..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 13 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE PEMBURU DOSA LELUHUR

Pemburu Dosa Leluhur

 

PEMBURU DOSA 

LELUHUR

Oleh Barata

@ Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga 

dalam kisah Pemburu Dosa Leluhur 

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0491.50.15


1

Tugas ke Pulau Kramat membuat Raden Klowor se-

dikit bingung. Ia sudah sampai ke tebing karang. Ko-

non, seseorang yang berdiri di tebing karang bisa meli-

hat Pulau Kramat di depannya. Ternyata, Klowor tidak 

melihat gundukan tanah segenggam pun di perairan 

samudera biru itu.

"Brengsek! Mana Pulau Kramat itu?!" gerutunya 

sambil tolak pinggang dan clingak-clinguk.

Pemuda berpakaian serba biru itu masih menye-

lipkan sebuah senjata di pinggangnya. Cambuk Naga. Ia 

berjalan menyusuri tepian tebing karang, memandang 

dengan sesekali menyipit, mencari letak Pulau Kramat. 

Ini adalah tugas. Tugas Raden Klowor untuk membantu 

seorang perempuan penguasa Pulau Kramat itu. Nyai 

Katri. Tugas yang datangnya lewat mimpi itu, membuat 

Raden Klowor selalu bertanya-tanya di dalam hati, men-

gapa ia harus membantu perempuan yang bernama 

Nyai Katri? Siapa dia sebenarnya, Klowor belum pernah 

mengenalnya.

Pada saat itu, Klowor bermaksud meninggalkan teb-

ing karang. Ia menduga salah tujuan. Mungkin bukan 

tebing karang yang itu yang harus dikunjunginya untuk 

melihat letak Pulau Kramat. Namun tiba-tiba mata Ra-

den Klowor terbelalak kaget. Dari kedalaman air laut 

yang bergelombang itu, melesatlah sesosok tubuh ke 

udara, bagai anak panah yang dilepas dari dasar laut. 

Semburan air berbarengan dengan melesatnya sesosok 

tubuh yang sekelebat mirip lompatan ikan lumba-lumba 

itu.

Tubuh berambut basah kuyup dengan pakaian ketat 

yang juga basah kuyup itu berdiri dengan seenaknya di 

atas gulungan ombak. Wow...! Ini suatu kehebatan yang


dipamerkan, pikir Klowor. Ombak yang tahu-tahu da-

tang menggulung besar itu sepertinya sebuah kenda-

raan bagi orang yang baru saja muncul dari kedalaman 

laut.

Makin lama semakin jelas bentuk dan ujudnya. Ra-

den Klowor masih terbengong dan segera tergerak ha-

tinya. Ia menggumam sendirian:

"Wah, dia seorang perempuan...?! Woow...! Punya 

wajah cantik, lagi! Hebat. Tapi, apa maunya dia mende-

kat ke mari, ya? Mau melamar ku? Ih... mengagumkan 

juga ilmu perempuan itu. Hemmm... masih muda, lagi. 

Wah, punya pedang di punggungnya?! Nah, nah... dia 

sekarang bertolak pinggang menatap ku. Wah, jangan-

jangan..."

Gumam dan ocehan Raden Klowor berhenti menda-

dak, karena ia melihat ada sinar merah dari pantai lain 

yang melesat dan menuju ke arah perempuan berambut 

panjang itu.

Sambil menatap luncuran sinar merah sepanjang se-

paroh tombak itu, perempuan cantik tersebut masih 

berdiri di atas gulungan ombak yang membawanya me-

nepi. Tiba-tiba saja tangan kanannya yang bertolak 

pinggang bergerak cepat ke arah sinar merah tersebut. 

Telapak tangannya terbuka dan dihentakkan, sehingga 

mengeluarkan kepulan asap biru bersama kilatan ca-

haya biru berbintik-bintik.

"Blaaar...!"

Timbul ledakan yang membahana. Raden Klowor ter-

pental karena tebing karang itu berguncang. Ada sema-

cam hempasan angin besar dan berat yang menghan-

tam sekeliling alam di situ, dan membuat Klowor seper-

tinya ada yang menendang dari depan. Sedangkan, laut 

menjadi bergejolak besar. Ombaknya seakan mental ke 

atas bersama amukan air laut yang bergemuruh menge-

rikan. Perempuan yang tadi berdiri di atas gulungan


ombak itu juga terpental ke belakang. Namun, dengan 

cekatan ia bersalto, sehingga keseimbangan tubuhnya 

segera dapat dikuasai. Ia menapakkan kakinya kembali 

di atas gulungan ombak yang lain.

Bumi yang bergerak bagai dilanda gempa itu kembali 

reda. Perempuan itu sudah semakin mendekati pantai, 

di bawah Raden Klowor. Dan, tiba-tiba perempuan itu 

bergerak cepat dalam satu lompatan, lalu tubuhnya 

bersalto beberapa kali, membuat Raden Klowor segera 

memasang kuda-kuda, takut mendapat serangan men-

dadak. Perempuan itu menjejakkan kakinya ke tebing 

karang, lalu berdiri tegap memandang Raden Klowor da-

lam jarak sepuluh meter.

Perempuan itu diam, memandang dengan matanya 

yang berukuran sedang, tapi punya ketajaman meman-

dang. Pada tepian kelopak matanya ada warna kehitam-

hitaman secara samar-samar, mungkin karena pantu-

lan dari kebeningan matanya yang hitam tanpa kesuru-

pan sedikit pun, bak buah duwet.

"Siapa kau?!" Raden Klowor sedikit mengendurkan 

kuda-kudanya. Matanya agak menyipit memperhatikan 

perempuan berpakaian kuning gading yang ketat den-

gan tubuhnya, sehingga lekuk-lekuk tubuh itu terlihat 

jelas. Karena perempuan cantik itu diam saja, Klowor 

juga diam. Matanya masih terus menyelidik keadaan 

gadis itu.

Klowor kagum dengan kemungilan bibirnya yang se-

laras dengan kemancungan hidung yang tidak terlalu 

panjang itu. Rambutnya yang panjang sebatas pung-

gung, meriap basah, menutup sebagian pelipisnya. Ada 

ikat kepala berwarna hijau, berbentuk seperti tali sutra. 

Tapi, ikat kepala itu tidak begitu jelas terlihat karena 

kebasahan rambutnya. Dan, pedang bergagang gading 

dalam ukiran kepala burung garuda itu, bertengger 

mantap di punggungnya, terlihat jelas bagian gagangnya


itu.

Perempuan itu memandang ke arah cakrawala se-

bentar, kemudian mendekati Raden Klowor beberapa 

langkah. Perempuan itu masih menyelidiki Raden Klo-

wor dengan tatapan matanya yang tajam.

"Kau ke mari mau bermusuhan denganku apa mau 

bersahabat?" tanya Raden Klowor, tapi pertanyaannya 

kali ini juga belum mendapat jawaban dari perempuan 

tersebut.

"Kau bisu atau tuli?!" tanya Klowor lagi seenaknya. 

Perempuan itu masih memandang dengan kesan penuh 

curiga. Klowor jadi serba salah. Nyengir salah, bicara 

salah, memandang salah, ahh.. jadi kikuk dan resah 

dia.

Tiba-tiba, dari arah pantai bawah melesat sinar me-

rah seperti tadi. Sinar itu jelas sekali ditujukan kepada 

perempuan cantik. Arahnya dari belakang perempuan 

itu. Tetapi, melihat gerakan mata Klowor yang membela-

lak, agaknya perempuan itu tahu gelagat adanya ba-

haya. Ia segera melompat ke samping, dan sinar itu me-

lesat lurus melalui tempatnya berdiri tadi. Sinar itu kini 

menuju ke arah wajah Raden Klowor.

"Lho, kok ke mari...?!" Klowor kebingungan sejenak, 

kemudian ia melengkungkan badan ke belakang dalam 

posisi kayang. "Wesss...!"

Sinar itu pun melesat tidak mengenai wajah Raden 

Klowor, melainkan melesat lewat atas perut Raden Klo-

wor yang melengkung ke belakang dengan kedua tan-

gan sebagai tumpuan badannya. Sinar itu melesat terus 

dan menghantam deburan ombak yang menggulung. 

"Braaas...!" Ledakan terjadi bagai diredam dengan segu-

lung air yang padat.

Klowor baru saja berdiri lagi dengan tegak, tahu-tahu 

perempuan itu sudah mencabut pedang, dan mengi-

baskannya ke samping. Dua senjata rahasia berbentuk


bintang sedang ditangkisnya menggunakan pedangnya. 

"Triing... triing...!"

"Konyol...!" Klowor berteriak mencaci maki sambil 

berkelit ke samping, sebab kibasan pedang menghalau 

senjata tajam itu membuat senjata rahasia itu melesat 

ke arah Klowor. Karena malas mati muda, Klowor berke-

lit ke samping menghindari senjata rahasia tersebut. 

Sedangkan, satu lagi dari senjata rahasia itu melesat ke 

arah lain.

"Hei, hati-hati kalau menangkis serangan! Jangan 

diarahkan ke mari, Tolol!" teriak Klowor dengan dong-

kol.

Tetapi, perempuan itu tidak menjawab sedikit pun, 

karena ia segera memainkan pedangnya, mengibas ke 

kanan kiri dan melompat dengan lincah, sebab bebera-

pa saat kemudian datang lagi serangan senjata rahasia 

berbentuk bintang. Kali ini, bukan hanya dua senjata 

rahasia yang menyerangnya, melainkan lebih dari sepu-

luh senjata rahasia yang melesat berturut-turut. Arah-

nya dari balik semak pantai di bagian bawah tebing ka-

rang itu.

"Perempuan itu pasti punya musuh yang penasa-

ran...." gumam Raden Klowor sendirian. "Musuh gelap-

nya itu, pasti bukan orang berilmu cetek. Jurus puku-

lan atau tendangan yang memancarkan sinar merah ta-

di punya kekuatan yang cukup hebat. Dan, gerakan 

senjata rahasia yang dilemparkan itu ternyata bagai di-

atur larinya oleh suatu kekuatan dari arah di mana sen-

jata itu melesat. Hemm... ada persoalan apa perempuan 

itu dengan orang yang berada di balik semak pantai 

itu?"

Klowor diam saja. Ia bahkan sedikit menyisih, ber-

lindung di balik gundukan batu karang sebesar gen-

tong. Namun, matanya masih memperhatikan gerakan 

perempuan cantik yang melintir, meliuk-liuk, menghin


dari dan menangkis senjata rahasia lawannya. Senjata 

yang sudah terlanjur melesat dan lolos dari sasaran, bi-

sa kembali lagi dalam gerakan berputar dan menjurus 

kepada perempuan cantik. Kurang lebih sepuluh senja-

ta berbintang sedang mengurung dan menyerang pe-

rempuan itu, sekalipun sudah berulangkali ditangkis 

dan dihindari. Sungguh suatu ilmu pengendalian jarak 

jauh yang belum pernah dilihat Raden Klowor selama 

ini. Sehingga, tidak heran kalau Raden Klowor jadi ter-

bengong kagum memperhatikan permainan jurus milik 

penyerang gelap itu.

"Aaah...!" Perempuan itu memekik karena ketika ia 

bersalto menghindari salah satu senjata rahasia yang 

beterbangan itu, betis kakinya tergores salah satu dari 

senjata rahasia yang lain. Hanya tergores. Untung tidak 

menancap. Tapi, ia masih gesit menangkis dan meng-

hindari senjata-senjata tersebut dengan menggunakan 

pedangnya.

"Triiing... triing... triing...!"

Perempuan itu bagaikan bertarung sendirian tanpa 

lawan. Lucu juga kelihatannya. Ia melompat dan bersal-

to beberapa kali hanya untuk menghindari keroyokan 

senjata rahasia yang melayang-layang bagai lebah hu-

tan yang ingin menyengat lawannya. Lama-lama, pe-

rempuan itu kebingungan. Nyaris dihunjam senjata itu 

beberapa kali. Nafasnya kelihatan ngos-ngosan, dan tu-

buhnya mulai melemah. Kadang ia limbung dalam me-

langkah, kadang ia sempoyongan dalam berdiri. Karena, 

sudah cukup lama ia bertarung sendirian melawan ke-

royokan senjata rahasia yang beterbangan seperti lalat 

melihat borok.

"Kasihan dia...!" gumam Klowor. "Sebetulnya bisa sa-

ja dia kubantu mengatasi keroyokan senjata rahasia itu, 

tetapi, aku belum tahu siapa dia? Orang baik-baik, atau 

orang jahat? Nanti, sudah kutolong, sudah kusela


matkan, eh... tidak tahunya dia orang jahat. Kalau ku

diamkan, sampai ia akhirnya mati terkena senjata raha-

sia tersebut, eh... tidak tahunya ia tokoh persilatan yang 

baik budi. Wah, susah...! Serba bingung aku jadinya...."

Klowor masih berada di balik batu besar, sekalipun 

sebenarnya batu itu tidak cukup baginya untuk ber-

sembunyi. Sesekali Klowor berdecak kagum melihat il-

mu yang dapat dipakai untuk mengendalikan beberapa 

senjata rahasia itu! Gerakan-gerakan senjata bintang 

itu memang cukup cepat dan meliuk-liuk, membalik 

arah dengan gesit dan lincah. Perempuan cantik itu, se-

kalipun masih mampu menghindar dan menangkis 

dengan pedangnya, tetapi lama-lama ia sepertinya ke-

habisan tenaga. Kasihan sekali.

"Bagaimana, ya? Kutolong atau kubiarkan saja?" 

Klowor masih dalam kebimbangan. "Ah, tapi... ini suatu 

pertarungan yang tidak jantan. Lawan perempuan itu 

tidak berani menampakkan diri. Jelas ini semacam se-

rangan membokong. Jadi, ada baiknya kalau kutolong 

perempuan itu, terlepas apakah ia orang jahat atau 

orang baik-baik. Pertarungan itu sudah tidak sehat. Li-

cik."

Ada formasi yang mengagumkan, yaitu keempat sen-

jata rahasia bisa berjajar rapat dan bergerak cepat bagai 

kibasan pedang yang ingin menebas leher perempuan 

cantik. Untung saja perempuan itu segera merunduk 

seraya mengibaskan pedangnya ke samping bawah, ka-

rena ada dua senjata rahasia tertuju ke arahnya.

"Taar...!" Klowor melecutkan senjata Cambuk Naga. 

Lalu, terdengar suara: "Trak, trak...!" Dua senjata raha-

sia bintang itu hancur disabet oleh cambuk Klowor.

"Tar... tarr...!" Dua kali cambuk Naga mengibas, dan 

bunyi: "Trak, trak, trak, trak...!" Terdengar beberapa 

kali. Lalu, sekali lagi cambuk itu mengibas, dan menge-

nai beberapa senjata bintang yang menjadi patah, hancur beberapa keping berserakan.

Sesaat kemudian, sepi. Perempuan cantik itu ngos-

ngosan. Tangannya masih memegangi pedang dengan 

sigap, seakan siap menebas lagi jika ada senjata yang 

mendekat. Raden Klowor sudah menyiapkan cambuk-

nya kembali. Ia duduk di atas batu karang yang datar, 

memperhatikan kelelahan perempuan cantik yang ma-

sih belum mau mendekatinya.

Sebenarnya hari masih siang. Tapi, karena mendung, 

maka hari kelihatannya redup. Teduh. Angin laut ber-

hembus menggerakkan rambut dan pakaian Klowor. 

Sedangkan rambut basah perempuan cantik itu pun di-

hempas angin, namun tidak begitu meriap, karena ma-

sih basah.

"Hei, musuhmu sudah pergi!" cetus Klowor sambil te-

tap duduk di tempatnya. Santai.

Perempuan cantik masih memandang sekeliling, te-

rutama ke arah semak di tepi pantai bawah. Pedang 

berkilauan masih digenggam erat di tangan kanannya. 

Wajahnya yang cantik masih diselingi kemarahan yang 

terpendam. Nafasnya pun masih terengah-engah den-

gan keringat yang bercampur basahan air laut di ram-

but dan tubuhnya. Ia mengenakan pinjung, penutup 

dada berwarna kuning gading yang dari tadi belum per-

nah melorot sekalipun, padahal gerakannya cukup ke-

payahan dan bisa-bisa membuat kain pinjungnya melo-

rot. Tapi, Klowor segera tahu, bahwa kain penutup dada 

itu tidak bakal melorot, karena kemontokan buah da-

danya yang sungguh menggiurkan hati lelaki mana 

pun. Montok, tapi indah. Tidak berlebihan.

"Hei, sudahlah... istirahat dulu. Lawanmu sudah 

pergi. Kenapa masih kau cari-cari terus?!" kata Klowor 

kepada perempuan itu. Tetapi, perempuan cantik masih 

tidak mau perduli dengan ucapan Klowor. Ia masih me-

natap dengan penuh selidik dan kewaspadaan yang


tinggi. Tiba-tiba, tangan kirinya yang tidak memegang 

pedang itu bergerak menghentak ke depan dengan tela-

pak tangan terbuka dan jempol terlipat. Lalu, keluarlah 

asap biru dengan percikan api birunya yang melesat ke 

arah semak belukar di sisi lain, sisi yang tak pernah di-

curigai. "Duaar...!"

"Aaaah...!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak dan ter-

lempar dari balik semak, darah memercik menjijikkan, 

potongan tangan dan kaki berserakan terlempar ke 

sembarang tempat. Hal itu membuat Klowor heran, 

bahwa ternyata masih ada musuh yang bersembunyi di 

balik semak.

Klowor menjadi malu pada diri sendiri. Ia cukup to-

lol. Ia mengira keadaan sudah menjadi aman, ternyata 

masih ada musuh yang mengintai menunggu kelenga-

han perempuan cantik. Maka, saat itu Klowor pun men-

jadi tegang, seakan bersiap siaga menunggu serangan 

selanjutnya. Matanya yang sedikit lebar itu memandang 

dengan nanar ke sekeliling. Ia hendak turun dari tebing 

karang yang menyerupai bukit kecil itu, tetapi ragu-

ragu, takut di bawah sudah dihadang jebakan dan se-

rangan dari tempat tersembunyi.

Sikap Klowor yang tegang dan bersiap siaga itu kini 

sedang ditertawakan dalam hati oleh perempuan cantik. 

Ada senyum tipis yang mekar berbau sinis di bibir yang 

mungil manis. Perempuan cantik ganti duduk di batuan 

yang datar, tak jauh dari tempat duduk Klowor semula. 

Klowor segera mendekati perempuan cantik itu, kemu-

dian berkata....

"Kau...."

"Istirahatlah. Lawan sudah pergi," sahut perempuan 

cantik yang sudah menyarungkan pedangnya. Klowor 

jadi tambah malu, karena kata-kata yang tadi di-

ucapkan kembali oleh perempuan cantik. Mata Klowor 

segera memandang ke arah semak di sepanjang pantai.



Ia seakan masih curiga, namun sebetulnya menutupi 

rasa malunya.

"Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Klowor tanpa 

memandang perempuan itu.

"Kau sangsi dengan penjelasanku?"

Klowor tak bisa menjawab. Bingung dan malu mem-

buat ia jadi seperti orang linglung. Karena Klowor diam, 

maka perempuan cantik itu berkata lagi sambil mengge-

rai-geraikan rambutnya yang masih basah.

"Aku tahu, kapan aku harus bersiaga menerima se-

rangan, dan kapan aku harus istirahat dengan tenang. 

Aku juga bisa tahu, di mana lawanku bersembunyi dan 

ke mana mereka akan lari."

"Mereka? Apakah musuhmu itu lebih dari satu 

orang?" Klowor bertanya begitu sambil menggunakan 

untuk duduk di batu depan perempuan cantik. Perem-

puan itu masih menanggapi Klowor dengan sikap ang-

kuh, seakan tidak perduli Klowor duduk di depannya, 

tidak perduli Klowor bertanya tentang jumlah musuh-

nya. Ia mengikat rambutnya dengan tali sutra warna 

merah yang semula dijadikan ikat kepala. Kini rambut 

itu dikucir dan dibiarkan menjulur ke belakang.

"Aku tadi telah menolongmu, ketika kamu diserang 

oleh senjata-senjata rahasia yang dikendalikan dari ja-

rak jauh," kata Klowor yang merasa heran, mengapa pe-

rempuan itu tidak mengucapkan terima kasih kepa-

danya.

"Aku tidak pernah menyuruhmu menolongku," kata 

perempuan cantik. Klowor jadi malu sendiri. Ia menga-

lihkan pandangan mata, seperti perempuan itu juga ti-

dak mau memandang Klowor dengan serius.

"Aku heran, mengapa perempuan secantik kamu 

punya musuh selicik itu. Kau benar-benar ingin dibu-

nuhnya."

"Aku tidak pernah heran," jawab perempuan itu.


Klowor diam. Memandang ke laut yang ombaknya 

sudah tidak seganas tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya: 

di mana Pulau Kramat itu? Mungkinkah perempuan 

cantik itu tahu letaknya Pulau Kramat? Ah, siapa sebe-

narnya perempuan cantik itu sih? Demit? Kuntilanak? 

Atau manusia biasa?

"Mengapa ada orang yang ingin membunuhmu?" 

tanya Klowor.

"Karena orang itu tidak menyukai kalau aku hidup," 

jawabnya. Perempuan itu juga memandang ke arah 

laut. Jauh ke cakrawala. Berbeda dengan cara meman-

dang Klowor yang sedikit liar karena mencari sesuatu.

"Tapi, aku senang dan kagum melihat permainan pe-

dangmu, tadi. Kau jagoan, ya?"

Perempuan itu tidak menjawab, tidak berpaling sedi-

kit pun. Klowor jadi salah tingkah.

"Namaku Raden Klowor. Namamu siapa?"

Klowor yang ada di belakang perempuan itu me-

nunggu jawaban beberapa saat lamanya, eh... tidak ada 

jawaban juga. Klowor sedikit dongkol dan mengumpat 

dalam hati. Mulutnya terbungkam, tak tahu harus bica-

ra apa lagi. Kalau ia bertanya tentang Pulau Kramat, ra-

sa-rasanya percuma saja. Pasti tidak akan mendapat 

jawaban. Perempuan cantik itu punya nilai kesombon-

gan tersendiri. Angkuh dan agaknya tidak suka banyak

omong. Sebenarnya ada baiknya kalau perempuan itu 

ditinggal saja. Tetapi, Klowor merasa sayang. Ia menda-

pat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan pe-

rempuan secantik itu, masakan harus disia-siakan begi-

tu saja? Uuh... sayang!

Perempuan itu berpaling memandang Klowor yang 

terbengong. Klowor yang merasa dipandang jadi kikuk. 

Kemudian, perempuan itu bertanya dengan suara lepas 

tanpa bisik dan tanpa ragu-ragu.

"Kamu pernah mendengar nama Kartika Rahmi?"


"Kartika Rahmi...?!" Klowor berkerut dahi, berpikir 

beberapa saat, bahkan ada usaha untuk mengeta-

huinya. Tapi, ia menggeleng juga akhirnya. "Aku baru 

mendengar nama itu sekarang ini. Kenapa? Kau menca-

ri dia?"

"Tidak," jawab perempuan itu, kembali tidak me-

mandang Klowor, melainkan memandang cakrawala.

"Lalu, kenapa kau bertanya tentang Kartika Rahmi? 

Ada apa? Siapa dia sebenarnya?"

"Dia..." Perempuan itu terhenti sebentar. Ragu-ragu.

"Katakan saja, siapa Kartika Rahmi itu, dan di mana 

ia tinggal. Kalau kau memerlukan dia, aku sanggup 

mencarikannya."

"Kau sanggup mencari Kartika Rahmi?" Perempuan 

itu menyunggingkan senyum tipis. Tipis sekali.

"Aku sanggup. Bagaimana ciri-cirinya?"

"Tak perlu," jawab perempuan cantik itu. Kemudian 

ia duduk di batu yang semula dipakai duduk Klowor.

"Kau sudah tahu ciri-cirinya, kan?"

"O, belum. Aku belum tahu ciri-cirinya Kartika Rah-

mi. Kan sudah kubilang, mendengar namanya saja baru 

sekarang."

"Tolol sekali kau."

"Kok tolol?"

"Kartika Rahmi itu aku sendiri."

"Hahh...?!" Klowor sempat terperanjat. "Kau sendiri? 

Kenapa tadi bertanya padaku?"

"Aku cuma ingin tahu, apakah kau mengenalku atau 

tidak."

"Ooo...? Lalu...?"

"Aku cuma memperkenalkan diri."

"Ooo..." Klowor menyeringai malu, geli sendiri. "Na-

mamu Kartika Rahmi? Hemm... ya, ya, ya. Lantas, ke-

napa kau berada di sini?"

"Aku mencari seseorang. Tapi, belum ketemu."


"Siapa itu yang kau cari? Bukan aku, kan?"

Senyum tipis menyepelekan tersungging di bibir Kar-

tika. Lalu, katanya, "Aku mencari seorang perempuan, 

bukan lelaki jelek seperti kamu! Aku mencari Nyai Katri, 

penguasa Pulau Kramat...!" Klowor terperanjat lagi. 

Bengong.

*

* *

2

Derap kaki kuda bagai gemuruh amukan ombak ba-

dai. Raden Klowor lebih terperanjat lagi melihat sepasu-

kan berkuda sedang melaju menghampiri tempatnya.

"Siapa mereka itu?!" gumam Raden Klowor. "Naga-

naganya bukan bermaksud baik. Wah, jangan-jangan 

salah paham?!"

"Kita harus segera lari, Klowor," kata Kartika sambil 

bergegas menuruni bukit karang itu.

"He, kenapa harus lari? Kita tidak punya urusan 

apa-apa dengan mereka! Jangan takut!"

"Mereka kaum pemakan daging manusia!" teriak Kar-

tika.

"Hah...?!" Mata Klowor mendelik. Rombongan berku-

da semakin dekat lagi. Teriakan dan pekik terdengar 

bersahutan. Senjata-senjata diacungkan, kuda pun se-

makin mempercepat larinya bagai hendak menembus 

setiap perintang.

Mau tidak mau Klowor pun lari mengikuti Kartika. Ia 

paling segan dimakan hidup-hidup oleh makhluk apa 

pun. Kartika menggunakan ilmu peringan tubuh yang 

cukup sempurna. Klowor kebingungan mengikutinya. 

Kartika melompat bagai anak kijang birahi. Beberapa


dahan pohon dilaluinya, dan hal itu membuat Klowor 

semakin kagum terhadap ketinggian ilmu Kartika. Ia 

pun ikut-ikutan lari melalui jalan udara, dari dahan ke 

dahan sekalipun demikian, ia masih saja tertinggal be-

berapa langkah dari Kartika.

"Kartika...! Kurasa mereka sudah jauh tertinggal di 

belakang kita! Berhentilah dulu!"

Kartika tidak perduli. Gerakannya semakin lincah, 

semakin ringan saja kelihatannya. Raden Klowor tak 

mau ketinggalan jauh-jauh dengan Kartika. Mereka ber-

gerak semakin menjauhi pantai. Dan suara derap kaki 

kuda itu sudah tidak terdengar lagi.

Namun, beberapa saat kemudian, ketika hari sema-

kin redup, Kartika berhenti dari pelariannya. Nafasnya 

terengah-engah. Matanya memandang sebuah bukit 

yang ada di depannya. Klowor menyusul kemudian. Ia 

berhenti dengan nafas terengah-engah sambil ikut me-

mandang bukit di depannya.

"Di sana ada goa," tutur Kartika.

"Dari mana kau tahu?"

"Mataku sempat melihat satu lobang yang tertutup 

dedaunan dan batang pohon."

"Apakah kita akan ke sana?"

"Entah. Kalau aku memang mau ke sana," jawab 

Kartika dengan nada ketusnya.

Klowor melirik sedikit dongkol. Ia membiarkan Karti-

ka mulai bergerak mendaki bukit. Tetapi, alangkah ka-

getnya Klowor ketika melihat Kartika terpental menda-

dak dan jatuh berguling-guling ke tepat semula.

"Kartika...?! Ada apa!" Klowor kebingungan.

Mata segera dipasang untuk menembus segala tem-

pat. Wajah Klowor menjadi tegang, seakan ia sedang di-

incar oleh maut di tempat yang tak diketahui.

Kartika bergegas bangun dengan mengerang lirih. Ia 

memegangi kepalanya. Pusing. Walau ia berhasil berdiri,


tapi masih dalam keadaan limbung. Sempoyongan. Klo-

wor menampakkan rasa cemasnya dengan bertanya:

"Kenapa jadi begini, Kartika? Kau menabrak apa, 

hah?!"

"Uuh...! Ada yang memukulku dari jarak jauh, Klo-

wor."

Klowor mau menyanggah, namun ia buru-buru ter-

peranjat melihat pundak kiri Kartika menjadi biru sam-

pai di bagian lengan. Sepertinya ada yang memukul 

pundak itu dengan palu godam yang besar.

"Astagaa...?! Pundakmu jadi biru begini, Tika?" Keti-

ka itu Klowor ingin menyentuhnya untuk menyatakan 

rasa cemasnya. Tetapi, tangannya segera ditampel oleh 

tangan kanan Kartika. Klowor jadi tak enak hati.

"Ada seseorang yang memukulku, Klowor."

"Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa di sini."

"Kau lihat saja ke arah batu besar di balik pohon, di 

samping kanan kita."

Klowor memandang arah yang dimaksud Kartika. Ia 

tidak melihat siapa-siapa di samping kanannya. Bahkan 

batu besar yang dimaksud Kartika itu tidak ada. Klowor 

jadi bingung sendiri.

"Tidak ada batu besar, Tika. Hemm... o, ya... ada ba-

tu besar, tapi di sana. Jauh sekali."

"Kau melihat bagian atas batu itu?"

"Hemmm... o, ya! Ada sesuatu yang bergerak. Tapi, 

mungkinkah itu manusia?"

Klowor hampir tak percaya kalau batu besar yang 

terlihat jauh sekali itu adalah batu yang dimaksud Kar-

tika. Orang yang berdiri di atas batu besar itu hanya be-

rupa seperti batang korek api yang diberdirikan. Kecil 

sekali. Bahkan pakaiannya warna apa, tidak bisa dike-

tahui. Mungkin ada 5 km lebih jarak antara Klowor 

dengan orang di atas batu itu.

"Gila...! Kalau benar dia yang kau maksudkan,


alangkah hebatnya orang itu. Dalam jarak sebegini jauh 

dia masih bisa memukulmu dan membuatmu tung-

gang-langgang begitu."

"Dia berilmu tinggi, Klowor."

"Aku tak tahu, apakah dia yang berilmu tinggi atau 

kau sendiri. Sebab, dalam jarak sebegini jauh, kau ma-

sih bisa melihat di mana lawanmu berada."

Klowor geleng-geleng kepala. Serba bingung. Serba 

heran, dan bahkan serba kagum jadinya. Kartika sudah 

selesai menenangkan diri, kemudian ia berjalan me-

nyamping. Klowor mengikutinya dengan tatapan mata 

tertuju pada orang yang ada di atas batu di kejauhan 

itu.

Waktu mereka hendak mencapai sebuah pohon be-

sar, Kartika menarik tangan Klowor sampai mereka 

berdua berjatuhan di rerumputan.

"Apa-apaan kau...?!" Klowor membentak jengkel. Pi-

pinya tergores kayu kering, untung tidak berdarah. Ta-

pi, beberapa saat kemudian, terdengar sebuah letupan 

kecil yang membuat batang pohon di dekat mereka ber-

getar, dahannya ada yang patah seketika dan menjatuhi 

pinggang Klowor.

"Aaauuw...!" teriak Klowor kesakitan. Ia menggeliat 

sambil menyeringai. Pada saat itu, Kartika berbisik den-

gan suara terlalu pelan:

"Bersyukurlah, Klowor...!"

"Kepalamu botak!" umpat Klowor. "Pinggang kejatu-

han dahan sebesar paha kerbau kok harus bersyukur."

Dengan tanpa senyum, Kartika berkata, "Daripada 

kepalamu yang terkena pukulan jarak jauh itu, kan le-

bih baik pinggangmu yang kejatuhan dahan."

"Uuuh...!" Klowor menggeliat sambil menyeringai 

memegangi pinggang. Kalau saja ia tadi sendirian, jelas 

ia akan mati dengan keadaan kepala terpisah dari leher 

karena terkena pukulan jarak jauh itu.


"Kau kenal siapa orang itu?" tanya Klowor.

Kartika yang duduk bersandar pada batang pohon 

itu menjawab tanpa senyum keramahan sedikit pun:

"Ki Punggo, tokoh persilatan dari Wetan."

"Kau yakin kalau dia Ki Punggo?"

"Ilmu Sabrang Gendeng, hanya dia yang punya."

"Apa itu ilmu Sabrang Gendeng?"

"Pukulan jarak jauh yang tidak punya batas. Meski 

dia ada di pucuk gunung di seberang sana... yang ham-

pir menembus langit itu, kalau dia bisa melihat kita, 

maka pukulan ilmu Sabrang Gendeng tetap saja bisa di-

lancarkan dari sana, dan akan mematikan sasaran yang 

dituju."

"Ck, ck, ck...!" Klowor berdecak sambil geleng-geleng 

kepala, mengagumi keampuhan ilmu Sabrang Gendeng.

"Jadi, bagaimana caranya supaya tidak terkena pu-

kulan ilmu Sabrang Gendeng itu?"

"Jangan sampai terlihat olehnya."

Kepala Klowor manggut-manggut. Ia ingin bangkit 

berdiri, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik lagi oleh Karti-

ka hingga ia jatuh terduduk. Sebelum Klowor marah, 

Kartika sudah lebih dulu berkata:

"Dia masih mengincar kita, Tolol! Berlindunglah!"

Tetapi, mendadak ada suara yang berkata dari jarak 

cukup dekat:

"Aku tahu di mana kau berlindung, Kartika!"

Klowor dan Kartika sama-sama terperanjat, lalu me-

mandang ke suatu arah, dan di sana ternyata telah ber-

diri tokoh persilatan dari Wetan: Ki Punggo.

Kartika merasa percuma duduk berlindung, toh Ki 

Punggo sudah berada dalam jarak sepuluh langkah dari 

mereka. Maka, Kartika segera berdiri, dan bersiaga 

menghadapi serangan apa pun sewaktu-waktu.

Sementara itu, Klowor mulai menggeragap dan sedi-

kit ciut nyalinya melihat sosok Ki Punggo yang berku



mis tebal, baju hitam dan celana hitam tanpa hiasan 

apa pun. Baju itu tidak dikancingkan, menampakkan 

sebuah trisula yang terselip di pinggang dengan bagian 

gagangnya tepat di depan perutnya. Sabuk merah ter-

buat dari bahan tebal itu menampakkan keangkeran 

penampilan Ki Punggo. Rambutnya tidak begitu pan-

jang, tapi diikat dengan kain kuning model ikat kepala 

seorang warok. Matanya lebar, galak. Jari-jari tangan-

nya besar-besar. Ia mengenakan empat cincin batu 

bermata hitam, merah dan putih. Besar juga cincin itu, 

sesuai dengan gelang akar bahar yang melingkar di len-

gan kanannya seukuran jempol kakinya itu. Sungguh 

merupakan penampilan sesosok tokoh yang menggetar-

kan musuh.

"Aku tidak punya urusan denganmu, Ki Punggo," ka-

ta Kartika dengan pandangan mata seakan tidak gentar 

sedikit pun.

"Siapa bilang, Jalang?! Kau punya urusan dengan 

sekian banyak orang, terutama dari daerah Wetan!"

Klowor berkerut dahi dengan mulut ternganga ben-

gong. Ia tiba-tiba dituding oleh Ki Punggo yang bersuara 

besar.

"Dan kau, Tikus sawah, kuharap jangan turut cam-

pur urusan ini...! Kau tidak tahu siapa perempuan ja-

lang itu, bukan?!" Ki Punggo maju selangkah, Klowor 

justru mengeraskan otot-otot tangannya.

"Kalau kau turut campur urusan ini," kata Ki Punggo 

kepada Klowor, "Maka kau akan menyesal melihat tu-

buhmu tinggal tulang belulang, tahu?!"

Klowor ingin bicara, tetapi Kartika mendahului den-

gan mengatakan kepada Klowor.

"Minggirlah dulu, Klowor. Biar kuberi pelajaran sedi-

kit kepada orang sombong ini. Biar dia tahu kalau tu-

buhnya yang besar seperti gajah bunting itu tidak 

punya isi apa-apa...."


Klowor terpaksa menyisih, sekalipun ia heran kepada 

Kartika yang berani berkata demikian, padahal tadi ia 

kelihatan takut kepada Ki Punggo dan mengakui kesak-

tiannya.

"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang Kartika dengan 

lompatan kaki kanan maju ke depan. Kartika segera 

bersalto ke samping, sehingga kaki Ki Punggo menghen-

tak pohon dan membuat pohon besar itu bergerak me-

liuk seakan hendak rubuh seketika. Itu pertanda se-

buah tendangan yang cukup keras dan kuat. Andai Kar-

tika terlambat menghindar, maka tubuh langsing mulus 

itu akan jebol karena tendangan itu.

"Monyet wadon...! Kuhancurkan kepalamu kali ini, 

hiaat...!"

Ki Punggo menghantamkan pukulannya ke arah wa-

jah Kartika dengan gerakan tubuh melayang, tetapi Kar-

tika dengan gesit menangkis pukulan itu, lalu kaki ka-

nannya bergerak cepat ke depan dan mengenai perut Ki 

Punggo. Sayang, Ki Punggo tidak merasakan tendangan 

Kartika. Ia bahkan semakin mengganas dan bernafsu 

untuk memecahkan kepala Kartika. Dengan gerakan 

tangan menghentak dari arah kanan kiri bersamaan, 

Kartika nyaris digencet oleh kedua telapak tangan Ki 

Punggo.

"Praak...!"

Untung Kartika segera merendahkan badan, sehing-

ga Ki Punggo jadi seperti orang bertepuk tangan saja. 

Pukulan berganda dilancarkan oleh Kartika secara ber-

tubi-tubi ke perut Ki Punggo.

"Haaaaaaiiit...!" teriak Kartika dengan keras. Pukulan 

itu mengenai perut dan ulu hati Ki Punggo. Tetapi, lela-

ki berwajah kasar dan menyeramkan itu tidak memekik 

sedikit pun. Tak ada erang kesakitan, kecuali suara 

menggeram menahan napas. Kendati begitu, Ki Punggo 

yang kokoh bagai batu pilar istana itu sempat mundur


beberapa langkah akibat hentakan pukulan Kartika.

Segera Kartika melompat dan kedua kakinya berge-

rak cepat di udara, menendang wajah Ki Punggo ber-

gantian.

"Mati kau. Gajah... huaaat...!"

"Uuuh... Aaah...!" Kali ini Ki Punggo merasa kesaki-

tan karena mulutnya dihajar dua kali oleh tendangan 

kaki Kartika. Tetapi ia hanya sempoyongan sebentar, 

untuk kemudian mengibaskan tangannya yang kanan, 

dan dengan cepat ternyata ia sudah mencabut senjata 

trisulanya. Wow...! Cukup panjang juga senjata trisula 

itu, tidak seperti umumnya senjata trisula. Bagian ten-

gahnya runcing dan panjangnya seukuran hampir satu 

lengan sendiri.

"Monyet binal...! Terimalah saat kematianmu di 

ujung pusakaku ini. Hiaaaaat...!" Ki Punggo melompat 

dan bersalto sampai melewati kepala Kartika. Ia menda-

rat tepat di belakang Kartika dengan menghadap ke 

arah lain. Dalam keadaan bertolak belakang itu, Ki 

Punggo menggerakkan trisulanya ke belakang, sasaran-

nya adalah punggung lawan yang dipunggungi. Trisula 

yang menghentak dari samping pinggangnya ke bela-

kang itu hampir saja tidak disadari oleh Kartika. Tetapi, 

gerakan Kartika yang memutar ke samping kanan itu 

ternyata justru membuat ujung trisula tidak jadi me-

nembus punggung atau pinggang belakangnya.

"Sreet...!" Kartika mencabut pedangnya. Mendadak ia 

sempat terkejut karena tubuh Ki Punggo bergerak me-

mutar dengan kaki kanannya menendang setengah 

lingkaran, dan mengenai rusuk kiri Kartika.

"Aaah...!" Kartika memekik kesakitan dan ia pun ter-

guling ke samping sambil meringis nyeri. Ia menggeliat 

sesaat karena tulang rusuknya bagai patah. Pada saat 

itu, Klowor sempat berteriak cemas:

"Awas...!"


Ki Punggo menusukkan trisulanya yang panjang dan 

tajam bagian ujungnya itu ke arah dada Kartika. Seke-

lebat pedang bergerak melintasi dada, "Traang...!" Pe-

dang itu mampu menghalau arah ujung trisula yang 

hampir sampai menembus dada. Karena kibasan pe-

dang itu, maka trisula tersebut menancap di tanah da-

lam sekali. Tubuh Ki Punggo yang terpaksa membung-

kuk itu segera dihajar oleh tangan kiri Kartika. Tangan 

itu bergerak memukul ke samping beberapa kali, karena 

Kartika masih dalam keadaan telentang sambil mena-

han sakit. Karena rusuknya sakit, maka gerakan tangan 

kiri itu tidak begitu kuat. Ki Punggo tidak merasakan 

sakit, namun justru siku kirinya menghentak ke dada 

Kartika dengan kuat.

"Huuugh...!" Kartika mendelik bagai tak bisa berna-

pas. Mulutnya menyemburkan darah kental. Ki Punggo 

berhasil mencabut trisulanya, dan segera menghunjam-

kan senjata itu ke perut Kartika. Saat itu, ternyata Kar-

tika masih bisa mengibaskan pedang dengan sisa tena-

ganya. Trang...! Dan, kakinya bergerak ke atas seketika, 

sehingga mengenai kepala Ki Punggo dengan keras.

"Aaah...!" Ki Punggo memekik kesakitan, lalu terpen-

tal ke bagian atas Kartika.

Klowor ngeri, dan tak tega kalau Kartika yang dalam 

keadaan lemah itu mati diinjak oleh Ki Punggo. Segera 

Klowor menarik tangan Kartika, dan membuat Kartika 

berdiri. Ia berbisik dengan terburu-buru, "Bertahanlah 

berdiri, hadapi dia lagi!" Kemudian, secepatnya Klowor 

berada di tempat semula dalam keadaan berdiri seperti 

tadi. Dengan begitu, Ki Punggo yang sempoyongan sam-

bil merundukkan kepala itu tidak melihat bahwa Karti-

ka berdiri karena dibantu oleh Klowor.

"Kau belum apa-apanya, Kartika...!" geram Ki Pung-

go. "Kau akan menyusul ayahmu yang punya jabatan 

Bangsat Seribu itu, tahu?!"


Kartika tidak bicara apa-apa, ia merasakan sakit pa-

da bagian dadanya. Ia berusaha berdiri tegak sekalipun 

sukar. Ki Punggo merasa sedikit lega melihat keadaan 

Kartika pada saat itu.

"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang dengan berlari dan 

mengarahkan trisulanya yang tajam ke dada Kartika. 

Mata Kartika yang sayu sempat melihat kilatan benda 

putih itu. Kemudian nafasnya dihirup panjang-panjang, 

dan pedangnya digerakkan menebas ke arah depan, da-

ri samping kanan ke kiri. "Traang...!" Terhempas lagi tri-

sula itu, hanya sayangnya belum bisa lepas dari geng-

gaman Ki Punggo. Kali ini, justru kaki Ki Punggo yang 

berbahaya, dan menendang tepat mengenai perut Karti-

ka.

"Huughh...!" Kartika mendelik lagi dengan badan se-

dikit membungkuk. Ia menyeringai menahan sakit. Klo-

wor semakin cemas dan gatal tangannya untuk segera 

turun tangan. Namun, Klowor mencoba menahan diri 

untuk tidak ikut terlibat urusan mereka. Pada saat itu, 

Ki Punggo segera menghantamkan tangan kirinya ke 

arah wajah Kartika, sehingga Kartika terdongak sambil 

memekik kesakitan. Kemudian tubuh perempuan itu 

melayang dan jatuh dengan lemas dan suara erang ke-

sakitan yang mengharukan hati Raden Klowor.

"Mampus kau, Perempuan Binaaal... hiaaat...!" Ki 

Punggo melompat, senjatanya siap ditancapkan ke 

punggung Kartika yang dalam keadaan kepayahan itu. 

Tetapi, di luar dugaan, Kartika masih sempat mengi-

baskan pedangnya sambil membalikkan badan dan me-

nendang rusuk Ki Punggo bagian kiri.

"Traaang...!" Dan, Ki Punggo pun memekik kesaki-

tan:

"Aaaow... bangsat kauuu...!" Ki Punggo sempoyongan 

seraya tangan kirinya memegangi bagian yang sakit.

"Sikat terus... jangan berhenti!" teriak Klowor kepada


Kartika. Kartika bagai dibakar semangatnya, ia pun se-

gera menerjang Ki Punggo dengan lompatan bersalto. 

Pada sat itu, kaki Ki Punggo sengaja dilempar batu kecil 

oleh Raden Klowor, dan bertepatan dengan itu Kartika 

melancarkan tendangan ke arah bawah dalam keadaan 

melayang. Tendangan itu sebenarnya bisa saja ditangkis 

oleh Ki Punggo, bahkan bisa saja trisula Ki Punggo 

menghentak ke atas dan menancap di bagian perut atau 

paha Kartika. Tetapi, karena konsentrasinya tertuju pa-

da kaki yang sakit akibat lemparan batu kecil, maka ia 

pun bagai orang lengah. Tengkuk kepalanya terkena 

tendangan kaki Kartika sehingga Ki Punggo pun mende-

lik tak bisa berteriak.

Klowor girang dan bertepuk tangan. Tetapi, tiba-tiba 

ia terjungkal ke tanah karena kaki Ki Punggo sempat 

berkelebat mengenai perutnya. Ki Punggo sempat meng-

geram:

"Kau mulai ikut campur, Bangsat...!"

"Uuuh...! Cuma sedikit saja marah...!"

"Ciaaaat...!" Kartika menjerit kuat, sepertinya menge-

rahkan sisa tenaga yang paling penghabisan. Ia me-

layang menuju sasaran. Ki Punggo berkelebat berbalik 

dengan kibasan senjatanya. Namun, kaki Kartika tepat 

menendang pergelangan tangan kanan Ki Punggo se-

hingga trisula itu tertahan gerakannya. Dan, pada saat 

itu, pedang Kartika bergerak menebas dari atas ke ba-

wah.

"Aaaahhhgg...!" Ki Punggo mendelik. Dadanya terbe-

lah oleh kibasan pedang Kartika. Ia berusaha untuk 

bertahan sekalipun berdiri dengan oleng. Sementara itu, 

Kartika sendiri bagai sudah tidak dapat menahan diri 

dari luka dalamnya.

"Kkkaau... kkkau...!" Ki Punggo menuding Klowor 

yang sedang berusaha berdiri dari kejatuhannya. 

"Kkkau. gara-gara kau... akuuu... akuuu...."



"Kok aku yang disalahkan? Wee...?!" Klowor sengaja 

memancing kemarahan Ki Punggo. Ki Punggo memang 

panas hati, dan tanpa menghiraukan lukanya yang pa-

rah ia berusaha menyerang Raden Klowor. Tetapi, be-

lum sampai dua langkah ia maju, Kartika telah menye-

kat kaki Ki Punggo, lalu ia melemparkan pedangnya ke 

tanah dalam keadaan bagian tajamnya menghadap ke 

depan. Maka, tak ayal lagi tubuh Ki Punggo jatuh ter-

sungkur, tengkurap, dan disambut oleh bagian pedang 

yang tajam. "Craas...!" Tepat mengenai leher.

Ki Punggo benar-benar sudah parah, namun ia ma-

sih berusaha untuk segera bangkit dan melakukan pe-

nyerangan lagi. Hanya saja, ia sudah kehilangan tenaga, 

darah pun banyak yang hilang, dan akhirnya... nya-

wanya pun ikut hilang. Ki Punggo meregang sesaat ke-

mudian mati tak mau berkutik lagi. Sementara itu, Kar-

tika sendiri juga ikut rubuh dan tak sadarkan diri. Klo-

wor menjadi kebingungan. Ia segera menghampiri Kar-

tika dengan sedikit panik:

"Kartika...?! Kartika...?! Kau... kau pingsan, Kartika?"

Sekali pun pertanyaan tidak dijawab, tapi Klowor ti-

dak merasa tersinggung, sebab Kartika benar-benar 

pingsan. Mungkin luka dalamnya terlalu parah sehingga 

ia tak bertahan lagi.

"Hebat...!" gumam Klowor. "Bagaimana pun juga, kau 

termasuk perempuan cantik yang hebat, Kartika. Kau 

ulet dan gigih mempertahankan nyawa. Memang seha-

rusnya manusia itu begitu, ya? Gigih mempertahankan 

nyawa...."

Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali membawa 

Kartika ke arah goa yang hendak ditujunya semula. 

Alam sudah semakin mendekati gelap. Paling tidak, 

Kartika harus mendapat tempat untuk berlindung se-

mentara, dan siapa tahu Klowor punya cara lain untuk 

menyembuhkan Kartika. Maka, dengan susah payah ia


memapah Kartika, mendaki bukit, dan mencari goa 

yang dimaksud Kartika tadi. Jelas, nafas Klowor yang 

pas-pasan itu jadi terengah-engah membawa beban tu-

buh Kartika. Hanya karena wajah cantik saja yang 

membuat Klowor masih mau memapah tubuh itu, seka-

lipun ia mulai kebingungan dengan kakinya yang geme-

taran itu.

Sialnya lagi, goa tersebut belum juga ditemukan oleh 

Klowor. Ia mencari ke sana ke mari, memandang me-

nembus keremangan senja yang makin menggelap, 

ahh... tidak ada goa yang terlihat? Jangan-jangan tadi 

Kartika berbohong?

Pada saat itu, telinga Klowor sempat mendengar de-

rap kaki kuda bergemuruh samar-samar. Arahnya se-

pertinya ditujukan ke lereng bukit itu. Wah, jangan-

jangan mereka kaum pemakan daging manusia yang 

tadi dihindarinya? Wah, kalau mereka mengetahui Klo-

wor di situ bersama Kartika, sudah tentu mereka akan 

berpesta pora memakan daging dua orang. Iih... dongkol 

sekali hati Klowor mencari goa tidak ketemu-ketemu. 

Hampir saja ia membuang tubuh Kartika karena jeng-

kelnya. Sedangkan, beberapa saat kemudian, gemuruh 

suara derap kaki kuda itu semakin jelas. Gawat! Jum-

lah mereka kan tidak sedikit? Dilawan pun bisa sia-sia.

*

* *

3

Pada saat-saat yang kritis, goa tersebut akhirnya di-

temukan juga oleh Raden Klowor. Sebuah goa dengan 

ditumbuhi semak dan pepohonan di bagian depan mu-

lut goa. Maka, untuk menghindari orang-orang pasukan


berkuda itu, Klowor segera membawa masuk Kartika 

Rahmi ke dalam goa tersebut. Nafas pun tak dapat di-

kendalikan dengan teratur. Ngos-ngosan. Suasana gelap 

di dalam goa tak begitu diperdulikan. Ke dalam goa se-

berapa juga tidak dipikirkan oleh Raden Klowor. Yang 

penting ia terlindung dan terhindar dari kejaran pasu-

kan berkuda itu.

"Mau diapakan perempuan itu kalau susah begini?" 

gumam Klowor sendirian. Ia bingung. Capek. Ia bersan-

dar dengan santai. Sampai akhirnya ia pun tertidur di 

samping tubuh Kartika yang masih pingsan itu.

Klowor tak tahu, seberapa lama ia tertidur. Yang je-

las, ia mulai bermimpi bertemu dengan Jaka Bego, 

orang yang dianggap gurunya dari sekian banyak guru 

yang hadir di setiap mimpinya.

"Klowor, beri pernafasan bantuan pada Kartika," kata 

Jaka Bego di dalam mimpi Raden Klowor.

"Bantuan nafas bagaimana, Guru?"

"Tiup mulutnya...! Tiup berulangkali, dan awas... 

jangan sekali-kali menyedotnya."

"Apa dia akan sadar kembali, Guru?!"

"Yahh... kalau dia tidak keburu mati, pasti sadar 

kembali. Nah, lakukan itu!"

"Tapi, Guru... tapi..." Klowor terbangun dari tidurnya. 

Ia belum sempat bicara lebih lanjut. Ah, sayang. Ia pa-

dahal ingin bertanya tentang cara penyembuhan untuk 

Kartika, namun impiannya segera musnah dan tidurnya 

pun hilang. Ia kembali memejamkan mata, tetapi tak bi-

sa tidur lagi. Ketika matahari mulai menampakkan diri 

dari ufuk Timur, Raden Klowor menggeliat pelan-pelan, 

kemudian berkedip-kedip memikirkan perintah gurunya 

lewat mimpi itu. Ia sedikit sangsi, apakah dengan me-

niup mulut Kartika maka perempuan cantik itu bisa sa-

dar dari pingsannya?

"Kasihan, Kartika. Banyak luka memar di tubuhnya.


Aku yakin, ada bagian dalam tubuh yang rusak berat 

akibat kekejaman Ki Punggo itu. Ah, tapi sebaiknya aku 

menuruti perintah guru saja...."

Raden Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kar-

tika. Ia harus meniup mulut itu. Tetapi keremangan ca-

haya fajar menampakkan wajah ayu itu bagai menggoda 

hati kelelakiannya. Gelisah juga jadinya. Klowor sudah 

hampir menempelkan bibirnya ke bibir Kartika, tapi 

urung lagi. Ia bahkan bertanya di dalam hati:

"Ditiup apa disedot, ya?"

Sekali pun sebenarnya selera Klowor adalah menye-

dot bibir dan mulut itu, tetapi ia ingat pesan guru agar 

jangan sekali-kali menyedot mulut Kartika. Ia harus 

meniup. Ya, meniup. Dan... hal itu pun akhirnya dila-

kukan juga.

Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kartika, 

kemudian meniupkan udara ke dalam mulut perem-

puan cantik itu. Jantung Klowor jadi berdetak-detak. 

Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya dan mem-

buatnya berdebar-debar. Hasrat untuk menyedot mulut 

itu begitu besar. Untung Klowor selalu ingat pesan guru 

dalam mimpinya, sehingga ia hanya bisa meniup dan 

meniup mulut itu berulang kali.

Kartika bagai orang tersengat kalajengking. Ia berge-

rak kaget. Kemudian membuka mata dan melihat Klo-

wor ada di depannya persis, menempelkan mulutnya ke 

mulut Kartika. Kontan saja tangan Kartika menampar 

Klowor kuat-kuat.

"Ploook...!" Klowor terlempar ke samping dan jatuh 

telentang.

"Kurang ajar! Kau menggunakan kesempatan dalam 

kesempitan, ya?!" geram Kartika yang segera berdiri 

dengan tegap, seakan ia tidak pernah menderita luka 

dalam yang cukup parah. Klowor sendiri kebingungan 

untuk menjelaskannya. Ia baru mau bicara, tapi kaki


Kartika menendang dagunya dengan tidak begitu keras.

"Uuh...! Sabar dulu, Tika...!"

"Kau tak pantas diberi kesabaran, Klowor! Apa yang 

telah kau lakukan pada diriku, hah?! Kau merenggut 

mahkota kegadisanku?! Iya?!"

"Bebb... bebb... belum, Tika...! Belum sempat kok...!"

"Bohong! Kau pasti punya maksud busuk!"

"Periksa saja...! Periksa, apakah mahkotamu kuambil 

atau tidak...! Periksalah!"

Kartika yang cantik mendengus kesal. Ia sendiri tak 

tahu, bagaimana harus memeriksanya. Tapi, begitu ia 

memperhatikan pakaiannya masih dalam keadaan ter-

tutup rapi, ia mulai yakin bahwa ia tidak ternoda. Teta-

pi, ia masih jengkel karena Klowor telah berani melumat 

mulutnya. Ia tak mau bibirnya dikecup selagi ia terti-

dur.

"Lalu, apa yang kau lakukan terhadap diriku, Se-

tan?!" ketus Kartika masih dengan bertolak pinggang. 

Klowor hanya memandangnya, memperhatikan keadaan 

Kartika. Timbul rasa heran dan bingung pada diri Klo-

wor melihat Kartika bisa bertindak cepat, berdiri dan 

berkata lantang. Bukankah Kartika dalam keadaan ter-

luka parah? Bukankah guru Klowor hanya memerin-

tahkan untuk memberikan pernafasan bantuan dengan 

cara meniup mulut Kartika? Tetapi, kenapa Kartika su-

dah menjadi sehat seperti sediakala?

"Hei...!" Kartika menendang kaki Klowor. "Kenapa 

memandangku dengan jalang, hah?! Aku tidak suka 

kau berbuat begitu lagi, Klowor!"

"Aku... aku hanya memberikan pernafasan bantuan 

padamu, supaya... supaya...."

"Aku tidak perlu bantuanmu! Aku masih bisa berna-

fas sendiri! Sudah, jangan berbuat sehina itu lagi. In-

gat!"

Kartika berdiri di mulut goa, memandang kesegaran


udara pagi bersama sorot matahari yang masih keme-

rah-merahan. Klowor tertegun memandang punggung 

Kartika. Ia benar-benar heran melihat kesehatan Karti-

ka. Ia tidak tahu, apa sebenarnya yang harus dilakukan 

untuk Kartika. Ia hanya memenuhi perintah guru, tapi 

mengapa ia ditampar dan dicaci-maki oleh Kartika? Ia 

dituduh berbuat kurang ajar. Apakah itu pantas bagi 

seseorang yang telah berhasil menyadarkan Kartika dari 

pingsannya?

"Kartika..." Klowor memberanikan diri berkata, seka-

lipun Klowor tahu, bahwa Kartika tidak memperdulikan 

sapaannya.

"Kartika, apakah kau ingat apa yang telah terjadi se-

belum kita sampai ke goa ini?!"

Kartika diam, sampai lama tidak menjawab. Klowor 

malas mengulang. Pikirnya; biarlah Kartika melupakan 

pertarungannya dengan Ki Punggo. Biar sajalah Kartika 

lupa bahwa dirinya terkena luka dalam yang membuat-

nya pingsan. Yang penting bagi Klowor, Kartika jangan 

sampai marah lagi. Ia malu kalau dituduh hendak ber-

buat kurang ajar kepada Kartika.

Namun, pada saat itu, Kartika berbalik dan mende-

kati Klowor. Kartika masih menampakkan keangku-

hannya, tanpa senyum dan tanpa keceriaan sedikit pun. 

Ia memandang ke arah dalam goa, yang mempunyai lo-

rong membelok ke kiri. Entah apa isinya dan bagaimana 

keadaan di balik tikungan lorong itu, Kartika tidak 

memperdulikan dulu. Ia berdiri di depan Klowor yang 

duduk pada sebuah batu.

"Apa yang telah kau lakukan sebenarnya, Klowor?!" 

tanya Kartika dengan anda ketus.

"Aku memberikan pertolongan padamu. Sumpah. 

Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya meniup mu-

lutmu beberapa kali, supaya kau sadar dari pingsanmu. 

Itu pun atas perintah guruku yang hadir lewat mimpi."


Kartika menggumam lirih, ada sesuatu yang mem-

buatnya heran dan merasa aneh. Kemudian ia duduk di 

batu, berseberangan dengan Klowor.

"Aku ingat pertarunganku dengan Ki Punggo," ka-

tanya.

"Aku tidak memaksamu mengingat-ingat hal itu, Ti-

ka."

"Memang. Tapi, aku juga ingat bahwa aku terluka. 

Luka dalam yang cukup parah. Aku ingat saat aku me-

nyemburkan darah dari mulutku, luka memar di pun-

dak, dada dan tulang rusukku terasa ada yang pa-

tah...."

"Aku berani bersumpah, bukan aku yang mematah-

kannya!" sahut Klowor, tetapi Kartika bagai tidak meng-

hiraukan kata-kata itu. Mungkin dia menganggap tak 

perlu. Ia malahan merenung sambil berkata:

"Aku juga ingat, bahwa keadaanku sangat terluka. 

Aku memaksakan diri menguras tenaga terakhir untuk 

membunuh Ki Punggo. Kemudian, kepalaku terasa pen-

ing sekali, dan pandangan mataku menjadi gelap. Sama 

sekali gelap. Lalu, aku tak tahu apa yang terjadi selan-

jutnya."

Klowor menyahut lagi, "Aku membawamu ke goa ini."

"Aku tidak bertanya tentang itu," sahut Kartika yang 

membuat Klowor menahan malu dalam hati.

"Yang ingin kutanyakan: mengapa aku sekarang 

menjadi sehat dan segar? Padahal, sebelum aku berha-

sil membunuh Ki Punggo, aku sudah memperkirakan 

bahwa aku akan mati. Ada kekuatan tenaga dalam yang 

dilancarkan oleh Ki Punggo dan menyumbat saluran 

pernafasanku pada saat itu. Ketika aku melihat Ki 

Punggo merenggang mati, aku juga merasakan kehabi-

san nafas. Dan kupikir saat itu adalah saat kematianku 

yang akan tiba. Tapi ternyata, sekarang aku menjadi 

sehat. Badanku tak ada yang terasa sakit. Luka me


marku hilang semua. Sama sekali tidak ada bekas ba-

gian yang masih terasa sakit. Ini aneh sekali, Klowor. 

Seharusnya aku mati, atau dalam perawatan khusus 

karena luka di bagian dalam tubuhku ini. Tapi...? Ke-

napa sekarang aku malah menjadi segar? Kenapa tidak 

ada bagian yang kurasakan sakit atau ngilu-ngilu? Se-

dikit pun tak ada, Klowor."

"Saya tidak tahu, karena yang merasakan segalanya 

kamu." Klowor bicara agak datar, seakan tidak mau ta-

hu lagi. Pada hal di dalam hatinya Klowor pun bertanya-

tanya heran: mengapa Kartika bisa sesehat itu? Menga-

pa luka memar yang membiru di pundak, dada dan se-

bagainya, hilang sama sekali?

"Klowor..." Kartika mendekat. "Apa benar kau ti-

upkan udara di mulutku?"

"Kalau tidak salah, memang begitu."

Kartika menggumam dan manggut-manggut, ia me-

mandang Klowor. Klowor risi dipandang demikian. Tak 

berani balas menatap Kartika. Ia menatap ke arah da-

lam goa.

"Terimakasih, Klowor. Dua kali kau menyelamatkan 

nyawaku. Dan, yang kali ini, sungguh mengherankan!"

"Aku sendiri merasa heran kok."

Kartika tersenyum. Tipis. Terasa sinis. Klowor diam 

saja, berusaha untuk tenang, sekalipun hatinya berde-

bar-debar dipandang terus-terusan oleh Kartika.

"Aku percaya," kata Kartika. "... tiupan nafasmu itu 

bukan semata-mata untuk menyadarkan aku dari ping-

san, melainkan punya kekuatan gaib."

"Gaib?" Klowor memandang dengan berkerut dahi.

"Kekuatan untuk menyembuhkan luka dalam dan... 

dan entah apa lagi namanya. Yang jelas, tiupan nafas-

mu itu telah membuat semua lukaku hilang, dan aku 

menjadi sehat secara ajaib. Menakjubkan sekali, Klo-

wor!"


"Ah, entah...!" Klowor bersikap masa bodo. "Mau 

ajaib, mau gaib, terserah kau bilang sajalah...!" Klowor 

kini berdiri di mulut goa dengan hati-hati. Ia ingat derap 

kaki kuda yang didengarnya semalam. Ia sedikit sangsi, 

jangan-jangan pengejar berkuda itu masih berkeliaran 

mencarinya di tempat itu.

"Klowor, aku minta pedangku...."

Klowor menghunus pedang Kartika yang sebelum ia 

menggotong Kartika dari tempat pertarungan, ia sempat 

menyelipkan pedang Kartika ke pinggangnya. Namun, 

ketika Kartika menerima pedangnya lagi, tangannya 

menyahut tangan Klowor, matanya memandang tajam 

pada Klowor, dan ia pun berkata dengan suara lirih:

"Kau marah?"

Klowor menggeleng.

"Kau sakit hati atas tamparanku tadi?"

Klowor menggeleng.

"Kau hanya bisa menggeleng?"

Sekali lagi Klowor hanya menggeleng.

Kartika memasukkan pedangnya ke sarung pedang 

di punggungnya. Klowor buru-buru berpaling ke arah 

luar goa, tak berani menatap pandang terlalu lama den-

gan Kartika.

"Klowor... maafkan aku, ya?" Klowor diam saja. "Aku 

tahu kau marah padaku, tapi itu urusanmu! Aku tidak 

pernah menganjurkan begitu. Jadi, kalau kau capek da-

lam marahmu, tanggunglah sendiri. Jangan salahkan 

aku."

Ada beberapa saat lamanya Klowor diam, membela-

kangi Kartika. Ketika ia berbalik, hendak mengatakan 

sesuatu, tahu-tahu Kartika sudah tidak ada di tempat.

"Kartika...?!" Klowor memanggil dengan suara keras. 

Tak ada jawaban yang terdengar. Ke mana dia? Klowor 

mulai kebingungan. Ia bergegas masuk ke kedalaman 

goa.


"Kartikaaa...!" Suara panggilan itu bernada penuh 

kecemasan. Klowor buru-buru memasuki lorong yang 

membelok itu. Tempatnya semakin gelap. Batu-batu 

dindingnya lembab dan lantainya pun bagai mengan-

dung air. Klowor sedikit sangsi, mungkinkah Kartika 

menghilang dan pergi melalui jalanan licin itu?

"Kartikaaa...!" teriaknya lagi. Teriakan itu menggema 

cukup lama. Ini menandakan di ujung lorong itu ada 

ruangan yang lebar, atau jalan lurus yang panjang.

"Kartika, di mana kau...?!"

"Di sini...!"

Nah, ada jawaban. Kok kecil? Oh, berarti Kartika be-

rada jauh dari lorong yang becek itu. Klowor pun segera 

berjalan menyusuri lorong itu dengan hati-hati. Ia bah-

kan sempat merayap, berpegangan dinding lorong su-

paya tidak jatuh tergelincir. Oh, ternyata lorong itu se-

perti perut ular yang melingkar-lingkar.

Makin dalam, Klowor semakin menemukan berkas 

cahaya temaram. Ia sedikit tenang, karena pada waktu 

ia berseru:

"Kartika, tunggu aku...!" Ada jawaban dari depannya:

"Ke marilah! Lekas...!"

Ternyata keadaan di dalam goa memang semakin te-

rang. Dan, tibalah Klowor di sebuah ruangan luas, ber-

langit-langit tinggi dengan sorot cahaya matahari yang 

memancar dari lobang di langit-langit goa yang tinggi 

itu.

"Lihatlah apa yang kutemukan ini, Klowor?" Kartika 

kelihatan tersenyum tipis. Klowor masih terbengong me-

lihat ada telaga di dalam goa itu. Airnya berkilauan me-

nyegarkan karena terkena sorot matahari dari langit-

langit goa. Mungkin telaga itu adalah curahan air hujan 

yang ditampung di situ dalam beberapa waktu lamanya. 

Yang jelas air telaga itu sungguh menyegarkan.

Bentuk telaga itu bulat tidak beraturan. Di tepian telaga itu masih tersisa tempat luas, batuan cadas yang 

tergolong datar, hanya serpihan-serpihan batu cadas 

yang membentuk seperti kerikil. Sebagian tempat datar 

itu ada yang basah karena uap air telaga yang bagai 

mengembun itu, sebagian lagi ada yang kering. Kartika 

duduk ke tempat yang kering sambil memandangi air 

telaga bening. Ia kelihatan berwajah cerah, sekalipun ti-

dak secerah jika seorang gadis menemukan sesuatu 

yang disukai. Kecerahan wajah itu adalah kecerahan 

perempuan angkuh yang sebenarnya berwajah anggun 

dan berwibawa.

"Aneh, ya? Di dalam goa ada telaga seluas ini." Karti-

ka berkata demikian ketika Klowor mendekatinya.

"Mengagumkan sekali!" gumam Klowor, lalu ikut du-

duk di samping Kartika. "Ini pasti tandon air."

"Apa itu tandon air?" Kartika berkerut dahi.

"Bila air hujan datang, ia akan masuk melalui lobang 

yang ada di langit-langit goa ini. Itu, lihat saja... lobang 

langit-langit itu cukup lebar. Matahari memancarkan 

sinarnya ke dalam sini melalui lobang itu. Tentu saja ji-

ka ada hujan, sebagian air hujan masuk ke sini melalui 

lobang itu juga."

"Iya, ya...?!" Kartika menggumam sambil memandang 

ke atas. "Tapi, yang jelas telaga ini kelihatannya menen-

tramkan hati siapa saja yang memandangnya."

"Betul. Aku sendiri merasakan demikian. Tentram."

"Aku jadi lupa tujuanku."

"Mencari Nyai Katri?"

"He-eh..." jawab Kartika tanpa memandang Klowor, 

melainkan memandangi air telaga yang menyegarkan 

itu.

"Kau kenal dengan perempuan penguasa Pulau Kra-

mat itu?" tanya Klowor.

"Aku hanya tahu namanya."

"Lho, lantas kau ke sana mau apa? Kau ingin bertemu dengannya untuk apa?"

."O, itu rahasia...!" jawab Kartika bernada angkuh.

"Sebenarnya, kita punya satu tujuan."

"Kau juga ingin ke Pulau Kramat itu?"

"Ya. Aku harus bertemu dengan perempuan yang 

bernama Nyai Katri."

"Untuk apa?"

"O, itu rahasia," jawab Klowor menirukan jawaban 

Kartika.

Kartika tertawa lirih. Baru sekarang Klowor melihat 

dan mendengar tawa perempuan cantik itu. Oh, indah 

dan merdu sekali kedengarannya. Klowor benar-benar 

mengagumi tawa yang renyah itu. Bahkan ia sampai 

terbengong memandang Kartika dalam tawa yang indah 

itu.

"Hei, kenapa kau terbengong memandangiku? Belum 

pernah melihat perempuan, ya?"

Klowor buru-buru nyengir menggeragap. Katanya 

kemudian:

"Aku belum pernah melihat tawa seorang perempuan 

cantik seperti kamu, Tika."

"Hemmm...!" Kartika mencibir dan semakin membuat 

hati berdesir-desir. Mata Kartika kembali memandang 

air telaga yang berkilauan, namun tenang tanpa ombak 

sedikit pun.

"Sayang Pulau Kramat telah hilang."

Klowor sedikit kaget mendengar gumaman Kartika 

yang pelan itu. Klowor buru-buru bertanya dengan ce-

mas:

"Dari mana kau tahu kalau Pulau Kramat telah hi-

lang?"

"Aku telah mencarinya. Biasanya, seseorang yang 

berdiri di tebing karang, tempat kita bertemu itu, maka 

orang itu akan melihat sebuah pulau tak jauh dari teb-

ing karang itu. Dan, itulah yang dinamakan Pulau Kramat, tempat Nyai Katri tinggal sebagai penguasa tung-

gal."

"Ooo...!" Klowor manggut-manggut. "Aku juga diberi-

tahu oleh seseorang begitu. Tetapi, ketika kau berdiri di 

tebing karang itu, aku tidak melihat pulau secuil pun."

"Pulau itu telah hilang," gumam Kartika bernada ke-

cewa. Tetapi, demi memperhatikan air telaga kembali, 

Kartika menjadi bersemangat dan ceria. Aneh. Padahal 

keceriaan seperti itu jarang sekali ia peroleh semasa hi-

dupnya yang cenderung menjadi orang angkuh, pen-

diam dan tegas.

"Kau ada hubungan apa dengan Nyai Katri, Klowor?"

"Entah. Aku tidak tahu, apakah aku ada hubungan 

saudara atau tidak. Yang jelas, aku belum mengenal 

Nyai Katri secara langsung. Tetapi, aku memperolah pe-

san dari guruku, bahwa aku harus datang ke Pulau 

Kramat itu."

"O, siapa gurumu itu? Aku boleh tahu?"

"Banyak," jawab Klowor. Kartika menganggap jawa-

ban itu tidak serius, sehingga ia kelihatan sedikit cem-

berut. Klowor menjelaskan, "Aku berkata dengan sung-

guh-sungguh. Guruku tidak hanya satu. Kau mau ta-

hu?!"

Kartika memandang Klowor dengan menghilangkan 

cemberutnya. Ia memang tidak mengangguk atau 

menggeleng, namun Klowor tahu, bahwa Kartika ingin 

mendengar siapa saja guru Klowor. Maka, dengan 

menghitung jari Klowor berkata:

"Jaka Bego, Lanangseta, istri Lanangseta, Sekar Pa-

mikat..." Klowor berhenti bicara, karena Kartika meng-

gerakkan tangannya, meminta Klowor berhenti seben-

tar.

"Kau kenal dengan Lanangseta juga?"

"Iya. Apa kau kenal dia?"

"Aku pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, dia yang bergelar Malaikat Pedang Sakti?"

"Ya. Kau tahu tentang dia, kalau begitu."

"Tidak begitu banyak. Aku hanya pernah mendengar 

kesaktian-kesaktiannya dan... katanya ia tampan, ya?"

"O, jelas. Lihat saja muridnya..." Klowor menunjuk 

wajahnya sendiri. Kartika mencibir lagi dengan bersun-

gut-sungut. "Eh, kamu tidak mengakui kalau aku tam-

pan?" kata Klowor dengan wajah disodorkan di depan 

Kartika.

Sempat hal itu membuat Kartika tersenyum geli. La-

lu, katanya dengan anda canda:

"Kau memang ganteng, tapi nanti, kalau kau sudah 

dewasa. Kalau sekarang kau masih seperti anak ingu-

san!"

"Jadi, aku kau anggap belum dewasa?"

Kartika diam sejenak, tidak memandang Klowor, tapi 

segera berkata:

"Kau kelihatan masih muda belia. Mungkin pikiran-

mu sudah dewasa, sayang wajahmu masih seperti ke 

kanak-kanakan, Klowor. Kau juga punya ketampanan 

yang lucu dan menggemaskan. Sayang aku tidak ber-

minat meremat wajahmu itu."

Klowor hanya diam tertegun. Kartika berdiri, melepas 

sarung pedangnya. Kemudian ia berkata dengan Klo-

wor:

"Kalau kau mau bersahabat denganku, pergilah ke 

balik batu itu dan sembunyikan wajahmu di sana."

"Kenapa? Kenapa kau menyuruhku demikian?"

"Aku mau mandi. Aku mau melepas pakaianku, dan 

jangan coba-coba mengintipku kalau kau tak ingin buta 

mendadak."

Dengan mengeluh kesal dan gerutuan lirih, Klowor 

pergi ke balik batu, tak berani mengintip. Kartika terjun 

ke telaga tanpa busana. Uh, segar sekali. Ia ceria dan 

berseru:

"Klowor...! Airnya segar sekali. Ayo, mandilah sini...!"

Klowor sempat tersenyum saat Kartika melambaikan 

tangan lalu menyelam. Lama. Lama sekali tidak mun-

cul-muncul. Lho...? Klowor jadi cemas. Kartika tidak 

muncul lagi! Gawat.

*

* *

4

Raden Klowor cukup lega, setelah Kartika ternyata 

muncul ke permukaan air, ketika Klowor hendak me-

nyeburkan diri untuk mencarinya.

"Kukira kau tenggelam, Kartika!"

"Uh, airnya segar sekali," kata Kartika sambil mengi-

baskan kepala. Air yang menyangkut di rambutnya 

memercik ke kanan kiri. Ia mengusap wajahnya dengan 

telapak tangan dan mulai berkerut dahi.

"Kartika...?! Kau di mana?!"

Klowor merasa heran. Ia memperhatikan Kartika 

yang sedang berenang ke tepian.

"Klowor...?!" seruan itu mengandung arti kecemasan. 

"Ooh... gelap?! Klowor aku tidak bisa memandang apa-

apa!"

"Kartika...?!" Klowor berseru kaget. Ia segera meraih 

tangan Kartika yang sudah dekat dengan tepian telaga. 

Ia menggenggam tangan itu, dan Kartika memeganginya 

erat-erat dengan perasaan cemas sekali.

"Kartika, apa kau bisa melihatku?!" Tangan Kartika 

meraba-raba, dan ia berseru dengan mengharukan:

"Ooh... aku buta! Aku buta, Klowor...! Aku tidak bisa 

melihat lagi...!" Kartika menjadi panik, demikian juga 

Klowor. Ia bahkan hampir saja terpeleset masuk ke telaga itu ketika menarik tangan Kartika. Bahkan, ia su-

dah tidak perduli keadaan Kartika yang telanjang bulat 

saat ditarik ke atas dan meraba-raba mencari pakaian-

nya.

"Kartika, kau tidak main-main?"

Kartika hanya menangis dengan panik, ia berseru 

menjerit-jerit, "Aku buta...! Oh, aku buta...?! Klowor aku 

bagaimana ini? Mataku tak bisa melihat apa-apa la-

giii...!"

Maka, tangisnya pun menjadi terisak-isak sementara 

Klowor memberikan pakaian Kartika dengan tidak ber-

pikir soal kemulusan tubuh yang telanjang itu. Kalau 

saja tidak dalam keadaan panik, mungkin Klowor akan 

tidak berkedip memandang tubuh Kartika yang telan-

jang dan menggiurkan itu. Namun, karena dalam kea-

daan tegang, mengharukan, maka tak ada pikiran Klo-

wor ke arah negatip. Ia hanya kebingungan mengetahui 

keadaan Kartika yang menjadi buta akibat mandi di air 

telaga itu.

"Astaga...?! Kau benar-benar buta, Kartika...!" kata 

Klowor setelah mencobanya berulangkali menggerak-

gerakkan tangannya di depan mata Kartika, dan Kartika 

diam saja kecuali menangis dan menangis lagi. Klowor 

pun kemudian memeluk Kartika yang belum sempat 

mengenakan pakaian, sekalipun pakaian sudah berada 

di tangan Kartika.

"Bagaimana dengan nasibku ini, Klowor...?! Mengapa 

aku jadi buta?! Ooh... telaga keparat! Telaga setan!"

"Tenang, Tika. Tenang. Tabahkan hatimu. Ini bukan 

kecelakaan untuk selamanya. Kita masih bisa berusaha 

untuk membuatmu melihat kembali." Klowor membujuk 

Kartika yang menangis terisak-isak dalam pelukannya. 

"Kenakan dulu pakaianmu. Kenakan dulu, baru kita ca-

ri jalan keluarnya."

Telaga yang menyegarkan, telaga yang menggiurkan


karena kebeningan airnya itu, ternyata telah merubah 

nasib hidup perempuan cantik seperti Kartika. Mata 

yang semula mampu memandang tajam dan awas sekali 

itu, kini menjadi buta, sekalipun mata itu masih utuh. 

Tanpa ada cacadnya sedikit pun. Ini sungguh menghe-

rankan dan sekaligus memukul jiwa Kartika. Klowor 

sendiri yang tidak ikut menderita, bisa merasakan beta-

pa sedihnya jika ia yang mengalami hal itu. Sebab itu, 

Klowor tahu, apa yang dibutuhkan Klowor untuk saat 

ini; ialah penghiburan, dan ketenangan. Klowor harus 

bisa membuat Kartika tenang, untuk kemudian bisa 

berpikir mencari jalan keluar bagi penyembuhan mata 

itu.

"Aku sudah kehilangan segala-galanya, Klowor..." bi-

sik Kartika dalam tangisnya.

"Tidak, Tika. Kau masih punya banyak kesempatan, 

punya banyak teman yang bisa menolongmu, dan...."

"Oh, aku tidak percaya kalau ada teman yang bisa 

menolongku menyembuhkan kebutaan ini. Aku bagai 

telah terkena kutukan yang amat keji! Telaga keparat 

itu telah menjebakku dan aku sendiri... oh, Klowor, aku 

lebih baik mati daripada harus menanggung siksaan 

seperti ini...."

"Mati itu bukan jalan satu-satunya, Tika. Masih ba-

nyak jalan yang bisa kita tempuh, selain mati."

Tangis Kartika masih meratap-ratap, dan Klowor 

memakluminya. Klowor hanya bisa memeluk Kartika 

sambil mengusap-usap rambutnya untuk sekedar 

memberi penghiburan hati Kartika. Sampai lama mere-

ka sama-sama bungkam, kecuali suara tangis Kartika 

yang kian lama kian mereda.

Mata Raden Klowor memandang air telaga yang ben-

ing dan menyegarkan. Terbayang ada maut di balik ke-

beningan telaga itu. Klowor jadi merinding seketika, 

membayangkan betapa mengerikan jika seseorang semakin lama terendam di dalam telaga tersebut.

"Mari kita tinggalkan goa keparat ini, Tika."

"Tidak! Aku akan tinggal di dalam goa ini, sampai 

aku memperoleh kesembuhan mataku ini," Kartika pu-

tus asa. "Kalau perlu, biarkan aku mati di sini. Biar-

kan!"

"Kartika, mari kita berpikir secara dewasa dan kesa-

tria. Masalahmu ini, adalah masalah yang harus kita 

hadapi, yang tidak boleh kita tinggal lari begitu saja. Ini 

adalah tantangan bagi jiwamu. Aku yakin, kau pasti bi-

sa pulih seperti sedia kala! Aku yakin, Tika! Hanya saja, 

kau harus tabah dan tangguh dalam menopang pende-

ritaan seperti ini. Jangan mau kalah oleh nasib, Kartika. 

Tetapi, berjuanglah menggeluti nasibmu sendiri. Karena 

manusia tidak bisa lepas dari segala penderitaan, kalau 

dia sendiri tidak gigih memperjuangkan kebaikan hi-

dupnya sendiri! Jangan bergantung pada nasib semata, 

tetapi bergantunglah pada perjuangan diri kita masing-

masing."

Banyak hal yang dikatakan Klowor, banyak hal yang 

diungkapkan Klowor untuk memulihkan jiwa yang gun-

cang. Andai Klowor tidak pandai-pandai mengukuhkan 

jiwa Kartika, mungkin perempuan itu sudah nekad un-

tuk bunuh diri atau mengerjakan kebodohan lainnya.

Setelah melalui bujukan, akhirnya Kartika berhenti 

menangis, dan mulai berpikir dengan sehat. Klowor lega 

dan senang jika Kartika sudah mulai menggunakan 

otak warasnya.

"Aku punya perasaan ngeri kalau keluar dari goa ini." 

kata Kartika masih sesekali tersengguk.

"Mengapa harus ngeri?"

"Banyak orang yang ingin membunuhku."

Klowor menghela napas, sedikit berat, merasa iba 

mendengar kata-kata itu. Kartika melanjutkan kata,

"Kalau aku tidak dalam keadaan buta begini, mungkin aku masih berani menghadapi siapa pun yang ingin 

membunuhku. Tetapi, dalam keadaan aku tidak bisa 

melihat apa-apa begini, apa yang bisa kulakukan untuk 

mempertahankan serangan dari mereka?"

Setelah bungkam sesaat, Klowor pun bertanya:

"Mengapa banyak yang ingin membunuhmu? Apa-

kah kau punya banyak kesalahan kepada mereka?"

Kartika menggeleng. Klowor berkerut dahi, tak jelas 

maksudnya. Tetapi, beberapa saat kemudian Kartika 

menjelaskan:

"Aku tidak merasa berdosa kepada mereka, tapi me-

reka merasa berhutang nyawa kepadaku, sehingga me-

reka merasa perlu membinasakan aku."

"Mengapa begitu, Tika? Dan, apakah Ki Punggo itu 

termasuk orang yang ingin membunuhmu atas dasar 

yang sama?"

"Ya. Ki Punggo, orang-orang yang menyerangku di 

tebing karang itu, serta beberapa dari mereka yang ber-

kuda itu, semuanya ingin membunuhku."

"Kenapa bisa terjadi begitu?"

"Mereka menyimpan dendam. Orang-orang dari We-

tan, khususnya para tetua dari Wetan, semua ingin 

membunuhku. Sejak usia sebelas tahun aku selalu di-

kejar-kejar oleh mereka, sampai usiaku 25 tahun sebe-

sar ini, mereka masih mengejarku untuk membinasa-

kannya. Dan... ini semua sebenarnya dikarenakan den-

dam."

"Dendam?!"

"Ya. Dendam mereka kepada ayahku." Kartika beru-

saha menenangkan jiwa dengan menghirup nafas pan-

jang-panjang. Klowor diam, masih dicekam haru meli-

hat mata indah Kartika berkedip-kedip dalam kebutaan. 

Ah, kasihan sekali perempuan cantik ini.

"Apakah ayahmu banyak berbuat dosa terhadap me-

reka?" Klowor mulai penasaran dan ingin mengetahui


segalanya. Kartika hanya menjawab dengan suara lirih:

"Memang. Ayahku dulu, adalah orang jahat. Penga-

nut aliran hitam. Tetapi, ia sendiri juga membunuh 

orang-orang dari partai hitam. Mungkin kau pernah 

mendengar nama ayahku, karena namanya dan kega-

nasannya itu sudah menyebar mungkin sampai ke selu-

ruh pelosok dunia."

"Siapa ayahmu itu, Kartika?!"

"Mahesa Abang, atau yang bergelar Iblis Telapak Da-

rah."

"Ooo...?!" Klowor manggut-manggut.

"Kau pernah mendengar nama itu dan kekejaman-

nya, bukan?"

"Belum. Mungkin nama itu termasuk nama tokoh 

lama di rimba persilatan."

"Yah, memang ayahku itu tokoh lama di rimba persi-

latan. Tokoh jahat yang tak pernah pandang bulu kalau 

mau membunuh lawannya."

"Lalu, apa hubungannya orang-orang itu hendak 

membunuhmu? Apakah karena kau mengikuti jejak 

ayahmu?"

Dengan hati perih dan mata buta yang berkedip-

kedip itu, Kartika menuturkan kisahnya secara singkat.

"Banyak orang yang menyangka begitu. Memang, 

aku belajar segala ilmu yang dimiliki oleh ayahku. Teta-

pi, aku sendiri tidak setuju dengan cara hidup ayahku. 

Aku mengakui, bahwa ayahku itu sangat kejam. Il-

munya hebat, sehingga tak ada yang mampu menan-

dinginya. Dengan kehebatan ilmunya itu, ayahku men-

jadi orang takabur dan sombong. Cuma aku dalam ke-

luarga yang tidak setuju dengan cara hidup ayah. Ia 

merampok, merampas hak orang lain, membunuh den-

gan seenaknya dan hal-hal lain yang ia lakukan meru-

gikan orang lain. Tetapi, aku tidak berani menyatakan 

pertentanganku dengannya. Diam-diam aku hanya menerima segala ilmunya tanpa sifat-sifatnya. Lalu, pada 

suatu hari, ayahku terperosok dan jatuh ke jurang yang

curam, lalu jasadnya hilang. Ia mati di Tebing Neraka. 

Saat itu adalah kesempatan bagi mereka untuk memba-

las dendam. Empat saudaraku dibantai oleh mereka, 

dan ibuku sendiri disiksa, lalu dibunuh secara beramai-

ramai. Dan, aku yang waktu itu masih ingusan sudah 

dikejar-kejar oleh mereka...."

"Gila!"

"Mereka menganggap, bahwa anak orang jahat, pasti 

akan menjadi jahat pula seperti leluhurnya. Maka, me-

reka berusaha membinasakan semua keluarga ayahku. 

Pada waktu itu, ada seorang guru yang menyelamatkan 

aku dan aku dibawanya ke suatu tempat yang sunyi, la-

lu dijadikan aku muridnya. Tak ada orang yang berani 

mendekatiku, karena guruku itu orang yang disegani 

mereka, baik dari golongan hitam maupun dari golon-

gan putih."

"Siapa gurumu itu?"

"Resi Garba... Kau pernah mendengar nama itu?"

"Belum."

"Dia punya satu murid yang cukup sakti pula, na-

manya: Ludiro."

"Hah...?! Ludiro? Paman Ludiro?! Oh, aku kenal den-

gan beliau. Kenal sekali!"

"Sungguh?"

"Ya. Dulu, dialah yang diberi hak menerima pusaka 

Cambuk Naga, tetapi kini dia memilih menjadi petani 

biasa, dan Cambuk Naga ada di tanganku. Cuma, aku 

tidak tahu kalau Paman Ludiro punya guru yang ber-

nama Resi Garba."

"Kapan-kapan, kalau umurku panjang, bawalah aku 

kepadanya, seumur-umur aku belum pernah bertemu 

dengannya. Karena ketika guruku mengangkat aku se-

bagai muridnya, ia baru saja melepas kepergian murid



tertuanya: yaitu Ludiro."

"Ooo... begitu...."

"Tetapi, menurut guruku, Eyang Resi Garba, tidak 

semua anak akan mewarisi sifat orang tuanya. Ada 

anak orang baik-baik, tapi ia menjadi anak yang berpe-

rangai buruk. Ada ayah seorang pendiam, mempunyai 

anak yang cerewet. Jadi, tidak semua orang jahat akan 

mempunyai anak yang jahat pula. Dan, hal semacam 

itu tidak bisa dimengerti oleh para pengejarku. Ketika 

aku lepas dari perguruanku, aku langsung disambut 

oleh serangan mereka. Jelas, mereka berani menye-

rangku, sebab Resi Garba guruku sudah wafat. Tak ada 

lagi yang ditakuti oleh mereka, sehingga mereka merasa 

bebas membunuhku. Itulah sebabnya aku ingin lari dan 

bergabung dengan Nyai Katri untuk minta perlindun-

gan."

Klowor menggumam panjang sambil manggut-

manggut. Kartika menampakkan kesedihannya kembali, 

namun tidak sampai menangis tersedu-sedu seperti ta-

di. Ia berkata lirih:

"Sekarang, keadaanku semakin lemah. Mereka ma-

sih mengejarku, sedangkan aku kini telah menjadi buta. 

Aku tidak akan tahu kalau ada orang yang kusangka 

baik, ternyata ia sedang mempersiapkan pedang untuk 

membunuhku. Inilah sebabnya aku menjadi takut ke-

luar dari dalam goa ini."

"Kau tidak perlu takut, Kartika."

"Bagaimana aku tidak takut? Mereka yang bernafsu 

membunuhku itu bukan orang-orang tanpa ilmu, me-

lainkan orang-orang yang punya ilmu tinggi. Kau tahu 

sendiri kehebatan Ki Punggo atau pelempar senjata ra-

hasia itu, bukan?"

Sekali lagi Klowor menggumam, tapi pendek saja. 

Sebab, ia segera bertanya kepada Kartika:

"Aku heran melihat pertarungan kemarin; mengapa


Ki Punggo tidak mau menggunakan pukulan jarak 

jauhnya? Padahal kalau dia mau menggunakan puku-

lan jarak jauhnya, kau pasti bisa lebih celaka dan...."

"Dia tidak akan bisa," sahut Kartika. Ia mulai menga-

lihkan pikiran, dan ini adalah tujuan Klowor, mengapa 

ia tiba-tiba bertanya tentang Ki Punggo.

"Mengapa ia tidak bisa melakukannya, Tika?"

"Karena pukulan Sabrang Gendeng itu hanya bisa di-

lancarkan dalam jarak beberapa ratus tombak. Kalau 

tidak salah harus dilancarkan dari jarak dua ratus tom-

bak jauhnya. Tetapi, dalam jarak dekat ilmu itu tidak 

bisa dipakai. Itulah kelemahan ilmu Sabrang Gendeng. 

Semakin jauh, semakin ampuh, semakin dekat semakin 

tidak bisa dipakai."

"Ooo... jadi, kalau...."

Tiba-tiba goa itu bergemuruh. Tanahnya bergerak-

gerak. Klowor dan Kartika sama tegangnya. Ada bebera-

pa batuan cadas berukuran kecil yang berjatuhan dari 

langit-langit goa itu. Wah, gawat...! Kalau goa itu run-

tuh, maka terkuburlah Kartika dengan Klowor di da-

lamnya.

"Ada gempa...!" Klowor terlihat begitu tegang. Ia ber-

diri dengan mata membelalak. Air telaga itu bergolak. 

Bunyi gemuruh makin jelas.

"Kartika, lekas kita keluar dari sini...! Lekas...!"

"Tidak. Biarkan aku di sini. Biarkan aku mati bersa-

ma telaga ini, kalau memang langit-langit goa akan run-

tuh."

"Kartika, jangan menjadi bodoh lagi. Bertahanlah 

menjadi orang pandai, supaya kamu tidak gampang ce-

laka!"

Klowor menggeret tangan Kartika. Kartika berjalan 

dengan sesekali terkantuk batu-batu kecil.

"Cepat, Kartika...! Kurasa goa ini sebentar lagi akan 

tertutup dan hilang dari pandangan mata kita!"


"Aku ingin di sini saja, Klowor!"

"Jangan begitu, Kartika!"

"Aku tidak mau mati di tangan musuh-musuhku!"

"Kau tidak akan mati!" seru Klowor dengan jengkel.

"Bagaimana mungkin aku bisa melawan mereka 

dengan mata gelap begini, Klowor?"

"Aku ada di sampingmu, kan? Apakah kau sangsi 

terhadap kepandaianku melumpuhkan lawan?"

"Tapi... tapi aku memang belum pernah melihat kau 

bertarung dengan seseorang."

"Apakah itu berarti aku tidak bisa melindungimu?"

Gemuruh semakin jelas. Guncangan pada tanah dan 

dinding-dinding goa semakin nyata. Banyak reruntuhan 

dari bagian atap goa, dan hal itu menambah Klowor se-

makin tegang. Ia segera menyeret Kartika untuk mema-

suki lorong licin itu. Ia sangat hati-hati membawa Karti-

ka ke luar.

"Jangan berjalan ke arah lain. Rasakan saja tarikan 

tanganku ini. Ikutilah dengan menjaga keseimbangan 

tubuh. Ayo, lekas Kartika! Lekas keluar dan jangan mau 

mati diurug bebatuan cadas ini...!"

"Klowor, kau benar-benar mau berjanji untuk melin-

dungi aku selama aku menjadi buta begini?!"

"Aku berjanji!" Sambil Klowor bergerak pelan melalui 

lorong licin itu. "Aku berjanji akan menjagamu, semasa 

aku sendiri masih hidup!"

"Apakah kau tidak ingin menyerahkan kepalaku ke-

pada Prabu Umbarpati...?"

"Siapa Prabu Umbarpati itu?"

"Seorang raja di daerah Wetan yang menyediakan 

hadiah, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepala-

ku di depan mejanya. Itu sebabnya mereka yang ingin 

membunuhku semakin banyak jumlahnya!"

"Ayo, lekas... lekas...! Kau tak perlu berkeyakinan 

begitu, Kartika. Kau harus percaya, bahwa tak ada seo


rang yang kubiarkan menyentuh kulit tubuhmu, apalagi 

ia mau membunuhmu, oh... mungkin ia harus melom-

pati mayatku dulu!"

Memang kalimat-kalimat Klowor sempat melegakan 

hati Kartika, dan membuat hati itu pula bagai melayang 

tinggi. Klowor siap melindunginya. Klowor siap mati un-

tuk Kartika. Semua itu jauh dari dugaan Kartika sendi-

ri. Ia mulanya mengira Raden Klowor adalah sebagian

dari orang-orang yang punya selera untuk membunuh-

nya, ternyata dugaannya salah.

Sorot matahari di luar goa tidak membuat Kartika si-

lau. Ia berjalan melangkah sedikit cepat dengan ban-

tuan Klowor. Ia tak bisa jauh-jauh dari Klowor, karena 

ia belum terbiasa berjalan dalam kegelapan mata seperti 

itu.

"Klowor..." bisik Kartika. "Aku mendengar suara se-

seorang sedang bertarung di arah kanan kita."

"Ya, aku juga mendengar. Tapi, agaknya mereka jauh 

dari kita, kok. Tenang saja, Tika. Aku selalu ada di 

sampingmu. Tenang saja...!"

"Apa kau bisa melihatnya; siapa yang bertarung itu?"

"Mereka cukup jauh, Tika. Dan, kurasa kita tidak 

perlu mengetahui siapa mereka. Nanti malah kita terli-

bat urusan mereka."

"Blegaarr...!" Terdengar suara ledakan membahana. 

Lalu, tanah menjadi guncang beberapa saat. Klowor 

sendiri nyaris terpelanting jatuh karena guncangan bu-

mi yang dipijaknya. Kartika buru-buru berpegangan pa-

da pundak Klowor dengan rasa cemas yang menegang-

kan.

"Rupanya akibat ilmu kedua orang yang bertarung 

itulah, yang membuat kita tadi ketakutan di dalam goa, 

Klowor."

"Ya. Benar. Yang membuat goa seperti mau runtuh 

itu adalah ilmu-ilmu yang dipakai dalam pertarungan



mereka."

"Maka, periksalah dulu, Klowor. Periksalah dulu, ka-

lau ternyata mereka tokoh sakti, mungkin kita bisa 

memohon bantuan untuk mengembalikan penglihatan-

ku, Klowor."

Setelah mempertimbangkan sesaat, Klowor pun ber-

kata:

"Baiklah! Mari kita mendekati mereka. Tapi, ingat...! 

Kau tidak boleh terlalu dekat. Kau harus berada di tem-

pat yang terlindung, sedangkan aku akan mengintipnya 

dari atas pohon. Kalau memang mereka yang menang 

adalah tokoh sakti, maka aku akan memintakan pe-

nyembuhan matamu kepadanya."

Kartika menyetujui perjanjian itu. Karenanya, ketika 

ia ditinggal naik ke atas pohon oleh Klowor, setelah me-

reka berjarak dekat dengan pertarungan itu, maka Kar-

tika hanya diam saja ketika tubuhnya yang jongkok itu 

ditutup dengan berbagai daun oleh Klowor.

"Astaga...!" gumam Klowor di atas pohon. Matanya 

melihat pertarungan yang cukup seru, yaitu seorang le-

laki yang mengenakan pakaian serba merah dengan ikat 

kepala yang botak berwarna biru tua, sedang bertand-

ing dengan tokoh botak pula, tanpa ikat kepala dan ma-

sih ada sisa sedikit rambut di bagian tepian kepala.

Yang membuat Klowor kaget adalah usia mereka. 

Mereka itu sudah sama-sama tuanya. Sama-sama ber-

jenggot putih, dan sama-sama mengenakan pakaian 

semacam jubah. Yang satu berwarna merah, yang satu 

berwarna hijau tua. Keduanya bertarung dengan sama 

kuat, sama-sama punya ilmu yang dahsyat untuk me-

nyerang maupun menangkis.

"Klowor...!" seru Kartika dengan bingung menentu-

kan pohon yang digunakan memanjat oleh Klowor. Ru-

panya Kartika tidak betah ditutup dedaunan. Gatal se-

mua tubuhnya. Melihat keadaan Kartika yang berjalan



dengan meraba-raba, Klowor segera turun.

"Tika...?! Ada apa kau? Kenapa tidak diam dalam 

persembunyian? Kalau ada musuhmu yang kebetulan 

lewat sini, bisa-bisa kau celaka tanpa setahu aku, Kar-

tika."

"Aku cuma ingin tahu, siapa mereka itu?"

"Yang bertarung itu, seorang lelaki botak berambut 

tipis pada bagian tepiannya, berpakaian jubah hijau 

dan bersenjata sebuah tongkat. Sedangkan lawannya, 

berpakaian merah dengan ikat kepala warna biru tua. Ia 

bersenjatakan sebuah kalung bermanik-manik besar."

"Orang itu berkepala botak dan jenggot putihnya 

panjang?"

"Ya. Ya, benar! Kau mengenalnya?"

"Ya, ampuuun...! Mengapa aku harus bertemu den-

gan Ketua Perguruan Kumbang Laga?!"

"Apa itu bahaya?"

"Jelas. Karena dialah kaki tangan Prabu Umbarpati! 

Ia yang mempunyai tugas utama untuk menangkap 

atau membunuhku!"

"Wah, lantas bagaimana kalau sudah begini?!"

*

* *

5

Bumi ini bagi Kartika, adalah ladang pembantaian. 

Di mana dia berada, di situ selalu terjadi pembantaian. 

Dirinya sendiri adalah salah satu sasaran dari pemban-

taian yang tak kenal lelah. Ia diburu dan dijadikan sa-

saran panah dendam bagi mereka yang membenci Iblis 

Telapak Darah, ayah Kartika. Padahal, Kartika sendiri 

tidak pernah merasa bangga mempunyai ayah seorang


pembantai yang keji. Tetapi, dosa orang tuanya telah 

memercik ke dalam kehidupan Kartika, sehingga ia di-

jadikan sasaran pelimpahan dendam leluhur.

Beruntung sekali, Kartika bisa bertemu dengan Ra-

den Klowor yang masih hijau, namun punya kekuatan 

yang sudah cukup matang. Klowor bertindak sebagai 

pelindung, lantaran dia tahu, bahwa Kartika bukan 

manusia berdosa seperti almarhum ayahnya. Klowor in-

gin menegakkan keadilan dan mencelikkan mata mere-

ka yang tertutup nafsu membunuh.

Sehingga, dengan susah payah, Klowor tetap mem-

bawa lari Kartika, mencari tempat berlindung sebelum 

ia berhasil membawa Kartika kepada gurunya: Lanang-

seta.

"Apakah kau yakin kalau Lanangseta gurumu itu bi-

sa menyembuhkan kebutaanku?!" tanya Kartika seraya 

dituntun untuk menjauhi pertarungan Ketua Perguruan 

Kumbang Laga.

"Pasti bisa!" jawab Klowor meyakinkan. "Guru La-

nangseta banyak kesaktian, sebab dengar-dengar, dia 

itu sudah diberi wewenang sama dengan seorang dewa, 

karenanya ia bergelar Malaikat Pedang Sakti. Ini menu-

rut cerita bibi guru yang kudengar pada suatu mimpi."

"Bagaimana kalau ternyata gurumu itu tidak bisa 

menyembuhkan kebutaanku, Klowor?"

"Sesuatu yang diusahakan terus menerus, tidak 

mungkin akan selalu gagal. Pasti akan tiba saatnya un-

tuk berhasil. Percayalah, Tika... aku tetap akan berusa-

ha mencari jalan bagi kesembuhanmu!"

Klowor terus melangkah, menuntun Kartika dengan 

sabar dan hati-hati. Perasaan haru masih terselip di ha-

ti Klowor melihat Kartika berjalan dengan susah payah, 

meraba-raba dan sesekali tersandung akar maupun ba-

tu.

"Tika, awaaas...!" Klowor segera menarik tangan Kar


tika ke bawah, hingga tubuh mereka merendah, karena 

pada saat itu, sebuah tombak melesat dari arah depan 

Klowor dan nyaris menghunjam ke dada Raden Klowor.

"Klowor...?! Ada apa?!" Kartika gugup.

"Seseorang telah menyerang kita, Tika...!"

Pada saat itu pula, sebuah tawa terdengar terbahak-

bahak. Ada juga tawa yang terkekeh di samping kiri me-

reka, dan ada pula gumam memanjang di samping ka-

nan mereka. O, tiga orang brewok telah mengepung 

Klowor dan Kartika dari tiga arah: depan, kiri dan ka-

nan. Semuanya berwajah bengis, brewokan dan berba-

dan tegap.

"Tiga orang brewok menghadang kita," bisik Klowor.

"Gawat. Mereka yang bergelar Tiga Brewok Pencabut 

Uban. Mereka cukup berbahaya, Klowor."

"Apa kelebihan mereka, Tika?" bisik Klowor sambil 

memandang ketiga calon lawannya dengan curiga.

"Jurusnya selalu dilancarkan secara berkaitan, be-

runtun. Hati-hati, Klowor. Jangan sampai ada satu 

uban atau satu rambut pun yang tercabut oleh mereka. 

Rambut kita sehelai adalah nasib nyawa kita. Kalau 

rambut kita diputuskan maka saat itulah nyawa kita 

melayang. Mereka adalah tokoh aliran hitam yang me-

nyimpan dendam kesumat pada ayahku."

"Di mana kelemahannya?"

"Cari tahu yang bernama Somali, itulah pusat kekua-

tan mereka. Kalau Somali dilumpuhkan, maka jiwa me-

reka berdua jatuh. Kalau kau bisa membunuh Somali, 

maka yang dua akan bertekuk lutut kepadamu. Itu me-

nurut cerita ayah, dulu."

"Ayam kampung...!" seru seseorang yang ada di ka-

nan. "Menyingkirlah kau, Ayam Kampung. Jangan 

menghalangi kami. Kami punya urusan dengan perem-

puan kudis itu!"

"Apa maksud kalian menghadang kami?!" Klowor


bersikap tegar dan tenang.

"Kami tidak menghadang kamu," kata brewok yang 

di depan. "Kami hanya ingin membunuh biang penyakit 

yang ada di belakangmu itu!"

"Mengapa Kartika harus dibunuh?!"

"Ha, ha, ha... Maruto, jelaskan kepada Ayam Kam-

pung itu!" kata seorang yang ada di depan kepada orang 

yang berada di samping kanan. Maka, Klowor pun men-

catat dalam hati, o... yang ada di sebelah kanan berna-

ma Maruto.

Maruto berkata dengan suaranya yang berat, sedikit 

serak:

"Ketahuilah, Ayam Kampung, perempuan itu adalah 

keturunan iblis pelalap dosa! Bapaknya setan! Keluar-

ganya juga setan! Kalau kau melindungi dia, berarti kau 

termasuk keluarga setan! Tahu?!"

Klowor terus memancing pertanyaan sebelum ia 

menghadapi ketiga brewok itu. Hanya satu nama lagi 

yang ia butuhkan untuk mengetahui, yang mana yang 

bernama Somali.

"Kalian picik! Salah pengertian!" kata Klowor. "Tidak 

semua anak akan menjadi pewaris sifat orang tuanya! 

Dan, tidak semua anak berhak menanggung dosa lelu-

hurnya. Kalian ini kelihatannya orang-orang berilmu 

tinggi, tapi mengapa berpikiran dangkal?!"

"Maruto, serang dia!"

"Tunggu!" Klowor bersiap siaga dengan tangan ber-

maksud menahan gerakan mereka. Ia mencoba mengu-

lur waktu:

"Jelaskan dulu, apa sebab kalian mendendam kepa-

da ayah Kartika? Barangkali kalau menurut kalian be-

nar, maka aku pun akan melepaskan perempuan ini 

untuk menebus dosa!"

Orang yang ada di samping kanan berseru kepada 

yang da di depan Klowor.


"Dubang, ceritakan kematian teman-teman kita ka-

rena pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Telapak 

Darah!"

Dalam hati Klowor berkata, "O, yang ada di depanku 

itu bernama Dubang. Berarti yang punya nama Somali 

itu orang yang ada di sebelah kananku. Bagus!"

"Ayam Kampung, coba kau pikir, bagaimana kami ti-

dak sakit hati dan menyimpan dendam kepada ayah pe-

rempuan itu, jika pada suatu hari...."

"Cukup!" Klowor memutus pembicaraan Dubang, se-

bab ia sudah tahu, yang mana yang bernama Somali.

Klowor sempat berbisik kepada Kartika, "Usahakan 

jangan sampai mereka tahu kalau kau buta. Cabut pe-

dangmu, dan cobalah menggunakan perasaan dalam 

bergerak. Awas, hati-hati... jangan sampai pedangmu 

membabat aku."

"Ya, aku mengerti..." balas Kartika dalam berbisik.

Lalu, Klowor berkata kepada mereka, "Aku sudah be-

rembuk dengan Kartika, bahwa kami siap menghadapi 

tuntutan dendam kalian. Tapi, jangan salahkan kami 

kalau kalian bertiga mati dengan cara kurang nyaman. 

Mengerti?!"

Dubang tertawa keras. "Ayam Kampung mau unjuk 

kekuatan? Hah, bunuh sekalian dia!"

"Heaaaatt...!"

Maruto menyerang dengan lompatan kaki terarah 

pada Klowor, Somali bersalto di udara menyerang Karti-

ka. Pada saat itu, Klowor pun melompat dan menyong-

song Somali, supaya ia gagal menyerang Kartika. Puku-

lan Somali diadu dengan kepalan tangan Klowor di uda-

ra, dan kaki Klowor sempat bertabrakan dengan kaki 

Somali. Keduanya sama-sama terpental ke belakang. 

Namun, Klowor lebih naas. Ia jatuh disambut dengan 

tendangan kaki Maruto, sehingga punggungnya terasa 

mau patah rasanya.


"Hiaaat...!" Dubang menyerang Kartika dengan senja-

ta pedang gandanya, satu di tangan kiri, satu di tangan 

kanan. Klowor melihat hal itu menjadi cemas. Kartika 

menebaskan pedangnya ke segala arah, membabi buta. 

Salah satu gerakan pedangnya ada yang mengenai pe-

dang Dubang, sehingga Kartika tahu sasaran. Maka ka-

kinya segera menghentak ke depan, agak ke bawah.

"Aaauww...!" Dubang menjerit karena kemaluannya 

terkena tendangan Kartika. Somali segera mencabut 

kampaknya. Pada saat itu, Klowor dihantam oleh Maru-

to hingga dadanya terasa mau jebol. Klowor hanya ber-

teriak:

"Kartika, awas samping kananmu...!"

Dengan menggunakan kedua tangan, Kartika meme-

gangi pedangnya dengan meliuk-liukkan tubuh sambil 

menebaskan pedangnya ke arah kanan. Ia tak tahu ka-

lau Somali melompat ke atas kepalanya dan kakinya 

menendang kepala Kartika hingga Kartika jatuh tergul-

ing-guling. Suara pekikan Kartika membuat Klowor se-

makin berang. Maruto yang hendak menerjang Kartika 

dengan senjata mirip tombak sepanjang lengan itu, se-

gera diterjang oleh Klowor.

Tendangan ke arah punggung Maruto membuat 

orang itu terpental dan menabrak Somali, hingga kedu-

anya berguling-guling. Sementara itu, Dubang sempat 

menendang wajah Kartika dengan keras, kemudian pe-

dang kirinya menyabet ke bawah dan mengenai paha 

Kartika.

"Aaahhh...! Aku kena, Klowor...!"

"Bangsat brewok, kubunuh kau...!" teriak Klowor 

yang siap menusukkan pedang kanannya ke bawah, ke

arah perut Kartika. Tetapi, gerakan itu belum sempat 

terjadi karena dengan cepat kaki Klowor menendang be-

runtun dalam satu lompatan salto, dan tepat mengenai 

pelipis Dubang. Orang itu terpental ke samping, kemudian sebelum pedangnya sempat berkelebat, Klowor te-

lah lebih dulu menghentakkan pukulan ke arah leher 

Dubang. Akibatnya Dubang memekik tertahan dengan 

tubuh berguling menjauh.

Kartika bingung, karena pedangnya lepas dari tan-

gan. Ia meraba-raba mencari pedangnya. Pada saat itu, 

Maruto segera berteriak:

"Hei, ternyata perempuan jalang itu buta...! Dia bu-

ta!"

"Ha, ha, ha...! Dia buta! Benar!" Somali kegirangan, 

juga yang lain. Tetapi, Klowor menjadi cemas, mereka 

sudah mengetahui kelemahan Kartika, dan itu adalah 

bahaya.

"Klowor... mana pedangku?" bisik Kartika sambil me-

rangkak menggapai-gapai pedangnya yang ada di ba-

gian kaki. Klowor segera mengambil pedang Kartika dan 

membantu Kartika berdiri.

"Uuh... pahaku terluka dalam, sakit sekali...!" Karti-

ka jatuh lagi, terduduk. Saat itu, Dubang segera menye-

rang bersamaan dengan Somali. Satu menyerang Klo-

wor, satu lagi menyerang Kartika. Somali yang menye-

rang Kartika dengan senjata kampaknya yang berba-

haya.

"Kibaskan pedangmu ke kiri...!" teriak Klowor sambil 

ia menangkis dan menghindar serangan Dubang. Ka-

kinya sempat masuk menjejak dada Dubang dengan 

buas, Dubang terlempar lagi, sekalipun betis Klowor 

sempat tergores pedang yang ada di tangan kiri Dubang.

Traang...! Untung-untungan pedang Kartika mampu 

menangkis kampak Somali. Tetapi, ia tak tahu kalau 

tangan kiri Somali segera menghantam wajahnya hingga 

mata Kartika pun mengeluarkan darah. Kemudian, 

kampak Somali diangkat dan siap membelah kepala 

Kartika. Pada saat itu, Klowor melompat, menubruk 

Somali hingga keduanya bergulingan.


"Aaahh...!" Klowor memekik, dadanya sempat ter-

gores kampak Somali. Namun, ia tidak perdulikan, ka-

rena ia melihat Maruto melemparkan senjatanya yang 

mirip tombak runcing ke arah Kartika.

"Serangan dari depan, Tika...! Kibaskan pedang, 

aah...!" Klowor menjerit kesakitan sebab kaki Somali 

mengenai wajah dan mulutnya. Tapi, Kartika sempat 

mengibaskan pedang ke arah depan beberapa kali, se-

hingga senjata yang meluncur itu berhasil ditangkisnya. 

Hanya saja, ia tak tahu kalau kibasan pedang segera di-

lancarkan oleh Dubang dari samping kanannya. Klowor 

yang melihat sekelebat hal itu segera melemparkan batu 

ke arah Dubang.

"Aaaow...!" Dubang menjerit, karena mulutnya tepat 

dihantam oleh batu sebesar jempol kakinya. Akibatnya 

kibasan pedang ke pundak kanan Kartika tidak begitu 

telak mengenai sasaran. Namun, sempat merobek 

punggung Kartika yang kanan. Kartika menjerit dan 

mengejang ke depan.

"Taar...!"

Klowor mengambil cambuk dan mengibaskannya ke 

udara. Letupan cambuk itu sendiri telah membuat hati 

ketiga musuhnya menjadi tersentak seketika. Semua 

mata memandang Klowor, dan sikap mereka mulai hati-

hati.

"Itu Cambuk Naga...?!" teriak Dubang. Klowor memu-

tar-mutar cambuk ke atas kepala sambil berjalan men-

dekati Kartika yang mengerang kesakitan. Somali dan 

Maruto mengambil jarak agar tak terjangkau oleh cam-

buk itu. Dubang segera menggerakkan kedua pedang-

nya bersimpang siur di depan wajahnya, membuat sua-

tu gerakan jurus perisai pedang. Ia siap menangkis se-

rangan cambuk bila sewaktu-waktu dilecutkan ke 

arahnya.

"Klowor... aku tidak kuat..." Kartika meratap pelan,


lalu tangannya memegangi kaki Klowor sebagai tempat 

untuk bersandar. Ia memeluk kaki itu dengan lemas. 

Darah masih meleleh dari sudut mata kirinya. Luka di 

punggung dekat pangkal lengan itu pun cukup lebar 

dan sakit sekali. Klowor membiarkan Kartika memeluk 

kaki kanannya. Menurutnya itu lebih baik, supaya ia ti-

dak terpancing oleh lawan untuk bergerak menjauhi 

Kartika.

"Kalau kalian masih berkeras kepala menuntut balas 

kepada Kartika, maka cambukku ini yang akan bicara 

tanpa ampun lagi. Ku usulkan, kita berdamai saja!" ka-

ta Klowor.

"Kami lupa bagaimana caranya berdamai...!" kata 

Dubang.

"Baik. Kalau begitu aku juga lupa bagaimana cara 

membiarkan kalian hidup."

Mendadak, Maruto berteriak, "Tiga pusaran angin...!"

Klowor tidak tahu apa artinya, namun ia segera me-

lihat ketiga manusia brewok itu bergerak berjajar di de-

pan Klowor. Masing-masing siap dengan senjatanya, po-

sisi mereka berdiri menyamping dengan kaki kanan ma-

ju ke depan. Gerakan tangan kanan mereka sama; ke 

atas kepala mengacungkan senjata. Kemudian Somali 

yang ada di tengah segera berteriak:

"Seraaang...!"

Mereka melompat bersamaan. Bersalto dalam satu 

gerakan ke arah Klowor. Tetapi, beberapa saat sebelum 

mereka mencapai Klowor, posisi mereka telah terpecah 

menjadi tiga arah. Dubang membelok ke arah kanan, 

Maruto ke arah kiri, sedangkan Somali lurus ke atas 

kepala Klowor. Jurus ini memang sempat membingung-

kan Klowor. Namun, dengan gerakan cepat, Klowor 

mengibaskan cambuknya ke udara, berputar satu kali 

dengan menimbulkan letupan dan nyala api pada ba-

gian ujung cambuk. Letupan itu seakan mengeluarkan


tenaga dalam yang cukup kuat sehingga membuat tiga 

lawannya terpental ke arah masing-masing.

Somali jatuh di belakang Klowor, membentur pohon. 

Sementara Dubang dan Maruto terguling-guling di se-

mak berduri. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor 

untuk menghantam Somali dari tempatnya berdiri. Ia 

menghantam dengan lecutan Cambuk Naga yang tepat 

dalam satu jangkauan.

"Taar...!" Ujung cambuk yang mengeluarkan nyala 

api itu mengenai paha Somali, dan saat itu pula Somali 

memekik sekeras-kerasnya.

"Aaaaoohhh...!"

Paha itu terpotong dari pangkalnya dengan darah 

memancar dari luka potongan. Somali menjerit-jerit ke-

sakitan, karena ia telah kehilangan satu kaki.

Klowor memperhatikan Dubang dan Maruto, ternya-

ta mereka sangat ketakutan dan menjadi gugup. Klowor 

tahu, mereka berdua mulai panik.

"Somaliii...! Somali kau terluka...?!" teriak Maruto.

"Dia terpotong kakinya!" balas Dubang yang kebin-

gungan dan kelihatan sadis sekali.

Benar juga kata Kartika, apabila Somali dilumpuh-

kan kekuatannya, maka Maruto dan Dubang pun akan 

turun mentalnya, dan menjadi ciut nyalinya.

"Hantam terus Somali..." bisik Kartika dalam erangan 

kesakitannya.

Klowor segera mengibaskan cambuknya sekali lagi 

dengan gerakan memutar-mutar cambuk lebih dulu di 

atas kepala, baru kemudian dilecutkan.

"Taaar...! Deeer...!"

"Somaliiiiii...!" teriak Dubang dan Maruto bersamaan. 

Mereka segera menghambur ke tempat Somali dan ke-

bingungan di sana, sebab tubuh Somali telah hancur 

menjadi serpihan-serpihan daging berlumur darah. Tu-

buh Somali bagai meledak, lalu hancur akibat terkena


jurus Naga Penjilat Nyawa.

Dubang dan Maruto menangis meraung-raung den-

gan kebingungan ingin memunguti daging-daging serpi-

han tubuh Somali. Klowor memejamkan mata. Sebe-

narnya ia tak tega melakukan hal itu. Tetapi, gerakan 

tangannya seakan tidak pernah ia sadari. Seakan berge-

rak sendiri dan menggunakan jurus maut yang ia sendi-

ri belum mengetahuinya. Bahkan, kali ini ia sendiri bin-

gung, mengapa tangannya yang menggenggam Cambuk 

Naga yang hitam berserat putih itu kembali memutar-

mutar di atas kepala.

Hal itu membuat Dubang menjadi sangat ketakutan, 

demikian juga Maruto. Ia segera membuang senjatanya, 

dan Dubang sendiri melemparkan kedua pedangnya 

sambil bersujud mencium tanah, sementara mereka 

berseru sambil meraungkan tangis atas kematian So-

mali.

"Ampunilah kami...! Ampunilah kami...! Jangan bu-

nuh kami seperti saudara tertua kami itu...! Oh, ampu-

nilah kami. Jangan bunuh kami...!"

Suara mereka bersahut-sahutan dalam erangan tan-

gis seperti seorang anak kecil. Dan, Klowor segera 

menghentikan gerakan cambuknya. Itupun ia sendiri ti-

dak tahu, mengapa tiba-tiba tangannya ingin berhenti 

dan menggulung tali cambuk yang terbuat dari serat su-

tra putih.

"Nyawa kalian ada di mulut Kartika," kata Klowor. 

"Kalau Kartika memerintahkan kalian harus dibunuh, 

maka cambuk ini pun akan segera melesat dan mem-

buat kalian seperti Somali."

"Aduuuh... ampunilah kami, Kartika...! Ampuni-

lah...!" rengek Maruto tanpa tahu malu lagi. Ia benar-

benar seperti anak kecil.

"Kami memang salah! Kami memang picik dan bo-

doh. Ampunilah kami, Kartika...! Oh, kasihanilah kami


berdua ini...!"

Klowor bicara dengan tegas, sementara Kartika ma-

sih memeluk kaki Klowor dengan lemas.

"Bagaimana, Kartika? Apakah mereka harus dibu-

nuh sekalian...?!"

Kartika diam. Maruto dan Dubang semakin ampun-

ampun. Mereka juga menunggu keputusan Kartika 

dengan tegang. Dan, setelah beberapa saat kemudian, 

Kartika pun berkata:

"Bebaskan mereka...!"

"Baik. Kalian bebas! Dan, pergilah yang jauh sana!" 

seru Klowor. Kemudian Maruto dan Dubang semakin 

tak kenal malu, mereka menangis sambil berpelukan. 

Klowor ingin tertawa dalam hati, namun ia merasakan 

sakit pada dadanya yang terkena goresan kampak So-

mali.

"Terima kasih...! Terima kasih, Kartika...!" Dubang 

membungkuk-bungkuk dengan hormat di dekat Karti-

ka. Demikian juga Maruto, yang mengangguk-angguk 

sambil mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang. 

Kemudian, Klowor segera mengusir mereka untuk ce-

pat-cepat pergi. Dan, mereka pun pergi dengan berlari 

terbirit-birit.

"Klowor... aku lemas...!"

"Kartika, bertahanlah...!" Kemudian Klowor men-

gangkat tubuh Kartika yang mulai membiru. Mungkin 

ada racun dari senjata lawan yang membaur di dalam 

darah Kartika, sehingga tubuh itu menjadi pucat, bah-

kan membiru dan dingin. Klowor sangat cemas. Lu-

kanya sendiri tidak dihiraukan. Ia segera membawa 

pergi Kartika dengan tujuan yang satu. Langkah Klowor 

sendiri menjadi gontai. Ia terseok-seok, terhuyung-

huyung, karena lukanya sendiri terasa perih.

Ketika tiba di pematang sawah, Klowor tak tahan. Ia 

jatuh terkulai bersama Kartika yang sudah tidak bisa


berbuat apa-apa lagi. Seorang petani menjerit melihat 

Klowor dan Kartika dalam keadaan bermandi darah. 

Kemudian dua orang petani lainnya datang dan segera 

memberi pertolongan. Mereka membawa Kartika dan 

Klowor ke perkampungan mereka. Lalu, kampung itu 

pun menjadi heboh, keadaan Klowor dan Kartika men-

jadi bahan pembicaraan mulut-mulut kampung yang ti-

dak tahu masalahnya. Mereka hanya menduga-duga 

dan saling mengarang cerita sendiri-sendiri.

Entah berapa lama Klowor pingsan, ketika ia si-

uman, ia sudah berada di sebuah rumah berdinding 

papan. Seorang lelaki beruban yang mengaku bernama 

Pak Kiswo, berdiri di samping tempat tidur bambu, 

tempat Klowor dibaringkan. Sedangkan istri Pak Kiswo 

itu sebentar-sebentar membasuh darah yang masih 

mengucur dari luka-luka Raden Klowor. Ada semacam 

ramuan lembut yang dilumurkan pada luka-luka Klo-

wor, namun hal itu tidak membuat darah menjadi ber-

henti. Klowor mengerang karena merasakan sekujur 

badannya menjadi panas sekali.

"Bertahanlah, Anak muda," kata Pak Kiswo. "Seben-

tar lagi rasa sakit dan panas akan hilang. Paling tidak 

akan berkurang. Bertahanlah...."

"Ooh... terima kasih atas pertolongan bapak. Tapi... 

tapi di manakah saya saat ini, Pak?"

"Di rumah saya. Nama saya Kiswo, dan ini istri saya. 

Saya yang menemukan kamu bersama teman perem-

puanmu di pematang sawah dalam keadaan berlumur 

darah."

"Ooh... uuuh...!" Klowor mengerang. "Lalu... lalu di 

mana teman perempuanku itu...? Di mana, Pak?"

"Tadi pagi seseorang mengambilnya."

"Hah...?!" Klowor mendelik. Tegang.

"Dia mengaku saudara dari teman perempuanmu 

itu."


"Siapa namanya?!"

"Entah. Tetapi, dia tampaknya seorang yang sakti. Ia 

mengenakan jubah merah, berkepala gundul dengan

ikat kepala biru tua. Ia membawa tasbih, kalung besar 

dan...!"

"Celaka! Itu musuh kami. Itu Ketua Perguruan Kum-

bang Laga. Ooh... Kartika, kau pasti diserahkan kepada 

Prabu Umbarpati...! Celaka! Celaka sekali...!"

*

* *

6

Klowor tidak memperdulikan kesehatannya. Ia segera 

berlari menyusul kepergian Kepala Perguruan Kumbang 

Laga. Ia harus bisa merebut kembali Kartika, sebelum 

perempuan cantik itu diserahkan kepada Prabu Um-

barpati.

Sesuai dengan petunjuk beberapa orang yang meli-

hat kepergian mereka, Klowor berlari terus tiada henti, 

mengejar waktu yang cukup mendebarkan itu. Berun-

tung sekali utusan Prabu Umbarpati tidak mengambil 

pusaka Cambuk Naga dan pedang milik Kartika, se-

hingga Klowor masih merasa mempunyai kekuatan un-

tuk mengalahkan orang tua berkepala botak itu.

"Kacau! Ke mana mereka perginya ya? Tak ada jejak 

yang bisa dipakai tanda," gumam Klowor ketika sampai 

di tengah hutan yang tandus. Banyak pepohonan yang 

kering, tumbang atau pun mati sama sekali. Pandangan 

Klowor memang sedikit bebas, tetapi ia sangat menyesal 

karena ia tidak tahu ke mana arah kepergian utusan 

Prabu Umbarpati itu.

Ada sebuah bukit. Bukit cadas tanpa tanaman. Klowor segera naik mendaki. Barangkali di atas bukit itu 

Klowor bisa melihat kelebat seseorang berbaju merah 

yang membawa Kartika. Tetapi harapannya itu sia-sia. 

Ia menjadi kebingungan di puncak bukit cadas itu. Ke 

mana arah yang harus dituju? Ke Selatan? Utara? Ba-

rat? Atau Timur?

O, ya. Timur. Sebab, Klowor ingat kata-kata Kartika, 

bahwa Prabu Umbarpati itu adalah raja di daerah We-

tan. Sedangkan Wetan, berarti Timur.

Luka di dada masih ternganga. Sedikit perih, tapi 

sudah tidak sepanas tadi. Klowor pun tidak memperdu-

likan lagi. Yang ia perhatikan kini suara derap kaki ku-

da yang datang dari arah Timur. Derap kaki kuda itu 

semakin menjauh. Itu tandanya mereka sedang menuju 

arah Timur juga. Entah derap kaki kuda milik orang-

orang yang dikatakan Kartika sebagai kaum pemakan 

daging manusia, atau derap kaki kuda dari kelompok 

lain, yang jelas Klowor harus menyelidikinya.

Dengan menggunakan Lindung Bumi, Klowor amblas 

ke dalam tanah dan melakukan pengejaran ke arah de-

rap kaki kuda itu. Satu kelebihan jurus Lindung Bumi, 

adalah dapat bergerak lebih cepat ketimbang harus ber-

lari di atas permukaan tanah. Karena itu, Klowor dalam 

waktu singkat bisa mencapai di belakang derap kaki 

kuda yang bergemuruh seperti datangnya rombongan 

badai itu.

Derap kaki kuda itu berhenti. Di dalam tanah Klowor 

pun berhenti, menyimak suara yang ada. Oh, telah ter-

jadi pertempuran di atas permukaan tanah itu. Suara 

pekik dan teriakan yang ganas terdengar susul menyu-

sul. Klowor mulai menjauh dari bawah tanah tempat 

berhentinya kaki-kaki kuda itu. Di tempat yang diperki-

rakan sepi itu, Klowor melesat dari dalam tanah bersa-

ma hamburan pasir tanah yang jebol diterjang lompatan 

tubuhnya.


O, rupanya ia berada di kaki sebuah bukit, tepi hu-

tan. Ada suara debur ombak di kejauhan. Berarti tem-

pat itu tidak seberapa jauh dari pantai laut.

Tetapi, yang paling menarik bagi Klowor adalah se-

jumlah pasukan berkuda yang membuat suatu lingka-

ran. Ada orang yang dikepung oleh mereka. Orang itu 

mengenakan pakaian komprang model jubah berwarna 

merah, kepalanya botak diikat kain biru tua. Tak salah 

lagi, dialah Ketua Perguruan Kumbang Laga. Perem-

puan yang tergeletak di kakinya itu berpakaian kuning 

gading. Dan, itulah Kartika. Rupanya utusan Prabu 

Umbarpati sedang berebut Kartika dengan orang-orang 

berkuda. Utusan itu memperhatikan Kartika, sekalipun 

ia diserang oleh tiga orang bertampang menyeramkan 

dan ganas-ganas.

Apakah Klowor harus segera turut campur merebut 

Kartika? O, tidak. Klowor akan menunggu, sampai ke-

tahuan siapa yang unggul dalam pertarungan tersebut.

Lama kelamaan, timbul rasa was-was di hati Raden 

Klowor. Ada beberapa orang dari rombongan berkuda 

yang secara diam-diam berusaha menggaet kaki Kartika 

yang agaknya tak sadarkan diri itu. Apabila utusan 

Prabu Umbarpati melihatnya, segera kaki dan tangan-

nya bekerja untuk menghantam orang yang berusaha 

menggaet tubuh Kartika. Tetapi, pada saat itu juga, da-

tang serangan dari orang yang berada dalam arena, dan 

membuat manusia botak berjubah merah itu terjungkal 

tak sempat menangkis dan menghindar.

"Kalau begini caranya, bisa-bisa Kartika diserobot 

oleh mereka dan dijadikan santapan yang lezat saat itu 

juga. Wah, bahaya kalau begini caranya! Aku harus bisa 

segera menyerobot Kartika lebih dulu." Klowor meng-

gumam, berpikir dan mencari-cari tempat yang strate-

gis.

Tak jauh dari tempatnya mengintai, Klowor melihat


ada sebuah pohon besar yang berongga. Mirip goa. 

Akarnya yang berbentuk pipih menyerupai dinding pe-

nyekat kamar. Rasa-rasanya tempat itu cukup lumayan 

untuk menyembunyikan Kartika. Tapi, bagaimana cara 

menyerobot Kartika supaya bisa berhasil dengan mu-

dah?

"Cambuk Naga harus bicara lagi! Kubuat habis pe-

nunggang kuda yang mengurung Kartika dan utusan 

Prabu Umbarpati itu. Ah, tetapi... jangan-jangan kekua-

tanku yang bisa membuat pasukan berkuda berantakan 

itu malah dimanfaatkan oleh lelaki botak untuk mem-

bawa kabur Kartika. Bisa-bisa aku berurusan dengan 

mereka, sementara lelaki botak itu dengan bebas mem-

bawa kabur Kartika. Wah, jangan! Jangan mengguna-

kan cara itu..." celoteh Klowor sendirian.

Tak jauh dari arena itu, ada gundukan tanah yang 

tinggi. Klowor harus bisa berdiri di sana. Tapi, untuk 

mencari tanah gundukan itu, ia harus melalui tempat 

lapang yang besar kemungkinan bisa diketahui para 

pasukan berkuda. Satu-satunya jalan, ia harus meng-

gunakan jalan bawah tanah. Sekali lagi ia mengguna-

kan jurus Lindung Bumi untuk mencapai gundukan ta-

nah itu. "Blees...!" Klowor berjalan di dalam tanah, se-

perti berjalan di alam bebas, hanya saja cahayanya 

menjadi merah namun tidak mengganggu mata. Dan, 

kini ia berhasil muncul di balik gundukan tanah itu. Pe-

lan-pelan ia merayap dan mencapai bagian atas gundu-

kan tanah tersebut.

Raden Klowor berdiri tegap di atas gundukan tanah 

itu. Ia akan menggunakan jurus Tapak Sembrani, yang 

pernah digunakan dalam merebut sebuah selendang 

(dalam kisah: PRAHARA RADEN KLOWOR). Kali ini, ia 

berusaha menyedot tubuh Kartika dari jarak jauh. Ia 

cepat-cepat memperagakan jurus tersebut sebelum pa-

sukan berkuda itu mengetahui gelagatnya.


Klowor mengejangkan kedua tangannya. Nafasnya 

ditahan beberapa saat. Kedua tangan itu segera berge-

rak kaku, telapak tangan saling merapat di depan dada. 

Keras sekali, sampai tubuhnya pun ikut bergetar. Lalu, 

kedua tangan itu dihentakkan ke depan dalam keadaan 

lurus, dan kedua telapak tangan dalam posisi tengku-

rap.

Mata Klowor tertuju pada Kartika yang tergeletak di 

tanah. Kedua tangannya bergetar dengan nafas tertahan 

sejak tadi. Dan tiba-tiba tubuh Kartika bergerak-gerak. 

Mereka yang melihat menyangka Kartika sadar dari 

pingsannya. Namun, mata mereka menjadi terbelalak 

kaget, ketika tubuh Kartika melayang di udara dalam 

keadaan berbaring seperti semula.

"Huuuuuuoow...!" Hampir semua mulut berseru ka-

gum melihat tubuh Kartika melesat terbang dan tahu-

tahu sudah berada di atas gundukan tanah. Klowor 

berdiri sambil memapah tubuh Kartika yang membiru 

kaku.

"Perempuan itu dicurinya...!" teriak mereka.

"Kejaaar...!"

Raden Klowor segera melarikan diri sambil menggen-

dong Kartika. Sementara itu, lelaki botak berjubah me-

rah jadi terbengong melihat Kartika sudah tidak ada di 

tempat semula. Ia tidak melihat keajaiban yang dilaku-

kan oleh Raden Klowor, karena ia sibuk bertarung 

menghadapi tiga lawan yang mewakili pasukan berku-

da.

Kini, utusan Prabu Umbarpati itu pun ikut mengejar 

Raden Klowor dan berusaha mendului para penunggang 

kuda. Namun, sebelum mereka semua sempat menca-

pai Klowor, murid Jaka Bego itu sudah lebih dulu me-

nyembunyikan tubuh Kartika di dalam pohon berongga 

besar. Ia berdiri di depan rongga pohon itu untuk mem-

beri perlindungan, dan menghalau siapa saja yang hendak mengambil tubuh Kartika.

"Serahkan perempuan itu!" teriak utusan Prabu Um-

barpati. "Perempuan itu harus menanggung dosa ayah-

nya!"

"Hei, tua bangka yang bodoh, dosa ayahnya bukan 

merupakan dosa pribadinya! Kau jangan mau dibodohi 

oleh dendam tuamu!" Klowor dengan berani, sementara 

pasukan berkuda telah mulai mengepungnya.

"Serahkan dia, atau kucincang bacotmu, hah?!"

"Sebelum kau cincang bacotku, mungkin gundulmu 

sudah retak lebih dulu!"

"Biadab, hiaaatt...!" Sebuah tendangan berputar di-

lancarkan oleh lelaki botak berjubah merah. Klowor tak 

sempat menangkis tendangan yang kedua, sehingga wa-

jahnya telak dihentak kaki lawannya hingga darah 

mengucur dari hidung. Klowor menggeram kesakitan, 

dan menggerutu dalam hati:

"Gawat, belum-belum hidungku sudah bocor...!"

Klowor buru-buru menjaga keseimbangan dalam 

berdiri. Ia terpaksa merendahkan badan karena kalung 

bermanik-manik besar itu menyambar kepalanya. Den-

gan tubuh merendah begitu, Klowor segera berputar 

dan melancarkan serangan dengan jurus Turangga Su-

jud. Kedua tangan menapak di tanah, dan kedua kaki 

menghentak ke belakang, tepat mengenai dada lawan-

nya yang botak. Orang itu terjengkang ke belakang. 

Kemudian, salah seorang dari penunggang kuda hendak 

melemparkan tombak kepada Klowor, tetapi dicegah 

oleh pimpinan mereka.

"Tunggu, lihat dulu siapa yang menang, baru kita 

bantai beramai-ramai!"

Kalau saja Klowor mau berpindah tempat, ia akan 

mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Tapi, kalau ia 

berpindah tempat, maka Kartika akan diserobot oleh 

para penunggang kuda. Jadi, sekalipun tempatnya


sempit, terbatas oleh semak berduri di kanan kiri, tapi 

Klowor harus bertahan di depan rongga pohon itu. Ia 

harus menjadi benteng bagi siapa saja yang hendak me-

rebut Kartika.

"Hiaaatt...!" Lawan menyerang dengan kibasan ka-

lung yang memercikkan bunga api berwarna biru keme-

rahan-merahan. Klowor berguling ke samping, percikan 

api mengenai batang pohon bagian atas rongga, dan ba-

tang pohon itu menjadi hangus seketika, membentuk 

sebuah garis hitam.

Merasa dirinya dalam bahaya, Klowor tidak mau 

main coba-coba. Ia bisa kehabisan tenaga, salah-salah 

ia bisa lengah, dan mengancam keselamatan jiwanya, 

juga mengancam keselamatan Kartika. Maka, segera ia 

menggunakan cambuk pusakanya.

Pada waktu itu, tepat lawan yang botak kepalanya 

itu, menyerang Klowor dengan memutar-mutarkan ka-

lungnya yang bermanik-manik batu besar. Klowor tahu, 

kalau kalung itu disabetkan, pasti akan mengakibatkan 

bahaya besar baginya. Maka, sebelum hal itu terjadi, 

Klowor segera melecutkan cambuknya ke udara. 

"Taaar...!"

Tali cambuk membelit di kalung itu. Lawan terperan-

gah sesaat. Kemudian, Klowor menghentakkan cambuk 

dengan kekuatan keras, dan kalung itu pun hancur 

berkeping-keping bagai sebuah batu yang rompal akibat 

benturan keras.

"Biadab haram...! Kau benar-benar mencari mam-

pus! Hiaaat...!" Lawan yang botak itu menerjang Klowor 

dengan tendangan melayang. Ketika itu, Klowor menge-

lakkan ke kanan, dan kaki lawan menjejak pohon, lalu 

membalik dengan bersalto dan mengenai punggung 

Kartika.

"Huugh...!" Klowor berguling-guling akibat tendangan 

itu. Posisinya membuka rongga penyimpanan tubuh



Kartika. Maka, lawan botak itu segera menghampiri tu-

buh perempuan cantik itu dan hendak membawanya la-

ri.

"Lancang kau...!" teriak Klowor sambil mengibaskan 

cambuknya dalam posisi setengah terlentang di tanah.

"Taaar...!" Jurus Cambuk Kelabang Murka dilancar-

kan tanpa ampun lagi. Lecutan itu mengenai punggung 

lawan berjubah merah. Punggung itu bolong seketika. 

Orang tersebut memekik kesakitan sambil oleng men-

jauhi rongga pohon. Klowor buru-buru berdiri dan 

menghantamkan cambuknya sekali lagi ke arah kepala 

orang itu. "Taaar...! Deeer...!"

"Huuuuuuh...?!" Semua orang berteriak kagum dan 

ngeri melihat tubuh lelaki botak itu meledak dan han-

cur berkeping-keping. Serpihan-serpihan daging tubuh-

nya berhamburan ke mana-mana membuat yang me-

mandang menjadi memejamkan mata. Tak ada lagi ujud 

lelaki botak berjubah merah, yang ada hanya cuilan-

cuilan daging yang menjijikkan.

Klowor sendiri sempat bergidik, karena beberapa 

orang dari penunggang kuda itu ada yang turun dan 

memunguti cuilan daging tersebut, lalu dimakannya, 

dikunyahnya dengan girang hati. Pimpinan mereka yang 

berkumis tebal dan bermata merah itu menghampiri 

pemakan daging itu, lalu menamparnya kuat-kuat.

"Goblok...! Kan ada daging yang lebih lezat dari itu?! 

Serang dia! Cincang keduanya dan habisi sekarang ju-

ga!"

"Seraaaang...!"

Mereka turun dari kuda dan mengacungkan senjata. 

Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali menghancur-

kan mereka secepatnya. Karena itu, Klowor pun segera 

memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Kemudian 

bunyi letupan dan nyala api terjadi beberapa kali. "Tar... 

taarr... tarr...!"


"Aaaahhh...! Aaauuh...!"

Mereka mencengkeram kejang dan menjerit-jerit ka-

rena tubuh mereka mulai dibakar api. Seperti ada kila-

tan cahaya petir yang menyambar-nyambar mengenai 

tubuh mereka. Bahkan beberapa pohon pun ikut terba-

kar. Kuda-kuda meringkik dan berlarian dengan binal. 

Kuda-kuda yang mengamuk itu pun sempat menginjak-

injak beberapa orang penunggang kudanya sendiri.

"Lariii...! Lekas lariii...!" teriak pimpinan mereka yang 

bermata merah. Sempat sang pimpinan memandang 

Klowor beberapa saat, kemudian dari sorot matanya itu 

keluar sinar berwarna merah tua tertuju pada Raden 

Klowor.

"Hiaaaat...!" Klowor melompat ke samping, sambil 

mengibaskan cambuknya ke arah kepala pimpinan me-

reka. Ujung cambuk yang menimbulkan suara ledakan 

itu tepat mengenai pelipis orang tersebut, dan pecahlah 

kepala itu menjadi berkeping-keping.

Taaar...! Taaar...!

Cambuk Naga beraksi terus. Beberapa orang pe-

nunggang kuda itu lari tunggang langgang dengan tu-

buh terbakar api yang susah dipadamkan. Bau sangit 

mengabar. Jerit dan pekik saling bersahut-sahutan ba-

gai irama neraka. Sementara itu beberapa pohon telah 

terbakar dan menjadi berkobar.

Angin berhembus cukup kencang. Angin itu juga 

akibat dari putaran cambuk yang bagai kipas angin di 

atas kepala Klowor. Tak satu pun dari mereka ada yang 

lolos dari api. Semuanya terbakar dengan keadaan 

mengerikan. Ada yang sambil berlari-lari mencari tem-

pat air, ada yang berguling-guling sambil berteriak. Ada 

pula yang hanya diam saja, tahu-tahu rubuh dan men-

jadi hangus. Kuda-kuda yang terbakar pun meringkik 

mengerikan sambil menggelepar-gelepar di rerumputan. 

Namun, ada pula kuda yang lolos dari senjata api cambuk dan berlari ketakutan sambil menabrak beberapa 

orang dari mereka.

Hutan jadi terbakar. Apinya berkobar-kobar. Klowor 

jadi kebingungan sendiri. Tak ada pilihan lain bagi Klo-

wor kecuali membawa lari Kartika, menjauhi hutan 

yang sudah terlanjur terbakar itu. Dengan menggen-

dong Kartika di pundaknya, Klowor terus berlari me-

ninggalkan jerit kematian dan kobaran api yang kian 

mengganas itu.

Entah ke mana Klowor harus lari, tetapi begitu ia sa-

dari, ia sudah berada di sebuah pantai. Nafasnya teren-

gah-engah, matanya memandang kanan kiri dengan 

panik. Oh, ternyata ia sampai di tebing karang, tempat 

pertama kali ia bertemu dengan Kartika.

"Kartika...! Kartika...?!"

Perempuan cantik yang membiru itu tidak bersuara 

lagi. Keadaannya benar-benar parah. Klowor menjadi 

gusar, dan kepanikannya meningkat. Haruskah Kartika 

mati di tempat pertama kali mereka berjumpa? O, tidak! 

Kartika yang sudah terlanjur buta itu harus sembuh. Ia 

sudah berjanji, bahwa ia akan mencarikan jalan untuk 

kesembuhannya.

Tapi, dalam keadaan begini, apakah mungkin Klowor 

mampu melarikan Kartika ke Puri Bukit Bulan, tempat 

Lanangseta dan Kirana hidup bersuami istri itu? Apa-

kah ada cukup waktu untuk membawa Kartika ke sa-

na?

Klowor menempelkan telinganya ke dada Kartika. Ya, 

ampun! Detak jantungnya sangat lemah. Sebentar lagi 

pasti Kartika akan mati. Ia harus segera ditolong. Ha-

rus, ya, tapi bagaimana caranya?! Bagaimana?! Klowor 

benar-benar gusar dalam kebingungannya.

Ada sebuah ingatan yang mengharukan hati Klowor, 

yaitu pada saat Kartika dalam keadaan pingsan dan ter-

luka bagian dalamnya akibat pertarungannya dengan Ki



Punggo. Ia pada waktu itu berhasil menyelamatkan jiwa 

Kartika. Lalu, Klowor ditampar, lalu Kartika menyesal, 

lalu Kartika meminta maaf, kemudian mereka masuk ke 

dalam goa. Aaah... kenangan itu sungguh menggoda ha-

ti Klowor.

"Hei, mengapa aku tidak melakukan penyembuhan 

seperti yang kulakukan di goa itu?" pikir Klowor. Ia in-

gat, saat ia menghembuskan nafas bantuan ke dalam 

mulut Kartika, ternyata membuat Kartika sehat kemba-

li. Waktu itu, Klowor sebenarnya cukup bangga pada di-

rinya sendiri. Tetapi, bagaimana dengan tamparan Kar-

tika dan tuduhan Kartika tentang kekurangajaran Klo-

wor?

"Ah, masa bodo! Dia mau menuduhku lagi, mau me-

namparku lagi, mau berterima-kasih padaku... itu uru-

san nanti. Yang penting sekarang aku harus memberi-

kan nafas bantuan ke dalam mulutnya. Guru pernah 

berpesan begitu!"

Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, Raden Klowor 

mengecup bibir Kartika yang membiru itu. Ia meniup 

mulut itu beberapa, kali. Bahkan tangannya sempat 

membuka mulut Kartika untuk melakukan pemberian 

nafas bantuan dengan lebih leluasa lagi.

Kepala Klowor jadi pusing sendiri. Ia banyak meng-

hembuskan nafas lewat mulut ke mulut Kartika, namun 

Kartika belum sadar dari pingsannya. Ia hampir putus 

asa. Sekali lagi ia mencoba meniup mulut Kartika bagai 

sedang meniup api di dalam tungku memakai corong 

bambu.

Lama-lama, ia melihat tanda-tanda kehidupan. Dada 

Kartika mulai berdegub jelas. Lalu, ada nafas pelan 

yang terhembus dari hidung Kartika.

"Tika...?! Tika...?! Sadarlah, Kartika...?!" Klowor ber-

semangat dan mulai berdebar-debar. Ia tersenyum-

senyum dalam keharuan. Ia mengusap-usap wajah itu


dengan penuh rasa sayang.

Sesaat kemudian terdengar suara erangan yang lirih. 

Kartika merintih. Sekali pun masih merintih, namun 

Klowor sudah cukup lega, sebab dengan demikian maka 

Kartika ada harapan untuk bisa hidup kembali.

"Tika...? Kartika...? Kau dengar suaraku...?!"

"Ooh... di mana aku...?!"

"Kita... kita berada di pantai, Kartika. Kita telah ber-

hasil lolos dari buruan orang-orang pemakan daging 

manusia, dan... dan Ketua Perguruan Kumbang Laga 

itu telah berhasil ku binasakan, Kartika. Kita aman di 

sini... Di pantai tempat kita pertama kali berjumpa, Ti-

ka...!"

Kartika mengerjap-ngerjapkan mata. Ia masih men-

geluh dan mengerang dengan lemas.

"Klowor... aku sakit...!"

"Kau akan sembuh, Tika. Akan sembuh...!" Klowor 

girang sekali. "Aku telah memberikan pernafasan ban-

tuan lewat mulutmu, seperti dulu, sewaktu di dalam 

goa itu...."

"Ooh... kau..." Suara Kartika lemah. Kini Klowor 

mengangkat kepala Kartika dan meletakkan dalam 

pangkuannya. Ombak masih menderu dan memercik-

kan buih-buihnya ke pantai.

"Bagaimana kalau kulakukan lagi, Tika?"

"Apa...?" tanya Kartika dengan lirih dan parau.

"Bagaimana kalau kutiup lagi mulutmu...?!"

"Ah..." Kartika sempat mencubit hidung Klowor den-

gan tawa yang tersimpan, karena kesehatannya belum 

pulih sama sekali.

Tetapi, pada saat ia berhasil mencubit hidung Klo-

wor, matanya menjadi membelalak dan berkedip-kedip.

"Klowor...?! Ooh... aku bisa melihat lagi...?!"

"Apa...?! Kau bisa melihat lagi?!"

"Ya. Aku... aku... oh, aku bisa melihat lagi, Klowor...!"


Kartika memeluk Raden Klowor dengan tangis kebaha-

giaannya. Rupanya tiupan nafas yang dilakukan Klowor 

itu telah membuat segala penyakit sirna, baik penyakit 

di luar tubuh maupun di dalam tubuh. Dan, yang san-

gat di luar dugaan adalah, kebutaan mata itu sendiri 

jadi ikut terobati secara tidak sengaja. Rupanya itulah 

salah satu kehebatan Klowor yang tidak pernah disadari 

selama ini, bahwa nafasnya mampu menyembuhkan 

segala macam penyakit.

Luka lain pada diri Kartika pun berangsur-angsur hi-

lang. Lalu, Kartika pun tampil kembali sebagai sosok 

perempuan cantik yang mempunyai ilmu tidak mudah 

disepelekan. Kini, ia selalu bersamaan dengan Raden 

Klowor, terutama dalam misinya mencari Pulau Kramat 

yang hilang.


                              SELESAI

 



Share:

0 comments:

Posting Komentar