SATU
Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-
nyelimuti bumi. Suasana di Desa Randu Pitu ke-
lihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat
pesta pernikahan dua remaja yang berlangsung
meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak ada orang
berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa
mencekam, ditambah rasa dingin yang menggigit.
Malam itu, merupakan malam pertama yang indah
bagi sepasang pengantin baru. Malam untuk me-
nentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah
malam awal bagi keduanya untuk mengarungi ke-
hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, me-
masuki masa dewasa yang penuh tantangan.
Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala
tertunduk malu, tangannya membuka satu persatu
pakaiannya.
Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan
panjang berdiri di hadapannya. Di bibir lelaki muda
yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya
menatap lekat sang istri yang tengah membuka
pakaiannya.
"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya
ditengadahkan, lalu memandang penuh harap pada
sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula.
"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk
mendekati istrinya.
Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat
masuk ke dalam rumah mereka yang cukup besar.
Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi
bambu di ruang depan, keduanya tersentak.
"Siapa itu?!" bentak Selo sambil berlari keluar
kamar mengejar bayangan tadi.
Belum juga Selo menemukan orang yang me-
nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar ter-
dengar bentakan keras....
"Selo, keluar kau...!"
Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya,
kakinya melangkah keluar untuk melihat siapa yang
datang.
"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir ter-
senyum ramah, setelah tahu siapa yang datang.
Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo
dengan julukan Tiga Barka Kembar itu berdiri dengan
sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya me-
ngenakan rompi hitam dengan ikat pinggang merah.
Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik.
"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?"
tanya Selo.
"Masih juga berpura-pura tidak tahu!" dengus
Barka Sulung dengan mata melotot.
"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan
Pendekar Gila, Selo! Di mana dia sekarang...?!"
bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa meng-
hiraukan Selo, Barka Penengah dan Barka Bungsu
berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama
kemudian, keduanya telah keluar kembali.
"Di mana kau sembunyikan, Selo?!" hardik Barka
Bungsu seraya tangannya menampar wajah Selo.
Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh.
"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila
itu, heh?!" kini Barkah Sulung ganti menghardik.
"Pendekar Gila...? Bagaimana mungkin dia ke
rumahku?" tanya Selo dengan tangan menyeka darah
yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut
bangkit.
Plak!
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo.
"Aduh...!" pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan
kembali. Sementara tangannya memegangi pipi yang
terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya.
"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng
itu?!" bentak Barka Sulung dengan mata melotot.
Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo
untuk mencari orang yang mereka maksudkan. Tidak
lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah
menggambarkan kejengkelan hebat.
"Tak ada juga! Rasanya memang bersembunyi di
dalam rumah. Atau mungkin disembunyikan oleh dia!"
lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin
bertambah marah.
"Seret dia! Kalau sampai di tempat kita belum juga
mau mengaku, dia akan tahu akibatnya!" dengus
Barka Sulung.
"Ayo...!"
Barka Penengah segera menendang pantat Selo,
membuat lelaki muda itu tersuruk mencium tanah.
Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka
terus menendang.
"Jalan cepat...!"
"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap
Selo berusaha mengambil hati Tiga Barka Kembar.
Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan
ucapan Selo. Bahkan mereka semakin beringas.
"Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar
berkedok itu, heh?!" bentak Barka Sulung. "Dia telah
merebut seorang perempuan dari kami. Dan mem-
bunuhnya setelah terlebih dahulu diperkosa!"
Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan
Barka Sulung barusan. Padahal dia sering dengar
kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal
tercela.
"Pendekar Gila...?!" gumam Selo seakan tidak
percaya.
"Ya! Sekarang tunjukkan, di mana dia!" hardik
Barka Sulung.
"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah
dari tadi kukatakan pada kalian," kata Selo berusaha
meyakinkan mereka.
""Huh...! Masih juga kau menyembunyikannya!
Hih...!"
Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di
pipi Selo. Lelaki muda itu kembali mengeluh
kesakitan.
"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir
menangis karena rasa sakit yang luar biasa di pipinya.
Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka
Kembar percaya begitu saja. Mereka malah semakin
marah dan langsung menendang serta memukul
lelaki muda itu.
Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang
masih belum mengenakan seluruh pakaiannya ber-
anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada,
kemudian kakinya melangkah keluar untuk melihat
keadaan suaminya.
Matanya membelalak ketika menyaksikan suami-
nya diseret tiga lelaki yang meninggalkan tempat itu.
Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya
mendekap mulut yang memekik tertahan.
"Lepaskan suamiku...!" seru Wulandari untuk
menghentikan ketiga lelaki yang semakin jauh
menyeret tubuh suaminya.
Wanita muda yang cantik itu segera mengejar.
Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya.
Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut
suaminya akan mendapatkan celaka, jadi tersendat-
sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret
suaminya.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Wulandari sambil tetap
mengejar ketiga orang yang tengah menyeret suami-
nya.
Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar
jeritan Wulandari, bergegas keluar dari rumahnya.
Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan
pengantin baru itu.
"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan
napas memburu.
"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga
lelaki itu," tutur Wulandari terbata-bata.
"Ke mana mereka...?!" tanya Kepala Desa Randu
Pitu lagi dengan wajah tegang.
"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari
sambil menunjuk arah kepergian orang-orang yang
membawa suaminya.
Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya
segera mengejar ke arah yang ditunjukkan Wulandari.
Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang
yang dimaksud Wulandari.
"Hai, tunggu...!" seru kepala desa sambil terus
mengejar ketiga orang itu bersama beberapa warga
desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala
puluhan senjata rahasia menderu cepat ke arah
mereka.
Zwing, zwing, zwing...!
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar
membelah kesunyian malam. Diikuti gelak tawa Tiga
Barka Kembar yang semakin pongah.
Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa
dan beberapa orang warga yang mengejar telah
bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap
suaminya mampu mengalahkan kengerian yang
muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya melangkah
untuk mengejar kembali.
"Jangan...! Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" jerit
Wulandari sambil terus berlari.
Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun.
Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pem-
bantaian keji di depan matanya. Tak pedulikan resiko
kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak
peduli lagi pada pakaiannya yang yang tidak karuan.
Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghenti-
kan tiga orang lelaki berpakaian rompi hitam yang
terus menyeret suaminya.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat
pingang berwarna merah serta ikat kepala batik, tak
mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah
sambil menyeret tubuh Selo yang mengerang
kesakitan.
"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap
lelaki muda itu dengan meneteskan air mata. Selo
berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang
garang dengan kumis tebal melintang di atas
mulutnya.
"Tutup bacotmu, Selo! Katakan, di mana Pendekar
Gila?! Aku yakin, kau tahu di mana dia!" desak Barka
Sulung.
"Ya! Katakan saja, di mana Pendekar Gila !"
sambung Barka Bungsu.
"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana
dia...," jawab Selo dengan mimik muka memelas
untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam
itu.
"Kunyuk! Apa kau kira kami mau dibohongi
olehmu, heh?! Kami tahu, kalau pendekar muda dan
gila itu baru saja bertandang ke rumahmu!" hardik
Barka Panengah dengan mata melotot. Lalu dengan
bengis, kakinya menendang iga Selo.
Dugk!
"Aduh...!" pekik Selo kesakitan. Tulang iganya
serasa remuk akibat tendangan Barka Panengah.
Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan
Barka Sulung telah mencengkeram rambutnya.
"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh?!" sentak
Brka Sulung sambil menjenggut rambut Selo hingga
wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka
Sulung sambil meringis.
Sementara, di belakang mereka istri Selo terus
berlari menuju Tiga Barka Kembar dan suaminya
berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan
dirinya, sampai-sampai tak menggubris kain penutup
tubuhnya yang agak merosot.
Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata
mereka langsung terbelalak. Ketiganya menelan
ludah, dengan napas yang mulai turun-naik.
"Ck, ck, ck..."
Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan
tubuh istri Selo yang mulus menantang dengan
penutup yang sudah tidak karuan.
"Wulan, cepat pergi dari sini…!" seru Selo kepada
istrinya.
Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suami-
nya tak mempedulikan seruan sang Suami. Dia terus
berlari menuju tempat itu.
"Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" serunya.
Tiga Barka Kembar yang masih terpesona
menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan
jeritan wanita muda yang cantik itu. Ketiganya masih
berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka meng-
geleng-geleng.
"He he he...! Rupanya istrimu montok sekali,
Selo...," ujar Barka Sulung sambil memandang tiada
henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang
pintar, Selo."
"Ya! Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo,"
sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya
berdecak kagum.
"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?"
ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk
segera memburu mangsa empuk yang akan mem-
bawa mereka ke puncak kenikmatan.
"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku
yang menangani si Selo," kata Barka Sulung pada
kedua adiknya.
Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan
Barka Panengah segera meninggalkan sang Kakak
untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah
mereka.
"Ayo, Kakang. Kita berlomba! Siapa cepat, dia yang
akan mendapatkan bagian lebih dahulu...!" tantang
Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya.
"Ayo...! Heaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya,
berusaha saling mendahului. Keduanya sampai di
depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan
cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri
Wulandari.
"Lepaskan...! Kalian bajingan! Lepaskan...!"
Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman
tangan kedua lelaki yang kini tertawa tergelak-gelak.
Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah
tubuh Wulandari dengan semena-mena.
"Auh...! Kurang ajar...!" maki Wulandari penuh
kebencian. Matanya memandang penuh amarah ke
arah dua lelaki yang kurang ajar itu.
***
"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan jika
marah, Manis," goda Barka Panengah. Tangannya
kembali bergerak nakal.
"Tidak! Kakang, tolooong...!" teriak Wulandari
sambil terus memberontak. Sesekali tangannya
memukul tangan kedua lelaki kasar itu.
"Lepaskan! Jangan ganggu istriku!" seru Selo,
mengharap kedua Barka bersaudara itu tidak
meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya
bahkan semakin menjadi-jadi. Selo hendak lari, tapi
sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan
jatuh.
Degk!
"Ukh...!" keluh Selo.
"Mau lari ke mana kau?!" ujar Barka Sulung sinis.
Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah
yang sudah tidak tahan melihat tubuh Wulandari,
tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka
Panengah berkelebat cepat. Di tangannya ter-
genggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram
keras tangan Wulandari.
"Auh...!" pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan
cepat tangan kanan Barka Sulung menyumbat
mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya
tertelan Wulandari.
"Auh, tidak!"
Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak,
menyaksikan Wulandari sempoyongan. Pandangan
wanita cantik itu berkunang-kunang.
"Oh...!" keluh Wulandari. Tangannya memegangi
kepalanya yang terasa pening. Pandangan matanya
mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhir-
nya, tubuh wanita itu jatuh terkulai di tanah.
"Ha ha ha...! Akhirnya kita dapat menunduk-
kannya," kata Barka Panengah sambil tertawa-tawa
bersama adiknya.
"Semuanya telah beres, Kakang! Tak sabar aku
rasanya...," gumam Barka Bungsu sambil melangkah
hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia
hendak melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka
Panengah mencegahnya...
"Tunggu...!"
"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu
dengan nada tak senang. "Bukankah semuanya telah
beres? Mengapa kita harus membuang-buang
waktu?"
"Aku yang pertama. Sebab aku yang men-
dapatkannya!"
Barka Bungsu menghela napas. Matanya
memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya
melangkah mundur, membiarkan kakaknya men-
dekati tubuh Wulandari.
"Hai, tunggu...!"
Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu,
terdengar Barka Sulung membentak. Hal itu membuat
Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk me-
lampiaskan nafsu pada Wulandari. Dengan
bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur.
"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata
Barka Sulung sambil melangkah mendekati tubuh
Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada
tubuh yang terkulai tanpa daya itu. Kepalanya meng-
geleng-geleng.
"Ck, ck, ck...! Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu
ini ternyata ada gadis secantik dan sebahenol ini."
Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru
hendak membuka pakaiannya, ketika tiba-tiba ter-
dengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian
keras penuh ejekan.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak tahu malu! Itukah
orang-orang yang menamakan dirinya Tiga Barka
Kembar?!"
Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu.
Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera
memandang ke asal suara. Kemudian dengan gusar,
Barka Sulung yang mengurungkan niatnya mem-
perkosa Wulandari membentak..
"Bangsat! Siapa kau...?!"
"Ha ha ha...! Rupanya kalian masih punya nyali,
berani membentakku...!" kembali terdengar suara
lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis.
"Pengecut! Kalau kau lelaki, tunjukkan tampang-
mu! Hadapi kami, Tiga Barka Kembar...!" seru Barka
Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu.
Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat
itu.
"Kalianlah yang pengecut! Beraninya hanya dengan
orang lemah! Di mana nama besar kalian?!"
"Bangsat! Katakan, siapa kau dan tunjukkan
rupamu! Kuhancurkan batok kepalamu!" maki Barka
Bungsu tak kalah sewot dibandingkan kedua kakak-
nya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang
bernama Pendekar Gila?!"
"Ha ha ha...! Rupanya pendengaran kalian cukup
tajam! Ya, akulah Pendekar Gila," sahut pemilik suara
dengan nada penuh kesombongan.
"Bedebah! Apakah kau kira kami takut meng-
hadapimu, Pendekar Gila!" tantang Barka Sulung.
"Tunjukkan tampangmu! Biar korobek mulut besar-
mu!" sambung Barka Panengah dengan tangan
mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu,
menandakan kemarahannya. Matanya menyapu ke
sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan.
"Ayo...! Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong!"
bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti
kedua kakaknya, dia pun merasa marah dihina begitu
rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam
menyapu ke sekelilingnya.
DUA
Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di
sekeliling tempat tersebut. Suara itu seperti berada di
mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar
kebingungan untuk menentukan tempat orang itu
berada.
"Apakah kalian sudah siap menghadapiku,
Manusia-manusia Pengecut?!" tanya suara itu dengan
penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada
henti-hentinya. Membuat Tiga Barka Kembar semakin
marah karena merasa dihina begitu rupa.
"Kurang ajar! Apakah kau kira kami takut meng-
hadapimu, Pendekar Gila?! Kami memang ke sini
untuk mencarimu! Untuk mencoba sampai di mana
kehebatan ilmumu yang diagung-agungkan itu!
Keluarlah! Hadapi kami!" tantang Barka Sulung.
Tak terdengar jawaban.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin
gusar. Dengan penuh amarah, ketiganya
melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Yiaaa...!"
Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru
menderu dari tangan Tiga Barka Kembar.
Glarrr!
Brakkk!
Duarrr!
Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan
yang tumbang. Namun mereka belum juga dapat
menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak
tawa kembali, diikuti oleh seruan mengejek....
"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku!
Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu
pun tak akan sanggup menghadapiku!"
Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka
Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-
remehkan begitu rupa. Kalau nama mereka, mungkin
amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik
suara itu telah keterlaluan dengan menghina guru
mereka.
"Bedebah! Tutup mulutmu! Tunjukkan wujudmu,
biar korobek mulutmu yang sombong itu...!" bentak
Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta
amarah yang meluap-luap.
"Kurang ajar! Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar
Gila! Tunjukkan mukamu, Monyet! Jangan sampai
kami hilang kesabaran!" timpal Barka Panengah
dengan mata membelalak marah.
"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang
sombong! Ayo, jangan hanya bersembunyi! Keluar-
lah...! Hadapi Tiga Barka Kembar!" sentak Barka
Bungsu.
"Baik! Agar kalian tak penasaran, aku akan
menampakkan diriku! Meski kalian tak ada artinya
sama sekali bagiku! Nah, bersiaplah menyambut-
ku...!"
Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba
terdengar suara laksana ribuan tawon terbang. Tidak
lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah
berdiri sesosok lelaki muda dengan senyum sinis
mengembang di bibirnya.
Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna
gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau
daun. Wajah pemuda itu tertutup oleh sebuah topeng
berhidung besar warna merah, hingga kelihatan
buruk.
Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk
mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan
mereka. Diperhatikannya dengan seksama pemuda
itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang
namanya akhir-akhir ini membubung tinggi?!
Pengecut! Tak berani menunjukkan mukanya yang
buruk!" ejek Barka Sulung dengan senyum sinis.
"Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku!
Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata
pemuda bertopeng itu, sambil bersedakap, men-
cerminkan keangkuhan dirinya.
Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin,
membuat Tiga Barka Kembar semakin geram. Mereka
benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda
bertopeng itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar sombong,
Pendekar Gila! Jangan kau kira kami takut dengan
nama besarmu! Baik, bersiaplah...!" tantang Barka
Panengah yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan
pemuda bertopeng itu dirasakan sangat menggigit
perasaan dan membuat telinganya panas.
"Ha ha ha...!" pemuda bertopeng yang mengaku
Pendekar Gila itu tertawa bergelak. "Hm, ternyata
cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi!
Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih
dulu...?"
"Bedebah! Kau boleh berkoar sesuka hati,
sebelum kurobek mulutmu!" dengus Barka Bungsu
dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling
beradu, menimbulkan suara gemeretak keras.
"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku,
Sobat?" tanya pemuda bertopeng dengan suara tak
berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan
"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?"
"Banyak omong...! Serang...!" seru Barka Sulung,
memerintah kedua adiknya sambil menggerakkan
tangan.
"Heaaa...!
"Ceaaat..!"
Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah,
seketika melompat ke depan dan mengurung
pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa.
Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh
ketiga lawannya. "Mengapa tidak sekalian gurumu, si
Kempala tolol itu?!" ejek pemuda bertopeng itu,
Untuk yang kedua kalinya, Tiga Barka Kembar
tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan
pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga
Barka Kembar melotot bengis pada pemuda
bertopeng yang masih tergelak-gelak.
"Bangsat! Kau benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"
***
Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat.
Ketiganya berputar laksana angin puting beliung.
Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang
dengan pukulan dan tendangan.
"Ha ha ha...! Jurus kuno seperti itu masih kalian
pakai saja," ejek lawannya sambil melenting ke udara,
untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar.
"Sombong! Rupanya mulutmu memang besar,
Pendekar Gila!" bentak Barka Sulung dengan
dengusan penuh amarah. Mereka segera memburu
ke arah pemuda bertopeng.
"Kurobek mulutmu! Heaaa...!"
"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa...!"
Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan
jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa'.
Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung
elang. Menyambar dan mematuk dengan cepat dan
keras.
"Heaaa...!"
Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa,
kemudian dengan cepat kedua kakinya bergerak
hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar
ke atas.
Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan
kaki ke tangan mereka, secepat kilat ketiga lelaki
berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan
kanan yang mencakar ke atas, dengan cepat ditarik.
Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada
lawan.
"Yeaaat..!"
Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja
pemuda bertopeng itu tidak segera melompat
kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah
terhantam ketiga tangan berisi tenaga dalam itu.
"Hebat! Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan
Mematuk Mangsa' yang kalian miliki cukup
sempurna! Namun kalian jangan bangga dulu...
Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama
sekali bukan jurus yang berarti bagiku!" ejek pemuda
bertopeng.
"Jangan banyak omong! Hiaaat...!" bentak Barka
bungsu sambil merangsek maju. Sepasang tangannya
bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar,
disusul tangan kiri yang menyabet.
Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung
dan Barka Panengah tak mau tinggal diam. Keduanya
segera bantu menyerang dengan jurus yang sama.
Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga
untuk bersalto dan melompat mengelakkan serangan
ketiganya yang keras dan cepat
"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian
berhadapan denganku," gumam pemuda bertopeng
dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi
lawan ingusan, tentunya kalian sudah menang. Tapi
aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada artinya
jurus yang kalian keluarkan!"
Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu.
Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya,
tidak berarti baginya. Padahal Tiga Barka Kembar
adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan.
Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah
membuktikannya dengan sejumlah korban yang
tewas di tangan mereka.
Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang
sebelah mata pada Tiga Barka Kembar. Dengan
seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi
hitam yang menyerangnya. Malah dia sengaja hanya
mengelak, tidak mau balik menyerang.
Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar
tanpa banyak kata lagi terus melancarkan serangan-
serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha
menjatuhkan pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-
cabik mulutnya yang sombong dan lancang menghina
mereka.
"Hiaaat..!"
"Jebol perutmu, Pemuda Sombong...!" hardik Barka
Panengah sambil mencakar ke perut lawan.
"Uts...! Kurang tepat, Kawan!"
Kembali pemuda bertopeng itu mengejek.
Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan
kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan
kanannya menghantam ke muka lawannya.
Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu
sangat cepat, membuat Barka Panengah terkejut
mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat
tubuhnya dirundukkan ke bawah, mengelakkan
serangan cepat yang dilancarkan lawannya.
"Gila...!" pekiknya seraya menunduk rendah.
Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di
atas punggungnya.
Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya,
pemuda bertopeng tak berhenti sampai di situ. Kaki
kanannya kini menendang dengan cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Celaka...!" desis Barka Sulung dan Barka Bungsu
hampir bersamaan. Mereka terkejut menyaksikan
saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang
dilancarkan pemuda bertopeng.
"Kakang, kita harus membantunya...!" seru Barka
Bungsu seraya melesat ke arah pemuda bertopeng.
Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini
dalam bahaya dengan memancing pemuda bertopeng
agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang
Kakak dapat terbebas dari serangan lawan.
Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini,
perhatian pemuda bertopeng beralih padanya.
Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka
Bungsu.
"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar!" bentak
pemuda bertopeng seraya mempercepaat serangan.
"Heaaa...!"
Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas,
kemudian menukik ke bawah setelah mencapai
ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak
lincah. Satu menyerang dengan pukulan, yang lain
menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan
kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan
Barka Bungsu yang membelalakkan mata.
"Celaka...! Kakang, bantu aku...!" seru Barka
Bungsu sambil berusaha mengelakkan serangan-
serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi.
"Kau harus kulumpuhkan! Heaaat..!"
Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan
tangannya ke dada lawan. Sehingga, Barka Bungsu
yang terdesak tak mampu lagi mengelak.
Degk!
"Ukh...!"
Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya
seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya
memegangi dada yang terasa sakit akibat pukulan
telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental.
"Bungsu...!" pekik Barka Sulung sambil memburu
ke arah tubuh adiknya yang terpelanting ke tanah
dengan luka dalam.
***
Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan
Barka Panengah semakin marah. Mata keduanya
melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng
yang masih tertawa penuh kemenangan.
"Bangsat! Kau telah melukai adikku! Kubunuh kau,
Pendekar Gila! Heaaat..!"
Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya
kembali berkelebat cepat menyerang pemuda
bertopeng itu.
"Percuma kalian melawan!" kata pemuda itu
seraya mengelak. Kemudian pemuda berbaju kuning
itu balas melakukan serangan yang kencang dan
cepat. Angin pukulannya menderu keras, menyentak-
kan Barka Sulung.
Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka
Panengah tidak tinggal diam.
"Kakang, cepat menyingkir! Biar kuhancurkan dia!
Yeaaa...!"
Barka Panengah menghantamkan pukulan
saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan
cepat, lawannya berkelit. Kemudian setelah lolos dari
serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-
pukulan cepat ke arah Barka Panengah.
"Yeaaa...!"
Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat
tangan lawan membara laksana api dan bergerak
cepat ke arahnya.
Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka
Panengah segera mencabut senjatanya dari balik
rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula.
Barka Panengah dengan cepat berusaha menusuk-
kan trisulanya, namun tangan lawan ternyata lebih
cepat menangkap tangannya.
Tap!
Krak!
"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika
tangannya dipatahkan. Matanya membelalak dan
mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya
pucat pasi laksana tak berdarah.
"Apa kataku?! Kalian tidak lebih cecurut tanah!
Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran
ku hilang!" bentak pemuda bertopeng mengancam.
Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan
mampu menghadapi pemuda yang disangka
Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka
meninggalkan tempat itu disertai ancaman....
"Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah! Tapi
nanti kami akan mengadakan perhitungan dengan-
mu!"
Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar
ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah
Wulandari yang terduduk lemas dan mata yang
memandang penuh harap akan pertolongan pemuda
itu.
Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya
melangkah ke arah Wulandari yang masih terduduk
lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini
nampaklah seraut wajah tampan namun penuh
kebengisan.
Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut
mundur, manakala tangan pemuda itu membelai
dagunya.
"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...."
Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh
tubuh Wulandari yang seketika berteriak...
"Lepaskan aku! Oh, lepaskan...!"
Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak
menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan
wanita itu dianggapnya sebagai ungkapan memohon.
Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari,
melampiaskan gejolak nafsu binatangnya. Begitulah
kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang
bermuka dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang
dilakukan orang lain. Dan pada saat lain, dia berpesta
pora dengan kekotoran dirinya.
Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya
menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum
sambil mengenakan pakaiannya kembali.
"Seharusnya kau gembira berkenalan denganku,
Pendekar Gila yang namanya tersohor."
Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah
menghantamkan pukulan dahsyat ke tubuh Selo
hingga hancur.
"Kakang...!" pekik Wulandari, menyaksikan
suaminya menggeletak tanpa nyawa.
Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya
yang hancur terhantam pukulan maut pemuda
mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan
cantik tapi malang itu menangisi kematian suaminya
yang mengenaskan.
"Pendekar Gila keparat!" makinya penuh dendam
di antara isak tangis.
Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan
dari pernikahannya. Bulan madu yang seharusnya
begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan
keperawanannya telah direnggut oleh manusia laknat
tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka
Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka
memang orang-orang sesat. Tapi perbuatan Pendekar
Gila yang katanya selalu membela orang lemah,
sangat sulit dilupakannya.
Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada
Pendekar Gila, tercermin pada matanya yang mem-
bara berlinang air mata. Tangannya mengepal,
kemudian memukul-mukul tanah yang ada di
hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya.
"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya!
Akan kutaklukkan semua pendekar! Akan kutakluk
kan mereka, terutama Pendekar Gila! Akan kucabut
jantung dan kemaluan mereka, kuremas hancur
seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua
untukmu!"
Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari
sujudnya. Melangkah tertatih-tatih dengan tubuh
letih, meninggalkan tempat itu.
Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi
kepergian wanita yang di dadanya tersimpan dendam
membara. Dendam pada orang-orang persilatan,
terutama Pendekar Gila yang telah menghancurkan
hidup dan masa depannya.
TIGA
Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari
baru saja menyingsing, mengabarkan pada makhluk
malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-
hewan mendendangkan tembangnya masing-masing,
menciptakan kedamaian kecil dalam dunia yang
hingar-bingar.
Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat
letih, berjalan tertatih. Sesekali langkahnya terhenti
bersama erangan menahan sakit. Wanita muda
berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah
Wulandari. Sejenak matanya memandang nanar ke
arah matahari terbit di ufuk timur.
"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka?
Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?"
keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi
keningnya. Dihelanya napas panjang-panjang.
Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya,
Wulandari kembali meneruskan perjalanannya.
Baru beberapa tindak Wulandari melangkah,
tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih terlalu lemah
setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku
Pendekar Gila.
Tak berapa lama kemudian, dari arah timur
tampak seorang wanita tua dengan tubuh terbungkuk
berjalan menuju tempat Wulandari pingsan.
Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah.
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput,
semakin menyipit menyaksikan sesuatu tergeletak di
jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang
tergeletak di jalanan itu.
"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh,
kenapa dia?" tanyanya terheran-heran. Kemudian
dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati
tubuh Wulandari yang tergeletak pingsan.
Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan
seksama.
"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi
tekanan batin," gumamnya prihatin. Lalu wanita itu
jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba
dada wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya
pingsan."
Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan
itu beberapa kali. Sepertinya dia berusaha
mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari.
Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulut-
nya tersenyum. Dia seakan senang terhadap wanita
muda itu.
"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid.
Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku
dan dia tak ada apa-apa. Tak ada silang sengketa."
Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah,
bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek itu kini
berlari kembali ke arah timur dengan memanggul
tubuh Wulandari.
Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap
saja, tubuhnya telah jauh meninggalkan tempat
semula.
Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus
berlari dengan membawa tubuh Wulandari
menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat
tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya yang bungkuk
dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari,
sampai-sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua
kakinya bagai tak menjejak tanah.
Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada
sebuah gua di lereng bukit yang dikelilingi pepohonan
lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling,
berusaha memastikan tak ada seorang pun yang
melihatnya.
Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang
lain, wanita tua itu melesat menuju mulut gua.
Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri,
didorongnya pintu gua dari batu yang ditumbuhi lumut
dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di
situ ada gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga
dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi.
Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri
lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya berhenti di depan
sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke
dinding itu, lalu mendorongnya....
Srrrt!
Dinding gua yang semula nampak tak bercelah,
kini bergerak membuka. Ternyata di baliknya ada
sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari
batu datar sepanjang dua depa dan selebar satu
depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari dibaringkan.
Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam
keadaan pingsan dengan kepala mengangguk-
angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang
sudah berpuluh tahun menghilang dari dunia
persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya.
Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua
sebelahnya yang ada di depan ruangan di mana
Wulandari tiba.
Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu
nampak dinding gua bergerak membuka,
menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,
nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan
terbuat dari bebatuan. Nampaknya di ruangan itu si
nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik
sendiri.
Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah
masuk. Matanya memandangi peralatan yang terbuat
dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil.
Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu,
sepertinya mencari obat yang cocok.
"Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si
nenek. Diambilnya sebuah mangkuk berisi serbuk
ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan
dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari
dalam mangkuk ketika air itu bercampur dengan
serbuk.
Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari
ruangan itu dan kembali ke ruangan di mana
Wulandari terbaring.
Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu
dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh wanita muda
itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras.
"Akh...! Panas...!"
Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun
Nyi Kendil bagai tak mengenal kasihan. Tangannya
terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari,
dari ujung kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari
semakin keras mengerang. Sedangkan tubuhnya
menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang
tersiram air panas.
"Panas...! Oh, panas...!" pekiknya berusaha
menghentikan Nyi Kendil agar tidak terus membaluri
sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas
itu. Namun nenek itu tak mau peduli. Tetap saja
tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu. Hingga
tak sejengkal pun yang terlewatkan.
Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu,
seketika mengepulkan asap, dibarengi keluhan dan
pekikan wanita muda itu.
"O, panas...! Aduh, panas...!"
"He he he...! Sebentar, Nak.... Hanya sebentar
panasnya. Setelah itu, kau akan merasakan tubuhmu
segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh.
Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai
membara. Panasnya semakin menyengat tak
tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari
kembali terkulai pingsan.
Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari
yang kini bagai membara. Setelah itu, dia berlalu dari
tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya.
Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat
yang lebar. Di tempat itu terdapat sebuah batu
berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek
itu melakukan semadi.
Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali
siuman. Badannya yang semula linu dan terasa sakit,
kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke
sekeliling tempat itu dengan tatapan heran.
Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi
kini, dia berada di sebuah ruangan batu.
"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia
memandang tubuhnya. Seketika matanya
membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku?!"
Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan
tubuhnya dalam keadaan telanjang. Dengan cepat,
diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah
mengenakannya kembali, Wulandari bergegas keluar
dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah
berani menelanjanginya.
"Kurang ajar! Akan kuremukkan batok kepalanya!"
dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan
tak sabar lagi untuk menemukan orang yang telah
menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke
arah barat, ketika terdengar suara seorang wanita tua
berkata....
"Mau ke mana, Anak Bodoh?"
Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam
gua, berusaha mencari pemilik suara yang tadi
berkata. Napasnya mendengus penuh amarah.
Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari
arah belakang, Wulandari segera melangkah ke sana.
"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar?!" bentak
Wulandari, nadanya sama sekali tidak menunjukkan
rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya
pada orang-orang persilatan, menjadikan hatinya
gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali bertarung dengan
orang persilatan, meski dia akan mati.
"Aku di sini, Anak Bodoh!"
Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik
seorang wanita tua.
Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya
berhenti, ketika sampai di sebuah ruangan luas
tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah
menggambarkan kemarahan, Wulandari membentak
keras....
"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku,
heh?!"
"Benar, memang akulah yang menelanjangi
tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki mana pun
sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu,"
ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku
lelaki, sudah dari tadi tubuhmu kugeluti...."
"Cabul! Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang
nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul
kepala Nyi Kendil.
Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil
terkekeh dan tak bergeming dari duduknya. Ketika
tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek
hanya menekuk lehernya ke samping. Hingga
serangan Wulandari menemui tempat kosong.
Merasa serangan pertama gagal, Wulandari
semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan
tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun nenek itu
dengan enteng bergeser ke samping.
"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan
untuk menyerangku? Anak bodoh!" bentak wanita tua
itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi.
"Sombong! Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul!
Heaaa...!"
Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit
Serangan Wulandari seakan tak berarti sama sekali.
Malah nenek itu semakin seru tertawa.
"Anak bodoh! Keluarkan semua tenaga dan
kebiasaanmu yang tiada guna itu!" ejek Nyi Kendil.
Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang
dengan kemarahan memuncak. Tangannya memukul
sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi
wanita tua itu berkelit dengan sambil terkekeh-
terkekeh.
"Dasar anak tolol! Rupanya kau tak becus ilmu
silat! Huh, tolol!"
Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia
memang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat,
namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan
teriakan nyaring Wulandari menyerang.
"Heaaa...!"
***
Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari
terus menyerang Nyi Kendil. Namun serangan yang
tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu
memang bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang
nenek sakti yang di masa mudanya pernah malang-
melintang di dunia persilatan,
Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti
dan tidak didasari ilmu silat, Nyi Kendil bagai
mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya
bagai menari-nari, membuat Wulandari merasa diper-
mainkan. Wajahnya bertambah geram dan gerakan-
nya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil
malah makin sering menghina. Kian memancing
amarah wanita muda itu.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol!
Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku...!" ejek Nyi
Kendil sambil terkekeh. Lalu kakinya diangkat ke
atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian
dengan melenting ke atas, si nenek menotok
punggung Wulandari.
Tuk!
"Ukh...!"
Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuh-
nya mematung tanpa dapat digerakkan. Hanya
matanya saja yang memandang penuh kebencian.
"Lepaskan aku, Pengecut..!" bentaknya sengit. Nyi
Kendil tertawa terkekeh. Tangannya bertolak
pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah
menuju tubuh Wulandari yang masih mematung.
"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan
pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini. Kalau tadi aku
mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-
mulihkan tubuhmu yang terlalu lemah. Kau
mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan
Wulandari. Setelah itu, tangannya bergerak untuk
membebaskan totokan pada tubuh Wulandari.
Tuk!
Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk
serta kepala menunduk di depan Nyi Kendil.
"Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku
tidak tahu kalau kau menolongku...," ratap Wulandari
sambil bersujud.
Nyi Kendil terkekeh.
"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat
begitu."
Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari
bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya
duduk tadi. Nyi Kendil bersila, di atas batu persegi.
Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya.
"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu.
Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints
Wulandari.
Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-
gelengkan kepala mendengar rengekan wanita muda
depannya.
"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku
menjadi gurumu?"
Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun
menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya.
Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan
Selo baru saja menikah, ketika tiga orang yang
mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke
rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar
Gila.
"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil.
"Benar, Nek."
"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda
sakti itu? Apakah mau mengadu ilmu...?" tanya Nyi
Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam.
"Begitulah, Nek," jawab Wulandari.
"Hm...," gumam Nyi Kendil.
Tangan kanan wanita tua itu memegang dan
mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya meng-
angguk-angguk, entah apa yang dipikirkannya.
"Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar
Wulandari meneruskan ceritanya.
Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar
Gila, Selo pun tidak mengakui tuduhan ketiga lelaki
bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka
Kembar marah. Mereka menangkap Selo dan
menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu
berusaha mengetahui di mana Pendekar Gila berada.
"Tidak masuk akal...!" ujar Nyi Kendil tiba-tiba,
membuat Wulandari menghentikan ceritanya.
Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita
tua itu.
"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari.
"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor
bersembunyi...," gumam Nyi Kendil. "Jelas Tiga Barka
Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa
suamimu. Hm, apakah antara suamimu dan
ketiganya pernah saling bersengketa?"
Wulandari menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Nek."
"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya."
Wulandari pun meneruskan ceritanya.
Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo,
ketiganya bermaksud memperkosa Wulandari.
Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir
saja merenggut kehormatannya. Lalu datang pemuda
bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila.
Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang
mengaku sebagai Pendekar Gila jauh lebih lihai dari
mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan.
Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda ber-
topeng yang memiliki wajah tampan itu memperkosa
Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng
yang mengaku berjuluk Pendekar Gila membunuh
suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh
suaminya hancur berantakan.
"Aku dendam pada orang-orang persilatan! Aku
ingin membalas mereka, terutama Pendekar Gila!"
dengus Wulandari mengakhiri ceritanya.
"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil
tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti
mengapa si nenek mentertawakannya.
"Mengapa Nenek tertawa? Apakah ada yang lucu?"
tanya Wulandari tak mengerti.
"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah nama-
mu?"
"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih
sering dipanggil Wulan saja."
"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam?
Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-
manusia lemah. Terutama Pendekar Gila. Mereka
memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi.
Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka
tanpa memiliki kemampuan?"
Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.
Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu.
Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin
dendamnya dapat terbalaskan.
"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah
kiranya Nenek memberikan pelajaran ilmu silat pada
aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati
semua peraturan yang Nenek berikan. Tolonglah,
Nek. Aku akan mengabdi padamu."
Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan
mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti.
Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu
sepertinya dapat mengetahui kalau Wulandari mau
berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang
menjadikan wanita muda itu menyanggupi untuk
mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si
nenek. Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan
Wulandari.
"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar,
Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau menerima ujian
berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan
semua perintahku, jika kau memang ingin cepat
mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat,
jangan coba-coba kau bermalas-malasan...!" ucap Nyi
Kendil akhirnya.
Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi
tersenyum. Segera tubuhnya bersujud penuh hormat.
"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan
perintah Guru akan kujalankan dengan senang
hati...."
EMPAT
Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin
berhembus semilir, mengusik dedaunan pada pucuk
pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun
kering menari-nari di udara.
Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit
ular sanca, menggeliat perlahan. Pemuda itu terjaga
dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya
yang tampan.
Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya
mengucek-ucek mata yang menyipit karena silaunya
sinar matahari.
"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan.
Sena duduk di atas cabang pohon yang
digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke
sekeliling. Tak lama kemudian, dengan enteng
tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu.
"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya
sudah tidak sabar lagi," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan
tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang
lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang
kegirangan.
Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan
gelak tawa ceria Pendekar Gila. Menjadikan burung-
burung yang sedang bertengger seketika beterbagan
karena kaget.
Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-
nyanyi, kakinya melangkah untuk pergi dari tempat
itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk
diisi.
"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri.
Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang
dirasakan sangat lapar.
Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan
belantara tempatnya tidur semalam. Masih dengan
tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri
lembah yang dihimpit bukit.
Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah
pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju
serba putih. Kepalanya diikat oleh kulit rusa. Wajah
lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu
kemantapan jiwanya.
Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian
kulit ular, seketika lelaki tua itu menghentikan
pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan
seksama. Kemudian terdengar gumaman dari
mulutnya....
"Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan
Pendekar Gila dari Gua Setan itu?" tanyanya pada diri
sendiri.
Dipandanginya pemuda tampan yang melintas
berapa tombak di depannya. Kemudian lelaki berbaju
putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun
dari pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin
kalau pemuda yang kini ditemuinya adalah pendekar
muda yang disebut Pendekar Gila.
"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya
orang gila biasa tidak mungkin memiliki pakaian
seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah
itu Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil
mengerutkan kening. Matanya semakin lekat, mem-
perhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus
melangkah.
Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena
telah di depannya, badannya dibungkukkan untuk
menjura.
"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa
bertemu denganmu, Pendekar Gila. Terimalah salam
hormatku," sapa Ki Martanu.
Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika
menghentikan tawanya. Matanya menyipit dan
keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki
setengah tua berbaju putih yang menjura di depan-
nya.
"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki? Dan
siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Keningnya tetap berkerut.
"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya.
Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki
Martanu, memperkenalkan diri.
"Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu
denganmu, Ki! Akulah yang harus menghormatimu,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya
membungkuk, untuk menjura hormat pada Ki
Martanu.
"Ah, sudahlah! Tuan Pendekar jangan merendah
begitu. Siapa yang tidak kenal denganmu. Sungguh
beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa
berjumpa denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu.
Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?"
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajah-
nya ditengadahkan, memandang langit yang biru.
"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah
tidak tahan lagi," jawab Sena sambil menepuk-nepuk
perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya
sangat lucu, membuat Ki Martanu hampir tertawa
dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa
pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan
tawanya menyaksikan tingkah laku Sena yang lucu.
"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan
bersamaku? Sungguh suatu kehormatan bagiku yang
tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki
Martanu.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian terdengar tawanya lepas.
"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat
aku menolak ajakanmu," jawab Sena, membuat Ki
Martanu tersenyum senang.
"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi
Pendekar Gila ke pedatinya.
Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk
di samping Ki Martanu. Kemudian lelaki tua itu
menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu.
"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu
pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya.
"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku ber-
tandang ke rumah Kanjeng Tumenggung Pandan
Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan
julukan Sabit Kembar dari Timur.
"Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?"
Ki Martanu tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang
karena Kanjeng Tumenggung meminta anak mantu-
nya diboyong ke ketemenggungan."
"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng
Tumenggung, Ki?"
"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu.
"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya
menyatukan kedua tangannya di depan dada.
"Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya
melakukan hal yang sama.
"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan
putramu, Ki. Karena aku tidak tahu," sesal Sena.
"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai
tidak mengundangmu, Tuan Pendekar. Entah karena
apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar."
"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku
belum seberapa jika dibandingkan dengan nama
besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-
garuk kepala.
Tanpa terasa, mereka telah memasuki per
kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedati-
nya, sebab banyak orang berlalu-lalang di jalan
perkampungan itu.
"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus
turun untuk mencari kedai," ucap Sena. Kemudian dia
menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu
kepalanya dirundukkan, sebagai tanda hormat.
Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang
sama.
"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku,
Tuan," ujarnya.
"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan
bertandang, Ki. Sekali lagi, terima kasih." Setelah
berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat mening-
galkan tempat itu.
"Ck, ck, ck...! Sungguh bukan pendekar
sembarangan. Beruntung sekali aku berkenalan
dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang,
rasanya ingin sekali bisa berjalan bersamanya sambil
berguru barang beberapa ilmu dan budi pekerti,"
gumam Ki Martanu setelah berdecak kagum.
Matanya masih memandang ke arah Pendekar Gila
berkelebat pergi.
***
Sena Manggala melangkah masuk ke dalam kedai
dengan tingkah lakunya yang lucu. Pagi itu, kedai
masih kelihatan sepi. Hanya ada empat lelaki yang
tengah duduk sambil menyantap makanan.
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian
rompi kulit ular, pemilik kedai segera menemuinya.
Orang tua setengah baya itu menjura hormat. Dia
memang sudah tahu siapa pemuda itu. Cerita tentang
diri Sena sering didengarnya dari percakapan orang-
orang persilatan yang singgah di kedainya.
"Selamat datang di kedaiku, Tuan. Silakan duduk.
Apakah yang bisa saya bantu, Tuan?" sambutnya
dengan penuh hormat.
Sena menggaruk-garuk kepalanya ketika men-
dapatkan penghormatan begitu rupa.
"Ki, bisakah aku meminta sepiring nasi dan
lauknya?" pinta Sena dengan bibir cengar-cengir.
Orang tua pemilik kedai tersenyum.
"Dengan senang hati, Tuan...."
Kemudian pemilik kedai segera berlalu me-
ninggalkan Pendekar Gila. Tak lama kemudian, seora
gadis cantik jelita anak pemilik kedai keluar dengan
membawakan sepiring nasi dan sepotong ayam
bakar.
"Silakan, Tuan," kata gadis cantik itu mem-
persilakan.
"Ah, mengapa ayam bakar? Padahal uangku tidak
cukup untuk membayarnya. Untuk arak saja, rasanya
masih kurang," gumam Sena dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Pemilik kedai tersenyum. Kemudian menghampiri
Sena.
"Untuk Tuan, tidak bayar pun tak apa," katanya,
membuat kening Sena berkerut. Dipandanginya
wajah pemilik kedai dan putrinya yang tersenyum
manis. Keduanya menganggukkan kepala dengan
bibir terhias senyum.
"O, tidak bisa begitu, Ki. Bagaimanapun juga, kau
berdagang. Tentu aku harus membayarnya. Ah, aku
ada uang hanya segini," Sena mengeluarkan tiga
keping uang emasnya, membuat mata pemilik kedai
membelalak. "Bagaimana, Ki? Cukup...?"
"Ah, mengapa Tuan repot-repot? Saya memberinya
dengan rela," kata pemilik kedai, berusaha menolak
bayaran yang besar itu.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya tersenyum.
"Tidak, Ki. Siapa pun harus membayar kalau
makan di kedaimu. Terimalah...."
Pemilik kedai akhirnya menerima juga pembayaran
itu. Sedangkan Sena dengan lahap menyantap
makanannya.
Saat itu, tiga lelaki berpakaian rompi hitam masuk
ke kedai. Di pinggang mereka terselip trisula. Mereka
adalah Tiga Barka Kembar. Ketiganya melangkah
penuh kesombongan, dengan mata memandang
tajam ke sekeliling tempat itu.
"Aha, rupanya di sini ada bunganya juga, Kakang,"
kata Barka Bungsu ketika melihat seorang anak gadis
pemilik kedai. Tangannya mengelus-elus dagunya
yang kasar. Matanya memandang tajam dan nakal
pada gadis itu.
Mata gadis itu memandang dengan takut-takut
seraya merapat pada tubuh ayahnya. Begitu pula
dengan pemilik kedai, setelah tahu siapa yang datang
ke kedai mereka.
"Tiga Barka Kembar," desis pemilik kedai tegang.
"Hm.... Rupanya gadis itu anakmu, Ki?" tanya
Barka Panengah.
Sedangkan Barka Sulung menghampiri pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang gerak-geriknya lucu.
"Bagaimana kalau anakmu untukku, Ki?" lanjut
Barka Panengah, lancang.
Barka Panengah dan Barka Sulung tertawa ter-
gelak-gelak saat menyaksikan pemilik kedai dan
putrinya ketakutan. Lalu dengan mata berbinar nakal,
Barka Bungsu mendekati pemilik kedai dan anak
gadisnya. Tangannya membelai dagu gadis cantik itu.
"Cantik sekali kau, Cah Ayu...."
"Ah...! Kurang ajar...!" maki gadis cantik itu takut-
takut.
"Jangan takut, Cah Ayu... Kalau kau menurut maka
kau akan kujadikan istriku. Kedai ayahmu, akan kami
bangun menjadi kedai paling besar di wilayah ini.
Bukan begitu, Kakang?" kata Barka Bungsu pada
kedua kakaknya. Tangannya semakin nakal, bergerak
ke arah dada gadis itu.
"Kurang ajar! Tuan, tolong...!" seru gadis itu
ketakutan.
"Eh, siapa yang kau panggil tuan? Pemuda tolol
itukah? Ah, mana berani dia pada kami, Cah Ayu.
Siapa nama anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.
"Milah, Tuan...," jawab pemilik kedai, masih
ketakutan. "Jangan ganggu anakku, Tuan."
Kedua kakak beradik kembar itu tertawa bergelak-
gelak. Semakin membuat pemilik kedai dan anaknya
ketakutan. Begitu juga dengan empat pengunjung
kedai. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
"Aku tak akan mengganggu, Ki. Asal kau berikan
anakmu padaku untuk kujadikan istri," kata Barka
Panengah seenak perut.
Sementara, Pendekar Gila tampak mendengus.
Jelas, hatinya tak senang melihat tingkah ketiga
orang itu.
"Rupanya ada tiga ekor lalat yang mengganggu
makanku, Ki? Mengapa tidak kau usir saja?"
Tersentak Tiga Barka Kembar mendengar gerutuan
pemuda berpakaian rompi kulit ular yang ditujukan
pada mereka.
"Kurang ajar! Siapa kau?! Berani benar kau
berkata lancang pada Tiga Barka Kembar, heh?!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangan
kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya tiga lalat itu semakin brengsek!
Huh...!" Pendekar Gila menyentak piring makannya.
seketika, benda itu melayang deras ke arah Barka
Panengah dan Barka Bungsu yang dekat dengan
pemilik kedai.
Zwing!
Mata Tiga Barka Kembar terbelalak menyaksikan
hal itu. Cepat-cepat Barka Panengah dan Barka
Bungsu memiringkan tubuh ke belakang untuk meng-
elakkan serangan piring yang dihentakkan oleh
Pendekar Gila.
Jlep!
Piring itu menancap telak di bangku penyangga
kedai, membuat Tiga Barka Kembar semakin mem-
belalakkan mata.
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Pemuda
Sombong!" maki Barka Sulung.
"Dia perlu dihajar, Kakang!" tambah Barka Bungsu.
Pendekar Gila tertawa tergelak-elak. Tuak yang
ada di atas meja ditenggaknya, kemudian sebelum
ketiganya menyerang, disemburkannya tuak itu arah
mereka.
"Cuihhh...!"
Semburan tuak itu menghantam wajah mereka,
membuat Tiga Barka Kembar kepedihan. Mulut
mereka mencaci-maki sambil mendekap wajah.
"Setan alas! Sebutkan siapa namamu, sebelum
kami kirim kau ke akhirat?!" bentak Barka Sulung.
Tubuhnya lalu berkelebat menyerang Sena, yang
dengan cepat berkelit dengan tangan menggaruk-
garuk kepala.
"Kalianlah yang harus dikirim ke akhirat, Manusia-
manusia Cabul!" dengus Sena. "Tapi baiklah, agar
kalian tidak penasaran di neraka sana, akan ku-
jelaskan siapa aku. Aku Sena Manggala. Orang-orang
sering menyebutku Pendekar Gila dari Gua Setan!"
"Kurang ajar! Rupanya kau...! Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar menyerang serempak. Mereka
tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan jurus-
jurus andalan. Namun Pendekar Gila dengan enteng
mengelakkan serangan mereka. Jurus-jurusnya yang
aneh, membuat Tiga Barka Kembar mengerutkan
kening.
"Hai, aneh sekali jurus-jurusnya. Lalu, siapakah
pemuda berbaju kuning yang kutemui waktu itu?"
gumam Barka Sulung. Dengan kaget dia melompat
mundur, mengelakkan serangan-serangan Pendekar
Gila yang aneh.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari.
Sesekali tangannya menepuk. Gerakannya terlihat
sangat lambat namun kenyataannya mampu mem-
buat Tiga Barka Kembar terperanjat kaget.
"Jurus gila!" maki Barka Panengah jengkel, ketika
tangan Pendekar Gila menepuk ke arah dadanya
secara tiba-tiba. Kalau saja tidak segera melompat,
sudah pasti dadanya remuk terkena tepukan tangan
itu.
Pendekar Gila masih bergerak. Tubuhnya meliuk-
liuk mengelakkan serangan ketiga lawannya. Tangan-
nya sesekali menepuk.
"Heaaa...!"
Plak!
"Ukh...!" keluh Barka Sulung. Tubuhnya terlontar
deras keluar, kemudian jatuh setelah menabrak
orang. Yang ditabrak langsung pingsan. Sedangkan
Barka Sulung meringis dengan bibir berdarah.
Melihat Barka Sulung dalam beberapa gebrakan
saja dapat dikalahkan oleh pemuda tampan yang
tingkahnya seperti orang gila itu, seketika nyali Barka
Panengah dan Barka Bungsu ciut. Dengan segera,
keduanya berkelebat meninggalkan kedai. Mengambil
tubuh kakaknya, lalu melesat pergi.
"Hai, tunggu...!" seru Sena, berusaha meng-
hentikan Tiga Barka Kembar. Namun ketiganya yang
sudah ketakutan, tak mau menghiraukan seruan itu.
Mereka terus berlari.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Dengan tersenyum-senyum, dihampirinya pemilik
kedai dan putrinya yang juga tersenyum padanya.
"Maafkan apa yang telah kuperbuat, Ki," kata
Sena, menyesali hal yang telah terjadi di kedai itu.
"Ah, tidak apa-apa, Tuan. Bahkan kami sangat
berterima kasih atas pertolongan Tuan," jawab
pemilik kedai.
"Sudahlah, Ki. Tak usah berkata begitu. Siapakah
ketiga orang kembar itu, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mereka orang jahat yang cabul. Mereka bernama
Tiga Barka Kembar."
"Baiklah, Ki. Aku hendak mengejar mereka. Aku
mohon pamit."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat
laksana terbang meninggalkan pemilik kedai dan
anaknya yang terperangah menyaksikan bagaimana
pendekar itu menghilang dengan cepat
LIMA
Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua tahun
telah berlalu. Saat itu di sebuah gua, seorang wanita
muda dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang
diturunkan oleh gurunya. Wanita muda yang tidak lain
Wulandari, dengan cepat dapat menyerap semua ilmu
Nyi Kendil. Penyebabnya adalah dendam yang terus
membara di hatinya, menjadikan semangatnya untuk
berlatih bagaikan api yang tak pernah padam. Setiap
hari dia berlatih hingga dalam waktu singkat semua
ilmu si nenek dapat dikuasainya.
Wulandari yang dulu lemah, kini telah menjadi
sosok wanita cantik yang memiliki ilmu tinggi.
Pakaian yang dikenakannya bukan lagi pakaian
wanita desa, melainkan pakaian seorang pendekar.
Berbaju merah jambu dan celana dengan warna
sama. Kepalanya juga bertudung merah jambu.
Sedangkan wajahnya tertutup secarik kain merah
darah sebatas kelopak mata.
"Semua ilmu yang kumiliki, telah semuanya kau
kuasai. Maka kini kau harus menggantikanku,
Wulan..."
Sesaat Nyi Kendil menghentikan ucapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam.
"Semula aku hendak turun ke rimba persilatan.
Namun kini aku urungkan, sebab aku telah mendapat
pengganti. Nah, berangkatlah. Carilah musuh-
musuhmu," lanjutnya.
"Terima kasih, Guru. Wulan mohon pamit..."
Nyi Kendil mengangguk, kemudian mengiringi
langkah muridnya ke pintu gua yang masih tertutup.
Ditekannya telapak tangan pada dinding gua, lalu
pintu gua itu seketika terbuka.
"Pergilah dengan hati yang tetap. Ingat, jangan,
kembali lagi kemari...," pesan Nyi Kendil setelah
melepas muridnya yang akan turun ke rimba
persilatan.
"Baik, Nek...," jawab Wulandari. Setelah menjura,
Wulandari meninggalkan gua tempat gurunya dengan
dendam membara di hati.
Wulandari terus berlari meninggalkan tempat itu
menerobos hutan yang ada di hadapannya tanpa
merasakan gentar sedikit pun.
Ketika telah berada di tengah hutan, tiba-tiba
telinganya yang sudah terlatih mendengar suara
gemerisiknya daun kering terinjak kaki manusia.
Wulandari cepat menghentikan larinya. Matanya yang
tajam menyapu ke sekelilingnya. Telinganya dipasang
tajam pula, berusaha mengetahui di arah mana suara
itu berasal.
Kresek!
"Hm, ada tiga orang lelaki. Nampaknya mereka!
bukan bermaksud baik. Kebetulan sekali," gumam
Wulandari. Matanya terus mengawasi semak-semak
yang ada di sekelilingnya dengan tajam.
Benar juga dugaannya. Dari semak-semak,
berlompatan tiga orang lelaki bertampang angker
mengenakan rompi hitam. Tak urung membuat
wanita berpakaian merah jambu itu terkejut.
Napasnya turun naik, sedangkan matanya
memandang tajam penuh kebencian pada tiga orang
itu.
"He he he...! Rupanya di hutan seperti ini
menemukan seorang wanita, Kakang...!" seloroh
salah seorang dari ketiga lelaki bertampang kasar itu,
yang tiada lain Barka Bungsu.
"Ya, kebetulan sekali.... Lama kita bersembunyi di
hutan ini dari kejaran Pendekar Gila. Akhirnya kita
dapat juga seorang wanita," timpal Barka Sulung
sambil terkekeh, menunjukkan giginya yang kuning.
Wulandari masih diam. Hanya matanya yang tajam
memperhatikan gerak-gerik ketiga lelaki yang
nengingatkan kembali akan peristiwa dua tahun
silam. Ketiga lelaki inilah yang telah menyiksa
suaminya dan hampir saja memperkosanya.
"Hendak ke manakah kau, Nona? Mengapa mesti
terburu-buru? Bukankah lebih baik bersama kami
dulu...?" goda Barka Panengah dengan bibir
cengengesan. Ketika tangannya hendak menjamah
dada wanita itu, tiba-tiba si wanita menyentak.
Trak!
"Auh...!" Barka Panengah memekik, matanya
melotot tegang memandang wajah wanita itu. Dia
tidak nenduga kalau hentakan tangan wanita itu
mampu membuat tulang tangannya terasa nyeri.
Bukan hanya Barka Panengah saja yang terbelalak
menyaksikan gerakan si wanita yang begitu cepat dan
keras. Kedua saudaranya juga terkejut.
"Heh, rupanya kau bukan wanita sembarangan,
Nona," gumam Barka Sulung sambil mengelus
dagunya. "Tapi aku lebih senang dengan wanita
sepertimu."
"Kalian memang laki-laki bajingan yang harus
kusingkirkan dari dunia ini! Bersiaplah. Heaaa...!"
Wulandari yang sudah tidak dapat menahan amarah
dan dendamnya, segera melancarkan serangan.
Tubuhnya membungkuk, sementara tangan kanannya
menyambar ketiga lelaki itu. Sedangkan tangan kiri
bergerak mencengkeram ke arah kemaluan mereka.
Bukan alang-kepalang terkejut ketiga lelaki ber-
pakaian rompi hitam menyaksikan gerakan serangan
wanita berpakaian merah jambu itu. Mereka tak
menduga sama sekali, kalau wanita itu akan
melakukan serangan yang cepat.
''Heaaa...!"
Hampir saja selangkangan mereka menjadi korban
cengkeraman tangan kiri wanita itu, kalau saja
mereka tidak segera mengelak ke belakang. Mata
mereka saling pandang, kemudian dengan cepat
ketiganya balik menyerang.
"Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar merangsek Wulandari ber-
bareng dengan melancarkan pukulan yang masih
ringan. Sengaja mereka menggunakan seperempat
tenaga dalam, karena menganggap lawan yang
mereka hadapi bukanlah lawan berat. Apalagi mereka
belum tahu kehebatan wanita itu di rimba persilatan.
Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak memutari
Wulandari yang masih diam dengan membuka kedua
tangannya. Sesekali mereka menggoda. Tangan Tiga
Barka Kembar serentak menjulur ke dada wanita itu,
namun dengan cepat Wulandari mencelat ke atas.
Kedua tangannya direntang lebar, kemudian ditarik
ke atas dan dilanjutkan dengan menghentak ke
bawah.
"Heaaa...!"
Serangan pembuka yang dilancarkan Tiga Barka
Kembar seketika morat-marit, manakala Wulandari
melakukan serangan balasan yang tak mereka duga
sama sekali. Serangan yang dilakukan oleh Wulandari
benar-benar mengagetkan mereka. Dengan
melompat mundur, Tiga Barka Kembar berseru
kaget...
"'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!"
Mata Tiga Barka Kembar terbuka lebar, dan tak
percaya dengan apa yang mereka lihat. Setahu
mereka, yang memiliki jurus seperti itu adalah
seorang tokoh wanita tua yang akhir-akhir ini tak
terdengar lagi rimbanya. Namun kini, tiba-tiba jurus
itu kembali nampak. Tapi dimainkan oleh seorang
wanita yang dilihat dari penampilannya masih muda
belia.
"Nona, ada hubungan apa kau dengan Nyi Kendil?"
tanya Barka Sulung dengan mata memandang heran
pada Wulandari yang tersenyum sinis.
"Apa pun hubunganku dengan wanita yang kau
sebut, kau tak perlu tahu! Yang jelas, nyawa kalian
harus kurenggut! Heaaa...!"
Tanpa menunggu lawan bersiap-siap lebih dahulu,
Wulandari kembali melancarkan serangan. Jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang
mengejutkan Tiga Barka Kembar, kini semakin diper-
cepat. Lagi-lagi ketiganya tersentak kaget. Mau tak
mau, mereka harus mengelakkan serangan lawan
yang ganas dan mematikan.
Wulandari tak berhenti sampai di situ. Tangannya
yang mengembang kian membabat gencar. Tangan
kanannya menyerang ke ulu hati, sedangkan tangan
kiri bergerak untuk mencengkeram selangkangan
lawan. Gerakannya sangat cepat, hingga mampu
membuat Tiga Barka Kembar tersentak.
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuh kita!"
pekik Barka Bungsu sambil mengelakkan serangan
lawan yang cepat dan mematikan. Sesekali Barka
Bungsu menggeser ke samping, kemudian kakinya
menendang ke arah dada lawan. Namun serangan
yang dilancarkannya senantiasa berantakan, sebab
lawan telah mendahuluinya dengan cepat.
"Heaaa...!"
Jurus yang digunakan lawan memang bukan jurus
sembarangan. Kehebatan dan keganasan jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap', sudah mereka
dengar sejak lama.
Barka Sulung dan Barka Panengah membantu.
Namun, kembali mereka harus melontarkan tubuh ke
belakang, sebab wanita bercadar merah darah itu
telah berbalik menyerang dengan cepat arah mereka.
"Heaaa...!"
Tubuh Wulandari yang merunduk, bergerak cepat.
Kedua tangannya yang menyerang bergantian bantu
dan susul. Hal itu membuat kedua lawannya tak
memiliki kesempatan untuk balas menyerang satu
kali pun.
"Celaka! Wanita ini benar-benar telah menguasai
semua ilmu yang dimiliki Nyi Kendil...!" keluh Barka
Sulung semakin kaget, saat menyaksikan ke-
sempurnaan jurus-jurus yang dikeluarkan Wulandari.
Sepertinya, mereka tengah berhadapan dengan Nyi
Kendil sendiri.
Wulandari yang dendamnya masih membara, tak
banyak omong. Dia benar-benar berusaha membunuh
ketiga lelaki itu secepat mungkin. Serangan-
serangannya kian lama kian ganas. Tangannya yang
mencengkeram dan menyodok, laksana dua buah
senjata tajam yang digerakkan dengan tenaga dalam
penuh.
Kedua tangan wanita itu bergerak laksana tiada
henti. Satu ke ulu hati lawan, sedangkan yang kedua
selangkangan. Bukan itu saja. Kakinya pun tidak
tinggal diam. Kakinya turut bergerak, menyapu, atau
menendang ke arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Panengah berusaha
mengelit, kemudian dengan cepat keduanya
menyodorkan pukulan ke dada lawan. Namun
keduanya segera mengurungkan niat, manakala
secara cepat dan tiba-tiba tangan lawan telah
mendahului menyerang. Kalau saja mereka menerus-
kan serangannya, tidak ampun lagi buah
selangkangan mereka akan hancur tercengkeram
tangan Wulandari.
"Awas Panengah...!" seru Barka Sulung
mengingatkan adiknya. Sedangkan tubuhnya dengan
cepat melompat. Sementara kakinya berusaha
menepiskan tangan lawan.
Rupanya gerakan yang dilancarkan Barka Sulung
dimanfaatkan Wulandari dengan baik. Wanita muda
bercadar merah itu secepat kilat menarik tangan
kanannya, kemudian seluruh serangannya tertuju
pada Barka Panengah.
"Heaaat..!"
Mendapatkan serangan cepat yang ditujukan
padanya, Barka Panengah tersentak. Dia berusaha
melompat mundur untuk mengelakkan serangan
lawan. Tangannya melepas satu pukulan maut Tapi
Wulandari menepiskan pukulan itu dengan
entengnya. Hanya dengan mengebutkan selendang-
nya, pukulan maut 'Serat Sapta Geni' tingkat kelima
yang dilancarkan Barka Panengah dapat dimusnah-
kan.
Mata Barka Panengah membelalak kaget. Sama
sekali tak diduga kalau pukulan mautnya dapat
dimusnahkan hanya oleh kebutan selendang. Saking
terpana menyaksikan pukulan mautnya dapat
dimusnahkan awan, Barka Panengah tak sempat
mengelakkan serangan susulan lawan. Hingga....
Crak!
"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika
tangan lawan mencengkeram kemaluannya.
Seketika kemaluan laki-laki itu pecah berantakan
dan menyemprotkan darah. Barka Panengah
langsung memegangi kemaluannya dengan mata
membelalak. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian
ambruk ke tanah. Tewas!
"Panengah...!" seru kedua saudaranya dengan
mata membelalak saat menyaksikan Barka Panengah
mati dengan keadaan mengerikan. Kemaluannya
hancur akibat cengkeraman tangan wanita bertudung
merah jambu.
Melihat kedua lawan lain masih terkesiap
menyaksikan kematian saudaranya, tanpa mem-
buang waktu lagi Wulandari kembali melancarkan
serangan.
"Heaaa...!"
Tangannya bergerak semakin cepat. Satu
mengancam dada lawan, sedangkan tangan yang lain
arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Bungsu terkejut
mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung keduanya
segera mengelak. Sehingga mereka tidak mengalami
nasib seperti Barka Panengah. Kemudian dengan
penuh amarah, keduanya balik menyerang berbareng.
"Heaaa...!"
"Kubunuh kau! Heaaa...!" Wulandari yang
memendam dendam kepada Tiga Barka Kembar,
semakin ganas melancarkan serangan? Wanita
bercadar merah itu, laksana seekor harimau betina
yang garang. Tangannya mencakar ke arah lawan
bertubi-tubi. Menjadikan serangan kedua lawannya
porak-poranda.
"Kalian harus mampus! Yeaaa...!"
Wulandari terus merangsek dengan cengkeraman-
cengkeraman ke arah selangkangan lawan, membuat
kedua lawannya semakin terdesak hebat.
Dalam keadaan di ujung tanduk itu, Barka Sulung
dan Barka Bungsu segera mengeluarkan senjata
masing-masing. Tangan kedua saudara kembar itu
kini tergenggam trisula. Keduanya berusaha
menusukkan senjatanya ke arah lawan, namun tetap
saja mengalami kegagalan. Gerakan lawan terlalu
cepat dan sulit diterka. Lincah laksana kupu-kupu
terbang. Gesit laksana harimau betina yang
mengamuk.
"Celaka...!" pekik Barka Bungsu kaget dengan
wajah tegang ketika serangan lawan yang cepat
mengarah padanya. Tangannya berusaha membabat-
kan trisulanya ke tangan lawan. Ternyata dugaannya
meleset.
Wulandari menarik tangannya menyerang, lalu
segera mengirim tendangan telak ke selangkangan
lawan. Tanpa ampun lagi, tendangan keras Wulandari
tidak sempat dihindari Barka Bungsu.
Begk!
"Aaakh...!" Barka Bungsu memekik keras. Trisula di
tangannya lepas. Tangannya kini memegangi
selangkangannya yang pecah. Matanya membelalak
tegang. Mulutnya hendak bersuara, namun nyawanya
telah melayang. Tubuh Barka Bungsu ambruk dengan
keadaan mengerikan.
"Kau...?!"
Menyaksikan kedua saudaranya mati, nyali Barka
Sulung ciut. Tanpa berpikir panjang, tubuhnya segera
berkelebat untuk lari meninggalkan tempat itu.
Namun Wulandari tidak mau melepas lawan begitu
saja.
"Mau lari ke mana kau, Bajingan?! Heaaa...!"
Tubuh Wulandari melesat cepat, bersalto di udara
lalu tangannya bergerak cepat menghantam tubuh
Barka Sulung dengan keras.
Desss!
"Aaakh...!" Barka Sulung memekik keras.
Kemudian, sambil membalikkan tubuh dipandanginya
Wulandari dengan mata melotot. Kemudian tubuhnya
ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Akhirnya aku dapat membalas
semuanya! Kakang, lihatlah! Lihatlah dari akhirat,
kala istrimu akan mencabut jantung mereka!"
Bagaikan orang gila, Wulandari tertawa tergelak-
gelak. Kemudian dengan penuh kebengisan, tangan
Wulandari bergerak menusuk dada Tiga Barka
Kembar yang telah binasa.
Crakkk!
Tangan Wulandari menyeruak masuk ke dalam
dada Barka Sulung, kemudian tangannya men-
cengkeram jantung lawan. Ditariknya jantung lawan,
rongga dadanya. Kemudian dengan tangan berlepota
darah, Wulandari mencengkeram kemaluan lawannya
dan dibetotnya sampai putus. Diangkatnya jantung
dan kemaluan lawan tinggi-tinggi.
"Kakang Selo, lihatlah! Ini jantung dan kemaluan
mereka yang kupersembahkan padamu! Semoga kau
tenang di alam sana!"
Wulandari kembali tertawa tergelak-gelak sambil
meremas-remas jantung dan kemaluan lawan yang
telah dibetot dari tubuh Barka Sulung. Setelah itu,
kembali Wulandari membetot kemaluan dan jantung
Barka Bungsu dan Barka Panengah dengan buas.
Diremasnya sampai hancur. Kemudian mulutnya
mengumandangkan tawa bagai orang gila.
Setelah puas melakukan semuanya, Wulandari
berlalu. Tempat itu kembali sepi. Tinggal tiga tubuh
tergeletak mengerikan. Dada mereka berlubang dan
kemaluan mereka hilang.
ENAM
Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular
melangkah menyelusuri hutan belukar. Pemuda
tampan dengan tingkah laku seperti orang gila itu
tiada lain Sena Manggala yang lebih terkenal dengan
sebutan Pendekar Gila dari Gua Setan. Saat itu Sena
tengah memburu tiga orang yang telah lama dicari-
carinya. Matanya sempat melihat mereka masuk ke
dalam hutan itu.
"Ah, bodoh sekali aku ini! Mengapa aku mem-
biarkan mereka lolos begitu saja? Tolol...!" Sena
sambil menggaruk-garuk kepala bagai orang bodoh.
Kemudian keningnya ditepuk dengan tangan
sedangkan tangan kanannya masih menggaruk-garuk
kepala. Kakinya terus melangkah untuk memasuki
hutan lebat itu.
Langkah Sena tertahan kctika melihat seorang
wanita berpakaian merah jambu berlari ke arahnya.
Tangan wanita bercadar merah itu berlumuran darah.
Mata Sena seketika membelalak, sedangkan
mulutnya menganga bodoh.
Hai, mengapa tangan wanita itu berlumuran
darah? Apa yang telah dilakukannya...? Gumamnya,
masih belum percaya pada apa yang baru saja
dilihatnya. Kemudian terdengarlah gelak tawa dari
mulutnya.
"Ha ha ha...!" .
Sena tertawa bergelak sehingga tubuhnya turut
terguncang-guncang. Tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek
telinga. hal itu membuat wanita yang tak lain
wulandari itu menghentikan langkahnya. matanya
memandang tajam ke arah sena yang masih tertawa
terpingkal-pingkal.
"diam...!" bentak wulandari keras.
sena menghentikan tawanya. namun tangannya
masih menggaruk-garuk kepala. mulutnya
cengengesan. kemudian terdengar dari mulutnya
suara cekikikan....
"hi hi hi...!"
mata wulandari semakin tajam memandangi
wajah pemuda di hadapannya. tingkah laku serta
gerak-gerik pemuda itu tak ada bedanya dengan
orang gila. inikah pendekar gila itu? hm, sungguh
berbeda dengan pemuda yang telah memperkosa
dan membunuh suamiku. gumam wulandari dalam
hati.
sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. tatapannya mengarah tak menentu.
terkadang pada daun-daun pohon menghijau. dan
sesekali tertuju pada wulandari. kemudian sena
kembali tertawa tergelak-gelak, ketika matanya
tertuju pada cadar yang dikenakan wulandari.
"lucu.... lucu sekali dunia ini. ah ah ah.... rupanya
dunia ini penuh kelucuan. mengapa wanita
secantikmu menutupi wajah dengan cadar. .? aneh....
hi hi hi...!" sena cekikikan. lalu tubuhnya melompat-
lompat seperti kera dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
wulandari mengerutkan kening. dia masih belum
percaya pada apa yang kini dilihatnya. pendekar gila
yang dulu memperkosanya dan membunuh suaminya,
bukan pemuda gila yang kini berada di hadapannya.
"siapa kau?!" bentak wulandari. "apa urusanmu
dengan perbuatan yang kulakukan?"
Sena terus tertawa. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dengan menarik napas panjang
ditatapnya Wulandari lekat-lekat.
"Ah, apalah artinya namaku. Hi hi hi.... Lucu...,
mengapa kau menanyakan namaku? Bukankah kau
tak ada urusan denganku?" kata Sena balik bertanya.
"Ah, sudahlah.... Aku tak ada waktu. Maaf, aku harus
pergi."
"Tunggu...!"
Sena segera menghentikan langkahnya. Tubuhnya
berbalik menghadap ke arah Wulandari. Kepalanya
digaruk-garuk dengan mulut memperlihatkan senyum
bodoh.
"Ah, apakah ada sesuatu yang membuat kau
menghentikan langkahku?" tanya Sena.
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
Sena tersenyum.
"Ah, kurasa antara kita tak pemah saling kenal.
Ada apa...?"
Wulandari tak langsung menjawab pertanyaan
pemuda tampan namun bertingkah laku gila itu.
Matanya malah mengawasi Sena dari ujung rambut
hingga ujung kaki. Semuanya lain dengan pemuda
yang memperkosanya dan membunuh suaminya.
Pakaian pemuda itu berlengan panjang, berwarna
kuning. Sedangkan pemuda bertampang gila ini
mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular.
Wajahnya pun lain. Lebih tampan pemuda di
hadapannya sekarang.
Sena yang diperhatikan begitu rupa oleh wanita
yang sebagian wajahnya tertutup secarik kain merah
itu kembali cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Wajahnya ditengadahkan, memandang ke atas.
Lama juga Wulandari ragu. Hatinya diusik
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa secepatnya
dijawab. Mungkinkah pemuda berbaju kuning yang
dicarinya telah mengubah penampilan dan wajahnya
menjadi pemuda yang kini di hadapannya?
Tapi dendam yang menggelegak di dadanya
membuat dia tidak ingin berpikir lebih lama. Dia
menjadi yakin kalau pemuda yang kini dihadapinya
adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
"Melihat tingkah lakumu, sepertinya kau orang gila.
Namun dari pakaian yang kau kenakan, tampaknya
kau dari orang rimba persilatan. Maka itu, aku yakin
kaulah orang yang kucari. Mesti kau berganti muka
seribu kali, aku tak akan dapat kau kibuli. Hiaaat..!"
Tanpa banyak kata lagi, Wulandari melabrak Sena
dengan ganas. Tubuhnya membungkuk, dengan
kedua tangan mengembang dan menyerang. Tangan
kanannya menyambar ke ulu hati, sedangkan tangan
kirinya bergerak mencengkeram ke selangkangan
Sena.
Sena yang tak tahu apa-apa, terkejut menyaksikan
wanita tak dikenal itu menyerangnya. Sambil
menggaruk-garuk kepala serta kening berkerut,
pendekar muda itu melompat ke belakang
mengelakkan serangan lawan.
"Eh, mengapa kau menyerangku, Nisanak?" tanya
Sena berusaha memahami apa kesalahannya.
Namun Wulandari yang sudah yakin kalau pemuda
itulah yang memperkosanya serta membunuh
suaminya tak mau berhenti. Apalagi di hatinya tersirat
api dendam pada orang-orang rimba persilatan.
Wulandari terus menyerang dengan jurus 'Kupu-
kupu Emas Merentang Sayap' yang telah mampu
membinasakan Tiga Barka Kembar. Tangannya
bergerak cepat, satu menyambar ke arah ulu hati,
sedangkan yang satunya mencengkeram ke arah
selangkangan Pendekar Gila. Tubuhnya mem-
bungkuk, sedangkan kaki-kakinya bergerak menyapu
dan terkadang menendang.
"Hei, mengapa wanita cantik ini menyerang ke
arah selangkangan?" tanya Sena heran. Dia terheran-
heran menyaksikan jurus-jurus yang dilancarkan
Wulandari. "Apa yang ingin dilakukannya?"
"Nisanak, tunggu...! Mengapa kau menyerangku?"
tanya Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan
Wulandari dengan cara menggerakkan tubuhnya ke
sana kemari dan berputar laksana menari. Kadang
tubuhnya membungkuk, tengadah atau limbung ke
samping.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Gila! Kau
harus mampus di tanganku! Heaaat..!"
Wulandari semakin bemafsu untuk secepatnya
menjatuhkan Pendekar Gila. Serangannya dilipat-
gandakan. Tangannya yang menebas dan men-
cengkeram semakin cepat bergerak. Begitu juga
dengan sepasang kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum mengerti apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh wanita itu, mau
tidak mau harus bergerak mengelitkan serangan-
serangan lawan yang mengarah pada tempat-tempat
mematikan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Kakinya melangkah ke belakang dan ke samping
mengelakkan sambaran kaki lawan.
"Nisanak, mungkin kau salah sangka! Tunggu,
hentikan seranganmu!" pinta Sena berusaha
menyadarkan wanita berpakaian merah jambu
dengan sebagian wajah tertutup kain merah.
"Pengecut! Keluarkan jurus-jurus yang dulu pernah
kau tunjukkan di depanku! Jangan hanya mengelak
saja...!" bentak Wulandari semakin berang,
menyaksikan Pendekar Gila hanya mengelak dan
belum berusaha menyerang.
Pendekar Gila yang kebingungan mendapatkan
serangan itu hanya menggaruk-garuk kepala.
Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya
menggaruk-garuk kepala. Dia masih kebingungan dan
bertanya-tanya mengapa wanita yang baru saja
bertemu dengannya tiba-riba menyerang.
Sambil terus mengelakkan serangan lawan,
Pendekar Gila menguras pikirannya. Jurus-jurus aneh.
Mengapa selalu mengarah ke selangkangan? Ah,
mengapa wanita secantik ini berlaku begitu?
Tanyanya dalam hati.
"Nisanak, hentikanlah! Sungguh aku tak mengerti
akan maksudmu...!" seru Pendekar Gila sambil
melompat ke belakang. Kemudian dia berdiri sambil
menggaruk-garuk kepala.
Wulandari yang melihat Pendekar Gila menghindar
dan melompat ke belakang, dengan cepat memburu.
Tangan dan kakinya masih bergerak menyerang. Hal
itu membuat Pendekar Gila semakin kebingungan.
Dia sama sekali tidak memahami keinginan wanita
itu.
"Nisanak, kenapa kau ini? Tak ada hujan, tak ada
badai, mengapa kau menyerangku?" tanya Pendekar
Gila masih berusaha menyadarkan wanita yang
meyerangnya. Namun semuanya sia-sia, wanita itu
tetap saja menyerangnya.
"Jangan banyak omong! Keluarkan ilmumu, kalau
kau tak ingin mati percuma...!" sentak Wulandari
sambil terus bergerak menyerang.
Pendekar Gila mengangkat kakinya tinggi-tinggi
kemudian melompat ke samping kanan mengelakkan
serangan tangan kiri lawan. Sedangkan tubuhnya
dicondongkan ke samping, kemudian tangannya
menepis serangan tangan kanan lawan.
Desss!
Benturan terjadi, membuat keduanya melangkah
dua tindak ke belakang. Pendekar Gila garuk-garuk
kepala. Sedangkan Wulandari melotot penuh amarah
pada Sena.
"Bagus! Memang itulah yang aku inginkan! Jadi
aku tidak percuma membunuhmu! Heaaa..."
Usai berkata begitu, Wulandari kembali melancar-
kan serangan. Kali ini gerakannya sangat cepat.
Kedua tangannya menyerang ke arah bawah, dengan
cengkeraman-cengkeraman yang mengarah ke titik
kematian. Itulah jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil
Menghisap Madu'.
Kedua tangan Wulandari bergerak cepat saling
bergantian dengan cengkeraman-cengkeraman yang
mematikan ke selangkangan lawan. Tubuhnya mem-
bungkuk, kakinya menyapu dan menendang.
Kemudian kedua tangannya bergerak naik ke arah
dan berakhir ke muka lawan.
Pendekar Gila yang merasakan desiran angin
serangan wanita itu, dengan cepat bergerak mengelit.
Dia tidak ingin menjadi korban kesalahpahaman. Itu
sebabnya, sampai sejauh itu dia belum juga me-
lakukan serangan balasan. Pendekar Gila hanya
mengelit dengan meliuk-liukkan tubuh, menggunakan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
***
"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin
mempermainkan aku, Pendekar Gila! Jangan
salahkan kalau aku akan membunuhmu seperti
membunuh anjing! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari yang merasa
dipermainkan Pendekar Gila mempercepat serangan-
nya. Tangannya bergerak kian cepat, disambung oleh
tendangan dan sapuan kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum tahu duduk
persoalannya, mengerutkan kening sambil bergerak
mengelak.
"Heaaa...!"
"Nisanak, tidak bisakah kau hentikan serangan-
mu? Kita bicara baik-baik...."
Belum juga selesai Pendekar Gila, tiba-tiba
Wulandari telah merangsek kembali ke arahnya
dengan serangan-serangan yang mengarah ke
kemaluan. Kalau Pendekar Gila tidak cepat
mengelak, niscaya kemaluannya akan tercengkeram
tangan lentik tapi garang itu.
"Jangan banyak omong! Heaaa...!"
Wanita itu benar-benar tak dapat diajak bicara
baik-baik lagi. Serangan-serangannya sangat ber-
bahaya, disertai tenaga dalam yang cukup sempurna.
Lengah sedikit saja, celakalah Pendekar Gila. Yang
lebih mengerikan, sasaran serangannya tertuju ke
selangkangan, tepatnya ke arah kemaluan.
"Edan! Dunia ini memang sudah gila. Hi hi hi...
Bagaimana mungkin wanita secantikmu meng-
gunakan jurus cabul...?" Sena tertawa tergelak-gelak
sambil terus bergerak mengelakkan serangan yang
dilancarkan oleh Wulandari. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari. Ketihatannya lamban, namun setiap
kali Wulandari berusaha menyerang, tahu-tahu
tubuhnya telah berpindah tempat.
Mendapatkan serangannya tak mengenai sasaran,
Wulandari semakin bertambah marah. Serangannya
dipercepat, berusaha menjatuhkan lawan dengan
cepat. Namun hasilnya tetap saja nihil.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar mencari
mampus! Jangan harap kau akan lepas dari
tanganku! Heaaa...!"
Wulandari semakin penasaran mendapatkan
lawan yang aneh. Meski gerakan lawan kelihatan
lemah namun senantiasa sulit diduga. Setiap kali dia
menyerang, dengan cara meliuk pemuda tampan itu
mengelak. Liukan tubuh Pendekar Gila terlihat lentur
sekali namun tahu-tahu tubuh pemuda itu telah
berpindah tempat.
"Nisanak, maaf... aku tak ada waktu lagi bercanda
denganmu! Heaaa...!" Pendekar Gila menggerakkan
tangannya ke depan dan menepuk. Sebuah rangkaian
gerakan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Gerakannya pelan dan lamban.
Wulandari yang melihat gerakan tangan lawan
yang menepuk lamban, segera memapaki dengan
pukulan telapak tangannya. Kedua tangan mereka
saling beradu.
Desss!
"Ukh...!" Wulandari mengeluh tertahan.
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sedangkan
tangannya terasa panas bagai membara. Belum juga
keseimbangannya dapat dijaga, tiba-tiba Pendekar
Gila telah menepuk kembali punggungnya. Hingga
dalam waktu cepat, tubuh Wulandari telah tertotok.
"Nah, Nisanak! Aku tak ada waktu untuk
meladeimu. Antara kita tak ada silang sengketa.
Dalam waktu sebentar, totokan itu akan hilang
dengan sendirinya. Selamat tinggal."
Usai berkata begitu, sambil menggaruk-garuk
kepala Pendekar Gila meninggalkan Wulandari yang
masih memperlihatkan sinar penasaran pada
wajahnya. Mulutnya mengumpat tak menentu.
Sedangkan Pendekar Gila meninggalkan tempat itu
dengan menerobos hutan.
Pendekar Gila terus melangkah, menyelusuri hutan
untuk mencari ketiga orang yang tengah diburunya.
Dia telah jauh meninggalkan Wulandari yang masih
tertotok dan berdiri mematung dengan pandangan
penuh amarah.
Sambil bernyanyi-nyanyi, Pendekar Gila terus
melangkah. Telinganya dipasang tajam-tajam.
Matanya pun menyapu ke sekelilingnya dengan
pandangan tajam. Tangannya menggaruk-garuk
kepala yang tak gatal.
Kakinya terus melangkah, semakin bertambah
jauh meninggalkan Wulandari. Sejauh itu, belum juga
Pendekar Gila menemukan tanda-tanda ketiga lelaki
yang dikejarnya.
"Ah, bodoh sekali aku ini!" seru Sena tiba-tiba
sambil menepuk keningnya. "Mengapa aku tidak
menanyakan pada wanita itu, apakah dia melihat tiga
lelaki berompi hitam? Huh, tolol... tolol sekali.
Sesaat Sena menghentikan langkahnya. Dan
berdiri tegak dengan kening berkerut Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sementara wajahnya
nampak cengengesan seperti orang bodoh. Kemudian
kepalanya digeleng-gelengkan. Lalu perjalanannya
dilanjutkan mencari ketiga orang itu.
"Ah, biarlah... Akan kucari sendiri. Aku yakin
mereka masuk ke dalam hutan ini," gumamnya
seperti orang bodoh sambil melangkah menyelusuri
jalan setapak di dalam hutan.
Baru beberapa langkah Pendekar Gila melanjutkan
perjalanannya, tiba-tiba matanya melihat tiga sosok
tubuh tergeletak berpencar.
"Hei, bukankah tiga orang itu yang kucari?'
tanyanya pada diri sendiri.
Pendekar Gila mempercepat langkahnya agar
segera sampai di tempat ketiga tubuh itu tergeletak.
Sesampainya di tempat itu, betapa terkejut Pendekar
Gila menyaksikan pemandangan yang mengerikan.
Sampai-sampai matanya membelalak dengan mulut
menganga. Tangannya menggaruk-garuk kepala
dengan wajah terlihat bodoh. Dari mulutnya keluar
gumaman setengah mengeluh....
"Wuah..., mengapa jadi begini? Ah, rupanya aku
telah didahului orang lain...."
Pendekar Gila memandangi ketiga mayat yang
keadaannya mengerikan.
"Ah, benar!" ujarnya seketika. "Ini pasti perbuatan
wanita bercadar merah itu. Ck ck ck..., keji! Sungguh
keji sekali! Hm, ternyata dia bukan wanita
sembarangan. Dia berbahaya... Tapi, siapa dia
sebenarnya...? "
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kemudian
dengan menggunakan ilmu larinya, pemuda tampan
itu melesat meninggalkan ketiga mayat Tiga Barka
Kembar menuju tempat Wulandari tertotok.
"Aku harus menanyakan pada wanita itu, mengapa
dia melakukan perbuatan keji," bisik Sena sambil
mempercepat larinya, dengan harapan dapat
menemukan Wulandari. Namun sesampainya di
tempat itu, Pendekar Gila tidak menemukan wanita
berbaju merah jambu itu lagi.
Sesaat pandangan Sena beredar ke tempat itu,
namun tidak juga ditemukan tanda-tanda kalau
wanita itu masih berada di sana.
"Hei, ke mana wanita itu?" gumamnya sambil
menggaruk-garuk kepala. "Huh, bodoh lagi! Ah
mengapa aku bodoh terus? Dia bukan wanita baik-
baik. Aku harus mencarinya...."
Kemudian dengan tertawa tergelak-gelak
mengejutkan hewan penghuni hutan, Pendekar Gila
me meninggalkan tempat itu untuk mengejar wanita
cadar merah yang sangat telengas perbuatannya.
TUJUH
Di sebuah tempat yang jauh dari hutan di mana
Pendekar Gila tengah mengejar wanita bercadar
merah yang tindakannya keji, nampak dari kejauhan
sebuah pedati ditarik dua ekor kuda melaju dengan
pelan dan tenang. Sebagaimana ketenangan wajah
laki setengah baya yang menjadi kusir pedati itu.
Mata lelaki itu memandang tajam ke depan. Sesekali
menyapu ke kanan dan kirinya. Pakaiannya berwarna
putih perak. Kumisnya tebal melintang di atas bibir.
Sedang kepalanya diikat dengan kulit rusa.
Melihat dari ciri-cirinya, kusir pedati itu bukanlah
orang biasa. Dia tidak lain Ki Martanu, yang lebih
terkenal dengan sebutan Sabit Kembar dari Timur.
Seperti julukannya, Ki Martanu bersenjatakan
sepasang sabit, dan berasal dari wilayah timur.
Ki Martanu dengan tenang mengendarai
pedatinya. Sesekali mulutnya berdecak, dengan
tangan menghentakkan tali kekang kuda.
"Hiya, hiya…! Ayo, jalanlah dengan tenang,"
katanya pada kedua kuda yang menarik pedatinya.
Bagaikan mengerti, kedua kuda penarik pedati itu
pun melangkah dengan tenang.
Di belakang pedati, berjalan lima orang murid
utamanya. Pakaian mereka sama, hanya bedanya
tidak berlengan. Kalau Ki Martanu mengenakan
lengan panjang putih perak, kelima muridnya rompi
putih perak. Di tangan kanan kelima murid utama itu
terdapat peti berukir indah. Tangan kiri memegang
tombak. Pedang tersandang di punggung mereka.
Wajah mereka masih muda, kuning bersih dan
tampan. Mata mereka tajam memandang lurus ke
depan.
Di dalam pedati, sepasang mempelai muda tengah
bercanda penuh kebahagiaan. Yang lelaki, adalah
anak Ki Martanu. Sedangkan perempuan cantik di
sisinya adalah anak Ki Genda Aren yang menjadi
tumenggung di Pandan Laras.
Kedua mempelai itu baru melangsungkan per-
nikahan beberapa puluh hari yang lalu. Belum sampai
sebulan, atas permintaan Ki Tumenggung, mereka
diboyong dari rumahnya.
Saat pedati melaju dengan tenang, tiba-tiba kuda
penarik pedati itu meringkik. Kemudian kedua kuda
itu ambruk dan mati. Hal itu membuat Ki Marta
tersentak kaget, matanya membelalak dan dengan
ringan melompat turun dari pedatinya. Tubuhnya
salto, kemudian turun dengan enteng menjejak kaki
di tanah.
"Keparat!" maki Ki Martanu marah, manakala
melihat kuda-kudanya mati karena jarum-jarum
beracun yang dilontarkan seseorang. Sedangkan di Di
dalam pedati, terdengar jerit ketakutan menantunya.
Mata Ki Martanu memandang tajam ke sekeliling-
nya. Napasnya kelihatan memburu, menunjukkan
kalau lelaki setengah baya itu benar-benar marah.
Dari belakang, kelima murid utamanya berlari ke
arahnya.
"Ada apa, Guru?" tanya Wikala.
"Ada yang menyerang kuda-kuda kita," dengus Ki
Martanu masih menampakkan kemarahannya.
Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya, mencari
orang yang telah melontarkan jarum-jarum beracun.
"Pengecut yang telah menyerang kuda-kudaku,
keluarlah!"
Didahului desingan puluhan jarum yang melesat ke
arah mereka, sebuah bayangan warna merah jambu
berkelebat keluar dari balik semak-semak.
Zwing! Zwing...!
Ki Martanu dan kelima muridnya tersentak kaget,
cepat-cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang
dan bersalto untuk mengelakkan serangan jarum-
jarum maut itu. Setelah kaki mereka menjejak tanah
kembali, Ki Martanu dan kelima muridnya dengan
gusar memandang wanita yang kini tegak di hadapan
mereka dengan sikap menantang. Wanita itu ber-
pakaian merah jambu dengan separuh wajah tertutup
kain merah.
"Siapakah kau, Nisanak? Kenapa kau menyerang
kami?" tanya Ki Martanu dengan suara tenang.
Matanya mengawasi wanita yang berdiri tiga tombak
di depannya.
"Hi hi hi...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! Yang
jelas, kau harus menyerahkan anak lelakimu yang
ada di dalam pedati!" dengus Wulandari setelah
tertawa cekikikan.
Mendengar jawaban tak bersahabat tadi, lima
murid utama Ki Martanu merasa kalau wanita itu
telah mempermainkan guru mereka. Lima murid
utama itu hendak menyerang. Dengan cepat orang
tua itu mencegahnya.
"Nisanak, antara kita tak ada silang sengketa.
Kuharap Nisanak sudi memberi jalan pada kami,"
kata Ki Martanu.
Wulandari kembali tertawa. Matanya kemudian
memandang tajam ke arah Ki Martanu.
"Orang tua, sebelum kau menyerahkan mempelai
lelaki padaku, aku tak akan membiarkan kalian
lewat!"
"Kurang ajar!" maki murid Ki Martanu yang
bernama Aji Genter. Wajahnya seketika memerah,
pertanda kemarahannya telah memuncak. "Guru,
wanita ini kutampar mulutnya."
"Sabar, Genter," kata Ki Martanu tenang.
Kemudian pandangannya dialihkan pada wanita di
hadapannya. "Nisanak, untuk apa kau meminta
anakku? Antara kau dan anakku tak ada silang
sengketa juga, kan?"
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
"Lalu, untuk apa kau memintanya? Sedar anakku
sudah beristri?"
Wulandari tertawa melengking, membuat Ki
Martanu dan kelima muridnya mengerutkan kening.
Mereka tak mengerti dengan sikap wanita itu.
"Untuk apa? Hi hi hi.... Jelas untuk kujadikan budak
yang akan memuaskan keinginanku!" Wulandari
seenaknya sambil tertawa cekikikan.
"Wanita jalang!" maki murid Ki Martanu yang
bernama Abiyani. Ketika pemuda itu hendak
menyerang wanita di depannya, Ki Martanu cepat
mencegahnya dengan merentangkan tangan.
"Nisanak, kalau itu yang kau inginkan, dengan
menyesal aku tak dapat mengabulkan...."
Bibir Wulandari tersenyum sinis mendengar
jawaban orang tua setengah baya itu.
"Kalau begitu, kalian harus mampus! Heaaa…!"
bentaknya tiba-tiba.
Wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian
wajah ditutupi oleh kain merah darah itu dengan
cepat melakukan serangan. Kedua tangannya
mengembang, kemudian bergerak menyilang. Tangan
kanan ke arah ulu hati, sedangkan tangan kiri
mencengkeram ke arah selangkangan. Sementara
tubuhnya agak membungkuk, dengan kedua kaki
bergerak teratur, yang terkadang melakukan
tendangan.
Melihat serangan itu Ki Martanu terkejut dengan
mata membelalak.
'"Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!" desis Ki
Martanu tanpa sadar.
Ada senyum angkuh di bibir Wulandari
menyaksikan Ki Martanu terkejut melihat jurusnya.
Ki Martanu yang sudah tahu kehebatan serangan
lawan, cepat-cepat mengelak ke belakang. Dia
bermaksud menahan kelima muridnya, namun
mereka telah melesat untuk memapaki serangan
wanita itu dengan tombak.
"Heaaa...!"
Dengan tombak di tangan, kelima murid utama Ki
Martanu berusaha merangsek lawan. Mereka
melakukan gerakan mengurung. Tombak di tangan
mereka menusuk serentak ke tubuh lawan yang
membungkuk.
Mendapat serangan kelima lawannya, dengan
cepat Wulandari melenting ke atas. Kemudian turun
dengan enteng di luar kurungan mereka.
Melihat lawan telah lolos dari kurungan, cepat-
cepat kelima murid utama Ki Martanu bergerak
mengurung kembali. Tombak di tangan mereka
kembali menusuk dengan ganas.
"Tembus...! Heaaa…!"
Sebatang tombak mengancam tubuh Wulandari.
Dengan cepat Wulandari memiringkan tubuh ke
samping. Hingga tombak itu melesat di sampingnya.
Kemudian dengan cepat Wulandari melompat ke atas
lalu tubuhnya hinggap di tombak itu bagai seekorl
cicak.
Melihat wanita muda itu berada di atas tombak
temannya, murid utama Ki Martanu yang berada
belakang bergerak menyerang. Tombaknya ditusuk-
kan ke arah tubuh lawan. Namun dengan cepat
Wulandari kembali melompat ke atas. Tak ampun lagi
tombak itu menusuk dada temannya sendiri.
Jrab!
"Akh...!"
Murid Ki Martanu yang bernama Lanang Jingga
memekik. Tangannya melepaskan golok yang
digenggamnya. Kini kedua tangannya memegangi
tombak yang menembus dadanya.
Sedangkan rekannya yang bernama Seta Gawe
terperangah. Dia tidak menyangka kalau tombaknya
akan menusuk teman sendiri. Wulandari tak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Kakinya yang masih
mengambang di udara, direntangkan untuk me-
nendang wajah Seta Gawe.
Dugk!
"Ukh...!" Seta Gawe memekik. Tubuhnya terhuyung
ke belakang dengan tangan menutupi wajahnya yang
terasa sangat sakit dan perih.
Menyaksikan kedua temannya jatuh, ketiga murid
lainnya kembali menyerang dengan ganas. Tombak di
tangan mereka berkelebat menusuk dan membabat
ke arah lawan. Namun Wulandari dengan mudah
mengelakkannya. Kemudian wanita berpakaian
merah jambu itu balik menyerang dengan jurus 'Kupu-
kupu Emas Merentang Sayap'.
Sepasang tangannya bergerak cepat. Yang kanan
menusuk ke arah ulu hati Abiyani. Sedangkan tangan
kirinya, bergerak mencengkeram ke arah selang-
kangan Rudali. Dibarengi tendangan ke belakang,
kaki kanannya mengancam Sengkapi.
"Heaaa...!"
Mendapat serangan balik yang begitu cepat, ketiga
murid utama Ki Martanu yang belum siap menjadi
terkejut. Dengan cepat tangan mereka memutar
tombak di depan tubuh, berusaha menangkis
serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tombak di tangan mereka berputar cepat laksana
baling-baling, hingga tak lagi terlihat. Yang nampak
hanyalah warna gading bulat yang melindungi tubuh
ketiganya.
Melihat ketiga lawannya memerisai diri dengan
tombaknya, Wulandari tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat serangannya ditarik, kemudian dengan cepat
tubuhnya melenting ke udara. Lalu menukik ke
bawah, tepat di belakang salah seorang dari mereka.
Tangan kanannya langsung menyerang arah
punggung, sedangkan tangan kirinya mengarah
kemaluan lawan.
Menyadari ada bahaya, pemuda itu membalikkan
tubuh. Namun tiba-tiba sebuah tendangan cepat
melesat ke wajahnya.
Pemuda itu berusaha menepiskan tendangan
wanita muda itu dengan membabatkan tombak di
depan wajahnya. Tapi serangan itu rupanya hanya
sebuah pancingan Wulandari belaka. Ketika pemuda
itu memutar tombak di depan wajahnya, secepat itu
pula Wulandari menarik tendangannya. Sedangkan
tangan kirinya yang bebas, segera bergerak men-
cengkeram kemaluan lawan.
Crak!
"Akh...!"
Pemuda itu menjerit, ketika terdengar suara
pecahnya alat kemaluannya. Matanya seketika
melotot tegang, dan tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa. Darah mengalir dari selang-
kangannya.
Mata Ki Martanu terbelalak menyaksikan per-
buatan keji wanita muda itu.
"Keji! Biadab...!" makinya gusar.
***
Wanita bercadar merah itu tersenyum sinis.
Matanya melotot menunjukkan kebengisan. Seperti-
nya tak gentar sedikit pun menghadapi lelaki
setengah baya yang namanya cukup kondang itu.
Bahkan dengan suara sinis dan sombong, wanita itu
bertanya...
"Bagaimana, Ki? Apakah kau mau menyerahkan
anakmu?"
"Bedebah! Jangan kau kira semudah itu, Betina!"
maki Ki Martanu gusar.
Kesabaran lelaki setengah baya itu sudah habis.
Napasnya turun-naik dengan rahang terkatup rapat.
Matanya yang tajam, semakin bertambah tajam
memandang ke arah wanita bercadar yang masih
tersenyum sinis.
"Jadi kau menolaknya, Ki?!" tanya wanita itu
tengah mengancam.
"Kurang ajar! Langkahi dulu mayatku! Heaaa...!"
Ki Martanu yang sudah tak dapat menahan
amarah segera melabrak Wulandari yang tertawa
mengejek.
Melihat Ki Martanu mulai menyerang, kedua
muridnya yang masih hidup segera membantu.
Hingga Wulandari harus kembali menghadapi
keroyokan tiga orang.
"Heaaa...!"
Meski dikeroyok tiga orang, tidak menjadikan nyali
Wulandari ciut. Dengan tenang wanita itu meng-
elakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki
Martanu dan kedua muridnya. Bahkan sesekali
Wulandari balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu
Emas Merentang Sayap' yang telah mampu
menjatuhkan tiga murid Ki Martanu.
Ki Martanu yang mengetahui ilmu lawan setingkat
dengannya, tidak mau gegabah dalam menyerang.
Dengan menggunakan jurus 'Rusa Melompat
Menyeruduk', Ki Martanu bergerak menyerang.
Kakinya melangkah lebar dengan kaki di depan
ditekuk. Tangannya memukul ke arah dada.
Sedangkan tangan kirinya membuat pertahanan
dengan membentuk siku.
"Heaaa...!"
Kedua muridnya yang turut menyerang tak tinggal
diam. Keduanya pun segera menusukkan tombaknya
ke arah lawan dari samping kiri dan kanan. Seakan
hendak memanggang wanita itu hidup-hidup. Melihat
serangan serentak yang dilancarkan oleh Ki Martanu
dan kedua muridnya, dengan cepat Wulandari
merundukkan tubuh sambil menggeser kaki dua
tindak ke belakang. Sedangkan tangannya bergerak
menyambar ke samping. Tombak di tangan murid-
murid Ki Martanu melewati beberapa rambut di atas
punggungnya. Sedangkan pukulan yang dilancarkan
Ki Martanu mengenai tempat kosong beberapa
jengkal di depan tubuhnya.
Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga
penyerangnya, Wulandari kembali menggebrak. Kini,
tangannya yang membentang digerakkan menyilang.
Tangan kanan ke atas, mengarah ke dada lawan di
sebelah kiri. Dan tangan kirinya mengarah ke
selangkangan lawan di sebelah kanan. Sedangkan
tubuhnya masih merunduk, dengan kaki kiri
menendang ke depan.
Ki Martanu tersuruk mundur sambil mengebaskan
tangan kirinya ke arah kaki lawan. Sedangkan kedua
muridnya berusaha memagari tubuh yang menjadi
sasaran dengan tombaknya.
Melihat kenyataan itu, cepat-cepat Wulandari
menarik semua serangannya. Kemudian dengan
berguling ke tanah, Wulandari memusatkan serangan
pada lawan di samping kanannya. Tangannya
bergerak cepat. Mencengkeram dan menghantam ke
perut serta selangkangan lawan.
"Heaaa...!"
Lawan yang diserang terkejut Dia berusaha
melindungi tubuh dengan tebasan tombaknya.
Namun gerakannya kalah cepat. Tangan kiri
Wulandari telah lebih dulu meremas selang-
kangannya dengan keras.
Crak!
"Akh...!"
Pemuda itu memekik. Tangannya yang memegang
tombak, seketika beralih memegangi kemaluannya
yang pecah. Matanya melotot, tubuhnya menegang.
Kemudian ambruk ke tanah dengan darah meleleh
dari selangkangannya.
Menyaksikan hal itu, Ki Martanu semakin ber-
tambah marah. Orang tua separuh baya itu dengan
garang kembali melancarkan serangannya.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Perempuan
iblis! Heaaa...!"
Dengan pukulan dan tendangan keras dan
beruntun, Ki Martanu terus berusaha merangsek
lawannya. Sepertinya lelaki setengah baya itu tak
mau membeikan kesempatan sedikit pun pada lawan
untuk mengembangkan serangan.
Wulandari yang mendapatkan serangan beruntun
seperti itu, tidak nampak gentar. Tubuhnya meliuk-
liuk bagai menari. Kepalanya bergerak ke kanan dan
kiri mengelakkan pukulan dan tusukan tangan lawan.
Kakinya pun bergerak lincah, terkadang melebar dan
menutup untuk menghindari sambaran-sambaran
kaki lawan.
Untuk sementara Ki Martanu mampu mendesak
lawan. Hingga lawannya kini hanya mengelak dan
menghindar dari serangan serangan yang di-
lancarkannya.
"Kau harus mampus, Wanita Iblis! Heaaa...!"
"Apakah tidak sebaliknya, Ki?! Heiiit...!" ejek
Wulandari sambil berkelit ke samping untuk
mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan
cepat dia balas menyerang. Tangannya bergerak
membuka. Tangan kanan ke arah pinggang lawan,
sedangkan tangan kiri mengarah ke selangkangan
lawan.
Ki Martanu yang sudah melihat kehebatan
serangan itu, dengan cepat menarik mundur kakinya,
berusaha mengelakkan serangan itu. Kemudian
tangannya meluncur ke dada lawan.
"Jebol dadamu, Iblis! Heaaa...!"
"Uts...!"
Wulandari menarik tangan kanan yang menyerang
ke pinggang lawannya. Kemudian dengan cepat
menangkis tangan lawan yang memukul ke arah
dada. Sedangkan tangan kiri dan kaki kanannya
masih melancarkan serangan.
Melihat lawan menangkis, Ki Martanu segera
menarik pukulan tangan kanannya. Kemudian disusul
dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan.
Pertarungan terus berlangsung dengan serunya.
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat
menjatuhkan lawan. Sejauh itu, nampaknya belum
ada yang akan memenangkan pertarungan itu.
Keduanya masih sama-sama gesit dan lincah.
Ki Martanu terus berusaha merangsek dengan
serangan-serangannya. Namun wanita berpakaian
merah jambu pun tak mau kalah. Setelah berhasil
mengelakkan serangan lawan, dengan cepat
Wulandari balas menyerang.
Tubuh Wulandari kini melenting ke angkasa,
kemudian menukik ke bawah dengan tangan siap
meremukkan tubuh Ki Martanu.
"Heaaa...!"
Ki Martanu yang melihat jurus lawan, segera
memapakinya dengan memukulkan kedua tangan ke
atas. Tanpa dapat dicegah, bentrokan tangan mereka
pun terjadi.
Degkh!
Tubuh Wulandari terlontar kembali ke angkasa,
sedangkan kaki Ki Martanu terpendam sebatas betis
ke dalam tanah. Rupanya ketika terjadi bentrokan
tadi, keduanya sama-sama mengerahkan tenaga
dalam penuh.
Wulandari terhuyung ke belakang beberapa tindak.
Mulutnya melelehkan darah. Matanya masih
memandang tajam ke arah Ki Martanu yang juga
melelehkan darah dari mulutnya.
"Heaaa...!"
Murid utama Ki Martanu yang masih hidup
melesat untuk menyerang lawan yang belum siap.
Namun belum juga tubuhnya sampai, Wulandari telah
mengebutkan lengan bajunya. Dan dari dalam
bajunya, mendesing ratusan jarum maut ke arah
pemuda itu.
Si pemuda tersentak dengan mata melotot. Dia tak
mampu lagi mengelakkan serangan jarum itu. Tanpa
ampun lagi, jarum-jarum itu menghunjam sekujur
tubuhnya.
Jlep, jlep, jlep!
"Aaakh...!"
Murid Ki Martanu memekik. Sesaat tubuhnya
meregang dengan warna biru, kemudian ambruk ke
tanah tanpa nyawa.
Menyaksikan muridnya mati, Ki Martanu memekik
keras. Tubuhnya melesat cepat ke arah Wulandari
yang saat itu ikut memekik sambil bergerak ke arah
lelaki setengah baya itu.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya siap dengan pukulan maut di tangan
masing-masing. Tangan mereka kelihatan membara
bagai sinar bintang, melesat di udara. Kemudian
dengan sama-sama menggunakan tenaga dalam
penuh, keduanya kembali bertarung. Pukulan-pukulan
maut tangan mereka, bergerak mencari sasaran.
Desss!
"Ukh...!" Wulandari mengeluh. Tubuhnya terdorong
mundur.
"Akh...!" mulut Ki Martanu memekik keras.
Tubuhnya juga terdorong mundur beberapa langkah.
Namun keadaan lelaki setengah baya itu nampak
parah. Di dadanya terhunjam puluhan jarum maut.
Mata Ki Martanu melotot. Dari mulutnya semakin
banyak darah berwarna hitam mengalir.
"Kau.... Li..., cik.... Akh...!" ujar Ki Martai terbata.
Kemudian, tubuhnya ambruk dengan warna biru.
Menyaksikan lawan-lawannya telah binasa,
Wulandari tersenyum sinis. Kemudian dengan cepat
tubuhnya bergerak ke dalam pedati di mana
sepasang mempelai berada. Tidak begitu lama,
terdengar jeritan seorang wanita. Disusul oleh pekik
kematian yang menyayat.
Ternyata Wulandari telah membunuh mempelai
wanita, sedangkan mempelai lelaki, kini dalam
keadaan tertotok. Dibopongnya tubuh mempelai lelaki
itu pergi. Tinggallah tempat pembantaian yang
kembali sepi, dengan gelimpangan mayat-mayat
bermandi darah.
Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai
berteriak girang, melihat mayat-mayat yang
menunggu disantap.
DELAPAN
Seorang pemuda tampan berompi kulit ular sanca
tampak berlari sambil tertawa tergelak-gelak seperti
orang gila. Terkadang sambil melompat, pemuda itu
menepuk-nepuk pantat atau menggaruk-garuk
kepalanya. Pemuda tampan bertampang gila itu tiada
lain Sena Manggala atau lebih dikenal berjuluk
Pendekar Gila dari Gua Setan. Dia tengah mencari
seorang wanita berpakaian merah jambu dengan
sebagian wajah tertutup cadar merah.
"Celaka..., celaka...! Mengapa aku begitu tolol?"
gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri yang
dianggapnya telah melakukan ketololan. Bagaimana
mungkin dia melepas begitu saja seorang wanita yang
sepak terjangnya terlalu telengas dan keji?
Sena terus berlari, berusaha memburu Wulandari.
Namun sampai sejauh itu, belum juga ditemukan
tanda-tanda akan bertemu dengan wanita itu.
"Weleh, kalau begini terus, tidak ubahnya main
petak umpet. He he he...!" Sena kembali tertawa
sambil garuk-garuk kepala. Kemudian pemuda itu
melangkah biasa. Kepalanya menggeleng-geleng
lemah.
Ketika kakinya hendak meneruskan langkah, tiba-
tiba matanya yang tajam melihat sesuatu yang
menarik perhatiannya. Seketika langkahnya berHenti.
Dari ke-jauhan tampak sosok-sosok tergeletak.
Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat itu.
"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah,
benar...."
Sena segera melangkah ke tempat itu.
Sesampainya di sana, ditemukannya beberapa sosok
tubuh tergeletak tanpa nyawa dan dua ekor kuda
yang juga telah mati dengan tubuh membiru.
Diamatinya mayat-mayat itu dengan seksama.
Wajahnya menjadi tegang dengan mata membelalak,
manakala melihat sesuatu yang mengerikan di
selangkangan beberapa mayat.
"Ah, rupanya dia telah datang di tempat ini...,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian matanya menyapu ke sekeliling, berusaha
meyakinkan kalau-kalau wanita itu sudah tidak ada di
di sekitar tempat itu.
Setelah merasa yakin tak ada wanita bercadar
merah di sekitar tempat itu, Sena memperhatikan
kembali mayat-mayat yang tergeletak mengerikan.
"Hm, wanita itu benar-benar keji...," gumamnya lirih
dengan mata masih memperhatikan mayat-mayat
yang bergelimpangan. Ada empat mayat lelaki muda
dan seorang lelaki tua berpakaian putih perak. Juga
seorang wanita tanpa nyawa dalam sebuah pedati
dengan kuda-kuda yang mati.
Lama Sena memperhatikan mayat lelaki setengah
baya yang ada di tempat itu. Sepertinya pemuda
tampan itu berusaha mengingat-ingat sesuatu. Hal itu
terlihat dari keningnya yang agak berkerut.
"Ah...!" pekiknya sambil menepuk kening dengan
tangan kiri. "Bukankah orang tua ini Ki Martanu? Ada
urusan apa wanita liar itu dengannya?"
Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Dia
semakin tak mengerti dengan tingkah laku wanita
bergaun merah jambu itu. Kemarin Tiga Barka
Kembar dari aliran sesat dibantai. Kini Ki Martanu
dan keempat muridnya terbantai. Padahal mereka
dari aliran lurus.
"Wah, kacau kalau begini.... Huh, mengapa
kejadiannya begini rumit?"
Kembali Sena bergumam sambil menggaruk-garuk
kepalanya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan
kirinya menepuk-nepuk kening.
"Siapa dia sebenarnya? Ini tidak boleh dibiarkan!"
gumamnya kemudian.
Ketika Sena masih memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan dengan keadaan mengerikan, tiba-
tiba terdengar suara seruan dari arah belakang pedati
"Itu dia orangnya!"
"Serang...!"
"Cincang manusia keji itu...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, manakala matanya
melihat puluhan orang dari perguruan yang dipimpin
oleh Ki Martanu.
Pendekar Gila berusaha memberi tahu bahwa dia
bukan pelakunya. Namun belum sempat dia berkata,
murid-murid Ki Martanu yang sudah kalap menyerang
serentak dengan pedangnya.
"Cincang dia!"
"Jangan biarkan hidup...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tidak diberi
kesempatan sedikit pun untuk berkata. Mereka
benar-benar kalap, menyaksikan mayat gurunya dan
juga saudara-saudara seperguruannya yang sangat
mengerikan.
"Celaka! Mengapa jadi begini...?" keluh Pendekar
Gila sambil mengelitkan serangan-serangan yang
dilancarkan murid-murid Ki Martanu yang beringas.
Pedang-pedang di tangan mereka bergerak cepat,
membabat dan menusuk ke arah Pendekar Gila.
Hingga pemuda tampan itu harus berjumpalitan
untuk mengelakkan setiap serangan yang datang ke
arahnya, kalau tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran
pedang-pedang itu.
"Tunggu...! Beri aku kesempatan untuk bicara!"
pinta Sena sambil bersalto menjauhi mereka. Namun
rupanya murid-murid Ki Martanu sudah tak mau
peduli.
"Jangan biarkan bangsat itu lolos!"
"Cincang saja!"
"Heaaat..!"
Semua murid Ki Martanu yang dilanda oleh
amarah dan dendam atas kematian saudara-saudara
seperguruan dan gurunya, kembali melesat ke arah
Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka kembali
berkelebat, menyerang dengan sabetan dan tusukan
ke tubuh pendekar muda itu.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia benar-
benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Orang-orang yang mengeroyoknya kini, semata-mata
karena salah paham belaka. Mereka tak tahu apa-
apa. Jelas tidak mungkin baginya menurunkan tangan
kasar. Terpaksa Pendekar Gila mengelak ke sana
kemari dengan ilmu meringankan tubuhnya.
"Heaaa...!"
"Tembus tubuhmu, Iblis! Yeaaat...!"
"Remuk kepalamu! Hiaaat...!"
Puluhan pedang menghujani tubuhnya dengan
babatan, tusukan, dan sabetan. Kalau saja bukan
Pendekar Gila yang dikeroyok begitu rupa oleh
mereka, sudah barang tentu akan mengalami celaka.
Serangan mereka yang didasari dendam, benar-
benar beringas dan ganas. Sepertinya nyawa orang
tak ada artinya bagi mereka, yang penting membalas
kematian guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka dapat terbalas.
"Pemuda iblis, keluarkan ilmumu yang keji! Hadapi
kami...!"
"Ya, jangan hanya bisa mengelit saja! Apakah kau
pengecut?!"
Caci maki terus terdengar, keluar dari mulut murid-
murid Ki Martanu yang dilanda amarah. Pedang-
pedang di tangan mereka turut bicara, berusaha
menyerang ke arah lawan.
Pendekar Gila benar-benar dibuat kebingungan.
Bukannya dia takut menghadapi keroyokan puluhan
orang. Namun masalah sebenarnya memang belum
jelas. Mereka belum mengerti apa yang terjadi, dan
dia hanya ketiban sial. Orang lain yang melakukan
kejahatan, sedangkan dia yang baru sampai menjadi
tempat tuduhan.
"Kisanak sekalian, sabarlah! Hentikan dulu
serangan kalian...!" seru Sena sambil terus ber-
jumpalitan berusaha mengelakkan serangan-
serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari.
Rupanya gerakan menghindar Pendekar Gila
begitu lincah dan cepat, membuat murid-murid Ki
Martanu semakin penasaran. Mereka semakin yakin,
pemuda itulah yang telah melakukan tindakan
terhadap guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka.
"Lihat, Teman-teman. Memang pemuda orangnya!"
seru salah seorang dari mereka, membuat teman-
temannya bertambah yakin.
"Ya! Buktinya dia seperti orang gila! Hanya orang
gila yang tega berbuat sekeji itu!" sambung lainnya.
"Sudah, jangan banyak kata lagi... Serang dan
cincang dia!"
Pendekar Gila tersentak, dengan cepat tubuhnya
bergerak untuk mengelitkan serangan-serangan
lawan dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk tak ubahnya
seorang penari.
"Sabarlah, Kawan... Uts...!"
Hampir saja Pendekar Gila menjadi rencahan
senjata lawan-lawannya, ketika dia bermaksud
menyadarkan mereka. Cepat-cepat tubuhnya
melenting, bersalto lalu menjejakkan kakinya pada
sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi.
"Serbu terus...!"
Serentak semua menyerbu ke arah pohon yang
dijejaki Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka
berkelebat cepat, membabat ke tubuh Sena.
"Uts...! Rupanya kalian benar-benar mau men-
cincangku, Sobat. Hup...!"
Pendekar Gila mencelat dari pohon, lalu bersalto di
udara untuk mengelakkan tebasan-tebasan pedang
lawan. Setelah bersalto di udara beberapa saat,
tubuhnya turun dengan tenang. Mulutnya nyengir,
sedangkan kepalanya menggeleng-geleng dengan
tangan menggaruk-garuk.
"Itu dia...!"
"Wah wah wah..., ruwet sudah! Mereka benar-
benar tak bisa diajak kompromi," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk pantatnya. Sedangkan mulutnya
masih nyengir dengan kepala menggeleng-geleng. "Ck
ck ck.... Sungguh mengerikan jika orang sudah gelap
mata."
"Serang dia...!" perintah seseorang, yang dengan
segera dipatuhi teman-temannya. Mereka kembali
menyerbu Pendekar Gila.
"Heaaat..!"
Puluhan pedang kembali bergerak bareng,
berusaha menusuk dan membabat ke tubuh
Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila mengelit
ke samping. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Hal ini tak dapat dibiarkan. Kalau begini terus,
bisa-bisa aku menjadi korban. Gumam Sena dalam
hati. Aku harus berbuat sesuatu! Tapi.... Ah,
seandainya aku memukul mati, tentunya mereka
semakin yakin kalau akulah yang melakukan
semuanya. Biarlah aku hanya menjatuhkan mereka
saja....
Usai berpikir demikian, Pendekar Gila berusaha
mendobrak pertahanan lawan-lawannya sambil
berkelit dari serangan mereka. Tubuhnya terus
meliuk-liuk laksana menari. Kemudian disusul oleh
tepukan-tepukan aneh.
Lawan-lawannya tersentak menyaksikan gerakan
aneh yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu.
Gerakan-gerakannya laksana menari dengan sesekali
menepuk. Kelihatannya lambat, namun kenyataannya
mampu menghasilkan angin pukulan yang keras dan
menyentak.
"Hai, seperti orang main-main gerakannya,"
gumam salah seorang dari mereka.
"Lihat! Bukankah itu gerakan main-main?!"
sambung yang lainnya.
"Dia benar-benar ingin mempermainkan kita!
Serang...!" seru orang pertama yang dengan cepat
ditanggapi oleh teman-temannya.
Kembali Pendekar Gila harus menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya.
Puluhan pedang mengarah ke tubuhnya, menusuk,
dan membabat. Hal itu memaksanya harus
menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'
dengan sepenuhnya, agar tubuhnya tidak terjangkau
oleh tusukan dan sabetan pedang.
"Hiaaat..!"
"Maaf, tidurlah dulu, Sobat!" Sambil berseru begitu,
Pendekar Gila menepuk pelan di dada sebelah kiri
lawan.
Tukkk!
"Hukh...!"
Satu orang kena tertotok. Tubuhnya seketika kaku,
dengan mata melotot. Sena menggaruk-garuk kepala
sambil terus meliuk-liukkan tubuh, berusaha
mengelakkan serangan pedang lawan.
Serangan-serangan gencar terus dilancarkan oleh
murid-murid Ki Martanu. Mereka bagai tidak mau
peduli dengan salah seorang temannya yang tertotok.
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk
dan menebas.
Pendekar Gila terus meliuk-liukkan tubuhnya, dan
sesekali melompat ke sana kemari. Kemudian
dengan gerakan aneh, kembali ditepuknya seorang
lawan yang dekat dengan jangkauannya.
"Kini kau yang tidur, Sobat! Maaf...!"
Tukkk!
Orang itu seketika mematung dengan mata
melotot.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menepuk-nepuk pantat. Kemudian dengan cepat
tubuhnya dilemparkan ke samping, mengelakkan
serangan yang kembali datang mendera ke arahnya.
"Pemuda ini benar-benar harus mampus!
Heaaa...!"
"Jangan biarkan lolos!"
"Hiaaat..!"
Puluhan pedang terus menyerbu ke arah Pendekar
Gila yang meliuk-liukkan tubuhnya sambil menggaruk-
garuk kepala. Gerakannya yang kelihatan lamban,
membuat lawan bertambah penasaran. Hingga lawan-
lawannya kian bernafsu untuk segera menjatuh-
kannya.
"Wah, gawat kalau begini... Bisa-bisa korban
semakin bertambah banyak," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan bergerak untuk
mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Tubuh Pendekar Gila segera mencelat ke samping,
bersalto di udara dan hinggap di cabang pohon randu
sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya tak henti-
henti menggaruk kepala dan menepuk pantat.
"Ha ha ha...! Hoi.... Aku di sini...!" serunya
memanggil para penyerang yang mencari-carinya.
Setelah mereka melihat, dengan tingkah konyol dan
kocak Sena menunggingkan pantatnya.
"Nih...!"
Pendekar Gila kembali tergelak-gelak. Sedangkan
murid-murid Ki Martanu yang merasa dipermainkan
semakin marah. Mereka serentak mengejar ke arah
pohon di mana Sena berada. Ada yang berusaha naik,
Ada pula yang mencoba menebang pohonnya.
Sementara, Pendekar Gila masih tergelak-gelak
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Kalian semua lucu! Ayo, kita main
panjat pinang! Ha ha ha...!"
Murid-murid Ki Martanu terus berusaha menebang
pohon randu di mana Pendekar Gila berada. Sedikit
demi sedikit pohon itu akhirnya dapat ditebang.
Namun ketika pohon itu hampir roboh, dengan cepat
tubuh Sena bersalto menjauh. Kini tinggallah murid-
murid Ki Martanu yang ketakutan, sebab pohon besar
itu tumbang ke arah mereka.
"Awas, pohon tumbang...!" seru Pendekar Gila
sambil tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya
terguncang-guncang. Tangannya menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Semua murid Ki Martanu kocar-kacir mencari
selamat. Namun tak urung, dua atau tiga orang
tersambar ranting pohon itu. Mereka menjerit-jerit
minta tolong.
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal
menyaksikan kejadian di depannya. Kepalanya meng-
geleng-geleng, membuat murid Ki Martanu yang lain
semakin jengkel.
"Pemuda edan! Serang dia...!"
Mereka kembali bergerak untuk menyerang
Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena yang tidak
mau berurusan dengan mereka, kembali melompat
lalu bertengger di cabang pohon randu lainnya.
"Ke mana dia...?"
"Hilang..!"
Mereka celingukan mencari-cari ke mana perginya
pemuda bertingkah laku gila itu. Namun mereka tidak
juga dapat menemukannya.
Pendekar Gila tertawa keras di atas pohon
membuat pengeroyok seketika mendongak. Mata
mereka melihat pemuda itu berada di atas cabang
paling atas pohon itu. Dilihat dari cabang kecil yang
dijadikan tumpangan berpijak, seharusnya mereka
sadar kalau pemuda bertampang gila itu bukan
pemuda sembarangan.
Kalau seorang berilmu tanggung, tidak mungkin
dapat berdiri sambil tertawa tergelak-gelak di atas
sebuah cabang pohon sebesar jari tangan orang
dewasa. Namun mereka tak peduli. Kegelapan mata
mereka membuat mereka terus berusaha memburu.
"Awasi terus, jangan sampai dia pergi!"
"Ha ha ha...! Kenapa kalian tidak tebang lagi pohon
ini?" ledek Sena sambil tertawa terpingkal-pingkal
dengan tangan sesekali menepuk-nepuk pantat.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba dari arah pedati muncul tiga lelaki
berpakaian sama dengan orang-orang yang
mengeroyok Pendekar Gila. Pengeroyok yang tengah
memutar pohon seketika menjura hormat pada
ketiganya.
"Tuan pendekar, turunlah!" seru salah satu dari
ketiga orang yang baru datang. Lelaki itu berpakaian
jubah. Wajahnya terhias kerutan pertanda usianya
sudah cukup tua, dengan kumis dan jenggot putih
yang memanjang.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian
dengan ringan melompat ke bawah. Tahu-tahu
pemuda tampan itu telah berdiri di hadapan ketiga
orang yang baru datang, yang langsung menjura ke
arahnya.
Hal itu membuat murid-murid Ki Martanu yang tadi
mengeroyoknya mengerutkan dahi.
"Eyang, bukankah pemuda ini yang membunuh
guru dan saudara-saudara kami?" tanya salah
seorang dari mereka, memberanikan diri.
Lelaki yang dipanggil eyang menggelengkan
kepala.
"Toh Gendis, ceritakan pada mereka, siapa
pendekar muda ini," ujarnya seraya menatap salah
satu dari dua orang yang bersamanya.
Toh Gendis yang merupakan adik seperguruan Ki
Martanu dengan singkat menceritakan siapa pemuda
yang bertampang gila itu. Mendengar penuturan Toh
Gendis, murid-murid Ki Martanu yang tadi menyerang
Pendekar Gila melotot dan langsung memberi
penghormatan.
"Sudahlah..., sudahlah.... Mengapa kalian
membesar-besarkan julukanku? Ah ah ah, terlalu
lama dan bertele-tele. Baiklah, aku harus mem-
beritahukan pada kalian, bahwa mungkin ada
kesalahpahaman yang terjadi antara kita," kata Sena
sambil cengengesan. "Aku harus pergi untuk
mengejar pembunuh yang telah membantai guru dan
saudara seperguruan kalian dengan keji. Kalau tidak,
bahaya besar akan terus terjadi. Nah, aku mohon
pamit..."
Pendekar Gila menjura, kemudian dengan cepat
berkelebat meninggalkan mereka yang berdecak
kagum menyaksikan bagaimana anak semuda itu
memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak sombong.
"Ck ck ck.... Sungguh bukan sembarang pendekar,"
gumam lelaki tua yang dipanggil eyang sambil
menggeleng-geleng kepala. Sedangkan matanya
masih mengikuti Pendekar Gila yang berlari
menembus hutan.
SEMBILAN
Pendekar Gila yang sedang mencari Wulandari terus
berlari menerobos hutan dan sungai. Sepertinya tiada
rasa lelah sedikit pun baginya. Pikirannya hanya satu,
secepatnya mendapatkan wanita yang tindak-
tanduknya terlalu telengas itu.
Mentari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika
Sena melintas di jalan yang lengang. Angin siang
menghembuskan debu, hingga beterbangan dan
menghempas ke tubuhnya. Mau tak mau, Sena harus
menghentikan larinya. Kini dia hanya berjalan pelan
dengan tangan menutupi wajahnya agar tak terkena
serbuan debu.
"Debu sialan! Huh, terlambat lagi...!" rutuknya
sambil terus menutupi wajahnya dengan kedua
tangan. Kakinya terus melangkah, berusaha melawan
angin badai yang menerbangkan debu-debu itu.
Setelah angin mereda, Sena membersihkan
pakaiannya yang penuh debu. Tiba-tiba dari arah
samping terdengar seruan....
"Anak muda, berhenti...!"
Sena tersentak. Tubuhnya langsung dibalikkan ke
arah asal suara itu. Nampak seorang lelaki berkepala
botak di bagian atas. Rambutnya hanya tumbuh di
bagian samping serta belakang kepala. Lelaki itu
berlari ke arahnya. Tubuhnya tinggi besar dengan
wajah dihiasi cambang bauk lebat. Hidungnya yang
besar, menambah angker penampilannya. Sedangkan
matanya lebar, bagai burung hantu.
Lelaki itu mengenakan pakaian berwarna hitam
berbentuk rompi. Dadanya menonjol dan berotot. Di
pinggangnya terselip sepasang senjata berbentuk
trisula besar.
Senjata dan pakaian yang dikenakan lelaki
setengah baya itu mengingatkan Sena pada tiga
orang kembar yang dikejarnya namun kedapatan mati
dengan keadaan mengerikan. Ya, pakaian dan
senjata orang itu sama dengan pakaian dan senjata
Tiga Barka Kembar.
Bibir Sena cengengesan. Matanya memandang
dengan seksama lelaki tinggi besar yang masih berlari
ke arahnya.
"Anak muda, apakah kau yang berjuluk Pendekar
Gila?" tanya lelaki setengah baya berwajah seram itu
dengan mata tajam.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya sangat aneh,
mirip seekor kera gila. Lelaki tinggi besar itu jadi
mengerutkan kening dan menyipitkan mata. Kesal
juga hatinya menyaksikan tingkah laku pemuda di
depannya.
"Anak muda, apakah kau tak punya sopan santun,
heh?!" bentak lelaki setengah baya itu. "Apakah kau
tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Bocah
Edan?! Akulah Ki Kempala atau Trisula Setan, guru
dari Tiga Barka Kembar!"
"Aha... Rupanya aku bertemu dengan seorang
tokoh hitam yang tersohor. Ah, terimalah hormatku.
Sungguh aku yang bodoh telah berlaku kurang
sopan," kata Sena, seraya menjura hormat
Kemudian setelah berkata begitu, Sena kembali
tertawa tergelak-gelak, membuat Ki Kempala
semakin gusar.
"Bocah edan! Kaukah Pendekar Gila dari Gua
Setan itu?"
Sena menghentikan tawanya. Matanya me-
mandang tajam ke arah Ki Kempala. Kemudian
kembali tawanya diteruskan. Tingkahnya membuat
kemarahan lelaki setengah baya itu semakin
memuncak.
"Anak muda, cepat katakan, di mana aku harus
menemui pendekar itu?!" bentaknya keras dengan
mata melotot penuh kemarahan.
"Kisanak, untuk apa kau mencarinya?" tanya Sena
dengan kata sopan. Sepertinya dia berbicara
sungguh-sungguh.
"Membunuhnya!" tegas Ki Kempala.
"Membunuhnya?!" ulang Sena.
"Ya!"
"Ah, mengapa pula kau hendak membunuhnya?"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan
wajah cengengesan.
"Karena dia telah membunuh ketiga muridku!"
Masih keras dan kasar suara Ki Kempala.
Wajahnya yang beringas semakin menyeramkan
untuk dipandang. "Hei, apakah kau Pendekar Gila dari
Gua Setan itu?!"
Sena tak langsung menjawab. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala dengan nyengir kuda.
"Apakah kau punya bukti menuduh Pendekar Gila
melakukan pembunuhan terhadap ketiga muridmu?"
"Kalaupun bukan dia, aku tetap akan me-
nantangnya bertempur. Sebab, aku memang berniat
untuk menjajaki ilmunya, yang katanya tinggi dan
dijadikan buah bibir orang-orang rimba persilatan!"
jawab Ki Kempala, masih menunjukkan keangkeran
dan ketegasannya.
"Ah, sungguh picik sekali. Mengapa ilmu manusia
yang belum seberapa dibandingkan ilmu Hyang Widhi
harus dijajal?! Ah ah ah..., sungguh menyedihkan,"
gumam Sena, membuat Ki Kempala semakin naik
pitam. Dianggapnya pemuda ingusan itu telah berani
menggurui.
"Lancang sekali mulutmu, Anak Muda?! Apakah
kau yang berjuluk Pendekar Gila itu, heh?!" bentaknya
sengit
"Ya, memang aku orangnya, Ki...," jawab Sena
tenang.
"Kalau begitu, kau harus mampus! Heaaat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Ki Kempala langsung
membuka serangan. Kedua tangannya membentang
ke atas. Kemudian tangan kanannya dengan cepat
mencakar ke arah Pendekar Gila, sedangkan tangan
kiri membentuk siku.
Mendapatkan serangan yang tiba-tiba, Pendekar
Gila yang sudah waspada segera memiringkan tubuh
ke samping. Tangannya bergerak menangkis.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya sedikit dirunduk-
kan ke depan, sedangkan kedua kakinya melangkah
ke belakang dengan teratur.
Mendapatkan serangan permulaannya gagal, Ki
Kempala kembali melakukan serangan susulan.
Tangan kanannya diangkat ke atas, kemudian dengan
jari-jari membentuk cakar, segera menyerang ke dada
Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini meng-
genggam, kemudian menghentak ke muka lawan.
"Hiaaat..!"
"Uts...!"
Pendekar Gila tidak mau tinggal diam. Dia tahu,
tentunya lelaki tinggi besar itu tidak main-main dan
bukan orang sembarangan. Dengan menggunakan
jurus 'Kera Gila Melempar Batu', dibalasnya serangan
lawan. Tangannya bergerak cepat ke bawah seperti
mengambil sesuatu, kemudian bergerak ke depan
layaknya melempar.
Sedangkan tangan kirinya turut bergerak dan
sesekali menggaruk-garuk kepala. Terkadang ditekuk
ke dalam, kemudian menjentik ke depan. Kakinya
pun tak tinggal diam, menyambar dan menendang ke
arah perut lawan.
Melihat gerakan aneh yang dilancarkan lawan,
Kempala sesaat mengerutkan kening. Namun
menyaksikan gerakan Pendekar Gila yang kelihatan
lamban Ki Kempala kembali merangsek. Kedua
tangannya menyerang bergantian. Kedua kakinya
secara bergantian turut bergerak menendang. Namun
semuanya tak menghasilkan apa-apa. Serangan-
serangannya pupus tertiup angin. Setiap kali dia
melancarkan serangan, tiba-tiba Pendekar Gila telah
menjauh atau berkelit ke samping.
"Edan! Jurus edan...!" makinya marah.
Cepat-cepat Ki Kempala mengejar tubuh pemuda
itu, disusul oleh tendangan kakinya yang panjang dan
cepat ke arah tubuh Pendekar Gila yang kelihatan
bergerak lambat. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Pemuda
gila itu tahu-tahu telah berada di sampingnya.
Ki Kempala kembali bergerak untuk menyerang ke
arah samping. Tangan kirinya lurus memukul,
sedangkan tangan kanannya berada di atas kepala.
Setelah serangan pertama tak berhasil, dengan cepat
Kempala memutar tubuh. Tangan kanannya yang
semula di atas kepala, kini memukul ke arah lawan.
"Pecah batok kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Masih lemah, Ki."
Sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar
Gila berguling ke bawah. Lalu kembali melakukan
serangan seperti melempar. Ki Kempala mau tak mau
harus menyurutkan tubuh ke belakang. Kakinya
digeser ke samping, seraya memiringkan tubuhnya.
"Meskipun ilmumu tinggi, namun aku tak akan
kalah olehmu! Hiaaat..!"
Ki Kempala kembali menghentak dengan
serangan-serangan bawah. Kedua kakinya menen-
dang bergantian, dan terkadang menyapu ke tubuh
Pendekar Gila yang terus berguling.
Pendekar Gila terus melakukan gaya kera
berguling sambil mencakar. Dengan berguling tangan-
nya sesekali mencakar ke arah kaki lawan yang
menendang. Atau kakinya menjejak ke arah kaki
lawan. Hal itu memaksa Ki Kempala untuk menarik
mundur serangannya.
Hm, kalau begini terus, sulit bagiku untuk
menyerangnya. Gumam hati Ki Kempala. Dengan
cepat dia merubah jurusnya. Kali ini digunakannya
jurus 'Musang Berguling Menangkap Mangsa'.
"Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala berguling, sejajar dengan tubuh
Pendekar Gila. Sementara keduanya berguling di
tanah, mereka terus bergerak saling menyerang.
Tangan dan kaki mereka saling mencakar dan
menendang.
Pertarungan dengan cara berguling itu ber-
langsung lama. Tangan dan kaki mereka terus saling
cakar dan menendang. Namun sejauh itu, Pendekar
Gila belum berusaha melancarkan serangan yang
mematikan. Dia masih mencoba mengukur sampai
sejauh mana ilmu lawan. Padahal Ki Kempala telah
mengerahkan hampir tiga perempat ilmunya untuk
dapat mengalahkan pemuda itu, sekaligus membunuhnya.
"Hiaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Ki Kempala terus mengikuti cara bertarung
lawannya dengan berguling. Tanpa terasa, mereka
telah jauh meninggalkan tempat semula. Tangan Ki
Kempala terus mencakar ke arah wajah dan dada
lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat selalu
dapat berkelit. Tangannya menyilang, kemudian
membuat gerakan melempar yang mau tak mau
harus dielakkan Ki Kempala.
Setelah beberapa jurus mereka kerahkan untuk
melakukan pertarungan dengan cara berguling, tiba-
tiba tangan mereka berbenturan keras. Diikuti
pekikan menggelegar, kedua tubuh itu melompat ke
atas dahan laksana terbang.
"Heaaat..!"
"Hup, heaaa...!"
Dua tubuh itu berkelebat ke atas, kemudian salto
ke belakang. Wajah Ki Kempala nampak pucat
menandakan betapa kagetnya dia. Sama sekali tidak
diduganya kalau lawan yang masih muda memiliki
tenaga dalam yang sempurna, hingga mampu
melontarkan tubuhnya jauh.
"Hm, rupanya dia bukan pemuda sembarangan.
Pantas namanya saat ini melambung. Tapi aku tidak
akan mundur. Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala yang baru saja menjejak tanah,
kini telah berkelebat lagi untuk melakukan serangan.
Dicabutnya kedua senjata kembarnya yang berbentuk
trisula.
Melihat lawan telah menggenjot kakinya untuk
menyerang, Pendekar Gila tak mau tinggal diam.
Tanpa mengeluarkan senjatanya, Pendekar Gila
memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
Ki Kempala menyodokkan ujung trisula di tangan
kanannya ke dada lawan. Sedangkan trisula di tangan
kirinya menyabet ke arah kepala.
Pendekar Gila dengan cepat meliukkan tubuh ke
samping. Sedangkan kepalanya ditundukkan dalam-
dalam. Tangan kanannya melakukan hentakan ke
dada lawan dengan tepi telapak tangan. Sedangkan
tangan kirinya menghentak ke dagu lawan dengan
telapak tangan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala tersentak kaget Dia tidak menduga
sama sekali akan mendapatkan serangan yang begitu
cepat. Dengan cepat Ki Kempala menarik
serangannya. Tangan kirinya ditebaskan di depan
dadanya. Sedangkan tangan kanannya melakukan
tusukan ke dada lawan.
Mendapatkan lawan melakukan tangkisan,
Pendekar Gila menarik serangannya. Dengan cepat
tubuhnya memutar ke samping tubuh Ki Kempala.
Dan dengan cepat pula, lutut kaki kanannya
menyodok ke arah pinggang Ki Kempala.
"Uts...! Celaka...!" pekik Ki Kempala dengan mata
melotot kaget. Cepat-cepat tubuhnya diegoskan,
mengelakkan sodokan lutut lawan. Kemudian
kembali trisulanya ditebaskan ke kaki lawan.
Pendekar Gila menarik lututnya ke belakang.
Dengan kaki kanan masih mengambang di udara,
tangan kirinya menyerang ke dagu lawan. Sedangkan
tangan yang kanan, memukul ke perut lawan.
"Akh...! Gila! Benar-benar gila...!" seru Ki Kempala,
kaget menyaksikan gerakan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Kelihatannya sangat lambat pemuda
itu melakukan serangan, namun tahu-tahu tangannya
yang menyentak ke dagu dan perut telah tepat pada
sasaran.
Ki Kempala memiringkan tubuh ke belakang
hingga agak mendongak. Kemudian kembali tubuh-
nya dimiringkan ke samping kanan. Dilanjutkan
dengan tendangan ke selangkangan lawan.
Cepat-cepat Pendekar Gila mengelit ke samping
kiri, sedangkan kaki kanannya yang masih
mengambang dengan cepat menendang ke pinggang
lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat
dia mencelat ke belakang untuk mengelak. Kalau
terlambat, pinggangnya tentu sudah remuk terkena
tendangan kaki lawan. Sambil berdiri, matanya
memandang tegang ke arah Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Jangan dikira aku akan kalah
olehmu, Gila!"
Usai membentak begitu, Ki Kempala segera
menjatuhkan diri ke tanah, kemudian dengan cara
berbaring dia melakukan serangan ke arah lawan.
"Heaaa...!"
Tangan Ki Kempala yang menggenggam trisula
bergerak menusuk dan membabat, membuat
Pendekar Gila berlompatan ke sana kemari
mengelakkan sabetan senjata lawan. Dengan jurus
'Kera Gila Menari Menggoda Ular' Pendekar Gila terus
bergerak. Kedua kakinya berirama menari-nari,
dengan tangan tak ketinggalan melakukan gerakan
menghempas ke bawah.
Repot juga Ki Kempala menghadapi jurus yang
dimainkan Pendekar Gila. Tangan kanannya harus
bisa menangkis serangan-serangan yang dilancarkan
lawannya. Sedangkan tangan kirinya terus berusaha
menyerang.
Ki Kempala menyilangkan kedua tangannya ke
atas, manakala tangan Pendekar Gila menyerang.
Hingga kedua tangan mereka saling beradu. Lalu Ki
Kempala menendang ke wajah Pendekar Gila, yang
dengan cepat memiringkan tubuh ke samping.
Kemudian balas menyerang dengan dupakan kaki
kanannya.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaat..!"
Kedua tangan itu masih menyatu, ketika Pendekar
Gila menyentakkan tubuh ke atas. Sehingga tubuh Ki
Kempala turut tersentak melesat ke atas.
Saat tubuh mereka melayang di atas, keduanya
kembali saling menyerang. Tangan mereka yang
semula menyatu, kini saling menghantam dan
menangkis. Sedangkan kaki mereka turut bergerak
menyerang.
"Heaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Keduanya memapaki serangan dengan telapak
tangan masing-masing, sehingga kedua telapak
tangan mereka beradu keras.
Degkh!
"Ukh...!"
"Hhh...!"
Tubuh keduanya mencelat ke belakang, bersalto di
atas kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Tubuh
Ki Kempala terhuyung ke belakang dua langkah.
Mulutnya melelehkan darah. Sementara Pendekar
Gila tersenyum acuh sambil garuk-garuk kepala.
"Ki Kempala, kurasa tak ada gunanya pertarungan
ini. Lebih baik kita sudahi saja. Aku masih banyak
urusan," ucapnya sambil mengorek-ngorek telinga.
"Tidak! Aku tak akan membiarkan kau pergi! Huh
jangan kira aku telah kalah olehmu! Hiaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan benar-benar hendak mengadu nyawa.
Telinganya terasa agak berdengung mendengar
teriakan yang menggelegar tadi. Pendekar Gila
berusaha menahan getaran teriakan itu dengan
mengerahkan tenaga dalamnya. Kemudian dengan
cepat dicabut Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
"Heaaa...!"
Dengan melompat untuk menghindari serangan
lawan, Pendekar Gila meniup sulingnya. Suara tiupan
suling itu berubah melengking. Sekaligus meng-
hancurkan teriakan Ki Kempala yang menggelegar.
Hingga lelaki tinggi besar itu tersentak dan meng-
hentikan teriakannya.
Melihat Ki Kempala telah menghentikan teriakan,
Pendekar Gila pun menghentikan tiupan sulingnya.
Setelah itu tubuh keduanya kembali melesat untuk
saling menyerang.
Dengan tangan menggenggam senjata masing-
masing, keduanya bergerak menyerang. Ki Kempala
menusukkan trisulanya ke dada lawan. Namun
dengan cepat Pendekar Gila membabatkan Suling
Naga Sakti ke arah senjata lawan. Dan terjadilah
benturan keras yang memekakkan telinga.
Trang!
Ki Kempala tersentak kaget. Tubuhnya melompat
mundur dengan mata membelalak lebar. Tangannya
kesemutan dan terasa sangat panas. Napasnya
mendengus semakin marah. Lalu dengan segenap
tenaga dalamnya, Ki Kempala kembali menyerang
dengan memekik dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Heit..!"
Ki Kempala kembali berusaha menusukkan
trisulanya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan
cepat Pendekar Gila membabatkan sulingnya untuk
mementahkan tusukan itu. Sedangkan tangan kirinya
memukul dengan telapak tangan ke dada lawan yang
kosong.
Ki Kempala tersentak kaget. Dia berusaha
menutupi dadanya dengan tangan kiri. Namun
gerakannya kurang cepat, hingga pukulan telapak
tangan Pendekar Gila menghajar dadanya.
Degk!
"Akh...!" Ki Kempala memekik keras. Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang, melayang dengan dada
gosong. Kemudian tubuh itu membentur bukit cadas
hingga terdengar suara patahnya tulang punggung
dan pecahnya tulang kepala.
Krak
Pendekar Gila terpaku diam sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Sungguh kau seorang lelaki yang perkasa,
Seharusnya tak perlu terjadi hal seperti ini kalau saja
kau tidak memaksa...," desah Pendekar Gila sambil
memandangi tubuh Ki Kempala yang tewas secara
mengerikan. Kemudian dengan cepat kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu.
SEPULUH
Seorang wanita cantik bertubuh kuning langsat
tengah menggeluti tubuh seorang lelaki muda
tampan. Wanita itu adalah Wulandari, sedangkan
lelaki tak berdaya dalam pelukannya adalah putra Ki
Martanu yang berhasil dibawanya.
"Ayo, Sayang....!" desis Wulandari sambil meng-
geluti tubuh pemuda itu.
Sementara itu, lelaki di pelukannya hanya diam.
Matanya memandang hampa, seakan-akan tidak ada
gairah sama sekali. Benaknya terus terbayang pada
istrinya yang dibunuh oleh Wulandari dua hari yang
lalu.
Namun, lelaki tetap lelaki. Menghadapi godaan
wanita secantik Wulandari, akhirnya pupus juga
bayangan tentang kematian istri tercinta di benaknya.
Perlahan-lahan pemuda itu terbawa anus birahi yang
mulai tercipta oleh iblis dalam dadanya.
Hingga pemuda itu mulai membalas kecabulan
yang diberbuat Wulandari. Dan keduanya terhanyut di
tengah gelombang nafsu laknat.
Saat keduanya hendak mencapai puncak
kenikmatan duniawi, tiba-tiba....
Jlep, jlep, jlep!
"Aaa...!" si pemuda menjerit. Tubuhnya meregang
dengan kepala mendongak. Matanya melotot
mengerikan, membuat Wulandari tersentak kaget.
Lalu tubuh pemuda itu ambruk ke samping. Di
punggungnya tertancap tiga bilah pisau beracun.
"Kurang ajar! Siapa cecunguk yang telah berani
mengganggu kesenanganku?!" maki Wulandari.
Dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali,
kemudian berkelebat ke luar.
Di luar telah berdiri sesosok tubuh dengan wajah
bertopeng. Seorang lelaki muda berpakaian kuning,
yang mengingatkan Wulandari pada lelaki yang telah
memperkosanya. Lelaki muda bertopeng itu tertawa
ngakak.
"Mengapa kau harus susah-susah mencari
kepuasan? Bukankah aku telah siap? Bagaimana
dulu? Nikmat bukan?" tanyanya sambil meneruskan
gelak tawa.
Mara Wulandari melotot penuh kebencian.
Pemuda ini yang dicari-carinya. Kini dia telah datang
kembali, tanpa harus susah-susah mencarinya.
"Rupanya kau yang dulu mengaku Pendekar Gila?!
Hm, kau harus mampus, Bajingan! Hiaaat...!"
Dengan penuh kemarahan, Wulandari menyerang
pemuda bertopeng yang memang dicarinya. Serangan
yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung. Jurus-
jurus maut yang didapatinya dari Nyi Kendil kini
dikeluarkannya untuk menggempur pemuda
bertopeng yang mengaku sebagai Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat dan keras dari
Wulandari, pemuda bertopeng itu malah tertawa.
Kemudian dengan pongah dan sombong pemuda itu
berkata...
"Percuma kau melawanku, Perempuan Tolol.
Pendekar Gila bukanlah tandinganmu!"
Sambil berkata begitu, pemuda bertopeng yang
mengaku-ngaku sebagai Pendekar Gila itu berkelit
mengelakkan serangan Wulandari yang bertubi-tubi
"Bedebah! Kau kira aku akan percaya kalau kau
Pendekar Gila?! Kau salah besar! Aku telah
berhadapan langsung dengan Pendekar Gila yang
sesungguhnya. Dan dia tidak bejat seperti kau!
Heaaat..!"
Wulandari yang dendamnya terus membara tak
mau banyak omong lagi. Tangannya yang membentuk
sayap kupu-kupu terus menyambar. Sedangkan
kakinya menendang dan menyapu.
"Ha ha ha...! Rupanya kau tak percaya, kalau aku
Pendekar Gila! Hm, baiklah! Kau lihatlah buktinya."
Usai berkata begitu, pemuda bertopeng itu
melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk
bagai menari. Namun gerakannya kasar dan keras,
tidak seperti gerakan yang dilakukan Sena untuk
mengelak.
"Pembohong! Iblis...! Jangan kira aku tak tahu
siapa Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wulandari yang merasa telah ditipu mentah-
mentah oleh pemuda itu, terus melancarkan
serangan. Pukulan dan sambaran maut dilancar-
kannya. Namun pemuda bertopeng itu dengan mudah
mengelakkan setiap sambaran dan pukulan lawan.
Wulandari terus merangsek dengan serangan-
serangannya. Namun setiap kali melakukan
serangan, secepat itu pula lawan dapat me-
matahkannya. Hal itu membuat Wulandari semakin
marah dan penasaran.
"Aku belum puas sebelum membetot kemaluanmu,
Iblis! Heaaa...!"
Kini Wulandari membuka serangan baru dengan
jurus yang lebih keras dan dahsyat. Jurus 'Kupu-kupu
Hinggap Sambil Menghisap Madu'. Kakinya yang
mengambang, sedikit ditekuk. Sedangkan kedua
tangannya bergerak membuka dan menyambar
dengan cepat.
"Hiaaat..!"
Pemuda bertopeng itu kembali tertawa. Tubuhnya
melompat ke sana kemari untuk mengelakkan setiap
serangan lawan.
"Sudah kukatakan, percuma saja kau melawan
Pendekar Gila!" katanya lagi.
"Bedebah! Jangan kira mulutmu tak dapat
kurobek! Heaaat..!"
Saat keduanya bertarung seru, tiba-tiba terdengar
suara gelak tawa membahana. Bersamaan dengan
itu, seorang lelaki berpakaian rompi kulit ular sanca
telah hinggap di atas sebuah ranting pohon di hutan
itu, Gerak-geriknya seperti orang gila. Tangannya
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Ha ha ha...! Jadi inikah orang yang mengaku
sebagai Pendekar Gila?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
membuat kedua orang yang tengah bertarung
seketika menghentikan pertarungannya.
"Siapa kau? Berani benar kau berkata begitu di
depan Pendekar Gila, heh?!" bentak pemuda
bertopeng.
Sena kembali tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantat
kemudian dengan cengengesan sambil meng-
gelengkan kepala, Sena menjawab....
"Aku...? Ha ha ha.... Entahlah. Maaf, aku berlaku
tak sopan di depan lelaki busuk yang ngaku-ngaku
sebagai Pendekar Gila!" usai berkata Sena melompat
ke bawah dan menjejakkan kakinya di depan kedua
orang tadi. "Hm, rupanya ini orang yang membuat
cemar nama Pendekar Gila. Ah ah.... Mengapa
Pendekar Gila harus bertopeng?"
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya?!" bentak
pemuda bertopeng.
"Siapa pun aku, yang jelas aku ingin menangkap-
mu, Manusia Busuk! Ha ha ha...! Enak sekali kau
mengaku-ngaku Pendekar Gila," ancam Sena.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, berani
kurang ajar pada Pendekar Gila. Heaaa...!"
Pemuda bertopeng bergerak menyerang ke arah
Sena yang masih tertawa-tawa sambil menggaruk-
garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Gerak-
geriknya persis orang gila, membuat Wulandari
terpaku di tempat.
Wulandari benar-benar bingung. Dilihatnya kedua
orang lelaki muda yang sama-sama tampan. Yang
satu mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular
sanca. Sedangkan yang satunya berbaju lengan
panjang warna kuning dengan wajah bertopeng.
Kalau dilihat dari gerak-geriknya, tentunya pemuda
yang mengenakan rompi kulit ular sanca adalah
Pendekar Gila, pikir Wulandari.
Pemuda bertopeng terus melancarkan serangan.
Tangannya bergerak menyambar dada lawan.
Sedangkan tangan yang lain memukul ke arah muka.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menyapu dan
menendang ke arah kaki Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat dan bertubi-rubi, tidak
membuat Pendekar Gila gentar. Dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', dielakkannya serangan
lawan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Sementara
tangannya terkadang menepuk. Gerakan meliuk dan
menepuknya kelihatan sangat pelan dan lamban. Hal
itu membuat pemuda bertopeng semakin yakin kalau
dalam beberapa gebrakan saja pemuda yang
bertingkah seperti orang gila itu akan dapat
dijatuhkannya.
Pemuda bertopeng semakin mempercepat
serangan. Tangannya mengembang ke samping
dengan satu kaki menekuk. Itulah jurus 'Belalang
Mencakar'.
Dengan cepat tangannya membentuk kaki-kaki
belalang yang mencakar dan menjentik ganas ke arah
Pendekar Gila. Sedangkan kakinya turut menendang
dan menyapu.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, sambil
menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila terus berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Lucu sekali
gerakan yang dilakukannya, sampai-sampai
Wulandari yang menyaksikannya jadi terkesima dan
tak dapat berbuat apa-apa.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Tangan pemuda bertopeng itu terus bergerak
mencakar dan menyentuh ke dada dan wajah
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila
berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping untuk
mengelak kemudian tangannya bergerak menyambar
topeng pemuda itu.
"Heaaa...!"
***
Breeet!
Topeng yang dikenakan pemuda berbaju itu
terlepas dari wajahnya. Dan nampaknya seraut wajah
tampan.
"Hm... Tidak kusangka lelaki setampan dia harus
menyembunyikan wajah di balik topeng. Tentunya kau
bermaksud buruk...?" gumam Pendekar Gila.
Melihat lawannya lengah, dengan cepat pemuda
berbaju kuning mengirimkan tendangan cepat.
Pendekar Gila tersentak kaget. Dia berusaha
mengelak, namun terlambat. Tendangan pemuda itu
begitu cepat dan tiba-tiba. Tanpa ampun lagi,
dadanya terhantam tendangan lawan.
Degk!
"Hukh...!"
Pendekar Gila terhuyung ke belakang dengan mata
melotot kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk
mengusir rasa mual yang sampai ke kepala. Mulutnya
menyeringai, kemudian tangannya menggaruk-garuk
kepala.
Pemuda berbaju kuning yang mengira Pendekar
Gila terkena luka dalam akibat tendangannya,
kembali menyerang dengan gabungan pukulan dan
tendangan. Gerakannya cepat dan mematikan.
Nampaknya pemuda berbaju kuning itu merasa yakin
kalau dia akan dapat menjatuhkan Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
"Celaka! Pemuda itu dalam bahaya...!" seru
Wulandari tersadar dari keterpakuan.
Bagai ada yang mendorong, Wulandari dengan
cepat berkelebat menghadang serangan pemuda
berbaju kuning. Pendekar Gila yang tidak menduga
kalau Wulandari berbuat nekat, tersentak kaget. Dia
berusaha mencegah, namun wanita itu telah melesat
cepat.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Kedua tubuh itu melesat cepat menuju satu tirik.
Rasanya sulit bagi Pendekar Gila untuk meng-
halanginya. Akhirnya Pendekar Gila hanya mampu
menonton apa yang akan terjadi.
Jlegar!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Keduanya memekik dengan tubuh terlontar
beberapa tombak ke belakang. Tubuh Wulandari
terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan
memegangi dada. Dari mulutnya meleleh darah
segar, membasahi bibir dan dagunya.
Sementara itu, pemuda berbaju kuning pun
mengalami hal yang sama. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata memandang
tegang. Sepertinya dia tidak percaya kalau wanita
yang dulu lemah dan dapat diperkosanya dengan
mudah, kini telah memiliki tenaga dalam yang
seimbang dengannya.
Pendekar Gila hanya dapat memandangi kedua
orang yang kini sama-sama terhuyung. Dia tak tahu
harus berbuat apa. Pantang baginya menyerang
orang yang lemah dan tidak mampu menyerang lagi.
Pemuda berbaju kuning mendengus marah. Tanpa
diduga oleh Pendekar Gila, dia kembali menyerang ke
arahnya. Pendekar Gila tersentak, karena sama sekali
tak menduga diserang oleh pemuda itu.
"Hiaaat..!"
"Uts...! Hampir saja...!" ucapnya sambil bergerak
mengelitkan serangan lawan yang tiba-tiba dan cepat.
Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan
cepat balas menyerang dengan tepukan tangan ke
dada lawan.
Mendapatkan serangan balasan yang kelihatannya
lemah namun tahu-tahu telah dekat ke dadanya,
pemuda berpakaian kuning tersentak. Cepat-cepat
serangannya ditarik mundur dengan menggeser kaki
ke belakang dua langkah. Setelah itu, pemuda
berpakaian kuning ini kembali melancarkan
serangan.
"Hiaaat..!"
Jurus 'Ular Kobra Mematuk' dilancarkan pemuda
berbaju kuning itu. Gerakan tangannya yang
mematuk begitu cepat, dibarengi oleh sabetan-
sabetan tangan yang lain. Kakinya laksana ekor ular
kobra yang turut menyerang.
Melihat serangan lawan tidak main-main lagi,
Pendekar Gila segera mengubah jurusnya. Dengan
jurus 'Kera Gila Menari dan Mencengkeram',
dihadapinya jurus lawan. Kakinya bergerak tak
ubahnya seperti kaki kera. Sedangkan tangannya
sesekali mencengkeram ke lengan lawan yang
mematuk seperti ular kobra.
Pertarungan itu tidak ubahnya pertarungan sengit
antara seekor kera gila yang menari-nari melawan
seekor ular kobra ganas.
"Heaaat...!"
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila dengan sesekali menggaruk-garuk
Kepalanya, terus meladeni jurus ular yang
dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Tangannya
mencengkeram ke tangan lawan yang tak ubahnya
kepala kobra yang mendesis-desis berusaha
mematuk.
Jurus keras yang dilancarkan lawan, kini dihadapi
oleh gerakan-gerakan lucu seperti seekor kera.
Tangan lawan kembali mematuk ke arah dada,
disusul dengan tebasan tangan yang lain. Namun
dengan cepat Pendekar Gila mencengkeramkan
tagan kanannya ke arah tangan lawan. Sedangkan
tangan kirinya menepis serangan. Kakinya berjingkat-
jingkat mengelakkan sambaran kaki lawan.
Pertarungan itu masih berjalan dengan seru.
Masing-masing berusaha menjatuhkan. Pemuda
berpakaian kuning semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan Pendekar Gila. Namun dengan gerakan-
gerakan aneh dan lucu, Pendekar Gila dengan mudah
mematahkan serangan lawan. Bahkan ketika melihat
ada bagian yang lowong, tangannya ditepuk ke dada
lawan. Sedangkan tangan lain mencakar ke arah
wajah.
Degk! Bret!
"Ukh...!"
Tubuh pemuda berbaju kuning itu terlontar ke
belakang dengan deras, laksana terdorong kekuatan
yang maha dahsyat. Tubuhnya terus meluncur
menuju sebatang pohon besar.
Pemuda berbaju kuning menjerit keras ketika
tubuhnya hampir membentur pohon besar yang akan
meremukkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat menyambar
tubuhnya sambil berseru....
"Pendekar Gila, kutunggu kau purnama yang ketiga
di Puncak Lawu!"
Pendekar Gila tersentak. Segera tubuhnya
berkelebat, berusaha mengejar lelaki yang membawa
tubuh pemuda berpakaian kuning itu.
"Tunggu! Jangan lari...!" cegah Sena sambil
mengejar dengan mengerahkan ilmu larinya. Namun
lelaki berpakaian jubah hitam berambut putih itu
ternyata telah melesat cepat meninggalkannya.
"Huh, orang aneh.... Mengapa dia menyuruhku
datang ke Puncak Lawu? Dan mengapa pula harus
purnama ketiga yang berarti tiga bulan lebih? Ah,
mengapa aku pikirkan? Aku harus kembali untuk
menemui wanita itu!"
Pendekar Gila kembali melesat dengan ilmu
larinya menuju tempat Wulandari. Namun
sesampainya di sana, wanita muda itu telah tiada.
Sena hanya menemukan sebaris tulisan yang digurat
di sebatang pohon besar.
Sena mengerutkan kening, sambil menggaruk-
garuk kepala. Didekatinya pohon besar itu, kemudian
dibacanya tulisan yang kelihatannya masih baru,
sehingga getahnya nampak masih menetes.
Tuan Pendekar, maaf aku telah salah menuduh.
Izinkanlah aku menebus kesalahan yang telah
kuperbuat selama ini. Namun aku tak akan diam,
sebelum pemuda keparat itu kudapatkan. Dialah
yang telah menghancurkan masa depanku.
Merenggut kehormatanku, serta membunuh suami-
ku.
Sena kembali menggaruk-garuk kepalanya sesaat
Kemudian dia kembali membaca lanjutan tulisan
Wulandari.
Mulanya aku percaya kalau pemuda laknat itu
adalah Pendekar Gila dari Gua Setan, yang
sebenarnya Tuan sendiri orangnya. Itu sebabnya
aku dendam pada orang-orang persilatan. Hal itu
kulakukan, semata-mata untuk melampiaskan
kebencianku pada Pendekar Gila. Sebab kutahu
kalau Pendekar Gila bukan orang sembarangan.
Sekali lagi, maafkan aku. Sampai ketemu di Puncak
Lawu tiga pumama yang akan datang.
Sena menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
lesu melangkah memasuki gubuk yang berada di
dalam hutan itu. Hati Sena terkesiap saat melihat
sesosok mayat lelaki muda tanpa pakaian berada di
dalam gubuk itu.
"Tentunya ini perbuatannya. Huh, semoga dia
benar-benar sadar," gumam Sena lirih, lalu kembali
melangkah keluar sambil menutup pintu gubuk itu.
Sesaat wajahnya ditengadahkan, kemudian tubuh-
nya melesat meninggalkan tempat itu.
Siapakah pemuda berpakaian kuning itu sesung-
guhnya? Dan, siapa lelaki tua berpakaian jubah hitam
yang menolong pemuda berpakaian kuning itu? Untuk
apa lelaki tua itu mengundang Pendekar Gila ke
Puncak Lawu? Lalu bagaimana nasib Wulandari
selanjutnya? Sadarkah dia akan perbuatannya
selama ini? Siapa pula pemuda berpakaian kuning?
Untuk dapat menjawabnya, silakan ikuti kisah
Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Duel di Puncak Lawu".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar