..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 01 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE DENDAM BIDADARI BERCADAR

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


SATU 


Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-

nyelimuti bumi. Suasana di Desa Randu Pitu ke-

lihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat 

pesta pernikahan dua remaja yang berlangsung 

meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak ada orang 

berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa 

mencekam, ditambah rasa dingin yang menggigit. 

Malam itu, merupakan malam pertama yang indah 

bagi sepasang pengantin baru. Malam untuk me-

nentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah 

malam awal bagi keduanya untuk mengarungi ke-

hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, me-

masuki masa dewasa yang penuh tantangan. 

Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala 

tertunduk malu, tangannya membuka satu persatu 

pakaiannya. 

Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan 

panjang berdiri di hadapannya. Di bibir lelaki muda 

yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya 

menatap lekat sang istri yang tengah membuka 

pakaiannya. 

"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya 

ditengadahkan, lalu memandang penuh harap pada 

sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula. 

"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk 

mendekati istrinya. 

Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat 

masuk ke dalam rumah mereka yang cukup besar. 

Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi



bambu di ruang depan, keduanya tersentak. 

"Siapa itu?!" bentak Selo sambil berlari keluar 

kamar mengejar bayangan tadi. 

Belum juga Selo menemukan orang yang me-

nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar ter-

dengar bentakan keras.... 

"Selo, keluar kau...!" 

Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya, 

kakinya melangkah keluar untuk melihat siapa yang 

datang. 

"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir ter-

senyum ramah, setelah tahu siapa yang datang. 

Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo 

dengan julukan Tiga Barka Kembar itu berdiri dengan 

sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya me-

ngenakan rompi hitam dengan ikat pinggang merah. 

Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik. 

"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?" 

tanya Selo. 

"Masih juga berpura-pura tidak tahu!" dengus 

Barka Sulung dengan mata melotot. 

"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan 

Pendekar Gila, Selo! Di mana dia sekarang...?!" 

bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa meng-

hiraukan Selo, Barka Penengah dan Barka Bungsu 

berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama 

kemudian, keduanya telah keluar kembali. 

"Di mana kau sembunyikan, Selo?!" hardik Barka 

Bungsu seraya tangannya menampar wajah Selo. 

Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh. 

"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila 

itu, heh?!" kini Barkah Sulung ganti menghardik. 

"Pendekar Gila...? Bagaimana mungkin dia ke 

rumahku?" tanya Selo dengan tangan menyeka darah


yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut 

bangkit. 

Plak! 

Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo. 

"Aduh...!" pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan 

kembali. Sementara tangannya memegangi pipi yang 

terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya. 

"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng 

itu?!" bentak Barka Sulung dengan mata melotot. 

Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo 

untuk mencari orang yang mereka maksudkan. Tidak 

lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah 

menggambarkan kejengkelan hebat. 

"Tak ada juga! Rasanya memang bersembunyi di 

dalam rumah. Atau mungkin disembunyikan oleh dia!" 

lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin 

bertambah marah. 

"Seret dia! Kalau sampai di tempat kita belum juga 

mau mengaku, dia akan tahu akibatnya!" dengus 

Barka Sulung. 

"Ayo...!" 

Barka Penengah segera menendang pantat Selo, 

membuat lelaki muda itu tersuruk mencium tanah. 

Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka 

terus menendang. 

"Jalan cepat...!" 

"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap 

Selo berusaha mengambil hati Tiga Barka Kembar. 

Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan 

ucapan Selo. Bahkan mereka semakin beringas. 

"Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar 

berkedok itu, heh?!" bentak Barka Sulung. "Dia telah 

merebut seorang perempuan dari kami. Dan mem-

bunuhnya setelah terlebih dahulu diperkosa!"


Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan 

Barka Sulung barusan. Padahal dia sering dengar 

kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal 

tercela. 

"Pendekar Gila...?!" gumam Selo seakan tidak 

percaya. 

"Ya! Sekarang tunjukkan, di mana dia!" hardik 

Barka Sulung. 

"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah 

dari tadi kukatakan pada kalian," kata Selo berusaha 

meyakinkan mereka. 

""Huh...! Masih juga kau menyembunyikannya! 

Hih...!" 

Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di 

pipi Selo. Lelaki muda itu kembali mengeluh 

kesakitan. 

"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir 

menangis karena rasa sakit yang luar biasa di pipinya. 

Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka 

Kembar percaya begitu saja. Mereka malah semakin 

marah dan langsung menendang serta memukul 

lelaki muda itu. 

Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang 

masih belum mengenakan seluruh pakaiannya ber-

anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada, 

kemudian kakinya melangkah keluar untuk melihat 

keadaan suaminya. 

Matanya membelalak ketika menyaksikan suami-

nya diseret tiga lelaki yang meninggalkan tempat itu. 

Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya 

mendekap mulut yang memekik tertahan. 

"Lepaskan suamiku...!" seru Wulandari untuk 

menghentikan ketiga lelaki yang semakin jauh 

menyeret tubuh suaminya.


Wanita muda yang cantik itu segera mengejar. 

Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya. 

Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut 

suaminya akan mendapatkan celaka, jadi tersendat-

sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret 

suaminya. 

"Tolong...! Tolooong...!" jerit Wulandari sambil tetap 

mengejar ketiga orang yang tengah menyeret suami-

nya. 

Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar 

jeritan Wulandari, bergegas keluar dari rumahnya. 

Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan 

pengantin baru itu. 

"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan 

napas memburu. 

"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga 

lelaki itu," tutur Wulandari terbata-bata. 

"Ke mana mereka...?!" tanya Kepala Desa Randu 

Pitu lagi dengan wajah tegang. 

"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari 

sambil menunjuk arah kepergian orang-orang yang 

membawa suaminya. 

Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya 

segera mengejar ke arah yang ditunjukkan Wulandari. 

Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang 

yang dimaksud Wulandari. 

"Hai, tunggu...!" seru kepala desa sambil terus 

mengejar ketiga orang itu bersama beberapa warga 

desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala 

puluhan senjata rahasia menderu cepat ke arah 

mereka. 

Zwing, zwing, zwing...! 

Jlep, jlep, jlep...! 

"Aaakh...!"


Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar 

membelah kesunyian malam. Diikuti gelak tawa Tiga 

Barka Kembar yang semakin pongah. 

Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa 

dan beberapa orang warga yang mengejar telah 

bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap 

suaminya mampu mengalahkan kengerian yang 

muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya melangkah 

untuk mengejar kembali. 

"Jangan...! Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" jerit 

Wulandari sambil terus berlari. 

Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun. 

Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pem-

bantaian keji di depan matanya. Tak pedulikan resiko 

kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak 

peduli lagi pada pakaiannya yang yang tidak karuan. 

Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghenti-

kan tiga orang lelaki berpakaian rompi hitam yang 

terus menyeret suaminya. 

Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat 

pingang berwarna merah serta ikat kepala batik, tak 

mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah 

sambil menyeret tubuh Selo yang mengerang 

kesakitan. 

"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap 

lelaki muda itu dengan meneteskan air mata. Selo 

berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang 

garang dengan kumis tebal melintang di atas 

mulutnya. 

"Tutup bacotmu, Selo! Katakan, di mana Pendekar 

Gila?! Aku yakin, kau tahu di mana dia!" desak Barka 

Sulung. 

"Ya! Katakan saja, di mana Pendekar Gila !" 

sambung Barka Bungsu.


"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana 

dia...," jawab Selo dengan mimik muka memelas 

untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam 

itu. 

"Kunyuk! Apa kau kira kami mau dibohongi 

olehmu, heh?! Kami tahu, kalau pendekar muda dan 

gila itu baru saja bertandang ke rumahmu!" hardik 

Barka Panengah dengan mata melotot. Lalu dengan 

bengis, kakinya menendang iga Selo. 

Dugk! 

"Aduh...!" pekik Selo kesakitan. Tulang iganya 

serasa remuk akibat tendangan Barka Panengah. 

Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan 

Barka Sulung telah mencengkeram rambutnya. 

"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh?!" sentak 

Brka Sulung sambil menjenggut rambut Selo hingga 

wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka 

Sulung sambil meringis. 

Sementara, di belakang mereka istri Selo terus 

berlari menuju Tiga Barka Kembar dan suaminya 

berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan 

dirinya, sampai-sampai tak menggubris kain penutup 

tubuhnya yang agak merosot. 

Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata 

mereka langsung terbelalak. Ketiganya menelan 

ludah, dengan napas yang mulai turun-naik. 

"Ck, ck, ck..." 

Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan 

tubuh istri Selo yang mulus menantang dengan 

penutup yang sudah tidak karuan. 

"Wulan, cepat pergi dari sini…!" seru Selo kepada 

istrinya. 

Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suami-

nya tak mempedulikan seruan sang Suami. Dia terus


berlari menuju tempat itu. 

"Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" serunya. 

Tiga Barka Kembar yang masih terpesona 

menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan 

jeritan wanita muda yang cantik itu. Ketiganya masih 

berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka meng-

geleng-geleng. 

"He he he...! Rupanya istrimu montok sekali, 

Selo...," ujar Barka Sulung sambil memandang tiada 

henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang 

pintar, Selo." 

"Ya! Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo," 

sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya 

berdecak kagum. 

"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?" 

ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk 

segera memburu mangsa empuk yang akan mem-

bawa mereka ke puncak kenikmatan. 

"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku 

yang menangani si Selo," kata Barka Sulung pada 

kedua adiknya. 

Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan 

Barka Panengah segera meninggalkan sang Kakak 

untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah 

mereka. 

"Ayo, Kakang. Kita berlomba! Siapa cepat, dia yang 

akan mendapatkan bagian lebih dahulu...!" tantang 

Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan 

mengerahkan ilmu lari cepatnya. 

"Ayo...! Heaaa...!" 

"Hiyaaa...!" 

Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya, 

berusaha saling mendahului. Keduanya sampai di 

depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan


cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri 

Wulandari. 

"Lepaskan...! Kalian bajingan! Lepaskan...!" 

Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman 

tangan kedua lelaki yang kini tertawa tergelak-gelak. 

Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah 

tubuh Wulandari dengan semena-mena. 

"Auh...! Kurang ajar...!" maki Wulandari penuh 

kebencian. Matanya memandang penuh amarah ke 

arah dua lelaki yang kurang ajar itu. 

*** 

"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan jika 

marah, Manis," goda Barka Panengah. Tangannya 

kembali bergerak nakal. 

"Tidak! Kakang, tolooong...!" teriak Wulandari 

sambil terus memberontak. Sesekali tangannya 

memukul tangan kedua lelaki kasar itu. 

"Lepaskan! Jangan ganggu istriku!" seru Selo, 

mengharap kedua Barka bersaudara itu tidak 

meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya 

bahkan semakin menjadi-jadi. Selo hendak lari, tapi 

sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan 

jatuh. 

Degk! 

"Ukh...!" keluh Selo. 

"Mau lari ke mana kau?!" ujar Barka Sulung sinis. 

Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah 

yang sudah tidak tahan melihat tubuh Wulandari, 

tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka 

Panengah berkelebat cepat. Di tangannya ter-

genggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram 

keras tangan Wulandari.


"Auh...!" pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan 

cepat tangan kanan Barka Sulung menyumbat 

mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya 

tertelan Wulandari. 

"Auh, tidak!" 

Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak, 

menyaksikan Wulandari sempoyongan. Pandangan 

wanita cantik itu berkunang-kunang. 

"Oh...!" keluh Wulandari. Tangannya memegangi 

kepalanya yang terasa pening. Pandangan matanya 

mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhir-

nya, tubuh wanita itu jatuh terkulai di tanah. 

"Ha ha ha...! Akhirnya kita dapat menunduk-

kannya," kata Barka Panengah sambil tertawa-tawa 

bersama adiknya. 

"Semuanya telah beres, Kakang! Tak sabar aku 

rasanya...," gumam Barka Bungsu sambil melangkah 

hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia 

hendak melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka 

Panengah mencegahnya... 

"Tunggu...!" 

"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu 

dengan nada tak senang. "Bukankah semuanya telah 

beres? Mengapa kita harus membuang-buang 

waktu?" 

"Aku yang pertama. Sebab aku yang men-

dapatkannya!" 

Barka Bungsu menghela napas. Matanya 

memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya 

melangkah mundur, membiarkan kakaknya men-

dekati tubuh Wulandari. 

"Hai, tunggu...!" 

Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu, 

terdengar Barka Sulung membentak. Hal itu membuat



Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk me-

lampiaskan nafsu pada Wulandari. Dengan 

bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur. 

"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata 

Barka Sulung sambil melangkah mendekati tubuh 

Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada 

tubuh yang terkulai tanpa daya itu. Kepalanya meng-

geleng-geleng. 

"Ck, ck, ck...! Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu 

ini ternyata ada gadis secantik dan sebahenol ini." 

Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru 

hendak membuka pakaiannya, ketika tiba-tiba ter-

dengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian 

keras penuh ejekan. 

"Ha ha ha...! Sungguh tidak tahu malu! Itukah 

orang-orang yang menamakan dirinya Tiga Barka 

Kembar?!" 

Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu. 

Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera 

memandang ke asal suara. Kemudian dengan gusar, 

Barka Sulung yang mengurungkan niatnya mem-

perkosa Wulandari membentak.. 

"Bangsat! Siapa kau...?!" 

"Ha ha ha...! Rupanya kalian masih punya nyali, 

berani membentakku...!" kembali terdengar suara 

lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis. 

"Pengecut! Kalau kau lelaki, tunjukkan tampang-

mu! Hadapi kami, Tiga Barka Kembar...!" seru Barka 

Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu. 

Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat 

itu. 

"Kalianlah yang pengecut! Beraninya hanya dengan 

orang lemah! Di mana nama besar kalian?!" 

"Bangsat! Katakan, siapa kau dan tunjukkan


rupamu! Kuhancurkan batok kepalamu!" maki Barka 

Bungsu tak kalah sewot dibandingkan kedua kakak-

nya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang 

bernama Pendekar Gila?!" 

"Ha ha ha...! Rupanya pendengaran kalian cukup 

tajam! Ya, akulah Pendekar Gila," sahut pemilik suara 

dengan nada penuh kesombongan. 

"Bedebah! Apakah kau kira kami takut meng-

hadapimu, Pendekar Gila!" tantang Barka Sulung. 

"Tunjukkan tampangmu! Biar korobek mulut besar-

mu!" sambung Barka Panengah dengan tangan 

mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu, 

menandakan kemarahannya. Matanya menyapu ke 

sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan. 

"Ayo...! Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong!" 

bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti 

kedua kakaknya, dia pun merasa marah dihina begitu 

rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam 

menyapu ke sekelilingnya.


DUA


Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di 

sekeliling tempat tersebut. Suara itu seperti berada di 

mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar 

kebingungan untuk menentukan tempat orang itu 

berada. 

"Apakah kalian sudah siap menghadapiku, 

Manusia-manusia Pengecut?!" tanya suara itu dengan 

penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada 

henti-hentinya. Membuat Tiga Barka Kembar semakin 

marah karena merasa dihina begitu rupa. 

"Kurang ajar! Apakah kau kira kami takut meng-

hadapimu, Pendekar Gila?! Kami memang ke sini 

untuk mencarimu! Untuk mencoba sampai di mana 

kehebatan ilmumu yang diagung-agungkan itu! 

Keluarlah! Hadapi kami!" tantang Barka Sulung. 

Tak terdengar jawaban. 

Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin 

gusar. Dengan penuh amarah, ketiganya 

melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu. 

"Yeaaa...!" 

"Heaaa...!" 

"Yiaaa...!" 

Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru 

menderu dari tangan Tiga Barka Kembar. 

Glarrr! 

Brakkk! 

Duarrr! 

Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan 

yang tumbang. Namun mereka belum juga dapat


menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak 

tawa kembali, diikuti oleh seruan mengejek.... 

"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku! 

Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu 

pun tak akan sanggup menghadapiku!" 

Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka 

Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-

remehkan begitu rupa. Kalau nama mereka, mungkin 

amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik 

suara itu telah keterlaluan dengan menghina guru 

mereka. 

"Bedebah! Tutup mulutmu! Tunjukkan wujudmu, 

biar korobek mulutmu yang sombong itu...!" bentak 

Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta 

amarah yang meluap-luap. 

"Kurang ajar! Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar 

Gila! Tunjukkan mukamu, Monyet! Jangan sampai 

kami hilang kesabaran!" timpal Barka Panengah 

dengan mata membelalak marah. 

"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang 

sombong! Ayo, jangan hanya bersembunyi! Keluar-

lah...! Hadapi Tiga Barka Kembar!" sentak Barka 

Bungsu. 

"Baik! Agar kalian tak penasaran, aku akan 

menampakkan diriku! Meski kalian tak ada artinya 

sama sekali bagiku! Nah, bersiaplah menyambut-

ku...!" 

Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba 

terdengar suara laksana ribuan tawon terbang. Tidak 

lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah 

berdiri sesosok lelaki muda dengan senyum sinis 

mengembang di bibirnya. 

Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning. 

Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna


gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau 

daun. Wajah pemuda itu tertutup oleh sebuah topeng 

berhidung besar warna merah, hingga kelihatan 

buruk. 

Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk 

mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan 

mereka. Diperhatikannya dengan seksama pemuda 

itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. 

"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang 

namanya akhir-akhir ini membubung tinggi?! 

Pengecut! Tak berani menunjukkan mukanya yang 

buruk!" ejek Barka Sulung dengan senyum sinis. 

"Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku! 

Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata 

pemuda bertopeng itu, sambil bersedakap, men-

cerminkan keangkuhan dirinya. 

Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin, 

membuat Tiga Barka Kembar semakin geram. Mereka 

benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda 

bertopeng itu. 

"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar sombong, 

Pendekar Gila! Jangan kau kira kami takut dengan 

nama besarmu! Baik, bersiaplah...!" tantang Barka 

Panengah yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan 

pemuda bertopeng itu dirasakan sangat menggigit 

perasaan dan membuat telinganya panas. 

"Ha ha ha...!" pemuda bertopeng yang mengaku 

Pendekar Gila itu tertawa bergelak. "Hm, ternyata 

cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi! 

Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih 

dulu...?" 

"Bedebah! Kau boleh berkoar sesuka hati, 

sebelum kurobek mulutmu!" dengus Barka Bungsu 

dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling


beradu, menimbulkan suara gemeretak keras. 

"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku, 

Sobat?" tanya pemuda bertopeng dengan suara tak 

berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan 

"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?" 

"Banyak omong...! Serang...!" seru Barka Sulung, 

memerintah kedua adiknya sambil menggerakkan 

tangan. 

"Heaaa...! 

"Ceaaat..!" 

Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah, 

seketika melompat ke depan dan mengurung 

pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa. 

Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh 

ketiga lawannya. "Mengapa tidak sekalian gurumu, si 

Kempala tolol itu?!" ejek pemuda bertopeng itu, 

Untuk yang kedua kalinya, Tiga Barka Kembar 

tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan 

pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga 

Barka Kembar melotot bengis pada pemuda 

bertopeng yang masih tergelak-gelak. 

"Bangsat! Kau benar-benar mencari mampus! 

Heaaa...!" 

*** 

Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat. 

Ketiganya berputar laksana angin puting beliung. 

Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang 

dengan pukulan dan tendangan. 

"Ha ha ha...! Jurus kuno seperti itu masih kalian 

pakai saja," ejek lawannya sambil melenting ke udara, 

untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar. 

"Sombong! Rupanya mulutmu memang besar,


Pendekar Gila!" bentak Barka Sulung dengan 

dengusan penuh amarah. Mereka segera memburu 

ke arah pemuda bertopeng. 

"Kurobek mulutmu! Heaaa...!" 

"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa...!" 

Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan 

jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa'. 

Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung 

elang. Menyambar dan mematuk dengan cepat dan 

keras. 

"Heaaa...!" 

Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa, 

kemudian dengan cepat kedua kakinya bergerak 

hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar 

ke atas. 

Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan 

kaki ke tangan mereka, secepat kilat ketiga lelaki 

berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan 

kanan yang mencakar ke atas, dengan cepat ditarik. 

Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada 

lawan. 

"Yeaaat..!" 

Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja 

pemuda bertopeng itu tidak segera melompat 

kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah 

terhantam ketiga tangan berisi tenaga dalam itu. 

"Hebat! Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan 

Mematuk Mangsa' yang kalian miliki cukup 

sempurna! Namun kalian jangan bangga dulu... 

Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama 

sekali bukan jurus yang berarti bagiku!" ejek pemuda 

bertopeng. 

"Jangan banyak omong! Hiaaat...!" bentak Barka 

bungsu sambil merangsek maju. Sepasang tangannya


bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar, 

disusul tangan kiri yang menyabet. 

Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung 

dan Barka Panengah tak mau tinggal diam. Keduanya 

segera bantu menyerang dengan jurus yang sama. 

Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga 

untuk bersalto dan melompat mengelakkan serangan 

ketiganya yang keras dan cepat 

"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian 

berhadapan denganku," gumam pemuda bertopeng 

dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi 

lawan ingusan, tentunya kalian sudah menang. Tapi 

aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada artinya 

jurus yang kalian keluarkan!" 

Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu. 

Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya, 

tidak berarti baginya. Padahal Tiga Barka Kembar 

adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan. 

Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah 

membuktikannya dengan sejumlah korban yang 

tewas di tangan mereka. 

Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang 

sebelah mata pada Tiga Barka Kembar. Dengan 

seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi 

hitam yang menyerangnya. Malah dia sengaja hanya 

mengelak, tidak mau balik menyerang. 

Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar 

tanpa banyak kata lagi terus melancarkan serangan-

serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha 

menjatuhkan pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-

cabik mulutnya yang sombong dan lancang menghina 

mereka. 

"Hiaaat..!" 

"Jebol perutmu, Pemuda Sombong...!" hardik Barka



Panengah sambil mencakar ke perut lawan. 

"Uts...! Kurang tepat, Kawan!" 

Kembali pemuda bertopeng itu mengejek. 

Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan 

kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan 

kanannya menghantam ke muka lawannya. 

Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu 

sangat cepat, membuat Barka Panengah terkejut 

mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat 

tubuhnya dirundukkan ke bawah, mengelakkan 

serangan cepat yang dilancarkan lawannya. 

"Gila...!" pekiknya seraya menunduk rendah. 

Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di 

atas punggungnya. 

Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya, 

pemuda bertopeng tak berhenti sampai di situ. Kaki 

kanannya kini menendang dengan cepat dan keras. 

"Heaaa...!" 

"Celaka...!" desis Barka Sulung dan Barka Bungsu 

hampir bersamaan. Mereka terkejut menyaksikan 

saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang 

dilancarkan pemuda bertopeng. 

"Kakang, kita harus membantunya...!" seru Barka 

Bungsu seraya melesat ke arah pemuda bertopeng. 

Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini 

dalam bahaya dengan memancing pemuda bertopeng 

agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang 

Kakak dapat terbebas dari serangan lawan. 

Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini, 

perhatian pemuda bertopeng beralih padanya. 

Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka 

Bungsu. 

"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar!" bentak 

pemuda bertopeng seraya mempercepaat serangan.


"Heaaa...!" 

Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas, 

kemudian menukik ke bawah setelah mencapai 

ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak 

lincah. Satu menyerang dengan pukulan, yang lain 

menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan 

kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan 

Barka Bungsu yang membelalakkan mata. 

"Celaka...! Kakang, bantu aku...!" seru Barka 

Bungsu sambil berusaha mengelakkan serangan-

serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi. 

"Kau harus kulumpuhkan! Heaaat..!" 

Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan 

tangannya ke dada lawan. Sehingga, Barka Bungsu 

yang terdesak tak mampu lagi mengelak. 

Degk! 

"Ukh...!" 

Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya 

seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya 

memegangi dada yang terasa sakit akibat pukulan 

telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental. 

"Bungsu...!" pekik Barka Sulung sambil memburu 

ke arah tubuh adiknya yang terpelanting ke tanah 

dengan luka dalam. 

*** 

Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan 

Barka Panengah semakin marah. Mata keduanya 

melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng 

yang masih tertawa penuh kemenangan. 

"Bangsat! Kau telah melukai adikku! Kubunuh kau, 

Pendekar Gila! Heaaat..!" 

Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya


kembali berkelebat cepat menyerang pemuda 

bertopeng itu. 

"Percuma kalian melawan!" kata pemuda itu 

seraya mengelak. Kemudian pemuda berbaju kuning 

itu balas melakukan serangan yang kencang dan 

cepat. Angin pukulannya menderu keras, menyentak-

kan Barka Sulung. 

Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka 

Panengah tidak tinggal diam. 

"Kakang, cepat menyingkir! Biar kuhancurkan dia! 

Yeaaa...!" 

Barka Panengah menghantamkan pukulan 

saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan 

cepat, lawannya berkelit. Kemudian setelah lolos dari 

serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-

pukulan cepat ke arah Barka Panengah. 

"Yeaaa...!" 

Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat 

tangan lawan membara laksana api dan bergerak 

cepat ke arahnya. 

Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka 

Panengah segera mencabut senjatanya dari balik 

rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula. 

Barka Panengah dengan cepat berusaha menusuk-

kan trisulanya, namun tangan lawan ternyata lebih 

cepat menangkap tangannya. 

Tap! 

Krak! 

"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika 

tangannya dipatahkan. Matanya membelalak dan 

mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya 

pucat pasi laksana tak berdarah. 

"Apa kataku?! Kalian tidak lebih cecurut tanah! 

Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran


ku hilang!" bentak pemuda bertopeng mengancam. 

Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan 

mampu menghadapi pemuda yang disangka 

Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka 

meninggalkan tempat itu disertai ancaman.... 

"Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah! Tapi 

nanti kami akan mengadakan perhitungan dengan-

mu!" 

Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar 

ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah 

Wulandari yang terduduk lemas dan mata yang 

memandang penuh harap akan pertolongan pemuda 

itu. 

Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya 

melangkah ke arah Wulandari yang masih terduduk 

lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini 

nampaklah seraut wajah tampan namun penuh 

kebengisan. 

Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut 

mundur, manakala tangan pemuda itu membelai 

dagunya. 

"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...." 

Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh 

tubuh Wulandari yang seketika berteriak... 

"Lepaskan aku! Oh, lepaskan...!" 

Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak 

menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan 

wanita itu dianggapnya sebagai ungkapan memohon. 

Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari, 

melampiaskan gejolak nafsu binatangnya. Begitulah 

kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang 

bermuka dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang 

dilakukan orang lain. Dan pada saat lain, dia berpesta 

pora dengan kekotoran dirinya.


Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya 

menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum 

sambil mengenakan pakaiannya kembali. 

"Seharusnya kau gembira berkenalan denganku, 

Pendekar Gila yang namanya tersohor." 

Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku 

sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah 

menghantamkan pukulan dahsyat ke tubuh Selo 

hingga hancur. 

"Kakang...!" pekik Wulandari, menyaksikan 

suaminya menggeletak tanpa nyawa. 

Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya 

yang hancur terhantam pukulan maut pemuda 

mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan 

cantik tapi malang itu menangisi kematian suaminya 

yang mengenaskan. 

"Pendekar Gila keparat!" makinya penuh dendam 

di antara isak tangis. 

Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan 

dari pernikahannya. Bulan madu yang seharusnya 

begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan 

keperawanannya telah direnggut oleh manusia laknat 

tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka 

Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka 

memang orang-orang sesat. Tapi perbuatan Pendekar 

Gila yang katanya selalu membela orang lemah, 

sangat sulit dilupakannya. 

Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada 

Pendekar Gila, tercermin pada matanya yang mem-

bara berlinang air mata. Tangannya mengepal, 

kemudian memukul-mukul tanah yang ada di 

hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya. 

"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya! 

Akan kutaklukkan semua pendekar! Akan kutakluk


kan mereka, terutama Pendekar Gila! Akan kucabut 

jantung dan kemaluan mereka, kuremas hancur 

seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua 

untukmu!" 

Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari 

sujudnya. Melangkah tertatih-tatih dengan tubuh 

letih, meninggalkan tempat itu. 

Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi 

kepergian wanita yang di dadanya tersimpan dendam 

membara. Dendam pada orang-orang persilatan, 

terutama Pendekar Gila yang telah menghancurkan 

hidup dan masa depannya.


TIGA


Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari 

baru saja menyingsing, mengabarkan pada makhluk 

malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-

hewan mendendangkan tembangnya masing-masing, 

menciptakan kedamaian kecil dalam dunia yang 

hingar-bingar. 

Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat 

letih, berjalan tertatih. Sesekali langkahnya terhenti 

bersama erangan menahan sakit. Wanita muda 

berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah 

Wulandari. Sejenak matanya memandang nanar ke 

arah matahari terbit di ufuk timur. 

"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka? 

Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?" 

keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi 

keningnya. Dihelanya napas panjang-panjang. 

Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya, 

Wulandari kembali meneruskan perjalanannya. 

Baru beberapa tindak Wulandari melangkah, 

tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih terlalu lemah 

setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku 

Pendekar Gila. 

Tak berapa lama kemudian, dari arah timur 

tampak seorang wanita tua dengan tubuh terbungkuk 

berjalan menuju tempat Wulandari pingsan. 

Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah. 

Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput, 

semakin menyipit menyaksikan sesuatu tergeletak di 

jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang


tergeletak di jalanan itu. 

"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh, 

kenapa dia?" tanyanya terheran-heran. Kemudian 

dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati 

tubuh Wulandari yang tergeletak pingsan. 

Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan 

seksama. 

"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi 

tekanan batin," gumamnya prihatin. Lalu wanita itu 

jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba 

dada wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya 

pingsan." 

Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan 

itu beberapa kali. Sepertinya dia berusaha 

mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari. 

Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulut-

nya tersenyum. Dia seakan senang terhadap wanita 

muda itu. 

"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid. 

Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku 

dan dia tak ada apa-apa. Tak ada silang sengketa." 

Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah, 

bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek itu kini 

berlari kembali ke arah timur dengan memanggul 

tubuh Wulandari. 

Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap 

saja, tubuhnya telah jauh meninggalkan tempat 

semula. 

Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus 

berlari dengan membawa tubuh Wulandari 

menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat 

tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya yang bungkuk 

dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari, 

sampai-sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua


kakinya bagai tak menjejak tanah. 

Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada 

sebuah gua di lereng bukit yang dikelilingi pepohonan 

lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling, 

berusaha memastikan tak ada seorang pun yang 

melihatnya. 

Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang 

lain, wanita tua itu melesat menuju mulut gua. 

Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri, 

didorongnya pintu gua dari batu yang ditumbuhi lumut 

dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di 

situ ada gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga 

dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi. 

Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri 

lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya berhenti di depan 

sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke 

dinding itu, lalu mendorongnya.... 

Srrrt! 

Dinding gua yang semula nampak tak bercelah, 

kini bergerak membuka. Ternyata di baliknya ada 

sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari 

batu datar sepanjang dua depa dan selebar satu 

depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari dibaringkan. 

Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam 

keadaan pingsan dengan kepala mengangguk-

angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang 

sudah berpuluh tahun menghilang dari dunia 

persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya. 

Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua 

sebelahnya yang ada di depan ruangan di mana 

Wulandari tiba. 

Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu 

nampak dinding gua bergerak membuka, 

menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,


nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan 

terbuat dari bebatuan. Nampaknya di ruangan itu si 

nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik 

sendiri. 

Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah 

masuk. Matanya memandangi peralatan yang terbuat 

dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil. 

Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu, 

sepertinya mencari obat yang cocok. 

"Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si 

nenek. Diambilnya sebuah mangkuk berisi serbuk 

ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan 

dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari 

dalam mangkuk ketika air itu bercampur dengan 

serbuk. 

Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari 

ruangan itu dan kembali ke ruangan di mana 

Wulandari terbaring. 

Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu 

dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh wanita muda 

itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras. 

"Akh...! Panas...!" 

Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun 

Nyi Kendil bagai tak mengenal kasihan. Tangannya 

terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari, 

dari ujung kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari 

semakin keras mengerang. Sedangkan tubuhnya 

menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang 

tersiram air panas. 

"Panas...! Oh, panas...!" pekiknya berusaha 

menghentikan Nyi Kendil agar tidak terus membaluri 

sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas 

itu. Namun nenek itu tak mau peduli. Tetap saja 

tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu. Hingga


tak sejengkal pun yang terlewatkan. 

Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu, 

seketika mengepulkan asap, dibarengi keluhan dan 

pekikan wanita muda itu. 

"O, panas...! Aduh, panas...!" 

"He he he...! Sebentar, Nak.... Hanya sebentar 

panasnya. Setelah itu, kau akan merasakan tubuhmu 

segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh. 

Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai 

membara. Panasnya semakin menyengat tak 

tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari 

kembali terkulai pingsan. 

Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-

anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari 

yang kini bagai membara. Setelah itu, dia berlalu dari 

tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya. 

Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat 

yang lebar. Di tempat itu terdapat sebuah batu 

berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek 

itu melakukan semadi. 

Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali 

siuman. Badannya yang semula linu dan terasa sakit, 

kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke 

sekeliling tempat itu dengan tatapan heran. 

Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi 

kini, dia berada di sebuah ruangan batu. 

"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia 

memandang tubuhnya. Seketika matanya 

membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku?!" 

Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan 

tubuhnya dalam keadaan telanjang. Dengan cepat, 

diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah 

mengenakannya kembali, Wulandari bergegas keluar 

dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah

berani menelanjanginya. 

"Kurang ajar! Akan kuremukkan batok kepalanya!" 

dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan 

tak sabar lagi untuk menemukan orang yang telah 

menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke 

arah barat, ketika terdengar suara seorang wanita tua 

berkata.... 

"Mau ke mana, Anak Bodoh?" 

Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam 

gua, berusaha mencari pemilik suara yang tadi 

berkata. Napasnya mendengus penuh amarah. 

Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari 

arah belakang, Wulandari segera melangkah ke sana. 

"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar?!" bentak 

Wulandari, nadanya sama sekali tidak menunjukkan 

rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya 

pada orang-orang persilatan, menjadikan hatinya 

gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali bertarung dengan 

orang persilatan, meski dia akan mati. 

"Aku di sini, Anak Bodoh!" 

Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik 

seorang wanita tua. 

Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya 

berhenti, ketika sampai di sebuah ruangan luas 

tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah 

menggambarkan kemarahan, Wulandari membentak 

keras.... 

"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku, 

heh?!" 

"Benar, memang akulah yang menelanjangi 

tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki mana pun 

sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu," 

ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku 

lelaki, sudah dari tadi tubuhmu kugeluti...."


"Cabul! Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!" 

Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang 

nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul 

kepala Nyi Kendil. 

Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil 

terkekeh dan tak bergeming dari duduknya. Ketika 

tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek 

hanya menekuk lehernya ke samping. Hingga 

serangan Wulandari menemui tempat kosong. 

Merasa serangan pertama gagal, Wulandari 

semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan 

tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun nenek itu 

dengan enteng bergeser ke samping. 

"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan 

untuk menyerangku? Anak bodoh!" bentak wanita tua 

itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi. 

"Sombong! Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul! 

Heaaa...!" 

Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang. 

Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit 

Serangan Wulandari seakan tak berarti sama sekali. 

Malah nenek itu semakin seru tertawa. 

"Anak bodoh! Keluarkan semua tenaga dan 

kebiasaanmu yang tiada guna itu!" ejek Nyi Kendil. 

Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang 

dengan kemarahan memuncak. Tangannya memukul 

sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi 

wanita tua itu berkelit dengan sambil terkekeh-

terkekeh. 

"Dasar anak tolol! Rupanya kau tak becus ilmu 

silat! Huh, tolol!" 

Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia 

memang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, 

namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan



teriakan nyaring Wulandari menyerang. 

"Heaaa...!" 

*** 

Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari 

terus menyerang Nyi Kendil. Namun serangan yang 

tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu 

memang bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang 

nenek sakti yang di masa mudanya pernah malang-

melintang di dunia persilatan, 

Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti 

dan tidak didasari ilmu silat, Nyi Kendil bagai 

mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya 

bagai menari-nari, membuat Wulandari merasa diper-

mainkan. Wajahnya bertambah geram dan gerakan-

nya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil 

malah makin sering menghina. Kian memancing 

amarah wanita muda itu. 

"Heaaa...!" 

"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol! 

Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku...!" ejek Nyi 

Kendil sambil terkekeh. Lalu kakinya diangkat ke 

atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian 

dengan melenting ke atas, si nenek menotok 

punggung Wulandari. 

Tuk! 

"Ukh...!" 

Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuh-

nya mematung tanpa dapat digerakkan. Hanya 

matanya saja yang memandang penuh kebencian. 

"Lepaskan aku, Pengecut..!" bentaknya sengit. Nyi 

Kendil tertawa terkekeh. Tangannya bertolak 

pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah


menuju tubuh Wulandari yang masih mematung. 

"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan 

pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini. Kalau tadi aku 

mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-

mulihkan tubuhmu yang terlalu lemah. Kau 

mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan 

Wulandari. Setelah itu, tangannya bergerak untuk 

membebaskan totokan pada tubuh Wulandari. 

Tuk! 

Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk 

serta kepala menunduk di depan Nyi Kendil. 

"Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku 

tidak tahu kalau kau menolongku...," ratap Wulandari 

sambil bersujud. 

Nyi Kendil terkekeh. 

"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat 

begitu." 

Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari 

bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya 

duduk tadi. Nyi Kendil bersila, di atas batu persegi. 

Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya. 

"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu. 

Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints 

Wulandari. 

Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-

gelengkan kepala mendengar rengekan wanita muda 

depannya. 

"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku 

menjadi gurumu?" 

Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun 

menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya. 

Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan 

Selo baru saja menikah, ketika tiga orang yang 

mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke


rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar 

Gila. 

"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil. 

"Benar, Nek." 

"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda 

sakti itu? Apakah mau mengadu ilmu...?" tanya Nyi 

Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam. 

"Begitulah, Nek," jawab Wulandari. 

"Hm...," gumam Nyi Kendil. 

Tangan kanan wanita tua itu memegang dan 

mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya meng-

angguk-angguk, entah apa yang dipikirkannya. 

"Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar 

Wulandari meneruskan ceritanya. 

Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar 

Gila, Selo pun tidak mengakui tuduhan ketiga lelaki 

bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka 

Kembar marah. Mereka menangkap Selo dan 

menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu 

berusaha mengetahui di mana Pendekar Gila berada. 

"Tidak masuk akal...!" ujar Nyi Kendil tiba-tiba, 

membuat Wulandari menghentikan ceritanya. 

Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita 

tua itu. 

"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari. 

"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor 

bersembunyi...," gumam Nyi Kendil. "Jelas Tiga Barka 

Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa 

suamimu. Hm, apakah antara suamimu dan 

ketiganya pernah saling bersengketa?" 

Wulandari menggelengkan kepala. 

"Aku tidak tahu, Nek." 

"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya." 

Wulandari pun meneruskan ceritanya.


Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo, 

ketiganya bermaksud memperkosa Wulandari. 

Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir 

saja merenggut kehormatannya. Lalu datang pemuda 

bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila. 

Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang 

mengaku sebagai Pendekar Gila jauh lebih lihai dari 

mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan. 

Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda ber-

topeng yang memiliki wajah tampan itu memperkosa 

Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng 

yang mengaku berjuluk Pendekar Gila membunuh 

suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh 

suaminya hancur berantakan. 

"Aku dendam pada orang-orang persilatan! Aku 

ingin membalas mereka, terutama Pendekar Gila!" 

dengus Wulandari mengakhiri ceritanya. 

"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil 

tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti 

mengapa si nenek mentertawakannya. 

"Mengapa Nenek tertawa? Apakah ada yang lucu?" 

tanya Wulandari tak mengerti. 

"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah nama-

mu?" 

"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih 

sering dipanggil Wulan saja." 

"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam? 

Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-

manusia lemah. Terutama Pendekar Gila. Mereka 

memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi. 

Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka 

tanpa memiliki kemampuan?" 

Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.


Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu. 

Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin 

dendamnya dapat terbalaskan. 

"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah 

kiranya Nenek memberikan pelajaran ilmu silat pada 

aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati 

semua peraturan yang Nenek berikan. Tolonglah, 

Nek. Aku akan mengabdi padamu." 

Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan 

mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti. 

Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu 

sepertinya dapat mengetahui kalau Wulandari mau 

berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang 

menjadikan wanita muda itu menyanggupi untuk 

mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si 

nenek. Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan 

Wulandari. 

"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar, 

Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau menerima ujian 

berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan 

semua perintahku, jika kau memang ingin cepat 

mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat, 

jangan coba-coba kau bermalas-malasan...!" ucap Nyi 

Kendil akhirnya. 

Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi 

tersenyum. Segera tubuhnya bersujud penuh hormat. 

"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan 

perintah Guru akan kujalankan dengan senang 

hati...."


EMPAT


Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin 

berhembus semilir, mengusik dedaunan pada pucuk 

pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun 

kering menari-nari di udara. 

Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit 

ular sanca, menggeliat perlahan. Pemuda itu terjaga 

dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya 

yang tampan. 

Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau


Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya 

mengucek-ucek mata yang menyipit karena silaunya 

sinar matahari. 

"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan. 

Sena duduk di atas cabang pohon yang 

digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke 

sekeliling. Tak lama kemudian, dengan enteng 

tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu. 

"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya 

sudah tidak sabar lagi," gumam Sena sambil 

menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan 

tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang 

lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil 

melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang 

kegirangan. 

Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan 

gelak tawa ceria Pendekar Gila. Menjadikan burung-

burung yang sedang bertengger seketika beterbagan 

karena kaget. 

Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-

nyanyi, kakinya melangkah untuk pergi dari tempat 

itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk 

diisi. 

"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri. 

Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang 

dirasakan sangat lapar. 

Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan 

belantara tempatnya tidur semalam. Masih dengan 

tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri 

lembah yang dihimpit bukit. 

Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah 

pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju 

serba putih. Kepalanya diikat oleh kulit rusa. Wajah 

lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu

kemantapan jiwanya. 

Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian 

kulit ular, seketika lelaki tua itu menghentikan 

pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan 

seksama. Kemudian terdengar gumaman dari 

mulutnya.... 

"Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan 

Pendekar Gila dari Gua Setan itu?" tanyanya pada diri 

sendiri. 

Dipandanginya pemuda tampan yang melintas 

berapa tombak di depannya. Kemudian lelaki berbaju 

putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun 

dari pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin 

kalau pemuda yang kini ditemuinya adalah pendekar 

muda yang disebut Pendekar Gila. 

"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya 

orang gila biasa tidak mungkin memiliki pakaian 

seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah 

itu Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil 

mengerutkan kening. Matanya semakin lekat, mem-

perhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus 

melangkah. 

Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena 

telah di depannya, badannya dibungkukkan untuk 

menjura. 

"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa 

bertemu denganmu, Pendekar Gila. Terimalah salam 

hormatku," sapa Ki Martanu. 

Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika 

menghentikan tawanya. Matanya menyipit dan 

keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki 

setengah tua berbaju putih yang menjura di depan-

nya. 

"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki? Dan



siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan 

menggaruk-garuk kepala. Keningnya tetap berkerut. 

"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya. 

Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki 

Martanu, memperkenalkan diri. 

"Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu 

denganmu, Ki! Akulah yang harus menghormatimu," 

kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya 

membungkuk, untuk menjura hormat pada Ki 

Martanu. 

"Ah, sudahlah! Tuan Pendekar jangan merendah 

begitu. Siapa yang tidak kenal denganmu. Sungguh 

beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa 

berjumpa denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu. 

Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?" 

Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya 

kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajah-

nya ditengadahkan, memandang langit yang biru. 

"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah 

tidak tahan lagi," jawab Sena sambil menepuk-nepuk 

perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya 

sangat lucu, membuat Ki Martanu hampir tertawa 

dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa 

pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan 

tawanya menyaksikan tingkah laku Sena yang lucu. 

"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan 

bersamaku? Sungguh suatu kehormatan bagiku yang 

tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki 

Martanu. 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya. 

Kemudian terdengar tawanya lepas. 

"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat 

aku menolak ajakanmu," jawab Sena, membuat Ki 

Martanu tersenyum senang.


"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi 

Pendekar Gila ke pedatinya. 

Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk 

di samping Ki Martanu. Kemudian lelaki tua itu 

menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu. 

"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena 

sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu 

pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya. 

"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku ber-

tandang ke rumah Kanjeng Tumenggung Pandan 

Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan 

julukan Sabit Kembar dari Timur. 

"Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?" 

Ki Martanu tersenyum. 

"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang 

karena Kanjeng Tumenggung meminta anak mantu-

nya diboyong ke ketemenggungan." 

"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng 

Tumenggung, Ki?" 

"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu. 

"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya 

menyatukan kedua tangannya di depan dada. 

"Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya 

melakukan hal yang sama. 

"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan 

putramu, Ki. Karena aku tidak tahu," sesal Sena. 

"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai 

tidak mengundangmu, Tuan Pendekar. Entah karena 

apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar." 

"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku 

belum seberapa jika dibandingkan dengan nama 

besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-

garuk kepala. 

Tanpa terasa, mereka telah memasuki per



kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedati-

nya, sebab banyak orang berlalu-lalang di jalan 

perkampungan itu. 

"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus 

turun untuk mencari kedai," ucap Sena. Kemudian dia 

menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu 

kepalanya dirundukkan, sebagai tanda hormat. 

Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang 

sama. 

"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku, 

Tuan," ujarnya. 

"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan 

bertandang, Ki. Sekali lagi, terima kasih." Setelah 

berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat mening-

galkan tempat itu. 

"Ck, ck, ck...! Sungguh bukan pendekar 

sembarangan. Beruntung sekali aku berkenalan 

dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang, 

rasanya ingin sekali bisa berjalan bersamanya sambil 

berguru barang beberapa ilmu dan budi pekerti," 

gumam Ki Martanu setelah berdecak kagum. 

Matanya masih memandang ke arah Pendekar Gila 

berkelebat pergi. 

*** 

Sena Manggala melangkah masuk ke dalam kedai 

dengan tingkah lakunya yang lucu. Pagi itu, kedai 

masih kelihatan sepi. Hanya ada empat lelaki yang 

tengah duduk sambil menyantap makanan. 

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian 

rompi kulit ular, pemilik kedai segera menemuinya. 

Orang tua setengah baya itu menjura hormat. Dia 

memang sudah tahu siapa pemuda itu. Cerita tentang


diri Sena sering didengarnya dari percakapan orang-

orang persilatan yang singgah di kedainya. 

"Selamat datang di kedaiku, Tuan. Silakan duduk. 

Apakah yang bisa saya bantu, Tuan?" sambutnya 

dengan penuh hormat. 

Sena menggaruk-garuk kepalanya ketika men-

dapatkan penghormatan begitu rupa. 

"Ki, bisakah aku meminta sepiring nasi dan 

lauknya?" pinta Sena dengan bibir cengar-cengir. 

Orang tua pemilik kedai tersenyum. 

"Dengan senang hati, Tuan...." 

Kemudian pemilik kedai segera berlalu me-

ninggalkan Pendekar Gila. Tak lama kemudian, seora 

gadis cantik jelita anak pemilik kedai keluar dengan 

membawakan sepiring nasi dan sepotong ayam 

bakar. 

"Silakan, Tuan," kata gadis cantik itu mem-

persilakan. 

"Ah, mengapa ayam bakar? Padahal uangku tidak 

cukup untuk membayarnya. Untuk arak saja, rasanya 

masih kurang," gumam Sena dengan tangan 

menggaruk-garuk kepala. 

Pemilik kedai tersenyum. Kemudian menghampiri 

Sena. 

"Untuk Tuan, tidak bayar pun tak apa," katanya, 

membuat kening Sena berkerut. Dipandanginya 

wajah pemilik kedai dan putrinya yang tersenyum 

manis. Keduanya menganggukkan kepala dengan 

bibir terhias senyum. 

"O, tidak bisa begitu, Ki. Bagaimanapun juga, kau 

berdagang. Tentu aku harus membayarnya. Ah, aku 

ada uang hanya segini," Sena mengeluarkan tiga 

keping uang emasnya, membuat mata pemilik kedai 

membelalak. "Bagaimana, Ki? Cukup...?"


"Ah, mengapa Tuan repot-repot? Saya memberinya 

dengan rela," kata pemilik kedai, berusaha menolak 

bayaran yang besar itu. 

Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala. 

Bibirnya tersenyum. 

"Tidak, Ki. Siapa pun harus membayar kalau 

makan di kedaimu. Terimalah...." 

Pemilik kedai akhirnya menerima juga pembayaran 

itu. Sedangkan Sena dengan lahap menyantap 

makanannya. 

Saat itu, tiga lelaki berpakaian rompi hitam masuk 

ke kedai. Di pinggang mereka terselip trisula. Mereka 

adalah Tiga Barka Kembar. Ketiganya melangkah 

penuh kesombongan, dengan mata memandang 

tajam ke sekeliling tempat itu. 

"Aha, rupanya di sini ada bunganya juga, Kakang," 

kata Barka Bungsu ketika melihat seorang anak gadis 

pemilik kedai. Tangannya mengelus-elus dagunya 

yang kasar. Matanya memandang tajam dan nakal 

pada gadis itu. 

Mata gadis itu memandang dengan takut-takut 

seraya merapat pada tubuh ayahnya. Begitu pula 

dengan pemilik kedai, setelah tahu siapa yang datang 

ke kedai mereka. 

"Tiga Barka Kembar," desis pemilik kedai tegang. 

"Hm.... Rupanya gadis itu anakmu, Ki?" tanya 

Barka Panengah. 

Sedangkan Barka Sulung menghampiri pemuda 

berpakaian rompi kulit ular yang gerak-geriknya lucu. 

"Bagaimana kalau anakmu untukku, Ki?" lanjut 

Barka Panengah, lancang. 

Barka Panengah dan Barka Sulung tertawa ter-

gelak-gelak saat menyaksikan pemilik kedai dan 

putrinya ketakutan. Lalu dengan mata berbinar nakal,


Barka Bungsu mendekati pemilik kedai dan anak 

gadisnya. Tangannya membelai dagu gadis cantik itu. 

"Cantik sekali kau, Cah Ayu...." 

"Ah...! Kurang ajar...!" maki gadis cantik itu takut-

takut. 

"Jangan takut, Cah Ayu... Kalau kau menurut maka 

kau akan kujadikan istriku. Kedai ayahmu, akan kami 

bangun menjadi kedai paling besar di wilayah ini. 

Bukan begitu, Kakang?" kata Barka Bungsu pada 

kedua kakaknya. Tangannya semakin nakal, bergerak 

ke arah dada gadis itu. 

"Kurang ajar! Tuan, tolong...!" seru gadis itu 

ketakutan. 

"Eh, siapa yang kau panggil tuan? Pemuda tolol 

itukah? Ah, mana berani dia pada kami, Cah Ayu. 

Siapa nama anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah. 

"Milah, Tuan...," jawab pemilik kedai, masih 

ketakutan. "Jangan ganggu anakku, Tuan." 

Kedua kakak beradik kembar itu tertawa bergelak-

gelak. Semakin membuat pemilik kedai dan anaknya 

ketakutan. Begitu juga dengan empat pengunjung 

kedai. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu. 

"Aku tak akan mengganggu, Ki. Asal kau berikan 

anakmu padaku untuk kujadikan istri," kata Barka 

Panengah seenak perut. 

Sementara, Pendekar Gila tampak mendengus. 

Jelas, hatinya tak senang melihat tingkah ketiga 

orang itu. 

"Rupanya ada tiga ekor lalat yang mengganggu 

makanku, Ki? Mengapa tidak kau usir saja?" 

Tersentak Tiga Barka Kembar mendengar gerutuan 

pemuda berpakaian rompi kulit ular yang ditujukan 

pada mereka. 

"Kurang ajar! Siapa kau?! Berani benar kau


berkata lancang pada Tiga Barka Kembar, heh?!" 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangan 

kirinya menggaruk-garuk kepala. 

"Aha, rupanya tiga lalat itu semakin brengsek! 

Huh...!" Pendekar Gila menyentak piring makannya. 

seketika, benda itu melayang deras ke arah Barka 

Panengah dan Barka Bungsu yang dekat dengan 

pemilik kedai. 

Zwing! 

Mata Tiga Barka Kembar terbelalak menyaksikan 

hal itu. Cepat-cepat Barka Panengah dan Barka 

Bungsu memiringkan tubuh ke belakang untuk meng-

elakkan serangan piring yang dihentakkan oleh 

Pendekar Gila. 

Jlep! 

Piring itu menancap telak di bangku penyangga 

kedai, membuat Tiga Barka Kembar semakin mem-

belalakkan mata. 

"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Pemuda 

Sombong!" maki Barka Sulung. 

"Dia perlu dihajar, Kakang!" tambah Barka Bungsu. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-elak. Tuak yang 

ada di atas meja ditenggaknya, kemudian sebelum 

ketiganya menyerang, disemburkannya tuak itu arah 

mereka. 

"Cuihhh...!" 

Semburan tuak itu menghantam wajah mereka, 

membuat Tiga Barka Kembar kepedihan. Mulut 

mereka mencaci-maki sambil mendekap wajah. 

"Setan alas! Sebutkan siapa namamu, sebelum 

kami kirim kau ke akhirat?!" bentak Barka Sulung. 

Tubuhnya lalu berkelebat menyerang Sena, yang 

dengan cepat berkelit dengan tangan menggaruk-

garuk kepala.


"Kalianlah yang harus dikirim ke akhirat, Manusia-

manusia Cabul!" dengus Sena. "Tapi baiklah, agar 

kalian tidak penasaran di neraka sana, akan ku-

jelaskan siapa aku. Aku Sena Manggala. Orang-orang 

sering menyebutku Pendekar Gila dari Gua Setan!" 

"Kurang ajar! Rupanya kau...! Heaaa...!" 

Tiga Barka Kembar menyerang serempak. Mereka 

tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan jurus-

jurus andalan. Namun Pendekar Gila dengan enteng 

mengelakkan serangan mereka. Jurus-jurusnya yang 

aneh, membuat Tiga Barka Kembar mengerutkan 

kening. 

"Hai, aneh sekali jurus-jurusnya. Lalu, siapakah 

pemuda berbaju kuning yang kutemui waktu itu?" 

gumam Barka Sulung. Dengan kaget dia melompat 

mundur, mengelakkan serangan-serangan Pendekar 

Gila yang aneh. 

Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari. 

Sesekali tangannya menepuk. Gerakannya terlihat 

sangat lambat namun kenyataannya mampu mem-

buat Tiga Barka Kembar terperanjat kaget. 

"Jurus gila!" maki Barka Panengah jengkel, ketika 

tangan Pendekar Gila menepuk ke arah dadanya 

secara tiba-tiba. Kalau saja tidak segera melompat, 

sudah pasti dadanya remuk terkena tepukan tangan 

itu. 

Pendekar Gila masih bergerak. Tubuhnya meliuk-

liuk mengelakkan serangan ketiga lawannya. Tangan-

nya sesekali menepuk. 

"Heaaa...!" 

Plak! 

"Ukh...!" keluh Barka Sulung. Tubuhnya terlontar 

deras keluar, kemudian jatuh setelah menabrak 

orang. Yang ditabrak langsung pingsan. Sedangkan


Barka Sulung meringis dengan bibir berdarah. 

Melihat Barka Sulung dalam beberapa gebrakan 

saja dapat dikalahkan oleh pemuda tampan yang 

tingkahnya seperti orang gila itu, seketika nyali Barka 

Panengah dan Barka Bungsu ciut. Dengan segera, 

keduanya berkelebat meninggalkan kedai. Mengambil 

tubuh kakaknya, lalu melesat pergi. 

"Hai, tunggu...!" seru Sena, berusaha meng-

hentikan Tiga Barka Kembar. Namun ketiganya yang 

sudah ketakutan, tak mau menghiraukan seruan itu. 

Mereka terus berlari. 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya. 

Dengan tersenyum-senyum, dihampirinya pemilik 

kedai dan putrinya yang juga tersenyum padanya. 

"Maafkan apa yang telah kuperbuat, Ki," kata 

Sena, menyesali hal yang telah terjadi di kedai itu. 

"Ah, tidak apa-apa, Tuan. Bahkan kami sangat 

berterima kasih atas pertolongan Tuan," jawab 

pemilik kedai. 

"Sudahlah, Ki. Tak usah berkata begitu. Siapakah 

ketiga orang kembar itu, Ki?" tanya Sena kemudian. 

"Mereka orang jahat yang cabul. Mereka bernama 

Tiga Barka Kembar." 

"Baiklah, Ki. Aku hendak mengejar mereka. Aku 

mohon pamit." 

Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat 

laksana terbang meninggalkan pemilik kedai dan 

anaknya yang terperangah menyaksikan bagaimana 

pendekar itu menghilang dengan cepat



LIMA


Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua tahun 

telah berlalu. Saat itu di sebuah gua, seorang wanita 

muda dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang 

diturunkan oleh gurunya. Wanita muda yang tidak lain 

Wulandari, dengan cepat dapat menyerap semua ilmu 

Nyi Kendil. Penyebabnya adalah dendam yang terus 

membara di hatinya, menjadikan semangatnya untuk 

berlatih bagaikan api yang tak pernah padam. Setiap 

hari dia berlatih hingga dalam waktu singkat semua 

ilmu si nenek dapat dikuasainya. 

Wulandari yang dulu lemah, kini telah menjadi 

sosok wanita cantik yang memiliki ilmu tinggi. 

Pakaian yang dikenakannya bukan lagi pakaian 

wanita desa, melainkan pakaian seorang pendekar. 

Berbaju merah jambu dan celana dengan warna 

sama. Kepalanya juga bertudung merah jambu. 

Sedangkan wajahnya tertutup secarik kain merah 

darah sebatas kelopak mata. 

"Semua ilmu yang kumiliki, telah semuanya kau 

kuasai. Maka kini kau harus menggantikanku, 

Wulan..." 

Sesaat Nyi Kendil menghentikan ucapannya. 

Dihelanya napas dalam-dalam. 

"Semula aku hendak turun ke rimba persilatan. 

Namun kini aku urungkan, sebab aku telah mendapat 

pengganti. Nah, berangkatlah. Carilah musuh-

musuhmu," lanjutnya. 

"Terima kasih, Guru. Wulan mohon pamit..." 

Nyi Kendil mengangguk, kemudian mengiringi


langkah muridnya ke pintu gua yang masih tertutup. 

Ditekannya telapak tangan pada dinding gua, lalu 

pintu gua itu seketika terbuka. 

"Pergilah dengan hati yang tetap. Ingat, jangan, 

kembali lagi kemari...," pesan Nyi Kendil setelah 

melepas muridnya yang akan turun ke rimba 

persilatan. 

"Baik, Nek...," jawab Wulandari. Setelah menjura, 

Wulandari meninggalkan gua tempat gurunya dengan 

dendam membara di hati. 

Wulandari terus berlari meninggalkan tempat itu 

menerobos hutan yang ada di hadapannya tanpa 

merasakan gentar sedikit pun. 

Ketika telah berada di tengah hutan, tiba-tiba 

telinganya yang sudah terlatih mendengar suara 

gemerisiknya daun kering terinjak kaki manusia. 

Wulandari cepat menghentikan larinya. Matanya yang 

tajam menyapu ke sekelilingnya. Telinganya dipasang 

tajam pula, berusaha mengetahui di arah mana suara 

itu berasal. 

Kresek! 

"Hm, ada tiga orang lelaki. Nampaknya mereka! 

bukan bermaksud baik. Kebetulan sekali," gumam 

Wulandari. Matanya terus mengawasi semak-semak 

yang ada di sekelilingnya dengan tajam. 

Benar juga dugaannya. Dari semak-semak, 

berlompatan tiga orang lelaki bertampang angker 

mengenakan rompi hitam. Tak urung membuat 

wanita berpakaian merah jambu itu terkejut. 

Napasnya turun naik, sedangkan matanya 

memandang tajam penuh kebencian pada tiga orang 

itu. 

"He he he...! Rupanya di hutan seperti ini 

menemukan seorang wanita, Kakang...!" seloroh


salah seorang dari ketiga lelaki bertampang kasar itu, 

yang tiada lain Barka Bungsu. 

"Ya, kebetulan sekali.... Lama kita bersembunyi di 

hutan ini dari kejaran Pendekar Gila. Akhirnya kita 

dapat juga seorang wanita," timpal Barka Sulung 

sambil terkekeh, menunjukkan giginya yang kuning. 

Wulandari masih diam. Hanya matanya yang tajam 

memperhatikan gerak-gerik ketiga lelaki yang 

nengingatkan kembali akan peristiwa dua tahun 

silam. Ketiga lelaki inilah yang telah menyiksa 

suaminya dan hampir saja memperkosanya. 

"Hendak ke manakah kau, Nona? Mengapa mesti 

terburu-buru? Bukankah lebih baik bersama kami 

dulu...?" goda Barka Panengah dengan bibir 

cengengesan. Ketika tangannya hendak menjamah 

dada wanita itu, tiba-tiba si wanita menyentak. 

Trak! 

"Auh...!" Barka Panengah memekik, matanya 

melotot tegang memandang wajah wanita itu. Dia 

tidak nenduga kalau hentakan tangan wanita itu 

mampu membuat tulang tangannya terasa nyeri. 

Bukan hanya Barka Panengah saja yang terbelalak 

menyaksikan gerakan si wanita yang begitu cepat dan 

keras. Kedua saudaranya juga terkejut. 

"Heh, rupanya kau bukan wanita sembarangan, 

Nona," gumam Barka Sulung sambil mengelus 

dagunya. "Tapi aku lebih senang dengan wanita 

sepertimu." 

"Kalian memang laki-laki bajingan yang harus 

kusingkirkan dari dunia ini! Bersiaplah. Heaaa...!" 

Wulandari yang sudah tidak dapat menahan amarah 

dan dendamnya, segera melancarkan serangan. 

Tubuhnya membungkuk, sementara tangan kanannya 

menyambar ketiga lelaki itu. Sedangkan tangan kiri


bergerak mencengkeram ke arah kemaluan mereka. 

Bukan alang-kepalang terkejut ketiga lelaki ber-

pakaian rompi hitam menyaksikan gerakan serangan 

wanita berpakaian merah jambu itu. Mereka tak 

menduga sama sekali, kalau wanita itu akan 

melakukan serangan yang cepat. 

''Heaaa...!" 

Hampir saja selangkangan mereka menjadi korban 

cengkeraman tangan kiri wanita itu, kalau saja 

mereka tidak segera mengelak ke belakang. Mata 

mereka saling pandang, kemudian dengan cepat 

ketiganya balik menyerang. 

"Heaaa...!" 

Tiga Barka Kembar merangsek Wulandari ber-

bareng dengan melancarkan pukulan yang masih 

ringan. Sengaja mereka menggunakan seperempat 

tenaga dalam, karena menganggap lawan yang 

mereka hadapi bukanlah lawan berat. Apalagi mereka 

belum tahu kehebatan wanita itu di rimba persilatan. 

Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak memutari 

Wulandari yang masih diam dengan membuka kedua 

tangannya. Sesekali mereka menggoda. Tangan Tiga 

Barka Kembar serentak menjulur ke dada wanita itu, 

namun dengan cepat Wulandari mencelat ke atas. 

Kedua tangannya direntang lebar, kemudian ditarik 

ke atas dan dilanjutkan dengan menghentak ke 

bawah. 

"Heaaa...!" 

Serangan pembuka yang dilancarkan Tiga Barka 

Kembar seketika morat-marit, manakala Wulandari 

melakukan serangan balasan yang tak mereka duga 

sama sekali. Serangan yang dilakukan oleh Wulandari 

benar-benar mengagetkan mereka. Dengan 

melompat mundur, Tiga Barka Kembar berseru


kaget... 

"'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!" 

Mata Tiga Barka Kembar terbuka lebar, dan tak 

percaya dengan apa yang mereka lihat. Setahu 

mereka, yang memiliki jurus seperti itu adalah 

seorang tokoh wanita tua yang akhir-akhir ini tak 

terdengar lagi rimbanya. Namun kini, tiba-tiba jurus 

itu kembali nampak. Tapi dimainkan oleh seorang 

wanita yang dilihat dari penampilannya masih muda 

belia. 

"Nona, ada hubungan apa kau dengan Nyi Kendil?" 

tanya Barka Sulung dengan mata memandang heran 

pada Wulandari yang tersenyum sinis. 

"Apa pun hubunganku dengan wanita yang kau 

sebut, kau tak perlu tahu! Yang jelas, nyawa kalian 

harus kurenggut! Heaaa...!" 

Tanpa menunggu lawan bersiap-siap lebih dahulu, 

Wulandari kembali melancarkan serangan. Jurus 

'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang 

mengejutkan Tiga Barka Kembar, kini semakin diper-

cepat. Lagi-lagi ketiganya tersentak kaget. Mau tak 

mau, mereka harus mengelakkan serangan lawan 

yang ganas dan mematikan. 

Wulandari tak berhenti sampai di situ. Tangannya 

yang mengembang kian membabat gencar. Tangan 

kanannya menyerang ke ulu hati, sedangkan tangan 

kiri bergerak untuk mencengkeram selangkangan 

lawan. Gerakannya sangat cepat, hingga mampu 

membuat Tiga Barka Kembar tersentak. 

"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuh kita!" 

pekik Barka Bungsu sambil mengelakkan serangan 

lawan yang cepat dan mematikan. Sesekali Barka 

Bungsu menggeser ke samping, kemudian kakinya 

menendang ke arah dada lawan. Namun serangan


yang dilancarkannya senantiasa berantakan, sebab 

lawan telah mendahuluinya dengan cepat. 

"Heaaa...!" 

Jurus yang digunakan lawan memang bukan jurus 

sembarangan. Kehebatan dan keganasan jurus 

'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap', sudah mereka 

dengar sejak lama. 

Barka Sulung dan Barka Panengah membantu. 

Namun, kembali mereka harus melontarkan tubuh ke 

belakang, sebab wanita bercadar merah darah itu 

telah berbalik menyerang dengan cepat arah mereka. 

"Heaaa...!" 

Tubuh Wulandari yang merunduk, bergerak cepat. 

Kedua tangannya yang menyerang bergantian bantu 

dan susul. Hal itu membuat kedua lawannya tak 

memiliki kesempatan untuk balas menyerang satu 

kali pun. 

"Celaka! Wanita ini benar-benar telah menguasai 

semua ilmu yang dimiliki Nyi Kendil...!" keluh Barka 

Sulung semakin kaget, saat menyaksikan ke-

sempurnaan jurus-jurus yang dikeluarkan Wulandari. 

Sepertinya, mereka tengah berhadapan dengan Nyi 

Kendil sendiri. 

Wulandari yang dendamnya masih membara, tak 

banyak omong. Dia benar-benar berusaha membunuh 

ketiga lelaki itu secepat mungkin. Serangan-

serangannya kian lama kian ganas. Tangannya yang 

mencengkeram dan menyodok, laksana dua buah 

senjata tajam yang digerakkan dengan tenaga dalam 

penuh. 

Kedua tangan wanita itu bergerak laksana tiada 

henti. Satu ke ulu hati lawan, sedangkan yang kedua 

selangkangan. Bukan itu saja. Kakinya pun tidak 

tinggal diam. Kakinya turut bergerak, menyapu, atau


menendang ke arah selangkangan. 

Barka Sulung dan Barka Panengah berusaha 

mengelit, kemudian dengan cepat keduanya 

menyodorkan pukulan ke dada lawan. Namun 

keduanya segera mengurungkan niat, manakala 

secara cepat dan tiba-tiba tangan lawan telah 

mendahului menyerang. Kalau saja mereka menerus-

kan serangannya, tidak ampun lagi buah 

selangkangan mereka akan hancur tercengkeram 

tangan Wulandari. 

"Awas Panengah...!" seru Barka Sulung 

mengingatkan adiknya. Sedangkan tubuhnya dengan 

cepat melompat. Sementara kakinya berusaha 

menepiskan tangan lawan. 

Rupanya gerakan yang dilancarkan Barka Sulung 

dimanfaatkan Wulandari dengan baik. Wanita muda 

bercadar merah itu secepat kilat menarik tangan 

kanannya, kemudian seluruh serangannya tertuju 

pada Barka Panengah. 

"Heaaat..!" 

Mendapatkan serangan cepat yang ditujukan 

padanya, Barka Panengah tersentak. Dia berusaha 

melompat mundur untuk mengelakkan serangan 

lawan. Tangannya melepas satu pukulan maut Tapi 

Wulandari menepiskan pukulan itu dengan 

entengnya. Hanya dengan mengebutkan selendang-

nya, pukulan maut 'Serat Sapta Geni' tingkat kelima 

yang dilancarkan Barka Panengah dapat dimusnah-

kan. 

Mata Barka Panengah membelalak kaget. Sama 

sekali tak diduga kalau pukulan mautnya dapat 

dimusnahkan hanya oleh kebutan selendang. Saking 

terpana menyaksikan pukulan mautnya dapat 

dimusnahkan awan, Barka Panengah tak sempat


mengelakkan serangan susulan lawan. Hingga.... 

Crak! 

"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika 

tangan lawan mencengkeram kemaluannya. 

Seketika kemaluan laki-laki itu pecah berantakan 

dan menyemprotkan darah. Barka Panengah 

langsung memegangi kemaluannya dengan mata 

membelalak. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian 

ambruk ke tanah. Tewas! 

"Panengah...!" seru kedua saudaranya dengan 

mata membelalak saat menyaksikan Barka Panengah 

mati dengan keadaan mengerikan. Kemaluannya 

hancur akibat cengkeraman tangan wanita bertudung 

merah jambu. 

Melihat kedua lawan lain masih terkesiap 

menyaksikan kematian saudaranya, tanpa mem-

buang waktu lagi Wulandari kembali melancarkan 

serangan. 

"Heaaa...!" 

Tangannya bergerak semakin cepat. Satu 

mengancam dada lawan, sedangkan tangan yang lain 

arah selangkangan. 

Barka Sulung dan Barka Bungsu terkejut 

mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung keduanya 

segera mengelak. Sehingga mereka tidak mengalami 

nasib seperti Barka Panengah. Kemudian dengan 

penuh amarah, keduanya balik menyerang berbareng. 

"Heaaa...!" 

"Kubunuh kau! Heaaa...!" Wulandari yang 

memendam dendam kepada Tiga Barka Kembar, 

semakin ganas melancarkan serangan? Wanita 

bercadar merah itu, laksana seekor harimau betina 

yang garang. Tangannya mencakar ke arah lawan 

bertubi-tubi. Menjadikan serangan kedua lawannya


porak-poranda. 

"Kalian harus mampus! Yeaaa...!" 

Wulandari terus merangsek dengan cengkeraman-

cengkeraman ke arah selangkangan lawan, membuat 

kedua lawannya semakin terdesak hebat. 

Dalam keadaan di ujung tanduk itu, Barka Sulung 

dan Barka Bungsu segera mengeluarkan senjata 

masing-masing. Tangan kedua saudara kembar itu 

kini tergenggam trisula. Keduanya berusaha 

menusukkan senjatanya ke arah lawan, namun tetap 

saja mengalami kegagalan. Gerakan lawan terlalu 

cepat dan sulit diterka. Lincah laksana kupu-kupu 

terbang. Gesit laksana harimau betina yang 

mengamuk. 

"Celaka...!" pekik Barka Bungsu kaget dengan 

wajah tegang ketika serangan lawan yang cepat 

mengarah padanya. Tangannya berusaha membabat-

kan trisulanya ke tangan lawan. Ternyata dugaannya 

meleset. 

Wulandari menarik tangannya menyerang, lalu 

segera mengirim tendangan telak ke selangkangan 

lawan. Tanpa ampun lagi, tendangan keras Wulandari 

tidak sempat dihindari Barka Bungsu. 

Begk! 

"Aaakh...!" Barka Bungsu memekik keras. Trisula di 

tangannya lepas. Tangannya kini memegangi 

selangkangannya yang pecah. Matanya membelalak 

tegang. Mulutnya hendak bersuara, namun nyawanya 

telah melayang. Tubuh Barka Bungsu ambruk dengan 

keadaan mengerikan. 

"Kau...?!" 

Menyaksikan kedua saudaranya mati, nyali Barka 

Sulung ciut. Tanpa berpikir panjang, tubuhnya segera 

berkelebat untuk lari meninggalkan tempat itu.


Namun Wulandari tidak mau melepas lawan begitu 

saja. 

"Mau lari ke mana kau, Bajingan?! Heaaa...!" 

Tubuh Wulandari melesat cepat, bersalto di udara 

lalu tangannya bergerak cepat menghantam tubuh 

Barka Sulung dengan keras. 

Desss! 

"Aaakh...!" Barka Sulung memekik keras. 

Kemudian, sambil membalikkan tubuh dipandanginya 

Wulandari dengan mata melotot. Kemudian tubuhnya 

ambruk dengan nyawa melayang. 

"Ha ha ha...! Akhirnya aku dapat membalas 

semuanya! Kakang, lihatlah! Lihatlah dari akhirat, 

kala istrimu akan mencabut jantung mereka!" 

Bagaikan orang gila, Wulandari tertawa tergelak-

gelak. Kemudian dengan penuh kebengisan, tangan 

Wulandari bergerak menusuk dada Tiga Barka 

Kembar yang telah binasa. 

Crakkk! 

Tangan Wulandari menyeruak masuk ke dalam 

dada Barka Sulung, kemudian tangannya men-

cengkeram jantung lawan. Ditariknya jantung lawan, 

rongga dadanya. Kemudian dengan tangan berlepota 

darah, Wulandari mencengkeram kemaluan lawannya 

dan dibetotnya sampai putus. Diangkatnya jantung 

dan kemaluan lawan tinggi-tinggi. 

"Kakang Selo, lihatlah! Ini jantung dan kemaluan 

mereka yang kupersembahkan padamu! Semoga kau 

tenang di alam sana!" 

Wulandari kembali tertawa tergelak-gelak sambil 

meremas-remas jantung dan kemaluan lawan yang 

telah dibetot dari tubuh Barka Sulung. Setelah itu, 

kembali Wulandari membetot kemaluan dan jantung 

Barka Bungsu dan Barka Panengah dengan buas.


Diremasnya sampai hancur. Kemudian mulutnya 

mengumandangkan tawa bagai orang gila. 

Setelah puas melakukan semuanya, Wulandari 

berlalu. Tempat itu kembali sepi. Tinggal tiga tubuh 

tergeletak mengerikan. Dada mereka berlubang dan 

kemaluan mereka hilang.


ENAM


Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular 

melangkah menyelusuri hutan belukar. Pemuda 

tampan dengan tingkah laku seperti orang gila itu 

tiada lain Sena Manggala yang lebih terkenal dengan 

sebutan Pendekar Gila dari Gua Setan. Saat itu Sena 

tengah memburu tiga orang yang telah lama dicari-

carinya. Matanya sempat melihat mereka masuk ke 

dalam hutan itu. 

"Ah, bodoh sekali aku ini! Mengapa aku mem-

biarkan mereka lolos begitu saja? Tolol...!" Sena 

sambil menggaruk-garuk kepala bagai orang bodoh. 

Kemudian keningnya ditepuk dengan tangan 

sedangkan tangan kanannya masih menggaruk-garuk 

kepala. Kakinya terus melangkah untuk memasuki 

hutan lebat itu. 

Langkah Sena tertahan kctika melihat seorang 

wanita berpakaian merah jambu berlari ke arahnya. 

Tangan wanita bercadar merah itu berlumuran darah. 

Mata Sena seketika membelalak, sedangkan 

mulutnya menganga bodoh. 

Hai, mengapa tangan wanita itu berlumuran 

darah? Apa yang telah dilakukannya...? Gumamnya, 

masih belum percaya pada apa yang baru saja 

dilihatnya. Kemudian terdengarlah gelak tawa dari 

mulutnya. 

"Ha ha ha...!" . 

Sena tertawa bergelak sehingga tubuhnya turut 

terguncang-guncang. Tangan kanannya menggaruk-

garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek


telinga. hal itu membuat wanita yang tak lain 

wulandari itu menghentikan langkahnya. matanya 

memandang tajam ke arah sena yang masih tertawa 

terpingkal-pingkal. 

"diam...!" bentak wulandari keras. 

sena menghentikan tawanya. namun tangannya 

masih menggaruk-garuk kepala. mulutnya 

cengengesan. kemudian terdengar dari mulutnya 

suara cekikikan.... 

"hi hi hi...!" 

mata wulandari semakin tajam memandangi 

wajah pemuda di hadapannya. tingkah laku serta 

gerak-gerik pemuda itu tak ada bedanya dengan 

orang gila. inikah pendekar gila itu? hm, sungguh 

berbeda dengan pemuda yang telah memperkosa 

dan membunuh suamiku. gumam wulandari dalam 

hati. 

sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk 

kepala. tatapannya mengarah tak menentu. 

terkadang pada daun-daun pohon menghijau. dan 

sesekali tertuju pada wulandari. kemudian sena 

kembali tertawa tergelak-gelak, ketika matanya 

tertuju pada cadar yang dikenakan wulandari. 

"lucu.... lucu sekali dunia ini. ah ah ah.... rupanya 

dunia ini penuh kelucuan. mengapa wanita 

secantikmu menutupi wajah dengan cadar. .? aneh.... 

hi hi hi...!" sena cekikikan. lalu tubuhnya melompat-

lompat seperti kera dengan tangan menggaruk-garuk 

kepala. 

wulandari mengerutkan kening. dia masih belum 

percaya pada apa yang kini dilihatnya. pendekar gila 

yang dulu memperkosanya dan membunuh suaminya, 

bukan pemuda gila yang kini berada di hadapannya. 

"siapa kau?!" bentak wulandari. "apa urusanmu


dengan perbuatan yang kulakukan?" 

Sena terus tertawa. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala. Kemudian dengan menarik napas panjang 

ditatapnya Wulandari lekat-lekat. 

"Ah, apalah artinya namaku. Hi hi hi.... Lucu..., 

mengapa kau menanyakan namaku? Bukankah kau 

tak ada urusan denganku?" kata Sena balik bertanya. 

"Ah, sudahlah.... Aku tak ada waktu. Maaf, aku harus 

pergi." 

"Tunggu...!" 

Sena segera menghentikan langkahnya. Tubuhnya 

berbalik menghadap ke arah Wulandari. Kepalanya 

digaruk-garuk dengan mulut memperlihatkan senyum 

bodoh. 

"Ah, apakah ada sesuatu yang membuat kau 

menghentikan langkahku?" tanya Sena. 

"Ya!" jawab Wulandari ketus. 

Sena tersenyum. 

"Ah, kurasa antara kita tak pemah saling kenal. 

Ada apa...?" 

Wulandari tak langsung menjawab pertanyaan 

pemuda tampan namun bertingkah laku gila itu. 

Matanya malah mengawasi Sena dari ujung rambut 

hingga ujung kaki. Semuanya lain dengan pemuda 

yang memperkosanya dan membunuh suaminya. 

Pakaian pemuda itu berlengan panjang, berwarna 

kuning. Sedangkan pemuda bertampang gila ini 

mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular. 

Wajahnya pun lain. Lebih tampan pemuda di 

hadapannya sekarang. 

Sena yang diperhatikan begitu rupa oleh wanita 

yang sebagian wajahnya tertutup secarik kain merah 

itu kembali cengengesan sambil garuk-garuk kepala. 

Wajahnya ditengadahkan, memandang ke atas.


Lama juga Wulandari ragu. Hatinya diusik 

pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa secepatnya 

dijawab. Mungkinkah pemuda berbaju kuning yang 

dicarinya telah mengubah penampilan dan wajahnya 

menjadi pemuda yang kini di hadapannya? 

Tapi dendam yang menggelegak di dadanya 

membuat dia tidak ingin berpikir lebih lama. Dia 

menjadi yakin kalau pemuda yang kini dihadapinya 

adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. 

"Melihat tingkah lakumu, sepertinya kau orang gila. 

Namun dari pakaian yang kau kenakan, tampaknya 

kau dari orang rimba persilatan. Maka itu, aku yakin 

kaulah orang yang kucari. Mesti kau berganti muka 

seribu kali, aku tak akan dapat kau kibuli. Hiaaat..!" 

Tanpa banyak kata lagi, Wulandari melabrak Sena 

dengan ganas. Tubuhnya membungkuk, dengan 

kedua tangan mengembang dan menyerang. Tangan 

kanannya menyambar ke ulu hati, sedangkan tangan 

kirinya bergerak mencengkeram ke selangkangan 

Sena. 

Sena yang tak tahu apa-apa, terkejut menyaksikan 

wanita tak dikenal itu menyerangnya. Sambil 

menggaruk-garuk kepala serta kening berkerut, 

pendekar muda itu melompat ke belakang 

mengelakkan serangan lawan. 

"Eh, mengapa kau menyerangku, Nisanak?" tanya 

Sena berusaha memahami apa kesalahannya. 

Namun Wulandari yang sudah yakin kalau pemuda 

itulah yang memperkosanya serta membunuh 

suaminya tak mau berhenti. Apalagi di hatinya tersirat 

api dendam pada orang-orang rimba persilatan. 

Wulandari terus menyerang dengan jurus 'Kupu-

kupu Emas Merentang Sayap' yang telah mampu 

membinasakan Tiga Barka Kembar. Tangannya



bergerak cepat, satu menyambar ke arah ulu hati, 

sedangkan yang satunya mencengkeram ke arah 

selangkangan Pendekar Gila. Tubuhnya mem-

bungkuk, sedangkan kaki-kakinya bergerak menyapu 

dan terkadang menendang. 

"Hei, mengapa wanita cantik ini menyerang ke 

arah selangkangan?" tanya Sena heran. Dia terheran-

heran menyaksikan jurus-jurus yang dilancarkan 

Wulandari. "Apa yang ingin dilakukannya?" 

"Nisanak, tunggu...! Mengapa kau menyerangku?" 

tanya Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan 

Wulandari dengan cara menggerakkan tubuhnya ke 

sana kemari dan berputar laksana menari. Kadang 

tubuhnya membungkuk, tengadah atau limbung ke 

samping. 

"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Gila! Kau 

harus mampus di tanganku! Heaaat..!" 

Wulandari semakin bemafsu untuk secepatnya 

menjatuhkan Pendekar Gila. Serangannya dilipat-

gandakan. Tangannya yang menebas dan men-

cengkeram semakin cepat bergerak. Begitu juga 

dengan sepasang kakinya. 

Pendekar Gila yang masih belum mengerti apa 

yang sebenarnya dikehendaki oleh wanita itu, mau 

tidak mau harus bergerak mengelitkan serangan-

serangan lawan yang mengarah pada tempat-tempat 

mematikan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. 

Kakinya melangkah ke belakang dan ke samping 

mengelakkan sambaran kaki lawan. 

"Nisanak, mungkin kau salah sangka! Tunggu, 

hentikan seranganmu!" pinta Sena berusaha 

menyadarkan wanita berpakaian merah jambu 

dengan sebagian wajah tertutup kain merah. 

"Pengecut! Keluarkan jurus-jurus yang dulu pernah


kau tunjukkan di depanku! Jangan hanya mengelak 

saja...!" bentak Wulandari semakin berang, 

menyaksikan Pendekar Gila hanya mengelak dan 

belum berusaha menyerang. 

Pendekar Gila yang kebingungan mendapatkan 

serangan itu hanya menggaruk-garuk kepala. 

Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya 

menggaruk-garuk kepala. Dia masih kebingungan dan 

bertanya-tanya mengapa wanita yang baru saja 

bertemu dengannya tiba-riba menyerang. 

Sambil terus mengelakkan serangan lawan, 

Pendekar Gila menguras pikirannya. Jurus-jurus aneh. 

Mengapa selalu mengarah ke selangkangan? Ah, 

mengapa wanita secantik ini berlaku begitu? 

Tanyanya dalam hati. 

"Nisanak, hentikanlah! Sungguh aku tak mengerti 

akan maksudmu...!" seru Pendekar Gila sambil 

melompat ke belakang. Kemudian dia berdiri sambil 

menggaruk-garuk kepala. 

Wulandari yang melihat Pendekar Gila menghindar 

dan melompat ke belakang, dengan cepat memburu. 

Tangan dan kakinya masih bergerak menyerang. Hal 

itu membuat Pendekar Gila semakin kebingungan. 

Dia sama sekali tidak memahami keinginan wanita 

itu. 

"Nisanak, kenapa kau ini? Tak ada hujan, tak ada 

badai, mengapa kau menyerangku?" tanya Pendekar 

Gila masih berusaha menyadarkan wanita yang 

meyerangnya. Namun semuanya sia-sia, wanita itu 

tetap saja menyerangnya. 

"Jangan banyak omong! Keluarkan ilmumu, kalau 

kau tak ingin mati percuma...!" sentak Wulandari 

sambil terus bergerak menyerang. 

Pendekar Gila mengangkat kakinya tinggi-tinggi


kemudian melompat ke samping kanan mengelakkan 

serangan tangan kiri lawan. Sedangkan tubuhnya 

dicondongkan ke samping, kemudian tangannya 

menepis serangan tangan kanan lawan. 

Desss! 

Benturan terjadi, membuat keduanya melangkah 

dua tindak ke belakang. Pendekar Gila garuk-garuk 

kepala. Sedangkan Wulandari melotot penuh amarah 

pada Sena. 

"Bagus! Memang itulah yang aku inginkan! Jadi 

aku tidak percuma membunuhmu! Heaaa..." 

Usai berkata begitu, Wulandari kembali melancar-

kan serangan. Kali ini gerakannya sangat cepat. 

Kedua tangannya menyerang ke arah bawah, dengan 

cengkeraman-cengkeraman yang mengarah ke titik 

kematian. Itulah jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil 

Menghisap Madu'. 

Kedua tangan Wulandari bergerak cepat saling 

bergantian dengan cengkeraman-cengkeraman yang 

mematikan ke selangkangan lawan. Tubuhnya mem-

bungkuk, kakinya menyapu dan menendang. 

Kemudian kedua tangannya bergerak naik ke arah 

dan berakhir ke muka lawan. 

Pendekar Gila yang merasakan desiran angin 

serangan wanita itu, dengan cepat bergerak mengelit. 

Dia tidak ingin menjadi korban kesalahpahaman. Itu 

sebabnya, sampai sejauh itu dia belum juga me-

lakukan serangan balasan. Pendekar Gila hanya 

mengelit dengan meliuk-liukkan tubuh, menggunakan 

jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 

***


"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin 

mempermainkan aku, Pendekar Gila! Jangan 

salahkan kalau aku akan membunuhmu seperti 

membunuh anjing! Heaaa...!" 

Dengan penuh amarah, Wulandari yang merasa 

dipermainkan Pendekar Gila mempercepat serangan-

nya. Tangannya bergerak kian cepat, disambung oleh 

tendangan dan sapuan kakinya. 

Pendekar Gila yang masih belum tahu duduk 

persoalannya, mengerutkan kening sambil bergerak 

mengelak. 

"Heaaa...!" 

"Nisanak, tidak bisakah kau hentikan serangan-

mu? Kita bicara baik-baik...." 

Belum juga selesai Pendekar Gila, tiba-tiba 

Wulandari telah merangsek kembali ke arahnya 

dengan serangan-serangan yang mengarah ke 

kemaluan. Kalau Pendekar Gila tidak cepat 

mengelak, niscaya kemaluannya akan tercengkeram 

tangan lentik tapi garang itu. 

"Jangan banyak omong! Heaaa...!" 

Wanita itu benar-benar tak dapat diajak bicara 

baik-baik lagi. Serangan-serangannya sangat ber-

bahaya, disertai tenaga dalam yang cukup sempurna. 

Lengah sedikit saja, celakalah Pendekar Gila. Yang 

lebih mengerikan, sasaran serangannya tertuju ke 

selangkangan, tepatnya ke arah kemaluan. 

"Edan! Dunia ini memang sudah gila. Hi hi hi... 

Bagaimana mungkin wanita secantikmu meng-

gunakan jurus cabul...?" Sena tertawa tergelak-gelak 

sambil terus bergerak mengelakkan serangan yang 

dilancarkan oleh Wulandari. Tubuhnya meliuk-liuk 

laksana menari. Ketihatannya lamban, namun setiap 

kali Wulandari berusaha menyerang, tahu-tahu


tubuhnya telah berpindah tempat. 

Mendapatkan serangannya tak mengenai sasaran, 

Wulandari semakin bertambah marah. Serangannya 

dipercepat, berusaha menjatuhkan lawan dengan 

cepat. Namun hasilnya tetap saja nihil. 

"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar mencari 

mampus! Jangan harap kau akan lepas dari 

tanganku! Heaaa...!" 

Wulandari semakin penasaran mendapatkan 

lawan yang aneh. Meski gerakan lawan kelihatan 

lemah namun senantiasa sulit diduga. Setiap kali dia 

menyerang, dengan cara meliuk pemuda tampan itu 

mengelak. Liukan tubuh Pendekar Gila terlihat lentur 

sekali namun tahu-tahu tubuh pemuda itu telah 

berpindah tempat. 

"Nisanak, maaf... aku tak ada waktu lagi bercanda 

denganmu! Heaaa...!" Pendekar Gila menggerakkan 

tangannya ke depan dan menepuk. Sebuah rangkaian 

gerakan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' 

Gerakannya pelan dan lamban. 

Wulandari yang melihat gerakan tangan lawan 

yang menepuk lamban, segera memapaki dengan 

pukulan telapak tangannya. Kedua tangan mereka 

saling beradu. 

Desss! 

"Ukh...!" Wulandari mengeluh tertahan. 

Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sedangkan 

tangannya terasa panas bagai membara. Belum juga 

keseimbangannya dapat dijaga, tiba-tiba Pendekar 

Gila telah menepuk kembali punggungnya. Hingga 

dalam waktu cepat, tubuh Wulandari telah tertotok. 

"Nah, Nisanak! Aku tak ada waktu untuk 

meladeimu. Antara kita tak ada silang sengketa. 

Dalam waktu sebentar, totokan itu akan hilang


dengan sendirinya. Selamat tinggal." 

Usai berkata begitu, sambil menggaruk-garuk 

kepala Pendekar Gila meninggalkan Wulandari yang 

masih memperlihatkan sinar penasaran pada 

wajahnya. Mulutnya mengumpat tak menentu. 

Sedangkan Pendekar Gila meninggalkan tempat itu 

dengan menerobos hutan. 

Pendekar Gila terus melangkah, menyelusuri hutan 

untuk mencari ketiga orang yang tengah diburunya. 

Dia telah jauh meninggalkan Wulandari yang masih 

tertotok dan berdiri mematung dengan pandangan 

penuh amarah. 

Sambil bernyanyi-nyanyi, Pendekar Gila terus 

melangkah. Telinganya dipasang tajam-tajam. 

Matanya pun menyapu ke sekelilingnya dengan 

pandangan tajam. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala yang tak gatal. 

Kakinya terus melangkah, semakin bertambah 

jauh meninggalkan Wulandari. Sejauh itu, belum juga 

Pendekar Gila menemukan tanda-tanda ketiga lelaki 

yang dikejarnya. 

"Ah, bodoh sekali aku ini!" seru Sena tiba-tiba 

sambil menepuk keningnya. "Mengapa aku tidak 

menanyakan pada wanita itu, apakah dia melihat tiga 

lelaki berompi hitam? Huh, tolol... tolol sekali. 

Sesaat Sena menghentikan langkahnya. Dan 

berdiri tegak dengan kening berkerut Tangannya 

menggaruk-garuk kepala. Sementara wajahnya 

nampak cengengesan seperti orang bodoh. Kemudian 

kepalanya digeleng-gelengkan. Lalu perjalanannya 

dilanjutkan mencari ketiga orang itu. 

"Ah, biarlah... Akan kucari sendiri. Aku yakin 

mereka masuk ke dalam hutan ini," gumamnya 

seperti orang bodoh sambil melangkah menyelusuri


jalan setapak di dalam hutan. 

Baru beberapa langkah Pendekar Gila melanjutkan 

perjalanannya, tiba-tiba matanya melihat tiga sosok 

tubuh tergeletak berpencar. 

"Hei, bukankah tiga orang itu yang kucari?' 

tanyanya pada diri sendiri. 

Pendekar Gila mempercepat langkahnya agar 

segera sampai di tempat ketiga tubuh itu tergeletak. 

Sesampainya di tempat itu, betapa terkejut Pendekar 

Gila menyaksikan pemandangan yang mengerikan. 

Sampai-sampai matanya membelalak dengan mulut 

menganga. Tangannya menggaruk-garuk kepala 

dengan wajah terlihat bodoh. Dari mulutnya keluar 

gumaman setengah mengeluh.... 

"Wuah..., mengapa jadi begini? Ah, rupanya aku 

telah didahului orang lain...." 

Pendekar Gila memandangi ketiga mayat yang 

keadaannya mengerikan. 

"Ah, benar!" ujarnya seketika. "Ini pasti perbuatan 

wanita bercadar merah itu. Ck ck ck..., keji! Sungguh 

keji sekali! Hm, ternyata dia bukan wanita 

sembarangan. Dia berbahaya... Tapi, siapa dia 

sebenarnya...? " 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kemudian 

dengan menggunakan ilmu larinya, pemuda tampan 

itu melesat meninggalkan ketiga mayat Tiga Barka 

Kembar menuju tempat Wulandari tertotok. 

"Aku harus menanyakan pada wanita itu, mengapa 

dia melakukan perbuatan keji," bisik Sena sambil 

mempercepat larinya, dengan harapan dapat 

menemukan Wulandari. Namun sesampainya di 

tempat itu, Pendekar Gila tidak menemukan wanita 

berbaju merah jambu itu lagi. 

Sesaat pandangan Sena beredar ke tempat itu,


namun tidak juga ditemukan tanda-tanda kalau 

wanita itu masih berada di sana. 

"Hei, ke mana wanita itu?" gumamnya sambil 

menggaruk-garuk kepala. "Huh, bodoh lagi! Ah 

mengapa aku bodoh terus? Dia bukan wanita baik-

baik. Aku harus mencarinya...." 

Kemudian dengan tertawa tergelak-gelak 

mengejutkan hewan penghuni hutan, Pendekar Gila 

me meninggalkan tempat itu untuk mengejar wanita 

cadar merah yang sangat telengas perbuatannya.


TUJUH


Di sebuah tempat yang jauh dari hutan di mana 

Pendekar Gila tengah mengejar wanita bercadar 

merah yang tindakannya keji, nampak dari kejauhan 

sebuah pedati ditarik dua ekor kuda melaju dengan 

pelan dan tenang. Sebagaimana ketenangan wajah 

laki setengah baya yang menjadi kusir pedati itu. 

Mata lelaki itu memandang tajam ke depan. Sesekali 

menyapu ke kanan dan kirinya. Pakaiannya berwarna 

putih perak. Kumisnya tebal melintang di atas bibir. 

Sedang kepalanya diikat dengan kulit rusa. 

Melihat dari ciri-cirinya, kusir pedati itu bukanlah 

orang biasa. Dia tidak lain Ki Martanu, yang lebih 

terkenal dengan sebutan Sabit Kembar dari Timur. 

Seperti julukannya, Ki Martanu bersenjatakan 

sepasang sabit, dan berasal dari wilayah timur. 

Ki Martanu dengan tenang mengendarai 

pedatinya. Sesekali mulutnya berdecak, dengan 

tangan menghentakkan tali kekang kuda. 

"Hiya, hiya…! Ayo, jalanlah dengan tenang," 

katanya pada kedua kuda yang menarik pedatinya. 

Bagaikan mengerti, kedua kuda penarik pedati itu 

pun melangkah dengan tenang. 

Di belakang pedati, berjalan lima orang murid 

utamanya. Pakaian mereka sama, hanya bedanya 

tidak berlengan. Kalau Ki Martanu mengenakan 

lengan panjang putih perak, kelima muridnya rompi 

putih perak. Di tangan kanan kelima murid utama itu 

terdapat peti berukir indah. Tangan kiri memegang 

tombak. Pedang tersandang di punggung mereka.


Wajah mereka masih muda, kuning bersih dan 

tampan. Mata mereka tajam memandang lurus ke 

depan. 

Di dalam pedati, sepasang mempelai muda tengah 

bercanda penuh kebahagiaan. Yang lelaki, adalah 

anak Ki Martanu. Sedangkan perempuan cantik di 

sisinya adalah anak Ki Genda Aren yang menjadi 

tumenggung di Pandan Laras. 

Kedua mempelai itu baru melangsungkan per-

nikahan beberapa puluh hari yang lalu. Belum sampai 

sebulan, atas permintaan Ki Tumenggung, mereka 

diboyong dari rumahnya. 

Saat pedati melaju dengan tenang, tiba-tiba kuda 

penarik pedati itu meringkik. Kemudian kedua kuda 

itu ambruk dan mati. Hal itu membuat Ki Marta 

tersentak kaget, matanya membelalak dan dengan 

ringan melompat turun dari pedatinya. Tubuhnya 

salto, kemudian turun dengan enteng menjejak kaki 

di tanah. 

"Keparat!" maki Ki Martanu marah, manakala 

melihat kuda-kudanya mati karena jarum-jarum 

beracun yang dilontarkan seseorang. Sedangkan di Di 

dalam pedati, terdengar jerit ketakutan menantunya. 

Mata Ki Martanu memandang tajam ke sekeliling-

nya. Napasnya kelihatan memburu, menunjukkan 

kalau lelaki setengah baya itu benar-benar marah. 

Dari belakang, kelima murid utamanya berlari ke 

arahnya. 

"Ada apa, Guru?" tanya Wikala. 

"Ada yang menyerang kuda-kuda kita," dengus Ki 

Martanu masih menampakkan kemarahannya. 

Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya, mencari 

orang yang telah melontarkan jarum-jarum beracun. 

"Pengecut yang telah menyerang kuda-kudaku,


keluarlah!" 

Didahului desingan puluhan jarum yang melesat ke 

arah mereka, sebuah bayangan warna merah jambu 

berkelebat keluar dari balik semak-semak. 

Zwing! Zwing...! 

Ki Martanu dan kelima muridnya tersentak kaget, 

cepat-cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang 

dan bersalto untuk mengelakkan serangan jarum-

jarum maut itu. Setelah kaki mereka menjejak tanah 

kembali, Ki Martanu dan kelima muridnya dengan 

gusar memandang wanita yang kini tegak di hadapan 

mereka dengan sikap menantang. Wanita itu ber-

pakaian merah jambu dengan separuh wajah tertutup 

kain merah. 

"Siapakah kau, Nisanak? Kenapa kau menyerang 

kami?" tanya Ki Martanu dengan suara tenang. 

Matanya mengawasi wanita yang berdiri tiga tombak 

di depannya. 

"Hi hi hi...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! Yang 

jelas, kau harus menyerahkan anak lelakimu yang 

ada di dalam pedati!" dengus Wulandari setelah 

tertawa cekikikan. 

Mendengar jawaban tak bersahabat tadi, lima 

murid utama Ki Martanu merasa kalau wanita itu 

telah mempermainkan guru mereka. Lima murid 

utama itu hendak menyerang. Dengan cepat orang 

tua itu mencegahnya. 

"Nisanak, antara kita tak ada silang sengketa. 

Kuharap Nisanak sudi memberi jalan pada kami," 

kata Ki Martanu. 

Wulandari kembali tertawa. Matanya kemudian 

memandang tajam ke arah Ki Martanu. 

"Orang tua, sebelum kau menyerahkan mempelai 

lelaki padaku, aku tak akan membiarkan kalian


lewat!" 

"Kurang ajar!" maki murid Ki Martanu yang 

bernama Aji Genter. Wajahnya seketika memerah, 

pertanda kemarahannya telah memuncak. "Guru, 

wanita ini kutampar mulutnya." 

"Sabar, Genter," kata Ki Martanu tenang. 

Kemudian pandangannya dialihkan pada wanita di 

hadapannya. "Nisanak, untuk apa kau meminta 

anakku? Antara kau dan anakku tak ada silang 

sengketa juga, kan?" 

"Ya!" jawab Wulandari ketus. 

"Lalu, untuk apa kau memintanya? Sedar anakku 

sudah beristri?" 

Wulandari tertawa melengking, membuat Ki 

Martanu dan kelima muridnya mengerutkan kening. 

Mereka tak mengerti dengan sikap wanita itu. 

"Untuk apa? Hi hi hi.... Jelas untuk kujadikan budak 

yang akan memuaskan keinginanku!" Wulandari 

seenaknya sambil tertawa cekikikan. 

"Wanita jalang!" maki murid Ki Martanu yang 

bernama Abiyani. Ketika pemuda itu hendak 

menyerang wanita di depannya, Ki Martanu cepat 

mencegahnya dengan merentangkan tangan. 

"Nisanak, kalau itu yang kau inginkan, dengan 

menyesal aku tak dapat mengabulkan...." 

Bibir Wulandari tersenyum sinis mendengar 

jawaban orang tua setengah baya itu. 

"Kalau begitu, kalian harus mampus! Heaaa…!" 

bentaknya tiba-tiba. 

Wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian 

wajah ditutupi oleh kain merah darah itu dengan 

cepat melakukan serangan. Kedua tangannya 

mengembang, kemudian bergerak menyilang. Tangan 

kanan ke arah ulu hati, sedangkan tangan kiri


mencengkeram ke arah selangkangan. Sementara 

tubuhnya agak membungkuk, dengan kedua kaki 

bergerak teratur, yang terkadang melakukan 

tendangan. 

Melihat serangan itu Ki Martanu terkejut dengan 

mata membelalak. 

'"Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!" desis Ki 

Martanu tanpa sadar. 

Ada senyum angkuh di bibir Wulandari 

menyaksikan Ki Martanu terkejut melihat jurusnya. 

Ki Martanu yang sudah tahu kehebatan serangan 

lawan, cepat-cepat mengelak ke belakang. Dia 

bermaksud menahan kelima muridnya, namun 

mereka telah melesat untuk memapaki serangan 

wanita itu dengan tombak. 

"Heaaa...!" 

Dengan tombak di tangan, kelima murid utama Ki 

Martanu berusaha merangsek lawan. Mereka 

melakukan gerakan mengurung. Tombak di tangan 

mereka menusuk serentak ke tubuh lawan yang 

membungkuk. 

Mendapat serangan kelima lawannya, dengan 

cepat Wulandari melenting ke atas. Kemudian turun 

dengan enteng di luar kurungan mereka. 

Melihat lawan telah lolos dari kurungan, cepat-

cepat kelima murid utama Ki Martanu bergerak 

mengurung kembali. Tombak di tangan mereka 

kembali menusuk dengan ganas. 

"Tembus...! Heaaa…!" 

Sebatang tombak mengancam tubuh Wulandari. 

Dengan cepat Wulandari memiringkan tubuh ke 

samping. Hingga tombak itu melesat di sampingnya. 

Kemudian dengan cepat Wulandari melompat ke atas 

lalu tubuhnya hinggap di tombak itu bagai seekorl

cicak. 

Melihat wanita muda itu berada di atas tombak 

temannya, murid utama Ki Martanu yang berada 

belakang bergerak menyerang. Tombaknya ditusuk-

kan ke arah tubuh lawan. Namun dengan cepat 

Wulandari kembali melompat ke atas. Tak ampun lagi 

tombak itu menusuk dada temannya sendiri. 

Jrab! 

"Akh...!" 

Murid Ki Martanu yang bernama Lanang Jingga 

memekik. Tangannya melepaskan golok yang 

digenggamnya. Kini kedua tangannya memegangi 

tombak yang menembus dadanya. 

Sedangkan rekannya yang bernama Seta Gawe 

terperangah. Dia tidak menyangka kalau tombaknya 

akan menusuk teman sendiri. Wulandari tak menyia-

nyiakan kesempatan itu. Kakinya yang masih 

mengambang di udara, direntangkan untuk me-

nendang wajah Seta Gawe. 

Dugk! 

"Ukh...!" Seta Gawe memekik. Tubuhnya terhuyung 

ke belakang dengan tangan menutupi wajahnya yang 

terasa sangat sakit dan perih. 

Menyaksikan kedua temannya jatuh, ketiga murid 

lainnya kembali menyerang dengan ganas. Tombak di 

tangan mereka berkelebat menusuk dan membabat 

ke arah lawan. Namun Wulandari dengan mudah 

mengelakkannya. Kemudian wanita berpakaian 

merah jambu itu balik menyerang dengan jurus 'Kupu-

kupu Emas Merentang Sayap'. 

Sepasang tangannya bergerak cepat. Yang kanan 

menusuk ke arah ulu hati Abiyani. Sedangkan tangan 

kirinya, bergerak mencengkeram ke arah selang-

kangan Rudali. Dibarengi tendangan ke belakang,


kaki kanannya mengancam Sengkapi. 

"Heaaa...!" 

Mendapat serangan balik yang begitu cepat, ketiga 

murid utama Ki Martanu yang belum siap menjadi 

terkejut. Dengan cepat tangan mereka memutar 

tombak di depan tubuh, berusaha menangkis 

serangan lawan. 

"Heaaa...!" 

Tombak di tangan mereka berputar cepat laksana 

baling-baling, hingga tak lagi terlihat. Yang nampak 

hanyalah warna gading bulat yang melindungi tubuh 

ketiganya. 

Melihat ketiga lawannya memerisai diri dengan 

tombaknya, Wulandari tidak kehilangan akal. Cepat-

cepat serangannya ditarik, kemudian dengan cepat 

tubuhnya melenting ke udara. Lalu menukik ke 

bawah, tepat di belakang salah seorang dari mereka. 

Tangan kanannya langsung menyerang arah 

punggung, sedangkan tangan kirinya mengarah 

kemaluan lawan. 

Menyadari ada bahaya, pemuda itu membalikkan 

tubuh. Namun tiba-tiba sebuah tendangan cepat 

melesat ke wajahnya. 

Pemuda itu berusaha menepiskan tendangan 

wanita muda itu dengan membabatkan tombak di 

depan wajahnya. Tapi serangan itu rupanya hanya 

sebuah pancingan Wulandari belaka. Ketika pemuda 

itu memutar tombak di depan wajahnya, secepat itu 

pula Wulandari menarik tendangannya. Sedangkan 

tangan kirinya yang bebas, segera bergerak men-

cengkeram kemaluan lawan. 

Crak! 

"Akh...!" 

Pemuda itu menjerit, ketika terdengar suara



pecahnya alat kemaluannya. Matanya seketika 

melotot tegang, dan tubuhnya meregang, kemudian 

ambruk tanpa nyawa. Darah mengalir dari selang-

kangannya. 

Mata Ki Martanu terbelalak menyaksikan per-

buatan keji wanita muda itu. 

"Keji! Biadab...!" makinya gusar. 

*** 

Wanita bercadar merah itu tersenyum sinis. 

Matanya melotot menunjukkan kebengisan. Seperti-

nya tak gentar sedikit pun menghadapi lelaki 

setengah baya yang namanya cukup kondang itu. 

Bahkan dengan suara sinis dan sombong, wanita itu 

bertanya... 

"Bagaimana, Ki? Apakah kau mau menyerahkan 

anakmu?" 

"Bedebah! Jangan kau kira semudah itu, Betina!" 

maki Ki Martanu gusar. 

Kesabaran lelaki setengah baya itu sudah habis. 

Napasnya turun-naik dengan rahang terkatup rapat. 

Matanya yang tajam, semakin bertambah tajam 

memandang ke arah wanita bercadar yang masih 

tersenyum sinis. 

"Jadi kau menolaknya, Ki?!" tanya wanita itu 

tengah mengancam. 

"Kurang ajar! Langkahi dulu mayatku! Heaaa...!" 

Ki Martanu yang sudah tak dapat menahan 

amarah segera melabrak Wulandari yang tertawa 

mengejek. 

Melihat Ki Martanu mulai menyerang, kedua 

muridnya yang masih hidup segera membantu. 

Hingga Wulandari harus kembali menghadapi


keroyokan tiga orang. 

"Heaaa...!" 

Meski dikeroyok tiga orang, tidak menjadikan nyali 

Wulandari ciut. Dengan tenang wanita itu meng-

elakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki 

Martanu dan kedua muridnya. Bahkan sesekali 

Wulandari balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu 

Emas Merentang Sayap' yang telah mampu 

menjatuhkan tiga murid Ki Martanu. 

Ki Martanu yang mengetahui ilmu lawan setingkat 

dengannya, tidak mau gegabah dalam menyerang. 

Dengan menggunakan jurus 'Rusa Melompat 

Menyeruduk', Ki Martanu bergerak menyerang. 

Kakinya melangkah lebar dengan kaki di depan 

ditekuk. Tangannya memukul ke arah dada. 

Sedangkan tangan kirinya membuat pertahanan 

dengan membentuk siku. 

"Heaaa...!" 

Kedua muridnya yang turut menyerang tak tinggal 

diam. Keduanya pun segera menusukkan tombaknya 

ke arah lawan dari samping kiri dan kanan. Seakan 

hendak memanggang wanita itu hidup-hidup. Melihat 

serangan serentak yang dilancarkan oleh Ki Martanu 

dan kedua muridnya, dengan cepat Wulandari 

merundukkan tubuh sambil menggeser kaki dua 

tindak ke belakang. Sedangkan tangannya bergerak 

menyambar ke samping. Tombak di tangan murid-

murid Ki Martanu melewati beberapa rambut di atas 

punggungnya. Sedangkan pukulan yang dilancarkan 

Ki Martanu mengenai tempat kosong beberapa 

jengkal di depan tubuhnya. 

Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga 

penyerangnya, Wulandari kembali menggebrak. Kini, 

tangannya yang membentang digerakkan menyilang.


Tangan kanan ke atas, mengarah ke dada lawan di 

sebelah kiri. Dan tangan kirinya mengarah ke 

selangkangan lawan di sebelah kanan. Sedangkan 

tubuhnya masih merunduk, dengan kaki kiri 

menendang ke depan. 

Ki Martanu tersuruk mundur sambil mengebaskan 

tangan kirinya ke arah kaki lawan. Sedangkan kedua 

muridnya berusaha memagari tubuh yang menjadi 

sasaran dengan tombaknya. 

Melihat kenyataan itu, cepat-cepat Wulandari 

menarik semua serangannya. Kemudian dengan 

berguling ke tanah, Wulandari memusatkan serangan 

pada lawan di samping kanannya. Tangannya 

bergerak cepat. Mencengkeram dan menghantam ke 

perut serta selangkangan lawan. 

"Heaaa...!" 

Lawan yang diserang terkejut Dia berusaha 

melindungi tubuh dengan tebasan tombaknya. 

Namun gerakannya kalah cepat. Tangan kiri 

Wulandari telah lebih dulu meremas selang-

kangannya dengan keras. 

Crak! 

"Akh...!" 

Pemuda itu memekik. Tangannya yang memegang 

tombak, seketika beralih memegangi kemaluannya 

yang pecah. Matanya melotot, tubuhnya menegang. 

Kemudian ambruk ke tanah dengan darah meleleh 

dari selangkangannya. 

Menyaksikan hal itu, Ki Martanu semakin ber-

tambah marah. Orang tua separuh baya itu dengan 

garang kembali melancarkan serangannya. 

"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Perempuan 

iblis! Heaaa...!" 

Dengan pukulan dan tendangan keras dan



beruntun, Ki Martanu terus berusaha merangsek 

lawannya. Sepertinya lelaki setengah baya itu tak 

mau membeikan kesempatan sedikit pun pada lawan 

untuk mengembangkan serangan. 

Wulandari yang mendapatkan serangan beruntun 

seperti itu, tidak nampak gentar. Tubuhnya meliuk-

liuk bagai menari. Kepalanya bergerak ke kanan dan 

kiri mengelakkan pukulan dan tusukan tangan lawan. 

Kakinya pun bergerak lincah, terkadang melebar dan 

menutup untuk menghindari sambaran-sambaran 

kaki lawan. 

Untuk sementara Ki Martanu mampu mendesak 

lawan. Hingga lawannya kini hanya mengelak dan 

menghindar dari serangan serangan yang di-

lancarkannya. 

"Kau harus mampus, Wanita Iblis! Heaaa...!" 

"Apakah tidak sebaliknya, Ki?! Heiiit...!" ejek 

Wulandari sambil berkelit ke samping untuk 

mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan 

cepat dia balas menyerang. Tangannya bergerak 

membuka. Tangan kanan ke arah pinggang lawan, 

sedangkan tangan kiri mengarah ke selangkangan 

lawan. 

Ki Martanu yang sudah melihat kehebatan 

serangan itu, dengan cepat menarik mundur kakinya, 

berusaha mengelakkan serangan itu. Kemudian 

tangannya meluncur ke dada lawan. 

"Jebol dadamu, Iblis! Heaaa...!" 

"Uts...!" 

Wulandari menarik tangan kanan yang menyerang 

ke pinggang lawannya. Kemudian dengan cepat 

menangkis tangan lawan yang memukul ke arah 

dada. Sedangkan tangan kiri dan kaki kanannya 

masih melancarkan serangan.


Melihat lawan menangkis, Ki Martanu segera 

menarik pukulan tangan kanannya. Kemudian disusul 

dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan. 

Pertarungan terus berlangsung dengan serunya. 

Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat 

menjatuhkan lawan. Sejauh itu, nampaknya belum 

ada yang akan memenangkan pertarungan itu. 

Keduanya masih sama-sama gesit dan lincah. 

Ki Martanu terus berusaha merangsek dengan 

serangan-serangannya. Namun wanita berpakaian 

merah jambu pun tak mau kalah. Setelah berhasil 

mengelakkan serangan lawan, dengan cepat 

Wulandari balas menyerang. 

Tubuh Wulandari kini melenting ke angkasa, 

kemudian menukik ke bawah dengan tangan siap 

meremukkan tubuh Ki Martanu. 

"Heaaa...!" 

Ki Martanu yang melihat jurus lawan, segera 

memapakinya dengan memukulkan kedua tangan ke 

atas. Tanpa dapat dicegah, bentrokan tangan mereka 

pun terjadi. 

Degkh! 

Tubuh Wulandari terlontar kembali ke angkasa, 

sedangkan kaki Ki Martanu terpendam sebatas betis 

ke dalam tanah. Rupanya ketika terjadi bentrokan 

tadi, keduanya sama-sama mengerahkan tenaga 

dalam penuh. 

Wulandari terhuyung ke belakang beberapa tindak. 

Mulutnya melelehkan darah. Matanya masih 

memandang tajam ke arah Ki Martanu yang juga 

melelehkan darah dari mulutnya. 

"Heaaa...!" 

Murid utama Ki Martanu yang masih hidup 

melesat untuk menyerang lawan yang belum siap.


Namun belum juga tubuhnya sampai, Wulandari telah 

mengebutkan lengan bajunya. Dan dari dalam 

bajunya, mendesing ratusan jarum maut ke arah 

pemuda itu. 

Si pemuda tersentak dengan mata melotot. Dia tak 

mampu lagi mengelakkan serangan jarum itu. Tanpa 

ampun lagi, jarum-jarum itu menghunjam sekujur 

tubuhnya. 

Jlep, jlep, jlep! 

"Aaakh...!" 

Murid Ki Martanu memekik. Sesaat tubuhnya 

meregang dengan warna biru, kemudian ambruk ke 

tanah tanpa nyawa. 

Menyaksikan muridnya mati, Ki Martanu memekik 

keras. Tubuhnya melesat cepat ke arah Wulandari 

yang saat itu ikut memekik sambil bergerak ke arah 

lelaki setengah baya itu. 

"Heaaa...!" 

"Yiaaat..!" 

Keduanya siap dengan pukulan maut di tangan 

masing-masing. Tangan mereka kelihatan membara 

bagai sinar bintang, melesat di udara. Kemudian 

dengan sama-sama menggunakan tenaga dalam 

penuh, keduanya kembali bertarung. Pukulan-pukulan 

maut tangan mereka, bergerak mencari sasaran. 

Desss! 

"Ukh...!" Wulandari mengeluh. Tubuhnya terdorong 

mundur. 

"Akh...!" mulut Ki Martanu memekik keras. 

Tubuhnya juga terdorong mundur beberapa langkah. 

Namun keadaan lelaki setengah baya itu nampak 

parah. Di dadanya terhunjam puluhan jarum maut. 

Mata Ki Martanu melotot. Dari mulutnya semakin 

banyak darah berwarna hitam mengalir.


"Kau.... Li..., cik.... Akh...!" ujar Ki Martai terbata. 

Kemudian, tubuhnya ambruk dengan warna biru. 

Menyaksikan lawan-lawannya telah binasa, 

Wulandari tersenyum sinis. Kemudian dengan cepat 

tubuhnya bergerak ke dalam pedati di mana 

sepasang mempelai berada. Tidak begitu lama, 

terdengar jeritan seorang wanita. Disusul oleh pekik 

kematian yang menyayat. 

Ternyata Wulandari telah membunuh mempelai 

wanita, sedangkan mempelai lelaki, kini dalam 

keadaan tertotok. Dibopongnya tubuh mempelai lelaki 

itu pergi. Tinggallah tempat pembantaian yang 

kembali sepi, dengan gelimpangan mayat-mayat 

bermandi darah. 

Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai 

berteriak girang, melihat mayat-mayat yang 

menunggu disantap.


DELAPAN


Seorang pemuda tampan berompi kulit ular sanca 

tampak berlari sambil tertawa tergelak-gelak seperti 

orang gila. Terkadang sambil melompat, pemuda itu 

menepuk-nepuk pantat atau menggaruk-garuk 

kepalanya. Pemuda tampan bertampang gila itu tiada 

lain Sena Manggala atau lebih dikenal berjuluk 

Pendekar Gila dari Gua Setan. Dia tengah mencari 

seorang wanita berpakaian merah jambu dengan 

sebagian wajah tertutup cadar merah. 

"Celaka..., celaka...! Mengapa aku begitu tolol?" 

gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri yang 

dianggapnya telah melakukan ketololan. Bagaimana 

mungkin dia melepas begitu saja seorang wanita yang 

sepak terjangnya terlalu telengas dan keji? 

Sena terus berlari, berusaha memburu Wulandari. 

Namun sampai sejauh itu, belum juga ditemukan 

tanda-tanda akan bertemu dengan wanita itu. 

"Weleh, kalau begini terus, tidak ubahnya main 

petak umpet. He he he...!" Sena kembali tertawa 

sambil garuk-garuk kepala. Kemudian pemuda itu 

melangkah biasa. Kepalanya menggeleng-geleng 

lemah. 

Ketika kakinya hendak meneruskan langkah, tiba-

tiba matanya yang tajam melihat sesuatu yang 

menarik perhatiannya. Seketika langkahnya berHenti. 

Dari ke-jauhan tampak sosok-sosok tergeletak. 

Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat itu. 

"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah, 

benar...."


Sena segera melangkah ke tempat itu. 

Sesampainya di sana, ditemukannya beberapa sosok 

tubuh tergeletak tanpa nyawa dan dua ekor kuda 

yang juga telah mati dengan tubuh membiru. 

Diamatinya mayat-mayat itu dengan seksama. 

Wajahnya menjadi tegang dengan mata membelalak, 

manakala melihat sesuatu yang mengerikan di 

selangkangan beberapa mayat. 

"Ah, rupanya dia telah datang di tempat ini...," 

gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 

Kemudian matanya menyapu ke sekeliling, berusaha 

meyakinkan kalau-kalau wanita itu sudah tidak ada di 

di sekitar tempat itu. 

Setelah merasa yakin tak ada wanita bercadar 

merah di sekitar tempat itu, Sena memperhatikan 

kembali mayat-mayat yang tergeletak mengerikan. 

"Hm, wanita itu benar-benar keji...," gumamnya lirih 

dengan mata masih memperhatikan mayat-mayat 

yang bergelimpangan. Ada empat mayat lelaki muda 

dan seorang lelaki tua berpakaian putih perak. Juga 

seorang wanita tanpa nyawa dalam sebuah pedati 

dengan kuda-kuda yang mati. 

Lama Sena memperhatikan mayat lelaki setengah 

baya yang ada di tempat itu. Sepertinya pemuda 

tampan itu berusaha mengingat-ingat sesuatu. Hal itu 

terlihat dari keningnya yang agak berkerut. 

"Ah...!" pekiknya sambil menepuk kening dengan 

tangan kiri. "Bukankah orang tua ini Ki Martanu? Ada 

urusan apa wanita liar itu dengannya?" 

Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Dia 

semakin tak mengerti dengan tingkah laku wanita 

bergaun merah jambu itu. Kemarin Tiga Barka 

Kembar dari aliran sesat dibantai. Kini Ki Martanu 

dan keempat muridnya terbantai. Padahal mereka


dari aliran lurus. 

"Wah, kacau kalau begini.... Huh, mengapa 

kejadiannya begini rumit?" 

Kembali Sena bergumam sambil menggaruk-garuk 

kepalanya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan 

kirinya menepuk-nepuk kening. 

"Siapa dia sebenarnya? Ini tidak boleh dibiarkan!" 

gumamnya kemudian. 

Ketika Sena masih memandangi mayat-mayat yang 

bergelimpangan dengan keadaan mengerikan, tiba-

tiba terdengar suara seruan dari arah belakang pedati 

"Itu dia orangnya!" 

"Serang...!" 

"Cincang manusia keji itu...!" 

Pendekar Gila tersentak kaget, manakala matanya 

melihat puluhan orang dari perguruan yang dipimpin 

oleh Ki Martanu. 

Pendekar Gila berusaha memberi tahu bahwa dia 

bukan pelakunya. Namun belum sempat dia berkata, 

murid-murid Ki Martanu yang sudah kalap menyerang 

serentak dengan pedangnya. 

"Cincang dia!" 

"Jangan biarkan hidup...!" 

"Heaaa...!" 

Pendekar Gila benar-benar tidak diberi 

kesempatan sedikit pun untuk berkata. Mereka 

benar-benar kalap, menyaksikan mayat gurunya dan 

juga saudara-saudara seperguruannya yang sangat 

mengerikan. 

"Celaka! Mengapa jadi begini...?" keluh Pendekar 

Gila sambil mengelitkan serangan-serangan yang 

dilancarkan murid-murid Ki Martanu yang beringas. 

Pedang-pedang di tangan mereka bergerak cepat, 

membabat dan menusuk ke arah Pendekar Gila.


Hingga pemuda tampan itu harus berjumpalitan 

untuk mengelakkan setiap serangan yang datang ke 

arahnya, kalau tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran 

pedang-pedang itu. 

"Tunggu...! Beri aku kesempatan untuk bicara!" 

pinta Sena sambil bersalto menjauhi mereka. Namun 

rupanya murid-murid Ki Martanu sudah tak mau 

peduli. 

"Jangan biarkan bangsat itu lolos!" 

"Cincang saja!" 

"Heaaat..!" 

Semua murid Ki Martanu yang dilanda oleh 

amarah dan dendam atas kematian saudara-saudara 

seperguruan dan gurunya, kembali melesat ke arah 

Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka kembali 

berkelebat, menyerang dengan sabetan dan tusukan 

ke tubuh pendekar muda itu. 

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia benar-

benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa. 

Orang-orang yang mengeroyoknya kini, semata-mata 

karena salah paham belaka. Mereka tak tahu apa-

apa. Jelas tidak mungkin baginya menurunkan tangan 

kasar. Terpaksa Pendekar Gila mengelak ke sana 

kemari dengan ilmu meringankan tubuhnya. 

"Heaaa...!" 

"Tembus tubuhmu, Iblis! Yeaaat...!" 

"Remuk kepalamu! Hiaaat...!" 

Puluhan pedang menghujani tubuhnya dengan 

babatan, tusukan, dan sabetan. Kalau saja bukan 

Pendekar Gila yang dikeroyok begitu rupa oleh 

mereka, sudah barang tentu akan mengalami celaka. 

Serangan mereka yang didasari dendam, benar-

benar beringas dan ganas. Sepertinya nyawa orang 

tak ada artinya bagi mereka, yang penting membalas


kematian guru dan saudara-saudara seperguruan 

mereka dapat terbalas. 

"Pemuda iblis, keluarkan ilmumu yang keji! Hadapi 

kami...!" 

"Ya, jangan hanya bisa mengelit saja! Apakah kau 

pengecut?!" 

Caci maki terus terdengar, keluar dari mulut murid-

murid Ki Martanu yang dilanda amarah. Pedang-

pedang di tangan mereka turut bicara, berusaha 

menyerang ke arah lawan. 

Pendekar Gila benar-benar dibuat kebingungan. 

Bukannya dia takut menghadapi keroyokan puluhan 

orang. Namun masalah sebenarnya memang belum 

jelas. Mereka belum mengerti apa yang terjadi, dan 

dia hanya ketiban sial. Orang lain yang melakukan 

kejahatan, sedangkan dia yang baru sampai menjadi 

tempat tuduhan. 

"Kisanak sekalian, sabarlah! Hentikan dulu 

serangan kalian...!" seru Sena sambil terus ber-

jumpalitan berusaha mengelakkan serangan-

serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana 

menari. 

Rupanya gerakan menghindar Pendekar Gila 

begitu lincah dan cepat, membuat murid-murid Ki 

Martanu semakin penasaran. Mereka semakin yakin, 

pemuda itulah yang telah melakukan tindakan 

terhadap guru dan saudara-saudara seperguruan 

mereka. 

"Lihat, Teman-teman. Memang pemuda orangnya!" 

seru salah seorang dari mereka, membuat teman-

temannya bertambah yakin. 

"Ya! Buktinya dia seperti orang gila! Hanya orang 

gila yang tega berbuat sekeji itu!" sambung lainnya. 

"Sudah, jangan banyak kata lagi... Serang dan


cincang dia!" 

Pendekar Gila tersentak, dengan cepat tubuhnya 

bergerak untuk mengelitkan serangan-serangan 

lawan dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari 

Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk tak ubahnya 

seorang penari. 

"Sabarlah, Kawan... Uts...!" 

Hampir saja Pendekar Gila menjadi rencahan 

senjata lawan-lawannya, ketika dia bermaksud 

menyadarkan mereka. Cepat-cepat tubuhnya 

melenting, bersalto lalu menjejakkan kakinya pada 

sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi. 

"Serbu terus...!" 

Serentak semua menyerbu ke arah pohon yang 

dijejaki Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka 

berkelebat cepat, membabat ke tubuh Sena. 

"Uts...! Rupanya kalian benar-benar mau men-

cincangku, Sobat. Hup...!" 

Pendekar Gila mencelat dari pohon, lalu bersalto di 

udara untuk mengelakkan tebasan-tebasan pedang 

lawan. Setelah bersalto di udara beberapa saat, 

tubuhnya turun dengan tenang. Mulutnya nyengir, 

sedangkan kepalanya menggeleng-geleng dengan 

tangan menggaruk-garuk. 

"Itu dia...!" 

"Wah wah wah..., ruwet sudah! Mereka benar-

benar tak bisa diajak kompromi," gumam Sena sambil 

menepuk-nepuk pantatnya. Sedangkan mulutnya 

masih nyengir dengan kepala menggeleng-geleng. "Ck 

ck ck.... Sungguh mengerikan jika orang sudah gelap 

mata." 

"Serang dia...!" perintah seseorang, yang dengan 

segera dipatuhi teman-temannya. Mereka kembali 

menyerbu Pendekar Gila.


"Heaaat..!" 

Puluhan pedang kembali bergerak bareng, 

berusaha menusuk dan membabat ke tubuh 

Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila mengelit 

ke samping. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. 

Hal ini tak dapat dibiarkan. Kalau begini terus, 

bisa-bisa aku menjadi korban. Gumam Sena dalam 

hati. Aku harus berbuat sesuatu! Tapi.... Ah, 

seandainya aku memukul mati, tentunya mereka 

semakin yakin kalau akulah yang melakukan 

semuanya. Biarlah aku hanya menjatuhkan mereka 

saja.... 

Usai berpikir demikian, Pendekar Gila berusaha 

mendobrak pertahanan lawan-lawannya sambil 

berkelit dari serangan mereka. Tubuhnya terus 

meliuk-liuk laksana menari. Kemudian disusul oleh 

tepukan-tepukan aneh. 

Lawan-lawannya tersentak menyaksikan gerakan 

aneh yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu. 

Gerakan-gerakannya laksana menari dengan sesekali 

menepuk. Kelihatannya lambat, namun kenyataannya 

mampu menghasilkan angin pukulan yang keras dan 

menyentak. 

"Hai, seperti orang main-main gerakannya," 

gumam salah seorang dari mereka. 

"Lihat! Bukankah itu gerakan main-main?!" 

sambung yang lainnya. 

"Dia benar-benar ingin mempermainkan kita! 

Serang...!" seru orang pertama yang dengan cepat 

ditanggapi oleh teman-temannya. 

Kembali Pendekar Gila harus menghadapi 

serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya. 

Puluhan pedang mengarah ke tubuhnya, menusuk, 

dan membabat. Hal itu memaksanya harus


menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' 

dengan sepenuhnya, agar tubuhnya tidak terjangkau 

oleh tusukan dan sabetan pedang. 

"Hiaaat..!" 

"Maaf, tidurlah dulu, Sobat!" Sambil berseru begitu, 

Pendekar Gila menepuk pelan di dada sebelah kiri 

lawan. 

Tukkk! 

"Hukh...!" 

Satu orang kena tertotok. Tubuhnya seketika kaku, 

dengan mata melotot. Sena menggaruk-garuk kepala 

sambil terus meliuk-liukkan tubuh, berusaha 

mengelakkan serangan pedang lawan. 

Serangan-serangan gencar terus dilancarkan oleh 

murid-murid Ki Martanu. Mereka bagai tidak mau 

peduli dengan salah seorang temannya yang tertotok. 

Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk 

dan menebas. 

Pendekar Gila terus meliuk-liukkan tubuhnya, dan 

sesekali melompat ke sana kemari. Kemudian 

dengan gerakan aneh, kembali ditepuknya seorang 

lawan yang dekat dengan jangkauannya. 

"Kini kau yang tidur, Sobat! Maaf...!" 

Tukkk! 

Orang itu seketika mematung dengan mata 

melotot. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 

menepuk-nepuk pantat. Kemudian dengan cepat 

tubuhnya dilemparkan ke samping, mengelakkan 

serangan yang kembali datang mendera ke arahnya. 

"Pemuda ini benar-benar harus mampus! 

Heaaa...!" 

"Jangan biarkan lolos!" 

"Hiaaat..!"


Puluhan pedang terus menyerbu ke arah Pendekar 

Gila yang meliuk-liukkan tubuhnya sambil menggaruk-

garuk kepala. Gerakannya yang kelihatan lamban, 

membuat lawan bertambah penasaran. Hingga lawan-

lawannya kian bernafsu untuk segera menjatuh-

kannya. 

"Wah, gawat kalau begini... Bisa-bisa korban 

semakin bertambah banyak," gumam Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala dan bergerak untuk 

mengelakkan serangan lawan-lawannya. 

Tubuh Pendekar Gila segera mencelat ke samping, 

bersalto di udara dan hinggap di cabang pohon randu 

sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya tak henti-

henti menggaruk kepala dan menepuk pantat. 

"Ha ha ha...! Hoi.... Aku di sini...!" serunya 

memanggil para penyerang yang mencari-carinya. 

Setelah mereka melihat, dengan tingkah konyol dan 

kocak Sena menunggingkan pantatnya. 

"Nih...!" 

Pendekar Gila kembali tergelak-gelak. Sedangkan 

murid-murid Ki Martanu yang merasa dipermainkan 

semakin marah. Mereka serentak mengejar ke arah 

pohon di mana Sena berada. Ada yang berusaha naik, 

Ada pula yang mencoba menebang pohonnya. 

Sementara, Pendekar Gila masih tergelak-gelak 

sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Ha ha ha...! Kalian semua lucu! Ayo, kita main 

panjat pinang! Ha ha ha...!" 

Murid-murid Ki Martanu terus berusaha menebang 

pohon randu di mana Pendekar Gila berada. Sedikit 

demi sedikit pohon itu akhirnya dapat ditebang. 

Namun ketika pohon itu hampir roboh, dengan cepat 

tubuh Sena bersalto menjauh. Kini tinggallah murid-

murid Ki Martanu yang ketakutan, sebab pohon besar


itu tumbang ke arah mereka. 

"Awas, pohon tumbang...!" seru Pendekar Gila 

sambil tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya 

terguncang-guncang. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala dan menepuk-nepuk pantat. 

Semua murid Ki Martanu kocar-kacir mencari 

selamat. Namun tak urung, dua atau tiga orang 

tersambar ranting pohon itu. Mereka menjerit-jerit 

minta tolong. 

Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal 

menyaksikan kejadian di depannya. Kepalanya meng-

geleng-geleng, membuat murid Ki Martanu yang lain 

semakin jengkel. 

"Pemuda edan! Serang dia...!" 

Mereka kembali bergerak untuk menyerang 

Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena yang tidak 

mau berurusan dengan mereka, kembali melompat 

lalu bertengger di cabang pohon randu lainnya. 

"Ke mana dia...?" 

"Hilang..!" 

Mereka celingukan mencari-cari ke mana perginya 

pemuda bertingkah laku gila itu. Namun mereka tidak 

juga dapat menemukannya. 

Pendekar Gila tertawa keras di atas pohon 

membuat pengeroyok seketika mendongak. Mata 

mereka melihat pemuda itu berada di atas cabang 

paling atas pohon itu. Dilihat dari cabang kecil yang 

dijadikan tumpangan berpijak, seharusnya mereka 

sadar kalau pemuda bertampang gila itu bukan 

pemuda sembarangan. 

Kalau seorang berilmu tanggung, tidak mungkin 

dapat berdiri sambil tertawa tergelak-gelak di atas 

sebuah cabang pohon sebesar jari tangan orang 

dewasa. Namun mereka tak peduli. Kegelapan mata


mereka membuat mereka terus berusaha memburu. 

"Awasi terus, jangan sampai dia pergi!" 

"Ha ha ha...! Kenapa kalian tidak tebang lagi pohon 

ini?" ledek Sena sambil tertawa terpingkal-pingkal 

dengan tangan sesekali menepuk-nepuk pantat. 

"Hentikan...!" 

Tiba-tiba dari arah pedati muncul tiga lelaki 

berpakaian sama dengan orang-orang yang 

mengeroyok Pendekar Gila. Pengeroyok yang tengah 

memutar pohon seketika menjura hormat pada 

ketiganya. 

"Tuan pendekar, turunlah!" seru salah satu dari 

ketiga orang yang baru datang. Lelaki itu berpakaian 

jubah. Wajahnya terhias kerutan pertanda usianya 

sudah cukup tua, dengan kumis dan jenggot putih 

yang memanjang. 

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian 

dengan ringan melompat ke bawah. Tahu-tahu 

pemuda tampan itu telah berdiri di hadapan ketiga 

orang yang baru datang, yang langsung menjura ke 

arahnya. 

Hal itu membuat murid-murid Ki Martanu yang tadi 

mengeroyoknya mengerutkan dahi. 

"Eyang, bukankah pemuda ini yang membunuh 

guru dan saudara-saudara kami?" tanya salah 

seorang dari mereka, memberanikan diri. 

Lelaki yang dipanggil eyang menggelengkan 

kepala. 

"Toh Gendis, ceritakan pada mereka, siapa 

pendekar muda ini," ujarnya seraya menatap salah 

satu dari dua orang yang bersamanya. 

Toh Gendis yang merupakan adik seperguruan Ki 

Martanu dengan singkat menceritakan siapa pemuda 

yang bertampang gila itu. Mendengar penuturan Toh


Gendis, murid-murid Ki Martanu yang tadi menyerang 

Pendekar Gila melotot dan langsung memberi 

penghormatan. 

"Sudahlah..., sudahlah.... Mengapa kalian 

membesar-besarkan julukanku? Ah ah ah, terlalu 

lama dan bertele-tele. Baiklah, aku harus mem-

beritahukan pada kalian, bahwa mungkin ada 

kesalahpahaman yang terjadi antara kita," kata Sena 

sambil cengengesan. "Aku harus pergi untuk 

mengejar pembunuh yang telah membantai guru dan 

saudara seperguruan kalian dengan keji. Kalau tidak, 

bahaya besar akan terus terjadi. Nah, aku mohon 

pamit..." 

Pendekar Gila menjura, kemudian dengan cepat 

berkelebat meninggalkan mereka yang berdecak 

kagum menyaksikan bagaimana anak semuda itu 

memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak sombong. 

"Ck ck ck.... Sungguh bukan sembarang pendekar," 

gumam lelaki tua yang dipanggil eyang sambil 

menggeleng-geleng kepala. Sedangkan matanya 

masih mengikuti Pendekar Gila yang berlari 

menembus hutan.



SEMBILAN


Pendekar Gila yang sedang mencari Wulandari terus 

berlari menerobos hutan dan sungai. Sepertinya tiada 

rasa lelah sedikit pun baginya. Pikirannya hanya satu, 

secepatnya mendapatkan wanita yang tindak-

tanduknya terlalu telengas itu. 

Mentari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika 

Sena melintas di jalan yang lengang. Angin siang 

menghembuskan debu, hingga beterbangan dan 

menghempas ke tubuhnya. Mau tak mau, Sena harus 

menghentikan larinya. Kini dia hanya berjalan pelan 

dengan tangan menutupi wajahnya agar tak terkena 

serbuan debu. 

"Debu sialan! Huh, terlambat lagi...!" rutuknya 

sambil terus menutupi wajahnya dengan kedua 

tangan. Kakinya terus melangkah, berusaha melawan 

angin badai yang menerbangkan debu-debu itu. 

Setelah angin mereda, Sena membersihkan 

pakaiannya yang penuh debu. Tiba-tiba dari arah 

samping terdengar seruan.... 

"Anak muda, berhenti...!" 

Sena tersentak. Tubuhnya langsung dibalikkan ke 

arah asal suara itu. Nampak seorang lelaki berkepala 

botak di bagian atas. Rambutnya hanya tumbuh di 

bagian samping serta belakang kepala. Lelaki itu 

berlari ke arahnya. Tubuhnya tinggi besar dengan 

wajah dihiasi cambang bauk lebat. Hidungnya yang 

besar, menambah angker penampilannya. Sedangkan 

matanya lebar, bagai burung hantu. 

Lelaki itu mengenakan pakaian berwarna hitam


berbentuk rompi. Dadanya menonjol dan berotot. Di 

pinggangnya terselip sepasang senjata berbentuk 

trisula besar. 

Senjata dan pakaian yang dikenakan lelaki 

setengah baya itu mengingatkan Sena pada tiga 

orang kembar yang dikejarnya namun kedapatan mati 

dengan keadaan mengerikan. Ya, pakaian dan 

senjata orang itu sama dengan pakaian dan senjata 

Tiga Barka Kembar. 

Bibir Sena cengengesan. Matanya memandang 

dengan seksama lelaki tinggi besar yang masih berlari 

ke arahnya. 

"Anak muda, apakah kau yang berjuluk Pendekar 

Gila?" tanya lelaki setengah baya berwajah seram itu 

dengan mata tajam. 

Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya 

menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya 

menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya sangat aneh, 

mirip seekor kera gila. Lelaki tinggi besar itu jadi 

mengerutkan kening dan menyipitkan mata. Kesal 

juga hatinya menyaksikan tingkah laku pemuda di 

depannya. 

"Anak muda, apakah kau tak punya sopan santun, 

heh?!" bentak lelaki setengah baya itu. "Apakah kau 

tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Bocah 

Edan?! Akulah Ki Kempala atau Trisula Setan, guru 

dari Tiga Barka Kembar!" 

"Aha... Rupanya aku bertemu dengan seorang 

tokoh hitam yang tersohor. Ah, terimalah hormatku. 

Sungguh aku yang bodoh telah berlaku kurang 

sopan," kata Sena, seraya menjura hormat 

Kemudian setelah berkata begitu, Sena kembali 

tertawa tergelak-gelak, membuat Ki Kempala 

semakin gusar.


"Bocah edan! Kaukah Pendekar Gila dari Gua 

Setan itu?" 

Sena menghentikan tawanya. Matanya me-

mandang tajam ke arah Ki Kempala. Kemudian 

kembali tawanya diteruskan. Tingkahnya membuat 

kemarahan lelaki setengah baya itu semakin 

memuncak. 

"Anak muda, cepat katakan, di mana aku harus 

menemui pendekar itu?!" bentaknya keras dengan 

mata melotot penuh kemarahan. 

"Kisanak, untuk apa kau mencarinya?" tanya Sena 

dengan kata sopan. Sepertinya dia berbicara 

sungguh-sungguh. 

"Membunuhnya!" tegas Ki Kempala. 

"Membunuhnya?!" ulang Sena. 

"Ya!" 

"Ah, mengapa pula kau hendak membunuhnya?" 

tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan 

wajah cengengesan. 

"Karena dia telah membunuh ketiga muridku!" 

Masih keras dan kasar suara Ki Kempala. 

Wajahnya yang beringas semakin menyeramkan 

untuk dipandang. "Hei, apakah kau Pendekar Gila dari 

Gua Setan itu?!" 

Sena tak langsung menjawab. Kembali tangannya 

menggaruk-garuk kepala dengan nyengir kuda. 

"Apakah kau punya bukti menuduh Pendekar Gila 

melakukan pembunuhan terhadap ketiga muridmu?" 

"Kalaupun bukan dia, aku tetap akan me-

nantangnya bertempur. Sebab, aku memang berniat 

untuk menjajaki ilmunya, yang katanya tinggi dan 

dijadikan buah bibir orang-orang rimba persilatan!" 

jawab Ki Kempala, masih menunjukkan keangkeran 

dan ketegasannya.


"Ah, sungguh picik sekali. Mengapa ilmu manusia 

yang belum seberapa dibandingkan ilmu Hyang Widhi 

harus dijajal?! Ah ah ah..., sungguh menyedihkan," 

gumam Sena, membuat Ki Kempala semakin naik 

pitam. Dianggapnya pemuda ingusan itu telah berani 

menggurui. 

"Lancang sekali mulutmu, Anak Muda?! Apakah 

kau yang berjuluk Pendekar Gila itu, heh?!" bentaknya 

sengit 

"Ya, memang aku orangnya, Ki...," jawab Sena 

tenang. 

"Kalau begitu, kau harus mampus! Heaaat...!" 

Tanpa banyak kata lagi, Ki Kempala langsung 

membuka serangan. Kedua tangannya membentang 

ke atas. Kemudian tangan kanannya dengan cepat 

mencakar ke arah Pendekar Gila, sedangkan tangan 

kiri membentuk siku. 

Mendapatkan serangan yang tiba-tiba, Pendekar 

Gila yang sudah waspada segera memiringkan tubuh 

ke samping. Tangannya bergerak menangkis. 

Kemudian dengan cepat, tubuhnya sedikit dirunduk-

kan ke depan, sedangkan kedua kakinya melangkah 

ke belakang dengan teratur. 

Mendapatkan serangan permulaannya gagal, Ki 

Kempala kembali melakukan serangan susulan. 

Tangan kanannya diangkat ke atas, kemudian dengan 

jari-jari membentuk cakar, segera menyerang ke dada 

Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini meng-

genggam, kemudian menghentak ke muka lawan. 

"Hiaaat..!" 

"Uts...!" 

Pendekar Gila tidak mau tinggal diam. Dia tahu, 

tentunya lelaki tinggi besar itu tidak main-main dan 

bukan orang sembarangan. Dengan menggunakan


jurus 'Kera Gila Melempar Batu', dibalasnya serangan 

lawan. Tangannya bergerak cepat ke bawah seperti 

mengambil sesuatu, kemudian bergerak ke depan 

layaknya melempar. 

Sedangkan tangan kirinya turut bergerak dan 

sesekali menggaruk-garuk kepala. Terkadang ditekuk 

ke dalam, kemudian menjentik ke depan. Kakinya 

pun tak tinggal diam, menyambar dan menendang ke 

arah perut lawan. 

Melihat gerakan aneh yang dilancarkan lawan, 

Kempala sesaat mengerutkan kening. Namun 

menyaksikan gerakan Pendekar Gila yang kelihatan 

lamban Ki Kempala kembali merangsek. Kedua 

tangannya menyerang bergantian. Kedua kakinya 

secara bergantian turut bergerak menendang. Namun 

semuanya tak menghasilkan apa-apa. Serangan-

serangannya pupus tertiup angin. Setiap kali dia 

melancarkan serangan, tiba-tiba Pendekar Gila telah 

menjauh atau berkelit ke samping. 

"Edan! Jurus edan...!" makinya marah. 

Cepat-cepat Ki Kempala mengejar tubuh pemuda 

itu, disusul oleh tendangan kakinya yang panjang dan 

cepat ke arah tubuh Pendekar Gila yang kelihatan 

bergerak lambat. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Pemuda 

gila itu tahu-tahu telah berada di sampingnya. 

Ki Kempala kembali bergerak untuk menyerang ke 

arah samping. Tangan kirinya lurus memukul, 

sedangkan tangan kanannya berada di atas kepala. 

Setelah serangan pertama tak berhasil, dengan cepat 

Kempala memutar tubuh. Tangan kanannya yang 

semula di atas kepala, kini memukul ke arah lawan. 

"Pecah batok kepalamu! Heaaa...!" 

"Uts! Masih lemah, Ki." 

Sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar


Gila berguling ke bawah. Lalu kembali melakukan 

serangan seperti melempar. Ki Kempala mau tak mau 

harus menyurutkan tubuh ke belakang. Kakinya 

digeser ke samping, seraya memiringkan tubuhnya. 

"Meskipun ilmumu tinggi, namun aku tak akan 

kalah olehmu! Hiaaat..!" 

Ki Kempala kembali menghentak dengan 

serangan-serangan bawah. Kedua kakinya menen-

dang bergantian, dan terkadang menyapu ke tubuh 

Pendekar Gila yang terus berguling. 

Pendekar Gila terus melakukan gaya kera 

berguling sambil mencakar. Dengan berguling tangan-

nya sesekali mencakar ke arah kaki lawan yang 

menendang. Atau kakinya menjejak ke arah kaki 

lawan. Hal itu memaksa Ki Kempala untuk menarik 

mundur serangannya. 

Hm, kalau begini terus, sulit bagiku untuk 

menyerangnya. Gumam hati Ki Kempala. Dengan 

cepat dia merubah jurusnya. Kali ini digunakannya 

jurus 'Musang Berguling Menangkap Mangsa'. 

"Heaaa...!" 

Tubuh Ki Kempala berguling, sejajar dengan tubuh 

Pendekar Gila. Sementara keduanya berguling di 

tanah, mereka terus bergerak saling menyerang. 

Tangan dan kaki mereka saling mencakar dan 

menendang. 

Pertarungan dengan cara berguling itu ber-

langsung lama. Tangan dan kaki mereka terus saling 

cakar dan menendang. Namun sejauh itu, Pendekar 

Gila belum berusaha melancarkan serangan yang 

mematikan. Dia masih mencoba mengukur sampai 

sejauh mana ilmu lawan. Padahal Ki Kempala telah 

mengerahkan hampir tiga perempat ilmunya untuk 

dapat mengalahkan pemuda itu, sekaligus membunuhnya. 

"Hiaaat..!" 

"Hup! Heaaa...!" 

Ki Kempala terus mengikuti cara bertarung 

lawannya dengan berguling. Tanpa terasa, mereka 

telah jauh meninggalkan tempat semula. Tangan Ki 

Kempala terus mencakar ke arah wajah dan dada 

lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat selalu 

dapat berkelit. Tangannya menyilang, kemudian 

membuat gerakan melempar yang mau tak mau 

harus dielakkan Ki Kempala. 

Setelah beberapa jurus mereka kerahkan untuk 

melakukan pertarungan dengan cara berguling, tiba-

tiba tangan mereka berbenturan keras. Diikuti 

pekikan menggelegar, kedua tubuh itu melompat ke 

atas dahan laksana terbang. 

"Heaaat..!" 

"Hup, heaaa...!" 

Dua tubuh itu berkelebat ke atas, kemudian salto 

ke belakang. Wajah Ki Kempala nampak pucat 

menandakan betapa kagetnya dia. Sama sekali tidak 

diduganya kalau lawan yang masih muda memiliki 

tenaga dalam yang sempurna, hingga mampu 

melontarkan tubuhnya jauh. 

"Hm, rupanya dia bukan pemuda sembarangan. 

Pantas namanya saat ini melambung. Tapi aku tidak 

akan mundur. Heaaa...!" 

Tubuh Ki Kempala yang baru saja menjejak tanah, 

kini telah berkelebat lagi untuk melakukan serangan. 

Dicabutnya kedua senjata kembarnya yang berbentuk 

trisula. 

Melihat lawan telah menggenjot kakinya untuk 

menyerang, Pendekar Gila tak mau tinggal diam. 

Tanpa mengeluarkan senjatanya, Pendekar Gila



memapaki serangan lawan. 

"Heaaa...!" 

Ki Kempala menyodokkan ujung trisula di tangan 

kanannya ke dada lawan. Sedangkan trisula di tangan 

kirinya menyabet ke arah kepala. 

Pendekar Gila dengan cepat meliukkan tubuh ke 

samping. Sedangkan kepalanya ditundukkan dalam-

dalam. Tangan kanannya melakukan hentakan ke 

dada lawan dengan tepi telapak tangan. Sedangkan 

tangan kirinya menghentak ke dagu lawan dengan 

telapak tangan. 

"Hiaaat..!" 

Ki Kempala tersentak kaget Dia tidak menduga 

sama sekali akan mendapatkan serangan yang begitu 

cepat. Dengan cepat Ki Kempala menarik 

serangannya. Tangan kirinya ditebaskan di depan 

dadanya. Sedangkan tangan kanannya melakukan 

tusukan ke dada lawan. 

Mendapatkan lawan melakukan tangkisan, 

Pendekar Gila menarik serangannya. Dengan cepat 

tubuhnya memutar ke samping tubuh Ki Kempala. 

Dan dengan cepat pula, lutut kaki kanannya 

menyodok ke arah pinggang Ki Kempala. 

"Uts...! Celaka...!" pekik Ki Kempala dengan mata 

melotot kaget. Cepat-cepat tubuhnya diegoskan, 

mengelakkan sodokan lutut lawan. Kemudian 

kembali trisulanya ditebaskan ke kaki lawan. 

Pendekar Gila menarik lututnya ke belakang. 

Dengan kaki kanan masih mengambang di udara, 

tangan kirinya menyerang ke dagu lawan. Sedangkan 

tangan yang kanan, memukul ke perut lawan. 

"Akh...! Gila! Benar-benar gila...!" seru Ki Kempala, 

kaget menyaksikan gerakan yang dilancarkan 

Pendekar Gila. Kelihatannya sangat lambat pemuda


itu melakukan serangan, namun tahu-tahu tangannya 

yang menyentak ke dagu dan perut telah tepat pada 

sasaran. 

Ki Kempala memiringkan tubuh ke belakang 

hingga agak mendongak. Kemudian kembali tubuh-

nya dimiringkan ke samping kanan. Dilanjutkan 

dengan tendangan ke selangkangan lawan. 

Cepat-cepat Pendekar Gila mengelit ke samping 

kiri, sedangkan kaki kanannya yang masih 

mengambang dengan cepat menendang ke pinggang 

lawan. 

"Hiaaat..!" 

Ki Kempala terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat 

dia mencelat ke belakang untuk mengelak. Kalau 

terlambat, pinggangnya tentu sudah remuk terkena 

tendangan kaki lawan. Sambil berdiri, matanya 

memandang tegang ke arah Pendekar Gila yang 

cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 

"Kurang ajar! Jangan dikira aku akan kalah 

olehmu, Gila!" 

Usai membentak begitu, Ki Kempala segera 

menjatuhkan diri ke tanah, kemudian dengan cara 

berbaring dia melakukan serangan ke arah lawan. 

"Heaaa...!" 

Tangan Ki Kempala yang menggenggam trisula 

bergerak menusuk dan membabat, membuat 

Pendekar Gila berlompatan ke sana kemari 

mengelakkan sabetan senjata lawan. Dengan jurus 

'Kera Gila Menari Menggoda Ular' Pendekar Gila terus 

bergerak. Kedua kakinya berirama menari-nari, 

dengan tangan tak ketinggalan melakukan gerakan 

menghempas ke bawah. 

Repot juga Ki Kempala menghadapi jurus yang 

dimainkan Pendekar Gila. Tangan kanannya harus


bisa menangkis serangan-serangan yang dilancarkan 

lawannya. Sedangkan tangan kirinya terus berusaha 

menyerang. 

Ki Kempala menyilangkan kedua tangannya ke 

atas, manakala tangan Pendekar Gila menyerang. 

Hingga kedua tangan mereka saling beradu. Lalu Ki 

Kempala menendang ke wajah Pendekar Gila, yang 

dengan cepat memiringkan tubuh ke samping. 

Kemudian balas menyerang dengan dupakan kaki 

kanannya. 

"Hiyaaat..!" 

"Yeaaat..!" 

Kedua tangan itu masih menyatu, ketika Pendekar 

Gila menyentakkan tubuh ke atas. Sehingga tubuh Ki 

Kempala turut tersentak melesat ke atas. 

Saat tubuh mereka melayang di atas, keduanya 

kembali saling menyerang. Tangan mereka yang 

semula menyatu, kini saling menghantam dan 

menangkis. Sedangkan kaki mereka turut bergerak 

menyerang. 

"Heaaat..!" 

"Hup! Heaaa...!" 

Keduanya memapaki serangan dengan telapak 

tangan masing-masing, sehingga kedua telapak 

tangan mereka beradu keras. 

Degkh! 

"Ukh...!" 

"Hhh...!" 

Tubuh keduanya mencelat ke belakang, bersalto di 

atas kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Tubuh 

Ki Kempala terhuyung ke belakang dua langkah. 

Mulutnya melelehkan darah. Sementara Pendekar 

Gila tersenyum acuh sambil garuk-garuk kepala. 

"Ki Kempala, kurasa tak ada gunanya pertarungan


ini. Lebih baik kita sudahi saja. Aku masih banyak 

urusan," ucapnya sambil mengorek-ngorek telinga. 

"Tidak! Aku tak akan membiarkan kau pergi! Huh 

jangan kira aku telah kalah olehmu! Hiaaa...!" 

Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya 

kalau lawan benar-benar hendak mengadu nyawa. 

Telinganya terasa agak berdengung mendengar 

teriakan yang menggelegar tadi. Pendekar Gila 

berusaha menahan getaran teriakan itu dengan 

mengerahkan tenaga dalamnya. Kemudian dengan 

cepat dicabut Suling Naga Sakti dari pinggangnya. 

"Heaaa...!" 

Dengan melompat untuk menghindari serangan 

lawan, Pendekar Gila meniup sulingnya. Suara tiupan 

suling itu berubah melengking. Sekaligus meng-

hancurkan teriakan Ki Kempala yang menggelegar. 

Hingga lelaki tinggi besar itu tersentak dan meng-

hentikan teriakannya. 

Melihat Ki Kempala telah menghentikan teriakan, 

Pendekar Gila pun menghentikan tiupan sulingnya. 

Setelah itu tubuh keduanya kembali melesat untuk 

saling menyerang. 

Dengan tangan menggenggam senjata masing-

masing, keduanya bergerak menyerang. Ki Kempala 

menusukkan trisulanya ke dada lawan. Namun 

dengan cepat Pendekar Gila membabatkan Suling 

Naga Sakti ke arah senjata lawan. Dan terjadilah 

benturan keras yang memekakkan telinga. 

Trang! 

Ki Kempala tersentak kaget. Tubuhnya melompat 

mundur dengan mata membelalak lebar. Tangannya 

kesemutan dan terasa sangat panas. Napasnya 

mendengus semakin marah. Lalu dengan segenap 

tenaga dalamnya, Ki Kempala kembali menyerang

dengan memekik dahsyat. 

"Hiyaaat..!" 

"Heit..!" 

Ki Kempala kembali berusaha menusukkan 

trisulanya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan 

cepat Pendekar Gila membabatkan sulingnya untuk 

mementahkan tusukan itu. Sedangkan tangan kirinya 

memukul dengan telapak tangan ke dada lawan yang 

kosong. 

Ki Kempala tersentak kaget. Dia berusaha 

menutupi dadanya dengan tangan kiri. Namun 

gerakannya kurang cepat, hingga pukulan telapak 

tangan Pendekar Gila menghajar dadanya. 

Degk! 

"Akh...!" Ki Kempala memekik keras. Tubuhnya 

terlontar jauh ke belakang, melayang dengan dada 

gosong. Kemudian tubuh itu membentur bukit cadas 

hingga terdengar suara patahnya tulang punggung 

dan pecahnya tulang kepala. 

Krak 

Pendekar Gila terpaku diam sambil menggaruk-

garuk kepala. 

"Sungguh kau seorang lelaki yang perkasa, 

Seharusnya tak perlu terjadi hal seperti ini kalau saja 

kau tidak memaksa...," desah Pendekar Gila sambil 

memandangi tubuh Ki Kempala yang tewas secara 

mengerikan. Kemudian dengan cepat kakinya 

melangkah meninggalkan tempat itu.


SEPULUH


Seorang wanita cantik bertubuh kuning langsat 

tengah menggeluti tubuh seorang lelaki muda 

tampan. Wanita itu adalah Wulandari, sedangkan 

lelaki tak berdaya dalam pelukannya adalah putra Ki 

Martanu yang berhasil dibawanya. 

"Ayo, Sayang....!" desis Wulandari sambil meng-

geluti tubuh pemuda itu. 

Sementara itu, lelaki di pelukannya hanya diam. 

Matanya memandang hampa, seakan-akan tidak ada 

gairah sama sekali. Benaknya terus terbayang pada 

istrinya yang dibunuh oleh Wulandari dua hari yang 

lalu. 

Namun, lelaki tetap lelaki. Menghadapi godaan 

wanita secantik Wulandari, akhirnya pupus juga 

bayangan tentang kematian istri tercinta di benaknya. 

Perlahan-lahan pemuda itu terbawa anus birahi yang 

mulai tercipta oleh iblis dalam dadanya. 

Hingga pemuda itu mulai membalas kecabulan 

yang diberbuat Wulandari. Dan keduanya terhanyut di 

tengah gelombang nafsu laknat. 

Saat keduanya hendak mencapai puncak 

kenikmatan duniawi, tiba-tiba.... 

Jlep, jlep, jlep! 

"Aaa...!" si pemuda menjerit. Tubuhnya meregang 

dengan kepala mendongak. Matanya melotot 

mengerikan, membuat Wulandari tersentak kaget. 

Lalu tubuh pemuda itu ambruk ke samping. Di 

punggungnya tertancap tiga bilah pisau beracun. 

"Kurang ajar! Siapa cecunguk yang telah berani


mengganggu kesenanganku?!" maki Wulandari. 

Dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali, 

kemudian berkelebat ke luar. 

Di luar telah berdiri sesosok tubuh dengan wajah 

bertopeng. Seorang lelaki muda berpakaian kuning, 

yang mengingatkan Wulandari pada lelaki yang telah 

memperkosanya. Lelaki muda bertopeng itu tertawa 

ngakak. 

"Mengapa kau harus susah-susah mencari 

kepuasan? Bukankah aku telah siap? Bagaimana 

dulu? Nikmat bukan?" tanyanya sambil meneruskan 

gelak tawa. 

Mara Wulandari melotot penuh kebencian. 

Pemuda ini yang dicari-carinya. Kini dia telah datang 

kembali, tanpa harus susah-susah mencarinya. 

"Rupanya kau yang dulu mengaku Pendekar Gila?! 

Hm, kau harus mampus, Bajingan! Hiaaat...!" 

Dengan penuh kemarahan, Wulandari menyerang 

pemuda bertopeng yang memang dicarinya. Serangan 

yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung. Jurus-

jurus maut yang didapatinya dari Nyi Kendil kini 

dikeluarkannya untuk menggempur pemuda 

bertopeng yang mengaku sebagai Pendekar Gila. 

Mendapat serangan cepat dan keras dari 

Wulandari, pemuda bertopeng itu malah tertawa. 

Kemudian dengan pongah dan sombong pemuda itu 

berkata... 

"Percuma kau melawanku, Perempuan Tolol. 

Pendekar Gila bukanlah tandinganmu!" 

Sambil berkata begitu, pemuda bertopeng yang 

mengaku-ngaku sebagai Pendekar Gila itu berkelit 

mengelakkan serangan Wulandari yang bertubi-tubi 

"Bedebah! Kau kira aku akan percaya kalau kau 

Pendekar Gila?! Kau salah besar! Aku telah


berhadapan langsung dengan Pendekar Gila yang 

sesungguhnya. Dan dia tidak bejat seperti kau! 

Heaaat..!" 

Wulandari yang dendamnya terus membara tak 

mau banyak omong lagi. Tangannya yang membentuk 

sayap kupu-kupu terus menyambar. Sedangkan 

kakinya menendang dan menyapu. 

"Ha ha ha...! Rupanya kau tak percaya, kalau aku 

Pendekar Gila! Hm, baiklah! Kau lihatlah buktinya." 

Usai berkata begitu, pemuda bertopeng itu 

melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk 

bagai menari. Namun gerakannya kasar dan keras, 

tidak seperti gerakan yang dilakukan Sena untuk 

mengelak. 

"Pembohong! Iblis...! Jangan kira aku tak tahu 

siapa Pendekar Gila! Heaaa...!" 

Wulandari yang merasa telah ditipu mentah-

mentah oleh pemuda itu, terus melancarkan 

serangan. Pukulan dan sambaran maut dilancar-

kannya. Namun pemuda bertopeng itu dengan mudah 

mengelakkan setiap sambaran dan pukulan lawan. 

Wulandari terus merangsek dengan serangan-

serangannya. Namun setiap kali melakukan 

serangan, secepat itu pula lawan dapat me-

matahkannya. Hal itu membuat Wulandari semakin 

marah dan penasaran. 

"Aku belum puas sebelum membetot kemaluanmu, 

Iblis! Heaaa...!" 

Kini Wulandari membuka serangan baru dengan 

jurus yang lebih keras dan dahsyat. Jurus 'Kupu-kupu 

Hinggap Sambil Menghisap Madu'. Kakinya yang 

mengambang, sedikit ditekuk. Sedangkan kedua 

tangannya bergerak membuka dan menyambar 

dengan cepat.


"Hiaaat..!" 

Pemuda bertopeng itu kembali tertawa. Tubuhnya 

melompat ke sana kemari untuk mengelakkan setiap 

serangan lawan. 

"Sudah kukatakan, percuma saja kau melawan 

Pendekar Gila!" katanya lagi. 

"Bedebah! Jangan kira mulutmu tak dapat 

kurobek! Heaaat..!" 

Saat keduanya bertarung seru, tiba-tiba terdengar 

suara gelak tawa membahana. Bersamaan dengan 

itu, seorang lelaki berpakaian rompi kulit ular sanca 

telah hinggap di atas sebuah ranting pohon di hutan 

itu, Gerak-geriknya seperti orang gila. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. 

"Ha ha ha...! Jadi inikah orang yang mengaku 

sebagai Pendekar Gila?" tanya Sena sambil 

menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk 

membuat kedua orang yang tengah bertarung 

seketika menghentikan pertarungannya. 

"Siapa kau? Berani benar kau berkata begitu di 

depan Pendekar Gila, heh?!" bentak pemuda 

bertopeng. 

Sena kembali tertawa tergelak-gelak. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantat 

kemudian dengan cengengesan sambil meng-

gelengkan kepala, Sena menjawab.... 

"Aku...? Ha ha ha.... Entahlah. Maaf, aku berlaku 

tak sopan di depan lelaki busuk yang ngaku-ngaku 

sebagai Pendekar Gila!" usai berkata Sena melompat 

ke bawah dan menjejakkan kakinya di depan kedua 

orang tadi. "Hm, rupanya ini orang yang membuat 

cemar nama Pendekar Gila. Ah ah.... Mengapa 

Pendekar Gila harus bertopeng?" 

"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya?!" bentak


pemuda bertopeng. 

"Siapa pun aku, yang jelas aku ingin menangkap-

mu, Manusia Busuk! Ha ha ha...! Enak sekali kau 

mengaku-ngaku Pendekar Gila," ancam Sena. 

"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, berani 

kurang ajar pada Pendekar Gila. Heaaa...!" 

Pemuda bertopeng bergerak menyerang ke arah 

Sena yang masih tertawa-tawa sambil menggaruk-

garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Gerak-

geriknya persis orang gila, membuat Wulandari 

terpaku di tempat. 

Wulandari benar-benar bingung. Dilihatnya kedua 

orang lelaki muda yang sama-sama tampan. Yang 

satu mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular 

sanca. Sedangkan yang satunya berbaju lengan 

panjang warna kuning dengan wajah bertopeng. 

Kalau dilihat dari gerak-geriknya, tentunya pemuda 

yang mengenakan rompi kulit ular sanca adalah 

Pendekar Gila, pikir Wulandari. 

Pemuda bertopeng terus melancarkan serangan. 

Tangannya bergerak menyambar dada lawan. 

Sedangkan tangan yang lain memukul ke arah muka. 

Kedua kakinya tak tinggal diam, menyapu dan 

menendang ke arah kaki Pendekar Gila. 

Mendapat serangan cepat dan bertubi-rubi, tidak 

membuat Pendekar Gila gentar. Dengan jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat', dielakkannya serangan 

lawan. 

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Sementara 

tangannya terkadang menepuk. Gerakan meliuk dan 

menepuknya kelihatan sangat pelan dan lamban. Hal 

itu membuat pemuda bertopeng semakin yakin kalau 

dalam beberapa gebrakan saja pemuda yang 

bertingkah seperti orang gila itu akan dapat



dijatuhkannya. 

Pemuda bertopeng semakin mempercepat 

serangan. Tangannya mengembang ke samping 

dengan satu kaki menekuk. Itulah jurus 'Belalang 

Mencakar'. 

Dengan cepat tangannya membentuk kaki-kaki 

belalang yang mencakar dan menjentik ganas ke arah 

Pendekar Gila. Sedangkan kakinya turut menendang 

dan menyapu. 

Menghadapi serangan yang begitu gencar, sambil 

menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila terus berkelit. 

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Lucu sekali 

gerakan yang dilakukannya, sampai-sampai 

Wulandari yang menyaksikannya jadi terkesima dan 

tak dapat berbuat apa-apa. 

"Heaaat..!" 

"Yeaaat..!" 

Tangan pemuda bertopeng itu terus bergerak 

mencakar dan menyentuh ke dada dan wajah 

Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila 

berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping untuk 

mengelak kemudian tangannya bergerak menyambar 

topeng pemuda itu. 

"Heaaa...!" 

*** 

Breeet! 

Topeng yang dikenakan pemuda berbaju itu 

terlepas dari wajahnya. Dan nampaknya seraut wajah 

tampan. 

"Hm... Tidak kusangka lelaki setampan dia harus 

menyembunyikan wajah di balik topeng. Tentunya kau 

bermaksud buruk...?" gumam Pendekar Gila.


Melihat lawannya lengah, dengan cepat pemuda 

berbaju kuning mengirimkan tendangan cepat. 

Pendekar Gila tersentak kaget. Dia berusaha 

mengelak, namun terlambat. Tendangan pemuda itu 

begitu cepat dan tiba-tiba. Tanpa ampun lagi, 

dadanya terhantam tendangan lawan. 

Degk! 

"Hukh...!" 

Pendekar Gila terhuyung ke belakang dengan mata 

melotot kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk 

mengusir rasa mual yang sampai ke kepala. Mulutnya 

menyeringai, kemudian tangannya menggaruk-garuk 

kepala. 

Pemuda berbaju kuning yang mengira Pendekar 

Gila terkena luka dalam akibat tendangannya, 

kembali menyerang dengan gabungan pukulan dan 

tendangan. Gerakannya cepat dan mematikan. 

Nampaknya pemuda berbaju kuning itu merasa yakin 

kalau dia akan dapat menjatuhkan Pendekar Gila. 

"Hiaaat..!" 

"Celaka! Pemuda itu dalam bahaya...!" seru 

Wulandari tersadar dari keterpakuan. 

Bagai ada yang mendorong, Wulandari dengan 

cepat berkelebat menghadang serangan pemuda 

berbaju kuning. Pendekar Gila yang tidak menduga 

kalau Wulandari berbuat nekat, tersentak kaget. Dia 

berusaha mencegah, namun wanita itu telah melesat 

cepat. 

"Heaaa...!" 

"Yeaaat...!" 

Kedua tubuh itu melesat cepat menuju satu tirik. 

Rasanya sulit bagi Pendekar Gila untuk meng-

halanginya. Akhirnya Pendekar Gila hanya mampu 

menonton apa yang akan terjadi.


Jlegar! 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!" 

Keduanya memekik dengan tubuh terlontar 

beberapa tombak ke belakang. Tubuh Wulandari 

terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan 

memegangi dada. Dari mulutnya meleleh darah 

segar, membasahi bibir dan dagunya. 

Sementara itu, pemuda berbaju kuning pun 

mengalami hal yang sama. Tubuhnya terhuyung-

huyung ke belakang dengan mata memandang 

tegang. Sepertinya dia tidak percaya kalau wanita 

yang dulu lemah dan dapat diperkosanya dengan 

mudah, kini telah memiliki tenaga dalam yang 

seimbang dengannya. 

Pendekar Gila hanya dapat memandangi kedua 

orang yang kini sama-sama terhuyung. Dia tak tahu 

harus berbuat apa. Pantang baginya menyerang 

orang yang lemah dan tidak mampu menyerang lagi. 

Pemuda berbaju kuning mendengus marah. Tanpa 

diduga oleh Pendekar Gila, dia kembali menyerang ke 

arahnya. Pendekar Gila tersentak, karena sama sekali 

tak menduga diserang oleh pemuda itu. 

"Hiaaat..!" 

"Uts...! Hampir saja...!" ucapnya sambil bergerak 

mengelitkan serangan lawan yang tiba-tiba dan cepat. 

Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan 

cepat balas menyerang dengan tepukan tangan ke 

dada lawan. 

Mendapatkan serangan balasan yang kelihatannya 

lemah namun tahu-tahu telah dekat ke dadanya, 

pemuda berpakaian kuning tersentak. Cepat-cepat 

serangannya ditarik mundur dengan menggeser kaki 

ke belakang dua langkah. Setelah itu, pemuda


berpakaian kuning ini kembali melancarkan 

serangan. 

"Hiaaat..!" 

Jurus 'Ular Kobra Mematuk' dilancarkan pemuda 

berbaju kuning itu. Gerakan tangannya yang 

mematuk begitu cepat, dibarengi oleh sabetan-

sabetan tangan yang lain. Kakinya laksana ekor ular 

kobra yang turut menyerang. 

Melihat serangan lawan tidak main-main lagi, 

Pendekar Gila segera mengubah jurusnya. Dengan 

jurus 'Kera Gila Menari dan Mencengkeram', 

dihadapinya jurus lawan. Kakinya bergerak tak 

ubahnya seperti kaki kera. Sedangkan tangannya 

sesekali mencengkeram ke lengan lawan yang 

mematuk seperti ular kobra. 

Pertarungan itu tidak ubahnya pertarungan sengit 

antara seekor kera gila yang menari-nari melawan 

seekor ular kobra ganas. 

"Heaaat...!" 

"Yeaaat...!" 

Pendekar Gila dengan sesekali menggaruk-garuk 

Kepalanya, terus meladeni jurus ular yang 

dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Tangannya 

mencengkeram ke tangan lawan yang tak ubahnya 

kepala kobra yang mendesis-desis berusaha 

mematuk. 

Jurus keras yang dilancarkan lawan, kini dihadapi 

oleh gerakan-gerakan lucu seperti seekor kera. 

Tangan lawan kembali mematuk ke arah dada, 

disusul dengan tebasan tangan yang lain. Namun 

dengan cepat Pendekar Gila mencengkeramkan 

tagan kanannya ke arah tangan lawan. Sedangkan 

tangan kirinya menepis serangan. Kakinya berjingkat-

jingkat mengelakkan sambaran kaki lawan.


Pertarungan itu masih berjalan dengan seru. 

Masing-masing berusaha menjatuhkan. Pemuda 

berpakaian kuning semakin bernafsu untuk segera 

menjatuhkan Pendekar Gila. Namun dengan gerakan-

gerakan aneh dan lucu, Pendekar Gila dengan mudah 

mematahkan serangan lawan. Bahkan ketika melihat 

ada bagian yang lowong, tangannya ditepuk ke dada 

lawan. Sedangkan tangan lain mencakar ke arah 

wajah. 

Degk! Bret! 

"Ukh...!" 

Tubuh pemuda berbaju kuning itu terlontar ke 

belakang dengan deras, laksana terdorong kekuatan 

yang maha dahsyat. Tubuhnya terus meluncur 

menuju sebatang pohon besar. 

Pemuda berbaju kuning menjerit keras ketika 

tubuhnya hampir membentur pohon besar yang akan 

meremukkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba sebuah 

bayangan hitam berkelebat cepat menyambar 

tubuhnya sambil berseru.... 

"Pendekar Gila, kutunggu kau purnama yang ketiga 

di Puncak Lawu!" 

Pendekar Gila tersentak. Segera tubuhnya 

berkelebat, berusaha mengejar lelaki yang membawa 

tubuh pemuda berpakaian kuning itu. 

"Tunggu! Jangan lari...!" cegah Sena sambil 

mengejar dengan mengerahkan ilmu larinya. Namun 

lelaki berpakaian jubah hitam berambut putih itu 

ternyata telah melesat cepat meninggalkannya. 

"Huh, orang aneh.... Mengapa dia menyuruhku 

datang ke Puncak Lawu? Dan mengapa pula harus 

purnama ketiga yang berarti tiga bulan lebih? Ah, 

mengapa aku pikirkan? Aku harus kembali untuk 

menemui wanita itu!"



Pendekar Gila kembali melesat dengan ilmu 

larinya menuju tempat Wulandari. Namun 

sesampainya di sana, wanita muda itu telah tiada. 

Sena hanya menemukan sebaris tulisan yang digurat 

di sebatang pohon besar. 

Sena mengerutkan kening, sambil menggaruk-

garuk kepala. Didekatinya pohon besar itu, kemudian 

dibacanya tulisan yang kelihatannya masih baru, 

sehingga getahnya nampak masih menetes. 

Tuan Pendekar, maaf aku telah salah menuduh. 

Izinkanlah aku menebus kesalahan yang telah 

kuperbuat selama ini. Namun aku tak akan diam, 

sebelum pemuda keparat itu kudapatkan. Dialah 

yang telah menghancurkan masa depanku. 

Merenggut kehormatanku, serta membunuh suami-

ku. 

Sena kembali menggaruk-garuk kepalanya sesaat 

Kemudian dia kembali membaca lanjutan tulisan 

Wulandari. 

Mulanya aku percaya kalau pemuda laknat itu 

adalah Pendekar Gila dari Gua Setan, yang 

sebenarnya Tuan sendiri orangnya. Itu sebabnya 

aku dendam pada orang-orang persilatan. Hal itu 

kulakukan, semata-mata untuk melampiaskan 

kebencianku pada Pendekar Gila. Sebab kutahu 

kalau Pendekar Gila bukan orang sembarangan. 

Sekali lagi, maafkan aku. Sampai ketemu di Puncak 

Lawu tiga pumama yang akan datang. 

Sena menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan 

lesu melangkah memasuki gubuk yang berada di 

dalam hutan itu. Hati Sena terkesiap saat melihat


sesosok mayat lelaki muda tanpa pakaian berada di 

dalam gubuk itu. 

"Tentunya ini perbuatannya. Huh, semoga dia 

benar-benar sadar," gumam Sena lirih, lalu kembali 

melangkah keluar sambil menutup pintu gubuk itu. 

Sesaat wajahnya ditengadahkan, kemudian tubuh-

nya melesat meninggalkan tempat itu. 

Siapakah pemuda berpakaian kuning itu sesung-

guhnya? Dan, siapa lelaki tua berpakaian jubah hitam 

yang menolong pemuda berpakaian kuning itu? Untuk 

apa lelaki tua itu mengundang Pendekar Gila ke 

Puncak Lawu? Lalu bagaimana nasib Wulandari 

selanjutnya? Sadarkah dia akan perbuatannya 

selama ini? Siapa pula pemuda berpakaian kuning? 

Untuk dapat menjawabnya, silakan ikuti kisah 

Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Duel di Puncak Lawu". 



                             SELESAI 

 



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar