..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 13 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE SERULING KEMATIAN

matjenuh

 

SERULING KEMATIAN

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga 

episode Seruling Kematian 

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.0191.50.12


1

PENDEKAR Maha Pedang tersentak ke belakang, ka-

rena kaki kiri Ludiro menendangnya dengan tendangan 

samping tanpa melompat. Sekali pun sedikit terhuyung-

huyung, namun Pendekar Maha Pedang berhasil me-

nangkis pukulan Ludiro berikutnya. Tangan kanan Lu-

diro menyusul ke arah wajah Pendekar Maha Pedang. 

Genggaman tangan itu ditangkap oleh telapak tangan 

Pendekar Maha Pedang. Kuat dan kokoh, sehingga Lu-

diro sukar menarik tangannya kembali.

"Jangan memusuhi aku, Paman Ludiro. Nanti salah 

satu dari kita ada yang celaka."

"Sebab itu, kau jangan menentang aku, Ekayana. 

Kalau kau masih menentangku, kau sendiri yang akan 

celaka di tanganku. Hiiaat...!" Ludiro segera mengi-

baskan kakinya dalam tendangan memutar. Tangan 

Ekayana yang menangkap genggaman tangan Ludiro 

terlepas karena bergerak ke kiri untuk menangkis ten-

dangan putar itu. Begitu kaki Ludiro yang kiri memben-

tur lengan Pendekar Maha Pedang, kaki kanannya sege-

ra memutar ke kanan dan mengenai pundak lawan.

Ekayana, atau Pendekar Maha Pedang terlempar ke 

samping. Tubuhnya membentur pohon dan nyaris me-

nerjang Yin Yin yang berdiri dengan cemas di samping 

pohon tersebut.

Ludiro berhenti menyerang. Mengatur pernafasan, 

membiarkan Ekayana berdiri tegak memandang Mahani 

yang ada di belakang Ludiro.

"Ekayana...! Sekali lagi ku tegaskan, atas perintah 

Pendekar Pusar Bumi, kakakmu itu, nona Yin Yin, ke-

kasihmu, harus diserahkan kembali kepada ayahnya, 

Laksamana Chou, sebagai penukaran Cambuk Naga 

yang dicurinya!"



"Tidak!" seru Yin Yin seraya memegangi lengan 

Ekayana. "Aku tidak mau kembali kepada ayahku! Aku 

tidak mau!"

"Sabar, Yin Yin. Tenang saja...." bisik Ekayana.

"Ini perintah dari kakakmu, Ekayana!" kata Ludiro.

"Perintah itu sangat berat, Paman. Aku mencintai Yin 

Yin, dan Yin Yin pun tak bisa dipisahkan dari diriku...."

"Tapi, Laksamana Chou membabi buta akibat anak-

nya kau larikan, Ekayana. Cambuk Naga dicurinya se-

bagai sandera."

"Itu tidak ada hubungannya dengan kami, Paman," 

bantah Ekayana yang mempunyai wajah serta potongan 

tubuh sama persis dengan Lanangseta, si Pendekar Pu-

sar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti.

"Bagaimana bisa kau katakan tidak ada hubungan-

nya dengan kalian? Bukankah kemarahan Laksamana 

Chou itu akibat perbuatanmu; melarikan anak gadisnya 

sampai sekarang? Dan dia ingin anak gadisnya kau 

kembalikan, Eka. Jika Yin Yin tidak dikembalikan ke-

pada ayahnya, maka Cambuk Naga warisan bekas ke-

kasih Lanangseta itu tidak akan kembali di tanganku. 

Dan... terus terang saja, Eka... bahwa Cambuk Naga 

merupakan pusaka dalam tanggung-jawabku dan La-

nangseta. Jadi, Lanang pun merasa bertanggung-jawab 

jika sampai Cambuk Naga hilang dan dikuasai orang 

lain. Sebab itu, pulangkan Yin Yin pada orang tuanya, 

Ekayana. Jangan memaksa Lanangseta marah kepada-

mu. Justru ia memerintahkan agar kamu juga ikut be-

rupaya merebut kembali Cambuk Naga dari tangan 

Laksamana Chou...!"

"Kalau aku mempertahankan Yin Yin, bagaimana?" 

kata Ekayana sambil merangkul Yin Yin, menampakkan 

kesetiaannya.

"Aku berhak memaksamu, Ekayana. Dan mungkin 

juga kakakmu, Lanangseta itu, akan datang mengha


jarmu."

Yin Yin menyahut: "Biarkan dia datang! Biarkan La-

nangseta menemui kami. Aku ingin tahu seberapa tinggi 

ilmunya itu? Apakah ia bisa menandingi Ekayana, ka-

sihku ini? Huhh...! Dia belum tahu kesaktian Ekayana 

yang baru! Bisa-bisa ia akan lari terbirit-birit kalau 

Ekayana sudah menggunakan jurus pemberianku, ju-

rus Pukulan Tangan Setan...! Hemm...!" Yin Yin menci-

bir. Pada saat itu, Mahani menggeram, merasa benci 

mendengar kata-kata Yin Yin yang sombong, apalagi 

bersifat mengecilkan dan meremehkan Lanangseta, 

uuh... Mahani menjadi benci sekali. Ia meludah terang-

terangan seraya memandang sinis kepada Yin Yin. Ga-

dis Cina itu melototkan matanya, menahan kemarahan 

kepada Mahani.

Ludiro segera berkata kepada Ekayana, "Ekayana, 

jangan salahkan aku kalau kau sampai terluka oleh 

tanganku, jika Yin Yin tidak kau kembalikan kepada 

Laksamana Chou!"

"Paman, demi cinta, aku akan mempertahankan Yin 

Yin dari tangan siapa pun yang akan merebutnya...!"

"Baiklah...." Ludiro memasang kuda-kuda dengan

meregangkan kaki dan merendahkan badan, tangan 

kanannya mengepal di depan pelipisnya dan tangan kiri 

berada terjulur ke depan, siap memukul.

"Akan kulumpuhkan kau, Ekayana, supaya kau tahu 

betapa pentingnya Cambuk Naga bagiku dan bagi La-

nangseta!"

"Dan akan ku pertahankan Yin Yin supaya Paman 

dan Lanang tahu bahwa aku sangat mencintainya...!" 

ujar Ekayana seraya bersiap menghadapi serangan Lu-

diro.

Ludiro berlari menerjang Ekayana, "Ciaaaaat...!"

Ekayana menangkis pukulan tangan kanan Ludiro 

dengan kibasan tangan kirinya ke samping, lalu tangan


kanannya ganti menangkis pukulan Ludiro berikutnya. 

Agaknya Ludiro mempercepat gerakan tangannya untuk 

menyerang, dan Ekayana dengan tenang bagai tanpa 

emosi marah dapat menangkis setiap pukulan Ludiro 

secepat apa pun.

"Huup... huup...! Heeahh...!"

"Uuh...! Hiaaat...! Hiiiat...! Mampus kau, Ekayana!" 

Sukar sekali bagi Ludiro untuk menghantam dada, pe-

rut maupun wajah Ekayana. Gerakan tangan Ekayana 

dalam mengimbangi pukulan Ludiro sungguh cepat. 

Keduanya seakan sedang mengadu kekuatan tangan 

dan lengan mereka dengan kecepatan yang tinggi.

Sementara itu, mereka berdua tidak tahu bahwa Yin 

Yin yang merasa dongkol itu mendekati Mahani dengan 

pandangan mata sipitnya yang menajam bagai kucing 

betina. Mahani mundur beberapa langkah, lalu men-

gambil sebatang kayu berujung runcing. Nafasnya te-

rengah karena dilanda benci.

"Kau memang Babi busuk...!" geram Yin Yin dengan 

mata mendelik.

"Kau perempuan yang tidak punya kehormatan sama 

sekali!" balas Mahani. Sekali pun ia tidak mempunyai 

ilmu silat, tetapi ia mempunyai keberanian yang bersifat 

nekad. Ia bahkan berani meludahi wajah Yin Yin setelah 

berkata: "Berani mendekatiku, kuhantam kau dengan 

kayu ini, Bangkai busuk! Cuuihh...!"

Darah Yin Yin seperti mendidih seketika setelah Ma-

hani terang-terangan meludahi wajahnya. Gaun biru 

yang dikenakannya dipakai untuk mengusap ludah 

Mahani, dan kini ia menyerang Mahani dengan satu 

tendangan kaki kanannya.

Mahani tidak tahu, kapan ia harus menghindar dan 

kapan saatnya untuk memukul. Yang ia tahu, begitu 

kaki Yin Yin maju menendangnya, ia pun menghantam-

kan kayu sebesar betisnya ke telapak kaki Yin Yin itu.


Namun, Yin Yin mempunyai kekuatan yang terlatih, se-

hingga benturan kaki dengan kayu itu justru membuat 

Mahani tersentak mundur. Ia limbung dan hampir ja-

tuh. Yin Yin segera memanfaatkan keadaan itu untuk 

memukul wajah Mahani keras-keras.

"Aaauuww...!" Mahani menjerit kesakitan.

"Matilah kau, Betina jalang...! Ciiaaat...!"

Yin Yin menendang payudara Mahani dengan keras. 

Mahani menjerit kesakitan, lalu sukar bernafas. Namun 

ia masih berusaha memegangi kayu itu untuk menung-

gu saat yang baik. Tapi sayang, kali ini Yin Yin menen-

dangnya lebih keras lagi, sampai-sampai ia terpental 

dan kepalanya terbentur akar pohon yang besar. Pan-

dangan Mahani menjadi gelap dan berkunang-kunang.

Yin Yin mengangkat sebuah batu besar, dan hendak 

menjatuhkan ke kepala Mahani, tapi Mahani mempu-

nyai sedikit kesadaran. Ia menghantamkan kayunya ke 

lutut Yin Yin.

"Aaauuhh...!" Yin Yin mengaduh, dan batunya terle-

pas menjatuhi dada Mahani sehingga Mahani pun men-

delik seketika. Nafasnya sukar dihela. Tubuhnya berke-

lojot, mulut ternganga tanpa bisa berkata sedikit pun. 

Dengan kegemasan dan kemarahan yang makin me-

luap, Yin Yin menginjak leher Mahani sekuat-kuatnya. 

Sangat kuat, sehingga tubuh Mahani pun terkulai le-

mas dengan lidah terjulur ke luar bercampur darah se-

gar dari mulutnya.

Ekayana dan Ludiro tidak tahu apa yang dilakukan 

Mahani dan Yin Yin. Mereka sibuk bertarung sendiri. 

Ekayana repot menangkis dan bertahan dari serangan 

Ludiro. Ia memang sejak tadi hanya bertahan, belum 

memberikan serangan balasan. Sedangkan Ludiro, 

sempat merasa heran, karena sejak tadi hanya bebera-

pa kali saja ia berhasil memukul dan menendang 

Ekayana. Itu pun tendangan dan pukulan yang boleh


dikata tidak berarti. Pendekar Maha Pedang ini memang 

cukup ulet. Ludiro mengakuinya. Namun demikian ia 

tetap berusaha menyerang dan menyerang terus sampai 

suatu saat nanti Ekayana merasa terpojok dan menye-

rahkan Yin Yin sebagai alat penebus Cambuk Naga. Ta-

pi sampai kapan Ludiro harus menunggu dan mencari 

kesempatan itu?

Sedangkan jauh di seberang sana dari tempat mere-

ka bertarung, ada sepasang insan yang asyik melaku-

kan pembicaraan dalam kemesraan. Sepasang insan itu 

adalah Indra Mada dengan Nyai Katri.

Seperti telah dikisahkan dalam cerita sebelumnya 

(ISTANA LANGIT PERAK), bahwa Nyai Katri, Penguasa 

Pulau Kramat itu telah kehilangan seluruh kesaktian-

nya bersama Andini, karena mereka terbius oleh ilmu 

Asmara Pasak Dewa yang dimiliki Jaka Bego. Kedua pe-

rempuan sakti berilmu tinggi itu telah menjadi perem-

puan biasa tanpa tenaga dalam dan ilmu silat sedikit 

pun, semenjak mereka melakukan hubungan badan 

dengan Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Namun 

sebenarnya Jaka Bego adalah putra dewa. Ia mengaku 

bernama Indra Mada, mempunyai jabatan sebagai Dewa 

Seribu Mimpi. Jaka Bego yang kurus kerempeng dan 

dekil itu telah merubah diri sejak ia diberi minuman 

madu dan ramuan khusus dari Nyai Katri. Maksudnya 

hanya untuk mengembalikan tenaga dan kejantanan 

Jaka Bego, sebab sejak saat itu Nyai Katri dan Andini 

syarafnya telah bernaluri birahi tiada henti. Itu pun ju-

ga akibat ilmu Pasak Dewa dari Jaka Bego. Dan ketika 

Jaka Bego telah berubah menjadi pemuda tampan, ke-

kar dan berkulit bersih lembut itu, maka Nyai Katri pun 

semakin terpikat. Dan akhirnya ia membujuk agar In-

dra Mada mau mengembalikan kekuatan Nyai seperti 

dulu. Nyai Katri menjanjikan suatu hadiah yang luar 

biasa jika Indra Mada mau mengembalikan kesaktian


dan kekuatan Nyai seperti semula. Hadiah tersebut ada-

lah setumpuk harta karun hasil bajakannya dulu, di 

mana ketika itu Nyai Katri menjadi ratu bajak laut yang 

paling ditakuti. Harta karun yang berlimpah-limpah dan 

menjadi incaran Laksamana Chou tersebut berada di 

sebuah tempat yang bernama Istana Langit Perak.

Indra Mada ingin membuktikan Istana Langit Perak 

beserta timbunan harta karunnya. Sebab itu, Nyai Katri 

pun membawa Indra Mada ke suatu tempat, jauh di ke-

dalaman air laut, di sebuah goa yang ternyata dalamnya 

berisi sebuah bangunan raksasa terbuat dari emas, 

permata dan logam berharga lainnya. Langit-langit 

atapnya terbuat dari lempengan perak berhiaskan batu-

batu jamrud maupun topaz.

Pada waktu itu sebenarnya mereka dikejar oleh La-

nangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bermaksud mem-

bebaskan Jaka Bego dari tawanan Nyai Katri. Lanangse-

ta belum mengetahui bahwa Jaka Bego telah berubah 

menjadi diri sebenarnya, yaitu Indra Mada, Dewa Seribu 

Mimpi. Tetapi dalam pengejaran di kedalaman air itu, 

Lanangseta tertinggal oleh mereka, sehingga Indra Mada 

dan Nyai Katri dapat masuk ke dalam goa dan bersem-

bunyi di dalam Istana Langit Perak yang berlimpah 

emas permata di dalamnya.

Untuk mengembalikan kesaktian Nyai Katri yang su-

dah terlanjur diserap oleh kekuatan ilmu Asmara Pasak 

Dewa, ia harus melakukan Semadi Serap bersama Jaka 

Bego atau yang telah merubah diri menjadi Indra Mada 

itu.

Semadi Serap adalah suatu kegiatan bertapa yang 

unik. Dalam bertapa itu, Nyai Katri harus mau mera-

patkan badannya ke tubuh Indra Mada dalam keadaan 

berhubungan tanpa gerak. Hal itu, dikatakan oleh Indra 

Mada, harus dilakukan selama 40 hari. Nyai Katri sang-

gup, bahkan kegirangan, sebab naluri sexnya sudah ter


lanjur meracuni jiwa. Tetapi Indra Mada sendiri mem-

punyai pertimbangan lain.

"Waktu empat puluh hari cukup lama, Nyai...."

"Tapi apa. Aku sanggup, sekali pun harus melaku-

kannya selama seratus hari," ujarnya seraya tersenyum-

senyum dengan tangan mulai meraba ke daerah terten-

tu pada tubuh Indra Mada.

"Aku yang tak sanggup selama itu," ujar Indra Mada.

"Kau tak sanggup? Ah, bohong!"

"Aku perlu waktu. Aku harus segera menemui La-

nangseta dam menanyakan di mana ayahku, Dewa Bi-

rawa Mada. Sebab seperti yang pernah kukatakan, aku 

mencium bau darah Dewa jika berdekatan dengannya."

Nyai Katri berwajah sendu, "Jadi kau tidak akan me-

lakukannya, Jaka?"

"Aku harus mempertimbangkan lebih masak lagi, 

Nyai...." kata Indra Mada yang masih dipanggil Jaka 

oleh Nyai Katri.

Indra Mada melangkah menyusuri ruangan berlantai 

emas batangan, mendekati tumpukan harta perhiasan 

yang ada di salah satu kamar. Perhiasan itu menggu-

nung, hampir menyentuh langit-langit kamar. Menyi-

laukan sekali.

Nyai Katri, yang bertubuh sekal, tidak gemuk namun 

padat dan menggiurkan itu masih saja mengikuti ke 

mana Indra Mada berjalan. Nyai Katri yang bergaun ti-

pis sekali itu seakan tak ingin berpisah dengan Indra 

Mada. Sebab dalam diri Indra Mada itulah ia menemu-

kan puncak kebahagiaan yang luar biasa dan mem-

buatnya terbius dalam birahi menggila. Saat ini ia sedi-

kit cemas, takut kalau-kalau Indra Mada tidak mau 

membantunya melakukan Semadi Serap.

"Jaka... aku ingin sekali menjadi orang seperti dulu, 

sebelum kesaktianku dan kekuatanku kau serap den-

gan ilmu Pasak Dewa mu. Tolonglah, Jaka. Bukankah


aku sudah berjanji untuk memberikan semua harta 

yang ada di sini, jika kau mau mengembalikan ilmu dan 

kekuatanku itu? Aku berkata dengan sungguh, Jaka. 

Aku tidak bohong!"

Indra Mada tersenyum. Wajahnya yang tampan den-

gan rambut ikal bergelombang dan mata kebiru-biruan 

itu membuat Nyai Katri sesekali mengecup lengan, atau 

punggung atau apa saja yang ada pada tubuh lelaki 

menawan itu. Tetapi Indra Mada seperti sedang mem-

permainkan asmara Nyai Katri. Ia tetap tenang, meneliti 

beberapa perhiasan, kalung, gelang, mahkota, kancing 

emas dan lain sebagainya yang tertumpuk di beberapa 

kamar. Sepatu dan piring emas pun ada.

"Sangat mengagumkan barang-barang ini," kata In-

dra Mada seraya mengambil beberapa batang dan di-

amatinya.

"Ini kukumpulkan beberapa puluh tahun la-

manya...?"

"Hasil suatu bajakan?"

"Hasil beberapa ratus kali bajakan." Nyai setengah 

meralat kata-kata Indra.

Indra Mada menggumam dan menggeleng pelan.

"Apakah selama ini tak ada orang yang dapat meng-

gagalkan perampokan mu, Nyai?"

"Tak satu pun ada yang bisa mengalahkan aku, Ja-

ka. Aku punya banyak ilmu dan kesaktianku pun tiada 

taranya. Maka dengan mudah ku bantai mereka untuk

kuambil hartanya, lalu kusimpan di sini. Suatu persia-

pan untuk membangun negara yang kokoh dari keturu-

nan ku yang akan berujud manusia luar biasa nan-

tinya." Nyai Katri menerangkan apa adanya.

Indra Mada memandang Nyai yang bergelayutan di 

pundak dan sesekali mengecup pundaknya.

"Satu kebrutalan yang kejam, Nyai. Apakah selama 

ini kau tidak menyadari bahwa tindakanmu itu lebih


dari pada kebengisan iblis?"

Indra Mada semakin sendu dan murung. Indra Mada 

membiarkan Nyai tidak menjawab. Ia berjalan ke kamar 

yang lain dan Nyai masih menempel di lengannya terus 

kendati ada perasaan tak senang mendapat kecaman 

seperti itu.

"Berapa juta nyawa yang melayang ditikam keke-

jianmu? Berapa banyak darah yang membanjir dari ge-

rakan tanganmu? Dan berapa ratus ribu anak yang ter-

lantar karena orang tuanya mati oleh kekejamanmu, 

Nyai?"

"Jaka... sudahlah, itu masa lalu ku."

"Ya. Itu memang masa lalu mu, Nyai. Tetapi maukah 

kau merenungkan bagaimana jika turunan mereka saat 

ini datang kepadamu dan menuntut atas kematian ke-

luarganya?"

"Satu dari mereka sudah cukup untuk membunuhku 

saat ini. Tak perlu semua. Kuakui, aku sudah menjadi 

sampah di bumi ini. Dan, aku berjanji akan memper-

baiki hidupku yang selama ini sesat jika ilmuku yang 

hilang kudapatkan lagi...." ucapan itu lirih, namun 

membuat Indra berpaling memandang dengan serius.

"Kau punya niat begitu?!" Indra sangsi dalam kekage-

tannya. Nyai Katri mengangguk, bagai sedang dihunjam 

selaksa penyesalan yang amat dalam.

"Kehadiranmu membuat hati sanubari ku berkata, 

bahwa ternyata masih ada orang yang lebih tinggi il-

munya dari ilmu yang kumiliki. Bahwa di dunia ini ti-

dak ada orang yang mempunyai kekuatan paling un-

ggul. Dari yang paling unggul, ternyata ada yang te-

runggul lagi. Dari yang terunggul, toh masih ada yang 

paling terunggul dan begitu seterusnya. Selama ini aku 

belum pernah berpikir begitu, Jaka. Sehingga, aku per-

caya, bahwa aku akan bisa berjalan dengan lurus, tan-

pa tersesat, sekalipun aku mempunyai kesaktian seperti


dulu."

"Kenapa kau berpendapat begitu?"

"Karena... karena kau akan mampu menuntun ku, 

bukan?"

Indra Mada menghela nafas. "Apakah kau yakin aku 

akan selalu dekat denganmu?"

"Apakah kau akan meninggalkan aku?"

"Aku dewa. Tempatku bukan di sini, di Suralaya."

"Dan kau akan kembali lagi ke sana tanpa memba-

waku serta, Jaka? Kau tega meninggalkan aku di sini?" 

Nyai Katri memandangnya. Mata yang bulat bening itu 

bagai menyerukan keluhan serta ratapan hati Nyai yang 

memilukan. Hati Nyai Katri terharu.

"Nyai.... Kalau toh aku harus mendampingimu, aku 

tak bisa hadir di setiap saat. Setelah aku menemukan 

ayahku, aku harus kembali ke Suralaya sebagai Dewa 

Pengatur Mimpi."

"Dan kau bisa hadir dalam mimpi ku setiap malam, 

bukan?"

Indra Mada tersenyum.

"Kau bisa, kan?" desak Nyai.

"Hadir dalam mimpi, itu suatu pekerjaan yang mu-

dah, Nyai. Tetapi kau akan bosan jika aku harus hadir 

dalam mimpi terus-menerus."

"Jadi, bagaimana kalau aku rindu? Dan bagaimana 

kalau kau merindukan aku?"

"Kau bisa tanyakan kepada rembulan...."

"Kepada rembulan...?!"

Jaka Bego yang sudah ganteng itu mengangguk. Se-

nyumnya mekar bersama tatapan mata kebiruan yang 

teduh itu.

"Mungkin aku akan datang selama tujuh hari menje-

lang dan sesudah bulan purnama tiba. Di sana rindu 

kita dapat terpadu dengan tuntas, Nyai."

"Oh... Jaka...." Nyai Katri memeluk Indra Mada, menyusupkan wajahnya ke dada Indra Mada. Keringat de-

wa itu sungguh menyebarkan aroma harum yang khas, 

yang tak ada di bumi ini dari sekian banyak bunga. 

Aroma itu sungguh melenakan sukma dan membang-

kitkan gairah seorang wanita. Itulah yang membuat 

Nyai Katri sangat tergila-gila kepada, Indra Mada.

"Di ujung bibirmu, aku tunduk kepada semua perin-

tahmu, Jaka. Sekali pun aku mempunyai ilmu tinggi la-

gi, percuma saja aku melakukan kekejian seperti yang 

sudah-sudah, toh engkau dapat menundukkan aku 

dengan senyum dan pagutan bibirmu. Percayalah, Ja-

ka.... Aku hanya ingin memiliki kekuatanku yang dulu, 

dan setelah itu aku akan tunduk di bawah telapak ka-

kimu. Aku hanya butuh perisai untuk hidupku, agar 

tak sembarang lelaki bisa menjamah ku, kecuali kau, 

Jaka...."

Indra Mada tertawa pendek tanpa suara. Ia mencium 

rambut Nyai Katri yang tergerai lepas sepanjang pantat.

"Kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu...." kata 

Indra Mada.

"Melakukan apa?"

"Menolongmu menjalankan Semadi Serap. Tapi tidak 

selama empat puluh hari, karena itu sangat menyita 

waktu bagiku." 

"Jadi...?!"

"Cukup tiga hari."

"Tiga hari?!" Nyai Katri terpekik girang.

"Tapi tubuh kita berdua harus terkubur dalam tanah 

sambil melakukan... melakukan...."

"Aku tahu... aku tahu...!" Nyai tak sabar dan hatinya 

sudah dikuasai kegembiraan yang meluap-luap.

"Tapi dari mana kau akan bisa bernapas selama tiga 

hari jika tubuhku terkubur dalam pelukan tubuhmu?"

"Hiruplah udara dari dalam mulutku. Jadi, mau tak 

mau selama itu mulut kita pun harus tetap saling melekat supaya kau dapat menghirup dan bernafas...."

"Oohh.... Jaka, aku senang sekali...! Senang sekali...! 

Ini suatu semadi yang sangat aneh dan... aku akan be-

tah melakukannya...! Ooh... oh...!" Nyai Katri memeluk 

dan menciumi Jaka Bego di depan tumpukan harta ka-

run itu.

"Tunggu, tunggu...." Indra Mada menepiskan Nyai. 

Matanya memandang salah satu benda yang ada di an-

tara tumpukan perhiasan harta karun lainnya. Nyai Ka-

tri heran. Ia membiarkan Indra Mada memungut sesua-

tu dari tumpukan perhiasan itu. Oh, ternyata sebuah 

seruling.

Indra Mada memperhatikan seruling emas berhias 

batu merah delima pada bagian ujung atasnya. Nyai ju-

ga ikut memperhatikannya dengan perasaan heran. Se-

ruling itu sedikit besar, terbuat dari emas yang berukir 

gambar naga melilit. Kepala naga berada tepat di lobang 

suling yang dipakai untuk meniup.

"Kau menyimpan benda ini juga rupanya?" kata In-

dra Mada.

"Semua harta rampokan dan bajakan memang ada di 

sini semua, Jaka. Kenapa sih?"

"Kau tahu ini apa?"

"Seruling emas?" jawab Nyai dengan polos.

"Iya. Tapi ini sebuah pusaka, Nyai."

"Pusaka...?!"

"Ini pasti milik seorang biksu dari daerah Tiongkok. 

Hanya dia yang memiliki Seruling Surga, sebab hanya 

dia satu-satunya biksu yang berhasil mencapai nirwana 

dan bisa hidup di alam Suralaya."

"Ooh...?" Nyai Katri tak berkedip memandangi suling 

tersebut. "Dulu aku memang sering merampok kapal 

Tiongkok, dan... dan aku pernah membunuh seorang 

biksu yang tak pernah melawan jika diapa-apakan. 

Bahkan ketika ia kubunuh pun ia tidak melakukan perlawanan apa-apa."

Indra Mada mengangguk-angguk. "Dan semua ba-

rang dari kapal itu kau angkut ke mari?"

"Ya. Tapi... tapi aku tidak tahu kalau ada seruling 

ini, Jaka. Dan... dan sebenarnya apa kehebatan seruling 

ini...?"

"Namanya, Seruling Surga. Ia dapat membunuh la-

wan yang sedang kita hadapi jika ditiup sekali pun tan-

pa irama."

"Dapat membunuh...?" gumam Nyai Katri bagai ber-

bisik pada dirinya sendiri.

"Kekuatan ilmu apa pun dapat ditembus dengan su-

ara seruling ini. Dan... tubuh lawan yang mendengarnya 

akan menjadi pecah berkeping-keping...."

"Setiap orang yang mendengarnya?"

"Bukan. Tapi hanya orang yang kita tuju dalam batin 

kita saja. Tahukah kau, bahwa Seruling Surga ini dapat 

menuruti kehendak batin kita, asal mata kita melihat 

lawan yang kita tuju. Dan... ini sangat berbahaya jika 

sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung-

jawab."

"Kalau begitu, kita simpan saja selama kita melaku-

kan Semadi Serap dalam kubur. Jangan ditinggal di si-

ni. Aku takut Lanangseta menemukan tempat ini dan 

mengambil seruling ini. Sebaiknya, mari kita kembali ke 

Pulau Kramat, dan meminta bantuan Andini untuk 

menguburkan kita selama semadi, dan dia juga yang 

membongkar kuburan kita selama tiga hari nanti...."

Indra Mada masih memandangi seruling itu. Ia bagai 

sedang mengamati keindahan seruling tersebut yang 

sungguh mengagumkan, di mana sisik pada gambar 

naga itu terbuat dari lapisan-lapisan batu pirus yang ti-

pis sekali. Memang indah dipandang dan sangat men-

gagumkan.

Ketika mereka kembali naik ke darat, di Pulau Kramat Andini pun terkagum-kagum melihat bentuk Serul-

ing Surga. Memang sebelumnya Andini sempat mengge-

rutu dan ngomel-ngomel karena ia merasa ditinggal 

pergi secara diam-diam oleh Indra Mada dan Nyai Katri, 

sebab sewaktu Indra pergi dengan Nyai, Andini masih 

tertidur pulas. Tapi untunglah sikap manjanya itu dapat 

terhibur dengan berita pemulihan ilmu yang akan dipe-

roleh Nyai Katri dengan melakukan Semadi Serap itu.

"Ah, aku pun mau kalau begitu!" kata Andini.

"Itu soal nanti, Andini. Itu gampang," kata Nyai. "Ta-

pi, yang penting sekarang, bantulah kami. Kuburkan 

kami dan bongkarlah kuburan kami setelah tiga hari."

"Tapi berjanjilah bahwa kalian juga akan membantu-

ku untuk memperoleh ilmuku yang telah hilang itu," ka-

ta Andini.

"Bagaimana, Jaka? Andini meminta imbalan."

Jawab Indra Mada, "Asal kau menggunakan ilmumu 

untuk kebaikan, aku tak akan keberatan. Kau pun 

akan kukembalikan kekuatanmu, Andini. Tapi janji, un-

tuk kebaikan!"

***

2

KALAU saja Lanangseta mengetahui bahwa Nyai Ka-

tri sudah berada di darat, sudah tentu ia akan menye-

rang Nyai Katri, musuh lamanya. Tetapi, agaknya La-

nangseta mengalami hal lain di dalam air, terutama se-

jak ia kehilangan jejak dalam pengejaran Nyai Katri. La-

nangseta yang bisa tahan berada di dalam air tanpa 

bernapas beberapa lama itu, menjadi kebingungan keti-

ka Nyai dan Indra Mada menghilang dari balik tikungan 

karang-karang tajam. Gerakannya menjadi lambat dan 

hati-hati, sebab dikhawatirkan musuhnya bersembunyi


di suatu sela karang, dan akan menyerangnya secara 

tiba-tiba.

Tapi sampai beberapa lama ia bolak-balik, tak ada 

bayangan Nyai Katri dan Indra Mada, yang dianggap 

oleh Lanang sebagai pengawal Nyai Katri. Kalau saja 

Lanangseta mencari terus ke arah menghilangnya Nyai 

dan Indra Mada, mungkin ia akan menemukan goa, 

tempat Istana Langit Perak berada di dalamnya. Tetapi, 

agaknya Lanangseta mempunyai perhatian lain.

Dalam kebeningan air laut, Lanangseta sempat meli-

hat bayangan lain yang sedang berusaha naik ke per-

mukaan air. Lanangseta menjadi sangat tertarik untuk 

mengejarnya, sebab ia melihat Cambuk Naga terselip di 

pinggang orang itu.

"Tak salah lagi," katanya dalam hati. "Benda yang 

seperti ular itu jelas Cambuk Naga...! Hemmm, siapa 

orang itu, ya? Apakah dia Laksamana Chou? Jika benar 

dia Laksamana Chou, lantas apa perlunya ia berada di 

dalam laut? Apakah ia termasuk salah satu kaki tangan 

Nyai Katri?"

Pendekar Pusar Bumi itu memang tidak tahu apa 

yang telah terjadi pada diri Nyai Katri. Ia masih mengira 

bahwa Nyai Katri mempunyai kesaktian yang luar biasa, 

yang mampu berubah menjadi bayangan seperti saat ia 

lawan dalam peristiwa Sendang Bangkai dulu. Lanang-

seta belum tahu, bahwa Nyai Katri sudah menjadi pe-

rempuan cantik yang wajar, yang biasa-biasa saja, tan-

pa kekuatan dan ilmu seperti dulu.

Terlepas dari masalah kesaktian Nyai Katri, Lanang-

seta lebih tertarik untuk merebut Cambuk Naga lebih 

dulu. Cambuk itu adalah pusaka warisan dari Putri Ayu 

Sekar Pamikat, bekas kekasihnya yang telah menjadi 

orang suci di dalam Goa Malaikat, di kawasan Bukit 

Badai, tempat leluhur Kirana, istri Lanang, berada. 

Memang Cambuk Naga bukan diwariskan kepadanya,


melainkan kepada Ludiro, tapi karena tugas Ludiro ada-

lah menjaga Lanang, maka Lanang pun merasa ber-

tanggung-jawab jika Cambuk Naga jatuh ke tangan 

orang lain.

Dengan gerakan kaki menjadi cepat, Lanangseta 

memburu sosok tubuh yang sedang berusaha keluar 

dari kedalaman air laut. Laksamana Chou yang sebe-

narnya sengaja menenggelamkan diri karena ingin 

menghilangkan api (sebab waktu itu ia terbakar tubuh-

nya pada saat bertarung melawan Indra Mada), ia mera-

sa lega karena api yang membakar tubuhnya sudah 

berhasil padam. Ia harus segera keluar dari dalam air. 

Tapi tiba-tiba ia merasa ada sepasang tangan yang me-

megangi kakinya dan berusaha menariknya ke dalam.

Menyadari ia dalam bahaya, Laksamana Chou segera 

menjejakkan kaki kirinya yang masih bebas itu ke arah 

kepala lawannya. Dan jejakan kaki itu mengakibatkan 

Lanangseta terpental beberapa hasta. Laksamana Chou 

buru-buru berenang naik ke permukaan air laut. Gera-

kannya begitu cepat. Lanang sempat melihat tubuh itu 

melesat pada saat tertentu. Melihat kecepatannya yang 

menimbulkan air bergelombang besar, jelas Laksamana 

Chou menggunakan tenaga dalam untuk melesat dari 

sela kedalaman air menuju ke atas. Lanangseta pun tak 

mau kalah, ia segera menghentakkan kakinya dan me-

lesat ke atas sehingga air laut jadi bergelombang.

Lanangseta sengaja menggunakan ilmu peringan tu-

buh untuk menghadang lawannya. Ia berdiri di atas air 

seperti berdiri di daratan biasa. Tapi rupanya Laksama-

na Chou pun juga berdiri di atas air dengan mudah. 

Laksamana Chou sendiri tidak menduga kalau orang 

yang dihadapinya mampu berdiri di atas air tanpa teng-

gelam seperti dirinya. Sehingga, pada saat mereka ber-

dua sama-sama muncul dari kedalaman air, sama-sama 

berdiri tegak di atas permukaan air laut, mereka juga


sama-sama tertegun dan saling pandang.

"O, kamu rupanya yang kejar-kejar aku, ya?" kata 

Laksamana Chou begitu melihat Lanangseta. Ia mengi-

ra, Lanangseta itulah yang melarikan putrinya: Yin Yin.

"Hei, Babi kampung...! Mana anak gadisku, hah?"

"Aku tidak mengenal anak gadismu! Kembalikan 

Cambuk Naga kalau kau ingin pulang ke negeri Cina 

dengan selamat!"

Laksamana Chou berjalan ke samping, melirik La-

nang dan tersenyum sinis. Ia pun bicara dengan ang-

kuh.

"Kalau kau ingin tetap hidup di bumi mu ini, kau ha-

rus serahkan Yin Yin kepadaku! Itu anakku! Aku sudah 

jodohkan dia dengan keponakan Kaisar. Tak pantas ia 

menjadi istri seorang pribumi semiskin kamu!"

Lanangseta juga berjalan, melirik, bagai sedang men-

cari kelengahan lawan. Ia sempat menggulung rambut-

nya yang panjang dan basah itu, supaya pedang anda-

lannya yang selalu bertengger di punggung gampang di-

raih. Sedangkan Laksamana Chou yang bertubuh ting-

gi, tegap, sedikit lebih gemuk dari Lanangseta, juga 

hanya berjalan berkeliling bagai mencari kesempatan 

untuk menyerang. Baju Hitam yang dilapisi rompi me-

rah berajut benang emas tahan senjata itu terlihat lekat 

dengan tubuh karena basah. Tapi sabuknya yang ter-

buat bagai dari kain, berbentuk bulat seperti tali dua li-

litan itu agaknya bukan sabuk sembarangan. Sabuk be-

rujung mata tombak kecil itu tidak basah sama sekali. 

Namun kali ini, pasti sabuk itu tidak akan dipakainya 

sebagai senjata, sebab Cambuk Naga curiannya masih 

terselip di antara sabuk dan kulit pinggangnya.

"Kamu yang bernama Laksamana Chou, bukan?"

"Ya. Dan kamu siapa? Aku lebih suka membunuh 

lawan yang sudah kuketahui namanya."

"Aku Lanangseta...!"


Laksamana Chou tertawa. Kumisnya yang panjang 

dan melilit di bawah sampai di dagu itu bergerak-gerak 

karena basah dan menempel pada kulit wajahnya.

"Bohong! Aku sebenarnya sudah tahu siapa nama-

mu, Babi kampung! Kamu bukan Lanangseta, tapi 

Ekayana! Hah...! Mau berlagak menipu perhatianku, 

ya?"

"Laksamana... ku ingatkan kepadamu, bahwa selama 

ini kau salah anggapan. Yang melarikan anak gadismu 

bukan aku. Tapi Ekayana! Dan Ekayana bukan aku. 

Aku Lanangseta, yang...!"

"Phuiih...!" Laksamana meludah. Ia masih bergerak, 

dan mereka memang saling bergerak searah, memutar, 

menunggu kesempatan baik untuk menyerang.

"Persetanlah dengan anggapanmu," kata Lanang. 

"Yang penting, aku menemuimu untuk merebut kembali 

Cambuk Naga! Kalau kau sayang nyawamu, kembalikan 

cambuk itu!"

"Kalau kau datang dengan Yin Yin, kuizinkan kau 

merebut cambuk ini. Tapi sekarang kau datang tanpa 

Yin Yin, dan aku tidak akan melayanimu. Selamat ting-

gal...!"

Laksamana Chou melesat, melompat tinggi dan me-

ninggalkan Lanangseta.

"Biadab kau...!" Lanang berseru seraya menyusul 

lompatan Laksamana Chou. Ketika kaki Laksamana 

menapak di permukaan air, Lanangseta telah berdiri di 

depannya. Langsung Lanang menggerakkan kakinya ke 

depan dengan hentakan keras. Laksamana Chou cukup 

sigap. Tendangan Lanangseta ditangkis dengan tangan 

kanan. Ia segera bersalto ke belakang untuk memper-

jauh jarak. Lanang belum sempat bergerak, pada saat 

Laksamana Chou melesat lagi, melarikan diri.

"Percuma aku melayani kamu, Babi kampung...!" 

ucap Laksamana.


Lanangseta menjadi geram. Chou seakan tak mau 

berhadapan dengan Lanangseta. Dan Lanang bertam-

bah marah kepada Laksamana Chou. Ia segera menyu-

sul dengan tiga kali salto di udara. Pada putaran terak-

hir dari saltonya, kedua kaki Lanang tepat berada bebe-

rapa jengkal dari punggung Laksamana. Langsung saja 

ia menarik kaki kirinya, dan meluruskan kaki kanannya 

dengan cepat. Kaki itu mengenai punggung Laksamana 

Chou sehingga lawan terjerembab di air. Kulit punggung 

Laksamana yang terbakar dan tanpa kain lagi itu men-

jadi semakin terkelupas karena tendangan Lanang. Tapi 

agaknya hal itu tidak dihiraukan oleh Laksamana Chou.

"Serahkan Cambuk Naga atau kau mati sekarang ju-

ga?!" hardik Lanangseta.

Laksamana Chou segera membaringkan tubuh, ia 

bagai telentang di atas permukaan tanah.

"Terimalah dulu pukulan Paruh Rajawali ku, 

heeaat...!"

Tubuh yang telentang itu mampu melejit ke atas da-

lam posisi tetap telentang. Tangan kanan Laksamana 

Chou mencakar bagai kaki bangau dengan masing-

masing tangan menyerang menggunakan kedua jari, 

yaitu jari tengah dan telunjuk. Lanangseta menarik ka-

kinya yang hendak menginjak dada Laksamana Chou. 

Ia ikut melayang sehingga posisinya tetap di atas tubuh 

Laksamana. Namun ia nyaris terlambat menarik ka-

kinya. Pukulan jari besi Laksamana mengenai tumit La-

nangseta. Hanya sedikit. Bagai menyerempet, namun 

sudah membuat mata kaki Lanangseta menjadi linu se-

kali.

"Gila...! Jurus dan pukulanmu cukup hebat juga, 

Laksamana tolol!" Lanang melengkungkan badan ke de-

pan dan bersalto. Begitu ia selesai bersalto, kakinya 

menyepak bagai kuda jantan yang perkasa. Lengan 

Laksamana terkena tendangan belakang itu sehingga


tubuhnya terlempar dan jatuh dalam posisi tercebur ke 

air.

Ia segera mengendalikan ilmu peringan tubuhnya, 

dan mampu berdiri di atas permukaan air laut lagi. La-

nangseta siap menyerang. Namun mendadak ia terpak-

sa menjaga jarak karena Laksamana menggunakan ju-

rus lain. Kedua tangannya terentang cepat, lalu menga-

tup antara kedua telapak tangan itu, ditarik ke dada 

dan dihentakkan kuat-kuat.

"Weess...!"

Segumpal api keluar dari telapak tangan Laksamana. 

Itulah pukulan Api Laut yang pernah membakar dirinya 

sendiri ketika berhadapan dengan Indra Mada. Kalau 

dulu, ia menjadi kewalahan karena Indra Mada meniup 

api itu, dan gulungan api tersebut menghantam balik 

dan membakarnya. Tapi sekarang ia sedikit lega, karena 

Lanangseta hanya melompat ke atas ketika gulungan 

api menghampirinya.

Lanangseta mempunyai perkiraan yang tepat. Ia ti-

dak mau turun di tempat semula sekalipun api telah 

melesat ke tempat kosong. Ia menduga bahwa Laksa-

mana akan melancarkan pukulan apinya kembali di 

tempat Lanang semula, karena itu Lanang melakukan 

gerakan tipuan. Ia meluruskan kaki, seolah-olah hen-

dak turun di tempat semula. Namun sebenarnya ia se-

gera melengkungkan badan, bersalto dua kali dan ka-

kinya menghantam tepat di pelipis Laksamana Chou. 

Sedangkan Laksamana Chou sudah terlanjur melan-

carkan pukulan Api Lautnya ke tempat Lanang semula. 

Sehingga, pukulan itu melesat untuk kedua kalinya 

menemui tempat kosong, dan keseimbangan tubuh 

Laksamana pun goyah. Ia jatuh tercebur di perairan.

Lanangseta berdiri tegap siap menendang kepala 

Laksamana jika sewaktu-waktu ia muncul. Tapi Lanang 

sedikit terkecoh. Ternyata Laksamana Chou bagai mendobrak genangan air laut. Tubuhnya melesat di tempat 

agak jauh dari Lanangseta. Terpaksa Lanangseta segera 

mengejarnya dan berseru dengan suara keras:

"Jangan lari kau, Monyet sipit...! Hiaaatt...!"

Lanangseta menyelam dengan cepat. Ia bergerak ba-

gai ikan pesut meluncur di kedalaman air. Begitu ia 

menerobos keluar dari kedalaman air, ia berada tepat di 

depan Laksamana Chou. Sudah tentu hal itu membuat 

Laksamana Chou menggeragap kaget. Ia berhenti. Ka-

kinya menapak di atas permukaan air. Lanangseta siap 

menyerang dengan pukulan Wiwaha Moksa, tapi ia ra-

gu-ragu. Takut kalau Cambuk Naga ikut hilang menjadi 

serbuk jika tubuh Laksamana Chou kena pukulan Wi-

waha Moksanya.

Dalam keadaan ragu itulah, tahu-tahu kaki Laksa-

mana terayun ke depan, ke arah mulut Lanangseta. La-

nangseta masih sempat merunduk ke samping. Namun 

ia terjatuh juga karena kibasan tendangan kaki Laksa-

mana mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam 

yang cukup tinggi. Hempasan angin itu bagai mendo-

rong Lanang hingga terjerembab masuk ke air. Keseim-

bangannya goyah. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh 

Laksamana Chou. Segera ia mengirimkan pukulan Ra-

jawali Murka Kedua tangan Laksamana megar bagai ca-

kar rajawali, dan menghentak bersamaan. Lalu dari ke-

dua telapak tangan itu keluar sinar seperti anak panah 

kecil-kecil berwarna merah.

Mata Lanangseta sempat menangkap gerakan sinar 

merah kecil-kecil, hatinya mengatakan, itu bahaya. Se-

bab itu, secepat kilat dia menghentakkan kedua tan-

gannya seakan bertumpu di atas tanah. Seketika itu tu-

buhnya melesat ke atas dan segera bersalto balik. Puku-

lan Laksamana itu mengenai air dan air di situ bergolak 

dan menyembur ke atas bagaikan mendapat semburan 

dari bawah. Ada beberapa ekor ikan yang meloncat keluar dalam keadaan tinggal tulangnya saja.

"Gila...! Pukulan macam apa itu? Ikan saja tinggal 

tulangnya...?!" pikir Lanangseta seraya berkelit lagi ke 

belakang untuk menghindari pukulan dari Laksamana 

berikutnya.

"Mati kau sekarang juga, Babi kampung...!" geram 

Laksamana seraya melancarkan pukulan Rajawali Mur-

ka berulang kali, bahwa membabi buta. Anak panah 

warna merah meluncur ke mana-mana, Lanangseta 

sempat berguling kian ke mari dan bersalto bolak-balik, 

melompat-lompat bagai katak kepanasan. Air laut ber-

golak karena terkena pukulan Rajawali Murka itu. Air 

laut menyembur bagai hutan-hutan bening yang lama-

lama mengacaukan pemandangan.

Lanangseta tak mau mati konyol. Ia segera mencabut 

pedang Wisa Kobranya yang disebut Pedang Malaikat 

oleh para tokoh persilatan. Pedang itu berpijar merah 

bagai bara api yang panas sekali.

"Heaaaatt...!" Lanangseta menebaskan pedangnya 

kian ke mari di sela-sela air laut yang menyembur ke 

atas dan mengacaukan pemandangan itu.

"Blegaar...! Blaaar...!"

Ledakan berdentum berulangkali setiap pedang Wisa 

Kobra di tebaskan ke kiri dan ke kanan, dan hal itu 

membuat laut semakin bergolak. Airnya tersembur ke 

atas semua, bahkan semakin sulit bagi Lanangseta un-

tuk melihat sosok lawannya berdiri.

"Berhentiii...!" teriak Lanangseta dengan berdiri di 

pucuk sebuah batu karang yang runcing dan pedang-

nya ditusukkan ke dalam air. Maka, seketika itu laut 

menjadi tenang kembali. Sepi dan hening.

Air laut mengalun. Bagai ombak menina-bobok. Tak 

ada semburan gelombang samudra lagi. Tenang sekali. 

Mata Lanangseta memandang dengan liar. Kepalanya 

clingak-clinguk kian ke mari.


"Brengsek...!" makinya dengan geram setelah ia tahu, 

bahwa sebenarnya sejak tadi ia telah ditinggal kabur 

oleh Laksamana Chou. Tadi, pada saat laut bergolak 

dan percikan airnya mengganggu pemandangan, sebe-

narnya pada saat itulah Laksamana Chou lari mening-

galkan Lanangseta.

Ke mana arahnya? Kurang jelas. Tetapi daratan yang 

terdekat pada saat itu adalah Pulau Kramat. Dari tem-

pat Lanang berdiri, pulau itu terlihat kecil. Tak ada satu 

titik yang bergerak, yang bisa meyakinkan diri bahwa 

Laksamana Chou lari ke sana.

Sambil menyarungkan pedangnya lagi, Lanangseta 

menggumam lirih:

"Tak mungkin ia lari ke sana. Pasti ke tempat lain, 

atau... atau barangkali ia menyelam dan bersembunyi di 

balik karang?"

Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya 

Lanangseta kembali menyelam di kedalaman air laut. 

Gerakannya cukup lamban, karena banyak karang 

menjulang di kedalaman air itu. Lanang harus hati-hati 

kalau tidak ingin lehernya robek oleh ujung-ujung batu 

karang yang bagai mata tombak menanti mangsa.

Sebenarnya kalau Lanangseta ke sana, ke Pulau 

Kramat, ia juga akan menemukan kesia-siaan. Di Pulau 

Kramat tak ada orang kecuali Andini yang sendirian 

menunggu saat membongkar kuburan. Indra Mada dan 

Nyai Katri sedang melakukan Semadi Serap di dalam 

kubur. Tubuh mereka yang tanpa selembar benang pun 

saling merapat, dan saling berhubungan. Kemudian tu-

buh yang merapat dengan mulut saling lekat itu ditim-

bun oleh tanah, dipadatkan sepadat mungkin. Hal ini 

dimaksudkan agar pada saat Semadi Serap dilakukan, 

tubuh mereka tidak akan terkena cahaya mata hari se-

dikit pun. Tugas Andini selain menimbun juga mem-

bongkar kuburan mereka. Jika lebih dari tiga hari tidak


dibongkar, maka resikonya tubuh Nyai Katri akan 

membusuk.

Sebab itu, Andini benar-benar menjaga makam itu 

dan berusaha untuk mengingat-ingat harinya. Maka, 

setelah genap tiga hari ia mengubur Nyai Katri dan In-

dra Mada, ia pun segera membongkar kuburan itu seo-

rang diri.

Ketika itu, hujan turun cukup deras. Andini mengga-

li makam tersebut dengan sekop sederhana. Curahan 

hujan tak dihiraukannya. Rasa letih tak dirasakannya. 

Sebenarnya hati Andini sudah tak sabar menunggu gili-

ran melakukan Semadi Serap. Selama tiga hari ia ter-

siksa oleh penantiannya. Karena, bukan hanya ingin 

memperoleh kekuatannya kembali yang menggoda ha-

tinya, namun cara bersemadi yang unik itu juga yang 

menggoda birahi Andini. Betapa pun juga, Andini masih 

ingat ketika dirinya melambung tinggi di awang-awang 

manakala Indra Mada mendayung perahunya ke samu-

dra kebahagiaan bersamanya. Otak Andini yang sudah 

diracuni gairah bercinta itu benar-benar dapat mem-

buatnya gila jika tidak terlaksana.

Sebab itu, pada hari ketiga sejak dikuburkannya 

Nyai dan Indra Mada, semangatnya sangat membara. 

Hujan yang mengguyur tubuhnya dianggap sepi. Ia 

menggali dan menggali terus. Sampai akhirnya ia me-

nemukan belahan kayu yang ditata rapi untuk menutup 

bagian atas Nyai dan Jaka Bego. Lalu ia membongkar 

penutup kayu itu, dan ia menemukan tubuh Indra Ma-

da yang masih segar itu memangku tubuh Nyai Katri.

Air hujan mengguyur tubuh kedua insan tanpa se-

lembar benang itu. Kemudian Andini menolong Nyai Ka-

tri untuk naik dari lobang kubur, tetapi Nyai menolak.

"Akan ku coba apa yang terjadi pada diriku setelah 

melakukan Semadi Serap. Minggirlah, Andini...."

Andini menyisih. Nyai Katri menghentakkan kakinya


dalam suatu teriakan: "Hiaaaattt...!"

Tubuh tanpa busana itu melayang tinggi, keluar dari 

lobang kubur dan hinggap pada dahan pohon yang 

tinggi. Nyai Katri tertawa lepas dan keras. Ia sangat ke-

girangan.

"Aku telah pulih kembali...! Pulih kembali, Andini...!"

"Selamat, Nyaii...!" teriak Andini.

Nyai Katri bagai lupa diri. Ia bersalto dari dahan satu 

ke dahan yang lain. Ia bahkan mencoba beberapa puku-

lan tenaga dalamnya yang dulu pernah ada, lalu hilang, 

dan sekarang dimiliki kembali. Pukulan itu menghan-

curkan beberapa pohon, menumbangkan dan meme-

cahkan batang-batang pohon besar serta batu-batu be-

sar.

"Yihuiii...!" Nyai Katri berseru girang. Andini hanya 

menertawakan dari tepi liang kubur. Ia sempat berseru:

"Nyai... ingat tubuhmu masih polos... tutupilah ke-

banggaan mu itu, nanti Jaka Bego tidak menyukai buah 

yang dingin, Nyai...!"

Nyai Katri yang wajahnya begitu segar dan tubuhnya 

semakin sexy karena guyuran air hujan itu tertawa be-

rulang-ulang. Indra Mada, atau Jaka Bego yang sudah 

menjadi ganteng segera mendekati Nyai Katri. Tiba-tiba 

Jaka Bego melancarkan pukulan tenaga dalamnya den-

gan gerakan jari telunjuk bagai menyentil udara. Nyai 

Katri melesat ke samping dan bersalto ke belakang. 

Sentilan Indra Mada itu berkekuatan tenaga dalam yang 

mampu membuat dahan pohon patah seketika. Untung 

Nyai segera menghindar. Namun demikian Indra Mada 

segera melayang dan menyerang Nyai Katri dengan se-

buah tendangan. Dengan tangkas tangan Nyai Katri 

menangkis kaki Indra Mada, lalu tangan satunya lagi 

menghantam perut Indra Mada. Tapi Indra Mada me-

nyongsong pukulan Nyai dengan genggaman tangannya, 

sehingga kedua pukulan itu beradu.


Nyai terpental ke belakang. Tubuhnya terhuyung. 

Andini cemas dan kebingungan; mengapa Indra Mada 

tiba-tiba menyerang Nyai Katri?

Sepasang mata Nyai Katri memandang tajam. Lalu 

dari matanya itu keluar sinar kuning menuju ke dada 

Indra Mada. Itulah ilmu Candra Geni yang mampu me-

leburkan benda apa pun yang dipandangnya. Tetapi 

saat ini, Indra Mada juga mengeluarkan sinar ungu dari 

sepasang matanya. Sinar itu yang menyongsong sinar 

kuning dari mata Nyai.

"Blegaar...!"

Tanah berguncang bagai terjadi gempa setempat. Be-

berapa ranting dan daun dari beberapa pohon menjadi 

rontok begitu dentuman terdengar. Tubuh Nyai Katri 

terhempas membentur dinding rumah. Namun ia masih 

tetap dalam keadaan berdiri.

"Apa maksudmu tahu-tahu menyerangku, Jaka?!" 

seru Nyai di sela deru hujan. Mereka masih sama-sama 

telanjang, kecuali Andini yang terlempar beberapa lang-

kah karena guncangan kedua sinar beradu tadi.

Indra Mada tetap tenang. Ia menendang batu kerikil, 

dan batu itu pun melesat cepat ke arah kepala Nyai Ka-

tri. Tapi Nyai Katri segera menahannya dengan telapak 

tangan yang dihentakkan lurus ke depan. Batu itu ber-

henti di udara, namun tiba-tiba pecah dengan menim-

bulkan sebuah ledakan yang membahana: "Glegaaar...!"

Nyai Katri terpelanting dan jatuh ke tanah dengan 

pundak membentur batu. Ia memekik kesakitan. Indra 

Mada segera menghampirinya dan menarik tangan Nyai 

Katri. Nyai mengira akan ditolong, tapi justru dilempar-

kan begitu saja, seperti Indra melemparkan sebatang 

gedebog pisang.

"Aaauuww...!" Nyai menjerit karena tubuhnya me-

layang dan nyaris membentur potongan dahan yang 

meruncing. Untung ia segera menguasai keseimbangan



tubuh. Ia melompat dalam gerakan salto sehingga dapat 

mendarat ke tanah dengan kaki sempurna.

Geramnya hati berubah menjadi kemarahan yang 

meluap. Tak peduli hujan tak peduli telanjang. Nyai Ka-

tri segera menggerakkan kedua tangannya ke samping 

dan memutarnya ke depan wajah beberapa kali, kemu-

dian ia menghentakkan kedua telapak tangan itu ke de-

pan dan meluncurlah sinar warna biru tua. Itulah pu-

kulan Inti Petir yang pernah menewaskan Penghulu Ba-

dra. Pukulan itu cukup membahayakan. Tapi Indra Ma-

da bahkan menangkapnya dengan tangan telanjang. Si-

nar biru itu menggumpal dalam kedua tangan Indra 

Mada, dan hendak dilemparkan ke tubuh Nyai Katri. 

Seketika itu Nyai menjerit, "Jangaaan...!" Dan ia berlari 

melesat ke atas pohon. Lalu Indra Mada melemparkan 

ke udara. Sinar biru itu seperti bola kristal biru me-

layang. Ketika sinar itu hendak turun, Indra Mada me-

loncat dengan salah satu kakinya terentang kaku, dan 

menendang bola biru tersebut. Akibatnya, sekali lagi 

mereka diguncang oleh ledakan yang mampu mengha-

dirkan hentakan halus pada tanah serta alam sekitar-

nya. Sekali lagi, Andini terpental oleh bunyi ledakan itu 

hingga ia jatuh terduduk. Gaunnya basah dan kotor.

Indra Mada tertawa menyaksikan Andini jatuh ter-

duduk. Kemudian Nyai Katri memberanikan diri turun 

dari atas. Ia meluncur bagai burung merak. Kendati 

tanpa busana, namun rambutnya yang panjang itu sea-

kan ekor merak yang sedang meriap terbuai angin dan 

hujan.

"Jaka...?! Kenapa kau menyerangku, hah?!"

Indra Mada mengusap wajahnya yang basah oleh air 

hujan. Ia berjalan biasa mendekati Nyai Katri. Nyai su-

dah pasang kuda-kuda, siap menghindar atau menang-

kis serangan.

"Aku hanya ingin membuktikan dua hal. Pertama,



kubuktikan bahwa ilmu dan kekuatanmu sudah kem-

bali seperti semula. Betulkan?"

Nyai Katri menghempas lega. Sikap kuda-kudanya 

dibatalkan. Kini ia mengangguk seraya mengusap wa-

jahnya yang juga basah oleh hujan.

"Kedua..." sambung Indra Mada. "Aku hanya ingin 

membuktikan, bahwa kau tidak boleh takabur dengan 

ilmu dan kekuatanmu itu. Ingat, kalau orang lain tak 

bisa mengalahkan kesombongan ilmumu, aku bisa! Ka-

lau ku mau, tadi aku sudah bisa membunuhmu."

"Kenapa tidak kau lakukan?!" ketus Nyai Katri den-

gan wajah cemberut jengkel.

"Karena aku tahu kau masih membutuhkan aku. Ka-

lau kau kubunuh, maka kau tidak membutuhkan aku 

lagi, tapi membutuhkan penggali kubur." Indra Mada 

mendekati Katri dan meraih dagunya. "Semua kulaku-

kan supaya kau tidak celaka, baik oleh orang lain mau-

pun oleh keangkuhan ilmumu sendiri."

Nyai Katri tersenyum, akhirnya ia memeluk Indra 

Mada dalam keharuan yang membanggakan. Saat itu, 

Andini mendekat, lalu mencolek punggung Indra Mada 

dan berkata:

"Aku bagaimana? Kalian kan sudah janji."

Indra Mada dan Nyai Katri tertawa, Andini semakin 

bersungut-sungut. Cemberut.

***

3

LANANGSETA tidak menyadari kalau dirinya sudah 

beberapa hari terperangkap dalam sebuah goa di dasar 

laut. Bukan goa tempat Istana Langit Perak berada, me-

lainkan goa lain yang terhitung cukup lebar serta dalam. Ia tak sengaja masuk ke dalam goa itu. Dalam 

pencariannya untuk menemukan Laksamana Chou, 

Lanangseta tersapu badai air laut.

Tiga kali Lanangseta terhempas oleh pusaran gelom-

bang air laut yang begitu dahsyat, bagai terkena getaran 

gunung berapi yang meletus. Pertama, ia tergores batu 

karang pada lengannya. Kedua, ia hampir saja memben-

tur karang runcing, dan ketiga ia terhempas masuk ke 

lobang besar, yang ternyata sebuah goa di dasar laut.

Dalam goa tersebut ada bagian yang tidak digenangi 

air. Berlumut, dan lumut yang ada di situ memantulkan 

cahaya kehijau-hijauan. Lanangseta berlaku hati-hati 

sekali dan selalu berwaspada, sebab takut bertemu bi-

natang atau mahluk lain yang sangat membahayakan. 

Ia mendaki gundukan tanah cadas yang licin. Sejenak ia 

berpikir tentang lumut bercahaya itu, sebab ia ingat 

bahwa dulu Ludiro pernah memakan lumut bercahaya, 

kemudian tubuhnya menjadi kebal. Apakah lumut se-

macam ini yang dimakan Ludiro dulu?

Namun tiba-tiba mata Lanangseta menemukan jejak 

kaki manusia yang juga memanjat cadas licin itu. Me-

mang tak seberapa tinggi, namun permukaan cadas itu-

lah yang menjadi tempat datar dari dalam goa tersebut. 

Melihat jejak yang ada, berarti di dalam goa itu ia tidak 

sendirian. Pasti ada manusia lain yang ada di dalam goa 

tersebut.

Ternyata di atas gundukan tanah cadas itu pun ba-

nyak terdapat tanaman lumut bercahaya. Tempatnya 

menjadi terang dan lapang. Memang ada beberapa gun-

duk batu di sana-sini, namun tempat itu menyerupai 

sebuah padang rumput yang tandus. Satu hal yang 

sangat menguntungkan Lanangseta ialah, di balik salah 

satu gundukan batu itu, ia melihat sosok lengan manu-

sia yang sedang duduk bersandar membelakanginya. 

Lanangseta tersenyum. Ia tahu yang ada di sana adalah



orang yang sedang dikejarnya: Laksamana Chou.

"Selamat berjumpa lagi, Laksamana...!"

Orang yang duduk beristirahat itu berjingkat bangkit 

dan matanya yang kecil memandang melebar. Ia sangat 

terkejut melihat Lanangseta sudah berada di depannya 

dalam jarak kurang dari sepuluh langkah.

Suatu kemenangan pertama bagi Lanang ialah kegu-

gupan dan kekagetan Laksamana Chou yang pasti akan 

mempengaruhi jiwa orang itu. Lanangseta tetap tenang, 

meremat-remat kepalan tangannya sendiri seakan su-

dah siap membunuh Laksamana Chou saat itu juga. Te-

tapi, agaknya Laksamana Chou masih berusaha me-

nampakkan sikap tegarnya sekali pun hal itu kelihatan 

kalau dipaksakan.

"Babi kampung...! Masih beraninya kau datang me-

nemuiku di tempat yang sulit ini, hah?!" gertak Laksa-

mana Chou.

"Tidak ada tempat yang sulit bagiku untuk membu-

nuh lalat busuk seperti kamu, Laksamana. Serahkan 

cambuk itu dan aku akan pergi tak mau menemuimu 

lagi," kata Lanang dengan tenang sekali.

"Kamu benar-benar mencari mati di sini, Babi bu-

suk!"

Mata Laksamana Chou memandang batu sebesar 

genggaman tangan. Lalu batu itu melayang cepat ke 

arah pelipis Lanang. Hampir saja Lanang terkena lem-

paran batu tersebut yang digerakkan dengan pandan-

gan mata. Untung ia segera berkelit ke depan dan 

menghantam batu tersebut hingga hancur menjadi be-

berapa keping. Namun, agaknya saat itulah kesempatan 

bagi Laksamana untuk menggunakan kekuatan ma-

tanya dalam menerbangkan batu-batu kecil. Lanangseta 

meloncat, menghindar, melayang dan memukul setiap 

lembar yang nyaris bersamaan menyerbunya dari ber-

bagai arah. Hebatnya, tak satu pun batu yang berhasil


mengenainya.

Dalam satu kesempatan, Lanangseta sengaja sema-

kin mendekati Laksamana, dan ia berhasil menendang 

salah satu batu yang melayang ke arah wajahnya. Batu 

itu ditendang sambil ia bersalto ke belakang. Dan batu 

itu berbalik arah, lalu mengenai dada kiri Laksamana 

Chou.

"Bangsat...!" caci Laksamana Chou. Ia baru saja 

hendak melancarkan serangan jurus Api Lautnya, na-

mun tiba-tiba Lanangseta berputar dalam gerakan sal-

tonya, dan berhasil membuat Laksamana merundukkan 

kepala. Andai ia tidak merunduk, maka ia akan terkena 

tendangan kaki Lanang dengan keras dan berbahaya.

Pada saat kepala dan tubuh Laksamana merunduk 

ke bawah, kaki Lanang segera hinggap di punggung la-

wannya, kemudian ia mencabut ujung Cambuk Naga 

yang terselip di pinggang belakang dari tubuh Laksa-

mana. "Breet...!" Ia pun segera melompat menjauhi Lak-

samana Chou dengan cambuk sudah tergenggam di 

tangan.

"Ahai... berhasil juga aku...." kata Lanangseta sambil 

tersenyum bangga, menunjukkan Cambuk Naga di de-

pan Laksamana Chou.

"Babi kurap...! Babi kampung...!" geram Laksamana 

melihat Cambuk Naga sudah di tangan Lanangseta, se-

dangkan ia belum memperoleh penggantinya, yaitu Yin 

Yin.

Lanangseta menggulung cambuk itu menjadi sebuah 

lingkaran, dan segera diselipkan di pinggang belakang. 

Ia masih tersenyum bangga seraya memperhatikan ke-

geraman dan kemarahan Laksamana Chou.

"Sudah saatnya saya harus membunuh..." kata Lak-

samana seperti dia bicara pada diri sendiri. Kemudian ia 

segera melepas ikat pinggangnya yang berbentuk tali 

dari bahan kain. Pada ujung tali itu terdapat dua mata



tombak berukuran kecil, runcing dan berkilat.

"Hei, Babi.... Sekarang sudah saatnya kau berhada-

pan dengan senjata Liongsai-ku ini, hiiatt...!"

Laksamana memudarkan tali itu satu kali, dan tiba-

tiba tali tersebut dapat berjulur jauh. Ujungnya meng-

hantam batu yang ada di samping Lanangseta. Lalu ba-

tu itu pun hancur berkeping-keping. Lanangseta sempat 

terkesima sejenak.

Liongsai berputar-putar di atas kepala Laksamana. 

Benda itu tidak begitu panjang, namun pada saat di-

lemparkan, benda itu bisa menjadi panjang sekali, se-

pertinya terbuat dari karet atau per yang dapat elastis. 

Dan sudah tentu setiap ujungnya berfungsi untuk 

membunuh. Buktinya batu besar saja hancur terkena 

salah satu ujung tali itu.

"Hiaaat...!" Laksamana melayang dengan salah satu 

kaki terjulur ke depan hendak menendang Lanangseta. 

Tapi Lanangseta segera melompat ke samping kanan. 

Rupanya itu adalah gerak tipuan Laksamana. Sebab 

pada saat Lanang bergerak ke samping, tahu-tahu tali 

berujung mata tombak itu menyerangnya dengan cepat. 

Bahkan kini tali itu bagai terbelah menjadi dua. Satu 

ujung melesat ke kiri dan satunya lagi ke dada Lanang-

seta. Bagian tengah tali itu ada dalam genggaman Lak-

samana Chou.

"Huupp...!" Lanang menghindar ke kanan dengan 

memiringkan badannya dan setelah itu segera berdiri 

tegak. Tangannya mengibas ke samping kiri, menjaga 

kalau-kalau benda berujung tajam itu melesat ke pun-

dak kirinya. Lalu ia segera berguling ke tanah, dan begi-

tu berdiri ia telah menggenggam pedang Wisa Kobra. 

Pedang itu langsung ditebaskan ke arah kaki Laksama-

na, seakan ia sedang membabat rumput kering. Laksa-

mana melompat ke atas dengan kedua kaki terangkat, 

lalu salah satu kakinya menendang Lanang dengan satu


teriakan kuat, "Hiiaat...!"

Tendangan itu mengenai tempat kosong. Sementara 

itu Lanangseta segera bersalto ke depan, mengatur ja-

rak dengan Laksamana Chou. Tapi gerakan Laksamana 

Chou begitu cepat. Ia melemparkan Liongsainya. Benda 

itu melayang-layang bagai seekor ular terbang. Kedua 

ujungnya bergesrekan dan menimbulkan percikan bun-

ga api. Lanangseta siap menghadang Liongsai, lalu me-

nebaskan pedangnya dengan gerakan cepat. Liongsai itu 

pun putus menjadi dua bagian, namun masing-masing 

ujung tetap melesat dan menancap pada bebatuan. Ba-

tuan itu rontok keduanya. Sedangkan Lanangseta terus 

berguling ke tanah, dan melentik bagai belalang. Ia me-

layang sambil mengibaskan pedangnya. Ia berhasil me-

lampaui atas kepala Laksamana dan bersalto beberapa 

kali. Kemudian mendaratkan kakinya dengan tegap.

"Biadab kau...!" bentak Laksamana Chou. "Kau telah 

memutuskan Liongsai, pusaka dari nenekku, hah? Kau 

harus mati sekarang juga, Babi kampung...!"

"Tunggu! Kurasa bukan hanya senjata Liongsai-mu 

saja yang kuputuskan. Tapi salah satu hal lagi yang 

sempat kubabat dengan pedangku ini, Laksamana...?"

Lelaki bertubuh sedikit gemuk dari Lanang itu berke-

rut dahi. Ia memandang Liongsai yang telah putus men-

jadi dua bagian dan kini kedua ujungnya menancap pa-

da sisa pecahan batu. Ia berpikir, apa lagi yang dipu-

tuskan Lanang? Ia memeriksa bagian tubuhnya, ah... 

tak ada yang putus. Tali kolor, tali sepatu, bajunya, se-

muanya tak ada yang putus. Kemudian dengan mata 

sipitnya Laksamana Chou memandang dan tersenyum 

kepada Lanangseta.

"Jangan bangga dengan gerakan semudah itu, Babi 

kampung! Kau hanya bisa memutuskan senjata Liong-

sai-ku saja!"

"O, begitu, ya! Tapi... bagaimana dengan salah satu


kumismu, hah!" kata Lanangseta.

Laksamana Chou terkejut. Ia segera memegang ku-

misnya yang panjang dan melengkung ke bawah sampai 

di dagu.

"Babi bunting kau...!" teriak Laksamana. Kini ia tahu 

bahwa kumisnya yang sebelah kanan telah tercukur 

habis dengan pedang Lanangseta. Tentunya hal itu di-

lakukan oleh Lanang ketika ia bersalto beberapa kali di 

atas kepala Laksamana.

Semakin geram dan benci Laksamana kepada La-

nangseta. Ia merasa terhina, karena kumisnya bisa ter-

cukur sebelah. Kini tinggal satu bagian kumis yang ma-

sih ada, yakni kumis bagian kirinya.

"Heaaaattt...!" Laksamana menjerit dan menerjang 

Lanangseta dengan satu pukulan yang menerjang cepat. 

Lanang bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu 

menangkis pukulan tangan Laksamana dengan tendan-

gan kaki kirinya. Tangan Laksamana bagai disempal ke 

atas. Ia pun limbung sebentar. Lalu Lanangseta berge-

rak cepat memutari tubuh Laksamana. Sambil memba-

wa pedangnya. Kemudian buru-buru melayang, bersalto 

dan menjauhi Laksamana.

"Kurasa sudah tak ada waktu lagi untuk bermain-

main denganmu, Laksamana...." kata Lanangseta. Ia 

tersenyum tipis.

Laksamana Chou ingin mengatakan sesuatu, namun 

ia jadi terhenti setelah melihat bahwa rompi kebal sen-

jatanya terputus pada bagian salah satu pundaknya, 

dan bagian lainnya bagai disayat-sayat binatang buas. 

Ia cukup terbengong melihat nasib dirinya. Namun ke-

dongkolannya pun semakin bertambah. Karena itu, ia 

segera menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya menja-

di kaku, dan ia segera mengibaskan kedua tangan ke 

depan, bersilang-silang dengan cepat. Makin lama se-

makin cepat sehingga gerakan itu membuatnya seperti


bertangan seribu.

Semakin lama gerakan itu semakin cepat dan sukar 

diperhatikan tangan mana yang akan menyerang. Yang 

jelas, Laksamana Chou pun segera melesat bagaikan 

anak panah menuju ke arah Lanangseta. Lanang me-

rendahkan kaki kirinya sehingga lurus ke belakang, dan 

kaki kanannya ditekuk sebatas lutut, lalu ia mene-

baskan pedang Wisa Kobra ke arah tangan-tangan yang 

bersimpang siur itu.

"Wees...! Wees...! Wesss...!"

Tiba-tiba gerakan tubuh Laksamana berguling bagai 

baling-baling ke arah samping dan tebasan pedang itu 

meleset. Sebaliknya, justru kali ini pinggang Lanangseta 

terkena pukulan yang membuat tulang-tulangnya bagai 

patah semua.

"Aaaghh...!" Lanang terpekik tertahan, sukar berna-

fas. Tubuhnya jatuh terkulai pada saat Laksamana se-

gera melancarkan tendangan Bulu Angsa yang digabung 

dengan jurus Cakar Angsa. Gabungan kedua jurus itu 

dinamakan Serangan Tangan Setan.

Lutut Lanangseta bagai mau copot dari engselnya. Ia 

meringis kesakitan. Kemudian ia bersandar karena per-

sis di belakang ada batu yang lumayan besarnya. Saat 

itu Laksamana Chou tertawa terbahak-bahak. Lanang 

tak perduli. Ia segera melonjorkan kaki, dan mengatur 

pernafasan untuk menghilangkan rasa sakitnya.

"Itulah pukulan Tangan Setan yang tak pernah ada 

yang dapat menahannya!" kata Laksamana Chou den-

gan bangga. "Tak lama lagi semua tulang-tulangmu 

akan patah dan, tentunya kau tetap hidup sampai be-

berapa saat. He, he, eh...!"

Lanang tidak bicara sepat ah kata pun, ia masih 

memusatkan konsentrasinya pada tulang-tulang selu-

ruh tubuhnya yang terasa ngilu sekali itu. Ia punya cara 

sendiri untuk menyembuhkan luka dengan permainan


tarikan dan tekanan nafas. Si Tongkat Besi gurunya itu-

lah yang mengajarkan cara pengobatan lewat pernafa-

san.

"Sekarang juga, aku bisa membunuhmu, Babi. Ta-

pi... agaknya ada masalah lain yang harus kita rem-

buk."

Lanangseta masih membiarkan Chou berceloteh te-

rus. Dan kesempatan itu akan digunakan untuk mela-

kukan penyembuhan dengan nafas murninya.

Laksamana Chou berkata, "Kalau kau mau bekerja-

sama denganku, kurasa kau tidak akan cepat mati."

Di atas sebuah batu setinggi batas betis, Laksamana 

duduk dengan gagah, seakan ia sedang menghadapi 

anak buahnya dan menerangkan rencananya.

"Dengar, Babi.... Aku punya rencana tersendiri dalam 

kedatanganku ke negeri ini. Bukan sekedar berdagang, 

tapi aku akan mencari harta karun yang sudah bebera-

pa puluh tahun tak pernah dihebohkan lagi. Harta itu 

adalah sekumpulan barang bajakan, hasil rampokan 

dari seorang tokoh persilatan zaman dulu, yaitu Ratu 

Bajak Laut yang bernama Areswara...!"

Lanangseta mengerutkan kening, terperanjat sedikit.

"Aku pernah mendengar nama itu," kata Lanang.

"Tentu. Aku percaya, sebab nama perempuan Ares-

wara itu cukup terkenal, bahkan sampai ke negeri 

Tiongkok dan sampai di ujung Tibet. Salah satu lelu-

hurku pernah menjadi kekasihnya, dan mati karena ke-

kejamannya juga. Aku menemukan catatan dari lelu-

hurku itu, bahwa ratu bajak laut itu menyimpan semua 

hartanya pada sebuah istana yang diberi nama atau 

yang terkenal dengan nama: Istana Langit Perak. Nah, 

di mana istana itu? Hanya dia yang tahu. Karenanya, ji-

ka kau dan aku mau bekerja sama menemukan istana 

itu, melawan Areswara serta antek-anteknya, maka ku-

janjikan separoh dari harta itu adalah milikmu."


Lanang ingat cerita Rama Sabdawana mertuanya, 

bahwa Nyai Katri itu nama aslinya Areswara. Dulu be-

kas bajak laut. Bahkan pimpinan bajak laut yang mera-

jai lautan Selatan. Tapi tentang Istana Langit Perak, ba-

ru sekarang ia mendengar ceritanya.

"Nah, Babi kampung...." kata Laksamana seenaknya 

jika memanggil Lanangseta. "Sekarang kau tinggal pilih, 

mau membantuku mencari Istana Langit Perak, atau 

mau mati di sini? Aku cukup bijaksana, bukan? Aku 

hanya memberikan dua pilihan untukmu."

"Aku tidak sudi memburu harta seperti itu. Aku sen-

diri sudah cukup kaya."

Laksamana Chou tertawa. "Kamu belum tahu...! Be-

lum tahu, bahwa Istana Langit Perak itu berisi harta 

kekayaan seluruh bangsawan dunia. Bahkan mahkota 

seorang ratu dari negeri Barat pun ada di sana. Ratu itu 

mati di tangan Areswara, dan harta kekayaannya, per-

hiasannya, semua diangkut ke Istana Langit Perak."

Lanangseta sudah merasa sedikit ringan. Tidak terla-

lu sakit. Agaknya ia telah berhasil menetralisir rasa sa-

kit pada tulang-tulangnya.

"Hei, Bi.... Aku tahu kau punya ilmu yang cukup 

tinggi, tapi kau tidak bisa mengungguli aku, kan? Seka-

rang begini... kalau kau mau membantuku mengorek 

keterangan dari Areswara dan kita bisa menemukan Is-

tana Langit Perak, maka anak gadisku itu pun ku rela-

kan menikah denganmu. Sebab selain aku yakin kau 

bisa menjaganya dengan ilmumu itu, kau juga akan 

kaya dari hasil pembagian harta itu."

"Aku jijik jika kau bertemu dengan anak gadismu...." 

kata Lanangseta seenaknya pula. Ia tidak peduli Lak-

samana Chou mendelik mendengar kata-katanya. La-

nang malahan tetap berkata dengan lantang, "Sekali 

pun aku belum pernah bertemu dengan putrimu, tapi 

aku percaya bahwa aku akan muntah bila bertemu


dengannya suatu saat nanti. Sebab aku tahu, hanya pe-

rempuan murahan yang tak punya harga diri saja yang 

mau dibawa kabur oleh lelaki bukan suaminya. Dan... 

entah sudah berapa banyak penyakit lelaki yang mengi-

dap di tubuh dan darahnya itu. Iih... jijik aku jika 

membayangkannya, Laksamana!"

"Iblis...!" geram Laksamana dengan tangan mengepal 

kuat. Ia berdiri, nafasnya terengah-engah. Kemarahan-

nya terpancing.

Segera ia menghentakkan tangannya dengan kekua-

tan yang membuat otot-otot tubuh bertonjolan. Sebuah 

pukulan tenaga dalam dilancarkan ke dada Lanangseta. 

Tapi Lanang segera menyilangkan pedangnya ke dada. 

Pukulan tenaga dalam itu mengenai pedang yang merah 

membara, lalu memantul balik, mengenai dada Laksa-

mana Chou. Lelaki bermata kecil dan kumis telah terpo-

tong sebelah itu terpental mundur, bahkan sampai ter-

jatuh segala. Lanang hendak bangkit, namun tubuhnya 

masih terasa lemas. Belum begitu segar, sekali pun ia 

telah berhasil menetralkan segala rasa sakit dan penya-

kit.

Laksamana Chou bangkit dengan kemarahan yang 

tinggi. "Manusia tak patut diberi ampun kamu, hah...?! 

Hiaaat...!"

Pukulan Rajawali Murka segera beraksi. Dari kedua 

telapak tangan keluarlah sinar merah terputus-putus 

menyerupai anak panah kecil-kecil. Anak panah itu me-

lesat ke arah Lanangseta. Dan Lanangseta memutar pe-

dangnya di bagian depan dengan cepat. Putaran pedang 

itu menimbulkan sinar merah membara yang bagai se-

buah perisai penangkis anak-anak panah tersebut. Ben-

turan anak panah dengan pedang memercikkan bunga 

api yang sangat dahsyat. Apalagi ketika Laksamana se-

gera merubah jurus, yang kini menjadi bola-bola api 

melayang menghantam Lanangseta, tangkisan Lanang


pun lain lagi. Bukan pedang diputar cepat menyerupai 

perisai, melainkan pedang itu sendiri dikibas-kibaskan 

dan menimbulkan hempasan angin kencang yang 

membuat bola api itu membentur ke sana sini tak tera-

tur. Beberapa tempat yang terkena benturan bola api 

itu ada yang sampai terbakar, tapi tidak lama padam 

sendiri, karena lumut bercahaya yang ada di tempat itu, 

yang memenuhi dinding itu, tidak mudah terbakar ka-

rena kelembabannya.

Lanangseta cukup tenang. Ia duduk melonjorkan 

kaki dan punggungnya bersandar pada batu besar.

"Aku sudah bosan berhadapan denganmu, Babi 

Kampung! Sekarang saatnya membunuh telah tiba. 

Ciaaaat...!"

Laksamana Chou menggerakkan tangannya ke de-

pan dan bersimpang siur. Makin lama semakin cepat. 

Dan Lanang ingat, itulah jurus yang dipakai memukul-

nya tadi; Pukulan Tangan Setan. Lanang segera men-

gangkat pedangnya ke depan wajah.

"Wisa Kobra... bunuh dia!"

Pedang Wisa Kobra dilepas dari genggaman Lanang, 

dan pedang itu pun meluncur cepat ke arah Laksamana 

Chou. Gerakan Tangan Setan berhenti seketika, dan 

Laksamana segera berkelit ke arah kanan. Pedang itu 

membelok ke arah kanan. Laksamana kebingungan 

dengan mata yang membelalak ngeri. Ia segera bersalto 

beberapa kali ke beberapa tempat, tapi pedang Wisa 

Cobra yang dijuluki Pedang Malaikat itu masih tetap 

mengejar ke mana pun lawannya lari. Sementara itu, 

Lanangseta tetap duduk melonjorkan kaki dengan san-

tai sambil menyaksikan Laksamana dikejar-kejar pe-

dang Wisa Kobra.

Pedang itu melesat ke arah leher Laksamana, dan 

Laksamana menghindar. Pedang itu melesat ke tempat 

kosong, namun ia segera kembali lagi menghunjam


punggung Laksamana. Pada saat itu, Laksamana sem-

pat merunduk sehingga pedang itu hanya menggores 

punggung dan membuat Laksamana terpekik kesakitan. 

Ia bersalto ke belakang beberapa kali. Pedang Wisa Ko-

bra masih mengejarnya. Sampai akhirnya, Laksamana 

tersudut di suatu himpitan dua batu yang berjajar. Pe-

dang Wisa Kobra melesat terus dan menghunjam perut 

Laksamana tanpa ampun lagi.

"Aaaahhkk...!"

Laksamana tertembus pedang sampai jebol ke bagian 

pinggang belakang. Bahkan karena pinggang itu mera-

pat dengan batu, maka pedang Wisa Kobra pun terus 

menembus batu besar yang kekar hingga dia lolos dari 

batu dan melayang kembali ke tangan Lanangseta. Itu-

lah kehebatan Pedang Malaikat. Lanangseta mencium 

pedang itu seraya berkata:

"Pekerjaan yang bagus, Wisa Kobra...! Sekarang 

orang itu tahu sendiri akibatnya...." Lalu Lanang segera 

menyarungkan pedang tersebut ke punggung. Sedang-

kan tubuh Laksamana berkelojotan. Ususnya terjulur 

ke luar dari perut yang robek ditembus pedang Wisa 

Kobra. Setelah kakinya mengejang-ngejang beberapa 

saat, lalu tubuh itu pun lunglai sudah. Ia tak pernah 

bergerak sedikit pun, alias mati.

"Selamat jalan, Laksamana...." ucap Lanang dari 

tempat duduknya. Dan ia menghempaskan nafas lega. 

Ia masih ingin beristirahat di situ. Pedang dan Cambuk 

Naga ada padanya.

Lanangseta tertidur di dalam goa itu. Ketika bangun, 

ia merasakan badannya cukup segar. Tapi ia tak tahu 

kalau sebenarnya ia telah tertidur selama tiga hari di 

sana.

"Cambuk Naga sudah kuperoleh...!" katanya sendi-

rian. "Sebaiknya aku harus pulang dulu, supaya Kirana 

tidak gelisah menungguku."


Gelombang laut tidak begitu besar saat Lanangseta 

keluar dari goa tersebut dan berenang menuju ke per-

mukaan laut. Ada debar-debar aneh di hatinya pada 

saat itu. Lanangseta sendiri menerka-nerka, apa yang 

membuat getaran dan debaran aneh di hatinya? Setelah 

lama baru ia temukan makna debaran tersebut; bahwa 

dia sebenarnya sedang rindu kepada Kirana, istrinya. 

Sebagai pengantin baru, ia sudah pergi cukup lama. Je-

las hal itu akan membuat segumpal kerinduan di kedua 

belah pihak. Namun yang sangat dicemaskan Lanangse-

ta, adalah kerinduan istrinya.

Putri Bukit Badai, istrinya itu, tak boleh menderita 

rindu. Sebab bila kerinduan menyiksa dirinya, maka 

darah Kirana akan membusuk dan menjadi beracun, 

seperti dulu ketika Lanang pergi tanpa pamit itu. Ham-

pir saja kerinduan Kirana membuat gadis itu mati sela-

manya. Untung Lanang segera datang dan mampu 

menggerakkan sukma Kirana, membuat darahnya ne-

tral kembali dan akhirnya perempuan itu pun masih hi-

dup sampai sekarang, (dalam kisah MALAIKAT PEDANG 

SAKTI).

Dalam perjalanannya pulang ke Bukit Badai, tempat 

di mana istri dan mertuanya tinggal di Griya Teratai 

Wingit, Lanangseta sempat menemukan mayat Mahani 

yang tubuhnya membusuk dan wajahnya hancur per-

tanda mendapat siksaan berat. Lanangseta sempat ter-

bakar darahnya melihat mayat Mahani tergeletak begitu 

saja. Apa yang telah terjadi, Lanang tak tahu. Memang 

ia melihat banyak pohon yang tumbang, banyak dahan 

dan ranting yang patah dan terpotong beberapa bagian. 

Tetapi siapa yang memotong dan menumbangkannya? 

Ludiro atau adik kembar Lanang sendiri: Ekayana? La-

lu... ke mana mereka? Mengapa hanya ada mayat Ma-

hani dan tempat yang berantakan? Ke mana Ekayana, 

Ludiro serta Yin Yin? Tak ada bekas darah yang me


netes ke satu arah.

"Ludirooo...?! Pamaaan Ludiroo...!" teriak Lanang 

bergema. Namun sepi, tak ada jawaban.

"Ekayanaaaa...! Ekayanaaaa... di mana kauu...!"

Juga tetap sepi, tak ada jawaban. Lanangseta gemas 

sendiri. Ia naik ke atas pohon, memeriksa keadaan se-

keliling. Namun tempat itu sangat sunyi. Tak ada tanda-

tanda kehidupan manusia di sana sini.

Mata Lanang tertuju pada mayat Mahani. Hatinya te-

riris melihat keadaan dan nasib gadis desa yang lugu 

itu. Kasihan sekali Mahani, karena memburu cintanya 

kepada Lanang sampai-sampai ia menjadi korban yang 

menyedihkan. Padahal Lanang yang diburunya sudah 

menikah dengan Kirana, Putri Bukit Badai yang anggun 

dan sangat dicintai Lanang itu.

Bau busuk itu sangat tajam. Lanang tak sanggup ka-

lau harus menggali kubur dan memakamkannya. Satu-

satunya jalan harus dibakar.

Sebab itu, Lanangseta segera mengumpulkan daun 

kering dan kayu-kayu kering. Barang-barang itu dis-

usun rapi menutupi mayat Mahani. Kemudian, Lanang 

mengambil jarak dan mencabut Cambuk Naganya. Ia 

tak tahu apakah ia bisa memakai cambuk itu atau ti-

dak. Tapi seingatnya, dulu ia pernah menggunakan 

cambuk tersebut dalam suatu pertempuran di Tebing 

Neraka. Dan tangan serta tubuhnya bergerak-gerak 

sendiri, seakan sedang memainkan jurus Cambuk Naga 

milik bekas kekasihnya: Sekar Pamikat.

Dalam keadaan merenung itu, tahu-tahu Lanangseta 

merasa bingung sendiri setelah tangannya yang meme-

gangi cambuk itu berputar-putar. Cambuk Naga bagai 

melingkari udara di atas kepalanya. Kemudian cambuk 

itu pun melejit ke atas tumpukan kayu, Satu kali mele-

jit: "Taar...!" Dan tumpukan kayu itu pun terbakar seke-

tika. Api berkobar membakar mayat Mahani yang tak


terkuburkan oleh siapa pun itu.

Lanangseta segera berlari menuju Griya Teratai Win-

git. Ia sudah tak tahan memendam kangen dengan is-

trinya. Namun ketika ia sampai di Griya Teratai Wingit, 

ia jadi kecewa ketika Rama Sabdawana, mertua Lanang, 

berkata:

"Istrimu menyusul kau ke Pulau Kramat. Dia khawa-

tir terjadi sesuatu padamu, sebab itu ia ke sana."

"Gawat...!" Lanang menggumam cemas. "Paman Lu-

diro juga ikut ke sana, Rama?"

"Ludiro...?! Oh, dia belum kembali sejak dulu...."

"Lho...?! Ke mana, ya?!"

***

4

ANDINI sudah memperoleh kekuatan seperti dulu. 

Ilmu dan kesaktiannya yang telah hilang, kini kembali 

seperti sediakala. Ia telah melakukan Semadi Serap ber-

sama Indra Mada, alias Jaka Bego yang sudah berubah 

ujud. Sudah tentu hatinya sangat gembira sekali, sama 

halnya dengan kegembiraan yang ada pada Nyai Katri.

Namun, rupanya ada satu masalah yang membuat 

kedua perempuan itu gelisah. Masing-masing tak mau 

mengungkapkan kegelisahannya. Tapi akhirnya, Nyai 

Katri yang membuka rahasia hatinya ketika ia dan An-

dini sibuk membakar ikan untuk santapan Indra Mada 

yang masih tertidur.

"Apakah semalam kau sempat bermimpi, Andini?"

Andini menggeleng, sesekali ia menggigit ikan kecil 

yang terlanjur hangus. Lalu ia pun bertanya,

"Bagaimana dengan kau, Nyai? Kau tertidur pulas, 

ya?"


Nyai mendesah. "Semalam aku tak bisa tidur."

Andini sedikit curiga. Ia mengira Nyai menyindirnya.

"Jangan menyindir."

"O, tidak. Aku tidak menyindir siapa-siapa. Aku ber-

kata sebenarnya, An. Aku semalam tidak bisa tidur. Ada 

sesuatu yang bergejolak di hatiku dan sangat menggeli-

sahkan. Kau tahu itu?"

"Hemm... tentang salah satu ilmu yang belum kau 

dapatkan kembali?"

"Bukan. Bukan soal ilmu," jawab Nyai. "Soal lain."

"Soal lain? Hemm... tentang...." Andini berbisik den-

gan mendekatkan wajahnya ke telinga Nyai, "Tentang... 

Jaka Bego, bukan?!"

Nyai sedikit tersipu. "Terus terang... iya. Memang 

soal itu. Aku memikirkan bahwa...."

"Kalau begitu sama persis dengan yang kugelisah-

kan, Nyai!"

Nyai dan Andini akhirnya tertawa. Sambil membakar 

ikan mereka masih terus berbicara tentang Indra Mada 

dan gejolak birahinya.

"Aku tak berani mengganggunya, Nyai. Aku... yah, 

terus terang saja, aku memang mengharapkan cum-

buannya, tapi aku takut kalau ilmu yang ada padaku 

akan hilang lagi terserap pusakanya yang, hemm... 

aduhai itu, Nyai...."

Tawa Nyai Katri semakin menjadi.

"Eh, benar kok. Aku sendiri ngeri. Sebetulnya sema-

lam, bahkan sudah beberapa malam ini aku ingin sekali 

mengenyam kehangatan pelukannya, tapi aku juga ta-

kut kalau-kalau aku terjebak dalam Asmara Pasak De-

wa. Tapi... ah, memang serba susah, Andini. Sejak il-

muku kembali lagi, aku jadi sangat hati-hati kepadanya. 

Hasratku sangat bergelora, tapi demi menjaga kewaspa-

daan, yah... aku jadi mencarinya sendiri...."

"Mencarinya sendiri?" Andini tertawa menutup mulut


dengan tangannya. "Mencarinya sendiri...? Ih, lucu."

"Ah, terserah. Mau dianggap lucu atau tidak, tapi... 

semua itu bersifat: apa boleh buat."

Andini masih mengikik geli.

"Jangan meledek, An!" geram Nyai sedikit cemberut.

"Bukannya meledek, tapi... aku pun juga begitu."

"Mencarinya sendiri?"

"Iya... hi, hi, hi...!"

Indra Mada masih tertidur. Ia perlu istirahat banyak, 

terutama setelah selama enam hari melakukan Semadi 

Serap untuk kedua perempuan itu. Memang, sudah tiga 

hari juga ia beristirahat, namun agaknya masih kurang. 

Indra Mada masih sering mengantuk dan tak berse-

mangat memberikan ciuman kepada mereka. Di samp-

ing itu juga karena kedua perempuan tersebut memang 

tidak banyak menggodanya.

Sekalipun jantung berdetak-detak, keringat bercucu-

ran menahan gelora cinta, dan desah sering keluar be-

rupa keluh yang menjengkelkan, namun agaknya kedua 

perempuan itu hanya bisa mendesah dan mengeluh. 

Untuk menggoda apalagi memakainya sendiri, seperti 

dulu kala, mereka tak berani. Mereka takut kehilangan 

kekuatannya yang telah kembali itu. Asmara Pasak De-

wa membuat mereka menjadi trauma untuk bercumbu 

dengan Indra Mada.

Nyai Katri berkata bagai sebuah gumam, seraya ia 

membolak-balik ikan panggang yang ditusuknya me-

makai ranting.

"Sebenarnya, kepada siapa lagi kita akan mempero-

leh pusaka yang istimewa itu? Kurasa tidak ada lelaki 

lain yang mempunyai kehebatan seperti Indra Mada, 

atau si Jaka Bego...."

"Memang...." kata Andini. Ia juga ikut memanggang 

salah satu ikan. "Tak ada lelaki yang bisa sehebat dan 

setangguh Jaka dalam bercinta. Kekuatannya sungguh


luar biasa. Ke mana lagi kita akan memperoleh kuda se-

jantan dia?"

Nyai termenung, sekali pun matanya tertuju pada 

ikan yang dipanggangnya, namun pikirannya menera-

wang ke malam-malam sebelum ia melakukan Semadi 

Serap. Darahnya berdesir jika ia terbayang kejantanan 

Jaka sewaktu menyusuri malam yang dingin bersa-

manya, juga bersama Andini. Jaka terus berpacu bagai 

tak kenal lelah, dari tempat yang satu ke tempat yang 

lain, lalu kembali ke yang satu, dan balik lagi ke yang 

lain, begitu seterusnya ia menyusuri malam yang dingin 

dan membuaikan kemesraan sejati itu. Andini sendiri 

menjadi kacau pikirannya dan semakin ditikam kegeli-

sahan jika mengingat hal itu.

Namun ada masalah lain yang ingin ia tanyakan ke-

pada Nyai Katri. Mulanya ia merasa tak perlu memasa-

lahkan pertanyaan batinnya. Tapi lama-lama, setelah 

direnungkan, ia berkesimpulan bahwa pertanyaan da-

lam batinnya itu perlu mendapat perhatian yang sung-

guh-sungguh. Sebab itu, Andini pun terpaksa melon-

tarkannya saat itu:

"Nyai... sebenarnya siapa di antara kita yang akan 

menjadi istri Jaka Bego? Kau atau aku, Nyai...?"

Nyai Katri mendesah. Rupanya ia sendiri bimbang 

untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya balik 

bertanya:

"Menurutmu siapa yang pantas mendampinginya?"

"Aku tidak bisa memberi pendapat, Nyai. Aku sendiri 

bingung. Kalau dia menjadi istrimu, aku akan kecewa. 

Dan kalau aku yang menjadi istrinya, tentu kau pun 

akan kecewa, bukan? Jadi.... Ah, entah. Siapa di antara 

kita ini yang akan dipilihnya."

Nyai memasukkan beberapa ikan bakar yang sudah 

matang ke dalam suatu tempat yang terbuat dari daun 

jati. Ia sempat berkata, sekali pun tanpa memandang


Andini:

"An... kalau menurutku, kita ini sama."

"Sama bagaimana, Nyai?"

"Kita punya nasib yang sama, punya selera yang sa-

ma, dan punya tujuan yang sama." Nyai berhenti seben-

tar, memasang seekor ikan laut sebesar betis, menu-

suknya dengan kayu dan menaruhnya di atas kobaran 

api. Kemudian ia berkata seraya membolak-balikkan 

ikan panggangnya itu:

"Sejak aku kehilangan semua ilmuku, dan kau pun 

demikian, aku merasakan ada kesamaan di antara kita. 

Yang pertama, kesamaan untuk membunuh Lanangse-

ta. Lalu, kesamaan tidak mempunyai ilmu apa-apa. 

Kemudian kesamaan dilayani dan melayani Jaka Bego. 

Setelah itu, kesamaan ketagihan Jaka Bego. Seterus-

nya, kesamaan saling suka dan menyukai Indra Mada, 

kesamaan ingin membuat kuda jantan kita menjadi se-

hat, dan..,." Nyai berpaling memandang Andini yang 

saat itu sengaja diam, tidak mengerjakan apa-apa.

"Terus terang, Andini... sejak kau mau menguburkan 

aku dalam melakukan Semadi Serap, sampai kau mau 

membongkar kuburanku setelah tiga hari lamanya, se-

jak saat itu aku menganggap kau adalah adikku sendiri. 

Karena itu, sewaktu kau dan Jaka masuk ke liang dan 

melakukan Semadi Serap, aku menimbunmu dan men-

jagamu dengan hati-hati sekali. Aku tak ingin kau cela-

ka, apalagi Jaka. Aku punya keinginan agar kita selalu 

bersama dalam keadaan damai, dan sejahtera. Sehing-

ga, kemarin sempat pula kupikirkan, seandainya, aku 

yang dipilih Jaka, maka kubiarkan kau ikut merasakan 

kehangatannya kapan saja kau mau. Aku tidak cembu-

ru kepadamu. Aku rela dia tidur bersamamu, sebab kita 

toh memang sudah sering tidur bertiga dan saling me-

nukar rasa dengannya, bukan?"

Andini diam. Ada semburat keharuan yang terbayang


di kebeningan matanya. Namun ia masih belum bisa bi-

cara apa-apa. Hanya saja, kali ini Nyai Katri merangkul 

dirinya dan membisikkan kata, "Dia milik kita berdua, 

Andini. Kita sama-sama mengaguminya dan... dan 

mencintainya, bukan?"

Andini mengangguk. Kedua matanya semburat me-

rah.

"Terima kasih, Nyai...." bisik Andini. "Aku tak me-

nyangka kalau kau akan berhati seperti itu." Andini 

menitikkan air mata, namun buru-buru dihapusnya 

sendiri. Nyai Katri sendiri seumur-umur baru kali itu 

merasa hatinya tersentuh oleh suatu kelembutan yang 

penuh perasaan. Dulu, sebelum ia mengenal Indra Ma-

da, ia tidak pernah seperti itu. Ia pantang tersentuh 

oleh keharuan. Namun sekarang, entah bagaimana bi-

sa, ia tersentuh oleh keharuan yang nyaris-tidak terlihat 

itu.

Ketika Indra Mada santap siang, Nyai Katri mengaju-

kan pertanyaan tersebut:

"Sebenarnya siapa di antara kita yang ingin kaujadi-

kan istrimu, Jaka?"

Indra Mada hanya tersenyum seraya menikmati ikan 

bakarnya. Andini menunduk, merasakan desiran halus 

di hatinya, sedangkan Nyai Katri memberanikan diri un-

tuk menatap Indra Mada. Ia merasa tak boleh cengeng 

untuk masalah seperti itu. Ia harus bisa menampilkan 

sosok ketegasan yang dulu pernah ia miliki.

"Terus terang, Jaka... tadi, sebelum kau bangun, 

kami berbicara soal itu. Lalu, semuanya kuserahkan 

kepadamu. Terserah kau, siapa yang akan kau pilih dari 

kami berdua ini: Andini, atau aku...."

"Apakah aku perlu menjawab pertanyaan seperti 

itu?" tanya Indra Mada dengan kalem.

"Kurasa perlu, supaya kami berdua lega dan menge-

tahui apa yang harus kami lakukan untuk kamu."



"Kalau begitu, lakukan saja secara bersamaan. Apa 

susahnya? Bukankah selama ini kalian juga melakukan 

secara bersamaan?"

Nyai Katri sengaja menatap Andini, yang rupanya ju-

ga sedang memandang Nyai. Lalu, Andini memberani-

kan diri bertanya dengan suara yang pelan:

"Maksudmu bagaimana, Jaka?"

Jaka meneguk minumannya. Ia menampakkan sikap 

serius dan sungguh-sungguh dalam bicara.

"Kau tahu siapa aku sebenarnya, bukan?"

"Seorang dewa. Dewa Seribu Mimpi," jawab Andini.

"Nah, dalam peraturan, seorang dewa tidak boleh be-

ristrikan seorang manusia. Artinya, dewa harus kawin 

dengan dewi, atau seorang bidadari. Tetapi seandainya 

dewa itu menikah atau mempunyai istri manusia, ada 

dua kemungkinan yang bisa dilakukan: keluar sebagai 

dewa dan terus menjelma jadi manusia, atau tetap men-

jadi dewa tetapi tidak boleh membawa pulang istrinya."

Andini menatap Indra Mada dengan sorot mata sayu. 

Indra Mada merasa iba melihat kesenduan Andini dan 

Nyai. Indra Mada berkata lagi:

"Aku pernah katakan kepadamu, Nyai, bahwa aku 

akan datang tujuh hari sebelum dan sesudah bulan 

purnama. Dan selama itulah kalian bisa melepas rindu 

kepadaku...."

"Maksudnya, aku dan Nyai...?" sela Andini.

"Ya. Kau dan Nyai. Aku ingin memperistri kalian ber-

dua, apabila kalian berjalan pada jalur kehidupan yang 

benar. Menjauhi keserakahan, kebatilan, kedengkian, 

kekejaman, dan lain sebagainya. Aku ingin mempunyai 

istri yang baik-baik, sehingga aku punya alasan untuk 

mempertahankan tuduhan di Suralaya nanti. Kalau is-

triku berbuat keji, serong dari jalan yang benar, maka 

bagaimana aku akan bisa mempertahankan keputu-

sanku dalam rapat di Suralaya nanti? Jadi, aku akan


setia kepada kalian, akan memberikan kebahagiaan 

yang kalian cari selama ini, asalkan kalian menjadi ma-

nusia yang betul. Bukan manusia yang berjiwa binatang 

dan iblis."

Nyai Katri tertunduk, merasa dirinya dulu hidup pe-

nuh dengan kekejian, sampai-sampai banyak yang men-

julukinya sebagai perempuan iblis. Bahkan dulu pun ia 

pernah berjuluk Iblis Sendang Bangkai. Namun, setelah 

ia mendengar penuturan Indra Mada itu, hatinya men-

jerit dan menangisi masa lalunya. Kini ia ingin menjadi 

manusia yang menjalani hidup dalam kebenaran. Ia tak 

ingin ditinggalkan Indra Mada, sebab pada diri Indra 

Mada itu seakan segala yang dicarinya selama ini telah 

diperolehnya. Kebahagiaan sejati.

Saat itu Andini juga berani bertanya kepada Indra 

Mada:

"Lalu, bagaimana dengan kemesraan dan kehanga-

tan yang kami butuhkan dari kamu, Jaka? Apakah ti-

dak akan menyedot ilmu kami lagi?"

Indra Mada tertawa, dan Nyai Katri segera menam-

bahkan kata:

"Benar. Hal itu sangat menghantui kami, sehingga 

kami jadi takut menggumuli kamu, Jaka."

Lalu jawab Indra Mada, "Aku tak akan segila dulu. 

Aku tak akan memasang perangkap lagi untuk kalian, 

asal kalian mau menjadi manusia baik-baik. Ilmu As-

mara Pasak Dewa hanya untuk menunjukkan perem-

puan-perempuan berhati sombong dan keji. Tapi... ku-

rasa kalian sekarang bukan manusia sombong dan keji. 

Kurasa kalian sekarang menjadi perempuan-perempuan 

yang... yang selalu memancing gairah dan memang 

membuatku betah...."

Tawa Indra Mada terlepas, seperti halnya tawa Nyai 

dan Andini. Dan di balik tawa itu, sesungguhnya suatu 

sorak kegembiraan yang panjang bagi Nyai Katri dan


Andini. Karena dengan begitu, mereka dapat segera me-

neguk secawan anggur menghapus dahaga yang selama 

ini mereka tahan-tahan.

Buktinya, sejak itu mereka berdua tak pernah ber-

henti memancing-mancing Indra Mada dengan cara dan 

gayanya masing-masing, sehingga Indra Mada pun 

hanya diam dan berlagak lemas ketika digotong masuk 

ke kamar. Andini dan Nyai merasa mempunyai kekua-

tan yang maha dahsyat, sehingga mereka berdua mem-

biarkan Indra Mada berlagak lemas. Kini mereka men-

dayung sendiri, membawa sampan ke ujung dunia, 

mengarungi samudra cinta ke puncak Himalaya seting-

gi-tingginya. Mereka bekerja tanpa memberi kesempa-

tan Indra Mada untuk membalas serangan dengan ju-

rus tertentu, sebab mereka ingin meluapkan amukan 

birahi sekehendak hati. Dendam asmara yang tertunda, 

membuat mereka sibuk sepanjang hari tanpa meminta 

Indra Mada mengayuh sampan di antara dua genangan 

samudera.

Sore dilewati tanpa henti. Dan malam dijelajahi tan-

pa kelelahan. Tenaga mereka adalah tenaga dalam yang 

diperbantukan untuk merengkuh kebahagiaan. Tenaga 

mereka bukan sekedar tenaga seorang perempuan yang 

hanya bisa lunglai di ujung satu dermaga. Mereka 

mempunyai tenaga simpanan yang mampu melewati 

banyak dermaga, bahkan banyak pulau yang dilalui 

tanpa berhenti kecuali bergantian menjadi nakhoda.

"Kurasa Lanangseta tak akan sebegini mengagum-

kan." tutur Nyai. "Jadi, sebenarnya sia-sia sekali kau 

dulu mengejar-ngejar Lanangseta. Kau malah seperti 

perempuan hina yang tak dihargai sama sekali oleh La-

nangseta, Andini."

Waktu itu, Andini hanya tersenyum dan sibuk men-

gatur nafasnya sambil mendengarkan omongan Nyai 

yang tengah beristirahat sejenak itu, Nyai berkata lagi


seperti orang menerawang:

"Tak ada perempuan sebahagia kita, Andini. Tak ada. 

Sekali pun dia istri Lanangseta, namun dia belum tentu 

sebahagia kita...." Nyai tertawa ketika ia melihat Indra 

Mada masih tertidur dan membiarkan dirinya diayun-

ayunkan ke ujung dunia.

Namun, pada saat itu ada sedikit perubahan yang te-

rasa di hati Andini. Begitu ia mendengar nama Lanang-

seta, begitu istri Lanangseta disebutkan, bergetar ha-

tinya. Ia merasa dihina pada waktu itu oleh Lanangseta. 

Ia merasa dianggap perempuan tak punya harga di ma-

ta Lanang, mungkin juga di mata Ludiro atau istri La-

nangseta itu.

Perasaan-perasaan itu mengganggu kenikmatan ma-

lam menjelang pagi. Sampai akhirnya Andini mele-

paskan kesibukannya, dan segera mengenakan gaun-

nya yang tipis. Nyai merasa heran.

"Hei, cepat sekali kau selesaikan tugas batinmu? Ti-

dak menyesal terlalu cepat?"

"Aku ingin menghirup udara di luar kamar, Nyai. 

Berlayarlah sendiri, nanti aku akan menyusul lagi kalau 

pernafasanku sudah lega kembali...."

Nyai tidak tahu, Nyai hanya tertawa dan berkata, 

"Makanya, kalau cepat mabok jangan naik sampan. Bi-

sa cepat muntah...." Tawa Nyai berkepanjangan sambil 

ia sendiri mulai meraih dayung dan mempermainkan-

nya sejenak. Andini keluar dari kamar dengan wajah 

murung tipis. Ia masih teringat kata-kata Nyai; sebagai 

perempuan yang diremehkan, dihina dan dianggap ti-

dak mempunyai harga diri. Andini merasa menyesal se-

kali, mengapa ia menciptakan kesan seperti itu kepada 

Lanangseta, sehingga suatu saat ia akan menjadi bahan 

ejekan oleh Lanang, dan terlebih lagi oleh istri Lanang-

seta sendiri. Iih... gemas sekali ia jadinya.

Dan mendadak dalam ingatan Andini juga muncul


wajah Ekayana. Andini menggeram, menggeletukkan gi-

gi. Menahan gejolak nafsu amarah teringat betapa sa-

kitnya ia dikhianati Ekayana, dianggap perempuan tak 

punya arti apa-apa dibandingkan dengan Yin Yin, gadis 

Cina itu. Padahal kegantengan Ekayana maupun La-

nangseta, tak ada separoh dari ketampanan Indra Ma-

da.

Dari renungan ke renungan, timbullah dendam yang 

mulai membara di hati Andini. Dari dendam ke dendam, 

mulai timbul kemarahan yang meluap-luap. Dari kema-

rahan itulah timbul sebuah gagasan untuk membunuh 

mereka: orang-orang Lanangseta yang pernah dikenal-

nya. Setidaknya dengan membunuh mereka, Andini me-

rasa tertutupi rasa malunya di masa lampau. Dengan 

membantai mereka, Andini dapat menunjukkan kepada 

dunia, bahwa dia bukan perempuan murahan yang 

pantas dihina dan diremehkan oleh lelaki seperti La-

nang dan Ekayana.

"Tetapi mereka cukup tangguh...." pikir Andini dalam 

ketermenungannya itu. "Ilmuku agaknya tak seberapa 

dibandingkan dengan Ekayana, apalagi Lanangseta. Sa-

tu-satunya jalan, aku harus membujuk Nyai agar ia 

mau membantuku...! Ah, tapi Nyai belum tentu mau. Ia 

sudah ingin menjadi orang baik. Puih...! Orang baik? 

Apakah ia akan mampu? Apakah Nyai dapat bertahan 

untuk tidak membunuh siapa pun?"

Andini mondar-mandir di ruang tengah yang panjang 

itu. Suara desah dan erangan Nyai terdengar jelas, na-

mun ia tak ambil pusing lagi. Otaknya sudah digeluti 

oleh dendam dan kebencian kepada Ekayana, Yin Yin, 

Lanangseta, istri Lanang dan... orang-orang yang masuk 

dalam kelompok Lanangseta itu.

"O, ya... aku ada akal...." katanya dalam hati. "Bu-

kankah dulu, sebelum Nyai dan Jaka masuk ke liang 

kubur, ia pernah menunjukkan sebuah pusaka dari


Tiongkok? Ya, aku ingat ketika Jaka menceritakan 

keampuhan seruling itu. Dapat membunuh lawan hing-

ga menjadi berkeping-keping jika ditiup sambil kita 

memandang lawannya. Wouww...! Itu dia yang harus 

kucuri. Itu yang akan membantuku. Seruling Surga...! 

Yah, dengan seruling itu akan bisa mengalahkan mere-

ka. Dan... dan aku harus segera mencurinya untuk ke-

mudian akan kukembalikan lagi setelah selesai urusan 

itu."

Kelengahan Nyai dalam bercumbu yang tidak kenal 

lelah itu telah memberi peluang bagi Andini. Anak putri 

Panglima Negeri Seberang itu telah berhasil mencuri Se-

ruling Surga, bekas pusaka seorang biksu Tiongkok. 

Dengan sangat hati-hati, Andini menyelipkan Seruling 

Surga itu. Ia mengenakan ikat pinggang dari kain selen-

dang warna biru, dan kainnya yang merah jambu di-

biarkan melekat tipis pada kulit tubuhnya. Pelan-pelan 

sekali ia pergi meninggalkan rumah panjang, tempat di 

mana Nyai serta Indra Mada masih asyik menikmati 

ayunan ombak bahtera kebahagiaannya. Andini menye-

linap, merayap, dan pergi memburu dendamnya dengan 

berbekal Seruling Surga.

Tepat matahari menyingsing, Andini berdiri di pantai. 

Ia menggerakkan kedua tangannya ke depan, lalu ke-

duanya terentang dan naik ke atas kepala, lalu kedua 

telapak tangannya itu saling bertemu, mengatup rapat 

di atas kepala. Kemudian kedua tangan yang telah me-

rapat itu bergerak turun perlahan-lahan. Sebaris man-

tra diucapkan dalam hati. Dan dengan satu gerakan 

kuat, kedua tangan yang mengatup sudah berada di 

depan pusarnya itu membuka seketika, bagai ia menye-

bar sesuatu ke permukaan air laut. Dan pada saat itu 

pula, ternyata air laut menjadi beku. Samudra bagaikan 

padang es. Salju turun samar-samar. Lalu, Andini ber-

lari dengan menapak di permukaan air laut yang telah


menjadi beku itu.

Ketika sampai di pantai seberang, Andini menghem-

buskan nafas panjang sambil mengulangi gerakan se-

perti tadi, sewaktu ia hendak membekukan air laut. Ke-

tika ia menghempaskan nafas, air laut pun bergolak 

kembali dan menjadi cair. Salju yang beterbangan ber-

henti sedikit demi sedikit. Udara dingin segera berganti 

hangat karena matahari sudah kian meninggi.

Pada waktu itu, ada sepasang mata menyaksikan se-

gala gerakan Andini. Sepasang mata yang tajam dan in-

dah itu jelas milik seorang perempuan. Ia berlindung 

dari balik bebatuan di tepi pantai sebelah ujung. Ia 

sempat kagum melihat kemampuan Andini membeku-

kan air laut. Dan diam-diam perempuan yang mengintai 

itu pun menguntit gerakan Andini. Ia mengira, Andini 

adalah jelmaan dari Nyai Katri yang terkenal dapat ber-

ganti-ganti rupa seribu kali.

Perempuan itu tak lain adalah Kirana Sari, istri La-

nangseta yang sedang menyelidiki dengan indra keenam 

apakah Lanang berada di Pulau Kramat itu atau tidak. 

Tetapi sepanjang penyelidikannya, ternyata Lanang 

memang tak ada di sana. Jadi tak ada salahnya jika Ki-

rana menguntit gerakan perempuan bergaun merah 

muda, berikat pinggang selendang biru. Kirana belum 

tahu kalau perempuan yang dikuntitnya itu adalah An-

dini. Dulu, dia memang pernah melihat wajah Andini, 

namun tidak sekurus itu. Kini wajah Andini sedikit ber-

beda dengan wajah saat dia bertemu dengan Ekayana di 

depan Goa Malaikat.

Beberapa saat setelah Kirana mengikuti Andini, ba-

rulah ia ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis 

itu. Kirana juga ingat bahwa Andini adalah kekasih 

Ekayana, adik kembar Lanangseta, suaminya. Kirana 

tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kirana ingin 

mengejar Andini untuk menanyakan sesuatu. Tetapi ge


rakan Andini cukup lincah dan cepat. Ada kecurigaan 

yang timbul di hati Kirana setelah ia melihat gerakan 

Andini seakan tidak ingin diketahui oleh orang lain. Ini 

berarti Andini menyimpan suatu rahasia yang cukup 

penting, dan Kirana ingin mengetahuinya.

Kirana sengaja menguntitnya dari jarak jauh. Ia me-

manfaatkan kepekaan indra keenamnya yang mampu 

mengetahui ke mana arah larinya Andini.

"Apa yang akan dilakukannya? Mengapa ia seperti 

pencuri yang takut diintip orang?" pikir Kirana.

Mendadak Andini berhenti. Kirana buru-buru ber-

sembunyi di balik semak belukar. Andini melompat ke 

atas pohon dengan gerakan ringan yang menyerupai 

kupu-kupu terbang. Kirana pun ikut melompat ke salah 

satu pohon yang berdaun rimbun. Rupanya Andini me-

lihat sesosok bayangan melesat di balik tiga pohon be-

sar berjajar itu. Andini memandang ke arah sana, dan 

Kirana pun memandang ke arah serupa.

"Oh, dia mengincar Paman Ludiro...?" pikir Kirana.

Andini melesat ke pohon yang satu, Kirana menyu-

sul, menempati pohon yang semula dipakai Andini. Ma-

ta Andini memandang ke arah Selatan, Kirana pun 

mengikutinya.

"Oh, itu dia adik Lanangseta...?" kata Kirana dalam 

hati. "Agaknya ia sedang dalam kejaran Paman Ludiro. 

Oh, dia membawa gadis Cina.... Astaga? Ada persoalan 

apa mereka sebenarnya?"

Andini melesat ke pohon yang satu, lalu melompat 

lagi ke tempat yang lebih rendah, lalu bersifat menung-

gu, dan ia segera turun dari atas pohon tepat di depan 

Ekayana yang tengah membawa lari Yin Yin. Kirana 

mengikutinya terus secara hati-hati. Bahkan ia menda-

pat tempat yang cukup strategis untuk bersembunyi 

dan melihat apa yang terjadi di bawah sana.

Ekayana terperanjat melihat Andini menghadangnya.


Yin Yin paling kaget melihat Andini turun dari atas po-

hon seperti kupu-kupu raksasa.

"Andini...?!" Ekayana mencoba menyapa dengan ha-

lus.

Andini bersikap kasar, "Kau tak perlu beramah sapa 

lagi kepadaku, Bajingan. Sekarang tiba saatnya aku 

membalas sakit hatiku karena penghianatanmu, Bajin-

gan...!"

"Kau, Bajingan perempuan...!" Yin Yin yang bersuara 

kecil, seperti suara anak-anak, begitu tandas dan berani 

membentak Andini.

"Hei, Perempuan jalang...! Bersiaplah kau menuju 

neraka! Sepantasnya kau di sana, karena kerjamu tu-

kang merebut kekasih orang...!"

"Biadab kau. Ciaaat...!" Yin Yin menyerang Andini 

dengan kegeraman amarahnya. Kakinya melayang seca-

ra bergantian bagaikan sabetan kipas. Andini menghan-

tam kaki itu dengan Seruling Surga. Hantamannya cu-

kup kuat, namun kaki Yin Yin yang menendangnya juga 

cukup menghentak, sehingga Andini terpental.

pada saat itulah, Andini meniup Seruling Surga sete-

lah sebelumnya ia berteriak. "Sekarang saatmu mene-

mui ajal, Gadis kotor...!" Seruling ditiup, suaranya me-

lengking bagai irama pelepas sukma. Yin Yin terkejut, 

lalu mengejang. Ia mendekap telinganya dan berteriak 

kesakitan. Ekayana segera menyerang Andini karena 

tahu bahwa seruling itu mempunyai suatu tenaga gaib 

yang amat membahayakan keselamatan Yin Yin. 

Ekayana berseru: "Andini...! Jangan...!"

***


5

ANDINI semakin meniup dengan suara lengking. 

Ekayana bimbang dan kebingungan, karena Yin Yin su-

dah terlanjur kelojotan dan berteriak-teriak sangat his-

teris.

"Hentikan...! Hentikaaaan...!" teriak Ekayana. Lalu ia 

segera menyerang Andini dengan pedangnya. "Jahanam 

kau, Diniii...!"

Tetapi terlambat. Gerakan Ekayana terhenti seketika, 

karena jeritan Yin Yin semakin melengking menyamai 

suara seruling. Lalu, dengan mata kepala sendiri 

Ekayana melihat tubuh Yin Yin menjadi retak-retak, 

dan akhirnya meledak tanpa suara, namun cukup men-

gejutkan dan mempertinggi kepanikannya.

Tubuh gadis Cina itu pecah menjadi berkeping-

keping. Serpihan dagingnya berhamburan kian ke mari. 

Dan Ekayana pun berteriak keras. "Yin Yiiiin...!"

Ekayana bermaksud memeluk Yin Yin, tetapi apa 

yang hendak dipeluknya? Tak ada bagian tubuh yang 

tersisa sebesar genggaman tangan manusia. Tak ada. 

Semuanya menjadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu 

lagi dipungut maupun diraup menjadi satu.

Kirana yang memperhatikan dari tempat persembu-

nyiannya menjadi bergidik melihat kejadian itu. Ia ham-

pir saja turun dari atas pohon dan menyerang Andini. 

Namun ia masih menyadarkan diri. Karena pada saat 

itu, Ekayana maju menyerang Andini dengan kemara-

han yang tak terkendali. Ekayana mengibaskan pe-

dangnya ke leher Andini, tapi Andini segera menangkis-

nya dengan Seruling Emas berukir ular naga. Kaki An-

dini menendang ketiak Ekayana, namun tendangan itu 

justru disongsong dengan pukulan keras dari tangan ki-

ri Ekayana. Pukulan itu mengenai tulang kering kaki


Andini sehingga Andini memekik kesakitan.

"Aaauh...! Bangsat kau, Ekayana...!"

Pedang Ekayana mengibas ke samping dengan cepat. 

Andini menghindari dadanya dari sabetan pedang. Ia 

melengkungkan badan ke belakang. Tetapi aneh... ia 

merasa perih pada bagian pahanya. Ketika dilihatnya, 

ternyata kedua pahanya telah robek akibat kilasan pe-

dang Ekayana. Gerakan pedang Ekayana yang dikira 

hendak merobek dada, ternyata begitu cepat dan menu-

ju paha sasarannya. Andini tak mengira kalau pahanya 

yang menjadi sasaran pedang Ekayana.

Ia mengaduh dan sedikit limbung. Tetapi Ekayana 

sudah hilang kesabarannya. Ia berguling mendekati ka-

ki Andini dan pada saat itu ia menebas kaki Andini se-

perti ia hendak memperuncing sebatang bambu. Andini 

sempat mengelak dengan satu loncatan yang sekaligus 

berhasil menendang wajah Ekayana.

Tetapi Andini segera terbungkuk karena perutnya te-

rasa perih. Ia memandang bagian perutnya dengan ma-

ta membelalak. Ternyata perut Andini robek beberapa 

bagian sekali pun tidak dalam. Ia tak sadar kalau gera-

kan Ekayana itu begitu cepat dalam mempermainkan 

pedang, sehingga perut robek pun tak sempat disadari 

sebelumnya. Andini mengira Ekayana hendak memo-

tong kakinya.

"Pantas kalau dia dijuluki Pendekar Maha Pedang," 

pikir Kirana dari tempat persembunyian. Ia ingin mem-

beri komentar lain, namun pertarungan Andini dan 

Ekayana cukup mengagumkan. Jurus-jurus pedang 

Ekayana membuat Kirana terbengong-bengong kare-

nanya.

Kali ini, Andini sengaja menyerang Ekayana dengan 

pukulan Bidadari Senja. Ekayana berhasil berkelit sam-

bil bersalto ke samping, dan pukulan itu mengenai batu 

setinggi lutut. Batu itu menjadi hitam, hangus, lalu rontok seketika itu. Ada asap mengepul dari batu tersebut. 

Andini tak mau tinggal diam. Ia mencari tempat untuk 

meniup seruling, namun Ekayana segera melayangkan 

tubuhnya seperti burung walet. Pedangnya terarah lu-

rus ke depan. Andini terpaksa berkelit sambil melompat

ke kiri.

"Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Ekayana seraya 

memburu Andini dengan bersalto. Tahu-tahu Ekayana 

sudah berada di depan Andini. Pedangnya bergerak 

membabat ke sana-sini. Andini menghindar dengan me-

liukkan badan, sesekali menangkisnya memakai Serul-

ing Emas. Namun seketika dirasakan kecepatan gera-

kan pedang Ekayana semakin tinggi, Andini segera ber-

guling-guling ke tanah. Ekayana mengejarnya dengan 

hentakan-hentakan kaki yang selalu meleset.

Lalu dengan kecepatan luar biasa, Ekayana pun ikut 

berguling-guling dengan cepat bagai baling-baling di 

rumput. Andini menjaga jarak agar jangan sampai ber-

sentuhan dengan pedang Ekayana.

Dalam satu kesempatan, Andini berhasil lolos den-

gan cara berkelit pada sebatang pohon, lalu melentik ke 

atas bersalto beberapa kali. Tubuhnya dapat mendarat 

dengan sempurna dan kaki berdiri tegap, sedikit me-

renggang.

"Hah...?! Kurang ajar kau, Maling...!" teriak Andini 

setelah mengetahui bahwa semua gaunnya tercabik-

cabik rapi oleh pedang Ekayana. Andini menjadi kebin-

gungan, malu sekali. Tak ada bagian gaun yang masih 

tersisa selembar daun talas. Semuanya menjadi robek-

robek. Bagai pakaian pengemis yang tiga tahun tidak 

pernah diganti. Tapi Andini merasa kulit tubuhnya tak 

ada yang terluka lagi, kendati bagian dadanya ada yang 

tersembul ke luar dengan sangat memalukan.

Ekayana tidak memberi kesempatan kepada Andini. 

Ia menyerang lagi dengan gerakan seperti monyet berjumpalitan di angkasa. Pedangnya mengibas ke sana si-

ni seakan sedang melindungi dirinya sendiri. Andini 

menjaga kemungkinan yang dapat lebih parah lagi. Ia 

segera melompat ke atas pohon, dan berlari melesat dari 

dahan ke dahan. Hampir saja ia hinggap di pohon tem-

pat persembunyian Kirana.

"Andini...! Jangan lari...! Kau harus bertanggungja-

wab atas perbuatan kejimu, Setan Betina...!" Ekayana 

mengejar dengan satu hentakan kaki. Tubuhnya mele-

sat ke atas pohon, dan ia melesat dari dahan ke dahan, 

mengikuti arah Andini. Ia berseru memanggil-manggil 

Andini dengan kemarahan yang benar-benar tak ter-

bendung lagi.

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking 

dan mendayu-dayu. Kirana terperanjat dan mulai pa-

nik. Ia juga melompat ke pohon yang lain untuk melihat 

apa yang terjadi. Pada saat itu, ia melihat Ludiro telah 

berdiri di atas pohon dan berseru.

"Ekayana...! Cepat lari...! Jangan mendekat!"

Tapi Ekayana tidak mempedulikan seruan Ludiro. 

Sekali pun Ludiro tadi mengejar-ngejar Ekayana, na-

mun pada saat ini, Ludiro merasa kasihan kepada 

Ekayana. Ia juga melihat peristiwa malang yang menim-

pa diri Yin Yin. Sebab itu ia bermaksud membantu 

Ekayana. Sebab bagaimana pun juga, Ekayana adalah 

adik Lanangseta, atasan Ludiro yang selalu harus dija-

ganya.

Tetapi bantuan itu terlambat. Andini telah meniup 

Seruling Surga dan Ekayana tetap nekad mendekat. Ke-

tika tubuh Ekayana hendak mendekati Andini, ia ter-

pental dan jatuh ke tanah. Ekayana meringis dan men-

gerang. Bukan karena ia jatuh dari atas pohon tapi ka-

rena suara suling itu mendenging-denging di gendang 

telinganya. Ekayana berusaha untuk berdiri, tetapi ia 

terkulai lemas.



"Aaakkh... aaakhh...!" Ekayana mulai mengejang dan 

menutup kedua telinganya. Ia kelojotan. Suara Seruling 

Surga semakin melengking tinggi. Suara erangan 

Ekayana berubah menjadi teriakan yang histeris.

Saat itu Ludiro menerjang Andini dengan satu gera-

kan melayang. Tapi Andini masih dengan tenang me-

niup serulingnya, sedangkan Ludiro jatuh terpental dan 

nyaris kepalanya terbentur batu di tanah.

"Aaaaahhhkk...!" teriak Ekayana sembari kelojotan 

seperti ayam disembelih.

Ludiro tak tega melihat Ekayana seperti dalam kea-

daan sekarat. Segera ia melemparkan senjata raha-

sianya yang berupa mata pisau kecil beracun itu. Aneh-

nya, senjata itu tak pernah mau mengenai tubuh Andi-

ni, sekali pun Andini tetap duduk di dahan dengan te-

nang meniup seruling. Senjata-senjata itu hanya me-

nancap di kanan kiri Andini, bahkan terkadang melesat 

entah ke mana.

"Aaaooowww...! Tolooong, aaahhh...!"

Teriakan Ekayana begitu histeris, mengiris hati yang 

mendengarnya. Ludiro hendak mendekat dan membawa 

kabur Ekayana. Tetapi tiba-tiba Ekayana berteriak me-

lengking menyamai suara seruling, lalu tubuhnya mele-

tus tanpa suara, kecuali suara daging dijebol dan darah 

tersembur.

"Ekayanaaaa...!" teriak Ludiro dalam kebingungan.

Tubuh Ekayana seperti nasib Yin Yin, meledak men-

jadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu diraup lagi. 

Daging dan tulang yang sebesar jempol kaki itu menye-

bar ke mana-mana, bahkan ada yang menghantam tu-

buh Ludiro beberapa buah. Ludiro berteriak antara ke-

takutan dan jijik. Kengerian apa yang terjadi pada diri 

Ekayana benar-benar membuat bulu kuduk pun berdiri 

meremang. Kirana berulang kali mengusap tengkuk ke-

palanya dari tempat persembunyiannya. Ia pun tadi


nyaris ikut berteriak sewaktu tubuh Ekayana pecah 

menjadi berkeping-keping.

Andini menghentikan tiupan serulingnya. Ia tertawa 

melihat Ekayana dan Yin Yin sudah menjadi cuilan-

cuilan mayat tak terawat.

"Mampus semua! Sekarang mampus semua...!"

"Andini...! Sadarlah kamu, Andini...!" Ludiro berseru.

Andini turun dari pohon dan menghadapi Ludiro. Ia 

bertolak pinggang dengan masih menggenggam Seruling 

Surga itu. Ia tersenyum sinis dan berkata:

"Apakah kau akan menyusul Ekayana dan Yin Yin, 

Paman?"

"Andini...?! Iblis mana yang telah merasuk ke dalam 

ragamu, hah?! Kejam sekali kau! Kejaaam...!"

"Baiklah, rupanya kau ingin seperti dia juga, Paman!" 

Andini siap meniup seruling, tetapi Ludiro segera me-

lemparkan senjata rahasianya.

"Seet...! Seet...! Seet...!"

Tiga senjata berupa mata pisau kecil melesat. Andini 

menangkisnya dengan gerakan suling yang mengibas ke 

sana sini bagai mainan saja. Senjata itu mental ke bebe-

rapa arah. Ludiro penasaran, ia segera mencabut pe-

dang Jalak Pati. Dengan pedang itu ia menyerang Andi-

ni. Kemarahannya meluap dan gerakannya menjadi liar. 

Kasar.

Kirana tidak begitu khawatir, sebab ia tahu Ludiro 

orang yang kebal terhadap senjata apapun. Karena itu, 

Kirana masih tetap sebagai penonton setia, untuk ke-

mudian dapat menyelidiki di mana letak kekuatan An-

dini dan di mana letak kelemahannya.

"Kubunuh kau kalau tak mau kembali sebagai ma-

nusia...!" teriak Ludiro sambil membabat perut Andini. 

Tapi Andini berkelit dengan menggerakkan tubuhnya ke 

kiri dan menghadang gerakan tangan Ludiro yang hen-

dak kembali ke tempat semula. Begitu tangan ditarik



mundur oleh Ludiro, Seruling Surga menghentakkan 

tulang siku, memukul keras dan membuat Ludiro me-

ringis kesakitan. Saat itulah pertama kali Kirana merasa 

cemas terhadap keselamatan Ludiro.

Andini melompat menghindari serangan pedang Lu-

diro. Tapi sebelumnya ia sempat menendang ulu hati 

Ludiro dengan keras. Ludiro terjengkang ke belakang, 

dan hal itu dipakai untuk lari oleh Andini.

"Aku segan menghadapimu, Paman. Jangan kejar 

aku...!"

"Apa pun alasannya, kau harus kukejar, Andini...!"

Ludiro melesat mengikuti arah Andini. Sedangkan 

Kirana segera mengikuti mereka karena hatinya berde-

bar-debar, cemas tentang diri Ludiro. Tapi agaknya An-

dini mempunyai kecepatan khusus yang sulit diikuti. 

Ludiro sempat kehilangan jejak.

Tetapi pada suatu tempat, ia berhasil melihat Andini 

duduk di sebuah batu besar dengan seruling siap diti-

upkan. Langkah Kirana terhenti.

"Paman...! Jangan melawan aku. Aku masih ingat ja-

samu ketika kau menolongku dari racun senjatamu. 

Aku masih ingat saat kita menyerbu ke Sendang Bang-

kai. Kuminta, jangan menyerangku, nanti kau celaka 

sendiri, Paman. Aku hanya ingin bertemu dengan La-

nangseta dan istrinya...!"

Kirana yang berada di tempat persembunyian mulai 

terperanjat kaget. Kini dirinya merasa terlibat dalam 

urusan tersebut. Namun ia belum mau keluar. Ia sem-

pat mendengar Ludiro berkata: "Aku tahu, kau ingin 

membalas dendam kepada Lanang dan istrinya, karena 

cintamu ditolak oleh Lanang, bukan. Terutama pasti 

kau dendam kepada istrinya. Tapi ketahuilah, sebelum 

kau berhadapan dengannya, kau harus berhadapan 

denganku dulu, Andini...!"

"Jangan takabur, Paman Ludiro...! Kau lihat sendiri


betapa mudahnya aku membunuh Ekayana dan Yin 

Yin, bukan? Tentunya aku pun akan mudah membu-

nuhmu jika kau menghendaki demikian." Andini terse-

nyum angkuh. "Biarkan aku menghadapi istri Lanang-

seta. Suruh dia ke mari! Suruh Lanang juga ke mari un-

tuk menyaksikan siapa yang terunggul antara aku dan 

istrinya! Hah...! Akan kubikin Lanang bertekuk lutut di 

hadapanku sambil menangis-nangis memunguti daging-

daging istrinya...!"

"Andini...! Tutup mulutmu!" Ludiro menerjang Andini 

dengan gerakan pedang Jalak Patinya. Tetapi sebelum 

pedang itu sempat mengenai tangan Andini, tiba-tiba 

sekelebat bayangan menyambar pedang Jalak Pati 

hingga pedang itu pun terlepas dari pegangan Ludiro.

Ludiro terbengong. Andini tertawa. Seorang perem-

puan berwajah cantik dan anggun memegang pedang 

Jalak Pati. Perempuan itu berdiri tepat di antara Ludiro 

dan Andini.

"Ap... apa maksudmu, Putri...?!" Ludiro masih serba 

bingung. Ia memandang Kirana yang memegangi pe-

dang Jalak Pati sambil tersenyum tipis.

Andini yang belum menyadari siapa Kirana masih 

menertawakan Ludiro seraya berkata:

"Paman, Paman... tidak gampang membunuh orang 

seperti aku. Buktinya, selalu saja ada orang yang me-

mihak dan membelaku. Kau lihat, sendiri bukan? Tanpa 

bergerak, pedangmu sudah bisa dilucuti, dan tanpa 

menghindar aku sudah bisa lolos dari jurus pedangmu."

Kirana masih tersenyum dan mempermainkan pe-

dang Jalak Pati seperti mempermainkan sebatang kayu 

tanpa arti. Andini tersenyum kepada Kirana, lalu berka-

ta:

"Terima kasih atas pertolonganmu yang tepat waktu, 

Teman. Tapi... boleh aku tahu ada urusan apa kau den-

gan lelaki pendek hitam ini?"


"Tidak banyak. Ada sedikit persoalan yang membuat 

aku tidak rela jika kau dibunuh atau dilukai olehnya," 

jawab Kirana. Andini semakin bangga dan manggut-

manggut.

"Boleh aku tahu mengapa kau tidak rela dia melu-

kaiku?" tanya Andini seraya melirik Ludiro yang terben-

gong.

"Sebab akulah yang berhak membunuhmu, Ka-

wan...."

Andini mendelik seketika. Jawaban Kirana yang lem-

but sangat mengejutkan hatinya. Ia mulai bergegas pa-

sang kuda-kuda seraya berkata:

"Siapa kau, hah?!"

"Orang yang kau cari! Aku istri Lanangseta."

Sekali lagi Andini mendelik, terperanjat. Mulutnya 

bagai kelu, tangannya sedikit gemetar.

Kirana tetap tenang dan tidak menampakkan kema-

rahannya. Ia bahkan berkata:

"Kau tidak ingat dengan wajahku? Kau lupa, Andi-

ni?"

Andini menggeragap sebentar, lalu segera berkata 

dengan angkuh:

"Maaf, terhadap perempuan jalang aku memang 

gampang lupa." Ia menyunggingkan senyum sinis. Kira-

na membalas.

"O, ya. Aku memaklumi. Perempuan yang rakus lela-

ki memang sering lemah ingatannya."

"Puihh...!" Andini meludah dengan gemas. "Rupanya 

kau sudah tak sabar menunggu saat kematianmu, ya?"

"Sangat tak sabar, Kawan...! Sampai-sampai aku ter-

paksa melukaimu lebih dulu... Ciaaat...!"

Kirana menendang dengan tendangan miring, dan 

Andini tak sempat mengelak. Dadanya terhentak bagai 

kejatuhan benda besar dan berat. Andini sempat terba-

tuk-batuk. Dan Kirana tak menyia-nyiakan kesempatan


itu. Ia segera memukul dengan sikutnya dan mengenai 

tengkuk kepala Andini. Andini semakin sempoyongan 

dan mengaduh tertahan. Gerakan kepala Andini yang 

menunduk segera didongakkan oleh Kirana dalam satu 

tendangan beruntun sambil Kirana melompat dan ber-

salto ke belakang.

"Paman... bawa pedangmu dan cari Lanang...!" teriak 

Kirana seraya melemparkan pedang Jalak Pati.

"Aku di sini, Sayang...!" seru suara di atas pohon.

"Lanang...!" panggil Ludiro. Ia segera menyusul La-

nang yang bertengger di atas pohon. Ludiro memberi la-

poran tentang Ekayana dan Yin Yin yang menjadi kor-

ban Seruling Surga. Lanangseta merah mukanya. Ter-

bakar darahnya. Ia hendak turun menghajar Andini, te-

tapi Ludiro mencegahnya.

"Beri kesempatan kepada istrimu untuk menunjuk-

kan harga dirinya di depan perempuan seperti Andini 

itu...!"

"Bangsat memang Andini itu! Kukira istriku lari ke 

Pulau Kramat mencariku, ternyata ada di sini menerima 

penghinaan yang memuakkan...!" Lanangseta gemetar 

karena menahan kemarahan. Tetapi ia sengaja menya-

barkan diri untuk memberi kesempatan kepada Kirana.

Andini tampak terdesak dan dari tadi tidak mempu-

nyai kesempatan menyerang Kirana. Gerakan Kirana 

cukup cepat dan tepat. Kali ini ia memutar dengan satu 

tendangan mengenai rahang Andini. Andini masih ber-

tahan. Ia hendak melayang mundur, tetapi Kirana su-

dah lebih dulu memukul pinggangnya tiga kali dengan 

gerakan cepat.

"Aaakkhh...!" Andini menjerit. Tangan kanannya ter-

luka dalam, nyaris putus. Ia segera mendekapnya sam-

bil menangis kesakitan.

Tak ada jalan lain baginya untuk melawan Kirana, 

kecuali kabur. Memancingnya agar Kirana mengejar


sampai ke Pulau Kramat. Dan di sana Andini mempu-

nyai dua andalan, yaitu Nyai Katri dan Indra Mada.

Pancingan Andini berhasil. Kirana mengejarnya, de-

mikian juga Ludiro dan Lanangseta.

"Jangan ikut campur, Lanang!" teriak Kirana. "Ini 

bagianku...! Biarkan aku mendidiknya bagaimana ia ha-

rus mati secara cepat!"

Darah dari luka di lengan Andini banyak yang me-

netes keluar. Ia bermaksud berhenti untuk mencoba 

meniup seruling yang masih di genggam di tangan ki-

rinya. Tetapi Kirana menyerang dengan tendangan ber-

ganda, kedua kakinya melayang ke punggung Andini, 

lalu menjejak secara beruntun, dan setelah itu ia salto 

ke belakang, berdiri tegak lagi.

Andini tak sempat memekik, karena ia memuntah-

kan darah kental dari mulutnya. Kirana segera menarik 

rambut Andini dan menghantam pelipisnya dengan ke-

ras, sehingga Andini menjerit keras sekali. Darah keluar 

dari kedua telinganya. Kirana tidak peduli. Ia hanya 

berseru kepada Andini:

"Aku istri Lanangseta...! Kau katanya ingin mengha-

dapiku, hah? Ayo... hadapi aku...! Tunjukkan keheba-

tanmu di depan Lanangseta. Itu dia ada di sebelah sa-

na, menunggu kehebatanmu keluar. Ayo...!"

Tanpa diduga-duga, sebuah pukulan jarak jauh 

menghantam punggung Kirana. Untung ia segera ber-

jumpalitan di tanah sehingga hawa panas yang datang 

menyerangnya dari belakang itu menghantam pohon di 

samping Andini. Pohon tersebut somplak bagai tersam-

bar petir.

Seorang perempuan muncul bersama seorang lelaki 

bermata kebiruan. Dialah Nyai Katri dengan Indra Ma-

da. Kirana segera berdiri menyerang Nyai Katri dengan 

tendangan tipuan. Dan Nyai Katri melancarkan pukulan 

Brama Pati, berupa gumpalan api yang menyerang Ki


rana. Kirana berkelit menggulingkan badan ke arah kiri, 

dan sebuah pukulan Racun Mayat Seribu meluncur da-

ri jari-jari Kirana, yaitu berupa jarum-jarum beracun 

berwarna hitam dan jumlahnya cukup banyak.

Indra Mada segera meraih daun lembar, lalu meng-

hadang daun itu di depan Nyai Katri. Jarum-jarum be-

racun menancap semua pada daun tersebut. Kemudian 

daun itu dilemparkan ke arah api dari pukulan Nyai Ka-

tri, dan terjadilah ledakan yang membahana dan sangat 

mengguncangkan bumi. Pada saat itu Nyai Katri bersiap 

untuk melancarkan tendangannya ke arah Kirana, teta-

pi Indra Mada justru menangkis tendangan Nyai Katri 

sendiri sehingga membuat Kirana bingung seperti orang 

linglung.

Rupanya pada saat itu Andini menggunakan kesem-

patan untuk meniup Seruling Surga. Saat-saat terakhir 

baginya, ia berusaha meniup seruling itu dan berhasil. 

Nyai Katri dan Indra Mada tercengang kaget dan saling 

berpandangan.

"Aaauuh...!" Kirana menjerit dan menutupi kedua te-

linganya. Lanangseta segera mencabut Cambuk Naga 

dan melecutkan ke arah Andini.

"Taaar...!"

Lecutan itu membuat Andini mengejang dengan leher 

robek dan menyemburkan darah. Nyai Katri menjerit 

keras:

"Andiniiii...?!" Ia ingin menghambur memeluk Andini 

yang sekarat. Namun Cambuk Naga sekali lagi melecut 

di udara dan ujungnya terarah ke punggung Nyai Katri.

"Taarr...!"

"Blegaaar...!" Sebuah sinar warna ungu keluar dari 

mata Indra Mada. Sinar itu tepat mengenai ujung cam-

buk sehingga menimbulkan ledakan yang cukup dah-

syat dan membuat Nyai dan Kirana tersungkur jatuh.

Kirana bergegas menyerang Indra Mada dengan satu


pukulan tangan kanannya. Indra Mada diam saja, dan 

terjungkal ke belakang akibat dadanya terkena pukulan 

itu. Lalu Kirana menginjak leher Indra Mada dengan ke-

ras dan kuat. Indra Mada tetap diam saja.

"Kau terpaksa harus kubunuh, Orang asing...!" ge-

ram Kirana seraya menggencet leher Indra Mada dengan 

kakinya kuat-kuat. Tetapi Indra Mada bahkan menge-

lus-elus kala Kirana dengan senyum yang menggoda. 

Kirana heran dan tak habis pikir. Lalu ia melepaskan 

injakan kakinya. Matanya memandang penuh kehera-

nan pada Indra Mada. Indra Mada bangkit dalam kea-

daan segar bugar.

Pada saat itu Nyai Katri marah melihat Indra Mada 

diinjak begitu. Ia menyerang Kirana dengan pukulan 

andalannya. Kirana tak sempat mengelak. Tapi tangan 

Indra Mada dengan gesit dan gerakan yang tak terlihat 

mata, telah mampu menangkis pukulan Nyai Katri.

Bertepatan dengan itu, Lanangseta melayang dan 

menyerang Nyai Katri dari belakang. Pedang Wisa Kobra 

terhunus Ia pun berseru:

"Mampus, kau Nyai Sendang Bangkai...! Heaaatt...!"

Indra Mada melompat ke belakang Nyai Katri. Den-

gan sigap ia mengayunkan kedua tangannya tepat pa-

da-saat Lanangseta menghantamkan pedangnya ke 

punggung Nyai Katri. Pedang itu meleset dan masuk di 

antara kedua telapak tangan Indra Mada. Terjepit rapat 

dan kuat sehingga Lanangseta terheran-heran melihat 

pedangnya ada yang mampu menahan dengan jepitan 

kedua telapak tangan yang menghimpit. Lanang ingin 

mencabut pedangnya, namun susah.

"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Lanangseta.

Indra Mada menjawab, "Hentikan pertarungan ini!"

Ludiro penasaran. Cambuk Naga sudah diserahkan 

ke tangannya, dan ia melecutkan ke arah Indra Mada. 

Dengan gesit dan tangkas Indra Mada meraih lenturan


cambuk itu dengan kaki kanannya. Cambuk melilit, 

Ludiro menarik, Indra Mada mempertahankan dengan 

tangan masih tetap terangkat di atas kepala, menjepit 

pedang Wisa Kobra.

"Hentikan pertarungan ini atau kubunuh semuanya, 

tanpa kecuali...!" serunya.

"Jaka...! Mereka telah membunuh Andini! Lihat, ia 

terkapar tak bernyawa lagi, Jaka...." kata Nyai Katri.

"Andini menyalahi janjinya. Ia telah menggunakan 

ilmu untuk dalih dendam dan kesombongan. Lihat, Se-

ruling Surga itu ia curi dan ia gunakan sebagai seruling 

kematian! Ia sudah layak mendapat ganjaran seperti 

itu."

"Siapa dia sebenarnya, Nyai...?" tanya Lanangseta 

kepada Nyai Katri seraya menuding Indra Mada. Tapi, 

jawab Nyai Katri:

"Dia... temanmu sendiri: Jaka Bego...."

"Hah...?!" semuanya terbengong. Semuanya melom-

pong. Semuanya membelalakkan mata memandang In-

dra Mada.

"Kau... kau Jaka Bego...?!" tanya Kirana yang men-

dekat.

Indra Mada nyengir dan menjawab, "Iya... tapi itu 

dulu, sebelum diriku yang sebenarnya ketahuan begi-

ni...."

"Gila kau, Jaka...?! Aku masih belum bisa percaya!" 

seru Ludiro.

"O, itu terserah Paman...?! Tapi inilah kenyataan 

yang tak dapat kuelakkan lagi."

Nyai menambahkan: "Dia sebenarnya seorang de-

wa...."

"Dewa...?!" serentak mereka terbengong lagi.

"Yaah... mudah-mudahan dipercaya omonganmu, 

Nyai," kata Indra Mada. Nyai melanjutkan:

"Dia bernama Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi. Ia


datang untuk mencari ayahnya, yaitu dewa Bhirawa 

Mada yang bergelar Si Tongkat Besi...."

"Hahh...?!" serentak semua memekik begitu.

"Kalian benar-benar kaget atau hanya meledek 

aku?!" kata Indra Mada yang mulai kelihatan gaya Jaka 

Begonya.

"Tongkat Besi...?" gumam Lanangseta.

"Sudah kuduga kau pasti mengenalnya, Lanang. 

Hanya saja selama ini aku belum sempat menanyakan-

nya kepadamu."

"Aku sangat kenal dengan dia, sebab... sebab dia 

adalah guruku...."

"Hah...?!" Indra Mada mendelik.

Lanang berkata: "Sekarang kau yang terkejut dan 

meledekku?"

"Setahuku, ayahku tidak akan mempunyai murid ka-

lau murid itu tidak bisa membunuhnya." kata Indra 

Mada sambil tangannya masih menjepit pedang Wisa 

Kobra.

"Benar," jawab Lanang. "Dan aku telah ditipu oleh 

Tongkat Besi. Semua ilmunya diturunkan kepadaku, se-

telah selesai menurunkan ilmu, aku dijebak untuk 

membunuhnya. Aku tidak mau dan sangat tak tega. 

Tapi... dia benar-benar pandai menjebak, sampai akhir-

nya... aku yang berhasil merobek perutnya dengan pe-

dang ini...."

"Kau...?!" Indra Mada membelalak dan berteriak.

"Dia bahkan berterima kasih kepadaku, ladu mem-

beriku gelar: Malaikat Pedang Sakti...!"

"Ayahku...." Indra Mada termenung. "Itu gelar ayah-

ku...."

"Dia memberikan gelar itu sebagai tanda ucapan te-

rima kasih padaku, sebab sudah lama ia ingin mati...."

"Ayahku...." Indra Mada berbengong sendu.

"Maaf, boleh kusarungkan pedang ini," kata Lanang.


Indra Mada melepaskan jepitan kedua telapak tan-

gannya. Lanang memasukkan pedang ke sarung. Se-

mua ikut sendu dan murung. Lalu Indra Mada meme-

gang Lanangseta dan berkata pelan, namun serius:

"Kau, Lanang... kau pengganti ayahku... Kau penjel-

maan ayahku yang bergelar Malaikat Pedang Sakti...!"

Lanang kebingungan tak tahu apa yang harus dika-

takan. Tapi ia tetap berkata kepada Kirana, "Apakah 

aku pantas punya anak segede dia...?"

Kirana tersenyum. "Kita sedang mencicil membuat-

nya, bukan?"

Ludiro yang tertawa lebih dulu, ladu yang lainnya 

ikut tertawa. Pada kesempatan itu, Indra Mada menje-

laskan persoalan Nyai Katri yang ingin menebus dosa-

dosanya selama ini dengan mengabdi kepada kebenaran 

dan selalu siap menolong siapa pun yang berada dalam 

kesusahan. Lalu mereka pun membicarakan tentang Is-

tana Langit Perak yang belum diketahui akan diguna-

kan untuk apa harta sebanyak itu. Yang pasti mereka 

sepakat untuk sama-sama saling menjaga harta terse-

but, dan sama-sama saling menjalin kedamaian demi 

perjalinan kasih di antara sesama.



                             TAMAT





Share:

0 comments:

Posting Komentar