulit sekali hal itu dienyahkan.
Gadis itu merebahkan diri. Kedua telinganya di-
tutupi dengan tangan agar tidak mendengar. Tapi tak
bisa, suara rintihan kenikmatan ibu tiri nya masih ju-
ga terdengar.
Saat benak Suciati disesaki bayangan kejadian
yang menimpa keluarganya, terdengar suara tawa ke-
ras. Tawa itu langsung membuyarkan lamunannya.
Betapa kagetnya gadis itu ketika tahu kalau
tawa itu terlepas dari mulut Truna yang di belakang-
nya.
Dengan segera Suciati lari meninggalkan tem-
pat itu. Di wajahnya tergambar kecemasan dan keta-
kutan. Dia yakin, tentunya pemuda bermuka pucat itu
punya maksud tak baik.
Truna masih tertawa, seperti membiarkan gadis
berbaju hijau itu lari ketakutan. Lalu, tiba-tiba tubuh-
nya melompat laksana terbang. Dalam sekejap telah
berada di depan gadis itu
"Mau lari ke mana, Cah Ayu...?" tanya Truna
sambil bertolak pinggang. Kembali tawanya terdengar,
menjadikan Suciati semakin ketakutan.
"Tidak...! Jangan ganggu aku...!" jerit si gadis.
Gadis itu segera membalikkan tubuh untuk lari
meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya seketika
tertahan, manakala dirasakan ada yang menariknya
dari belakang. Ketika kepalanya menoleh, ternyata ikat
pinggangnya dipegangi oleh pemuda bermuka pucat
itu.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana, Cah Ayu? Bu-
kankah saat seperti ini yang kau tunggu?" seloroh
Truna sambil tertawa-tawa. Tangannya masih meme-
gang erat pinggang si gadis.
"Lepaskan! Kurang ajar...!" sentak Suciati, be-
rusaha melepaskan ikat pinggangnya dari genggaman
tangan pemuda itu. Namun rontaannya justru semakin
membuat pemuda itu senang.
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu...," Truna
kembali tertawa. Kemudian ditariknya ikat pinggang
gadis itu, membuat tubuh Suciati tertarik ke arahnya.
Lalu dengan tergelak-gelak dipeluknya tubuh Suciati
penuh nafsu.
"Lepaskan! Lepaskan aku...!"
Gadis itu meronta-ronta untuk melepaskan diri
dari pelukan Truna. Tapi rontaannya sebagai gadis bi-
asa, tidak berarti sama sekali bagi Truna. Meski bertu-
buh kurus, tapi pemuda itu memiliki tenaga dalam
hingga tetap sanggup menguasai Suciati.
"Mengapa malu-malu, Cah Ayu.... Bukankah di
sini tak ada siapa-siapa, selain kita berdua?"
Truna kembali tertawa terbahak-bahak. Kemu-
dian tanpa mempedulikan rontaan Suciati, tubuhnya
segera melesat membawa gadis itu meninggalkan tem-
pat tersebut
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" jerit Suciati sam-
bil terus meronta untuk melepaskan diri dari panggu-
lan Truna. Tangannya memukuli punggung pemuda
itu yang masih saja tergelak-gelak sambil terus berlari.
"Nanti kau kulepaskan, setelah aku menda-
patkan tubuhmu dan kegadisan mu.... Ha ha ha...!"
"Tidak! Aku tidak mau...!" jerit Suciati histeris.
Dengan sekuat tenaga dipukulinya punggung Truna.
Namun pukulannya bagai tidak berarti sama sekali.
Jangankan pukulannya yang sekadar mengandalkan
tenaga luar, pukulan pendekar pun masih sanggup di-
tahan pemuda itu.
"Nanti pun kau akan mau," sahut Truna mele-
dek.
Pemuda berwajah pucat itu terus berlari sambil
memanggul tubuh Suciati ke arah timur, menuju hu-
tan yang terbentang luas. Nampaknya Truna hendak
membawa Suciati ke sana, lalu menggagahinya di tem-
pat itu. Pemuda itu berpikir kalau di hutan dia akan
tenang. Tak akan ada orang yang mengganggunya.
Mereka mulai memasuki pedalaman hutan
yang sepi. Pepohonan besar berdiri angkuh di sana-
sini, membuat sinar matahari sulit untuk menerobos
masuk. Keadaan yang teduh dan agak gelap itu mem-
buat Truna semakin tergesa-gesa untuk melaksanakan
niat busuknya.
Tanpa disadarinya, sepasang mata mengawa-
sinya dari rerimbunan semak. Sepasang mata itu me-
nyipit, melihat kepanikan seorang gadis di bahu pe-
muda kurus yang tertawa terbahak-bahak. Mulutnya
yang semula bersiul kini terhenti. Dan ketika jarak
Truna kian mendekat, pemilik sepasang mata itu me-
lenting ke atas pohon.
"Manusia keparat! Apa yang hendak dia laku-
kan terhadap gadis itu?" gumam pemuda yang telah
hinggap di sebuah dahan besar sambil terus mengawa-
si. "Hm, dunia ini memang aneh. Baik, aku ingin tahu
apa yang hendak dilakukannya."
Pemuda itu segera menyelinap pada dahan
yang lebih rimbun. Matanya terus mengawasi pemuda
yang memanggul seorang gadis berbaju hijau. Sedang-
kan pemuda bermuka pucat itu mengenakan pakaian
berwarna hitam, dengan ikat kepala hitam pula.
Sekitar lima tombak dari pohon besar tempat
pengintai tadi bersembunyi, Truna menghentikan la-
rinya, lalu segera menghempaskan tubuh Suciati yang
memandangnya dengan sinar mata ketakutan.
"Jangan...! Aku tidak mau...!" ratap gadis itu
menghiba, ketika melihat pemuda berwajah pucat itu
hendak membuka pakaiannya.
"Kau harus mau, Cah Ayu.... Sebab aku sangat
menginginkan mu. Kini, kau akan merasakan hal yang
kau lihat semalam," desis Truna seraya merenggut pa-
kaian bagian atas Suciati dengan kasar.
Breeet!
"Auh, tidak...!" pekik Suciati. Segera kedua tan-
gannya menutupi bagian dadanya yang tampak karena
bajunya terkoyak. Melihat hal itu, Truna semakin be-
ringas. Mata jalangnya menggerayangi tubuh Suciati
seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Dengan menggeram bagai seekor macan lapar,
Truna hendak menubruk tubuh Suciati. Namun tiba-
tiba, terdengar suara tawa seseorang diselingi sebuah
syair.
"Ha ha ha.... Lucu! Lucu sekali. Bagaikan ma-
can kelaparan. Nafsumu laksana setan. Jika setan ber-
sarang di dada, manusia pun akan buta. Ha ha ha...!"
Kemudian disusul oleh alunan suling yang
amat merdu, seakan ditiup dengan nurani yang bersih.
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak Truna ma-
rah karena merasa kesenangannya terusik. "Kalau kau
manusia, keluarlah...!"
Setelah mengedarkan pandangannya ke sekelil-
ing, Truna segera menotok tubuh Suciati yang tak
akan dibiarkan lepas begitu saja.
Bukannya sesosok tubuh yang muncul sebagai
jawaban dari tantangan yang dilontarkan Truna, melainkan gelak tawa yang menggema terdengar. Suara
tawa yang mampu menggugurkan daun-daun pohon.
"Bangsat! Tunjukkan wujud mu! Hadapi aku...!"
kembali pemuda berwajah pucat itu berkoar menan-
tang. Matanya memandang tajam ke atas pohon, beru-
saha mencari orang usil yang telah mengganggunya.
"Hi hi hi.... Lucu, kau seperti orang linglung,"
tiba-tiba terdengar tawa keras seorang lelaki.
Pemuda berwajah pucat itu membalikkan tu-
buh. Seketika keningnya berkerut menyaksikan ting-
kah laku seorang pemuda berusia di bawahnya. Pemu-
da itu tersenyum cengengesen. Sedang tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti orang bodoh dan gila.
Dia mengenakan rompi kulit ular dengan ikat kepala
yang juga terbuat dari kulit ular. Meski cengar-cengir
bodoh, wajahnya tergolong tampan dan bersih. Se-
dangkan jari-jari kaki kanannya menggaruk-garuk be-
tis kaki kiri.
Hampir saja Truna tertawa melihat tingkah pe-
muda itu, kalau saja dia tidak segera ingat pada cara
datangnya yang begitu tiba-tiba. Berarti pemuda gila
ini bukan sembarangan, pikirnya. Lagi pula, dia masih
ada kepentingan lain dengan Suciati.
"Pemuda gila! Lekas pergi dari sini, sebelum ke-
sabaranku hilang!" bentak Truna, berusaha menahan
tawa melihat tingkah lucu pemuda gila itu.
Pemuda yang persis orang gila itu adalah Sena
Manggala yang lebih dikenal oleh tokoh rimba persila-
tan dengan julukan Pendekar Gila! Mendapat sambu-
tan tak ramah dari orang di depannya, mulutnya mele-
pas tawa nyaring. Tangan kanannya semakin cepat
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
kini menepuk pantat berkali-kali.
"Lucu sekali.... Kau mengusirku, Kisanak? Pa
dahal hutan ini bukan milikmu. Ah, dunia ini benar-
benar gila! Mengapa kalian hendak berkencan di hu-
tan?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Se-
benarnya dia hanya berniat menyindir, sebab dia tahu
kalau gadis berbaju hijau yang kini duduk menyandar
di pohon nampak ketakutan. Berarti pemuda bermuka
pucat itu bukan pemuda baik-baik.
"Pemuda gila, apa urusanmu! Cepat pergi dari
sini, atau tanganku akan menghajarmu, hah?!" bentak
Truna, gusar melihat tingkah laku Sena.
"Wah, memang bukan urusanku. Baiklah, aku
mau pergi," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala
dengan wajah yang masih seperti orang bodoh yang
kurang waras.
Kemudian setelah cengengesan dan tersenyum-
senyum, Sena melangkah hendak meninggalkan tem-
pat itu.
"Tuan, tolonglah aku...!" jerit Suciati melihat
pemuda aneh itu hendak pergi.
Langkah Sena terhenti. Kembali tangannya
menggaruk kepala yang tak gatal.
"Nona, mengapa kau minta tolong padaku? Bu-
kankah lelaki bermuka mayat itu kekasihmu?" tanya
Sena, sengaja memancing kemarahan Truna.
"Pemuda gila, rupanya kau harus diajar adat,"
geram Truna, yang tak dapat lagi menahan kemara-
hannya setelah mendengar pemuda gila itu menye-
butnya muka mayat
"Adat..?" Pendekar Gila mengerutkan kening.
"Ya, ya.... Memang kau harus diajar adat"
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus dihajar!
Heaaa...!"
Truna segera membuka jurus. Tangannya di-
rentangkan ke samping, bagai merentangkan sayap.
Kemudian diangkat ke atas, membentuk sebuah ling-
karan di atas kepalanya. Jurus yang tengah dilakukan
bernama 'Gagak Hitam Mengepak Sayap'. Jurus itu
merupakan jurus pembuka dari sekian banyak jurus
yang dimiliki Truna. Meski begitu, itu bukan jurus
sembarangan. Karena menilik dari gerakan tangan
Truna yang keras dan cepat, tentunya jurus itu sangat
berbahaya dan mematikan.
"Yeaaa...!" bentak Truna seraya melompat un-
tuk memulai serangan.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila me-
nekuk lututnya agak ke bawah. Tangannya bergerak
ke atas kepala. Kemudian kaki kanannya melangkah
maju, dengan tangan kiri bergerak ke depan guna me-
nangkis serangan lawannya.
"Heaaa...!"
Gerakan Pendekar Gila yang kelihatannya lam-
bat, ternyata mampu mendahuluinya. Menjadikan
Truna tersentak kaget. Dia segera melompat ke bela-
kang.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala,
membuat Truna semakin bertambah marah.
"Yeaaa...!" bentak Truna seraya menggerakkan
tangan kirinya dengan keras dan cepat
Melihat hal ini, Pendekar Gila hanya menyong-
song perlahan dengan tangan kirinya.
"Heaaa ..!" Gerakan Pendekar Gila yang keliha-
tannya lambat, ternyata mampu menangkis serangan
lawan dengan baik
"Kurang ajar! Kuremukkan batok kepalamu!
Yeaaa...!" bentak Truna dengan mata melotot
TIGA
Dengan penuh amarah, Truna kembali menye-
rang. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah ke-
pala Pendekar Gila. Meski tangan pemuda bermuka
pucat itu tidak besar, namun angin pukulannya terasa
berdesir keras.
"Heaaa...!"
Wettt!
Melihat serangan lawan yang cepat, Pendekar
Gila membelalakkan mata. Keningnya berkerut, kemu-
dian dengan cengengesan ditariknya kaki kanan ke be-
lakang. Sementara kaki kirinya digeser dan ditekuk
agak mendatar.
"Uts...! Rupanya kepalaku masih licin, Sobat..!"
ledeknya sambil memutar kepala dengan menunduk,
mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan tu-
buh meliuk-liuk, Pendekar Gila maju selangkah sambil
tangannya menepuk.
Plak!
"Edan!" maki Truna dengan mata membelalak.
Tubuhnya melompat mundur untuk mengelakkan se-
rangan lawan yang aneh dan sulit dipercaya. Gerakan
lawan kelihatannya lamban, namun hasilnya sangat di
luar dugaan. Kalau saja dia tidak melompat ke bela-
kang, tentu dadanya sudah remuk.
"Heaaat..!"
Dengan melancarkan jurus 'Si Gila Menari Me-
nepuk Lalat', Pendekar Gila kembali menyerang. Tu-
buhnya meliuk-liuk seperti menari, dengan sesekali
menepuk.
Melihat gerakan lawan yang terlihat tak berte-
naga, Truna kembali bergerak untuk memapaki serangan lawan. Namun, belum juga sampai, Pendekar Gila
tiba-tiba telah kembali menepuk ke arah dadanya. Hal
itu membuat Truna segera menarik serangannya kem-
bali. Dia tak mau mengambil resiko.
"Gila...! Ilmu apakah yang digunakannya?" gu-
mam Truna dengan mata membelalak
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian kembali dia me-
nyerang dengan jurus yang sama.
"Hi hi hi.,.. Yeaaa...!"
Truna yang sudah merasakan kedahsyatan ju-
rus itu, segera bersalto ke udara. Tapi, baru saja ka-
kinya hendak menjejak tanah, lawan telah menyerang-
nya kembali.
"Celaka...!" pekik Truna kaget. Mau tak mau,
dia harus kembali bersalto, untuk mengelakkan seran-
gan lawan yang aneh itu.
"He he he...!" Sena terkekeh. Tangannya masih
bergerak lemah gemulai. Tubuhnya meliuk-liuk laksa-
na menari. Kelihatannya sangat lemah dan lambat,
namun dengan gerakan seperti itu, ternyata Pendekar
Gila mampu mengejar lawan yang telah mengerahkan
segenap tenaganya.
"Pemuda gila! Katakan, siapa kau sebenarnya?!"
bentak Truna sambil terus mengelakkan serangan-
serangan aneh yang dilancarkan lawannya.
Pendekar Gila terkekeh. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala tanpa berhenti menyerang. hal itu
menjadikan Truna semakin geram dan marah. Dia se-
gera mengeluarkan jurus 'Gagak Hitam Mengepak
Sayap', berusaha menghancurkan serangan lawan.
Namun serangannya malah berantakan, ketika Pende-
kar Gila kembali meliuk dan menepuk.
"Jurus edan...!" maki Truna dengan wajah se
makin pucat sambil berusaha mengelakkan serangan
lawan.
"He he he...! Lucu sekali kau dengan keadaan
seperti itu, Sobat! Wajahmu pucat laksana mayat! Ma-
tamu keluar laksana jengkol tua...! He he he...!"
Truna semakin bertambah marah mendengar
ledekan itu. Gigi-giginya bergemerutuk keras, dan ma-
tanya melotot. Kemudian dengan mendengus, pemuda
berwajah pucat itu kembali mencoba menyerangnya
dengan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap' untuk
meredam jurus lawan.
"Heaaat..!"
Tangan Truna mengepak, dan sesekali menca-
kar ke arah lawan. Tapi serangan yang dilancarkan
dengan tenaga dalam penuh itu tak mampu juga me-
mecahkan jurus Pendekar Gila. Bahkan serangan yang
dilancarkan oleh Truna yang berupa kepakan, caka-
ran, serta hantaman, bagai membentur batu karang
kokoh.
"Edan! Benar-benar jurus edan...!" kembali
Truna memaki-maki seorang diri. Wajahnya kian me-
mucat, setelah menyadari kalau lawannya bukan pe-
muda sembarangan. Namun Truna tidak mau menga-
lah begitu saja. Dengan mendengus, pemuda berwajah
pucat itu kembali menyerang.
"Kuhancurkan tubuhmu.... Heaaa...!"
"He he he... Kau begitu marah, Sobat? Ah, se-
sungguhnya berkelahi dalam keadaan marah sangat
berbahaya," celoteh Pendekar Gila sambil bergerak me-
liuk-liuk. Untuk mengelakkan tamparan dan pukulan
tangan lawan.
Truna benar-benar bernafsu untuk secepatnya
menjatuhkan lawan. Gerakan tangan dan kakinya se-
makin lama bertambah kencang. Tangannya seperti
sepasang sayap yang mengepak dan menghantam. Ke-
dua kakinya tak tinggal diam, ikut menyapu dan me-
nendang. Disusul dengan cengkeraman dan cakaran
keras yang mematikan.
"He he he...!" Pendekar Gila terkekeh, menyak-
sikan lawan terlihat semakin bernafsu untuk menga-
lahkannya. Dengan tangan menggaruk-garuk kepala,
Pendekar Gila merubah jurusnya. Tubuhnya menda-
dak seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk
Membelenggu Sukma'.
Melihat Pendekar Gila bagai tak memiliki tena-
ga sedikit pun, Truna semakin bernafsu untuk dapat
menjatuhkan lawan. Kemudian bersama pekikan
menggelegar, Truna mempercepat serangannya.
"Heaaat..!"
Dengan jurus 'Gagak Hitam Mencabik Bangkai'
Truna berkelebat. Tangannya yang mengejang, menca-
kar ganas ke muka dan dada lawan.
"Terimalah kematianmu, Pemuda Gila!"
Dengan tetap terhuyung-huyung, Pendekar Gila
segera menggeser tubuh ke samping. Tangannya me-
nepis serangan lawan dengan lemas.
"Akh...!"
Truna tersentak. Ditariknya cakaran tadi. Ke-
mudian kembali menyerang dengan cakaran tangan
yang lain.
"Uts...!" Pendekar Gila merundukkan kepala,
membuat cakaran lawan melesat di atas tubuhnya, la-
lu menghunjam pohon.
Crab!
Pendekar Gila dengan gerakan aneh, menampar
perut lawan dengan punggung tangan kanannya. Se-
dangkan tangan kirinya, memukul dada lawan sambil
mendorong.
Degk!
Bettt!
"Uhk...!" keluh Truna tertahan. Tubuhnya lang-
sung terlontar ke belakang. Beruntung pukulan yang
dilancarkan Pendekar Gila tidak seberapa keras, hing-
ga dia tidak mengalami luka dalam yang berarti.
Pendekar Gila tertawa dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala, membuat Truna semakin marah.
"Bedebah...! Aku akan mengadu nyawa den-
ganmu, Gila! Heaaa...!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Truna
kembali melakukan serangan. Bahkan kini dia menjadi
nekat, sehingga serangan-serangannya membabi buta
"He he he...!" Pendekar Gila terkekeh. Sementa-
ra itu, Suciati yang masih dalam keadaan tertotok
memandangi kedua pemuda itu dengan harap-harap
cemas. Meskipun belum mengetahui siapa pemuda
bertingkah gila itu, dia berharap agar Pendekar Gila
dapat memenangkan pertarungan itu. Namun dilihat
dari sikapnya, pemuda tampan berompi kulit ular san-
ca itu adalah pemuda baik-baik
"Hyang Widhi, semoga pendekar itu dapat men-
galahkan lelaki yang membunuh ayahku," bisik Suciati
dengan mata masih memandang pada pertarungan itu.
"Celaka! Edan...! Benar-benar jurus edan!" ru-
tuk Truna dengan wajah tegang. Dia sungguh tidak
menyangka kalau serangannya akan hancur begitu
rupa. Padahal lawan sepertinya mabuk
"He he he...!" Pendekar Gila kembali terkekeh,
lalu dengan gaya orang mabuk dia kembali menyerang.
"Uts...!"
Truna segera bersalto, berusaha mengelakkan
tamparan tangan Pendekar Gila. Wajahnya kini ber-
tambah tegang, malah hampir seputih kapas.
Suciati yang melihat pemuda berwajah pucat
itu terdesak, kini tanpa sadar tersenyum. Entah men-
gapa, dia begitu mengharapkan pemuda gila itu me-
menangkan pertarungan.
"Oh, Jagat Dewa Batara! Semoga kau menga-
bulkan doa ku," desis Suciati penuh harap. Senyum-
nya semakin mengembang, saat menyaksikan pemuda
gila itu terus mendesak lawan. Membuat Truna sema-
kin mundur dan mundur.
Pendekar Gila semakin mendesak lawan, hing-
ga keduanya jauh meninggalkan hutan. Kini mereka
berada di alam terbuka ketika tiba-tiba terdengar sua-
ra orang berseru,
"Tunggu...!"
***
Pendekar Gila menghentikan serangan lalu me-
lompat dua tombak ke belakang. Matanya memandang
ke arah timur, di mana terlihat empat lelaki tua berlari
menuju ke arahnya. Dan setelah dekat keempat lelaki
tua itu segera menjura hormat
"Terimalah salam hormat kami, Kisanak," kata
keempat lelaki tua itu berbareng.
Sena menggaruk-garuk kepala. Dia tak menger-
ti mengapa keempat lelaki tua itu menyampaikan hor-
mat padanya.
"Ah, mengapa Kisanak semua berbuat begitu?
Seharusnya, aku yang melakukan hal tersebut. Karena
menurutku, kalianlah yang patut dihormati."
"Ah, tidak begitu, Kisanak Kamilah yang harus
memberi hormat padamu," tutur lelaki tua bertubuh
sedang dengan otot menonjol, yang mengenakan rompi
coklat tua. Seperti warna ikat kepalanya, rambutnya
ikal tidak terlalu gondrong
Wajah lelaki itu begitu tenang, meski cambang
bauk menghiasi. Alis matanya tebal dan lebat Matanya
tajam, namun tak garang. Malah nampaknya sangat
ramah. Lelaki itu bernama Ki Wirapati, Ketua Padepo-
kan Cakra Geni.
Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang
mungkin seusia Ki Wirapati. Rambutnya agak putih
serta panjang terurai. Ikat kepalanya kuning dengan
lukisan kepala macan. Hidungnya mancung dan ma-
tanya agak sipit. Tak ada kumis, hanya jenggot tebal.
Sedangkan baju yang dikenakannya rompi seperti lo-
reng macan. Dialah Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan
Macan Loreng. Salah satu perguruan besar di wilayah
tengah.
Di sisi Ki Panca Loreng, berdiri seorang lelaki
berpakaian warna putih yang aneh. Keanehan itu terle-
tak pada lengannya yang buntung. Sedangkan jari-jari
lengan kanannya, bukan jari-jari biasa. Tapi terbuat
dari logam. Rambutnya putih terurai dengan ikat kepa-
la dari akar pohon. Wajahnya agak murung melu-
kiskan keprihatinan. Entah apa yang menjadi beban
pikirannya. Lelaki tua itu bernama Ki Yaksa Asti, Ke-
tua Perguruan Cakar Sewu.
Dan seorang lagi adalah lelaki bertubuh tinggi
besar dengan sorot mata tajam. Rambutnya digelung
ke atas. Pakaiannya mirip seorang resi. Di tangannya
tergenggam senjata berupa tombak bermata dua yang
panjangnya se lengan. Hidungnya besar, sedangkan
mulutnya tertutup oleh kumis yang lebat Dialah Ki
Tunggal Manik dari Perguruan Teratai Putih.
Setelah memandangi satu persatu keempat le-
laki tua yang masih tersenyum ramah ke arahnya, Se-
na mengaruk-garuk kepala sambil cengengesan
"Ah ah ah.... Kenapa harus begini?" tanyanya
masih menggaruk-garuk kepala. "Ah, antara kita be-
lum saling mengenal. Mengapa kalian menghormatiku
yang gila ini?"
Tanpa menghilangkan rasa hormat, keempat le-
laki tua itu memperkenalkan nama dan dari mana asal
mereka sebenarnya satu persatu.
Kepala Sena mengangguk-angguk. Sementara
tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya
tersungging senyum yang terlihat aneh. Kini mulai di-
ketahui, siapa mereka sebenarnya. Rupanya keempat
lelaki tua itu adalah orang-orang nomor satu di pergu-
ruan masing-masing. Nama mereka memang pernah
didengarnya.
"Hm...," gumam Sena perlahan. "Tak pantas ra-
sanya aku menerima hormat kalian. Bukankah kalian
lebih tua dariku dan memiliki nama besar yang patut
dihormati pula?"
"Kami yakin tak keliru," sahut Ki Wirapati.
"Benar," sambung Ki Yaksa Asti. "Kami yakin,
kaulah Pendekar Gila dari Gua Setan."
"Ah, rupanya pandanganmu tajam juga, Ki,"
gumam Sena sungkan, sambil tetap cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. "Tak dapat aku menutup diri
lagi dari pandangan kalian."
"Kami berharap, Kau sudi menerima hormat
kami...!" ujar keempat lelaki tua itu, seraya menjura
hormat
"Ah..., ah! Kalian jangan berlebihan terha-
dapku. Sekarang katakanlah, mengapa kalian meng-
hentikan pertarungan kami?" tanya Sena tegas.
"Maafkan kalau kami lancang. Sesungguhnya
kami ada urusan juga dengan bocah...," tiba-tiba Ki
Wirapati menghentikan ucapannya. Matanya meman
dang ke tempat Truna tadi berada. "Celaka, dia telah
pergi...!"
EMPAT
Semua mata seketika mengikuti pandangan Ki
Wirapati. Mata mereka terbelalak lebar, karena pemu-
da berwajah pucat itu telah berkelebat pergi ketika me-
reka tengah berbicara.
"Kita harus mendapatkannya!" kata Ki Tunggal
Manik.
"Sebenarnya, ada urusan apa antara kalian
dengan pemuda itu...?" tanya Sena ingin tahu.
Dengan cepat dan singkat, Ki Panca Loreng
menceritakan mengapa mereka hendak menangkap
sekaligus membunuh pemuda berwajah pucat itu. Pe-
muda yang dikenal dengan nama Anjasmara, Widura,
Rupasa, Kulana, dan kini bernama Truna itu sesung-
guhnya pemuda hidung belang. Dia telah banyak
membuat keresahan. Suka mengganggu istri orang dan
gadis-gadis. Bahkan anak-anak mereka mati setelah
diperkosa oleh pemuda itu.
"Begitulah ceritanya....." ucap Ki Panca Loreng,
mengakhiri ceritanya.
"Heh, mengapa kalian tak bilang dari tadi?"
sentak Sena.
Keempat lelaki tua itu tak menjawab. Mereka
hanya menundukkan kepala.
"Kalau begitu, kita kejar dia! Aku yakin, dia
kembali ke hutan. Ayo, jangan sampai kita terlambat,"
ajak Sena.
Kemudian, kelima orang ini segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar pemuda berwa-
jah pucat yang menjadi buronan keempat lelaki tua
tersebut
Apa yang diduga oleh Sena ternyata benar. Pe-
muda berwajah pucat yang memiliki banyak nama itu
tengah berlari ke arah hutan di mana Suciati berada.
Di bibirnya tersungging senyum, seakan puas dapat
lepas dari kelima orang yang tentunya akan membuat-
nya semakin repot.
"Huh, untung mereka tidak langsung menye-
rangku. Hm, ada gunanya juga pemuda gila itu..," gu-
mamnya sambil tersenyum-senyum. "Tapi aku tidak
habis pikir, siapakah pemuda gila itu? Ki Wirapati dan
lainnya menyebut Pendekar Gila. Ah, mungkinkah
pendekar yang hidup pada puluhan tahun silam mun-
cul lagi...?"
Truna terus memikirkan siapa sesungguhnya
pemuda berompi kulit ular yang seperti orang gila itu.
Dia terus mempercepat langkahnya agar segera sampai
di tempat Suciati berada.
"Dilihat dari gerakannya, memang persis den-
gan cerita orang-orang tua tentang Pendekar Gila.
Hm...," gumamnya kembali dengan hati yang dipadati
rasa penasaran. "Kalau benar dia Pendekar Gila, cela-
kalah aku! Rimba persilatan akan semakin bersih dari
orang-orang sepertiku. Ah, persetan dengan dia! Yang
penting aku harus mendapatkan Suci. Gadis itu san-
gat menggiurkan!"
Truna kembali tersenyum, ketika melihat Su-
ciati masih berada di tempatnya dalam keadaan terto-
tok. Mata gadis itu membelalak ketakutan, manakala
melihat kemunculannya.
"He he he.... Kita akan senang-senang, Manis!
Tak ada lagi yang akan mengganggu," kata Truna sambil melangkah mendekati tubuh Suciati yang semakin
ketakutan.
Dengan cepat digendongnya tubuh gadis itu di
pundak. Pemuda berwajah pucat ini hendak mening-
galkan tempat itu, tapi tiba-tiba terdengar suara gelak
tawa memenuhi hutan.
"Ha ha ha...!"
Truna terkejut. Matanya menyapu ke sekeli-
lingnya, mencari asal suara tawa itu.
"Pemuda gila itu...," desisnya kelu. Nampak
raut keterkejutan tergambar di wajahnya. Sehingga
wajahnya yang pucat semakin pucat pasi.
Tawa itu masih menggema, seakan-akan bera-
da di setiap penjuru hutan. Truna menjadi semakin
kebingungan, ketika suara itu berubah-ubah arah.
Terkadang di depan, di belakang, kemudian di sam-
pingnya.
Pemuda berwajah pucat itu perlahan menurun-
kan tubuh gadis yang tak berdaya dalam totokannya.
Dia berdiri mematung, dengan mata menyapu ke seke-
liling dengan wajah tegang.
"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Sobat! Tadi kuli-
hat kau tersenyum-senyum. Mengapa kini kau seperti
tikus ketakutan?"
Marah sekali Truna diejek seperti itu. Selama
malang-melintang di rimba persilatan, dia belum per-
nah takut
"Pemuda gila! Kalau kau memang lelaki, keluar-
lah! Tunjukkan mukamu! Aku Truna tak pernah takut
pada siapa pun!"
"Benarkah...?"
Tiba-tiba pemuda gila itu telah di belakangnya.
Tingkahnya masih tetap seperti tadi, cengengesan
sambil garuk-garuk kepala.
Truna terkejut, dan matanya melotot tegang ke-
tika mendengar suara pemuda gila itu di belakangnya.
Segera tubuhnya diputar.
"Kau..?!" desis Truna, geram.
"Ya, aku...," sahut Sena tegas. Namun tingkah
lakunya masih tetap seperti semula. Bahkan pemuda
gila itu kini tertawa terbahak-bahak. Hingga suaranya
menggema dalam sepinya hutan.
"Kenapa kau ikut campur urusanku?" tanya
Truna berusaha menutupi kesalahannya.
"Kenapa...? Ha ha ha.... Kau lucu sekali, Sobat.
Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk keluar
dari persembunyian ku? Itu berarti kau meminta ku
untuk ikut campur urusanmu," kata Sena dengan niat
meledek.
Belum juga mulut pemuda berwajah pucat itu
sempat menanggapi ledekan Sena, tiba-tiba dari arah
timur terdengar seruan seseorang.
"Kisanak, biarlah pemuda berandal itu kami
urus. Dia harus bertanggung jawab kepada kami atas
perbuatannya!"
Tidak lama kemudian, muncullah empat orang
lelaki tua yang terdiri dari empat pemimpin perguruan
berbeda.
Truna tersenyum melihat kedatangan empat le-
laki tua itu untuk menyembunyikan ketakutannya.
Malah dengan berpura-pura ramah, mulutnya melepas
basa-basi.
"Ah, sungguh kehormatan bagiku karena kalian
sebagai orang penting rimba persilatan sudi menemui-
ku."
"Tutup mulutmu, Iblis! Kami datang bukan un-
tuk mempercayai kata-katamu yang busuk!" dengus Ki
Wirapati kesal.
"Ya! Kami datang bukan untuk mempercayaimu
lagi. Tap kami datang untuk menghukum mu!" tambah
Ki Yaksa Asti dengan mata tajam menghunjam ke arah
pemuda berwajah pucat yang masih tampak tenang.
"Apa salahku, hingga kalian hendak menghu-
kumku?" tanya Truna kalem. Seakan dirinya benar-
benar tak berdosa. Hal itu membuat keempat orang
tua itu mendengus gusar.
"Bedebah! Masih juga kau menyembunyikan
muka di balik kedok bututmu, Bocah! Bukankah gadis
itu sebagai bukti siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak
Ki Panca Loreng.
"Ya, ikutlah kami untuk dihukum! Atau kau
harus berhadapan dengan kami?!" ancam Ki Tunggal
Manik.
Truna bagaikan tak gentar menghadapi keem-
pat orang tua itu. Mulutnya malah mengumbar tawa,
membuat keempat orang tua yang hendak menang-
kapnya mengerutkan kening dan saling pandang. Me-
reka seperti terkesima. Dan tanpa mereka sadari, tawa
yang dilepaskan pemuda berwajah pucat itu mengan-
dung ilmu tawa 'Pengikat Sukma'. Suatu ilmu yang
mampu membuat orang terkesima jika mendengarnya.
Pendekar Gila mengerutkan kening, menyaksi-
kan keempat tokoh tua itu hanya saling pandang ke-
bingungan. Dia hampir tak habis pikir, mengapa se-
muanya terkesima oleh tawa Pemuda berwajah pucat
itu? Karena lucu, tangan kanannya menggaruk-garuk
kepala serta tangan kirinya menepuk-nepuk pantat se-
raya tergelak-gelak.
"Ha ha ha...! Lucu..., lucu...!" oceh Pendekar Gi-
la, diselingi tawa mengguntur yang mampu mem-
buyarkan serangan ilmu tawa Truna.
Keempat lelaki tua itu tersentak, bagai baru
tersadar dari mimpi. Mata mereka langsung membela-
lak. Kemarahan mereka pun semakin menjadi-jadi.
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" seru Ki Wirapati.
***
Pendekar Gila yang merasa tak ada urusan
dengan pemuda berwajah pucat itu lagi, segera me-
lompat ke arah Suciati. Dibukanya totokan pada tubuh
gadis itu. Kemudian diajaknya menjauh dari arena per-
tempuran antara empat tokoh tua dengan pemuda itu.
Pertarungan antara keempat orang tua gagah
yang berusaha menangkap pemuda berwajah pucat itu
mulai berlangsung sengit. Keempat tokoh tua yang su-
dah tahu bagaimana ilmu pemuda itu, tanpa sungkan-
sungkan mengeroyoknya.
Urusan mereka sama. Karena mereka telah di-
perdayai oleh pemuda itu. Anak dan murid wanita
keempat tokoh tua itu telah menjadi korban rayuan
gombal si pemuda. Pantaslah jika mereka bergabung
untuk menuntut balas.
"Kau harus mampus, Buaya Darat! Heaaat..!"
Ki Wirapati membuka serangan dengan jurus
'Seribu Guntur'nya yang dahsyat. Kepalan tangannya
membara. Setiap dia memukul, deru angin panas lak-
sana guntur bersahutan.
"Hm.... Percuma kau melawanku!" ujar Truna,
meremehkan lawannya.
"Bangsat rendah! Jangan sombong! Heaaa...!"
Ki Wirapati terus melancarkan serangan. Tan-
gannya bergerak cepat Terkadang memukul, kemudian
menangkis. Suatu gerakan yang hebat, cepat dan ber-
bahaya. Namun ucapan pemuda itu terkadang me-
mang tidak kosong. Dengan tenang dia menanggapi serangan lawan.
"Hiaaat..!"
"Hup...!"
Sambil menekuk kedua kakinya sedemikian
rupa, Truna melebarkan kakinya ke samping. Kemu-
dian dengan cepat kaki kanannya diangkat, lalu me-
nendang. Sedangkan tangannya menepak untuk me-
nepis pukulan lawan.
Plak!
"Uhhh...!"
Cepat-cepat Ki Wirapati membuang tubuh ke
samping. Kalau tidak, tentu iganya akan patah terkena
tendangan lawan yang keras dan mematikan.
"Sudah kukatakan, percuma kalian melawan-
ku...," ejek pemuda berwajah pucat itu sambil terse-
nyum sinis.
"Sombong! Jangan pongah dulu, Buaya Darat!
Terimalah kematianmu! Heaaat.."
Kini Ki Yaksa Asti yang menyerang. Tangan ka-
nannya yang terbuat dari logam bergerak cepat, men-
cakar ke arah lawan. Gerakannya sangat cepat, se-
hingga tangannya tampak banyak sekali. Karena itulah
dia berjuluk si Cakar Seribu.
Truna tersenyum pongah. Dengan tenang se-
rangan lawan dielakkannya. Tubuhnya bergerak lin-
cah, meliuk, dan melentur menghindari. Dengan
menggunakan jurus 'Gagak Merunduk Mengelak
Elang', pemuda berwajah pucat itu terus berkelit dari
cakaran lawan.
"Hiaaat..!"
"Uts...! Masih belum, Ki?!" ejeknya.
Kepongahan pemuda berwajah pucat itu sema-
kin menjadi-jadi, membuat muka Ki Yaksa Asti merah
padam. Matanya semakin melotot lebar. Dia kemudian
meningkatkan serangannya. Tangannya bergerak lin-
cah, mencakar ke samping, ke atas, lalu ke bawah.
Kalau saja Truna tak gesit dan lincah dalam
mengelak, sudah pasti tubuhnya akan hancur terca-
bik-cabik cakar lawan. Namun pemuda berwajah pucat
itu bagai telah tahu jurus-jurus lawan, dengan enteng
dia mengelitkan serangan-serangan lawan.
"Percuma kau mengeluarkan jurus 'Cakar Lan-
git'mu, Ki!" ejek Truna ketus, membuat Ki Yaksa Asti
terkejut karena jurusnya telah dikenali lawan
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Buaya Da-
rat!" bentak Ki Yaksa Asti.
"Kau lupa kalau dua tahun aku berada di per-
guruanmu," ujar Truna setelah tertawa tergelak-gelak,
"Bangsat..! Heaaa!"
Ki Yaksa Asti kembali melancarkan serangan.
Kini tak dipedulikannya ocehan pemuda berwajah pu-
cat itu. Dia harus bisa menjatuhkan pemuda itu dan
membunuhnya bila perlu.
Namun Truna ternyata benar-benar telah tahu
semua jurusnya. Hingga dengan mudah pemuda ber-
wajah pucat itu mampu mengatasi serangannya. Bah-
kan tanpa diduga Ki Yaksa Asti, dia mampu mengelua-
rkan suatu jurus gabungan yang dahsyat Jurus 'Cakar
Seribu' digabung dengan jurus dari Padepokan Cakar
Sewu.
"Celaka...!" pekik Ki Yaksa Asti dengan mata
melotot kaget. Bukan hanya dia, Ki Wirapati pun terke-
jut menyaksikan bagaimana pemuda berwajah pucat
itu menggabungkan jurus padepokannya dengan jurus
Perguruan Cakar Sewu.
"Kurang ajar! Licik...!" rutuk Ki. Wirapati.
"Lebih baik kita serang dia bersama-sama! Ku-
rasa dia pun telah menyerap jurus-jurus milik kita,"
saran Ki Tunggal Manik.
"Baiklah! Kita memang tak perlu malu!" sahut
Ki Panca Loreng setuju. Kemudian mereka langsung
menyerang Truna bersama-sama.
"Heaaa...!"
Meski dikeroyok oleh empat orang tokoh silat
berilmu tinggi, pemuda berwajah pucat itu masih te-
nang. Dia masih mencibirkan bibirnya sambil meladeni
serangan-serangan lawan. Meski kelihatannya pemuda
itu agak kerepotan mengelakkan serangan keempat
lawan, namun wajahnya tak sedikit pun tergambar ra-
sa takut
"Rupanya kalian telah menjadi orang pengecut!"
dengusnya penuh kesinisan. Sedangkan tangan dan
kakinya bergerak menyerang atau menangkis serangan
lawan.
"Persetan dengan ucapanmu! kau harus segera
kami singkirkan dari dunia, agar gadis-gadis aman!"
dengus Ki Panca Loreng sengit. Tangannya yang berge-
rak seperti tangan macan, terus berusaha merangsek
lawan.
"Heaaat..!"
"Uts...! Hiyaaa...!"
Pertarungan keempat orang tua melawan seo-
rang pemuda yang berwajah pucat itu berlangsung se-
ru. Keempat orang tua itu berusaha secepatnya untuk
merobohkan lawan. Jurus-jurus mereka bergantian
menyerang. Hal itu cukup merepotkan Truna yang kini
hanya mampu bertahan.
"Heaaat..!"
"Hup...! Heaaa...!"
Pertarungan itu masih terus berlangsung. Tak
ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semua
hanya terpusat pada pertarungan itu. Keempat orang
tua yang terus menyerang, tak mau menganggap en-
teng pemuda berwajah pucat yang telah menyerap ilmu
perguruan mereka. Sedangkan Truna pun tidak mau
mati konyol begitu saja. Dia terus saja mengelakkan
serangan lawan-lawannya.
Tanpa terasa pertarungan itu terus bergeser
dari tempat semula. Kini keempat lelaki tua itu terus
menggiring Truna keluar dari hutan.
Sementara Sena dan Suciati hanya menonton.
Mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengikuti
pertarungan antara pemuda berwajah pucat melawan
keempat tokoh tua.
"Kita ikuti mereka, Nona," ajak Sena. Suciati
sesaat menatap wajah Sena dalam-dalam, membuat
bibir pemuda tampan itu tersenyum-senyum dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang
persis orang gila datang lagi, setelah hilang beberapa
saat
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pen-
dekar," kata gadis itu dengan rasa haru, semakin
membuat Sena kebingungan. Terlebih ketika melihat
air matanya mengalir membasahi pipi. "Kalau saja tak
ada Tuan, entah sudah bagaimana nasibku."
"Ah, mengapa begitu?" ujar Sena setelah terta-
wa cekikikan. Tangannya masih menggaruk-garuk ke-
pala.
Suciati tak langsung menjawab. Kembali dita-
tapnya wajah Sena, meski telah melihat tingkah laku
pemuda itu sejak awal, namun gadis itu belum yakin
kalau pemuda tampan dan gagah itu benar-benar gila.
Itu sebabnya dia beberapa kali menatap wajah Sena,
seakan-akan ingin meyakinkan hatinya. Setelah yakin
kalau pemuda tampan itu memang tidak sungguh-
sungguh gila, barulah dia berkata,
"Jika tidak, tentunya pemuda itu sudah mem-
perkosaku."
Tanpa diminta, Suciati menceritakan hal yang
telah menimpa dirinya. Ayahnya, Adipati di Tegal
Arang telah mati di tangan Truna, ketika dia memergo-
ki pemuda berwajah pucat itu tengah bergumul den-
gan ibu tiri nya. Setelah kematian ayahnya, pemuda
itu hendak memperkosanya.
"Untunglah Tuan Pendekar datang.... Kalau ti-
dak, entah bagaimana nasibku," ulang Suciati dengan
terisak.
"Ah ah ah, jangan menangis, Nona.... Hu hu
hu.... Aku jadi sedih," Sena turut menangis. Hatinya
terenyuh mendengar penuturan Suciati. Tapi tiba-tiba
dia tergerak sambil bergumam lirih. "Oh, persoalan ke-
hidupan memang tak akan ada habisnya. Sudahlah,
Nona. Tak perlu ditangisi apa yang telah terjadi. Ayo-
lah, kita lihat apa yang tengah terjadi."
Kemudian Sena menggandeng tangan Suciati
meninggalkan tempat itu untuk melihat apa yang ter-
jadi pada keempat pendekar tua yang tengah menge-
royok pemuda berwajah pucat
Pertarungan ternyata masih berlangsung sengit
dan telah sampai di bibir sebuah jurang dalam yang
menganga. Siap memangsa siapa saja yang terperosok
ke dalamnya.
Kelihatannya pemuda berwajah pucat sudah
tak dapat berbuat banyak. Wajahnya bersimbah darah
seperti ada bekas cakaran. Entah itu hasil serangan Ki
Yaksa Asti atau Ki Panca Loreng.
Pemuda berwajah pucat itu benar-benar terde-
sak. Pandangan matanya gelap karena tertutup darah.
Hingga ketika Ki Wirapati dengan pukulan 'Seribu
Guntur'nya menyerang, pemuda itu tak dapat mengelak lagi.
"Terimalah kematianmu. Heaaa...!"
Degk!
"Uhk...! Wuaaa...!"
Darah langsung tersembur dari mulut pemuda
itu, kemudian tubuhnya yang limbung terjerumus ke
jurang disertai lengkingannya yang menyayat
Keempat orang tua itu tertegun, memandang ke
bawah jurang yang sangat dalam. Mereka menghela
napas lega, merasa biang keladi yang telah banyak
memangsa gadis-gadis telah dapat dibinasakan.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil mengga-
ruk-garuk kepala, membuat keempat lelaki tua itu ter-
sentak. Mereka segera mengalihkan pandangan ke
arah Pendekar Gila yang berdiri di sisi Suciati.
"Kisanak, kalau kau tak keberatan, kami ingin
mengajak mu ke padepokan kami," kata Ki Wirapati se-
tengah mengajak.
"Ah, sebuah kehormatan bagiku. Baiklah, Ki....
Sekalian aku ingin menimba lebih banyak pelajaran
hidup darimu," jawab Sena. "Oh, ya. Gadis ini adalah
putri Kanjeng Adipati...."
"Putri Kanjeng Adipati...?!" ucap empat tokoh
tua itu hampir berbareng.
Mata mereka membelalak setelah mendengar
penuturan Sena. Keempatnya seketika memandang ke
arah Suciati dengan seksama. Kemudian serentak me-
reka menjura hormat.
"Ampuni kami yang tak tahu adat ini, Kanjeng
Putri!"
"Tak apa, Paman. Aku kini bukan anak Kanjeng
Adipati lagi. Ayahanda telah tiada," tutur Suciati sam-
bil berlinang air mata, membuat kelima orang lelaki itu
turut terhanyut dalam kesedihannya.
"Kanjeng Putri, kalau kami boleh tahu... apa
yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Ki Wirapati.
"Hamba lihat, tadi Kanjeng Putri bersama pemuda iblis
itu."
Dengan terisak, Suciati menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Diceritakan awal mula kejadian
yang akhirnya menimpa keluarganya. Mulanya datang
seorang pemuda berwajah pucat yang mengaku ber-
nama Truna ke kadipaten untuk mencari pekerjaan.
"Dari pertama aku sudah tidak simpati pa-
danya. Sorot matanya sangat jalang dan memendam
nafsu. Namun ayahanda tak mau percaya...," tutur
Suciati.
Kelimanya diam. Tak ada yang buka suara. Se-
na masih menggaruk-garuk kepala. Namun mukanya
tidak cengengesan seperti biasa. Pemuda itu seperti tu-
rut terbawa alur cerita yang dituturkan Suciati.
Setelah sesat menarik napas panjang dan da-
lam, Suciati meneruskan.
"Sering aku memergoki pemuda itu bercakap-
cakap dengan ibu tiri ku. Aku semakin curiga. Hingga
pada akhirnya kulihat sendiri apa yang mereka laku-
kan. Sungguh terkutuk perbuatan mereka!"
Sampai di sini, mimik muka Suciati nampak
geram. Sedangkan sepasang matanya berkilat-kilat
menahan amarah.
"Saat itu, sebagai seorang gadis aku tak tahu
harus berbuat apa melihat perbuatan terkutuk itu.
Aku hanya bisa memendam kejengkelan. Rupanya
ayah terjaga ketika hari menjelang pagi. Dan ayah
memergoki mereka, hingga terjadi pertarungan antara
ayah dan pemuda itu...."
"Kami turut berduka cita," ucap keempat lelaki
tua dengan suara penuh keharuan. Apalagi mereka kini mendengar isak tangis Suciati yang semakin menja-
di-jadi.
"Lalu, apa yang hendak Tuan Putri lakukan?"
tanya Ki Panca Loreng memberanikan diri untuk buka
mulut
Suciati hanya menggeleng. Namun kini tata-
pannya tertuju pada Sena. Sepertinya dia meminta
pendapat dari pemuda itu. Sementara yang ditatap
hanya menggaruk-garuk kepala, tak tahu apa yang ha-
rus dikatakannya.
"Apakah Tuan Putri hendak ikut Tuan Pende-
kar?" tanya Ki Wirapati yang melihat Suciati masih
memandang Sena.
"Kalau boleh," sahut Suciati, bernada pasrah.
Mendengar jawabannya, Sena merasa bingung.
Tangannya menggaruk-garuk kepala semakin keras.
Lalu dahinya ditepuk dengan tangan kiri.
"Ah, mengapa begitu?" katanya dengan suara li-
rih.
"Apakah Tuan tak sudi menerimaku? Sedang-
kan Tuan telah menolongku?" desak Suciati, semakin
membuat Sena kebingungan.
Pendekar muda itu cengengesan Kemudian bi-
birnya memperlihatkan nyengir kuda seraya mengge-
leng-geleng kepala.
"Ah ah, bukan begitu, Tuan Putri."
"Lalu apa yang membuat Tuan ragu?" desak
Suciati.
"Entahlah, aku tak tahu. Yang pasti, aku tak
mungkin membawamu. Ah, mengapa aku bodoh? Bu-
kankah lebih baik kau bersama Ki Wirapati?" saran
Sena. "Bagaimana, Ki?"
"Aku tak keberatan," sahut Ki Wirapati.
"Ah, syukurlah. Tuan Putri, kuharap kau mau
menerima uluran tangan Ki Wirapati. Bukannya aku
tak mau diikuti olehmu. Namun langkahku tak menen-
tu. Aku hanya mengikuti naluri belaka. Kau tak akan
sanggup, Tuan Putri. Nah, kuharap Tuan Putri pa-
ham...," tutur Sena.
"Bagaimana kalau Kisanak mampir di pe-
sanggrahan ku?" ajak Ki Wirapati.
Sena tak langsung menjawab. Wajahnya mena-
tap langit, di mana mentari belum tinggi. Kepalanya
digaruk-garuk, sedangkan mulutnya nampak nyengir.
"Baiklah! Tak baik rasanya menolak ajakan
mu," setelah terdiam beberapa saat, akhirnya menye-
tujui ajakan itu.
Mereka kemudian segera meninggalkan tempat
yang kembali sepi itu. Angin pagi bertiup lembut,
membawa rasa sejuk bagi siapa saja yang diterpanya.
Sedangkan mentari pelan merayap naik.
***
LIMA
Tubuh Truna menukik deras ke dalam jurang
yang dinamakan Jurang Neraka. Tentu tubuhnya akan
hancur, jika menghunjam dasar Jurang Neraka yang
berbatu setajam pisau.
Saat tubuh Truna melayang, berkelebat sesosok
tubuh bungkuk bagai terbang. Kemudian dengan cepat
menyambar tubuh pemuda itu, sebelum sampai ke da-
sar Jurang Neraka.
Tappp!
Tubuh kecil dan bungkuk berpakaian serba hi-
tam itu ternyata seorang wanita tua. Dia terus berkelebat sambil memanggul tubuh Truna. Dilihat dari ca-
ranya menangkap tubuh pemuda itu, tentunya dia bu-
kan orang sembarangan. Dialah Dewi Bunga Iblis, to-
koh wanita sesat yang pernah malang-melintang di
rimba persilatan puluhan tahun silam. Kini tiba-tiba
dia muncul kembali, menolong pemuda berwajah pucat
yang tubuhnya hampir saja hancur.
"Licik...! Mereka licik! Tunggu saatnya, kalian
akan mendapatkan balasan atas perbuatan kalian!" ru-
tuk Dewi Bunga Iblis sendirian sambil berlari memba-
wa pemuda yang wajahnya bersimbah darah.
Dewi Bunga Iblis membawa tubuh pemuda itu
ke sebuah tempat di sekitar Jurang Neraka, tepatnya
sebuah gubuk yang sangat sederhana. Di dalam gubuk
itu, terdapat sebuah tempat tidur yang terbuat dari ba-
tu. Di situlah tubuh Truna dibaringkan.
Perempuan tua itu sejenak memandangi tubuh
Truna.
"Hm.... Rupanya puluhan tahun aku tak berke-
cimpung dalam rimba persilatan, menjadikan mereka
tenang mempelajari dan memperdalam ilmu," gumam-
nya seraya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
Perlahan perempuan tua itu membuka pakaian
Truna yang penuh darah. Matanya seketika membela-
lak, saat menyaksikan sesuatu di dada pemuda itu.
"Pukulan 'Seribu Guntur'!" pekiknya tanpa sa-
dar.
Dewi Bunga Iblis menyurut mundur dengan
mata masih memandang tajam ke dada pemuda yang
ditolongnya. Sepertinya dia sangat mengenali pukulan
itu
"Wiasa keparat! Rupanya dia telah melanggar
janji!" dengusnya dengan wajah bengis. "Licik! Dia te-
lah mengangkat murid!"
Lalu kaki perempuan tua itu kembali melang-
kah, mendekati tubuh Truna. Dirabanya dada si pe-
muda.
Kepala perempuan tua itu mengangguk-
angguk, sementara bibirnya terulas senyum tipis. Ke-
mudian dari bibir yang keriput itu terdengar guma-
man.
"Wiasa, karena kau telah mengangkat murid,
maka aku pun akan mengangkat murid pula. Bocah
ini akan menjadi muridku! Dialah yang akan menggan-
tikan ku! Hik hik hik...," ujar Dewi Bunga Iblis sambil
tertawa mengikik nyaring.
Kemudian dengan mulut berkomat-kamit me-
rapal mantera, Dewi Bunga Iblis menekankan telapak
tangannya ke dada Truna. Dan tak lama kemudian,
asap mengepul di antara tangan dan dada yang me-
nyatu itu.
"Akh...!"
Truna menjerit kesakitan. Tubuhnya mengge-
liat, berusaha menahan rasa sakit Namun Dewi Bunga
Iblis tak peduli. Dia terus menekan telapak tangannya
dengan mulut masih komat-kamit merapal mantera.
Sedangkan matanya terpejam rapat. Semakin keras te-
kanan telapak tangannya, semakin banyak asap yang
mengepul.
"Aaakh...!"
Truna makin keras menjerit. Keringat sebesar
biji jagung yang bercampur darah tersembul dari wa-
jahnya yang pucat. Begitu juga dengan Dewi Bunga Ib-
lis. Keringat tampak membanjiri seluruh tubuhnya.
Lama kejadian itu berlangsung. Pada akhirnya,
dengan napas terengah perempuan tua itu berhenti.
Dan ketika tangannya diangkat, bekas pukulan yang
menghitam di dada Truna telah hilang.
Dewi Bunga Iblis terhuyung meninggalkan tem-
pat itu. Dia harus melakukan semadi untuk memulih-
kan tenaga dalamnya yang telah dikuras untuk me-
nyembuhkan luka akibat pukulan maut 'Seribu Gun-
tur'.
Pemuda yang tadi menjerit-jerit kesakitan den-
gan tubuh bergelinjangan, kini terdiam. Rupanya dia
tertidur pulas. Napasnya yang tadi tersengal-sengal,
kini terdengar agak teratur.
***
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Truna. Bi-
birnya meringis, merasakan sakit yang masih mendera
wajahnya.
Dari dalam sebuah kamar, Dewi Bunga Iblis
melangkah terbungkuk-bungkuk. Wajahnya yang se-
mula letih, kini telah kembali seperti semula. Malah
langsung berbinar manakala melihat pemuda yang di-
tolongnya nampak menggeliat sadar.
"Hik hik hik...! Akhirnya kau sadar juga," kata
Dewi Bunga Iblis sambil menghampiri tubuh Truna
yang masih terbaring di atas pembaringan batu.
"Di mana aku...?" tanya Truna setengah bergu-
mam sambil memandang ke sekelilingnya. Kemudian
matanya tertuju ke sosok tua renta, bungkuk, dan
agak menyeramkan. "Siapa kau? Apakah aku di nera-
ka...?"
Dewi Bunga Iblis terkikik mendengar perta-
nyaan yang dilontarkan oleh anak muda itu. Kepa-
lanya mengangguk-angguk, sedang matanya menyipit
memandang Truna.
"Kau memang ada di neraka. Hik hik hik... Kita
memang ada di neraka, Anak Muda. Namun sebentar
lagi kau akan ke surga. Hik hik hik,..!"
Tubuh Truna terlonjak mendengar jawaban pe-
rempuan tua itu. Dia hendak bangun, tapi cepat di-
cegah Dewi Bunga Iblis.
"Jangan bangun dulu, Anak Muda. Kau masih
lemah. Hik hik hik...! Tenanglah, kau aman di sini,"
kata Dewi Bunga Iblis sambil menekankan jari-jarinya
ke dada si pemuda.
"Siapa kau, Nek?"
"Aku...? Orang-orang menyebutku Dewi Bunga
Iblis. Hik hik hik...! Dan siapa kau, Anak muda...?" ba-
lik tanya perempuan tua itu. Matanya yang menyipit
memandangi wajah Truna yang dikotori darah.
"Dewi Bunga Iblis...!" sentak Truna mendengar
nama wanita tua itu. "Tidakkah aku benar-benar di
alam kematian? Bukankah menurut kabar kau telah
mati?"
Dewi Bunga Iblis tertawa mendengar perta-
nyaan tadi. Dan karena terlalu kuatnya tertawa, tubuh
bungkuknya sampai terguncang-guncang.
"Hik hik hik...! Itu omong kosong! Aku memang
sengaja menghilang dari rimba persilatan. Tapi setelah
melihatmu, hatiku tertarik untuk kembali. Aku juga
ingin tahu desas-desus yang telah kudengar...," celo-
tehnya.
"Jadi...."
"Ya! Aku akan kembali ke rimba persilatan un-
tuk membuktikan desas-desus tentang Pendekar Gila
dari Gua Setan. Hik hik hik...! Kalau dulu aku pernah
di-pecundangi, tapi kini tak akan lagi! Hik hik hik...!"
"Benar apa yang kau katakan, Nek," tukas Tru-
na cepat "Pendekar Gila memang muncul kembali. Tapi...."
"Tapi apa...?" potong Dewi Bunga Iblis.
"Dia masih muda."
"Ah...?!"
Mata Dewi Bunga Iblis membelalak, meman-
dang tajam pada pemuda di hadapannya. Sepertinya
dia tidak percaya mendengar penuturan pemuda itu.
"Apakah kau tak bercanda, Bocah?!"
"Sama sekali tidak, Nek. Bahkan aku tadi sem-
pat bertarung dengannya," jawab pemuda berwajah
pucat itu, meyakinkan.
Dewi Bunga Iblis mengangguk-angguk menger-
ti. Lama dia tercenung setelah mendengar penuturan
pemuda itu. Keningnya berkerut, seperti tengah memi-
kirkan kebenaran penuturan Truna.
"Hm, rupanya rimba persilatan telah banyak
berubah. Hik hik hik...! Aku semakin tertarik. Hm, tapi
biarlah dulu. Kau harus ku didik dahulu, sebelum
kembali ke luar. Dengar baik-baik, Anak Muda. Sejak
saat ini, kau kuangkat sebagai muridku!"
Truna mengeryitkan dahi. Alisnya bertaut ra-
pat. Dia tak percaya pada perkataan yang baru saja
didengarnya. Menjadi murid Dewi Bunga Iblis, tokoh
tingkat atas golongan sesat?
"Apa..., apakah aku tidak salah dengar. Nek?"
tanyanya ragu.
Dewi Bunga Iblis menggeleng mantap, seraya
menyunggingkan senyumnya yang tampak seperti se-
buah seringai.
"Oh, terima kasih, Nek. Aku sungguh senang
menjadi muridmu," ucap Truna seraya bangkit dan
hendak berlutut, namun perempuan tua itu mence-
gahnya.
"Sudahlah, tak perlu berlaku begitu. Kau harus
sabar di Jurang Neraka ini selama empat puluh hari
untuk melakukan latihan ilmu yang akan aku wa-
riskan padamu. Ilmu itu bernama 'Kumbang Hitam
Menyengat Bunga'," ucap Dewi Bunga iblis dengan ge-
tar bangga pada suaranya.
"Terima kasih, Guru...."
Sejak saat itu, Truna resmi menjadi murid
tunggal Dewi Bunga Iblis. Seorang tokoh sesat yang
pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan
tahun silam, tanpa ada yang mampu mengalahkannya,
kecuali Pendekar Gila dari Gua Setan. Dan sejak dipe-
cundangi pendekar aneh tersebut, dia memutuskan
untuk meninggalkan rimba persilatan.
***
Sore itu di Padepokan Cakra Geni nampak du-
duk tiga orang di ruang utama. Dua lelaki dan seorang
wanita muda nan cantik. Ketiganya adalah Ki Wirapati,
Pendekar Gila, dan Suciati. Sore itu mereka tengah
berbincang-bincang, membicarakan rencana mereka
masing-masing.
"Biarlah Tuan Putri tinggal bersamaku," kata Ki
Wirapati menyarankan. "Anggaplah aku yang bodoh
dan tak berguna ini sebagai ayahmu."
"Terima kasih, Ki," sahut Suciati. "Sungguh aku
tak bisa membalas jasa baikmu ini. Dalam keadaan
terkatung-katung sebarang kara, ternyata masih ada
yang sudi memperhatikan ku."
"Sudahlah, tak ada yang perlu disedihkan. Kini
anggaplah semua kejadian menyakitkan yang menim-
pamu sebagai mimpi buruk. Saat kau terbangun, aku-
lah ayahmu. Bukan Kanjeng Adipati," tutur Ki Wirapati
penuh ketulusan. Lalu dia mengalihkan pertanyaan
pada Pendekar Gila yang duduk di hadapannya. "Bagaimana menurutmu, Sena?"
Bibir Sena nyengir ditanya begitu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, aku sungguh bahagia mendengarnya. Me-
mang sepantasnya Tuan Putri menerima tawaran Ki
Wirapati."
"Terima kasih atas pendapatmu, Sena. Lalu ka-
lau boleh ku tahu, hendak ke mana tujuanmu...?"
tanya Ki Wirapati setelah menjura hormat
Sena tidak langsung menjawab pertanyaan
orang nomor satu di Padepokan Cakra Geni itu. Wa-
jahnya ditengadahkan, seperti tengah memikirkan se-
suatu.
"Entahlah, aku tak tahu harus ke mana. Aku
hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Namun,
sebenarnya aku hendak mencari paman ku. Dia satu-
satunya keluarga ayahku yang masih hidup. Tapi en-
tah di mana dia kini," gumam Sena.
Ki Wirapati terdiam, tampak terharu menden-
gar penuturan pendekar muda itu.
"Apakah tidak sebaiknya kau menginap bebe-
rapa hari di padepokan ini?" tanyanya kemudian.
"Oh, terima kasih," kata Sena. "Sungguh se-
nang aku mendengar tawaranmu, Ki. Tapi aku tidak
bisa tinggal lama. Masih banyak yang harus kulaku-
kan untuk menyelami kehidupan yang beragam ini."
Ki Wirapati mengangguk-angguk mengerti. Di-
helanya napas panjang sebelum kembali berkata,
"Kalau begitu, aku tak dapat memaksa. Dunia
ini memang masih memerlukanmu, Sena. Aku hanya
bisa berdoa, semoga kita dapat bertemu lagi"
"Aku pun berharap begitu," sahut Sena. "Izin-
kanlah aku pamit"
"Baiklah. Semoga kau selalu dilindungi Hyang
Widhi," ucap Ki Wirapati seraya bangun dari duduk-
nya, diikuti oleh Suciati.
"Kuucapkan terima kasih atas semuanya, Ki,"
tutur Sena, kemudian matanya memandang Suciati
yang tertunduk. "Semoga Tuan Putri betah di sini.
Anggaplah Ki Wirapati ayahanda Tuan Putri sendiri. Ki,
aku pamit untuk melanjutkan pengembaraanku men-
cari paman ku dan mempelajari kehidupan."
"Ku iringi dengan doa," kata Ki Wirapati sambil
menjura, membalas bungkukan Sena. Kemudian Ki
Wirapati dan Suciati melangkah di belakang Sena,
mengiringi kepergiannya.
Sampai di pintu gerbang padepokan, Sena
menghentikan langkahnya. Tubuhnya dlbalikkan, lalu
memandang Ki Wirapati yang berdiri di sisi Suciati.
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki. Dan
untuk Tuan Putri, saya berharap agar dapat menye-
suaikan diri di lingkungan yang baru. Aku mohon pa-
mit," kata Sena seraya kembali menjura.
"Jangan sungkan-sungkan bertandang ke sini,
Sena. Pintu padepokan senantiasa terbuka untukmu,"
ucap Ki Wirapati lirih.
"Aku akan bertandang, Ki," janji Sena.
Lalu, pendekar muda itu berkelebat dengan ce-
pat. Dalam sekejap tubuhnya menghilang ditelan ke-
remangan senja. Sedangkan Ki Wirapati dan Suciati
masih tertegun menyaksikan bagaimana pemuda itu
berkelebat sangat cepat.
"Sungguh-sungguh pewaris ilmu Si Gila," bisik
Ki Wirapati perlahan. "Mari kita masuk...."
Kemudian tanpa banyak bicara, Suciati segera
mengikuti langkah ayah angkatnya. Mereka masuk ke
padepokan, di mana puluhan muridnya tengah mela-
kukan latihan.
ENAM
Empat puluh hari telah berlalu sejak kejadian
di Jurang Neraka. Selama itu, Kadipaten Tegal Arang
kembali tenang. Tak ada perkosaan atau gadis yang
mati setelah diperkosa.
Penduduk kadipaten kini merasa yakin kalau
pelaku pemerkosaan dan pembunuhan para gadis ada-
lah pemuda berwajah pucat itu. Terbukti setelah pe-
muda itu hilang, kejadian-kejadian seperti dulu tak
ada lagi.
Hari menjelang malam. Suasana di Perguruan
Cakar Sewu yang dipimpin oleh Ki Yaksa Asti nampak
sepi. Semua penghuni perguruan tengah beristirahat
setelah seharian melakukan kegiatan.
Di ruangan besar, tempat yang biasa digunakan
untuk mengadakan pertemuan, nampak Ki Yaksa Asti
duduk di atas kursinya. Di hadapannya bersila dua
orang murid utama. Dua pemuda berpakaian rompi lo-
reng dengan tubuh kekar yang menandakan keduanya
selama ini melakukan latihan keras, duduk dengan
muka tertunduk.
"Wilapati! Dan kau, Wilayuda," panggil Ki Yaksa
Asti pada kedua murid utamanya.
"Saya, Guru...," jawab keduanya seraya menju-
ra. Ki Yaksa Asti menghela napas pelan. Matanya me-
mandang ke pintu ruangan yang masih terbuka. Tata-
pannya kosong, seakan memendam perasaan. Setelah
beberapa saat memaku pandangan ke arah pintu,
pandangannya dialihkan ke arah dua murid utamanya.
"Wilapati dan Wilayuda, ketahuilah oleh kalian
berdua. Aku sudah tua. Sepertinya aku harus segera
melimpahkan tanggung jawab perguruan ini pada kalian...."
Belum juga usai Ki Yaksa Asti, tiba-tiba terden-
gar tawa menggelegar dari luar. Tawa itu begitu dah-
syat, mampu menggetarkan dada ketiga orang yang be-
rada di ruang pertemuan.
"Ha ha ha...! Kalau kau memang sudah tak
sanggup lagi memimpin Perguruan Cakar Sewu, lebih
baik kau mampus saja...!"
Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tersentak
mendengar suara lancang itu. Ketiganya seketika ber-
diri dengan mata mengawasi arah datangnya suara ta-
di.
"Kurang ajar! Cecunguk manakah yang berani
lancang berkoar di hadapan guru kami?!" bentak Wila-
pati, tak bisa mengendalikan gejolak kegusarannya.
Usai berkata demikian, Wilapati melesat keluar
diikuti Wilayuda dan sang Guru. Mereka berhenti di
halaman perguruan. Mata mereka menatap geram pa-
da dua orang yang sudah berdiri di halaman pergu-
ruan.
Tampak seorang lelaki kurus dengan tubuh
terbalut kain hitam dari ujung rambut hingga ujung
kakinya. Hanya matanya saja yang terlihat. Rupanya
lelaki tinggi kurus terbungkus kain hitam itu yang tadi
melontarkan ucapan yang dianggap lancang oleh keti-
ga orang Perguruan Cakar Sewu.
Seorang lagi adalah perempuan tua berbadan
agak bungkuk. Pakaian yang dikenakannya juga hi-
tam. Matanya liar dan bengis. Dan ketika terkekeh,
nampak giginya yang tinggal beberapa biji.
"Siapa kalian?!" bentak Wilapati.
Lelaki berpakaian serba hitam itu tertawa. Begi-
tu juga si nenek Tawa mereka sangat menggetarkan
hati yang mendengarnya. Terlebih tawa lelaki terbalut
kain hitam yang sekuat halilintar. Kalau saja ketiga
orang itu tak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu me-
reka sudah mati.
"Hei! Apakah kalian orang-orang gila yang ter-
sasar ke sini?! Kalau benar, pergilah! Jangan sampai
kami mengusirmu!" bentak Wilayuda agak geram meli-
hat kedua orang itu yang seakan meremehkan gu-
runya.
"Hik hik hik..!" si nenek tertawa. "Mulutmu lan-
cang, Bocah! Begitukah cara kalian menyambut tamu?!
Sungguh memalukan! Perguruan Cakar Sewu yang ka-
tanya ramah, ternyata hanya bualan kosong belaka!"
Wajah Ki Yaksa Asti merah padam mendengar
ucapan nenek itu. Matanya melotot, memandang pe-
nuh kemarahan pada kedua tamu yang tak diundang
itu. Kemudian tangan kanannya digerakkan, memberi
isyarat pada kedua murid utamanya untuk mundur.
"Maafkan atas kelancangan kedua muridku,
Nyi. Kalau boleh ku tahu, siapa kalian? Dan ada perlu
apa kalian datang ke tempatku?" tanya Ki Yaksa Asti,
berusaha menghormati kedua tamunya.
Perempuan tua dan lelaki terbalut kain hitam
itu tertawa bergelak
"Kaukah Yaksa Asti atau si Cakar Seribu?"
tanya si nenek
"Benar. Akulah orangnya," sahut Ki Yaksa Asti
setenang mungkin, berusaha menekan kemarahan
menyaksikan tingkah kedua tamu tak diundang itu.
"Hm, bagus! Ketahuilah, aku Dewi Bunga Iblis
dari Jurang Neraka. Dan muridku ini adalah orang
yang kalian keroyok di tepi Jurang Neraka!" tutur Dewi
Bunga Iblis, membuat wajah Ki Yaksa Asti menegang.
Pandangannya kini tertuju pada lelaki terbalut kain hitam.
"Kau...?!" desis Ki Yaksa Asti tak percaya.
Lelaki terbalut kain hitam itu tergelak kemu-
dian matanya menghunjam tajam pada Ki Yaksa Asti.
"Ya, aku.... Rupanya aku masih diberi umur
panjang untuk melakukan perhitungan denganmu.
Sekaligus mencabut nyawa tuamu, Yaksa Asti...!" ja-
wab lelaki yang tak lain Truna, seraya tertawa penuh
kepongahan.
"Bukan hanya mencabut nyawa tuamu, Yaksa
Asti! Kami datang untuk mencabut nyawa keempat
temanmu juga, termasuk Pendekar Gila...!" sambung
Dewi Bunga Iblis.
Seketika telinga ketiga orang Perguruan Cakar
Sewu menjadi panas mendengar ucapan sombong yang
dilontarkan guru dan murid dari aliran sesat itu. Mata
mereka semakin menatap tajam. Gigi Ki Yaksa Asti
malah bergemeretuk, menahan kekalapan yang hen-
dak menerobos ubun-ubunnya.
"Sombong! Meski nama Dewi Bunga Iblis per-
nah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun
silam, namun kami dari Perguruan Cakar Sewu tak
gentar! Kalianlah yang harus minggat ke neraka!" ge-
ram Wilapati. Tampaknya dia hendak segera menye-
rang, namun dengan cepat Ki Yaksa Asti mencegahnya
dengan merentangkan tangan.
"Jangan gebabah, Muridku. Menghadapi orang-
orang seperti ini, kita harus hati-hati," cegah Ki Yaksa
Asti sambil melangkah setindak ke muka. "Dewi Bunga
Iblis, antara aku dan kau tak ada silang sengketa.
Mengapa kau tiba-tiba hendak mencampuri urusan?
Aku hanya ada silang sengketa dengan pemuda durja-
na di sampingmu."
"Ah, dia tak ada bedanya. Dia adalah muridku.
Maka aku pun berhak membelanya."
Ki Yaksa Asti terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. Dia tidak takut menghadapi nenek sakti
itu, meski nama Dewi Bunga Iblis telah didengarnya.
Bagaimana nenek sakti itu malang melintang di rimba
persilatan tanpa tanding pada masanya, dan hanya
pernah kalah ketika menantang Pendekar Gila dari
Gua Setan. Tapi, apakah aku sanggup menghada-
pinya?
Sungguh berbahaya bagi rimba persilatan jika
tokoh sesat seperti Dewi Bunga Iblis kembali turun.
Desis Ki Yaksa Asti dalam hati. Tak dapat dibayang-
kan, bagaimana rimba persilatan nantinya.
"Bagaimana, Yaksa Asti. Kau siap menemui aj-
al?" tanya Truna. Suaranya bernada sinis, mencermin-
kan kesombongan dan keangkuhan.
Ki Yaksa Asti mendengus gusar. Namun masih
berusaha tenang.
"Untuk kebenaran dan keadilan di rimba persi-
latan, apa pun akan kuhadapi!"
"Bagus! Berarti kau memang ingin mampus!"
dengus Dewi Bunga Iblis tegas.
"Bersiaplah untuk mampus, Yaksa Asti!" sam-
bung Truna sombong.
Disertai gelak tawa yang menggelegar, lelaki
terbalut kain hitam itu seketika melakukan serangan
ke arah Ki Yaksa Asti.
"Heaaat..!"
Sementara itu, seluruh murid Perguruan Cakar
Sewu keluar ketika mendengar keributan. Mereka ber-
kumpul dalam barisan yang tak teratur, karena tak
menyangka kejadian seperti itu akan terjadi.
***
Melihat lawannya telah membuka serangan, Ki
Yaksa Asti dan kedua muridnya tak mau tinggal diam.
Disertai pekikan keras menyaingi kerasnya teriakan
Truna, ketiganya siap meladeni serangan lawan. Ki
Yaksa Asti menghadang lelaki terbalut kain hitam. Se-
dangkan kedua murid utamanya menghadapi Dewi
Bunga Iblis.
"Heaaa...!"
"Ciaaat..!!"
Dengan mengeluarkan jurus 'Cakar Sewu' guru
dan kedua muridnya itu melakukan serangan, tangan
mereka membentuk cakar yang kuat dan keras dan
bergerak cepat. Tangan kanan dan kiri mereka bergan-
tian mencakar dengan jari-jari mengeras laksana baja.
Kaki mereka pun turut bergerak cepat, dan saling me-
nyilang setiap melangkah dengan lutut sedikit ditekuk
"Heaaat..!"
Ki Yaksa Asti yang hanya memiliki sebelah len-
gan, nampaknya tetap mampu melancarkan jurus-
jurus yang keras dan cepat. Tangan kanannya yang
terbuat dari logam, mencakar ke arah lawan. Pertama
ke arah wajah, membuat lawan mendongak. Menyusul
ke arah dada, lalu ke selangkangan. Gerakan itu dila-
kukan bertubi-tubi.
Truna yang terbalut kain hitam tergelak, mere-
mehkan serangan yang dilancarkan lawannya. Bahkan
dengan berkelit, dia berkata sombong,
"Tak adakah serangan yang lebih mematikan
dari ini, Orang Tua?!"
"Bedebah! jangan pongah dulu, Iblis! Hiaaat..!"
Kemarahan Ki Yaksa Asti semakin menjadi-jadi, kare-
na merasa diremehkan oleh Truna. Dia tahu kalau
pemuda yang pernah tinggal di padepokannya untuk
beberapa lama, memang telah menyerap ilmu silatnya.
Namun, begitu, dia tidak yakin kalau semua ilmunya
telah diserap. Masih ada jurus-jurus andalan yang be-
lum diketahui Truna. Dan jurus-jurus itulah yang
akan digunakannya untuk menghadapi pemuda pon-
gah itu.
"Lebih baik kau istirahat di alam baka, ketim-
bang membuang-buang tenaga, Tua Bangka" ejek Tru-
na, seraya menggeser kaki ke samping. Tubuhnya di-
miringkan agak ke belakang untuk mengelitkan seran-
gan lawan. Kemudian tangan kanannya bergerak me-
mukul.
Serangan balik dari lelaki terbalut kain hitam
itu begitu cepat dan keras. Kalau mengena, remuklah
muka Ki Yaksa Asti.
Ki Yaksa Asti tersentak kaget. Sama sekali tidak
diduganya akan mendapat serangan balasan yang ce-
pat dan keras. Segera tangan kanannya ditarik, kemu-
dian sambil melompat mundur kakinya menyabet. Tu-
buh bagian atas dilenturkan ke kiri untuk mengelitkan
pukulan lawan. Tangan kanan menyiku ke atas, beru-
saha menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hm, rupanya kau masih punya simpanan,
Orang Tua! Tapi percuma saja! Kau tak akan mampu
menghadapi jurusku yang ini!"
Usai berkata demikian, Truna melompat ke be-
lakang. Kemudian dengan mendengus dia menyerang
kembali. Tangannya mengembang, bagai sebuah
sayap. Tapi anehnya kembangan tangannya tidak se-
perti biasa. Kedua tangannya yang mengembang, kini
berada lurus di depan dada. Kemudian diangkat ke
atas, lalu diputar ke dalam dan kembali seperti semu-
la.
Gerakan jurus yang dilakukan oleh Truna keli
hatan aneh. Bertentangan dengan jurus kembangan
sayap yang biasa dilakukannya. Hal itu membuat Ki
Yaksa Asti yang telah banyak makan asam garam ke-
hidupan tidak mau gegabah. Orang tua ini langsung
maklum kalau itu adalah sebuah jurus baru di rimba
persilatan. Tentunya diciptakan oleh Dewi Bunga Iblis.
"Yeaaat..!"
Melihat lawan masih mematung dengan mata
memperhatikan gerakannya, Truna kembali menyerang
disertai pekikan keras. Tangannya bergerak kaku, na-
mun menggambarkan kekuatannya yang penuh. Sepa-
sang tangan lelaki itu membuat sebuah gerakan yang
berlawanan. Pertama lurus ke muka, kemudian mem-
buka ke samping. Selanjutnya memutar dan memben-
tuk perisai, diteruskan dengan tangan kanan memu-
kul.
Gerakan kedua kakinya pun tampak kaku. Me-
rentang lebar-lebar bagai hendak melompat, kemudian
disilangkan begitu rupa dengan satu kaki agak mene-
kuk. Lalu dilanjutkan dengan tendangan ke arah perut
"Hiaaat..!"
Ki Yaksa Asti dengan cepat melempar tubuh ke
samping, manakala serangan lawan tiba-tiba meluruk
ke arahnya. Sambil melompat, tangan kanannya kem-
bali mencakar ke arah lawan. Sedangkan kaki kanan-
nya menendang. Namun Ki Yaksa Asti seketika tersen-
tak kaget mengetahui serangan yang baru saja dilan-
carkan lawan ternyata merupakan serangan pancin-
gan. Sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan
ketika Ki Yaksa Asti berkelit
Sebuah tendangan kaki kanan lawan tak mam-
pu dielakkan lagi oleh Ki Yaksa Asti. Hingga tanpa am-
pun lagi...
Degkh!
"Ukhhh...!"
Ki Yaksa Asti mengeluh tertahan, tubuhnya ter-
lontar ke belakang tiga tindak.
"Hoeeekh...!"
Darah menyembur dari mulut Ketua Perguruan
Cakar Sewu itu. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa
sakit yang mendera dada. Dipandanginya penuh ke-
bencian lelaki berbalut kain hitam yang tertawa se-
nang.
"Guru...!" pekik kedua murid utama Perguruan
Cakar Sewu, saat menyaksikan gurunya luka dalam.
Hingga perhatian keduanya kini tercurah pada sang
Guru.
Melihat kedua lawan yang mengeroyok kini da-
lam keadaan tak siap, Dewi Bunga Iblis tak mau mem-
buang kesempatan baik itu. Dengan mengerahkan te-
naga penuh, perempuan tua itu melancarkan seran-
gan.
"Mampuslah kalian! Heaaat..!"
"Wilapati, Wilayuda! Awas...!" pekik Ki Yaksa
Asti berusaha memperingatkan kedua murid uta-
manya.
Namun seruan Ketua Perguruan Cakar Sewu
itu terlambat Wilapati memang dapat lepas dari seran-
gan maut itu dengan membuang tubuhnya ke samping
tiga langkah. Tapi Wilayuda yang tak siap, harus me-
nerima serangan itu.
Degk!
"Hugkh...! Kau...!"
Wilayuda terhuyung ke belakang dengan tan-
gan menekap dadanya yang terasa sesak dan sakit.
Dari mulutnya meleleh darah segar. Matanya nanar
bersama kemarahannya yang meledak.
"Licik! Kau..., kau licik! Kubunuh kau...!
Heaaat..!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Wilayuda berusa-
ha menyerang lawan. Namun belum juga sampai, Dewi
Bunga Iblis telah mendahuluinya dengan satu pukulan
maut yang dinamakan 'Bunga Kematian Menebar Ra-
cun'.
"Yeaaat..!"
"Wilayuda, awas...!" pekik Wilapati, mencoba
mengingatkan adik seperguruannya. Tapi terlambat,
pukulan maut itu telah lebih dahulu menghantam tu-
buh Wilayuda.
Degk!
"Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar dari mulut Wilayu-
da. Matanya melotot. Tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa lagi.
Melihat adik seperguruannya mati dan gurunya
terluka dalam, Wilapati jadi mata gelap. Didahului se-
buah pekikan menggelegar, Wilapati menyerang nenek
sakti itu.
"Kubunuh kau, Iblis!"
Dewi Bunga Iblis tidak gentar melihat lawan
yang menyerang dengan membabi buta. Bahkan den-
gan tertawa mengikik wanita tua itu dengan enteng
mengelitkan serangan lawan. Tubuhnya digeser ke
samping, hingga serangan lawan meleset di samping-
nya. Dan ketika tubuh lawan meluruk, secepat kilat
tangan wanita tua itu memukul dari bawah. Wilapati
yang tengah merunduk, tak mampu lagi mengelakkan
pukulan yang mendarat telak di dadanya. Kemudian
disusul sebuah hantaman lutut yang tak kalah keras-
nya.
Krak!
"Aaakh...!"
Wilapati menjerit kesakitan. Tubuhnya yang ta-
di terdongak kini terhuyung-huyung ke belakang. Dari
mulutnya menyembur darah segar. Matanya melotot,
membara penuh kemarahan.
"Kau..., kau! Aaa...!"
Tubuh Wilapati ambruk tanpa nyawa dengan
tulang iga patah. Sedangkan Dewi Bunga Iblis tertawa
terkekeh-kekeh. Kini perhatiannya tertuju pada perta-
rungan antara muridnya dengan Ki Yaksa Asti.
"Serang terus, Kumbang Hitam! Kita harus se-
cepatnya membereskan dia, karena sebentar lagi pa-
gi...!" seru Dewi Bunga Iblis memberi semangat sekali-
gus peringatan pada muridnya.
Serangan sang Murid semakin bertambah gen-
car. Ditambah dengan luka dalam yang diderita, sema-
kin membuat Ki Yaksa Asti terdesak hebat. Hingga pa-
da suatu kesempatan, sebuah pukulan 'Kumbang Me-
nyengat' mendarat telak di dada Ki Yaksa Asti
Degk!
"Hugkh...!"
Ki Yaksa Asti terhuyung dengan mata melotot.
Mulutnya kembali mengeluarkan darah.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Cakar
Sewu yang sejak tadi hanya menyaksikan, segera me-
mekik bergemuruh. Mereka segera menyerang dua ta-
mu tak diundang itu setelah melihat gurunya terluka
dalam.
"Seraaang...!"
"Jangan...!" tahan Ki Yaksa Asti, khawatir akan
jatuh korban lebih banyak. Tapi murid-muridnya telah
telanjur menyerang.
Pertarungan kembali berkobar. Meskipun den-
gan jumlah banyak, tapi ilmu mereka belum seberapa
dibandingkan dengan ilmu kedua penyerangnya. Da
lam waktu singkat, korban semakin banyak berjatu-
han. Sampai akhirnya, mereka tertumpas semua. Ter-
masuk Ki Yaksa Asti yang sejak tadi telah menghem-
buskan napas terakhir.
"Bakar, Kumbang Hitam...!" perintah Dewi
Bunga Iblis.
Kumbang Hitam dari Neraka segera membakar
Perguruan Cakar Sewu, yang penghuninya telah berge-
letakan. Nampaknya tak seorang pun yang tersisa. La-
lu dengan gelak tawa, guru dan murid itu melesat me-
ninggalkan tempat itu.
TUJUH
Kehadiran Kumbang Hitam dari Neraka dan gu-
runya yang telah membantai Ki Yaksa Asti beserta se-
luruh muridnya, seketika menjadi pembicaraan dari
mulut ke mulut. Dengan cepat sepak terjang Kumbang
Hitam dari Neraka dan gurunya tidak lagi menjadi ra-
hasia, melainkan telah menjadi pokok pembicaraan se-
tiap orang. Baik itu dari dunia persilatan, maupun dari
orang-orang kebanyakan yang tahu tentang ilmu silat
Kebanyakan dari orang-orang awam, sangat
tercekam sekaligus mengutuk perbuatan biadab Kum-
bang Hitam dari Neraka dan gurunya tersebut. Karena
mereka tahu pasti, kalau Ki Yaksa Asti orang baik, pe-
negak kebenaran dan keadilan.
Siang itu di sebuah kedai, tampak beberapa
orang tengah berbincang-bincang membicarakan pe-
rihal kematian Ki Yaksa Asti dan hancurnya Perguruan
Cakar Sewu.
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi ku
lit ular masuk. Kepalanya digaruk-garuk, ketika men-
dengar pembicaraan pengunjung kedai. Keningnya
berkerut, lalu bibirnya nyengir kuda.
Pemuda tampan berambut gondrong itu me-
langkah santai, lalu duduk di dekat orang yang tengah
bercakap-cakap.
"Kau tahu apa yang semalam terjadi?" tanya
orang pertama berpakaian longgar warna biru tua den-
gan ikat kepala batik. Dilihat dari pakaian yang dike-
nakannya, orang itu bukan orang rimba persilatan.
"Ada apa semalam?" tanya temannya, seorang
lelaki berbadan tegap dengan kumis tebal. Namun dili-
hat dari pakaiannya, dia pun bukan orang persilatan.
"Semalam terjadi bencana di Perguruan Cakar
Sewu. Ki Yaksa Asti dan seluruh muridnya terbantai
menyedihkan. Dada mereka gosong dengan gambar te-
lapak tangan hitam."
"Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
tanya temannya ingin tahu.
"Kabarnya dua orang. Yang satu seluruh tu-
buhnya tertutup kain hitam dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Dia menyebut dirinya Kumbang Hitam.
Sedangkan satunya lagi, seorang wanita tua renta den-
gan tubuh agak bungkuk. Katanya bernama Dewi
Bunga Iblis...," tutur orang yang pertama kali bercerita.
Pendekar Gila mengerutkan kening mendengar
penuturan lelaki itu Kumbang Hitam? Dewi Bunga Ib-
lis? Heh, siapa mereka? Dan mengapa mereka menye-
rang Ki Yaksa Asti? Tanya Sena dalam hati sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sena me-
mang tercenung, biarpun wajahnya tetap meringis.
Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa Ki Yak-
sa Asti. Tiba-tiba dari mulutnya keluar desisan keras,
"Ah, aku tahu! Bukankah Ki Yaksa Asti orang
tua yang berlengan satu!" Sena tertawa cekikikan dan
kembali berkata. "Eh! Apakah aku tidak salah dengar?"
Kedua orang yang tengah berbincang-bincang
seketika mengalihkan pandangannya pada pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular itu. Keduanya
mengerutkan kening, terlongong heran melihat tingkah
laku pemuda itu.
"Kasihan sekali, pemuda se tampan dia harus
gila," bisik salah lelaki berpakaian longgar.
"Hush! Jangan sembarangan ngomong! Nam-
paknya dia bukan orang sembarangan. Lihat pakaian
dan tubuhnya yang berotot," lelaki bertubuh tegap dan
berkumis tebal memperingatkan.
"Maksudmu, dia orang rimba persilatan?"
"Ya! Atau jangan-jangan dia yang disebut orang
Pendekar Gila?" gumam lelaki bertubuh tegap mencoba
menebak
Sena yang tengah dibicarakan tampak tak
menggubris pembicaraan kedua orang itu. Dia masih
asyik menggaruk-garuk kepala dengan bibir cengar-
cengir.
"Wah, bodohnya aku ini.... Kenapa aku tak ber-
tanya?" tanyanya kepada diri sendiri.
Sena lalu melangkah untuk mendekati kedua
orang yang tengah berbincang-bincang itu. Dia masih
menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengar-cengir
seperti orang tolol.
"Kisanak kalau boleh ku tahu, apakah yang ta-
di kalian bicarakan?" tanyanya setelah menjura hor-
mat
Kedua orang yang di tanya kembali menge-
rutkan kening. Keduanya memandang lekat-lekat pe-
muda di depannya. Mereka merasa heran melihat ting-
kah pemuda tampan itu. Lagaknya seperti orang gila,
namun tampaknya mengerti tata krama. Tidak seperti
orang gila yang sering mereka lihat
Sena yang dipandangi begitu rupa, kembali
nyengir kuda. Tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, benarkah Ki Yaksa Asti yang Kisanak
maksud bertangan buntung?" tanya Sena lagi, setelah
melihat kedua lelaki itu hanya menatapnya.
Semakin tercengang kedua orang itu menden-
gar pertanyaan yang dilontarkan pemuda bertampang
gila di depannya. Dengan masih terheran-heran, salah
seorang dari mereka menjawab.
"Benar. Kenapa?"
"Apakah yang tadi kudengar itu benar? Pergu-
ruan Cakar Sewu diobrak-abrik oleh orang?" tanya Se-
na tanpa menjawab pertanyaan kedua lelaki itu.
"Benar. Siapakah Kisanak? Ada hubungan apa
Kisanak dengan Ki Yaksa Asti dan Perguruan Cakar
Sewu?" tanya lelaki berpakaian longgar warna biru pe-
nuh selidik. Keningnya masih berkerut, menandakan
keheranannya.
"Ah, aku hanya temannya. Kalau memang be-
nar Ki Yaksa Asti mati, siapakah yang membunuh-
nya?" kembali Sena meminta ketegasan.
"Kami tak tahu pasti, sebab kami bukan orang
persilatan. Namun kami mendengar kalau pelakunya
dua orang, guru dan murid. Seorang nenek-nenek dan
seorang lagi terbungkus kain hitam dari ujung rambut
hingga ujung kaki," jelas lelaki berpakaian longgar
warna biru.
Alis Sena terpaut. Hatinya bertanya-tanya. Sia-
pa mereka? Dari aliran apa mereka? Setelah mengga-
ruk kepala karena merasa tak mampu menjawab per-
tanyaan hatinya, Sena kembali bertanya,
"Maaf, Kisanak. Siapa nama mereka?"
"Si nenek bernama Dewi Bunga Iblis. Sedang-
kan yang lelaki terbungkus kain serba hitam menama-
kan dirinya Kumbang Hitam. Keduanya dari Jurang
Neraka," urai orang itu lagi, membuat Sena nyengir
sambil garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas pemberitahuan mu. Permi-
si...!" ujar Sena sambil menjura hormat
Kemudian, pemuda itu berkelebat cepat me-
ninggalkan kedai. Gerakannya sangat luar biasa, hing-
ga kedua orang itu bengong dengan mata melotot
"Gila! Ilmu apakah yang digunakannya?!"
"Mungkinkah pemuda itu Pendekar Gila dari
Gua Setan?"
"Ya! Ilmunya sungguh hebat! Dalam sekejap dia
telah menghilang," sambung lelaki bertubuh kekar dan
berkumis lebat
Kedua orang itu masih terkesima. Bahkan
orang-orang di dalam kedai pun turut terpaku me-
nyaksikan kecepatan gerak pemuda tadi. Kedai yang
semula tenang, kini riuh oleh pembicaraan tentang
pemuda bertampang gila itu.
"Siapakah pemuda gila tadi? Ilmunya sangat
tinggi," tanya pemilik kedai.
"Ya, ilmunya sangat tinggi! Hingga dalam seke-
jap dia telah menghilang," sambung orang yang duduk
di sudut kedai.
"Mungkinkah dia yang disebut Pendekar Gila
dari Gua Setan," lelaki berbaju merah menyahuti.
"Pendekar Gila dari Gua Setan?!" pekik yang
lain dengan mata membelalak kaget mendengar julu-
kan pemuda aneh itu.
"Mungkin! Bukankah tingkahnya memang se-
perti orang gila?" timpal yang lain.
"Syukurlah kalau pendekar itu masih ada. Se-
moga sepak terjang Kumbang Hitam dan Dewi Bunga
Iblis dapat dihentikan," harap orang-orang di kedai
yang pada umumnya tidak menyukai kejahatan.
***
Orang yang menjadi pembicaraan di kedai, seat
itu telah sampai di tempat yang dituju. Sena mema-
tung di dekat puing-puing bangunan Perguruan Cakar
Sewu. Hanya papan namanya saja yang tampak masih
utuh.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong. Beberapa
kali pemuda itu menghela napas panjang. Lalu dari
mulutnya terdengar gumaman lirih.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul? Belum usai yang satu, datang yang lain.
Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang te-
lah terjadi?" keluhnya lirih. Kemudian, perlahan ka-
kinya melangkah memasuki pintu gerbang Perguruan
Cakar Sewu yang telah hancur.
Pendekar Gila mematung di dekat puing-puing
bangunan Perguruan Cakar Sewu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong.
"Ah, mengapa kejahatan seperti susul-
menyusul? Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya
apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih.
Angin siang berhembus semilir, menerbangkan
debu-debu dan mengusik rumput kering. Pemuda itu
terus melangkah masuk. Dia tertegun dengan mata
memandang ke satu tumpukan puing bangunan per-
guruan.
Saat Sena merenungkan nasib Ki Yaksa Asti,
tiba-tiba telinganya menangkap desiran angin dari be-
lakang. Cepat-cepat tubuhnya dibalikkan ke belakang.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat sebilah belati
melesat cepat ke arahnya.
Swing!
"Heaaa...!"
Sena melempar tubuh ke samping, mengelak-
kan serangan gelap itu. Dia berhasil. Pisau itu terus
meluncur dan akhirnya menancap di sebatang pohon.
Jlep!
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Keningnya berkerut ketika melihat di gagang
pisau itu terdapat selembar daun lontar. Sepertinya
sebuah surat
"Licik!" maki Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. Pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.
Namun, dia tidak melihat seorang pun. "Hm, rupanya
orang itu berilmu tinggi. Tentunya ada maksud terten-
tu pada diriku."
Setelah yakin kalau di sekitarnya sudah tidak
ada orang lain, Sena kemudian menghampiri pohon
yang tertancap pisau bersurat itu. Diamatinya pisau
itu dengan seksama. Bibir pemuda itu nyengir, se-
dangkan tangannya menepuk kening.
"Ah, hanya sebilah pisau biasa," gumamnya.
Lalu dicabutnya pisau itu dari pohon. Kembali
diamatinya benda itu. Sebilah pisau kecil yang sangat
tajam. Dan ketika tangannya memegang mata pisau,
tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap berwarna ungu
kemerahan.
"Racun...," bisik Sena masih tersenyum-
senyum.
Pendekar Gila memang tidak takut terhadap ra-
cun. Karena tubuh telah kebal terhadap segala macam
racun, akibat Racun Kabut Ungu yang dihisapnya di
Gua Setan.
Tanpa sepengetahuannya, orang yang bersem-
bunyi di balik bukit cadas terbelalak menyaksikan apa
yang terjadi. Pemuda yang bertingkah seperti orang gi-
la itu ternyata tak apa-apa. Padahal racun yang di-
oleskan pada mata pisau bukan racun sembarangan.
Bahkan lebih ganas dari bisa ular laut sekalipun!
"Hah...?! Tidak salahkah penglihatanku?!"
Tanpa sadar mulut orang itu memekik hingga
membuat Pendekar Gila yang semula menyangka tak
ada orang, kini terkejut. Tubuhnya langsung berbalik,
untuk menemukan asal suara tadi.
"Licik! Keluarlah kau dari persembunyianmu!"
seru Pendekar Gila setengah membentak. Kemudian
tangannya bergerak memutar. Dan dengan mengerah-
kan tenaga dalam, telapak tangannya diarahkan ke
bukit cadas, tempat asal suara itu
Selarik pukulan menderu keluar dari telapak
tangannya. Itulah pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'.
Orang yang bersembunyi di balik batu cadas
terkesiap. Dia hendak lari, namun pukulan jarak jauh
yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu lebih
cepat menghantam bukit cadas tempatnya bersem-
bunyi
Glarrr!
"Aaa...!" pekik orang itu. Tubuhnya terlontar keatas, lalu jatuh dengan suara berdebum disertai eran-
gan.
Pendekar Gila segera memburu ke arah orang
yang kini menggeliat-geliat kesakitan. Tangannya me-
megangi pinggang yang terasa patah. Pendekar Gila
tergelak-gelak, menggaruk-garuk kepala, serta mengge-
leng-gelengkannya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau main lompat-
lompatan! Bukankah jatuhnya sakit?" ledeknya sambil
terus terbahak-bahak. Tingkah gila pendekar muda itu
kumat lagi. Sementara tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala, tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.
Tubuhnya berjingkrak-jingkrak bagai seekor kera kegi-
rangan.
Lelaki bercelana hitam sebatas lutut dan berte-
lanjang dada itu masih mengerang-erang kesakitan.
Bibirnya meringis, sekan-akan hendak menangis.
Pendekar Gila makin tergelak-gelak. Tingkah gi-
lanya pun makin menjadi-jadi.
"He he he...! Lucu sekali kau, Sobat. Tadi kau
main sembunyi-sembunyian denganku. Tapi, mengapa
sekarang malah bermain lompat-lompatan?" celoteh
Sena seenaknya, membuat orang bertampang galak itu
mendelikkan mata.
Melihat orang itu melotot ke arahnya, timbul
niat iseng Sena untuk mempermainkan orang itu. Lalu
dengan menggoda kembali dia berkata,
"Sobat, rupanya kau belum puas melompat.
Baiklah, aku akan membantumu main lompat-
lompatan."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila menghen-
takkan kakinya dengan tenaga dalam ke tanah di de-
kat tubuh lelaki itu. Tubuh orang itu seketika mencelat
tinggi, disertai jeritan ketakutan.
"Tolong...! Ampun! Jangan...," ratapnya memo-
hon, ketika tubuhnya menukik ke bawah. Sementara
Pendekar Gila masih tertawa riuh rendah dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu-lucu sekali kau, Sobat!" seru
Sena
"Eh, eh.... Aduh! Tolonglah aku...," ratap orang
itu ketakutan ketika tubuhnya semakin dekat ke ta-
nah. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana tubuh-
nya akan remuk jika membentur batu-batu cadas.
"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan, So-
bat! Baiklah, aku akan membantumu."
Pendekar Gila lalu menggerakkan tangan ki-
rinya sedemikian rupa. Dan dari telapak tangan itu,
berhembus serangkum angin yang menahan tubuh
orang itu. Perlahan-lahan tubuh orang itu diturunkan,
namun tak urung menimbulkan, suara berdebum dis-
ertai erangan kesakitan.
"Aduh.... Pinggangku patah," ratap lelaki berwa-
jah seram yang kini pucat pasi. Tubuhnya meliuk-liuk
menahan sakit
"Sobat, apa maksudmu menyerangku dari bela-
kang?" tanya Sena, setelah puas tertawa.
"Ti..., tidak. Aku tidak bermaksud menyerang-
mu. Sungguh!"
"Lalu, apa maumu?" tanya Sena.
"Aku..., aku hanya diperintah mengirim surat
padamu oleh seseorang," jawab lelaki itu ketakutan,
menyaksikan mata Pendekar Gila yang membesar se-
perti orang gila yang sedang marah.
"Siapa yang menyuruhmu?" bentak Sena.
"Di..., dia tak mengatakan namanya padaku"
"Bohong! Katakan, atau kau akan main lompat-
lompatan lagi!" ancam Pendekar Gila. Matanya semakin melotot, bagikan hendak mencelat keluar. Wajah-
nya yang tampan, kini terlihat bengis.
"Ampun..., jangan...," ratap lelaki itu.
"Kalau begitu, katakanlah!"
"Dia berpakaian serba hitam. Bahkan seluruh
tubuhnya terbalut kain hi..."
Belum juga selesai orang itu berkata, tiba-tiba
beberapa pisau melesat ke arah mereka. Pendekar Gila
terkejut dan dengan cepat melompat mengelakkan se-
rangan gelap itu.
"Licik! Heaaa...!"
Dengan menggunakan pukulan 'Inti Bayu', pi-
sau-pisau terbang itu dikembalikan ke penyerangnya
yang bersembunyi di semak-semak. Maka terdengar je-
rit kesakitan yang menyayat susul-menyusul. Sedang-
kan salah satu pisau luput dan menghunjam lelaki
yang di tanyai Pendekar Gila. Lelaki itu menjerit, mere-
gang sesaat kemudian diam tak bernyawa lagi.
Pendekar Gila tersentak. Matanya memandang
tubuh lelaki di dekatnya yang seketika membiru. Ter-
nyata pisau yang digunakan untuk menyerang telah
diolesi racun.
"Benar-benar licik! Huh...!" dengus Sena.
Kemudian dengan cepat tubuh Pendekar gila
berkelebat cepat ke semak-semak tempat asal pisau-
pisau beracun tadi. Dia berusaha mencari seorang
yang masih hidup. Ternyata semuanya telah mati den-
gan tubuh membiru.
Pemuda tampan itu menggaruk-garuk kepala.
Matanya menyapu ke sekeliling untuk memastikan tak
ada lagi penyerang gelap. Setelah yakin tak ada, pe-
muda itu menghela napas. Ditinggalkannya tempat itu,
kembali ke puing-puing Perguruan Cakar Sewu.
Pendekar gila kembali menatap puing-puing reruntuhan bangunan. Setelah menghela napas dalam-
dalam, dia duduk di atas batu prasasti di bekas hala-
man Perguruan Cakar Sewu. Dibukanya lipatan daun
lontar yang ada di gagang pisau, kemudian dibacanya.
Satu orang temanmu telah ku binasakan! Satu
persatu mereka akan menerima bagian! Dan kau yang
terakhir! Setelah itu, aku akan menjadi penguasa rimba
persilatan!
Kumbang Hitam dari Neraka.
Pendekar Gila mengerutkan kening. Dicobanya
untuk menerka, siapa sesungguhnya Kumbang Hitam
dari Neraka itu. Dan mengapa dia membunuh tokoh-
tokoh tingkat atas aliran lurus? Dan siapa pula yang
dimaksudkan dengan temanku? Tanya Pendekar Gila
dalam hati.
Tiba-tiba sepasang alisnya bertemu, seolah-olah
teringat sesuatu.
"Celaka! Mungkin Kumbang Hitam dari Neraka
adalah pemuda berwajah pucat yang tempo hari jatuh
ke dalam Jurang Neraka. Ah, tidak salah lagi.... Na-
manya mengingatkan aku pada jurang itu!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dia harus se-
gera menghubungi ketiga tokoh tua yang masih hidup!
DELAPAN
Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Lo-
reng malam itu nampak gelisah. Matanya sulit dipe-
jamkan. Pikirannya terus terusik berita kematian salah
seorang rekannya dari Perguruan Cakar Sewu. Hatinya
bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku pembu-
nuhan itu? Siapa orang yang menamakan dirinya
Kumbang Hitam yang tubuhnya dibalut oleh kain hi-
tam?
"Kumbang Hitam.... Hm, siapa dia? Rasanya
seumur hidup, baru kali ini aku mendengar nama itu
di rimba persilatan. Menurut kabar, Kumbang Hitam
adalah murid Dewi Bunga Iblis. Tapi, bukankah Dewi
Bunga Iblis selama hidupnya tidak memiliki murid?
Kenapa pula wanita jahat yang telah menghilang pulu-
han tahun itu tiba-tiba muncul kembali?" gumam Ki
Panca Loreng seakan bertanya pada diri sendiri.
Lelaki tua itu tak habis pikir tentang Dewi Bun-
ga Iblis. Dia pernah dengar kalau wanita jahat yang be-
rilmu tinggi itu pernah malang-melintang di rimba per-
silatan. Tak ada yang dapat mengalahkannya, sampai
Pendekar Gila dari Gua Setan muncul, dan mampu
menundukkannya.
Sejak saat itu, nama Dewi Bunga Iblis bagai
menghilang dari dunia persilatan, terkubur bersama
kekalahannya atas Pendekar Gila dari Gua Setan. Ka-
lau sekarang dia muncul kembali, tidak dapat di-
bayangkan bagaimana tinggi ilmunya.
Ki Panca Loreng memegang dagunya seraya
menggelengkan kepala berulang kali. Kemudian dita-
riknya napas dalam-dalam.
"Ada apa, Kang Mas? Sudah malam begini kau
belum juga tidur?" tanya istrinya, cemas melihat sua-
minya belum juga tidur.
Ki Panca Loreng kembali menghela napas pan-
jang. Tubuhnya berbalik untuk memandang sang Istri
yang kini duduk sambil memandang suaminya. Di-
hampirinya sang Istri, kemudian dia duduk di sampingnya. Wajahnya masih menggambarkan kecema-
san, membuat istrinya semakin tak mengerti.
"Kang Mas, apa ada masalah dalam pergu-
ruan?"
"Tidak"
"Lalu, apa yang membuat Kakang begitu ce-
mas?" desak istrinya ingin tahu.
Ki Panca Loreng tak langsung menjawab. Kem-
bali dia menghela napas dalam-dalam, seolah dengan
berbuat seperti itu, segala ganjalan di hatinya dapat
dienyahkan.
"Aku tak habis pikir, Diajeng. Bagaimana
mungkin Dewi Bunga Iblis yang telah menghilang pu-
luhan tahun silam, tiba-tiba muncul kembali? Bahkan
dengan muridnya yang berjuluk Kumbang Hitam dari
Neraka...."
Istrinya tersentak mendengar penuturan Ki
Panca Loreng. Matanya sedikit membelalak lalu mena-
tap suaminya lekat-lekat. Wanita itu seakan tak per-
caya pada ucapan suaminya tadi.
"Dewi Bunga Iblis?!" tanya wanita itu setengah
mendesis ngeri mendengar nama tokoh sesat itu di-
ucapkan suaminya. Bahkan suaminya mengatakan ka-
lau tokoh sesat itu muncul kembali di rimba persila-
tan.
"Ya," jawab Ki Panca Loreng singkat
"Apakah telah kau persiapkan murid-murid pi-
lihan untuk menghadapinya?"
Ki Panca Loreng menggelengkan kepala.
"Kenapa? Bukankah wanita itu adalah tokoh
sesat berilmu tinggi?"
"Tak perlu, Diajeng. Sebagai seorang ksatria,
seharusnya kita menghadapinya sendiri, tanpa harus
mengorbankan orang lain. Makanya, untuk sementara
semua murid-murid perguruan ini kuperintahkan un-
tuk pulang ke tempat masing-masing."
Baru saja ucapan Ki Panca Loreng selesai, dari
luar tiba-tiba terdengar seseorang berseru disertai te-
naga dalam penuh.
"Bagus! Rupanya kau pun telah memper-
siapkan kematianmu, Panca Loreng...!"
Ki Panca Loreng dan istrinya tersentak men-
dengar seruan yang menggelegar laksana halilintar,
memecah kesunyian malam.
"Mereka telah datang," desis Ki Panca Loreng.
Lalu, orang tua berpakaian rompi kulit macam itu ber-
kelebat keluar, diikuti istrinya yang juga seorang pen-
dekar.
Di halaman yang biasanya dipakai murid-murid
Perguruan Macan Loreng berlatih, berdiri dua sosok
manusia berpakaian serba hitam. Seorang nenek
bungkuk, didampingi lelaki yang sekujur tubuhnya
terbungkus kain hitam. Hanya matanya yang nampak
menyorot tajam. Keduanya tergelak-gelak melihat
orang yang diincar telah keluar bersama istrinya.
Ki Panca Loreng menatap tajam pada dua orang
tamu tak diundang itu, berusaha mengenali mereka.
Yang seorang memang jelas terlihat wajahnya. Ten-
tunya nenek itu yang berjuluk Dewi Bunga Iblis. Se-
dangkan yang lelaki tentunya yang menamakan di-
rinya Kumbang Hitam. Tapi, bagaimana mungkin Ki
Panca Loreng dapat mengenali lelaki itu, kalau wajah-
nya saja tertutup rapat?
"Kisanak dan Nisanak, ada maksud apa kalian
datang ke Perguruan Macan Loreng? Aku rasa, antara
kita tak ada silang sengketa," sambut Ki Panca Loreng,
berusaha tenang sambil menatap kedua tamunya
Kedua orang berpakaian hitam itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Ki Panca Loreng. Malah lelaki yang terbalut kain hitam
dengan sinis dan sombong berkata,
"Panca Loreng, kami datang untuk mencabut
nyawamu seperti si Cakar Seribu! Bersiaplah untuk
mati...!"
Usai berkata begitu, lelaki yang menamakan di-
rinya Kumbang Hitam dari Neraka menggebrak dengan
satu serangan ke arah Ki Panca Loreng. Sedangkan
Dewi Bunga Iblis berkelebat untuk menyerang istri Ke-
tua Perguruan Macan Loreng
"Heaaat..!"
Melihat lawan telah merangsek dengan ganas,
Ki Panca Loreng segera membuka jurusnya untuk
mengimbangi. Dari mulutnya keluar auman keras.
Tangannya membentuk cakar. Sedangkan matanya
merah, penuh amarah.
"Arrrgh...!"
Tangan Ki Panca Loreng yang membentuk ca-
kar macan, bergerak membeset ke depan. Sedangkan
kakinya menendang dengan cepat. Cakaran-cakaran
tangan orang tua itu susul-menyusul, seakan tiada
henti. Pertama ke wajah, kemudian ke dada, lalu ka-
kinya menendang ke arah selangkangan lawan.
Serangan Ki Panca Loreng yang mematikan itu
tidak membuat gentar Kumbang Hitam. Lelaki terbalut
kain hitam itu dengan cepat berkelit. Kedua kakinya
ditarik ke samping agak melebar, kemudian ditekuk
merendah. Tangannya terbuka, laksana kepakan
elang. Hal itu menjadikan Ki Panca Loreng tersentak.
Dia mengenali jurus yang dibuka lawan.
"Kau...?!"
"Ya, aku! Rupanya aku masih diberi umur pan-
jang untuk membuat perhitungan denganmu, sekali
gus mencabut nyawa tuamu! Heaaat..!"
Kumbang Hitam meneruskan serangannya.
Tangannya yang mengepak, kini bergerak susul-
menyusul secara bertubi-tubi. Kalau tangan kanan
memukul, tangan kiri membuat perisai. Begitu juga
sebaliknya. Sedangkan kakinya menyapu ke arah kaki
lawan. Itu-lah jurus 'Gagak Hitam Menyambar Bang-
kai'.
"Iblis durjana! Rupanya kau belum mampus!
Kali ini kau harus benar-benar mampus! Yeaaat..!"
Ki Panca Loreng yang sangat terkejut menyak-
sikan jurus pembuka lawan, dengan penuh amarah
kembali menyerang. Dikeluarkannya jurus 'Macan Lo-
reng Mengintai Menerkam Mangsa'. Kakinya melang-
kah beraturan dengan menjejak satu persatu. Sedang-
kan sepasang tangannya berganti melakukan seran-
gan. Tangan kiri maju menyerang muka. Disusul tan-
gan kanan menyodok perut lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Dengan jurus-jurus andalan, keduanya terus
berkelebat bertukar serangan untuk dapat menjatuh-
kan satu sama lain. Namun dilihat dari keadaannya, Ki
Panca Loreng berada dalam kesulitan. Dia kini terde-
sak hebat. Bahkan serangan-serangan yang dilancar-
kan kelihatan mentah, selalu dapat dipatahkan lawan.
"Terimalah kematianmu sekarang, Panca Lo-
reng! Hiaaat...!"
Dengan menggunakan jurus 'Kumbang Hitam
Menyengat', lelaki terbalut kain hitam itu kembali me-
nyerang. Tangan dan kakinya kelihatan mengejang,
menandakan betapa besar tenaganya.
Ki Panca Loreng yang tidak mau mati sia-sia,
dengan nekat memapaki serangan lawan. Tangannya
yang membentuk cakar macan dialiri tenaga dalam se-
penuhnya. Kemudian disertai pekikan keras, orang tua
itu berkelebat untuk memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tanpa dapat dihindari, dua lelaki yang telah
melesat ke udara itu harus mengadu kekuatan tenaga
dalam masing-masing. Tangan dan kaki keduanya ber-
gerak cepat. Memukul dan menendang. Kemudian ter-
dengar ledakan keras, manakala kedua tangan mereka
saling beradu.
Blarrr!
"Ugkh...!"
Ki Panca Loreng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlontar ke belakang tiga tombak dan jatuh berlutut.
Dari mulutnya keluar darah segar.
Mata Ki Panca Loreng membeliak, sebelum tu-
buhnya terkulai.
Sementara, Kumbang Hitam mampu menjejak-
kan kakinya di atas tanah. Sesaat tubuhnya terhuyung
ke belakang, dengan darah meleleh di sela bibirnya.
Hingga merembes ke kain hitam penutup wajah.
Sesaat Kumbang Hitam menatap lawannya
yang tak bernyawa. Kemudian kakinya melangkah ter-
tatih mendekati Dewi Bunga iblis yang tengah berta-
rung dengan istri Ki Panca Loreng. Pendekar wanita
yang usianya sudah tidak muda lagi itu tampaknya tak
kenal menyerah. Bahkan serangan-serangannya cukup
merepotkan Dewi Bunga Iblis.
"Guru, cepat selesaikan! Tak ada waktu untuk
kita berlama-lama di sini!" sera Kumbang Hitam.
Mendengar seruan muridnya, Dewi Bunga Iblis
segera mempercepat serangan. Kini nampaklah kesak-
tian yang sesungguhnya. Belum lagi istri Ki Panca Lo-
reng sempat bernapas lega didera serangan beruntun
itu, tiba-tiba tangan Dewi Bunga Iblis bergerak cepat,
menaburkan beberapa tangkai bunga ke arah lawan
yang terkejut
"Celaka!" pekik istri Ki Panca Loreng kaget me-
lihat bunga berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.
"Bunga Racun Iblis...!"
"Hik hik hik...! Mampuslah kau...!"
Saat istri Ki Panca Loreng kerepotan mengelak-
kan senjata rahasia itu, dengan licik Dewi Bunga Iblis
menghantamkan pukulan saktinya. Hingga tak pelak
lagi, pukulan dahsyat itu pun mendarat telak di tu-
buhnya.
Degk!
"Aaa...!"
Tubuh wanita istri Ketua Perguruan Macan Lo-
reng itu terhuyung-huyung dengan darah tersembur
dari mulutnya. Matanya mendelik, memandang penuh
kebengisan.
"Kau..!"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum
tubuhnya ambruk mencium tanah.
Murid dan guru dari Jurang Neraka itu tertawa
terbahak-bahak menyaksikan kematian suami istri da-
ri Perguruan Macan Loreng. Lalu dengan masih terta-
wa, keduanya berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu.
***
Selang beberapa waktu, nampak seorang pe-
muda tampan berambut gondrong dengan pakaian
rompi kulit ular berkelebat ke arah tempat itu. Pemuda
yang tidak lain Pendekar Gila, seketika tertegun me-
nyaksikan dua tubuh tergeletak di halaman perguruan. Seorang lelaki berpakaian rompi harimau. Se-
dangkan yang satunya seorang wanita berkebaya den-
gan kain di atas lutut mengenakan celana kulit macan
pula.
"Terlambat! Aku terlambat..!" keluh Sena Mang-
gala sambil menggaruk-garuk kepala. Dia memang ter-
lambat datang, hingga tidak dapat membantu Ki Panca
Loreng. "Rupanya Kumbang Hitam sungguh-sungguh
dengan ancamannya."
Pemuda bertingkah laku dan bertampang se-
perti orang gila itu mendekati tubuh Ki Panca Loreng.
Dirabanya tubuh lelaki tua itu. Masih hangat. Berarti
belum mati. Kemudian Sena menekan denyut nadinya,
untuk memastikan dugaannya itu.
"Ah, memang masih hidup!" serunya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sesaat
Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, dis-
alurkannya hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Uuuh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Ki Panca Lo-
reng, setelah beberapa saat Sena menyalurkan hawa
murni.
Sena menghentikan penyaluran hawa mur-
ninya. Dibalikkannya tubuh Ki Panca Loreng. Nampak
bekas pukulan menghitam di dada lelaki tua itu.
"Ki, apa yang telah terjadi...?" tanya Sena.
"Kaukah...?" lemah suara Ki Panca Loreng ber-
tanya. Matanya perlahan-lahan membuka. Kemudian
dari mulutnya keluar muntahan darah menghitam.
"Hoeeek...!"
"Benar. Aku, Ki... Aku Pendekar Gila," sahut
Sena sambil membantu meringankan rasa sakit yang
diderita Ki Panca Loreng dengan menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh Ketua Perguruan
Macan Loreng itu.
"Dia..., dia telah datang. Dia..., pemuda..., ber-
wajah pucat itu telah kembali dengan guru..., nya...."
"Jadi, Kumbang Hitam adalah pemuda berwa-
jah pucat itu, Ki?" tanya Pendekar Gila berusaha me-
mastikan. Wajahnya nampak tegang. Sedangkan ma-
tanya menatap penuh harap agar orang tua itu dapat
menceritakan semuanya. "Katakanlah, Ki. Siapakah
gurunya itu?"
"Dewi..., Dewi Bunga Iblis.... Seorang tokoh wa-
nita sesat yang pernah malang-melintang di dunia per-
silatan. Akh... Aku..., aku tak kuat. Selamatkan..., se-
lamatkan kedua sahabatku.... Tentunya mereka ke sa-
na.... Ohhh...!"
Kepala Ki Panca Loreng terkulai. Ketua Pergu-
ruan Macan Loreng akhirnya mati setelah mencerita-
kan siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dan gu-
runya.
Sena sesaat tercenung. Namun tangannya tak
henti-hentinya menggaruk kepala. Setelah lama mena-
tap mayat Ki Panca Loreng, pemuda itu menghela na-
pasnya.
"Ke mana dulu aku harus pergi?" tanyanya ke-
bingungan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu tiba-
tiba tangannya menepuk kening seraya bergumam,
"Ah, kenapa aku bodoh?! Kalau benar Kumbang Hitam
itu pemuda berwajah pucat, tentunya dia kini ke Pade-
pokan Cakra Geni. Celaka! Aku harus ke sana!"
Setelah kembali memandang mayat Ki Panca
Loreng dan istrinya, dengan cepat Sena berkelebat me-
ninggalkan tempat itu. Namun sebelum pergi, dia sem-
pat bergumam lirih yang ditujukan pada mayat kedua
orang Perguruan Macan Loreng.
"Semoga kalian tenang di alam sana! Maaf, aku
tak dapat menolong kalian...."
***
Apa yang diduga Pendekar Gila ternyata benar.
Setelah melakukan penyerangan di Perguruan Macan
Loreng, guru dan murid dari Jurang Neraka itu kini
melakukan penyerbuan ke Padepokan Cakra Geni.
Saat itu, di Padepokan Cakra Geni tengah ber-
langsung pertarungan yang sengit Murid-murid Pade-
pokan Cakra Geni yang telah dipersiapkan Ki Wirapati
untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi,
dengan gigih dan gagah berani berusaha menghalau
kedua penyerang.
Namun rupanya, guru dan murid dari Jurang
Neraka itu bukanlah tandingan mereka. Terbukti mu-
rid-murid dari Padepokan Cakra Geni telah banyak
yang menjadi korban amukan kedua orang itu.
"Serang terus...!" seru Ki Wirapati yang terus
menyerang Dewi Bunga Iblis. Suciati tidak terlihat di
sana.
Mungkin gadis itu sengaja disembunyikan Ki
Wirapati.
Ki Wirapati yang telah maklum siapa lawannya,
kini tidak mau tanggung-tanggung menyerang. Seperti
halnya Ki Panca Loreng yang kini telah tewas, Ki Wira-
pati cukup tahu banyak tentang Dewi Bunga Iblis. Itu
sebabnya, dia sangat hati-hati dalam melakukan se-
rangan. Pertama, mengingat lawan yang tengah diha-
dapinya tokoh sakti yang berilmu beberapa tingkat di
atasnya. Dan kedua, dia menyadari kalau wanita itu
lebih berpengalaman di rimba persilatan.
Ki Wirapati tak mau mati konyol begitu saja karena ragu pada kemampuannya menghadapi Dewi
Bunga Iblis. Dia pun meneguhkan hati untuk terus be-
rusaha melancarkan serangan.
"Hiaaa...!"
Ki Wirapati melancarkan tendangan pancingan
ke dada lawan yang membungkuk. Tapi dengan cepat
serangan itu dielakkan Dewi Bunga Iblis dengan meng-
geser kaki ke samping. Kemudian wanita tua itu balik
melancarkan serangan dengan tangan kanan. Disusul
kibasan tangan kirinya.
Ki Wirapati menarik tendangannya, lalu dengan
cepat mengganti dengan pukulan tangan kanannya.
Sedangkan tangan kirinya menyapu ke atas, berusaha
menangkis serangan lawan.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...! Inikah murid Wiasa?!" ejek Dewi
Bunga Iblis, membuat Ki Wirapati tersentak kaget ma-
nakala nama gurunya disebut wanita tua itu. "Sung-
guh tak berguna kau menjadi murid Wiasa!"
"Sombong! Dari mana kau tahu nama guru-
ku?!" bentak Ki Wirapati marah, karena dihina begitu
rupa oleh Dewi Bunga Iblis. Serangannya dipergencar.
Pukulan-pukulan 'Seribu Guntur' dilipatgandakan.
Namun si nenek masih terkikik sambil berkelit dari se-
rangan itu
"Hik hik hik... Bukan hanya nama gurumu
yang aku tahu. Bahkan semua ilmunya aku paham!
Hik hik hik..! Mana Cakra Geni warisan gurumu itu,
heh?!"
Semakin bertambah marah saja Ki Wirapati di-
hina begitu rupa. Serangan orang tua itu mulai mem-
babi buta, sampai akhirnya tak terkontrol lagi. Padahal
itu sangat berbahaya bagi dirinya.
"Jangan sombong, Nenek Iblis! Heaaa...!"
"Percuma kau melawanku! Gurumu kalau ma-
sih hidup tak akan mampu menandingi ku! Hiaaa...!"
Dewi Bunga Iblis mengibaskan tangannya den-
gan cepat. Dan dari kibasan tangan itu, berdesing
bunga-bunga hitam yang melesat ke arah Ki Wirapati.
"Bunga Racun Iblis...! Celaka...!"
Ki Wirapati terkesiap. Dia tidak menduga kalau
nenek itu akan mengeluarkan senjata rahasianya yang
terkenal maut itu. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke
samping untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian
dengan cepat tangannya mengambil sesuatu dari balik
rompinya. Sebuah benda bulat bergerigi kini tergeng-
gam di tangannya. Kemudian segera dilemparkannya
ke arah bunga-bunga hitam yang tengah meluncur de-
ras.
Swing...!
Benda bulat bergerigi yang mengeluarkan api
itu adalah Cakra Geni. Sebuah senjata pusaka warisan
gurunya, Wiasa.
Senjata itu melesat cepat, membabati bunga-
bunga hitam yang hendak menyerang Ki Wirapati,
hingga bunga-bunga itu berguguran dengan menim-
bulkan suara berdesing.
Tring!
Dewi Bunga Iblis terkekeh melihat lawan telah
mengeluarkan senjata pusakanya. Sepertinya, perem-
puan tua itu tidak gentar sedikit pun terhadap Cakra
Geni milik lawan.
"Senjata butut itu tak ada gunanya bagiku!"
ejeknya meremehkan.
Usai berkata begitu, tubuh Dewi Bunga Iblis
melenting hingga berada di atas Cakra Geni. Lalu den-
gan cepat kakinya mendarat di atas senjata lawan yang
langsung berhenti.
Mata Ki Wirapati melotot menyaksikan kejadian
itu. Selama ini, tak pernah ada orang yang mampu
menghentikan Cakra Geni miliknya. Namun perem-
puan tua itu ternyata menghentikannya dengan mu-
dah. Bahkan berdiri di atas senjata itu sambil tertawa
terkekeh.
SEMBILAN
Di sisi lain, terjadi pertarungan tidak seimbang
antara murid-murid Padepokan Cakra Geni melawan
Kumbang Hitam dari Neraka. Murid-murid Padepokan
Cakra Geni bagai tak berarti menghadapi lelaki dengan
tubuh terbalut kain hitam itu. Korban telah banyak
berjatuhan. Namun demikian, semangat sisa murid
padepokan seperti tak padam begitu saja. Bahkan se-
rangan mereka semakin bertambah garang.
"Percuma kalian membuang nyawa! Lebih baik
kalian menyingkir, jangan sampai aku membunuh ka-
lian semua!" bentak Kumbang Hitam, berusaha mena-
kut-nakuti sisa murid Padepokan Cakra Geni.
"Jangan harap kami akan menyerah, Iblis!" sa-
hut salah seorang murid utama. "Demi kebenaran dan
keadilan kami rela berkorban, meski harus mati!"
"Rupanya kalian benar-benar mencari mati!
Baik! Jangan salahkan aku bila kalian pindah ke nera-
ka!" bentak Kumbang Hitam seraya melancarkan se-
rangan dengan menggunakan jurus 'Gagak Hitam
Mengepak Sayap'.
Tangannya terentang ke samping, lalu dengan
cepat bergerak memutar ke depan membantu tusukan
lurus. Disusul oleh tendangan ke depan.
"Jangan banyak mulut, Iblis! Gempur dia...!"
"Hiaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni yang masih
hidup, kembali menyerbu dengan berani Dengan ilmu
beberapa tingkat di bawah lawan, kesepuluh sisa mu-
rid padepokan berusaha merangsek lawan.
Pertarungan antara Kumbang Hitam melawan
murid-murid Padepokan Cakra Geni kembali berjalan
seru. Kesepuluh murid-murid padepokan itu dengan
gigih dan berani terus menyerang. Namun lawan yang
mereka hadapi bukan lawan sembarangan. Yang me-
reka hadapi seorang berilmu tinggi yang setaraf dengan
guru mereka.
"Kalian benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
Kumbang Hitam mengepakkan tangannya un-
tuk menyerang. Kedua tangannya membentuk sayap
lurus, kemudian dengan cepat diputar ke depan dan
menghentak lawan. Sedangkan kakinya bergerak me-
nendang dengan cepat ke samping dan ke belakang.
Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, terdengar
pekikan memecah udara. Disusul oleh ambruknya tu-
buh lawan.
Dua orang lawan jatuh. Mulut mereka meleleh-
kan darah. Namun hal itu tidak membuat yang lainnya
gentar. Bahkan kembali terdengar seruan lantang.
"Serang terus...!"
"Heaaa...!"
Sisa murid Padepokan Cakra Geni kembali me-
rangsek. Namun Kumbang Hitam yang sudah tak sa-
bar untuk secepatnya menghabisi pengeroyoknya, me-
nyambuti dengan serangan cepat Jurus-jurus pa-
mungkas yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan, ki-
ni digunakannya.
Gerakan tangan dan kaki Kumbang Hitam se
makin cepat. Tangannya mengepak, mematuk dan me-
nyambar ke sana kemari dengan keras dan ganas. Se-
dangkan kedua kakinya menendang, menyepak dan
mendupak tak kalah keras dan cepat. Sebuah gerakan
yang membuat para pengeroyoknya terkejut, tak me-
nyangka akan menghadapi jurus aneh dan dahsyat itu.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!"
Kumbang Hitam terus bergerak dengan cepat.
Kedua tangannya yang mengepak, mematuk, dan me-
nyambar terus menebas ke arah lawan-lawannya. Ka-
kinya pun tak tinggal diam, bergerak lincah dengan
tendangan mematikan.
Mau tak mau, para pengeroyoknya harus ber-
susah payah berkelit, kalau tidak ingin nyawa mereka
melayang. Kini bukannya mereka yang mendesak
Kumbang Hitam. Keadaannya justru berubah. Mereka-
lah yang terdesak.
Kumbang Hitam yang ingin segera menghabisi
lawannya, Wan bertambah beringas. Setiap sabetan,
pukulan dan kepakan tangan dan kakinya, menimbul-
kan jeritan kematian yang menyayat. Disusul oleh am-
bruknya tubuh korban dengan mulut memuntahkan
darah.
Satu persatu lawan dibabat Sampai akhirnya
tak tersisa lagi.
"Ha ha ha...! Semua telah beres, Guru! Menga-
pa kau masih membiarkan tikus tua itu hidup?" celo-
teh Kumbang Hitam dengan mata angkuh memandang
tubuh Ki Wirapati yang berusaha mengelakkan seran-
gan Dewi Bunga Iblis.
"Hik hik hik..," Dewi Bunga Iblis tertawa. "Kau
lakukanlah keinginanmu. Aku yakin, gadis itu berada
di dalam. Biar aku main-main sebentar dengannya."
"Baiklah kalau memang itu keinginanmu."
Usai berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam se-
gera berkelebat masuk ke bangunan yang digunakan
untuk tempat tinggal. Dicarinya Suciati di setiap ka-
mar, Nampaknya Kumbang Hitam sudah tak sabar in-
gin segera menikmati kehangatan tubuh gadis itu,
yang selama ini ditahannya. Bahkan dia telah mem-
bayar mahal untuk itu. Mukanya hancur, sampai ha-
rus ditutup kain hitam.
Lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu te-
rus mencari Suciati. Dia benar-benar tak sabar. Dan
gejolak keinginannya itu dilampiaskan dengan mendo-
brak pintu-pintu kamar yang tertutup rapat
"Di mana dia...," geram Kumbang Hitam sema-
kin tak sabar. Bayangan tubuh Suciati yang pernah di-
intipnya ketika tengah mandi saat masih di Kadipaten
Tegal Arang, kembali menghiasi pikirannya Membang-
kitkan nafsu birahi yang melonjak-lonjak liar.
Semua kamar telah dijelajahinya, namun gadis
itu belum juga ditemukannya. Tentunya di salah satu
kamar itulah Suciati berada, pikir Truna.
Kumbang Hitam menyeringai. Perlahan kakinya
melangkah menghampiri pintu kamar yang tak tertu-
tup di samping kanannya.
"Hm, tentunya di kamar ini dia disembunyi-
kan," gumannya perlahan.
Dengan langkah halus, lelaki terselubung kain
hitam itu mendekati pintu kamar. Didorongnya pintu
tersebut perlahan-lahan.
"Hiaaat..!"
Berbareng dengan terbukanya pintu, sebilah
pedang tiba-tiba menyerang ke arahnya. Beruntung
Kumbang Hitam cepat berkelit. Kalau tidak, kepalanya
tentu akan terbelah oleh pedang yang ada di tangan
Suciati.
"Hiat..!"
Gadis cantik berbaju hijau itu terus menyerang
dengan tusukan-tusukan pedangnya. Namun karena
ilmu silat yang dipelajari selama di padepokan itu be-
lum seberapa, serangannya tidak membahayakan bagi
Kumbang Hitam. Bahkan sambil tertawa Kumbang Hi-
tam mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan
Suciati. Gerakannya seperti hendak menggoda gadis
yang sedang kalap itu.
Suciati terus menyerang dengan gerakan tak te-
ratur, meski dia belum tahu siapa lelaki dengan tubuh
terbalut kain hitam itu. Namun dari caranya masuk ke
kamar itu, dia sudah dapat menduga kalau orang itu
tidak bermaksud baik.
Menghadapi serangan pedang Suciati, Kum-
bang Hitam berkelit sambil tertawa-tawa. Tangannya
sesekali berbuat nakal pada tubuh gadis itu sehingga
membuat Suciati bertambah kalap.
"Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!" maki
Suciati yang merasa dipermainkan.
Serangan Suciati kian membabi buta. Hal itu
membuat Kumbang Hitam dapat membaca gerakan-
nya. Ketika gadis itu membabatkan pedang ke arah
kanan, Kumbang Hitam menggeser kakinya ke bela-
kang dan bergerak ke kiri.
"Percuma saja kau melawanku, Cah Ayu... Le-
bih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan," bu-
juk Kumbang Hitam sambil bergerak mengelakkan ba-
batan-babatan pedang lawan. Sesekali tangannya
kembali nakal menjamah tubuh Suciati.
"Cuhhh...! Lebih baik aku mati, ketimbang me-
nuruti kata-katamu! Heaaat..!"
Dengan membabi buta, Suciati kembali mela
kukan serangan. Pedang di tangannya bergerak tak be-
raturan, membabat ke segenap penjuru.
"Kau benar-benar nekat, Cah Ayu...!"
Sambil berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam
melenting ke udara. Kemudian dengan bersalto, jarinya
menotok jalan darah Suciati.
Tukkk!
"Akh...!"
Tubuh Suciati yang hendak kembali menye-
rang, seketika menjadi kaku laksana patung kayu.
"Laki-laki laknat! Bunuh saja aku! Lepaskan to-
tokanmu, dan kita bertarung sampai mati...!"
Kumbang Hitam tergelak-gelak mendengar tan-
tangan Suciati. Dengan pandangan penuh nafsu, dide-
katinya tubuh Suciati yang tak bergeming. Kemudian
mengangkatnya.
"Lepaskan...! Lepaskan totokanmu, Keparat..!"
maki Suciati penuh kebencian.
Kumbang Hitam tidak peduli. Dengan tertawa-
tawa diletakkannya tubuh Suciati ke atas tempat tidur.
Matanya memandang penuh api nafsu. Kemudian den-
gan buas, tangannya merenggut pakaian gadis itu.
Breeet!
"Auh...!" pekik Suciati.
Kemesuman hampir saja terjadi, kalau tidak
terdengar suara hentakan keras tiba-tiba. "Bajingan...!
Keluar kau...!"
***
"Kurang ajar! Siapa yang berani lancang kepa-
daku?!" maki Kumbang Hitam seraya berkelebat me-
ninggalkan calon korbannya.
Sesampainya di luar, Kumbang Hitam terkejut
bukan kepalang. Gurunya tengah dikeroyok dua orang.
Sedangkan di depannya, berdiri seorang pemuda yang
telah dikenalnya. Pemuda itu tidak lain Pendekar Gila.
Yang tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
Pendekar Gila tertawa melihat Kumbang Hitam
keluar dari dalam. Kemudian dengan masih mengga-
ruk-garuk kepala, dia mengejek,
"Rupanya kau kumbang busuk yang suka me-
rusak kehormatan gadis-gadis itu? Ha ha ha...! Men-
gapa mukamu ditutup, Sobat?! Apa kau malu menun-
jukkan tampang burukmu?!"
Murkalah Kumbang Hitam mendengar ejekan
yang keluar dari mulut Pendekar Gila. Terlebih melihat
tingkah laku menyebalkan pemuda gila itu.
"Pemuda gila! Tak percuma aku mencarimu!
Akhirnya kau datang sendiri untuk mengantar nyawa!"
dengus Kumbang Hitam penuh geram.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menden-
gar ucapan Kumbang Hitam. Tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala. Sedangkan yang kiri menepuk-
nepuk pantat
"Aha.... Rupanya nyawaku sangat berharga ba-
gimu, Kumbang Busuk! Ah ah ah. Sungguh beruntung
aku yang bodoh dan hina ini memiliki nyawa yang
sangat berharga. Karena nyawaku berharga, kukira
aku akan berusaha mempertahankan dari tangan bu-
sukmu itu!" ujar Pendekar Gila.
"Bedebah! Akan kubuktikan kalau tanganku
akan mencabut nyawamu dengan mudah! Heaaa...!"
Dengan amarah meledak-ledak, tubuh Kum-
bang Hiram melesat untuk melabrak Pendekar Gila.
Tangannya mengembang, membuat gerakan 'Sayap
Kumbang Melebar'. Kemudian digerakkan memutar ke
depan, membentuk sebuah perisai dari pukulan. Se-
dangkan kakinya, nampak menyilang agak direndah-
kan
"Hiaaat..!"
Melihat serangan yang dilancarkan lawan, Pen-
dekar Gila segera membuka jurus 'Si Gila Menari Me-
nepuk Lalat', sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang
dahsyat. Gerakan tubuhnya terlihat lemah gemulai
laksana menari, disertai tepukan-tepukan tangan.
Jika diperhatikan, jurus yang dilakukan Pen-
dekar Gila hanya gerakan main-main. Namun, sesung-
guhnya gerakan itu sangat berbahaya.
Melihat gerakan lawan seperti itu, Kumbang Hi-
tam merasa yakin akan dapat menerobos pertahanan
lawan dengan jurus barunya. Tangannya yang berge-
rak membuat suatu kepakan dan pukulan, menyerang
Pendekar Gila.
"Hiat!"
Pendekar Gila cepat berkelit dengan cara memi-
ringkan tubuh ke samping. Gerakan mengelitnya pun
seperti menari. Tubuhnya lentur dan lemas. Jika dili-
hat sekilas, nampak tak ada tenaga yang dikeluarkan-
nya. Lalu disusul oleh tepukan tangan ke arah dada
lawan.
Kumbang Hitam tersentak kaget ketika seran-
gannya dapat digagalkan lawan. Bahkan tepukan tan-
gan Pendekar Gila kini mengancamnya. Cepat-cepat
Kumbang Hitam melangkah ke belakang dua tindak,
lalu kembali tangannya digerakkan ke atas dengan ja-
ri-jari mengepal. Setelah itu, dengan cepat tangan ki-
rinya membentuk siku sebagai tameng. Sedangkan
tangan kanannya mengarah lurus ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila menarik serangan. Tubuh surut
setindak ke belakang. Tubuhnya dibuang ke samping,
kemudian dengan cepat kakinya ditarik ke samping
dengan sedikit menekuk. Tangannya saling menyang-
gah. Tangan kanan berada di atas tangan kiri, kemu-
dian dihempaskan ke depan untuk menyerang lawan.
Tap!
Satu tangan mereka saling berpegangan. Se-
dangkan tangan yang lainnya kini bergerak cepat sal-
ing menyerang dan menangkis. Sebuah permainan
yang sulit dilakukan oleh orang persilatan biasa. Den-
gan satu tangan sating berkait, mereka terus bertukar
serangan.
Bukan hanya tangan mereka yang bergerak me-
lakukan serangan. Kaki mereka pun turut bergerak,
berusaha saling mengait dan menjatuhkan lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya saling dorong, berusaha untuk men-
daratkan pukulan dan sapuan kaki. Kejadian itu ber-
langsung cukup lama. Sampai akhirnya keduanya sal-
ing mendorong dengan keras. Tubuh mereka terlontar
ke belakang, bersalto di udara dan kembali menjejak di
tanah.
Sesaat mata keduanya saling pandang. Kemu-
dian, didahului pekikan melengking tinggi, keduanya
kembali melesat dengan jurus-jurus baru.
"Heaaat..!"
Saat itu Ki Wirapati tengah kerepotan mengha-
dapi gempuran yang dilancarkan Dewi Bunga Iblis. Dia
dalam keadaan terdesak, ketika tiba-tiba terdengar su-
ara seorang lelaki berseru,
"Ki Wirapati, aku datang membantumu!"
Nampak seorang lelaki tua berpakaian mirip re-
si dengan tangan menggenggam tombak pendek bermata dua, berlari menuju tempat itu. Kemudian lelaki
tua yang tidak lain Ki Tunggal Manik itu langsung
menggebrak untuk membantu temannya.
"Terima kasih," desis Ki Wirapati, merasa lega
dengan kedatangan Ki Tunggal Manik. Dengan ban-
tuan Ketua Perguruan Teratai Putih itu, paling tidak
dia tidak lagi terlalu kerepotan menghadapi Dewi Bun-
ga Iblis.
"Heaaat..!"
Dewi Bunga Iblis kembali menggebrak, berusa-
ha mematahkan serangan yang dilancarkan lawannya
yang kini berjumlah dua orang. Tangannya bergerak
cepat menangkis dan menampar ke arah lawan. Se-
dangkan kedua kakinya terus menyapu ke arah kaki,
atau sesekali menendang ke dada lawan-lawannya.
Melihat serangan cepat dilancarkan oleh Dewi
Bunga Iblis, kedua lelaki itu dengan cepat pula berke-
lit. Kemudian dengan cepat pula mereka menyerang
bersamaan.
Ki Tunggal Manik menyerang bagian perut pe-
rempuan tua itu. Tangannya memukul, menotok dan
menepis setiap gerakan kaki lawan. Sedangkan Ki Wi-
rapati yang terluka dalam, kini mengarahkan seran-
gannya pada bagian atas. Tangannya yang kanan me-
mukul, sedangkan yang kiri membentuk tameng untuk
menangkis serangan lawan.
Serangan keduanya datang dari arah yang ber-
lawanan. Satu dari sisi kiri, sedangkan yang satunya
dari sisi kanan. Namun begitu, Dewi Bunga Iblis bu-
kanlah orang kemarin sore, Namanya telah mampu
menggetarkan dunia persilatan pada masanya. Meng-
hadapi serangan kedua lawannya yang berlawanan
arah, tidak menciutkan nyalinya. Terlebih melihat sa-
lah seorang lawannya telah terluka dalam.
Di samping itu, Cakra Geni yang merupakan
senjata pusaka milik Ki Wirapati kini telah berada da-
lam kekuasaannya. Jika dia terdesak, senjata itu akan
digunakan.
Meski usia sudah lanjut, namun gerakan men-
gelit dan menyerang Dewi Bunga Iblis ternyata masih
gesit. Tubuhnya yang agak bungkuk laksana menari.
Kakinya bergerak menyilang dan merenggang. Sedang-
kan tangannya bagaikan sepasang senjata tajam yang
mematikan.
Bahkan dengan tertawa mengikik, Dewi Bunga
Iblis bergerak mengelak dan balas menyerang. Sesekali
tangannya melambat, mengeluarkan angin pukulan
yang menyentakkan kedua lawannya. Atau terkadang
menepak, menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung keras. Sudah
puluhan jurus yang telah mereka keluarkan. Sampai
sejauh itu, tak ada tanda-tanda kalau kedua penge-
royoknya akan mampu menjatuhkan Dewi Bunga Iblis.
Malah berkali-kali keduanya harus membelalakkan
mata, manakala mendapat serangan yang tak terduga.
"Heaaa...!"
"Hik hik hik...!"
Dewi Bunga Iblis terkikik. Tangan kanannya
dikibaskan ke arah lawan sebelah kanan. Sedangkan
kaki kirinya bergerak menendang dan menyapu lawan
sebelah kiri.
Kedua lawan yang mengeroyoknya tersentak.
Segera mereka menarik serangan, kemudian mengu-
bah jurus lain. Bergantian mereka mencari sasaran.
Kalau tadi Ki Wirapati menyerang di bagian atas, kini
sebaliknya. Ki Wirapati memusatkan serangannya pa-
da bagian bawah. Sedangkan Ki Tunggal Manik beralih
menyerang bagian atas tubuh Dewi Bunga Iblis.
Sebuah penggabungan serangan yang hebat.
Kalau saja lawannya tak berilmu setaraf dengan mere-
ka, sudah dari tadi lawan akan diremukkan.
"Heaaat..!"
"Ceaaa...!"
Gerakan kedua lelaki tua itu serempak. Seper-
tinya telah diatur sebelumnya. Tak ada kesalahan da-
lam melakukan serangan. Yang menyerang bagian
atas, terus mencecar dan berusaha mencari titik luang
di bagian atas. Sedangkan yang menyerang bagian ba-
wah, terus mencari titik luang di bagian bawah.
Namun sejauh itu, belum juga mereka berhasil
menjatuhkannya. Seakan semua tubuh Dewi Bunga
Iblis terlindungi. Hal itu disebabkan wanita tua itu
mampu melakukan gerakan yang cepat dan gesit.
Hingga jika serangan datang, secepat itu pula dia me-
lindungi tempat yang diserang. Bahkan tak segan-
segan balik menyerang lawan.
Kedua lelaki tua itu kembali menyerang, ketika
tiba-tiba Dewi Bunga Iblis melompat ke belakang den-
gan cepat Lalu sebelum kedua penyerangnya sadar da-
ri kekagetannya dan menguasai diri, wanita tua itu
menghantamkan pukulan mautnya ke arah mereka.
"Celaka!" pekik Ki Tunggal Manik.
"Ahhh...!" keluh Ki Wirapati kaget.
Keduanya yang belum bisa menguasai diri se-
ketika mati langkah. Mata mereka membelalak tegang,
menyaksikan angin pukulan yang datang menderu ce-
pat ke arah mereka.
Sebisanya Ki Tunggal Manik menjatuhkan diri
ke tanah lalu berguling, sehingga dia luput dari maut.
Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam tak mampu
berbuat apa-apa. Tubuhnya langsung menjadi sasaran
pukulan lawan.
Degk!
"Akh...!"
Ki Wirapati memekik. Tubuhnya terdorong ke
belakang tiga tindak dengan terhuyung-huyung. Darah
semakin banyak keluar.
"Ki...!" seru Ki Tunggal Manik, ketika tubuh Ki
Wirapati terhuyung kemudian ambruk mencium tanah
tanpa nyawa. Hal itu membuat Ki Tunggal Manik men-
jadi kalap. Disertai pekikan, dia kembali menyerang.
Kali ini di tangannya tergenggam senjatanya yang be-
rupa tombak bermata dua.
Tombak sepanjang lengan di tangan Ki Tunggal
Manik bergerak cepat dengan gerak memutar bagai
menghilang. Yang nampak hanya sinar putih kebiru-
biruan, menyelimuti tubuhnya.
"Iblis! Kau harus mati! Heaaa...!" Dewi Bunga
Iblis terkekeh, kemudian dengan cepat mengelakkan
serangan lawan dan balas menyerang. Pertarungan
kembali berlangsung.
SEPULUH
Suciati yang melihat Pendekar Gila tengah ber-
tarung melawan lelaki yang tadi hendak memperko-
sanya dan kini tengah terdesak oleh serangan-
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, segera ber-
kelebat turut menyerang. Pedang di tangannya diarah-
kan ke arah tubuh lelaki terbalut kain hitam. Memang,
saat itu pengaruh totokan Kumbang Hitam telah mus-
nah dengan sendirinya.
"Hiaaat..!"
Kumbang Hitam yang kerepotan menghadapi
Pendekar Gila terkejut manakala mendengar suara
seorang gadis menyerang ke arahnya. Dengan masih
berusaha mengelitkan serangan Pendekar Gila yang
menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang',
Kumbang Hitam menepiskan tangan kirinya ke bela-
kang.
Suciati yang tak menduga akan mendapatkan
serangan begitu tiba-tiba, tak mampu berkelit dari ke-
butan tangan Kumbang Hitam. Tanpa ampun tubuh
gadis itu harus menerima sambaran angin pukulan
yang mengarah dadanya.
Desss!
"Ukh...!"
Suciati mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang sampai lima tindak. Dari sela bibirnya me-
leleh darah segar. Wajahnya sesaat mengejang, sebe-
lum ambruk terkulai di tanah dalam keadaan pingsan.
"Pengecut!" maki Pendekar Gila melihat gadis
itu dihantam oleh lawannya. Hal itu membuatnya kian
bertambah marah. Belum juga habis amarahnya me-
nyaksikan bagaimana Ki Wirapati ditahan oleh wanita
tua itu. Kini telah dikobarkan lagi oleh kejadian yang
dianggapnya pengecut itu.
Dengan mempercepat gerakan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang', Pendekar Gila terus merangsek la-
wan. Tangannya terangkat ke atas, dengan jari-jari
terbuka. Kemudian tangan kanan bergerak menghan-
tam ke muka. Sedangkan tangan kiri bergerak dari
bawah menghajar ke selangkangan.
"Heaaat..!"
Kumbang Hitam yang berusaha mengembang-
kan serangan dengan jurus 'Kumbang Hitam Menyen-
gat' bagikan tak memiliki kesempatan. Setiap kali dia
hendak mengembangkan jurusnya, secepat itu pula
Pendekar Gila telah melancarkan serangan anehnya.
Tiba-tiba saja tangan atau kaki Pendekar Gila yang ke-
lihatannya bergerak lambat, telah mendekati tubuh-
nya. Hingga mau tak mau Kumbang Hitam harus men-
gurungkan niatnya.
Seperti juga saat ini. Beberapa kali Kumbang
Hitam berusaha menyerang. Tapi tiba-tiba saja Pende-
kar Gila telah merangsek. Jurus yang dilancarkan
Pendekar Gila kelihatannya lamban dan lemah. Namun
entah bagaimana caranya, setiap kali Kumbang Hitam
bergerak, tangan atau kaki Pendekar Gila telah dekat
ke tubuhnya.
"Ilmu silumankah?" desis Kumbang Hitam den-
gan mata membelalak kaget. Dia benar-benar mengha-
dapi lawan yang seperti memiliki ilmu siluman saja. Ke
mana pun dia bergerak, lawan tiba-tiba telah men-
jangkaunya, meski gerakan lawan kelihatan lamban
dan lemah.
Pendekar Gila yang sempat melirik ke arah Ki
Tunggal Manik terkejut, menyaksikan orang tua itu ki-
ni terdesak. Kalau dia tidak cepat-cepat membereskan
yang satu ini, bisa-bisa celakalah orang tua dari Pergu-
ruan Teratai Putih itu.
"Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila semakin cepat bergerak,
hingga laksana menghilang. Itulah jurus 'Angin Gila
Membadai'. Tubuhnya berputar cepat menimbulkan
angin yang keras menderu. Sedangkan kedua tangan-
nya bergerak cepat menyerang bergantian.
Kumbang Hitam kian tersentak kaget. Sesaat
dia tertegun dengan mata membelalak menyaksikan
gerakan yang semakin aneh dilakukan oleh lawannya.
Pada saat itu, tangan Pendekar Gila yang menyerang
dengan cepat tanpa dapat dielakkan menghantam telak dadanya. Tubuh Kumbang Hitam terlontar keras,
melayang laksana tersapu angin diikuti pekikan yang
menyayat
"Aaa...!"
Pekikan keras yang keluar dari mulut Kumbang
Hitam, membuat kedua tokoh tua yang tengah berta-
rung seketika menghentikan pertarungan. Keduanya
mengalihkan pandangan ke arah datangnya pekikan
itu.
Dewi Bunga Iblis membelalak saat matanya
sempat menyaksikan gerakan aneh yang dilakukan
oleh pemuda berpakaian rompi kulit ular sanca. Gera-
kan itu mengingatkannya pada seorang pendekar yang
telah mampu mengalahkannya. Pendekar itu pun
mengeluarkan jurus serupa ketika menjatuhkan di-
rinya, hingga tubuhnya bungkuk seperti sekarang.
Setelah pemuda berpakaian rompi kulit ular
menghentikan gerakan anehnya, pandangan Dewi
Bunga Iblis tertuju ke asal suara pekikan. Matanya
semakin membalalak, menyaksikan sesosok tubuh
terbungkus kain hitam yang tidak lain muridnya, me-
layang jauh, dan baru berhenti ketika membentur po-
hon besar dengan menimbulkan suara berderak.
Brakkk...!
Tubuh Kumbang Hitam hancur, bersamaan
dengan tumbangnya pohon besar yang terhantam tu-
buhnya.
"Sungguh dahsyat jurus itu. Hm, rupanya Pen-
dekar Gila telah meningkatkan ilmunya. Tak kusang-
ka, kalau ilmu Pendekar Gila yang masih muda ini le-
bih dahsyat dari pendahulunya. Untuk menandin-
ginya, aku harus mendalami ilmumu puluhan tahun
lagi. Atau mungkin ratusan tahun lagi! Tak ada gu-
nanya aku mencari keributan dengannya," desis hati
Dewi Bunga Iblis.
Tanpa menghiraukan apa yang akan dikatakan
oleh Pendekar Gila dan Ki Tunggal Manik padanya,
Dewi Bunga iblis hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja beberapa langkah kakinya bergerak,
Ki Tunggal Manik dengan cepat melemparkan senja-
tanya ke arah tubuh wanita bungkuk itu. Senjata itu
melaju begitu deras, hingga Dewi Bunga Iblis yang tak
menyangka akan diserang, tak dapat mengelakkannya.
Crab!
Tombak bermata dua menghunjam punggung
wanita bungkuk itu. Mulut keriputnya seketika menje-
rit. Darah muncrat dari punggung yang terluka lalu
membasahi pakaiannya. Sesaat tubuh bungkuk itu
membalik memandang dengan penuh kemarahan ke
arah Ki Tunggal Manik. Gigi-giginya yang tinggal bebe-
rapa biji saling beradu. Jemari tangannya meregang.
Kemudian dengan memekik keras, Dewi bunga Iblis
meluruk bagai banteng luka. Namun karena darah ba-
nyak keluar, serta racun pada tombak mata dua itu,
baru beberapa tindak saja tubuh bungkuk itu telah
ambruk mencium tanah.
Pendekar Gila yang menyaksikan Kejadian itu
hanya mampu menghela napas. Kemudian kakinya
melangkah mendekati Ki Tunggal Menik yang masih
terpaku, memandangi tubuh bungkuk yang kaku.
"Sebentar lagi pagi, Ki.... Kita harus mengubur
mereka," bisik Pendekar Gila, membuat Ki Tunggal
Manik tersadar dari ketertegunannya. Lelaki tua dari
Perguruan Teratai Putih itu mengangguk perlahan.
Kemudian melangkah beriringan dengan Pendekar Gi-
la.
Setelah mengubur mayat-mayat mereka yang
mati, Sena mendekati Ki Tunggal Manik yang berdiri
berjajar dengan Suciati.
"Ki, semua kewajibanku di sini telah selesai.
Aku mohon pamit padamu untuk meneruskan perjala-
nanku, untuk mengikuti kata hati. Kutitipkan Kanjeng
Putri padamu," ujarnya lirih. Merasa sedih korban
nyawa demikian banyak.
"Mengapa harus cepat-cepat pergi, Pendekar Gi-
la? Tinggallah di sini untuk beberapa hari, biar kami
dapat menjamumu," balas Ki Tunggal Manik setengah
mencegah kepergian Pendekar Gila dari kadipaten itu.
"Ah, terima kasih atas tawaranmu, Ki. Tapi,
dengan berat aku menolaknya. Masih banyak orang
dalam kesengsaraan. Masih banyak tugas yang harus
kujalankan. Hidupku untuk alam. Di mana alam
membutuhkan, di situ aku harus mengabdi."
Ki Tunggal Manik mengangguk-anggukkan ke-
pala mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Ya, ya. Aku mengerti. Maaf, aku tadi terlalu
mendesak mu."
Pendekar Gila tersenyum. Tangannya yang di-
ulurkan, disambut oleh Ki Tunggal Manik dengan pe-
rasaan haru. Mereka berpelukan erat penuh persaha-
batan.
"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit Tolong ja-
ga Kanjeng Putri baik-baik," ucap Pendekar Gila sambil
memandang Suciati yang nampak sedih berpisah den-
gan Sena. Mata Suciati yang bulat itu telah dilinangi
air bening.
Pendekar Gila segera berkelebat meninggalkan
tempat itu. Dalam sekejap, tubuhnya telah jauh dan
berada di bawah. Samar-samar terlihat Sena masih
sempat melambaikan tangan sebagai isyarat perpisa-
han yang tidak bisa dielakkan oleh seorang manusia,
siapa pun dia dan di mana pun berada. Lambaian itu
dibalas oleh Ki Tunggal Manik dan Suciati dengan penuh keharuan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar