UTUSAN LEMBAH KUBUR
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
dalam kisah Utusan Lembah Kubur
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.0391.50.13
1
Jeritan itu menggema bagai merobek kesepian ma-
lam. Lanangseta terbangun dari tidurnya. Demikian ju-
ga Kirana yang sedang hamil tua. Mereka saling pan-
dang dan berkerut dahi. Sudah tiga kali ini dalam setiap
hari, mereka mendengar jeritan yang memanjang, me-
milukan, jauh di bawah kaki bukit Bulan.
"Jeritan itu terdengar lagi," bisik Kirana, dan La-
nangseta hanya mengangguk. Kemudian, Lanangseta
turun dari ranjang, pergi ke luar rumah.
Ia berdiri di halaman depan. Memandang kereman-
gan malam yang ditaburi sorot rembulan pucat. Ia me-
mandang ke arah kanan, jauh di bawah sana ada ben-
tangan samudra yang hanya tampak berkilau-kilauan
karena memantulkan sorot rembulan petang. Sedang-
kan, di sebelah kirinya tampak segerombolan dedaunan
remang, membentang hijau gelap bagai permukaan
permadani. Itulah bentangan alam pedesaan yang pal-
ing dekat dengan Puri Bukit Bulan, tempat Lanangseta
dan istrinya bergelimang peluh setiap malam.
"Ada sesuatu yang mencurigakan, Lanang?" Kirana
menyusul ke luar. Rambutnya yang panjang terurai di-
hempas angin puncak bukit. Lanangseta mendekati is-
trinya dan memeluk pundak sang istri.
"Tidurlah lagi. Tak ada apa-apa...."
"Tapi sudah tiga malam ini selalu ada jeritan dari
arah pedesaan sana. Kurasa ada sesuatu yang tak
beres," Kirana bicara pelan, bagai menggumam, ma-
tanya memandang alam pedesaan di bawah bukit Bu-
lan.
Lanangseta mencium istrinya dengan lembut. Penuh
kasih sayang dan kemesraan. Ia juga mengusap perut
istrinya yang membengkak, kemudian membaringkan
nya ke ranjang. Malam masih berjalan panjang.
"Jangan banyak pikiran, nanti kesehatanmu ter-
ganggu," bisik Lanangseta yang berbadan tegap dan
berwajah tampan.
"Aku tidak ingin anakku merengek karena ibunya re-
sah."
Kirana tersenyum geli, lalu mencubit pipi Lanangse-
ta, bahkan menggigit kecil dagu suaminya itu.
"Ada sesuatu yang tak beres di bawah sana, Lanang!"
bisik Kirana ketika ia dipeluk dengan hangat.
"Ah, tak ada apa-apa."
"Jeritan itu selalu membuat bulu kudukku merind-
ing."
"Jaga perasaanmu. Jangan menjadi kacau karena
suara jeritan itu. Mungkin hanya ringkik seekor kuda
jalang?" Lanang bersungut-sungut, dan hal itu menye-
nangkan hati Kirana.
"Jangan murung kuda jalang ku...." bujuk Kirana
bagai memanjakan Lanang. "Kalau kau murung, nanti
anakmu juga ikut murung. Kalau anakmu murung, pe-
rutku mules...!"
"Ssssttt...!" Tiba-tiba Lanang tampak tegang. Tawa
dan senyum mereka hilang. Wajah-wajah itu menjadi
saling tatap dengan kaku.
"Aku mendengar suara langkah kaki," bisik Lanang.
Kirana mengangguk. "Ya, dengus nafasnya kudengar
juga."
"Kau di dalam saja, ya?"
"Hati-hati, Lanang...." bisik Kirana lagi ketika sua-
minya turun dari ranjang.
Pelan-pelan sekali Lanang melangkah dan membuka
pintu. Sengaja Lanang memilih tempat gelap, jauh dari
sorotan rembulan, karena ia yakin; ada orang yang da-
tang mengendap-endap di sekitar rumahnya. Lanang
memasang indra pendengarannya tajam-tajam. Mata
melirik ke sana sini dengan sikap tubuh berdiri, mera-
pat dengan dinding rumahnya. Ia mulai bergerak ke
samping kiri perlahan-lahan. Kedua tangannya siap
memukul kendati tidak menggenggam.
Ada bayangan yang mendekati sudut rumah. La-
nangseta makin merapatkan badan ke dinding, ia ber-
geser pelan-pelan. Bayangan itu agaknya juga mera-
patkan badan ke dinding samping, tapi ia tidak sadar
kalau sorot rembulan dari arah belakang rumah mem-
buat bayangannya terlihat dari teras depan. Lanang
menahan nafas, kini tangannya menggenggam.
Ketika bayangan itu semakin mendekati sudut ru-
mah, Lanang segera menggerakkan kakinya:
"Hiiiiaaaattt...!"
Tepat pada saat kaki kanan Lanangseta terayun se-
tengah lingkaran, tepat pada saat orang itu maju, hen-
dak membelok ke teras rumah. Akibatnya, perut orang
itu terkena ujung telapak kaki Lanangseta dengan ke-
ras.
"Huuuugggh...!"
Tubuh orang itu melengkung kesakitan. Tapi, ia se-
gera berusaha memukul Lanangseta dengan tangan ka-
nannya yang maju ke depan, sedang tangan kirinya
memegangi perut. Lanangseta berkelit ke samping
menghindari pukulan itu, seraya tangannya pun berge-
rak cepat menghantam wajah orang tersebut.
"Aaaaoooow....!" Orang itu memekik.
Lanangseta tidak memberi kesempatan, ia segera
menendang pundak orang itu dengan tendangan lom-
pat.
"Hiaihh..!"
Orang itu menangkis dengan mengibaskan tangan-
nya ke samping. Tendangan Lanang memang berhasil
ditangkisnya, tetapi ia sendiri terpental karena tendan-
gan itu cukup kuat. Tangannya segera dikibas-kibaskan
karena tulang lengannya terasa semutan dan ngilu.
Sekelebat ia mengeluarkan senjata berupa pisau dari
pinggangnya. Lanangseta menendang tangan yang hen-
dak mencabut pisau, sehingga tangan tersebut tak jadi
mengibaskan pisau itu. Sebaliknya, justru pisau itu ter-
sodok ke samping dan melukai lambung kirinya. Orang
itu mengaduh. Ia terguling sesaat, dan segera mengam-
bil batu, lalu dengan keadaan terduduk di tanah, ia me-
lemparkan batu itu kuat-kuat seraya berseru, "Kena
kamu...!" Tetapi nyatanya justru lemparan batu itu dis-
ambut oleh pukulan Lanang, dan batu sebesar gengga-
man tangan itu hancur oleh pukulan Lanangseta.
Orang itu masih penasaran, ia meraih dua batu dan
melemparkannya lagi ke arah Lanangseta secara ber-
samaan. "Wes... wes...!" Batu melayang dua jurusan, sa-
tu ke wajah, satu ke dada Lanang.
Mata Lanangseta cukup awas untuk melihat mele-
satnya dua batu yang dilemparkan bersamaan itu. Ma-
ka ia pun segera melompat dengan badan miring ke kiri.
Lompatan itu bersifat maju, sehingga ketika Lanang
mendaratkan kakinya ke tanah, ia sudah berada di de-
pan orang berpakaian serba biru itu. Kemudian kaki
Lanangseta menghentak ke depan. Tangan orang itu
menyilang, dan berhasil menangkis tendangan Lanang-
seta. Namun, sekali lagi ia menyeringai dan mengibas-
ngibaskan tangannya sambil terpelanting ke belakang.
Tendangan Lanang terasa sakit sekali di lengan.
"Hiiiaaat...!"
Pukulan Lanangseta sengaja dilancarkan secara ber-
tubi-tubi bagai sedang berlatih silat asal-asalan. Orang
itu gelagepan. Ia menggerakkan tangannya secara nga-
wur, menepis dan mengibas ke sana sini, sampai-
sampai ketika Lanang berhenti memukul, orang itu ma-
sih menepis dan mengibaskan tangannya menghindari
pukulan yang tak ada.
Lanang sempat tersenyum geli melihatnya. Dan,
orang itu segera menggeram kesal, karena ia merasa
terkecoh. Ia segera melompat untuk melancarkan ten-
dangan dengan dua kaki maju ke depan. Lanangseta
berdiri sigap, seakan membiarkan dirinya akan diten-
dang pada bagian kepalanya. Namun, ketika kedua kaki
yang meluncur ke wajah Lanang itu sudah dekat, tiba-
tiba Lanangseta merendahkan badan sampai jongkok.
Kedua tangan Lanang menempel ke tanah, dan kaki
kanannya segera menghentak ke atas, tepat mengenai
pinggang belakang orang itu.
"Huaaadoowww...!" teriak orang itu. Ditambah lagi ja-
tuhnya tepat pinggang lebih dulu dan terganjal oleh ba-
tu. Tak ayal lagi orang tersebut memekik kesakitan,
sambil berusaha bangkit. Ia meringis ketika masih ne-
kad menyerang Lanangseta dengan tendangan kaki ki-
rinya. Lanang hanya menangkis sekelebat, kemudian
sebuah pukulan tangan kanan maju menghantam dada
orang itu, hingga yang dipukul terbatuk-batuk dan
mengeluarkan darah sedikit. Ia pun rubuh dengan na-
fas cengap-cengap.
Lanangseta menjadi iba setelah menyadari, bahwa
musuhnya kali ini adalah anak muda yang usianya di-
perkirakan masih belasan tahun. Anak muda itu segera
dipapah ke teras rumah, tepat ketika Kirana muncul in-
gin menengoknya.
"Ada apa, Lanang?"
"Orang ini bikin perkara," Lanang menggerutu. "Cari
penyakit saja, dia...!"
"Masih muda tampaknya."
"Ya, masih muda. Tapi dia punya keberanian yang
bodoh."
"Kau terluka, Lanang?"
"Aku belum sempat disentuhnya."
Lanang menghempaskan nafas, antara kesal dan ka
sihan kepada anak muda yang mengalami kesesakan
nafas.
Anak muda itu mulai bisa bernafas dengan lega sete-
lah mendapat beberapa pertolongan dari Lanang dan is-
trinya. Ia dibawa masuk ke dalam, dan digeletakkan di
dekat bangku panjang. Namun, anak itu segera berusa-
ha bangun, kemudian naik ke bangku panjang, dan me-
rebahkan badan di sana.
"Uuuuuh... sakit..." rintih anak muda itu seraya
mengusap-usap dada yang telah diberi minyak ramuan
khusus buatan Kirana. Ia meringis-ringis menahan sa-
kit. Kirana memberikan minuman air hangat yang tadi
sebelum tidur sempat dimasaknya untuk minuman me-
reka berdua. Air itu sekarang masih sedikit hangat, ti-
dak terlalu dingin seperti udara malam itu.
"Siapa yang menyuruhmu menyerangku?" tanya La-
nang ketika anak muda itu bangun.
"Saya... tidak menyerang.... Malahan saya diserang."
"Karena kau mengendap-endap dan mencurigakan,"
kata Lanang sambil berdiri di depannya.
"Tugasku hanya mengendap-endap dan mencoba il-
mu silatmu itu. Kau yang bernama Lanangseta, bu-
kan?"
"Benar. Kenapa kau menjajal ilmuku?"
"Syarat....!"
"Syarat apa?!"
"Syarat untuk menjadi seorang murid."
Lanang menatap istrinya yang ikut memperhatikan
anak muda itu. Lampu minyak yang menggantung di
tengah ruangan menerangi wajah anak muda itu yang
sesekali meringis sakit.
"Jadi kau ke mari ada yang menyuruhmu?"
"Ada.... Ada sekali," jawabnya pelan.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Seorang pendekar, calon guruku."
"Siapa dia?" desak Lanang.
"Pendekar Agung."
"Pendekar Agung siapa?" hardik Lanangseta.
"Namanya...." Anak muda itu diam sebentar, menun-
dukkan wajah, ia duduk sambil mengusap-usap dada.
"Hei, kenapa malah bengong saja dari tadi, hah?"
"Aku sedang mengingat-ingat nama calon guruku."
"Lho, sama calon gurunya sendiri tidak tahu, bagai-
mana kamu bisa tahu ilmu-ilmunya?"
Anak itu diam, merenung beberapa saat.
Kirana angkat bicara, "Di mana kau bertemu dengan
gurumu itu?"
"Di sana...."
"Di sana, mana?!" Lanang sedikit jengkel.
"Di dalam mimpi."
"Brengsek...!" geram Lanangseta, lalu ia berkata ke-
pada istrinya, "Kita melayani orang gila ini!"
"Bukan. Guruku bukan orang gila!"
"Kau yang gila! Bukan gurumu!"
"Naah... aku ingat! Aku ingat namanya!" seru anak
itu. "Nama guruku.... Pendekar Agung.... Pendekar
Agung Jaka Bego!"
"Jaka Bego...?!" Lanangseta dan Kirana sama-sama
terpekik kaget, kemudian masing-masing tersenyum ge-
li. Sudah sekian lama, hampir satu tahun lebih Lanang
dan Kirana tidak berjumpa dengan Jaka Bego. Bahkan
Paman Ludiro juga sudah tidak ikut dengannya. Na-
mun, malam ini, tahu-tahu mereka mendengar lagi na-
ma Jaka Bego disebut-sebut.
"Apa kata Jaka Bego kepadamu?"
"Waktu aku bermimpi bertemu dengannya," tutur
anak itu. "Aku melihat ia memainkan beberapa jurus
maut, dan aku tertarik dengan ilmunya. Aku ingin men-
jadi muridnya, tapi dia menolak. Aku mendesak, akhir-
nya aku disuruh memenuhi syarat, yaitu mencoba ke
saktian orang yang bernama Lanangseta, yang letak
rumahnya ada di puncak bukit Bulan. Kalau aku me-
nang, aku akan dijadikan muridnya. Kalau aku kalah,
aku harus mau menjadi murid Lanangseta. Itu perjan-
jiannya. Maka, aku ke mari, menjajal ilmu kesaktian-
mu...."
"Mimpi yang konyol...!" kata Kirana sambil terse-
nyum geli memandang suaminya tertegun bengong.
"Siapa namamu?"
"Raden Klowor...!" jawab anak muda itu dengan te-
gas.
Kirana sempat mengikik. Geli. Mulutnya ditutup
dengan tangan kanan. Lanang memandang istrinya
dengan sedikit heran dan ingin ikut tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Lanang pelan-pelan.
"Namanya lucu. Raden kok pakai Kolor segala...!"
"Huss! Bukan Raden Kolor, tapi.... Raden Klowor,"
bisik Lanangseta. "Sudah, jangan tertawa, ah. Nanti dia
ngelunjak."
Wajah Raden Klowor seperti orang tidak berdosa, ti-
dak merasa ditertawakan, tidak merasa dibicarakan,
yang ia rasa agaknya rasa kaku di tangan dan senut-
senut di dada.
"Raden Klowor...!" sapa Lanang. "Malam ini, kau ku-
suruh tidur di sini dan temui Jaka Bego di alam mimpi.
Katakan kepadanya, bahwa aku tidak sanggup menjadi
gurumu, dan tidak punya minat menjadikan kamu mu-
ridku. Aku belum ingin punya murid. Nah, katakan ke-
padanya dalam mimpimu nanti."
"Lho, apa aku meminta ingin jadi muridmu? Aku
hanya ingin menjadi murid Jaka Bego Pendekar Agung
itu."
Lanangseta menghempaskan nafas, sedikit keki ke-
pada Raden Klowor.
"Kau tadi bilang apa tentang syarat tersebut?"
"Aku hanya diwajibkan memenuhi syarat seperti tadi;
yaitu menjajal ilmu Lanangseta. Kalau aku menang,
aku akan dijadikan murid Jaka Bego Pendekar Agung,
tetapi andaikata aku kalah melawan Lanangseta, aku
harus mau menjadi murid Lanangseta."
"Nah, katakan kepada Pendekar Agung yang bego itu,
Lanangseta tidak mau mengangkat murid."
"Siapa yang minta diangkat menjadi muridmu?"
tanya Raden Klowor dengan bingung. Lanang sendiri ja-
di bingung.
"Bukankah Jaka Bego menyuruhmu menjadi murid-
ku?"
"Itu kalau aku kalah dengan kesaktianmu."
"Iya, kan. Apakah kau belum merasa kalah dengan-
ku?"
"Belum!"
"Busyeet...!" Lanangseta memandang istrinya yang
tersenyum geli. Lalu, tiba-tiba kaki Lanangseta yang
kanan bergerak cepat ke depan, menendang dagu Ra-
den Klowor. Tentu saja yang ditendang menjerit kesaki-
tan dan terpental ke belakang.
"Aaaah.... Kenapa kau menendangku...?"
"Untuk membuktikan bahwa kau kalah denganku!"
kata Lanangseta, tak mau menolong Raden Klowor yang
mengulurkan tangan minta dibantu berdiri.
Raden Klowor bersusah payah sendiri untuk bangun,
dan duduk di bangku panjang yang mirip sebuah dipan
itu. Ia mengusap-usap dagunya yang terasa mau pecah.
Erangan kesakitan masih terasa tak enak didengar Ki-
rana.
"Apakah kau belum merasa kalah denganku?" tanya
Lanang.
"Belum...."
"Gila! Hiaaattt...!"
"Plok!"
Raden Klowor menjerit mau menangis ketika pipinya
dipukul dengan hentakan telapak tangan Lanangseta.
Keras dan kuat. Hal itu membuat Raden Klowor me-
nyembunyikan wajah di balik kedua tangannya, takut
dipukul lagi. Ia sempat merogoh mulutnya, dan mem-
buang satu biji gigi gerahamnya yang copot karena pu-
kulan Lanangseta.
"Masih belum merasa kalah?" tanya Lanangseta yang
siap memukul Raden Klowor lagi.
Satu tangan Raden Klowor diangkat tanda menyerah.
Ia meludah ke dekat pintu. Kirana ingin marah, namun
ditahan Lanangseta. Raden Klowor berkata:
"Ampun.... aku mengaku kalah...."
"Nah, jadi.... sekarang tidurlah lagi, lalu temui Pen-
dekar Bego itu, katakan kalau aku tidak bersedia mene-
rimamu sebagai muridku. Jelas?"
"Mudah-mudahan jelas..." jawab Raden Klowor, yang
kemudian segera ditinggalkan oleh Kirana dan Lanang-
seta.
Di kamar, Kirana geleng-geleng kepala mengingat
Raden Klowor yang aneh dan menjengkelkan juga itu.
Kirana sempat berkata, "Aku sangsi, jangan-jangan dia
memang anak gila!"
"Kalau dilihat dari pengakuannya tentang Jaka Bego,
aku percaya, dia memang bermimpi bertemu Jaka Be-
go."
"Kenapa, kau percaya?"
"Ingat, Jaka Bego itu Dewa Seribu Mimpi. Dia yang
mengatur lajunya mimpi, jatah mimpi orang-orang ada
di tangannya. Termasuk mimpiku tentang kamu, dan
mimpimu tentang aku."
"Ah, dasar Dewa Bego...! Mimpi saja diatur segala....!"
Lanangseta hanya tersenyum tipis ketika naik ke
ranjang dan menyambut rebahan istrinya yang bersun-
gut-sungut.
Esok pagi, sudah langganan bahwa matahari pasti
muncul dari langit Timur. Lanangseta tidak heran. Em-
bun yang membasah di dedaunan, juga tidak membuat
Lanangseta heran. Tetapi, ia menjadi heran ketika meli-
hat Raden Klowor sudah tidak ada di tempat. Anak mu-
da bertubuh kurus dan berpakaian serba biru itu hi-
lang. Entah ke mana?
"Anak gila itu hilang!" kata Lanang kepada istrinya.
Kirana menyahut. "O, ya...? Aku tidak menghilang-
kannya lho."
"Aaaah..!" Lanang mendesah, karena belakangan ini
Kirana memang suka bercanda. Mungkinkah itu karena
pembawaan bayinya dalam kandungan?
Lanang memeriksa barang-barang yang ada di kamar
tamu dan di kamar-kamar lainnya. O, masih utuh. Be-
rarti tidak ada yang dibawa kabur oleh anak gila itu, pi-
kirnya.
Lanangseta keluar, untuk melihat apakah Raden
Klowor sudah jauh dari rumahnya, atau sudah hilang
dari pandangan mata. Ah, tak tampak apa-apa dari
puncak bukit tempatnya tinggal itu. Tak ada langkah
orang yang menuruni lereng atau berjalan menyusup ke
hutan menuju pedesaan.
"Berarti sudah sejak tadi ia pergi. Mungkin malam
itu juga ketika aku masuk ke kamar," kata Lanangseta
sendirian.
Ketika ia hendak membalik masuk ke rumah, ia jadi
punya kecurigaan. Ada sekelebat kain biru di belakang
rumah. Sepertinya kain yang dipakai sebagai baju Ra-
den Klowor. Bergegaslah Lanang ke belakang rumah. Ia
menemukan baju lengan panjang tergantung di salah
satu ranting pohon bunga di belakang rumah. Sementa-
ra itu, pemiliknya sedang melompat-lompat dengan ge-
rakan lincah.
"Gila...! Ia berlatih silat sendirian...?" gumam Lanangseta sambil memandang Raden Klowor.
Raden Klowor agaknya tahu kalau Lanangseta mem-
perhatikannya. Tetapi, ia bagai tidak perduli. Ia tetap
berlatih jurus-jurus silat dengan lincah. Dan, beberapa
saat kemudian Lanangseta mulai membelalakkan mata,
terbengong-bengong melihat gerakan silat yang dipakai
Raden Klowor.
"Anak gila....!" geramnya. "Dari mana dia bisa mem-
pelajari jurus Lindung Bumiku...?"
Berdebar jantung Lanangseta melihat gerakan jurus
Lindung Buminya digunakan Raden Klowor. Anak itu
menghentakkan kaki, melesat ke atas, dan amblas ke
tanah sebentar, lalu muncul lagi dengan menyembur
dari dalam tanah. Padahal, hanya Lananglah yang
mampu melakukan jurus Lindung Bumi, sebab ia ber-
gelar pula Pendekar Pusar Bumi.
Lanang buru-buru menghampiri Raden Klowor. Ke-
mudian ia menjambak rambut anak muda itu dengan
marah dan bertanya kasar:
"Siapa yang mengajarkan jurus Lindung Bumi, hah!
Siapa? Kalau tidak mau mengaku, kupatahkan leher-
mu!"
Raden Klowor meringis kesakitan, tangannya menge-
jang-ngejang dengan mata terpejam kuat-kuat.
"Aku hanya berlatih jurus itu...." katanya.
"Iya, tapi siapa yang mengajarimu begitu? Siapa yang
memberikan jurus Lindung Bumi itu, hah?"
"Kau sendiri! Kau yang mengajarku jurus itu, dan
berpesan agar pagi ini aku harus berlatih jurus itu!"
Lanang segera melepaskan jambakannya. Kepala
Raden Klowor dihentakkan seenaknya. Kesal sekali ha-
tinya, namun bingung sekali pikirannya. Ia duduk di
batu yang biasa dipakai memandang laut pada sore ha-
ri.
"Kenapa kau marah padaku, seperti ini?" Raden Klowor bagai mengajukan protes kepada Lanang.
"Aku tidak pernah mengajarimu jurus apa-apa!" kata
Lanang dengan kesal. "Tapi, kenapa kau bisa menggu-
nakan jurus itu?! Kau benar-benar memuakkan aku!"
"Kau yang menjengkelkan dan membingungkan aku,
Guru!"
Mata Lanang membelalak. "Guru...?! Sejak kapan
aku mengangkat kau menjadi muridku?"
"Semalam...!" jawab Raden Klowor sambil duduk di
tanah bersila, menghadap Lanangseta.
"Kau benar-benar gila!" geram Lanangseta. "Semalam
aku menyuruhmu tidur, dan kalau bertemu Jaka Bego,
kau kusuruh bilang, bahwa aku tidak mau menerima
murid siapa-siapa."
"Iya. Tapi di alam mimpiku aku melihat Pendekar
Agung Jaka Bego berembuk denganmu, dan akhirnya
kau mau menerimaku sebagai murid. Lalu, sebagai
modal dasar, kau mengajarku jurus Lindung Bumi,
kan? Dan kau menyuruhku, jika aku bangun pada pagi
hari, aku harus mencobanya dalam satu latihan di be-
lakang rumah. Kau sendiri yang bilang begitu, masa se-
karang aku yang disalahkan?"
Kebengongan Lanangseta tiada habisnya. Kapan ia
bilang begitu? Di alam mimpi? Benarkah? Kapan ia ma-
suk ke alam impian Raden Klowor? Kenapa bisa jadi be-
gitu aneh?
***
2
Lanangseta, yang berjuluk Pendekar Pusar Bumi,
dan mendapat gelar Malaikat Pedang Sakti, kali ini diam
termenung tak banyak bicara. Rumahnya yang terletak
di puncak bukit Bulan itu sungguh mempunyai tempat
yang indah. Ia dapat memandang laut di waktu sore,
matahari terbit dan tenggelam bisa diperhatikan dari
belakang rumah. Tempat itu berpagar dari besi kokoh,
dan mempunyai tempat duduk dari batu sebagai tempat
bersantai. Tak ada pepohonan di lereng bukit, kecuali
ilalang dan semak biasa.
Namun kali ini, sore mulai merayap, kebisuan La-
nangseta bagai menyekap. Bukan laut biru yang indah
itu yang dipandanginya. Bukan warna saga di langit
yang sedang dinikmatinya, melainkan kekalutan otak-
nya yang sedang memaksa ia diam, duduk sendirian di
belakang rumah.
Sebagai istri yang setia dan amat mencintai Lanang-
seta, Kirana selalu gelisah jika suaminya diam terme-
nung begitu. Namun, kali ini ia tak perlu bertanya apa
sebabnya, karena Kirana sudah tahu apa yang dire-
nungkan suaminya.
"Barangkali ini adalah sebagian riwayat kehidupan
yang tak dapat dihindari," tutur Kirana dengan lembut.
Ia mengusap punggung suaminya yang masih membisu.
"Kalau semua ini sudah menjadi ketentuan hidup, ku-
rasa tak ada yang harus kita pikirkan dan kita jengkel-
kan, Lanang."
"Ilmuku dicolong!"
"Dan kau sudah berusaha untuk menyimpannya,
bukan? Kalau suatu saat kau menyimpan pakaian, ta-
hu-tahu pakaian itu rusak dimakan ngengat, apakah
kau akan marah kepada ngengat? Tentunya kau harus
segera sadar, bahwa pakaian itu memang tidak boleh
kau pakai lagi. Memang sudah semestinya kau ganti
pakaian dengan yang baru. Kan, begitu?!"
"Harga sebuah ilmu tidak bisa disamakan dengan
pakaian, Yang. Ilmu itu sukar didapat, mahal dibeli.
Beda dengan pakaian; mudah didapat, gampang dibeli."
"Lalu, kalau sudah begini mau apalagi? Mau merebut
ilmu Lindung Bumi? Biar tidak dipakai oleh Raden Klo-
wor? Mana bisa...?"
"Tidak soal itu, tapi soal bagaimana sebenarnya ia
bisa mempelajari ilmu Lindung Bumi, yang kuperoleh
dengan berlatih berbulan-bulan dan sengsara! Eh, dia
mendapatkannya seperti melahap pete rebus saja!
Brengsek!"
"Bagaimana kalau aku bicara soal kodrat?"
Lanangseta melirik istrinya yang masih bergelayut di
pundak kirinya. Kirana menempelkan dagu di ujung
pundak. Matanya yang indah dan tajam meneduhkan
itu, memandangi Lanang dengan berkedip-kedip seseka-
li. Suaranya sedikit serak, basah dan enak.... sekali di-
dengar. Dari dulu memang Lanangseta sangat menga-
gumi segala apa yang ada pada Kirana, bahkan sampai
mau mempunyai seorang bayi pun ia masih sangat
mengagumi istrinya.
"Kodrat apa, maksudmu?"
"Yaaah... kodrat tentang ilmu itu, tentang kehadiran
Raden Klowor, tentang mimpinya, tentang.... tentang
apa saja, yang semua itu harus kita sadari, bahwa me-
mang demikian keadaan seharusnya terjadi.. Mau ditu-
tup dan disembunyikan secara apa saja, ilmumu me-
mang harus mengalir kepada Raden Klowor. Sekali pun
kau tidak menyukainya, namun garis kepastian hidup
dan sejarah yang berlaku mengatakan, bahwa Raden
Klowor harus menjadi muridmu, dan siap mewarisi il-
mumu."
"Kodrat yang gila itu!" gerutu Lanang. "Ilmuku hanya
akan kuwariskan kepada anakku nanti. Dia memang
layak menerima, karena dia adalah pewarisku." Lanang
sempat mengusap perut istrinya pelan-pelan. Itulah
yang agaknya berhasil meredakan kedongkolan hati La-
nangseta.
"Manusia itu kan berhak saja punya cita-cita dan
usaha, tapi manusia tidak berhak menjadikan suatu
kenyataan dari cita-citanya. Yang berhak menjadikan
segala kenyataan adalah Yang Maha Kuasa. Bukankah
begitu, Lanang?"
"Hmmm...." Lanang hanya menggumam, tampak
kesal sekali menghadapi masalah itu. Dalam hatinya
masih bertanya-tanya: apakah mungkin ilmunya harus
diturunkan kepada Raden Klowor yang belum diketahui
asal usulnya? Apakah sudah waktunya ia menjadi guru
dan mempunyai murid?
"Guru, bolehkah aku turun bukit untuk menemui
seseorang?" kata Raden Klowor di suatu pagi.
"Turunlah, dan jangan kembali lagi," kata Lanangse-
ta.
"Terimakasih atas izinnya, Guru."
Entah apa yang membuat Kirana tersenyum geli me-
lihat suaminya menggerutu tak jelas setelah Raden Klo-
wor pergi.
Seperti halnya pada dua malam yang lalu, tiba-tiba
Lanangseta terbangun bagai dalam sentakan yang me-
negangkan. Suara jeritan malam yang mendirikan bulu
kuduk kembali terdengar. Kirana pun tersentak bangun
dengan mata membelalak tegang.
"Jeritan apa itu sebenarnya?" bisik Kirana.
"Manusia...! Sepertinya ada suatu penyiksaan yang
dilakukan pada tengah malam begini."
Lanangseta turun dari ranjang, keluar ke halaman
depan. Ia melihat keadaan di rumahnya aman. Ia men-
coba berkeliling rumah mengadakan pemeriksaan.
Di samping rumah, agak ke belakang, Lanang sedikit
kaget melihat Raden Klowor telah berdiri dengan me-
mandang ke arah pedesaan dengan melipat kedua tan-
gannya di dada.
"Klowor...!" sapa Lanangseta dengan sikap tak ramah.
"Oh, Guru.... Apakah suara jeritan tadi menggang-
gumu?"
"Ya. Kau mendengarnya juga?"
"Tepat ketika aku mencapai puncak bukit ini, aku
mendengar suara jeritan perempuan."
"Apa yang kau dengar ketika kau berada di bawah
seharian ini?" tanya Lanang dengan tanpa memandang
Raden Klowor.
"Penduduk dari berbagai desa bicara semua, Guru."
Sebenarnya Lanang ingin menampar mulut Raden
Klowor untuk menghilangkan sebutan "guru" kepa-
danya, namun untuk kali ini ia rasa belum waktunya
menampar. Ia masih butuh keterangan tentang jeritan
misterius yang muncul di tengah malam begini.
"Apa yang dibicarakan penduduk?" Lanang bertanya
datar.
"Orang-orang utusan."
Lanang berpaling curiga. "Orang-orang utusan? Utu-
san dari mana?"
"Lembah Kubur!"
Semakin berkerut Lanang, semakin nanap meman-
dang Raden Klowor. "Lembah Kubur...?" Ia menggumam
sendiri.
"Sudah banyak korbannya, Guru."
"Apa yang terjadi dengan orang-orang Utusan Lem-
bah Kubur itu, Klowor?"
"Mereka mencari orang hamil!"
Lanang membelalakkan mata, hatinya berdebar-
debar mendengar jawaban Raden Klowor yang terlontar
dengan seenaknya.
"Mencari orang hamil, bagaimana?"
"Mereka membedah perut orang hamil dan mengam-
bil bayinya, lalu dibawa kabur."
Mata Lanang kini menyipit ngeri. Ia sebenarnya mu-
lai tegang, karena ia merasa punya istri sedang hamil.
Saat Lanang terbungkam, Raden Klowor sempat berka-
ta.
"Untung bukan aku yang mereka cari. Sebab... aku
tidak bisa hamil. Benar begitu, kan Guru?"
Kata-kata tersebut tidak perlu dikupas atau dijawab
menurut Lanangseta. Yang perlu dipikirkan adalah, be-
nar dan tidaknya keterangan dari Raden Klowor itu.
Orang-orang Utusan Lembah Kubur membedah perut
perempuan hamil, mengambil bayinya dan membawa
kabur. Hemmm.... lantas untuk apa mereka melakukan
itu? Siapa dan seperti apa Utusan Lembah Kubur itu?
Agaknya Lanang perlu mengalihkan perhatiannya kepa-
da kasus seperti itu.
"Seperti apa Utusan dari Lembah Kubur itu?"
"Katanya, menurut cerita orang-orang yang memer-
goki, mereka adalah manusia biasa. Mereka suka me-
nyamar sebagai dukun bayi, sebagai tukang pijat, seba-
gai tamu biasa, malah ada yang menyamar sebagai
orang sakit dan pengemis. Anak Bayan Putung yang ba-
ru satu tahun menikah, juga menjadi korban. Bayinya
diambil, perempuan itu dibiarkan mati dengan perut di-
aduk-aduk. Habis itu tidak dibereskan lagi. Ilmu-ilmu
mereka cukup tinggi, sehingga tak ada yang bisa me-
nangkap atau pun menandinginya. Mereka kejam-
kejam, tidak mengenal belas kasihan sedikit pun."
"Gila...!" Lanangseta sempat bergidik membayangkan
perut seorang perempuan diaduk-aduk dengan keji.
Raden Klowor bersikap tenang, namun masih mem-
punyai wajah bloon, sering melongo dengan mulut ter-
bengong. Bibirnya sedikit tebal dan kalau bicara seperti
orang bersungut-sungut.
"Besok malam aku ingin memergoki mereka, Guru."
"Itu lebih baik. Dan kau akan mati secepatnya."
"Guru senang kalau aku mati?"
"Senang," jawab Lanangseta seenaknya, kemudian
pergi meninggalkan Raden Klowor.
"Ada yang perlu kulakukan mulai besok!" kata La-
nang kepada Kirana.
"Apa itu? Kau mau pergi?"
"Ya. Mencari keterangan tentang Utusan Lembah
Kubur."
"Utusan Lembah Kubur...?!" Kirana heran. Ketika
Lanang menceritakan, Kirana hanya menggumam dan
manggut-manggut. Tapi ia tidak mempunyai kecemasan
sedikit pun. Barangkali karena Kirana merasa mempu-
nyai cukup ilmu dan kesaktian, sehingga ia tidak perlu
cemas atau khawatir tentang keganasan Utusan Lem-
bah Kubur itu.
"Mungkin sebaiknya aku menggunakan tenaga Ra-
den Klowor untuk menjagaimu selama aku pergi."
"Tanpa dia juga tak apa," kata Kirana dengan man-
tap.
"Kau harus punya teman selama aku pergi, supaya
kalau ada apa-apa bisa ada yang membantunya."
Kirana hanya angkat bahu, ia tahu, itulah perhatian
dan rasa kasih Lanang terhadapnya.
Esok pagi, Lanang bersiap untuk pergi. Pedang Wisa
Kobra yang dijuluki sebagai Pedang Malaikat itu disan-
dangnya di punggung. Sejenak, ia memperhatikan kea-
daan sekeliling. Oh, ia lupa belum bicara dengan Raden
Klowor tentang tugasnya. Tetapi, ke mana anak itu?
Apakah dia masih berada di luar rumah, sebab sema-
lam Lanangseta tidak menyuruhnya masuk.
Sekali lagi Lanangseta menggeram jengkel melihat
Raden Klowor berlatih jurus-jurus silat di belakang ru-
mah. Lanang dongkol sekali, karena yang dilatih itu
adalah jurus Badai Menghembus miliknya.
"Lagi-lagi kau mempelajari jurus milikku, Klowor! Si-
al! Dari mana kau peroleh jurus itu, hah?" geram La-
nangseta sambil memelintir tangan Klowor.
"Dari... uuuh.... sakit tanganku, Guru..."
"Dari mana kau peroleh jurus itu? Jawab!"
"Dari... dari mimpiku semalam. Bukankah Guru
sendiri yang mengajarkannya lewat mimpi?"
"Omong kosong!" Tamparan melayang di wajah Ra-
den Klowor dengan keras. Anak muda itu terpelanting
jatuh dalam keadaan perut membentur tanah duluan.
"Kuhajar sampai mati kalau kau tidak mau berterus
terang, Klowor...!"
"Sungguh. Sumpah...!" Raden Klowor ketakutan.
"Saya semalam tidur di teras, dan bermimpi mendapat
pelajaran jurus Badai Menghembus dari Guru. Itu pun
karena Guru telah berbincang-bincang lebih dulu den-
gan Pendekar Agung Jaka Bego. Kemudian, Guru wanti-
wanti agar saya mempelajarinya dengan tekun dan ha-
rus cepat berhasil. Sumpah, jurus itu Guru berikan le-
wat mimpiku. Sumpah, berani disambar gadis cantik
kalau saya bohong!"
"Brengsek! Lain kali kau tidak boleh tidur!" bentak
Lanangseta karena jengkelnya. "Kau jaga istriku, aku
akan turun mencari tahu kepastian tentang orang-
orang Utusan Lembah Kubur itu. Jaga istriku, dan jan-
gan tidur!" Kemudian kata-katanya dilanjutkan dalam
bentuk gerutuan:
"Kalau kau sering tidur... lama-lama jurusku kau se-
rap habis. Enak saja, belajar kok dengan tidur men-
dengkur...!"
Lanangseta turun bukit. Raden Klowor masih tam-
pak sedih ditampar dengan keras. Pipinya memerah.
Panas. Namun, agaknya ia punya satu kegembiraan ter-
sendiri sejak kepergian Lanangseta.
"Klowor..." sapa Kirana.
"O, ya....! Ada apa, Bibi...?"
"Jangan panggil aku 'Bibi'. Aku tidak suka."
"Tapi aku suka, Bi. Biarlah. Asal jangan kupanggil
'nenek' kan itu lebih tua dari Bibi." Raden Klowor prin-
gas-pringis. Matanya yang berkedip-kedip itu sepertinya
mempunyai arti tersendiri. Cacingan!
"Apa benar kau mendengar sendiri tentang kegana-
san para Utusan Lembah Kubur itu?" Kirana agaknya
tertarik untuk mengetahui secara detil.
"Benar, Bi. Saya mendengar dari anak menantunya
Bayan Putung. Mereka, para Utusan Lembah Kubur itu,
membedah perut orang hamil dengan kuku tangan me-
reka. Iiih... mengerikan sekali, Bi. Untung saya tidak
ikut membedahnya, Bi."
"Apa kau orang Utusan Lembah Kubur?"
"Ah, Bibi...!" Raden Klowor cemberut dan bersungut-
sungut. Kirana memperhatikan dengan tatapan mata
penuh pemikiran macam-macam.
"Wor, kau tahu... untuk apa mereka mencuri bayi
dalam kandungan? Ke mana mereka membawa bayi
itu?"
"Yang jelas, sudah tentu dibawa ke Lembah Kubur,
Bi. Sebab, memang dari sanalah asal mereka. Tentang...
bayi itu untuk apa, atau mau diapakan... saya tidak ta-
hu, Bi."
"Kenapa kau tidak tahu?"
"Karena saya belum menyelidiki, Bi."
"Apa kau mau menyelidiki ke sana?"
"Ya. Tapi, nanti kalau sudah dibekali ilmu yang cu-
kup dari Guru."
"Siapa sebenarnya Gurumu itu, Klowor?"
"Sudah jelas, Lanangseta; Pendekar Pusar Bumi yang
mendapat gelar dari si Tongkat Besi sebagai Malaikat
Pedang Sakti...."
Kirana berkerut dahi. "Dari mana kau tahu hal itu?
Kau dapat menyebutkan dengan jelas tentang gelar Ma-
laikat Pedang Sakti dan Guru suamiku; si Tongkat Besi.
Dari mana pengetahuan itu kau peroleh, hah?"
Sambil mulutnya mucu-mucu, Raden Klowor menje-
laskan:
"Ya, dari mimpi, Bi. Semua pengetahuan dan ilmu
saya peroleh dari mimpi."
"Kau bicara sungguh-sungguh?"
"Ya ampuuuuuun, Bi... kalau saya bohong, saya
sanggup dihukum mandi tujuh sumur, Bi."
"Hukuman itu ringan bagi seorang pembohong."
"Pokoknya, saya tidak berani berbohong kepada Bibi
maupun kepada Guru. Takut dikutuk!"
"Kau pikir aku suka mengutuk?"
"Lho, Bibi sendiri bilang; kalau Bibi mau mengutuk
orang, dapat dilakukan dengan mudah."
"Kapan!? Kapan aku bilang begitu? Ah, ngaco saja
kamu!"
"Waktu saya bermimpi tempo hari, kan Bibi bilang
begitu lewat mimpi saya, Bi. Masa' Bibi lupa?"
Tak ada yang bisa dikatakan oleh Kirana sementara
itu, kecuali ia hanya terbengong dengan dahi berkerut.
Raden Klowor segera mohon pamit dari hadapan Kirana.
"Saya mau membelah-belah kayu bakar dulu, ya
Bi.... O, ya, hari ini, Bibi jangan repot-repot memasak,
biar saya saja yang memasak. Bibi belum pernah mera-
sakan masakan saya, kan? Ooooh.... pasti Bibi akan ke-
tagihan. Percaya sajalah...!"
Masih saja Kirana terbengong memperhatikan keper-
gian Raden Klowor. Dalam benaknya ia masih bingung;
apakah mungkin segala sesuatunya diketahui Raden
Klowor lewat impiannya. Memang, setiap manusia bisa
saja bermimpi, namun tidak senyata itu. Ah, Kirana jadi
penasaran; ingin mengetahui apa dan siapa Raden Klo-
wor itu. Mengapa ia bisa mempunyai impian yang nya-
ta?
Sementara itu, Lanangseta yang sudah memasuki
suatu pedesaan yang terdekat dengan bukit Bulan,
hanya bisa berpikir, bahwa Raden Klowor itu memang
gila, dan tak perlu dilayani dengan sungguh-sungguh.
Ia akan membuktikan bahwa Raden Klowor anak gila
melalui berita tentang Utusan Lembah Kubur. Benar
atau tidak keterangan Raden Klowor itu? Untuk mem-
buktikan pertama kali, Lanang harus bertemu dengan
orang yang sempat disebutkan oleh Raden Klowor, yaitu
Bayan Putung.
"Bayan Putung ada di sebelah sana rumahnya,
Tuan." jawab salah seorang penduduk yang ditanyai
Lanangseta. Kemudian Lanangseta menuju rumah
Bayan Putung.
"Ki Sanak datang dari mana?" tanya Bayan Putung
yang bertubuh gemuk, pendek.
"Saya dari bukit Bulan, Ki Bayan."
"O, apakah... yang bernama Lanangseta, Pendekar
Pusar Bumi dengan gelar Malaikat Pedang Sakti?"
Bayan Putung kelihatan bersemangat dan girang.
"Benar. Agaknya Ki Bayan sudah mengenal nama
saya."
"O, tentu. Setiap penduduk mengenal nama Tuan
Pendekar, tapi saya jamin, mereka juga belum tahu; se-
perti apa wajah Malaikat Pedang Sakti itu. Wah, senang
sekali saya kedatangan tamu istimewa hari ini. Ehh,
tunggu sebentar, biar saya perintahkan pelayan saya
untuk memotong ayam sebagai hidangan nanti siang."
"Ki Bayan, rasa-rasanya tak perlu serepot itu Ki
Bayan menyambut saya. Dengan keramahan dan kere-
laan Ki Bayan menerima kedatangan saya, itu sudah
merupakan kegembiraan bagi saya."
"O, ya. Itu pasti. Tapi, sebagai tamu istimewa, Tuan
juga perlu diperlakukan dengan istimewa, dan pelaya-
nan yang istimewa juga."
"Ki Bayan.... Tetaplah duduk di tempat, karena saya
datang hanya sebentar. Hanya ingin bertanya tentang
orang-orang yang menyebut dirinya Utusan Lembah
Kubur."
Mata Bayan Putung ternyata terbelalak seketika, mu-
lutnya pun jadi melompong bengong. Ada rona ketaku-
tan yang segera membungkus wajah cerianya yang me-
mang berbentuk bulat seperti kue serabi itu.
"Utusan Lembah Kubur...?" Bayan Putung sepertinya
takut menyebutkannya.
"Sebelumnya saya ingin bertanya tentang seseorang."
kata Lanang. Bayan Putung siap mendengarkan dengan
alis mata berkernyit.
"Apakah Ki Bayan mengenal anak muda yang ber-
nama Raden Klowor...?!"
"Raden Klowor...?!" Bayan Putung berpikir, dahinya
makin berkerut. Lalu, jawabnya dengan pasti:
"Tidak. Saya tidak kenal orang itu. Mendengarnya sa-
ja baru sekarang. Apakah dia seorang kesatria? Putra
ningrat dari keraton mana?"
Sekarang malah Lanangseta yang kebingungan. Ia
tidak tahu dari mana asalnya Raden Klowor. Tetapi, ka-
rena waktu itu Lanang merasa tidak mau tahu tentang
Raden Klowor, maka hal itu tidak diselidikinya. Dan,
sekarang, ia kebingungan mengatakan; dari mana Ra-
den Klowor berasal.
"Tapi, benar....? Benar, Ki Bayan tidak mengenal Ra-
den Klowor?"
"Benar. Saya tidak mengenalnya.",
Lanangseta menghempaskan nafas penuh arti. Ia
merasa telah ditipu oleh orang yang bernama Raden
Klowor. Seorang pelayan waktu itu menghidangkan se-
cangkir teh, dan Lanang dipersilahkan meminumnya
bersama Bayan Putung.
"Kalau mengenai Utusan Lembah Kubur itu, bagai-
mana?" Kini Lanangseta memancing keterangan dari
arah lain. Bayan Putung berbicara dengan hati-hati, suaranya pelan:
"Soal Utusan Lembah Kubur... sebenarnya tak berani
saya katakan, Tuan Pendekar."
"Kenapa?"
"Saya takut menjadi korban lagi."
"O, jadi.... Ki Bayan pernah menjadi korban?" Lanang
berlagak kaget, padahal ia sudah tahu dari keterangan
Raden Klowor. "Korban bagaimana maksudnya?" La-
nang memancing.
"Anak saya... satu-satunya, yang baru seminggu
yang lalu dimakamkan, masih membayang di pelupuk
mata saya, Tuan Pendekar. Ia mati muda. Sedang hamil
anak pertama. Dan itulah cucu saya yang ingin saya
gendong...." Bayan Putung menampakkan kesedihan-
nya. "Tetapi, kebiadaban para Utusan Lembah Kubur,
sungguh membuat saya ingin mati bertarung dengan
mereka."
"Jelaskan, apa yang mereka lakukan, Ki."
"Mereka...." Bayan Putung menelan ludahnya sendiri
untuk menguatkan jiwa. "Mereka membedah perut anak
perempuan saya, dan merogoh bayinya, kemudian sege-
ra pergi sambil membawa lari bayi yang masih berusia
tujuh bulan itu...."
"Tak ada yang mencoba menghalangi?"
"Ada. Jagabaya kampung ini menghalangi ketika di
depan pintu pagar. Tapi, Tuan tahu apa yang terjadi?"
Lanangseta menggeleng.
"Jagabaya yang meronda malam itu, kehilangan se-
paroh kepalanya dari atas ke bawah. Entah dengan alat
atau senjata apa, kepala keamanan itu dibelah menjadi
dua bagian seperti semangka. Yang satu bagian kiri,
masih ada, yang bagian kanan hilang. Entah ke mana
hilangnya."
Gawat! Kekejiannya di luar batas, pikir Lanang. Dan
tiba-tiba benaknya bertanya-tanya, tapi mengapa Bayan
tidak mengenal Raden Klowor. Wah, jangan-jangan ju-
stru Raden Klowor itu sendiri Utusan Lembah Kubur.
Celaka! Kirana sedang hamil! Bisa-bisa Kiranalah kali
ini sasarannya. Kirana dan bayinya? Gemetar Lanang-
seta, merah mukanya dan sesak nafasnya.
***
3
Lanangseta buru-buru ingin sampai di rumahnya.
Tetapi, perjalanannya terhenti oleh kerumunan orang
yang tampaknya dalam kegaduhan. Penasaran hatinya
kalau belum melihat apa yang diributkan oleh sekian
banyak orang itu. Apalagi mereka banyak yang memba-
wa senjata dari golok, alu, bambu, arit, pisau dapur dan
lain sebagainya. Hati Lanangseta tertarik untuk mem-
perhatikan dari jarak dekat.
O, ternyata ada seorang lelaki yang diikat di pohon
dan sedang dihajar habis-habisan oleh massa. Lelaki itu
berteriak-teriak kesakitan, namun ia tak dapat berbuat
banyak karena semua tubuhnya terikat menjadi satu
dengan batang pohon. Wajahnya sudah tak jelas seperti
apa, karena darah membanjiri di sekujur tubuh.
"Siapa orang itu, Kang? Kenapa dia dihajar sebegitu
kejam?" tanya Lanangseta kepada salah seorang yang
baru saja keluar dari kerumunan. Orang itu memegang
sebuah ganco, alat dari besi yang melengkung seperti
pancingan.
"Dia Utusan Lembah Kubur....! Sudah banyak kor-
ban yang dibantai dengan keji di desa kami. Maka, begi-
tu dia kesiangan, ilmunya hilang, dan kami menang-
kapnya. Untuk dibunuh sekaligus, sayang. Jadi, dira-
jang saja ramai-ramai, biar semua orang menikmati
dendamnya."
Sekalipun kepala Lanangseta manggut-manggut, tapi
ada sedikit kebimbangan dalam hatinya. Ia pun segera
mendesak masuk di antara kerumunan orang dan ber-
seru:
"Saudara-saudara, mohon hentikan sebentar! Henti-
kan sebentar amarah kalian semua!"
Sosok penampilan Lanangseta yang mengenakan
rompi kulit macan dan menyandang pedang di pung-
gung, membuat kesan wibawa di mata penduduk yang
mengamuk itu. Mereka menghentikan amarahnya, dan
semua mata tertuju pada Lanangseta.
"Apakah kalian yakin kalau orang ini adalah Utusan
Lembah Kubur?"
"Ya. Yakin. Aku percaya kok...! Bunuh saja dia...!
Habisi nyawanya sekarang juga...! Atau dicacah-cacah
jadi 13 potong...! Enaknya ditumbuk saja...!" Mereka
saling teriak, saling mengajukan usul dengan kemara-
han yang berkobar-kobar.
"Tenang-tenang...! Tenang dulu!" kata Lanangseta.
Seorang lelaki bertubuh tinggi dan berkumis, namun
sedikit ceking itu segera berseru:
"Apa kepentinganmu melarang kami?!"
"O, bukan. Aku bukan melarang. Aku hanya butuh
keterangan, apakah dia benar-benar orang Utusan
Lembah Kubur atau bukan." Lanangseta masih bisa
berpenampilan tenang.
"Jelas!" jawab lelaki tinggi berkumis itu. "Kami me-
nemukan dia keluar dari rumah Kang Pulung. Dan,
kami tahu istri Kang Pulung sedang hamil! Dia gagal
mencuri bayi Kang Pulung yang masih dalam kandun-
gan istrinya itu!"
"Siapa yang melihat perbuatannya?"
"Aku dan... dan beberapa orang lainnya!" jawab lelaki
berkumis itu.
Ada seseorang yang berseru, "Apakah orang sekejam
dia perlu dilindungi dan diselamatkan?!"
"O, tidak!" jawab Lanangseta. "Orang Utusan Lembah
Kubur harus dikubur hidup-hidup, atau disiksa dulu
baru dibunuh. Kalau mereka tidak mengenal kasihan,
maka kita juga tidak mengenal ampun kepada mereka!"
"Setujuuu....!" jawab mereka serempak.
"Tapi, kita tidak boleh gegabah. Kita harus menentu-
kan dengan benar dan pasti, apakah dia memang Utu-
san dari Lembah Kubur, atau hanya dugaan kita."
"Pasti! Pasti dia Utusan dari Lembah Kubur yang
menyamar sebagai kenalan Kang Pulung," Lelaki ber-
kumis itu tampak paling emosi. "Dan, dia ternyata gagal
merobek perut istri Kang Pulung. Maka, kita hajar saja
sekarang juga! Habisi nyawanya!"
"Mana yang namanya Kang Pulung?" tanya Lanang.
"Kamu?" Lanang menunjuk lelaki berkumis itu.
"Bukan. Namaku, Sargono...!"
"Lalu, yang namanya Kang Pulung mana?"
Yang lain ikut memanggil, "Pulung...?! Mana Pulung?
Hoi, Kang Pulungnya mana nih...?! Pulung dipanggil....!"
Suara mereka saling sahut bersahutan. Sementara itu,
orang yang sudah berlumur darah itu ternyata sudah
menghembuskan nafas terakhirnya dalam ikatan dan
siksaan.
"Orang itu telah mati...!" teriak salah seorang. Kemu-
dian yang lain pun menggumam dalam gerutuan.
"Siapa yang membawa orang ini ke mari?"
"Sargono, Mas...!" teriak seorang perempuan.
"Benar, kau yang membawanya, Sargono?!" tanya
Lanang.
"Benar."
"Orang itu telah mati sekarang."
"Itu memang yang kami cari. Kau mau membela Utu-
san dari Lembah Kubur?!" Sargono menuduh.
Sikap Lanang masih tenang, tanpa menunjukkan
emosi kemarahannya.
"Aku tidak membelanya. Aku hanya kasihan kepada
orang itu, kalau ternyata orang itu bukan Utusan dari
Lembah Kubur. Kasihan sekali nasibnya kalau dia ada-
lah penduduk biasa, yang kebetulan keluar dari rumah
Kang Pulung. Karena itu, kalau ada Kang Pulung,
mungkin aku bisa mendapat keterangan lengkap da-
rinya."
"Ah, kalau memang sudah mati ya sudahlah..." Sar-
gono hendak pergi, tetapi ia tertahan banyak orang yang
mengerumuninya, sehingga memberi kesempatan La-
nang berbicara lagi:
"Aku ingin bicara denganmu, Sargono!" Mulanya
Sargono ragu, tapi akhirnya menimpali juga: "Soal apa?"
"Soal orang-orang dari Lembah Kubur itu. Kau keli-
hatannya bisa membantuku untuk membasmi mereka."
"Kau ingin membasmi mereka?!" "Ya. Aku harus se-
gera bertindak. Sekarang juga!"
Kemudian orang-orang itu saling menggumam ka-
gum, saling kasak-kusuk dan saling bisik-bisik dalam
iramanya sendiri. Namun, suara itu akhirnya segera re-
da setelah Lanang berseru:
"Siapa yang tahu, di mana tempat yang disebut Lem-
bah Kubur?!"
Gaung suara mereka semakin membingungkan. Te-
tapi, kembali tenang setelah Lanang berseru:
"Siapa yang mau ikut membasmi orang-orang Lem-
bah Kubur...?! Siapa yang tahu tempatnya, mohon beri-
tahukan kepadaku atau kepada Sargono!"
Karena tidak ada yang menjawab, maka Lanangseta
pun berkata, "Siapa bisa memberitahu tempatnya, aku
akan memberikan hadiah uang kepada kalian!"
Sargono menyeletuk, "Sebenarnya aku tahu! Tapi,
aku takut mengatakannya."
"Kenapa takut, Sargono?"
"Aku tidak mau ke sana. Di sana orangnya kejam-
kejam. Kalau membunuh tidak pernah ada puasnya.
Mayat sudah mati pun kalau perlu dicacah-cacah seper-
ti orang yang kita ikat itu. Ah, aku tidak berani ikut
kamu membasmi mereka."
"Kau akan kulindungi, Sargono. Jangan takut."
Mereka tak banyak tahu, siapa Lanangseta. Sargono
hanya tahu, bahwa Lanang adalah orang yang berlagak
menjadi pahlawan dan berlagak berani. Sargono menci-
bir halus. Ia berkata dengan sedikit keras.
"Kau sendiri belum tentu bisa melindungi dirimu dari
amukan orang Lembah Kubur, bagaimana kau akan
melindungi aku? Ah, tidak! Aku tidak mau ikut!"
"Ternyata kecil juga nyalimu ya? Kenapa kau di sini
menggebu-gebu dan memberi semangat untuk mem-
bantai orang yang terikat ini?"
"Dia orang kejam!"
"Apakah orang di sana tidak lebih kejam?! Ayolah,
bantu aku, Sargono! Kita butuh menenangkan pendu-
duk desa di sekitar sini dengan cara membasmi Lembah
Kubur!"
"Pokoknya aku tidak mau. Aku juga punya istri se-
dang hamil, aku tidak mau kalau istriku dijadikan sasa-
ran juga!"
"Apa betul kau punya istri sedang hamil?"
"Betul. Dan, aku tak mau kalau bayiku dijadikan
santapan pimpinan Lembah Kubur."
"Hei," teriak Lanangseta menunjukkan emosinya.
"Kau tahu persis tentang keadaan mereka. Apa yang
lain ada yang punya pengetahuan sama dengan Sargo-
no?!"
"Tidak. Aku tidak tahu kalau bayi itu akan disantap!"
"Nah, apakah bukan hal yang mustahil, bahwa Sar-
gonolah orang Utusan dari Lembah Kubur yang me-
nyamar menjadi penduduk di desa ini?!" Gemuruh sua
ra mereka. Sargono tegang.
Pada saat itu, tepat Kang Pulung muncul dengan ter-
gagap-gagap. Mereka mendesak kerumunan massa, dan
berseru:
"Ada apa ini?! Ada apa...?!"
Salah seorang berkata, "Itu, tamu Kang Pulung seka-
rang sudah kami habisi nyawanya."
Kang Pulung berseru kaget, "Hahh...?! Kalian sudah
gila, apa? Kenap... kenapa...?! Oooohh.... gila! Benar-
benar ini perbuatan gila!" Kang Pulung kebingungan.
"Bukankah mereka mengetahui bahwa tamumu ini
orang dari Lembah Kubur? Bukankah kau tahu sendiri
bahwa orang yang telah mati ini adalah Utusan dari
Lembah Kubur yang menyamar sebagai tamumu?"
"Setan! Kalian benar-benar telah dirasuki setan! Ini
keponakan istriku! Keponakan istriku sendiri, yang da-
tang ingin meminjam duit. Tetapi, karena terjadi sedikit
kesalahpahaman, maka ia sempat cekcok dengan istri-
ku, Tetapi, masalahnya sudah beres, setelah kami bica-
ra semalam, sampai dia pulang pagi...!" tutur Kang Pu-
lung.
"Jadi, dia bukan Utusan dari Lembah Kubur?"
"Bukan! Siapa yang memfitnahnya begitu?"
"Itu.... Sargono!"
"Biadab kau, Sargono! Kau memang dulu bekas ke-
kasih istriku, tapi jangan begini caranya mempermalu-
kan keluargaku dan melampiaskan dendam kepada
saudaranya. Biadab kau!"
Kang Pulung hendak mengamuk, sudah mengambil
kayu milik seorang lelaki lain. Tetapi, Lanangseta segera
menghalangi. Kemudian dengan tanpa melepas pan-
dangan matanya kepada Sargono, Lanangseta berkata:
"Jelas, ini sebuah usaha seseorang untuk meman-
faatkan kemarahan penduduk. Fitnah, dan.... kurasa
semua ini ada maksud tertentu dari Sargono!"
Salah seorang berteriak, "Jangan-jangan, dia sendiri
orang Utusan Lembah Kubur!"
Yang lain menyahut, "Ya, jangan-jangan dia sendi-
ri...! Kalau begitu, hajar saja dia...! Pukul kepalanya! Ti-
kam perutnya...! Mampuslah dia...! Bakar saja hidup-
hidup! Serang dia...! Serang Sargono...! Hajaaarr....!"
"Jahanam semuaaa...!" geram Sargono dengan mata
melotot.
Sargono segera menendang kedua kakinya dalam sa-
tu kali lompatan, maka dua orang di depannya terjeng-
kang, rubuh ke belakang menindih beberapa orang
lainnya. Lalu, ketika salah seorang melompat dari bela-
kang hendak menikamkan pisaunya, Sargono berbalik
dengan mengibaskan tangannya dan mengenai ping-
gang orang itu. Pukulannya segera dilayangkan kembali
ke wajah orang di samping kirinya. Orang itu pun ter-
jengkang karena dorongan keras dari depan.
Dalam sekali lompatan, Sargono mampu bersalto di
udara sebanyak tiga kali, keluar dari kerumunan mas-
sa. Orang-orang berbalik arah, senjata semua terang-
kat. Sargono segera merentangkan kedua kakinya dan
merendahkan badan. Kokoh sekali kaki itu. Dan, tan-
gannya buru-buru menyilang di depan mata. Kedua
tangan itu membentuk tanda kali, lalu gemetar menge-
jang dengan suara menggeram. Saat itu, semua mata
terbelalak, semua langkah terhenti, mereka menjadi
ngeri melihat pada setiap ujung jari tangan Sargono ke-
luarlah kuku-kuku tak begitu panjang, namun runcing.
"Ayo, lawanlah aku kalau kalian ingin modar...!" Ge-
raman Sargono itu membuat Lanangseta tersenyum ti-
pis. Salah seorang berseru:
"Dia benar-benar Utusan dari Lembah Kubur...! Li-
hat, dia bisa mengeluarkan kuku yang biasanya untuk
merobek perut perempuan hamil...!"
Karena ngeri melihat kuku dan kebengisan wajah
Sargono, maka orang-orang itu pun jadi mundur semua
dan ada pula yang lari pontang panting.
"Haaiiiitt...!"
Sargono seperti orang mencabik kain. Tangannya
yang kanan mengibas ke depan dalam satu lompatan
datar. Kemudian dua orang meregang dan berkelejot,
karena urat lehernya putus dibabat kuku yang tajam,
runcing dan bergerak dengan kecepatan luar biasa. Kini
semua orang tahu, Sargono adalah salah satu dari Utu-
san Lembah Kubur
"Hiiaat...!"
Sargono hendak merobek dada seorang lelaki gemuk
yang memegangi gagang alu untuk memukul Sargono.
Tetapi, tendangan kaki kanan Lanang yang bergerak
menyamping itu, telah membuat Sargono menahan na-
fas merasakan sakit pada tulang rusuknya.
Lanangseta tidak memberi kesempatan kepada la-
wannya. Ia segera melangkah satu kali, kemudian den-
gan gerakan seperti pedang mengibas, tangan kirinya
menampar Sargono dengan kuat. Tangkisan tangan
Sargono kali ini berhasil. Kedua tangannya beradu den-
gan lengan Lanangseta. Namun, ia buru-buru memekik
kesakitan, karena dari lengan tangan Lanangseta itu ke-
luar semacam asap biru yang membuat kedua tangan
Sargono menjadi melepuh.
"Ggrrrr...!" Sargono menggerang seperti erangan see-
kor beruang. Kuku-kukunya yang tajam segera mere-
gang kaku. Kemudian ia melompat dalam satu putaran
salto, menjauhi Lanangseta. Agaknya ia sengaja menga-
tur jarak untuk melakukan sesuatu.
Lanangseta siap dengan kuda-kuda kaki kiri diang-
kat satu dan ditekuk hingga lututnya dekat dada. Se-
mentara itu, kedua tangan Lanangseta mengembang ke
samping dengan badan sedikit meliuk ke kiri. Ia mirip
seekor burung garuda yang sedang bergegas untuk
mengepakkan sayap memukul mangsanya. Semua
orang yang memperhatikan pertarungan itu menjadi
terpana dan tegang sendiri.
Sargono menggerakkan tangannya yang kiri dan ka-
nan dari samping paha ke depan.
"Haaahh...!" Hentakan suara dan tangan yang terbu-
ka telapakannya itu membuat semacam hembusan ba-
dai cukup kuat. Tubuh Lanangseta terdorong ke bela-
kang, namun secepatnya tubuh itu meletik ke atas ba-
gai belalang terbang. Sementara, beberapa orang yang
ada searah dengan Lanangseta terkena hempasan angin
kencang dari Sargono. Mereka tumbang dan terpental
ke mana-mana, bahkan ada yang menjerit kesakitan,
karena tubuhnya menancap pada sebuah dahan runc-
ing dari satu pohon.
Lompatan Lanangseta kembali beraksi, kali ini men-
garah ke depan. Ia mendarat tepat di samping kiri Sar-
gono. Begitu mendaratkan kaki, Sargono segera mengi-
baskan cakarnya dengan cepat. Matanya menjadi merah
ketika itu. Lanangseta telah memperhitungkan gerakan
tersebut, maka dengan cepat ia menghantamkan tin-
junya ke lengan yang mengibas. "Kraakk...!" Terdengar
sesuatu yang patah dari lengan Sargono. Kemudian,
"Praaakk...!" Pelipis itu dihantam tangan kanan Lanang-
seta hingga Sargono tak sempat menjerit lagi. Darah
memercik, kepala itu retak, dan rubuhlah Sargono.
Tubuh yang kurus dan jangkung itu berguling-guling
dengan darah memercik ke mana-mana. Lalu, berhenti
dari gulingannya, dan mengejang beberapa saat. Setelah
itu baru diam untuk selama-lamanya. Semua orang ba-
gai menghempaskan nafas lega seraya menyatakan ke-
kagumannya dengan suara serempak, "Huuuuuhh...?!"
Tampak Lanangseta berdiri tegak dengan kedua kaki
merenggang dan dada sedikit terbusung ke depan. Ma-
tanya yang tajam memandang mayat Sargono. Tangan
nya menggenggam erat, lurus ke bawah. Seakan ia
mempunyai kelegaan yang tersendiri terhadap kematian
Sargono.
"Mampus orang Lembah Kubur itu...! Mampus seka-
rang dia!" teriak salah seorang yang agaknya memen-
dam dendam membara kepada Utusan dari Lembah
Kubur.
Para penduduk memburu mayat Sargono. Ada yang
meludahi, ada yang memukul dengan kayu, ada yang
menghantamkan goloknya berkali-kali. Dan, pada saat
itu Lanangseta menyisih, sedikit menjauh. Matanya
memandang ke arah sekeliling. Ia mencari kemungki-
nan lain, yaitu kemungkinan adanya teman Sargono
yang menyaksikan pertarungan tersebut. Satu demi sa-
tu, wajah manusia di situ diperhatikan. Tetapi, Lanang-
seta tidak menemukan kecurigaan yang dicari. Semua
wajah menampakkan wajah penduduk yang dibakar
dendam atas kekejian Utusan dari Lembah Kubur.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...!"
Lanangseta berpaling ke belakang mencari si pemilik
suara tersebut. Oh, ternyata ia seorang gadis berkain
batik coklat sampai menutup dada, dan mengenakan
kebaya hijau tipis dengan rambut dikucir belakang.
"Terima kasih, Anda telah membunuh musuh ke-
luarga saya."
"O, apakah keluargamu bermusuhan dengan Utusan
dari Lembah Kubur?" tanya Lanangseta dengan mem-
perhatikan wajah gadis itu, yang mungil namun indah
dipandang mata.
"Dua kakak perempuan saya mati oleh kekejaman
mereka."
"Ooooo...." Lanang manggut-manggut.
"Semuanya mati dalam keadaan hamil tua."
Lanang masih manggut-manggut. Gadis itu berkata lagi:
"Kalau Tuan mau singgah di rumah saya, barangkali
ayah saya mau memberi hadiah sebagai ucapan terima
kasih."
"Siapa ayahmu?"
"Lurah di desa ini. Kedungrejo namanya. Mampirlah
ke rumah, Tuan. Barangkali ada pembicaraan penting
yang bisa Anda peroleh bersama ayah saya...."
Gadis manis yang lugu itu sepertinya menyembunyi-
kan sesuatu dari permohonannya itu. Lanangseta men-
coba menerka-nerka dalam hati. Tetapi, yang muncul
hanya rasa penasaran ingin bertemu ayah gadis itu.
Timbul pula pertanyaan dalam hati Lanang; apa tinda-
kan Lurah Kedungrejo terhadap kekejaman orang-orang
Lembah Kubur?
Dengan diiringi gadis itu, Lanangseta melangkah,
meninggalkan kerumunan massa yang masih mencacah
habis mayat Sargono. Gadis itu agaknya seorang pema-
lu yang memaksakan diri membujuk Lanangseta untuk
singgah ke rumahnya.
"Siapa namamu, kalau boleh aku tahu?" tanya La-
nang di perjalanan.
"Rukmini...." jawabnya pelan seraya tersenyum malu.
"Nama yang bagus, ya? Hemmm... kau sudah kawin,
Rukmini?"
Rukmini tersipu, menggeleng sambil menunduk. Tu-
buhnya yang lencir dan semampai itu bagai tak ingin
terlalu dekat dengan Lanangseta.
"Kapan kedua kakak perempuanmu tewas?"
"Dalam satu bulan ini. Mereka dirobek oleh kuku se-
tan Lembah Kubur, diangkat bayinya dari rahim, dan
suaminya dibunuh semua."
"Keji, memang. Lalu, apa tindakan ayahmu ketika
itu?"
"Ayah pingsan di tempat dan tak tahu apa saja yang
telah dilakukan oleh para Utusan dari Lembah Kubur
itu."
"Mereka datang bersamaan? Berapa orang?"
"Hanya dua orang. Masing-masing punya tugas sen-
diri-sendiri. Dan, agaknya mereka itu orang-orang pili-
han yang diutus untuk mencari bayi dalam kandun-
gan."
Lanangseta menggumam panjang. Sesekali melirik
gadis yang bernama Rukmini itu. Apabila hal itu dike-
tahui Rukmini, ia semakin menunduk saja rasanya. Ma-
lu dilirik oleh seorang pendekar tampan yang baru saja
menampakkan keperkasaannya di depan umum.
"Apa saja yang dilakukan ayahmu sebagai Lurah di
sini selama ada kejadian seperti ini?" Lanang mengorek
keterangan.
"Mengumpulkan dan mencari para jagoan. Mereka
dibayar untuk menjaga keamanan desa ini. Tapi, dela-
pan orang jagoan dari Tanah Praga, lima di antaranya
mati dalam kekejaman orang-orang Lembah Kubur."
Ketika Lanangseta sampai di rumah Rukmini, ia
langsung dipertemukan oleh ayahnya. Lurah Kedungre-
jo tampak gembira dan merasa bangga setelah Rukmini
menceritakan siapa Lanangseta. Tetapi, ketika Lurah
Kedungrejo menanyakan nama Lanang, Rukmini dan
ayahnya sama-sama terbelalak kaget. Kemudian ia
menjadi minder dan penuh hormat.
"Jadi, Anda adalah Pendekar Pusar Bumi yang berge-
lar Malaikat Pedang Sakti?!"
"Benar Ki Lurah...! Saya yang tinggal di puncak bukit
Bulan itu."
"Astagaaa....! Selama ini kudengar nama itu, tetapi
baru sekarang aku melihatnya dengan mata kepala
sendiri."
"Dan aku telah melihat kehebatannya dalam berta-
rung melawan Utusan dari Lembah Kubur, Ayah," tim-
pal Rukmini yang makin terkagum-kagum kepada Lanangseta.
"Rukmini," kata Ki Lurah Kedungrejo, "Kalau orang
semacam Den Lanangseta dijadikan keamanan di desa
kita, harus menjual sawah berapa hektar Ayah untuk
membayarnya. Usulmu itu tidak Ayah setujui, Rukmi-
ni."
O, rupanya Rukmini telah berbisik-bisik kepada
ayahnya agar ayahnya menawarkan gaji untuk suatu
pekerjaan bagi Lanangseta. Mendengar hal itu, Lanang
jadi ikut tertawa sendiri di dalam hati. Senyumnya me-
kar dengan ramah, dan ia pun berkata:
"Ki Lurah, sebenarnya tanpa Anda meminta saya un-
tuk membantu keamanan di desa ini, saya sudah me-
nyediakan diri dan bermaksud mengawasi desa ini.
Saya ingin menumpas habis orang-orang Lembah Ku-
bur yang lebih sering bertandang ke mari. Dan...."
"Maaf, Den Lanangseta, bayaran untuk seorang Ja-
gabaya seperti Den Lanang, rasa-rasanya saya tidak cu-
kup mampu untuk...."
"Bayaran saya adalah kesempatan. Kesempatan dan
kepercayaan dari penduduk desa ini yang sangat saya
butuhkan untuk berkeliaran di sini."
"O, soal itu, saya bisa atur. Memang selama ini saya
selalu mengingatkan kepada mereka, agar hati-hati ke-
pada tamu asing, yang pura-pura bertamu, pura-pura
bodoh, ternyata dia mencari kesempatan untuk mero-
bek perut korbannya."
Oh, Lanang teringat kembali kepada Raden Klowor.
Istrinya terlalu lama ditinggal, dan kini sama saja mem-
beri kesempatan kepada Raden Klowor untuk membe-
dah perut Kirana.
***
4
Lanangseta bagai berpacu dengan malam. Ia harus
sudah sampai rumah dalam waktu singkat, sebelum se-
galanya terlambat. Kendati demikian, fajar tetap menje-
lang. Lanangseta baru sampai di lereng bukit Bulan.
Langkah larinya semakin memburu, seakan kini mata-
hari yang berlomba dengannya. Dan, ia berhasil. Mata-
hari baru mengintip dari peraduan, Lanangseta sudah
sampai di puncak Bukit Bulan.
Matanya terbelalak kaget, mulutnya ternganga ketika
ia melihat keadaan rumahnya sepi. Pintu rumah dan
jendela jebol. Ada beberapa bagian teras yang rusak be-
rat. Tiang penyangga atap rumah patah. Barang-barang
ada yang berserakan di luar rumah, seakan dilempar-
kan dari dalam.
Detak-detak jantung Lanangseta seperti meledak-
ledak berulangkali. Ia bergegas lari ke dalam rumah.
Berseru dalam kecemasan:
"Yaaaaang...!" Ia memanggil Kirana dengan sebutan;
Yang, atau Sayang. Karena, jika ia memanggil atau me-
nyebutkan nama istrinya, maka akan terjadi hujan ba-
dai yang mengerikan, (dalam seri: Misteri Tebing Nera-
ka).
"Yaaaang....? Apa yang terjadi...?!" Lanangseta kebin-
gungan, bergerak dengan serba panik, karena ia tidak
menemukan Kirana di dalam rumah. Bahkan Raden
Klowor pun tak ada di mana-mana. Ia bergegas ke bela-
kang rumah, oh... tak ada siapa-siapa di sana. Ia kem-
bali lagi ke dalam dan memperhatikan barang-barang
yang berantakan bagai habis dilanda gempa hebat. Na-
fas Lanang memburu, matanya memandang nanar. Ga-
rang. Giginya menggeletuk dengan kedua tangan meng-
genggam kuat-kuat. Ada dendam yang membakar darahnya. Ada kemarahan yang menyayat hatinya. Is-
trinya hilang, dan tak ada tanda-tanda ke mana per-
ginya.
"Jahanam...!" geram Lanang bersama hempasan na-
fas yang memberat. "Pasti Utusan dari Lembah Kubur
sudah sampai ke mari! Biadab betul mereka...!" Lanang
terengah-engah. "Raden Klowor...?! Yah, anak itu me-
mang perlu dirajang menjadi beberapa potong. Dialah
biang keladinya! Dia orang Lembah Kubur yang berhasil
membuatku ringan curiga! Biadab! Benar-benar tak bi-
sa diberi ampun anak itu!"
Lanangseta berdiri di tepi tebing, matanya meman-
dang sekeliling, mencari titik pandang, kalau-kalau ma-
sih terlihat jejak mereka yang membawa lari istrinya.
Tapi, yang ada hanya kabut pagi kian menipis. Tak ada
bayangan, tak ada titik yang bergerak. Sepi.
Lanangseta buru-buru masuk ke rumah, ke kamar-
nya. Tempat tidur acak-acakan. Dan yang lebih parah
lagi, Cambuk Naga yang dipajang tertempel di dinding,
hilang! Hilang bersama Kirana, istrinya yang sedang
mengandung itu.
Semakin meluap lagi kemarahan Lanangseta. Beta-
papun juga, ia harus bisa merawat cambuk pusaka pe-
ninggalan bekas kekasihnya; Sekar Pamikat. Setelah
Ludiro mengundurkan diri sebagai pengawalnya yang
sejak perkawinan Lanang dengan Kirana, cambuk pu-
saka itu dikembalikan ke tangan Lanang. Ludiro ingin
hidup sebagai petani, sebagai masyarakat biasa, enggan
terlibat dunia persilatan lagi. Ludiro ingin menikmati
hari tuanya dengan tenang dan damai. Maka, cambuk
pusaka pun sudah bukan lagi pantas dimiliki. Dan, La-
nangseta serta Kirana, dengan berat hati melepas perpi-
sahannya dengan Ludiro, sebagai pelayan setia sejak
semasa Sekar Pamikat masih menjadi kekasih Lanang-
seta.
Seharusnya, Lanang bisa menjaga dan merawat pu-
saka Cambuk Naga. Tetapi, kenyataannya sekarang
cambuk itu hilang, bersamaan pula dengan hilangnya
Kirana dan bayi yang dikandung. Kemarahan Lanangse-
ta tidak bisa ditangguhkan sedikit pun. Wajah Raden
Klowor terbayang lekat dalam benaknya. Ia pun keluar
dari rumah kembali dan berseru dalam luapan amarah-
nya:
"Klowoooooorrrr...! Ke mana pun kau pergi, akan ku-
cari kau! Dan, aku akan membuat perhitungan tersen-
diri denganmu...!" Karena sesaknya dada oleh kemara-
han, Lanang berseru demikian untuk melampiaskan
kemarahan.
Untuk mencari di mana letak Lembah Kubur, Lanang
terpaksa menghubungi beberapa orang dari desa ke de-
sa. Salah satu yang dihubungi adalah Ki Lurah Kedun-
grejo. Sore hari, Lanang baru sampai ke rumah terse-
but. Tetapi, pada saat itu, Rukmini yang menyambut-
nya. Perempuan desa yang lugu itu tampak girang dan
sedikit tersipu melihat kedatangan Lanangseta.
"Aku tidak menyangka kalau kau mau datang lagi."
"Aku ingin bertemu dengan ayahmu," kata Lanang
seraya membalas senyuman dengan tawar.
"Ayah sedang menengok keluarga Kang Pulung yang
kemarin saudaranya dibunuh oleh penduduk."
Rukmini mempersilakan Lanang untuk singgah ke
dalam. Istri Ki Lurah juga ikut menjelaskan, bahwa Lu-
rah Kedungrejo masih ada urusan. Beberapa saat ke-
mudian, Nyai Lurah masuk ke dalam, meninggalkan
Lanang dan Rukmini di serambi depan.
"Kalau memang urusannya penting, mestinya kau ti-
dak berkeberatan kalau harus menunggu ayah, bukan?"
tanya Rukmini, yang agaknya sekarang lebih berani, ti-
dak semalu-malu kemarin, ketika perjumpaan pertama.
"Memang penting. Dan, kuharap Ki Lurah bisa membantuku."
"Dalam hal apa? Aku boleh tahu?"
"Dalam hal... orang-orang Lembah Kubur."
Rukmini berkerut dahi, menatap Lanangseta dengan
sorot mata yang berbinar-binar.
"Apakah kau bertemu dengannya lagi?"
"Tidak!"
"Lalu....?"
"Aku ingin bertemu dengannya lagi."
"Dengan orang Lembah Kubur?!" Rukmini kelihatan
cemas.
"Ya. Karena... karena... istriku dibawa oleh mereka."
"Diculik...?!"
"Ya. Diculik dan... dan entah diapakan lagi. Yang je-
las, aku harus ke Lembah Kubur untuk merebut kem-
bali istriku."
Rukmini terbengong, bagai terpana oleh cerita tak
diduga. Ia kelihatan menyimpan sedikit rasa takut. Ia
juga menampakkan rasa ngerinya dengan bergidiknya
badan. Namun, di balik itu semua kesan cemas dan
was-was lebih menonjol ketimbang kesan yang lainnya.
"Aku harus mencari keterangan, di mana Lembah
Kubur itu. Dan, aku harus segera menghancurkan me-
reka."
Rukmini diam. Seakan ia punya rasa tidak setuju ka-
lau Lanangseta pergi ke Lembah Kubur. Hal itu diung-
kapkan olehnya lewat kata-kata:
"Itu tempat berbahaya."
"Aku tahu."
"Kalau utusannya saja bisa datang dan pergi dengan
meninggalkan korban, tak mampu dihalangi, sudah ten-
tu penguasa Lembah Kubur lebih sakti dari utusan-
utusannya."
"Aku tahu. Tapi, kalau memang kau sendiri bisa
memberi keterangan di mana Lembah Kubur, tolong berikan padaku. Aku tak perduli, seberapa besar kesak-
tian mereka. Aku tidak mau tahu, seberapa besar ba-
haya di sana. Aku hanya tahu: istriku harus kembali
dengan selamat bersama bayinya."
Mata Rukmini sedikit terbelalak memandang La-
nangseta.
"Istrimu hamil?"
Lanang mengangguk. "Hamil tua...."
Rukmini terbengong sesaat, kemudian menghela na-
fas, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Lanangseta menunggu jawaban dari Rukmini dengan
mata sedikit tajam memandang.
"Mungkin aku bisa membantumu," kata Rukmini li-
rih.
"Syukurlah kalau kau mau membantuku."
"Tapi...." Rukmini ragu. "Aku.... Aku takut kau men-
galami bahaya dan...."
"Rukmini," sela Lanang. "Bahaya memang sering ku-
hadapi. Tetapi, belum pernah aku tidak bisa lolos dari
bahaya. Belum pernah. Selalu saja bahaya bisa kutero-
bos. Kurasa kau tak perlu khawatir."
"Memang seharusnya aku tidak perlu mencemaskan
dirimu. Tak perlu khawatir tentang kamu. Hanya sa-
ja...."
Karena Rukmini diam dalam keraguan, maka La-
nangseta buru-buru menyerobot pembicaraan:
"Kau tahu persis tempatnya?"
"Secara persis, tidak. Tapi, aku pernah melihat Utu-
san Lembah Kubur berlari ke suatu arah."
"Arah mana?"
Setelah diam beberapa saat, Rukmini pun menjawab
dengan lirih, seakan tak punya daya lagi.
"Ke Selatan...!"
Gumam Lanangseta memanjang, kepalanya mang-
gut-manggut. Rukmini menambahkan kata:
"Dulu pernah ada pemuda yang ingin membawaku
pergi dengan baik-baik. Ia mencintaiku. Dan, kami ingin
kabur, karena ayahku tidak setuju."
"Lalu...?!"
"Lalu aku menolak. Dia patah semangat. Ia mengan-
cam akan pergi ke Lembah Kubur, menjadi manusia se-
sat kalau aku tetap menolak."
"Pemuda itu sampai sekarang masih ada?"
Rukmini menggeleng. "Dia mati. Mati dibantai te-
mannya sendiri. Dan... kala itu ia sempat menemui aku,
lalu bermaksud membawaku lagi dengan paksa. Dia
menyebutkan suatu tempat dan arah, sebagai titik per-
jumpaan kami, jika aku mau kabur dari rumah."
"Di mana itu?"
"Arah Selatan. Melewati daerah yang dinamakan
Randu Gajah. Lembah Kubur memang tidak jauh dari
Randu Gajah. Arah Timur dari Randu Gajah, sudah
termasuk wilayah Lembah Kubur. Tapi, waktu itu kami
atau dia, merencanakan untuk membelok ke arah Ba-
rat. Ke desa Truyan. Desa itu aman oleh orang-orang
Lembah Kubur. Tak ada yang berani datang atau meng-
ganggu masyarakat desa Truyan."
"Alasannya?"
"Barong Dewa lahir di desa Truyan, dan sanak sau-
daranya masih tinggal di sana. Jadi tak boleh ada yang
mengganggu. Desa itu aman."
"Siapa Barong Dewa itu?"
"Penguasa Lembah Kubur."
"Apakah perbuatan Barong Dewa, mencuri bayi dari
dalam kandungan dilakukan sudah cukup lama?"
"Ya. Dan, mulanya desa ini tidak termasuk sasaran
mereka. Namun, barangkali ada perubahan pikiran Ba-
rong Dewa. Desa ini dianggap desa yang tidak perlu di-
lindungi, sebab pemuda yang mencintaiku sudah mati
oleh kawannya sendiri."
"Jadi, mereka langsung menyerbu desa ini karena
pemuda itu telah mati?"
"Ya. Dan mereka tahu, kalau aku menolak cinta pe-
muda itu. Kalau saja aku jadi kawin dengannya, maka
desa ini akan aman." Rukmini tertegun sejenak, lalu
berbisik, "Bawalah aku ke desa Truyan, dan hiduplah di
sana bersamaku, sekalipun aku hanya sebagai istri ke-
duamu."
"Terlalu berani," kata hati Lanangseta setelah terke-
jut sesaat. "Terlalu nekad perempuan ini dalam bica-
ranya. Apa sebab? Pasti ada alasan kuat, sehingga gadis
desa yang punya lagak pemalu itu berani bicara sepolos
itu. Umumnya para gadis desa seusia dengannya, tak
akan berani berkata terang-terangan seperti dia...." La-
nangseta berlagak biasa-biasa saja, tidak menganggap
kata-kata Rukmini istimewa dan mengejutkan hatinya.
Lanang justru bertanya:
"Apakah anak buah Barong Dewa itu cukup ba-
nyak?"
"Hanya ada sembilan orang. Lima di antaranya orang
pilihan yang bertugas menculik bayi dalam kandungan."
Omongan demi omongan memang disimak Lanangse-
ta, namun sejauh ini ada satu pemikiran tersendiri pada
diri Lanangseta. Ia terus memancing keterangan:
"Untuk apa Barong Dewa membutuhkan bayi?"
"Untuk dimakan."
"Hah...?!" Lanang membelalakkan mata, kali ini ka-
getnya tak sempat dikendalikan. "Untuk dimakan?!"
Rukmini menjelaskan, "Jika Barong Dewa banyak
memakan bayi yang belum lahir, maka tubuhnya makin
lama akan menjadi semakin besar. Dan, ilmu silatnya
pun terus meningkat. Upah yang diterima oleh anak
buah Barong Dewa adalah ilmu-ilmu sakti yang jarang
dimiliki tokoh persilatan lainnya. Jadi, setiap hari, ia
makan daging bayi yang diperoleh dari dalam kandungan. Dan, tubuh Barong Dewa pun menjadi seperti rak-
sasa. Tinggi, besar dan kekar. Sukar dikalahkan oleh
siapapun."
Sekali lagi, Lanangseta mengangguk-anggukkan ke-
pala.
"Rupanya kau banyak tahu tentang Lembah Kubur
dan Barong Dewa, ya?"
"Ya. Karena, Rohutama menceritakan segalanya ke-
padaku."
"Siapa itu Rohutama?"
"Pemuda yang mencintaiku dan pernah mengajakku
kabur itu."
"Ooooo.... Jadi, Rohutama dibunuh karena ia keta-
huan menceritakan rahasia Lembah Kubur? Begitu?"
"Antara lain begitu. Ini pertanda ia bisa melacak ke
mana perginya orang yang menculik Kirana. Tetapi, ha-
ruskah ia memenuhi permintaan Rukmini? O, tidak!
Terlalu berbahaya jika ia membawa serta Rukmini ke
Lembah Kubur."
Dengan suatu tipu muslihat ingin ke rumah Kang
Pulung, Lanangseta berhasil pergi ke arah Selatan tan-
pa Rukmini. Sejak bertolak dari rumah Rukmini, hati
Lanangseta selalu berdebar-debar. Ada apa gerangan?
Apakah karena ada yang mengincarnya dengan sem-
bunyi-sembunyi?
Sesekali Lanangseta mendesah. Langkahnya sema-
kin cepat. Pikirannya dipusatkan ke Lembah Kubur dan
keterangan-keterangan dari Rukmini tentang Barong
Dewa. Seperti apa orang yang menjadi penguasa tunggal
Lembah Kubur itu? Ilmu macam apa yang dituntutnya
sehingga ia harus memakan bayi dan janin yang diambil
dari dalam kandungan?
Debar-debar di dada Lanang semakin jelas, pada
saat ia teringat anaknya. Anak dalam kandungan Kira-
na yang menjadi kebanggaannya itu kini dalam keadaan
terancam. Lanang tak berani membayangkan, sean-
dainya ia temukan Kirana sudah kempes perutnya tan-
pa ada bayi di sampingnya. Ooh... entah seperti apa le-
dakan kemarahan Lanangseta jika ia tahu, Kirana da-
lam keadaan terburai perutnya dan bayi dalam kan-
dungan itu dimakan oleh Barong Dewa. Gemeretak gigi
Lanangseta, menggenggam kuat tangannya, dan sema-
kin sesak dadanya dihimpit kemarahan.
Tiba-tiba Lanangseta berhenti melangkah. Matanya
melihat ke kanan kiri. Kewaspadaan dan kecurigaan
saling berebut mencari tempat dalam benaknya. Ia
mendengar suara langkah kaki yang membuntutinya.
Ketika ia berpaling seketika, oh... tak ada apa-apa. Tak
ada siapa-siapa di belakangnya.
"Setan mana yang sengaja mempermainkan aku?!"
geram Lanangseta. Ia menunggu beberapa saat, kalau-
kalau muncul sosok yang ingin berhadapan dengannya.
Tetapi, setelah beberapa saat ia tak menemukan apa-
apa, akhirnya dengan desah kejengkelan ia pun me-
langkah lagi.
Langkahnya tegap. Langkah seorang pendekar yang
tak mengenal takut. Langkah yang menampakkan kete-
garannya sebagai sosok Malaikat Pedang Sakti yang se-
lalu siap menghadapi lawannya, siapa pun dan di mana
pun. Dan.... Langkah itu pun kini berhenti lagi. Ada
langkah lain yang ikut menapak, tapi juga ikut berhenti.
Menghilang, pada saat Lanang diam.
Mata Lanangseta memandang awas, tajam dan liar.
Ia memang tidak menemukan siapa-siapa di sekitarnya.
Tapi, ia yakin, bahwa ada seseorang yang mengikutinya
sejak tadi. Debar-debar hatinya membawa ia semakin
gelisah. Berulang-ulang Lanangseta menghirup udara
panjang-panjang, supaya ada ketenangan dalam ji-
wanya.
"Monyet kurap...!" gerutu Lanang sendirian. "Ia pasti
orang sakti yang pandai menghilang dalam sekejap.
Hemmm.... Mungkinkah aku sudah dekat dengan dae-
rah Lembah Kubur?"
Lanangseta merasa jengkel sekali, karena ia tidak
berhasil menemukan langkah kaki yang mengikutinya.
Dengan kesal, ia pun kembali melangkah, karena ia tak
mau kehilangan waktu terlalu banyak. Kirana harus se-
gera ditolong, ia harus segera sampai di Lembah Kubur.
Barong Dewa harus segera mati di tangannya.
Eh, masih juga ada suara langkah yang mengiku-
tinya. Gila, kan?! Padahal waktu Lanangseta berpaling,
tidak ada siapa-siapa! Hanya ada pohon-pohon dan be-
batuan di sana sini, sementara di sisi lain hanya ada
semak belukar di bawah pepohonan rindang. Mata La-
nangseta menyapu seluruh semak, tak ada tanda-tanda
kehidupan di sana. Setiap batu besar ia awasi, tak ada
hal yang mencurigakan di sana.
"Brengsek...!"
Cepat sekali Lanang melangkah meninggalkan tem-
pat itu. Tetapi, cepat pula suara langkah yang terdengar
mengikutinya. Ketika ada sebuah tikungan berbatu, La-
nangseta segera melesat bersembunyi di balik bebatuan.
Kemudian ia melihat ada pohon tak jauh darinya. Den-
gan ilmu peringan tubuh yang sempurna, ia menghen-
takkan kaki ke bumi, dan "Seeet...." Tubuhnya me-
layang ke atas, hinggap di dahan dengan tanpa menim-
bulkan suara sedikit pun. Dari atas pohon Lanangseta
bebas memandang dan meneliti sekeliling. Nafasnya ter-
tahan beberapa saat, bahkan dihembuskan dengan pe-
lan sekali. Sepi. Dan, hanya desau angin sore yang mu-
lai terasa membuat tubuh merinding. Sialnya, tak ada
manusia yang bersembunyi dan terkecoh ke luar dari
persembunyian untuk mengikuti Lanangseta. Sinting!
Padahal tadi jelas-jelas terdengar langkah kaki mengin-
jak dedaunan dan ranting kering di belakangnya.
Lanangseta terkejut begitu mendengar suara tawa
yang tertahan. Ah, benar! Ada orang lain selain dirinya.
Tapi, di mana suara tawa itu? Siapa yang tertawa? La-
nang mencari-cari sesaat. Ah, ia semakin gelisah dan
tak bisa tenang. Suara tawa itu pun terdengar lagi bagai
tertutup oleh tangan pemiliknya. Dan, kali ini agak je-
las, sehingga Lanang pun segera mendongak ke atas.
Busyet...! Ternyata ada orang di atas pohon, tepat di
atas kepalanya. Satu pohon darinya. Lanang merasa
terkecoh. Sudah cape-cape bersembunyi dengan rapi,
eh.... ternyata orang yang dijebaknya ada di dalam satu
pohon dengannya. Maka, segera saja ia menghentakkan
tangan kanannya ke atas dalam keadaan telapak tan-
gan terbuka. "Hiiiihhh..!"
"Kraaaakk...! Krosaakkk...!"
Tenaga dalam keluar dari telapak tangan Lanangse-
ta, menghantam orang yang ada di atasnya. Tetapi den-
gan gerakan cepat, orang tersebut melompat dalam ge-
rakan salto dan turun ke bawah. Bajunya yang biru
berkibar bagai sayap elang. Lanangseta tak mau tinggal
diam. Ia segera menyusul dengan lompatan bersalto ju-
ga.
"Jleeg...!"
Kedua kaki Lanangseta menapak dengan sempurna.
Sigap dan kekar. Wajahnya kaku tanpa senyum. Ma-
tanya memandang tajam, bagai menembus hati orang
yang berdiri di depannya.
"Sekarang saatnya aku membunuhmu, Klowor...!"
O, oh... rupanya Raden Klowor yang menguntitnya
sejak tadi. Lanangseta teringat Kirana yang saat ini hi-
lang. Ia juga teringat cerita tentang pembedahan perut
perempuan hamil yang dilakukan oleh utusan Lembah
Kubur. Dan, kemarahannya membakar darah, manaka-
la ia membayangkan Raden Klowor telah berhasil mem-
bedah perut istrinya. Terbukti dari cengar-cengir Raden
Klowor yang menampakkan rasa puas bisa berhadapan
dengan Lanang. Ia, Raden Klowor itu, sepertinya merasa
bangga, dan sengaja memamerkan kebanggaannya ke-
pada Lanangseta.
"Biadab kau, Klowor...!" geram Lanang dengan serta
merta melompat dengan kaki kanan lurus menyamping,
dan tertuju kepada wajah Raden Klowor.
"Ploookkk...!"
"Aaauuh...! Guru, sabar...! Saya tadi cuma bercan-
da!" Teriakan Raden Klowor tak dihiraukan Lanangseta.
Dengan cepat dan gesit, Lanangseta menghentakkan
kaki kirinya dalam keadaan tubuh memutar. Kaki itu
bagai batang pohon yang dikibaskan setengah lingkaran
dan mengenai wajah Raden Klowor lagi. Tentu saja Ra-
den Klowor memekik kesakitan dan jungkir balik di re-
rumputan.
"Jangan marah, Guru...! Maaf...! Sabar...! Ampun...!
Dan sebagainya, Guru...!"
"Hiiaaaatt...!"
Sebuah pukulan berganda dilancarkan ke dada Ra-
den Klowor, namun sejak tadi Raden Klowor sepertinya
pasrah. Tidak melawan, tidak mengelak. Sehingga ia
memekik tertahan ketika dadanya yang kurus dihantam
Lanangseta dua kali dengan keras. Mata Raden Klowor
mendelik dengan berusaha menghirup nafas yang me-
nyesak di dada. Tetapi, tak ada kesempatan sedikit pun
yang diberikan oleh Lanangseta kepada utusan Lembah
Kubur itu. Lanangseta berguling ke tanah, kakinya me-
letik seperti kaki belalang, menghentak kuat perut Ra-
den Klowor.
"Huuggh...! Gulu...." ucapnya dengan nafas sesak
dan mata makin mendelik kesakitan. Guru sampai dis-
ebutnya; gulu. Ia meringis menahan mules di perut. Ia
cengap-cengap, namun segera mundur beberapa lang-
kah ketika Lanangseta berdiri lagi, siap menyerangnya.
"Guru...!" Tangan Raden Klowor terangkat ke depan
dengan telapak tangan terbuka, seakan ingin menahan
gerakan Lanang berikutnya. "Tunggu... jangan menye-
rang saya, Guru. Saya benar-benar bercanda...! Maaf-
kan saya...!"
"Setan kudis...! Kau apakan istriku, hah?! Kau apa-
kah dia...? Hiaaat....!" Lanangseta melompat, menerjang
dengan kakinya. Tetapi, dengan gesit, Raden Klowor
menggunakan jurus Lindung Bumi. "Sleeeep...!" Dia
amblas ke dalam tanah, dan membuat Lanangseta se-
makin kebingungan, tapi juga semakin dongkol hatinya.
Lawannya menghilang dengan menggunakan ilmu an-
dalannya dulu: Lindung Bumi. Kurang ajar! Lanang ha-
rus segera mengejar, keburu Raden Klowor kabur.
"Hiiiaaaaat....!"
***
5
Jurus Lindung Bumi sama-sama digunakan oleh ke-
dua lelaki itu. Lanangseta juga amblas ke tanah dan
mengejar Raden Klowor. Tanah disibakkan, mereka sa-
ma-sama mampu menembus lapisan tanah. Gerakan
mereka seperti hembusan bayangan yang bergerak ce-
pat tanpa ada rasa yang mengganggu langkah. Suasana
di dalam tanah seperti lorong berlampu terang. Tubuh-
tubuh mereka berdua sama-sama mirip sosok kunang-
kunang besar yang saling kejar.
"Broooss...! Broooos...!"
Keduanya sama-sama melompat menerobos lapisan
tanah di atas mereka. Keduanya seperti mayat bangkit
dari kubur dengan satu lompatan mengagumkan. Ta-
nah menyembur ke mana-mana ketika mereka melesat
dan berada di permukaan tanah kembali.
"Jangan lari kau, Jahanaaaaaammm....!
Hiiiiiaaaat....!" Lanangseta bersalto di udara, dan men-
gibaskan kakinya bagai sedang menendang sebuah bo-
la. Raden Klowor ketakutan, namun dia sempat melom-
pat pula dan bersalto ke depan, sehingga tendangan
kaki Lanangseta tidak mampu mengenainya.
"Klowor....! Berhenti, dan kau harus berhadapan
denganku, Penyakit!"
"Guru, jangan marah padaku. Aku tadi hanya ber-
canda dan memang sengaja menggodamu. Maafkan
aku, Guru!"
Lanangseta berdiri tegak, kedua kakinya merenggang
tegak, sedangkan Raden Klowor terengah-engah dalam
ketakutan, sekalipun ia harus berhadapan dengan La-
nangseta.
"Kenapa...? Kenapa Guru marah sekali? Bukankah
aku hanya menguntit Guru dan bercanda ala kadar-
nya...?!"
Mulut pendekar tampan itu terkatup rapat. Terlihat
giginya menggeletuk, dan serta merta ia mencabut pe-
dang pusakanya Wisa Kobra, yang disebut pula Pedang
Semerah Darah. Ini sudah bukan main-main lagi.
Raden Klowor membelalakkan mata, memandang
takjub pada warna pedang yang berpijar merah, bagai
besi membara. Terang, namun mengerikan. Bulu kuduk
Raden Klowor pun merinding. Ia mundur beberapa
langkah dan tergagap-gagap.
"Guru, jangan bercanda terlalu ngeri! Apa maksud
Guru mencabut pedang pusaka Wisa Kobra?"
Dalam hati Lanangseta heran, dari mana Raden Klo-
wor itu tahu nama pedang pusakanya, padahal seingat-
nya ia belum pernah menyebutkan nama pedangnya:
Wisa Kobra.
"Kalau kau bisa berbuat kejam, sebagai Utusan
Lembah Kubur, maka aku pun bisa bertindak kejam,
sebagai Malaikat Pedang Sakti!"
"Guru menuduhku ngawur! Norak!" Raden Klowor
kebingungan, karena Lanang bergerak maju pelan-
pelan, dan ia bergerak mundur dengan perlahan-lahan.
"Aku bukan utusan dari Lembah Kubur. Wah, Guru sok
pintar...!"
"Tutup bacotmu! Mari, hadapi aku secara kesatria!"
"Guru kasar! Masa' mulut dikatakan bacot!"
"Hiiiiaaaatt...!"
Pedang menebas, seperti kilatan cahaya merah me-
layang di atas kepala Raden Klowor yang merunduk.
Andai tidak merunduk, Raden Klowor akan terpenggal
kepalanya. Sedangkan baru terkena angin tebasannya
saja, ia sudah sempoyongan dan tersungkur beberapa
saat kemudian. Sepertinya ada benda berat yang meng-
hantam pelipis Raden Klowor.
Sadar akan kesungguhan Lanangseta yang ingin
membunuhnya, Raden Klowor segera melesat ke atas
dengan menggunakan dagunya sebagai pengganti kaki
yang menjejak tanah. Begitu tubuhnya melayang, ia se-
gera bersalto dan mendarat di tanah dengan sigap. La-
nangseta pun jadi terbelalak kaget. Ia terhenyak bagai
tak bisa bergerak. Matanya memandang lebar pada tan-
gan kanan Raden Klowor. Di tangan kanan itu tampak
sebuah benda panjang digenggam Raden Klowor. Benda
itu tak lain dari: Cambuk Naga!
Tangan Lanangseta sedikit gemetar melihat cambuk
naga siap dilecutkan. Bukan lantaran ia takut, namun
ia sebenarnya menaruh hormat yang tinggi kepada
cambuk tersebut. Bukan pula semata-mata cambuknya
yang dihormati, tetapi pemilik awal cambuk itu yang
disegani. Sekar Pamikat! Seorang kekasih yang rela
menjadi orang suci di Goa Malaikat, dan menjadi penja-
ga tetap goa keramat itu. Cambuk Naga, merupakan
pusaka yang sama ampuhnya dengan Pedang Wisa Kobra yang ada dalam genggaman Lanangseta. Kedua pu-
saka itu, seakan sejodoh yang saling bahu membahu
dalam setiap pertempuran. Dulu, Ludiro yang diserahi
tugas sebagai pemegang cambuk tersebut. Sekarang
sudah diserahkan kembali kepada Lanang. Dan Lanang
menganggapnya pusaka itu adalah pengganti sukma
seorang gadis yang dulu pernah amat dicintai, sebelum
ia mendapatkan Kirana.
"Guru...." kata Klowor dengan mulut mucu-mucu.
"Kalau Guru memaksa saya, maka terpaksa saya meng-
gunakan cambuk yang Guru berikan kepada saya ini."
Membelalak lagi mata Lanangseta mendengar uca-
pan Raden Klowor, seakan anak muda itu pandai mem-
buat lawannya termangu-mangu oleh kata demi kata
yang meluncur dari mulutnya.
"Kapan...? Kapan aku menyerahkan cambuk itu, Bi-
adab?!"
"Dalam mimpi siangku, ketika sebelum segalanya
menjadi kacau dan balau...!" jawab Raden Klowor den-
gan senyum kemenangan yang memanaskan hati La-
nangseta.
Geram sekali Lanang, seakan ia diledek tidak tang-
gung-tanggung. Maka, segera ia melompat seperti singa
menerkam, dengan pedang terayun dari samping ke de-
pan. "Weeesss...!" Raden Klowor bersalto mundur dalam
satu kali lompatan. Lalu, jurus cambuknya melecut
dengan gerakan tangan menghentak ke udara, sedang-
kan tangannya yang kosong direntangkan dalam posisi
kaki merendah sedikit.
"Tarrr...!"
Cambuk itu melecut di udara, memercikkan nyala
api merah pada ujung cambuk yang sebenarnya berse-
rat lembut dan halus itu. Ujung lecutan yang kedua te-
pat mengenai pedang Lanangseta yang saat itu hendak
ditusukkan ke arah Raden Klowor. Maka, akibatnya,
terjadilah ledakan yang mengguncangkan bumi.
"Blaaar...!"
Keduanya sama-sama terpental, delapan langkah da-
ri masing-masing tempat berdiri semula. Lanangseta
terguling-guling karena terpelanting, Raden Klowor
mengaduh kesakitan akibat pinggangnya beradu den-
gan tonjolan tanah pohon sebesar genggaman manusia
dewasa.
Kepala Lanangseta dikibaskan, karena ia merasa
pusing mendengar ledakan tadi sambil terlempar dan
berguling-guling. Ia berdiri dengan sempoyongan. Ke-
mudian mengatur pernafasannya dengan gerakan ke-
dua tangan memegangi pedang, dari sisi kanan bergerak
kokoh ke depan dada. Pedang Wisa Kobra berdiri tegak
bagai membelah wajah. Kemudian, pedang itu segera
digerakkan dengan lamban ke samping, merapat den-
gan dada kiri, tetapi kedua tangan Lanangseta masing-
masing sama-sama memegangi gagang pedang.
Raden Klowor menggenggam tangkai cambuk yang
lentur tapi kenyal. Ujung cambuknya pun dipegang
dengan satu tangan itu, sehingga bentuk cambuk men-
jadi melingkar seperti tali untuk menggantung seseo-
rang. Keadaannya sama dengan Lanangseta, terengah-
engah dan sedikit keliyengan.
"Kurasa pertarungan ini tak perlu diteruskan, Guru.
Nanti di antara kita ada yang mati!"
Lanangseta menjawab dengan suara datar, penuh
kemarahan yang terpendam.
"Itu keinginanku. Kau atau aku yang mati."
Raden Klowor mengernyitkan dahi. Katanya kemu-
dian:
"Apakah Guru marah karena saya ke mana-mana
membawa cambuk ini? Ah, seharusnya tidak perlu begi-
tu, Guru. Karena, aku hanya mengikuti perintah Guru
kepadaku melalui mimpi siang itu: Ambil Cambuk Naga,
dan genggamlah ke mana ia pergi. Pusaka itu telah
menjadi milikmu. Begitu kata Guru waktu itu, bukan?!"
"Aku tidak pernah bicara sebodoh itu, Setan!"
"Ah, Guru ini seorang pelupa, barangkali. Guru yang
bicara sendiri, setelah Putri Ayu Sekar Pamikat membi-
sikkan kata kepada Guru."
Merinding Lanangseta mendengar nama Sekar Pami-
kat disebutkan oleh anak ingusan seperti Raden Klowor
itu.
"Jaga bicaramu, Iblis! Sebentar lagi kau pasti mati
kalau kau menyebutkan nama itu sembarangan, ta-
hu?!"
"Guru terlalu berbeda dengan impianku. Guru selalu
ramah dan lemah lembut, punya ketegasan yang men-
gagumkan jika bicara lewat mimpiku. Tetapi, jika di luar
mimpi, Guru seolah-olah memusuhiku mati-matian.
padahal, di dalam impianku, aku pun sudah bersum-
pah, bahwa aku akan selalu melindungi Guru sekeluar-
ga, setia mengabdi kepada Guru dan keluarga, serta
siap menerima pelajaran apa saja, perintah apa saja,
dari Guru maupun dari Bibi Guru. Sumpahku itu dis-
aksikan Pendekar Agung Jaka Bego, dan Putri Ayu Se-
kar Pamikat, yang suci dalam keberadaannya."
Ada sentuhan lembut yang mengusap hati Lanangse-
ta begitu mendengar ucapan Raden Klowor. Namun, se-
bagian pikirannya membantah, mungkinkah seorang
Utusan Lembah Kubur akan selalu berbicara seperti
itu? Mungkinkah setiap Utusan Lembah Kubur mem-
punyai jurus pengucap kata yang mampu melunakkan
hati lawannya?
"Apapun yang kau katakan, Klowor...!" kata Lanang
dengan ketegasan tersendiri. "Aku tetap harus membu-
nuhmu, dan menyatakan perang kepada setiap Utusan
Lembah Kubur seperti kau. Tahu...?!"
"Sekali lagi sebaiknya kutegaskan, Guru. Aku bukan
Utusan Lembah Kubur! Justru, Putri Ayu Sekar Pami-
kat di alam mimpiku memberikan tugas kepadaku, un-
tuk membantu Guru dalam menumpas habis setan-
setan Lembah Kubur!"
Lanangseta menggeram mendengar Raden Klowor
mengelak tuduhan. Lalu, dengan penuh kemarahan
yang tertahan, Lanang pun berkata:
"Lantas kau kemanakan istriku? Di mana dia?! Sete-
lah kau buat rumahku porak poranda, lalu istriku kau
bawa kabur untuk dibedah perutnya dan diambil
bayinya. Begitu, bukan?"
Tahu-tahu, Raden Klowor yang berambut lebat tapi
tidak gondrong itu berkata dalam sela tawanya yang ge-
li.
"O, oh.... Sekarang aku tahu masalahnya....!" Ia
menggulung cambuk sedemikian rupa sehingga bisa
diselipkan di pinggang belakang, seperti tadi.
"Di mana dia sekarang, atau kubunuh kau dari si-
ni?!"
"Guru, aku tahu sekarang, kenapa Guru begitu be-
rang terhadapku. Rupanya ada kesalahpahaman di an-
tara kita! Dan, kesalahpahaman ini harus kita pahami
bersama-sama, Guru. Aku tidak mau mati di tangan
Guru kalau hanya sekedar salah paham."
"Jangan mengulur waktu, Biadab! Aku sudah tidak
tahan untuk segera membunuhmu, tahu?!" bentak La-
nangseta.
"Aku juga sudah tidak tahan ingin melarikan diri,
Guru. Tapi, dengarlah dulu penjelasanku, setelah itu
terserah kepada Guru, jalan apa yang terbaik yang ha-
rus Guru lakukan...."
Lanangseta sedikit mengendurkan ketegangannya.
Pedang Wisa Kobra yang berpijar merah membara itu
sudah tidak lagi berdiri tegak dengan dipegang dua tan-
gan di depan dada kiri, melainkan sudah teracung kebawah dan digenggam oleh satu tangan.
"Guru..." kata Raden Klowor memberanikan diri me-
langkah, dan mendekat.
"Dua orang Utusan Lembah Kubur datang ke bukit
Bulan ketika Guru pergi. Mereka bermaksud melukai
Bibi, ingin membedah perutnya dan mengambil bayi da-
lam kandungan. Tetapi, saya dan Bibi bertahan. Kedua
orang bercakar setan itu hampir merobek punggung Bi-
bi, kalau saja saya tidak segera menggunakan jurus Te-
bar Besi, dan...."
"Itu jurus milikku?! Kau bisa menguasai jurus Tebar
Besi juga...?"
"Kan, Guru sendiri yang menurunkan ilmu itu pada-
ku lewat mimpi...! Lupa juga, ya?"
"Ahh....!" Kesal hati Lanang jika mendengar mimpi
dijadikan alasan. "Teruskan ceritamu...!"
"Singkatnya cerita, saya dan Bibi Guru sama-sama
berhasil mengusir kedua Utusan dari Lembah Kubur.
Bibi dan saya selamat, tanpa luka. Rumah berantakan,
tak jadi soal. Tapi, satu hal yang membuat saya bin-
gung,.... Bibi merasa sakit perut, dan... dan beliau ingin
melahirkan. Saya benar-benar panik, juga kebingungan,
karena saya seumur-umur belum pernah melahirkan.
Sumpah! Dan... karena tak tahan melihat Bibi kesaki-
tan, mules perutnya, maka saya bertekad membawa Bi-
bi keluar, turun dari Bukit Bulan, mencari pertolongan.
Sampai akhirnya, kami menemukan rumah dukun bayi,
dan... dan... Bibi melahirkan bayinya dengan selamat,
tanpa kurang satu apapun...!"
"Anakku...! Anakku... lahir sudah? Sudah lahir...?!"
Lanangseta membelalak dalam keharuan. Ia mendekati
Klowor.
"Hati-hati kau bicara! Jangan menipuku, Klowor. Ka-
lau kau sampai menipuku, maka akan kurobek mulut-
mu dengan pedang ini pelan-pelan, tahu?"
"Saya akan membantu merobeknya, Guru...." jawab
Raden Klowor dengan senyum ketenangan.
Nafas Lanangseta memburu, antara bangga, haru
dan penasaran terhadap penjelasan Raden Klowor.
"Benar, anakku sudah lahir?!" katanya pelan.
"Benar, Guru...! Lelaki!"
"Lelaki...?!" pekik Lanangseta kegirangan.
"Lelaki yang tampan dan... tulang-tulangnya keliha-
tan kekar, seperti tulang pendekar, Guru...!"
"Benar...?!" Semakin bersemangat dan berapi-api La-
nang menanggapinya.
"Guru, sekarang marilah kita menemui Bibi di rumah
dukun bayi itu. Bibi ingin sekali bertemu dengan Guru.
Ia berada tak jauh dari tempat ini, dan tugas saya ada-
lah mencari dan membawa Guru untuk diserahkan ke-
pada Bibi dan bayi mungil yang sehat itu. Mari,
Guru....!"
Langit sore bagai cerah, menaburkan sejuta bunga di
padang kebahagiaan. Nafas Lanangseta menjadi
plong...! Segar dan lega. Bahkan, Lanang merasa tu-
buhnya sedang melayang-layang dalam satu kegembi-
raan yang belum pernah dialami selama hidupnya itu.
Ia tak mau berpikir, bagaimana kalau ternyata itu ada-
lah tipuan Raden Klowor. Ia juga tak mau membayang-
kan, bagaimana kalau ternyata ia masuk dalam perang-
kap Utusan dari Lembah Kubur. Tidak! Semua tidak
mau dibayangkan. Kegembiraan dan soraknya hati san-
gat mencengkeram jiwanya, sehingga dengan langkah
ringan Lanang mengikuti ke mana Raden Klowor pergi.
Namun, tiba-tiba Lanangseta menahan tangan Ra-
den Klowor, sehingga langkah kaki Raden Klowor pun
terhenti.
"Kenapa, Guru?!" Raden Klowor memandang heran
kepada Lanangseta. Tetapi, yang dipandang masih ter-
paku di tempat. Matanya terbelalak, tertegun meman
dang sebuah pohon. Mulutnya ternganga dan dadanya
berdebar-debar.
"Guru.... kenapa begini? Ada apa?!" Klowor menam-
pakkan keheranannya.
"Klowor..." Suara Lanang datar, seperti orang mela-
mun.
"Ya, Guru...?" Klowor menjawab dengan sopan.
"Itu pohon apa, Klowor?"
"Pohon randu, Guru."
"Apakah ada pohon kapuk randu sebesar itu?"
"Nyatanya ada, Guru. Memangnya kenapa?"
"Jika kau melihat ada pohon randu sebesar itu, apa
yang ingin kau katakan terhadap pohon itu?"
Raden Klowor diam sebentar, heran sekali. Tapi, un-
tuk memuaskan hati Lanangseta, ia pun menjawab:
"Pohon randu kok sebesar gajah begitu. Pantasnya
pohon randu itu dinamakan Randu Gajah, Guru."
Semakin tegang wajah Lanangseta. Ia pun meman-
dang Raden Klowor dengan mata terbuka lebar, mirip
orang kesetanan. Klowor jadi takut sendiri melihat wa-
jah seram begitu.
"Kau menjebakku, Klowor...! Kau menjebakku!"
"Menjebak bagaimana, Guru? Ah, jangan membin-
gungkan saya, Guru. Kasihanilah saya yang sudah ser-
ing dibuat bingung oleh sikap Guru selama ini."
Lanang terngiang kata-kata Rukmini ketika memberi
keterangan tentang arah Lembah Kubur. Berjalan terus
ke Selatan, sampai menjumpai pohon Randu Gajah, lalu
membelok ke arah Timur dan sekarang...? Sekarang
Randu Gajah sudah ada di depan Lanangseta. Ini berar-
ti sudah dekat dengan wilayah Lembah Kubur. Tak
aneh lagi, jika ia punya dugaan; masuk dalam jebakan
Raden Klowor, yang masih diduga sebagai salah satu
Utusan Lembah Kubur dalam penyamarannya. Karena
itu, Lanangseta pun menggeram lagi.
"Guru, jangan memandangku demikian. Saya takut
sekali melihat wajah Guru yang simpang siur begitu."
"Klowor....!" Suara Lanang menggeram. Ia siap me-
megang gagang pedang yang bertengger di punggung.
"Kau akan mati sebelum aku masuk ke dalam jeba-
kanmu!"
Dengan keheranan yang menimbulkan rasa takut,
Raden Klowor mencoba menjelaskan, walau dengan ter-
gagap-gagap:
"Saya ingin membawa Guru ke rumah dukun bayi
itu. Saya ingin menunjukkan bayi lelaki Guru yang ke-
cil-kecil sudah perkasa, berkulit merah bagai tembaga
membara, Guru!"
Lanangseta menggeleng-geleng, seperti robot keku-
rangan oli. Lalu, suaranya yang datar terdengar.
"Kau pasti akan membawaku ke Lembah Kubur, bu-
kan?"
"Ke Lembah Kubur? Ah, ngaco saja Guru ini kalau
bicara. Saya mana tahu arah dan letak Lembah Kubur,
Guru?"
"Baik. Sekarang aku ingin tahu, setelah dari sini, kita
akan pergi ke arah mana...?!" Sebab Lanangseta ingat
kata-kata Rukmini, bahwa Lembah Kubur ada di sebe-
lah Timur dari Randu Gajah. Sedangkan di sebelah ba-
ratnya adalah desa Truyan, yaitu sebuah desa yang tak
pernah dijamah oleh kekejaman orang-orang Lembah
Kubur. Dengan hati berdebar, Lanangseta menunggu
jawaban dari Klowor.
"Guru, dari sini kita akan membelok ke sana, ke arah
Barat. Sebab di sanalah rumah dukun bayi yang kami
temukan dalam usaha pelarian kami tempo hari,
Guru...."
Lanangseta menghempaskan nafas lega. Seperti be-
bas dari himpitan barang berat.
"Desa Truyan namanya?"
"Benar. Desa Truyan, Guru. Nah, mari kita ke sana!"
Dengan senyum ceria penuh kelegaan, Lanang me-
rangkul Raden Klowor dan melangkah bersama.
"Tumben Guru baik kepada saya...." kata Raden Klo-
wor.
Menyadari kata-kata itu dapat menghilangkan kewi-
bawaannya, Lanangseta buru-buru melepaskan rangku-
lan tangannya, kemudian ia berjalan sendiri dengan te-
gap. Gagah dan tampak keperkasaannya.
Desa itu tidak terlalu padat penduduknya. Jarak dari
rumah ke rumah cukup renggang. Namun, kelihatan-
nya dalam keadaan damai, tentram dan rakyatnya ra-
mah tamah. Sudah beberapa kali Lanangseta mendapat
anggukan dari penduduk setempat, anggukan bersama
senyum, sebagai sapaan menghormat di antara sesama
manusia. Padahal mereka dan Lanang belum kenal, te-
tapi sapaan menghormat tetap saja berlaku di desa
Truyan itu. Alangkah bangganya Lanang memasuki de-
sa tersebut, yang konon, menurut keterangan Rukmini,
desa itu adalah desa tempat kelahiran penguasa Lem-
bah Kubur yang amat kejam; Barong Dewa.
"Itu rumahnya....! Nah, dengar...! Ada suara tangis
bayi, kan...?!"
Lanangseta mempercepat langkah, karena telinganya
segera mendengar tangis bayi yang mendebarkan hati.
Ketika ia dipersilakan masuk oleh Mak Upil, dukun bayi
itu, maka hatinya benar-benar bersorak dan jantungnya
semakin berdegup cepat. Matanya berbinar-binar me-
mandang seorang perempuan yang duduk di balai-balai,
hendak menyusui bayinya. Lanang segera berseru:
"Yaaaang...?!"
"Oh, kau datang juga, Lanang...!" Kirana menitikkan
air mata ketika Lanang segera memeluknya dan men-
cium kening dan pipinya. Cahaya kegembiraan, lapisan
bening kebahagiaan, menyelimuti mereka berdua, bertiga dengan bayi yang berhenti dari tangisnya, kendati
belum disusui.
"Aku cemaskan keadaanmu, Lanang."
"Yang, aku tidak kekurangan apa-apa. Justru aku
yang amat tegang memikirkan kamu. Apalagi ketika aku
temukan rumah kita berantakan, ooooh... hatiku seper-
tinya sudah pecah. Kau tidak ada, rumah berantakan
dan... Cambuk Naga pun tidak ada di tempatnya. Aku
hampir saja bunuh diri. Untung aku takut mati,
Yang...."
Kirana mendesakkan wajah ke bahu Lanang dengan
titik air matanya masih membasah. Air mata kebaha-
giaan. Kemudian, dengan lembut ia bicara kepada
bayinya:
"Bapakmu datang, Le...! Lihat, itu yang namanya
Pendekar Pusar Bumi, atau Malaikat Pedang Sakit....
Pandanglah dia... pandanglah perwiramu itu...."
Lanang semakin terharu. Mata bayi itu belum bisa
melihat, namun gerak-gerak bola mata yang tertutup
kelopak tampak sedang memperhatikan bapaknya. La-
nangseta sungguh iba kepada bayi itu dan istrinya.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menunggui saat kau
melahirkan, Yang."
Kirana hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Tak apa. Raden Klowor telah menunjukkan pengab-
dian dan kesetiaannya kepadaku. Ia yang menyela-
matkan aku dari goresan kuku yang hendak membelah
kulit dagingku."
Lanang menghela nafas. Ada rasa sesal yang dalam,
karena ia telah memperlakukan Raden Klowor sebagai
musuh, ternyata justru sebagai pelayan yang setia.
"Klowor....!" panggil Lanang, maksudnya mau minta
maaf. Tetapi anak muda itu tidak ada. Menghilang begi-
tu saja. Hanya saja menurut keterangan Mak Upil, Klo-
wor tadi pamit mau pergi ke Lembah Kubur, setelah ia
tahu dari Mak Upil, di mana letak Lembah Kubur. Wah
gawat! Ia terlalu nekad!
***
6
"Hati-hati, Lanang...." ujar Kirana ketika Lanang ber-
pamitan hendak menyusul Raden Klowor ke Lembah
Kubur. Lanang sudah menjelaskan, siapa orang-orang
di Lembah Kubur dan apa yang dicari oleh mereka, se-
hingga ketika Lanang berpamitan ke Lembah Kubur, Ki-
rana merestui. Ia juga berkata kepada suaminya, "Aku
belum bisa ikut membantumu. Aku habis melahirkan
begini...."
"O, ya. Dan, andai kau nekad mau ikut, aku nekat
tidak jadi berangkat," kata Lanang seraya memper-
mainkan jari tangan anak lakinya.
"Aku hanya bisa berdoa dan menyertaimu dari sini.
Jangan lupa namaku...." bisik Kirana.
Lanangseta mengerti. Ia mengangguk, kemudian se-
gera pergi ke Lembah Kubur. Waktu itu hari semakin
sore. Tetapi cahaya bulan bersinar, seperti lampu neon
yang sudah menyala menjelang maghrib.
Gerakan Lanang cukup gesit. Cepat dan penuh tena-
ga. Ia harus menyusul Raden Klowor sebelum anak itu
sampai ke Lembah Kubur. Sebab, bagaimanapun juga
jengkelnya Lanang kepada Raden Klowor yang mampu
mengikuti jurus-jurusnya, tetapi Lanang berhutang bu-
di, karena Raden Klowor ternyata memang benar me-
nyelamatkan nyawa Kirana dan bayinya. Kirana sendiri
yang bercerita banyak tentang Raden Klowor dengan se-
genap keanehan mimpinya.
Beberapa saat setelah Lanang melesat menuju ke
arah Timur dari Randu Gajah, ia berhenti sebentar. Ada
suara yang didengarnya di suatu arah. Letaknya sedikit
jauh, tapi ada suara orang berseru tak jelas. Sepertinya
sedang bertarung dengan sengit.
Oh, ternyata memang terjadi pertarungan sengit satu
lawan dua. Lanangseta segera turun tangan, karena ia
tahu, satu orang yang dilawan dua orang itu adalah Ra-
den Klowor. Mulanya, Lanang hanya diam, memperha-
tikan jurus-jurus yang digunakan Klowor dalam berta-
rung melawan dua orang berkepala botak semua itu.
Sempat pula Lanang terkesima memandang gerak dan
jurus Raden Klowor yang dulu hanya ada pada dirinya,
yaitu jurus pukulan Kilang Baja dan tendangan Kobra
Jantan. Sungguh aneh, dan sangat mengherankan ka-
lau sekarang jurus itu dikuasai oleh Raden Klowor. Pa-
dahal, hanya Lanangseta dan saudara kembarnya:
Ekayana saja yang mempunyai jurus peninggalan lelu-
hur mereka itu. Kapan Lanangseta mengajarkannya ke-
pada Klowor, itu yang tak bisa dimengerti. Pasti kalau
Klowor ditanya, jawabnya adalah mimpi. Lanang bosan
mendengar jawaban seperti itu.
"Gila...! Tendangannya malah sudah sempurna! Ah,
jangan-jangan dia pernah mencuri pandang waktu aku
bertempur di suatu tempat menggunakan jurus-jurus
itu?" pikir Lanang sebelum turun tangan.
Salah seorang lawan Raden Klowor menebaskan go-
lok besar yang melengkung bagai perahu. Tetapi, den-
gan ringan dan lincah, Raden Klowor mengelak, me-
lengkungkan badan ke belakang, lalu kakinya melentik
ke depan, dan orang itu mendelik karena lehernya sem-
pat terkena ujung kaki Klowor.
Lanang tersenyum bangga, sebab kalau saja ia men-
jadi Raden Klowor, ia juga akan berbuat demikian da-
lam keadaan seperti itu.
Seorang lawan yang lain, yang bersenjatakan tombak
berujung garpu di kedua ujungnya, juga terbeliak sakit
ketika ia menghunjamkan tombaknya, tetapi oleh Klo-
wor dihindari dengan satu lompatan manis. Ketika me-
lompat itulah kaki Klowor menendang dengan jurus
tendangan samping. Lehernya dihantam kaki kanan
Klowor dengan telak.
Hanya saja, ketika lawan yang menggunakan golok
lengkung itu membuang senjatanya, kemudian mema-
sang kuda-kuda seperti yang pernah dilakukan Sargono
kepada Lanang, saat itu Lanang jadi cemas. Pasti ia
akan menggunakan jurus cakar mautnya. Dan, Raden
Klowor dapat terluka jika tidak siap betul menerima ju-
rus yang cukup tangguh itu.
Itulah sebabnya, Lanang lalu segera melompat dari
tempat persembunyiannya. Ia bersalto tiga kali di uda-
ra, dan begitu mendarat, sempat membuat Klowor ter-
kejut.
"Oh, kau, Guru...?!"
"Hati-hati, mereka punya jurus maut melalui caka-
ran kukunya...."
"Itu sudah ada dalam gagasan saya, Guru...! Istira-
hatlah di sana. Ada batu enak untuk diduduki. Dan bi-
arkan kedua orang ini kuhadapi. Mereka jelas orang-
orang Utusan Lembah Kubur...."
"Jangan sombong, lihat ke depan... kau sudah teran-
cam tombaknya!"
"Hiaaat...!"
Benar, tombak yang kedua ujungnya berbentuk gar-
pu tiga mata itu melesat ke arah dada Raden Klowor.
Dengan cepat Raden Klowor memiringkan badan ke ka-
nan, tombak itu molos, tapi hampir saja mengenai pun-
dak Lanangseta. Untung Lanang segera meletik ke atas
dan bersalto ke samping, kakinya tepat jatuh di bela-
kang lawan yang telah tidak bersenjata golok itu.
Ternyata, orang tersebut telah menggunakan ilmu
cakar mautnya, di mana ketika ia menyilangkan kedua
tangan di depan wajah, gemetaran sebentar, lalu keluar-
lah kuku-kuku tajam dari semua jari-jemarinya.
Orang itu matanya menjadi merah, seperti membara.
Ia mengibaskan tangannya ke belakang, sasarannya
adalah dada Lanangseta. Tetapi, sebelum kuku-kuku
tajam seperti pisau bedah itu menggores dada Lanang-
seta, tangan Lanang telah bergerak cepat menangkis-
nya. Kemudian tangan itu mengeluarkan asap kuning,
dan orang tersebut menjerit kesakitan. Kulit lengannya
yang beradu dengan tangan Lanang menjadi melepuh,
seperti terbakar. Biru kehitam-hitaman.
"Bangsaaaaat...! Kubunuh semua keluargamu, Ba-
biiii....!" Geram orang itu mengancam Lanangseta,
"Hiaaaaaaaaat....!"
Tendangan orang itu begitu cepat, antara kaki kanan
dan kaki kiri bergantian dan sukar ditangkis. Satu-
satunya jalan, harus dihindari. Tetapi, Lanang agak ter-
lambat, sebab salah satu dari tendangan itu telah ber-
hasil menghentak di dada Lanang.
"Huuuggh...!"
"Kubeset kau, Kunyuk! Heeeeaaah....!"
Sekelebat gerakan tangan mencakar terlihat dari atas
kepala Lanang ke bawah. Tepat di depan muka. Kalau
saja Lanang tidak segera berguling ke tanah dan me-
nendang selangkangan orang itu dengan kuat, wah...
habis sudah wajah Lanang yang ganteng itu terkena be-
setan kuku tajam. Sekarang, orang itu justru mem-
bungkuk kesakitan sambil memegangi 'rudalnya' yang
terasa mau pecah karena disodok kaki Lanang dengan
kuat.
"Uuuh.... Bangkai busuuuuk...!" erangnya kesakitan.
Kesempatan itu digunakan Lanang untuk memper-
cepat pertarungan. Dengan menggerakkan tangan ka-
nan dan tangan kiri dalam putaran tiga kali, tahu-tahu
kedua tangan Lanang itu menghentak dari dua sisi, ka
nan dan kiri, menjepit dalam satu sentakan keras kepa-
la orang tersebut. Terdengar suara; "Praaakk...!" Kedua
tangan Lanangseta itu bagai sepasang lempengan baja
yang dipakai menjepit buah kelapa muda.
Tentu saja orang itu enggan menjerit, sebab jantung-
nya terhenyak, nafasnya sukar dikendalikan, kepalanya
pecah dan berhamburan darah ke mana-mana. Mende-
lik pun ia tak sanggup. Matanya menjadi redup, sayu. Ia
hanya sanggup jatuh bergedebug, seperti nangka bu-
suk. Menggelepar tanpa disuruh, dan kejang-kejang se-
perti kambing dipotong. Kemudian, kejangan dan gele-
paran itu berhenti. Mungkin capek, tapi ternyata ber-
henti untuk selama-lamanya. Modar!
Saat itu, terlihat oleh Lanang, bahwa Raden Klowor
masih mampu bertahan tidak menggunakan senjata
Cambuk Naga yang terselip di pinggang belakang.
"Percepat kematiannya, Klowor...! Jangan main lom-
pat-lompatan melulu. Banyak urusan lain!" seru La-
nangseta.
Sambil menghindari tebasan tombak garpu, Klowor
menjawab.
"Baik, Guru...!"
Kemudian, kaki Raden Klowor seperti kuda. Tangan-
nya menapak di tanah dan pantatnya nungging, sambil
demikian kaki keduanya menjejak ke belakang! Ten-
dangan ala kuda birahi itu tepat mengenai perut dan
ulu hati lawan, sehingga orang itu terpental ke belakang
dengan mata mendelik.
Dalam hati Lanangseta menggumam kagum. "Gila...!
Ia juga menguasai jurus Turangga Sujud...?!"
Tiba-tiba, gerakan Klowor begitu mengejutkan. Ia
menggunakan jurus Lindung Bumi. "Bleeesss...!" Ia ba-
gai ditelan bumi. Dan itu sangat membingungkan la-
wan. Ketika pada saat clingak-clinguk kehilangan Raden
Klowor, tahu-tahu dari arah belakangnya tanah me
nyembur ke atas, bersamaan dengan itu melesatlah tu-
buh Raden Klowor, dan menjejak tengkuk kepala lawan
dengan keras. Jejakan itu terjadi dua kali dengan cepat,
sehingga lawan tak sempat terpekik sebentar pun, ke-
cuali nafasnya terhempas dalam satu sedakan.
"Haaaagh...!"
Kemudian, darah kental pun menyembur dari mulut
orang itu. Ia hendak jatuh, namun senjatanya segera
dipakai untuk menopang dirinya. Raden Klowor tidak
sabar, ia segera melompat ke depan lawannya, menen-
dang dengan kaki kiri dan membuat senjata tombak be-
rujung garpu itu miring ke dalam, lalu kaki kanannya
terangkat, dari atas dihentakkan ke bawah, tepat men-
genai kepala orang itu lagi. Dan, senjata itu pun segera
menancap di dada pemiliknya, karena tubuh tersebut
bagai dihempaskan dari atas dan disambut oleh kerun-
cingan tombaknya.
"Jruuuubb...!"
Memang tidak tembus sampai ke punggung, namun
tiga mata garpu tajam itu mampu menancap tepat di
jantung dan paru-parunya. Darah menyembur dari lu-
ka, seperti curahan tempayan bocor.
Raden Klowor tampak girang, bangga, dan ia berte-
puk tangan sendiri setelah berhasil mengalahkan la-
wannya. Lanangseta segera menepak punggung Raden
Klowor:
"Hei, sudah....! Begitu saja tepuk tangan sendiri...!"
"Dia mati! Dia mati, Guru!" Raden Klowor tampak gi-
rang dan bersemangat kendati sudah berhenti bertepuk
tangan.
"Kau bangga sekali, ya?"
"Ya. Saya bangga, Guru. Sebab, seumur hidup baru
kali ini saya bisa membunuh lawan yang berat dengan
ilmu-ilmu pemberian Guru. Wah, ilmu yang hebat itu,
Guru. Dapat dari mana? Ah, saya tetap mau menyerap
ilmu yang banyak dari Guru, ah....! Sabar ya, Guru.
Nanti semua ilmu juga akan mampu diturunkan kepada
saya. Yihuuuuuiii...!" Ia melonjak kegirangan.
Sebenarnya Lanang ingin menanyakan; dari mana
jurus Turangga Sujud itu diperolehnya. Sebenarnya ju-
ga Lanang akan membantah bahwa ia tak pernah men-
gajarkan satu jurus pun kepada Raden Klowor. Tetapi,
rasa-rasanya percakapan itu akan menjadi percakapan
yang sia-sia. Percuma, sebab ujung-ujungnya akan
kembali ke mimpi. Memang aneh anak muda itu. Miste-
rius sekali, dan... menjengkelkan juga. Oleh sebab itu,
Lanang segera mengalihkan pembicaraan ke masalah
Lembah Kubur.
"Kita terus menuju ke pusat, ke sarang mereka, Klo-
wor!"
"Mari. Saya sudah tidak tahan lagi, ingin segera
membasmi setan-setan Lembah Kubur."
"Kau tahu tempatnya?"
"Saya melihat orang-orang ini keluar dari arah sana,
dekat sebuah sungai kering."
"Bagus. Kalau begitu kita harus segera ke sana. Ku-
rasa mereka berdua itu dalam perjalanan tugas mencari
mangsa ke desa lain."
"Kurasa juga begitu, Guru. Yang penting, kita selidiki
dulu, bagaimana suasana di sarang mereka, dan berapa
kekuatan mereka."
"Kalau soal kekuatan mereka, hanya ada sembilan
anak buah Barong Dewa."
"Sembilan? Dari mana Guru tahu?"
"Rukmini, anak Lurah Kedungrejo yang menje-
laskannya kepadaku," jawab Lanang seraya melangkah.
"Kok dia tahu, Guru?"
"Dia pernah punya kekasih orang Lembah Kubur,
dan mati dibantai oleh kawan sendiri. Itu terjadi, karena
pemuda yang mencintai Rukmini membuka rahasia ke
pada Rukmini, dan mungkin ada yang mendengarnya."
"Oooo...?!" Raden Klowor manggut-manggut. Tubuh-
nya yang kurus melambai-lambai waktu berjalan.
"Kalau mereka ada sembilan, maka sekarang pasti
tinggal tujuh orang, ya Guru? Kan yang dua sudah kita
gilas!"
"Masih ada enam," potong Lanangseta. "Sebab, keti-
ka aku pergi dari bukit Bulan, ada satu orang dari me-
reka yang berhasil kubunuh di depan penduduk...!"
"Ssssst...! Ada dua orang lagi mendekat kemari,
Guru...." bisik Raden Klowor. Segera mereka berdua me-
runduk di balik pepohonan semak.
"Tampaknya mereka juga orang-orang Lembah Ku-
bur."
"Benar," bisik Lanangseta.
"Tetapi, yang satu orang itu aku mengenalnya," La-
nang menyambung kata-katanya setelah diam beberapa
lama.
"Ya, aku juga mengenalnya, Guru. Dia itu kan...
Bayan Putung, ya?"
"Ya. Bayan Putung yang katanya punya anak dibe-
dah oleh utusan Lembah Kubur...!"
"Lho, kok Guru tahu?"
"Karena dialah orang yang pertama kali kutuju, keti-
ka aku pergi dari bukit Bulan," jawab Lanangseta sam-
bil matanya mengawasi gerakan orang bertubuh pendek
gemuk itu.
"Bukankah Bayan Putung adalah salah satu korban
keganasan orang-orang Lembah Kubur? Anaknya sendi-
ri yang sedang hamil berhasil dibedah perutnya oleh
Utusan dari Lembah Kubur. Lantas, kira-kira dia ada
keperluan apa datang ke mari, ya Guru?"
"Hemm...." Lanang menggumam. "Tidak mustahil ka-
lau dia ternyata adalah bagian dari orang-orang Lembah
Kubur."
"Ah, masa' dia tega memangsa anaknya sendiri. Itu
kan sama saja dia menculik cucunya dari dalam kan-
dungan sang ibu. Apa tega dia berbuat begitu, Guru?"
"Sesuatu yang menarik dari Barong Dewa, mampu
membuat hati orang lupa daratan. Mungkin saja iming-
iming sebuah ilmu kesaktian yang dahsyat, yang akan
diberikan kepada mereka apabila mereka mampu men-
carikan sekian banyak bayi untuk kesaktian sang Pen-
guasa Lembah Kubur, bisa saja Bayan Putung lantas
tega kepada anaknya dan cucunya sendiri. Barangkali
juga ada janji untuk diberikan ilmu untuk mencari ke-
kayaan, seperti babi ngepet atau yang lainnya."
"Ck, ck, ck... tega nian mereka, ya?"
"Sssst...! Sudah diam. Untuk kekayaan memang
orang dapat saja beralih menjadi kejam. Yang penting,
sekarang kita hadapi saja dia, rampungkan keduanya
dengan cepat, baru Kita menyusup ke sarang mereka.
Kukira sudah tidak jauh lagi dari sini."
"Baik, Guru. Biarlah mereka saya hadapi sendiri...."
Lanangseta tidak menjawab, karena Raden Klowor
segera melompat dan bersalto, tahu-tahu berdiri meng-
hadang langkah kedua orang itu.
Bayan Putung terperanjat kaget, namun lebih kaget
lagi temannya yang nyaris kejatuhan tubuh Raden Klo-
wor.
"Siapa kau, Iblis?!"
Raden Klowor tertawa pendek. "O, ho... ada iblis te-
riak iblis...." Kedua orang itu menggeram dengan kesal.
Mata mereka memandang nanar. Buas!
"Bayan Putung...." kata Raden Klowor. "Anakmu
menjadi korbanmu sendiri, ya? Dan cucumu...? Ah, ka-
sihan sekali kalau punya kakek yang tega mengorban-
kan cucunya sendiri demi suatu tujuan!"
"Persetan dengan kau! Dia bukan anak kandungku!
Dia cuma anak angkatku! Minggir, atau kubunuh kau,
Gembel Sinting?!"
Lanangseta hanya menggumam dalam hati dari balik
persembunyiannya. Agaknya Raden Klowor di kenal
orang sebagai Gembel Sinting, dan... mungkin juga
anak itu memang sinting. Ah, soal itu tak perlu dipikir-
kan dulu, menurut Lanang. Yang penting ia memantau
keberanian Raden Klowor yang dianggap berani tanpa
perhitungan karena sinting.
"Apa maksudmu menghadang kami, hah?!" gertak
orang berbaju hijau teman Bayan Putung.
"Apa urusanmu bertanya begitu, hah?" Lagak Raden
Klowor mulai tengil. Ia yakin, ilmunya akan mampu
menandingi ilmu mereka. "Aku tahu, kalian mau men-
cari mangsa bayi lagi, ya? Wah, sekarang sudah susah,
Mas! Sekarang tiap urusan dari Lembah Kubur yang
hendak mencari bayi, harus melalui mayatku dulu. Ka-
lau tidak, yah... terpaksa sampean-sampean sendiri
yang jadi mayat. Suka tidak suka, harus suka jadi
mayat...?" Klowor menyeringai tengil. Ia tolak pinggang
dengan kaki terayun-ayun, njot-njotan. Ini sangat me-
manaskan orang berbaju hijau berikat kepala merah.
"Hajar saja dia!" geram Bayan Putung.
"Heaaahhh..!" Orang berbaju Hijau melesat, dengan
kedua tangan menebas ke kanan kiri. Klowor hanya
mundur satu langkah, lalu dengan cepat menggerakkan
kakinya, melayang setengah melingkar, dan tepat kena
di rahang orang itu.
Orang berbaju hijau belum waktunya tua itu sempat
mengeloyor dan menggeragap hendak jatuh. Ia agaknya
punya ilmu yang pas-pasan. Jangan-jangan murid baru
di Lembah Kubur itu. Ah, tidak perduli! Yang penting,
Raden Klowor harus mengalahkan mereka berdua. Ha-
rus cepat, singkat dan tepat. Itu harapan gurunya; si
Pendekar Pusar Bumi.
Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi, Raden Klowor
menggunakan jurus mautnya, berupa tendangan Kobra
Jantan. Salah satu kakinya naik ke atas, tidak turun-
turun, seakan sedang mempermainkan wajah orang
berbaju hijau yang bergerak-gerak siap menghindari
tendangan. Tahu-tahu, kaki itu bergerak ke kiri, yang
ditendang menghindar ke kanan, tapi ternyata kaki ter-
sebut segera menghentak dari kiri ke kanan kepala la-
wan.
"Plook...!"
Lawan limbung, hampir jatuh ke kanan, tetapi segera
di sambut oleh satu lompatan kaki kiri, dan kaki itu
sendiri langsung menyongsong kepala yang hendak ru-
buh ke kanan.
"Proook...!"
"Ooouuuh...!" Sekali lagi kaki Raden Klowor bergerak
dari depan dadanya lurus ke depan jauh. "Ngekk...!"
Leher jadi sasaran, sehingga orang berbaju hijau itu
mendelik seperti menelan sendok atau centong nasi.
Dan, akhirnya pukulan telak berkekuatan tinggi me-
nyempurnakan serangan Raden Klowor. Dada lawan di-
hantam kuat-kuat hingga baju hijaunya mengeluarkan
asap Terbakar. Dan, tentu saja orang tersebut segera
terkulai sambil mendelik, kemudian rubuh tanpa dis-
uruh.
Melihat kecepatan gerakan dan ketangkasan Raden
Klowor, Bayan Putung segera menggunakan jurus sim-
panannya. Ia merenggangkan kaki, menyilangkan ke-
dua tangannya di wajah, kemudian badannya gemeta-
ran sebentar, dan... dari ujung tiap jarinya muncul ku-
ku-kuku panjang yang tajam. Seperti pisau yang habis
diasah.
"Hooaaaaooww...!" Bayan Putung menggeram. Kuku-
kukunya mulai bergerak perlahan, membentang ke ka-
nan kiri dan siap menyabet ke depan. Tetapi, kakinya
dulu yang bergerak menendang Klowor. Oleh Klowor
kaki itu dihindari, namun ia berputar ketika melompat
dengan kibasan keras menampar dagu.
Bayan Putung terlempar kepalanya membentur batu
dengan keras. Darah mengalir, namun ia tidak mati. Ia
justru melakukan gerakan aneh. Tangannya terbuka le-
bar, kemudian kedua tangan itu menepuk tanah tiga
kali. "Buk, buk, buk...!" Tepukan yang ketiga, tangan
masih tetap menempel pada tanah. Bergetar kuat. Lalu,
tanah tempat kedua telapak tangannya menempel itu
menjadi merah bagai membara. Klowor tidak bergerak,
karena terkesima memandang keanehan ilmu tersebut.
Tak lama kemudian, sesuatu yang amat ajaib terjadi
mencengangkan Klowor maupun Lanangseta dari per-
sembunyiannya. Sebab tak berapa jauh dari belakang
Bayan Putung, tanah di sana menjadi merekah. Bumi
bergetar bagai ada gunung yang hendak meletus. Geta-
rannya makin lama semakin kuat dan sangat mengeri-
kan.
Setelah itu disusul dengan kemunculan sosok ma-
nusia bertubuh tinggi, besar, menyerupai sebuah pohon
dengan kulitnya yang berlumut dan bersisik. Manusia
itu lengkap seperti halnya manusia biasa, hanya be-
danya, tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi. Raksasa
dalam ujud manusia biasa. Tidak ada keanehan lain
pada dirinya kecuali pada kulit dan keadaan tubuhnya.
Setelah kemunculan manusia berlendir, muncul lagi
empat manusia biasa yang juga berada dari tanah yang
retak dan membentuk semacam jurang. Empat manusia
bertampang kaku, dingin dan angker itu maju di depan
kanan kiri manusia raksasa berlendir.
Lanangseta mulai berdiri dari tempat persembu-
nyiannya.
"O, ini ujudnya Barong Dewa....?! Pasti dia, si raksa-
sa itulah yang suka memakan bayi dari dalam kandun-
gan!"
"Grrrr...!" Barong Dewa mengerang dengan menye-
ringai. Giginya tampak besar-besar, menyerupai kam-
pak kayu yang tajam-tajam. Ia bersuara gemuruh, se-
perti guruh.
"Maju, seraaaaaang...!"
Keempat orang itu segera sama-sama melompat me-
nyerang Raden Klowor. Tetapi, Klowor lari menjauh, ka-
rena ada rasa takut menghadapi raksasa berlendir itu.
"Gunakan Cambuk Naga...!" teriak Lanangseta kepa-
da Klowor dari tempat persembunyiannya.
"Tar...! Tar...!" Dua kali Cambuk Naga segera melecut
di udara. Lecutan pertama tidak mengenai sasaran, te-
tapi lecutan kedua singgah di punggung Bayan Putung,
sehingga punggung tersebut terpotong menjadi dua ba-
gian tanpa mengenal ampun lagi. Keempat orang penye-
rang lainnya masih berusaha menyerang Raden Klowor.
Mereka mulai mengepung Raden Klowor. Tetapi, dengan
kecepatan luar biasa, Raden Klowor memutarkan Cam-
buk Naga di udara. Bunyi ledakan berulang kali terden-
gar, dan tubuh keempat lawannya yang mengepungnya
itu menjadi berantakan dihajar Cambuk Naga. Tubuh
mereka tak ada yang utuh dalam waktu singkat. Ada
yang kehilangan kepala, ada yang dadanya pecah, ada
yang perutnya terbelah, ada juga yang pundaknya terpi-
sah dari bagian tubuh lainnya, sehingga dalam satu ge-
brakan, Cambuk itu telah menewaskan lawan dengan
mudah.
Lanangseta terbengong dari tempatnya. Ia menggu-
mam:
"Gila...! Sinting sekali bocah itu! Jurus Cambuk Naga
andalan Sekar Pamikat bisa ada padanya? Dikuasai la-
gi! Dari mana ia peroleh jurus-jurus maut Cambuk Na-
ga itu?"
Kali ini, Lanangseta terhenyak ketika semburan api
keluar dari mulut Barong Dewa. Rambutnya yang kempal dan panjang itu mengibas menimbulkan angin be-
sar. Angin itu bagai menambah berkobarnya api yang
disemburkan dari mulut. Nyaris tubuh Raden Klowor
terbakar hangus, jika ia tidak segera berguling-guling ke
tanah menghindari semburan api.
Cambuk Naga dilecutkan dalam keadaan terbaring.
"Taaar...!" Kaki Barong Dewa terkena ujung cambuk,
dan kaki itu pun mulai somplak. Seperti sebongkah ba-
tu yang gompal sebagian besar. Barong Dewa menjerit
dengan keras:
"Hoaaaaahhhh...!"
Tiga buah pohon rubuh seketika itu karena getaran
yang keluar dari mulut Barong Dewa dan hembusan
angin dari teriakannya itu. Sekali lagi, Raden Klowor
hanya melompat ke samping dan berguling-guling lagi
menghindari rubuhan pohon yang nyaris menimpanya.
"Hajar terus kakinya...!" teriak Lanangseta dari tem-
patnya. Ia belum mau bergerak untuk turut campur da-
lam pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang itu.
Kali ini, kaki Barong Dewa melangkah beberapa kali
dan menimbulkan getaran hebat pada permukaan ta-
nah. Suara langkah kakinya pun berdentum-dentum
bagai irama bedug raksasa. Ia mendekati Raden Klowor
dan hendak menginjaknya.
"Gerakkan jurus Cambuk Kelabang Murka...!" teriak
Lanangseta yang sengaja ingin melihat keuletan Raden
Klowor. Ia sadar, bahwa ia belum pernah mengajarkan
jurus itu, tapi ia mencoba, siapa tahu Klowor mengerti
maksudnya.
Eh, ternyata Klowor benar-benar bisa menggunakan
jurus Cambuk Kelabang Murka. Ia mengibas-ngibaskan
cambuknya ke atas, ke udara seperti ia mempermain-
kan tali biasa. Tetapi, dalam setiap kibasan timbul leda-
kan-ledakan yang memancarkan api. Ujung cambuk
mengenai selangkangan Barong Dewa, sehingga sema
kin menjeritlah raksasa berlendir itu. Sebagian paha
dan sekitarnya rusak, gompal dan mengucurkan darah
amiiiiisss... sekali. Lanangseta hampir saja muntah ke-
tika itu. Untung ia sama dengan Klowor; mampu mena-
han diri untuk tidak muntah.
Gerakan Cambuk Kelabang Murka semakin ganas,
disertai dengan bangkitnya Klowor dan melompatnya
tubuh itu. Pada saat tubuh Klowor melompat, cambuk
tersebut masih bergerak seperti bendera tertiup angin.
Namun, ada tenaga inti yang tersalur dan menimbulkan
ledakan maut yang senantiasa mengenai dan melukai
tubuh lawan. Barong Dewa meliuk-liuk hampir jatuh,
karena dadanya gompal terkena jurus Cambuk Kela-
bang Murka. Lalu, dalam keadaan yang kritis itulah,
Klowor menggunakan jurus lain, mengibaskan cam-
buknya dan "Blaaaarr...!" Kepala Barong Dewa hancur
berkeping-keping, lalu rubuh dengan meninggalkan ge-
taran yang cukup mengerikan. Tanah yang dipakai un-
tuk rubuh itu ambles beberapa meter dalamnya.
Klowor berdiri di ujung sebuah batu, nafas terengah-
engah, cambuk masih tergenggam di tangan. Ia meski
ceking namun mampu berdiri dengan tegak dan kekar.
Lanangseta berdecak kagum. Jurus-jurus Sekar Pami-
kat dan jurusnya sendiri diserap habis oleh Raden Klo-
wor. Mungkinkah ia adalah sosok Pendekar Cambuk
Naga yang sebenarnya? Lalu, siapakah dia itu? Anak
manusia? Atau anak setan? Atau... anak raja tidur yang
selalu mendapat ilmu lewat mimpinya? Lantas, bagai-
mana hubungannya dengan Jaka Bego, Dewa Seribu
Mimpi itu?
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar