..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 01 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE DUEL DI PUNCAK LAWU

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

DUEL DI PUNCAK LAWU

oleh Firman Raharja

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Mardiansyah

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dart penerbit

Firman Raharja 

Serial Pendekar Gila 

dalam episode: 

Duel Di Puncak Lawu

128 hal ; 12 x 18 cm


SATU


Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan 

kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih me-

nutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya. 

Seakan dipenuhi oleh kedamaian.

Selama ini, belum ada seorang pun yang datang 

ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir 

percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada se-

suatu di balik keasrian dan kedamaiannya.

Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlari-

lari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, me-

manjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur 

dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali 

lelaki itu menengok ke belakang, seperti tengah meya-

kinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang melihat 

Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan 

kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya 

yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap 

ditiup angin.

Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia me-

nyimpan penderitaan batin yang dalam.

"Rupanya apa yang kudengar selama ini me-

mang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi 

yang bernama Catrik Ireng itu. Dihelanya napas pan-

jang-panjang. "Ah, benarkah dia Singo Edan?"

Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata 

kelabunya memandang Gunung Lawu yang memben-

tang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi, 

berwarna biru sebagian tertutup kabut.

Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang 

ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar 

dua puluh lima tahun.


"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat 

ini? Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki 

Catrik Ireng, tersadar dari lamunannya. Kemudian 

dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat me-

ninggalkan tempat itu.

Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat. 

Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gu-

nung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepa-

lanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia 

sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekeli-

lingnya, meyakinkan dirinya kalau-kalau ada yang 

menguntit tanpa diketahui.

Setelah yakin tak ada seorang pun yang men-

guntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat 

untuk mendaki puncak Gunung Lawu yang tinggi.

Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghi-

lang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada 

sesuatu yang tersembunyi di balik batu cadas itu. Jika 

dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama 

sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-

amati dengan seksama, di balik batu cadas yang men-

julang tinggi itu terdapat sebuah goa.

Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di 

kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi. 

Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang 

kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus.

Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu. 

Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan 

kirinya menjulur ke lubang dan menggerakkan batu 

cadas yang ada di atasnya.

Krek...!

Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping 

dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin 

melebar dan akhirnya nampaklah lubang besar yang


dapat dimasuki oleh dua orang.

Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu. 

Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas 

yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali teru-

lang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang berge-

rak menyempit. Kini hanya lubang sebesar tubuh tikus 

saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar 

masuknya udara.

Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat 

tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada 

seorang pun yang melihatnya. Terlebih dengan tem-

patnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang persilatan

biasa untuk sampai di goa aneh itu.

Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tu-

buh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri 

lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong 

itu semakin ke bawah.

Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lo-

rong yang memang telah dibuat undak-undakan tang-

ga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samp-

ing kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat 

banyak sekali ruangan. Sepertinya di tempat itu ba-

nyak sekali penghuninya.

Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertu-

tup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan 

mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah 

kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki pera-

saan. Tanpa sedikit pun tegur sapa, atau sekadar ter-

senyum.

"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, me-

merintah pada orang-orang aneh itu. Nampaknya me-

reka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka 

segera melaksanakan apa yang diperintahkan lelaki 

tua itu.


Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah ba-

tu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di 

atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para 

pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam 

pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu 

mengambil obat-obatan. Satu mengambil air. Dan lima 

orang yang lain menguruti tubuh pemuda tersebut

Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Sete-

lah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari me-

reka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si 

pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap men-

gepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu.

"Aaakh...!"

Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya 

menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak ber-

cucuran membasahi tubuhnya.

Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak 

menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat 

rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di 

dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara ma-

tanya melotot merah.

Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersi-

nar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya me-

rah itu mengalir dari tubuh orang berjubah hitam ber-

kumis tipis, yang wajahnya kini membara pula.

"Aaakh...!"

Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras. 

Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar he-

bat. Kemudian terkulai jatuh.

Rupanya itulah cara pengobatan yang dite-

rapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah 

hitam itu sepertinya memang khusus ditugaskan un-

tuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus 

menerima kematian.


Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hi-

tam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai diba-

kar api yang membara.

Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah mela-

kukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya 

para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda 

tampan itu.

"Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tan-

tanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam 

Ki Catrik Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepala. 

Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun 

yang silam kembali terkuak dalam benaknya.

***

Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan 

ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya 

tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan 

bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama 

Singo Edan dari Goa Setan. Yang kemudian terkenal 

dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski 

nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda.

Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Ka-

rena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmu-

ilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan 

sebutan Catrik Aneh. Karena Catrik Aneh itu selalu 

memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga se-

bagai Catrik Ireng.

Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba 

persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan, 

sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang le-

mah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tin-

dakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung 

dengan para pendekar untuk mengalahkan atau dika


lahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu me-

nantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi 

gempar.

Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan 

waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk 

membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng.

"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili 

kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik 

Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati 

oleh para pendekar lainnya.

Karena diberi amanat untuk menghentikan se-

pak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksana-

kan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik 

Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah. 

Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan 

sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan.

Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila da-

ri Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang 

memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa 

menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya 

dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan sa-

ja.

"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian berte-

mu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng!" 

kata Catrik Ireng setiap kali bertemu dengan orang-

orang persilatan yang dapat dikalahkannya.

Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gu-

nung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi kedua-

nya untuk memastikan siapa si antara mereka yang 

ilmunya lebih tinggi.

"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu 

agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan," 

ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mu-

lutnya cengengesan, persis orang gila.


"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu! 

Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persila-

tan, jika kau dapat mengalahkanku!" tantang Catrik 

Ireng.

Singo Edan tertawa tergelak-gelak. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala.

"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung? Apa-

lah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibanding-

kan ilmu yang dimiliki Hyang Widhi," tutur Singo 

Edan.

"Pengecut! Ternyata nama besar Pendekar Gila 

dari Goa Setan hanya omong kosong!"

"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya 

kita bertarung untuk memperebutkan pepesan ko-

song.,.."

"Phuih...! Rupanya kau berusaha lari dari se-

mua tanggung jawabmu! Huh! Tak pantas seorang 

pendekar bersikap sepertimu."

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik. 

Terpaksa aku melayanimu...."

Pertarungan kedua tokoh muda rimba persila-

tan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi 

tak dapat dielakkan. Keduanya bertarung tiada henti. 

Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya sama-

sama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit un-

tuk menentukan siapa di antara mereka yang akan ka-

lah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan 

lincah, walau bertempur semalaman.

Keduanya kini telah mengeluarkan senjata 

masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata 

berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan 

mengeluarkan Suling Naga Sakti. 

"Heaaa...!"

"Yeaaat..!"


Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo 

Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga 

Saktinya ke arah bumerang kembar itu.

Trang!

Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan 

api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuan-

nya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun. 

Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksi-

kan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian.

"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang. 

Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini! Lima puluh 

tahun lagi, aku akan datang...."

Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat 

meninggalkan tempat itu. Sejak saat itulah Catrik 

Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang 

dari dunia persilatan bagai ditelan bumi. Dia terus 

menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-

nya. Sampai akhirnya dia muncul kembali!

***

Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah 

mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang si-

lam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Keja-

dian itu tak akan pernah dilupakannya. Dan mung-

kinkah kejadian itu akan terulang lagi? Ya, akan terja-

di lagi! Namun kini akan lain dengan lima puluh tahun 

yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir ter-

senyum.

"Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu 

kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang 

benar-benar tinggi ilmunya! Ha ha ha...! Kali ini kau 

akan kalah, Pendekar Gila! Kau akan menerima bala-

san ku!" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahak


bahak.

Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya 

melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah 

perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya bera-

da.

Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring 

dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatan-

nya luka dalam pemuda itu telah dapat disembuhkan. 

Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seo-

rang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong. 

Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya.

"Bawa dia ke tempat penggodokan!" perintah Ki 

Catrik Ireng.

Enam orang berjubah hitam lainnya segera 

mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi 

dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali 

dengan Ki Catrik Ireng.

"Ha ha ha...! Laskar Setan ku rupanya telah 

siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku 

akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan! Tak 

akan ada yang dapat mengalahkanku...!"

Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak mem-

bayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya 

akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi. 

Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perin-

tahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang, 

meski nyawa mereka sebagai taruhannya.

Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda 

berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipan-

danginya wajah pemuda itu, dan dihelanya napas pan-

jang-panjang.

"Memang kau bukan tandingannya, Anakku. 

Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika di-

bandingkan Pendekar Gila."


Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi 

pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan 

wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpa-

kaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu me-

warisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng.

'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita, 

Nak. Ibumu memang wanita lacur! Kau ditinggal sejak 

kecil, sejak masih bayi. Entah di mana kini ibumu be-

rada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung.

Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah 

tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat 

lalu memandang ke sekelilingnya.

"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng. 

Ki Catrik Ireng tersenyum.

"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Un-

tung Ayah lewat di tempat itu."

"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh 

tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Praba-

sangka. "Mengapa dia masih muda belia? Bahkan lebih 

muda dariku?"

Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihe-

lanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap. 

Dan matanya memandang lepas ke depan.

"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi se-

mua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang 

miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang 

Pendekar Gila."

"Mungkin anaknya, Ayah?"

Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibir-

nya tersungging senyuman.

"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagai-

mana mungkin dia punya anak? Meski Ayah bersem-

bunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan 

dia tak pernah menikah. Mungkin ilmunya menjadikan


dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng. "Dua purnama 

lagi duel itu akan terulang. Ayah berharap selama itu 

kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang 

akan menjadi pemimpin Laskar Setan."

"Baik, Ayah."

"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan 

semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar 

Setan bersamamu."

Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa ter-

bahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Ca-

trik Ireng meninggalkan putranya yang masih terdu-

duk.

***


DUA



Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan 

panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda 

berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah me-

nyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera 

panas terik yang memanggang tubuhnya. Sesekali ke-

palanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang 

membasahi pelipisnya.

"Uhhh...! Panas sekali hari ini," keluh pemuda 

tampan itu yang tidak lain Sena Manggala atau Pende-

kar Gila dari Goa Setan

Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan, 

berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha 

mencari paman dan bibinya. Hanya mereka yang dapat 

dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun 

entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya.

Sena terus melangkah, membawa kakinya untuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang se-

perti orang gila, semakin bertambah lucu dengan kea-

daan yang panas menyengat seperti itu. Sesekali kepa-

lanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bo-

doh.

"Anak muda, tunggu...!"

Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita, 

memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya.

Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya 

langsung berbalik untuk melihat orang yang menyu-

ruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya 

nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk me-

langkah ke arahnya. Wanita tua itu mengenakan pa-

kaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan 

ikat kepala berwarna hitam pula.

Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya 

wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan 

hidung bangir. Sedangkan matanya diperindah oleh 

alis tipis serta bulu mata yang lentik.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya. 

Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor mo-

nyet yang kepanasan dipanggang matahari

"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?" 

tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet 

kepanasan.

"Hik hik hik..! Pucuk dicinta ulam tiba," ucap 

nenek yang ternyata Nyi Kendil, guru Bidadari Cadar 

Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar 

Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").

Sena mengerutkan kening mendengar ucapan 

Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil meng-

garuk-garuk kepala mulutnya mengoceh,

"Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk? 

Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat


ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?"

Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat men-

dengar ucapan pemuda itu.

"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya se-

raya mengangguk-angguk.

"Apanya yang tak salah, Nek? Ah, sudahlah. 

Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Se-

na masih bertingkah laku aneh.

"Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah 

kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang 

tersohor itu...?!" tanya Nyi Kendil dengan suara lan-

tang, setengah membentak.

Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai me-

nyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit, 

dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya 

kembali seperti semula, cengengesan sambil mengga-

ruk-garuk kepala.

"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut terso-

hor untuk pemuda sebodoh aku, Nek. Memang kena-

pa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi 

Kendil.

"Jadi kau pendekar itu? He he he.... Bagus...," 

gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh. "Namamu 

yang besar sering kudengar. Menggugah hatiku untuk 

membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sa-

rangku."

Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut 

nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepa-

lanya digelengkan.

"Ah, mengapa begitu, Nek? Aku bukan manusia 

aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelema-

han. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya 

Nenek berusaha mencariku? Bahkan hendak mencoba 

ilmuku?"



"Hik hik hik...!" Nyi Kendil tertawa-tawa, mem-

buat tubuhnya turut terguncang-guncang. "Weleh, 

mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-

nasaran saja. Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi 

memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka 

ini. Bersiaplah...!"

Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala 

dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi 

Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berse-

ru....

"Tunggu...!"

Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya 

pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti.

"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih 

dengan mata memandang tajam serta kening berkerut

"Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk 

menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah 

yang menang. Nah, permisi."

"Tunggu...!" seru Nyi Kendil, ketika melihat Se-

na hendak berlalu.

Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya te-

rus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menan-

tangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia me-

rasa telah diremehkan oleh pendekar itu.

"Kurang ajar! Rupanya kau menyangka begitu 

mudah lari dariku, Anak Muda! Heaaa...!"

Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemu-

dian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Ge-

rakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmunya 

bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-

matangan ilmunya amat luar biasa.

Jleg!

Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah 

sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seketika menghentikan langkahnya.

"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Men-

gapa kau masih saja tak puas? Bukankah telah kuka-

takan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil 

tertawa dan menggaruk-garuk kepala, membuat Nyi 

Kendil berungut kesal.

"Kurang ajar! Apakah dengan begitu aku akan 

membiarkan mu pergi! Aku jauh-jauh mencarimu un-

tuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan ku-

biarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiap-

lah! Yeaaat..!"

Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang 

lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagai-

kan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diang-

kat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pu-

kulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak 

laksana kaki-kaki seekor binatang yang tengah meng-

hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu 

Menghisap Bunga'.

Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita 

tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia 

pernah melihat jurus itu digunakan untuk menye-

rangnya.

Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat 

siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus 

itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya. 

Siap menghantam dada dan kemaluan.

Wuttt!

"Uts...!"

Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya 

melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana me-

nari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan 

yang dilancarkan wanita tua itu.

Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya


gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah 

daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya 

menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan ki-

rinya mencengkeram ke selangkangan.

Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepat-

cepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-

lat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuh-

nya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan se-

sekali tangannya menepuk ke dada lawan.

Sambil terus mengelakkan serangan yang di-

lancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha 

mengingat-ingat siapa orang yang pernah mengguna-

kan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu menga-

rah ke titik kematian, ke arah kemaluan lawan.

"Heaaa...!"

"Uts! He he he...! Mengapa kau sudah tua ma-

sih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-

liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan.

"Tutup mulutmu, Gila! Heaaat..!"

Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya 

laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Se-

dangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah 

selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar 

Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk memen-

tahkannya.

"Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek? 

Aduh...! Celaka kalau wanita setua mu masih cabul. 

Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...."

Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih me-

liuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan 

Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mema-

tikan.

Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin 

bertambah geram. Dengan dengusan penuh amarah,


wanita tua itu semakin mempergencar serangannya. 

Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai 

tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, me-

nendang dan menyapu kaki lawan. 

"Yeaaat..!"

Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ga-

nas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi se-

bagai orang yang sudah sering menghadapi hal-hal se-

perti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan ma-

sih dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus seran-

gan-serangan yang dilancarkan Nyi Kendil.

"Jangan hanya mengelak saja, Gila! Tunjukkan 

ilmumu yang kesohor itu...!" bentak Nyi Kendil beru-

saha memancing amarah pendekar muda itu. "Kalau 

kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-

lahkan kalau aku membunuhmu! Yeaaat..!"

Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu 

tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh. 

Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu. 

Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan 

yang dilancarkan wanita tua itu.

Merasa usahanya untuk memancing kemara-

han Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah 

marah. Kekuatan tenaga dalamnya ditambah, dan se-

rangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya 

bergerak kian liar.

"Awas, Nek...!"

"Uts...!"

Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pen-

dekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebe-

lumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi 

Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang.

"Ha ha ha...!" Sena tertawa seraya menarik se-

rangannya.



Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang. 

Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Na-

fasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergo-

lak di dadanya.

***

Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita 

tua itu semakin sengit

"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu! Aku 

belum kalah olehmu! Yeaaat..!"

Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya 

merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke 

depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke 

atas, dengan kaki-kaki yang menghentak 

Melihat serangan yang dilancarkan lawannya, 

Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benak-

nya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa se-

benarnya orang yang pernah menyerangnya dengan ju-

rus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu.

"Wet hampir saja...!" pekik Sena sambil memi-

ringkan tubuhnya ke samping.

Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan 

serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu den-

gan cepat Pendekar Gila balas menyerang.

"Jaga dadamu, Nek! Yeaaa...!"

Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak 

tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wa-

nita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya me-

nyaksikan jurus lawannya. Gerakan tangan lawan ke-

lihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sung-

guh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat 

mundur, tentu dadanya akan jebol.


"Edan! Benar-benar ilmu edan!" maki Nyi Kendil 

bersungut-sungut. Sedangkan Pendekar Gila kembali 

tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.

"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku 

kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan 

tingkah lakunya yang persis orang tolol. "Kuharap kau 

mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi pula, an-

tara kita tak ada silang sengketa...."

"Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kendil, membuat 

mata Sena melotot kaget "Enak benar kau berkata di 

antara kita tak ada silang sengketa...!"

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan 

kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan 

kepalanya menggeleng-geleng.

"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Ba-

gaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?"

"Diam! Kau kira karena kita baru bertemu ma-

ka antara kita tak ada silang sengketa?!" dengus Nyi 

Kendil masih dengan suara membentak. Matanya ma-

sih melotot marah. "Pendekar cabul! Sungguh sangat 

disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya 

diagung-agungkan ternyata cabul! Suka memperkosa 

gadis dan istri orang!"

Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan 

yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya beru-

saha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah. 

Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang men-

gaku-aku dirinya.

"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau 

punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang.

"Ya!" dengus Nyi Kendil.

"Hm, katakanlah bukti apa?"

Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya 

bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya.


"Muridku buktinya!"

Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian 

tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya. 

Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh ne-

nek itu sama dengan jurus Wulandari atau Bidadari 

Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk 

kepala sambil tersenyum.

"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah 

muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Ca-

dar Merah?" tanya Sena.

Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh ama-

rah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang 

telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia ta-

hu nama muridnya.

"Ya! Bukankah kau yang memperkosanya?!" 

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas 

di udara, lalu terbawa oleh angin. Kemudian dengan 

tingkah anehnya, Sena kembali berkata....

"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa an-

tara kau dan aku, Nek? Hm, kau boleh tanya pada mu-

ridmu. Apakah benar aku yang telah memperko-

sanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit."

Usai berkata begitu, Sena segera menjura hor-

mat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil 

kembali berseru menghentikan langkahnya. 

"Tunggu...!"

Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya te-

rus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nam-

pak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke 

arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menye-

but nama wanita bercadar merah itu.

"Wulandari...!"

"Tuan Pendekar, tunggu...!" panggil Wulandari. 

Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang


menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada 

guru."

Wulandari segera mengajak Sena ke tempat gu-

runya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari 

Cadar Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil 

mengangguk-anggukkan kepala.

"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah me-

renggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian.

"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah meno-

longku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda ber-

topeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wu-

landari dengan mata mengerling sungkan pada Sena 

yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Nah! Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah 

kau akan menuduhku cabul? Bukankah jurusmu yang 

sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi 

Kendil langsung melotot.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil 

tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang me-

nyaksikan gurunya melotot, hanya tersenyum. Kemu-

dian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak 

enak itu.

"Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan anta-

ra orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua 

orang persilatan telah mendapatkan undangannya."

"Hah...?!" Sena bengong.

***

TIGA



Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan 

tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sam


bil tersenyum-senyum.

"Duel...? Apakah aku tak salah dengar, Nyi?"

"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyela-

matkan si keparat yang menodai ku dulu telah menye-

bar pengumuman, ini buktinya...."

Wulandari mengambil lipatan daun lontar di 

ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Se-

na yang segera membacanya.

Bagi semua pendekar rimba persilatan!

Kami mengundang Anda pada dua bulan pur-

nama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk me-

nyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang 

nomor satu di rimba persilatan.

Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang per-

nah kami lakukan lima puluh tahun yang silam. Semoga 

Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar!

Catrik Ireng.

"Edan! Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil 

melipat daun lontar kembali. Tangannya menggaruk-

garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di 

mana matahari kini agak condong ke arah barat.

"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu ada-

lah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang si-

lam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti

"Catrik Ireng...?!" seru Nyi Kendil kaget dengan 

mata membelalak. Membuat Wulandari dan Sena me-

mandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.

"Ada apa, Guru? Apakah Guru mengenalnya?" 

tanya Wulandari.

"Ya! Dia lelaki bajingan! Dialah yang telah 

membuatku harus kehilangan harapan! Kehilangan 

masa depan!" dengus Nyi Kendil, semakin membuat


Wulandari dan Sena terheran-heran.

Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah 

nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah, 

setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah 

ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun 

yang silam.

"Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terja-

di antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari 

setelah menyaksikan gurunya diam saja.

"Hm, aku pun menaruh dendam padanya," 

dengus Nyi Kendil.

"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin 

tahu.

"Nanti kuceritakan. Sekarang kita pergi dari si-

ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya.

"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?"

"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas 

pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi. 

Aku mohon pamit"

Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat 

pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa 

memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar de-

cak kagum.

"Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulan-

dari. Kekaguman yang tergambar pada rona wajahnya 

begitu dalam.

"Ya! Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata 

ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki il-

mu yang tinggi," sambut Nyi Kendil.

"Jadi...."

"Ya! Mulanya aku menyangka dialah yang telah 

memperkosa mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar 

biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi 

mayat!"


Wulandari semakin kagum mendengar keteran-

gan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tam-

pan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-

ri perasaan yang aneh. Wulandari tak yakin kalau itu 

hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan ka-

lau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk 

di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau me-

nerima cintaku? Dia masih perjaka asli. Sedangkan 

aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya.

Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak mu-

rung dengan mata memandang ke arah kepergian Pen-

dekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah 

mendekati muridnya.

"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil 

hati-hati.

Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup 

cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjap-

ngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gu-

runya semakin tersenyum lebar.

"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-

lu-malu 

"Mengapa tidak? Dia lelaki dan kau wanita."

"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Se-

dangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih, 

kemudian kepalanya menunduk.

Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perla-

han. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh 

kasih sayang.

"Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau 

memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulu-

san cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus 

berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela 

berkorban," kata Nyi Kendil pelan, memberi petuah 

pada muridnya yang semakin tertunduk sendu.


"Aku akan berusaha, Guru."

"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin ta-

hu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pe-

muda itu? Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagai-

mana hasil petualanganmu"

"Baik, Guru."

"Ayo kita pulang."

Kemudian keduanya segera melesat meninggal-

kan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama ke-

mudian, tubuh mereka menghilang di dalam kerimbu-

nan hutan.

***

Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas ti-

kar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong re-

bus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah 

liat

Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah 

liat ada di dekat kaki mereka.

Keduanya mengambil singkong rebus dan gula 

merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh ke-

nikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari 

cangkir tanah liat

"Bagaimana pengalamanmu, Wulan? Dan ba-

gaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda 

itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan se-

nyum terulas di bibir. Mata muridnya mengerjap-

ngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut. 

Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena 

Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan.

Wulandari terlihat semakin cantik, setelah ca-

dar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wa-

jahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona


dengan seulas senyum tersipu-sipu.

"Kenapa, Wulan? Kau ingat dia lagi...?" seloroh 

Nyi Kendil, membuat Wulandari semakin tersipu-sipu. 

Pipinya kian merona merah.

"Ah, Guru...."

"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah 

muda. Nah, katakanlah...."

Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah 

masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan 

kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pen-

galamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia 

bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan meno-

reh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama 

kali mereka bertemu di hutan setelah ia mengalahkan 

Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial 

Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar 

Merah").

"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari, 

mengakhiri ceritanya.

Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Di-

helanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah 

Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang 

tengah diperhatikan pada wajah muridnya.

"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil ter-

dengar suara desahan cukup keras, yang entah ditu-

jukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari menge-

rutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya. 

Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak 

mengerti akan desah gurunya tadi.

Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya 

menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga 

menatap dengan penuh ketidakmengertian akan se-

muanya.

"Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Sepertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi. 

Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Sama-

sama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita in-

ginkan."

Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar 

penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahan-

lahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Ti-

dak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi 

kedua pipinya.

Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya 

nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang 

masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu 

apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa 

muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda 

seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir 

sama dengan apa yang dialami Wulandari.

"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin 

kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk 

bertemu. Berbagi suka dan duka yang telah kita alami. 

Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa 

aku sebenarnya...."

Wulandari menganggukkan kepala dengan ma-

sih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang 

membasahi pipinya yang halus.

Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil 

mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng.

Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia 

sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan 

teman-temannya. Bersuka ria di sebuah lapangan di 

pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-

sa itu bernama Roro Kendari. Di antara teman-

temannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu 

pula dengan pakaian yang dikenakannya. Paling bagus 

di antara gadis yang lain.


Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya. 

Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya 

baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya 

dia banyak disenangi oleh teman-temannya.

Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main, 

muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu. 

Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi 

tertarik. Dengan bibir tersenyum, didekatinya gadis 

itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-

gu Roro Kendari.

"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng 

masih tersenyum.

Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik 

Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang 

ajar.

"Lelaki kurang ajar!" makinya marah.

Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang 

tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang 

penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah 

lancang berani membelai dagu Roro Kendari.

"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Ca-

trik Ireng dengan kening berkerut "Apakah salah jika 

nama mu ku tanya?"

"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku?! 

Bukankah itu kurang ajar?!" ketus dan keras suara 

Roro Kendari. Matanya masih melotot sepertinya tidak 

merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berju-

bah hitam di hadapannya.

"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu."

"Lancang mulutmu!" bentak Roro Kendari. 

"Apakah kau tidak pernah diajar adat?!"

Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian 

gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu 

dibentak begitu rupa di depan orang banyak.


"Gadis edan! Kuhajar mulutmu!" dengus Catrik 

Ireng.

"Hajar kalau memang berani!" tantang Roro 

Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik 

Ireng.

Cup!

"Auw...!"

Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan te-

man-temannya berlarian meninggalkan tempat itu, 

merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam.

"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng 

masih tersenyum.

Roro Kendari bertambah marah. Tidak didu-

ganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah men-

ciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang. 

Pipinya merona merah karena malu.

"Kurang ajar! Kau benar-benar lelaki bajingan!"

Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki 

muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng malah 

memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya. 

Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kenda-

ri.

"Kurang ajar! Lepaskan..!" bentak Roro Kendari 

sambil memukul dada Catrik Ireng, dengan harapan 

pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ci-

umannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelu-

kannya. Semakin Roro Kendari berontak, semakin 

kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu 

mencium pipinya.

"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia 

menjadi istriku!"

"Cuh! Tak sudi! Kau lelaki bajingan...!"

Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah 

Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas



menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher 

jenjang Roro Kendari.

"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Roro Kendari 

sambil terus meronta, berusaha melepaskan pelukan 

pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak pe-

duli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi.

Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leh-

er Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras 

menghantam punggungnya.

Bugk!

Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal 

itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera 

berlari ke arah ayah dan ibunya.

"Ayah, pemuda itu jahat! Bajingan...!"

Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa 

yang telah memukulnya.

"Hm, rupanya kau?! Seharusnya kau berterima 

kasih, karena putri mu telah mendapat kehormatan 

untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh?!" 

ujar Catrik Ireng, sombong.

"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli! Kau bu-

kan orang baik-baik! Kau harus ditangkap...!" jawab Ki 

Lurah Manujaya.

Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika 

tertawa tergelak-gelak

"Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Apakah 

kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh?! 

Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya 

berlalu! Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan 

istri!"

"Sombong! Biar namamu menjulang sampai ke 

langit, aku tak takut. Demi kebenaran dan kebaikan, 

aku rela mati!" sengit Ki Lurah Manujaya.

"Kurang ajar! Rupanya kau menantangku!


Yeaaat..!"

"Heaaat..!"

Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda 

berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding 

Ki Lurah Manujaya. Dalam beberapa gebrakan saja, Ki 

Lurah Manujaya dapat dibunuh.

Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah 

Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh su-

aminya.

"Kang Mas...!" ratap istri Ki Lurah Manujaya. 

"Bajingan! Kubunuh kau...!"

Dengan tangan menggenggam keris milik sua-

minya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik 

Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun 

dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelak-

kannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan 

wanita itu.

Bles!

"Akh...!" jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di 

tangannya tepat menusuk perutnya sendiri.

"Ibu...!" jerit Roro Kendari

Mata Roro Kendari memandang pemuda berju-

bah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Ken-

dari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti 

pemuda berjubah hitam itu hendak bermaksud jahat 

padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pem-

bunuh ayah dan ibunya.

Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecanti-

kan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu per-

gi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap 

penduduk ditanya, di mana Roro Kendari bersem-

bunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau 

memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi.

Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemu


kan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah 

rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya.

"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu. 

Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu."

Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha mela-

wan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu 

silat. Jangankan dia, ayahnya yang memiliki ilmu silat 

saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebra-

kan.

Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak 

terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian 

yang dikenakan Roro Kendari.

Breeet...!

"Auh, tidak...!"

Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tena-

ganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik 

Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya. 

Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata 

berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh ga-

dis itu tanpa sehelai benang pun.

Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda 

itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Ro-

ro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro 

Kendari melahirkan seorang bocah lelaki yang diberi 

nama Prabasangka.

"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak me-

nyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat 

ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi 

Kendil atau Roro Kendari.

Wulandari terdiam menundukkan kepala.

"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau

memaafkannya, Wulan? Maukah kau menjadi istrinya 

jika dia telah sadar nanti?"

Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk

menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tum-

buh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka 

yang telah memperkosa dan menghancurkan masa de-

pannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wu-

landari lari meninggalkan tempat itu.

"Wulan, tunggu...!" seru Nyi Kendil sambil ber-

lari mengejar muridnya.

***

EMPAT



Malam datang membawa kegelapan yang dis-

elimuti halimun. Binatang malam berdendang riang, 

seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil. 

Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apa-

lagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hu-

tan menimpali.

Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bu-

kit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang. 

Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik me-

ronda.

Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seo-

rang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan pergu-

ruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan 

perguruan pertama yang semua anggotanya terdiri dari 

kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang 

Emas cukup disegani di rimba persilatan

Malam semakin bertambah mencekam, ketika 

dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar 

suara-suara aneh. Suara-suara yang mampu mendiri-

kan bulu kuduk

"Huuu...!"


"Kakkk kakkk..!"

"Nguiiik..!"

Keempat wanita yang tengah melakukan tugas 

jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara 

aneh itu. Bulu kuduk mereka meremang tiba-tiba.

"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-

si

"Ya! Suara itu menyeramkan sekali. Sampai-

sampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari

Tanpa mereka sadari, saat itu puluhan pasang 

mata memandang keempat wanita yang tengah berja-

ga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buas-

nya pemilik mata itu.

"Nguiiik...!"

Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isya-

rat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah ber-

jaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika me-

nyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tata-

pan mata buas berkelebat ke arah mereka.

"Celaka, kita diserang...!" seru Bintang Kanti.

"Cepat bunyikan kentongan!" perintah Bintang 

Sasi pada temannya, Bintang Murai.

Bintang Murai segera lari ke arah kentongan. 

Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali, 

pertanda keadaan dalam bahaya.

Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu 

dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal 

itu, tubuh keempat gadis itu menegang, siap untuk 

menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera 

berusaha menghalau para penyerang yang ganas.

Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid 

Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha 

menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seim-

bang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan.



Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan.

"Nguik nguiiik..!"

Para penyerang berjubah hitam itu terus me-

nyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak men-

geluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk den-

gan membongkar pintu gerbang.

"Kita diserang musuh...!" seru salah seorang 

murid Perguruan Bintang Emas yang terbangun lebih 

dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang 

lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi 

Pandagu.

"Hadang mereka...!" perintah Dewi Pandagu, 

seorang wanita cantik jelita berpakaian seperti orang 

India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak, 

menggambarkan sifat keibuan.

"Heaaat..!"

Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang 

semuanya wanita itu dengan berani segera mengha-

dang para penyerang yang berusaha merangsek. Perta-

rungan di tengah malam pun seketika berkobar.

"Laskar Setan...!" pekik Dewi Pandagu, setelah 

melihat simbol yang ada di dada sebelah kiri pada se-

tiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya.

Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu mu-

rid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki 

dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran. 

Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulan-

nya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka 

hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian 

kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ga-

nas.

Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian 

itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang di-

lontarkan bukan pukulan biasa, melainkan pukulan



sakti.

"Hiaaat..!"

Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemu-

dian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya puku-

lan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan 

wanita secantik Dewi Sinta itu, keluar sinar merah 

membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke 

arah lawan-lawannya.

Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu 

langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi 

jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu 

membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus 

mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya 

melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak ter-

jangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan.

Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda 

berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban 

akan bertambah banyak

"Hiaaat..!"

Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi 

Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju 

kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang 

bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada mu-

rid-muridnya.

"Uhhh...!"

Salah seorang murid terkena cengkeraman tan-

gan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar 

dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas.

"Celaka...! Pemuda itu benar-benar berbahaya! 

Aku harus segera menghentikannya! Yeaaat..!"

Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang 

pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka.

Melihat serangan datang, Prabasangka dengan 

cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menye


rang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada 

Dewi Pandagu.

Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan un-

tuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menye-

rang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wa-

jah lawan bergantian.

"Uts...! Rupanya kau ketuanya, Manis!"

Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian 

dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tan-

gan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi 

Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menye-

rang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi 

ke buah dada Dewi Pandagu.

"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah 

bercampur kaget, mendapatkan serangan yang da-

tangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya, 

Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan. 

Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabe-

tan selendangnya.

Ctar!

Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras, 

laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar, 

hingga menimbulkan percikan bunga api.

"Uhhh...!"

Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tu-

buhnya melenting ke atas untuk mengelakkan seran-

gan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalas-

nya dengan tendangan menyamping.


"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah. 

Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah 

dagu lawan, disusul sabetan selendangnya....

Ctar!

"Uhhh...!" Prabasangka tersentak kaget. Cepat-

cepat tubuhnya melenting ke atas, mengelak dari se-

rangan selendang lawan.

Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-

nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-

gan kirinya memukul ke dada lawan.

Ctar!

"Heat..!"

Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung 

oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik 

kakinya. Sedangkan tangan kanannya kembali berge-

rak untuk menangkap tangan lawan.

Sementara, tangan kirinya hendak mencengke-

ram ke arah buah dada Dewi Pandagu.

"Uts...!"

Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu di-

putarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang 

hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimi-

ringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang 

memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wa-

jah lawan.

Ctar!

Prabasangka membuang kepalanya ke samping 

kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya 

diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan ka-

nannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan 

Dewi Pandagu.

Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget 

mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya 

berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak 

mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari 

pemuda itu sempat menyentuh juga.

"Auh...! Iblis cabul! Kubunuh kau...!"

Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang 

semakin marah kembali menyerang dengan selendang 

dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu 

membuat gerakan-gerakannya agak kaku, dan seran

gannya pun tidak segarang dan seganas tadi. 

Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pan-

dagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Se-

gera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tan-

gannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan kanan 

ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan 

kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu.

Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke 

tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin 

mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan 

Prabasangka hendak menyerang, dengan cepat Dewi 

Pandagu mengebutkan selendang untuk memapa-

kinya.

Ctar!

***

Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan 

harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas 

menyerang dengan jurus-jurus cabulnya. Rupanya 

perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sem-

barangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. La-

wan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik 

Ireng. Salah seorang tokoh rimba persilatan yang di 

masanya dulu merupakan salah satu dari dua pende-

kar muda tanpa tanding.

Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda 

berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di 

atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan se-

lendangnya.

"Heaaat..!" 

Ctar!

Prabasangka terus berkelit dan sesekali mem-

balas serangan. Tangannya senantiasa mengarah ke



arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak 

ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan. 

Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap 

selendang itu. 

Tap!

Selendang lawan tertangkap. Membuat mata 

Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tan-

gan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan hara-

pan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan 

Prabasangka rupanya sangat kuat

"He he he...!" Prabasangka terkekeh. Senyum-

nya mengembang di bibir. "Akhirnya kau kudapat juga, 

Manis...."

Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan 

pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya me-

lotot penuh amarah. Kemudian dengan nekat tangan-

nya menghantam ke dada lawan.

"Hiaaat..!"

Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya 

kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung 

dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pu-

kulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di 

sampingnya.

"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis! 

Yeaaat..!"

Setelah luput dari hantaman pukulan sakti 

yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka meng-

hentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas den-

gan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemu-

dian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya ber-

gerak ke arah buah dada lawan

Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera 

memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Ka-

kinya menendang pula.


"Yeaaat..!"

Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi 

Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas 

menyerang, seketika menarik kembali serangannya. 

Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pan-

dagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung 

wanita cantik itu.

Tuk! 

"Hugkh...!"

Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha memba-

likkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Na-

mun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan 

darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku.

Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena me-

rasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu 

yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-

apa.

"Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...."

"Cuh! Lepaskan aku...! Pengecut lepaskan aku!" 

bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan 

diludahinya kembali wajah Prabasangka.

Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di 

wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu.

"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis."

Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-

nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-

gan kirinya memukul ke dada lawan.

Ctar!

Pengecut lepaskan totokanmu! Kita bertarung 

sampai salah satu di antara kita mati!" dengus Dewi 

Pandagu kian marah.

Prabasangka tak menggubris tantangan itu. 

Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong 

tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah,


hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam ban-

gunan utama Perguruan Bintang Emas.

"Lepaskan, Pengecut! Lepaskan...!"

Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar 

Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda 

berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus 

melangkah, membawa tubuh Dewi Pandagu menapaki 

halaman bangunan.

Ketika kakinya berada di depan pintu bangu-

nan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-

ri anak buahnya. Prabasangka tersentak kaget. Tu-

buhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang ter-

jadi. Matanya membelalak ketika melihat seorang pe-

muda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak 

buahnya.

"Pendekar Gila....!" desis Prabasangka kaget. 

Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa 

banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Pergu-

ruan Bintang Emas.

Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang me-

mang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat. 

Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki 

berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam 

Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu 

terus dipukulkan ke kepala lawan. 

"Yeaaa...!" 

Plak! 

Bugkh!

Sena Manggala bagaikan orang gila yang men-

gamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan 

cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling 

Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah 

rupanya yang mampu menjatuhkan Laskar Setan!

"He he he...! Rupanya Laskar Setan ini hanya


bisa dikalahkan oleh sulingku! Yeaaa...!"

Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat 

dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila 

mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti 

orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya 

laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara bera-

dunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tu-

buh lawan.

Plak!

Bugkh!

Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris 

memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi. 

Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Na-

mun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya 

terus bergerak cepat seraya memukulkan sulingnya.

Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin 

banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua 

murid Perguruan Bintang Emas hanya dapat menon-

ton amukan Pendekar Gila.

"Yeaaat..!"

Wuttt!

Plak!

Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan, 

kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-

lat ke atas, kemudian menukik ke bawah sambil 

menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Sul-

ing Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan. 

Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang 

dari mereka.

Pletak! Pletak...!

Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan 

empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul. 

Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu


LIMA


Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyele-

saikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-

senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya me-

langkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja 

dibiarkan hidup.

"Katakan, siapa pemimpinmu?"

Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya 

matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena 

yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemara-

hannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya 

terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada ta-

wanannya.

"Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres 

dengan manusia ini. Keji...! Sungguh keji orang yang 

telah melakukan semuanya. Hm, tapi baiklah. Aku 

akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sam-

bil mengangguk-angguk. Kakinya melangkah, memuta-

ri tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati 

sesuatu pada tubuh orang itu.

"Tuan, tolonglah bukakan totokanku...!" seru 

Dewi Pandagu, menyentakkan Sena.

Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk 

mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa 

berbicara, bahkan bagai tak memiliki perasaan.

Sena menengok ke arah pemilik suara yang 

merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil 

menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik je-

lita berpakaian putih seperti orang India berdiri mema-

tung tanpa daya.

"Ah! Kenapa kau...?" tanya Sena.

"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pandagu

Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena me-

langkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan 

gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di 

tubuh Dewi Pandagu.

Tuk!

Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena 

termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang 

yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bin-

tang Emas itu.

"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan 

segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah 

bagaimana nasibku dan murid-muridku...," keluh Dewi 

Pandagu.

Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya 

masih cengengesan.

"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi 

Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm, 

tentunya pemimpin Laskar Setan itu bukan orang 

sembarangan."

Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu 

mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut na-

ma gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita 

sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Panda-

gu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya 

menghadapi pemuda berbaju kuning yang jurus-

jurusnya cabul.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. 

"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?" 

tanya Sena.

"Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi 

Pandagu.

"Apakah ikat kepalanya kuning juga?"

"Benar! Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pandagu balik bertanya.

Pendekar Gila menghela napas sambil mengga-

ruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang le-

laki anggota Laskar Setan yang masih tertotok. 

"Benar-benar keji," gumam Sena.

"Kenapa...?"

"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil 

menunjuk ke arah tawanannya.

"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak di-

bunuh sekalian?"

Sena menggelengkan kepala.

"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan da-

rah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan 

yang bukan sembarangan. Untuk melepaskannya, di-

perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha 

membuka totokan itu."

Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak men-

dengar penuturan Sena.

"Untuk apa...? Bukankah dia berbahaya?" 

tanya Dewi Pandagu.

Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-

li menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala 

menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan.

"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran 

dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan 

pikiran dan perasaannya berfungsi, dia akan menyada-

ri siapa dirinya."

"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak 

sadar?"

"Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-

wi?"

Dewi Pandagu tersenyum. Matanya yang lentik 

dan indah mengerling.

"Kenapa tidak? Untuk Tuan, aku selalu siap."


Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya 

menggaruk-garuk kepala.

"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan 

tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan 

guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat 

memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, me-

rendah.

Dewi Pandagu tersipu. Matanya masih mengerl-

ing penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan 

kerlingan matanya yang indah.

"O, mengapa malam-malam begini kita harus di 

luar? Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi 

Pandagu.

"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu," 

kata Sena, berusaha menolak.

"Mengapa malam-malam begini? Bukankah le-

bih baik besok pagi?"

Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian 

mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, se-

pertinya mengundang.

"Ayolah...," desak Dewi Pandagu.

Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulut-

nya cengengesan.

Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya 

kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling 

manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat 

celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan 

terpesona melihat kecantikannya yang sempurna.

"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia. 

Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya 

menunjuk ke arah tawanannya.

"Mengapa kau pedulikan dia?"

"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia. 

Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang


Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa 

kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena se-

tengah berfilsafat.

"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam 

beberapa saat

"Terima kasih. Kau telah turut membantuku."

"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi 

Pandagu dengan nada riang nan manja. Senyumnya 

yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang 

menawan.

"Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena.

Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya 

memandang penuh harap pada Sena, membuat pemu-

da itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa. 

Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita.

"Mengapa untuk kalian? Untuk anggota Laskar 

Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan ka-

mar lain."

Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk 

kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit 

yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya 

cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum 

sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu.

"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu," 

ajaknya.

"Baik"

Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya. 

Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-

lu mengikuti Dewi Pandagu yang masuk ke dalam 

bangunan perguruan.

Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama 

itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah 

pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang me-

nempati.


Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai 

di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti.

"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang 

kau bawa.."

"Hm, lumayan."

Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Di-

ikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam 

kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu 

orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas di-

pan.

"Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu. 

Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang ke-

palanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika 

pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pan-

dang. 

Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya 

dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu 

sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingun-

gan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan ga-

dis cantik itu.

Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata 

kembali. Kemudian dengan manja tangannya membe-

lai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang 

redup, mengharap sesuatu.

"Dewi, sadarlah...!" kata Sena, berusaha men-

gingatkan.

"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar 

kalau dari dulu aku memang jatuh hari padamu."

Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala. 

Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik 

yang kini semakin manja padanya.

"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-

na berusaha menghindar.


"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemu-

dian digandengnya tangan Sena. Mereka keluar dari 

kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hi-

tam yang tergolek tanpa daya.

***

Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar 

yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibu-

kanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak se-

buah ranjang berhias kelambu putih dengan bunga-

bunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang 

pengantin.

Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil 

menggaruk-garuk kepala.

"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku? 

Kamar siapa ini, Dewi?"

Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, di-

ajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, mem-

buat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya.

"Dewi...!"

Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah 

memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu mem-

belai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebin-

gungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelai-

belai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana 

kemari, kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Panda-

gu sambil mendongakkan kepala. Matanya perlahan-

lahan terpejam dengan bibir merekah.

Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, be-

lum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua 

di dalam kamar dengan seorang wanita cantik

Dewi Pandagu terus membelai dada Sena dengan lembut Matanya memandang penuh harap ke wa-

jah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena me-

langkah ke tempat tidur.

"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya 

Dewi Pandagu manja.

Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia ti-

dak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi me-

nengadah ke atas, kini memandang dengan kening 

berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu, 

tampak seulas senyum merekah indah, dengan mata 

sayu menatap penuh arti.

"Suka..?" tanya Sena bergumam.

"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?" 

"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita mela-

kukannya?"

Dewi Pandagu tersenyum.

"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang.... 

Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih 

mengembang di bibirnya. Kemudian kepalanya dire-

bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya 

masih membelai dada bidang Pendekar Gila.

Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika 

menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika 

dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, ha-

tinya seketika terenyuh. Kerinduan untuk bertemu, 

kembali muncul mengisi hatinya.

Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang su-

ka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya seba-

tas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa 

dia menemukan rasa suka lebih daripada Dewi Panda-

gu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie, 

merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan 

sendirinya.

Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Tetapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu 

semakin terasa. Terlebih setelah banyak gadis-gadis 

dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia 

bagai diuji oleh cinta kasih itu.

Mei Lie, di manakah kau kini berada? Hatinya 

bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguh-

nya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa 

bertemu, Mei Lie...? Kuharap kau tidak akan melupa-

kan ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupa-

kanmu.

Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedala-

man hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai 

rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu 

adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang 

tanpa disadari, telah menawan hatinya.

Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itu-

lah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena 

membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini 

Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke 

tempat tidur.

"Sena...," desisnya lirih.

Keduanya rebah di tempat tidur.

Dewi Pandagu menutup kelambu. Kemudian 

keduanya tampak saling berpelukan, berciuman den-

gan penuh kemesraan.

***

"Sena...! Sena, bangunlah...!"

Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telin-

ganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Ma-

tanya memandang ke atas, seakan melihat sosok gu-

runya.

"Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya setengah mengeluh.

"Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku."

Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh 

air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang 

sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis 

yang menggoda.

"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku!"

"Tidak, Anakku.... Semua memang telah terga-

riskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa 

pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah ban-

gun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat 

baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu 

itu sebagai cambuk. Maka, kau akan senantiasa beru-

saha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat 

baik. Pergilah...."

"Baik Guru."

Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera men-

genakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tu-

buhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pan-

dagu tidak terbangun.

Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya 

menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah mereng-

gut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tan-

gan begitu saja? Ah, lelaki macam apakah aku? Keluh 

Sena dalam hati.

Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi 

Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya ram-

but gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya.

"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu. 

Aku berjanji, kelak aku akan datang untuk bertang-

gung jawab," bisik Sena lirih.

Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan 

pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke 

arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada.

Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuh-

nya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu.

***

ENAM



Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan 

Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin 

menjadi-jadi. Nampaknya ada maksud tersembunyi 

dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Se-

tannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk me-

mancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila 

akan bertambah marah.

Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kem-

bali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Pra-

basangka. Mereka menyerbu ke Perguruan Teratai Pe-

rak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari 

penyerbuan itu, tiada lain untuk menundukkan pergu-

ruan itu. 

"Hiyaaat...!" 

"Yeaaah...!"

Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, se-

ketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan 

dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Tera-

tai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Se-

tan.

"Serang terus...!" perintah Dewi Teratai Perak 

Pertarungan berlangsung seru. Satu persatu korban 

bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak. 

Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat di-

lumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan sege-

rombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh


dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan mu-

rid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas 

arus sungai deras. Tak berarti apa-apa.

"Celaka! Mereka bukan manusia...!" seru Dewi 

Teratai Perak kaget. Meski begitu, tubuhnya terus ber-

kelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke 

arah Laskar Setan.

Zwing, zwing, zwing...!

Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke 

arah Laskar Setan yang semakin ganas. 

Jlep! Jlep! Jlep! 

"Hgrrr...!"

Pemimpin Laskar Setan menggeram murka. 

Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah De-

wi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras, 

dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja 

menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu ke-

pandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal diha-

dapi.

"Uts...!" Dewi Teratai Perak tersentak. Tubuh-

nya segera berkelit. Kemudian dengan cepat tangannya 

melemparkan bunga-bunga teratai.

Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyak-

sikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pe-

mimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas, 

bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur beran-

takan.

"Hah?! Dia tak mempan dengan teratai ku?" 

"Hgrrr!"

Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang. 

Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak. 

Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut

Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke 

samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang


keras.

Wuttt!

"Uts! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik 

Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya bersalto di udara, 

untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan.

Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai 

Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak di-

bantai Laskar Setan yang buas.

Setiap murid Perguruan Teratai Perak menga-

lami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, ke-

putusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin me-

reka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau 

musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari 

neraka? Padahal kekacauan perasaan itu sangat me-

rugikan mereka dalam pertempuran 

"Serang terus...!"

Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, me-

nyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Pe-

rak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu, 

dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi 

kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala 

naga yang terbuat dari emas. Suling itu, tiada lain Sul-

ing Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju rompi 

kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar 

Gila dari Goa Setan.

Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang, 

menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghada-

pi pemimpin Laskar Setan.

"Bantulah anak buahmu, Nyi! Biar aku yang 

menghadapi setan ini," seru Sena.

Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum 

tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya 

melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, mem-

biarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedang



kan dia kini membantu anak buahnya.

"Jangan mundur! Seraaang...!" seru Dewi Tera-

tai Perak memberi semangat pada anak buahnya un-

tuk terus menyerang Laskar Setan

Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid 

Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nya-

linya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani 

kembali menyerang.

"Hiaaat..!"

Jlep!

Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin 

Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya 

saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat ke-

ras.

"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu!" 

tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat di-

lumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melom-

pat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan 

Suling Naga Sakti ke kepala lawan.

Wuttt!

"Hgrrr...!"

Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila 

menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan, 

kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan pe-

nuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menye-

rang.

"Hgr...!"

Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat 

mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gera-

kannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja 

yang mampu menembus karang. 

Wuttt

"Uts! Hebat juga kau, Setan! Tapi otakmu yang 

telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu kaku. Nah, ini untukmu...!"

Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan 

menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Sul-

ing Naga Sakti ke tubuh lawan.

Bugk!

"Ngk..! Uhk..!"

Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek. 

Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan 

keadaan sekelilingnya.

"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan 

yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia telah tersadar 

dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-

nya seperti boneka suruhan.

***

Pendekar Gila yang semula hendak memukul 

dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengu-

rungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan ma-

tanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam 

itu.

"Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu den-

gan sinar wajah heran

"Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah mene-

mukan cara yang baik untuk menolong mereka!" gu-

mam Pendekar Gila.

Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Se-

tan yang telah sadar dari pengaruh totokan.

"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?" 

tanya Sena.

"Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu.

"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mung-

kin kau tidak ingat semuanya?"

Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu men


ceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya 

ketika dia lewat di Gunung Lawu, tiba-tiba seseorang 

menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.

"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah 

hitam itu, menutup ceritanya.

"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau 

mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena.

"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang ter-

tidur."

"Celaka!" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadar-

kan mereka."

Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata 

bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah 

pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh 

muridnya yang menghadapi Laskar Setan.

"Hentikan..!" sergah Trana Jaya yang berusaha 

menghentikan rekan-rekannya. Namun tindakannya 

itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini 

diserang pula.

Wuttt!

"Edan!" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak 

kenal dengan pemimpinnya!"

"Ya! Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan," 

sahut Trana Jaya sambil mengelakkan serangan-

serangan bekas anak buahnya yang masih dalam pen-

garuh totokan Ki Catrik Ireng.

"Terpaksa...!" dengus Sena sambil melompat ke 

atas, lalu dengan cepat menghantamkan Suling Naga 

Sakti ke tubuh lawan-lawannya.

Bukkk! Bukkk..!

Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatu-

han, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Te-

ratai Perak dan murid-muridnya terus berusaha mem-

bendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya.


"Heaaat..!"

Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana 

Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu. 

Sampai akhirnya habis tak tersisa.

"Wah...! Rasanya semua bagai mimpi," gumam 

Sena setelah menyelesaikan tugasnya. "Manusia-

manusia aneh...!"

"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun me-

rasa seperti bermimpi. Tak pernah kubayangkan, ka-

lau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku ha-

rus kembali ke perguruanku!"

"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya 

Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan 

bekas pemimpin Laskar Setan itu.

"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana 

Jaya.

"O, tidak kusangka aku bisa bertemu dengan 

murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Ba-

gaimana kabar gurumu sekarang?" 

"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya. 

Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya.

"Eh, di mana pemuda itu?!" tiba-tiba Dewi Tera-

tai Perak berseru kaget, ketika matanya tidak menda-

patkan Pendekar Gila di tempatnya semula.

"Ha ha ha...! Aku di sini! Kuharap kalian bisa 

saling membantu...!" seru Sena dari kejauhan. "Aku 

yakin, kalian adalah pasangan yang serasi!"

Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pan-

dang. Kemudian tersipu malu.

"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Tera-

tai Perak entah ditujukan pada siapa.

"Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia 

yang menjadi musuh besar Ketua Laskar Setan." 

"Siapa Ketua Laskar Setan?"


"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya. 

"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah 

Pendekar Gila! Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan, 

bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala 

naga?"

"Ya, benar."

"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gi-

la...," desis Dewi Teratai Perak.

Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak dis-

angkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah 

terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda.

Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu, 

Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke da-

lam perguruannya,

***

TUJUH



Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pende-

kar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah 

berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik 

Ireng untuk melakukan duel dengan pendekar muda 

yang namanya tengah menjadi buah bibir.

Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan se-

mata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gi-

la yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun si-

lam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada 

para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki 

jabatan orang nomor satu di rimba persilatan

Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berda-

tangan para pendekar rimba persilatan. Pada umum-

nya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu,


setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik 

Ireng.

Dari arah barat, sekelompok orang melangkah 

dengan gagah. Seorang lelaki tua dengan pakaian resi 

berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya 

tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari.

Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di bela-

kangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi. 

Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat 

panjang terbuat dari kayu cendana. Itulah senjata me-

reka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang beram-

but panjang digelung ke atas serta jenggot yang pan-

jang dan putih, wajah anggotanya nampak bersih. Tak 

ada jenggot atau kumis.

"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak ber-

maksud memperdayai para pendekar?" tanya salah 

seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sa-

rameskari,

"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari. "Tokoh 

yang satu ini memang terkenal aneh. Lima puluh ta-

hun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini mun-

cul kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar 

kemunculan Pendekar Gila."

"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng den-

gan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya 

resi muda lain yang juga berjalan di belakang Resi Sa-

rameskari.

"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pa-

da kalian hubungan antara dua orang sakti itu."

Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada 

murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba per-

silatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan 

itu dulu pernah bertarung. Juga dikatakan bahwa Ki 

Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum mengalahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir se-

mua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila 

dari Goa Setan saja yang belum dikalahkan.

Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng men-

cari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Se-

dangkan Pendekar Gila mencari Ki Catrik Ireng untuk 

menyadarkan tindakan orang itu.

"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-

si Bragaskita, salah seorang resi muda yang berjalan di 

belakang Resi Sarameskari.

"Mereka pun bertemu."

"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang 

bernama Resi Bramaweda.

"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai 

akhirnya mereka mengeluarkan senjata masing-

masing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti. 

Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas 

murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bume-

rang kembar."

"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi 

Bramaweda semakin ingin tahu.

Resi Sarameskari tersenyum sambil mengge-

leng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjang-

panjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu.

"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senja-

ta Catrik Ireng saja yang terpotong."

"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi 

Bragaskita.

"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi. 

Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah ke-

matiannya," gumam Resi Sarameskari.

Mereka pun terus melangkah menuju Gunung 

Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Se-

bagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal.



Sementara itu, dari arah utara serombongan 

orang melangkah juga menuju arah selatan di mana 

Gunung Lawu berada. 

Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan pal-

ing depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya 

tampak seorang wanita bercadar merah yang tak lain 

adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bi-

dadari Cadar Merah.

Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang. 

Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menen-

tukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di 

rimba persilatan.

Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Seper-

tinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin be-

naknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil 

untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal 

hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila. Na-

mun sebagai seorang murid, dia harus patuh pada gu-

runya.

Di belakang mereka, menyusul kelompok dari 

perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki 

berjubah putih. Tampak di dada sebelah kirinya terda-

pat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam sen-

jata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan. 

Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Pu-

tih. Sementara itu seorang gadis berbaju hijau berjalan 

di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk menge-

tahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-

la dalam episode "Kumbang Hitam dari Neraka").

Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan se-

luruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. 

Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan 

untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Se-

mua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu benar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya 

duel antara dua tokoh sakti itu.

Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil 

dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian 

di markas Segoro Wedi, mereka menghilang bagai dite-

lan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial Pende-

kar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti").

Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nam-

paknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan.

Para pendekar kini telah sampai di tempat yang 

dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung 

besar yang telah dibuat oleh pasukan Ki Catrik Ireng, 

Laskar Setan!

Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang 

tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-

tat. Mereka sengaja dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk 

menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.

***

Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebe-

lah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa 

agak dingin. Angin bertiup kencang, seakan-akan hen-

dak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari 

panggung besar.

Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun 

yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran 

orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu 

kedatangan Pendekar Gila.

Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat 

sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok 

itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang 

ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang men-

gundang para pendekar untuk datang ke tempat itu.


Orang-orang persilatan yang mengelilingi pang-

gung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan le-

laki tua berjubah hitam itu.

"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya 

mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu 

apa yang akan terjadi di tempat ini, bukan..?" ucap Ki 

Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah.

"Ya...!" sahut para pendekar.

"Perlu saya beritahukan pada kalian. Sesung-

guhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya mela-

wan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih 

penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas men-

jadi Ketua Rimba Persilatan...!"

Semua tersentak dengan mata membelalak 

mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian me-

reka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki 

tua itu sebenarnya.

"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagai-

mana kalau kita adakan pembukaan!" kata Ki Catrik 

Ireng.

Kembali semua mata terbelalak mendengar pe-

nuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat 

kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki 

Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu 

bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan un-

tuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng mela-

wan Pendekar Gila.

"Ha ha ha...!"

Saat mereka tengah dalam keadaan kebingun-

gan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar. 

Membuat semua mata seketika memandang ke arah 

datangnya suara itu.

Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda 

berpakaian rompi kulit ular.


"Pendekar Gila...!" seru para pendekar serem-

pak, setelah tahu siapa yang datang

Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa 

tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik 

Ireng yang mengerutkan keningnya setelah melihat ru-

pa pemuda itu. 

"Kaukah Pendekar Gila itu?!" tanya Ki Catrik 

Ireng setengah membentak

"Benar!" sahut Sena tegas.

"Aku tidak percaya! Tentunya kau bukan Pen-

dekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong!" 

dengus Ki Catrik Ireng

Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-

garuk kepala. 

"Terserah mu saja, Ki. Kau mau percaya atau 

tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa mak-

sudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih 

dengan tingkah lakunya yang aneh.

"Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan

Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah 

Sena yang tetap bertingkah laku konyol.

"Baik! Katakan, ada hubungan apa antara kau 

dan Singo Edan?"

"Aku muridnya," sahut Sena tenang.

"Bagus! Meski kau bukan Pendekar Gila yang 

lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa 

kau dapat mewakili gurumu! Sengaja aku mengun-

dangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara 

aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mu-

lanya yang kuharapkan adalah gurumu. Tapi tak men-

gapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik 

Ireng

"Kalau itu tujuanmu, lebih baik aku mengalah. 

Tak ada gunanya bertarung kalau hanya memperebutkan pepesan kosong...."

"Pengecut!" maki Ki Catrik Ireng "Begitukah si-

kap seorang pendekar yang sering disebut sebagai 

pendekar tanpa tanding?! Lihat..! Kalian telah melihat 

sendiri, bagaimana pendekar yang kalian agung-

agungkan ternyata hanya kecoa busuk!"

Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik 

Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena 

marah.

"Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu 

busuk Ki!" balik Sena dengan niat mengejek

Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh ama-

rah.

"Kurang ajar! Siapa pun kau, aku harus me-

nyingkirkan mu!"

"Aha, terserah saja, Ki!" tantang Sena.

"Bagus! Kalau lima puluh tahun silam aku ka-

lah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya 

akan menerima pembalasanku! Bersiaplah...!".

Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera me-

langkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-

gi-tinggi, dengan jari mengepal. Kemudian sepasang 

tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk 

dengan tinju ke atas, sedangkan tangan kin dibuka 

dengan jari-jari lurus.

"Hhh...!"

Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam 

lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya 

ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari 

terbuka. Disusul hentakan telapak tangan lurus ke 

depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang di-

beri nama 'Sampar Cobra'.

Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pen-

dekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk


kepala.

"Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Ki Catrik 

Ireng yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol 

Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup.

"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena te-

nang.

Semua pendekar yang menyaksikan tingkah la-

ku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka ber-

tanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan menga-

cuhkan lawan? Padahal lawan yang dihadapinya bu-

kan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung 

dengan gurunya.

Kecemasan seketika menyelimuti hati semua 

pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang se-

perti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama 

'Monyet Gila Siap Menerkam'.

'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?" 

tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas me-

nyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-

kalau pemuda itu akan mendapat celaka karena belum 

siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi.

"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi," 

ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha 

menenangkan. "Tenanglah...."

"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu.

"Lihat! Dia telah membuka jurus!" seru Dewi 

Teratai Perak membuat mata semua pendekar terpusat 

penuh ke arah panggung.

***

Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua 

langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimu-

lainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal.


Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya ber-

gerak lemah gemulai dan lincah.

"Bersiaplah.... Aku akan mulai! Yeaaat..!"

Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka 

serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan 

menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku 

dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya di-

putar, lalu dihentakkan ke dada lawan.

Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-

pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-

nya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan sal-

ing berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut 

lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membu-

ka kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan me-

nari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan 

kiri lurus ke bawah.

"Yeaaat..!"

Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-

la Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, 

lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan 

kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke de-

pan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan 

diteruskan memukul ke arah lawan.

"Yeaaa...!"

"Heaaat..!"

Dua orang berilmu tinggi itu kini telah sama-

sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan 

kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan 

tubuh. Tangan mereka bergantian melakukan seran-

gan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka 

saling menyapu ke kaki lawan.

"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-

dekar Gila. Yeaaa..."

Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera


berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke 

dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-

bentuk pertahanan.

"Uts...!"

Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-

ing, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke 

depan. Diikuti oleh pukulan tangannya.

"Edan..!" maki Ki Catrik Ireng kaget. Segera di-

tariknya pukulan tangan kanannya, lalu diganti den-

gan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya dige-

rakkan menendang.

Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah. 

Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu 

memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan ce-

pat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus 

Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu me-

mang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang si-

lam, tetapi kini lebih hebat!

"Rupanya selama lima puluh tahun menghi-

lang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus 

miliknya...!" seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah 

ke belakang mengelakkan cengkeraman yang dilaku-

kan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik 

Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tu-

lang rusuk lawan. 

"Weit...!"

Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya 

dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan 

lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat 

Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke 

samping.

Semua mata orang persilatan memandang pe-

nuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan 

tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu.

Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.

"Ck ck ck..!"

"Ini baru duel seru!"

***

DELAPAN



Pendekar Gila masih terus menyerang. Gera-

kannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban. 

Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya 

sangat cepat. Tangannya yang menepak dan menca-

kar, susul-menyusul tiada henti.

"Edan! Benar-benar jurus gila!" maki Ki Catrik 

Ireng tersentak kaget mendapatkan serangan yang 

aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar 

muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit 

tentunya cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila 

akan menghajar tubuhnya.

"Heaaat..!"

"Uts...!"

Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika mera-

sakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin 

pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar me-

nerpa tubuhnya.

Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya. 

Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua ber-

jubah hitam yang telah banyak makam asam garam di 

rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tan-

gan ke dada Pendekar Gila.

"Yeaaa...!"

Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia 

yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini


tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang 

menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-

menyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menam-

par ke dada dan muka lawan.

Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya 

meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke 

wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ke-

tika tangan lawan menampar dengan kibasan tangan-

nya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak ber-

ganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha mengha-

lau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menye-

rang.

"Ck ck ck..! Hebat..!" puji Resi Sarameskari dis-

elingi decakan kagum, menyaksikan gerakan yang di-

lakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda, 

namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua 

yang namanya pernah menjadi buah bibir para pende-

kar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar 

tangguh pada zamannya.

"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi 

Bragas Wita, ingin lebih jelas tentang Pendekar Gila.

"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab 

Resi Sarameskari.

"Muridnya, Guru? Dari mana pemuda itu bisa 

tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi 

Bramaweda.

"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya 

aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang 

mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sara-

meskari.

"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bra-

maweda.

"Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau 

pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang ta


hu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan 

saja dulu pertarungan itu," tukas Resi Sarameskari.

Kedua murid utamanya itu menurut Mereka di-

am dan kembali memperhatikan pertarungan antara 

Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng.

Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi. 

Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat seran-

gan-serangan yang dilancarkan keduanya. Kini mereka 

berada di alam bebas, membuat gerakan mereka se-

makin leluasa.

Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-

gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya 

menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-

pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-

nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.

"Yeaaat..!"

"Uts...! Heaaat..!"

Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Ke-

mudian dengan gerakan membentuk setengah puta-

ran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah 

melihat Pendekar Gila menggeser kaki ke samping, Ki 

Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke da-

da Pendekar Gila.

Wuttt!

Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat 

mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila 

yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang 

dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya 

membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu, 

dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan ka-

nan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tan-

gannya seperti membelah dengan cepat 

"Heaaat..!"

Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan ki


rinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan ka-

ki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan 

kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar 

Gila.

Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera 

bersalto ke belakang. Dengan tubuh di udara, kakinya 

menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tu-

buh membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan 

tangannya lalu menyerang ke arah lawan.

"Yeaaat..!"

Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila 

kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik 

Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan 

yang dilancarkannya.

"Heaaa...!"

Tangan mereka kini bergantian memukul dan 

menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus me-

rangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Se-

dangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan 

menangkis serangan lawan sambil balas menyerang.

Semua mata membelalak Tak ada kata-kata 

yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksi-

kan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang 

laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil 

mencecarkan pukulan dan terkadang menangkis se-

rangan lawan.

"Ck ck ck..!"

Semua mendecak kagum dengan kepala meng-

geleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemam-

puan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski 

mereka dari golongan tua sekalipun, rasanya sangat 

sulit bertarung dengan tubuh melayang seperti itu. Bi-

sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan.

Pendekar muda itu benar-benar mampu me


nunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, sea-

kan benar-benar mampu terbang seperti burung. Ka-

kinya terkadang berputar untuk menendang, lalu ber-

putar kembali dengan pukulan-pukulannya.

"Heaaat..!"

Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik 

Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, su-

dah tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewala-

han menghadapi serangan-serangan aneh yang dilan-

carkan Pendekar Gila.

Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila ada-

lah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan 

pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan 

pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru 

Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu ju-

rus-jurus yang menjadi andalan Pendekar Gila.

"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gi-

la!" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis seran-

gan-serangan Pendekar Gila, dengan sesekali memba-

las menyerang.

"Yeaaat..!"

Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang, 

kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-

ri dengan posisi siap melakukan serangan. Tangannya 

bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tan-

gan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, se-

dangkan tangan kirinya berada di perut dengan jari-

jari tangan kejang mencengkeram.

"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki 

Catrik Ireng yang telah tahu jurus itu. "Dulu gurumu 

boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus 

itu tak ada gunanya bagiku, Pendekar Gila! Yeaaat..!"

Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk 

menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular.


Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping den-

gan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan 

kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan 

cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Sa-

lah satu jurus andalan Ki Catrik Ireng.

"Yiaaat..!"

"Heaaa...!"

Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap 

melakukan serangan berikutnya.

***

Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti 

tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Na-

mun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru an-

gin keras ketika kedua tangannya bergerak.

Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal di-

am. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, me-

matuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Se-

dangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.

"Yiaaat..!"

"Uts! Heaaa...!"

Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-

gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan. 

Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian ke-

mari.

Kemudian melakukan serangan dengan ten-

dangan dan sapuan. 

Trak!

"Yeaaat..!" 

"Hop...!"

Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, 

terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-

buh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu


dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali 

menyerang.

"Yeaaat..!"

"Hiaaat..!"

Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-

perti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin 

kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin to-

pan yang susul-menyusul.

Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan 

serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanan-

nya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-

lu membuka untuk menangkis serangan. Disusul ca-

karan tangan kirinya ke dada lawan.

"Sss...! Heaaa...!"

Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka 

semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja, 

tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak 

hanya gulungan berwarna hitam.

Semua mata yang menyaksikan pertarungan 

itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi 

mereka untuk mengikuti gerakan tubuh kedua tokoh 

sakti itu. 

"Gila...! Mereka benar-benar telah mengelua-

rkan gerakan ilmu silat yang luar biasa!" gumam Dewi 

Pandagu. "O, mungkinkah Sena dapat memenangkan 

pertarungan penentuan ini?"

Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa 

yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian den-

gan mata masih memandang ke arah pertarungan, 

Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya.

"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Wid-

hi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja 

yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-

tu."



Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata 

yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang 

dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-

la, berarti kekalahan aliran lurus. Dan tentunya tokoh 

aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa 

mempedulikan aturan rimba persilatan.

Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bi-

dadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya 

nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang 

memandang penuh ketegangan.

"Hhh...! Semoga Hyang Widhi selalu melindun-

ginya," gumam Wulandari perlahan.

Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan 

muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah 

pertarungan dua tokoh sakti itu. Kalau sampai Pende-

kar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki 

tua yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-

pun juga lelaki itu adalah suaminya sendiri.

"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gi-

la kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan mela-

braknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-

ti muridnya. "Kurasa, pendekar muda itu bukan pen-

dekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita ber-

doa saja pada Yang Kuasa."

Pertarungan antara dua orang sakti yang ber-

kepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan 

kini mereka telah kembali mengganti jurus. Jurus-

jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat 

ke jurus-jurus tingkat tinggi.

"Yeaaat...!"

Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa 

Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk se-

tengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada. 

Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melaku


kan gerakan menghantam dan membongkar. Benar-

benar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu 

karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan 

pukulannya tak kalah dahsyat

Wusss...!

Glarrr!

Setiap kali tangan kanan atau kirinya meng-

hentak, maka keluarlah serangkum angin yang dah-

syat. Menghancurkan batu cadas yang terkena.

"Hop! Yeaaa...!"

Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Sete-

lah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan ce-

pat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang 

kepala. Sedangkan tangan kirinya direntang ke samp-

ing. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus 

'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'.

Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tan-

gan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya 

yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke 

arah lawan.

"Heaaat..!"

Serangkum angin disertai deruan keras, me-

nyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar 

Gila membuang tubuhnya ke samping. Lalu tubuhnya 

segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, me-

nyibak dan menghantam dari bawah.

"Yeaaat..!"

Wuttt, wuttt..!

Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila me-

lancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak 

dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang 

berusaha menyerang lawan.

"Uts! Yeaaa...!"

Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya bergantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hanta-

man tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, ke-

mudian turun dengan serangan yang tidak kalah dah-

syatnya.

Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana 

membara. Membuat suasana di sekeliling kancah per-

tarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat 

itu telah malam. Tak terasa oleh mereka, kalau malam 

telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama tepat be-

rada di ubun-ubun.

"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis 

Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Kemu-

dian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri 

tegak, tangannya disilangkan ke depan dada. Kemu-

dian kedua telapak tangannya disatukan di atas kepa-

la.

"Yeaaat...!"

Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan puku-

lan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin 

Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng. 

'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-

gulangi hawa panas yang keluar dari ajian 'Waringin 

Sungsang'.

Wrrr!

Seketika angin menderu keras, membawa hawa 

dingin yang menyelimuti sekeliling tempat itu. Para 

pendekar yang tadi kepanasan, kini tersenyum senang. 

Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa 

panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari tela-

pak tangan Pendekar Gila.

"Rupanya kau masih mengandalkan jurus ku-

no, Pendekar Gila! Ilmumu tak ada gunanya mengha-

dapi 'Waringin Sungsang'ku! Bersiaplah untuk mam-

pus...! Yeaaah...!"


Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki 

Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila.

"Yeaaat...!"

Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak 

mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di 

depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk mema-

paki serangan lawan.

Telapak tangan mereka kini bergerak cepat 

memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak 

ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang 

dan menyapu ke arah lawan.

"Yeaaat..!"

"Hiaaa...!"

Keduanya melesat cepat dengan tangan siap 

beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-

ra, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan. 

Darrr!

Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh-

nya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.

"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh, setelah men-

ginjakkan kakinya di bibir jurang.

Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah me-

napakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik 

kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'-

nya.

"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila!"

Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya 

kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dike-

luarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-

pancar sinar membara, membuat sekelilingnya panas.

Glarrr!

"Aaakh...!" Pendekar Gila memekik keras, tu-

buhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Ki 

Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam.


Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.

"Sena...!" pekik Dewi Pandagu, menyaksikan 

kekasihnya terlempar jauh ke dalam jurang. Matanya 

membelalak penuh amarah.

"Pendekar Gila...!" seru Ki Tunggul Manik.

Semua pendekar yang bersimpati pada Pende-

kar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh 

amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi 

aba-aba mereka menyerbu Ki Catrik Ireng yang terlu-

ka.

"Serbu...! Jangan biarkan mereka melukai 

ayah...!" 

Tapi, pada saat para pendekar bergerak me-

nyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang 

pemuda dari balik cadas.

Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri 

di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat, 

menghadang dan menyerang para pendekar yang hen-

dak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng.

"Laskar Setan...!" seru Dewi Pandagu kaget.

"Serang...!" seru Resi Sarameskari, memerintah 

pada murid-muridnya. Sekaligus memerintahkan pada 

rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun ba-

ru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik 

Ireng membentak...

"Hentikan! Kalian telah terkurung! Kalian tak 

akan mampu lolos dari tempat ini! Kini Pendekar Gila 

telah binasa, maka sepantasnyalah aku menjadi pe-

mimpin rimba persilatan!"

"Persetan dengan ucapanmu, Ki!" maki Ki 

Tunggul Manik.

"Ya! Tak pantas orang licik sepertimu menjadi 

pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari.

"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah binasa! Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu 

sebagai ketua rimba persilatan!" Nyi Kendil tiba-tiba 

membentak begitu tubuhnya berkelebat mendekat, 

membuat Ki Catrik tersentak kaget.

"Kau...?!"

"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali, 

Catrik Ireng! Kau harus menyerahkan anakku!", den-

gus Nyi Kendil.

Prabasangka yang mendengar wanita tua itu 

mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh ke-

bingungan.

"Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda 

berbaju kuning itu.

Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perla-

han kepalanya mengangguk.

"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah me-

nelantarkan mu semasa kau masih bayi."

"Bohong! Lelaki tak tahu diri! Wulan, serang 

dia!" perintah Nyi Kendil.

Pertarungan seru antara para pendekar mela-

wan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka se-

perti tak peduli dengan Ki Catrik Ireng. Kekalahan 

Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hi-

tam itu, telah mengobarkan api kemarahan mereka.

Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadi-

kan pertarungan sangat seru. Namun karena jumlah 

pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jum-

lah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka da-

pat didesak

"Hentikan...!" seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah 

oleh kalian semua! Baiklah, aku memberi kesempatan 

pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan ka-

lau Pendekar Gila telah mampus. Kalau selama satu 

minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian


harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pe-

mimpin rimba persilatan!"

Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka 

yang memandang penuh kebencian pada Ki Catrik 

Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini ti-

dak merasakan lagi rasa sakit akibat luka dalamnya, 

karena beberapa jalan darahnya telah ditotok

"Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki 

Catrik Ireng. "Kalian akan kubebaskan. Tapi jika mem-

bangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-

na pun kalian berada, mereka akan mencari dan 

membunuh kalian!"

Semua pendekar golongan putih hanya mampu 

menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada 

yang menjawab. Hanya mata mereka saja yang meng-

gambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik 

Ireng.

"Jangan percaya omongannya! Kita serang sa-

ja!"

Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa 

menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil me-

lakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah.

"Percuma saja kau menyerangku, Nyi! Seha-

rusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersama-

ku!" sergah Ki Catrik Ireng.

"Cuih! Tak sudi aku bersamamu! Lebih baik 

aku binasa!" bentak Nyi Kendil.

"Baik kalau begitu! Laskar Setan, ringkus ke-

dua wanita itu...!" seru Ki Catrik Ireng yang dengan se-

gera dipatuhi oleh Laskar Setan.

"Ayah, mengapa kau menangkap ibu?!" tanya 

Prabasangka.

"Diamlah! Biarkan mereka menangkap wanita-

wanita tak tahu diuntung itu!"


Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan 

Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat 

segera ditangkap.

"Bawa mereka ke tahanan!" perintah Ki Catrik 

Ireng.

"Tapi, Ayah..." cegah Prabasangka hendak me-

nentang.

"Diam!" hardik Ki Catrik Ireng berang.

Prabasang langsung menuruti kata-kata ayah-

nya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki 

tua itu mencorong tajam.

"Sekarang kalian boleh bubar! Kutunggu kalian 

tujuh hari lagi!" kata Ki Catrik Ireng pada para pende-

kar.

Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera ber-

suit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar 

Setan.

Semua pendekar terpaku menyaksikan bagai-

mana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan 

menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tem-

pat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka 

menggambarkan kecemasan akan nasib Pendekar Gila.

***

SEMBILAN



Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin 

Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di 

rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya 

berguling-guling di lereng yang berhutan lebat

Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah 

manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatang


binatang buas yang siap memangsa setiap manusia 

yang berani memasuki kawasan hutan itu.

"Akh...!" Sena memekik, tubuhnya menggelind-

ing ke bawah. Kini tubuhnya semakin bertambah jauh 

dari Puncak Lawu.

Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu 

membuat kaget semua penghuni hutan. Burung-

burung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-

butan. Binatang-binatang lainnya juga berlarian ka-

lang-kabut

Setelah membentur pohon yang cukup besar, 

tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar bi-

asa. Pohon besar itu bagaikan dihantam oleh kekuatan 

yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-

bum. 

Brak!

Kraaak...! Bummm!

Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya 

meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia men-

galami luka dalam akibat pukulan 'Waringin Sungsang' 

yang dilancarkan Ki Catrik Ireng

Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Keti-

ka itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun 

dari atas sebatang pohon. Sepertinya ular sanca itu 

mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya 

untuk menyantap.

"Szzz...!"

Ular sanca sebesar paha manusia dengan pan-

jang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap 

ke arah Sena. Matanya yang merah, memandang pe-

nuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak ping-

san.

"Szzz...."

Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidah


nya yang berwarna merah dan bercabang, menjulur-

julur. Matanya semakin bersinar, bagai senang men-

dapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena, 

mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bu-

lat-buat.

"Szzz...!"

Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor 

monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian 

dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu me-

nangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh.

"Nguk..!"

Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Se-

na. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-

pi telinganya yang tajam mendengar desisan keras dari 

belakangnya.

"Nguk..!"

Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke 

arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju 

kera dan tubuh Sena yang mulai tersadar.

"Ngukkk!"

Sambil berteriak keras, kera itu melompat ma-

ju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus 

mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan ke-

pala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan.

"Zsss!"

"Nguk, nguk...!"

Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi 

riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Ma-

tanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor bina-

tang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan 

siap melakukan serangan.

"O, rupanya kera besar itu telah menolongku 

dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata 

menyipit, memandang kedua binatang yang masih saling pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Kedu-

anya siap melakukan serangan.

"Nguk, nguk, nguk...!"

Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan 

perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat 

bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali men-

desis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat 

tinggi-tinggi, mulutnya membuka, menunjukkan li-

dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerak-

gerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin 

Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar.

"Ha!, bukankah gerakan ular sanca itu seperti 

jurus 'Waringin Sungsang'? Aha, benar...! Gerakannya 

persis dengan jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng," 

gumam Sena dengan mata membesar, memandangi 

kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala.

Kedua binatang itu kini bergerak, saling me-

nerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama 

persis dengan serangan-serangan yang dilancarkan Ki 

Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk 

dengan ekor turut menyerang.

"Ngukkk...!"

"Zsss...!"

Kera itu bergerak aneh. Kaki- kakinya melang-

kah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pe-

lan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satu-

satu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri.

"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, ter-

heran-heran melihat tingkah laku kera itu.

Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik ke-

ra dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya 

turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar, 

kemudian melangkah menyilang di depan kaki kiri.


Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak.

Sementara salah satu tangan kera itu berada di 

dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya 

bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak 

tangan kanannya diputar dengan jari-jari lurus ke 

atas.

Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti 

gerak-gerik kera itu. Kaki dan kanannya turut berge-

rak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian 

melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang 

menekuk ke atas, lalu dilangkahkan bersamaan den-

gan hentakan keras telapak tangan. 

"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah ju-

rus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, na-

mun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat," 

gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu

dalam melakukan serangan. Dan tampaknya ular yang 

menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' me-

mang mengalami kesulitan untuk melancarkan seran-

gan-serangannya.

Setiap kali kepala ular sanca itu hendak me-

nerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melang-

kah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului me-

nyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini 

menampar cepat ke kepala ular itu.

"Szzz!"

Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan 

lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap me-

nyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digan-

tikan dengan serangan kibasan ekornya.

"Ngiiikkk...!"

Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemu-

dian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri dite-

kuk ke atas, lalu tangan kirinya dikibaskan dua kali


dan dihantamkan ke kepala ular itu.

Sena terpana dengan mata membelalak me-

nyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu 

menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera 

itu. Meski gerakannya sangat halus, namun mampu 

membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa.

"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah 

aku?" tanyanya sambil mengusap-usap mata, berusa-

ha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua bi-

natang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu 

masih terlihat

"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-

ra itu," puji Pendekar Gila. Tanpa sadar, tubuhnya ber


gerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera.

"Szzz...!" 

Kepala ular sanca bergerak cepat hendak me-

nerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera ber-

tubuh besar itu melompat dan balas melakukan tampa-

ran.

Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini 

mendesak ular sanca yang tampak menggunakan ju-

rus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena 

semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, di-

awasinya jalannya pertarungan seru itu.

Kera itu masih menyerang dengan halus. Tan-

gan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki 

kanannya direntang, kemudian dikibaskan. Disusul 

dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tam-

paran. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan, 

tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan men-

deru, menyentakkan ular sanca itu.

"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan 

kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-

ikutinya gerakan-gerakan kera itu. Sementara matanya 

tetap memandangi kedua binatang yang tengah berta-

rung.

"Szzz...!"

Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena 

serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan. 

Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian 

dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh 

lawannya.

"Nguk!"

Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan beli-

tan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melaku-

kan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepa-

la ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam



dengan telapak tangan ke tubuh ular itu.

Plak!

Des!

"Szzz!"

Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak 

liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawan-

nya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu mem-

buat rasa sakit luar biasa.

"Hah?!" mata Sena melotot lagi.

***

Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan 

bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular 

sanca. Dan yang membuat matanya semakin membela-

lak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan 

batu sebesar kepala manusia. 

Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu 

keras.

"Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tam-

paran kera itu. Jurus apakah yang dilakukannya?" 

gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Szzz...!"

Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepa-

lanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk den-

gan cepat tiada henti. Rupanya ular itu tak mau keja-

dian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi. Kepa-

lanya terus menyerang, mematuk dan menerkam. 

Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet 

dan membelit.

"Nguk!"

Dengan tenang kera itu terus menggerakkan 

kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam 

melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya.


Begitu juga tangan kirinya ketika menampar.

Dua binatang itu terus bertarung dengan se-

runya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya 

sama-sama bernafsu untuk mengalahkan.

"Nguiik...!"

Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkin-

gan yang mampu memekakkan telinga itu membuat 

Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup 

dengan pengerahan tenaga dalam.

Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu 

melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Se-

pertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedang-

kan mata dan mulut ular sanca itu mengeluarkan da-

rah.

"Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bi-

sik Sena menyaksikan kejadian tersebut

Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena 

dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihat-

nya tangan kanan kera itu mengibas dua kali. Lalu 

menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca 

yang tengah meraung-raung kesakitan.

Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu 

kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena da-

pat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan 

tamparan. Mata kera itu terpejam rapat Binatang itu 

tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melain-

kan dengan kekuatan sukma.

"Hah?! Tamparan apa itu? Oh, mungkin Jurus 

yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma'," 

gumam Sena.

"Nguiiik..!"

Plak!

Trak!

"Ssszzz...!"



Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras. 

Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah. 

Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya 

kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat 

pelan dan lemas, ternyata mampu menghancurkan ke-

pala ular sanca yang besar.

"Bukan main...!" pekik Sena terkagum-kagum 

menyaksikan kejadian tadi.

Dengan tersenyum-senyum, Sena menggaruk-

garuk kepalanya. Matanya masih memandang kera 

yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara 

ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus 

'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala 

hancur berantakan.

"Nguk, nguk, nguk..!"

Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan 

kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan 

kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu 

membalikkan tubuh, lalu memandang Sena.

"Nguk!"

Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya se-

cara berirama.

"Ah ah ah...! Terima kasih sahabat. Kau telah 

menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik 

sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena 

sambil menggaruk-garuk kepala.

Kera itu masih melompat-lompat kegirangan 

dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat. 

Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian 

kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Se-

na melakukan jurus itu.

"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempela-

jari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik 

hati..," ucap Sena.


"Nguk nguk..!"

Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Sea-

kan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih 

nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seo-

lah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya.

"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua 

gerakan-gerakanmu? Baik...!"

Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang 

sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu berta-

rung dengan ular sanca. Tangan kanannya dikibas-

kibaskan, kemudian disentakkan dengan keras.

"Nguk, nguk, nguk...!"

Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keras-

keras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan 

gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan me-

lompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang 

tadi digunakan untuk melawan musuhnya.

Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan 

yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara me-

langkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan 

tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri.

Pendekar Gila menamparkan tangan kirinya 

dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalam-

nya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar 

biasa!

Glarrr!

Kraaak...! Bummm!

Pohon besar di hadapannya seketika meledak 

terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tam-

paran itu sangat pelan.

"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena 

terlongong dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 

Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil meng-

garuk-garuk kepalanya. Kemudian dengan suara yang


keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh.

Pendekar Gila mengambil Suling Naga Sak-

tinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-

ka itu pula...

Darrr!

Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar 

saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus 

'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan 

Suling Naga Sakti.

"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat," 

tutur Sena.

"Nguk, nguk...!"

Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang 

lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya me-

mandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas 

pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghi-

lang.

Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia te-

lah memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ter-

nyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, 

hanya dapat dikalahkan dengan jurus 'Tamparan 

Sukma'.

"Hyang Jagat Dewa Batara, terima kasih atas 

pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera un-

tuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian den-

gan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya, 

aku harus mempelajari jurus 'Tamparan Sukma' itu 

lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik."

Sena kemudian bersila untuk mengheningkan 

cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memu-

lihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama 

bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pende-

kar Gila, mengepul kabut berwarna ungu. Wajahnya


merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula.

Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih 

kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bang-

kit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali.

"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan 

seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan 

baik," ucapnya pada diri sendiri.

Pendekar Gila segera membuka tangannya. 

Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Se-

dang tangan kanannya membentuk siku berada di 

samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping, 

lalu dilangkahkan ke depan menyilang.

Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihen-

takkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-

rentangkannya ke samping, diikuti dengan tamparan 

tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Se-

dangkan tangan kanannya mencabut Suling Naga Sak-

ti, yang kemudian ditiupnya.

Glarrr!

Darrr!

Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi ba-

gai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali. 

Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum 

sesempurna gerakan kera tadi.

Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-

garuk kepala.

"Aku harus terus belajar!" tekadnya berseman-

gat

***


SEPULUH


Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang da-

ri dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik 

Ireng kepada para pendekar habis. Berarti para pende-

kar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk 

menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan 

sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang 

pun dari para pendekar yang berani membangkang. 

Semua hadir kembali di Puncak Lawu.

"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas 

penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?" 

tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke 

seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.

Tak seorang pun yang menjawab. Mereka sea-

kan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang 

tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka.

"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang ti-

dak setuju jika aku menjadi pemimpin rimba persila-

tan?! Jawab...!" bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah.

"Aku...!"

Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar ja-

waban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang 

tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke 

sesosok tubuh yang berkelebat.

Para pendekar tersenyum lega melihat siapa 

yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang ter-

sentak kaget, setelah mengetahui siapa yang datang 

dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Ca-

trik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang ba-

ru tiba itu 

"Pendekar Gila...!"

"Dia tidak mati...!" teriak Resi Sarameskari.


"Ya! Dia telah kembali...!" pekik Dewi Pandagu 

saat menyaksikan kedatangan orang yang telah me-

nyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti 

jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan 

yang berpadu dengan keharuan.

"Kau...! Kau belum mampus, Pendekar Gila?!" 

tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar.

"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum men-

gizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-

garuk kepala. "Mungkin belum waktunya, Ki. Dan 

mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup 

untuk menumpas orang-orang sepertimu."

Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar kata-

kata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya mem-

buru turun-naik.

"Kurang ajar! Kau tidak akan mampu menga-

lahkanku, Pendekar Gila!" bentak Ki Catrik Ireng gu-

sar.

Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya meng-

garuk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum 

sambil kakinya berjingkrak-jingkrak.

"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya 

ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah."

"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Rupanya kau 

memang harus kusingkirkan!"

"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki! Mungkin-

kah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil mengge-

leng-gelengkan kepala. 

"Kau sepertinya semakin takabur saja...."

"Kurang ajar! Yeaaa...!"

Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat 

terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berju-

bah hitam ini melesat dengan serangan ganas ke arah 

Pendekar Gila.


Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang, 

dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samp-

ing, kemudian segera berkelebat memapaki serangan 

lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedang-

kan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-

tu ke depan.

"Heaaat...!"

Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulur-

ulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus anda-

lan yang telah mampu mengalahkan Pendekar Gila tu-

juh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan menga-

lami hal yang sama.

Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk ke-

pala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke 

depan. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke 

samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemu-

dian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan 

oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor.

"Yeaaat..!"

"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang 

kau gunakan, Ki? Aha, jurus yang hebat..," ledek Pen-

dekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya

menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor 

monyet

Ki Catrik Ireng tersentak kaget. Serangannya 

yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya 

melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengenge-

san sambil menggaruk-garuk kepala.

"Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar 

Gila?!" bentak Ki Catrik Ireng.

Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangan-

nya masih menggaruk-garuk kepala.

"Kau kaget, Ki? Ah, sungguh kebetulan saja 

aku tidak salah menebak nama jurus yang kau guna


kan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?"

Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begi-

tu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot ta-

jam penuh amarah.

"Tutup mulutmu! Meski kau telah tahu nama 

jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku. 

Yeaaat..!"

Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali. 

Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian 

tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan 

membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya 

membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor 

ular.

"Szzz...!" Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor 

ular.

Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila se-

gera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian di-

tepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya 

sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu 

silat

"Yeaaa...!"

Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada. 

Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping, 

membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya men-

gibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh 

luar biasa! Dari kibasan tangan itu, keluar serangkum 

angin yang menyentak kuat

Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya 

yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus 

merangsek. Tangannya mematuk. Tubuhnya meliuk-

liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam 

mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai 

ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan.

"Remuk kepalamu, Pendekar Gila! Heaaa...!"


Wuttt!

Serangan mematuk menghantam dan menen-

dang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat 

hati Pendekar Gila ciut. Malah Pendekar Gila bergerak 

dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela di-

ri.

Semua orang yang menyaksikan gerakan Pen-

dekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi 

Pandagu sempat memekik tegang.

"Oh, mengapa dia?!"

"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas?!" 

gumam Resi Sarameskari.

Semua pendekar dilanda kekhawatiran, me-

nyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gi-

la. Mata mereka memandang tegang. Takut kalau-

kalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk 

kedua kalinya.

"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila! Yeaaat..!"

Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Ca-

trik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tan-

gannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api.

"Celaka! Pendekar Gila bisa benar-benar mati 

kali ini!"

"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi 

Sarameskari.

Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila 

hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemu-

dian dijejakkan ke depan. Bersamaan dengan mena-

paknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah 

lawan.

"Yeaaat..!"

Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya 

tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak be-

rarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpejam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, 

Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang 

membara ke arah lawan.

"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hiaaa...!" 

Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Se-

dangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan 

dengan mata terpejam.

Glarr!

"Ukh...!"

Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya 

terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata 

membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihan-

curkan! Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terli-

hat pelan dan dilakukan dengan mata terpejam pula, 

mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak 

ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seke-

tika hancur.

"Ha ha ha...! Mengapa kau terjatuh, Ki? Ma-

kanya, kalau mundur hati-hati...!" celoteh Pendekar 

Gila sambil menggaruk-garuk kepala.

Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar 

ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigi-

giginya saling beradu, menahan amarah yang meluap-

luap.

"Bedebah! Ilmu siluman! Rupanya kau telah 

bersekutu dengan siluman!" maki Ki Catrik Ireng, asal 

jadi.

Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal men-

dengar tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Ke-

mudian dengan tingkah laku persis seperti kera yang 

dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus 

'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata....

"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau 

memutarbalikkan kata! Tentulah kau yang telah bersekutu dengan iblis! Kau siksa orang dengan seenak-

nya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat me-

reka bagaikan budak-budak hina mu! Lalu, kau jadi-

kan mereka laskar. Laskar Setan!"

"Bohong...! Mereka tetap sadar!"

Pendekar Gila kembali tertawa sambil mengga-

ruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa 

maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari se-

buah bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar 

Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang 

anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibe-

baskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka.

"Benar! Orang inilah buktinya...!" seru Nyi Ken-

dil.

Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang 

menggandeng seorang lelaki.

"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diper-

dayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada 

bekas Laskar Setan.

"Jangan kalian tertipu oleh mereka!" seru Ki 

Catrik Ireng.

"Katakanlah...!" perintah Nyi Kendil mendesak 

Orang itu pun dengan takut-takut menceritakan apa 

yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawan-

kawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan 

hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki pera-

saan dan rasa sakit. Itu sebabnya Laskar Setan tak 

akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam 

dan setiap tugas yang mereka lakukan. 

"Bangsat! Kurobek mulutmu! Yeaaa...!" Dengan 

penuh amarah, Ki Catrik Ireng berkelebat, siap mela-

brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun 

belum juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah 

berkelebat menghadangnya.


"Mau ke mana, Ki? Biarkan mereka membuka 

kedokmu yang busuk dan keji!" seru Sena.

"Kurang ajar! Rupanya kau dulu yang harus 

kusingkirkan!"

"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena. 

"Kubunuh kau! Heaaa...!"

Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan 

jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tan-

gan kanannya mematuk-matuk ke arah kepala dan 

dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-

bantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular. 

Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya 

melangkah membentuk setengah lingkaran.

Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular, 

meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus 

menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang 

dahsyat

"Ku tahu ajian 'Waringin Sungsang' mu me-

mang hebat Ki. Tapi, sehebat-hebatnya ilmu seseorang 

tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan 

dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Warin-

gin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki 

Catrik Ireng.

"Kurang ajar! Jangan banyak bacot! Katakan 

sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah 

memberitahukan kepadamu?!" bentak Ki Catrik Ireng 

sambil terus bergerak menyerang.

"Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas ja-

samu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menja-

dikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu 

itu ternyata masih ada yang mampu menandinginya. 

Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-

la sambil tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk



kepala.

"Bedebah...! Katakan, ilmu apa yang akan kau 

kerahkan untuk menandingi ku, heh?! Jangan kira il-

mumu akan mampu mengalahkanku! Ilmu gilamu tak 

ada artinya bagiku!" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-

bir.

"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang mem-

buat mata hatimu buta! Maka hanya kematianlah yang 

akan mengakhiri kesombonganmu! Ilmu 'Tamparan 

Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu 

menandingi jurusmu! Nah, bersiaplah! Yeaaa...!"

Pendekar Gila segera merentangkan kaki ka-

nannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan 

serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Sete-

lah itu, kaki kanan ditarik lalu melangkah menyilang 

ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengi-

bas pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak 

tangan pelan ke arah lawan.

Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah 

mundur dua tindak. Kemudian, didahului pekikan 

menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang.

"Yeaaah...!"

Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih te-

tap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat, 

berusaha secepatnya menjatuhkan lawan. Bahkan bila 

perlu membunuhnya.

Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan 

kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil 

kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kem-

bali melakukan tamparan ke arah lawannya.

Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagai-

mana tamparan yang pelan namun ternyata mengan-

dung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki 

Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, menganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak me-

lihat. 

Namun.... 

Wuttt! 

Glarrr!

"Ukh...! Setan...!" maki Ki Catrik Ireng dengan 

tubuh terpental ke belakang. Dadanya terasa sesak 

akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak, 

tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak 

masuk akal, kalau tamparan pelan tangan kiri Pende-

kar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan 

mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya ter-

lempar demikian jauh.

Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenya-

taan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi 

dengan apa yang terjadi.

"Kubunuh kau! Yeaaa...!"

Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang be-

rupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya 

itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila.

Melihat lawan telah mengeluarkan senjata an-

dalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga 

Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya 

ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya.

"Yeaaa...!"

Wuttt!

Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian 

bertemu di udara. 

Trang!

Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua sen-

jata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke be-

lakang.

Pendekar Gila menangkap Suling Naga Sak-

tinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik


Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah 

menjadi empat bagian dan berguguran ke tanah.

"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-

mu! Yeaaat..!"

Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk mem-

bunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, la-

lu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sung-

sang'nya.

Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya ju-

ga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sam-

bil bergerak dengan jurus 'Tamparan Sukma'.

"Yeaaa...!"

"Heh!"

Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan 

ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga 

Sakti. Tanpa ampun lagi....

Krak!

Glarrr!

Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik 

Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah 

dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat 

enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki 

Catrik Ireng.

"Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang 

tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur," 

gumam Sena.

"Sena...!" seru Dewi Pandagu sambil berlari 

menghampiri pujaan hatinya. Kemudian keduanya sal-

ing berpegangan tangan dan saling pandang.

"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak 

aku pasti menemuimu untuk bertanggung jawab atas 

semua yang telah kulakukan padamu." 

"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pende-

kar Gila menggeleng sambil menggaruk-garuk kepa


lanya yang tak gatal.

"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin 

perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawan-

kawan. Aku mohon pamit..!"

Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila ber-

kelebat meninggalkan mereka, menjadikan Dewi Pan-

dagu terpaku.

"Sena...! Kutunggu...!" panggil Dewi Pandagu, 

ketika menyadari dirinya akan kembali kehilangan 

orang yang dicintai.

Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum 

sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya 

dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan 

pandangan penuh kekaguman.

Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika 

para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah 

sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda 

yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun 

telah membantu Pendekar Gila untuk membebaskan 

Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan 

Laskar Setan pun tiba-tiba sadar dengan sendirinya. 

Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun da-

ri mimpi.

"Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya 

Prabasangka. 

"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai 

saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi meni-

kahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil.

Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawa-

lan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar 

kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wa-

jah bumi menjadi demikian ramah.

Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan. 

Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbang


nimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan 

bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihat-

nya tadi betapa mesranya Pendekar Gila dengan Dewi 

Pandagu.

"Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulandari malu-malu.



                             SELESAI



























Share:

0 comments:

Posting Komentar