PRAHARA RADEN KLOWOR
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
dalam kisah Prahara Raden Klowor
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0391.50.14
1
Gagang kayu itu dihantamkan ke punggung Raden
Klowor. Tanpa tanggung-tanggung lagi, Raden Klowor
memekik kesakitan. Tubuhnya melengkung ke depan
dan berusaha untuk lari. Tetapi, kedua perempuan mu-
da itu segera mengejarnya. Yang satu berteriak:
"Jangan minggat kau, Mata keranjang...!" Setelah itu
disusul dengan lompatan bersaltonya yang lincah.
"Wess...!"
"Huug...!"
Raden Klowor memekik lagi. Kali ini pekik yang ter-
tahan, bagai kehabisan nafas. Ia jatuh, kaki gadis itu
menghentak dengan kuat di punggung Raden Klowor.
Yang berpakaian serba hijau pupus menerkam Raden
Klowor, menjambak rambut dan menarik kepala Raden
Klowor hingga kepala itu mendongak ke atas. Tubuh
Raden Klowor masih dalam keadaan tengkurap. Ia me-
mejamkan mata kuat-kuat menahan sakit dengan mu-
lut mengerang tertahan.
"Kau patut dihajar karena perbuatanmu, Kadal! Aku
paling benci jika sedang mandi ada yang mengintipnya!"
"Tunggu... aku... aku tidak mengintip kalian mandi.
Aku justru...."
"Mulut penipu harus dihajar sampai hancur! Hiih...!"
Yang berpakaian serba merah muda menendang wa-
jah Raden Klowor dengan keras.
"Aaaooww...!" teriak Raden Klowor. Mulutnya berda-
rah, karena robek pada bagian kedua bibirnya.
"Setan belang, kau...! Huuhh...!"
"Aaooow...! Caciit...!" Raden Klowor berteriak 'sakit'
dalam keadaan cadel, karena mulutnya kini semakin
berdarah. Pukulan gagang kayu kipas menghantam mu-
lut dua kali. Gadis yang menjambak rambutnya segera
menghentakkan kepala Raden Klowor ke tanah.
"Mampus kau...!"
"Buug... buug... buug...!"
Tiga kali wajah Raden Klowor bagai dibentur-
benturkan ke tanah. Tiga kali pula ia berteriak menga-
duh-aduh.
"Wadoow...! Waadoow... waadoww...!"
"Hiii...!"
"Ngeekh...!"
Raden Klowor mendelik karena pinggang belakang
diinjak kuat-kuat oleh gadis berpakaian serba merah
muda. Kemudian Raden Klowor dibiarkan melintir dan
menggeliat kesakitan sambil mengerang bagai ingin me-
nangis.
"Sekali lagi kau mengintip kami mandi, ku colok ke-
dua biji matamu, tahu?!"
"Ampuuun...! Aku... aku memang tidak mengintip
kalian mandi. Tidak...!"
"Lantas, mengapa kau berada di tepian sendang,
tempat kami mandi? Kenapa kau berada di semak-
semak itu?"
"Aku... aku sedang mencari telur...."
"Huuh...! Alasan saja!"
"Plaak...!"
Yang berpakaian hijau pupus menampar memakai
kaki, seraya berkata:
"Telurmu yang kau cari...?!"
"Aduuh...! Sumpah...! Sumpah, aku memang sedang
mencari telur burung gemak (puyuh). Bukan mengintip
kalian!"
"Hemm...! Mulut pemuda jalang seperti dia mana bi-
sa dipercaya, Aweni!" kata gadis berbaju merah muda.
"Seumur hidup aku tak pernah bisa percaya dengan
pemuda mata keranjang, Sayung. Sungguh!"
Kedua gadis itu berbicara saling mengecam Raden
Klowor. Tetapi, diam-diam Raden Klowor sempat berpi-
kir:
"O, yang berpakaian serba hijau itu bernama Aweni,
dan yang merah bernama Sayung...."
"Sudah, mari kita tinggalkan pemuda sinting ini!" ka-
ta Aweni seraya melangkah sambil menyampar tangan
Raden Klowor yang bertumpu di tanah. Tentu saja hal
itu membuat Raden Klowor yang hendak berdiri jadi ter-
jatuh lagi. Sedangkan Sayung masih sempat memukul-
kan kayu gagang kipasnya ke kepala Raden Klowor.
"Pletak...!"
Setelah itu melangkah, mengikuti Aweni.
Sebenarnya dongkol sekali hati Raden Klowor. Ia be-
nar-benar geregetan terhadap kedua gadis itu. Ingin ra-
sanya ia menggempur habis kedua tengkorak kepala
gadis itu, tetapi hal tersebut tak dapat dilakukan. Ia ha-
rus sabar, dan tabah. Ia harus rela membiarkan kedua
gadis itu pergi begitu saja, tanpa harus menanggung
dosa. Kalau saja Raden Klowor mau, bisa saja saat ini ia
melemparkan dua batu dan pasti mengenai kedua kepa-
la gadis itu. Namun, tetap saja ia bertahan diri untuk
berbuat demikian. Ia menghela nafas, mengatur jalan-
nya nafas dengan teratur. Itu dilakukan sebagai pena-
han kemarahannya.
Terbersit pikiran untuk membalas kekonyolan dua
gadis itu. Dan lagi-lagi Raden Klowor harus membuang
perasaan tersebut. Ia harus tenang dan sabar.
Sambil mengusap-usap bibirnya yang robek dan ber-
darah, Raden Klowor meninggalkan tempat tersebut. Ia
menganggap sendang berair bening itu adalah sendang
sial. Karena, gara-gara sendang itulah ia jadi dituduh
mengintip perawan mandi, dan dihajar babak belur be-
gitu. Ah, kasihan juga Raden Klowor itu. Perutnya lapar.
Ingin mendapatkan telur burung gemak, sejenis burung
puyuh. Tetapi, yang diperoleh hanya pukulan dan sik
saan dari dua orang gadis cantik.
"Hiih...!"
Sayang ia tidak punya waktu untuk membalas. Coba
kalau ia bebas membalas, pasti sudah jadi tape kedua
gadis itu.
Sambil melangkah menuju sebuah desa yang tak
jauh dari tepian hutan itu, Raden Klowor masih meng-
geram-geram. Apabila ia ingat nasibnya, dan sadar akan
sesuatu yang sedang dilakukan, maka geraman itu pun
segera diredakan. Tapi, sesekali memang muncul ke-
jengkelan yang membuat Raden Klowor terpaksa meng-
hela nafas berulang-ulang untuk menahan diri.
"Pak...." kata Raden Klowor kepada seorang penjual
enau. "Boleh saya minta sedikit minumannya? Saya
haus...!"
Penjual air enau itu menjawab dengan sinis:
"Barang daganganku bukan untuk dibagi-bagikan,
tahu? Air enau ini dijual! Enak saja mau minta! Beli...!"
Raden Klowor menampakkan kesedihannya. Tenggo-
rokan dipegang-pegang seraya berkata:
"Haus sekali. Sedikit sajalah...."
"Tidak! Kalau mau minum harus punya duit untuk
membeli air enauku. Kalau miskin, yah... minum saja
air comberan."
Duh, sakit sekali hati Raden Klowor mendengar kata-
kata itu. Ingin rasanya ia menampar mulut penjual
enau. Tetapi, niat itu ditahannya kuat-kuat. Berusaha
dihapus dari dalam hatinya dengan menghela nafas dan
mengatur hembusannya. Untung ada seorang penjual
kue serabi yang baru saja buka. Air untuk cuci tangan
masih bersih, dan Raden Klowor diizinkan meminum air
ember itu beberapa teguk. Kemudian ia melangkah lagi,
mencari desa yang bernama Desa Punding. Ia diperin-
tahkan oleh Lanangseta untuk menemui Paman Ludiro,
yang telah hidup sebagai petani biasa, dan meninggal
kan dunia kependekarannya.
Sebab, seperti telah dikisahkan dalam cerita Utusan
Lembah Kubur, bahwa Raden Klowor mengangkat di-
rinya sebagai murid Lanangseta. Mulanya, Lanangseta
tidak mau menerima murid. Tetapi, jurus-jurus kepu-
nyaan Lanangseta bisa tercuri oleh Raden Klowor mela-
lui mimpi-mimpinya yang ajaib. Dan, ketika Raden Klo-
wor terbukti mampu memainkan Cambuk Naga untuk
mengalahkan raksasa Barong Dewa, Lanangseta menja-
di bertanya-tanya dalam hati: "Mungkinkah Cambuk
Naga memang harus menjadi senjata pusaka milik Ra-
den Klowor?"
Tujuan Raden Klowor berkenaan dengan mimpinya
pada suatu malam. Ia bermimpi bertemu dengan Putri
Ayu Sekar Pamikat, pemilik Cambuk Naga sebenarnya.
Raden Klowor mengaku diperintahkan memohon doa
restu kepada bekas pemilik Cambuk Naga setelah Sekar
Pamikat, dan bekas pemilik itu tak lain adalah: Paman
Ludiro, seorang abdi setia Sekar Pamikat dan Lanangse-
ta sampai batas Lanang menikah dengan Putri Bukit
Badai, yakni: Kirana.
Itulah sebabnya, Lanang menyuruh Raden Klowor
menemui Ludiro di Desa Punding. Sekalipun sebenar-
nya Lanang sendiri heran, dan sangsi: Benarkah Raden
Klowor bertemu dengan Sekar Pamikat di alam mim-
pinya? Tetapi, karena rasa gembira Lanang atas kelahi-
ran anak pertamanya itu, maka ia tak mau banyak pi-
kir. Ia hanya menyebutkan nama Desa Punding, dan
menyuruh Raden Klowor menemui orang yang bernama
Ludiro. Raden Klowor sendiri tanpa menunggu perintah
kedua, ia langsung berangkat dengan satu catatan yang
ia terima dari Sekar Pamikat lewat mimpinya juga. Ca-
tatan yang diingat itu ialah: sabar.
Rupanya, tak mudah menemui Paman Ludiro, seka-
lipun orang separoh baya itu sudah menjadi rakyat jelata, dan meninggalkan dunia persilatannya. Tetapi, nya-
tanya ada-ada saja kendala dan cobaan selama dalam
perjalanan. Digebuk dua gadis hingga babak belur, di-
hina penjual air enau, dan kali ini malah ada peristiwa
yang membuat Raden Klowor harus menahan diri kuat-
kuat, menahan kemarahannya dan mengalah terlalu le-
lah.
Dua orang lelaki berkumis menghadangnya. Badan
mereka tegap dan kekar. Masing-masing mengenakan
rompi hitam dan celana biru. Sama warnanya dengan
celana dan baju Klowor: Biru tua! Mereka sama-sama
mengenakan ikat kepala dari kain batik. Sebilah golok
terselip di masing-masing pinggang kedua lelaki ber-
tampang seram itu. Bedanya, yang satu mengenakan
gelang bahar, yang satu tidak. Yang mengenakan gelang
bahar adalah orang yang pertama kali membentak Ra-
den Klowor.
"Berhenti!"
Itu yang membuat Raden Klowor berhenti melang-
kah.
"Ada yang perlu saya bantu, Paman?" sapa Raden
Klowor dengan berusaha untuk bersikap ramah.
"Jangan berlagak sopan di hadapanku, ya? Apa kau
belum kenal aku? Brogol; pembeset maling?!" Orang
bergelang akar bahar itu menepuk dada. Raden Klowor
yang masih merasakan sakit karena bibirnya pecah,
menyeringai menahan sakit. Tapi, Brogol menyangka
Raden Klowor nyengir dalam penghinaan.
Dicengkeramnya baju Raden Klowor, lalu ditampar-
nya wajah bloon itu dengan kasar.
"Bangsat! Kau menyepelekan aku, ya?!" geram Bro-
gol.
"Buk... bukan...! Bukan menyepelekan, Paman!"
"Lalu, apa maksudmu kau nyengir kuda di depanku,
hah?!"
"Sa... saya menahan sakit, Paman. Sakit... ini yang
sakit." Raden Klowor menunjuk mulutnya sendiri.
"Mulut busuk, huuh...!"
"Plok!"
Tangan berjari besar itu menampar wajah Raden
Klowor, seakan semua telapak tangan cukup menutup
seluruh wajah Klowor. Tentu saja Klowor mengaduh dan
terjengkang ke belakang, lalu jatuh di tanah dalam po-
sisi terduduk.
"Hei...!" sapa lelaki yang satunya dengan mata men-
delik. "Sebaiknya serahkan saja pusaka itu! Kau tak
akan bisa selamat dengan menyembunyikan pusaka
tersebut."
"Pusaka apa, Paman?" Raden Klowor kebingungan.
"Gibas saja dia, Sumolo...!" kata Brogol kepada te-
mannya yang bernama Sumolo.
"Mengaku saja sebelum kau kuserahkan ke Pade-
mangan!"
Sambil berkata begitu, kaki kanan Sumolo yang jem-
polnya sebesar buah duku itu menendang dada Raden
Klowor. Tapi, secara reflek tangan kanan Raden Klowor
bergerak ke depan dada; menangkis tendangan itu.
"Eh, melawan kamu, ya?!" Sumolo semakin geram
akibat tendangannya ditangkis. Kemudian, dengan ka-
sar ia menampar kepala Raden Klowor.
"Plok...!"
"Aaaaoow.... Ampun...!" Raden Klowor terpelanting ke
samping dan nyaris tersungkur.
Brogol mencengkeram baju Raden Klowor dari bela-
kang dan mengangkatnya ke atas.
"Lebih baik menyerahkan pusaka itu, daripada mati
dalam penyiksaan!"
"Saya... saya tidak tahu soal pusaka! Hemm... me-
mangnya, pusaka apa yang dicari...?!"
"Berlagak tolol lagi. Huuh...!"
"Plook...!"
Sekali lagi tamparan keras membuat bibir itu berda-
rah kembali. Uuh sakitnya sampai ke ubun-ubun.
Ada beberapa orang yang memperhatikan penangka-
pan itu. Mereka saling berbisik di kejauhan.
"Ada maling tertangkap...! Itu dia malingnya! Katanya
dia maling pusaka...! O, itu yang dicari-cari Ki Demang?
Masih muda kok jadi maling, ya? Kenapa tidak jadi Lu-
rah saja, ya? Kasihan dia... maling sekali saja tertang-
kap, apalagi kalau maling kedua kali...! Mati, mungkin!
Wah, dia dipukul tidak melawan...? Tentu saja, dia mal-
ing tanpa modal...."
Dan, banyak lagi celetak-celetuk, bisik-bisik mereka.
Sementara itu, Raden Klowor berusaha meronta dari
cengkeraman Brogol. Tetapi, ia tak berhasil. Bahkan pe-
rutnya menjadi mual karena dihantam berulangkali
dengan tangan Sumolo yang jarinya bagai sebesar pi-
sang ambon.
"Saya bukan maling... bukan maling...! Saya bukan
maling, dan maling bukan saya...!"
Raden Klowor menjerit kesakitan ketika tulang ke-
ringnya ada yang melempar dengan batu dari jarak
jauh. Lecet, lalu berdarah.
"Serahkan pusaka itu, atau kau mati di sini?!" Brogol
menjambak rambut Raden Klowor dari belakang, dan
mendongakkan kepala itu. Seringai Raden Klowor ber-
samaan dengan kedua mata yang menahan sakit den-
gan memejam kuat-kuat.
"Bukan saya...! Bukan saya malingnya!"
"Putri Demang tak akan rabun matanya. Ia menye-
butkan dengan jelas ciri-cirimu, Bangsat! Dan, ternyata
memang benar semua ciri-ciri itu ada padamu. Mau
menyangkal apa lagi kau, hah! Hihh...!"
"Addoww...!" Klowor memekik lagi karena dagunya
dihantam tangan kiri Sumolo.
"Sumpah... saya tidak mencuri apa-apa. Itu semua
fitnah. Pasti itu keterangan palsu, wadoow...!"
Sekali lagi ia menjerit, karena ada yang melemparkan
batu dari jarak jauh, dan mengenai tulang kakinya.
Yang tadi kena! Wah, sudah tentu itu sakit sekali. Pan-
dai juga orang yang melemparkan batu itu. Tepat dan
jitu!
"Brogol, seret saja dia dan hadapkan ke Ki Demang!"
kata Sumolo. Tetapi, Raden Klowor hendak meronta dan
berkata:
"Tidak mau...! Aku bukan pencuri... aku bukan...."
"Wadaaoow...!"
Kali ini yang menjerit Sumolo. Matanya jadi terbela-
lak dan garang. Rupanya ada penonton yang hendak
melemparkan batu lagi ke kaki Raden Klowor, tetapi
meleset mengenai lutut Sumolo. Sudah tentu Sumolo
pringas-pringis sambil melotot garang, mencari pelem-
parnya dari arah samping.
"Bangsat mana yang berani melemparkan batu ke lu-
tutku, hah?!"
"Sudah, sudah...!" kata Brogol. "Jangan perpanjang
soal itu. Ayo, lekas bawa anak ini ke hadapan Ki De-
mang...!"
Karena Raden Klowor meronta terus, akhirnya kedua
kakinya diikat, dan kedua tangannya dipegang oleh
Brogol dan Sumolo, kemudian diseret begitu saja, seper-
ti mereka menyeret batang pisang busuk.
Sekali lagi, Raden Klowor bagaikan sedang menangis
di dalam hatinya. Kedongkolan menyesak di dalam dada
dan ingin meledak saja rasanya. Ia tak mau membalas
pukulan dan siksaan Sumolo dan Brogol. Padahal ia bi-
sa. Bisa melawan dan pasti bisa menang, karena ada
banyak ilmu dari Lanangseta yang telah berhasil dis-
erapnya dan dikuasainya. Apalagi kalau saja saat itu
cambuk pusaka itu ada di tangan Klowor, huuuh... bisa
jadi berkeping-keping kedua orang bertampang sangar
itu. Sayang sekali dalam perjalanan tersebut, Raden
Klowor tidak diizinkan membawa Cambuk Naga oleh
Lanang, karena suatu alasan. Akibatnya, Klowor tak bi-
sa banyak berbuat walau menerima siksaan sesakit apa
pun. Bahkan ketika ia dilemparkan begitu saja di depan
seorang lelaki beruban tipis yang dipanggil sebagai De-
mang Gangsir, Raden Klowor hanya bisa mengaduh-
aduh dan mengerang-ngerang kesakitan. Ia buru-buru
membuka ikatan pada kakinya, namun beberapa orang,
termasuk Sumolo dan Brogol segera mengepungnya.
Raden Klowor tak bisa lari ke mana-mana.
"Mana pusaka itu, Jahanam?!"
"Pusaka apa, Pak...?!" seru Klowor dengan warna ke-
jengkelannya terlihat. Ia buru-buru mengurangi teka-
nan suara, agar tak terpancing kemarahannya:
"Jangan berlagak gila di sini, kau?! Mana pusakaku
itu?!"
"S... saya tidak mencuri... mencuri apa pun dari si-
ni!"
"Harus disiksa dulu dia, baru akan mengaku...!" kata
Ki Demang Gangsir kepada Sumolo. Kemudian, Sumolo
memerintahkan kepada salah seorang yang berdiri di
belakangnya tanpa mengenakan baju San berkepala bo-
tak:
"Lugut...! Cambuk dia di kamar penyiksaan...!"
Lugut, orang tanpa rambut di kepalanya itu segera
meremas salah satu kaki Raden Klowor dan menyeret-
nya dengan kasar. Raden Klowor hanya bisa berteriak-
teriak dan mencoba bertahan. Tapi, tak berhasil. Ia di-
ikat di antara dua tiang berjarak satu langkah. Kakinya
direnggangkan dan diikat, tangannya direntangkan dan
diikat pula. Sebelumnya, baju yang dikenakan Raden
Klowor telah dibuka, sehingga ketika sebuah cambuk
pendek terbuat dari serat kulit berduri menghantam
pinggangnya, ia menjerit kesakitan. Matanya mendelik,
kemudian terpejam kuat-kuat. Pinggang itu luka ter-
gores duri cambuk.
"Kau memilih cambuk itu atau pusaka itu?" tanya
Sumolo dengan sinis. Kebengisannya terasa ingin dilu-
dahi Klowor, namun perasaan semacam itu juga buru-
buru dihilangkan dari hati Raden Klowor.
"Saya... saya tidak memilih keduanya...! Saya punya
pusaka sendiri yang lebih... lebih ampuh dari segala pu-
saka!"
"Taarr...!"
"Aoow...!" pekik Klowor ketika cambuk dikibaskan la-
gi dan merobek dadanya.
"Kalau kau keras kepala, maka kau akan mati den-
gan kepala menjadi empuk dan bonyok, tahu?!" ancam
Sumolo ketika Ki Demang Gangsir datang ke kamar pe-
nyiksaan itu.
"Aku... aku tidak bersalah!"
"Mencuri pusaka milik orang lain kok tidak bersalah?
Hah, dalil dari mana itu?!"
"Sungguh, Mas... aku tidak mencuri pusaka itu.
Mungkin ada yang salah lihat...!"
"Tarr...!"
Lugut mencambuk lagi setelah diberi kode oleh Su-
molo dengan anggukan kepala. Kini, perut Klowor ber-
darah. Robek beberapa garis. Warna biru memar ada di
mana-mana, termasuk di sekujur wajahnya.
"Ampuuuun... jangan siksa akuu...!"
"Kalau kau serahkan pusaka itu, kami akan mele-
paskan kamu sebagai manusia biasa. Bukan maling!"
kata Demang Gangsir dengan muka kaku dan geram.
"Pusaka apa yang harus kuserahkan...?! Aku tidak
tahu, kau kehilangan apa, Peot!"
"Jahanam dia...!"
"Taar.... Taar...!"
Dua kali cambukan membuat Raden Klowor menje-
rit-jerit. Dua goresan berdarah membekas di ketiak dan
pundak Klowor. Ia pun buru-buru menahan diri lagi,
jangan sampai mengeluarkan kata-kata makian atau
kata-kata umpatan kotor.
Kalau mengumpat pun ia tahan, sudah tentu mem-
balas pun ia hindari. Sebisa mungkin Raden Klowor
bertahan, dan bertahan terus. Mengapa harus berta-
han? Mengapa tidak menyerang mereka, toh dia bisa.
Bukankah ilmu orang-orang itu tidak lebih unggul di-
banding ilmu yang dimilikinya dari mimpi?
Tidak. Klowor tidak boleh membalas. Klowor harus
bertahan dan bersabar. Ini perintah dari alam mim-
pinya; perintah dari Sekar Pamikat, bahwa ia harus me-
lakukan semadi sabar, atau tapa sabar. Tidak boleh
membalas jika diserang, tidak boleh marah, jika disaki-
ti. Pesan Sekar Pemikat lewat mimpi itu disampaikan
guna menambah ilmu pada Raden Klowor, yaitu ilmu
yang selama ini jarang digunakan Ratu Ayu Sekar Pa-
mikat, yaitu jurus Naga Linglung.
Karenanya, sejak kemarin lusa Raden Klowor tidak
pernah mengungkapkan kemarahannya. Sejak menda-
pat serangan dari Aweni dan Sayung, Raden Klowor ti-
dak pernah memberikan balasan. Juga, saat ini, tidak
ada gerakan pembalasan dari Raden Klowor. Ia harus
menerima tuduhan itu, dan menyanggah dengan kata-
kata, bukan dengan gerakan mematikan.
"Saras...!" panggil Ki Demang, dan dari pintu mun-
cullah seorang gadis berkebaya putih dan mengenakan
kain kuning tipis. Wajahnya cantik, rambutnya dikuncir
dua, tubuhnya cukup menggiurkan dengan pinggul le-
bar dan dada sekal.
"Benarkah pemuda ini yang kau lihat melompat dari
jendela kamarku...?" tanya Ki Demang kepada anak ga-
disnya yang bernama Saras. Tapi, setelah menatapinya
beberapa saat. Saras menjawab dengan pasti:
"Oouw... bukan, Rama! Bukan pemuda ini. Ia me-
mang kurus, seperti tubuh pencuri itu. Tinggi badannya
memang sama, tapi wajahnya lebih ganteng pencuri ter-
sebut. Jadi, bukan dia orangnya, Rama...."
Klowor menggeram, dan memang hanya bisa meng-
geram.
*
* *
2
Panas hati Raden Klowor. Sudah disiksa, disakiti, di-
tuduh maling, eeh... ternyata terbukti tidak bersalah.
Rasa-rasanya gatal dan gemetar sekali tangan Raden
Klowor. Ingin segera menghantam Sumolo, Brogol, Lu-
gut atau Demang Gangsir sendiri.
Yah, untung ada Saras.
Mata bulat indah, wajah mirip boneka itu sempat
membuat Raden Klowor terpana beberapa saat setelah
dibebaskan. Gadis seusia dengannya itu, sering mem-
perhatikan Raden Klowor dengan tatapan yang lain, tapi
jelas punya maksud tersendiri. Itulah satu-satunya
penghibur kemarahan Raden Klowor. Kalau tidak ada
Saras, wah... sangat berat bagi Raden Klowor untuk
menahan kemarahannya.
"Maafkan ayahku...." ujar Saras ketika ia menunggui
Klowor dalam pengobatan seorang pengawal Pademan-
gan yang memang tugasnya mengobati luka.
"Ciri-ciri yang kuberikan kepada mereka tentang
pencuri pusaka itu, memang mirip denganmu. Tapi, aku
yakin, ayahku pasti sangat menyesal bertindak secero-
boh ini."
Sekalipun bibir pecah dan perih, meskipun hati pa-
nas dan geram, tetapi Raden Klowor berusaha untuk
memberikan senyum. Namun, ketika ia meringis, ia ma-
lahan mengaduh, karena bagian lukanya pada bibir jadi
tertarik. Perih.
"Kurasa tak ada rasa sesal pada diri ayahmu mau-
pun orang-orangnya itu. Buktinya, mereka hanya mele-
paskan aku begitu saja, tanpa ada kata permintaan
maaf sedikit pun."
Dari sipitnya mata yang memar, terlihat sekali ada
segumpal dendam yang ditahan mati-matian oleh Raden
Klowor. Geletukan gigi pun tak dapat dielakkan lagi.
Hanya saja, seringnya Raden Klowor menghela nafas
dan menahannya sampai beberapa saat itu, dapat dis-
impulkan bahwa dia berusaha mengendalikan diri un-
tuk sabar.
"Ternyata berat sekali menjalankan tapa sabar itu,
ya?" pikirnya seraya ia membiarkan seorang lelaki se-
tengah tua mengobati luka cambuk pada dadanya. Sa-
ras masih berdiri di belakang orang itu dan berbicara
dengan hati-hati:
"Mungkin semua itu karena kepanikan ayahku, atas
hilangnya pusaka kami."
Setelah menggumam dalam kecemberutan, Raden
Klowor memberanikan diri bertanya:
"Pusaka apa itu sebenarnya? Ujudnya seperti apa?"
Diam sebentar, lalu Saras menjawab:
"Selendang Tirta Dewi."
Raden Klowor mengeja pelan, "Selendang.... Tirta....
Dewi...?"
"Seperti kau ketahui sendiri, daerah di sebelah Sela-
tan Gunung Sawi, adalah daerah tandus, termasuk Pa-
demangan kami ini, pedesaan-pedesaan lainnya, serta
beberapa tanah tak berhuni. Semuanya dalam keadaan
tandus. Tapi kau tahu sendiri juga, bahwa Pademangan
Kumilir ini bisa menjadi daerah yang subur dan banyak
air. Ini karena kesaktian dari pusaka Selendang Tirta
Dewi...."
"O, begitu ya?" Raden Klowor manggut-manggut.
"Apabila Selendang Tirta Dewi dikibaskan, dia akan
mendatangkan hujan, atau memancarkan air dari le-
reng bebatuan cadas di bagian atas sana. Dan air itulah
yang akan mengalir, mengairi persawahan kami."
".... kalau begitu...." kata Raden Klowor. "Berarti pen-
curi pusaka itu adalah berasal dari tempat yang tan-
dus!"
"Itu sudah pasti. Kami tahu. Tapi, kami tidak tahu,
dari daerah mana dia. Daerah tandus yang mana?"
Raden Klowor tersenyum dalam gumam. Katanya:
"Sayang aku ada urusan lain. Kalau saja aku sudah
bisa menyelesaikan urusanku, mungkin aku bisa mem-
bantumu mencari pusaka tersebut." Klowor melirik Sa-
ras, oh... ada rona kecewa di sudut mata Saras. Kenapa,
ya?
Hari sudah mulai remang ketika Raden Klowor ke-
luar dari Pademangan Kumilir. Masih ada sisa perih di
sekujur badannya, tapi ia berusaha untuk tidak mera-
sakan. Masih ada sisa sakit di hatinya, tapi ia berusaha
untuk melupakan. Yang ada dalam benaknya adalah
Desa Punding dan nama Ludiro yang harus dituju. Se-
dangkan Demang Gangsir, Brogol, Sumolo dan yang
lainnya menjadi lenyap begitu saja, seolah tak pernah
terjadi bentrokan dengan mereka. Sebab, orang-orang
Pademangan itu pun menganggap sepi, seakan mereka
tidak pernah berbuat salah kepada Raden Klowor. Ini
sebenarnya menjengkelkan sekali, tapi semadi laku sa-
bar yang sedang dijalani Raden Klowor, memaksa Raden
Klowor untuk tidak bersakit hati dengan masalah itu.
Begitu menuruni bukit yang tidak bisa dibilang ting-
gi, Raden Klowor berhenti melangkah. Terhenyak se
saat. Matanya terbelalak dengan dahi berkerut. Ada
seorang perempuan yang berlari-lari meminta tolong.
Perempuan itu amat ketakutan. Di belakangnya ada
seorang lelaki brewok yang agaknya amat bernafsu ke-
pada perempuan itu.
"Sumini...! Sumini, berhenti kau! Jangan lari...!" te-
riakan lelaki brewok yang masih berusia muda itu ter-
dengar jelas didengar Raden Klowor.
"Tolooong...! Tolong aku.... Ooh, tolonglah aku...!"
Sumini meratap dan bersembunyi di balik badan Raden
Klowor. Perempuan muda yang pakaiannya sudah ro-
bek beberapa tempat itu meratap-ratap memohon perto-
longan dari Raden Klowor. Padahal, Raden Klowor sen-
diri masih bingung dan clingak-clinguk dengan sedikit
panik.
"Tolonglah aku...! O, aku... aku hendak diperkosa le-
laki itu...! Tolonglah, lindungilah aku dari kerakusan
Mito. Tolonglah jangan diam saja...!"
Sumini memeluk kaki Raden Klowor, bahkan meng-
goyang-goyangkan dengan ratapan dan tangis. Raden
Klowor semakin salah tingkah, sebab baju Sumini su-
dah tak dapat dikatakan sebagai alat penutup dada lagi.
Ngablak! Kelihatan jelas kemulusan dagingnya yang cu-
kup padat dan menonjol itu. Dan, pemandangan terse-
but membuat Raden Klowor menelan ludah sendiri.
Mito, lelaki brewokan yang tidak lagi mengenakan
baju kecuali celana merah itu, segera berhenti tak jauh
dari Raden Klowor. Matanya yang jalang itu memerah,
nafasnya terengah-engah.
"Hei, mau jadi pahlawan kesorean, ya?! Ayo, ming-
gir!" hardik Mito dengan bertolak pinggang. Raden Klo-
wor berusaha menampilkan senyum ramah, sekalipun
ia sendiri sebenarnya ingin menghajar lelaki itu.
"Sabar, Kang. Sabar...!" Raden Klowor menampakkan
kesabarannya, sesuai dengan semadi yang sedang dila
kukannya. Semadi Sabar!
"Sum...! Ayo, pulang...!"
"Tidak mau! Tidak mau...!" Sumini bergelayutan di
kaki Raden Klowor yang punya tampang masih lebih
ganteng ketimbang Mito. "Carilah perempuan lain yang
bisa melayani nafsumu! Aku tidak mau menjadi budak
birahimu, Mito!"
"Hei, sebagai istri kau tidak pantas bicara begitu,
Sum!"
"Aku bukan istrimu! Enak saja kau bicara! Aku be-
lum pernah punya suami siapa pun, dan tidak men-
ganggapmu sebagai kekasih! Aku dan kamu kan hanya
berteman! Tapi, kamu jangan rakus begitu!"
"Kurang ajar kau, Sum! Tega-teganya mengaku begi-
tu di depan seorang pemuda yang kau anggap lebih
tampan dari aku?! Tega-teganya kau, hah?!"
Tangan Mito berusaha meraih Sumini, tetapi Raden
Klowor berusaha menghalanginya dengan berkata:
"Nanti dulu, Kang...! Sabar, Kang...! Sebaiknya kita
bicarakan dengan baik-baik...!"
"Apa-apaan kau ini, hah? Mau merebut istri orang,
ya? Jahanam, hiiiat...!"
"Ceprot...!"
"Uuuhhhh...!" Raden Klowor menutup mulutnya
dengan kedua tangan. Oh, bibir yang belum kering dari
luka sudah mendapat santapan sekali lagi berupa ton-
jokan keras. Tentu saja pekikannya mulai terlontar tan-
da kesakitan. Kesal sekali hatinya, karena lagi-lagi ia
kena hajar tanpa bisa melawan.
"Kuhancurkan mukamu kalau kau masih mengha-
lang-halangi niatku mengambil istri sendiri, huaaitt...!"
"Huuugh...!"
Mata Klowor mendelik, membungkuk, karena perut-
nya ditendang dengan ujung telapak kaki. Kena pada
hulu hati. Nafas Klowor tersedak, mampet. Ia meringis
dengan menahan nafas. Sementara itu, Sumini masih
berlindung di balik tubuh Raden Klowor. Berusaha me-
megangi kaki Raden Klowor agar tubuhnya tidak mudah
ditarik oleh Mito.
"Setan kau, Mito...! Kejam kau...!" teriak Sumini sete-
lah Mito memukul wajah Raden Klowor dengan kepalan
tangan kanannya, dan membuat darah mengucur dari
hidung Raden Klowor. Pada saat itu, sebenarnya Klowor
sudah hendak memberikan pukulan balasan. Tetapi, ia
menahan diri. Buru-buru menggenggam tangan kuat-
kuat untuk tidak melakukan serang balik kepada Mito.
Oooh... perihnya hati orang jika harus bersabar.
"Ampun, Kang...! Ampuuun...!" teriak Raden Klowor
bagai tanpa daya lagi ketika tangannya dipelintir oleh
Mito.
"Sudah pantas tanganmu menjadi patah karena kau
mencoba melindungi Sumini! Dia istriku, dan aku ber-
hak melakukan apa saja! Mengapa kamu melarangnya,
hah? Mengapa kamu menghalangiku, hah?!"
"Aaaauuuh...!" jerit Mito sama kerasnya dengan jeri-
tan Raden Klowor, Sumini tidak tega, dan dengan bera-
ni, nekad, ia memungut batu dan menghantamkannya
ke telapak kaki Mito sampai berdarah.
Mata kaki Mito bengkak mendadak, biru. Tapi di ba-
gian dekat mata kaki itu sudah berdarah karena ditum-
buk batu sekuat tenaga. Untuk menghindari perbuatan
Sumini yang semakin seperti kesetanan itu, Mito me-
nendang wajah Sumini sambil mengaduh-aduh, dan
berjingkat-jingkat satu kaki, menjauhi Raden Klowor.
"Bangsat kau...! Bangsat, bangsat, bangsaaat...!" Mi-
to berteriak-teriak sendiri sambil memegangi kakinya
yang kanan. Ia duduk dan meringis-ringis sampai kepa-
lanya terdongak-dongak.
"Pukul dia!" kata Sumini kepada Klowor. "Pukul, le-
kas! Mumpung dia tidak siap...! Ayo, pukul...!"
Raden Klowor hanya diam, masih menyeringai sedikit
menahan sisa sakit. Matanya hanya menatap Mito yang
mengaduh-aduh sambil memegangi kakinya.
"Ayo, pukul dia...! Masa' kamu takut?! Oh, tolonglah
aku, hajarlah dia supaya tidak berani menggangguku
lagi!"
Dengan sabar Raden Klowor berkata kepada Sumini
yang telah berdiri di belakangnya:
"Tak baik seorang istri menyuruh orang lain memu-
kul suaminya."
"Dia bukan suamiku! Kau dikelabuhi olehnya! Dia te-
tanggaku, yang sudah sering merusak kegadisan te-
man-temanku, dan kali ini akulah yang akan dijadikan
sasarannya...!"
Mito berpaling, lalu dengan cepat ia meraih batu dan
melemparkannya kepada Raden Klowor.
"Mampus saja kau, Bajingan...!"
"Weees...!"
Batu sebesar genggaman tangan dilemparkan. Gera-
kan batu yang cepat nyata-nyata terarah ke mata Raden
Klowor. Dengan gerakan naluri yang ada, Raden Klowor
segera miringkan kepala. Menghindar.
"Pletak...!"
"Aaaauuuwww...!"
Sumini berteriak seru. Menjerit. Batu itu lolos dari
kepala Raden Klowor, tapi mengenai kening Sumini.
Akibatnya, kening itu berdarah dan Sumini jatuh. Men-
jerit-jerit dengan wajah penuh lumuran darah. Raden
Klowor panik, mulai naik amarahnya kepada Mito. Ia
menggeram dan nyaris mencaci maki Mito. Tetapi, ia
buru-buru sadar, bahwa ia harus menjadi orang sabar
yang mampu meredakan kemarahan hatinya. Sebab itu,
ia harus berkata dalam keadaan panik:
"Mito, Sumini berdarah...! Kau yang melukainya! Li-
hat! Lihatlah sendiri...!"
Sumini menangis meraung-raung. Semakin panik sa-
ja Raden Klowor melihat hal itu. Pikirannya menjadi
bercabang dan kusut, antara ingin menolong Sumini,
dan menahan kemarahan kepada Mito. Tetapi, ia pun
harus memikirkan bagaimana baiknya menghadapi Mi-
to. Ah, kasihan Sumini. Ia orang tanpa daya. Lemah.
Dikejar-kejar Mito dan diperlakukan dengan seenaknya
sendiri. Kasihan. Seharusnya Raden Klowor memberi
pertolongan. Ah, bingung. Kalau saja tidak sedang men-
jalankan semadi sabar, puasa sabar, sudah tentu dari
tadi mata Mito telah membeliak sekarat karena seran-
gan jurus Raden Klowor.
"Mito, tolong hentikan kekejianmu," kata Raden Klo-
wor. "Kasihan Sumini. Lihatlah sendiri... aku sudah me-
lihatnya, sekarang gantian kau yang melihatnya. Kasi-
han apa tidak kalau dia menjadi berlumur darah begini?
Dilempar memakai batu itu sakit, Mito. Apalagi sampai
bocor begini, pasti sakit. Kalau kau tak percaya, cobalah
kepalamu kau lempar batu sendiri sampai bocor...."
"Sebaiknya kepalamu saja yang kulempar!"
"Eh, jangan! Aku sudah sering kena lempar...! Sudah
hapal rasanya...! Jangan lempar aku," Raden Klowor
menggunakan aji kesabaran yang benar-benar diusaha-
kan mati-matian. Dan Sumini masih meraung-raung
sambil mencaci maki Mito dengan kata-kata kotor.
"Dasar bajingan...! Buaya...! Buaya rakus! Maliing...!"
Mito bergerak terpincang-pincang dengan emosi.
"Perempuan busuk! Kurobek mulutmu!"
"Hei, hei... sabar," kata Klowor. "Jangan asal robek
saja, kasihan kan? Itu mulut orang, masa' harus diro-
bek. Toh tidak perlu kau robek, mulut itu sudah robek
sendiri...!" kata-kata kasihan yang mencerminkan kesa-
baran Klowor dibuat berhenti dengan tamparan tangan
Mito ke mulut Klowor.
Setelah itu, Mito menendang Sumini dengan kasar.
Kepala Sumini tersentak ke belakang, jeritnya makin
kencang.
"Jangan...! Jangan galak begitu, ah...!" Klowor men-
coba mencegah dengan kesabaran.
"Mampus saja kau, Perempuan laknat...!"
"Aagghh...!"
Sumini tak bisa bernafas, karena perutnya diinjak
oleh Mito. Raden Klowor serba salah. Ia menggeret tan-
gan Mito dengan menahan kemarahan:
"Sudahlah... dia kan seorang perempuan yang...."
"Babi panggang kau, hiiih...!"
Telapak tangan Mito menghentak ke pipi Klowor,
maka jatuhlah Raden Klowor terguling-guling. Kepa-
lanya membentur batu dan,
"Aaaoohh...!"
Ia menjerit menggelepar-gelepar. Ia bergegas untuk
bangun, tapi kepalanya bagai berputar dengan cepat.
Pandangan matanya sedikit kabur, namun ia masih
sempat melihat apa yang dilakukan Mito kepada Sumi-
ni. Rupanya itulah sifat kebinatangan Mito yang se-
sungguhnya. Raden Klowor sempat dibuat semakin gu-
gup.
Dengan kasar dan seperti manusia binatang, Mito
merobek-robek kain yang dikenakan Sumini. Lalu ia be-
rusaha menahan gerakan tangan Sumini yang hendak
mencakarnya berulang kali itu. Sebuah pukulan dihan-
tamkan ke wajah Sumini yang sudah berlumur darah.
Sumini akhirnya mengerang bagai orang di ambang ajal.
Ia lemas, tangisnya memanjang dengan suara serak.
Sementara itu, Mito melaksanakan niatnya memperkosa
Sumini dengan lahap.
"Astagaaaa...! Jangan, Mito...! Jangan! Jangan di de-
panku, eh... jangan berbuat seperti itu...! Ya, am-
puuun... benar-benar kelewatan kau, Mito...."
Raden Klowor berusaha untuk melangkah mendekati
Mito, ia ingin melarang Mito dengan cara baik-baik agar
tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Tetapi, beru-
langkali melangkah, ia selalu jatuh. Melangkah lagi, ja-
tuh lagi. Ia sempoyongan dengan memegangi kepalanya
yang benjol terbentur batu.
"Mito...! Sadarlah...! Dia perempuan lemah, jangan
kau paksa dengan.... Auuuh...!" Raden Klowor jatuh
kembali, dan kali ini betisnya tertusuk duri yang ada
pada sebuah ranting kering. Ia meringis dan mencabut
duri itu. Lalu, berusaha untuk bangkit, mendekati Mito.
Ia akan menarik tubuh Mito, sebab hatinya sangat ka-
sihan melihat Sumini terengah-engah disekap tangis
yang menyayat hati.
Karena ia bangkit dan jatuh lagi. Akhirnya ia me-
rangkak mendekati Mito yang masih rakus memperla-
kukan Sumini dengan tanpa rasa kemanusiaan lagi.
Sayangnya, begitu Raden Klowor dekat dengan Mito,
kaki Mito menyepaknya kuat-kuat dan Raden Klowor
menggelinding lagi karena tanah di situ masih dalam
kemiringan tertentu.
"Ya, ampuuun...! Manusia macam apa kau sebenar-
nya, Mito. Baru saja mendekat sudah ditendang lagi,"
kata Raden Klowor semakin kebingungan. Ia sudah
menggenggam batu. Ia yakin, sekali lempar pasti akan
mengenai kepala Mito dan bisa membuat Mito kelenger.
Tetapi, ingat dirinya harus bisa bersikap sabar, sesabar-
sabarnya, maka batu itu pun segera dibuang. Klowor
lemas. Lunglai dalam keadaan terduduk di tanah. Ma-
tanya memandang sayu pada segala yang dilakukan Mi-
to terhadap Sumini. Sampai-sampai, akhirnya Klowor
berpaling dan menahan kesedihan sendiri di dalam hati.
Ia punya kuasa untuk menumpas kebejatan moral se-
perti itu, tapi ia tidak bisa melakukannya untuk saat
ini.
Sumini tergeletak. Berlumur darah dan kekotoran
aib. Sambil terpincang-pincang, Mito berlalu begitu saja
setelah puas menikmati madu kebahagiaan yang ada
pada Sumini. Ia hanya melirik sinis kepada Raden Klo-
wor yang lututnya terasa lemas, kemudian melangkah
pergi dengan bangga. Ia merasa berdiri sebagai pihak
yang menang. Raden Klowor tak mau memandangnya,
sebab jika ia memandang Mito, maka akan timbul ke-
bencian dan kemarahan yang meluap-luap terhadap le-
laki brewok itu.
Hari semakin sore. Remang-remang.
Suara tangis yang merintih lirih masih terdengar
menyayat hati. Itu pasti suara Sumini. Sumini yang me-
rasa tercampakkan. Ternoda, dan mungkin tidak lagi
mempunyai hari tuanya lagi. Ia bagai sehelai daun ker-
ing, yang diremas tanpa ada belas kasihan lagi. Ia mera-
tap, dan meratap menembus keheningan sore.
Pelan-pelan, Raden Klowor mendekati dengan hati
penuh keharuan. Sumini makin menyembunyikan wa-
jah ke samping.
"Maafkan aku...!" ucap Klowor pelan sekali, seakan
merasa sebagai orang yang bersalah. Sekali lagi ia
menghela nafas, menggenggam kuat-kuat rambut yang
ada di sampingnya. Dendam dan kemarahannya terta-
han berat sekali.
"Sebenarnya... aku bisa melakukan! Aku bisa!"
"Kau binatang!" geram Sumini dengan tangis yang
makin meratap kembali.
"Terima kasih...! Mungkin aku memang binatang di
matamu, tapi... semua ini kulakukan karena... karena
ada sesuatu yang membuatku harus tetap diam. Aku
harus bersabar...!"
"Kau pengecut!"
"Memang, mungkin benar. Aku pengecut. Tapi kura-
sa hanya untuk kali ini saja."
"Kau banci...!"
"Kurasa tidak. Buktinya aku sempat menelan liur ke-
tika Mito melahap mu, dan aku... hanya melahap rum-
put kering. Ah, semua ini... semua ini...." Raden Klowor
tak sempat lagi merangkai kata. Serba bingung dan ma-
lu pada diri sendiri. Benci pada diri sendiri. Marah pada
dirinya juga. Lalu, ia menghirup udara panjang-
panjang, dan menyimpannya di dalam dada, sebagai
penangkal luapan kemarahan pada diri sendiri.
"Hei, mau ke mana kau...?!"
Dengan sempoyongan, Sumini bangkit, lalu berjalan
ke arah puncak bukit. Memang bukit itu tidak terlalu
tinggi. Gampang di daki. Tetapi untuk jiwa yang goyah
dan badan yang penuh luka seperti Sumini, sungguh
berbahaya jika ia berjalan mendaki. Kalau tergelincir,
cukup ngeri juga. Paling tidak akan patah tulang.
"Sumini, sekali lagi aku mohon maaf, atas...!"
"Diam di situ! Jangan ikuti aku! Kita memang tidak
saling mengenal!"
Sumini merasa disepelekan. Kecewa sekali. Hara-
pannya akan tertolong oleh Raden Klowor yang menu-
rutnya sejajar dan seimbang dengan Mito, namun ia ju-
stru dijadikan tontonan belaka. Sakit hati Sumini mele-
bihi ditumbuk dengan alu berduri. Ia benci kepada Mi-
to, namun juga benci kepada Raden Klowor.
"Sumini, apa yang ingin kau lakukan di situ?!"
Sumini tidak banyak bicara. Ia mengisak dalam tan-
gisnya. Ia berdiri di tepi jurang. Paling pucuk dari bukit
itu. Ia siap melompat ke bawah. Sedangkan di bawah
sana, terdapat banyak batu yang mampu meremukkan
kepala manusia yang melompat dari ketinggian bukit.
"Sumini...?!" Raden Klowor tegang dan kebingungan.
"Pergilah. Teruskan perjalananmu, Pengecut...!"
"Aku... aku.... Oh, apa yang ingin kau lakukan?!"
"Mengakhiri hidup. Aku sudah ternoda. Kebanggaan
ku, mahkota hidupku sebagai gadis desa, hilang sudah.
Hancur! Dan aku ingin menyempurnakan kehancuran
ini...!" Ia mengisak sedih.
"Jangan, Sumini. Jangan picik. Masih ada hari tanpa
embun. Masih ada embun tanpa pagi. Buktinya kalau
kita memasak air, akan mendapat embun di balik tutup
pancinya."
Sumini tidak mau tahu semua kata-kata Raden Klo-
wor. Ia memandang ke bawah, siap melompat dengan
jatuh kepala lebih dulu membentur batu.
"Sumini, ingat... kau masih punya setumpuk ke...
hei, Suminiiii...!"
"Wesss...!"
Sumini terjun ke jurang, kepalanya menukik ke ba-
wah. Raden Klowor berteriak penuh ledakan emosi.
Dan, ia memejamkan mata ketika tubuh Sumini ter-
hempas bagai pelepah pisang yang dibuang begitu saja
dari atas bukit.
*
* *
3
Sabar, bukan lagi suatu senjata yang berat dijun-
jung, namun juga merupakan senjata yang sulit digu-
nakan. Dalam masa menjalankan puasa sabar itu, Ra-
den Klowor yang bertubuh kurus mulai menyadari apa
makna bersabar diri. Bahwa sesungguhnya, musuh ter-
besar manusia bukan dari orang lain, tetapi dari dalam
dirinya sendiri. Betapa beratnya Raden Klowor melawan
nafsunya sendiri, meredam kemarahannya sendiri, yang
terasa lebih mudah menundukkan tokoh sakti dari ma-
na pun. Jangankan melawannya, menghindari gejolak-
nya nafsu amarah, sungguh merupakan pekerjaan yang
berat, barangkali tidak semudah memindahkan gunung
dari tengah pulau ke tepian laut.
Bukan hanya Sumini saja yang menjadi cambuk ke-
sabaran Raden Klowor, bukan hanya Demang Gangsir
saja yang menempa pengendalian diri Raden Klowor,
melainkan banyak lagi peristiwa yang harus dilalui den-
gan segumpal kesabaran. Dari hari ke hari, Raden Klo-
wor hanya mampu menghela nafas atau menahan na-
fas, demi menjaga kebrutalan amarahnya.
Sama halnya ketika ia melewati suatu tanah lapang,
tempat beberapa anak yang sedang berlatih silat di ba-
wah asuhan seorang guru. Di situ Raden Klowor ber-
henti untuk sekedar beristirahat dari perjalanannya
yang panjang. Ada sekitar delapan anak usia di bawah
sepuluh tahun, sedang menirukan jurus-jurus yang di-
ajarkan oleh salah seorang guru berpakaian serba pu-
tih. Raden Klowor menyaksikan latihan itu dengan ter-
senyum senang. Ia merasa menemukan beberapa jurus
yang indah dipandang mata.
"Cantik sekali jurus-jurus itu. Pantas kalau diajar-
kan kepada anak-anak...!" pikir Raden Klowor sambil
duduk di bawah sebuah pohon.
Tetapi, senyum kagum dari Raden Klowor itu diarti-
kan lain oleh mereka yang berlatih silat.
"Guru, ada orang menertawakan jurus-jurus kita...!"
kata salah seorang anak.
Temannya menyahut:
"Wah, pasti dia menyepelekan jurus-jurus yang se-
dang kita latih ini."
Yang satunya menyahut:
"Sombong sekali dia. Ayo, kita coba kekuatannya!"
"Ayooooo...!"
Anak-anak itu berlarian menyerang Raden Klowor.
Guru mereka yang sudah tua berteriak-teriak sampai
nafasnya ngos-ngosan. Maksudnya ingin melarang mu
rid-murid kecilnya bertindak gegabah. Tetapi, tak satu
pun murid yang mau menghiraukan larangan guru.
"Hei, kamu sudah jagoan, ya? Kamu menyangka ju-
rus-jurus kami ini murahan, sehingga pantas diterta-
wakan, ya?!" kata salah seorang kepada Raden Klowor.
Lantang dan tengil sekali anak itu.
"O, aku tidak menertawakan jurus kalian, tapi...!"
"Alaaah... jangan banyak alasan! Katakan saja kalau
kamu menghina kami. Hei, teman-teman... mari kita be-
ri pelajaran kepada orang ini, biar kapok!"
"Ayooo...!"
Salah seorang melompat menendang perut Raden
Klowor. Memang tidak begitu sakit tendangan itu, tapi
membuat Raden Klowor kebingungan dikeroyok delapan
anak. Ada yang memukul punggungnya, ada yang me-
nendang kakinya, ada pula yang menggunakan kayu
untuk memukul tulang kakinya.
"Hei, hei... sabar! Aku tidak menghina kalian, Adik-
adik. Aku justru...!"
"Plook...!"
"Busyet...!"
Ada pukulan yang sempat menghantam pipi Raden
Klowor. Kalau dilayani, bisa celaka sekali Raden Klowor.
Dan lagi, tak pantas ia marah kepada anak-anak itu,
sekalipun kedongkolan hati meletup-letup.
Untuk menghindarinya, hanya ada satu jalan. Lari!
Dengan langkah lebar Raden Klowor berlari cepat, te-
tapi anak-anak justru mengejarnya sambil berteriak:
"Tangkap...! Tangkap...! Maliiing...! Maliiiing...!"
Akibatnya Raden Klowor menjadi pusat perhatian
masyarakat, bahkan ada yang ikut mengepungnya, ka-
rena ia disangka benar-benar pencuri.
"Bukan. Aku bukan pencuri. Aku bukan maling...!"
"Plak... plok...!"
"Aduh, jangan begitu ah...! Aku bukan maling. Sum
pah. Anak-anak itu yang...."
Anak-anak segera mengeroyok Raden Klowor. Puku-
lan dan tendangan mereka berebutan.
"Plak, plook... beeet...! Bug... buug...! Wess, plak...!"
Hujan pukulan dan tendangan membuat Raden Klo-
wor tersungkur di bawah sebuah pohon. Ia menutupi
wajahnya dengan kedua lengan yang dirapatkan ke ba-
tang pohon, supaya tidak banyak terkena pukulan.
"Puih...! Cuiih...!"
Eh, pakai diludahi segala. Aduuuh... menyakitkan
hati sekali. Kalau Raden Klowor mau, dengan sekali ge-
brak, mungkin tiga atau empat anak akan sekarat seke-
tika. Tetapi, sekali lagi, demi kesabaran, Raden Klowor
hanya mengaduh-aduh dan meminta tolong kepada sia-
pa pun.
"Hei, ada apa ini?!" bentak seorang lelaki bertubuh
agak pendek dengan kulitnya yang hitam dan rambut
putih samar-samar. Anak-anak yang mengeroyok Raden
Klowor berhenti, mundur beberapa langkah kendati sa-
lah seorang anak berkata:
"Dia menghina jurus-jurus yang kami latih, Ki."
Seorang lelaki berpakaian putih, guru mereka, juga
segera menyusul dan menampar salah seorang anak.
"Plak...!"
"Sekali lagi kau menghasut teman-temanmu untuk
bertindak bodoh seperti ini, ku hukum sendiri kau
sampai mampus!"
"Tapi, guru... dia menghina...."
"Dia tidak menghina! Dia mengagumi jurus-jurus ki-
ta!" bentak guru mereka. "Ayo, kembali ke tempat...!
Kembali ke sana semua! Lekas...!"
Raden Klowor terengah-engah dengan beberapa luka
memar dan lecet-lecet. Setelah guru anak-anak itu me-
minta maaf, dan Raden Klowor melayaninya dengan se-
nyum ramah di sela kesakitan, maka ia pun ditinggal
kan oleh anak-anak itu. Sementara, seorang lelaki pen-
dek, tapi bukan cebol, berkulit hitam dan uban tipis,
masih memperhatikan Raden Klowor dengan iba. Di tu-
buh Raden Klowor banyak sekali luka dan bekas me-
mar. Jelas bukan akibat pukulan dari anak-anak, me-
lainkan karena akibat pukulan orang dewasa yang ter-
jadi beberapa hari yang lalu.
"Apakah kau tidak bisa melawan anak-anak itu?"
tanya lelaki beruban tipis.
"Bisa, Ki...!" jawab Raden Klowor karena tadi men-
dengar anak kecil itu memanggil orang tersebut dengan
sebutan: Ki.
"Kenapa kau tidak melawan sama sekali? Kenapa
hanya diam saja...?"
"Saya... saya... uuuh...!" Raden Klowor belum selesai
menjelaskan, ia sudah menyeringai karena lehernya te-
rasa sakit bila untuk berpaling.
"Kau banyak menyimpan luka," kata lelaki beruban
tipis. "Kau habis dikeroyok orang, selain anak-anak ta-
di?"
"Ya. Saya habis dikeroyok banyak orang, dari tempat
yang satu dan tempat yang lain. Beda masalah, beda
pula pengeroyoknya."
"Hemm... kau pencuri?"
"O, bukan! Sumpah! Saya bukan pencuri. Mereka
hanya salah paham saja, dan ada pula yang sengaja
memanfaatkan saya untuk pukul-pukulan, karena me-
reka tahu saya tidak melawan atau membalas mereka."
"Kenapa hal itu kau lakukan?"
"Saya...." Klowor agak malu mengatakannya. "Saya,
terus terang saja, ya Ki.... Saya ini sedang menjalankan
tapa, atau semadi."
"Semadi?!" Orang itu berkerut dahi. "Semadi apa?
Tapa apa?"
"Tapa sabar, Ki. Jadi, selama 40 hari saya harus bisa
menahan kesabaran dari segala sesuatu yang memacu
di hati saya. Kemarahan, itu yang utama harus dita-
han."
"Hemmm...." Orang beruban tipis itu manggut-
manggut.
"Ayo, mampir ke rumahku. Ada obat untuk luluran
tubuhmu, biar tidak terlalu merasa kesakitan...!"
Baik sekali orang beruban putih tipis itu. Biar belum
saling kenal, tetapi sikap ramah dan niat untuk meno-
long sudah ada pada diri orang tersebut. Raden Klowor
diberi semacam bedak dingin yang dilulurkan pada se-
kujur tubuhnya. Entah ada tujuan lain apa yang ter-
sembunyi dari kebaikannya itu, yang jelas Klowor hanya
melihat niat baik lelaki berkulit sedikit hitam itu.
"Agaknya, di sini memang tempat pengobatan ya,
Ki?" tanya Raden Klowor sambil dibalur semacam bedak
pada kakinya.
"Tempat khusus pengobatan, sebenarnya bukan.
Aku hanya seorang petani biasa yang hidup sendirian di
rumah ini. Aku punya pengetahuan pengobatan, dan
aku kembangkan untuk membantu mereka yang sakit,
untuk menolong mereka yang tak mampu membayar
ongkos pergi ke dukun."
"Gratis, Ki?"
"Ya. Gratis. Tidak membayar."
"Enak amat mereka. Apa Aki sendiri tidak membu-
tuhkan uang untuk hidup sehari-harinya?"
"Kebetulan, selama aku banyak memberi pertolongan
kepada siapa saja, hasil panen sawahku yang hanya se-
petak itu, tak pernah dimakan hama. Mungkin di situ-
lah aku mengenyam hasil kebaikanku. Mungkin itulah
yang dinamakan panen budi baikku selama ini."
"Jadi, menanam kebaikan itu tidak harus menerima
upahnya berupa kebaikan dari orang lain, begitu mak-
sudnya, Ki?"
"Ya. Hasil dari kebaikan yang kita lakukan terhadap
sesama manusia, bahkan sesama mahluk hidup lain-
nya, adalah hidup yang aman dan tentram. Tak akan
ada rasa kekurangan, karena setiap ada kekurangan ki-
ta akan beranggapan; belum masa panen. Sebentar lagi
pasti ada masa panen tersendiri untuk kita pribadi."
Enak sekali Raden Klowor dilulur dengan bedak obat
sambil diajak bicara panjang lebar tentang hidup dan
kehidupan. Selesai dilulur, Raden Klowor disuguhi mi-
num dan makanan ubi rebus. Kebetulan perut lapar.
Ubi rebus pun disikat habis oleh Klowor, sampai pemi-
liknya tersenyum geli.
"Maaf, habis, Ki...."
"Tidak apa-apa. Menghabiskan suguhan juga suatu
kebaikan tersendiri yang jarang disadari manusia."
Kalau saja Raden Klowor tidak harus segera sampai
ke desa Punding, sudah tentu ia ingin menginap di ru-
mah orang beruban tipis itu. Sayang, sekali, sekarang
yang bisa dilakukan hanya beristirahat sebentar di ru-
mah yang tak begitu besar, namun cukup rapi.
"O, ya... dari tadi aku belum tahu siapa namamu,
Nak?"
"Namaku... Raden Klowor, Ki."
"Ooo.... Masih keturunan darah biru, ya?"
"Wah, entah itu, Ki. Yang saya tahu, darahku juga
merah, seperti orang-orang lainnya," jawab Raden Klo-
wor.
"Maksudku, masih keturunan ningrat?"
"Mungkin juga ya, Ki."
"Lantas, ke mana tujuanmu sebenarnya, Raden Klo-
wor?"
"Saya mau pergi ke Desa Punding."
"Lho, ini Desa Punding."
"Hah...?!" Raden Klowor membelalak. "Jadi, sekarang
ini aku sudah sampai di Desa Punding, Ki?"
"Iya. Benar! Dan... ada urusan apa kau ke desa ini?
Maaf, aku bukan ingin turut campur, tapi siapa tahu
aku bisa membantumu, Raden Klowor."
"Urusan soal cambuk, Ki."
"Cambuk? Ooh... kau pedagang cambuk? Atau...
pengrajin cambuk untuk dijual?"
"Bukan," jawab Raden Klowor seraya mencomot ubi
rebus yang sudah kedua kalinya dihidangkan oleh tuan
rumah.
"Cambukku ini...." kata Klowor. "Bukan cambuk
sembarangan, melainkan cambuk pusaka."
"Cambuk pusaka?! Wah, hebat juga kau diam-diam,
punya urusan tentang pusaka, ya? Pusaka milikmu
sendiri, maksudnya?"
"Hemm... bagaimana, ya? Cambuk itu bisa dikatakan
milikku, tapi bukan juga milikku. Sebab.... Begini, Ki.
Aku diberi sebuah cambuk oleh orang sakti, tetapi saat
ini ada yang harus kulakukan agar cambuk itu benar-
benar resmi jadi milikku."
"Wah, beruntung sekali kau. Cambuk apa na-
manya?"
"Pusaka... Cambuk Naga...." suara Klowor berbisik,
namun justru mengagetkan orang yang diajak bicara.
Orang beruban tipis itu menatap Raden Klowor tidak
berkedip. Sampai lama.
"Kau,., kau main-main, ya?"
"O, tidak, Ki. Aku sungguh-sungguh diberi pusaka
yang bernama Cambuk Naga, dan...."
"Siapa yang memberimu?"
"Secara langsung, orang perempuan yang bernama
Putri Ayu Sekar Pamikat yang memberiku. Dan, cam-
buk itu ada di tangan Pendekar Pusar Bumi, Lanangse-
ta...."
Orang beruban tipis itu terbengong tanpa kedip seka-
li pun. Raden Klowor jadi ngeri dipandang demikian.
"Kenapa, Ki? Apakah aku... kurang sopan bica-
ranya?"
"Kau... kau menyebukan Putri Ayu Sekar Pamikat.
Sebenarnya, siapa dirimu itu?"
Raden Klowor bingung. Ia mengatakan:
"Aku... aku ya, Raden Klowor, seperti yang kukata-
kan tadi. Dan, aku akan diberi hak memegang Cambuk
Naga, kalau aku sudah memohon doa restu, istilahnya,
meminta izin kepada pemegang cambuk yang kedua,
yaitu Paman Ludiro. Dan katanya, Paman Ludiro ada di
Desa Punding ini."
Lama sekali orang itu bagai terkesima oleh penutu-
ran Raden Klowor. Ia sangat mencurigakan Raden Klo-
wor, dan merasa aneh dipandang demikian.
"Kenapa memandangku begitu, Ki? Ada apa sebe-
narnya?"
"Akulah Ludiro...."
"Hah...?!" Raden Klowor memekik, ubinya yang hen-
dak disuapkan ke mulut terloncat jatuh. Raden Klowor
membiarkan. Ia masih sibuk beradu tatapan mata den-
gan orang yang mengaku sebagai Ludiro.
"Lanangseta bergelar Malaikat Pedang Sakti. Dialah
yang berhak merawat cambuk itu. Aku tidak mau me-
nyandang gelar pendekar lagi. Aku sudah hampir tua.
Usiaku di ambang senja. Aku ingin menjadi petani biasa
yang tidak sibuk memerangi keangkara-murkaan.
Hanya pedang Jalak Pati dari Putri Ayu Sekar Pamikat
yang masih kusimpan sebagai kenang-kenangan. Se-
dangkan Cambuk Naga itu kuserahkan pada Lanang.
Cambuk itu, mungkin memang harus ada pemegangnya
yang akan menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga.
Dan... aku tak tahu, kalau hal itu ada pada dirimu,
Klowor."
Sangat di luar dugaan perjumpaan itu. Tetapi, amat
menggembirakan hati Raden Klowor. Rasa-rasanya ia
telah menjadi pemilik tetap cambuk tersebut, tanpa ada
rasa bersalah kepada siapa pun.
"Paman Ludiro.... Apakah Paman tidak menyangsi-
kan pengakuan saya sedikit pun?"
Ludiro yang beruban tipis itu menggeleng.
"Aku percaya, kau pernah bertemu dengan Putri Ayu
Sekar Pamikat, yang kini menjadi orang suci di Goa Ma-
laikat."
"Mengapa Paman percaya begitu saja? Mengapa saya
tidak diselidiki dulu kebenaran pengakuan saya itu?"
"Semadi Sabar yang kau jalankan itu, sudah pasti
atas perintah Putri Ayu Sekar Pamikat, yang dulu di-
kenal sebagai Dewi Cambuk Naga."
"Ya. Kok Paman bisa tahu kalau perintah Semadi
Sabar itu turun dari Putri Ayu Sekar Pamikat?"
"Aku adalah pengawal beliau. Aku pernah mendam-
pingi Sekar Pamikat dalam menjalankan Tapa Sabar,
atau Semadi Sabar. Tetapi... dia gagal. Baru yang kedua
kalinya berhasil, dan... tahukah kau, mengapa kau ha-
rus melakukan Semadi Sabar?"
"Kalau tidak salah, untuk mendapatkan jurus Naga
Linglung. Benarkah begitu, Paman?"
"Benar. Kau benar. Dan, jurus itu tidak bisa diberi-
kan begitu saja. Selain harus dijalankan oleh pemegang
Cambuk Naga. Dan... eh, kau tahu, apa kehebatan ju-
rus Naga Linglung?"
"Belum, Paman? Bahkan saya belum bisa mem-
bayangkan, seperti apa gerakan seekor naga yang se-
dang linglung?"
Ludiro tersenyum tipis, kemudian berkata:
"Naga Linglung, jurus andalan Putri Ayu yang jarang
digunakan. Jika seseorang sudah berhasil memperoleh
jurus Naga Linglung, maka ia dapat terbang bersama
cambuk itu. Ia bisa berdiri di atas cambuk, dan bahkan
bisa membuat cambuk itu tegak kaku seperti tongkat
dari besi."
"Wow...?! Hebat sekali kesaktian cambuk dan jurus
itu?"
"Kalau tidak sakti, bukan pendekar namanya! Justru
kesaktian-kesaktian itulah yang membuat dirimu ber-
hak menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga."
Berbinar-binar mata Raden Klowor membayangkan
kehebatan cambuk dan gelar itu. Ia amat gembira dan
menjadi semakin bangga setelah Ludiro berkata:
"Mungkin tak ada pemegang cambuk lainnya yang
pantas menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga yang
abadi, selain kamu. Klowor."
"Kenapa Paman sendiri tidak mau menjadi pemegang
cambuk itu secara abadi?"
"Karena, duniaku sudah penuh dengan darah. Su-
dah banyak nyawa yang tercabut oleh tanganku ketika
aku menjadi pemegang pusaka Cambuk Naga. Terus te-
rang saja, aku sudah bosan membunuh. Aku ingin hi-
dup tenang, syukur kalau bisa seperti Putri Ayu Sekar
Pamikat. Kalau tidak bisa, yah... hidup sebagai masya-
rakat kecil pun sudah cukup tenang. Eh, tapi ngomong-
ngomong.... Sejak kapan kau bertemu dengan Putri Ayu
Sekar Pamikat?"
"Sejak...." Raden Klowor bingung mengingat-ingat.
Sebelum menjawab, sudah menyusul pertanyaan beri-
kutnya:
"Di mana kau bertemu dengan beliau, Klowor?"
"Di... di alam mimpi."
Ludiro sedikit menampakkan sikap tak puas dengan
jawaban Klowor. Ia mengulangi pertanyaannya lagi:
"Di Goa Malaikat, maksudmu? Atau di mana?"
"Aku belum pernah melihat seperti apa yang na-
manya Goa Malaikat itu, Paman."
"Hemm...? Lalu...?"
"Yah... cuma bertemu di alam mimpi, Paman. Aku
merasa bertemu dengan beliau, dilatih silat dengannya
dan diserahi Cambuk Naga untuk menjadi pusaka pe-
ganganku."
"Di alam mimpi?"
"Benar. Aku sering bermimpi bertemu dengan tokoh-
tokoh di dunia persilatan. Bahkan, sebenarnya aku ini
murid dari Jaka Bego."
"Hah...?! Jaka Bego...!" Ludiro terheran-heran dan
kaget.
"Jaka Bego itu dewa!" tegas Ludiro kemudian.
"Memang. Dia adalah Dewa Seribu Mimpi, itu menu-
rut pengakuannya di alam impianku. Dan... dialah Pen-
dekar Agung yang ingin kuikuti jejaknya. Aku ingin
menjadi muridnya, tapi harus menjajal dulu ilmunya
Lanangseta, kalau aku menang, aku akan dijadikan
muridnya, tapi kalau aku kalah maka aku harus mau
menjadi murid Lanangseta. Ternyata aku kalah, Paman.
Tetapi, Guru Lanangseta seakan segan menerima aku
sebagai muridnya."
Ludiro manggut-manggut. Matanya menerawang, ba-
gai teringat masa-masa bersama Lanangseta, sebelum
Lanangseta menikah dengan Kirana. Ah, ada kerinduan
yang menyentuh hati Ludiro, tapi sebagai orang yang
ingin tenang, ia harus menahan kerinduan tersebut,
yaitu kerinduan bertempur membasmi kelaliman ber-
sama Lanangseta.
Hanya saja, ada satu hal yang membuat Ludiro men-
jadi terheran-heran serta tak habis pikir: mimpi. Ini
sungguh aneh jika Putri Ayu Sekar Pamikat menurun-
kan ilmunya kepada seseorang melalui mimpi. Alangkah
ajaibnya.
"Apakah sampai sekarang Lanangseta tidak mau
menerima kamu sebagai muridnya?"
"Masih disangsikan, Paman. Saya belum pernah
mendengar sendiri Guru menyebutku sebagai murid."
"Kemudian...?"
"Kemudian saya buktikan bahwa dia pun hadir da-
lam impian saya dan mengajarkan jurus-jurusnya lewat
mimpi."
"Jadi, ada beberapa jurus Lanangseta yang sudah
kau kuasai?"
"Benar, Paman."
"Jurus apa saja itu?"
"Jurus Lindung Bumi, jurus Tebar Besi, dan...."
"Jurus Lindung Bumi sudah kau kuasai?!" Ludiro
kaget lagi bercampur heran.
"Benar, Paman. Guru Lanangseta itulah yang menga-
jarkan lewat mimpi, yaitu ketika ia berbicara dengan
Jaka Bego."
"Wah... wah... wah...."
"Kenapa, Paman?"
"Itu berarti kau sudah menjadi murid Jaka Bego,
Dewa Seribu Mimpi!"
"Ah, masa begitu, Paman?"
"Iya. Sebab semua jurus, semua ilmu, kau peroleh
dari mimpinya. Maksudku, dari impianmu yang diatur
oleh Jaka Bego. Hanya saja, ingat-ingatlah...! Kalau kau
sudah menjadi Pendekar Cambuk Naga, kau harus su-
dah siap bertarung dengan siapa pun. Sebab, pemegang
Cambuk Naga, adalah musuh kejahatan di mana pun
berada. Jadi, siapa memegang pusaka itu, maka ia akan
mempunyai banyak musuh. Kalau tak hati-hati, kau
akan mati!"
"Gawat...!" Klowor menggumam dalam hati.
*
* *
4
Seperti memang sudah diatur oleh garis ketentuan
hidup, bahwa perjalanan Raden Klowor ke desa Punding
memakan waktu 40 hari pulang pergi. Sebenarnya, ka-
lau ditempuh jalan kaki dari Puri Bukit Bulan, tempat
Lanang dan keluarganya tinggal, menuju rumah Ludiro,
bisa memakan waktu 20 hari. Tetapi, agaknya perjala-
nan Raden Klowor itu ada kaitannya dengan Semadi
Sabar-nya yang sedang dilakukan. Di dalam perjalanan
itulah, Raden Klowor dicoba oleh alam, dicoba oleh ke-
hidupan, dibenturkan kepada berbagai macam persoa-
lan yang harus dilalui dengan kesabaran. Rupanya Ra-
den Klowor bukan orang yang gampang menyerah. Ia
tangguh. Kukuh. Tabah. Sehingga, tepat hari keempat
puluh ia sampai di hadapan Lanangseta kembali, itulah
hari akhir dari Semadi Sabarnya.
Tentu saja kehadiran Raden Klowor menimbulkan
banyak tanda tanya dan perhatian besar bagi Lanangse-
ta dan istrinya. Sebab, Klowor hadir dengan wajah bo-
nyok, banyak luka dan memar di sana-sini. Ada luka
yang sudah kering, ada luka baru, ada luka yang dalam
proses penyembuhan.
"Apa yang terjadi selama perjalananmu, Klowor?"
tanya Kirana sambil menggendong bayi lelakinya.
"Banyak sekali, Bibi. Saya disiksa oleh perjalanan.
Dan, saya tak pernah bisa melakukan pembalasan."
"Kenapa?"
"Kesabaran itulah yang membuat saya seperti bola,
Bibi."
"Lalu, apa kesimpulanmu?" Lanang bertanya.
"Sabar itu sama dengan bonyok, Guru!"
Lanangseta dan istrinya tertawa mendengar jawaban
itu. Bayi yang digendong itu tidak ikut tertawa, karena
ia belum tahu mengapa manusia harus tertawa.
"Klowor...." kata Lanangseta. "Sebenarnya bukan be-
gitu kesimpulan dari bersabar. Kesimpulan yang perlu
kau ketahui, bahwa bersabar itu adalah sesuatu yang
berat dilakukan. Untuk menjadi sabar, kita harus me-
lewati kenyataan-kenyataan yang ada dalam kehidupan
manusia. Kita harus merasakan nafsu manusia yang
tercurah di hadapan kita. Dan, kita akan tahu, bahwa
kesabaran itu sebenarnya kunci utama dari perda-
maian. Mungkin kalau tidak berlaku sabar, akan terjadi
perang terhadap orang-orang yang menghinamu, me-
mukulmu dan yang menyepelekan kamu. Tetapi, den-
gan berdiri sebagai orang sabar, kau telah menghindari
seribu macam permusuhan. Menghindari permusuhan,
adalah awal dari menuju perdamaian."
Raden Klowor yang duduk bersila di serambi depan,
seakan sedang menerima wejangan tentang sabar di da-
lam kehakikian hidup. Lanangseta berdiri dengan ber-
sandar pada tiang serambi, memandang ke depan, lurus
pada batas cakrawala di ujung laut. Namun, di dalam
hatinya ia mengagumi tekad Raden Klowor dan keber-
hasilannya melakukan Semadi Sabar selama 40 hari,
tidak marah, tidak melawan dan tidak membangkitkan
kemarahan orang lain. Lanang sendiri merasa belum
tentu sanggup melakukan hal itu.
"Guru, apakah dengan begini saya sudah berhak
memiliki pusaka Cambuk Naga?" tanya Klowor.
"Bagaimana menurut Paman Ludiro?"
"Barangkali memang hanya sayalah pemegang Cam-
buk Naga yang abadi. Dan, dengan begitu, maka saya
berhak menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga...."
"Kalau memang itu pantas untuk kamu, ambillah
pusaka itu, dan perangilah kejahatan di mana pun kau
berada!"
Senyum kegembiraan mekar di bibir Raden Klowor
yang masih pecah-pecah dan mulai kering itu.
Tetapi ketika Raden Klowor bertanya, "Apakah saya
sudah resmi menjadi murid Guru dan diakui?!"
Lanangseta hanya menggumam, kemudian menja-
wab pelan:
"Di sini, aku merasa tidak mempunyai murid. Tapi di
dalam impianmu, mungkin kau adalah muridku, Klo-
wor."
"Oh, terima kasih, Guru. Terima kasih...! Guru be-
nar-benar manusia yang murah hati, mudah-mudahan
panjang umur, banyak rejeki, enteng jodoh dan...."
"Husy! Itu sama saja mendoakan suamiku kawin la-
gi, Tolol!" sahut Kirana begitu mendengar kata 'enteng
jodoh' yang bagai terucap tanpa disadari. Kirana sempat
bersungut-sungut dan membuat Lanangseta tertawa ge-
li.
"Guru, apakah guru tidak ingin mengajarkan satu
jurus pun kepada saya di luar mimpi?"
"Tidak! Karena di luar mimpi, aku tidak mempunyai
murid. Tetapi, di dalam impianmu... entah! Aku sendiri
merasa belum pernah mengimpikan wajahmu, apalagi
dalam keadaan babak belur seperti ini. Pokoknya, im-
pianmu adalah duniamu sendiri yang tidak bisa ku-
mengerti. Hanya saja, kalau sekali waktu aku melihat
kau gunakan ilmuku untuk hal yang tidak baik, maka
tak ada ampun lagi bagimu, kau harus melawan aku
sampai ada yang mati salah satunya! Jelas?!"
"Jelas sekali. Dan... kurasa tidak mungkin ilmu itu
digunakan untuk hal-hal yang tidak benar." Lalu, den-
gan berbisik Klowor menyambung, "Kecuali kepepet...!"
Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang
Sakti itu, melepas kepergian Raden Klowor, yang ka-
tanya ingin menyusuri jejak kejahatan yang hendak di-
tumpasnya. Kirana berkata di dekat suaminya:
"Ia sangat bersemangat untuk menjadi Sang Penumpas."
"Ah, biasa! Seorang prajurit kalau pangkatnya masih
Tamtama, maunya perang melulu. Tetapi, kalau sudah
berpangkat Panglima Tinggi, justru berusaha menghin-
dari peperangan. Begitu juga Klowor...!"
"Yaah... mudah-mudahan saja ia bisa berguna bagi
kedamaian di muka bumi ini. Yang kukhawatirkan ada-
lah darah mudanya. Sepatutnya kalau ia didampingi
seorang guru pembimbing yang dapat meluruskan ja-
lannya sewaktu-waktu membelok ke arah lain."
"Meskipun ia jauh dari gurunya, tapi ia selalu dekat
dengan guru-gurunya. Mimpi yang aneh itulah yang
akan menegurnya setiap saat...." ujar Lanang seraya
menghela nafas.
Memang benar, Klowor selalu dekat dengan gurunya.
Mimpi-mimpinya adalah guru yang dapat membuat ia
menjadi lebih berilmu. Nyatanya, sekalipun ia tertidur
siang di bawah pohon dalam istirahatnya, ia sempat
bermimpi bertemu dengan Jaka Bego. Tokoh yang ku-
rus, bloon, nyaris seperti sosok Raden Klowor itu, mun-
cul dalam impian siang itu.
"Klowor, pergilah ke sebuah pulau yang bernama Pu-
lau Kramat. Sekarang juga."
"Ada apa di sana, Eyang Guru?" tanya Klowor di da-
lam mimpinya.
"Ada apa-apa di sana! Pergilah, dan selamatkan seo-
rang perempuan yang bernama Nyai Katri."
"Apakah dia dalam bahaya, Eyang Guru?"
"Agaknya memang begitu, Klowor. Tak ada yang mau
menolongnya, kecuali kamu sendiri."
"Kenapa harus ditolong?"
"Karena dia membutuhkan bantuan. Aku tidak ingin
Nyai Katri mati untuk saat-saat sekarang ini."
"Lho, kenapa Eyang Guru punya pikiran begitu? Se-
betulnya ada hubungan apa Eyang Guru dengan perempuan itu?"
"Husy! Itu rahasia seorang dewa. Jangan banyak
tanya, nanti kucabut hak mimpimu...!"
"Ampun, Guru. Maafkan saya."
Pada saat itu, seolah-olah Lanangseta muncul ber-
sama Kirana dan bayinya. Aneh. Mereka jadi seakan
benar-benar berada di alam bebas. Bukan impian. Pa-
dahal itu impian.
"Benar apa kata Jaka Bego, Klowor. Perempuan itu
yang bernama Nyai Katri butuh pertolongan. Cuma ka-
mu yang bisa menyelesaikan persoalannya! Pergilah ke
Pulau Kramat, dan lakukan perintah ini!"
"Di mana arahnya, Guru?"
"Berjalanlah terus ke arah Selatan, temukan tebing
karang, dan dari atas tebing itu kau akan tahu letak Pu-
lau Kramat, tempat kenangan kami dulu."
"Kenangan?"
"Ya. Kenangan Eyang Gurumu, Jaka Bego ini."
"Husy! Jangan bawa-bawa soal kenangan ah. Kita ini
kan ada di alam mimpi, kok jadi seperti benar-benar
nyata?!"
"Maksudku, biar murid kita ini benar-benar paham,
Bego!"
"Sudah, sudah...!" kata Klowor. "Sesama guru jangan
saling mendahului kemarahannya. Saya akan berangkat
ke sana jika sudah bangun tidur nanti, Guru...!"
Pulau Kramat memang masih asing bagi Raden Klo-
wor. Seperti apa ujud pulau itu, Klowor tak bisa mem-
bayangkan. Yang jelas, begitu ia terbangun dari tidur
siang di bawah pohon, ia langsung mencari arah Sela-
tan. Ia berjalan ke arah itu sesuai dengan perintah para
gurunya.
Malam hari, seharusnya Klowor tetap meneruskan
perjalanan, sampai pada titik kantuknya. Tetapi, ia ter-
paksa menghentikan langkah, karena ia ingat tentang
desa tersebut. Sebuah desa yang pernah dilalui ketika
hendak menuju ke desa Punding, tempat Paman Ludiro.
Desa itu cukup luas, sehingga dijadikan suatu Pa-
demangan. Pademangan itu bernama Pademangan Ku-
milir.
Masih teringat jelas di benak Raden Klowor, bahwa di
Pademangan itulah dia menerima siksaan dari Sumolo,
Brogol, bahkan Ki Demang Gangsir sendiri. Perih sekali
hati Klowor jika mengingat semena-mena mereka dalam
menuduh dan menyiksanya. Tetapi, di balik kepahitan
hati itu, terselip bunga Pademangan yang elok paras-
nya, bulat matanya dan ranum bibirnya.
Saras. Anak perempuan Demang Gangsir, menggoda
ingatan dan hati Klowor. Kecantikan gadis lugu itu,
membuat debaran-debaran aneh di dada Klowor, se-
hingga kendati sudah larut malam, namun ia masih
punya niat untuk singgah di rumah Demang Gangsir.
Tetapi, ternyata ia memergoki suatu pemandangan
yang memancing emosinya. Ada dua orang lelaki yang
melompat dari pagar rumah Demang Gangsir. Orang itu
berpakaian kuning dan merah tua. Salah satu menggo-
tong seseorang yang meronta-ronta. Mulut orang yang
meronta-ronta itu jelas dibalut kain, sehingga tak mam-
pu berteriak apa-apa. Klowor bagai mendidih darahnya,
sebab dia tahu yang digotong seorang berpakaian baju
kuning dan celana hitam itu adalah: Sarasati!
Benar! Dia adalah Saras, yang sedang menyusup-
nyusup ke dalam bayangan benak Klowor. Melihat Sa-
ras sepertinya sedang diculik dua orang lelaki, maka
Klowor pun tak bisa menahan kesabarannya lagi. Ia se-
gera menghadang gerakan kedua orang tersebut.
"Berhenti! Turunkan perempuan itu!" gertak Klowor.
"Hei, ada pemuda kacangan, yang mau unjuk gigi,
Min. Layani dia...!" geram lelaki yang menggendong Sa-
ras di pundaknya.
Dengan segera, Min melancarkan pukulannya ke
arah dada Klowor seraya berkata kepada temannya:
"Larilah terus, Jo. Biar kuhadapi ingusan kelas
kambing ini. Hiaaat...! Hup...!"
Dua pukulan yang dilancarkan secara beruntun
sempat ditangkis oleh tangan Klowor yang mengibas te-
pat. Kaki Klowor yang kanan maju ke samping, kemu-
dian ia berputar seraya mengibaskan kaki kirinya.
"Wess...!"
"Buug...!"
"Nggeek...!"
Tumit kaki Raden Klowor tepat menghantam pung-
gung tengah lawannya. Tubuh, itu melengkung ke de-
pan dengan mulut ternganga, namun tak mampu berte-
riak. Ia sempoyongan sebentar, kemudian berbalik dan
siap menghadapi Klowor dengan golok di tangan.
"Kugorok batang lehermu, Jahanam...! Hiaat...!"
Ia mengibaskan goloknya ke arah perut Klowor.
"Wuuug...!"
Klowor melompat ke belakang dengan kedua tangan
terentang. Begitu kaki Klowor menginjak ke tanah, golok
itu segera menyusul ditusukkan ke depan. Sasarannya
dada Raden Klowor. Tetapi, pemuda kurus ini masih
lincah. Ia mampu melompat ke belakang sambil bersal-
to. Min juga ikut melompat maju dengan senjata di atas,
siap bacok.
"Hiaaaat...!"
Raden Klowor justru berguling ke tanah, dan berhen-
ti tepat di bawah kakinya. Begitu berhenti, kaki Klowor
langsung menjejak ke atas.
"Modar kau, Kunyuk! Huuh...!"
"Aaaohhh...!"
Min meringis kesakitan. Selangkangannya terkena
tendangan Klowor dengan telak sekali. Ia sedikit geme-
tar menahan rasa sakit yang sampai ke ubun-ubun. Ke
sempatan itu digunakan oleh Klowor untuk melancar-
kan jurus Turangga Sujud, yaitu tendangan dua kaki
bersamaan, dengan kedua tangan bertumpu pada ta-
nah. Mirip tendangan kuda nungging.
"Hiaaaat...!"
"Krak...!"
Ada suara seperti batang bambu yang patah. Min
meringis tak mampu berteriak. Oh, rupanya ada tulang
rusuknya yang patah beberapa batang, dan kesakitan
yang amat menyiksa itu disusul dengan pukulan Klowor
pada iga Min yang satunya lagi.
"Haaap...!"
"Kreeek...!"
Iga itu pun patah.
"Aaaahhk...!"
Min semakin kesakitan. Sedangkan Klowor tak
memberi kesempatan kepada lawan untuk menikmati
rasa sakit. Ia segera menyahut tangan kanan lawannya,
kemudian memutarnya ke belakang tubuh lawan, dan
tangan itu segera dihentakkan naik ke atas.
"Kraak...!"
"Aaahhh...!"
Makin menjerit saja mulut Min ketika kakinya geme-
tar lemas karena tangannya dipatahkan oleh Klowor.
Tubuh Min menggelosor di tanah akibat merasakan
sakit yang tiada tara. Ia mengerang dengan nafas bagai
tersekap oleh sabut kelapa. Susah keluar. Tulang-
tulangnya yang sudah dipatah-patahkan Raden Klowor
membuat ia tak mampu berdiri dengan melakukan per-
lawanan lagi.
Percuma saja Klowor melayani lawannya yang ini te-
rus menerus. Matanya memandang jauh, menyipit, me-
nembus keremangan malam. Ia sempat melihat sosok
bayangan kecil di kejauhan. Itulah orang yang dipanggil
Jo, yang sedang melarikan Saras di pundaknya. Klowor
harus segera menyusul sebelum kehilangan jejak.
"Bleees...!"
Jurus Lindung Bumi digunakan. Tubuh Klowor am-
blas ke dalam tanah. Bagai cahaya kunang-kunang tu-
buh itu menyala di dalam tanah dan berlari cepat se-
hingga tak mampu dilihat oleh siapa pun. Hanya La-
nangseta-lah yang mempunyai ilmu Lindung Bumi. Ka-
lau sekarang Raden Klowor mampu melakukannya, itu
karena Lanangseta yang mendidiknya lewat mimpi Klo-
wor.
"Bruull...!"
Tubuh Klowor melompat dari kedalaman tanah yang
ada di depan langkah kaki Jo. Orang berpakaian kuning
itu terbelalak kaget melihat kemunculan Klowor yang
bagai menjebol tanah dari kedalaman. Ia sempat terpu-
kau sesaat. Dan, kesempatan itulah digunakan oleh
Klowor untuk melayangkan tendangannya ke pinggang
kanan orang itu.
"Turunkan gadis itu, hiiat...!"
"Hiiigggh...!"
Jo bertahan dalam keadaan kebingungan. Tahu-
tahu, pukulan menyamping dari Klowor diterimanya
dengan pipi terbuka.
"Plook...!"
"Aaah...!"
Jo belum mau melepaskan Saras, sementara Saras
sendiri semakin meronta-ronta dengan mulut tersekap
kain pengikat.
"Dasar bandel...! Waktu kecil belum pernah dihajar
kau, ya? Hiaat...! Mampus!"
"Uuugh...!"
Jo meringis kesakitan karena perutnya disodok den-
gan lutut Klowor dan dagunya dihantam kuat-kuat
hingga ia terdongak ke belakang. Kedua serangan se-
rempak itulah yang membuat Jo menggeloyor, kemu
dian melepaskan Saras begitu saja. Saras jatuh bagai
karung beras.
"Buug...!"
Kedua kaki dan tangannya masih terikat. Ia sedikit
kesakitan karena pundak kiri jatuh lebih dulu menyen-
tuh tanah.
Panas hati Raden Klowor melihat lawannya menu-
runkan Saras dengan tidak sopan. Segera pukulannya
dilancarkan ke dada lawannya. Tetapi, lebih dulu kaki
lawan menjejak ke depan, dan mengenai perut Klowor
hingga Klowor terpental. Keseimbangan tubuhnya lepas
tak terjaga, dan Klowor pun jatuh terduduk.
Saat itu, Jo menggunakan kesempatan untuk men-
cabut goloknya dengan cepat, kemudian membacokkan
ke kepala Klowor. Namun, sebelum golok menyentuh
rambut Klowor, sebuah tendangan keras melayang dari
kaki kanan Klowor dalam posisi merebahkan badan
miring.
"Buuug...!"
Jo membeliak dan menahan rasa sakit pada perut-
nya. Sekali lagi tendangan gaya miring merebah meng-
hentak di pinggul Jo dengan keras. Tumit Klowor tepat
mengenai tulang pinggul, sehingga linu sekali rasanya.
Hal itu membuat Jo sempoyongan dan jatuh terpelant-
ing di sisi Saras. Karena jengkelnya tak dapat menye-
rang Klowor, Jo akhirnya memukul pinggang Saras
dengan keras.
"Hmmm...!"
Saras berteriak kesakitan tanpa suara pekik yang
sempurna, karena mulutnya dibalut kain menyumbat.
Sekali lagi tangan Jo yang kekar itu menghantam perut
Saras dengan geram kemarahannya,
"Mampus kau, Bebek...!"
"Huuughhm...!"
Saras mengerang sesaat, kemudian pingsan.
Ini membuat Raden Klowor semakin naik pitam. Di-
tendangnya wajah lawannya dengan kuat-kuat. Mulut
lawan menjadi sasaran telak ujung telapak kaki Klowor.
"Uuff...!"
Darah menyembur dari mulut itu. Giginya ada yang
copot dua biji. Jo berguling-guling, kemudian menutup
mulutnya dengan salah satu tangan. Sementara itu,
Klowor semakin garang. Ia melompat ke arah lawan
dengan tendangan kaki yang lurus ke depan. Tetapi,
pada saat itu, Jo sempat mengibaskan goloknya ke arah
kaki Klowor, sehingga mau tidak mau kaki Klowor te-
rangkat sedikit, kemudian ditariknya, tak jadi menen-
dang.
Darah dari mulut lawan kelihatan membasah di sela
keremangan petang. Cahaya bulan mengintip sedikit di
sela mega. Klowor tak sabar lagi menghadapi lawan
yang amat menjengkelkan ini. Segera Klowor menggu-
nakan jurus Pukulan Kilang Baja, pemberian Lanangse-
ta yang juga diperoleh lewat mimpinya. Pukulan itu be-
rupa sebaris gerakan tangan menyibak udara di depan-
nya, dari samping terentang ke belakang, seperti sayap
garuda. Dadanya jadi terbuka. Enak untuk diserang. Ini
memang sebuah tipuan bagi lawan yang termasuk da-
lam teknik pukulan Kilang Baja. Lawan jadi bernafsu
untuk menyerang dada Klowor yang terbuka lebar. Te-
tapi pada saat lawan melayang hendak menyerang, ta-
hu-tahu kedua tangan yang terentang ke belakang den-
gan lurus, dan telapak tangannya terbuka lebar itu, se-
gera bergerak mengagetkan. Keduanya menghempas ke
depan dalam keadaan masih lurus dan kaku.
"Wuuuug...!"
Angin pukulan terasa menjepit pinggang kanan kiri
lawan. Nafas terhenti sejenak, karena tubuh Jo merasa
dijepit oleh dua buah dinding beton di kanan kirinya.
Matanya membeliak dengan dagu terangkat ke atas. Ia
berusaha untuk bernafas sebisa-bisanya.
Jepitan itu cukup kuat, bagai memeras tubuh Jo.
Lalu, menyemburlah ke atas dari mulut Jo sebuah cai-
ran merah yang menjijikkan. Darah! Ya, darah itu ter-
sembur seakan ditekan dari bagian perut samping.
Muncrat seperti balon berisi air yang diremat.
Kedua tangan yang kaku ke samping depan itu sege-
ra dilipat. Lipatannya tepat di depan dada. Kemudian
pergelangan tangan bergulir bagai orang menari, menja-
di ke depan. Telapak tangan berjajar menghadap ke de-
pan, dan dihentakkan dalam keadaan kedua kaki te-
rendah rendah.
"Hiaat...!"
Bersamaan suara itu, nafas Klowor terhentak kuat,
dan seperti ada hawa panas yang melesat dari kedua te-
lapak tangan itu. Sebuah tenaga dalam meluncur,
menghantam dada lawan, sehingga lawan pun tersentak
ke belakang dalam keadaan dada berasap. Itulah yang
dinamakan jurus Pukulan Badai Gunung. Sebuah
rangkaian dari jurus pukulan Kilang Baja yang cukup
dahsyat bagi keselamatan lawan.
Jo tak sempat mengerang. Suaranya bagai habis.
Namun, ia masih bisa meringis, dan berusaha untuk
bangkit. Kemudian dengan gerakan sisa tenaga ia men-
coba melarikan diri, dan oleh Klowor tak jadi dikejar,
karena ia lebih mementingkan keadaan Saras yang
pingsan akibat pukulan Jo.
Klowor membiarkan lawannya melarikan diri. Ia
membuka kain penutup mulut Saras dengan perasaan
iba. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Raden Klowor
menepuk-nepuk pipi Saras. Maksudnya supaya Saras
sadar. Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar su-
ara:
"Kau lagi yang membuat onar, Kunyuk ceking...?!"
Klowor berpaling, oh... ternyata Sumolo dan Brogol.
Ia mengenali kedua lelaki itu, sebab dulu ia dituduh
mencuri pusaka Selendang Tirta Dewi. Sekarang ia ber-
hadapan lagi dengan mereka berdua. Masih teringat di
benak Raden Klowor, betapa sakitnya hati dan tubuh-
nya ketika berada dalam tuduhan dan siksaan kedua
orang itu.
"Kali ini, kau tak akan mungkin bisa bebas dari tu-
duhan kami, Babi!" geram Brogol. "Mau kau larikan ke
mana putri Ki Demang itu, hah?!"
Klowor berdiri, memandang dengan berani. Sempat
terbit rasa heran di hati Brogol dan Sumolo melihat ke-
beranian Klowor yang bertolak pinggang di depannya.
Tidak seperti dulu; menunduk dan takut kepada mere-
ka berdua.
"Rupanya dia sudah punya nyali untuk menghadapi
kita, Sumolo!" kata Brogol sambil tersenyum sinis.
"Nyali tikus yang kepepet, kadang-kadang bisa
menggelikan kita, ya?" timpal Sumolo seraya tertawa pe-
lan.
Raden Klowor berkata dengan tegas, namun tidak
urakan:
"Aku bermaksud menolong Saras dari tangan kedua
penculik, tahu?!"
Brogol dan Sumolo tertawa lagi.
"Menolong, kata dia, Gol. Hah, lucu sekali badut ku-
rus ini, ya?" Sumolo menertawakan Klowor.
Sejenak, Klowor melirik Saras. Ah, belum juga sadar
dari pingsannya. Andai saja Saras sadar, pasti gadis itu
bisa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
"Kuminta, kalian tidak gegabah untuk yang kedua
kalinya." kata Klowor. "Kalau kalian gegabah menuduh-
ku dan menyerangku untuk yang kedua kali, maka ka-
lian akan berkenalan dengan aku dalam keadaan di
ambang maut."
"Bukti sudah ada. Kau melarikan Putri Demang
sampai di sini, apakah itu namanya salah tuduhan?!"
"Bukan aku yang melarikan, tapi dua orang penculik
yang sempat ku pergoki dan kukejar di sini...!"
"Brogol, kalau mendengarkan ocehan kunyuk kurus
terlalu lama, bisa muntah aku nantinya. Tangkap saja
dia, dan kalau perlu patahkan tulang lehernya pelan-
pelan!"
"Hiaaat...!"
Brogol langsung saja menyerang Raden Klowor den-
gan sebuah pukulan tangan kanan yang melayang bagai
sebongkah batu gunung. Genggaman itu begitu keras,
besar dan hitam. Tetapi, Klowor mulai unjuk gigi. Puku-
lan yang melesat ke arah wajahnya itu hanya ditangkis
dengan dua jari tangan kanannya.
"Taab...!"
Kedua jari Klowor mampu menahan pukulan Brogol
yang keras dan cepat. Justru kini Brogol yang meringis.
Genggaman tangannya bagai menghantam ujung dua
batu besar, karena pukulan itu mengenai ujung dua jari
Klowor. Segera Brogol mengibas-ngibaskan tangannya
itu sambil menyeringai kesakitan. Klowor masih berto-
lak pinggang dengan tangan sebelah. Seakan siap me-
nunggu serangan berikutnya.
Tentu saja itu membuat Sumolo kaget dan makin ge-
ram. Ia tak percaya kalau kedua jari Klowor yang kurus
itu mampu membuat genggaman tangan Brogol menjadi
kesakitan. Maka, dengan tanpa menunggu komentar
dari Brogol, Sumolo melepaskan tendangan kaki ka-
nannya.
"Wuuus...!"
Tendangan itu terarah ke wajah Raden Klowor. Kaki
yang besar, seperti kaki kuda nil itu mampu melesat
dan dihindari dengan gerak kepala dan pundak miring
ke kiri. Pada saat itu, jemari Klowor menyentil mata ka-
ki Sumolo.
"Iyaaaooow...!"
Sumolo menjerit kesakitan dan terpincang-pincang.
Ia memegangi kaki yang disentil Klowor. Rasanya sa-
kiiiit... sekali, seperti habis dipukul memakai palu besi.
Mata Sumolo sampai terbeliak-beliak dengan mulut
menganga dan mengaduh-aduh. Jelas sentilan jemari
itu bukan sekedar sentilan biasa saja, melainkan mem-
punyai kekuatan tenaga dalam yang berhasil disalurkan
dengan sempurna.
Itulah yang dinamakan Sentilan Jari Kuda, sebuah
jurus milik Jaka Bego yang seharusnya tidak perlu me-
nyentuh tubuh lawan sudah membuat lawan kesakitan
sendiri. Jurus Sentilan Jari Kuda, merupakan sebuah
jurus yang secara tak langsung diberikan oleh Jaka Be-
go melalui mimpi Raden Klowor. Ketika itu, Raden Klo-
wor bermimpi melihat Jaga Bego berlatih jurus Sentilan
Jari Kuda. Kemudian ketika bangun tidur, Klowor men-
cobanya apa yang dilihat dan diketahui dalam mim-
pinya. Dan, ternyata tiga minggu kemudian ia berhasil
menggunakan jurus tersebut dengan baik.
Tetapi, saat ini ia yakin, bahwa ia tidak sedang ber-
mimpi. Ia benar-benar menghadapi orang-orang kasar
dari Pademangan Kumilir. Brogol dan Sumolo, dua
orang yang seakan menyediakan diri untuk menerima
balasan dari siksaan yang diberikan kepada Raden Klo-
wor ketika itu.
Maka, sewaktu Brogol hendak memukulnya lagi den-
gan geram kemarahannya, Klowor melompat dan berpu-
tar.
"Uuuooouuw...!"
Sambil memekik begitu, kaki kanannya mengibas
dalam putaran dan,
"Ploook...!"
Wajah Brogol jadi sasaran kaki Klowor. Begitu kaki
itu berdiri tegak lagi, pukulan kuat dihantamkan oleh
Klowor ke mulut Brogol.
"Ceproot...! Cuuuuur...!"
Darah keluar dari mulut orang berwajah sangar itu.
Bibirnya robek, dan itulah pembalasan!
"Maling kurap...!" geram Sumolo. Ia berusaha untuk
menyerangnya dengan pukulan beruntun ke arah tu-
buh Klowor. Tetapi, badan Klowor segera menggeliat,
meliak-liuk menghindari semua pukulan tanpa me-
nangkis. Dan, ternyata tak ada satu pun pukulan yang
tersentuh kulit tubuh Klowor, sehingga Sumolo jadi le-
bih penasaran.
"Sreeet...!"
Golok dicabut, dan segera dilayangkan ke wajah
Klowor.
"Mampus kau, Sapi bengek...! Hiaaaaaat...!"
"Wess...!"
Golok membelah udara kosong, karena Klowor me-
lompat ke samping. Begitu melompat dan turun ke ta-
nah, dengan cepat, seperti anak panah, jari-jemari Klo-
wor menotok pelipis kepala Sumolo. Cukup dengan dua
jari dihentakkan ke pelipis sedikit ke belakang.
"Taab...!"
Dan, ternyata hal itu membuat sesuatu yang lain.
Serangan dan pukulan yang aneh. Namanya, Jurus To-
tok-totok Tamu.
Tepat pada saat itu, Saras siuman dan mengibaskan
kepalanya seraya merintih. Kemudian, ia memperhati-
kan Brogol yang hendak menyerang Klowor dari bela-
kang, kontan Saras berteriak:
"Hentikan...! Kalian salah duga...!"
Tetapi, Sumolo yang terkena jurus aneh itu sudah
tak dapat menghindar dan sudah mulai merasakan aki-
batnya. Ia tersenyum, ketawa pendek, kemudian mengi-
kik sendiri sambil menjauh. Ia makin terpingkal-pingkal
seraya menutup mulutnya dengan tangan, seakan menertawakan seseorang.
"Gila kau?!" geram Brogol. "Ada apa? Kenapa kau
menertawakan aku? Kenapa, hah...?!"
Brogol merasa ditertawakan Sumolo, sementara itu
Sumolo masih terpingkal-pingkal dengan sebentar ber-
henti, tersenyum, sebentar kemudian tertawa lagi. Geli.
Ini membuat Raden Klowor tersenyum sendiri seraya
membantu melepaskan tali pengikat tangan dan kaki
Saras.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Raden Klowor...!"
Agaknya Saras masih ingat siapa Klowor. Mereka per-
nah berkenalan dan menjalin pembicaraan yang baik.
"Maafkan kedua orangku itu, mereka memang bodoh
dan maunya berkelahi terus."
"Tak apa. Aku sudah merubah salah satunya menja-
di maunya tertawa terus."
"Kau apakan dia? "
"Itu jurus Totok-totok Tamu...."
"Jurus yang aneh...."
"Ya. Jurus itu akan membuat lawan jadi tertawa geli,
teringat peristiwa-peristiwa masa lalu yang menggeli-
kan. Jurus totokan jariku akan menyentuh otak, meng-
gerakkan ingatan masa lalu, khususnya ingatan yang
lucu-lucu, sehingga orang yang terkena totokan terse-
but akan tertawa geli, membayangkan masa lalunya."
"Hebat. Ternyata kau orang yang hebat! Kenapa dulu
aku tidak melihat sedikit pun kehebatanmu?"
"Aku Raden Klowor yang sekarang, bukan yang du-
lu...."
Raden Klowor tersenyum bangga memandang Saras
dalam keremangan cahaya rembulan. Sementara itu,
Brogol masih kebingungan karena merasa dirinya diter-
tawakan oleh Sumolo tiada habisnya.
Jurus aneh itu, juga pemberian dari Jaka Bego. Se-
buah mimpi membawa Raden Klowor ke suatu tempat,
di mana Jaka Bego menggerak-gerakkan tangannya,
memainkan jurus itu seraya berkata-kata sendiri seperti
orang bego. Dari kata dan gerak yang dilihat Raden
Klowor, semuanya dihapal dan dilatih di luar mimpinya.
Dalam tempo sepuluh hari, ia berhasil menguasai jurus
yang diberi nama jurus Totok-totok Tamu.
"Apakah dia tak bisa berhenti tertawa?!" kata Saras
dengan masih berdiri di samping Klowor.
"Bisa! Tapi, biar saja dia sibuk dengan tawanya, toh
tidak menyakitkan orang lain.... O, ya, bagaimana den-
gan Pusaka Selendang Tirta Dewi...? Apakah sudah
kembali ke tangan keluargamu?"
"Belum. Lihatlah sendiri, daerah ini kalau siang jelas
sekali tampak kekeringan. Kami mulai kekurangan air,
baik untuk minum maupun untuk pengairan sawah.
Sungai menjadi kering dan tanah tidak subur lagi.
Hahh... itu gara-gara tak ada lagi yang mampu dari
orang kami untuk menemukan Selendang Tirta Dewi."
Saras tampak sedih. Lalu, Klowor berbisik pelan:
"Kalau aku bisa membantu menemukan pusaka itu,
apa hadiahnya?"
Saras agak kaget.
"Apa hadiahnya?"
"Kau minta hadiah apa? Berapa?"
"Tidak banyak. Cukup satu. Hadiahnya... kau!"
Semakin kaget Saras mendengarnya, semakin malu
Klowor memandangnya. Berdebar hatinya, berharap ji-
wanya. Akankah disetujui?
*
* *
5
Hanya ada satu daerah yang paling subur di daerah
sebelah Selatan Gunung Sawi. Mulanya, daerah itu ada-
lah Pademangan Kumilir. Tetapi, sejak Selendang Tirta
Dewi hilang dari daerah Pademangan Kumilir, maka
tempat itu menjadi gersang. Sama dengan tempat-
tempat lainnya. Selendang Tirta Dewi dicuri. Dan, un-
tuk mengetahui di mana pusaka itu sekarang berada,
Raden Klowor mencari daerah yang paling subur dari
seluruh kawasan di wilayah Selatan Gunung Sawi. Pasti
di sanalah Selendang Tirta Dewi berada.
Tempat subur itu ditemukan. Namanya, Tanah
Gempal. Ada suatu pemerintahan tersendiri di Tanah
Gempal. Konon, mereka adalah orang-orang buangan
dari Kediri. Para pemberontak, penjahat, dan pengkhia-
nat dibuang ke Tanah Gempal. Letaknya, tepat di lem-
bah kaki Gunung Sawi yang terkenal tandus dan be-
rongga seperti jurang. Sebab itu, disana juga ada daerah
bernama Jurang Gempal.
Sebuah pemerintahan, lengkap dengan masyarakat-
nya yang sudah bukan lagi merasa sebagai orang-orang
buangan itu, dipimpin oleh seorang warok yang bergelar
Ki Warok Wali Kukun. Sebuah gelar yang cukup aneh
bagi masyarakat di masa itu. Tetapi, semua orang tun-
duk kepadanya. Semua penduduk Tanah Gempal
menghormat kepadanya. Takut. Sebab dulu ia adalah
gembong perampok tak kenal kasih. Cita-citanya adalah
menyusun kekuatan, mendirikan suatu kerajaan, untuk
menyerang balik keturunan raja Kediri.
Raden Klowor sengaja nongkrong di sebuah kedai.
Banyak orang memperhatikan dia, tapi Klowor bersikap
biasa-biasa saja. Matanya dipasang, telinganya diperta-
jam, setiap suara orang didengarnya baik-baik. Sampai
sampai, ia sempat menangkap pembicaraan dua orang
yang makan di depan mejanya. Dua orang itu membica-
rakan soal keluarganya yang ingin pindah ke tempat
lain.
"Untuk apa pindah ke sana-sana, di sini saja sudah
enak."
"Istriku minta tinggal lebih dekat dengan ibunya."
"Kalau begitu, lebih baik ibunya saja yang kau
boyong ke mari."
"Mana mau?! Mertuaku tahu kalau tempat ini terlalu
gersang dan tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam."
"Kasih tahu sama mertuamu, di Tanah Gempal ini
sekarang sudah tidak gersang lagi. Nyatanya, sekarang
air mulai melimpah, sungai-sungai mulai mengalirkan
air bening. Pokoknya, Tanah Gempal dalam waktu de-
kat akan menjadi tempat yang subur dan makmur. Ti-
dak ada kekurangan air seperti dulu lagi."
"Memang, aku sendiri juga berpendapat begitu. Teta-
pi, mertuaku mana bisa percaya. Ia mengira tanah ini
subur dalam semusim saja. Lebih jauh lagi akan men-
jadi tanah yang gersang dan tandus kembali."
"Yah, kalau begitu, jelaskan saja bahwa penguasa ki-
ta, Ki Warok Wali Kukun telah berhasil memperdalam
sebuah ilmu yang dapat mendatangkan air serta hujan."
"Ah, masa begitu, Bar?"
"Ya. Apa kamu belum tahu, bahwa Ki Warok Wali
Kukun sudah berhasil semadi di Gunung Sawi, dan
mendapatkan pusaka sebuah selendang? Selendang itu
dulu pernah diperagakan di depan umum. Sekali dis-
abetkan bisa membuat tanah menjadi berair, seperti ke-
luar mata air dari tanah itu. Kalau dua kali disabetkan,
mendatangkan hujan."
"Lho, jadi...? Hujan yang kemarin sore itu juga akibat
selendang pusaka tersebut disabetkan dua kali, ya?"
"Iya. Coba bayangkan... apakah tidak rejo, tidak
subur, jika Tanah Gempal mempunyai sumber air yang
ajaib itu?!"
Jelas. Tidak sangsi lagi. Selendang Tirta Dewi dicuri
oleh anak buah Ki Warok Wali Kukun. Dan, sekarang
menjadi kebanggaan sekaligus sumber kehidupan ma-
syarakat Tanah Gempal.
Inilah tugas Klowor. Tugas yang dibuatnya sendiri.
Sekalipun waktu itu, Saras hanya tersenyum malu dan
menundukkan kepala ketika berbicara soal hadiah, te-
tapi Klowor sudah dapat mengartikan, bahwa jika ia
berhasil memperoleh pusaka selendang itu, maka ia
pasti mendapat hadiah berupa gadis lugu bermata bulat
bening, dengan rambut dikepang dua.
Sekarang hanya sebuah cara yang dipikirkan Klowor.
Cara apa dan bagaimana untuk mendapatkan kembali
Selendang Tirta Dewi. Sambil menikmati nasi pesanan-
nya dan secangkir tuak ringan, Raden Klowor berpikir
keras untuk mendapatkan cara menuju selendang pu-
saka itu. Jika ia lakukan semata-mata menyerang dan
merebut, bahayanya cukup besar. Bisa jadi ia akan di-
keroyok orang se-Tanah Gempal.
Ada pembicaraan yang sempat didengar lagi oleh
Klowor. Sebuah pembicaraan dari seorang pemuda yang
sedang merayu gadis kekasihnya di pojok kedai itu.
"Aku tidak mau pergi terlalu jauh, Kang," kata gadis
itu. Sesaat, terbayang di benak Klowor, andai saja yang
duduk di pojok sana adalah dirinya dengan Saras. Oh,
indahnya. Sayur jengkol yang dimakannya itu terasa
seperti panggang ayam hidangan istana raja.
"Lho, kamu baru diajak pergi jauh saja sudah tidak
berani, bagaimana kalau diajak berumahtangga? Apa
kamu akan menolaknya juga?" kata pemuda itu.
"Itu kan lain, Kang. Kalau kita sudah berumahtang-
ga, ke mana saja aku akan kau bawa, tentu aku mau.
Asal jangan kau bawa ke kuburan saja."
"Memangnya, kamu tidak berani mati bersamaku?"
"Bukan soal berani atau tidak. Kalau ke kuburan,
aku takut. Aku ini kan penakut, Kang. Malahan, aku
sudah pesan kepada emakku, kalau aku mati, aku min-
ta mayatku dibakar saja, jangan dikubur. Kalau diku-
bur, berarti aku harus berada di kuburan terus-
menerus, dan... mayatku tentu akan takut sama kubu-
ran...."
"Baik. Baiklah.,..! Tapi, sekarang aku tidak berminat
bicara soal kuburan. Aku hanya ingin mengajakmu per-
gi ke suatu tempat. Tidak sampai malam. Sore hari kita
sudah pulang ke rumah. Percayalah."
"Memangnya, mau ke mana kita ini, Kang?"
"Ke... ke Lembah Batu."
"Batu apa ada lembahnya, Kang?"
"Lembah Batu itu nama tempat, tolol!"
Gadis itu tertawa manis.
"Aku cuma becanda, Kang. Aku juga tahu kalau
Lembah Batu itu tempat untuk berlatih ilmu kanuragan
orang-orangnya Ki Warok."
"Tapi, sekarang mereka tidak lagi berlatih di sana."
"Lho, kenapa begitu?"
"Karena tempat tersebut sekarang sudah digenangi
air."
"Lembah Batu itu? Ah, bukankah Lembah Batu ada-
lah bagian dari kali mati yang berisi bebatuan saja, tan-
pa air?"
"Itu kan dulu! Sekarang lain. Kau pikir air sungai
yang mengalir di belakang rumahmu itu bukan berasal
dari Lembah Batu? Lho... bagaimana kamu ini, Kus?
Masa belum tahu?"
"Aku tahu, kalau sungai itu sekarang sudah menga-
lirkan air bening. Tetapi, dari mana sumbernya, aku be-
lum tahu. Dan, kurasa aku tidak perlu tahu, yang pent-
ing aku bisa menikmati kesegaran air yang berlimpah."
"Sekarang bagaimana airnya? Masih melimpah?"
"Hemmm... sudah agak surut itu, Kang. Aku khawa-
tir juga kalau akan menjadi surut, habis dan kering
kembali."
"Nah, aku ke sana... maksudku ingin mengajak kau
ke sana untuk menyaksikan upacara Pencurahan Air."
"Maksudnya bagaimana itu, Kang?"
"Di Lembah Batu, akan diadakan upacara Pencura-
han Air supaya air sungai tidak menjadi susut dan ha-
bis. Di sana Ki Warok akan melakukan suatu keajaiban
dengan pusakanya. Dan, kita akan dibuat terkagum-
kagum melihat keajaiban sebuah selendang yang dapat
mendatangkan air dari bebatuan cadas. Huhh... rugi
kamu kalau tidak mau nonton!"
"Wah, agaknya perlu ku tonton juga acara itu, Kang.
Ingin kulihat, seperti apa selendeng (Editor: selendeng,
apa artinya?) kok bisa menggali air dari celah bebatuan
cadas. Yuk, kita ke sana, Kang...!"
Sebagai orang asing di Tanah Gempal, Raden Klowor
tidak mungkin dapat menemukan Lembah Batu dengan
cepat. Satu-satunya cara untuk mencapai ke sana den-
gan cepat, adalah dengan menguntit sepasang muda-
mudi itu. Klowor sendiri tertarik ingin melihat seperti
apa acara Curah Air yang akan dilangsungkan di Lem-
bah Batu itu. Apa yang harus dilakukan di sana? Ah,
itu soal nanti saja! Bagaimana gagasan yang terlintas
pada saat nanti saja.
Yang penting, Raden Klowor harus bisa menguntit
kedua muda-mudi itu dengan tidak menimbulkan kecu-
rigaan. Memang agak menyiksa diri menguntit kedua
muda-mudi yang sepanjang jalan selalu berpelukan,
bergandengan, malahan kalau di tempat sepi berani
berciuman. Ingin rasanya Klowor melempar batu kepa-
da mereka, karena dianggap sengaja pamer kemesraan.
Hal itu memang membuat Klowor jadi ingat kepada Saras, gadis yang mendebarkan hatinya. Akibatnya, Klo-
wor jadi ingin cepat-cepat menemui Sarasati, menye-
rahkan selendang pusaka, dan membawanya jalan-jalan
seperti kedua muda-mudi yang seusia dengannya itu.
Setelah melalui tanjakan beberapa kali, tikungan be-
berapa kali, sampailah mereka ke sebuah lembah tan-
dus. Ada tebing cadas yang menjulang tinggi, yang me-
nurut perkiraan Klowor, itulah yang dinamakan Jurang
Gempal. Tebing cadas itu memancurkan air tak begitu
deras. Jika deras, maka akan menjadi seperti air terjun
yang langsung memenuhi sebuah sendang di bawah-
nya. Sendang tersebut sebenarnya adalah bagian dari
pada sungai yang paling atas.
Klowor merasa lega, ia berhasil menemukan Lembah
Batu yang sudah banyak dikelilingi orang di sana sini.
Mereka berada di tempat agak jauh dari tepian tebing.
Mereka menunggu saat dimulai acara Curah Air dari
sabetan Selendang Tirta Dewi. Mereka tidak berjajar,
melainkan berkelompok-kelompok di sana-sini. Semen-
tara itu, rombongan dari Ki Warok Wali Kukun sudah
datang. Orang yang bernama Ki Warok Wali Kukun ber-
jalan tegap. Badannya besar, tinggi. Tidak memakai ba-
ju. Celananya hitam dililit kain batik putih. Ia menge-
nakan sabuk dari tali sebesar jempol kakinya. Sementa-
ra ikat kepalanya bercorak batik hitam. Kumisnya tebal,
matanya membelalak garang.
Di sampingnya, ada dua orang berpakaian serba hi-
tam. Yang satu membawa peti kecil, mungkin berisi Se-
lendang Tirta Dewi, yang satu orang lagi membawa
tombak berujung garpu. Runcing, besar dan tajam. Se-
dangkan, di samping kanan Ki Warok, adalah dua gadis
yang mencengangkan Klowor. Ia tahu persis, kapan ia
bertemu dengan kedua gadis bersenjata kipas itu. Di-
alah yang pertama kali merasakan sakitnya tendangan
kedua gadis tersebut. Itu menurut Klowor. Sebab sejak
itu dia tidak pernah melihat gadis itu lagi, dan tak tahu
apakah kedua gadis itu juga pernah melakukan penyik-
saan terhadap seseorang yang pasrah tak melawan. Ke-
dua gadis tersebut tak lain adalah: Aweni dan Sayung.
Geram hati Raden Klowor teringat ia dituduh men-
gintip kedua gadis yang sedang mandi di sebuah telaga,
dulu. Rasa-rasanya, sekujur tubuh menjadi perih akibat
bayangan saat kedua gadis itu seenaknya menghajar
Klowor. Mungkin sekarang inilah saatnya unjuk diri,
siapa Klowor. Sehela nafas dihirupnya panjang-panjang
untuk menahan gejolak dendamnya. Dalam hati, Klowor
bertanya-tanya:
"Mengapa Aweni dan Sayung ada di sini? Ada hu-
bungan apa antara mereka dengan Ki Warok? Istrinya?
Atau kedua anak Ki Warok?"
Di belakang Ki Warok, masih ada beberapa orang
yang satu di antaranya mirip dengan potongan tubuh
Klowor. Pemuda yang mirip dia itu memegang sebuah
rantai dari bola berduri. Mungkin pemuda itulah yang
mencuri Selendang Tirta Dewi dari Pademangan Kumi-
lir, yang kemudian disangka Raden Klowor. Kemudian,
orang-orang di belakang Ki Warok masih banyak lagi,
semuanya memegang senjata, seakan barisan pengawal
siap tempur. Diam-diam, Klowor mempelajari medan,
mencari tempat yang tepat kalau saja ia berhasil me-
rampas selendang pusaka. Atau, ia akan menantang Ki
Warok untuk bertarung dengan taruhan selendang itu?
Wah, bagaimana enaknya, ya? Kalau bertarung, lalu
Ki Warok kalah, apakah mungkin orang yang meme-
gang selendang mau menyerahkan selendang tersebut.
Tak urung Klowor juga harus merebutnya, dan berta-
rung lagi.
Ki Warok berdiri menghadap tebing cadas. Air me-
rembes dari tebing itu. Kecil sekali rembesannya. Ke-
mudian, ia menyuruh pembawa peti membuka tutup
peti kecil itu, dan segera dikeluarkan sehelai selendang
berwarna kuning keemasan, tetapi tipis seperti kain su-
tera. Cahaya matahari memantulkan selendang yang
berwarna emas itu. Emas seluruhnya. Sekalipun itu en-
tah emas murni atau hanya rajutan halus benang
emas? Yang jelas, dari ujudnya saja orang pasti akan
tertarik untuk memilikinya.
"Harus kurebut...!" gumam Klowor dari balik batu.
"Harus dengan paksa. Biar sedikit kasar, yang penting
bisa berhasil. Kurasa hanya dengan cara menyerobot
selendang itu dan membawanya lari, adalah cara yang
paling tepat untuk dilaksanakan."
Ki Warok berbicara kepada rakyatnya, sementara itu
Raden Klowor mengendap-endap mencari posisi untuk
menyerobot selendang tersebut.
"Rakyat ku...!" seru Ki Warok Wali Kukun. "Sekali la-
gi, ku ingatkan kepada kalian; agar jangan menjadi ce-
mas. Kalian sudah dapat hidup dengan tentram, tanpa
memikirkan kekurangan air. Pusaka ini, ku peroleh dari
bersemadi dan bertarung melawan raja Setan Gunung
Sawi. Pusaka inilah yang akan menjadi harapan bagi
kalian, bagi masa depan anak-anak Tanah Gempal yang
akan menjadi perkasa, sebab Tanah Gempal akan men-
jadi tanah yang subur, banyak air, dan murah pangan!"
Semua orang segera berlutut, menandakan meng-
hormat kepada pusaka dan kekuasaan Ki Warok. Se-
mentara itu, Raden Klowor berada di bagian atas, me-
nyamping dari rombongan Ki Warok. Ia berjongkok, me-
nyiapkan sebuah jurus pemberian Kirana dari sebuah
mimpinya.
"Tebing cadas ini, akan mengalirkan air sebagai lam-
bang kehidupan dan kebutuhan setiap manusia, khu-
susnya manusia Tanah Gempal...! Sambutlah dengan
sorak kemenangan, setelah selendang ini ku sabetkan
pada cadas, dan tebing cadas akan mengalirkan air se
gar untuk kalian."
"Hidup Ki Warok...! Hidup Tanah Gempal...!" seru
mereka yang masih berlutut sambil mengacung-
acungkan tangan.
Diam-diam, Raden Klowor menyiapkan sebuah jurus
dari balik batu. Tangannya saling merapat di dada. Te-
lapak tangan itu makin lama semakin gemetaran. Na-
fasnya tertahan kuat-kuat sejak tadi. Jurus Tapak
Semberani segera digunakan. Tepat pada saat Ki Warok
hendak mengibaskan selendang emas itu, tangan Klo-
wor menghentak lurus ke depan kedua-duanya dengan
telapak tangan tengkurap ke bawah.
"Wuuus...!"
Ada semacam tenaga yang mampu menyedot dengan
kuat. Kedua tangan Klowor bergetar, dan selendang pu-
saka itu lepas dari tangan Ki Warok, melayang dengan
cepat ke tangan Raden Klowor.
"Taab...!"
Selendang Tirta Dewi sudah berada di tangan Raden
Klowor.
"Woooowww...?!" Semua orang menggumam dalam
kekaguman yang sangat mengejutkan. Ki Warok ma-
tanya seakan hendak meloncat ke luar. Wajahnya me-
merah, dan semua pasukannya menjadi berang. Senjata
disiapkan, dan Ki Warok berseru dengan lantang:
"Bangsat...! Tangkap anak itu, pancung dia di depan
umum...! Serbuuu...!"
Sebuah anak panah melesat dengan sasaran dada
Klowor. Lincah sekali Klowor melompat ke tempat lain.
Anak panah itu lolos, tetapi muncul serangan sebatang
tombak yang meluncur ke arahnya.
"Wees...!"
Tombak melesat melewati atas pundak Klowor.
"Serahkan selendang itu, Bangsat! Kau akan hancur
tak berbentuk di depan umum...!" teriak Ki Warok yang
segera melompat ke atas. Sementara itu, Raden Klowor
sedikit kebingungan, karena serangan mereka cukup
bertubi-tubi. Amukan mereka menghadirkan sejumlah
senjata yang melayang bersimpang siur di depan mata
Raden Klowor.
"Kau pencuri, Ki Warok! Selendang ini bukan milik-
mu! Selendang ini ada yang punya! Aku harus men-
gembalikan kepada pemilik pusaka ini yang sebenarnya!
Hiaaat...!"
Raden Klowor bersalto ke sana ke mari menghindari
lemparan batu, tombak, panah dan bahkan pisau serta
senjata beracun. Sementara itu, mereka mulai menge-
pung Klowor dan mulai mempersiapkan benteng perta-
hanan dari susunan orang-orang bersenjata pedang.
"Hiaaat...!"
Jurus Pukulan Badai Gunung dilancarkan oleh Klo-
wor. Hal itu dilakukan setelah ia dengan cepat menya-
bukkan selendang tersebut ke perutnya. Orang yang
melayang hendak menyerangnya dengan tombak beru-
jung garpu tajam itu terpental bagai dihempas angin
kencang setelah telapak tangan Klowor menghentak.
"Modar kau, Tikus...!"
"Huuugh...!"
Klowor terkena tendangan mantap dari belakang.
Punggungnya terasa mau patah. Dan, pada saat itu, se-
buah anak panah melesat ke arahnya. Untung ia terpe-
leset jatuh karena tergelincir batu yang diinjaknya, se-
hingga anak panah itu lolos dari tubuhnya dan menan-
cap di leher orang yang tadi menendangnya.
"Mampus...! Mampus...! Hiiih...!"
Klowor berguling-guling menghindari hunjaman
tombak yang berulangkali diarahkan kepadanya. Tom-
bak itu selalu meleset, mengenai tanah. Menancap. Di-
cabut, dihunjamkan lagi, dan menancap kembali... de-
mikian seterusnya, sehingga tubuh Raden Klowor berguling-guling terus ke arah kiri. Pada saat itu, ada seo-
rang musuh yang sengaja menghadang dari arah kiri
dengan tombaknya. Begitu Klowor berguling ke dekat
kakinya, langsung saja tombak itu dihunjamkan ke ba-
wah.
"Seeet...!"
Dengan kecepatan yang luar biasa, Raden Klowor
berhasil menangkap tombak yang hendak menembus ke
dadanya itu. Tombak tersebut ditekan oleh pemiliknya.
Kuat-kuat ditekan ke bawah, dan Klowor bertahan mati-
matian. Tetapi, ada tombak lain yang datang dari arah
kanannya, sasarannya ke wajah Klowor.
Dengan sekuat tenaga, Klowor menghentakkan ke
kanan tombak itu, dan pemiliknya terpelanting ke ka-
nan tepat pada saat tombak dari kanan menghunjam.
"Aaaahhk...!"
Orang yang tombaknya ditahan Klowor terkena tu-
sukan tombak temannya sendiri. Dan, Raden Klowor
segera melentik dengan kedua tangan, tahu-tahu sudah
berdiri dengan kedua kaki tegar menapak.
Nekad. Orang segitu banyak dilawannya. Ini benar-
benar perbuatan yang nekad. Ki Warok sampai geleng-
geleng kepala melihat keberanian Raden Klowor. Mu-
suhnya lebih dari dua puluh lima orang, tapi Klowor tak
gentar menghadapinya. Kalau tidak otak nekad, tidak
akan berani ia berbuat seperti itu.
"Huaaaiiit...!"
Klowor menggunakan jurus Kilang Baja. Kedua tan-
gannya menghentak dari belakang lurus ke depan tapi
masih menyamping. Dan, orang yang hendak menye-
rangnya dengan trisula itu mengejang, matanya terbe-
liak, lalu mulutnya menyemburkan darah kental ke
atas. Klowor segera melompat dan menendang leher
orang itu dari depan. Tendangan kaki kanannya yang
menyamping itu mengakibatkan matinya musuh yang
bersenjata trisula.
"Jahanam kau...! Kau bunuh adikku, hah...?!
Hiaaat...!"
Sebuah pedang menebas ke arah perut Klowor. Den-
gan gesit Klowor melompat ke belakang. Tetapi, ternyata
di belakang pun ada musuh yang menggunakan rantai
bola berduri.
"Weeeng...!"
Kepala Klowor sedikit lagi hancur kalau saja ia tidak
secepatnya menunduk. Bola berduri itu melesat di atas
kepalanya. Kibasan anginnya sempat membuat rambut
Klowor tegak sejenak. Tetapi, secepatnya pula Klowor
menghentakkan telapak tangannya, menggunakan ju-
rus Badai Gunung yang sudah dikuasainya itu. Dada
lawan jadi mengepulkan asap. Ia menegang dan mende-
lik. Tak tahu, mati atau tidak, tetapi Klowor segera me-
lompat dan bersalto karena dua anak panah meluncur
ke arahnya bersamaan. Keduanya berhasil dihindari
Klowor. Tetapi, sebagai akibatnya, begitu kakinya men-
darat, ia terkena pukulan tongkat pada dadanya.
"Begg...!"
Klowor mendelik, nyaris tak bisa bernafas. Lalu,
tongkat kertas itu menghantam lagi pelipisnya.
"Pletaak...!"
"Aaaohh...!"
Klowor terpelanting dan jatuh ke samping. Kemudian
sebuah tendangan menghampiri dagunya.
"Hiaaat...!"
Klowor mengerang dan meringis kesakitan. Darah
keluar dari bibirnya yang robek untuk kesekian kalinya.
"Tak ada jalan lain kecuali modar kau, Nyong...!
Hiaaat!"
Seseorang hendak menebaskan goloknya yang pan-
jang dan lebar. Tetapi, Klowor cepat-cepat menghentak-
kan tangannya ke atas, ke arah orang itu. Dan, sekali
lagi pukulan Kilang Baja terhempas, membuat musuh
terpental beberapa langkah dengan dada berasap. Ba-
gian dada itu menjadi hitam kebiru-biruan. Orang itu
mendelik-delik menahan sakit.
"Munduuur...! Mundur semua...!" teriak Ki Warok
Wali Kukun. Semua orang menghentikan serangannya
dengan nafas mereka yang terengah-engah.
Klowor bangkit, karena merasa sudah dikepung da-
lam satu lingkaran maut. Waktu ia berdiri, tiba-tiba:
"Ziiing...!"
Seseorang menyolong kesempatan melemparkan sen-
jata rahasia berupa besi lempengan berbentuk bunga
cempaka. Dengan gesit Klowor meliukkan badan ke
samping, dan senjata rahasia itu melesat ke arah lain.
Hampir saja mengenai teman mereka sendiri.
"Hentikan semua serangan, Monyet!" teriak Ki Warok
kepada anak buahnya. Agaknya ia marah juga kepada
mereka yang membandel nyolong kesempatan untuk
menyerang.
"Hei, Babi panggang...!" teriak Ki Warok kepada Klo-
wor. "Kalau kami mau membunuhmu sekarang juga,
kamu sudah mati sejak tadi. Tapi kami masih ingin me-
nangkapmu hidup-hidup! Kami mau mencari jalan
lain!"
"Tidak ada jalan lain untuk persoalan ini! Dan, aku
memang sudah lelah untuk jalan-jalan ke jalan lain!"
kata Raden Klowor dengan memasang kesiagaan, ka-
kinya masih merentang rendah, dan kedua tangannya
bersiap menangkis atau memukul siapa saja yang men-
dekat. Baju dan celananya yang biru itu ditiup angin,
bagai sayap elang yang siap terbang.
Matanya begitu tajam memandang liar ke kanan ki-
rinya.
"Monyet Kurap...!" seru Ki Warok. "Percayalah, kau
tak akan menang melawan kami! Jadi, sebaiknya kita
berdamai saja. Serahkan selendang itu, dan kau akan
kuberi apa yang kau inginkan! Tapi, awas, kalau kau
menipu kami, tak ada ampun lagi bagimu...!"
"Sekarang pun kau tidak memperoleh ampun dariku,
Ki Warok...! Kau telah menyuruh anak buahmu yang
ceking itu untuk mencuri selendang pusaka ini! Licik
dan pengecut!"
"Kepala batu kau, rupanya! Aku sudah menawarkan
hal yang terbaik untukmu, tapi kau membuang kesem-
patan itu dengan sia-sia...!"
"Hal yang terbaik menurutmu, belum tentu terbaik
menurutku. Dan aku sengaja membuangnya, karena
aku tidak mau menjadi pengecut dan licik seperti anak
buahmu!"
Panas sekali hati Ki Warok Wali Kukun. Matanya
semakin merah, dadanya turun naik pertanda nafasnya
tak terkendali. Kemudian dengan geram dan marah ia
berseru:
"Aweni...! Sayung...! Remukkan kepala orang sinting
itu, lekaaas...!"
Aweni dan Sayung, tokoh perempuan yang pernah
menghajar Raden Klowor di dekat sendang pemandian,
kali ini bertemu dengan Raden Klowor kembali. Setelah
Aweni dan Sayung memberi hormat kepada Ki Warok,
mereka pun maju ke tengah lingkaran.
"Hei, ketemu lagi kita, ya...?!" Klowor menegurnya
dengan senyum sinis. Aweni dan Sayung sama-sama
bungkam. Tetapi, beberapa saat kemudian Aweni berka-
ta kepada Sayung:
"Agaknya pemuda inilah yang mengintip kita tempo
hari itu, Sayung!"
"O, ya...! Aku ingat. Tetapi, waktu itu ia tidak mela-
wan ketika kuhajar! Sekarang dia mau pasang gaya di
depan kita. Huhh...! Kita belah saja tengkorak kepa-
lanya!"
"Hebat," ujar Klowor sambil melangkah berkeliling
menjaga jarak dan mencari kesempatan untuk menye-
rang.
"Kalau kalian menemukan buah semangka, kalian
bisa berkata begitu. Tetapi, agaknya kepalaku ini bukan
buah semangka, melainkan batu granit yang keras dan
tak mudah dibelah dengan ujung kipasmu. Kecuali
dengan ujung lidahmu...!"
Ki Warok terdengar tak sabar:
"Sayung...! Jangan ngobrol saja! Serang dia! Kau ku-
perintahkan untuk menyerang, bukan untuk berembuk
soal buah-buahan...! Kalau mau rujakan, nanti saja!
Sekarang serang, dan serang terus dia! Lekaaas...!"
"Hiaaaatt...!"
Sayung melompat dan membuka kipasnya. Kipas di-
hentakkan untuk memukul dagu Klowor, tapi kelebatan
kipas itu berhasil dielakkan. Andai saja tidak, pasti da-
gu Klowor akan robek, karena ujung-ujung kipas itu
mengeluarkan mata pisau beberapa biji.
"Huaiyaaah...!"
Klowor menjerit sambil menendang dada Sayung.
Kena. Tepat tendangannya mendarat di dada kiri
Sayung, sehingga Sayung pun menjerit kesakitan. Pada
saat itu, Aweni melayang dengan kipas masih tertutup,
namun diarahkan ke wajah Klowor. Dari ujung kipas itu
keluarlah semacam sinar biru yang berpijar-pijar. Ba-
haya!
Klowor segera menjatuhkan diri, dan sinar itu lewat
di atasnya. Kemudian, dengan jurus tendangan Turang-
ga Sujud, kedua kaki Klowor menjejak ke atas, tepat
mengenai perut Aweni yang melayang.
Tubuh gadis itu terpental, melambung tinggi. Kalau
ia tidak segera bersalto, maka ia akan jatuh dengan po-
sisi kepala membentur tanah.
Baru saja Klowor hendak berdiri, tahu-tahu sebuah
goresan terasa melukai betisnya. Oh, ternyata ujung ki-
pas Sayung telah melesat dan melukai betis Klowor. Un-
tung tidak lebar dan tidak terlalu dalam. Namun, aki-
batnya Sayung terpaksa terjungkal ke belakang, karena
telapak tangan Raden Klowor menghentak dari bawah.
Kilang Baja dan Pukulan Badai Gunung dilancarkan.
Hanya saja, saat itu Sayung cukup lincah, ia buru-buru
bersalto, bergantian tempat dengan Aweni.
Sementara itu, Klowor segera menyadari, bahwa mu-
suh-musuhnya yang mengepung membuat satu lingka-
ran itu semakin lama semakin menyempit. Mereka maju
sedikit demi sedikit, untuk kemudian akan menyergap
Klowor dengan di luar dugaan.
Aweni dan Sayung berdiri tegak, seakan sedang
mencari kelengahan Klowor. Tetapi, Klowor segera men-
girimkan gerakan lembut. Jurus Sentilan Jari Kuda di-
gunakan. Ia menyentil di udara, terarah kepada Aweni.
Dan Aweni menjerit kaget sambil kesakitan. Ia meme-
gangi bagian dada kanannya. Rupanya ke dada kanan
Aweni itulah Sentilan Jari Kuda dilancarkan Klowor.
Bahkan kini, sentilan itu juga diarahkan ke dada kanan
Sayung. Sayung pun menjerit kaget dan meringis kesa-
kitan. Anak muda yang nekad itu masih saja sempat-
sempatnya tersenyum nakal. Ini semakin membuat
Aweni dan Sayung menjadi berang.
Mereka berdua mengibaskan kipas yang sudah te-
rentang. Gerakannya cukup lembut, seperti orang me-
nari. Tetapi, kibasan kipas itu mempunyai kekuatan te-
naga dalam, sehingga Klowor menyeringai menahan ra-
sa perih di sekujur tubuhnya. Gawat! Bisa jadi itu kipa-
san racun maut, atau sejenisnya. Tak ada kesempatan
lain untuk menghindar karena suasana panas menyen-
gat mulai menyelimuti udara sekeliling Klowor. Maka,
pada saat itulah, Klowor menggunakan senjatanya yang
sejak tadi terselip di pinggang belakang, tertutup baju
birunya.
Cambuk Naga mulai bicara. Mereka yang mengurung
Klowor semakin menyempit. Dan, dengan gerakan cepat
Klowor melecutkan Cambuk Naga dua kali.
"Tar...! Tar...!"
Gemerlap cahaya merah keluar dari ujung cambuk.
Sinar merah itu menghantam tubuh Aweni dan Sayung.
Tak ada suara pekik yang mampu keluar dari mulut ke-
dua gadis tersebut. Karena, ketika cambuk lentur itu
berkelebat memancarkan sinar merah, leher mereka se-
rempak terpotong total. Kepala menggelinding dan ba-
dan mereka kejang-kejang sebentar, kemudian rubuh
tak berkutik lagi.
"Bangsaaaaat...! Kau telah membunuh anakku, Ba-
jingan!" Ki Warok geram. Matanya semakin melotot me-
rah. Kemudian ia segera melepas tali kolornya yang se-
besar jempol kaki.
"Kuhancurkan otakmu, Iblis Keparat...!"
"Wuuung... wuuung... wuuung...."
Suara itu terdengar akibat kolor Ki Warok diputar-
putarkan ke atas kepala. Ada angin yang bertiup, makin
lama semakin kuat. Klowor segera menghentakkan
cambuknya ke arah Ki Warok.
"Taaar...!"
Ki Warok melompat, dan tangan kirinya yang kosong
menghentak dan telapak tangan terbuka. Lalu, sema-
cam campuran sinar aneka warna keluar dari telapak
tangan tersebut. Dan menggelegar di bawah kaki Klo-
wor.
"Blegaaarrr...!"
Waktu itu, Klowor segera melompat, dan menjadi
terbelalak melihat tanah tempatnya berpijak telah retak,
dan merenggang, seakan ada sebuah celah jurang yang
terjadi secara tiba-tiba.
"Hebat juga ilmumu...!" teriak Klowor setelah ia ber
salto pindah tempat.
"Weeessss...!"
Sebuah pedang dari barisan pengepung menyerang-
nya, Klowor berkelit dan mengibaskan cambuknya ke
arah mereka.
"Taaar...!"
Cambuk itu mengenai kepala orang yang mencoba
membabat kepala Klowor dengan pedangnya. Orang itu
menjerit bersama temannya, karena kepalanya menjadi
retak dan berdarah. Ia mati, tetapi temannya pucat ka-
rena kaget dan merasa ngeri.
"Hadapilah aku saja, Bajingan...!"
"Blegaar...!"
Sekali lagi Ki Warok melancarkan pukulan dahsyat-
nya ke arah Klowor. Klowor segera bersalto, pindah
tempat lagi. Dan, tanah tempatnya berdiri menjadi me-
rekah, bagai jurang kecil yang membahayakan kaki
manusia. Tanah di bagian tepiannya segera longsor.
Mengerikan sekali.
"Taaar...!"
Cambuk Naga berkelebat ke arah Ki Warok, tapi Ki
Warok menyambutnya dengan tali kolor yang sejak tadi
diputar-putarnya di atas kepala. Benturan ujung cam-
buk dengan tali kolor itu menimbulkan ledakan yang
memekakkan telinga. Tubuh Ki Warok terpental, se-
dangkan Raden Klowor hanya terhuyung-huyung seje-
nak.
Semakin meluap kemarahan Ki Warok Wali Kukun
melihat tali kolornya rantas. Menjadi seperti serpihan
benang akibat benturan dengan Cambuk Naga.
"Huaaaattt...!" Ki Warok berteriak, menggerak-
gerakkan kedua tangannya dengan telapak tangan ter-
buka. Lalu, tangan kanan yang di atas kepala dihentak-
kan ke depan bersamaan dengan tangan kiri yang ada
di bawah pinggang.
Pada saat itu, ada nyala api yang setinggi manusia
dewasa melesat menyambar Raden Klowor. Nyala api itu
berkobar-kobar. Raden Klowor menghindar ke kanan
dengan satu lompatan, tetapi api itu mengejarnya, dan
akhirnya membakar tubuh Raden Klowor. Api tak mau
lepas, makin berkobar saja sekalipun Raden Klowor te-
lah kebingungan cara memadamkannya.
"Mampus kau menjadi tikus panggang...! Hua, ha,
ha...!" Ki Warok tertawa keras-keras melihat tubuh Klo-
wor dibungkus api.
Gawat! Api semakin panas dan sukar dipadamkan.
Klowor sempat panik. Cambuknya dikibaskan ke sana-
sini, menimbulkan ledakan, namun tidak memadamkan
api. Akhirnya, ia teringat mimpinya ketika bertemu den-
gan istri Lanangseta yang dipanggilnya: Bibi itu. Ia ingat
obrolan-obrolan tentang diri perempuan Putri Bukit Ba-
dai itu. Lalu, dalam keadaan tubuh terbakar api, Raden
Klowor berteriak keras-keras:
"Kiranaaaaaaaaa...!"
Terdengar suara gemuruh. Nama yang tidak boleh
diucapkan itu mengakibatkan datangnya rombongan
petir di angkasa yang menggelegar. Angin bertiup keras,
kencang dan semakin kencang. Api yang membungkus
tubuh Klowor melesat bagai kapas dihembus angin. Be-
bas. Tubuh Klowor memang mengalami luka bakar, tapi
tidak berbahaya. Baju dan celananya berasap, tetapi Se-
lendang Tirta Dewi tetap utuh, bagai tak mempan api
sama sekali.
Yang lebih mengerikan lagi, akibat Klowor menyebut
nama Putri Bukit Badai itu, tanah menjadi berguncang.
Langit memerah dengan awan membara berarak-arak.
"Glegaaar...!"
Petir menyambar-nyambar, melompat bagai menga-
muk pada alam jagad raya. Angin yang bertiup melebihi
topan badai yang mengamuk. Batu-batuan terbang kesana-sini. Tanah lembah menjadi longsor. Tubuh mere-
ka saling tunggang langgang terhempas angin. Ada yang
mati karena kepalanya terbentur batu besar yang dipa-
kai Klowor untuk berlindung dan menahan diri agar ti-
dak dihempaskan angin. Ada juga yang menancap pada
tombak kawannya sendiri. Ada lagi yang mati karena te-
rinjak-injak kaki mereka.
Langit menjadi kemerah-merahan, tapi ada mendung
hitam di sana-sini. Gelap. Alam bagai membara. Petir
merobek langit dan mencurahkan api yang memercik-
mercik. Bumi yang berguncang itu benar-benar tidak
bisa dipakai berdiri tegak. Sungguh mengerikan suasa-
nanya kala itu. Kiamat telah terjadi di Tanah Gempal.
Hanya batu yang benar-benar besar yang tidak terhem-
paskan, hanya bergerak-gerak saja. Tetapi, bebatuan
yang kecil dan berukuran tanggung terlempar karena
amukan badai. Klowor sendiri nyaris terhantam sebuah
batu. Untung ia segera merunduk dan batu itu menge-
nai tubuh Ki Warok Wali Kukun.
Jerit dan tangis mereka seperti irama di tebing nera-
ka. Orang-orang yang sekedar menonton upacara Curah
Air dan yang kala itu menyaksikan pertempuran Klowor
dengan Ki Warok, ada yang menjadi korban sampai mati
terhimpit batu. Klowor sungguh tak mengira kalau ke-
dahsyatan nama Kirana bila diucapkan akan menjadi
sebegini mengerikannya. Ia mengira hanya akan terjadi
badai biasa-biasa saja, dan guncangan tanah yang wa-
jar-wajar saja. Ia tak mengira kalau tanah akan menjadi
merekah dan memancarkan bara merah dari dalamnya,
sedangkan guncangannya kian lama kian menghebat,
tepat bersamaan dengan hembusan badai yang beru-
bah-ubah arah.
Pantas kalau Lanangseta tidak pernah memanggil
nama istrinya, dan Paman Ludiro juga tidak pernah
menyebutkan nama Kirana. Rupanya inilah akibatnya
jika nama Kirana disebutkan oleh siapa saja.
Pada saat badai menjadi lamban dan langit mulai re-
dup dari kemerahannya, Klowor melihat Ki Warok ber-
lumuran darah, mungkin terkena hempasan batu-batu,
atau terkena senjata yang saling beterbangan, atau ter-
seret oleh angin. Entah. Yang jelas ia masih hidup. Dan,
ia berusaha mendekati Klowor dengan menggeram bak
raksasa marah. Maka, dengan cepat Klowor menghen-
takkan cambuk ke arahnya:
"Tar... taar...!"
Dua kali, cukup membuat tubuh Ki Warok tak ber-
kutik lagi. Tubuh itu mengerikan sekali. Sadis. Terbelah
dari kepala sampai ke dada, dan terbelah juga pada ba-
gian perutnya. Uh, mual jadinya Klowor melihat kea-
daan itu. Sedangkan di kanan kirinya, banyak mayat
bergelimpangan, tertindih batu maupun terpanggang
senjata teman sendiri. Yang mengerang kesakitan juga
semakin jelas terdengar. Badai reda dan Klowor sendiri
tak tega melihat alam kematian yang sebegitu ngerinya.
Ia segera melompat, berlari, dan melompat lagi mening-
galkan Tanah Gempal, membawa Selendang Tirta Dewi
untuk diserahkan kepada Saras.
Si cantik molek dan menggetarkan hati itu terpana
saat Raden Klowor datang dan menyerahkan Selendang
Tirta Dewi.
"Ambillah hadiah mu sekarang juga," bisik Saras.
Tapi, Klowor hanya menggumam dalam senyum keba-
hagiaan. Ia berbisik, "Aku ada tugas ke Pulau Kramat.
Ada yang harus kuselesaikan di sana. Kau mau me-
nungguku...?"
"Pergilah, kutunggu kau sampai rambutku memu-
tih...!"
Saras memejamkan mata. Tanda minta dicium. Tapi,
Raden Klowor tak berani. Ia hanya menempelkan jarinya, lalu pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar