ISTANA LANGIT PERAK
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Istana Langit Perak
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.11
1
Ludiro terpaksa berguling ke tanah secara tiba-tiba,
karena sebuah batu seukuran genggaman tangannya
meluncur dari arah samping. Seseorang telah melem-
parkannya dari balik persembunyian. Andai kata Ludiro
yang bertubuh sedikit pendek itu tidak segera berguling
ke depan, sudah pasti batu itu akan mengenai pelipis-
nya. Pelemparnya tergolong jitu dan mempunyai daya
lempar yang cukup cepat.
Sayang sekali Ludiro tak sempat memeriksa siapa
pelempar gelapnya itu. Karena begitu ia bangkit, hendak
meneliti keadaan sekitarnya, tahu-tahu ada dua batu
yang meluncur dari arah kiri dan kanannya. Sekali lagi
Ludiro berguling ke depan dalam keadaan tubuh me-
nyentuh tanah.
"Bangsaaatt...! Keluar kau kalau berani....!" teriak
Ludiro seraya berguling lagi, karena kini tiga batu me-
nyerang dalam satu arah. Salah satu batu ada yang
mengenai betisnya, namun ilmu kekebalan tubuh yang
ada pada Ludiro membuat lemparan itu bagai tak terasa
menyentuh kulitnya.
Sebelum serangan batu datang lagi, Ludiro buru-
buru bersembunyi dari balik akar pohon yang berlapis-
lapis bagai dinding papan itu.
Mata tuanya masih lugas bergerak nanar, mencari
pelempar gelap dari balik rimbunan semak berduri. Ia
tak menemukan tanda-tanda kehidupan di balik semak
itu. Ia mendengus kesal. Kemudian dengan satu gera-
kan menghentak, tubuhnya melenting bagai belalang
terbang, dan hinggap di sebuah dahan pohon tanpa su-
ara.
"Setan mana yang berani membokongku tadi?" geru-
tunya pelan sambil ia memeriksa keadaan sekeliling da
ri atas pohon.
Sepi. Gerakan samar pun tak ada yang menimbulkan
kecurigaan. Geram dan dongkol hati Ludiro menghadapi
serangan licik itu. Namun ia tetap bersabar, berdiri di
atas dahan sebuah pohon berdaun lebat, matanya ber-
gerak liar dan tangan kanannya siap memegang pedang
Jalak Pati yang terselip di pinggang kirinya.
"Pasti perbuatan orang iseng yang berjiwa pengecut!"
geramnya seraya hendak meninggalkan dahan pohon.
Namun tiba-tiba, sebatang dahan kering seukuran
lengan manusia dewasa meluncur ke arahnya. Dahan
kering itu melesat dari bawah menuju ke atas. Dada
atau kepala Ludiro yang menjadi sasarannya. Dahan itu
meluncur dengan cepat tanpa sempat diketahui Ludiro
siapa pelemparnya. Namun dengan cepat pula Ludiro
mencabut pedang Jalak Pati dan menangkis dahan itu
sehingga benda tersebut berubah arah, meluncur me-
nuju tempat di mana ia lemparkan tadi.
Harapan Ludiro, dahan kering itu akan mengenai pe-
lemparnya sendiri dari balik persembunyian. Tetapi,
ternyata dahan itu hanya menembus semak ilalang dan
rimbunan berduri. Hanya suara "Krrosaaaak...!" tanpa
ada pekik seseorang yang terkena dahan tersebut.
"Gila...! Siapa orangnya yang melakukan kelicikan
seperti ini?!" geram Ludiro seraya memasang kewaspa-
daan, menoleh kian ke mari dengan pedang siap dite-
baskan. Ia pun berseru dengan jengkelnya:
"Hei, Setan kurap...! Keluar kau dari persembu-
nyianmu. Kalau memang kita ada urusan, selesaikan
secara jantan!"
Detik demi detik berlalu. Namun tak ada jawaban
apa pun yang didengar Ludiro. Hanya hembusan angin
yang sangat tipis, dan bahkan suara Krosak pun tak
terdengar sedikit pun. Sepi. Dan benar-benar sunyi.
Ludiro menyabarkan diri, menunggu dengan waspada di atas pohon itu. Lama sekali ia tenggelam dalam
kesunyian hutan yang berada tak jauh dari pantai.
Mungkin penyerang gelap merasa bosan mempermain-
kan Ludiro, sehingga ia pergi begitu saja setelah bebe-
rapa serangan gelapnya tak berhasil mengenai tubuh
Ludiro.
Karena merasa aman, Ludiro pun bergegas turun da-
ri atas pohon. Tapi baru saja ia merendahkan kaki hen-
dak meloncat ke bawah, tahu-tahu beberapa batu me-
luncur dari arah belakangnya dengan cepat. Ludiro me-
rasakan ada hembusan angin yang menuju ke arah
punggungnya. Segera ia berbalik sambil mengibaskan
pedang Jalak Pati. Terdengar bunyi, "tring... tring....
tring... buk!" Salah satu batu menghantam dada Ludiro
dengan keras. Memang tidak menimbulkan luka, na-
mun hentakannya yang keras itu membuat Ludiro ter-
jengkang ke belakang, dan jatuh dari atas pohon. Un-
tung ia segera bersalto ke belakang dua kali, sehingga
tubuhnya dapat menapak ke tanah kembali dengan mu-
lus.
"Keluar kau, Jahanaaaaam....!" teriak Ludiro sangat
marah. Karena lama tak terdengar jawaban dan tak ada
serangan lagi, Ludiro merasa benar-benar dipermainkan
oleh musuh gelapnya.
Segera ia memasukkan pedang Jalak Pati ke sarung-
nya. Dengan hati bergetar karena marah, Ludiro men-
cabut Cambuk Naga yang bertengger di pundaknya.
Cambuk itu bergagang hitam, terbuat dari serat sutra
warna putih. Namun senjata warisan Putri Ayu Sekar
Pamikat itu memang mempunyai kekuatan yang luar
biasa. Ludiro melecutkan cambuk tersebut ke udara
dengan satu gerakan yang belum pernah dilakukan
olehnya, yaitu gerakan memutarkan cambuk di udara
bagai sedang mengelilingi bagian atas kepalanya. Dan
memang seperti yang sudah-sudah, Ludiro selalu tidak
mengerti harus bergerak bagaimana dalam mengguna-
kan cambuk itu. Namun, biasanya tangan dan kakinya
bergerak sendiri, bagai ia sedang melancarkan satu ju-
rus untuk senjata Cambuk Naga itu. Sehingga, kali ini
pun ia sedikit heran dan kagum, karena gerakan memu-
tar dari cambuk itu menimbulkan letupan beberapa
kali: "Taar...tar...taar... tar...taaar...!"
Pada saat itu pula, dari ujung cambuk keluar kilatan
api yang bagai memercik ke sana-sini. Ludiro sendiri
heran dan tidak tahu jurus apa itu namanya. Yang je-
las, ia segera menghentikan gerakan memutar cambuk
di udara setelah ia tahu bahwa rumput ilalang dan se-
mak berduri mulai terbakar di sana-sini. Api menyala
dan menjadi makin berkobar. Ludiro kebingungan sen-
diri, lalu segera melesat cepat ke arah lain, ke tempat
yang belum terbakar. Tempat itu lebih mendekati tepian
hutan dan lebih lega dari tempat semula. Dari situ ia
dapat melihat hutan yang terbakar dengan asap kian
lama semakin menebal.
Bukan nyala api yang ditunggu Ludiro, tapi kemun-
culan penyerang gelapnya yang diharapkan muncul ka-
rena terkurung api. Ternyata, sampai beberapa lama,
tak satu pun manusia yang kelihatan muncul atau ber-
gerak melarikan diri dari kobaran api tersebut. Seper-
tinya di hutan itu hanya ada Ludiro seorang diri.
"Brengsek...!" geram Ludiro dengan hati menjadi se-
makin dongkol dan penasaran kepada penyerang gelap-
nya. "Ia mampu bertahan dalam kobaran api. Manusia
atau setan sebenarnya dia itu? Gila! Betul-betul gila!
Aku dipermainkan dengan seenaknya. Apa maksud
orang itu sebenarnya?"
Ludiro memasukkan Cambuk Naga pada tempatnya
yang melekat pada punggung. Ia menghempaskan nafas
panjang dalam satu kekesalan. Sekali lagi ia mencoba
bersabar untuk menunggu kemunculan penyerang gelapnya, namun tetap saja tak ada yang muncul. Padahal
menurut perkiraan Ludiro, mereka lebih dari satu
orang. Buktinya mereka mampu menyerang dengan ba-
tu dari beberapa arah secara bersamaan.
"Ah, untuk apa mengurus kelicikan gila ini?!" pikir
Ludiro. "Tugasku adalah pergi ke Pulau Kramat dan
menolong Jaka Bego dari cengkeraman Nyai Katri, pen-
guasa pulau tersebut. Kasihan Jaka jika ia harus mati
dengan sia-sia di sana..." Ludiro melangkah dengan te-
nang, namun gerakannya tetap seperti lompatan anak
kijang menembus hutan. Ia tak mau peduli lagi dengan
penyerang gelapnya. Baginya, lebih cepat mencapai
pantai lebih baik, dan ia akan segera menyeberangi lau-
tan, menuju Pulau Kramat tempat Jaka Bego ditawan.
Namun ketika ia tiba di pantai, langkahnya terhenti
seketika, dan tubuhnya merunduk dengan rendah, nya-
ris jongkok di tempat. Sebuah batu karang lebih besar
dari kepalan tangannya melayang dari arah samping ki-
ri. Batu itu bagai dilemparkan dengan tenaga dalam se-
hingga gerakannya mirip seulas sinar membias dan me-
nyerang Ludiro. Untung Ludiro sigap, sehingga batu itu
melesat di atas kepalanya, dan membentur tebing ka-
rang yang berada jauh di sebelah kanan Ludiro. Terden-
gar suara dentuman kecil akibat benturan batu karang
dengan tebing. Dentuman itu pun mengakibatkan teb-
ing karang rontok sebagian dan batu pelemparnya han-
cur bagai debu.
"Edan! Pasti orang berilmu tinggi yang menyerangku
dari tadi itu," kata Ludiro dalam hati sambil meman-
dang kagum terhadap benturan batu karang tersebut.
"Untung bukan kepalaku yang terkena batu karang itu.
Untung hanya tebing kokoh yang akhirnya rontok juga
sebagian bebatuannya."
Ludiro mencari-cari penyerangnya. Hatinya sangat
jengkel. Ia pun berteriak keras-keras, "Setaaaaan...! Di
mana kamu?! Keluaaar...! Keluar...! Hadapi aku secara
jantan, Kunyuk...!"
Deburan ombak samar-samar bagai sebuah riak
laut. Tak ada jawaban dan kata. Ludiro memeriksa
tempat datangnya lemparan tadi, namun ia tidak meli-
hat sesuatu yang mencurigakan. Tapak manusia pun
tak ada di sana. Kesal sekali hati Ludiro. Akhirnya den-
gan beberapa kali gerakan, Ludiro bersalto ke udara
dan memekik, "Ciaaaatt...!"
Senjata rahasianya yang berupa mata pisau kecil itu
meluncur di beberapa arah dan mengenai beberapa
tempat belukar. Sekali lagi Ludiro melesat sambil ber-
salto di udara, tangannya bergerak cepat melemparkan
senjata rahasianya yang sudah jarang terpakai. Namun
senjata-senjata itu bagai mengenai tempat kosong. Tak
ada suara orang mengaduh atau memekik kesakitan.
Berarti tak ada seseorang yang terkena lemparan senja-
ta rahasia beracun itu. Ludiro berseru, "Pengecut...! Ke-
luarlah! Ayo, kita bertanding secara ksatria! Jangan
main sembunyi-sembunyi seperti tikus sawah!"
Tiba-tiba Ludiro bergerak cepat, merundukkan kepa-
la dalam posisi miring ke kiri dan tangannya bergerak
cepat ke atas, menangkap satu benda yang dilemparkan
dari arah tak diketahui. Benda itu berdesing lembut, ta-
pi telinga Ludiro mampu menangkap desingan itu, se-
hingga dengan cepat dan tangkas ia pun berhasil me-
nangkap benda itu ke dalam genggamannya.
"Seet...!"
Ludiro tercengang melihat benda yang ditangkapnya
dengan tangan kanan itu. Ternyata sebuah senjata ra-
hasia berupa mata pisau beracun. Senjatanya sendiri.
"Biadab...! Ini senjataku sendiri yang dikembalikan
oleh penyerang gelapku. Gila! Edan! Apa-apaan sebe-
narnya ini? Siapa dia? Atau mereka? Atau..." Ludiro
memandang nanar ke arah tempat datangnya lemparan
tersebut. Ia masih menggenggam senjata rahasianya
sendiri sambil mencari-cari sesuatu yang bisa menim-
bulkan kecurigaan. Ia berseru:
"Baiklah, Kawan..! Aku tak mau melawan seorang
perempuan! Sebaiknya kita lupakan saja masalah ini
dan kau kuanggap menang! Aku tak mau melayanimu!"
Dari suatu tempat balik pohon, ada suara yang me-
nyahut:
"Aku bukan perempuan, Babi!"
Ludiro terperanjat, kini mulai menegang karena se-
bentar lagi ia pasti akan mengetahui siapa penyerang
gelapnya itu.
"Kau bohong, Kawan. Kau pasti seorang perempuan.
Kau dapat merasakan kebancianmu, Kawan!" Ludiro
sengaja membuat panas hati lawannya dengan penghi-
naan itu.
"Bagaimana dengan kebancianmu, ha? Kamu tidak
bisa temukan aku, ha?! Kamu tolol!"
Ludiro agak berkerut dahi. Suara orang itu seper-
tinya aneh. Punya nada dan aksen tersendiri. Ludiro
memancing pembicaraan lagi, "Apakah aku perlu me-
nemukan kamu?! Apakah aku perlu datang kepadamu
dan memenggal kepalamu?!"
"Sebaiknya begitulah...!"
O, rupanya suara itu datang bukan dari semak atau
balik pohon, melainkan dari atas pohon. Tapi pohon
yang mana, Ludiro masih bingung memastikannya. Ia
hanya berkata lagi:
"Apa kau tak menyesal kalau aku memenggal kepa-
lamu?!"
Ludiro segera memasang telinga baik-baik, menyi-
mak arah jawaban yang akan didengarnya. Suara itu
mengatakan:
"Tidak mungkin aku menyesal, karena sebelum ka-
mu memenggal kepalaku, kepalamu sudah akan hancur
lebih dulu!"
Begitu mengetahui arah datangnya suara, Ludiro se-
gera melemparkan senjata rahasianya itu ke arah atas
pohon berdaun lebat. Senjata mata pisau kecil itu mele-
sat cepat, menembus rimbunan daun. Lalu Ludiro me-
nunggu suara orang mengaduh atau pekik kesakitan.
Tetapi tidak ada suara itu. Ini pertanda senjata tidak
mengenai tubuh lawannya. Sebetulnya, justru sekarang
Ludiro mendengar suara berdesing lembut menuju
arahnya. Ludiro segera bersalto ke udara dengan posisi
tangannya menukik ke bawah, lalu menangkap sesuatu
yang terlempar dari atas pohon tersebut.
Oh, ternyata senjata rahasianya yang tadi kembali
lagi dari balik rimbunan daun pohon itu. Ini menanda-
kan bahwa ketangkasan orang yang bersembunyi tak
dapat dianggap remeh. Orang itu seperti punya ilmu
yang cukup tinggi dan cukup membahayakan. Buk-
tinya, sudah dua kali ia mampu menangkap senjata ra-
hasia dari Ludiro, dan bahkan mampu mengembalikan
lagi dengan suatu serangan yang membuat Ludiro sedi-
kit terteter.
Tangan Ludiro sudah hendak mencabut Cambuk
Naga untuk membuat semua daun terbakar. Tetapi
niatnya itu tertunda, karena seorang lelaki telah mun-
cul dari balik kerimbunan daun. Ia meloncat dalam satu
gerakan ringan, turun dari atas pohon. Ia berdiri tegap
dan sigap menghadap Ludiro.
"Apakah aku seorang perempuan?" katanya, dan Lu-
diro masih terpana beberapa saat.
Ludiro merasa belum mengenal lelaki tinggi, tegap
dengan rambut putih semua, sama putihnya dengan
rambut Ludiro sendiri. Lelaki itu mengenakan pakaian
hitam, baju lengan panjang yang dilapisi rompi merah
sepanjang bawah perut. Ia bermata sipit, tajam, dan
berkumis melengkung ke bawah hingga di dagu. Celananya hitam berhias garis kuning emas di bagian te-
piannya. Alas kakinya berupa sepatu kulit binatang
yang panjangnya nyaris sampai ke betis. Ia menampak-
kan betul sosok seorang keturunan Tiongkok.
Rompi merahnya yang panjang itu berhias benang
emas membentuk sirip ikan atau sisik ikan yang lebar-
lebar. Ludiro dapat memastikan rompi itu cukup berat
karena agaknya terbuat dari campuran logam dengan
kain. Mungkin itu merupakan baju anti senjata tajam
yang menjadi pelindung bagian tubuhnya. Sedangkan
ikat pinggang yang dikenakan mirip seutas tali besar,
namun terbuat dari lapisan kain dan pada kedua
ujungnya terdapat logam runcing berbentuk mata tom-
bak sebesar telinganya yang caplang. Agaknya, ikat
pinggang itulah satu-satunya senjata yang dimiliki lelaki
bermata sipit namun tajam itu. Badannya memang se-
dikit gemuk, tapi bukan gendut. Sikapnya berdiri yang
menaruh kedua tangannya di belakang itu menampak-
kan betul bahwa ia orang berilmu tinggi, sekaligus me-
rupakan orang terhormat di kalangannya. Tapi aneh-
nya, ia hanya sendirian, tanpa pendamping satu pun.
Keadaan pakaiannya pun tidak begitu rapi, ada bebera-
pa bagian yang robek, terutama pada bagian lengan. Ini
menandakan bahwa ia habis melakukan perjalanan
jauh, atau setidaknya habis menemukan malapetaka
yang tak sempat merenggut nyawanya.
Ludiro sejak tadi memperhatikan lelaki Cina dengan
dahi berkerut. Bahkan di hati Ludiro mencoba-coba
menerka apa maksud lelaki itu menyerangnya?
"Kamu heran melihat aku, ha?" kata lelaki itu seraya
melangkah mendekat beberapa kali.
"Kita memang belum pernah saling berjumpa, bu-
kan?"
Senyum sinis tersungging di bibir lelaki itu. "Mung-
kin memang baru kali ini kita berjumpa. Tetapi aku masih ingat wajahmu, ketika kau menghancurkan anak
buahku dan kapalku di sebuah pantai..." (dalam kisah
KUTUKAN JAKA BEGO).
Ludiro semakin berkerut dan bersungut-sungut. Le-
laki itu makin mendekat dengan kedua tangan masih
bertaut di belakang pinggangnya.
"Aku Laksamana Chou...! Aku ayah dari gadis Yin
Yin yang diculik oleh pemuda picisan, dan kau telah
menghambat gerakan anak buahku yang ingin mencari
pemuda itu. Kau telah membantai mereka, lalu meng-
hancurkan kapalku dengan isinya. Sekarang, sudah
saatnya aku menuntut balas kekejianmu!"
Ludiro manggut-manggut dengan tenang. Kini ia in-
gat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika ia berta-
rung melawan orang-orang Tiongkok di sebuah pantai.
Pada waktu itu mereka sedang memburu Jaka Bego un-
tuk mengorek keterangan di mana Yin Yin, putri Lak-
samana Chou itu disembunyikan. Sebenarnya, mereka
hanya salah sangka. Karena sesungguhnya yang mela-
rikan gadis Yin Yin itu adalah Ekayana, saudara kem-
bar Lanangseta. Tapi Laksamana Chou menuduh La-
nangseta itulah yang membawa kabur anak gadisnya.
Laksamana Chou hanya tahu, bahwa Ludiro dan Jaka
Bego adalah orang-orangnya Lanangseta.
"Bersiaplah untuk mati dengan tersiksa..!" kata Lak-
samana Chou yang sudah tidak menautkan kedua tan-
gan ke belakang. Ia bersiap mengadakan pertarungan
dengan Ludiro.
"Tunggu! Tahan emosimu, Laksamana. Kita jangan
sampai salah anggapan dan menjadi korban kare-
nanya."
"Aku tidak salah anggapan. Aku melihat sendiri dari
teropong di kapalku, bahwa kaulah orangnya yang
membantai semua anak buahku, kecuali si pengkhianat
Huang Pai!"
"Memang. Memang aku yang membantai mereka, te-
tapi itu karena mereka salah anggapan juga, dan aku
terpaksa mempertahankan diri daripada harus mati di
tangan anak buahmu!" kata Ludiro tetap menjaga ke-
siagaan. "Ketahuilah, Laksamana Chou, bahwa putri-
mu, Yin Yin itu, ada di tangan Pendekar Maha Pedang
yang bernama Ekayana. Dan aku bukan orangnya
Ekayana. Aku ada di pihak Lanangseta, Si Pendekar
Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti!"
Chou menuding Ludiro dengan geram, "Kau tidak
perlu mengulur-ulur waktu, sekarang saatnya aku me-
nuntut balas atas kematian anak buahku dan kehancu-
ran kapalku!"
Tiba-tiba dari tangan yang menunjuk itu keluarlah
semacam kabut tipis yang melesat bagai disemburkan
dari ujung telunjuk. Ludiro buru-buru menghindar den-
gan menghentakkan kaki dan menjadi melambung, me-
lesat ke arah Laksamana Chou. Kaki Ludiro miring, lu-
rus, menerjang kepala Laksamana Chou. Namun tan-
gan Laksamana menepaknya sebagai sebuah selendang
yang menyabet mata kaki Ludiro.
Sabetan itu cukup lembut dan pelan, namun mampu
membuat tubuh Ludiro bagai dilemparkan oleh suatu
tenaga yang cukup kuat. Ludiro jatuh tanpa bisa men-
gatur keseimbangan tubuhnya. Kaki Chou menghentak
ke tanah kuat-kuat. Andai Ludiro tidak berguling ke ki-
ri, maka kepala Ludirolah yang akan terkena hentakan
kaki tersebut. Ludiro tahu kalau kaki Laksamana yang
satu pasti akan menyusul menyerangnya, namun sebe-
lum hal itu terjadi, Ludiro telah mengirimkan jurus
Tendangan Dewa Mimpinya. Ia berputar dengan ping-
gulnya, lalu kedua kakinya menendang ke atas dalam
kecepatan yang luar biasa sehingga kedua kaki itu
mengenai paha dan selangkangan Laksamana Chou.
Akibatnya, Laksamana Chou menyeringai kesakitan,
dan ia buru-buru melompat mundur sampai beberapa
langkah.
"Kuingatkan sekali lagi," kata Ludiro yang telah ber-
diri tegak, "Jangan kita menjadi korban hawa nafsu,
Laksamana. Pertarungan ini adalah pertarungan sia-
sia!"
"Jahanam kau! Kau boleh menganggap pertarungan
ini sebagai pertarungan sia-sia, tetapi aku merasa di-
tuntut oleh sekian banyak arwah anak buahku yang
mati di tanganmu. Dan saat ini mereka mendesakku
untuk segera membunuhmu. Karena itu, sekarang te-
rimalah jurus Paruh Rajawaliku, hiiiaaat...!"
Kedua tangan Laksamana terangkat ke depan wa-
jahnya, menampakkan kedua jari di masing-masing
tangan yang mengeras. Kaki Laksamana terangkat ber-
satu, juga ke depan, seakan seekor Rajawali yang siap
mencocok ubun-ubun manusia. Ludiro masih meman-
dangi gerakan jurus yang terasa aneh baginya itu. Ia
mundur satu langkah pada saat kaki Laksamana Chou
yang kiri maju ke depan dengan kedua tangan memben-
tang kokoh, sekuat kedua jari yang mengeras bagai besi
itu. Lalu gerakan tangan Laksamana menyilang dan
bergerak-gerak cepat membingungkan penglihatan. Pa-
da saat itu, ia berguling ke tanah beberapa kali, dan
berhenti tepat di bawah Ludiro. Lalu dengan cepat ke-
dua tangannya menotok masing-masing kaki Ludiro
dengan keras. Ludiro hanya berkelit, mengangkat kedua
kakinya menghindari totokan yang mungkin berbahaya.
Dengan cepat kaki kanan Ludiro menendang dagu Lak-
samana Chou. Lelaki sipit dan berkumis melengkung
sampai di dagu itu terdongak seketika. Tetapi di luar
dugaan, kedua kakinya melengkung ke atas, dengan
posisi dada masih menempel di tanah. Kedua kaki yang
melengkung itu bergerak cepat, hingga sampai ke ba-
gian depan. Pada saat itu kedua tangan Laksamana
Chou menghentak ke tanah, sehingga meluncurlah tu-
buh itu dalam keadaan telentang. Kaki terarah ke dada
Ludiro dan keduanya menjejak Ludiro dengan keras.
Laksamana Chou tak memberi kesempatan Ludiro
untuk bertindak memberi serangan balik. Laksamana
sudah lebih dulu mengandalkan kekuatan jari-jarinya
untuk menembus dada Ludiro. Tetapi dengan sigap
tangan Ludiro menangkis tiap pukulan.
"Hiaaat...! Hiiaat...! Hiiat...!"
"Huaaah...! Huuh...! Huuh...!" Ludiro menangkis se-
rangan ke dada, ke leher, ke perut, ke mata dan kemana
saja arah kedua jurus tangan menotok itu ditangkisnya
dengan cepat. Namun pada satu kesempatan, Ludiro
berhasil menyodokkan lututnya ke perut Laksamana
dalam posisi tubuh miring ke kiri dan merendah. Lutut
Ludiro masuk telak mengenai ulu hati Laksamana se-
hingga lelaki berbaju hitam itu mendelik bagai sukar
bernafas. Pada saat tubuh Laksamana mengejang itulah
Ludiro menghantam dada Laksamana dengan pukulan
ganda. Akibatnya, tubuh Laksamana terpental ke bela-
kang dengan mulut menyemburkan darah kental. Ia
terhuyung-huyung. Mengusap darah di mulutnya den-
gan lengan baju dan siap menerjang Ludiro. Kalau saja
Ludiro tidak berkelit dengan melambung ke atas,
mungkin ia akan terkena tendangan beruntun dari kaki
Laksamana Chou.
"Hiaaaat...!" Ludiro memekik seraya bersalto dan ka-
kinya dapat mendarat di pundak Laksamana Chou. Ia
ingin menghantamkan tinjunya ke ubun-ubun Laksa-
mana Chou, namun dengan cepat dan di luar dugaan,
Laksamana Chou menggerakkan kakinya ke atas. Lu-
tutnya hampir mencium hidung sendiri, dan pada saat
itu tendangan kuat mengenai punggung Ludiro. Henta-
kan kaki itu sangat keras, sehingga Ludiro mengerang
kesakitan dengan tubuh terguling ke bawah. Ludiro belum sempat berdiri pada saat itu kaki Laksamana me-
nendang sekali lagi dengan tendangan putar yang amat
keras. Kaki Laksamana dengan telak menghajar rahang
Ludiro, sehingga Ludiro terjengkang ke belakang dan
terguling-guling. Posisi Ludiro telentang pada saat itu.
Dan Laksamana menyerangnya dengan jurus totok ke-
dua jari yang kekar bagai besi itu. Ludiro masih sempat
menangkis setiap serangan balik dengan tangan atau
dengan kaki yang mengibas kian ke mari.
"Hiaaaaaat...!" Tubuh Ludiro berputar di tanah den-
gan menggunakan punggungnya. Tendangan Dewa
kembali menerjang perut Laksamana dengan kuat se-
hingga tubuh Laksamana terpental, melambung ke
atas. Ludiro segera berguling dan berdiri tegap dengan
kepala sedikit pusing.
Sewaktu kaki Laksamana hampir menempel pada
tanah, Ludiro buru-buru menyerangnya dengan satu
pukulan tangan kanan ke arah perut laksamana. Tetapi
pukulan itu di tangkis dengan telapak kaki Laksamana
sehingga pergelangan tangan Ludiro merasa ngilu. Ludi-
ro sempat terpelanting terputar tubuhnya, dan pada
saat itulah tangan Laksamana menyerobot cepat sambil
ia melayangkan tubuh ke atas. Ludiro tak sadar apa
yang telah terjadi. Ia bergegas untuk mencabut pedang
Jalak Patinya, namun gerakannya itu terhenti, karena
ia melihat laksamana Chou telah berdiri dengan meng-
genggam Cambuk Naga.
Mata Ludiro terbelalak kaget dengan mulut terngan-
ga. Sementara itu, Laksamana Chou sengaja mengambil
posisi agak menjauhi Ludiro. Ia tersenyum getir seraya
mengacungkan tangan yang memegang Cambuk Naga.
"Kau akan mati oleh pusakamu sendiri, Iblis Bu-
suk...!" Laksamana Chou tertawa. "Tapi bukan sekarang
kau harus mati. Aku punya gagasan untuk menukar
cambuk ini dengan Yin Yin putriku! Serahkan putriku
Yi Yin, maka kau boleh mengambil cambuk ini, itu pun
kau harus merebutnya!"
"Tunggu...!" Laksamana Chou melesat seperti kilasan
cahaya kemerah-merahan. Ludiro terbengong, cambuk-
nya hilang.
***
2
Tanpa menunggu banyak pertimbangan, Ludiro pun
melesat mengejar laksamana Chou.
"Berhenti kau, Bajingan...! Berhenti...!" Ludiro berte-
riak keras dalam luapan amarahnya. Betapa pun ja-
dinya, Ludiro tetap harus mengejar Cambuk Naga yang
berhasil diserobot oleh Laksamana Chou. Barangkali
Laksamana Chou telah mengetahui letak kekuatan Lu-
diro ada pada cambuk tersebut. Barangkali juga ia telah
melihat betapa dahsyatnya Cambuk Naga itu sewaktu
dipakai melawan sekian banyaknya anak buahnya. Sa-
mudra bisa bergolak dan kapalnya pun tunggang lang-
gang diterbalikkan oleh kekuatan yang ada pada cam-
buk tersebut. Karena itu, mungkin sejak awalnya me-
mang sudah menjadi rencana Laksamana Chou, bahwa
ia harus bisa mencuri cambuk yang selalu disandang di
pundak Ludiro.
Sementara itu, Ludiro sendiri tidak mau kehilangan
pusaka warisan bekas putri asuhannya, yaitu Sekar
Pamikat. Memang tanpa cambuk itu pun Ludiro telah
mempunyai suatu keistimewaan, yaitu tubuhnya tak
dapat digores oleh senjata tajam. Ia telah menjadi kebal
karena makan lumut bercahaya yang ditemukan dalam
goa Malaikat, (dalam kisah RAHASIA SENDANG
BANGKAI). Tetapi, tanggung jawabnya terhadap tugas
merawat dan menjaga dua pusaka: Cambuk Naga dan
Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat, itulah yang
membuat ia harus mengejar Laksamana Chou.
"Laksamana Chou...! Laksamana Chou...! Kita ber-
tanding secara ksatria...! Bangsat, kau...!" Ludiro me-
nyumpah-nyumpah dalam kemarahan ia seraya ia ber-
lari bagai kilat.
Namun agaknya ia telah kehilangan jejak. Ia menyu-
suri pantai, tepian hutan, juga tak terlihat jejak Laksa-
mana Chou. Ia bergegas naik ke bukit karang yang ada
di tepi pantai, siapa tahu Laksamana Chou ada di sana.
Namun yang ia temui justru keadaan lain.
Ia melihat sosok wanita berdiri di tepi tebing dari bu-
kit karang itu. Di samping dari situ ia bisa melihat gu-
gusan Pulau Kramat yang ada di tengah lautan, juga ia
telah menemukan sosok wanita tanpa daya berpakaian
serba hitam. Mulanya ia mengira Laksamana Chou, te-
tapi setelah ia memperhatikan rambut panjang terurai
dan dipermainkan angin pantai itu, ia yakin betul bah-
wa perempuan itu adalah Mahani, anak Pak Lodang
yang dulu diselamatkan oleh Lanangseta dari cengke-
raman Adipati Legowo. Ludiro mengenal betul siapa ga-
dis itu, sebab waktu itu ia pula yang mengawal keluarga
Lodang mengungsi ke desa Tayub.
"Mahani..." sapa Ludiro dengan hati-hati.
Mahani berpaling menampakkan wajahnya yang pe-
nuh tangis serta luka memar. Di sudut mata kirinya
tampak membiru, ujung bibirnya berdarah, kering. Ba-
gian atas alisnya yang tebal itu tergores luka yang su-
dah mengering namun masih kelihatan memerah.
"Paman Ludiro..." Mahani menyapa pelan, namun ia
masih berdiri di tepian tebing. Satu kali ia melangkah,
maka tubuhnya akan hancur dihunjam karang-karang
runcing yang bercuatan di dasar tebing itu. Ludiro sedi-
kit curiga melihat keadaan Mahani seperti itu. Pasti ada
sesuatu yang ingin dilakukan gadis berkulit sawo matang itu.
"Mahani, apa yang telah terjadi?" Ludiro mendekat
pelan-pelan.
"Jangan mendekati, Paman...! Jangan mendekat...!"
tangis Mahani menghambur tersengguk-sengguk.
Semakin heran saja Ludiro melihat keanehan terse-
but.
"Mahani, tolong jelaskan padaku, ada apa sebenar-
nya?" Ludiro berhenti melangkah. "Apa yang telah terja-
di padamu dan apa yang akan kau lakukan di tepi teb-
ing itu?"
Mahani menggeleng. Mengisak dalam tangisnya.
Keadaannya yang berpaling sangat mengkhawatirkan
hati Ludiro. Sekali kakinya terpeleset, maka tamatlah
riwayat Mahani.
"Mahani tolong jelaskan segalanya yang terjadi..."
Ludiro sengaja bicara dengan hati-hati.
"Aku ingin mati, Paman..." jawab Mahani mengisak
sekali lagi.
Ludiro semakin berkerut dahi. "Ada apa kau sebe-
narnya? Mengapa kau berkata begitu, Mahani?"
"Lanangseta, Paman...! Lanangseta... ooh..." Mahani
menangis semakin jadi. Ia menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya.
"Mengapa dengan Lanangseta?"
"Ia kejam. Kejam sekali, Paman...!"
Ludiro merasa bingung dengan kalimat demi kalimat
yang diucapkan Mahani.
"Bagaimana kalau kita bicara baik-baik, Mahani.
Pergilah dari situ, nanti kau tergelincir jatuh ke bawah."
"Biar! Memang itu tujuanku. Mati!"
Ludiro menggeleng-geleng samar, sekalipun Mahani
tidak melihatnya. "Agaknya anak ini mau bunuh diri,"
pikir Ludiro yang kemudian mengambil sikap hati-hati,
berusaha mengulur niat Mahani, syukur bisa menunda
langkah picik gadis itu.
Ludiro memperlihatkan sikapnya yang tenang, seka-
lipun sebenarnya menyimpan kecemasan yang mende-
barkan hati.
"Mungkin aku bisa menolongmu, Mahani. Bicaralah
dengan tenang dan menjauhlah dari tepi tebing."
"Tidak! Tidak ada yang bisa menolongku! Hatiku te-
lah dihancurkan oleh Lanangseta, ia membiarkan ga-
disnya menyiksaku seperti ini, Paman..." Mahani mem-
perlihatkan beberapa luka di pundak, atas dada, serta
di tangannya.
Agak janggal rasanya jika gadis Lanangseta setega
itu melakukan penyiksaan kepada Mahani. Jika benar
kata-kata Mahani, berarti Kirana itulah yang dimaksud
gadis Lanangseta. Sebab Kirana, putri Bukit Badai itu-
lah yang menjadi istri Lanangseta secara syah. Menurut
Ludiro, tak mungkin Kirana akan berbuat setega itu. Ia
kenal betul, bahwa Kirana seorang perempuan yang
anggun dan berwibawa. Ia memang bisa berbuat kejam,
tapi terhadap lawan yang kasar dan ganas. Bukan ter-
hadap gadis selugu Mahani.
"Mahani, dalam keadaan serba sedih dan gelap, me-
mang tak terlihat ada kesempatan untuk bisa lolos. Tapi
kalau kita mau menenangkan diri dan berbagi kesedi-
han dengan orang lain, pasti ada jalan keluar dari ma-
salah yang kau hadapi. Nah, sekarang tolong ceritakan,
masalah apa yang kau hadapi sebenarnya. Sehingga
kau hendak mengambil jalan picik itu?!"
Mahani masih mengisak beberapa kali, dan Ludiro
bersabar. Beberapa saat kemudian, Mahani pun mence-
ritakan apa yang telah dialaminya.
***
Agaknya selama ini Mahani benar-benar ingin men-
jadi pendamping hidup Lanangseta. Ia sangat mencintai
pendekar muda yang tampan itu. Tetapi, hatinya men-
jadi hancur ketika ia mendengar kabar bahwa Lanang-
seta hendak menikah dengan perempuan lain. Kemu-
dian ia berlari dari rumah, mencari Lanangseta dan
bermaksud menggagalkan perkawinan Lanangseta den-
gan Kirana.
Dalam pelariannya itu, ia sempat bertemu dengan
seorang gadis Cina. Gadis itu sedang bermesraan den-
gan Ekayana, adik kembar Lanangseta. Lalu, Mahani
mengamuk dalam keadaan tanpa memiliki ilmu bela diri
sedikit pun. Peristiwa itu pernah dipergoki oleh Ludiro
dan Jaka Bego, yang kemudian dijelaskan oleh Ludiro,
bahwa orang yang disangka Mahani sebagai Lanangseta
itu sebenarnya adalah Pendekar Maha Pedang. Ekaya-
na. Adik kembar Lanangseta. Sedangkan pada waktu
itu, Jaka Bego mengatakan bahwa Lanangseta sendiri
saat ini sedang mengejar pencuri Bunga Teratai Wingit
di Pulau Kramat. Maka seketika itu pula Mahani pergi
mengejar Lanangseta ke pantai yang akan menjadi jalur
perjalanan Lanang menuju Pulau Kramat. Mahani ber-
maksud mencegat perjalanan Lanangseta untuk mengu-
tarakan cinta dan kesetiaannya. Memang selama ini ia
belum mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya ke-
pada Lanang. Karena itu, ia lekas-lekas meninggalkan
Ludiro. Jaka Bego dan sepasang kekasih yang konon
adalah adik kembar Lanangseta itu. Dan pada waktu
itu, Jaka Bego segera memburu Mahani, sebab Jaka
Bego memang naksir gadis lugu itu. (ada dalam kisah:
IBLIS PULAU KRAMAT)
Rupanya Mahani gagal menemukan Lanangseta. Ia
tak berhasil mencegat perjalanan Lanangseta. Lalu tim-
bul pemikiran dalam benaknya, bahwa mungkin sekali
ia dibohongi oleh Ludiro dan Jaka Bego. Mungkin saja
pemuda ganteng yang disangkanya Lanangseta itu se-
sungguhnya memang Lanangseta. Sebab seingatnya,
Lanangseta tidak pernah menceritakan tentang adik
kembarnya, dan lagi, apa yang ada pada pemuda yang
dipergokinya sedang bermesraan dengan gadis Tiongkok
itu, memang serupa betul dengan Lanangseta. Tak ada
yang berbeda sedikit pun. Itulah menurut pemandan-
gan dan pendapat Mahani. Sehingga, Mahani pun kem-
bali masuk ke hutan, tempat ia memergoki gadis Cina
dengan pendekar tampan itu. Mahani yakin, bahwa
Ekayana itu sebenarnya adalah Lanangseta yang meru-
bah nama demi menutupi penyelewengannya.
Hampir saja Mahani kehilangan jejak. Ia tiba di tem-
pat semula, tapi tempat itu telah kosong. Namun suara
tawa seorang gadis masih terdengar samar-samar. Ke-
mudian Mahani segera memburu arah suara tawa itu.
Pasti gadis Cina itu dengan Lanangseta sedang bercan-
da, pikir Mahani.
Ternyata dugaannya itu benar. Ia melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Lanangseta saat itu sedang
menggendong Yin Yin, gadis Cina, seraya sesekali men-
ciumi gadis itu. Mahani yang percaya betul bahwa pe-
muda itu adalah Lanangseta, merasa hatinya bagai ter
iris pedih melihat canda dan kemesraan mereka. Na-
mun ia bersabar sampai ia mengikuti dari kejauhan ke
mana perginya kedua orang tersebut.
Dengan hati hancur, Mahani menguntit langkah me-
reka, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah sungai ke-
cil. Mereka menyusuri tepian sungai, dan Mahani pun
ikut menyusuri tepian sungai. Sungai itu semakin me-
lebar, dan di ujung sana terdapat sebuah air terjun
yang tidak begitu lebat namun cukup deras. Yin Yin dan
kekasihnya yang disangka Mahani adalah Lanangseta
itu menyusuri tepian sungai sampai masuk di balik de-
rasnya air terjun. Rupanya di sana ada sebuah goa yang
tertutup air terjun itu. Goa tersebut menjadi tempat
persembunyian Yin Yin dengan kekasihnya, sekaligus
menjadi tempat berlindung bagi mereka.
Cinta sudah terlanjur membakar darah. Mahani tak
memperdulikan bahaya. Ia meniti bebatuan licin untuk
mencapai batuan tepi goa. Kemudian dengan bersusah
payah, ia berhasil juga masuk ke dalam goa tersebut.
Agaknya sudah cukup lama gadis Yin Yin dan pemuda
yang disangka Lanang itu tinggal di dalam goa tersebut,
terbukti dengan banyaknya obor dan perapian yang ada
di dalam goa.
"Lanang..!" seru Mahani. Suara itu menggema, dan
kedua orang itu belum terlihat. Mahani masuk lebih ke
dalam. Ia masih berteriak, "Lanang...! Jangan tinggal-
kan aku...!"
Langkah Mahani sangat hati-hati. Di situ keadaan ti-
dak bertanah datar. Banyak bebatuan yang menonjol
dan berlumut. Obor-obor penerang tertempel pada dind-
ing dan di sela bebatuan. Tanpa obor penerang itu, Ma-
hani akan terantuk batu beberapa kali, atau bahkan
akan menabrak batu-batu besar yang bertonjolan bagai
dinding-dinding penyekat kamar.
"Lanangsetaaaaaa...! Jangan bohongi aku! Aku tahu
kau Lanangseta...! Aku mencintaimu, Lanang...! Jangan
tinggalkan aku...! Aku lebih dulu mengenalmu dan
mencintaimu daripada gadis bermata sipit ituuu...!" se-
ru Mahani tanpa memperhitungkan hal-hal lain. Ia te-
rus saja masuk ke kedalaman goa, melompati bebatuan,
membelok di sela-sela batu setinggi lebih dari tinggi tu-
buhnya.
"Perempuan lacur...!" terdengar suara menggema dari
mulut seorang perempuan yang belum terlihat Mahani.
Mahani berhenti melangkah, dan ia pun mulai
menggeletukkan gigi melihat kemunculan Yin Yin dalam
busana setengah telanjang. Agaknya ia telah mengerja-
kan sesuatu yang tertunda karena kehadiran Mahani
yang berteriak-teriak tadi.
"Apa perlumu ke mari, Perempuan lacur?!" kata Yin
Yin yang bersuara kecil namun tandas. Menyakitkan
hati.
"Kau yang perempuan lacur!" balas Mahani. "Kau
merebut kekasih orang! Rakus!" Mahani bicara dengan
mata membelalak lebar, memancarkan dendam dan
kemarahan.
Yin Yin dengan berani menyampar Mahani dan me-
nampar pipi Mahani keras-keras, sehingga Mahani me-
mekik kesakitan.
"Berani bicara seenaknya di depanku, kubunuh kau!
Kau belum tahu siapa aku, hah?!" bentak Yin Yin sam-
bil merapikan pakaiannya.
Mahani semakin marah. Ia menatap Yin Yin dengan
sorot mata berapi-api. Pada saat itu, Yin Yin meluda-
hinya dengan kasar. Mahani semakin sakit hatinya, ia
segera mengambil batu dan melemparkannya kepada
Yin Yin. Tetapi belum sempat Mahani melemparkan ba-
tu itu, pergelangan tangannya telah tersentil batu kecil
yang melesat dari jari jemari Ekayana.
"Uuh...!" Mahani menyeringai kesakitan. Tulang-
tulang jemarinya bagaikan dipatah-patah. Terasa sakit
dan ngilu sekali, sehingga untuk menggenggam batu
pun ia tak sanggup. Mahani berpaling memandang
Ekayana yang berada di atas sebuah batu ceper. Lelaki
itu sudah telanjang dada dan hanya mengenakan ba-
gian bawah pakaian saja. Ia tersenyum sinis kepada
Mahani.
"Lanang...?! Kau lupa padaku?!" Mahani meratap.
"Dia bukan Lanang! Dia Ekayana!" bentak Yin Yin.
Mahani berpaling memandang Yin Yin dengan geram
kemarahan. Lalu ia memaki Yin Yin dengan kata-kata:
"Perempuan murahan! Kau bohongi aku dengan see-
nak perutmu, ya? Kau pikir aku tidak bisa mengenali
Lanangseta? Hem...! Ketahuilah olehmu, Perempuan Ja
lang, bahwa aku lebih kenal Lanang ketimbang kamu!
Aku memandang Lanang dengan mata hatiku yang me-
nyimpan cinta, sedangkan kau memandang Lanang
hanya dengan nafsu binatangmu! Ciih...!"
"Plak...! Plak...!"
Yin Yin menampar muka Mahani dengan keras. Ga-
dis desa itu tak dapat menghindar, sebab ia memang ti-
dak pernah berkelahi dan tidak memiliki ilmu silat sedi-
kit pun. Sedangkan Yin Yin agaknya mempunyai ilmu
silat sekali pun hanya beberapa jurus. Ia segera meng-
hampiri Mahani yang tengah merangkak karena terja-
tuh, dan dengan keras Yin Yin menendang mulut Ma-
hani hingga tepian bibirnya robek dan berdarah.
"Ini upah bagi perempuan lancang!" kata Yin Yin.
Mahani menjerit kesakitan. Ia menutup mulutnya
dengan telapak tangan dan memandang Ekayana.
"Lanang... tolong aku...!" ucapnya tak jelas sambil
menangis. Ekayana hanya tersenyum dan tetap duduk
di tempat.
"Maaf, aku bukan Lanangseta...! Aku Ekayana...!"
"Bohong!" teriak Mahani. "Aku tahu kau adalah La-
nangseta. Aku pernah memelukmu dan..."
"Pergi kau dari sini, Keparat!" teriak Yin Yin yang
mempunyai suara kecil seraya menendang perut Maha-
ni. Mahani terguling dan kepalanya membentur batu.
Yin Yin yang merasa tak suka mendengar Mahani per-
nah memeluk Ekayana, segera menarik rambut Mahani.
Lalu dengan keras ia menghantam wajah Mahani se-
hingga membiru mata Mahani yang kiri. Belum puas
dengan itu, Yin Yin mengibaskan kukunya hingga
menggores kening Mahani dan berdarah.
"Laannaaang...! Tolooooong....!" Mahani menjerit-jerit
dalam kesakitannya. Mahani tak sempat melihat apa-
kah orang yang dikira Lanang itu bertindak atau tidak,
tapi yang ia ketahui, bahwa tubuhnya dilemparkan dari
atas batu oleh Yin Yin. Ia berusaha untuk bangkit sete-
lah kepalanya membentur tepian batu, namun Yin Yin
telah siap menghajarnya lagi dengan tendangan ke
pinggang Mahani.
"Pergi kau...! Pergi dari sini...! Kau mengganggu ke-
bahagiaan kami, hih...!"
"Aaauhh...!" Mahani terguling menabrak bebatuan
runcing. Yin Yin terus menghajarnya, memukul, me-
nendang, bahkan melemparnya dengan batu beberapa
kali, Mahani tak dapat menghindar sedikit pun. Ia le-
mas. Dan ia membiarkan tubuhnya terseret-seret oleh
tangan Yin Yin. Kemudian ia masih sadar saat ia dilem-
parkan keluar goa, menembus curahan air terjun. Dan
ketika ia jatuh ke sungai, ia sudah tidak sadarkan diri
lagi. Ketika ia siuman, ia mendapatkan dirinya terdam-
par di tepi sungai. Kakinya tersangkut lilitan akar po-
hon.
***
Ludiro menghela nafas, merasa iba mendengar cerita
Mahani. Ia sengaja membiarkan gadis itu menangis teri-
sak-isak. Sebab jika ia mendekat, takut kalau Mahani
bahkan nekad loncat dari atas tebing karang itu.
"Sebab itu, Paman..." kata Mahani di sela isaknya.
"Saya lebih baik mati daripada menanggung siksaan se-
perti ini."
Ludiro menghela nafas lagi. Lalu berkata pelan:
"Aku ingin menolongmu, tapi izinkan aku mende-
kat..."
"Tidak! Paman mendekat, aku loncat!" ancam Maha-
ni dengan sungguh-sungguh. Ludiro hanya angkat ba-
hu, merasa tak sanggup menjelaskan maksudnya lagi.
"Saya ingin mati dengan cara saya sendiri, Paman.
Biar lengkap sudah penderitaanku ini."
"Kau mencintai Lanangseta sungguh?"
Mahani memandang Ludiro, mulai tertarik dengan
kata-kata Ludiro.
"Apakah.... apakah Paman benar-benar bisa meno-
longku?"
"Akan kucoba. Kalau kau yakin maka aku akan bi-
sa."
Mahani menggeleng. "Tapi semuanya sudah terlan-
jur, Paman. Aku sudah terlanjur sakit hati kepadanya,
terlebih kepada gadis Cina itu! Aku ingin membunuh-
nya!"
"Kalau kau mati bunuh diri, apakah kau bisa mem-
bunuh Yin Yin, gadis Cina itu?" Ludiro memancing ke-
sadaran Mahani.
Mahani diam saja. Mengisak dalam tangisnya.
Ludiro berkata lagi dengan tenang, dan ia bergerak
maju perlahan-lahan.
"Kalau kau bunuh diri, kau bodoh! Kau tidak akan
bisa membalas dendam kepada Yin Yin, yang telah me-
nyiksamu sedemikian keji. Kalau aku jadi kamu, aku
akan membalas dendam dulu kepada Yin Yin, setelah
itu baru bunuh diri. Andaikata sekarang kau bunuh di-
ri, bukankah mereka berdua tetap bermesraan dan se-
makin menghangat? Oh, alangkah tololnya kamu jika
kamu mau mati demi kebahagiaan mereka?"
Suara isak tangis masih terdengar. Namun kata-kata
Mahani tenggelam tak terdengar lagi. Agaknya ia mulai
menyadari apa yang dikatakan Ludiro itu.
"Mahani.." Ludiro berkata lagi dengan hati-hati. Ia
mencoba merubah jalan pikiran gadis anak Pak Lodang
itu dengan bujukannya. "Kau seharusnya bisa me-
nyingkirkan Yin Yin. Kau akan bebas memiliki kekasih
Yin Yin jika gadis itu sudah kau singkirkan. Kau bebas
bercinta dengan pemuda yang kau harapkan itu..."
"Tidak! Aku sudah terlanjur benci dengan Lanangse-
ta!" teriak Mahani sambil bergegas menepi. Ludiro cemas.
"Sabar...! Pikirkan lebih masak lagi, Mahani."
"Aku sudah pikirkan, dan inilah keputusanku! Aku
harus pergi meninggalkan mereka, meninggalkan dunia
ini!"
Mahani semakin menepi, sesekali memandang ke
bawah. Ludiro menjadi khawatir sekali.
"Mahani, dengarkan nasihatku... kau bisa mencintai
pemuda lain yang lebih ganteng dan lebih gagah dari
Lanangseta. Kau bisa..."
"Tidak, Paman! Tidak ada pilihan lain bagiku!"
"Sabar, Mahani... Aku bisa membantumu...!"
"Tidak ada yang bisa membantuku!"
Gadis ini keras kepala juga, pikir Ludiro dalam ke-
bingungannya.
"Begini saja, Mahani... sebaiknya..."
Mahani menyahut, "Sebaiknya aku pergi sekarang,
Paman. Selamat tinggal. Sampaikan salamku kepada
Lanangseta, semoga ia berbahagia di atas kematianku
ini...!"
"Mahani...! Mahani, tunggu...!"
"Aaaahhh...!"
Mahani terpeleset kakinya dan ia pun terguling jatuh
dari atas tebing.
"Mahaniiii....!" teriak Ludiro yang menjadi panik me-
lihat peristiwa itu. Ia hampir saja terjerumus ikut ma-
suk ke dalam tebing kalau saja ia tidak segera meng-
hentikan langkah kakinya. Ia buru-buru menjauh dari
mulut tebing karang dan berlutut dengan mata terpejam
dan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Picik...! Picik sekali otakmu, Mahani...!"
Ludiro merasa gagal menolong Mahani. Ia merasa
seperti orang bodoh. Ia jengkel sendiri kepada dirinya,
juga kepada Mahani yang benar-benar keras kepala itu.
"Bodoh! Bodoh aku, Ludiro...!" teriak Ludiro sendiri
dalam kejengkelannya. Ia memukul-mukulkan tinjunya
ke paha sendiri sampai beberapa kali. Kemudian ia ter-
tunduk diam. Nafasnya yang terengah-engah diredakan.
Ia mencari ketenangan diri dengan menghela nafas be-
berapa kali. Ia masih bersimpuh dan menjaga keseim-
bangan jiwanya.
Tiba-tiba ada suara yang dikenal Ludiro memanggil-
nya.
"Paman..."
Ludiro bergegas mengangkat wajah dan memandang
lelaki gagah dan kekar yang berjalan sambil menggen-
dong Mahani.
"Lanang...?!" Ludiro segera bangkit dan mendekat.
"Kau... kau telah berhasil menyelamatkan dia, La-
nang?"
Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Ma-
laikat Pedang Sakti itu hanya menyunggingkan senyum
tipis. Kedua tangannya masih menggendong tubuh Ma-
hani yang dalam keadaan pingsan.
"Luar biasa. Sangat di luar dugaan...!" kata Ludiro.
"Dia menjadi korban nafsunya sendiri! Hampir saja
dia mati dengan sia-sia...!" kata Lanang sambil mem-
perhatikan Mahani yang terpejam pingsan.
"Ya. Dan... syukurlah kau berhasil menyelamatkan
dia."
"Kebetulan saja saya berada di bawah, memandangi
Pulau Kramat itu. Saya menerka-nerka, apa yang dila-
kukan Nyai Katri, penguasa Pulau Kramat itu terhadap
Jaka Bego, teman kita. Dan saya juga sedang mem-
bayangkan apa yang sedang kau lakukan di pulau itu,
Paman. Tapi rupanya, kau belum berangkat ke sana.
Aku mendengar suaramu berbicara dengan Mahani. La-
lu kulihat, keadaan Mahani sangat gawat kau pasti tak
akan bisa menolongnya, Paman. Dia gadis keras kepala.
Sebab itu, diam-diam aku berjaga-jaga di bawah sana.
Dan ketika dugaanku benar, Mahani nekad terjun dari
tebing jurang karang ini, aku segera melesat menang-
kapnya. Tapi... dia sudah tak sadarkan diri."
Lanangseta meletakkan Mahani pelan-pelan di tem-
pat yang agak datar. Ludiro manggut-manggut, ada pe-
rasaan lega yang terhempas lewat nafasnya.
"Aku tak bisa memusatkan pikiran untuk menolong-
nya, Lanang. Ada masalah lain yang lebih penting."
"Dan masalah itu yang membuat paman Ludiro be-
lum berangkat menyeberang ke Pulau Kramat?" tanya
Lanang.
Ludiro mengangguk. "Ya. Aku... aku..." Ludiro keliha-
tan bingung. Lanangseta memperhatikan gugusan pu-
lau di seberang lautan. Pulau Kramat. Tiba-tiba ia terke-
jut mendengar Ludiro berkata:
"Cambuk Naga hilang, Lanang..."
Wajah Lanang berpaling cepat, bagai mendapat sua-
tu tamparan keras demi mendengar kata-kata itu.
Mata Lanangseta memandang punggung Ludiro, dan
ia tidak melihat Cambuk Naga di sana. Ia menggeram
dalam kecemasan.
"Gila! Siapa yang mencurinya, Paman?! Siapa!"
Pandangan mata Ludiro sayu. Ia menunduk, merasa
bersalah. Lalu dengan suara pelan ia pun menjawab:
"Ayah Yin Yin..."
"Laksamana Chou itu?"
Ludiro mengangguk. Lanangseta menggeram gemas
dan memukulkan tangan kirinya ke tangan kanannya.
"Kurang ajar...! Orang itu agaknya perlu mendapat
pelajaran yang keras, supaya ia tahu persis bahwa kita
sebenarnya tidak mempunyai urusan dengan dia!"
"Aku sudah mencoba bertarung dengannya..."
"Dan, Paman Ludiro kalah?"
"Tidak begitu. Bukan soal kalah atau menang, tetapi
rupanya ia telah mengincar Cambuk Naga. Ia ingin
membalas dendam terhadap kematian anak buahnya
yang kuhancurkan beberapa waktu yang lalu itu. Tetapi
yang paling utama, dia ingin agar anak gadisnya dikem-
balikan. Dia masih mengira kita-kita orang yang melari-
kan Yin Yin."
"Biadab! Jahanam juga Yin Yin itu...!"
"Dia akan menukar Cambuk Naga dengan putrinya.
Jika Yin Yin dikembalikan, maka Cambuk Naga pun
akan dikembalikan, meski dengan cara harus merebut-
nya!"
Lanangseta termenung dengan geraham menggele-
tuk. Kemudian ia bertanya dengan kemarahan yang
terpendam:
"Ke mana arah kepergiannya? Biar aku saja yang
merebut kembali Cambuk Naga."
Ludiro menggeleng. "Entah ke mana. Tetapi sewaktu
aku mengejarnya, tahu-tahu aku kehilangan jejak, dan
menemukan Mahani di sini, mau bunuh diri."
"Aaaah...!" Lanang mendesah jengkel. "Kalau begitu,
sekarang Paman pergi saja dengan Mahani. Dia yang
tahu tempat persembunyian Ekayana dan Yin Yin, me-
nurut ceritanya yang sempat kudengar tadi. Paksa Yin
Yin untuk kembali kepada orang tuanya, dan paksa
Ekayana untuk melepaskan Yin Yin, lalu merebut kem-
bali Cambuk Naga. Katakan, aku yang menyuruhnya.
Dan, aku sendiri yang akan membebaskan Jaka Bego di
Pulau Kramat itu...!"
***
3
JAKA BEGO, sosok manusia muda yang kurus ke-
rempeng dengan rambut tak pernah teratur. Tampang
bloon yang menghias setiap penampilannya itu sering
membuat orang gemas kepada ketololannya. Kini ia
menjadi tawanan Nyai Katri, seorang perempuan cantik
sebagai penguasa Pulau Kramat.
Lanangseta dan Ludiro pernah keteter menghadapi
kesaktian Nyai Katri ketika peristiwa di Tebing Neraka,
maupun di istana Sendang Bangkai. Perempuan itu hi-
dup pada zaman ayah Kirana, Sabdawana, belum lahir.
Usianya sudah cukup banyak. Ia dulu pernah menjadi
suami keturunan leluhur Bukit Badai, yaitu leluhur Ki-
rana, istri Lanangseta. Bahkan menurut cerita Sabda-
wana, Nyai Katri yang dulu bernama Areswara itu per-
nah menjadi pimpinan kapal bajak laut, yang kejam, tak
kenal ampun, dan kekuatannya itu tak ada yang bisa
menandingi. Banyak kapal yang pernah dijungkir-
balikkan, dihancurkan dengan tenaga dalamnya setelah
seluruh hartanya terkuras habis oleh anak buah Nyai
Katri.
Tetapi siapa sangka ia akan bertekuk lutut di hada-
pan Jaka Bego, pemuda ingusan yang tak tentu rim-
banya itu. Siapa akan menduga kalau seluruh kesak-
tian Nyai Katri dapat terkuras habis ketika ia bercumbu
dengan Jaka Bego sampai beberapa hari beberapa ma-
lam. Bahkan Andini, bekas kekasih Ekayana yang lebih
cenderung mencintai Lanangseta itu juga tertunduk
lunglai dalam dekapan Jaka Bego. Andini bukan pe-
rempuan sembarangan. Ia mempunyai kesaktian juga
yang bisa diandalkan. Tapi toh ia kini menyesal dan
menangis setelah ilmu Asmara Pusaka Dewa menyerap
segala ilmu tenaga dalamnya melalui kemesraan bersa-
ma Jaka Bego.
Andini yang ingin bergabung dengan Nyai Katri, ini
sudah menjadi perempuan biasa, tanpa kepandaian dan
kekuatan yang dahsyat. Begitu juga Nyai Katri, tak jauh
berbeda dengan ibu rumah tangga yang lebih banyak
memikirkan makanan dan masakan ketimbang ber
tanding adu kedigdayaan. Kedua perempuan yang men-
diami Pulau Kramat itu masih belum mengerti, siapa
sebenarnya Jaka Bego itu, Yang mereka tahu, Jaka Be-
go hanyalah sosok pemuda kurus kerempeng yang tidak
punya daya tarik seperti laki-laki lainnya. Jaka Bego le-
bih kelihatan ketololannya ketimbang kehebatannya da-
lam hidup keseharian. Satu-satunya kehebatan yang
ada pada Jaka Bego adalah kejantanannya yang mem-
bius sukma kedua perempuan itu. Nyai Katri sendiri
mengakui, bahwa belum pernah ia menemukan kejan-
tanan yang luar biasa hebatnya sepanjang hidup Nyai.
Hanya pada Jaka Bego sajalah segala impiannya dalam
bercinta menjadi satu ujud kenyataan yang mencekam
jiwa.
Apa yang bisa dilakukan Nyai Katri dan Andini tanpa
ilmu dan kesaktian, adalah menjadi seorang perempuan
yang selalu merindukan kehangatan Asmara Pasak De-
wa. Hanya itu. Dari hari ke hari, mereka tak habis-
habisnya bagai kumbang menghisap madu dari setang-
kai bunga surgawi. Jaka Bego yang memang bego itu
tak merasa dijadikan kuda dari kedua perempuan itu.
Malam, siang, maupun pagi, Jaka Bego bagai seorang
nelayan yang siap mengarungi samudra dengan sampan
dan dayung kejantanannya. Sebenarnya ia bisa saja lari
dari pulau tersebut. Nyai Katri maupun Andini tak akan
mampu menghalanginya lagi, sebab kedua perempuan
itu sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
Jaka Bego. Tetapi, Jaka Bego tidak mau. Bahkan ia bisa
saja membunuh Nyai Katri dan Andini, namun ia juga
tidak mau.
"Mengapa kau tidak mau lari atau membunuh ka-
mi?" Nyai Katri pernah bertanya begitu pada suatu ma-
lam, di mana Andini pun tidur di dalam pelukan Jaka
Bego sebelah kiri, sedang Nyai Katri di sebelah kanan-
nya.
Waktu itu Jaka Bego hanya berkata:
"Lari? Lari ke mana?"
"Ke mana saja!" jawab Nyai Katri seraya tangannya
melakukan kegiatan yang sesekali membuat Jaka Bego
mendesis.
"Aku tidak punya rumah, Nyai. Aku tidak punya
tempat tinggal. Jadi, di mana aku merasa senang, di si-
tu aku tinggal dan berdiam diri sampai aku bosan."
"Jadi kau senang tinggal di pulau ini bersama kami
berdua ini?" Andini menyahut sambil merayapkan jari
jemarinya dan membuat Jaka Bego menggelinjang geli.
"Kupikir, saat ini aku memang masih senang hidup
di pulau ini," kata Jaka Bego. "Tenang, damai, aku tidak
dimusuhi orang lain dan tidak memusuhi orang lain."
"Apakah kau akan bosan, Jaka?" bisik Nyai Katri.
"Bosan?" Jaka Bego mengerutkan kening. Diam se-
saat, lalu menggeleng. "Entahlah. Mungkin juga bisa
bosan. Sebab aku dulu tinggal bersama seorang petani
juga bosan, disuruh mencangkul sawah terus."
"Gawat! Padahal di sini kaupun disuruh mencangkul
terus," timpal Andini. Dan Nyai Katri tertawa kecil.
Kata Nyai, "Rasa-rasanya kami bisa mati jika kau tak
mau mencangkul, Jaka. Kami butuh tenagamu dan
cangkulmu untuk mencangkuli sawah kami, agar kami
bisa tetap hidup." Andini menimpal lagi:
"Cangkul yang panjang dan berkekuatan seratus te-
naga kuda, bukan?" Lalu perempuan berkulit kuning
langsat itu tertawa mengikik, demikian juga Nyai Katri
dan Jaka Bego.
"Aku khawatir kalau kau akan bosan mencangkul di
sini."
Jaka Bego menjawab, "Kalian ini seperti orang dun-
gu. Di sini kan tidak ada sawah? Bagaimana aku bisa
mencangkul? Dan, apakah kalian lupa bahwa sehari-
harian aku jarang turun dari ranjang, bagaimana bisa
kalian berkata bahwa aku di sini juga mencangkul? Ra-
sanya kok tidak pernah."
Andini yang manja itu tertawa dalam desah, ia me-
mainkan bibir Jaka Bego seraya berkata, "Sawah di sini
kan berbeda dengan sawah di tempat lain."
"Di sini memang tidak ada sawah," kata Jaka Bego
yang belum mengerti maksud pembicaraan itu.
"Kami inilah sawah-sawahmu," bisik Nyai Katri.
Andini dan Nyai Katri semakin mengikik, tetapi Jaka
Bego diam dalam ketololannya. Di luar pengetahuan-
nya, tentang bahasa cinta itu, Jaka Bego merasa bang-
ga, sebab kini dirinya yang dulu seperti daun kering tak
pernah ada yang mau meliriknya, sekarang malahan
dua perempuan cantik sekaligus yang mau meremas-
remasnya. Kalau saja ia daun kering biasa, sudah tentu
hancur dalam beberapa remasan. Beruntung sekali ia
daun kering yang berlapis logam baja, sehingga kendati
diremas-remas beberapa kali oleh dua perempuan tak
akan retak sedikit pun.
Suatu kekuatan misterius ada pada diri Jaka Bego,
dan hal ini tidak disadari oleh Jaka Bego sendiri. Na-
mun Nyai Katri tahu, bahwa Jaka bego bukan orang
sembarang. Secara diam-diam ia mengakui bahwa di-
rinya telah mutlak dikalahkan oleh Jaka Bego yang
mampu membuat Nyai Katri seperti perempuan desa,
tanpa kekuatan dan ilmu. Tetapi sesekali memang ser-
ing timbul kecemasan pada diri Nyai maupun Andini,
mereka takut kalau Jaka Bego kehabisan tenaga tak
mampu lagi mencangkul untuk mereka. Karena itu,
Nyai Katri dan Andini pagi itu bergegas untuk mencari-
kan ramuan yang akan menjaga kekuatan Jaka Bego
dalam mencangkul.
"Aku tak ingin ia kehabisan daya," kata Nyai.
Andini menyahut, "Aku khawatir juga begitu, Nyai,
jadi, setidaknya kita harus merawat dia supaya tetap
sehat dan mempunyai daya untuk mengarungi lautan
lepas bersama kita. Apakah Nyai ada gagasan lain?"
Nyai Katri yang berwajah lebih cantik dan lebih
mempesona dari Andini itu hanya mengangguk. Berun-
tung sekali walau segala ilmunya telah sirna, namun
kecantikannya yang muda tidak ikut luntur akibat se-
rapan Asmara Pasak Dewa dari Jaka Bego itu. Sehingga
gelora Nyai Katri dalam bercumbu, tak jauh berbeda
dengan hasrat bercinta Andini. Gairahnya adalah gairah
perempuan berusia muda yang seakan sedang di pun-
cak pubertas. Karena itu, Nyai pun tak ingin gairahnya
kandas hanya karena Jaka Bego lunglai.
"Seingatku, di Pulau ini ada lebah dan sarangnya
pada sebuah pohon. Bagaimana kalau kita mencari ma-
du di sarang lebah itu. Dengan madu dan rebusan daun
binari, kita dapat menjaga kesehatan dan kekuatan ber-
tahan Jaka Bego," kata Nyai Katri kepada Andini.
"Aku setuju. Tapi jangan katakan kecemasan ini ke-
pada Jaka Bego, nanti dia tahu kalau kita lemah dan
tergantung kepada dia."
"Ah, dia memang sudah tahu. Hanya saja dia sendiri
juga menyukai ketergantungan kita."
Andini tersenyum bangga. Paling tidak ia masih
mempunyai harapan bahwa suatu impian mesra akan
mampu diresapi sampai beberapa hari. Ia merasa se-
bentuk kebahagiaan batiniah akan mampu dilahapnya
sampai beberapa lama, jika benar bahwa Jaka Bego
menyukai ketergantungannya.
"Tapi, Nyai... apakah kekuatan kita, ilmu-ilmu kita
tidak dapat kembali lagi melalui bantuan Jaka Bego?
Apakah akan hilang selamanya?"
Nyai Katri juga menggelisahkan hal itu Namun ia
berkata dengan mata memandang ke atas, mencari di
mana ada sarang lebah yang tergantung pada dahan
pohon. Mereka bicara sambil melangkah memburu ma
du hutan.
"Setahuku, ilmu yang telah terserap oleh kekuatan
Asmara Pasak Dewa tidak bisa kembali lagi kepada kita.
Hilang musnah begitu saja dari kita,, namun menjadi-
kan kuat pada diri orang yang memilik ilmu Asmara Pa-
sak Dewa. Sebetulnya, saat ini Jaka Bego mempunyai
kesaktian yang maha dahsyat, seperti kesaktianku du-
lu. Apalagi sekarang ia juga memiliki kesaktianmu, itu
akan membuatnya menjadi lebih hebat lagi. Mungkin
dapat mengalahkan Lanangseta."
Andini menggumam panjang. Nyai meneruskan kata:
"Ia dapat bergerak di luar kesadaran, memperagakan
ilmu pukulan Bidadari Senja milikmu, atau Siluman
Raga Muspra yang kumiliki itu, dan yang lain-lainnya.
Kala dia mau dia bisa. Tapi agaknya dia tidak mau..."
"Tidak mau atau memang tidak tahu?"
Nyai berhenti melangkah. "Maksudmu tidak tahu
bahwa ia telah memiliki semua ilmu kita?"
"Ya. Bisa saja ia menggunakan ilmu Pasak Dewa di
luar kesadarannya, sehingga ia tidak tahu persis bahwa
dirinya sebenarnya sudah berilmu tinggi."
Nyai Katri manggut-manggut. "Bisa juga... ya, ya.."
Nyai Katri tampak bimbang. "Tapi, siapa tahu ia hanya
berlagak tolol dan mempunyai maksud tersendiri?"
Kini Andini menggumam panjang lagi. Lalu ia pun
berkata, "Kita belum pernah membicarakan hal itu den-
gannya, Nyai. Siapa tahu dia bisa mengembalikan ke-
kuatan kita sebenarnya?"
Nyai Katri yang bergaun ungu itu memandang Andini
yang mengenakan gaun tipis milik Nyai berwarna kun-
ing gading.
"Dulu aku secerdas kamu, malah lebih cerdas dari
kamu," kata Nyai. "Tetapi, aneh... sekarang aku tidak
mempunyai kecerdasan seperti itu, sehingga aku tidak
mempunyai pikiran seperti yang kau katakan tadi."
Andini hanya angkat bahu dan berkata, "Aku hanya
ingin melawan Lanangseta dan istrinya, kalau kekuatan
dan ilmu-ilmuku itu bisa kembali lagi."
Nyai diam merenung, seperti ada yang sedang ia pi-
kirkan. Andini memandangnya dengan heran, seakan
menunggu sesuatu yang akan diucapkan Nyai Katri.
"Lanangseta...?" ucap Nyai dalam gumam. "Apakah
dia belum dikalahkan oleh Prabima, si Putra Tunggal
itu?"
"Nyatanya sampai detik ini Prabima tidak pernah da-
tang lagi kepada kita. Pasti ia telah dibunuh Lanangse-
ta, Nyai."
"Dibunuh...?" kata-kata ini pun terucap dalam gu-
mam.
"Kau yakin Prabima bisa dikalahkan Lanangseta?"
"Ya. Aku mempunyai keyakinan akan hal itu."
Nyai mendengus dan berjalan lagi, matanya meman-
dang ke atas pohon, mencari sarang lebah yang bisa di-
ambil madunya buat campuran minuman Jaka Bego.
Hati Nyai sebenarnya gelisah jika memikirkan Prabima,
bimbang dengan pertarungan Prabima. Karena sampai
saat itu pun Nyai tidak bisa mengontrol apakah Prabima
masih hidup atau sudah mati. Jika memang benar Pra-
bima yang sudah dibekali beberapa ilmu oleh Nyai itu
dapat dikalahkan Lanangseta, maka sekarang ini tak
ada lagi orang yang bisa mengalahkan Pendekar Pusar
Bumi itu kecuali... Jaka Bego sendiri. Jaka Bego mem-
punyai kekuatan yang maha dahsyat, dan kekuatannya
itulah yang mampu menandingi kehebatan Lanangseta.
Tapi, dapatkah Nyai Katri mengadu Jaka Bego dengan
Lanangseta?
Nyai Katri menghilangkan pikiran itu, sebab sarang
lebah yang dicari-carinya sudah ketemu. Namun ia
mengeluh sedih, lalu berkata:
"Kalau saja aku masih mempunyai kesaktian yang
dulu, dengan mudah aku dapat terbang mengambil sa-
rang lebah itu."
"Ya. Aku pun dapat demikian, Nyai. Tetapi keadaan
kita sekarang sudah lain. Kita harus memanjatnya,
Nyai..."
Jaka Bego sendiri tidak tahu kemana kedua perem-
puan cantik berambut panjang itu pergi. Yang ia rasa-
kan adalah masa istirahat yang nyaman. Ia tidak ter-
ganggu gelitik dan desahan nafas kedua perempuan itu.
Ia tertidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur. Dan
pada sore hari, ia bangun. Di meja telah terhidang ma-
kanan, buah-buahan dan segelas minuman berwarna
kehijau-hijauan. Setelah menyantap ikan bakar bersa-
ma kedua perempuan bergaun tipis sekali itu, Jaka Be-
go pun disuruh meminum ramuan yang dibikin oleh
Nyai Katri.
"Minumlah, supaya badanmu tetap sehat dan segar,"
kata Nyai kepada Jaka Bego yang memandang heran ke
arah minuman tersebut.
"Percuma saja..." ujar Jaka Bego lesu. "Badanku tak
akan bisa segar. Tetap saja kurus kerempeng begini dari
dulu sampai sekarang. Dulu juga ada orang yang me-
nyuruhku minum jamu. Katanya jamu gemuk badan.
Setelah kuminum beberapa gelas, badanku tetap saja
kurus kerempeng, tidak bisa gemuk-gemuk juga. Mala-
han perutku kembung karena kebanyakan minum jamu
itu."
"Ramuan ini memang tidak bisa menggemukkan ba-
dan, hanya membuat badan menjadi segar, sehat dan..."
"Bersemangat tinggi," sahut Andini seraya mengikik.
Tangannya masih saja mempermainkan sesuatu pada
diri Jaka Bego sehingga Jaka Bego sesekali menggelin-
jang dalam desis yang pendek.
"Apakah menurut kalian aku kurang mempunyai
semangat hidup?" tanya Jaka Bego yang tidak paham
dengan arah pembicaraan mereka.
"Bukan semangat hidup maksudku."
"O, jadi semangat apa yang kau maksud?"
"Biasa... semangat untuk mendayung sampan," balas
Nyai Katri yang sama sekali tidak kelihatan wibawa dan
angker seperti dulu.
"Apakah kita akan berlayar mengarungi lautan? Ke-
napa aku harus mendayung lagi? Apakah kalian tidak
bisa mendayung sendiri?" Jaka Bego, jelas kelihatan be-
gonya.
"Sekali pun kami siap mendayung sendiri, tapi kau
harus tetap punya semangat mengarungi lautan, Jaka,"
kata Nyai Katri. "Karena itu minumlah ramuan ini, tidak
pahit dan tidak meracuni kok."
"Ah, tak perlu...!"
"Biar kau sehat, Jaka" bujuk Nyai.
"Aku masih tetap sehat walau ceking begini."
"Jaka..." Andini mau bicara tapi terpotong oleh kali-
mat Jaka Bego.
"Kau tidak percaya kalau aku tetap sehat? Kau lihat
aku sakit-sakitan, ya?"
Andini memandang Jaka Bego dengan tatapan pe-
nuh nafsu. Ia melirik ke bagian bawah Jaka bego, dan
ia menelan ludahnya sendiri. Tanpa sadar ia berkata,
"Kau memang kelihatan sehat. Selalu sehat. Dan ini
membuatku merasa heran. Sudah sekian lama, bahkan
terlalu sering kamu mencangkul di ladang asmara, tapi
kau masih kelihatan sehat-sehat saja. Kau tidak keliha-
tan pucat seperti kami berdua. Benar-benar aneh, bagi-
ku."
"Bagiku tidak aneh. Kau pucat karena kau kurang
darah." ujar Jaka Bego sambil mencomot buah seperti
jambu, namun bukan jambu, Jaka tak tahu namanya.
"Kau memang luar biasa, Jaka," timpal Nyai Katri.
"Kau sangat mengagumkan. Hanya saja tampangmu tidak mempunyai daya tarik. Perempuan lain yang belum
mengetahui kehebatan cangkulmu, ia tidak akan tergiur
sedikit pun denganmu. Kecuali kami, kami telah menge-
tahui keistimewaanmu, sehingga kami tak pernah
memperdulikan wajahmu yang tak sedikit pun tampan."
"Menghina...!" Jaka Bego bersungut-sungut cembe-
rut.
"Jangan marah..." Nyai mencium pipi Jaka Bego.
"Aku bicara sesungguhnya. Aku tidak pernah memper-
dulikan apakah kau tampan atau tidak. Kau telah me-
mikatku dengan keistimewaanmu, Jaka."
Jaka Bego masih bersungut-sungut, dan ia mengge-
rutu:
"Kalau aku sudah memperlihatkan ketampananku,
kalian akan menyanjungku sampai ke ujung langit,"
ujarnya.
"Kenapa tidak?" sahut Andini. "Perhatikanlah siapa
dirimu sebenarnya, Jaka. Kami merindukan hal itu."
Jaka Bego melirik Andini yang bergelayutan di pun-
daknya. Andini bahkan mencium bibir Jaka Bego, ken-
dati Jaka Bego masih tertegun bagai sedang memper-
timbangkan sesuatu. Menurutnya, itu sebuah rengekan
manja yang jarang ia peroleh dari seorang perempuan
cantik seperti Andini.
"Ayolah, Jaka..." sekali lagi Andini memperkuat ren-
gekannya. Nyai Katri juga ikut bergelayutan di pundak
satunya lagi. Jaka Bego memandang wajah cantik ber-
hidung bangir dan berbibir ranum segar itu. Nyai ikut
merengek, namun lebih menyerupai sebuah bujukan:
"Ayolah... ceritakan segalanya jika kau mampu me-
nunjukkan ketampananmu, tunjukkanlah kepada ka-
mi."
Jaka tersenyum geli sendiri.
"Kalian akan menjadi gila jika melihat ketampanan-
ku."
"Kami memang sudah tergila-gila kepadamu," bisik
Nyai dalam desah sambil mencium belakang telinga Ja-
ka Bego.
Andini menambahkan kata seraya menciumnya juga,
"Sekarang pun kami sudah tergila-gila padamu, Jaka."
Hati Jaka Bego merasa bangga, dirinya seakan me-
layang mendapat pujian seperti itu. Saat itu, terutama
sejak Nyai dan Andini kehilangan ilmu mereka, Jaka
Bego merasa seperti seorang Pangeran di pulau itu. Seo-
rang pangeran yang dikagumi oleh kedua perempuan
cantik dan menggairahkan. Tanpa disadari sebenarnya
dialah yang kini menjadi penguasa tunggal Pulau Kra-
mat, sebab hanya dialah orang terkuat di pulau itu.
Namun, ketololan Jaka Bego membuat ia tidak menya-
dari hal itu, dan masih saja merasa sebagai tawanan
Nyai Katri, sehingga segala perintah Nyai Katri selalu di-
laksanakan.
"Siapa dirimu sebenarnya, Jaka Bego? Mengapa kau
sampai menguasai ilmu Asmara Pasak Dewa yang amat
dahsyat itu? Dari mana kau peroleh ilmu Pasak Dewa
itu, Jaka?" Nyai mendesaknya dengan halus, sehingga
Jaka Bego tidak merasa dipaksa mengaku siapa dirinya.
Dalam hal itu, Jaka Bego hanya berkata: "Kalau kau
tanya padaku itu salah, Nyai. Sebab aku sendiri tidak
tahu, siapa diriku. Aku juga tidak percaya kalau aku
mempunyai ilmu Pasak Dewa. Menurutku, aku ini bi-
asa-biasa saja."
"Tapi kau mempunyai kesaktian yang mengagum-
kan," bisik Andini sambil mendengus-dengus di leher
jaka Bego. Sesekali Jaka Bego menggelinjang. Ia berka-
ta:
"Ah, kesaktian itu kan hanya kebetulan saja."
"Kebetulan bagaimana?" tanya Nyai Katri penuh seli-
dik.
"Yaaah... kebetulan saja kau menemukan aku sebagai orang paling sakti seantero jagad raya. Kalau kau
bertemu dengan, orang lain, yaah... kau kebetulan saja
menemukan orang yang tidak sesakti aku. Jelas?"
Nyai Katri merasa kecewa, ternyata jawaban Jaka
Bego tak lebih dari jawaban konyol. Ia membanggakan
diri secara tak langsung, dan Nyai tak mau menangga-
pinya lagi. Ia sibuk meremas-remas sesuatu yang mem-
buat Jaka Bego berkata:
"Nyai... apakah aku harus tidur sesore ini?"
"Sebaiknya begitu," jawab Andini yang sudah mulai
bernafas tak teratur.
"Ah... masih terlalu sore, kan?" Jaka mengeluh.
"Hari boleh menjadi sore tapi kau harus tetap sesegar
udara pagi, Jaka," bisik Nyai Katri yang mengalami hal
serupa dengan Andini. "Aku senang berlayar di pagi ha-
ri, udaranya segar dan..."
Andini menyahut, "Dan karena itu kau harus memi-
num ramuan itu, supaya seperti pagi yang segar, Ja-
ka..."
"Ya, minumlah...! Percaya saja kepada kami, itu bu-
kan racun yang membahayakan jiwamu. Alangkah bo-
dohnya kalau kami punyai niat meracuni kamu, lantas
siapa yang akan mendayung sampan kami nanti jika
kau mati, Jaka. Minumlah... Itu tanda sayang kami ke-
padamu."
"Aaaah...! Perempuan katanya memang selalu ba-
nyak menuntut.... dasar!" Jaka Bego menggerutu, na-
mun ia mengambil juga minuman itu. Ia pun segera
meminum ramuan yang terbuat dari seduhan air daun
binari dengan madu lebah hutan. Sekali tenggak, mi-
numan itu habis. Andini dan Nyai Katri tersenyum ber-
sama, merasa mereka akan memperolah suatu keisti-
mewaan lebih hangat lagi dari Jaka Bego. Syaraf kedua
perempuan itu memang sudah tak banyak bisa berpikir
hal-hal lain kecuali tentang kemesraan yang menghangat. Itu juga akibat pengaruh ilmu Pasak Dewa yang te-
lah berhasil menjerat dan mempengaruhi jiwa mereka.
Andini dan Nyai Katri sama-sama menuntun Jaka
Bego ke kamar. Sambil bercanda dan tertawa mengikik
merek sengaja menggoda Jaka Bego dengan sentuhan-
sentuhan yang sensitif. Jaka Bego mengikik dalam sua-
tu gerakan menggelinjang jika bagian tubuhnya yang
peka disentuh atau pun digelitik oleh kedua perempuan
itu.
Waktu ia sampai di pembaringan, ia menguap. Ma-
tanya mulai sayu, bicara dan tawanya mulai mengam-
bang.
"Hei, kau jadi mengantuk, ya? Mengantuk sungguh?"
goda Andini seraya mempermainkan bagian tubuh Jaka
Bego. Saat itu, Jaka Bego mengangguk-angguk, tak da-
pat bicara apa-apa. Nyai Katri menelentangkan Jaka
Bego dengan gairah yang berkobar-kobar. Ia tertawa se-
raya memandang Andini:
"Ia sengaja mempermainkan kita, supaya kita men-
dayung sendiri, hi, hi, hiii..."
Andini menyahut dalam tawanya pula: "Untung aku
sudah bersiap diri untuk mendayung..."
Beberapa saat, terdengar dengkuran Jaka Bego. Nyai
Katri dan Andini sama-sama masih mengikik geli.
"Dia tertidur betulan..." "Biarkan saja, justru kita be-
bas mendayung dan berlayar ke mana pun kita mau,"
jawab Nyai Katri. Kemudian ia bicara berbisik kepada
Andini, "Lihat... semakin kuat dan perkasa, bukan?"
"Ramuanmu sungguh hebat, Nyai. Jaka kelihatan te-
tap segar dan semakin mengagumkan walau dalam
keadaan tertidur. Hi, hi, hi... Dia benar-benar embun
pagi yang segar dan... dan..." Andini memandang heran
wajah Jaka Bego. Ia kini semakin berbisik: "Hei, Nyai...
lihat wajahnya berasap...?!" Nyai membelalakkan mata
kendati tetap bekerja dengan teratur.
"Astaga... benar! Ia berasap, bahkan... bahkan di ba-
gian dada serta perutnya ini, lihat... ini juga berasap."
Andini menjadi tegang. "Oooh...?! Dia mulai mem-
bengkak, Nyai. Dia membengkak dan...dan..." Andini
menutup mulutnya dengan tangan. "Aku takut ia akan
meledak Nyai..."
"Ajaib sekali! Apa yang terjadi pada dirinya sebenar-
nya...."
Nyai Katri ketakutan, ia segera turun dari pembarin-
gan. Andini juga demikian. Ia melangkah mundur den-
gan mata masih membelalak memandang Jaka Bego
yang mengeluarkan asap. Seluruh tubuhnya membeng-
kak sedikit demi sedikit, bahkan pada bagian pusa-
kanya itu pun kian membesar dan bertambah tinggi.
Nyai sendiri segera lari ke luar dari kamar dengan ke-
panikan dan ketakutan yang tak pernah dimiliki sebe-
lumnya. Andini menyusul dalam kegugupan. Nafasnya
tak teratur. Ia sama saja dengan Nyai. Tidak menghi-
raukan pakaian yang tertinggal di lantai kamar.
"Nyai... bagaimana dia? Apa yang kau minumkan ke-
padanya itu sebenarnya?" Andini sangat cemas dan bin-
gung.
"Entahlah. Kupikir... kupikir itu ramuan yang biasa,
wajar-wajar saja, aku... aku pernah memberikan ra-
muan serupa kepada Prabima, tetapi... ia tidak menga-
lami perubahan mengerikan seperti Jaka.... Oh, Andi-
ni... aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri
Jaka Bego..."
"Kita telah membunuh dia, Nyai...! Kita lari saja...!"
"Di luar, hari sudah malam... Kita mau lari ke ma-
na?" Nyai Katri sangat cemas, dan Andini kebingungan.
"Bagaimana kalau arwahnya sampai menuntut ke-
pada kita?" Kata Andini, dan memang baru sekarang
juga mereka berdua merasa takut kepada arwah, pa-
dahal dulu Nyai Katri justru sering bercanda dan bertarung dengan arwah-arwah penasaran. Tapi kali ini, ia
benar-benar merasa takut sekali jika arwah Jaka Bego
memburu dan mencekiknya. Ia memiliki unsur ketaku-
tan yang sama dengan perempuan biasa.
Tiba-tiba dari kamar terdengar suara seseorang me-
manggil:
"Nyai....?! Andini...?!"
Kedua perempuan itu saling pandang dalam ketaku-
tan yang memuncak. Kaki dan tangan mereka gemeta-
ran.
"Di mana kalian...! Kenapa pergi? Nyai...?!"
"Nyai, kau dipanggil...!" bisik Andini dalam ketaku-
tan. Nyai Katri menggeleng, ketika di dorong maju ke
kamar, ia tetap bertahan tidak mau masuk ke kamar.
"Itu suara Jaka, bukan?" bisik Nyai. Andini men-
gangguk. "Dia masih hidupkah...?"
Andini menggeleng. "Entah! Atau... arwahnya yang
memanggilmu, Nyai..."
***
4
Kedua perempuan tanpa busana itu melangkah
mundur menjauhi kamar. Keringat dingin mengucur
dari pori-pori kulit mereka yang halus lembut. Suara
seorang lelaki dari dalam kamar membuat mereka se-
makin dicekam rasa takut dan tak tahu harus berbuat
apa mereka.
"Andini....! Ah, brengsek kau. Kenapa kau biarkan
aku seperti ini...?!" suara itu terdengar lagi.
Andini menjadi lebih ketakutan lagi. Ia mendekati
pintu keluar, dan Nyai Katri buru-buru menyusulnya.
Mereka berniat melarikan diri keluar dari rumah. Tetapi
baru saja pintu hendak dibuka, wajah-wajah mereka
yang cantik itu semakin menegang dalam kekaguman
yang mencekam.
Seorang pemuda tampan keluar dari kamar Nyai Ka-
tri. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap. Badannya kekar
dan berotot. Rambutnya tak terlalu panjang dan berge-
lombang ikal. Wajahnya bersih, dengan hidung bangir
dan mata kebiru-biruan. Alis matanya tidak terlalu teb-
al, namun bulu matanya cukup lebat dan lentik bagi
ukuran bulu mata lelaki.
Pemuda itu tidak mengenakan baju, sehingga da-
danya yang bidang dan kekar itu tampak terbentang je-
las. Ia hanya mengenakan kain selimut yang dililitkan
asal jadi pada bagian perut sampai batas paha ke atas
sedikit. Ia berkulit kuning langsat, halus dan bersih. Di
wajahnya ada kumis yang tipis. Sangat tipis, namun ju-
stru menambah ketampanannya yang luar biasa me-
mukau. Kedua pundaknya datar, otot-otot lengannya
kelihatan menonjol namun lembut.
Andini dan Nyai Katri sama-sama terbengong seperti
patung bugil. Mata mereka tak bisa berkedip, dan mulut
mereka tetap melongo. Mereka benar-benar terpukau
oleh ketampanan pemuda itu. Mulut dan lidah bagai
susah untuk digerakkan. Kelu. Mereka benar-benar ter-
kesima oleh pemandangan yang tak pernah terbayang-
kan sebelumnya.
Pemuda itu mendekati Nyai Katri dan Andini setelah
memeriksa tubuhnya sendiri. Ia tersenyum mempesona,
namun kedua perempuan itu tak mampu membalas-
nya. Mereka masih terpukau dalam keheranan yang
amat tinggi.
"Nyai...?" sapanya lembut dan menyejukkan hati.
"Andini...?" ia memandang Andini dengan sepasang ma-
ta kebiru-biruan. Bau harum yang sangat melenakan
tercium dari tubuh pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu melipat
tangan di dada seraya tersenyum tipis mempesona. Nyai
Katri mulai dapat menelan ludahnya sendiri, dan ma-
tanya pun bisa untuk berkedip. Ia mengucal-ngucal se-
pasang matanya, dan sekali lagi memandang tegas-
tegas ke arah pemuda tampan berbibir ranum itu. De-
bar-debar di dada Nyai Katri bagai ingin menghentikan
detak jantung.
Pemuda itu berkata dengan lembut, "Kau pasti telah
memberiku minuman yang mengandung madu. Benar,
bukan?"
Nyai Katri seperti orang dihipnotis. Ia mengangguk,
bahkan kelihatan ketololannya. Lalu, dengan bibir ge-
metar ia berkata:
"Si... siapa... siapakah kau... sebenarnya...?" suara
itu pun nyaris hilang, tak terdengar.
"Kalian sama sekali tidak mengenaliku?"
Nyai Katri mengangguk, Andini juga mengangguk
dengan mulut masih melongo. Mereka berdua benar-
benar seperti orang tolol tanpa busana selembar be-
nangpun. Pemuda itu kelihatan semakin tenang dan
menawan dengan senyumnya.
"Aku... Jaka Bego."
Kedua pasang mata perempuan itu sama-sama ber-
gerak melebar. Lalu mereka saling pandang dalam kebi-
suan, dan setelah itu kembali memandang pemuda ter-
sebut. Mereka menampakkan tatapan mata tidak per-
caya, sehingga pemuda itu meraih tangan Nyai Katri
dan tangan Andini, lalu ia menuntun kedua perempuan
itu ke dekat meja. Nyai dan Andini seperti sepasang
kerbau yang dicucuk hidungnya: menurut saja. Di situ,
pemuda tampan itu berkata dengan bahasa yang ra-
mah, suara yang lembut, enak di dengar serta menga-
gumkan.
"Namaku yang sebenarnya.... Indra Mada. Aku hidup
bukan di alam ini, tetapi di Suralaya..."
"Suralaya?!" Andini dan Nyai sama-sama mende-
siskan kata itu. Lalu dengan sedikit susah payah Nyai
Katri berkata pelan:
"Suralaya... tempat para dewa..."
"Ya. Benar. Dari sana asalku. Aku mencari ayahku,
yaitu seorang dewa yang melakukan kesalahan, lalu di-
buang ke alam kehidupan manusia. Ia menjelma men-
jadi manusia. Ayahku itu bernama Bhirawa Mada. Ka-
rena ia terusir dari Suralaya, dan menjadi manusia, ka-
barnya ia bernama Pramban Jati, atau dikenal sebagai
Si Tongkat Besi. Ayahku itu adalah dewa Kejayaan, se-
dangkan aku anaknya, dewa Seribu Mimpi. Tugasku
mengatur impian-impian yang mempunyai makna seba-
gai perlambang kehidupan manusia yang bersangkutan.
Dan aku sengaja melakukan kesalahan di Suralaya, su-
paya aku dibuang ke alam ini. Dengan dibuangnya aku
ke sini, maka aku akan dapat bertemu dengan ayahku,
yang sejak kecil tak pernah kutemui..."
Andini dan Nyai Katri termangu-mangu mendengar
penuturan kisah itu. Mereka sama sekali tidak memiliki
keraguan sedikit pun. Cerita dan ketampanan Indra
Mada telah melunakkan segala kecurigaan, sehingga
membuat mereka sangat percaya dan tetap mengagumi
Indra Mada.
Pemuda jelmaan Jaka Bego itu berjalan mondar-
mandir sambil berbicara penuh kelembutan dan enak
didengar.
"Ibuku seorang bidadari," katanya. "Sewaktu ia meli-
hat aku dibuang ke alam kehidupan ini, ia menangis
sampai mencucurkan air mata darah. Lalu penguasa
Suralaya menjadi iba dan kasihan kepada ibuku, Ia ber-
janji akan mengembalikan ujudku seperti semula, apa-
bila aku telah mengecap kemanisan alam manusia ini,
yaitu madu dan cinta!"
Tak satupun dari kedua perempuan itu ada yang berani bicara. Selain memang Indra Mada mencerminkan
kharisma tersendiri, juga mereka merasa sayang jika
harus bicara dan membuat suara Indra Mada itu ter-
henti. Karena itu, mereka diam, menyimak suara Indra
Mada yang enak di dengar dan menimbulkan getaran
tersendiri di dalam hati mereka.
"Dulu..." sambung Indra Mada. "Aku pernah menelan
setetes madu, ketika aku menjadi seorang tawanan di
kapal. Dan aku hampir saja menjelma menjadi ujud
yang sebenarnya. Tetapi aku tidak merasakan cinta,
bahkan memang belum pernah sehingga aku kembali
lagi menjadi ujud Jaka Bego."
Indra Mada menceritakan sekilas peristiwa ia ditahan
di kapal Laksamana Chou dalam kisah KUTUKAN JAKA
BEGO. Ia pun menjelaskan.
"Tetapi di sini, aku telah merasakan manisnya cinta
seorang perempuan, dan manisnya madu yang kau be-
rikan padaku. Maka, ujud Jaka Bego pun terpaksa ku-
tinggalkan dan berubah dengan sendirinya menjadi
ujudku seperti ini..." seraya Indra Mada mengembang-
kan kedua tangannya, seakan memperlihatkan keadaan
dirinya.
"Apakah..." Nyai Katri ragu-ragu ingin bicara. Tapi
Indra Mada menyuruh Nyai Katri tenang dan tak perlu
takut-takut untuk bicara, maka Nyai pun melanjutkan
kata-katanya:
"Apakah... aku akan kembali ke Suralaya jika sudah
berubah seperti ini?"
"O, tidak! Dalam keadaan seperti ini, berarti aku te-
lah bebas. Aku boleh tinggal di alammu, atau boleh pu-
lang ke alam para dewa kapan saja aku mau. Tetapi aku
tidak ingin kembali lebih dulu sebelum aku menemukan
ayahku: Si Tongkat Besi. Apakah kalian pernah men-
dengar nama itu?"
"Ya. Dulu aku pernah mendengar namanya, tapi sekarang tidak lagi. Dan aku tidak tahu di mana dia," ja-
wab Nyai Katri yang mulai memperoleh ketenangan ba-
tinnya.
"Bagaimana dengan Lanangseta...?"
Nyai Katri dan Andini saling bertatapan
sejenak, kemudian Andini bertanya kepada Indra
Mada.
"Apakah Lanangseta itu ayahmu?"
Indra Mada melangkah menjauhi Andini dan Nyai
Katri dengan senyum menghias bibirnya yang ranum.
"Bukan begitu maksudku. Selama ini, aku sengaja
mengikuti Lanangseta, karena aku mencium bau darah
dewa pada dirinya. Aku tak tahu apakah dia dewa atau
bukan, tetapi ia pernah menyebutkan gelar Malaikat
Pedang Sakti. Dan itu adalah gelar dari ayahku. Aku be-
lum sempat menanyakannya, sebab selama ikut dia, se-
lalu saja ada masalah yang harus kutangani. Kepada
dia pun aku belum sempat menceritakan siapa diriku.
Dan memang dalam keadaan penting saja aku harus
menceritakan tentang jati diriku, termasuk kepada ka-
lian..."
"Apakah kami termasuk orang penting menurutmu?"
tanya Andini yang juga mulai tenang.
"Ya. Penting, karena kalian telah melihat ujudku
yang sebenarnya. Itulah tadi kukatakan, kalian akan gi-
la jika melihat wajahku yang sebenarnya."
Nyai Katri mulai tersipu. Ia berkata lirih, "Agaknya
kata-katamu itu memang benar."
"Nah, kau sudah mulai memancing-mancingku, bu-
kan?"
Nyai Katri semakin tersipu, demikian juga Andini.
Lalu dengan pelan Nyai bertanya:
"Apakah aku tak boleh lagi memancing-mancingmu?"
Indra Mada merasa terpojok dengan pertanyaan itu.
Ia ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi Nyai sudah
menyerang dengan pertanyaan serupa:
"Apakah kita sudah tidak boleh saling bercinta lagi?"
"Ya, apakah kami tak boleh berlayar lagi denganmu?"
sahut Andini yang mulai bersemangat.
Indra Mada tersenyum lebar, dan semakin mengge-
tarkan hati Nyai Katri dan Andini.
"Aku seorang dewa..." kata Indra Mada. "Seharusnya,
seorang dewa tidak boleh bercumbu dengan manusia."
Wajah-wajah cantik itu lesu dan tampak kecewa. In-
dra Mada memperhatikan sejenak, lalu berkata:
"Tapi karena aku hidup di alam manusia, dan aku
kembali berujud seperti ini karena manusia, maka...
aku pun harus mau menerima kodrat kemanusiaanku,
yaitu mengenal cinta!"
"Jadi...?!" Mata Nyai Katri berbinar-binar penuh ha-
rap.
"Jadi, tak ada salahnya aku bercinta, kalau toh cinta
dan kemesraan itu bagian dari naluri manusia."
"Dan kau masih mau bercinta dengan kami sekali
pun untuk satu malam?" Andini mendesak.
Indra mada tersenyum, bahkan tertawa tanpa suara.
Ia berkata dengan wibawa:
"Apa salahnya, kalau toh kuanggap hal itu adalah
suatu persembahan bagi dewa. Sungguh penghormatan
atas diriku yang telah hadir di antara kalian..."
Andini tertawa girang seraya memandang Nyai Katri.
"Aku ingin malam ini jangan berlalu sampai berbu-
lan-bulan," kata Andini.
"Kuharap juga dinginnya malam jangan bergeser se-
dikit pun, sehingga aku dapat meresapi betapa hangat-
nya pelukan dewa itu," sahut Nyai Katri.
"Tunggu dulu..." sergah Indra Mada. Kedua perem-
puan itu menatapnya dengan ragu. Indra Mada berkata
lagi:
"Tapi jangan salahkan aku kalau kalian menjadi budak nafsu kalian sendiri. Dan jangan salahkan aku ka-
lau kalian menjadi sakit karena bercumbu denganku."
"Menjadi sakit...?" Andini berkerut dahi.
Indra Mada mengangguk. "Kau sudah mengenal ke-
hebatan Jaka Bego bukan?"
"Ya..." jawab Andini dan Nyai bersahut-sahutan.
"Kalian mengagumi keistimewaan dayung Jaka Bego
yang dulu pernah kalian katakan sebagai pedang pan-
jang yang mampu menembus dinding karang, bukan?"
"Ya... ya, betul!"
Indra Mada tersenyum. "Itu Jaka Bego. Dengan so-
sok Jaka Bego saja kau telah terkagum-kagum dan ke-
canduan, sedangkan aku... di atas Jaka Bego lima ting-
kat lebih tinggi keberadaanku."
Nyai Katri dan Andini saling berpandangan, berkerut
dahi pertanda kurang jelas dengan kata-kata itu. Ke-
mudian Indra Mada membuka kain penutup tubuhnya,
dan mata kedua perempuan itu membelalak lebar-lebar
memandang ke suatu arah yang membuatnya berdebar-
debar namun juga menggairahkan.
Andini dan Nyai Katri sudah terpengaruh oleh keku-
atan ilmu Asmara Pasak Dewa, sehingga pikiran mereka
tak akan pernah jauh dari masalah birahi dan keme-
sraan. Kini mereka baru tahu, bahwa memang pantas
Jaka Bego mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa, sebab
sebenarnya Jaka Bego itu adalah Dewa Seribu Mimpi
yang sangat mengagumkan.
Nyai Katri dan Andini sama-sama merasa menjadi
perempuan paling beruntung di dunia itu, karena hanya
mereka berdualah yang benar-benar mampu menjadi-
kan impian berubah kenyataan. Khayalan tentang seo-
rang lelaki jantan yang maha hebat sering mereka
bayangkan, bahkan impikan. Dan sekarang Dewa Seri-
bu Mimpi membuat impian itu menjadi kenyataan yang
mengakibatkan Andini dan Nyai Katri memekik-mekik
di tengah kesunyian malam.
Indra Mada, memang jauh lebih tinggi nilainya den-
gan Jaka Bego. Kalau pada saat Indra Mada menjadi
Jaka Bego, Nyai Katri sudah sangat mengagumi dan
tergila-gila, maka kali ini, Nyai hampir-hampir tidak
menyadari bahwa dirinya adalah seorang perempuan.
Andini sendiri juga tidak bisa menjaga kehormatan dan
harga dirinya sebagai seorang wanita. Mereka lepas
kontrol dan mengerang keras-keras, bahkan terkadang
menjerit tinggi menikmati nilai yang lima kali lebih be-
sar dari Jaka Bego.
Indra Mada mendayung sampannya dengan tanpa
berhenti sebentar pun. Ia membiarkan perempuan-
perempuan itu berada di puncak paling tinggi, bahkan
berulangkali. Dan ia sendiri masih mampu melesatkan
anak panah dengan kuat sekali pun sudah sepuluh kali
ia memanah dalam kondisi cepat dan kuat. Ia bagai seo-
rang pemanah yang tak pernah kehabisan panah, bagai
seekor ular yang menyemburkan bisa beracun tanpa
pernah mengalami kekurangan semburan bisa, sekali-
pun ia telah menyembur musuhnya berkali-kali.
Waktu fajar menyingsing, di mana Indra Mada belum
berhenti sebentar pun untuk mendayung sampan, pada
saat itu Andini telah terkapar di lantai dengan lunglai.
Sedikit pun tak ada tenaga yang tersisa kecuali nafas,
sementara itu, Nyai Katri pun menyusul lemas bagai
kapas setelah Indra Mada sama-sama mendaki keting-
gian gunung dan berjaya di puncaknya.
Indra Mada segera berlabuh ketika matahari mulai
memancarkan sinar kemerahan. Keringatnya yang ber-
cucuran, mengabarkan bau harum tak berkesudahan.
Keringat dewa ternyata telah mampu menimbulkan
pengaruh tersendiri bagi manusia yang menciumnya.
Indra Mada yang dulunya dikenal Jaka Bego itu baru
saja ingin membaringkan tubuh di sisi Nyai Katri yang
pucat pasi itu. Namun ia terpaksa bergegas bangun ka-
rena ia merasa ada sepasang mata yang mengintainya
dari sela-sela dinding kamar. Indra Mada mengenakan
pakaian Jaka Bego, sebuah rompi kulit binatang dan ce-
lana hitam. Ia bergegas keluar dari kamar. Tapi aneh-
nya, sepasang mata yang mengintainya itu masih tetap
menempel pada dinding kamar yang terbuat dari kayu-
kayu kasar. Bahkan sampai Indra Mada berada di bela-
kang orang yang mengintip, orang itu masih belum bisa
lepas dari dinding rumah panjang itu. Ia masih saja
mengintip, bagai tak menyadari bahwa di dalam kamar
sudah tak terdapat seorang lelaki dengan segala kegia-
tannya.
Indra Mada melemparkan selembar daun kering ke
kaki pengintip itu seraya berkata:
"Tontonan yang mahal, ya Bung...?!"
"Aaaauuwa...!" Orang itu menjerit tertahan. Mata ka-
kinya bagai dilempar dengan batu besar, sekali pun se-
benarnya hanya dengan daun kering.
"Apakah itu pekerjaanmu, Laksamana?!" kata Indra
Mada.
Rupanya orang yang mengintip itu adalah Laksama-
na Chou. Ia terkejut ketika Indra Mada menyebutkan
namanya. Ia merasa tidak mengenal lelaki tampan dan
berkulit bersih itu. Karenanya, Laksamana Chou ber-
sungut-sungut, matanya memandang tajam, bertanya-
tanya dalam hati.
"Seorang Laksamana dari negeri Tiongkok, sungguh
memalukan melakukan kegiatan mengintip dua putri
yang sedang dimabuk birahi. Kurasa bukan itu tujuan-
mu ke mari, Laksamana Chou," tutur Indra Mada den-
gan tenang sekali.
Sambil masih menyeringai kesakitan pada mata ka-
kinya, Laksamana Chou bertanya: "Siapa kamu sebe-
narnya, hah?!"
"Aku Indra Mada," jawab Indra Mada dengan terse-
nyum-senyum. Laksamana Chou tampak semakin he-
ran.
"Indra Mada?! Aku tidak kenal sama kamu..."
"Tentu. Tapi aku kenal kamu, Laksamana Chou. Aku
juga kenal dengan anak buahmu, algojomu yang ber-
nama Huang Pai. Dan aku tahu, kau mencari anakmu
yang bernama Yin Yin, bukan?!"
Tentu saja kata-kata itu sangat mengherankan Lak-
samana Chou, sebab dia tidak tahu kalau yang ada di
hadapannya itu adalah orang yang pernah ditawannya
dalam urusan hilangnya anak gadis Laksamana: Yin
Yin. Lelaki berambut putih dengan kumis melengkung
sampai di dagu itu tidak tahu, bahwa pemuda yang ada
di depannya itu adalah Jaka Bego yang telah merubah
ujudnya menjadi Indra Mada.
"Dari mana kau mengetahui namaku, nama anakku,
nama penghianatku: Huang Pai itu? Dari mana kau pe-
roleh keterangan itu, hah?!"
"Dari... yah... dari dirimu sendiri, Laksamana." Indra
Mada menertawakan Laksamana Chou.
"Kalau begitu kau tahu di mana putriku Yin Yin be-
rada? Apakah kau ikut membantu pemuda yang mela-
rikan Yin Yin?"
Indra Mada menggeleng dengan tenang, santai.
"Saya tidak pernah berurusan dengan putrimu. Dari
dulu sudah kukatakan, saya tidak mengenal siapa itu
Yin Yin. Dan terus terang..." Indra Mada berbisik, "Aku
tidak pernah punya keinginan untuk mengenal putrimu
itu, tahu?!"
"Biadab kau...! Sekali lagi berkata begitu, kurobek
mulutmu, Babi!"
"Dan sekali lagi kau berani mengintip rumah ini, ku-
cungkil matamu keduanya, Babi juga!"
Laksamana Chou menggeram. Indra Mada sengaja
berjalan menjauhi Laksamana Chou.
"Tunggu...! Ada satu hal yang ingin kubicarakan
denganmu...!" seru Laksamana sambil mengikuti lang-
kah Indra Mada.
Indra Mada berjalan terus, tidak menghiraukan kata-
kata tersebut. Namun tujuannya adalah memancing
Laksamana Chou agar menjauh dari rumah Nyai Katri.
"Indra Mada..! Berhenti...!" seru Laksamana Chou
bagai menghardik anak buahnya saja. Indra Mada tetap
melangkah, dan Laksamana Chou merasa tidak dihor-
mati. Padahal ia terbiasa di hormati dan disegani anak
buahnya. Maka, menghadapi sikap Indra Mada seperti
itu, ia menjadi marah. Segera ia bermaksud memberi
pelajaran kepada anak muda tersebut: Kakinya miring
dalam posisi lurus, dan ia melayang menerjang tengkuk
kepala Indra Mada.
Namun dengan tanpa menoleh sedikit pun Indra Ma-
da segera berpaling ke belakang dengan kaki kanannya
melayang bagai sebuah sabetan pedang, mengenai tu-
lang kering Laksamana. Akibatnya, Laksamana Chou
meringis kesakitan dan tubuhnya terpelanting sampai
memutar satu kali. Lalu ia jatuh terduduk di tanah. In-
dra Mada berdiri di depannya tanpa hormat sedikit pun.
Laksamana sebenarnya semakin panas hatinya, namun
apa boleh buat, ia terpaksa harus mengusap-usap tu-
lang kakinya yang terasa sakit sekali, bagai berbenturan
dengan kaki yang terbuat dari besi.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Laksamana?"
tanya Indra mada dengan tenang dan tangannya bersi-
lang di dada. Rompi Jaka Bego yang dikenakan itu se-
benarnya sangat mengganggu kenyamanannya karena
sesak, tapi untuk sementara ini Indra Mada tidak
menghiraukannya dulu.
Laksamana Chou berkata dalam posisi duduk di ta-
nah sambil mengusap-usap tulang keringnya.
"Aku tadi melihat seorang perempuan cantik yang
tergolek di kamar bersamamu..."
"Aku yakin kau menelan air liurmu, bukan?"
Laksamana gelisah antara terhina dan tak dapat
berbuat apa-apa. Kakinya masih terasa ngilu, dan di-
kuat-kuatkan untuk berbicara dengan Indra Mada.
"Kau seharusnya menghormatiku. Aku seorang Lak-
samana!"
"Aku belum sempat memikirkan bagaimana cara
menghormatimu. Yang jelas, apa maksudmu membica-
rakan perempuan itu kepadaku?"
Laksamana diam sebentar, menghela nafas.
"Berdirilah, Laksamana... rasa-rasanya lebih enak
kau bicara dengan berdiri, bukan?"
Laksamana Chou sedikit terbelalak dan terbengong.
Aneh, rasa sakit pada tulang kering kakinya hilang. Ka-
kinya jadi ringan dan enak dipakai untuk berdiri! Lak-
samana menggoyang-goyangkan kakinya itu, dan me-
mang sudah tak merasa ngilu sedikit pun.
"Bicaralah, Laksamana..! Aku tidak suka bicara den-
ganmu terlalu lama. Kau memuakkan di mataku!"
Laksamana merasa tersinggung. Ia menggeram dan
melancarkan pukulan. Namun pukulan itu dihindari
oleh Indra Mada dengan cara menarik kepalanya ke be-
lakang.
"Sudahlah, jangan main-main...!" Indra Mada bagai
menghardik, dan Laksamana menjadi enggan menye-
rangnya lagi.
"Kenapa dengan perempuan yang kau intip tadi?"
Laksamana menjawab dengan bersungut-sungut ka-
rena masih menyimpan kedongkolan:
"Aku sepertinya pernah melihat perempuan itu da-
lam sebuah lukisan Tiongkok."
"O, ya...? Lantas?"
"Apakah dia yang bernama Areswara?"
"Entah, ya...?" jawab Indra Mada, lalu hendak pergi
lagi. Tapi Laksamana Chou segera melompat tinggi dan
bersalto melewati atas kepala Indra Mada. Namun pada
saat ia hendak menjejakkan kakinya ke tanah, Laksa-
mana Chou itu terjengkang bagai kehilangan keseim-
bangan tubuh. Ia menyeringai sambil memegangi ping-
gangnya, sedangkan Indra Mada hanya tertawa tanpa
suara.
"Kau tidak sopan, lewat di atas kepalaku tanpa per-
misi, itulah akibatnya...!" kata Indra Mada masih dalam
gaya Jaka Bego.
Laksamana Chou berusaha berdiri sambil mengurut
pinggangnya yang nyeri sedikit itu.
"Indra Mada, dengar keteranganku..." kata Laksama-
na. "Kalau benar ia yang bernama Areswara, maka ia
adalah Ratu Bajak Laut pada zaman dulu yang sangat
kejam dan ganas. Ia memang cantik, tapi kecantikannya
itu adalah maut bagi lelaki yang mencoba mendeka-
tinya."
Indra Mada menggumam. "Dari mana kau bisa tahu
hal itu?"
"Kedatanganku ke sini adalah ingin menemuinya! Itu
tujuan yang sebenarnya."
"Kalau begitu, temui saja dia! Tapi ingat, kau bisa
bertemu dengannya, tapi tidak bisa bernafas sela-
manya." Indra Mada bicara sambil tersenyum-senyum,
sedangkan Laksamana Chou begitu tegang dan serius.
"Indra Mada, kuperingatkan kepadamu, jangan ber-
lagak jadi pahlawan iblis betina itu! Kau akan celaka
sendiri di tangannya, tahu?!"
"Alasannya apa?"
"Dia perempuan paling kejam di dunia! Leluhurku,
bangsa Cina sejak zaman dinasti I-Tsing, telah banyak
yang menjadi korban keganasannya sebagai Ratu Bajak
Laut Perairan Selatan. Memang, ia pernah bercinta dengan seorang keturunan Liang Tau Ming, tokoh bajak
laut juga pada masa itu, dan ia pernah dilukis oleh ke-
kasihnya itu. Namun, akhirnya sang kekasih dibunuh-
nya juga. Dan... aku adalah keturunan dari Liang Tau
Ming. Aku tahu persis kehidupan Ratu Areswara, pe-
rempuan yang ada di dalam kamar itu. karenanya, aku
ke mari justru mencarinya..."
"Untuk apa? Kamu kan sudah bertemu dengannya di
kamar, tadi?" kata Indra Mada.
Laksamana Chou menggumam pelan dan berfikir.
Kalau ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kita kerja sa-
ma?"
"Ah, aku tidak suka bekerja," jawab Indra Mada see-
naknya. Laksamana semakin keki dengan sikap Indra
Mada.
"Kerjasama ini akan menghasilkan sesuatu yang
amat berharga dari hidup kita, Indra Mada."
"Sangat berharga?" Indra menertawakan pertanda
kurang tertarik atas tawaran tersebut. Tapi, ia jadi ingin
tahu.
"Maksudmu, kerjasama apa, Laksamana?"
"Perempuan itu..." Laksamana mendekat dan agak
berbisik, "Perempuan itu menimbun harta karun yang
cukup banyak dari hasil bajakannya.... Konon, harta
tersebut disimpannya dalam sebuah tempat yang diberi
nama Istana Langit Perak..." Laksamana clingak-clinguk
sebentar, lalu katanya lagi. "Desak dia, bujuk dia su-
paya memberitahu di mana letak Istana Langit Perak.
Nanti harta-harta berharga itu kita bagi dua. Bagaima-
na? Setuju?"
***
5
INDRA MADA hanya tersenyum sinis mendengar
rencana Laksamana Chou. Kemudian tanpa memberi
jawaban apa pun, Indra mada melangkah meninggalkan
lelaki bermata sipit itu.
"Indra Mada..." sapa Laksamana lagi. "Pikirkanlah
kesempatan ini. Hanya kita berdua yang akan menjadi
penguasa harta karun tersebut. Ayolah, Indra..."
Laksamana mendesak Indra Mada sambil mengikuti
langkahnya. Tetapi Indra Mada seperti orang tuli, tetap
berjalan dengan tenang. Ia sedang menikmati kesejukan
dan kesegaran udara pagi.
Laksamana menahan pundak Indra Mada seraya
berkata:
"Jangan bodoh, Indra Mada. Di dunia ini hanya aku
yang tahu kalau perempuan itu menyimpan harta ka-
run hasil bajakannya. Hanya aku yang memiliki buku
catatan tentang dirinya, dan lukisan dari leluhurku ten-
tang dia. Percayalah...! Percayalah, bahwa aku tidak
akan menipumu..."
Pundak Indra Mada disentakkan, kemudian ia me-
langkah lagi seraya berkata:
"Hartaku lebih banyak dari harta yang kau incar!"
Laksamana sedikit bingung. Ia berhenti, lalu berkata:
"Kalau begitu, baiklah... akan kupaksa sendiri dia
supaya mengaku..."
Indra Mada tetap bagaikan tidak peduli dengan kata-
kata Laksamana. Ia berjalan terus menyusuri rimbunan
semak di kanan kiri jalan setapak. Sampai akhirnya ia
tiba di pantai, memandang birunya laut yang bagai
permadani menghampar. Menikmati cahaya pagi yang
kian meninggi.
Tapi di dalam hati Indra Mada menggumam beberapa
kali dan berkecamuk sendiri.
"Istana Langit Perak...? Apa benar di sana ada harta
karun yang amat banyak? Apa benar. Nyai Katri masih
menyimpan harta bajakannya dulu? hemm. Laksamana
Chou itu akhirnya mengaku sendiri apa yang menjadi
tujuan utamanya. Ia memburu legenda lama. Barangka-
li juga ayah atau kakeknya pun pernah gagal memburu
legenda lama itu, sehingga ia bertekad meneruskannya.
Ah, manusia terkadang menjadi gelap mata hatinya jika
sudah berurusan dengan harta benda. Laksamana itu
sendiri sudah tidak begitu mementingkan jiwa putrinya.
Pikirannya mulai dipadati oleh Istana Langit Perak yang
belum tentu ada." Indra Mada tertawa sendiri.
Namun tiba-tiba ia berkerut dahi, seperti ada sesua-
tu yang baru saja disadarinya. Ia pun menggumam dan
manggut-manggut, lalu berkata dalam hati:
"Tapi... sepertinya aku tadi melihat cambuk yang ter-
selip di pinggang belakang? Ya, cambuk itu... cambuk
itu kurasa bukan cambuknya. Pasti Cambuk Naga milik
Paman Ludiro. Oh, benar. Mataku tak dapat dibohongi.
Aku kenal betul dengan Cambuk Naga yang sering ber-
tengger di pundak Ludiro. Jika begitu, berarti telah ter-
jadi sesuatu pada diri Ludiro. hemm... Laksamana itu
telah berhasil merampas Cambuk Naga dan... dan ba-
rangkali senjata itulah yang menjadi andalannya untuk
menemukan Istana Langit Perak?!"
Indra Mada bergegas kembali ke rumah. Hatinya se-
dikit was-was tentang diri Nyai Katri dan Andini. Kegeli-
sahannya itu ternyata menjadi kenyataan. Indra Mada
melihat laksamana Chou menggeret dengan paksa tan-
gan Nyai Katri untuk diikatkan pada pohon di samping
rumah.
"Lepaskan...! Lepaskan aku, Setan...!" Nyai Katri ma-
sih meronta-ronta, dan ia tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan kekerasan. Laksamana Chou dengan
bangga menampar Nyai Katri berulang kali. Ia merasa
dapat mengalahkan perempuan yang dianggapnya sakti
dan hebat itu. Ia merasa berhasil membaca sebuah
mantera yang diucapkan sebelumnya, dan berguna un-
tuk menundukkan perempuan. Kali ini ia merasa telah
berhasil menundukkan perempuan yang terkenal keke-
jamannya. Laksamana Chou mengikat tubuh Nyai Katri
yang hanya mengenakan gaun tipis sekali itu pada po-
hon, setelah itu memaksanya dengan cara kasar.
"Katakan sekarang juga, di mana letak Istana Langit
Perak, hah...?! Di mana?! Ayo, katakan!"
Nyai Katri hanya menyeringai kesakitan ketika ram-
butnya dijambak dengan kasar oleh Laksamana Chou.
"Cepat katakan, Iblis...! Atau kupenggal kepalamu
untuk tumbal Istana Langit Perak itu, hah?!"
"Aku tidak tahu...! Aku tidak tahu sama sekali...!"
Nyai Katri merengek kesakitan. Ia benar-benar tidak
berdaya. Kalau saja ia masih mempunyai ilmunya yang
tersedot Asmara Pasak Dewa, barangkali sudah dilu-
matkan tubuh Laksamana Chou itu saat ini juga.
"Kau harus kusiksa supaya mau mengaku, ya?!"
bentak Laksamana Chou seraya hendak mencabut
cambuk yang terselip di pinggangnya. Nyai Katri sangat
ketakutan.
"Jangan..! Oooh... jangan siksa aku...!"
"kalau begitu, katakan, di mana letak Istana Langit
Perak. Lekas...!"
"Kau salah alamat...! Mungkin bukan aku orangnya
yang mengetahui tentang istana itu...! Bukan aku! Aku
tidak tahu tentang Istana itu...!"
"Bohong...!" bentak Laksamana seraya memukulkan
cambuk yang masih digulung itu. Pipi Nyai Katri ter-
gores gagang cambuk, dan berdarah. Ia menjerit kesaki-
tan. Lalu Laksamana Chou mengambil jarak untuk
mencambuk tubuh Nyai Katri. Cambuk itu sudah tidak
di gulung lagi. Kini bahkan melambai ke atas dan siap
untuk dilecutkan.
Tetapi waktu dihentakkan ke depan, ternyata cam-
buk itu menjadi kaku bagaikan akar pohon. Meliuk-
liuk, namun tidak lemas, sehingga tidak dapat dile-
cutkan. Laksamana Chou memandang dengan heran
dan kebingungan. Bagaimana mungkin cambuk itu bisa
menjadi seperti akar yang tak memiliki kelenturan sama
sekali? Nyai Katri sendiri menghentikan tangisnya dan
memandang heran pada keajaiban tersebut.
"Babi...! Babi busuk...! Kenapa jadi begini?!" caci
Laksamana Chou sambil mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk.
"Mana bisa kau memakai dan menggunakan cambuk
orang lain..." Indra Mada berkata dari belakang Laksa-
mana Chou.
"Babi panggang...!" geram Laksamana Chou melihat
kehadiran Indra Mada. Pemuda tampan itu tersenyum
sinis dengan matanya yang biru berkerling kepada Nyai
Katri yang amat ketakutan itu.
"Indra Mada...! Kalau kau mau bergabung denganku,
bergabunglah, tapi jangan ganggu urusanku!" kata Lak-
samana Chou. Ia masih mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk yang tetap kaku seperti akar pohon.
"Bergabung denganmu hanya mendidik diri menjadi
orang serakah, Laksamana...!"
"Kalau begitu, pergilah. Jangan ganggu pekerjaan-
ku!"
Indra Mada hanya tertawa pendek, "kalau mau pergi,
bukan aku, tapi kamu yang seharusnya pergi, Laksa-
mana. Ingatlah pada putrimu Yin Yin, pikirkan kesela-
matannya, siapa tahu ia sedang diperkosa oleh banyak
pemuda di sana....!"
"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Laksamana yang
gampang terpancing menjadi marah itu.
"Daripada kau mengejar harta Istana Langit Perak
yang belum tentu ada, lebih baik kau mengejar putrimu
agar tidak menjadi perempuan jalang yang keluyuran
setiap malam!"
Laksamana Chou menggeram dengan mata mende-
lik. Kemudian ia menyerang Indra Mada dengan sebuah
tendangan yang melayang. Indra Mada hanya mengelak
ke kiri, lalu berjalan ke arah Nyai Katri. Sementara itu,
Laksamana terjerembab ke tanah dan mengerang kesa-
kitan. Anehnya, pada saat itu cambuk tersebut menjadi
lemas, bisa untuk melecut, dan bisa mengibas dengan
luwes.
"Indra Mada...!" serunya, tapi Indra Mada tidak men-
jawab, dengan tenang ia membuka tali yang mengikat
tubuh Nyai Katri. Ia mencium perempuan itu sekali dan
sekilas.
"Masuklah ke kamar, Nyai... biar kutangani urusan
ini."
"Jaka... hati-hati..." Nyai Katri menampakkan kek-
hawatirannya. Indra Mada hanya mengangguk sambil
mengerlingkan mata. Pada saat itu, Laksamana Chou
melecutkan cambuk ke arah punggung Indra Mada.
"Awas...!" pekik Nyai Katri.
Dengan tanpa menoleh, tangan Indra Mada mengibas
ke punggung dan menangkap ujung cambuk yang nya-
ris menghantam punggungnya. Ia berbalik seraya masih
memegangi cambuk itu. Laksamana Chou berusaha
menariknya dengan sekuat tenaga. Namun ia tidak ber-
hasil, padahal Indra Mada memegangi ujung cambuk
dengan tersenyum-senyum kepada Nyai Katri, bahkan
kali ini karena Nyai Katri cemas, ingin membantu Indra
Mada menarik cambuk itu, ia mendekat. Tetapi oleh In-
dra Mada justru dipeluk pinggangnya, dan dicium, pi-
pinya. Indra Mada berkata pelan.
"Kusuruh ke dalam malah mendekat...! Nanti kamu
terkena cambuk Laksamana itu lho....!"
"Mari kubantu menariknya, Jaka..." kata Nyai.
"Tidak usah. Ini sebuah permainan kecil kok. O, ya...
kenapa ia menyiksamu, Nyai? Benarkah kau mengeta-
hui tentang Istana Langit Perak...?"
Indra Mada menarik cambuk itu dengan santai sam-
bil ngobrol dengan Nyai Katri. Sedangkan Laksamana
Chou jangan kewalahan. Ia memeras tenaga untuk ber-
tahan supaya jangan tertarik ke depan, namun tarikan
Indra Mada begitu kuat walau dilakukan dengan santai,
sehingga Laksamana Chou pun tersentak maju.
"Apa benar kau menyimpan harta di dalam Istana
Langit Perak itu? Di mana letak istana itu, Nyai...!"
Sambil berkata begitu, Indra Mada menyongsong tu-
buh laksamana dengan gerakan kaki menyamping dan
terhempas ke depan, mengenai dada Laksamana. Pada
saat itu, tangan Indra Mada melepaskan cambuk, dan
tubuh Laksamana terhempas beberapa langkah karena
tendangan tadi. Ia menggeram dan berusaha untuk
berdiri. Cambuk dilipat kembali, diselipkan ke pinggang,
karena Laksamana merasa tidak terbiasa menggunakan
cambuk itu sehingga seakan menghambat setiap gera-
kannya.
"Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu, Jaka.
Tapi... kau harus mau berjanji," bisik Nyai Katri yang
masih dalam dekapan Indra Mada.
"Janji? O, ya...? Janji apa?"
Indra Mada tertawa-tawa, tapi tangan kirinya dengan
cepat mampu menangkap lemparan batu dari Laksa-
mana, sekalipun ia tidak melihatnya.
"Bagaimana kalau kita ke dalam, mumpung Andini
belum bangun dari tidurnya..." bisik Nyai Katri, dan In-
dra Mada bertambah mengakak pelan, tetapi kakinya
menendang kian ke mari, mengembalikan lemparan ba-
tu dari Laksamana Chou.
"Gila...!" pikir Laksamana Chou. "Ia dapat menangkis
dan menghindari seranganku sekalipun ia tidak melihat
ke arah sini. Ilmu apa yang dimilikinya itu? Ia ngobrol
dengan santai, sambil menangkap lemparan batu, bah-
kan mampu mengembalikan dengan tendangan kakinya
yang bagai mempunyai mata sendiri kaki itu. Masa, aku
harus kalah dengan anak ingusan?! Hemm....!" Laksa-
mana Chou, kagum, tapi juga jengkel dan ingin meng-
hajar Indra Mada. Ia belum tahu siapa Indra Mada itu.
Kalau saja ia tahu mungkin ia akan sungkan bertarung
dengan orang muda yang tampan itu.
"Kau ke dalam dulu, nanti aku menyusul." kata In-
dra Mada kepada Nyai Katri. "Aku bereskan soal semut
merah itu, Nyai...!"
Nyai Katri segera masuk ke dalam rumah. Laksama-
na Chou menyerang Indra Mada dengan gerakan ma-
tanya yang mampu mengangkat bebatuan untuk me-
nyerang Indra Mada. Indra Mada berkelit, menghindar
dan menangkapi batu-batu yang melayang sendiri den-
gan kekuatan pandangan mata Chou. Namun lama-
lama Indra Mada berkata:
"Capek, ah...!" Ia diam saja, menyisir rambutnya
dengan jari tangan. Sementara itu, batu-batu yang me-
layang cepat ke arahnya hanya berhenti beberapa jeng-
kal dari depan hidungnya. Batu itu berjatuhan sendiri,
seakan membentur dinding yang tebal yang terpasang
di depan Indra Mada. Sehingga dewa tampan itu tanpa
merunduk, menghindari kian ke mari, namun telah
mampu melumpuhkan serangan yang belum sempat
menyentuh tubuhnya.
"Laksamana Chou..!" seru Indra Mada. "kuminta ka-
lau mau bertarung denganku, yang niat...! Jangan
ogah-ogahan begitu. Menyerang yang betul...!" ledek In-
dra Mada dan membuat Laksamana Chou semakin pe-
nasaran. Ia melemparkan batu besar dengan kedua
tangannya.
"Rasakan lemparan Inti Besiku ini, hiaaat...!" Batu
itu dilemparkan kuat-kuat, melayang cepat ke arah In-
dra Mada.
Pada saat batu melayang ke atas, Indra Mada terse-
nyum girang, Ia menendang kerikil di tanah. Kerikil itu
melayang cepat, menyongsong gerakan batu besar, lalu
membenturnya. "Prool...!" Batu besar itu hancur seketi-
ka karena benturan dengan kerikil yang ditendang oleh
kaki Indra Mada itu.
Laksamana Chou terperanjat kaget, lalu tertegun
memandang batu besar yang sudah dialiri tenaga Inti
Besi itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang memu-
kau. Padahal biasanya tenaga Inti Besi yang dimiliki
Laksamana itu mampu menghancurkan sebuah kapal
dengan sekali lempar. Batu yang disaluri tenaga Inti Be-
si, akan menimbulkan ledakan keras jika menyentuh
benda lain. Tetapi kali ini, batu bertenaga Inti Besi itu
hanya ambrol bagai cadas keropos ketika menyentuh
kerikil kecil yang ditendang Indra Mada.
"Kamu mau berkelahi apa mau main-main, hah?"
tanya Indra Mada meledek. Laksamana Chou mengge-
ram dengan nafas terengah-engah diburu amarah.
"Anak babi...! Jangan sombong dulu dengan ilmumu
yang baru sekuku hitam itu. Terimalah ilmu Api Naga
ini, heeaat...!" Laksamana menggerakkan tangannya
yang berjari terbuka ke arah samping kiri semua, lalu
dirapatkan kedua telapak tangannya itu, di tarik den-
gan kuat ke arah depan dada, dan sekarang dihentak-
kan ke depan dengan teriakan seperti tadi. Lalu dari te-
lapak tangan itu keluarlah dua gumpal api yang me-
nyembur bagi terlepas dari mulut naga. Dua gumpalan
api itu melesat cepat ke arah Indra Mada. Indra Mada
meniup pelan, seperti ia meniup lilin. Dan gulungan api
itu berbalik arah, kini menuju Laksamana sendiri. Mata
Laksamana Chou tak sempat berkedip, bahkan ia ter-
cengang bagai patung di tempat. Lalu, tak ayal lagi ke-
dua gulungan api itu menerjang tubuhnya, dan Laksa-
mana Chou berteriak-teriak dengan jejingkrakkan.
"Ooouuww... Aaauuw...! Aapiii...! Oooh, tubuhku ter-
bakar...! Aauuuuh... panaaaas...! Panaaaaas....!"
Laksamana berguling-guling untuk memadamkan
api yang membungkus tubuhnya, tetapi api belum mau
padam. Ia terpaksa berlari sempoyongan mencapai pan-
tai untuk memadamkan api tersebut.
Indra Mada tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
kepanikan Laksamana Chou. Ia hanya berteriak:
"Makanya jangan suka main api...! Nanti terbakar...!"
"Jaka..." panggil Nyai Katri yang keluar dari rumah
dan memandang keadaan Laksamana. "Ia pasti terjun
ke laut, Jaka..."
"Biar saja," sambil Jaka Bego yang sudah merubah
diri menjadi Indra Mada itu mendekati Nyai Katri. "Sa-
lahnya sendiri bermain api, ya kebakar. Kalau bermain
cinta, ya... ya enak..." Indra Mada mencubit pipi Nyai
Katri yang tidak terluka. Nyai ketawa canggung, seper-
tinya ada sesuatu yang meresahkan. Ia segera mengge-
ret tangan Indra Mada untuk masuk ke dalam.
Ia duduk di depan meja yang tingginya hanya seba-
tas betis manusia jika berdiri. Ia duduk bersimpuh di
lantai, sedangkan Indra Mada masih memandang ke-
pergian api yang membungkus Laksamana. Ia meman-
dangnya dari jendela yang terbuka lebar.
"Jaka, duduklah sini dekat aku..." kata Nyai Katri.
Jaka Bego melirik dengan senyum menggoda. Ia du-
duk di dekat Nyai Katri seraya berkata:
"Kau masih capek kan, Nyai?"
Nyai hanya tersenyum malu. "Sudah agak segar sete-
lah tertidur sejenak tadi," katanya.
"Dan kau membutuhkan aku lagi?"
"Mungkin selamanya aku membutuhkan kamu, Ja-
ka. Apalagi sekarang kau sudah tidak seperti Jaka Bego
yang dulu. Sekarang kau sudah menjadi dirimu sebe-
narnya: Indra Mada. Tentu aku semakin enggan mele-
paskan pelukan ini darimu..." Nyai Katri memeluk erat
Jaka Bego. Ia memang lebih senang memanggil Indra
Mada dengan nama Jaka Bego, atau Jaka saja. Rasa-
rasanya lebih enak dan lebih romantis bagi Nyai.
"Ingin ke kamar sekarang?" bisik Jaka Bego atau In-
dra Mada, Dewa Seribu Mimpi itu.
"Nanti saja," jawab Nyai dengan suara pelan. "Ada
sesuatu yang sangat kucemaskan."
"Tentang diriku?"
"Tentang orang yang terbakar tadi..."
Indra Mada sedikit heran, sekali pun tak dikeli-
hatkan.
"Ada apa? Kenapa kau mencemaskan dia, Nyai?"
"Dia... dia pasti menyelam dalam-dalam untuk me-
madamkan apinya."
"Ya, biar saja. Kau juga menyelam semalaman ber-
samaku untuk memadamkan api birahimu, bukan?"
Nyai mencubit kecil di pipi Indra Mada. Ia berbisik
dalam keresahan:
"Orang itu membahayakan jika sampai menyelam
terlalu dalam Jaka."
"Mengapa membahayakan?"
"Dia akan..." kata-kata itu terhenti, Nyai bagai ragu
untuk mengatakan sesuatu, tetapi setelah Indra Mada
mendesaknya, akhirnya Nyai pun berkata lagi:
"Dia akan menemukan apa yang dicarinya."
Indra Mada kurang jelas. "Maksudmu...?"
"Dia mencari Istana Langit Perak, bukan?"
"Ya. Ia tadi juga sempat membujukku untuk bekerja
sama mencari istana itu." Indra Mada mengusap-usap
rambut Nyai yang panjang dan halus bagai serat sutera
itu. Lalu ia bertanya:
"Apakah istana itu memang ada?"
"Ya..." jawab Nyai pelan setelah berdiam sesaat.
"Ada sungguh?"
"Sungguh."
"Di mana?"
"Di bawah pulau ini..."
"Wow...!" Indra Mada tampak serius. "Jadi, di bawah
pulau ini terdapat sebuah istana yang megah?!"
Nyai memandang Indra Mada. Ia mengangguk.
"Aku yang membangunnya bersama anak buahku,
dulu ketika aku menjadi pimpinan bajak laut. Di situ
aku menyimpan harta rampokan dari beberapa kapal
bangsawan maupun kapal dagang. Tetapi, hanya emas
permata yang kusimpan di sana. Harta itu akan kuwa-
riskan kepada keturunanku kelak, yaitu anak-anak
kuat yang telah kurancang untuk menguasai bumi.
Dengan harta itu nantinya keturunanku akan memban-
gun sebuah istana megah di atas laut, sebagai pusat
pemerintahan kerajaan dunia utama. Itu rencanaku,
Jaka..."
"Wah, suatu rencana yang amat besar...!" ujar Indra
Mada dengan sungguh-sungguh.
"Memang. Karena itu, aku harus menjaganya di pu-
lau ini. Aku tak rela jika harta itu jatuh ke tangan orang
lain. Tapi... keadaanku sekarang sudah berbeda dengan
yang dulu, Jaka... Aku sudah lemah dan tidak mempu-
nyai tenaga apa-apa. Hanya itu sisa tenagaku, dan
mungkin juga dengan Andini pun demikian..." Nyai Ka-
tri menampakkan wajah dukanya. Ia permainkan tepian
rompi yang dikenakan Indra Mada, matanya meman-
dang sayu dan mengharukan.
Nyai berkata lagi dengan sendu, "Aku telah lalai, te-
lah melakukan kebodohan yang sangat kubenci. Asma-
ra Pasak Dewamu telah menyerap semua ilmuku dan
merubahku menjadi perempuan biasa, tanpa kehebatan
dan kekuatan sebagai pendekar putri. Kalau saja kau
pergi meninggalkan aku, saat ini juga aku akan bunuh
diri, karena merasa tidak mempunyai harapan lagi da-
lam hidupku. Kurasa Andini pun demikian. Dan... da-
lam keadaan seperti ini, aku tak bisa menjaga Istana
Langit Perak. Aku membiarkan harta itu lolos diserobot
orang tanpa bisa kulakukan sesuatu untuk mencegah-
nya...."
Sepasang mata yang bening indah itu kini mulai
memerah. Bahkan berkaca-kaca karena basah oleh air
mata yang hendak menetes. Indra Mada memperhatikan
Nyai Katri dengan suatu keharuan dan rasa kasihan
yang menggelisahkan hati.
Nyai berkata dengan sendatan isak tangis yang me-
milu:
"Jaka... tolonglah aku. Kembalikan segala ilmuku
dengan caramu. Aku berjanji akan menyerahkan Istana
Langit Perak ke tanganmu. Kuserahkan semua kepa-
damu harta-harta itu, asal kau kembalikan kekuatanku
yang telah kau serap dengan ilmu Asmara Pasak Dewa
itu.."
"Untuk apa aku memiliki harta sebanyak itu? Di Su-
ralaya sudah banyak harta, Nyai..."
"Oooh... Jaka, tolonglah aku. Aku ingin memperoleh
kekuatanku kembali, dan tentang harta itu... terserah
kau, mau kau apakan, terserah... aku menurut saja...!"
Indra Mada termenung beberapa lama, lalu berkata:
"Aku ingin melihat istana itu dulu, lalu kuputuskan
aku harus berbuat apa."
"Baik. Tapi... bagaimana aku bisa berenang sampai
ke kedalaman laut, aku tidak mempunyai ilmu penahan
nafas seperti dulu. Aku akan kehabisan udara jika ha-
rus berenang mencapai istana itu."
"Gampang. Menghisaplah udara dari mulutku... maka kau akan seperti menghirup udara di alam bebas..."
Nyai tertawa girang. Ia memeluk Indra Mada. Hara-
pan dan semangatnya untuk menjadi perempuan sehe-
bat dulu mulai terbayang di pelupuk mata. Maka saat
itu juga Nyai Katri mengajak Indra Mada ke pantai. An-
dini masih tertidur, dan mereka sepakat untuk tidak
membangunkannya.
Langka-langkah kaki Nyai Katri terlihat ringan dan
lincah, bagai penuh harapan masa depan. Ia menggan-
deng tangan Indra Mada, sesekali bergelayutan di pun-
dak. Canda mereka membaur menjadikan tawa. Kelakar
mereka tak jauh dari masalah nafsu dan birahi.
Namun langkah mereka terhenti seketika karena di
depan mereka telah berdiri sesosok tubuh tegap, gagah
dan tampan. Orang itu mengenakan rompi dari kulit be-
ruang dan menyandang pedang di punggungnya. Indra
Mada terbelalak, demikian juga Nyai Katri. Tapi masing-
masing mempunyai arti kejutan yang berbeda. Nyai Ka-
tri terkejut dan cemas melihat Lanang menghadang di
depannya, karena ia takut jika Lanang menyerang se-
dangkan ia sudah tidak mempunyai ilmu apa pun. Te-
tapi Indra Mada terkejut karena saat ini ia berhadapan
dengan Lanang bukan sebagai Jaka Bego, tetapi sebagai
Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi yang menjalin hubun-
gan erat dengan Nyai Katri. Indra Mada tahu, kedatan-
gan Pendekar Pusar Bumi itu untuk membunuh Nyai
Katri, tetapi Indra Mada sendiri punya urusan dengan
perempuan tersebut tentang Istana Langit Perak. Indra
Mada dalam kebimbangan yang samar.
"Selamat jumpa, Nyai Katri..." sapa Lanangseta den-
gan wajah tegas, seakan siap membunuh. Nyai dan In-
dra Mada saling bungkam. Lanangseta berkata dengan
tegas:
"Bebaskan Jaka Bego, temanku! Jangan menunggu
pedangku membunuhmu, Nyai...!"
"Lanangseta..." sapa Indra Mada. "Kau telah berha-
dapan dengan Jaka Bego."
Lanang menggeleng tanpa senyum. "Jangan bodohi
aku, dan jangan mendesak naluriku untuk membunuh
kalian!"
Nyai menyahut pembicaraan, "Lanangseta, dia ini
adalah..."
Indra Mada segera menyahut, "Nyai... tinggalkan dia.
Nanti kita urus setelah urusan kita selesai. Mari...!"
Indra Mada meraih tubuh Nyai Katri yang semampai
dan seksi itu, kemudian ia melesat pergi meninggalkan
Lanangseta. Lanang segera berseru: "Berhenti...!"
Karena tak ada balasan, Indra Mada tetap melesat
sambil menggendong Nyai Katri, maka tak ada pilihan
lain bagi Lanangseta untuk melancarkan serangannya.
Ia menghentakkan tangannya ke depan, "Wiwaha Mok-
saaaa...!" Dan seberkas sinar hijau muda melesat dari
telapak tangannya ke arah Indra Mada. Sinar itu akan
menghancur-leburkan tubuh Indra Mada dan Nyai Ka-
tri. Tetapi Indra Mada memutar tubuhnya dengan cepat
sehingga seperti gumpalan asap. Akibatnya, sinar hijau
muda itu memantul balik saat hendak menghantamnya.
Lanangseta merunduk menghindari sinar hijau muda
yang meluncur ke arah kepalanya sendiri. Lalu, suara
ledakan terdengar, dan beberapa pohon rubuh seketika
karena terkena benturan sinar hijau muda itu. Lanang-
seta tercengang, karena baru sekarang ia melihat seseo-
rang bisa mengembalikan pukulan ilmu Wiwaha Moksa
yang biasanya membuat orang yang terkena menjadi
debu seketika. Pohon yang roboh itu pun kini tinggal
serbuk hitam bagai debu arang.
"Siapa pemuda yang menyelamatkan Nyai Katri
itu...?" pikir Lanangseta seraya mengejarnya.
Tubuh Indra Mada melayang tinggi sewaktu menca-
pai pantai. Dengan tetap menggendong Nyai Katri, ia
melesat ke tengah lautan. Lalu menyelam di kedalaman
air seperti sebuah lembing yang dipanahkan dari udara.
Lanangseta yang sempat menyaksikan hal itu, sungguh
kagum. Gerakan Indra Mada membuatnya semakin pe-
nasaran, ingin mengetahui siapa pemuda itu. Maka
dengan segera ia pun melesat ke tengah lautan, dan
ikut-ikutan menyelam dengan gerakan seperti angin to-
pan menembus lautan. Lanang berenang dengan gera-
kan tenaga dalamnya sehingga ia meluncur cepat seper-
ti anak panah di dalam air. Namun, Indra Mada pun ju-
ga seperti anak panah di dalam air. Cepat, bahkan lebih
cepat dari gerakan Lanangseta.
Nyai Katri kehabisan nafas, ia megap-megap. Kemu-
dian Indra Mada segera mengecup bibir Nyai Katri yang
tetap digendongnya dalam posisi sejajar dengan tubuh-
nya, jadi seperti sepasang suami istri sedang bercinta di
atas ranjang. Tangan Nyai Katri memeluk erat leher dan
punggung Indra Mada, sementara itu, gerakan telapak
kaki Indra Mada begitu cepat, dan setiap hentakannya
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang jarang dimiliki
orang.
Nyai Katri seperti bernafas di alam bebas. Ia menye-
dot udara dari dalam mulut Indra Mada, dan bernafas
dengan cara begitu. Tetapi repotnya, perpaduan kedua
bibir itu menimbulkan gejolak birahi di hati Nyai Katri.
Begitu kuat gejolaknya itu sehingga tangan Nyai Katri
yang satu berani merayap ke bagian tertentu dari Indra
Mada.
Mereka meluncur menghindari karang-karang den-
gan gesit, sedangkan Lanangseta yang mengejarnya se-
sekali nyaris membentur karang. Akibatnya, ia agak ter-
tinggal jauh. Namun sebuah ilmu yang telah dipelajari
dari gurunya telah membuat ia pun tahan tidak berna-
fas beberapa lama. Ia terus meluncur mengejar Indra
Mada. Dan sesekali ia curiga, merasa heran dan nyaris
tak percaya melihat gerakan Indra Mada yang berada di
atas tubuh Nyai Katri. Dalam hati Lanangseta hanya
mengecam, "Dasar perempuan mesum... sempat-
sempatnya dalam keadaan seperti ini berbuat yang ti-
dak senonoh...! Uhh... gila! Tapi ke mana pun mereka
pergi, akan kukejar terus! Nyai Katri harus mati di tan-
ganku, dan pemuda itu pun harus ikut ke neraka ber-
sama perempuan mesum itu..."
Tepat Indra Mada dan Nyai Katri melintasi puncak
kebahagiaan yang menggila, pada saat itu Nyai menun-
juk sebuah tebing berlereng di kedalaman laut. Pada le-
reng tebing itu terdapat goa karang yang sangat lebar.
Nyai menyuruh Indra Mada masuk ke sana dengan ge-
rakan isyarat. Lalu Indra Mada pun meluncur ke goa
karang, dan Lanangseta mengejarnya. Rupanya goa itu
tidak semata-mata sebuah goa biasa, melainkan mem-
punyai bangunan mewah di dalamnya. Di dalam goa
itu, ada bagian yang tidak terendam air. Di sana ada
tangga menuju ke atas. Indra Mada dan Nyai Katri naik
ke atas, ternyata mereka sampai di tempat datar dan
berdinding lapisan perak dari berbagai perhiasan yang
ditempelkan.
Semakin naik ke atas, ke lantai berikutnya, mata In-
dra Mada terbelalak dalam senyuman megah. Di lantai
itu terdapat ruangan sangat lebar, berlantai susunan
emas batangan, dan dindingnya pun terbuat dari lapi-
san-lapisan emas tebal. Agaknya emas yang sudah dile-
bur untuk dijadikan suatu lempengan pelapis dinding.
Sedangkan bagian atap ruangan lebar itu terbuat dari
perak putih dengan hiasan batu-batu warna-warni yang
mengagumkan. Di dalam ruangan tersebut keadaan
sangat terang, karena banyak lampu dari obor yang ter-
buat dengan bahan tembaga-tembaga berbentuk pipa.
Agaknya nyala api itu bukan dari minyak tanah biasa,
melainkan memakai semacam batu bara yang menghasilkan warna api biru ke kuning-kuningan.
"Mengagumkan sekali...!" ujar Indra Mada.
"Kuserahkan semua ini untukmu, Jaka, asal kau
kembalikan kekuatanku dan ilmu-ilmuku..." kata Nyai
Katri yang berjalan ke singgasana, kursi singgasana itu
terbuat dari perak berlapis emas dan berhiaskan batu-
batu jamrud, pirus dan intan permata lainnya. Ada se-
buah ruangan di belakang kursi singgasana. Pintu
ruangan itu terbuat dari emas murni, dan ketika Nyai
Katri membukanya, maka berkerliplah segunung per-
hiasan yang menyilaukan pandangan mata.
"Apakah tempat ini tidak ada penjaganya?"
"Dulu ada," jawab Nyai Katri. "Aku telah membuat
beberapa pagar yang terdiri dari aliran tenaga dalamku.
Jangankan orang masuk ke sini, baru berada di perai-
ran luar goa saja mereka akan mati hangus termakan
pagar tenaga Mata Apiku yang kupasang sejak dari sini
sampai di kejauhan luar goa. Tapi sejak ilmuku kau se-
rap dengan Asmara Pasak Dewamu, maka pagar itu pun
hilang, dan tempat ini menjadi sangat rawan. Mudah
dimasuki siapa saja."
Ada lima pintu kamar yang sengaja dibuka oleh Nyai
Katri, dan kelima pintu kamar itu terbuat dari emas, ju-
ga di dalamnya terdapat segunung perhiasan yang me-
nyilaukan.
"Makanya, Jaka... kalau kau mau mengembalikan
ilmu-ilmuku, maka tempat ini menjadi milikmu. Terse-
rah akan kau apakan itu urusanmu. Aku tak akan ikut
campur lagi..."
Nyai Katri berjalan ke arah lain, saat itu Indra Mada
mengagumi enam pilar besar yang terbuat dari emas
murni dengan manik-manik batu permata yang berki-
lauan, tersusun rapi serta sangat indah. Ia ikut melang-
kah ke arah Nyai Katri berjalan. Rupanya perempuan
itu membawa Indra Mada ke sebuah kamar berpintu
emas berukir. Pintunya cukup besar, ada batu permata
warna merah pada bagian tengahnya sebesar piring
makan. Nyai Katri mengusap batu merah delima itu dari
atas ke bawah, dan pintu itu pun terbuka ke samping.
Maka terlihatlah sebuah kamar tidur yang berlimpah
perhiasan serta permata mengagumkan. Ranjang dan
segala perabot di kamar tidur itu semua terbuat dari
emas dan perak putih. Nyai menyuruh Indra Mada ma-
suk ke kamar. Ia berbisik.
"Atau kau akan tinggal di kamar ini sebagai suami is-
tri bersamaku? Kujamin kau tak akan sempat keluar
dari kamar." Nyai Katri mengikik dalam gelitikan jema-
rinya yang nakal.
"Jaka..." sambungnya lagi, "Lakukanlah keinginan-
ku. Kembalikanlah keadaanku seperti semula, dan...
kau bebas berbuat dengan harta kekayaan ini. Kaulah
yang akan menjadi penguasa Istana Langit Perak....!"
Indra Mada tertawa pelan, ia memeluk Nyai Katri dan
mencium kening Nyai Katri, sementara itu Nyai Katri
masih sempat merayapkan tangannya ke daerah terten-
tu di tubuh Indra Mada. Lalu setelah Nyai merengek
dengan erangan memancing birahi, Indra Mada pun
berkata:
"Akan kukembalikan kekuatanmu. Kukembalikan
semua ilmu yang terserap oleh Pasak Dewa, tetapi ada
satu hal yang harus kau lakukan untuk itu..."
"Oh, apakah itu, Jaka? Aku akan melakukannya...!"
"Semadi Serap...!"
"Semadi Serap?!" Nyai berkerut dahi. "Apa itu?"
"Tubuhmu harus sanggup berdempet dengan tubuh-
ku selama empat puluh hari dengan keadaan... saling
berhubungan badan."
Nyai memekik kegirangan. Tentu saja ia sangat
sanggup dan mau melakukannya. Tetapi bagaimana
dengan nasibnya dalam incaran Lanangseta? Bisakah ia
selamat sampai melakukan Semadi Serap? Benarkan Is-
tana Langit Perak menjadi milik Indra Mada? Dan ba-
gaimana nasib Cambuk Naganya sendiri? Kisah
SERULING KEMATIAN itulah yang akan menuntaskan cerita ini.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar