SERULING KEMATIAN
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Seruling Kematian
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.0191.50.12
1
PENDEKAR Maha Pedang tersentak ke belakang, ka-
rena kaki kiri Ludiro menendangnya dengan tendangan
samping tanpa melompat. Sekali pun sedikit terhuyung-
huyung, namun Pendekar Maha Pedang berhasil me-
nangkis pukulan Ludiro berikutnya. Tangan kanan Lu-
diro menyusul ke arah wajah Pendekar Maha Pedang.
Genggaman tangan itu ditangkap oleh telapak tangan
Pendekar Maha Pedang. Kuat dan kokoh, sehingga Lu-
diro sukar menarik tangannya kembali.
"Jangan memusuhi aku, Paman Ludiro. Nanti salah
satu dari kita ada yang celaka."
"Sebab itu, kau jangan menentang aku, Ekayana.
Kalau kau masih menentangku, kau sendiri yang akan
celaka di tanganku. Hiiaat...!" Ludiro segera mengi-
baskan kakinya dalam tendangan memutar. Tangan
Ekayana yang menangkap genggaman tangan Ludiro
terlepas karena bergerak ke kiri untuk menangkis ten-
dangan putar itu. Begitu kaki Ludiro yang kiri memben-
tur lengan Pendekar Maha Pedang, kaki kanannya sege-
ra memutar ke kanan dan mengenai pundak lawan.
Ekayana, atau Pendekar Maha Pedang terlempar ke
samping. Tubuhnya membentur pohon dan nyaris me-
nerjang Yin Yin yang berdiri dengan cemas di samping
pohon tersebut.
Ludiro berhenti menyerang. Mengatur pernafasan,
membiarkan Ekayana berdiri tegak memandang Mahani
yang ada di belakang Ludiro.
"Ekayana...! Sekali lagi ku tegaskan, atas perintah
Pendekar Pusar Bumi, kakakmu itu, nona Yin Yin, ke-
kasihmu, harus diserahkan kembali kepada ayahnya,
Laksamana Chou, sebagai penukaran Cambuk Naga
yang dicurinya!"
"Tidak!" seru Yin Yin seraya memegangi lengan
Ekayana. "Aku tidak mau kembali kepada ayahku! Aku
tidak mau!"
"Sabar, Yin Yin. Tenang saja...." bisik Ekayana.
"Ini perintah dari kakakmu, Ekayana!" kata Ludiro.
"Perintah itu sangat berat, Paman. Aku mencintai Yin
Yin, dan Yin Yin pun tak bisa dipisahkan dari diriku...."
"Tapi, Laksamana Chou membabi buta akibat anak-
nya kau larikan, Ekayana. Cambuk Naga dicurinya se-
bagai sandera."
"Itu tidak ada hubungannya dengan kami, Paman,"
bantah Ekayana yang mempunyai wajah serta potongan
tubuh sama persis dengan Lanangseta, si Pendekar Pu-
sar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti.
"Bagaimana bisa kau katakan tidak ada hubungan-
nya dengan kalian? Bukankah kemarahan Laksamana
Chou itu akibat perbuatanmu; melarikan anak gadisnya
sampai sekarang? Dan dia ingin anak gadisnya kau
kembalikan, Eka. Jika Yin Yin tidak dikembalikan ke-
pada ayahnya, maka Cambuk Naga warisan bekas ke-
kasih Lanangseta itu tidak akan kembali di tanganku.
Dan... terus terang saja, Eka... bahwa Cambuk Naga
merupakan pusaka dalam tanggung-jawabku dan La-
nangseta. Jadi, Lanang pun merasa bertanggung-jawab
jika sampai Cambuk Naga hilang dan dikuasai orang
lain. Sebab itu, pulangkan Yin Yin pada orang tuanya,
Ekayana. Jangan memaksa Lanangseta marah kepada-
mu. Justru ia memerintahkan agar kamu juga ikut be-
rupaya merebut kembali Cambuk Naga dari tangan
Laksamana Chou...!"
"Kalau aku mempertahankan Yin Yin, bagaimana?"
kata Ekayana sambil merangkul Yin Yin, menampakkan
kesetiaannya.
"Aku berhak memaksamu, Ekayana. Dan mungkin
juga kakakmu, Lanangseta itu, akan datang mengha
jarmu."
Yin Yin menyahut: "Biarkan dia datang! Biarkan La-
nangseta menemui kami. Aku ingin tahu seberapa tinggi
ilmunya itu? Apakah ia bisa menandingi Ekayana, ka-
sihku ini? Huhh...! Dia belum tahu kesaktian Ekayana
yang baru! Bisa-bisa ia akan lari terbirit-birit kalau
Ekayana sudah menggunakan jurus pemberianku, ju-
rus Pukulan Tangan Setan...! Hemm...!" Yin Yin menci-
bir. Pada saat itu, Mahani menggeram, merasa benci
mendengar kata-kata Yin Yin yang sombong, apalagi
bersifat mengecilkan dan meremehkan Lanangseta,
uuh... Mahani menjadi benci sekali. Ia meludah terang-
terangan seraya memandang sinis kepada Yin Yin. Ga-
dis Cina itu melototkan matanya, menahan kemarahan
kepada Mahani.
Ludiro segera berkata kepada Ekayana, "Ekayana,
jangan salahkan aku kalau kau sampai terluka oleh
tanganku, jika Yin Yin tidak kau kembalikan kepada
Laksamana Chou!"
"Paman, demi cinta, aku akan mempertahankan Yin
Yin dari tangan siapa pun yang akan merebutnya...!"
"Baiklah...." Ludiro memasang kuda-kuda dengan
meregangkan kaki dan merendahkan badan, tangan
kanannya mengepal di depan pelipisnya dan tangan kiri
berada terjulur ke depan, siap memukul.
"Akan kulumpuhkan kau, Ekayana, supaya kau tahu
betapa pentingnya Cambuk Naga bagiku dan bagi La-
nangseta!"
"Dan akan ku pertahankan Yin Yin supaya Paman
dan Lanang tahu bahwa aku sangat mencintainya...!"
ujar Ekayana seraya bersiap menghadapi serangan Lu-
diro.
Ludiro berlari menerjang Ekayana, "Ciaaaaat...!"
Ekayana menangkis pukulan tangan kanan Ludiro
dengan kibasan tangan kirinya ke samping, lalu tangan
kanannya ganti menangkis pukulan Ludiro berikutnya.
Agaknya Ludiro mempercepat gerakan tangannya untuk
menyerang, dan Ekayana dengan tenang bagai tanpa
emosi marah dapat menangkis setiap pukulan Ludiro
secepat apa pun.
"Huup... huup...! Heeahh...!"
"Uuh...! Hiaaat...! Hiiiat...! Mampus kau, Ekayana!"
Sukar sekali bagi Ludiro untuk menghantam dada, pe-
rut maupun wajah Ekayana. Gerakan tangan Ekayana
dalam mengimbangi pukulan Ludiro sungguh cepat.
Keduanya seakan sedang mengadu kekuatan tangan
dan lengan mereka dengan kecepatan yang tinggi.
Sementara itu, mereka berdua tidak tahu bahwa Yin
Yin yang merasa dongkol itu mendekati Mahani dengan
pandangan mata sipitnya yang menajam bagai kucing
betina. Mahani mundur beberapa langkah, lalu men-
gambil sebatang kayu berujung runcing. Nafasnya te-
rengah karena dilanda benci.
"Kau memang Babi busuk...!" geram Yin Yin dengan
mata mendelik.
"Kau perempuan yang tidak punya kehormatan sama
sekali!" balas Mahani. Sekali pun ia tidak mempunyai
ilmu silat, tetapi ia mempunyai keberanian yang bersifat
nekad. Ia bahkan berani meludahi wajah Yin Yin setelah
berkata: "Berani mendekatiku, kuhantam kau dengan
kayu ini, Bangkai busuk! Cuuihh...!"
Darah Yin Yin seperti mendidih seketika setelah Ma-
hani terang-terangan meludahi wajahnya. Gaun biru
yang dikenakannya dipakai untuk mengusap ludah
Mahani, dan kini ia menyerang Mahani dengan satu
tendangan kaki kanannya.
Mahani tidak tahu, kapan ia harus menghindar dan
kapan saatnya untuk memukul. Yang ia tahu, begitu
kaki Yin Yin maju menendangnya, ia pun menghantam-
kan kayu sebesar betisnya ke telapak kaki Yin Yin itu.
Namun, Yin Yin mempunyai kekuatan yang terlatih, se-
hingga benturan kaki dengan kayu itu justru membuat
Mahani tersentak mundur. Ia limbung dan hampir ja-
tuh. Yin Yin segera memanfaatkan keadaan itu untuk
memukul wajah Mahani keras-keras.
"Aaauuww...!" Mahani menjerit kesakitan.
"Matilah kau, Betina jalang...! Ciiaaat...!"
Yin Yin menendang payudara Mahani dengan keras.
Mahani menjerit kesakitan, lalu sukar bernafas. Namun
ia masih berusaha memegangi kayu itu untuk menung-
gu saat yang baik. Tapi sayang, kali ini Yin Yin menen-
dangnya lebih keras lagi, sampai-sampai ia terpental
dan kepalanya terbentur akar pohon yang besar. Pan-
dangan Mahani menjadi gelap dan berkunang-kunang.
Yin Yin mengangkat sebuah batu besar, dan hendak
menjatuhkan ke kepala Mahani, tapi Mahani mempu-
nyai sedikit kesadaran. Ia menghantamkan kayunya ke
lutut Yin Yin.
"Aaauuhh...!" Yin Yin mengaduh, dan batunya terle-
pas menjatuhi dada Mahani sehingga Mahani pun men-
delik seketika. Nafasnya sukar dihela. Tubuhnya berke-
lojot, mulut ternganga tanpa bisa berkata sedikit pun.
Dengan kegemasan dan kemarahan yang makin me-
luap, Yin Yin menginjak leher Mahani sekuat-kuatnya.
Sangat kuat, sehingga tubuh Mahani pun terkulai le-
mas dengan lidah terjulur ke luar bercampur darah se-
gar dari mulutnya.
Ekayana dan Ludiro tidak tahu apa yang dilakukan
Mahani dan Yin Yin. Mereka sibuk bertarung sendiri.
Ekayana repot menangkis dan bertahan dari serangan
Ludiro. Ia memang sejak tadi hanya bertahan, belum
memberikan serangan balasan. Sedangkan Ludiro,
sempat merasa heran, karena sejak tadi hanya bebera-
pa kali saja ia berhasil memukul dan menendang
Ekayana. Itu pun tendangan dan pukulan yang boleh
dikata tidak berarti. Pendekar Maha Pedang ini memang
cukup ulet. Ludiro mengakuinya. Namun demikian ia
tetap berusaha menyerang dan menyerang terus sampai
suatu saat nanti Ekayana merasa terpojok dan menye-
rahkan Yin Yin sebagai alat penebus Cambuk Naga. Ta-
pi sampai kapan Ludiro harus menunggu dan mencari
kesempatan itu?
Sedangkan jauh di seberang sana dari tempat mere-
ka bertarung, ada sepasang insan yang asyik melaku-
kan pembicaraan dalam kemesraan. Sepasang insan itu
adalah Indra Mada dengan Nyai Katri.
Seperti telah dikisahkan dalam cerita sebelumnya
(ISTANA LANGIT PERAK), bahwa Nyai Katri, Penguasa
Pulau Kramat itu telah kehilangan seluruh kesaktian-
nya bersama Andini, karena mereka terbius oleh ilmu
Asmara Pasak Dewa yang dimiliki Jaka Bego. Kedua pe-
rempuan sakti berilmu tinggi itu telah menjadi perem-
puan biasa tanpa tenaga dalam dan ilmu silat sedikit
pun, semenjak mereka melakukan hubungan badan
dengan Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Namun
sebenarnya Jaka Bego adalah putra dewa. Ia mengaku
bernama Indra Mada, mempunyai jabatan sebagai Dewa
Seribu Mimpi. Jaka Bego yang kurus kerempeng dan
dekil itu telah merubah diri sejak ia diberi minuman
madu dan ramuan khusus dari Nyai Katri. Maksudnya
hanya untuk mengembalikan tenaga dan kejantanan
Jaka Bego, sebab sejak saat itu Nyai Katri dan Andini
syarafnya telah bernaluri birahi tiada henti. Itu pun ju-
ga akibat ilmu Pasak Dewa dari Jaka Bego. Dan ketika
Jaka Bego telah berubah menjadi pemuda tampan, ke-
kar dan berkulit bersih lembut itu, maka Nyai Katri pun
semakin terpikat. Dan akhirnya ia membujuk agar In-
dra Mada mau mengembalikan kekuatan Nyai seperti
dulu. Nyai Katri menjanjikan suatu hadiah yang luar
biasa jika Indra Mada mau mengembalikan kesaktian
dan kekuatan Nyai seperti semula. Hadiah tersebut ada-
lah setumpuk harta karun hasil bajakannya dulu, di
mana ketika itu Nyai Katri menjadi ratu bajak laut yang
paling ditakuti. Harta karun yang berlimpah-limpah dan
menjadi incaran Laksamana Chou tersebut berada di
sebuah tempat yang bernama Istana Langit Perak.
Indra Mada ingin membuktikan Istana Langit Perak
beserta timbunan harta karunnya. Sebab itu, Nyai Katri
pun membawa Indra Mada ke suatu tempat, jauh di ke-
dalaman air laut, di sebuah goa yang ternyata dalamnya
berisi sebuah bangunan raksasa terbuat dari emas,
permata dan logam berharga lainnya. Langit-langit
atapnya terbuat dari lempengan perak berhiaskan batu-
batu jamrud maupun topaz.
Pada waktu itu sebenarnya mereka dikejar oleh La-
nangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bermaksud mem-
bebaskan Jaka Bego dari tawanan Nyai Katri. Lanangse-
ta belum mengetahui bahwa Jaka Bego telah berubah
menjadi diri sebenarnya, yaitu Indra Mada, Dewa Seribu
Mimpi. Tetapi dalam pengejaran di kedalaman air itu,
Lanangseta tertinggal oleh mereka, sehingga Indra Mada
dan Nyai Katri dapat masuk ke dalam goa dan bersem-
bunyi di dalam Istana Langit Perak yang berlimpah
emas permata di dalamnya.
Untuk mengembalikan kesaktian Nyai Katri yang su-
dah terlanjur diserap oleh kekuatan ilmu Asmara Pasak
Dewa, ia harus melakukan Semadi Serap bersama Jaka
Bego atau yang telah merubah diri menjadi Indra Mada
itu.
Semadi Serap adalah suatu kegiatan bertapa yang
unik. Dalam bertapa itu, Nyai Katri harus mau mera-
patkan badannya ke tubuh Indra Mada dalam keadaan
berhubungan tanpa gerak. Hal itu, dikatakan oleh Indra
Mada, harus dilakukan selama 40 hari. Nyai Katri sang-
gup, bahkan kegirangan, sebab naluri sexnya sudah ter
lanjur meracuni jiwa. Tetapi Indra Mada sendiri mem-
punyai pertimbangan lain.
"Waktu empat puluh hari cukup lama, Nyai...."
"Tapi apa. Aku sanggup, sekali pun harus melaku-
kannya selama seratus hari," ujarnya seraya tersenyum-
senyum dengan tangan mulai meraba ke daerah terten-
tu pada tubuh Indra Mada.
"Aku yang tak sanggup selama itu," ujar Indra Mada.
"Kau tak sanggup? Ah, bohong!"
"Aku perlu waktu. Aku harus segera menemui La-
nangseta dam menanyakan di mana ayahku, Dewa Bi-
rawa Mada. Sebab seperti yang pernah kukatakan, aku
mencium bau darah Dewa jika berdekatan dengannya."
Nyai Katri berwajah sendu, "Jadi kau tidak akan me-
lakukannya, Jaka?"
"Aku harus mempertimbangkan lebih masak lagi,
Nyai...." kata Indra Mada yang masih dipanggil Jaka
oleh Nyai Katri.
Indra Mada melangkah menyusuri ruangan berlantai
emas batangan, mendekati tumpukan harta perhiasan
yang ada di salah satu kamar. Perhiasan itu menggu-
nung, hampir menyentuh langit-langit kamar. Menyi-
laukan sekali.
Nyai Katri, yang bertubuh sekal, tidak gemuk namun
padat dan menggiurkan itu masih saja mengikuti ke
mana Indra Mada berjalan. Nyai Katri yang bergaun ti-
pis sekali itu seakan tak ingin berpisah dengan Indra
Mada. Sebab dalam diri Indra Mada itulah ia menemu-
kan puncak kebahagiaan yang luar biasa dan mem-
buatnya terbius dalam birahi menggila. Saat ini ia sedi-
kit cemas, takut kalau-kalau Indra Mada tidak mau
membantunya melakukan Semadi Serap.
"Jaka... aku ingin sekali menjadi orang seperti dulu,
sebelum kesaktianku dan kekuatanku kau serap den-
gan ilmu Pasak Dewa mu. Tolonglah, Jaka. Bukankah
aku sudah berjanji untuk memberikan semua harta
yang ada di sini, jika kau mau mengembalikan ilmu dan
kekuatanku itu? Aku berkata dengan sungguh, Jaka.
Aku tidak bohong!"
Indra Mada tersenyum. Wajahnya yang tampan den-
gan rambut ikal bergelombang dan mata kebiru-biruan
itu membuat Nyai Katri sesekali mengecup lengan, atau
punggung atau apa saja yang ada pada tubuh lelaki
menawan itu. Tetapi Indra Mada seperti sedang mem-
permainkan asmara Nyai Katri. Ia tetap tenang, meneliti
beberapa perhiasan, kalung, gelang, mahkota, kancing
emas dan lain sebagainya yang tertumpuk di beberapa
kamar. Sepatu dan piring emas pun ada.
"Sangat mengagumkan barang-barang ini," kata In-
dra Mada seraya mengambil beberapa batang dan di-
amatinya.
"Ini kukumpulkan beberapa puluh tahun la-
manya...?"
"Hasil suatu bajakan?"
"Hasil beberapa ratus kali bajakan." Nyai setengah
meralat kata-kata Indra.
Indra Mada menggumam dan menggeleng pelan.
"Apakah selama ini tak ada orang yang dapat meng-
gagalkan perampokan mu, Nyai?"
"Tak satu pun ada yang bisa mengalahkan aku, Ja-
ka. Aku punya banyak ilmu dan kesaktianku pun tiada
taranya. Maka dengan mudah ku bantai mereka untuk
kuambil hartanya, lalu kusimpan di sini. Suatu persia-
pan untuk membangun negara yang kokoh dari keturu-
nan ku yang akan berujud manusia luar biasa nan-
tinya." Nyai Katri menerangkan apa adanya.
Indra Mada memandang Nyai yang bergelayutan di
pundak dan sesekali mengecup pundaknya.
"Satu kebrutalan yang kejam, Nyai. Apakah selama
ini kau tidak menyadari bahwa tindakanmu itu lebih
dari pada kebengisan iblis?"
Indra Mada semakin sendu dan murung. Indra Mada
membiarkan Nyai tidak menjawab. Ia berjalan ke kamar
yang lain dan Nyai masih menempel di lengannya terus
kendati ada perasaan tak senang mendapat kecaman
seperti itu.
"Berapa juta nyawa yang melayang ditikam keke-
jianmu? Berapa banyak darah yang membanjir dari ge-
rakan tanganmu? Dan berapa ratus ribu anak yang ter-
lantar karena orang tuanya mati oleh kekejamanmu,
Nyai?"
"Jaka... sudahlah, itu masa lalu ku."
"Ya. Itu memang masa lalu mu, Nyai. Tetapi maukah
kau merenungkan bagaimana jika turunan mereka saat
ini datang kepadamu dan menuntut atas kematian ke-
luarganya?"
"Satu dari mereka sudah cukup untuk membunuhku
saat ini. Tak perlu semua. Kuakui, aku sudah menjadi
sampah di bumi ini. Dan, aku berjanji akan memper-
baiki hidupku yang selama ini sesat jika ilmuku yang
hilang kudapatkan lagi...." ucapan itu lirih, namun
membuat Indra berpaling memandang dengan serius.
"Kau punya niat begitu?!" Indra sangsi dalam kekage-
tannya. Nyai Katri mengangguk, bagai sedang dihunjam
selaksa penyesalan yang amat dalam.
"Kehadiranmu membuat hati sanubari ku berkata,
bahwa ternyata masih ada orang yang lebih tinggi il-
munya dari ilmu yang kumiliki. Bahwa di dunia ini ti-
dak ada orang yang mempunyai kekuatan paling un-
ggul. Dari yang paling unggul, ternyata ada yang te-
runggul lagi. Dari yang terunggul, toh masih ada yang
paling terunggul dan begitu seterusnya. Selama ini aku
belum pernah berpikir begitu, Jaka. Sehingga, aku per-
caya, bahwa aku akan bisa berjalan dengan lurus, tan-
pa tersesat, sekalipun aku mempunyai kesaktian seperti
dulu."
"Kenapa kau berpendapat begitu?"
"Karena... karena kau akan mampu menuntun ku,
bukan?"
Indra Mada menghela nafas. "Apakah kau yakin aku
akan selalu dekat denganmu?"
"Apakah kau akan meninggalkan aku?"
"Aku dewa. Tempatku bukan di sini, di Suralaya."
"Dan kau akan kembali lagi ke sana tanpa memba-
waku serta, Jaka? Kau tega meninggalkan aku di sini?"
Nyai Katri memandangnya. Mata yang bulat bening itu
bagai menyerukan keluhan serta ratapan hati Nyai yang
memilukan. Hati Nyai Katri terharu.
"Nyai.... Kalau toh aku harus mendampingimu, aku
tak bisa hadir di setiap saat. Setelah aku menemukan
ayahku, aku harus kembali ke Suralaya sebagai Dewa
Pengatur Mimpi."
"Dan kau bisa hadir dalam mimpi ku setiap malam,
bukan?"
Indra Mada tersenyum.
"Kau bisa, kan?" desak Nyai.
"Hadir dalam mimpi, itu suatu pekerjaan yang mu-
dah, Nyai. Tetapi kau akan bosan jika aku harus hadir
dalam mimpi terus-menerus."
"Jadi, bagaimana kalau aku rindu? Dan bagaimana
kalau kau merindukan aku?"
"Kau bisa tanyakan kepada rembulan...."
"Kepada rembulan...?!"
Jaka Bego yang sudah ganteng itu mengangguk. Se-
nyumnya mekar bersama tatapan mata kebiruan yang
teduh itu.
"Mungkin aku akan datang selama tujuh hari menje-
lang dan sesudah bulan purnama tiba. Di sana rindu
kita dapat terpadu dengan tuntas, Nyai."
"Oh... Jaka...." Nyai Katri memeluk Indra Mada, menyusupkan wajahnya ke dada Indra Mada. Keringat de-
wa itu sungguh menyebarkan aroma harum yang khas,
yang tak ada di bumi ini dari sekian banyak bunga.
Aroma itu sungguh melenakan sukma dan membang-
kitkan gairah seorang wanita. Itulah yang membuat
Nyai Katri sangat tergila-gila kepada, Indra Mada.
"Di ujung bibirmu, aku tunduk kepada semua perin-
tahmu, Jaka. Sekali pun aku mempunyai ilmu tinggi la-
gi, percuma saja aku melakukan kekejian seperti yang
sudah-sudah, toh engkau dapat menundukkan aku
dengan senyum dan pagutan bibirmu. Percayalah, Ja-
ka.... Aku hanya ingin memiliki kekuatanku yang dulu,
dan setelah itu aku akan tunduk di bawah telapak ka-
kimu. Aku hanya butuh perisai untuk hidupku, agar
tak sembarang lelaki bisa menjamah ku, kecuali kau,
Jaka...."
Indra Mada tertawa pendek tanpa suara. Ia mencium
rambut Nyai Katri yang tergerai lepas sepanjang pantat.
"Kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu...." kata
Indra Mada.
"Melakukan apa?"
"Menolongmu menjalankan Semadi Serap. Tapi tidak
selama empat puluh hari, karena itu sangat menyita
waktu bagiku."
"Jadi...?!"
"Cukup tiga hari."
"Tiga hari?!" Nyai Katri terpekik girang.
"Tapi tubuh kita berdua harus terkubur dalam tanah
sambil melakukan... melakukan...."
"Aku tahu... aku tahu...!" Nyai tak sabar dan hatinya
sudah dikuasai kegembiraan yang meluap-luap.
"Tapi dari mana kau akan bisa bernapas selama tiga
hari jika tubuhku terkubur dalam pelukan tubuhmu?"
"Hiruplah udara dari dalam mulutku. Jadi, mau tak
mau selama itu mulut kita pun harus tetap saling melekat supaya kau dapat menghirup dan bernafas...."
"Oohh.... Jaka, aku senang sekali...! Senang sekali...!
Ini suatu semadi yang sangat aneh dan... aku akan be-
tah melakukannya...! Ooh... oh...!" Nyai Katri memeluk
dan menciumi Jaka Bego di depan tumpukan harta ka-
run itu.
"Tunggu, tunggu...." Indra Mada menepiskan Nyai.
Matanya memandang salah satu benda yang ada di an-
tara tumpukan perhiasan harta karun lainnya. Nyai Ka-
tri heran. Ia membiarkan Indra Mada memungut sesua-
tu dari tumpukan perhiasan itu. Oh, ternyata sebuah
seruling.
Indra Mada memperhatikan seruling emas berhias
batu merah delima pada bagian ujung atasnya. Nyai ju-
ga ikut memperhatikannya dengan perasaan heran. Se-
ruling itu sedikit besar, terbuat dari emas yang berukir
gambar naga melilit. Kepala naga berada tepat di lobang
suling yang dipakai untuk meniup.
"Kau menyimpan benda ini juga rupanya?" kata In-
dra Mada.
"Semua harta rampokan dan bajakan memang ada di
sini semua, Jaka. Kenapa sih?"
"Kau tahu ini apa?"
"Seruling emas?" jawab Nyai dengan polos.
"Iya. Tapi ini sebuah pusaka, Nyai."
"Pusaka...?!"
"Ini pasti milik seorang biksu dari daerah Tiongkok.
Hanya dia yang memiliki Seruling Surga, sebab hanya
dia satu-satunya biksu yang berhasil mencapai nirwana
dan bisa hidup di alam Suralaya."
"Ooh...?" Nyai Katri tak berkedip memandangi suling
tersebut. "Dulu aku memang sering merampok kapal
Tiongkok, dan... dan aku pernah membunuh seorang
biksu yang tak pernah melawan jika diapa-apakan.
Bahkan ketika ia kubunuh pun ia tidak melakukan perlawanan apa-apa."
Indra Mada mengangguk-angguk. "Dan semua ba-
rang dari kapal itu kau angkut ke mari?"
"Ya. Tapi... tapi aku tidak tahu kalau ada seruling
ini, Jaka. Dan... dan sebenarnya apa kehebatan seruling
ini...?"
"Namanya, Seruling Surga. Ia dapat membunuh la-
wan yang sedang kita hadapi jika ditiup sekali pun tan-
pa irama."
"Dapat membunuh...?" gumam Nyai Katri bagai ber-
bisik pada dirinya sendiri.
"Kekuatan ilmu apa pun dapat ditembus dengan su-
ara seruling ini. Dan... tubuh lawan yang mendengarnya
akan menjadi pecah berkeping-keping...."
"Setiap orang yang mendengarnya?"
"Bukan. Tapi hanya orang yang kita tuju dalam batin
kita saja. Tahukah kau, bahwa Seruling Surga ini dapat
menuruti kehendak batin kita, asal mata kita melihat
lawan yang kita tuju. Dan... ini sangat berbahaya jika
sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung-
jawab."
"Kalau begitu, kita simpan saja selama kita melaku-
kan Semadi Serap dalam kubur. Jangan ditinggal di si-
ni. Aku takut Lanangseta menemukan tempat ini dan
mengambil seruling ini. Sebaiknya, mari kita kembali ke
Pulau Kramat, dan meminta bantuan Andini untuk
menguburkan kita selama semadi, dan dia juga yang
membongkar kuburan kita selama tiga hari nanti...."
Indra Mada masih memandangi seruling itu. Ia bagai
sedang mengamati keindahan seruling tersebut yang
sungguh mengagumkan, di mana sisik pada gambar
naga itu terbuat dari lapisan-lapisan batu pirus yang ti-
pis sekali. Memang indah dipandang dan sangat men-
gagumkan.
Ketika mereka kembali naik ke darat, di Pulau Kramat Andini pun terkagum-kagum melihat bentuk Serul-
ing Surga. Memang sebelumnya Andini sempat mengge-
rutu dan ngomel-ngomel karena ia merasa ditinggal
pergi secara diam-diam oleh Indra Mada dan Nyai Katri,
sebab sewaktu Indra pergi dengan Nyai, Andini masih
tertidur pulas. Tapi untunglah sikap manjanya itu dapat
terhibur dengan berita pemulihan ilmu yang akan dipe-
roleh Nyai Katri dengan melakukan Semadi Serap itu.
"Ah, aku pun mau kalau begitu!" kata Andini.
"Itu soal nanti, Andini. Itu gampang," kata Nyai. "Ta-
pi, yang penting sekarang, bantulah kami. Kuburkan
kami dan bongkarlah kuburan kami setelah tiga hari."
"Tapi berjanjilah bahwa kalian juga akan membantu-
ku untuk memperoleh ilmuku yang telah hilang itu," ka-
ta Andini.
"Bagaimana, Jaka? Andini meminta imbalan."
Jawab Indra Mada, "Asal kau menggunakan ilmumu
untuk kebaikan, aku tak akan keberatan. Kau pun
akan kukembalikan kekuatanmu, Andini. Tapi janji, un-
tuk kebaikan!"
***
2
KALAU saja Lanangseta mengetahui bahwa Nyai Ka-
tri sudah berada di darat, sudah tentu ia akan menye-
rang Nyai Katri, musuh lamanya. Tetapi, agaknya La-
nangseta mengalami hal lain di dalam air, terutama se-
jak ia kehilangan jejak dalam pengejaran Nyai Katri. La-
nangseta yang bisa tahan berada di dalam air tanpa
bernapas beberapa lama itu, menjadi kebingungan keti-
ka Nyai dan Indra Mada menghilang dari balik tikungan
karang-karang tajam. Gerakannya menjadi lambat dan
hati-hati, sebab dikhawatirkan musuhnya bersembunyi
di suatu sela karang, dan akan menyerangnya secara
tiba-tiba.
Tapi sampai beberapa lama ia bolak-balik, tak ada
bayangan Nyai Katri dan Indra Mada, yang dianggap
oleh Lanang sebagai pengawal Nyai Katri. Kalau saja
Lanangseta mencari terus ke arah menghilangnya Nyai
dan Indra Mada, mungkin ia akan menemukan goa,
tempat Istana Langit Perak berada di dalamnya. Tetapi,
agaknya Lanangseta mempunyai perhatian lain.
Dalam kebeningan air laut, Lanangseta sempat meli-
hat bayangan lain yang sedang berusaha naik ke per-
mukaan air. Lanangseta menjadi sangat tertarik untuk
mengejarnya, sebab ia melihat Cambuk Naga terselip di
pinggang orang itu.
"Tak salah lagi," katanya dalam hati. "Benda yang
seperti ular itu jelas Cambuk Naga...! Hemmm, siapa
orang itu, ya? Apakah dia Laksamana Chou? Jika benar
dia Laksamana Chou, lantas apa perlunya ia berada di
dalam laut? Apakah ia termasuk salah satu kaki tangan
Nyai Katri?"
Pendekar Pusar Bumi itu memang tidak tahu apa
yang telah terjadi pada diri Nyai Katri. Ia masih mengira
bahwa Nyai Katri mempunyai kesaktian yang luar biasa,
yang mampu berubah menjadi bayangan seperti saat ia
lawan dalam peristiwa Sendang Bangkai dulu. Lanang-
seta belum tahu, bahwa Nyai Katri sudah menjadi pe-
rempuan cantik yang wajar, yang biasa-biasa saja, tan-
pa kekuatan dan ilmu seperti dulu.
Terlepas dari masalah kesaktian Nyai Katri, Lanang-
seta lebih tertarik untuk merebut Cambuk Naga lebih
dulu. Cambuk itu adalah pusaka warisan dari Putri Ayu
Sekar Pamikat, bekas kekasihnya yang telah menjadi
orang suci di dalam Goa Malaikat, di kawasan Bukit
Badai, tempat leluhur Kirana, istri Lanang, berada.
Memang Cambuk Naga bukan diwariskan kepadanya,
melainkan kepada Ludiro, tapi karena tugas Ludiro ada-
lah menjaga Lanang, maka Lanang pun merasa ber-
tanggung-jawab jika Cambuk Naga jatuh ke tangan
orang lain.
Dengan gerakan kaki menjadi cepat, Lanangseta
memburu sosok tubuh yang sedang berusaha keluar
dari kedalaman air laut. Laksamana Chou yang sebe-
narnya sengaja menenggelamkan diri karena ingin
menghilangkan api (sebab waktu itu ia terbakar tubuh-
nya pada saat bertarung melawan Indra Mada), ia mera-
sa lega karena api yang membakar tubuhnya sudah
berhasil padam. Ia harus segera keluar dari dalam air.
Tapi tiba-tiba ia merasa ada sepasang tangan yang me-
megangi kakinya dan berusaha menariknya ke dalam.
Menyadari ia dalam bahaya, Laksamana Chou segera
menjejakkan kaki kirinya yang masih bebas itu ke arah
kepala lawannya. Dan jejakan kaki itu mengakibatkan
Lanangseta terpental beberapa hasta. Laksamana Chou
buru-buru berenang naik ke permukaan air laut. Gera-
kannya begitu cepat. Lanang sempat melihat tubuh itu
melesat pada saat tertentu. Melihat kecepatannya yang
menimbulkan air bergelombang besar, jelas Laksamana
Chou menggunakan tenaga dalam untuk melesat dari
sela kedalaman air menuju ke atas. Lanangseta pun tak
mau kalah, ia segera menghentakkan kakinya dan me-
lesat ke atas sehingga air laut jadi bergelombang.
Lanangseta sengaja menggunakan ilmu peringan tu-
buh untuk menghadang lawannya. Ia berdiri di atas air
seperti berdiri di daratan biasa. Tapi rupanya Laksama-
na Chou pun juga berdiri di atas air dengan mudah.
Laksamana Chou sendiri tidak menduga kalau orang
yang dihadapinya mampu berdiri di atas air tanpa teng-
gelam seperti dirinya. Sehingga, pada saat mereka ber-
dua sama-sama muncul dari kedalaman air, sama-sama
berdiri tegak di atas permukaan air laut, mereka juga
sama-sama tertegun dan saling pandang.
"O, kamu rupanya yang kejar-kejar aku, ya?" kata
Laksamana Chou begitu melihat Lanangseta. Ia mengi-
ra, Lanangseta itulah yang melarikan putrinya: Yin Yin.
"Hei, Babi kampung...! Mana anak gadisku, hah?"
"Aku tidak mengenal anak gadismu! Kembalikan
Cambuk Naga kalau kau ingin pulang ke negeri Cina
dengan selamat!"
Laksamana Chou berjalan ke samping, melirik La-
nang dan tersenyum sinis. Ia pun bicara dengan ang-
kuh.
"Kalau kau ingin tetap hidup di bumi mu ini, kau ha-
rus serahkan Yin Yin kepadaku! Itu anakku! Aku sudah
jodohkan dia dengan keponakan Kaisar. Tak pantas ia
menjadi istri seorang pribumi semiskin kamu!"
Lanangseta juga berjalan, melirik, bagai sedang men-
cari kelengahan lawan. Ia sempat menggulung rambut-
nya yang panjang dan basah itu, supaya pedang anda-
lannya yang selalu bertengger di punggung gampang di-
raih. Sedangkan Laksamana Chou yang bertubuh ting-
gi, tegap, sedikit lebih gemuk dari Lanangseta, juga
hanya berjalan berkeliling bagai mencari kesempatan
untuk menyerang. Baju Hitam yang dilapisi rompi me-
rah berajut benang emas tahan senjata itu terlihat lekat
dengan tubuh karena basah. Tapi sabuknya yang ter-
buat bagai dari kain, berbentuk bulat seperti tali dua li-
litan itu agaknya bukan sabuk sembarangan. Sabuk be-
rujung mata tombak kecil itu tidak basah sama sekali.
Namun kali ini, pasti sabuk itu tidak akan dipakainya
sebagai senjata, sebab Cambuk Naga curiannya masih
terselip di antara sabuk dan kulit pinggangnya.
"Kamu yang bernama Laksamana Chou, bukan?"
"Ya. Dan kamu siapa? Aku lebih suka membunuh
lawan yang sudah kuketahui namanya."
"Aku Lanangseta...!"
Laksamana Chou tertawa. Kumisnya yang panjang
dan melilit di bawah sampai di dagu itu bergerak-gerak
karena basah dan menempel pada kulit wajahnya.
"Bohong! Aku sebenarnya sudah tahu siapa nama-
mu, Babi kampung! Kamu bukan Lanangseta, tapi
Ekayana! Hah...! Mau berlagak menipu perhatianku,
ya?"
"Laksamana... ku ingatkan kepadamu, bahwa selama
ini kau salah anggapan. Yang melarikan anak gadismu
bukan aku. Tapi Ekayana! Dan Ekayana bukan aku.
Aku Lanangseta, yang...!"
"Phuiih...!" Laksamana meludah. Ia masih bergerak,
dan mereka memang saling bergerak searah, memutar,
menunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Persetanlah dengan anggapanmu," kata Lanang.
"Yang penting, aku menemuimu untuk merebut kembali
Cambuk Naga! Kalau kau sayang nyawamu, kembalikan
cambuk itu!"
"Kalau kau datang dengan Yin Yin, kuizinkan kau
merebut cambuk ini. Tapi sekarang kau datang tanpa
Yin Yin, dan aku tidak akan melayanimu. Selamat ting-
gal...!"
Laksamana Chou melesat, melompat tinggi dan me-
ninggalkan Lanangseta.
"Biadab kau...!" Lanang berseru seraya menyusul
lompatan Laksamana Chou. Ketika kaki Laksamana
menapak di permukaan air, Lanangseta telah berdiri di
depannya. Langsung Lanang menggerakkan kakinya ke
depan dengan hentakan keras. Laksamana Chou cukup
sigap. Tendangan Lanangseta ditangkis dengan tangan
kanan. Ia segera bersalto ke belakang untuk memper-
jauh jarak. Lanang belum sempat bergerak, pada saat
Laksamana Chou melesat lagi, melarikan diri.
"Percuma aku melayani kamu, Babi kampung...!"
ucap Laksamana.
Lanangseta menjadi geram. Chou seakan tak mau
berhadapan dengan Lanangseta. Dan Lanang bertam-
bah marah kepada Laksamana Chou. Ia segera menyu-
sul dengan tiga kali salto di udara. Pada putaran terak-
hir dari saltonya, kedua kaki Lanang tepat berada bebe-
rapa jengkal dari punggung Laksamana. Langsung saja
ia menarik kaki kirinya, dan meluruskan kaki kanannya
dengan cepat. Kaki itu mengenai punggung Laksamana
Chou sehingga lawan terjerembab di air. Kulit punggung
Laksamana yang terbakar dan tanpa kain lagi itu men-
jadi semakin terkelupas karena tendangan Lanang. Tapi
agaknya hal itu tidak dihiraukan oleh Laksamana Chou.
"Serahkan Cambuk Naga atau kau mati sekarang ju-
ga?!" hardik Lanangseta.
Laksamana Chou segera membaringkan tubuh, ia
bagai telentang di atas permukaan tanah.
"Terimalah dulu pukulan Paruh Rajawali ku,
heeaat...!"
Tubuh yang telentang itu mampu melejit ke atas da-
lam posisi tetap telentang. Tangan kanan Laksamana
Chou mencakar bagai kaki bangau dengan masing-
masing tangan menyerang menggunakan kedua jari,
yaitu jari tengah dan telunjuk. Lanangseta menarik ka-
kinya yang hendak menginjak dada Laksamana Chou.
Ia ikut melayang sehingga posisinya tetap di atas tubuh
Laksamana. Namun ia nyaris terlambat menarik ka-
kinya. Pukulan jari besi Laksamana mengenai tumit La-
nangseta. Hanya sedikit. Bagai menyerempet, namun
sudah membuat mata kaki Lanangseta menjadi linu se-
kali.
"Gila...! Jurus dan pukulanmu cukup hebat juga,
Laksamana tolol!" Lanang melengkungkan badan ke de-
pan dan bersalto. Begitu ia selesai bersalto, kakinya
menyepak bagai kuda jantan yang perkasa. Lengan
Laksamana terkena tendangan belakang itu sehingga
tubuhnya terlempar dan jatuh dalam posisi tercebur ke
air.
Ia segera mengendalikan ilmu peringan tubuhnya,
dan mampu berdiri di atas permukaan air laut lagi. La-
nangseta siap menyerang. Namun mendadak ia terpak-
sa menjaga jarak karena Laksamana menggunakan ju-
rus lain. Kedua tangannya terentang cepat, lalu menga-
tup antara kedua telapak tangan itu, ditarik ke dada
dan dihentakkan kuat-kuat.
"Weess...!"
Segumpal api keluar dari telapak tangan Laksamana.
Itulah pukulan Api Laut yang pernah membakar dirinya
sendiri ketika berhadapan dengan Indra Mada. Kalau
dulu, ia menjadi kewalahan karena Indra Mada meniup
api itu, dan gulungan api tersebut menghantam balik
dan membakarnya. Tapi sekarang ia sedikit lega, karena
Lanangseta hanya melompat ke atas ketika gulungan
api menghampirinya.
Lanangseta mempunyai perkiraan yang tepat. Ia ti-
dak mau turun di tempat semula sekalipun api telah
melesat ke tempat kosong. Ia menduga bahwa Laksa-
mana akan melancarkan pukulan apinya kembali di
tempat Lanang semula, karena itu Lanang melakukan
gerakan tipuan. Ia meluruskan kaki, seolah-olah hen-
dak turun di tempat semula. Namun sebenarnya ia se-
gera melengkungkan badan, bersalto dua kali dan ka-
kinya menghantam tepat di pelipis Laksamana Chou.
Sedangkan Laksamana Chou sudah terlanjur melan-
carkan pukulan Api Lautnya ke tempat Lanang semula.
Sehingga, pukulan itu melesat untuk kedua kalinya
menemui tempat kosong, dan keseimbangan tubuh
Laksamana pun goyah. Ia jatuh tercebur di perairan.
Lanangseta berdiri tegap siap menendang kepala
Laksamana jika sewaktu-waktu ia muncul. Tapi Lanang
sedikit terkecoh. Ternyata Laksamana Chou bagai mendobrak genangan air laut. Tubuhnya melesat di tempat
agak jauh dari Lanangseta. Terpaksa Lanangseta segera
mengejarnya dan berseru dengan suara keras:
"Jangan lari kau, Monyet sipit...! Hiaaatt...!"
Lanangseta menyelam dengan cepat. Ia bergerak ba-
gai ikan pesut meluncur di kedalaman air. Begitu ia
menerobos keluar dari kedalaman air, ia berada tepat di
depan Laksamana Chou. Sudah tentu hal itu membuat
Laksamana Chou menggeragap kaget. Ia berhenti. Ka-
kinya menapak di atas permukaan air. Lanangseta siap
menyerang dengan pukulan Wiwaha Moksa, tapi ia ra-
gu-ragu. Takut kalau Cambuk Naga ikut hilang menjadi
serbuk jika tubuh Laksamana Chou kena pukulan Wi-
waha Moksanya.
Dalam keadaan ragu itulah, tahu-tahu kaki Laksa-
mana terayun ke depan, ke arah mulut Lanangseta. La-
nangseta masih sempat merunduk ke samping. Namun
ia terjatuh juga karena kibasan tendangan kaki Laksa-
mana mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam
yang cukup tinggi. Hempasan angin itu bagai mendo-
rong Lanang hingga terjerembab masuk ke air. Keseim-
bangannya goyah. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh
Laksamana Chou. Segera ia mengirimkan pukulan Ra-
jawali Murka Kedua tangan Laksamana megar bagai ca-
kar rajawali, dan menghentak bersamaan. Lalu dari ke-
dua telapak tangan itu keluar sinar seperti anak panah
kecil-kecil berwarna merah.
Mata Lanangseta sempat menangkap gerakan sinar
merah kecil-kecil, hatinya mengatakan, itu bahaya. Se-
bab itu, secepat kilat dia menghentakkan kedua tan-
gannya seakan bertumpu di atas tanah. Seketika itu tu-
buhnya melesat ke atas dan segera bersalto balik. Puku-
lan Laksamana itu mengenai air dan air di situ bergolak
dan menyembur ke atas bagaikan mendapat semburan
dari bawah. Ada beberapa ekor ikan yang meloncat keluar dalam keadaan tinggal tulangnya saja.
"Gila...! Pukulan macam apa itu? Ikan saja tinggal
tulangnya...?!" pikir Lanangseta seraya berkelit lagi ke
belakang untuk menghindari pukulan dari Laksamana
berikutnya.
"Mati kau sekarang juga, Babi kampung...!" geram
Laksamana seraya melancarkan pukulan Rajawali Mur-
ka berulang kali, bahwa membabi buta. Anak panah
warna merah meluncur ke mana-mana, Lanangseta
sempat berguling kian ke mari dan bersalto bolak-balik,
melompat-lompat bagai katak kepanasan. Air laut ber-
golak karena terkena pukulan Rajawali Murka itu. Air
laut menyembur bagai hutan-hutan bening yang lama-
lama mengacaukan pemandangan.
Lanangseta tak mau mati konyol. Ia segera mencabut
pedang Wisa Kobranya yang disebut Pedang Malaikat
oleh para tokoh persilatan. Pedang itu berpijar merah
bagai bara api yang panas sekali.
"Heaaaatt...!" Lanangseta menebaskan pedangnya
kian ke mari di sela-sela air laut yang menyembur ke
atas dan mengacaukan pemandangan itu.
"Blegaar...! Blaaar...!"
Ledakan berdentum berulangkali setiap pedang Wisa
Kobra di tebaskan ke kiri dan ke kanan, dan hal itu
membuat laut semakin bergolak. Airnya tersembur ke
atas semua, bahkan semakin sulit bagi Lanangseta un-
tuk melihat sosok lawannya berdiri.
"Berhentiii...!" teriak Lanangseta dengan berdiri di
pucuk sebuah batu karang yang runcing dan pedang-
nya ditusukkan ke dalam air. Maka, seketika itu laut
menjadi tenang kembali. Sepi dan hening.
Air laut mengalun. Bagai ombak menina-bobok. Tak
ada semburan gelombang samudra lagi. Tenang sekali.
Mata Lanangseta memandang dengan liar. Kepalanya
clingak-clinguk kian ke mari.
"Brengsek...!" makinya dengan geram setelah ia tahu,
bahwa sebenarnya sejak tadi ia telah ditinggal kabur
oleh Laksamana Chou. Tadi, pada saat laut bergolak
dan percikan airnya mengganggu pemandangan, sebe-
narnya pada saat itulah Laksamana Chou lari mening-
galkan Lanangseta.
Ke mana arahnya? Kurang jelas. Tetapi daratan yang
terdekat pada saat itu adalah Pulau Kramat. Dari tem-
pat Lanang berdiri, pulau itu terlihat kecil. Tak ada satu
titik yang bergerak, yang bisa meyakinkan diri bahwa
Laksamana Chou lari ke sana.
Sambil menyarungkan pedangnya lagi, Lanangseta
menggumam lirih:
"Tak mungkin ia lari ke sana. Pasti ke tempat lain,
atau... atau barangkali ia menyelam dan bersembunyi di
balik karang?"
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya
Lanangseta kembali menyelam di kedalaman air laut.
Gerakannya cukup lamban, karena banyak karang
menjulang di kedalaman air itu. Lanang harus hati-hati
kalau tidak ingin lehernya robek oleh ujung-ujung batu
karang yang bagai mata tombak menanti mangsa.
Sebenarnya kalau Lanangseta ke sana, ke Pulau
Kramat, ia juga akan menemukan kesia-siaan. Di Pulau
Kramat tak ada orang kecuali Andini yang sendirian
menunggu saat membongkar kuburan. Indra Mada dan
Nyai Katri sedang melakukan Semadi Serap di dalam
kubur. Tubuh mereka yang tanpa selembar benang pun
saling merapat, dan saling berhubungan. Kemudian tu-
buh yang merapat dengan mulut saling lekat itu ditim-
bun oleh tanah, dipadatkan sepadat mungkin. Hal ini
dimaksudkan agar pada saat Semadi Serap dilakukan,
tubuh mereka tidak akan terkena cahaya mata hari se-
dikit pun. Tugas Andini selain menimbun juga mem-
bongkar kuburan mereka. Jika lebih dari tiga hari tidak
dibongkar, maka resikonya tubuh Nyai Katri akan
membusuk.
Sebab itu, Andini benar-benar menjaga makam itu
dan berusaha untuk mengingat-ingat harinya. Maka,
setelah genap tiga hari ia mengubur Nyai Katri dan In-
dra Mada, ia pun segera membongkar kuburan itu seo-
rang diri.
Ketika itu, hujan turun cukup deras. Andini mengga-
li makam tersebut dengan sekop sederhana. Curahan
hujan tak dihiraukannya. Rasa letih tak dirasakannya.
Sebenarnya hati Andini sudah tak sabar menunggu gili-
ran melakukan Semadi Serap. Selama tiga hari ia ter-
siksa oleh penantiannya. Karena, bukan hanya ingin
memperoleh kekuatannya kembali yang menggoda ha-
tinya, namun cara bersemadi yang unik itu juga yang
menggoda birahi Andini. Betapa pun juga, Andini masih
ingat ketika dirinya melambung tinggi di awang-awang
manakala Indra Mada mendayung perahunya ke samu-
dra kebahagiaan bersamanya. Otak Andini yang sudah
diracuni gairah bercinta itu benar-benar dapat mem-
buatnya gila jika tidak terlaksana.
Sebab itu, pada hari ketiga sejak dikuburkannya
Nyai dan Indra Mada, semangatnya sangat membara.
Hujan yang mengguyur tubuhnya dianggap sepi. Ia
menggali dan menggali terus. Sampai akhirnya ia me-
nemukan belahan kayu yang ditata rapi untuk menutup
bagian atas Nyai dan Jaka Bego. Lalu ia membongkar
penutup kayu itu, dan ia menemukan tubuh Indra Ma-
da yang masih segar itu memangku tubuh Nyai Katri.
Air hujan mengguyur tubuh kedua insan tanpa se-
lembar benang itu. Kemudian Andini menolong Nyai Ka-
tri untuk naik dari lobang kubur, tetapi Nyai menolak.
"Akan ku coba apa yang terjadi pada diriku setelah
melakukan Semadi Serap. Minggirlah, Andini...."
Andini menyisih. Nyai Katri menghentakkan kakinya
dalam suatu teriakan: "Hiaaaattt...!"
Tubuh tanpa busana itu melayang tinggi, keluar dari
lobang kubur dan hinggap pada dahan pohon yang
tinggi. Nyai Katri tertawa lepas dan keras. Ia sangat ke-
girangan.
"Aku telah pulih kembali...! Pulih kembali, Andini...!"
"Selamat, Nyaii...!" teriak Andini.
Nyai Katri bagai lupa diri. Ia bersalto dari dahan satu
ke dahan yang lain. Ia bahkan mencoba beberapa puku-
lan tenaga dalamnya yang dulu pernah ada, lalu hilang,
dan sekarang dimiliki kembali. Pukulan itu menghan-
curkan beberapa pohon, menumbangkan dan meme-
cahkan batang-batang pohon besar serta batu-batu be-
sar.
"Yihuiii...!" Nyai Katri berseru girang. Andini hanya
menertawakan dari tepi liang kubur. Ia sempat berseru:
"Nyai... ingat tubuhmu masih polos... tutupilah ke-
banggaan mu itu, nanti Jaka Bego tidak menyukai buah
yang dingin, Nyai...!"
Nyai Katri yang wajahnya begitu segar dan tubuhnya
semakin sexy karena guyuran air hujan itu tertawa be-
rulang-ulang. Indra Mada, atau Jaka Bego yang sudah
menjadi ganteng segera mendekati Nyai Katri. Tiba-tiba
Jaka Bego melancarkan pukulan tenaga dalamnya den-
gan gerakan jari telunjuk bagai menyentil udara. Nyai
Katri melesat ke samping dan bersalto ke belakang.
Sentilan Indra Mada itu berkekuatan tenaga dalam yang
mampu membuat dahan pohon patah seketika. Untung
Nyai segera menghindar. Namun demikian Indra Mada
segera melayang dan menyerang Nyai Katri dengan se-
buah tendangan. Dengan tangkas tangan Nyai Katri
menangkis kaki Indra Mada, lalu tangan satunya lagi
menghantam perut Indra Mada. Tapi Indra Mada me-
nyongsong pukulan Nyai dengan genggaman tangannya,
sehingga kedua pukulan itu beradu.
Nyai terpental ke belakang. Tubuhnya terhuyung.
Andini cemas dan kebingungan; mengapa Indra Mada
tiba-tiba menyerang Nyai Katri?
Sepasang mata Nyai Katri memandang tajam. Lalu
dari matanya itu keluar sinar kuning menuju ke dada
Indra Mada. Itulah ilmu Candra Geni yang mampu me-
leburkan benda apa pun yang dipandangnya. Tetapi
saat ini, Indra Mada juga mengeluarkan sinar ungu dari
sepasang matanya. Sinar itu yang menyongsong sinar
kuning dari mata Nyai.
"Blegaar...!"
Tanah berguncang bagai terjadi gempa setempat. Be-
berapa ranting dan daun dari beberapa pohon menjadi
rontok begitu dentuman terdengar. Tubuh Nyai Katri
terhempas membentur dinding rumah. Namun ia masih
tetap dalam keadaan berdiri.
"Apa maksudmu tahu-tahu menyerangku, Jaka?!"
seru Nyai di sela deru hujan. Mereka masih sama-sama
telanjang, kecuali Andini yang terlempar beberapa lang-
kah karena guncangan kedua sinar beradu tadi.
Indra Mada tetap tenang. Ia menendang batu kerikil,
dan batu itu pun melesat cepat ke arah kepala Nyai Ka-
tri. Tapi Nyai Katri segera menahannya dengan telapak
tangan yang dihentakkan lurus ke depan. Batu itu ber-
henti di udara, namun tiba-tiba pecah dengan menim-
bulkan sebuah ledakan yang membahana: "Glegaaar...!"
Nyai Katri terpelanting dan jatuh ke tanah dengan
pundak membentur batu. Ia memekik kesakitan. Indra
Mada segera menghampirinya dan menarik tangan Nyai
Katri. Nyai mengira akan ditolong, tapi justru dilempar-
kan begitu saja, seperti Indra melemparkan sebatang
gedebog pisang.
"Aaauuww...!" Nyai menjerit karena tubuhnya me-
layang dan nyaris membentur potongan dahan yang
meruncing. Untung ia segera menguasai keseimbangan
tubuh. Ia melompat dalam gerakan salto sehingga dapat
mendarat ke tanah dengan kaki sempurna.
Geramnya hati berubah menjadi kemarahan yang
meluap. Tak peduli hujan tak peduli telanjang. Nyai Ka-
tri segera menggerakkan kedua tangannya ke samping
dan memutarnya ke depan wajah beberapa kali, kemu-
dian ia menghentakkan kedua telapak tangan itu ke de-
pan dan meluncurlah sinar warna biru tua. Itulah pu-
kulan Inti Petir yang pernah menewaskan Penghulu Ba-
dra. Pukulan itu cukup membahayakan. Tapi Indra Ma-
da bahkan menangkapnya dengan tangan telanjang. Si-
nar biru itu menggumpal dalam kedua tangan Indra
Mada, dan hendak dilemparkan ke tubuh Nyai Katri.
Seketika itu Nyai menjerit, "Jangaaan...!" Dan ia berlari
melesat ke atas pohon. Lalu Indra Mada melemparkan
ke udara. Sinar biru itu seperti bola kristal biru me-
layang. Ketika sinar itu hendak turun, Indra Mada me-
loncat dengan salah satu kakinya terentang kaku, dan
menendang bola biru tersebut. Akibatnya, sekali lagi
mereka diguncang oleh ledakan yang mampu mengha-
dirkan hentakan halus pada tanah serta alam sekitar-
nya. Sekali lagi, Andini terpental oleh bunyi ledakan itu
hingga ia jatuh terduduk. Gaunnya basah dan kotor.
Indra Mada tertawa menyaksikan Andini jatuh ter-
duduk. Kemudian Nyai Katri memberanikan diri turun
dari atas. Ia meluncur bagai burung merak. Kendati
tanpa busana, namun rambutnya yang panjang itu sea-
kan ekor merak yang sedang meriap terbuai angin dan
hujan.
"Jaka...?! Kenapa kau menyerangku, hah?!"
Indra Mada mengusap wajahnya yang basah oleh air
hujan. Ia berjalan biasa mendekati Nyai Katri. Nyai su-
dah pasang kuda-kuda, siap menghindar atau menang-
kis serangan.
"Aku hanya ingin membuktikan dua hal. Pertama,
kubuktikan bahwa ilmu dan kekuatanmu sudah kem-
bali seperti semula. Betulkan?"
Nyai Katri menghempas lega. Sikap kuda-kudanya
dibatalkan. Kini ia mengangguk seraya mengusap wa-
jahnya yang juga basah oleh hujan.
"Kedua..." sambung Indra Mada. "Aku hanya ingin
membuktikan, bahwa kau tidak boleh takabur dengan
ilmu dan kekuatanmu itu. Ingat, kalau orang lain tak
bisa mengalahkan kesombongan ilmumu, aku bisa! Ka-
lau ku mau, tadi aku sudah bisa membunuhmu."
"Kenapa tidak kau lakukan?!" ketus Nyai Katri den-
gan wajah cemberut jengkel.
"Karena aku tahu kau masih membutuhkan aku. Ka-
lau kau kubunuh, maka kau tidak membutuhkan aku
lagi, tapi membutuhkan penggali kubur." Indra Mada
mendekati Katri dan meraih dagunya. "Semua kulaku-
kan supaya kau tidak celaka, baik oleh orang lain mau-
pun oleh keangkuhan ilmumu sendiri."
Nyai Katri tersenyum, akhirnya ia memeluk Indra
Mada dalam keharuan yang membanggakan. Saat itu,
Andini mendekat, lalu mencolek punggung Indra Mada
dan berkata:
"Aku bagaimana? Kalian kan sudah janji."
Indra Mada dan Nyai Katri tertawa, Andini semakin
bersungut-sungut. Cemberut.
***
3
LANANGSETA tidak menyadari kalau dirinya sudah
beberapa hari terperangkap dalam sebuah goa di dasar
laut. Bukan goa tempat Istana Langit Perak berada, me-
lainkan goa lain yang terhitung cukup lebar serta dalam. Ia tak sengaja masuk ke dalam goa itu. Dalam
pencariannya untuk menemukan Laksamana Chou,
Lanangseta tersapu badai air laut.
Tiga kali Lanangseta terhempas oleh pusaran gelom-
bang air laut yang begitu dahsyat, bagai terkena getaran
gunung berapi yang meletus. Pertama, ia tergores batu
karang pada lengannya. Kedua, ia hampir saja memben-
tur karang runcing, dan ketiga ia terhempas masuk ke
lobang besar, yang ternyata sebuah goa di dasar laut.
Dalam goa tersebut ada bagian yang tidak digenangi
air. Berlumut, dan lumut yang ada di situ memantulkan
cahaya kehijau-hijauan. Lanangseta berlaku hati-hati
sekali dan selalu berwaspada, sebab takut bertemu bi-
natang atau mahluk lain yang sangat membahayakan.
Ia mendaki gundukan tanah cadas yang licin. Sejenak ia
berpikir tentang lumut bercahaya itu, sebab ia ingat
bahwa dulu Ludiro pernah memakan lumut bercahaya,
kemudian tubuhnya menjadi kebal. Apakah lumut se-
macam ini yang dimakan Ludiro dulu?
Namun tiba-tiba mata Lanangseta menemukan jejak
kaki manusia yang juga memanjat cadas licin itu. Me-
mang tak seberapa tinggi, namun permukaan cadas itu-
lah yang menjadi tempat datar dari dalam goa tersebut.
Melihat jejak yang ada, berarti di dalam goa itu ia tidak
sendirian. Pasti ada manusia lain yang ada di dalam goa
tersebut.
Ternyata di atas gundukan tanah cadas itu pun ba-
nyak terdapat tanaman lumut bercahaya. Tempatnya
menjadi terang dan lapang. Memang ada beberapa gun-
duk batu di sana-sini, namun tempat itu menyerupai
sebuah padang rumput yang tandus. Satu hal yang
sangat menguntungkan Lanangseta ialah, di balik salah
satu gundukan batu itu, ia melihat sosok lengan manu-
sia yang sedang duduk bersandar membelakanginya.
Lanangseta tersenyum. Ia tahu yang ada di sana adalah
orang yang sedang dikejarnya: Laksamana Chou.
"Selamat berjumpa lagi, Laksamana...!"
Orang yang duduk beristirahat itu berjingkat bangkit
dan matanya yang kecil memandang melebar. Ia sangat
terkejut melihat Lanangseta sudah berada di depannya
dalam jarak kurang dari sepuluh langkah.
Suatu kemenangan pertama bagi Lanang ialah kegu-
gupan dan kekagetan Laksamana Chou yang pasti akan
mempengaruhi jiwa orang itu. Lanangseta tetap tenang,
meremat-remat kepalan tangannya sendiri seakan su-
dah siap membunuh Laksamana Chou saat itu juga. Te-
tapi, agaknya Laksamana Chou masih berusaha me-
nampakkan sikap tegarnya sekali pun hal itu kelihatan
kalau dipaksakan.
"Babi kampung...! Masih beraninya kau datang me-
nemuiku di tempat yang sulit ini, hah?!" gertak Laksa-
mana Chou.
"Tidak ada tempat yang sulit bagiku untuk membu-
nuh lalat busuk seperti kamu, Laksamana. Serahkan
cambuk itu dan aku akan pergi tak mau menemuimu
lagi," kata Lanang dengan tenang sekali.
"Kamu benar-benar mencari mati di sini, Babi bu-
suk!"
Mata Laksamana Chou memandang batu sebesar
genggaman tangan. Lalu batu itu melayang cepat ke
arah pelipis Lanang. Hampir saja Lanang terkena lem-
paran batu tersebut yang digerakkan dengan pandan-
gan mata. Untung ia segera berkelit ke depan dan
menghantam batu tersebut hingga hancur menjadi be-
berapa keping. Namun, agaknya saat itulah kesempatan
bagi Laksamana untuk menggunakan kekuatan ma-
tanya dalam menerbangkan batu-batu kecil. Lanangseta
meloncat, menghindar, melayang dan memukul setiap
lembar yang nyaris bersamaan menyerbunya dari ber-
bagai arah. Hebatnya, tak satu pun batu yang berhasil
mengenainya.
Dalam satu kesempatan, Lanangseta sengaja sema-
kin mendekati Laksamana, dan ia berhasil menendang
salah satu batu yang melayang ke arah wajahnya. Batu
itu ditendang sambil ia bersalto ke belakang. Dan batu
itu berbalik arah, lalu mengenai dada kiri Laksamana
Chou.
"Bangsat...!" caci Laksamana Chou. Ia baru saja
hendak melancarkan serangan jurus Api Lautnya, na-
mun tiba-tiba Lanangseta berputar dalam gerakan sal-
tonya, dan berhasil membuat Laksamana merundukkan
kepala. Andai ia tidak merunduk, maka ia akan terkena
tendangan kaki Lanang dengan keras dan berbahaya.
Pada saat kepala dan tubuh Laksamana merunduk
ke bawah, kaki Lanang segera hinggap di punggung la-
wannya, kemudian ia mencabut ujung Cambuk Naga
yang terselip di pinggang belakang dari tubuh Laksa-
mana. "Breet...!" Ia pun segera melompat menjauhi Lak-
samana Chou dengan cambuk sudah tergenggam di
tangan.
"Ahai... berhasil juga aku...." kata Lanangseta sambil
tersenyum bangga, menunjukkan Cambuk Naga di de-
pan Laksamana Chou.
"Babi kurap...! Babi kampung...!" geram Laksamana
melihat Cambuk Naga sudah di tangan Lanangseta, se-
dangkan ia belum memperoleh penggantinya, yaitu Yin
Yin.
Lanangseta menggulung cambuk itu menjadi sebuah
lingkaran, dan segera diselipkan di pinggang belakang.
Ia masih tersenyum bangga seraya memperhatikan ke-
geraman dan kemarahan Laksamana Chou.
"Sudah saatnya saya harus membunuh..." kata Lak-
samana seperti dia bicara pada diri sendiri. Kemudian ia
segera melepas ikat pinggangnya yang berbentuk tali
dari bahan kain. Pada ujung tali itu terdapat dua mata
tombak berukuran kecil, runcing dan berkilat.
"Hei, Babi.... Sekarang sudah saatnya kau berhada-
pan dengan senjata Liongsai-ku ini, hiiatt...!"
Laksamana memudarkan tali itu satu kali, dan tiba-
tiba tali tersebut dapat berjulur jauh. Ujungnya meng-
hantam batu yang ada di samping Lanangseta. Lalu ba-
tu itu pun hancur berkeping-keping. Lanangseta sempat
terkesima sejenak.
Liongsai berputar-putar di atas kepala Laksamana.
Benda itu tidak begitu panjang, namun pada saat di-
lemparkan, benda itu bisa menjadi panjang sekali, se-
pertinya terbuat dari karet atau per yang dapat elastis.
Dan sudah tentu setiap ujungnya berfungsi untuk
membunuh. Buktinya batu besar saja hancur terkena
salah satu ujung tali itu.
"Hiaaat...!" Laksamana melayang dengan salah satu
kaki terjulur ke depan hendak menendang Lanangseta.
Tapi Lanangseta segera melompat ke samping kanan.
Rupanya itu adalah gerak tipuan Laksamana. Sebab
pada saat Lanang bergerak ke samping, tahu-tahu tali
berujung mata tombak itu menyerangnya dengan cepat.
Bahkan kini tali itu bagai terbelah menjadi dua. Satu
ujung melesat ke kiri dan satunya lagi ke dada Lanang-
seta. Bagian tengah tali itu ada dalam genggaman Lak-
samana Chou.
"Huupp...!" Lanang menghindar ke kanan dengan
memiringkan badannya dan setelah itu segera berdiri
tegak. Tangannya mengibas ke samping kiri, menjaga
kalau-kalau benda berujung tajam itu melesat ke pun-
dak kirinya. Lalu ia segera berguling ke tanah, dan begi-
tu berdiri ia telah menggenggam pedang Wisa Kobra.
Pedang itu langsung ditebaskan ke arah kaki Laksama-
na, seakan ia sedang membabat rumput kering. Laksa-
mana melompat ke atas dengan kedua kaki terangkat,
lalu salah satu kakinya menendang Lanang dengan satu
teriakan kuat, "Hiiaat...!"
Tendangan itu mengenai tempat kosong. Sementara
itu Lanangseta segera bersalto ke depan, mengatur ja-
rak dengan Laksamana Chou. Tapi gerakan Laksamana
Chou begitu cepat. Ia melemparkan Liongsainya. Benda
itu melayang-layang bagai seekor ular terbang. Kedua
ujungnya bergesrekan dan menimbulkan percikan bun-
ga api. Lanangseta siap menghadang Liongsai, lalu me-
nebaskan pedangnya dengan gerakan cepat. Liongsai itu
pun putus menjadi dua bagian, namun masing-masing
ujung tetap melesat dan menancap pada bebatuan. Ba-
tuan itu rontok keduanya. Sedangkan Lanangseta terus
berguling ke tanah, dan melentik bagai belalang. Ia me-
layang sambil mengibaskan pedangnya. Ia berhasil me-
lampaui atas kepala Laksamana dan bersalto beberapa
kali. Kemudian mendaratkan kakinya dengan tegap.
"Biadab kau...!" bentak Laksamana Chou. "Kau telah
memutuskan Liongsai, pusaka dari nenekku, hah? Kau
harus mati sekarang juga, Babi kampung...!"
"Tunggu! Kurasa bukan hanya senjata Liongsai-mu
saja yang kuputuskan. Tapi salah satu hal lagi yang
sempat kubabat dengan pedangku ini, Laksamana...?"
Lelaki bertubuh sedikit gemuk dari Lanang itu berke-
rut dahi. Ia memandang Liongsai yang telah putus men-
jadi dua bagian dan kini kedua ujungnya menancap pa-
da sisa pecahan batu. Ia berpikir, apa lagi yang dipu-
tuskan Lanang? Ia memeriksa bagian tubuhnya, ah...
tak ada yang putus. Tali kolor, tali sepatu, bajunya, se-
muanya tak ada yang putus. Kemudian dengan mata
sipitnya Laksamana Chou memandang dan tersenyum
kepada Lanangseta.
"Jangan bangga dengan gerakan semudah itu, Babi
kampung! Kau hanya bisa memutuskan senjata Liong-
sai-ku saja!"
"O, begitu, ya! Tapi... bagaimana dengan salah satu
kumismu, hah!" kata Lanangseta.
Laksamana Chou terkejut. Ia segera memegang ku-
misnya yang panjang dan melengkung ke bawah sampai
di dagu.
"Babi bunting kau...!" teriak Laksamana. Kini ia tahu
bahwa kumisnya yang sebelah kanan telah tercukur
habis dengan pedang Lanangseta. Tentunya hal itu di-
lakukan oleh Lanang ketika ia bersalto beberapa kali di
atas kepala Laksamana.
Semakin geram dan benci Laksamana kepada La-
nangseta. Ia merasa terhina, karena kumisnya bisa ter-
cukur sebelah. Kini tinggal satu bagian kumis yang ma-
sih ada, yakni kumis bagian kirinya.
"Heaaaattt...!" Laksamana menjerit dan menerjang
Lanangseta dengan satu pukulan yang menerjang cepat.
Lanang bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu
menangkis pukulan tangan Laksamana dengan tendan-
gan kaki kirinya. Tangan Laksamana bagai disempal ke
atas. Ia pun limbung sebentar. Lalu Lanangseta berge-
rak cepat memutari tubuh Laksamana. Sambil memba-
wa pedangnya. Kemudian buru-buru melayang, bersalto
dan menjauhi Laksamana.
"Kurasa sudah tak ada waktu lagi untuk bermain-
main denganmu, Laksamana...." kata Lanangseta. Ia
tersenyum tipis.
Laksamana Chou ingin mengatakan sesuatu, namun
ia jadi terhenti setelah melihat bahwa rompi kebal sen-
jatanya terputus pada bagian salah satu pundaknya,
dan bagian lainnya bagai disayat-sayat binatang buas.
Ia cukup terbengong melihat nasib dirinya. Namun ke-
dongkolannya pun semakin bertambah. Karena itu, ia
segera menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya menja-
di kaku, dan ia segera mengibaskan kedua tangan ke
depan, bersilang-silang dengan cepat. Makin lama se-
makin cepat sehingga gerakan itu membuatnya seperti
bertangan seribu.
Semakin lama gerakan itu semakin cepat dan sukar
diperhatikan tangan mana yang akan menyerang. Yang
jelas, Laksamana Chou pun segera melesat bagaikan
anak panah menuju ke arah Lanangseta. Lanang me-
rendahkan kaki kirinya sehingga lurus ke belakang, dan
kaki kanannya ditekuk sebatas lutut, lalu ia mene-
baskan pedang Wisa Kobra ke arah tangan-tangan yang
bersimpang siur itu.
"Wees...! Wees...! Wesss...!"
Tiba-tiba gerakan tubuh Laksamana berguling bagai
baling-baling ke arah samping dan tebasan pedang itu
meleset. Sebaliknya, justru kali ini pinggang Lanangseta
terkena pukulan yang membuat tulang-tulangnya bagai
patah semua.
"Aaaghh...!" Lanang terpekik tertahan, sukar berna-
fas. Tubuhnya jatuh terkulai pada saat Laksamana se-
gera melancarkan tendangan Bulu Angsa yang digabung
dengan jurus Cakar Angsa. Gabungan kedua jurus itu
dinamakan Serangan Tangan Setan.
Lutut Lanangseta bagai mau copot dari engselnya. Ia
meringis kesakitan. Kemudian ia bersandar karena per-
sis di belakang ada batu yang lumayan besarnya. Saat
itu Laksamana Chou tertawa terbahak-bahak. Lanang
tak perduli. Ia segera melonjorkan kaki, dan mengatur
pernafasan untuk menghilangkan rasa sakitnya.
"Itulah pukulan Tangan Setan yang tak pernah ada
yang dapat menahannya!" kata Laksamana Chou den-
gan bangga. "Tak lama lagi semua tulang-tulangmu
akan patah dan, tentunya kau tetap hidup sampai be-
berapa saat. He, he, eh...!"
Lanang tidak bicara sepat ah kata pun, ia masih
memusatkan konsentrasinya pada tulang-tulang selu-
ruh tubuhnya yang terasa ngilu sekali itu. Ia punya cara
sendiri untuk menyembuhkan luka dengan permainan
tarikan dan tekanan nafas. Si Tongkat Besi gurunya itu-
lah yang mengajarkan cara pengobatan lewat pernafa-
san.
"Sekarang juga, aku bisa membunuhmu, Babi. Ta-
pi... agaknya ada masalah lain yang harus kita rem-
buk."
Lanangseta masih membiarkan Chou berceloteh te-
rus. Dan kesempatan itu akan digunakan untuk mela-
kukan penyembuhan dengan nafas murninya.
Laksamana Chou berkata, "Kalau kau mau bekerja-
sama denganku, kurasa kau tidak akan cepat mati."
Di atas sebuah batu setinggi batas betis, Laksamana
duduk dengan gagah, seakan ia sedang menghadapi
anak buahnya dan menerangkan rencananya.
"Dengar, Babi.... Aku punya rencana tersendiri dalam
kedatanganku ke negeri ini. Bukan sekedar berdagang,
tapi aku akan mencari harta karun yang sudah bebera-
pa puluh tahun tak pernah dihebohkan lagi. Harta itu
adalah sekumpulan barang bajakan, hasil rampokan
dari seorang tokoh persilatan zaman dulu, yaitu Ratu
Bajak Laut yang bernama Areswara...!"
Lanangseta mengerutkan kening, terperanjat sedikit.
"Aku pernah mendengar nama itu," kata Lanang.
"Tentu. Aku percaya, sebab nama perempuan Ares-
wara itu cukup terkenal, bahkan sampai ke negeri
Tiongkok dan sampai di ujung Tibet. Salah satu lelu-
hurku pernah menjadi kekasihnya, dan mati karena ke-
kejamannya juga. Aku menemukan catatan dari lelu-
hurku itu, bahwa ratu bajak laut itu menyimpan semua
hartanya pada sebuah istana yang diberi nama atau
yang terkenal dengan nama: Istana Langit Perak. Nah,
di mana istana itu? Hanya dia yang tahu. Karenanya, ji-
ka kau dan aku mau bekerja sama menemukan istana
itu, melawan Areswara serta antek-anteknya, maka ku-
janjikan separoh dari harta itu adalah milikmu."
Lanang ingat cerita Rama Sabdawana mertuanya,
bahwa Nyai Katri itu nama aslinya Areswara. Dulu be-
kas bajak laut. Bahkan pimpinan bajak laut yang mera-
jai lautan Selatan. Tapi tentang Istana Langit Perak, ba-
ru sekarang ia mendengar ceritanya.
"Nah, Babi kampung...." kata Laksamana seenaknya
jika memanggil Lanangseta. "Sekarang kau tinggal pilih,
mau membantuku mencari Istana Langit Perak, atau
mau mati di sini? Aku cukup bijaksana, bukan? Aku
hanya memberikan dua pilihan untukmu."
"Aku tidak sudi memburu harta seperti itu. Aku sen-
diri sudah cukup kaya."
Laksamana Chou tertawa. "Kamu belum tahu...! Be-
lum tahu, bahwa Istana Langit Perak itu berisi harta
kekayaan seluruh bangsawan dunia. Bahkan mahkota
seorang ratu dari negeri Barat pun ada di sana. Ratu itu
mati di tangan Areswara, dan harta kekayaannya, per-
hiasannya, semua diangkut ke Istana Langit Perak."
Lanangseta sudah merasa sedikit ringan. Tidak terla-
lu sakit. Agaknya ia telah berhasil menetralisir rasa sa-
kit pada tulang-tulangnya.
"Hei, Bi.... Aku tahu kau punya ilmu yang cukup
tinggi, tapi kau tidak bisa mengungguli aku, kan? Seka-
rang begini... kalau kau mau membantuku mengorek
keterangan dari Areswara dan kita bisa menemukan Is-
tana Langit Perak, maka anak gadisku itu pun ku rela-
kan menikah denganmu. Sebab selain aku yakin kau
bisa menjaganya dengan ilmumu itu, kau juga akan
kaya dari hasil pembagian harta itu."
"Aku jijik jika kau bertemu dengan anak gadismu...."
kata Lanangseta seenaknya pula. Ia tidak peduli Lak-
samana Chou mendelik mendengar kata-katanya. La-
nang malahan tetap berkata dengan lantang, "Sekali
pun aku belum pernah bertemu dengan putrimu, tapi
aku percaya bahwa aku akan muntah bila bertemu
dengannya suatu saat nanti. Sebab aku tahu, hanya pe-
rempuan murahan yang tak punya harga diri saja yang
mau dibawa kabur oleh lelaki bukan suaminya. Dan...
entah sudah berapa banyak penyakit lelaki yang mengi-
dap di tubuh dan darahnya itu. Iih... jijik aku jika
membayangkannya, Laksamana!"
"Iblis...!" geram Laksamana dengan tangan mengepal
kuat. Ia berdiri, nafasnya terengah-engah. Kemarahan-
nya terpancing.
Segera ia menghentakkan tangannya dengan kekua-
tan yang membuat otot-otot tubuh bertonjolan. Sebuah
pukulan tenaga dalam dilancarkan ke dada Lanangseta.
Tapi Lanang segera menyilangkan pedangnya ke dada.
Pukulan tenaga dalam itu mengenai pedang yang merah
membara, lalu memantul balik, mengenai dada Laksa-
mana Chou. Lelaki bermata kecil dan kumis telah terpo-
tong sebelah itu terpental mundur, bahkan sampai ter-
jatuh segala. Lanang hendak bangkit, namun tubuhnya
masih terasa lemas. Belum begitu segar, sekali pun ia
telah berhasil menetralkan segala rasa sakit dan penya-
kit.
Laksamana Chou bangkit dengan kemarahan yang
tinggi. "Manusia tak patut diberi ampun kamu, hah...?!
Hiaaat...!"
Pukulan Rajawali Murka segera beraksi. Dari kedua
telapak tangan keluarlah sinar merah terputus-putus
menyerupai anak panah kecil-kecil. Anak panah itu me-
lesat ke arah Lanangseta. Dan Lanangseta memutar pe-
dangnya di bagian depan dengan cepat. Putaran pedang
itu menimbulkan sinar merah membara yang bagai se-
buah perisai penangkis anak-anak panah tersebut. Ben-
turan anak panah dengan pedang memercikkan bunga
api yang sangat dahsyat. Apalagi ketika Laksamana se-
gera merubah jurus, yang kini menjadi bola-bola api
melayang menghantam Lanangseta, tangkisan Lanang
pun lain lagi. Bukan pedang diputar cepat menyerupai
perisai, melainkan pedang itu sendiri dikibas-kibaskan
dan menimbulkan hempasan angin kencang yang
membuat bola api itu membentur ke sana sini tak tera-
tur. Beberapa tempat yang terkena benturan bola api
itu ada yang sampai terbakar, tapi tidak lama padam
sendiri, karena lumut bercahaya yang ada di tempat itu,
yang memenuhi dinding itu, tidak mudah terbakar ka-
rena kelembabannya.
Lanangseta cukup tenang. Ia duduk melonjorkan
kaki dan punggungnya bersandar pada batu besar.
"Aku sudah bosan berhadapan denganmu, Babi
Kampung! Sekarang saatnya membunuh telah tiba.
Ciaaaat...!"
Laksamana Chou menggerakkan tangannya ke de-
pan dan bersimpang siur. Makin lama semakin cepat.
Dan Lanang ingat, itulah jurus yang dipakai memukul-
nya tadi; Pukulan Tangan Setan. Lanang segera men-
gangkat pedangnya ke depan wajah.
"Wisa Kobra... bunuh dia!"
Pedang Wisa Kobra dilepas dari genggaman Lanang,
dan pedang itu pun meluncur cepat ke arah Laksamana
Chou. Gerakan Tangan Setan berhenti seketika, dan
Laksamana segera berkelit ke arah kanan. Pedang itu
membelok ke arah kanan. Laksamana kebingungan
dengan mata yang membelalak ngeri. Ia segera bersalto
beberapa kali ke beberapa tempat, tapi pedang Wisa
Cobra yang dijuluki Pedang Malaikat itu masih tetap
mengejar ke mana pun lawannya lari. Sementara itu,
Lanangseta tetap duduk melonjorkan kaki dengan san-
tai sambil menyaksikan Laksamana dikejar-kejar pe-
dang Wisa Kobra.
Pedang itu melesat ke arah leher Laksamana, dan
Laksamana menghindar. Pedang itu melesat ke tempat
kosong, namun ia segera kembali lagi menghunjam
punggung Laksamana. Pada saat itu, Laksamana sem-
pat merunduk sehingga pedang itu hanya menggores
punggung dan membuat Laksamana terpekik kesakitan.
Ia bersalto ke belakang beberapa kali. Pedang Wisa Ko-
bra masih mengejarnya. Sampai akhirnya, Laksamana
tersudut di suatu himpitan dua batu yang berjajar. Pe-
dang Wisa Kobra melesat terus dan menghunjam perut
Laksamana tanpa ampun lagi.
"Aaaahhkk...!"
Laksamana tertembus pedang sampai jebol ke bagian
pinggang belakang. Bahkan karena pinggang itu mera-
pat dengan batu, maka pedang Wisa Kobra pun terus
menembus batu besar yang kekar hingga dia lolos dari
batu dan melayang kembali ke tangan Lanangseta. Itu-
lah kehebatan Pedang Malaikat. Lanangseta mencium
pedang itu seraya berkata:
"Pekerjaan yang bagus, Wisa Kobra...! Sekarang
orang itu tahu sendiri akibatnya...." Lalu Lanang segera
menyarungkan pedang tersebut ke punggung. Sedang-
kan tubuh Laksamana berkelojotan. Ususnya terjulur
ke luar dari perut yang robek ditembus pedang Wisa
Kobra. Setelah kakinya mengejang-ngejang beberapa
saat, lalu tubuh itu pun lunglai sudah. Ia tak pernah
bergerak sedikit pun, alias mati.
"Selamat jalan, Laksamana...." ucap Lanang dari
tempat duduknya. Dan ia menghempaskan nafas lega.
Ia masih ingin beristirahat di situ. Pedang dan Cambuk
Naga ada padanya.
Lanangseta tertidur di dalam goa itu. Ketika bangun,
ia merasakan badannya cukup segar. Tapi ia tak tahu
kalau sebenarnya ia telah tertidur selama tiga hari di
sana.
"Cambuk Naga sudah kuperoleh...!" katanya sendi-
rian. "Sebaiknya aku harus pulang dulu, supaya Kirana
tidak gelisah menungguku."
Gelombang laut tidak begitu besar saat Lanangseta
keluar dari goa tersebut dan berenang menuju ke per-
mukaan laut. Ada debar-debar aneh di hatinya pada
saat itu. Lanangseta sendiri menerka-nerka, apa yang
membuat getaran dan debaran aneh di hatinya? Setelah
lama baru ia temukan makna debaran tersebut; bahwa
dia sebenarnya sedang rindu kepada Kirana, istrinya.
Sebagai pengantin baru, ia sudah pergi cukup lama. Je-
las hal itu akan membuat segumpal kerinduan di kedua
belah pihak. Namun yang sangat dicemaskan Lanangse-
ta, adalah kerinduan istrinya.
Putri Bukit Badai, istrinya itu, tak boleh menderita
rindu. Sebab bila kerinduan menyiksa dirinya, maka
darah Kirana akan membusuk dan menjadi beracun,
seperti dulu ketika Lanang pergi tanpa pamit itu. Ham-
pir saja kerinduan Kirana membuat gadis itu mati sela-
manya. Untung Lanang segera datang dan mampu
menggerakkan sukma Kirana, membuat darahnya ne-
tral kembali dan akhirnya perempuan itu pun masih hi-
dup sampai sekarang, (dalam kisah MALAIKAT PEDANG
SAKTI).
Dalam perjalanannya pulang ke Bukit Badai, tempat
di mana istri dan mertuanya tinggal di Griya Teratai
Wingit, Lanangseta sempat menemukan mayat Mahani
yang tubuhnya membusuk dan wajahnya hancur per-
tanda mendapat siksaan berat. Lanangseta sempat ter-
bakar darahnya melihat mayat Mahani tergeletak begitu
saja. Apa yang telah terjadi, Lanang tak tahu. Memang
ia melihat banyak pohon yang tumbang, banyak dahan
dan ranting yang patah dan terpotong beberapa bagian.
Tetapi siapa yang memotong dan menumbangkannya?
Ludiro atau adik kembar Lanang sendiri: Ekayana? La-
lu... ke mana mereka? Mengapa hanya ada mayat Ma-
hani dan tempat yang berantakan? Ke mana Ekayana,
Ludiro serta Yin Yin? Tak ada bekas darah yang me
netes ke satu arah.
"Ludirooo...?! Pamaaan Ludiroo...!" teriak Lanang
bergema. Namun sepi, tak ada jawaban.
"Ekayanaaaa...! Ekayanaaaa... di mana kauu...!"
Juga tetap sepi, tak ada jawaban. Lanangseta gemas
sendiri. Ia naik ke atas pohon, memeriksa keadaan se-
keliling. Namun tempat itu sangat sunyi. Tak ada tanda-
tanda kehidupan manusia di sana sini.
Mata Lanang tertuju pada mayat Mahani. Hatinya te-
riris melihat keadaan dan nasib gadis desa yang lugu
itu. Kasihan sekali Mahani, karena memburu cintanya
kepada Lanang sampai-sampai ia menjadi korban yang
menyedihkan. Padahal Lanang yang diburunya sudah
menikah dengan Kirana, Putri Bukit Badai yang anggun
dan sangat dicintai Lanang itu.
Bau busuk itu sangat tajam. Lanang tak sanggup ka-
lau harus menggali kubur dan memakamkannya. Satu-
satunya jalan harus dibakar.
Sebab itu, Lanangseta segera mengumpulkan daun
kering dan kayu-kayu kering. Barang-barang itu dis-
usun rapi menutupi mayat Mahani. Kemudian, Lanang
mengambil jarak dan mencabut Cambuk Naganya. Ia
tak tahu apakah ia bisa memakai cambuk itu atau ti-
dak. Tapi seingatnya, dulu ia pernah menggunakan
cambuk tersebut dalam suatu pertempuran di Tebing
Neraka. Dan tangan serta tubuhnya bergerak-gerak
sendiri, seakan sedang memainkan jurus Cambuk Naga
milik bekas kekasihnya: Sekar Pamikat.
Dalam keadaan merenung itu, tahu-tahu Lanangseta
merasa bingung sendiri setelah tangannya yang meme-
gangi cambuk itu berputar-putar. Cambuk Naga bagai
melingkari udara di atas kepalanya. Kemudian cambuk
itu pun melejit ke atas tumpukan kayu, Satu kali mele-
jit: "Taar...!" Dan tumpukan kayu itu pun terbakar seke-
tika. Api berkobar membakar mayat Mahani yang tak
terkuburkan oleh siapa pun itu.
Lanangseta segera berlari menuju Griya Teratai Win-
git. Ia sudah tak tahan memendam kangen dengan is-
trinya. Namun ketika ia sampai di Griya Teratai Wingit,
ia jadi kecewa ketika Rama Sabdawana, mertua Lanang,
berkata:
"Istrimu menyusul kau ke Pulau Kramat. Dia khawa-
tir terjadi sesuatu padamu, sebab itu ia ke sana."
"Gawat...!" Lanang menggumam cemas. "Paman Lu-
diro juga ikut ke sana, Rama?"
"Ludiro...?! Oh, dia belum kembali sejak dulu...."
"Lho...?! Ke mana, ya?!"
***
4
ANDINI sudah memperoleh kekuatan seperti dulu.
Ilmu dan kesaktiannya yang telah hilang, kini kembali
seperti sediakala. Ia telah melakukan Semadi Serap ber-
sama Indra Mada, alias Jaka Bego yang sudah berubah
ujud. Sudah tentu hatinya sangat gembira sekali, sama
halnya dengan kegembiraan yang ada pada Nyai Katri.
Namun, rupanya ada satu masalah yang membuat
kedua perempuan itu gelisah. Masing-masing tak mau
mengungkapkan kegelisahannya. Tapi akhirnya, Nyai
Katri yang membuka rahasia hatinya ketika ia dan An-
dini sibuk membakar ikan untuk santapan Indra Mada
yang masih tertidur.
"Apakah semalam kau sempat bermimpi, Andini?"
Andini menggeleng, sesekali ia menggigit ikan kecil
yang terlanjur hangus. Lalu ia pun bertanya,
"Bagaimana dengan kau, Nyai? Kau tertidur pulas,
ya?"
Nyai mendesah. "Semalam aku tak bisa tidur."
Andini sedikit curiga. Ia mengira Nyai menyindirnya.
"Jangan menyindir."
"O, tidak. Aku tidak menyindir siapa-siapa. Aku ber-
kata sebenarnya, An. Aku semalam tidak bisa tidur. Ada
sesuatu yang bergejolak di hatiku dan sangat menggeli-
sahkan. Kau tahu itu?"
"Hemm... tentang salah satu ilmu yang belum kau
dapatkan kembali?"
"Bukan. Bukan soal ilmu," jawab Nyai. "Soal lain."
"Soal lain? Hemm... tentang...." Andini berbisik den-
gan mendekatkan wajahnya ke telinga Nyai, "Tentang...
Jaka Bego, bukan?!"
Nyai sedikit tersipu. "Terus terang... iya. Memang
soal itu. Aku memikirkan bahwa...."
"Kalau begitu sama persis dengan yang kugelisah-
kan, Nyai!"
Nyai dan Andini akhirnya tertawa. Sambil membakar
ikan mereka masih terus berbicara tentang Indra Mada
dan gejolak birahinya.
"Aku tak berani mengganggunya, Nyai. Aku... yah,
terus terang saja, aku memang mengharapkan cum-
buannya, tapi aku takut kalau ilmu yang ada padaku
akan hilang lagi terserap pusakanya yang, hemm...
aduhai itu, Nyai...."
Tawa Nyai Katri semakin menjadi.
"Eh, benar kok. Aku sendiri ngeri. Sebetulnya sema-
lam, bahkan sudah beberapa malam ini aku ingin sekali
mengenyam kehangatan pelukannya, tapi aku juga ta-
kut kalau-kalau aku terjebak dalam Asmara Pasak De-
wa. Tapi... ah, memang serba susah, Andini. Sejak il-
muku kembali lagi, aku jadi sangat hati-hati kepadanya.
Hasratku sangat bergelora, tapi demi menjaga kewaspa-
daan, yah... aku jadi mencarinya sendiri...."
"Mencarinya sendiri?" Andini tertawa menutup mulut
dengan tangannya. "Mencarinya sendiri...? Ih, lucu."
"Ah, terserah. Mau dianggap lucu atau tidak, tapi...
semua itu bersifat: apa boleh buat."
Andini masih mengikik geli.
"Jangan meledek, An!" geram Nyai sedikit cemberut.
"Bukannya meledek, tapi... aku pun juga begitu."
"Mencarinya sendiri?"
"Iya... hi, hi, hi...!"
Indra Mada masih tertidur. Ia perlu istirahat banyak,
terutama setelah selama enam hari melakukan Semadi
Serap untuk kedua perempuan itu. Memang, sudah tiga
hari juga ia beristirahat, namun agaknya masih kurang.
Indra Mada masih sering mengantuk dan tak berse-
mangat memberikan ciuman kepada mereka. Di samp-
ing itu juga karena kedua perempuan tersebut memang
tidak banyak menggodanya.
Sekalipun jantung berdetak-detak, keringat bercucu-
ran menahan gelora cinta, dan desah sering keluar be-
rupa keluh yang menjengkelkan, namun agaknya kedua
perempuan itu hanya bisa mendesah dan mengeluh.
Untuk menggoda apalagi memakainya sendiri, seperti
dulu kala, mereka tak berani. Mereka takut kehilangan
kekuatannya yang telah kembali itu. Asmara Pasak De-
wa membuat mereka menjadi trauma untuk bercumbu
dengan Indra Mada.
Nyai Katri berkata bagai sebuah gumam, seraya ia
membolak-balik ikan panggang yang ditusuknya me-
makai ranting.
"Sebenarnya, kepada siapa lagi kita akan mempero-
leh pusaka yang istimewa itu? Kurasa tidak ada lelaki
lain yang mempunyai kehebatan seperti Indra Mada,
atau si Jaka Bego...."
"Memang...." kata Andini. Ia juga ikut memanggang
salah satu ikan. "Tak ada lelaki yang bisa sehebat dan
setangguh Jaka dalam bercinta. Kekuatannya sungguh
luar biasa. Ke mana lagi kita akan memperoleh kuda se-
jantan dia?"
Nyai termenung, sekali pun matanya tertuju pada
ikan yang dipanggangnya, namun pikirannya menera-
wang ke malam-malam sebelum ia melakukan Semadi
Serap. Darahnya berdesir jika ia terbayang kejantanan
Jaka sewaktu menyusuri malam yang dingin bersa-
manya, juga bersama Andini. Jaka terus berpacu bagai
tak kenal lelah, dari tempat yang satu ke tempat yang
lain, lalu kembali ke yang satu, dan balik lagi ke yang
lain, begitu seterusnya ia menyusuri malam yang dingin
dan membuaikan kemesraan sejati itu. Andini sendiri
menjadi kacau pikirannya dan semakin ditikam kegeli-
sahan jika mengingat hal itu.
Namun ada masalah lain yang ingin ia tanyakan ke-
pada Nyai Katri. Mulanya ia merasa tak perlu memasa-
lahkan pertanyaan batinnya. Tapi lama-lama, setelah
direnungkan, ia berkesimpulan bahwa pertanyaan da-
lam batinnya itu perlu mendapat perhatian yang sung-
guh-sungguh. Sebab itu, Andini pun terpaksa melon-
tarkannya saat itu:
"Nyai... sebenarnya siapa di antara kita yang akan
menjadi istri Jaka Bego? Kau atau aku, Nyai...?"
Nyai Katri mendesah. Rupanya ia sendiri bimbang
untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya balik
bertanya:
"Menurutmu siapa yang pantas mendampinginya?"
"Aku tidak bisa memberi pendapat, Nyai. Aku sendiri
bingung. Kalau dia menjadi istrimu, aku akan kecewa.
Dan kalau aku yang menjadi istrinya, tentu kau pun
akan kecewa, bukan? Jadi.... Ah, entah. Siapa di antara
kita ini yang akan dipilihnya."
Nyai memasukkan beberapa ikan bakar yang sudah
matang ke dalam suatu tempat yang terbuat dari daun
jati. Ia sempat berkata, sekali pun tanpa memandang
Andini:
"An... kalau menurutku, kita ini sama."
"Sama bagaimana, Nyai?"
"Kita punya nasib yang sama, punya selera yang sa-
ma, dan punya tujuan yang sama." Nyai berhenti seben-
tar, memasang seekor ikan laut sebesar betis, menu-
suknya dengan kayu dan menaruhnya di atas kobaran
api. Kemudian ia berkata seraya membolak-balikkan
ikan panggangnya itu:
"Sejak aku kehilangan semua ilmuku, dan kau pun
demikian, aku merasakan ada kesamaan di antara kita.
Yang pertama, kesamaan untuk membunuh Lanangse-
ta. Lalu, kesamaan tidak mempunyai ilmu apa-apa.
Kemudian kesamaan dilayani dan melayani Jaka Bego.
Setelah itu, kesamaan ketagihan Jaka Bego. Seterus-
nya, kesamaan saling suka dan menyukai Indra Mada,
kesamaan ingin membuat kuda jantan kita menjadi se-
hat, dan..,." Nyai berpaling memandang Andini yang
saat itu sengaja diam, tidak mengerjakan apa-apa.
"Terus terang, Andini... sejak kau mau menguburkan
aku dalam melakukan Semadi Serap, sampai kau mau
membongkar kuburanku setelah tiga hari lamanya, se-
jak saat itu aku menganggap kau adalah adikku sendiri.
Karena itu, sewaktu kau dan Jaka masuk ke liang dan
melakukan Semadi Serap, aku menimbunmu dan men-
jagamu dengan hati-hati sekali. Aku tak ingin kau cela-
ka, apalagi Jaka. Aku punya keinginan agar kita selalu
bersama dalam keadaan damai, dan sejahtera. Sehing-
ga, kemarin sempat pula kupikirkan, seandainya, aku
yang dipilih Jaka, maka kubiarkan kau ikut merasakan
kehangatannya kapan saja kau mau. Aku tidak cembu-
ru kepadamu. Aku rela dia tidur bersamamu, sebab kita
toh memang sudah sering tidur bertiga dan saling me-
nukar rasa dengannya, bukan?"
Andini diam. Ada semburat keharuan yang terbayang
di kebeningan matanya. Namun ia masih belum bisa bi-
cara apa-apa. Hanya saja, kali ini Nyai Katri merangkul
dirinya dan membisikkan kata, "Dia milik kita berdua,
Andini. Kita sama-sama mengaguminya dan... dan
mencintainya, bukan?"
Andini mengangguk. Kedua matanya semburat me-
rah.
"Terima kasih, Nyai...." bisik Andini. "Aku tak me-
nyangka kalau kau akan berhati seperti itu." Andini
menitikkan air mata, namun buru-buru dihapusnya
sendiri. Nyai Katri sendiri seumur-umur baru kali itu
merasa hatinya tersentuh oleh suatu kelembutan yang
penuh perasaan. Dulu, sebelum ia mengenal Indra Ma-
da, ia tidak pernah seperti itu. Ia pantang tersentuh
oleh keharuan. Namun sekarang, entah bagaimana bi-
sa, ia tersentuh oleh keharuan yang nyaris-tidak terlihat
itu.
Ketika Indra Mada santap siang, Nyai Katri mengaju-
kan pertanyaan tersebut:
"Sebenarnya siapa di antara kita yang ingin kaujadi-
kan istrimu, Jaka?"
Indra Mada hanya tersenyum seraya menikmati ikan
bakarnya. Andini menunduk, merasakan desiran halus
di hatinya, sedangkan Nyai Katri memberanikan diri un-
tuk menatap Indra Mada. Ia merasa tak boleh cengeng
untuk masalah seperti itu. Ia harus bisa menampilkan
sosok ketegasan yang dulu pernah ia miliki.
"Terus terang, Jaka... tadi, sebelum kau bangun,
kami berbicara soal itu. Lalu, semuanya kuserahkan
kepadamu. Terserah kau, siapa yang akan kau pilih dari
kami berdua ini: Andini, atau aku...."
"Apakah aku perlu menjawab pertanyaan seperti
itu?" tanya Indra Mada dengan kalem.
"Kurasa perlu, supaya kami berdua lega dan menge-
tahui apa yang harus kami lakukan untuk kamu."
"Kalau begitu, lakukan saja secara bersamaan. Apa
susahnya? Bukankah selama ini kalian juga melakukan
secara bersamaan?"
Nyai Katri sengaja menatap Andini, yang rupanya ju-
ga sedang memandang Nyai. Lalu, Andini memberani-
kan diri bertanya dengan suara yang pelan:
"Maksudmu bagaimana, Jaka?"
Jaka meneguk minumannya. Ia menampakkan sikap
serius dan sungguh-sungguh dalam bicara.
"Kau tahu siapa aku sebenarnya, bukan?"
"Seorang dewa. Dewa Seribu Mimpi," jawab Andini.
"Nah, dalam peraturan, seorang dewa tidak boleh be-
ristrikan seorang manusia. Artinya, dewa harus kawin
dengan dewi, atau seorang bidadari. Tetapi seandainya
dewa itu menikah atau mempunyai istri manusia, ada
dua kemungkinan yang bisa dilakukan: keluar sebagai
dewa dan terus menjelma jadi manusia, atau tetap men-
jadi dewa tetapi tidak boleh membawa pulang istrinya."
Andini menatap Indra Mada dengan sorot mata sayu.
Indra Mada merasa iba melihat kesenduan Andini dan
Nyai. Indra Mada berkata lagi:
"Aku pernah katakan kepadamu, Nyai, bahwa aku
akan datang tujuh hari sebelum dan sesudah bulan
purnama. Dan selama itulah kalian bisa melepas rindu
kepadaku...."
"Maksudnya, aku dan Nyai...?" sela Andini.
"Ya. Kau dan Nyai. Aku ingin memperistri kalian ber-
dua, apabila kalian berjalan pada jalur kehidupan yang
benar. Menjauhi keserakahan, kebatilan, kedengkian,
kekejaman, dan lain sebagainya. Aku ingin mempunyai
istri yang baik-baik, sehingga aku punya alasan untuk
mempertahankan tuduhan di Suralaya nanti. Kalau is-
triku berbuat keji, serong dari jalan yang benar, maka
bagaimana aku akan bisa mempertahankan keputu-
sanku dalam rapat di Suralaya nanti? Jadi, aku akan
setia kepada kalian, akan memberikan kebahagiaan
yang kalian cari selama ini, asalkan kalian menjadi ma-
nusia yang betul. Bukan manusia yang berjiwa binatang
dan iblis."
Nyai Katri tertunduk, merasa dirinya dulu hidup pe-
nuh dengan kekejian, sampai-sampai banyak yang men-
julukinya sebagai perempuan iblis. Bahkan dulu pun ia
pernah berjuluk Iblis Sendang Bangkai. Namun, setelah
ia mendengar penuturan Indra Mada itu, hatinya men-
jerit dan menangisi masa lalunya. Kini ia ingin menjadi
manusia yang menjalani hidup dalam kebenaran. Ia tak
ingin ditinggalkan Indra Mada, sebab pada diri Indra
Mada itu seakan segala yang dicarinya selama ini telah
diperolehnya. Kebahagiaan sejati.
Saat itu Andini juga berani bertanya kepada Indra
Mada:
"Lalu, bagaimana dengan kemesraan dan kehanga-
tan yang kami butuhkan dari kamu, Jaka? Apakah ti-
dak akan menyedot ilmu kami lagi?"
Indra Mada tertawa, dan Nyai Katri segera menam-
bahkan kata:
"Benar. Hal itu sangat menghantui kami, sehingga
kami jadi takut menggumuli kamu, Jaka."
Lalu jawab Indra Mada, "Aku tak akan segila dulu.
Aku tak akan memasang perangkap lagi untuk kalian,
asal kalian mau menjadi manusia baik-baik. Ilmu As-
mara Pasak Dewa hanya untuk menunjukkan perem-
puan-perempuan berhati sombong dan keji. Tapi... ku-
rasa kalian sekarang bukan manusia sombong dan keji.
Kurasa kalian sekarang menjadi perempuan-perempuan
yang... yang selalu memancing gairah dan memang
membuatku betah...."
Tawa Indra Mada terlepas, seperti halnya tawa Nyai
dan Andini. Dan di balik tawa itu, sesungguhnya suatu
sorak kegembiraan yang panjang bagi Nyai Katri dan
Andini. Karena dengan begitu, mereka dapat segera me-
neguk secawan anggur menghapus dahaga yang selama
ini mereka tahan-tahan.
Buktinya, sejak itu mereka berdua tak pernah ber-
henti memancing-mancing Indra Mada dengan cara dan
gayanya masing-masing, sehingga Indra Mada pun
hanya diam dan berlagak lemas ketika digotong masuk
ke kamar. Andini dan Nyai merasa mempunyai kekua-
tan yang maha dahsyat, sehingga mereka berdua mem-
biarkan Indra Mada berlagak lemas. Kini mereka men-
dayung sendiri, membawa sampan ke ujung dunia,
mengarungi samudra cinta ke puncak Himalaya seting-
gi-tingginya. Mereka bekerja tanpa memberi kesempa-
tan Indra Mada untuk membalas serangan dengan ju-
rus tertentu, sebab mereka ingin meluapkan amukan
birahi sekehendak hati. Dendam asmara yang tertunda,
membuat mereka sibuk sepanjang hari tanpa meminta
Indra Mada mengayuh sampan di antara dua genangan
samudera.
Sore dilewati tanpa henti. Dan malam dijelajahi tan-
pa kelelahan. Tenaga mereka adalah tenaga dalam yang
diperbantukan untuk merengkuh kebahagiaan. Tenaga
mereka bukan sekedar tenaga seorang perempuan yang
hanya bisa lunglai di ujung satu dermaga. Mereka
mempunyai tenaga simpanan yang mampu melewati
banyak dermaga, bahkan banyak pulau yang dilalui
tanpa berhenti kecuali bergantian menjadi nakhoda.
"Kurasa Lanangseta tak akan sebegini mengagum-
kan." tutur Nyai. "Jadi, sebenarnya sia-sia sekali kau
dulu mengejar-ngejar Lanangseta. Kau malah seperti
perempuan hina yang tak dihargai sama sekali oleh La-
nangseta, Andini."
Waktu itu, Andini hanya tersenyum dan sibuk men-
gatur nafasnya sambil mendengarkan omongan Nyai
yang tengah beristirahat sejenak itu, Nyai berkata lagi
seperti orang menerawang:
"Tak ada perempuan sebahagia kita, Andini. Tak ada.
Sekali pun dia istri Lanangseta, namun dia belum tentu
sebahagia kita...." Nyai tertawa ketika ia melihat Indra
Mada masih tertidur dan membiarkan dirinya diayun-
ayunkan ke ujung dunia.
Namun, pada saat itu ada sedikit perubahan yang te-
rasa di hati Andini. Begitu ia mendengar nama Lanang-
seta, begitu istri Lanangseta disebutkan, bergetar ha-
tinya. Ia merasa dihina pada waktu itu oleh Lanangseta.
Ia merasa dianggap perempuan tak punya harga di ma-
ta Lanang, mungkin juga di mata Ludiro atau istri La-
nangseta itu.
Perasaan-perasaan itu mengganggu kenikmatan ma-
lam menjelang pagi. Sampai akhirnya Andini mele-
paskan kesibukannya, dan segera mengenakan gaun-
nya yang tipis. Nyai merasa heran.
"Hei, cepat sekali kau selesaikan tugas batinmu? Ti-
dak menyesal terlalu cepat?"
"Aku ingin menghirup udara di luar kamar, Nyai.
Berlayarlah sendiri, nanti aku akan menyusul lagi kalau
pernafasanku sudah lega kembali...."
Nyai tidak tahu, Nyai hanya tertawa dan berkata,
"Makanya, kalau cepat mabok jangan naik sampan. Bi-
sa cepat muntah...." Tawa Nyai berkepanjangan sambil
ia sendiri mulai meraih dayung dan mempermainkan-
nya sejenak. Andini keluar dari kamar dengan wajah
murung tipis. Ia masih teringat kata-kata Nyai; sebagai
perempuan yang diremehkan, dihina dan dianggap ti-
dak mempunyai harga diri. Andini merasa menyesal se-
kali, mengapa ia menciptakan kesan seperti itu kepada
Lanangseta, sehingga suatu saat ia akan menjadi bahan
ejekan oleh Lanang, dan terlebih lagi oleh istri Lanang-
seta sendiri. Iih... gemas sekali ia jadinya.
Dan mendadak dalam ingatan Andini juga muncul
wajah Ekayana. Andini menggeram, menggeletukkan gi-
gi. Menahan gejolak nafsu amarah teringat betapa sa-
kitnya ia dikhianati Ekayana, dianggap perempuan tak
punya arti apa-apa dibandingkan dengan Yin Yin, gadis
Cina itu. Padahal kegantengan Ekayana maupun La-
nangseta, tak ada separoh dari ketampanan Indra Ma-
da.
Dari renungan ke renungan, timbullah dendam yang
mulai membara di hati Andini. Dari dendam ke dendam,
mulai timbul kemarahan yang meluap-luap. Dari kema-
rahan itulah timbul sebuah gagasan untuk membunuh
mereka: orang-orang Lanangseta yang pernah dikenal-
nya. Setidaknya dengan membunuh mereka, Andini me-
rasa tertutupi rasa malunya di masa lampau. Dengan
membantai mereka, Andini dapat menunjukkan kepada
dunia, bahwa dia bukan perempuan murahan yang
pantas dihina dan diremehkan oleh lelaki seperti La-
nang dan Ekayana.
"Tetapi mereka cukup tangguh...." pikir Andini dalam
ketermenungannya itu. "Ilmuku agaknya tak seberapa
dibandingkan dengan Ekayana, apalagi Lanangseta. Sa-
tu-satunya jalan, aku harus membujuk Nyai agar ia
mau membantuku...! Ah, tapi Nyai belum tentu mau. Ia
sudah ingin menjadi orang baik. Puih...! Orang baik?
Apakah ia akan mampu? Apakah Nyai dapat bertahan
untuk tidak membunuh siapa pun?"
Andini mondar-mandir di ruang tengah yang panjang
itu. Suara desah dan erangan Nyai terdengar jelas, na-
mun ia tak ambil pusing lagi. Otaknya sudah digeluti
oleh dendam dan kebencian kepada Ekayana, Yin Yin,
Lanangseta, istri Lanang dan... orang-orang yang masuk
dalam kelompok Lanangseta itu.
"O, ya... aku ada akal...." katanya dalam hati. "Bu-
kankah dulu, sebelum Nyai dan Jaka masuk ke liang
kubur, ia pernah menunjukkan sebuah pusaka dari
Tiongkok? Ya, aku ingat ketika Jaka menceritakan
keampuhan seruling itu. Dapat membunuh lawan hing-
ga menjadi berkeping-keping jika ditiup sambil kita
memandang lawannya. Wouww...! Itu dia yang harus
kucuri. Itu yang akan membantuku. Seruling Surga...!
Yah, dengan seruling itu akan bisa mengalahkan mere-
ka. Dan... dan aku harus segera mencurinya untuk ke-
mudian akan kukembalikan lagi setelah selesai urusan
itu."
Kelengahan Nyai dalam bercumbu yang tidak kenal
lelah itu telah memberi peluang bagi Andini. Anak putri
Panglima Negeri Seberang itu telah berhasil mencuri Se-
ruling Surga, bekas pusaka seorang biksu Tiongkok.
Dengan sangat hati-hati, Andini menyelipkan Seruling
Surga itu. Ia mengenakan ikat pinggang dari kain selen-
dang warna biru, dan kainnya yang merah jambu di-
biarkan melekat tipis pada kulit tubuhnya. Pelan-pelan
sekali ia pergi meninggalkan rumah panjang, tempat di
mana Nyai serta Indra Mada masih asyik menikmati
ayunan ombak bahtera kebahagiaannya. Andini menye-
linap, merayap, dan pergi memburu dendamnya dengan
berbekal Seruling Surga.
Tepat matahari menyingsing, Andini berdiri di pantai.
Ia menggerakkan kedua tangannya ke depan, lalu ke-
duanya terentang dan naik ke atas kepala, lalu kedua
telapak tangannya itu saling bertemu, mengatup rapat
di atas kepala. Kemudian kedua tangan yang telah me-
rapat itu bergerak turun perlahan-lahan. Sebaris man-
tra diucapkan dalam hati. Dan dengan satu gerakan
kuat, kedua tangan yang mengatup sudah berada di
depan pusarnya itu membuka seketika, bagai ia menye-
bar sesuatu ke permukaan air laut. Dan pada saat itu
pula, ternyata air laut menjadi beku. Samudra bagaikan
padang es. Salju turun samar-samar. Lalu, Andini ber-
lari dengan menapak di permukaan air laut yang telah
menjadi beku itu.
Ketika sampai di pantai seberang, Andini menghem-
buskan nafas panjang sambil mengulangi gerakan se-
perti tadi, sewaktu ia hendak membekukan air laut. Ke-
tika ia menghempaskan nafas, air laut pun bergolak
kembali dan menjadi cair. Salju yang beterbangan ber-
henti sedikit demi sedikit. Udara dingin segera berganti
hangat karena matahari sudah kian meninggi.
Pada waktu itu, ada sepasang mata menyaksikan se-
gala gerakan Andini. Sepasang mata yang tajam dan in-
dah itu jelas milik seorang perempuan. Ia berlindung
dari balik bebatuan di tepi pantai sebelah ujung. Ia
sempat kagum melihat kemampuan Andini membeku-
kan air laut. Dan diam-diam perempuan yang mengintai
itu pun menguntit gerakan Andini. Ia mengira, Andini
adalah jelmaan dari Nyai Katri yang terkenal dapat ber-
ganti-ganti rupa seribu kali.
Perempuan itu tak lain adalah Kirana Sari, istri La-
nangseta yang sedang menyelidiki dengan indra keenam
apakah Lanang berada di Pulau Kramat itu atau tidak.
Tetapi sepanjang penyelidikannya, ternyata Lanang
memang tak ada di sana. Jadi tak ada salahnya jika Ki-
rana menguntit gerakan perempuan bergaun merah
muda, berikat pinggang selendang biru. Kirana belum
tahu kalau perempuan yang dikuntitnya itu adalah An-
dini. Dulu, dia memang pernah melihat wajah Andini,
namun tidak sekurus itu. Kini wajah Andini sedikit ber-
beda dengan wajah saat dia bertemu dengan Ekayana di
depan Goa Malaikat.
Beberapa saat setelah Kirana mengikuti Andini, ba-
rulah ia ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis
itu. Kirana juga ingat bahwa Andini adalah kekasih
Ekayana, adik kembar Lanangseta, suaminya. Kirana
tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kirana ingin
mengejar Andini untuk menanyakan sesuatu. Tetapi ge
rakan Andini cukup lincah dan cepat. Ada kecurigaan
yang timbul di hati Kirana setelah ia melihat gerakan
Andini seakan tidak ingin diketahui oleh orang lain. Ini
berarti Andini menyimpan suatu rahasia yang cukup
penting, dan Kirana ingin mengetahuinya.
Kirana sengaja menguntitnya dari jarak jauh. Ia me-
manfaatkan kepekaan indra keenamnya yang mampu
mengetahui ke mana arah larinya Andini.
"Apa yang akan dilakukannya? Mengapa ia seperti
pencuri yang takut diintip orang?" pikir Kirana.
Mendadak Andini berhenti. Kirana buru-buru ber-
sembunyi di balik semak belukar. Andini melompat ke
atas pohon dengan gerakan ringan yang menyerupai
kupu-kupu terbang. Kirana pun ikut melompat ke salah
satu pohon yang berdaun rimbun. Rupanya Andini me-
lihat sesosok bayangan melesat di balik tiga pohon be-
sar berjajar itu. Andini memandang ke arah sana, dan
Kirana pun memandang ke arah serupa.
"Oh, dia mengincar Paman Ludiro...?" pikir Kirana.
Andini melesat ke pohon yang satu, Kirana menyu-
sul, menempati pohon yang semula dipakai Andini. Ma-
ta Andini memandang ke arah Selatan, Kirana pun
mengikutinya.
"Oh, itu dia adik Lanangseta...?" kata Kirana dalam
hati. "Agaknya ia sedang dalam kejaran Paman Ludiro.
Oh, dia membawa gadis Cina.... Astaga? Ada persoalan
apa mereka sebenarnya?"
Andini melesat ke pohon yang satu, lalu melompat
lagi ke tempat yang lebih rendah, lalu bersifat menung-
gu, dan ia segera turun dari atas pohon tepat di depan
Ekayana yang tengah membawa lari Yin Yin. Kirana
mengikutinya terus secara hati-hati. Bahkan ia menda-
pat tempat yang cukup strategis untuk bersembunyi
dan melihat apa yang terjadi di bawah sana.
Ekayana terperanjat melihat Andini menghadangnya.
Yin Yin paling kaget melihat Andini turun dari atas po-
hon seperti kupu-kupu raksasa.
"Andini...?!" Ekayana mencoba menyapa dengan ha-
lus.
Andini bersikap kasar, "Kau tak perlu beramah sapa
lagi kepadaku, Bajingan. Sekarang tiba saatnya aku
membalas sakit hatiku karena penghianatanmu, Bajin-
gan...!"
"Kau, Bajingan perempuan...!" Yin Yin yang bersuara
kecil, seperti suara anak-anak, begitu tandas dan berani
membentak Andini.
"Hei, Perempuan jalang...! Bersiaplah kau menuju
neraka! Sepantasnya kau di sana, karena kerjamu tu-
kang merebut kekasih orang...!"
"Biadab kau. Ciaaat...!" Yin Yin menyerang Andini
dengan kegeraman amarahnya. Kakinya melayang seca-
ra bergantian bagaikan sabetan kipas. Andini menghan-
tam kaki itu dengan Seruling Surga. Hantamannya cu-
kup kuat, namun kaki Yin Yin yang menendangnya juga
cukup menghentak, sehingga Andini terpental.
pada saat itulah, Andini meniup Seruling Surga sete-
lah sebelumnya ia berteriak. "Sekarang saatmu mene-
mui ajal, Gadis kotor...!" Seruling ditiup, suaranya me-
lengking bagai irama pelepas sukma. Yin Yin terkejut,
lalu mengejang. Ia mendekap telinganya dan berteriak
kesakitan. Ekayana segera menyerang Andini karena
tahu bahwa seruling itu mempunyai suatu tenaga gaib
yang amat membahayakan keselamatan Yin Yin.
Ekayana berseru: "Andini...! Jangan...!"
***
5
ANDINI semakin meniup dengan suara lengking.
Ekayana bimbang dan kebingungan, karena Yin Yin su-
dah terlanjur kelojotan dan berteriak-teriak sangat his-
teris.
"Hentikan...! Hentikaaaan...!" teriak Ekayana. Lalu ia
segera menyerang Andini dengan pedangnya. "Jahanam
kau, Diniii...!"
Tetapi terlambat. Gerakan Ekayana terhenti seketika,
karena jeritan Yin Yin semakin melengking menyamai
suara seruling. Lalu, dengan mata kepala sendiri
Ekayana melihat tubuh Yin Yin menjadi retak-retak,
dan akhirnya meledak tanpa suara, namun cukup men-
gejutkan dan mempertinggi kepanikannya.
Tubuh gadis Cina itu pecah menjadi berkeping-
keping. Serpihan dagingnya berhamburan kian ke mari.
Dan Ekayana pun berteriak keras. "Yin Yiiiin...!"
Ekayana bermaksud memeluk Yin Yin, tetapi apa
yang hendak dipeluknya? Tak ada bagian tubuh yang
tersisa sebesar genggaman tangan manusia. Tak ada.
Semuanya menjadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu
lagi dipungut maupun diraup menjadi satu.
Kirana yang memperhatikan dari tempat persembu-
nyiannya menjadi bergidik melihat kejadian itu. Ia ham-
pir saja turun dari atas pohon dan menyerang Andini.
Namun ia masih menyadarkan diri. Karena pada saat
itu, Ekayana maju menyerang Andini dengan kemara-
han yang tak terkendali. Ekayana mengibaskan pe-
dangnya ke leher Andini, tapi Andini segera menangkis-
nya dengan Seruling Emas berukir ular naga. Kaki An-
dini menendang ketiak Ekayana, namun tendangan itu
justru disongsong dengan pukulan keras dari tangan ki-
ri Ekayana. Pukulan itu mengenai tulang kering kaki
Andini sehingga Andini memekik kesakitan.
"Aaauh...! Bangsat kau, Ekayana...!"
Pedang Ekayana mengibas ke samping dengan cepat.
Andini menghindari dadanya dari sabetan pedang. Ia
melengkungkan badan ke belakang. Tetapi aneh... ia
merasa perih pada bagian pahanya. Ketika dilihatnya,
ternyata kedua pahanya telah robek akibat kilasan pe-
dang Ekayana. Gerakan pedang Ekayana yang dikira
hendak merobek dada, ternyata begitu cepat dan menu-
ju paha sasarannya. Andini tak mengira kalau pahanya
yang menjadi sasaran pedang Ekayana.
Ia mengaduh dan sedikit limbung. Tetapi Ekayana
sudah hilang kesabarannya. Ia berguling mendekati ka-
ki Andini dan pada saat itu ia menebas kaki Andini se-
perti ia hendak memperuncing sebatang bambu. Andini
sempat mengelak dengan satu loncatan yang sekaligus
berhasil menendang wajah Ekayana.
Tetapi Andini segera terbungkuk karena perutnya te-
rasa perih. Ia memandang bagian perutnya dengan ma-
ta membelalak. Ternyata perut Andini robek beberapa
bagian sekali pun tidak dalam. Ia tak sadar kalau gera-
kan Ekayana itu begitu cepat dalam mempermainkan
pedang, sehingga perut robek pun tak sempat disadari
sebelumnya. Andini mengira Ekayana hendak memo-
tong kakinya.
"Pantas kalau dia dijuluki Pendekar Maha Pedang,"
pikir Kirana dari tempat persembunyian. Ia ingin mem-
beri komentar lain, namun pertarungan Andini dan
Ekayana cukup mengagumkan. Jurus-jurus pedang
Ekayana membuat Kirana terbengong-bengong kare-
nanya.
Kali ini, Andini sengaja menyerang Ekayana dengan
pukulan Bidadari Senja. Ekayana berhasil berkelit sam-
bil bersalto ke samping, dan pukulan itu mengenai batu
setinggi lutut. Batu itu menjadi hitam, hangus, lalu rontok seketika itu. Ada asap mengepul dari batu tersebut.
Andini tak mau tinggal diam. Ia mencari tempat untuk
meniup seruling, namun Ekayana segera melayangkan
tubuhnya seperti burung walet. Pedangnya terarah lu-
rus ke depan. Andini terpaksa berkelit sambil melompat
ke kiri.
"Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Ekayana seraya
memburu Andini dengan bersalto. Tahu-tahu Ekayana
sudah berada di depan Andini. Pedangnya bergerak
membabat ke sana-sini. Andini menghindar dengan me-
liukkan badan, sesekali menangkisnya memakai Serul-
ing Emas. Namun seketika dirasakan kecepatan gera-
kan pedang Ekayana semakin tinggi, Andini segera ber-
guling-guling ke tanah. Ekayana mengejarnya dengan
hentakan-hentakan kaki yang selalu meleset.
Lalu dengan kecepatan luar biasa, Ekayana pun ikut
berguling-guling dengan cepat bagai baling-baling di
rumput. Andini menjaga jarak agar jangan sampai ber-
sentuhan dengan pedang Ekayana.
Dalam satu kesempatan, Andini berhasil lolos den-
gan cara berkelit pada sebatang pohon, lalu melentik ke
atas bersalto beberapa kali. Tubuhnya dapat mendarat
dengan sempurna dan kaki berdiri tegap, sedikit me-
renggang.
"Hah...?! Kurang ajar kau, Maling...!" teriak Andini
setelah mengetahui bahwa semua gaunnya tercabik-
cabik rapi oleh pedang Ekayana. Andini menjadi kebin-
gungan, malu sekali. Tak ada bagian gaun yang masih
tersisa selembar daun talas. Semuanya menjadi robek-
robek. Bagai pakaian pengemis yang tiga tahun tidak
pernah diganti. Tapi Andini merasa kulit tubuhnya tak
ada yang terluka lagi, kendati bagian dadanya ada yang
tersembul ke luar dengan sangat memalukan.
Ekayana tidak memberi kesempatan kepada Andini.
Ia menyerang lagi dengan gerakan seperti monyet berjumpalitan di angkasa. Pedangnya mengibas ke sana si-
ni seakan sedang melindungi dirinya sendiri. Andini
menjaga kemungkinan yang dapat lebih parah lagi. Ia
segera melompat ke atas pohon, dan berlari melesat dari
dahan ke dahan. Hampir saja ia hinggap di pohon tem-
pat persembunyian Kirana.
"Andini...! Jangan lari...! Kau harus bertanggungja-
wab atas perbuatan kejimu, Setan Betina...!" Ekayana
mengejar dengan satu hentakan kaki. Tubuhnya mele-
sat ke atas pohon, dan ia melesat dari dahan ke dahan,
mengikuti arah Andini. Ia berseru memanggil-manggil
Andini dengan kemarahan yang benar-benar tak ter-
bendung lagi.
Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking
dan mendayu-dayu. Kirana terperanjat dan mulai pa-
nik. Ia juga melompat ke pohon yang lain untuk melihat
apa yang terjadi. Pada saat itu, ia melihat Ludiro telah
berdiri di atas pohon dan berseru.
"Ekayana...! Cepat lari...! Jangan mendekat!"
Tapi Ekayana tidak mempedulikan seruan Ludiro.
Sekali pun Ludiro tadi mengejar-ngejar Ekayana, na-
mun pada saat ini, Ludiro merasa kasihan kepada
Ekayana. Ia juga melihat peristiwa malang yang menim-
pa diri Yin Yin. Sebab itu ia bermaksud membantu
Ekayana. Sebab bagaimana pun juga, Ekayana adalah
adik Lanangseta, atasan Ludiro yang selalu harus dija-
ganya.
Tetapi bantuan itu terlambat. Andini telah meniup
Seruling Surga dan Ekayana tetap nekad mendekat. Ke-
tika tubuh Ekayana hendak mendekati Andini, ia ter-
pental dan jatuh ke tanah. Ekayana meringis dan men-
gerang. Bukan karena ia jatuh dari atas pohon tapi ka-
rena suara suling itu mendenging-denging di gendang
telinganya. Ekayana berusaha untuk berdiri, tetapi ia
terkulai lemas.
"Aaakkh... aaakhh...!" Ekayana mulai mengejang dan
menutup kedua telinganya. Ia kelojotan. Suara Seruling
Surga semakin melengking tinggi. Suara erangan
Ekayana berubah menjadi teriakan yang histeris.
Saat itu Ludiro menerjang Andini dengan satu gera-
kan melayang. Tapi Andini masih dengan tenang me-
niup serulingnya, sedangkan Ludiro jatuh terpental dan
nyaris kepalanya terbentur batu di tanah.
"Aaaaahhhkk...!" teriak Ekayana sembari kelojotan
seperti ayam disembelih.
Ludiro tak tega melihat Ekayana seperti dalam kea-
daan sekarat. Segera ia melemparkan senjata raha-
sianya yang berupa mata pisau kecil beracun itu. Aneh-
nya, senjata itu tak pernah mau mengenai tubuh Andi-
ni, sekali pun Andini tetap duduk di dahan dengan te-
nang meniup seruling. Senjata-senjata itu hanya me-
nancap di kanan kiri Andini, bahkan terkadang melesat
entah ke mana.
"Aaaooowww...! Tolooong, aaahhh...!"
Teriakan Ekayana begitu histeris, mengiris hati yang
mendengarnya. Ludiro hendak mendekat dan membawa
kabur Ekayana. Tetapi tiba-tiba Ekayana berteriak me-
lengking menyamai suara seruling, lalu tubuhnya mele-
tus tanpa suara, kecuali suara daging dijebol dan darah
tersembur.
"Ekayanaaaa...!" teriak Ludiro dalam kebingungan.
Tubuh Ekayana seperti nasib Yin Yin, meledak men-
jadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu diraup lagi.
Daging dan tulang yang sebesar jempol kaki itu menye-
bar ke mana-mana, bahkan ada yang menghantam tu-
buh Ludiro beberapa buah. Ludiro berteriak antara ke-
takutan dan jijik. Kengerian apa yang terjadi pada diri
Ekayana benar-benar membuat bulu kuduk pun berdiri
meremang. Kirana berulang kali mengusap tengkuk ke-
palanya dari tempat persembunyiannya. Ia pun tadi
nyaris ikut berteriak sewaktu tubuh Ekayana pecah
menjadi berkeping-keping.
Andini menghentikan tiupan serulingnya. Ia tertawa
melihat Ekayana dan Yin Yin sudah menjadi cuilan-
cuilan mayat tak terawat.
"Mampus semua! Sekarang mampus semua...!"
"Andini...! Sadarlah kamu, Andini...!" Ludiro berseru.
Andini turun dari pohon dan menghadapi Ludiro. Ia
bertolak pinggang dengan masih menggenggam Seruling
Surga itu. Ia tersenyum sinis dan berkata:
"Apakah kau akan menyusul Ekayana dan Yin Yin,
Paman?"
"Andini...?! Iblis mana yang telah merasuk ke dalam
ragamu, hah?! Kejam sekali kau! Kejaaam...!"
"Baiklah, rupanya kau ingin seperti dia juga, Paman!"
Andini siap meniup seruling, tetapi Ludiro segera me-
lemparkan senjata rahasianya.
"Seet...! Seet...! Seet...!"
Tiga senjata berupa mata pisau kecil melesat. Andini
menangkisnya dengan gerakan suling yang mengibas ke
sana sini bagai mainan saja. Senjata itu mental ke bebe-
rapa arah. Ludiro penasaran, ia segera mencabut pe-
dang Jalak Pati. Dengan pedang itu ia menyerang Andi-
ni. Kemarahannya meluap dan gerakannya menjadi liar.
Kasar.
Kirana tidak begitu khawatir, sebab ia tahu Ludiro
orang yang kebal terhadap senjata apapun. Karena itu,
Kirana masih tetap sebagai penonton setia, untuk ke-
mudian dapat menyelidiki di mana letak kekuatan An-
dini dan di mana letak kelemahannya.
"Kubunuh kau kalau tak mau kembali sebagai ma-
nusia...!" teriak Ludiro sambil membabat perut Andini.
Tapi Andini berkelit dengan menggerakkan tubuhnya ke
kiri dan menghadang gerakan tangan Ludiro yang hen-
dak kembali ke tempat semula. Begitu tangan ditarik
mundur oleh Ludiro, Seruling Surga menghentakkan
tulang siku, memukul keras dan membuat Ludiro me-
ringis kesakitan. Saat itulah pertama kali Kirana merasa
cemas terhadap keselamatan Ludiro.
Andini melompat menghindari serangan pedang Lu-
diro. Tapi sebelumnya ia sempat menendang ulu hati
Ludiro dengan keras. Ludiro terjengkang ke belakang,
dan hal itu dipakai untuk lari oleh Andini.
"Aku segan menghadapimu, Paman. Jangan kejar
aku...!"
"Apa pun alasannya, kau harus kukejar, Andini...!"
Ludiro melesat mengikuti arah Andini. Sedangkan
Kirana segera mengikuti mereka karena hatinya berde-
bar-debar, cemas tentang diri Ludiro. Tapi agaknya An-
dini mempunyai kecepatan khusus yang sulit diikuti.
Ludiro sempat kehilangan jejak.
Tetapi pada suatu tempat, ia berhasil melihat Andini
duduk di sebuah batu besar dengan seruling siap diti-
upkan. Langkah Kirana terhenti.
"Paman...! Jangan melawan aku. Aku masih ingat ja-
samu ketika kau menolongku dari racun senjatamu.
Aku masih ingat saat kita menyerbu ke Sendang Bang-
kai. Kuminta, jangan menyerangku, nanti kau celaka
sendiri, Paman. Aku hanya ingin bertemu dengan La-
nangseta dan istrinya...!"
Kirana yang berada di tempat persembunyian mulai
terperanjat kaget. Kini dirinya merasa terlibat dalam
urusan tersebut. Namun ia belum mau keluar. Ia sem-
pat mendengar Ludiro berkata: "Aku tahu, kau ingin
membalas dendam kepada Lanang dan istrinya, karena
cintamu ditolak oleh Lanang, bukan. Terutama pasti
kau dendam kepada istrinya. Tapi ketahuilah, sebelum
kau berhadapan dengannya, kau harus berhadapan
denganku dulu, Andini...!"
"Jangan takabur, Paman Ludiro...! Kau lihat sendiri
betapa mudahnya aku membunuh Ekayana dan Yin
Yin, bukan? Tentunya aku pun akan mudah membu-
nuhmu jika kau menghendaki demikian." Andini terse-
nyum angkuh. "Biarkan aku menghadapi istri Lanang-
seta. Suruh dia ke mari! Suruh Lanang juga ke mari un-
tuk menyaksikan siapa yang terunggul antara aku dan
istrinya! Hah...! Akan kubikin Lanang bertekuk lutut di
hadapanku sambil menangis-nangis memunguti daging-
daging istrinya...!"
"Andini...! Tutup mulutmu!" Ludiro menerjang Andini
dengan gerakan pedang Jalak Patinya. Tetapi sebelum
pedang itu sempat mengenai tangan Andini, tiba-tiba
sekelebat bayangan menyambar pedang Jalak Pati
hingga pedang itu pun terlepas dari pegangan Ludiro.
Ludiro terbengong. Andini tertawa. Seorang perem-
puan berwajah cantik dan anggun memegang pedang
Jalak Pati. Perempuan itu berdiri tepat di antara Ludiro
dan Andini.
"Ap... apa maksudmu, Putri...?!" Ludiro masih serba
bingung. Ia memandang Kirana yang memegangi pe-
dang Jalak Pati sambil tersenyum tipis.
Andini yang belum menyadari siapa Kirana masih
menertawakan Ludiro seraya berkata:
"Paman, Paman... tidak gampang membunuh orang
seperti aku. Buktinya, selalu saja ada orang yang me-
mihak dan membelaku. Kau lihat, sendiri bukan? Tanpa
bergerak, pedangmu sudah bisa dilucuti, dan tanpa
menghindar aku sudah bisa lolos dari jurus pedangmu."
Kirana masih tersenyum dan mempermainkan pe-
dang Jalak Pati seperti mempermainkan sebatang kayu
tanpa arti. Andini tersenyum kepada Kirana, lalu berka-
ta:
"Terima kasih atas pertolonganmu yang tepat waktu,
Teman. Tapi... boleh aku tahu ada urusan apa kau den-
gan lelaki pendek hitam ini?"
"Tidak banyak. Ada sedikit persoalan yang membuat
aku tidak rela jika kau dibunuh atau dilukai olehnya,"
jawab Kirana. Andini semakin bangga dan manggut-
manggut.
"Boleh aku tahu mengapa kau tidak rela dia melu-
kaiku?" tanya Andini seraya melirik Ludiro yang terben-
gong.
"Sebab akulah yang berhak membunuhmu, Ka-
wan...."
Andini mendelik seketika. Jawaban Kirana yang lem-
but sangat mengejutkan hatinya. Ia mulai bergegas pa-
sang kuda-kuda seraya berkata:
"Siapa kau, hah?!"
"Orang yang kau cari! Aku istri Lanangseta."
Sekali lagi Andini mendelik, terperanjat. Mulutnya
bagai kelu, tangannya sedikit gemetar.
Kirana tetap tenang dan tidak menampakkan kema-
rahannya. Ia bahkan berkata:
"Kau tidak ingat dengan wajahku? Kau lupa, Andi-
ni?"
Andini menggeragap sebentar, lalu segera berkata
dengan angkuh:
"Maaf, terhadap perempuan jalang aku memang
gampang lupa." Ia menyunggingkan senyum sinis. Kira-
na membalas.
"O, ya. Aku memaklumi. Perempuan yang rakus lela-
ki memang sering lemah ingatannya."
"Puihh...!" Andini meludah dengan gemas. "Rupanya
kau sudah tak sabar menunggu saat kematianmu, ya?"
"Sangat tak sabar, Kawan...! Sampai-sampai aku ter-
paksa melukaimu lebih dulu... Ciaaat...!"
Kirana menendang dengan tendangan miring, dan
Andini tak sempat mengelak. Dadanya terhentak bagai
kejatuhan benda besar dan berat. Andini sempat terba-
tuk-batuk. Dan Kirana tak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Ia segera memukul dengan sikutnya dan mengenai
tengkuk kepala Andini. Andini semakin sempoyongan
dan mengaduh tertahan. Gerakan kepala Andini yang
menunduk segera didongakkan oleh Kirana dalam satu
tendangan beruntun sambil Kirana melompat dan ber-
salto ke belakang.
"Paman... bawa pedangmu dan cari Lanang...!" teriak
Kirana seraya melemparkan pedang Jalak Pati.
"Aku di sini, Sayang...!" seru suara di atas pohon.
"Lanang...!" panggil Ludiro. Ia segera menyusul La-
nang yang bertengger di atas pohon. Ludiro memberi la-
poran tentang Ekayana dan Yin Yin yang menjadi kor-
ban Seruling Surga. Lanangseta merah mukanya. Ter-
bakar darahnya. Ia hendak turun menghajar Andini, te-
tapi Ludiro mencegahnya.
"Beri kesempatan kepada istrimu untuk menunjuk-
kan harga dirinya di depan perempuan seperti Andini
itu...!"
"Bangsat memang Andini itu! Kukira istriku lari ke
Pulau Kramat mencariku, ternyata ada di sini menerima
penghinaan yang memuakkan...!" Lanangseta gemetar
karena menahan kemarahan. Tetapi ia sengaja menya-
barkan diri untuk memberi kesempatan kepada Kirana.
Andini tampak terdesak dan dari tadi tidak mempu-
nyai kesempatan menyerang Kirana. Gerakan Kirana
cukup cepat dan tepat. Kali ini ia memutar dengan satu
tendangan mengenai rahang Andini. Andini masih ber-
tahan. Ia hendak melayang mundur, tetapi Kirana su-
dah lebih dulu memukul pinggangnya tiga kali dengan
gerakan cepat.
"Aaakkhh...!" Andini menjerit. Tangan kanannya ter-
luka dalam, nyaris putus. Ia segera mendekapnya sam-
bil menangis kesakitan.
Tak ada jalan lain baginya untuk melawan Kirana,
kecuali kabur. Memancingnya agar Kirana mengejar
sampai ke Pulau Kramat. Dan di sana Andini mempu-
nyai dua andalan, yaitu Nyai Katri dan Indra Mada.
Pancingan Andini berhasil. Kirana mengejarnya, de-
mikian juga Ludiro dan Lanangseta.
"Jangan ikut campur, Lanang!" teriak Kirana. "Ini
bagianku...! Biarkan aku mendidiknya bagaimana ia ha-
rus mati secara cepat!"
Darah dari luka di lengan Andini banyak yang me-
netes keluar. Ia bermaksud berhenti untuk mencoba
meniup seruling yang masih di genggam di tangan ki-
rinya. Tetapi Kirana menyerang dengan tendangan ber-
ganda, kedua kakinya melayang ke punggung Andini,
lalu menjejak secara beruntun, dan setelah itu ia salto
ke belakang, berdiri tegak lagi.
Andini tak sempat memekik, karena ia memuntah-
kan darah kental dari mulutnya. Kirana segera menarik
rambut Andini dan menghantam pelipisnya dengan ke-
ras, sehingga Andini menjerit keras sekali. Darah keluar
dari kedua telinganya. Kirana tidak peduli. Ia hanya
berseru kepada Andini:
"Aku istri Lanangseta...! Kau katanya ingin mengha-
dapiku, hah? Ayo... hadapi aku...! Tunjukkan keheba-
tanmu di depan Lanangseta. Itu dia ada di sebelah sa-
na, menunggu kehebatanmu keluar. Ayo...!"
Tanpa diduga-duga, sebuah pukulan jarak jauh
menghantam punggung Kirana. Untung ia segera ber-
jumpalitan di tanah sehingga hawa panas yang datang
menyerangnya dari belakang itu menghantam pohon di
samping Andini. Pohon tersebut somplak bagai tersam-
bar petir.
Seorang perempuan muncul bersama seorang lelaki
bermata kebiruan. Dialah Nyai Katri dengan Indra Ma-
da. Kirana segera berdiri menyerang Nyai Katri dengan
tendangan tipuan. Dan Nyai Katri melancarkan pukulan
Brama Pati, berupa gumpalan api yang menyerang Ki
rana. Kirana berkelit menggulingkan badan ke arah kiri,
dan sebuah pukulan Racun Mayat Seribu meluncur da-
ri jari-jari Kirana, yaitu berupa jarum-jarum beracun
berwarna hitam dan jumlahnya cukup banyak.
Indra Mada segera meraih daun lembar, lalu meng-
hadang daun itu di depan Nyai Katri. Jarum-jarum be-
racun menancap semua pada daun tersebut. Kemudian
daun itu dilemparkan ke arah api dari pukulan Nyai Ka-
tri, dan terjadilah ledakan yang membahana dan sangat
mengguncangkan bumi. Pada saat itu Nyai Katri bersiap
untuk melancarkan tendangannya ke arah Kirana, teta-
pi Indra Mada justru menangkis tendangan Nyai Katri
sendiri sehingga membuat Kirana bingung seperti orang
linglung.
Rupanya pada saat itu Andini menggunakan kesem-
patan untuk meniup Seruling Surga. Saat-saat terakhir
baginya, ia berusaha meniup seruling itu dan berhasil.
Nyai Katri dan Indra Mada tercengang kaget dan saling
berpandangan.
"Aaauuh...!" Kirana menjerit dan menutupi kedua te-
linganya. Lanangseta segera mencabut Cambuk Naga
dan melecutkan ke arah Andini.
"Taaar...!"
Lecutan itu membuat Andini mengejang dengan leher
robek dan menyemburkan darah. Nyai Katri menjerit
keras:
"Andiniiii...?!" Ia ingin menghambur memeluk Andini
yang sekarat. Namun Cambuk Naga sekali lagi melecut
di udara dan ujungnya terarah ke punggung Nyai Katri.
"Taarr...!"
"Blegaaar...!" Sebuah sinar warna ungu keluar dari
mata Indra Mada. Sinar itu tepat mengenai ujung cam-
buk sehingga menimbulkan ledakan yang cukup dah-
syat dan membuat Nyai dan Kirana tersungkur jatuh.
Kirana bergegas menyerang Indra Mada dengan satu
pukulan tangan kanannya. Indra Mada diam saja, dan
terjungkal ke belakang akibat dadanya terkena pukulan
itu. Lalu Kirana menginjak leher Indra Mada dengan ke-
ras dan kuat. Indra Mada tetap diam saja.
"Kau terpaksa harus kubunuh, Orang asing...!" ge-
ram Kirana seraya menggencet leher Indra Mada dengan
kakinya kuat-kuat. Tetapi Indra Mada bahkan menge-
lus-elus kala Kirana dengan senyum yang menggoda.
Kirana heran dan tak habis pikir. Lalu ia melepaskan
injakan kakinya. Matanya memandang penuh kehera-
nan pada Indra Mada. Indra Mada bangkit dalam kea-
daan segar bugar.
Pada saat itu Nyai Katri marah melihat Indra Mada
diinjak begitu. Ia menyerang Kirana dengan pukulan
andalannya. Kirana tak sempat mengelak. Tapi tangan
Indra Mada dengan gesit dan gerakan yang tak terlihat
mata, telah mampu menangkis pukulan Nyai Katri.
Bertepatan dengan itu, Lanangseta melayang dan
menyerang Nyai Katri dari belakang. Pedang Wisa Kobra
terhunus Ia pun berseru:
"Mampus, kau Nyai Sendang Bangkai...! Heaaatt...!"
Indra Mada melompat ke belakang Nyai Katri. Den-
gan sigap ia mengayunkan kedua tangannya tepat pa-
da-saat Lanangseta menghantamkan pedangnya ke
punggung Nyai Katri. Pedang itu meleset dan masuk di
antara kedua telapak tangan Indra Mada. Terjepit rapat
dan kuat sehingga Lanangseta terheran-heran melihat
pedangnya ada yang mampu menahan dengan jepitan
kedua telapak tangan yang menghimpit. Lanang ingin
mencabut pedangnya, namun susah.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Lanangseta.
Indra Mada menjawab, "Hentikan pertarungan ini!"
Ludiro penasaran. Cambuk Naga sudah diserahkan
ke tangannya, dan ia melecutkan ke arah Indra Mada.
Dengan gesit dan tangkas Indra Mada meraih lenturan
cambuk itu dengan kaki kanannya. Cambuk melilit,
Ludiro menarik, Indra Mada mempertahankan dengan
tangan masih tetap terangkat di atas kepala, menjepit
pedang Wisa Kobra.
"Hentikan pertarungan ini atau kubunuh semuanya,
tanpa kecuali...!" serunya.
"Jaka...! Mereka telah membunuh Andini! Lihat, ia
terkapar tak bernyawa lagi, Jaka...." kata Nyai Katri.
"Andini menyalahi janjinya. Ia telah menggunakan
ilmu untuk dalih dendam dan kesombongan. Lihat, Se-
ruling Surga itu ia curi dan ia gunakan sebagai seruling
kematian! Ia sudah layak mendapat ganjaran seperti
itu."
"Siapa dia sebenarnya, Nyai...?" tanya Lanangseta
kepada Nyai Katri seraya menuding Indra Mada. Tapi,
jawab Nyai Katri:
"Dia... temanmu sendiri: Jaka Bego...."
"Hah...?!" semuanya terbengong. Semuanya melom-
pong. Semuanya membelalakkan mata memandang In-
dra Mada.
"Kau... kau Jaka Bego...?!" tanya Kirana yang men-
dekat.
Indra Mada nyengir dan menjawab, "Iya... tapi itu
dulu, sebelum diriku yang sebenarnya ketahuan begi-
ni...."
"Gila kau, Jaka...?! Aku masih belum bisa percaya!"
seru Ludiro.
"O, itu terserah Paman...?! Tapi inilah kenyataan
yang tak dapat kuelakkan lagi."
Nyai menambahkan: "Dia sebenarnya seorang de-
wa...."
"Dewa...?!" serentak mereka terbengong lagi.
"Yaah... mudah-mudahan dipercaya omonganmu,
Nyai," kata Indra Mada. Nyai melanjutkan:
"Dia bernama Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi. Ia
datang untuk mencari ayahnya, yaitu dewa Bhirawa
Mada yang bergelar Si Tongkat Besi...."
"Hahh...?!" serentak semua memekik begitu.
"Kalian benar-benar kaget atau hanya meledek
aku?!" kata Indra Mada yang mulai kelihatan gaya Jaka
Begonya.
"Tongkat Besi...?" gumam Lanangseta.
"Sudah kuduga kau pasti mengenalnya, Lanang.
Hanya saja selama ini aku belum sempat menanyakan-
nya kepadamu."
"Aku sangat kenal dengan dia, sebab... sebab dia
adalah guruku...."
"Hah...?!" Indra Mada mendelik.
Lanang berkata: "Sekarang kau yang terkejut dan
meledekku?"
"Setahuku, ayahku tidak akan mempunyai murid ka-
lau murid itu tidak bisa membunuhnya." kata Indra
Mada sambil tangannya masih menjepit pedang Wisa
Kobra.
"Benar," jawab Lanang. "Dan aku telah ditipu oleh
Tongkat Besi. Semua ilmunya diturunkan kepadaku, se-
telah selesai menurunkan ilmu, aku dijebak untuk
membunuhnya. Aku tidak mau dan sangat tak tega.
Tapi... dia benar-benar pandai menjebak, sampai akhir-
nya... aku yang berhasil merobek perutnya dengan pe-
dang ini...."
"Kau...?!" Indra Mada membelalak dan berteriak.
"Dia bahkan berterima kasih kepadaku, ladu mem-
beriku gelar: Malaikat Pedang Sakti...!"
"Ayahku...." Indra Mada termenung. "Itu gelar ayah-
ku...."
"Dia memberikan gelar itu sebagai tanda ucapan te-
rima kasih padaku, sebab sudah lama ia ingin mati...."
"Ayahku...." Indra Mada berbengong sendu.
"Maaf, boleh kusarungkan pedang ini," kata Lanang.
Indra Mada melepaskan jepitan kedua telapak tan-
gannya. Lanang memasukkan pedang ke sarung. Se-
mua ikut sendu dan murung. Lalu Indra Mada meme-
gang Lanangseta dan berkata pelan, namun serius:
"Kau, Lanang... kau pengganti ayahku... Kau penjel-
maan ayahku yang bergelar Malaikat Pedang Sakti...!"
Lanang kebingungan tak tahu apa yang harus dika-
takan. Tapi ia tetap berkata kepada Kirana, "Apakah
aku pantas punya anak segede dia...?"
Kirana tersenyum. "Kita sedang mencicil membuat-
nya, bukan?"
Ludiro yang tertawa lebih dulu, ladu yang lainnya
ikut tertawa. Pada kesempatan itu, Indra Mada menje-
laskan persoalan Nyai Katri yang ingin menebus dosa-
dosanya selama ini dengan mengabdi kepada kebenaran
dan selalu siap menolong siapa pun yang berada dalam
kesusahan. Lalu mereka pun membicarakan tentang Is-
tana Langit Perak yang belum diketahui akan diguna-
kan untuk apa harta sebanyak itu. Yang pasti mereka
sepakat untuk sama-sama saling menjaga harta terse-
but, dan sama-sama saling menjalin kedamaian demi
perjalinan kasih di antara sesama.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar