PEMBURU DOSA
LELUHUR
Oleh Barata
@ Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
dalam kisah Pemburu Dosa Leluhur
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0491.50.15
1
Tugas ke Pulau Kramat membuat Raden Klowor se-
dikit bingung. Ia sudah sampai ke tebing karang. Ko-
non, seseorang yang berdiri di tebing karang bisa meli-
hat Pulau Kramat di depannya. Ternyata, Klowor tidak
melihat gundukan tanah segenggam pun di perairan
samudera biru itu.
"Brengsek! Mana Pulau Kramat itu?!" gerutunya
sambil tolak pinggang dan clingak-clinguk.
Pemuda berpakaian serba biru itu masih menye-
lipkan sebuah senjata di pinggangnya. Cambuk Naga. Ia
berjalan menyusuri tepian tebing karang, memandang
dengan sesekali menyipit, mencari letak Pulau Kramat.
Ini adalah tugas. Tugas Raden Klowor untuk membantu
seorang perempuan penguasa Pulau Kramat itu. Nyai
Katri. Tugas yang datangnya lewat mimpi itu, membuat
Raden Klowor selalu bertanya-tanya di dalam hati, men-
gapa ia harus membantu perempuan yang bernama
Nyai Katri? Siapa dia sebenarnya, Klowor belum pernah
mengenalnya.
Pada saat itu, Klowor bermaksud meninggalkan teb-
ing karang. Ia menduga salah tujuan. Mungkin bukan
tebing karang yang itu yang harus dikunjunginya untuk
melihat letak Pulau Kramat. Namun tiba-tiba mata Ra-
den Klowor terbelalak kaget. Dari kedalaman air laut
yang bergelombang itu, melesatlah sesosok tubuh ke
udara, bagai anak panah yang dilepas dari dasar laut.
Semburan air berbarengan dengan melesatnya sesosok
tubuh yang sekelebat mirip lompatan ikan lumba-lumba
itu.
Tubuh berambut basah kuyup dengan pakaian ketat
yang juga basah kuyup itu berdiri dengan seenaknya di
atas gulungan ombak. Wow...! Ini suatu kehebatan yang
dipamerkan, pikir Klowor. Ombak yang tahu-tahu da-
tang menggulung besar itu sepertinya sebuah kenda-
raan bagi orang yang baru saja muncul dari kedalaman
laut.
Makin lama semakin jelas bentuk dan ujudnya. Ra-
den Klowor masih terbengong dan segera tergerak ha-
tinya. Ia menggumam sendirian:
"Wah, dia seorang perempuan...?! Woow...! Punya
wajah cantik, lagi! Hebat. Tapi, apa maunya dia mende-
kat ke mari, ya? Mau melamar ku? Ih... mengagumkan
juga ilmu perempuan itu. Hemmm... masih muda, lagi.
Wah, punya pedang di punggungnya?! Nah, nah... dia
sekarang bertolak pinggang menatap ku. Wah, jangan-
jangan..."
Gumam dan ocehan Raden Klowor berhenti menda-
dak, karena ia melihat ada sinar merah dari pantai lain
yang melesat dan menuju ke arah perempuan berambut
panjang itu.
Sambil menatap luncuran sinar merah sepanjang se-
paroh tombak itu, perempuan cantik tersebut masih
berdiri di atas gulungan ombak yang membawanya me-
nepi. Tiba-tiba saja tangan kanannya yang bertolak
pinggang bergerak cepat ke arah sinar merah tersebut.
Telapak tangannya terbuka dan dihentakkan, sehingga
mengeluarkan kepulan asap biru bersama kilatan ca-
haya biru berbintik-bintik.
"Blaaar...!"
Timbul ledakan yang membahana. Raden Klowor ter-
pental karena tebing karang itu berguncang. Ada sema-
cam hempasan angin besar dan berat yang menghan-
tam sekeliling alam di situ, dan membuat Klowor seper-
tinya ada yang menendang dari depan. Sedangkan, laut
menjadi bergejolak besar. Ombaknya seakan mental ke
atas bersama amukan air laut yang bergemuruh menge-
rikan. Perempuan yang tadi berdiri di atas gulungan
ombak itu juga terpental ke belakang. Namun, dengan
cekatan ia bersalto, sehingga keseimbangan tubuhnya
segera dapat dikuasai. Ia menapakkan kakinya kembali
di atas gulungan ombak yang lain.
Bumi yang bergerak bagai dilanda gempa itu kembali
reda. Perempuan itu sudah semakin mendekati pantai,
di bawah Raden Klowor. Dan, tiba-tiba perempuan itu
bergerak cepat dalam satu lompatan, lalu tubuhnya
bersalto beberapa kali, membuat Raden Klowor segera
memasang kuda-kuda, takut mendapat serangan men-
dadak. Perempuan itu menjejakkan kakinya ke tebing
karang, lalu berdiri tegap memandang Raden Klowor da-
lam jarak sepuluh meter.
Perempuan itu diam, memandang dengan matanya
yang berukuran sedang, tapi punya ketajaman meman-
dang. Pada tepian kelopak matanya ada warna kehitam-
hitaman secara samar-samar, mungkin karena pantu-
lan dari kebeningan matanya yang hitam tanpa kesuru-
pan sedikit pun, bak buah duwet.
"Siapa kau?!" Raden Klowor sedikit mengendurkan
kuda-kudanya. Matanya agak menyipit memperhatikan
perempuan berpakaian kuning gading yang ketat den-
gan tubuhnya, sehingga lekuk-lekuk tubuh itu terlihat
jelas. Karena perempuan cantik itu diam saja, Klowor
juga diam. Matanya masih terus menyelidik keadaan
gadis itu.
Klowor kagum dengan kemungilan bibirnya yang se-
laras dengan kemancungan hidung yang tidak terlalu
panjang itu. Rambutnya yang panjang sebatas pung-
gung, meriap basah, menutup sebagian pelipisnya. Ada
ikat kepala berwarna hijau, berbentuk seperti tali sutra.
Tapi, ikat kepala itu tidak begitu jelas terlihat karena
kebasahan rambutnya. Dan, pedang bergagang gading
dalam ukiran kepala burung garuda itu, bertengger
mantap di punggungnya, terlihat jelas bagian gagangnya
itu.
Perempuan itu memandang ke arah cakrawala se-
bentar, kemudian mendekati Raden Klowor beberapa
langkah. Perempuan itu masih menyelidiki Raden Klo-
wor dengan tatapan matanya yang tajam.
"Kau ke mari mau bermusuhan denganku apa mau
bersahabat?" tanya Raden Klowor, tapi pertanyaannya
kali ini juga belum mendapat jawaban dari perempuan
tersebut.
"Kau bisu atau tuli?!" tanya Klowor lagi seenaknya.
Perempuan itu masih memandang dengan kesan penuh
curiga. Klowor jadi serba salah. Nyengir salah, bicara
salah, memandang salah, ahh.. jadi kikuk dan resah
dia.
Tiba-tiba, dari arah pantai bawah melesat sinar me-
rah seperti tadi. Sinar itu jelas sekali ditujukan kepada
perempuan cantik. Arahnya dari belakang perempuan
itu. Tetapi, melihat gerakan mata Klowor yang membela-
lak, agaknya perempuan itu tahu gelagat adanya ba-
haya. Ia segera melompat ke samping, dan sinar itu me-
lesat lurus melalui tempatnya berdiri tadi. Sinar itu kini
menuju ke arah wajah Raden Klowor.
"Lho, kok ke mari...?!" Klowor kebingungan sejenak,
kemudian ia melengkungkan badan ke belakang dalam
posisi kayang. "Wesss...!"
Sinar itu pun melesat tidak mengenai wajah Raden
Klowor, melainkan melesat lewat atas perut Raden Klo-
wor yang melengkung ke belakang dengan kedua tan-
gan sebagai tumpuan badannya. Sinar itu melesat terus
dan menghantam deburan ombak yang menggulung.
"Braaas...!" Ledakan terjadi bagai diredam dengan segu-
lung air yang padat.
Klowor baru saja berdiri lagi dengan tegak, tahu-tahu
perempuan itu sudah mencabut pedang, dan mengi-
baskannya ke samping. Dua senjata rahasia berbentuk
bintang sedang ditangkisnya menggunakan pedangnya.
"Triing... triing...!"
"Konyol...!" Klowor berteriak mencaci maki sambil
berkelit ke samping, sebab kibasan pedang menghalau
senjata tajam itu membuat senjata rahasia itu melesat
ke arah Klowor. Karena malas mati muda, Klowor berke-
lit ke samping menghindari senjata rahasia tersebut.
Sedangkan, satu lagi dari senjata rahasia itu melesat ke
arah lain.
"Hei, hati-hati kalau menangkis serangan! Jangan
diarahkan ke mari, Tolol!" teriak Klowor dengan dong-
kol.
Tetapi, perempuan itu tidak menjawab sedikit pun,
karena ia segera memainkan pedangnya, mengibas ke
kanan kiri dan melompat dengan lincah, sebab bebera-
pa saat kemudian datang lagi serangan senjata rahasia
berbentuk bintang. Kali ini, bukan hanya dua senjata
rahasia yang menyerangnya, melainkan lebih dari sepu-
luh senjata rahasia yang melesat berturut-turut. Arah-
nya dari balik semak pantai di bagian bawah tebing ka-
rang itu.
"Perempuan itu pasti punya musuh yang penasa-
ran...." gumam Raden Klowor sendirian. "Musuh gelap-
nya itu, pasti bukan orang berilmu cetek. Jurus puku-
lan atau tendangan yang memancarkan sinar merah ta-
di punya kekuatan yang cukup hebat. Dan, gerakan
senjata rahasia yang dilemparkan itu ternyata bagai di-
atur larinya oleh suatu kekuatan dari arah di mana sen-
jata itu melesat. Hemm... ada persoalan apa perempuan
itu dengan orang yang berada di balik semak pantai
itu?"
Klowor diam saja. Ia bahkan sedikit menyisih, ber-
lindung di balik gundukan batu karang sebesar gen-
tong. Namun, matanya masih memperhatikan gerakan
perempuan cantik yang melintir, meliuk-liuk, menghin
dari dan menangkis senjata rahasia lawannya. Senjata
yang sudah terlanjur melesat dan lolos dari sasaran, bi-
sa kembali lagi dalam gerakan berputar dan menjurus
kepada perempuan cantik. Kurang lebih sepuluh senja-
ta berbintang sedang mengurung dan menyerang pe-
rempuan itu, sekalipun sudah berulangkali ditangkis
dan dihindari. Sungguh suatu ilmu pengendalian jarak
jauh yang belum pernah dilihat Raden Klowor selama
ini. Sehingga, tidak heran kalau Raden Klowor jadi ter-
bengong kagum memperhatikan permainan jurus milik
penyerang gelap itu.
"Aaah...!" Perempuan itu memekik karena ketika ia
bersalto menghindari salah satu senjata rahasia yang
beterbangan itu, betis kakinya tergores salah satu dari
senjata rahasia yang lain. Hanya tergores. Untung tidak
menancap. Tapi, ia masih gesit menangkis dan meng-
hindari senjata-senjata tersebut dengan menggunakan
pedangnya.
"Triiing... triing... triing...!"
Perempuan itu bagaikan bertarung sendirian tanpa
lawan. Lucu juga kelihatannya. Ia melompat dan bersal-
to beberapa kali hanya untuk menghindari keroyokan
senjata rahasia yang melayang-layang bagai lebah hu-
tan yang ingin menyengat lawannya. Lama-lama, pe-
rempuan itu kebingungan. Nyaris dihunjam senjata itu
beberapa kali. Nafasnya kelihatan ngos-ngosan, dan tu-
buhnya mulai melemah. Kadang ia limbung dalam me-
langkah, kadang ia sempoyongan dalam berdiri. Karena,
sudah cukup lama ia bertarung sendirian melawan ke-
royokan senjata rahasia yang beterbangan seperti lalat
melihat borok.
"Kasihan dia...!" gumam Klowor. "Sebetulnya bisa sa-
ja dia kubantu mengatasi keroyokan senjata rahasia itu,
tetapi, aku belum tahu siapa dia? Orang baik-baik, atau
orang jahat? Nanti, sudah kutolong, sudah kusela
matkan, eh... tidak tahunya dia orang jahat. Kalau ku
diamkan, sampai ia akhirnya mati terkena senjata raha-
sia tersebut, eh... tidak tahunya ia tokoh persilatan yang
baik budi. Wah, susah...! Serba bingung aku jadinya...."
Klowor masih berada di balik batu besar, sekalipun
sebenarnya batu itu tidak cukup baginya untuk ber-
sembunyi. Sesekali Klowor berdecak kagum melihat il-
mu yang dapat dipakai untuk mengendalikan beberapa
senjata rahasia itu! Gerakan-gerakan senjata bintang
itu memang cukup cepat dan meliuk-liuk, membalik
arah dengan gesit dan lincah. Perempuan cantik itu, se-
kalipun masih mampu menghindar dan menangkis
dengan pedangnya, tetapi lama-lama ia sepertinya ke-
habisan tenaga. Kasihan sekali.
"Bagaimana, ya? Kutolong atau kubiarkan saja?"
Klowor masih dalam kebimbangan. "Ah, tapi... ini suatu
pertarungan yang tidak jantan. Lawan perempuan itu
tidak berani menampakkan diri. Jelas ini semacam se-
rangan membokong. Jadi, ada baiknya kalau kutolong
perempuan itu, terlepas apakah ia orang jahat atau
orang baik-baik. Pertarungan itu sudah tidak sehat. Li-
cik."
Ada formasi yang mengagumkan, yaitu keempat sen-
jata rahasia bisa berjajar rapat dan bergerak cepat bagai
kibasan pedang yang ingin menebas leher perempuan
cantik. Untung saja perempuan itu segera merunduk
seraya mengibaskan pedangnya ke samping bawah, ka-
rena ada dua senjata rahasia tertuju ke arahnya.
"Taar...!" Klowor melecutkan senjata Cambuk Naga.
Lalu, terdengar suara: "Trak, trak...!" Dua senjata raha-
sia bintang itu hancur disabet oleh cambuk Klowor.
"Tar... tarr...!" Dua kali cambuk Naga mengibas, dan
bunyi: "Trak, trak, trak, trak...!" Terdengar beberapa
kali. Lalu, sekali lagi cambuk itu mengibas, dan menge-
nai beberapa senjata bintang yang menjadi patah, hancur beberapa keping berserakan.
Sesaat kemudian, sepi. Perempuan cantik itu ngos-
ngosan. Tangannya masih memegangi pedang dengan
sigap, seakan siap menebas lagi jika ada senjata yang
mendekat. Raden Klowor sudah menyiapkan cambuk-
nya kembali. Ia duduk di atas batu karang yang datar,
memperhatikan kelelahan perempuan cantik yang ma-
sih belum mau mendekatinya.
Sebenarnya hari masih siang. Tapi, karena mendung,
maka hari kelihatannya redup. Teduh. Angin laut ber-
hembus menggerakkan rambut dan pakaian Klowor.
Sedangkan rambut basah perempuan cantik itu pun di-
hempas angin, namun tidak begitu meriap, karena ma-
sih basah.
"Hei, musuhmu sudah pergi!" cetus Klowor sambil te-
tap duduk di tempatnya. Santai.
Perempuan cantik masih memandang sekeliling, te-
rutama ke arah semak di tepi pantai bawah. Pedang
berkilauan masih digenggam erat di tangan kanannya.
Wajahnya yang cantik masih diselingi kemarahan yang
terpendam. Nafasnya pun masih terengah-engah den-
gan keringat yang bercampur basahan air laut di ram-
but dan tubuhnya. Ia mengenakan pinjung, penutup
dada berwarna kuning gading yang dari tadi belum per-
nah melorot sekalipun, padahal gerakannya cukup ke-
payahan dan bisa-bisa membuat kain pinjungnya melo-
rot. Tapi, Klowor segera tahu, bahwa kain penutup dada
itu tidak bakal melorot, karena kemontokan buah da-
danya yang sungguh menggiurkan hati lelaki mana
pun. Montok, tapi indah. Tidak berlebihan.
"Hei, sudahlah... istirahat dulu. Lawanmu sudah
pergi. Kenapa masih kau cari-cari terus?!" kata Klowor
kepada perempuan itu. Tetapi, perempuan cantik masih
tidak mau perduli dengan ucapan Klowor. Ia masih me-
natap dengan penuh selidik dan kewaspadaan yang
tinggi. Tiba-tiba, tangan kirinya yang tidak memegang
pedang itu bergerak menghentak ke depan dengan tela-
pak tangan terbuka dan jempol terlipat. Lalu, keluarlah
asap biru dengan percikan api birunya yang melesat ke
arah semak belukar di sisi lain, sisi yang tak pernah di-
curigai. "Duaar...!"
"Aaaah...!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak dan ter-
lempar dari balik semak, darah memercik menjijikkan,
potongan tangan dan kaki berserakan terlempar ke
sembarang tempat. Hal itu membuat Klowor heran,
bahwa ternyata masih ada musuh yang bersembunyi di
balik semak.
Klowor menjadi malu pada diri sendiri. Ia cukup to-
lol. Ia mengira keadaan sudah menjadi aman, ternyata
masih ada musuh yang mengintai menunggu kelenga-
han perempuan cantik. Maka, saat itu Klowor pun men-
jadi tegang, seakan bersiap siaga menunggu serangan
selanjutnya. Matanya yang sedikit lebar itu memandang
dengan nanar ke sekeliling. Ia hendak turun dari tebing
karang yang menyerupai bukit kecil itu, tetapi ragu-
ragu, takut di bawah sudah dihadang jebakan dan se-
rangan dari tempat tersembunyi.
Sikap Klowor yang tegang dan bersiap siaga itu kini
sedang ditertawakan dalam hati oleh perempuan cantik.
Ada senyum tipis yang mekar berbau sinis di bibir yang
mungil manis. Perempuan cantik ganti duduk di batuan
yang datar, tak jauh dari tempat duduk Klowor semula.
Klowor segera mendekati perempuan cantik itu, kemu-
dian berkata....
"Kau...."
"Istirahatlah. Lawan sudah pergi," sahut perempuan
cantik yang sudah menyarungkan pedangnya. Klowor
jadi tambah malu, karena kata-kata yang tadi di-
ucapkan kembali oleh perempuan cantik. Mata Klowor
segera memandang ke arah semak di sepanjang pantai.
Ia seakan masih curiga, namun sebetulnya menutupi
rasa malunya.
"Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Klowor tanpa
memandang perempuan itu.
"Kau sangsi dengan penjelasanku?"
Klowor tak bisa menjawab. Bingung dan malu mem-
buat ia jadi seperti orang linglung. Karena Klowor diam,
maka perempuan cantik itu berkata lagi sambil mengge-
rai-geraikan rambutnya yang masih basah.
"Aku tahu, kapan aku harus bersiaga menerima se-
rangan, dan kapan aku harus istirahat dengan tenang.
Aku juga bisa tahu, di mana lawanku bersembunyi dan
ke mana mereka akan lari."
"Mereka? Apakah musuhmu itu lebih dari satu
orang?" Klowor bertanya begitu sambil menggunakan
untuk duduk di batu depan perempuan cantik. Perem-
puan itu masih menanggapi Klowor dengan sikap ang-
kuh, seakan tidak perduli Klowor duduk di depannya,
tidak perduli Klowor bertanya tentang jumlah musuh-
nya. Ia mengikat rambutnya dengan tali sutra warna
merah yang semula dijadikan ikat kepala. Kini rambut
itu dikucir dan dibiarkan menjulur ke belakang.
"Aku tadi telah menolongmu, ketika kamu diserang
oleh senjata-senjata rahasia yang dikendalikan dari ja-
rak jauh," kata Klowor yang merasa heran, mengapa pe-
rempuan itu tidak mengucapkan terima kasih kepa-
danya.
"Aku tidak pernah menyuruhmu menolongku," kata
perempuan cantik. Klowor jadi malu sendiri. Ia menga-
lihkan pandangan mata, seperti perempuan itu juga ti-
dak mau memandang Klowor dengan serius.
"Aku heran, mengapa perempuan secantik kamu
punya musuh selicik itu. Kau benar-benar ingin dibu-
nuhnya."
"Aku tidak pernah heran," jawab perempuan itu.
Klowor diam. Memandang ke laut yang ombaknya
sudah tidak seganas tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya:
di mana Pulau Kramat itu? Mungkinkah perempuan
cantik itu tahu letaknya Pulau Kramat? Ah, siapa sebe-
narnya perempuan cantik itu sih? Demit? Kuntilanak?
Atau manusia biasa?
"Mengapa ada orang yang ingin membunuhmu?"
tanya Klowor.
"Karena orang itu tidak menyukai kalau aku hidup,"
jawabnya. Perempuan itu juga memandang ke arah
laut. Jauh ke cakrawala. Berbeda dengan cara meman-
dang Klowor yang sedikit liar karena mencari sesuatu.
"Tapi, aku senang dan kagum melihat permainan pe-
dangmu, tadi. Kau jagoan, ya?"
Perempuan itu tidak menjawab, tidak berpaling sedi-
kit pun. Klowor jadi salah tingkah.
"Namaku Raden Klowor. Namamu siapa?"
Klowor yang ada di belakang perempuan itu me-
nunggu jawaban beberapa saat lamanya, eh... tidak ada
jawaban juga. Klowor sedikit dongkol dan mengumpat
dalam hati. Mulutnya terbungkam, tak tahu harus bica-
ra apa lagi. Kalau ia bertanya tentang Pulau Kramat, ra-
sa-rasanya percuma saja. Pasti tidak akan mendapat
jawaban. Perempuan cantik itu punya nilai kesombon-
gan tersendiri. Angkuh dan agaknya tidak suka banyak
omong. Sebenarnya ada baiknya kalau perempuan itu
ditinggal saja. Tetapi, Klowor merasa sayang. Ia menda-
pat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan pe-
rempuan secantik itu, masakan harus disia-siakan begi-
tu saja? Uuh... sayang!
Perempuan itu berpaling memandang Klowor yang
terbengong. Klowor yang merasa dipandang jadi kikuk.
Kemudian, perempuan itu bertanya dengan suara lepas
tanpa bisik dan tanpa ragu-ragu.
"Kamu pernah mendengar nama Kartika Rahmi?"
"Kartika Rahmi...?!" Klowor berkerut dahi, berpikir
beberapa saat, bahkan ada usaha untuk mengeta-
huinya. Tapi, ia menggeleng juga akhirnya. "Aku baru
mendengar nama itu sekarang ini. Kenapa? Kau menca-
ri dia?"
"Tidak," jawab perempuan itu, kembali tidak me-
mandang Klowor, melainkan memandang cakrawala.
"Lalu, kenapa kau bertanya tentang Kartika Rahmi?
Ada apa? Siapa dia sebenarnya?"
"Dia..." Perempuan itu terhenti sebentar. Ragu-ragu.
"Katakan saja, siapa Kartika Rahmi itu, dan di mana
ia tinggal. Kalau kau memerlukan dia, aku sanggup
mencarikannya."
"Kau sanggup mencari Kartika Rahmi?" Perempuan
itu menyunggingkan senyum tipis. Tipis sekali.
"Aku sanggup. Bagaimana ciri-cirinya?"
"Tak perlu," jawab perempuan cantik itu. Kemudian
ia duduk di batu yang semula dipakai duduk Klowor.
"Kau sudah tahu ciri-cirinya, kan?"
"O, belum. Aku belum tahu ciri-cirinya Kartika Rah-
mi. Kan sudah kubilang, mendengar namanya saja baru
sekarang."
"Tolol sekali kau."
"Kok tolol?"
"Kartika Rahmi itu aku sendiri."
"Hahh...?!" Klowor sempat terperanjat. "Kau sendiri?
Kenapa tadi bertanya padaku?"
"Aku cuma ingin tahu, apakah kau mengenalku atau
tidak."
"Ooo...? Lalu...?"
"Aku cuma memperkenalkan diri."
"Ooo..." Klowor menyeringai malu, geli sendiri. "Na-
mamu Kartika Rahmi? Hemm... ya, ya, ya. Lantas, ke-
napa kau berada di sini?"
"Aku mencari seseorang. Tapi, belum ketemu."
"Siapa itu yang kau cari? Bukan aku, kan?"
Senyum tipis menyepelekan tersungging di bibir Kar-
tika. Lalu, katanya, "Aku mencari seorang perempuan,
bukan lelaki jelek seperti kamu! Aku mencari Nyai Katri,
penguasa Pulau Kramat...!" Klowor terperanjat lagi.
Bengong.
*
* *
2
Derap kaki kuda bagai gemuruh amukan ombak ba-
dai. Raden Klowor lebih terperanjat lagi melihat sepasu-
kan berkuda sedang melaju menghampiri tempatnya.
"Siapa mereka itu?!" gumam Raden Klowor. "Naga-
naganya bukan bermaksud baik. Wah, jangan-jangan
salah paham?!"
"Kita harus segera lari, Klowor," kata Kartika sambil
bergegas menuruni bukit karang itu.
"He, kenapa harus lari? Kita tidak punya urusan
apa-apa dengan mereka! Jangan takut!"
"Mereka kaum pemakan daging manusia!" teriak Kar-
tika.
"Hah...?!" Mata Klowor mendelik. Rombongan berku-
da semakin dekat lagi. Teriakan dan pekik terdengar
bersahutan. Senjata-senjata diacungkan, kuda pun se-
makin mempercepat larinya bagai hendak menembus
setiap perintang.
Mau tidak mau Klowor pun lari mengikuti Kartika. Ia
paling segan dimakan hidup-hidup oleh makhluk apa
pun. Kartika menggunakan ilmu peringan tubuh yang
cukup sempurna. Klowor kebingungan mengikutinya.
Kartika melompat bagai anak kijang birahi. Beberapa
dahan pohon dilaluinya, dan hal itu membuat Klowor
semakin kagum terhadap ketinggian ilmu Kartika. Ia
pun ikut-ikutan lari melalui jalan udara, dari dahan ke
dahan sekalipun demikian, ia masih saja tertinggal be-
berapa langkah dari Kartika.
"Kartika...! Kurasa mereka sudah jauh tertinggal di
belakang kita! Berhentilah dulu!"
Kartika tidak perduli. Gerakannya semakin lincah,
semakin ringan saja kelihatannya. Raden Klowor tak
mau ketinggalan jauh-jauh dengan Kartika. Mereka ber-
gerak semakin menjauhi pantai. Dan suara derap kaki
kuda itu sudah tidak terdengar lagi.
Namun, beberapa saat kemudian, ketika hari sema-
kin redup, Kartika berhenti dari pelariannya. Nafasnya
terengah-engah. Matanya memandang sebuah bukit
yang ada di depannya. Klowor menyusul kemudian. Ia
berhenti dengan nafas terengah-engah sambil ikut me-
mandang bukit di depannya.
"Di sana ada goa," tutur Kartika.
"Dari mana kau tahu?"
"Mataku sempat melihat satu lobang yang tertutup
dedaunan dan batang pohon."
"Apakah kita akan ke sana?"
"Entah. Kalau aku memang mau ke sana," jawab
Kartika dengan nada ketusnya.
Klowor melirik sedikit dongkol. Ia membiarkan Karti-
ka mulai bergerak mendaki bukit. Tetapi, alangkah ka-
getnya Klowor ketika melihat Kartika terpental menda-
dak dan jatuh berguling-guling ke tepat semula.
"Kartika...?! Ada apa!" Klowor kebingungan.
Mata segera dipasang untuk menembus segala tem-
pat. Wajah Klowor menjadi tegang, seakan ia sedang di-
incar oleh maut di tempat yang tak diketahui.
Kartika bergegas bangun dengan mengerang lirih. Ia
memegangi kepalanya. Pusing. Walau ia berhasil berdiri,
tapi masih dalam keadaan limbung. Sempoyongan. Klo-
wor menampakkan rasa cemasnya dengan bertanya:
"Kenapa jadi begini, Kartika? Kau menabrak apa,
hah?!"
"Uuh...! Ada yang memukulku dari jarak jauh, Klo-
wor."
Klowor mau menyanggah, namun ia buru-buru ter-
peranjat melihat pundak kiri Kartika menjadi biru sam-
pai di bagian lengan. Sepertinya ada yang memukul
pundak itu dengan palu godam yang besar.
"Astagaa...?! Pundakmu jadi biru begini, Tika?" Keti-
ka itu Klowor ingin menyentuhnya untuk menyatakan
rasa cemasnya. Tetapi, tangannya segera ditampel oleh
tangan kanan Kartika. Klowor jadi tak enak hati.
"Ada seseorang yang memukulku, Klowor."
"Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa di sini."
"Kau lihat saja ke arah batu besar di balik pohon, di
samping kanan kita."
Klowor memandang arah yang dimaksud Kartika. Ia
tidak melihat siapa-siapa di samping kanannya. Bahkan
batu besar yang dimaksud Kartika itu tidak ada. Klowor
jadi bingung sendiri.
"Tidak ada batu besar, Tika. Hemm... o, ya... ada ba-
tu besar, tapi di sana. Jauh sekali."
"Kau melihat bagian atas batu itu?"
"Hemmm... o, ya! Ada sesuatu yang bergerak. Tapi,
mungkinkah itu manusia?"
Klowor hampir tak percaya kalau batu besar yang
terlihat jauh sekali itu adalah batu yang dimaksud Kar-
tika. Orang yang berdiri di atas batu besar itu hanya be-
rupa seperti batang korek api yang diberdirikan. Kecil
sekali. Bahkan pakaiannya warna apa, tidak bisa dike-
tahui. Mungkin ada 5 km lebih jarak antara Klowor
dengan orang di atas batu itu.
"Gila...! Kalau benar dia yang kau maksudkan,
alangkah hebatnya orang itu. Dalam jarak sebegini jauh
dia masih bisa memukulmu dan membuatmu tung-
gang-langgang begitu."
"Dia berilmu tinggi, Klowor."
"Aku tak tahu, apakah dia yang berilmu tinggi atau
kau sendiri. Sebab, dalam jarak sebegini jauh, kau ma-
sih bisa melihat di mana lawanmu berada."
Klowor geleng-geleng kepala. Serba bingung. Serba
heran, dan bahkan serba kagum jadinya. Kartika sudah
selesai menenangkan diri, kemudian ia berjalan me-
nyamping. Klowor mengikutinya dengan tatapan mata
tertuju pada orang yang ada di atas batu di kejauhan
itu.
Waktu mereka hendak mencapai sebuah pohon be-
sar, Kartika menarik tangan Klowor sampai mereka
berdua berjatuhan di rerumputan.
"Apa-apaan kau...?!" Klowor membentak jengkel. Pi-
pinya tergores kayu kering, untung tidak berdarah. Ta-
pi, beberapa saat kemudian, terdengar sebuah letupan
kecil yang membuat batang pohon di dekat mereka ber-
getar, dahannya ada yang patah seketika dan menjatuhi
pinggang Klowor.
"Aaauuw...!" teriak Klowor kesakitan. Ia menggeliat
sambil menyeringai. Pada saat itu, Kartika berbisik den-
gan suara terlalu pelan:
"Bersyukurlah, Klowor...!"
"Kepalamu botak!" umpat Klowor. "Pinggang kejatu-
han dahan sebesar paha kerbau kok harus bersyukur."
Dengan tanpa senyum, Kartika berkata, "Daripada
kepalamu yang terkena pukulan jarak jauh itu, kan le-
bih baik pinggangmu yang kejatuhan dahan."
"Uuuh...!" Klowor menggeliat sambil menyeringai
memegangi pinggang. Kalau saja ia tadi sendirian, jelas
ia akan mati dengan keadaan kepala terpisah dari leher
karena terkena pukulan jarak jauh itu.
"Kau kenal siapa orang itu?" tanya Klowor.
Kartika yang duduk bersandar pada batang pohon
itu menjawab tanpa senyum keramahan sedikit pun:
"Ki Punggo, tokoh persilatan dari Wetan."
"Kau yakin kalau dia Ki Punggo?"
"Ilmu Sabrang Gendeng, hanya dia yang punya."
"Apa itu ilmu Sabrang Gendeng?"
"Pukulan jarak jauh yang tidak punya batas. Meski
dia ada di pucuk gunung di seberang sana... yang ham-
pir menembus langit itu, kalau dia bisa melihat kita,
maka pukulan ilmu Sabrang Gendeng tetap saja bisa di-
lancarkan dari sana, dan akan mematikan sasaran yang
dituju."
"Ck, ck, ck...!" Klowor berdecak sambil geleng-geleng
kepala, mengagumi keampuhan ilmu Sabrang Gendeng.
"Jadi, bagaimana caranya supaya tidak terkena pu-
kulan ilmu Sabrang Gendeng itu?"
"Jangan sampai terlihat olehnya."
Kepala Klowor manggut-manggut. Ia ingin bangkit
berdiri, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik lagi oleh Karti-
ka hingga ia jatuh terduduk. Sebelum Klowor marah,
Kartika sudah lebih dulu berkata:
"Dia masih mengincar kita, Tolol! Berlindunglah!"
Tetapi, mendadak ada suara yang berkata dari jarak
cukup dekat:
"Aku tahu di mana kau berlindung, Kartika!"
Klowor dan Kartika sama-sama terperanjat, lalu me-
mandang ke suatu arah, dan di sana ternyata telah ber-
diri tokoh persilatan dari Wetan: Ki Punggo.
Kartika merasa percuma duduk berlindung, toh Ki
Punggo sudah berada dalam jarak sepuluh langkah dari
mereka. Maka, Kartika segera berdiri, dan bersiaga
menghadapi serangan apa pun sewaktu-waktu.
Sementara itu, Klowor mulai menggeragap dan sedi-
kit ciut nyalinya melihat sosok Ki Punggo yang berku
mis tebal, baju hitam dan celana hitam tanpa hiasan
apa pun. Baju itu tidak dikancingkan, menampakkan
sebuah trisula yang terselip di pinggang dengan bagian
gagangnya tepat di depan perutnya. Sabuk merah ter-
buat dari bahan tebal itu menampakkan keangkeran
penampilan Ki Punggo. Rambutnya tidak begitu pan-
jang, tapi diikat dengan kain kuning model ikat kepala
seorang warok. Matanya lebar, galak. Jari-jari tangan-
nya besar-besar. Ia mengenakan empat cincin batu
bermata hitam, merah dan putih. Besar juga cincin itu,
sesuai dengan gelang akar bahar yang melingkar di len-
gan kanannya seukuran jempol kakinya itu. Sungguh
merupakan penampilan sesosok tokoh yang menggetar-
kan musuh.
"Aku tidak punya urusan denganmu, Ki Punggo," ka-
ta Kartika dengan pandangan mata seakan tidak gentar
sedikit pun.
"Siapa bilang, Jalang?! Kau punya urusan dengan
sekian banyak orang, terutama dari daerah Wetan!"
Klowor berkerut dahi dengan mulut ternganga ben-
gong. Ia tiba-tiba dituding oleh Ki Punggo yang bersuara
besar.
"Dan kau, Tikus sawah, kuharap jangan turut cam-
pur urusan ini...! Kau tidak tahu siapa perempuan ja-
lang itu, bukan?!" Ki Punggo maju selangkah, Klowor
justru mengeraskan otot-otot tangannya.
"Kalau kau turut campur urusan ini," kata Ki Punggo
kepada Klowor, "Maka kau akan menyesal melihat tu-
buhmu tinggal tulang belulang, tahu?!"
Klowor ingin bicara, tetapi Kartika mendahului den-
gan mengatakan kepada Klowor.
"Minggirlah dulu, Klowor. Biar kuberi pelajaran sedi-
kit kepada orang sombong ini. Biar dia tahu kalau tu-
buhnya yang besar seperti gajah bunting itu tidak
punya isi apa-apa...."
Klowor terpaksa menyisih, sekalipun ia heran kepada
Kartika yang berani berkata demikian, padahal tadi ia
kelihatan takut kepada Ki Punggo dan mengakui kesak-
tiannya.
"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang Kartika dengan
lompatan kaki kanan maju ke depan. Kartika segera
bersalto ke samping, sehingga kaki Ki Punggo menghen-
tak pohon dan membuat pohon besar itu bergerak me-
liuk seakan hendak rubuh seketika. Itu pertanda se-
buah tendangan yang cukup keras dan kuat. Andai Kar-
tika terlambat menghindar, maka tubuh langsing mulus
itu akan jebol karena tendangan itu.
"Monyet wadon...! Kuhancurkan kepalamu kali ini,
hiaat...!"
Ki Punggo menghantamkan pukulannya ke arah wa-
jah Kartika dengan gerakan tubuh melayang, tetapi Kar-
tika dengan gesit menangkis pukulan itu, lalu kaki ka-
nannya bergerak cepat ke depan dan mengenai perut Ki
Punggo. Sayang, Ki Punggo tidak merasakan tendangan
Kartika. Ia bahkan semakin mengganas dan bernafsu
untuk memecahkan kepala Kartika. Dengan gerakan
tangan menghentak dari arah kanan kiri bersamaan,
Kartika nyaris digencet oleh kedua telapak tangan Ki
Punggo.
"Praak...!"
Untung Kartika segera merendahkan badan, sehing-
ga Ki Punggo jadi seperti orang bertepuk tangan saja.
Pukulan berganda dilancarkan oleh Kartika secara ber-
tubi-tubi ke perut Ki Punggo.
"Haaaaaaiiit...!" teriak Kartika dengan keras. Pukulan
itu mengenai perut dan ulu hati Ki Punggo. Tetapi, lela-
ki berwajah kasar dan menyeramkan itu tidak memekik
sedikit pun. Tak ada erang kesakitan, kecuali suara
menggeram menahan napas. Kendati begitu, Ki Punggo
yang kokoh bagai batu pilar istana itu sempat mundur
beberapa langkah akibat hentakan pukulan Kartika.
Segera Kartika melompat dan kedua kakinya berge-
rak cepat di udara, menendang wajah Ki Punggo ber-
gantian.
"Mati kau. Gajah... huaaat...!"
"Uuuh... Aaah...!" Kali ini Ki Punggo merasa kesaki-
tan karena mulutnya dihajar dua kali oleh tendangan
kaki Kartika. Tetapi ia hanya sempoyongan sebentar,
untuk kemudian mengibaskan tangannya yang kanan,
dan dengan cepat ternyata ia sudah mencabut senjata
trisulanya. Wow...! Cukup panjang juga senjata trisula
itu, tidak seperti umumnya senjata trisula. Bagian ten-
gahnya runcing dan panjangnya seukuran hampir satu
lengan sendiri.
"Monyet binal...! Terimalah saat kematianmu di
ujung pusakaku ini. Hiaaaaat...!" Ki Punggo melompat
dan bersalto sampai melewati kepala Kartika. Ia menda-
rat tepat di belakang Kartika dengan menghadap ke
arah lain. Dalam keadaan bertolak belakang itu, Ki
Punggo menggerakkan trisulanya ke belakang, sasaran-
nya adalah punggung lawan yang dipunggungi. Trisula
yang menghentak dari samping pinggangnya ke bela-
kang itu hampir saja tidak disadari oleh Kartika. Tetapi,
gerakan Kartika yang memutar ke samping kanan itu
ternyata justru membuat ujung trisula tidak jadi me-
nembus punggung atau pinggang belakangnya.
"Sreet...!" Kartika mencabut pedangnya. Mendadak ia
sempat terkejut karena tubuh Ki Punggo bergerak me-
mutar dengan kaki kanannya menendang setengah
lingkaran, dan mengenai rusuk kiri Kartika.
"Aaah...!" Kartika memekik kesakitan dan ia pun ter-
guling ke samping sambil meringis nyeri. Ia menggeliat
sesaat karena tulang rusuknya bagai patah. Pada saat
itu, Klowor sempat berteriak cemas:
"Awas...!"
Ki Punggo menusukkan trisulanya yang panjang dan
tajam bagian ujungnya itu ke arah dada Kartika. Seke-
lebat pedang bergerak melintasi dada, "Traang...!" Pe-
dang itu mampu menghalau arah ujung trisula yang
hampir sampai menembus dada. Karena kibasan pe-
dang itu, maka trisula tersebut menancap di tanah da-
lam sekali. Tubuh Ki Punggo yang terpaksa membung-
kuk itu segera dihajar oleh tangan kiri Kartika. Tangan
itu bergerak memukul ke samping beberapa kali, karena
Kartika masih dalam keadaan telentang sambil mena-
han sakit. Karena rusuknya sakit, maka gerakan tangan
kiri itu tidak begitu kuat. Ki Punggo tidak merasakan
sakit, namun justru siku kirinya menghentak ke dada
Kartika dengan kuat.
"Huuugh...!" Kartika mendelik bagai tak bisa berna-
pas. Mulutnya menyemburkan darah kental. Ki Punggo
berhasil mencabut trisulanya, dan segera menghunjam-
kan senjata itu ke perut Kartika. Saat itu, ternyata Kar-
tika masih bisa mengibaskan pedang dengan sisa tena-
ganya. Trang...! Dan, kakinya bergerak ke atas seketika,
sehingga mengenai kepala Ki Punggo dengan keras.
"Aaah...!" Ki Punggo memekik kesakitan, lalu terpen-
tal ke bagian atas Kartika.
Klowor ngeri, dan tak tega kalau Kartika yang dalam
keadaan lemah itu mati diinjak oleh Ki Punggo. Segera
Klowor menarik tangan Kartika, dan membuat Kartika
berdiri. Ia berbisik dengan terburu-buru, "Bertahanlah
berdiri, hadapi dia lagi!" Kemudian, secepatnya Klowor
berada di tempat semula dalam keadaan berdiri seperti
tadi. Dengan begitu, Ki Punggo yang sempoyongan sam-
bil merundukkan kepala itu tidak melihat bahwa Karti-
ka berdiri karena dibantu oleh Klowor.
"Kau belum apa-apanya, Kartika...!" geram Ki Pung-
go. "Kau akan menyusul ayahmu yang punya jabatan
Bangsat Seribu itu, tahu?!"
Kartika tidak bicara apa-apa, ia merasakan sakit pa-
da bagian dadanya. Ia berusaha berdiri tegak sekalipun
sukar. Ki Punggo merasa sedikit lega melihat keadaan
Kartika pada saat itu.
"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang dengan berlari dan
mengarahkan trisulanya yang tajam ke dada Kartika.
Mata Kartika yang sayu sempat melihat kilatan benda
putih itu. Kemudian nafasnya dihirup panjang-panjang,
dan pedangnya digerakkan menebas ke arah depan, da-
ri samping kanan ke kiri. "Traang...!" Terhempas lagi tri-
sula itu, hanya sayangnya belum bisa lepas dari geng-
gaman Ki Punggo. Kali ini, justru kaki Ki Punggo yang
berbahaya, dan menendang tepat mengenai perut Karti-
ka.
"Huughh...!" Kartika mendelik lagi dengan badan se-
dikit membungkuk. Ia menyeringai menahan sakit. Klo-
wor semakin cemas dan gatal tangannya untuk segera
turun tangan. Namun, Klowor mencoba menahan diri
untuk tidak ikut terlibat urusan mereka. Pada saat itu,
Ki Punggo segera menghantamkan tangan kirinya ke
arah wajah Kartika, sehingga Kartika terdongak sambil
memekik kesakitan. Kemudian tubuh perempuan itu
melayang dan jatuh dengan lemas dan suara erang ke-
sakitan yang mengharukan hati Raden Klowor.
"Mampus kau, Perempuan Binaaal... hiaaat...!" Ki
Punggo melompat, senjatanya siap ditancapkan ke
punggung Kartika yang dalam keadaan kepayahan itu.
Tetapi, di luar dugaan, Kartika masih sempat mengi-
baskan pedangnya sambil membalikkan badan dan me-
nendang rusuk Ki Punggo bagian kiri.
"Traaang...!" Dan, Ki Punggo pun memekik kesaki-
tan:
"Aaaow... bangsat kauuu...!" Ki Punggo sempoyongan
seraya tangan kirinya memegangi bagian yang sakit.
"Sikat terus... jangan berhenti!" teriak Klowor kepada
Kartika. Kartika bagai dibakar semangatnya, ia pun se-
gera menerjang Ki Punggo dengan lompatan bersalto.
Pada sat itu, kaki Ki Punggo sengaja dilempar batu kecil
oleh Raden Klowor, dan bertepatan dengan itu Kartika
melancarkan tendangan ke arah bawah dalam keadaan
melayang. Tendangan itu sebenarnya bisa saja ditangkis
oleh Ki Punggo, bahkan bisa saja trisula Ki Punggo
menghentak ke atas dan menancap di bagian perut atau
paha Kartika. Tetapi, karena konsentrasinya tertuju pa-
da kaki yang sakit akibat lemparan batu kecil, maka ia
pun bagai orang lengah. Tengkuk kepalanya terkena
tendangan kaki Kartika sehingga Ki Punggo pun mende-
lik tak bisa berteriak.
Klowor girang dan bertepuk tangan. Tetapi, tiba-tiba
ia terjungkal ke tanah karena kaki Ki Punggo sempat
berkelebat mengenai perutnya. Ki Punggo sempat meng-
geram:
"Kau mulai ikut campur, Bangsat...!"
"Uuuh...! Cuma sedikit saja marah...!"
"Ciaaaat...!" Kartika menjerit kuat, sepertinya menge-
rahkan sisa tenaga yang paling penghabisan. Ia me-
layang menuju sasaran. Ki Punggo berkelebat berbalik
dengan kibasan senjatanya. Namun, kaki Kartika tepat
menendang pergelangan tangan kanan Ki Punggo se-
hingga trisula itu tertahan gerakannya. Dan, pada saat
itu, pedang Kartika bergerak menebas dari atas ke ba-
wah.
"Aaaahhhgg...!" Ki Punggo mendelik. Dadanya terbe-
lah oleh kibasan pedang Kartika. Ia berusaha untuk
bertahan sekalipun berdiri dengan oleng. Sementara itu,
Kartika sendiri bagai sudah tidak dapat menahan diri
dari luka dalamnya.
"Kkkaau... kkkau...!" Ki Punggo menuding Klowor
yang sedang berusaha berdiri dari kejatuhannya.
"Kkkau. gara-gara kau... akuuu... akuuu...."
"Kok aku yang disalahkan? Wee...?!" Klowor sengaja
memancing kemarahan Ki Punggo. Ki Punggo memang
panas hati, dan tanpa menghiraukan lukanya yang pa-
rah ia berusaha menyerang Raden Klowor. Tetapi, be-
lum sampai dua langkah ia maju, Kartika telah menye-
kat kaki Ki Punggo, lalu ia melemparkan pedangnya ke
tanah dalam keadaan bagian tajamnya menghadap ke
depan. Maka, tak ayal lagi tubuh Ki Punggo jatuh ter-
sungkur, tengkurap, dan disambut oleh bagian pedang
yang tajam. "Craas...!" Tepat mengenai leher.
Ki Punggo benar-benar sudah parah, namun ia ma-
sih berusaha untuk segera bangkit dan melakukan pe-
nyerangan lagi. Hanya saja, ia sudah kehilangan tenaga,
darah pun banyak yang hilang, dan akhirnya... nya-
wanya pun ikut hilang. Ki Punggo meregang sesaat ke-
mudian mati tak mau berkutik lagi. Sementara itu, Kar-
tika sendiri juga ikut rubuh dan tak sadarkan diri. Klo-
wor menjadi kebingungan. Ia segera menghampiri Kar-
tika dengan sedikit panik:
"Kartika...?! Kartika...?! Kau... kau pingsan, Kartika?"
Sekali pun pertanyaan tidak dijawab, tapi Klowor ti-
dak merasa tersinggung, sebab Kartika benar-benar
pingsan. Mungkin luka dalamnya terlalu parah sehingga
ia tak bertahan lagi.
"Hebat...!" gumam Klowor. "Bagaimana pun juga, kau
termasuk perempuan cantik yang hebat, Kartika. Kau
ulet dan gigih mempertahankan nyawa. Memang seha-
rusnya manusia itu begitu, ya? Gigih mempertahankan
nyawa...."
Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali membawa
Kartika ke arah goa yang hendak ditujunya semula.
Alam sudah semakin mendekati gelap. Paling tidak,
Kartika harus mendapat tempat untuk berlindung se-
mentara, dan siapa tahu Klowor punya cara lain untuk
menyembuhkan Kartika. Maka, dengan susah payah ia
memapah Kartika, mendaki bukit, dan mencari goa
yang dimaksud Kartika tadi. Jelas, nafas Klowor yang
pas-pasan itu jadi terengah-engah membawa beban tu-
buh Kartika. Hanya karena wajah cantik saja yang
membuat Klowor masih mau memapah tubuh itu, seka-
lipun ia mulai kebingungan dengan kakinya yang geme-
taran itu.
Sialnya lagi, goa tersebut belum juga ditemukan oleh
Klowor. Ia mencari ke sana ke mari, memandang me-
nembus keremangan senja yang makin menggelap,
ahh... tidak ada goa yang terlihat? Jangan-jangan tadi
Kartika berbohong?
Pada saat itu, telinga Klowor sempat mendengar de-
rap kaki kuda bergemuruh samar-samar. Arahnya se-
pertinya ditujukan ke lereng bukit itu. Wah, jangan-
jangan mereka kaum pemakan daging manusia yang
tadi dihindarinya? Wah, kalau mereka mengetahui Klo-
wor di situ bersama Kartika, sudah tentu mereka akan
berpesta pora memakan daging dua orang. Iih... dongkol
sekali hati Klowor mencari goa tidak ketemu-ketemu.
Hampir saja ia membuang tubuh Kartika karena jeng-
kelnya. Sedangkan, beberapa saat kemudian, gemuruh
suara derap kaki kuda itu semakin jelas. Gawat! Jum-
lah mereka kan tidak sedikit? Dilawan pun bisa sia-sia.
*
* *
3
Pada saat-saat yang kritis, goa tersebut akhirnya di-
temukan juga oleh Raden Klowor. Sebuah goa dengan
ditumbuhi semak dan pepohonan di bagian depan mu-
lut goa. Maka, untuk menghindari orang-orang pasukan
berkuda itu, Klowor segera membawa masuk Kartika
Rahmi ke dalam goa tersebut. Nafas pun tak dapat di-
kendalikan dengan teratur. Ngos-ngosan. Suasana gelap
di dalam goa tak begitu diperdulikan. Ke dalam goa se-
berapa juga tidak dipikirkan oleh Raden Klowor. Yang
penting ia terlindung dan terhindar dari kejaran pasu-
kan berkuda itu.
"Mau diapakan perempuan itu kalau susah begini?"
gumam Klowor sendirian. Ia bingung. Capek. Ia bersan-
dar dengan santai. Sampai akhirnya ia pun tertidur di
samping tubuh Kartika yang masih pingsan itu.
Klowor tak tahu, seberapa lama ia tertidur. Yang je-
las, ia mulai bermimpi bertemu dengan Jaka Bego,
orang yang dianggap gurunya dari sekian banyak guru
yang hadir di setiap mimpinya.
"Klowor, beri pernafasan bantuan pada Kartika," kata
Jaka Bego di dalam mimpi Raden Klowor.
"Bantuan nafas bagaimana, Guru?"
"Tiup mulutnya...! Tiup berulangkali, dan awas...
jangan sekali-kali menyedotnya."
"Apa dia akan sadar kembali, Guru?!"
"Yahh... kalau dia tidak keburu mati, pasti sadar
kembali. Nah, lakukan itu!"
"Tapi, Guru... tapi..." Klowor terbangun dari tidurnya.
Ia belum sempat bicara lebih lanjut. Ah, sayang. Ia pa-
dahal ingin bertanya tentang cara penyembuhan untuk
Kartika, namun impiannya segera musnah dan tidurnya
pun hilang. Ia kembali memejamkan mata, tetapi tak bi-
sa tidur lagi. Ketika matahari mulai menampakkan diri
dari ufuk Timur, Raden Klowor menggeliat pelan-pelan,
kemudian berkedip-kedip memikirkan perintah gurunya
lewat mimpi itu. Ia sedikit sangsi, apakah dengan me-
niup mulut Kartika maka perempuan cantik itu bisa sa-
dar dari pingsannya?
"Kasihan, Kartika. Banyak luka memar di tubuhnya.
Aku yakin, ada bagian dalam tubuh yang rusak berat
akibat kekejaman Ki Punggo itu. Ah, tapi sebaiknya aku
menuruti perintah guru saja...."
Raden Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kar-
tika. Ia harus meniup mulut itu. Tetapi keremangan ca-
haya fajar menampakkan wajah ayu itu bagai menggoda
hati kelelakiannya. Gelisah juga jadinya. Klowor sudah
hampir menempelkan bibirnya ke bibir Kartika, tapi
urung lagi. Ia bahkan bertanya di dalam hati:
"Ditiup apa disedot, ya?"
Sekali pun sebenarnya selera Klowor adalah menye-
dot bibir dan mulut itu, tetapi ia ingat pesan guru agar
jangan sekali-kali menyedot mulut Kartika. Ia harus
meniup. Ya, meniup. Dan... hal itu pun akhirnya dila-
kukan juga.
Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kartika,
kemudian meniupkan udara ke dalam mulut perem-
puan cantik itu. Jantung Klowor jadi berdetak-detak.
Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya dan mem-
buatnya berdebar-debar. Hasrat untuk menyedot mulut
itu begitu besar. Untung Klowor selalu ingat pesan guru
dalam mimpinya, sehingga ia hanya bisa meniup dan
meniup mulut itu berulang kali.
Kartika bagai orang tersengat kalajengking. Ia berge-
rak kaget. Kemudian membuka mata dan melihat Klo-
wor ada di depannya persis, menempelkan mulutnya ke
mulut Kartika. Kontan saja tangan Kartika menampar
Klowor kuat-kuat.
"Ploook...!" Klowor terlempar ke samping dan jatuh
telentang.
"Kurang ajar! Kau menggunakan kesempatan dalam
kesempitan, ya?!" geram Kartika yang segera berdiri
dengan tegap, seakan ia tidak pernah menderita luka
dalam yang cukup parah. Klowor sendiri kebingungan
untuk menjelaskannya. Ia baru mau bicara, tapi kaki
Kartika menendang dagunya dengan tidak begitu keras.
"Uuh...! Sabar dulu, Tika...!"
"Kau tak pantas diberi kesabaran, Klowor! Apa yang
telah kau lakukan pada diriku, hah?! Kau merenggut
mahkota kegadisanku?! Iya?!"
"Bebb... bebb... belum, Tika...! Belum sempat kok...!"
"Bohong! Kau pasti punya maksud busuk!"
"Periksa saja...! Periksa, apakah mahkotamu kuambil
atau tidak...! Periksalah!"
Kartika yang cantik mendengus kesal. Ia sendiri tak
tahu, bagaimana harus memeriksanya. Tapi, begitu ia
memperhatikan pakaiannya masih dalam keadaan ter-
tutup rapi, ia mulai yakin bahwa ia tidak ternoda. Teta-
pi, ia masih jengkel karena Klowor telah berani melumat
mulutnya. Ia tak mau bibirnya dikecup selagi ia terti-
dur.
"Lalu, apa yang kau lakukan terhadap diriku, Se-
tan?!" ketus Kartika masih dengan bertolak pinggang.
Klowor hanya memandangnya, memperhatikan keadaan
Kartika. Timbul rasa heran dan bingung pada diri Klo-
wor melihat Kartika bisa bertindak cepat, berdiri dan
berkata lantang. Bukankah Kartika dalam keadaan ter-
luka parah? Bukankah guru Klowor hanya memerin-
tahkan untuk memberikan pernafasan bantuan dengan
cara meniup mulut Kartika? Tetapi, kenapa Kartika su-
dah menjadi sehat seperti sediakala?
"Hei...!" Kartika menendang kaki Klowor. "Kenapa
memandangku dengan jalang, hah?! Aku tidak suka
kau berbuat begitu lagi, Klowor!"
"Aku... aku hanya memberikan pernafasan bantuan
padamu, supaya... supaya...."
"Aku tidak perlu bantuanmu! Aku masih bisa berna-
fas sendiri! Sudah, jangan berbuat sehina itu lagi. In-
gat!"
Kartika berdiri di mulut goa, memandang kesegaran
udara pagi bersama sorot matahari yang masih keme-
rah-merahan. Klowor tertegun memandang punggung
Kartika. Ia benar-benar heran melihat kesehatan Karti-
ka. Ia tidak tahu, apa sebenarnya yang harus dilakukan
untuk Kartika. Ia hanya memenuhi perintah guru, tapi
mengapa ia ditampar dan dicaci-maki oleh Kartika? Ia
dituduh berbuat kurang ajar. Apakah itu pantas bagi
seseorang yang telah berhasil menyadarkan Kartika dari
pingsannya?
"Kartika..." Klowor memberanikan diri berkata, seka-
lipun Klowor tahu, bahwa Kartika tidak memperdulikan
sapaannya.
"Kartika, apakah kau ingat apa yang telah terjadi se-
belum kita sampai ke goa ini?!"
Kartika diam, sampai lama tidak menjawab. Klowor
malas mengulang. Pikirnya; biarlah Kartika melupakan
pertarungannya dengan Ki Punggo. Biar sajalah Kartika
lupa bahwa dirinya terkena luka dalam yang membuat-
nya pingsan. Yang penting bagi Klowor, Kartika jangan
sampai marah lagi. Ia malu kalau dituduh hendak ber-
buat kurang ajar kepada Kartika.
Namun, pada saat itu, Kartika berbalik dan mende-
kati Klowor. Kartika masih menampakkan keangku-
hannya, tanpa senyum dan tanpa keceriaan sedikit pun.
Ia memandang ke arah dalam goa, yang mempunyai lo-
rong membelok ke kiri. Entah apa isinya dan bagaimana
keadaan di balik tikungan lorong itu, Kartika tidak
memperdulikan dulu. Ia berdiri di depan Klowor yang
duduk pada sebuah batu.
"Apa yang telah kau lakukan sebenarnya, Klowor?!"
tanya Kartika dengan anda ketus.
"Aku memberikan pertolongan padamu. Sumpah.
Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya meniup mu-
lutmu beberapa kali, supaya kau sadar dari pingsanmu.
Itu pun atas perintah guruku yang hadir lewat mimpi."
Kartika menggumam lirih, ada sesuatu yang mem-
buatnya heran dan merasa aneh. Kemudian ia duduk di
batu, berseberangan dengan Klowor.
"Aku ingat pertarunganku dengan Ki Punggo," ka-
tanya.
"Aku tidak memaksamu mengingat-ingat hal itu, Ti-
ka."
"Memang. Tapi, aku juga ingat bahwa aku terluka.
Luka dalam yang cukup parah. Aku ingat saat aku me-
nyemburkan darah dari mulutku, luka memar di pun-
dak, dada dan tulang rusukku terasa ada yang pa-
tah...."
"Aku berani bersumpah, bukan aku yang mematah-
kannya!" sahut Klowor, tetapi Kartika bagai tidak meng-
hiraukan kata-kata itu. Mungkin dia menganggap tak
perlu. Ia malahan merenung sambil berkata:
"Aku juga ingat, bahwa keadaanku sangat terluka.
Aku memaksakan diri menguras tenaga terakhir untuk
membunuh Ki Punggo. Kemudian, kepalaku terasa pen-
ing sekali, dan pandangan mataku menjadi gelap. Sama
sekali gelap. Lalu, aku tak tahu apa yang terjadi selan-
jutnya."
Klowor menyahut lagi, "Aku membawamu ke goa ini."
"Aku tidak bertanya tentang itu," sahut Kartika yang
membuat Klowor menahan malu dalam hati.
"Yang ingin kutanyakan: mengapa aku sekarang
menjadi sehat dan segar? Padahal, sebelum aku berha-
sil membunuh Ki Punggo, aku sudah memperkirakan
bahwa aku akan mati. Ada kekuatan tenaga dalam yang
dilancarkan oleh Ki Punggo dan menyumbat saluran
pernafasanku pada saat itu. Ketika aku melihat Ki
Punggo merenggang mati, aku juga merasakan kehabi-
san nafas. Dan kupikir saat itu adalah saat kematianku
yang akan tiba. Tapi ternyata, sekarang aku menjadi
sehat. Badanku tak ada yang terasa sakit. Luka me
marku hilang semua. Sama sekali tidak ada bekas ba-
gian yang masih terasa sakit. Ini aneh sekali, Klowor.
Seharusnya aku mati, atau dalam perawatan khusus
karena luka di bagian dalam tubuhku ini. Tapi...? Ke-
napa sekarang aku malah menjadi segar? Kenapa tidak
ada bagian yang kurasakan sakit atau ngilu-ngilu? Se-
dikit pun tak ada, Klowor."
"Saya tidak tahu, karena yang merasakan segalanya
kamu." Klowor bicara agak datar, seakan tidak mau ta-
hu lagi. Pada hal di dalam hatinya Klowor pun bertanya-
tanya heran: mengapa Kartika bisa sesehat itu? Menga-
pa luka memar yang membiru di pundak, dada dan se-
bagainya, hilang sama sekali?
"Klowor..." Kartika mendekat. "Apa benar kau ti-
upkan udara di mulutku?"
"Kalau tidak salah, memang begitu."
Kartika menggumam dan manggut-manggut, ia me-
mandang Klowor. Klowor risi dipandang demikian. Tak
berani balas menatap Kartika. Ia menatap ke arah da-
lam goa.
"Terimakasih, Klowor. Dua kali kau menyelamatkan
nyawaku. Dan, yang kali ini, sungguh mengherankan!"
"Aku sendiri merasa heran kok."
Kartika tersenyum. Tipis. Terasa sinis. Klowor diam
saja, berusaha untuk tenang, sekalipun hatinya berde-
bar-debar dipandang terus-terusan oleh Kartika.
"Aku percaya," kata Kartika. "... tiupan nafasmu itu
bukan semata-mata untuk menyadarkan aku dari ping-
san, melainkan punya kekuatan gaib."
"Gaib?" Klowor memandang dengan berkerut dahi.
"Kekuatan untuk menyembuhkan luka dalam dan...
dan entah apa lagi namanya. Yang jelas, tiupan nafas-
mu itu telah membuat semua lukaku hilang, dan aku
menjadi sehat secara ajaib. Menakjubkan sekali, Klo-
wor!"
"Ah, entah...!" Klowor bersikap masa bodo. "Mau
ajaib, mau gaib, terserah kau bilang sajalah...!" Klowor
kini berdiri di mulut goa dengan hati-hati. Ia ingat derap
kaki kuda yang didengarnya semalam. Ia sedikit sangsi,
jangan-jangan pengejar berkuda itu masih berkeliaran
mencarinya di tempat itu.
"Klowor, aku minta pedangku...."
Klowor menghunus pedang Kartika yang sebelum ia
menggotong Kartika dari tempat pertarungan, ia sempat
menyelipkan pedang Kartika ke pinggangnya. Namun,
ketika Kartika menerima pedangnya lagi, tangannya
menyahut tangan Klowor, matanya memandang tajam
pada Klowor, dan ia pun berkata dengan suara lirih:
"Kau marah?"
Klowor menggeleng.
"Kau sakit hati atas tamparanku tadi?"
Klowor menggeleng.
"Kau hanya bisa menggeleng?"
Sekali lagi Klowor hanya menggeleng.
Kartika memasukkan pedangnya ke sarung pedang
di punggungnya. Klowor buru-buru berpaling ke arah
luar goa, tak berani menatap pandang terlalu lama den-
gan Kartika.
"Klowor... maafkan aku, ya?" Klowor diam saja. "Aku
tahu kau marah padaku, tapi itu urusanmu! Aku tidak
pernah menganjurkan begitu. Jadi, kalau kau capek da-
lam marahmu, tanggunglah sendiri. Jangan salahkan
aku."
Ada beberapa saat lamanya Klowor diam, membela-
kangi Kartika. Ketika ia berbalik, hendak mengatakan
sesuatu, tahu-tahu Kartika sudah tidak ada di tempat.
"Kartika...?!" Klowor memanggil dengan suara keras.
Tak ada jawaban yang terdengar. Ke mana dia? Klowor
mulai kebingungan. Ia bergegas masuk ke kedalaman
goa.
"Kartikaaa...!" Suara panggilan itu bernada penuh
kecemasan. Klowor buru-buru memasuki lorong yang
membelok itu. Tempatnya semakin gelap. Batu-batu
dindingnya lembab dan lantainya pun bagai mengan-
dung air. Klowor sedikit sangsi, mungkinkah Kartika
menghilang dan pergi melalui jalanan licin itu?
"Kartikaaa...!" teriaknya lagi. Teriakan itu menggema
cukup lama. Ini menandakan di ujung lorong itu ada
ruangan yang lebar, atau jalan lurus yang panjang.
"Kartika, di mana kau...?!"
"Di sini...!"
Nah, ada jawaban. Kok kecil? Oh, berarti Kartika be-
rada jauh dari lorong yang becek itu. Klowor pun segera
berjalan menyusuri lorong itu dengan hati-hati. Ia bah-
kan sempat merayap, berpegangan dinding lorong su-
paya tidak jatuh tergelincir. Oh, ternyata lorong itu se-
perti perut ular yang melingkar-lingkar.
Makin dalam, Klowor semakin menemukan berkas
cahaya temaram. Ia sedikit tenang, karena pada waktu
ia berseru:
"Kartika, tunggu aku...!" Ada jawaban dari depannya:
"Ke marilah! Lekas...!"
Ternyata keadaan di dalam goa memang semakin te-
rang. Dan, tibalah Klowor di sebuah ruangan luas, ber-
langit-langit tinggi dengan sorot cahaya matahari yang
memancar dari lobang di langit-langit goa yang tinggi
itu.
"Lihatlah apa yang kutemukan ini, Klowor?" Kartika
kelihatan tersenyum tipis. Klowor masih terbengong me-
lihat ada telaga di dalam goa itu. Airnya berkilauan me-
nyegarkan karena terkena sorot matahari dari langit-
langit goa. Mungkin telaga itu adalah curahan air hujan
yang ditampung di situ dalam beberapa waktu lamanya.
Yang jelas air telaga itu sungguh menyegarkan.
Bentuk telaga itu bulat tidak beraturan. Di tepian telaga itu masih tersisa tempat luas, batuan cadas yang
tergolong datar, hanya serpihan-serpihan batu cadas
yang membentuk seperti kerikil. Sebagian tempat datar
itu ada yang basah karena uap air telaga yang bagai
mengembun itu, sebagian lagi ada yang kering. Kartika
duduk ke tempat yang kering sambil memandangi air
telaga bening. Ia kelihatan berwajah cerah, sekalipun ti-
dak secerah jika seorang gadis menemukan sesuatu
yang disukai. Kecerahan wajah itu adalah kecerahan
perempuan angkuh yang sebenarnya berwajah anggun
dan berwibawa.
"Aneh, ya? Di dalam goa ada telaga seluas ini." Karti-
ka berkata demikian ketika Klowor mendekatinya.
"Mengagumkan sekali!" gumam Klowor, lalu ikut du-
duk di samping Kartika. "Ini pasti tandon air."
"Apa itu tandon air?" Kartika berkerut dahi.
"Bila air hujan datang, ia akan masuk melalui lobang
yang ada di langit-langit goa ini. Itu, lihat saja... lobang
langit-langit itu cukup lebar. Matahari memancarkan
sinarnya ke dalam sini melalui lobang itu. Tentu saja ji-
ka ada hujan, sebagian air hujan masuk ke sini melalui
lobang itu juga."
"Iya, ya...?!" Kartika menggumam sambil memandang
ke atas. "Tapi, yang jelas telaga ini kelihatannya menen-
tramkan hati siapa saja yang memandangnya."
"Betul. Aku sendiri merasakan demikian. Tentram."
"Aku jadi lupa tujuanku."
"Mencari Nyai Katri?"
"He-eh..." jawab Kartika tanpa memandang Klowor,
melainkan memandangi air telaga yang menyegarkan
itu.
"Kau kenal dengan perempuan penguasa Pulau Kra-
mat itu?" tanya Klowor.
"Aku hanya tahu namanya."
"Lho, lantas kau ke sana mau apa? Kau ingin bertemu dengannya untuk apa?"
."O, itu rahasia...!" jawab Kartika bernada angkuh.
"Sebenarnya, kita punya satu tujuan."
"Kau juga ingin ke Pulau Kramat itu?"
"Ya. Aku harus bertemu dengan perempuan yang
bernama Nyai Katri."
"Untuk apa?"
"O, itu rahasia," jawab Klowor menirukan jawaban
Kartika.
Kartika tertawa lirih. Baru sekarang Klowor melihat
dan mendengar tawa perempuan cantik itu. Oh, indah
dan merdu sekali kedengarannya. Klowor benar-benar
mengagumi tawa yang renyah itu. Bahkan ia sampai
terbengong memandang Kartika dalam tawa yang indah
itu.
"Hei, kenapa kau terbengong memandangiku? Belum
pernah melihat perempuan, ya?"
Klowor buru-buru nyengir menggeragap. Katanya
kemudian:
"Aku belum pernah melihat tawa seorang perempuan
cantik seperti kamu, Tika."
"Hemmm...!" Kartika mencibir dan semakin membuat
hati berdesir-desir. Mata Kartika kembali memandang
air telaga yang berkilauan, namun tenang tanpa ombak
sedikit pun.
"Sayang Pulau Kramat telah hilang."
Klowor sedikit kaget mendengar gumaman Kartika
yang pelan itu. Klowor buru-buru bertanya dengan ce-
mas:
"Dari mana kau tahu kalau Pulau Kramat telah hi-
lang?"
"Aku telah mencarinya. Biasanya, seseorang yang
berdiri di tebing karang, tempat kita bertemu itu, maka
orang itu akan melihat sebuah pulau tak jauh dari teb-
ing karang itu. Dan, itulah yang dinamakan Pulau Kramat, tempat Nyai Katri tinggal sebagai penguasa tung-
gal."
"Ooo...!" Klowor manggut-manggut. "Aku juga diberi-
tahu oleh seseorang begitu. Tetapi, ketika kau berdiri di
tebing karang itu, aku tidak melihat pulau secuil pun."
"Pulau itu telah hilang," gumam Kartika bernada ke-
cewa. Tetapi, demi memperhatikan air telaga kembali,
Kartika menjadi bersemangat dan ceria. Aneh. Padahal
keceriaan seperti itu jarang sekali ia peroleh semasa hi-
dupnya yang cenderung menjadi orang angkuh, pen-
diam dan tegas.
"Kau ada hubungan apa dengan Nyai Katri, Klowor?"
"Entah. Aku tidak tahu, apakah aku ada hubungan
saudara atau tidak. Yang jelas, aku belum mengenal
Nyai Katri secara langsung. Tetapi, aku memperolah pe-
san dari guruku, bahwa aku harus datang ke Pulau
Kramat itu."
"O, siapa gurumu itu? Aku boleh tahu?"
"Banyak," jawab Klowor. Kartika menganggap jawa-
ban itu tidak serius, sehingga ia kelihatan sedikit cem-
berut. Klowor menjelaskan, "Aku berkata dengan sung-
guh-sungguh. Guruku tidak hanya satu. Kau mau ta-
hu?!"
Kartika memandang Klowor dengan menghilangkan
cemberutnya. Ia memang tidak mengangguk atau
menggeleng, namun Klowor tahu, bahwa Kartika ingin
mendengar siapa saja guru Klowor. Maka, dengan
menghitung jari Klowor berkata:
"Jaka Bego, Lanangseta, istri Lanangseta, Sekar Pa-
mikat..." Klowor berhenti bicara, karena Kartika meng-
gerakkan tangannya, meminta Klowor berhenti seben-
tar.
"Kau kenal dengan Lanangseta juga?"
"Iya. Apa kau kenal dia?"
"Aku pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, dia yang bergelar Malaikat Pedang Sakti?"
"Ya. Kau tahu tentang dia, kalau begitu."
"Tidak begitu banyak. Aku hanya pernah mendengar
kesaktian-kesaktiannya dan... katanya ia tampan, ya?"
"O, jelas. Lihat saja muridnya..." Klowor menunjuk
wajahnya sendiri. Kartika mencibir lagi dengan bersun-
gut-sungut. "Eh, kamu tidak mengakui kalau aku tam-
pan?" kata Klowor dengan wajah disodorkan di depan
Kartika.
Sempat hal itu membuat Kartika tersenyum geli. La-
lu, katanya dengan anda canda:
"Kau memang ganteng, tapi nanti, kalau kau sudah
dewasa. Kalau sekarang kau masih seperti anak ingu-
san!"
"Jadi, aku kau anggap belum dewasa?"
Kartika diam sejenak, tidak memandang Klowor, tapi
segera berkata:
"Kau kelihatan masih muda belia. Mungkin pikiran-
mu sudah dewasa, sayang wajahmu masih seperti ke
kanak-kanakan, Klowor. Kau juga punya ketampanan
yang lucu dan menggemaskan. Sayang aku tidak ber-
minat meremat wajahmu itu."
Klowor hanya diam tertegun. Kartika berdiri, melepas
sarung pedangnya. Kemudian ia berkata dengan Klo-
wor:
"Kalau kau mau bersahabat denganku, pergilah ke
balik batu itu dan sembunyikan wajahmu di sana."
"Kenapa? Kenapa kau menyuruhku demikian?"
"Aku mau mandi. Aku mau melepas pakaianku, dan
jangan coba-coba mengintipku kalau kau tak ingin buta
mendadak."
Dengan mengeluh kesal dan gerutuan lirih, Klowor
pergi ke balik batu, tak berani mengintip. Kartika terjun
ke telaga tanpa busana. Uh, segar sekali. Ia ceria dan
berseru:
"Klowor...! Airnya segar sekali. Ayo, mandilah sini...!"
Klowor sempat tersenyum saat Kartika melambaikan
tangan lalu menyelam. Lama. Lama sekali tidak mun-
cul-muncul. Lho...? Klowor jadi cemas. Kartika tidak
muncul lagi! Gawat.
*
* *
4
Raden Klowor cukup lega, setelah Kartika ternyata
muncul ke permukaan air, ketika Klowor hendak me-
nyeburkan diri untuk mencarinya.
"Kukira kau tenggelam, Kartika!"
"Uh, airnya segar sekali," kata Kartika sambil mengi-
baskan kepala. Air yang menyangkut di rambutnya
memercik ke kanan kiri. Ia mengusap wajahnya dengan
telapak tangan dan mulai berkerut dahi.
"Kartika...?! Kau di mana?!"
Klowor merasa heran. Ia memperhatikan Kartika
yang sedang berenang ke tepian.
"Klowor...?!" seruan itu mengandung arti kecemasan.
"Ooh... gelap?! Klowor aku tidak bisa memandang apa-
apa!"
"Kartika...?!" Klowor berseru kaget. Ia segera meraih
tangan Kartika yang sudah dekat dengan tepian telaga.
Ia menggenggam tangan itu, dan Kartika memeganginya
erat-erat dengan perasaan cemas sekali.
"Kartika, apa kau bisa melihatku?!" Tangan Kartika
meraba-raba, dan ia berseru dengan mengharukan:
"Ooh... aku buta! Aku buta, Klowor...! Aku tidak bisa
melihat lagi...!" Kartika menjadi panik, demikian juga
Klowor. Ia bahkan hampir saja terpeleset masuk ke telaga itu ketika menarik tangan Kartika. Bahkan, ia su-
dah tidak perduli keadaan Kartika yang telanjang bulat
saat ditarik ke atas dan meraba-raba mencari pakaian-
nya.
"Kartika, kau tidak main-main?"
Kartika hanya menangis dengan panik, ia berseru
menjerit-jerit, "Aku buta...! Oh, aku buta...?! Klowor aku
bagaimana ini? Mataku tak bisa melihat apa-apa la-
giii...!"
Maka, tangisnya pun menjadi terisak-isak sementara
Klowor memberikan pakaian Kartika dengan tidak ber-
pikir soal kemulusan tubuh yang telanjang itu. Kalau
saja tidak dalam keadaan panik, mungkin Klowor akan
tidak berkedip memandang tubuh Kartika yang telan-
jang dan menggiurkan itu. Namun, karena dalam kea-
daan tegang, mengharukan, maka tak ada pikiran Klo-
wor ke arah negatip. Ia hanya kebingungan mengetahui
keadaan Kartika yang menjadi buta akibat mandi di air
telaga itu.
"Astaga...?! Kau benar-benar buta, Kartika...!" kata
Klowor setelah mencobanya berulangkali menggerak-
gerakkan tangannya di depan mata Kartika, dan Kartika
diam saja kecuali menangis dan menangis lagi. Klowor
pun kemudian memeluk Kartika yang belum sempat
mengenakan pakaian, sekalipun pakaian sudah berada
di tangan Kartika.
"Bagaimana dengan nasibku ini, Klowor...?! Mengapa
aku jadi buta?! Ooh... telaga keparat! Telaga setan!"
"Tenang, Tika. Tenang. Tabahkan hatimu. Ini bukan
kecelakaan untuk selamanya. Kita masih bisa berusaha
untuk membuatmu melihat kembali." Klowor membujuk
Kartika yang menangis terisak-isak dalam pelukannya.
"Kenakan dulu pakaianmu. Kenakan dulu, baru kita ca-
ri jalan keluarnya."
Telaga yang menyegarkan, telaga yang menggiurkan
karena kebeningan airnya itu, ternyata telah merubah
nasib hidup perempuan cantik seperti Kartika. Mata
yang semula mampu memandang tajam dan awas sekali
itu, kini menjadi buta, sekalipun mata itu masih utuh.
Tanpa ada cacadnya sedikit pun. Ini sungguh menghe-
rankan dan sekaligus memukul jiwa Kartika. Klowor
sendiri yang tidak ikut menderita, bisa merasakan beta-
pa sedihnya jika ia yang mengalami hal itu. Sebab itu,
Klowor tahu, apa yang dibutuhkan Klowor untuk saat
ini; ialah penghiburan, dan ketenangan. Klowor harus
bisa membuat Kartika tenang, untuk kemudian bisa
berpikir mencari jalan keluar bagi penyembuhan mata
itu.
"Aku sudah kehilangan segala-galanya, Klowor..." bi-
sik Kartika dalam tangisnya.
"Tidak, Tika. Kau masih punya banyak kesempatan,
punya banyak teman yang bisa menolongmu, dan...."
"Oh, aku tidak percaya kalau ada teman yang bisa
menolongku menyembuhkan kebutaan ini. Aku bagai
telah terkena kutukan yang amat keji! Telaga keparat
itu telah menjebakku dan aku sendiri... oh, Klowor, aku
lebih baik mati daripada harus menanggung siksaan
seperti ini...."
"Mati itu bukan jalan satu-satunya, Tika. Masih ba-
nyak jalan yang bisa kita tempuh, selain mati."
Tangis Kartika masih meratap-ratap, dan Klowor
memakluminya. Klowor hanya bisa memeluk Kartika
sambil mengusap-usap rambutnya untuk sekedar
memberi penghiburan hati Kartika. Sampai lama mere-
ka sama-sama bungkam, kecuali suara tangis Kartika
yang kian lama kian mereda.
Mata Raden Klowor memandang air telaga yang ben-
ing dan menyegarkan. Terbayang ada maut di balik ke-
beningan telaga itu. Klowor jadi merinding seketika,
membayangkan betapa mengerikan jika seseorang semakin lama terendam di dalam telaga tersebut.
"Mari kita tinggalkan goa keparat ini, Tika."
"Tidak! Aku akan tinggal di dalam goa ini, sampai
aku memperoleh kesembuhan mataku ini," Kartika pu-
tus asa. "Kalau perlu, biarkan aku mati di sini. Biar-
kan!"
"Kartika, mari kita berpikir secara dewasa dan kesa-
tria. Masalahmu ini, adalah masalah yang harus kita
hadapi, yang tidak boleh kita tinggal lari begitu saja. Ini
adalah tantangan bagi jiwamu. Aku yakin, kau pasti bi-
sa pulih seperti sedia kala! Aku yakin, Tika! Hanya saja,
kau harus tabah dan tangguh dalam menopang pende-
ritaan seperti ini. Jangan mau kalah oleh nasib, Kartika.
Tetapi, berjuanglah menggeluti nasibmu sendiri. Karena
manusia tidak bisa lepas dari segala penderitaan, kalau
dia sendiri tidak gigih memperjuangkan kebaikan hi-
dupnya sendiri! Jangan bergantung pada nasib semata,
tetapi bergantunglah pada perjuangan diri kita masing-
masing."
Banyak hal yang dikatakan Klowor, banyak hal yang
diungkapkan Klowor untuk memulihkan jiwa yang gun-
cang. Andai Klowor tidak pandai-pandai mengukuhkan
jiwa Kartika, mungkin perempuan itu sudah nekad un-
tuk bunuh diri atau mengerjakan kebodohan lainnya.
Setelah melalui bujukan, akhirnya Kartika berhenti
menangis, dan mulai berpikir dengan sehat. Klowor lega
dan senang jika Kartika sudah mulai menggunakan
otak warasnya.
"Aku punya perasaan ngeri kalau keluar dari goa ini."
kata Kartika masih sesekali tersengguk.
"Mengapa harus ngeri?"
"Banyak orang yang ingin membunuhku."
Klowor menghela napas, sedikit berat, merasa iba
mendengar kata-kata itu. Kartika melanjutkan kata,
"Kalau aku tidak dalam keadaan buta begini, mungkin aku masih berani menghadapi siapa pun yang ingin
membunuhku. Tetapi, dalam keadaan aku tidak bisa
melihat apa-apa begini, apa yang bisa kulakukan untuk
mempertahankan serangan dari mereka?"
Setelah bungkam sesaat, Klowor pun bertanya:
"Mengapa banyak yang ingin membunuhmu? Apa-
kah kau punya banyak kesalahan kepada mereka?"
Kartika menggeleng. Klowor berkerut dahi, tak jelas
maksudnya. Tetapi, beberapa saat kemudian Kartika
menjelaskan:
"Aku tidak merasa berdosa kepada mereka, tapi me-
reka merasa berhutang nyawa kepadaku, sehingga me-
reka merasa perlu membinasakan aku."
"Mengapa begitu, Tika? Dan, apakah Ki Punggo itu
termasuk orang yang ingin membunuhmu atas dasar
yang sama?"
"Ya. Ki Punggo, orang-orang yang menyerangku di
tebing karang itu, serta beberapa dari mereka yang ber-
kuda itu, semuanya ingin membunuhku."
"Kenapa bisa terjadi begitu?"
"Mereka menyimpan dendam. Orang-orang dari We-
tan, khususnya para tetua dari Wetan, semua ingin
membunuhku. Sejak usia sebelas tahun aku selalu di-
kejar-kejar oleh mereka, sampai usiaku 25 tahun sebe-
sar ini, mereka masih mengejarku untuk membinasa-
kannya. Dan... ini semua sebenarnya dikarenakan den-
dam."
"Dendam?!"
"Ya. Dendam mereka kepada ayahku." Kartika beru-
saha menenangkan jiwa dengan menghirup nafas pan-
jang-panjang. Klowor diam, masih dicekam haru meli-
hat mata indah Kartika berkedip-kedip dalam kebutaan.
Ah, kasihan sekali perempuan cantik ini.
"Apakah ayahmu banyak berbuat dosa terhadap me-
reka?" Klowor mulai penasaran dan ingin mengetahui
segalanya. Kartika hanya menjawab dengan suara lirih:
"Memang. Ayahku dulu, adalah orang jahat. Penga-
nut aliran hitam. Tetapi, ia sendiri juga membunuh
orang-orang dari partai hitam. Mungkin kau pernah
mendengar nama ayahku, karena namanya dan kega-
nasannya itu sudah menyebar mungkin sampai ke selu-
ruh pelosok dunia."
"Siapa ayahmu itu, Kartika?!"
"Mahesa Abang, atau yang bergelar Iblis Telapak Da-
rah."
"Ooo...?!" Klowor manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar nama itu dan kekejaman-
nya, bukan?"
"Belum. Mungkin nama itu termasuk nama tokoh
lama di rimba persilatan."
"Yah, memang ayahku itu tokoh lama di rimba persi-
latan. Tokoh jahat yang tak pernah pandang bulu kalau
mau membunuh lawannya."
"Lalu, apa hubungannya orang-orang itu hendak
membunuhmu? Apakah karena kau mengikuti jejak
ayahmu?"
Dengan hati perih dan mata buta yang berkedip-
kedip itu, Kartika menuturkan kisahnya secara singkat.
"Banyak orang yang menyangka begitu. Memang,
aku belajar segala ilmu yang dimiliki oleh ayahku. Teta-
pi, aku sendiri tidak setuju dengan cara hidup ayahku.
Aku mengakui, bahwa ayahku itu sangat kejam. Il-
munya hebat, sehingga tak ada yang mampu menan-
dinginya. Dengan kehebatan ilmunya itu, ayahku men-
jadi orang takabur dan sombong. Cuma aku dalam ke-
luarga yang tidak setuju dengan cara hidup ayah. Ia
merampok, merampas hak orang lain, membunuh den-
gan seenaknya dan hal-hal lain yang ia lakukan meru-
gikan orang lain. Tetapi, aku tidak berani menyatakan
pertentanganku dengannya. Diam-diam aku hanya menerima segala ilmunya tanpa sifat-sifatnya. Lalu, pada
suatu hari, ayahku terperosok dan jatuh ke jurang yang
curam, lalu jasadnya hilang. Ia mati di Tebing Neraka.
Saat itu adalah kesempatan bagi mereka untuk memba-
las dendam. Empat saudaraku dibantai oleh mereka,
dan ibuku sendiri disiksa, lalu dibunuh secara beramai-
ramai. Dan, aku yang waktu itu masih ingusan sudah
dikejar-kejar oleh mereka...."
"Gila!"
"Mereka menganggap, bahwa anak orang jahat, pasti
akan menjadi jahat pula seperti leluhurnya. Maka, me-
reka berusaha membinasakan semua keluarga ayahku.
Pada waktu itu, ada seorang guru yang menyelamatkan
aku dan aku dibawanya ke suatu tempat yang sunyi, la-
lu dijadikan aku muridnya. Tak ada orang yang berani
mendekatiku, karena guruku itu orang yang disegani
mereka, baik dari golongan hitam maupun dari golon-
gan putih."
"Siapa gurumu itu?"
"Resi Garba... Kau pernah mendengar nama itu?"
"Belum."
"Dia punya satu murid yang cukup sakti pula, na-
manya: Ludiro."
"Hah...?! Ludiro? Paman Ludiro?! Oh, aku kenal den-
gan beliau. Kenal sekali!"
"Sungguh?"
"Ya. Dulu, dialah yang diberi hak menerima pusaka
Cambuk Naga, tetapi kini dia memilih menjadi petani
biasa, dan Cambuk Naga ada di tanganku. Cuma, aku
tidak tahu kalau Paman Ludiro punya guru yang ber-
nama Resi Garba."
"Kapan-kapan, kalau umurku panjang, bawalah aku
kepadanya, seumur-umur aku belum pernah bertemu
dengannya. Karena ketika guruku mengangkat aku se-
bagai muridnya, ia baru saja melepas kepergian murid
tertuanya: yaitu Ludiro."
"Ooo... begitu...."
"Tetapi, menurut guruku, Eyang Resi Garba, tidak
semua anak akan mewarisi sifat orang tuanya. Ada
anak orang baik-baik, tapi ia menjadi anak yang berpe-
rangai buruk. Ada ayah seorang pendiam, mempunyai
anak yang cerewet. Jadi, tidak semua orang jahat akan
mempunyai anak yang jahat pula. Dan, hal semacam
itu tidak bisa dimengerti oleh para pengejarku. Ketika
aku lepas dari perguruanku, aku langsung disambut
oleh serangan mereka. Jelas, mereka berani menye-
rangku, sebab Resi Garba guruku sudah wafat. Tak ada
lagi yang ditakuti oleh mereka, sehingga mereka merasa
bebas membunuhku. Itulah sebabnya aku ingin lari dan
bergabung dengan Nyai Katri untuk minta perlindun-
gan."
Klowor menggumam panjang sambil manggut-
manggut. Kartika menampakkan kesedihannya kembali,
namun tidak sampai menangis tersedu-sedu seperti ta-
di. Ia berkata lirih:
"Sekarang, keadaanku semakin lemah. Mereka ma-
sih mengejarku, sedangkan aku kini telah menjadi buta.
Aku tidak akan tahu kalau ada orang yang kusangka
baik, ternyata ia sedang mempersiapkan pedang untuk
membunuhku. Inilah sebabnya aku menjadi takut ke-
luar dari dalam goa ini."
"Kau tidak perlu takut, Kartika."
"Bagaimana aku tidak takut? Mereka yang bernafsu
membunuhku itu bukan orang-orang tanpa ilmu, me-
lainkan orang-orang yang punya ilmu tinggi. Kau tahu
sendiri kehebatan Ki Punggo atau pelempar senjata ra-
hasia itu, bukan?"
Sekali lagi Klowor menggumam, tapi pendek saja.
Sebab, ia segera bertanya kepada Kartika:
"Aku heran melihat pertarungan kemarin; mengapa
Ki Punggo tidak mau menggunakan pukulan jarak
jauhnya? Padahal kalau dia mau menggunakan puku-
lan jarak jauhnya, kau pasti bisa lebih celaka dan...."
"Dia tidak akan bisa," sahut Kartika. Ia mulai menga-
lihkan pikiran, dan ini adalah tujuan Klowor, mengapa
ia tiba-tiba bertanya tentang Ki Punggo.
"Mengapa ia tidak bisa melakukannya, Tika?"
"Karena pukulan Sabrang Gendeng itu hanya bisa di-
lancarkan dalam jarak beberapa ratus tombak. Kalau
tidak salah harus dilancarkan dari jarak dua ratus tom-
bak jauhnya. Tetapi, dalam jarak dekat ilmu itu tidak
bisa dipakai. Itulah kelemahan ilmu Sabrang Gendeng.
Semakin jauh, semakin ampuh, semakin dekat semakin
tidak bisa dipakai."
"Ooo... jadi, kalau...."
Tiba-tiba goa itu bergemuruh. Tanahnya bergerak-
gerak. Klowor dan Kartika sama tegangnya. Ada bebera-
pa batuan cadas berukuran kecil yang berjatuhan dari
langit-langit goa itu. Wah, gawat...! Kalau goa itu run-
tuh, maka terkuburlah Kartika dengan Klowor di da-
lamnya.
"Ada gempa...!" Klowor terlihat begitu tegang. Ia ber-
diri dengan mata membelalak. Air telaga itu bergolak.
Bunyi gemuruh makin jelas.
"Kartika, lekas kita keluar dari sini...! Lekas...!"
"Tidak. Biarkan aku di sini. Biarkan aku mati bersa-
ma telaga ini, kalau memang langit-langit goa akan run-
tuh."
"Kartika, jangan menjadi bodoh lagi. Bertahanlah
menjadi orang pandai, supaya kamu tidak gampang ce-
laka!"
Klowor menggeret tangan Kartika. Kartika berjalan
dengan sesekali terkantuk batu-batu kecil.
"Cepat, Kartika...! Kurasa goa ini sebentar lagi akan
tertutup dan hilang dari pandangan mata kita!"
"Aku ingin di sini saja, Klowor!"
"Jangan begitu, Kartika!"
"Aku tidak mau mati di tangan musuh-musuhku!"
"Kau tidak akan mati!" seru Klowor dengan jengkel.
"Bagaimana mungkin aku bisa melawan mereka
dengan mata gelap begini, Klowor?"
"Aku ada di sampingmu, kan? Apakah kau sangsi
terhadap kepandaianku melumpuhkan lawan?"
"Tapi... tapi aku memang belum pernah melihat kau
bertarung dengan seseorang."
"Apakah itu berarti aku tidak bisa melindungimu?"
Gemuruh semakin jelas. Guncangan pada tanah dan
dinding-dinding goa semakin nyata. Banyak reruntuhan
dari bagian atap goa, dan hal itu menambah Klowor se-
makin tegang. Ia segera menyeret Kartika untuk mema-
suki lorong licin itu. Ia sangat hati-hati membawa Karti-
ka ke luar.
"Jangan berjalan ke arah lain. Rasakan saja tarikan
tanganku ini. Ikutilah dengan menjaga keseimbangan
tubuh. Ayo, lekas Kartika! Lekas keluar dan jangan mau
mati diurug bebatuan cadas ini...!"
"Klowor, kau benar-benar mau berjanji untuk melin-
dungi aku selama aku menjadi buta begini?!"
"Aku berjanji!" Sambil Klowor bergerak pelan melalui
lorong licin itu. "Aku berjanji akan menjagamu, semasa
aku sendiri masih hidup!"
"Apakah kau tidak ingin menyerahkan kepalaku ke-
pada Prabu Umbarpati...?"
"Siapa Prabu Umbarpati itu?"
"Seorang raja di daerah Wetan yang menyediakan
hadiah, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepala-
ku di depan mejanya. Itu sebabnya mereka yang ingin
membunuhku semakin banyak jumlahnya!"
"Ayo, lekas... lekas...! Kau tak perlu berkeyakinan
begitu, Kartika. Kau harus percaya, bahwa tak ada seo
rang yang kubiarkan menyentuh kulit tubuhmu, apalagi
ia mau membunuhmu, oh... mungkin ia harus melom-
pati mayatku dulu!"
Memang kalimat-kalimat Klowor sempat melegakan
hati Kartika, dan membuat hati itu pula bagai melayang
tinggi. Klowor siap melindunginya. Klowor siap mati un-
tuk Kartika. Semua itu jauh dari dugaan Kartika sendi-
ri. Ia mulanya mengira Raden Klowor adalah sebagian
dari orang-orang yang punya selera untuk membunuh-
nya, ternyata dugaannya salah.
Sorot matahari di luar goa tidak membuat Kartika si-
lau. Ia berjalan melangkah sedikit cepat dengan ban-
tuan Klowor. Ia tak bisa jauh-jauh dari Klowor, karena
ia belum terbiasa berjalan dalam kegelapan mata seperti
itu.
"Klowor..." bisik Kartika. "Aku mendengar suara se-
seorang sedang bertarung di arah kanan kita."
"Ya, aku juga mendengar. Tapi, agaknya mereka jauh
dari kita, kok. Tenang saja, Tika. Aku selalu ada di
sampingmu. Tenang saja...!"
"Apa kau bisa melihatnya; siapa yang bertarung itu?"
"Mereka cukup jauh, Tika. Dan, kurasa kita tidak
perlu mengetahui siapa mereka. Nanti malah kita terli-
bat urusan mereka."
"Blegaarr...!" Terdengar suara ledakan membahana.
Lalu, tanah menjadi guncang beberapa saat. Klowor
sendiri nyaris terpelanting jatuh karena guncangan bu-
mi yang dipijaknya. Kartika buru-buru berpegangan pa-
da pundak Klowor dengan rasa cemas yang menegang-
kan.
"Rupanya akibat ilmu kedua orang yang bertarung
itulah, yang membuat kita tadi ketakutan di dalam goa,
Klowor."
"Ya. Benar. Yang membuat goa seperti mau runtuh
itu adalah ilmu-ilmu yang dipakai dalam pertarungan
mereka."
"Maka, periksalah dulu, Klowor. Periksalah dulu, ka-
lau ternyata mereka tokoh sakti, mungkin kita bisa
memohon bantuan untuk mengembalikan penglihatan-
ku, Klowor."
Setelah mempertimbangkan sesaat, Klowor pun ber-
kata:
"Baiklah! Mari kita mendekati mereka. Tapi, ingat...!
Kau tidak boleh terlalu dekat. Kau harus berada di tem-
pat yang terlindung, sedangkan aku akan mengintipnya
dari atas pohon. Kalau memang mereka yang menang
adalah tokoh sakti, maka aku akan memintakan pe-
nyembuhan matamu kepadanya."
Kartika menyetujui perjanjian itu. Karenanya, ketika
ia ditinggal naik ke atas pohon oleh Klowor, setelah me-
reka berjarak dekat dengan pertarungan itu, maka Kar-
tika hanya diam saja ketika tubuhnya yang jongkok itu
ditutup dengan berbagai daun oleh Klowor.
"Astaga...!" gumam Klowor di atas pohon. Matanya
melihat pertarungan yang cukup seru, yaitu seorang le-
laki yang mengenakan pakaian serba merah dengan ikat
kepala yang botak berwarna biru tua, sedang bertand-
ing dengan tokoh botak pula, tanpa ikat kepala dan ma-
sih ada sisa sedikit rambut di bagian tepian kepala.
Yang membuat Klowor kaget adalah usia mereka.
Mereka itu sudah sama-sama tuanya. Sama-sama ber-
jenggot putih, dan sama-sama mengenakan pakaian
semacam jubah. Yang satu berwarna merah, yang satu
berwarna hijau tua. Keduanya bertarung dengan sama
kuat, sama-sama punya ilmu yang dahsyat untuk me-
nyerang maupun menangkis.
"Klowor...!" seru Kartika dengan bingung menentu-
kan pohon yang digunakan memanjat oleh Klowor. Ru-
panya Kartika tidak betah ditutup dedaunan. Gatal se-
mua tubuhnya. Melihat keadaan Kartika yang berjalan
dengan meraba-raba, Klowor segera turun.
"Tika...?! Ada apa kau? Kenapa tidak diam dalam
persembunyian? Kalau ada musuhmu yang kebetulan
lewat sini, bisa-bisa kau celaka tanpa setahu aku, Kar-
tika."
"Aku cuma ingin tahu, siapa mereka itu?"
"Yang bertarung itu, seorang lelaki botak berambut
tipis pada bagian tepiannya, berpakaian jubah hijau
dan bersenjata sebuah tongkat. Sedangkan lawannya,
berpakaian merah dengan ikat kepala warna biru tua. Ia
bersenjatakan sebuah kalung bermanik-manik besar."
"Orang itu berkepala botak dan jenggot putihnya
panjang?"
"Ya. Ya, benar! Kau mengenalnya?"
"Ya, ampuuun...! Mengapa aku harus bertemu den-
gan Ketua Perguruan Kumbang Laga?!"
"Apa itu bahaya?"
"Jelas. Karena dialah kaki tangan Prabu Umbarpati!
Ia yang mempunyai tugas utama untuk menangkap
atau membunuhku!"
"Wah, lantas bagaimana kalau sudah begini?!"
*
* *
5
Bumi ini bagi Kartika, adalah ladang pembantaian.
Di mana dia berada, di situ selalu terjadi pembantaian.
Dirinya sendiri adalah salah satu sasaran dari pemban-
taian yang tak kenal lelah. Ia diburu dan dijadikan sa-
saran panah dendam bagi mereka yang membenci Iblis
Telapak Darah, ayah Kartika. Padahal, Kartika sendiri
tidak pernah merasa bangga mempunyai ayah seorang
pembantai yang keji. Tetapi, dosa orang tuanya telah
memercik ke dalam kehidupan Kartika, sehingga ia di-
jadikan sasaran pelimpahan dendam leluhur.
Beruntung sekali, Kartika bisa bertemu dengan Ra-
den Klowor yang masih hijau, namun punya kekuatan
yang sudah cukup matang. Klowor bertindak sebagai
pelindung, lantaran dia tahu, bahwa Kartika bukan
manusia berdosa seperti almarhum ayahnya. Klowor in-
gin menegakkan keadilan dan mencelikkan mata mere-
ka yang tertutup nafsu membunuh.
Sehingga, dengan susah payah, Klowor tetap mem-
bawa lari Kartika, mencari tempat berlindung sebelum
ia berhasil membawa Kartika kepada gurunya: Lanang-
seta.
"Apakah kau yakin kalau Lanangseta gurumu itu bi-
sa menyembuhkan kebutaanku?!" tanya Kartika seraya
dituntun untuk menjauhi pertarungan Ketua Perguruan
Kumbang Laga.
"Pasti bisa!" jawab Klowor meyakinkan. "Guru La-
nangseta banyak kesaktian, sebab dengar-dengar, dia
itu sudah diberi wewenang sama dengan seorang dewa,
karenanya ia bergelar Malaikat Pedang Sakti. Ini menu-
rut cerita bibi guru yang kudengar pada suatu mimpi."
"Bagaimana kalau ternyata gurumu itu tidak bisa
menyembuhkan kebutaanku, Klowor?"
"Sesuatu yang diusahakan terus menerus, tidak
mungkin akan selalu gagal. Pasti akan tiba saatnya un-
tuk berhasil. Percayalah, Tika... aku tetap akan berusa-
ha mencari jalan bagi kesembuhanmu!"
Klowor terus melangkah, menuntun Kartika dengan
sabar dan hati-hati. Perasaan haru masih terselip di ha-
ti Klowor melihat Kartika berjalan dengan susah payah,
meraba-raba dan sesekali tersandung akar maupun ba-
tu.
"Tika, awaaas...!" Klowor segera menarik tangan Kar
tika ke bawah, hingga tubuh mereka merendah, karena
pada saat itu, sebuah tombak melesat dari arah depan
Klowor dan nyaris menghunjam ke dada Raden Klowor.
"Klowor...?! Ada apa?!" Kartika gugup.
"Seseorang telah menyerang kita, Tika...!"
Pada saat itu pula, sebuah tawa terdengar terbahak-
bahak. Ada juga tawa yang terkekeh di samping kiri me-
reka, dan ada pula gumam memanjang di samping ka-
nan mereka. O, tiga orang brewok telah mengepung
Klowor dan Kartika dari tiga arah: depan, kiri dan ka-
nan. Semuanya berwajah bengis, brewokan dan berba-
dan tegap.
"Tiga orang brewok menghadang kita," bisik Klowor.
"Gawat. Mereka yang bergelar Tiga Brewok Pencabut
Uban. Mereka cukup berbahaya, Klowor."
"Apa kelebihan mereka, Tika?" bisik Klowor sambil
memandang ketiga calon lawannya dengan curiga.
"Jurusnya selalu dilancarkan secara berkaitan, be-
runtun. Hati-hati, Klowor. Jangan sampai ada satu
uban atau satu rambut pun yang tercabut oleh mereka.
Rambut kita sehelai adalah nasib nyawa kita. Kalau
rambut kita diputuskan maka saat itulah nyawa kita
melayang. Mereka adalah tokoh aliran hitam yang me-
nyimpan dendam kesumat pada ayahku."
"Di mana kelemahannya?"
"Cari tahu yang bernama Somali, itulah pusat kekua-
tan mereka. Kalau Somali dilumpuhkan, maka jiwa me-
reka berdua jatuh. Kalau kau bisa membunuh Somali,
maka yang dua akan bertekuk lutut kepadamu. Itu me-
nurut cerita ayah, dulu."
"Ayam kampung...!" seru seseorang yang ada di ka-
nan. "Menyingkirlah kau, Ayam Kampung. Jangan
menghalangi kami. Kami punya urusan dengan perem-
puan kudis itu!"
"Apa maksud kalian menghadang kami?!" Klowor
bersikap tegar dan tenang.
"Kami tidak menghadang kamu," kata brewok yang
di depan. "Kami hanya ingin membunuh biang penyakit
yang ada di belakangmu itu!"
"Mengapa Kartika harus dibunuh?!"
"Ha, ha, ha... Maruto, jelaskan kepada Ayam Kam-
pung itu!" kata seorang yang ada di depan kepada orang
yang berada di samping kanan. Maka, Klowor pun men-
catat dalam hati, o... yang ada di sebelah kanan berna-
ma Maruto.
Maruto berkata dengan suaranya yang berat, sedikit
serak:
"Ketahuilah, Ayam Kampung, perempuan itu adalah
keturunan iblis pelalap dosa! Bapaknya setan! Keluar-
ganya juga setan! Kalau kau melindungi dia, berarti kau
termasuk keluarga setan! Tahu?!"
Klowor terus memancing pertanyaan sebelum ia
menghadapi ketiga brewok itu. Hanya satu nama lagi
yang ia butuhkan untuk mengetahui, yang mana yang
bernama Somali.
"Kalian picik! Salah pengertian!" kata Klowor. "Tidak
semua anak akan menjadi pewaris sifat orang tuanya!
Dan, tidak semua anak berhak menanggung dosa lelu-
hurnya. Kalian ini kelihatannya orang-orang berilmu
tinggi, tapi mengapa berpikiran dangkal?!"
"Maruto, serang dia!"
"Tunggu!" Klowor bersiap siaga dengan tangan ber-
maksud menahan gerakan mereka. Ia mencoba mengu-
lur waktu:
"Jelaskan dulu, apa sebab kalian mendendam kepa-
da ayah Kartika? Barangkali kalau menurut kalian be-
nar, maka aku pun akan melepaskan perempuan ini
untuk menebus dosa!"
Orang yang ada di samping kanan berseru kepada
yang da di depan Klowor.
"Dubang, ceritakan kematian teman-teman kita ka-
rena pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Telapak
Darah!"
Dalam hati Klowor berkata, "O, yang ada di depanku
itu bernama Dubang. Berarti yang punya nama Somali
itu orang yang ada di sebelah kananku. Bagus!"
"Ayam Kampung, coba kau pikir, bagaimana kami ti-
dak sakit hati dan menyimpan dendam kepada ayah pe-
rempuan itu, jika pada suatu hari...."
"Cukup!" Klowor memutus pembicaraan Dubang, se-
bab ia sudah tahu, yang mana yang bernama Somali.
Klowor sempat berbisik kepada Kartika, "Usahakan
jangan sampai mereka tahu kalau kau buta. Cabut pe-
dangmu, dan cobalah menggunakan perasaan dalam
bergerak. Awas, hati-hati... jangan sampai pedangmu
membabat aku."
"Ya, aku mengerti..." balas Kartika dalam berbisik.
Lalu, Klowor berkata kepada mereka, "Aku sudah be-
rembuk dengan Kartika, bahwa kami siap menghadapi
tuntutan dendam kalian. Tapi, jangan salahkan kami
kalau kalian bertiga mati dengan cara kurang nyaman.
Mengerti?!"
Dubang tertawa keras. "Ayam Kampung mau unjuk
kekuatan? Hah, bunuh sekalian dia!"
"Heaaaatt...!"
Maruto menyerang dengan lompatan kaki terarah
pada Klowor, Somali bersalto di udara menyerang Karti-
ka. Pada saat itu, Klowor pun melompat dan menyong-
song Somali, supaya ia gagal menyerang Kartika. Puku-
lan Somali diadu dengan kepalan tangan Klowor di uda-
ra, dan kaki Klowor sempat bertabrakan dengan kaki
Somali. Keduanya sama-sama terpental ke belakang.
Namun, Klowor lebih naas. Ia jatuh disambut dengan
tendangan kaki Maruto, sehingga punggungnya terasa
mau patah rasanya.
"Hiaaat...!" Dubang menyerang Kartika dengan senja-
ta pedang gandanya, satu di tangan kiri, satu di tangan
kanan. Klowor melihat hal itu menjadi cemas. Kartika
menebaskan pedangnya ke segala arah, membabi buta.
Salah satu gerakan pedangnya ada yang mengenai pe-
dang Dubang, sehingga Kartika tahu sasaran. Maka ka-
kinya segera menghentak ke depan, agak ke bawah.
"Aaauww...!" Dubang menjerit karena kemaluannya
terkena tendangan Kartika. Somali segera mencabut
kampaknya. Pada saat itu, Klowor dihantam oleh Maru-
to hingga dadanya terasa mau jebol. Klowor hanya ber-
teriak:
"Kartika, awas samping kananmu...!"
Dengan menggunakan kedua tangan, Kartika meme-
gangi pedangnya dengan meliuk-liukkan tubuh sambil
menebaskan pedangnya ke arah kanan. Ia tak tahu ka-
lau Somali melompat ke atas kepalanya dan kakinya
menendang kepala Kartika hingga Kartika jatuh tergul-
ing-guling. Suara pekikan Kartika membuat Klowor se-
makin berang. Maruto yang hendak menerjang Kartika
dengan senjata mirip tombak sepanjang lengan itu, se-
gera diterjang oleh Klowor.
Tendangan ke arah punggung Maruto membuat
orang itu terpental dan menabrak Somali, hingga kedu-
anya berguling-guling. Sementara itu, Dubang sempat
menendang wajah Kartika dengan keras, kemudian pe-
dang kirinya menyabet ke bawah dan mengenai paha
Kartika.
"Aaahhh...! Aku kena, Klowor...!"
"Bangsat brewok, kubunuh kau...!" teriak Klowor
yang siap menusukkan pedang kanannya ke bawah, ke
arah perut Kartika. Tetapi, gerakan itu belum sempat
terjadi karena dengan cepat kaki Klowor menendang be-
runtun dalam satu lompatan salto, dan tepat mengenai
pelipis Dubang. Orang itu terpental ke samping, kemudian sebelum pedangnya sempat berkelebat, Klowor te-
lah lebih dulu menghentakkan pukulan ke arah leher
Dubang. Akibatnya Dubang memekik tertahan dengan
tubuh berguling menjauh.
Kartika bingung, karena pedangnya lepas dari tan-
gan. Ia meraba-raba mencari pedangnya. Pada saat itu,
Maruto segera berteriak:
"Hei, ternyata perempuan jalang itu buta...! Dia bu-
ta!"
"Ha, ha, ha...! Dia buta! Benar!" Somali kegirangan,
juga yang lain. Tetapi, Klowor menjadi cemas, mereka
sudah mengetahui kelemahan Kartika, dan itu adalah
bahaya.
"Klowor... mana pedangku?" bisik Kartika sambil me-
rangkak menggapai-gapai pedangnya yang ada di ba-
gian kaki. Klowor segera mengambil pedang Kartika dan
membantu Kartika berdiri.
"Uuh... pahaku terluka dalam, sakit sekali...!" Karti-
ka jatuh lagi, terduduk. Saat itu, Dubang segera menye-
rang bersamaan dengan Somali. Satu menyerang Klo-
wor, satu lagi menyerang Kartika. Somali yang menye-
rang Kartika dengan senjata kampaknya yang berba-
haya.
"Kibaskan pedangmu ke kiri...!" teriak Klowor sambil
ia menangkis dan menghindar serangan Dubang. Ka-
kinya sempat masuk menjejak dada Dubang dengan
buas, Dubang terlempar lagi, sekalipun betis Klowor
sempat tergores pedang yang ada di tangan kiri Dubang.
Traang...! Untung-untungan pedang Kartika mampu
menangkis kampak Somali. Tetapi, ia tak tahu kalau
tangan kiri Somali segera menghantam wajahnya hingga
mata Kartika pun mengeluarkan darah. Kemudian,
kampak Somali diangkat dan siap membelah kepala
Kartika. Pada saat itu, Klowor melompat, menubruk
Somali hingga keduanya bergulingan.
"Aaahh...!" Klowor memekik, dadanya sempat ter-
gores kampak Somali. Namun, ia tidak perdulikan, ka-
rena ia melihat Maruto melemparkan senjatanya yang
mirip tombak runcing ke arah Kartika.
"Serangan dari depan, Tika...! Kibaskan pedang,
aah...!" Klowor menjerit kesakitan sebab kaki Somali
mengenai wajah dan mulutnya. Tapi, Kartika sempat
mengibaskan pedang ke arah depan beberapa kali, se-
hingga senjata yang meluncur itu berhasil ditangkisnya.
Hanya saja, ia tak tahu kalau kibasan pedang segera di-
lancarkan oleh Dubang dari samping kanannya. Klowor
yang melihat sekelebat hal itu segera melemparkan batu
ke arah Dubang.
"Aaaow...!" Dubang menjerit, karena mulutnya tepat
dihantam oleh batu sebesar jempol kakinya. Akibatnya
kibasan pedang ke pundak kanan Kartika tidak begitu
telak mengenai sasaran. Namun, sempat merobek
punggung Kartika yang kanan. Kartika menjerit dan
mengejang ke depan.
"Taar...!"
Klowor mengambil cambuk dan mengibaskannya ke
udara. Letupan cambuk itu sendiri telah membuat hati
ketiga musuhnya menjadi tersentak seketika. Semua
mata memandang Klowor, dan sikap mereka mulai hati-
hati.
"Itu Cambuk Naga...?!" teriak Dubang. Klowor memu-
tar-mutar cambuk ke atas kepala sambil berjalan men-
dekati Kartika yang mengerang kesakitan. Somali dan
Maruto mengambil jarak agar tak terjangkau oleh cam-
buk itu. Dubang segera menggerakkan kedua pedang-
nya bersimpang siur di depan wajahnya, membuat sua-
tu gerakan jurus perisai pedang. Ia siap menangkis se-
rangan cambuk bila sewaktu-waktu dilecutkan ke
arahnya.
"Klowor... aku tidak kuat..." Kartika meratap pelan,
lalu tangannya memegangi kaki Klowor sebagai tempat
untuk bersandar. Ia memeluk kaki itu dengan lemas.
Darah masih meleleh dari sudut mata kirinya. Luka di
punggung dekat pangkal lengan itu pun cukup lebar
dan sakit sekali. Klowor membiarkan Kartika memeluk
kaki kanannya. Menurutnya itu lebih baik, supaya ia ti-
dak terpancing oleh lawan untuk bergerak menjauhi
Kartika.
"Kalau kalian masih berkeras kepala menuntut balas
kepada Kartika, maka cambukku ini yang akan bicara
tanpa ampun lagi. Ku usulkan, kita berdamai saja!" ka-
ta Klowor.
"Kami lupa bagaimana caranya berdamai...!" kata
Dubang.
"Baik. Kalau begitu aku juga lupa bagaimana cara
membiarkan kalian hidup."
Mendadak, Maruto berteriak, "Tiga pusaran angin...!"
Klowor tidak tahu apa artinya, namun ia segera me-
lihat ketiga manusia brewok itu bergerak berjajar di de-
pan Klowor. Masing-masing siap dengan senjatanya, po-
sisi mereka berdiri menyamping dengan kaki kanan ma-
ju ke depan. Gerakan tangan kanan mereka sama; ke
atas kepala mengacungkan senjata. Kemudian Somali
yang ada di tengah segera berteriak:
"Seraaang...!"
Mereka melompat bersamaan. Bersalto dalam satu
gerakan ke arah Klowor. Tetapi, beberapa saat sebelum
mereka mencapai Klowor, posisi mereka telah terpecah
menjadi tiga arah. Dubang membelok ke arah kanan,
Maruto ke arah kiri, sedangkan Somali lurus ke atas
kepala Klowor. Jurus ini memang sempat membingung-
kan Klowor. Namun, dengan gerakan cepat, Klowor
mengibaskan cambuknya ke udara, berputar satu kali
dengan menimbulkan letupan dan nyala api pada ba-
gian ujung cambuk. Letupan itu seakan mengeluarkan
tenaga dalam yang cukup kuat sehingga membuat tiga
lawannya terpental ke arah masing-masing.
Somali jatuh di belakang Klowor, membentur pohon.
Sementara Dubang dan Maruto terguling-guling di se-
mak berduri. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor
untuk menghantam Somali dari tempatnya berdiri. Ia
menghantam dengan lecutan Cambuk Naga yang tepat
dalam satu jangkauan.
"Taar...!" Ujung cambuk yang mengeluarkan nyala
api itu mengenai paha Somali, dan saat itu pula Somali
memekik sekeras-kerasnya.
"Aaaaoohhh...!"
Paha itu terpotong dari pangkalnya dengan darah
memancar dari luka potongan. Somali menjerit-jerit ke-
sakitan, karena ia telah kehilangan satu kaki.
Klowor memperhatikan Dubang dan Maruto, ternya-
ta mereka sangat ketakutan dan menjadi gugup. Klowor
tahu, mereka berdua mulai panik.
"Somaliii...! Somali kau terluka...?!" teriak Maruto.
"Dia terpotong kakinya!" balas Dubang yang kebin-
gungan dan kelihatan sadis sekali.
Benar juga kata Kartika, apabila Somali dilumpuh-
kan kekuatannya, maka Maruto dan Dubang pun akan
turun mentalnya, dan menjadi ciut nyalinya.
"Hantam terus Somali..." bisik Kartika dalam erangan
kesakitannya.
Klowor segera mengibaskan cambuknya sekali lagi
dengan gerakan memutar-mutar cambuk lebih dulu di
atas kepala, baru kemudian dilecutkan.
"Taaar...! Deeer...!"
"Somaliiiiii...!" teriak Dubang dan Maruto bersamaan.
Mereka segera menghambur ke tempat Somali dan ke-
bingungan di sana, sebab tubuh Somali telah hancur
menjadi serpihan-serpihan daging berlumur darah. Tu-
buh Somali bagai meledak, lalu hancur akibat terkena
jurus Naga Penjilat Nyawa.
Dubang dan Maruto menangis meraung-raung den-
gan kebingungan ingin memunguti daging-daging serpi-
han tubuh Somali. Klowor memejamkan mata. Sebe-
narnya ia tak tega melakukan hal itu. Tetapi, gerakan
tangannya seakan tidak pernah ia sadari. Seakan berge-
rak sendiri dan menggunakan jurus maut yang ia sendi-
ri belum mengetahuinya. Bahkan, kali ini ia sendiri bin-
gung, mengapa tangannya yang menggenggam Cambuk
Naga yang hitam berserat putih itu kembali memutar-
mutar di atas kepala.
Hal itu membuat Dubang menjadi sangat ketakutan,
demikian juga Maruto. Ia segera membuang senjatanya,
dan Dubang sendiri melemparkan kedua pedangnya
sambil bersujud mencium tanah, sementara mereka
berseru sambil meraungkan tangis atas kematian So-
mali.
"Ampunilah kami...! Ampunilah kami...! Jangan bu-
nuh kami seperti saudara tertua kami itu...! Oh, ampu-
nilah kami. Jangan bunuh kami...!"
Suara mereka bersahut-sahutan dalam erangan tan-
gis seperti seorang anak kecil. Dan, Klowor segera
menghentikan gerakan cambuknya. Itupun ia sendiri ti-
dak tahu, mengapa tiba-tiba tangannya ingin berhenti
dan menggulung tali cambuk yang terbuat dari serat su-
tra putih.
"Nyawa kalian ada di mulut Kartika," kata Klowor.
"Kalau Kartika memerintahkan kalian harus dibunuh,
maka cambuk ini pun akan segera melesat dan mem-
buat kalian seperti Somali."
"Aduuuh... ampunilah kami, Kartika...! Ampuni-
lah...!" rengek Maruto tanpa tahu malu lagi. Ia benar-
benar seperti anak kecil.
"Kami memang salah! Kami memang picik dan bo-
doh. Ampunilah kami, Kartika...! Oh, kasihanilah kami
berdua ini...!"
Klowor bicara dengan tegas, sementara Kartika ma-
sih memeluk kaki Klowor dengan lemas.
"Bagaimana, Kartika? Apakah mereka harus dibu-
nuh sekalian...?!"
Kartika diam. Maruto dan Dubang semakin ampun-
ampun. Mereka juga menunggu keputusan Kartika
dengan tegang. Dan, setelah beberapa saat kemudian,
Kartika pun berkata:
"Bebaskan mereka...!"
"Baik. Kalian bebas! Dan, pergilah yang jauh sana!"
seru Klowor. Kemudian Maruto dan Dubang semakin
tak kenal malu, mereka menangis sambil berpelukan.
Klowor ingin tertawa dalam hati, namun ia merasakan
sakit pada dadanya yang terkena goresan kampak So-
mali.
"Terima kasih...! Terima kasih, Kartika...!" Dubang
membungkuk-bungkuk dengan hormat di dekat Karti-
ka. Demikian juga Maruto, yang mengangguk-angguk
sambil mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang.
Kemudian, Klowor segera mengusir mereka untuk ce-
pat-cepat pergi. Dan, mereka pun pergi dengan berlari
terbirit-birit.
"Klowor... aku lemas...!"
"Kartika, bertahanlah...!" Kemudian Klowor men-
gangkat tubuh Kartika yang mulai membiru. Mungkin
ada racun dari senjata lawan yang membaur di dalam
darah Kartika, sehingga tubuh itu menjadi pucat, bah-
kan membiru dan dingin. Klowor sangat cemas. Lu-
kanya sendiri tidak dihiraukan. Ia segera membawa
pergi Kartika dengan tujuan yang satu. Langkah Klowor
sendiri menjadi gontai. Ia terseok-seok, terhuyung-
huyung, karena lukanya sendiri terasa perih.
Ketika tiba di pematang sawah, Klowor tak tahan. Ia
jatuh terkulai bersama Kartika yang sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Seorang petani menjerit melihat
Klowor dan Kartika dalam keadaan bermandi darah.
Kemudian dua orang petani lainnya datang dan segera
memberi pertolongan. Mereka membawa Kartika dan
Klowor ke perkampungan mereka. Lalu, kampung itu
pun menjadi heboh, keadaan Klowor dan Kartika men-
jadi bahan pembicaraan mulut-mulut kampung yang ti-
dak tahu masalahnya. Mereka hanya menduga-duga
dan saling mengarang cerita sendiri-sendiri.
Entah berapa lama Klowor pingsan, ketika ia si-
uman, ia sudah berada di sebuah rumah berdinding
papan. Seorang lelaki beruban yang mengaku bernama
Pak Kiswo, berdiri di samping tempat tidur bambu,
tempat Klowor dibaringkan. Sedangkan istri Pak Kiswo
itu sebentar-sebentar membasuh darah yang masih
mengucur dari luka-luka Raden Klowor. Ada semacam
ramuan lembut yang dilumurkan pada luka-luka Klo-
wor, namun hal itu tidak membuat darah menjadi ber-
henti. Klowor mengerang karena merasakan sekujur
badannya menjadi panas sekali.
"Bertahanlah, Anak muda," kata Pak Kiswo. "Seben-
tar lagi rasa sakit dan panas akan hilang. Paling tidak
akan berkurang. Bertahanlah...."
"Ooh... terima kasih atas pertolongan bapak. Tapi...
tapi di manakah saya saat ini, Pak?"
"Di rumah saya. Nama saya Kiswo, dan ini istri saya.
Saya yang menemukan kamu bersama teman perem-
puanmu di pematang sawah dalam keadaan berlumur
darah."
"Ooh... uuuh...!" Klowor mengerang. "Lalu... lalu di
mana teman perempuanku itu...? Di mana, Pak?"
"Tadi pagi seseorang mengambilnya."
"Hah...?!" Klowor mendelik. Tegang.
"Dia mengaku saudara dari teman perempuanmu
itu."
"Siapa namanya?!"
"Entah. Tetapi, dia tampaknya seorang yang sakti. Ia
mengenakan jubah merah, berkepala gundul dengan
ikat kepala biru tua. Ia membawa tasbih, kalung besar
dan...!"
"Celaka! Itu musuh kami. Itu Ketua Perguruan Kum-
bang Laga. Ooh... Kartika, kau pasti diserahkan kepada
Prabu Umbarpati...! Celaka! Celaka sekali...!"
*
* *
6
Klowor tidak memperdulikan kesehatannya. Ia segera
berlari menyusul kepergian Kepala Perguruan Kumbang
Laga. Ia harus bisa merebut kembali Kartika, sebelum
perempuan cantik itu diserahkan kepada Prabu Um-
barpati.
Sesuai dengan petunjuk beberapa orang yang meli-
hat kepergian mereka, Klowor berlari terus tiada henti,
mengejar waktu yang cukup mendebarkan itu. Berun-
tung sekali utusan Prabu Umbarpati tidak mengambil
pusaka Cambuk Naga dan pedang milik Kartika, se-
hingga Klowor masih merasa mempunyai kekuatan un-
tuk mengalahkan orang tua berkepala botak itu.
"Kacau! Ke mana mereka perginya ya? Tak ada jejak
yang bisa dipakai tanda," gumam Klowor ketika sampai
di tengah hutan yang tandus. Banyak pepohonan yang
kering, tumbang atau pun mati sama sekali. Pandangan
Klowor memang sedikit bebas, tetapi ia sangat menyesal
karena ia tidak tahu ke mana arah kepergian utusan
Prabu Umbarpati itu.
Ada sebuah bukit. Bukit cadas tanpa tanaman. Klowor segera naik mendaki. Barangkali di atas bukit itu
Klowor bisa melihat kelebat seseorang berbaju merah
yang membawa Kartika. Tetapi harapannya itu sia-sia.
Ia menjadi kebingungan di puncak bukit cadas itu. Ke
mana arah yang harus dituju? Ke Selatan? Utara? Ba-
rat? Atau Timur?
O, ya. Timur. Sebab, Klowor ingat kata-kata Kartika,
bahwa Prabu Umbarpati itu adalah raja di daerah We-
tan. Sedangkan Wetan, berarti Timur.
Luka di dada masih ternganga. Sedikit perih, tapi
sudah tidak sepanas tadi. Klowor pun tidak memperdu-
likan lagi. Yang ia perhatikan kini suara derap kaki ku-
da yang datang dari arah Timur. Derap kaki kuda itu
semakin menjauh. Itu tandanya mereka sedang menuju
arah Timur juga. Entah derap kaki kuda milik orang-
orang yang dikatakan Kartika sebagai kaum pemakan
daging manusia, atau derap kaki kuda dari kelompok
lain, yang jelas Klowor harus menyelidikinya.
Dengan menggunakan Lindung Bumi, Klowor amblas
ke dalam tanah dan melakukan pengejaran ke arah de-
rap kaki kuda itu. Satu kelebihan jurus Lindung Bumi,
adalah dapat bergerak lebih cepat ketimbang harus ber-
lari di atas permukaan tanah. Karena itu, Klowor dalam
waktu singkat bisa mencapai di belakang derap kaki
kuda yang bergemuruh seperti datangnya rombongan
badai itu.
Derap kaki kuda itu berhenti. Di dalam tanah Klowor
pun berhenti, menyimak suara yang ada. Oh, telah ter-
jadi pertempuran di atas permukaan tanah itu. Suara
pekik dan teriakan yang ganas terdengar susul menyu-
sul. Klowor mulai menjauh dari bawah tanah tempat
berhentinya kaki-kaki kuda itu. Di tempat yang diperki-
rakan sepi itu, Klowor melesat dari dalam tanah bersa-
ma hamburan pasir tanah yang jebol diterjang lompatan
tubuhnya.
O, rupanya ia berada di kaki sebuah bukit, tepi hu-
tan. Ada suara debur ombak di kejauhan. Berarti tem-
pat itu tidak seberapa jauh dari pantai laut.
Tetapi, yang paling menarik bagi Klowor adalah se-
jumlah pasukan berkuda yang membuat suatu lingka-
ran. Ada orang yang dikepung oleh mereka. Orang itu
mengenakan pakaian komprang model jubah berwarna
merah, kepalanya botak diikat kain biru tua. Tak salah
lagi, dialah Ketua Perguruan Kumbang Laga. Perem-
puan yang tergeletak di kakinya itu berpakaian kuning
gading. Dan, itulah Kartika. Rupanya utusan Prabu
Umbarpati sedang berebut Kartika dengan orang-orang
berkuda. Utusan itu memperhatikan Kartika, sekalipun
ia diserang oleh tiga orang bertampang menyeramkan
dan ganas-ganas.
Apakah Klowor harus segera turut campur merebut
Kartika? O, tidak. Klowor akan menunggu, sampai ke-
tahuan siapa yang unggul dalam pertarungan tersebut.
Lama kelamaan, timbul rasa was-was di hati Raden
Klowor. Ada beberapa orang dari rombongan berkuda
yang secara diam-diam berusaha menggaet kaki Kartika
yang agaknya tak sadarkan diri itu. Apabila utusan
Prabu Umbarpati melihatnya, segera kaki dan tangan-
nya bekerja untuk menghantam orang yang berusaha
menggaet tubuh Kartika. Tetapi, pada saat itu juga, da-
tang serangan dari orang yang berada dalam arena, dan
membuat manusia botak berjubah merah itu terjungkal
tak sempat menangkis dan menghindar.
"Kalau begini caranya, bisa-bisa Kartika diserobot
oleh mereka dan dijadikan santapan yang lezat saat itu
juga. Wah, bahaya kalau begini caranya! Aku harus bisa
segera menyerobot Kartika lebih dulu." Klowor meng-
gumam, berpikir dan mencari-cari tempat yang strate-
gis.
Tak jauh dari tempatnya mengintai, Klowor melihat
ada sebuah pohon besar yang berongga. Mirip goa.
Akarnya yang berbentuk pipih menyerupai dinding pe-
nyekat kamar. Rasa-rasanya tempat itu cukup lumayan
untuk menyembunyikan Kartika. Tapi, bagaimana cara
menyerobot Kartika supaya bisa berhasil dengan mu-
dah?
"Cambuk Naga harus bicara lagi! Kubuat habis pe-
nunggang kuda yang mengurung Kartika dan utusan
Prabu Umbarpati itu. Ah, tetapi... jangan-jangan kekua-
tanku yang bisa membuat pasukan berkuda berantakan
itu malah dimanfaatkan oleh lelaki botak untuk mem-
bawa kabur Kartika. Bisa-bisa aku berurusan dengan
mereka, sementara lelaki botak itu dengan bebas mem-
bawa kabur Kartika. Wah, jangan! Jangan mengguna-
kan cara itu..." celoteh Klowor sendirian.
Tak jauh dari arena itu, ada gundukan tanah yang
tinggi. Klowor harus bisa berdiri di sana. Tapi, untuk
mencari tanah gundukan itu, ia harus melalui tempat
lapang yang besar kemungkinan bisa diketahui para
pasukan berkuda. Satu-satunya jalan, ia harus meng-
gunakan jalan bawah tanah. Sekali lagi ia mengguna-
kan jurus Lindung Bumi untuk mencapai gundukan ta-
nah itu. "Blees...!" Klowor berjalan di dalam tanah, se-
perti berjalan di alam bebas, hanya saja cahayanya
menjadi merah namun tidak mengganggu mata. Dan,
kini ia berhasil muncul di balik gundukan tanah itu. Pe-
lan-pelan ia merayap dan mencapai bagian atas gundu-
kan tanah tersebut.
Raden Klowor berdiri tegap di atas gundukan tanah
itu. Ia akan menggunakan jurus Tapak Sembrani, yang
pernah digunakan dalam merebut sebuah selendang
(dalam kisah: PRAHARA RADEN KLOWOR). Kali ini, ia
berusaha menyedot tubuh Kartika dari jarak jauh. Ia
cepat-cepat memperagakan jurus tersebut sebelum pa-
sukan berkuda itu mengetahui gelagatnya.
Klowor mengejangkan kedua tangannya. Nafasnya
ditahan beberapa saat. Kedua tangan itu segera berge-
rak kaku, telapak tangan saling merapat di depan dada.
Keras sekali, sampai tubuhnya pun ikut bergetar. Lalu,
kedua tangan itu dihentakkan ke depan dalam keadaan
lurus, dan kedua telapak tangan dalam posisi tengku-
rap.
Mata Klowor tertuju pada Kartika yang tergeletak di
tanah. Kedua tangannya bergetar dengan nafas tertahan
sejak tadi. Dan tiba-tiba tubuh Kartika bergerak-gerak.
Mereka yang melihat menyangka Kartika sadar dari
pingsannya. Namun, mata mereka menjadi terbelalak
kaget, ketika tubuh Kartika melayang di udara dalam
keadaan berbaring seperti semula.
"Huuuuuuoow...!" Hampir semua mulut berseru ka-
gum melihat tubuh Kartika melesat terbang dan tahu-
tahu sudah berada di atas gundukan tanah. Klowor
berdiri sambil memapah tubuh Kartika yang membiru
kaku.
"Perempuan itu dicurinya...!" teriak mereka.
"Kejaaar...!"
Raden Klowor segera melarikan diri sambil menggen-
dong Kartika. Sementara itu, lelaki botak berjubah me-
rah jadi terbengong melihat Kartika sudah tidak ada di
tempat semula. Ia tidak melihat keajaiban yang dilaku-
kan oleh Raden Klowor, karena ia sibuk bertarung
menghadapi tiga lawan yang mewakili pasukan berku-
da.
Kini, utusan Prabu Umbarpati itu pun ikut mengejar
Raden Klowor dan berusaha mendului para penunggang
kuda. Namun, sebelum mereka semua sempat menca-
pai Klowor, murid Jaka Bego itu sudah lebih dulu me-
nyembunyikan tubuh Kartika di dalam pohon berongga
besar. Ia berdiri di depan rongga pohon itu untuk mem-
beri perlindungan, dan menghalau siapa saja yang hendak mengambil tubuh Kartika.
"Serahkan perempuan itu!" teriak utusan Prabu Um-
barpati. "Perempuan itu harus menanggung dosa ayah-
nya!"
"Hei, tua bangka yang bodoh, dosa ayahnya bukan
merupakan dosa pribadinya! Kau jangan mau dibodohi
oleh dendam tuamu!" Klowor dengan berani, sementara
pasukan berkuda telah mulai mengepungnya.
"Serahkan dia, atau kucincang bacotmu, hah?!"
"Sebelum kau cincang bacotku, mungkin gundulmu
sudah retak lebih dulu!"
"Biadab, hiaaatt...!" Sebuah tendangan berputar di-
lancarkan oleh lelaki botak berjubah merah. Klowor tak
sempat menangkis tendangan yang kedua, sehingga wa-
jahnya telak dihentak kaki lawannya hingga darah
mengucur dari hidung. Klowor menggeram kesakitan,
dan menggerutu dalam hati:
"Gawat, belum-belum hidungku sudah bocor...!"
Klowor buru-buru menjaga keseimbangan dalam
berdiri. Ia terpaksa merendahkan badan karena kalung
bermanik-manik besar itu menyambar kepalanya. Den-
gan tubuh merendah begitu, Klowor segera berputar
dan melancarkan serangan dengan jurus Turangga Su-
jud. Kedua tangan menapak di tanah, dan kedua kaki
menghentak ke belakang, tepat mengenai dada lawan-
nya yang botak. Orang itu terjengkang ke belakang.
Kemudian, salah seorang dari penunggang kuda hendak
melemparkan tombak kepada Klowor, tetapi dicegah
oleh pimpinan mereka.
"Tunggu, lihat dulu siapa yang menang, baru kita
bantai beramai-ramai!"
Kalau saja Klowor mau berpindah tempat, ia akan
mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Tapi, kalau ia
berpindah tempat, maka Kartika akan diserobot oleh
para penunggang kuda. Jadi, sekalipun tempatnya
sempit, terbatas oleh semak berduri di kanan kiri, tapi
Klowor harus bertahan di depan rongga pohon itu. Ia
harus menjadi benteng bagi siapa saja yang hendak me-
rebut Kartika.
"Hiaaatt...!" Lawan menyerang dengan kibasan ka-
lung yang memercikkan bunga api berwarna biru keme-
rahan-merahan. Klowor berguling ke samping, percikan
api mengenai batang pohon bagian atas rongga, dan ba-
tang pohon itu menjadi hangus seketika, membentuk
sebuah garis hitam.
Merasa dirinya dalam bahaya, Klowor tidak mau
main coba-coba. Ia bisa kehabisan tenaga, salah-salah
ia bisa lengah, dan mengancam keselamatan jiwanya,
juga mengancam keselamatan Kartika. Maka, segera ia
menggunakan cambuk pusakanya.
Pada waktu itu, tepat lawan yang botak kepalanya
itu, menyerang Klowor dengan memutar-mutarkan ka-
lungnya yang bermanik-manik batu besar. Klowor tahu,
kalau kalung itu disabetkan, pasti akan mengakibatkan
bahaya besar baginya. Maka, sebelum hal itu terjadi,
Klowor segera melecutkan cambuknya ke udara.
"Taaar...!"
Tali cambuk membelit di kalung itu. Lawan terperan-
gah sesaat. Kemudian, Klowor menghentakkan cambuk
dengan kekuatan keras, dan kalung itu pun hancur
berkeping-keping bagai sebuah batu yang rompal akibat
benturan keras.
"Biadab haram...! Kau benar-benar mencari mam-
pus! Hiaaat...!" Lawan yang botak itu menerjang Klowor
dengan tendangan melayang. Ketika itu, Klowor menge-
lakkan ke kanan, dan kaki lawan menjejak pohon, lalu
membalik dengan bersalto dan mengenai punggung
Kartika.
"Huugh...!" Klowor berguling-guling akibat tendangan
itu. Posisinya membuka rongga penyimpanan tubuh
Kartika. Maka, lawan botak itu segera menghampiri tu-
buh perempuan cantik itu dan hendak membawanya la-
ri.
"Lancang kau...!" teriak Klowor sambil mengibaskan
cambuknya dalam posisi setengah terlentang di tanah.
"Taaar...!" Jurus Cambuk Kelabang Murka dilancar-
kan tanpa ampun lagi. Lecutan itu mengenai punggung
lawan berjubah merah. Punggung itu bolong seketika.
Orang tersebut memekik kesakitan sambil oleng men-
jauhi rongga pohon. Klowor buru-buru berdiri dan
menghantamkan cambuknya sekali lagi ke arah kepala
orang itu. "Taaar...! Deeer...!"
"Huuuuuuh...?!" Semua orang berteriak kagum dan
ngeri melihat tubuh lelaki botak itu meledak dan han-
cur berkeping-keping. Serpihan-serpihan daging tubuh-
nya berhamburan ke mana-mana membuat yang me-
mandang menjadi memejamkan mata. Tak ada lagi ujud
lelaki botak berjubah merah, yang ada hanya cuilan-
cuilan daging yang menjijikkan.
Klowor sendiri sempat bergidik, karena beberapa
orang dari penunggang kuda itu ada yang turun dan
memunguti cuilan daging tersebut, lalu dimakannya,
dikunyahnya dengan girang hati. Pimpinan mereka yang
berkumis tebal dan bermata merah itu menghampiri
pemakan daging itu, lalu menamparnya kuat-kuat.
"Goblok...! Kan ada daging yang lebih lezat dari itu?!
Serang dia! Cincang keduanya dan habisi sekarang ju-
ga!"
"Seraaaang...!"
Mereka turun dari kuda dan mengacungkan senjata.
Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali menghancur-
kan mereka secepatnya. Karena itu, Klowor pun segera
memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Kemudian
bunyi letupan dan nyala api terjadi beberapa kali. "Tar...
taarr... tarr...!"
"Aaaahhh...! Aaauuh...!"
Mereka mencengkeram kejang dan menjerit-jerit ka-
rena tubuh mereka mulai dibakar api. Seperti ada kila-
tan cahaya petir yang menyambar-nyambar mengenai
tubuh mereka. Bahkan beberapa pohon pun ikut terba-
kar. Kuda-kuda meringkik dan berlarian dengan binal.
Kuda-kuda yang mengamuk itu pun sempat menginjak-
injak beberapa orang penunggang kudanya sendiri.
"Lariii...! Lekas lariii...!" teriak pimpinan mereka yang
bermata merah. Sempat sang pimpinan memandang
Klowor beberapa saat, kemudian dari sorot matanya itu
keluar sinar berwarna merah tua tertuju pada Raden
Klowor.
"Hiaaaat...!" Klowor melompat ke samping, sambil
mengibaskan cambuknya ke arah kepala pimpinan me-
reka. Ujung cambuk yang menimbulkan suara ledakan
itu tepat mengenai pelipis orang tersebut, dan pecahlah
kepala itu menjadi berkeping-keping.
Taaar...! Taaar...!
Cambuk Naga beraksi terus. Beberapa orang pe-
nunggang kuda itu lari tunggang langgang dengan tu-
buh terbakar api yang susah dipadamkan. Bau sangit
mengabar. Jerit dan pekik saling bersahut-sahutan ba-
gai irama neraka. Sementara itu beberapa pohon telah
terbakar dan menjadi berkobar.
Angin berhembus cukup kencang. Angin itu juga
akibat dari putaran cambuk yang bagai kipas angin di
atas kepala Klowor. Tak satu pun dari mereka ada yang
lolos dari api. Semuanya terbakar dengan keadaan
mengerikan. Ada yang sambil berlari-lari mencari tem-
pat air, ada yang berguling-guling sambil berteriak. Ada
pula yang hanya diam saja, tahu-tahu rubuh dan men-
jadi hangus. Kuda-kuda yang terbakar pun meringkik
mengerikan sambil menggelepar-gelepar di rerumputan.
Namun, ada pula kuda yang lolos dari senjata api cambuk dan berlari ketakutan sambil menabrak beberapa
orang dari mereka.
Hutan jadi terbakar. Apinya berkobar-kobar. Klowor
jadi kebingungan sendiri. Tak ada pilihan lain bagi Klo-
wor kecuali membawa lari Kartika, menjauhi hutan
yang sudah terlanjur terbakar itu. Dengan menggen-
dong Kartika di pundaknya, Klowor terus berlari me-
ninggalkan jerit kematian dan kobaran api yang kian
mengganas itu.
Entah ke mana Klowor harus lari, tetapi begitu ia sa-
dari, ia sudah berada di sebuah pantai. Nafasnya teren-
gah-engah, matanya memandang kanan kiri dengan
panik. Oh, ternyata ia sampai di tebing karang, tempat
pertama kali ia bertemu dengan Kartika.
"Kartika...! Kartika...?!"
Perempuan cantik yang membiru itu tidak bersuara
lagi. Keadaannya benar-benar parah. Klowor menjadi
gusar, dan kepanikannya meningkat. Haruskah Kartika
mati di tempat pertama kali mereka berjumpa? O, tidak!
Kartika yang sudah terlanjur buta itu harus sembuh. Ia
sudah berjanji, bahwa ia akan mencarikan jalan untuk
kesembuhannya.
Tapi, dalam keadaan begini, apakah mungkin Klowor
mampu melarikan Kartika ke Puri Bukit Bulan, tempat
Lanangseta dan Kirana hidup bersuami istri itu? Apa-
kah ada cukup waktu untuk membawa Kartika ke sa-
na?
Klowor menempelkan telinganya ke dada Kartika. Ya,
ampun! Detak jantungnya sangat lemah. Sebentar lagi
pasti Kartika akan mati. Ia harus segera ditolong. Ha-
rus, ya, tapi bagaimana caranya?! Bagaimana?! Klowor
benar-benar gusar dalam kebingungannya.
Ada sebuah ingatan yang mengharukan hati Klowor,
yaitu pada saat Kartika dalam keadaan pingsan dan ter-
luka bagian dalamnya akibat pertarungannya dengan Ki
Punggo. Ia pada waktu itu berhasil menyelamatkan jiwa
Kartika. Lalu, Klowor ditampar, lalu Kartika menyesal,
lalu Kartika meminta maaf, kemudian mereka masuk ke
dalam goa. Aaah... kenangan itu sungguh menggoda ha-
ti Klowor.
"Hei, mengapa aku tidak melakukan penyembuhan
seperti yang kulakukan di goa itu?" pikir Klowor. Ia in-
gat, saat ia menghembuskan nafas bantuan ke dalam
mulut Kartika, ternyata membuat Kartika sehat kemba-
li. Waktu itu, Klowor sebenarnya cukup bangga pada di-
rinya sendiri. Tetapi, bagaimana dengan tamparan Kar-
tika dan tuduhan Kartika tentang kekurangajaran Klo-
wor?
"Ah, masa bodo! Dia mau menuduhku lagi, mau me-
namparku lagi, mau berterima-kasih padaku... itu uru-
san nanti. Yang penting sekarang aku harus memberi-
kan nafas bantuan ke dalam mulutnya. Guru pernah
berpesan begitu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, Raden Klowor
mengecup bibir Kartika yang membiru itu. Ia meniup
mulut itu beberapa, kali. Bahkan tangannya sempat
membuka mulut Kartika untuk melakukan pemberian
nafas bantuan dengan lebih leluasa lagi.
Kepala Klowor jadi pusing sendiri. Ia banyak meng-
hembuskan nafas lewat mulut ke mulut Kartika, namun
Kartika belum sadar dari pingsannya. Ia hampir putus
asa. Sekali lagi ia mencoba meniup mulut Kartika bagai
sedang meniup api di dalam tungku memakai corong
bambu.
Lama-lama, ia melihat tanda-tanda kehidupan. Dada
Kartika mulai berdegub jelas. Lalu, ada nafas pelan
yang terhembus dari hidung Kartika.
"Tika...?! Tika...?! Sadarlah, Kartika...?!" Klowor ber-
semangat dan mulai berdebar-debar. Ia tersenyum-
senyum dalam keharuan. Ia mengusap-usap wajah itu
dengan penuh rasa sayang.
Sesaat kemudian terdengar suara erangan yang lirih.
Kartika merintih. Sekali pun masih merintih, namun
Klowor sudah cukup lega, sebab dengan demikian maka
Kartika ada harapan untuk bisa hidup kembali.
"Tika...? Kartika...? Kau dengar suaraku...?!"
"Ooh... di mana aku...?!"
"Kita... kita berada di pantai, Kartika. Kita telah ber-
hasil lolos dari buruan orang-orang pemakan daging
manusia, dan... dan Ketua Perguruan Kumbang Laga
itu telah berhasil ku binasakan, Kartika. Kita aman di
sini... Di pantai tempat kita pertama kali berjumpa, Ti-
ka...!"
Kartika mengerjap-ngerjapkan mata. Ia masih men-
geluh dan mengerang dengan lemas.
"Klowor... aku sakit...!"
"Kau akan sembuh, Tika. Akan sembuh...!" Klowor
girang sekali. "Aku telah memberikan pernafasan ban-
tuan lewat mulutmu, seperti dulu, sewaktu di dalam
goa itu...."
"Ooh... kau..." Suara Kartika lemah. Kini Klowor
mengangkat kepala Kartika dan meletakkan dalam
pangkuannya. Ombak masih menderu dan memercik-
kan buih-buihnya ke pantai.
"Bagaimana kalau kulakukan lagi, Tika?"
"Apa...?" tanya Kartika dengan lirih dan parau.
"Bagaimana kalau kutiup lagi mulutmu...?!"
"Ah..." Kartika sempat mencubit hidung Klowor den-
gan tawa yang tersimpan, karena kesehatannya belum
pulih sama sekali.
Tetapi, pada saat ia berhasil mencubit hidung Klo-
wor, matanya menjadi membelalak dan berkedip-kedip.
"Klowor...?! Ooh... aku bisa melihat lagi...?!"
"Apa...?! Kau bisa melihat lagi?!"
"Ya. Aku... aku... oh, aku bisa melihat lagi, Klowor...!"
Kartika memeluk Raden Klowor dengan tangis kebaha-
giaannya. Rupanya tiupan nafas yang dilakukan Klowor
itu telah membuat segala penyakit sirna, baik penyakit
di luar tubuh maupun di dalam tubuh. Dan, yang san-
gat di luar dugaan adalah, kebutaan mata itu sendiri
jadi ikut terobati secara tidak sengaja. Rupanya itulah
salah satu kehebatan Klowor yang tidak pernah disadari
selama ini, bahwa nafasnya mampu menyembuhkan
segala macam penyakit.
Luka lain pada diri Kartika pun berangsur-angsur hi-
lang. Lalu, Kartika pun tampil kembali sebagai sosok
perempuan cantik yang mempunyai ilmu tidak mudah
disepelekan. Kini, ia selalu bersamaan dengan Raden
Klowor, terutama dalam misinya mencari Pulau Kramat
yang hilang.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar