..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 13 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE PRAHARA RADEN KLOWOR

matjenuh

 

PRAHARA RADEN KLOWOR

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga 

dalam kisah Prahara Raden Klowor 

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0391.50.14



1

Gagang kayu itu dihantamkan ke punggung Raden 

Klowor. Tanpa tanggung-tanggung lagi, Raden Klowor 

memekik kesakitan. Tubuhnya melengkung ke depan 

dan berusaha untuk lari. Tetapi, kedua perempuan mu-

da itu segera mengejarnya. Yang satu berteriak:

"Jangan minggat kau, Mata keranjang...!" Setelah itu 

disusul dengan lompatan bersaltonya yang lincah.

"Wess...!"

"Huug...!"

Raden Klowor memekik lagi. Kali ini pekik yang ter-

tahan, bagai kehabisan nafas. Ia jatuh, kaki gadis itu 

menghentak dengan kuat di punggung Raden Klowor. 

Yang berpakaian serba hijau pupus menerkam Raden 

Klowor, menjambak rambut dan menarik kepala Raden 

Klowor hingga kepala itu mendongak ke atas. Tubuh 

Raden Klowor masih dalam keadaan tengkurap. Ia me-

mejamkan mata kuat-kuat menahan sakit dengan mu-

lut mengerang tertahan.

"Kau patut dihajar karena perbuatanmu, Kadal! Aku 

paling benci jika sedang mandi ada yang mengintipnya!"

"Tunggu... aku... aku tidak mengintip kalian mandi. 

Aku justru...."

"Mulut penipu harus dihajar sampai hancur! Hiih...!"

Yang berpakaian serba merah muda menendang wa-

jah Raden Klowor dengan keras.

"Aaaooww...!" teriak Raden Klowor. Mulutnya berda-

rah, karena robek pada bagian kedua bibirnya.

"Setan belang, kau...! Huuhh...!"

"Aaooow...! Caciit...!" Raden Klowor berteriak 'sakit' 

dalam keadaan cadel, karena mulutnya kini semakin 

berdarah. Pukulan gagang kayu kipas menghantam mu-

lut dua kali. Gadis yang menjambak rambutnya segera


menghentakkan kepala Raden Klowor ke tanah.

"Mampus kau...!"

"Buug... buug... buug...!"

Tiga kali wajah Raden Klowor bagai dibentur-

benturkan ke tanah. Tiga kali pula ia berteriak menga-

duh-aduh.

"Wadoow...! Waadoow... waadoww...!"

"Hiii...!"

"Ngeekh...!"

Raden Klowor mendelik karena pinggang belakang 

diinjak kuat-kuat oleh gadis berpakaian serba merah 

muda. Kemudian Raden Klowor dibiarkan melintir dan 

menggeliat kesakitan sambil mengerang bagai ingin me-

nangis.

"Sekali lagi kau mengintip kami mandi, ku colok ke-

dua biji matamu, tahu?!"

"Ampuuun...! Aku... aku memang tidak mengintip 

kalian mandi. Tidak...!"

"Lantas, mengapa kau berada di tepian sendang, 

tempat kami mandi? Kenapa kau berada di semak-

semak itu?"

"Aku... aku sedang mencari telur...."

"Huuh...! Alasan saja!"

"Plaak...!"

Yang berpakaian hijau pupus menampar memakai 

kaki, seraya berkata:

"Telurmu yang kau cari...?!"

"Aduuh...! Sumpah...! Sumpah, aku memang sedang 

mencari telur burung gemak (puyuh). Bukan mengintip 

kalian!"

"Hemm...! Mulut pemuda jalang seperti dia mana bi-

sa dipercaya, Aweni!" kata gadis berbaju merah muda.

"Seumur hidup aku tak pernah bisa percaya dengan 

pemuda mata keranjang, Sayung. Sungguh!"

Kedua gadis itu berbicara saling mengecam Raden


Klowor. Tetapi, diam-diam Raden Klowor sempat berpi-

kir:

"O, yang berpakaian serba hijau itu bernama Aweni,

dan yang merah bernama Sayung...."

"Sudah, mari kita tinggalkan pemuda sinting ini!" ka-

ta Aweni seraya melangkah sambil menyampar tangan 

Raden Klowor yang bertumpu di tanah. Tentu saja hal 

itu membuat Raden Klowor yang hendak berdiri jadi ter-

jatuh lagi. Sedangkan Sayung masih sempat memukul-

kan kayu gagang kipasnya ke kepala Raden Klowor.

"Pletak...!"

Setelah itu melangkah, mengikuti Aweni.

Sebenarnya dongkol sekali hati Raden Klowor. Ia be-

nar-benar geregetan terhadap kedua gadis itu. Ingin ra-

sanya ia menggempur habis kedua tengkorak kepala 

gadis itu, tetapi hal tersebut tak dapat dilakukan. Ia ha-

rus sabar, dan tabah. Ia harus rela membiarkan kedua 

gadis itu pergi begitu saja, tanpa harus menanggung 

dosa. Kalau saja Raden Klowor mau, bisa saja saat ini ia 

melemparkan dua batu dan pasti mengenai kedua kepa-

la gadis itu. Namun, tetap saja ia bertahan diri untuk 

berbuat demikian. Ia menghela nafas, mengatur jalan-

nya nafas dengan teratur. Itu dilakukan sebagai pena-

han kemarahannya.

Terbersit pikiran untuk membalas kekonyolan dua 

gadis itu. Dan lagi-lagi Raden Klowor harus membuang 

perasaan tersebut. Ia harus tenang dan sabar.

Sambil mengusap-usap bibirnya yang robek dan ber-

darah, Raden Klowor meninggalkan tempat tersebut. Ia 

menganggap sendang berair bening itu adalah sendang 

sial. Karena, gara-gara sendang itulah ia jadi dituduh 

mengintip perawan mandi, dan dihajar babak belur be-

gitu. Ah, kasihan juga Raden Klowor itu. Perutnya lapar. 

Ingin mendapatkan telur burung gemak, sejenis burung 

puyuh. Tetapi, yang diperoleh hanya pukulan dan sik


saan dari dua orang gadis cantik.

"Hiih...!"

Sayang ia tidak punya waktu untuk membalas. Coba 

kalau ia bebas membalas, pasti sudah jadi tape kedua 

gadis itu.

Sambil melangkah menuju sebuah desa yang tak 

jauh dari tepian hutan itu, Raden Klowor masih meng-

geram-geram. Apabila ia ingat nasibnya, dan sadar akan 

sesuatu yang sedang dilakukan, maka geraman itu pun 

segera diredakan. Tapi, sesekali memang muncul ke-

jengkelan yang membuat Raden Klowor terpaksa meng-

hela nafas berulang-ulang untuk menahan diri.

"Pak...." kata Raden Klowor kepada seorang penjual 

enau. "Boleh saya minta sedikit minumannya? Saya 

haus...!"

Penjual air enau itu menjawab dengan sinis:

"Barang daganganku bukan untuk dibagi-bagikan, 

tahu? Air enau ini dijual! Enak saja mau minta! Beli...!"

Raden Klowor menampakkan kesedihannya. Tenggo-

rokan dipegang-pegang seraya berkata:

"Haus sekali. Sedikit sajalah...."

"Tidak! Kalau mau minum harus punya duit untuk 

membeli air enauku. Kalau miskin, yah... minum saja 

air comberan."

Duh, sakit sekali hati Raden Klowor mendengar kata-

kata itu. Ingin rasanya ia menampar mulut penjual 

enau. Tetapi, niat itu ditahannya kuat-kuat. Berusaha 

dihapus dari dalam hatinya dengan menghela nafas dan 

mengatur hembusannya. Untung ada seorang penjual 

kue serabi yang baru saja buka. Air untuk cuci tangan 

masih bersih, dan Raden Klowor diizinkan meminum air 

ember itu beberapa teguk. Kemudian ia melangkah lagi, 

mencari desa yang bernama Desa Punding. Ia diperin-

tahkan oleh Lanangseta untuk menemui Paman Ludiro, 

yang telah hidup sebagai petani biasa, dan meninggal


kan dunia kependekarannya.

Sebab, seperti telah dikisahkan dalam cerita Utusan 

Lembah Kubur, bahwa Raden Klowor mengangkat di-

rinya sebagai murid Lanangseta. Mulanya, Lanangseta 

tidak mau menerima murid. Tetapi, jurus-jurus kepu-

nyaan Lanangseta bisa tercuri oleh Raden Klowor mela-

lui mimpi-mimpinya yang ajaib. Dan, ketika Raden Klo-

wor terbukti mampu memainkan Cambuk Naga untuk 

mengalahkan raksasa Barong Dewa, Lanangseta menja-

di bertanya-tanya dalam hati: "Mungkinkah Cambuk 

Naga memang harus menjadi senjata pusaka milik Ra-

den Klowor?"

Tujuan Raden Klowor berkenaan dengan mimpinya 

pada suatu malam. Ia bermimpi bertemu dengan Putri 

Ayu Sekar Pamikat, pemilik Cambuk Naga sebenarnya. 

Raden Klowor mengaku diperintahkan memohon doa 

restu kepada bekas pemilik Cambuk Naga setelah Sekar 

Pamikat, dan bekas pemilik itu tak lain adalah: Paman 

Ludiro, seorang abdi setia Sekar Pamikat dan Lanangse-

ta sampai batas Lanang menikah dengan Putri Bukit 

Badai, yakni: Kirana.

Itulah sebabnya, Lanang menyuruh Raden Klowor 

menemui Ludiro di Desa Punding. Sekalipun sebenar-

nya Lanang sendiri heran, dan sangsi: Benarkah Raden 

Klowor bertemu dengan Sekar Pamikat di alam mim-

pinya? Tetapi, karena rasa gembira Lanang atas kelahi-

ran anak pertamanya itu, maka ia tak mau banyak pi-

kir. Ia hanya menyebutkan nama Desa Punding, dan 

menyuruh Raden Klowor menemui orang yang bernama 

Ludiro. Raden Klowor sendiri tanpa menunggu perintah 

kedua, ia langsung berangkat dengan satu catatan yang 

ia terima dari Sekar Pamikat lewat mimpinya juga. Ca-

tatan yang diingat itu ialah: sabar.

Rupanya, tak mudah menemui Paman Ludiro, seka-

lipun orang separoh baya itu sudah menjadi rakyat jelata, dan meninggalkan dunia persilatannya. Tetapi, nya-

tanya ada-ada saja kendala dan cobaan selama dalam 

perjalanan. Digebuk dua gadis hingga babak belur, di-

hina penjual air enau, dan kali ini malah ada peristiwa 

yang membuat Raden Klowor harus menahan diri kuat-

kuat, menahan kemarahannya dan mengalah terlalu le-

lah.

Dua orang lelaki berkumis menghadangnya. Badan 

mereka tegap dan kekar. Masing-masing mengenakan 

rompi hitam dan celana biru. Sama warnanya dengan 

celana dan baju Klowor: Biru tua! Mereka sama-sama 

mengenakan ikat kepala dari kain batik. Sebilah golok 

terselip di masing-masing pinggang kedua lelaki ber-

tampang seram itu. Bedanya, yang satu mengenakan 

gelang bahar, yang satu tidak. Yang mengenakan gelang 

bahar adalah orang yang pertama kali membentak Ra-

den Klowor.

"Berhenti!"

Itu yang membuat Raden Klowor berhenti melang-

kah.

"Ada yang perlu saya bantu, Paman?" sapa Raden 

Klowor dengan berusaha untuk bersikap ramah.

"Jangan berlagak sopan di hadapanku, ya? Apa kau 

belum kenal aku? Brogol; pembeset maling?!" Orang 

bergelang akar bahar itu menepuk dada. Raden Klowor 

yang masih merasakan sakit karena bibirnya pecah, 

menyeringai menahan sakit. Tapi, Brogol menyangka 

Raden Klowor nyengir dalam penghinaan.

Dicengkeramnya baju Raden Klowor, lalu ditampar-

nya wajah bloon itu dengan kasar.

"Bangsat! Kau menyepelekan aku, ya?!" geram Bro-

gol.

"Buk... bukan...! Bukan menyepelekan, Paman!"

"Lalu, apa maksudmu kau nyengir kuda di depanku, 

hah?!"


"Sa... saya menahan sakit, Paman. Sakit... ini yang 

sakit." Raden Klowor menunjuk mulutnya sendiri.

"Mulut busuk, huuh...!"

"Plok!"

Tangan berjari besar itu menampar wajah Raden 

Klowor, seakan semua telapak tangan cukup menutup 

seluruh wajah Klowor. Tentu saja Klowor mengaduh dan 

terjengkang ke belakang, lalu jatuh di tanah dalam po-

sisi terduduk.

"Hei...!" sapa lelaki yang satunya dengan mata men-

delik. "Sebaiknya serahkan saja pusaka itu! Kau tak 

akan bisa selamat dengan menyembunyikan pusaka 

tersebut."

"Pusaka apa, Paman?" Raden Klowor kebingungan.

"Gibas saja dia, Sumolo...!" kata Brogol kepada te-

mannya yang bernama Sumolo.

"Mengaku saja sebelum kau kuserahkan ke Pade-

mangan!"

Sambil berkata begitu, kaki kanan Sumolo yang jem-

polnya sebesar buah duku itu menendang dada Raden 

Klowor. Tapi, secara reflek tangan kanan Raden Klowor 

bergerak ke depan dada; menangkis tendangan itu.

"Eh, melawan kamu, ya?!" Sumolo semakin geram 

akibat tendangannya ditangkis. Kemudian, dengan ka-

sar ia menampar kepala Raden Klowor.

"Plok...!"

"Aaaaoow.... Ampun...!" Raden Klowor terpelanting ke 

samping dan nyaris tersungkur.

Brogol mencengkeram baju Raden Klowor dari bela-

kang dan mengangkatnya ke atas.

"Lebih baik menyerahkan pusaka itu, daripada mati 

dalam penyiksaan!"

"Saya... saya tidak tahu soal pusaka! Hemm... me-

mangnya, pusaka apa yang dicari...?!"

"Berlagak tolol lagi. Huuh...!"


"Plook...!"

Sekali lagi tamparan keras membuat bibir itu berda-

rah kembali. Uuh sakitnya sampai ke ubun-ubun.

Ada beberapa orang yang memperhatikan penangka-

pan itu. Mereka saling berbisik di kejauhan.

"Ada maling tertangkap...! Itu dia malingnya! Katanya 

dia maling pusaka...! O, itu yang dicari-cari Ki Demang? 

Masih muda kok jadi maling, ya? Kenapa tidak jadi Lu-

rah saja, ya? Kasihan dia... maling sekali saja tertang-

kap, apalagi kalau maling kedua kali...! Mati, mungkin! 

Wah, dia dipukul tidak melawan...? Tentu saja, dia mal-

ing tanpa modal...."

Dan, banyak lagi celetak-celetuk, bisik-bisik mereka. 

Sementara itu, Raden Klowor berusaha meronta dari 

cengkeraman Brogol. Tetapi, ia tak berhasil. Bahkan pe-

rutnya menjadi mual karena dihantam berulangkali 

dengan tangan Sumolo yang jarinya bagai sebesar pi-

sang ambon.

"Saya bukan maling... bukan maling...! Saya bukan 

maling, dan maling bukan saya...!"

Raden Klowor menjerit kesakitan ketika tulang ke-

ringnya ada yang melempar dengan batu dari jarak 

jauh. Lecet, lalu berdarah.

"Serahkan pusaka itu, atau kau mati di sini?!" Brogol 

menjambak rambut Raden Klowor dari belakang, dan 

mendongakkan kepala itu. Seringai Raden Klowor ber-

samaan dengan kedua mata yang menahan sakit den-

gan memejam kuat-kuat.

"Bukan saya...! Bukan saya malingnya!"

"Putri Demang tak akan rabun matanya. Ia menye-

butkan dengan jelas ciri-cirimu, Bangsat! Dan, ternyata 

memang benar semua ciri-ciri itu ada padamu. Mau 

menyangkal apa lagi kau, hah! Hihh...!"

"Addoww...!" Klowor memekik lagi karena dagunya 

dihantam tangan kiri Sumolo.


"Sumpah... saya tidak mencuri apa-apa. Itu semua 

fitnah. Pasti itu keterangan palsu, wadoow...!"

Sekali lagi ia menjerit, karena ada yang melemparkan 

batu dari jarak jauh, dan mengenai tulang kakinya. 

Yang tadi kena! Wah, sudah tentu itu sakit sekali. Pan-

dai juga orang yang melemparkan batu itu. Tepat dan 

jitu!

"Brogol, seret saja dia dan hadapkan ke Ki Demang!" 

kata Sumolo. Tetapi, Raden Klowor hendak meronta dan 

berkata:

"Tidak mau...! Aku bukan pencuri... aku bukan...."

"Wadaaoow...!"

Kali ini yang menjerit Sumolo. Matanya jadi terbela-

lak dan garang. Rupanya ada penonton yang hendak 

melemparkan batu lagi ke kaki Raden Klowor, tetapi 

meleset mengenai lutut Sumolo. Sudah tentu Sumolo 

pringas-pringis sambil melotot garang, mencari pelem-

parnya dari arah samping.

"Bangsat mana yang berani melemparkan batu ke lu-

tutku, hah?!"

"Sudah, sudah...!" kata Brogol. "Jangan perpanjang 

soal itu. Ayo, lekas bawa anak ini ke hadapan Ki De-

mang...!"

Karena Raden Klowor meronta terus, akhirnya kedua 

kakinya diikat, dan kedua tangannya dipegang oleh 

Brogol dan Sumolo, kemudian diseret begitu saja, seper-

ti mereka menyeret batang pisang busuk.

Sekali lagi, Raden Klowor bagaikan sedang menangis 

di dalam hatinya. Kedongkolan menyesak di dalam dada 

dan ingin meledak saja rasanya. Ia tak mau membalas 

pukulan dan siksaan Sumolo dan Brogol. Padahal ia bi-

sa. Bisa melawan dan pasti bisa menang, karena ada 

banyak ilmu dari Lanangseta yang telah berhasil dis-

erapnya dan dikuasainya. Apalagi kalau saja saat itu 

cambuk pusaka itu ada di tangan Klowor, huuuh... bisa


jadi berkeping-keping kedua orang bertampang sangar 

itu. Sayang sekali dalam perjalanan tersebut, Raden 

Klowor tidak diizinkan membawa Cambuk Naga oleh 

Lanang, karena suatu alasan. Akibatnya, Klowor tak bi-

sa banyak berbuat walau menerima siksaan sesakit apa 

pun. Bahkan ketika ia dilemparkan begitu saja di depan 

seorang lelaki beruban tipis yang dipanggil sebagai De-

mang Gangsir, Raden Klowor hanya bisa mengaduh-

aduh dan mengerang-ngerang kesakitan. Ia buru-buru 

membuka ikatan pada kakinya, namun beberapa orang, 

termasuk Sumolo dan Brogol segera mengepungnya. 

Raden Klowor tak bisa lari ke mana-mana.

"Mana pusaka itu, Jahanam?!"

"Pusaka apa, Pak...?!" seru Klowor dengan warna ke-

jengkelannya terlihat. Ia buru-buru mengurangi teka-

nan suara, agar tak terpancing kemarahannya:

"Jangan berlagak gila di sini, kau?! Mana pusakaku 

itu?!"

"S... saya tidak mencuri... mencuri apa pun dari si-

ni!"

"Harus disiksa dulu dia, baru akan mengaku...!" kata 

Ki Demang Gangsir kepada Sumolo. Kemudian, Sumolo 

memerintahkan kepada salah seorang yang berdiri di 

belakangnya tanpa mengenakan baju San berkepala bo-

tak:

"Lugut...! Cambuk dia di kamar penyiksaan...!"

Lugut, orang tanpa rambut di kepalanya itu segera 

meremas salah satu kaki Raden Klowor dan menyeret-

nya dengan kasar. Raden Klowor hanya bisa berteriak-

teriak dan mencoba bertahan. Tapi, tak berhasil. Ia di-

ikat di antara dua tiang berjarak satu langkah. Kakinya 

direnggangkan dan diikat, tangannya direntangkan dan 

diikat pula. Sebelumnya, baju yang dikenakan Raden 

Klowor telah dibuka, sehingga ketika sebuah cambuk 

pendek terbuat dari serat kulit berduri menghantam


pinggangnya, ia menjerit kesakitan. Matanya mendelik, 

kemudian terpejam kuat-kuat. Pinggang itu luka ter-

gores duri cambuk.

"Kau memilih cambuk itu atau pusaka itu?" tanya 

Sumolo dengan sinis. Kebengisannya terasa ingin dilu-

dahi Klowor, namun perasaan semacam itu juga buru-

buru dihilangkan dari hati Raden Klowor.

"Saya... saya tidak memilih keduanya...! Saya punya 

pusaka sendiri yang lebih... lebih ampuh dari segala pu-

saka!"

"Taarr...!"

"Aoow...!" pekik Klowor ketika cambuk dikibaskan la-

gi dan merobek dadanya.

"Kalau kau keras kepala, maka kau akan mati den-

gan kepala menjadi empuk dan bonyok, tahu?!" ancam 

Sumolo ketika Ki Demang Gangsir datang ke kamar pe-

nyiksaan itu.

"Aku... aku tidak bersalah!"

"Mencuri pusaka milik orang lain kok tidak bersalah? 

Hah, dalil dari mana itu?!"

"Sungguh, Mas... aku tidak mencuri pusaka itu. 

Mungkin ada yang salah lihat...!"

"Tarr...!"

Lugut mencambuk lagi setelah diberi kode oleh Su-

molo dengan anggukan kepala. Kini, perut Klowor ber-

darah. Robek beberapa garis. Warna biru memar ada di 

mana-mana, termasuk di sekujur wajahnya.

"Ampuuuun... jangan siksa akuu...!"

"Kalau kau serahkan pusaka itu, kami akan mele-

paskan kamu sebagai manusia biasa. Bukan maling!" 

kata Demang Gangsir dengan muka kaku dan geram.

"Pusaka apa yang harus kuserahkan...?! Aku tidak 

tahu, kau kehilangan apa, Peot!"

"Jahanam dia...!"

"Taar.... Taar...!"


Dua kali cambukan membuat Raden Klowor menje-

rit-jerit. Dua goresan berdarah membekas di ketiak dan 

pundak Klowor. Ia pun buru-buru menahan diri lagi, 

jangan sampai mengeluarkan kata-kata makian atau 

kata-kata umpatan kotor.

Kalau mengumpat pun ia tahan, sudah tentu mem-

balas pun ia hindari. Sebisa mungkin Raden Klowor 

bertahan, dan bertahan terus. Mengapa harus berta-

han? Mengapa tidak menyerang mereka, toh dia bisa. 

Bukankah ilmu orang-orang itu tidak lebih unggul di-

banding ilmu yang dimilikinya dari mimpi?

Tidak. Klowor tidak boleh membalas. Klowor harus 

bertahan dan bersabar. Ini perintah dari alam mim-

pinya; perintah dari Sekar Pamikat, bahwa ia harus me-

lakukan semadi sabar, atau tapa sabar. Tidak boleh 

membalas jika diserang, tidak boleh marah, jika disaki-

ti. Pesan Sekar Pemikat lewat mimpi itu disampaikan 

guna menambah ilmu pada Raden Klowor, yaitu ilmu 

yang selama ini jarang digunakan Ratu Ayu Sekar Pa-

mikat, yaitu jurus Naga Linglung.

Karenanya, sejak kemarin lusa Raden Klowor tidak 

pernah mengungkapkan kemarahannya. Sejak menda-

pat serangan dari Aweni dan Sayung, Raden Klowor ti-

dak pernah memberikan balasan. Juga, saat ini, tidak 

ada gerakan pembalasan dari Raden Klowor. Ia harus 

menerima tuduhan itu, dan menyanggah dengan kata-

kata, bukan dengan gerakan mematikan.

"Saras...!" panggil Ki Demang, dan dari pintu mun-

cullah seorang gadis berkebaya putih dan mengenakan 

kain kuning tipis. Wajahnya cantik, rambutnya dikuncir 

dua, tubuhnya cukup menggiurkan dengan pinggul le-

bar dan dada sekal.

"Benarkah pemuda ini yang kau lihat melompat dari 

jendela kamarku...?" tanya Ki Demang kepada anak ga-

disnya yang bernama Saras. Tapi, setelah menatapinya


beberapa saat. Saras menjawab dengan pasti:

"Oouw... bukan, Rama! Bukan pemuda ini. Ia me-

mang kurus, seperti tubuh pencuri itu. Tinggi badannya 

memang sama, tapi wajahnya lebih ganteng pencuri ter-

sebut. Jadi, bukan dia orangnya, Rama...."

Klowor menggeram, dan memang hanya bisa meng-

geram.

*

* *

2

Panas hati Raden Klowor. Sudah disiksa, disakiti, di-

tuduh maling, eeh... ternyata terbukti tidak bersalah. 

Rasa-rasanya gatal dan gemetar sekali tangan Raden 

Klowor. Ingin segera menghantam Sumolo, Brogol, Lu-

gut atau Demang Gangsir sendiri.

Yah, untung ada Saras.

Mata bulat indah, wajah mirip boneka itu sempat 

membuat Raden Klowor terpana beberapa saat setelah 

dibebaskan. Gadis seusia dengannya itu, sering mem-

perhatikan Raden Klowor dengan tatapan yang lain, tapi 

jelas punya maksud tersendiri. Itulah satu-satunya 

penghibur kemarahan Raden Klowor. Kalau tidak ada 

Saras, wah... sangat berat bagi Raden Klowor untuk 

menahan kemarahannya.

"Maafkan ayahku...." ujar Saras ketika ia menunggui 

Klowor dalam pengobatan seorang pengawal Pademan-

gan yang memang tugasnya mengobati luka.

"Ciri-ciri yang kuberikan kepada mereka tentang 

pencuri pusaka itu, memang mirip denganmu. Tapi, aku 

yakin, ayahku pasti sangat menyesal bertindak secero-

boh ini."


Sekalipun bibir pecah dan perih, meskipun hati pa-

nas dan geram, tetapi Raden Klowor berusaha untuk 

memberikan senyum. Namun, ketika ia meringis, ia ma-

lahan mengaduh, karena bagian lukanya pada bibir jadi 

tertarik. Perih.

"Kurasa tak ada rasa sesal pada diri ayahmu mau-

pun orang-orangnya itu. Buktinya, mereka hanya mele-

paskan aku begitu saja, tanpa ada kata permintaan 

maaf sedikit pun."

Dari sipitnya mata yang memar, terlihat sekali ada 

segumpal dendam yang ditahan mati-matian oleh Raden 

Klowor. Geletukan gigi pun tak dapat dielakkan lagi. 

Hanya saja, seringnya Raden Klowor menghela nafas 

dan menahannya sampai beberapa saat itu, dapat dis-

impulkan bahwa dia berusaha mengendalikan diri un-

tuk sabar.

"Ternyata berat sekali menjalankan tapa sabar itu, 

ya?" pikirnya seraya ia membiarkan seorang lelaki se-

tengah tua mengobati luka cambuk pada dadanya. Sa-

ras masih berdiri di belakang orang itu dan berbicara 

dengan hati-hati:

"Mungkin semua itu karena kepanikan ayahku, atas 

hilangnya pusaka kami."

Setelah menggumam dalam kecemberutan, Raden 

Klowor memberanikan diri bertanya:

"Pusaka apa itu sebenarnya? Ujudnya seperti apa?"

Diam sebentar, lalu Saras menjawab:

"Selendang Tirta Dewi."

Raden Klowor mengeja pelan, "Selendang.... Tirta.... 

Dewi...?"

"Seperti kau ketahui sendiri, daerah di sebelah Sela-

tan Gunung Sawi, adalah daerah tandus, termasuk Pa-

demangan kami ini, pedesaan-pedesaan lainnya, serta 

beberapa tanah tak berhuni. Semuanya dalam keadaan 

tandus. Tapi kau tahu sendiri juga, bahwa Pademangan


Kumilir ini bisa menjadi daerah yang subur dan banyak 

air. Ini karena kesaktian dari pusaka Selendang Tirta 

Dewi...."

"O, begitu ya?" Raden Klowor manggut-manggut.

"Apabila Selendang Tirta Dewi dikibaskan, dia akan 

mendatangkan hujan, atau memancarkan air dari le-

reng bebatuan cadas di bagian atas sana. Dan air itulah 

yang akan mengalir, mengairi persawahan kami."

".... kalau begitu...." kata Raden Klowor. "Berarti pen-

curi pusaka itu adalah berasal dari tempat yang tan-

dus!"

"Itu sudah pasti. Kami tahu. Tapi, kami tidak tahu,

dari daerah mana dia. Daerah tandus yang mana?"

Raden Klowor tersenyum dalam gumam. Katanya:

"Sayang aku ada urusan lain. Kalau saja aku sudah 

bisa menyelesaikan urusanku, mungkin aku bisa mem-

bantumu mencari pusaka tersebut." Klowor melirik Sa-

ras, oh... ada rona kecewa di sudut mata Saras. Kenapa, 

ya?

Hari sudah mulai remang ketika Raden Klowor ke-

luar dari Pademangan Kumilir. Masih ada sisa perih di 

sekujur badannya, tapi ia berusaha untuk tidak mera-

sakan. Masih ada sisa sakit di hatinya, tapi ia berusaha 

untuk melupakan. Yang ada dalam benaknya adalah 

Desa Punding dan nama Ludiro yang harus dituju. Se-

dangkan Demang Gangsir, Brogol, Sumolo dan yang 

lainnya menjadi lenyap begitu saja, seolah tak pernah 

terjadi bentrokan dengan mereka. Sebab, orang-orang 

Pademangan itu pun menganggap sepi, seakan mereka 

tidak pernah berbuat salah kepada Raden Klowor. Ini 

sebenarnya menjengkelkan sekali, tapi semadi laku sa-

bar yang sedang dijalani Raden Klowor, memaksa Raden 

Klowor untuk tidak bersakit hati dengan masalah itu.

Begitu menuruni bukit yang tidak bisa dibilang ting-

gi, Raden Klowor berhenti melangkah. Terhenyak se


saat. Matanya terbelalak dengan dahi berkerut. Ada 

seorang perempuan yang berlari-lari meminta tolong. 

Perempuan itu amat ketakutan. Di belakangnya ada 

seorang lelaki brewok yang agaknya amat bernafsu ke-

pada perempuan itu.

"Sumini...! Sumini, berhenti kau! Jangan lari...!" te-

riakan lelaki brewok yang masih berusia muda itu ter-

dengar jelas didengar Raden Klowor.

"Tolooong...! Tolong aku.... Ooh, tolonglah aku...!" 

Sumini meratap dan bersembunyi di balik badan Raden 

Klowor. Perempuan muda yang pakaiannya sudah ro-

bek beberapa tempat itu meratap-ratap memohon perto-

longan dari Raden Klowor. Padahal, Raden Klowor sen-

diri masih bingung dan clingak-clinguk dengan sedikit 

panik.

"Tolonglah aku...! O, aku... aku hendak diperkosa le-

laki itu...! Tolonglah, lindungilah aku dari kerakusan 

Mito. Tolonglah jangan diam saja...!"

Sumini memeluk kaki Raden Klowor, bahkan meng-

goyang-goyangkan dengan ratapan dan tangis. Raden 

Klowor semakin salah tingkah, sebab baju Sumini su-

dah tak dapat dikatakan sebagai alat penutup dada lagi. 

Ngablak! Kelihatan jelas kemulusan dagingnya yang cu-

kup padat dan menonjol itu. Dan, pemandangan terse-

but membuat Raden Klowor menelan ludah sendiri.

Mito, lelaki brewokan yang tidak lagi mengenakan 

baju kecuali celana merah itu, segera berhenti tak jauh 

dari Raden Klowor. Matanya yang jalang itu memerah, 

nafasnya terengah-engah.

"Hei, mau jadi pahlawan kesorean, ya?! Ayo, ming-

gir!" hardik Mito dengan bertolak pinggang. Raden Klo-

wor berusaha menampilkan senyum ramah, sekalipun 

ia sendiri sebenarnya ingin menghajar lelaki itu.

"Sabar, Kang. Sabar...!" Raden Klowor menampakkan 

kesabarannya, sesuai dengan semadi yang sedang dila


kukannya. Semadi Sabar!

"Sum...! Ayo, pulang...!"

"Tidak mau! Tidak mau...!" Sumini bergelayutan di 

kaki Raden Klowor yang punya tampang masih lebih 

ganteng ketimbang Mito. "Carilah perempuan lain yang 

bisa melayani nafsumu! Aku tidak mau menjadi budak 

birahimu, Mito!"

"Hei, sebagai istri kau tidak pantas bicara begitu, 

Sum!"

"Aku bukan istrimu! Enak saja kau bicara! Aku be-

lum pernah punya suami siapa pun, dan tidak men-

ganggapmu sebagai kekasih! Aku dan kamu kan hanya 

berteman! Tapi, kamu jangan rakus begitu!"

"Kurang ajar kau, Sum! Tega-teganya mengaku begi-

tu di depan seorang pemuda yang kau anggap lebih 

tampan dari aku?! Tega-teganya kau, hah?!"

Tangan Mito berusaha meraih Sumini, tetapi Raden 

Klowor berusaha menghalanginya dengan berkata:

"Nanti dulu, Kang...! Sabar, Kang...! Sebaiknya kita 

bicarakan dengan baik-baik...!"

"Apa-apaan kau ini, hah? Mau merebut istri orang, 

ya? Jahanam, hiiiat...!"

"Ceprot...!"

"Uuuhhhh...!" Raden Klowor menutup mulutnya 

dengan kedua tangan. Oh, bibir yang belum kering dari 

luka sudah mendapat santapan sekali lagi berupa ton-

jokan keras. Tentu saja pekikannya mulai terlontar tan-

da kesakitan. Kesal sekali hatinya, karena lagi-lagi ia 

kena hajar tanpa bisa melawan.

"Kuhancurkan mukamu kalau kau masih mengha-

lang-halangi niatku mengambil istri sendiri, huaaitt...!"

"Huuugh...!"

Mata Klowor mendelik, membungkuk, karena perut-

nya ditendang dengan ujung telapak kaki. Kena pada 

hulu hati. Nafas Klowor tersedak, mampet. Ia meringis


dengan menahan nafas. Sementara itu, Sumini masih 

berlindung di balik tubuh Raden Klowor. Berusaha me-

megangi kaki Raden Klowor agar tubuhnya tidak mudah 

ditarik oleh Mito.

"Setan kau, Mito...! Kejam kau...!" teriak Sumini sete-

lah Mito memukul wajah Raden Klowor dengan kepalan 

tangan kanannya, dan membuat darah mengucur dari 

hidung Raden Klowor. Pada saat itu, sebenarnya Klowor 

sudah hendak memberikan pukulan balasan. Tetapi, ia 

menahan diri. Buru-buru menggenggam tangan kuat-

kuat untuk tidak melakukan serang balik kepada Mito. 

Oooh... perihnya hati orang jika harus bersabar.

"Ampun, Kang...! Ampuuun...!" teriak Raden Klowor 

bagai tanpa daya lagi ketika tangannya dipelintir oleh 

Mito.

"Sudah pantas tanganmu menjadi patah karena kau 

mencoba melindungi Sumini! Dia istriku, dan aku ber-

hak melakukan apa saja! Mengapa kamu melarangnya, 

hah? Mengapa kamu menghalangiku, hah?!"

"Aaaauuuh...!" jerit Mito sama kerasnya dengan jeri-

tan Raden Klowor, Sumini tidak tega, dan dengan bera-

ni, nekad, ia memungut batu dan menghantamkannya 

ke telapak kaki Mito sampai berdarah.

Mata kaki Mito bengkak mendadak, biru. Tapi di ba-

gian dekat mata kaki itu sudah berdarah karena ditum-

buk batu sekuat tenaga. Untuk menghindari perbuatan 

Sumini yang semakin seperti kesetanan itu, Mito me-

nendang wajah Sumini sambil mengaduh-aduh, dan 

berjingkat-jingkat satu kaki, menjauhi Raden Klowor.

"Bangsat kau...! Bangsat, bangsat, bangsaaat...!" Mi-

to berteriak-teriak sendiri sambil memegangi kakinya 

yang kanan. Ia duduk dan meringis-ringis sampai kepa-

lanya terdongak-dongak.

"Pukul dia!" kata Sumini kepada Klowor. "Pukul, le-

kas! Mumpung dia tidak siap...! Ayo, pukul...!"


Raden Klowor hanya diam, masih menyeringai sedikit 

menahan sisa sakit. Matanya hanya menatap Mito yang 

mengaduh-aduh sambil memegangi kakinya.

"Ayo, pukul dia...! Masa' kamu takut?! Oh, tolonglah 

aku, hajarlah dia supaya tidak berani menggangguku 

lagi!"

Dengan sabar Raden Klowor berkata kepada Sumini 

yang telah berdiri di belakangnya:

"Tak baik seorang istri menyuruh orang lain memu-

kul suaminya."

"Dia bukan suamiku! Kau dikelabuhi olehnya! Dia te-

tanggaku, yang sudah sering merusak kegadisan te-

man-temanku, dan kali ini akulah yang akan dijadikan 

sasarannya...!"

Mito berpaling, lalu dengan cepat ia meraih batu dan 

melemparkannya kepada Raden Klowor.

"Mampus saja kau, Bajingan...!"

"Weees...!"

Batu sebesar genggaman tangan dilemparkan. Gera-

kan batu yang cepat nyata-nyata terarah ke mata Raden 

Klowor. Dengan gerakan naluri yang ada, Raden Klowor 

segera miringkan kepala. Menghindar.

"Pletak...!"

"Aaaauuuwww...!"

Sumini berteriak seru. Menjerit. Batu itu lolos dari 

kepala Raden Klowor, tapi mengenai kening Sumini. 

Akibatnya, kening itu berdarah dan Sumini jatuh. Men-

jerit-jerit dengan wajah penuh lumuran darah. Raden 

Klowor panik, mulai naik amarahnya kepada Mito. Ia 

menggeram dan nyaris mencaci maki Mito. Tetapi, ia 

buru-buru sadar, bahwa ia harus menjadi orang sabar 

yang mampu meredakan kemarahan hatinya. Sebab itu, 

ia harus berkata dalam keadaan panik:

"Mito, Sumini berdarah...! Kau yang melukainya! Li-

hat! Lihatlah sendiri...!"


Sumini menangis meraung-raung. Semakin panik sa-

ja Raden Klowor melihat hal itu. Pikirannya menjadi 

bercabang dan kusut, antara ingin menolong Sumini, 

dan menahan kemarahan kepada Mito. Tetapi, ia pun 

harus memikirkan bagaimana baiknya menghadapi Mi-

to. Ah, kasihan Sumini. Ia orang tanpa daya. Lemah. 

Dikejar-kejar Mito dan diperlakukan dengan seenaknya 

sendiri. Kasihan. Seharusnya Raden Klowor memberi 

pertolongan. Ah, bingung. Kalau saja tidak sedang men-

jalankan semadi sabar, puasa sabar, sudah tentu dari 

tadi mata Mito telah membeliak sekarat karena seran-

gan jurus Raden Klowor.

"Mito, tolong hentikan kekejianmu," kata Raden Klo-

wor. "Kasihan Sumini. Lihatlah sendiri... aku sudah me-

lihatnya, sekarang gantian kau yang melihatnya. Kasi-

han apa tidak kalau dia menjadi berlumur darah begini? 

Dilempar memakai batu itu sakit, Mito. Apalagi sampai 

bocor begini, pasti sakit. Kalau kau tak percaya, cobalah 

kepalamu kau lempar batu sendiri sampai bocor...."

"Sebaiknya kepalamu saja yang kulempar!"

"Eh, jangan! Aku sudah sering kena lempar...! Sudah 

hapal rasanya...! Jangan lempar aku," Raden Klowor 

menggunakan aji kesabaran yang benar-benar diusaha-

kan mati-matian. Dan Sumini masih meraung-raung 

sambil mencaci maki Mito dengan kata-kata kotor.

"Dasar bajingan...! Buaya...! Buaya rakus! Maliing...!"

Mito bergerak terpincang-pincang dengan emosi.

"Perempuan busuk! Kurobek mulutmu!"

"Hei, hei... sabar," kata Klowor. "Jangan asal robek 

saja, kasihan kan? Itu mulut orang, masa' harus diro-

bek. Toh tidak perlu kau robek, mulut itu sudah robek 

sendiri...!" kata-kata kasihan yang mencerminkan kesa-

baran Klowor dibuat berhenti dengan tamparan tangan 

Mito ke mulut Klowor.

Setelah itu, Mito menendang Sumini dengan kasar.


Kepala Sumini tersentak ke belakang, jeritnya makin 

kencang.

"Jangan...! Jangan galak begitu, ah...!" Klowor men-

coba mencegah dengan kesabaran.

"Mampus saja kau, Perempuan laknat...!"

"Aagghh...!"

Sumini tak bisa bernafas, karena perutnya diinjak 

oleh Mito. Raden Klowor serba salah. Ia menggeret tan-

gan Mito dengan menahan kemarahan:

"Sudahlah... dia kan seorang perempuan yang...."

"Babi panggang kau, hiiih...!"

Telapak tangan Mito menghentak ke pipi Klowor, 

maka jatuhlah Raden Klowor terguling-guling. Kepa-

lanya membentur batu dan,

"Aaaoohh...!"

Ia menjerit menggelepar-gelepar. Ia bergegas untuk 

bangun, tapi kepalanya bagai berputar dengan cepat. 

Pandangan matanya sedikit kabur, namun ia masih 

sempat melihat apa yang dilakukan Mito kepada Sumi-

ni. Rupanya itulah sifat kebinatangan Mito yang se-

sungguhnya. Raden Klowor sempat dibuat semakin gu-

gup.

Dengan kasar dan seperti manusia binatang, Mito 

merobek-robek kain yang dikenakan Sumini. Lalu ia be-

rusaha menahan gerakan tangan Sumini yang hendak 

mencakarnya berulang kali itu. Sebuah pukulan dihan-

tamkan ke wajah Sumini yang sudah berlumur darah. 

Sumini akhirnya mengerang bagai orang di ambang ajal. 

Ia lemas, tangisnya memanjang dengan suara serak. 

Sementara itu, Mito melaksanakan niatnya memperkosa 

Sumini dengan lahap.

"Astagaaaa...! Jangan, Mito...! Jangan! Jangan di de-

panku, eh... jangan berbuat seperti itu...! Ya, am-

puuun... benar-benar kelewatan kau, Mito...."

Raden Klowor berusaha untuk melangkah mendekati


Mito, ia ingin melarang Mito dengan cara baik-baik agar 

tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Tetapi, beru-

langkali melangkah, ia selalu jatuh. Melangkah lagi, ja-

tuh lagi. Ia sempoyongan dengan memegangi kepalanya 

yang benjol terbentur batu.

"Mito...! Sadarlah...! Dia perempuan lemah, jangan 

kau paksa dengan.... Auuuh...!" Raden Klowor jatuh 

kembali, dan kali ini betisnya tertusuk duri yang ada 

pada sebuah ranting kering. Ia meringis dan mencabut 

duri itu. Lalu, berusaha untuk bangkit, mendekati Mito. 

Ia akan menarik tubuh Mito, sebab hatinya sangat ka-

sihan melihat Sumini terengah-engah disekap tangis 

yang menyayat hati.

Karena ia bangkit dan jatuh lagi. Akhirnya ia me-

rangkak mendekati Mito yang masih rakus memperla-

kukan Sumini dengan tanpa rasa kemanusiaan lagi. 

Sayangnya, begitu Raden Klowor dekat dengan Mito, 

kaki Mito menyepaknya kuat-kuat dan Raden Klowor 

menggelinding lagi karena tanah di situ masih dalam 

kemiringan tertentu.

"Ya, ampuuun...! Manusia macam apa kau sebenar-

nya, Mito. Baru saja mendekat sudah ditendang lagi," 

kata Raden Klowor semakin kebingungan. Ia sudah 

menggenggam batu. Ia yakin, sekali lempar pasti akan 

mengenai kepala Mito dan bisa membuat Mito kelenger. 

Tetapi, ingat dirinya harus bisa bersikap sabar, sesabar-

sabarnya, maka batu itu pun segera dibuang. Klowor 

lemas. Lunglai dalam keadaan terduduk di tanah. Ma-

tanya memandang sayu pada segala yang dilakukan Mi-

to terhadap Sumini. Sampai-sampai, akhirnya Klowor 

berpaling dan menahan kesedihan sendiri di dalam hati. 

Ia punya kuasa untuk menumpas kebejatan moral se-

perti itu, tapi ia tidak bisa melakukannya untuk saat 

ini.

Sumini tergeletak. Berlumur darah dan kekotoran


aib. Sambil terpincang-pincang, Mito berlalu begitu saja 

setelah puas menikmati madu kebahagiaan yang ada 

pada Sumini. Ia hanya melirik sinis kepada Raden Klo-

wor yang lututnya terasa lemas, kemudian melangkah 

pergi dengan bangga. Ia merasa berdiri sebagai pihak 

yang menang. Raden Klowor tak mau memandangnya, 

sebab jika ia memandang Mito, maka akan timbul ke-

bencian dan kemarahan yang meluap-luap terhadap le-

laki brewok itu.

Hari semakin sore. Remang-remang.

Suara tangis yang merintih lirih masih terdengar 

menyayat hati. Itu pasti suara Sumini. Sumini yang me-

rasa tercampakkan. Ternoda, dan mungkin tidak lagi 

mempunyai hari tuanya lagi. Ia bagai sehelai daun ker-

ing, yang diremas tanpa ada belas kasihan lagi. Ia mera-

tap, dan meratap menembus keheningan sore.

Pelan-pelan, Raden Klowor mendekati dengan hati 

penuh keharuan. Sumini makin menyembunyikan wa-

jah ke samping.

"Maafkan aku...!" ucap Klowor pelan sekali, seakan 

merasa sebagai orang yang bersalah. Sekali lagi ia 

menghela nafas, menggenggam kuat-kuat rambut yang 

ada di sampingnya. Dendam dan kemarahannya terta-

han berat sekali.

"Sebenarnya... aku bisa melakukan! Aku bisa!"

"Kau binatang!" geram Sumini dengan tangis yang 

makin meratap kembali.

"Terima kasih...! Mungkin aku memang binatang di 

matamu, tapi... semua ini kulakukan karena... karena 

ada sesuatu yang membuatku harus tetap diam. Aku 

harus bersabar...!"

"Kau pengecut!"

"Memang, mungkin benar. Aku pengecut. Tapi kura-

sa hanya untuk kali ini saja."

"Kau banci...!"


"Kurasa tidak. Buktinya aku sempat menelan liur ke-

tika Mito melahap mu, dan aku... hanya melahap rum-

put kering. Ah, semua ini... semua ini...." Raden Klowor 

tak sempat lagi merangkai kata. Serba bingung dan ma-

lu pada diri sendiri. Benci pada diri sendiri. Marah pada 

dirinya juga. Lalu, ia menghirup udara panjang-

panjang, dan menyimpannya di dalam dada, sebagai 

penangkal luapan kemarahan pada diri sendiri.

"Hei, mau ke mana kau...?!"

Dengan sempoyongan, Sumini bangkit, lalu berjalan 

ke arah puncak bukit. Memang bukit itu tidak terlalu 

tinggi. Gampang di daki. Tetapi untuk jiwa yang goyah 

dan badan yang penuh luka seperti Sumini, sungguh 

berbahaya jika ia berjalan mendaki. Kalau tergelincir, 

cukup ngeri juga. Paling tidak akan patah tulang.

"Sumini, sekali lagi aku mohon maaf, atas...!"

"Diam di situ! Jangan ikuti aku! Kita memang tidak 

saling mengenal!"

Sumini merasa disepelekan. Kecewa sekali. Hara-

pannya akan tertolong oleh Raden Klowor yang menu-

rutnya sejajar dan seimbang dengan Mito, namun ia ju-

stru dijadikan tontonan belaka. Sakit hati Sumini mele-

bihi ditumbuk dengan alu berduri. Ia benci kepada Mi-

to, namun juga benci kepada Raden Klowor.

"Sumini, apa yang ingin kau lakukan di situ?!"

Sumini tidak banyak bicara. Ia mengisak dalam tan-

gisnya. Ia berdiri di tepi jurang. Paling pucuk dari bukit 

itu. Ia siap melompat ke bawah. Sedangkan di bawah 

sana, terdapat banyak batu yang mampu meremukkan 

kepala manusia yang melompat dari ketinggian bukit.

"Sumini...?!" Raden Klowor tegang dan kebingungan.

"Pergilah. Teruskan perjalananmu, Pengecut...!"

"Aku... aku.... Oh, apa yang ingin kau lakukan?!"

"Mengakhiri hidup. Aku sudah ternoda. Kebanggaan 

ku, mahkota hidupku sebagai gadis desa, hilang sudah.


Hancur! Dan aku ingin menyempurnakan kehancuran 

ini...!" Ia mengisak sedih.

"Jangan, Sumini. Jangan picik. Masih ada hari tanpa 

embun. Masih ada embun tanpa pagi. Buktinya kalau 

kita memasak air, akan mendapat embun di balik tutup 

pancinya."

Sumini tidak mau tahu semua kata-kata Raden Klo-

wor. Ia memandang ke bawah, siap melompat dengan 

jatuh kepala lebih dulu membentur batu.

"Sumini, ingat... kau masih punya setumpuk ke... 

hei, Suminiiii...!"

"Wesss...!"

Sumini terjun ke jurang, kepalanya menukik ke ba-

wah. Raden Klowor berteriak penuh ledakan emosi. 

Dan, ia memejamkan mata ketika tubuh Sumini ter-

hempas bagai pelepah pisang yang dibuang begitu saja 

dari atas bukit.

*

* *

3

Sabar, bukan lagi suatu senjata yang berat dijun-

jung, namun juga merupakan senjata yang sulit digu-

nakan. Dalam masa menjalankan puasa sabar itu, Ra-

den Klowor yang bertubuh kurus mulai menyadari apa 

makna bersabar diri. Bahwa sesungguhnya, musuh ter-

besar manusia bukan dari orang lain, tetapi dari dalam 

dirinya sendiri. Betapa beratnya Raden Klowor melawan 

nafsunya sendiri, meredam kemarahannya sendiri, yang 

terasa lebih mudah menundukkan tokoh sakti dari ma-

na pun. Jangankan melawannya, menghindari gejolak-

nya nafsu amarah, sungguh merupakan pekerjaan yang


berat, barangkali tidak semudah memindahkan gunung 

dari tengah pulau ke tepian laut.

Bukan hanya Sumini saja yang menjadi cambuk ke-

sabaran Raden Klowor, bukan hanya Demang Gangsir 

saja yang menempa pengendalian diri Raden Klowor, 

melainkan banyak lagi peristiwa yang harus dilalui den-

gan segumpal kesabaran. Dari hari ke hari, Raden Klo-

wor hanya mampu menghela nafas atau menahan na-

fas, demi menjaga kebrutalan amarahnya.

Sama halnya ketika ia melewati suatu tanah lapang, 

tempat beberapa anak yang sedang berlatih silat di ba-

wah asuhan seorang guru. Di situ Raden Klowor ber-

henti untuk sekedar beristirahat dari perjalanannya 

yang panjang. Ada sekitar delapan anak usia di bawah 

sepuluh tahun, sedang menirukan jurus-jurus yang di-

ajarkan oleh salah seorang guru berpakaian serba pu-

tih. Raden Klowor menyaksikan latihan itu dengan ter-

senyum senang. Ia merasa menemukan beberapa jurus 

yang indah dipandang mata.

"Cantik sekali jurus-jurus itu. Pantas kalau diajar-

kan kepada anak-anak...!" pikir Raden Klowor sambil 

duduk di bawah sebuah pohon.

Tetapi, senyum kagum dari Raden Klowor itu diarti-

kan lain oleh mereka yang berlatih silat.

"Guru, ada orang menertawakan jurus-jurus kita...!" 

kata salah seorang anak.

Temannya menyahut:

"Wah, pasti dia menyepelekan jurus-jurus yang se-

dang kita latih ini."

Yang satunya menyahut:

"Sombong sekali dia. Ayo, kita coba kekuatannya!"

"Ayooooo...!"

Anak-anak itu berlarian menyerang Raden Klowor. 

Guru mereka yang sudah tua berteriak-teriak sampai 

nafasnya ngos-ngosan. Maksudnya ingin melarang mu


rid-murid kecilnya bertindak gegabah. Tetapi, tak satu 

pun murid yang mau menghiraukan larangan guru.

"Hei, kamu sudah jagoan, ya? Kamu menyangka ju-

rus-jurus kami ini murahan, sehingga pantas diterta-

wakan, ya?!" kata salah seorang kepada Raden Klowor. 

Lantang dan tengil sekali anak itu.

"O, aku tidak menertawakan jurus kalian, tapi...!"

"Alaaah... jangan banyak alasan! Katakan saja kalau 

kamu menghina kami. Hei, teman-teman... mari kita be-

ri pelajaran kepada orang ini, biar kapok!"

"Ayooo...!"

Salah seorang melompat menendang perut Raden 

Klowor. Memang tidak begitu sakit tendangan itu, tapi 

membuat Raden Klowor kebingungan dikeroyok delapan 

anak. Ada yang memukul punggungnya, ada yang me-

nendang kakinya, ada pula yang menggunakan kayu 

untuk memukul tulang kakinya.

"Hei, hei... sabar! Aku tidak menghina kalian, Adik-

adik. Aku justru...!"

"Plook...!"

"Busyet...!"

Ada pukulan yang sempat menghantam pipi Raden 

Klowor. Kalau dilayani, bisa celaka sekali Raden Klowor. 

Dan lagi, tak pantas ia marah kepada anak-anak itu, 

sekalipun kedongkolan hati meletup-letup.

Untuk menghindarinya, hanya ada satu jalan. Lari!

Dengan langkah lebar Raden Klowor berlari cepat, te-

tapi anak-anak justru mengejarnya sambil berteriak:

"Tangkap...! Tangkap...! Maliiing...! Maliiiing...!"

Akibatnya Raden Klowor menjadi pusat perhatian 

masyarakat, bahkan ada yang ikut mengepungnya, ka-

rena ia disangka benar-benar pencuri.

"Bukan. Aku bukan pencuri. Aku bukan maling...!"

"Plak... plok...!"

"Aduh, jangan begitu ah...! Aku bukan maling. Sum


pah. Anak-anak itu yang...."

Anak-anak segera mengeroyok Raden Klowor. Puku-

lan dan tendangan mereka berebutan.

"Plak, plook... beeet...! Bug... buug...! Wess, plak...!"

Hujan pukulan dan tendangan membuat Raden Klo-

wor tersungkur di bawah sebuah pohon. Ia menutupi 

wajahnya dengan kedua lengan yang dirapatkan ke ba-

tang pohon, supaya tidak banyak terkena pukulan.

"Puih...! Cuiih...!"

Eh, pakai diludahi segala. Aduuuh... menyakitkan 

hati sekali. Kalau Raden Klowor mau, dengan sekali ge-

brak, mungkin tiga atau empat anak akan sekarat seke-

tika. Tetapi, sekali lagi, demi kesabaran, Raden Klowor 

hanya mengaduh-aduh dan meminta tolong kepada sia-

pa pun.

"Hei, ada apa ini?!" bentak seorang lelaki bertubuh 

agak pendek dengan kulitnya yang hitam dan rambut 

putih samar-samar. Anak-anak yang mengeroyok Raden 

Klowor berhenti, mundur beberapa langkah kendati sa-

lah seorang anak berkata:

"Dia menghina jurus-jurus yang kami latih, Ki."

Seorang lelaki berpakaian putih, guru mereka, juga 

segera menyusul dan menampar salah seorang anak.

"Plak...!"

"Sekali lagi kau menghasut teman-temanmu untuk 

bertindak bodoh seperti ini, ku hukum sendiri kau 

sampai mampus!"

"Tapi, guru... dia menghina...."

"Dia tidak menghina! Dia mengagumi jurus-jurus ki-

ta!" bentak guru mereka. "Ayo, kembali ke tempat...! 

Kembali ke sana semua! Lekas...!"

Raden Klowor terengah-engah dengan beberapa luka 

memar dan lecet-lecet. Setelah guru anak-anak itu me-

minta maaf, dan Raden Klowor melayaninya dengan se-

nyum ramah di sela kesakitan, maka ia pun ditinggal


kan oleh anak-anak itu. Sementara, seorang lelaki pen-

dek, tapi bukan cebol, berkulit hitam dan uban tipis, 

masih memperhatikan Raden Klowor dengan iba. Di tu-

buh Raden Klowor banyak sekali luka dan bekas me-

mar. Jelas bukan akibat pukulan dari anak-anak, me-

lainkan karena akibat pukulan orang dewasa yang ter-

jadi beberapa hari yang lalu.

"Apakah kau tidak bisa melawan anak-anak itu?" 

tanya lelaki beruban tipis.

"Bisa, Ki...!" jawab Raden Klowor karena tadi men-

dengar anak kecil itu memanggil orang tersebut dengan 

sebutan: Ki.

"Kenapa kau tidak melawan sama sekali? Kenapa 

hanya diam saja...?"

"Saya... saya... uuuh...!" Raden Klowor belum selesai 

menjelaskan, ia sudah menyeringai karena lehernya te-

rasa sakit bila untuk berpaling.

"Kau banyak menyimpan luka," kata lelaki beruban 

tipis. "Kau habis dikeroyok orang, selain anak-anak ta-

di?"

"Ya. Saya habis dikeroyok banyak orang, dari tempat 

yang satu dan tempat yang lain. Beda masalah, beda 

pula pengeroyoknya."

"Hemm... kau pencuri?"

"O, bukan! Sumpah! Saya bukan pencuri. Mereka 

hanya salah paham saja, dan ada pula yang sengaja 

memanfaatkan saya untuk pukul-pukulan, karena me-

reka tahu saya tidak melawan atau membalas mereka."

"Kenapa hal itu kau lakukan?"

"Saya...." Klowor agak malu mengatakannya. "Saya, 

terus terang saja, ya Ki.... Saya ini sedang menjalankan 

tapa, atau semadi."

"Semadi?!" Orang itu berkerut dahi. "Semadi apa? 

Tapa apa?"

"Tapa sabar, Ki. Jadi, selama 40 hari saya harus bisa


menahan kesabaran dari segala sesuatu yang memacu 

di hati saya. Kemarahan, itu yang utama harus dita-

han."

"Hemmm...." Orang beruban tipis itu manggut-

manggut.

"Ayo, mampir ke rumahku. Ada obat untuk luluran 

tubuhmu, biar tidak terlalu merasa kesakitan...!"

Baik sekali orang beruban putih tipis itu. Biar belum 

saling kenal, tetapi sikap ramah dan niat untuk meno-

long sudah ada pada diri orang tersebut. Raden Klowor 

diberi semacam bedak dingin yang dilulurkan pada se-

kujur tubuhnya. Entah ada tujuan lain apa yang ter-

sembunyi dari kebaikannya itu, yang jelas Klowor hanya 

melihat niat baik lelaki berkulit sedikit hitam itu.

"Agaknya, di sini memang tempat pengobatan ya, 

Ki?" tanya Raden Klowor sambil dibalur semacam bedak 

pada kakinya.

"Tempat khusus pengobatan, sebenarnya bukan. 

Aku hanya seorang petani biasa yang hidup sendirian di 

rumah ini. Aku punya pengetahuan pengobatan, dan 

aku kembangkan untuk membantu mereka yang sakit, 

untuk menolong mereka yang tak mampu membayar 

ongkos pergi ke dukun."

"Gratis, Ki?"

"Ya. Gratis. Tidak membayar."

"Enak amat mereka. Apa Aki sendiri tidak membu-

tuhkan uang untuk hidup sehari-harinya?"

"Kebetulan, selama aku banyak memberi pertolongan 

kepada siapa saja, hasil panen sawahku yang hanya se-

petak itu, tak pernah dimakan hama. Mungkin di situ-

lah aku mengenyam hasil kebaikanku. Mungkin itulah 

yang dinamakan panen budi baikku selama ini."

"Jadi, menanam kebaikan itu tidak harus menerima 

upahnya berupa kebaikan dari orang lain, begitu mak-

sudnya, Ki?"


"Ya. Hasil dari kebaikan yang kita lakukan terhadap 

sesama manusia, bahkan sesama mahluk hidup lain-

nya, adalah hidup yang aman dan tentram. Tak akan 

ada rasa kekurangan, karena setiap ada kekurangan ki-

ta akan beranggapan; belum masa panen. Sebentar lagi 

pasti ada masa panen tersendiri untuk kita pribadi."

Enak sekali Raden Klowor dilulur dengan bedak obat 

sambil diajak bicara panjang lebar tentang hidup dan 

kehidupan. Selesai dilulur, Raden Klowor disuguhi mi-

num dan makanan ubi rebus. Kebetulan perut lapar. 

Ubi rebus pun disikat habis oleh Klowor, sampai pemi-

liknya tersenyum geli.

"Maaf, habis, Ki...."

"Tidak apa-apa. Menghabiskan suguhan juga suatu 

kebaikan tersendiri yang jarang disadari manusia."

Kalau saja Raden Klowor tidak harus segera sampai 

ke desa Punding, sudah tentu ia ingin menginap di ru-

mah orang beruban tipis itu. Sayang, sekali, sekarang 

yang bisa dilakukan hanya beristirahat sebentar di ru-

mah yang tak begitu besar, namun cukup rapi.

"O, ya... dari tadi aku belum tahu siapa namamu, 

Nak?"

"Namaku... Raden Klowor, Ki."

"Ooo.... Masih keturunan darah biru, ya?"

"Wah, entah itu, Ki. Yang saya tahu, darahku juga 

merah, seperti orang-orang lainnya," jawab Raden Klo-

wor.

"Maksudku, masih keturunan ningrat?"

"Mungkin juga ya, Ki."

"Lantas, ke mana tujuanmu sebenarnya, Raden Klo-

wor?"

"Saya mau pergi ke Desa Punding."

"Lho, ini Desa Punding."

"Hah...?!" Raden Klowor membelalak. "Jadi, sekarang 

ini aku sudah sampai di Desa Punding, Ki?"




"Iya. Benar! Dan... ada urusan apa kau ke desa ini? 

Maaf, aku bukan ingin turut campur, tapi siapa tahu 

aku bisa membantumu, Raden Klowor."

"Urusan soal cambuk, Ki."

"Cambuk? Ooh... kau pedagang cambuk? Atau... 

pengrajin cambuk untuk dijual?"

"Bukan," jawab Raden Klowor seraya mencomot ubi 

rebus yang sudah kedua kalinya dihidangkan oleh tuan 

rumah.

"Cambukku ini...." kata Klowor. "Bukan cambuk 

sembarangan, melainkan cambuk pusaka."

"Cambuk pusaka?! Wah, hebat juga kau diam-diam, 

punya urusan tentang pusaka, ya? Pusaka milikmu 

sendiri, maksudnya?"

"Hemm... bagaimana, ya? Cambuk itu bisa dikatakan 

milikku, tapi bukan juga milikku. Sebab.... Begini, Ki. 

Aku diberi sebuah cambuk oleh orang sakti, tetapi saat 

ini ada yang harus kulakukan agar cambuk itu benar-

benar resmi jadi milikku."

"Wah, beruntung sekali kau. Cambuk apa na-

manya?"

"Pusaka... Cambuk Naga...." suara Klowor berbisik, 

namun justru mengagetkan orang yang diajak bicara. 

Orang beruban tipis itu menatap Raden Klowor tidak 

berkedip. Sampai lama.

"Kau,., kau main-main, ya?"

"O, tidak, Ki. Aku sungguh-sungguh diberi pusaka 

yang bernama Cambuk Naga, dan...."

"Siapa yang memberimu?"

"Secara langsung, orang perempuan yang bernama 

Putri Ayu Sekar Pamikat yang memberiku. Dan, cam-

buk itu ada di tangan Pendekar Pusar Bumi, Lanangse-

ta...."

Orang beruban tipis itu terbengong tanpa kedip seka-

li pun. Raden Klowor jadi ngeri dipandang demikian.


"Kenapa, Ki? Apakah aku... kurang sopan bica-

ranya?"

"Kau... kau menyebukan Putri Ayu Sekar Pamikat. 

Sebenarnya, siapa dirimu itu?"

Raden Klowor bingung. Ia mengatakan:

"Aku... aku ya, Raden Klowor, seperti yang kukata-

kan tadi. Dan, aku akan diberi hak memegang Cambuk 

Naga, kalau aku sudah memohon doa restu, istilahnya, 

meminta izin kepada pemegang cambuk yang kedua, 

yaitu Paman Ludiro. Dan katanya, Paman Ludiro ada di 

Desa Punding ini."

Lama sekali orang itu bagai terkesima oleh penutu-

ran Raden Klowor. Ia sangat mencurigakan Raden Klo-

wor, dan merasa aneh dipandang demikian.

"Kenapa memandangku begitu, Ki? Ada apa sebe-

narnya?"

"Akulah Ludiro...."

"Hah...?!" Raden Klowor memekik, ubinya yang hen-

dak disuapkan ke mulut terloncat jatuh. Raden Klowor 

membiarkan. Ia masih sibuk beradu tatapan mata den-

gan orang yang mengaku sebagai Ludiro.

"Lanangseta bergelar Malaikat Pedang Sakti. Dialah 

yang berhak merawat cambuk itu. Aku tidak mau me-

nyandang gelar pendekar lagi. Aku sudah hampir tua. 

Usiaku di ambang senja. Aku ingin menjadi petani biasa 

yang tidak sibuk memerangi keangkara-murkaan. 

Hanya pedang Jalak Pati dari Putri Ayu Sekar Pamikat 

yang masih kusimpan sebagai kenang-kenangan. Se-

dangkan Cambuk Naga itu kuserahkan pada Lanang. 

Cambuk itu, mungkin memang harus ada pemegangnya 

yang akan menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga. 

Dan... aku tak tahu, kalau hal itu ada pada dirimu, 

Klowor."

Sangat di luar dugaan perjumpaan itu. Tetapi, amat 

menggembirakan hati Raden Klowor. Rasa-rasanya ia


telah menjadi pemilik tetap cambuk tersebut, tanpa ada 

rasa bersalah kepada siapa pun.

"Paman Ludiro.... Apakah Paman tidak menyangsi-

kan pengakuan saya sedikit pun?"

Ludiro yang beruban tipis itu menggeleng.

"Aku percaya, kau pernah bertemu dengan Putri Ayu 

Sekar Pamikat, yang kini menjadi orang suci di Goa Ma-

laikat."

"Mengapa Paman percaya begitu saja? Mengapa saya 

tidak diselidiki dulu kebenaran pengakuan saya itu?"

"Semadi Sabar yang kau jalankan itu, sudah pasti 

atas perintah Putri Ayu Sekar Pamikat, yang dulu di-

kenal sebagai Dewi Cambuk Naga."

"Ya. Kok Paman bisa tahu kalau perintah Semadi 

Sabar itu turun dari Putri Ayu Sekar Pamikat?"

"Aku adalah pengawal beliau. Aku pernah mendam-

pingi Sekar Pamikat dalam menjalankan Tapa Sabar, 

atau Semadi Sabar. Tetapi... dia gagal. Baru yang kedua 

kalinya berhasil, dan... tahukah kau, mengapa kau ha-

rus melakukan Semadi Sabar?"

"Kalau tidak salah, untuk mendapatkan jurus Naga 

Linglung. Benarkah begitu, Paman?"

"Benar. Kau benar. Dan, jurus itu tidak bisa diberi-

kan begitu saja. Selain harus dijalankan oleh pemegang 

Cambuk Naga. Dan... eh, kau tahu, apa kehebatan ju-

rus Naga Linglung?"

"Belum, Paman? Bahkan saya belum bisa mem-

bayangkan, seperti apa gerakan seekor naga yang se-

dang linglung?"

Ludiro tersenyum tipis, kemudian berkata:

"Naga Linglung, jurus andalan Putri Ayu yang jarang 

digunakan. Jika seseorang sudah berhasil memperoleh 

jurus Naga Linglung, maka ia dapat terbang bersama 

cambuk itu. Ia bisa berdiri di atas cambuk, dan bahkan 

bisa membuat cambuk itu tegak kaku seperti tongkat


dari besi."

"Wow...?! Hebat sekali kesaktian cambuk dan jurus 

itu?"

"Kalau tidak sakti, bukan pendekar namanya! Justru 

kesaktian-kesaktian itulah yang membuat dirimu ber-

hak menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga."

Berbinar-binar mata Raden Klowor membayangkan 

kehebatan cambuk dan gelar itu. Ia amat gembira dan 

menjadi semakin bangga setelah Ludiro berkata:

"Mungkin tak ada pemegang cambuk lainnya yang 

pantas menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga yang 

abadi, selain kamu. Klowor."

"Kenapa Paman sendiri tidak mau menjadi pemegang 

cambuk itu secara abadi?"

"Karena, duniaku sudah penuh dengan darah. Su-

dah banyak nyawa yang tercabut oleh tanganku ketika 

aku menjadi pemegang pusaka Cambuk Naga. Terus te-

rang saja, aku sudah bosan membunuh. Aku ingin hi-

dup tenang, syukur kalau bisa seperti Putri Ayu Sekar 

Pamikat. Kalau tidak bisa, yah... hidup sebagai masya-

rakat kecil pun sudah cukup tenang. Eh, tapi ngomong-

ngomong.... Sejak kapan kau bertemu dengan Putri Ayu 

Sekar Pamikat?"

"Sejak...." Raden Klowor bingung mengingat-ingat. 

Sebelum menjawab, sudah menyusul pertanyaan beri-

kutnya:

"Di mana kau bertemu dengan beliau, Klowor?"

"Di... di alam mimpi."

Ludiro sedikit menampakkan sikap tak puas dengan 

jawaban Klowor. Ia mengulangi pertanyaannya lagi:

"Di Goa Malaikat, maksudmu? Atau di mana?"

"Aku belum pernah melihat seperti apa yang na-

manya Goa Malaikat itu, Paman."

"Hemm...? Lalu...?"

"Yah... cuma bertemu di alam mimpi, Paman. Aku


merasa bertemu dengan beliau, dilatih silat dengannya 

dan diserahi Cambuk Naga untuk menjadi pusaka pe-

ganganku."

"Di alam mimpi?"

"Benar. Aku sering bermimpi bertemu dengan tokoh-

tokoh di dunia persilatan. Bahkan, sebenarnya aku ini 

murid dari Jaka Bego."

"Hah...?! Jaka Bego...!" Ludiro terheran-heran dan 

kaget.

"Jaka Bego itu dewa!" tegas Ludiro kemudian.

"Memang. Dia adalah Dewa Seribu Mimpi, itu menu-

rut pengakuannya di alam impianku. Dan... dialah Pen-

dekar Agung yang ingin kuikuti jejaknya. Aku ingin 

menjadi muridnya, tapi harus menjajal dulu ilmunya 

Lanangseta, kalau aku menang, aku akan dijadikan 

muridnya, tapi kalau aku kalah maka aku harus mau 

menjadi murid Lanangseta. Ternyata aku kalah, Paman. 

Tetapi, Guru Lanangseta seakan segan menerima aku 

sebagai muridnya."

Ludiro manggut-manggut. Matanya menerawang, ba-

gai teringat masa-masa bersama Lanangseta, sebelum 

Lanangseta menikah dengan Kirana. Ah, ada kerinduan 

yang menyentuh hati Ludiro, tapi sebagai orang yang 

ingin tenang, ia harus menahan kerinduan tersebut, 

yaitu kerinduan bertempur membasmi kelaliman ber-

sama Lanangseta.

Hanya saja, ada satu hal yang membuat Ludiro men-

jadi terheran-heran serta tak habis pikir: mimpi. Ini 

sungguh aneh jika Putri Ayu Sekar Pamikat menurun-

kan ilmunya kepada seseorang melalui mimpi. Alangkah 

ajaibnya.

"Apakah sampai sekarang Lanangseta tidak mau 

menerima kamu sebagai muridnya?"

"Masih disangsikan, Paman. Saya belum pernah 

mendengar sendiri Guru menyebutku sebagai murid."



"Kemudian...?"

"Kemudian saya buktikan bahwa dia pun hadir da-

lam impian saya dan mengajarkan jurus-jurusnya lewat 

mimpi."

"Jadi, ada beberapa jurus Lanangseta yang sudah 

kau kuasai?"

"Benar, Paman."

"Jurus apa saja itu?"

"Jurus Lindung Bumi, jurus Tebar Besi, dan...."

"Jurus Lindung Bumi sudah kau kuasai?!" Ludiro 

kaget lagi bercampur heran.

"Benar, Paman. Guru Lanangseta itulah yang menga-

jarkan lewat mimpi, yaitu ketika ia berbicara dengan 

Jaka Bego."

"Wah... wah... wah...."

"Kenapa, Paman?"

"Itu berarti kau sudah menjadi murid Jaka Bego, 

Dewa Seribu Mimpi!"

"Ah, masa begitu, Paman?"

"Iya. Sebab semua jurus, semua ilmu, kau peroleh 

dari mimpinya. Maksudku, dari impianmu yang diatur 

oleh Jaka Bego. Hanya saja, ingat-ingatlah...! Kalau kau 

sudah menjadi Pendekar Cambuk Naga, kau harus su-

dah siap bertarung dengan siapa pun. Sebab, pemegang 

Cambuk Naga, adalah musuh kejahatan di mana pun 

berada. Jadi, siapa memegang pusaka itu, maka ia akan 

mempunyai banyak musuh. Kalau tak hati-hati, kau 

akan mati!"

"Gawat...!" Klowor menggumam dalam hati.

*

* *

4

Seperti memang sudah diatur oleh garis ketentuan 

hidup, bahwa perjalanan Raden Klowor ke desa Punding 

memakan waktu 40 hari pulang pergi. Sebenarnya, ka-

lau ditempuh jalan kaki dari Puri Bukit Bulan, tempat 

Lanang dan keluarganya tinggal, menuju rumah Ludiro, 

bisa memakan waktu 20 hari. Tetapi, agaknya perjala-

nan Raden Klowor itu ada kaitannya dengan Semadi 

Sabar-nya yang sedang dilakukan. Di dalam perjalanan 

itulah, Raden Klowor dicoba oleh alam, dicoba oleh ke-

hidupan, dibenturkan kepada berbagai macam persoa-

lan yang harus dilalui dengan kesabaran. Rupanya Ra-

den Klowor bukan orang yang gampang menyerah. Ia 

tangguh. Kukuh. Tabah. Sehingga, tepat hari keempat 

puluh ia sampai di hadapan Lanangseta kembali, itulah 

hari akhir dari Semadi Sabarnya.

Tentu saja kehadiran Raden Klowor menimbulkan 

banyak tanda tanya dan perhatian besar bagi Lanangse-

ta dan istrinya. Sebab, Klowor hadir dengan wajah bo-

nyok, banyak luka dan memar di sana-sini. Ada luka 

yang sudah kering, ada luka baru, ada luka yang dalam 

proses penyembuhan.

"Apa yang terjadi selama perjalananmu, Klowor?" 

tanya Kirana sambil menggendong bayi lelakinya.

"Banyak sekali, Bibi. Saya disiksa oleh perjalanan. 

Dan, saya tak pernah bisa melakukan pembalasan."

"Kenapa?"

"Kesabaran itulah yang membuat saya seperti bola, 

Bibi."

"Lalu, apa kesimpulanmu?" Lanang bertanya.

"Sabar itu sama dengan bonyok, Guru!"

Lanangseta dan istrinya tertawa mendengar jawaban 

itu. Bayi yang digendong itu tidak ikut tertawa, karena


ia belum tahu mengapa manusia harus tertawa.

"Klowor...." kata Lanangseta. "Sebenarnya bukan be-

gitu kesimpulan dari bersabar. Kesimpulan yang perlu 

kau ketahui, bahwa bersabar itu adalah sesuatu yang 

berat dilakukan. Untuk menjadi sabar, kita harus me-

lewati kenyataan-kenyataan yang ada dalam kehidupan 

manusia. Kita harus merasakan nafsu manusia yang 

tercurah di hadapan kita. Dan, kita akan tahu, bahwa 

kesabaran itu sebenarnya kunci utama dari perda-

maian. Mungkin kalau tidak berlaku sabar, akan terjadi 

perang terhadap orang-orang yang menghinamu, me-

mukulmu dan yang menyepelekan kamu. Tetapi, den-

gan berdiri sebagai orang sabar, kau telah menghindari 

seribu macam permusuhan. Menghindari permusuhan, 

adalah awal dari menuju perdamaian."

Raden Klowor yang duduk bersila di serambi depan, 

seakan sedang menerima wejangan tentang sabar di da-

lam kehakikian hidup. Lanangseta berdiri dengan ber-

sandar pada tiang serambi, memandang ke depan, lurus 

pada batas cakrawala di ujung laut. Namun, di dalam 

hatinya ia mengagumi tekad Raden Klowor dan keber-

hasilannya melakukan Semadi Sabar selama 40 hari, 

tidak marah, tidak melawan dan tidak membangkitkan 

kemarahan orang lain. Lanang sendiri merasa belum 

tentu sanggup melakukan hal itu.

"Guru, apakah dengan begini saya sudah berhak 

memiliki pusaka Cambuk Naga?" tanya Klowor.

"Bagaimana menurut Paman Ludiro?"

"Barangkali memang hanya sayalah pemegang Cam-

buk Naga yang abadi. Dan, dengan begitu, maka saya 

berhak menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga...."

"Kalau memang itu pantas untuk kamu, ambillah 

pusaka itu, dan perangilah kejahatan di mana pun kau 

berada!"

Senyum kegembiraan mekar di bibir Raden Klowor


yang masih pecah-pecah dan mulai kering itu.

Tetapi ketika Raden Klowor bertanya, "Apakah saya 

sudah resmi menjadi murid Guru dan diakui?!"

Lanangseta hanya menggumam, kemudian menja-

wab pelan:

"Di sini, aku merasa tidak mempunyai murid. Tapi di 

dalam impianmu, mungkin kau adalah muridku, Klo-

wor."

"Oh, terima kasih, Guru. Terima kasih...! Guru be-

nar-benar manusia yang murah hati, mudah-mudahan 

panjang umur, banyak rejeki, enteng jodoh dan...."

"Husy! Itu sama saja mendoakan suamiku kawin la-

gi, Tolol!" sahut Kirana begitu mendengar kata 'enteng 

jodoh' yang bagai terucap tanpa disadari. Kirana sempat 

bersungut-sungut dan membuat Lanangseta tertawa ge-

li.

"Guru, apakah guru tidak ingin mengajarkan satu 

jurus pun kepada saya di luar mimpi?"

"Tidak! Karena di luar mimpi, aku tidak mempunyai 

murid. Tetapi, di dalam impianmu... entah! Aku sendiri 

merasa belum pernah mengimpikan wajahmu, apalagi 

dalam keadaan babak belur seperti ini. Pokoknya, im-

pianmu adalah duniamu sendiri yang tidak bisa ku-

mengerti. Hanya saja, kalau sekali waktu aku melihat 

kau gunakan ilmuku untuk hal yang tidak baik, maka 

tak ada ampun lagi bagimu, kau harus melawan aku 

sampai ada yang mati salah satunya! Jelas?!"

"Jelas sekali. Dan... kurasa tidak mungkin ilmu itu 

digunakan untuk hal-hal yang tidak benar." Lalu, den-

gan berbisik Klowor menyambung, "Kecuali kepepet...!"

Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang 

Sakti itu, melepas kepergian Raden Klowor, yang ka-

tanya ingin menyusuri jejak kejahatan yang hendak di-

tumpasnya. Kirana berkata di dekat suaminya:

"Ia sangat bersemangat untuk menjadi Sang Penumpas."

"Ah, biasa! Seorang prajurit kalau pangkatnya masih 

Tamtama, maunya perang melulu. Tetapi, kalau sudah 

berpangkat Panglima Tinggi, justru berusaha menghin-

dari peperangan. Begitu juga Klowor...!"

"Yaah... mudah-mudahan saja ia bisa berguna bagi 

kedamaian di muka bumi ini. Yang kukhawatirkan ada-

lah darah mudanya. Sepatutnya kalau ia didampingi 

seorang guru pembimbing yang dapat meluruskan ja-

lannya sewaktu-waktu membelok ke arah lain."

"Meskipun ia jauh dari gurunya, tapi ia selalu dekat 

dengan guru-gurunya. Mimpi yang aneh itulah yang 

akan menegurnya setiap saat...." ujar Lanang seraya 

menghela nafas.

Memang benar, Klowor selalu dekat dengan gurunya. 

Mimpi-mimpinya adalah guru yang dapat membuat ia 

menjadi lebih berilmu. Nyatanya, sekalipun ia tertidur 

siang di bawah pohon dalam istirahatnya, ia sempat 

bermimpi bertemu dengan Jaka Bego. Tokoh yang ku-

rus, bloon, nyaris seperti sosok Raden Klowor itu, mun-

cul dalam impian siang itu.

"Klowor, pergilah ke sebuah pulau yang bernama Pu-

lau Kramat. Sekarang juga."

"Ada apa di sana, Eyang Guru?" tanya Klowor di da-

lam mimpinya.

"Ada apa-apa di sana! Pergilah, dan selamatkan seo-

rang perempuan yang bernama Nyai Katri."

"Apakah dia dalam bahaya, Eyang Guru?"

"Agaknya memang begitu, Klowor. Tak ada yang mau 

menolongnya, kecuali kamu sendiri."

"Kenapa harus ditolong?"

"Karena dia membutuhkan bantuan. Aku tidak ingin 

Nyai Katri mati untuk saat-saat sekarang ini."

"Lho, kenapa Eyang Guru punya pikiran begitu? Se-

betulnya ada hubungan apa Eyang Guru dengan perempuan itu?"

"Husy! Itu rahasia seorang dewa. Jangan banyak 

tanya, nanti kucabut hak mimpimu...!"

"Ampun, Guru. Maafkan saya."

Pada saat itu, seolah-olah Lanangseta muncul ber-

sama Kirana dan bayinya. Aneh. Mereka jadi seakan 

benar-benar berada di alam bebas. Bukan impian. Pa-

dahal itu impian.

"Benar apa kata Jaka Bego, Klowor. Perempuan itu 

yang bernama Nyai Katri butuh pertolongan. Cuma ka-

mu yang bisa menyelesaikan persoalannya! Pergilah ke 

Pulau Kramat, dan lakukan perintah ini!"

"Di mana arahnya, Guru?"

"Berjalanlah terus ke arah Selatan, temukan tebing 

karang, dan dari atas tebing itu kau akan tahu letak Pu-

lau Kramat, tempat kenangan kami dulu."

"Kenangan?"

"Ya. Kenangan Eyang Gurumu, Jaka Bego ini."

"Husy! Jangan bawa-bawa soal kenangan ah. Kita ini 

kan ada di alam mimpi, kok jadi seperti benar-benar 

nyata?!"

"Maksudku, biar murid kita ini benar-benar paham, 

Bego!"

"Sudah, sudah...!" kata Klowor. "Sesama guru jangan 

saling mendahului kemarahannya. Saya akan berangkat 

ke sana jika sudah bangun tidur nanti, Guru...!"

Pulau Kramat memang masih asing bagi Raden Klo-

wor. Seperti apa ujud pulau itu, Klowor tak bisa mem-

bayangkan. Yang jelas, begitu ia terbangun dari tidur 

siang di bawah pohon, ia langsung mencari arah Sela-

tan. Ia berjalan ke arah itu sesuai dengan perintah para 

gurunya.

Malam hari, seharusnya Klowor tetap meneruskan 

perjalanan, sampai pada titik kantuknya. Tetapi, ia ter-

paksa menghentikan langkah, karena ia ingat tentang


desa tersebut. Sebuah desa yang pernah dilalui ketika 

hendak menuju ke desa Punding, tempat Paman Ludiro.

Desa itu cukup luas, sehingga dijadikan suatu Pa-

demangan. Pademangan itu bernama Pademangan Ku-

milir.

Masih teringat jelas di benak Raden Klowor, bahwa di 

Pademangan itulah dia menerima siksaan dari Sumolo, 

Brogol, bahkan Ki Demang Gangsir sendiri. Perih sekali 

hati Klowor jika mengingat semena-mena mereka dalam 

menuduh dan menyiksanya. Tetapi, di balik kepahitan 

hati itu, terselip bunga Pademangan yang elok paras-

nya, bulat matanya dan ranum bibirnya.

Saras. Anak perempuan Demang Gangsir, menggoda 

ingatan dan hati Klowor. Kecantikan gadis lugu itu, 

membuat debaran-debaran aneh di dada Klowor, se-

hingga kendati sudah larut malam, namun ia masih 

punya niat untuk singgah di rumah Demang Gangsir.

Tetapi, ternyata ia memergoki suatu pemandangan 

yang memancing emosinya. Ada dua orang lelaki yang 

melompat dari pagar rumah Demang Gangsir. Orang itu 

berpakaian kuning dan merah tua. Salah satu menggo-

tong seseorang yang meronta-ronta. Mulut orang yang 

meronta-ronta itu jelas dibalut kain, sehingga tak mam-

pu berteriak apa-apa. Klowor bagai mendidih darahnya, 

sebab dia tahu yang digotong seorang berpakaian baju 

kuning dan celana hitam itu adalah: Sarasati!

Benar! Dia adalah Saras, yang sedang menyusup-

nyusup ke dalam bayangan benak Klowor. Melihat Sa-

ras sepertinya sedang diculik dua orang lelaki, maka 

Klowor pun tak bisa menahan kesabarannya lagi. Ia se-

gera menghadang gerakan kedua orang tersebut.

"Berhenti! Turunkan perempuan itu!" gertak Klowor.

"Hei, ada pemuda kacangan, yang mau unjuk gigi, 

Min. Layani dia...!" geram lelaki yang menggendong Sa-

ras di pundaknya.


Dengan segera, Min melancarkan pukulannya ke 

arah dada Klowor seraya berkata kepada temannya:

"Larilah terus, Jo. Biar kuhadapi ingusan kelas 

kambing ini. Hiaaat...! Hup...!"

Dua pukulan yang dilancarkan secara beruntun 

sempat ditangkis oleh tangan Klowor yang mengibas te-

pat. Kaki Klowor yang kanan maju ke samping, kemu-

dian ia berputar seraya mengibaskan kaki kirinya.

"Wess...!"

"Buug...!"

"Nggeek...!"

Tumit kaki Raden Klowor tepat menghantam pung-

gung tengah lawannya. Tubuh, itu melengkung ke de-

pan dengan mulut ternganga, namun tak mampu berte-

riak. Ia sempoyongan sebentar, kemudian berbalik dan 

siap menghadapi Klowor dengan golok di tangan.

"Kugorok batang lehermu, Jahanam...! Hiaat...!"

Ia mengibaskan goloknya ke arah perut Klowor.

"Wuuug...!"

Klowor melompat ke belakang dengan kedua tangan 

terentang. Begitu kaki Klowor menginjak ke tanah, golok 

itu segera menyusul ditusukkan ke depan. Sasarannya 

dada Raden Klowor. Tetapi, pemuda kurus ini masih 

lincah. Ia mampu melompat ke belakang sambil bersal-

to. Min juga ikut melompat maju dengan senjata di atas, 

siap bacok.

"Hiaaaat...!"

Raden Klowor justru berguling ke tanah, dan berhen-

ti tepat di bawah kakinya. Begitu berhenti, kaki Klowor 

langsung menjejak ke atas.

"Modar kau, Kunyuk! Huuh...!"

"Aaaohhh...!"

Min meringis kesakitan. Selangkangannya terkena 

tendangan Klowor dengan telak sekali. Ia sedikit geme-

tar menahan rasa sakit yang sampai ke ubun-ubun. Ke


sempatan itu digunakan oleh Klowor untuk melancar-

kan jurus Turangga Sujud, yaitu tendangan dua kaki 

bersamaan, dengan kedua tangan bertumpu pada ta-

nah. Mirip tendangan kuda nungging.

"Hiaaaat...!"

"Krak...!"

Ada suara seperti batang bambu yang patah. Min 

meringis tak mampu berteriak. Oh, rupanya ada tulang 

rusuknya yang patah beberapa batang, dan kesakitan 

yang amat menyiksa itu disusul dengan pukulan Klowor 

pada iga Min yang satunya lagi.

"Haaap...!"

"Kreeek...!"

Iga itu pun patah.

"Aaaahhk...!"

Min semakin kesakitan. Sedangkan Klowor tak 

memberi kesempatan kepada lawan untuk menikmati 

rasa sakit. Ia segera menyahut tangan kanan lawannya, 

kemudian memutarnya ke belakang tubuh lawan, dan 

tangan itu segera dihentakkan naik ke atas.

"Kraak...!"

"Aaahhh...!"

Makin menjerit saja mulut Min ketika kakinya geme-

tar lemas karena tangannya dipatahkan oleh Klowor.

Tubuh Min menggelosor di tanah akibat merasakan 

sakit yang tiada tara. Ia mengerang dengan nafas bagai 

tersekap oleh sabut kelapa. Susah keluar. Tulang-

tulangnya yang sudah dipatah-patahkan Raden Klowor 

membuat ia tak mampu berdiri dengan melakukan per-

lawanan lagi.

Percuma saja Klowor melayani lawannya yang ini te-

rus menerus. Matanya memandang jauh, menyipit, me-

nembus keremangan malam. Ia sempat melihat sosok 

bayangan kecil di kejauhan. Itulah orang yang dipanggil 

Jo, yang sedang melarikan Saras di pundaknya. Klowor


harus segera menyusul sebelum kehilangan jejak.

"Bleees...!"

Jurus Lindung Bumi digunakan. Tubuh Klowor am-

blas ke dalam tanah. Bagai cahaya kunang-kunang tu-

buh itu menyala di dalam tanah dan berlari cepat se-

hingga tak mampu dilihat oleh siapa pun. Hanya La-

nangseta-lah yang mempunyai ilmu Lindung Bumi. Ka-

lau sekarang Raden Klowor mampu melakukannya, itu 

karena Lanangseta yang mendidiknya lewat mimpi Klo-

wor.

"Bruull...!"

Tubuh Klowor melompat dari kedalaman tanah yang 

ada di depan langkah kaki Jo. Orang berpakaian kuning 

itu terbelalak kaget melihat kemunculan Klowor yang 

bagai menjebol tanah dari kedalaman. Ia sempat terpu-

kau sesaat. Dan, kesempatan itulah digunakan oleh 

Klowor untuk melayangkan tendangannya ke pinggang 

kanan orang itu.

"Turunkan gadis itu, hiiat...!"

"Hiiigggh...!"

Jo bertahan dalam keadaan kebingungan. Tahu-

tahu, pukulan menyamping dari Klowor diterimanya 

dengan pipi terbuka.

"Plook...!"

"Aaah...!"

Jo belum mau melepaskan Saras, sementara Saras 

sendiri semakin meronta-ronta dengan mulut tersekap 

kain pengikat.

"Dasar bandel...! Waktu kecil belum pernah dihajar 

kau, ya? Hiaat...! Mampus!"

"Uuugh...!"

Jo meringis kesakitan karena perutnya disodok den-

gan lutut Klowor dan dagunya dihantam kuat-kuat 

hingga ia terdongak ke belakang. Kedua serangan se-

rempak itulah yang membuat Jo menggeloyor, kemu


dian melepaskan Saras begitu saja. Saras jatuh bagai 

karung beras.

"Buug...!"

Kedua kaki dan tangannya masih terikat. Ia sedikit 

kesakitan karena pundak kiri jatuh lebih dulu menyen-

tuh tanah.

Panas hati Raden Klowor melihat lawannya menu-

runkan Saras dengan tidak sopan. Segera pukulannya 

dilancarkan ke dada lawannya. Tetapi, lebih dulu kaki 

lawan menjejak ke depan, dan mengenai perut Klowor 

hingga Klowor terpental. Keseimbangan tubuhnya lepas 

tak terjaga, dan Klowor pun jatuh terduduk.

Saat itu, Jo menggunakan kesempatan untuk men-

cabut goloknya dengan cepat, kemudian membacokkan 

ke kepala Klowor. Namun, sebelum golok menyentuh 

rambut Klowor, sebuah tendangan keras melayang dari 

kaki kanan Klowor dalam posisi merebahkan badan 

miring.

"Buuug...!"

Jo membeliak dan menahan rasa sakit pada perut-

nya. Sekali lagi tendangan gaya miring merebah meng-

hentak di pinggul Jo dengan keras. Tumit Klowor tepat 

mengenai tulang pinggul, sehingga linu sekali rasanya. 

Hal itu membuat Jo sempoyongan dan jatuh terpelant-

ing di sisi Saras. Karena jengkelnya tak dapat menye-

rang Klowor, Jo akhirnya memukul pinggang Saras 

dengan keras.

"Hmmm...!"

Saras berteriak kesakitan tanpa suara pekik yang 

sempurna, karena mulutnya dibalut kain menyumbat. 

Sekali lagi tangan Jo yang kekar itu menghantam perut 

Saras dengan geram kemarahannya,

"Mampus kau, Bebek...!"

"Huuughhm...!"

Saras mengerang sesaat, kemudian pingsan.


Ini membuat Raden Klowor semakin naik pitam. Di-

tendangnya wajah lawannya dengan kuat-kuat. Mulut 

lawan menjadi sasaran telak ujung telapak kaki Klowor. 

"Uuff...!"

Darah menyembur dari mulut itu. Giginya ada yang 

copot dua biji. Jo berguling-guling, kemudian menutup 

mulutnya dengan salah satu tangan. Sementara itu, 

Klowor semakin garang. Ia melompat ke arah lawan 

dengan tendangan kaki yang lurus ke depan. Tetapi, 

pada saat itu, Jo sempat mengibaskan goloknya ke arah 

kaki Klowor, sehingga mau tidak mau kaki Klowor te-

rangkat sedikit, kemudian ditariknya, tak jadi menen-

dang.

Darah dari mulut lawan kelihatan membasah di sela 

keremangan petang. Cahaya bulan mengintip sedikit di 

sela mega. Klowor tak sabar lagi menghadapi lawan 

yang amat menjengkelkan ini. Segera Klowor menggu-

nakan jurus Pukulan Kilang Baja, pemberian Lanangse-

ta yang juga diperoleh lewat mimpinya. Pukulan itu be-

rupa sebaris gerakan tangan menyibak udara di depan-

nya, dari samping terentang ke belakang, seperti sayap 

garuda. Dadanya jadi terbuka. Enak untuk diserang. Ini 

memang sebuah tipuan bagi lawan yang termasuk da-

lam teknik pukulan Kilang Baja. Lawan jadi bernafsu 

untuk menyerang dada Klowor yang terbuka lebar. Te-

tapi pada saat lawan melayang hendak menyerang, ta-

hu-tahu kedua tangan yang terentang ke belakang den-

gan lurus, dan telapak tangannya terbuka lebar itu, se-

gera bergerak mengagetkan. Keduanya menghempas ke 

depan dalam keadaan masih lurus dan kaku.

"Wuuuug...!"

Angin pukulan terasa menjepit pinggang kanan kiri 

lawan. Nafas terhenti sejenak, karena tubuh Jo merasa 

dijepit oleh dua buah dinding beton di kanan kirinya. 

Matanya membeliak dengan dagu terangkat ke atas. Ia


berusaha untuk bernafas sebisa-bisanya.

Jepitan itu cukup kuat, bagai memeras tubuh Jo. 

Lalu, menyemburlah ke atas dari mulut Jo sebuah cai-

ran merah yang menjijikkan. Darah! Ya, darah itu ter-

sembur seakan ditekan dari bagian perut samping. 

Muncrat seperti balon berisi air yang diremat.

Kedua tangan yang kaku ke samping depan itu sege-

ra dilipat. Lipatannya tepat di depan dada. Kemudian 

pergelangan tangan bergulir bagai orang menari, menja-

di ke depan. Telapak tangan berjajar menghadap ke de-

pan, dan dihentakkan dalam keadaan kedua kaki te-

rendah rendah.

"Hiaat...!"

Bersamaan suara itu, nafas Klowor terhentak kuat, 

dan seperti ada hawa panas yang melesat dari kedua te-

lapak tangan itu. Sebuah tenaga dalam meluncur, 

menghantam dada lawan, sehingga lawan pun tersentak 

ke belakang dalam keadaan dada berasap. Itulah yang 

dinamakan jurus Pukulan Badai Gunung. Sebuah 

rangkaian dari jurus pukulan Kilang Baja yang cukup 

dahsyat bagi keselamatan lawan.

Jo tak sempat mengerang. Suaranya bagai habis. 

Namun, ia masih bisa meringis, dan berusaha untuk 

bangkit. Kemudian dengan gerakan sisa tenaga ia men-

coba melarikan diri, dan oleh Klowor tak jadi dikejar, 

karena ia lebih mementingkan keadaan Saras yang 

pingsan akibat pukulan Jo.

Klowor membiarkan lawannya melarikan diri. Ia 

membuka kain penutup mulut Saras dengan perasaan 

iba. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Raden Klowor 

menepuk-nepuk pipi Saras. Maksudnya supaya Saras 

sadar. Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar su-

ara:

"Kau lagi yang membuat onar, Kunyuk ceking...?!"

Klowor berpaling, oh... ternyata Sumolo dan Brogol.


Ia mengenali kedua lelaki itu, sebab dulu ia dituduh 

mencuri pusaka Selendang Tirta Dewi. Sekarang ia ber-

hadapan lagi dengan mereka berdua. Masih teringat di 

benak Raden Klowor, betapa sakitnya hati dan tubuh-

nya ketika berada dalam tuduhan dan siksaan kedua 

orang itu.

"Kali ini, kau tak akan mungkin bisa bebas dari tu-

duhan kami, Babi!" geram Brogol. "Mau kau larikan ke 

mana putri Ki Demang itu, hah?!"

Klowor berdiri, memandang dengan berani. Sempat 

terbit rasa heran di hati Brogol dan Sumolo melihat ke-

beranian Klowor yang bertolak pinggang di depannya. 

Tidak seperti dulu; menunduk dan takut kepada mere-

ka berdua.

"Rupanya dia sudah punya nyali untuk menghadapi 

kita, Sumolo!" kata Brogol sambil tersenyum sinis.

"Nyali tikus yang kepepet, kadang-kadang bisa 

menggelikan kita, ya?" timpal Sumolo seraya tertawa pe-

lan.

Raden Klowor berkata dengan tegas, namun tidak 

urakan:

"Aku bermaksud menolong Saras dari tangan kedua 

penculik, tahu?!"

Brogol dan Sumolo tertawa lagi.

"Menolong, kata dia, Gol. Hah, lucu sekali badut ku-

rus ini, ya?" Sumolo menertawakan Klowor.

Sejenak, Klowor melirik Saras. Ah, belum juga sadar 

dari pingsannya. Andai saja Saras sadar, pasti gadis itu 

bisa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

"Kuminta, kalian tidak gegabah untuk yang kedua 

kalinya." kata Klowor. "Kalau kalian gegabah menuduh-

ku dan menyerangku untuk yang kedua kali, maka ka-

lian akan berkenalan dengan aku dalam keadaan di 

ambang maut."

"Bukti sudah ada. Kau melarikan Putri Demang


sampai di sini, apakah itu namanya salah tuduhan?!"

"Bukan aku yang melarikan, tapi dua orang penculik 

yang sempat ku pergoki dan kukejar di sini...!"

"Brogol, kalau mendengarkan ocehan kunyuk kurus 

terlalu lama, bisa muntah aku nantinya. Tangkap saja 

dia, dan kalau perlu patahkan tulang lehernya pelan-

pelan!"

"Hiaaat...!"

Brogol langsung saja menyerang Raden Klowor den-

gan sebuah pukulan tangan kanan yang melayang bagai 

sebongkah batu gunung. Genggaman itu begitu keras, 

besar dan hitam. Tetapi, Klowor mulai unjuk gigi. Puku-

lan yang melesat ke arah wajahnya itu hanya ditangkis 

dengan dua jari tangan kanannya.

"Taab...!"

Kedua jari Klowor mampu menahan pukulan Brogol 

yang keras dan cepat. Justru kini Brogol yang meringis. 

Genggaman tangannya bagai menghantam ujung dua 

batu besar, karena pukulan itu mengenai ujung dua jari 

Klowor. Segera Brogol mengibas-ngibaskan tangannya 

itu sambil menyeringai kesakitan. Klowor masih berto-

lak pinggang dengan tangan sebelah. Seakan siap me-

nunggu serangan berikutnya.

Tentu saja itu membuat Sumolo kaget dan makin ge-

ram. Ia tak percaya kalau kedua jari Klowor yang kurus 

itu mampu membuat genggaman tangan Brogol menjadi 

kesakitan. Maka, dengan tanpa menunggu komentar 

dari Brogol, Sumolo melepaskan tendangan kaki ka-

nannya.

"Wuuus...!"

Tendangan itu terarah ke wajah Raden Klowor. Kaki 

yang besar, seperti kaki kuda nil itu mampu melesat 

dan dihindari dengan gerak kepala dan pundak miring 

ke kiri. Pada saat itu, jemari Klowor menyentil mata ka-

ki Sumolo.


"Iyaaaooow...!"

Sumolo menjerit kesakitan dan terpincang-pincang. 

Ia memegangi kaki yang disentil Klowor. Rasanya sa-

kiiiit... sekali, seperti habis dipukul memakai palu besi. 

Mata Sumolo sampai terbeliak-beliak dengan mulut 

menganga dan mengaduh-aduh. Jelas sentilan jemari 

itu bukan sekedar sentilan biasa saja, melainkan mem-

punyai kekuatan tenaga dalam yang berhasil disalurkan 

dengan sempurna.

Itulah yang dinamakan Sentilan Jari Kuda, sebuah 

jurus milik Jaka Bego yang seharusnya tidak perlu me-

nyentuh tubuh lawan sudah membuat lawan kesakitan 

sendiri. Jurus Sentilan Jari Kuda, merupakan sebuah 

jurus yang secara tak langsung diberikan oleh Jaka Be-

go melalui mimpi Raden Klowor. Ketika itu, Raden Klo-

wor bermimpi melihat Jaga Bego berlatih jurus Sentilan 

Jari Kuda. Kemudian ketika bangun tidur, Klowor men-

cobanya apa yang dilihat dan diketahui dalam mim-

pinya. Dan, ternyata tiga minggu kemudian ia berhasil 

menggunakan jurus tersebut dengan baik.

Tetapi, saat ini ia yakin, bahwa ia tidak sedang ber-

mimpi. Ia benar-benar menghadapi orang-orang kasar 

dari Pademangan Kumilir. Brogol dan Sumolo, dua 

orang yang seakan menyediakan diri untuk menerima 

balasan dari siksaan yang diberikan kepada Raden Klo-

wor ketika itu.

Maka, sewaktu Brogol hendak memukulnya lagi den-

gan geram kemarahannya, Klowor melompat dan berpu-

tar.

"Uuuooouuw...!"

Sambil memekik begitu, kaki kanannya mengibas 

dalam putaran dan,

"Ploook...!"

Wajah Brogol jadi sasaran kaki Klowor. Begitu kaki 

itu berdiri tegak lagi, pukulan kuat dihantamkan oleh


Klowor ke mulut Brogol.

"Ceproot...! Cuuuuur...!"

Darah keluar dari mulut orang berwajah sangar itu. 

Bibirnya robek, dan itulah pembalasan!

"Maling kurap...!" geram Sumolo. Ia berusaha untuk 

menyerangnya dengan pukulan beruntun ke arah tu-

buh Klowor. Tetapi, badan Klowor segera menggeliat, 

meliak-liuk menghindari semua pukulan tanpa me-

nangkis. Dan, ternyata tak ada satu pun pukulan yang 

tersentuh kulit tubuh Klowor, sehingga Sumolo jadi le-

bih penasaran.

"Sreeet...!"

Golok dicabut, dan segera dilayangkan ke wajah 

Klowor.

"Mampus kau, Sapi bengek...! Hiaaaaaat...!"

"Wess...!"

Golok membelah udara kosong, karena Klowor me-

lompat ke samping. Begitu melompat dan turun ke ta-

nah, dengan cepat, seperti anak panah, jari-jemari Klo-

wor menotok pelipis kepala Sumolo. Cukup dengan dua 

jari dihentakkan ke pelipis sedikit ke belakang.

"Taab...!"

Dan, ternyata hal itu membuat sesuatu yang lain. 

Serangan dan pukulan yang aneh. Namanya, Jurus To-

tok-totok Tamu.

Tepat pada saat itu, Saras siuman dan mengibaskan 

kepalanya seraya merintih. Kemudian, ia memperhati-

kan Brogol yang hendak menyerang Klowor dari bela-

kang, kontan Saras berteriak:

"Hentikan...! Kalian salah duga...!"

Tetapi, Sumolo yang terkena jurus aneh itu sudah 

tak dapat menghindar dan sudah mulai merasakan aki-

batnya. Ia tersenyum, ketawa pendek, kemudian mengi-

kik sendiri sambil menjauh. Ia makin terpingkal-pingkal 

seraya menutup mulutnya dengan tangan, seakan menertawakan seseorang.

"Gila kau?!" geram Brogol. "Ada apa? Kenapa kau 

menertawakan aku? Kenapa, hah...?!"

Brogol merasa ditertawakan Sumolo, sementara itu 

Sumolo masih terpingkal-pingkal dengan sebentar ber-

henti, tersenyum, sebentar kemudian tertawa lagi. Geli. 

Ini membuat Raden Klowor tersenyum sendiri seraya 

membantu melepaskan tali pengikat tangan dan kaki 

Saras.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Raden Klowor...!" 

Agaknya Saras masih ingat siapa Klowor. Mereka per-

nah berkenalan dan menjalin pembicaraan yang baik.

"Maafkan kedua orangku itu, mereka memang bodoh 

dan maunya berkelahi terus."

"Tak apa. Aku sudah merubah salah satunya menja-

di maunya tertawa terus."

"Kau apakan dia? "

"Itu jurus Totok-totok Tamu...."

"Jurus yang aneh...."

"Ya. Jurus itu akan membuat lawan jadi tertawa geli, 

teringat peristiwa-peristiwa masa lalu yang menggeli-

kan. Jurus totokan jariku akan menyentuh otak, meng-

gerakkan ingatan masa lalu, khususnya ingatan yang 

lucu-lucu, sehingga orang yang terkena totokan terse-

but akan tertawa geli, membayangkan masa lalunya."

"Hebat. Ternyata kau orang yang hebat! Kenapa dulu 

aku tidak melihat sedikit pun kehebatanmu?"

"Aku Raden Klowor yang sekarang, bukan yang du-

lu...."

Raden Klowor tersenyum bangga memandang Saras 

dalam keremangan cahaya rembulan. Sementara itu, 

Brogol masih kebingungan karena merasa dirinya diter-

tawakan oleh Sumolo tiada habisnya.

Jurus aneh itu, juga pemberian dari Jaka Bego. Se-

buah mimpi membawa Raden Klowor ke suatu tempat,


di mana Jaka Bego menggerak-gerakkan tangannya, 

memainkan jurus itu seraya berkata-kata sendiri seperti 

orang bego. Dari kata dan gerak yang dilihat Raden 

Klowor, semuanya dihapal dan dilatih di luar mimpinya. 

Dalam tempo sepuluh hari, ia berhasil menguasai jurus 

yang diberi nama jurus Totok-totok Tamu.

"Apakah dia tak bisa berhenti tertawa?!" kata Saras 

dengan masih berdiri di samping Klowor.

"Bisa! Tapi, biar saja dia sibuk dengan tawanya, toh 

tidak menyakitkan orang lain.... O, ya, bagaimana den-

gan Pusaka Selendang Tirta Dewi...? Apakah sudah 

kembali ke tangan keluargamu?"

"Belum. Lihatlah sendiri, daerah ini kalau siang jelas 

sekali tampak kekeringan. Kami mulai kekurangan air, 

baik untuk minum maupun untuk pengairan sawah. 

Sungai menjadi kering dan tanah tidak subur lagi. 

Hahh... itu gara-gara tak ada lagi yang mampu dari 

orang kami untuk menemukan Selendang Tirta Dewi." 

Saras tampak sedih. Lalu, Klowor berbisik pelan:

"Kalau aku bisa membantu menemukan pusaka itu, 

apa hadiahnya?"

Saras agak kaget.

"Apa hadiahnya?"

"Kau minta hadiah apa? Berapa?"

"Tidak banyak. Cukup satu. Hadiahnya... kau!"

Semakin kaget Saras mendengarnya, semakin malu 

Klowor memandangnya. Berdebar hatinya, berharap ji-

wanya. Akankah disetujui?

*

* *


5

Hanya ada satu daerah yang paling subur di daerah 

sebelah Selatan Gunung Sawi. Mulanya, daerah itu ada-

lah Pademangan Kumilir. Tetapi, sejak Selendang Tirta 

Dewi hilang dari daerah Pademangan Kumilir, maka 

tempat itu menjadi gersang. Sama dengan tempat-

tempat lainnya. Selendang Tirta Dewi dicuri. Dan, un-

tuk mengetahui di mana pusaka itu sekarang berada, 

Raden Klowor mencari daerah yang paling subur dari 

seluruh kawasan di wilayah Selatan Gunung Sawi. Pasti 

di sanalah Selendang Tirta Dewi berada.

Tempat subur itu ditemukan. Namanya, Tanah 

Gempal. Ada suatu pemerintahan tersendiri di Tanah 

Gempal. Konon, mereka adalah orang-orang buangan 

dari Kediri. Para pemberontak, penjahat, dan pengkhia-

nat dibuang ke Tanah Gempal. Letaknya, tepat di lem-

bah kaki Gunung Sawi yang terkenal tandus dan be-

rongga seperti jurang. Sebab itu, disana juga ada daerah 

bernama Jurang Gempal.

Sebuah pemerintahan, lengkap dengan masyarakat-

nya yang sudah bukan lagi merasa sebagai orang-orang 

buangan itu, dipimpin oleh seorang warok yang bergelar 

Ki Warok Wali Kukun. Sebuah gelar yang cukup aneh 

bagi masyarakat di masa itu. Tetapi, semua orang tun-

duk kepadanya. Semua penduduk Tanah Gempal 

menghormat kepadanya. Takut. Sebab dulu ia adalah 

gembong perampok tak kenal kasih. Cita-citanya adalah 

menyusun kekuatan, mendirikan suatu kerajaan, untuk 

menyerang balik keturunan raja Kediri.

Raden Klowor sengaja nongkrong di sebuah kedai. 

Banyak orang memperhatikan dia, tapi Klowor bersikap 

biasa-biasa saja. Matanya dipasang, telinganya diperta-

jam, setiap suara orang didengarnya baik-baik. Sampai


sampai, ia sempat menangkap pembicaraan dua orang 

yang makan di depan mejanya. Dua orang itu membica-

rakan soal keluarganya yang ingin pindah ke tempat 

lain.

"Untuk apa pindah ke sana-sana, di sini saja sudah 

enak."

"Istriku minta tinggal lebih dekat dengan ibunya."

"Kalau begitu, lebih baik ibunya saja yang kau 

boyong ke mari."

"Mana mau?! Mertuaku tahu kalau tempat ini terlalu 

gersang dan tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam."

"Kasih tahu sama mertuamu, di Tanah Gempal ini 

sekarang sudah tidak gersang lagi. Nyatanya, sekarang 

air mulai melimpah, sungai-sungai mulai mengalirkan 

air bening. Pokoknya, Tanah Gempal dalam waktu de-

kat akan menjadi tempat yang subur dan makmur. Ti-

dak ada kekurangan air seperti dulu lagi."

"Memang, aku sendiri juga berpendapat begitu. Teta-

pi, mertuaku mana bisa percaya. Ia mengira tanah ini 

subur dalam semusim saja. Lebih jauh lagi akan men-

jadi tanah yang gersang dan tandus kembali."

"Yah, kalau begitu, jelaskan saja bahwa penguasa ki-

ta, Ki Warok Wali Kukun telah berhasil memperdalam 

sebuah ilmu yang dapat mendatangkan air serta hujan."

"Ah, masa begitu, Bar?"

"Ya. Apa kamu belum tahu, bahwa Ki Warok Wali 

Kukun sudah berhasil semadi di Gunung Sawi, dan 

mendapatkan pusaka sebuah selendang? Selendang itu 

dulu pernah diperagakan di depan umum. Sekali dis-

abetkan bisa membuat tanah menjadi berair, seperti ke-

luar mata air dari tanah itu. Kalau dua kali disabetkan, 

mendatangkan hujan."

"Lho, jadi...? Hujan yang kemarin sore itu juga akibat 

selendang pusaka tersebut disabetkan dua kali, ya?"

"Iya. Coba bayangkan... apakah tidak rejo, tidak


subur, jika Tanah Gempal mempunyai sumber air yang 

ajaib itu?!"

Jelas. Tidak sangsi lagi. Selendang Tirta Dewi dicuri 

oleh anak buah Ki Warok Wali Kukun. Dan, sekarang 

menjadi kebanggaan sekaligus sumber kehidupan ma-

syarakat Tanah Gempal.

Inilah tugas Klowor. Tugas yang dibuatnya sendiri. 

Sekalipun waktu itu, Saras hanya tersenyum malu dan 

menundukkan kepala ketika berbicara soal hadiah, te-

tapi Klowor sudah dapat mengartikan, bahwa jika ia 

berhasil memperoleh pusaka selendang itu, maka ia 

pasti mendapat hadiah berupa gadis lugu bermata bulat 

bening, dengan rambut dikepang dua.

Sekarang hanya sebuah cara yang dipikirkan Klowor. 

Cara apa dan bagaimana untuk mendapatkan kembali 

Selendang Tirta Dewi. Sambil menikmati nasi pesanan-

nya dan secangkir tuak ringan, Raden Klowor berpikir 

keras untuk mendapatkan cara menuju selendang pu-

saka itu. Jika ia lakukan semata-mata menyerang dan 

merebut, bahayanya cukup besar. Bisa jadi ia akan di-

keroyok orang se-Tanah Gempal.

Ada pembicaraan yang sempat didengar lagi oleh 

Klowor. Sebuah pembicaraan dari seorang pemuda yang 

sedang merayu gadis kekasihnya di pojok kedai itu.

"Aku tidak mau pergi terlalu jauh, Kang," kata gadis 

itu. Sesaat, terbayang di benak Klowor, andai saja yang 

duduk di pojok sana adalah dirinya dengan Saras. Oh, 

indahnya. Sayur jengkol yang dimakannya itu terasa 

seperti panggang ayam hidangan istana raja.

"Lho, kamu baru diajak pergi jauh saja sudah tidak 

berani, bagaimana kalau diajak berumahtangga? Apa 

kamu akan menolaknya juga?" kata pemuda itu.

"Itu kan lain, Kang. Kalau kita sudah berumahtang-

ga, ke mana saja aku akan kau bawa, tentu aku mau. 

Asal jangan kau bawa ke kuburan saja."



"Memangnya, kamu tidak berani mati bersamaku?"

"Bukan soal berani atau tidak. Kalau ke kuburan, 

aku takut. Aku ini kan penakut, Kang. Malahan, aku 

sudah pesan kepada emakku, kalau aku mati, aku min-

ta mayatku dibakar saja, jangan dikubur. Kalau diku-

bur, berarti aku harus berada di kuburan terus-

menerus, dan... mayatku tentu akan takut sama kubu-

ran...."

"Baik. Baiklah.,..! Tapi, sekarang aku tidak berminat 

bicara soal kuburan. Aku hanya ingin mengajakmu per-

gi ke suatu tempat. Tidak sampai malam. Sore hari kita 

sudah pulang ke rumah. Percayalah."

"Memangnya, mau ke mana kita ini, Kang?"

"Ke... ke Lembah Batu."

"Batu apa ada lembahnya, Kang?"

"Lembah Batu itu nama tempat, tolol!"

Gadis itu tertawa manis.

"Aku cuma becanda, Kang. Aku juga tahu kalau 

Lembah Batu itu tempat untuk berlatih ilmu kanuragan 

orang-orangnya Ki Warok."

"Tapi, sekarang mereka tidak lagi berlatih di sana."

"Lho, kenapa begitu?"

"Karena tempat tersebut sekarang sudah digenangi 

air."

"Lembah Batu itu? Ah, bukankah Lembah Batu ada-

lah bagian dari kali mati yang berisi bebatuan saja, tan-

pa air?"

"Itu kan dulu! Sekarang lain. Kau pikir air sungai 

yang mengalir di belakang rumahmu itu bukan berasal 

dari Lembah Batu? Lho... bagaimana kamu ini, Kus? 

Masa belum tahu?"

"Aku tahu, kalau sungai itu sekarang sudah menga-

lirkan air bening. Tetapi, dari mana sumbernya, aku be-

lum tahu. Dan, kurasa aku tidak perlu tahu, yang pent-

ing aku bisa menikmati kesegaran air yang berlimpah."


"Sekarang bagaimana airnya? Masih melimpah?"

"Hemmm... sudah agak surut itu, Kang. Aku khawa-

tir juga kalau akan menjadi surut, habis dan kering 

kembali."

"Nah, aku ke sana... maksudku ingin mengajak kau 

ke sana untuk menyaksikan upacara Pencurahan Air."

"Maksudnya bagaimana itu, Kang?"

"Di Lembah Batu, akan diadakan upacara Pencura-

han Air supaya air sungai tidak menjadi susut dan ha-

bis. Di sana Ki Warok akan melakukan suatu keajaiban 

dengan pusakanya. Dan, kita akan dibuat terkagum-

kagum melihat keajaiban sebuah selendang yang dapat 

mendatangkan air dari bebatuan cadas. Huhh... rugi 

kamu kalau tidak mau nonton!"

"Wah, agaknya perlu ku tonton juga acara itu, Kang. 

Ingin kulihat, seperti apa selendeng (Editor: selendeng, 

apa artinya?) kok bisa menggali air dari celah bebatuan 

cadas. Yuk, kita ke sana, Kang...!"

Sebagai orang asing di Tanah Gempal, Raden Klowor 

tidak mungkin dapat menemukan Lembah Batu dengan 

cepat. Satu-satunya cara untuk mencapai ke sana den-

gan cepat, adalah dengan menguntit sepasang muda-

mudi itu. Klowor sendiri tertarik ingin melihat seperti 

apa acara Curah Air yang akan dilangsungkan di Lem-

bah Batu itu. Apa yang harus dilakukan di sana? Ah, 

itu soal nanti saja! Bagaimana gagasan yang terlintas 

pada saat nanti saja.

Yang penting, Raden Klowor harus bisa menguntit 

kedua muda-mudi itu dengan tidak menimbulkan kecu-

rigaan. Memang agak menyiksa diri menguntit kedua 

muda-mudi yang sepanjang jalan selalu berpelukan, 

bergandengan, malahan kalau di tempat sepi berani 

berciuman. Ingin rasanya Klowor melempar batu kepa-

da mereka, karena dianggap sengaja pamer kemesraan. 

Hal itu memang membuat Klowor jadi ingat kepada Saras, gadis yang mendebarkan hatinya. Akibatnya, Klo-

wor jadi ingin cepat-cepat menemui Sarasati, menye-

rahkan selendang pusaka, dan membawanya jalan-jalan 

seperti kedua muda-mudi yang seusia dengannya itu.

Setelah melalui tanjakan beberapa kali, tikungan be-

berapa kali, sampailah mereka ke sebuah lembah tan-

dus. Ada tebing cadas yang menjulang tinggi, yang me-

nurut perkiraan Klowor, itulah yang dinamakan Jurang 

Gempal. Tebing cadas itu memancurkan air tak begitu 

deras. Jika deras, maka akan menjadi seperti air terjun 

yang langsung memenuhi sebuah sendang di bawah-

nya. Sendang tersebut sebenarnya adalah bagian dari 

pada sungai yang paling atas.

Klowor merasa lega, ia berhasil menemukan Lembah 

Batu yang sudah banyak dikelilingi orang di sana sini. 

Mereka berada di tempat agak jauh dari tepian tebing. 

Mereka menunggu saat dimulai acara Curah Air dari 

sabetan Selendang Tirta Dewi. Mereka tidak berjajar, 

melainkan berkelompok-kelompok di sana-sini. Semen-

tara itu, rombongan dari Ki Warok Wali Kukun sudah 

datang. Orang yang bernama Ki Warok Wali Kukun ber-

jalan tegap. Badannya besar, tinggi. Tidak memakai ba-

ju. Celananya hitam dililit kain batik putih. Ia menge-

nakan sabuk dari tali sebesar jempol kakinya. Sementa-

ra ikat kepalanya bercorak batik hitam. Kumisnya tebal, 

matanya membelalak garang.

Di sampingnya, ada dua orang berpakaian serba hi-

tam. Yang satu membawa peti kecil, mungkin berisi Se-

lendang Tirta Dewi, yang satu orang lagi membawa 

tombak berujung garpu. Runcing, besar dan tajam. Se-

dangkan, di samping kanan Ki Warok, adalah dua gadis 

yang mencengangkan Klowor. Ia tahu persis, kapan ia 

bertemu dengan kedua gadis bersenjata kipas itu. Di-

alah yang pertama kali merasakan sakitnya tendangan 

kedua gadis tersebut. Itu menurut Klowor. Sebab sejak


itu dia tidak pernah melihat gadis itu lagi, dan tak tahu 

apakah kedua gadis itu juga pernah melakukan penyik-

saan terhadap seseorang yang pasrah tak melawan. Ke-

dua gadis tersebut tak lain adalah: Aweni dan Sayung.

Geram hati Raden Klowor teringat ia dituduh men-

gintip kedua gadis yang sedang mandi di sebuah telaga, 

dulu. Rasa-rasanya, sekujur tubuh menjadi perih akibat 

bayangan saat kedua gadis itu seenaknya menghajar 

Klowor. Mungkin sekarang inilah saatnya unjuk diri, 

siapa Klowor. Sehela nafas dihirupnya panjang-panjang 

untuk menahan gejolak dendamnya. Dalam hati, Klowor 

bertanya-tanya:

"Mengapa Aweni dan Sayung ada di sini? Ada hu-

bungan apa antara mereka dengan Ki Warok? Istrinya? 

Atau kedua anak Ki Warok?"

Di belakang Ki Warok, masih ada beberapa orang 

yang satu di antaranya mirip dengan potongan tubuh 

Klowor. Pemuda yang mirip dia itu memegang sebuah 

rantai dari bola berduri. Mungkin pemuda itulah yang 

mencuri Selendang Tirta Dewi dari Pademangan Kumi-

lir, yang kemudian disangka Raden Klowor. Kemudian, 

orang-orang di belakang Ki Warok masih banyak lagi, 

semuanya memegang senjata, seakan barisan pengawal 

siap tempur. Diam-diam, Klowor mempelajari medan, 

mencari tempat yang tepat kalau saja ia berhasil me-

rampas selendang pusaka. Atau, ia akan menantang Ki 

Warok untuk bertarung dengan taruhan selendang itu?

Wah, bagaimana enaknya, ya? Kalau bertarung, lalu 

Ki Warok kalah, apakah mungkin orang yang meme-

gang selendang mau menyerahkan selendang tersebut. 

Tak urung Klowor juga harus merebutnya, dan berta-

rung lagi.

Ki Warok berdiri menghadap tebing cadas. Air me-

rembes dari tebing itu. Kecil sekali rembesannya. Ke-

mudian, ia menyuruh pembawa peti membuka tutup


peti kecil itu, dan segera dikeluarkan sehelai selendang 

berwarna kuning keemasan, tetapi tipis seperti kain su-

tera. Cahaya matahari memantulkan selendang yang 

berwarna emas itu. Emas seluruhnya. Sekalipun itu en-

tah emas murni atau hanya rajutan halus benang 

emas? Yang jelas, dari ujudnya saja orang pasti akan 

tertarik untuk memilikinya.

"Harus kurebut...!" gumam Klowor dari balik batu. 

"Harus dengan paksa. Biar sedikit kasar, yang penting 

bisa berhasil. Kurasa hanya dengan cara menyerobot 

selendang itu dan membawanya lari, adalah cara yang 

paling tepat untuk dilaksanakan."

Ki Warok berbicara kepada rakyatnya, sementara itu 

Raden Klowor mengendap-endap mencari posisi untuk 

menyerobot selendang tersebut.

"Rakyat ku...!" seru Ki Warok Wali Kukun. "Sekali la-

gi, ku ingatkan kepada kalian; agar jangan menjadi ce-

mas. Kalian sudah dapat hidup dengan tentram, tanpa 

memikirkan kekurangan air. Pusaka ini, ku peroleh dari 

bersemadi dan bertarung melawan raja Setan Gunung 

Sawi. Pusaka inilah yang akan menjadi harapan bagi 

kalian, bagi masa depan anak-anak Tanah Gempal yang 

akan menjadi perkasa, sebab Tanah Gempal akan men-

jadi tanah yang subur, banyak air, dan murah pangan!"

Semua orang segera berlutut, menandakan meng-

hormat kepada pusaka dan kekuasaan Ki Warok. Se-

mentara itu, Raden Klowor berada di bagian atas, me-

nyamping dari rombongan Ki Warok. Ia berjongkok, me-

nyiapkan sebuah jurus pemberian Kirana dari sebuah 

mimpinya.

"Tebing cadas ini, akan mengalirkan air sebagai lam-

bang kehidupan dan kebutuhan setiap manusia, khu-

susnya manusia Tanah Gempal...! Sambutlah dengan 

sorak kemenangan, setelah selendang ini ku sabetkan

pada cadas, dan tebing cadas akan mengalirkan air se


gar untuk kalian."

"Hidup Ki Warok...! Hidup Tanah Gempal...!" seru 

mereka yang masih berlutut sambil mengacung-

acungkan tangan.

Diam-diam, Raden Klowor menyiapkan sebuah jurus 

dari balik batu. Tangannya saling merapat di dada. Te-

lapak tangan itu makin lama semakin gemetaran. Na-

fasnya tertahan kuat-kuat sejak tadi. Jurus Tapak 

Semberani segera digunakan. Tepat pada saat Ki Warok 

hendak mengibaskan selendang emas itu, tangan Klo-

wor menghentak lurus ke depan kedua-duanya dengan 

telapak tangan tengkurap ke bawah.

"Wuuus...!"

Ada semacam tenaga yang mampu menyedot dengan 

kuat. Kedua tangan Klowor bergetar, dan selendang pu-

saka itu lepas dari tangan Ki Warok, melayang dengan 

cepat ke tangan Raden Klowor.

"Taab...!"

Selendang Tirta Dewi sudah berada di tangan Raden 

Klowor.

"Woooowww...?!" Semua orang menggumam dalam 

kekaguman yang sangat mengejutkan. Ki Warok ma-

tanya seakan hendak meloncat ke luar. Wajahnya me-

merah, dan semua pasukannya menjadi berang. Senjata 

disiapkan, dan Ki Warok berseru dengan lantang:

"Bangsat...! Tangkap anak itu, pancung dia di depan 

umum...! Serbuuu...!"

Sebuah anak panah melesat dengan sasaran dada 

Klowor. Lincah sekali Klowor melompat ke tempat lain. 

Anak panah itu lolos, tetapi muncul serangan sebatang 

tombak yang meluncur ke arahnya.

"Wees...!"

Tombak melesat melewati atas pundak Klowor.

"Serahkan selendang itu, Bangsat! Kau akan hancur 

tak berbentuk di depan umum...!" teriak Ki Warok yang


segera melompat ke atas. Sementara itu, Raden Klowor 

sedikit kebingungan, karena serangan mereka cukup 

bertubi-tubi. Amukan mereka menghadirkan sejumlah 

senjata yang melayang bersimpang siur di depan mata 

Raden Klowor.

"Kau pencuri, Ki Warok! Selendang ini bukan milik-

mu! Selendang ini ada yang punya! Aku harus men-

gembalikan kepada pemilik pusaka ini yang sebenarnya! 

Hiaaat...!"

Raden Klowor bersalto ke sana ke mari menghindari 

lemparan batu, tombak, panah dan bahkan pisau serta 

senjata beracun. Sementara itu, mereka mulai menge-

pung Klowor dan mulai mempersiapkan benteng perta-

hanan dari susunan orang-orang bersenjata pedang.

"Hiaaat...!"

Jurus Pukulan Badai Gunung dilancarkan oleh Klo-

wor. Hal itu dilakukan setelah ia dengan cepat menya-

bukkan selendang tersebut ke perutnya. Orang yang 

melayang hendak menyerangnya dengan tombak beru-

jung garpu tajam itu terpental bagai dihempas angin 

kencang setelah telapak tangan Klowor menghentak.

"Modar kau, Tikus...!"

"Huuugh...!"

Klowor terkena tendangan mantap dari belakang. 

Punggungnya terasa mau patah. Dan, pada saat itu, se-

buah anak panah melesat ke arahnya. Untung ia terpe-

leset jatuh karena tergelincir batu yang diinjaknya, se-

hingga anak panah itu lolos dari tubuhnya dan menan-

cap di leher orang yang tadi menendangnya.

"Mampus...! Mampus...! Hiiih...!"

Klowor berguling-guling menghindari hunjaman 

tombak yang berulangkali diarahkan kepadanya. Tom-

bak itu selalu meleset, mengenai tanah. Menancap. Di-

cabut, dihunjamkan lagi, dan menancap kembali... de-

mikian seterusnya, sehingga tubuh Raden Klowor berguling-guling terus ke arah kiri. Pada saat itu, ada seo-

rang musuh yang sengaja menghadang dari arah kiri 

dengan tombaknya. Begitu Klowor berguling ke dekat 

kakinya, langsung saja tombak itu dihunjamkan ke ba-

wah.

"Seeet...!"

Dengan kecepatan yang luar biasa, Raden Klowor 

berhasil menangkap tombak yang hendak menembus ke 

dadanya itu. Tombak tersebut ditekan oleh pemiliknya. 

Kuat-kuat ditekan ke bawah, dan Klowor bertahan mati-

matian. Tetapi, ada tombak lain yang datang dari arah 

kanannya, sasarannya ke wajah Klowor.

Dengan sekuat tenaga, Klowor menghentakkan ke 

kanan tombak itu, dan pemiliknya terpelanting ke ka-

nan tepat pada saat tombak dari kanan menghunjam.

"Aaaahhk...!"

Orang yang tombaknya ditahan Klowor terkena tu-

sukan tombak temannya sendiri. Dan, Raden Klowor 

segera melentik dengan kedua tangan, tahu-tahu sudah 

berdiri dengan kedua kaki tegar menapak.

Nekad. Orang segitu banyak dilawannya. Ini benar-

benar perbuatan yang nekad. Ki Warok sampai geleng-

geleng kepala melihat keberanian Raden Klowor. Mu-

suhnya lebih dari dua puluh lima orang, tapi Klowor tak 

gentar menghadapinya. Kalau tidak otak nekad, tidak 

akan berani ia berbuat seperti itu.

"Huaaaiiit...!"

Klowor menggunakan jurus Kilang Baja. Kedua tan-

gannya menghentak dari belakang lurus ke depan tapi 

masih menyamping. Dan, orang yang hendak menye-

rangnya dengan trisula itu mengejang, matanya terbe-

liak, lalu mulutnya menyemburkan darah kental ke 

atas. Klowor segera melompat dan menendang leher 

orang itu dari depan. Tendangan kaki kanannya yang 

menyamping itu mengakibatkan matinya musuh yang


bersenjata trisula.

"Jahanam kau...! Kau bunuh adikku, hah...?! 

Hiaaat...!"

Sebuah pedang menebas ke arah perut Klowor. Den-

gan gesit Klowor melompat ke belakang. Tetapi, ternyata 

di belakang pun ada musuh yang menggunakan rantai 

bola berduri.

"Weeeng...!"

Kepala Klowor sedikit lagi hancur kalau saja ia tidak 

secepatnya menunduk. Bola berduri itu melesat di atas 

kepalanya. Kibasan anginnya sempat membuat rambut 

Klowor tegak sejenak. Tetapi, secepatnya pula Klowor 

menghentakkan telapak tangannya, menggunakan ju-

rus Badai Gunung yang sudah dikuasainya itu. Dada 

lawan jadi mengepulkan asap. Ia menegang dan mende-

lik. Tak tahu, mati atau tidak, tetapi Klowor segera me-

lompat dan bersalto karena dua anak panah meluncur 

ke arahnya bersamaan. Keduanya berhasil dihindari 

Klowor. Tetapi, sebagai akibatnya, begitu kakinya men-

darat, ia terkena pukulan tongkat pada dadanya.

"Begg...!"

Klowor mendelik, nyaris tak bisa bernafas. Lalu, 

tongkat kertas itu menghantam lagi pelipisnya.

"Pletaak...!"

"Aaaohh...!"

Klowor terpelanting dan jatuh ke samping. Kemudian 

sebuah tendangan menghampiri dagunya.

"Hiaaat...!"

Klowor mengerang dan meringis kesakitan. Darah 

keluar dari bibirnya yang robek untuk kesekian kalinya.

"Tak ada jalan lain kecuali modar kau, Nyong...! 

Hiaaat!"

Seseorang hendak menebaskan goloknya yang pan-

jang dan lebar. Tetapi, Klowor cepat-cepat menghentak-

kan tangannya ke atas, ke arah orang itu. Dan, sekali


lagi pukulan Kilang Baja terhempas, membuat musuh 

terpental beberapa langkah dengan dada berasap. Ba-

gian dada itu menjadi hitam kebiru-biruan. Orang itu 

mendelik-delik menahan sakit.

"Munduuur...! Mundur semua...!" teriak Ki Warok 

Wali Kukun. Semua orang menghentikan serangannya 

dengan nafas mereka yang terengah-engah.

Klowor bangkit, karena merasa sudah dikepung da-

lam satu lingkaran maut. Waktu ia berdiri, tiba-tiba:

"Ziiing...!"

Seseorang menyolong kesempatan melemparkan sen-

jata rahasia berupa besi lempengan berbentuk bunga 

cempaka. Dengan gesit Klowor meliukkan badan ke 

samping, dan senjata rahasia itu melesat ke arah lain. 

Hampir saja mengenai teman mereka sendiri.

"Hentikan semua serangan, Monyet!" teriak Ki Warok 

kepada anak buahnya. Agaknya ia marah juga kepada 

mereka yang membandel nyolong kesempatan untuk 

menyerang.

"Hei, Babi panggang...!" teriak Ki Warok kepada Klo-

wor. "Kalau kami mau membunuhmu sekarang juga, 

kamu sudah mati sejak tadi. Tapi kami masih ingin me-

nangkapmu hidup-hidup! Kami mau mencari jalan 

lain!"

"Tidak ada jalan lain untuk persoalan ini! Dan, aku 

memang sudah lelah untuk jalan-jalan ke jalan lain!" 

kata Raden Klowor dengan memasang kesiagaan, ka-

kinya masih merentang rendah, dan kedua tangannya 

bersiap menangkis atau memukul siapa saja yang men-

dekat. Baju dan celananya yang biru itu ditiup angin, 

bagai sayap elang yang siap terbang.

Matanya begitu tajam memandang liar ke kanan ki-

rinya.

"Monyet Kurap...!" seru Ki Warok. "Percayalah, kau 

tak akan menang melawan kami! Jadi, sebaiknya kita


berdamai saja. Serahkan selendang itu, dan kau akan 

kuberi apa yang kau inginkan! Tapi, awas, kalau kau 

menipu kami, tak ada ampun lagi bagimu...!"

"Sekarang pun kau tidak memperoleh ampun dariku, 

Ki Warok...! Kau telah menyuruh anak buahmu yang 

ceking itu untuk mencuri selendang pusaka ini! Licik 

dan pengecut!"

"Kepala batu kau, rupanya! Aku sudah menawarkan 

hal yang terbaik untukmu, tapi kau membuang kesem-

patan itu dengan sia-sia...!"

"Hal yang terbaik menurutmu, belum tentu terbaik 

menurutku. Dan aku sengaja membuangnya, karena 

aku tidak mau menjadi pengecut dan licik seperti anak 

buahmu!"

Panas sekali hati Ki Warok Wali Kukun. Matanya 

semakin merah, dadanya turun naik pertanda nafasnya 

tak terkendali. Kemudian dengan geram dan marah ia 

berseru:

"Aweni...! Sayung...! Remukkan kepala orang sinting 

itu, lekaaas...!"

Aweni dan Sayung, tokoh perempuan yang pernah 

menghajar Raden Klowor di dekat sendang pemandian, 

kali ini bertemu dengan Raden Klowor kembali. Setelah 

Aweni dan Sayung memberi hormat kepada Ki Warok, 

mereka pun maju ke tengah lingkaran.

"Hei, ketemu lagi kita, ya...?!" Klowor menegurnya 

dengan senyum sinis. Aweni dan Sayung sama-sama 

bungkam. Tetapi, beberapa saat kemudian Aweni berka-

ta kepada Sayung:

"Agaknya pemuda inilah yang mengintip kita tempo 

hari itu, Sayung!"

"O, ya...! Aku ingat. Tetapi, waktu itu ia tidak mela-

wan ketika kuhajar! Sekarang dia mau pasang gaya di 

depan kita. Huhh...! Kita belah saja tengkorak kepa-

lanya!"


"Hebat," ujar Klowor sambil melangkah berkeliling 

menjaga jarak dan mencari kesempatan untuk menye-

rang.

"Kalau kalian menemukan buah semangka, kalian 

bisa berkata begitu. Tetapi, agaknya kepalaku ini bukan 

buah semangka, melainkan batu granit yang keras dan 

tak mudah dibelah dengan ujung kipasmu. Kecuali 

dengan ujung lidahmu...!"

Ki Warok terdengar tak sabar:

"Sayung...! Jangan ngobrol saja! Serang dia! Kau ku-

perintahkan untuk menyerang, bukan untuk berembuk 

soal buah-buahan...! Kalau mau rujakan, nanti saja! 

Sekarang serang, dan serang terus dia! Lekaaas...!"

"Hiaaaatt...!"

Sayung melompat dan membuka kipasnya. Kipas di-

hentakkan untuk memukul dagu Klowor, tapi kelebatan 

kipas itu berhasil dielakkan. Andai saja tidak, pasti da-

gu Klowor akan robek, karena ujung-ujung kipas itu 

mengeluarkan mata pisau beberapa biji.

"Huaiyaaah...!"

Klowor menjerit sambil menendang dada Sayung. 

Kena. Tepat tendangannya mendarat di dada kiri 

Sayung, sehingga Sayung pun menjerit kesakitan. Pada 

saat itu, Aweni melayang dengan kipas masih tertutup, 

namun diarahkan ke wajah Klowor. Dari ujung kipas itu 

keluarlah semacam sinar biru yang berpijar-pijar. Ba-

haya!

Klowor segera menjatuhkan diri, dan sinar itu lewat 

di atasnya. Kemudian, dengan jurus tendangan Turang-

ga Sujud, kedua kaki Klowor menjejak ke atas, tepat 

mengenai perut Aweni yang melayang.

Tubuh gadis itu terpental, melambung tinggi. Kalau 

ia tidak segera bersalto, maka ia akan jatuh dengan po-

sisi kepala membentur tanah.

Baru saja Klowor hendak berdiri, tahu-tahu sebuah


goresan terasa melukai betisnya. Oh, ternyata ujung ki-

pas Sayung telah melesat dan melukai betis Klowor. Un-

tung tidak lebar dan tidak terlalu dalam. Namun, aki-

batnya Sayung terpaksa terjungkal ke belakang, karena 

telapak tangan Raden Klowor menghentak dari bawah. 

Kilang Baja dan Pukulan Badai Gunung dilancarkan. 

Hanya saja, saat itu Sayung cukup lincah, ia buru-buru 

bersalto, bergantian tempat dengan Aweni.

Sementara itu, Klowor segera menyadari, bahwa mu-

suh-musuhnya yang mengepung membuat satu lingka-

ran itu semakin lama semakin menyempit. Mereka maju 

sedikit demi sedikit, untuk kemudian akan menyergap 

Klowor dengan di luar dugaan.

Aweni dan Sayung berdiri tegak, seakan sedang 

mencari kelengahan Klowor. Tetapi, Klowor segera men-

girimkan gerakan lembut. Jurus Sentilan Jari Kuda di-

gunakan. Ia menyentil di udara, terarah kepada Aweni. 

Dan Aweni menjerit kaget sambil kesakitan. Ia meme-

gangi bagian dada kanannya. Rupanya ke dada kanan 

Aweni itulah Sentilan Jari Kuda dilancarkan Klowor. 

Bahkan kini, sentilan itu juga diarahkan ke dada kanan 

Sayung. Sayung pun menjerit kaget dan meringis kesa-

kitan. Anak muda yang nekad itu masih saja sempat-

sempatnya tersenyum nakal. Ini semakin membuat 

Aweni dan Sayung menjadi berang.

Mereka berdua mengibaskan kipas yang sudah te-

rentang. Gerakannya cukup lembut, seperti orang me-

nari. Tetapi, kibasan kipas itu mempunyai kekuatan te-

naga dalam, sehingga Klowor menyeringai menahan ra-

sa perih di sekujur tubuhnya. Gawat! Bisa jadi itu kipa-

san racun maut, atau sejenisnya. Tak ada kesempatan 

lain untuk menghindar karena suasana panas menyen-

gat mulai menyelimuti udara sekeliling Klowor. Maka, 

pada saat itulah, Klowor menggunakan senjatanya yang 

sejak tadi terselip di pinggang belakang, tertutup baju


birunya.

Cambuk Naga mulai bicara. Mereka yang mengurung 

Klowor semakin menyempit. Dan, dengan gerakan cepat 

Klowor melecutkan Cambuk Naga dua kali.

"Tar...! Tar...!"

Gemerlap cahaya merah keluar dari ujung cambuk. 

Sinar merah itu menghantam tubuh Aweni dan Sayung. 

Tak ada suara pekik yang mampu keluar dari mulut ke-

dua gadis tersebut. Karena, ketika cambuk lentur itu 

berkelebat memancarkan sinar merah, leher mereka se-

rempak terpotong total. Kepala menggelinding dan ba-

dan mereka kejang-kejang sebentar, kemudian rubuh 

tak berkutik lagi.

"Bangsaaaaat...! Kau telah membunuh anakku, Ba-

jingan!" Ki Warok geram. Matanya semakin melotot me-

rah. Kemudian ia segera melepas tali kolornya yang se-

besar jempol kaki.

"Kuhancurkan otakmu, Iblis Keparat...!"

"Wuuung... wuuung... wuuung...."

Suara itu terdengar akibat kolor Ki Warok diputar-

putarkan ke atas kepala. Ada angin yang bertiup, makin 

lama semakin kuat. Klowor segera menghentakkan 

cambuknya ke arah Ki Warok.

"Taaar...!"

Ki Warok melompat, dan tangan kirinya yang kosong 

menghentak dan telapak tangan terbuka. Lalu, sema-

cam campuran sinar aneka warna keluar dari telapak 

tangan tersebut. Dan menggelegar di bawah kaki Klo-

wor.

"Blegaaarrr...!"

Waktu itu, Klowor segera melompat, dan menjadi 

terbelalak melihat tanah tempatnya berpijak telah retak, 

dan merenggang, seakan ada sebuah celah jurang yang 

terjadi secara tiba-tiba.

"Hebat juga ilmumu...!" teriak Klowor setelah ia ber


salto pindah tempat.

"Weeessss...!"

Sebuah pedang dari barisan pengepung menyerang-

nya, Klowor berkelit dan mengibaskan cambuknya ke 

arah mereka.

"Taaar...!"

Cambuk itu mengenai kepala orang yang mencoba 

membabat kepala Klowor dengan pedangnya. Orang itu 

menjerit bersama temannya, karena kepalanya menjadi 

retak dan berdarah. Ia mati, tetapi temannya pucat ka-

rena kaget dan merasa ngeri.

"Hadapilah aku saja, Bajingan...!"

"Blegaar...!"

Sekali lagi Ki Warok melancarkan pukulan dahsyat-

nya ke arah Klowor. Klowor segera bersalto, pindah 

tempat lagi. Dan, tanah tempatnya berdiri menjadi me-

rekah, bagai jurang kecil yang membahayakan kaki 

manusia. Tanah di bagian tepiannya segera longsor. 

Mengerikan sekali.

"Taaar...!"

Cambuk Naga berkelebat ke arah Ki Warok, tapi Ki 

Warok menyambutnya dengan tali kolor yang sejak tadi 

diputar-putarnya di atas kepala. Benturan ujung cam-

buk dengan tali kolor itu menimbulkan ledakan yang 

memekakkan telinga. Tubuh Ki Warok terpental, se-

dangkan Raden Klowor hanya terhuyung-huyung seje-

nak.

Semakin meluap kemarahan Ki Warok Wali Kukun 

melihat tali kolornya rantas. Menjadi seperti serpihan 

benang akibat benturan dengan Cambuk Naga.

"Huaaaattt...!" Ki Warok berteriak, menggerak-

gerakkan kedua tangannya dengan telapak tangan ter-

buka. Lalu, tangan kanan yang di atas kepala dihentak-

kan ke depan bersamaan dengan tangan kiri yang ada 

di bawah pinggang.


Pada saat itu, ada nyala api yang setinggi manusia 

dewasa melesat menyambar Raden Klowor. Nyala api itu 

berkobar-kobar. Raden Klowor menghindar ke kanan 

dengan satu lompatan, tetapi api itu mengejarnya, dan 

akhirnya membakar tubuh Raden Klowor. Api tak mau 

lepas, makin berkobar saja sekalipun Raden Klowor te-

lah kebingungan cara memadamkannya.

"Mampus kau menjadi tikus panggang...! Hua, ha, 

ha...!" Ki Warok tertawa keras-keras melihat tubuh Klo-

wor dibungkus api.

Gawat! Api semakin panas dan sukar dipadamkan. 

Klowor sempat panik. Cambuknya dikibaskan ke sana-

sini, menimbulkan ledakan, namun tidak memadamkan 

api. Akhirnya, ia teringat mimpinya ketika bertemu den-

gan istri Lanangseta yang dipanggilnya: Bibi itu. Ia ingat 

obrolan-obrolan tentang diri perempuan Putri Bukit Ba-

dai itu. Lalu, dalam keadaan tubuh terbakar api, Raden 

Klowor berteriak keras-keras:

"Kiranaaaaaaaaa...!"

Terdengar suara gemuruh. Nama yang tidak boleh 

diucapkan itu mengakibatkan datangnya rombongan 

petir di angkasa yang menggelegar. Angin bertiup keras, 

kencang dan semakin kencang. Api yang membungkus 

tubuh Klowor melesat bagai kapas dihembus angin. Be-

bas. Tubuh Klowor memang mengalami luka bakar, tapi 

tidak berbahaya. Baju dan celananya berasap, tetapi Se-

lendang Tirta Dewi tetap utuh, bagai tak mempan api 

sama sekali.

Yang lebih mengerikan lagi, akibat Klowor menyebut 

nama Putri Bukit Badai itu, tanah menjadi berguncang. 

Langit memerah dengan awan membara berarak-arak.

"Glegaaar...!"

Petir menyambar-nyambar, melompat bagai menga-

muk pada alam jagad raya. Angin yang bertiup melebihi 

topan badai yang mengamuk. Batu-batuan terbang kesana-sini. Tanah lembah menjadi longsor. Tubuh mere-

ka saling tunggang langgang terhempas angin. Ada yang 

mati karena kepalanya terbentur batu besar yang dipa-

kai Klowor untuk berlindung dan menahan diri agar ti-

dak dihempaskan angin. Ada juga yang menancap pada 

tombak kawannya sendiri. Ada lagi yang mati karena te-

rinjak-injak kaki mereka.

Langit menjadi kemerah-merahan, tapi ada mendung 

hitam di sana-sini. Gelap. Alam bagai membara. Petir 

merobek langit dan mencurahkan api yang memercik-

mercik. Bumi yang berguncang itu benar-benar tidak 

bisa dipakai berdiri tegak. Sungguh mengerikan suasa-

nanya kala itu. Kiamat telah terjadi di Tanah Gempal. 

Hanya batu yang benar-benar besar yang tidak terhem-

paskan, hanya bergerak-gerak saja. Tetapi, bebatuan 

yang kecil dan berukuran tanggung terlempar karena 

amukan badai. Klowor sendiri nyaris terhantam sebuah 

batu. Untung ia segera merunduk dan batu itu menge-

nai tubuh Ki Warok Wali Kukun.

Jerit dan tangis mereka seperti irama di tebing nera-

ka. Orang-orang yang sekedar menonton upacara Curah 

Air dan yang kala itu menyaksikan pertempuran Klowor 

dengan Ki Warok, ada yang menjadi korban sampai mati 

terhimpit batu. Klowor sungguh tak mengira kalau ke-

dahsyatan nama Kirana bila diucapkan akan menjadi 

sebegini mengerikannya. Ia mengira hanya akan terjadi 

badai biasa-biasa saja, dan guncangan tanah yang wa-

jar-wajar saja. Ia tak mengira kalau tanah akan menjadi 

merekah dan memancarkan bara merah dari dalamnya, 

sedangkan guncangannya kian lama kian menghebat, 

tepat bersamaan dengan hembusan badai yang beru-

bah-ubah arah.

Pantas kalau Lanangseta tidak pernah memanggil 

nama istrinya, dan Paman Ludiro juga tidak pernah 

menyebutkan nama Kirana. Rupanya inilah akibatnya


jika nama Kirana disebutkan oleh siapa saja.

Pada saat badai menjadi lamban dan langit mulai re-

dup dari kemerahannya, Klowor melihat Ki Warok ber-

lumuran darah, mungkin terkena hempasan batu-batu, 

atau terkena senjata yang saling beterbangan, atau ter-

seret oleh angin. Entah. Yang jelas ia masih hidup. Dan, 

ia berusaha mendekati Klowor dengan menggeram bak 

raksasa marah. Maka, dengan cepat Klowor menghen-

takkan cambuk ke arahnya:

"Tar... taar...!"

Dua kali, cukup membuat tubuh Ki Warok tak ber-

kutik lagi. Tubuh itu mengerikan sekali. Sadis. Terbelah 

dari kepala sampai ke dada, dan terbelah juga pada ba-

gian perutnya. Uh, mual jadinya Klowor melihat kea-

daan itu. Sedangkan di kanan kirinya, banyak mayat 

bergelimpangan, tertindih batu maupun terpanggang 

senjata teman sendiri. Yang mengerang kesakitan juga 

semakin jelas terdengar. Badai reda dan Klowor sendiri 

tak tega melihat alam kematian yang sebegitu ngerinya. 

Ia segera melompat, berlari, dan melompat lagi mening-

galkan Tanah Gempal, membawa Selendang Tirta Dewi 

untuk diserahkan kepada Saras.

Si cantik molek dan menggetarkan hati itu terpana 

saat Raden Klowor datang dan menyerahkan Selendang 

Tirta Dewi.

"Ambillah hadiah mu sekarang juga," bisik Saras. 

Tapi, Klowor hanya menggumam dalam senyum keba-

hagiaan. Ia berbisik, "Aku ada tugas ke Pulau Kramat. 

Ada yang harus kuselesaikan di sana. Kau mau me-

nungguku...?"

"Pergilah, kutunggu kau sampai rambutku memu-

tih...!"

Saras memejamkan mata. Tanda minta dicium. Tapi, 

Raden Klowor tak berani. Ia hanya menempelkan jarinya, lalu pergi.


                               TAMAT
















Share:

0 comments:

Posting Komentar