DUEL DI PUNCAK LAWU
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Duel Di Puncak Lawu
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan
kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih me-
nutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya.
Seakan dipenuhi oleh kedamaian.
Selama ini, belum ada seorang pun yang datang
ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir
percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada se-
suatu di balik keasrian dan kedamaiannya.
Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlari-
lari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, me-
manjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur
dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali
lelaki itu menengok ke belakang, seperti tengah meya-
kinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang melihat
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan
kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya
yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap
ditiup angin.
Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia me-
nyimpan penderitaan batin yang dalam.
"Rupanya apa yang kudengar selama ini me-
mang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi
yang bernama Catrik Ireng itu. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. "Ah, benarkah dia Singo Edan?"
Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata
kelabunya memandang Gunung Lawu yang memben-
tang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi,
berwarna biru sebagian tertutup kabut.
Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang
ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar
dua puluh lima tahun.
"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat
ini? Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki
Catrik Ireng, tersadar dari lamunannya. Kemudian
dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat.
Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gu-
nung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepa-
lanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia
sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekeli-
lingnya, meyakinkan dirinya kalau-kalau ada yang
menguntit tanpa diketahui.
Setelah yakin tak ada seorang pun yang men-
guntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat
untuk mendaki puncak Gunung Lawu yang tinggi.
Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghi-
lang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada
sesuatu yang tersembunyi di balik batu cadas itu. Jika
dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama
sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-
amati dengan seksama, di balik batu cadas yang men-
julang tinggi itu terdapat sebuah goa.
Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di
kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi.
Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang
kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus.
Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu.
Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan
kirinya menjulur ke lubang dan menggerakkan batu
cadas yang ada di atasnya.
Krek...!
Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping
dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin
melebar dan akhirnya nampaklah lubang besar yang
dapat dimasuki oleh dua orang.
Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu.
Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas
yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali teru-
lang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang berge-
rak menyempit. Kini hanya lubang sebesar tubuh tikus
saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar
masuknya udara.
Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat
tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada
seorang pun yang melihatnya. Terlebih dengan tem-
patnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang persilatan
biasa untuk sampai di goa aneh itu.
Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tu-
buh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri
lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong
itu semakin ke bawah.
Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lo-
rong yang memang telah dibuat undak-undakan tang-
ga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samp-
ing kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat
banyak sekali ruangan. Sepertinya di tempat itu ba-
nyak sekali penghuninya.
Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertu-
tup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan
mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah
kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki pera-
saan. Tanpa sedikit pun tegur sapa, atau sekadar ter-
senyum.
"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, me-
merintah pada orang-orang aneh itu. Nampaknya me-
reka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka
segera melaksanakan apa yang diperintahkan lelaki
tua itu.
Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah ba-
tu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di
atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para
pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam
pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu
mengambil obat-obatan. Satu mengambil air. Dan lima
orang yang lain menguruti tubuh pemuda tersebut
Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Sete-
lah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari me-
reka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si
pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap men-
gepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu.
"Aaakh...!"
Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya
menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak ber-
cucuran membasahi tubuhnya.
Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak
menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat
rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di
dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara ma-
tanya melotot merah.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersi-
nar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya me-
rah itu mengalir dari tubuh orang berjubah hitam ber-
kumis tipis, yang wajahnya kini membara pula.
"Aaakh...!"
Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras.
Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar he-
bat. Kemudian terkulai jatuh.
Rupanya itulah cara pengobatan yang dite-
rapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah
hitam itu sepertinya memang khusus ditugaskan un-
tuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus
menerima kematian.
Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hi-
tam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai diba-
kar api yang membara.
Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah mela-
kukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya
para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda
tampan itu.
"Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tan-
tanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam
Ki Catrik Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun
yang silam kembali terkuak dalam benaknya.
***
Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan
ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya
tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan
bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama
Singo Edan dari Goa Setan. Yang kemudian terkenal
dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski
nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda.
Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Ka-
rena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmu-
ilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan
sebutan Catrik Aneh. Karena Catrik Aneh itu selalu
memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga se-
bagai Catrik Ireng.
Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba
persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan,
sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang le-
mah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tin-
dakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung
dengan para pendekar untuk mengalahkan atau dika
lahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu me-
nantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi
gempar.
Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan
waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk
membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng.
"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili
kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik
Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati
oleh para pendekar lainnya.
Karena diberi amanat untuk menghentikan se-
pak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksana-
kan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik
Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah.
Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan
sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan.
Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila da-
ri Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang
memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa
menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya
dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan sa-
ja.
"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian berte-
mu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng!"
kata Catrik Ireng setiap kali bertemu dengan orang-
orang persilatan yang dapat dikalahkannya.
Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gu-
nung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi kedua-
nya untuk memastikan siapa si antara mereka yang
ilmunya lebih tinggi.
"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu
agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan,"
ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya cengengesan, persis orang gila.
"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu!
Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persila-
tan, jika kau dapat mengalahkanku!" tantang Catrik
Ireng.
Singo Edan tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung? Apa-
lah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibanding-
kan ilmu yang dimiliki Hyang Widhi," tutur Singo
Edan.
"Pengecut! Ternyata nama besar Pendekar Gila
dari Goa Setan hanya omong kosong!"
"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya
kita bertarung untuk memperebutkan pepesan ko-
song.,.."
"Phuih...! Rupanya kau berusaha lari dari se-
mua tanggung jawabmu! Huh! Tak pantas seorang
pendekar bersikap sepertimu."
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik.
Terpaksa aku melayanimu...."
Pertarungan kedua tokoh muda rimba persila-
tan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi
tak dapat dielakkan. Keduanya bertarung tiada henti.
Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya sama-
sama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit un-
tuk menentukan siapa di antara mereka yang akan ka-
lah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan
lincah, walau bertempur semalaman.
Keduanya kini telah mengeluarkan senjata
masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata
berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan
mengeluarkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo
Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga
Saktinya ke arah bumerang kembar itu.
Trang!
Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan
api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuan-
nya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun.
Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksi-
kan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang.
Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini! Lima puluh
tahun lagi, aku akan datang...."
Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat
meninggalkan tempat itu. Sejak saat itulah Catrik
Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang
dari dunia persilatan bagai ditelan bumi. Dia terus
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-
nya. Sampai akhirnya dia muncul kembali!
***
Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah
mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Keja-
dian itu tak akan pernah dilupakannya. Dan mung-
kinkah kejadian itu akan terulang lagi? Ya, akan terja-
di lagi! Namun kini akan lain dengan lima puluh tahun
yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir ter-
senyum.
"Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu
kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang
benar-benar tinggi ilmunya! Ha ha ha...! Kali ini kau
akan kalah, Pendekar Gila! Kau akan menerima bala-
san ku!" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahak
bahak.
Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah
perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya bera-
da.
Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring
dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatan-
nya luka dalam pemuda itu telah dapat disembuhkan.
Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seo-
rang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong.
Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya.
"Bawa dia ke tempat penggodokan!" perintah Ki
Catrik Ireng.
Enam orang berjubah hitam lainnya segera
mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi
dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali
dengan Ki Catrik Ireng.
"Ha ha ha...! Laskar Setan ku rupanya telah
siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku
akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan! Tak
akan ada yang dapat mengalahkanku...!"
Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak mem-
bayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya
akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi.
Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perin-
tahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang,
meski nyawa mereka sebagai taruhannya.
Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda
berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipan-
danginya wajah pemuda itu, dan dihelanya napas pan-
jang-panjang.
"Memang kau bukan tandingannya, Anakku.
Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika di-
bandingkan Pendekar Gila."
Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi
pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan
wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpa-
kaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu me-
warisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng.
'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita,
Nak. Ibumu memang wanita lacur! Kau ditinggal sejak
kecil, sejak masih bayi. Entah di mana kini ibumu be-
rada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung.
Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah
tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat
lalu memandang ke sekelilingnya.
"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng.
Ki Catrik Ireng tersenyum.
"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Un-
tung Ayah lewat di tempat itu."
"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh
tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Praba-
sangka. "Mengapa dia masih muda belia? Bahkan lebih
muda dariku?"
Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihe-
lanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap.
Dan matanya memandang lepas ke depan.
"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi se-
mua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang
miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang
Pendekar Gila."
"Mungkin anaknya, Ayah?"
Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibir-
nya tersungging senyuman.
"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagai-
mana mungkin dia punya anak? Meski Ayah bersem-
bunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan
dia tak pernah menikah. Mungkin ilmunya menjadikan
dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng. "Dua purnama
lagi duel itu akan terulang. Ayah berharap selama itu
kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang
akan menjadi pemimpin Laskar Setan."
"Baik, Ayah."
"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan
semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar
Setan bersamamu."
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa ter-
bahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Ca-
trik Ireng meninggalkan putranya yang masih terdu-
duk.
***
DUA
Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan
panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah me-
nyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera
panas terik yang memanggang tubuhnya. Sesekali ke-
palanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang
membasahi pelipisnya.
"Uhhh...! Panas sekali hari ini," keluh pemuda
tampan itu yang tidak lain Sena Manggala atau Pende-
kar Gila dari Goa Setan
Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan,
berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha
mencari paman dan bibinya. Hanya mereka yang dapat
dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun
entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya.
Sena terus melangkah, membawa kakinya untuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang se-
perti orang gila, semakin bertambah lucu dengan kea-
daan yang panas menyengat seperti itu. Sesekali kepa-
lanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bo-
doh.
"Anak muda, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita,
memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya.
Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya
langsung berbalik untuk melihat orang yang menyu-
ruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya
nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk me-
langkah ke arahnya. Wanita tua itu mengenakan pa-
kaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan
ikat kepala berwarna hitam pula.
Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya
wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan
hidung bangir. Sedangkan matanya diperindah oleh
alis tipis serta bulu mata yang lentik.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor mo-
nyet yang kepanasan dipanggang matahari
"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?"
tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet
kepanasan.
"Hik hik hik..! Pucuk dicinta ulam tiba," ucap
nenek yang ternyata Nyi Kendil, guru Bidadari Cadar
Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar
Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
Sena mengerutkan kening mendengar ucapan
Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil meng-
garuk-garuk kepala mulutnya mengoceh,
"Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk?
Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat
ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?"
Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat men-
dengar ucapan pemuda itu.
"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya se-
raya mengangguk-angguk.
"Apanya yang tak salah, Nek? Ah, sudahlah.
Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Se-
na masih bertingkah laku aneh.
"Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah
kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang
tersohor itu...?!" tanya Nyi Kendil dengan suara lan-
tang, setengah membentak.
Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai me-
nyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit,
dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya
kembali seperti semula, cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut terso-
hor untuk pemuda sebodoh aku, Nek. Memang kena-
pa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi
Kendil.
"Jadi kau pendekar itu? He he he.... Bagus...,"
gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh. "Namamu
yang besar sering kudengar. Menggugah hatiku untuk
membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sa-
rangku."
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepa-
lanya digelengkan.
"Ah, mengapa begitu, Nek? Aku bukan manusia
aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelema-
han. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya
Nenek berusaha mencariku? Bahkan hendak mencoba
ilmuku?"
"Hik hik hik...!" Nyi Kendil tertawa-tawa, mem-
buat tubuhnya turut terguncang-guncang. "Weleh,
mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-
nasaran saja. Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi
memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka
ini. Bersiaplah...!"
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala
dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi
Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berse-
ru....
"Tunggu...!"
Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya
pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti.
"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih
dengan mata memandang tajam serta kening berkerut
"Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk
menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah
yang menang. Nah, permisi."
"Tunggu...!" seru Nyi Kendil, ketika melihat Se-
na hendak berlalu.
Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya te-
rus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menan-
tangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia me-
rasa telah diremehkan oleh pendekar itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau menyangka begitu
mudah lari dariku, Anak Muda! Heaaa...!"
Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemu-
dian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Ge-
rakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmunya
bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-
matangan ilmunya amat luar biasa.
Jleg!
Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah
sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seketika menghentikan langkahnya.
"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Men-
gapa kau masih saja tak puas? Bukankah telah kuka-
takan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil
tertawa dan menggaruk-garuk kepala, membuat Nyi
Kendil berungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah dengan begitu aku akan
membiarkan mu pergi! Aku jauh-jauh mencarimu un-
tuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan ku-
biarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiap-
lah! Yeaaat..!"
Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang
lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagai-
kan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diang-
kat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pu-
kulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak
laksana kaki-kaki seekor binatang yang tengah meng-
hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu
Menghisap Bunga'.
Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita
tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia
pernah melihat jurus itu digunakan untuk menye-
rangnya.
Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat
siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus
itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya.
Siap menghantam dada dan kemaluan.
Wuttt!
"Uts...!"
Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya
melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana me-
nari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya
gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah
daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya
menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya mencengkeram ke selangkangan.
Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepat-
cepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuh-
nya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan se-
sekali tangannya menepuk ke dada lawan.
Sambil terus mengelakkan serangan yang di-
lancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha
mengingat-ingat siapa orang yang pernah mengguna-
kan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu menga-
rah ke titik kematian, ke arah kemaluan lawan.
"Heaaa...!"
"Uts! He he he...! Mengapa kau sudah tua ma-
sih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-
liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu, Gila! Heaaat..!"
Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya
laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah
selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar
Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk memen-
tahkannya.
"Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek?
Aduh...! Celaka kalau wanita setua mu masih cabul.
Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...."
Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan
Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mema-
tikan.
Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin
bertambah geram. Dengan dengusan penuh amarah,
wanita tua itu semakin mempergencar serangannya.
Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai
tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, me-
nendang dan menyapu kaki lawan.
"Yeaaat..!"
Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ga-
nas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi se-
bagai orang yang sudah sering menghadapi hal-hal se-
perti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan ma-
sih dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus seran-
gan-serangan yang dilancarkan Nyi Kendil.
"Jangan hanya mengelak saja, Gila! Tunjukkan
ilmumu yang kesohor itu...!" bentak Nyi Kendil beru-
saha memancing amarah pendekar muda itu. "Kalau
kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-
lahkan kalau aku membunuhmu! Yeaaat..!"
Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu
tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh.
Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu.
Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Merasa usahanya untuk memancing kemara-
han Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah
marah. Kekuatan tenaga dalamnya ditambah, dan se-
rangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya
bergerak kian liar.
"Awas, Nek...!"
"Uts...!"
Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pen-
dekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebe-
lumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi
Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa seraya menarik se-
rangannya.
Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang.
Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Na-
fasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergo-
lak di dadanya.
***
Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita
tua itu semakin sengit
"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu! Aku
belum kalah olehmu! Yeaaat..!"
Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya
merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke
depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke
atas, dengan kaki-kaki yang menghentak
Melihat serangan yang dilancarkan lawannya,
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benak-
nya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa se-
benarnya orang yang pernah menyerangnya dengan ju-
rus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu.
"Wet hampir saja...!" pekik Sena sambil memi-
ringkan tubuhnya ke samping.
Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan
serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu den-
gan cepat Pendekar Gila balas menyerang.
"Jaga dadamu, Nek! Yeaaa...!"
Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak
tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wa-
nita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya me-
nyaksikan jurus lawannya. Gerakan tangan lawan ke-
lihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sung-
guh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat
mundur, tentu dadanya akan jebol.
"Edan! Benar-benar ilmu edan!" maki Nyi Kendil
bersungut-sungut. Sedangkan Pendekar Gila kembali
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku
kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan
tingkah lakunya yang persis orang tolol. "Kuharap kau
mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi pula, an-
tara kita tak ada silang sengketa...."
"Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kendil, membuat
mata Sena melotot kaget "Enak benar kau berkata di
antara kita tak ada silang sengketa...!"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan
kepalanya menggeleng-geleng.
"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Ba-
gaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?"
"Diam! Kau kira karena kita baru bertemu ma-
ka antara kita tak ada silang sengketa?!" dengus Nyi
Kendil masih dengan suara membentak. Matanya ma-
sih melotot marah. "Pendekar cabul! Sungguh sangat
disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya
diagung-agungkan ternyata cabul! Suka memperkosa
gadis dan istri orang!"
Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan
yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya beru-
saha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah.
Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang men-
gaku-aku dirinya.
"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau
punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang.
"Ya!" dengus Nyi Kendil.
"Hm, katakanlah bukti apa?"
Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya
bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya.
"Muridku buktinya!"
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian
tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya.
Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh ne-
nek itu sama dengan jurus Wulandari atau Bidadari
Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk
kepala sambil tersenyum.
"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah
muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Ca-
dar Merah?" tanya Sena.
Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh ama-
rah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang
telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia ta-
hu nama muridnya.
"Ya! Bukankah kau yang memperkosanya?!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas
di udara, lalu terbawa oleh angin. Kemudian dengan
tingkah anehnya, Sena kembali berkata....
"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa an-
tara kau dan aku, Nek? Hm, kau boleh tanya pada mu-
ridmu. Apakah benar aku yang telah memperko-
sanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit."
Usai berkata begitu, Sena segera menjura hor-
mat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil
kembali berseru menghentikan langkahnya.
"Tunggu...!"
Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya te-
rus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nam-
pak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke
arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menye-
but nama wanita bercadar merah itu.
"Wulandari...!"
"Tuan Pendekar, tunggu...!" panggil Wulandari.
Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang
menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada
guru."
Wulandari segera mengajak Sena ke tempat gu-
runya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari
Cadar Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah me-
renggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian.
"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah meno-
longku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda ber-
topeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wu-
landari dengan mata mengerling sungkan pada Sena
yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah! Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah
kau akan menuduhku cabul? Bukankah jurusmu yang
sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi
Kendil langsung melotot.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang me-
nyaksikan gurunya melotot, hanya tersenyum. Kemu-
dian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak
enak itu.
"Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan anta-
ra orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua
orang persilatan telah mendapatkan undangannya."
"Hah...?!" Sena bengong.
***
TIGA
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sam
bil tersenyum-senyum.
"Duel...? Apakah aku tak salah dengar, Nyi?"
"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyela-
matkan si keparat yang menodai ku dulu telah menye-
bar pengumuman, ini buktinya...."
Wulandari mengambil lipatan daun lontar di
ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Se-
na yang segera membacanya.
Bagi semua pendekar rimba persilatan!
Kami mengundang Anda pada dua bulan pur-
nama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk me-
nyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang
nomor satu di rimba persilatan.
Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang per-
nah kami lakukan lima puluh tahun yang silam. Semoga
Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar!
Catrik Ireng.
"Edan! Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil
melipat daun lontar kembali. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di
mana matahari kini agak condong ke arah barat.
"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu ada-
lah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti
"Catrik Ireng...?!" seru Nyi Kendil kaget dengan
mata membelalak. Membuat Wulandari dan Sena me-
mandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.
"Ada apa, Guru? Apakah Guru mengenalnya?"
tanya Wulandari.
"Ya! Dia lelaki bajingan! Dialah yang telah
membuatku harus kehilangan harapan! Kehilangan
masa depan!" dengus Nyi Kendil, semakin membuat
Wulandari dan Sena terheran-heran.
Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah
nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah,
setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah
ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun
yang silam.
"Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terja-
di antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari
setelah menyaksikan gurunya diam saja.
"Hm, aku pun menaruh dendam padanya,"
dengus Nyi Kendil.
"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin
tahu.
"Nanti kuceritakan. Sekarang kita pergi dari si-
ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya.
"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?"
"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas
pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi.
Aku mohon pamit"
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat
pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa
memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar de-
cak kagum.
"Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulan-
dari. Kekaguman yang tergambar pada rona wajahnya
begitu dalam.
"Ya! Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata
ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki il-
mu yang tinggi," sambut Nyi Kendil.
"Jadi...."
"Ya! Mulanya aku menyangka dialah yang telah
memperkosa mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar
biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi
mayat!"
Wulandari semakin kagum mendengar keteran-
gan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tam-
pan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-
ri perasaan yang aneh. Wulandari tak yakin kalau itu
hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan ka-
lau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk
di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau me-
nerima cintaku? Dia masih perjaka asli. Sedangkan
aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya.
Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak mu-
rung dengan mata memandang ke arah kepergian Pen-
dekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah
mendekati muridnya.
"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil
hati-hati.
Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup
cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjap-
ngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gu-
runya semakin tersenyum lebar.
"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-
lu-malu
"Mengapa tidak? Dia lelaki dan kau wanita."
"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Se-
dangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih,
kemudian kepalanya menunduk.
Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perla-
han. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh
kasih sayang.
"Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau
memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulu-
san cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus
berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela
berkorban," kata Nyi Kendil pelan, memberi petuah
pada muridnya yang semakin tertunduk sendu.
"Aku akan berusaha, Guru."
"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin ta-
hu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pe-
muda itu? Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagai-
mana hasil petualanganmu"
"Baik, Guru."
"Ayo kita pulang."
Kemudian keduanya segera melesat meninggal-
kan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama ke-
mudian, tubuh mereka menghilang di dalam kerimbu-
nan hutan.
***
Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas ti-
kar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong re-
bus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah
liat
Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah
liat ada di dekat kaki mereka.
Keduanya mengambil singkong rebus dan gula
merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh ke-
nikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari
cangkir tanah liat
"Bagaimana pengalamanmu, Wulan? Dan ba-
gaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda
itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan se-
nyum terulas di bibir. Mata muridnya mengerjap-
ngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut.
Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena
Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan.
Wulandari terlihat semakin cantik, setelah ca-
dar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wa-
jahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona
dengan seulas senyum tersipu-sipu.
"Kenapa, Wulan? Kau ingat dia lagi...?" seloroh
Nyi Kendil, membuat Wulandari semakin tersipu-sipu.
Pipinya kian merona merah.
"Ah, Guru...."
"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah
muda. Nah, katakanlah...."
Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah
masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan
kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pen-
galamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia
bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan meno-
reh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama
kali mereka bertemu di hutan setelah ia mengalahkan
Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar
Merah").
"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari,
mengakhiri ceritanya.
Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Di-
helanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah
Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang
tengah diperhatikan pada wajah muridnya.
"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil ter-
dengar suara desahan cukup keras, yang entah ditu-
jukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari menge-
rutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya.
Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak
mengerti akan desah gurunya tadi.
Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya
menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga
menatap dengan penuh ketidakmengertian akan se-
muanya.
"Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Sepertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi.
Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Sama-
sama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita in-
ginkan."
Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar
penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahan-
lahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Ti-
dak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi
kedua pipinya.
Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya
nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang
masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu
apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa
muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda
seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir
sama dengan apa yang dialami Wulandari.
"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin
kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk
bertemu. Berbagi suka dan duka yang telah kita alami.
Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa
aku sebenarnya...."
Wulandari menganggukkan kepala dengan ma-
sih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang
membasahi pipinya yang halus.
Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil
mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng.
Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia
sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan
teman-temannya. Bersuka ria di sebuah lapangan di
pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-
sa itu bernama Roro Kendari. Di antara teman-
temannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu
pula dengan pakaian yang dikenakannya. Paling bagus
di antara gadis yang lain.
Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya.
Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya
baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya
dia banyak disenangi oleh teman-temannya.
Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main,
muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu.
Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi
tertarik. Dengan bibir tersenyum, didekatinya gadis
itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-
gu Roro Kendari.
"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng
masih tersenyum.
Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik
Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang
ajar.
"Lelaki kurang ajar!" makinya marah.
Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang
tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang
penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah
lancang berani membelai dagu Roro Kendari.
"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Ca-
trik Ireng dengan kening berkerut "Apakah salah jika
nama mu ku tanya?"
"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku?!
Bukankah itu kurang ajar?!" ketus dan keras suara
Roro Kendari. Matanya masih melotot sepertinya tidak
merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berju-
bah hitam di hadapannya.
"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu."
"Lancang mulutmu!" bentak Roro Kendari.
"Apakah kau tidak pernah diajar adat?!"
Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian
gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu
dibentak begitu rupa di depan orang banyak.
"Gadis edan! Kuhajar mulutmu!" dengus Catrik
Ireng.
"Hajar kalau memang berani!" tantang Roro
Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik
Ireng.
Cup!
"Auw...!"
Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan te-
man-temannya berlarian meninggalkan tempat itu,
merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam.
"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng
masih tersenyum.
Roro Kendari bertambah marah. Tidak didu-
ganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah men-
ciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang.
Pipinya merona merah karena malu.
"Kurang ajar! Kau benar-benar lelaki bajingan!"
Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki
muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng malah
memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya.
Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kenda-
ri.
"Kurang ajar! Lepaskan..!" bentak Roro Kendari
sambil memukul dada Catrik Ireng, dengan harapan
pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ci-
umannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelu-
kannya. Semakin Roro Kendari berontak, semakin
kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu
mencium pipinya.
"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia
menjadi istriku!"
"Cuh! Tak sudi! Kau lelaki bajingan...!"
Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah
Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas
menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher
jenjang Roro Kendari.
"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Roro Kendari
sambil terus meronta, berusaha melepaskan pelukan
pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak pe-
duli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi.
Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leh-
er Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras
menghantam punggungnya.
Bugk!
Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal
itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera
berlari ke arah ayah dan ibunya.
"Ayah, pemuda itu jahat! Bajingan...!"
Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa
yang telah memukulnya.
"Hm, rupanya kau?! Seharusnya kau berterima
kasih, karena putri mu telah mendapat kehormatan
untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh?!"
ujar Catrik Ireng, sombong.
"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli! Kau bu-
kan orang baik-baik! Kau harus ditangkap...!" jawab Ki
Lurah Manujaya.
Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika
tertawa tergelak-gelak
"Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Apakah
kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh?!
Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya
berlalu! Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan
istri!"
"Sombong! Biar namamu menjulang sampai ke
langit, aku tak takut. Demi kebenaran dan kebaikan,
aku rela mati!" sengit Ki Lurah Manujaya.
"Kurang ajar! Rupanya kau menantangku!
Yeaaat..!"
"Heaaat..!"
Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda
berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding
Ki Lurah Manujaya. Dalam beberapa gebrakan saja, Ki
Lurah Manujaya dapat dibunuh.
Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah
Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh su-
aminya.
"Kang Mas...!" ratap istri Ki Lurah Manujaya.
"Bajingan! Kubunuh kau...!"
Dengan tangan menggenggam keris milik sua-
minya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik
Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun
dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelak-
kannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan
wanita itu.
Bles!
"Akh...!" jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di
tangannya tepat menusuk perutnya sendiri.
"Ibu...!" jerit Roro Kendari
Mata Roro Kendari memandang pemuda berju-
bah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Ken-
dari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti
pemuda berjubah hitam itu hendak bermaksud jahat
padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pem-
bunuh ayah dan ibunya.
Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecanti-
kan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu per-
gi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap
penduduk ditanya, di mana Roro Kendari bersem-
bunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau
memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi.
Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemu
kan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah
rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya.
"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu.
Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu."
Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha mela-
wan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu
silat. Jangankan dia, ayahnya yang memiliki ilmu silat
saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebra-
kan.
Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak
terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian
yang dikenakan Roro Kendari.
Breeet...!
"Auh, tidak...!"
Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tena-
ganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik
Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya.
Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata
berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh ga-
dis itu tanpa sehelai benang pun.
Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda
itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Ro-
ro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro
Kendari melahirkan seorang bocah lelaki yang diberi
nama Prabasangka.
"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak me-
nyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat
ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi
Kendil atau Roro Kendari.
Wulandari terdiam menundukkan kepala.
"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau
memaafkannya, Wulan? Maukah kau menjadi istrinya
jika dia telah sadar nanti?"
Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk
menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tum-
buh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka
yang telah memperkosa dan menghancurkan masa de-
pannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wu-
landari lari meninggalkan tempat itu.
"Wulan, tunggu...!" seru Nyi Kendil sambil ber-
lari mengejar muridnya.
***
EMPAT
Malam datang membawa kegelapan yang dis-
elimuti halimun. Binatang malam berdendang riang,
seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil.
Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apa-
lagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hu-
tan menimpali.
Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bu-
kit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang.
Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik me-
ronda.
Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seo-
rang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan pergu-
ruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan
perguruan pertama yang semua anggotanya terdiri dari
kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang
Emas cukup disegani di rimba persilatan
Malam semakin bertambah mencekam, ketika
dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar
suara-suara aneh. Suara-suara yang mampu mendiri-
kan bulu kuduk
"Huuu...!"
"Kakkk kakkk..!"
"Nguiiik..!"
Keempat wanita yang tengah melakukan tugas
jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara
aneh itu. Bulu kuduk mereka meremang tiba-tiba.
"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-
si
"Ya! Suara itu menyeramkan sekali. Sampai-
sampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari
Tanpa mereka sadari, saat itu puluhan pasang
mata memandang keempat wanita yang tengah berja-
ga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buas-
nya pemilik mata itu.
"Nguiiik...!"
Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isya-
rat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah ber-
jaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika me-
nyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tata-
pan mata buas berkelebat ke arah mereka.
"Celaka, kita diserang...!" seru Bintang Kanti.
"Cepat bunyikan kentongan!" perintah Bintang
Sasi pada temannya, Bintang Murai.
Bintang Murai segera lari ke arah kentongan.
Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali,
pertanda keadaan dalam bahaya.
Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu
dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal
itu, tubuh keempat gadis itu menegang, siap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera
berusaha menghalau para penyerang yang ganas.
Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid
Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha
menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seim-
bang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan.
Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan.
"Nguik nguiiik..!"
Para penyerang berjubah hitam itu terus me-
nyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak men-
geluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk den-
gan membongkar pintu gerbang.
"Kita diserang musuh...!" seru salah seorang
murid Perguruan Bintang Emas yang terbangun lebih
dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang
lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi
Pandagu.
"Hadang mereka...!" perintah Dewi Pandagu,
seorang wanita cantik jelita berpakaian seperti orang
India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak,
menggambarkan sifat keibuan.
"Heaaat..!"
Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang
semuanya wanita itu dengan berani segera mengha-
dang para penyerang yang berusaha merangsek. Perta-
rungan di tengah malam pun seketika berkobar.
"Laskar Setan...!" pekik Dewi Pandagu, setelah
melihat simbol yang ada di dada sebelah kiri pada se-
tiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya.
Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu mu-
rid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki
dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran.
Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulan-
nya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka
hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian
kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ga-
nas.
Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian
itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang di-
lontarkan bukan pukulan biasa, melainkan pukulan
sakti.
"Hiaaat..!"
Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemu-
dian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya puku-
lan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan
wanita secantik Dewi Sinta itu, keluar sinar merah
membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke
arah lawan-lawannya.
Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu
langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi
jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu
membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus
mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya
melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak ter-
jangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan.
Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda
berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban
akan bertambah banyak
"Hiaaat..!"
Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi
Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju
kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang
bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada mu-
rid-muridnya.
"Uhhh...!"
Salah seorang murid terkena cengkeraman tan-
gan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar
dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas.
"Celaka...! Pemuda itu benar-benar berbahaya!
Aku harus segera menghentikannya! Yeaaat..!"
Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang
pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka.
Melihat serangan datang, Prabasangka dengan
cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menye
rang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada
Dewi Pandagu.
Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan un-
tuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menye-
rang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wa-
jah lawan bergantian.
"Uts...! Rupanya kau ketuanya, Manis!"
Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian
dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tan-
gan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi
Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menye-
rang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi
ke buah dada Dewi Pandagu.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah
bercampur kaget, mendapatkan serangan yang da-
tangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya,
Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan.
Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabe-
tan selendangnya.
Ctar!
Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras,
laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar,
hingga menimbulkan percikan bunga api.
"Uhhh...!"
Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas untuk mengelakkan seran-
gan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalas-
nya dengan tendangan menyamping.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah.
Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah
dagu lawan, disusul sabetan selendangnya....
Ctar!
"Uhhh...!" Prabasangka tersentak kaget. Cepat-
cepat tubuhnya melenting ke atas, mengelak dari se-
rangan selendang lawan.
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar!
"Heat..!"
Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung
oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik
kakinya. Sedangkan tangan kanannya kembali berge-
rak untuk menangkap tangan lawan.
Sementara, tangan kirinya hendak mencengke-
ram ke arah buah dada Dewi Pandagu.
"Uts...!"
Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu di-
putarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang
hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang
memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wa-
jah lawan.
Ctar!
Prabasangka membuang kepalanya ke samping
kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya
diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan ka-
nannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan
Dewi Pandagu.
Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget
mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya
berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak
mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari
pemuda itu sempat menyentuh juga.
"Auh...! Iblis cabul! Kubunuh kau...!"
Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang
semakin marah kembali menyerang dengan selendang
dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu
membuat gerakan-gerakannya agak kaku, dan seran
gannya pun tidak segarang dan seganas tadi.
Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pan-
dagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Se-
gera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tan-
gannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan kanan
ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan
kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu.
Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke
tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin
mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan
Prabasangka hendak menyerang, dengan cepat Dewi
Pandagu mengebutkan selendang untuk memapa-
kinya.
Ctar!
***
Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan
harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang dengan jurus-jurus cabulnya. Rupanya
perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sem-
barangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. La-
wan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik
Ireng. Salah seorang tokoh rimba persilatan yang di
masanya dulu merupakan salah satu dari dua pende-
kar muda tanpa tanding.
Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda
berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di
atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan se-
lendangnya.
"Heaaat..!"
Ctar!
Prabasangka terus berkelit dan sesekali mem-
balas serangan. Tangannya senantiasa mengarah ke
arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak
ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan.
Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap
selendang itu.
Tap!
Selendang lawan tertangkap. Membuat mata
Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tan-
gan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan hara-
pan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan
Prabasangka rupanya sangat kuat
"He he he...!" Prabasangka terkekeh. Senyum-
nya mengembang di bibir. "Akhirnya kau kudapat juga,
Manis...."
Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan
pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya me-
lotot penuh amarah. Kemudian dengan nekat tangan-
nya menghantam ke dada lawan.
"Hiaaat..!"
Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung
dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pu-
kulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di
sampingnya.
"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis!
Yeaaat..!"
Setelah luput dari hantaman pukulan sakti
yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka meng-
hentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas den-
gan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemu-
dian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya ber-
gerak ke arah buah dada lawan
Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera
memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Ka-
kinya menendang pula.
"Yeaaat..!"
Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi
Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas
menyerang, seketika menarik kembali serangannya.
Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pan-
dagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung
wanita cantik itu.
Tuk!
"Hugkh...!"
Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha memba-
likkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Na-
mun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan
darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku.
Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena me-
rasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu
yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-
apa.
"Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...."
"Cuh! Lepaskan aku...! Pengecut lepaskan aku!"
bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan
diludahinya kembali wajah Prabasangka.
Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di
wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu.
"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis."
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar!
Pengecut lepaskan totokanmu! Kita bertarung
sampai salah satu di antara kita mati!" dengus Dewi
Pandagu kian marah.
Prabasangka tak menggubris tantangan itu.
Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong
tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah,
hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam ban-
gunan utama Perguruan Bintang Emas.
"Lepaskan, Pengecut! Lepaskan...!"
Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar
Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda
berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus
melangkah, membawa tubuh Dewi Pandagu menapaki
halaman bangunan.
Ketika kakinya berada di depan pintu bangu-
nan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-
ri anak buahnya. Prabasangka tersentak kaget. Tu-
buhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang ter-
jadi. Matanya membelalak ketika melihat seorang pe-
muda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak
buahnya.
"Pendekar Gila....!" desis Prabasangka kaget.
Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa
banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Pergu-
ruan Bintang Emas.
Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang me-
mang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat.
Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki
berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam
Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu
terus dipukulkan ke kepala lawan.
"Yeaaa...!"
Plak!
Bugkh!
Sena Manggala bagaikan orang gila yang men-
gamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan
cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling
Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah
rupanya yang mampu menjatuhkan Laskar Setan!
"He he he...! Rupanya Laskar Setan ini hanya
bisa dikalahkan oleh sulingku! Yeaaa...!"
Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat
dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila
mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti
orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya
laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara bera-
dunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tu-
buh lawan.
Plak!
Bugkh!
Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris
memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi.
Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Na-
mun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya
terus bergerak cepat seraya memukulkan sulingnya.
Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin
banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua
murid Perguruan Bintang Emas hanya dapat menon-
ton amukan Pendekar Gila.
"Yeaaat..!"
Wuttt!
Plak!
Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan,
kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-
lat ke atas, kemudian menukik ke bawah sambil
menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Sul-
ing Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan.
Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang
dari mereka.
Pletak! Pletak...!
Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan
empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul.
Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu
LIMA
Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyele-
saikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya me-
langkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja
dibiarkan hidup.
"Katakan, siapa pemimpinmu?"
Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya
matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena
yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemara-
hannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya
terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada ta-
wanannya.
"Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres
dengan manusia ini. Keji...! Sungguh keji orang yang
telah melakukan semuanya. Hm, tapi baiklah. Aku
akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sam-
bil mengangguk-angguk. Kakinya melangkah, memuta-
ri tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati
sesuatu pada tubuh orang itu.
"Tuan, tolonglah bukakan totokanku...!" seru
Dewi Pandagu, menyentakkan Sena.
Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk
mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa
berbicara, bahkan bagai tak memiliki perasaan.
Sena menengok ke arah pemilik suara yang
merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik je-
lita berpakaian putih seperti orang India berdiri mema-
tung tanpa daya.
"Ah! Kenapa kau...?" tanya Sena.
"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pandagu
Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena me-
langkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan
gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di
tubuh Dewi Pandagu.
Tuk!
Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena
termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang
yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bin-
tang Emas itu.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan
segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah
bagaimana nasibku dan murid-muridku...," keluh Dewi
Pandagu.
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya
masih cengengesan.
"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi
Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm,
tentunya pemimpin Laskar Setan itu bukan orang
sembarangan."
Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu
mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut na-
ma gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Panda-
gu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya
menghadapi pemuda berbaju kuning yang jurus-
jurusnya cabul.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?"
tanya Sena.
"Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi
Pandagu.
"Apakah ikat kepalanya kuning juga?"
"Benar! Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pandagu balik bertanya.
Pendekar Gila menghela napas sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang le-
laki anggota Laskar Setan yang masih tertotok.
"Benar-benar keji," gumam Sena.
"Kenapa...?"
"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil
menunjuk ke arah tawanannya.
"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak di-
bunuh sekalian?"
Sena menggelengkan kepala.
"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan da-
rah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan
yang bukan sembarangan. Untuk melepaskannya, di-
perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha
membuka totokan itu."
Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak men-
dengar penuturan Sena.
"Untuk apa...? Bukankah dia berbahaya?"
tanya Dewi Pandagu.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala
menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan.
"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran
dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan
pikiran dan perasaannya berfungsi, dia akan menyada-
ri siapa dirinya."
"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak
sadar?"
"Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-
wi?"
Dewi Pandagu tersenyum. Matanya yang lentik
dan indah mengerling.
"Kenapa tidak? Untuk Tuan, aku selalu siap."
Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan
tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan
guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat
memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, me-
rendah.
Dewi Pandagu tersipu. Matanya masih mengerl-
ing penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan
kerlingan matanya yang indah.
"O, mengapa malam-malam begini kita harus di
luar? Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi
Pandagu.
"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu,"
kata Sena, berusaha menolak.
"Mengapa malam-malam begini? Bukankah le-
bih baik besok pagi?"
Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian
mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, se-
pertinya mengundang.
"Ayolah...," desak Dewi Pandagu.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulut-
nya cengengesan.
Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya
kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling
manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat
celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan
terpesona melihat kecantikannya yang sempurna.
"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia.
Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya
menunjuk ke arah tawanannya.
"Mengapa kau pedulikan dia?"
"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia.
Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang
Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa
kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena se-
tengah berfilsafat.
"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam
beberapa saat
"Terima kasih. Kau telah turut membantuku."
"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi
Pandagu dengan nada riang nan manja. Senyumnya
yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang
menawan.
"Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena.
Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya
memandang penuh harap pada Sena, membuat pemu-
da itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa.
Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita.
"Mengapa untuk kalian? Untuk anggota Laskar
Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan ka-
mar lain."
Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk
kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit
yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya
cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum
sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu.
"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu,"
ajaknya.
"Baik"
Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya.
Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-
lu mengikuti Dewi Pandagu yang masuk ke dalam
bangunan perguruan.
Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama
itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah
pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang me-
nempati.
Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai
di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti.
"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang
kau bawa.."
"Hm, lumayan."
Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Di-
ikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam
kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu
orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas di-
pan.
"Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu.
Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang ke-
palanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika
pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pan-
dang.
Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya
dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu
sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingun-
gan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan ga-
dis cantik itu.
Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata
kembali. Kemudian dengan manja tangannya membe-
lai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang
redup, mengharap sesuatu.
"Dewi, sadarlah...!" kata Sena, berusaha men-
gingatkan.
"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar
kalau dari dulu aku memang jatuh hari padamu."
Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik
yang kini semakin manja padanya.
"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-
na berusaha menghindar.
"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemu-
dian digandengnya tangan Sena. Mereka keluar dari
kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hi-
tam yang tergolek tanpa daya.
***
Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar
yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibu-
kanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak se-
buah ranjang berhias kelambu putih dengan bunga-
bunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang
pengantin.
Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku?
Kamar siapa ini, Dewi?"
Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, di-
ajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, mem-
buat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya.
"Dewi...!"
Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah
memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu mem-
belai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebin-
gungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelai-
belai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana
kemari, kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Panda-
gu sambil mendongakkan kepala. Matanya perlahan-
lahan terpejam dengan bibir merekah.
Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, be-
lum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua
di dalam kamar dengan seorang wanita cantik
Dewi Pandagu terus membelai dada Sena dengan lembut Matanya memandang penuh harap ke wa-
jah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena me-
langkah ke tempat tidur.
"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya
Dewi Pandagu manja.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia ti-
dak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi me-
nengadah ke atas, kini memandang dengan kening
berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu,
tampak seulas senyum merekah indah, dengan mata
sayu menatap penuh arti.
"Suka..?" tanya Sena bergumam.
"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?"
"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita mela-
kukannya?"
Dewi Pandagu tersenyum.
"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang....
Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih
mengembang di bibirnya. Kemudian kepalanya dire-
bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya
masih membelai dada bidang Pendekar Gila.
Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika
menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika
dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, ha-
tinya seketika terenyuh. Kerinduan untuk bertemu,
kembali muncul mengisi hatinya.
Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang su-
ka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya seba-
tas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa
dia menemukan rasa suka lebih daripada Dewi Panda-
gu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie,
merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan
sendirinya.
Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Tetapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu
semakin terasa. Terlebih setelah banyak gadis-gadis
dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia
bagai diuji oleh cinta kasih itu.
Mei Lie, di manakah kau kini berada? Hatinya
bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguh-
nya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa
bertemu, Mei Lie...? Kuharap kau tidak akan melupa-
kan ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupa-
kanmu.
Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedala-
man hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai
rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu
adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang
tanpa disadari, telah menawan hatinya.
Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itu-
lah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena
membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini
Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke
tempat tidur.
"Sena...," desisnya lirih.
Keduanya rebah di tempat tidur.
Dewi Pandagu menutup kelambu. Kemudian
keduanya tampak saling berpelukan, berciuman den-
gan penuh kemesraan.
***
"Sena...! Sena, bangunlah...!"
Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telin-
ganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Ma-
tanya memandang ke atas, seakan melihat sosok gu-
runya.
"Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya setengah mengeluh.
"Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku."
Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh
air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang
sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis
yang menggoda.
"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku!"
"Tidak, Anakku.... Semua memang telah terga-
riskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa
pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah ban-
gun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat
baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu
itu sebagai cambuk. Maka, kau akan senantiasa beru-
saha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat
baik. Pergilah...."
"Baik Guru."
Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera men-
genakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tu-
buhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pan-
dagu tidak terbangun.
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya
menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah mereng-
gut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tan-
gan begitu saja? Ah, lelaki macam apakah aku? Keluh
Sena dalam hati.
Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi
Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya ram-
but gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya.
"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu.
Aku berjanji, kelak aku akan datang untuk bertang-
gung jawab," bisik Sena lirih.
Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan
pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke
arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada.
Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuh-
nya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan
Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin
menjadi-jadi. Nampaknya ada maksud tersembunyi
dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Se-
tannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk me-
mancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila
akan bertambah marah.
Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kem-
bali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Pra-
basangka. Mereka menyerbu ke Perguruan Teratai Pe-
rak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari
penyerbuan itu, tiada lain untuk menundukkan pergu-
ruan itu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, se-
ketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan
dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Tera-
tai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Se-
tan.
"Serang terus...!" perintah Dewi Teratai Perak
Pertarungan berlangsung seru. Satu persatu korban
bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak.
Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat di-
lumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan sege-
rombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh
dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas
arus sungai deras. Tak berarti apa-apa.
"Celaka! Mereka bukan manusia...!" seru Dewi
Teratai Perak kaget. Meski begitu, tubuhnya terus ber-
kelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke
arah Laskar Setan.
Zwing, zwing, zwing...!
Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke
arah Laskar Setan yang semakin ganas.
Jlep! Jlep! Jlep!
"Hgrrr...!"
Pemimpin Laskar Setan menggeram murka.
Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah De-
wi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras,
dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja
menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu ke-
pandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal diha-
dapi.
"Uts...!" Dewi Teratai Perak tersentak. Tubuh-
nya segera berkelit. Kemudian dengan cepat tangannya
melemparkan bunga-bunga teratai.
Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyak-
sikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pe-
mimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas,
bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur beran-
takan.
"Hah?! Dia tak mempan dengan teratai ku?"
"Hgrrr!"
Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang.
Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak.
Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut
Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke
samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang
keras.
Wuttt!
"Uts! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik
Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya bersalto di udara,
untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan.
Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai
Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak di-
bantai Laskar Setan yang buas.
Setiap murid Perguruan Teratai Perak menga-
lami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, ke-
putusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin me-
reka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau
musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari
neraka? Padahal kekacauan perasaan itu sangat me-
rugikan mereka dalam pertempuran
"Serang terus...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, me-
nyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Pe-
rak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu,
dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi
kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala
naga yang terbuat dari emas. Suling itu, tiada lain Sul-
ing Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju rompi
kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar
Gila dari Goa Setan.
Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang,
menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghada-
pi pemimpin Laskar Setan.
"Bantulah anak buahmu, Nyi! Biar aku yang
menghadapi setan ini," seru Sena.
Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum
tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya
melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, mem-
biarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedang
kan dia kini membantu anak buahnya.
"Jangan mundur! Seraaang...!" seru Dewi Tera-
tai Perak memberi semangat pada anak buahnya un-
tuk terus menyerang Laskar Setan
Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid
Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nya-
linya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani
kembali menyerang.
"Hiaaat..!"
Jlep!
Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin
Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya
saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat ke-
ras.
"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu!"
tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat di-
lumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melom-
pat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Wuttt!
"Hgrrr...!"
Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila
menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan,
kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan pe-
nuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menye-
rang.
"Hgr...!"
Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat
mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gera-
kannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja
yang mampu menembus karang.
Wuttt
"Uts! Hebat juga kau, Setan! Tapi otakmu yang
telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu kaku. Nah, ini untukmu...!"
Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan
menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Sul-
ing Naga Sakti ke tubuh lawan.
Bugk!
"Ngk..! Uhk..!"
Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek.
Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan
keadaan sekelilingnya.
"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan
yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia telah tersadar
dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-
nya seperti boneka suruhan.
***
Pendekar Gila yang semula hendak memukul
dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengu-
rungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan ma-
tanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam
itu.
"Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu den-
gan sinar wajah heran
"Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah mene-
mukan cara yang baik untuk menolong mereka!" gu-
mam Pendekar Gila.
Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Se-
tan yang telah sadar dari pengaruh totokan.
"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?"
tanya Sena.
"Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu.
"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mung-
kin kau tidak ingat semuanya?"
Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu men
ceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya
ketika dia lewat di Gunung Lawu, tiba-tiba seseorang
menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah
hitam itu, menutup ceritanya.
"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau
mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena.
"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang ter-
tidur."
"Celaka!" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadar-
kan mereka."
Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata
bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah
pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh
muridnya yang menghadapi Laskar Setan.
"Hentikan..!" sergah Trana Jaya yang berusaha
menghentikan rekan-rekannya. Namun tindakannya
itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini
diserang pula.
Wuttt!
"Edan!" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak
kenal dengan pemimpinnya!"
"Ya! Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan,"
sahut Trana Jaya sambil mengelakkan serangan-
serangan bekas anak buahnya yang masih dalam pen-
garuh totokan Ki Catrik Ireng.
"Terpaksa...!" dengus Sena sambil melompat ke
atas, lalu dengan cepat menghantamkan Suling Naga
Sakti ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk! Bukkk..!
Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatu-
han, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Te-
ratai Perak dan murid-muridnya terus berusaha mem-
bendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya.
"Heaaat..!"
Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana
Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu.
Sampai akhirnya habis tak tersisa.
"Wah...! Rasanya semua bagai mimpi," gumam
Sena setelah menyelesaikan tugasnya. "Manusia-
manusia aneh...!"
"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun me-
rasa seperti bermimpi. Tak pernah kubayangkan, ka-
lau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku ha-
rus kembali ke perguruanku!"
"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya
Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan
bekas pemimpin Laskar Setan itu.
"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana
Jaya.
"O, tidak kusangka aku bisa bertemu dengan
murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Ba-
gaimana kabar gurumu sekarang?"
"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya.
Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya.
"Eh, di mana pemuda itu?!" tiba-tiba Dewi Tera-
tai Perak berseru kaget, ketika matanya tidak menda-
patkan Pendekar Gila di tempatnya semula.
"Ha ha ha...! Aku di sini! Kuharap kalian bisa
saling membantu...!" seru Sena dari kejauhan. "Aku
yakin, kalian adalah pasangan yang serasi!"
Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pan-
dang. Kemudian tersipu malu.
"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Tera-
tai Perak entah ditujukan pada siapa.
"Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia
yang menjadi musuh besar Ketua Laskar Setan."
"Siapa Ketua Laskar Setan?"
"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya.
"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah
Pendekar Gila! Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan,
bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala
naga?"
"Ya, benar."
"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gi-
la...," desis Dewi Teratai Perak.
Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak dis-
angkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah
terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda.
Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu,
Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke da-
lam perguruannya,
***
TUJUH
Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pende-
kar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah
berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik
Ireng untuk melakukan duel dengan pendekar muda
yang namanya tengah menjadi buah bibir.
Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan se-
mata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gi-
la yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun si-
lam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada
para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki
jabatan orang nomor satu di rimba persilatan
Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berda-
tangan para pendekar rimba persilatan. Pada umum-
nya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu,
setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik
Ireng.
Dari arah barat, sekelompok orang melangkah
dengan gagah. Seorang lelaki tua dengan pakaian resi
berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya
tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari.
Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di bela-
kangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi.
Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat
panjang terbuat dari kayu cendana. Itulah senjata me-
reka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang beram-
but panjang digelung ke atas serta jenggot yang pan-
jang dan putih, wajah anggotanya nampak bersih. Tak
ada jenggot atau kumis.
"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak ber-
maksud memperdayai para pendekar?" tanya salah
seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari,
"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari. "Tokoh
yang satu ini memang terkenal aneh. Lima puluh ta-
hun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini mun-
cul kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar
kemunculan Pendekar Gila."
"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng den-
gan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya
resi muda lain yang juga berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari.
"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pa-
da kalian hubungan antara dua orang sakti itu."
Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada
murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba per-
silatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan
itu dulu pernah bertarung. Juga dikatakan bahwa Ki
Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum mengalahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir se-
mua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila
dari Goa Setan saja yang belum dikalahkan.
Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng men-
cari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Se-
dangkan Pendekar Gila mencari Ki Catrik Ireng untuk
menyadarkan tindakan orang itu.
"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-
si Bragaskita, salah seorang resi muda yang berjalan di
belakang Resi Sarameskari.
"Mereka pun bertemu."
"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang
bernama Resi Bramaweda.
"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai
akhirnya mereka mengeluarkan senjata masing-
masing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti.
Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas
murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bume-
rang kembar."
"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi
Bramaweda semakin ingin tahu.
Resi Sarameskari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjang-
panjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu.
"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senja-
ta Catrik Ireng saja yang terpotong."
"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi
Bragaskita.
"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi.
Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah ke-
matiannya," gumam Resi Sarameskari.
Mereka pun terus melangkah menuju Gunung
Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Se-
bagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal.
Sementara itu, dari arah utara serombongan
orang melangkah juga menuju arah selatan di mana
Gunung Lawu berada.
Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan pal-
ing depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya
tampak seorang wanita bercadar merah yang tak lain
adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah.
Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang.
Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menen-
tukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di
rimba persilatan.
Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Seper-
tinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin be-
naknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil
untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal
hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila. Na-
mun sebagai seorang murid, dia harus patuh pada gu-
runya.
Di belakang mereka, menyusul kelompok dari
perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki
berjubah putih. Tampak di dada sebelah kirinya terda-
pat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam sen-
jata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan.
Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Pu-
tih. Sementara itu seorang gadis berbaju hijau berjalan
di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk menge-
tahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-
la dalam episode "Kumbang Hitam dari Neraka").
Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan se-
luruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik.
Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Se-
mua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu benar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya
duel antara dua tokoh sakti itu.
Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil
dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian
di markas Segoro Wedi, mereka menghilang bagai dite-
lan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti").
Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nam-
paknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan.
Para pendekar kini telah sampai di tempat yang
dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung
besar yang telah dibuat oleh pasukan Ki Catrik Ireng,
Laskar Setan!
Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang
tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-
tat. Mereka sengaja dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
***
Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebe-
lah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa
agak dingin. Angin bertiup kencang, seakan-akan hen-
dak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari
panggung besar.
Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun
yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran
orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu
kedatangan Pendekar Gila.
Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat
sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok
itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang
ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang men-
gundang para pendekar untuk datang ke tempat itu.
Orang-orang persilatan yang mengelilingi pang-
gung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan le-
laki tua berjubah hitam itu.
"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya
mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu
apa yang akan terjadi di tempat ini, bukan..?" ucap Ki
Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah.
"Ya...!" sahut para pendekar.
"Perlu saya beritahukan pada kalian. Sesung-
guhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya mela-
wan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih
penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas men-
jadi Ketua Rimba Persilatan...!"
Semua tersentak dengan mata membelalak
mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian me-
reka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki
tua itu sebenarnya.
"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagai-
mana kalau kita adakan pembukaan!" kata Ki Catrik
Ireng.
Kembali semua mata terbelalak mendengar pe-
nuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat
kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki
Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu
bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan un-
tuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng mela-
wan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!"
Saat mereka tengah dalam keadaan kebingun-
gan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar.
Membuat semua mata seketika memandang ke arah
datangnya suara itu.
Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular.
"Pendekar Gila...!" seru para pendekar serem-
pak, setelah tahu siapa yang datang
Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa
tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik
Ireng yang mengerutkan keningnya setelah melihat ru-
pa pemuda itu.
"Kaukah Pendekar Gila itu?!" tanya Ki Catrik
Ireng setengah membentak
"Benar!" sahut Sena tegas.
"Aku tidak percaya! Tentunya kau bukan Pen-
dekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong!"
dengus Ki Catrik Ireng
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Terserah mu saja, Ki. Kau mau percaya atau
tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa mak-
sudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih
dengan tingkah lakunya yang aneh.
"Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan
Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah
Sena yang tetap bertingkah laku konyol.
"Baik! Katakan, ada hubungan apa antara kau
dan Singo Edan?"
"Aku muridnya," sahut Sena tenang.
"Bagus! Meski kau bukan Pendekar Gila yang
lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa
kau dapat mewakili gurumu! Sengaja aku mengun-
dangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara
aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mu-
lanya yang kuharapkan adalah gurumu. Tapi tak men-
gapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik
Ireng
"Kalau itu tujuanmu, lebih baik aku mengalah.
Tak ada gunanya bertarung kalau hanya memperebutkan pepesan kosong...."
"Pengecut!" maki Ki Catrik Ireng "Begitukah si-
kap seorang pendekar yang sering disebut sebagai
pendekar tanpa tanding?! Lihat..! Kalian telah melihat
sendiri, bagaimana pendekar yang kalian agung-
agungkan ternyata hanya kecoa busuk!"
Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik
Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena
marah.
"Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu
busuk Ki!" balik Sena dengan niat mengejek
Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh ama-
rah.
"Kurang ajar! Siapa pun kau, aku harus me-
nyingkirkan mu!"
"Aha, terserah saja, Ki!" tantang Sena.
"Bagus! Kalau lima puluh tahun silam aku ka-
lah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya
akan menerima pembalasanku! Bersiaplah...!".
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera me-
langkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-
gi-tinggi, dengan jari mengepal. Kemudian sepasang
tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk
dengan tinju ke atas, sedangkan tangan kin dibuka
dengan jari-jari lurus.
"Hhh...!"
Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam
lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya
ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari
terbuka. Disusul hentakan telapak tangan lurus ke
depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang di-
beri nama 'Sampar Cobra'.
Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pen-
dekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Ki Catrik
Ireng yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol
Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup.
"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena te-
nang.
Semua pendekar yang menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka ber-
tanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan menga-
cuhkan lawan? Padahal lawan yang dihadapinya bu-
kan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung
dengan gurunya.
Kecemasan seketika menyelimuti hati semua
pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang se-
perti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama
'Monyet Gila Siap Menerkam'.
'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?"
tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas me-
nyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-
kalau pemuda itu akan mendapat celaka karena belum
siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi.
"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi,"
ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha
menenangkan. "Tenanglah...."
"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu.
"Lihat! Dia telah membuka jurus!" seru Dewi
Teratai Perak membuat mata semua pendekar terpusat
penuh ke arah panggung.
***
Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua
langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimu-
lainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal.
Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya ber-
gerak lemah gemulai dan lincah.
"Bersiaplah.... Aku akan mulai! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka
serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan
menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku
dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya di-
putar, lalu dihentakkan ke dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan sal-
ing berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut
lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membu-
ka kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan me-
nari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan
kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..!"
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-
la Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring,
lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan
kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke de-
pan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan
diteruskan memukul ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
"Heaaat..!"
Dua orang berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan
tubuh. Tangan mereka bergantian melakukan seran-
gan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka
saling menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa..."
Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera
berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bentuk pertahanan.
"Uts...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke
depan. Diikuti oleh pukulan tangannya.
"Edan..!" maki Ki Catrik Ireng kaget. Segera di-
tariknya pukulan tangan kanannya, lalu diganti den-
gan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya dige-
rakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan ce-
pat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus
Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu me-
mang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang si-
lam, tetapi kini lebih hebat!
"Rupanya selama lima puluh tahun menghi-
lang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus
miliknya...!" seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah
ke belakang mengelakkan cengkeraman yang dilaku-
kan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik
Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tu-
lang rusuk lawan.
"Weit...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan
lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat
Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke
samping.
Semua mata orang persilatan memandang pe-
nuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan
tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu.
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck..!"
"Ini baru duel seru!"
***
DELAPAN
Pendekar Gila masih terus menyerang. Gera-
kannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban.
Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya
sangat cepat. Tangannya yang menepak dan menca-
kar, susul-menyusul tiada henti.
"Edan! Benar-benar jurus gila!" maki Ki Catrik
Ireng tersentak kaget mendapatkan serangan yang
aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar
muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit
tentunya cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila
akan menghajar tubuhnya.
"Heaaat..!"
"Uts...!"
Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika mera-
sakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin
pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar me-
nerpa tubuhnya.
Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya.
Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua ber-
jubah hitam yang telah banyak makam asam garam di
rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tan-
gan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia
yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini
tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang
menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-
menyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menam-
par ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya
meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke
wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ke-
tika tangan lawan menampar dengan kibasan tangan-
nya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak ber-
ganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha mengha-
lau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menye-
rang.
"Ck ck ck..! Hebat..!" puji Resi Sarameskari dis-
elingi decakan kagum, menyaksikan gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda,
namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua
yang namanya pernah menjadi buah bibir para pende-
kar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar
tangguh pada zamannya.
"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi
Bragas Wita, ingin lebih jelas tentang Pendekar Gila.
"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab
Resi Sarameskari.
"Muridnya, Guru? Dari mana pemuda itu bisa
tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi
Bramaweda.
"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya
aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang
mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sara-
meskari.
"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bra-
maweda.
"Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau
pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang ta
hu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan
saja dulu pertarungan itu," tukas Resi Sarameskari.
Kedua murid utamanya itu menurut Mereka di-
am dan kembali memperhatikan pertarungan antara
Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng.
Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi.
Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat seran-
gan-serangan yang dilancarkan keduanya. Kini mereka
berada di alam bebas, membuat gerakan mereka se-
makin leluasa.
Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-
gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya
menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-
pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-
nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Uts...! Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Ke-
mudian dengan gerakan membentuk setengah puta-
ran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah
melihat Pendekar Gila menggeser kaki ke samping, Ki
Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke da-
da Pendekar Gila.
Wuttt!
Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat
mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila
yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang
dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya
membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu,
dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan ka-
nan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tan-
gannya seperti membelah dengan cepat
"Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan ki
rinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan ka-
ki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan
kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar
Gila.
Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera
bersalto ke belakang. Dengan tubuh di udara, kakinya
menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tu-
buh membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan
tangannya lalu menyerang ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik
Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan
yang dilancarkannya.
"Heaaa...!"
Tangan mereka kini bergantian memukul dan
menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus me-
rangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Se-
dangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan
menangkis serangan lawan sambil balas menyerang.
Semua mata membelalak Tak ada kata-kata
yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksi-
kan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang
laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil
mencecarkan pukulan dan terkadang menangkis se-
rangan lawan.
"Ck ck ck..!"
Semua mendecak kagum dengan kepala meng-
geleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemam-
puan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski
mereka dari golongan tua sekalipun, rasanya sangat
sulit bertarung dengan tubuh melayang seperti itu. Bi-
sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan.
Pendekar muda itu benar-benar mampu me
nunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, sea-
kan benar-benar mampu terbang seperti burung. Ka-
kinya terkadang berputar untuk menendang, lalu ber-
putar kembali dengan pukulan-pukulannya.
"Heaaat..!"
Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik
Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, su-
dah tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewala-
han menghadapi serangan-serangan aneh yang dilan-
carkan Pendekar Gila.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila ada-
lah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan
pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan
pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru
Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu ju-
rus-jurus yang menjadi andalan Pendekar Gila.
"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gi-
la!" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis seran-
gan-serangan Pendekar Gila, dengan sesekali memba-
las menyerang.
"Yeaaat..!"
Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang,
kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-
ri dengan posisi siap melakukan serangan. Tangannya
bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tan-
gan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, se-
dangkan tangan kirinya berada di perut dengan jari-
jari tangan kejang mencengkeram.
"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki
Catrik Ireng yang telah tahu jurus itu. "Dulu gurumu
boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus
itu tak ada gunanya bagiku, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk
menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping den-
gan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan
kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan
cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Sa-
lah satu jurus andalan Ki Catrik Ireng.
"Yiaaat..!"
"Heaaa...!"
Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap
melakukan serangan berikutnya.
***
Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti
tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Na-
mun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru an-
gin keras ketika kedua tangannya bergerak.
Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal di-
am. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, me-
matuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yiaaat..!"
"Uts! Heaaa...!"
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-
gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian ke-
mari.
Kemudian melakukan serangan dengan ten-
dangan dan sapuan.
Trak!
"Yeaaat..!"
"Hop...!"
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu,
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-
buh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu
dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali
menyerang.
"Yeaaat..!"
"Hiaaat..!"
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-
perti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin
kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin to-
pan yang susul-menyusul.
Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan
serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanan-
nya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-
lu membuka untuk menangkis serangan. Disusul ca-
karan tangan kirinya ke dada lawan.
"Sss...! Heaaa...!"
Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak
hanya gulungan berwarna hitam.
Semua mata yang menyaksikan pertarungan
itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi
mereka untuk mengikuti gerakan tubuh kedua tokoh
sakti itu.
"Gila...! Mereka benar-benar telah mengelua-
rkan gerakan ilmu silat yang luar biasa!" gumam Dewi
Pandagu. "O, mungkinkah Sena dapat memenangkan
pertarungan penentuan ini?"
Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa
yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian den-
gan mata masih memandang ke arah pertarungan,
Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya.
"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Wid-
hi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja
yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-
tu."
Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata
yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang
dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-
la, berarti kekalahan aliran lurus. Dan tentunya tokoh
aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa
mempedulikan aturan rimba persilatan.
Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya
nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang
memandang penuh ketegangan.
"Hhh...! Semoga Hyang Widhi selalu melindun-
ginya," gumam Wulandari perlahan.
Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan
muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah
pertarungan dua tokoh sakti itu. Kalau sampai Pende-
kar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki
tua yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-
pun juga lelaki itu adalah suaminya sendiri.
"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gi-
la kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan mela-
braknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-
ti muridnya. "Kurasa, pendekar muda itu bukan pen-
dekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita ber-
doa saja pada Yang Kuasa."
Pertarungan antara dua orang sakti yang ber-
kepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan
kini mereka telah kembali mengganti jurus. Jurus-
jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat
ke jurus-jurus tingkat tinggi.
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa
Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk se-
tengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada.
Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melaku
kan gerakan menghantam dan membongkar. Benar-
benar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu
karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan
pukulannya tak kalah dahsyat
Wusss...!
Glarrr!
Setiap kali tangan kanan atau kirinya meng-
hentak, maka keluarlah serangkum angin yang dah-
syat. Menghancurkan batu cadas yang terkena.
"Hop! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Sete-
lah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan ce-
pat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang
kepala. Sedangkan tangan kirinya direntang ke samp-
ing. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus
'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'.
Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tan-
gan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya
yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke
arah lawan.
"Heaaat..!"
Serangkum angin disertai deruan keras, me-
nyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar
Gila membuang tubuhnya ke samping. Lalu tubuhnya
segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, me-
nyibak dan menghantam dari bawah.
"Yeaaat..!"
Wuttt, wuttt..!
Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila me-
lancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak
dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang
berusaha menyerang lawan.
"Uts! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya bergantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hanta-
man tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, ke-
mudian turun dengan serangan yang tidak kalah dah-
syatnya.
Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana
membara. Membuat suasana di sekeliling kancah per-
tarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat
itu telah malam. Tak terasa oleh mereka, kalau malam
telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama tepat be-
rada di ubun-ubun.
"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Kemu-
dian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri
tegak, tangannya disilangkan ke depan dada. Kemu-
dian kedua telapak tangannya disatukan di atas kepa-
la.
"Yeaaat...!"
Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan puku-
lan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng.
'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-
gulangi hawa panas yang keluar dari ajian 'Waringin
Sungsang'.
Wrrr!
Seketika angin menderu keras, membawa hawa
dingin yang menyelimuti sekeliling tempat itu. Para
pendekar yang tadi kepanasan, kini tersenyum senang.
Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa
panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari tela-
pak tangan Pendekar Gila.
"Rupanya kau masih mengandalkan jurus ku-
no, Pendekar Gila! Ilmumu tak ada gunanya mengha-
dapi 'Waringin Sungsang'ku! Bersiaplah untuk mam-
pus...! Yeaaah...!"
Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki
Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila.
"Yeaaat...!"
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak
mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di
depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk mema-
paki serangan lawan.
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang
dan menyapu ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Hiaaa...!"
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-
ra, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan.
Darrr!
Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh-
nya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh, setelah men-
ginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah me-
napakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik
kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'-
nya.
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dike-
luarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-
pancar sinar membara, membuat sekelilingnya panas.
Glarrr!
"Aaakh...!" Pendekar Gila memekik keras, tu-
buhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Ki
Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam.
Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
"Sena...!" pekik Dewi Pandagu, menyaksikan
kekasihnya terlempar jauh ke dalam jurang. Matanya
membelalak penuh amarah.
"Pendekar Gila...!" seru Ki Tunggul Manik.
Semua pendekar yang bersimpati pada Pende-
kar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh
amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi
aba-aba mereka menyerbu Ki Catrik Ireng yang terlu-
ka.
"Serbu...! Jangan biarkan mereka melukai
ayah...!"
Tapi, pada saat para pendekar bergerak me-
nyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang
pemuda dari balik cadas.
Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri
di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat,
menghadang dan menyerang para pendekar yang hen-
dak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng.
"Laskar Setan...!" seru Dewi Pandagu kaget.
"Serang...!" seru Resi Sarameskari, memerintah
pada murid-muridnya. Sekaligus memerintahkan pada
rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun ba-
ru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik
Ireng membentak...
"Hentikan! Kalian telah terkurung! Kalian tak
akan mampu lolos dari tempat ini! Kini Pendekar Gila
telah binasa, maka sepantasnyalah aku menjadi pe-
mimpin rimba persilatan!"
"Persetan dengan ucapanmu, Ki!" maki Ki
Tunggul Manik.
"Ya! Tak pantas orang licik sepertimu menjadi
pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari.
"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah binasa! Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu
sebagai ketua rimba persilatan!" Nyi Kendil tiba-tiba
membentak begitu tubuhnya berkelebat mendekat,
membuat Ki Catrik tersentak kaget.
"Kau...?!"
"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali,
Catrik Ireng! Kau harus menyerahkan anakku!", den-
gus Nyi Kendil.
Prabasangka yang mendengar wanita tua itu
mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh ke-
bingungan.
"Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda
berbaju kuning itu.
Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perla-
han kepalanya mengangguk.
"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah me-
nelantarkan mu semasa kau masih bayi."
"Bohong! Lelaki tak tahu diri! Wulan, serang
dia!" perintah Nyi Kendil.
Pertarungan seru antara para pendekar mela-
wan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka se-
perti tak peduli dengan Ki Catrik Ireng. Kekalahan
Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hi-
tam itu, telah mengobarkan api kemarahan mereka.
Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadi-
kan pertarungan sangat seru. Namun karena jumlah
pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jum-
lah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka da-
pat didesak
"Hentikan...!" seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah
oleh kalian semua! Baiklah, aku memberi kesempatan
pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan ka-
lau Pendekar Gila telah mampus. Kalau selama satu
minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian
harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pe-
mimpin rimba persilatan!"
Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka
yang memandang penuh kebencian pada Ki Catrik
Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini ti-
dak merasakan lagi rasa sakit akibat luka dalamnya,
karena beberapa jalan darahnya telah ditotok
"Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki
Catrik Ireng. "Kalian akan kubebaskan. Tapi jika mem-
bangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-
na pun kalian berada, mereka akan mencari dan
membunuh kalian!"
Semua pendekar golongan putih hanya mampu
menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada
yang menjawab. Hanya mata mereka saja yang meng-
gambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik
Ireng.
"Jangan percaya omongannya! Kita serang sa-
ja!"
Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa
menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil me-
lakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah.
"Percuma saja kau menyerangku, Nyi! Seha-
rusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersama-
ku!" sergah Ki Catrik Ireng.
"Cuih! Tak sudi aku bersamamu! Lebih baik
aku binasa!" bentak Nyi Kendil.
"Baik kalau begitu! Laskar Setan, ringkus ke-
dua wanita itu...!" seru Ki Catrik Ireng yang dengan se-
gera dipatuhi oleh Laskar Setan.
"Ayah, mengapa kau menangkap ibu?!" tanya
Prabasangka.
"Diamlah! Biarkan mereka menangkap wanita-
wanita tak tahu diuntung itu!"
Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan
Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat
segera ditangkap.
"Bawa mereka ke tahanan!" perintah Ki Catrik
Ireng.
"Tapi, Ayah..." cegah Prabasangka hendak me-
nentang.
"Diam!" hardik Ki Catrik Ireng berang.
Prabasang langsung menuruti kata-kata ayah-
nya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki
tua itu mencorong tajam.
"Sekarang kalian boleh bubar! Kutunggu kalian
tujuh hari lagi!" kata Ki Catrik Ireng pada para pende-
kar.
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera ber-
suit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar
Setan.
Semua pendekar terpaku menyaksikan bagai-
mana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan
menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tem-
pat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka
menggambarkan kecemasan akan nasib Pendekar Gila.
***
SEMBILAN
Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin
Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di
rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya
berguling-guling di lereng yang berhutan lebat
Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah
manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatang
binatang buas yang siap memangsa setiap manusia
yang berani memasuki kawasan hutan itu.
"Akh...!" Sena memekik, tubuhnya menggelind-
ing ke bawah. Kini tubuhnya semakin bertambah jauh
dari Puncak Lawu.
Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu
membuat kaget semua penghuni hutan. Burung-
burung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-
butan. Binatang-binatang lainnya juga berlarian ka-
lang-kabut
Setelah membentur pohon yang cukup besar,
tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar bi-
asa. Pohon besar itu bagaikan dihantam oleh kekuatan
yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-
bum.
Brak!
Kraaak...! Bummm!
Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya
meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia men-
galami luka dalam akibat pukulan 'Waringin Sungsang'
yang dilancarkan Ki Catrik Ireng
Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Keti-
ka itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun
dari atas sebatang pohon. Sepertinya ular sanca itu
mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya
untuk menyantap.
"Szzz...!"
Ular sanca sebesar paha manusia dengan pan-
jang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap
ke arah Sena. Matanya yang merah, memandang pe-
nuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak ping-
san.
"Szzz...."
Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidah
nya yang berwarna merah dan bercabang, menjulur-
julur. Matanya semakin bersinar, bagai senang men-
dapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena,
mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bu-
lat-buat.
"Szzz...!"
Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor
monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian
dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu me-
nangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh.
"Nguk..!"
Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Se-
na. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-
pi telinganya yang tajam mendengar desisan keras dari
belakangnya.
"Nguk..!"
Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke
arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju
kera dan tubuh Sena yang mulai tersadar.
"Ngukkk!"
Sambil berteriak keras, kera itu melompat ma-
ju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus
mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan ke-
pala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan.
"Zsss!"
"Nguk, nguk...!"
Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi
riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor bina-
tang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan
siap melakukan serangan.
"O, rupanya kera besar itu telah menolongku
dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata
menyipit, memandang kedua binatang yang masih saling pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Kedu-
anya siap melakukan serangan.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan
perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat
bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali men-
desis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat
tinggi-tinggi, mulutnya membuka, menunjukkan li-
dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerak-
gerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar.
"Ha!, bukankah gerakan ular sanca itu seperti
jurus 'Waringin Sungsang'? Aha, benar...! Gerakannya
persis dengan jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng,"
gumam Sena dengan mata membesar, memandangi
kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Kedua binatang itu kini bergerak, saling me-
nerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama
persis dengan serangan-serangan yang dilancarkan Ki
Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk
dengan ekor turut menyerang.
"Ngukkk...!"
"Zsss...!"
Kera itu bergerak aneh. Kaki- kakinya melang-
kah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pe-
lan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satu-
satu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri.
"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, ter-
heran-heran melihat tingkah laku kera itu.
Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik ke-
ra dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya
turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar,
kemudian melangkah menyilang di depan kaki kiri.
Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak.
Sementara salah satu tangan kera itu berada di
dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya
bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak
tangan kanannya diputar dengan jari-jari lurus ke
atas.
Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti
gerak-gerik kera itu. Kaki dan kanannya turut berge-
rak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian
melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang
menekuk ke atas, lalu dilangkahkan bersamaan den-
gan hentakan keras telapak tangan.
"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah ju-
rus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, na-
mun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat,"
gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu
dalam melakukan serangan. Dan tampaknya ular yang
menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' me-
mang mengalami kesulitan untuk melancarkan seran-
gan-serangannya.
Setiap kali kepala ular sanca itu hendak me-
nerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melang-
kah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului me-
nyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini
menampar cepat ke kepala ular itu.
"Szzz!"
Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan
lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap me-
nyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digan-
tikan dengan serangan kibasan ekornya.
"Ngiiikkk...!"
Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemu-
dian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri dite-
kuk ke atas, lalu tangan kirinya dikibaskan dua kali
dan dihantamkan ke kepala ular itu.
Sena terpana dengan mata membelalak me-
nyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu
menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera
itu. Meski gerakannya sangat halus, namun mampu
membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah
aku?" tanyanya sambil mengusap-usap mata, berusa-
ha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua bi-
natang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu
masih terlihat
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-
ra itu," puji Pendekar Gila. Tanpa sadar, tubuhnya ber
gerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera.
"Szzz...!"
Kepala ular sanca bergerak cepat hendak me-
nerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera ber-
tubuh besar itu melompat dan balas melakukan tampa-
ran.
Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini
mendesak ular sanca yang tampak menggunakan ju-
rus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena
semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, di-
awasinya jalannya pertarungan seru itu.
Kera itu masih menyerang dengan halus. Tan-
gan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki
kanannya direntang, kemudian dikibaskan. Disusul
dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tam-
paran. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan,
tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan men-
deru, menyentakkan ular sanca itu.
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan
kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-
ikutinya gerakan-gerakan kera itu. Sementara matanya
tetap memandangi kedua binatang yang tengah berta-
rung.
"Szzz...!"
Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena
serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan.
Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian
dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh
lawannya.
"Nguk!"
Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan beli-
tan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melaku-
kan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepa-
la ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam
dengan telapak tangan ke tubuh ular itu.
Plak!
Des!
"Szzz!"
Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak
liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawan-
nya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu mem-
buat rasa sakit luar biasa.
"Hah?!" mata Sena melotot lagi.
***
Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan
bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular
sanca. Dan yang membuat matanya semakin membela-
lak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan
batu sebesar kepala manusia.
Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu
keras.
"Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tam-
paran kera itu. Jurus apakah yang dilakukannya?"
gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Szzz...!"
Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepa-
lanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk den-
gan cepat tiada henti. Rupanya ular itu tak mau keja-
dian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi. Kepa-
lanya terus menyerang, mematuk dan menerkam.
Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet
dan membelit.
"Nguk!"
Dengan tenang kera itu terus menggerakkan
kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam
melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya.
Begitu juga tangan kirinya ketika menampar.
Dua binatang itu terus bertarung dengan se-
runya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya
sama-sama bernafsu untuk mengalahkan.
"Nguiik...!"
Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkin-
gan yang mampu memekakkan telinga itu membuat
Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup
dengan pengerahan tenaga dalam.
Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu
melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Se-
pertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedang-
kan mata dan mulut ular sanca itu mengeluarkan da-
rah.
"Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bi-
sik Sena menyaksikan kejadian tersebut
Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena
dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihat-
nya tangan kanan kera itu mengibas dua kali. Lalu
menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca
yang tengah meraung-raung kesakitan.
Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu
kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena da-
pat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan
tamparan. Mata kera itu terpejam rapat Binatang itu
tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melain-
kan dengan kekuatan sukma.
"Hah?! Tamparan apa itu? Oh, mungkin Jurus
yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma',"
gumam Sena.
"Nguiiik..!"
Plak!
Trak!
"Ssszzz...!"
Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah.
Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya
kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat
pelan dan lemas, ternyata mampu menghancurkan ke-
pala ular sanca yang besar.
"Bukan main...!" pekik Sena terkagum-kagum
menyaksikan kejadian tadi.
Dengan tersenyum-senyum, Sena menggaruk-
garuk kepalanya. Matanya masih memandang kera
yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara
ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus
'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala
hancur berantakan.
"Nguk, nguk, nguk..!"
Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan
kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu
membalikkan tubuh, lalu memandang Sena.
"Nguk!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya se-
cara berirama.
"Ah ah ah...! Terima kasih sahabat. Kau telah
menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik
sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
Kera itu masih melompat-lompat kegirangan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat.
Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian
kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Se-
na melakukan jurus itu.
"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempela-
jari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik
hati..," ucap Sena.
"Nguk nguk..!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Sea-
kan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih
nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seo-
lah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya.
"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua
gerakan-gerakanmu? Baik...!"
Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang
sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu berta-
rung dengan ular sanca. Tangan kanannya dikibas-
kibaskan, kemudian disentakkan dengan keras.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keras-
keras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan
gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan me-
lompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang
tadi digunakan untuk melawan musuhnya.
Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan
yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara me-
langkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan
tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri.
Pendekar Gila menamparkan tangan kirinya
dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalam-
nya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar
biasa!
Glarrr!
Kraaak...! Bummm!
Pohon besar di hadapannya seketika meledak
terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tam-
paran itu sangat pelan.
"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena
terlongong dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kemudian dengan suara yang
keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh.
Pendekar Gila mengambil Suling Naga Sak-
tinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-
ka itu pula...
Darrr!
Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar
saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus
'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan
Suling Naga Sakti.
"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat,"
tutur Sena.
"Nguk, nguk...!"
Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang
lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas
pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghi-
lang.
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia te-
lah memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ter-
nyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng,
hanya dapat dikalahkan dengan jurus 'Tamparan
Sukma'.
"Hyang Jagat Dewa Batara, terima kasih atas
pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera un-
tuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian den-
gan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya,
aku harus mempelajari jurus 'Tamparan Sukma' itu
lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik."
Sena kemudian bersila untuk mengheningkan
cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memu-
lihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama
bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pende-
kar Gila, mengepul kabut berwarna ungu. Wajahnya
merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula.
Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih
kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bang-
kit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali.
"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan
seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan
baik," ucapnya pada diri sendiri.
Pendekar Gila segera membuka tangannya.
Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Se-
dang tangan kanannya membentuk siku berada di
samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping,
lalu dilangkahkan ke depan menyilang.
Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihen-
takkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-
rentangkannya ke samping, diikuti dengan tamparan
tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Se-
dangkan tangan kanannya mencabut Suling Naga Sak-
ti, yang kemudian ditiupnya.
Glarrr!
Darrr!
Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi ba-
gai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali.
Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum
sesempurna gerakan kera tadi.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Aku harus terus belajar!" tekadnya berseman-
gat
***
SEPULUH
Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang da-
ri dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik
Ireng kepada para pendekar habis. Berarti para pende-
kar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk
menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan
sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang
pun dari para pendekar yang berani membangkang.
Semua hadir kembali di Puncak Lawu.
"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas
penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?"
tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke
seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.
Tak seorang pun yang menjawab. Mereka sea-
kan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang
tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka.
"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang ti-
dak setuju jika aku menjadi pemimpin rimba persila-
tan?! Jawab...!" bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah.
"Aku...!"
Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar ja-
waban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang
tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke
sesosok tubuh yang berkelebat.
Para pendekar tersenyum lega melihat siapa
yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang ter-
sentak kaget, setelah mengetahui siapa yang datang
dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Ca-
trik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang ba-
ru tiba itu
"Pendekar Gila...!"
"Dia tidak mati...!" teriak Resi Sarameskari.
"Ya! Dia telah kembali...!" pekik Dewi Pandagu
saat menyaksikan kedatangan orang yang telah me-
nyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti
jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan
yang berpadu dengan keharuan.
"Kau...! Kau belum mampus, Pendekar Gila?!"
tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar.
"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum men-
gizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Mungkin belum waktunya, Ki. Dan
mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup
untuk menumpas orang-orang sepertimu."
Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar kata-
kata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya mem-
buru turun-naik.
"Kurang ajar! Kau tidak akan mampu menga-
lahkanku, Pendekar Gila!" bentak Ki Catrik Ireng gu-
sar.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum
sambil kakinya berjingkrak-jingkrak.
"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya
ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah."
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Rupanya kau
memang harus kusingkirkan!"
"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki! Mungkin-
kah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Kau sepertinya semakin takabur saja...."
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat
terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berju-
bah hitam ini melesat dengan serangan ganas ke arah
Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang,
dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samp-
ing, kemudian segera berkelebat memapaki serangan
lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedang-
kan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-
tu ke depan.
"Heaaat...!"
Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulur-
ulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus anda-
lan yang telah mampu mengalahkan Pendekar Gila tu-
juh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan menga-
lami hal yang sama.
Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk ke-
pala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke
depan. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke
samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemu-
dian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan
oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor.
"Yeaaat..!"
"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang
kau gunakan, Ki? Aha, jurus yang hebat..," ledek Pen-
dekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor
monyet
Ki Catrik Ireng tersentak kaget. Serangannya
yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya
melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengenge-
san sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar
Gila?!" bentak Ki Catrik Ireng.
Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangan-
nya masih menggaruk-garuk kepala.
"Kau kaget, Ki? Ah, sungguh kebetulan saja
aku tidak salah menebak nama jurus yang kau guna
kan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?"
Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begi-
tu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot ta-
jam penuh amarah.
"Tutup mulutmu! Meski kau telah tahu nama
jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku.
Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali.
Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian
tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan
membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya
membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor
ular.
"Szzz...!" Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor
ular.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila se-
gera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian di-
tepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya
sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu
silat
"Yeaaa...!"
Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada.
Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping,
membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya men-
gibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh
luar biasa! Dari kibasan tangan itu, keluar serangkum
angin yang menyentak kuat
Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya
yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus
merangsek. Tangannya mematuk. Tubuhnya meliuk-
liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam
mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai
ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan.
"Remuk kepalamu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wuttt!
Serangan mematuk menghantam dan menen-
dang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat
hati Pendekar Gila ciut. Malah Pendekar Gila bergerak
dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela di-
ri.
Semua orang yang menyaksikan gerakan Pen-
dekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi
Pandagu sempat memekik tegang.
"Oh, mengapa dia?!"
"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas?!"
gumam Resi Sarameskari.
Semua pendekar dilanda kekhawatiran, me-
nyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gi-
la. Mata mereka memandang tegang. Takut kalau-
kalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk
kedua kalinya.
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Ca-
trik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tan-
gannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api.
"Celaka! Pendekar Gila bisa benar-benar mati
kali ini!"
"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi
Sarameskari.
Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila
hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemu-
dian dijejakkan ke depan. Bersamaan dengan mena-
paknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah
lawan.
"Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya
tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak be-
rarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpejam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya,
Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang
membara ke arah lawan.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hiaaa...!"
Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Se-
dangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan
dengan mata terpejam.
Glarr!
"Ukh...!"
Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata
membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihan-
curkan! Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terli-
hat pelan dan dilakukan dengan mata terpejam pula,
mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak
ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seke-
tika hancur.
"Ha ha ha...! Mengapa kau terjatuh, Ki? Ma-
kanya, kalau mundur hati-hati...!" celoteh Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar
ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigi-
giginya saling beradu, menahan amarah yang meluap-
luap.
"Bedebah! Ilmu siluman! Rupanya kau telah
bersekutu dengan siluman!" maki Ki Catrik Ireng, asal
jadi.
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal men-
dengar tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Ke-
mudian dengan tingkah laku persis seperti kera yang
dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus
'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata....
"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau
memutarbalikkan kata! Tentulah kau yang telah bersekutu dengan iblis! Kau siksa orang dengan seenak-
nya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat me-
reka bagaikan budak-budak hina mu! Lalu, kau jadi-
kan mereka laskar. Laskar Setan!"
"Bohong...! Mereka tetap sadar!"
Pendekar Gila kembali tertawa sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa
maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari se-
buah bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar
Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang
anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibe-
baskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka.
"Benar! Orang inilah buktinya...!" seru Nyi Ken-
dil.
Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang
menggandeng seorang lelaki.
"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diper-
dayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada
bekas Laskar Setan.
"Jangan kalian tertipu oleh mereka!" seru Ki
Catrik Ireng.
"Katakanlah...!" perintah Nyi Kendil mendesak
Orang itu pun dengan takut-takut menceritakan apa
yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawan-
kawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan
hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki pera-
saan dan rasa sakit. Itu sebabnya Laskar Setan tak
akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam
dan setiap tugas yang mereka lakukan.
"Bangsat! Kurobek mulutmu! Yeaaa...!" Dengan
penuh amarah, Ki Catrik Ireng berkelebat, siap mela-
brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun
belum juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah
berkelebat menghadangnya.
"Mau ke mana, Ki? Biarkan mereka membuka
kedokmu yang busuk dan keji!" seru Sena.
"Kurang ajar! Rupanya kau dulu yang harus
kusingkirkan!"
"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena.
"Kubunuh kau! Heaaa...!"
Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan
jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tan-
gan kanannya mematuk-matuk ke arah kepala dan
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular.
Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya
melangkah membentuk setengah lingkaran.
Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular,
meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus
menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang
dahsyat
"Ku tahu ajian 'Waringin Sungsang' mu me-
mang hebat Ki. Tapi, sehebat-hebatnya ilmu seseorang
tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan
dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Warin-
gin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki
Catrik Ireng.
"Kurang ajar! Jangan banyak bacot! Katakan
sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah
memberitahukan kepadamu?!" bentak Ki Catrik Ireng
sambil terus bergerak menyerang.
"Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas ja-
samu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menja-
dikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu
itu ternyata masih ada yang mampu menandinginya.
Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-
la sambil tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Bedebah...! Katakan, ilmu apa yang akan kau
kerahkan untuk menandingi ku, heh?! Jangan kira il-
mumu akan mampu mengalahkanku! Ilmu gilamu tak
ada artinya bagiku!" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-
bir.
"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang mem-
buat mata hatimu buta! Maka hanya kematianlah yang
akan mengakhiri kesombonganmu! Ilmu 'Tamparan
Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu
menandingi jurusmu! Nah, bersiaplah! Yeaaa...!"
Pendekar Gila segera merentangkan kaki ka-
nannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan
serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Sete-
lah itu, kaki kanan ditarik lalu melangkah menyilang
ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengi-
bas pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak
tangan pelan ke arah lawan.
Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah
mundur dua tindak. Kemudian, didahului pekikan
menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang.
"Yeaaah...!"
Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih te-
tap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat,
berusaha secepatnya menjatuhkan lawan. Bahkan bila
perlu membunuhnya.
Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan
kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil
kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kem-
bali melakukan tamparan ke arah lawannya.
Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagai-
mana tamparan yang pelan namun ternyata mengan-
dung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki
Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, menganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak me-
lihat.
Namun....
Wuttt!
Glarrr!
"Ukh...! Setan...!" maki Ki Catrik Ireng dengan
tubuh terpental ke belakang. Dadanya terasa sesak
akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak,
tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak
masuk akal, kalau tamparan pelan tangan kiri Pende-
kar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan
mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya ter-
lempar demikian jauh.
Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenya-
taan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi
dengan apa yang terjadi.
"Kubunuh kau! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang be-
rupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya
itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan senjata an-
dalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya
ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Wuttt!
Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian
bertemu di udara.
Trang!
Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua sen-
jata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke be-
lakang.
Pendekar Gila menangkap Suling Naga Sak-
tinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik
Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah
menjadi empat bagian dan berguguran ke tanah.
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk mem-
bunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, la-
lu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sung-
sang'nya.
Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya ju-
ga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sam-
bil bergerak dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
"Yeaaa...!"
"Heh!"
Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan
ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga
Sakti. Tanpa ampun lagi....
Krak!
Glarrr!
Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik
Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah
dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat
enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki
Catrik Ireng.
"Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang
tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur,"
gumam Sena.
"Sena...!" seru Dewi Pandagu sambil berlari
menghampiri pujaan hatinya. Kemudian keduanya sal-
ing berpegangan tangan dan saling pandang.
"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak
aku pasti menemuimu untuk bertanggung jawab atas
semua yang telah kulakukan padamu."
"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pende-
kar Gila menggeleng sambil menggaruk-garuk kepa
lanya yang tak gatal.
"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin
perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawan-
kawan. Aku mohon pamit..!"
Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila ber-
kelebat meninggalkan mereka, menjadikan Dewi Pan-
dagu terpaku.
"Sena...! Kutunggu...!" panggil Dewi Pandagu,
ketika menyadari dirinya akan kembali kehilangan
orang yang dicintai.
Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum
sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya
dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan
pandangan penuh kekaguman.
Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika
para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah
sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda
yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun
telah membantu Pendekar Gila untuk membebaskan
Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan
Laskar Setan pun tiba-tiba sadar dengan sendirinya.
Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun da-
ri mimpi.
"Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya
Prabasangka.
"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai
saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi meni-
kahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil.
Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawa-
lan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar
kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wa-
jah bumi menjadi demikian ramah.
Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan.
Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbang
nimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan
bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihat-
nya tadi betapa mesranya Pendekar Gila dengan Dewi
Pandagu.
"Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulandari malu-malu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar